|
yayasan sastra
www.sastra.org |
Jageran RT 03/IV No. 7 Ketelan-Banjarsari-Surakarta Telp. (0271) 633171 E-mail: info@sastra.org |
KATALOG NASKAH-NASKAH JAWA
JILID I
KOLEKSI YAYASAN SASTRA
SURAKARTA
Editor :
Supardjo dan John Paterson
====================================================
|
yayasan sastra
www.sastra.org |
Jageran RT 03/IV No. 7 Ketelan-Banjarsari-Surakarta Telp. (0271) 633171 E-mail: info@sastra.org |
Prakata
Assalamu’alaikum wa rakhmatullahi wa barokatuh
Sebenarnya koleksi naskah Yayasan Sastra - Surakarta (baik manuskrip maupun naskah cetak) bisa dibilang cukup banyak, tetapi belum semua didaftar dan diinformasikan. Katalog ini baru memuat sekitar 400 judul naskah Jawa, yang sudah dikerjakan mulai dari identifikasi naskah, sampai transliterasi atau alih-aksara dari huruf Jawa ke huruf Latin.
Mengingat misi Yayasan Sastra di antaranya adalah menyelamatkan, melestarikan, dan menyebarluaskan budaya Jawa khususnya bahasa dan sastra melalui media internet, maka keberadaan katalog manual sebenarnya hanyalah sekedar memberikan panduan sangat awal dan sederhana.
Katalog ini dimaksudkan sebagai media penyampaian informasi kepada Yang Terhormat Ibu Hj. Rina Iriani Ratnaningsih, SPd. M.Hum. Bupati Karanganyar, bahwa sebenarnya masih banyak rakyat Karanganyar yang peduli terhadap Budaya Jawa, satu di antaranya adalah kami.
Di sela-sela kesibukan tugas Ibu Bupati, kiranya masih ada secuil waktu untuk berkenan membaca naskah warisan leluhur yang adi-luhung ini. Selanjutnya, baik sebagai pribadi ataupun Pemerintah Kabupaten Karanganyar berkenan paring dhawuh untuk upaya pemanfaatan isi ajaran ataupun muatan naskah bagi kehidupan menuju masyarakat yang lebih arif bijaksana dan berbudaya.
Semoga bermanfaat.
Wasalamu’alaikum wa rakhmatullahi wa barokatuh
W a r u, 09 Juni 2007
S u p a r d j o dan J o h n P.
Abdi-dalêm Kadipatèn, 1906, Puspadiningrat, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 16, No.Rec. 742
Ikhtisar: Memuat keterangan tentang cara berpakaian bagi para abdi dalem mulai pangkat terendah sampai tertinggi, lengkap dengan kegunaannya pada saat menjalankan tugas, dan pakaian tersebut juga disesuaikan dengan acara yang sedang diikutinya. Keterangan ini ditulis oleh RMA Puspadiningrat atas ijin raja, dan peraturan tersebut berlaku untuk selamanya.
Adat Tatacara ing Gondhang (Sragèn), 1938, Suhari, Bag.dari: Kajawèn 1938 (Cetakan, 1938), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1725
Ikhtisar: Uraian tentang adat tatacara ketika akan mulai mengerjakan sawah, menanam padi, menuai dan pascapanen yang biasa dilakukan masyarakat di Gondang, Sragen.
Adiwijaya kepada Karyarujita, 1929-32, Adiwijaya, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 1, No.Rec. 395
Ikhtisar: Surat-surat kepada Karyarujita, ditulis oleh Adiwijaya ketika beliau berada di Batavia dan masih memimpin (Pangarsa) Radya Pustaka.
Aksara Saptaswara, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1332
Ikhtisar: Pemaknaan filsafat terhadap tujuh huruf istimewa dalam rangkaian alfabet Jawa (A, E, I, O, U, Rê, Lê) serta huruf-huruf besar (aksara rekan) yang dimaknai sebagai simbol para Dewa. Pemaknaan itu tidak memperhatikan asal-usul katanya.
Alap-alapan Surtikanthi, 1930, Jayasuwignya, Bag.dari: Nugraha ing Madura (carik, 1930), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 54, No.Rec. 170
Ikhtisar: Pernikahan Karna dengan Surtikanti setelah sebelumnya Surtikanti menolak lamaran Duryudana. Pernikahan tersebut akhirnya terlaksana atas bantuan Arjuna.
Amarna Namaning Pêthetan Kroton, Sêkar Patralalita, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 220
Ikhtisar: “Pethetan” atau tanaman hias korton-korton di dalam keraton Surakarta yang diuraikan untuk mendeskripsikan perabot pakaian dan asesorisnya yang digubah dalam sekar ageng Patralalita.
Andaran Kalatida Ranggawarsitan, 1950, Bratakèsawa, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 19, No.Rec. 1068
Ikhtisar: Ungkapan ketidakpuasan dari R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873) atas kondisi jaman yang kacau, karena raja dan pemerintahan (pemimpin negara pada waktu itu) sudah tidak dapat diteladani lagi (diistilahkan : Jaman Edan). Untuk mengatasi semua itu, hanya dengan cara pasrah dan tawakal kepada Tuhan, serta selalu ingat dan waspada.
Antêp Ingkang Andugèkakên Sêdya, 1938, Kajawèn, Bag.dari: Kajawèn 1938 (Cetakan, 1938), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 733
Ikhtisar: Kisah perjuangan hidup Sapardi putra bekel Truna Kerti dari kampung Grejen. Karena keuletan dan ketekunannya dalam menjalankan usaha batik, ia menjadi pengusaha besar dan berhasil dalam menjalankan usahanya, bahkan dia dianggap sebagai cikal bakal para saudagar/pedagang batik di Laweyan. Atas keberhasilannya itu, ia mendapatkan penghargaan dari raja Surakarta.
Arsip-arsip Suranto (Sastra Budaya), 1960-70, Suranto, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa + Indonesia, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang + Gancaran, Jml.hal. …, No.Rec. 316
Ikhtisar: Kumpulan dokumen hasil koleksi Suranto tentang bahasa dan sastra Jawa.
Asmaralaya, 1908, Mangunwijaya, Bag.dari: Bèndhêl Kridhaatmaka, Asmaralaya (Cetakan, 1908-1909), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, No.Rec. 1261
Ikhtisar: Uraian mengenai ilmu kesempurnaan hidup, yaitu ajaran dari para guru yang mengajarkan kepada manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan akherat.
Bab Dhukun Kampung, 1928, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1674
Ikhtisar: Uraian tentang persalinan yang dibantu seorang dukun kampung yang perlu pertimbangan karena dari sisi kesehatan tidak dapat dipertanggungjawabkan, dibandingkan dengan persalinan yang dibantu oleh seorang bidan, yaitu seseorang yang sudah mendapatkan pengajaran tentang persalinan yang higienis dan paham bagaimana merawat bayi dan ibu setelah melahirkan.
Bab Dhuwung, 1927, Sal, Bag.dari: Kajawèn 1927 (Cetakan, 1927), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 1, No.Rec. 1675
Ikhtisar: Uraian tentang keris. Orang Jawa yang masih kental dengan gugon tuhon, keris dipercaya dapat mendatangkan kemujuran maupun kesialan. Khasiat keris bergantung pada perhitungan, pamor, maupun jenis besinya. Hal pokok pada keris antara lain pamor (yang menyebabkan daya yang berbeda-beda), dhapur (bentuk luk atau lurus), dan tangguh (gaya atau model, bergantung empu atau pembuatnya).
Bab Ringgit, 1930, 1931, Sastrasuwignya, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1705
Ikhtisar: Keterangan mengenai kayon, prampogan, dan tokoh-tokoh dalam wayang kulit purwa. Misalnya Batara Guru, Batara Narada, Batara Surya, Lembu Andini, dan lain-lain. Yang diceritakan mengenai peran, kedudukan, dan silsilah tokoh-tokoh wayang tersebut. Juga ada tokoh wayang Jawa, misalnya Prabu Makukuhan, Jaka Puring, Puthut Jantaka, yang ceritanya dibuat seolah-olah merupakan bagian dari cerita Mahabarata.
Bab Têtuwuhan ing Tanah Hindiya Miwah Dayanipun Kangge Jampi, 1911, Kloppenburg, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 309, No.Rec. 780
Ikhtisar: Uraian tentang jenis tumbuh-tumbuhan lengkap dengan bagian-bagiannya (daun, bunga, buah, biji, kulit, akar, dan bagian lain), disertai deskripsinya. Uraian atas racikan / cara membuat dan manfaatnya dalam perawatan tubuh, pencegahan penyakit atau pun penyembuhan berbagai penyakit. Pada bagian akhir dilengkapi dengan daftar nama tumbuh-tumbuhan yang disertai nama/istilahnya dalam bahasa Latin.
Bab Tingkêb, 1930, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1696
Ikhtisar: Uraian singkat tentang tradisi tingkeban (selamatan tujuh bulan kehamilan). Pada jaman dahulu tingkeban termasuk hajatan besar, menggunakan hiburan, mendatangkan tamu undangan, serta menggunakan sesaji, prosesi, dan alat upacara yang lengkap. Tetapi akhirnya muncul pendapat bahwa tingkeban yang diadakan secara besar-besaran sudah kurang sesuai dengan jamannya dan merupakan pemborosan.
Bab Wirasating Manungsa Mêndhêt saking Kawruh Tionghwa, 1929, Singgih, Bag.dari: Kajawèn 1929 (Cetakan, 1929), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1676
Ikhtisar: Uraian menurut Kitab Ong Kim Syang tentang sifat dan nasib manusia yang didasarkan keadaan mata, telinga, hidung, mulut, alis, dan dahi.
Babad Alit, Jumênêngipun Cungkup ing Pasarean Kuthagêdhe, 1921, Prawirawinarsa/Jayèngpranata, Seri dari: Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 56, No.Rec. 989
Ikhtisar: Uraian keadaan makam Imogiri serta aturan dan tatacara memasuki makam tersebut. Hal-hal yang diuraikan di antaranya mengenai arah, tempat makam, dan pakaian yang dikenakan (dipakai) pengunjung waktu memasuki makam. Keterangan nama-nama yang dimakamkan dan keterangan waktu pendirian cungkup di makam Kotagede.
Babad Cariyos Lêlampahanipun Suwargi Radèn Ngabèi Rônggawarsita, 1931-33, Rônggawarsita, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 137, No.Rec. 184
Ikhtisar: Biografi Raden Ngabehi Ronggowarsito, sejak kecil pada saat masih bernama Bagus Burham sampai menerima wahyu kapujanggan, pernikahannya dengan R.Aj. Gombak, persahabatannya dengan Winter, pengabdiannya di Kraton Surakarta. Sebelum menjadi pujangga, oleh karena terlalu dimanjakan oleh kakeknya (RT. Sastranagara = R.Ng. Yasadipura II) Bagus Burham tumbuh menjadi anak yang bodoh, nakal, liar dan suka berjudi. Atas perintah kakeknya pula, Bagus Burham dikirim kepada Kyai Imam Besari di Gebang Tinatar, Panaraga yang ditemani abdi setia Ki Tanujaya. Kerasnya didikan Kyai Imam Besari dan ketelatenan Ki Tanujaya, membuat Bagus Burham menjadi sadar dan akhirnya menerima wahyu kapujanggan.
Babad Gijanti, 1939, Balai Pustaka, Seri dari: Balé Poestaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 96, No.Rec. 1245
Ikhtisar: Pengelompokan nama-nama orang dan tempat. Memuat nama orang, punggawa, dan pejabat yang disebut dalam Serat Babad Giyanti karya R. Ng. Yasadipura I (1729-1803).
Babad Giyanti, 1820, Anonim, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 138, No.Rec. 1118
Ikhtisar: Cerita pembagian kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, terutama episode keberangkatan Sunan Kabanaran ke arah timur untuk membantu perang di Surabaya dilanjutkan perang Mangkubumi. Diceritakan pula tentang Adipati Panaraga dan bupati mancanegara yang mempersiapkan pasukan di Barakal. Dilanjutkan cerita tentang Pangeran Mangkunagara, Kudanawarsa dan Pangeran Natakusuma dalam peperangan melawan Kumpeni, sampai takluknya Madiun dan Panaraga.
Babad Giyanti, 1937-39, Balai Pustaka, Seri dari: Balai Pustaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 79, No.Rec. 985
Ikhtisar: Diawali kisah perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Pakubuwana II, diakhiri dengan serangan Mangkubumi ke Panaraga. Selain itu juga menggambarkan peristiwa yang terjadi di beberapa tempat seperti Wirasaba, Japan, Keduwang, dan Giyanti, sebelum terjadinya perjanjian Giyanti.
Babad Kadhiri, 1932, Mangunwijaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 88, No.Rec. 990
Ikhtisar: Diawali dengan dirintisnya kerajaan Kediri sampai menjadi kerajaan. Juga menceritakan empat kerajaan, yaitu Janggala, Ngurawan, Panaraga, dan Kediri serta menceritakan berdirinya kerajaan Bintara, Demak, serta masuknya agama Islam.
Babad Majapahit, 1975, Tanaya, Bag.dari: Sajarah Jati (ketikan, 1975), Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 8, No.Rec. 1501
Ikhtisar: Deskripsi kebesaran Prabu Brawijaya, kedatangan Ki Jaka Dilah (Arya Damar) yang ingin mengabdi pada sang prabu yang kemudian diberi ‘triman’ putri Cina oleh Prabu Brawijaya, dan kisah Raden Sahid (putra Bupati Tuban yang berperilaku tidak baik), akhirnya bertobat pada Sunan Bonang dan kemudian diterima sebagai murid.
Babad Serenan, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 33, No.Rec. 1385
Ikhtisar: Cerita tentang Prabu Prangwadana bercengkrama untuk mencari ikan di Serenan ketika musim kemarau dan saat air di lubuk (”kedhung”) surut selama delapan bulan.
Babad Surakarta ingkang katêlah dipun wastani Babad Giyanti mawi sêkar Macapat, 1916-1918, Budi Utama, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 160, No.Rec. 982
Ikhtisar: Kisah pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, dimulai dengan pindahnya kerajaan Kartasura ke Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana II, diakhiri dengan diangkatnya KGPA Anom Mangkunagara sebagai raja di Jawa oleh Gurnadur Betawi bergelar Sunan Pakubuwana III. Kisah ini juga menggambarkan peran V.O.C. (Belanda) dalam pembagian wilayah tersebut, serta diangkatnya Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I.
Babad Tanah Jawi, 1827, Anonim, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 517, No.Rec. 981
Ikhtisar: Kisah awal mula terjadinya Jawa, dimulai dengan sejarah Adam berputra Esis, turun-temurun sampai Hyang Guru yang memiliki lima putra, yaitu Sambo, Brahma, Mahadewa dan Wisnu. Dilanjutkan cerita terjadinya tigapuluh wuku, disambung cerita Sri Mahapunggung, cerita Ratu Baka di Prambanan dan Resi Gatayu di Koripan dan keturunannya di kerajaan Jenggala, Daha, dan Singasari. Cerita tentang kerajaan Pajajaran, Raja Mundingwangi dan Arya Bangah di Galuh sampai cerita Siyung Wanara (kelak disebut Banyak Wide). Dilanjutkan cerita Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajahmada di Majapahit, cerita Seh Walilanang, Arya Damar, Raden Patah, Bondhan Kajawan sampai Panembahan Senapati naik tahta di Mataram.
Babad Tanah Jawi, 1874, Meinsma, Seri dari: Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde van Ned. Indië, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 688, No.Rec. 778
Ikhtisar: Silsilah para raja di Tanah Jawa yang dikaitkan dengan para nabi dan para dewa, sejak dari Nabi Adam berputra Sis, Sis berputra Nur Cahya, Nur Cahya berputra Nur Rasa, Nur Rasa berputra Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wenang berputra Sang Hyang Wening, Sang Hyang Wening berputra Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Tunggal berputra Bathara Guru, Bathara Guru berputra 5 yaitu Sambo, Brama, Mahadewa, Wisnu, Dewi Sri. Wisnu kemudian bertahta di Jawa bergelar Prabu Set, kerajaannya Suralaya. Selanjutnya adalah sejarah timbulnya kerajaan-kerajaan di Jawa, mulai Prabu Jayabaya di Kediri sampai perpindahan keraton Kartasura ke Surakarta.
Babad Tanah Jawi, 1938-41, Balai Pustaka, Seri dari: Balai Pustaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 79, No.Rec. 1024
Ikhtisar: Silsilah para raja di tanah Jawa yang dikaitkan dengan para nabi dan para dewa, sejak dari Nabi Adam berputra Sis, Sis berputra Nur Cahya, Nur Cahya berputra Nur Rasa, Nur Rasa berputra Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wenang berputra Sang Hyang Wening, Sang Hyang Wening berputra Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Tunggal berputra Bathara Guru, Bathara Guru berputra 5 yaitu Sambo, Brama, Mahadewa, Wisnu, Dewi Sri. Wisnu kemudian bertahta di Jawa bergelar Prabu Set, kerajaannya Suralaya. Selanjutnya adalah sejarah timbulnya kerajaan-kerajaan di Jawa, mulai Prabu Jayabaya di Kediri sampai perpindahan keraton Kartasura ke Surakarta.
Babad Warni-warni, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 170, No.Rec. 1
Ikhtisar: Memuat kumpulan kisah perjalanan raja dan kerabatnya ke beberapa tempat, terjadinya suatu tempat dan bangunan, pelaksanaan upacara-upacara, dan penyampaian pesan raja kepada putra dan kerabatnya.
Babad Wedyadiningratan, 1938, Dutadilaga, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 88, No.Rec. 245
Ikhtisar: Kisah perjalanan hidup (biografi) Wedyadiningrat sejak kecil, menjadi pegawai sampai pensiun. Juga hubungannya dengan Keraton, hidup bermasyarakat, berbangsa, kehidupan dengan keluarga dan teman-temannya. Kisah Wedyadiningrat ini dimulai sejak sekolah dokter, menjadi pembantu guru sekolah dokter hingga menjadi bupati / kepala dokter. Tempat tinggalnya berpindah-pindah, sehingga ia dapat beradaptasi dalam hidup di masyarakat yang berbeda-beda.
Balsafah Gatholotjo, 1950, Tanaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 44, No.Rec. 775
Ikhtisar: Perdebatan tiga orang guru di Pondok Rejasari dengan Gatoloco mengenai ilmu kesempurnaan hidup. Gatoloco memberikan teka-teki (cangkriman) kepada tiga orang guru tersebut untuk dijawab. Perdebatan itu terjadi antara Gatoloco dengan ketiga kyai, dan juga Gatoloco dengan Kasan Besari. Semua teka-teki tentang tokoh-tokoh wanita seperti Dewi Mlenukgembuk, Dewi Dudulmendut, Dewi Rara Bawuk, Dewi Bleweh, dan Dewi Lupitwati dapat dijawab oleh Gatoloco. Akhirnya kelima wanita itu diperistri oleh Gatoloco dan diberi ajaran ilmu “rahsa” oleh Gatoloco. Cerita diakhiri dengan kepergian Gatoloco ke Cepekan, menjadi “gurunadi” dan melanjutkan uraian soal-jawab tentang ilmu.
Bangsal Tosan, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Babad Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 6, No.Rec. 198
Ikhtisar: Renovasi bangunan di halaman sebelah selatan pendapa pura Mangkunagaran, yang diberi nama bangsal Tosan. Sebuah bangunan/tempat perhentian para tamu yang didirikan pada hari Jumat, 12 November 1875 A.D. Bangsal itu terbuat dari besi yang didatangkan dari Dhislan, Berlin.
Bantah Kêkalih, 1872, Kramaprawira, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 36, No.Rec. 1515
Ikhtisar: Ajaran moral (untuk menghormati kepada orang tua) yang dikemas dalam dialog perdebatan benar dan salah atau penting dan tidak penting mengenai “dhasar dan ajar”, “arti” dan “arta”. Masing-masing mengutarakan dan bersikukuh dengan pendapatnya, hingga terjadi pertengkaran. Akhirnya dapat diredakan dan dijelaskan oleh kehadiran orang ketiga, bahwa semua itu adalah sama benar, sama penting, dan keduanya harus ada untuk saling melengkapi.
Barukalinthing, 1916, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 39, No.Rec. 1172
Ikhtisar: Cerita pernikahan Ajar Windusana di Merbabu dengan Retna Kastala seorang putri raja Majapahit, sampai dengan lahir dan kematian ular Baruklinthing. Dilanjutkan dengan cerita pernikahan Jaka Bandung (anak hasil pujaan Ajar Windusana) yang kemudian bernama Raden Windudaka dengan Retna Pandhankurung (putri Pengging).
Bausastra Dr. Pigeaud, 1938, Kajawèn, Bag.dari: Kajawèn 1938 (Cetakan, 1938), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 731
Ikhtisar: Pertanyaan yang dimuat pada Majalah Kejawen tentang manfaat bausastra karya Dr. Pigeaud dibandingkan dengan bausastra karya J.F.C. Gericke dan T. Roorda serta bausastra karya P. Jansz.
Bayanolah, 1920, H. Buning, Bag.dari: Warni-warni (Cetakan, 1920), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 96, No.Rec. 129
Ikhtisar: Ajaran ilmu “sangkan paraning dumadi” (’sangkan’ adalah asal-mula, awalnya; ‘paran’ adalah akhirnya, tujuan akhir dari hidup). Kehidupan manusia dimulai sejak Adam yang diciptakan oleh Tuhan. Tujuan akhir manusia, adalah menuju ‘kaswargan’ (surga).
Bayanu’llah (Pustakadarya), 1959, Tanaya, Bag.dari: Kalempakaning serat-serat Natarata (ketikan, 1959), Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 76, No.Rec. 128
Ikhtisar: Ajaran ilmu “sangkan paraning dumadi” (’sangkan’ adalah asal-mula, awalnya; ‘paran’ adalah akhirnya, tujuan akhir dari hidup’). Kehidupan manusia dimulai sejak Adam yang diciptakan oleh Tuhan. Tujuan akhir manusia, adalah menuju ‘kaswargan’ (surga). Dalam karya ini ditambahkan uraian oleh R. Tanaya berupa prosa.
Bêdhahipun Karaton Nagari Ngayogyakarta, saha Kendhangipun Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Paku Buwana ingkang kaping VI, Narendra Nagari Surakarta Adiningrat, 1913, Suradipura, Seri dari: B. P., Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 102, No.Rec. 752
Ikhtisar: Sejarah runtuhnya kerajaan Ngayogyakarta oleh Kumpeni Inggris dan dibuangnya Kangjeng Sultan ke Pulau Pinang, pemberontakan Pangeran Prawiradirja (Bupati Madiun) dan dibuangnya Pakubuwana VI (1806-49, 1823-30) ke Ambon.
Bèndhêl Kridhaatmaka, Asmaralaya, 1908-1909, Mangunwijaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 83, No.Rec. 1341
Ikhtisar: Memuat kumpulan ajaran kesempurnaan hidup agar memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat didasarkan dari serat Warni-warni karya para nabi dan para wali.
Bèndhêl Sanasunu, Wicara Kêras, 1819-1820, Daiya, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 262, No.Rec. 1379
Ikhtisar: Memuat ajaran etika kehidupan bermasyarakat yang ditujukan kepada anak dan kritik yang ditujukan kepada penguasa kerajaan (para pemimpin tidak dapat diteladani lagi) dalam menjalankan pemerintahan.
Bèndhêl Suluk, [...], KBG Br. 399 II, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 302, No.Rec. 829
Ikhtisar: Kumpulan naskah suluk, yang intinya memuat ajaran mengenai perjalanan mistik kejawen.
Bèndhêl Suluk, 1835, Cod. Or. 1795, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 967, No.Rec. 808
Ikhtisar: …
Bèndhêl Widya Pradana, Widya Pramana, Suluk Sarengat lan Wadu Aji, [...], Anonim, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang + Gancaran, Jml.hal. …, No.Rec. 1529
Ikhtisar: Memuat informasi kunjungan Jayabaya ke pedesaan (wilayah kerajaan Kediri), kewajiban abdi kerajaan, dan juga memuat ajaran moral yang dikemas dalam cerita penciptaan dunia dan manusia.
Bimasonya, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 45, No.Rec. 1312
Ikhtisar: Bima diperintah gurunya, Durna, untuk mencari tirta amarta (air kehidupan). Perintah itu sebenarnya hanya tipudaya Kurawa untuk membunuh Bima. Bima mencarinya di hutan dan akhirnya di dasar samodra. Disana Bima bertemu dengan Dewa Ruci kemudian diwejang tentang “manunggaling Kawula-Gusti” yang digambarkan dengan warna merah, hitam, kuning dan putih sebagai lambang perwatakan dan nafsu manusia. Juga ajaran tentang makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik)
Biwaddha Nata Surakarta 1936, 1936, Wôngsalêksana, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 72, No.Rec. 93
Ikhtisar: Kemajuan dan keberhasilan yang dicapai kerajaan Surakarta Adiningrat, baik di bidang fisik maupun spiritual pada masa pemerintahan Pakubuwana X. Cerita tersebut diuraikan saat peringatan “tumbuk yuswa” 72 tahun Pakubuwana X.
Boekoe Siti Djenar ingkang Toelèn, 1931, Mangunwijaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 32, No.Rec. 794
Ikhtisar: Kisah tentang sepak terjang Seh Siti Jenar, murid Sunan Giri Gajah yang menganggap dirinya sebagai Tuhan. Dia menganggap bahwa Tuhan ada dalam dirinya dan dalam dirinya ada Tuhan (konsep manunggaling kawula Gusti). Konsep itu diajarkan secara umum, sehingga dapat menyesatkan orang banyak. Oleh karena itu, dengan perantara Raja Demak (R. Patah atau Seh Akbar), Seh Siti Jenar akhirnya dipenggal kepalanya dengan pedang oleh Sunan Kalijaga atas kesepakatan wali sanga dan atas izin dari gurunya yakni Sunan Giri.
Bôngsa Kalang, 1928, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1677
Ikhtisar: Bermacam-macam cerita mengenai asal mula orang Kalang yang dianggap mempunyai kebiasaan yang sangat berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Ada yang menyebut bahwa orang Kalang mempunyai ekor karena merupakan keturunan Jaka Bandung (berwujud anjing) dan Dewi Retna Cendila. Menurut Dr. Groneman, orang Kalang adalah keturunan dari orang Hindu, Arab dan Jawa. Menurut Te. Mechelen, orang Kalang adalah abdi dalem yang bertugas menebang kayu di hutan.
Bôngsa Tekat Talabul Ngèlmu, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 17, No.Rec. 1314
Ikhtisar: Uraian tentang kewajiban mencari ilmu (talabul ngelmu) yang dijabarkan melalui pemahaman kalbu, salah satunya mengenai nafi dan isbat, juga mengenai perbedaan serta persamaan nafi dan isbat tersebut. Di ungkapkan bahwa di dalam rasa, ada 4 hal, yakni menyembah kepada Hyang Tunggal, dengan perasaan ikhlas, hati yang mantap–tetap, dan pengetahuan yang sempurna mengenai takdir (pasthi)
Buku Sedjarah Sampejan Dalem Ingkang Sinuhun Kangdjeng Susuhunan Paku Buwono VII ing Surakarta, 1955, Purwosastro, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 28, No.Rec. 514
Ikhtisar: Sejarah Pakubuwana VII, dimulai dari kisah para putra raja, pengangkatannya sebagai raja, serta kepedulian beliau terhadap keadaan-keadaan yang perlu diperhatikan ketika bertahta. Uraian sifat-sifat baik yang dimilikinya diharapkan dapat dijadikan teladan bagi anak cucu maupun orang lain. Diuraikan pula, rincian nama istri, anak, cucu, dan cerita mengenai para leluhur dari ibundanya. Cerita diakhiri dengan meninggalnya Pakubuwana VII.
Bulus, Pênyu tuwin Kura, 1930, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1698
Ikhtisar: Uraian tentang hewan bulus, penyu, kura dan jenis-jenisnya. Bulus bisa diambil minyaknya untuk obat, penyu diambil sisiknya untuk cunduk (sejenis asesoris di kepala), dan kura biasanya setelah tertangkap lalu dibunuh untuk ganjal amben (ranjang). Menurut kepercayaan ranjang yang diganjal dengan kura akan dijauhi hewan-hewan berbisa.
Busananing Basa, 1931, Lamingun, Bag.dari: Kajawèn 1931 (Cetakan, 1931), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1721
Ikhtisar: Dalam bahasa Jawa terdapat istilah busananing basa. Kalimat agar terasa indah dan enak didengar perlu direngga ‘dihias’ misalnya dengan mempergunakan kosakata-kosakata dari bahasa Kawi, dan sebagainya. Ukara anjoged ‘tuturan indah’ bisa dipergunakan dalam pembicaraan sehari-hari, dalam serat-serat, maupun di dalam pedalangan.
Candhi Maling, 1866-67, Jurumartani, Bag.dari: Jurumartani (Cetakan, 1864-68), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. …, No.Rec. 297
Ikhtisar: Artikel-artikel yang memuat perdebatan tentang Candi Maling dan perdebatan sastra dalam bentuk prosa Jawa yang dimuat pada koran Jurumartani pada jaman perkembangan sekolah-sekolah di Jawa.
Candrakanta, 1901-03, Radya Pustaka, Seri dari: Radya Pustaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 523, No.Rec. 97
Ikhtisar: Candrakanta adalah majalah berbahasa Jawa yang terbit setiap bulan. Candrakanta adalah milik Paheman Radyapustaka yang disusun oleh Ngabehi Wirapustaka dan diterbitkan oleh Albert Rusche & Co Surakarta. Candrakanta mulai terbit pada tahun 1901. Berisi tentang berbagai pengetahuan antara lain: ilmu bumi, astronomi, pertanian, perikanan, kesehatan, ajaran moral, dongeng, pengetahuan tentang binatang dan sebagainya.
Caranipun tiyang gadhah anak ing Indramayu, 1938, Mashud, Bag.dari: Kajawèn 1938 (Cetakan, 1938), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1722
Ikhtisar: Tatacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat distrik Sliyeg, Indramayu ketika baru mendapatkan anak (sang bayi baru lahir). Ketika bayi baru lahir diadakan selamatan kecil-kecilan (bancakan). Masyarakat di sana mengatakan belehan. Ketika bayi umur 7 hari diadakan selamatan yang disebut kaping kalih. Bayi umur 40 hari diadakan upacara cukuran.
Carita Ibêr-ibêr tuwin Uran-uran Warni-warni, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Dwija Iswara (Cetakan, 1899), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 28, No.Rec. 2
Ikhtisar: Memuat kumpulan serat tentang keadaan suatu negara Lokantara, surat-surat ucapan terima kasih, pelaksanaan pernikahan Raden Mas Arya Gandasuputra dengan Raden Ajeng Sunimah dan Raden Mas Gandawardaya dengan Raden Ajeng Selok, serta kumpulan sekar ageng yang berisi informasi beberapa pernikahan putra-putri dan sentana raja.
Cariyos Bab Lampah-lampahipun Radèn Mas Arya Purwalêlana, 1877, Côndranagara, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 259, No.Rec. 790
Ikhtisar: Menceritakan perjalanan Purwalelana dari Salatiga sampai Betawi, dan dari Semarang sampai Banyuwangi. Cerita perjalanan tersebut telah diubah oleh Candranagara khususnya kata, kalimat, tempat dan nama-nama penguasanya, disesuaikan dengan keadaan pada jaman Candranagara. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, Candranagara juga mengadakan perjalanan ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Purwalelana. Karya ini merupakan sebuah rekaman budaya dan masalah-masalah sosial masayarakat setempat, misalnya tata cara adat, ataupun tradisi masyarakat Semarang, Betawi, dan Bogor.
Cariyos Kêkesahan saking Tanah Jawi dhatêng Nagari Walandi, 1916, Suryasuparta, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 234, No.Rec. 530
Ikhtisar: Kisah R. M. Arya Surya Suparta pada saat pergi ke negeri Belanda dan deskripsinya secara lengkap.
Cariyos Kina, 1931, 1937, Kajawèn, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 459
Ikhtisar: Cerita asal usul nama Kedung Penganten di wilayah Sukaharja atau selatan kota Surakarta.
Cariyos Lêlampahanipun Ki Padmasusastra Dhatêng Nagari Nèdêrlan, 1935, Jayang Gêni, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 31, No.Rec. 249
Ikhtisar: Kisah perjalanan Ki Padmasusastra (1843-1926) ke Belanda. Berangkat dari Surakarta menuju Semarang naik kereta api, kemudian naik kapal laut,. Kepergian ke Belanda tersebut, atas undangan H. A. De Nooy, seorang pemeriksa pemerintah untuk pendidikan pribumi. Ki Padmasusastra (1843-1926) berangkat tanggal 14 September 1891 dan tiba di Belanda (muara Amode) pada tanggal 3 November 1891.
Cariyos Lêlampahanipun Raja Anglingdarma ing Nagari Malawapati, 1884, Van Dorp, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 404, No.Rec. 1123
Ikhtisar: Kisah Prabu Anglingdarma raja Malawapati yang mempersunting Dewi Setya, putri Bagawan Maniksukra di padepokan Rasamala sebagai permaisuri. Dilanjutkan dengan kisah penderitaan dan pengembaraan Prabu Anglingdarma sampai kembalinya ke Malawapati. Akhirnya ia menjadi pertapa dan tahtanya digantikan oleh cucunya bernama Bambang Gandakusuma.
Cariyos Lêlampahanipun Tôngga Kêkalih Awasta Waris Kalihan Lalis, 1913, Wiryadiarja, Seri dari: Uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 39, No.Rec. 1228
Ikhtisar: Cerita tentang dua orang bertetangga bernama Waris dan Lalis. Meskipun badan Waris tidak sekuat Lalis, namun memiliki kecerdikan yang lebih daripada Lalis. Lalis memiliki sifat kasar dan suka emosi. Apapun yang dilakukan tanpa dipikirkan akibatnya terlebih dahulu. Yang dipikirkan hanyalah keinginannya untuk mencelakakan Waris. Mulai dari membunuh sapi, membunuh nenek Waris dan sampai menceburkannya ke sungai. Akhirnya Lalis yang selalu dibangkitkan oleh rasa dendam serta iri justru menemui ajalnya, sedangkan Waris dengan kesabaran dan kecerdikannya justru selamat dan menjadi orang kaya.
Cariyos Winastan Lampahan: Kitiran Môncawarni, 1899, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 256, No.Rec. 164
Ikhtisar: Cerita tentang Citraswara, putri Resi Citradana. Citraswara pada suatu hari bermimpi bahwa suaminya kelak adalah Prabu Jayaamisena di Kediri. Selanjutnya Citraswara mengembara menuju Kediri. Atas petunjuk Dewi Nawangwulan, impian Citraswara akan terlaksana dengan syarat apabila Citraswara berubah wujud menjadi “kitiran mancawarni” (burung perkutut yang berwarna-warni).
Cariyosipun Banawi Sala, 1916, Rêksakusuma, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 54, No.Rec. 784
Ikhtisar: Cerita tentang Bengawan Solo, khususnya aliran bengawan, manfaat bengawan, bahaya yang ditimbulkan, serta kota-kota yang dilalui aliran bengawan. Selain itu, memuat legenda-legenda terkenal di sepanjang Bengawan Solo, terutama di daerah pesisir utara Pulau Jawa.
Cariyosipun dhusun Somawangi, 1929, Atmadipura, Bag.dari: Kajawèn 1929 (Cetakan, 1929), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1678
Ikhtisar: Cerita asal mula Desa Somawangi, Kecamatan Purwareja, Kabupaten Banyumas. Semula Desa Sumawangi berupa hutan yang sangat angker, dan terdapat pohon pulasari yang berbau harum, sehingga sampai sekarang dinamakan Desa Somawangi.
Cariyosipun Rara Kandrêman, kasambêtan dongèng tigang warni, 1916, Kuswandiharja, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 33, No.Rec. 533
Ikhtisar: Legenda terjadinya sungai bawah tanah di Desa Mangge, Panaraga. Cerita bermula dari keinginan Ki Ageng Mangli memperistri Rara Kandreman (putri Ki Ageng Mangge). Keinginan itu ditolak secara halus oleh Rara Kandreman dan ayahnya. Penolakan secara halus itu diketahui oleh Ki Ageng Mangli. Akibatnya terjadi pertempuran sehingga ayah Rara Kandreman meninggal. Rara Kandreman tetap menolak keinginan Ki Ageng Mangli, kemudian menerjunkan diri ke sungai, diikuti oleh Ki Ageng Mangli. Dalam karya ini dilanjutkan dengan tiga buah dongeng yang berjudul: “Dongèng Sambêl Wijèn, Dongèng Pandung ingkang Cilaka Numpa-numpa, dan Dongèngipun Tiyang Madati”.
Cêkakanipun kawruh bêksa tayub, 1931, 1932, Suharda, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1728
Ikhtisar: Pengetahuan tentang tarian Tayub gaya lama maupun gaya baru, misalnya cara dan aturan menari yang baik, pemilihan gending yang tepat, serta penghormatan terhadap para tamu. Tayub gaya lama masih memperhatikan tatakrama, sehingga indah dan menarik untuk dilihat. Adapun Tayub gaya baru pada umumnya sudah meninggalkan kaidah seni bahkan ada yang mengarah pada asusila.
Côndra, 1929, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1929 (Cetakan, 1929), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1679
Ikhtisar: Keterangan tentang ‘candra’ atau penggambaran keindahan keadaan seseorang beserta artinya, misalnya rikma mêmak ngêmbang bakung, sinom angron sumêmi, dan lain-lain. Juga berisi saran tentang bagaimana sebaiknya jika ingin mengetahui keadaan seseorang (nyandra), karena keadaan tiap-tiap orang tidak sama.
Côndrarini, 1898, Rônggawarsita, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 21, No.Rec. 219
Ikhtisar: Ajaran raja kepada para wanita / isteri, untuk dapat melaksanakan kesetiaannya kepada suami agar mencontoh sifat 9 orang tokoh wanita dalam pewayangan (Wara Sumbadra, Dewi Manohara, Dewi Ulupi, Retna Gandawati, Wara Srikandi, Dewi Manikarja, Dyah Maheswara, Retna Rarasati, dan Dewi Sulastri) .
Côndrarini, 1953, Pakubuwana IX, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 15, No.Rec. 1392
Ikhtisar: Ajaran agar menjadi wanita yang baik dengan meneladani 5 wanita dalam pewayangan (Wara Sumbadra, Manohara, Ulupi, Retna Gandawati dan Wara Srikandi).
Damarwulan, 1810, Anonim, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 245, No.Rec. 94
Ikhtisar: Kisah Damarwulan yang mengabdi di Majapahit, kemudian ditugaskan untuk menundukkan Minakjingga di Blambangan. Damarwulan adalah kemenakan patih Logender, pertama kali mengabdi di Majapahit diberi tugas sebagai perawat kuda. Tugasnya selalu diganggu oleh kedua saudara sepupunya, bernama Layang Seta dan Layang Kumitir, namun selalu dibantu oleh Anjasmara. Ratu Majapahit Kencanawungu, hendak dipinang oleh Prabu Urubisma (Minakjingga) Blambangan namun ditolak. Akibat penolakan tersebut, Majapahit terancam mendapatkan serangan dari Blambangan. Petunjuk gaib yang diterima Kencanawungu menerangkan bahwa kemelut itu akan dapat diselesaikan oleh seorang anak muda bernama Damarwulan. Kisah ini baru sampai pada peperangan di Prabalingga (naskah habis).
Darmaduhita, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 7, No.Rec. 1346
Ikhtisar: Ajaran kepada istri agar berbakti, berlaku cermat (nastiti) dan patuh (wêdi) kepada suami. Dikemukakan ajaran kias lima jari tangan, agar dijadikan teladan bagi para isteri dalam melayani suami. Isteri harus “pol” dengan ibarat jari “jempol” (sepenuhnya) berbakti pada suami, jari “panuduh” (telunjuk) harus menurut pada petunjuk suami, jari “panunggul” harus mengunggulkan suami, jari manis harus bersikap manis pada suami, jari kelingking sebagai simbol bahwa istri harus kreatif.
Darmagandhul, 1920, H. Buning, Bag.dari: Warni-warni (Cetakan, 1920), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 223, No.Rec. 437
Ikhtisar: Kisah tentang runtuhnya kerajaan Majapahit, dan memuat ajaran ilmu “kasunyatan”, dan berakhirnya perkembangan agama Budha, serta mulai berkembangnya ajaran agama Islam.
Darmalaksita, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 10, No.Rec. 155
Ikhtisar: Ajaran untuk pemuda agar mengetahui kewajiban hidup, menjauhkan diri dari perbuatan tercela, dan ajaran untuk membina kehidupan berumah tangga. Keinginan manusia akan tercapai apabila didasarkan pada 8 hal (astagina): pandai, trampil, hemat, cermat, tahu perhitungan, suka bertanya, tidak boros, dan bersungguh-sungguh.
Darmarini, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 1347
Ikhtisar: Ajaran kepada isteri agar mengetahui sembilan perkara, antara lain: memiliki hati mantap, bersungguh-sungguh, “narima” (mau menerima), sabar, bakti, penuh perhatian (”gumati”), menurut (”mituhu”), menjaga (”rumêksa”) rahasia suami, dan kuat serta sentosa pada suami.
Darmawasita, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 16, No.Rec. 1395
Ikhtisar: Ajaran hidup yang berpedoman pada 8 hal yang disebut ‘asthagina’ yaitu: pandai, trampil, hemat, cermat, tahu perhitungan, suka bertanya, tidak boros dan bersungguh-sungguh.
De Geheime leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil), 1938, Poerbatjaraka, Bag.dari: Djawa (Cetakan, 1920-?), Jenis: Cetakan, Bhs. Belanda + Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 37, No.Rec. 458
Ikhtisar: Ajaran Sunan Bonang kepada Wujil tentang sembah sejati kepada Allah; dan anasir bumi, api, angin, dan air.
Dêdongengan, 1932, Anonim, Seri dari: Bale Pustaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 48, No.Rec. 1241
Ikhtisar: Dongeng tentang: 1. Negara Gresik dan bagian-bagiannya; 2. Peninggalan jaman Hindu di dekat Bogor; 3. Hutan di Siluman; dan 4. Hadiah yang menyenangkan hati.
Dewaruci, 1928, Anonim, Seri dari: Tan Kun Swi, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 56, No.Rec. 1212
Ikhtisar: Kisah Wrekudara saat berguru “ngèlmu” kepada Drona, kemudian diperintah untuk mencari “tirta prawita suci” atau air penghidupan. Setelah di gunung Endrakila tidak ditemukan, diperintahkan untuk mencarinya di dasar samudra. Pada saat itu, Wrekudara bertemu dengan Sang Dewaruci. Sang Dewaruci lalu memberikan ajaran tentang kesempurnaan hidup.
Dhalang, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1418
Ikhtisar: Kata penutup dari dalang setelah selesai mengadakan pertunjukan. Kata penutup berupa doa agar tuan rumah diberi panjang usia dan tercapai yang dicita-citakan juga keselamatan untuk istri, putra, kekayaan dan kerabat. Kata penutup tersebut diiringi dengan gending.
Dhuwung - Wêsi Aji, 1936, Nayawirôngka, Bag.dari: Arsip-arsip Dhuwung (ketikan, 1960-70), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 35, No.Rec. 321
Ikhtisar: Materi ceramah Mas Ngabei Nayawirangka tentang keris (wesi aji), antara lain mencakup pengetahuan keris, bahan-bahan, bentuk dan nama bagian-bagiannya, serta cara pembuatan keris.
Djawa, 1920-?, Java Instituut, Seri dari: Tijdschrift van het Java-Instituut, Jenis: Cetakan, Bhs. Belanda, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. …, No.Rec. 719
Ikhtisar: Majalah Jawa dengan menggunakan pengantar bahasa Belanda, terbit sekitar awal tahun1900-an oleh Java Instituut-Weltevreden. Majalah ini memuat informasi aktual pada jamannya, terutama mengenai budaya Jawa.
Dongèng Akal Pêngaos Kalih Sèn, 1917, Wiryaatmaja, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 36, No.Rec. 1240
Ikhtisar: Cerita tentang saudagar di desa Sikayu bernama Ki Gede Karyaarta. Ia mempunyai empat orang istri yaitu Wagiyem, Menik, Langen dan Karsih. Perlakuan Ki Gede terhadap empat istrinya berbeda-beda, istri pertamanya justru tidak diperhatikan. Namun, pada saat saudagar jatuh miskin, hanya istri pertamanya yang mau menerima, sedangkan tiga istri mudanya menolak. Akhirnya Ki Gede tahu bahwa istri mudanya hanya mau hartanya saja, sehingga Ki Gede kembali kepada istri pertamanya yang tetap setia menemaninya dalam suka maupun duka.
Dongeng Asma Daya, 1825, Anonim, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 56, No.Rec. 348
Ikhtisar: Kumpulan dongeng, satu di antaranya menceritakan tentang awal-mula untuk mendapatkan nama diambil dari makna kata. Dongeng dimulai dengan kisah negeri Kaliyoga, tentang abdi dalem mantri bernama Mas Ngabei Sidalaku, di Dusun Kasimpar. Dongeng ini berbentuk dialog antara Sidalaku dengan keempat rekannya bernama Pawaka, Sutirta, Samira, dan Kismara (simbol empat unsur alam: api, air, angin, dan tanah). Dongeng diakhiri dengan nasihat bahwa pekerjaan, sekalipun berat, akan terlaksana apabila disertai dengan semangat yang tinggi.
Dongèng Cêkruk Truna, [...], Anonim, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 82, No.Rec. 221
Ikhtisar: Cerita tentang imajinasi seorang penganggur bernama Cekruk Truna, yang berkhayal tentang pekerjaan yang paling enak dan menguntungkan bagi dirinya. Khayalan itu tidak diimbangi dengan usaha, akibatnya pekerjaannya hanya melamun dan berandai-andai saja, akhirnya justru menjadi penganggur.
Dongèng Isi Wêwulang Bêcik, 1889, Winter, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 215, No.Rec. 868
Ikhtisar: Kumpulan dongeng, yang berisi ajaran-ajaran kebaikan dengan cerita-cerita simbolik dan pada akhir cerita diberi kesimpulan pentingnya cerita tersebut (”wigatining crita”).
Durcara Arja, 1921, Pant, Seri dari: Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 92, No.Rec. 178
Ikhtisar: Ajaran moral dan cerita humor yang digambarkan dengan bahasa Jawa Surakarta. Karya ini merupakan karya Jawa Modern berbentuk prosa karya Raden Suryawijaya.
Dwija Iswara, 1899, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 451, No.Rec. 214
Ikhtisar: Memuat beberapa serat dengan beraneka macam isi, di antaranya ungkapan tentang cinta kasih, ajaran moral (baik-buruk, filsafat hidup Jawa), penghormatan dalam menyambut tamu (diwujudkan dalam sajian gending dan panembrama), dan surat-surat penting dari Mangkunegara IV kepada para putra dan sahabatnya.
Êndêm, 1928, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1680
Ikhtisar: Ajaran untuk menghindari perbuatan ma lima: main, minum, madat, madon, maling. karena dapat merusak jiwa dan raga. Di samping itu, ada hal lain yang sering membuat lupa seseorang yaitu mabuk harta (kekayaan), derajat, dan kewibawaan. Apabila dapat menghindari hal-hal tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan lahir batin.
Erang-erang, 1916, Padmasusastra, Seri dari: Serie Uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 71, No.Rec. 64
Ikhtisar: Cerita tentang orang meminum candu dan minuman keras serta akibat yang ditimbulkan dari perbuatan meminum candu dan minuman keras itu (misalnya, tidak dapat mengontrol diri, menyebabkan ketergantungan, rumah tangga hancur, sakit, lumpuh, dan meninggal dunia).
Gagasan Prakara Tindaking Ngaurip, 1921, Kartawibawa, Seri dari: Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 88, No.Rec. 1617
Ikhtisar: Kumpulan ajaran yang dikemas dalam berbagai subjudul untuk menjalani hidup dan kehidupan, antara lain manusia harus berusaha (bekerja), punya keyakinan yang kuat, tidak boleh pesimis dalam segala hal, hidup harus optimis, sehingga dalam menjalankan kehidupan dapat berjalan dengan baik, dan dapat merasakan ketenteraman batin.
Gancaran warni-warni ing jaman punika, 1933, Mellema, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 272, No.Rec. 460
Ikhtisar: Artikel (22 artikel) yang dapat dimanfaatkan di sekolah sebagai bahan pelajaran. Artikel tersebut berkaitan dengan bahasa dan sastra, budaya, peninggalan kuna, dan adat wilayah tertentu serta perkembangan tempat tertentu. Di samping itu, terdapat keterangan pribadi para penulis artikel.
Gandrung Asmara, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 18, No.Rec. 209
Ikhtisar: Lagu atau puisi yang ditulis oleh seseorang yang sedang jatuh cinta. Puisi tersebut dijadikan alat untuk menyampaikan perasaan cinta atau sebagai penghibur hati yang sedang jatuh cinta.
Gandrung Turida, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 11, No.Rec. 210
Ikhtisar: Kisah mengenai seseorang yang sedang jatuh cinta (kasmaran) kepada seorang wanita, namun merasa bahwa tidak mungkin bersanding dengan wanita itu karena merasa sudah berumur, sehingga hanya bisa berserah pada Tuhan agar dapat dipertemukan dengan gadis itu pada kehidupan selanjutnya (di akhirat).
Giripura, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Babad Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 23, No.Rec. 195
Ikhtisar: Cerita tentang pesanggrahan (tempat peristirahatan raja, keluarga, dan kerabatnya) Giripura yang terletak kurang lebih 19 pal (1 pal = 1.57 km) arah Timur kerajaan di pegunungan Karangpandan (Pandanpura). Pesanggrahan ini berdiri atas prakarsa Mangkunagara III.
Giripura, 1953, Cakradiwirya, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 38, No.Rec. 1381
Ikhtisar: Cerita tentang pesanggrahan (tempat peristirahatan raja, keluarga, dan kerabatnya) Giripura yang terletak kurang lebih 19 pal (1 pal = 1.57 km) arah Timur kerajaan di pegunungan Karangpandan (Pandanpura). Pesanggrahan ini berdiri atas prakarsa Mangkunagara III.
Gugon Tuhon, 1911, Prawira Winarsa, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 83, No.Rec. 1222
Ikhtisar: Macam-macam kepercayaan (”gugon tuhon”, terdiri dari 148 macam) yang diyakini orang Jawa, dan apabila orang melanggar “gugon tuhon” itu akan mendapatkan halat atau akibat tertentu. Larangan-larangan itu sebenarnya memiliki alasan tertentu, untuk tujuan yang baik. Misalnya: larangan agar tidak duduk di tengah pintu, karena pintu merupakan tempat untuk lewat. Selain itu, juga untuk tujuan etika (tatakrama), karena tidak sopan duduk di tengah pintu.
Gunung Giri, 1930, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1694
Ikhtisar: Menceritakan keberadaan bekas tempat istirahat Sunan Kali di Gununggiri (daerah Wanagiri, Jawa Tengah). Tempat tersebut pada hari-hari tertentu selalu ramai dikunjungi orang untuk ‘ngalap berkah’, meminta kedudukan, kemulyaan, kesembuhan, dan lain-lain.
I. Layang Kupiya; II. Sêrat Pitakènipun Pak Krama; III. Dayaning Arak, 1920, Surya Adikusuma/Kamsa/Rêksasusila, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling van de Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 74, No.Rec. 534
Ikhtisar: Memuat kumpulan ajaran, antara lain kesetiaan seorang mantri distrik kepada kerajaan, dialog tentang keadaan orang Jawa pada tahun 1917; kebiasaan minum arak, akibat yang ditimbulkan dan cara mengatasi kebiasaan tersebut.
Ibêr-ibêr sarta Uran-uran, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Carita Ibêr-ibêr tuwin Uran-uran Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 43, No.Rec. 1242
Ikhtisar: Berisi: (1) Surat ucapan terima kasih kepada Tuwan Hole (1874) karena anak-anaknya telah kembali dari Aceh dan permohonan kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar Tuwan Hole diberikan panjang umur, diberkati dalam hidupnya, selamat di dunia dan akherat. (2) Pernikahan Raden Mas Arya Gandasaputra (Raden Ajeng Suminah) dan Raden Mas Gandawardaya (Raden Ajeng Selok) dinikahkan bersama satu hari (1875). (3) Kumpulan sekar ageng yang berisi informasi beberapa pernikahan putra putri dan sentana kerajaan.
Ibêr-ibêr, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1354
Ikhtisar: Pesan dari P. B. IX kepada anaknya yang sulung yang akan menikah agar senantiasa tabah dalam menghadapi tantangan. Di samping itu, diceritakan pula bahwa PB IX sanggup memenuhi permintaan uang sebanyak sepuluh ribu rupiah untuk berbelanja.
Ingkang Dados Pangèsthining Manungsa, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1337
Ikhtisar: Uraian tentang tujuh hal kehendak manusia, yaitu keberanian, kepandaian, keberuntungan, kekayaan, keluhuran, panjang usia, dan keselamatan.
Irawan Rabi, [...], Rêdisuta, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 142, No.Rec. 1627
Ikhtisar: Perkawinan antara Bambang Irawan putra Raden Janaka dengan Dewi Sitisari putri Prabu Kresna. Sebelum terlaksana, Prabu Baladewa membatalkan rencana perkawinan tersebut, karena Dewi Sitisari akan dikawinkan dengan Raden Leksmana Mandrakumara, putra mahkota dari kerajaan Astina. Hal ini memicu kemarahan Raden Arjuna dan para Pandhawa. Setelah terjadi konflik, akhirnya rencana Prabu Baladewa bisa dibatalkan. Dijelaskan pula penggunaan gendhing-gendhing pembuka (patalon), gending iringan adegan sesuai dengan patetnya, dan berbagai jenis sulukan, sesuai dengan pakem pedalangan gaya Surakarta.
Jagading Sato Kewan, 1927, 1928, 1931, 1932, 1938, Sumadi, Bag.dari: Kajawèn 1927 (Cetakan, 1927), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1682
Ikhtisar: Cerita tentang binatang yang berkaitan dengan kelebihan, kekurangan, dan sifat-sifatnya. Penceritaannya dikaitkan dengan tabiat atau watak manusia dengan maksud sebagai ajaran dalam kehidupan.
Jakalala, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1411
Ikhtisar: Menceriterakan sajian tembang Jakalala yang dideskripsikan amat memikat saat dielaborasi dengan tembang Pucung sebagai pembuka, kemudian diiringi dengan irama gamelan. Acara “lelangên winor ing gangsa” (pesta diiringi gamelan) tesebut diselenggarakan oleh Mangkunagara II.
Javaansche Brieven, Berigten, Verslagen, 1845, Roorda, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 491, No.Rec. 676
Ikhtisar: Surat perjanjian Pakubuwana IV dengan pemerintah Inggris, antara lain kesepakatan bahwa PB IV dan Guvermen Inggris akan berdamai dan bersaudara untuk selama-lamanya, PB IV berjanji akan melepaskan semua prajuritnya untuk Guvermen Inggris dan hanya menyisakan 1000 prajurit terpilih, dan PB IV berjanji tidak akan memimpin prajurit kecuali bersama-sama dengan Guvermen Inggris.
Javaansche Zamenspraken, 1882, Winter, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 345, No.Rec. 751
Ikhtisar: Percakapan antara Tuan Anu ["kelihatannya nama samaran orang Belanda"] dengan orang Jawa maupun sesama orang Jawa, menggunakan berbagai tingkat tutur bahasa Jawa. Topik percakapan tersebut antara lain: urutan proses mencari istri, hukum perkawinan, sebutan untuk keturunan raja Surakarta, sejarah singkat kerajaan Majapahit sampai jaman Pakubuwana VII, nama-nama kesatuan prajurit kraton Surakarta dan penjelasannya, hukum pidana dan perdata, tatacara tingalan dalêm (ada 3), bercocok tanam, pegawai keraton (abdi dalêm) dan tugasnya, hal kuda, keadaan perairan Negara Surakarta, penghormatan penganten kerajaan dan kelahiran putra raja, tatacara dan larangan mengenai pakaian, senjata, berkendaraan di lingkungan keraton, nama-nama tanaman obat, nahas, bahasa Kawi dalam pedhalangan, macam-macam wayang dan keterangannya, tembang Kawi, Tengahan, dan Macapat serta keterangannya, macam-macam judul karya sastra Jawa Klasik, pengarang serta isinya. Gaya penulisan ini (sistem dialog/tanya-jawab) berkembang pada abad pertengahan abad 19 [sebuah cara lain dari bentuk tembang) untuk menulis atau menyebarluaskan tulisan.
Jayèngsastra, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 28, No.Rec. 1345
Ikhtisar: Ajaran kepada para istri agar menjauhi perilaku yang tidak terpuji dan kurang bermanfaat, menerima apa adanya, tidak serakah dan sering menuntut, serta hemat, teliti, hati-hati, dan cemat.
Jiljalaha, 1920, H. Buning, Bag.dari: Warni-warni (Cetakan, 1920), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 43, No.Rec. 438
Ikhtisar: Ajaran yang ditujukan untuk hal-hal yang baik, tetapi disampaikan dengan cara yang sebaliknya, sehingga untuk memahaminya, harus dipahami dengan cara yang sebaliknya. ("kêdah kinosokwangsul"). Misalnya, diceritakan tentang cara-cara berjudi, padahal maksud yang sebenarnya melarang berjudi.
Jiwandana, 1913, Mangunwijaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 110, No.Rec. 1236
Ikhtisar: Uraian ilmu kesempurnaan, hasil studi dari beberapa karya para pujangga pada zaman kuna, dikaitkan dengan ajaran para ilmuwan pada saat sekarang , lalu digubah berupa kisah para dewa yang menjelma, lalu menciptakan tiga kerajaan di tiga tempat.
Jôngka Jayabaya, 1938, Tanaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 18, No.Rec. 545
Ikhtisar: Jilid 1: Memuat perlambang perkiraan jaman di dunia ini, beserta keterangannya. Sejak jaman kejayaan adanya kebaikan atau kekuatan agama, sampai dunia kematian. Jilid II: memuat uraian kronologi babad serta jangka Tanah Jawa, sejak diisi manusia dari Ngerum hingga sampai kiamatnya Pulau Jawa.
Jurumartani, 1864-68, Kolff en Co., Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 4, No.Rec. 99
Ikhtisar: Nama surat kabar Jawa (menggunakan huruf Jawa) yang memuat artikel-artikel aktual pada jamannya (termasuk artikel Candi Maling), merupakan kelanjutan dari surat kabar Bramartani. Surat kabar Jurumartani ini hanya terbit sekitar lima tahun, selanjutnya kembali menjadi surat kabar Bramartani.
Kabutuhan, 1925, Pujaarja, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 21, No.Rec. 1614
Ikhtisar: Uraian tentang macam-macam kebutuhan manusia baik jasmani dan rokhani, dan kebutuhan makluk hidup pada umumnya yang semestinya bisa dipenuhi. Misalnya orang sakit butuh kesembuhan, pengangguran butuh pekerjaan, dan lain-lain. Juga berisi nasehat agar manusia berusaha menghindar dari sifat jelek (misal: loba, murka, dan lain-lain) supaya selamat dunia dan akherat.
Kagoenan Djawi Bab Beksa, [...], Wignjahambeksa, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 31, No.Rec. 1271
Ikhtisar: Pedoman cara belajar menari secara otodidak, dan memuat tari tayungan sampai dengan tari tayub.
Kagungan Dalêm Gusti Kangjêng Pangeran Angabèi Ingkang Kaping IV ing Surakarta Adiningrat, [...], Pakubuwana IV, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 340, No.Rec. 1311
Ikhtisar: Memuat kumpulan ajaran perjalanan menuju kesempurnaan hidup (dari tataran sariat, tarekat, hakikat, sampai makripat) yang dikemas dalam karya sastra suluk, ajaran moral (baik-buruk), ajaran ketuhanan yang didasarkan dari Qur’an (kewajiban manusia untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan), filsafat hidup Jawa, Di samping itu, berupa kumpulan cerita tentang pedoman raja dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kajawèn 1927, 1927, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 15, No.Rec. 1641
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn 1928, 1928, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 19, No.Rec. 1643
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn 1929, 1929, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 15, No.Rec. 1644
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn 1930, 1930, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 15, No.Rec. 1645
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn 1931, 1931, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 19, No.Rec. 1646
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn 1932, 1932, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Jml.hal. 15, No.Rec. 1647
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn 1937, 1937, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 31, No.Rec. 1666
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn 1938, 1938, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 27, No.Rec. 1667
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn 1939, 1939, Balai Pustaka, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 13, No.Rec. 1668
Ikhtisar: Majalah kalawarti berbahasa Jawa yang berisi antara lain tentang pengetahuan atau informasi mengenai budaya Jawa, pertanian, kesehatan, teknologi, berita mancanegara, cerita roman/novel, dunia kewanitaan, anak-anak dan lain-lain.
Kajawèn Pahargyan Surakarta: 200 taun, 1939, Kajawèn, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 40, No.Rec. 376
Ikhtisar: Biodata Pakubuwana II (1726-1749) sampai dengan Pakubuwana XI.
Kajawèn, 1922-40, Balai Pustaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 35, No.Rec. 101
Ikhtisar: Majalah budaya Mingguan bermedia huruf dan bahasa yang Jawa memuat masalah-masalah aktual pada jamannya, yang terbit pada awal tahun 1900-an oleh Balai Pustaka-Weltevreden.
Kalatidha, 1931, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 25
Ikhtisar: Ungkapan ketidakpuasan dari R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873) atas kondisi jaman yang kacau, karena raja dan pemerintahan (pemimpin negara pada waktu itu) sudah tidak dapat diteladani lagi (diistilahkan : Jaman Edan). Untuk mengatasi semua itu, hanya dengan cara pasrah dan tawakal kepada Tuhan, serta selalu ingat dan waspada.
Kalatidha, 1933, Padmawidagda/Ônggapradata, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 30, No.Rec. 1067
Ikhtisar: Ungkapan ketidakpuasan dari R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873) atas kondisi jaman yang kacau, karena raja dan pemerintahan (pemimpin negara pada waktu itu) sudah tidak dapat diteladani lagi (diistilahkan : Jaman Edan). Untuk mengatasi semua itu, hanya dengan cara pasrah dan tawakal kepada Tuhan,serta selalu ingat dan waspada. Ditambahkan pula ajaran dari Serat Sabdatama (tentang ajaran moral) dan Sabdajati (adanya ramalan akan meninggalnya R.Ng. Ranggawarsita). kemudian ketiga serat ini dijadikan satu berupa Serat Kalatidha, Sabdatama, dan Sabdajati, yang konon ketiganya dianggap sebagai ‘Serat Jangka’.
Kalatidha, 1950, Warsadiningrat, Bag.dari: RNP1950b (carik, 1950), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 1280
Ikhtisar: Ungkapan ketidakpuasan dari R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873) atas kondisi jaman yang kacau, karena raja dan pemerintahan (pemimpin negara pada waktu itu) sudah tidak dapat diteladani lagi (diistilahkan : Jaman Edan). Untuk mengtasi semua itu, hanya dengan cara pasrah dan tawakal kepada Tuhan, serta selalu ingat dan waspada.
Kalempakaning pinanggihipun serat-serat, 1959, Tanaya, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 76, No.Rec. 300
Ikhtisar: …
Kalidjaga, 1956, Hadiwidjojo, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 22, No.Rec. 554
Ikhtisar: Materi ceramah G. P. H. Hadiwijaya dalam acara pertemuan rutin bulanan Radya Pustaka yang mengupas tentang makna kata ‘Kalijaga’.
Kalimataya, [...], [...], Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Jml.hal. …, No.Rec. 949
Ikhtisar: Menceritakan ketika Raden Arjuna menikah dengan putri Parangguwa, dan seterusnya sampai cerita tentang Prabu Dipayana meninggalkan arena berburu menuju hutan, dan akhirnya ketemu dengan Prabu sayakesthi raja Gilingwesi.
Kancil Kridhamartana, 1959, Tanaya, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 95, No.Rec. 126
Ikhtisar: Cerita binatang (fabel), terdiri atas 3 bagian: (1) cerita mengenai Jawa pada zaman Kitrah, zaman bertahtanya Sulaiman, (2) Kancil bertobat dan bertapa di Goa Langse, akhirnya menjadi penguasa dengan gelar Kancil Amongpraja di Gebang Tinatar, dan (3) di Suracala (wilayah Gebang Tinatar) Anjing menjadi pendeta yang mempunyai banyak murid namun tidak mau tunduk pada kekuasaan Kancil, tetapi berkat rayuan Kancil, Anjing bersedia diajak ke Gebang Tinatar dan kemudian diangkat sebagai Panembahan Juruwarta.
Kancil, 1871, Van Dorp & Co., Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 100, No.Rec. 1520
Ikhtisar: Fabel (cerita tentang seekor Kancil) yang lahir dari seorang wanita bernama Rara Sungkawa. Setelah melahirkan Rara Sungkawa meninggal dan raganya moksa. Diceritakan Kancil selalu nakal dengan merusak tanaman kacang di perladangan petani dan akhirnya ditangkap. Selain nakal Kancil juga cerdik, kecerdikannya itu terlihat dalam caranya keluar dari kesulitan dan terbukti berhasil menaklukkan binatang-binatang lain misalnya harimau dan buaya serta cerita petualangan hidup Kancil hingga meninggalnya di Mesir.
Kancil, 1878, Broek, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 168, No.Rec. 1524
Ikhtisar: Cerita dari siklus dongeng Kancil, yang digubah dalam bentuk tembang macapat. Kisah diawali dengan cerita tentang negeri Mesir di bawah pemerintahan Nabi Sulaiman diakhiri dengan Kasan Besari atau Juru Martani diangkat Panembahan di Gebangtinatar.
Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara ingkang kaping IV, 1936, Suma Atmaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 53, No.Rec. 475
Ikhtisar: Kisah tentang Mangkunagara IV (1853-1881) ketika masih muda dan menjumpai kakeknya yaitu Mangkunagara II, kemudian mengabdi pada Mangkunagara III, sampai naik tahta dan akhirnya meninggal dunia.
Kapracayaning tiyang Jawi ing bab lampah asêsirik, tumrap wanodya anggarbini, 1928, Nitiatmaja, Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1673
Ikhtisar: Berisi uraian tentang gugon tuhon (kepercayaan) atau hal-hal yang harus dijauhi oleh seorang ibu yang sedang hamil, agar bayi yang dikandungnya kelak lahir dengan selamat. Wanita Jawa ketika sedang hamil dilarang menghina orang lain, dilarang membunuh binatang, makan durian dan sebagainya. Semua itu merupakan petuah yang baik, agar seorang ibu yang sedang hamil selalu menjaga kesucian lahir batin.
Karangpandhan en Srikaton, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Babad Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 80, No.Rec. 200
Ikhtisar: Cerita pada saat Mangkunegara IV berkunjung ke pesanggrahan Karangpandan dan Srikaton (= Tawangmangu), diikuti Residen Yekel dan 3 orang putranya serta 4 orang putra Mangkunagara (Prangwadana, Dayakusuma, Gandaputra, dan Gandaatmaja). Setelah itu segera ke perbatasan Magetan untuk menyambut Residen Madiun (Tuan Telser) yang hendak ke Karangpandan untuk bertemu dengan saudara iparnya (Residen Surakarta).
Karangpandhan, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Panêmbrama (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 1493
Ikhtisar: Cerita tentang penyambutan terhadap KGPAA Mangkunagara IV (1853-1881) pada saat berkunjung ke Karangpandhan.
Kawruh Ambathik, 1928, 1929, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1937 (Cetakan, 1937), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1671
Ikhtisar: Pengetahuan cara-cara membatik, antara lain menyangkut macam-macam alat membatik(gawangan, canting, bandhul, dan lilin atau malam); pemilihan kain mori yang baik sampai pengolahannya, membuat pola dengan ceceg, sisik, cacah gori, sisikmelik, nembok, sampai dengan mbironi.; dan jenis-jenis motif batik, antara lain sidamukti, sidaraja, parangrusak, begitu pula diuraikan macam-macam soga, tingi, sebagai bahan mbabar (proses terakhir).
Kawruh Bubak Kawah - Langkahan Tingkeban, 1990, S. Mangun Wiryatmo, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 25, No.Rec. 1092
Ikhtisar: Uraian tentang pengertian, petunjuk pelaksanaan, dan kelengkapan sesaji dalam acara ‘bubak kawah’ (adat bagi seseorang yang baru pertama-tama menyelenggarakan upacara hajatan untuk pernikahan anaknya), “langkahan” (adat bagi seseorang yang menikah lebih dahulu dari saudaranya yang lebih tua), dan “tingkeban” (adat selamatan tujuh bulan kehamilan, biasanya hanya dilakukan untuk kehamilan pertama)
Kawruh Êmpu, 1914, Karyarujita, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 114, No.Rec. 251
Ikhtisar: Uraian tentang bagian-bagian keris dan tombak karya para empu pada jaman dahulu (kuna), yang diuraikan dan disusun berdasarkan urutan abjad aksara Jawa (Dentawyanjana).
Kawruh Jêjêran, 1937, Nayawirôngka III, Bag.dari: Arsip-arsip Dhuwung (ketikan, 1960-70), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 22, No.Rec. 319
Ikhtisar: Uraian tentang bagian-bagian keris, mulai tatacara persiapan pembuatan, penggarapan, pembentukan sampai dengan perawatannya.
Kawruh Kamanungsan, 1900, Padmasusastra, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 42, No.Rec. 252
Ikhtisar: Deskripsi istilah bagian-bagian tubuh manusia dan segala sesuatu yang dihasilkan atau yang berkaitan dengan tubuh manusia serta keterangan perbedaan antara istilah yang satu dengan yang lainnya.
Kawruh Teyosopi, 1934, Leadbeater, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 135, No.Rec. 996
Ikhtisar: Uraian tentang makna dan manfaat teyosopi, manfaat Lose Teyosopi, serta ajaran tentang keberadaan Tuhan, persaudaraan, dan pengetahuan tentang bermacam-macam agama.
Keratabasa, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 9, No.Rec. 1331
Ikhtisar: Uraian makna dari huruf Jawa (mulai ha - nga) dihubungkan dengan watak manusia. Misalnya Huruf Sa, merupakan simbol setia, taat terhadap kesepakatan demi kebaikan sesama. berbudi lemah lembut, pandai dan tajam perasaannya, manis kalau berbicara, berwibawa, berlaku tulus untuk keselamatan.
Kjai Ageng Pandhanarang, 1938, Soewignja, Seri dari: Bale Poestaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 60, No.Rec. 552
Ikhtisar: Riwayat Kyai Ageng Pandanarang (Sunan Bayat), dimulai dengan deskripsi dan keterangan mengenai makam di Tembayat Klaten.
Komite Rônggawarsitan, 1931, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1931 (Cetakan, 1931), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 1, No.Rec. 1720
Ikhtisar: Ranggawarsita adalah salah seorang pujangga karaton Surakarta yang sangat terkenal. beliau mahir di bidang bahasa dan kesusastraan Jawa. Untuk mengenang jasa-jasa dan mengharumkan nama beliau, maka didirikanlah suatu perkumpulan yang diberi nama Komite Ranggawarsitan. Selain itu, komite Ranggawarsitan juga berencana membuat buku biografi atau babad tentang kehidupan Rangawarsita.
Kôndha Bumi, 1924, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 53, No.Rec. 112
Ikhtisar: Kisah tentang dua orang bersaudara yang bernama Raden Sapartitala dan Endang Siti Pasir. Setelah kedua orang tuanya meninggal, mereka diasuh oleh Resi Rasatala di Lebu Pasir. Secara diam-diam Sapartitala meninggalkan Siti Pasir, mengabdi kepada Maha Prabu Sultan Mangkubumi di Bantala Rengka. Karena kepiawaiannya, maka ia dipercaya menjadi patih. Dalam usaha mencari kakaknya, Siti Pasir bertemu dengan Prabu Sultan Mangkubumi dan diperistri, sekaligus bertemu dengan Raden Sapartitala. Kôndha Bumi merupakan salah satu dari empat karya besar Padmasusastra (1843-1926), (Serat Prabangkara, Serat Kabar Angin, Serat Rangsang Tuban, dan Serat Kôndhabumi). Serat ini adalah merupakan gambaran unsur tanah, bagian dari empat unsur alam yang dikemas dalam sebuah cerita atau kisah secara runtut.
Kridhaatmaka, 1909, Mangunwijaya, Bag.dari: Bèndhêl Kridhaatmaka, Asmaralaya (Cetakan, 1908-1909), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, No.Rec. 1262
Ikhtisar: Ajaran ilmu kesempurnaan hidup, petikan dari Serat Warni-Warni karangan para Nabi dan wali, serta para raja dan pujangga. Diuraikan pula tentang asal mula kehidupan yang dipetik dari berbagai sumber pustaka seperti Hidayat Jati, Pustaka Pramana Sidhi, Serat Jitabsara, Serat Widyakirana, Sastra Harjendra, Sastra Cetha, Bodhagotama, dan Panca Pranawa.
Kridhawasita, 1946, Purbadarsana, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 32, No.Rec. 1196
Ikhtisar: Ajaran lahir dan batin. Lahir dan batin hendaknya sejalan atau selaras sehingga tidak salah arah dalam kehidupan ini. Misalnya, dalam hidup ini hendaknya mengetahui hal baik dan buruk dan mengetahui asal-mula dan tujuan manusia (”sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti”).
Kriya Mranggi, 1929, Nayawirôngka III, Bag.dari: Arsip-arsip Dhuwung (ketikan, 1960-70), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 23, No.Rec. 320
Ikhtisar: Materi ceramah Mas Ngabei Nayawirangka tentang pengetahuan pembuatan kerangka keris yang disampaikan pada saat pertemuan warga Tresnapraja yang diselenggarakan oleh Sositeit Abipraya di Surakarta.
Kulapratama, 1912, Marta Arjana, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 45, No.Rec. 988
Ikhtisar: Riwayat hidup (biografi) Raden Sutawijaya (Rangga Panambangan). Ia adalah putra Tumenggung Prawirasuta pada masa pemerintahan Pakubuwana II. Sejak kecil, Sutawijaya bersahabat dengan R.M. Said. Usia 14 tahun, ayah-ibu Sutawijaya (punggawa) meninggal. Sutawijaya sakit hati dan menganggap Pakubuwana II mengingkari janji, karena tidak dapat menggantikan kedudukan punggawa. Sutawijaya lalu mengajak R.M. Said untuk memberontak pada kerajaan. Mereka berdua sepakat, dan tinggal di Nglaroh. Kartasura “bedhah” oleh Cina, kerajaan pindah ke Surakarta. Pakubuwana II mengetahui tempat tinggal Sutawijaya dan R.M. Said di Nglaroh. Mereka lalu diserang, kocar-kacir. Tetapi Raden Sutawijaya pada usia 61 tahun wafat, dimakamkan di astana Randusanga. Sutawijaya digantikan oleh putranya, Mas Ngabei Prawirasantika (Rangga Panambangan II)
Lagu wit klapa, 1930, Kolot, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1693
Ikhtisar: Berisi syair yang berjumlah 16 bait, yang merupakan variasi dari tembang witing klapa.
Lagu-lagu Dolanan, [...], Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 218, No.Rec. 1176
Ikhtisar: Lagu-lagu dolanan dan keterangannya, serta cara bermain anak-anak, misalnya : “lagu êmprit-êmprit pêking” dan bagaimana caranya bermain.
Lampahan Endhang Wardèningsih, 1930, Jayasuwignya, Bag.dari: Nugraha ing Madura (carik, 1930), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 94, No.Rec. 169
Ikhtisar: Cerita tentang Dewi Erawati yang diculik oleh raja raksasa Tirtakadasar. Kakrasana mampu menemukan dan mengalahkan raja raksasa tersebut dengan bantuan Permadi, dan akhirnya Dewi Erawati diperistri oleh Kakrasana (Baladewa).
Lampahipun ing Agêsang, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1335
Ikhtisar: Keterangan mengenai cara “laku” hidup yang digambarkan seperti halnya bertapa (tapa badan, tapa hati, tapa nafsu, tapa nyawa, tapa rahsa, tapa cahya, dan tapa atma) Diterangkan pula tentang hal-hal yang tidak baik bagi jiwa, dan bagi raga. Juga dikemukakan tentang hal-hal apa saja yang harus dijalankan oleh badan (tapa telinga, tapa hidung, tapa lisan, tapa tangan, tapa zakar dan tapa kaki).
Lampah-lampah Krama-dalêm, 1915, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 36, No.Rec. 833
Ikhtisar: Cerita pelaksanaan upacara pernikahan P. B. X dengan putri Sultan Hamengkubuwana VII di Kerajaan Yogyakarta. Diuraikan pula perjalanan utusan raja ke Yogyakarta untuk menyerahkan perabot kepada calon permaisuri. Uraian diakhiri dengan pelaksanaan penjemputan calon permaisuri di Stasiun Balapan Surakarta sampai dengan upacara ’sepasaran’.
Lampah-lampah Kramanipun Putra-putri-dalêm Sakawan, 1922, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 32, No.Rec. 835
Ikhtisar: Uraian rangkaian acara pernikahan putra-putri P.B. IV (Bandara Pangeran Harya Suryabrata, Bandara Raden Ajeng Kusbandinah, Bandara Raden Ajeng Kusnapsiah, dan Bandara Raden Ajeng Kusalbiyah) di dalam kerajaan/keraton dan di Kepatihan pada hari Senin Pon, tanggal 19 Sa’ban tahun Ehe 1852.
Langênarja, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Babad Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 199
Ikhtisar: Uraian tentang pesanggrahan yang didirikan oleh P. B. IX, yang terletak kurang lebih 3 pal (1 pal = 1507 m) di sebelah selatan kerajaan. Khususnya deskripsi gapura kanan dan kiri, dengan pagar batu bata keliling ke utara yang merupakan persimpangan ke arah kerajaan dan ke selatan tembus samudra.
Layang Dongèng Sato Kewan Sapanunggalane, 1923, Winter, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 95, No.Rec. 1243
Ikhtisar: Ajaran untuk anak-anak yang dikemas dalam bentuk dongeng binatang dan sejenisnya, antara lain: Pencari Ikan dan Ikan Kecil; Kucing Hutan dan Harimau Buluh; Serigala dan Burung Gagak dan lain-lain.
Layang Madubasa, 1912, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 170, No.Rec. 29
Ikhtisar: Daftar kata beserta uraian tentang ajaran moral para cerdik-cendekia pada masa lalu yang pantas untuk diteladani dan dilaksanakan. Ajaran itu disampaikan kembali oleh pengarang berdasarkan pengalamannya pada ciri-ciri kehidupan orang Jawa, Belanda, Cina, dan Islam.
Layon dalêm Gusti Kangjêng Ratu Kêncana, 1931, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1931 (Cetakan, 1931), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 1, No.Rec. 1717
Ikhtisar: Berisi tentang berita kematian Gusti Kangjeng Ratu Kencana permaisuri Sultan Hamengkubuwana VII di Pesanggrahan Ngambarukma pada usia 72 tahun dan prosesi upacara pemakaman.
LOr 2235, 1840-43, Winter, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Layang, Jml.hal. 687, No.Rec. 663
Ikhtisar: Kumpulan surat Winter ketika menjadi utusan dari negaranya Belanda menjadi penerjemah di Surakarta, di antaranya surat menyurat kepada Ranggawarsita (1802-1873).
Maduwasita, 1918, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 76, No.Rec. 30
Ikhtisar: Bermacam-macam ajaran yang harus ditaati tentang tindakan nistha, madya, dan utama. Ajaran disampaikan dalam bentuk perumpamaan (pepindhan), cerita hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Misalnya perumpamaan bagi sifat “nistha”, ular yang mengunggulkan bisa, kijang yang mengandalkan kecepatan berlari dan gajah yang mengandalkan badannya yang tinggi-besar, sebagai watak ” adiguna-adigang-adigung “.
Mahabarata, 1926, Partawiraya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 52, No.Rec. 508
Ikhtisar: Kisah peperangan Pandawa dan Korawa untuk memperebutkan Astina. Dimulai sejak masa kanak-kanak, berguru kepada Resi Drona, sampai kisah Pandawa kalah bermain dadu dan menjalani hukuman buang di tengah hutan. Puncak cerita adalah terjadinya perang Baratayuda.Dimulai saat Kresna menjadi duta Pandawa untuk mendamaikan, namun tidak berhasil mencapai mufakat. Baratayuda pun terjadi hingga gugurnya anak-anak Pandawa dan semua Korawa. Akhir cerita adalah dinobatkannya Parikesit cucu Arjuna sebagai raja Astina, dan para Pandawa mengadakan perjalanan dalam rangka mencapai moksa.
Manuhara, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Dwija Iswara (Cetakan, 1899), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 15, No.Rec. 3
Ikhtisar: Memuat uraian yang menggambarkan perasaan seseorang (laki-laki) yang sedang jatuh cinta kepada seorang perempuan pujaannya.
Manuhara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 24, No.Rec. 1408
Ikhtisar: Menggambarkan perasaan seseorang (laki-laki) yang sedang jatuh cinta kepada seorang perempuan pujaannya.
Margayuwana, 1934, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 28, No.Rec. 1065
Ikhtisar: Uraian mengenai seorang wanita yang sedang hamil dan seluruh tatacara perawatan kandungan sampai dengan melahirkan, dan pemeliharaaan anak dari balita sampai dengan usia pembelajarannya. Semua diuraikan dengan tujuan agar orang tua terutama ibu mengetahui cara pemeliharaan kesehatan dan masa depan anak.
MDW1920a, 1920, Warsadiningrat, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 99, No.Rec. 652
Ikhtisar: Ajaran dari para leluhur yang dikutip dari beberapa serat, di antaranya Widyakarana dan Widyapramana, untuk olah budi.
Menak Cina, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 6, No.Rec. 1349
Ikhtisar: Ajaran dari ayah kepada putrinya, meniru raja Cina (Geniyara) ketika menasihati Dewi Adaninggar, putrinya.. Bagi wanita, ada dua pekerjaan berat, pertama melaksanakan perintah raja kedua berumahtangga. Seorang isteri harus bersikap tepat dalam melayani suami, hafal karakter serta adat kebiasaannya, sadar bahwa dia hak milik suami sehingga harus menjaga sikap dirinya, tidak boleh melawan keinginan suami, serta memperhatikan dan melaksanakan perintah suami. Istri harus bersikap baik kepada madu-madunya. Modal utama berumahtangga itu, bukan harta bukan wajah melainkan hati.
Mèngêti badhe Dhaubipun Radèn Mas Arya Gôndasiwaya tuwin Radèn Ajêng Suwiyati, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 6, No.Rec. 1427
Ikhtisar: Peringatan saat Radèn Mas Gandasiswaya (putra Mangkunagara.IV dari istri yang telah meninggal) hendak menikah dengan Radèn Ajêng. Suwiyati.
Mêrtadrêja kepada Roorda, 1862, Mêrtadrêja, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 702
Ikhtisar: Surat Tumenggung Martareja tentang permintaan buku kepada T. Roorda berkaitan dengan bahasa Kawi yang disertai dengan bahasa Jawa, dan buku tersebut akan digunakan sebagai dasar belajar bahasa Kawi-Jawa secara benar.
Molah-malihing piandêl, 1932, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1932 (Cetakan, 1932), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1724
Ikhtisar: Uraian tentang orang Jawa pada jaman dahulu banyak yang mempunyai keahlian yang sangat menakjubkan. Di dalam serat-serat lama banyak menceritakan kemampuan seseorang yang terkadang tidak masuk akal. Misalnya mempunyai ilmu sirep untuk menjinakkan hewan, ular, dan harimau. Bab kawruh sirep ini, sekarang di Eropa terkenal dengan ilmu hipnotisme yang sebenarnya sama dengan kawruh sirep di Jawa. Hanya cara penyebutannyaatau istilahnya yang berbeda.
Mulabukanipun wontên Kyai Jagur, 1927, Suhari, Bag.dari: Kajawèn 1927 (Cetakan, 1927), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1672
Ikhtisar: Cerita asal mula meriam Kyai Jagur. Ada seorang jejaka bernama Buncireng yang mengikuti sayembara di kerajaan Banten agar menyembuhkan permaisuri Sultan Banten yang sedang sakit; dan Buncireng berhasil menyembuhkannya. Tetapi ada satu permintaan dari Sultan Banten lagi agar Buncireng membawa sepasang meriam untuk dipasang pada hari pernikahan dengan putrinya kelak. Akhirnya Buncireng berhasil membawa sepasang meriam dengan nama Si Jagur dan Nyai Satomi yang tidak lain adalah penjilmaan dari orang tua Buncireng sendiri.
Murid, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Panêmbrama (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1494
Ikhtisar: Panembrama (upacara penyambutan dengan nyanyian bersama] untuk para murid pawiyatan Jawa, yang disajikan dalam bentuk tembang dan gending sebagai tanda terimakasih, karena merasa telah dibantu oleh para murid tersebut. Panembrama diselenggarakan atas perintah Dr. Palmers dan Van den Broek, kepala Pawiyatan Jawa di Surakarta.
Musawaratanipun para Wali, 1912, H. Buning, Bag.dari: Pananggalan 1912 (Cetakan, 1912), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 43, No.Rec. 872
Ikhtisar: Cerita ketika para wali mengadakan musyawarah dalam rangka mencoba untuk menginterpretasi tentang agama Islam dan pandangannya mengenai Tuhan, Muhammad, dan sebagainya. Para wali memiliki pandangan yang berbeda-beda. Mereka itu adalah Sunan Maolana Magribi, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Sunan Giri, Sunan Prawata, Sèh Dumba, dan Sunan Mlaya..
Namining Ringgit Samarang, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1428
Ikhtisar: Sendhon Langenswara karya Mangkunagara IV, untuk mengiringi makan bersama atau bujana dengan para putra, sentana, wadya, disertai “bawa ura-ura”, diiringi gamelan; gending menyesuaikan lagu, bersautan dengan seniwatinya dalam pertunjukan wayang.
Nayakawara, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 10, No.Rec. 150
Ikhtisar: Ajaran tentang “laku” (cara-cara menuju tindakan) keselamatan, masalah mengabdi, bagaimana orang harus tahu hukum, menjauhkan diri dari kenistaan, memberikan kesenangan bagi orang lain dan ajaran etika atau tatakrama dan sopan santun.
Nayakawara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 14, No.Rec. 1391
Ikhtisar: Ajaran tentang “laku” (cara-cara menuju tindakan) keselamatan, masalah mengabdi, bagaimana orang harus tahu hukum, menjauhkan diri dari kenistaan, memberikan kesenangan bagi orang lain dan ajaran etika atau tatakrama dan sopan santun.
Ngacih, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Panêmbrama (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 7, No.Rec. 1495
Ikhtisar: Tembang sebagai penghormatan atas kembalinya Kangjêng Pangeran Arya Gôndasiswara setelah berperang dari negara Ngacih (Aceh).
Ngadani Bêndungan Tambak Agung, 1953, Pigeaud, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 1457
Ikhtisar: Cerita tentang peletakan batu pertama dan pembangunan bendungan untuk pengairan di Dusun Maguwan, Sembuyan, Wanagiri oleh KGPAA Mangkunagara IV bersama dua putranya yaitu Pangeran Gôndasuputra dan Pangeran Gôndaatmaja.
Ngadani Bêndungan Tirtaswara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 11, No.Rec. 1458
Ikhtisar: Cerita tentang ide dan pembuatan bendungan untuk pengairan di wilayah Gunung Grènjèng, Wanagiri oleh KGPAA Mangkunagara IV (1853-1881), dan setelah selesai bendungan tersebut dinamakan bendungan Tirtaswara.
Ngadani Pabrik Tasikmadu, 1953, Pigeaud, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 8, No.Rec. 1383
Ikhtisar: Pesanggrahan iyag terletak di sebelah timur bengawan, termasuk wilayah Karangmaja, sebelah selatan Nglano (kurang lebih 8 pal dari Surakarta), terdapat pesanggrahan yang disebut Tasikmadu. Pesanggrahan ini merupakan banjaran pedesaan besar yang dikelilingi pohon-pohonan, pabrik ini didirikan atas prakarsa Mangkunagara IV (1853-1881).
Ngalamat Badhe Sungkawa Saha Badhe Suka, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 1, No.Rec. 1326
Ikhtisar: Uraian tanda-tanda atau firasat tentang keadaan suka/duka seseorang dilihat dari ekspresi wajahnya. Misalnya ekspresi wajah yang gembira menandakan keberuntungan, ekspresi wajah yang kehijauan pertanda akan mendapatkan kesusahan.
Ngalamat, 1953, Pigeaud, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1384
Ikhtisar: Cerita tentang meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1801 Jawa (1872 A. D.) tepatnya hari Selasa Legi, yang diketahui sebelumnya dengan mendapatkan firasat.
Ngèlmi Yatnamaya, 1927, Tanaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 16, No.Rec. 1599
Ikhtisar: Berisi tentang ilmu sejati yaitu ajaran yang selalu mengutamakan kebaikan. Ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu “gentur” (selalu berusaha dengan sungguh-sungguh mendekatkan diri pada keutamaan), suci (niat suci), dan “legawa” (iklas).
Ngèlmu Kadhoktêran, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1353
Ikhtisar: Ajaran untuk sehat dari P. B. IX agar selalu memperhatikan kondisi badan setiap pagi dan berusaha hidup tertib secara jasmaniah dan rohaniah.
Ngèlmu, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 1, No.Rec. 1396
Ikhtisar: Peringatan agar setiap orang ingat pada ilmu, sebab pada umumnya kehidupan di dunia seringkali samar-samar sehingga keliru dalam memberikan anggapan, misalnya yang rendah seringkali dianggap tinggi, yang ada dianggap tidak ada.
Nugraha ing Madura, 1930, Jayasuwignya, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 231, No.Rec. 1378
Ikhtisar: Memuat kumpulan cerita tentang perkawinan Dewi Erawati dengan Kakrasana (Baladewa), Suryaputra (karna) dengan Surtikanti, Arjuna dengan Retna Kasimpar, dan perkawinan Banowati dengan Duryudana.
Nutilên Bêstir Pêrgadring, 1923, Radya Pustaka, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 224, No.Rec. 115
Ikhtisar: Catatan hasil rapat Paheman Radyapustaka mulai tanggal 16 Januari 1923 s/d 12 September 1940, antara lain membahas masalah kebijakan Museum Radyapustaka, koleksi museum, gaji pegawai, kongres bahasa Jawa, pengajaran bahasa Jawa, dan pendidikan pedalangan.
Nyai Rara Kidul, 1930, Sumadi, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1700
Ikhtisar: Berbagai gugon tuhon mengenai keberadaan Nyai Rara Kidul penguasa segala makhluk halus yang bertahta di laut selatan (samudera Hindia). Masyarakat Jawa di Surakarta, Yogyakarta, Bagelen serta Cilacap percaya bahwa timbulnya berbagai penyakit secara mendadak (pageblug) disebabkan karena ulah Nyai Rara Kidul, selain itu percaya adanya lampor.
Nyanjata Sangsam, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Babad Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 28, No.Rec. 201
Ikhtisar: Perjalanan Mangkunagara IV (1853-1881) ke daerah Wanagiri yang diikuti seluruh kerabat dan Tuan Jan (Belanda), dilanjutkan dengan perjamuan. Rangkaian acara selanjutnya adalah para putra raja berburu kijang ke hutan Wanagiri, kemudian mereka singgah ke pesanggrahan Wanagiri untuk berpesta dan menghibur diri, dan sebelum kembali ke kerajaan, singgah semalam di Langenarja.
Nyanjata Sangsam, 1953, Mangkunagara VII, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 45, No.Rec. 1460
Ikhtisar: Perjalanan Mangkunagara IV (1853-1881) ke daerah Wanagiri yang diikuti seluruh kerabat dan Tuan Jan (Belanda), dilanjutkan dengan perjamuan. Rangkaian acara selanjutnya adalah para putra raja berburu kijang ke hutan Wanagiri, kemudian mereka singgah ke pesanggrahan Wanagiri untuk berpesta dan menghibur diri, dan sebelum kembali ke kerajaan, singgah semalam di Langenharja.
Pahargyan Mangkunagaran Tigang Windu, 1939, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1939 (Cetakan, 1939), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang + Gancaran, Jml.hal. 28, No.Rec. 1718
Ikhtisar: Berisi peringatan 3 windu kekuasaan Mangkunagara VII, dilengkapi dengan gambar dan foto sanak kerabat, pasukan berkuda Mangkunagara.
Pakêm Bima Bungkus, 1921, Mangunwijaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 48, No.Rec. 593
Ikhtisar: Cerita tentang kelahiran Bima yang sampai beberapa tahun masih dalam keadaan terbungkus sehingga harus diruwat oleh Gajahsena, akhirnya dapat pecah, Bima lahir sebagai seorang anak yang sempurna dan kemudian bungkusnya menjadi Jayadrata.
Paliatma, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 7, No.Rec. 151
Ikhtisar: Nasihat untuk seorang yang sudah menikah. Menikah berarti sudah berumah tangga sendiri, sudah berubah kedudukan, sudah menerima anugerah besar. Adanya ajaran untuk ‘narima ing pandum’ (menerima apapun anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan).
Paliatma, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 10, No.Rec. 1393
Ikhtisar: Nasihat untuk seorang yang sudah menikah. Menikah berarti sudah berumah tangga sendiri, sudah berubah kedudukan, sudah menerima anugerah besar. Adanya ajaran untuk ‘narima ing pandum’ (menerima apapun anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan).
Palimarma, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 153
Ikhtisar: Ajaran yang mulia agar tidak mendapat hina (direndahkan). Orang hidup harus selalu menjaga ketenteraman, berbudi luhur, dan tidak membuat kerusuhan.
Paliwara, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 6, No.Rec. 152
Ikhtisar: Ajaran untuk menjadi pemimpin yang baik. Syarat yang harus dipenuhi antara lain: sentosa hatinya, berpendirian kokoh dan jelas pemikirannya, tidak menentang nasihat, cerdas lahir batin, serta mampu meneladani kebaikan pemimpin terdahulu.
Paliwara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 7, No.Rec. 1406
Ikhtisar: Ajaran untuk menjadi pemimpin yang baik. Syarat yang harus dipenuhi antara lain: sentosa hatinya, berpendirian kokoh dan jelas pemikirannya, tidak menentang nasihat, cerdas lahir batin, serta mampu meneladani kebaikan pemimpin terdahulu. Teks disusun dalam bentuk teka-teki (wangsalan) beserta jawabannya.
Pamulasaraning Lare, 1928, Sunardi et. al., Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 5, No.Rec. 1683
Ikhtisar: Cara mendidik anak sejak bayi sampai dewasa, antara lain bagaimana bersikap sopan santun, dan berperilaku baik terhadap orang tua maupun dengan orang lain.
Pananggalan H. Buning 1912, 1912, H. Buning, Bag.dari: Pananggalan (Cetakan, 1885-42), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 23, No.Rec. 886
Ikhtisar: Daftar buku-buku (N. V. voorh. H. Buning, Djokjakarta): pp. 1-23
Pananggalan H. Buning, 1885-42, H. Buning, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. …, No.Rec. 361
Ikhtisar: …
Pananggalan Van Dorp ing taun 1866, 1866, Cohen Stuart, Bag.dari: Pananggalan Van Dorp (Cetakan, 1853-?), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 22, No.Rec. 976
Ikhtisar: Uraian keadaan Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Pura Mangkunagaran, Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Paku Alaman.Yang meliputi nama-nama raja, para istri raja, putra raja, cucu raja beserta gelar dan tahunnya. Selain itu juga disebutkan nama-nama para punggawa kerajaan beserta gelar yang disandangnya.
Pananggalan Van Dorp, 1853-?, Van Dorp, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. …, No.Rec. 975
Ikhtisar: …
Pandom Pruwita, 1935, Adisupana, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 48, No.Rec. 1595
Ikhtisar: Ajaran kesempurnaan hidup manusia, dimulai dari asal diciptakannya manusia, bagaimana manusia bisa mencapai tataran yang sempurna pada kehidupan dunia dan akherat, mendapatkan guru yang sejati, sampai pada ajaran agar manusia mencapai kematian dengan sempurna sehingga ruhnya bersatu dengan Tuhan.
Panêmbrama Dhatêng Para Murid-murid ing Pamulangan, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 1416
Ikhtisar: Panembrama (upacara penyambutan dengan nyanyian bersama] untuk para murid pawiyatan Jawa, yang disajikan dalam bentuk tembang dan gending sebagai tanda terimakasih, karena merasa telah dibantu oleh para murid tersebut. Panembrama diselenggarakan atas perintah Dr. Palmers dan Van den Broek, kepala Pawiyatan Jawa di Surakarta.
Panêmbrama Dhumatêng Kangjêng Pangeran Arya Prawira Adinagara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1425
Ikhtisar: Panembrama (upacara penyambutan dengan nyanyian bersama) kepada K. P. A. Arya Prawira Adinagara di Madura bersama dengan Pangeran Gandasiswara dan kedua putra menanyakan keselamatan dan kabar saat memeriksa pesanggrahan.
Panêmbrama Guprênur Jendral, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1415
Ikhtisar: Panembrama (upacara penyambutan dengan nyanyian bersama) yang dilakukan ketika Gupernur Jendral datang dengan disuguhi gending diiringi harapan agar tercapai apa yang dicitakan dan panjang umur.
Panêmbrama Konduripun Kangjêng Pangeran Ariya Gôndasiswara Pêrang saking Nagari Ngacih taun 1803, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 1417
Ikhtisar: Panembrama (upacara penyambutan dengan nyanyian bersama) bagi Pangeran Ariya Gandasiswara saat kembali dari perang di Aceh. Termuat dalam 3 sub judul: 1. Sekar Walagita, berisi ucapan selamat kembali atas kemenangan berperang menaklukkan kerajaan Aceh; 2. Sindenan, berisi pemberian penghormatan kepada yang menang perang, ketika tiba di stasiun Surakarta disambut dengan upacara penyambutan sebagai teladan bagi para prajurit.
Panêmbrama, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Dwija Iswara (Cetakan, 1899), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 15, No.Rec. 4
Ikhtisar: Memuat kumpulan tentang informasi prosesi penyambutan tamu di Karangpandan dan Tasikmadu, dan ucapan terima kasih dari Mangkunagara IV (1853-1881).
Panêmbramanipun Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara IV Konjuk Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana IX Nalika Têdhak Mariksani Pabrik Tasikmadu, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1424
Ikhtisar: Deskripsi saat M. N. IV menyambut P. B. IX dan permaisuri beserta kerabat yang berkunjung ke Pabrik Gula Tasikmadu.
Panêngêran Aksara, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 5, No.Rec. 1330
Ikhtisar: Ajaran tentang kepribadian berdasarkan makna tujuh huruf A (pôncawisaya), E (pôncasora), I (pôncapranawa), O (pôncayêkti), U (pôncawarna), Rê (pôncayuda), dan Lê (pôncaweya).
Pangrêsulaning Kewan, 1919, Kartasiswaya, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 71, No.Rec. 542
Ikhtisar: Ajaran agar tidak semena-mena terhadap makhluk lain (binatang) dengan ditunjukkan adanya keluh kesah beberapa binatang, misalnya tentang keluh kesah seekor kuda. Keluh kesah seekor kuda yang tidak terawat, keluh kesah kuda yang ingin membahagiakan tuannya, keluh kesah seekor sapi, penderitaan seekor sapi, keluh kesah seekor kerbau, dan cara memelihara kambing.
Panji Jayèngsari, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 7, No.Rec. 1350
Ikhtisar: Ajaran Raja Geniyara kepada kedua putrinya, setelah keduanya dinikahi oleh raja Jenggala.Inti nasihatnya, agar di dalam melayani suaminya masing-masing senantiasa memperhatikan perilaku ‘nistha, madya, dan utama’. Sikap nistha (hina) misalnya secara lahir mengatakan bersedia menuruti keinginan suami, namun di dalam hati menentangnya.Seorang istri yang mempunyai niat untuk menguasai harta suami, juga termasuk sikap nistha. Sikap utama, dicontohkan seperti yang dilakukan oleh Dewi Citrawati, putri kerajaan Magada, istri Raja Arjunasasra yang memanjakan suami dengan menginginkan memiliki madu yang sebanyak-banyaknya. Bahkan para bidadari pun menyembah pada Citrawati.
Paramayoga, 1894, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 253, No.Rec. 1121
Ikhtisar: Cerita tentang Nabi Adam dan Hawa pada saat melanggar perintah Tuhan sehingga diturunkan ke bumi kemudian menurunkan sepasang putra-putri selama lima kali. Masing-masing putra berpasangan (dhampit), pada saat kelahiran yang satu wajahnya cakap pada saat yang lain wajahnya buruk. Putra-putrinya yang buruk dijodohkan dengan yang tampan, dan akhirnya mereka kemudian beranak-pinak sampai pada keturunannya yaitu para dewa.
Paribasan, 1931, Aryasutirta, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 105, No.Rec. 788
Ikhtisar: Berisi peribahasa yang diterangkan dengan sarana dongeng.
Pariminta, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1405
Ikhtisar: Ajaran untuk orang pandai (sujana) agar dapat membuat lega kedua orangtua, senantiasa bersukacita dan melagukan pujian dalam hati, memberi pengayoman kepada warga dan berlaku wibawa agar senantiasa selamat, terhindar dari hal-hal buruk, didekatkan pada wahyu dan tercapai semua keinginannnya.
Pariwara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 7, No.Rec. 1407
Ikhtisar: Ajaran untuk berlaku prihatin dengan cara mengurangi makan, mengendalikan diri, bersikap waspada, rendah hati, dan mampu mengabdikan dirinya kepada atasan.
Pasanggrahan Langênarja, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1419
Ikhtisar: Uraian tentang pesanggrahan yang didirikan oleh P. B. IX, yang terletak kurang lebih 3 pal (1 pal = 1.57 km) di sebelah selatan kerajaan. khususnya deskripsi gapura kanan dan kiri, dengan pagar batu bata mengelilingi bangunan.
Pasanggrahan Tawangmangu, 1931, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1931 (Cetakan, 1931), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1726
Ikhtisar: Menceritakan tentang pesanggrahan Tawangmangu di kaki gunung Lawu yang juga disebut pesanggrahan Srikaton atau Asripurna. Pasanggrahan Tawangmangu didirikan oleh Kangjeng Gusti Mangkunagara IV. Pada masa pemerintahan Mangkunagara V, di pesanggrahan Tawangmangu pernah terjadi musibah yang menelan banyak korban jiwa.
Pasarean ing Sarawiti, 1928, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1684
Ikhtisar: Keadaan makam Sunan Kalijaga di Sarawiti yang dihubungkan dengan filsafat hidup orang Jawa. Diceritakan bahwa dari atas dapat melihat hamparan pemandangan dengan sangat indah. Hal ini mengandung filosofi bahwa kenyataan memang sangat menyenangkan, tetapi apabila dijalani sangat sulit, banyak godaan, harus mengikhlaskan segala sesuatu. Apabila sudah sampai tujuan akan mendapat kebahagiaan, ketentraman, dan dapat memberi berkah kepada orang lain.
Patekah, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa + Arab, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1324
Ikhtisar: Terjemahan surat pertama Al-Qur’an yaitu surat Alfatikah. Terjemahan diawali dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Pêkên Agêng ing Surakarta, 1930, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1702
Ikhtisar: Sejarah diresmikannya peken Ageng (Pasar Gede) Surakarta pada tahun 1930. Yang meresmikan Gusti Kangjêng Ratu Hêmas, dan dihadiri oleh para pembesar kraton Surakarta, Yogyakarta, Pakualaman, dan juga pembesar Kumpeni.
Pêksi Prêkutut, 1930, Sumadi, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1697
Ikhtisar: Uraian tentang burung perkutut. Menurut kepercayaan kuna, memelihara burung perkutut termasuk salah satu kelengkapan kehidupan, yaitu pêksi (burung), kuda (kuda), curiga (keris), dan wanita. Bahkan ada paguyuban penggemar burung perkutut yang mengadakan pertemuan secara berkala.
Pengetan Lelampahandalem K. R. A. Sasradiningrat IV, 1956, Wuryaningrat, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 19, No.Rec. 401
Ikhtisar: Peringatan/selamatan ‘kol’ ke-32 tahun K. R. A. Sasradiningrat IV yang nama kecilnya R. M. Saliman/R. M. Djombo. Di dalamnya diuraikan tentang riwayat profesinya sebagai “bibliothecaris” sampai dengan menjadi patih, jasa-jasa, suka-duka menjadi patih, anak-anaknya, tempat tinggal, keistimewaan-keistimewaan, dan beberapa wasiatnya.
Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi Kabiyanton Para Komisi 5, 1923, Putra Nitipraja, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 280, No.Rec. 688
Ikhtisar: Ejaan Penulisan Aksara Jawa Menurut Rapat Radya Pustaka pada tahun 1923.
Peranganipun Manik Asthagina, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1336
Ikhtisar: Keterangan tentang bagian-bagian delapan hal yang disebut ‘asthagina’ , masing-masing disebut sesotya cundhamani, marakata, manikkara, marcukundha, endrataya, ardataya dan manik arja. Masing-masing bagian itu dimetaforkan dengan warna hitam, merah, kuning, putih, hijau, biru, dadu, dan ungu. Masing-masing metafora warna itu diberi keterangan mengenai manfaatnya.
Pêthikan Cariyos Damarwulan, 1952, Puspawijaya, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 14, No.Rec. 1319
Ikhtisar: (Naskah tidak lengkap). Kisah dimulai sejak Damarwulan mengabdikan dirinya di Majapahit. Selanjutnya, Damarwulan menjadi utusan Majapahit untuk menumpas Minakjingga, di Blambangan. Apabila mampu menumpasnya, maka akan dijadikan suami Kencanawungu dan bertahta sebagai raja di Majapahit. Damarwulan dapat menumpas Minakjingga atas bantuan Wahita dan Puyengan. Sebagai bukti kepada raja (Kencanawungu), Damarwulan membawa kepala Minakjingga. Di tengah perjalanan, barang bukti dirampas oleh Layangseta dan Layangkumitir (saudara ipar Damarwulan) dengan tujuan untuk mendapatkan hadiah dari raja. (Belum sampai Layangseta dan Layangkumitir bertemu raja Kencanawungu, teks habis / terputus).
Pêthikan Ngèlmu Kodrat, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 34, No.Rec. 1321
Ikhtisar: Petikan pembicaraan mengenai kodrat (takdir) antara siput dengan kancil mengenai sifat-sifat udara dan burung. Pembicaraan tersebut berisi ajaran bahwa manusia harus selalu berguru kepada orang yang menguasai ilmu, ingat dan sujud kepada Tuhan, ingat bahwa semua wujud akan sirna, dan ingat akan adanya akhir zaman.
Pêthikan Pustakaraja Purwa, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 11, No.Rec. 1320
Ikhtisar: Kisah raja Basupati yang ingin membuktikan khasiat minyak pranawa. Setelah minyak dioleskan di mata dan diteteskan di kedua telinga, raja Basupati melihat adanya taman yang indah di tengah-tengah empat wisma. Seorang pangeran tampan menyambut dan mempersilahkannya menghadap penguasa setempat. Penguasa tersebut mengaku sebagai saudara yang lahir sehari dengan raja Basupati (kadang papat lima pancer), kemudian menguraikan “jatining kadadosan”, serta tradisi ruwat untuk saudara yang lahir bersamaan dalam sehari. Kisah ini menjadi awal mula adanya teladan tatakrama serta penghormatan terhadap orang-orang yang memiliki tataran rendah terhadap yang memiliki tataran tinggi.
Pêthikan Saking Kabar Angin, 1901-05, Padmasusastra, Seri dari: Published as a supplement to the Radya Pustaka organ Sasadara, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 316, No.Rec. 39
Ikhtisar: Kisah raja dari kerajaan Marutamanda yang bernama Prabu Sindung Aliwawar, punya anak bernama Prabu Timur, Prabu Timur punya anak namanya Raden Prakempa dan Dewi Bantarangin. Raden Prakempa tidak patuh pada aturan ayahnya, dia menjadi pedagang dengan mengarungi samudra. Akhirnya Raden Prakempa dirampog oleh bajag laut, setelah hartanya dirampas lalu dijual sebagai budak kepada Juragan Bayubajra. Raden Prakempa akhirnya bertobat, merasa berdosa kepada orang tuanya. Karena kepandaian dan kebaikannya, Raden Prakempa dinikahkan dengan putrinya yang bernama Dewi Erawati. Adapun saudara Dewi Erawati yang bernama Jaka Erawana mengabdi ke kerajaan Marutamanda, yang akhirnya diambil menantu oleh raja, dinikahkan dengan saudara Raden Prakempa yang bernama Dewi Bantarangin. Dalam pelayarannya, Jaka Erawana dan Raden Prakempa dirampog oleh bajag laut, namun mereka berhasil meloloskan diri. Akhirnya setelah menyusun kekuatan, berhasil menaklukkan perampok. Kemudian mendirikan kerajaan baru di pulau tersebut. Raden Prakempa beserta seluruh rakyat akhirnya musnah karena gunung yang ada di pulau tersebut meletus. Serat Kabar Angin merupakan salah satu dari empat karya besar Padmasusastra (1843-1926), (Serat Prabangkara, Serat Kabar Angin, Serat Rangsang Tuban, dan Serat Kôndhabumi). Serat ini adalah merupakan gambaran unsur udara, bagian dari empat unsur alam yang dikemas dalam sebuah cerita atau kisah secara runtut
Pêthikan Saking Kitab Ingkang Amratelakakên Bab Tumurunipun Wijining Manungsa, 1920, H. Buning, Bag.dari: Warni-warni (Cetakan, 1920), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 32., No.Rec. 439
Ikhtisar: Uraian tentang terciptanya manusia melalui hubungan manusia laki-laki dan perempuan, serta perkembangannya di dalam kandungan ibunya selalu diatur sesuai dengan kuasa Tuhan yang Mahaesa.
Pêthikan Suluk Bayan Maot, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1322
Ikhtisar: Ajaran tentang benar-salah yang dikemas dengan ungkapan ‘la rasa ngilmamut abadan’ (yang tidak berilmu berarti mati untuk selamanya), ‘man sara ngilman la mut kayan abadan’ (yang berilmu berarti hidup untuk selamanya), dan ‘waman dakalapilmut pajismun suma sipatirabun’ (siapa yang mati, sekalipun hilang badannya tetapi akan kembali ke sifat Tuhan).
Pitutur, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 1, No.Rec. 1397
Ikhtisar: Nasihat bahwa jalan untuk menjadi priyayi tidak perlu ke dukun, meminta kepada arca, kayu dan batu atau dengan jalan tirakat, tetapi harus ulet, menerapkan ilmu dan melaksanakan kewajiban.
Piwulang Bêcik, 1911, Padmasusastra, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor de Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 33, No.Rec. 40
Ikhtisar: Daftar kata beserta contoh penggunaannya dalam kalimat. Kata-kata tersebut memuat ajaran hidup yang baik. termasuk aspek-aspek moral, etika, dan lain-lain (misalnya: kata “uni” diterapkan dalam kalimat :”Uni ala lan bêcik padha angobahake uwang, yagene kowe dhêmên adol uni ala kang sathithik rêgane, tinimbang karo uni bêcik kang akèh rêgane” dan kata “utama” dalam kalimat “Kautaman aja kosêdyakake, thukule saka wong liya kanthi wragad akèh”).
Piwulang Jogèd, 1925, Pakêmpalan Kridhabêksa Wirama, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 24, No.Rec. 1269
Ikhtisar: Uraian bahan pelajaran tari gaya Yogyakarta yang dikeluarkan oleh perkumpulan Kridhabêksa Wirama, sebagai acuan baik bagi pengajar tari maupun yang ingin belajar tari. Serat ini dilengkapi dengan gambar-gambar (misalnya, posisi badan, tangan, lengan, leher, dan kaki) dan keterangan singkatan pada setiap gambar.
Piwulang Warni-warni, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Dwija Iswara (Cetakan, 1899), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 85, No.Rec. 5
Ikhtisar: Memuat kumpulan ajaran, di antaranya ajaran khusus kepada para putra-putri dan isteri raja, para prajurit, kewajiban anak terhadap orang tua, sikap dalam mengabdi pada negara, dan filsafat hidup Jawa.
Piwulang Warni-warni, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 131, No.Rec. 478
Ikhtisar: Memuat kumpulan ajaran, di antaranya ajaran khusus kepada para putra-putrii dan isteri raja; para prajurit, kewajiban anak terhadap orang tua, sikap dalam mengabdi pada negara, filsafat hidup Jawa.
Pônca Pranawa, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 24, No.Rec. 1327
Ikhtisar: Menguraikan ajaran yang diambil dari kitab Sastra Harjendra dan Sastra Cetha yang dimuat dalam Serat Jitabsara. Inti ajaran yang diambil, adalah ajaran tentang “kawruh kasunyatan”. Suatu waktu, Hyang Girinata hendak mengumpulkan ilmu, dengan mengumpulkan para dewa yang lain (Hyang Basuki, Hyang Sriyana, Hyang Endra dan Hyang Wisnu) setelah sebelumnya dikalahkan oleh Resi Kanekaputra. Para dewa tadi diajak untuk membicarakan kembali pokok-pokok masalah yang disangkal oleh Resi Kanekaputra. Setelah itu, masing-masing memberikan keterangan tentang pokok-pokok masalah tersebut, misalnya tentang “purwaning dumadi” (awal mula kehidupan)
Pôncabaya, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 4, No.Rec. 1333
Ikhtisar: Uraian tentang lima keadaan bahaya (pancabaya), susah merupakan jalan menjadi senang, senang akan menjadi bertemu, kecewa akan menjadi jalan untuk menjadi puas, malu akan menjadi jalan untuk sentosa, hambatan akan menjadi jalan untuk anugerah, khawatir jalan menuju tabah, buah susah adalah senang, buah dari lupa adalah ingat, buah dari nafsu adalah sabar, buah dari bingung adalah percaya; serta uraian empat hal yaitu badan, hati, jiwa, dan rahsa.
Prabangkara, 1921, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 97, No.Rec. 43
Ikhtisar: Kisah kepergian sampai kembalinya putra mahkota yang bernama Pangeran Adipati Prabangkara putra Prabu Andakara di negara Hindu. Akhirnya Pangeran Adipati Prabangkara menikah dengan Rara Apyu. Serat Prabangkara merupakan salah satu dari empat karya besar Padmasusastra (1843-1926), (Serat Prabangkara, Serat Kabar Angin, Serat Rangsang Tuban, dan Serat Kôndhabumi). Serat ini adalah merupakan gambaran unsur api, bagian dari empat unsur alam yang dikemas dalam sebuah cerita atau kisah secara runtut.
Pralambang Kênya Candhala, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1410
Ikhtisar: Mendeskripsikan ciri-ciri seorang wanita yang wataknya suka menggoda pria, antara lain: apabila berbusana serba gemerlap (sarwa mompyor).
Pralambang Rara Kênya, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 1409
Ikhtisar: Deskripsi seorang gadis yang mulai dewasa, yang diumpamakan serupa bunga yang baru mekar dan tengah menebarkan wangi. Wangi bunga itu terbawa angin dan menjadi daya tarik bagi kumbang. Kumbang tersebut akan mencari bunga tadi dan berusaha untuk mengisap sarinya. Deskripsi tersebut merupakan perlambang pergaulan antara muda-mudi.
Pranatanipun Paguyuban Bôndha Wasana, 1930, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 7, No.Rec. 648
Ikhtisar: Uraian tentang adanya Paguyuban Bandha Wasana di Surakarta, sebagai paguyuban yang bertujuan untuk saling membantu bagi anggota yang tertimpa musibah terutama kematian anggota keluarganya.
Prayangkara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1412
Ikhtisar: Nasihat kepada kaum muda agar tidak terjebak dalam tindakan yang tanpa guna, jangan tergiur melihat kekayaan orang lain karena akan mengurangi semangat kerja, juga nasihat agar kaum muda tidak berlaku memalukan.
Prayasmara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1413
Ikhtisar: Deskripsi perasaan seorang pria yang tengah jatuh hati kepada wanita, antara lain: apabila berjumpa selalu berdebar-debar (yèn nyawang tarataban), tindak-tanduknya selalu terlihat (katon sasolahira).
Primbon Jampi Jawi, 1928, Bratasuparta, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 104, No.Rec. 796
Ikhtisar: Memuat nama-nama penyakit dan racikan jamu Jawa yang sudah dibuktikan dan ternyata ada khasiatnya.untuk pengobatan. Karya ini merupakan saduran dari Sêrat Primbon Kina. Karya ini dilengkapi uraian beberapa khasiat buah, daun, dan minyak, misalnya khasiat ketumbar, asam, minyak latung, dan daun sanamaki.
Primbon, 1850, Atmasupana II, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 72, No.Rec. 253
Ikhtisar: Daftar bermacam-macam isyarat kata atau benda tertentu beserta khasiatnya, cara perawatan, dan bahaya yang ditimbulkannya. Daftar tersebut dipaparkan secara alfabetis dari kata ‘anak’ sampai kata ‘ngangrangan’
Prof. Dr. G.A.J. Hazeu seda, 1929, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1929 (Cetakan, 1929), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1681
Ikhtisar: Sejarah Prof. Dr. G.A.J. Hazeu, seorang pakar kebudayaan Jawa yang berasal dari Belanda. Dr. Hazeu memperoleh gelar Doktor pada tahun 1897 karena penelitiannya tentang kebudayaan Jawa. Kemudian pergi ke Jawa, khususnya di Surakarta dan Yogyakarta untuk memperdalam budaya Jawa. Pada tahun 1919 beliau kembali ke Belanda dan akhirnya meninggal dunia di Belanda.
Puji, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 1, No.Rec. 1398
Ikhtisar: Pujian atau pengharapan yang baik dalam hidup (antara lain: diperpanjangkan usia, dikasihi sesama dan menajdi tauladan).
Punika Pemutan Lêlampahanipun Radèn Mas Arya Gôndakusuma…, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 32, No.Rec. 1430
Ikhtisar: Peringatan kisah hidup (semacam biografi selama 55 tahun) Raden Mas Arya Gandakusuma, putra pertama di Adiwijayan dari istri permaisuri ke-7, yang kemudian bertahta dengan gelar KGPAA Mangkunagara IV (1853-1881). Sejak lahir, masa muda, saat menjadi senapati dan kapten infanteri, dan kisah hidup yang lainnya.
Punika Pustaka Sri Radyalaksana, 1939, Prajaduta, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 200, No.Rec. 272
Ikhtisar: Uraian tentang ihwal keraton Surakarta sehubungan dengan peringatan 200 taun Keraton Surakarta. Uraian dimulai dengan rangkaian peristiwa perpindahan karaton Kartasura ke Surakarta, awal karaton Surakarta yang meliputi penobatan Raja-Raja Surakarta sejak P.B. II sampai dengan P.B. X beserta staf kerajaan. Di samping itu, diceritakan pula mengenai pembangunan seni budaya (wayang, gamelan, pakaian, macam-macam bangunan), ketatanegaraan (pembentukan aparat kerajaan) dan sebagainya.
Punika Sêrat Babad Bêdhahipun ing Mangir, 1922, Sasrawinata, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 77, No.Rec. 930
Ikhtisar: Kisah penaklukan Ki Ageng Mangir yang dianggap makar kepada Mataram oleh Panembahan Senapati. Dengan menyamar sebagai ronggeng, Raden Ajeng Pambayun, putri Panembahan Senapati, berhasil memikat dan menikah dengan Ki Ageng Mangir. Kemudian Raden Ajeng Pambayun mengajak Ki Ageng Mangir menghadap Panembahan Senapati. Saat itulah Ki Ageng Mangir berhasil dibunuh, setelah diharuskan untuk menghadap sendirian dan pusaka saktinya bernama Barukuping ditinggalkan di pintu gerbang.
Punika Sêrat Babad Ingkang Sinuhun Kaping Gangsal Kaping Nêm Saha Kramanipun Dipanagaran, 1861, 1930, Suradikrama, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 118, No.Rec. 1119
Ikhtisar: Cerita keadaan kerajaan Surakarta sejak wafatnya Kangjeng Sunan Pakubuwana V digantikan oleh putranya yang bertahta dengan gelar Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara atau Pakubuwana VI di Surakarta, masa pemerintahan PB VI, dan pemberontakan Pangeran Dipanegara kepada Kumpeni.
Punika Sêrat Maneka Carita, 1904, Saradumipa/Kasan Maknawi/Katib, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 90, No.Rec. 1628
Ikhtisar: Kumpulan dongeng (cerita) yang mengandung nasihat-nasihat baik yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Punika Sêrat Purwacarita Bali, 1875, Sasrawijaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 106, No.Rec. 117
Ikhtisar: Kisah perjalanan Raden Sasrawijaya, seorang santri di Sepanjang-Malang yang melakukan perjalanan bersama 4 santri ke pulau Bali pada tahun 1871 dan memuat keterangan beberapa negara kecil dan kebudayaan Bali. Kisah perjalanan pengarang mulai dari Banyumas ke Jamburana dan Tabanan, kemudian keterangan mengenai negara-negara kecil yaitu Tabanan, Menguwi, Badung, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Bangli dan Buleleng, dilanjutkan pembicaraan mengenai adat Bali termasuk agama, makanan, pakaian, perilaku, dan aktivitas sehari-hari.
Rama, 1923, Yasadipura I, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 508, No.Rec. 832
Ikhtisar: Kisah Dasarata (raja Ayudya) yang memenuhi permintaan istri mudanya (Dewi Kekayi) untuk menobatkan Bharata menjadi raja sebagai penggantinya, yang berakibat diusirnya Sri Rama Wijaya dari kerajaan beserta istrinya Dewi Sinta ke hutan yang diikuti oleh adiknya (Laksmana). Akibat dari peristiwa ini Dewi Sinta diculik oleh raja raksasa Sang Dasamuka (raja Alengka). Karena diminta secara halus tidak diserahkan kembali, maka terjadi peperangan besar antara Sri Rama yang dibantu Prabu Sugriwa beserta bala tentara kera dengan Prabu Dasamuka. Dasamuka mati, Dewi Sinta kembali ke pangkuan Prabu Rama, selanjutnya terjadi “Sinta obong”, sampai akhirnya Sri Rama Wijaya kembali menjadi raja di Ayudya.
Rangsang Tuban, 1912, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 115, No.Rec. 516
Ikhtisar: Kisah kedua pangeran di kerajaan Tuban, bernama Pangeran Warihkusuma dan Pangeran Adipati Warsakusuma, oleh karena berebut isteri (Rara Endang) akhirnya harus perang dan meninggal. Serat ini merupakan petikan dari Serat Wedhaparaya karya Empu Manehguna di Lamongan. Serat Rangsang Tuban merupakan salah satu dari empat karya besar Padmasusastra (1843-1926), (Serat Rangsang Tuban, Serat Prabangkara, Serat Kabar Angin, dan Serat Kandhabumi). Serat ini merupakan gambaran unsur air, bagian dari empat unsur alam yang dikemas dalam sebuah cerita atau kisah secara runtut.
Raosing Lêlagon, 1930, 1932, Karsana, Bag.dari: Kajawèn (Cetakan, 1922-40), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, No.Rec. 1706
Ikhtisar: Setiap suku bangsa mempunyai rasa yang berbeda-beda dalam menciptakan musik dan tarian. Suara alat-alat musik/lagu atau gerakan-gerakan tarian dapat membawa perasaan gembira, sedih, dan sebagainya. Bangsa Papuah senang dengan tarian dan musik yang hanya diiringi dengan ketipung dan tarian yang hanya meloncat-loncat. Tetapi hal tersebut bagi orang Jawa dianggap kurang halus. Demikian pula anggapan orang Eropa terhadap tarian dan musik orang Jawa atau sebaliknya.
Rêdi Sumbing, 1929, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1929 (Cetakan, 1929), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1685
Ikhtisar: Cerita asal mula nama gunung Sumbing. Diceritakan di negara Mamenang bertahta seorang raja bernama Prabu Ajipamasa. Suatu ketika Janggan Sundara dari gunung Sodha menghadap sang prabu dengan maksud memohon pertolongan untuk mengobati adiknya bernama Rara Sumbing. Karena kecantikan Rara Sumbing, maka sang prabu jatuh cinta dan bermaksud memperisetrinya. Rara Sumbing diganti nama menjadi Sumbadra, dan nama Sumbing untuk mangganti nama gunung Sodha.
Rêrêpèn Nawung Brônta, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1352
Ikhtisar: Ungkapan hati yang menggambarkan perasaan sedang kasmaran (nawung branta) dikemas dalam Tembang Kinanthi karya P. B. IX
Rêrêpèn, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Dwija Iswara (Cetakan, 1899), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 18, No.Rec. 6
Ikhtisar: Tembang (nyanyian) yang diciptakan sebagai ungkapan perasaan dari seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta kepada seorang gadis. Nyanyian itu dijadikan sebagai sarana untuk menghibur diri dari rasa hati yang sedang kasmaran (jatuh cinta).
Rêrêpèn, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 1414
Ikhtisar: Diawali keterangan bahwa penulisan ditujukan untuk pribadi, sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan cinta yang disampaikan dalam bentuk “wangsalan”, agar bisa melepaskan rasa hati, menghibur diri agar tidak terlihat kalau sedang jatuh hati.
Rêtna Kasimpar, 1930, Jayasuwignya, Bag.dari: Nugraha ing Madura (carik, 1930), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 83, No.Rec. 171
Ikhtisar: Banowati bersedia diperistri Duryudana dengan syarat dicarikan seekor gajah putih dengan ’srati’ (pawang) wanita. Duryudana meminta bantuan Arjuna untuk memenuhi syarat tersebut. Pada saat Arjuna mencari syarat, di tengah hutan ditemui oleh Kamajaya dan Dewi Ratih, yang memintanya untuk membantu Maharaja Kasendra di negara Tasikmadu. Raja Kasendra mempunyai dua orang putri, Retna Kasimpar dan Retna Juwita. Kerajaan Tasikmadu berada dalam ancaman serangan raja raksasa Timbultaunan yang hendak memperistri putrinya. Arjuna mampu membunuh raksasa kemudian kawin dengan Retna Kasimpar serta berhasil mendapatkan gajah putih tersebut, Atas bantuan Arjuna tersebut, akhirnya Prabu Suyudana (raja Astina) dapat memperistri Dewi Banowati.
Ringkêsanipun Babad Tanah Jawi Wetan, 1929, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1929 (Cetakan, 1929), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 16, No.Rec. 1686
Ikhtisar: Ringkasan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Prabu Sindok menurunkan raja-raja Jawa seperti Sri Erlangga, Darmawangsa, hingga diceritakan kerajaan Jenggala, Kediri, Singasari, dan Majapahit. Runtuhnya kerajaan Majapahit ditandai oleh masuknya Agama Islam ke tanah Jawa.
Riwajatipun Gusti Raden Aju Woerjaningrat, 1963, Wuryaningrat, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 16, No.Rec. 400
Ikhtisar: Riwayat G.R. Ayu Wuryaningrat sejak lahir sampai meninggalnya. Riwayat disampaikan kepada putra-putrinya, dan disampaikan dalam acara pertemuan keluarga Purwodipuran, bersamaan dengan acara peringatan 40 hari meninggalnya G.R. Ayu Wurryaningrat.
RNP1950b, 1950, Warsadiningrat, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 72, No.Rec. 398
Ikhtisar: Bagian depan membicarakan istilah-istilah dalam membunyikan rebab. Bagian tengah berisi kutipan serat-serat karya Ranggawarsita (1802-1873) di antaranya: Serat Kalatidha, Serat Jakalodhang (I, II), Serat Sabdatama, Serat Sabdajati, Serat Laksitapraja yang empat terakhir tidak lengkap. Bagian ketiga berisi tentang nama-nama gending, nama-nama gamelan milik raja, lengkap dengan keterangan pemakaiannya. Bagian akhir berisi keterangan cara menggesek rebab dan keterangan nama-nama alat gesek rebab ini (serta gambar).
Sabda Utama, 1925, Natarata, Seri dari: Algemeene Javaansche Boekhandel, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 18, No.Rec. 1264
Ikhtisar: Ajaran keutamaan, terutama ajaran yang harus dilakukan oleh orang muda agar dapat mencapai cita-citanya, terutama kemuliaan jiwa, yakni dengan bersungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita sehingga dikabulkan oleh Tuhan, dan dalam meraih sesuatu tidak diperkenankan memaksakan diri.
Sabda Utama, 1927, Natarata, Seri dari: Uitgeverij en Boekhandel, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 11, No.Rec. 746
Ikhtisar: Ajaran tentang ilmu kesempurnaan (ngilmu kasampurnan) yang dikemas dalam ungkapan ‘rahsa luhung’, misalnya ‘maol kayat’ (banyu urip, tirta kamandanu, lata mahosada, hyang pramana).
Sahadat Batin, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa + Arab, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1325
Ikhtisar: Sahadat batin, merupakan sahadat yang sesungguhnya, yang memiliki taraf yang lebih suci. Diuraikan satu per satu, maksud dari dua kalimat syahadat, misalnya “ashadu” bahwa sesungguhnya saya bersaksi, “alla illaha” tiada Tuhan selain Allah; ‘wa ashadu”, dan saya bersaksi, “anna Muhammadurrasulullah” (Muhammad utusan Allah)
Sahadat Kalimah, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 4, No.Rec. 1323
Ikhtisar: Uraian tentang dua kalimah sahadat (Laillahailallah Muhammad Rasulullah), yang diartikan Laillahaailallah serta memuat napi dan isbat dan uraian tentang Muhammad.
Sajarah Dalêm Para Panjênênganipun Narendra ing Tanah Jawi, 1928, Darmasubita, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 43, No.Rec. 783
Ikhtisar: Ringkasan urutan raja Jawa berdasarkan sejarah pangiwa, dimulai Batara Guru sampai Pakubuwana X. Disebutkan pula pencipta senjata-senjata dalam pewayangan misalnya: cakra, pasopati, dan nagapasa.
Sajarah Jati, 1975, Tanaya, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 106, No.Rec. 296
Ikhtisar: Sejarah para wali di Jawa yang menguraikan tentang kesejatian hidup dan mati. Diceritakan beberapa tokoh, seperti: Dewi Rasawulan yang menurunkan Jaka Tarub, lahirnya Bondan Kajawan dan Bondan Surati, juga lahirnya R. Patah dan R. Timbul, yang merangkaikan sejarah para wali, di dalamnya terdapat cerita lengkap mengenai Islamisasi mulai jaman Majapahit, runtuhnya Majapahit, sampai berdirinya Demak.
Salokantara, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Carita Ibêr-ibêr tuwin Uran-uran Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 14, No.Rec. 479
Ikhtisar: Cerita tentang keadaan negara Lokantara dengan rajanya Darmapati yang mempunyai 2 orang putri dari permaisuri bernama Susilawati dan Damawati. Setelah melahirkan putri kedua, sang permaisuri meninggal. Setelah itu raja Darmapati tidak menikah lagi. Karena tidak memiliki putra mahkota, maka Susilawati yang diharapkan menggantikan tahta.
Salokantara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 23, No.Rec. 1401
Ikhtisar: Cerita tentang keadaan negara Lokantara dengan rajanya Darmapati yang mempunyai 2 orang putri dari permaisuri bernama Susilawati dan Damawati. Setelah melahirkan putri kedua, sang permaisuri meninggal. Setelah itu raja Darmapati tidak menikah lagi. Karena tidak memiliki putra mahkota, maka Susilawatilah yang diharapkan menggantikan tahta.
Salokatama, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 7, No.Rec. 154
Ikhtisar: Nasihat bagi orang yang suka menyiksa diri, agar tidak mendapat malu karena tidak bisa mengendalikan diri, dan menjadi nista (misalnya, tindakan bunuh diri).
Salokatama, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 10, No.Rec. 1394
Ikhtisar: Nasihat bagi orang yang suka menyiksa diri, agar tidak mendapat malu karena tidak bisa mengendalikan diri, dan menjadi nista (misalnya, tindakan bunuh diri).
Sandiasma, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1402
Ikhtisar: Sandiasma (nama pengarang yang disamarkan dalam karangannya, dalam hal ini berbentuk tembang), setelah suku kata atau kata yang disamarkan itu dirangkaikan, akan dapat menerangkan bahwa pengarangnya adalah KGPAA Mangkunagara IV (1853-1881).
Sarêm Tampêr, 1930, Sastrasugônda, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1703
Ikhtisar: Sejarah terjadinya tempat pembuatan garam di daerah Kradenan, Purwadadi, Jawa Tengah. Terjadinya tempat tersebut ada hubungannya dengan Raja Medangkamulyan yang bernama Prabu Ajisaka dan seekor naga sakti yang mengaku sebagai putranya.
Sariné Basa Djawa, 1967, Padmosoekotjo, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 186, No.Rec. 139
Ikhtisar: Berisi dasanama, nama-nama daun, bunga, biji, anak hewan, pakaian wayang, bebasan, saloka, sanepa, pepindan, candra, isbat, pralambang, parikan dan lain-lainnya.
Sastrajendra Hayuningrat, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 1317
Ikhtisar: Ilmu luhur yang masih bersifat rahasia untuk keselamatan di dunia, termasuk di dalamnya ilmu sastra yang berhubungan dengan kejernihan pikir dan diwujudkan dalam kata-kata bermakna seperti: arja artinya mulia, keadaan yang suci; endra artinya hal besar yang masih rahasia yang meliputi seisi buana agung. Ilmu tersebut akan memahamkan manusia pada kesejatian hidup.
Sawursari, 1927, Sindupranata, Seri dari: Bale Pustaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 64, No.Rec. 537
Ikhtisar: Empat buah dongeng untuk anak yang isinya menasihatkan agar anak selalu tolong-menolong, tidak sombong, suka bergaul, dan tidak bodoh / harus senang belajar supaya tidak menderita.
Sêkar Salisir Kagêm Gerongan, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 1351
Ikhtisar: Tembang (sekar) Salisir untuk “gerongan” (lagu yang mendahului swarawati dan dibarengi gending) dalam gending-gending karya P. B. IX yang ditujukan untuk menghibur para putra.
Sêkar-sêkaran, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Dwija Iswara (Cetakan, 1899), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 74, No.Rec. 7
Ikhtisar: Nyanyian Jawa (sêndhon langênswara) yang digunakan pada saat raja pesta bersama para putra dan para abdi. Nyanyian digunakan untuk membangkitkan parasaan senang dalam acara pesta. Urutan lagu (sekar) yang dinyanyikan, setiap selesai bawa (tembang pembuka) tertentu, selalu diikuti dengan gending.
Sêndhon Langênswara, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 37, No.Rec. 1429
Ikhtisar: Urutan keterangan sendhon langenswara, dimulai dari “bawa” (tembang sebagai permulaan gending) sekar ageng kemudian diikuti dengan gending. Misalnya, bawa Citramêngêng diikuti dengan Gending Langên-gita dan bawa Kumudasmara diikuti Gending Walagita.
Serat Babad Pakubuwono V, 1956, Paguyuban Pakubuwana V, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 47, No.Rec. 721
Ikhtisar: Riwayat hidup (biografi) Pakubuwana V (1785-1823, 1820-23) di Surakarta,: lahir, masa kecil, pemerintahan, karya-karya, kejayaan, dan kebijaksanaannya, sampai meninggal dunia. Dalam riwayat tersebut terungkap pula bahwa Pakubuwana V disebut juga dengan nama ‘Sunan Sugih’.
Serat Centhini Latin, 1986, 1988-92, Kamajaya, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 352, No.Rec. 761
Ikhtisar: Sebuah kitab ensiklopedi kebudayaan Jawa, yang memuat berbagai macam pengetahuan misalnya: agama, seni, filsafat, primbon, dan asmaragama. Kitab ini termasuk dalam genre sastra suluk. Intinya merupakan ajaran dari Sèh Amongraga kepada istrinya, Tambangraras, yang didengarkan pula oleh abdi setianya bernama Centhini mengenai filsafat dan kearifan untuk menuju kepada kesempurnaan hidup.
Sêrat Ibêr Dhumatêng Kangjêng Pangeran Angabèi, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 1423
Ikhtisar: Menceritakan ketika M. N. IV berkunjung kepada ayahanda Pangeran Angabehi, minta keterangan hari baik kapan di bulan Saban sang Raja untuk dapat mengunjungi Pabrik Gula Tasikmadu, dan akhirnya dijawab oleh M. N. IV.
Sêrat Ibêr Dhumatêng Kangjêng Pangeran Arya Cakradiningrat, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1420
Ikhtisar: Surat pemberitahuan dari Mangkunagara IV (1853-1881) kepada KPA Cakradiningrat, memberitahukan bahwa Mangkunagara IV hendak menikahkan putranya dan mengharap kehadiran KPA Cakradiningrat.
Sêrat Ibêr Dhumatêng Kangjêng Pangeran Arya Natabrata, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 8, No.Rec. 1422
Ikhtisar: Berisi : 1. Surat dari Mangkunagara IV (1853-81) kepada siswanya Pangeran Arya Natabrata yang mengabarkan bahwa Mangkunagara IV hendak menikahkan dua orang putranya sehingga mengharap kedatangan K. P. A. Natabrata; 2. Surat dari ayah Prangwadana kepada Pangeran Natabrata bahwa Mangkunagara IV ingin agar Natabrata meminta ijin kepada ibundanya untuk meminjamkan pustaka; 3. Memberitahu bahwa ada acara peringatan tingalan dalem M. N. IV dan mengharap kedatangan Pangeran Natabrata.
Sêrat Ibêr Dhumatêng Kangjêng Pangeran Arya Surya Sasraningrat, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1421
Ikhtisar: Surat dari Mangkunagara IV (1853-1881) kepada adiknya, Suryasasraningrat, mengabarkan keadaan Mangkunagara IV sekeluarga dalam keadaan baik.
Sêrat Ibêr Dhumatêng Radèn Tumênggung Dipakusuma, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1426
Ikhtisar: Surat dari MN IV kepada Raden Tumenggung Dipakusuma (Bupati Banyumas), M. N. IV mengirimkan kalung rantai emas sebagai tanda kasih, agar diterima dengan suka cita.
Serat Sastra Gending, 1936, Sultan Agung Anyakra Kusuma, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 18, No.Rec. 825
Ikhtisar: Ajaran tentang ilmu kesempurnaan hidup (kawruh sejati), perpaduan ajaran “kejawen” dengan Islam, sifat-sifat Tuhan, dan ajaran tentang tingkatan-tingkatan untuk mencapai kesatuan/kesejatian hidup.
Serat Tjenthini, 1912, Soeradipoera, Seri dari: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 276, No.Rec. 998
Ikhtisar: Sebuah kitab ensiklopedi kebudayaan Jawa, yang memuat berbagai macam pengetahuan misalnya: agama, seni, filsafat, primbon, dan asmara. Kitab ini termasuk dalam genre sastra suluk. Intinya merupakan ajaran dari Sèh Amongraga kepada istrinya, Tambangraras, yang didengarkan pula oleh abdi setianya bernama Centhini mengenai filsafat dan kearifan untuk menuju kepada kesempurnaan hidup.
Sêrat-sêrat Anggitan Dalêm Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara IV, 1953, Pigeaud, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 280, No.Rec. 1247
Ikhtisar: Memuat beberapa serat dengan beraneka macam isi, antara lain ajaran moral, ungkapan tentang cinta kasih, deskripsi mengenai tempat-tempat peristirahatan yang biasa dikunjungi raja dalam wilayah kekuasaannya, cerita mengenai aktivitas raja dalam satu kurun pemerintahan (misalnya: kunjungan ke daerah-daerah, memprakarsai pembangunan dam, meninjau pabrik gula, berburu, melakukan perjalanan, melakukan upacara penyambutan, menyelenggarakan hiburan, kegiatan surat-menyurat, peringatan terhadap acara-acara tertentu, dan lain-lain).
Sêrat-sêrat Ibêr Mawi Sêkar Macapat, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 72, No.Rec. 1400
Ikhtisar: Kumpulan surat-surat iber (surat-surat kiriman) dari Mangkunagara IV (1853-1881) dan Prangwadana kepada rekan, saudara, anak-cucu dan kerabat. Surat-surat kiriman itu secara umum berisi tentang kabar keselamatan, harapan dan pemikiran, ucapan terimakasih, ungkapan rasa senang, nasihat, maupun balasan atas surat sebelumnya. Antara lain: surat dari Mangkunagara IV kepada Arya Jayaningrat (adik), surat dari Mangkunagara IV kepada Arya Natabrata (anak), dan sebagainya.
Sitijênar, 1921-22, H. Buning, Bag.dari: Warni-warni (Cetakan, 1920), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 148, No.Rec. 436
Ikhtisar: Kisah Seh Siti Jenar dan ajarannya yang tidak lazim mengenai Tuhan. Seh Siti Jenar kemudian dihadapkan pada sidang para wali (wali sanga), namun tetap pada pendiriannya untuk menyebarkan ajarannya, sehingga para wali memberi putusan bahwa Seh Siti Jenar dihukum mati. Dilanjutkan pula dengan cerita Kyai Kebo Kenanga di Pengging.
Sri Karongron, 1913-14, Purbadipura, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 81, No.Rec. 1184
Ikhtisar: Cerita tentang:(1) peringatan ketika PB. X mengunjungi ayahandanya (HB VII) di Yogyakarta, (2) upacara ‘Garêbêg Bêsar’ pada tahun Jimakir 1842, (3) keadaan kerajaan Surakarta misalnya, tentang bangunan peninggalan di Surakarta seperti masjid-masjid di Argapura, meriam di Alun-alun Utara dan Sitinggil), ‘tingalan dalêm pawukon’, kedatangan di pesanggrahan Ngeksipura sampai pulangnya, ‘têtêsan’ putrinya, kunjungan balasan Sampeyan Dalêm Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan ke Surakarta, dan (4) PB X berburu dan mengadakan kunjungan ke wilayah Krapyak dan sekitarnya, serta keadaan di Surakarta seperti peresmian jembatan Jurug dan Bacem.
Sri Mahargya, 1930, Purbadipura, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 49, No.Rec. 472
Ikhtisar: Cerita pada saat Pakubuwana X (1893-1939) menyambut kedatangan Raja Siam Maharaja Prayadipok beserta permaisuri Rambaidhani di Kerajaan Surakarta, pada hari Selasa 28 Maulud 1860 (3 September 1929). Penyambutan tamu dilakukan secara besar-besaran, yakni dengan berbagai upacara, musik, hiburan tarian, sendratari, hidangan makanan, dan tamasya ke tempat-tempat menarik (wisata alam) di wilayah Surakarta, seperti: Pracimaharja, Delingan, dan Karangpandan. Selain bertamu ke kraton, mereka juga dihantar berkunjung ke Kadipaten Mangkunegaran. Cerita diakhiri dengan kembalinya tamu ke negaranya, dengan upacara pelepasan dan saling tukar cinderamata.
Sri Papara, 1928, Purbadipura, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 298, No.Rec. 469
Ikhtisar: Menceritakan perjalanan Pakubuwana X (1893-1939) ke Betensoreh, Bogor (Jawa Barat) diikuti oleh permaisuri dan para selir beserta putra-putranya dan juga kerabat dekatnya dalam rangka mengucapkan terima kasih setelah menerima bintang penghargaan dari Sri Baginda Maharaja Putri Wilhelminah melalui Tuan Besar Gubernur Jendral Mr. Depok sampai pulangnya lagi di keraton Surakarta dengan naik kereta api.
Sri Tanjung, 1937, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1937 (Cetakan, 1937), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. …, No.Rec. 1723
Ikhtisar: Kisah Dewi Sri Tanjung istri Raden Sidapeksa yang difitnah oleh Raja Adikrama di Sinduraja. Mengetahui hal tersebut, Dewi Sri Tanjung lalu dibunuh oleh Raden Sidapeksa. Raden Sidapeksa setelah membunuh Dewi Sri Tanjung sangat menyesal, sebab istrinya ternyata tidak bersalah. Dewi Sri Tanjung akhirnya berhasil hidup kembali karena dewa dan mau kembali ke pangkuan Raden Sidapeksa apabila suaminya menyerahkan kepala raja yang memfitnahnya.
Sri Utama, 1930, Purbadipura, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 31, No.Rec. 471
Ikhtisar: Cerita ketika Pakubuwana X (1893-1939) menerima Gubernur Jendral Monsir Dhier Paskwir dari Indo Cina pada tanggal 16 April 1929, untuk memberikan bintang “grutkreis pan het keserik pan anam” kepada Pakubuwana X, juga memberikan bintang “komandhur irste klas kimbui pan anam” pada permaisuri. Setelah penyematan tanda bintang dilanjutkan dengan perjamuan dan Pakubuwana X memberikan keris bersarung cendanasari, “kandelan kencana” bertabur berlian serta tongkat kepada Jendral Pyer dan bingkisan kepada para pengiringnya.
Srikaton, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 128, No.Rec. 1459
Ikhtisar: Cerita tentang perjalanan Mangkunegara IV (1853-1881) ke tempat peristirahatan raja (”pacangkraman”) di Sri Katon (Tawangmangu) Kabupaten Karanganyar. Di dalam perjalanan Mangkunagara IV ke Srikaton diikuti oleh para putra, dan disambut oleh masyarakatnya.
Sriyatna, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 6, No.Rec. 149
Ikhtisar: Ajaran agar anak selalu taat terhadap orang tua. Kalau tidak taat (durhaka, melawan), maka membuat orang tua sedih dan akhirnya meninggal dunia. Pengarang mengambil perumpamaan ulat dahan turi yang mulai awal tidak berpindah-pindah, bertapa sampai akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah. Namun pohon turi tersebut lama-lama layu dan mati karena terus digerogoti oleh ulat tadi. Pohon turi sebagai simbol orang tua, dan ulat sebagai simbol anak.
Sriyatna, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 8, No.Rec. 1390
Ikhtisar: Ajaran agar anak selalu taat terhadap orang tua. Kalau tidak taat ( durhaka, melawan), maka membuat orang tua sedih dan akhirnya meninggal dunia. Pengarang mengambil perumpamaan ulat dahan turi yang mulai awal tidak berpindah-pindah, bertapa sampai akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah. Namun pohon turi tersebut lama-lama layu dan mati karena terus digerogoti oleh ulat tadi. Pohon turi sebagai simbol orangtua, dan ulat sebagai simbol anak.
Subasita, 1914, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 44, No.Rec. 208
Ikhtisar: Sikap sopan santun orang Jawa mencakup hal-hal yang masih pantas untuk dilestarikan dan dilakukan serta hal-hal yang harus dihindari. Serat Subasita ini menjadi dasar sopan santun orang Jawa.
Suluk Kadis, 1915, Sastrasayana, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 363, No.Rec. 803
Ikhtisar: …
Suluk Residrija, 1957, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 47, No.Rec. 1203
Ikhtisar: Ajaran luhur, yang meliputi sifat sabar, berhati-hati serta mendalami keutamaan. Inti ajarannya mengenai petunjuk berumah tangga, terutama poligami. Selain itu juga menerangkan makna sholat lima waktu yang dikaitkan dengan keberadaan badan jasmani, empat macam nafsu dan sifat-sifatnya, serta perlunya mengetahui ilmu rasa. Ajaran diakhiri dengan petuah Seh Tekawerdi, bahwa dalam hidup ini jangan meninggalkan tata krama, hukum, serta berupaya menempatkan diri sesuai dengan takdir-Nya.
Suluk Sarengat, [...], Anonim, Bag.dari: Bèndhêl Widya Pradana, Widya Pramana, Suluk Sarengat lan Wadu Aji (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. …, No.Rec. 1527
Ikhtisar: Kisah empat bersaudara yang perwira dalam berperang, yaitu: Ki Sarengat (kokoh Islamnya), Ki Tarekat (kuat imannya ), Ki Hakikat ( kuat tauhidnya) dan Ki Makripat (kuat dalam melawan kapir). Sarengat akhirnya menjadi raja.
Suluk Sèh Malaya, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 93, No.Rec. 1313
Ikhtisar: Menceritakan tentang Seh Malaya (Sunan Kalijaga), mulai kisah masa mudanya sebagai putra Adipati Tuban bernama Lokajaya, sepak terjangnya yang buruk sebagai penjudi, pencuri dan perampok membuat ia diusir oleh ayahnya, Adipati Tuban. Lokajaya berkelana dan melanjutkan perilaku buruknya sebagai penjudi dan perampok, namun selalu kalah. Suatu saat dia merampok Sunan Bonang, tetapi ditaklukkan dan disadarkan. Diperintah untuk menunggui tongkat, menunggui pohon besar di tengah hutan, bertapa “pendhem”, juga bertapa di tepi Kalijaga. Semua perintah dilaksanakan dengan baik, Sunan Bonang memerintahkannya untuk menjadi wali dengan nama Seh Malaya atau Sunan Kalijaga. Selanjutnya kisah kewalian Sunan Kalijaga, antara lain turut serta mendirikan masjid Demak, berhasil menyadarkan Adipati Semarang Ki Ageng Pandhanarang (Sunan Tembayat) dan melalui sidang para wali mengadili/ menghukum Seh Lemah Bang (Seh Siti Djenar) yang menyebarkan ilmu rahasia mengenai Tuhan dengan sembarangan kepada para muridnyaE209.
Suluk Wudjil, 1957, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 29, No.Rec. 786
Ikhtisar: Ajaran kebatinan dan keutamaan hidup yang dirahasiakan, yang disampaikan oleh Sunan Bonang kepada Wujil (abdi kesayangan raja Majapahit). Dalam penyampaian ajaran tersebut terjadi dialog antara Sunan Bonang, Wujil, dan Ken Satpada. Satu hal yang kemudian terungkap adalah bahwa sesungguhnya diri manusia adalah tunggal, hal itu dapat direalitaskan oleh Sunan Bonang dengan menyuruh Wujil dan Ken Satpada bercermin, terungkap pula ilmu mengenai nafi dan isbat.
Suluk Wujil, 1847, Hamengkubuwana V, Bag.dari: Kumpulan Suluk (carik, 1847), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 24, No.Rec. 819
Ikhtisar: Ajaran kebatinan dan keutamaan hidup yang dirahasiakan, yang disampaikan oleh Sunan Bonang (Ratu Wahdat) kepada Wujil (abdi kesayangan raja Majapahit). Dalam penyampaian ajaran tersebut terjadi dialog antara Sunan Bonang, Wujil dan Ken Satpada. Salah satu hal yang kemudian terungkap bahwa sesungguhnya diri manusia adalah tunggal, hal itu dapat direalitaskan oleh Ratu Wahdat dengan menyuruh Wujil dan Ken Satpada bercermin, terungkap pula ilmu mengenai nafi dan isbat.
Surat-surat Rônggawarsita, 1836-46, Rônggawarsita, Bag.dari: LOr 2235 (carik, 1840-43), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 28, No.Rec. 869
Ikhtisar: Surat-surat yang isinya menunjukkan adanya hubungan kerja sama dalam bidang bahasa, sastra, dan budaya Jawa dari Ronggawarsita kepada C.F. Winter dan dari C.F. Winter kepada Ronggawarsita, Purwadipura kepada Ronggawarsita, Ronggawarsita kepada Van der Am; Kangjêng Susuhunan kepada C.F. Winter; Ronggawarsita kepada Nyonyah Eming.
Tajusalatin, 1922, Dirja Atmaja, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 360, No.Rec. 1177
Ikhtisar: Uraian tentang kewajiban yang harus dilakukan para raja “makuthaning para raja, jinêjêr dadya wulang rèh”, hulubalang, menteri dan rakyat, terutama tentang kewajiban tiap-tiap muslimin terhadap Allah, perbuatan baik yang dilakukan para raja dan alim-ulama di masa dahulu serta hukuman dan kutukan yang menimpa bagi yang melanggar hukum agama. Hal ini berdasarkan teladan yang diambil dari sejarah dunia Arab.
Taman Sriwêdari, 1928, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1688
Ikhtisar: Sejarah singkat taman Sriwedari, mulai dari sejarah perpindahan Karaton Kartasura ke Surakarta sampai pada dibangunnya taman Sriwedari oleh Kangjeng Raden Adipati Sasradiningrat. Selain itu juga berisi uraian mengenai keindahan taman Sriwedari sebagai tempat rekreasi.
Tambangprana, 1922, Wiryakusuma, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 42, No.Rec. 782
Ikhtisar: Ajaran tentang kehidupan dan keutamaan hidup, di antaranya manusia dalam kehidupannya wajib mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan lahiriah, dan hendaknya tidak hanya mengutamakan dalam mencari harta saja. Keutamaan hidup dapat dicapai apabila manusia memiliki 3 hal yakni: kepandaian, jabatan, dan harta. Ajaran untuk mencegah hawa nafsu serta keterangan mengenai 4 macam sembah (sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa), khususnya sembah yang keempat yaitu sembah rasa.
Tapak Bima, 1930, Supardan, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 1, No.Rec. 1701
Ikhtisar: Cerita mengenai adanya petilasan bekas telapak kaki Bima (Raden Arya Warkudara) dan petilasan yang berupa dua buah batu bekas genggaman Bima. Telapak kaki kanan Bima ada di desa Tapakbima, berdekatan dengan desa Samaulun, Wanagiri dan telapak kaki kiri di dekat desa Majasanga, sebelah timur Bayalali, Surakarta. Petilasan dua buah batu yang dipercaya bekas genggaman Bima dapat ditemukan di desa Tumpang, Jatilawang, Purwakerta, dekat sungai Serayu.
Tasikmadu, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Babad Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 197
Ikhtisar: Di sebelah timur bengawan, termasuk wilayah Karangmaja, sebelah selatan Nglano (kurang lebih 8 pal dari Surakarta), terdapat pesanggrahan yang disebut Tasikmadu. Pesanggrahan ini merupakan banjaran pedesaan besar yang dikelilingi pohon-pohonan.
Tasikmadu, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Panêmbrama (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 2, No.Rec. 1496
Ikhtisar: Upacara penyambutan oleh Mangkunagara IV (1853-1881) kepada Pakubuwana IX (1861-93) saat meninjau pabrik gula Tasikmadu dengan sajian Sêkar Agêng Lampah 12 dilanjutkan Gendhing Katapang: Citrasari.
Tatacara, 1911, Padmasusastra, Seri dari: Serie uitgaven door bemiddeling der Commissie voor Inlandsche Volkslectuur, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 400, No.Rec. 176
Ikhtisar: Uraian tentang budaya, adat-istiadat, upacara tradisi, permainan, dan kesenian orang Jawa yang dikemas dalam bentuk cerita. Aplikasi dari cerita itu digambarkan dalam siklus kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, lahir, menikah, sampai meninggal dunia.
Tataprunggu, 1927, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1927 (Cetakan, 1927), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 4, No.Rec. 1689
Ikhtisar: Pendapat mengenai arti tataprunggu. Tataprunggu diartikan sebagai aturan pemakaian huruf murda (huruf kapital) dalam penulisan huruf Jawa untuk orang yang dihormati beserta sebutan dan pangkatnya, misalnya Raden Mas, Lurah, dan Bupati.
Tatatjara, 2602, Padmasusastra, Seri dari: Bale Poestaka, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 192, No.Rec. 60
Ikhtisar: Tatacara siklus kehidupan manusia sejak lahir sampai mati. Tatacara tersebut antara lain mulai dari tatacara orang sedang hamil; melahirkan; sesudah melahirkan; mengkhitankan anak; menikahkan anak yang sudah dewasa atau cukup umur; serta tatacara mengurus jenazah sejak dari rumah sampai di pemakaman.
Tatêdhakan Sêrat-sêrat Undhang-undhang Pranatan Sasaminipun, 1895-1910, Sasradiningrat IV, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 145, No.Rec. 363
Ikhtisar: Peraturan perundang-undangan dan sejenisnya atas perintah Raden Adipati Sasradiningrat IV (patih di Kerajaan Surakarta).
Têgalgônda, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Babad Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 12, No.Rec. 196
Ikhtisar: Cerita tentang pesanggrahan (tempat peristirahatan raja, keluarga, dan kerabatnya) di sebelah barat daya kerajaan yang didirikan atas prakarsa PB III, terletak di sebelah barat jalan raya ke arah Yogyakarta. Pembangunannya dilakukan oleh Mangkunagara I, II, III, dan IV.
Têgalgônda, 1953, Pigeaud, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 21, No.Rec. 1382
Ikhtisar: Cerita tentang pesanggrahan (tempat peristirahatan raja, keluarga, dan kerabatnya) di sebelah barat daya kerajaan yang didirikan atas prakarsa PB III, terletak di sebelah barat jalan raya ke arah Yogyakarta. Pembangunannya dilakukan oleh Mangkunagara I, II, III, dan IV.
Têpapalupi, 1926, Puja Arja, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 144, No.Rec. 269
Ikhtisar: Perjalanan Gus Bantong dalam mempelajari dan memperdalam ilmu sastra. Karena kepandaian dan budi pekertinya yang luhur, ia berhasil mengarang Surat Sarawungan yang berisi tentang tata cara bergaul yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai teladan dalam kehidupan manusia.
Tiyang Baduwi, 1930, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1699
Ikhtisar: Menceritakan tentang kehidupan suku Baduwi yang tinggal di lereng gunung Kendeng, Banten Selatan. Menurut dongeng, orang-orang Baduwi adalah keturunan Pangeran Yusup dari Pajajaran yang mengungsi ke daerah Kendeng, Banten karena terjadi peperangan sekitar tahun 1579. Selain itu menceritakan mengenai mata pencaharian, adat istiadat, dan kepercayaan orang Baduwi.
Topèng, 1930, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1704
Ikhtisar: Uraian perihal topeng. Meliputi ceritera yang dipakai dalam pertunjukan topeng (misalnya Panji, Penthul-Tembem, Gunungsari), cara membuat topeng, jenis-jenis topeng, dan daerah-daerah yang mempunyai kesenian topeng beserta ciri khasnya, misalnya Surakarta, Pasundan, Betawi dan lain-lain.
Tripama, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 156
Ikhtisar: Ajaran untuk para prajurit di dalam pengabdiannya kepada raja atau negara agar mencontoh 3 tokoh dalam pewayangan, yakni Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna (Suryaputra).
Tripama, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 1403
Ikhtisar: Ajaran kepada prajurit, di dalam pengabdiannya agar meneladani tiga tokoh utama yaitu Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna.
Tumusing Manah Guru Alêman, 1930, Kajawen, Bag.dari: Kajawèn 1930 (Cetakan, 1930), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 4, No.Rec. 1707
Ikhtisar: Seseorang yang bernama Pak Wiryasaroja ingin menyelenggarakan hajatan secara besar-besaran, tetapi semua itu hanya menuruti keinginan hawa nafsunya, ingin dipuji orang lain, dan biaya yang dikeluarkan juga diperoleh dari cara berhutang. Ketika hajatan sedang berlangsung, anaknya terkena petasan dan terpaksa harus dibawa ke rumah sakit, sedangkan uang untuk berobat sudah habis untuk menyelenggarakan hajatan / berfoya-foya. Demikianlah seseorang yang hanya menginginkan pujian dari orang lain.
Tus Pajang, 1939, Sasrasumarta et. al., Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 111, No.Rec. 271
Ikhtisar: Peringatan kisah atau riwayat Raden Ngabehi Yasadipura I (1729-1803) (juga disebut Tus Pajang atau Abdi Dalem Kaliwon Pujangga di Surakarta) di kerajaan Surakarta berkaitan dengan perjuangan di dalam dan di luar kerajaan, dan pemerintah Belanda. Perjuangannya dimulai sejak masih bernama Bagus Banjar sampai disebut Ngabei Caraka.
Unjukipun Patih Rajasukapa, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 4, No.Rec. 1334
Ikhtisar: Cerita tentang 5 buah permintaan Patih Rajasukapa kepada Sang Hyang Cingkaradewa ketika akan menjadi raja di Gilingwesi, yaitu: 1. Seorang raja harus mempunyai sifat kasih sayang dan berbakti kepada dunia, artinya menghilangkan perbuatan pancadriya. Pancadriya itu berhubungan dengan nafsu.; 2. Raja harus punya rasa takut kepada ratu. Ratu di sini dimaksudkan adalah nyawa atau jiwa. Jiwa terletak di badan dan harus diperlakukan dengan cara: baik, teliti, kuat dan hati-hati.; 3. Raja harus menghadap orang tua.; 4. Raja harus mematuhi aturan dari seorang guru; 5. Raja harus mempunyai kasih sayang terhadap semua manusia.
Walisana (Babadipun Parawali), 1955, Tanaya, Jenis: Ketikan, Bhs. Jawa, Hrf. Latin, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 229, No.Rec. 124
Ikhtisar: Proses Islamisasi dan perkembangan Islam di Tanah Jawa oleh para wali. Dimulai dari cerita Seh Maulana Ibrahim, seorang ulama dari tanah Arab keturunan Rasulullah. Ia diangkat sebagai anak oleh Raja Kiyan di Campa, selanjutnya diangkat sebagai menantu, dinikahkan dengan putri raja bernama Retna Dyah Siti Asmara. Cerita pertemuan dan perbincangan Seh Malaya dengan Nabi Kilir. Dilanjutkan cerita Seh Walilanang yang berputra Raden Satmata. Cerita Seh Iskak datang ke Jawa dan memberikan ajaran kepada Raden Satmata, kisah Raden Patah, kisah Sunan Giri sampai berdirinya kerajaan Islam di Jawa yaitu Demak. Selain itu ada pula Suluk Malang Sumirang, dan nama-nama walisanga serta orang-orang yang berperan dalam penyebaran Islam di Jawa.
Wanagiri Prangwadanan, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 67, No.Rec. 1461
Ikhtisar: Cerita ketika Pangeran Prangwadana bercengkerama di hutan wilayah Wanagiri, diiringi oleh empat putranya, yaitu Pangeran Ngabei, Pangeran Natakusuma, Pangeran Pakuningrat, dan Pangeran Prabuningrat.
Wanagiri, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Babad Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 15, No.Rec. 194
Ikhtisar: Di sebelah tenggara Surakarta, kurang lebih 18 pal (1 pal = 1507 m), di daerah pegunungan terdapat sebuah pesanggrahan dengan nama “pesanggrahan Wanagiri”. Pesanggrahan ini digunakan pada saat berburu, menerima tamu para pemimpin, bupati, satriya, dan para utusan. Adanya pesanggrahan ini atas prakarsa Mangkunagara III.
Wanagiri, 1953, Pigeaud, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 27, No.Rec. 1380
Ikhtisar: Di sebelah tenggara Surakarta, kurang lebih 18 pal (1 pal = 1507 m), di daerah pegunungan terdapat sebuah pesanggrahan dengan nama “pesanggrahan Wanagiri”. Pesanggrahan ini digunakan pada saat berburu, menerima tamu para pemimpin, bupati, satriya, dan para utusan. Adanya pesanggrahan ini atas prakarsa Mangkunagara III.
Waosan Wujil, 1847, Hamengkubuwana V, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 374, No.Rec. 453
Ikhtisar: Ada hal yang menarik mengenai judul serat ini yakni Waosan Wujil, karena setelah dibaca isinya tidak hanya satu serat, tetapi beberapa serat suluk. Oleh karena itu, serat ini dapat dikatakan sebagai bendel atau kumpulan naskah suluk, yang intinya adalah memuat ajaran mengenai perjalanan mistik kejawen.
Wara Ratna, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1348
Ikhtisar: Ajaran kepada istri agar mengetahui perilaku ‘nistha, madya, dan utama’. Perilaku nistha (hina) harus dijauhi, misalnya mengabaikan tata susila, mengumbar kehendak, dan lain-lain. Sikap madya, misalnya mendengarkan petunjuk tetapi tidak sungguh-sungguh dilakukan. Sikap yang utama adalah sikap yang berhasil menjauhi sikap nistha dan meningkatkan sikap madya menuju sikap utama. Wanita, diumpamakan seperti “wade” atau kain. Apabila bahan dasarnya halus, dikerjakan (dibatik) dengan cara yang baik maka akan menghasilkan kain yang baik, sedangkan kain yang bahan dasarnya kasar dan pengerjaannya pun kasar, maka hanya akan dipakai oleh orang kecil (rakyat biasa).
Wara Susila, 1929, Jaya, Bag.dari: Kajawèn 1929 (Cetakan, 1929), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 4, No.Rec. 1690
Ikhtisar: Ajaran tentang sikap seorang wanita Jawa hidup di jaman modern. Dalam Serat Rangsang Tuban dijelaskan bahwa keberadaan anak karena ada orang tua, maka tidak sepantasnya apabila seorang anak melawan kepada orang tua karena merasa sudah pandai dan sudah tidak mau mendengarkan ajaran-ajaran lama dari orang tua.
Warakênya, 1928, Jaya, Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 3, No.Rec. 1687
Ikhtisar: Berisi contoh wanita yang melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh pria misalnya, bertapa, berperang, pandai besi, dan dalang. Tokoh yang dicontohkan antara lain Srikandhi, Dyah Kilisuci, Ni Sumbro, dan Dhalang Anjangmas.
Warayagnya, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 147
Ikhtisar: Ajaran dari Gusti Pangeran Arya Prabu Prangwadana sebagai bekal untuk para jejaka (laki-laki) yang akan menikah. Laki-laki tidak boleh sewenang-wenang, menguasai dan mengakui harta. Dalam memilih wanita harus cermat dan hati-hati, jangan semata-mata terpengaruh oleh kecantikan, kekayaan, kewibawaan, dan pengaruh pergaulan.
Warayagnya, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 6, No.Rec. 1388
Ikhtisar: Ajaran dari Gusti Pangeran Arya Prabu Prangwadana sebagai bekal untuk para jejaka (laki-laki) yang akan menikah. Laki-laki tidak boleh sewenang-wenang, menguasai dan mengakui harta. Dalam memilih wanita harus cermat dan hati-hati, jangan sampai terpengaruh oleh kecantikan, kekayaan, kewibawaan, dan pengaruh pergaulan.
Warni-warni, 1920, H. Buning, Bag.dari: Pananggalan (Cetakan, 1885-42), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 12, No.Rec. 440
Ikhtisar: Memuat kumpulan beberapa ajaran, antara lain ajaran moral (baik-buruk), ilmu kesempurnaan (”sangka paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti”), kebenaran Tuhan (perdebatan Sunan Kudus dengan Dayaningrat). Di samping itu, juga terdapat kisah runtuhnya kerajaan Majapahit, serta awal perkembangan agama Islam.
Wasitabasa, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 11, No.Rec. 1329
Ikhtisar: Uraian tentang makna huruf Jawa yang berjumlah 20, dan uraian tentang baik maupun buruk.
Wêdharan bab pasugihan, 1932, Sumadi, Bag.dari: Kajawèn 1932 (Cetakan, 1932), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1727
Ikhtisar: Uraian tentang sebagian masyarakat Jawa di pedesaan masih mempercayai adanya pesugihan. Mereka menganggap orang yang kaya di desanya mempunyai pesugihan, padahal tidak semuanya benar. Hal ini sebenarnya merupakan suatu sindiran yang dikarenakan rasa iri hati.
Wedhatama, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 16, No.Rec. 158
Ikhtisar: Ajaran filsafat hidup orang Jawa agar meneladani kehidupan Panembahan Senapati (dalam mengendalikan hawa napsu dan cinta terhadap sesama manusia). Di samping itu, disampaikan ajaran bahwa untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ilmu, yang mencakup 4 macam ajaran sembah kepada Tuhan, yaitu: sembah raga, sembah jiwa, sembah cipta, dan sembah rasa.
Wedhatama, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 14, No.Rec. 1316
Ikhtisar: Ajaran filsafat hidup orang Jawa agar meneladani kehidupan Panembahan Senapati (dalam mengendalikan hawa napsu dan cinta terhadap sesama manusia). Di samping itu, disampaikan ajaran bahwa untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ilmu, yang mencakup 4 macam ajaran sembah kepada Tuhan, yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
Wedhatama, 1928, Arga, Bag.dari: Kajawèn 1928 (Cetakan, 1928), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 3, No.Rec. 1691
Ikhtisar: Uraian isi Serat Wedhatama karangan Mangkunagara IV, antara lain mengajak kepada para putra-putri agar selalu mencari ilmu luhur yaitu ilmu yang mengutamakan keluhuran budi pekerti, toleransi, dan lain sebagainya.
Wedhatama, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 30, No.Rec. 1399
Ikhtisar: Ajaran filsafat hidup orang Jawa agar meneladani kehidupan Panembahan Senapati (dalam mengendalikan hawa napsu dan cinta terhadap sesama manusia). Di samping itu, disampaikan ajaran bahwa untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ilmu, yang mencakup 4 macam ajaran sembah kepada Tuhan, yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
Wêwaton panggawene omah, [...], [...], Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 12, No.Rec. 1252
Ikhtisar: Cara-cara, bahan-bahan dan hal-hal yang dilarang maupun diperbolehkan dalam mendirikan rumah, baik itu rumah dengan berdindingkan batu bata maupun rumah dengan dinding kayu.
Wicara Kêras, 1820, Anonim, Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 72, No.Rec. 1061
Ikhtisar: Kritik sosial atas pemerintahan Paku Buwana IV semasa R.Ng. Yasadipura mengabdikan diri di kerajaan. Jalannya pemerintahan kacau, para pemimpin tidak dapat diteladani lagi, karena hanya mementingkan diri sendiri. Pada bagian lain diberikan ajaran-ajaran yang baik untuk para pejabat negara dalam hal memimpin.
Wicara Kêras, 1926, Sastrawikrama, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 44, No.Rec. 495
Ikhtisar: Kritik sosial atas pemerintahan raja Paku Buwana semasa R. Ng. Yasadipura mengabdikan diri. Jalannya pemerintahan kacau, para pemimpin tidak dapat diteladani lagi karena hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Pada bagian lain juga diberikan ajaran-ajaran yang baik untuk para pejabat dalam hal memimpin negara.
Wicara Kêras, 1896, Daiya, Bag.dari: Bèndhêl Sanasunu, Wicara Kêras (carik, 1819-1820), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 88, No.Rec. 1135
Ikhtisar: Kritik sosial atas pemerintahan raja Pakubuwana semasa R. Ng. Yasadipura mengabdikan diri. Jalannya pemerintahan kacau, para pemimpin tidak dapat diteladani lagi karena hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Pada bagian lain juga diberikan ajaran-ajaran yang baik untuk para pejabat dalam hal memimpin negara
Widyakirana, 1915/1916, Warsadiningrat, Bag.dari: MDW1920a (carik, 1920), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 62, No.Rec. 1446
Ikhtisar: Ajaran dari para leluhur tentang cara “olah budi”, yang sudah dibandingkan dengan beberapa serat yang lain, misalnya serat Jitapsara dan serat Darmasunya.
Wira Iswara, 1898, Padmasusastra, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 243, No.Rec. 57
Ikhtisar: Memuat kumpulan ajaran dari raja kepada putra sentana, isteri, prajurit, pejabat kerajaan dan sebagainya. Ajaran tersebut antara lain tentang ungkapan cinta kasih, ajaran moral (tentang baik-buruk “nistha, madya, dan utama”), kewajiban anak kepada orang tua, kewajiban isteri kepada suami, dan kewajiban punggawa kepada kerajaan. Di samping itu, disampaikan pula ajaran untuk hidup sehat dan sebuah surat yang berisi pesan dari raja kepada anak sulungnya.
Wirawiyata, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 16, No.Rec. 148
Ikhtisar: Ajaran untuk para prajurit. Seorang prajurit harus setia pada kewajiban, melayani pemimpin tanpa mengecewakannya dan tunduk pada peraturan negara. Selain ajaran untuk prajurit, diberikan juga ajaran untuk para senapati yang membawahi prajurit.
Wirawiyata, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 25, No.Rec. 1389
Ikhtisar: Ajaran untuk para prajurit. Seorang prajurit harus setia pada kewajiban, melayani pemimpin tanpa mengecewakannya dan tunduk pada peraturan negara. Selain ajaran untuk prajurit, diberikan juga ajaran untuk para senapati yang membawahi prajurit.
Wirit Patitising Layap Kalihan Panjingipun Agama Islam, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1328
Ikhtisar: Uraian tentang layap dat, sifat, apngal dan mulai berpengaruhnya Islam (fardu/wajib, niat, sholat, ilmu, sahadat, ma’rifat, tauhid, dll.).
Wirit Sopanalaya, 1912, Budi Utama, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 14, No.Rec. 1340
Ikhtisar: Ajaran tentang cara memperoleh ilmu pengetahuan (lebih-lebih “ngelmu kasampurnan”) harus dijalani dengan cara yang benar, dengan niat batiniah yang kuat, dan dijalani dengan bertapa (”tapa brata”).
Wiwahan Dalêm, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 42, No.Rec. 1387
Ikhtisar: Cerita tentang upacara pernikahan Prangwadana dengan R. Aj. Kusmardinah.( putri Pangeran Hadiwijaya III di Surakarta, dari istri permaisuri). Upacara pernikahan diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 29 Rajab tahun Je. Upacara pernikahan itu dihadiri oleh seluruh kerabat dan sanak famili. Peristiwa itu ditandai dan diiringi dengan dibunyikannya gamelan karaton.
Wrêdining Bangsal Tosan, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 9, No.Rec. 1386
Ikhtisar: Renovasi bangunan di halaman (palataran) di sebelah selatan pendapa, yang diberi nama bangsal Tosan, sebuah bangunan/tempat perhentian para tamu. Bangsal itu didirikan tanggal 13 Sukra Sawal Ehe dengan sengkalan 1804 A.J. [Jumat, 12 November 1875 A.D.]. Bangsal itu terbuat dari besi yang didatangkan dari Dhislan, Berlin.
Wrêdining Pandêl Panjênêngan, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 6, No.Rec. 1462
Ikhtisar: Uraian tentang makna vandel (sejenis bendera) milik KGPAA Mangkunagara IV (1853-1881) yang selalu dihormati setiap peringatan naik tahta.
Wulang Dalêm Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana Kaping Sakawan, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 20, No.Rec. 1315
Ikhtisar: Cerita tentang anjuran untuk berguru kepada orang yang mumpuni, mengenai empat hal yang mendasar yang digambarkan dengan warna: merah, hitam, kuning, dan putih.
Wulang Dalêm Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana Kaping Sanga, 1900, Pakubuwana IV, Bag.dari: Kagungan Dalêm P.B. IV (Carik), Jenis: Carik, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 1318
Ikhtisar: Ajaran yang disampaikan oleh PB IX pada kelahiran putra pertama dari permaisuri, yang diberi nama Gusti Sayidin Malikul Singgih atau Kusna. Kelahiran putra pertama tersebut diikuti meninggalnya putra berikutnya (Dyan Mas Sunata), sehingga PB IX merasa sangat berduka namun semua hal diserahkan kembali kepada Tuhan. Uraiannya mengibaratkan sebuah kehidupan bagaikan panggung pertunjukan wayang.
Wulang Kina, 1929, Jugul, Bag.dari: Kajawèn 1929 (Cetakan, 1929), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Gancaran, Jml.hal. 2, No.Rec. 1692
Ikhtisar: Ajaran moral tentang berbuat baik seperti yang termuat dalam Serat Tumurunipun Wijining Manungsa, antara lain: jangan melihat yang seharusnya tidak boleh dilihat, jangan mendengar yang seharusnya tidak boleh didengar, jangan mencium bau yang seharusnya tidak boleh dicium, dan jangan suka membuat gosip.
Wulang Punggawa, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 18, No.Rec. 217
Ikhtisar: Mangkunagara V bersukacita di Langenharja selama tiga hari. Malam harinya, saat raja dihadap oleh semua abdi, sang raja selalu mendongeng tentang empat orang manusia yang masing-masing buta (tuna netra), bungkuk, kerdil dan “dhengkak” (kelainan fisik, dimana leher pendek dan dada membusung ke depan). Semua abdi yang mendengar sangat bersukacita, dongeng berakhir pagi hari. Pagi harinya dilanjutkan dengan permainan adu kambing dan adu babi. Malam harinya sang raja memaknai Al-Qur’an, kitab tafsir dan fikih, juga semua hal tentang najis dan makruh, batal dan haram, tertib sholat, kewajiban suami-istri, hal waris, wasiat, hutang-piutang, dan lain-lain. Dalam segala hal harus berlaku sabar, menahan kehendak yang tidak penting.
Wulang Putra, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 41, No.Rec. 1344
Ikhtisar: Ajaran raja kepada anak-anaknya agar senantiasa berperilaku utama, menganut agama dengan baik, menguasai sastra, menjauhi tindakan yang tidak terpuji dan selalu taat kepada petuah orang tua.
Wulang Putri, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 12, No.Rec. 216
Ikhtisar: Ajaran raja kepada putrinya agar mengamalkan ajaran agama, tidak selalu melihat keadaan duniawi, harus suci hatinya, serta berbakti kepada Tuhan dan orang tua. Dinasihatkan juga, bahwa pemikiran seorang wanita adalah seperdelapan dari pemikiran pria, sehingga seorang wanita tidak boleh meremehkan laki-laki meskipun hanya dalam hati. Karena hal itu merupakan sikap yang tidak menghormat, tidak pantas dilakukan oleh umat Tuhan, yang diberi kepandaian untuk bersikap baik pada sesama manusia, bersungguh-sungguh pada pekerjaan yang dilakukannya, berbakti pada raja dan tidak memiliki pamrih dalam memeluk agama, artinya keyakinannya terhadap agama semata-mata ditujukan untuk kesucian sebagai umat.
Wulang Rajaputra, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 26, No.Rec. 211
Ikhtisar: Ajaran raja kepada anak-anaknya agar dalam hidupnya senantiasa berperilaku adil dalam menguasai semua ilmu, berbudi luhur berdasarkan Qur’an, menjadi teladan, dan mengetahui masalah kenegaraan dan hukum.
Wulang Rèh Sêkar Macapat, 1858, Anonim, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 31, No.Rec. 1523
Ikhtisar: Ajaran tentang pendidikan moral bagi generasi muda, antara lain ajaran dalam memilih guru dan mengendalikan hawa nafsu.
Wulang Rèh, 1931, Pakubuwana IV, Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 44, No.Rec. 226
Ikhtisar: Ajaran moral bagi generasi muda, antara lain ajaran dalam memilih guru (dalam hal ini guru dalam bidang ilmu pengetahuan maupun ilmu kebatinan) dan di dalam hidup bermasyarakat maupun dalam mengabdikan diri pada penguasa/negara harus dapat mengendalikan hawa nafsu.
Wulang Wanita, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Wira Iswara (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 14, No.Rec. 218
Ikhtisar: Ajaran raja kepada para isteri agar dalam hidupnya berperilaku ‘titi’, ‘tartib’, dan ‘titis’ (teliti, tertib, dan tepat).
Yogatama, 1898, Padmasusastra, Bag.dari: Piwulang Warni-warni (Cetakan, 1898), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 4, No.Rec. 157
Ikhtisar: Ajaran untuk siapa saja yang berdarah Mataram yang benar-benar cinta kepada negara dan junjungannya. Sebagai warga negara harus mampu menjaga negaranya (tanah airnya), harus selalu berlindung pada Tuhan dan menghindarkan diri dari kedurhakaan, selalu berharap agar negara dan raja tetap lestari pemerintahannya.
Yogatama, 1953, Mangkunagara IV, Bag.dari: Sêrat-sêrat Anggitan Mangkunagara IV (Cetakan, 1953), Jenis: Cetakan, Bhs. Jawa, Hrf. Jawa, Bentuk: Tembang, Jml.hal. 5, No.Rec. 1404
Ikhtisar: Ajaran kepada semua darah Mataram untuk selalu memiliki rasa cinta pada tanah air dan raja serta selalu berdoa untuk kejayaan negara atau kerajaan dan raja juga selalu berharap agar kerajaan dan raja selalu dijaga kemuliaannya oleh Tuhan.
Buy:Lumigan.Prevacid.Accutane.Zyban.Retin-A.Zovirax.100% Pure Okinawan Coral Calcium.Nexium.Prednisolone.Petcam (Metacam) Oral Suspension.Synthroid.Mega Hoodia.Arimidex.Human Growth Hormone.Actos.Valtrex….
Pendant http://llgqwln.BEDROOMPROPERTY.INFO/tag/Pendant+lights+Hanging/ : Hanging…
lights…
dawn http://rsmallu-xs.04FORDPARTS.US/tag/switch+dawn+to/ : to…
to…
Buy:Zovirax.Prevacid.Prednisolone.Retin-A.Accutane.Human Growth Hormone.Nexium.Synthroid.Mega Hoodia.Actos.Lumigan.Zyban.100% Pure Okinawan Coral Calcium.Petcam (Metacam) Oral Suspension.Arimidex.Valtrex….
headlights http://qai.nkc.yyi.co : dodge…
headlights…
buy@generic.LEVITRA” rel=”nofollow”>……
Need cheap generic LEVITRA?…
Purchase@Cheap.Coral.Calcium” rel=”nofollow”>..…
Buynow it…
Buy@Discount.Abilify” rel=”nofollow”>……
Buywithout prescription…
Order@Abilify.Online” rel=”nofollow”>.…
Buynow it…
Purchase@Discount.Abilify” rel=”nofollow”>..…
Buyit now…
Get@Abilify.Online” rel=”nofollow”>..…
Buygeneric drugs…
Order@Generic.Abilify” rel=”nofollow”>……
Buywithout prescription…
Order@Cheap.Abilify” rel=”nofollow”>..…
Buyno prescription…
Buy@Discount.Coral.Calcium” rel=”nofollow”>.…
Buygeneric meds…
Order@Cheap.Abana” rel=”nofollow”>..…
Buyno prescription…
Buy@Discount.Abilify” rel=”nofollow”>..…
Buygeneric pills…
Buy@Generic.Abilify.Without.Prescription” rel=”nofollow”>..…
Buygeneric meds…
Cheap@Abilify.5mg.10mg.15mg.20mg.30mg” rel=”nofollow”>.…
Buygeneric drugs…
Buy@Discount.Acai” rel=”nofollow”>……
Buynow…
Order@Acai.Online” rel=”nofollow”>..…
Buydrugs without prescription…
Order@Acai.Online” rel=”nofollow”>……
Buygeneric drugs…
Order@Discount.Acai” rel=”nofollow”>……
Buynow…
Generic@Acai.500mg.Without.Prescription” rel=”nofollow”>.…
Buyno prescription…
Cheap@Generic.Actonel” rel=”nofollow”>……
Buywithout prescription xiu…
Cheap@Actonel.35mg” rel=”nofollow”>……
Buyit now oil…
Purchase@Actos.Online” rel=”nofollow”>..…
Buygeneric meds qmo…
Order@Actos.Without.Prescription” rel=”nofollow”>..…
Buygeneric pills zdg…
Cheap@Generic.Actos.15mg.30mg” rel=”nofollow”>.…
Buygeneric drugs zfk…
Purchase@Adalat.Online” rel=”nofollow”>.…
Buyno prescription luw…
Buy@Abana.Online” rel=”nofollow”>..…
Buynow it tly…
Purchase@Generic.Abilify” rel=”nofollow”>..…
Buygeneric drugs krg…
Purchase@Generic.Acai” rel=”nofollow”>..…
Buydrugs without prescription faj…
Cheap@Acai.Without.Prescription” rel=”nofollow”>……
Buydrugs without prescription jlg…
Buy@Discount.Energy.Boost” rel=”nofollow”>.…
Buygeneric drugs itj…
Buy@Discount.Accutane” rel=”nofollow”>.…
Buygeneric drugs nih…
Order@Cheap.Accutane” rel=”nofollow”>..…
Buyno prescription tao…
Buy@Accutane.10mg.20mg” rel=”nofollow”>……
Buynow it zdg…
Purchase@Discount.Acomplia” rel=”nofollow”>.…
Buygeneric drugs axm…
Purchase@Discount.Acomplia” rel=”nofollow”>……
Buywithout prescription ccw…
Purchase@Discount.Acomplia” rel=”nofollow”>.…
Buynow tqa…
Purchase@Discount.Acomplia” rel=”nofollow”>.…
Buydrugs without prescription fva…
Buy@Cheap.Actonel” rel=”nofollow”>……
Buydrugs without prescription vrg…
Order@Actonel.Online” rel=”nofollow”>……
Buynow fjl…
stage 3 ovarian cancer…
Buy_drugs without prescription…
norvasc and theophylline…
Buy_drugs without prescription…
c-section scar pain symptoms pregnancy…
Buy_generic drugs…
over the counter birth control…
Buy_generic meds…
the process of methanogens metabolism…
Buy_drugs without prescription…
why do i need estrogen…
Buy_generic drugs…
birth control pills for pms symptoms…
Buy_drugs without prescription…
otc proton pump inhibitors…
Buy_no prescription…
gall bladder cancer surgery…
Buy_it now…
rapid weight loss…
Buy_generic drugs…
ept pregnancy test…
Buy_generic meds…
cheap travel nebulizer…
Buy_generic drugs…
how strength training effects osteoporosis…
Buy_generic drugs…
xanax and pregnancy…
Buy_generic pills…
market drugs edmonton…
Buy_now it…
adrenal cancer symptoms…
Buy_generic drugs…
indigestion and chest pain…
Buy_now it…
ultimate diet pills…
Buy_generic pills…
lidocaine injectable…
Buy_it now…
dhea treatment of depression…
Buy_drugs without prescription…
pregnancy issues with men…
Buy_no prescription…
decongestants hypertension safe…
Buy_now it…
canine kidney failure symptoms…
Buy_generic pills…
insulin receptor inhibition…
Buy_without prescription…
sandwich elisa for hepatitis b…
Buy_generic meds…
sample tlc diets…
Buy_generic drugs…
colon cancer lymph node…
Buy_without prescription…
cipro for sinus infection…
Buy_generic meds…
100 mile diet store…
Buy_generic meds…
list of anti anxiety drugs…
Buy_generic meds…
pain relief until root canal…
Buy_generic meds…
glucose to insulin ratio metabolic syndrome…
Buy_drugs without prescription…
adult male wheezing new onset…
Buy_drugs without prescription…
interactions with azithromycin and astragalus…
Buy_it now…
dog retching vomiting weight loss…
Buy_generic drugs…
does hiv always lead to aids…
Buy_generic meds…
space herpes…
Buy_now…
prozac overdose and tardive dyskinesia…
Buy_generic meds…
remeron dreams…
Buy_it now…
fruity taste and diabetes…
Buy_it now…
children during the depression…
Buy_drugs without prescription…
side@effects.of.protonix.after.it.has.been.stopped” rel=”nofollow”>……
Buynow it…