Dalam kategori ini Anda dapat membaca 46 topik seputar keluarga, seperti kepemimpinan dalam keluarga, keluarga yang kokoh, mengatur keuangan keluarga, dan sebagainya. (Total Durasi: 23 Jam)<<Lihat Direktori>>
1. Krisis Ekonomi dan Keluarga | |
Kesulitan finansial biasanya merubah gaya hidup kita. Dan dengan adanya uang pun bisa menambah kemesraan dalam hubungan suami istri. Misalnya membelikan hadiah-hadiah kecil dan sebagainya.
Hasil riset tentang penyebab perceraian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ternyata penyebab pertama mengapa orang bercerai saat itu bukanlah perselingkuhan atau hal-hal lain namun masalah ekonomi. Jadi faktor finansial merupakan faktor yang sangat penting sekali dalam berkeluarga, begitu pentingnya sehingga akhirnya dapat mematahkan atau memutuskan tali pernikahan.
Aspek finansial merupakan aspek yang sangat hakiki/integral dalam kehidupan berumah tangga. Dan tanpa disadari uang sebetulnya telah menjadi penyangga kelangsungan hubungan suami-istri. Contohnya rekreasi memerlukan uang, makan keluar dengan teman-teman atau dengan keluarga, anak-anak ulang tahun atau natal memerlukan mainan atau uang. Jadi uang itu sangat-sangat penting dan benar-benar memasuki setiap sendi kehidupan rumah tangga. Uang juga berfungsi sebagai sumbang sih dalam kemesraan hubungan suami-istri.
Dampak negatif krisis keuangan yang perlu diperhatikan:
Kesulitan finansial memaksa kita mengubah gaya hidup.
Melahirkan tekanan baru pada hubungan suami-istri.
Ada hal-hal yang disarankan atau perlu dilakukan dalam menghadapi stres:
Mendengarkan musik, buku yang berjudul Music as Medication, musik adalah obat memaparkan bahwa:
Musik mempunyai dampak yang sangat besar sekali khususnya dalam proses pemulihan dan perilaku kita pada umumnya. Misalnya musik dapat memancing emosi yang kuat, musik yang diperdengarkan dengan tempo yang sedang di pasar swalayan menyebabkan kwantitas belanja sebanyak 80%.
Musik dapat menurunkan tekanan darah tinggi, detak jantung dan pernapasan yang cepat. Maksudnya adalah sewaktu kita mendengarkan musik yang lembut dan tenang ternyata itu bisa membuat jantung kita lebih tenang, tidak berdetak dengan terlalu cepat atau pernapasan yang sedang berlari-lari cepat juga bisa diperlambat dengan suara musik yang tenang.
Jadi singkatnya musik bisa mengurangi persepsi kita akan rasa sakit, ketakutan, stres dan kecemasan. Meski musik tidak dapat menghilangkan problem kita namun ia bisa membantu kita menghadapinya, dan meskipun musik bukan solusi atas kesulitan kita tapi musik dapat menolong kita untuk bersikap lebih tenang dan santai dalam memecahkan masalah, musik tidak dapat menggantikan firman Tuhan namun musik dapat dipakai Tuhan mengkondisikan kita agar siap mendengarkan Firman dan janji-Nya. Sudah tentu kita perlu arif memilih musik yang sesuai, senandung yang tenang akan mengisi kalbu kita dengan kedamaian, sedangkan lantunan yang gembira akan menceriakan jiwa kita.
Tuhan Yesus berkata: "Datanglah kepadaKu, hai kamu yang letih dan berbeban berat, karena Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Ini janji Tuhan. Mazmur 125:1, "Orang-orang yang percaya kepada Tuhan adalah seperti gunung Sion yang tidak goyang, yang tetap untuk selama-lamanya." Kita percaya Tuhan tidak akan membiarkan kita, Dia akan mempedulikan kita, itu janji Tuhan dan Tuhan tidak berbohong.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara TELAGA. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Krisis Ekonomi dalam Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, waktu saya studi dulu sebagai mahasiswa, saya pernah membaca sebuah hasil riset yang memperlihatkan justru penyebab pertama mengapa orang bercerai (ini memang i Amerika) yaitu karena faktor keuangan.
Jadi menarik sekali sebab saya menduga sebelumnya bahwa penyebab pertama orang bercerai misalkan adalah ketidakcocokan atau perselingkuhan, ternyata bukan, penyebab pertama adalah masalah keuangan. Dan gara-gara masalah keuangan rupanya relasi suami-istri menjadi retak dan akhirnya membuat mereka tidak bisa lagi hidup bersama.PG : Seharusnya memang seperti itu, tapi rupanya ada yang memang hidup di luar kemampuan atau ingin hidup di luar penghasilan yang mereka dapatkan atau bisa jadi juga karena adanya pemberhenian hubungan kerja pada tahap tertentu di dalam hidup mereka, sehingga akhirnya mereka mengalami kesulitan keuangan, sudah membeli rumah harus membayar cicilan bulanannya dan sebagainya.
Sudah beli mobil harus membayar dan sekarang tidak ada uang karena diperhentikan kerja, rupanya hal-hal ini semua yang menjadi penyebab mengapa mereka bercerai.PG : Ternyata sangat besar Pak Gunawan, jadi benar-benar bisa kita katakan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penyangga rumah tangga. Dan kalau kita perhatikan baik-baik memang adakalnya ini yang sering kita saksikan yaitu rumah tangga mulai mengalami masalah, mulai sering cekcok karena keuangan makin sulit.
Hal-hal yang tadinya mereka bisa beli, mereka sudah rencanakan tapi akhirnya mereka tidak bisa lakukan atau jalani. Akhirnya pemotongan-pemotongan atau pengurangan-pengurangan yang harus mereka lakukan itu menimbulkan masalah di dalam keluarga mereka.PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi dalam soal krisis ekonomi ini sesungguhnya ada dua faktor besar yang mesti kita perhatikan baik-baik, yang pertama adalah yang tadi Pak Gunawan sudah sebut. Yaitu krisis ekonomi memaksa suami-istri untuk mengubah gaya hidup mereka. Tadinya mereka bisa berpiknik sebulan sekali, sekarang tidak bisa lagi, tadinya seminggu sekali bisa keluar makan dan sebagainya sekarang tidak bisa lagi. Nah, rupanya perubahan gaya hidup itu akhirnya menimbulkan stres dalam keluarga, dan kita mesti ingat juga bahwa perubahan gaya hidup itu sering kali menuntut pemotongan atau penghilangan hal-hal yang bersifat rekreasi, karena yang bersifat hakiki atau yang pokok misalnya makanan, adanya tempat tidur, rumah dan sebagainya itu akan kita coba cukupi dan kita prioritaskan. Yang kita cenderung langsung korbankan atau kita coret dari daftar kita adalah hal-hal yang bersifat rekreasi. Jadi tampaknya itulah salah satu penyebab stres dalam keluarga tatkala mereka mengalami masalah ekonomi, mereka kehilangan kesempatan untuk ber-rekreasi. Mereka tidak bisa lagi menyegarkan jiwa mereka dengan melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan.
PG : Sangat sulit sebab pertama-tama sesuatu yang telah terbiasa dilakukan yang akhirnya menjadi bagian atau menjadi salah satu aktifitas keluarga. Nah, waktu kita tidak bisa lagi melakukanna berarti ada yang terhilang dan karena terbiasa, waktu terhilang kita merasakan ada yang tidak nyaman dalam hidup kita ini.
Hari Sabtu malam biasanya kita pergi misalkan makan, menonton film, sekarang tidak bisa lagi, kita akhirnya terpaksa hanya diam di rumah atau jalan-jalan di sekitar rumah kita, masalahnya adalah kita tidak terbiasa dengan jalan-jalan atau hanya diam di rumah. Sebab ini biasanya hari atau waktu bagi kita untuk santai, nah berarti perubahan gaya hidup itu sudah menimbulkan ketidaknyamanan, sudah menimbulkan ketidakseimbangan lagi. Dulu tekanan yang masuk berapa banyak, tapi dikeluarkannya berapa banyak karena ada aspek rekreasi itu. Sekarang tekanan yang masuk sama bahkan bertambah kalau adanya kesulitan keuangan namun penyaluran atau pengeluarannya sedikit, karena kita tidak bisa lagi melakukan rekreasi atau hal-hal yang biasa kita lakukan untuk mengendorkan saraf-saraf kita itu.PG : Biasanya demikian sebab bukankah semakin bertambahnya tekanan hidup semakin kita juga membutuhkan rekreasi untuk bisa menyegarkan jiwa kita itu, nah sekarang tidak bisa lagi kita lakuka itu.
Makanya hasil akhirnya adalah terjadilah ketidakseimbangan dan ini yang akhirnya menimbulkan stres dalam keluarga.PG : Yang berikutnya adalah ini Pak Gunawan, stres dalam rumah tangga, tadi saya sudah singgung perubahan gaya hidup menimbulkan stres. Nah, sekarang apa dampak stres ini pada keluarga. Stre akan langsung menekan relasi suami-istri, sebab biasanya relasi suami-istri itu setelah melewati masa tertentu mereka mulai menemukan titik equilibrium.
Pada awal pernikahan mereka harus mencocokkan diri, menyesuaikan dengan gaya hidup yang berbeda, akhirnya setelah beberapa tahun mulailah mereka menemukan celahnya bisa hidup bersama dalam keadaan yang relatif damai. Sekarang masalahnya adalah timbul stres karena masalah keuangan. Berarti apa, berarti mereka dituntut untuk bisa tanggap atau menghadapi tekanan yang baru ini. Kadang-kadang pasangan suami-istri tidak siap untuk menghadapi tekanan yang baru ini akhirnya tekanan keuangan muncul, mereka tidak siap menghadapinya, dua-dua mudah marah, dua-dua pendek sabar, dua-dua menyalahkan, nah apalagi kalau memang keluarga ini sudah mulai bermasalah sejak awalnya, tekanan ekonomi makin memperburuk relasi mereka. Atau memang di masa lampau seseorang misalkan si suami atau si istri pernah mengambil keputusan yang salah dalam soal keuangan. Dalam keadaan stres karena krisis ekonomi, mudah sekali pihak yang merasa dirugikan meledak, menyalahkan pihak yang dianggap merugikan. "Kalau saja kamu dulu tidak memutuskan investasi ini kita pasti masih mempunyai cadangan uang, kalau dulu kamu tidak membeli ini kita pasti masih ada uang, kalau kamu tidak memutuskan berhenti dulu dan memulai bisnis yang baru kamu pasti tidak mengalami ini." Nah, akhirnya muncullah sikap-sikap menyalahkan, karena apa, kita stres. Dalam keadaan stres kita ingin meluapkan kemarahan kita dan salah satu obyek kemarahan yang paling mudah kita temukan adalah kesalahan pasangan.PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah sebagai pasangan muda memang dari awal pernikahan mereka harus mempunyai kesamaan nilai-nilai dalam soal uang, dalam soal harta. Nah, ini pnting sekali karena kalau ada krisis ekonomi, perbedaan nilai (values) akan sangat mempengaruhi berapa kuat atau bertahannya mereka dalam menghadapi krisis ekonomi itu.
Saya berikan contoh, misalkan si suami atau si istri mempunyai nilai moral yang sangat mementingkan uang, jadi benar-benar melihat uang itu sebagai status di mata masyarakat dan di matanya sendiri. Tanpa uang mereka merasa dirinya itu tidak berharga, jadi harus ada uang dan sebagainya. Dan itu terkait juga dengan pekerjaannya, pekerjaannya adalah segala-galanya bagi dia, menomorsatukan pekerjaan di atas apapun. Kalau seseorang mempunyai nilai hidup seperti ini, kalau mengalami krisis ekonomi dia yang paling mudah hancur. Kalau pasangan yang satunya tidak mempunyai atau mempunyai nilai yang berbeda dari yang satunya, sudah tentu mereka akan saling menyalahkan, akan saling menyerang. Nah, waktu krisis ekonomi terjadi perbedaan nilai ini akan makin meledak, makin membesar. Karena yang sangat bergantung pada nilai-nilai moneter, pada nilai-nilai keuangan dia akan terpukul paling hebat. Dia akan ambruk, tidak mempunyai harga diri, tidak mau keluar, tidak mau bergaul dengan siapapun, nah yang satunya karena lebih bebas dari uang merasa tidak apa-apa kita tetap ke gereja, bertemu orang, tidak usah merasa malu ditanya orang. Nah yang satu tetap memaksa keluar, yang satu memaksa masuk ke dalam, mereka akan lebih mudah terlibat dalam pertengkaran. Maka tadi saya katakan penting sekali kita menyelaraskan nilai dalam hidup kita berdua. Tapi langkah yang kedua juga sangat penting yaitu jangan kita meletakkan nilai hidup pada keberadaan uang, pada harta benda, pada status yang kita peroleh dari pekerjaan kita. Dari awal biasakan diri untuk bisa terlepas dari hal-hal seperti ini, karena apa, karena kita mesti ingat bahwa benda-benda ini, status-status ini tidak selalu ada di dalam hidup kita. Ini adalah hak Tuhan untuk memberi, adalah hak Tuhan untuk kadang-kadang mengambilnya kembali.PG : Itu yang sering terjadi Pak Gunawan, dan saya bisa memahaminya. Sesuatu yang sudah kita geluti tahun demi tahun kalau sampai kita harus lepaskan itu akan sangat merobek diri kita, karen kita sudah lekat, kita sudah menyatu, waktu diambil tidak bisa tidak kita akan kehilangan bagian dari diri kita itu dan ini memang sangat berat.
Itu sebabnya ada sebagian orang yang sewaktu kehilangan pekerjaan, tidak mau bertemu orang, tidak merasa ada kepercayaan diri untuk menghadapi temannya atau sanak saudaranya dan lebih mau mengurung diri di rumah atau di kamarnya. Bahkan ada yang dalam keadaan seperti itu misalkan itu suami tidak terlalu mau berhadapan dengan istrinya. Memang secara umum, ini adalah pengamatan yang dilontarkan oleh seorang penulis Kristen yang bernama C.S. Lewis dia berkata bahwa dalam menghadapi stres pria cenderung berdiam diri, dalam menghadapi stres wanita cenderung membuka diri alias berbicara. Jadi ini saja sudah bisa menimbulkan problem, yang satu ingin berdiam diri, yang satu ingin berbicara membicarakan masalah ini. Apalagi kalau ada lagi masalah-masalah lain yaitu perbedaan-perbedaan nilai-nilai hidup wah itu makin memperkeruh masalah.PG : Ada Pak Gunawan, nah ini memang berkaitan juga dengan relasi kita dengan anak-anak. Karena stres ekonomi tidak bisa tidak akan mempengaruhi kehidupan anak-anak dan sering kali orang tuabisa bertengkar gara-gara soal anak.
Waktu uang berkelimpahan, anak-anak membeli apa kita masih bisa mengaturnya dengan relatif mudah, mudah kenapa, sebab kita bisa berkata ya nanti kita belikan, ya kamu perlu ini nanti kami akan sediakan untukmu. Tapi waktu uang menjadi masalah, kita menjadi tidak bisa membelikan yang anak butuhkan sedangkan anak membutuhkannya. Nah, adakalanya kita panik, dalam keadaan panik kita marah, kita akhirnya menyalahkan pasangan kita. Atau kita menyalahkan anak kita "Kamu minta ini lagi, kamu minta ini lagi, kamu tidak tahu kondisi kami," nah masalahnya anak-anak memang perlu. Misalkan untuk membeli baju seragam, ada acara di sekolah di mana mereka diwajibkan ikut dan harus membayar, nah hal seperti itu susah dihindari. Nah, orang tua memarahi si anak, si anak tidak bisa berbuat apa-apa juga di sekolah. Kalau tidak ikut dia akan kena sanksi, kalau dia beritahukan terus-terang kepada guru, dia akan malu. Mungkin orang tua memaksa anak untuk berkata kamu ceritakan kondisi orang tuamu, nah dia malu dia akan merasa tertekan. Akhirnya apa yang terjadi anak bisa bermasalah, anak akhirnya malas ke sekolah, anak akhirnya tidak mau berbicara dengan orang tua, orang tua makin frustrasi melihat anaknya kok begini, makin suka marah lagi kepada anak-anaknya dan akhirnya rumah tangga tambah kocar-kacir. Maka untuk mengantisipasi dari awal kita mesti sering-sering berbicara kepada anak, juga dalam soal uang. Mengajarkan nilai-nilai yang benar tentang uang. Memang uang itu bukan sesuatu yang harus kita genggam erat-erat, bukan segala-galanya dalam hidup tapi kita mesti mengajar anak menghargai uang, kita harus mengajar anak memakai uang dan menyimpan uang. Mempunyai nilai yang benar dalam penentuan beli atau tidak barang yang dikehendaki dan sebagainya. Dan juga setelah semua ini kita lakukan, pada waktu krisis berlangsung kita mesti mempunyai keterbukaan dengan anak, kita mesti katakan dengan baik-baik bahwa duduk masalahnya bukannya kami tidak mau, bukannya kami tidak peduli, kami memahami kondisimu yang juga susah, kami tahu kamu juga akan sulit berkata jujur kepada gurumu tapi inilah kondisi kami, kami harus memberitahukan kepada kamu apa adanya. Misalkan juga kita mengajak anak untuk sering-sering bersama dengan kita berdoa, misalkan doakan papa yang tidak mempunyai pekerjaan sekarang ini, jadi kita libatkan anak dalam penanggulangan krisis ini. Dalam keadaan stres, mudah sekali kita malah mencerai-beraikan keluarga kita karena sikap-sikap kita yang makin menajam, meruncing, nah kita mesti menjaga duri-duri jangan sampai kita menusuk-nusuk orang di sekitar kita. Dengan anak-anak juga seperti itu, kita libatkan mereka dalam proses penanggulangannya.PG : Tepat sekali Pak Gunawan, nah ada hal yang relatif simpel yang bisa dilakukan dan tidak terlalu memakan biaya besar. Yaitu memanfaatkan musik, kalau tidak bisa membeli kaset dengarkan rdio, banyak stasiun yang menawarkan lagu-lagu kesukaan kita, kita dengarkan.
Nah, ada sebuah buku Pak Gunawan yang berjudul Music as Medication, musik sebagai obat. Dalam buku ini diperlihatkan betapa berkhasiatnya musik dalam kesejahteraan jiwa manusia. Kalau kita menyenangi musik dan musik itu bisa berbicara kepada kita wah......kita adalah orang yang diuntungkan oleh musik. Musik mempengaruhi suasana hati Pak Gunawan, kita mungkin belum bisa menjawab persoalan kita, kita mungkin belum bisa mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan, kita mungkin masih belum mempunyai uang untuk membayar uang sewa rumah kita, nah meskipun masalah belum bisa terpecahkan tapi suasana hati kita bisa kita ubah atau bisa kita ringankan dengan cara mendengarkan musik, yang bisa menghibur dan meringankan perasaan kita akhirnya suasana hati kita lebih ringan. Nah, sekali lagi saya tekankan memang masalah belum selesai tapi yang penting detik ini, saat ini untuk mungkin beberapa jam suasana hati kita tidaklah seberat sebelumnya. Apa dampaknya, o.....sangat besar terhadap anak, terhadap suami, terhadap istri, terhadap orang lain, kalau suasana hati kita ringan berarti kita bisa bersikap lebih baik kepada mereka. Sehingga kita bisa menanggulangi stres ini bersama-sama dengan lebih baik pula.PG : Betul sekali, dan itulah yang dibutuhkan oleh jiwa kita yakni rekreasi, penyegaran. Kita tidak bisa mendapatkannya melalui aktifitas rekreasi yang biasanya dulu kita lakukan, sekarang kta mendapatkannya melalui musik.
Relatif sederhana, sangat murah tetapi sangat mujarab.PG : Ini juga sangat baik Pak Gunawan, jadi kita bisa berjalan bersama, ngobrol bersama, itu relatif sudah bisa mengurangi ketegangan kita dengan kita berjalan, menggerakkan tubuh, itu sudahbisa mengendorkan saraf-saraf kita yang tegang.
Nah, yang paling penting adalah jangan saling menyalahkan itu pencobaan yang harus kita lawan, godaannya besar sekali. Dalam keadaan krisis apalagi krisis ekonomi kita menyalahkan pasangan kita atau anak kita.PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah firman Tuhan yang kita tahu diucapkan oleh Tuhan Yesus. "Datanglah kepadaKu, hai kamu yang letih dan berbeban berat, karena Aku akan memberkan kelegaan kepadamu."
Ini janji Tuhan Yesus, Dia akan memberikan kelegaan. Terus kemudian di Perjanjian Lama, Mazmur 125:1, "Orang-orang yang percaya kepada Tuhan adalah seperti gunung Sion yang tidak goyang, yang tetap untuk selama-lamanya. Waktu Daud lari dari Saul firman Tuhan mencatat, Daud menguatkan dirinya di dalam Tuhan. Dalam kesulitan-kesulitan inilah yang dilakukan oleh orang-orang percaya, mereka datang kembali dan datang kembali kepada Tuhan. Kita percaya Tuhan tidak akan membiarkan kita, Dia akan mempedulikan kita, itu janji Tuhan dan Tuhan tidak berbohong.GS : Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan ini. Tentunya perbincangan ini akan sangat berguna baik bagi mereka yang tidak sedang mengalami krisis ekonomi, mudah-mudahan juga tidak terjadi tetapi kalau pun suatu saat terjadi saya rasa para pendengar kita jauh lebih siap menghadapi itu. Dan bagi para pendengar yang saat-saat ini sedang dilanda krisis ekonomi di dalam kehidupan keluarga, kita juga ikut berdoa agar mereka bisa cepat dipulihkan oleh Tuhan dan bisa cepat keluar dari situasi yang sulit ini. Sekali lagi banyak terima kasih Pak Paul dan juga terima kasih untuk para pendengar sekalian Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang krisis ekonomi dalam keluarga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagaindo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs atau website kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
2. Pria Paro Baya di Tengah Keluarga | |
Di tengah keluarga pria paro baya juga berada di persimpangan jalan dalam hubungan dengan anak dan istrinya. Hal ini bisa jadi hubungannya bisa dekat tapi bisa bertambah renggang.
Adakalanya pergumulan pria paro-baya merupakan suatu pergumulan internal yang berat yang tidak mudah untuk diatasi. Sudah tentu pergumulan pribadi seseorang membawa dampak dalam relasinya dengan keluarga. Di antaranya adalah menimbulkan gejolak dalam keluarganya. Karena misalnya:
Kecenderungan pria paro-baya untuk memilih jalur karier yang berbeda dengan yang telah digelutinya selama ini.
Mempunyai waktu yang sedikit untuk keluarga.
Kalau karier mereka menanjak dengan normal dan baik, pada usia paro-bayalah mereka menjadi pimpinan. Dan pimpinan berarti tanggung jawab juga makin besar pada pundak mereka, akibatnya memang kalau tidak hati-hati mereka ini akan meninggalkan waktu sedikit sekali untuk keluarga.
Pada usia paro-baya inilah pria berada di persimpangan jalan dalam hubungannya dengan anak-anak atau istrinya yaitu dalam pengertian hubungan mereka bisa bertambah dekat tapi bisa bertambah renggang, karena anak-anak pun sudah mulai mandiri dan mereka pun makin bertambah sibuk di luar, energi mental mereka juga makin tersedot di luar akhirnya yang di dalam itu tidak kebagian, dan akibatnya hubungan mereka mudah sekali retak.
Peranan istri untuk bisa menolong adalah :
Keinginan atau kerinduan pria paro-baya adalah untuk tampil prima secara seksual, tetap jantan dan sebagainya. Dalam hal ini istri bisa terus mempercantik diri atau dengan kata lain menjaga kecantikan dirinya. Menjaga penampilan fisik mereka, menjaga tubuhnya dengan lebih baik. Usia paro-baya memang usia yang rawan, di mana suami tiba-tiba kepercayaan dirinya mulai berkembang, makin mantap, di tempat kerja mendapatkan kehormatan, dilihat sebagai sosok pemimpin, mempunyai wibawa. Mudah sekali terkecoh dengan lawan jenis yang lebih muda darinya, sedangkan di rumah istri memasuki masa menopause di mana kurang begitu berminat dengan hal-hal yang bersifat seksual, dengan hal-hal yang bersifat fisik.
Hal yang perlu dilakukan adalah pertama seorang pria dan wanita tidak bisa tidak harus mengembalikan perspektif hidup itu kepada perspektif rohani, perspektif Tuhan, untuk apa dia hidup. Seorang pria paro-baya yang hidup dalam Tuhan, sungguh-sungguh mengerti makna hidup dan kenapa dia hidup sebetulnya tidak akan terlalu banyak tergoncang. Kedua makin menyadari bahwa waktu ini tidak panjang lagi, seperti yang diungkapkan oleh seorang pendeta yang berusia di atas 50 tahun, beliau berkata: "Saya ini makin hari makin menyadari bahwa sebetulnya saya hanya bisa menyelesaikan sedikit saja dalam hidup ini, tidak terlalu banyak hal yang saya bisa kerjakan."
Dalam hidup ini kita akan banyak mengalami perbedaan dan ketidaksesuaian dengan pasangan kita dan sebagainya, karena bentukan pengaruh lingkungan dan sebagainya. Tapi Tuhan meminta satu hal tetaplah hidup benar di hadapan Tuhan, orang yang hidup benar di hadapan Tuhan dan mau taat kepada Tuhan akan menikmati damai sejahtera.
Meskipun misalkan kariernya meninggi tetap rendah hati, meskipun tergoda oleh wanita lain dia tetap setia karena takut akan Tuhan. Demikian juga dengan si istri misalnya memasuki masa menopause tidak mau melayani suami tapi ingat tanggung jawabnya adalah melayani suami, dia layani suaminya dan sebagainya. Nah kalau orang tetap peka terhadap pimpinan Tuhan dia akan hidup benar, kalau dia mau coba hidup benar dia akan memetik buahnya yaitu damai, itulah yang Tuhan janjikan.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso kali ini bersama Ibu Melany sekretaris dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pengaruh atau masalah-masalah yang dihadapi oleh pria paro-baya khususnya dalam hubungannya di dalam keluarga. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya teringat akan suatu buku yang sangat populer yang berjudul Krisis Pria Setengah Baya. Buku ini ditulis oleh Pdt. Jim Conway, dan akhirnya beliau serta istrinya yaitu Sally Conway yangsekarang sudah almarhumah, banyak sekali membawa berkat bagi para pria dan wanita paro-baya.
Dalam buku itu Pdt. Jim Conway menuliskan pengalaman pribadinya memasuki usia paro-baya, di mana beliau akhirnya mengalami pergolakan hidup yang cukup berat. Salah satunya adalah yang saya ingat beliau ingin meninggalkan tugas kependetaannya, jadi itu adalah salah satu reaksi yang sangat-sangat ekstrim. Jadi kita bisa melihat bahwa adakalanya pergumulan pria paro-baya merupakan suatu pergumulan internal yang berat, yang tidak mudah untuk diatasi. Nah, sudah tentu pergumulan pribadi seseorang membawa dampak dalam relasinya dengan keluarganya itu. Contoh yang paling gampang, pada kali terakhir kita membicarakan tentang karier pria paro-baya, bahwa para pria paro-baya ini mempunyai kecenderungan untuk memilih jalur karier yang berbeda dengan yang telah digelutinya selama ini. Kenapa itu terjadi, karena dalam dirinya ada keinginan tersembunyi untuk melakukan sesuatu yang sejak muda diimpikannya tetapi tak pernah terwujud, akhirnya dia ingin melakukan pada usia paro-baya. Mungkin saat itu dia menilai bahwa keuangan saya sekarang sudah lumayan cukup, sehingga saya bisa pindah karier, misalnya memulai usaha sendiri tidak mau bekerja pada orang lain. Sudah tentu aspek ini saja bisa menimbulkan gejolak dalam keluarganya, saya bisa bayangkan reaksi si istri yang mendengar pernyataan atau isi hati si suami yang mau keluar dari pekerjaannya. Sedangkan mungkin saja si suami itu telah meniti kariernya selama 25 tahun dan kepindahannya ke karier yang baru sama sekali tidak menjanjikan apa-apa, nah hal ini sudah tentu bisa menimbulkan gejolak dalam hubungan rumah tangganya Pak Gunawan.PG : Bisa, salah satunya adalah karena pada usia paro-baya ini pria tidak lagi sekuat dulu dam memang terjadi perubahan-perubahan tertentu dalam kariernya yaitu pada masa yang lebih muda penekaan adalah pada kelelahan energi.
Namun pada usia paro-baya kebanyakan pria yang sudah meniti jenjang yang lebih tinggi dalam kariernya, harus menguras banyak energi mental. Secara fisik pria paro-baya tidak merasa sekuat usia-usia sebelumnya dan secara mental biasanya pikiran mereka lebih terkuras, sebab kalau karier mereka menanjak dengan normal dan baik, pada usia paro-bayalah mereka menjadi pimpinan. Dan pimpinan berarti mempunyai tanggung jawab yang makin besar pada pundak mereka, akibatnya kalau tidak hati-hati mereka ini akan memberikan sedikit sekali waktu untuk keluarga mereka, sebab tanggung jawab yang begitu besar sudah menyerap begitu banyak energi, mental dari diri mereka, sehingga tatkala mereka pulang tidak ada lagi atau sedikit sekali yang mereka bisa berikan. Maka pada usia paro-baya ini pria berada di persimpangan jalan pula dalam hubungannya dengan anak-anak atau istrinya, dalam pengertian hubungan mereka bisa bertambah dekat tapi bisa bertambah renggang, karena apa? Anak-anak sudah mulai mandiri dan mereka pun makin bertambah sibuk di luar, energi mental mereka makin tersedot juga di luar akhirnya yang di dalam itu tidak kebagian, akhirnya hubungan mereka mudah sekali retak.PG : Saya teringat akan satu ayat yang diambil dari kitab
PG : Betul, ini memang membuat masalah lebih rumit Pak Gunawan, sebab pada usia sekitar 45-55 (bukan berarti 10 tahun wanita mengalami ini) tapi di antara usia sekitar 45-55, wanita itu mulaila memasuki masa menopause.
Nah pada masa ini seringkali terjadi gangguan-gangguan yang bersifat hormonal namun pada akhirnya mempengaruhi banyak hal, baik misalnya segi emosi, mudah tersinggung, mudah marah, emosi mudah naik turun atau secara fisik juga yaitu merasa panas, dia tidak nyaman dan juga secara seksual. Nah adakalanya yang terjadi pada masa menopause ini ketertarikan pada hal-hal seksual menurun bukannya sama atau menanjak malah menurun, karena sudah banyak gangguan-gangguan internal dan fisik yang dialami oleh si wanita. Sehingga gairah seksual itu benar-benar merosot jauh, nah akhirnya wanita memang bisa saja tidak terlalu mau untuk berhubungan, tidak terlalu mau untuk disentuh oleh suaminya dan sebagainya. Maka memang sungguh-sungguh usia paro-baya usia yang rawan Pak Gun, di sini kita bisa melihat kerawanannya, di mana si suami tiba-tiba kepercayaan dirinya mulai berkembang, makin mantap, di tempat kerja mendapatkan kehormatan. Dulu dia adalah bawahan meminta petunjuk dari atasan sekarang dialah yang atasan dan dimintai petunjuk oleh bawahan, dia dilihat sebagai sosok pemimpin, mempunyai wibawa, ketertarikan tertentu juga. Nah mudah sekali akhirnya memang terkecoh oleh lawan jenis yang lebih muda darinya, sedangkan di rumah istri kurang begitu berminat dengan hal-hal yang bersifat seksual, dengan hal-hal yang bersifat fisik dan sebagainya. Jadi seolah-olah pada titik paro-baya ini pria itu bertumbuh ke kanan, wanita bertumbuh ke kiri Pak Gun dan Ibu Melany di manakah mereka bertemunya begitu.PG : Betul, saya ini menggambarkan pertumbuhan pria dan wanita seperti huruf Y di mana ada satu tiang kemudian bercabang dua, satu ke kiri satu ke kanan. Seolah-olah begini pria dan wanita sampi usia sebelum memasuki usia dewasa dapat dikatakan bertumbuhnya sejajar, hanya masalah lebih cepat yang mana.
Secara emosional, biasanya wanita yang lebih cepat tapi bertumbuhnya sejajar, satu tiang. Memasuki titik usia dewasa yaitu usia dewasa sekitar usia hampir 30 tahun di mana anak sudah mulai ada dan sebagainya, pria dan wanita mulai bercabang, bertumbuhnya melalui cabang yang justru berlawanan arah. Karena yang di rumah yaitu istri itu mulai memusatkan perhatiannya pada anak, pada hal-hal yang bersifat domestik, suami lebih memusatkan perhatian pada hal-hal yang di luar dan di tempat kerja, pergaulan pun makin berubah yang satu makin bergaul dengan kaum profesional, yang satu makin bergaul dengan orang-orang yang berkecimpung dalam rumah tangga, jadi tiba-tiba pertumbuhan mereka itu terpecah, bercabang. Nah, kemudian memasuki usia paro-baya bercabang lagi terus bercabangnya ini berkembang/bertumbuh. Si suami makin mantap makin menawan dan sebagainya, si istri pada masa menopause menjauhi diri dari hal-hal yang bersifat seksual, cabang itu seolah-olah makin jauh dan akan ditambah lagi pada masa tua. Pada masa tua, pada usia sekitar misalnya 65 ke atas 70 tahun dan sebagainya, pada umumnya pria mulai mengurung diri ke dalam, masuk ke rumah dan sebagainya malas pergi ke luar, malas pergi jalan-jalan ke mana-mana. Tiba-tiba wanita mulai repot, makanya kita melihat di gereja komisi wanita hidup, tegar bertumbuh terus, komisi pria tidak ada. Nah, seolah-olah yang wanita ini pada usia tua senang pergi ke luar besuk, piknik dan sebagainya pria tidak mau, umur 70 tahun maunya di depan televisi, membaca koran jadi itulah yang saya maksud dengan tiang kemudian bercabang seperti huruf Y itu.PG : Betul sekali Pak Gunawan.
PG : Anak-anak pada saat ini biasanya mempunyai sikap, karena sekarang kami sudah lepas dari orang tua maka urusan orang tua adalah urusan mereka. Pada masa sebelumnya jikalau ada ketidakcocoka antara orang tua, anak masih ikut campur, masih ingin mendamaikan/menengahi dan sebagainya.
Tapi pada umumnya tatkala anak-anak sudah mulai sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing mereka juga akhirnya lebih melepaskan tekanan untuk ikut campur di dalam urusan orang tua mereka. Jadi mereka biasanya berperan sebagai pendengar, mama cerita didengarkan, papa cerita didengarkan ya sudah. Tapi akhirnya mereka berkata ya sudah terserah orang tua. Nah, makanya kalau hubungan orang tua tidak harmonis pada usia paro-baya ini memang akan terjadi suasana yang tidak enak di rumah. Karena apa, tidak ada lagi anak mereka tidak lagi bisa mengalihkan perhatian pada anak, akhirnya mereka harus berhadapan dengan diri mereka masing-masing, hal-hal yang mereka tidak sukai sekarang di depan mata mereka dan tidak ada tempat untuk mengalihkannya, kecuali kerja atau kegiatan di luar. Maka kita bisa menyadari dan melihat bahwa akhirnya ada para suami dan istri paro-baya yang tinggal serumah tapi sepertinya rumah itu hotel. Dari pagi sampai malam atau sore si suami pergi ke mana, si istri juga pergi ke mana, malam pulang dua-dua sudah cape tinggal makan malam dan tidur.PG : Kadang kalanya itu betul sekali, saya memang akui itu sering terjadi.
PG : Akhirnya memang seorang pria tidak bisa tidak dan wanita juga sama harus mengembalikan perspektif hidup itu kepada perspektif rohani, perspektif Tuhan, untuk apa dia hidup, maka seorang pra paro-baya yang hidup dalam Tuhan sungguh-sungguh mengerti makna hidup, dan kenapa dia hidup, sebetulnya tidak akan terlalu banyak tergoncang.
Tadi saya sebutkan pengakuan Pdt. Jim Conway, memang dia mengalami goncangan tapi itu tidak membuat keluarganya mengalami apa-apa, dia hanya membagikan pengalamannya yang memang dia alami, tapi itu akhirnya tantangan yang dia bisa kalahkan.PG : Betul, saya teringat percakapan saya dengan seorang pendeta Pak Gunawan, pendeta ini lebih senior dari saya dan dia membagikan tentang pergumulannya, dia pun sudah berusia di atas 50 tahun Nah, beliau berkata: "Saya ini makin hari makin menyadari bahwa sebetulnya saya hanya bisa menyelesaikan sedikit saja dalam hidup ini, tidak terlalu banyak hal yang saya bisa kerjakan."
Nah, ini saya kira adalah suatu kematangan, jadi orang yang sungguh-sungguh dalam Tuhan akan memperoleh perspektif hidup yang seperti ini. Pada masa muda meggebu-gebu melihat hidup itu penuh dengan proyek, banyak hal yang harus dikerjakan baik untuk keluarga, untuk pribadi dan untuk Tuhan. Namun memasuki usia paro-baya dengan kesadaran tubuh tidak terlalu sehat, usia di depan tidak terlalu panjang lagi, mereka bukannya putus asa atau depresi tapi mereka justru lebih terfokus, menyadari, ya memang hal B, hal C yang D bukanlah tugas saya, bukanlah bagian saya, bukanlah porsi saya. rupanya porsi saya dari Tuhan adalah mengerjakan yang E ini, ya sudah saya akan fokuskan mengerjakan yang E ini saja, nah itulah orang yang memang matang Pak Gunawan.PG : Kalau sampai berpikir mereka adalah teman itu masih baik sebetulnya Ibu Melany, sebab kalau tidak dijaga baik-baik justru bukan teman lagi, ya mereka serumah, ya mereka sekamar, tapi sebetlnya perasaan tidak sukanya kuat, kalau hubungan mereka itu tidak harmonis.
Kalau hubungan mereka harmonis sebetulnya justru usia paro-baya itu membuat mereka tambah mencintai satu sama lain, sebab pada usia itulah tiba-tiba seperti tadi saya sebut mereka menyadari keterbatasan mereka. Tubuh mereka makin melemah, fisik mereka pun tidak sekuat dulu, sakit mulai muncul, akhirnya yang muncul di dalam hati terhadap pasangannya adalah belas kasihan dan ketergantungan kepada pasangan makin kuat. Jadi kalau hubungannya kuat, sehat, harmonis pada masa sebelumnya, usia paro-baya justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk lebih mesra, untuk lebih kuat karena tiba-tiba mereka memasuki dimensi yang baru dalam hidup ini di mana sebelumnya mereka memang bergantung satu sama lain tapi dalam hal-hal yang berbeda dalam hal keuangan misalnya, dalam hal memelihara anak dan sebagainya. Tapi sekarang mereka bergantung untuk hal-hal yang lebih pribadi, bahwa saya sekarang ini butuh seseorang untuk merawat saya karena saya mulai sakit, saya mulai sadar saya terbatas dan sebagainya. Nah, itu sebetulnya merupakan masa yang indah Bu Melany.PG : Kangennya sebetulnya bukan kangen yang terlalu aneh dalam hal ini, dalam kasus yang tadi Ibu sebut itu. Kangen dalam pengertian karena kehilangan seseorang di rumah, tapi belum tentu kange itu kangen menginginkan seseorang yang dicintainya, yang disenanginya lagi, sebab rupanya hubungan mereka tidak begitu baik.
Nah, tadi Ibu berkata hal-hal kecil ribut, saya duga sudah mempunyai problem sejak dulu tapi mungkin karena adanya anak dan sebagainya akhirnya terhindar, nah sekarang anak-anak sudah besar muncul kembali masalah-masalah itu. Nah, masalah kecil menjadi bahan pertengkaran, sebetulnya yang terjadi adalah perspektif mereka, perbedaan mereka belum pernah dengan tuntas disesuaikan/dibereskan sehingga akhirnya pola pandang yang berbeda itu membuat melihat masalah kecil menjadi begitu berbeda.PG : Saya mau mengutip lagi firman Tuhan ini Pak Gunawan dari
GS : Berarti pasangan itu akan bisa melalui masa-masa krisis hanya bersama-sama dengan Tuhan. Jadi terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan demikianlah tadi para pendengar kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga khususnya masalah-masalah krisis setengah baya pengaruhnya di dalam keluarga, di dalam hubungan suami-istri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan banyak terima kasih untuk tanggapan berupa surat-surat yang sudah sampai pada alamat tersebut. Namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda kami masih sangat menantikannya. Dan dari studio kami mengucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
3. Sumber-Sumber Kemarahan dalam Keluarga | |
Dengan mengetahui sumber-sumber kemarahan kita akan lebih mudah bagaimana mengatasi kemarahan tersebut. Dan sumber-sumber ini dibagi dalam tiga kelompok yang akan dibahas dalam topik ini.
Kita ini sebenarnya cenderung mudah marah di rumah daripada di luar sebetulnya. Alasannya adalah :
Di rumah kita harus berhadapan dekat dengan orang-orang yang ada di rumah kita, waktu kita berhadapan dengan dekat, orang-orang yang paling dekat dengan kita juga adalah orang yang paling mudah memancing kemarahan kita.
Rumah tangga kita sekarang sebetulnya sedikit banyak merupakan pengulangan dari kehidupan kita sewaktu masih kecil. Jadi misalkan kalau kita ini tidak suka dengan sikap papa terhadap mama yang seolah-olah mengejek atau merendahkan mama, akhirnya kita interpretasikan bahwa itulah yang dilakukan oleh pasangan kita, oleh istri kita.
Jadi itu dua faktor yang cenderung membuat kita mudah bereaksi di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
Cara mengatasi kemarahan kita di dalam rumah, yang pertama-tama yang perlu dilakukan adalah kita lihat atau kita kenali dulu sumber-sumbernya baru kita usahakan mengatasinya. Kita membagi kemarahan antara suami-istri, orangtua terhadap anak, dan anak terhadap orangtua.
Sumber-sumber kemarahan antara suami dan istri, penyebab umum yang membuat kita marah biasanya adalah:
Kita tidak suka hal yang sama diulang-ulang. Contoh: hal menaruh baju atau hal menyiapkan makanan.
Kalau kita menyaksikan sifat suami atau istri yang tak kita sukai dan ini bisa jadi kita sudah sadari sebelum kita menikah atau tidak kita sadari.
Sumber-sumber kemarahan antara orangtua dan anak, yang paling umum adalah:
Orangtua harus mengakui atau melihat bahwa si anak mewarisi kelemahannya. Yaitu sifat anak persis dengan sifat mereka yang mereka anggap sebagai kelemahan. Misalnya: keras kepala, susah tegas dsb.
Tuntutan anak yang selalu untuk bisa memebuhi kebutuhan atau keinginan mereka.
Hal yang kita lakukan untuk mengatasi hal ini. Terutama kalau masalah itu antara suami dan istri. Tidak bisa tidak harus ada pengkomunikasian bahwa misalkan dalam hal yang kita minta jangan lakukan, terus lakukan, kita harus ngomong dengan tegas.
Kita menawarkan atau memberikan jalan keluar supaya dia tidak lalai dan mengulang lagi perbuatan yang sama.
Yang menyangkut sifat juga sama.
Selama kita hidup dan berusaha memperbaiki diri, memperbaiki hubungan kita sesungguhnya pernikahan itu dengan berjalannya waktu akan lebih baik, kalau kita memang berusaha memperbaiki dan tidak bersikap masa bodoh. Sesungguhnya dengan berjalannya waktu kita makin mengerti isi hati dan cara pikir pasangan kita sehingga hal yang dulu mengganggu kita, yang membuat kita marah makin hari makinlah kita mengerti tidak demikian. Jadi dengan kata lain dengan berjalannya waktu suami dan istri itu sebetulnya makin bisa sepadu, terpadu, sehati karena cara pikir makin sama, cara melihat problem dan hidup juga makin serupa.
Kebanyakan anak marah terhadap orangtua dengan satu alasan, anak merasa orangtua tidak mengertinya. Mengerti tidak berarti memenuhi kebutuhannya.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang sumber-sumber kemarahan dalam di keluarga. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
(2) PG : Sebelum saya menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan, saya ingin memberikan suatu pengantar dulu bahwa kita ini cenderung lebih mudah marah di rumah daripada di luar sebetulnya. Alasanya adalah di rumah kita itu harus berhadapan dengan dekat.
Waktu kita harus berhadapan dengan dekat dengan orang-orang yang ada di rumah, itu juga merupakan orang yang paling mudah memancing kemarahan kita. Kita cenderung lebih bisa menoleransi perbuatan orang yang di luar, rekan kerja kita atau karena mereka pun tidak terlalu dekat dengan kita. Tapi segala sesuatu yang sangat dekat dengan kita dan kemudian bermasalah sedikit dengan kita, memang memiliki kecenderungan untuk lebih menggugah reaksi marah kita.PG : Tepat, kalau kita kembali ke masa berpacaran ya, memang hal-hal ini sukar kelihatan pada masa berpacaran, setelah menikah barulah hal-hal ini muncul. Yang kedua kenapa di dalam rumah emosimarah itu lebih mudah meletup, karena rumah tangga kita sekarang sebetulnya sedikit banyak merupakan pengulangan dari kehidupan kita sewaktu masih kecil.
Jadi kalau misalkan kita ini tidak suka dengan sikap papa terhadap mama yang seolah-olah mengejek atau merendahkan mama, namun hal itu tidak terlalu kita pikirkan sewaktu kita remaja dan dewasa, kemudian kita menikah. Tiba-tiba waktu istri kita mulai mengatakan kata-kata misalnya "Kok kamu begitu-begitu saja, tidak ada usaha untuk memajukan diri," tiba-tiba kita bisa meledak dengan begitu keras. Pertanyaannya adalah kenapa kita meledak mendengarkan komentar seperti itu dari istri kita. Tanpa disadari memang akhirnya rumah tangga kita yang dulu kita bawa ke dalam rumah tangga kita sekarang, hal yang dulu tidak kita sukai yang kita lihat dilakukan oleh papa terhadap mama kita atau mama terhadap papa kita, sekarang kita interpretasi itulah yang dilakukan oleh pasangan kita, oleh istri kita misalkan terhadap kita. Ya sekarang istri melecehkan saya dan tiba-tiba kita bereaksi dengan sangat marah. Jadi dua faktor tersebut memang cenderung membuat kita mudah bereaksi di dalam rumah dan bukan di luar rumah.PG : Tepat sekali, karena kita tahu kita sudah diterima dan apapun yang terjadi istri atau suami kita atau anak kita terpaksa harus menerima kita, jadi tidak ada lagi reputasi yang harus kita prtahankan.
Dan yang kedua adalah kalau memang di luar rumah ada resikonya, misalnya dipecat dari pekerjaan, dijauhi teman.PG : Pertama-tama kita lihat dulu sumber-sumbernya Bu Ida, setelah kita kenali sumber-sumbernya mungkin baru kita usahakan mengatasinya. Yang saya akan lakukan adalah membagi kemarahan yang teradi antara suami dan istri, kemudian orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tua.
Dalam kaitan suami dan istri penyebab umum yang membuat kita marah, biasanya karena pertama kita tidak suka hal yang sama diulang-ulang, itu cenderung menjadi penyebab kemarahan kita. Kita sudah memberitahukan misalkan suami kita, "Kalau menaruh baju jangan sembarangan, dilempar di batu dan sebagainya di lantai, taruh di tempatnya!" Tapi suami kita terus melakukan hal yang sama. Atau kita beritahu istri kita, "Mohon kalau saya pulang makanan disediakan, jangan sampai saya sudah pulang lalu menunggu 1 jam lagi" dan engkau selalu berkata: 'Saya repot anak-anak butuh perhatian' dan sebagainya, tapi terlalu sering terjadi. Hal yang sama diulang kembali dan kita sudah memberitahukan supaya jangan dilakukan lagi cenderung menjadi pemicu kemarahan kita dan ini salah satu penyebab kemarahan antara suami dan istri sering terjadi. Dan yang kedua adalah (GS : Tapi itu 'kan karena kejengkelan kita itu Pak Paul ya) betul-betul (GS : Jadi jengkel tadi menimbulkan kemarahan) karena kita akhirnya merasa tidak dihargai.PG : Betul, jadi seringkali memang kebiasaan-kebiasaan itu tidak bisa diterima oleh pasangan kita, jadi kita akhirnya tersinggung dan akhirnya merasa tidak dihargai.
PG : Betul, dua-duanya bisa marah sekali. Ini salah satu sumber kemarahan yang sering terjadi Pak Gun. Yang kedua adalah kalau kita menyaksikan sifat suami atau istri kita yang tak kita sukai dn ini bisa jadi kita sudah sadari sebelum kita menikah atau tidak kita sadari.
Kalau sudah kita sadari terus tidak kita sukai, kecenderungan kita adalah berharap bahwa nanti setelah menikah sifat ini bisa hilang atau berubah. Namun setelah menikah kita akhirnya harus menyaksikan bahwa sifat itu tidak berubah. Nah sifatnya macam-macam, contoh kita dulu berpikir misalnya suami kita itu hemat tapi setelah menikah baru sadar dia kikir. Nah, hemat dan kikir memang seolah-olah bisa hampir serupa, waktu sebelum menikah kita panggil dia hemat lama-lama kikir setengah mati. Semua harus dicatat dan diberikan budget, setiap bulan harus bisa memenuhi budget tersebut, tidak boleh melampaui, hal-hal lain sebagainya. Atau kita melihat istri kita yang begitu boros, beli barang banyak tanpa memikirkan keuangan di rumah tangga nah akhirnya itu juga bisa mengganggu kita. Seringkali dua hal itu adalah pemicu kemarahan antara suami istri.PG : Bisa dua-duanya, jadi bisa juga suatu kebiasaan tapi juga bisa sifat, seperti misalnya kikir itu memang ada unsur kebiasaannya tapi juga ada sifatnya. Atau sifat yang lain ya yang tadi telh kita telah singgung sedikit yaitu misalkan kemarahan.
Ada orang yang mudah marah dan kita tidak suka hal itu sedikit-sedikit meledak, sedikit-sedikit marah, contoh yang sering kita dengar adalah istri yang mengeluh kalau suaminya itu suka marah sewaktu mengendarai mobil. Misalnya sedikit-sedikit memaki orang, nah sebelum dia menikah mungkin dia pergi dengan calon suaminya, ya tidak terlalu sering jadi tidak begitu tahu, tapi setelah menikah baru dia sadar, sedikit-sedikit memarahi orang di jalanan. Nah, akhirnya dia tidak suka dengan sifat seperti ini atau sifat kecurigaan dengan orang, maksudnya apa orang ini ya? Maksudnya apa orang ini ya? Nah sebelum menikah kita tidak begitu melihat hal ini sebagai suatu hal yang serius tapi setelah kita menikah sangat mengganggu sekali. Karena kita melihat orang ini atau suami kita ini memandang orang dengan negatif terus, melihatnya pasti ada apa-apa dibalik ini. Nah sifat-sifat seperti itu yang akhirnya sukar kita toleransi, sebab apa? Sebab kita ini sebetulnya masing-masing mempunyai suatu nilai hidup siapa yang kita akan hormati, siapa yang tidak akan kita hormati. Biasanya kita akan kaitkan dengan sifat-sifat tertentu yang memang kita senangi, misalkan kita mengagungkan orang yang sabar, orang yang kebapakan; ternyata setelah menikah tidak sabar, suami kita mudah marah nah akhirnya apa yang terjadi kita memindahkan dia dari kategori orang yang bisa kita hormati menjadi orang yang justru kita tidak hormati. Akhirnya itu yang mengganggu kita, karena kita ini tidak bisa menoleransi hidup dengan orang yang tidak bisa kita hormati, jadi seringkali itu yang menyulitkan kita menerima sifat-sifat pasangan kita.PG : Yang paling umum adalah orang tua harus mengakui atau melihat bahwa si anak ini mewarisi kelemahannya, itu salah satu penyebab yang sering terjadi. Tapi kadang-kadang si orang tua ini tida menyadarinya, contoh misalkan suami kita orang yang keras kepala ya, kepala batu, lalu kita punya anak kebetulan kepala batu, nah kita bisa mulai menyaksikan dinamika hubungan antara si ayah dengan si anak ini, sering berkelahi.
Yang terjadi adalah sebetulnya si ayah tidak menyukai sifat si anak yang kepala batu ini tanpa menyadari bahwa si anak sebetulnya mewarisi sifat kepala batunya ini. Atau kita ini orangnya lembut, kita ini orangnya susah untuk tegas dan kita tidak suka dengan sifat kita yang terlalu lemah, kita anggap kita lemah. Anak kita begitu juga, didorong oleh temannya diam, PR-nya dipinjam tidak dipulangkan diam, kita akhirnya melihat begitu jengkel. "Kamu harus lebih tegas, kamu harus berani melawan teman kamu dan sebagainya, kita lupa bahwa waktu kita kecil kita pun diperlakukan sama dan kita pun juga begitu.PG : Betul, jadi seringkali orang tua marah melihat sifat-sifat anak yang persis dengan sifat mereka yang mereka anggap sebagai kelemahan, itu yang susah mereka terima.
PG : Biasanya dalam kasus seperti itu, si ibu menjadi wasit ya, pelerai menjaga supaya ayah jangan marah pada si anak dan si anak jangan marah terhadap si ayah dan dia berdiri di tengah-tengah.Kadang-kadang dia yang menjadi sasaran pukulan-pukulan itu, kemarahan-kemarahan dari kedua belah pihak.
PG : Bisa, saya kira adakalanya memang anak itu menuntut orangtua untuk selalu bisa memenuhi kebutuhan mereka atau keinginan mereka. Dan sewaktu kita melihat hal itu kita jengkel sekali sebab esan kita adalah anak ini anak yang tidak tahu diri begitu.
PG : Bisa sekali, misalkan ini seringkali terjadi pada suami istri yang tinggal di rumah mertua, nah ini cukup sering menjadi masalah di dalam hubungan suami istri karena kehadiran mertua seola-olah menjadi seperti pengatur di dalam hubungan mereka dan mereka tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjadi diri mereka; mau berbicara, mau apa tidak bisa langsung karena ada mertua.
Dan juga kalau mertua ikut campur dalam urusan mereka itu seringkali menjadi kemarahan. Sebab kecenderungan mertua seperti kita tahu kita ini orangtua, kita membela anak tidak bisa tidak, jadi kebanyakan menantu akan merasa dipersalahkan dan mertuanya tidak adil, akhirnya yang timbul adalah kemarahan-kemarahan juga.PG : OK! Kalau antara suami-istri saya kira ini tidak bisa tidak harus ada pengkomunikasian misalkan dalam hal yang kita minta jangan dilakukan, terus dilakukan. Kita harus bicara dengan tegas,"ini sangat mengganggu saya dan sangat serius, saya minta jangan sampai terjadi lagi."
Selain itu adalah kita menawarkan diri menjadi penolong baginya misalkan dia itu suka lupa untuk menjemput anak misalnya terulang lagi, terulang lagi, terulang lagi nah akhirnya kita tawarkan jalan keluar, "Bagaimana kalau saya menelpon engkau kira-kira ½ jam sebelum anak dijemput saya telepon engkau, dan maaf jangan sampai engkau itu terganggu atau marah karena saya harus menelepon engkau." Jadi kita usahakan memberikan pertolongan atau jalan keluar supaya dia itu tidak lalai dan mengulang lagi perbuatan yang sama, itu yang pertama. Yang menyangkut sifat juga sama, misalkan dia pemarah sifatnya mudah marah dan dia akan mudah marah dengan anak, kita bisa mengatakan kepada dia, "Saya mau menyampaikan sesuatu tapi saya minta engkau jangan memarahi anakmu, kalau engkau memarahi anakmu, engkau mempermalukan saya sebab saya sudah berjanji kepada dia, kami akan bereskan ini dengan baik. Nah mohon kamu hormati saya jadi baru kita beritahu dia." Jadi hal-hal itu bisa dan harus kita lakukan. Kita tidak bisa melepas tangan dan berharap pasangan kita berubah dengan sendirinya.PG : Ya saya kira perlu Bu Ida, jadi kita tidak melarang anak untuk marah tapi nomor satu kita melarang anak untuk kurang ajar, jangan sampai anak itu berani kurang ajar (GS: Memarahi kita) ya emarahi kita, sebab saya kira itu sudah melewati batas ya.
Jadi kita bisa beritahu dia "Kamu boleh marah, silakan kamu tidak suka itu, tapi tidak boleh kamu misalkan menunjuk-nunjuk saya, mata kamu melotot-lotot dan tangan kamu teracung kepada saya, jangan lakukan itu sekali lagi." Jadi kita bisa katakan seperti itu dan sudah tentu kita harus lakukan ini, bukan sewaktu dia umur 17 tahun (GS: Sudah terlambat, mulai kecil sudah dididik seperti itu Pak Paul) betul sejak kecil kita harus beritahukan dia.PG : Seringnya begitu Pak Gunawan, karena selama kita hidup dan berusaha memperbaiki diri ya, memperbaiki hubungan kita ini, sesungguhnya pernikahan itu dengan berjalannya waktu akan lebih baik kalau kita memang berusaha memperbaiki ya, tidak bersikap masa bodoh.
Kenapa makin baik, karena sesungguhnya dengan berjalannya waktu kita makin mengerti isi hati dan cara pikir pasangan kita, sehingga hal yang dulu mengganggu kita, yang membuat kita marah karena kita anggap dia itu tidak hormat kepada kita makin hari makinlah kita mengerti tidaklah demikian. Maksudnya dia tidaklah mau menghina saya atau apa, jadi dengan kata lain dengan berjalannya waktu suami dan istri itu sebetulnya makin bisa sepadu, terpadu ya sehati, karena cara berpikir makin sama, cara melihat problem dan hidup juga makin serupa.PG : Dan salah satu penyebabnya saya kira adalah karena kita melihat pasangan kita sudah berhenti mencoba seolah-olah memasabodohkan, tidak ada lagi keinginan untuk memperbaiki diri atau hubungn ini, nah itu seringkali memadamkan semangat kita sehingga kita pun terpengaruh dan berkata ya sudah masa bodoh, dan itu yang berbahaya.
PG : Kebanyakan anak marah terhadap orang tua dengan satu alasan, anak merasa orang tua tidak mengerti akan dirinya. Keluhan yang paling umum di kalangan anak-anak remaja adalah "Orang tuasaya tidak mengerti saya."
Nah saya kira alasan ini atau cetusan isi hati ini perlu kita perhatikan ya, mengerti tidak berarti memenuhi, memang adakalanya itulah yang diminta oleh anak memenuhi kebutuhan atau keinginannya. Teman-temannya beli sepatu roda, dia juga mau beli sepatu roda, teman-temannya mengganti komputernya dari pentium I ke pentium II, kita juga mau mengganti komputernya sampai ke pentium II dan sebagainya. Sewaktu kita melarang, dia marah, nah memang tidak selalu kita harus memenuhi keinginan anak, tapi yang harus kita lakukan adalah mengerti anak. Contohnya begini, misalkan dia meminta kita membelikan sepatu roda dan kita merasa kita ini belum mampu ya membelikan sepatu roda itu atau kita lihat memang belum begitu perlu untuk si anak. Yang kita bisa lakukan adalah berkata kepada dia, "Anakku, saya sadar bahwa engkau mau main sepatu roda karena teman-temanmu semua main sepatu roda dan kalau engkau yang tidak ada sepatu roda sendirian engkau akan merasa aneh sendirian, saya juga dulu waktu masih SMP, SMA pernah minta ini dan tidak dapat, saya merasa jengkel sekali, jadi saya mengerti yang sedang kau alami sekarang ini. Namun boleh tidak saya minta satu hal dulu, sementara waktu memang kami sedang memprioritaskan uang untuk membeli apa misalnya kita beritahu dia. Nah nanti setelah mungkin 2, 3 bulan, akan ada uang yang kami sisihkan untuk kamu membeli sepatu roda itu, bisa tidak kamu tolong tunggu dulu?" Nah saya kira penyampaian yang seperti ini menolong anak untuk merasa dimengerti bahwa permintaannya itu bukanlah permintaan yang keterlaluan atau dibuat-buat, jadi pengertiannya itu, pengertian kita kepada si anak membuat dia merasa tenang dan lebih siap untuk berkompromi dengan kita.PG : Betul.
PG : Dan kita harus mengkomunikasikan kenapa kita tidak berniat (GS :Alasannya itu ya?) ya ini yang kadang kala memang anak tidak mengerti. Nah misalkan kita harus berkata kepada dia bahwa sebeulnya kita punya uang, jadi jangan misalkan kita memang punya uang, jangan katakan pada anak kami tidak punya uang (GS : Mereka tahu itu) mereka tahu dan mereka akan lebih marah kepada kita.
Jadi kalau misalnya memang bukan soal uang kita harus beritahukan bukan soal uang. Misalkan kita bisa beritahu, "Saya melihat kau itu terlalu mau berkompetisi dengan teman-teman dan saya merasa tidak baik, jadi sekali-sekali saya mau engkau belajar untuk tidak mempunyai yang teman punya, dan kamu pun tahu, saya tidak selalu berbuat itu kepadamu. Banyak hal yang kau minta sudah kami penuhi, tapi kami mulai merasa kamu semakin hari harus semakin sama dengan teman-temanmu dan ini tidak baik, dalam hidup adakalanya kita tidak mempunyai yang teman punya, adakalanya kita mempunyai yang teman tidak punya. Nah saya atau Mama, Papa inginkan agar engkau belajar untuk menoleransi keadaan seperti ini."PG : Betul, tetap harus kita lakukan.
PG : Betul, karena kedewasaan anak tercapai bukan sewaktu semua yang dia inginkan terpenuhi, tapi bagaimana dia menghadapi keadaan di mana keinginannya tidak terpenuhi, baru kematangannya itu aan lebih menyeluruh ya.
PG : Kalau orang ketiga itu memang sumbernya saya kira suami/istri lebih bisa menghadapinya. Misalkan ya dua-dua bersepakat untuk bagaimana bersikap kepada orang ketiga itu. Namun yang seringkai membuat masalah ini menjadi lebih kompleks dan lebih susah diselesaikan adalah kita merasa pasangan kita tidak berpihak pada kita, seolah-olah dia lebih berpihak kepada orang ketiga itu, orang tuanya atau siapa.
Nah jadi kita marah bukan karena orang ketiga itu saja, tapi karena kita merasa pasangan kita (GS : Tidak mendukung kita) tidak mendukung kita; justru itu yang harus kita bicarakan dengan dia.PG : Sebab misalkan orang tua kita yang keliru ya, kita harus berani konsekuen membela istri kita, meskipun orang tua mungkin menuduh kita engkau lebih sayang istri daripada kami. (GS : terjadigitu) betul, tapi kita bisa berkata kepada orang tua kita tidak, saya berpihak kepada yang benar dan dalam hal ini saya melihat istri saya benar.
Tapi lain kali kalau istri kita yang keliru kita pun berani konsekuen untuk memberitahu istri kita, jadi akhirnya semua melihat bahwa kita itu berdiri di pihak yang benar.PG : Bagus sekali Bu Ida, tadi Bu Ida sudah katakan ya yang memang dikatakan juga oleh firman Tuhan di
GS : Para pendengar demikian tadi kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana mengatasi sumber-sumber kemarahan di dalam keluarga, bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
4. Keluarga Jarak Jauh | |
Keadaan yang terjadi karena adanya perpisahan sementara waktu oleh karena alasan tertentu baik pekerjaan, studi, dan lain hal yang perlu dilakukan oleh suami, istri atau anak.
Di dalam kehidupan masyarakat sekarang ini telah menjadi trend atau pola, di mana orang bukan cuma belajar jarak jauh, wawancara jarak jauh, tetapi juga ada keluarga jarak jauh. Keluarga jarak jauh di sini dalam pengertian: untuk sementara waktu suami dan istri terpaksa harus berpisah, atau anak berpisah dengan orang tua, baik karena pekerjaan ataupun alasan-alasan lain. Berpisah di sini ialah karena keadaan yang sangat memaksa, sehingga mereka harus berpisah.
Beberapa faktor penyebab terbentuknya keluarga jarak jauh:
Pekerjaan, sering kali orang mendapatkan pekerjaan di luar kota.
Contoh yang jelas adalah banyak TKW yang harus pergi ke luar negeri untuk bekerja, meninggalkan suami dan anak mereka.
Contoh lainnya adalah masalah sekolah anak, adakalanya anak tidak bisa ikut pindah karena faktor sekolah. Seandainya karena pekerjaan si ayah harus masuk ke pedalaman, maka diputuskan agar istri dan anak-anaknya tetap tinggal di kota demi kelanjutan sekolah dan masa depan mereka.
Pendidikan, semakin tingginya pendidikan orang sekarang juga bisa menjadi penyebab terbentuknya keluarga jarak jauh.
Adaptasi, di mana salah satu dari anggota keluarga baik anak, suami atau istri mengalami kesukaran untuk menyesuaikan diri dalam keadaan yang baru.
Kebutuhan Khusus, misalnya si istri harus merawat orang tuanya yang sudah sakit-sakitan sehingga suami terpaksa pindah ke kota lain seorang diri. Jadi ada yang dikorbankan dan si istri tinggal di rumah untuk merawat orang tua.
Kesehatan, suami mendapat perkerjaan di kota lain dan semuanya harus pindah tapi si istri mempunyai penyakit tertentu dan hanya ada pengobatan di kota asal.
Keamanan, dua tahun terakhir ini banyak anak-anak Indonesia yang disekolahkan di luar negeri, misalkan di Malaysia atau Singapura, karena ada orang tua yang merasa tidak aman dan kuatir kalau-kalau terjadi kerusuhan lagi.
Sebagai suami dan istri yang terikat pernikahan, setiap orang seharusnya bisa membangun keintiman, dan untuk mewujudkan itu kita butuh kebersamaan. Maka dengan terbentuknya keluarga jarak jauh sudah tentu keintiman sepasang suami istri akan terganggu bahkan terputus. Makin lama keakraban pasti akan berkurang, dan yang pasti adalah akan menciptakan kebutuhan untuk diisi oleh orang lain. Sehingga akan menambah kerawanan dan menimbulkan ekses-ekses dalam kehidupan mereka.
Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, rasul Paulus mengingatkan agar suami-istri tidak saling menjauhi kecuali untuk alasan berdoa. Artinya menjauhi di sini bukan dalam arti berpisah, tapi dalam arti hubungan badan/seksual. Mereka yang memiliki pola keluarga jarak jauh harus memiliki penyesuaian tersendiri untuk menerima keadaan seperti itu, yaitu:
Si ayah atau ibu yang pergi harus tetap menjadi bagian dari keluarga tersebut. Agar anak masih tetap dapat membedakan peran ibu dan peran ayahnya.
Kehadiran si ayah harus tetap dirasakan oleh si anak. Sebab meskipun frekuensinya berkurang namun sesekali tetap ada sumbangsih yang bisa diberikan olehnya dalam pengambilan keputusan.
Sebagai suami atau isteri yang bepergian jauh dan terpisah dari keluarga, maka ia harus berusaha sesering dan sebisa mungkin memelihara kontak dengan keluarganya.
Seorang ayah atau ibu yang jauh dari rumah dan keluarga juga harus mendoakan mereka yang di rumah.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Keluarga Jarak Jauh". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Otomatis yang sedang kita bicarakan bukanlah jauh karena kesengajaan menjauhkan diri Pak Gunawan. Jadi kesengajaan ini tidak ada, dalam pengertian terpaksa. Tapi kata terpaksa pun meman bisa sangat relatif Pak Gunawan.
PG : Dipaksa-paksakan juga betul. Saya kira juga ada kalau sampai dikatakan sangat banyak, mungkin juga tidak. Namun ada beberapa pernikahan misalkan orang yang sangat mementingkan karier, da-dua suami-istri mementingkan karier dan tidak bisa melepaskan kariernya, akibatnya dua-duanya harus terpisah.
Saya masih mengingat waktu saya di Amerika Serikat ada seorang penyiar televisi, yang cukup terkenal namanya Conny Chung. Waktu dia menikah dengan suaminya yang juga seorang tokoh televisi, mereka mempunyai pengaturan yang sangat unik. Si suami tetap di negara bagian yang satu, si istri di negara bagian yang lain. Jadi bukan saja berlainan kota tapi juga berlainan negara bagian di Amerika Serikat, dan itulah perjanjian mereka sewaktu menikah. Jadi dari awal pernikahan setelah bersama-sama lalu pisah dan hanya bertemu dalam beberapa bulan sekali. Dan setahu saya sampai sekarang mereka masih menikah.PG : Ya masih resmi sebagai suami-istri.
PG : Saya kira hal itu makin banyak Pak Gunawan, karena sekarang ini banyak perusahaan- perusahaan yang kita sebut multinasional. Jadi mereka akan mengirimkan tenaga kerja mereka ke kota-kot lain.
Hal ini memang sudah berjalan cukup lama di Amerika Serikat, yang saya tahu ada orang yang terpaksa harus pindah ke negara bagian lain karena perusahaannya membentuk suatu anak perusahaan di situ, dan dia yang dikirim harus pergi. Adakalanya tidak ada kemungkinan untuk memboyong satu keluarga untuk pergi ke sana, jadi hal-hal itu saya kira akan makin banyak terjadi. Semakin berkembangnya dunia dan konsep kerja kita dan makin banyak anak-anak cabang yang dibuat, saya kira makin banyak orang-orang yang harus dikirim ke luar.PG : Betul, dan ada yang terjadi beberapa kali di mana akhirnya suami pergi dan anak-anak diam di rumah sebab suami pergi ke mancanegara. Dan itu yang juga saya saksikan dalam beberapa kasus biasanya alasan yang terutama adalah faktor keuangan.
Mereka tidak mampu untuk memboyong keluarga pindah untuk studi, jadi merelakan si ayah untuk studi di luar. Dan dalam kasus-kasus yang lain, saya malah melihat si ibu yang pergi studi selama beberapa tahun.PG : Betul, jadi terpaksa hanya satu orang saja yang pergi.
PG : Sudah tentu akan terputus dan terganggu. Jadi kalau ada orang yang berdalih bahwa kami tetap menjalani keintiman itu sehingga tidak punah, tapi kalau dikatakan masih bisa membinanya da menumbuhkannya saya kira tidak.
Saya kira pada saat orang berpisah di sanalah keintiman akan berhenti, sebab keintiman itu memerlukan interaksi yang riil dan fisik.PG : Alkitab tidak membahas hal itu secara langsung, jadi Alkitab memang tidak mengatur tentang hal-hal yang tadi kita bicarakan ini. Apakah harus selalu bersama atau tidak, contohnya saya jga harus kemukakan meskipun saya tahu ada sebagian orang yang tidak setuju dengan pola hidup hamba Tuhan yang sering pergi.
Petrus sudah menikah sewaktu mengikut Tuhan, dan kita tahu Petrus jarang di rumah. Jelas-jelas Petrus itu adalah seorang penginjil yang keliling-keliling dengan Tuhan.PG : Betul, jadi sudah pasti akan ada gangguan, namun apakah gangguannya akan berdampak besar atau tidak harus dilihat dari sudut kompensasi dari pihak-pihak lain. Sebab memang masalah-masalh ini sering kali tidak terlalu hitam putih.
Saya mengatakan ini bukannya karena saya ingin membela diri sebagai hamba Tuhan bahwa tidak apa-apa hamba Tuhan begitu, sebab memang tetap ada dampaknya bagi anak-anak dan istri. Tapi yang menarik adalah yang dilakukan oleh Petrus, Petrus itu pergi mengikut Tuhan selama 3 tahun ke mana-mana, dari suatu kota ke kota, dari Yudea yang di Selatan ke Galilea yang di Utara pulang balik Galilea-Yudea, Galilea-Yudea, jadi berarti jarang sekali di rumah. Dan tidak pernah Tuhan sekalipun menegur Petrus, "Petrus pulang, bersama istri dan anak-anakmu".PG : Betul, jadi memang kita harus perhatikan beberapa faktor, kita memang tidak bisa secara kaku menggeneralisasi harus seperti ini atau harus seperti itu. Misalnya saya pernah mendengar sutu kesaksian, dan bukan hanya satu mungkin ada beberapa yang pernah saya dengar di mana ada yang harus pergi meninggalkan keluarga.
Di satu pihak ayah yang pernah saya dengar, tapi saya juga pernah dengar kesaksian ibu yang harus pergi meninggalkan rumah tangga. Karena kebutuhan kerja, tidak ada lagi kerja di sana dan harus pergi keluar kota untuk bekerja. Jadi itu beberapa kali saya saksikan, nah dalam keadaan seperti itu terpaksa memang mereka harus berpisah. Berdampak atau tidak pada anak-anak? Berdampak. Jadi saya pernah mendengar kesaksian ini orang yang luar biasa rindu dengan orang tuanya, ini bukan hanya satu kasus yang saya dengar tetapi beberapa kali.PG : Sudah pasti membantu dibandingkan dengan zaman dulu, tidak ada telepon. Kalau tulis surat juga berminggu-minggu baru tiba, tapi tetap tidak sama dengan kehadiran yang langsung atau riil Meskipun si ayah itu pendiam misalnya jarang berbicara atau si ibu itu pendiam jarang berbicara, tetap berbeda dibandingkan kalau si ibu atau si ayah itu tidak di rumah sama sekali.
PG : Betul, jadi kehadiran itu akan melahirkan ikatan batiniah yang hanya akan timbul kalau orang itu hadir secara fisik. Misalkan kita ini mempunyai teman, baru membina persahabatan dengan ia selama satu bulan dia harus pindah kota.
Saya kira 10 tahun kemudian waktu kita bertemu, kita tidak bisa berkata hubungan kita sudah bertumbuh seperti apa, tidak, ya mungkin bertemu dalam hal pengenalan karena dia cerita-cerita. Tapi kedekatan itu saya kira tetap terbatas.PG : Ya tergantung pada misalnya secara finansial apakah pulang balik itu akan memakan banyak ongkos dan bisa atau tidak mereka tanggung. Tapi kalau masih bisa, masih memungkinkan tetap sayaakan lebih setuju kalau pulang.
PG : Namun lain dengan ada orang dan tidak ada orang di rumah. Anak misalkan mempunyai suatu ingatan bahwa waktu dia tidur malam, papanya tidur di kamar sebelah. Itu berbeda dengan waktu diatidur malam, dia tahu papanya tidak ada di sana.
Itu berbeda dan akan meninggalkan kekosongan bagi si anak itu.PG : Betul, jadi anak-anak itu secara natural sebetulnya akan memberitahukan kita, berapa siapnya mereka untuk ditinggalkan. Pada waktu masih kecil saya kira tidak siap, dia akan menangis. Tpi kalau sudah belasan tahun 15, 16-an tahun saya kira mereka lebih siap.
Karena pada usia itu mereka sudah mulai mengkoneksi diri, menempelkan diri dengan orang lain atau teman-temannya.PG : Tetap butuh, jadi yang mereka butuhkan pada usia-usia remaja memang bukanlah kedekatan maksudnya disayang-sayangi seperti waktu kecil, tapi yang dia perlukan orang yang bisa diajak disksi, bicara, dapat memberikan pengarahan.
Sebetulnya itu adalah tugas orang tua pada anak-anaknya di usia remaja.PG : Sebetulnya itu bukan menjauhkan diri dalam hal berpisah, sebetulnya berkonteks dalam hubungan badan atau hubungan seksual. Jadi Paulus menekankan bahwa tubuhmu adalah tubuh pasanganmu aau tubuhmu adalah milik pasanganmu.
Hai suami tubuhmu adalah milik istrimu dan hai istri tubuhmu adalah milik suamimu. Hendaklah engkau saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Paulus membicarakan kebutuhan seksual dan jangan akhirnya kita menjauhkan diri dari hubungan seksual ini, tetap harus dipelihara, tetap harus memberikan kebutuhan ini. Tapi kadang kala untuk tujuan berdoa kita tidak lakukan itu dulu.PG : Betul, jadi kalau ditanya sudah pasti idealnya suami-istri itu bersatu, sebab memang konsep pernikahan adalah suatu penyatuan. Namun kenyataan dalam hidup ini memperlihatkan adakalanya idup tidaklah seideal yang kita inginkan.
Ada faktor-faktor yang terlibat misalnya tadi yang saya sebut, faktor pekerjaan di mana orang akhirnya harus pindah ke kota lain. Kalau dia tidak pindah tidak kerja, tidak ada nasi di periuknya.PG : Nomor satu tetap misalkan si ayah yang harus pergi, itu menjadi bagian dari keluarga tersebut. Misalkan setiap malam ibu bisa mengajak anak-anak berdoa untuk si ayah yang bekerja dan teus tekankan pada si anak bahwa si ayah pergi karena terpaksa, bukan karena keinginannya.
Jadi sekali lagi saya menekankan keterpaksaan itu dalam pengertian begini, saya dapat tawaran, jenjang karier saya akan naik kalau saya pindah ke kota lain. Namun keluarga tidak memungkinkan untuk pindah bersama dengan saya. Dalam kasus seperti itu, saya akan tetap berkata jangan pergi karena jenjang karier itu bisa engkau tolak dan tetap tinggal pada karier yang sekarang ini, asal bisa tetap tinggal bersama keluarga.PG : Betul, maka kalau misalkan tanpa kenaikan karier mereka masih bisa hidup dengan layak, saya kira tetap diprioritaskan hidup dengan layak itu dan menolak jenjang kariernya.
PG : Betul, tapi dalam kasus di mana misalkan jelas-jelas seperti sekarang ini banyak orang kehilangan pekerjaan dan tawaran kerjanya memang kebetulan di kota lain dan dia harus bekerja. Say kira itu lain perkara, persoalannya sangat berbeda.
PG : Ya dampaknya hubungan mereka akan renggang.
PG : Betul, tapi sekali lagi saya mau peka dengan keadaan yang sangat memaksa, sebab saya tahu ada kasus-kasus seperti ini di mana misalkan suami sudah tidak ada lagi, meninggal atau apa, dieraikan, sehingga hanya ada ibu dan anak-anak.
Tapi ibu dan anak-anak tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka, sehingga si ibu itu harus bekerja dan misalkan itu kerja buruh kasar dan harus di luar kota. Membawa anak-anak tidak bisa karena harus menghidupi mereka, karena harus tinggal di mess misalnya dan di kotanya itu ada orang tuanya dia. Jadi dipikir lebih baik dititipkan pada orang tuanya. Dia bawa ke sanapun tidak bisa dari pagi sampai malam dia kerja sebagai buruh kasar, jadi anak-anaknya dia titipkan kepada orang tuanya, pada adiknya atau kakaknya. Itu saya kira keadaan yang sangat terpaksa dan saya kira itu terjadi di kehidupan kita.PG : Akan ada hal-hal yang diambil alih olehnya. Misalkan anak itu berbuat kesalahan dan harus dihukum, si ibu tidak bisa berkata tunggu 2 minggu lagi papa pulang nanti kamu dihukum. Tidak bsa seperti itu jadi harus langsung diberikan hukuman.
Sebetulnya lebih sering tugas seorang ayah memberikan sanksi atau hukuman kepada anak sebagai figur otoritas. Tapi dalam hal itu si ibu harus melakukannya, tapi misalkan ada hal-hal yang lainnya misalnya anak-anak ingin membeli suatu barang yang cukup mahal dan si ibu bisa berkata tunggu ayahmu pulang akan saya diskusikan dengan ayahmu. Jadi sudah pasti akan ada tugas-tugas yang harus diambil alih oleh si ibu, tapi sebisanya untuk tugas-tugas yang besar tetap ditunggu sampai si suami pulang, saya kira lebih baik.PG : Itu yang pertama dan yang kedua adalah kehadiran si ayah tetap dirasakan oleh si anak. Sebab ia tetap memberikan sumbangsih dalam pengambilan keputusan. Meskipun frekuensinya diperjaran, namun tetap ada sumbangsihnya.
PG : Yang pertama dan yang dia harus lakukan sebisanya adalah memelihara kontak yang sesering mungkin. Misalkan saya waktu sekolah di luar kota, tunangan atau pacar saya yang sekarang jadi itri saya tinggal di kota lain.
Kami membiasakan diri menulis surat setiap hari sekali. Sampainya 3, 4 hari kemudian, tapi kami membiasakan diri menulis surat setiap hari. Sebab waktu menulis kepada istri atau suami kita setiap hari itu, kita sebenarnya sedang memelihara kontak dengan dia, itu penting sekali. Kedua kita mendoakan mereka setiap hari, sehingga mereka terus ada dalam benak dan pikiran kita, kita tidak melupakan mereka. Dan sebisanya kalau memungkinkan kita menelepon mereka secara teratur dan mendengar suara mereka, itu sangat menyegarkan ingatan kita.PG : Betul.
PG : Saya kira sangat membantu karena mengingatkan kehadiran anak-anak dan istri mereka.
PG : Seharusnya mengganggu. Saya garis bawahi kata seharusnya, yaitu seharusnyalah jangan sampai dia tidak terganggu lagi. Sebab kalau sampai pada titik dia terganggu berarti bahaya.
PG : Saya sarankan sebaiknya pekerjaan yang di luar kota itu sebisanya hanya bersifat sementara, sehingga anak bisa menargetkan bahwa dalam waktu berapa lama dia akan kumpul lagi dengan ayahya atau dengan ibunya, sebisanya itu yang harus dia lakukan.
PG : Susah dibilang, idealnya sudah tentu dia tidak meninggalkan anaknya. Tapi saya harus mengakui kenyataan tidak semudah itu. Misalkan waktu saya mengunjungi seseorang di Singapura dia memunyai pramuwisma, pembantu rumah tangga dari Jawa Tengah yang bekerja di Singapura.
Saya bertanya kepada pramuwisma ini bahwa dia mempunyai anak, dan mempunyai suami juga tapi dia yang harus bekerja mendukung keuangan keluarganya. Saya tidak bertanya suaminya di mana, mungkin tidak bersama dia lagi. Tapi yang menjadi tanggungannya adalah anaknya, dan dia bekerja di Singapura untuk mendukung keuangan anak-anaknya juga. Waktu saya tanya berapa kali pulang, dalam waktu 3, 4 tahun baru pulang sekali kalau tidak salah karena biayanya sangat tinggi, dan itu adalah kenyataannya juga. Jadi cukup banyak saya melihat masalah-masalah seperti ini, sudah tentu kita bersedih hati tapi dalam keadaan seperti itu saya harus tetap mengakui itu adalah salah satu kasus keterpaksaan. Lain dengan kasus yang tadi saya ceritakan penyiar televisi yang langsung dari awalnya sudah berpisah atau mereka dua-duanya orang yang kaya raya luar biasa, tapi dua- duanya tidak bisa mengalah.PG : Kebetulan tidak punya anak.
PG : Betul, mungkin juga.
PG : Betul.
PG : Pasti akan berkurang, saya kira itu kenyataan. Dan yang sudah pasti adalah akan menciptakan kebutuhan untuk diisi yang lainnya, jadi sudah pasti akan menambah kerawanan dalam kehidupan ita.
PG : Satu ayat dari
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga. Bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja membicarakan tentang sebuah topik "Keluarga Jarak Jauh," kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 41 A
5. Ekses Keluarga Jarak Jauh | |
Salah satu ekses atau dampak dari keluarga jarak jauh adalah terjadinya ketidakseimbangan yang mengakibatkan terciptanya lubang-lubang kebutuhan yang besar. Kebutuhan yang dia rasakan bahwa dia memerlukan seseorang yang bersama dengan dia.
Keberadaan suami dan istri yang terpisah oleh jarak akan menghasilkan akibat-akibat sebagai berikut:
Pertama, ketidakseimbangan inter-personal. Yang saya maksud dengan inter-personal adalah kita ini membutuhkan satu sama lain untuk bisa mengisi kebutuhan kita sewaktu kehilangan dia kita akan mengalami ketidakseimbangan dalam kehidupan ini.
Kedua, ketidakseimbangan intra-personal. Maksudnya, kita yang sudah terbiasa hidup atau berfungsi dengan kehadiran pasangan kita, akan merasakan adanya hal-hal yang terpenuhi oleh karena kehadiran pasangan kita.
Sewaktu berpisah kita harus mulai menata hidup kembali supaya bisa terus hidup. Sebab kalau kita terus dirundung kesedihan karena "kehilangan" pasangan kita, bisa-bisa kita tidak bisa berfungsi dengan optimal atau kita tidak bisa bekerja dengan penuh konsentrasi, dan sebagainya.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum berpisah:
Manfaat dan kerugiannya
Suami istri dengan pikiran yang jernih harus merinci dan mempertimbangkan manfaat atau kerugiannya yang lebih besar.
Permanen atau sementara
Sebisa-bisanya jadikanlah keterpisahan dengan keluarga itu sebagai sesuatu yang sementara. Kalau bisa suami-istri itu tetap bersama, jadi lakukan perpisahan hanya kalau sudah sangat terpaksa.
Perhatikan kuat lemahnya
Meskipun harus berpisah, tetap harus dipertimbangkan kuat lemahnya. Dan mampukah kita melaluinya? Kalau disadari bahwa kita tidak kuat lebih baik jangan pergi atau berpisah. Sebab akhirnya akan berantakan dan kita jatuh ke dalam pencobaan.
Anak
Keberadaan anak juga harus dipertimbangkan.
Faktor Usia
Kalau tidak karena sangat terpaksa, jangan meninggalkan anak yang masih kecil. Semakin besar anak, misalnya remaja belasan tahun lebih bisa ditinggalkan.
Faktor kebutuhan
Kebutuhan anak bermacam-macam, sebab setiap anak tidak sama. Ada anak yang sangat tergantung pada salah satu orang tua, misalnya karena dia anak perempuan satu-satunya maka dia sangat dekat dengan ibunya. Nah seandainya sekarang mereka harus berpisah karena si anak disekolahkan di luar kota atau negeri, ini mungkin akan berdampak tidak baik bagi si anak sebab dia kehilangan pegangan hidup yaitu mamanya. Atau kebalikannya anak laki-laki tunggal sangat dekat pada ayahnya, ayah menjadi model, pegangan hidup, tempat mencurahkan isi hati, dan sekarang terpisah. Ini bisa sangat menggoncangkan diri si anak.
Semua orang yang harus berpisah dengan keluarganya, dengan suami atau istri, atau anak-anak yang berpisah dari ayah atau ibunya, patut mengingat ayat ini. Apapun yang kita lakukan, lakukankah dalam nama Tuhan Yesus. Jadi meskipun tidak diawasi atau tidak dilihat oleh pasangan kita, kita harus selalu bertanya: "Dapatkah saya berkata, saya melakukan hal ini dalam nama Tuhan Yesus?" Sebab itulah yang Tuhan minta.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang ekses atau dampak keluarga yang untuk masa tertentu harus terpisah, dan pembicaraan ini memang merupakan lanjutan dari pembicaraan kami beberapa waktu yang lalu, tentang keluarga jarak jauh. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Sekali lagi saya mau menggarisbawahi kata terpaksa berpisah Pak Gunawan, sebab yang sedang kami bicarakan di sini bukanlah keterpisahan karena tidak cocok atau disengaja supaya bisa menjau dari pasangannya.
Tapi suatu keadaan yang sangat memaksa sehingga mereka harus berpisah baik itu suami pisah dengan istri, istri pisah dengan suami atau anak pisah dengan orang tua hal itu pun bisa terjadi. Yang biasanya menjadi penyebab adalah pekerjaan Pak Gunawan, jadi sering kali orang mendapatkan pekerjaan di luar kota. Apalagi seperti masa sekarang ini, pilihan-pilihan untuk bekerja lebih menyempit. Sehingga akhirnya harus diambil yang tersedia, bahkan kalau itu di luar kota. Contoh yang jelas adalah cukup banyak TKW yang harus pergi ke luar negeri untuk bekerja, meninggalkan suami, istri atau anak mereka. Yang lain adalah masalah anak. Jadi adakalanya tidak bisa memindahkan anak karena faktor sekolah atau misalkan dia harus masuk ke pedalaman, tidak bisa membawa anak-anak untuk sekolah di pedalaman. Akhirnya diputuskan anak-anak, istrinya tetap tinggal di kota dan si suami itu yang harus pergi masuk ke pedalaman. Yang berikutnya lagi tentang penyesuaian, penyesuaian ini bisa menjadi faktor penyebab. Maksudnya adalah salah satu dari anggota keluarga baik itu anak, suami, atau istri mengalami kesukaran untuk menyesuaikan diri dalam keadaan tersebut. Dan daripada dipertahankan untuk bertahan dan berdampak buruk untuk keluarga. Akhirnya diputuskan yang mengalami kesulitan itu dipisahkan dulu, kembali ke lingkup semula yang lebih cocok untuknya, hal seperti itu bisa terjadi. Dan yang biasanya juga menjadi penyebab adalah kebutuhan khusus misalnya ada yang harus merawat orang tua sehingga suaminya harus pindah ke kota yang lain dan dia juga mau pindah tapi orang tuanya sudah sakit-sakitan dan tua, dan harus dirawat, sehingga terpaksa dikorbankan dan si istri itu tinggal di rumah untuk merawat orang tua. Atau yang lain adalah keputusan medis. Misalkan si suami mendapat pekerjaan di kota lain, dia harus pindah dan semuanya mau pindah. Tapi masalahnya adalah si istri mempunyai penyakit tertentu dan hanya ada pengobatan di kota yang tertentu pula. Atau si anak itu tidak cocok dengan udara yang lembab sebab dia misalnya asma, harus di udara yang kering tapi si suami tidak bekerja di tempat ini dan harus pindah ke tempat lain. Kebutuhan khusus seperti itu juga akhirnya menyebabkan harus berpisah. Dan yang lain juga adalah misalnya ancaman ketidakamanan dan ini yang sebetulnya kita saksikan pula sejak mungkin 2 tahun terakhir ini. Banyak anak-anak yang disekolahkan di luar negeri misalkan di Malaysia, atau di Singapura karena adanya rasa tidak aman kalau-kalau terjadi lagi kerusuhan dan anak-anak menjadi korban, sehingga akhirnya orang tua merelakan mengirimkan anak-anak pergi ke negara-negara lain. Dan sekali lagi, ini juga adalah suatu keterpaksaan. Saya pernah berbicara dengan sepasang suami-istri yang harus berpisah dari anak-anak mereka karena anak-anak mereka di sekolahkan di negara lain. Dan sewaktu kami berbicara si istri menangis terus-menerus, inilah yang harus mereka lakukan demi keselamatan anak-anak mereka. Memang kita bisa perdebatkan ya masalah keselamatan, keamanan, namun bagi orang-orang yang di kotanya pernah menyaksikan kerusuhan yang begitu hebat. Mereka tidak begitu berani mengambil resiko, daripada mengalami seperti itu lagi lebih baik anak-anak dikirim keluar.PG : Yang pertama adalah akan menimbulkan ketidakseimbangan, ketidakseimbangan ini saya bagi dalam dua kategori Pak Gunawan. Yang pertama ketidakseimbangan inter-personal, yang kedua adalah inta-personal.
Yang saya maksud inter-personal adalah kita ini membutuhkan satu sama lain untuk bisa mengisi kebutuhan kita, otomatis kita menjadi seperti kita itu karena kehadiran pasangan kita. Waktu dia misalnya tidak ada tempat untuk bicara, menumpahkan perasaan hati, tidak ada tempat di mana kita bisa merilekskan diri, jadi kehilangan dia akan membuat ketidakseimbangan dalam kehidupan kita yang sudah terbiasa dengan hadirnya dia, itu yang pertama tentang inter-personal. Juga ketidakseimbangan intra-personal, maksudnya begini kita akhirnya terbiasa untuk hidup atau berfungsi dengan kehadiran pasangan kita. Dan ada hal-hal yang terpenuhi oleh karena kehadiran pasangan kita. Contoh kita akan merasa berharga waktu kita bisa masak untuk dia. Tiba-tiba sekarang tidak ada lagi yang bisa mencicipi masakan kita, misalnya seperti itu. Atau suami biasa pulang ada anak-anak dan ada istri yang menyambutnya. Dia merasa kalau dia pulang itu mengharapkan sesuatu yang bisa menyegarkan, sekarang dia pergi jauh tidak ada yang menantikan dia di rumah. Waktu dia pulang tiba-tiba tidak ada yang menyambut untuk menyegarkan dia, tanpa disadari terjadilah ketidakseimbangan intra personal. Yang lebih pribadi lagi misalkan ketidakseimbangan intra-personal itu adalah dalam hal seksualnya, kebutuhan seksualnya, tidak bisa tidak akan ada gangguan di situ. Dia dulu tidak terlalu dikuasai oleh pikiran-pikiran seksual, tapi karena ketidakhadiran si istri itu mengganggu dia sekali, terjadilah ketidakseimbangan dalam dirinya secara intra-personal.PG : Sudah jelas dia menjadi orang yang mempunyai kebutuhan yang besar, jadi ketidakseimbangan itu sebetulnya menciptakan lubang-lubang kebutuhan. Misalnya dia biasa bicara ada teman bicara, medengarkan dia dengan simpatik, memberikan telinga untuknya, sekarang tidak ada.
Ini menciptakan kebutuhan inter-personal akan seseorang yang bisa mendengarkan dia. Dan kebutuhan intra-personal pula, dalam pengertian dia merasa dirinya itu penuh dengan tekanan yang harus dia keluarkan. Sehingga dengan dia tidak mengeluarkan tekanan itu dia merasa hidupnya terhimpit sekali. Keseimbangan intra-personal akhirnya menimbulkan kebutuhan yang besar. Jadi ketidakseimbangan itu seolah-olah menyaring, memperkuat kebutuhan yang dia rasakan bahwa dia perlu sekali seseorang yang bisa bersama dia, mendengarkan dia, menemani dia, dan membagi bebannya dengan dia.PG : Tepat sekali Bu Ida, jadi kebutuhan yang besar itu sebetulnya diibaratkan dengan pintu yang terbuka lebar-lebar. Dengan kata lain mereka membuka peluang, membuka diri untuk dimasukkan unsu-unsur luar atau orang-orang lain.
Itu intinya, jadi rawan sekali itu.PG : Sudah tentu yang pertama dan sering terjadi adalah perselingkuhan, jadi itu sering terjadi. Waktu suami dan istri terpisah akhirnya terjadi perselingkuhan dan kita akhirnya harus mengakui ukan saja pihak pria yang berselingkuh, bisa juga pihak wanita yang berselingkuh karena dua-duanya pada keadaan yang sangat butuh dan sangat rawan.
PG : Kalau seminggu, dua minggu, kalau dasarnya orang itu memang baik dan setia kemungkinannya sangat kecil.
PG : Jadi peluang ini muncul karena memang adanya kebutuhan yang besar yang harus dipenuhi itu Pak Gunawan. Yang lainnya lagi adalah sewaktu kita berpisah tidak bisa tidak kita harus mulai menaa hidup kita kembali supaya kita bisa terus hidup.
Sebab kalau hidup terus-menerus dirundung oleh kesedihan, kehilangan pasangan kita, kita bisa-bisa tidak berfungsi dengan optimal, tidak bisa bekerja dengan penuh konsentrasi dan sebagainya. Akhirnya apa yang kita lakukan, kita mulai beradaptasi, itu adalah kodrat manusiawi kita. Kita mulai beradaptasi dengan kesendirian kita, masalahnya adalah waktu dua-dua mulai beradaptasi yang terjadi sebetulnya adalah dua-dua makin tidak membutuhkan pasangannya. Nah, itu bisa juga terjadi.PG : Betul, dan itu adalah konsekuensi natural. Sewaktu kita bisa beradaptasi hidup sendiri, kebutuhan kita untuk adanya pasangan disamping kita makin berkurang. Kita mencoba menyesuaikan diri ntuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Misalkan si ibu ini harus bertanya kepada suaminya tentang anaknya, sekarang tidak ada suami tidak bisa tanya langsung, tanyanya misalkan satu bulan kemudian atau tiga minggu kemudian. Jadi terpaksa harus dipecahkan sendiri. Lama-lama dia bisa, dia dulu tidak bisa makanya harus tanya suami dan sekarang bisa. Nah, sekarang di manakah fungsi suami yang tadi itu? Ya tiba-tiba terhilang. Jadi dengan kata lain hubungan yang dipisahkan akan membawa dampak pada kita dan sering disebut konstelasi hubungan. Konstelasi hubungan yaitu keterikatan atau pemasangan hubungan itu sendiri, sehingga peranan yang dulu diemban oleh masing-masing, tiba-tiba sekarang berubah. Karena kebutuhan-kebutuhan yang dulu dipenuhi oleh pasangannya sekarang terpenuhi sendiri dengan caranya dia. Maka kalau tidak hati-hati setelah berpisah untuk jangka waktu yang lama kalau kembali bukannya mesra, mesranya cuma hari pertama. Setelah itu apa yang terjadi berkeinginan pisah lagi dan cekcok, bertengkar, karena memang kehilangan peran yang dulu itu telah dimainkan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, sekarang peranan itu tidak ada lagi. Dan harus memulai peranan yang baru, tapi tidak tahu peranan apa yang harus diemban karena memang tidak ada kontak interaksi langsung. Jadi seolah-olah mereka bertemu di dalam kefakuman, mau melakukan apa, suami masih mengatur si istri, si istri marah misalnya. Atau si istri mau bertanya kepada si suami, si suami marah karena terbiasa hidup tanpa ada yang mengatur, tanpa ada yang bertanya-tanya kepada dia.PG : Itu yang sering terjadi. Begitu anak-anak pulang, ibu atau ayah menyuruh-nyuruh, bertanya-tanya karena anaknya tidak mau cerita sama sekali.
PG : Betul, mula-mula anak-anak tidak ada, mereka pasti kesepian. Tapi begitu anak-anak pulang satu hari senang luar biasa, hari kedua mulai tidak senang, hari ketiga sangat tidak senang.
PG : Kalau saya melihat kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya. Meskipun seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya, kita ini berbicara bukannya tanpa kepekaan dengan orang-orang yang tepaksa melakukannya.
Dan saya pribadi mau sekali lagi menekankan pada para pendengar bahwa kami simpatik dengan orang yang harus melakukannya karena keterpaksaan tapi memang kerugiannya besar sekali.PG : Yang pertama yang tadi sudah disinggung oleh Ibu Ida, faktor manfaat dan kerugiannya. Benar-benar suami-istri harus dengan pikiran jernih mendaftarkan kerugian dan manfaatnya mana yang lebh besar.
Kadang kala meskipun disadari kerugiannya besar namun karena keterpaksaan harus dilakukan. Kalaupun harus dilakukan saya kira kriteria kedua yang harus dipikirkan adalah apakah ini permanen atau sementara. Jadi sebisanya jadikanlah itu sesuatu yang sementara.PG : Betul, atau ada yang berpikir kalau saya pulang ke sana kedudukan saya kalaupun bisa dapat kerja akan berkurang. Akhirnya masing-masing berpikir biarkan saja karena dengan penghasilan sepeti ini hidup lebih layak.
Kalau engkau pulang lebih susah, sudah teruskan saja. Itu bisa juga terjadi, maka kalau bisa saya tekankan tetap bersama. Jadi hanya lakukan kalau sudah sangat terpaksa, kalau tidak jangan dilakukan.PG : Kita harus perhatikan juga kuat lemahnya kita, jadi meskipun harus dilakukan tetap pertanyaan yang berikutnya adalah kuat atau tidak, mampu atau tidak kita melaluinya. Kalau kita sadari kia tidak kuat meskipun harus, meskipun kita rasa kita harus pergi ke luar, jangan.
Sebab daripada kita lakukan, kita lemah, berantakan dan jatuh ke dalam pencobaan lebih baik jangan. Orang bertanya bagaimana tahu kuat atau lemah, coba saja dalam waktu yang tertentu coba berpisah, bisa atau tidak bertahan, berapa tidak seimbangnya kita dibuatnya. Sebab kalau misalkan kita menjadi orang yang sangat tidak seimbang, misalnya karena tidak ada suami kita terus stres, marah- marah, memaki-maki anak dan sebagainya. Itu pertanda kita tidak kuat atau suami juga di tempat pekerjaannya uring-uringan, marah-marah dengan rekannya, bawahannya, itu pertanda tidak kuat. Jadi kuat atau tidak kuat tidak selalu berarti menghadapi godaan seksual, kuat atau tidak kuat dalam pengertian bisa atau tidak membuat hidupnya itu relatif seimbang kembali.PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi kita harus melihat pertama-tama usia anak. Jangan meninggalkan anak yang masih kecil, itu prinsip yang pertama. Kalau tidak sangat-sangat harus jangan tinggakan anak yang masih kecil.
Anak semakin remaja, belasan tahun memang semakin lebih bisa ditinggalkan. Tapi kita juga harus melihat faktor yang kedua tentang anak, faktor kebutuhan si anak yang banyak macamnya. Sebab anak tidak sama, ada anak yang sangat tergantung pada salah satu orang tua misalkan karena dia anak perempuan satu-satunya, kakak-kakak, adik-adiknya semua laki-laki. Dia sangat dekat dengan ibunya, karena ibunya adalah satu-satunya teman wanita dia. Misalkan mereka sekarang harus berpisah, si anak disekolahkan di luar. Mungkin sekali berdampak tidak baik pada si anak, karena dia kehilangan pegangan hidup itu yakni mamanya atau kebalikannya anak laki satu-satunya, kakak adiknya semua wanita, dia dekat pada ayahnya, sebab ayahnya menjadi modelnya, pegangan hidupnya, tempat dia berbicara. Sekarang tidak ada lagi mereka terpisah, itu bisa sangat menggoncangkan si anak.PG : Ya itu salah satu fakta kehidupan Pak Gunawan, jadi kalau itu yang harus terjadi karena tidak ada pekerjaan dan dia harus bekerja di luar kota, mungkin harus dilakukan juga.
PG : Jadi dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan akan ada tindakan-tindakan terbaik yang harus kita lakukan. Tapi tetap sebetulnya itu tidak ideal, tapi sebagai manusia kita harus sadariitu adalah bagian dari kehidupan kita.
PG : Ya saya harus akui faktor penebusan itu ada, maksud saya sekurang-kurangnya si ayah itu menebus rasa bersalahnya, jadi pasti ada dampaknya. Mengurangi rasa bersalahnya untuk si anak, apaka ada dampak penebusannya, ya ada sebab si anak bahagia, sebab semua anak senang diberikan hadiah.
Jadi figur papa itu menjadi yang menyenangkan karena datang membawa hadiah. Jadi ada unsur penebusannya bukannya tidak ada sama sekali. Tapi kalau Pak Gunawan tanya apakah penebusan seperti itu membayar balik kehilangan atau kerugian yang ditimbulkan, tetap tidak sebab tidak sebanding. Penebusan itu misalnya hanya membayar balik 10% tetap terhilang yang 90% itu.PG : Kalau anaknya sudah cukup besar, misalkan berusia sekitar 10 tahun ke atas dan dia mulai menanyakan ayahnya. Saya kira kalau saya jadi ibu itu saya akan ceritakan keadaan yang sebenarnya bhwa ayahmu itu sudah ada orang lain di sana, dia akan pulang karena dia mau ketemu kamu.
Jadi saya tidak akan menutup-nutupi hal itu, biarkan si anak itu berhubungan dengan ayahnya dan menanyakan kenapa ayah seperti itu. Sebab si ayah itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan saja kepada istrinya, juga kepada anaknya. Jadi saya kira jangan ditutupi biarkan dia ceritakan tapi kalau anaknya sudah bisa mengerti kira-kira usia 10 tahun ke atas, kalau sebelumnya sebaiknya jangan.PG : Betul, saya sebenarnya tidak akan mengambil bagian dalam penipuan ini atau tipu daya ini. Jadi sebagai seorang ibu dia harus ceritakan bahwa inilah kenyataannya. Kalau si anak bilang saya idak percaya, silakan tanyakan papamu.
Dan anaknya akan terpukul, shock dan sebagainya tapi tetap prinsip saya adalah realitas itu sehat daripada hidup dalam ilusi.PG : Sebisanya sebelum dia itu pindah, dia membawa istrinya dulu untuk meninjau keadaannya kemudian dua-dua pulang, saling mendoakan, mendiskusikannya lagi dan melihat cocok atau tidak cocok tepat seperti itu.
PG : Betul, keterbukaan dari awalnya.
PG : Saya akan bacakan dari
PG : Betul, meskipun tidak dilihat oleh pasangan kita.
PG : Betul.
PG : Tepat sekali jadi anak-anak yang berpisah dari orang tuanya, yang tidak diawasi oleh orang tua harus bertanya dapatkah saya berkata yang saya lakukan ini dalam nama Tuhan Yesus.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang ekses kalau keluarga suami istri itu harus berpisah secara terpaksa, berpisah walaupun untuk sementara waktu. Dan pembicaraan ini telah kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 41 B
6. Kondisi Bertumbuhnya Cinta Kasih | |
Cinta kasih sangat memerlukan pemeliharaan, baik itu cinta kasih di antara suami-istri, orangtua-anak, antar rekan, teman dsb. Kita perlu mengenal hal-hal apa yang dapat menyuburkan cinta kasih, tanpa hal-hal tersebut cinta kasih cenderung akhirnya pudar.
Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang digunakan untuk melukiskan makna cinta. Bahasa Yunani menyoroti cinta secara lebih spesifik dengan lebih tajam, oleh karena itulah ketiga jenis kata yang digunakan ini dapat kita kaitkan dengan perkembangan cinta di dalam keluarga.
Ada beberapa yang kita akan bahas adalah:
Kasih Eros, dari kata eros muncullah kata erotik. Jadi kata eros itu sendiri berarti sebetulnya kasih yang didasari atas ketertarikan jasmaniah secara fisik. Juga saya gunakan istilah ini adalah cinta yang lebih ke arah saya sendiri secara pribadi, jadi cinta ini cinta searah, namun arahnya adalah dari orang kepada kita karena orang memberikan sesuatu yang kita inginkan atau menyenangkan hati kita. Boleh juga digunakan istilah cinta terpesona, benar-benar kita rasanya terpesona dengan penampakannya, kehadirannya. Unsur eros ini adalah unsur yang juga penting dalam pernikahan. Dengan kata lain tanpa adanya unsur eros cinta itu juga akan kehilangan unsur 'passion' yaitu suatu ketertarikan suatu pendambaan yang kuat. Suatu hasrat, keinginan untuk intim.
Tahap Phileo, dalam bahasa Yunani kata phileo berarti kawan, persahabatan. Phileo ini adalah kasih persahabatan jadi pada tahap ini relasi diikat oleh kecocokan, berbeda dengan eros di mana relasi diikat oleh ketertarikan. Dengan kata lain kita bergerak meninggalkan eros yang bersifat jasmani masuk ke dalam relasi yang lebih bersifat non-jasmaniah, kecocokan sifatnya, karateristiknya, kesamaan berpikir, bisa mengerti kita, kita bisa mengertinya. Kalau saya boleh intisarikan cinta phileo adalah cinta yang berkata: aku senang bersamamu, sebab kita sepadan. Phileo akan menempati porsi yang besar dalam pernikahan misalkan 2, 3 tahun pertama adalah porsi eros boleh dikata setelah sampai 40 tahun yang akan mengikat kedua orang ini adalah phileo, persahabatan.
Tahap Agape, inilah puncaknya dan sudah tentu tahapan ini tidak berarti hanya bisa ada di akhir pernikahan kita. Kasih agape, kasih searah sama seperti eros namun bedanya arahnya itu terbalik. Kalau eros arahnya dari dia kepadaku, kasih agape adalah arahnya dari aku kepada dia, kepada pasangan kita. Inilah kasih yang kita sebut kasih tanpa kondisi, sifat utamanya adalah memberi tanpa menghiraukan respons penerimanya. Untuk mengetahui bahwa kita mulai memiliki cinta agape adalah:
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang kondisi bertumbuhnya cinta. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Ada anggapan, Pak Gunawan, bahwa cinta itu sekali ada akan selalu ada dan cinta itu ibarat pohon di pinggir jalan yang tidak usah kita pelihara akan terus bertumbuh dan tiba-tiba daunnya rmbun, dan menjadi tempat kita berteduh.
Tapi kenyataannya tidaklah demikian, baik cinta antara suami-istri maupun antara orang tua-anak atau cinta antar rekan, teman, perlu dipelihara. Nah yang perlu kita lakukan adalah mengenal hal-hal apa itu yang dapat menyuburkan cinta kasih, jadi asumsinya adalah tanpa hal-hal tersebut, cinta kasih itu cenderung akhirnya akan pudar.PG : Secara logis kalau kita berpikir, kalau sudah ada benih pasti akan bertumbuh, tapi kenyataannya tidaklah demikian. Sebab bagaimanapun benih itu memerlukan pemeliharaan, perlu disirami air,matahari yang cukup dan juga pupuk yang baik.
Tanpa itu semua kemungkinan cinta itu ada, namun saya kira tidak akan bertumbuh dengan kuat dan kemungkinan justru yang lebih besar adalah cinta itu akhirnya akan pudar.PG : Saya akan mengambil beberapa prinsip yang saya temukan dari kitab
PG : Yang kedua adalah saya ambil dari ayat 12, "Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya." Kondisi kedua agar cinta bertumbuh dengan baik adalah hars adanya perbuatan baik, Pak Gunawan dan Ibu Ida.
Jadi kalau kita ini menerima perbuatan baik dari seseorang, kita cenderung lebih tergerak untuk mengasihi orang tersebut. Kebalikannya justru yang kita terima perbuatan jahat, akan sulit sekali bagi kita untuk mencintai orang tersebut. Nah kadang kala dalam kehidupan suami-istri kita mulai melupakan betapa pentingnya perbuatan baik, kita beranggapan dengan menjalankan kewajiban masing-masing kita sudah berbuat baik, tidak cukup sebetulnya. Bukankah kalau misalnya istri kita bertanya apa yang bisa saya bantu, apa yang bisa saya lakukan untukmu, suami yang berkata kepada istrinya, apa saya saja yang mengajar anak malam hari ini atau bagaimana kalau malam ini kita rileks, kita pinjam video untuk nonton sama-sama, itu adalah sentuhan-sentuhan kecil yang mungkin bagi seseorang dianggap tidak begitu bermakna. Tapi pada dasarnya semua itu menunjukkan itikad baik dan akhirnya menjadi suatu perbuatan baik bagi si penerima perbuatan tersebut. Reaksinya apa yang akan muncul, cinta kasih, sebab sekali lagi cinta kasih cenderung muncul dengan subur sewaktu ada perbuatan baik untuk diterima oleh seseorang.PG : Perbuatan baik harus dilakukan dengan konsisten Pak Gunawan, jadi seseorang yang biasanya acuh tak acuh, tidak menggubris pasangannya eh....tidak ada angin tidak ada hujan, manis berbuat bik, tidak bisa tidak hal itu akan menumbuhkan bukannya rasa cinta kasih tapi justru kecurigaan, ada apa ini.
Jadi memang harus konsisten, sehingga perbuatan baik itu merupakan ciri kita, jadi pasangan kita atau anak kita, orang tua kita atau teman sekerja kita tahu bahwa kita adalah seseorang yang baik. Seseorang yang memang memperhatikan orang lain dan mau menolong arang lain.PG : Sebelum kita masuk ke yang berikutnya, saya ini teringat akan hal kecil yang anak saya lakukan, Pak Gunawan. Misalnya kalau boleh saya bagikan, anak saya itu kadang-kadang yang besar mulaimemperlihatkan pengertiannya terhadap keadaan saya.
Misalkan kalau saya pulang capek dan kebetulan dia dekat meja makan, dia yang langsung akan berkata: "Papa silakan duduk, saya akan ambilkan piring buatmu dan sebagainya." Nah sekali lagi hal kecil namun reaksinya dalam hati saya adalah makin mencintainya, jadi hal-hal kecil seperti itulah yang kita mesti sering lakukan yang berwujudkan perbuatan baik. Nah yang ketiga saya ambil dari ayat 15, "Ia bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya." Yang saya petik dari ayat ini adalah suka bertanggung jawab, jadi cinta kasih cenderung bertumbuh dengan kuat jikalau ada rasa tanggung jawab yang kuat. Sulit bagi kita mengasihi seseorang yang kita nilai tidak bertanggung jawab, tidak melakukan tugasnya, tidak melakukan kewajibannya. Demikian pula anak terhadap orang tua, kalau anak melihat orang tua hidup bertanggung jawab itu akan menumbuhkan rasa cinta kasihnya terhadap orang tua. Sudah tentu kebalikannya juga betul, kalau anak justru melihat papa mama hidup tidak bertanggung jawab, yang muncul bukannya rasa cinta kasih, rasa dingin dan bahkan kadang-kadang bisa muncul rasa benci.PG : OK! Kadang kala kalau orang tua terlalu mengambil alih tanggung jawab anak, si anak tidak akan bertumbuh dengan dewasa sehingga dia tahu ada orang tua yang akan selalu siap untuk memikul tnggung jawabnya.
Jadi harus ada penyeimbangan, orang tua harus selalu tahu kapan harus ikut turun/terjun, kapan harus mendiamkan anak. Misalkan akhirnya kita berkata ini sekarang terserahmu, kami sudah membimbingmu, nah sekarang giliranmu menganut tanggung jawab ini. Kalau sampai engkau tidak naik kelas engkau harus menanggung resiko itu dan orang tua harus tegar hati untuk berkata saya akan menerima kalau anak saya akhirnya tidak naik kelas. Nah kadang kala orang tua tidak bisa menerima fakta tersebut, malulah dan sebagainya jadi akhirnya membebaskan anak dari tanggung jawab dengan terus-menerus menolong si anak, mensupportisasi si anak gagal mandiri. Jadi memang perlu sekali penyeimbangan dalam hal ini.PG : Saya ambil dari ayat 16, Ibu Ida, "Ia membeli sebuah ladang yang diinginkannya dan dari hasil tangannya kebun anggur ditanaminya." Saya menyimpulkan di sini ada keputusan atau tidakan yang berhikmat, nah ini adalah kondisi yang penting untuk munculnya cinta kasih.
Bukankah kita sering mendengarkan keluhan orang bagaimana saya bisa mengasihi dia, dia terus-menerus melakukan kesalahan, mengambil keputusan yang bodoh, yang tidak berpikir panjang. Nah dengan kata lain, cinta kasih mudah bertumbuh, atau cenderung bisa bertumbuh subur jika ada unsur hikmat, sehingga keputusan dan tindakan yang diambil memang keputusan yang diambil dengan pikiran matang dan berhikmat. Tanpa hikmat kebodohan-kebodohanlah yang mewarnai keputusan dan akhirnya banyak kekeliruan yang dilakukan, nah dalam kondisi seperti itu saya kira sukar bagi cinta kasih untuk bertumbuh.PG : Saya duga dalam kenyataannya suami-istri harus bekerja sama Pak Gunawan, dalam mengambil keputusan, nah dalam Amsal ini kita tidak mendapatkan informasi yang lengkap, apakah memang si istr yang mengambil keputusan secara sendirian ataukah dalam kejadian ini atau peristiwa yang tertentu ini kebetulan si istrilah yang mempunyai ide itu dan akhirnya si suami menuruti ide atau gagasan itu untuk membeli tanah yang akhirnya ditanami, yang akhirnya mempunyai hasil yang baik.
Nah pada intinya sudah tentu suami dan istri harus mengambil waktu untuk berdiskusi dalam pengambilan keputusan dan keputusan yang dipikirkan dengan matang akan menghasilkan juga keputusan yang lebih baik. Proses pengambilan keputusan itu lebih penting daripada hasil keputusannya, sebab hasil keputusan tergantung pada banyak faktor yang kadang-kadang memang di luar kendali kita. Namun prosesnya yaitu misalnya mengambil waktu, memikirkan segala aspek, itu adalah bagian dalam pengambilan keputusan yang memang harus dilewati. Nah, jangan sampai suami-istri mengambil keputusan dengan gegabah, karena bukankah akhirnya akan mempengaruhi satu keluarga dan kalau ini terjadi berkali-kali akan berpotensi besar mengurangi bobot cinta kasih.PG : Di ayat 20 dikatakan, "Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin," saya simpulkan adanya unsur murah hati di sini, unsur belas kasihn.
Jadi unsur cinta kasih bertumbuh jika ada unsur kemurahan hati, belas kasihan, mau memberi, mau menolong, mau berkorban. Saya kira cinta kasih akan sulit bertumbuh kalau kita merasakan bahwa orang tersebut pelit, perhitungan, menghitung-hitung dan saya kira perlakuan seperti itu membuat kita mau membalasnya seperti itu pula, menghitung-hitung dan tidak murah hati. Jadi cinta cenderung bertumbuh dengan bebas, tatkala murah hati menjadi suatu warna yang dominan dalam hubungan tersebut.PG : Saya kira perbedaan seperti itu akan menimbulkan konflik, kalau si istri itu murah hati si suaminya pelit. Belum tentu si suami akan menghargai sikap si istri yang murah hati itu, karena da merasakan ini suatu kerugian di pihaknya.
PG : Pemborosan betul, si istri akan sulit mengasihi si suami, karena dia melihat sikap si suami yang pelit itu sebagai suatu yang picik. Nah kalau memang ada perbedaan seperti itu, saya kira cnta kasih akan tersendat dari dua belah pihak, jadi penting sekali keduanya mempunyai kesamaan nilai.
Dengan kesamaan nilai itulah mereka bisa saling menghargai dan cinta kasih akan bertumbuh. Waktu kita melihat orang menolong seorang yang lain kita ingin mengasihinya, itu sebabnya kita cenderung mengasihi pahlawan atau tokoh-tokoh yang begitu rela berkorban bagi orang lain. Meskipun kita tidak mengenal mereka secara pribadi, tapi sudah ada rasa mengasihi tokoh-tokoh ini demikian pulalah dengan hubungan suami-istri atau orang tua-anak. Anak yang melihat papa-mama begitu perhitungan, tidak memberikan dengan murah hati, pelit, susah bagi mereka untuk mencintai orang tua, itu sudah merupakan konsekuensinya, jadi harus kita perhatikan kondisi ini.Di ayat 28 dan 29 tertulis, "Anak-anaknya bangun dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia. Banyak wanita telah berbuat baik tetapi kau melebihi mereka semua." Unsur yang terkandung di sini adalah pujian dan penghargaan. Jadi cinta cenderung bertumbuh kalau adanya unsur penghargaan dan pujian. Saya melihat kadang-kadang suami-istri yang terutama sudah begitu terbiasa dengan kehidupan ini sehingga lupa untuk mengatakan terima kasih. Nah ada orang berkata bukan budaya orang Asia untuk mengungkapkan penghargaan dan terima kasih. Bagi saya itu harusnya merupakan budaya manusia bukannya harus dikaitkan dengan budaya yang tertentu. Sebab kita sebetulnya sangat menyenangi pujian dan penghargaan, kalau itu kita senangi kenapa tidak diberikan kepada orang lain dan kita mesti percaya cinta kasih akan jauh lebih bertumbuh kalau ada unsur penghargaan dan pemberian pujian.
PG : Betul, jadi Pak Gunawan menekankan suatu pokok pemikiran yang penting yaitu yang berfaedah adalah yang terdengar, bukannya yang tersimpan di hati. Jadi kalau kita menghargai, katakanlah.
PG : Tepat sekali.
PG : Di ayat 30a dikatakan "Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan di puji-puji." Saudara bisa bayangkan si istri mendapatkan komentr ini dari si suami akan merasakan sangat bahagia ya, bahwa suaminya mencintainya bukan karena kemolekan dan kecantikan lahiriahnya.
Jadi saya kira cinta kasih bertumbuh kuat kalau ada penerimaan penuh, penerimaan yang melewati batas-batas lahiriah. Suami dicintai karena istri menerimanya penuh, meskipun tidak menghasilkan uang yang banyak, istri dicintai meskipun tidaklah secantik orang-orang yang lain, anak tetap dicintai meskipun prestasi belajarnya tidaklah seperti yang kita idealkan. Nah cinta kasih cenderung bertumbuh di dalam penerimaan yang penuh seperti itu, namun kebalikannya kalau yang diterima justru tuntutan yang bersyarat, nah cinta kasih juga akan sulit bertumbuh. Jadi seseorang itu perlu yakin bahwa dia itu diterima apa adanya, nah sebagai respons pasti akan memunculkan cinta kasih terhadap orang tersebut.PG : Tetapi istri yang takut akan Tuhan, akan dipuji-puji. Jadi kesimpulannya adalah si suami ini berkata bahwa kualitas yang terindah adalah takut akan Tuhan dan sengaja si suami ini menuliska kualitas ini pada akhirnya.
Jadi unsur yang terakhir yang penting sekali adalah cinta kasih bertumbuh, kalau ada rasa takut akan Tuhan. Saya kira kita cenderung mengasihi orang yang takut akan Tuhan dan sukar mengasihi orang yang kurang ajar kepada Tuhan, saya kira itu merupakan bagian dari kehidupan manusia. Jadi waktu kita melihat istri kita begitu saleh, takut akan Tuhan, suami kita mencari Tuhan, takut akan Tuhan, orang tua takut akan Tuhan, nah saya kira respons orang-orang di sekitarnya adalah makin mencintai mereka. Jadi kualitas yang penting sekali jangan sampai kita lupakan.PG : Betul, contohnya adalah dalam pengambilan keputusan, tidak senantiasa kita membagikan semua persoalan kepada anak-anak. Namun akan adanya kesempatan di mana kita rasa tidak apa anak-anak thu, kita melibatkan mereka dan waktu kita melibatkan mereka, kita mengajak mereka berdoa bersama dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan cara inilah mereka melihat bahwa orang tua sangat mempertimbangkan kehendak Tuhan dan bukan kehendak mereka. Nah dengan cara ini anak-anak juga mencontoh perilaku yang sama bahwa lain kali waktu mereka dihadapkan pada suatu dilema, keputusan yang harus mereka ambil, mereka perlu berdoa meminta kehendak Tuhan untuk waktu yang lumayan panjang.PG : Bisa jadi, waktu anak-anak tidak pernah melihat, bagaimana orang tua bergumul dalam kehendak Tuhan, waktu kehendak Tuhan itu datang dan seolah-olah mengecewakan mereka, mereka akan kurang iap.
Tapi sewaktu orang tua mulai membagikan pengalaman hidup mereka juga, apalagi melibatkan dalam peristiwa tertentu orang tua bergumul dalam kehendak Tuhan, si anak akan lebih siap menerima apa kehendak Tuhan apa adanya, karena mereka sudah melihat contoh itu.PG : Saya kira kalau satunya tidak ada yang satunya ada, sedikit banyak itu akan mengkompensasi atau menyeimbangkan, namun saya kira dari 8 kualitas tersebut, kualitas nomor 8 yang terakhir ituyang mutlak harus ada, takut akan Tuhan.
Sebab takut akan Tuhan itu juga akan memberi keamanan bahwa kita tahu misalnya pasangan kita itu meskipun berkemungkinan berbuat macam-macam, tapi kemungkinan itu kecil. Karena dia hidup dalam takut akan Tuhan. Nah dalam keamanan seperti itu cinta kasih akan lebih mudah bertumbuh dengan subur.PG : Ide yang baik sekali, Pak Gunawan, sebab bagaimanapun cinta kasih itu bertumbuh dalam konteks perbuatan yang nyata, sekali lagi itu yang harus kita ingatkan. Cinta kasih tidak bertumbuh daam kehampaan keluarga yang nyata, nah perbuatan yang nyata inilah yang akan kita lihat, kita alami, sewaktu kita mengalaminya cinta kasih akan lebih mudah muncul.
Dalam bahasa Inggrisnya ke delapan hal ini di sebut love nurturing behaviors jadi perilaku-perilaku yang menumbuhkan cinta kasih. Jadi sekali lagi, harus ada perilaku-perilaku nyata, baru cinta kasih akan bertumbuh. Jangan akhirnya hanya kita menuntut orang mencintai kita, tapi kita gagal menumbuhsuburkan cinta kasih mereka kepada kita, karena kita tidak melakukan hal-hal seperti ini.Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan dengan tema kondisi bertumbuhnya cinta dari
PERTANYAAN KASET T 51 A
7. Amsal untuk Keluarga 1 | |
Amsal merupakan hikmat yang Tuhan berikan kepada manusia untuk bagaimana hidup di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain Amsal merupakan contoh konkret atau terjemahan langsung dari Firman Tuhan untuk kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Amsal merupakan hikmat yang Tuhan berikan kepada manusia untuk bagaimana hidup di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain Amsal merupakan contoh konkret atau terjemahan langsung dari Firman Tuhan untuk kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Keluarga sangat penting dibangun di atas firman Tuhan karena Firman Tuhan:
Memberikan panduan bagaimana kita hidup benar.
Firman Tuhan sendiri merupakan kuasa, jadi orang yang hidup dekat dengan Firman Tuhan akan hidup berkuasa dalam pengertian mempunyai kuasa dari Tuhan untuk hidup sesuai dengan yang Ia kehendaki.
Hubungan dengan Tuhan.
Dua pengertian takut akan Tuhan:
Takut akan Tuhan berarti memang takut dihukum Tuhan, karena Tuhan adalah Tuhan yang bisa marah dan Tuhan juga menghukum anak-anak-Nya. Kitab Ibrani berkata: Allah mengganjar anak yang dikasihi-Nya dengan kata lain Tuhan tidak segan-segan menghukum anak-anak-Nya.
Merupakan rasa respek terhadap Tuhan, rasa segan yang membuat kita enggan melakukan hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki.
Kedua hal di atas memang fondasi yang harus dimiliki oleh seorang suami atau istri. Jadi bagi suami atau istri atau bagi ayah atau ibu hidup takut akan Tuhan itu sebetulnya adalah suatu bonus yang akan menguatkan keluarga mereka. Takut akan Tuhan adalah hikmat, hikmat adalah mengerti apa yang harus dilakukannya pada saat yang tepat, mengerti apa yang harus dikatakannya pada waktu yang tepat.
Hubungan dengan sesama.
Dua hal yang menyebabkan seorang istri ngomong tidak putus-putus seperti yang dituliskan dalam Amsal adalah:
Karena memang dia mempunyai problem sehingga tidak bisa menguasai emosinya dengan baik. Sehingga kalau emosi dia harus lampiaskan sampai tuntas baru dia berhenti.
Dia terus-menerus mengeluh karena memang sudah merasa tidak didengarkan. Jadi dia hanya mempunyai anggapan hanya dengan cara inilah suaminya itu akan bereaksi.
Kalau kita mempunyai problem dengan emosi kita dan kita tahu kalau sudah marah bisa benar-benar berlebihan bahkan memukul, yang harus kita lakukan adalah:
Kita harus memisahkandiri dari pasangan kita waktu kita marah. Misalkan kita beritahu dia kita sepakati, kalau saya lagi emosi sudah kamu berhenti bicara, jangan tambah-tambahkan, jangan tanggapi saya, bisa lepas kendali.
Izinkan saya untuk pergi dulu, benar-benar secara harafiah mendinginkan kepala, misalnya dengan meminum air dingin, setelah ada jedah selama 1 jam, mungkin sekali kita akan lebih siap untuk berbicara.
Prinsipnya adalah waktu marah jangan serang orangnya, seranglah masalahnya.
Hati yang positif adalah artinya hati yang tidak menyerah begitu saja oleh keadaan, jadi tetap mempunyai semangat untuk hidup, tahu bahwa Tuhan akan menolong, Tuhan tidak meninggalkan kita. Jadi salah satu caranya adalah memang benar-benar berserah kepada Tuhan, bahwa Tuhan akan membukakan jalan. Hati yang gembira muncul dari dalam, dalam pengertian puas dengan yang telah dia terima, dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya.
Hubungan dengan diri sendiri yaitu hidup benar.
Hubungan dengan lawan jenis.
Hubungan dengan pekerjaan atau dengan harta benda yang kita miliki.
Hubungan dengan anak-anak.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi akan menemani Anda dalam perbincangan yang pasti menarik dan bermanfaat. Kali ini kami akan membahas topik-topik dengan dasar Alkitab sebagai sumber utamanya dan Amsal untuk keluarga ini pun akan banyak membaca dan melibatkan bagian-bagian dari Kitab Amsal yang cukup kita kenal; maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Pak Gunawan, Amsal sebetulnya merupakan hikmat yang Tuhan berikan kepada manusia sebagaimana manusia hidup di dunia ini sesuai dengan kehendakNya. Dengan kata lain Amsal merupakan conto konkret atau terjemahan langsung dari firman Tuhan untuk kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dan ternyata sebagaimana nanti kita akan lihat, ada banyak panduan dari kitab Amsal untuk kehidupan keluarga kita. Nah pada saat ini atau pada kesempatan ini, saya kira itulah yang akan kita angkat agar para pendengar kita mendapatkan berkat dari firman Tuhan pula.PG : Saya akan mengangkat beberapa bagian dari kitab Amsal yang mempunyai beberapa pasal, jadi misalnya kita akan lihat dari pasal 1, pasal 18, dan sebagainya dan semuanya itu akan bisa mengjarkan kita bagaimana membangun keluarga dengan hikmat dari Tuhan kita Yesus Kristus.
PG : Saya pikir sangat penting sekali Pak Gunawan, sebab firman Tuhan memberikan kita panduan bagaimana kita hidup yang benar. Nah yang berikutnya lagi adalah firman Tuhan sendiri berkuasa, adi orang yang hidup dekat dengan firman Tuhan akan hidup berkuasa.
Dalam pengertian mempunyai kuasa dari Tuhan untuk hidup sesuai dengan yang Ia kehendaki. Dan saya kira kita semua bisa setuju bahwa kalau suami istri dan anak-anak hidup semuanya sesuai dengan firman Tuhan, sehingga akan sedikit sekali pertengkaran yang muncul dalam keluarga mereka.ET : Tapi rasanya hal ini justru sering kali jadi nomor sekian Pak, karena kadang-kadang orang berkata sekarang ini hidup sudah terlalu susah yang penting mengumpulkan uang dulu. Jadi mungki akhirnya hal-hal yang mendasar justru menjadi nomor sekian sepertinya.
PG : Tepat sekali Bu Esther, saya juga kadang-kadang harus mengakui bahwa saya sendiripun kadangkala seolah-olah tidak begitu fasih menerjemahkan firman Tuhan dalam kehidupan kita. Kita seolh-olah menjadikan dunia kita ini dua dunia yang terpisah, antara dunia di gereja dan kehidupan di luar gereja.
Jadi yang kita dengarkan dari mimbar tatkala kita ke gereja seolah-olah hanya bisa kita terapkan dalam lingkup gereja pada saat itu. Kemudian waktu kita keluar dan hidup sehari-hari dengan istri, suami kita, anak-anak kita, apalagi dengan orang-orang lain ternyata kita mengalami kesulitan atau kadangkala justru tidak mengingat apa yang firman Tuhan katakan. Justru kitab Amsal ini memberikan begitu banyak contoh-contoh konkret atau panduan-panduan yang praktis dan langsung bisa kita terapkan. Di hadapan saya melalui diskusi pada kesempatan ini, para pendengar juga bisa diingatkan akan panduan-panduan tersebut dan mengingatnya untuk dipraktekkan dalam kehidupan mereka masing-masing.PG : Memang ada sedikit unsur-unsur budaya yang tepat atau cocok untuk masa itu, tapi dapat saya katakan hampir semuanya itu lepas dari budayanya dan mempunyai kaidah yang tetap berlaku untu kehidupan kita sekarang.
PG : Misalnya dalam relasi kita dengan Tuhan, firman Tuhan yang terambil dari
(2) ET : Tetapi tentang konsep takut akan Tuhan, kadang-kadang ada orang yang menganggap jadinya seperti Allah ini, Tuhan seolah-olah polisi. Jadi takut itu seperti kita takut pada polisi, takut kena tilang, takut dianggap melanggar lalu lintas, sebenarnya konsep takutnya itu seperti apa Pak Paul?
PG : Ada 2 pengertian takut akan Tuhan, yang pertama adalah seperti yang tadi Ibu Esther katakan, takut akan Tuhan berarti memang takut dihukum Tuhan, karena Tuhan adalah Tuhan yang bisa marh dan kita tahu Tuhan menghukum anak-anakNya.
Firman Tuhan yang kita tahu di kitab Ibrani berkata: Allah mengganjar anak yang dikasihiNya dengan kata lain, Tuhan tidak segan-segan menghukum anak-anaknya. Jadi rasa takut itu harus ada, takut kalau Tuhan menghukum kita karena kita berdosa terhadapNya. Takut yang kedua adalah lebih merupakan rasa respek terhadap Tuhan, rasa segan yang membuat kita enggan melakukan hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki. Jadi memang keduanya harus ada di dalam diri seseorang, nah sekali lagi ini adalah panduan pertama, ini adalah fondasinya yang harus dimiliki oleh seorang suami atau istri. Saya kira seorang istri akan kesulitan menghormati suaminya kalau misalkan ke gereja setiap minggu, tapi si istri tahu dalam pekerjaannya dia menipu kiri kanan atau di rumah dia mencaci maki istrinya seenaknya, memaki anaknya juga seenaknya dan di rumah si istri melihat si suami tidak pernah membaca firman Tuhan, tidak pernah menjadi imam dalam keluarganya. Nah tidak bisa tidak respek istri terhadap suami sudah mulai berkurang. Bandingkan dengan kalau si istri melihat suaminya mencoba mengikuti firman Tuhan dengan setulusnya, menjadi imam dalam memimpin keluarganya kepada Tuhan. Bukankah si istri melihat si suami dengan hormat kalau dia tahu suaminya adalah anak Tuhan, suaminya adalah hamba Tuhan sehingga si istri tidak begitu berani sembarangan bersikap kepada suaminya demikian juga anak-anak terhadap papanya dan mamanya. Jadi sekali lagi bagi suami atau istri atau bagi ayah atau ibu hidup takut akan Tuhan itu sebetulnya adalah suatu bonus yang akan menguatkan keluarga mereka.PG : Pengetahuan di sini memang dikaitkan dengan hikmat, Pak Gunawan, jadi dalam kitab Amsal kata-kata seperti pengetahuan, pengertian, kepandaian, hikmat atau kebijaksanaan itu dipakai secaa berganti-ganti.
Makna sebetulnya adalah hikmat, jadi takut akan Tuhan adalah hikmat. Hikmat bukanlah seperti definisi kita sekarang kecerdasan, orang yang cerdas belum tentu hikmat, orang yang ber-IQ 150 belum tentu hikmat. Hikmat adalah mengerti apa yang harus dilakukannya pada saat yang tepat, mengerti apa yang harus dikatakannya pada waktu yang tepat. Nah jadi Tuhan berkata awal dari pengertian, tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan pada waktu yang tepat itu awalnya takut akan Tuhan. Orang yang takut akan Tuhan akan takut untuk berdosa, orang yang takut berdosa mencoba jalan dengan benar, orang yang jalan dengan benar sesuai firman Tuhan otomatis sudah memulai jalan dengan hikmat.PG : Ada juga ayat-ayat yang mengatur hubungan kita dengan pasangan kita yang bisa kita terapkan secara langsung. Misalnya
ET : Jadi memang kalau ini saja dilakukan, sudah menjadi modal yang besar untuk relasi yang berikutnya yaitu dengan mendengarkan.
PG : Betul sekali Bu Esther, bukankah ini hal yang sangat sederhana tapi paling sulit dilakukan. Itu sebabnya bukankah kita ini mau membela diri kenapa kita sulit mendengar, karena kita lebi tertarik membela diri kita.
Artinya kita lebih sibuk membenarkan diri atau tindakan kita, kalau kita mendengarkan ada resiko akhirnya kita sadari kita ini salah dan kita rasanya tidak siap untuk mengakui kita salah. Jadi lebih baik kita penuhi dengan kata-kata kita untuk membela atau membenarkan diri kita. Sehingga kita tidak perlu melihat adanya kemungkinan bahwa kita yang salah. Bukankah waktu kita dua-dua duduk diam dan saling mendengarkan akan banyak pemahaman yang kita peroleh, hal-hal yang tidak kita lihat, sekarang kita lihat. "O....beginilah alasanmu, saya mengerti kenapa ini sampai terjadi, OK! Saya mengerti engkau tidak sengaja tadi". Dengan kata lain kita terpaksa mengubah arah tindakan kita yang tadinya kita sudah tetapkan kita mau marah, kita mau menghukum dan sebagainya sekarang tiba-tiba harus berhenti, kita harus belok tidak jadi menghukum dia atau memarahi dia karena apa?Karena pengertian yang telah kita peroleh untuk memberikan waktu mendengarkan.ET : Cuma memang kadang-kadang ada orang yang merasa lebih baik saya tidak mendengar lebih banyak, nanti berubah pikiran. Jadi karena sudah punya prasangka pokoknya pasti dia salah, kalau saa dengarkan nanti saya melihat kesalahannya jadi terpengaruh sehingga menjadi berkurang salahnya.
PG : Betul, betul sekali, jadi mendengarkan adalah hal yang sulit karena menuntut kesediaan untuk mengorbankan diri. Tapi seperti tadi Ibu Esther, katakan keampuhannya luar biasa sebab serig kali meskipun solusi belum bisa kita temukan misalnya kita bertikai dengan pasangan kita, tapi kalau kita merasa dia sudah mendengarkan kita bukankah kemarahan kita sudah reda.
Jadi benar-benar itu luar biasa ampuhnya dan firman Tuhan dengan jelas berkata kalau kita memberi jawab sebelum mendengarkan, kita menjadi orang yang bodoh dan itu menjadi kecelaan kita, artinya menjadi hal yang merupakan kelemahan kita.PG : Betul, sangat mengganggu sekali. Saya kira ada 2 kemungkinan ya Pak Gunawan, kenapa sampai seorang wanita terus menerus mengeluh seperti itu. Nomor 1 adalah mungkin memang dia mempunyaiproblem sehingga tidak bisa menguasai emosinya dengan baik.
Sehingga kalau emosi harus dia lampiaskan sampai tuntas baru dia berhenti. Celakanya yang namanya tuntas itu bisa berkisar antara 5 jam sampai 5 hari, ada yang bisa seperti itu. Tapi bisa juga yang ke-2 Pak Gunawan yaitu dia terus menerus mengeluh karena memang sudah merasa tidak didengarkan. Jadi dia mempunyai suatu anggapan hanya dengan cara inilah suaminya itu akan bereaksi, dia kalau hanya bicara satu, dua kali tidak akan ada reaksi yang dia harapkan. Jadi untuk mendapatkan tanggapan yang dia inginkan, dia benar-benar harus mengebor bukan hanya menancapkan paku dia harus bor sampai ke dalam baru nanti suaminya marah, bereaksi nah baru dia dapatkan, jadi memang ada 2 tipe, Pak Gunawan.PG : Di
ET : Jadi seperti bom yang berkekuatan besar ya?
PG : Betul, betul dia makin bereaksi terhadap penggunaan kata-kata kita yang dianggap terlalu berlebihan. Dan juga emosi yang berlebihan sering kali menutupi hikmat kita, susah sekali berpikr dengan jernih kalau emosi itu sudah terlalu menguasai kita.
Bukannya tidak boleh mengungkapkan emosi, silakan, tapi ada waktunya yang tepat dan juga harus ada batasnya. Kalau kita dikuasai oleh emosi semau-maunya memarahi orang bukankah kita menghancurkan pasangan kita. Berapa banyak anak yang sakit hati karena terluka oleh kata-kata orang tua, berapa banyak istri atau suami yang juga hancur karena perkataan atau emosi pasangannya.ET : Masalahnya kadang-kadang orang bilang aduh kalau saya sudah marah benar-benar sudah lupa. Dan celakanya dalam kelupaannya yang nekad bicara yang akhirnya setelah dia marah lalu bilang maf saya tidak bermaksud berkata-kata seperti itu.
Tapi memang saya setuju dengan yang Pak Paul bilang, walaupun permintaan maaf itu dilontarkan lukanya juga pasti tidak semudah itu untuk disembuhkan. Walaupun kita tahu kata-kata ini diucapkan oleh orang yang sedang emosi, tapi lukanya tetap terasa.PG : Hati sudah terlanjur robek dan menjahitnya itu memerlukan usaha yang lebih berat dan membutuhkan waktu yang lama.
PG : OK! Bagus sekali pertanyaan Pak Gunawan, maksudnya di sini bukannya orang harus tutup mulut sama sekali. Maksudnya adalah silakan ya sebab Alkitab juga bilang marahlah, tapi jangan biaran amarahmu terus tinggal sampai matahari terbenam.
Jadi benar-benar silakan marah, jadi memang benar Pak Gunawan ada orang yang diam tapi menyimpan kemarahan yang membara akhirnya tidak ada solusi karena tidak ada hikmat yang muncul. Jadi di sini memang perlu adanya komunikasi. Saran saya kalau kita mempunyai problem dengan emosi dan kita tahu kita ini kalau sudah marah bisa benar-benar berlebihan bahkan memukul. Yang harus kita lakukan adalah kita harus memisahkan diri dari pasangan kita waktu kita marah. Misalkan kita beritahu dia kita sepakati, kalau saya lagi emosi sudah kamu berhenti bicara jangan tambah-tambahkan, jangan tanggapi saya, bisa lepas kendali. Kedua, izinkan saya untuk pergi dulu, benar-benar secara harafiah mendinginkan kepala, misalnya apa yang bisa dilakukan, mendinginkan kepala secara harafiah bisa kita lakukan dengan cara misalnya sungguh-sungguh meminum air dingin, dalam keadaan marah tubuh kita memanas dan harafiah kepala kita pun rasanya panas dan waktu kita meminum air yang dingin kita akan juga merasakan perbedaannya, emosi kita akan lebih reda. Nah setelah ada jedah misalnya selama 1 jam, mungkin sekali kita akan lebih siap untuk berbicara lagi. Tapi sekali lagi kenapa orang sering kali tersulut sampai emosinya meledak karena penggunaan kata-kata yang tidak tepat. Salah satu prinsipnya adalah waktu marah jangan serang orangnya tapi seranglah masalahnya. Kalau kita serang orangnya, kita berkata kamu bodoh, kamu tidak bertanggung jawab dan sebagainya, jadi kamunya yang diserang bukan persoalannya.ET : Jadi memang hal ini penting untuk menjadi sebuah kesepakatan antara suami istri, kalau memang mungkin sudah ada tanda-tanda yang satu sudah mau meledak sementara yang satunya pun mulai engingatkan atau memang salah satu harus mundur.
Memang harus disepakati dalam keadaan tidak emosi dan ketika emosi itu juga sungguh-sungguh dilakukan.PG : Tepat sekali, dan harus disepakati sebab kalau tidak yang satu misalnya berkata-kata sudah-sudah jangan ribut, jangan bicara lagi nanti kita tambah ribut, nah biasanya pasangannya makinmarah sebab seolah-olah dia merasa diabaikan.
Nah justru harus ada kesepakatan bahwa kalau sudah memuncak, salah satu harus mengingatkan dan yang satunya harus menerima ini bukan penghinaan atau pengabaian tapi untuk mencegah masalah makin memburuk.PG :
PG : Betul, betul, jadi kita harus selalu sadari bahwa tubuh pasangan kita ini harus kita hormati. Di
PG : Saya lebih melihatnya diberkatilah sendangmu ini suatu kata-kata lukisan ya, kata-kata figuratif yang lebih mengacu pada kepuasan seksual kita. Jadi diberkatilah artinya berbahagialah, ebab kata berkat berasal dari kata bahagia juga.
Jadi seolah-olah berbahagialah dirimu, tubuhmu kalau engkau menikmati istri masa mudamu itu.ET : Saya melihat hal yang menarik dengan dua topik yang sebelumnya mendengarkan dan berbicara menggunakan kata-kata yang tepat, karena akhirnya kaitannya juga dengan ini. Akhirnya ada orangorang yang karena masalah merasa tidak didengarkan ataupun selalu dicela dengan kata-kata, akhirnya juga mengurangi kemampuan untuk bisa menikmati relasi itu ya Pak Paul.
PG : Betul sekali Bu Esther, kalau tidak salah namanya Tim Hansel dia pernah menulis sebuah buku "Sex Begin at the Kitchen", seks dimulai dari dapur. Maksudnya perlakuan suami terhadap istridi dapur atau perlakuan istri terhadap suami di dapur akan mempengaruhi hubungan keduanya sebagai suami istri di ranjang.
Jadi apa yang terjadi di luar kamar sangat mempengaruhi apa yang terjadi di dalam kamar. Kalau seseorang merasa didengarkan, dimengerti dia akan jauh lebih senang melayani pasangannya. Jadi sekali lagi hubungan seksual merupakan pertanda barometer, berapa kuatnya hubungan suami istri itu sendiri.Jadi demikian tadi saudara-saudara pendengar Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan kami belum bisa menuntaskan pembahasan kali ini, tapi pada kesempatan yang akan datang kami akan melanjutkan perbicangan kami kali ini. Kami sarankan bagi Anda untuk terus mengikuti acara ini pada kesempatan yang akan datang. Sedang bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
8. Amsal untuk Keluarga 2 | |
Amsal merupakan hikmat yang Tuhan berikan kepada manusia untuk bagaimana hidup di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain Amsal merupakan contoh konkret atau terjemahan langsung dari Firman Tuhan untuk kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Amsal merupakan hikmat yang Tuhan berikan kepada manusia untuk bagaimana hidup di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain Amsal merupakan contoh konkret atau terjemahan langsung dari Firman Tuhan untuk kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Keluarga sangat penting dibangun di atas firman Tuhan karena Firman Tuhan:
Memberikan panduan bagaimana kita hidup benar.
Firman Tuhan sendiri merupakan kuasa, jadi orang yang hidup dekat dengan Firman Tuhan akan hidup berkuasa dalam pengertian mempunyai kuasa dari Tuhan untuk hidup sesuai dengan yang Ia kehendaki.
Hubungan dengan Tuhan.
Dua pengertian takut akan Tuhan:
Takut akan Tuhan berarti memang takut dihukum Tuhan, karena Tuhan adalah Tuhan yang bisa marah dan Tuhan juga menghukum anak-anak-Nya. Kitab Ibrani berkata: Allah mengganjar anak yang dikasihi-Nya dengan kata lain Tuhan tidak segan-segan menghukum anak-anak-Nya.
Merupakan rasa respek terhadap Tuhan, rasa segan yang membuat kita enggan melakukan hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki.
Kedua hal di atas memang fondasi yang harus dimiliki oleh seorang suami atau istri. Jadi bagi suami atau istri atau bagi ayah atau ibu hidup takut akan Tuhan itu sebetulnya adalah suatu bonus yang akan menguatkan keluarga mereka. Takut akan Tuhan adalah hikmat, hikmat adalah mengerti apa yang harus dilakukannya pada saat yang tepat, mengerti apa yang harus dikatakannya pada waktu yang tepat.
Hubungan dengan sesama.
Dua hal yang menyebabkan seorang istri ngomong tidak putus-putus seperti yang dituliskan dalam Amsal adalah:
Karena memang dia mempunyai problem sehingga tidak bisa menguasai emosinya dengan baik. Sehingga kalau emosi dia harus lampiaskan sampai tuntas baru dia berhenti.
Dia terus-menerus mengeluh karena memang sudah merasa tidak didengarkan. Jadi dia hanya mempunyai anggapan hanya dengan cara inilah suaminya itu akan bereaksi.
Kalau kita mempunyai problem dengan emosi kita dan kita tahu kalau sudah marah bisa benar-benar berlebihan bahkan memukul, yang harus kita lakukan adalah:
Kita harus memisahkandiri dari pasangan kita waktu kita marah. Misalkan kita beritahu dia kita sepakati, kalau saya lagi emosi sudah kamu berhenti bicara, jangan tambah-tambahkan, jangan tanggapi saya, bisa lepas kendali.
Izinkan saya untuk pergi dulu, benar-benar secara harafiah mendinginkan kepala, misalnya dengan meminum air dingin, setelah ada jedah selama 1 jam, mungkin sekali kita akan lebih siap untuk berbicara.
Prinsipnya adalah waktu marah jangan serang orangnya, seranglah masalahnya.
Hati yang positif adalah artinya hati yang tidak menyerah begitu saja oleh keadaan, jadi tetap mempunyai semangat untuk hidup, tahu bahwa Tuhan akan menolong, Tuhan tidak meninggalkan kita. Jadi salah satu caranya adalah memang benar-benar berserah kepada Tuhan, bahwa Tuhan akan membukakan jalan. Hati yang gembira muncul dari dalam, dalam pengertian puas dengan yang telah dia terima, dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya.
Hubungan dengan diri sendiri yaitu hidup benar.
Hubungan dengan lawan jenis.
Hubungan dengan pekerjaan atau dengan harta benda yang kita miliki.
Hubungan dengan anak-anak.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristn), bersama Ibu Esther Tjahja dan juga Bp.
Pdt. Dr. Paul Gunadi akan menemani Anda dalam perbincangan yang pasti menarik dan bermanfaat. Perbincangan kali ini merupakan kelanjutan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu yang mengambil tema Amsal untuk keluarga. Jadi perlu Anda ketahui bahwa secara berkala kami akan berbincang-bincang seputar prinsip-prinsip Alkitab yang tentunya sangat penting untuk kita ketahui di dalam kehidupan kita membangun keluarga Kristen. Dan untuk mengingat kembali yang sudah pernah kita bicarakan beberapa waktu yang lalu mungkin saya akan tanyakan kepada Pak Paul. Pak Paul kitab Amsal yang begitu indah, yang sangat menarik untuk dibaca karena banyak petuah-petuahnya itu, sejauh mana relevansinya dalam kehidupan keluarga kita saat ini?PG : Pak Gunawan, ternyata begitu banyak mutiara-mutiara dari kitab Amsal yang sangat relevan dalam kehidupan kita. Misalkan sebagaimana telah kita bahas pada kesempatan yang lalu firman Tuhan menegaskan bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan atau awal dari hikmat. Dan kita bahas bahwa orang yang takut akan Tuhan adalah orang yang mengundang respek dari pasangannya atau dari anak-anaknya. Dan respek ini sendiri berpengaruh sangat besar dalam kehidupan berkeluarga karena respeklah orang tidak akan melewati batas sewaktu bertengkar, karena respeklah orang akan lebih siap untuk mendengarkan masukan dari pasangannya dan sebagainya. Kita juga telah belajar bahwa kita harus mendengarkan, firman Tuhan yang berkata kalau kita memberi jawab sebelum mendengar itu adalah kebodohan dan kecelaan. Jadi mendengarkan juga mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap pertengkaran, karena dengan didengarkan kita tidak terlalu merasa marah, karena didengarkan anak akan merasakan bahwa penjelasannya itu penting, dianggap penting oleh orang tuanya sehingga dia merasakan orang tua lebih mau untuk bersimpati dengannya, tidak semena-mena terhadapnya. Dan juga kita telah belajar pentingnya menggunakan kata-kata yang tepat dan menguasai emosi sebab kita melihat kata-kata yang kurang tepat memperburuk masalah. Masalahnya sendiri belum selesai terus menggunakan kata-kata yang tidak tepat dan diselimuti emosi yang berapi-api atau yang tinggi, akhirnya masalah bukannya makin mengecil malah makin membesar. Dan firman Tuhan juga meminta kita menikmati istri masa muda kita artinya cicipilah, nikmatilah tubuh pasangan kita. Itu adalah fondasi juga, itu adalah suatu berkat yang akan membawa banyak bunga dalam hubungan kita dengan suami atau istri.
PG : Ada juga Pak Gunawan,
ET : Luar biasa kalau penulis Amsal yaitu raja Salomo sudah menemukan rahasia ini. Jadi kalau belakangan ini orang-orang sering membaca buku-buku tentang berpikir positif sepertinya itu hal ang baru, sebenarnya konsep ini sudah ditemukan bahkan ribuan tahun yang lalu sebelum orang-orang, sebelum Norman Vincent Peale muncul konsep ini sudah dilemparkan terlebih dahulu.
PG : Jadi sekali lagi semua terpulang dari hati kita, apa yang ada dalam hati kita. Jadi hati yang gembira dalamnya itu memang menyenangkan, dalamnya itu bersih, akan keluar jugalah hal-hal ang bersih, membuat wajah kita berseri-seri.
Tapi kepedihan hati akan mematahkan semangat, membuat kita tidak ada lagi motivasi jadi enggan melakukan apa-apa, pasif. Jadi sekali lagi hati yang gembira merupakan modal yang besar dalam keluarga kita pula.PG : Saya kira kalau kita memang sedang mengalami peristiwa yang menyedihkan dan kita sedih itu reaksi yang alamiah. Sebab saya kira sangat aneh sekali kalau misalkan waktu kematian orang tu kita, tapi kita tertawa terbahak-bahak kesenangan, saya kira yang lebih alamiah justru adalah kita meratapi kematian mereka.
Dan itu adalah hal yang normal dan hal yang sangat manusiawi. Yang dipentingkan di sini saya kira adalah sikap positif, boleh lewati dukacita itu tidak apa-apa, namun setelah melewatinya ya sudah, kita kembali hidup lagi, kita melihat hidup lagi secara positif. Bahwa tidak selalu hidup ini dipenuhi dengan hal-hal yang buruk, tetap ada yang baik bahwa Tuhan tetap bekerja dalam segalanya.PG : Saya kira intinya adalah hati gembira bukan karena dibuat oleh kondisi dari luar, saya kira kondisi dari luar itu memang fluktuatif, turun naik tidak selalu membuat kita merasa senang. api hati yang positif adalah artinya hati yang tidak menyerah begitu saja oleh keadaan, jadi tetap mempunyai semangat untuk hidup, tahu bahwa Tuhan akan menolong dan Tuhan tidak meninggalkan kita.
Jadi salah satu caranya adalah memang benar-benar berserah kepada Tuhan bahwa Tuhan akan membukakan jalan, bahwa ini bukanlah segalanya. Nah orang yang memang menambatkan hatinya terlalu besar pada hal-hal tertentu, waktu kehilangan hal itu akan sangat terluka. Jadi harus belajar juga melatih hidup untuk tidak terlalu mencengkeram yang kita miliki. Waktu kita kehilangan, kita harus bisa menerimanya dengan hati yang lebih lapang.PG : Saya kira bisa sebab Tuhan adil, Pak Gunawan, ternyata kebahagiaan orang atau kegembiraan orang itu tidak selalu ditimbulkan oleh kondisinya, oleh hal-hal yang dinikmatinya dalam hidup.Salomo pasti mempunyai kebahagiaannya dari kemewahan yang dimiliki dan sebagainya, tapi saya kira orang yang misalkan miskin dari tingkatan sosial ekonomi yang rendah tetap mempunyai kegembiraannya.
Bukankah kalau kita melihat rakyat jelata yang menari, berjoget, yang bisa bercanda yang bisa (ET : Bisa tidur nyenyak) tidur nyenyak pada malam hari tidak memikirkan dolar naiknya sampai berapa, mempunyai porsinya sendiri untuk tetap mempunyai hati yang gembira. Jadi hati yang gembira sekali lagi muncul dari dalam, dari dalam pengertiannya puas dengan yang telah dia terima, dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya, jangan terlalu menuntut karena rasa tidak puas itu justru menimbulkan banyak kepahitan dalam dirinya.ET : Sepertinya kalau dikaitkan dengan pembicaraan kita yang lalu tentang Amsal untuk keluarga, kembali lagi ya Pak Paul bahwa rasa takut akan Tuhan itu yang menjadi porosnya. Kemudian dari asil kehidupan yang takut akan Tuhan ini akan terpancar menjadi hati yang gembira, menjadi muka yang berseri-seri.
PG : Betul, betul sekali Bu Esther.
PG : Dalam kaitan dengan diri sendiri ya, Pak Gunawan, tentang hidup benar yang diambil dari
PG : Kemungkinan kalau keturunannya berbahagia dia pun berbahagia, kemungkinan yang paling besar adalah orang-orang rumahnya bangga dengan dia karena dia telah hidup lurus dan bersih. Sehinga orang-orang rumahnya itu tidak merasa malu dan kalau orang rumahnya bangga dengan dia saya hampir pastikan dia juga sangat bangga, diapun senang dengan kehidupannya.
PG : Kalau sampai itu terjadi saya kira sangat disayangkan, dia telah hidup bersih, anak cucunya bangga tapi dianya sendiri tidak bangga. Saya berharap kalau kita hidup tulus, hidup bersih bkan saja anak cucu kita bahagia dan bangga, kita pun seharusnya juga bangga karena kita telah mencoba menaati Tuhan dengan hati yang tulus.
ET : Kalau saya lihat justru kadang-kadang sebaliknya, Pak Gunawan. Maksudnya orang yang sungguh-sungguh ingin hidup bersih tapi tidak didukung oleh sekelilingnya. Oleh keluarganya mungkin danggap sebagai suami yang bodoh, dianggap sebagai ayah yang tidak bisa membahagiakan anak, karena dengan kebersihannya ya mungkin makannya terbatas, kehidupannya begitu sederhana.
PG : Betul, jadi itu bisa terjadi juga ya, ada orang yang akhirnya mencela ayah atau ibunya karena hidup mereka bersih dan kehidupan mereka yang bersih itu membuat mereka susah. Namun ini teap harus saya akui bahwa orang yang mencela pada saat itu di kemudian hari waktu menengok ke belakang, tetap akan berkata saya menghormati orang tua saya karena hidup mereka bersih.
Jadi tetap mereka akan melihat orang tua sebagai suri tauladan yang patut mereka contoh, meskipun mereka mengeluh karena hidup dalam kesusahan namun dalam lubuk hati terdalam tetap angkat topi dengan orang tua yang hidupnya begitu bersih.PG : Setiap kita harus bergumul, harus bergumul saya kira tidak ada jalan pintas ya. Jadi lingkungan memang bisa menjerumuskan kita, menekan kita untuk berdosa tapi kita tahu itu salah dan kta mau takut kepada Tuhan.
Nah pada simpul itulah kita akhirnya harus bergumul, yang manakah yang harus kita ikuti dan saya menyadari kita manusia kadang-kadang bisa lemah jadi kita tidak selalu kuat. Adakalanya kita jatuh dan menuruti yang dipaksakan oleh lingkungan kita, tapi tetap himbauan firman Tuhan adalah bersihkanlah kelakuan kita sehingga anak cucu kita akan berbahagia dan bangga.PG :
ET : Kalau dikatakan jangan menghampiri pintu rumahnya. Kalau belakangan beberapa waktu terakhir ini yang saya sering mendengar pergumulan, para bapak-bapak yang sering tugas keluar kota merka tidak menghampiri tetapi kamar hotelnya yang dihampiri.
Nah itu bagaimana Pak Paul?PG : Saya kira tetap menolak dan sebisanya memang hindarilah. Ada seorang kawan saya seorang eksekutif, kemanapun dia pergi keluar kota dia bawa sopirnya dan dia minta sopirnya tidur sekamardengan dia.
Jadi sekali lagi itu langkah preventif, dia tahu dia manusia bisa jatuh kapan saja, daripada dia akhirnya membuka peluang tersebut, dia menutup peluang itu dengan meminta sopirnya untuk tidur sekamar dengan dia. Karena dengan adanya sopir dia tahu dia harus bertanggung jawab kepadanya, pada sopirnya, sopirnya juga sopir istrinya. Jadi sekali lagi pentinglah menjaga diri, berhati-hati jangan bergaul sembarangan, jangan berdalih, berasionalisasi o....dia hanya teman, o....dia seperti adik saya, o....dia seperti kakak saya akhirnya jatuh ke dalam dosa perzinahan.PG : Betul Pak Gunawan, orang yang sudah terlibat apalagi hubungan cinta dengan gadis atau pria lain akhirnya akan sangat sulit memutuskan. Dan saya sudah menyaksikan bahwa kalaupun putus, hbungan itu sendiri yang putus bukan atas desakan istrinya atau atas desakan hamba Tuhan yang lainnya.
Sering kali putusnya karena hubungan itu sendiri yang retak, jarang yang putus atas himbauan pasangannya atau gereja atau hamba Tuhan.PG : Dia tidak mengerti arti mengasihi, Pak Gunawan, sebab mengasihi memang mempunyai arti suatu ikatan yang eksklusif dalam pernikahan itu. Maka firman Tuhan berkata tubuh istri adalah mili suami, tubuh suami adalah milik istri, itu di
ET : Atau mungkin sebaliknya juga seperti sebuah alasannya pemenuhan kebutuhan yang tidak diperoleh dari pasangannya, jadi seolah-olah tetap merasionalisasi, melegalkan perbuatannya dengan mnyalahkan pasangan yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya.
PG : Betul dan itu tidak boleh menjadi dalih kita, sebab hubungan nikah adalah hubungan yang eksklusif bukan hubungan sharing yang bisa dibagi-bagi dengan orang lain.
PG : Di
PG : Betul sekali, Pak Gunawan, jadi perzinahan puncaknya adalah hubungan seksual, namun dalam prosesnya diawali biasanya pula oleh keterlibatan emosional, seseorang mencintai orang lain yan bukan istri atau suaminya.
PG : Saya kira dalam lubuk hatinya seharusnya dia menyadari, namun sebagaimana tadi Ibu Esther katakan, dia berasionalisasi membenarkan dirinya atau menyangkali faktanya. Bukankah banyak orag yang akan berkata tidak...!
tidak ada apa-apa... hanya teman biasa. Tapi kalau teman biasa masa tidak ketemu menjadi pusing, resah. Kalau teman biasa kenapa mengharapkan kehadiran orang tersebut, berarti bukan teman biasa lagi sebab sudah ada ketergantungan emosional di situ.ET : Mungkin dengan istilah seperti perlahan-lahan menjebloskan diri ya. Kadang-kadang orang mengatakan kejeblos, tapi kalau saya rasa itu suatu upaya juga yang perlahan-lahan kita sedang meceburkan diri untuk masuk ke perbuatan tersebut.
PG : Betul, betul jadi istilah tidak sengaja itu agak sukar kita terima ya, sebab rupanya memang sedikit banyak direncanakan, apalagi kalau sudah ada pertemuan-pertemuan khusus pasti sudah drencanakan.
PG : Amsal juga memberi beberapa nasihat pula Pak Gunawan, yang pertama dari
ET : Padahal kadang-kadang anak-anak itu yang dijadikan dalih. Maksudnya kita bekerja mati-matian ini untuk yang terbaik buat anak-anak, tapi akhirnya tetap ada sisi lain lagi yang jadi korbn.
Anak-anak yang dicarikan uang sebanyak-banyaknya itu, tapi tidak mendapatkan perhatian akhirnya justru menghabiskan uang yang sebenarnya dicari dengan susah payah, dengan narkoba, dengan perbuatan-perbuatan buruk lainnya.PG : Betul, ibarat perahu yang bocor Bu Esther, ditambal tapi tetap ada saja yang bocor jadi akhirnya keluar lagi. Dan dalih bahwa saya melakukannya untuk anak, saya kira harus kita gunakan engan hati-hati sebab ini sebuah pengakuan juga dari pihak saya.
Saya seorang pria saya harus mengakui bahwa sering kali status itu atau pengakuan itu lebih untuk saya daripada untuk anak-anak. Anak-anak sebetulnya tidak terlalu pusing (ET : Ada ya boleh, gitu ya) ada ya bagus, tidak ada ya OK! Yang mereka lebih pusingkan adalah apakah orang tuanya di rumah, apakah orang tuanya saling mengasihi, apakah rumah tangganya tenteram, apakah orang tua memperhatikan mereka, itu yang lebih penting buat anak-anak. Yang lain-lainnya itu semua tidak terlalu penting, jadi jangan sampai prioritas kita itu terbalik.PG : Saya kira perkembangan karier seseorang harus disesuaikan dengan keadaan rumah tangganya. Jadi kalau memang karena karier itu dia harus mengorbankan waktu dengan keluarganya, sebaiknya idak diterima.
Dia harus korbankan kariernya, nanti anak-anak sudah besar tidak membutuhkan kehadirannya seperti dia waktu kecil, silakanlah mengembangkan karier itu. Tapi zaman sekarang ini seolah-olah sudah ada suatu adegium ya suatu dalil bahwa pada usia 30 saya harus sudah menjadi manajer, pada usia 35 saya sudah harus menjadi kepala cabang, pada usia 40 saya sudah harus menjadi managing director misalnya, nah target-target seperti itu yang tidak realistik. Dan kita tidak harus mengikuti orang lain yang seumur dengan kita, yang sudah mencapai prestasi lebih tinggi karena kita sadari ada hal yang lebih penting. Waktu kita diranjang menantikan kematian saya percaya kita tidak pikirkan lagi uang kita di bank berapa besarnya, yang kita akan pikirkan adalah orang-orang yang kita kasihi dan mengasihi kita yang harus kita tinggalkan, mereka itu akan lebih penting buat kita.PG : Salah satunya
GS : Ya jadi cukup banyak memang Pak Paul yang bisa disoroti oleh Amsal ini di dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan demikian tadi saudara-saudara pendengar Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan kami baru saja berbincang-bincang tentang kelanjutan tema yang lalu yaitu Amsal untuk keluarga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
9. Keluarga dan Permasalahan Jiwa 1 | |
Orangtua perlu menyadari satu prinsip bahwa anak bertumbuh sesuai apa yang diterimanya dari orangtua. Dengan kata lain, bagaimana orangtua memperlakukannya akan menentukan bagaimana ia memperlakukan dirinya dan dunia. Ada kebutuhan anak yang paling mendasar yang sangat perlu untuk dipenuhi karena kebutuhan itulah yang akan menjadi struktur jiwa si anak.
Pada umumnya orang tua mempunyai pendapat bahwa anak mempunyai tiga kebutuhan dasar yaitu:
Kebutuhan jasmaninya, untuk itu orang tua memberikan kecukupan makanan, perawatan kesehatan dsb.
Orang tua berpikir anak-anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan ekonomis, dia perlu membeli komputer, perlu membeli barang, jadi perlu uang maka mereka mencoba menyediakan uang yang cukup buat anak-anak.
Orang tua berpikir anak-anak mempunyai kebutuhan intelektual, untuk itulah mereka bekerja keras, menyediakan uang yang cukup agar bisa menyekolahkan anak di sekolah yang baik.
Tapi tiga kebutuhan di atas meskipun penting bukanlah kebutuhan mendasar, yang mendasar atau yang terlebih dahulu perlu dipenuhi adalah yang dibawahnya itu dan itu yang sangat-sangat penting dan justru itulah yang menjadi struktur jiwa si anak. Kalau itu tidak dipenuhi anak itu akan bertumbuh dengan struktur jiwa yang sangat lemah atau bisa-bisa malah menyimpang apalagi dalam konteks orang tua sering bertengkar, tidak rukun nah jiwa si anak bukannya tidak lagi kuat malahan bisa bertumbuhnya dengan penyimpangan-penyimpangan yang akhirnya melahirkan perilaku bermasalah pada kemudian hari.
Kondisi anak pada masa lalu dengan sekarang sudah sangat-sangat berbeda diantaranya:
Mereka dulu dibesarkan di dalam komunitas, kita sekarang dibesarkan di dalam kesendirian. Maksudnya hubungan antar tetangga, antar saudara masih sangat erat sehingga kekurangan di satu pihak dicukupi oleh kelebihan di pihak lainnya.
Tawaran-tawaran materi sangat sedikit, sekarang sangat banyak, sehingga godaan pun juga relatif jauh lebih sederhana dibandingkan sekarang. Jadi anak-anak itu untuk mengembangkan perilaku-perilaku yang bermasalah karena yang diinginkannya tidak didapat juga lebih kecil dibandingkan dengan sekarang.
Norma atau nilai-nilai moral dulu dan sekarang tidak sama. Dulu nilai-nilai moral masih jauh lebih kuat, takut akan Tuhan sangat ditekankan, menghormati yang lebih tua sangat-sangat juga diyakini. Sekrang menghormati Tuhan kurang, menghormati yang lebih tua, menghormati guru dsb sudah jauh lebih menipis.
Hal-hal yang dapat dilakukan sebagai orang tua adalah:
Orang tua perlu menyadari satu prinsip dan ini harus kita ingat sebagai orang tua, yakni anak bertumbuh sesuai apa yang diterimanya dari orang tua. Dengan kata lain, bagaimana orang tua memperlakukannya akan menentukan bagaimana ia memperlakukan dirinya dan dunia, ini harus dicamkan dengan baik oleh orang tua. Apa yang orang tua tanam akan dia tuai nanti, sebab apa yang dia berikan kepada si anak atau tidak itu akan menjadi suatu buah yang harus disaksikannya nanti.
Beberapa hal yang sangat dibutuhkan oleh anak :
Anak penting sekali menerima dari orang tua adalah struktur kepercayaan. Seorang ahli kejiwaan Eric Ericson menekankan bahwa pada masa awal kehidupan seorang anak belajar mempercayai orang tua sebagai figur perawat dan pelindung dirinya. Dengan kata lain pada masa awal itu si anak 'kan tidak berdaya apa-apa, dia harus menggantungkan diri sepenuhnya pada kebaikan hati orang tua untuk merawat dan membesarkannya. Nah hubungan antara si anak dan si orang tua disebut hubungan percaya, kegagalan si anak untuk percaya membuat si anak bertumbuh besar dengan rasa tidak aman dengan lingkungannya. Jadi hal pertama yang orang tua mesti berikan adalah perlakuan yang mesra, yang hangat, yang menerima sehingga si anak dari kecil tahu bahwa kebutuhannya itu akan dipenuhi.
Anak memerlukan penghargaan, penghargaan merupakan suatu perasaan bahwa dia itu bernilai, bahwa seorang anak ini merasakan dia adalah seseorang yang bernilai. Larry Crab berkata bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan pokok yaitu penghargaan, bahwa dia merasa dia mempunyai nilai dan memang dia itu dianggap bernilai oleh lingkungannya.
Menghargai mencakup 2 hal yaitu:
Menghargai dirinya, berarti tanpa si anak harus berbuat apa-apa dia sudah menyenangkan hati orang tuanya. Kita sebagai orang tua perlu mengkomunikasikan pada anak bahwa tanpa engkau harus berbuat apapun engkau sudah menyenangkan hati kami. Saya suka menggunakan istilah menikmati anak artinya anak tidak usah berbuat apa-apa kita sudah menikmati kehadirannya.
Menghargai perbuatannya, artinya orang tua melihat dan menghargai hal-hal tertentu yang dilakukan oleh anak tersebut. Ini penting kita memberikan penghargaan atas prestasinya, sehingga si anak juga terpacu untuk mengembangkan dirinya. Anak-anak yang dihargai tanpa harus berbuat apa-apa sama sekali penghargaan itu tidak dikaitkan dengan perbuatannya saya kira akan kehilangan keseimbangan.
Struktur arah. Seorang psikolog bernama Golden Elport berpendapat bahwa hidup yang bermakna ialah hidup yang memiliki tujuan hidup yang jelas atau disebut intensi atau sasaran hidup. Tanpa sasaran, anak akan hidup tanpa arah dan bahkan bisa tersesat. Jadi orang tua atau keluarga mesti menyediakan kebutuhan sasaran ini atau kebutuhan akan arah, tidak ada arah si anak cenderung hidupnya itu tersesat seperti daun yang ditiup oleh angin. Tujuan di sini yang dimaksud adalah si anak tahu apa yang bisa dia lakukan, apa yang dia bisa kerjakan nanti, apa yang dia nanti akan lakukan, menjadi apa.
Keluarga yang menekankan kebenaran dan kasih dalam rumah tangganya akan melihat anak-anak yang mencari kehidupan hidup dalam kebenaran dan mempunyai kehormatan. Tapi orang tua yang mengabaikan kebenaran dan kasih dalam rumah tangganya tidak ada waktu untuk anak dsb, tidak mendidik anak dengan baik susah untuk dia nanti menuai kehidupan, kebenaran dan kehormatan pada anak-anak mereka.
Di sini orang tua diminta untuk mendidik anak. Dari kecil harus dididik diarahkan menurut jalan yang patut baginya, lihat kemampuannya di mana kita arahkan seperti itu.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Keluarga dan Permasalahan Jiwa," maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Tema ini berangkat dari pengamatan, Pak Gunawan. Pengamatan yang sebetulnya bukan positif tapi negatif, yaitu saya melihat bahwa sebetulnya problem-problem yang sekarang kita hadapi dalam iri manusia hampir semuanya terpulang pada pengalaman pertumbuhannya dalam keluarga.
Jadi kalau misalnya masalah narkoba kita telusuri sampai ke akarnya, sering kali masalah itu berawal dari keluarga yang kurang memberikan atau memenuhi kebutuhan si anak. Problem yang lainnya lagi misalnya anak-anak yang tidak bertanggung jawab dalam hidup, merongrong terus-menerus, tidak mau bekerja kalau kita telusuri juga sering kali berkaitan dengan bagaimana dia dibesarkan dalam keluarganya. Atau anak-anak yang akhirnya lumpuh, jiwanya tidak berkembang, bergantung pada orang lain terus-menerus kalau kita telusuri ke belakang akhirnya kita menemukan akar yang sama yaitu kurangnya kasih dari orang tua atau orang tua yang terlalu melindungi sehingga anak itu tidak bisa mengembangkan dirinya. Jadi begitu banyak problem, begitu banyak permasalahan dengan jiwa manusia yang bersumber dari keluarganya, bagaimana dia dibesarkan pada masa kecilnya.PG : Tepat sekali, sebab permasalahan itu tidak harus dikaitkan dengan faktor ekonomi tapi yang lebih berperan sebetulnya adalah bagaimanakah orang tua memperlakukan si anak. Saya mengibaratkananak itu atau jiwa anak itu seperti struktur.
Jadi rumah memerlukan struktur yang kuat, kalau rumah mempunyai struktur yang tidak kuat akan mempunyai bangunan yang juga lemah. Jadi sekali lagi struktur itu sangat penting sekali, kerusakan pada struktur merupakan suatu kerusakan yang parah. Kalau strukturnya sudah tidak kuat dan sudah rusak sering kali rumah itu harus dibongkar dan dibangun ulang. Saya mengumpamakan jiwa manusia itu juga seperti struktur dan struktur itu hanya bisa bertumbuh dalam diri seseorang kalau dia dibesarkan dalam keluarga yang memberikan kebutuhan-kebutuhan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan baik.(1) ET : Berbicara soal kebutuhan, mungkin ini yang kadang-kadang orang lupa untuk melihat secara utuh tentang kebutuhan. Karena rasanya kebanyakan merasa kebutuhan fisik sudah dicukupi, sudah diberi makan yang bergizi, sudah diberi sekolah yang bermutu, tapi apakah memang hanya kebutuhan itu saja yang sebenarnya jadi kebutuhan dalam keluarga, Pak Paul?
PG : Tepat sekali pengamatan Ibu Esther, yaitu kebanyakan orang tua mempunyai konsep yang kurang tepat atau kurang lengkap tentang kebutuhan anak. Saya kira pada umumnya orang tua akan berkata nak mempunyai 3 kebutuhan dasar.
Yang pertama adalah kebutuhan jasmaninya, nah untuk itulah orang tua memberikan kecukupan makanan, perawatan kesehatan dan sebagainya. Yang kedua orang tua berpikir anak-anak itu mempunyai kebutuhan-kebutuhan ekonomis, dia perlu membeli komputer, beli barang, jadi perlu uang makanya mereka mencoba menyediakan uang yang cukup buat anak-anak. Dan yang ketiga adalah orang tua berpikir anak-anak mempunyai kebutuhan intelektual, untuk itulah mereka bekerja keras menyediakan uang yang cukup agar bisa menyekolahkan anak di sekolah yang baik. Tapi 3 kebutuhan tersebut meskipun penting bukanlah kebutuhan mendasar, yang mendasar atau yang terlebih dahulu perlu dipenuhi adalah yang dibawahnya itu dan itu yang sangat penting karena justru itulah yang menjadi struktur jiwa si anak. Kalau itu tidak dipenuhi, anak itu akan bertumbuh dengan struktur jiwa yang sangat lemah atau bisa-bisa malah menyimpang apalagi dalam konteks orang tua sering bertengkar, tidak rukun maka jiwa si anak bukannya tidak lagi kuat malahan bisa bertumbuh dengan penyimpangan-penyimpangan yang akhirnya melahirkan perilaku bermasalah di kemudian hari.ET : Justru sepertinya konsep tentang kebutuhan mendasar ini yang terbalik, jadi rasanya dipikir yang mendasar adalah 3 kebutuhan yang Pak Paul katakan tadi. Sehingga rasanya saya cukup sering endengar atau pun sering melihat juga di sinetron ataupun yang di TV sering kali pertengkaran itu terjadi ketika anak bermasalah.
Orang tua cenderung mengatakan kurang apalagi papa sudah cukupkan semua keperluan kamu, tapi kamu masih bermasalah juga. Rasanya memang konsep ini yang menjadi akar permasalahan.PG : Dan saya yakin Ibu Esther, sebagai seorang psikolog yang banyak menangani anak-anak mungkin pernah bertemu juga dengan orang tua yang terkejut melihat anak-anaknya bermasalah. Sebab bagi mreka, mereka sudah menunaikan tugas dengan mencukupi kebutuhan tadi itu.
ET : Dan mereka merasa sudah bekerja keras, mati-matian untuk mencukupi hal itu.
PG : Harapan mereka setelah bekerja keras, anak-anak akan merespons untuk memberikan upahlah, akan memberikan tanggapan yang mereka harapkan itu yakni bertumbuh besar menjadi anak-anak yang bai, tapi justru apa yang dibutuhkan anak bukan hanya ketiga hal tersebut.
PG : Itu salah satu komentar yang saya juga sering dengar, Pak Gunawan dan memang membuat saya berpikir mengapa mereka dibesarkan seperti itu oleh orang tuanya tapi OK...OK.. saja, sedangkan ank ini menjadi bermasalah.
Ada beberapa perbedaan antara mereka dulu dan anak-anak sekarang. Yang pertama adalah mereka dulu dibesarkan di dalam komunitas, kita sekarang dibesarkan di dalam kesendirian. Rumah tidak lagi bersambungan dengan rumah-rumah lainnya, sedangkan pada zaman dulu 30-40 tahun yang lalu rumah bersambungan dengan rumah-rumah yang lainnya. Maksud saya hubungan antar tetangga, antar saudara masih sangat erat sehingga kekurangan di satu pihak dicukupi oleh kelebihan di pihak lainnya. Kekurangan interaksi dengan orang tua yang harus bekerja dicukupi dengan interaksi dengan orang-orang lain, kakak sepupu, paman, kakek, nenek atau bibi dan sebagainya. Maka sedikit banyak memang terjadilah keseimbangan yang lebih baik pada zaman itu. Kedua, tawaran-tawaran materi sangat sedikit, sekarang sangat banyak sehingga godaan pun juga relatif jauh lebih sederhana dibandingkan sekarang. Jadi anak-anak itu untuk mau mengembangkan perilaku-perilaku yang bermasalah karena keinginannya yang tidak didapat juga lebih kecil dibandingkan dengan sekarang. Dulu mau beli apa tidak banyak barangnya, sekarang banyak barang-barangnya sehingga lebih menggoda, lebih merangsang keinginan si anak untuk memilikinya. Dan waktu yang diinginkannya tidak didapat, dia akan melakukan hal-hal yang keliru untuk mendapatkannya. Jadi memang faktor godaan sekarang jauh lebih banyak dan lebih kompleks. Dan yang berikutnya lagi adalah norma atau nilai-nilai moral dulu dan sekarang tidak sama. Dulu nilai-nilai moral masih jauh lebih kuat, takut akan Tuhan sangat ditekankan, menghormati yang lebih tua sangat diyakini. Sekarang menghormati Tuhan kurang, menghormati yang lebih tua, menghormati guru dan sebagainya sudah jauh lebih menipis. Jadi semakin banyak yang kita hormati semakin tertutup atau semakin mudah kita ini mengontrol perilaku kita sehingga tidak melewati batas. Semakin sedikit yang kita hormati berarti juga semakin berani kita untuk melanggar hal-hal yang tidak boleh kita lakukan.PG : Pertama-tama saya kira orang tua perlu menyadari satu prinsip dan ini harus kita ingat sebagai orang tua, yakni anak bertumbuh sesuai apa yang diterimanya dari orang tua. Dengan kata lain,bagaimana orang tua memperlakukannya akan menentukan bagaimana ia memperlakukan dirinya dan dunianya, ini harus dicamkan dengan baik oleh orang tua.
Apa yang dia tanam sekarang, apa yang orang tua tanam akan dia tuai nanti, sebab apa yang dia berikan kepada si anak atau tidak berikan kepada si anak itu akan menjadi suatu buah yang harus disaksikannya nanti. Jadi itu prinsip mendasar yang harus disadari orang tua, yakni ada keterkaitan yang erat antara mereka dan anak. Antara perlakuan mereka terhadap anak dan nantinya menjadi apa si anak itu, orang tua harus sadari ini. Saya kira ini yang sering kali kurang disadari oleh orang tua. Cukup banyak orang tua yang beranggapan, kami melakukan tugas kami, aktifitas kami, anak-anak kami nanti akan bertumbuh dengan normal juga seolah-olah tidak ada keterkaitan. Mereka kurang memberikan waktu kepada anak tidak ada masalah, karena tidak ada keterkaitan dengan si anak, si anak akan bertumbuh besar dengan normal-normal saja, nah konsep ini keliru. Ini yang harus dikoreksi setiap orang tua mulai sekarang, mereka harus benar-benar mengerti bahwa apa yang mereka lakukan atau tidak lakukan buat si anak itu akan menentukan seperti apakah si anaknya nanti.ET : Dan biasanya hal ini baru dirasakan orang tua kalau dalam pengamatan saya saat anak-anak sudah memasuki masa-masa remaja. Mungkin dengan pemberontakan-pemberontakan, baru orang tua merasa da yang tidak beres.
Padahal kalau dia mau melihat ke belakang, hal-hal seperti itu sudah mereka ciptakan sendiri juga dalam relasi dengan anak-anak sebelumnya selama katakanlah 11-12 tahun yang sudah dilewati anak ya.PG : Sering kali masalah muncul pada usia remaja seperti Bu Esther tadi katakan, sebab pada usia remajalah anak-anak itu mulai merentangkan ototnya, makin berani untuk menunjukkan dirinya. Kala tidak setuju, dia lebih berani untuk mengatakan tidak setuju atau dia ingin melawan dia lebih berani untuk melawan, karena tubuhnya sudah membesar juga.
Jadi biasanya memang problem muncul pada usia remaja dan di saat itulah biasanya orang tua baru terjaga dan baru mencari bantuan apa yang harus mereka lakukan untuk anaknya.PG : Pada usia remaja mungkin sekali belum terlambat, Pak Gunawan, asal orang tuanya juga bersedia untuk mengubah pola-pola membesarkan anaknya. Saya kira kalau misalkan orang tua membawa si aak untuk mendapatkan perawatan, tapi si orang tua sendiri tidak mengadakan perubahan dalam kehidupan berkeluarganya, saya kira dampaknya sangat minimal.
Mungkin ini yang juga kadangkala Ibu Esther saksikan dalam konseling Ibu Esther sendiri ya.ET : Ya betul, jadi baru menemukan masalah. Rasanya dulu itu baik-baik saja begitu sekarang sudah umur belasan baru kelihatan masalahnya.
PG : Kalau saya boleh gunakan pengibaratan ya, struktur seperti struktur rumah, saya akan mengatakan pertama yang penting sekali anak itu terima dari orang tua adalah struktur percaya. Ada seorng ahli kejiwaan bernama Erik Erikson, dia ini menekankan bahwa pada masa awal kehidupan seorang anak belajar mempercayai orang tua sebagai figur perawat dan pelindung dirinya.
Dengan kata lain pada masa awal itu, si anak tidak berdaya apa-apa, dia harus menggantungkan diri sepenuhnya pada kebaikan hati orang tua untuk merawat dan membesarkannya. Nah, hubungan antara si anak dan si orang tua disebutnya itu hubungan percaya, kegagalan si anak untuk percaya membuat si anak itu bertumbuh besar dengan rasa tidak aman dengan lingkungannya. Jadi hal pertama yang orang tua harus berikan pada anak-anak adalah suatu perlakuan yang mesra, yang hangat, yang menerima sehingga si anak dari kecil tahu bahwa kebutuhannya itu akan dipenuhi. Contoh bukankah adakalanya orang tua karena tidak sabar melihat anak menangis yang masih kecil, langsung dikasih botol kemudian disuruh diam sendiri. Anak bukannya anak anjing, anak adalah anak manusia, anak anjing bisa kita kembalikan ke induknya dan diberikan susu oleh induknya, tapi anak juga memerlukan kita sebagai orang tua. Jadi tidak bisa anak menangis dikasih botol dan sudah diamkan. Yang anak perlukan pada saat-saat seperti itu adalah pelukan si ibu, suara si ibu atau suara si bapak yang memeluk atau menggendongnya. Nah itu interaksi-interaksi yang menumbuhkan rasa percaya sehingga si anak tahu bahwa ada orang yang akan mengayominya, merawatnya, mengasihinya, nah ini yang menumbuhkan rasa percaya anak, pertama-tama kepada orang tuanya dan selanjutnya kepada orang-orang lain pula.PG : Saya kira tergantikan sampai titik tertentu masih bisa, tapi tidak bisa sepenuhnya memang. Dengan kata lain, ada suatu jalinan antara si anak dan si ibu yang tidak bisa digantikan dengan mdah oleh orang lain.
Sedikit banyak si anak itu 9 bulan telah mengenal ibunya melalui suara, melalui sentuhan dan lain sebagainya karena membagi badan yang sama. Jadi kalau setelah 9 bulan itu dirawat oleh orang lain, si anak sedikit banyak memang akan merasakan asingnya perawat tersebut, sebab tidak dia kenal sama sekali. Tapi terpaksa dia harus terima. Nah betapa baiknya kalau si ibu juga yang merawat, tidak diserahkan kepada suster tapi dia yang merawatnya sendiri. Sehingga si anak akan merasakan kontinuitas, kesinambungan antara figur yang mengandungnya dan figur yang merawatnya. Suara yang dia kenal dalam kandungan adalah suara yang dia kenal juga sekarang, jadi itu saya kira jauh lebih baik. Digantikan bisa tidak dengan neneknya atau suster, saya rasa bisa tapi tidak akan sama, tapi yang paling penting adalah bagaimanakah si orang tua itu merawat si anak pada masa-masa awal itu. Yang dirawat dengan penuh kasih sayang, menumbuhkan rasa percaya pada orang tuanya, lingkungannya. Kalau anak nangis dimarahi, ditaruh diranjang, didiamkan, disentak-sentak bukannya menumbuhkan rasa percaya dia akan menumbuhkan rasa takut, rasa ngeri dalam lingkup hidup yang baru ini.ET : Cukup banyak orang tua yang beranggapan bahwa bayi itu karena memang kecil dan tidak berdaya maka dianggapnya tidak ngerti apa-apa, tidak apa-apa yang penting ada yang mengasuh seperti yan Pak Gunawan bilang, yang penting ada yang menggendong, yang penting ada yang kasih minum susu.
Jadi merasa sudahlah tidak apa-apa, belum bisa mengenali orang. Belum bisa memahami yang dia temukan itu siapa, sehingga rasanya tidak apa-apa, sesungguhnya bagaimana Pak Paul?PG : Erik Erikson mempunyai teori bahwa seseorang manusia dari awal hingga akhir kehidupannya harus melewati sekurang-kurangnya 8 tahapan. Tahapan yang mendasar atau tahapan yang paling bawah aalah dia meyakini bahwa tahapan itu sangat berkesinambungan, berkaitan, berpengaruh satu terhadap yang lain.
Dan kalau yang dibawahnya tidak terpenuhi yang diatasnya tidak akan terlaksana dengan baik pula. Nah misalkan kalau kita kaitkan dengan keintiman, pada tahap usia sekitar 19 sampai 25 tahun menurut Erikson memasuki tahap yang disebut keintiman, intimasi. Kalau tidak ada keintiman berarti dia akan merasakan dirinya terasing dan jauh dari orang lain, nah ini berkaitan juga dengan rasa percaya pada orang lain atau lingkungannya. Anak yang dari kecilnya tidak mempunyai rasa percaya pada orang tua atau pada lingkungannya, akan cenderung curiga pada orang lain, mempertanyakan motif atau niat orang dan akan sulit sekali dekat dengan orang. Mungkin secara umumnya SMP, SMA dia bisa bergaul tapi untuk sungguh-sungguh bisa percaya dia akan sulit. Pada masa seharusnya dia membangun jalinan yang intim terutama dengan lawan jenisnya, mungkin sekali dia akan kesulitan di sini menjalin keintiman tersebut. Karena tidak bisa menyerahkan dirinya pada orang lain, karena apa? Menurut teorinya Erikson karena pada dasarnya kebutuhan rasa percaya tersebut tidak terpenuhi, jadi memang sangat berkaitan sekali. Belum lagi misalnya rasa percaya terhadap lingkungan itu berkaitan dengan tahapan-tahapan yang lebih awal lagi yaitu misalnya kemauan untuk mengeksplorasi lingkungannya. Atau akhirnya pengembangan diri sehingga merasa mahir menggunakan alat-alat tulis dan sebagainya itu semua berkaitan dengan rasa percaya. Tidak ada rasa percaya, yang muncul rasa takut, dia justru tidak berani mengeksplorasi lingkungan, justru lebih pendiam, melihat orang akan lari, melihat wajah asing dia akan nangis, disuruh maju dia mundur, disuruh lari ke depan dia lari ke belakang, karena apa? Karena dunia menjadi dunia yang sangat tidak aman buat dia.PG : Saya kira kalau anak itu dibiarkan hidup dalam kesendiriannya, akan terlihat pada masa-masa sekitar 2, 3 tahun. Waktu dia dipegang misalkan oleh orang tua, dia akan benar-benar mencoba untk merangkul orang tuanya dan sangat takut untuk sendirian.
Nah saya kira ada anak-anak yang lebih bebas dibiarkan sendiri, dia akan bisa mencari-cari lingkungannya, menjelajahi di sekitarnya. Tapi anak-anak yang penuh ketakutan, menurut saya anak-anak yang memang belum mengembangkan rasa percaya yang kuat terhadap lingkungannya itu. Justru tidak ada rasa percaya, rasa curiga, rasa was-wasnya menjadi sangat besar, saya kira itu salah satu sinyal bagi orang tua untuk menyadari bahwa anak ini belum mengembangkan rasa percaya yang baik.ET : Atau juga mungkin percaya atau lebih percaya kepada baby sitternya daripada orang tuanya ya... dipegang orang tua nangis, dipegang suster diam.
PG : Ini gejala yang makin sering terjadi Bu Esther ya, jadi ada anak-anak ya tadi Ibu Esther katakan lihat mamanya malah dia lari, kalau lagi sedih dia bukan cari papanya tapi cari susternya.
PG : Dan kalau ini berlanjut akan menjadi keterusan, hubungan dia dengan ayahnya akan berjarak. Nah mungkin sekali nanti setelah anak itu berusia 15 tahun si ayah baru sadar dan baru berkata keapa anak saya tidak mau dekat dengan saya, kenapa dia tidak mau cerita dengan saya, nah dia lupa bahwa ada satu unsur yang harusnya terbentuk pada masa dini yang tidak pernah sempat terbentuk, yakni rasa percaya.
Nah kita sendiri bisa mengerti bahwa tanpa rasa percaya kita tidak mungkin dekat dengan orang, kita tidak mungkin bercerita sedalam-dalamnya kepada orang lain, kita tidak mungkin menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada orang lain. Jadi inilah reaksi-reaksi yang anak nanti akan tunjukkan kepada orang tua setelah dia menginjak usia remaja. Biasanya pada saat inilah baru orang tua sadar namun terlambat, kenapa terlambat? Sebab rasa percaya itu mau digantikan pun dengan berlimpah pada usia yang sudah dewasa akan sulit menggantikan. Sebab memang seharusnya rasa percaya itu terbentuk dengan natural tidak dibikin-bikin, orang tua yang menuntut anaknya kamu percaya pada saya, kamu anak saya, saya orang tuamu kenapa tidak percaya, kenapa cerita sama teman dulu bukan cerita sama saya, kenapa cerita kepada pamanmu pada kakekmu bukan kepada saya, ya tidak bisa dipaksakan. Begitu juga kita-kita atau orang tua yang menikmati rasa percaya yang besar dari anaknya kepada kita, kita senang tapi kita tidak perlu suruh dia langsung mau cerita kalau memang ingin cerita.PG : Betul, maka saya kira tidak semua orang yang menikah itu siap menikah. Salah satu syarat orang itu siap menikah menurut saya adalah apakah dia siap untuk menjadi seorang ayah atau seorang bu, artinya apa? Artinya berani berkorban demi anak.
Orang menjadi ayah atau menjadi ibu itu berarti memang sudah siap untuk membagi hidupnya dengan orang lain. Mau pergi nonton tidak bisa karena anak sakit perut, janji dengan teman-teman batal karena anak tiba-tiba agak cerewet. Nah orang tua yang tidak bisa menerima hal itu, tetap paksa harus pergi juga menandakan memang dia belum siap jadi ayah atau jadi ibu. Ini hal-hal yang seharusnya kita tanamkan kepada pasangan muda yang mau menikah, sekali lagi cinta tidak cukup untuk memulai suatu rumah tangga, kedewasaan seperti ini yang diperlukan. Tadi Pak Gunawan katakan, cukup banyak pria yang seperti itu, saya harus katakan betul begitu banyaknya masalah yang timbul sekarang ini karena lebih banyak pria-pria yang seperti itu juga, yang kalau malam pulang kerja tidak pulang ke rumah, harus beramai-ramai dulu ke karaoke atau ke Pub dan sebagainya jam 11, 12 baru pulang, week end bukannya di rumah, main golf dengan teman-teman. Jadi artinya apa? Dia tidak menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.ET : Dan juga ada kaitannya dengan lingkungan itu ya Pak Paul, misalnya orang-orang mengatakan seperti yang sempat disinggung Pak Gunawan tadi. Saya waktu kecil juga tidak pernah dekat dengan aah, jadi dia tidak menyadari betapa dirinya sekarang sebagai ayah yang sangat dibutuhkan oleh anaknya.
Jadi karena dia perlakukan begitu, maka dia memperlakukan begitu juga kepada anaknya dan akhirnya rasanya berputar, melanjutkan ke generasi berikutnya ya.PG : Betul, tepat sekali dan nanti anaknyapun akan begitu kepada anaknya lagi. Mungkin mereka tidak menyadari apa dampaknya pada diri mereka dan menganggap saya biasa-biasa saja, tapi sebetulny ada perbedaan yang besar antara anak yang memperoleh cukup kasih sayang dari orang tua dan anak yang tidak cukup mendapat kasih sayang dari orang tuanya.
Jadi saudara-saudara pendengar, demikian tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bpk Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang keluarga dan permasalahan jiwa dan topik ini akan kami bahas lebih lanjut pada kesempatan yang akan datang, karenanya bagi Anda yang berminat kami persilakan Anda mengikuti acara ini pada program Telaga selanjutnya. Dan bagi Anda yang ingin menanyakan sesuatu hal atau mengusulkan yang lain tentang program ini, kami sarankan Anda mengirimkan surat kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
10. Keluarga dan Permasalahan Jiwa 2 | |
Orangtua perlu menyadari satu prinsip bahwa anak bertumbuh sesuai apa yang diterimanya dari orangtua. Dengan kata lain, bagaimana orangtua memperlakukannya akan menentukan bagaimana ia memperlakukan dirinya dan dunia. Ada kebutuhan anak yang paling mendasar yang sangat perlu untuk dipenuhi karena kebutuhan itulah yang akan menjadi struktur jiwa si anak.
Pada umumnya orang tua mempunyai pendapat bahwa anak mempunyai tiga kebutuhan dasar yaitu:
Kebutuhan jasmaninya, untuk itu orang tua memberikan kecukupan makanan, perawatan kesehatan dsb.
Orang tua berpikir anak-anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan ekonomis, dia perlu membeli komputer, perlu membeli barang, jadi perlu uang maka mereka mencoba menyediakan uang yang cukup buat anak-anak.
Orang tua berpikir anak-anak mempunyai kebutuhan intelektual, untuk itulah mereka bekerja keras, menyediakan uang yang cukup agar bisa menyekolahkan anak di sekolah yang baik.
Tapi tiga kebutuhan di atas meskipun penting bukanlah kebutuhan mendasar, yang mendasar atau yang terlebih dahulu perlu dipenuhi adalah yang dibawahnya itu dan itu yang sangat-sangat penting dan justru itulah yang menjadi struktur jiwa si anak. Kalau itu tidak dipenuhi anak itu akan bertumbuh dengan struktur jiwa yang sangat lemah atau bisa-bisa malah menyimpang apalagi dalam konteks orang tua sering bertengkar, tidak rukun nah jiwa si anak bukannya tidak lagi kuat malahan bisa bertumbuhnya dengan penyimpangan-penyimpangan yang akhirnya melahirkan perilaku bermasalah pada kemudian hari.
Kondisi anak pada masa lalu dengan sekarang sudah sangat-sangat berbeda diantaranya:
Mereka dulu dibesarkan di dalam komunitas, kita sekarang dibesarkan di dalam kesendirian. Maksudnya hubungan antar tetangga, antar saudara masih sangat erat sehingga kekurangan di satu pihak dicukupi oleh kelebihan di pihak lainnya.
Tawaran-tawaran materi sangat sedikit, sekarang sangat banyak, sehingga godaan pun juga relatif jauh lebih sederhana dibandingkan sekarang. Jadi anak-anak itu untuk mengembangkan perilaku-perilaku yang bermasalah karena yang diinginkannya tidak didapat juga lebih kecil dibandingkan dengan sekarang.
Norma atau nilai-nilai moral dulu dan sekarang tidak sama. Dulu nilai-nilai moral masih jauh lebih kuat, takut akan Tuhan sangat ditekankan, menghormati yang lebih tua sangat-sangat juga diyakini. Sekrang menghormati Tuhan kurang, menghormati yang lebih tua, menghormati guru dsb sudah jauh lebih menipis.
Hal-hal yang dapat dilakukan sebagai orang tua adalah:
Orang tua perlu menyadari satu prinsip dan ini harus kita ingat sebagai orang tua, yakni anak bertumbuh sesuai apa yang diterimanya dari orang tua. Dengan kata lain, bagaimana orang tua memperlakukannya akan menentukan bagaimana ia memperlakukan dirinya dan dunia, ini harus dicamkan dengan baik oleh orang tua. Apa yang orang tua tanam akan dia tuai nanti, sebab apa yang dia berikan kepada si anak atau tidak itu akan menjadi suatu buah yang harus disaksikannya nanti.
Beberapa hal yang sangat dibutuhkan oleh anak :
Anak penting sekali menerima dari orang tua adalah struktur kepercayaan. Seorang ahli kejiwaan Eric Ericson menekankan bahwa pada masa awal kehidupan seorang anak belajar mempercayai orang tua sebagai figur perawat dan pelindung dirinya. Dengan kata lain pada masa awal itu si anak 'kan tidak berdaya apa-apa, dia harus menggantungkan diri sepenuhnya pada kebaikan hati orang tua untuk merawat dan membesarkannya. Nah hubungan antara si anak dan si orang tua disebut hubungan percaya, kegagalan si anak untuk percaya membuat si anak bertumbuh besar dengan rasa tidak aman dengan lingkungannya. Jadi hal pertama yang orang tua mesti berikan adalah perlakuan yang mesra, yang hangat, yang menerima sehingga si anak dari kecil tahu bahwa kebutuhannya itu akan dipenuhi.
Anak memerlukan penghargaan, penghargaan merupakan suatu perasaan bahwa dia itu bernilai, bahwa seorang anak ini merasakan dia adalah seseorang yang bernilai. Larry Crab berkata bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan pokok yaitu penghargaan, bahwa dia merasa dia mempunyai nilai dan memang dia itu dianggap bernilai oleh lingkungannya.
Menghargai mencakup 2 hal yaitu:
Menghargai dirinya, berarti tanpa si anak harus berbuat apa-apa dia sudah menyenangkan hati orang tuanya. Kita sebagai orang tua perlu mengkomunikasikan pada anak bahwa tanpa engkau harus berbuat apapun engkau sudah menyenangkan hati kami. Saya suka menggunakan istilah menikmati anak artinya anak tidak usah berbuat apa-apa kita sudah menikmati kehadirannya.
Menghargai perbuatannya, artinya orang tua melihat dan menghargai hal-hal tertentu yang dilakukan oleh anak tersebut. Ini penting kita memberikan penghargaan atas prestasinya, sehingga si anak juga terpacu untuk mengembangkan dirinya. Anak-anak yang dihargai tanpa harus berbuat apa-apa sama sekali penghargaan itu tidak dikaitkan dengan perbuatannya saya kira akan kehilangan keseimbangan.
Struktur arah. Seorang psikolog bernama Golden Elport berpendapat bahwa hidup yang bermakna ialah hidup yang memiliki tujuan hidup yang jelas atau disebut intensi atau sasaran hidup. Tanpa sasaran, anak akan hidup tanpa arah dan bahkan bisa tersesat. Jadi orang tua atau keluarga mesti menyediakan kebutuhan sasaran ini atau kebutuhan akan arah, tidak ada arah si anak cenderung hidupnya itu tersesat seperti daun yang ditiup oleh angin. Tujuan di sini yang dimaksud adalah si anak tahu apa yang bisa dia lakukan, apa yang dia bisa kerjakan nanti, apa yang dia nanti akan lakukan, menjadi apa.
Keluarga yang menekankan kebenaran dan kasih dalam rumah tangganya akan melihat anak-anak yang mencari kehidupan hidup dalam kebenaran dan mempunyai kehormatan. Tapi orang tua yang mengabaikan kebenaran dan kasih dalam rumah tangganya tidak ada waktu untuk anak dsb, tidak mendidik anak dengan baik susah untuk dia nanti menuai kehidupan, kebenaran dan kehormatan pada anak-anak mereka.
Di sini orang tua diminta untuk mendidik anak. Dari kecil harus dididik diarahkan menurut jalan yang patut baginya, lihat kemampuannya di mana kita arahkan seperti itu.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Dan kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami pada waktu yang lalu yaitu mengambil tema "Keluarga dan Permasalahan Jiwa". Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Pak Gunawan dan Ibu Esther, mungkin para pendengar setia kita merasa sedikit bosan dengan tema-tema yang berkaitan dengan keluarga. Betapa seringnya kita ini membahas mengenai keluarga, tai seperti nabi kalau saya boleh gunakan istilah nabi.
Kita adalah nabi-nabi yang Tuhan panggil untuk terus-menerus memberikan peringatan pada para keluarga bahwa hal yang sangat penting ada pada pundak mereka sekarang ini, yakni tugas untuk membesarkan anak dengan baik. Semakin saya mempelajari masalah-masalah dalam kejiwaan, makin saya menemukan bahwa pangkal dari segalanya boleh dikatakan adalah keluarga. Bagaimana seseorang dibesarkan akan sangat menentukan bagaimana dia nanti memperlakukan dirinya dan memandang dunianya, bagaimana juga dia nanti akan bersikap terhadap orang-orang lain. Pada kesempatan yang lampau kita telah membahas bahwa seorang anak memerlukan yang kita sebut struktur kepercayaan. Bahwa dia bertumbuh besar, percaya bahwa lingkungan itu akan menerimanya, akan merawatnya sebab dia itu anak yang juga disayangi oleh orang tuanya. Dan dengan modal kepercayaan itulah si anak nanti akan mengembangkan kemampuan untuk intim dengan orang, untuk akrab dengan orang karena bukankah itu semua memerlukan kepercayaan, tidak curiga pada niat atau motif orang, tidak menjaga jarak dengan orang sehingga dia menjadi seorang anak yang mudah sekali diterima oleh lingkungannya pula. Tapi kalau dia menjaga jarak, tidak bisa dekat dengan orang, dia menjadi seseorang yang bermasalah dan pergaulan yang sempit itu juga akan mempengaruhi perkembangan jiwanya di kemudian hari. Dia tidak berkembang dengan bebas karena lebih banyak kecurigaan-kecurigaan dan ketakutan-ketakutan terhadap orang-orang. Jadi sekali lagi itulah salah satu kebutuhan anak yang harus dipenuhi oleh orang tua.PG : Yang kedua adalah penghargaan, penghargaan merupakan suatu perasaan bahwa dia itu bernilai. Saya akan mengutib perkataan psikolog Kristen bernama Larry Crabb, beliau berkata bahwa setiap mnusia itu mempunyai kebutuhan pokok yaitu penghargaan.
Dia merasa bahwa dia mempunyai nilai dan memang dia itu dianggap bernilai oleh lingkungannya. Yang pertama-tama yang bisa menyampaikan penghargaan tersebut adalah orang tua, sebab anak sebelum sekolah dia ada di rumah. Di dalam rumah itulah seharusnya si anak mulai menerima masukan, respons, tanggapan dari orang tua bahwa dia adalah seseorang yang berharga.PG : Pertama-tama kita harus menyadari bahwa menghargai itu sebetulnya mencakup 2 unsur. Pertama adalah menghargai dirinya dan yang kedua adalah menghargai perbuatannya. Apa yang saya maksud degan menghargai diri, menghargai diri berarti tanpa si anak harus berbuat apa-apa dia sudah menyenangkan hati orang tuanya.
Nah saya ingin kita berhenti di sini untuk lebih bisa menyoroti yang tadi baru saja saya ucapkan. Bukankah kita sebagai orang tua adakalanya kita terlalu terpaku pada perbuatan anak untuk menyenangkan hati kita. Bukankah kata-kata yang sering kali keluar dari mulut kita adalah nah......begitu dong baru papa senang, nah begitu dong baru mama bangga denganmu. Jadi memang kita memberikan penekanan yang sangat berat pada apa yang anak lakukan untuk kita, seolah-olah kalau tidak dia lakukan semua itu tidak ada yang dia bisa lakukan untuk menyenangkan hati kita, saya kira kita perlu sadari itu. Salah satu hal yang penting adalah kita justru mau mengkomunikasikan pada anak-anak bahwa tanpa engkau harus berbuat apapun, engkau sudah menyenangkan hati kami. Saya suka menggunakan istilah menikmati anak di sini, Pak Gunawan dan Ibu Esther, artinya anak tidak perlu berbuat apa-apa kita sudah menikmati kehadirannya. Tanpa dia harus berbuat yang luar biasa, dia sudah menyenangkan hati kita sebagai orang tua. Saya kira ini point yang perlu menjadi bahan introspeksi bagi semua orang tua, apakah kita hanya bisa senang dengan anak kalau si anak melakukan A, B, C, D, E, F, G ataukah kita bisa tetap senang dengan dia apa adanya, tanpa dia harus berbuat apa-apa.ET : Ini yang tidak mudah rasanya, Pak Paul, karena mulai anak masih kecil itu rasanya kebahagiaan orang tua akan bertambah setiap kali melihat kemampuan-kemampuan baru yang dikuasai anak, misanya dia bisa berjalan, dia bisa bicara.
Jadi setiap hal yang mereka lakukan mendatangkan kesenangan buat orang tua, mungkin awalnya saya rasa itu. Apa yang anak lakukan, orang tua senang karena keterampilan-keterampilan yang meningkat itu sehingga akhirnya sadar tidak sadar memang pola yang terbentuk sudah seperti itu. Sehingga orang tua mungkin juga tidak bilang apa-apa, tidak pernah memberikan penegasan apa-apa tetapi yang ditangkap oleh anak sudah seperti itu bahwa saya tambah satu kepintaran, saya bisa melakukan satu hal lagi, orang tua akan senang begitu.PG : Saya mau memberikan suatu perbandingkan Bu Esther, supaya para pendengar kita khususnya orang tua bisa sedikit banyak memahami apa yang kita sampaikan kepada mereka. Misalkan saya minta seua para pendengar kita ini membayangkan dirinya dalam pekerjaan.
Dalam pekerjaan sudah tentu penghargaan dari atasan atas karya mereka, perbuatan atau prestasi akan menggembirakan hati mereka. Tapi kalau boleh saya bertanya kepada para orang tua, bukankah akan lebih senang lagi kalau mereka tahu bahwa atasan mereka atau perusahaan mereka mengasihi, menghargai mereka tanpa harus selalu mengaitkan hal itu dengan prestasi mereka. Misalkan diberikan bonus tanpa ada kaitan dengan mereka itu berhasil memenuhi kuota atau apa, tapi perusahaan berkata kami mau menghargai saudara semua sebagai karyawan jadi kami memberikan bonus ini. Saya kira sukacitanya sangat berbeda dengan kalau diberi bonus karena prestasi kerja mereka. Nah jadi kita bisa melihat di sini, bahwa memang kita sebagai manusia memiliki kerinduan dihargai apa adanya, tanpa harus kita berbuat apa-apa. Bukannya saya mau katakan yang dihargai atas prestasi itu buruk, itu juga perlu, tapi saya kira memang faktor yang agak terhilang. Jadi saya setuju dengan Ibu Esther, bahwa kebanyakan kita orang tua tidak menyadari bahwa sebetulnya ini adalah hal yang penting. Contoh lain lagi yang mungkin bisa diterima oleh para pendengar kita adalah bukankah kalau kita mempunyai seorang sahabat baik, enak diajak bicara atau waktu kita masih berpacaran dengan istri atau suami kita sekarang ini pula, bukankah yang indah adalah bersama mereka dan mereka tidak harus berbuat apa-apa, tapi bersama mereka sudah menjadi sumber kenikmatan. Nah saya kira ini yang harus ditumbuhkembangkan dalam memperlakukan anak-anak kita. Bahwa kita menikmati kehadiran mereka bukan karena mereka berbuat apa-apa untuk kita. Seperti bayi yang kecil, apa yang bisa bayi itu lakukan pada kita sebagai orang tua, tidak ada apa-apa yang bisa dia perbuat untuk kita. Tapi kita menyenangi anak ini, dia adalah hadiah Tuhan untuk kita dan kita mau melimpahkan cinta kepadanya. Jadi bersama dengan bayi itu sendiri sudah membuat kita luar biasa senangnya, nah anak yang tahu bahwa orang tua senang hatinya karena kehadiran mereka tanpa mereka berbuat apa-apa akan menerima penghargaan yang tinggi sekali. Dan dia akan memperlakukan dirinya juga dengan penuh penghargaan dan kebalikannya nanti dia akan memperlakukan orang lain juga dengan penuh penghargaan. Kalau orang tua tidak senang dengan mereka yang kalau tidak berbuat apa-apa misalnya, dia juga nantinya akan memperlakukan dirinya seperti itu. Kalau dia melihat dirinya tidak berbuat ini atau kurang berbuat itu dia akan marah-marahi dirinya, mengkritik dirinya dan nantinya dia akan perlakukan orang lain juga seperti itu. Orang tidak melakukan seperti yang dia inginkan, tidak mencapai standar yang telah dia tetapkan, wah dia marah, dia tidak suka, dia kritik. Nah bukankah itu menjadi masalah besar dalam kehidupannya kelak.PG : Ya tepat sekali, intinya di situ Pak Gunawan, jadi menerima anak apa adanya.
PG : Betul, kasih yang bisa membuat orang tua akhirnya bisa menikmati kehadiran si anak tanpa dia harus berbuat apa-apa, menunjukkan prestasi apapun.
PG : Ya, jadi setelah saya mengatakan tadi itu, Pak Gunawan, yakni menerima anak apa adanya, menghargai keberadaannya ya. Tetap juga harus ada yang keduanya yaitu memberikan penghargaan kepada nak atas perbuatannya, artinya orang tua melihat dan menghargai hal-hal tertentu yang dilakukan oleh anak tersebut.
Dan ini juga saya kira tidak ada salahnya jadi orang tua misalnya melihat anak itu senang menggambar, kita tanggapi. Misalnya berkata kamu pandai menggambar, gambarmu bagus, apa yang kamu gambar coba ceritakan kepada papa, mama mau melihat gambar yang lain coba kamu gambar ini. Itu adalah masukan-masukan yang akan menumbuhkembangkan penghargaan dalam diri anak itu.ET : Mungkin kembali lagi kepada siklus itu yang sering kali saya lihat, tadi Pak Paul mengambil perumpamaan atau memberikan bonus tanpa melihat kepada prestasinya. Rasanya cukup sulit karena ita sudah terbentuk dalam masyarakat yang bersyarat, segala sesuatu itu sepertinya harus ada syaratnya.
Tampaknya hal ini rasanya yang lebih banyak didapatkan oleh kebanyakan orang tua dari orang tua sebelumnya, sehingga akhirnya kembali lagi juga dilakukan oleh anak-anaknya dan seterusnya. Makanya sering kali kita mendengar kalimat-kalimat seperti aduh mama akan sayang sama kamu kalau kamu melakukan hal ini, papa akan sayang sekali kalau kamu bisa berprestasi. Jadi akhirnya tetap saja yang ditangkap oleh anak kesenangan dan rasa sayang orang tua itu berkaitan dengan apa yang harus dia lakukan. Jarang yang bisa memberikan konfirmasi bahwa orang tua senang dengan keberadaan anak ini tanpa ada usaha-usaha yang dia tunjukkan.PG : Ya siklus itu memang kita lestarikan Bu Esther, begitulah kita dibesarkan oleh orang tua kita, begitulah kita membesarkan anak-anak kita. Yang sekali lagi saya mau tekankan adalah bukan meghilangkan yang satu, yang saya mau tekankan adalah menumbuhkan yang terhilang itu yakni menerima, menghargai, menikmati anak apa adanya.
Sudah tentu kita juga mau memberikan kepada anak penghargaan atas kebisaannya atau kemampuannya, sebab inipun penting sehingga si anak juga terpacu untuk mengembangkan dirinya. Anak-anak yang dihargai tanpa harus berbuat apa-apa sama sekali penghargaan itu tidak dikaitkan dengan perbuatannya, saya kira juga kehilangan keseimbangan. Anak-anak ini akan besar kepala luar biasa dan dia akan menuntut semua orang untuk menghargai dia tanpa dia harus berbuat apa-apa, nah itu juga akhirnya melewati batas tidak seimbang lagi. Tapi yang saya harapkan adalah keseimbangan antara keduanya, jadi sekali lagi penting orang tua juga melihat dengan peka dan jeli hal-hal apa yang bagus atau yang tidak harus bagus, tapi yang dilakukan oleh si anak.PG : Saya kira kita harus peka kalau memang anak yang satunya itu kurang dibandingkan misalnya dengan si kakak sehingga waktu kita memberikan penghargaan kepada si kakak, si adik tidak merasa jstru dibedakan dan tidak diterima oleh orang tuanya.
Misalkan kalau dia tahu si anak yang satu lemah misalnya dalam pelajaran di sekolahnya, nah dia harus rajin-rajin mendorong si anak untuk melakukan hal-hal yang lain. Dan di hal-hal yang lain itulah si orang tua memberikan hadiah atau memberikan tanggapan yang positif terhadapnya sehingga si anak tahu. Dalam hal ini kakak lebih baik, dalam hal ini saya bisa dan orang tua melihat hal itu. Mungkin ini hal yang tampaknya sederhana, tapi sekali lagi saya mau menghimbau kepada orang tua lihatlah anak-anak kita. Saya kira masalah sekarang adalah orang tua tidak berkesempatan melihat anak, itu duduk masalahnya sehingga tidak tahu apa sebetulnya yang bisa atau tidak bisa dilakukan oleh si anak, nah orang tua yang melihat akan tahu apa itu dan akhirnya bisa memberikan masukan atau tanggapan positif.ET : Kadang-kadang penghargaan ini juga mungkin jadi sulit, karena standar yang terlalu tinggi tampaknya, Pak Paul. Maksudnya apapun yang dibuat anak rasanya tidak berharga karena belum memenuh standar yang dibenak orang tua, pujian itu jadi mahal sekali.
PG : Dan kadang orang tua berdalih ini untuk memacu anak, dengan standar yang tinggi ini si anak dipacu untuk lebih merentangkan dirinya. Boleh memacu anak, jadi prinsipnya adalah berikan standr sedikit di atas kemampuan si anak sehingga si anak dipacu untuk meraih yang lebih tinggi lagi.
Tapi selalu ada kesempatan di mana orang tua mengatakan cukup yang engkau lakukan itu sudah baik, cukup. Inilah bibit-bibit yang membuat si anak menyukai dirinya bahwa dia tahu bahwa dia telah memenuhi standar. Anak yang terus dikatakan atau mendengar kata-kata kurang baik, akhirnya dia akan beranggapan bahwa dia adalah anak yang tidak pernah cukup baik. Dan dia tidak akan bisa menyukai dirinya. Orang yang tidak menyukai dirinya susah menyukai orang lain, orang yang tidak menyukai dirinya akan susah sekali bisa menghargai orang lain pula. Dan takutnya nanti dia sudah besar malah menimbulkan masalah dengan orang-orang lain di sekitarnya. Nah belum lagi kepercayaan diri, anak-anak yang bertumbuh besar di rumah tanpa mendengarkan tanggapan apapun dari orang tuanya tidak tahu dia bisa apa, tidak tahu dia mengerti apa akhirnya? Tidak ada kepercayaan diri. Dia tidak tahu dia bisa apa karena tidak ada tanggapan-tanggapan dari orang-orang di sekitarnya, apalagi kalau tanggapan yang diucapkan yang negatif lagi. Jelek, kamu tidak bisa ini, bikin malu saja akhirnya anak itu ragu-ragu, tidak berani sama sekali melakukan apa-apa. Jadi akhirnya kita membunuh kepercayaan diri si anak.PG : Yang lain adalah arah Pak Gunawan, jadi saya panggilnya ini struktur arah. Seorang psikolog bernama Golden Elport berpendapat bahwa hidup yang bermakna ialah hidup yang memiliki tujuan hidp yang jelas, dia panggil itu intensi.
Intensi itu kita boleh terjemahkan sasaran hidup, tanpa sasaran anak akan hidup tanpa arah dan bahkan bisa tersesat. Jadi orang tua atau keluarga harus menyediakan kebutuhan sasaran atau kebutuhan akan arah, tidak ada arah si anak cenderung hidupnya tersesat seperti daun yang ditiup oleh angin.PG : Konkretnya adalah si anak tahu apa yang bisa dia lakukan, apa yang dia bisa kerjakan nanti, apa yang dia nanti akan lakukan menjadi apa. Kalau kita ingat-ingat waktu kita masih lebih muda ering kali orang tua bertanya mau jadi apa (GS : Cita-citanya apa?) ya betul.
Nah ternyata cita-cita atau mau jadi apa merupakan hal yang sangat penting buat seorang anak. Jadi si anak itu merasakan adanya panggilan dalam hidupnya, adanya makna dalam hidup dia, karena dia nanti bisa menjadi seseorang. Dengan kata lain kita ini seperti 'puzzle' yang merupakan suatu penggalan saja, kita harus mempunyai tempat dalam 'puzzle' yang besar itu, kalau kita tidak tahu tempat kita dalam 'puzzle' yang besar itu kita benar-benar merasa terlempar dari hidup ini. Nah psikolog yang bernama Elport menegaskan bahwa makna atau sasaran atau tujuan hidup yang dia panggil intensi itu adalah yang mengikat seseorang menjadi seseorang yang utuh, sehingga dia berjalan menuju suatu titik atau sasaran itu. Saya kira di sinilah orang tua bisa berperan sangat besar sekali sehingga anak itu bisa bertumbuh dengan sasaran yang jelas.ET : Tampaknya ini memang masih berkaitan sangat erat dengan penghargaan tadi ya Pak Paul, kalau penghargaannya sangat kurang rasanya arahnya sudah pasti tidak jelas.
PG : Tepat sekali, jadi orang tua perlu memberikan bimbingan pertama-tama akan kemampuan si anak itu. Dan orang tua tidak perlu takut dengan kenyataan bahwa si anak nanti belum tentu jadi seperi yang dia katakan sekarang, tidak apa-apa,tidak menjadi soal.
Sebab sekali lagi yang anak perlu adalah sasaran dan kita tahu sasaran itu nanti akan diperhalus, akan dipertepat, akan dikembangkan lagi dan tidak pernah memang bisa pas sekali.. kita pun sekarang berkata o..... saya sekarang sudah menjadi seperti apa sekarang, tapi 10 tahun lagi kita jadi apa kita juga tidak tahu. Tapi tidak apa-apa, yang penting kita tahu setidak-tidaknya langkah berikutnya itu apa. Nah ini harus diberikan oleh orang tua melalui bimbingan, bimbingan yang secara spesifik menunjuk kepada kebisaan si anak. Si anak tidak harus jago baru orang tua bilang o.... kamu akan menjadi seorang apa, seorang dokter, seorang insinyur atau seorang guru tidak perlu. Sudah cukup untuk menjadi modal kalau si anak tahu akan menjadi apa nantinya, arah itu penting sekali. Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang guru yang sudah berpuluhan tahun mengajar di sebuah kota, nah guru itu berkata kepada saya, saya melihat mulai ada perbedaan antara anak-anak sekarang dengan anak-anak dulu. Karena dia sudah senior dia mempunyai banyak pengalaman untuk bisa membandingkan, dia berkata anak-anak sekarang kehilangan arah, anak-anak sekarang ini lulus SMA tidak tahu menjadi apa nantinya. Paling tidak orang-orang sekarang atau saya takutnya anak-anak sekarang kalau ditanya mau menjadi apa, mau menjadi kaya. Hanya itu yang mereka pikirkan karena melihat begitu banyaknya materi yang ditawarkan dan dia ingin memiliki dan dia tahu perlu uang untuk memiliki semua itu. Tapi mau jadi apanya tidak penting lagi, yang penting jadi kaya, sebetulnya ini suatu kenyataan memang anak-anak tersesat, tidak ada sasaran hidup yang spesifik lagi. Kaya itu bukan sasaran hidup, jadi kaya adalah untuk bisa memiliki yang dia ingin miliki saja. Jadi peranan orang tua di sini penting sekali membimbing anak benar-benar menuju kebisaannya itu.PG : Dia harus melihat kemampuan si anak, kebiasaannya, minatnya si anak tertariknya pada hal apa dan itulah yang nanti dia gunakan untuk mengarahkan si anak. Nah point berikutnya, anak perlu mmpelajari kemampuan atau memiliki kemampuan untuk mencapai target itu.
Di sini diperlukan disiplin, maka orang tua yang tidak mendisiplin anak sama juga menyediakan mimpi buat si anak, tapi tidak bisa mewujudkan mimpi itu. Jadi disiplin diperlukan agar impian si anak bisa diwujudkan, tapi kebalikannya juga saya rasa keliru anak yang diberikan disiplin terus tapi tidak diberikan bimbingan, takutnya dia menjadi anak yang kejam, bengis, keras sama orang tapi tidak ada sasaran hidupnya.ET : Lalu bagaimana dengan anak yang dididik dengan disiplin yang tinggi, tapi untuk mencapai arah yang diinginkan orang tuanya. Ada pesan-pesan yang memang sudah dari kecil kamu harus menjadi eperti ini, yang kadang-kadang mungkin harapan orang tua ingin anaknya menjadi arsitek tapi ternyata tidak berhasil.
Sehingga dari kecil anak sudah didisiplin sedemikian rupa supaya menjadi arsitek. Bagaimana kalau menurut, Pak Paul?PG : Saya kira ada anak yang seperti itu dan tidak selalu negatif karena mungkin dia nanti benar-benar misalnya menjadi arsitek. Setelah menjadi arsitek bertahun-tahun saya duga pada akhirnya da akan resah dan dia akan berkata saya mau pindah, saya mau mengalihkan karier saya sebab saya bukan di sini.
Tapi itu bukanlah suatu hal yang negatif juga karena apa? Kenyataan dia berhasil mencapai standar tertentu itu cukup memberikan dia arah dalam hidupnya. Namun sayangnya adalah dia tidak langsung bisa mengembangkan dirinya.PG : Betul, dan kalau memang itu minatnya si anak ya tidak apa-apa. Tapi kalau orang tua yang memang memaksakan kehendak ya harus berhati-hati, harus berhati-hati jangan sampai akhirnya si anakitu tidak bisa mengembangkan dirinya sendiri.
PG : Saya akan membacakan 2 ayat Pak Gunawan, yang pertama dari
GS : Jadi demikian tadi saudara-saudara pendengar, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang keluarga dan permasalahan jiwa pada bagian kedua. Sedangkan pada bagian pertama kami perbincangkan pada beberapa waktu yang lalu. Bagi Anda yang berminat kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
11. Kehidupan Malam | |
Kehidupan malam adalah kehidupan yang sangat berdampak dalam kehidupan keluarga, terutama dalam memisahkan mereka lebih jauh lagi dengan keluarga.
Kehidupan malam sangat berdampak pada keluarga, seperti trend di kalangan para eksekutif muda. Mereka tidak pulang ke rumah setelah kerja tapi berkumpul bersama kawan-kawan entah itu pergi makan malam atau pergi ke tempat-tempat hiburan malam seperti ke night club, karaoke atau pub dsb. Ada juga yang misalnya melakukan hal-hal yang sangat buruk seperti akhirnya menggunakan narkoba, sabu-sabu dsb. Ini menggejala bukan saja di kota-kota besar bahkan di kota-kota kecil pun bisa terjadi.
Yang menjadi persoalan bukan hanya pergi malamnya itu yang memisahkan mereka lebih sering lagi dengan keluarga, tapi adalah hal-hal lainnya yang terkait dengan hiburan malam itu. Misalnya dari hiburan malam karaoke, nonton, makan malam, pub dsb akhirnya ya perempuan. Sekali dua kali tidak ada apa-apa hanya ngobrol-ngobrol, namun tidak menutup kemungkinan setelah lebih dalam lagi, bisa ada keterlibatan emosional dan akhirnya bisa ada yang mempunyai hubungan dengan orang lain. Jadi akhirnya terlibat dalam hubungan di luar nikah, pemakaian narkoba dan yang ngetrend lagi pemakaian sabu-sabu. Sehingga benar-benar mulai dari kehidupan malam sampai akhirnya menjadi kehidupan yang begitu merusakkan diri ataupun keluarganya.
Penyebab orang terlibat dalam kehidupan malam adalah:
Awalnya diajak teman dan ingin seperti teman-teman itu awalnya.
Cukup banyak orang yang makin hari makin bosan dengan kehidupan ini. hidup itu menjadi hidup yang membosankan kalau tidak ada hal-hal yang penuh tantangan dan penuh hiburan. Kalau hanya yang namanya pulang ke rumah bersama istri dan anak-anak itu sungguh-sungguh membosankan tidak ada apa-apanya begitu sehingga rumah lebih dilihat sebagai penjara yang mengikat dia, membelenggu mereka.
Akhirnya anak-anaklah yang menjadi korban. Karena cukup banyak ayah dan ibu lebih memusatkan perhatian pada diri mereka sendiri, sehingga masalah anak akan dinomorduakan. Kalau salah satu tidak terlibat dalam kehidupan malam, apa yang bisa dilakukan? Dalam hal ini ada sedikit pilihan, tidak terlalu banyak pilihan.
Yang lebih bijaksana adalah :
Dia memang harus belajar mengkomunikasikan bahwa yang dilakukan oleh suami (kalau suaminya yang terlibat) itu tidak benar. Dan makin memperbesar jarak antara dirinya dan suaminya, antara anak-anak dan suaminya. Dan tanyakan apakah engkau (suami) berminat untuk membangun kembali keluarga ini, kalau dia berkata berminat, minta tolong dikurangi dan bukan hanya dikurangi tapi perilaku-perilaku yang tidak baik itu dihentikan. Istri harus menyampaikan isi hatinya minta suaminya berhenti namun dengan suara yang lemah lembut.
Jadi pilihan yang ada sangat sedikit, Alkitab memang meminta kepada para istri untuk memenangkan suami mereka yang belum percaya pada Tuhan, yang perilakunya tidak baik. Ia menangkan mereka dengan perbuatan, bukan dengan perkataan.
Istri harus proaktif membuat rancangan untuk pergi ke sana, ke sini, pergi ramai-ramai ke Bali misalnya, ke puncak dengan keluarga, istri yang tentukan jadwalnya. Suami diajak kembali belajar menikmati hidup bersama dengan istri dan anak-anaknya, jadi belajar kembali menikmati kesenangan bersama-sama dengan keluarga, inilah yang sudah mulai terhilang dari hidupnya dan istri bertugas untuk mengembalikannya.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti menarik dan bermanfaat. Dan kali ini kami akan memberi judul pada perbincangan kami yaitu tentang "Kehidupan Malam". Maka dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
PG : Kehidupan seperti itu sangat berdampak pada keluarga, Pak Gunawan, jadi seperti yang tadi Pak Gunawan sudah kemukakan memang saya melihat adanya trend di kalangan para eksekutif muda, klau kita mau panggil mereka para eksekutif muda.
Mereka tidak pulang ke rumah setelah bekerja tapi berkumpul bersama kawan-kawan, entah itu pergi makan malam atau pergi ke tempat-tempat hiburan malam seperti ke night club, ke tempat karaoke atau misalnya pub dan sebagainya. Ada juga yang akan melakukan hal-hal yang sangat buruk misalnya akhirnya menggunakan narkoba, sabu-sabu dan sebagainya. Saya melihat ini menjadi satu trend yang menggejala, bukan saja di kota-kota besar bahkan juga di kota-kota yang lebih kecil dan saya khawatir peminatnya makin banyak, Pak Gunawan. Jadi saya kira dampak pada keluarga juga makin besar pula.PG : Saya kira tidak bisa ditoleransi ya, sebab bukankah mereka pulang jauh lebih malam jadi mereka bukannya pulang jam 09.00 malam, cukup banyak di antara mereka itu yang akan pulang jam 0100, jam 02.00
pagi. Sebab mereka bersenang-senang, bernyanyi, minum-minuman keras sampai jam 01.00, jam 02.00 pagi baru pulang ke rumah. Sedangkan pagi-pagi harinya mereka sudah harus kembali bekerja, jadi di satu pihak mereka sebetulnya juga menghancurkan diri dengan hidup seperti itu, gaya hidup yang sama sekali tidak sehat, di samping sudah tentu akan memperbesar jarak antara mereka dan keluarga. Jadi alasan mereka untuk rileks saya kira tidak tepat, justru bukankah tambah meletihkan, gaya hidup yang seperti itu.ET : Tampaknya memang juga kecenderungan atau trend ini sungguh-sungguh dibaca dengan baik oleh kalangan bisnisman atau pengusaha-pengusaha dunia malam seperti itu, karena memang promosinya uga semakin lama semakin menarik.
Misalnya group musik yang diundang itu sepertinya menjadi daya tarik yang luar biasa. Kalau saya melihat sepertinya memang orang tidak langsung tercebur dalam kehidupan malam ini, mungkin awalnya dengan alasan-alasan itu tadi, lalu juga dengan daya tarik yang memang ditawarkan, fasilitas-fasilitas tertentu, potongan-potongan harga. Memang begitu menariknya sampai orang yang tadinya tidak memikirkan hal itu, lama-lama ingin mencoba dan akhirnya tanpa disadari sudah terbiasa dengan alam gaya hidup seperti ini.PG : Membicarakan mengenai daya tarik Bu Esther, selain dari atraksi-atraksi yang memang cukup menarik juga mendatangkan penyanyi dari luar negeri dan sebagainya. Saya kira daya tarik yang jga sangat besar adalah status.
Karena bagi mereka-mereka ini tidak pulang dan pergi dengan teman-teman mengunjungi tempat hiburan malam itu mempunyai suatu status tersendiri di kalangan mereka. Apalagi kalau mereka berhasil pergi dengan wanita yang lain, teman kerja yang cantik yang misalkan susah untuk diajak pergi namun mereka berhasil ya berdua, bertiga atau berempat pergi bersama-sama, beramai-ramai, itu mengundang status tersendiri bagi kalangan eksekutif muda ini. Dan itu sendiri saya kira adalah daya tarik yang sangat kuat sebab bukankah kita adalah orang-orang yang mudah tunduk pada tekanan dari lingkungan (peer pressure). Waktu melihat si A pergi, pulang kantor pergi ke sana dengan teman-temannya dan mendapatkan status ya memakai baju bagus, memakai dasi dan sebagainya, minyak wangi, nah yang lain jadinya cukup tergiur untuk bergabung karena ya menempatkan diri dalam status tersebut sekarang.ET : Ada kebanggaan tersendiri dengan semua keadaan itu. Tapi saya tertarik dengan Pak Paul menggunakan istilah eksekutif muda. Apakah hal ini juga tidak terjadi pada orang-orang yang lebih senior, Pak Paul?
PG : Saya kira sama, jadi mungkin yang akan berbeda adalah seleranya, mungkin yang lebih muda itu misalnya ke karaoke cukup bisa diterima ya. Tapi bagi yang sudah usianya di atas 50-an ke kaaoke mungkin sedikit tidak bisa diterima lagi, nah mereka akan pergi ke tempat-tempat yang lebih anggun, lebih klasik, suasananya lebih tidak ramai misalnya seperti itu.
Di kota-kota besar saya kira ada club-club malam yang didesain untuk yang usianya lebih muda, lagu-lagunya juga lebih muda, ada juga yang didesain memang untuk yang usianya 45 ke atas, 50-an ke atas jadi ada tempat masing-masing untuk mereka.ET : Jadi banyak pilihan ya (PG : Betul) ada penerimaan dari kelompok-kelompok itu ya.
PG : Saya melihat awalnya Pak Gunawan mungkin tahun 60-an, tahun 70-an bahkan awal 80-an, tujuan utama adalah transaksi bisnis atau entertain tamu itu dua alasan yang lebih umum saya kira. Nmun saya melihat bahwa trend itu berubah di dasawarsa terakhir ini, rasanya sekarang lebih banyak yang keluar malam itu bukan untuk deal bisnis atau bukan untuk menghibur tamu namun untuk menghibur diri, pergi ramai-ramai dengan teman-teman begitu.
Nah yang saya persoalkan bukan hanya pergi malam-malamnya itu yang memisahkan mereka lebih sering lagi dengan keluarga, yang saya khawatirkan adalah hal-hal lainnya yang terkait dengan hiburan malam ini, itu yang lebih saya cemaskan, Pak Gunawan.PG : Saya khawatir mulai dari hiburan malam ya karaoke, nonton atau apa, makan malam, pub dan sebagainya, akhirnya perempuan. Sebab kita tahu di tempat-tempat seperti itu akan tersedia wanit, nah jadi akhirnya mulailah kencan dengan perempuan.
Ya, sekali dua kali tidak ada apa-apa hanya ngobrol-ngobrol, namun tidak menutup kemungkinan setelah itu lebih dalam lagi, bisa ada keterlibatan emosional dan akhirnya bisa ada yang mempunyai hubungan dengan orang lain. Bisa orang lain ini rekan sejawatnya, sesama rekan kerja atau apa istilahnya sekarang yang melayani mereka itu seperti para wanita yang diajak kencan oleh mereka, jadi akhirnya terlibat dalam hubungan di luar nikah. Atau yang cukup umum sekarang adalah pemakaian narkoba dan kita tahu yang ngetrend di kalangan para eksekutif muda, atau yang tidak terlalu muda juga ada yaitu pemakaian sabu-sabu. Jadi setelah puas bersenda gurau, bernyanyi ria akan pergi untuk menggunakan sabu-sabu dan diadakanlah acara bersama. Biasanya dipakai dengan 2, 3 teman dengan wanita, yang lainnya pula di dalam kamar tertutup, nah baru pulang jam 01.00, jam 02.00 malam. Atau yang lainnya lagi yang dilakukan adalah judi, jadi di kalangan mereka itu juga tidak enggan-enggan dan cukup seru kalau ada taruhan-taruhan dalam bermain. Sehingga benar-benar mulai dari kehidupan malam sampai akhirnya menjadi kehidupan yang begitu merusakkan diri ataupun keluarganya.PG : Saya kira awal-awalnya penyebabnya adalah diajak teman dan ingin menjadi seperti teman-teman itu awal-awalnya, ini yang di luar transaksi bisnis. Jadi awal-awalnya adalah diajak teman aau ingin menjadi seperti teman rasanya senang, seru seperti itu.
Dan kehidupan malam itu mempunyai daya tarik yang tersendiri juga ramai, orang-orang berpakaian bagus-bagus, wangi-wangi sehingga orang-orang itu cukup menikmati, apalagi mendengarkan musik tertentu dan sebagainya akhirnya pergi. Ada unsur hiburannya saya setuju, awal-awalnya unsur hiburan baik menikmati tontonan atau bersama dengan teman-teman bisa ngobrol, curahkan isi hati, cerita kanan kiri dan sebagainya. Jadi unsur hiburan itu memberikan kelegaan pada orang-orang yang bekerja relatif sangat keras ini. Dan yang kedua ini yang saya takuti yaitu cukup banyak orang yang makin hari makin bosan dengan kehidupan ini. Jadi ini yang saya perhatikan sedang terjadi di kalangan eksekutif muda. Hidup itu sebetulnya menjadi hidup yang membosankan kalau tidak ada hal-hal yang penuh tantangan dan penuh hiburan. Kalau hanya yang namanya pulang ke rumah bersama istri dan anak-anak itu sungguh-sungguh membosankan, tidak ada apa-apanya sehingga rumah lebih dilihat sebagai penjara yang mengikat dia, membelenggu mereka. Bersama teman-teman dengan perempuan lain, ketawa, minum dan sebagainya itu hal-hal yang menggairahkan kembali. Namanya ke rumah sepertinya hilanglah semua sukacita, gairah hidup, benar-benar rumah hanya tempat tidur, setelah itu pagi-pagi pergi lagi. Saya kira rumah atau keluarga tidak lagi mempunyai tempat di dalam kehidupan mereka. Rumah bukanlah suatu tempat di mana mereka ingin kembali dan bersama dengan keluarganya, sungguh-sungguh tidak ada ikatan batiniah dengan keluarga sehingga lebih menikmati hidup di luar rumah.ET : Rasanya dalam pengamatan saya, arahnya untuk tahun-tahun yang akan datang sepertinya kehidupan malam ini nanti bukan hanya milik kaum pria. Karena juga sejumlah wanita yang bekerja di dnia katakanlah eksekutif muda itu wanita.
Semakin banyak yang memasuki jajaran itu dan untuk kota-kota besar seperti Jakarta rasanya yang masuk ke pub-pub seperti itu juga mungkin banyak wanita, yang sepertinya memang juga tidak mau kalah bukan hanya dunia pekerjaan tapi juga merasa punya hak untuk menghibur diri, Pak Paul. Jadi kalau dikatakan hanya pria dengan wanita yang melayani itu seperti pramusaji dan sebagainya rasanya tidak juga ya, kemungkinannya justru nanti dengan orang-orang yang sesama eksekutif muda itu ketemu, kenalan, ada satu hal yang baru dan terjadi hubungan-hubungan di luar pernikahan, kalau saya lihat sepertinya ke sana Pak Paul.PG : Saya setuju sekali Bu Esther, jadi dengan bertambahnya wanita yang memasuki lapangan pekerjaan semakin banyak pula yang mempunyai gaya hidup seperti ini. Saya pun juga melihat waktu say kebetulan harus bertemu orang di sebuah hotel atau apa malam-malam dan saya melihat banyak wanita dan mereka itu adalah juga kaum eksekutif baru pulang kantor.
Dan kemungkinan besar mereka juga punya keluarga di rumah sebab mereka bukan berusia 22, 23 tahun lagi, berusia sekitar 30-an ke atas dan sebagainya, mereka duduk bersama-sama dengan para pria yang berdasi dan rapi. Nah itupun menjadi hal yang menarik buat mereka, jadi saya setuju dengan pengamatan Bu Esther, akan semakin banyak dan semakin membuka peluang terjadinya perselingkuhan karena adanya hiburan itu. Sekali lagi seks di sini akan dinilai sebagai sebuah hiburan, sebagai selingan dan mungkin sekali ya tidak ada apa-apa tetapi melakukannya karena sebagai hiburan atau selingan. Dan yang bahaya juga adalah kalau sungguh-sungguh terjadi ketertarikan emosional dan dimulailah perselingkuhan berjangka panjang yang akan menghancurkan keluarga.PG : Betul sekali, akhirnya anak-anak dibesarkan di rumah oleh suster mereka. Pernah suatu kali Pak Gunawan dan Ibu Esther, saya pulang dari puncak di Jakarta itu ada camp, saya kembali dariPuncak hari Sabtu malam, mungkin sekitar jam 09.00,
10.00 malam itu harus pulang ke Jakarta. Seperti kita tahu Puncak kalau lagi hari Sabtu itu macet, yang dari Jakarta mau naik ke atas banyak sekali, karena macet jadi saya mempunyai banyak waktu untuk melihat siapa yang naik ke puncak. Saya sangat kaget karena saya perhatikan mayoritas yang naik ke puncak itu anak-anak muda yang usianya masih belia, saya duga antara SMA atau mungkin usia perguruan tinggi awal, muda-muda. Dan hal kedua yang mengejutkan saya adalah cukup banyak yang naik itu adalah sepasang pria dan wanita berduaan, dan saya melihat ada yang berpelukan dan sebagainya di dalam mobil selagi masih macet. Pertanyaan saya langsung adalah dimanakah orang tua mereka saat itu, nah saya takut orang tua mereka pun tidak di rumah sedang berada di club malam pada hari Sabtu malam itu. Jadi kita sebetulnya sedang menyaksikan suatu gejala yang sangat buruk dampaknya pada keluarga dan saya kira ayah, ibu ini harus menyadari, tapi masalahnya adalah cukup banyak ayah ibu sekarang ini yang juga lebih memusatkan perhatian pada diri mereka sendiri, yang penting saya, saya juga mau senang. Rasanya orang ini sekarang berlomba-lomba untuk tidak mau rugi, berlomba-lomba untuk bisa hidup dengan nikmat, mencari kesenangan, rugi kalau saya ini tidak menikmati kesenangan hidup. Karena masing-masing lebih memikirkan diri sendiri maka masalah anak dinomorduakan dan nanti bagaimana ya terserah.ET : Sepertinya memang ini juga akan bertambah membuat tidak apa-apa saya melakukannya itu, kalau memang komunikasi di rumah juga sudah tidak baik. Jadi seperti satu kesempatan untuk melarikn dirilah dari pada ketemu istri atau suami lalu bertengkar, maka saya akan menghibur diri sendiri.
PG : Tepat dan akan ada yang seperti itu ya Bu Esther, yang memang benar-benar tidak bisa lagi mendapatkan kenikmatan dari rumah, tidak ada lagi kenikmatan yang bisa dia peroleh dari istriny atau dari suaminya dan dari anak-anak.
Kebersamaan dengan keluarga tidak membawa kenikmatan, justru tadi kata Ibu Esther mungkin membawa kepedihan karena bertengkar atau bersama-sama anak-anak mengingatkan dengan beban, dengan tugas. Ini adalah generasi orang-orang yang ingin hidup lebih senang. Dan tidak tahan, alergi dengan yang namanya beban, kewajiban mengurus anak, mengurus rumah sehingga kata-kata mengurus rumah, mengurus anak itu adalah hal-hal yang sepertinya makin tidak populer dewasa ini, jadi lebih senang dengan di luar variasi hidup maka itulah yang dicari ke mana-mana. Nah saya takut sekali makin banyak yang seperti ini dan kita akan mulai memetik buahnya 10 tahun kemudian yaitu anak-anak ini bertumbuh besar tanpa didikan, arahan dari orang tua. Dan Pak Gunawan dan Ibu Esther yang harus saya tekankan juga adalah ini bukan hanya menyerang keluarga-keluarga lain, tapi ini juga menyerang keluarga-keluarga Kristen di gereja dan ini kadang kala yang luput dari perhatian kita. Kita menganggap oh....keluarga kita di gereja tidak mengalami masalah yang seperti ini. Kenyataan di lapangan adalah menyerang keluarga Kristen pula, ada suami yang rajin ke gereja, melayani misalnya sebagai majelis tapi kehidupan malam jalan terus begitu.PG : Ada sedikit sekali pilihan Pak Gunawan, yang tidak terlalu banyak pilihannya, yang lebih bijaksana adalah dia memang harus belajar mengkomunikasikan bahwa yang dilakukan oleh suami misanya suaminya yang terlibat kehidupan malam bahwa yang dilakukan suaminya ini tidak benar.
Dan makin memperbesar jarak antara dirinya dan suaminya, antara anak-anak dan suaminya. Jadi dia harus kemukakan inilah dampak dari tindakan-tindakanmu dan tanyakan apakah engkau berminat untuk membangun kembali keluarga ini, kalau dia berkata berminat, minta tolong dikurangi dan bukan hanya dikurangi tapi perilaku-perilaku yang tidak baik itu juga dihentikan. Nah kadang kala pria susah mendengar permintaan seperti ini dari istrinya, sebab pria itu mempunyai dua ketakutan yaitu pertama pria takut sekali dikatakan engkau takut pada wanita, ketakutan yang kedua ini sering kali menghalangi pria ini untuk mendengarkan permintaan istri mereka. Mereka bahkan berkata apa salahnya saya berbuat seperti ini, jadi akhirnya terjadi keributan-keributan, belum lagi kalau yang memang istri harus menyaksikan suaminya pulang-pulang mabuk, teler, belum lagi yang istrinya melihat uang suaminya cepat habis karena dipakai untuk kehidupan malam, untuk beli obat, sabu-sabu dan sebagainya. Si istri harus bicara, harus menyampaikan isi hatinya minta suaminya berhenti namun dengan suara yang lemah lembut. Jangan sampai dengan suara yang seolah-olah melengking-lengking, marah-marah, tindakan seperti itu biasanya tidak membawa efek. Nah mungkin di antara para pendengar ada yang berkata, tapi Pak Paul saya sudah bicara lembut tidak didengar, keras tidak didengar, berbuat apa lagi? Betul, kadang-kadang dalam hal seperti ini kita tidak melihat hasilnya dengan cepat, ada yang makan waktu 2, 3 tahun ada yang makan waktu mungkin 10-12 tahun. Jadi pilihan yang ada sangat sedikit sekali Pak Gunawan, nah Alkitab memang meminta kepada para istri untuk memenangkan suami mereka yang belum percaya pada Tuhan, yang perilakunya itu tidak baik. Ia menangkan mereka dengan perbuatan, bukan dengan perkataan. Ya jadi dari kehidupan yang saleh sehingga si suami-suami ini melihat istriku berbeda dengan para wanita-wanita yang lain, istriku saleh, hidupnya itu sangat lain ya, nah itu menjadi daya tarik buat si suami untuk tidak lepas dari keluarganya. Dan yang kedua saran saya adalah si istri harus proaktif membuat rancangan untuk pergi ke sana, ke sini, pergi ramai-ramai ke Bali misalnya atau ke mana, ke Puncak dengan keluarga, istri yang tentukan jadwalnya karena kalau menunggu suami tidak akan kesampaian, jadi dia katakan engkau tanggal ini bisa, sempat kita pergi ya saya sudah booking hotelnya, saya sudah booking tempat ini kita akan pergi. Kenapa suami itu harus belajar kembali menikmati hidup bersama dengan istri dan anak-anaknya, atau kalau pihak istri ya dengan suami dan anak-anaknya. Jadi belajar kembali menikmati kesenangan bersama-sama dengan keluarga, inilah yang sudah mulai terhilang dari hidupnya dan istri bertugas untuk mengembalikannya.ET : Saya pernah bertemu dengan beberapa ibu yang mengeluh karena kesulitan untuk menasihati anak-anak mereka yang remaja begitu Pak Paul, karena mereka akan mengatakan lho papa juga melakukn hal yang sama misalnya pulang malam, lalu pergi ke club malam seperti itu, jadi mereka merasa frustrasi juga.
Saya merasakan memang hal yang ganda ya, beban yang bukan hanya ganda, berlapis-lapis pertama harus menghadapi suami, lalu sekarang harus menghadapi anak-anak yang mulai mengikuti jejak orang tuanya. Sementara di sisi lain si ayah ini juga seperti punya standar ganda begitu ya buat mereka tidak apa-apa, tetapi buat anak-anak bisa dihukum sedemikian karena melakukan yang sama dengan si ayah. Rasanya memang ini menjadi rumit di rumah dengan keadaan yang seperti ini, kira-kira mungkin apa yang bisa kita berikan buat ibu-ibu yang kesulitan dengan anak-anak, Pak Paul?PG : Ibu itu harus jujur bicara dengan anaknya yaitu: "Anakku, memang papa tidak memberikan contoh yang baik dan engkau akan selalu bisa berkata kepada kami papa melakukannya kenapa saya tidk boleh, tapi anakku engkau harus mengambil keputusan yang baik untuk hidupmu, jangan gunakan ayahmu atau kami sebagai alasan agar engkau menghancurkan hidupmu sendiri.
Engkau bertanggung jawab atas hidupmu, bukan orang lain, di hadapan Tuhan engkau harus mempertanggungjawabkan hidupmu ini, nah apakah engkau akan menghancurkan hidupmu. Memang ayahmu melakukan hal-hal yang salah, memang engkau tidak bisa mengikuti panutannya tapi apakah engkau mau menghancurkan hidupmu." Nah lebih baik bicara seperti itu kepada anak, jangan menutup-nutupi ayah, jangan membutakan mata terhadap perilaku si ayah dan hanya menyalahkan si anak itu makin membuat si anak marah bukan saja kepada ayah tapi kepada si ibu. Karena dia akan melihat si ibu itu benar-benar berstandar ganda dan munafik, tambah si anaknya berbuat semaunya, jadi lebih baik terbuka. Katakan memang ayahmu tidak memberi contoh yang baik, ayahmu memang menjalani kehidupan yang salah, tapi hidupmu tanggung jawabmu tidak ada yang akan membela kehidupanmu di hadapan Tuhan, engkau harus bertanggung jawab secara pribadi, nah apakah engkau akan menghancurkan hidupmu seperti ini. Sebab memang betul sekali Bu Esther, orang yang sudah terlibat dengan kehidupan seperti itu tidak bisa menegur anak lagi, wibawanya sudah hilang. Tapi si ibu yang tidak terlibat masih mempunyai wibawa, dia jangan justru menguras wibawanya dengan membela si ayah secara membabi buta.PG : Saya akan bacakan dari
Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kehidupan Malam". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut tentang acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
12. Tuntutan Keluarga dan Depresi | |
Tuntutan keluarga yang tinggi terhadap seorang anak bisa menjadi suatu hal yang melatarbelakangi seseorang rentan terhadap depresi.
Orang yang rentan terhadap depresi memiliki latar belakang keluarga di mana mereka sejak kecil telah menjadi tulang punggung keluarga. Nah apa yang dimaksud tulang punggung keluarga?
Adalah anak yang sangat diandalkan karena penuh tanggung jawab.
Tulang punggung adalah anak yang dekat dengan salah satu atau kedua orang tuanya, sehingga anak ini menjadi tumpahan isi hati orang tua itu. Ada apa-apa dia yang dipanggil, diajak ngomong, diceritakan masalah-masalah keluarga dan sebagainya.
Sering kali anak ini bertumbuh dalam keluarga yang bermasalah, di mana perannya sebagai anak yang paling baik menjadi penting sekali. Dia harus menjadi pendamai di antara kedua orang tuanya, dia harus menjadi pelindung papanya atau mamanya, dia harus menjaga adik-adiknya jangan sampai mereka terlantar.
Anak-anak ini akhirnya sejak kecil dilatih atau dikondisikan untuk hidup tidak normal. Maksudnya apa tidak normal, tidak hidup sebagaimana adanya, dia harus menjadi orang lain. Anak-anak ini nggak menyadari apa yang sedang terjadi dalam dirinya, dia hanya melakukan yang dia tahu harus dilakukan, sebab memang tidak banyak pilihan lain.
Tapi akibatnya kita bisa mencermati beberapa gejala yang bisa muncul yaitu:
Orang ini mudah merasa bersalah terhadap segala hal yang tidak beres di keluarganya.
Dia juga memikul beban yang besar karena menerima tuntutan orang tua yang berlebihan ini. Ini adalah faktor yang mencenderungkan dan merentankan dia untuk terkena depresi.
Orang ini tidak bebas menjadi dirinya sendiri, sebab dia senantiasa harus bersikap dewasa dan menjadi tauladan bagi saudaranya.
Waktu orang seperti ini mengalami depresi atau mengalami ketertekanan, keterhimpitan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yang sering terjadi adalah:
Dia bisa melakukan hal-hal yang berkebalikan dengan norma yang diyakini keluarganya. Jadi tidak jarang orang-orang ini sudah berumur berapa tahu-tahu ketahuan menggunakan narkoba
Atau juga yang umum adalah orang ini tiba-tiba menikah dengan orang yang sangat tidak diharapkan oleh orang tuanya.
Yang perlu dilakukan orang tua adalah kalau masih punya pilihan sebaiknya kita sebagai orang tua menyadari bahwa anak ini terlalu banyak menerima tuntutan dari kita, di atas adik-adiknya atau kakaknya, nah kalau kita sadari itu kita harus mulai mengurangi tuntutan itu.
Kita sebagai orang tua hendaknya mengetahui sampai batas di mana kita harus memberikan tanggung jawab pada anak, kapan kita harus berhenti. Salah satu cirinya atau gejalanya yang kita harus perhatikan adalah:
Kalau dia itu kehilangan pergaulan sosialnya, dia makin jarang keluar dengan teman-temannya, dia lebih sering di rumah.
Kalau kita melihat dia makin hari makin kehilangan minat pada hal-hal yang dilakukan pada anak-anak seusianya, misalnya pergi nonton.
Bicara tentang pertolongan ada beberapa saran yang dapat saya berikan yaitu:
Melakukan beberapa pencegahan misalnya memerlukan psikiater, atau ke dokter ahli jiwa agar mendapatkan obat.
Awasi konsumsi obatnya agar dimakan dengan teratur dan tidak digunakan untuk mengakhiri hidupnya. Awasi secara saksama bila dia ingin membunuh diri, jangan biarkan dia sendirian.
Dengarkan keluhan dan kekhawatirannya mesti diutarakan secara berulang-ulang.
Bawa dia ke konselor untuk menanganinya secara profesional, dia harus menjalani terapi yang berkepanjangan bukan sekali dua kali.
Ingatkan dia akan janji Tuhan dan ajak dia untuk berdoa dan bernyanyi bersama.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dan beliau berdua adalah pakar-pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat, yang kali ini kami beri judul "Tuntutan Keluarga dan Depresi". Bagian ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan kami beberapa waktu yang lalu tentang mengenal depresi. Jadi kami percaya Anda yang sudah mengikuti perbincangan kami pada waktu yang lalu juga akan banyak mendapat sesuatu yang baru dari perbincangan kami kali ini. Akhirnya kami dari studio mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Depresi bisa menyerang siapapun tidak ada yang terkecuali, sebab depresi itu bisa muncul dengan mudah di dalam hidup seseorang yang tidak lagi seimbang. Tidak seimbang, dalam pengertian keampuan untuk menahan beban kehidupan itu tidak cukup sehingga akhirnya beban hidup menindih seseorang.
Gejala depresi bermacam-macam, yang paling umum adalah kehilangan minat atau gairah terhadap hal-hal yang biasanya diminati, biasanya disertai juga dengan kesulitan tidur, nafsu makan berkurang atau nafsu makan bertambah dengan drastis, gairah seksual menurun, ketegangan dan keresahan menandai hidupnya terus-menerus.PG : Yang melatarbelakangi pembicaraan kita pada saat ini adalah pengamatan saya bahwa ada orang-orang dewasa yang rentan terhadap depresi dan waktu saya selidiki, latar belakang keluarganya tenyata mereka mempunyai sesuatu yang umum atau yang sama antara satu dengan yang lainnya.
Yaitu mereka berasal dari keluarga di mana sejak kecil mereka telah menjadi tulang punggung keluarga. Apa yang saya maksud dengan tulang punggung keluarga adalah anak yang sangat diandalkan karena penuh tanggung jawab. Jadi apa-apa dia yang disuruh, apa-apa dia yang dipanggil atau anak yang tulang punggung ini adalah anak yang dianggap paling baik di antara anak-anak lainnya, sehingga dialah yang dituntut lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang lainnya. Yang lainnya lagi tulang punggung adalah anak yang dekat dengan salah satu atau kedua orang tuanya, sehingga anak ini menjadi tumpahan isi hati orang tuanya. Ada apa-apa dia yang dipanggil, diajak bicara, diceritakan masalah-masalah keluarga dan sebagainya. Dan yang terakhir tentang ciri anak yang disebut tulang punggung, sering kali anak ini bertumbuh dalam keluarga yang bermasalah, di mana perannya sebagai anak yang paling baik menjadi penting sekali. Dia harus menjadi pendamai di antara kedua orang tuanya, pelindung papanya atau mamanya, menjaga adik-adiknya jangan sampai mereka terlantar. Dengan kata lain anak yang disebut tulang punggung ini memang sungguh-sungguh menjadi tulang punggung keluarganya, di mana kakak adiknya atau orang tuanya bergantung pada dia sehingga dialah yang menopang kelanjutan kehidupan keluarganya itu. Saya perhatikan anak-anak yang disebut tulang punggung ini waktu bertumbuh besar dan misalkan suatu hari tidak mampu lagi menahan beban kehidupan, rentan sekali terhadap depresi.PG : Ya bukankah sebagai orang tua kita ini senang mempunyai anak yang seperti ini, Pak Gunawan, tapi sekali lagi anak-anak ini akhirnya sejak kecil dilatih atau dikondisikan untuk tidak hidup ormal.
Maksudnya normal, tidak hidup sebagaimana adanya, dia harus menjadi orang lain. Dia tidak bisa misalnya mengambek, tidak sekolah, dia tidak bisa bolos, dia tidak bisa mengatakan tidak suka. Sebab dia itu adalah anak yang diharapkan untuk senantiasa melakukan hal-hal yang baik untuk keluarganya. Jadi kalau dia ingin menjadi dirinya apa adanya, yang dia akan terima adalah penolakan atau yang lebih parah adalah kekecewaan dari orang-orang yang mengasihinya dan dikasihinya. Nah dia tidak tahan, dia tidak bisa mengecewakan orang-orang di sekitarnya itu.ET : Selain rasa kecewa mungkin juga ada pikiran bahwa jangan-jangan nantinya menjadi timpang, tidak lagi berjalan lancar kalau dia menolak. Dan dalam arti suatu keadaan yang memang tidak bisa ihindari Pak Paul, misalnya salah satu orang tua meninggal yang memang dia adalah anak sulung.
Dalam hal ini bagaimana Pak Paul?PG : Jadi yang tadi Ibu Esther katakan betul sekali, anak-anak ini memang adalah roda yang memutar jalannya keluarga. Misalkan tadi contohnya si ayah sudah meninggal, dia yang harus menggantika si ayah, tidak ada pilihan lain.
Jadi memang ada kondisi-kondisi tertentu yang tidak memberikan banyak pilihan kepada anak-anak, dia terpaksa harus memikul beban itu. Nah sekali lagi saya mau tekankan adalah kalau dia hidup dengan berimbang nanti di masa dewasanya dia akan OK! Namun kalau hidupnya tidak berimbang terus-menerus dia tersedot oleh masalah-masalah keluarganya dan tidak cukup waktu untuk dirinya sendiri, dia tidak cukup memberikan makanan untuk dirinya sendiri dan lama-lama dia akan roboh.ET : Tapi justru memang kadang-kadang hal ini yang suka dilupakan oleh anggota keluarga yang lain. Dalam arti memang dari kecil atau dari mudanya dia sudah menyandang status orang yang dapat diandalkan sehingga sampai dia dewasa, sampai mungkin saat dia sudah berkeluarga, sudah saatnya membina keluarga sendiripun dari anggota keluarga yang lain masih selalu larinya ke si tulang punggung ini dalam situasi yang bahkan kadang-kadang tampaknya remeh begitu ya?
PG : Betul, dia dituntut oleh keluarganya sendiri, oleh mamanya atau adiknya atau siapa dan di rumah pun dituntut karena dia adalah tulang punggung keluarganya, rumahnya, istrinya, anak-anaknya Nah orang-orang ini akhirnya akan terjebak di dalam tuntutan-tuntutan ini dan kalau dia tidak tahan dia akan roboh, depresi.
PG : Tidak, masalahnya adalah anak-anak ini tidak menyadari apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Dia hanya melakukan yang dia tahu harus dilakukan, sebab memang tidak banyak pilihan lain. Tap akibatnya atau buah-buahnya mulai terlihat Pak Gunawan, nah kita bisa mencermati beberapa gejala yang bisa muncul misalnya yang pertama adalah orang ini mudah merasa bersalah terhadap segala hal yang tidak beres di keluarganya.
Jadi kita ini memang bisa terganggu kalau ada masalah di keluarga kita, tapi khusus untuk anak-anak yang telah menjadi tulang punggung, dia bukan hanya merasa terganggu, dia merasa bersalah karena apa sekali lagi dia tulang punggung, dia yang harus bertanggung jawab memastikan semuanya hidup baik-baik dan bahagia. Jadi waktu ada yang tidak beres, adiknya masuk penjara misalnya atau kakaknya bercerai yang langsung terkena dia, dia yang merasa bersalah sekali. Sepertinya dia tidak berbuat apa-apa, dia gagal melakukan yang seharusnya dia lakukan, nah ini tanda pertama yang bisa kita amati. Tanda yang kedua adalah dia juga memikul beban yang besar karena menerima tuntutan orang tua yang berlebihan ini. Jadi hidupnya itu meskipun bisa bahagia, tapi kelihatannya orang ini memikul beban, nah sekali lagi ini adalah faktor yang mencenderungkan dan merentankan dia untuk terkena depresi. Jadi wajahnya itu seolah-olah wajah yang penuh beban. Dan yang terakhir adalah tandanya orang ini tidak bebas menjadi dirinya sendiri, sebab ia senantiasa harus bersikap dewasa dan menjadi tauladan bagi saudaranya, dia selalu menjadi kakak, menjadi tokoh, orang yang disegani di rumahnya. Tapi dia itu tidak selalu begitu sebetulnya, dia manusia biasa, tapi dia tidak bisa mengeluarkan apa adanya dirinya itu, dia tidak boleh mengeluh dalam pengertian dia tidak boleh berkata saya tidak mau tugas ini, dia harus selalu mau, sebab kalau dia menolak keluarganya kecewa sehingga yang merasa bersalah kembali adalah dia juga.PG : Kemungkinan besar jujur sebab itulah yang dilihatnya, dia tidak membutuhkan semua kesenangan itu dan dia tidak perlu menjadi orang seperti yang lainnya. Yang dia tekankan adalah dia harus enjaga keluarganya sendiri, nah bisa jadi selama semuanya berjalan biasa saja, baik-baik dia akan OK.
Namun ini yang juga bisa terjadi, misalkan dia sudah menjaga keluarganya, kemudian musibah terjadi, contoh yang biasanya terjadi adalah misalnya adiknya terkena masalah besar, terkena ketergantungan narkoba. Nah itu bisa memukul dia, jadi dengan kata lain tambahan beban bisa benar-benar menjungkirbalikkan keseimbangan hidupnya itu. Atau kakaknya misalnya bercerai nah itu bisa menjungkirbalikkan keseimbangannya. Sebab dia sudah menata hidupnya dengan begitu baik dan rapi sehingga dia bisa hidup dengan baik. Namun kalau ada tambahan beban yang dia tidak sanggup untuk atasi dia akan roboh, sekali lagi sebab dia memang tidak terbiasa juga bercerita membagi beban dengan orang lain. Dia adalah tulang punggungnya dan dalam kasus tadi Pak Gunawan katakan, dia mungkin tidak punya teman banyak di luar karena tidak punya kehidupan sosial.ET : Dan mungkin yang lebih menyakitkan yang pernah saya lihat kasusnya si kakak sulung. Anak sulung ini merasa begitu bertanggung jawabnya kepada setiap anggota keluarga, sementara adik-adikny ini merasa engkau tidak harus berbuat seperti itu.
Dalam arti terlalu bertanggung jawab sementara adik-adiknya tidak mau diurusi seperti itu. Jadi ada rasa penolakan, dia ingin melakukan yang terbaik tetapi yang adik-adiknya tidak memberikan dukungan.PG : Betul dan tidak jarang akhirnya terjadi konflik di antara mereka. Karena si adik-adik tidak menerima dan memang sebetulnya tidak harus terjadi pada anak sulung, jadi bisa terjadi pada anakke-2, ke-3, ke-4 namun anak yang dijadikan tulang punggung itu.
PG : Pengamatan yang bagus sekali Pak Gunawan, dan kalau saya boleh tambahkan yang juga menyuburkan ketidakbetahannya dia di rumah tangganya sendiri adalah keluarga asalnya. Sebab keluarga asalya itu seolah-olah menyerahkan dia untuk menikah separuh hati.
Di satu pihak dia seharusnyalah engkau menikah, namun kamu kenapa menikah sebab kami masih memerlukan engkau, engkau pergi dari rumah kami kehilangan tulang punggung. Memang adanya anbivalensi di situ, ketidaktuntasan dalam melepaskan si anak. Jadi sering kali tadi Pak Gunawan sudah katakan peranan itu dibawa terus meskipun dia sudah menikah dan berkeluarga, dia tetap kembali ke rumah menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Kalau dia sudah beristri atau bersuami pasangannya jangan sekali-kali menegur tentang keluarganya, dia marah luar biasa umumnya begitu, dia akan bela keluarganya mati-matian, tidak ada yang boleh mencela mamanya atau papanya atau adiknya atau karakternya meskipun memang keluarganya ada masalah.PG : Betul, karena waktu dia sudah menikah tambahan beban itulah yang dia harus pikul, selama hanya keluarganya yang harus dia pikul dia sanggup, sekarang keluarga sendiri dia harus tanggung. Dn mungkin sekali terjadi tarik ulur di sini, dia dihimpit dari dua sisi, muncul depresi.
Nah waktu dia mengalami depresi atau mengalami ketertekanan, keterhimpitan yang tadi Pak Gunawan sudah singgung, ada beberapa hal yang bisa dilakukan yang sering terjadi adalah dia bisa melakukan hal-hal yang berkebalikan dengan norma yang diyakini keluarganya. Jadi tidak jarang orang-orang ini sudah berumur berapa tahu-tahu ketahuan menggunakan narkoba, mana mungkin anak yang baik, tulang punggung keluarga menggunakan narkoba. Atau yang juga umum adalah orang ini tiba-tiba menikah dengan orang yang sangat tidak diharapkan oleh orang tuanya, misalnya orang tuanya mengharapkan anaknya menikah dengan seseorang dari status keluarga yang baik-baik, tiba-tiba dia menikah dengan status keluarga yang dipandang tidak baik. Jadi pertanyaannya kenapa sampai begitu? Ya sebab pada suatu titik dia tidak mampu lagi menanggung beban itu, dia bukan hanya minta bebannya dikurangi, dia lempar semua beban itu dan dia melakukan hal yang berkebalikan. Supaya apa? Dia lepas dari tuntutan, dia menjadi orang yang berkebalikan dari yang sebelumnya itu dia bukan menjadi tulang punggung, dia menjadi duri yang menusuk keluarganya.ET : Tapi apakah keputusan itu dilakukan secara sadar, Pak Paul?
PG : Sering kali tidak, jadi bukannya dia sengaja berbuat itu karena dia mau membalas, kalau masih remaja mungkin dia akan sengaja. Tapi kalau usianya sudah dewasa kemungkinan besar memang tida dipikirkan secara sengaja.
PG : Memang itu pelarian, jelas itu pelarian ya. Kalau dia tetap kuat dia akan bertahan terus, berfungsi sebagai tulang punggung. Namun jika dia tidak kuat lalu memaksakan diri, dia bisa robohke dalam depresi.
PG : Kalau masih ada pilihan, sekali lagi saya tekankan kalau masih ada pilihan sebab memang pada kasus tertentu keluarga itu tidak punya pilihan. Kalau masih punya pilihan sebaiknya kita sebagi orang tua menyadari bahwa anak ini terlalu banyak menerima tuntutan dari kita, diatas adik-adiknya atau kakaknya, nah kalau kita sadari itu kita harus mulai mengurangi tuntutan itu.
Kecenderungan kita sebagai orang tua memang melimpahkan tanggung jawab yang lebih besar kepada anak yang paling bertanggung jawab, yang memang tidak mau bertanggung jawab makin bebas dari tanggung jawab. Karena kita orang tua akhirnya enggan menyerahkan tanggung jawab kepada dia, tidak dikerjakan, tapi celakanya justru yang bertanggung jawab akhirnya memikul tanggung jawab terlalu banyak. Jadi kita harus berhati-hati dan lebih peka.PG : Kalau dia itu kehilangan pergaulan sosialnya, salah satu cirinya atau gejalanya yang harus kita perhatikan. Dia makin jarang keluar dengan teman-temannya, dia lebih sering di rumah, nah it bagi saya pertanda tidak seimbang lagi, atau kalau ada sedikit misalnya ada yang tidak beres dalam keluarga dia meledak, dia marahi adiknya, dia marahi kakaknya nah itu suatu pertanda juga limitnya atau keterbatasannya sudah dicapai, dia akhirnya tidak bisa lagi menahan maka mulailah diluapkan.
Yang berikutnya lagi adalah kalau kita melihat makin hari dia makin kehilangan minat pada hal-hal yang umumnya dilakukan anak-anak seusianya, misalnya pergi nonton atau apa. Kita harus berhati-hati kemungkinan dia ini sudah terjebak di dalam dinamika beban keluarga kita yang besar itu.ET : Masalahnya kadang-kadang memang keluarga mengandalkan tulang punggung, mungkin keluarga yang kurang seimbang. Jadi juga kadang-kadang kurang peka untuk melihat keadaan si tulang punggung ini dia sudah seperti itu, kehilangan minat, sudah tanda-tanda depresi, sudah di ambang kehancuran tetapi beban terus ditambahkan ya, Pak Paul?
PG : Itu yang menyedihkan Bu Esther, sebab kenyataannya adalah si orang tua yang membebani tidak mau si anak itu lepas dari beban, sebab dia butuh bantuan, dia butuh orang untuk memikul bebannya. Dan waktu si anak misalnya mulai menggeliat dan berkata saya tidak tahan lagi, nah yang sering terjadi adalah si orang tua ini memelas "engkau tidak kasihan dengan saya, tidak peduli dengan saya, bukannya engkau itu menolong, engkau ingin mengelak dari tanggung jawab, siapa yang bisa menolong saya sekarang", maka anak akan terjebak dalam rasa bersalah lagi. Tadi saya sudah singgung rasa bersalah itu luar biasa kuatnya dalam diri anak-anak ini. Rasa bersalah yang berlebihan adalah pupuk yang akan menumbuhkembangkan depresi di kemudian hari.
PG : Betul, sebab anak-anak tidak memunculkan depresi seperti orang dewasa Pak Gunawan, meskipun sebetulnya anak-anak bisa terkena depresi. Karena gejalanya tidak sama dan pola pikir anak belumterlalu kompleks seperti orang dewasa, maka sering kali kita tidak mengenalinya, namun sebetulnya bisa terkena depresi.
Salah satu cara untuk menilai anak terkena depresi misalnya tidak pernah ngompol sampai usia 10 tahun normal-normal tapi tiba-tiba ngompol terus menerus, itu adalah gejala yang tidak wajar. Atau baik-baik saja tahu-tahu sekarang mulai jadi keras, suka berantem, memukuli anak lain, itu juga merupakan gejala depresi yang tersembunyi.PG : Seharusnya begitu, bicara tentang pertolongan ada beberapa saran yang bisa saya berikan kepada para pendengar. Yang pertama adalah menanggulangi dengan melakukan beberapa pencegahan. Kalaukita melihat wajah seseorang itu tegang tanpa ekspresi, orang itu sulit tidur, berat badannya menurun atau bahkan melonjak drastis, nah ini menandakan adanya kebutuhan untuk pengobatan.
Apalagi kalau sudah tidak tidur 3, 4 hari, harus bawa dia ke psikiater, ke dokter ahli jiwa agar bisa mendapatkan obat. Yang kedua adalah menasihati agar konsumsi obat-obatan dimakan secara teratur dan tidak digunakan untuk mengakhiri hidupnya. Sebab sekali lagi saya ingatkan, pikiran untuk membunuh diri itu sangat kuat pada penderita depresi. Jadi jangan berikan obatnya kepada dia biarkan kita yang pegang, kita berikan waktu dia harus makan obatnya, seperti itu. Yang ketiga adalah mengawasi secara saksama bila dia ingin membunuh diri, jangan biarkan dia sendirian. Untuk mengetahui kalau dia ingin bunuh diri atau tidak, bertanyalah seperti ini: engkau pernah memikirkan untuk mati? Misalnya tanya seperti itu jangan ragu-ragu untuk bertanya. Kalau dia bilang tidak pernah tetap harus diawasi, sebab mungkin saja dia tidak mengatakan yang benar jadi jangan biarkan dia sendirian kalau terkena depresi, harus terus-menerus didampingi. Yang keempat dengarkan keluhan dan kekhawatirannya, meski diutarakan secara berulang-ulang. Kita kadang-kadang bosan mendengar hal yang sama terus-menerus, ketakutan yang sama, yang tidak rasional diulang terus saja tapi kita harus mendengarkan karena apa? Karena dia akan lebih bisa menenangkan kecemasannya sewaktu dia berbicara, daripada dia simpan sendiri lebih baik dia keluarkan. Dan masukan dari kita, dorongan kita itu akan memberikan dia keteduhan. Jadi jangan sampai kita memutuskan komunikasi dengan dia. Yang kelima adalah bawa dia ke konselor untuk menanganinya secara profesional, dia harus menjalani terapi yang berkepanjangan bukan sekali dua kali. Dan yang keenam adalah ingatkan dia akan janji Tuhan dan ajak dia untuk berdoa dan bernyanyi bersama. Jadi jangan sampai dia meninggalkan persekutuan Kristen, ajak dia berdoa setiap saat, minta Tuhan menolong membebaskan dia dari depresi ini, terus seperti itu.PG : Saya akan bacakan
GS : Ya terima kasih, Pak Paul dan juga Bu Esther, saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda baru saja mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuntutan Keluarga dan Depresi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda mengirim surat kepada kami. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
13. Mahkota Ayah | |
Mahkota menunjukkan kepemimpinan sekaligus juga kemuliaan. Yang menjadi pertanyaan bagaimana ayah bisa menjadi seorang pemimpin yang dihormati terutama oleh anak laki-lakinya?
Mahkota menunjukkan kepemimpinan sekaligus juga kemuliaan. Pertanyaannya adalah bagaimanakah ayah bisa menjadi seorang pemimpin yang dihormati terutama oleh anak laki-lakinya?
Ada 3 hal yang dikemukakan yaitu:
Wibawa ayah sebagai seorang pemimpin hanya bisa terjadi kalau dia menunjukkan hikmat. Dia menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang bijaksana.
Wibawa ayah dibangun oleh kasih terhadap ibu, jadi maksudnya kalau si anak melihat si ayah itu mengasihi ibunya, itu akan membuat si anak tambah menghormati si ayah.
Kudus, jadi anak-anak menghormati ayah yang memelihara kekudusan.
Satu hal lain yang perlu diperhatikan bagi ayah-ayah yaitu harus menyadari bahwa wibawa atau hormat itu tidak muncul secara alamiah, kita yang harus mencarinya, memperolehnya. Melalui kehidupan kita, sebab anak-anak atau istri kita tidak dengan begitu saja memberikan hormatnya terhadap kita, mereka perlu melihat bukti-bukti itu, barulah mahkota itu bisa ditempatkan di kepala kita kalau tidak, tidak akan bisa. Ayah-ayah yang menggunakan otot, memanipulasi istri atau hidup sembarangan nggak akan bisa mendapatkan mahkota dari anak-anaknya. Itu harus diperoleh melalui hikmatnya, melalui kasihnya kepada istri dan anak-anaknya dan melalui kekudusan hidupnya di hadapan Tuhan. Kitab Amsal mengatakan, "Awal dari hikmat adalah takut akan Tuhan." Jadi ayah yang takut akan Tuhan sudah hidup di jalur yang benar.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mahkota Ayah", kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
PG : Seperti yang telah kita bahas pada pertemuan yang lampau, peranan ayah itu peranan yang memberikan perlindungan, pengayoman dan sekaligus kepemimpinan di dalam rumah tangganya. Jadi ituah yang seharusnya kita ini sebagai ayah sediakan atau berikan kepada anak-anak terutama pada anak-anak laki kita.
Nah pada saat ini kita memang akan memasuki bagian yang tadi kita telah bahas yaitu tentang kepemimpinannya, kepemimpinan seorang ayah. Saya menggunakan istilah mahkota, sebab mahkota itu menunjukkan kepemimpinan sekaligus juga kemuliaan. Pertanyaannya adalah bagaimanakah ayah bisa menjadi seorang pemimpin yang dihormati terutama oleh anak-anaknya dalam hal ini anak laki-lakinya.PG : Saya kira sama, jadi ayah memang adalah kepala keluarga namun saya perlu sekali garis bawahi di sini jangan sampai disalah tafsir, kepala keluarga yang Tuhan maksudkan adalah yang sanga mengasihi tubuhnya, bukan kepala yang semena-mena terhadap tubuhnya tapi kepala yang sangat memperhatikan, mempertimbangkan tubuhnya dalam hal ini adalah istri dan juga anggota-anggota keluarganya yang lain.
PG : Tepat sekali, jadi bukan itu yang menjadi disain Allah untuk kita sebagai ayah. Ada tiga Pak Gunawan yang saya akan bagikan. Yang pertama adalah wibawa ayah sebagai seorang pemimpin hana bisa terjadi atau bisa tercipta kalau dia menunjukkan hikmat.
Dia menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang bijaksana, saya akan membacakanPG : Misalkan dalam pengambilan keputusan, ayah yang berhikmat ayah yang tidak tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan, dia akan mencoba untuk melihat alternatif yang tersedia, dia bisa beriam untuk berdoa meminta pimpinan Tuhan dalam keputusan yang harus diambilnya ini.
Dengan kata lain dia juga terbuka terhadap masukan, dia tidak menutup diri bahwa keputusannya, pertimbangannyalah yang paling benar. Nah ayah yang seperti ini akan dilihat oleh anak-anaknya sebagai ayah yang berwawasan luas, berhati lapang dan ayah yang juga mau untuk menerima masukan bahkan dari istri atau anak-anaknya. Nah dalam hal pengambilan keputusan hikmat ayah itu bisa terlihat atau kebalikannya, dalam hal pengambilan keputusanlah hikmat ayah tidak terlihat kalau dia melakukan yang sebaliknya tadi.PG : Itu sebabnya dia akhirnya menggunakan otot untuk memaksakan kehendaknya. Jadi ini saya kira sesuatu yang harus kita pelajari terus-menerus karena kita terbiasa dengan konsep itu, konsepmenggunakan otot untuk bisa menegakkan wibawa dan ternyata bukan itu jalan Tuhan.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi ayah perlu sekali menunjukkan hikmatnya tatkala harus menghukum anaknya karena kesalahan yang diperbuat si anak. Bagaimanakah hikmat bisa muncul atau terlihat daam menghukum atau mendisiplinkan anak.
Kita melihat hikmat tatkala ayah itu tidak emosional, saya bukannya berkata ayah tidak boleh marah, tapi berapa marahnya dia itu menunjukkan dia seorang emosional atau tidak. berapa mudahnya dia marah itu juga menunjukkan dia orang yang emosional atau tidak, hal apa saja yang membuat dia marah itu juga menunjukkan dia seseorang yang bisa menguasai emosinya atau tidak. Jadi kalau dia menghukum anak berlebihan, terlalu mudah menghukum, tidak ada remnya nah ini menunjukkan dia tidak memiliki hikmat. Jadi ayah yang berhikmat bisa melihat kesalahan anak, bisa membedakan kesalahan yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, kesalahan yang diperbuat karena anak itu pada usianya memang cenderung melakukan kesalahan itu ataukah ini suatu pemberontakan. Ayah yang bijaksana bisa membedakan semuanya, bisa juga mengetahui bahwa hukuman ini terlalu berat, hukuman yang ringan ini lebih cocok. Nah ayah yang tidak emosional seperti ini akan dilihat sebagai ayah yang berhikmat.PG : Tepat sekali, di sini kita melihat keadilan Tuhan Pak Gunawan, sebab memang tidak semua manusia diberikan kesempatan mencicipi pendidikan yang tinggi atau yang sama tingginya. Nah Tuhanmemberikan hikmat kepada semua orang, jadi kita akan menemukan orang yang tidak berhikmat di kalangan orang yang berpendidikan, sebaliknya kita akan bisa menemukan orang yang berhikmat di kalangan orang yang justru tidak berpendidikan, Tuhan adil.
PG : Sering kali ayah itu dibesarkan seperti itu, dipukuli dengan keras sehingga waktu dia menjadi ayah dia menggunakan cara yang digunakan oleh orang tuanya dulu. Nah saya bukannya berkata idak boleh memukul anak, saya mengikuti nasihat Dr.
James Dobson yang membolehkan orang tua memukul anak di pantat karena memang banyak daging dan tidak membahayakan anak. Memukul anak di bagian yang lain bukan saja bisa membahayakan nyawanya tapi yang terutama adalah sangat merendahkan dia. Saya bisa membayangkan betapa anak itu merasa direndahkan kalau ayahnya menggamparnya, menjambaknya, menendangnya, nah ternyata pukulan-pukulan seperti itu sangat merendahkan martabat anak. Dipukul pantat ternyata memang secara emosional tidak merendahkan martabat si anak.PG : Wibawa ayah juga dibangun oleh kasih terhadap ibu, jadi maksud saya begini kalau si anak melihat si ayah itu mengasihi ibunya itu akan membuat si anak tambah menghormati si ayah. Saya aan memetik firman Tuhan yang diambil dari
PG : Dalam hal ini sama wanita atau pria mereka akan lebih salut, lebih menghormati ayah yang bisa mengasihi ibunya. Namun tentang mengasihi bukan hanya ibu di sini Pak Gunawan, anak juga leih hormat kepada ayah yang menununjukkan kasihnya kepada anak-anaknya, ini saya kira sangat alamiah.
Anak-anak yang merasakan kasih ayah terhadap dirinya akan lebih menghormati ayahnya, sebab kasih sayang si ayah akan ditanggapi bukan saja dengan mengasihi kembali tapi juga dengan hormat. Sebab sekali lagi kita cenderung menghormati orang yang mengasihi kita dan kebalikannya juga kita cenderung tidak menghormati orang yang tidak mengasihi kita.PG : Itu point yang baik Pak Gunawan, memang kadang kala anak-anak itu mengintip bagaimana ayahnya memperlakukan kakek-nenek, nah waktu mereka melihat ayah memperlakukan kakek-nenek dengan bik mereka pun menghormatinya.
Sebaliknya kalau ayah memperlakukan kakek-nenek dengan tidak baik, anak juga akan susah menerima si ayah sebab mungkin sekali anak-anak sayang kepada kakek-neneknya. Jadi ini adalah pelajaran-pelajaran yang bisa diterima oleh si anak. Nah kembali kepada firman Tuhan tadi Pak Gunawan yaitu siapa mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri. Jadi saya simpulkan ayah yang mengasihi ibu, memperlihatkan bahwa dia mengasihi atau respek terhadap dirinya sendiri sebab inilah firman Tuhan siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri. Sebab memang istri bagian hidupnya, dia mengasihi istrinya, dia baik kepada istrinya bukankah dia nanti juga akan diuntungkan oleh si istri. Dengan kata lain makanya Alkitab berkata yang mengasihi istrinya sebetulnya mengasihi dirinya sendiri juga, hal yang positif. Nah anak-anak perlu melihat itu bahwa ayah mereka sebetulnya respek terhadap dirinya sendiri, bagaimanakah mereka tahu sebab mereka melihat ayah mereka mengasihi ibu mereka, jadi siapa mengasihi ibunya berarti mengasihi dirinya begitu.PG : Dan itu akan membuat anak-anak tidak menghormati ayah mereka, sebab mereka akan melihat ayah sebagai figur yang tidak menghormati orang yang mereka kasihi yakni ibu, dan orang yang memai-maki ibu atau istrinya bagi si anak-anak, ayah ini juga tidak lagi hormat kepada dirinya.
Sebab kalau kita menghormati diri kita, kita juga menghormati orang yang dekat dengan kita, nah itu nanti yang akan ditangkap oleh si anak-anak.PG : Dan yang sering terjadi satu paket Pak Gunawan, kalau seorang ayah memukuli istri hampir dapat dipastikan dia juga memukuli anaknya, hampir dapat dikatakan satu paket.
PG : Dan anak tidak bisa menghormati orang yang ditakutinya, orang hanya bisa menghormati orang yang dikasihinya, ini prinsip yang kita tidak boleh lupakan.
PG : Yang ketiga adalah kudus, jadi anak-anak menghormati ayah yang memelihara kekudusan. Saya bacakan firman dari
PG : Betul dan juga kehidupan yang tidak mencemari ranjang pengantin, ini yang dikatakan dalam kitab Ibrani, kita ini menghormati perkawinan kita dan kita tidak mencemari ranjang perkawinan ita dengan berzinah dengan orang lain.
Nah hidup yang kudus, hidup yang mulia, hidup yang benar akan menjadi suri teladan bagi anak-anak. Juga hidup tanpa cela membuat anak dapat berjalan dengan tegap di masyarakat, karena anak bangga dan tidak malu dengan ayahnya. Berapa banyak anak yang malu dengan ayahnya Pak Gunawan, tidak berani memperkenalkan ayahnya karena malu, mungkin ayahnya penjudi, mungkin ayahnya tukang hutang kanan-kiri, mungkin ayahnya penipu jadi anak-anak membawa beban mental menjadi anak dari ayah ini, nah bagaimana dia menghormati si ayah yang penuh dengan cacat cela seperti itu. Nah sekali lagi anak hanya bisa menghormati si ayah kalau hidupnya kudus.PG : Dan bisa menjadi bahan pembicaraan baik di sekolah ataupun di gereja, nah akhirnya si anak bisa-bisa malu ke sekolah atau malu ke gereja karena sekali lagi melihat kehidupan ayah yang tdak kudus itu.
Kehidupan kudus itu memang sangat nampak di mata anak-anak Pak Gunawan, orang tua sering kali berpikir ah.....anak-anak tidak tahu tapi sesungguhnya anak-anak bisa melihat hal itu, anak-anak bisa mulai merasakan jika ayah hidup tidak benar, ayah hidup dalam penipuan, ayah hidup dalam kedok, anak-anak bisa melihat hal-hal itu. Misalkan di rumah berbicara seperti apa, terus di luar berbicaranya kok lain, anak akan melihat hal seperti itu. Dan anak mulailah melihat kok ayah tidak konsisten berarti sedikit banyak ada kemunafikan di situ.PG : Ini yang sering kali kita takuti Pak Gunawan, kalau anak-anak melihat kita terlalu sering bergurau maka dia akan kehilangan wibawanya. Sudah tentu bergurau itu ada batas, tidak ada yangnamanya bergurau tanpa batas.
Dengan sesama kita pun, dengan sesama orang dewasa ya harus ada batasnya. Dengan anak-anak juga begitu, jadi kalau kita mulai melihat anak-anak itu kehilangan respek gara-gara kita terlalu menjadi badut di rumah, saya kira kita perlu membatasi diri. Nah itu hal yang harus kita lihat dengan baik, jangan sampai anak akhirnya berani misalnya ada anak yang tidak memanggil papanya 'Pa', memanggil papanya "hai Lu" otomatis kalau si ayah mendengar itu jangan dia tertawa waktu si anak memanggil dia 'hai Lu'. Dia harus berkata: "Kamu harus panggil saya papa, sebab saya ayah kamu dan jangan mengulang lagi perkataan itu." Jadi ada batas yang harus ditegakkan oleh si ayah ini, ini sebetulnya kembali kepada hikmat ya. Seorang ayah perlu memiliki hikmat agar bisa membedakan kapan mendisiplin si anak, kapan membiarkan si anak.PG : Betul sekali, dan memang tidak bisa kita pilih satu dari tiga atau dua dari tiga, kita boleh mengasihi istri kita dan mungkin sekali kita memiliki kekudusan hidup. Tapi kalau kita tidakberhikmat dalam hidup tetap anak-anak susah untuk menghormati kita.
PG : Betul, dengan kata lain ini adalah bahan-bahan yang kita harapkan diserap oleh anak kita. Banyak problem muncul tatkala anak-anak remaja, itu betul. Tapi sebetulnya problem sudah beraka sejak anak-anak masih kecil.
Kenapa? Semua anak-anak akan mengalami fase-fase pemberontakanlah, melawanlah itu normal, itu wajar. Yang membedakan satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah ada atau tidak wibawa ayah di rumahnya, kalau si anak menghormati si ayah karena memiliki wibawa maka meskipun dia memberontak, pemberontakan itu cenderung lebih bisa dikuasai kembali dengan cepat tapi kalau si ayah tidak dihormati oleh si anak maka waktu si anak memberontak, si ayah tidak berkuasa, tidak lagi mempunyai wibawa untuk meredam pemberontakan si anak. Jadi sekali lagi ini akarnya bukannya di masa-masa remaja tapi di masa anak-anak masih jauh lebih kecil. Dapatkah anak-anak sejak kecil menghormati ayahnya, kalau dapat, ini akan menolong banyak problem sewaktu anak-anak menginjak usia remaja.PG : Saya setuju sekali, memang istri perlu mendukung memberikan masukan-masukan sehingga menambahkan hikmat pada si ayah. Dan sudah tentu istri tidak memprotes, mempermalukan, membantai-banai si ayah di hadapan anak-anaknya itu juga penting.
Satu hal lain Pak Gunawan yang ingin saya munculkan, sebab ini penting yaitu setiap kita, ayah-ayah ini harus menyadari bahwa wibawa atau hormat itu tidak muncul secara alamiah, kita yang harus mencarinya, memperolehnya. Melalui apa? Melalui kehidupan kita sebab anak-anak atau istri kita tidak dengan begitu saja memberikan hormatnya terhadap kita. Mereka perlu melihat bukti-bukti itu, barulah mahkota itu bisa ditempatkan di kepala kita, kalau tidak, tidak akan bisa. Ayah-ayah yang menggunakan otot memanipulasi istri atau hidup sembarangan tidak akan bisa mendapatkan mahkota itu dari anak-anaknya. Itu harus diperoleh melalui hikmatnya, melalui kasihnya kepada istri dan anak-anaknya dan melalui kekudusan hidupnya di hadapan Tuhan.PG : Sebagaimana yang dikatakan di kitab Amsal "Awal dari hikmat adalah takut akan Tuhan". Jadi ayah yang takut akan Tuhan sudah di jalur yang benar.
PG : Betul sekali.
GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar yang kami kasihi terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang "Mahkota Ayah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
14. Prinsip Ekonomi Keluarga | |
Salah satu penyebab perceraian adalah masalah ekonomi. Ada beberapa prinsip pengelolaan keuangan dalam keluarga yang terambil dari Amsal 30:24-28.
Salah satu penyebab perceraian adalah masalah ekonomi. Gara-gara keuangan, kita akhirnya bersitegang dan relasi suami-istri pun terganggu. Berikut ini akan dipaparkan beberapa prinsip pengelolaan keuangan dalam keluarga. Prinsip ini terambil dari
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Prinsip Ekonomi Keluarga." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, saya ingat waktu saya masih kuliah dulu, saya pernah membaca satu tulisan yang menyebutkan bahwa penyebab utama kenapa pernikahan itu akhirnya bercerai adalah karna faktor ekonomi, ini memang data yang dikumpulkan lebih dari 20 tahun yang lalu.
Jadi rupanya masalah ekonomi atau keuangan menempati salah satu masalah terbesar di dalam keluarga.PG : Saya kira ya, jadi bukan saja karena kekurangan uang, tapi karena perbedaan pengelolaan uang. Bagaimanakah uang itu digunakan, kadang-kadang suami dan istri tidak mencapai kesepakatan. Nahsudah tentu kalau tidak punya uang itu pun akan menimbulkan tekanan yang berat pada keluarga.
PG : Sebetulnya Pak Gunawan, ayat-ayat yang nanti akan saya paparkan tidak ditulis khusus untuk masalah keuangan, tapi saya kira kita bisa menyimpulkan atau menimba beberapa prinsip yang kita dpat gunakan untuk mengelola keuangan kita.
Prinsip ini saya ambil dariET : Jadi contoh keempat binatang ini bisa mewakili prinsip-prinsip keuangan yang akan kita bahas kali ini Pak Paul.
PG : Betul Ibu Ester, jadi empat binatang ini saya kira menjadi teladan atau memberikan kepada kita beberapa prinsip yang dapat kita gunakan mengelola keuangan.
PG : Cepat, artinya kita ini tidak berlama-lama dalam suatu kondisi, kadang-kadang kita harus berani bertindak, kita harus berani mengambil keputusan. Kadang-kadang ada orang yang terlalu cepatartinya tapi akhirnya gegabah, tidak tepat.
Cepat harus diikuti juga dengan tepat, artinya sasarannya jelas, jangan sampai kita ngawur, namun tidak cukup hanya sampai pada tepat harus juga pada akhirnya produktif. Yaitu menghasilkan sesuatu, jangan sampai akhirnya kita berkubang pada suatu kondisi di mana kita tahu ini tidak menghasilkan apa-apa tapi terus di sana. Misalkan ada orang yang mempertahankan statusnya, reputasinya, egonya dan karena ingin mempertahankan semua itu, tidak sungkan-sungkan merugikan orang lain, malahan menjadi benalu bagi orang lain. Prinsipnya adalah pada akhirnya apakah produktif, ya kita boleh cepat, kita boleh tepat tapi tetap ujian terakhirnya adalah produktifitas. Ini penting juga buat prinsip keuangan dalam keluarga kita.PG : Yang pertama adalah semut, firman Tuhan berkata; Semut bangsa yang tidak kuat, tetapi menyediakan makanannya di musim panas. Artinya adalah keluarga mesti menyimpan uang, kita belajar darisemut yang menyediakan makanannya bahkan di musim panas.
Sekecil apapun kita perlu menabung, ada dua alasan mengapa kita perlu menabung. Yang pertama adalah kadang-kadang kita harus menghadapi kebutuhan yang tak terduga, kita harus mengeluarkan uang, nah uang tabungan itulah yang dapat kita gunakan. Alasan kedua kenapa kita perlu menabung adalah saya kira menabung melatih kita berdisiplin diri, orang yang tidak menabung meskipun uangnya berkecukupan, tapi dia tidak pernah menabung, saya duga dia akhirnya tidak bisa berdisiplin diri. Dia tidak bisa menahan hasratnya, dia tidak bisa berkata 'tidak' pada dirinya, apa yang dikehendakinya harus dia dapatkan. Jadi menabung juga mempunyai manfaat yaitu melatih kita berdisiplin diri. Kesimpulannya adalah keluarga yang menabung adalah keluarga yang memikirkan dan mempersiapkan hari depan, jadi keluarga tidak hanya hidup di masa sekarang atau hari ini, besoknya lihat lagi nanti bagaimana tidak mau memikirkannya. Tidak demikian, belajarlah dari semut yang menyediakan makanannya di musim panas.ET : Berkaitan dengan menabung ini kadang-kadang ada seperti dua ekstrim yang satunya merasa tidak pernah cukup, tidak ada untuk kita tabung. Padahal tadi Pak Paul katakan seberapa pun perlu diabung, tapi kadang-kadang ada yang merasa selalu habis untuk keperluan pokok.
Sementara sisi yang satunya lagi justru menabungnya sangat kuat sampai mungkin bisa dikatakan tidak bisa menikmati apa yang dimiliki, karena selalu semua diorientasikan kepada masa depan.PG : Memang ini perlu keseimbangan Ibu Ester, jadi ada orang yang memang sama sekali tidak bisa menabung sebab merasa buat apa menabung, tidak ada artinya. Nah ini saya ingin tekankan, bahkan klau kita ingin menabung Rp.
100,00 per hari pun tidak apa-apa, sekecil itu yang saya maksud. Jadi biasakan untuk misalnya menyisihkan misalkan Rp. 100,00 ya tidak apa-apa. Misalkan bisa menyisihkan Rp. 1.000,00 ya tidak apa-apa, bisa menyisihkan Rp. 5.000,00 ya tidak apa-apa. Jadi ada uang yang kita simpan. Ada orang yang tidak menabung per hari, ada yang menabung per bulan itu pun juga baik. Tapi sebaliknya jangan sampai kita menjadi orang yang kikir. Ada orang yang sama sekali itu tidak rela menikmati hidup, tidak membolehkan dirinya itu senang sedikit, tidak membolehkan keluarganya sedikit menikmati hidup ini, semua harus irit, benar-benar hidup ini seminimal mungkin. Saya kira kasihan ya, dengan dirinya sendiri buat apa, dia kumpulkan uang begitu banyak tapi selama hidup berpuluhan tahun dia sengsara dan akhirnya meninggal dunia dan akhirnya tidak bisa mencicipi sama sekali. Jadi perlu untuk adanya keseimbangan, yang mempunyai kebiasaan menabung terlalu giat ya coba dikurangi sehingga bisa menikmati hidup ini.PG : Ya kadang-kadang memang ada target tertentu, kita mau membeli sesuatu maka kita menabung, tapi kadang-kadang tidak ada target tertentu tapi hanyalah berjaga-jaga, ini memang prinsip hidup ang baik.
Dan inilah yang firman Tuhan katakan tentang semut, belajarlah dari semut yang bisa menabung, menyediakan makanannya di musim panas.PG : Benar sekali Pak Gunawan, semut itu tidak pernah ongkang-ongkang kaki, mengipas-kipas badannya, kita selalu melihat semut itu berjalan dan mencari makanan.
PG : Alkitab kemudian melanjutkan, pelanduk bangsa yang lemah tapi membuat rumahnya di bukit batu. Artinya keluarga mesti mengutamakan faktor keamanan, diatas faktor risiko. Saya mengerti di daam membuka usaha dagang misalnya bisnis, akan selalu ada unsur risikonya.
Namun kalau kita sudah berkeluarga jangan mengambil risiko yang besar sehingga nanti misalkan benar-benar risikonya terjadi yang buruk menimpa kita, habis satu keluarga, rumah disita dan sebagainya. Ada orang gelap mata, pokoknya wah ini akan menghasilkan untung besar, langsung mengambil risiko yang sebesar itu akhirnya gagal. Dampaknya adalah keluarga mesti pindah, tidak ada rumah, mesti menyewa dan sebagainya. Jangan mengambil risiko yang sebesar itu, ingat yang harus kita utamakan adalah keamanan. Pelanduk itu menjauh dari bahaya dengan membuat rumahnya di atas bukit batu, dia tahu dia binatang yang lemah, dia bisa langsung diterjang oleh binatang yang lebih besar, makanya dia pintar dia naik di atas bukit batu dan membuat rumahnya di sana, itu menjadi aman. Nah jadi kita mesti belajar seperti dia juga, kita pun harus menghindar dari bahaya kebangkrutan dengan cara bersikap hati-hati dan tidak gegabah di dalam mengelola uang.PG : Ya, kadang-kadang saya juga heran, kenapa orang bisa begitu tergiur oleh hal-hal yang bagi saya sangat tidak masuk akal. Misalkan di SMS pada handphone kita, kita sering mendengar kabar ad ini engkau dapat hadiah tinggal mengambil dan sebagainya, saya pikir ini jelas-jelas penipuan, masa ada orang tidak ada pekerjaan mau memberikan uang dengan begitu saja.
Tapi ada saja orang yang tertipu karena akhinya terlalu tergiur dengan keuntungan yang dianggapnya besar itu.PG : Biasanya orang yang dalam keadaan terdesak kadang-kadang matanya lebih gelap, justru kita harus ingatkan bahwa dalam masa-masa itu dia harus lebih hati-hati, jangan bermain judi. Benar-benr jangan berjudi dengan kehidupan keluarganya, kasihan anak-anaknya dan kasihan keluarganya, jangan gelap mata jadi faktor keamanan harus kita utamakan.
ET : Tapi kadang-kadang trend yang ada bisa membuat orang tergiur juga, misalnya properti sedang booming, jadi orang sepertinya ingin ikut investasi dalam hal itu tapi ternyata tidak seberuntun orang lain, itu yang kadang-kadang berisiko.
PG : Betul sekali, adakalanya orang latah. Dan sering kali bukankah kita melihat kebanyakan yang berhasil menghasilkan keuntungan adalah yang pertama-tama, yang ikut-ikutan kadang-kadang tidak erhasil.
Jadi kadang-kadang orang terlalu mudah latah, dia berhasil-kita pasti berhasil. Pokoknya ikut saja pasti bisa. Tidaklah demikian, karena akhirnya merisikokan segalanya, hampir habis-habisan dan kadang-kadang orang begini, sudah tahu akan habis-habisan tapi tetap tidak mau menyerah karena tanggung sudah keluarkan uang begitu banyak, pokoknya mesti sampai habis baru berhenti. Tapi masalahnya faktor keamanan akhirnya dikorbankan, anak-istri harus menderita.PG : Betul sekali, kecuali kita hidup sendiri, kalau kita hidup sendiri tidak ada tanggungan silakan. Kalau misalkan kita habis semuanya mungkin kita pindah, harus menyewa rumah, kontrak atau kst, tidak apa-apa.
Tapi kalau kita punya keluarga kita harus pikirkan faktor keamanan keluarga kita. Saya sudah mendengar kasus-kasus seperti ini Pak Gunawan, kasus di mana anak-istri harus menderita. Dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain gara-gara habis, karena memang terlalu berani berspekulasi, akhirnya benar-benar habis. Ini nantinya akan menimbulkan masalah dalam keluarga, pasangannya atau anak-anaknya kehilangan respek pada kita, mereka akan berkata: "Papa selalu memikirkan diri sendiri, papa tidak pernah memikirkan kami, kami harus sampai menderita seperti ini." Misalkan pindah sekolah, anak-anak juga menderita, belum lagi malunya, tadinya mempunyai mobil sekarang tidak mempunyai mobil dan sebagainya; nah ini sering kali gara-gara orangtua gegabah. Jadi kalau kita sudah berkeluarga kita harus utamakan faktor keamanan ini.PG : Yang lain adalah belalang, firman Tuhan berkata, "Belalang yang tidak mempunyai raja, namun semuanya berbaris dengan teratur." Prinsip yang bisa kita petik di sini adalah kebanyakan masala keuangan bersumber dari gaya hidup yang tidak teratur dan tidak berdisiplin, bukan karena kekurangan penghasilan.
Ini menarik Pak Gunawan, saya perhatikan ada orang yang benar-benar susah dan kekurangan sekali dan memang kita harus sensitif dengan mereka. Namun saya juga ingin mengangkat pengamatan yang lain yaitu cukup banyak orang yang akhirnya mengalami masalah keuangan bukan karena gajinya tidak cukup, banyak orang yang gajinya di bawah dia tapi hidup cukup. Kenapa dia sampai tidak cukup karena dia tidak mempunyai gaya hidup yang teratur, gaya hidupnya sangat tidak berdisiplin. Nah belajarlah dari belalang, belalang tidak mempunyai raja, artinya tidak harus diatur-atur, namun bisa berbaris dengan teratur. Ada disiplin diri pada belalang, nah belalang saja mempunyai disiplin diri apalagi kita sebagai manusia. Jadi hiduplah dengan pengendalian diri, jangan turuti semua keinginan hati. Betapa sering kita melihat masalah seperti ini, tetangga beli sesuatu yaitu sofa yang baru, kita juga ingin yang baru; tetangga beli alat untuk bisa olahraga di rumah, wah kita juga ikut-ikutan mau beli juga. Tidak mempunyai uang akhirnya utang, pakai kredit dan sebagainya akhirnya tidak bisa membayar, berantakan, jadi tidak mempunyai disiplin. Karena itu salah satu sumber penyebab kenapa orang akhirnya mengalami masalah keuangan.ET : Tapi memang justru gaya hidup ini sering kali ditekankan dalam iklan untuk seolah-olah menaikkan status, untuk mempunyai gaya hidup yang lebih berkelas. Memang yang ditawarkan tapi dengan redit, misalnya dengan bunga yang serendah-rendahnya, itu yang justru menjadi godaan yang terbesar.
PG : Betul sekali Ibu Ester, jadi akhirnya memang orang berlomba-lomba untuk masuk ke dalam kategori berkelas, makanya membeli baju yang berkelas, membeli sepatu yang berkelas, membeli tas yangberkelas.
Dan dari merk-merk ini kita tahu bahwa ini adalah orang-orang yang berkelas. Ada cerita lucu, Ibu Ester dan Pak Gunawan, ada seorang teman saya yang memang sangat mapan secara finansial, nah kalau dia membeli baju atau apa memang yang jelas-jelas bukannya asli ditempelkan saja labelnya, tapi dia bilang bahannya bagus, seperti asli saya beli saja, harganya pun jauh lebih murah. Nah dia bilang, gara-gara mereka tahu saya siapa tidak ada yang pernah bertanya ini palsu, karena memang dia orang berada jadi dia selalu memakai baju yang dianggapnya asli padahalnya tidak, dia bilang: "Saya beli yang merk buatan aja." Nah itulah salah satu ironi kehidupan dewasa ini, orang-orang mau berlomba-lomba masuk dalam kelas-kelas tertentu sehingga akhirnya kadang-kadang tidak mempedulikan lagi kondisi riil. Siapa mempunyai ini, saya pun harus punya; saya kepengin ini saya juga harus bisa; mereka berlibur ke Bali dan kita tidak bisa berlibur ke Bali, juga ayo berlibur ke Bali dan sebagainya. Tidak melihat kondisi keuangan sendiri, jadi perlu sekali kita hidup berdisiplin.PG : Ini point yang bagus sekali Pak Gunawan, sering kali beli 1 barang, mesti beli 5, 6, barang yang lain.
PG : Memang ada dua cara untuk membuat anggaran Pak Gunawan, ada orang yang memang menuliskan pengeluarannya berapa dan pokoknya semua uang yang keluar ditulis sehingga bisa terkontrol. Ada jug yang lain yaitu misalkan pokoknya untuk satu bulan ini biaya hidup kita, sisanya sudah disisakan untuk persembahan dan sebagian lagi untuk tabungan, yang kita pakai hanya segini, pokoknya dicukup-cukupkan satu bulan ini harus habis segini.
Dua cara itu boleh yang mana saja, mencatat dengan detail atau satu bulan cukup segini. Yang penting memang harus ada disiplin diri, belajarlah dari belalang yang bisa hidup dengan teratur.PG : Nah ini yang terakhir Pak Gunawan, "Cicak yang dapat engkau tangkap dengan tangan, tapi yang juga ada di istana-istana raja." Raja Salomo memang seorang yang berhikmat, matanya luar biasa ajam.
Betul sekali cicak yang bisa engkau tangkap dengan tangan artinya cicak itu lemah, tidak mempunyai kekuatan tapi juga ada di istana-istana raja. Pelajaran yang bisa kita timba adalah usaha selalu mendahului hasil, jadi jangan batasi diri, kerjakanlah apa yang Tuhan berikan pada kita. Cicak tidak pernah berhenti menjejakkan kakinya di dinding rumah, jadi selama masih ada dinding cicak akan selalu berjalan, menempel, menelusurinya jadi kita pun harus begitu. Kita harus tetap bekerja, kita harus tetap berusaha, jangan menawar-nawar dan berkata, "Oh.........tidak ada hasilnya ini kecil." Terlalu sering saya melihat kasus seperti ini, belum apa-apa maunya besar, belum apa-apa maunya jadi, tidak demikian. Semua harus dididik dari bawah, bukankah peluang justru terbuka tatkala kita tengah mengerjakan sesuatu bukan tatkala kita tengah melamun atau berpangku tangan. Jadi belajarlah dari cicak yang selalu berjalan di dinding tahu-tahu berakhirnya di istana raja.ET : Tapi tentang selama peluang terbuka, kadang-kadang bisa membuat orang itu gelap mata juga tidak Pak. Misalnya ada peluang baru.
PG : Tetap memang harus diimbangi dengan prinsip keamanan, jadi apapun yang kita masuki atau coba kita harus melihat selalu faktor risikonya. Jangan sampai mengorbankan keluarga kita, jadi risio itu harus selalu kita gunakan jadi ada keseimbangan.
Peluang terbuka sudah tentu kita akan coba, namun jangan sampai gelap mata sehingga mengorbankan keluarga kita, risiko itu harus kita kurangi.PG : Betul sekali, banyak hal yang akhirnya bisa dihasilkan. Juga ini Pak Gunawan, seorang majikan kalau mendapat satu resume atau CV dan di sana ditulis tahun berapa sampai tahun misalnya 1998bekerja sebagai apa, terus kosong dan sekarang tahun 2005.
Majikan yang perspektif ini kemudian akan bertanya pada pelamar itu, "Dari tahun 1998 sampai sekarang apa yang kamu kerjakan?" Dia bilang, "Mencari pekerjaan." Masakan tidak ada satu pun pekerjaan yang bisa kamu kerjakan, nah kesimpulan si majikan adalah engkau malas dan orang malas tidak akan diterima. Jadi penting sekali kita mempunyai catatan rekrut yang baik yaitu kita memang bekerja dan ini nanti akan dilihat sebagai upaya bahwa kita ini orang yang rajin.PG : Saya akan bacakan dari
PG : Betul, jadi sebetulnya dalam hal keuangan Tuhan selalu ingin membuktikan bahwa Dia bisa dipercaya. Nah adakalanya Dia membiarkan kita melewati kondisi yang susah, tapi di sanalah Dia inginmembuktikan bahwa Dia bisa memelihara kita.
Sewaktu Israel terkena kelaparan dan kekeringan, Tuhan memelihara hambaNya Elia dengan mengirimkan burung gagak dan akhirnya dia bisa dicukupi. Kemudian waktu dia ke Sidon bertemu dengan seorang wanita dan anaknya dan dia disana dipelihara, diberikan roti, diberikan minyak yang tidak habis-habis. Tuhan memelihara, jadi itu yang Tuhan ingin buktikan kepada kita bahwa Dia sanggup memelihara, tinggal kita mau percaya kepada Dia atau tidak.PG : Akan sangat susah, maka kalau bisa sebelum kita menikah, kita berhati-hati; kita memilih yang seiman dan mempunyai nilai-nilai kehidupan yang sama. Kalau yang satu menuruti firman Tuhan, brhati-hati, tidak sembarangan hidup.
Yang satunya tidak berhati-hati, pokoknya hari ini ada uang, hari ini juga dihabiskan, pasti akan banyak terjadi pertengkaran.PG : Ya tapi kadang-kadang tidak pasti juga Pak Gunawan, ada orang yang dibesarkan dalam keluarga yang cukup akhirnya mempunyai konsep yang baik dalam memakai atau menggunakan uang. Ada juga orng yang dibesarkan dari keluarga yang tidak berkecukupan, sudah kaya raya tapi tetap luar biasa hematnya, tidak mau keluar sepeserpun.
Jadi memang kita diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk belajar hal yang benar. Nah ini kita sekarang belajar hal yang benar, terapkanlah.GS : Ya kita bersyukur bahwa Alkitab itu memberikan cukup banyak prinsip-prinsip bagaimana kita mengelola keuangan yang dipercayakan kepada kita. Terima kasih Pak Paul juga Ibu Ester. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Prinsip Ekonomi Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
15. Mertua dan Menantu | |
Relasi mertua dan menantu acapkali menjadi sebuah relasi berduri. Kesalahpahaman dan luka berjamuran; tidak jarang relasi suami-istri pun terpengaruh dan memburuk akibat masalah ini. Salah satunya, pasangan nikah tinggal di rumah mertua dan mertua memperlakukan menantu sebagai "tamu" yang tidak mempunyai hak atas pasangan ataupun anak-anaknya, dsb.
Relasi mertua dan menantu acap kali menjadi sebuah relasi berduri. Kesalahpahaman dan luka berjamuran; tidak jarang relasi suami-istri pun terpengaruh dan memburuk akibat masalah ini. Pertama, kita harus melihat pelbagai masalah yang kerap timbul antara mereka kemudian barulah kita mencari solusinya.
Jenis Konflik dan Solusi
Prinsip Relasi Mertua dan Menantu
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mertua dan Menantu" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Memang sering kali terjadi Pak Gunawan, dan yang tadi Pak Gunawan sebut biasanya ibu mertua dan menantu perempuan, memang itu adalah contoh relasi yang akhirnya sering kali menimbulkan maslah.
Tapi adakalanya masalah ini terjadi pada menantu laki-laki dengan ibu mertua perempuan maupun bagapk mertua laki-laki. Jadi memang sering kali muncul duri-duri dalam relasi sehingga akhirnya kedua belah pihak saling mengacuhkan, mendinginkan satu sama lain, yang terjepit biasanya adalah si anak yang di tengah-tengah.PG : Sekurang-kurangnya ada tiga penyebab dan ini saya bagi dalam tiga jenis masalah dalam relasi mertua dan menantu. Yang pertama adalah kasus di mana pasangan nikah tinggal di rumah mertua, dn mertua memperlakukan menantu sebagai tamu yang tidak mempunyai hak atas pasangan maupun anaknya, jadi benar-benar si menantu merasa diperlakukan sebagai orang asing di rumah itu.
dia tidak pernah merasakan ini adalah rumahnya, sering kali yang terjadi adalah yang satu merasa tertekan, dan sudah tentu yang tertekan adalah si menantu. Dia mungkin berbicara dengan suaminya tapi suaminya tidak bisa berbuat apa-apa. Atau kebalikannya kalau si pasangan ini tinggal di rumah orangtua perempuan, sering kali si menantu laki-laki merasa, "Aduh saya kok tamu di sini, saya tidak bisa benar-benar merasakan ini rumah saya, setiap kali pulang ke rumah seperti pulang ke rumah orang lain." Jadi akhirnya relasi antara mertua dan menantu bermasalah.PG : Sering kali begitu Pak Gunawan karena dia akan merasa, "ini tanggung jawab saya, saya ini suami, saya ini kepala keluarga, tapi saya tidak bisa mencukupi, menafkahi keluarga saya, mempunya rumah sendiri."
Tapi memang itu kenyataannya. Atau si suami bisa menafkahi tinggal di rumah sendiri, namun rumahnya itu benar-benar sangat berbeda, jauh dengan yang ditempati sekarang. Mungkin daerahnya juga tidak sebaik dengan rumah yang ditempati sekarang, jadi ada kemungkinan si istri atau si anak ini akan berkata, "Mengapa kita harus pindah ke tempat lain, tinggal saja di sini bukankah orangtua saya juga sudah membuka pintu, dan janganlah menolak permintaan orangtua saya yang sudah berbaik hati menawarkan tempat tinggal." Jadi di pihak si anak kadang-kadang juga muncul anggapan bahwa pasangannya kurang berterima kasih. Sudah diberikan rumah, masih mengeluh, tidak senang bukankah seharusnya orang berterima kasih diberikan tempat tinggal. Tapi di pihak satunya dia akan merasa sengsara sekali, dia tidak benar-benar merasa ini rumahnya. Kalau dia menantu laki, masalahnya bisa lebih komplek Pak Gunawan, karena ini akan sangat menyinggung harga dirinya sebagai seorang suami dan sebagai seorang kepala keluarga. Jadi kemungkinannya sangat tinggi dia akan mudah sekali peka, mudah sekali tersinggung, sedikit-sedikit menganggap mertuanya sedang melecehkan dia.PG : Kalau itu yang terjadi benar-benar si menantu ini rasanya akan dikeroyok, dia sungguh-sungguh sendirian, dia merasa tidak ada yang berpihak padanya. Ini situasi yang sangat rentan terhadapmunculnya konflik yang parah Pak Gunawan.
Namun saya juga melihat kasus seperti ini Pak Gunawan, ada yang akhirnya berkata saya tidak akan meninggalkan orangtua saya sebab saya harus merawat orangtua saya, orangtua saya tidak bisa saya biarkan begitu saja, saya sebagai anak harus membalas budi dan sebagainya. Akhirnya mereka memilih untuk tetap tinggal di rumah itu tapi si menantu akan merasa tertekan dan tertekan. Ini yang kadang-kadang terjadi.PG : Seharusnya mertua merelakan menantu sebagai mitra bukan bawahannya, sebab adakalanya ini yang terjadi juga, mertua kadang-kadang lupa bahwa ini adalah menantu dan ini seharusnya diperlakukn sebagai mitra.
Jadi akhirnya ada apa-apa mertua putuskan sendiri, dan celakanya memutuskannya itu berkonsultasi dengan si anak. Mungkin orangtua beranggapan, sama juga konsultasi dengan si anak tidak usah konsultasi dengan si menantu, tapi buat si menantu wah ini benar-benar sebuah perlakuan yang menghina dia, dia makin merasa dia tidak diikutsertakan. Jadi saya kira jalan keluarnya si mertua harus merelakan menantu menjadi mitra. Misalnya yang lain, memberikan hak penuh kepada menantu untuk berbuat lebih bebas, lebih sekehendak hatinya di rumah, memang ini tidak realitstik, tidak seharusnya sebab rumah ini tempat kediamannya. Kebalikannya juga harus berhati-hati, sebab ada menantu yang berpengharapan, seharusnyalah mertua saya itu memberikan saya kebebasan sepenuhnya untuk berbuat apa saja dengan rumah ini. Dia mau masukkan adiknya, dia mau masukkan kakaknya, dia mau ubah kordennya, dia mau ubah meja makannya, tidak apa-apa ini rumah dia. Sebagai menantu juga harus tahu diri, ini bukan tempat kediamannya, ini rumah mertuanya jadi bisalah membawa diri. Tapi dalam relasi ini sebaiknya memang si mertualah yang mengundang si menantu menjadi mitra, ada apa-apa ya silakan konsultasikan dengan si menantu; di pihak si menantu ya harus bisa bawa diri jangan sampai berbuat sekehendak hatinya dengan rumah itu.PG : Betul sekali, misalnya urusan makan; si menantu diundang makan bersama dan dia belum siap, dia masih mengerjakan sesuatu terus mertuanya kelebihan bicara. "Makan saja sama-sama, jangan nani, sekalian aja jadi nanti bisa dibereskan, pekerjaan bisa dikerjakan nanti."
Hal sekecil itu bisa membuat si menantu merasa, "Kamu kok tidak menghormati saya, kamu kok menyuruh-nyuruh saya seperti saya ini anak kecil, saya 'kan juga kepala keluarga." Menjadi ribut, kalau tidak ribut ya dia marah atau nanti disampaikan kepada pasangannya, "Orangtuamu begini kepada saya, memangnya saya ini siapa." Atau salah pengertian, si menantu diam di kamar padahalnya tidak ada apa-apa, tapi lebih diam di kamar. Mertua bisa beranggapan ada apa dengan menantu saya kok mukanya asam, padahal mukanya asam gara-gara peristiwa di luar bukan karena yang terjadi dalam rumah. Tapi telanjur memberikan kesan buruk kepada mertua, pasti ada yang kami lakukan yang dia tidak suka, akhirnya mertuanya memberi reaksi terhadap muka asamnya si menantu. "Kamu ada apa kok tidak ada komunikasi, kalau tidak suka ngomong dong," padahal si menantu tidak sedang menyimpan ganjalan dengan si mertua, tapi sudah ditegur begitu jadilah pertengkaran.PG : Bisa terjadi dan itu pun menyimpan potensi problem Pak Gunawan, sebab biasanya karena mertua tinggal di rumah menantu, kebalikannya yang terjadi adalah si mertua bisa-bisa merasa bahwa diaitu kurang disambut, dia dianggap sebagai tamu sehingga dia merasa didiamkan, tidak diajak bicara.
Dia peka dan dia akan berkata, "Ya...saya tidak disambut lebih baik saya keluar, lebih baik saya pindah." Nanti waktu dia berbicara seperti itu kepada ankanya, anaknya cerita kepada pasangannya. Si menantu marah, "Saya kurang baik apalagi, saya mesti bagaimana lagi kenapa mertua begini sikapnya, kurang menghargai saya." Terjadilah konflik, atau yang sering terjadi adalah si mertua karena merasa ini menantunya, ini anaknya, ini cucu-cucunya, jadi dia merasa mempunyai andil dan diijinkan untuk terlibat dalam urusan rumah tangga atau pengaturan cucu. Jadi mertua itu membuat dirinya lebih aktif menolong, nah ini bisa-bisa menjadi masalah. Misalkan dengan menantu perempuan, si menantu perempuan tidak suka karena si anak digendong-gendong terus oleh mertua, tapi mau beritahu mertua jangan gendong anak saya, sungkan, nanti ribut, cucunya sendiri kok tidak boleh. Berbicara dengan suaminya, suaminya berkata, "Biarkan saja kenapa dipersoalkan hal kecil seperti itu, waktu anak itu dilepas ya baru kamu gendong." Tapi si menantu wanita merasa, "Kok mertua saya tidak sensitif dengan saya, seharusnya tanya boleh tidak saya gendong." Nyatanya tidak pernah minta ijin tapi gendong anak saya terus-menerus. Misalkan anaknya lagi sakit, si mertuanya yang mengendong-gendong; si mertua berpikir padahalnya saya menolong tapi si menantu pikir kamu kok lancang. Jadi akhirnya banyak masalah yang muncul di antara mereka.Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
16. Relasi yang Tidak Direstui | |
Tidak semua pernikahan direstui orangtua namun ini tidak berarti pernikahan yang tidak direstui orangtua identik dengan tidak direstui Tuhan. Apa yang harus dilakukan pasangan kepada orangtua setelah pernikahan?
Tidak semua pernikahan direstui orangtua namun ini tidak berarti pernikahan yang tidak direstui orangtua identik dengan tidak direstui Tuhan. Adakalanya orangtua tidak merestui pernikahan anak karena alasan yang salah dan jika ini yang terjadi, setelah berdoa dan meminta banyak nasihat dari anak-anak Tuhan yang dewasa, pasangan bebas untuk melangsungkan pernikahannya.
Pertanyaannya, apakah yang harus dilakukan pasangan kepada orangtua setelah pernikahan? Berikut ini ada beberapa masukan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Relasi yang Tidak Direstui" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Sudah tentu kita harus melihat sebetulnya apa alasan orangtua tidak merestui hubungan anaknya dengan calon menantunya itu. Sebab adakalanya memang orangtua berada di pihak yang benar, yait misalkan orangtua sungguh-sungguh melihat pasangannya ini tidak cocok, berperangai buruk, melakukan hal-hal yang buruk, tidak jujur dan sebagainya.
Tapi entah mengapa si anak seperti buta, dia tidak melihat semua itu, sudah tentu orangtua harus dengan tegas memberitahukan kepada si anak, ini masalah-masalah yang sudah terjadi. Adakalanya hubungan itu tidak direstui bukan saja oleh orangtua tetapi oleh Tuhan yaitu dalam kasus orang menikah dengan yang tidak seiman. Jelas-jelas Than sudah meminta kita menikah dengan sesama orang percaya, percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita dan Tuhan kita, tapi ada orang yang berkata tidak apa-apa saya menikah dengan yang lain, sebab saya cocok dengan dia. Tetap ini adalah pernikahan yang tidak diperkenan oleh Tuhan, jadi akhirnya orangtua juga bersikap menentang tidak menyetujui pernikahan ini. Jadi dalam hal seperti ini, kita mesti melihat kebenaran siapakah yang memihak pada kebenaran itu. Kita tidak membela orangtua atau si anak sebab yang penting bukanlah apakah orangtua atau si anak tapi yang penting adalah yang manakah berada di pihak yang benar. Jadi kalau misalnya setelah kita tilik masalahnya dan akhirnya kita menarik kesimpulan yang benar adalah si anak. Ada orangtua yang memang tidak realistik, terlalu peka, sehingga tindakan si menantu yang sederhana dan kecil namun disoroti sebagai sesuatu yang bermasalah dan dijadikan alasan. Tidak boleh menikah dengan dia sebab orang ini berniat jahat, mau kurang ajar dan sebagainya. Padahalnya juga tidak, kalau memang itu yang terjadi saya kira si anak harus meminta konsultasi, pendapat dari banyak orang. Jangan mereka berdua langsung memutuskan bahwa yang salah orangtua, mintalah masukan dari anak-anak Tuhan yang lebih matang, yang bisa memberikan pada mereka penilaian, sebetulnya yang berada pada pihak yang benar itu siapa. Biarlah nasihat-nasihat dari banyak orang ini kita kumpulkan sehingga kita bisa objektif menilai sebetulnya siapa yang berada di pihak yang benar. Nah kalau benar-benar anak-anak Tuhan yang lebih matang, semua berkata, tidak ada yang salah dengan relasi kamu dan memang orangtua di sini yang bersikap terlalu berlebihan saya kira ujung-ujungnya si anak dapat dan boleh melakukan pernikahan itu meskipun orangtuanya tidak merestui.PG : Meskipun ada sebagian orangtua yang mau mensejajarkan restu orangtua dengan restu Tuhan. Tidak, sebab orangtua bukanlah Tuhan, orangtua adalah manusia yang kadangkala bisa dipengaruhi olehhal-hal yang sangat subjektif pada dirinya, itu yang akhirnya menelurkan sikapnya yang membenci si calon menantu itu.
Jadi kita tidak samakan restu orangtua dengan restu Tuhan. Yang kita utamakan adalah restu Tuhan, namun kita juga mesti terbuka mendengarkan masukan orangtua sebab mereka sesekali dapat melihat sesuatu dengan jelas hal-hal yang mungkin kita luput melihatnya.PG : Betul, makanya saya berharap kalau dua orang ini calon suami-istri sudah mendapatkan tantangan dari orangtua, dia harus mencari masukan sebanyak mungkin dari anak-anak Tuhan yang matang, dri orang-orang yang berhikmat, mintalah pendapat mereka, ceritakan semuanya, sejujur mungkin, jangan hanya ceritakan sisi yang baik, tapi ceritakan semuanya.
Kenapa orangtuanya bersikap begini, apa yang pernah pasangannya lakukan dan sebagainya bukakan semua itu sehingga akhirnya orang-orang ini bisa melihat dengan lebih jelas dan memberi masukan yang lebih tepat pula.PG : Sering kali ini menjadi perangkap Pak Gunawan, orangtua sekali berkata tidak, mereka kesukaran menarik kata-kata itu, karena akhirnya ini menyangkut harga diri. Rasanya mereka harus merendhkan diri kalau mereka berkata oya saya dulu keliru.
Belum lama ini saya bertemu dengan seseorang yang sewaktu berpacaran dengan suaminya ditentang mati-matian oleh orangtuanya. Tapi akhirnya mereka bersabar dan akhirnya mendapatkan restu walaupun tidak 100% dari orangtua untuk menikah. Setelah bertahun-tahun menikah dan bertemu dengan saya dia mengatakan orangtua saya itu di dalam pertemuan keluarga berkata dengan jujur bahwa "Saya dulu keliru, menilai calon menantu saya ini, ternyata dia tidak seperti yang saya duga dan saya salah." Nah itu indah sekali kalau ada orangtua yang dengan berani mengakui kekeliruannya. Namun kita sering kali dipengaruhi oleh unsur budaya yang seolah-olah berkata kepada kita kalau ada pertentangan di antara yang tua dan yang muda, yang muda harus mengalah. Menurut saya prinsip ini tidak alkitabiah, sebab selalu dalam prinsip Alkitab tidak ada hal-hal seperti itu, gara-gara kita muda maka kita harus mengalah meskipun yang tua itu salah. Siapa yang berada di pihak yang salah itu yang mengalah dan mengakui kesalahannya, siapa berada di pihak yang benar, dialah yang benar. Jadi dalam hal ini saya kira orangtua juga mesti belajar objektif dan melihat dengan lebih terbuka, tanya pendapat orang. Kadang-kadang orangtua tidak mau tanya pendapat orang lain, malah mencoba mempengaruhi pendapat orang-orang lain untuk mendukung dia dan melawan menantu. Tidak mau terbuka mendengarkan masukan dari orang lain yang berkata, "Pa, Ma, tidak apa-apa, tidak seperti yang papa-mama pikirkan." "O....tidak mau dia pasti benar." Nah itu memang susah.PG : Dan ada orangtua yang tukar kriteria setiap kali anaknya berpasangan, ada juga yang seperti itu. Jadi si anak berpacaran dengan yang seperti ini berpikir orangtua pasti setuju, orangtua bekata, "Tidak, dia begini-begini."
Si anak akhirnya berkata ok-lah tidak seperti yang orangtua inginkan. Bersama lagi dengan orang lain, "O.........tidak sebab begini-begini." Ada orang yang seperti itu sampai berkali-kali pacaran tapi orangtua senantiasa berkata, "Bukan, ini salah, ini banyak kelemahannya begini-begini." Saya kira itu tidak benar. Orangtua mesti mendasari kriteria dari firman Tuhan. Firman Tuhan memberikan kita kriteria hanya dua, yaitu menikahlah dengan sesama orang percaya, itu kriteria yang harus dipenuhi karena itu yang Tuhan kehendaki. Dan yang kedua kriterianya adalah Tuhan menginginkan kita menikah dengan yang sepadan dengan yang cocok, jadi kalau kita melihat mereka sudah seperti kucing dan anjing sejak berpacaran ya orangtua seyogianya memberitahukan anak, "Ini tidak cocok, kamu sering kali berkelahi, kami sering kali melihat kalian pulang murung, bukannya pulang bergembira setelah bertemu dengan pacarmu malah murung, malah berantem lagi." Tugas orangtualah memberitahukan, firman Tuhan meminta kamu menikah dengan yang sepadan. Ingatkan dua kriteria itu, kalau ada sifat-sifat jelek coba munculkan sehingga si anak bisa melihat memang seperti inilah pacarnya itu.PG : Kadang-kadang orangtua itu sudah termakan oleh rasa takut Pak Gunawan, karena rasa takut itulah maka orangtua itu akhirnya cepat menghakimi, itu saya harus akui. Kita cepat mengaitkan sebuh perbuatan dengan sebuah kesimpulan akan karakternya orang tersebut.
Karena dia berbuat ini maka karakternya seperti ini. Maka yang sederhana karena waktu dia ingin pulang, dia lupa permisi (sekali saja dia lupa permisi) si orangtua langsung beranggapan si anak ini tidak sopan kepada orangtua. Anak yang tidak sopan kepada orangtua berarti anak ini memang berniat buruk, hanya mau anaknya tidak mau mempedulikan orangtuanya, orang seperti ini jangan kamu nikahi. Terlalu cepat memberikan kesimpulan, jadi orangtua mesti berhati-hati jangan terlalu cepat memberikan kesimpulan sebab itu yang akan dilawan oleh si anak. Jadi kalau orangtua menemukan hal yang tidak baik pada calon menantunya, munculkan buktinya setelah itu katakan pada si anak, "Biasanya orang yang begini, dia begini, tapi saya tidak tahu apakah pacar kamu seperti itu, kamu lihat saja asal engkau perhatikan. Saya kira sikap itu lebih baik daripada langsung menuding-nuding, pasti anak itu begini.PG : Sudah tentu awal-awalnya tadi saya sudah singgung kita mesti melihat kenapa orangtua kita tidak menyetujui dan akhirnya kita sadari apakah orangtua kita berada di pihak yang benar atau kita. Kalau dari nasihat-nasihat banyak anak Tuhan yang telah kita dengar mengatakan kita ada di sisi yang benar, silakan langsungkan pernikahan. Menurut saya tidak usah kawin lari. Bagaimana kalau orangtua marah, tidak mau datang dan sebagainya; terpaksa kita terima itu, kita mungkin minta perwakilan dari orang lain yang bisa mendukung kita. Apa yang akan terjadi? Sudah tentu ini akan menyakitkan hati orangtua dan tindakan ini dinilai sebagai tindakan kurang ajar, tidak hormat dan tidak menghargai orangtua, tidak berterima kasih, maka muncul komentar orangtua "Ini anak berpuluhan tahun saya kasih makan, baru dikasih makan setahun sama orang ini sudah langsung berbalik melawan kami." Ini yang biasanya menimbulkan rasa sakit hati yang dalam, orangtua merasa dibuang, diangap tidak bernilai, si anak kok lebih mementingkan pasangan, ini yang membuat si orangtua benar-benar terluka. "Kami berpuluhan tahun merawat dia, dalam sekejap langsung dibuang, kami tidak penting yang penting adalah si pasangan ini." Jadi yang mau saya sarankan adalah setelah pernikahan penting bagi anak untuk tetap menujukkan hormat dan kasih kepada orangtua, kendati orangtua berusaha menolak. Lihatlah penolakan ini sebagai upaya orangtua untuk menyembuhkan lukanya dan sekaligus "balas" memukul anak, mereka merasa dilukai mereka memang ingin mengganjar si anak dan ganjarannya adalah penolakan itu jadi biarkan. Namun orangtua perlu melihat si anak itu tetap memelihara hubungan, tetap menegur, menyapanya, menyakan kondisinya dan sebagainya. Biarkanlah sebab orangtua membutuhkan waktu untuk sembuh dan "membalas". Selang beberapa waktu setelah kemarahan reda dan mereka sudah cukup puas membalas itu biasanya mereka akan menerima anak kembali kalau memang pada akhirnya mereka melihat bukankah memang anak saya itu menikah dengan orang yang tepat.
PG : Betul, kalau kebalikan yang terjadi memang itu runyam. Sebab kadang-kadang ini terjadi dan saya saksikan, jadi orangtua sudah berkata jangan, tetap bersikeras. Akhirnya setelah menikah, bear-benar pernikahan itu buruk sekali, akibatnya si anak pun tidak berani datang kepada orangtua menceritakan persoalannya sebab dia sudah tahu orangtua akan berkata, ""Kan dari dulu kami sudah katakan tapi kamu tidak mau dengarkan, nah ini sekarang akibatnya."
Kalau memang benar orangtua dan si anak itu keliru, memang akan menimbulkan masalah. Maka saya dalam pembimbingan Pak Gunawan, senantiasa mengingatkan anak-anak yang mau menikah dalam kasus tidak direstui untuk berjaga-jaga soal ini. Sebab setelah mereka menikah sudah tentu mereka akan menemukan ketidaksempurnaan pada pasangannya. Kalau ketidaksempurnaan ini kebetulan yang sudah disebut-sebut oleh orangtua dan terus dilihat, si anak ini nanti setelah menikah bisa akan bereaksi lebih keras terhadap pasangannya. Meskipun ini ketidaksempurnaan dalam batas kewajaran, tapi karena si anak ingat dulu orangtua saya sudah katakan memang suamimu itu orangnya egois, nah dia melihat benar ada egoisnya, bisa-bisa reaksi si anak terlalu keras memarahi dan mengancam si suami. Dan kalau tidak bijaksana dia katakan, "Dari dulu mama-papa saya sudah katakan kamu orangnya egois, ternyata benar." Jadi sering kali memang ini bisa mewarnai relasi nikah, makanya kalau tidak direstui orangtua, perlu benar-benar kesabaran untuk benar-benar menilik apa yang terjadi, kenapa tidak disetujui, jangan cepat-cepat berkata pasti orangtua yang salah dan sebagainya.PG : Betul Pak Gunawan, ya karena si orangtua akhirnya berkata ini anak saya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu orangtua menganjurkan anaknya meninggalkan pasangannya. Cepat-cepatlah kamu tingglkan memang dia orangnya seperti ini, jadi meskipun problemnya belum terlalu parah, orangtua bisa menjadi pemotivasi untuk anak meninggalkan pasangannya.
PG : Saya kira ini reaksi alamiah, kita mengerti orangtua itu bagaimana pun cenderung membela anaknya, jadi akhirnya menimpakan semua kesalahan kepada menantu. "Wah gara-gara dia, anak saya sekrang melawan saya.
Dulu dia tidak pernah kurang ajar, dia tidak pernah melawan kami, gara-gara bertemu dengan (dia sebut menantunya) dia menajdi berani, kurang ajar dan sebagainya." Jadi kebencian orangtua yang sebetulnya kemarahan itu tertuju kepada si anak sekarang dikonfersi semua, diubah semua menjadi kemarahan terhadap si menantu. Itu sebabnya kita dapat simpulkan, biasanya kemarahan dan penolakan orangtua terhadap menantu jauh lebih lama dan dalam ketimbang terhadap anak sendiri. Mungkin dalam beberapa lama orangtua bisa kembali baik dengan anak, tapi terhadap menantu tidak. Apa yang harus dilakukan? Sebaiknya menantu tidak agresif menjahit kembali relasi yang telah robek ini, karena sikap yang agresif akan membuat orangtua menjauh dan menimbulkan rasa tidak suka. Sebab mereka akan menuduh tindakan menantu sebagai tindakan mencari muka belaka. Jadi meskipun si menantu baik hati, mau merendahkan diri, jangan berlebihan, seperlunya saja. Sebab mudah sekali nanti dilabelkan mau mencari muka, dan orangtuanya makin benci bukan makin menerima si menantu.PG : Itu sering terjadi Pak Gunawan, apa yang dilakukan oleh mertua? Biarkan, orangtua itu jangan terlalu aktif dan agresif mencampuri urusan anaknya. Kalau si anak yang datang meminta masukan,berilah masukan, tapi kalau tidak jangan orangtua itu terlalu agresif menyerang si menantu dengan mengatakan, "aduh kamu kok mau menikah dengan orang yang seperti ini."
Lebih baik jangan, lebih baik orangtua bersikap lebih pasif terhadap hal-hal seperti ini, karena kalau tidak ini sering kali memperluas masalah.PG : Kalau memang masalah pemukulan, pengancaman jiwa, seharusnya orangtua turun tangan melindungi anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh menantunya. Tapi kalau tidak seperti itu, hanyamasalah ketidakcocokkan, cekcok, sebaiknya orangtua jangan ikut-ikutan.
Masalah dua orang untuk diselesaikan sudah cukup susah, kalau melibatkan mertua ya tambah susah, jadi sebaiknya jangan ikut campur biarkan anak kita berusaha menyelesaikannya. Kalau meminta bantuan kita, berikan masukan-masukan, tapi biarkan anak kita yang menyelesaikan.PG : Kalau memang kita melihat perangai si menantu yang buruk, benar-benar buruk kelihatan mau menghabiskan uang mertuanya dan sebagainya, sudah tentu harus bijaksana, untuk orangtua bersikap lbih preventif menjaga jangan sampai nanti memang semua akan dimakan oleh si menantu.
Tapi sekali lagi dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti itulah orangtua turun tangan lebih aktif, kalau tidak sebaiknya jangan terlalu aktif, nanti ditafsir berbeda dan negatif oleh si menantu.PG : Harus memaafkan Pak Gunawan, ini kadang-kadang menjadi masalah sebab si anak akan berkata sakit hati saya sudah terbalas, tidak bisa memaafkan. Berdoalah kepada Tuhan, meminta Tuhan memberkan pengampunan itu.
biarkan Tuhan mengisi hatinya dengan pengampunan sehingga dia bisa mengampuni mertuanya yang telah melukai hatinya itu. Kalau misalkan kasusnya kebalikannya yaitu si anak melihat sebetulnya istri saya itu baik tapi orangtuanya tidak mau menerima. Nah misalkan si anak berusaha meyakinkan orangtuanya, saya kira itu juga kurang bijaksana. Sering kali orangtuanya kurang bisa terima kenapa dia dipaksa-paksa harus menerima si menantunya, dan dia memang kurang suka. Jadi menurut saya jangan terlalu menggebu-gebu membangga-banggakan istrinya atau suaminya, "Tidak seperti yang papa-mama pikir, dia begini, begini," nah kuping orangtua makin panas, bukan menerima tapi makin marah terhadap si anak dan kepada si menantu, jadi lebih baik anak juga jangan terlalu agresif menawarkan kebaikan pasangannya kepada orangtua. Biarkan orangtua melihat sendiri, itu kuncinya, bahwa menantunya tidak seperti yang mereka duga ini yang lebih penting.PG : Ini bisa terjadi di kedua belah pihak Pak Gunawan, ada juga calon menantu yang sebelum menikah karena pernah ditolak, marah dan mengeluarkan kata-kata yang kasar terhadap mertuanya. Nah in menjadi luka yang dalam, si mertua akhirnya tidak bisa terima dan tidak bisa lupakan perkataan menantunya ini kepada dia.
Jadi saya kira baik menantu maupun orangtua, kalau pernah mengalami luka dan sakit hati, dua-dua mesti datang kepada Tuhan, dua-dua mesti meminta Tuhan tolong saya mengampuni. Sebab bukankah ini perintah Tuhan, kalau kita tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita, maka kata Tuhan Yesus "Bapa-Ku yang di sorga pun tidak akan mengampuni kamu." Tuhan pengampun dan Tuhan menginginkan kita anak-anak-Nya mempunyai roh pengampun yang sama.PG : Betul sekali, jadi tidak ada untungnya dan tidak ada kebaikannya memelihara dendam seperti itu. Malahan makin memperkeruh masalah, kenapa tidak bisa mengampuni. Kadang-kadang kita agak binung melihat hal seperti ini, sebab si orang yang sama ini dengan orang lain lebih bisa mengampuni, terhadap menantunya atau mertuanya tidak bisa mengampuni.
PG : Saya akan kutib Matius 5:44 dan 45, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu ang di sorga..."
Kita tidak punya musuh kalau kita mendoakan dia Pak Gunawan, begitu kita mulai mendoakan musuh kita tiba-tiba orang itu berhenti menjadi musuh kita karena kita tidak bisa menggabungkan keduanya. Jadi langkah pertama adalah siapapun yang merasa dilukai datanglah kepada Tuhan, berdoalah bagi orang yang telah melukai itu, begitu kita mendoakan dia luluhlah kemarahan-kemarahan dan dendam kita.PG : Bukan menyumpahi tapi berdoa agar memang Tuhan menolong, memberkati orang tersebut dan memperbaiki relasi kita berdua.
GS : Terima kasih seklai Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Relasi yang tidak Direstui", bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
17. Masalah Kuasa dalam Keluarga 1 | |
Dalam permasalahan orangtua, hampir dapat dipastikan anak menjadi korban yang tidak bersuara-yang sunyi. Dampak negatif pada anak biasanya barulah muncul di permukaan tatkala anak bertumbuh besar. Salah satu dampak masalah orangtua pada anak berkaitan dengan pengembangan kuasa atau otoritas dalam diri anak. Entah itu ayah atau ibu yang otoriter atau kedua-duanya tidak otoriter.
Dalam permasalahan orangtua, hampir dapat dipastikan anak menjadi korban yang tidak bersuara-yang sunyi. Dampak negatif pada anak biasanya barulah muncul di permukaan tatkala anak bertumbuh besar. Salah satu dampak masalah orangtua pada anak berkaitan dengan pengembangan kuasa atau otoritas dalam diri anak. Berikut akan dipaparkan asal-muasal dan relasinya dengan anak.
Penyebab Masalah
Seyogianya ayah menjadi pemegang tampuk otoritas tertinggi dan ibu terlibat dalam penggunaan otoritas. Sejak anak kecil seyogianya orangtua mulai menyalurkan kuasa kepada anak dalam bentuk perhatian dan pemenuhan kebutuhan anak. Anak yang menerima perhatian dari orangtua akan mengembangkan otoritas terhadap dirinya dan memperoleh "kuasa" atau kekuatan untuk menghadapi tantangan hidup. Sebaliknya jika anak tidak menerima cukup kuasa, ia cenderung mengembangkan masalah di kemudian hari. Pada umumnya anak tidak menerima kuasa akibat beberapa faktor. Berikut ini akan dijabarkan beberapa penyebabnya, dampaknya pada anak, serta penyelesaiannya.
Ayah atau Ibu Otoriter
Dalam kasus orangtua otoriter, pada dasarnya orangtua menggunakan kuasanya secara berlebihan. Orangtua tidak menghargai pendapat anak dan tidak membuka pintu dialog. Biasanya ada dua reaksi yang dapat muncul pada anak:
Orangtua tanpa Otoritas
Dalam keluarga ini, orangtua tidak memiliki kuasa sehingga kuasa didelegasikan kepada anak. Kehilangan kuasa atau otoritas dapat ditimbulkan oleh pelbagai sebab misalnya perbuatan orangtua yang menurunkan wibawa seperti berjudi dan mabuk-mabukan, atau orangtua dinilai rentan terhadap stres. Akibatnya anak dipromosikan menjadi pemegang kuasa pada usia yang terlalu dini.
Orangtua Berebut Kuasa
Dalam keluarga ini, ayah dan ibu tidak mau mengalah dan masing-masing mempertahankan kuasanya. Tidak bisa tidak, pertengkaran sering terjadi dan anak terjepit di tengah. Kadang ia ditarik untuk berpihak pada ayah, kadang ia ditarik berpihak pada ibu.
Keluarga Besar
Dalam keluarga ini,orangtua mempunyai banyak anak sehingga anak yang terkecil tidak mendapat perhatian yang cukup dan acap kali diperlakukan sebagai anak bawang. Kuasa orangtua lebih tersalur pada anak-anak yang lebih besar karena perhatian pun biasanya lebih tercurah pada anak-anak yang lebih besar. Orangtua menganggap semua baik-baik saja padahal anak terkecil tidak mendapat perhatian yang cukup. Pendapatnya tidak didengar dan keluhannya tidak diketahui.
Penyelesaian
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Masalah Kuasa dalam Keluarga" bagian pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Kepemimpinan memang sesuatu yang sangat mutlak diperlukan dalam sebuah keluarga Pak Gunawan, dengan adanya kepemimpinan, keluarga itu mempunyai arah dan keluarga itu juga mengetahui bahwa ereka tidak bisa bebuat semau-maunya, akan ada yang bisa berkata stop.
Nah maka sangatlah diperlukan adanya kepemimpinan tersebut. Namun di pihak lain selain kepemimpinan yang juga harus ada dalam keluarga ialah orangtua memberikan perhatian yang cukup kepada anak. Sebetulnya kalau saya boleh terjemahkan dalam bahasa sehari-hari orangtua bisa melihat anak. Melihat artinya melihat apa yang dibutuhkan anak, melihat apa yang dipergumulkan anak, melihat apa yang dilakukan anak dan memberikan pujian dan pengakuan kepada anak. Semua ini pada akhirnya akan melahirkan yang kita sebut kuasa dalam diri si anak. Bahwa dia itu bukan si anak yang tidak bisa apa-apa, tidak berdaya, tapi dia itu mempunyai kuasa sehingga pada nantinya dia mulai bisa mengembangkan kepercayaan diri, dia bisa melakukan hal-hal yang harus dilakukannya untuk juga memenuhi tantangan hidup ini. Tapi ternyata tidak semua keluarga melakukan hal ini, tidak semua orangtua atau keluarga melihat anak dengan mata yang jeli, sehingga akhirnya dalam banyak keluarga kuasa itu tidak diberikan dengan tepat kepada anak-anak.PG : Jadi akhirnya dalam hal ini si ayah tidak melihat si anak, tidak benar-benar tahu apa yang menjadi pergumulan si anak, yang menjadi isi hatinya tidak tahu sama sekali. Akibatnya adalah dalm hal ini si ayah atau dua-dua yaitu orangtua tidak menganugerahkan cukup kuasa kepada si anak.
Di dalam kasus-kasus seperti ini nantinya akan timbul masalah dalam pertumbuhan si anak. Saya kira penting bagi kita untuk membahas apa yang disebut salah penempatan kuasa dalam keluarga atau penyalahgunaan kuasa dalam keluarga yang nantinya akan berdampak pada si anak.PG : Seharusnya ayah menjadi pemegang tampuk kekuasaan, artinya dialah yang menjadi kapten atau nahkoda dalam hidup keluarga itu. Namun pelaksanaannya dia akan melibatkan ibu sebagai rekan, maknya Alkitab memanggil istri sebagai pewaris kasih karunia.
Jadi istri bukanlah bawahan, bukanlah hulu balang tapi istri adalah rekan si ayah dalam melaksanakan tugasnya sebagai orangtua bagi anak-anak. Ayah pemegang tampuk kepemimpinan, pemegang kuasa kemudian ibu menjalankan perannya sebagai pelaksana. Nah dalam kondisi seperti itu biasanya anak-anak nanti bertumbuh dengan sehat apalagi kalau orangtua melihat anak, memberi perhatian, berinteraksi dengan anak, orangtua sedikit-sedikit meminjamkan dan menganugerahkan kuasa kepada si anak, sehingga nanti si anak bangkit berdiri menjadi anak yang kuat, menjadi anak yang mempunyai kepercayaan diri, mempunyai tenaga untuk menghadapi tantangan hidup ini; itu idealnya dan itu yang seharusnya terjadi. Namun malangnya hal-hal seperti ini tidak terlalu sering terjadi.PG : Biasanya karena misalkan pertama, ayah atau ibu itu terlalu otoriter. Ini yang kita sebut kuasa yang digunakan secara berlebihan, sehingga akhirnya anak-anak tergilas. Kenapa tergilas, karna orangtua menggunakan kekuasaannya dengan berlebihan.
Sekali lagi saya ingatkan, pada prinsipnya yang harus terjadi adalah orangtua menolong anak mengembangkan kuasa sehingga si anak nanti mempunyai kuasa. Tapi dalam kasus di mana orangtua terlalu otoriter, misalnya si ayah atau si ibu akibatnya si anak tidak dapat mengembangkan kuasa atas dirinya sendiri. Mengapa? Sebab misalkan orangtua tidak menghargai pendapat si anak, si anak berbicara apa kepada orangtua tapi orangtua tidak menghiraukan, si anak memberikan penjelasan apa orangtua tidak mau menerimanya. Selalu yang akan dipaksakan adalah kehendak orangtua, alhasil tidak ada pintu dialog antara orangtua dan anak. Pokoknya orangtua yang menjadi penentu, anak sama sekali tidak mempunyai kuasa. Dalam kasus seperti ini kuasa digunakan secara berlebihan akibatnya menggilas si anak dan si anak tidak mempunyai kuasa.PG : Malangnya itu yang sering terjadi Pak Gunawan, karena kita tidak mempunyai modal atau panutan yang lain jadi akhirnya kita hanya mengadopsi cara-cara yang digunakan oleh orangtua kita. Tap coba perhatikan dampaknya pada anak, anak-anak yang dibesarkan dalam rumah di mana salah satu orangtuanya atau keduanya otoriter sekali menggunakan kuasa secara berlebihan, pada akhirnya tidak lagi mempunyai kuasa atas dirinya.
Tapi yang menarik adalah akan muncul dua tipe anak, dua tipe orang dewasa dari dua tipe keluarga yang seperti ini. Yang pertama adalah tipe anak-anak yang akhirnya tidak berdaya, lemah sekali, tidak bisa mengambil keputusan, tidak mempunyai kepercayaan diri. Nah biasanya kita akan melihat sikap yang paling dominan pada anak-anak seperti ini adalah kepasifannya, luar biasa pasif; kalau tidak dibujuk-bujuk tidak mau melakukannya, kalau tidak didorong-dorong tidak mau melangkah. Dan salah satu ciri yang dominan adalah rasa rendah dirinya kuat sekali, selalu malu, selalu merasa tidak layak, sehingga akhirnya tidak berani maju. Ini tipe yang pertama karena anak ini sudah terlindas, tidak sempat mengembangkan kuasa atas hidupnya. Namun dalam kasus yang sama dan kondisi keluarga yang sama bisa muncul anak yang kebalikannya. Yaitu anak-anak yang haus kuasa, karena dia tidak mendapatkannya, tidak diberikan pengakuan oleh orangtua, semua kehendak pribadinya digilas oleh kehendak orangtuanya. Nah keluar dari rumah dia bukan seperti tipe pertama, tidak berdaya dan menyerah tapi dia menjadi orang yang haus kuasa. Pada dasarnya anak-anak ini akan bertumbuh besar menjadi pembangkang, dan senantiasa berusaha melawan figur otoritas. Dia tidak bia menerima teguran, tidak bisa menerima koreksi orang, tidak mau tunduk pada orang, jadi seolah-olah kalau melihat ada orang dengan kuasa, dorongan dalam dirinya adalah mau mematahkan kuasa itu. Pokoknya kalau ada orang dengan figur otoritas di depannya, reaksi dia adalah mau menghantamnya, mau mengalahkannya, seolah-olah hidup itu adalah ajang pertempuran atau perkelahian. Tapi sekali lagi saya tekankan, ini sebetulnya buah dari kehidupan rumah tangga yang sangat otoriter, yang sangat menggilas anak sehingga anak tidak berkesempatan mengembangkan kuasa atas hidupnya sendiri.PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi sering kali yang membedakan kenapa ada satu anak menjadi tidak berdaya, pasif, minder; anak yang lain menjadi pembangkang, agresif, maunya melawan, memang tie anaknya.
Ada anak yang memang dari lahir halus sekali, perasaannya peka sekali; nah anak-anak seperti ini cenderung akan menjadi anak tipe pertama yaitu lemah, pasif, bergantung pada orang, tidak mempunyai kepercayaan diri. Tapi anak-anak yang lahir dengan kecenderungan biologis yang kuat, orangnya keras kepala; biasanya anak-anak ini lebih berkembang menjadi pembangkang dan agresif sekali, mencari pemenuhan atas kuasa.PG : Sering kali begitu Pak Gunawan, karena misalnya yang pertama anak-anak yang pasif sekali, akhirnya anak-anak itu mengucilkan diri, tidak berani berbuat apa-apa meskipun anak itu sangat berotensi.
Apalagi anak tipe yang kedua maunya membangkang, mau melawan dan sebagainya, nah anak ini akan sangat menciptakan problem baik di rumah, di sekolah maupun nanti di masyarakat.PG : Adakalanya orangtua beranggapan bahwa dia harus mempertahankan wibawa dengan cara tidak boleh mengakui kekalahan, tidak boleh mengakui keterbatasan, saya kira ini keliru, ini bukannya pikian yang tepat.
Meskipun orangtua tidak berpendidikan setinggi anaknya tapi kalau dia mempunyai wibawa sebagai orangtua, dia mempunyai kasih sayang yang kuat sebagai orangtua dan dia berani mengakui keterbatasannya, saya kira anak-anak tidak akan melecehkannya, justru anak-anak akan tetap sayang kepadanya dan malah menghargainya, dia juga terbatas dan berani mengakuinya. Apalagi jika ditambah dengan sikap yang mau belajar dari orangtua, karena dia mau belajar maka anak-anak melihat; meskipun terbatas tapi orangtuanya mempunyai sikap mau belajar, mereka makin menghargai orangtua.PG : Kadang-kadang itu yang terjadi, kebalikan dari kasih yang pertama dan ini pun akan menimbulkan masalah dalam kaitannya dengan kuasa. Dalam keluarga seperti ini, orangtua tidak memiliki kuaa sama sekali, sehingga kuasa didelegasikan kepada anak.
Misalkan ayah tidak lagi berfungsi sehingga anak yang terbesar atau yang tertua diangkat, sehingga dia pada usia yang relatif masih muda mempunyai kuasa yang tinggi. Kenapa orangtua sampai kehilangan kuasanya? Ada banyak penyebabnya tapi yang umum adalah perbuatan orangtua sendiri yang menurunkan wibawanya sehingga menghilangkan kuasa pada dirinya. Contoh yang paling umum terjadi dewasa ini. Misalkan ayah atau ibu yang tidak bertanggung jawab, tidak mau mengurus anak, tidak bertanggung jawab atas kebutuhan-kebutuhan si anak, atau mama mempunyai pria lain atau menghabiskan uang di meja judi, atau minum-minum atau memakai narkoba. Nah ini semua adalah perbuatan-perbuatan yang menurunkan wibawa orangtua. Contoh lain yang kadang-kadang bisa kita lihat adalah orangtua yang lemah, orangtua yang rentan terhadap stres, akhirnya si anak bukannya hormat tapi malah menilai orangtuanya lemah sekali. Ini yang membuat si anak melihat orangtuanya tidak mempunyai wibawa, orangtuanya tidak mempunyai kuasa atas hidupnya. Akhirnya si anak yang dipromosikan menjadi pemegang kuasa pada usia yang terlalu dini.PG : Kadang kala orangtua bergurau dan melewati batas Pak Gunawan, dia benar-benar merendahkan dirinya serendah itu. Saya kira perlu orangtua mawas diri, jangan sampai menjual harga dirinya denan gurauan-gurauan yang tidak pada tempatnya.
Apa itu gurauan-gurauan yang tidak pada tempatnya, contoh yang paling klasik adalah gurauan-gurauan porno, gurauan-gurauan yang memakai konotasi seksual, atau gurauan yang kedua adalah yang bertipe melecehkan anak, mengejek anak; nah itu memancing kemarahan anak, kalau gurauan-gurauan porno membuat anak memandang rendah orangtuanya; kalau gurauan-gurauan yang melecehkan anak, menghina anak akan memancing kemarahan anak. Akhirnya anak-anak tidak lagi menghormati orangtua dan orangtua kehilangan kuasa itu atas hidupnya.PG : Ada dua-duanya Pak Gunawan, misalnya dalam kasus si ayah kehilangan wibawa, tidak ada kuasa lagi pada anak-anaknya. Nah ibu sendirian, ibu perlu teman, ibu perlu mitra untuk mengatur rumahtangga ini, akhirnya secara tidak disadari atau secara tidak langsung si ibu yang mempromosikan anak tertua menggantikan si ayah.
Ada apa-apa si ibu bertanya pada anak-anak tertua, ada apa-apa si anak tertua yang diminta si ibu untuk menjaga adik-adiknya; mengurus ini dan itu. Nah tindakan-tindakan seperti itu yang kita sebut pendelegasian. Tapi adakalanya yang Pak Gunawan katakan juga terjadi yaitu perebutan. Kenapa terjadi seperti itu, karena si anak melihat si ayah tidak lagi mempunyai kuasa, malahan merusak suasana rumah, mengacaukan rumah tangga. Dalam kasus seperti itu bisa jadi si anak akan merebut kuasa si ayah atau si ibu yang melihat suaminya tidak berfungsi, akhirnya mengambil alih kuasa si ayah dan menjadi figur yang mendominasi keluarganya. Tapi apapun yang terjadi biasanya memang diawali oleh tindakan-tindakan seseorang yang menurunkan wibawa atau kuasanya sendiri.PG : Sangat mirip Pak Gunawan, sebab Absalom adalah anak Daud yang nomor dua. Jadi dia itu cukup besar untuk mengetahui dengan jelas apa yang ayahnya lakukan, yakni ayahnya mengambil istri daribawahannya dan pada akhirnya secara tidak langsung membunuh bawahannya itu yaitu Uria.
Nah tindakan-tindakan seperti ini memang akan sangat membuat si anak kecewa. Ayahnya seorang raja, seorang yang terhormat dan seorang yang saleh tapi sanggup melakukan hal seperti itu. Nah di titik itu Daud memang kehilangan kuasanya sehingga dia akhirnya merosot. Tapi yang kita lihat dari kasus Absalom ini adalah si anak menjadi dominan sekali, dalam kasus-kasus seperti ini ada kecenderungan si anak yang sejak kecil dianugerahkan kuasa yang terlalu besar menjadi anak yang dominan. Maunya mengatur, memang itu tugasnya di rumah tangga, disuruh mengatur adik-adik dan sebagainya. Tapi buah dari sistem keluarga yang tidak sehat ini adalah nantinya si anak bertumbuh besar menjadi orang yang keras kepala, dia sukar menerima pendapat orang lain, sukar diatur dan cenderung memaksakan kehendaknya. Kalau dia sudah beranggapan bahwa dia benar ya dia pasti benar. Memang kecenderungannya yang lain adalah kepercayaan dirinya kuat, karena sejak kecil dia diberikan kepercayaan dan tanggung jawab. Dan karena sejak kecil diberikan banyak tanggung jawab, anak-anak ini cenderung menjadi pekerja yang baik. Kalau disuruh apa, diberikan tugas apa; dia selesaikan, dia anak yang bertanggung jawab, tapi kelemahannya adalah terlalu dominan dan susah sekali mendengar masukan dari orang.PG : Biasanya nomor satu dia akan marah, kecewa, frustrasi. Dia frustrasi karena dia menganggap "saya sudah berkorban, saya sudah berbuat sebaiknya untuk keluarga saya," dan bahkan memang dalamkasus-kasus tertentu saya harus akui anak-anak yang dominan yang diberikan kuasa berlebihan pada masa mudanya, dia memang mengorbankan dirinya.
Misalkan dia tidak sekolah, dia sengaja bekerja supaya adik-adiknya bisa sekolah. Atau dia seharusnya pada usia remaja main dengan teman, pergi rekreasi; dia tidak, dia di rumah membantu orangtuanya, bekerja mati-matian. Itu sebabnya dia rentan frustrasi, sebab dia akan berkata, "Kenapa orang tidak menghargai apa yang telah dia korbankan dan perbuat, kenapa orang salah paham dengan maksudnya." Dia tidak bisa menerima orang menolak uluran tangannya, sebab dia selalu berpikir dia melakukan ini untuk kebaikan bukan untuk dirinya sendiri dan memang betul, yaitu dia sebetulnya tidak melakukan untuk diri sendiri, dia didelegasikan, dia dipromosikan, seolah-olah memang harus berfungsi karena kondisi. Dia sendiri pada awalnya tidak mau, namun karena dibentuk seperti itu maka dia menjadi orang yang dominan, orang yang akhirnya sukar menerima penolakan orang dan memaksakan orang untuk menerima pendapatnya. Ini tidak bisa dia lihat, dan di sini pula masalahnya; dia tidak bisa melihat apa yang dia lakukan yang membuat orang akhirnya tidak tahan sama dia, akhirnya dia menarik diri. Dia marah, dia kecewa, dia mungkin simpan kemarahannya, atau dia merasa dimanfaatkan, pengorbanannya sia-sia. Nah dalam kondisi seperti ini sering kali dia marah, maka anak-anak yang diberikan kuasa berlebihan cenderung mempunyai sikap yang ektrim. Kadang-kadang baik sekali mengorbankan semuanya untuk orang lain tapi kadang-kadang bisa meledak, bisa marah; orang kadang-kadang bingung menghadapi orang yang seperti ini.PG : Dan sebetulnya usaha ini merupakan bukti dia terlalu letih, dia sebetulnya tidak tahan memikul beban yang begitu berat yang memang selayaknya dia tidak pikul, dia bukanlah orangtua, maka da ingin keluar, melepaskan diri dari semua itu.
Dia ingin bisa menghirup nafas yang lebih lega.PG : Kita harus mengerti bahwa orangtua perlu mempunyai kuasa, tapi orangtua harus bisa menempatkan kuasa dengan tepat pada diri ayah, pada diri ibu dan memakai kuasa itu dengan tepat. Penempatn kuasa yang tepat serta penggunaan kuasa yang tepat pada orangtua, akhirnya menciptakan kuasa pada diri anak-anak.
Sehingga anak-anaknya tidak menjadi anak yang tidak ada kuasa sama sekali, anak-anak yang tidak ada kuasa sama sekali bisa sangat lemah, atau kebalikannya dia haus kuasa. Atau karena orangtua tidak berfungsi, kuasa itu akhinya dilimpahkan berlebihan pada si anak sehingga si anak nantinya juga bermasalah karena terlalu dominan dan akhirnya tidak dapat mendengarkan orang lain. Maka penting sekali kuasa ditempatkan dengan tepat dan digunakan dengan tepat sehingga melahirkan anak-anak yang mempunyai kuasa yang proporsional.PG : Saya akan bacakan Ulangan 6:6 dan 7, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicaakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."
Artinya, jadikanlah pengajaran firman Tuhan sebagai fondasi rumah tangga kita. Artinya kembalilah pada firman Tuhan itu sendiri, pada prinsip-prinsip yang Tuhan ajarkan. Nah waktu kita berdiam pada prinsip-prinsip firman Tuhan, saya kira masalah-masalah ini tidak terjadi. Kita akan melaksanakan tanggung jawab kita sebab tadi yang kita bicarakan, semua itu terjadi gara-gara orangtua tidak melakukan tanggung jawabnya. Dan Tuhan sudah meminta kita melakukan tanggung jawabnya sebagai orangtua, yaitu mengajarkan dan hidup sesuai dengan kehendakNya.PG : Tepat sekali Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul, tapi ada beberapa hal yang masih kita perbincangkan mengenai masalah kuasa dalam keluarga ini, kita akan bicarakan pada pertemuan yang akan datang. Terima kasih untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masalah Kuasa dalam Keluarga." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
18. Masalah Kuasa dalam Keluarga 2 | |
Lanjutan dari T191A
Dalam permasalahan orangtua, hampir dapat dipastikan anak menjadi korban yang tidak bersuara-yang sunyi. Dampak negatif pada anak biasanya barulah muncul di permukaan tatkala anak bertumbuh besar. Salah satu dampak masalah orangtua pada anak berkaitan dengan pengembangan kuasa atau otoritas dalam diri anak. Berikut akan dipaparkan asal-muasal dan relasinya dengan anak.
Penyebab Masalah
Seyogianya ayah menjadi pemegang tampuk otoritas tertinggi dan ibu terlibat dalam penggunaan otoritas. Sejak anak kecil seyogianya orangtua mulai menyalurkan kuasa kepada anak dalam bentuk perhatian dan pemenuhan kebutuhan anak. Anak yang menerima perhatian dari orangtua akan mengembangkan otoritas terhadap dirinya dan memperoleh "kuasa" atau kekuatan untuk menghadapi tantangan hidup. Sebaliknya jika anak tidak menerima cukup kuasa, ia cenderung mengembangkan masalah di kemudian hari. Pada umumnya anak tidak menerima kuasa akibat beberapa faktor. Berikut ini akan dijabarkan beberapa penyebabnya, dampaknya pada anak, serta penyelesaiannya.
Ayah atau Ibu Otoriter
Dalam kasus orangtua otoriter, pada dasarnya orangtua menggunakan kuasanya secara berlebihan. Orangtua tidak menghargai pendapat anak dan tidak membuka pintu dialog. Biasanya ada dua reaksi yang dapat muncul pada anak:
Orangtua tanpa Otoritas
Dalam keluarga ini, orangtua tidak memiliki kuasa sehingga kuasa didelegasikan kepada anak. Kehilangan kuasa atau otoritas dapat ditimbulkan oleh pelbagai sebab misalnya perbuatan orangtua yang menurunkan wibawa seperti berjudi dan mabuk-mabukan, atau orangtua dinilai rentan terhadap stres. Akibatnya anak dipromosikan menjadi pemegang kuasa pada usia yang terlalu dini.
Orangtua Berebut Kuasa
Dalam keluarga ini, ayah dan ibu tidak mau mengalah dan masing-masing mempertahankan kuasanya. Tidak bisa tidak, pertengkaran sering terjadi dan anak terjepit di tengah. Kadang ia ditarik untuk berpihak pada ayah, kadang ia ditarik berpihak pada ibu.
• Dampak terutama pada anak adalah rasa terhimpit yang membuatnya mudah terkena stres. Beban yang seringan apa pun mudah membuatnya tertekan.
• Ia pun rawan terhadap ketegangan karena pertengkaran orangtua membuatnya alergi terhadap konflik. Selain itu, ia cenderung bingung dalam pengambilan keputusan akibat ketidaksesuaian paham di antara orangtuanya.
Keluarga Besar
Dalam keluarga ini,orangtua mempunyai banyak anak sehingga anak yang terkecil tidak mendapat perhatian yang cukup dan acap kali diperlakukan sebagai anak bawang. Kuasa orangtua lebih tersalur pada anak-anak yang lebih besar karena perhatian pun biasanya lebih tercurah pada anak-anak yang lebih besar. Orangtua menganggap semua baik-baik saja padahal anak terkecil tidak mendapat perhatian yang cukup. Pendapatnya tidak didengar dan keluhannya tidak diketahui.
Penyelesaian
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Masalah Kuasa dalam Keluarga" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Istilah kuasa memang bisa menimbulkan pemikiran yang negatif dalam benak kita. Namun sesungguhnya kata kuasa itu sendiri dalam konteks keluarga bukanlah sesuatu yang negatif, malah ini sesatu yang sangat perlu, sebab orangtua dalam hal ini ayah dan ibu seharusnyalah memiliki kuasa atas rumah tangganya, atas anak-anaknya.
Dalam keluarga di mana penempatan kuasa berjalan dengan baik dan kuasa dilaksanakan juga dengan tepat akhirnya akan menciptakan suasana tenteram dalam keluarga, menciptakan sebuah arah yang jelas dalam keluarga, dan pada akhirnya anak-anak akan bertumbuh kembang menjadi anak-anak yang kuat dan sehat. Dalam pengertian merekapun berkembang memiliki kuasa atas hidupnya pula. Sebaliknya kalau orangtua tidak menjalankan fungsinya dengan benar, akibatnya kuasa yang seharusnya melekat pada diri mereka akhirnya akan tanggal atau copot, dan banyak hal bisa terjadi, hal-hal yang semuanya bersifat negatif. Kita sudah membahas tentang orangtua yang terlalu otoriter baik ayah, ibu atau keduanya. Otoriter, melindas anak-anak, pendapat anak-anak tidak pernah didengarkan; dalam kasus seperti itu anak-anak akan bertumbuh besar sama sekali tidak memiliki kuasa atas hidupnya, tidak bisa berbicara atau berdialog dengan orangtua karena kuasa orangtua terlalu besar dan menindih si anak. Ada dua kemungkinan, si anak bertumbuh besar tapi pasif, tidak percaya diri, lemah atau dia haus kuasa; sedikit-sedikit maunya berkuasa, sedikit-sedikit maunya melawan orang. Nah itu contoh yang terjadi dalam keluarga di mana kuasa digunakan secara berlebihan. Namun kita juga membahas kebalikannya, keluarga di mana kuasa tidak digunakan, tidak ada sama sekali baik pada ayah, pada ibu atau pada keduanya. Dalam kasus seperti itu acap kali yang terjadi adalah anak dipromosikan menjadi pengemban kuasa; sementara si anak belum siap karena usianya masih terlalu dini. Tapi karena kondisi, dia terpaksa memikul beban sebagai salah satu orangtua dan memegang kuasa atas adik-adiknya bahkan kadang-kadang atas keluarganya. Ini akan sangat menekan dia, membuat dia melawan frustrasi karena dia merasa dia sudah bekerja keras, dia sudah mengorbankan segalanya untuk keluarga tapi orang tidak menghargai dia. Dia rawan frustrasi tapi sebaliknya juga dia memang orang yang tidak mudah hidup dengan orang lain, karena dia cenderung mendominasi orang lain, maunya mengatur orang lain dan susah menerima masukan atau teguran dari orang lain pula. Jadi inilah latar belakang yang akan kita angkat pada kesempatan ini Pak Gunawan.PG : Idealnya adalah sudah tentu orangtua menjadi pemegang kuasa dan anak-anak berada di dalam kuasa orangtua. Namun kuasa dilakukan atau diberikan atau dilaksanakan dengan cara-cara yang tepat Dan harus ada penempatan kuasa dalam hal ini; si ayah pemegang tampuk kekuasaan.
Sebetulnya dia yang menjadi kapten atau nakhoda pada keluarganya, dan si ibu menjadi pelaksana dalam menjalankan peran sebagai orangtua yang mempunyai kuasa. Dan dalam pelaksanaannya ayah serta ibu akan bekerja sama, ayah akan tetap melibatkan ibu dan menghargai masukan ibu dan ibu juga menghormati keputusan si ayah yang menjadi pemegang kuasa itu. Kalau ini jelas, anak-anak pun akan jelas siapa yang mempunyai kuasa dan mereka akan tetap menghormati karena kuasa dilakukan dengan cara yang tepat.PG : Betul sekali, maka Alkitab dengan jelas berkata "Didiklah anakmu dalam takut akan Tuhan," dan tugas itu memang secara eksplisit diserahkan kepada ayah. Karena anggapannya atau asumsinya adlah si ayah pemegang kuasa itu, dialah yang seharusnya terlibat secara langsung jangan sampai seluruh tugas mengorangtuai dibebankan kepada ibu.
PG : Biasanya faktor yang menyebabkan perebutan kekuasaan adalah pertama dua-duanya misalkan ayah dan ibu berkarakter super keras, dua-duanya tidak mau mengalah, dua-duanya menganggap dia yang enar.
Misalkan tadi kita sudah bicarakan ada anak-anak yang haus kuasa, karena pada masa kecil dilindas oleh orangtua yang menggunakan kuasa secara berlebihan. Kalau dua-duanya berasal dari keluarga yang sama, maka dua-duanya akan haus kuasa, berebutan kuasa terus. Atau dua-duanya berasal dari latar belakang keluarga di mana orangtua bermasalah sehingga sejak kecil mereka didelegasikan kuasa sehingga mereka menjadi orang-orang yang dominan. Dua-duanya bergabung dalam satu rumah tangga, tidak bisa tidak tanduk dengan tanduk akan beradu, tabrakan terus-menerus. Dalam kondisi seperti ini, perebutan kuasa seperti ini akan berdampak pada anak, misalkan yang terutama adalah anak-anak akan terhimpit. Secara harafiah anak-anak ini akan hidup di dalam kesesakan, karena orangtua ribut, beradu pandang terus-menerus, sehingga setelah dia mulai besar dia rawan stres. Ada ketegangan sedikit dia ambruk, beban seringan apapun akan membuat dia tertekan, dia tidak tahan. Sebab dia harus menyaksikan dan menjadi bagian dari perebutan kuasa di rumahnya itu.PG : Anak yang menjadi korban, dia harus berada di tengah-tengah, menyaksikan orangtua. Kadang-kadang tanpa dia mau, dia dilibatkan, ditarik ke sisi ibu, kadang-kadang ditarik ke sisi ayah. Iniah yang membuat dia kalau sudah besar rawan sekali terhadap stres, dia berusaha menghindar dari konflik, dia tidak tahan dengan konflik.
Mendengar konflik ciut nyalinya, mendengar orang membentak ciut nyalinya, kalau ada orang suaranya mulai meninggi dia rasanya mulai tegang. Ini salah satu dampaknya, dampak yang lain adalah karena orangtua beradu pandang tidak ada yang mau mengalah, anak-anak ini berumbuh besar sering kali memiliki kebingungan. Jadi kalau kita meminta dia mengambil keputusan, kecenderungannya adalah dia tidak bisa, dia akan diombang-ambingkan terus-ke kiri ke kanan akhirnya bingung. Untuk hal-hal yang sederhana pun dia akan memerlukan waktu yang lebih panjang untuk memutuskan karena pikirannya mudah kalut.PG : Kalau anak ini nantinya dianggap bersekutu dengan salah satu orangtua dan si orangtua memang membutuhkan dukungan si anak, ada kemungkinan si orangtua akan lebih siap mendengarkan masukan i anak.
Jadi si anak bisa menasihati orangtuanya, kalau ini terjadi di usia remaja bukan si anak pada usia yang masih kecil. Berarti kalau konflik orangtua sudah berjalan sejak si anak kecil, si anak itu harus hidup dalam keterhimpitan ini selama belasan tahun dan ini cukup untuk membuat dia menjadi orang yang rentan terhadap stres dan sangat mudah bingung dalam pengambilan keputusan.PG : Kalau keluarga itu anaknya sedikit tidak ada masalah Pak Gunawan, tapi gejala-gejala yang tadi kita bicarakan bisa terjadi dalam keluarga yang besar. Sebetulnya belum tentu ada masalah di ntara orangtua, bisa jadi hubungan orangtua baik, orangtua juga membesarkan anak dengan baik.
Tapi ini cukup sering terjadi yaitu anak-anak yang dibawah misalkan nomor 8, 9 atau 10 akhirnya ketinggalan kereta. Artinya karena anak-anak yang lebih tua itu sudah besar, orangtua memberi banyak perhatian kepada anak-anak yang lebih besar. Karena anak-anak yang lebih besar bisa minta, bisa ngomong, bisa mengemukakan pendapatnya sehingga orangtua sudah langsung tersedot pada anak-anak yang lebih besar itu. Akibatnya anak-anak yang di bawah, yang kecil-kecil itu akhirnya tertinggal, luput diperhatikan oleh orangtua. Di pihak orangtua menganggap bahwa mereka baik-baik saja sebab mereka telah mendidik anak-anak dengan baik, misalkan ada tujuh anak, 1-5 semuanya baik-baik saja dan mereka usianya makin tua juga, pada saat anak-anak nomor 6 dan 7 muncul mereka tidak terlalu kuat lagi, mungkin sudah banyak dipusingkan oleh hal-hal lain di luar rumah. Atau lebih dipusingkan oleh anak-anak nomor 1-5, banyak kebutuhan-kebutuhan yang harus dipikirkan, sehingga yang nomor 6 dan nomor 7 ketinggalan. Apa dampaknya? Dampaknya adalah anak-anak ini kurang diperhatikan sehingga akhirnya merasa tidak punya kuasa. Dia berbicara sedikit, kakak-kakaknya bilang: "Ah......kamu diam tidak tahu apa-apa, anak kecil, mau berbuat apa; jangan, tidak boleh ini tidak boleh." Nah anak-anak yang kecil-kecil itu di dalam keluarga besar sering kali terlindas sehingga tidak berkesempatan mengembangkan kuasa dalam hidupnya.PG : Sering kali begitu, karena memang anak yang nomor satu sampai nomor tiga itu lebih nyata di depan mata si orangtua dan lebih bisa menyuarakan kebutuhannya dan menuntut perhatian dari si orngtuanya, sehingga yang kecil itu hanya mengekor dari belakang, dan memang tertinggal.
PG : Betul, makanya ada kecenderungan yang sulung itu nanti kepercayaan dirinya lumayan kuat karena dari kecil diberikan tanggung jawab dan kepercayaan yang besar itu. Namun anak-anak yang di bwah itu sering kali akhirnya tertinggal, setelah dewasa anak-anak yang kecil ini cenderung mengembangkan kepercayaan diri yang lemah.
Kenapa lemah, sebab apa yang dikatakannya tidak ditanggapi, tidak didengarkan oleh kakak-kakaknya dan orangtuanya pun lebih mendengarkan kakak-kakaknya sebab masih dianggap anak kecil belum tahu apa-apa. Nah ini berdampak pada si anak, dia sepertinya tenggelam saja, tidak mempunyai suara di rumah. Eksistensinya menjadi tidak nyata. Pada akhirnya karena anak-anak ini kalau di rumah mereka tidak didengarkan, cenderung menyimpan apa yang dia pikirkan, apa yang dia rasakan, akhirnya dia simpan sendiri, dia tidak bicarakan dengan orang lain. Apakah dia mempunyai kebutuhan, ada tapi dia tidak suarakan, dia simpan sendirian, sebab kalau dia suarakan pun tidak ditanggapi. Daripada dia kecewa, marah kesal, tidak ditanggapi, dia simpan semuanya. Kecenderungannya anak-anak ini setelah besar memiliki pola yang sedikit sama yaitu perasaannya cenderung datar, orang ini seolah-olah tidak ada naik-tidak ada turun, perasaannya datar saja. Dan pemahaman akan dirinya cenderung terbatas, inilah tipe orang yang saya katakan dia hidup namun tidak sungguh-sungguh mencicipi hidup, hanya asal mengalir saja.PG : Saya kira sama, jadi biasanya yang besar-besar itu yang lebih menikmati haknya, kepercayaan dari orangtua dan sebagainya, yang kecil-kecil itu akhirnya menjadi ekor.
PG : Mengingat bahwa masalah utamanya adalah anak-anak ini berkembang tidak memiliki kuasa atas hidupnya, upaya penyelesaian harus difokuskan pada pembangunan kuasa yang sehat dalam diri anak, ni yang menjadi fokus kita.
Sebagai contoh konkret, saya akan memberikan beberapa saran: pertama, kuasa itu diberikan kepada anak lewat pujian, lewat pengakuan apa yang diperbuat oleh anak. Dengan kata lain pada dasarnya anak perlu dilihat, ini kuncinya namun inilah yang terhilang pada masa kanak-kanaknya. Itu sebabnya kita harus memberinya pengakuan dan pujian agar ia mengetahui kekuatannya dan merasakan adanya kuasa atas dirinya. Dia tidaklah selemah itu, dia mempunyai sesuatu, dia mempunyai daya dan daya ini diperoleh dari tanggapan-tanggapan orang di sekitarnya. Jadi kalau kita dekat dengannya, atau kita orangtuanya dan kita sadari kelemahan kita, mulailah kita mengubahnya, kita memberdayakan anak, menciptakan kuasa dalam dirinya, dengan cara melihatnya. Dan melihat itu dibuktikan oleh tanggapan-tanggapan kita yang positif kepadanya. Ini yang akan memberikan kekuatan atau kuasa kepada si anak.PG : Seharusnya begitu, sehingga dia tidak menjadi tokoh yang terlalu dominan, dan akhirnya melindas adik-adiknya. Dan bukankah ini baik pula untuk adik-adiknya jangan sampai akhirnya dia tidakbisa melepaskan kuasa itu dan membaginya dengan orang lain, atau dalam hal ini dengan adiknya.
PG : Sudah tentu dituntut inisiatif dari dirinya sendiri pula, jangan sampai dia hanya secara pasif menunggu orang untuk mendorongnya melakukan sesuatu.
PG : Saya kira anak-anak ini harus bisa membedakan bagaimana menggunakan kuasanya kepada orang-orang di luar, jangan sampai dia akhirnya tidak ada batasnya, sembarangan dengan orang, sehingga ahirnya orang-orang bisa melindasnya, bisa menindihnya.
Atau kebalikannya dia dengan orang lain cenderung menindihnya, melindasnya sembarangan. Ini berkaitan dengan contoh berikutnya yang ingin saya bagikan, bagaimanakah kita bisa menolong anak-anak yang sudah kehilangan kuasa. Yaitu kita memberi kuasa lewat yang saya sebut batas atau pagar. Pagar atau batas maksudnya adalah anak ini perlu mengetahui bahwa orang menghormati batas dirinya dan tidak akan masuk tanpa seizinnya. Kita perlu menolong anak ini mengembangkan kemampuan berkata 'tidak' kepada orang lain, jangan sampai dia tidak mempunyai kemampuan untuk berkata 'tidak'. Apa yang orang minta selalu dia harus turuti, apa yang orang harapkan dia selalu harus penuhi; kita harus menolongnya mengembangkan pagar-pagar ini pada orang lain, sehingga orang tidak sembarangan melindasnya. Kita menolongnya mengetahui dan mempertahankan apa yang diinginkannya dan apa yang tidak diinginkannya. Dia mesti belajar untuk bisa berkata, "ini tidak saya sukai atau ini saya sukai atau ini tidak saya inginkan atau ini saya inginkan." Dengan cara itu si anak memang mulai mendirikan pagar di sekelilingnya sehingga dialah yang mempunyai kuasa membuka pintu untuk orang lain masuk dan kalau dia tidak mau orang lain masuk, dia juga mempunyai kuasa untuk berkata: "Maaf, saya tidak ingin engkau masuk ke dalam hidupku."PG : Merasa kecewa, dia merasa juga apa gunanya dia mempunyai lemari, dia mempunyai pintu tapi orangtua tetap saja seenaknya masuk, keluar, menginjak-injak dirinya. Memang ada anak-anak yang haus perasaannya akan terus terima dan diam saja, walaupun dia sangat tertekan dan tertusuk tapi akan ada anak-anak yang tidak terima perlakuan seperti itu dia makin menyembunyikan dirinya, dia makin membuat dirinya itu penuh dengan kerahasiaan.
Ini menjadi tidak sehat karena berarti tinggal selangkah lagi dia akan mulai berbohong kepada kita.PG : Tidak Pak Gunawan, kita harus memberikan kuasa dengan terbatas. Saya ingin menggunakan istilah pambatasan yaitu dia perlu memperhatikan ruang geraknya sendiri, sehingga tidak seenaknya mask ke dalam ruang kehidupan orang lain.
Dia harus menyadari bahwa orang lain pun mempunyai pagar pemisah dan bahwa dia harus menghormatinya. Dalam kasus yang tadi kita bicarakan, anak yang dipromosikan di usia dini sehingga dominan sekali maunya menguasai orang, ini contoh bahwa anak ini tidak mengenal batas. Sebab orangtua tidak menerapkan pembatasan pada dirinya, malahan berlomba memberikan kuasa kepadanya, sehingga dia nanti dengan enak keluar-masuk rumah orang, menginjak-injak orang, tidak peduli dengan perasaan orang, ini akan menjadi problem tersendiri dalam hidupnya kelak.PG : Betul kalau tidak, dia akan hanya memikirkan haknya dia, dia mempunyai kuasa, dia mempunyai hak, dia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan. Dengan kita memberikan pembatasan dia akan brhenti dan salah satu bukti atau contoh konkret pembatasan adalah tanggung jawab.
Dengan dia belajar bertanggung jawab, dia belajar membatasi dirinya, sehingga dia tidak lagi menjadi orang yang semaunya.PG : Betul sekali, dan malangnya Pak Gunawan saya harus akui bahwa kadang kala ada rumah tangga yang seperti ini Pak Gunawan. Anak-anak sudah akil baliq, sudah dewasa, sudah mempunyai keluarga endiri tapi ada orangtua yang tidak mau mengerti itu.
Sampai usia seberapapun mereka itu tetap merasa berkuasa atas anak-anaknya, kehendak mereka benar-benar seperti titah raja yang harus dipatuhi oleh anak. Saya kira ini tidak benar, kasihan pada anak-anak ini, kalau mereka melawan nanti melukai orangtua; tidak melawan-tertekan luar biasa. Maka kembali kepada kita orangtua, kita mesti tahu pagar kita atau batas kita, jangan kita seenaknya kepada anak-anak kita.PG : Betul Pak Gunawan, ini memang menuntut kebesaran hati seorang ayah atau ibu, karena berarti kuasa atas dia pun berkurang. Intinya itu, waktu kita memberikan kuasa kita kehilangan kuasa itu sebab berarti kita sekarang berkata: "Ok, saya menghormati dan akan juga mendengarkan apa yang harus engkau katakan."
Tapi itulah yang memang seharusnya terjadi, sehingga setelah nanti kita semua sudah tua dan anak-anak sudah dewasa, kita berdiri sama tinggi sama rendah, saling menghormati satu sama lain.PG : Betul sekali Pak Gunawan.
PG : Nah ini saya kira langsung terapkan pada firman Tuhan, saya akan bacakan Kisah Para Rasul 1:8, "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi sksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi."
Kuasa di sini adalah kuasa rohani. Kuasa rohani adalah kuasa untuk melakukan dan menggenapi pekerjaan Tuhan di bumi ini. Dan kita harus kembali pada perspektif semula ini, Tuhan memberikan kuasa rohani agar kita bisa melakukan dan menggenapi pekerjaan-Nya di dunia selama kita masih ada. Jadi kita sebagai orangtua pun harus melihat dari perspektif yang sama, kita mau menciptakan kuasa pada anak-anak, namun kita harus ingat kuasa yang sehat adalah kuasa yang juga rohani. Di mana anak-anak juga melihat orangtua saleh, orangtua rohani dan itulah kuasanya orangtua, dan si anak melihatnya nanti si anak juga menyerap, mengembangkan kehidupan rohani yang sehat sehingga mereka pun mempunyai kuasa rohani. Akhirnya semua bisa melaksanakan kehendak Tuhan di bumi ini selama kita masih ada di sini. Kita kembali pada payung yang Alkitab sudah tetapkan. Kita tahu bahwa kuasa dari Tuhan hanya dapat diperoleh dari kehidupan yang berserah penuh kepadanya, kita tidak bisa menerima kuasa kalau kita tidak mau taat dan patuh kepadaNya, kita harus berserah kepadaNya. Nah dengan kuasa Tuhan kita dapat melakukan pekerjaan Tuhan, sebab bukankah itu adalah tujuan Tuhan menempatkan kita di dunia ini.PG : Ya memang mereka diberikan kuasa untuk dapat mengatur, mengelola isi alam semesta ini dan sekali lagi kuasa itu dari Tuhan. Orangtua pun juga menerima kuasa dari Tuhan, dan mereka harus meggunakan dengan tepat sehingga anak-anak dapat bertumbuh kembang memiliki kuasa juga tapi kuasa yang tepat dan proporsional.
PG : Betul, jadi mereka pun harus berhati-hati sebab mereka tahu Tuhan memberi berarti Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban. Dan sekali lagi kita ingat, tujuannya kuasa itu bukannya untuk menominasi, untuk menguasai orang lain, tapi pada akhirnya kuasa adalah untuk melakukan pekerjaan Tuhan, supaya pekerjaan Tuhan terlaksana dengan efektif.
Itu saja tujuan akhirnya.GS : Terima kasih Pak Paul, saya percaya perbincangan ini akan sangat berguna bagi orangtua maupun bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masalah Kuasa dalam Keluarga" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
19. Bantal Keluarga 1 | |
Dibahas tentang prinsip ekuilibrium yaitu keseimbangan antara saling mengakomodasi dan saling membangun. Mengakomodasi ialah menoleransi dan menerima "kelemahan" pasangan dan anak. Membangun ialah melakukan hal-hal yang "menyenangkan" hati pasangan dan anak.
Prinsip Ekuilibrium Keseimbangan antara saling mengakomodasi dan saling membangun.
Mengakomodasi Menoleransi dan menerima "kelemahan" pasangan dan anak.
Membangun Melakukan hal-hal yang "menyenangkan" hati pasangan dan anak. Inilah bantal keluarga!
Tujuh Prinsip Membangun Bantal Keluarga (Efesus 4:25-32)
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Bantal Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Sebelum saya menjawab hal itu, saya harus menjelaskan terlebih dahulu tentang dua konsep yang nanti akan kita angkat. Yang pertama, konsep menoleransi atau mengakomodasi. Yang saya maksu dengan konsep mengakomodasi atau menoleransi adalah kita menerima kelemahan pasangan atau anak kita.
Akan ada hal-hal tentang pasangan atau anak kita yang tidak kita sukai. Keluarga mesti juga didirikan di atas akomodasi atau penerimaan ini, kita tidak bisa terus-menerus menuntut baik pasangan atau anak kita menjadi seperti yang kita harapkan, mesti ada yang kita terima, mesti ada yang tidak kita persoalkan. Konsep kedua yang juga ingin saya angkat adalah konsep membangun. Membangun artinya kita harus melakukan hal-hal yang menyenangkan hati pasangan atau anak kita. Atau kalau kita adalah anak melakukan hal-hal yang menyenangkan hati orangtua kita. Inilah yang saya maksud dengan bantal keluarga, dan kenapa saya menyebutnya bantal sebab hal-hal yang kita lakukan atau perbuatan-perbuatan kita yang menyenangkan hati baik pasangan maupun anak itu akan menjadi bantal tatkala konflik muncul. Misalkan sewaktu kita sedang bertengkar, kalau tidak ada bantalnya atau dengan kata lain jarang kita ini menerima hal-hal yang kita inginkan dari pasangan; kemarahan kita tatkala konflik akan lebih mudah berkobar. Tapi kalau misalkan kita mempunyai cukup banyak bantal, karena banyak hal-hal yang dilakukan oleh pasangan kita yang baik, yang menyenangkan hati kita; waktu kita konflik meskipun kita marah-kemarahan kita otomatis tidak akan terlalu besar karena memang sudah ditutupi oleh bantal tersebut.PG : Betul, Pak Gunawan. Bantal itu sesuatu yang nyaman, yang enak, kita bisa meletakkan kepala kita di atasnya, sesuatu yang menyenangkan, sekaligus bantal itu juga mengganjal. Jadi itulah fngsi bantal dalam keluarga, yang saya maksud di sini adalah perbuatan-perbuatan yang nyaman, yang meneduhkan hati, yang membuat hati pasangan atau anak bersukacita.
Ini menjadi hal-hal yang membahagiakan sekaligus menjadi penghalang atau menjadi ganjalan tatkala masalah harus muncul, konflik harus terjadi. Akibatnya marah kita atau kefrustrasian kita tidak melebar, tidak berkobar menjadi besar.PG : Sudah tentu kita harus akui bahwa kita ini selektif dalam menoleransi. Ada hal-hal yang bisa kita toleransi, misalkan suami menoleransi nilai-nilai yang tidak terlalu baik dari anaknya. Tidak apa-apa mendapat 6, mendapat 5," tapi bisa saja istri tidak bisa menerima hal tersebut.
Istri akan meminta anak atau menuntut anak untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Memang kita tidak sama dalam hal menoleransi, biasanya ini juga dipengaruhi oleh latar belakang kita. Kalau kita dari kecil dituntut untuk berprestasi tinggi, cenderung dalam hal ini kita kurang begitu bisa untuk menerima kelemahan anak kita atau pasangan kita. Jadi waktu kita berkata kita mencoba untuk menoleransi, sudah tentu standar yang harus kita gunakan bukan saja standar kita tapi orang lain yaitu istri, suami atau anak kita. Kita juga mesti melihat apakah memang dia berusaha, apakah memang ini sesuatu yang sukar untuk dia lakukan, kalau kita melihat dia berusaha namun sesuatu yang sukar dia lakukan, otomatis toleransi kita mesti bertambah. Jadi kita mendasarinya bukan atas standar kita, sebab mungkin saja standar kita terlalu tinggi atau tidak sama, kita mesti kembali lagi kepada orang tersebut. Kita mesti ingat latar belakangnya, misalnya pasangan kita memang biasa dituntut seperti itu oleh orangtuanya yaitu belajar, belajar dan belajar, sehingga sukar bagi dia untuk melihat prestasi anak kita tidak seperti yang kita inginkan. Nah kita jangan langsung marah, menyerang pasangan kita dan berkata, "Kamu kejam kepada anak." Kita harus memahami kenapa dia seperti itu, itulah standarnya dan karena itulah latar belakangnya. Jadi kita di sini pun mencoba menerima kenapa pasangan kita seperti itu tapi setelah itu kita berkata pada pasangan kita, "Ayo sekarang kita lihat anak kita, ayo kita lihat kemampuannya, ayo kita lihat apakah tuntutan kita ini menambah stres yang berlebihan kepadanya, apakah ini sesuatu yang kita inginkan dari anak kita; melihat dia tertekan seperti ini." Barulah setelah itu kita bernegosiasi dengan pasangan kita.PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi dua-dua baik kita maupun pasangan pertama-tama memang harus berbicara, dan dalam pembicaraan kita harus mengkomunikasikan pemahaman kita; kenapa pasangan kit menuntutnya seperti ini tapi setelah itu kita mesti melihat kembali anak kita, misalkan ini berkaitan dengan anak; apakah memang sesuatu yang bisa dilakukannya ataukah ini justru menimbulkan tekanan yang terlalu besar baginya.
Kita mesti duduk bersama, mengkompromikan bahwa kita tidak bisa menuntut anak seperti itu lagi.PG : Kita akan melihat sekurang-kurangnya ada 7 ayat, mungkin pada kesempatan ini kita hanya bisa membahas beberapa dari 7 ayat ini. Yang pertama saya akan ambil dari Efesus 4:25, "Karena itu uanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota."
Bantal pertama yang kita harus ciptakan dalam keluarga kita adalah kita mesti berkata benar, artinya tidak boleh ada kebohongan di dalam relasi kita. Sudah tentu ini diawali oleh relasi orangtua, kalau suami-istri tidak mempunyai hubungan yang harmonis, sering ada dusta-sukar kita mengharapkan atau menuntut anak-anak untuk berkata benar kepada kita. Memang ini harus dimulai dari kita sebagai orangtua yaitu berkata benar, artinya apa? Benar-benar kita mesti berdisiplin diri mengatakan yang benar apapun konsekuensinya. Kita jangan memulai dengan dusta-dusta kecil. Betapa banyaknya rumah tangga yang akhirnya disusupi dosa tapi malangnya diawali oleh dusta-dusta kecil itu. Jadi biasakanlah kita sebagai suami dan istri kita berkata benar kepada satu sama lain. Mungkin akan ada yang bertanya, tapi bagaimana kalau gara-gara berkata benar kita bertengkar? Kalau itu adalah konsekuensinya gara-gara kita mengatakan yang benar, ya tidak apa-apa.PG : Ada orang-orang tertentu yang dibesarkan dalam latar belakang seperti ini. Mereka sering kali diancam, penuh dengan ketegangan dan ketakutan; kalau melakukan kesalahan pasti nanti dipukuloleh orangtua dan dipukulnya dengan berlebihan sehingga akhirnya mereka belajar untuk berdusta.
Sebab kalau mengatakan yang benar, konsekuensinya terlalu berat, atau mereka dituntut untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka capai dan kalau tidak bisa mencapainya akan ada konsekuensi yang berat. Nah supaya bisa menyelamatkan diri, anak-anak ini mulai berbohong, seolah-olah mencapai apa yang dituntut oleh orangtuanya, itu akhirnya mereka menjadi pembohong. Yang berikutnya ada anak-anak yang mau banyak hal tapi tidak bisa punya, mungkin karena keadaan ekonomi. Akhirnya anak-anak ini mulai berdusta untuk mendapatkan sesuatu. Meminta uang, bilangnya untuk uang sekolah padahalnya untuk membeli sesuatu. Jadi karena tekanan ekonomi berdusta pada orangtua untuk mendapatkan uang supaya bisa membeli apa yang diinginkannya. Apa pun itu yang menjadi masalah adalah kalau tetap dibawa sampai usia dewasa ini akan menjadi problem, dan ada orang-orang yang akhirnya tidak lagi mempunyai hati nurani. Tatkala berdusta dia tidak lagi merasa bersalah, sama sekali tidak lagi merasa bersalah. Benar-benar dengan wajah yang penuh ketulusan dia bisa mengatakan sesuatu yang adalah dusta. Bagaimana kita menghadapi orang yang seperti ini? Kita tidak bisa tidak harus memperhadapkan dia dengan fakta, nomor dua dengan orang yang cenderung berdusta kita tidak usah terlibat dalam perdebatan, yang penting kita hadirkan fakta setelah itu kita katakan kepadanya, "Kita tidak usah berdebat, fakta sudah berbicara; kamu tidak usah lagi membela diri." Jadi kita biasakan tidak lagi memperpanjang karena itulah yang dia inginkan, dia ingin bisa membenarkan dirinya, memutarbalikkan fakta dan sebagainya. Tidak demikian, selama kita bisa temukan faktanya, kita hadirkan di matanya. Berarti kita harus memberikan konsekuensi, pada akhirnya mungkin kita akan berkata kepadanya, "Saya tidak bisa mempercayakan kamu tentang hal ini, saya tidak bisa mempercayakan kamu dengan hal itu." Mengapa? "Sebab saya tidak bisa lagi mengetahui sesungguhnya apa yang terjadi, sebab apa pun yang kamu katakan berkemungkinan berisikan dusta." Jadi kita juga beritahukan konsekuensinya akibat dustanya itu.PG : Kalau orang sudah mulai mempunyai prinsip tidak apa-apa berdusta, tinggal tunggu waktu dia akan berdusta besar. Jadi dalam hidup yang mesti kita tekankan adalah kita berkata jujur. Kenap saya sebut ini bantal, kenapa ini berkaitan sekali dengan aspek nyaman dan aspek mengganjal.
Karena tatkala kita mengalami konflik baik dengan anak maupun dengan pasangan, kalau sudah ada keterbukaan dan kita tahu baik pasangan maupun anak kita mengatakan yang benar maka konflik akan lebih mudah terselesaikan. Bayangkan seperti ini, kita tidak bisa percaya kepada anak karena anak kita sering berbohong, akhirnya waktu terjadi sesuatu dan konfrontasi anak dia menyangkal-kita tambah marah. Mungkin saja saat itu anak kita berkata benar, tapi karena terlalu sering dia berbohong, saat itu sewaktu kita mengkonfrontasinya kita tidak lagi memberi kepercayaan kepadanya. Dia marah karena tidak dipercaya sebab kali ini dia benar-benar berkata yang benar. Kita juga tidak terima sebab kita tidak ada bukti dia mengatakan yang benar, akhirnya pertengkaran menjadi lebih besar. Atau dengan pasangan juga sama, tapi kalau anak kita biasanya berkata jujur kemudian ada sesuatu terjadi, kesalahpahaman muncul kita tanya dia dan dia menjawab, dan jawabannya itu kita terima sebagai kebenaran maka berhentilah konflik. Sama dengan pasangan juga, kita tanya pasangan kita dia menjawab kalau kita sudah percaya kepadanya sebab dia selalu berkata jujur di masa lampau maka kita akan menerima jawabannya itu dan kita akan sudahi kecurigaan kita.PG : Paulus membahas dari konteks kita adalah anggota tubuh Kristus. Apakah sesama anggota tubuh akan saling melukai satu sama lain, bukankah logikanya tidak. Tangan kiri kita tidak mau meluki tangan kanan kita, jari kita tidak akan mau melukai biji mata kita, jadi anggota tubuh tidak akan dengan sengaja mau melukai diri kita.
Kita mesti menyadari bahwa pasangan dan anak adalah satu dengan kita. Kita ini satu keluarga, satu tubuh masakan satu tubuh saling melukai, saling mendustai, tidak mungkin dan tidak seharusnya, maka kita harus ingat firman Tuhan ini. Bukan satu tubuh dalam pengertian anggota tubuh di dalam gereja, tapi kita dalam keluarga satu tubuh Kristus pula maka kita harus menjaga relasi ini dengan cara tidak mendustai atau melukai satu sama lain. Ini adalah pangkal yang sangat penting, kalau kita sekarang berbicara dengan orang-orang yang mengalami problem dalam rumah tangga mereka dan pasangan mereka berdusta berkali-kali di masa lampau, mereka pasti akan berkata kepada kita, "Betul, gara-gara terlalu banyak berdusta, tidak pernah ada yang benar yang mereka katakan, bagaimana sekarang kami bisa percaya." Akhirnya masalah tidak bisa selesai sebab apapun yang dikatakan oleh seseorang atau oleh pasangannya dia akan berkata saya tidak percaya, atau kebalikannya orangtua terlalu sering berdusta dan anak tidak bisa lagi pegang omongan orangtua, apapun yang orangtua katakan sekarang-anak tidak mau lagi mempercayainya. Jadi benar-benar kalau tidak ada kebenaran maka tidak ada bantal, berarti tidak ada yang dibahagiakan dan nomor dua kalau ada konflik, konflik itu benar-benar bisa meledak besar.PG : Bantal berikutnya adalah di Efesus 4:26,27, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa; janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepaa iblis."
Ayat ini berbicara langsung tentang emosi. kita tahu salah satu emosi yang benar-benar berkekuatan tinggi adalah emosi marah. Maka firman Tuhan meminta kita untuk mengelola emosi marah kita dengan baik, jangan sampai kita dikuasai oleh emosi marah ini. Alkitab tidak melarang kita untuk marah, firman Tuhan meminta kita untuk menguasainya, mengaturnya, maka firman Tuhan berkata, "waktu marah jangan berdosa." Artinya jangan waktu marah kita mengatakan hal-hal yang malah menghancurkan orang, menghina orang; boleh ungkapkan kemarahan tapi jangan serang orang, menghina orang, mencaci maki orang, menjatuhkan orang, jangan itu yang dilakukan. Katakanlah, saya marah, saya kecewa dan sebagainya tapi jangan langsung mengumpat-umpat orang, itu melewati batas dan masuk ke dalam dosa. Prinsip berikutnya yang firman Tuhan katakan tentang emosi marah adalah jangan berikan kesempatan kepada iblis. Bagaimanakah kita bisa memberikan kesempatan kepada iblis? Sewaktu kita membiarkan emosi marah itu berkobar terus. Kita jangan sengaja menambahkan minyak ke emosi marah, waktu marah jangan ingat yang dulu-dulu supaya kemarahan kita tetap berkobar; jangan ingat-ingat lain kali saya tidak akan mau memaafkan kamu; justru waktu marah kita mencoba untuk bisa meredakan kemarahan kita. Makanya firman Tuhan berkata, jangan sampai kita menyimpan kemarahan ini terus sampai matahari terbenam, sebab kalau kita melakukan hal itu kita membuka diri kita untuk disusupi iblis. Iblis senang melihat kemarahan yang tak terkendali dalam diri kita, bagi iblis ini pintu masuk. Dia akan masuk, dia akan terus taburkan minyak, dia akan tuangkan minyak kemarahan sehingga kita akhirnya tidak bisa lagi menguasai diri kita. Jadi point pertama yang ingin ditekankan bagi kita di sini adalah kita mesti mengendalikan emosi kita.PG : Kita mesti melihat pasangan kita dengan tepat, ada orang yang justru kalau kita menjawab emosinya bertambah, tapi ada orang kalau kita berdiam diri dengan harapan emosinya mereda-dia tamba marah.
Maka penting kita mengenal pasangan kita atau kalau kita adalah anak-penting untuk mengenal orangtua kita. Apakah yang tepat, memberinya jawaban, menjelaskan atau yang tepat justru tidak memberikan jawaban atau penjelasan. Jadi itulah respons yang mesti kita berikan, namun sebagai pihak yang marah-waktu kita menjaga emosi kita, kita juga mesti menjaga lidah kita. Sebab kadang-kadang pihak yang dimarahi, OK-lah dia salah tapi kita yang marah ini kadang-kadang tidak bisa menjaga lidah malah akhirnya dengan lidah kita, kita membuat dia marah balik. Jadi kadang-kadang dengan lidah kita, kita memancing orang untuk bereaksi tambah marah atau benci kepada kita. Firman Tuhan meminta kita mengendalikan emosi dan lidah sebab biasanya dengan lidah dan emosi kita menghancurkan satu sama lain. Ini bantal, sebab waktu pasangan kita marah kita juga akhirnya marah, namun kalau kita menahan emosi mengendalikan lidah maka problem atau konflik itu tidak akan berkobar terlalu besar. Dan waktu kita dikenal oleh pasangan sebagai orang yang bisa mengendalikan emosi maka pasangan pun akan merasa aman waktu dia mengeluarkan uneg-unegnya. Ini penting Pak Gunawan, sebab kadang kala kita tidak berani mengutarakan kemarahan kita sebab kita tahu pasangan kita tidak bisa mendengar kemarahan kita. Waktu dia mendengar kemarahan kita, meledaklah dia dan kemarahannya berkali lipat lebih mengerikan. Susah kalau kita harus hidup dengan orang seperti itu, bagaimana kita bisa mengutarakan kemarahan sebab kemarahan dia nanti akan benar-benar besar dan mengerikan.PG : Bantal yang ketiga adalah saya ambil dari ayat 28, "Orang yang mencuri, janganlah mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, upaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan."
Ayat ini ayat yang meminta kita untuk hidup berdisiplin, makanya bekerjalah, jangan mencuri, lakukanlah pekerjaan yang baik dengan tangan sendiri. Jadi benar-benar rasul Paulus meminta kepada kita untuk hidup berdisiplin, hidup bertanggung jawab. Coba kita terapkan dalam keluarga kita, kita pun mesti memiliki hidup yang berdisiplin, misalkan tidur, makan secara teratur, bekerja dengan rajin, kita melakukan kewajiban rumah tangga. Mengapa ini penting sebab kemalasan menggerus respek, dan jika kita tidak melakukan kewajiban masing-masing, orang lain akan mengambil alih; ini menjadi awal malapetaka keluarga. Mestinya kita bekerja tapi kita tidak mau bekerja malas-malasan, akhirnya pasangan kita yang bekerja, anak kita yang harus bekerja. Waktu mereka mengambil alih tanggung jawab kita mereka juga akan mengambil alih otoritas kita. Mungkin kita tidak bisa terima, kita marah-marah tapi kita harus melihat kenapa sampai begini, kenapa sampai keluarga kita terpecah belah seperti ini. Itu gara-gara kita yang tidak mau melakukan tanggung jawab kita. Jadi penting sekali bantal keluarga hidup berdisiplin ini kita lakukan di rumah. Kalau kita mempunyai konflik dengan pasangan kita tapi kita tahu pasangan kita hidupnya berdisiplin, bekerja dengan penuh tanggung jawab dan rajin, itu sudah menjadi bantal, itu sudah menjadi respek; kita tidak terlalu menyerangnya sebab kita respek kepada dia. Tapi kalau kita tidak ada lagi respek kepadanya waktu kita bertengkar maka pertengkaran itu bisa berkobar dengan lebih besar.PG : Betul sekali, hidup berdisiplin memang terkait dengan kejujuran.
PG : Kalau itu yang terjadi, yang mesti kita tunjukkan adalah kita tetap berusaha. Misalkan kita mencari pekerjaan, kita melamar pekerjaan dan sementara belum mendapatkan pekerjaan itu kita mebantu pekerjaan di rumah.
Anak minta bantuan kita mungkin untuk menolong pelajarannya, atau membelikan apa untuk dia, misalkan membersihkan rumah, kita lakukan semua itu. Dari tindakan seperti itu pasangan kita bisa menilai, meskipun kita belum mempunyai pekerjaan, kita bukan orang malas. Jadi yang sering kali menurunkan respek adalah sewaktu orang melihat kita tidak berusaha. Itulah nanti yang membuat orang berpikir kita malas, waktu kita dicap malas respek memang sudah langsung merosot.GS : Rupanya kita harus mengakhiri perbincangan ini walaupun baru kita bicarakan tiga dari tujuh bantal yang Pak Paul sudah siapkan ini. Jadi selain kita harus berkata benar, kita juga harus mengendalikan emosi dalam kemarahan dan juga mencuri. Masih ada empat bantal lagi yang akan kita bicarakan pada kesempatan yang akan datang. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bantal Keluarga" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
20. Bantal Keluarga 2 | |
Lanjutan dari T197A
Prinsip Ekuilibrium Keseimbangan antara saling mengakomodasi dan saling membangun.
Mengakomodasi Menoleransi dan menerima "kelemahan" pasangan dan anak.
Membangun Melakukan hal-hal yang "menyenangkan" hati pasangan dan anak. Inilah bantal keluarga!
Tujuh Prinsip Membangun Bantal Keluarga (Efesus 4:25-32)
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu yaitu tentang "Bantal Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Ada dua konsep yang ingin saya perkenalkan di sini. Yang pertama adalah mengakomodasi, mengakomodasi artinya menoleransi atau menerima kelemahan baik itu pasangan maupun anak. Artinya kia mesti belajar hidup dengan kekurangan baik itu dari pihak anak maupun pasangan.
Tidak selalu kita bisa menuntut, mengharapkan pasangan kita menjadi seperti yang kita harapkan. Bagian kedua adalah kita juga mesti dapat membangun satu sama lain. Membangun artinya melakukan hal-hal yang menyenangkan hati baik itu hati pasangan maupun anak, kalau kita dipihak anak berarti kita melakukan hal-hal yang menyenangkan hati orangtua kita. Nah konsep membangun inilah yang saya identikkan atau yang saya gunakan saat ini adalah konsep bantal keluarga. Bantal, kita tahu bersifat nyaman, menyenangkan hati tapi sekaligus bantal itu menopang atau mengganjal kepala kita atau kalau kita jatuh kemudian ada bantal di bawah kita tidak akan terlalu merasa sakit karena ada faktor mengganjalnya itu. Kita sudah membahas pada pertemuan yang lalu bahwa ada hal-hal yang dapat kita lakukan untuk menciptakan bantal-bantal tersebut dalam keluarga kita. Dari Efesus 4:25 dan seterusnya kita telah memetik tiga bantal. Yang pertama adalah bantal kejujuran, kita mesti jujur satu sama lain sebab kalau kita mulai berdusta maka dusta itu nantinya akan menggerogoti relasi kita, tidak ada yang senang dibohongi. Dan yang kedua kalau kita menghadapi konflik dan kita dikenal sebagai orang yang berbohong maka apa pun yang kita katakan tidak dipercaya dan itu akan menambah besarnya masalah. Yang berikutnya adalah kita juga harus menjaga diri dalam hal pengendalian emosi, firman Tuhan meminta kita untuk mengendalikan kemarahan kita. Kalau dikenal sebagai orang yang bisa mengendalikan emosi, waktu kita menghadapi konflik pasangan kita pun juga akan merasa aman. Dia tahu kita ini tenang, kita bisa mengendalikan emosi kita, dan dengan adanya pengendalian emosi maka masalah juga sukar untuk menjadi besar. Yang ketiga yang telah kita bahas adalah hidup berdisiplin, Alkitab meminta agar kita bekerja dengan tangan kita sendiri, kita hidup rajin. Ini menimbulkan rasa respek kalau pasangan atau anak melihat kita hidup berdisiplin, bertanggung jawab, rajin maka ini akan membuahkan respek. Dan respek adalah bantal, sebab ketika ada konflik atau kita bertengkar, pasangan masih mempunyai respek atau anak masih mempunyai respek kepada kita. Respek itu menjadi bantal yang mengganjal sehingga problem tidak berkembang menjadi lebih besar.PG : Kita bisa diperbaharui tatkala kita, yang pertama benar-benar memasukkan firman Tuhan ke dalam hidup kita. Jadi kita tidak mungkin diperbaharui kalau firman Tuhan tidak ada di dalam hati ita.
Benar-benar harus berdisiplin mempelajari firman Tuhan, mengenal Tuhan lewat firman-Nya. Kedua, kita hanya bisa diperbaharui apabila kita mulai mengambil langkah menaati yang Tuhan minta. Misalkan waktu Tuhan berkata kita harus mengendalikan emosi kita, kalau menjadi marah janganlah berbuat dosa, kita patuhi. Biasanya dulu kalau kita marah kita langsung kutuk, caci maki pasangan kita, sekarang kita ingat itu dosa. Kita boleh marah dan katakan bahwa kita marah tapi tidak boleh kita menghina orang, menghancurkan orang; kita mesti taati itu, waktu kita taati-kita menjadi manusia yang diperbaharui, kita menjadi berbeda dari sebelumnya.PG : Betul sekali, dan ini memang diperlukan kemauan atau langkah pertama, kalau kita sudah mengambil langkah pertama itu maka langkah berikutnya akan lebih mudah, Tuhan pasti menolong kita tap memang Tuhan menantikan kita mengambil langkah pertama.
Langkah yang berkata, "Tuhan, saya mau." Waktu kita berkata, "Tuhan, saya mau" dan kita mulai mencoba, dimulailah proses transformasi, proses pengubahan diri.PG : Firman Tuhan di Efesus 4:29 berkata, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh kasih karunia."
Kata di mana perlu berarti sesuai dengan kebutuhannya. Jadi prinsip yang bisa kita tarik dari ayat ini adalah kita mesti mengenali kebutuhan pasangan dan kebutuhan anak-anak kita. Kemudian penuhilah, untuk apa? Untuk membangun satu sama lain. Dengan kata lain kita di sini mempelajari satu konsep kalau kita mau membangun kita harus tahu kebutuhan pasangan dan anak kita. Kita hanya bisa membangun kalau kita benar-benar menyuplai apa yang menjadi kebutuhan pasangan dan anak kita. Misalkan pasangan kita membutuhkan dorongan-dorongan; doronganlah yang kita berikan, makin banyak dorongan yang kita berikan makin dibangunkanlah dia. Misalkan anak kita sangat memerlukan dorongan sebab dia mengalami kesulitan dalam pelajaran di sekolahnya, kita berikanlah dorongan. Kita katakan, "Saya menghargai kamu telah belajar sebaik-baiknya, saya tahu ulangannya susah jadi hasil kamu seperti ini. Saya bisa mengerti, sebab saya melihat kamu sudah mencoba dengan sekuat tenaga." Omongan-omongan yang membangun itu akan membangun orang, karena pas masuk memenuhi kebutuhan orang-orang.PG : Betul, jadi standarnya memang bukan diri kita tapi orang lain dalam hal ini pasangan atau anak-anak kita. Kalau memang yang dibutuhkan kasih sayang-kasih sayanglah yang kita berikan, dengn cara memberikan perhatian kepada pasangan atau anak kita.
Misalkan kita tahu pasangan kita harus menghadapi tugas yang berat, waktu dia pulang kita tanya, "Bagaimana hasilnya, tadi saya mendoakan kamu." Misalkan anak kita harus mengambil ujian, kita tanya bagaimana hasilnya, bagaimana tadi ujian; dengan cara seperti itulah bahwa kita memperhatikan mereka, bahwa kita mengasihi mereka. Atau kita mengatakan kata-kata seperti, "Saya sayang kepada engkau, kamu adalah orang yang sangat berharga dalam hidup saya." Perkataan itu akan membangun orang yang membutuhkan untuk mendengar kata-kata seperti itu. Maka saran saya yang pertama dalam hal ini adalah kenalilah dulu kebutuhan pasangan atau anak-anak kita, setelah kita kenali kita akan mencoba penuhi. Dengan cara bagaimana kita memenuhinya yaitu kita berikan kata-kata yang membangun. Pak Gunawan, ini adalah bantal yang penting dalam keluarga karena kata-kata yang membangun ini menyenangkan hati. Tidak ada orang yang tidak senang mendengarkan kata-kata yang membangun seperti ini, pasti menyenangkan hati. Dan kalau pun terjadi pertengkaran atau konflik, tidak akan berkobar menjadi besar sebab di masa yang lalu sudah ada bantal yaitu bantal kata-kata yang membangun. Dan semua kata-kata yang membangun itu pernah didengar berarti sebagian besar masih diingat. Nah yang diingat ini menjadi bantal sehingga dapat mengurangi kemarahan atau ketegangan tatkala terjadi konflik.PG : Itu sering kita lakukan dan saya kira sudah waktunya kita berpikir ulang bahwa yang penting bukannya apa yang kita anggap baik, yang penting adalah apa yang akan diterima dan dihargai olehpasangan maupun anak kita.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi kata-kata kotor biasanya keluar dari pikiran dan hati yang kotor. Misalkan banyak caci maki keluar dari mulut kita, berarti hati atau pikiran kita dipenuhi leh kemarahan dan kebencian, kedengkian.
Kalau itu yang terjadi berarti itulah yang harus kita bersihkan. Kita tidak bisa membersihkannya sendiri, kita memerlukan Roh Kudus Tuhan membersihkannya, jadi kita mesti datang kepada Tuhan dan mengakui dosa kita ini. Mengakui, "Tuhan, hati saya kotor, penuh dengan dengki, penuh dengan kebencian, maka waktu saya marah yang keluar dari mulut saya adalah perkataan kotor." Atau "Tuhan, dulu saya sering mendengar perkataan kotor diucapkan kepada saya sehingga sudah tertanam, sekarang saya ingin membuangnya, Tuhan tolong saya untuk membuangnya, sucikan saya." Nah dengan terus kita berdoa, kita terus mengisi hati kita dengan firman Tuhan lama-lama dengki dan kebencian dalam pikiran kita itu mulai terkikis habis.PG : Firman Tuhan di Efesus 4:30 berkata, "Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan." Dengan cara apakah kita mendukakan Roh Kuds Allah? Yaitu dengan cara berdosa, maka menjauhlah dari dosa.
Jangan mendukakan Roh Kudus Allah, tidak ada yang lebih mendukakan Roh Kudus Allah selain dari kita berdosa. Berdosa artinya melawan Roh Kudus Allah, hiduplah dengan benar sebab dosa akan menghancurkan keluarga. Kadang-kadang kita melakukan dosa dan kita sembunyikan, kita pikir kita akan aman dan keluarga kita pun aman. Tidak demikian, sebab dosa itu tidak akan bisa disembunyikan, suatu hari kelak dosa itu akan menyembulkan kepalanya, muncul di tengah-tengah kita. Artinya Tuhan tidak akan membiarkan dosa itu disembunyikan, Dia akan mengejar dan memunculkan dosa itu. Makanya kita tidak bisa menyembunyikan dosa, itu sama sia-sianya dengan upaya untuk menangkap asap dengan tangan kita. Kalau kita mulai berdosa, ingatlah baik-baik tinggal tunggu waktu dosa ini dimunculkan Tuhan dan dosa ini akhirnya akan menghancurkan keluarga kita. Jikalau kita berdosa, kita tahu kita telah salah, jangan simpan tapi bertobat dan mengakuinya di hadapan Tuhan, meminta Tuhan untuk membersihkan kita dari dosa itu, kita mesti bertobat, kita akui pada pasangan kita akan dosa kita dan kita meminta pengampunannya pula dan memulai hidup yang baru bersamanya.PG : Kita ini sudah diberikan hak untuk menjadi anak, kita sudah diadopsi oleh Tuhan-seolah-olah itu kita diberikan meterai, kita diberi tanda bahwa kita sekarang adalah anak Allah, dan yang meberikan tandanya itu adalah Roh Kudus Allah.
Dengan cara apa? Roh Kudus Allah ada dan diam dalam hidup kita, Roh Kudus yang diam dalam hidup kita adalah meterai atau tanda bahwa kita sekarang sudah menjadi anak-anak Allah. Itu sebabnya karena kita telah menjadi tempat kediaman Roh Allah kita harus membersihkan diri kita, kita harus menguduskan diri kita; jangan sampai tempat kediaman Roh Kudus Allah kita cemarkan dan kita kotori dengan dosa, Tuhan tidak menerimanya. Tapi ini bantal yang penting sekali, di dalam keluarga kadang-kadang akan ada pertengkaran, itu tidak bisa dihindari. Tapi kalau dalam keluarga ada kekudusan, anggota keluarganya hidup dalam Tuhan, tidak mencemari diri dengan dosa maka meskipun ada cekcok atau ada konflik, itu akan bisa selesai; tapi kalau ada dosa yang tersembunyi akan susah sekali selesainya, maka akar masalahnya itu yang harus kita selesaikan terlebih dahulu.PG : Maksudnya adalah kita hidup benar di hadapan Tuhan, kita melakukan firman Tuhan yang benar itu sebab itulah yang diharapkan oleh Tuhan pada kita sebagai anak-anakNya. Kita telah diangkat ebagai anak Tuhan, Tuhan mengharapkan kita hidup seperti Dia Allah Bapa kita.
PG : Pada akhirnya kalau kita terus melawan dan terus tidak mempedulikan suara Roh Kudus, Roh Allah akan sedih melihat kita seperti itu. Akan ada satu titik di mana Tuhan berdiam diri, Tuhan aan membiarkan kita.
Makanya di Roma pasal 1 di tegaskan, pada akhirnya Allah mendiamkan manusia-manusia yang terus menerus berbuat dosa, Allah benar-benar menyerahkan mereka kepada hawa nafsu mereka sendiri. Artinya Allah tidak lagi berkata-kata pada mereka, tidak lagi memperingati mereka karena tidak lagi didengarkan oleh manusia. Jadi jangan sampai kita mencapai titik itu, jangan sampai kita membuat Tuhan berdiam diri, tidak mau menegur kita; kalau sampai hal itu terjadi benar-benar kita berada pada posisi yang sangat berbahaya.PG : Efesus 4:32, "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra..." Apa yang bisa kita petik untuk keluarga kita? Berbuatlah hal-hal yang baik, misalkan menolong,mengasihani.
Ini akan sangat menyemarakkan keluarga, misalkan kita melihat pasangan kita sedang letih kita bisa ambilkan minum, kita menawarkan bantuan apa yang bisa kita lakukan untuk menolongnya, atau anak kita sedang membutuhkan bantuan kita antarkan dia pergi, membelikan barang yang dibutuhkannya, ini semua tindakan-tindakan yang baik. Nah kebaikan adalah bantal keluarga, sebab nomor satu kebaikan akan menyenangkan hati orang yang menerima kebaikan itu. Yang kedua adalah kebaikan akan diingat, sehingga waktu nanti kita menghadapi konflik dengan pasangan kita; ini menjadi faktor pengganjal. Kita tidak jadi marah besar karena kita ingat pasangan kita baik, perbuatannya baik, hatinya baik; kita mengingat perbuatan-perbuatannya yang telah menolong kita. Nah ini akhirnya menjadi catatan yang menetralisir kemarahan kita sehingga kemarahan yang tadinya mau meledak besar tidak jadi.PG : Itu sebetulnya menandakan bahwa kita berbuat baik agar dilihat orang, itu sebabnya di luar kita lebih termotivasi untuk berbuat baik, di rumah kita tidak terlalu termotivasi. Kenapa? Sebb tidak ada orang penting yang dapat melihat kita sewaktu kita berbuat baik.
Dengan kata lain ini adalah ujian, kalau kita berbuat baik di luar dan tidak di dalam itu berarti kita bukan orang yang baik, karena kebaikan yang kita lakukan di luar benar-benar hanya untuk mengundang pujian orang, itu bukanlah hati yang baik. Hati yang baik adalah kita berbuat sesuatu bukan untuk dipuji atau diakui oleh orang tapi kita berbuat sesuatu yang baik sebab di dalam diri kita ada yang baik. Tuhan sudah memperbaharui kita, Tuhan sudah memberikan kekuatan kepada kita dan kasih sayangNya berlimpah kepada kita sehingga dari dalam diri kita keluarlah keinginan untuk melakukan hal-hal yang baik.PG : Betul sekali, saya kira salah satu penyebabnya juga adalah kita tidak terlalu mendapatkannya di rumah. Orang yang mendapatkan kasih sayang, kebaikan-kebaikan di rumah, akan lebih berlimpa dengan kebaikan dan kasih sayang, sehingga lebih dapat membagikannya di luar rumah.
Kenapa sekarang kita jarang melihatnya sebab makin banyak anak-anak atau kita yang tidak mendapatkannya di dalam rumah sendiri.PG : Firman Tuhan di Efesus 4:32 kelanjutannya berkata, "...dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Inilah bantal yang ketujuh, mengampuni pasangan, mngampuni anak.
Kadang-kadang anak melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan hati kita, melukai hati kita; kita mengampuni. Alasan pertama atau kenapa kita mengampuni adalah karena Tuhan memerintahkan kita untuk mengampuni. Jadi kita tidak mau dengan sengaja melawan Tuhan, Tuhan sudah memerintahkan kita mengampuni kita usahakanlah mengampuni. Tapi saya juga ingin menekankan satu hal pengampunan dan rasa terluka jalan bergandengan, tidak berarti kalau kita mengampuni rasa luka itu akan hilang. Tidak demikian, waktu kita memutuskan untuk mengampuni hati yang terluka itu tetap ada, dua-dua memang ada-kita mengampuni tapi tetap kita merasa terluka. Apa artinya mengampuni, mengampuni berarti saya tidak membalas. Kita serahkan kepada Tuhan untuk urusan balasan itu, tekad pertama atau langkah pertama waktu kita mengampuni adalah saya tidak membalas. Kadang-kadang kita lakukan itu kepada pasangan atau kepada anak kita; kita merasa kita dilukai, kita balas, kita sakiti hatinya, anak kita marahi habis-habisan, kita menohok titik lemah pasangan kita. Itu berarti kita membalas, itu berarti kita tidak mengampuni; Tuhan meminta jangan membalas. Jadi apa yang perlu kita lakukan, pengampunan berjalan melalui doa pengampunan, artinya mulailah dengan doa. Dan di dalam doa kita katakan, "Tuhan, saya mau mengampuni dia, tolong saya, beri saya kekuatan untuk mengampuninya, untuk tidak membalas. Urusan balas biarlah Engkau saja yang menangani."PG : Betul sekali Pak Gunawan, anak juga harus menyerahkan ini kepada Tuhan. Dan berkata, "Tuhan, orangtua saya memang pernah melukai saya, menyakiti saya seperti ini tapi saya tahu Engkau tidk mau saya menyimpan dendam, Engkau mau saya mengampuni, maka Tuhan saya mau mengampuni mereka.
Saya tidak akan membalas mereka, saya serahkan ini kembali kepadaMu."PG : Kalau kita tidak mengalami amnesia, sampai kapan pun kita akan mengingat, kita tidak bisa melupakan tapi perbedaannya adalah kalau kita sudah bertekad mengampuni, ingatan itu muncul kita tdak lanjuti, kita tidak berbuat apa-apa untuk mewujudkan kemarahan kita atau pembalasan dendam kita.
Kita biarkan ingatan itu berlalu melewati kita, lama-kelamaan waktu ingatan itu muncul kebencian atau kemarahan kita makin berkurang sehingga pada akhirnya hilang.PG : Biasanya digunakan sesuai dengan kebutuhan, sesuai dengan konteksnya, kondisi saat itu. Misalnya yang terjadi adalah yang ketujuh tadi yaitu sesuatu telah melukai hati kita. Berarti yangharus kita lakukan adalah mengampuni dan makin banyak kita mengampuni, kita tidak menyimpan dendam ini menjadi bantal.
Waktu misalkan terjadi konflik kita ingat pasangan kita terus mencoba mengampuni kita sehingga kita akhirnya lebih tenang, tidak jadi marah tapi kebalikannya kalau misalkan kita mengingat-ingat kenapa pasangan kita tidak pernah mengampuni kita, terus menyerang kita atas kesalahan kita yang dulu-dulu-kita tambah marah. Jadi sekali lagi pengampunan sebuah bantal, mengganjal sehingga kemarahan itu atau konflik itu tidak meledak, sekaligus pengampunan itu adalah bantal karena itu nyaman. Siapapun menerima pengampunan akan merasakan nyaman, senang, bahagia dan damai.PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi kita mesti mendisiplinkan diri hidup seperti yang diminta oleh firman Tuhan di Efesus pasal 4 ini. Kalau kita lakukan semua ini dalam keluarga kita, kita suah menciptakan begitu banyak bantal sehingga benar-benar rumah tangga menjadi tempat yang nyaman untuk meletakkan diri kita di atasnya.
Dan menjadi ganjalan, sehingga kalau ada apa-apa kita tidak terantuk dan jatuh dan melukai diri kita. Rumah tangga kita akhirnya terus berjalan meskipun kadang-kadang ada gelombang yang menyerang kita.PG : Saya setuju Pak Gunawan, banyak sekali yang bisa kita lakukan kalau kita bisa lakukan tujuh ini saja, saya kira sudah sangat membantu keluarga kita.
GS : Tentu kita sangat membutuhkan pertolongan Roh Kudus untuk kita bukan hanya mengerti hal-hal ini tetapi mempraktekkannya dalam kehidupan kita. Jadi terima kasih Pak Paul telah menguraikan ketujuh bantal keluarga ini dan pasti ini sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan para pendengar kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bantal Keluarga" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
21. Tahap Pertumbuhan Keluarga | |
Penting bagi kita untuk memahami tahap pertumbuhan keluarga agar kita mengerti tugas yang terkandung didalam setiap fase itu. Terdapat Tahap Membangun, Tahap Memelihara, Tahap Mempersiapkan, Tahap Menikmati. Setiap tahapan berhubungan dengan tiga tugas yakni kerabat, keluarga, dan karier.
Penting bagi kita untuk memahami tahap pertumbuhan keluarga agar kita mengerti tugas yang terkandung di dalam setiap fase itu. Keberhasilan menyelesaikan tugas pada setiap tahapan akan mempengaruhi perkembangan tahap selanjutnya. Ada empat tahapan yang masing-masing mencakup sekitar kurun 12 tahun. Setiap tahapan berhubungan dengan tiga tugas yakni kerabat, keluarga, dan karier.
Firman Tuhan: Satu pun dari segala yang baik yang telah dijanjikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, tidak ada yang tidak dipenuhi. Semuanya telah digenapi bagimu. Tidak ada satu pun yang tidak dipenuhi. Yosua 23:14
Ada pasangan yang makin lama menikah, makin serasi dan bahagia. Apakah yang menjadi kiat keberhasilan pasangan ini? Berikut ini akan dipaparkan beberapa kuncinya.
Firman Tuhan: Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan. (Amsal 12:11)
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tahap Pertumbuhan Keluarga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Sebetulnya waktu kita hidup bersama dengan pasangan kita, sesungguhnya kita sedang melewati fase-fase tertentu. Sudah tentu perubahan dari fase yang satu ke fase yang berikutnya ditandai leh perubahan-perubahan dalam relasi itu sendiri.
Saya kira penting pada saat ini kita meneropong lebih jauh lagi dan melihat dinamika perubahan yang terjadi pada setiap fase sehingga kita bisa mengantisipasinya.PG : Satu fase saya kategorikan bisa berlangsung sekitar 12 tahun, jadi kalau kita menikah sekitar usia 27, 28 tahun, kira-kira fase pertama itu dari usia 28 hingga usia 40 tahun. Fase kedua dri usia 40 hingga usia 52, 53 tahun, fase ketiga dari usia 52, 53 hingga sampai usia 65,66 tahun dan fase yang terakhir dari usia 65, 66 sampai ke atas.
Jadi setiap fase biasanya juga diiringi dengan perubahan usia karena kita bertambah tua dan ditandai juga dengan perubahan-perubahan sosial ekonomi. Namun secara khusus sebetulnya akan ada perubahan dalam sekurang-kurangnya 3 aspek yaitu dalam relasi dengan kerabat; yang saya maksud dengan kerabat bararti dengan teman, dengan sanak saudara, dengan orang-orang di sekitar kita. Yang kedua adalah keluarga itu sendiri dan yang ketiga adalah karier. Jadi kalau boleh saya singkatkan 3K(Kerabat, Keluarga dan Karier), dalam ketiga hal ini kita akan mengalami hal-hal yang mesti kita antisipasi.ET : Seperti Pak Paul sudah katakan masing-masing fase itu 12 tahun, apakah memungkinkan untuk bisa terjadi seperti lebih lama di satu fase atau satu keluarga lebih cepat di satu fase atau memang itu rata-rata yang harus dilalui?
PG : Bisa Ibu Ester, nanti kita akan melihat bahwa kadang-kadang ada orang yang secara usia sesugguhnya sudah mencapai fase ketiga yaitu usia 60-an. Tapi di fase itulah dia menikah kembali denan seseorang yang jauh lebih muda darinya.
Tidak bisa tidak meskipun usianya sudah mencapai fase ketiga namun dalam hal pernikahan dia harus memulai dari fase pertama lagi. Jadi inilah nanti yang akan kita lihat satu persatu.PG : Fase pertama adalah fase membangun atau tahap membangun, ini adalah 12 tahun pertama setelah pernikahan. Fase ini disebut membangun sebab pada fase ini pasangan nikah barulah memulai membngun.
Yang dibangun adalah jaringan kerabat dengan lingkungan, karena waktu mereka menikah mereka mungkin pindah ke sebuah rumah, lingkungan yang baru, mereka mungkin juga baru memulai pekerjaan, benar-benar baru tinggal landas. Di situlah mereka membangun jaringan kekerabatan, berkenalan dengan orang misalkan masuk ke sebuah gereja yang baru pula karena mungkin mereka pindah ke daerah yang baru, mereka terlibat dalam relasi dengan sesama rekan di gereja dan sebagainya. Ini adalah fase membangun, mereka juga harus membangun keluarganya, relasi baru dimulai berarti banyak hal yang mesti dibangun rasa percaya, respek, pengenalan satu sama lain, ini semuanya mulai dibangun. Juga anak-anak biasanya mulai lahir pada fase pertama, jadi pada fase pertama anak-anak masih kecil, kita benar-benar bertugas membangun anak-anak dari kecil menjadi besar secara fisik, secara emosional, secara rohaniah kita juga mencoba membangun anak-anak dan pada tahap ini kita juga membangun karier kita. Kita memulai pekerjaan yang baru, kita mulai menanjak, mulai menguasai bidang kita, mulai mencari pekerjaan yang lebih baik lagi atau tidak merasa sreg dengan yang ini makanya kita alih karier dan sebagainya. Inilah yang terjadi di fase membangun, dari apa yang tadi telah saya jabarkan kita bisa mempunyai kesan bahwa fase ini fase yang sibuk. Banyak sekali yang dikerjakan, dan betul karena memang inilah fase membangun, dari segi kekerabatan, keluarga dan karier, semuanya harus dibangun.ET : Mengingat rentan waktu yang cukup panjang yaitu 12 tahun, sebenarnya terlalu singkat kalau kemudian kita melihat angka perceraian yang semakin tinggi. Baru usia 5 tahun sudah masuk pada ksimpulan tidak bisa lagi berlanjut, pada hal sebenarnya masih panjang untuk dapat membuat kesimpulan itu.
PG : Betul sekali, membangun memang memerlukan waktu yang panjang. Memang ada orang yang berkata perlu 5 tahun untuk membangun sebuah relasi pernikahan, tapi saya akhirnya simpulkan untuk bena-benar bisa membangun dengan kuat, untuk benar-benar mengenal pasangan, untuk benar-benar bisa menyesuaikan diri masing-masing agar bisa pas, itu perlu waktu yang lebih lama lagi mungkin sekitar 12 tahun.
Itu fase pertama, yaitu fase yang penting sekali, fase fondasi dan kalau kita gagal meletakkan fondasi yang kuat di sini kita nanti akan menuai hasil di fase-fase berikutnya. Selalu rumah tangga kita akan goyah, tapi kalau misalkan pada fase membangun ini kita benar-benar membangun keluarga yang kuat, relasi dengan suami-istri benar-benar kita hadapi meski kita harus konflik-kita tidak lari dari konflik; mesti ada masalah kita tidak menghindar dair masalah, kita coba selesaikan dan atasi. Nah di fase ini kalau kita berhasil membangun sebuah relasi keluarga yang kuat, ini akan terus mengiringi kita pada masa-masa selanjutnya. Dan pada fase membangun kita juga membangun relasi dengan kerabat, teman-teman sekerja, sepelayanan. Kalau kita berhasil membangun jaringan kerabat yang kuat, ini juga menjadi bekal menghadapi fase-fase berikutnya. Karena kawan-kawan pada fase membangun inilah yang kita bawa terus sampai ke fase-fase berikutnya. Kenapa? Memang jarang misalkan usia kita 40-an tahun kita masih berteman dengan teman SD kita, sudah jarang. Masih berteman dengan teman SMP kita bahkan dengan teman SMA kita pun sudah jarang. Kebanyakan teman-teman yang akan terus bersama kita setelah kita melewati masa-masa pernikahan adalah teman-teman yang memang kita kenal dan kita bangun relasinya di fase pertama ini di fase kita mulai bekerja, berkeluarga dan sebagainya. Nah di fase ini jugalah karier juga dibangun, fondasinya juga harus kuat, kalau kita tidak berhasil meletakkan kaki dengan baik di fase pertama ini, kita mungkin terus-menerus akan mengalami badai dalam hal karier setelah kita nanti memasuki fase-fase berikutnya.ET : Ini berkaitan dengan mobilitas yang tinggi Pak Paul, keluarga mungkin berpindah-pindah, baik pindah kota maupun pindah negara. Apakah perpindahan negara itu juga bisa menjadi sebuah hambatan untuk tahap pembangunan ini?
PG : Saya kira ya Ibu Ester, jadi kalau baru 2, 3 tahun pindah lagi-pindah lagi. Kita tidak akan sempat membangun misalkan jaringan kerabat. Dan mungkin dari faktor keluarga pun kalau kita pndah terlalu sering 2, 3 tahun sekali kita dituntut kembali menyesuaikan.
Sebab lingkungan yang baru akan menghadirkan tantangan yang baru pula. Atau karier kita, kalau kita terus-menerus pindah berarti selalu mulai dari awal lagi. Berarti nantinya itu memperlambat fase-fase berikutnya.PG : Yang Pak Gunawan sampaikan ini penting sekali, dengan kata lain pada fase membangun ini sikap yang diperlukan adalah sikap yang bersifat belajar. Kalau dalam fase membangun ini kita belumapa-apa sudah tidak mau belajar, menganggap diri sudah final, semua harus ikut saya; wah kita tidak akan pernah bertumbuh lagi tapi kalau di fase fondasi atau di fase membangun ini kita benar-benar merendahkan hati dari pasangan, dari anak, dari lingkungan, kita akan benar-benar diperkaya sekali.
Ini yang menjadi bekal yang nanti akan menolong kita melewati fase-fase berikutnya.PG : Setuju Pak Gunawan, sebab memang penyesuaian itu harus melewati lapis demi lapis relasi kita. Kadang-kadang kita sudah merasa senang, "Wah....sudah mulai cocok, sudah mulai sreg kenal sat sama lain."
Pada halnya itu masih terjadi di lapisan atas, kemudian terjadi lagi sesuatu yang lain kita kaget lagi kenapa pasangan kita begini, begitu-masuk lagi ke lapisan bawahnya. Kita biasanya harus melewati lapisan demi lapisan. Apakah bisa dipercepat? Saya kira tidak bisa karena memang harus melewati waktu, lapisan-lapisan tersebut tidak bisa kita padatkan supaya kita bisa mengenal dengan seketika, memang tidak mungkin.PG : Tahapan berikutnya adalah tahap memelihara, ini 12 tahun berikutnya. Jadi kira-kira antara usia 40-50 tahun. Di sini kita mempertahankan kekerabatan, ini tugas kita. Kita sudah membangu kekerabatan pada fase sebelumnya, pada usia 40-50 an kita bersama-sama terus dengan teman-teman yang telah kita kenal pada fase sebelumnya dalam fase membangun.
Kita juga mulai mempertahankan relasi dengan keluarga, kalau kita sudah membangun dengan sehat, dengan kuat, di usia 40-an ini kita mencoba mempertahankan relasi. Saya mengatakan mempertahankan atau memelihara sebab pada fase ini gempuran dari luar cukup besar, karena kalau tidak hati-hati muncul kejenuhan antara suami dan istri. Kalau tidak hati-hati karena karier sudah mencapai titik yang mapan, berkembang dengan baik, dua-dua baik suami dan istri makin terpisah. Dunia mereka makin terpaut dari satu sama lain, sehingga mereka tiba-tiba tidak lagi saling mengenal, dan juga saya sebut memelihara atau mempertahankan sebab kita pun juga harus mempertahankan anak-anak dalam keluarga kita. Pada masa ini anak-anak sudah menginjak remaja atau sudah mulai kuliah, mereka sudah mulai keluar. Memang di satu phak kita harus membiarkan mereka untuk mengembangkan sayap, untuk bisa terbang tapi di pihak lain kita juga perlu menjaga mereka jangan sampai terbang ke tempat yang keliru. Akhirnya jatuh ke tempat atau ke lubang yang keliru. Di sini tugas kita yaitu memelihara dan mempertahankan, sebab tantangan dari luar banyak sekali. Jadi memang benar-benar terutama suami-istri harus waspada menjaga relasinya, menjaga sistem kerabatnya dan juga menjaga atau memelihara kariernya agar terus bertahan dengan baik di tahapan ini. Jangan sampai lengah, puas diri, tidak mau lagi belajar tapi tetap pada tahap-tahap ini dia tetap harus memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk mempertahankan. Karena kalau dia tidak melakukan hal-hal seperti itu, meskipun sudah di atas akan dengan mudah sekali mulai menukik turun. Sebab bawahan akan melihat, "Wah atasan saya tetap sama, tidak mengalami kemajuan, tapi dia atasan saya." Sementara bawahannya makin hari makin maju, maka penting pada tahap memelihara ini atasan juga tetap menjaga dirinya, tetap tajam untuk bisa memimpin dengan baik.ET : Berarti memang tidak lebih mudah juga memasuki tahapan yang berikutnya ini?
PG : Betul, tapi dari segi kesibukan dan banyaknya yang harus dilakukan tidak sesibuk pada fondasi yang pertama tadi yaitu membangun. Di tahapan ini benar-benar lebih kepada mempertahankan, meakukan hal-hal tertentu supaya tetap bisa mempertahankan.
ET : Kalau misalnya ada hambatan dalam tahap membangun tadi, misalnya ada yang belum terselesaikan, entah itu karier, keluarga atau pun kekerabatan seberapa buruk dampaknya untuk memasuki tahap memelihara ini?
PG : Bebannya menjadi dobel Ibu Ester, karena pada tahapan memelihara dia justru harus membangun kembali kariernya misalnya yang sudah dia pelihara 12 tahun, yang sudah dia kembangkan 12 tahun ekarang tiba-tiba lenyap atau dia sadari dia keliru memilih karier, dia mau memulai yang baru, wah........dia
baru mau memulai lagi sedangkan usianya sudah 40-an. Kalau kita buka surat kabar melihat iklan, kebanyakan perusahaan mencari staf yang berusia paling tua 30 tahun, jarang sekali kita melihat paling tua usianya 45 tahun. Jadi berarti kesempatan atau pilihan yang tersedia makin mengecil atau makin sedikit. Jadi benar-benar kalau dia harus memulai kembali itu repot, makanya kalau tidak ada pilihan-pilihan karier seperti itu-kalau tidak hati-hati orang bisa sangat depresi. Karena dia sadar dia tidak lagi bisa menawarkan dirinya di dunia kerja. Untuk memulai dari nol juga susah, tidak ada modal dan sebagainya. Itu benar-benar suatu situasi buntu yang berat sekali. Atau dalam hal keluarga, kalau di tahapan membangun mereka tidak tuntas membangun relasi, banyak lubang-lubang, banyak yang masih belum bisa diserasikan. Nah di tahapan memelihara itu mereka masih terus mencoba menyelesaikan atau membangun. Tapi masalahnya di usia itu energi tidak sebanyak dulu, sudah capek, sudah belasan tahun masih berkutat dengan problem-problem yang sama yang masih belum selesai. Dengan kata lain motivasi untuk menyelesaikan sudah anjlok, semangat untuk bersama, bersatu, bekerja keras untuk menyelesaikan masalah juga sudah makin menurun.PG : Betul, dengan kata lain kita mencoba mempertahankan yang sudah kita bangun sekaligus juga mengembangkannya agar bisa luas dan sebagainya.
PG : Betul sekali, karena seharusnyalah kita sudah mencapai tahapan yang lebih mapan dalam karier kita sehingga bisa menghasilkan lebih banyak uang.
PG : Betul, tubuh tidak sesehat dulu, jadi di satu pihak banyak yang mau dikerjakan, mungkin lowongan lebih ada tapi lebih menyadari juga keterbatasan. Banyak hal yang harus dipikirkan di sinisudah tentu misalkan ketegangan antara karier dan keluarga, itu juga harus dijaga pula.
PG : Tahapan ketiga adalah tahapan mempersiapkan, jadi antara 50 sampai usia 60 tahun. Kenapa saya menyebutnya masa persiapan karena di masa inilah kita harus mulai mempersiapkan pensiun. Kit tidak lagi bisa mengembangkan karier kita, karena batas usia yang kita harus hormati.
Kita juga mempersiapkan anak untuk memilih pasangan hidup yang tepat karena anak-anak mungkin sudah usia 25 ke atas, di saat itulah anak-anak mulai menikah. Nah kita menolong mempersiapkan mereka memilih pasangan sehingga mereka bisa tinggal landas membangun keluarga mereka. Dan juga kita perlu mempunyai kerabat yang kuat, tadi saya sudah tekankan penting sekali menjaga jaringan kerabat. Sebab pada usia-usia pertengahan 50-60an kalau kita tidak mempunyai kerabat-sengsara, karena kita benar-benar akan kesepian. Meskipun kita ada pekerjaan yang baik, tapi hidup itu benar-benar kosong kalau tidak ada lagi kerabat. Karena anak-anak sudah besar dan mungkin sudah meninggalkan rumah, tinggal kita berdua. Nah kalau tidak mempunyai kerabat yang bisa sama-sama dengan kita, melayani bersama, bercengkerama bersama, akan sengsara. Yang lebih sengsara lagi adalah kalau kita dari awal gagal membangun keluarga, relasi dengan suami atau istri tidak bisa benar-benar kokoh atau kuat, di tahap ketiga ini akan terasa sekali dampaknya. Karena kita benar-benar hanya berdua dengan pasangan, tidak ada siapa-siapa di rumah, di luar pun tidak ada kerabat wah itu benar-benar masa yang sangat sulit yang harus kita hadapi.PG : Saya setuju Pak Gunawan, sebab di saat inilah kita masih bisa melakukan aktifitas bersama dengan kerabat, dengan teman-teman kita dan sebagainya. Sebab pada tahap berikutnya yaitu pada taap akhir, kesehatan kita sudah sangat menurun, mobilitas kita sudah sangat mengecil.
Berarti kalau pun kita masih mau mempertahankan kekerabatan sudah sulit, karena kita sudah bergantung pada orang untuk mengantar kita. Jadi memang betul sekali, di tahap ketiga ini mungkin adalah tahap hampir terakhir kita masih bisa menikmati jaringan kerabat dengan teman-teman kita.ET : Kadang-kadang mungkin pada tahap sebelumnya itu karena sibuk pada karier, bisa jadi relasi itu hanya relasi yang sifatnya bisnis, relasi kerja Pak Paul, sehingga yang memang sifatnya pribai kurang terbangun.
PG : Betul, dan memang kalau kita hanya mendasari persahabatan kita atas persamaan karier, interest dan sebagainya nanti di usia 60 tahun akan menjadi repot. Karena kita tidak lagi bekerja, kia sudah mulai pensiun, siapa teman kita.
PG : Betul, maka benar-benar penting dari tahap fondasi kita memelihara, membangun kerabat, sebab pada tahap persiapan ini kita lebih lagi bergantung pada mereka. Kalau tidak, benar-benar kit akan hidup dalam kesepian.
PG : Saya sebut tahap ini adalah tahap menikmati, tahap tua, usia sekitar 65 hingga usia 70-an, 77, 80 tahun. Saya sebut menikmati sebab kunci untuk melewati hari tua adalah menikmatinya. Inibenar-benar perlu pergumulan untuk bisa menikmati hari tua, karena kita hidup dalam keterbatasan baik fisik maupun mobilitas.
Tidak mudah untuk bisa menikmatinya tapi inilah tantangan bagi kita. Sudah tentu akan jauh lebih mudah bagi kita untuk menikmatinya bila kita telah menanam benih yang sehat dalam hidup. Misalkan kerabat-kerabat masih ada, masih bisa dekat dengan kita, relasi dengan keluarga juga baik, suami-istri saling mengasihi, anak-anak saling menghormati; wah di usia tua ini meskipun kita lebih terbatas tapi kita mendapatkan kepuasan, kenikmatan dari keluarga kita. Dari kerabat masih bisa ramai-ramai, kumpul-kumpul pergi-masih bisa umur 70-an terus kemudian dengan keluarga masih bisa bersama-sama dan karier kita sudah tidak ada lagi karier. Kita harus berkata selamat tinggal kepada karier, jadi yang tersisa itu tinggal tua. Tapi dengan menanjaknya usia satu persatu kerabat kita juga akan hilang, tinggal keluarga kita, makanya keluarga itu sangat penting sekali.PG : Betul sekali, apabila di masa-masa sebelumnya kita tidak menanam benih-benih yang sehat. Kita ribut terus sama anak, di hari tua anak takut dekat dengan kita. Kita sering marah, ribut degan teman-teman maka di hari tua tidak ada teman-teman yang mau dekat dengan kita.
Akhirnya kita sendirian; kerier tidak ada, kerabat tidak ada, keluarga tidak ada, benar-benar hari-hari yang penuh kesengsaraan.PG : Betul sekali Pak Gunawan, di hari tua kita baru menyadari apa yang telah kita perbuat, kita mengaku kita salah, banyak sekali dosa yang telah kita perbuat. Saat inilah kita harus datang mminta ampun kepada Tuhan, bertobat dan berubah.
Jangan berkata, "sudah terlambat." Tidak, hari ini atau hari esok kita berubah tetap sebuah perubahan dan Tuhan akan mencatatnya, jadi tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah.PG : Pada masa lampau mungkin sekali ada hal-hal yang telah kita alami yang positif tapi ada juga yang negatif. Tapi kita harus berkata bahwa semuanya bekerja untuk kebaikan. Kita mesti meyakni bahwa Tuhanlah yang membingkai setiap keping kehidupan kita bahwa Tuhan masih bisa bekerja lewat semua peristiwa baik itu peristiwa yang positif maupun yang negatif.
Benar-benar kita berserah pada kebaikan Tuhan.PG : Yosua 23:14 berkata, "...satu pun dari segala yang baik yang telah dijanjikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, tidak ada yang tidak dipenuhi. Semuanya telah digenapi bagimu. Tidak ada satu un yang tidak dipenuhi."
Di akhir hayatnya Yosua mengenang kembali dan melihat semua yang telah Tuhan janjikan kepadanya sudah Tuhan penuhi. Di hari Tua seyogianyalah kita berkata seperti Yosua; semua yang Tuhan janjikan, semua yang baik yang Tuhan telah janjikan Tuhan sudah berikan, Tuhan sudah penuhi, Tuhan sudah bekerja, Tuhan sudah merajut hidup kita jadi kita di hari tua kita harus benar-benar hidup dengan pengucapan syukur.PG : Betul, dia tidak sempurna, dia punya kekurangan tapi di hari tua dia menengok ke belakang, dia memilih bersyukur kepada Tuhan.
GS : Terima kasih Pak paul, terima kasih Ibu Ester untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tahap Pertumbuhan Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
22. Keluarga yang Kokoh | |
Ada pasangan yang makin lama menikah, makin serasi dan bahagia. Apakah yang menjadi kiat keberhasilan pasangan ini? Mereka berjalan di atas kekuatan, bukan kelemahan masing-masing, mereka rajin menunaikan kewajiban masing-masing, mereka memfokuskan pada pertumbuhan, mereka mengutamakan kebersamaan. Mereka mendasari pernikahannya di atas fondasi yang kuat yakni Tuhan.
Ada pasangan yang makin lama menikah, makin serasi dan bahagia. Apakah yang menjadi kiat keberhasilan pasangan ini? Berikut ini akan dipaparkan beberapa kuncinya.
Firman Tuhan: "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan". (Amsal 12:11)
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keluarga yang Kokoh". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Betul sekali pengamatan Pak Gunawan, jadi memang kita bisa melihat ada pasangan yang makin hari, makin serasi, makin mencintai, makin bahagia, dan dari hidup mereka itu memancarkan sukacita. Tapi ada pasangan yang makin hari makin suram, makin penuh kepahitan. Nah apa yang sebetulnya membedakan mereka. Sudah tentu ada banyak faktor yang bisa membuat pasangan yang satu bahagia yang satu tidak bahagia. Tapi saya kira kita bisa menyimpulkan beberapa prinsip, ini berdasarkan pengamatan yang telah saya lakukan. Yang pertama adalah pasangan yang kuat, yang kokoh, yang bahagia adalah pasangan yang berjalan di atas kekuatan bukan pada kelemahan masing-masing. Maksudnya adalah mereka bukannya buta terhadap kelemahan pasangannya; mereka menyadari kelemahan pasangannya tapi itu tidak menjadi fokus utamanya. Tapi pasangan yang tidak bahagia yang akhirnya sering berkelahi adalah pasangan yang terus-menerus menyoroti kelemahan. Akhirnya mereka menuai kepahitan dan keputusasaan. Tapi pasangan yang kokoh tidak tertutup, tidak membutakan mata terhadap kelemahan pasangannya, mereka menyadari dan melihatnya tapi mereka memilih untuk tidak memfokuskan perhatian mereka pada kelemahan pasangan. Justru mereka menyadari kalau mereka terlalu banyak memberikan perhatian, memfokuskan pada kelemahan, mencoba mengoreksi kelemahan makin susah pasangannya berubah. Tapi tatkala mereka memfokuskan pada kekuatan pasangannya misalkan hal yang sederhana, "kamu kok bisa ya tepat waktu, saya sangat menghargai, atau kamu kok merapikan kamar tidur bisa begitu rapinya, saya senang sekali kamu bisa melakukannya dengan begitu baik. Kamu sama anak kok bisa begitu telaten." Hal-hal kecil, tapi kalau kita terus memfokuskan pada kekuatan pasangan justru perlahan-lahan pasangan mulai mengalami perubahan mencoba berubah di titik-titik kelemahannya. Jadi ini yang pertama-pasangan yang kokoh pasangan yang berjalan di atas kekuatan bukan di atas kelemahan pasangannya.
ET : Jadi kacamatanya yang harus diganti Pak?
PG : Betul Ibu Ester, kacamatanya harus diganti; diri atau keadaan pasangannya tidak berubah tapi kacamata yaitu bagaimana kita melihatnya. Dan kalau kita memilih melihat yang menjadi kekuata pasangan kita, justru di situlah relasi kita akan bertumbuh.
PG : Dan itu mungkin saja karena latar belakang kita, mungkin kita dibesarkan dengan cara seperti itu, orangtua lebih menyoroti kesalahan kita dan hampir tidak pernah memuji kekuatan kita. Jad kita terbiasa, dengan orang lain pun hanya bisa melihat kelemahannya, dan kalau kita melihat kekuatan kita berkata buat apa dipuji, seharusnya memang begitu.
Atau ada orang yang berpendapat, nanti kalau saya puji menjadi besar kepala; akhirnya orang-orang yang seperti itu pada nantinya menuai buah-buah yang pahit dalam pernikahannya.PG : Betul, ada yang seperti itu dengan kata lain ada orang-orang yang sengaja mau memfokuskan pada kelemahan pasangannya agar dia tetap bisa mengontrol pasangannya. Jadi selalu yang diungkit-ngkit adalah kelemahan pasangannya.
Relasi ini tidak akan kokoh, relasi yang kokoh justru dibangun di atas kekuatan bukan di atas kelemahan pasangannya.PG : Boleh, kita bisa saling berbicara, saling membuka diri atau kita saling melihat dan pilihlah hal-hal kecil itu. Kadang-kadang orang berkata apa kekuatannya, saya tidak tahu. Banyak hal yng bisa kita lihat dari misalkan dia bisa mengurus anak, bisa memberi makan anak dengan baik atau bisa bekerja meskipun penghasilannya tidak banyak tapi dia bisa dengan disiplin kerja menunaikan tanggung jawabnya.
Banyak hal yang bisa kita soroti nah di atas kekuatan-kekuatan inilah kita membangun relasi pernikahan kita.PG : Yang kedua adalah pasangan yang kokoh rajin menunaikan kewajibannya masing-masing. Mereka menyadari bahwa pernikahan dibangun di atas alas kerajinan dan kerelaan untuk melakukan tanggung awab masing-masing.
Mereka tahu bahwa kemalasan akan merusak pernikahan, sebab kemalasan adalah awal hilangnya respek. Dengan kata lain pasangan yang kokoh adalah pasangan yang tidak malas untuk menunaikan kewajibannya. Masing-masing baik suami mapun istri bukankah mempunyai tanggung jawab dan kewajiban; kita tidak bisa mengharapkan pernikahan kita menjadi baik, sehat, indah, terus kita hanya memusingkan diri kita, tidak mau melakukan tanggung jawab kita baik sebagai suami maupun istri, baik sebagai ayah maupun ibu. Pernikahan atau pasangan yang kokoh itu pasangan yang mencoba untuk terus melakukan tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Mereka maklum bahwa hidup tidak mudah dan penuh dengan tuntutan, dan dengan bekerjalah kita dapat memenuhi kebutuhan hidup. Itu sebabnya mereka berusaha keras menunaikan peran dan tanggung jawab baik sebagai suami-istri maupun ayah ibu.PG : Betul sekali, di sini memang kita membicarakan secara lebih praktis, tunaikan tanggung jawab dan peranan kita. Misalkan anak kita memang perlu sekolah dan diantar, jangan kita untuk mengatar anak sekolah saja ribut, tidak mau mengantar, repot, kamu sajalah yang mengantar jadi akhirnya berkelahi.
Atau ada barang yang rusak di rumah kita, pasangan kita sudah minta tolong benarkan atau panggil orang; ya kerjakan, panggil orang bereskan sehingga yang rusak tidak lagi rusak karena sudah diperbaiki. Hal-hal kecil seperti itu yang saya maksud dengan peran dan tanggung jawab kita. Pasangan yang kokoh adalah pasangan yang rajin melakukan semua itu, menunaikan tugas dan kewajibannya. Kalau kita melihat ada yang malas, tinggal tunggu waktu relasi ini akan ambruk, karena kemalasan itu mengundang kurang hormat, rasa tidak respek. Jadi bagaimana kita bisa respek dengan orang yang harus kita suruh-suruh dan akhirnya makan hati, kita harus mengelus-elus dada kok tidak mengerjakan tugasnya, jadi hilang respek kita.PG : Betul, akhirnya masing-masing bersikap apatis, tapi masalahnya dibalik sikap apatis itu ada kemarahan. Kadang-kadang yang tidak mau melakukan tugas dan kewajibannya waktu disuruh-suruh jua marah, tersinggung jadi akhirnya relasi itu pecah.
ET : Jadi kalau dikaitkan dengan kunci pertama tadi, kalau orang bisa benar-benar melakukan tugas dan kewajibannya masing-masing, itu termasuk kekuatannya yang memang tidak semua orang miliki tpi itu penting.
Jadi kalau pasangan sampai mempunyai kesadaran dan kerajinan ini, termasuk yang nomor satu tadi yang harus dilihat sebagai kekuatan ya Pak?PG : Betul, dan jangan ragu-ragu untuk melontarkan pujian kita terhadap hal-hal yang sudah dilakukan. "Aduh, terima kasih kamu telah membantu saya, terima kasih kamu mengantar anak, menjemput nak."
Hal-hal kecil seperti itu jangan ragu untuk melontarkan pujian kita.ET : Kalau tidak, memang seolah-olah sekadar tanggung jawab. Kalau tidak dilakukan itu menjadi masalah, kalau dilakukan biasa saja.
PG : Betul, jadi yang ingin saya tekankan di sini adalah pasangan yang kokoh adalah pasangan yang normal yang biasa, yang masing-masing melakukan tanggung jawabnya. Jadi tidak ada kejutan-kejuan, wah tiba-tiba pernikahan kita menjadi seperti apa.
Tidak demikian, pernikahan yang kuat itu adalah yang biasa, yang rajin, yang melakukan tugasnya.PG : Yang ketiga, pasangan yang kokoh adalah pasangan yang memfokuskan pada pertumbuhan. Maksud saya begini, mereka tidak lepas dari konflik atau krisis namun mereka menggunakan konflik sebaga titik balik pertumbuhan.
Dengan kata lain mereka belajar dari konflik dan bertekad untuk tidak menyalahkan satu sama lain (saya garis bawahi kata belajar). Sebab pasangan yang kokoh melihat konflik sebagai pelajaran, tapi pasangan yang tidak kokoh dan akhirnya malah berantakan pasangan yang meskipun konflik berkali-kali tetap tidak belajar dari konflik tersebut. Justru konflik seharusnya membuat kita belajar lebih tahu sehingga kita tidak mengulang lagi masalah atau konflik yang sama itu. Pandangan seperti ini penting sekali dimiliki. Berikutnya juga adalah mereka memandang konflik lebih sebagai perbedaan bukan masalah pada pribadi masing-masing. Sebab bukankah pada faktanya kebanyakan konflik munculnya dari perbedaan bukan masalah pada kepribadian. Jadi waktu ada konflik mereka tidak menyerang pribadi masing-masing. Sebab mereka menyadari kebanyakan konflik itu muncul karena perbedaan bukan karena pribadinya bermasalah. Jadi mereka lebih bisa memfokuskan dengan perspektif yang lebih tepat, sehingga konflik bisa lebih cepat selesai. Tapi sekali lagi saya mau tekankan, pasangan yang kokoh melihat konflik sebagai guru, sebagai pelajaran yang harus mereka serap, sehingga mereka bertumbuh dan tidak jatuh ke dalam lubang yang sama.ET : Jadi memang label-label yang diberikan waktu kita konflik itu mesti dicabut ya Pak. Misalkan kadang-kadang hanya karena perbedaan selera, kemudian muncul label memang kamu keras kepala. emudian yang satu mengatakan memang ya saya keras kepala, jadi pertumbuhan itu tidak terjadi karena sudah dilabelkan seperti itu.
PG : Betul, jadi akhrinya yang sudah dilabelkan juga jengkel dan berkata, "Ya sudah saya akan begini terus." Dan yang melabelkan akhirnya melihat tidak berubah, tambah jengkel dan tambah melablkan akhirnya putus asa, tidak mau memberikan masukan dan relasi itu menjadi stagnan, tidak bertumbuh lagi.
Jadi relasi yang kokoh atau pasangan yang kokoh itu adalah pasangan yang terus-menerus bertumbuh, karena setiap kali ada konflik di situlah mereka belajar, mereka bertumbuh lagi. Jadi yang mereka pentingkan bukan siapa salah, siapa benar tapi yang mereka pentingkan adalah bagaimana kita bisa bertumbuh dan kita tidak lagi mengulang konflik yang sama ini. Selalu itu yang menjadi perhatian mereka yang terutama.PG : Betul Pak Gunawan, memang pengampunan menjadi bagian dari pertumbuhan itu. Tanpa pengampunan tidak mungkin ada pertumbuhan. Sudah tentu yang diharapkan yang sudah jatuh, yang memang berdsa itu juga tidak defensif tapi mengakui dengan rendah hati, meminta ampun, meminta maaf dan menunjukkan sikap yang telah berubah.
Dalam kondisi seperti itulah yang dilukai lebih bisa mengampuni sehingga akhirnya relasi itu bertumbuh kembali.PG : Maksud saya begini, sering kali dalam masalah suami-istri yang terjadi adalah masing-masing mempunyai gaya hidupnya, cara berpikirnya dan cara berkomunikasinya. Sehingga gaya hidup dan poa pikir serta gaya komunikasi yang berbeda itulah yang akhirnya menabrakkan mereka.
Bukan masing-masing mempunyai masalah misalkan orang ini memang sangat jahat; memang ada orang yang jahat tapi kebanyakan pasangan nikah masih dalam batas wajar. Manusia yang tidak sempurna tapi masih wajar, bukannya orang yang antisosial; kebanyakan pasangan nikah tidak seperti itu tapi ada juga yang bermasalah kejiwaan dan sebagainya memang ada, tapi kalau dilihat secara umum tidaklah begitu. Jadi sumber konflik biasanya perbedaan dalam gaya hidup, cara berpikir dan cara berkomunikasi.PG : Yang keempat adalah pasangan nikah yang kokoh itu mengutamakan kebersamaan. Bila memungkinkan mereka akan mencoba menghabiskan waktu bersama dan melakukan kegiatan bersama-sama. Dengan kta lain mereka memprioritaskan kebersamaan ini.
Tidak secara otomatis kebersamaan bisa muncul, dengan banyaknya tuntutan tugas dan sebagainya, kita benar-benar harus memagari relasi kita sehingga kita berdua masih bisa menikmati kebersamaan. Yang mesti kita ingat adalah kebersamaan menciptakan persamaan, kadang-kadang kita terbalik adanya persamaan dulu baru bisa bersama. Tidak demikian, kalau kita menunggu persamaan datang baru bersama maka tidak akan datang-datang dan kita tidak akan bersama. Jadi justru semakin bersama, semakin bertunas persamaan itu, jangan justru kebalikannya. Seringlah bersama, di dalam kebersamaan itu nanti akan bertunas persamaan-persamaan. Jadi mereka membatasi diri dalam pergaulan, pekerjaan atau pelayanan sehingga tetap dapat menjaga kebersamaan. Pasangan yang menjaga kebersamaan saya perhatikan terus semakin hari semakin intim, semakin akrab dan semakin kokoh.ET : Membatasi diri, itu yang memang membutuhkan kerelaan dari kedua belah pihak. Misalnya istri berharap bahwa suami ada waktu lebih banyak di akhir pekan, sementara dia sibuk dengan hobby atu pelayanan di gereja sehingga akhirnya yang satu mau menyediakan diri mau bersama-sama tapi yang satunya sibuk dengan orang lain atau kegiatan lain.
PG : Betul, ada orang yang berpikir, 'wah......nanti ketika kita rekreasi kita ajak siapa atau siapa.' Ya sekali-sekali boleh mengajak orang lain tapi jangan setiap kali sehingga nanti pasanganya akan berkata, "Saya tidak pernah bersama dengan suami saya karena selalu orang lain yang diajak."
Kita benar-benar harus memprioritaskan kita berdua atau kita bersama anak-anak kita; jadi menjaga kebersamaan itu. Ada waktu-waktu kita bersama orang lain sudah tentu itu harus dan baik tapi ada waktu-waktu kita benar-benar menjaga kita ini hanya bersama-sama dengan pasangan dan anak-anak kita.PG : Berarti mereka memang mempunyai masalah yang belum diselesaikan. Terselesaikannya bukan secara matang tapi diselesaikannya oleh karena jarak, tidak pernah bertemu dan pada waktu mereka betemu akan muncul lagi.
Maka mereka berdua harus kembali duduk bersama coba selesaikan, kalau mereka berhasil menyelesaikan; pada waktu mereka bersama barulah mereka bisa menikmatinya.PG : Betul, dan jangan berpikir muluk setiap kali bersama kita akan dipenuhi oleh kupu-kupu cinta, tidaklah demikian. Kadang-kadang waktu bersama ada omongan-omongan yang banyak tapi kadang-kaang juga tidak banyak omongan tidak apa-apa tapi disiplinkan diri terus untuk menjaga relasi kita misalkan pergi bersama.
Saya lihat pasangan yang kokoh itu pasangan yang tahu menjaga kebersamaannya sehingga tidak pernah hilang dari kehidupan mereka.PG : Yang terakhir adalah pasangan yang kokoh mendasari pernikahannya di atas fondasi yang kuat yakni Tuhan. Ada 3 hal yang termaktub dalam kategori ini. Yang pertama, apapun yang mereka rasaan atau pikirkan mereka tetap tunduk pada Tuhan dan kehendak-Nya.
Dengan kata lain mereka takut akan Tuhan dan takut untuk berdosa, jadi kendati mereka bersitegang mereka tetap patuh pada Tuhan dan berusaha keras untuk tidak melakukan atau mengatakan hal-hal yang tidak diperkenankan Tuhan. Itu yang pertama yaitu fondasi yang kuat di dalam Tuhan adalah takut akan Tuhan. Yang kedua, mereka percaya pada pimpinan Tuhan bukan pada pertimbangan manusia belaka. Dalam membuat perencanaan hidup mereka melibatkan Tuhan dan mencari kehendak-Nya serta selera pribadi. Jadi mereka tidak terpaku pada apa yang baik bagi diri sendiri melainkan apa yang baik bagi Tuhan. Jadi keluarga yang kokoh adalah keluarga yang mencari kehendak Tuhan dan benar-benar berusaha untuk mengikuti apa yang Tuhan sedang katakan kepada mereka. Dan yang terakhir mereka melihat pernikahan sebagai bagian dari rencana Tuhan yang lebih luas, mereka berkeyakinan bahwa Tuhan ingin memakai mereka sebagai saluran berkat-Nya dan untuk menggenapi rencana keselamatan-Nya. Jadi mereka tidak hanya melihat pernikahan sebagai persatuan dua individu kemudian membesarkan anak-anak. Mereka menyadari bahwa bersatunya mereka ada dalam rencana Tuhan dan adanya anak-anak itu juga rencana Tuhan, dan pasti ada yang Tuhan ingin kerjakan lewat mereka agar berkat Tuhan disebarkan dan rencana keselamatan Tuhan bagi dunia ini digenapi juga lewat mereka.PG : Betul Pak Gunawan, kita harus selalu melihat pasangan kita sebagai pewaris kerajaan Allah bersama-sama dengan kita. Dan kita juga ditugasi Tuhan untuk menggenapi rencana keselamatan Allah Kita adalah bagian dari tangan kaki Allah untuk menjalankan rencana keselamatan yang Allah ingin supaya semua manusia menerima keselamatan dariNya.
Kita melihat keluarga sebagai alat yang nanti Tuhan akan gunakan. Keluarga yang seperti ini tidak lagi sempit, hanya melihat dirinya, mencari uang, anak-anak besar; mereka memandang lebih luas, mereka melihat pekerjaan Tuhan yang lebih luas dan mereka bagian dari pekerjaan Tuhan itu.ET : Jadi kalau memang hal ini yang benar-benar menjadi fondasi di dalam rumah tangga, pasti akan membawa pertumbuhan bagi masing-masing anggota keluarga ini. Suami bertumbuh, istri bertumbuh khirnya pernikahan ini mencapai pertumbuhan seperti yang Pak Paul katakan di bagian sebelumnya.
Fokus pada pertumbuhan karena memang benar-benar mengalami pertumbuhan di dalam Tuhan.PG : Betul, kalau kita hanya membatasi konsep pernikahan kita pada dua orang menjadi satu, membesarkan anak-anak; mana ada lagi ruang untuk bertumbuh; akan berhenti di situ. Tapi kalau kita meihat kita bersatu dan membesarkan anak dengan sebuah maksud, Tuhan menyatukan kita dengan sebuah tujuan; tujuannya adalah kita menjadi penyebar berkat Tuhan dan menjadi penggenap rencana Tuhan untuk menyelamatkan manusia dari dosa berarti akan banyak lagi hal-hal yang bisa kita kerjakan bersama untuk Tuhan.
Tapi saya perlu ingatkan lagi dua hal terdahulu tentang Tuhan yang harus kita camkan, artinya keluarga yang kokoh takut akan Tuhan, benar-benar takut Tuhan sehingga tidak mau berdosa; tidak mau berdosa dengan mencaci maki atau dengan ketidaksetiaan, jadi ada pagarnya. Dan yang kedua keluarga yang kokoh itu mencari pimpinan Tuhan dalam merencanakan sesuatu; mereka tidak asal jalan-pokoknya baik buat saya akan saya lakukan, tidak demikian. Dua-dua tunduk berdoa meminta pimpinan Tuhan, dua hal ini penting sekali. Jadi keluarga yang kokoh benar-benar tak bisa dilepaskan dari Tuhan.PG : Betul sekali Pak Gunawan.
PG : Saya bacakan Amsal 12:11, "Siapa mengerjakan tanahnya, akan kenyang dengan makanan." Aplikasinya bagi kita semua adalah keluarga yang kokoh memang tidak datang dengan gratis dan otomatis,kita mesti mengerjakan tanah kita, kita mesti mengerjakan tanggung jawab kita.
Lakukanlah, berikanlah yang terbaik karena pada akhirnya kita juga akan kenyang dengan makanan atau dengan hasil perbuatan kita itu.GS : Jadi melalui perbincangan ini, kita tentu berharap banyak keluarga-keluarga yang semakin kokoh. Terima kasih Pak Paul, terima kasih Ibu Ester, para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keluarga yang Kokoh". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
23. Kebohongan dalam Keluarga | |
Kepercayaan mutlak dibutuhkan untuk membangun pernikahan tetapi kadang kebalikannya yang kita temukan, yaitu kebohongan. Apakah yang harus kita lakukan bila inilah yang kita dapati pada pasangan sendiri? Salah satu cara ialah mintalah kepadanya untuk melihat fakta. Kita memohon bantuannya untuk berterus terang secara proaktif. Jangan baru menjawab jujur bila sudah ditanya atau terpojok; sikap seperti ini makin menjerumuskan komunikasi (dan juga relasi) ke dalam pola interogasi.
T 211 A "Kebohongan dalam Keluarga" oleh Pdt. Paul Gunadi
Kepercayaan mutlak dibutuhkan untuk membangun pernikahan tetapi kadang kebalikannya yang kita temukan-kebohongan. Apakah yang harus kita lakukan bila inilah yang kita dapati pada pasangan sendiri?
1. Kita mesti mengintrospeksi diri: Apakah kita berbagian dalam persoalan kebohongan ini? Pada dasarnya pembatasan yang berlebihan rentan melahirkan kebohongan. Ada sebagian dari kita yang memasuki pernikahan dengan rasa tidak percaya yang tinggi; kita takut sekali dikhianati. Mungkin ini disebabkan oleh masa lalu di mana kita pernah dibohongi dan dikhianati sehingga kita senantiasa berjaga-jaga. Akibat rasa kurang percaya, kita selalu ingin tahu apa yang dikerjakan pasangan dan membatasi ruang geraknya dalam pergaulan. Perlakuan seperti ini rawan melahirkan kebohongan karena pada akhirnya pasangan belajar menyembunyikan tindakannya yang mungkin saja tidak salah namun tidak dapat kita terima.
Jika inilah masalahnya, kita mesti berani berubah. Jangan menyalahkan pasangan saja; akuilah bagian kita dan mulailah mempercayainya. Katakanlah bahwa ini adalah masalah kita, bukan masalahnya. Mintalah bantuannya agar kita dapat mengalahkan rasa cemburu dan ketidakpercayaan ini dengan cara berkomunikasi dengan jujur. Berjanjilah kepadanya bahwa kendati tidak mudah, kita tetap berusaha untuk tidak marah.
2. Jika kita tidak mempunyai masalah dengan rasa tidak percaya dan cemburu, namun pasangan kerap berbohong, ajaklah bicara secara terbuka dan rasional. Tanyakanlah sebenarnya apakah yang membuatnya tidak berani berterus terang. Ada orang yang sudah dirundung ketakutan dan rasa bersalah sebelum masuk ke dalam pernikahan akibat pengalaman masa lalunya. Mungkin ia sering menerima hukuman dari orangtua yang terlalu tinggi tuntutannya sehingga daripada dihukum, pada akhirnya ia mengembangkan sikap tertutup dan kadang berbohong untuk menyelamatkan diri. Sikap yang sama ini dibawanya masuk ke dalam pernikahan dengan anggapan bahwa kita-sama seperti orangtuanya-juga siap menghukumnya.
Jika inilah masalahnya, mintalah kepadanya untuk melihat fakta: Apakah pernah atau sering kita marah kepadanya karena menganggap ia gagal memenuhi tuntutan kita? Dengan melihat faktanya, ia dapat menyadari bahwa kita tidak sama dengan orangtuanya. Lewat percakapan itu, kita memintanya untuk melawan godaan menyamakan kita dengan orangtuanya sekaligus memintanya untuk berterus terang. Katakanlah bahwa kita tidak ingin menciptakan relasi dengan corak interogasi sebab kita tidak mau menjadikannya terdakwa. Namun supaya itu terjadi, kita memohon bantuannya untuk berterus terang secara proaktif. Jangan baru menjawab jujur bila sudah ditanya atau terpojok; sikap seperti ini makin menjerumuskan komunikasi (dan juga relasi) ke dalam pola interogasi.
Firman Tuhan: Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota. (Efesus 4:25)
T 211 A
"Kebohongan Dalam Keluarga" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kebohongan Dalam Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, saya kira kita ini menjadi manusia yang makin hari tidak peka dengan kebohongan. Karena begitu seringnya terjadi kebohongan sehingga pada akhirnya toleransi kitamakin membesar.
Kita makin membolehkan diri sendiri untuk berbohong dan kita makin banyak membuat perkecualian-perkecualian; mengapa dibenarkan berbohong dalam situasi ini, dalam situasi itu, akhirnya daftar kita itu makin hari makin panjang.PG : Biasanya kita berbohong itu dengan satu tujuan, yaitu mendapatkan yang kita inginkan. Jadi ada sesuatu yang memang kita mau peroleh, misalkan keamanan, penilaian orang yang positif, anggaan orang yang baik terhadap kita; biasanya itu ada yang kita inginkan.
Kita ingin lepas dari konsekuensi atau dari sanksi maka kita berbohong. Jadi sekali lagi kebohongan biasanya berakar pada kepentingan, sesuatu yang ingin kita dapatkan.PG : Makin mahir karena dia makin tahu bagaimanakah caranya berbohong. Dia makin bisa mengerti orang-orang yang seperti ini dapat dibohongi dengan cara seperti ini; orang-orang yang seperti it dapat dibohongi dengan cara seperti itu.
Kalau ini adalah sebuah keluarga, dia memang sudah mengenal pasangannya dengan baik, jadi dia sudah mengerti dimanakah titik kelemahan pasangannya dan bagaimanakah cara membohongi pasangannya. Ini bisa berlaku antara suami-istri atau bisa juga berlaku antara orangtua-anak atau kebalikannya anak terhadap orangtua.PG : Karena dengan pasangan, dengan orangtua, dengan anak, kepada merekalah kita menaruh kepercayaan. Tatkala kepada orang kita menaruh kepercayaan, lalu kita dibohongi, itu benar-benar suatu uka, suatu rasa sakit yang mendalam sekali.
PG : Sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang kita akan coba bahas pada kesempatan ini. Pertama adalah tatkala kita menyadari pasangan kita itu kerap berbohong, kita mesti mengintrospeksi dirimelihat diri kita.
Bertanyalah apakah kita berbagian dalam persoalan kebohongan ini. Kenapa saya meminta agar kita mengintrospeksi diri, sebab adakalanya kita melakukan hal-hal yang menjerumuskan pasangan kita untuk berbohong kepada kita. Sudah tentu saya tidak mengatakan bahwa kita bertanggung jawab penuh atas kebohongan pasangan. Apa pun yang kita lakukan tetap pasangan yang berbohong bertanggung jawab terhadap keputusannya untuk berbohong. Namun saya kira langkah pertama kita harus melihat diri sendiri, apakah ada hal-hal yang telah kita lakukan yang membuat pasangan kita akhirnya terjerumus ke dalam kebohongan.PG : Salah satu yang paling umum adalah kecenderungan kita membatasi ruang gerak pasangan kita. Misalkan kita melarang dia untuk pergi dengan teman-temannya, baik itu teman-teman yang sejenis tau bukan sejenis; pokoknya kalau pergi dengan teman ramai-ramai, kita tidak mengijinkannya; kalau pergi dengan teman sejenis, sudah tentu pada tempatnya kita melarang.
Tapi ini masalahnya dalam kelompok, kita tidak begitu suka, kita melarangnya. Atau kita tidak suka dia berbicara berlama-lama dengan keluarganya atau mengunjungi keluarganya, membantu keluarganya. Kalau kita memberikan sikap seperti itu kepada pasangan, membatas-batasinya; sikap seperti ini mudah sekali melahirkan kebohongan pada pasangan.PG : Pada dasarnya kita akan berkata pada diri kita, sebab pasangan kita itu tidak tahu batas, sembarangan bergaul jadi kitalah yang turun tangan mengatur dan membatasinya. Supaya dia lebih tau diri jangan sampai berbuat hal-hal yang tidak-tidak.
Atau pada dasarnya kita merasa keluarga pasangan kita itu terlalu dekat dengan pasangan kita, semua urusan dicampuri oleh keluarganya; kita tidak suka maka kita mencoba memisahkan dia dari keluarganya. Atau kita ini cemburu, kita merasa kita harus menjadi yang paling utama, paling spesial dalam hidup pasangan kita. Sudah tentu benar kita harus yang utama dalam hidup pasangan kita, namun kita juga harus mengerti bahwa meskipun kita yang utama tidak berarti pasangan kita tidak boleh menjalin relasi dengan orang lain terutama dengan keluarganya sendiri. Kita tidak bisa terima, kita membatas-batasi karena kita cemburu. Pada dasarnya kita tidak rela berbagi dia dengan keluarganya atau dia dengan pelayanannya di gereja. Jadi kita benar-benar posesif sekali, membatasi semua ruang geraknya. Nah pada waktu dia pulang, kita akan tanya, kita akan korek informasi darinya kemana dia pergi dan sebagainya. Pada akhirnya yang terjadi adalah dia merasa makin hari makin terdesak, terdesak dan terdesak. Kadang-kadang mungkin dia harus ke rumah keluarganya, tapi dia tahu kalau kita cerita dia akan marah, mulailah dia menyembunyikan perbuatannya. Dan akhirnya pada waktu ditanya, dia mengatakan hal yang berlainan, dengan kata lain mulailah dia berbohong.PG : Betul, jadi alasan itulah nantinya yang memang harus kita dengan kritis melihatnya. Kita sudah tentu akan merasa diri benar, bahwa sudah semestinya saya bersikap seperti ini, itulah biasaya yang kita katakan kepada diri sendiri.
Yang diperlukan adalah keberanian, kerelaan untuk bertanya misalkan dengan teman-teman kita. "Kalau saya berbuat seperti ini, menurut kamu apakah saya sedikit keterlaluan?" Jangan bertanya dengan orang yang pasti akan menyetujui semua yang akan kita lakukan, bertanyalah dengan seseorang yang matang, yang dewasa, dan mintalah pendapatnya. Mungkin dari beberapa orang bukan hanya dari satu orang, sehingga kita menerima masukan apakah perilaku kita itu berlebihan atau tidak. Susah buat kita menerima perilaku kita berlebihan, kita memang mau melihat diri kita itu baik, sempurna, susah untuk akhirnya kita mengakui, "Ya, memang kita yang berlebihan." Tapi kalau memang itulah yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar kita, bahwa kita berlebihan; terimalah, akuilah dan cobalah ubah. Kita mungkin harus mengendorkan tuntutan kita, pembatasan kita yang berlebihan itu.PG : Kalau akhirnya kita berbicara dengan dia dengan bukti bahwa dia memang telah berbohong, dia akan mengemukakan alasan yang sebenarnya. Dan biasanya alasan yang akan dia katakan adalah "sebb saya tahu, kalau saya katakan yang sebenarnya yang terjadi adalah seperti hari ini, yaitu engkau marah.
Saya tidak mau menyebabkan pertengkaran dalam rumah tangga, maka saya mencoba untuk menghindar, Tapi karena kamu bertanya-tanya terus ya harus saya jawab, jadi saya jawab dengan kebohongan. Tapi kenapa saya harus berbohong, ya karena memang menurut saya tindakanmu, tuntutanmu itu tidak lagi pada tempatnya. Tapi kamu tidak bisa diberitahukan; kalau saya ngomong baik-baik, saya beritahukan baik-baik, kamu terus marah, bertengkar dengan saya, tidak mau menerima, mengatai saya tidak peka, tidak mempedulikanmu, tidak mengasihimu dan sebagainya. Tapi saya 'kan harus tetap berhubungan dengan keluarga saya ini, bagaimanakah mungkin saya terus memutuskan hubungan dengan mereka. Meskipun saya tahu kamu tidak suka dengan keluarga saya, keluarga saya adalah tetap keluarga saya, akhirnya saya terpaksa berbohong." Kira-kira itulah jawaban yang akan diberikan pasangan kita waktu kita mengkonfrontasinya.PG : Ya, kalau dia tidak berani, dia akan lebih membohongi kita lagi. Makanya dari pihak kita kalau kita sadar, "Ya, memang saya ini berlebihan." Kita mesti mengaku kepada dia seperti ini, "Sya mempunyai masalah, masalahnya bukan pada kamu tapi pada diri saya.
Saya memang takut sekali kehilanganmu, saya takut kamu nanti semakin hari semakin berat kepada keluargamu, saya takut sekali kamu nanti makin hari makin melupakan saya." Nah itu ketakutan kita yang membuat kita misalnya membatasinya atau cemburu kepadanya, kita akui. Misalkan kita akhirnya cemburu, akui. Saya akhirnya temukan jarang ada orang yang berani berkata, "Saya cemburu," tapi tindakannya itu merefleksikan kecemburuannya. Namun waktu ditanya, "Kamu cemburu?" "O....tidak, saya tidak cemburu." Jadi sekali lagi kita itu tidak suka melihat diri kita kurang sempurna, tidak seperti yang kita inginkan. Akuilah, kalau kita memang cemburu, katakanlah, "Saya cemburu, nah saya minta bantuanmu. Sekarang saya akui saya mempunyai problem ini tapi saya minta bantuanmu, tolong saya untuk mengatasi hal ini, beri saya waktu juga. Saya mungkin akan tergoncang, tidak suka, mungkin jengkel mendengar kamu ke rumah orangtuamu tapi saya akan coba tutup mulut, saya akan coba tidak berbuat apa-apa. Tapi mohon kamu jujur, daripada kamu diam-diam pergi tidak bilang-bilang ke rumah orangtuamu, tolong kamu jujur apa adanya ngomong dengan saya. Sehingga saya tahu, meskipun saya bereaksi tidak suka atau apa saya akan coba tahan." Ini saya kira lebih baik, daripada pada akhirnya terus-menerus berbohong; yang langsung akan rontok dalam relasi itu adalah kepercayaan. Dan begitu kepercayaan tidak ada lagi runtuhlah pernikahan itu.PG : Kita memang mesti mencoba memahami kenapa dia itu berbohong. Ada orang-orang yang berasal dari latar belakang yang kurang positif, misalkan dia dibesarkan di lingkungan di mana hampir sema temannya, sanak keluarganya, kerabatnya itu berbohong.
Berbohong menjadi begitu umum dilakukan oleh lingkungannya. Bagi anak yang dibesarkan di lingkungan seperti ini, dia akan mengadopsi berbohong itu dengan begitu alamiahnya, sehingga dia kehilangan hati nurani, dia akan mudah sekali berbohong. Nah itulah latar belakangnya yang bisa menjerumuskan kita ke dalam kebohongan. Yang kedua adalah ada sebagian orang yang dibesarkan dalam rumah yang keras sekali, begitu kerasnya sehingga kalau orangtua minta harus dituruti, dituntut apa oleh orangtua harus berikan, kalau tidak sanksinya sangat-sangat dahsyat, dia dipukul dan sebagainya. Nah dua latar belakang ini dengan mudah mengkondisikan orang untuk berbohong. Yang satu dari latar belakang yang sering berbohong, sehingga dia tidak lagi tahu salah benar, terlalu biasa, berbohong sebagai gaya hidup yang umum dan normal. Di contoh yang kedua, latar belakang yang terlalu keras; dia sampai besar, sampai dewasa senantiasa membawa ketakutan dalam dirinya, dia takut kalau-kalau dia berbuat salah nanti ketahuan, ketangkap, bakal kena hukuman. Jadi dengan kata lain dia cenderung melihat hidup itu dan orang di sekitarnya sebagai pengawasnya yang siap untuk menerkamnya, seperti dulu orangtuanya.PG : Dalam kasus yang pertama ya, jadi lingkungannya berbohong, benar-benar dia tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah; mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sebab teman-temanya berbohong, orangtuanya berbohong; misalkan datang tukang tagih, orangtuanya langsung berkata kepadanya, "Ke depan, bilang papa dan mama tidak ada."
Berbohong. Ada apa lagi yang terjadi, "bilang tidak ada." Berbohong lagi. Teman-temannya di sekolah juga begitu, terhadap guru juga berbohong, dengan sesama teman juga berbohong. Jadi benar-benar berbohong itu merupakan gaya hidup. Kalau kita dibesarkan di lingkungan seperti itu akhirnya kita tidak tahu ini benar atau salah, ini benar-benar sudah menjadi gaya hidup.PG : Betul sekali, karena memang akhirnya banyak terjadi kebohongan. Cuma untuk kasus yang pertama ini mungkin masih lebih gampang menghadapinya Pak Gunawan, karena kita bisa mengajaknya mengeal kebenaran; apa yang Tuhan minta, apa yang Tuhan tetapkan, nah dia perlahan-lahan mulai belajar membedakan benar dan salah.
Yang lebih repot memang kasus yang kedua, yaitu kasus di mana seseorang terbiasa dipukul, diberikan hukuman yang berat, karena tuntutan orangtua yang begitu tinggi yang tak dapat dipenuhinya. Anak-anak seperti ini kalau sudah besar, memang dia terus-menerus dihantui oleh ketakutan dan dia selalu diawasi, makanya sering kali berbohong.PG : Yang pertama, kita minta dia untuk bercerita, kenapa akhirnya kamu sering berbohong. Dia mungkin akan cerita, "dulu orangtua saya marah, memukul, menghukum dengan berat kalau saya tidak bsa ini, saya gagal itu.
Jadi akhirnya saya memang sering berbohong supaya tidak kena hukuman." Terus kita meminta dia melihat fakta dalam relasi kita, apakah pernah atau sering kita marah kepadanya, kalau ia gagal melakukan sesuatu. Apakah kita mengawas-awasinya, jadi mintalah dia memberikan masukan. Misalkan dia bilang, "Adakalanya kamu begitu, sama saya, marah." "OK, coba berikan saya contoh." Jadi kita juga mau introspeksi, kita tidak langsung menyalahkannya, kita mau melihat diri kita juga. Kalau memang kita pernah marah, "OK, bisa nggak kamu mengerti kenapa saya marah," kita jelaskan, "Sebab memang saya sudah tanya, saya sudah minta, kamu berkali-kali bilang ya, tetapi kamu tidak lakukan, akhirnya saya marah. Tolong perhatikan bukan hanya dari sisi kamu, tapi dari sisi saya juga kenapa saya bisa marah." Nah setelah itu kita ungkapkan, dia juga ungkapkan kemudian kita minta dia untuk mulai melihat kita sebagai kita, diri yang terpisah dari keluarganya atau orangtuanya. Yakinkanlah dia bahwa kita itu bukan seseorang yang ingin mengejar-ngejar dia dengan sebuah tongkat dan siap untuk memukulnya. Inilah yang terus-menerus kita akan coba ingatkan dia, bahwa kita bukanlah orangtuanya, bukanlah pengawasnya, bukanlah mandornya, jadi tolong perlakukan saya sebagai saya.PG : Tepat sekali, karena memang dia di dalam hatinya tidak ada ketenteraman, dia selalu merasa diawasi dan siap untuk dihukum. Tidak aman sama sekali, kita ingin meyakinkan dia bahwa, "Kamu d sini aman, kami tidak mengejar-ngejar kamu, jadi tolong jangan lihat saya seperti itu.
Dan kalau misalkan kamu tidak setuju dengan apa yang saya minta atau saya katakan, silakan kamu mengutarakan pendapatmu. Saya ingin mendengar kamu juga, bukan hanya kamu mendengarkan saya, tolong kamu juga bicara." Dalam kelanjutannya, kalau kita bicara dengan dia atau apa dia mungkin diam, cenderung menyimpan dan tidak berani bicara, kita yang berinisiatif berkata, "Saya ingin mendengar pendapat kamu, sebetulnya kamu setuju atau tidak." Orang-orang seperti ini tidak terbiasa mengutarakan perbedaannya, sebab dulu kalau dia mengutarakan perbedaannya, habis dipukul orangtuanya. Disangka melawan, kurang ajar dan sebagainya, jadi dia akan ketakutan. Nah kita katakan, "Kamu coba beritahu saya apa pendapatmu saya mau dengarkan." Makin berani dia mengutarakan pendapatnya, ketidaksetujuannya, makin dia merdeka dari ketakutannya. Nah kita sampaikan langsung pujian kita kepadanya, "Saya senang sekali kamu sekarang lebih terbuka kepada saya, berani mengatakan ketidaksetujuan kamu." Makin dipuji, mudah-mudahan dia makin berani mengutarakan dirinya.PG : Contoh-contohnya yang mungkin kadang-kadang terjadi orangtua membohongi anak misalnya orangtua yang pergi, yang sebetulnya mau ke mana tapi bilangnya mau ke mana. Biasanya orangtua itu bia melakukan hal seperti itu, umumnya yang lebih positif karena mereka menganggap si anak tidak perlu tahu, masih kecil.
Dalam kasus seperti itu meskipun bisa menjurus kepada bahaya yang lebih besar, masih bisa kita toleransi. Namun yang saya khawatirkan adalah kalau kita membiasakan diri seperti itu, takutnya nanti terbiasa. Lama-lama kita jadinya sangat mudah berbohong kepada anak-anak; mau pergi ke mana kita bilangnya mau ke mana suruh tunggu anak-anak di rumah. Misalkan kita mau pergi jalan-jalan, shopping; kita bilang "Papa, mama mau ke gereja." Padahal mau shopping. Takutnya nanti kalau kita bilang mau shopping, anak-anak mau ikut. Tapi bukankah yang lebih baik adalah kita katakan, "Papa-mama mau shopping dan papa-mama perlu pergi berdua untuk shopping." Anak mungkin menangis, kita mesti belajar tegas dan berkata, "Kamu diam di rumah, kamu tidak usah ikut karena papa-mama juga perlu membagi waktu berdua." Inilah justru yang perlu kita lakukan, tapi adakalanya orangtua mau mengambil gampangnya, jadi langsung saja bilang mau ke gereja, padahal shopping. Inilah perilaku yang harus kita ubah dari awal, dari anak-anak masih kecil. Sehingga nomor satu si anak belajar mengekang diri, tidak bisa menuntut harus selalu ikut; lama-lama dia terbiasa melihat papa-mamanya pergi berdua dan tidak apa-apa.PG : Mula-mulanya bingung tapi lama-lama marah, sebab mereka tahu bahwa papa-mamanya berbohong, karena kita hanya bisa menutupi fakta itu sampai anak-anak usia sekitar 8, 9 tahun. Begitu mulai10 tahun ke atas, si anak sudah mulai mengerti barang murah, barang mewah, mereka mulai bisa membedakan.
Dan waktu mereka mulai melihat barang-barang di rumahnya itu barang-barang mewah, dia tahu orangtuanya tidak semiskin yang orangtuanya katakan. Tapi kalau terhadap anak, orangtuanya tetap memberikan kecukupan, uang jajan yang cukup, mungkin sekali tidak berdampak apa-apa. Namun kalau orangtua terhadap anak juga sangat-sangat hemat, saya kira itu bisa menjengkelkan si anak dan si anak nantinya bisa tergoda untuk mencuri uang orangtuanya, sengaja berhutang, nanti orangtua yang harus bayar. Jadi melahirkan perilaku yang tidak sehat.PG : Kita mengintrospeksi diri apakah kita terlalu keras kepada anak, itu yang pertama. Yang kedua, kita juga mesti melihat apakah kita realistik misalkan di dalam soal uang. Apakah kita realstik di dalam memberinya uang jajan, sebab kadang-kadang tidak cukup.
Ada anak yang akhirnya berbohong, dia perlu ini perlu itu, dia minta uang kepada kita, padahal tidak ada yang dipakai untuk keperluan itu. Jadi langkah pertama adalah introspeksi, setelah bicara secara baik-baik dengan anak, meyakinkannya, jujur itu lebih baik. Kami akan berjanji tidak marah asal kamu jujur, itu terus yang kita tanamkan kepada anak.PG : Efesus 4:25 berkata, "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Dusta itu mesti dibuang bukan disembunyikan atau dipelihra, harus dibuang.
Dan Tuhan meminta berkata benar, ini adalah tuntutan Tuhan bukan hanya tuntutan manusia. Tuhan melihat dan mengawasi, dan Dia tidak bisa dibohongi, jadi kita mesti berhenti berbohong.GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kebohongan Dalam Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
24. Ketika Pasangan Tidak Setia | |
Ketidaksetiaan dan kebohongan dapat diidentikkan keduanya berada dalam satu paket yang sama. Jika ketidaksetiaan sudah mulai muncul apa yang harus kita lakukan? Bagian ini akan mengulas secara konkret mengenai hal ini.
T 211 B "Ketika Pasangan tidak Setia" oleh Pdt. Paul Gunadi
Ketidaksetiaan dan kebohongan dapat diidentikkan keduanya berada dalam satu paket yang sama. Ada orang yang berbohong karena memang ia tengah melanggar janji kesetiaannya. Di dalam dosa, ia berusaha keras menyembunyikan perbuatannya dan terus membohongi kita. Kalau ditanya, ia senantiasa mengelak meski perbuatannya terlalu nyata dan bukti sudah begitu menumpuk.
Jika ini yang terjadi, berbicaralah kepadanya dengan rasional, tidak perlu emosional. Jangan lagi bertanya apakah benar ia berbuat begini begitu; langsung katakan kepadanya bahwa kita tahu apa yang telah dilakukannya. Sampaikan kepadanya bahwa kita ingin memperlakukannya seperti orang dewasa; itu sebabnya kita mengajaknya berbicara seperti ini. Tanyakanlah apa yang yang dikehendakinya sekarang: Apakah ia tetap ingin melanjutkan hubungan dengan pihak ketiga itu ataukah ia bersedia memutuskan hubungan dan kembali kepada kita? Mintalah kepadanya untuk tidak memberi jawaban sekarang; berilah waktu seminggu kepadanya untuk mempertimbangkan keputusannya. Pada intinya kita meminta bila ia memutuskan kembali kepada kita, maka ia harus kembali bersih dari relasinya dengan pihak ketiga itu.
Setelah seminggu, tanyakanlah jawabannya; jika ia mengatakan tidak tahu, katakanlah bahwa karena ia tidak tahu, maka kitalah yang sekarang akan mengambil keputusan. Nah, di sini diperlukan keseriusan dan kesiapan pada diri kita. Sebab apa pun yang kita putuskan, kita mesti konsisten. Jangan berubah pikiran sebab perubahan pikiran hanyalah memperpanjang masalah. Jika kita siap dengan akibat terburuk yaitu perceraian, maka katakanlah bahwa kita akan menceraikannya sebab kita tidak mau dan tidak dapat membaginya dengan pihak ketiga. Berilah ia waktu seminggu untuk memikirkan keputusan kita; setelah tenggang waktu, tanyakan lagi apakah ia ingin mengubah keputusannya atau tidak. Jika jawabnya tetap tidak tahu, bertindaklah sesuai dengan keputusan yang telah kita sampaikan yakni mengajukan perceraian.
Bila kita tidak siap dengan keputusan perceraian, janganlah mengancamnya dengan perceraian sebab ancaman tanpa keberanian untuk mewujudkannya hanyalah akan mengurangi wibawa sendiri. Jika memang kita tidak siap, berbicaralah kepadanya secara rasional dan tanyakanlah, apakah yang kurang dalam relasi ini sehingga ia harus mencarinya di luar. Tanyakanlah apakah ada masalah dalam relasi ini sebab kita bersedia untuk memperbaikinya bila ada. Mintalah kepadanya untuk berpikir dengan jernih dan mulai saat itu, berdoalah bersamanya agar ia dapat melepaskan diri dari pihak ketiga. Jika ia menolak untuk berdoa bersama, janjikanlah bahwa kita akan selalu mendoakannya. Dan, daripada terus berbohong, mintalah kepadanya untuk jujur kepada kita-kendati itu menyakitkan untuk didengar. Acap kali dosa bertambah manis jika dilakukan sembunyi-sembunyi namun berubah tawar tatkala tidak lagi dilakukan sembunyi-sembunyi.
Firman Tuhan: "Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya." (Amsal 11:3)
T 211 B
"Ketika Pasangan Tidak Setia" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ketika Pasangan Tidak Setia". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya kira demikian, Pak Gunawan, sebab ketidaksetiaan itu jarang sekali langsung dikemukakan. Biasanya orang yang tidak setia karena menjalin relasi dengan pihak ketiga di luar rumah akanberbohong, menutupi perbuatannya.
Memang dapat kita identikkan keduanya itu sering kali berada dalam satu paket yang sama.PG : Betul, biasanya orang yang menjalin relasi dengan pihak ketiga makin hari akan makin banyak berbohong. Karena dia harus selalu menutupi perbuatan-perbuatannya, akan ada waktu-waktu, jam-jm yang tidak terhitung, yang tidak diketahui ke mana larinya karena dia harus menggunakannya untuk berkencan dengan orang ketiga itu.
Jadi dia harus menciptakan skenario-skenario. Bayangkan kalau seseorang menjalin relasi gelap di luar rumah, misalkan selama setahun. Berarti ada 365 hari, di mana mungkin 365 kali dia harus memikirkan kebohongan. Setelah setahun dia terbiasa berbohong, akan ada yang terjadi dalam diri dia. Yang pertama, dia akan kehilangan kepekaan terhadap kebohongan, dia sudah terlalu terbiasa karena setiap hari dia harus memikirkan kebohongan untuk menutupi relasinya dengan pihak ketiga itu. Kedua, dia bukan saja kehilangan kepekaannya terhadap kebohongan ini bahwa itu adalah sebuah dosa, dia makin hari makin canggih karena dia harus makin mempercanggih ceritanya. Karena kalau terus-menerus sama nanti bisa ketahuan, dia harus kreatif mengubah cerita. Dengan kata lain dia makin menguasai keterampilan berbohong, dia makin pandai berbohong. Misalnya, awalnya kalau dia berbohong wajahnya itu memerah, sekarang tidak lagi memerah; kalau dulu berbohong suaranya itu bergetar, sekarang tidak lagi bergetar. Dia makin menguasai ilmu berbohongnya, itu sebabnya kalau pasangannya mengkonfrontasi, dia dengan wajah yang penuh ketulusan bisa tetap berbohong. "Nggak, siapa yang bilang begitu, mana mungkin saya melakukan hal seperti itu, sumpah atau demi Tuhan." Sehingga orang yang menanyakannya juga sedikit gamang atau ragu, "Pasangan saya kok bisa begitu tulus ngomong seperti itu, padahalnya dia sedang berbohong." Nah karena itu dia makin menguasai ilmu berbohong. Yang ketiga adalah orang yang akhirnya terus-menerus berbohong, akhirnya menjadi orang yang berbeda. Dia tidak lagi sama dengan setahun yang lalu sebelum dia memulai relasi dengan pihak ketiga. Dia benar-benar menjadi orang yang lain, orang yang berbeda; sebab nilai-nilai hidupnya pun mulai berbeda, gaya hidupnya pun mulai berbeda karena dia terus-menerus hidup dalam kebohongan, dalam skenario kebohongan. Dia tidak lagi hidup yang sama, dalam realitas yang sama; dia harus hidup dalam dua dunia, dunia kebohongannya dan dunia dia, sehingga dia menjadi orang yang lain. Itu sebabnya banyak korban yang berkata, "Kok suami saya menjadi begitu berbeda setelah ada relasi dengan pihak ketiga." Dia tidak lagi orang yang sama, itu betul. Karena hidup terus-menerus dalam kebohongan, membuatnya menjadi orang yang berbeda.PG : Adakalanya orang itu terlalu letih atau adakalanya juga tiba-tiba muncul rasa bersalah. Itu kita percayakan pada kuasa Tuhan, yang menegurnya secara pribadi, sehingga akhirnya dia tahu da sadar bahwa dia salah.
Dalam kondisi seperti itu, memang besar kemungkinan pada akhirnya dia akan dengan sukarela mengakui bahwa dia telah berbohong, bahwa dia sebetulnya telah tidak setia.PG : Saya tambahkan lagi, atau kita telah pernah mengkonfrontasinya tapi dia dengan wajah tulus, serius, "mengatakan tidak, itu tidak pernah." Apa yang kita lakukan kalau situasinya seperti it? Kita tidak lagi bertanya, saya tidak lagi menganjurkan kita meneliti, mencari celah untuk memojokkannya ke sudut sehingga akhirnya dia mengaku.
Dengan orang yang telah begitu canggih berbohong, kita tidak mungkin menang. Jadi yang saya anjurkan adalah langsung saja datang kepadanya dan berkata, "Saya tahu kamu mempunyai relasi dengan pihak ketiga, kamu tidak usah ngomong apa-apa dengan saya, tapi itu sudah saya ketahui. Saya sekarang mau mengajak kamu seperti orang dewasa, kita tidak usah ribut, tidak usah marah-marah, kita bicara baik-baik saja. Sekarang saya mau memberikanmu waktu selama seminggu ini untuk berpikir, apakah yang engkau inginkan, apa maumu sekarang. Saya meminta kamu memikirkannya baik-baik sebab saya tidak mau relasi kamu dengan dia berlanjut, jadi pilihan kamu sekarang hanya dua; kalau kamu terus mau melanjutkan dengan orang itu, beritahu saya seminggu kemudian dan kita baik-baik pisah. Tapi kalau kamu berkata kamu mau kembali kepada saya, saya minta kamu kembali bersih, tidak lagi bersama dengan orang itu. Benar-benar kamu putuskan. Saya tidak meminta yang lain-lain, saya hanya minta keputusan kamu, dan saya beri kamu waktu seminggu untuk berpikir." Setelah kita katakan itu, kita diam, kita tidak usah berulah, beremosi; bicara baik-baik seperti itu, dengan rasional. Orang yang hidup dalam kebohongan kalau disajikan dengan emosi yang kuat akan semakin menjadi. Kalau kita bicara secara rasional kepadanya, itu akan lebih menggetarkannya, membuat dia benar-benar berpikir serius apakah yang dia harus lakukan.PG : Kalau memang itulah yang dia lakukan dia mengatakan, "Saya ini begini karena kamu begini, begini." Kita harus konsekuen dan berkata, "OK, mau membicarakan hal itu, ayo duduk sama-sama. Aa keluhanmu sebab saya bersedia berubah.
Kalau memang saya salah, saya mau berubah; kalau ada andil saya, saya mau melihatnya dan mau mengubahnya." Nah biarkan dia bicara. Dan di mana kita akui itu adalah bagian kita yang kita harus ubah kita terima dan akuilah. Tapi setelah itu kita juga katakan kepada dia, misalkan ada bagian dia kita berkata, "Apakah sekarang boleh saya juga menceritakan apa itu yang sebetulnya telah sangat mengganjal, apa yang telah kamu lakukan itu juga telah mengganjal saya. Boleh saya katakan supaya kamu bisa mendengarnya?" Nah biarkan dia duduk dan sekarang mendengarkan kita dan kita meminta dia juga untuk berubah. Jadi silakan kita melakukan percakapan seperti itu, namun setelah itu tetap kembali pada poin kita yang pertama. "Sekarang apa yang kamu inginkan, kalau saya harus mengubah diri saya seperti itu dan kamu juga bersedia berubah seperti tadi yang saya minta, apakah kamu sekarang bersedia melepaskan orang ketiga itu dan kembali kepada saya dengan bersih, sebab kalau tidak berarti kamu akan memilih dia. Jawaban saya nantikan seminggu lagi." Jadi kita tetap kembali pada point pertama.PG : Kita ajak berbicara lagi, kita cari tempat yang tenang kita bisa berbicara dengan dia dengan tenang juga. Sebelum saya menjawab saya ingin menjelaskan kenapa kita perlu memberinya waktu sminggu.
Jangan terlalu cepat, jangan terlalu lama; kalau terlalu lama dia juga tidak akan bisa mengambil keputusan dengan bertambahnya waktu. Masalah ini memang masalah yang pelik, jadi dia diberikan sebulan, enam bulan, hasilnya akan sama dengan seminggu, karena memang dia akan susah mengambil keputusan. Namun saya juga tidak meminta lebih cepat dari seminggu karena dalam waktu seminggu itu pertama dia harus memikirkan semua sudut, semua kepentingan termasuk dirinya. Dan dia juga perlu memikirkan rasanya seperti apa kalau saya kehilangan keluarga saya. Dia perlu diberikan kesempatan untuk merenungkan itu, rasanya seperti apa kalau istri dan anak-anak saya tidak ada. Jadi seminggu itu cukup untuk dia menyadari, inilah kira-kira yang akan saya alami kalau saya memikirkan A atau B. Setelah seminggu tiba, kita tanyakan. Kalau dia berkata, "Ya, saya akan memilih kamu." Ya kita langsung minta, "apakah kamu sudah memutuskan hubungan dengan dia?" Misalkan dia bilang belum, "kalau begitu saya minta kamu putuskan, saya ingin menjadi saksinya." "Tidak bisa, kamu tidak boleh ikut dan sebagainya." Kita katakan, "OK, kalau saya tidak bisa ikut, bagaimana saya tahu kamu telah melakukannya?" Misalnya dia bilang, "Saya akan berjanji, saya akan melakukannya." "Bagaimanakah kamu akan meyakinkan saya, kamu akan berjanji seperti ini dan kamu akan melakukannya, sebab bukankah terlalu sering kamu berbohong? Jadi tolong saya, kamu tidak bisa mengharapkan saya percaya begitu saja, saya perlu sesuatu yang lebih. Beritahu saya apa yang lainnya, sehingga saya bisa percaya." Misalkan dia bilang, "Ya, kamu harus percaya saja." "Tidak bisa, sudah setahun ini kamu sudah berbohong kepada saya setiap hari, pikirkan kalau misalkan saya berbohong kepada kamu setiap hari, 365 kali dalam setahun ini dan saya berkata yang ke 366 kali inilah yang benar, bisa tidak kamu percaya? Jadi tolong beritahu saya yang lain. Tempatkan dirimu di posisi saya, bagaimana saya tahu kamu telah memutuskannya." Kita langsung desak dia ke sana. "Kalau kamu mau putuskan, saya harus menjadi saksinya, saya hadir di situ, saya janji saya tidak akan berbuat apa-apa, tapi saya mau melihatnya bahwa kamu sudah memutuskan dengan dia. Ini harga yang harus kamu bayar, harga kebohongan harus ditebus dengan kenyataan. Tidak bisa lagi kamu meyakinkan saya dengan kata-kata, kebohongan ditebus dengan kenyataan, saya harus menyaksikannya." Kalau dia berkata, "OK, saya akan kembali." Itulah yang kita minta darinya.PG : Saya mengerti, inilah realitas kehidupan kita Pak Gunawan, idealnya yang seperti tadi saya sarankan tapi faktanya adalah orang susah untuk melakukan hal seperti itu karena harga yang harusdibayar terlalu tinggi.
Namun saya juga ingin mengatakan ini, gara-gara harga yang dibayar tinggi maka orang itu berani berbohong, tidak setia; karena dia tahu si istri akan siap menunggunya. Istri-istri tidak berani berbuat apa-apa, karena kalau istri berani untuk meninggalkannya, yang rugi istri sendiri. Itu sebabnya dalam hal ini kalau pria yang berbohong, kecenderungannya memang dia tidak takut, dia malah di atas angin. Nah kalau kita misalkan di pihak yang lebih lemah, kita memang menyadari, kita tidak siap; saya tidak akan memaksa. Saya mengerti kalau ada di antara para pendengar kita yang berkata, "Ya idealnya begitu Pak Paul saya setuju, tapi saya tidak siap kehilangan rumah tangga saya dan sebagainya." jangan mengikuti yang tadi saya minta. Yang saya sarankan adalah bicaralah dengan suami apa adanya dan katakan, "Saya tidak ingin kehilangan kamu, saya tahu kamu telah ada relasi dengan orang itu, tapi tolong perhatikan keluargamu. Apakah yang bisa saya lakukan, apakah ada keluhanmu kepada saya; misalnya suaminya berkata, "Kamu tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." "Tolong putuskan, kalau memang rumah tanggamu tidak ada apa-apa. Putuskan hubungan dengan orang itu, saya mohon." Jadi kita memang harus datang kepadanya, memohon belas kasihannya. Mengetuk pintu hatinya, meminta agar dia menyadari kesalahannya.PG : Betul, atau ini hanya paling untuk mendapatkan saya kembali. Jadi memang diperlukan integritas, kalau kita kehilangan integritas, pasangan kita akan sulit untuk kembali kepada kita. Tapibagaimana kalau kita tidak dalam posisi seperti itu, kita itu mau dan siap menerima konsekuensi yang terburuk.
Setelah seminggu kita bicara dengan pasangan kita dan dia berkata, "tidak tahu, saya bingung." Apa yang harus kita lakukan? Kenapa saya munculkan ini, sebab ini sering terjadi. Banyak orang kalau ditanya, apa maumu sekarang jawabnya, 'tidak tahu, saya bingung.' Saya kira kalau kita berani menanggung risiko yang terburuk, kita harus berani berkata tegas kepada dia, "Karena kamu berkata kamu tidak tahu, jadi terpaksa sekarang sayalah yang harus mengambil keputusan. Dan keputusan saya adalah saya akan meninggalkan kamu, sebab saya tidak bisa menerima fakta kamu berbagi tubuhmu dan dirimu itu dengan perempuan lain atau dengan laki-laki lain. Saya tidak bisa itu. Jadi saya akan berikan waktu seminggu lagi untuk memikirkan keputusan saya ini, tolong pikirkan baik-baik, ini akan saya lakukan setelah seminggu ini." Setelah seminggu berlalu dan dia tetap berkata tidak tahu juga dan belum bisa putuskan hubungannya dengan pihak ketiga, kalau kita berkata kita akan meninggalkannya, kita akan berpisah dengan dia itulah yang harus kita lakukan. Kita harus benar-benar berpisah dengan dia, sehingga kita tahu kita serius. Kalau tidak, dia akan pikir kita main-main. Jadi kita bisa berkata, "kamu yang pindah atau saya yang pindah, saya akan meninggalkanmu."PG : Ini memang berisiko tinggi Pak Gunawan, ada orang yang akan berkata, "Ya sudah, kalau memang ini akhirnya ya sudah kita berpisah, saya terima." Itu akan bisa terjadi. Tapi bisa jadi, gar-gara kita tegas begitu dan kita benar-benar akhirnya berpisah dengan dia, dan dia harus hidup sendiri, dia benar-benar sadar.
Sebab salah satu alasan kenapa orang yang berselingkuh itu tidak bergerak-gerak, tidak mengambil tindakan, tidak memutuskan dengan pihak ketiga, karena dia masih bisa pulang. Dia masih bisa mencicipi kehidupan keluarganya, semuanya masih sama. Siapakah orang yang mau berubah kalau semuanya masih tetap sama seperti itu, itu sebabnya saya menganjurkan kalau memang pihak yang dirugikan ini siap, memang harus siap untuk berkata seperti itu, dan menanggung risikonya. Benar-benar harafiah pisah, dia yang pindah atau kita yang pindah, kita keluar dari rumah kalau dia tidak mau pindah, kita bawa anak-anak dan sebagainya. Kalau misalkan dia berkata anak-anak tidak boleh dibawa; jangan ribut, biarkan anak-anak di rumah kita benar-benar keluar dan setelah itu kita gugat cerai. Sebab dalam pengadilan nanti akan diputuskan anak itu akan ke mana, daripada kita ribut dan berkelahi pada saat itu. Kita yang akan keluar dan kita berkata, "kalau begitu saya akan gugat cerai supaya anak-anak bisa kembali kepada saya." Dengan cara itu pihak yang memang berselingkuh dan berbohong disadarkan bahwa kita benar-benar serius, dan yang kedua ini yang terlebih penting, dia akan menaruh respek kepada kita. Kebanyakan pihak yang berselingkuh tidak lagi mempunyai respek terhadap pasangannya, sebab pasangannya itu hanya berani berkata-kata tidak berani berbuat. Maka dia tambah tidak respek. Waktu dia melihat kita berani bertindak, itu akan menggugah respeknya kepada kita.PG : Kalau misalkan kita mendengarkan perkataan seperti itu, kita tanya, "Kalau saya yang berbuat seperti itu, kamu yang di rumah, saya berganti-ganti pacar, berganti-ganti pria di ranjang saya kamu katakan saya apa? Perempuan bejat atau perempuan yang bisa menikmati kesenangan? Nah bukankah kamu akan berkata saya perempuan bejat?" Nah, jadi kita akan putar situasinya supaya dia bisa bercermin.
Sebab sekali lagi kebanyakan orang yang berselingkuh itu tidak bisa melihat dirinya kembali, benar-benar lupa siapa dirinya, karena dia terlalu sibuk membenarkan dirinya. Kenapa dia berselingkuh, kenapa dia tidak apa-apa berselingkuh, jadi senantiasa membenarkan diri, maka kita perlu memberikan cermin seperti itu. Jadi sekali lagi di sini diperlukan ketegasan. Kalau kita katakan "OK, kita akan pindah, kita akan keluar, kita akan pindah baik-baik." Misalkan dia bilang, "anak bagaimana?" "OK, kita bicara baik-baik sekarang, kamu mau ambil anak ini pada akhir pekan silakan, hari-hari biasa dengan saya, jangan kita bertengkar, jangan kita ribut. Jadi biarkan kita lepas darinya dan mudah-mudahan dalam masa perpisahan itu dia benar-benar sadar apa itu artinya hidup tanpa keluarganya. Dia akan pulang ke rumah yang kosong, dia akan benar-benar merasakan apa artinya hidup tanpa pasangan dan anak-anaknya; apakah ini yang dia inginkan. Jadi sekali lagi waktu yang kita berikan kepadanya untuk berpikir, mudah-mudahan setelah itu dia akan sadar dan dia akan berpikir.PG : Dengan kata lain, kita sebetulnya bisa mulai mendeteksi berapa besar cintanya kepada kita dari berapa seriusnya dia memperlakukan kita. Kalau dari masa berpacaran pasangan kita itu tidak emperlakukan kita dengan serius, tidak memperlakukan kata-kata kita dengan serius, itu memang berbahaya.
Itu merupakan sebuah cikal bakal munculnya perilaku-perilaku ketidaksetiaan dan kebohongan. Karena memang tidak menganggap kita serius, namun orang yang menganggap kita serius, menghormati kita, respek kepada kita, kemungkinannya berbohong dan berkhianat itu jauh lebih kecil. Maka sekali lagi penting sekali respek di dalam keluarga.PG : Saya akan bacakan Amsal 11:3, "Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya." Firman Tuhan sudah jelas, Tuhan meminta kita jujur dan jujur it berarti tulus tidak ada lagi kebohongan.
Dan Tuhan sudah berkata pengkhianat dirusak oleh kecurangannya. Orang yang mengkhianat tidak akan mendapatkan yang baik dan yang utuh, dia akan banyak mendapatkan kerusakan dalam dirinya.GS : Dan tentunya kehidupan rumah tangganya ya Pak Paul. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketika Pasangan Tidak Setia". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
25. Memelihara Rutinitas dalam Keluarga | |
Di dalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita harus melakukan hal-hal yang sama, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan bahkan ada yang dari tahun ke tahun. Apa manfaat untuk kita melakukan rutinitas karena rutinitas itu cenderung membosankan?
Di dalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita harus melakukan hal-hal yang sama dari hari kehari, dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan bahkan ada yang dari tahun ke tahun kita melakukan hal-hal yang sama. Ini dinamakan rutinitas.
Penting sekali rutinitas dalam keluarga, mengapa dikatakan penting karena :
Generasi sekarang mengukur banyak hal dari segi uang. Antara orangtua dan anak tidak lagi akrab satu sama lain. Masing-masing punya kegiatan sendiri-sendiri. Akibatnya, perasaan sayang dan rindu semakin menipis. Yang mencemaskan, saat ini banyak orang yang tidak sabar. Akibatnya, karena perasaan yang kurang peka ditambah ketidakakraban membuat banyak anggota keluarga saling memaksakan kehendak.
Manfaat dari memelihara rutinitas bagi anak :
Anak akan lebih cepat dilatih untuk hidup teratur, disiplin, dan lebih stabil emosinya
Mereka akan merasa memiliki sebuah keluarga yang memberi mereka identitas diri yang mantap.
Menurut penelitian, rutinitas keluarga mengurangi konflik antara ayah dengan anak remajanya.
Manfaat dari memelihara rutinitas dengan pasangan :
Rutinitas menciptakan ikatan dan kebiasaan yang menyatukan.
Masing-masing pasangan pun lebih merasa mampu mempercayai satu dengan yang lain
Lebih memberi kepuasan dalam melakukan peran orangtua.
Cara bagaimana memulai rutinitas :
Kita jelaskan kekurangan dalam keluarga akibat tidak adanya rutinitas kebersamaan.
Kita tetapkan peraturan yang kita perlu jaga bersama, seperti misalnya, kalau pergi harus pamit dan menepati janji pulang jam berapa. Lalu juga pulangnya ini jangan terlambat karena perlu makan malam bersama dan agar orang tidak saling menunggu.
Agar rutinitas tidak membosankan :
Sekali-sekali kita perlu melakukan variasi dalam melakukan aktivitas rutin. Jadi, bentuk aktivitas bisa tetap sama, tetapi cara melakukannya berbeda. Soal makan bersama misalnya, sekali-sekali dapat dilakukan dengan memesan makanan dari luar supaya tidak direpotkan dengan memasak. Apabila rutinitas keluarga mendatangkan sukacita, maka aktivitas rutin itu tidak pernah dirasa membosankan. Justru sebaliknya, sangat mungkin aktivitas itu dikenang terus meskipun anak-anak sudah dewasa dan tinggal terpisah dari orangtuanya.
Firman Tuhan : "Lebih baik sepiring sayur dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian". (Amsal 15:17)
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Memelihara rutinitas dalam keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Ya, itu yang disebut rutinitas yang akan kita bicarakan kali ini.
HE : Rutinitas yang di dalam keluarga ada beberapa macam yang biasa dilakukan yang menjadi keseharian. Misalnya, menjelang tidur orang tua menidurkan anak, membangunkan anak, kemudian menyiapka makan, kegiatan makan bersama, menyiapkan anak berangkat ke sekolah atau kita bersama-sama untuk berangkat kerja.
Rutinitas yang sepele, misalnya ngobrol, bergurau, berekreasi juga berdoa dan beribadah bersama-sama. Nah yang disebut rutinitas itu kalau kita lakukan secara teratur dan juga jangka waktunya tetap jadi secara relatif pasti setiap anggota mempunyai antisipasi tentang awal dan akhir dari setiap kegiatan itu.HE : Tetap ada hal yang rutin yang lain yang bisa kita lakukan, jadi bukan dalam bentuk cerita tapi mungkin kita sama-sama menceritakan apa yang kita alami atau kita juga bisa berdoa bersama, kta berbincang-bincang saling memberikan masukan, nasehat dan sebagainya.
HE : Betul.
HE : Jadi misalnya kadang-kadang kalau malam, mungkin kalau siang saat ini keluarga modern agak susah untuk melakukan makan bersama seperti di waktu lalu. Tapi kalau malam misalnya kita tetapka setiap jam 7 kita kumpul, kita makan malam berakhirnya jam 19.20
atau 19.30 begitu, lalu mulai lagi kegiatan yang lain misalnya anak-anak belajar dan sebagainya.HE : Tentu kita tidak melakukanya secara kaku. Tetapi yang jelas adalah ketika masing-masing anggota keluarga mau kemana dan sebagainya, rutinitas tetap bisa dijaga misalnya, dengan pamit keman, saling mengetahui.
Misalnya pulangnya jam berapa, pulang jam berapa itu juga dijaga.HE : Ya betul.
HE : Kalau rutinitas yang kita lakukan sehari-hari biasanya kita lakukan sendirian. Jadi kalau rutinitas yang dimaksud bersama-sama dengan keluarga misalnya mandi, makan, rekreasi, bergurau yan melibatkan semua anggota keluarga ini yang disebut dengan rutinitas di dalam keluarga.
Jadi baik secara tersirat maupun dinyatakan secara terang-terangan kita memang melibatkan setiap anggota keluarga.HE : Ya betul, yang dilakukan secara bersama-sama itu disebut dengan rutinitas di dalam keluarga.
He : Itu salah satu yang memang kita juga lakukan.
HE : Betul, tapi memang perlu ada juga dimana semua anggota keluarga ikut bersama-sama.
HE : Ya itu juga ada.
HE : Bedanya adalah kalau melibatkan orang di luar keluarga, kita akan sepertinya berada diluar jangkauan dari keluarga. Jadi, itu suatu hubungan yang mempunyai arti yang berbeda dengan yang diakukan di dalam keluarga.
Soalnya kalau kita lakukan rutinitas semacam ini bersama orang lain seringkali ini menunjukkan atau membentuk suatu ikatan dan ikatan ini seringkali menimbulkan perasaan seperti perasaan melekat. Jadi kalau tidak dilakukan rasanya ada kehilangan, ada rasa kangen, rindu pada seseorang kalau hal itu tidak dilakukan. Jadi ini yang penting kita lakukan dalam keluarga untuk memelihara kesatuaan, keterikatan karena ini yang jarang kita lakukan. Kalau kita lakukan itu kepada orang lain itu sudah biasa dan jangan-jangan malah lebih sering dilakukan dan jangan sampai itu terjadi sehingga kita lebih merasa ada ikatan rasa rindu kepada orang lain dari pada keluarga sendiri.HE : Ya betul, jadi merasa lebih dekat kepada orang di luar keluarga, di dalam keluarga malahan merasa saling asing satu dengan yang lain. Ini banyak terjadi dan saya kira ini kurang sehat.
HE : Ya betul jadi ada bahaya-bahaya yang kita harus hindari kalau biasanya keterikatan itu dengan orang di luar anggota keluarga.
HE : Tadi saya katakan kalau misalnya ikatan itu lebih pada orang-orang di luar keluarga ini akan kurang sehat. Maksud saya begini, kalau misalnya kita percaya bahwa keluarga itu yang menjadi ientitas utama bagi setiap anggota keluarga terutama anak-anak dan kemudian menjadi sarana pengembangan pribadi bagi setiap orang di dalam anggota keluarga, maka kalau misalnya kita terlepas dari rutinitas di dalam keluarga ini akibatnya ada hal-hal yang terhilang.
Misalnya ada anak-anak bertumbuh menjadi remaja dan dia merasa terus tidak menjadi bagian dari siapa-siapa.HE : Tepat sekali Pak Gunawan, memang itu yang terjadi.
HE : Kira-kira sekitar dua atau tiga puluh tahun yang lalu masyarakat kita sangat mementingkan suasana kekeluargaan. Didalam keluarga ada suasana kasih, keterikatan dan sebagainya, ini yang jusru dibawa keluar.
Jadi dari dalam keluarga yang seperti itu kemudian suasananya dibawa keluar kemudian orang lebih merasa di masyarakat itu juga ada kekeluargaan dan keterikatan. Sayangnya saat ini tidak lagi demikian, akibatnya apa? Ada beberapa hal yang kita bisa lihat. Misalnya generasi sekarang itu mengukur banyak hal hanya dari segi materi, dari segi uang saja. Orangtua - anak tidak lagi akrab satu sama lain masing-masing punya kegiatan sendiri-sendiri, rasa sayang, rasa kangen semakin menipis dan mencemaskan saat ini banyak orang menjadi tidak sabar, pemarah. Jadi akibatnya perasaannya menjadi semakin tidak peka dan banyak anggota keluarga yang terlihat ingin memaksakan kehendaknya karena tidak peka itu. Jadi saat ini sangat banyak kita dengar soal penganiayaan anak dalam keluarga atau anak yang memaksa minta uang lalu kalau tidak diberi dia menganiaya orangtuanya. Hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa keterikatan, rasa sayang didalam keluarga itu semakin menipis.HE : Saya kira dua-duanya saling mempengaruhi, memang kita sulit untuk mengatakan mana yang lebih dulu. Ada banyak hal memang yang sulit untuk dihindari misalnya saja suami istri sekarang banya yang harus mencukupi nafkah keluarga dengan bekerja di luar rumah, tetapi apapun yang terjadi kita sendiri perlu menyadari dan berkomitmen, penting komitmen disini.
Jadi keluarga perlu mempunyai suatu keputusan bahwa apapun yang terjadi kita harus memelihara rutinitas itu, jadi rutinitas tidak boleh hilang sama sekali meskipun masing-masing anggota cukup sibuk.HE : Ini contoh yang konkrit dan sangat baik, Pak Gunawan dan disinilah pentingnya kita menjaga komitmen bahwa seorang suami itu tidak perlu malu, tidak boleh merasa sungkan untuk menolak temantemannya demi keluarga.
Tentu sekali-sekali itu boleh dilakukan, jadi memang misalnya katakanlah didalam satu minggu penuh kita terus-menerus makan bersama dengan keluarga tetapi yang dilakukan bersama teman-teman itu hendaknya sekali-sekali begitu. Harus jauh lebih banyak yang dilakukan bersama keluarga. Memang disini letak tantangannya, yaitu suami/kaum pria itu perlu untuk menyatakan bahwa keluarga penting dan justru kalau misalnya suami berani menyatakan hal seperti itu, seringkali orang-orang yang lain juga ingin mengikutinya.HE : Ya, kadang-kadang memang sulit terutama anak-anak sudah remaja belum lagi mereka harus bikin PR, belum lagi terima telepon, bahkan SMS dari teman-temannya. Tapi bagimanapun juga kita perlumengingatkan kepada remaja, anak-anak remaja kita bahwa rutinitas itu penting, meskipun kita tidak perlu menyebutkan bahwa ini yang kita lakukan adalah rutinitas tetapi kita bisa memberikan beberapa contoh tentang apa gunanya kita bersama-sama dan kita harus membuat supaya rutinitas ini menyenangkan jangan sampai misalnya ini menjadi membosankan.
Nah ini soal kebiasaan juga Pak Gunawan, jadi misalnya keluarga ini sudah terbiasa memasak, mencuci piring, makan bersama nah ini biasanya akan lebih baik dan lebih mudah untuk menjelaskan kepada anak-anak.HE : Saya berikan contoh misalnya, bahwa keluarga itu sedang bertengkar biasanya pertengkaran itu akan cepat selesai karena tadi yaitu terbiasa untuk sebentar lagi bisa ngobrol bersama bahkan brgurau jadi tidak kaku untuk kembali lagi didalam suasana yang damai, yang biasa lagi.
Dan kemudian juga misalnya pertengkaran lebih cepat teratasi karena keluarga terbiasa untuk saling menunggu kehadiran orang lain dan terbiasa untuk bekerja sama. Nah ini tentu akan meningkatkan keharmonisan didalam keluarga.HE : Ini repotnya jadi saling terkait seperti ini. Disini memang perlu ada suatu usaha yang lain jadi perlu kerja keras dan juga perlu ada kerendahan hati untuk saling mengalah, saling belajarmengaku salah dan seterusnya.
Jadi selain rutinitas kita perlu juga membina kebiasaan untuk saling meminta maaf dan seterusnya.HE : Itu pembentukan karakter yang bisa dibiasakan dalam keluarga, tidak persis termasuk rutinitas.
HE : Salah satunya.
HE : Ya, salah satunya.
HE : Dan ada pengalaman begini, kalau kita lagi bertengkar lalu kita rasanya tidak ingin ngomong susah untuk mengakui kesalahan. Nah kalau sudah malam waktunya untuk berdoa bersama, waduh rasana tidak bisa berdoa dan karena ada anak-anak lalu kita akhirnya mau tidak mau berusaha untuk berdamai.
Ini tentunya contoh yang sehat. Tapi kadang-kadang memang bisa terjadi suasana untuk bersama-sama itu terganggu.HE : Ya memang tapi disinilah justru kita belajar bagaimana kita hidup teratur, disiplin.
HE : Bagi anak mereka akan lebih cepat dilatih. Tadi dikatakan tentang keteraturan dan disiplin. Salah satu yang penting buat anak dan bisa membuat anak lebih stabil emosinya. Selain itu tadi jga sudah disinggung dan saya akan tekankan lagi bahwa kalau anak-anak itu merasa memiliki sebuah keluarga yang memberi mereka identitas diri, mereka akan lebih mantap dengan dirinya sendiri.
Dan menurut penelitian rutinitas didalam keluarga ini mengurangi konflik antara ayah dengan anak remajanya. Jadi kalau misalnya anaknya sudah sampai remaja biasanya ada konflik dengan ayah. Kalau ada rutinitas di dalam keluarga konflik-konflik ini berkurang dan ada yang menarik lagi yaitu rutinitas ini bagi anak-anak yang masih baru belajar membaca, kemampuan membaca anak itu akan ditingkatkan.HE : Kalau misalnya anak konflik dengan ayah dan kemudian konflik ini bisa diredam akan membantu anak untuk juga bisa berdamai dengan ibunya karena mau tidak mau ayah di dalam keluarga masih diandang sebagai figur seorang kepala, seorang pemimpin.
HE : Ya betul, seharusnya begitu.
HE : Ini hasil penelitian meskipun penelitian didalam suatu jurnal yang saya baca tidak dijelaskan dengan sangat teliti, tetapi rupanya rutinitas itu membuat keinginan bagi anak-anak untuk belaar sesuatu itu lebih besar.
Membuat anak termotivasi, lebih termotivasi untuk membaca.HE : Saya pikir salah satu hal adalah rasanya ada orang yang menemani dan juga lebih memberi dorongan meskipun orangtua lebih banyak diam saja.
HE : Rutinitas menceritakan ikatan, kebiasaan yang menyatukan di antara suami istri dan kalau ini sudah terbiasa dirasakan tidak menyiksa dan justru tampak menyenangkan. Masing-masing pasangan uga lebih mampu mempercayai satu dengan yang lain karena sering melakukan aktifitas bersama-sama, jadi saling tahu kebiasaan masing-masing.
Bagi istri atau ibu, rutinitas mengurangi tingkat depresi dan memberi daya tahan lebih baik ketika harus menghadapi stres. Juga kegiatan rutin memberi kepuasan yang lebih di dalam masing-masing suami atau istri melakukan perannya sebagai orangtua. Ini juga adalah hasil penelitian.HE : Rutinitas bisa menimbulkan kebosanan kalau dilakukan dengan keterpaksaan tetapi supaya rutinitas tidak membosankan, yang pertama kita bisa lakukan adalah kita jelaskan bahwa kalau tidak ad rutinitas dan kebersamaan didalam keluarga, apa yang terhilang dari keluarga itu? Dan yang kedua kita juga menetapkan suatu peraturan yang kita perlu jaga bersama-sama, misalnya kita mesti pamit, menepati janji dan kalau misalnya terlambat karena perlu makan malam bersama kita mesti berjaga supaya jangan membuat orang saling menunggu dan sebagainya.
Intinya adalah bagaimana supaya semua kegiatan rutin ini bisa dilakukan dengan menyenangkan membawa sukacita. Dan sangat penting juga bagi kita untuk memelihara maksudnya supaya kita berusaha menjaga keharmonisan.HE : Tadi Pak Gunawan juga sudah sebutkan misalnya soal kurangnya waktu, kesibukan masing-masing karena berbagai sebab dan juga ada hal lain yaitu mungkin secara disadari maupun tidak merasa bawa relasi dengan orang lain dinilai lebih penting dan lebih berarti.
Karena biasanya orang sudah berfikir bahwa mencari nafkah atau uang itu penting, sehingga menganggap relasi dengan orang lain lebih penting.HE : Ya, seharusnya demikian.
HE : Ya ini penting.
HE : Supaya bisa lebih teratur kita lakukan dengan suatu komitmen dan mungkin kita jelaskan secara terbuka, jadi kita tetapkan suatu peraturan yang perlu dijaga bersama. Misalnya peraturan itu dalah kalau pergi pamit, kemudian jam berapa pulang? Kemana pergi dan pulangnya jam berapa dan kita tepati.
Semua anggota keluarga menepatinya dan kita juga katakan jam berapa kita harus makan malam bersama dan kalau misalnya itu tidak bisa lalu apa yang harus dilakukan atau sebagai gantinya bagaimana.HE : Ya memang tidak perlu setiap kali atau tiap makan dilakukan bersama-sama karena itu juga rasanya mustahil untuk dilakukan. Tapi yang penting adalah ada kegiatan yang dilakukan bersama-samadan itu menjadi satu pengikat buat kita untuk berada bersama-sama di suatu tempat pada suatu saat.
HE : Ini hal yang sangat baik sekali, jadi anak-anak juga belajar untuk memimpin, berorganisasi di dalam keluarga.
HE : Saya ingin membacakan dari Amsal Salomo 15:17, disini dikatakan bahwa "Lebih baik sepiring sayur dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian". Bagian Firman Tuhan ini memang tidaksecara langsung berbicara tentang keluarga tetapi maknanya sangat dalam dan dapat diterapkan untuk kehidupan keluarga.
Kalau kita makan bersama keluarga disertai kasih sekalipun makanannya sederhana tetap lebih baik daripada makanannya mewah tetapi tanpa disertai dengan kasih.GS : Terima kasih Pak Heman untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memelihara Rutinitas dalam Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
26. Kecanduan Internet | |
Segalanya jadi lebih praktis dengan internet. Tetapi internet juga mengundang persoalan karena bisa membuat orang duduk di depan komputer beberapa jam sehari. Salah satu tanda dari kecanduan internet ialah adanya perasaan tidak nyaman, murung, atau cepat tersinggung ketika yang bersangkutan berusaha menghentikan penggunaan internet.
Rasanya sulit hidup di zaman modern ini tanpa menggunakan internet. Segalanya jadi lebih praktis dengan internet. Tetapi internet juga mengundang persoalan karena bisa membuat orang duduk di depan komputer beberapa jam sehari.
Tanda-tanda orang kecanduan internet yaitu :
Kimberley Young menyebutkan beberapa gejala utama kecanduan berinternet :
Yang perlu dilakukan agar tidak kecanduan internet :
Firman Tuhan :
"Matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi kegelapan. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya."
(Lukas 11:34-36)
pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengatasi Kecanduan Terhadap Internet". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Kalau orang tidak bisa lepas dari internet, maksudnya internet yang tidak dipakai untuk bekerja untuk menolong orang dan sebagainya, internet yang berguna itu bisa menjadi sesuatu yang burk yang mengikat dan internet yang mengikat itu bisa berpotensi membuat orang menjadi kecanduan.
HE : Jadi memang keputusan dan tanggung jawab ada di tangan kita sebagai pengguna.
HE : Ada cukup banyak dampak buruknya. Misalnya seorang peneliti dan terapi perilaku yang banyak membahas tentang keterkaitan dengan internet. David Greenfield ia mengatakan demikian, "Kecandun internet dapat meningkatkan kekacauan didalam pernikahan kemudian juga menciptakan lebih banyak anak bermasalah, meningkatkan perbuatan melanggar hukum dan ada satu lagi yaitu menyebabkan pengeluaran secara berlebihan."
Kemudian peneliti lain misalnya Kimbly Young juga mencatat bahwa kecanduan berinternet itu melumpuhkan secara serius kemampuan akademik, kemampuan berelasi dan juga menurunkan, menghancurkan prestasi kerja para pecandu. Perlu juga ditambahkan bahwa kecanduan internet dapat membuat seseorang mengalami masalah-masalah dengan perasaannya artinya orang yang kecanduan berinternet itu mengalami banyak rasa bersalah, kecemasan dan juga depresi.HE : Yang pertama tentu dia tertarik dengan internet, dia merasa asyik, kemudian dia belajar internet. Dan yang kedua dia merasakan bahwa internet itu ternyata menyenangkan bukan hanya untuk beerja tetapi untuk suatu hobi.
Tetapi sesudah itu rasanya tidak cukup, rasanya ingin tambah terus, rasanya kalau biasanya 1 jam dan sebagainya rasanya kurang memuaskan dan dia terus asyik disana. Dan inilah tanda-tanda permulaan orang yang bisa kecanduan internet lama-lama pikirannya tidak bisa lepas dari internet.HE : Ada 8 tanda yang sebagaimana dikemukakan oleh Kimberley Young yang meneliti tentang hal ini dan tanda-tanda ini mirip dengan tanda-tanda kecanduan yang lain, misalnya kecanduan terhadap obt-obatan tertentu dan sebagainya.
Yang pertama pikiran pecandu internet biasanya terus-menerus tertuju pada aktifitas berinternet dan sulit untuk dibelokkan kearah yang lain apalagi kalau pekerjaannya sudah berhadapan dengan komputer. Kedua ada kecenderungan penggunaan waktu berinternet yang terus bertambah. Jadi kali ini misalnya dia menggunakan internet 1 jam dan dia sudah mulai berhenti tetapi satu minggu kemudian 1 jam tidak cukup menjadi 1 1/2 jam dengan cepat bertambah lagi 2 jam dengan cepat bertambah lagi sampai akhirnya misalnya 5 jam pun rasanya kurang puas. Jadi tingkat kepuasaan itu lebih susah dicapai. Kemudian ketiga yang bersangkutan, maksudnya pecandu internet pada umumnya berulang kali berusaha mengontrol menghentikan penggunaan internet secara berlebihan tetapi tidak berhasil. Yang keempat biasanya waktu menggunakan internet ada perasaan tidak nyaman, murung, cepat tersinggung kalau misalnya yang bersangkutan berusaha menghentikan atau dihentikan, diinterupsi waktu dia menggunakan internet.HE : Misalnya lagi yang kelima ini ada kecenderungan untuk tetap online melebihi dari waktu yang ditargetkan. Jadi dia sudah menentukan bahwa saya tidak akan menggunakan internet lebih dari waku yang dia sendiri targetkan, tetapi akhirnya yang bersangkutan tetap penggunaannya melebihi dari waktu yang dia targetkan.
Yang keenam penggunaan internet sudah membawa resiko hilangnya relasi yang berarti, bermakna. Jadi maksudnya dia punya teman, punya pasangan dan sebagainya tetapi dia sudah menggunakan internet, membuat relasi itu menjadi kehilangan waktu tidak ada waktu lagi untuk berelasi. Juga ada resiko kehilangan pekerjaan, kesempatan studi, karir dan sebagainya. Yang ketujuh penggunaan internet menyebabkan pengguna itu suka membohongi keluarga juga orang lain, orang-orang dekat yang lain untuk menyembunyikan keterlibatannya yang berlebihan dengan internet. Kedelapan, internet digunakan untuk melarikan diri dari masalah atau untuk meredakan perasaan-perasaan negatif. Tapi malah sering kali menambah masalah didalam perasaannya, misalnya dia berusaha meredakan rasa bersalah kecemasan, depresi tapi kemudian terlibat dengan perasaan-perasaan negatif itu. Nah disini ada 8 tanda tetapi seorang pengguna sesungguhnya sudah bisa digolongkan sebagai pecandu kalau dia sudah memenuhi sedikitnya 5 dari 8 kriteria yang sudah disebutkan oleh Young ini.HE : Ya betul.
HE : Ya betul. Memang akan sulit kalau sudah kecanduan.
HE : Ya tampaknya begitu, karena kalau kita perhatikan saja misalnya dari pengguna warnet. Kita melihat bahwa warnet sudah banyak tetapi masih bertumbuh dengan begitu pesat dan anehnya meskipunbanyak, masing-masing warnet juga masih menghasilkan keuntungan.
Memang ada kemungkinan begini dengan bertambahnya pengguna internet maka persentase orang yang kecanduan itu juga bertambah. Kemudian kalau kita lihat lagi dari keterangan atau dari kesaksian, informasi dari tetangga, dari orang-orang yang kita kenal ada misalnya gara-gara suami kecanduan internet lalu rumah tangganya jadi berantakan, juga ada anak-anak sekolah yang juga sampai tidak mau pulang, menginap di warnet sampai bolos sekolah dan sebagainya. Jelas ini adalah tanda-tanda mereka itu kecanduan internet dan seringkali masalah-masalah seperti ini tampaknya tidak merupakan hal yang dipandang serius oleh banyak orang dan tidak merasa ini perlu diatasi padahal ini sudah serius sekali. Kalau di luar negeri terutama di negara-negara Barat yang sudah maju masalah ini tidak dianggap lagi sebuah masalah yang harus ditutupi dan mereka datang dengan sukarela kepada psikolog atau konselor untuk mengatasi kecanduan itu.HE : Ada yang bilang begitu!
HE : Ada beberapa hal misalnya di internet kita bisa mendapatkan informasi yang hampir tanpa batas. Mengenai berbagai hal banyak sekali dan banyak hal tabu dibicarakan dan tidak enak kalau dikeahui oleh orang lain itu juga tersedia di internet dan bebas di-download oleh orang-orang tanpa diketahui oleh orang lain.
Jadi internet itu seolah-olah bersifat anonim meskipun sesungguhnya tidak betul-betul bersifat anonim. Kemudian selain informasi, gosip dan sebagainya yang sehari-hari sedikit susah untuk kita temukan misalnya sampai yang rahasia sekali dan sebagainya. Kita juga bisa bebas berpetualang di internet karena internet juga menyediakan hal-hal yang bersifat pornografi dan juga judi, wah ini cukup mengerikan ya. Nah kita tahu bahwa baik pornografi maupun judi sebetulnya termasuk perbuatan kriminal yang dilarang di banyak negara termasuk di negara kita. Tetapi internet dapat membuat orang melupakan batas antara baik dan jahat, antara benar dan salah. Dulu orang membeli materi pornografi, berjudi itu dengan sembunyi-sembunyi karena ada rasa takut ditangkap dan juga rasa malu itu pun banyak orang sudah terjerat menjadi kecanduan. Sekarang internet bisa membuat orang merasa bahwa resiko ditangkap karena berjudi itu sangat kecil maka orang lebih mudah untuk kecanduan. Selain pornografi anak-anak dan orang dewasa juga bisa kecanduan game online dan ini yang sering ditawarkan oleh warnet. Dan menurut beberapa penelitian salah satu yang banyak digunakan oleh pengguna internet adalah "chat-rooms", jadi mereka bisa ngobrol lewat internet. Nah ini yang juga beresiko membuat orang kecanduan karena banyak orang yang merasa kalau mereka berbicara atau ngobrol atau berelasi di dunia yang nyata mereka mempunyai resiko. Mengandung resiko bagaimana misalnya harus menanggung tanggung jawab dan sebagainya. Tetapi kalau di dunia maya hampir tanpa resiko bahkan ada orang bisa jatuh cinta dengan orang yang tidak pernah dijumpainya hanya dikenal lewat internet.HE : Rasanya ada beberapa sebab disini yang kita bisa deteksi, misalnya yang pertama apa yang kita peroleh dari internet itu seringkali sangat murah dan bahkan bisa gratis. Makin lama, makin hai kita lihat untuk biaya penggunaan telepon dan sebagainya itu makin lama makin murah sehingga orang tidak merasa bahwa internet itu sebetulnya menghabiskan banyak biaya, menyita energi dan juga waktu.
Jadi sebagian orang merasa bebas menggunakan internet karena fasilitas ini disediakan secara berlimpah termasuk di tempat kerjanya. Kemudian yang ke-dua berinternet itu semakin mudah dilakukan dan dapat dilakukan dimana saja. Ada provider yang menyediakan jasa internet murah dan itu sekarang kita bisa dapatkan lewat telpon genggam yang ringan, praktis dan yang bisa kita bawa kemana saja. Ketiga internet itu sering dianggap aman karena identitas kita bisa kita sembunyikan. Yang keempat internet menghilangkan banyak resiko yang terkait dengan tanggung jawab dan etika sosial yang sering terasa membatasi kita di dunia nyata. Nah ini beberapa hal yang membuat internet itu susah dilepaskan kalau sudah kecanduan.HE : Ini justru bahayanya kalau kecanduan internet.
HE : Ya betul.
HE : Bisa saja terutama kepada anak tentunya atau juga anak menularkannya kepada yang lain.
HE : Kita sangat perlu memiliki disiplin diri dan kalau kita merasa lemah disiplin diri ketika berinternet beberapa hal saya bisa ajukan sebagai saran untuk kita lakukan. Misalnya saja waktu beinternet kita mengajak teman yang kira-kira bisa mengingatkan kita ketika kita tenggelam dalam keasyikan berinternet atau misalnya menaruh komputer dan internet di rumah dan di tempat kerja itu di tempat yang terbuka sehingga waktu kita berinternet kita berada di tempat publik dimana kita bisa dilihat, diamati oleh banyak orang.
Nah kenyamanan berinternet seperti ini memang berkurang tetapi akan mengurangi resiko kecanduan yang berikutnya lagi misalnya kalau kita berlangganan internet itu sebaiknya kita tidak berlangganan kalau tidak sangat perlu. Dan kalau kita sangat perlu harus berlangganan maka kita sebaiknya membatasi diri ketika kita harus berlangganan atau ketika kita harus ke warnet untuk berinternet. Jadi membatasi diri kita yang berikutnya lagi kita bisa menggantikan aktifitas berinternet dengan aktifitas atau hobby lain yang lebih berguna dan sebaiknya kita mencari hobby yang terus-menerus kita tekuni dan kita tinggalkan kalau tidak bisa menguasai diri kita ketika berinternet.HE : Ya ini salah satu yang bisa kita lakukan tetapi selalu ada resiko-resiko seperti ini. Misalkan teman ikut larut main dan sebagainya. Tetap kita harus jaga diri kita.
HE : Betul itu salah satu cara untuk membatasi diri.
HE : Yang penting adalah kita membatasi diri.
HE : Sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa Tuhan melihat apa yang kita lakukan dan juga apa yang kita lakukan itu pasti ada efeknya buat kita dosa dan hal yang tidak berguna yang kita akukan akan mendukakan Tuhan.
Kita juga bisa mengalami kehancuran rumah tangga itu dampaknya, jadi dengan berpegang teguh pada kesadaran ini kita tanamkan dalam diri kita. Rasa takut dan hormat kepada Tuhan kita juga perlu kembangkan rasa tanggung jawab dan kasih di dalam diri kita yang membuat kita berani mengorbankan kesenangan pribadi kita dan berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan baik diri kita maupun keluarga kita.HE : Makanya kita harus ingatkan terus dan tanamkan di dalam diri kita.
HE : Kecenderungan kita untuk larut, berdosa dan untuk tidak bertanggung jawab, kecenderungan kita untuk menuruti keinginan-keinginan kita sendiri untuk memikirkan diri itu yang sering sekali mmbuat kita larut didalam itu.
HE : Tepat sekali Pak Gunawan. Dan internet bisa sangat berguna dan tantangan bagi kita untuk memutuskan supaya kita mengambil hal yang berguna dan meninggalkan hal yang tidak berguna.
HE : Tentu ada hal-hal atau dampak samping dari itu. Didalam segala hal segala sesuatu kemajuan teknologi termasuk televisi itu ada dampak positif dan dampak negatifnya dan sekali lagi tergantug pada kita yang tadi Pak Gunawan sampaikan bagaimana kita memilih yang baik.
Kita memanfaatkan teknologi untuk sesuatu yang bermanfaat untuk kita.HE : Ya betul bahkan siaran kita ini pun bisa di download dari internet.
HE : Saya ingin sampaikan yang saya kutip dari Lukas 11:34-36 ini adalah perkataan Tuhan Yesus "Matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jaht, gelaplah tubuhmu.
Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi kegelapan. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya." Perkataan Tuhan Yesus ini sengaja saya kutip disini karena kita berinternet terutama dengan menggunakan mata sebagai pintu masuknya. Apa yang kita lihat lewat internet bisa membuat tubuh kita terang atau sebaliknya menjadi gelap. Biarlah Firman Tuhan ini bisa menjadi pedoman buat apapun yang kita lakukan.GS : Terima kasih Pak Heman untuk perbincangan yang sangat bermanfaat ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengatasi Kecanduan Terhadap Internet". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
27. Mengapa Sejarah Berulang | |
Salah satu ironi dalam hidup adalah berulangnya sejarah yang menyakitkan di dalam keluarga. Sebagai contoh, kita adalah korban kekerasan orang tua namun pada akhirnya menikah dengan pasangan yang kerap menggunakan kekerasan pula. Mengapakah sejarah cenderung berulang?
Salah satu ironi dalam hidup adalah berulangnya sejarah yang menyakitkan di dalam keluarga. Sebagai contoh, kita adalah korban kekerasan orang tua namun pada akhirnya menikah dengan pasangan yang kerap menggunakan kekerasan pula.
Mengapakah sejarah cenderung berulang?
• Pada faktanya sejarah "baik" maupun sejarah "buruk" cenderung berulang. Jadi, bukan hanya sejarah buruk yang berulang; sejarah baik pun berulang. Semua hal baik yang telah kita terima dari keluarga asal cenderung berulang sebab kita memang ingin melestarikannya dengan sengaja. Namun malangnya, semua hal buruk yang kita alami juga cenderunug berulang, kendati bukan dengan sengaja melainkan dengan tidak sengaja akibat ketidakberdayaan kita menghilangkannya.
• Penyebab pertama mengapa sejarah buruk cenderung berulang adalah karena ketidaktahuan kita akan dampak buruk itu. Misalnya, karena orang tua menggunakan pukulan keras dalam mendisiplin kita. Maka kita pun menggunakan cara yang sama dalam mendisiplin anak. Kita luput menyadari bahwa sesungguhnya problem kita dengan kemarahan bersumber dari cara orang tua mendisiplin kita dengan cara kekerasan.
• Kedua. Sejarah buruk cenderung berulang sebab kita tidak mengenal cara lain untuk hidup sehat. Pada kasus yang sama, bila pukulan adalah menu keseharian, pada akhirnya kita tidak mengenal cara lain yang lebih sehat. Kita tidak tahu bahwa disiplin dapat diberikan secara efektif tanpa pukulan.
• Ketiga, sejarah buruk sering berulang oleh karena kekerasan hati kita mempertahankan yang buruk. Kadang kita merasa bangga bahwa kendati dipukul dan dibesarkan dengan kekerasan, kita tetap berhasil menjadi "orang." Bahkan kita beranggapan bahwa disiplin orang tua yang keras itulah yang telah membuat kita tegar dalam menghadapi hidup. Alhasil kita justru ingin mempertahankan metode disiplin yang keras ini dan bersikukuh pada keefektifannya.
• Keempat. Sejarah buruk berulang sebab adanya kebutuhan yang memang dapat dipenuhi oleh orang lain kendati harus kita bayar mahal. Misalkan kita dibesarkan tanpa kasih yang cukup dan berupaya mendapatkan kasih dari orang lain. Akibat kurangnya bimbingan pada akhirnya kita malah terjerat dalam relasi yang buruk dan sarat kekerasan. Kendati demikian, kita tetap mempertahankan relasi itu oleh karena kita tetap merasa dikasihi olehnya.
Contoh dari Alkitab adalah Eli dan Samuel. Samuel telah melihat contoh buruk keluarga Imam Eli (1 Samuel 2); sayangnya situasi yang sama terjadi dalam keluarga Samuel pula. Semua anak mereka bermasalah sehingga akhirnya tidak ada satu pun dari anak mereka yang meneruskan jejak menjadi pelayan Tuhan. Inilah yang Firman Tuhan katakan tentang anak-anak Samuel, "Tetapi anak-anak itu tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan (1 Samuel 8:3)
Sebagai kesimpulan, kita harus belajar dari sejarah yang buruk. Kita harus mengakui dampak buruknya pada diri kita dan berusaha mengubahnya supaya orang tidak harus menjadi korban berikutnya.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Sejarah Berulang". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Untuk lebih menegaskan contohnya Pak Gunawan, ini sering saya lihat sewaktu saya dulu bekerja di rumah sakit jiwa. Orang yang menjadi korban kekerasan tatkala kecil dan setelah dewasa kala dia tidak menggunakan kekerasan yang sama kepada anak-anaknya, dia itu seperti menjadi korban kekerasan suaminya.
Jadi dulu saya sering bertanya-tanya, kenapa hal itu bisa terjadi seharusnya dia sudah belajar dari pengalaman dan dia telah menjadi korban kekerasan. Maka sekarang jangan mengulang lagi sejarah yang sama. Tapi sering kali itulah yang kita lihat yaitu sejarah berulang dan ada beberapa yang bisa kita pikirkan sebagai penyebab kenapa sejarah cenderung berulang di dalam kehidupan kita. Yang pertama adalah fokus kita seringkali pada sejarah yang buruk, dan sejarah yang buruk itu akhirnya berulang lagi dalam kehidupan kita. Jadi apa yang kita alami sewaktu kita kecil, hal-hal yang manis yang kita juga bisa cicipi itu cenderung berulang tatkala kita dewasa membangun rumah tangga kita sendiri. Kalau rumah tangga kita penuh dengan kasih mesra, kecenderungannya yang besar setelah kita nanti berkeluarga adalah kita pun akan mengulang rumah tangga yang penuh kasih mesra itu. Jadi yang perlu kita luruskan adalah ternyata bukan hanya sejarah yang buruk yang akan bisa terulang tapi sejarah yang baik pun bisa terulang dan ini yang kita perlu waspadai tapi sekarang pertanyaannya adalah, kepada sejarah yang buruk itu sering berulang. Yang pertama saya kira alasannya adalah ketidak tahuan kita akan dampak buruk itu misalnya karena orang tua menggunakan pukulan keras dalam mendisiplin kita maka kita pun menggunakan cara yang sama mendisiplin anak, kita luput menyadari bahwa sesungguhnya problem kita dengan kemarahan bersumber dari cara orang tua mendisiplin kita dengan cara kekerasan, kita tidak suka dipukul tapi orang tua sering menggunakan kekerasan, kita akhirnya menyimpan kemarahan demi kemarahan sehingga meluap dan hati pun dipenuhi dengan kemarahan. Tidak heran waktu anak kita melakukan kesalahan maka kemarahan itulah yang keluar atau pasangan kita melakukan kesalahan, kemarahan kita langsung meluap dan kita ingin langsung menggunakan kekerasan.PG : Sesungguhnya dalam pemikiran kita, tidak! Kita tidak mau melakukannya untuk membalas dendam sebab kita tahu bahwa sasarannya bukanlah anak-anak kita atau pasangan kita, tapi kita sebetulny tidak suka dengan orang tua kita, namun karena kemarahan sudah terlalu menumpuk sehingga akhirnya mudah sekali keluar kemarahan-kemarahan tersebut.
Itu sebabnya kekerasan sering dilestarikan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, maka langkah pertama adalah kita mesti menyadari dampak buruknya. Karena dulu kita tidak menyadari dampak buruknya sehingga kita terus menggunakannya, tapi sekarang kita sadar mengerti, kenapa saya mudah marah, sebab apa yang saya alami dulu menciptakan kemarahan dalam hati saya, saya tidak suka dengan apa yang saya alami. Makanya kemarahan demi kemarahan menumpuk-numpuk sehingga mudah sekali meledak dan hal itulah yang pertama-tama harus kita sadari.PG : Seringkali kita tidak menyadari bahwa kita akhirnya mempunyai potensi yang sama melakukan perbuatan itu, kita hanya menyadari kalau kita dulu adalah korban, kita tidak suka diperlakukan seerti itu, kita malang dan sebagainya.
Tapi kita tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut menciptakan siklus kemarahan, sebetulnya kita sedang menumpuk energi kemarahan yang besar dalam diri kita yang kita tidak sadari. Maka sekarang kita perlu menyadarinya bahwa perbuatan orang tua yang penuh dengan kekerasan, itulah yang menciptakan kemarahan yang besar dalam diri saya dan kemarahan yang besar itulah yang akhirnya membuat saya mudah sekali meledak.PG : Dalam upayanya menyadarkan memang dia perlu berdoa supaya Tuhan memberinya hikmat bagaimana menyampaikan dengan tepat dan minta waktu yang tepat supaya orang yang bersangkutan bisa mendengrkannya.
Kalau tidak kecenderungannya adalah dia akan defensif, dia akan menyalahkan orang dan dia akan berkata kamu yang membuat saya marah atau anak ini yang keterlaluan membuat saya marah. Sudah tentu kita harus mengakui bahwa dalam hidup akan ada seribu satu hal yang berpotensi membuat kita marah tapi pertanyaannya adalah kenapakah harus marah sebesar itu? Dan yang kedua kenapakah harus marah sesering itu? Jadi seyogianyalah kita memang menyadari bahwa ini ada masalah, ada yang tidak beres. Kenapakah saya marah sekeras itu dan sesering itu. Waktu pasangan memberitahu kita maka seyogianyalah kita dengan tenang mendengarkan dan sebisanya memeriksa diri. "Benar juga, sepertinya ini memang sebuah masalah dan timbul gara-gara masa kecil saya." Kalau kita sudah mengakui bahwa ini adalah masalah-masalah kita maka kita akan lebih mudah membereskannya.PG : Sejarah buruk cenderung berulang sebab kita akhirnya tidak mengenal cara lain untuk hidup sehat misalkan dengan cara yang sama tadi. Misalkan pukulan menjadi menu keseharian maka pada akhinya kita tidak mengenal cara lain mendisiplin yang lebih sehat.
Kita tidak tahu kalau kita masih bisa mendisiplin secara efektif dengan cara misalkan membujuk, dengan cara misalkan meniadakan imbalan yang dia inginkan dan sebagainya. Karena ketidak tahuan cara lain yang tidak sehat maka kita menggunakan cara yang sama atau kita terbiasa melihat orang tua kita kalau sedikit marah, sedikit cekcok langsung diam, langsung menangis, akhirnya cara itulah yang kita gunakan karena kita pun tidak mengerti cara yang lain, kita tidak melihatnya di rumah sehingga nanti setelah kita besar kita menikah ada masalah dengan pasangan dan kita menarik diri, langsung menangis, menutup diri tidak mau bicara dengan dia berhari-hari dan akhirnya menangis. Itulah yang akhirnya terjadi Pak Gunawan, kita tidak mengetahui ada cara lain yang lebih efektif.PG : Betul. Jadi kalau saja dalam pertumbuhannya, orang ini diekspose dengan cara-cara lain yang lebih positif maka dia akan lebih bisa menyerapnya, dia akan bisa belajar. Misalkan di gereja didakan ceramah dan dia belajar cara-cara yang lebih efisien dan lebih baik, maka itu yang akan menolong dia.
Dan menyadarkan dia bahwa ternyata cara orang tua saya salah dan ada cara yang benar, dan sekarang saya mau belajar cara yang benar ini.PG : Seringkali itu yang terjadi, karena proses pembelajaran dalam masa pertumbuhan yang diketahuinya jadi itulah yang dia gunakan. Ada orang yang saat marah mulutnya kasar sekali sebab itulah ang didengarnya hari lepas hari dulu, sehingga dia tidak mengerti cara lain mengeluarkan kemarahan, bagi dia mengeluarkan kemarahan identik dengan sumpah serapah dan sebagainya.
Dan sekarang dia sudah mengerti kalau ada cara lain, dia bisa bicara baik-baik dan bukankah nantinya dengan dia bicara baik-baik dia malah mendapatkan yang dia inginkan, dia akan belajar cara lain yang lebih efektif itu.PG : Yang ketiga, sejarah buruk sering berulang oleh karena kekerasan hati kita mempertahankan yang buruk. Kadang kita merasa bangga bahwa kendati di pukul, dibesarkan dengan kekerasan tapi kit tetap berhasil menjadi orang bahkan kita beranggapan disiplin orang tua itulah yang telah membuat kita tegar dalam menghadapi hidup.
Alhasil kita justru ingin mempertahankan metode disiplin yang keras itu dan bersikukuh pada keefektifannya, kita tidak terbuka pada saran yang lain, meskipun kita telah mendengar masukan atau ceramah atau cara lain yang lebih efektif, tidak kita tidak mau dengarkan, cara kitalah yang paling baik dan terbukti bahwa saya menjadi seperti ini, bertanggung jawab, berdisiplin tinggi dan sebagainya. Kita lupa bahwa bukankah dulu kita ingin orang tua kita mendisiplin kita dengan cara yang lain. Bukankah kita dulu mencicipi betapa menyakitkannya diperlakukan secara keras seperti itu tapi ini yang berbahaya, kalau kita akhirnya membanggakan cara itu maka makin sukarlah kita mengubah cara itu.PG : Betul sekali.
PG : Pada akhirnya cara-cara yang kita gunakan itu meskipun kita tahu tidak efektif tapi karena itu cara kita, kita cenderung membenarkannya, Pak Gunawan. Ini problem manusia yakni cenderung mmbenarkan diri, apapun yang kita lakukan, apapun hasilnya kalau kita yang melakukannya kecenderungan pertama adalah membenarkannya sehingga kita gagal melakukan cara lain yang lebih baik, dalam hal rumah tangga juga begitu.
Ada cara yang lebih baik misalkan meminta tapi kita tidak mau meminta dan kita memerintah, kita berkata, "Memang dia perlu diperintah kalau tidak diperintah maka dia tidak akan menjalankannya." Sebetulnya ada cara yang lain yaitu meminta dengan baik-baik tapi dia tidak mau, kenapa tidak mau? Karena kita mau membenarkan cara kita alias kita ingin membenarkan diri kita. Jadi saya kira di sini ada muatan dosa yaitu muatan dosa keangkuhan, Pak Gunawan, karena kita angkuh, kita tidak mau berubah tapi kita mau membenarkan dengan cara membuat kelakuan kita seolah-olah yang paling baik.PG : Seringkali ini merupakan dasar atau masalah yang sesungguhnya Pak Gunawan, kita manusia yang tegar tengkuk, itu yang dialami juga oleh bani Israel mereka tegar tengkuk tidak mau belajar yag baru yaitu cara yang baik, hidup yang berkenan kepada Tuhan.
Kenapa? Mereka hidup dengan cara mereka dan mereka membenarkan cara itu, demikian pulalah kita. Bukankah kita sering melihat cara yang tidak sehat lagi, tidak benar lagi tapi untuk merubahnya kita tidak mau jadi membenarkan diri bahwa ini cara yang paling tepat dan pasanganlah yang tidak mau mengerti kita, anaklah yang tidak menyadarinya, kita limpahkan kesalahan kepada orang lain tapi sesungguhnyalah kita yang mesti berubah.PG : Biasanya kalau ada peristiwa atau kejadian yang benar-benar mendobrak membuat kita sangat tertekan, akhirnya baru kita sadar, ini yang sering kita lihat Pak Gunawan, pada orang tua yang akirnya mengalami masalah demi masalah yang berat dengan anak, setelah anak remaja atau dewasa.
Bukankah di saat itulah orang tua baru berkata, "Saya sadar, saya salah, dulu saya tidak mengerti sehingga dulu saya sangat keras dengan anak atau dulu dengan anak saya tidak begitu terlibat maka saya anggap anak sudah harus tahu sendiri dan saya tidak harus nasehati." Bukankah itu yang sering terjadi, penyesalan datang terlambat, baru kita sadar dan baru kita mau berubah namun di saat itu anak sudah terlanjur besar, polanya sudah terbentuk, untuk dia berubah pun sudah susah.PG : Betul sekali. Secepat atau selambat kesadaran kita. Kalau kita dengan cepat menyadarinya, mau berubah maka siklus itu akan terputus dengan segera. Tapi kalau kita juga lambat menyadarinya tau lambat mau mengubahnya maka dampak itu juga akan terus berlanjut.
PG : Ya seharusnyalah kita menyadari hal itu, tapi seringkali kita terlambat mengetahui. Kita baru menyadarinya tatkala anak itu menjadi seperti kita, tapi saat itu terjadi anak sudah besar sebb waktu anak itu kecil belum menampakkan perilaku yang seperti kita, kita memang belum bisa melihatnya karena anak masih kecil, waktu anak sudah besarlah baru kita disadarkan kalau dia mirip dengan saya.
Saya tidak bisa mengontrol kemarahan dan sekarang anak ini seperti saya juga tidak bisa mengontrol kemarahan, anak ini manipulatif dan saya baru sadar kalau anak ini seperti saya, saya juga begitu. Akhirnya baru kita sadari di usia anak kita sudah besar.PG : Kadang sejarah buruk itu berulang sebab adanya kebutuhan yang memang dapat dipenuhi oleh orang lain kendati kita harus bayar mahal. Misalkan kita dibesarkan tanpa kasih sayang dan berupayamendapatkan kasih sayang itu dari orang lain dan akibat dari kurangnya bimbingan, pada akhirnya kita malah terjerat dalam relasi yang buruk dan sarat kekerasan.
Kendati demikian kita tetap mempertahankan relasi itu oleh karena kita tetap merasa dikasihi olehnya, meskipun harus bayar mahal, rumah tangga kita berantakan, sering bertengkar tapi kita masih mendapatkan kasih sayang karena adanya kebutuhan itu, sehingga kita mengulang dan mengulang lagi. Ini sering saya lihat dulu Pak Gunawan, waktu saya bekerja di rumah sakit jiwa, orang-orang yang dulunya adalah korban kekerasan menikah dengan pasangan yang menggunakan kekerasan. Kenapa tetap tinggal dalam relasi yang seperti itu? Karena dia masih mendapatkan kebutuhannya yang terpenuhi sehingga meskipun harganya harus dibayar mahal, tetap dia harus mengulang sejarah orang tuanya yang buruk itu.PG : Inilah ironinya hidup Pak Gunawan, seharusnya kalau mereka tahu ada masalah yang terjadi sebelum mereka berdua menikah, harusnya dibereskan dan sebagainya. Tapi seringkali tidak! Karena seerti colokan listrik dengan tempatnya Pak Gunawan, bukankah masalah seringkali klop karena kebutuhannya memang berbeda.
Yang butuh kasih sayang akhirnya menikah dengan orang yang sangat mengontrol, senang menggunakan disiplin yang tinggi dan akhirnya mudah sekali masuk dalam kekerasan. Jadi akhirnya orang yang butuh kasih sayang menikah dengan orang yang butuh kekuasaan. Jadi dia butuh kekuasaan tapi dia mendapatkan pasangan yang lemah, butuh kasih sayang sehingga klop. Yang butuh kasih sayang, butuh keamanan dan ketemu orang yang sepertinya tegas bisa memberikan keamanan, jadi kebutuhannya akhirnya pas meskipun sebetulnya di balik kebutuhan itu ada dua problem yang sangat besar.PG : Sudah pasti akan saling tarik-menarik, menuntut. Kamu selalu kurang dan hanya saya saja yang memberi, jadi akhirnya menambah masalah. Bahkan kalau pun tidak sama kebutuhannya, seringkali tdak tenang Pak Gunawan.
Karena dibalik kebutuhan itu ada problem-problem besar yang akhirnya mewarnai relasi mereka.PG : Betul, jadi apa yang telah tertaburkan akhirnya itulah yang harus kita tuai.
PG : Saya teringat dengan Samuel. Samuel dibesarkan oleh Imam Eli dan kita tahu Imam Eli tidak menjadi ayah yang baik kepada anak-anaknya Hofni dan Pinehas. Tuhan menegur Imam Eli bahwa kamu leih menghormati dan mementingkan anak dari pada Tuhan dan hasilnya buruk.
Jadi kedua anak ini meskipun anak Imam dan seharusnya menjadi Imam pula, tapi malah tidur dengan perempuan lain, mengambil harta orang lain dan benar-benar berkelakuan buruk sekali. Sehingga akhirnya Tuhan memutuskan untuk tidak melanjutkan imamat Imam Eli. Dan pertanyaan saya adalah Samuel seharusnya melihat semuanya itu, sejak kecil dia tinggal dengan Imam Eli dan dia melihat anak Imam Eli yang seperti itu dan melihat secara langung bahwa Tuhan akhirnya menghukum kedua orang ini. Dan yang menarik adalah Imam Eli meninggal digantikan oleh Samuel, dan Samuel mengulang sejarah. Anak-anak Samuel juga mengulang sejarah sehingga akhirnya orang Israel berkata kepada Samuel, "Kami meminta raja, kami tidak mau mempunyai imam atau hakim seperti anakmu karena bermasalah." Tapi pertanyaan saya adalah kenapa seperti itu? Kenapa sampai orang-orang berkata kepada Samuel di I Samuel 8:3, "Tetapi anak-anaknya itu tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan." Sejarah itu bisa terulang, saya kira yang terjadi adalah salah satunya misalkan Samuel sejak kecil dibesarkan oleh Imam Eli dan dia tidak melihat contoh lainnya, cara Eli membesarkan kedua anaknya adalah satu-satunya cara yang dia kenal. Mungkin sekali Eli selalu menuruti kemauan anak dan tidak tegas dengan anak, makanya Tuhan memarahi dia bahwa dia lebih menghormati anaknya. Dia menegur anaknya, dan anaknya pun tidak mendengarkan dia. Jadi kesimpulan saya adalah kemungkinan besar waktu anak-anaknya kecil, Imam Eli tidak bisa tegas dengan anaknya dan Samuel kecil melihat bahwa dalam mendisiplin, Imam Eli lunak hanya memberitahu, tidak ada sangsi, tidak tegas dengan anak, membiarkan anak, mungkin nanti diberitahukan lagi tapi tidak cukup, diberitahukan lagi tapi tidak ada sangsi tegasnya. Mungkin sekali itu pola asuh yang dilihat oleh Samuel dan akhirnya waktu Samuel menikah dan mempunyai anak, dia menerapkan pola asuh yang sama, sehingga anak-anaknya pun akhirnya tidak terkontrol. Samuel yang begitu hati-hati, di akhir hidupnya dia berkata kepada orang Israel, "Siapa yang bisa mengatakan kalau saya pernah mengambil sapi dan kambing lembu kalian, siapa yang bisa berkata saya pernah merampas milik kalian," tidak ada. Jadi dia hidup dengan begitu lurus tapi dengan anak kemungkinan tidak menerapkan disiplin yang baik, pola asuhnya mirip dengan Imam Eli.PG : Itu ironi, misalkan kita lihat waktu Samuel menghadapi Saul, Saul diharuskan Tuhan untuk taat membasmi Agak, raja Agak dan satu negerinya tapi dia tidak melakukannya. Samuel datang, marah ekali dan menegur Saul, akhirnya Samuel yang membunuh Raja Agak itu.
Pertanyaannya adalah, yang Pak Gunawan tadi munculkan, kenapa dengan orang lain dia bisa begitu tegas tapi dengan anak-anaknya dia tidak bisa tegas? Kenapa dia bisa mendisiplin orang lain dan kepada anaknya tidak bisa? Dugaan saya adalah karena sejak kecil dia hanya melihat satu model pola asuh yaitu model pola asuhnya Imam Eli yang lunak dengan anak. Jadi akhirnya dia menerapkan pola yang sama dengan anak sendiri, dan bukankah itu memberi dampak yang sangat luas, Israel tidak lagi diperintah oleh Tuhan secara langsung lewat hamba-hambaNya tapi hanya diperintah oleh raja, sejak itu muncullan Saul bukan lagi seorang hakim atau imam seperti Samuel.PG : Di satu pihak kita bisa berkata, "Ada pengaruh besar bahwa apa yang kita alami dulu, apa yang kita dulu petik atau terima dari orang tua akhirnya harus kita petik dan itu betul sekali." Naun di pihak lain kita mesti berkata bahwa saya pun harus bertanggung jawab untuk belajar yang benar.
Seharusnyalah Samuel pada waktu anak-anak kecil, dia mulai melihat kalau anak-anaknya makin seperti Hofni dan Pinehas. Seharusnya saya juga harus berubah, saya harus lebih tegas dengan anak-anak, saya tidak bisa lagi memberikan kesempatan kepada anak-anak saya semena-mena berbuat semaunya, saya harus lebih tegas. Tapi itu pun tidak dilakukannya, jadi ada tanggung jawabnya, tanggung jawabnya Eli maupun tanggung jawabnya Samuel. Dia seharusnya sudah tahu dan mengubah cara itu tapi ternyata tidak juga.PG : Betul sekali. Dia mesti menyadari bahwa caranya keliru, ini langkah pertama yang tadi sudah kita singgung. Kita mesti sadari ini tidak benar dan jangan membenarkan diri, jangan justru berkta, "Saya kasihan, saya tidak mau anak saya mengalami keburukan dan sebagainya makanya saya harus mengasihi" akhirnya tidak menerapkan disiplin dan itu yang tidak benar.
Jadi kita mesti menerima fakta, yang tidak benar adalah tidak benar, dan kita mesti berubah.PG : Justru hal yang positif, hal yang baik yang harus kita teruskan kepada anak-anak kita sehingga sejarah yang baik yang telah kita alami dulu dengan orang tua kita akhirnya berulang kembali alam sejarah hidup kita.
PG : Firman Tuhan di Amsal 10:17 berkata, "Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan, tetapi siapa mengabaikan teguran, tersesat." Pada akhirnya Tuhan pasti memberitahukan kita jalanny yang benar, didikan-didikan kita terima, kita mesti indahkan kalau tidak kita indahkan maka tersesat.
Kalau kita indahkan kita justru akan berjalan menuju jalan kehidupan.
28. Susah Percaya | |
Dengan bertambahnya kasus selingkuh dan retaknya ikatan nikah, akan makin bertambah pulalah kasus susah percaya pada anak-anak, yang nantinya dibawa masuk ke dalam pernikahan mereka sendiri. Marilah kita lihat dampak masalah orang tua pada rasa percaya anak dan bagaimana pada akhirnya kurangnya rasa percaya mempengaruhi pernikahan sekaligus jalan keluar untuk bisa dipercaya.
Dengan bertambahnya kasus selingkuh dan retaknya ikatan nikah, akan makin bertambah pulalah kasus susah percaya pada anak-anak, yang nantinya dibawa masuk ke dalam pernikahan mereka sendiri. Marilah kita lihat dampak masalah orang tua pada rasa percaya anak dan bagaimana pada akhirnya kurangnya rasa percaya mempengaruhi pernikahan.
Relasi orang tua dan rasa percaya anak
Anak belajar percaya atau tidak percaya dari relasinya dengan orang tua. Pada masa kecil anak bergantung penuh pada pemeliharaan orangtua. Jadi, rasa percaya anak bertumbuh seiring dengan seberapa bertanggung jawab dan konsistennya orang tua dalam menyediakan kebutuhan anak - baik jasmaniah maupun emosional.
Anak belajar percaya atau tidak percaya dari relasi orang tua dengan satu sama lain. Tatkala anak melihat relasi orang tua hangat dan harmonis, anak akan belajar menyimpulkan bahwa dalam hidup ia aman dan mempercayai satu sama lain. Dalam kasus perzinahan orang tua,rasa percaya anak akan mencapai titik terendahnya. Ia akan menyimpulkan bahwa tidak ada orang yang layak dipercaya - terutama orang yang paling dekat. Alhasil sewaktu manikah, anak itu akan membawa rasa tidak percaya pada pasangannya
Rasa tidak percaya dalam pernikahan
Relasi nikah cenderung menghidupkan kembali semua perasaan dan reaksi yang dialami pada masa kecil..
Orang yang memasuki pernikahan dengan modal tidak percaya, akan mengembangkan rasa tidak aman yang biasanya dalam bentuk kecemasan. Untuk mengatasi kecemasannya ia akan berusaha membatasi dan meminitor ruang gerak pasangannya.
Pada umunya kita membatasi lewat larangan dan dalam pernikahan, larangan berkaitan dengan pergaulan
Pada umumnya kita memonitor lewat tuntutan pertanggungjawaban. Jadi, kita akan selalu ingin tahu apa yang telah dilakukan pasangannya, dengan siapa dan mengapa ia melakukannya
Semua batasan dan monitor dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa pasangan tidak melakukan sesuatu hal pun yang tidak berkenan di hati kita.
Bila pasangan tidak berkeberatan dan memiliki kebergantungan yang tinggi, pembatasan dan pengawasan seperti ini ditoleransi.
Biasanya ada dua reaksi yang dimunculkan: ia akan memberontak dan kedua, dia akan meyembunyikan. Tidak jarang, ia justru akan melakukan apa yang dilarang.
Menghadapi hal seperti ini, pada umumnya kita akan berusaha menguasainya namun bila ini pun tidak berhasil, kita cenderung menarik diri. Relasi nikah pun retak.
Jalan keluar
Kita harus terbuka dengan pasangan sebelum kita menikah agar ia dapat memahami masalah ini.
Mintalah bantuannya untuk membuat kita bertumbuh dalam hal ini. Mintalah ia untuk berkompromi dengan kita dalam hal larangan dan pertanggunjawaban.
Kita mesti bertumbuh dalam iman agar dapat berserah kepada Tuhan. Firman Tuhan mengingatkan, "Akan tetapi Bapamu yang di surga tahu bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya maka semuanya akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu jangan kuatir akan hari besok karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Matius 6:32-33)
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Susah Percaya". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Memang kita bisa menyimpulkan, Pak Gunawan, kalau rasa percaya yang paling mendasar sudah tidak lagi bertumbuh dengan sehat maka dampaknya akan kemana-mana. Tadi Pak Gunawan sudah katakan ahwa kepada Tuhan pun akan susah memberikan kepercayaan dan apalagi setelah menikah dengan pasangannya dan sebagainya.
Kenapa ada anak-anak yang akhirnya susah percaya? Coba sekarang kita lihat relasi orang tua dan anak dalam perkembangan rasa percaya, kita mesti tahu bahwa anak belajar percaya atau tidak percaya berdasar dari relasinya dengan orang tua. Pada masa kecil anak bergantung penuh pada pemeliharaan orang tua. Jadi rasa percaya anak bertumbuh seiring dengan seberapa bertanggung jawab dan konsistennya orang tua dalam menyediakan kebutuhan anak, baik itu kebutuhan jasmaniah maupun emosional. Makin bertanggung jawab dan konsisten maka makin bertumbuh rasa percaya anak dan sebaliknya makin kurang kehadiran orang tua dan makin tidak konsisten perlakuan orang tua dalam menyediakan kebutuhan anak maka akan makin terhambat pulalah pertumbuhan rasa percaya anak. Dengan bertambahnya kebutuhan orang tua dewasa ini, lebih besar kemungkinan akan makin kurang tersedianya kebutuhan emosional anak dengan konsisten. Alhasil di masa mendatang masalah kurang percaya akan bertambah pula, hal-hal kecil misalkan anak meminta perhatian orang tua kemudian orang tuanya lupa akhirnya tidak terpenuhi atau orang tua sudah berjanji tapi kemudian ada urusan lain sehingga janjinya batal atau minta dibacakan, nanti malam cerita tapi tiba-tiba ada telepon sehingga orang tuanya tidak bisa membacakan. Maka makin tidak konsisten dan kurang tersedianya kebutuhan atau hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya maka akhirnya rasa percaya anak berkurang. Bagaimana bisa percaya? Sebab kalau sudah meminta tidak diberikan, tapi kalau tidak meminta sama sekali maka akan lebih tidak diberikan, akhirnya terganggulah pertumbuhan rasa percaya itu.PG : Betul sebab itulah kondisi si anak, memang anak belum mempunyai kemampuan dalam memahami hal-hal itu, sebab yang dirasakan itulah yang dia rasakan, yang dia perlu itulah yang dia perlukan an memang sedapat-dapatnya kita sebagai orang tua mesti konsisten memberikan perhatian dan memenuhi kebutuhan anak-anak itu.
Makin bertanggung jawab, makin konsisten, makin mudah anak mengembangkan rasa percaya. Jadi sekali lagi saya ingatkan berhati-hatilah kita sebagai orang tua, apalagi dengan janji-janji yang kita buat dengan anak, "Nanti ya, besok," kemudian tidak jadi dan tidak jadi akhirnya anak berkata "Tidak bisa percaya lagi." Mau cerita kepada orang tua tentang sesuatu yang terjadi, mau cerita dan sudah menggebu-gebu tapi orang tuanya tidak pulang dan malam baru pulang dan malam pun anak melihat orang tua sudah lelah. Itulah yang saya maksud dengan kurang konsistennya orang tua dalam menyediakan kebutuhan anak.PG : Tepat sekali Pak Gunawan. Kita tidak bisa menyediakan kebutuhan anak lewat email, sms atau telepon.
PG : Yang lain adalah anak belajar percaya atau tidak percaya dari relasi orang tua satu sama lain. Tatkala anak melihat relasi orang tua hangat, harmonis maka anak akan belajar menyimpulkan bawa dalam hidup ini dia dapat dan aman mempercayai satu sama lain.
Sebaliknya bila anak melihat betapa buruknya relasi orang tua, ia akan menyiratkan bahwa dalam hidup dia tidak dapat dan tidak aman mempercayakan diri pada orang lain. Misalnya dalam kasus perzinahan orang tua, rasa percaya anak akan mencapai titik terendah, ia akan menyimpulkan bahwa tidak ada orang yang layak dipercaya terutama orang yang paling dekat dengannya. Alhasil sewaktu menikah anak itu akan membawa rasa percaya pada pasangannya. Sebab sekali lagi itulah yang dilihatnya, orang tua kok seperti itu, tidak harmonis, saling menyakiti, berarti saya harus berhati-hati, berjaga-jaga.PG : Tidak mudah karena sesuatu yang kita lihat berulang-ulang pada akhirnya itu akan mencetak cara pikir kita, pola kita berelasi dengan orang. Dan yang kedua adalah kita melihat juga bahwa orng tua kita dulunya pasti hidupnya baik, harmonis saling mengasihi dan sekarang bisa sampai seperti ini.
Akhirnya kita berkata, "Kalau itu bisa terjadi pada orang tua, mungkin itu juga akan terjadi pada diri saya." Mula-mulanya baik, saling mengasihi dan akhirnya begini. Apalagi kalau ditambah obrolan-obrolan dengan orang tua yang mengatakan hal itu, "Dulu Papamu sabar dengan saya, makanya saya nikahi dia, Mama dulu sangat percaya tapi sekarang sudah menikah, kamu bisa melihat seperti ini." Akhirnya si anak melihat, "Iya ya dulu sayang, dulu sabar dan sekarang begini. Kalau begitu, itu bisa pula terjadi pada pernikahan saya," itu sebabnya nanti waktu anak menikah, belum apa-apa sudah membawa rasa was-was pada pasangannya.PG : Tepat. Akhirnya yang kita tidak harapkan terjadi, malah terjadi lagi, tapi kita memang punya andilnya, kita sudah membawa rasa susah percaya itu.
PG : Jadi akhirnya begini Pak Gunawan, relasi nikah cenderung menghidupkan kembali semua perasaan dan reaksi yang dialami pada masa kecil. Relasi nikah mengingatkan kita akan relasi nikah orangtua sekaligus membangkitkan perasaan yang dialami bagi anak.
Jadi bila rasa tidak percaya menandai masa kecil kita, maka rasa tidak percaya cenderung dihidupkan kembali dalam pernikahan, kadang-kadang kita tidak menyadarinya bahwa kita punya masalah ini, setelah kita menikah baru kita sadar karena di dalam pernikahan semua perasaan itu dibangkitkan kembali, karena apa? Pernikahan kita memang bukan peringatan akan keluarga kita dulu. Saya berikan contoh yang lebih gampang. Kita dulu misalkan dalam kondisi malam di tengah jalan dan tiba-tiba kita diserempet, maka sejak kejadian itu kalau malam gelap, kita berhati-hati sekali dan tidak terlalu dekat dengan pinggir jalan, tidak mau diserempet lagi. Tapi kapan kita berhati-hati sekali? Tatkala malam gelap. Berarti situasi yang sama menghidupkan relasi yang dulu. Dalam pernikahan juga begitu, waktu kita bersama lagi dengan orang yang kita cintai dekat dengan kita, tiba-tiba semuanya kembali hidup.PG : Saya kira ya. Jadi meskipun kita tidak sadari waktu akhirnya muncul rasa kurang percaya itu, jarang menempati ukuran yang tepat Pak Gunawan. Seringkali ukurannya memang lebih, akhirnya modl tidak percayalah yang lebih kuat menandai pernikahan kita.
PG : Sebenarnya ya, dari awalnya dia tidak salah apa-apa tapi dia sudah dapat tuduhan kurang, dianggap tidak bisa dipercaya, memang dia yang mengalami kerugian besar.
PG : Jadi begini akhirnya orang yang kurang percaya itu memasuki pernikahan dengan modal tidak percaya dan yang terjadi akan mengembangkan rasa tidak aman. Rasa tidak aman itu akhirnya mengemuk dalam bentuk kecemasan, dia tidak bisa percaya, rasanya cemas, tidak aman.
Karena kita tidak suka dengan rasa tidak aman, rasa tidak damai, kita berupaya keras mengatasi kecemasan kita. Biasanya ada dua langkah yang kita ambil untuk mengurangi kecemasan. Pertama adalah kita membatasi ruang gerak pasangan kita dan yang kedua kita memonitor ruang geraknya sebab bukankah ruang gerak yang sempit lebih memudahkan kita memonitor, pada akhirnya membatasi dan memonitor menjadi corak relasi nikah. Misalkan kita membatasi lewat larangan, kamu tidak boleh keluar malam ini, kamu jangan pergi dengan dia, kenapa kamu harus ke rumah orang tuamu lagi. Larangan-larangan itu adalah upaya membatasi, sekali lagi tujuan dibatasi agar dia hidup di depan mata kita dan kita bisa pandang dia, kita lebih tenang. Kita juga akan memonitor pasangan kita dengan meminta tuntutan pertanggung jawaban, misalnya kita ingin selalu tahu apa yang dilakukan pasangan, dengan siapa dia melakukannya, mengapa dia melakukannya? Misalkan dalam soal bepergian, kita ingin tahu, bukan hanya yang dilakukan, dengan siapa dia pergi? Kita pun ingin tahu mengapa dia harus pergi dengan orang tersebut dan kenapa bukan dengan orang lain. Jadi memonitor, membatasi inilah yang kita terus lakukan dengan pasangan agar kecemasan kita reda, tapi sekarang kita bisa lihat, itu pasti berdampak pada pasangan kita.PG : Ironisnya begini Pak Gunawan, orang yang kurang percaya seperti ini seringkali menikah dengan orang yang lincah yang memang suka bergaul ke sana ke sini, kenapa dia memilih orang seperti ii? Sebetulnya karena di dalam hatinya mempunyai keinginan yang seperti itu, dia ingin menjadi orang yang bebas tapi dia tidak bisa karena apa yang dialaminya di masa kecil.
Jadi dia menjadi orang yang terikat dan bukan bebas. Masalahnya adalah waktu dia menikah, dia memang memilih orang yang bebas karena sebenarnya dia senang dengan hidup yang bebas, tapi dia malah membatasi kebebasan pasangannya supaya kecemasannya reda, supaya ketakutannya hilang, supaya rasa percayanya bisa ada. Tapi untuk ada rasa percaya, dia harus batasi, dia harus memonitor terus menerus sehingga akhirnya pasangannya keberatan. Kalau pasangannya memang orangnya bergantung, pasif, maka dia akan selalu setuju walaupun dia dibatasi, dimonitor. Namun kalau dia tidak punya masalah dengan kebergantungan, dia pasti menolak pembatasan ini, dia juga pasti tidak suka untuk dimonitor. Memang ini menjadi dilema, di satu pihak kita harus simpati dengan orang yang susah percaya, kita mengerti kalau dia ingin memastikan bahwa jangan sampai ada hal-hal yang tidak berkenan itu terjadi, hal-hal yang buruk itu terjadi, dia tidak mau sejarah berulang dalam keluarganya sehingga dia menjaga sekali tapi dengan harga yang mahal, kebebasan orang dipasung, sehingga akhirnya orang tidak bisa melakukan yang dia senang lakukan, semua demi orang ini akhirnya bentroklah yang terjadi.PG : Tidak bisa tuntas akhirnya yang menjadi masalah adalah reaksi yang pertama orang itu memberontak, tidak suka, dia melawan, dia berkata, "Saya tidak mau dibatasi seperti ini dan saya tidak au mempertanggungjawabkan semuanya kepadamu, saya tidak mau punya majikan di rumah," orang itu memberontak, kalau dia memberontak akhirnya adalah berkelahi, melawan, tidak diberi izin dia tetap pergi, tidak boleh tapi dia tetap lakukan, kadang-kadang dia malah sengaja melakukan.
Atau kalau dimonitor dimintai pertanggungjawaban, dia tidak mau memberi tahu, dia berkata "Kenapa saya harus beritahu kamu, saya tidak harus memberitahu kamu." Jadi makin terpaut dan makin terpaut. Dan pihak yang susah percaya makin mengejar sebab dia makin ketakutan, dia makin cemas, dia sudah mencium bahaya, tinggal tunggu waktu musibah terjadi karena pasangan saya benar-benar akan lepas, dia makin mencoba untuk makin membatasi. Atau reaksi kedua adalah orang ini akan berkata, "Saya tidak suka dibatasi, saya tidak suka dimonitor maka saya akan sembunyikan." Mulailah perilaku "kucing-kucingan", dia pergi ke sana tapi dia bilang pergi ke situ, dia pergi dengan si A tapi dia pergi dengan si B, mulailah pola berbohong ditanamkan dalam keluarga ini. Kita tahu dua-duanya itu salah, dua-duanya tidak sehat. Apalagi biasanya yang terjadi adalah karena susah percaya, jadi dia mengecek apa benar dia pergi dan dia menelepon orang lain, kemudian ketahuan kalau tidak pergi berarti terbukti kamu tidak bisa dipercaya, kamu menyalahgunakan kepercayaan saya.PG : Sudah tentu yang dicurigai akan mengumpulkan bukti-bukti atau dalih-dalih yang memperkuat posisinya, "Lihat Papamu tidak bisa dipercaya," tapi yang dicurigai akan juga berkata kepada anakna, "Saya tidak tahan lagi, saya tidak berbuat apa-apa tapi terus-menerus dicurigai, saya salah apa? Saya pernah berbuat apa? Kenapa terus-menerus begini."
Akhirnya Pak Gunawan, anak-anak seringkali terbelah, ada yang memihak pada yang mencurigai ada yang memihak pada yang dicurigai. Dan yang memihak pada yang dicurigai akan berkata, "Kasihan, kenapa Papa diperlakukan seperti itu." Jadi akhirnya keluarga pun terbelah semuanya.PG : Betul sekali dan yang seringkali terjadi sebetulnya pada keluarga mereka sebelumnya, bukankah itu yang mereka alami tapi akhirnya mereka lestarikan kembali masalah yang sama dan yang serin terjadi adalah kalau pihak yang susah percaya merasa dia makin kehilangan kendali biasanya reaksinya adalah dia merasa mencoba menguasai.
Makin mencoba menguasai, misalkan dia akan telepon si A dan si B, dia akan tanya si A dan si B, benar tidak suami saya ke sini dan sebagainya, dia muncul di kantor dan sebagainya. Pihak yang dicurigai makin tidak suka, dan makin menutup arus informasi, dia makin tidak mau memberitahu, benar-benar akhirnya terjadi bentrokan. Dan dalam kondisi seperti itu sangat mudah orang untuk jatuh ke dalam dosa perzinahan sebab dia akan berkata, "Tidak bisa lagi hidup dengan pasangan saya dan saya sudah dituduh berkali-kali meskipun saya tidak berbuat, berarti sekalian saja," akhirnya dia terperangkap masuk ke dalam godaan iblis.PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
PG : Maka kita simpati, Pak Gunawan, dengan problem yaitu dia takut sekali rumah tangganya berantakan, dia takut sekali nanti semuanya seperti yang dia lihat dulu dalam orang tuanya yaitu kehanuran itu.
Maka dia berusaha keras menjaganya namun cara dia salah, dia sendiri tidak bisa mengontrol caranya itu. Dan reaksi yang lain adalah kalau dia tidak berhasil dalam menguasai maka dia akan menarik diri. Ada orang-orang yang akhirnya benar-benar menarik diri, tidak mau lagi ikut campur dan mendiamkan pasangannya, maka dia akan diam tapi dengan dia diam sebetulnya tengah mengalami depresi. Dia akhirnya menyimpulkan pasangan saya tidak menyukai saya, dia juga tidak tahu pasangannya berbuat apa di luar sana, sehingga sudahlah saya diam saja tapi depresi berat. Akhirnya rumah tangga itu tetap terbelah.PG : Ada tiga hal yang ingin saya bagikan, yang pertama adalah kita harus terbuka dengan pasangan sebelum kita menikah, agar dia dapat memahami masalah ini. Ini penting dilakukan sebagai pengauan bahwa kitalah yang bermasalah dan bukan dirinya, seringkali karena kita tidak mau mengakui kalau kita yang bermasalah, kita menyalahkan pasangan, "Kamulah yang memang tidak layak dipercaya, kamulah yang kurang bijaksana dan sebagainya."
Padahal kitalah yang bermasalah, langkah pertama kita harus akui, kita yang bermasalah. Seringkali kalau kita sudah mengakui kita bermasalah, pasangan akan lebih rela untuk menerima kita asalkan kita akui kalau ini salah kita. Jadi misalkan waktu masalah muncul kita sudah cemas, pulangnya terlambat kemudian kita ingin marah, mungkin kita bisa berkata, "Sorry ya, saya memang punya masalah dengan kemarahan ini, saya sangat takut sekali sehingga saya tadi seperti itu." Dengan kita berkata begitu, otomatis pasangan akan bereaksi dengan lebih positif, dia akan berkata, "Baik saya mengerti, tidak apa-apa." Yang membuat pasangan tidak tahan adalah kalau dia disalahkan, jadi langkah pertama kita mesti pikul beban itu dan katakan, "Saya memang yang mempunyai masalah ini."PG : Itu yang sering terjadi, maka yang telah kita bahas pada rekaman yang lampau seringkali sejarah masa lalu itu berulang karena kita tidak melihatnya sebagai masalah kita. Kadang-kadang kitamalah berbangga hati dengan masalah kita sehingga melestarikan sejarah yang buruk itu.
Jadi kita mesti mengakui bahwa ini masalah dan ini bukan masalah dia tapi masalah kita, kadang-kadang kita untuk lebih halusnya berkata, "Ini 'kan dua-duanya masalah pernikahan". Itu tidak selalu masalah pernikahan merupakan masalah dua orang. Kadang-kadang masalah pernikahan masalah satu orang. Jadi yang satu orang itulah yang mesti mengakui bahwa, "Baik, saya memang mempunyai masalah ini dan saya susah percaya," itu langkah pertama yang harus diambil.PG : Betul sekali, jadi langkah berikutnya adalah setelah yang pertama itu, si pasangan mesti berusaha mengerti dan secara konkret menyesuaikan diri bukan hanya secara pikiran mengerti, tapi pebuatannya juga harus mengikuti.
Jadi misalkan kita butuh kepastian, kapan dia pulang? Dengan siapa dia pergi? dan sebagainya, maka tolong beritahukanlah. Jadi daripada ditanya-tanya, lebih baik beritahukanlah, kalau mau terlambat juga beritahukanlah, dengan pergaulan, kita juga katakan orang ini begini, orang ini begitu, mari kenalan dengan teman saya, mari kenalan dengan keluarga saya. Sehingga dengan kamu mengenal, kamu akan lebih aman, lebih damai dan tolong percayakan bahwa saya bisa. Jadi dengan kata lain sering-seringlah memberikan masukan, berkomunikasilah sebab makin berkomunikasi dia akan semakin lebih tenang. Jadi pasangan harus lebih berkompromi, memang dia akan berkata, "Saya tidak harus seperti itu, ini bukan salah saya," tapi ingat di dalam pernikahan dua-dua harus saling menyesuaikan sesuai dengan kelemahan masing-masing, seringkali kita berpikir dalam pernikahan kita harus menyesuaikan sesuai dengan kekuatan masing-masing, tidak! Yang paling susah adalah kita harus menyesuaikan diri dengan kelemahan pasangan. Jadi tolong pasangannya menyesuaikan, berkompromilah, lebih bersedialah untuk dimonitor, untuk dibatasi demi pasangan kita ini.PG : Betul sekali. Jadi kita memang harus pahami, kita juga harus munculkan belas kasihan bahwa dia pun sebetulnya tidak mau hidup terbelenggu seperti ini, dia pun sebetulnya ingin hidup bebas api tidak bisa.
Maka kita juga perlu turun tangan untuk menolongnya.PG : Ketiga adalah kita mesti bertumbuh dalam iman agar dapat berserah kepada Tuhan. Firman Tuhan mengingatkan di Matius 6:32-34, "Akan tetapi Bapamu yang di surga tahu, bahwa kamu memerlukan smuanya itu.
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." Meskipun masalah ini masalah psikologis, tadi kita sudah bahas Pak Gunawan, tapi penyelesaiannya rohani. Orang yang terus bersandar bahwa hidup ini dalam tangan Tuhan, dalam pemeliharaan Tuhan "Saya tidak harus mengontrol, saya tidak harus membatasi ada Tuhan yang bisa mengawasi." Waktu kita jadikan Tuhan sebagai tumpuan kita, maka kita pun akan jauh lebih tentram dan akhirnya tidak lagi terlalu di buru-buru dengan keinginan untuk menguasai pasangan.PG : Bisa juga. Memang dia mendasarinya pada yang sama yaitu memang ada Tuhan dan ini pun bisa Tuhan atur, Tuhan bereskan, saya juga perlu berkorban tapi nanti Tuhan bisa atur, Tuhan bisa beresan lagi.
PG : Betul, jadi pertanyaan akhirnya adalah berapa besarnya iman kita? Berapa mampunya kita berserah kepada Dia? Makin bisa berserah kepada Tuhan, akan makin banyak hal yang bisa dibereskan.
PG : Tepat sekali. Jadi sebisanya kita hentikan pola yang tidak sehat ini.
29. Mengatur Keuangan Keluarga | |
Salah satu sumber pertikaian dalam rumah tangga adalah uang. Kurang uang kita bertengkar; kelebihan uang kita pun bertengkar. Bagaimanakah caranya mengatur masalah keuangan sehingga tidak harus menjadi penyebab perselisihan?
Salah satu sumber pertikaian dalam rumah tangga adalah uang. Kurang uang kita bertengkar; kelebihan uang kita pun bertengkar. Bagaimanakah caranya mengatur masalah keuangan sehingga tidak harus menjadi penyebab perselisihan?
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengatur Keuangan Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Pada kesempatan ini Pak Gunawan, saya tidak akan membahas pernak-pernik teknisnya yaitu uang itu ditaruh di mana, siapa yang pegang, itu tidak akan saya bahas. Saya akan lebih fokuskan pad pemahaman atau kesamaan nilai karena menurut saya kalau dua belah pihak sudah memiliki suatu pemahaman yang tepat maka nanti masalah teknisnya dapat diatur dan tidak menjadi masalah lagi.
Jadi itulah yang kita akan coba uraikan dan ada beberapa yang bisa saya bagikan. Yang pertama adalah tentang masalah uang ini, dan kita tahu memang sangat sensitif sehingga ada orang yang berkata, "Ada uang ribut dan tidak ada uang juga ribut", memang sensitif. Maka kita harus menyamakan persepsi terhadap uang, sudah tentu kita harus kembali kepada firman Tuhan agar kita berdua bisa mempunyai kesamaan. Jangan sampai kita berkata, "Pokoknya saya benar dan kamu salah," tidak seperti itu! Mari kita lihat apa yang firman Tuhan katakan. Amsal 11:24 berkata, "Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan." Artinya ada orang yang terus berani membagi harta memberikannya kepada yang lain tapi terus bertambah kaya, tapi ada orang yang terus menghemat tidak mau membagi, tidak mau memberikan kepada yang lain, tapi selalu berkekurangan. Dari firman Tuhan ini kita bisa simpulkan bahwa Tuhan ialah pemberi berkat dan bahwa usaha manusia itu terbatas dan tidak akan menentukan pemasukannya. Jadi kita mesti menyadari bahwa kita ini terbatas, sekeras apa pun kita bekerja kalau memang bukan waktunya kita diberkati Tuhan, maka tidak akan bertambah satu sen pun, tapi sebaliknya kalau ini memang pemberian Tuhan, dan sudah waktunya Tuhan maka nanti akan ada penghasilan-penghasilan tidak terduga dan ada berkat-berkat yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Maka dari awal Tuhan sudah mengingatkan agar kita bergantung kepada-Nya, bukan kepada kekuatan sendiri. Jadi baik suami atau istri harus mempunyai suatu keyakinan bahwa pemberi berkat dan pemelihara hidup adalah Tuhan, kita kerjakan bagian kita tapi semua itu bergantung pada Tuhan sendiri. Jadi jangan sampai kita lepas dari perspektif ini, semua bergantung kepada kita seakan-akan kalau kita tidak melakukan ini dan itu kemudian kita kekurangan, itu salah! Sebab Tuhan adalah pemelihara hidup kita.PG : Betul sekali. Memang ada keluarga yang menekankan bahwa kamu harus cari uang, ini hasil usahamu. Kalau itu yang menjadi pandangan kita maka kita harus kembali ke firman Tuhan dan meyakini ahwa ini yang benar, apa pun yang diajarkan kalau sebelumnya itu berbeda dari yang Tuhan ajarkan, maka itu yang harus kita tanggalkan.
Maka meskipun kita menganggap kita benar, dan pendapat kita harus diikuti, itu salah! Kita harus kembali lagi ke apa yang firman Tuhan telah ajarkan dan itu yang sekarang harus kita yakini.PG : Sudah tentu, jadi kita harus mengerjakan bagian kita, namun Tuhan ingatkan jangan sampai akhirnya kita berkata, "Atas usaha sayalah, atas kecerdasan sayalah, atas ketajaman insting sayalahmaka akhirnya saya berhasil menempati posisi seperti sekarang ini," jangan! Kita harus kembalikan semuanya kepada Tuhan.
Suami istri yang biasanya sudah sepakat tentang masalah ini, sudah tentu dalam soal uang nantinya akan lebih relaks dan tidak terlalu tegang, kalau tidak akhirnya suami istri itu menjadi mudah tegang karena memang sangat menggantungkan pada kemampuan sendiri. Kalau kita berdua menyadari semua adalah pemberian Tuhan maka kita juga akan lebih relaks soal uang. Jadi kita tidak terlalu lagi mengejar-ngejar dan hidup kita akan jauh lebih berimbang.PG : Yang berikut adalah kendati berkat berasal dari Tuhan, maka kita diminta untuk hidup rajin tidak malas, bukan saja kita mengerjakan bagian kita tapi kerjakanlah dengan sebaik-baiknya, dengn serajin mungkin.
Firman Tuhan di Amsal 20:13 berkata, "Janganlah menyukai tidur, supaya engkau tidak jatuh miskin, bukalah matamu dan engkau akan makan sampai kenyang," sudah tentu Tuhan tidak melarang kita tidur untuk beristirahat, kalau perlu beristirahat, beristirahatlah yang cukup tapi janganlah menjadi orang yang malas dan itu yang Tuhan kehendaki. Kenapa? Sebab orang yang malas adalah orang yang memang sedang berjalan menuju kepada kemiskinan, sebab kemalasan adalah jalan tercepat menuju kepada kemiskinan. Maka meskipun kita tahu Tuhan adalah pemberi berkat, tidak benar kalau kita berkata, "Saya walaupun tidak bekerja juga tidak apa-apa nanti akan ada berkat Tuhan," itu salah! Bukan saja kita harus bekerja dan melakukan bagian kita tapi kita juga harus melakukannya dengan rajin, ini permintaan Tuhan. Tapi jangan sampai keterlaluan gara-gara rajin dan akhirnya menghasilkan uang, kemudian kita melupakan Tuhan sebagai pemberi berkat itu sendiri.PG : Betul sekali, jadi dengan kata lain memang Tuhan berharap dan meminta kita untuk bekerja. Hal ini bisa menyelesaikan banyak problem sebab ada orang yang seperti ini, "Saya tidak perlu bekeja tidak apa-apa, yang penting sekarang apa yang bisa saya lakukan untuk Tuhan maka saya lakukan untuk Tuhan."
Tapi masalahnya adalah dia tidak cukup dan dia memang harus bekerja, tidak benar kalau kita berkata seperti itu. Kita harus kerjakan bagian kita, kita jangan melarikan diri dari tanggung jawab dan bersembunyi di balik firman Tuhan bahwa nanti akan Tuhan penuhi. Bagian kita harus kita kerjakan dan Tuhan menginginkan kita untuk menjadi orang yang rajin, jadi jangan menggantikan kemalasan dengan kerohanian dan itu tidak benar.PG : Betul sekali. Jadi uang memang harus kita gunakan, tapi bagaimanakah kita menggunakannya. Yang pertama adalah kita harus menggunakan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga sendiri, sbelum digunakan untuk kepentingan orang lain.
Firman Tuhan sudah memberikan kepada kita pedomannya di 1 Timotius 5:8 firman Tuhan berkata, "Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman." Jadi artinya sama dengan tadi yang saya sudah tekankan bahwa Tuhan menuntut tanggung jawab. Jadi tidak benar bersembunyi dibalik kerohanian yang sebetulnya itu lebih merupakan kemalasan kita dan itu tidak benar. Tuhan berkata kita harus memenuhi kebutuhan pokok keluarga kita sendiri terlebih dahulu. Kalau orang berkata, "Itu namanya egois" itu salah! Itu namanya bertanggung jawab, itu namanya menaati yang Tuhan kehendaki. Sebab tidak benar, apa yang harus dipenuhi untuk keluarga kita sendiri, kita tidak berikan dan malahan kita berikan kepada yang lainnya dan nanti itu akan sangat melukai atau mencederai perasaan orang-orang di rumah kita sendiri dan kesaksian kita pun sebagai orang Kristen akhirnya merosot. Saya pernah berbicara dengan seseorang yang pernah menceritakan betapa orang tuanya sangat peduli dengan lingkungan, sangat mau menolong orang yang susah tapi masalahnya sewaktu dia kecil dia hidup di dalam kekurangan, karena dia bukanlah keluarga yang berkelebihan jadi seringkali mau membeli buku dan lain-lain tidak mempunyai uang, hidup sangat susah tapi orang tua terlalu memikirkan kebutuhan orang sehingga seringkali uang itu diberikan untuk kebutuhan orang lain terlebih dahulu dan orang yang di rumah kekurangan. Apa yang akhirnya terjadi di rumah? Orang tuanya sering bertengkar, karena ibu mengharapkan si ayah pulang membawa nafkah tapi seringkali uang itu sudah dibagi-bagi untuk kepentingan orang lain, karena si ibu tidak mempunyai uang yang cukup karena memang hidup mereka kurang dan susah sehingga akhirnya mengeluh dan bertengkar. Akhirnya apa yang dipetik oleh anak-anak bahwa ayah itu tidak bertanggung jawab, ayah itu akhirnya lebih sayang kepada anak orang lain dari pada anak sendiri, itu yang pertama. Dan yang kedua, bukankah anak-anak juga harus hidup di dalam bayang-bayang pertengkaran. Jadi waktu si ayah pulang yang seharusnya membawa gaji, nantinya tidak bisa tidak akan berbuntut pada pertengkaran. Jadi sekali lagi tindakan itu tidak membuahkan berkat malah membuahkan masalah dalam keluarga sendiri. Makanya tidak salah firman Tuhan menegaskan, jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad. Jadi Tuhan menggunakan kata-kata yang keras sekali di sini "murtad" dan "lebih buruk dari orang yang tidak beriman." Tidak ada lagi kata yang lebih keras dari ini semuanya maka jangan sampai kita itu kehilangan perspektif.PG : Sudah tentu akhirnya kita harus melihatnya dari sisi yang jelas yaitu tanggung jawab, tanggung jawab kita yang pertama adalah keluarga sendiri dulu. Kita tidak mendapatkan pujian dan sebaginya itu tidak apa-apa sebab yang penting adalah tanggung jawab, ini yang kita harus penuhi.
Jangan sampai kita menjadi orang yang karena haus pujian dari pihak luar makanya mendahulukan kepentingan pihak luar sehingga dari pihak luar orang akan berkata-kata, "Dia baik dan selalu rela mengorbankan diri demi kepentingan orang lain," dipuji-puji tapi dikutuki oleh orang di rumah sendiri, hal itu juga tidak benar. Tuhan selalu punya prinsip yang sangat jelas, Pak Gunawan, yaitu mulai dari seisi rumah, mulai dari lingkungan terdekat. Misalkan juga tentang penyebaran firman atau penyebaran Injil, Tuhan berkata mulai dari Yerusalem, Tuhan tidak berkata "Pergilah ke seluruh dunia ini," tidak seperti itu, tapi awalilah dari Yerusalem-mu kemudian baru ke Yudea-mu kemudian barulah ke tempat yang lebih jauh lagi. Jadi sama dengan hal memelihara kebutuhan juga sama yaitu yang terdekat dulu kemudian baru nanti lapisan luar. Sekali lagi tujuannya bukanlah egois, tapi ini tanggung jawab dan kesaksian hidup.PG : Hal ini memang harus kita kombinasikan dengan prinsip yang berikutnya yaitu setelah kita memenuhi kebutuhan pokok keluarga, kita harus memikirkan kebutuhan sesama, sebab Tuhan menjanjikan erkat bagi orang yang murah hati dan ini juga adalah tanggung jawab kita pula untuk memelihara kebutuhan orang lain di luar dari rumah kita.
Firman Tuhan di Amsal 22:9 berkata, "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." Jadi Tuhan akan melihat dengan cepat orang yang murah hati membagi rezekinya dengan orang yang miskin, ini dijanjikan berkat tapi sekaligus ini menjadi sebuah tanggung jawab karena firman Tuhan berkata, "Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri." Jadi kita memang harus membuktikan kasih kita kepada orang secara konkret pula. Jadi tidak benar kalau kita hanya memperhatikan kepentingan pokok keluarga kita tanpa memedulikan orang lain. Pertanyaan Pak Gunawan bagus, yaitu batasnya sampai mana? Ada orang yang berkata, "Nanti kalau anak saya sudah besar dan memang masing-masing perlu diberikan mobil untuk diantarkan oleh sopir sehingga tidak perlu menunggu, maka itu yang saya harus lakukan". Tidak! Harus ada batasnya saya sangat suka sekali dengan hal-hal yang dikatakan oleh Pdt. Rick Warren setelah beliau menjadi penulis yang laris dan bukunya dinikmati oleh banyak orang, "The Purpose Driven Church" dan "The Purpose Driven Life". Akhirnya dia menjadi orang yang sangat kaya dan dia akui itu, nah apa yang harus dia lakukan dengan uangnya yang kemungkinan besar dalam jumlah jutaan dolar karena hasil penjualan buku-bukunya. Yang pertama, dia harus membayar kembali gajinya dari tahun pertama dia melayani di gerejanya sampai saat itu dan untuk selamanya, dia tidak terima gaji lagi. Yang kedua, sisa uang itu dia akan gunakan untuk mengongkosi atau membiayai perjalanan pelayanannya. Jadi kalau dia diundang, dia tidak lagi menerima pemberian bahkan untuk semua biaya pelayanan tersebut dia tanggung dari uang tersebut. Ketiga dia juga akan menyisakan uangnya untuk membantu pelayanan-pelayanan lainnya, jadi kalau ada yang butuh ini dan itu dia akan gunakan uang-uang itu untuk menolong pelayanan-pelayanan lainnya. Terakhir yang paling saya kagumi, dia berjanji tidak akan meningkatkan taraf kehidupannya, dia tidak pindah ke rumah yang lebih bagus, dia tidak membeli mobil yang paling baru atau yang lebih mahal, itu tidak dilakukannya. Hanya sesuai dengan kebutuhan, sudah tentu kalau mobilnya sudah tua dan perlu diganti maka dia ganti tapi dia akan pertahankan level kehidupannya itu. Jadi dengan kata lain, dia terima uang itu tapi bukan hanya untuk kepentingannya saja, setelah kebutuhan pokok keluarganya telah tercukupi, kemudian dia terus memikirkan bagaimana dia bisa membagikan uang itu kepada yang lain, sebab dia memang melihat bahwa Tuhan memberikan untuk dibagikan, tapi setelah dia dengan tanggung jawab memelihara kepentingan keluarganya.PG : Boleh. Jadi tidak ada salahnya. Misalkan kita ini yang sudah paro baya juga memikirkan hari tua dengan pemikiran, saya nanti tidak ingin bergantung dengan anak-anak, jangan sampai menyusahan anak-anak.
Itu tidak apa-apa tapi jangan sampai kita berpikiran seperti ini, "Saya mau pikirkan hari tua saya, kemudian nanti saya juga harus memikirkan cucu-cucu saya, nanti juga perlu ada simpanan untuk mereka," tidak! Hari ini mempunyai kesusahan untuk hari ini, jangan sampai kita terlalu jauh seolah-olah nanti Tuhan tidak bisa memelihara anak cucu kita, tapi Tuhan bisa. Jadi kita melakukan tugas-tugas kita, kalau kita mau sisakan uang silakan. Kita akan masuk ke prinsip berikutnya yang juga sama pentingnya yaitu menyimpan uang adalah kebiasaan hidup yang bijaksana, untuk mengantisipasi pengeluaran tidak terduga dan merupakan tanda hidup berdisiplin karena hidup ini akan diisi dengan hal-hal yang tidak terduga, pengeluaran-pengeluaran itu nanti harus terjadi maka kita memang harus menyimpannya dan dengan kita mulai menabung, itu berarti kita membiasakan hidup berdisiplin. Hidup tak berdisiplin adalah menerima uang berapa kemudian langsung menghabiskan semuanya dan yang lebih celaka lagi adalah kalau menerima uang berapa kemudian mengeluarkan berlipat-lipat kali lebih besar dari penerimaan. Itu bukan lagi hidup tak berdisiplin, tapi itu hidup tidak bertanggung jawab. Firman Tuhan meminta kita belajar dari semut di Amsal 30:25 firman Tuhan berkata, "Belajarlah dari semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas," sebab semut sudah dilengkapi Tuhan dengan insting bahwa di musim dingin mereka tidak bisa mencari makan, jadi kumpulkan semuanya di musim panas sehingga nanti di musim dingin tidak bisa lagi mencari, sudah ada persediaan makanan. Jadi ini suatu tanda hidup berdisiplin dan hidup bijaksana dan orang Kristen diminta Tuhan hidup seperti ini jangan hidup tidak bertanggung jawab.PG : Sudah tentu banyak atau tidak banyaknya bergantung pula pada berapa banyak keperluannya. Jadi kalau kita sudah punya uang kemudian kita terus menyimpan dan kita selalu berkata, "Untuk peneluaran tidak terduga" itu juga tidak benar.
Tadi sudah ditekankan bahwa yang kita bisa berikan adalah yang lebih dari apa yang kita punya, kita harus sumbangkan karena Tuhan ingin untuk kita menjadi orang yang murah hati.PG : Setelah kita menyisihkan uang untuk pengeluaran tidak terduga, kita juga mesti hidup sebagai orang beriman bukan seperti orang tak beriman. Jadi jangan sampai kita menumpukkan harta demi brjaga-jaga seakan-akan tidak ada Tuhan yang memperhatikan dan memelihara kita.
Kadang-kadang kita seperti itu, menumpuk harta seolah-olah tidak ada Tuhan di dunia ini yang dapat memelihara kita. Tuhan ada! Firman Tuhan mengingatkan, "Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?" di Matius 6:30. Pohon-pohon, rumput-rumput, siapakah yang mendandani? Tuhan! Burung pipit di udara siapa yang pelihara? Tuhan. Masakan Tuhan tidak memelihara kita anak-anak-Nya? Juga melalui perumpamaan-perumpamaan orang kaya yang bodoh yang membangun lumbung yang lebih besar untuk menyimpan gandum dan barang-barangnya, Tuhan Yesus mengingatkan, "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya," Lukas 12:15. Kadang kita mengelabui diri, sebetulnya kita tamak tapi kita tidak mau dikatakan tamak jadi kita ini berkata, "Kita ini bersiap-siap untuk masa depan." Atau kita tamak dan kita tidak mau dikatakan tamak dan kita berkata, "Kita orangnya hemat, tapi ujung-ujungnya adalah tamak, kita tidak pernah merasa cukup dan ini adalah hal yang tidak Tuhan tidak senangi. Tuhan menginginkan kita hidup bergantung kepada-Nya, bahwa Dia adalah Tuhan yang sanggup memelihara hidup kita, jangan sampai kita hidup seolah-olah tidak ada Tuhan di dunia ini.PG : Betul sekali. Kalau sampai kaya, itu adalah akibat atau berkat yang memang kita terima dari-Nya tapi kita harus ingat bahwa Tuhan itu tidak ingin kita mengejar-ngejar kekayaan supaya kita enjadi kaya.
Tuhan menginginkan kita mengerjakan bagian kita dan kerjakanlah bagian kita dengan rajin, sesudah itu semua biarkan Tuhan yang mengurus. Entah Tuhan ingin memberkati kita lebih, silakan atau Tuhan memberkati kita cukup, silakan, tapi berkat Tuhan tidak akan kurang, paling sedikit berkat Tuhan itu cukup dan kadang-kadang dilebihkan, kalau berkat Tuhan dilebihkan, untuk keperluan kita sudah, maka tolong berikan kepada yang lain, itu yang Tuhan kehendaki.PG : Betul sekali, kalau orang sudah meng-ilahkan uang, maka hidupnya itu hanya diisi dengan satu yaitu uang saja, sehingga dia gagal melihat hidup seperti Tuhan melihatnya, gagal menikmati hidp seperti Tuhan menghendakinya.
Misalnya orang yang meng-ilahkan uang akan sangat sulit sekali menikmati relasi persahabatan karena dia akan mengukur semua dari uang. Tidak menghasilkan uang maka tidak perlu bicara dengan saya, kalau kira-kira tidak akan ada hasil uang, maka tidak perlu bersahabat dengan saya. Jadi akhirnya semua diukur dari uang. Akhirnya apa yang terjadi? Dia kehilangan segalanya, sebelum dia mati sebetulnya dia sudah seperti mati karena dia sudah kehilangan semuanya. Kasih tidak ada lagi, kemurahan hati tidak ada lagi, orang pun tidak mendapatkan berkat dari dia. Maka konsep yang harus selalu kita ingat dalam rumah tangga kita, bahwa uang adalah titipan Tuhan kepada kita untuk digunakan oleh kita terutama untuk kepentingan Tuhan dan bukan kita maka jangan kita menggenggam uang sebagai milik pribadi. Itu salah! Uang adalah sesuatu yang Tuhan titipkan kepada kita, pertama digunakan untuk kepentingan-Nya, untuk kemuliaan-Nya. Sudah tentu yang tadi kita telah bahas kepentingan-Nya dan kemuliaan-Nya adalah, kita pertama-tama bertanggung jawab kepada keluarga kita sendiri, setelah itu bermurah hatilah karena Tuhan menghendaki agar apa yang Tuhan telah berikan kepada kita secara berlebihan, justru untuk dibagikan supaya yang lain pun juga menerima berkat.PG : Betul.
PG : Betul sekali. Jadi memang kerangka atau nilai inilah yang kita mesti samakan dengan pasangan kita.
PG : Betul.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan yang sangat menarik ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengatur Keuangan Keluarga." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
30. Tuhan Di Tengah Keluarga | |
Tujuan hidup adalah memuliakan Tuhan dan salah satu cara memuliakan Tuhan adalah lewat keluarga. Keluarga yang memuliakan Tuhan memunyai dampak besar terhadap orang di sekitar dan generasi berikutnya. Dua contoh keluarga yang memuliakan Tuhan dan telah memberi dampak besar bagi nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu keluarga dari Dr.James Dobson dan Pdt. Jonathan Edward. Mereka melakukan hal-hal yang sederhana namun memberi dampak yang luar biasa dan memberkati.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tuhan Di Tengah Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Salah satunya adalah untuk memuliakan Tuhan sebab kita diciptakan oleh Tuhan pada akhirnya untuk memuliakan-Nya. Artinya lewat kehidupan kita, kita membawa kemuliaan Tuhan di tengah-tenga dunia ini karena kita adalah orang-orang yang dipanggil untuk menikah dan berkeluarga maka kita harus menggunakan kesempatan dalam pernikahan dan berkeluarga untuk memuliakan Tuhan pula.
Sehingga lewat kehidupan keluarga kita nama Tuhan lebih dipermuliakan.PG : Arti memuliakan Tuhan di dalam keluarga berarti menomor satukan Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai TUHAN atau TUAN dalam keluarga kita. Berarti adanya sebuah kesediaan untuk menanggalkan dri kita, ego kita, kehendak kita dan meletakkannya pada kaki Tuhan sehingga apa pun yang kita perbuat, kita akan coba selaraskan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai keluarga kita akan berusaha bersama-sama mencari kehendak Tuhan baik untuk keluarga secara keseluruhan dan juga untuk anggota-anggota keluarga secara pribadi.
Jadi memuliakan Tuhan yang pertama adalah mengesampingkan diri, menundukkan diri dan menjadikan kehendak Tuhan sebagai tuntunan bagi kita semua.PG : Seringkali ada kesenjangan seperti itu, Pak Gunawan. Maka dalam keluarga kita harus saling mengingatkan, kadang kita tidak bisa berjalan seiring dan sekata dengan pasangan karena ada satu ang lebih tertarik dan mau menuntut pertumbuhan dalam Tuhan Yesus, tapi ada sebagian juga yang tidak mau dan tidak begitu memedulikan hal-hal rohani.
Memang kalau terjadi kesenjangan maka tidak bisa tidak ini akan memengaruhi suasana rohani di dalam keluarga kita dan kita akan mengalami kesulitan hidup atau cerita tentang pengalaman dengan Tuhan kepada pasangan kita, otomatis kalau ini menjadi masalah dalam kehidupan keluarga kita, maka ini juga akan berdampak pada anak-anak kita, akan ada anak-anak yang ikut kita yaitu yang lebih rohani yang memedulikan kepentingan Tuhan, tapi biasanya juga akan ada anak yang menuruti pasangan kita yaitu tidak menuruti kepentingan Tuhan karena dia merasa tidak masalah sebab bukankah pasangan kita atau misalkan ayahnya atau ibunya juga tidak begitu memedulikannya. Jadi seringkali kalau ada kesenjangan dalam relasi suami istri, maka kesenjangan itu nantinya akan turun pula pada anak-anaknya.PG : Betul sekali, jadi dalam kehidupan keluarga yaitu suami dan istri atau ayah dan ibu bersatu padu di dalam kehidupan bukan saja kehidupan suami istri saja tapi dalam kehidupan rohani sebaga anak-anak Tuhan, membesarkan anak-anak mereka dalam takut akan Tuhan.
Kita akan melihat dampak yang sangat luas berkepanjangan dan dampak ini tidak hanya terbatas pada generasi atau waktu saja. Misalkan saya dapat memikirkan kehidupan dari Dr. James Dobson. Ayah dari Dr. James Dobson adalah seorang penginjil keliling dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga dan Dr. James Dobson sebagai anak tunggal dibesarkan oleh kedua orang tuanya dan Dr. James Dobson itu kadang-kadang melihat orang tuanya bercengkrama setelah papa pulang dari pelayanan dan si papa akan menceritakan tentang pekerjaan Tuhan. Dan dalam pembicaraan biasanya, pada akhir percakapan si ayah akan berkata kepada si ibu, "Tadi saya melihat anak pendeta tidak memiliki sepatu yang bagus karena hidupnya memang kurang dan saya ingin memberikan kepada orang itu, jadi sebagian dari uang yang telah saya terima, saya berikan untuk keluarga tersebut." Biasanya mama Dr. James Dobson hanya berkata kepada papanya, "Jimmy, jika itu yang Tuhan gerakkan untuk engkau lakukan, maka lakukanlah." Inilah yang dilihat oleh Dr. James Dobson, interaksi antara papa dan mama yang begitu harmonis, yang mendahulukan Tuhan di atas kepentingan pribadi, sebab bisa saja mamanya Dr. James Dobson marah, "Kenapa kamu tidak memikirkan keluarga dulu dan kenapa kamu memikirkan orang lain dan sebagainya," tapi karena dua-dua memunyai pikiran Kristus dan menundukkan kepentingan pribadi di kaki Tuhan, maka mereka dapat hidup dengan harmonis dan menampakkan kesalehan. Dan inilah yang diteruskan kepada Dr. James Dobson, sehingga tidak heran pada akhirnya Dr. James Dobson bertumbuh besar menjadi orang yang mencintai Tuhan, yang dengan serius mau melayani Tuhan. Dan kita tahu sekarang di Amerika Serikat dan pada beberapa negara dia menjadi orang yang Tuhan pakai untuk memengaruhi banyak keluarga.PG : Betul sekali. Jadi bagi banyak orang seperti Dr. James Dobson, sebagai anak yang dibesarkan dalam rumah tangga atau keluarga yang rohani, konsep tentang Tuhan itu bukanlah sebuah konsep yag berada dalam tataran pemikiran tapi juga dalam tataran realitas, anak-anak ini seperti Dr.
James Dobson melihat kenyataan bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan itu memelihara. Misalkan satu contoh lagi tentang Dr. James Dobson, waktu papanya lanjut usia sebetulnya tidak terlalu tua, papanya terkena serangan jantung memang masih bisa hidup namun kemudian terkena stroke, dalam kondisi yang sudah payah itu suatu kali Dr. James Dobson bercerita bahwa papanya dikunjungi oleh Tuhan Yesus dan Tuhan berkata kepadanya bahwa Tuhan akan memanggilnya pulang tapi "Jangan khawatir," kata Tuhan, sebab Ia akan memelihara istrinya atau mama Dr. James Dobson. Setelah penampakan Tuhan itu, dia memanggil istrinya yang bernama Merdle, "Merdle tadi Tuhan telah menyatakan diri kepadaku dan Tuhan mengatakan pada waktu dekat Tuhan akan panggil saya pulang, tapi Ia berjanji bahwa Dia akan memelihara engkau." Dan benar beberapa bulan setelah itu papa Dr. James Dobson terkena serangan jantung dan meninggal dunia, dan Dr. James Dobson berkata bahwa Tuhan menepati janji-Nya, sampai mamanya tua dan kemudian mendapatkan banyak penyakit tapi Tuhan mencukupi kebutuhan mamanya sehingga mamanya terpelihara. Dr. James Dobson bukan saja mendengar, mengetahui tentang Tuhan, tentang kasih-Nya dan pemeliharaan-Nya, tapi dia mengalami sendiri dan melihat sendiri kasih Tuhan dan pemeliharaan Tuhan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga seperti ini, mereka tidak bisa menyangkal keberadaan Tuhan. Anak-anak lain mungkin banyak mendengar pendapat-pendapat tentang Tuhan dan sebagainya tapi bagi anak-anak yang seperti Dr. James Dobson, Tuhan itu nyata, kasih-Nya nyata dan pemeliharaan-Nya nyata, firman-Nya itu digenapi. Jadi bagi anak-anak seperti ini tidak ada lagi pertanyaan tentang Tuhan. Inilah keluarga yang ingin kita ciptakan supaya anak-anak bisa berdiam di dalam suasana seperti ini.PG : Ada satu lagi, Pak Gunawan. Kisah kehidupan dari Pdt. Jonathan Edward, beliau dipakai Tuhan untuk membakar kerohanian orang-orang Amerika. Dia sebetulnya seorang pendeta tipe pelajar, tipepengajar, bicaranya perlahan-lahan.
Suatu hari beliau dipanggil untuk menggantikan seseorang yang seharusnya memimpin Kebaktian Kebangunan Rohani/KKR di sebuah kota kecil, tapi karena orang tersebut batal datang maka akhirnya yang diminta datang adalah Pdt. Jonathan Edward. Ditulis bahwa beliau datang ke gereja itu dan berkhotbah dengan tenang dan malahan naskah khotbahnya dibaca dari depan sampai ke belakang, tapi naskah itu berjudul Orang Berdosa di bawah Murka Allah. Waktu dia bacakan naskah khotbah itu dengan suara yang tenang dan tidak berapi-api, Tuhan bekerja dan tiba-tiba orang mulai berdatangan dan bersujud dan berlutut meminta ampun bertobat atas dosa-dosa mereka, orang menangis meratap dan benar-benar kebangunan rohani terjadi di gereja itu. Pergilah Pdt. Jonathan Edward ke tempat-tempat lain dan di manapun dia berkunjung dan dia berkhotbah seperti itu juga dengan tenang dan sebagainya kemudian orang bertobat sehingga masa itu disebut dengan masa "The Great Awakening", kebangunan rohani yang besar atau yang agung di Amerika. Tapi yang indah dari kehidupan Pdt. Edward adalah dia mempraktekkan apa yang dikhotbahkannya dalam keluarganya, hidup dengan istrinya begitu baik, harmonis, cinta Tuhan dan anak-anaknya bukan saja mengetahui tentang Tuhan tapi melihat langsung dan mengalami langsung kasih Tuhan dan pemeliharaan Tuhan, dan diteruskan kepada cucu-cucunya, dari cucu-cucunya kemudian diteruskan lagi kepada buyut-buyutnya dan saya sudah lupa sekarang sudah sampai generasi yang keberapa dari keturunan dari Pdt. Jonathan Edward tapi itu dibukukan, dicatat karena ini menjadi sebuah fenomena yang luar biasa dan tidak lazim yaitu satu keluarga besar mulai dari Pdt. Jonathan Edward sampai keturunan keempat atau kelima atau keenam sekarang, semuanya berada pada kasih Tuhan Yesus dan melayani Tuhan, tidak ada yang tidak dalam Tuhan dan tidak ada yang tidak melayani, semua melayani. Setiap tahun berkumpul dalam reuni besar keluarga mereka dan semuanya selalu bersyukur melihat Tuhan bekerja dalam keluarga besar itu. Dan ini bukan peristiwa atau hal yang umum terjadi atau yang gampang terjadi sebab betapa banyaknya orang yang bisa memelihara iman di generasinya tapi tidak bisa meneruskan kepada keturunan berikutnya. Tapi dari keluarga Pdt. Jonathan Edward, sampai dengan keturunan berikutnya, semua tetap berada dalam Tuhan kita Yesus Kristus.PG : Sebagaimana kita lihat kalau berhasil maka dampak rohani itu bisa bertahan dan bisa begitu berkembang dengan luasnya, demikian pula kalau kita berhasil. Kalau kita sebagai orang tua tidak erhasil meletakkan dasar pada kaki Tuhan, mengikuti kehendak-Nya dan hidup dengan kasih sayang maka nantinya kita akan menghadapi masalah dalam keluarga.
Nanti anak-anak kita ada yang ke kiri dan ada yang ke kanan, nanti ada yang ribut dan nanti ada yang tidak cocok dan konflik sehingga akhirnya benih-benih kemarahan atau pemberontakan berbuah dan pada akhirnya menjadi masalah-masalah besar. Ini yang nantinya sering terjadi Pak Gunawan, dan sayangnya itu juga terjadi di dalam keluarga-keluarga Kristen.PG : Saya teringat contoh di Alkitab yang seringkali dibicarakan yaitu keluarga Imam Eli. Imam berarti hamba Tuhan yang Tuhan tetapkan untuk mewakili Tuhan di bumi ini dan sekaligus juga mewakii manusia di hadapan Tuhan.
Jadi Imam Eli memiliki tugas yang sangat penting saat itu dan pada zaman itu, seorang imam bukan saja menjadi seorang pemimpin agamawi tapi juga menjadi pemimpin negeri atau politis. Jadi Imam Eli saat itu memunyai kedudukan yang sangat tinggi, tapi sayang sekali nanti kita akan melihat bahwa keluarga ini tidak pernah lepas dari kemelut masalah dan awalnya dimulai dari Imam Eli sendiri.PG : Di sini kita melihat indahnya dan besarnya kasih Tuhan, kita melihat Tuhan itu tidak berhenti membawa Firman-Nya, mengingatkan Imam Eli akan kehendak Tuhan. Sebagai contoh kita bisa membac di 1 Samuel 2:27-28, "Beginilah Firman Tuhan, 'Bukankah dengan nyata Aku menyatakan diri-Ku kepada nenek moyangmu ketika mereka masih di Mesir dan takluk kepada keturunan Firaun? Dan Aku telah memilihnya dari segala suku Israel menjadi imam bagi-Ku; kepada kaummu telah kuserahkan segala korban api-apian orang Israel'."
Jadi di sini kita bisa melihat, Pak Gunawan, waktu Imam Eli mulai keluar jalur kehendak Tuhan, maka Tuhan mendatanginya dan Tuhan menyampaikan peringatan-peringatan-Nya, namun yang indah di sini adalah Tuhan tidak langsung menegur Imam Eli dan justru Tuhan mengingatkan Imam Eli akan pemilihan Tuhan atas dirinya dan kaumnya yaitu suku Lewi sebagai pelayan Tuhan. Dengan kata lain sebelum Tuhan menegurnya, Tuhan mengingatkan Eli akan relasi yang terjalin di antara Tuhan dan Imam Eli. Inilah yang Tuhan lakukan kepada kita pula, Pak Gunawan, Tuhan tidak langsung menegur apalagi menghukum sewaktu kita itu berbuat salah, yang seringnya adalah Tuhan mengingatkan kita akan relasi-Nya dengan kita, hubungan-Nya yang begitu intim dengan kita, bukankah Dia yang telah memilih kita untuk menjadi umat dan anak-anakNya dan inilah yang pertama yaitu Tuhan akan terus ingatkan kepada kita juga.PG : Seringkali itu yang Tuhan lakukan, kita mungkin menganggap remeh dan kita menganggap tidak begitu penting hubungan dengan Tuhan, misalkan menjaga saat teduh dengan Tuhan, menjaga waktu untk bersekutu dengan Tuhan secara pribadi.
Saya tahu ini adalah sebuah pergumulan pribadi bagi kita semua, saya pun kadang juga bergumul dalam kesibukan akhirnya tidak bisa bersaat teduh dengan Tuhan. Namun Tuhan akan mengingatkan kita, Dia dan kita memunyai sebuah relasi, Dia telah memilih kita menjadi anak-Nya dan Dia telah menjadikan diri-Nya sebagai Bapa dari kita. Seringkali Tuhan akan mengingatkan bahwa kita ini adalah ayah dan anak dan kita ini adalah anak yang disayangi dan Dia akan mengingatkan relasi ini supaya kita bisa kembali ke dalam relasi yang semula dengan Tuhan.PG : Kepada Imam Eli Tuhan berkata, "Kepada kaummu, Ku serahkan segala korban api-apian orang Israel." Dengan kata lain, Tuhan mengingatkan Imam Eli bahwa selama ini Tuhan telah memelihara hidunya dengan serba berkecukupan lewat persembahan yang dibawa oleh umat Israel kepada Tuhan, singkat kata Tuhan setia menyediakan kebutuhannya.
Sewaktu Tuhan memeringati kita, Tuhan pun mengajak kita melihat semua yang diberikan-Nya. Tuhan selalu setia dan tidak ingkar janji.PG : Betul, seolah-olah Tuhan ingin mengingatkan akan bagian Tuhan yang Tuhan akan kerjakan, seolah-olah dengan Tuhan mengingatkan kita akan apa yang Tuhan telah kerjakan maka Tuhan juga ingin enanyakan kepada kita apakah kita telah menunaikan kewajiban kita, apakah kita telah mengerjakan bagian kita.
Di sinilah Tuhan juga melakukannya kepada Imam Eli, seolah-olah Tuhan ingin mengingatkan bahwa dari awal sampai sekarang bukankah Aku telah setia memelihara hidupmu. Seolah-olah Tuhan ingin berkata, "Imam Eli, apakah masih kurang, apakah masih ada yang belum Aku lakukan untukmu. Bukankah Aku sudah memelihara hidupmu seperti ini." Jadi itulah yang Tuhan lakukan kepada kita waktu kita mulai menjauh, waktu kita mulai berontak, waktu kita mulai memertanyakan kasih Tuhan, seringkali Dia datang memeringatkan kita "Apa yang masih kurang, apakah yang engkau masih inginkan yang belum Aku berikan kepadamu," Tuhan ingin selalu mengingatkan bahwa Dia tidak pernah berubah dan Dia selalu di sini dan Dia selalu memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak-anakNya.PG : Saya yakin Imam Eli mendengarkannya dan mencoba untuk melakukannya, misalkan kita tahu karena nanti ini merupakan teguran kepada Imam Eli akan kelalaiannya mendisiplin anak-anaknya. Kita lhat Imam Eli berusaha melakukan apa yang Tuhan inginkan dan menegur anak-anaknya, tapi nanti kita akan melihat bahwa teguran Imam Eli tidak lagi mempan karena masalahnya adalah sudah terlalu besar dan kompleks karena kegagalan Imam Eli juga.
Jadi dengan kata lain, Imam Eli mencoba untuk taat tapi akhirnya sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur.PG : Tuhan memang menegur Imam Eli dan yang Tuhan tegur pertama-tama adalah dirinya sendiri yaitu dirinya Imam Eli, Tuhan berkata di 1 Samuel 2:29, "Mengapa engkau memandang dengan loba kepada orban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku yang telah Kuperintahkan.
.." Dengan kata lain Firman Tuhan mengingatkan Imam Eli akan pemilihan dan pemeliharaan Tuhan dan barulah Tuhan menegur Imam Eli dan ternyata masalah utama Imam Eli terletak di dalam dan bukan di luar dirinya yaitu sikap hatinya yang loba alias rakus. Rupanya Imam Eli adalah orang yang suka makan dan tidak dapat menguasai dirinya sewaktu melihat makanan, besar kemungkinan Imam Eli tidak melanggar peraturan-peraturan persembahan, tapi sikapnya yang loba menjadi dosa besar sehingga pada akhirnya dia tidak lagi menghormati korban bakaran sebagai persembahan untuk Tuhan, tetapi melihat korban bakaran sebagai pemuas nafsu makannya belaka. Tuhan melihat apa yang ada di dalam, kendati dari luar kita kelihatan baik dan melakukan semua yang diperintahkan Tuhan tapi belum tentu kita melakukannya atas dasar hormat kepada Tuhan. Satu hal lagi yang bisa kita lihat adalah awal dosa ialah hilangnya respek terhadap kekudusan Tuhan. Imam Eli kehilangan respek terhadap kekudusan Tuhan maka memandang korban persembahan sebagai pemuas nafsu belaka, bila kita tidak lagi menghormati kekudusan Tuhan maka tinggal masalah waktu sebelum kita jatuh ke dalam dosa yang serius, inilah yang terjadi pada Imam Eli.PG : Saya melihat sebagai kelemahan Eli, menurut saya dia tidak dengan sengaja mau memberontak kepada Tuhan. Kelemahannya terletak di sini yaitu pada makanan, nafsunya dan inilah yang Tuhan liht.
Jadi Tuhan berkata, "Kenapa kamu ini loba, kenapa kamu ini rakus tidak bisa menahan dirimu dan gara-gara engkau tidak menahan dirimu maka engkau mencemari atau mengotori kekudusan Tuhan." Nanti kita akan melihat dampak kelemahan Imam Eli ini ternyata sangatlah luas dan fatal.PG : Betul. Waktu kita tahu kalau kita punya kelemahan kita harus berusaha untuk mengatasinya. Saya ingat sekali perkataan dari pernulis Kristen yang bernama C.S. Lewis berkata bahwa, "Yang Tuhn lihat adalah usaha kita untuk hidup kudus, belum tentu kita selalu berhasil menjalani hidup yang kudus tapi yang Tuhan perhitungkan adalah usahanya jangan menyerah."
Kita semua punya kelemahan tapi marilah kita terus menggumuli dan bawa ke dalam doa dan bawa ke hadapan Tuhan, minta Tuhan menolong kita. Jangan akhirnya mendiamkan dan malah menjadikan kelemahan itu sebagai bagian hidup kita yang tak terpisahkan. Inilah yang terjadi kepada Imam Eli, dia tidak lagi menggumuli, dia menerimanya dan malah akhirnya makin hari makin terseret dan makin jauhlah dia berjalan. Akhirnya tidak lagi menghiraukan kekudusan Tuhan dan dampaknya menjadi sangat buruk kepada anak-anaknya.PG : Betul, karena pada saat itu dia adalah orang yang sangat berkuasa. Jadi di seluruh Israel, dia adalah orang yang sangat berkuasa sehingga orang tidak bisa untuk menghentikan perbuatannya. ungkin orang merasa takut karena dia seorang pemimpin sehingga orang terpaksa mendiamkan meskipun orang tahu kalau dia sudah melewati batas.
Jadi waktu kita merasa diri begitu berkuasa dan tidak ada yang bisa menguasai kita, maka kita lebih mudah untuk terjerumus ke dalam dosa.GS : Dan itu belum akhir dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh Imam Eli, Pak Paul, karena nanti kita akan melihat bagaimana dampaknya terhadap anak-anaknya. Tapi untuk bagian ini karena waktu tidak memungkinkan lagi maka kita sudahi dulu dan kita harapkan para pendengar kita akan mengikuti perbincangan ini pada acara yang selanjutnya. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuhan Di Tengah Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
31. Di Usia Tua Takut Kepada Anak | |
Pada masa anak kecil, anak takut kepada orang tua namun tatkala anak besar dan kita telah tua, kitalah yang malah takut kepada anak. Sebenarnya apakah yang terjadi? Di sini akan dijelaskan mengapakah hal seperti ini terjadi dan apakah yang seharusnya menjadi sikap kita sebagai orang tua.
Pada masa anak kecil, anak takut kepada orang tua namun tatkala anak besar dan kita telah tua, kitalah yang malah takut kepada anak. Sebenarnya apakah yang terjadi sehingga hal ini terjadi? Berikut akan dijelaskan mengapa hal seperti ini terjadi dan apakah yang seharusnya menjadi sikap kita sebagai orang tua.
Jika demikian, apakah yang seharusnya menjadi sikap kita?
"Di Usia Tua Takut Kepada Anak" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali tentang "Di Usia Tua Takut Kepada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Memang untuk menjelaskan kenapa ada orang tua yang takut kepada anak, maka diperlukan kejernihan untuk melihat berbagai penyebab sebab ternyata penyebabnya bukannya tunggal namun sebelum sya menguraikan beberapa penyebab itu maka saya akan mengatakan secara umum terlebih dahulu.
Sudah seyogianyalah pada waktu orang tua melihat anak bertambah besar, dengan bertambah dewasanya anak biasanya, itu juga akan menumbuhkan rasa respek atau hormat kepada anak sebab kita akan melihat dia sebagai seorang dewasa dan bukan lagi sebagai seorang anak dan secara alamiah kita itu akan cenderung lebih respek atau menaruh hormat kepada orang yang lebih dewasa atau lebih tua. Jadi secara alamiah memang akan muncul rasa sungkan, rasa hormat karena anak sudah sejajar dan sudah dewasa sekarang.PG : Salah satu hal yang sering dikatakan oleh banyak orang tua dewasa ini adalah bahwa anak zaman sekarang jauh lebih pandai dari pada kami. Dan memang ada benarnya, dalam pengertian karena pekembangan zaman begitu cepat, perkembangan teknologi dan ilmu juga begitu cepat maka sedikit banyak kita itu tertinggal dan anak-anak kita lebih dipersiapkan untuk bisa seiring, seirama dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Jadi dalam banyak hal anak-anak kita menjadi lebih tahu dari pada kita, dan itu sendiri memang bisa menimbulkan rasa respek kepada anak. Contoh yang gampang adalah seperti saya, untuk urusan komputer dan sebagainya sekarang saya bertanya kepada anak saya sebab saya tidak mengerti dan anak saya yang mengerti. Jadi dia yang memberitahu saya bagaimana ini, apakah ini, bagaimana mengoperasikannya dan sebagainya. Dengan kata lain, secara alamiah memang akan muncul ketergantungan orang tua kepada anak.PG : Ada sebagian yang akhirnya membuat orang tua takut kepada anak. Misalnya yang pertama adalah hubungan dengan anak selama ini anggaplah baik dan kita tidak ingin merusak hubungan yang baik ni, itu sebabnya kita berusaha keras untuk menoleransi sikap anak kepada kita kendati kadang sikap anak itu tidak terlalu positif.
Dalam pengertian ini sedikit banyak kita menjadi takut tapi takutnya adalah merusak hubungan yang selama ini baik. Jadi kita tidak mau mengalami perubahan, tapi kita ingin memertahankan 'status quo' supaya hubungan kita dengan anak tetap positif. Maka meskipun ada hal-hal yang tidak kita sukai atau kita harus tegur, kita takut untuk menyampaikannya kepada anak.PG : Kadang-kadang alasan itu tidak tepat dan ketakutan itu justru akan ada dalam diri kita saja, sebab sesungguhnya kita tidak harus merasa perlu melakukan seperti itu. Namun saya kira itu adaah salah satu kodrat manusiawi kita dan kita tidak ingin merusakkan atau mau mengambil resiko, jika kita berbicara ini dan itu kemudian anak tidak senang dan hubungan dia dengan kita agak renggang.
Apalagi mungkin ketika kita berbicara dengan tetangga atau sanak saudara dan mereka bercerita bahwa anak mereka seperti ini dan seperti itu, tidak hormat, tidak baik kepada orang tuanya, setelah mendengar hal itu mungkin kita akan berkata, "Puji Tuhan anak saya baik-baik saja, menghormati saya" namun pada saat yang sama muncul keinginan untuk memertahankan jangan sampai ada apa-apa. Keinginan untuk memertahankan jangan sampai ada apa-apa akhirnya sedikit banyak akan membungkamkan mulut kita dan membuat kita agak takut untuk menyinggung perasaannya.PG : Betul. Jadi pada masa anak-anak sudah dewasa, umumnya ada kecenderungan bahwa orang tua itu sedikit demi sedikit merasa kalau dirinya itu makin hari makin turun dan makin bergantung kepadaanak sehingga lebih membutuhkan anak, lebih ada rasa takut kalau-kalau hubungan ini tidak seperti dulu lagi, rusak gara-gara perkataan saya, maka orang tua akan menjaga dengan berdiam diri saja.
PG : Sedikit banyak benar. Meskipun kalau dipikir-pikir sebetulnya kita tidak bergantung kepada anak juga tapi secara alamiah kita ini menyadari kalau anak-anak semakin besar dan kita makin tua Jadi kita tahu kalau kita itu tidaklah seberdaya dulu dan kita sudah mulai makin tidak berdaya.
PG : Alasan kedua kenapa kita takut kepada anak adalah misalnya hubungan dengan anak selama ini kurang baik dan kita ingin menyelamatkan apa yang tersisa dari hubungan ini, itu sebabnya kita cederung mengikuti kehendak anak supaya relasi kita tidak memburuk.
Jadi kebalikan dari yang pertama tadi, kalau yang pertama adalah selama ini baik-baik saja dan kita tetap menjaganya agar tetap baik. Dan kedua ini adalah selama ini kurang baik, karena kurang baik maka kita ingin menyelamatkan apa yang tersisa dari hubungan ini dan jangan sampai lebih buruk lagi karena kita sadari bahwa selama ini kurang begitu harmonis, karena itulah kita membungkamkan mulut, kita tidak berani berbicara jadi ada rasa takut kepada anak.PG : Betul. Jadi kita mau menjaga jangan sampai memburuk. Memang mungkin sekali saat itu kita sadar, kita belum bisa dan tidak tahu kapan bisa memerbaiki relasi ini namun kita harus menyadari klau kita harus menjaganya jangan sampai bertambah buruk dan untuk menjaga agar jangan sampai bertambah buruk, akhirnya kita takut untuk berbicara hal-hal yang nanti akan membuat anak-anak marah kepada kita.
PG : Betul sekali. Jadi adakalanya kalau kita pernah berbuat salah kepada anak-anak misalnya kita pernah menyakiti hati dia, kita pernah menolak untuk menolongnya sehingga dia harus mengalami ksusahan, kita pernah melepaskan tanggung jawab, tidak mau tahu urusannya, lepaskan keluarga, hidup tidak karuan dan sebagainya.
Hal-hal seperti itu membuat kita sadar bahwa kita ini salah kepadanya dan kita ingin menebus kesalahan itu. Kita akhirnya menjadi tidak berani bersikap tegas kepada anak, cenderung mengikuti kehendaknya karena kita takut bahwa dia akan terus menyimpan kemarahan atau kebencian kepada kita. Jadi kita mau tebus kesalahan-kesalahan kita supaya rasa marahnya berkurang. Ini menjadi landasan kenapa kita takut kepadanya.PG : Saya kira ini adalah alasan yang klasik yaitu pada saat kita mulai tua, kita bergantung kepada anak secara finansial, karena setiap bulan kita menantikan anak datang dan membawa amplop memerikan kita uang atau membayarkan keperluan-keperluan kita, membelikan kita barang dan sebagainya.
Jadi secara alamiah kita merasa sungkan untuk menegur anak, untuk berbicara apa adanya kepada anak karena kita tahu kalau kita ini adalah tanggungan anak. Jadi mungkin kita berkata, "Lebih baik diam saja, sekarang saya sudah menjadi tanggungan anak tapi saya masih mau menegur anak, nanti disangka tidak tahu diri dan sebagainya". Jadi lebih baik mereka menutup mulut dan akhirnya kita takut kepada anak.PG : Kendati kita menganggap bahwa ini adalah hak kita dan selayaknyalah anak memberi kepada kita namun saya kira tetap karena kita menjadi penerima bantuan tunjangan anak, kita akhirnya sungka untuk tegas kepada anak atau menegur kesalahan anak, kita takut menyinggung perasaan anak jangan sampai membuat urusan baru dengan anak.
PG : Ini yang terakhir, penyebabnya adalah makin tua, makin kita membutuhkan anak dan ini tidak bisa disangkal. Kalau bukan karena faktor ekonomi, kita juga bisa bergantung kepada anak untuk ha lainnya seperti masalah antar jemput yaitu hal yang sederhana, kita mau ke sana ke mari karena kita tidak bisa menyetir, kita harus meminta anak mengantar dan menjemput kita.
Atau belanja, adakalanya di usia-usia tertentu kita tidak bisa lagi pergi dan kita harus meminta anak untuk mengantar kita, mungkin kalau ke pasar yang di sebelah rumah, mungkin kita masih bisa melakukannya, tapi kalau ke tempat belanja yang agak jauh kita tidak bisa melakukan dan meminta anak untuk menolong kita. Atau kita sakit dan kita perlu di bawa ke Rumah Sakit atau berobat ke sana dan ke sini akhirnya anaklah yang harus menolong kita pula. Jadi di usia tua kita harus banyak bergantung kepada anak. Selain dari itu di usia tua pun secara emosional, kita pun makin bergantung kepada anak karena kita kesepian. Pada masa tua kita bergantung sekali kepada anak, dan kita menelepon anak, kalau dia menelepon kita senang, kunjungan anak dan dia datang hari apa maka kita senang, apalagi kalau nanti membawa cucu yang akan mengisi hari-hari kita dengan kesibukan karena ada cucu sementara dan kita senang. Jadi benar-benar pada masa tua kita bergantung kepada anak hampir dalam setiap lini kehidupan ini.PG : Bisa. Mungkin anak kita berada pada tingkat sosial yang berbeda dari kita. Kita terbiasa dengan gaya hidup kita yang mungkin sederhana dari ekonomi yang di bawah. Misalkan atas anugerah Tuan, anak kita berhasil naik tangga ekonomi, meningkat ke status yang lebih baik dari kita, otomatis waktu dia nanti bersosialisasi dan memperkenalkan kita namun kita tidak berpakaian sesuai dengan kelasnya anak kita, bisa jadi anak kita akan merasa sedikit banyak canggung atau malu dan sudah tentu kita sendiri juga harus peka.
Meskipun kita berkata, "Tidak apa-apa saya seperti ini apa adanya" namun tidak ada salahnya kita mengerti posisi anak kita. Jadi sedapatnya berpakaianlah dengan baik dan tidak perlu membeli pakaian mewah tapi berpakaianlah dengan baik sehingga tampak baik di hadapan teman-temannya.PG : Dalam kasus seperti itu saya kira kasihan karena sudah tentu setiap kali dia masuk ke dalam kamar sebetulnya hatinya pun tertusuk karena dia merasa bahwa dia harus masuk ke kamar, karena aak saya malu dengan saya.
Jadi menimbulkan rasa tidak enak juga terhadap diri si orang tua.PG : Ada beberapa dan yang pertama adalah kendati anak sudah besar, anak tetap manusia yang berdosa dan sama seperti kita dan ia dapat melakukan kesalahan dan dapat melakukan dosa sama seperti ita.
Tapi pertanyaannya adalah kalau bukan kita, siapakah yang harus memberitahukannya. Jadi ini masukan saya sebagai orang tua, tegurlah dia kalau anak kita berbuat dosa namun tegurlah dengan kasih. Firman Tuhan berkata di sini, "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan," Galatia 6:1. Jadi jangan sampai kita lupa bahwa anak juga manusia yang berdosa seperti kita dan kadang mereka juga melakukan kesalahan atau dosa, kita tetap memunyai tanggung jawab untuk menegurnya. Dan jangan sampai gara-gara alasan yang tadi sudah saya uraikan kita tidak berani untuk menegur anak karena sekali lagi kita harus mendahulukan Tuhan di sini.PG : Seringkali ya, karena memang tadi sudah saya singgung, barangkali kita tidak mau mengorbankan relasi kita dengan anak. Maka kita mencoba untuk menjaganya dan untuk itu kita mengorbankan ha yang sangat penting yaitu memberikan teguran kepadanya, tapi asal ingat saja sampaikan teguran itu dengan lemah lembut dan penuh respek dan jangan kita memarahi dia seperti dia itu adalah anak kecil, jangan seperti itu, karena itu yang lebih menyakiti hatinya.
Tapi secara baik-baik kita katakan, "Saya melihat kalau kamu keliru berbuat seperti ini, saya melihat kamu ini keliru telah menjauh dari Tuhan dan kamu melawan Tuhan dan kamu harus berhenti berbuat ini dan jangan sampai nanti Tuhan menghukum kamu". Jadi tidak mengapa mengatakan hal seperti itu kepada anak.PG : Tetap saya kira meskipun kita bergantung kepada anak tapi kita harus ingat bahwa kita harus mendahulukan kebenaran Tuhan. Jadi meskipun kita masih menerima bantuan anak, kita menerima pertlongan anak untuk mengantarkan anak ke sana dan ke sini tapi tetap fokuskan mata kita pada kebenaran yaitu Tuhanlah yang memelihara kehidupan kita.
Ini adalah kebenaran yang memang Tuhan telah berikan kepada kita, coba kita dengar firman Tuhan yang tercatat di dalam Matius 6:31-32, "Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu." Jadi Tuhan memelihara hidup kita dan jangan kita takut kehilangan dukungan anak atau tanggungan dari anak sebab Tuhan bisa memelihara kita. Jadi inilah yang harus kita pegang.PG : Saya bisa mengerti kenapa si orang tua itu tidak berani meminta, karena sungkan bahwa dia bergantung kepada si anak secara finansial dan rasanya dia itu sungkan untuk meminta-minta. Jadi sringkali orang tua berkata, "Seharusnya anak yang harus tahu sendiri, kalau kamu mau memberi maka berilah tapi kalau kamu tidak mau memberi juga tidak apa-apa".
Jadi sekali lagi semakin kita tua, semakin banyak perasaan-perasaaan seperti ini dan anak kita mungkin tidak mengerti karena dia belum setua kita. Anak kita mungkin beranggapan, "Kenapa tidak bilang terus terang saja, dan tidak apa-apa", tapi dia belum di posisi orang tua jadi dia tidak akan mungkin mengerti perasaan orang tua.PG : Yang berikut adalah supaya kita bisa tetap menghadapi anak dengan baik di atas kebenaran, ingat hal ini bahwa Tuhan memerintahkan anak untuk menghormati ayah dan ibu. Kata hormat di sini jga mencakup tanggung jawab memelihara kehidupan orang tua di masa tua.
Jadi anak bertanggung jawab kepada Tuhan dalam hal ini, bahkan secara langsung Tuhan mengaitkan tanggung jawab anak, memelihara orang tua dan menghormati orang tuanya dengan berkatnya seperti yang dicatat di dalam Keluaran 20:12, "Supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN Allahmu, kepadamu". Jadi kesimpulannya adalah ini, yaitu kita tidak perlu takut dengan reaksi anak sebab masing-masing bertanggung jawab kepada Tuhan. Firman Tuhan di Galatia 6:5 berkata, "Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri". Jadi anak bertanggung jawab kepada Tuhan untuk menghormati kita sebagai orang tua, memelihara hidup kita pula, kalau mereka tidak menunaikan tanggung jawab itu maka mereka harus menjawab langsung kepada Tuhan. Jadi meskipun kita tahu kalau anak-anak itu memberi kepada kita dari belas kasihan dan sebagainya, tapi tetap itu adalah tanggung jawab anak di hadapan Tuhan pula.PG : Sudah tentu memang kita sebagai orang tua juga harus introspeksi, harus hidup layak dihormati dan jangan sampai hidup itu menurunkan wibawa melakukan hal-hal yang salah, sehingga akhirnya ita menjual wibawa otoritas kita sebagai orang tua, dan kalau setelah itu kita masih menuntut anak untuk menghormati kita maka anak akan susah menghormati kita.
Jadi sekali lagi penting bagi kita untuk bercermin diri pula.PG : Bila memang kita pernah bersalah kepadanya, tidak ada jalan lain mesti kita meminta maaf kepadanya. Ini adalah pertanggung jawaban kita di hadapan Tuhan. Kalau pun anak tidak menuntut permntaan maaf, tapi tetap kita harus melakukannya demi Tuhan.
Firman Tuhan mengingatkan di Yakobus 5:16, "Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh." Jadi kalau kita mau memiliki relasi yang baik atau yang sembuh dengan anak maka kita harus memikul tanggung jawab atas perbuatan kita di masa lampau. Kalau kita salah mesti minta maaf, supaya luka di hati anak pun bisa sembuh. Jangan ragu, jangan gengsi dan berkata, "Karena saya orang tua maka saya tidak mau lagi," jangan seperti itu. Justru ini adalah hari-hari terakhir kita untuk berbenah relasi dengan anak dan jangan sampai kita meninggalkan dunia ini di hari tua tanpa berkesempatan membereskan atau mendamaikan diri kita dengan anak.PG : Betul. Kadang-kadang kita juga melakukan kesalahan dengan sengaja tapi kadang dengan tidak sengaja. Apa pun yang kita lakukan kalau kita sadari itu keliru, maka jangan ragu untuk meminta maf supaya di hari tua ini, hubungan kita dengan anak disembuhkan, mencicipi buah yang manis dari relasi yang Tuhan telah pulihkan.
PG : Kesimpulannya adalah kita tidak perlu takut kepada anak, relasi dengan anak di masa tua tidak harus berubah menjadi relasi takut. Kita perlu saling menghormati, tapi tidak perlu merasa takt dan ingat ini yaitu hormat keluar dari kehidupan yang benar di hadapan Tuhan.
Jadi kita sebagai orang tua mesti hidup benar di hadapan Tuhan. Hidup yang benar itulah yang nanti akan memancing reaksi hormat anak kepada kita dan juga orang tua kepada anak.PG : Betul sekali. Jadi kalau dari kecil kita sudah tanamkan hal ini, pada umumnya sampai anak-anak dewasa mereka tetap mengingatnya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Di Usia Tua Takut Kepada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
32. Ketika Pernikahan Anak Bemasalah | |
Ketika anak kecil, anak memunyai masalahnya tersendiri. Setelah anak dewasa dan berkeluarga, anak memuyai masalahnya yang lain. Salah satu masalah yang kadang dialami adalah masalah dalam pernikahannya. Sebagai orang tua, apakah yang harus diperbuat dan sejauh manakah kita boleh mencampuri urusannya? Di sini akan belajar memahami beberapa masukan untuk menolong kita, orang tua, menjalankan peran dengan benar.
Ketika anak kecil, anak memunyai masalahnya tersendiri. Setelah anak dewasa dan berkeluarga, anak memuyai masalahnya yang lain. Salah satu masalah yang kadang dialami adalah masalah dalam pernikahannya. Sebagai orang tua, apakah yang harus diperbuat dan sejauh manakah kita boleh mencampuri urusannya? Berikut akan diberikan beberapa masukan untuk menolong kita, orang tua, menjalankan peran dengan benar.
"Ketika Pernikahan Anak Bermasalah" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ketika Pernikahan Anak Bermasalah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Jadi memang kita harus lebih jelas dengan definisi ikut campur sewaktu anak itu sudah dewasa dan sudah memunyai keluarganya sendiri. Hal yang keliru adalah kalau kita beranggapan bahwa ana adalah anak, sehingga kita boleh berbuat apa pun, berkata apa pun setelah anak-anak dewasa apalagi sudah berkeluarga.
Tapi sebaliknya kalau kita juga beranggapan bahwa karena dia sudah dewasa dan memunyai keluarga sendiri maka kita sama sekali tidak boleh berkata apa pun kepada anak kita, itu pun juga keliru. Karena makin tua maka tugas kita pun juga makin beralih, dari tugas menjadi orang tua yang memang harus mengatur anak, menegur kesalahan anak dan sebagainya, kita beralih menjadi seorang figur yang lebih bersikap seperti pembimbing atau rekan yang memang harus mengarahkan anak juga. Pada waktu anak-anak sudah dewasa dan juga berkeluarga, saya kira tugas membimbing ini tidak pernah lepas sebab tugas ini ada pada setiap orang terutama pada anak-anak Tuhan, kita dipanggil Tuhan untuk saling menuntun, saling membimbing satu sama lain di dalam Tuhan atau di dalam kebenaran.PG : Memang ada beberapa prinsip yang harus kita ketahui supaya kita bisa melakukannya sebaik mungkin dan dalam batas-batas yang sepatutnya. Misalnya yang pertama yang saya mau angkat adalah sapai kapan pun anak adalah anak dan sebagai anak dia tetap memiliki rasa sungkan dan hormat kepada kita.
Itu sebabnya kita bisa melihat, tidak jarang selama kita masih hidup anak mempertahankan pernikahannya, namun setelah kita pergi kalau mereka memiliki masalah dengan pernikahannya maka anak akan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya, itu sering terjadi. Bagi saya fenomena itu memerlihatkan bahwa anak sebetulnya merasa sungkan kepada kita sebagai orang tuanya. Itu sebabnya selagi kita masih ada, meskipun mereka bermasalah dalam keluarganya atau pernikahannya, mereka akan tetap berusaha tidak kemana-mana. Dan waktu kita sudah meninggal dunia, barulah diputuskan kalau mereka itu mau meninggalkan keluarganya. Bagi saya ini adalah sebuah celah atau kesempatan dan kita harus memanfaatkan celah ini untuk masuk ke dalam hidupnya, jangan ragu atau sungkan untuk memberi nasihat kepada anak sebab mungkin saja pada titik itu tidak ada orang lain yang didengarkannya selain kita. Saya juga cukup banyak bertemu dengan orang yang dalam masalah yang berat, hidup dalam dosa yang dalam, tidak mau mendengarkan siapa pun baik hamba Tuhan, temannya dan sebagainya. Tapi karena sungkan dan hormat pada orang tua, masih mau mendengarkan orang tua. Setidak-tidaknya waktu orang tua berbicara, dia tidak berkata apa-apa dan hanya diam saja, mungkin kalau orang lain yang berbicara bukan hanya dia marah tapi mungkin saja dia bisa mengancam dan sebagainya. Jadi justru kita harus memanfaatkan posisi kita ini. Mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan bagi dia untuk mendengarkan teguran dan itu harus keluar dari mulut kita.PG : Kita memang harus datang kepadanya dengan prinsip Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus". Datanglah kepada anak dengan sikap inginmembantunya.
Jadi kita datang benar-benar menunjukkan ketulusan kita dan kita sebagai orang yang juga tidak sempurna dan banyak kesalahan, tapi mau saling tolong membantu beban anak. Jadi bagikanlah pengalaman hidup kita, yang mungkin mirip dengan masalah yang tengah dihadapinya. Jadi berceritalah, "Dulu Papa pernah seperti ini atau Mama juga pernah seperti ini". Jadi anak melihat kalau kita datang tulus ingin membantunya, sebab berbagi pergumulan dalam hidup ini akan jauh lebih efektif dari pada mengkuliahinya, lebih baik kita bercerita tentang pengalaman kita dan ini yang nanti akan kita bagikan kepada anak. Jadi sensitiflah dengan kondisi yang dihadapinya, mungkin ia tengah berada pada tekanan yang berat, berhati-hatilah sewaktu berbicara dengan dia. Jadi meskipun dia dalam keadaan yang salah dan sebagainya tapi kita harus ingat bahwa dia dalam kondisi yang tertekan. Maka waktu berbicara dengan dia gunakanlah suara yang lembut dan sensitiflah dengan kondisinya.PG : Saya kira tetap, meskipun mereka adalah menantu kita dan sebagainya tapi tidak ada salahnya kalau kita ikut berbicara. Jadi tidak berarti kalau anak sudah menikah, maka kita sama sekali tiak bisa masuk untuk memberikan teguran kepadanya, saya kira tetap bisa! Karena kita dipanggil Tuhan juga untuk saling menegur, untuk saling mengingatkan jangan sampai kita makin hari makin lepas dari Tuhan dan hidup dalam dosa.
Jadi tidak ada salahnya, tetap datang kepada anak untuk menyampaikan teguran itu.PG : Kita harus ingat bahwa ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang Kristen terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita, kita memang tidak bisa mengingatkan orang-orang yang ada di ujungdunia tapi kita hanya akan mengingatkan orang yang ada di dekat kita.
Jadi ini adalah tugas kita. Kalau teman kita berada pada jalan yang salah, kita diminta Tuhan untuk mengingatkannya apalagi anak sendiri. Itu sebabnya kita ingat di kitab Yehezkiel, Tuhan menetapkan dia sebagai seorang penjaga atau pengawas, pemberitahu kalau ada bahaya datang. Jadi Tuhan berkata kepada Yehezkiel bahwa aku telah menetapkan engkau sebagai pengawas ini. Kalau misalnya bahaya datang dan orang-orang masih berdosa, tapi kamu tidak memberitahukannya maka dosanya dituntutkannya kepada Yehezkiel. Memang Tuhan meminta kita untuk menjadi orang yang peduli dengan orang-orang di sekitar kita, begitu pedulinya sehingga kita mau mengotorkan tangan, mengambil resiko memberikan teguran. Sudah tentu kita harus memertimbangkan kedekatan kita dengan orang-orang itu, kalau kepada orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kita maka kita harus bijaksana dan jangan sampai nanti orang itu tidak bisa menerima teguran ini.PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi misalkan jangan kita menggunakan kalimat-kalimat yang menghakimi. Tahan kalimat-kalimat yang menghakimi sampai kita sungguh-sungguh jelas dengan masalahnya,kadang kita terlalu cepat untuk bereaksi melihat perbuatannya sehingga menjatuhkan vonis terlalu dini, sudah tentu sikap yang seperti ini membuat dia tidak mau berkomunikasi dengan kita apalagi kalau anak merasa, "Dari dulu, itulah kebiasaan kita, belum apa-apa menyalahkan, belum apa-apa menjatuhkan vonis" sekarang kita sudah tua dan mau memberikan teguran yang benar kepada anak kita ketika anak kita berbuat salah, tapi karena anak kita telah melihat bahwa dari dulu seperti ini akhirnya anak berkata, "Memang Papa dari dulu seperti ini, selalu menjatuhkan vonis sebelum tahu duduk masalahnya".
Jadi penting sekali kita menahan kalimat yang menghakimi, di awal-awal kita harus bertanya dulu, "Kenapa bisa terjadi? Apakah Papa boleh tahu, kenapa sampai seperti ini? Coba ceritakan, saya bukan siapa-siapa dan kami ini adalah orang tuamu sendiri. Jadi tolong cerita siapa tahu kami bisa membantu". Jadi kita harus datang kepada anak seperti itu dan justru tidak datang untuk menjatuhkan vonis sebelum tahu duduk masalahnya.PG : Dan kadang-kadang anak-anak itu tidak mau memberitahu kita karena berbagai alasan, Pak Gunawan, misalnya yang pertama adalah dia sendiri sudah merasa pusing meskipun dia tahu kalau dia salh dan berdosa tapi dia sudah merasa pusing dan dia tidak mau lagi memikirkannya.
Jadi waktu kita tanya-tanya maka dia tidak mau membicarakannya karena dia sudah pusing. Atau yang kedua adalah kadang-kadang anak itu tidak mau membicarakannya karena menganggap kita ini tidak menolong malahan menambah ruwet, nanti kita bereaksi, nanti kita bertindak kurang bijaksana. Jadi anak berpikir, daripada melibatkan Papa dan Mama, nanti suasana tambah keruh maka tidak perlu melibatkan mereka. Maka di sini diperlukan sebuah kepercayaan bahwa si anak ini melihat kalau kita adalah orang tua yang bijak, orang tua yang tidak sembarangan bicara, yang tidak mudah bereaksi, yang tidak mudah-mudah cerita. Kalau mereka melihat kita bahwa kita adalah orang yang bijak, anak melihat kita adalah orang yang kudus, orang yang saleh, orang yang hidup takut dengan Tuhan maka besar kemungkinan anak akan mau bercerita. Tapi kalau anak tahu bahwa dia salah besar, jadi besar kemungkinan anak tidak akan mau bercerita karena dia tahu kalau dia salah jadi untuk apa dia bercerita. Jadi ada beberapa alasan kenapa anak enggan untuk bercerita kepada orang tua.PG : Betul sekali. Dan ini berdasarkan pengalaman yang saya tahu, berapa kali terjadi seperti ini yaitu gara-gara hubungan orang tua dan anak serta menantu baik, waktu misalnya anak itu menunjukan masalah sering pulang malam dan kadang pulang pagi dan menantu kita berbicara dengan kita.
Karena dia berbicara maka kita tahu dan kepada anak, kita harus memberikan peringatan atau mengajak dia untuk kembali lagi, membereskan rumah tangganya. Karena sungkan dengan kita akhirnya si anak terpaksa membereskan masalah keluarganya. Tapi gara-gara itu anak menjadi pulang lebih awal dan lebih termotivasi untuk membereskan hubungan dengan pasangannya. Jadi sekali lagi kehadiran orang tua yang bijaksana, seringkali bisa mencegah buruknya masalah anak atau problem dalam keluarga.PG : Betul. Kalau kita sendiri kurang bijaksana, akhirnya akan memperumit atau memperkeruh masalah anak, dan itu juga bisa terjadi.
PG : Misalnya anak itu berada pada pihak yang salah dan memang jelas kalau dia yang berbuat salah, kita jangan ragu untuk mengatakan demikian. Meskipun kita harus berhati-hati dan jangan cepat-epat menghakimi, tapi kalau kita memang tahu duduk masalahnya dengan jelas dan kita tidak sembarangan maka jangan ragu untuk mengatakan kepada anak kita, "Sekarang kamu hidup di dalam dosa, kamu harus takut Tuhan karena kalau kamu tidak takut Tuhan dan terus berdosa maka suatu hari kelak akan datang hukuman Tuhan atasmu."
Jadi kita harus tetap mengatakannya, jangan sampai kita malah membela anak yang salah, sebab ingat tugas kita adalah membela kebenaran dan bukan membela keturunan. Sewaktu menantu melihat kalau kita ini berdiri di atas kebenaran, maka ia pun makin percaya kepada kita. Jadi kita harus jelas mengatakan kepada keduanya yaitu anak kita dan menantu bahwa kita hanya ingin berdiri di atas kebenaran dan kita tidak berniat memihak kepada siapa pun kecuali kepada kebenaran itu sendiri, hal ini penting dilihat mereka sebab pada umumnya masing-masing akan cepat menuduh bahwa kita berat sebelah. Ada anak yang menuduh kalau kita lebih membela menantu, ada menantu yang menuduh kalau kita ini lebih membela anak. Jadi dua-dua harus melihat kita orang saleh dan kita adalah orang yang hidup takut akan Tuhan dan mendahulukan kebenaran di atas segalanya, kalau dua-dua percaya kalau kita seperti itu yaitu kita adalah orang berintegritas, maka mereka pun juga akan lebih tanggap. Jadi ini nanti akan menolong untuk kita bisa masuk dan membereskan masalahnya, sebaliknya kalau anak dan menantu sudah memunyai prasangka kalau kita dari dulu itu tidak berdiri di atas kebenaran, hanya membela siapa yang mau dibela berdasarkan kepentingan pribadi maka kemudian ketika kita mencoba ikut berbicara, maka masalah akan lebih parah, mereka semakin marah sebab kita ini dari awalnya subjektif, hanya membela kepentingan sepihak.PG : Ini bisa dikurangi kalau sejak awal mereka menikah, anak dan menantu itu melihat kita ini berusaha keras hidup benar di hadapan Tuhan dan kita itu dikenal oleh mereka sebagai orang yang bear dan orang yang tidak memihak dengan mudah, "Kalau orang yang menyenangkan kita maka kita membelanya".
Kalau di masa lampau kita sudah memiliki "track record" yang bersih seperti itu di hadapan anak dan menantu maka waktu timbul masalah di antara mereka, kemungkinannya mereka itu berpikir, "Papa dan Mama membela anak dan sebagainya" itu lebih kecil dan mungkin saja awalnya ada sebab mereka berpikir bagaimana pun anak pasti dibela oleh orang tuanya. Namun kalau dari awal kita sudah menunjukkan bahwa kita bukanlah orang yang seperti itu, saya kira kemungkinan itu bisa diperkecil.PG : Kalau kebetulan anak kita yang memang terbuka untuk berbicara maka sudah tentu kita akan berbicara dengan anak kita, itu adalah prioritas yang pertama dan itu betul. Namun misalnya dalam ksus di mana anak kita itu berbuat salah sehingga menantu kita menjadi korban maka kita harus berinisiatif dan datang kepada menantu kita dan berkata bahwa, "Kami ini sedih melihat ini semua, kami tahu kalau anak kami yang salah dan kami terus mendukung kamu dan kami tidak akan meninggalkan kamu dan kalau ada apa-apa tolong beritahukan kami."
Misalkan anak marah, "Kenapa Papa dan Mama datang kepadanya (misalkan istrinya) dan berbicara seperti itu," kita jangan sampai takut, kita tidak harus takut seperti keong yang masuk ke dalam kerangnya dan ketakutan, tapi justru kita harus katakan, "Kami tahu kalau kamu yang salah dan karena kami tahu kalau kamu yang salah, kami tidak malu mengakui kalau kamu yang salah dan sekarang kami harus beritahukan kepada kamu bahwa kamu ini salah dan kamu harus berubah". Jadi kita tidak mundur dan kita mau tegas kepada anak. Sebab penting dalam kondisi seperti ini kita tegas, kalau anak marah-marah kepada kita dan kita ketakutan maka akan tercipta sebuah pola di mana si anak akan berusaha terus berbuat hal-hal yang salah dan dia tahu kalau orang tua tidak akan berani berbicara apa-apa, dan ini malahan akan menimbulkan masalah juga di dalam hubungan kita sebagai orang tua dengan menantu kita sebab menantu kita akan berpikir, "Lihat Papa dan Mama, sedikit ditegor oleh anak, mereka sudah takut dan diam tidak berani apa-apa". Nanti akan muncul pemikiran lain, "Begitulah orang tua selalu membela anak" atau yang lebih buruk lagi, "Memang masih diongkosi oleh anak, mana mungkin berani berbicara dan sebagainya". Maka kita harus berani tegas kalau kita tahu anak salah, jangan ragu untuk mengatakan bahwa, "Kamu salah".PG : Kalau jelas anak kita itu berbuat dosa maka kita harus memberinya peringatan yang keras dan kita harus mengingatkannya akan konsekuensi perbuatannya di hadapan Tuhan. Kendati kita tetap meelihara jalur komunikasi dengannya maka kita harus sering-sering memberinya teguran dan jangan sampai anak memeroleh kesan bahwa kita telah menerima dan bahkan melupakan perbuatannya.
Tidak seperti itu! Tapi kita harus memberitahukan kepadanya dengan jelas bahwa selama dia hidup dalam dosa, relasi dengan kita orang tuanya juga akan terus terganggu dan tegang, kita tidak putuskan hubungan dengannya, kita tetap menjalin hubungan dengannya tapi tidak akan sama dan akan tegang dan akan terganggu. Tuhan meminta kita menjadi wakil Tuhan di dunia kepada siapa pun termasuk kepada anak. Jadi kita harus memberi sikap jelas bahwa dosa itu merusak relasi, baik relasi dengan Tuhan maupun relasi dengan sesama, tidak ada dosa yang tidak merusak relasi, pasti merusak relasi maka kita juga harus jelaskan kepada anak, "Dosa yang telah kamu perbuat bukan saja merusak relasi, bukan saja hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada kami sebagai orang tua".PG : Misalkan istrinya mendiamkan karena takut dan sebagainya maka tetap itu seharusnya tidak memengaruhi tanggung jawab kita, kita tahu kalau anak ini salah maka kita tetap harus menyampaikan epadanya, "Kamu sedang hidup di dalam perzinahan dan Tuhan akan membuat perhitungan denganmu kalau kamu tidak bertobat, kalau kamu tidak memutuskan relasi ini maka suatu hari kelak hukuman Tuhan akan jatuh atas kamu, kami sebagai orang tua menyayangi kamu dan kami tidak mau nanti hukuman Tuhan jatuh atas kamu maka kami hanya bisa mengingatkan takut Tuhan, ingat Tuhan dan jangan berbuat sembarangan, kalau ada masalah dengan istri atau suamimu maka bereskanlah, apa yang bisa kami lakukan? Kami mau membantu, tapi jangan membereskan masalah dengan membuat masalah baru di luar".
PG : Saya merasa beruntung dibesarkan atau mengenal seorang kakek yang hidup sangat takut akan Tuhan, yang hidup benar di hadapan Tuhan. Saya melihat bahwa karena kakek saya hidup benar di hadaan Tuhan maka efeknya itu sangat berkepanjangan bahwa kami pun meskipun hanya cucu, tapi kami itu menjadi belajar, apa itu hidup benar, apa itu hidup takut akan Tuhan.
Kenapa? Sebab kakek saya itu orang yang tegas, orang yang berani menegur dan dia tidak sungkan kalau memang dia tahu ini adalah dosa dan sebagainya maka dia akan mengambil sikap yang sangat tegas sekali dan ternyata sifat ini menurun, hal ini menjadi berkat untuk kami sebagai cucu-cucunya.PG : Betul sekali. Jadi kalau anak-anak melihat bahwa kita itu telah menjadi suri tauladan yang baik, menjadi orang tua yang takut Tuhan maka mereka pun akan lebih sungkan melawan kita waktu kia menegurnya karena dia tidak memiliki alasan untuk bisa membalas atau menghantam kita kembali karena dia tahu kalau kita berusaha hidup takut Tuhan.
Jadi biarlah ini justru menjadi tanda pengenal kita sebagai orang-orang Kristen sehingga waktu nanti diperlukan suatu sikap yang lebih tegas terhadap anak karena dia hidup di dalam dosa, maka kita bisa melakukannya.PG : Di Matius 10:35-37, firman Tuhan berkata, "Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orag-orang seisi rumahnya.
Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku." Firman Tuhan yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di sini, memberi kepada kita sebuah kejelasan, prioritas harus tetap sama yaitu Tuhan di atas segalanya, kebenaran-Nya di atas segalanya, dan relasi orang tua - anak harus tunduk kepada relasi Tuhan dan kita. Maka kepada anak pada usia berapa pun, kita harus mengkomunikasikan baik kasih Allah dan penerimaan-Nya, tapi juga keadilan dan kekudusan Allah secara berimbang.PG : Memang konteksnya bukan hal itu, sebab banyak bagian-bagian di dalam firman Tuhan yang lain yang justru Tuhan tekankan kita harus menghormati orang tua kita. Namun dalam hal hidup untuk Tuan, dalam hal menegakkan kebenaran, dalam hal untuk hidup jauh dari dosa, kita harus mengutamakan Tuhan di atas keluarga kita sendiri.
Itulah kira-kira maksud dari firman Tuhan ini.PG : Betul sekali.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketika Pernikahan Anak Bermasalah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
33. Anak yang Tidak Ingat Budi | |
Salah satu hal menyakitkan yang kadang mesti kita hadapi adalah melihat anak yang kita besarkan dengan kasih dan pengorbanan bertumbuh besar menjadi anak yang tidak ingat budi atau kebaikan orang tua. Mengapa ada anak yang tidak ingat budi orang tua? Apa penyebabnya dan bagaimana kita menghadapinya?
Salah satu hal menyakitkan yang kadang mesti kita hadapi adalah melihat anak yang kita besarkan dengan kasih dan pengorbanan bertumbuh besar menjadi anak yang tidak ingat budi atau kebaikan orang tua. Mengapakah ada anak yang tidak ingat budi orang tua? Berikut akan dipaparkan kemungkinan penyebabnya dan langkah untuk menghadapinya.
Kesimpulan: Seyogianya orang tua merawat dan membesarkan anak dalam kasih dan sebagai wujud syukur dan tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan anak kepada kita. Jadi, lakukanlah tugas ini dengan penuh sukacita. Apakah anak menghargai atau tidak, itu adalah tanggung jawabnya sendiri kepada Tuhan.
"Anak Yang Tidak Ingat Budi" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak Yang Tidak Ingat Budi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Memang ini adalah salah satu kepiluan dalam hidup, Pak Gunawan, sebab kita ini bukan hanya berharap-harap atau menuntut anak untuk mengingat budi sebagai orang tua, tapi kita ingin agar ank kita melihat kita secara utuh dan bukan hanya melihat kekurangan kita tapi juga melihat kebaikan dan pengorbanan yang kita berikan kepada mereka.
Tapi kadang-kadang dalam hidup kita harus menerima fakta bahwa adakalanya anak tidak berbuat seperti itu. Saya kira hal itu sangat penting sehingga pada kesempatan kali ini kita melihat dengan lebih mendetail sebetulnya apa yang terjadi sehingga ada anak-anak yang tidak mau lagi mengingat budi orang tuanya.PG : Dengan kita mengerti alasan kenapa si anak sampai seperti itu, sudah tentu pada akhirnya hal itu akan menolong kita untuk bercermin diri. Dan mulai dari titik itulah kita mencoba untuk memereskan relasi kita dengan anak.
Sebab selama kita masih hidup, kita masih memunyai kesempatan untuk membereskan relasi kita dengan anak.PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Yang pertama adalah ada anak yang tidak mengingat budi karena merasa budi yang diterima sebanding dengan budi yang telah diberikannya kepada orang tua. Dengan kaa lain, anak merasa bahwa ia pun telah cukup berkorban untuk orang tuanya, sehingga ia tidak lagi merasa berhutang budi kepada orang tua.
Pada umumnya anak sampai merasa seperti itu oleh karena dia merasa pengorbanan orang tua kepadanya tidaklah besar, sebaliknya dia merasa bahwa pengorbanannya sangatlah besar. Saya berikan contoh, misalnya ada anak yang tidak dapat meneruskan sekolah karena harus membantu orang tua dan membiayai kebutuhan adik-adiknya. Mungkin saja merasa bahwa pengorbanan yang telah diberikannya itu terlalu besar, sebab bagi dia yang dikorbankan adalah masa depannya, tidak bisa meneruskan sekolah demi adik-adiknya. Jadi dengan kata lain, anak yang seperti ini setelah dia besar, bisa jadi merasa bahwa pengorbanan dia bagi keluarga sama besar atau bahkan lebih besar dari pada pengorbanan orang tua untuk keluarga.PG : Betul sekali. Jadi kadang-kadang ada anak yang akan berpikir seperti itu. Sudah tentu pikiran seperti ini seharusnya menjadi pikiran yang harus kita kesampingkan dan kita tidak boleh menghtung-hitung seberapa besar pengorbanan kita dan sebagainya.
Tapi ini adalah kenyataan hidup, ada anak-anak yang seperti itu yaitu menghitung-hitung, dia telah kehilangan masa depan, dia telah mengorbankan hidupnya sebesar itu. Jadi bagi dia pengorbanan dia untuk keluarga bisa sama besar atau bahkan lebih besar dari pada orang tuanya sendiri. Sudah tentu dalam kenyataannya kalau saja dia bersedia untuk lebih jeli melihat pengorbanan orang tua maka dia mungkin akan menyadari bahwa orang tuanya telah berkorban sangat besar untuk keluarga. Memang pengorbanan dia besar yaitu berhenti sekolah demi keluarga tapi dalam banyak hal pastilah orang tua juga telah berkorban sangat besar untuk keluarga. Jadi si anak seyogianyalah juga melihat hal ini.PG : Ada yang seperti itu juga dan ini yang menjadi salah satu penyebab kenapa ada anak-anak yang setelah besar tidak mau mengingat budi orang tuanya, karena seperti yang tadi Pak Gunawan sudahkatakan yaitu dia melihat kalau dia itu adalah korban, dia telah terluka akibat perbuatan orang tuanya atau keputusan orang tuanya.
Bisa jadi keputusan itu adalah keputusan yang tidak disengaja, tidak direncanakan tapi terpaksa dilakukan oleh karena kondisi dan kehidupan. Atau juga mungkin perlakuan orang tua terlalu sering menyakiti hatinya, sehingga pada akhirnya dia sukar untuk mengingat hal-hal baik yang dilakukan orang tua. Bisa jadi memang tidak banyak yang telah diberikan orang tua kepadanya, selain keperluan jasmaniah tidak banyak yang diberikan orang tua kepadanya, alhasil setelah besar bukan saja si anak tidak mengingat budi orang tua, tapi ia pun cenderung mengingat perbuatan orang tua yang telah menyakiti hatinya. Jadi ada anak-anak yang karena terluka akhirnya berfokus hanya pada perbuatan orang tua yang negatif itu. Bisa jadi sebetulnya dibalik dari perbuatan orang tua itu ada sejumlah perbuatan orang tua yang sangat mengasihinya, yang sangat baik kepadanya, tapi manusia tetaplah manusia sehingga adakalanya tidak melihat yang baik yang orang tua telah lakukan, dan hanya berfokus kepada yang buruknya saja.PG : Betul sekali. Jadi besar kemungkinan hal ini tidak pernah muncul ke permukaan, tidak pernah menjadi bahan untuk dibicarakan. Jadi hanya diam-diam saja tapi ternyata si anak menyimpan luka ang dalam di hatinya.
PG : Betul. Saya pernah mendengar kasus-kasus yang bagi kita adalah kasus yang sederhana, mungkin karena kita sudah tua atau dewasa jadi kita bisa mengertinya. Namun kalau kita melihatnya dari udut si anak barulah kita bisa mengerti, kenapa si anak merasa seperti itu, misalnya adakalanya anak menyimpan luka dalam hati karena orang tua terpaksa berpindah-pindah rumah akibat pekerjaannya.
Jadi ada orang tua yang kehidupan ekonominya kurang baik, harus menyewa di sini, nanti habis kontrak menyewa di sana, nanti habis kontrak pindah lagi ke sana, ke sini. Atau pekerjaannya yang juga berubah-ubah karena bukan pekerjaan yang tetap untuk waktu yang lama sehingga si anak seperti yang tadi Pak Gunawan katakan yaitu harus terserabut dari lingkungannya, dia kehilangan kesempatan bertumbuh dengan teman-temannya. Orang tua melakukan hal ini karena keterpaksaan dan sebetulnya bukan pilihannya. Tapi di mata si anak, si anak hanya bisa melihat dari satu sudut yaitu dia telah sangat dirugikan, dia telah sangat dilukai, dia tidak memiliki kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman dalam jangka waktu yang panjang, dia kehilangan kesempatan menancapkan akar di suatu tempat dan membangun sebuah kehidupan yang lebih berkesinambungan. Ini mungkin menjadi luka di hatinya sehingga akhirnya setelah dia besar, dia luput melihat kebaikan orang tua yang lain-lain dan dia hanya berfokus kepada pengalaman buruk yang harus dialaminya gara-gara orang tuanya.PG : Ada anak yang tidak mengingat budi orang tua karena malu terhadap orang tua, misalnya orang tua berasal dari golongan ekonomi rendah dan tidak bertatakrama seperti yang diharapkannya. Olehkarena anak malu dengan kondisi orang tua maka anak pun tidak mau terlalu dekat dengan orang tua, sedapatnya menghindar kontak dengan orang tua dan tidak mau diasosiasikan dengan orang tua.
Sudah tentu dalam kondisi relasi seperti ini, anak tidak mengingat lagi budi orang tua, sebab alih-alih mengingat budi, kontak pun jarang, bicara pun hampir tidak mau karena sedapat-dapatnya dia ingin dipisahkan dari orang tua, supaya tidak ada orang yang tahu kalau dia adalah anak dari orang tua tersebut.PG : Bisa jadi seperti itu, dia kecewa, dia merasa seperti ditipu. Meskipun sebenarnya besar kemungkinan kenapa orang tua tidak mau memberikan informasi itu kepada si anak, karena orang tua ingn melindungi si anak dari kekecewaan sehingga tidak mau memberitahukannya.
Tapi bisa jadi setelah anak besar, si anak merasa sangat dirugikan atau ditipu. Ada anak-anak yang diadopsi dan baru mengetahui kalau dirinya diadopsi setelah berusia remaja atau dewasa dan kebanyakan mereka akan merasa seperti itu yaitu tertipu dan kemudian marah dan akhirnya tidak mau berdekatan dengan orang tua.PG : Jadi adakalanya hal itulah yang menjadi penyebab utamanya karena anak merasa kurang dikasihi, sehingga setelah anak itu besar tidak mau untuk mengembalikan kasih itu kepada orang tuanya. Dengan kata lain, akan ada anak-anak yang berkata, "Sudahlah dari kecil sampai sekarang saya tidak menerima banyak, kenapa sekarang saya berkewajiban untuk memberi banyak kepada orang tua?"
PG : Dan memang ada anak yang seperti itu, yaitu ada anak tidak mengingat budi orang tua karena tidak mau berhutang budi kepada orang tua. Jadi orang tua sebetulnya mengasihi, memberikan perhatan tapi dia tidak mau berhutang budi kepada orang tua.
Kenapa seperti itu? Sebab ada anak yang menjadi seperti ini oleh karena sejak kecil orang tua kerap menghitung-hitung budi. Jadi orang tuanya mengasihi, memberi perhatian, mencukupi dan sebagainya, tapi hampir setiap hal yang dilakukan orang tua kepada si anak dikaitkan dengan pengorbanan orang tua, "Kami ini mengasihi kamu makanya kami berbuat seperti ini, jangan sampai kamu melupakan perbuatan kami". Sebaliknya hampir setiap tindakan anak yang tidak berkenan di hati orang tua diasosiasikan dengan perbuatan yang tidak mengingat budi. Jadi begitu anak mulai nakal berbuat ini dan itu yang tidak berkenan di hati orang tua, langsung orang tua itu berkata, "Kamu anak yang tidak kenal budi, kamu itu tidak berterima kasih, kami sudah berkorban begitu besar kepada kamu", singkat kata pada akhirnya anak tidak mau lagi berhutang budi kepada orang tua dan berusaha membayarnya sampai lunas supaya orang tua tidak dapat membangkit-bangkitkan perihal budi. Kenapa? Sebab bagi si anak setiap budi yang diterima lebih merupakan investasi yang kelak harus dibayarnya kembali. Itu sebabnya bagi si anak lebih baik bila ia tidak menerima budi apa pun dari orang tuanya.PG : Jadi sebaiknya orang tua ini tidak menabuh-nabuh gendang sewaktu melakukan kebaikan kepada anak, sebab Tuhan Yesus pun mengajarkan kepada kita hal yang sama yaitu waktu tangan kanan berbua yang baik, maka biarlah tangan kiri tidak mengetahuinya.
Artinya kita tidak menabuh gendang sewaktu kita berbuat kebaikan supaya orang melihat dan mengakuinya. Kalau hal itu tidak boleh kepada orang lain, maka saya pikir itu juga berlaku kepada keluarga kita sendiri. Jadi sedapat-dapatnyalah kita berbuat yang baik, kita mengasihi anak-anak kita dengan sebaik-baiknya namun kita tidak menabuh-nabuh gendang, supaya anak kita melihat perbuatan kita dan mengakuinya. Tapi biarkan saja dan biarkan nanti dia yang melihat sendiri dan biarkan nanti dia yang memunyai perasaan mau mengasihi kita dan memerhatikan kita.PG : Sudah tentu akan ada perasaan-perasaan seperti itu, akan ada dorongan untuk bisa mengingatkan anak supaya anak jangan sampai lupa. Tapi saya pikir tidak perlu kita melakukan hal itu dan kia membiarkannya saja, yang penting kita tahu kalau Tuhan melihatnya.
PG : Alasan lain kenapa ada anak yang tidak mengingat budi orang tua adalah sebab dia adalah anak yang mementingkan diri sendiri atau egois dan memang ada anak yang seperti itu. Sebab seperti kta semua, anak adalah manusia berdosa dan sebagai manusia yang berdosa, kadang dia juga melakukan dosa.
Ada anak yang berjalan dalam dosa sehingga hanya memikirkan dirinya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, anak hanya dapat memerhatikan keinginannya dan dia tidak akan memikirkan orang tuanya, apa yang dibutuhkan oleh orang tuanya. Meskipun kita mencoba untuk mendidiknya atau membinanya tapi karena manusia itu berdosa, maka manusia bisa memilih jalan untuk hidup egois.PG : Bisa, Pak Gunawan. Jadi ada anak-anak yang sejak lahir atau kecil membawa perangai yang egois, susah membagi, susah meminjamkan barang, susah memberikan pertolongan, susah menawarkan diri ntuk berbuat sesuatu bagi orang lain tanpa pamrih, ada anak-anak yang seperti itu.
Dan kalau kita menyadari itulah sifat anak-anak kita, maka jangan langsung kita bereaksi keras dengan memarahinya dan sebagainya, tapi justru kita harus mengajarnya secara positif. Misalnya, kita meminta adiknya meminjamkan mainan kepadanya dan kita berkata, "Sekarang coba kamu pinjamkan mainanmu kepada adikmu". Jadi kita memulai dengan dia menerima sesuatu, maka dia juga perlu memberikan sesuatu kepada orang dan itu tahapan pertama. Tahapan kedua, lama-kelamaan kita meminta dia untuk memberikan sesuatu meskipun dia tidak menerima sesuatu dari adik atau kakaknya, "Coba kamu berikan atau pinjamkan ini dan besok kamu kembalikan" meskipun dia tidak mendapatkan apa-apa dari si kakak atau si adik. Jadi kita melatih dia di tahap kedua itu untuk memberikan tanpa mendapatkan apa-apa sebelumnya. Dan yang ketiga lama-kelamaan kita mulai mengajaknya untuk memerhatikan kebutuhan orang di sekitarnya, "Orang itu sepertinya sedang susah, bagaimana kalau kita menolongnya". Jadi anak ini dilatih untuk memerhatikan dan menyadari kebutuhan orang di sekitarnya dan berbuat sesuatu untuk orang lain. Dengan cara-cara seperti ini, si anak perlahan-lahan baru bisa lepas dari kerangkeng atau kungkungan dirinya sendiri, karena dari awal dia sudah membawa perangai yang egois.PG : Pertama, sebagai orang tua kita harus mengintrospeksi diri, Pak Gunawan, bila anak tidak mengingat budi karena tidak banyak yang telah kita berikan atau korbankan untuknya maka akuilah, seab kita tidak selalu sempurna dan kita tidak selalu tahu berbuat hal yang baik, kadang kita melakukan hal yang salah.
Ada di antara kita orang-orang tua yang telah lari dari tanggung jawab kita, terlalu mementingkan diri sehingga tidak memerhatikan kebutuhan anak. Kalau itu adalah duduk masalahnya maka akuilah, apabila kita telah menggoreskan banyak luka di hatinya, maka kita juga harus merendahkan diri dan mengakui perbuatan kita serta meminta pengampunan darinya, jangan merasa gengsi dan merasa, "Saya sebagai orang tua mana mungkin harus meminta ampun kepada anak", jangan seperti itu sebab kita ini adalah orang berdosa dan kita perlu meminta ampun satu sama lain.PG : Sebaiknya spontan, jadi sebelum ada masalah sebab kalau kita baru berkata "Ya, saya mengakui..." setelah kita meminta sesuatu darinya, maka mungkin saja dia akan berkata, "Papa sekarang mita ampun, karena mau minta sesuatu dari saya".
Jadi dia merasa tidak tulus, meskipun mungkin saja kita tulus. Jadi kalau kita memang menyadari bahwa di masa lampau kita kurang memberikan budi atau kasih sayang kepada anak, maka jangan gengsi tapi rendahkan diri dan akui apa adanya di hadapan anak. Kalau kita telah melukainya dan kita ingat kembali perbuatan kita yang salah, maka sekali lagi datang kepadanya dan akuilah setelah itu kita serahkan kepada Tuhan. Kita pasrah, apakah dia nanti akan mengingat budi kita atau tidak, apakah dia nanti akan memberikan kasih sayang kepada kita atau tidak, maka kita serahkan kepada Tuhan. Jadi nanti jangan marah kalau anak tetap berlaku kepada kita sama seperti dulu.PG : Kalau kita menyadarinya di saat itu juga maka ada baiknya kalau kita akui. Jadi sebaiknya kita tidak menunggu sampai kita tua dan baru kita membereskan dan mengakuinya. Sebaiknya jangan seerti itu, di saat kita melakukan sesuatu dan kita tahu kalau ini keliru atau salah, maka kita harus mengakuinya.
Biasakan diri sejak anak-anak kecil untuk berkata, "Maaf, tadi Mama seperti itu. Maaf Papa tadi berbuat atau berkata seperti itu. Maaf, seharusnya tadi kami tidak berbuat seperti ini". Kata seperti itu seharusnya menjadi perbendaharaan kata yang alamiah di dalam keluarga kita.PG : Betul. Dan kalau kita mengingat peristiwa itu maka seyogianyalah kita mengangkat peristiwa tersebut dan mengingatkan, "Apakah kamu masih ingat peristiwa ini, dulu seperti ini dan itu. Kala Mama dan Papa mengingat peristiwa tersebut, Papa menyesal kenapa dulu berbuat seperti itu karena seharusnya tidak".
Hal ini bagus, bukan saja sebagai tanda rekonsiliasi, tetapi ini menjadi pelajaran bagi si anak, lain kali kalau dia menjadi orang tua maka dia akan diingatkan untuk tidak melakukan kesalahan yang kita perbuat itu.PG : Bila kita sering membuatnya mengingat-ingat budi yang telah diberikan kepadanya maka berhentilah untuk membangkit-bangkitkan hal itu dan sebaliknya berbuat baiklah kepadanya tanpa pamrih, erilah pertolongan dan jangan menyebutnya kembali.
Lewat perubahan ini, anak tahu bahwa kita sudah bertobat dan lewat proses waktu, dia akan kembali memercayai kita. Jadi tidak perlu kita berkata, "Mulai sekarang saya tidak akan membangkit-bangkitkan budi yang telah saya berikan kepadamu" tidak perlu seperti itu, tapi kita harus sering menawarkan, "Apa yang bisa kami bantu?" misalkan dia sudah punya anak, maka kita tawarkan, "Apakah boleh kami menjaga anak-anak karena kamu harus pergi dan sebagainya". Dengan kita melakukan hal-hal yang baik untuknya maka lama-lama dia akan sadar, "Sekarang Papa dan Mama berbeda, kalau dulu berbuat suatu kebaikan maka selalu diingat-ingatkan sampai sepuluh kali tapi kalau sekarang berbuat sepuluh kebaikan, satu pun tidak ada yang diangkat" jadi mereka sendiri yang menilai dan nanti perlahan-lahan mereka kembali bisa memercayai kita.PG : Pikiran-pikiran seperti itu saya kira wajar, tapi tanggalkan dan kita tidak mau bergantung pada manusia sebab Tuhanlah yang akan memelihara hidup kita dan bukan manusia.
PG : Bila anak malu atau hidupnya hanya mementingkan diri sendiri maka kita hanya dapat mendoakannya supaya dia sadar dan bertobat, janganlah kita mengejar-ngejarnya dan menuntut balasan budi sbab tindakan ini biasanya tidak melahirkan kesadaran yang tulus.
Kita harus mengingat perumpamaan anak yang hilang di Lukas 15:11-32, kita tahu bahwa si bapak tidak mengejar si anak bungsu, tapi dia hanya menunggu dan kemudian dia menyambut si anak dengan sabar ketika dia pulang. Firman Tuhan mencatat seperti ini, ketika si bungsu pulang, ayahnya telah melihatnya lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan dan dia berlari mendapatkannya, lalu merangkul dan mencium dia. Jadi dengan kata lain, si ayah merelakan dan menunggu dengan berdiam karena anaknya mementingkan dirinya sendiri dan anaknya itu tidak tahu diri, maka ayahnya mendiamkan. Tapi waktu anak itu bertobat, dia menyambut dan memeluknya.PG : Kita akan berkata kalau kita telah melakukan apa yang dapat kita lakukan sebelumnya tapi tidak membuahkan hasil. Jadi sekarang kita melepaskan anak ini dan biarkanlah dia mengalami hidup dn biarkan nanti Tuhan yang mendidiknya lewat pengalaman hidupnya.
PG : Seyogianya orang tua merawat dan membesarkan anak dalam kasih dan sebagai wujud syukur dan tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan anak kepada kita. Jadi lakukanlah tugas ini denan penuh sukacita walau kita tidak tahu apakah anak menghargai kita atau tidak, sebab hal itu adalah tanggungjawabnya sendiri kepada Tuhan dan yang penting adalah kita melakukan tanggungjawab kita kepada Tuhan dengan cara merawat dan mengasihi anak sedapat-dapatnya dan sebaik-baiknya.
PG : Betul sekali. Jadi jangan sampai kita kehilangan perspektif dan malah ketakutan dengan masa depan kita dan bergantung kepada manusia, tapi tetap percaya bahwa Tuhan memelihara hidup kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak Yang Tidak Ingat Budi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
34. Komunikasi dalam Keluarga | |
Komunikasi dalam keluarga dapat disamakan dengan peran jantung dalam tubuh. Sama seperti jantung yang memompa darah ke seantero tubuh, komunikasi memompa kehidupan ke seantero keluarga. Jadi, seberapa sehatnya keluarga dapat diukur dari berapa sehatnya komunikasi dalam keluarga itu. Untuk itu kita perlu berkomunikasi guna memberi dorongan, guna mengungkapkan kasih dan kepedulian. Bagaimana caranya? Di sini akan diulas secara praktis mengenai hal itu.
Peran komunikasi dalam keluarga dapat disamakan dengan peran jantung dalam tubuh. Sama seperti jantung yang memompa darah ke seantero tubuh, komunikasi memompa KEHIDUPAN ke seantero keluarga. Jadi, berapa sehatnya keluarga dapat diukur dari berapa sehatnya komunikasi dalam keluarga itu.
Makna Komunikasi yang SesungguhnyaApa penyebabnya, mengapa tidak mudah bagi kita berkomunikasi untuk membangun dan menyatakan kasih kepada satu sama lain?
Jadi, masa lalu yang buruk:
Membuat kita lebih memfokuskan pada apa yang SALAH tentang diri kita, bukan pada apa yang benar tentang diri kita. Sebagai akibatnya, dalam berkomunikasi kita akhirnya berbuat yang sama: Lebih memfokuskan pada apa yang salah tentang orang, daripada apa yang BENAR tentang orang.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Komunikasi dalam Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, setiap hari pastinya kita berkomunikasi di dalam keluarga karena tidak mungkin kalau kita hanya berdiam-diam saja, namun seringkali kurang disadari bahwa komunikasi adalah sesuatu yang penting. Apa yang ingin Pak Paul sampaikan di dalam kita berbincang-bincang tentang komunikasi di dalam keluarga ini?
PG : Kalau saya boleh umpamakan, komunikasi itu seperti jantung. Jantung bertugas memompa darah ke seantero tubuh. Komunikasi juga memompa kehidupan ke seantero keluarga. Jadi dengan kata lain, berapa sehatnya keluarga dapat diukur dari berapa sehatnya komunikasi dalam keluarga itu. Memang kalau kita tidak memunyai komunikasi yang berfungsi baik dan sehat maka dapat dipastikan keluarga kita bukan dalam kondisi yang sehat.
GS : Ini bukan hanya terbatas antara suami dan istri, tetapi tentang orang tua dan anak juga, Pak Paul?
PG : Tepat sekali. Betapa seringnya ini yang menjadi masalah dalam keluarga, komunikasi antara anak dan orang tua terhalangi dan itu pun akhirnya menimbulkan masalah dalam keluarga.
GS : Dalam berkomunikasi kadang-kadang kita hanya bicara, tapi saya merasa komunikasi bukan hanya suara-suara saja yang keluar dari mulut kita, karena kadang orang juga tidak mendengarkan apa yang kita katakan. Saya rasa itu bukanlah suatu komunikasi yang baik.
PG : Betul. Jadi sekarang ini kata komunikasi memang sedikit banyak sudah kehilangan makna aslinya. Sekarang kalau kita mendengar kata komunikasi, yang terbersit dalam benak adalah kita berbicara dengan seseorang. Namun sebetulnya kalau kita mau selidiki dengan lebih seksama sebetulnya apa makna komunikasi, kata komunikasi itu sendiri berasal dari kata 'koinonia' yang dalam bahasa Yunani berarti persekutuan. Namun bukan sembarang persekutuan tapi persekutuan yang dalam, yang akrab, yang menyatu, kita berbagi hidup satu dengan yang lain. Jadi dengan kata lain, kalau kita terapkan makna ini dalam kata komunikasi, sebetulnya waktu kita berkomunikasi yang kita ingin coba lakukan adalah menyatukan diri kita dengan orang yang kita ajak bicara, sehingga benar-benar terjalin relasi yang akrab.
GS : Jadi komunikasi di sini bukan hanya dinilai dari pihak yang menyampaikan pesan atau yang berbicara, tapi yang penting juga adalah yang mendengarkan.
PG : Betul sekali. Jadi memang dari dua belah pihak, sehingga nanti lewat komunikasi maka kita dengan lawan bicara bisa saling mengenal, saling membantu satu sama lain. Itulah sebetulnya makna kata komunikasi yang sesungguhnya.
GS : Jadi kalau kita menyampaikan sesuatu tetapi tidak ditanggapi, berarti jelas itu bukanlah suatu komunikasi.
PG : Betul. Jadi memang harus ada tanggapan dua arah sebab kalau satu saja yang mengutarakan sesuatu tanpa ditanggapi berarti komunikasinya macet.
GS : Apa saja kira-kira bentuk-bentuk dari komunikasi yang lazim ada di dalam sebuah keluarga, Pak Paul?
PG : Yang biasanya kita lakukan adalah kita berkomunikasi karena, kita ingin mengetahui sesuatu maka kita bertanya, atau kita ingin orang mengetahui sesuatu maka kita bercerita, atau kita ingin memprotes sesuatu maka kita berdebat dengan orang, atau kita ingin menegur maka kita mengoreksi seseorang, atau kita ingin memengaruhi orang maka kita membujuk orang, atau kita ingin membenarkan diri maka kita menjelaskan sesuatu kepada seseorang. Sudah tentu semua hal ini tidak apa-apa, sebab ini adalah bagian dari berkomunikasi tapi ini bukanlah bagian terpenting, dan tidak benar-benar dapat membuat kita mencapai tujuan sesungguhnya dari komunikasi. Jadi sekali lagi hal-hal ini bukanlah salah tapi bukanlah bagian terpenting dari komunikasi itu sendiri.
GS : Seringkali kalau kita ingin orang lain mengetahui apa yang kita pikirkan dan kita rasakan, itu seringkali menjadi komunikasi pemberitahuan yang dangkal yang tidak ada pengaruhnya apa-apa. Misalnya saja menceritakan tentang tetangga, pekerjaan yang dampaknya sangat kecil bagi pertumbuhan keluarga.
PG : Betul. Dan ini yang memang sering kita lakukan. Misalnya kita ingin mengetahui sesuatu dari anak kita maka kita bertanya-tanya dan kalau kita ingin anak kita mengetahui sesuatu maka kita beritahukan dia. Atau kita tidak suka dengan apa yang dilakukan pasangan kita, maka kita protes. Atau kita ingin menegur pasangan atau anak kita, maka kita koreksi dia. Atau kita ingin pasangan kita melakukan sesuatu yang kita inginkan, maka kita pengaruhi dia. Atau kita tidak suka disalahkan, maka kita membenarkan diri atau menjelaskan. Jadi itu yang lebih sering kita lakukan di dalam keluarga. Namun sebetulnya bukan itu yang terpenting.
GS : Bahkan ada satu pihak yang mengancam pihak yang lain. Jadi komunikasinya itu dalam bentuk ancaman atau intimidasi supaya apa yang diinginkan tercapai.
PG : Betul. Kadang kita melakukan ancaman, intimidasi atau kita memanipulasi orang supaya orang melakukan apa yang kita inginkan. Sudah tentu hal-hal itu tidak membuat kita lebih dekat dengan orang, atau tidak menyatukan kita dengan pasangan kita atau dengan anak-anak kita.
GS : Kalau begitu apakah ada hal-hal yang perlu disampaikan dalam kita berkomunikasi yang perlu diperhatikan, Pak Paul?
PG : Ada dua yaitu kita harus memiliki keingin membangun dan memberi dorongan terhadap satu dengan yang lain. Waktu kita membangun dan memberi dorongan maka tidak bisa tidak orang yang mendengar apa yang kita katakan akan dikuatkan, akan dihibur, akan dimotivasi dan akan juga akhirnya mendekatkan dirinya dengan kita. Yang berikut adalah mengungkapkan kasih dan kepedulian. Jadi kita katakan kepada istri atau kepada suami atau kepada anak betapa kita mengasihi mereka, betapa kita juga peduli dan kita juga ingin berbuat sesuatu baginya, bayangkan jika di dalam keluarga inilah yang menjadi tema utama kita berkomunikasi. Dorongan-dorongan atau penguatan-penguatan dan juga ungkapan kasih serta kepedulian tidak bisa tidak kalau ini yang kita lakukan maka kita akan menikmati kesatuan dalam keluarga kita.
GS : Sebenarnya apa yang telah kita bahas tadi dalam hal mengetahui, menceritakan dan seterusnya pada orang lain, kalau kita berikan makna seperti membangun dan mengungkapkan kasih maka komunikasi bisa berjalan dengan baik.
PG : Bisa. Yang penting yang saya tekankan adalah kita benar-benar mencoba ujung-ujungnya sampai kepada tujuan yaitu kita mau mengungkapkan kasih dan kepedulian kita kepada sesama terutama kepada keluarga kita sendiri.
GS : Tapi kenapa itu menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan di dalam sebuah keluarga?
PG : Ada beberapa penyebabnya, saya kira kebanyakan kita tahu bahwa inilah yang harus kita lakukan tapi tidak mudah melakukannya, karena ada di antara kita yang waktu masih dalam masa pertumbuhan sering direndahkan baik oleh misalnya orang tua atau oleh orang lain atau oleh sanak saudara. Kita menjadi mudah tersinggung, otomatis waktu kita bertumbuh besar menjadi orang yang mudah tersinggung, susah bagi kita membangun komunikasi yang sehat, yang penuh dengan kasih sayang dan kepedulian, penuh dengan dorongan sebab belum apa-apa kita sudah marah dulu, tersinggung dulu. Atau kita dibesarkan di keluarga dimana kita sering dikritik sana sini, tidak benar ini dan itu. Jadi akhirnya kita menjadi mudah defensif dan kita tidak mudah mendengarkan masukan dari orang lain, meskipun orang itu berniat baik mau membangun kita dan memberikan masukan yang berharga kepada kita, tapi kita buru-buru menolak dan meninggalkan diri. Atau di antara kita yang didiamkan saja waktu masih kecil sehingga kita tidak bisa bicara dengan siapa-siapa dan hanya bisa menyimpan semua perasaan di hati, akhirnya setelah kita tumbuh besar kita tidak bisa bicara dengan orang dan menyatakan isi hati kita kepada orang, susah bagi kita berbagi perasaan. Dan satu lagi misalkan kita terlalu sering dimarah-marahi sewaktu kita masih kecil, kita sering melihat orang tua kita marah terhadap satu dengan yang lain. Atau kita juga sering menjadi objek kemarahan mereka, akhirnya kita menjadi orang yang sarat dengan kemarahan pula. Orang bicara salah kita menjadi marah, orang berbuat sesuatu yang kita tidak berkenan kita marah, sudah tentu kalau kita seperti itu kita tidak akan bisa membangun sebuah keakraban dan komunikasi kita akhirnya makin hari makin jarang.
GS : Tetapi itu tidak selalu berawal dari masa kecil. Kadang-kadang ketika mereka sudah menjadi suami atau istri, punya pengalaman yang menyakitkan bahwa pasangannya itu sering marah-marah atau sering mengkritik atau sering mendiamkan dan seterusnya, itu terjadi ketika mereka dewasa sedangkan pada masa kecilnya tidak memiliki pengalaman-pengalaman seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kalau memang kita dibesarkan dalam keluarga yang tidak seperti itu maka kita memang bebas dari hal-hal itu, namun kemudian kita menikah dan kebetulan pasangan kita itu gemar menyalahkan kita atau mengkritik kita dan selalu ada yang salah tentang diri kita, maka lama-kelamaan kita akhirnya tidak bisa lagi berkomunikasi dengan pasangan kita, akhirnya kita merasa, "Buat apa bicara dengan dia sebab nanti dia akan mencari-cari kesalahan saya, buat apa bicara dengan dia akhirnya nanti akan menjadi pelampiasan kekesalannya, buat apa bicara dengan dia nanti tidak akan dihiraukan, jadi lebih baik saya simpan sendiri". Memang betul, kadangkala tidak terjadi di masa lampau, tapi di masa sekarang dan itu sudah tentu sangat berpengaruh di dalam kita berkomunikasi dengan pasangan kita.
GS : Juga terhadap anak-anak, kadang anak-anak juga menjadi korban dari cara kita yang salah berkomunikasi dengan mereka sehingga mereka menjadi menghindar dari kita.
PG : Betul dan memang ini adalah salah satu dari hal yang memang harus kita jaga sebagai orang tua. Kadang karena kita beranggapan kita berniat baik dan kita hanya ingin menolong anak-anak menjalankan hidup dengan baik jangan sampai mereka salah jalan dan kita khawatir. Jadi seringkali yang muncul dari bibir kita adalah koreksian-koreksian, kritikan-kritikan dan tidak bisa tidak anak kita merasa bicara dengan mama dan papa, ujung-ujungnya selalu diberikan teguran dan selalu diberitahukan saya salah apa, atau misalkan kita adalah orang tua yang susah menahan emosi, mungkin pekerjaan kita sudah menuntut banyak dari kita sehingga waktu di rumah ada hal-hal yang anak perbuat dan kita tidak berkenan, sehingga kita menjadi marah-marah kepada dia. Hal-hal seperti itu akhirnya membuat anak merasa tidak mau lagi bicara dengan kita, justru yang mereka akan coba lakukan adalah menghindar dari kita.
GS : Memang rasanya lebih mudah menemukan kesalahan di dalam diri orang lain baik itu pasangan kita maupun anak-anak atau orang tua kita, dari pada menemukan segi-segi positifnya, sehingga membuat komunikasi itu buruk.
PG : Betul sekali. Jadi kalau memang kita sering mendengar kritikan-kritikan, disalahkan-disalahkan, dimarah-marahi, didiamkan akhirnya perlahan-lahan kita itu mulai memfokuskan pada kesalahan dalam diri kita karena kita takut disalahkan. Belum apa-apa kita sudah langsung melihat diri, "Apakah saya salah?" supaya jangan sampai disalahkan dan dimarahi. Kalau ini berlangsung untuk waktu yang lama, pada akhirnya kita itu selalu memfokuskan pada apa yang salah tentang diri kita dan bukan pada apa yang benar tentang diri kita, sebagai akibatnya dalam berkomunikasi kita akhirnya berbuat yang sama, kita lebih memfokuskan pada apa yang salah tentang orang lain dari pada apa yang benar tentang orang lain, karena akhirnya kita adopsi itu dan akhirnya kita cepat sekali mencari kesalahan dalam diri kita, lama-kelamaan terpindahkan atau tertransfer. Ketika kita melihat orang maka kita akan melihat, "Apa yang tidak benar" kalau ditanya yang benar tentang orang maka susah menjawabnya karena mata kita lebih terlatih melihat apa yang salah tentang orang.
GS : Atau kita sudah memiliki praduga terlebih dahulu terhadap orang itu sebelum kita mengkomunikasikan sesuatu dan itu sangat berpengaruh dengan pola kita berkomunikasi, sebab belum apa-apa kita sudah berprasangka.
PG : Ini memang mudah sekali terbentuk praduga seperti ini kalau kita memang terbiasa dikritik, disalahkan, didiamkan, dimarah-marahi, kita itu akhirnya belum apa-apa selalu mau mencari tahu apakah orang ini akan menyalahkan kita, apakah orang ini menerima kita atau tidak. Kita menjadi orang yang sangat dikuasai dengan prasangka atau praduga. Celakanya karena kita sering dimarahi akhirnya kita mencari-cari tahu siapa orang-orang yang mungkin berbuat begitu kepada kita nantinya. Akhirnya kebablasan, orang yang mungkin tidak ada niat seperti itu yaitu menyalahkan kita, kita sudah langsung mencap, "Dia memang mau menyalahkan kita" dan langsung praduga itu menentukan sekali sikap kita kepada dia. Jadi akhirnya tidak bisa lagi dekat dan berkomunikasi akrab dengan dia.
GS : Bagaimana kalau kita mau belajar berkomunikasi dengan cara yang baik, Pak Paul?
PG : Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, saya akan bahas beberapa prinsip. Pada prinsipnya kita cenderung berkomunikasi bila kita tahu bahwa kita sungguh dikasihi atau setidaknya dianggap penting, ini prinsip yang pertama. Yang kedua kita tahu bahwa apa yang kita katakan akan didengarkan dan ditindaklanjuti. Dan yang ketiga adalah, kita tahu bahwa kita akan belajar sesuatu atau memeroleh sesuatu yang berguna bagi pertumbuhan diri kita. Ini tiga prinsip penting yang nanti akan kita gunakan sebagai panduan sebab kalau kita mau menambah kwalitas komunikasi kita, maka kita harus melakukan ketiga hal ini.
GS : Ini kita sebagai pihak yang berbicara atau yang mendengar, Pak Paul?
PG : Sebetulnya dari kedua belah pihak, misalnya kalau kita tahu kita dikasihi bahwa kita adalah orang yang memang diperlakukan penting maka kita cenderung lebih menanggapi apa yang dikatakan oleh orang. Atau kita tahu apa yang kita sampaikan akan didengarkan, kita cenderung akan mendekati orang itu dan berbicara lagi dengan orang itu dan berbagi sesuatu dengan dia, kalau kita tahu apa yang kita sampaikan akan didengarkan oleh dia. Atau kita bicara dengan seseorang kita selalu belajar sesuatu darinya, jadi kita akhirnya senang berbicara dengan dia, mungkin kita memperoleh hikmat yang baru, kekuatan, pengharapan. Jadi kita cenderung mau mencari orang yang dapat memberikan kepada kita hal-hal yang berguna itu untuk diri kita.
GS : Kalau dari satu pihak yang sudah berupaya untuk berkomunikasi dengan baik tapi tanggapannya itu negatif, apakah akan terbentuk suatu komunikasi yang baik di keluarga itu?
PG : Pada dasarnya tidak. Misalnya, kalau kita sudah merasa tidak dikasihi dan kita merasa kita tidak dianggap penting oleh istri atau suami kita, maka kita enggan untuk berkomunikasi dan kita akan beranggapan, "Untuk apa bicara dengan dia, dia tidak lagi mengasihi saya, dia tidak menganggap saya berharga atau penting", jadi kita sudah langsung kecewa. Atau kalau kita sudah tidak yakin bahwa apa yang kita sampaikan akan didengarkan atau ditindak lanjuti maka kita akan malas berbicara, kita berbicara dengan pasangan kita, "Tolong ini, saya perlu ini" tapi tidak didengarkan, hidup berjalan seperti biasanya akhirnya kita berkata, "Buat apa saya bicara, tidak perlu" dan semakin hari semakin sedikit yang kita sampaikan kepadanya. Atau kita merasa kalau bicara dengan dia bukannya kita mendapatkan sesuatu yang berharga, yang kita inginkan tapi malah sesuatu yang menyakitkan dan malahan dicari-cari kesalahannya, diperlihatkan bahwa kita ini orang yang tidak mampu. Maka akhirnya kita tidak lagi berminat untuk berbicara. Ini yang seringkali terjadi di dalam keluarga, sehingga akhirnya masing-masing anggota malas berbicara dengan satu sama lain dan sudah tentu akhirnya ikatan kerabat dalam keluarga itu juga semakin mengendor.
GS : Kapan hal ini bisa disadari oleh orang-orang yang terlibat bahwa, "Komunikasi ini sudah begitu buruknya di dalam keluarga itu?"
PG : Seringkali tanda yang pertama adalah kita itu mulai malas berbicara. Jadi waktu kita sadar kita malas berbicara, maka kita harus mengecek, "Kenapa? Kenapa saya malas berbicara sebab sebetulnya saya tidak malas berbicara apalagi dengan orang-orang yang dekat dan tinggal serumah dan yang kita anggap kita kasihi". Jadi kalau kita sudah mulai malas, biasanya ada penyebabnya. Atau misalnya tanda yang kedua, kalau kita berbicara dan agak sedikit serius maka ujung-ujungnya pasti konflik. Kalau itu yang terjadi yaitu ujung-ujungnya pasti konflik berarti memang kita sudah tidak lagi sehati apapun yang kita bicarakan kalau ujung-ujungnya kita bertengkar berarti memang tidak lagi seia sekata. Dua hal ini saya kira bisa dijadikan indikator, bahwa rasanya komunikasi ini tidak lagi jalan dalam keluarga kita.
GS : Ada orang yang mengatakan, "Maksud saya selalu salah ditanggapi" sehingga setiap kali dia berkomunikasi kemudian pasangannya, atau orang tuanya atau anaknya berkata, "Tidak senang dengan caranya itu" orang ini selalu mengatakan, "Saya tidak bermaksud seperti ini".
PG : Kalau memang orang itu berkata, "Saya tidak bermaksud seperti itu" tapi orang yang satunya merasa diperlakukan seperti itu memang akan ada dua kemungkinan yaitu yang mendengarnya terlalu sensitif atau yang mengucapkannya tidak sensitif. Kita memang harus mengetahui duduk masalahnya dimana. Biasanya orang ketiga yang bisa nantinya mengatakan, "Kamu yang terlalu sensitif atau kamu yang memang kurang sensitif, sehingga kamu tidak menyadari kata-katamu berdampak seperti ini". Kalau ada orang ketiga yang bisa mengatakannya, berarti dua belah pihak bisa bercermin.
GS : Memang komunikasi adalah suatu keterampilan atau seni tersendiri yang harus dipelajari terus menerus, begitu Pak Paul?
PG : Betul dan memang kita harus rela belajar artinya waktu pasangan kita atau anak kita mengatakan, "Kamu ini seperti ini, Papa bicaranya seperti ini, Mama seperti ini" kita jangan buru-buru mengatakan, "Memang saya orangnya seperti ini dan kamulah orangnya yang begitu" tapi kita coba dengarkan dan pikirkan mungkin saja bicara kita tidak pas. Jadi jangan menganggap diri sempurna dan cobalah melihat bagian kita yang masih bisa kita koreksi.
GS : Biasanya pada saat pacaran orang bisa berkomunikasi dengan intens sekali, tetapi setelah menikah malahan tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Sebenarnya ini kenapa, Pak Paul?
PG : Saya kira memang setelah menikah banyak hal yang harus dibicarakan dengan lebih serius dan ini menyangkut hajat orang banyak. Pada masa berpacaran topik pembicaraan itu relatif lebih ringan dan juga tidak terlalu berkaitan dengan hajat dua orang. Jadi biasanya karena intensitas atau bobotnya berbeda serta kedua jenisnya berbeda. Jadi kalau pacaran mungkin kita bertengkar gara-gara dua atau tiga hal, tapi setelah menikah bisa dua puluh atau tiga puluh hal, dan jenisnya sudah bertambah lagi.
GS : Kehadiran orang lain di tengah keluarga juga seringkali menghambat suatu komunikasi yang baik di antara keluarga inti itu sendiri, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kadang-kadang kehadiran misalkan orang tua kita atau misalnya saudara-saudara yang bersama kita seringkali juga memengaruhi komunikasi kita dengan pasangan maupun dengan anak.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan komunikasi dan keluarga?
PG : Saya akan bacakan dari Efesus 4:25-29, "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota. Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis. Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan. Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia". Jadi dengan kata lain, ada dua prinsip yang penting di sini yaitu yang pertama, kita harus mengatakan yang benar dalam keluarga. Jangan sampai kita mengatakan yang bohong dan kita harus mengatakannya dengan benar. Maka firman Tuhan berkata jangan sampai kita itu menimbun kemarahan, jangan sampai mengatakan kata-kata yang kotor. Jadi prinsip yang penting dalam firman Tuhan adalah katakan yang benar dan katakanlah dengan benar. Dengan cara itulah kita menjadi sarana kasih karunia Tuhan artinya lewat perkataan kita, kita membangun, mendorong dan menyampaikan kasih serta kepedulian kita kepada anggota keluarga kita sendiri.
GS : Seringkali yang harus diperhatikan adalah faktor waktu atau saat kita menyampaikan yang benar itu tadi. Kadang-kadang kita sudah menyampaikan yang benar tapi waktunya tidak pas, sehingga diterima dengan keliru.
PG : Jadi menyampaikan sesuatu dengan benar termasuk di dalamnya adalah memilih waktu yang tepat, jangan sampai akhirnya waktu itu tidak cocok dan malah merusak dan bukan membangun hubungan kita.
GS : Kalau itu yang kita lakukan, hasilnya apa, Pak Paul?
PG : Sudah tentu kita akan lebih cepat dan lebih mudah menyelaraskan perbedaan kita. Dan kita lebih dapat mempertahankan tali pengikat di antara kita. Dan terakhir kita akan lebih efektif memberikan arahan yang tepat. Jadi baik istri maupun anak-anak dapat kita arahkan ke jalan yang benar.
GS : Sebenarnya komunikasi sehari-hari kita itu tidak ada masalah selama itu diberikan pengertian yang benar seperti yang tadi firman Tuhan katakan itu.
PG : Betul sekali.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini dan saya yakin sekali bahwa perbincangan ini akan menjadi berkat bagi banyak orang. Dan para pendengar sekalian banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Komunikasi dalam Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
35. Latar Belakang Keluarga dan Karunia | |
Tujuan hidup sangat terkait dengan karunia yang dititipkan Tuhan kepada kita. Akan sulit buat kita memastikan tujuan hidup bila kita tidak mengetahui karunia yang kita miliki. Tatkala kita mengetahui karunia yang Tuhan berikan, maka kita pun akan mengetahui apa yang dapat kita kerjakan di dalam hidup ini dan untuk apakah kita berada di dalam dunia ini. Sebaliknya, bila kita tidak mengetahui apa karunia kita, maka kita pun akan mengalami kesukaran menemukan arah dan tujuan hidup. Karunia dan pengembangannya yang tepat terkait erat dengan latar belakang pertumbuhan. Ann Roe, salah seorang penggagas teori karier, mengemukakan bahwa latar belakang keluarga berperan besar dalam pengembangan karunia.
Tujuan Hidup sangat terkait dengan Karunia yang dititipkan Tuhan kepada kita. Akan sulit buat kita memastikan tujuan hidup bila kita tidak mengetahui karunia yang kita miliki. Tatkala kita mengetahui karunia yang Tuhan berikan, maka kita pun akan mengetahui apa yang dapat kita kerjakan di dalam hidup ini dan untuk apakah kita berada di dalam dunia ini. Sebaliknya, bila kita tidak tahu apakah karunia kita, maka kita pun akan mengalami kesukaran menemukan arah dan tujuan hidup.
Karunia dan pengembangannya yang tepat terkait erat dengan LATAR BELAKANG pertumbuhan. Ann Roe, salah seorang penggagas teori karier, mengemukakan bahwa LATAR BELAKANG KELUARGA berperan besar dalam PENGEMBANGAN KARUNIA.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Latar Belakang Keluarga dan Karunia". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, seringkali kita tidak melihat kaitan yang erat antara latar belakang keluarga dan karunia. Supaya para pendengar kita lebih jelas sebenarnya apa maksudnya dengan karunia di sini, Pak Paul?
PG : Kita hidup pasti memunyai tujuan yang jelas untuk apakah kita hidup. Kadang-kadang kita bertanya-tanya, "Kenapa saya ada di dunia ini, untuk apa? Supaya mendapatkan kepenuhan dalam hidup ini". Kita mengetahui bahwa Tuhan memanggil kita untuk terlibat dalam pekerjaan-Nya, agar kita manusia bisa mengenal-Nya dan menerima kasih karunia-Nya di dalam Kristus Yesus. Ini panggilan umum bagi kita semua sebagai anak-anak Tuhan. Tapi kita mau mengetahui secara lebih spesifik tempat kita didalam panggilan Tuhan yang umum. Kalau kita bisa menemukan tempat kita maka barulah kita merasakan, "Baiklah, ini tugas saya dan ini yang harus saya selesaikan dalam hidup ini". Contohnya saya, saya meyakini bahwa panggilan Tuhan untuk saya secara umum adalah menjadi alat Tuhan, supaya lewat saya ada orang dan mudah-mudah banyak orang yang bisa mengenal Yesus serta menerima kasih karunia-Nya. Tempat saya yang spesifik adalah dalam kesehatan jiwa, saya meyakini Tuhan memberikan kepada saya karunia dalam hal ini, jadi saya mau mengabdikan diri saya melayani Tuhan lewat kesehatan jiwa ini. Keluarga atau anak dan sebagainya itu masuk ke dalam kesehatan jiwa ini. Jadi untuk kita bisa mengerti sebetulnya apa tempat kita, maka kita harus mengetahui karunia kita. Dalam contoh saya, saya meyakini karunia saya adalah menolong, membimbing, memberikan arahan atau konseling. Kita harus mengetahui karunia kita terlebih dahulu, baru kita mengetahui tempat kita di dalam hidup ini, terutama untuk menjalankan panggilan Tuhan yang umum. Karunia itu sangat dipengaruhi bukan saja oleh bakat bawaan yang memang sudah diperlengkapi Tuhan, tapi juga oleh latar belakang pertumbuhan kita atau bagaimanakah kita dibesarkan oleh keluarga kita.
GS : Seringkali justru banyak orang yang kesulitan menemukan karunia apa yang sebenarnya ada atau yang diberikan Tuhan kepadanya sehingga dia terus berganti-ganti profesi atau berganti-ganti pelayanan.
PG : Seringkali kita tidak mengerti dengan jelas karena misalnya kesalahan yang sering kita perbuat adalah kita membandingkan diri dengan orang lain. Jadi kita bertanya-tanya mana yang lebih baik, saya atau orang lain, kalau kita anggap kita lebih baik dalam hal ini maka kita berkata, "Saya punya karunia dalam hal ini" itu keliru. Yang harus kita lakukan adalah kita harus membandingkan diri kita dengan diri sendiri. Jadi di antara semua hal yang bisa kita lakukan manakah yang bisa kita lakukan paling baik. Yang bisa kita lakukan paling baik itulah yang merupakan karunia, karena ini sangat konsisten dengan konsep persembahan. Di dalam firman Tuhan kita mengetahui bahwa kita harus membawa persembahan kita dan Tuhan menuntut persembahan yang terbaik. Jadi apa yang kita miliki yang terbaik, itulah yang kita berikan kepada Tuhan. Sama dengan menemukan karunia, lihatlah dalam diri kita apa yang bisa kita lakukan dengan baik dan paling baik di antara hal-hal lain yang dapat kita lakukan, itulah karunia kita dan itu yang mau kita gunakan sebagai persembahan kita kepada Tuhan dan itu yang akan kita kembangkan sebagai karunia kita untuk kita mencapai tempat dimana kita nanti bisa melakukan atau memenuhi panggilan Tuhan.
GS : Kaitannya dengan latar belakang keluarga bagaimana, Pak Paul?
PG : Latar belakang keluarga itu bisa mengkonfirmasi sekaligus bisa melencengkan kita dari karunia yang sebetulnya. Ada seseorang yang bernama Ann Roe dia adalah seorang penggagas teori karier dan dia mengatakan bahwa latar belakang keluarga berperan besar dalam pengembangan karunia. Jadi artinya misalkan kita ini dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan penuh kasih, pengembangan karunia akan terjadi dengan tepat karena di dalam keluarga yang hangat dan penuh kasih maka anak akan memeroleh kebebasan untuk menemukan dan mengembangkan karunianya tanpa hambatan dan ancaman. Sebaliknya di dalam keluarga yang sarat masalah atau penuh dengan kritikan maka anak tidak dapat mengembangkan karunianya dengan bebas, hidupnya penuh dengan ketakutan dan ini membuatnya terbelenggu oleh kecemasan sehingga energi untuk mengembangkan karunia akhirnya tersedot hanya untuk menenangkan diri. Misalnya dia memunyai minat terhadap bidang keperawatan, dari kecil dia suka dengan hal-hal yang bersifat keperawatan dan mungkin dia melihat ayahnya dirawat di Rumah Sakit dan dia kagum terhadap pengabdian juru rawat. Kebetulan dia juga menyenangi obat-obatan dan sebagainya, misalnya keluarganya hangat dan penuh kasih maka dia dapat terus memikirkan apa yang bisa dia lakukan, dia bisa memikirkan langkah-langkah menuju kepada impiannya menjadi seorang perawat dan mengembangkan dirinya di sana. Belum lagi dia mendapat dorongan dari orang tua yang berkata, "Jalan terus dan silakan karena papa dan mama mendukung kalau kamu mau menjadi perawat, jangan khawatir". Bayangkan kalau keluarganya tidak seperti itu, bukannya dorongan yang diberikan malahan kita sering diomeli, bukannya penguatan, "Memang kamu bisa di sini" tapi dimarahi dan dibodoh-bodohkan, "kamu tidak bisa apa-apa". Atau orang tua terlalu sering konflik sehingga kita bertumbuh besar dengan ketakutan dan kecemasan, bagaimana bisa memikirkan masa depan, bagaimana bisa memikirkan mau menjadi apa sebab semua energi sudah difokuskan pada bagaimana bertahan hari ini, bagaimana supaya papa dan mama tidak ribut, atau bagaimana caranya jangan sampai dalam saya membuat PR terganggu lalu papa dan mama nanti ribut. Jadi anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang sarat dengan konflik, energinya tersedot untuk hanya membentengi diri, membalut diri dari luka sehingga pengembangan dirinya, apa yang telah dilakukannya, apa karunianya, apa impiannya, itu akhirnya tidak pernah bisa tergali.
GS : Kadang-kadang ada orang tertentu yang memang sebenarnya di keluarganya itu sudah baik, tetapi terkendala oleh biaya untuk mencapai tujuan itu sendiri sehingga tidak bertumbuh karunianya.
PG : Bisa jadi. Kalau memang apa yang harus dikerjakannya itu menuntut biaya yang besar dan dia tidak memunyai biaya sudah tentu terhalangi, namun kalau memang dukungan dan kasih sayang orang tua ada, setidak-tidaknya si anak itu cukup jelas kalau ini karunianya tapi belum ada kesempatan dan mungkin dia harus menunggu dan mencari jalan lain, tapi setidak-tidaknya jelas. Sebaliknya kalau di dalam keluarga sarat konflik, tidak ada kehangatan dan dukungan yang membuat si anak maju, bukannya si anak itu tidak bisa mengetahui dengan jelas apa yang ingin dilakukannya karena benar-benar dia buta, tapi karena semua energi dipusatkan pada masalah-masalahnya yang sekarang ini.
GS : Masalah lain lagi yang seringkali terjadi adalah orang tua yang menetapkan karunia terhadap anak itu, orang tuanya merasa anaknya memunyai karunia di dalam bidang tertentu misalnya kedokteran dan anaknya ini dibuat sedemikian rupa sehingga anak ini memunyai karunia untuk menjadi dokter.
PG : Jadi kadangkala ada orang tua yang langsung menganggap anak saya pastilah seperti saya. Kalau kebetulan anak itu punya kemampuan yang sama maka tidak apa-apa, tapi kalau dia tidak punya kemampuan yang sama pastilah akan sangat menderita, dalam pertumbuhannya dia tidak pernah bisa menggali karunianya sendiri sebab dari atas sudah dijatuhkan vonis kamu harus menjadi apa, sehingga dia tidak memiliki kebebasan dan dia tidak bisa sungguh-sungguh menemukan karunianya di dalam hidup ini.
GS : Dan itu yang membingungkan anak dan dia merasa kebingungannya, dia akan bertanya-tanya sebetulnya karunia ini dari Tuhan atau dari orang tua saya, begitu Pak Paul.
PG : Sudah tentu karunia adalah hal yang memang kita sudah bawa dalam bentuk yang sederhana, sejak kita lahir namun lewat pembentukan, lewat pengalaman hidup maka karunia itu akan terus diasah dan diasah, sehingga akhirnya menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Sebab biasanya sejak kecil pun sudah mulai kelihatan, ada anak-anak yang suka bermain pasang-pasang lego, ada anak-anak yang tidak suka dengan seperti itu dan sukanya bermain dengan teman-teman atau berelasi, ada anak yang suka bermain lompat-lompatan dan lari-lari, atau ada anak yang diam saja, duduk-duduk saja. Jadi dari kecil memang anak sudah membawa sebetulnya karunia tertentu, tapi memang dalam bentuk yang masih sederhana sekali. Lewat pengalaman hiduplah maka karunia itu akan berkembang dan tugas orang tualah yang memang harus menyediakan lingkungan yang aman dan penuh kasih supaya nantinya anak bisa mengembangkan diri. Kadang terjadi penyimpangan seperti ini, ada anak-anak yang punya kebutuhan emosional tertentu, karena memang kurang dikasihi, akhirnya dia tertarik untuk masuk ke bidang yang banyak kaitannya dengan pertolongan, pembimbingan, pemberian kasih dan dianggap inilah yang memang karunia saya. Padahalnya dia tertarik kepada bidang itu karena memang ini kebutuhannya yang tidak terpenuhi waktu dia masih kecil. Apa yang terjadi? Kalau memang itulah yang nantinya dia terjuni, di tengah jalan umumnya dia merasa frustrasi dan tidak merasa cocok, di tengah jalan dia merasa bosan dan jenuh sekali sebab dia berkata, "Buat apa bekerja seperti ini, saya tidak tertarik" atau misalkan kebutuhannya sudah terpenuhi berarti dia tidak lagi suka dengan pekerjaan itu. Jadi dengan kata lain, seperti Ann Roe katakan si penegas teori ini, kalau masa lalu kita sarat dengan ketidak harmonisan dan sebagainya, maka besar kemungkinan akhirnya kita itu memilih jalur yang keliru dalam hidup kita dan kita tidak menemukan karunia kita sebab kita akan terdorong ke bidang yang kita anggap bisa memenuhi kebutuhan kita, padahal itu belum sungguh-sungguh karunia kita.
GS : Kalau seseorang anak menyadari bahwa dia keliru karena desakan keluarganya atau keluarganya tidak memberikan kebebasan kepada dia, apakah itu tidak menimbulkan penyesalan yang dalam, Pak Paul?
PG : Biasanya bukan hanya penyesalan, Pak Gunawan, tapi memang bisa juga kemarahan karena memang orang-orang ini di tengah jalan bisa menyadari, tapi masalahnya waktu sudah terbuang dan dia tidak memersiapkan kariernya yang sesungguhnya dan dia benar-benar terjerumus pada jalan atau karier yang di luar keinginannya. Sekarang mau banting arah sudah tanggung dan susah sekali, jadi diteruskan saja. Itu biasanya menimbulkan rasa frustrasi dalam hidup dan dia akhirnya terus sampai tua dia sesali dan dia mungkin penuh kepahitan dan kemarahan, akhirnya dia tumpahkan kepada orang yang dekat dengan dia, misalnya istri atau suami, anak-anak dan kepada teman-temannya. Jadi dia menyalahkan semua orang karena hidupnya itu seolah-olah sudah terlanjur salah dan tidak bisa lagi diperbaiki.
GS : Apakah ada caranya orang tua, supaya anak ini bisa menyadari karunianya sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang tuanya?
PG : Jadi dengan kata lain, pada masa anak-anak masih kecil memang orang tua harus cermat melihat apakah yang menjadi kesukaan anaknya untuk bermain, lihatlah apa yang menjadi minat si anak dan selalu puji, sehingga anak itu mendapatkan kepercayaan diri melakukan hal-hal yang dia senang lakukan. Otomatis waktu anak masuk sekolah maka akan terlihat sebetulnya anak kita itu bisa apa dan tidak bisa apa. Dia paling kuat dalam hal apa dan paling lemah dalam hal apa. Waktu kita sudah melihat itu maka kita mulai arahkan, "Kamu memang pintar menulis dan bagus sekali isi karanganmu, kamu memang pintar bahasa dan nilai bahasa Indonesia dan Inggris begitu bagus". Jadi kita mulai masukkan atau berikan dorongan sesuai dengan karunia atau bidang kesukaannya dan kemampuannya itu, semakin dia besar maka kita bisa arahkan dia kepada bidang di dalam rumpun kebisaannya itu dan kita katakan selalu bahwa yang penting adalah kita melakukan yang terbaik dengan apa yang Tuhan berikan dan kita tidak mengecilkan hatinya dan berkata, "Buat apa kamu seperti itu, tidak ada gunanya, tidak ada uangnya", tapi doronglah dia untuk mengembangkan diri di dalam bidang yang telah Tuhan titipkan kepadanya.
GS : Kadang-kadang orang tua itu ingin agar anaknya melakukan sesuatu yang bisa berdampak langsung terhadap manusia atau orang lain, tapi anak ini justru memilih suatu bidang pekerjaan atau studi yang tidak berhubungan langsung dengan orang-orang.
PG : Sebetulnya kita bisa membagi bidang pekerjaan ini dalam 3 bagian yaitu kita bekerja dengan manusia, kita bekerja dengan data, atau kita bekerja dengan benda. Yang indah adalah kalau kita dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang, kalau pun bidang kita atau karunia kita itu berkaitan dengan data atau misalkan akuntan yang berhubungan dengan data-data keuangan dan angka, kalaupun itu bidang yang memang Tuhan titipkan kepada kita, maka tetap itu akan kita kembalikan untuk kepentingan manusia atau kepentingan bersama. Kalaupun kita memang bidangnya adalah benda dan kita itu sangat terampil membetulkan, mereparasi dan sebagainya. Meskipun kita dikaruniakan kemampuan berhubungan dengan benda, tapi kalau kita dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan penuh kasih, maka kita mau mengembalikan bidang atau kegunaannya untuk kepentingan manusia atau kepentingan bersama. Tapi sebaliknya kalau kita dibesarkan dalam keluarga yang tidak hangat, penuh kecurigaan, penuh kritikan dan serangan kemudian bekerja misalkan menjadi seorang konselor, kalau tidak hati-hati maka kita akan menggunakan karunia itu untuk kepentingan sendiri dan bukan untuk kepentingan orang lain. Jadi benar-benar kita mau menyedot dari orang. Benar-benar peranan keluarga itu sangat penting, kalau kita dibesarkan dalam keluarga yang memang hangat, apapun karunia kita maka kita akan mengembalikan untuk kepentingan bersama dan dengan cara inilah kita memuliakan Tuhan sebab apa yang kita lakukan, kita berikan kembali kepada-Nya lewat sumbangsih kita manusia.
GS : Jadi sebenarnya bukan jenis dari karunia itu yang penting, tapi bagaimana sikap hati kita menghadapi atau melakukan dan memanfaatkan karunia yang Tuhan berikan kepada kita itu, Pak Paul?
PG : Betul, Pak Gunawan. Beberapa waktu yang lalu saya melihat wawancara antara Larry King seorang pewawancara dari CNN dengan Bill Gates. Kita mengetahui Bill Gates adalah seorang yang kaya raya, pemilik dari Microsoft, Gates datang dengan ayahnya. Saya baru pertama kali melihat bagaimana Bill Gates menjawab pertanyaan, bersikap, berelasi, waktu saya mendengar Bill Gates dengan ayahnya saling berbicara menjawab pertanyaan Larry King saya terkagum-kagum karena memang saya melihat seseorang yang memang sangat baik, murah hati. Dan kita tahu Bill dan istrinya Malinda Gates membuat sebuah Yayasan Sosial yang memberikan jutaan dolar kepada orang-orang miskin yang tidak bisa sekolah dan diberikan kesempatan untuk sekolah, dan segala jenis kebutuhan lainnya, sekarang Bill dan Melinda Gates bersama dengan seorang yang juga sangat kaya raya di Amerika Serikat, Warren Buffet, mereka menggagas sebuah kelompok konglomerat di Amerika yaitu menantang mereka untuk memberikan 50% asetnya untuk kepentingan sosial, untuk menolong orang-orang yang susah. Jadi orang-orang ini berkomitmen memberikan 50% asetnya, dan baru saja yang memberikan dirinya untuk menjadi anggota adalah Mark Zuckerberg seorang pemilik Facebook, seorang yang kaya raya meskipun usianya baru 27 tahun. Waktu saya melihat Bill Gates dengan papanya berbicara maka tidak bisa tidak saya melihat Bill Gates dibesarkan oleh Papa yang hangat, santun, bicaranya baik. Bill Gates bicaranya juga hangat dan tidak ada kesombongan, sangat bersahaja. Jadi saya tidak heran, meskipun bidangnya sebenarnya adalah bidang benda, bidang data dan bukan bidang kemanusiaan, dia bukannya psikolog dan bukan bidang-bidang sosial lainnya. Tapi yang dikerjakannya dia kembalikan untuk kepentingan manusia, dia memikirkan orang lain yang lebih susah darinya dan bagaimana bisa menolongnya. Jadi sungguh kita melihat betapa indahnya sebetulnya dampak dari keluarga yang sehat pada anak-anaknya.
GS : Pada ujung-ujungnya, terutama bagi kita orang yang percaya pada Tuhan Yesus maka karunia yang digunakan dengan baik akan memuliakan Tuhan dan bukan hanya sekadar menolong orang, tapi Tuhan dipermuliakan.
PG : Betul, Pak Gunawan. Sebab waktu orang melihat bahwa kita sebagai anak Tuhan sebagai wakil-wakil Yesus Kristus di dunia ini, kita memberikan dengan pengorbanan untuk menolong orang yang menderita dan orang-orang memunyai kebutuhan yang besar, maka tidak bisa tidak orang akan melihat, "Benar ya, ada Allah dalam hidup mereka, Tuhan itu sungguh-sungguh ada di dalam kehidupan mereka ini, kasih sayangnya begitu besar kepada orang lain". Benar sekali yang Tuhan katakan bahwa Tuhan memberikan kepada kita perintah yang baru dan perintah-Nya adalah agar kita saling mengasihi dan dengan cara itulah orang akan melihat kita adalah murid-murid Yesus.
GS : Itu tidak terlepas dari komunikasi yang baik dalam keluarga itu sendiri, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi kalau kita dibesarkan dalam keluarga dimana omongan-omongan yang keluar itu tajam, serangan seperti pisau yang menyayat maka sangat berbahaya, kita tidak bisa mengembangkan karunia kita dengan tepat. Dan kalaupun karunia kita berhubungan dengan manusia, biasanya kita hanya akan memakai manusia untuk kepentingan kita. Jadi dampaknya merugikan banyak orang. Tapi kalau keluarga dengan hangat membesarkan anak-anaknya maka dampaknya besar sekali untuk kepentingan banyak orang.
GS : Jadi buah-buah yang nyata yang bisa dirasakan dan memuliakan Tuhan lewat karunia yang diterima oleh seseorang itu apa saja, Pak Paul?
PG : Misalnya yang pertama, sewaktu karunia bertumbuh dengan tepat maka tujuan hidup terlihat dengan cepat dan tepat, sehingga kita tidak bingung dalam hidup tapi kita mengetahui tujuan hidup kita dan kita tidak lagi mudah diombang-ambingkan, "Nanti orang mau ke sana, orang menunjuk kita ke sini" tidak seperti itu tapi kita jelas mengetahui dan kita tidak lagi seperti orang yang mengembara mencari-cari tempat di dalam hidup ini, tapi kita mengetahui di mana tempat kita dan kita mengetahui akhirnya dengan cara apakah kita akan hidup untuk memuliakan Tuhan karena memang sudah terurai dengan jelas semua.
GS : Sebenarnya kalau seseorang tidak bisa menemukan dukungan dari keluarganya, apakah ada pihak lain misalnya konselor atau hamba Tuhan yang bisa mengarahkan dia, Pak Paul?
PG : Bisa, tentang pencarian karunia atau bakat memang bisa ditolong dengan tes-tes supaya nanti terungkap apa karunia dan bakatnya. Tapi sebetulnya secara sederhana kalau orang tua berperan aktif dalam kehidupan anaknya, melimpahkan kasih sayang dengan cukup kepada mereka, seharusnya mereka itu melihat, "Kira-kira ke sini dan dengan cara ini saya akan memuliakan Tuhan dan inilah tempat saya di dalam panggilan Tuhan."
GS : Ada remaja yang mengeluhkan sangat sulit menemukan karunianya, karena orang tuanya tidak memberikan arahan tapi orang tuanya hanya bilang, "Cari sendiri", itu malah membuat dia bingung.
PG : Betul. Dan memang harus dimulai sejak kecil waktu anak-anak melakukan sesuatu orang tua langsung memberikan tanggapan, "Baik sekali kamu, kamu bisa melakukan ini, gambar kamu bagus". Ini yang nanti akan menimbulkan percaya diri pada anak sehingga dia lebih berani lagi dan lebih termotivasi lagi untuk menggali kemampuannya.
GS : Pak Paul, untuk perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Amsal 13:22 berkata, "Orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya, tetapi kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar". Ini bagian pertamanya indah sekali orang yang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya. Jadi yang bisa kita wariskan kepada anak cucu kita memang adalah kehidupan kita yang baik, kehidupan kita yang berkenan kepada Tuhan, tidak bisa tidak kalau kita hidup seperti itu anak-anak kita mendapatkan warisan yang luar biasa.
GS : Jadi upaya beberapa orang tua yang hanya mewariskan harta benda, sebenarnya tidak cukup, Pak Paul?
PG : Sama sekali tidak cukup sebab ada banyak hal lain yang memang penting sekali. Baru saja saya bicara dengan mama saya dan dia bercerita tentang teman-temannya masa lalu, dia berkata, "Ada orang-orang yang mama kenal, mereka adalah anak-anak orang yang sangat kaya waktu mama masih muda, tapi sekarang hidup mereka begitu susah". Jadi benar-benar kekayaan itu tidak abadi. Tapi kalau orang tua bisa mewariskan kehidupan yang benar, maka itu tidak terbilang nilainya bagi si anak.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Latar Belakang Keluarga dan Karunia". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
36. Kebahagiaan Keluarga dan Murah Hati | |
Sesungguhnya ada keterkaitan yang erat antara kebahagiaan rumah tangga dan sikap murah hati. Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang murah hati. Tidak ada keluarga yang bahagia bila anggotanya bersikap kikir terhadap satu sama lain. Jadi, bila kita ingin membangun keluarga yang bahagia, bersikaplah murah hati. Bagaimanakah sikap murah hati yang benar? Kita akan belajar dari
Markus 12:41-44 dan kemudian akan kita terapkan di dalam hidup pernikahan. Sikap murah hati berasal dari pernikahan yang lebih mengutamakan hati, lebih mengutamakan iman dan sedikit mengutamakan diri.Sesungguhnya ada keterkaitan yang erat antara kebahagiaan rumah tangga dan sikap murah hati. Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang murah hati. Tidak ada keluarga yang bahagia bila anggotanya bersikap kikir terhadap satu sama lain. Jadi, bila kita ingin membangun keluarga yang bahagia, bersikaplah murah hati. Marilah kita belajar murah hati dari
Markus 12:41-44. Ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari Firman Tuhan ini.Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Perbincangan kami kali ini tentang "Kebahagiaan Keluarga dan Murah Hati". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, tentunya semua pasangan dan semua keluarga berharap kalau mereka membangun keluarganya pastinya ingin bahagia. Sekarang kita mau membicarakan tentang hubungan kebahagiaan dan sikap murah hati. Mungkin Pak Paul bisa menjelaskan tentang kebahagiaan dan murah hati dulu?
PG : Ada banyak faktor yang terlibat untuk membuat sebuah keluarga bahagia, saya berikan perumpamaan tentang pohon. Waktu kita menanam pohon maka kita harus memberikan pupuk dan harus kita meletakkannya di bawah sinar matahari dan harus memberikan air yang cukup. Kita sendiri tidak bisa membuat pohon itu bertumbuh, tapi dengan kita menyiraminya dan menempatkannya di bawah sinar matahari dan memberinya pupuk maka tiba-tiba pohon itu mulai bertumbuh. Demikian juga dengan pernikahan dan keluarga, kalau kita ingin membuat keluarga sehat dan relasi kita penuh dengan kebahagiaan maka ada hal-hal yang harus kita adakan terlebih dahulu, yang saya ingin angkat adalah sifat atau sikap murah hati. Dengan kata lain, saya mau menegaskan bahwa kalau kita tidak memunyai sikap murah hati maka kita tidak akan bisa membangun pernikahan yang sehat dan bahagia karena orang yang kikir hati tidak akan bisa membangun pernikahan yang bahagia. Jadi maksud saya dengan murah hati adalah hati yang memberi dan hati yang tidak perhitungan, hati yang rela berkorban dan hati yang rela mengedepankan yang lain supaya yang lain mendapatkan lebih dari padanya. Jadi benar-benar sebuah hati yang rela ditempatkan di bangku belakang supaya orang lain ada di bangku depan. Dan salah satu wujudnya adalah misalkan memberi. Jadi kalau kita kikir hati dan tidak suka memberi, semua harus dibatasi dan ditekan, maka tidak mungkin keluarga kita akan bahagia.
GS : Tapi ada orang yang kepada orang lain, dia bisa murah hati tapi kepada anggota keluarganya sendiri tidak, sehingga pasangannya sendiri heran, "Kamu sama orang lain bisa begitu murah hati tapi kepada saya malah kikir sekali".
PG : Kemungkinan besar orang yang seperti itu memang orang yang membutuhkan persetujuan, penghargaan, penerimaan, pengakuan dari orang lain. Itu sebabnya dia tidak mau memerlihatkan sifat yang sesungguhnya, daripada dia tonjolkan sifat sesungguhnya kemudian orang menolaknya, maka lebih baik dia sembunyikan. Tapi di rumah, apa adanya dia akan keluar dan tampak dengan sangat jelas dan ternyata di rumah dia itu sangat kikir. Orang yang kikir artinya tidak suka memberi, sangat perhitungan dan juga tidak rela di nomor duakan dan tidak rela harus menderita menjadi korban, dia tidak mau seperti itu dan bagiannya tidak mau berkurang.
GS : Untuk memperjelas perbincangan ini, apakah ada contoh di dalam Alkitab atau bagian Alkitab yang menceritakan hal ini.
PG : Saya ingin kita belajar dari seorang janda yang miskin, ini cerita diambil dari Markus 12:41-44, "Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memerhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.'" Dari cerita ini, Pak Gunawan, nanti kita akan belajar sekurang-kurangnya tiga hal yang dapat kita contoh dan kita terapkan dalam keluarga kita.
GS : Namun pelajaran apa yang bisa kita ambil dari firman Tuhan itu, Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah sebagaimana dapat kita lihat, tidak ada seorang pun yang memaksa si janda miskin ini untuk memberi persembahan kepada Tuhan, dia memberi dengan sukarela. Hal ini menandakan bahwa ia mendengarkan suara hatinya dan bukan suara pikiran atau logikanya. Jika ia misalnya mendengarkan suara pikirannya mustahil dia akan memberi sebab ia tidak lagi memunyai uang, logikanya akan menyuruhnya untuk menyimpan uang itu dan menunda memberi persembahan kepada Tuhan. Kita melihat di sini dia tidak mendengarkan suara logika atau pikirannya, yang dia dengarkan adalah suara hatinya, gara-gara dia mendengarkan suara hatinya maka dia memberi semua yang dimilikinya. Jadi dari sini kita bisa memetik suatu pelajaran, orang yang murah hati adalah orang yang mendengarkan suara hati ketimbang suara pikiran saja. Jadi benar-benar orang yang murah hati itu adalah orang yang mau juga digerakkan oleh perasaannya, belas kasihannya dan itulah yang nanti akan menjadi motor dari tindakannya.
GS : Tentunya suara hati ini tidak muncul dengan begitu saja dan saya yakin sekali bahwa memang janda ini sudah terbiasa, sudah terlatih, sudah terkondisi untuk memberikan persembahan kepada Tuhan, karena dia sudah terbiasa memberikan maka pada saat itu pun suara hati itu tetap mengingatkan, "Kamu harus memberikan, ini yang terbaik untuk Tuhan".
PG : Betul sekali dan saya setuju meskipun Alkitab memang tidak mengatakannya tapi saya bisa menyimpulkan bahwa kalau orang sampai seperti ini maka dapat dipastikan bahwa dia adalah orang yang terbiasa memberi kepada Tuhan, karena dia terbiasa memberi maka meskipun saat itu dia tidak lagi punya uang yang banyak, yang tersisa adalah sangat sedikit tapi tetap dia memberi kepada Tuhan, jadi dengan terencana dan sengaja melanggar suara pikirannya karena dia mendahulukan suara hatinya yaitu dia tetap mau memberi kepada Tuhan.
GS : Seringkali yang terjadi justru dalam kondisi seperti itu orang tidak mendengar suara hatinya bahkan membungkam suara hatinya dan mencari alasan yang logis. Orang juga bisa menerima alasan kalau dia tidak memberi.
PG : Betul sekali. Jadi akhirnya kalau kita simpulkan, coba kita melihat diri kita, bukankah berapa seringnya kita tergerak melakukan sesuatu yang menuntut pengorbanan kita dan mengharuskan kita memberi dan kita berpikir membuat hal-hal yang mulia, dan suara hati menggerakkan kita melakukan hal yang mulia itu tapi langsung dibungkam oleh suara pikiran kita, "Untuk apa, orang itu tidak perlu dan Tuhan mengerti, tidak perlu diberikan kepada Tuhan karena Tuhan juga tidak marah", jadi langsung dibungkam oleh suara pikiran kita.
GS : Berarti suara hati ini harus betul-betul dikuasai oleh Roh Kudus karena suara hati itu juga kadang-kadang sering menyesatkan kita juga, Pak Paul.
PG : Betul. Kita ini tidak melakukan apa yang suara hati kita katakan tanpa meneropongnya dari kacamata firman Tuhan. Kalau suara hati menyuruh kita melakukan hal yang sangat salah dan berlawanan dengan kehendak Tuhan maka kita jangan dengarkan, tapi kalau kita mengetahui suara hati ini dan menyuruh kita melakukan sesuatu yang memuliakan Tuhan, meskipun pikiran kita mencoba membungkamnya tapi kita harus tetap mendengarkan suara hati kita. Ini yang menjadikan kita seseorang yang murah hati.
GS : Selain itu pelajaran apa lagi yang bisa kita pelajari, Pak Paul?
PG : Dari cerita ini dapat kita simpulkan bahwa si janda miskin memberi dari kekurangan dan bukan kelimpahan. Memberi adalah sebuah tindakan yang mengharuskan kita keluar dari diri sendiri dan masuk ke dalam diri orang yang akan menjadi penerima pemberian kita. Si janda miskin tidak melihat dirinya pada saat itu, yang dilihatnya adalah Tuhan dan bahwa Tuhan layak dan seharusnya menerima persembahannya. Dengan kata lain, dia memberi sebab dia tidak lagi memikirkan dirinya, kalau dia terus memikirkan dirinya maka dia tidak akan memberi dan dia akan berkata, "Nanti bagaimana saya, bukankah saya butuh makan?" Tapi karena dia tahu bahwa Tuhan yang meminta dia memberi dan bahwa ini adalah kewajibannya sebagai anak Tuhan untuk memberi persembahan kepada Tuhan, maka dia berikan. Jadi kita melihat dia keluar dari dirinya dan masuk ke dalam diri yang akan menerima pemberian-Nya dan dalam hal ini adalah Tuhan. Dari sini kita bisa memetik satu prinsip yaitu orang yang memberi adalah orang yang berego kecil, fokus perhatiannya bukan pada dirinya atau egonya, tapi pada orang lain. Orang yang murah hati selalu melihat orang, memandang orang, mengerti penderitaan orang, mengetahui kebutuhan orang dan itulah yang akan menjadi fokus perhatiannya dan bukan dirinya sendiri. Orang yang kikir, orang yang tidak peduli dengan orang lain, dia akan mementingkan dirinya sendiri.
GS : Kisah ini mengingatkan saya, akan seorang janda yang di Sarfat, di mana Nabi Elia memang meminta, "Buatkan bagi kami terlebih dahulu, barulah kalian" maksudnya dia dan anaknya. Bagi saya janda miskin yang ada di Injil Markus ini lebih sulit karena tidak ada orang yang meminta dia, kalau janda yang di Sarfat memang diminta oleh Nabi Elia. Dan sebenarnya apa yang paling mendasar di dalam diri seorang janda ini, karena sebenarnya dia juga punya ego dan dia juga punya kepentingan yang seharusnya dia mendahulukan dirinya.
PG : Ini membawa kita kepada pelajaran yang ketiga yaitu orang yang mempertaruhkan hidupnya sepenuhnya pada kemurahan hati Tuhan. Jadi kenapa dia memberikan dan bukan hanya itu, tapi dia memberikan semua sisa uangnya dan dia tidak menyisakan apa-apa sebab dia yakin kalau Tuhan akan memelihara hidupnya. Di sini kita bisa melihat kalau dia adalah orang yang sunguh-sungguh beriman, dia tidak hanya mengatakan dia beriman tapi dia sungguh-sungguh mempertaruhnya dirinya pada kemurahan hati Tuhan, berdasarkan iman yang dimilikinya. Jadi bisa kita simpulkan, Pak Gunawan, orang yang murah hati adalah orang yang memang beriman. Kalau kita tidak punya iman maka kita susah untuk murah hati karena kita selalu hitung-hitung maka ujung-ujungnya kita selalu merasa tidak cukup. Jadi harus ada lapisan pengaman kedua dan ketiga dan lapisan itu tidak pernah habis-habis. Akhirnya kita tidak memikirkan orang lain dan memberikan sepenuhnya kepada Tuhan. Jadi belajarlah dari si janda yang miskin ini, Tuhan sanggup memelihara hidupnya kendati dia tidak lagi memunyai uang sepeser pun.
GS : Tapi pada saat itu janda mendapat perhatian khusus dari komunitas bait Allah ini karena di peraturan orang Yahudi, seorang janda akan dihidupi oleh orang-orang lain.
PG : Masalahnya adalah dia memang harus bergantung pada belas kasihan orang, memang Tuhan meminta kerabat untuk menolong janda, tapi tidak selalu kerabat akan bersedia menolong. Maka dalam kasus misalkan Naomi dan Rut, pada waktu mereka kembali ke Betlehem Efrata setelah Naomi kehilangan kedua putranya dan salah satunya adalah suami dari Rut, Rut harus memungut padi atau gandum yang tercecer. Kenapa? Sebab memang tidak ada yang akan bisa memberi mereka makan, jadi dengan kata lain, tidak jauh berbeda dari kehidupan seorang pengemis dan itulah yang menjadi nasib dari kebanyakan janda saat itu, kalau keluarganya tidak memelihara mereka. Namun apakah keluarganya memeliharanya atau tidak, kenyataannya tetap sama yaitu dia tidak punya uang. Kenyataannya dia hanya punya uang dua peser yang merupakan mata uang terkecil, itu membuktikan kalau pun dia ada kerabat yang peduli, ternyata saat itu mereka tidak dipedulikan, buktinya dia tidak punya uang sama sekali dan tidak ada yang memberikan kepadanya. Jadi benar-benar dia dalam kondisi di ujung tanduk dan kematian itu benar-benar terbayang di depan matanya. Namun dia tetap mempertaruhkan hidupnya kepada kebaikan Tuhan bahwa Tuhan akan memelihara hidupnya.
GS : Yang mengatakan memang Tuhan Yesus sendiri dan ditujukan kepada para murid dan saya yakin para murid akan meyakini apa yang Tuhan Yesus katakan tapi mungkin orang juga berkata, "Yang kelihatan dia berikan segitu tapi mungkin di rumah masih ada simpanannya". Bagaimana itu bisa diketahui? Ada yang mengatakan, "Kalau diberikan hanya segitu maka semua orang juga bisa memberikan".
PG : Memang ini adalah perkataan Tuhan Yesus sendiri, karena Tuhan yang mengatakannya maka kita tahu Dia yang mengetahui sesungguhnya apa yang menjadi kondisi si janda dan Tuhan berkata, "Sebab mereka semua yaitu orang-orang kaya memberi dari kelimpahannya tapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya yaitu seluruh nafkahnya". Dapat kita simpulkan bahwa si janda itu mungkin bekerja dan nafkahnya hanya segitu dan hidupnya memang penuh dengan kekurangan, jadi dia mempertaruhkan semua di tangan Tuhan.
GS : Sikap murah hati itu sebenarnya berasal dari mana, Pak Paul?
PG : Kalau saya simpulkan ada tiga sumbernya, murah hati itu keluar dari lebih banyak hati, lebih banyak iman dan lebih sedikit diri sendiri atau ego. Jadi kalau kita mau belajar murah hati maka kita harus belajar lebih banyak menggunakan suara hati, lebih banyak menggunakan iman dan lebih sedikit memikirkan diri sendiri dan barulah nanti kita bisa memunyai sikap murah hati dan sikap murah hati ini yang nantinya juga akan berperan sangat besar untuk membangun keluarga yang bahagia.
GS : Apa kaitannya murah hati dan kebahagiaan keluarga, Pak Paul?
PG : Yang pertama kita bisa simpulkan bahwa pernikahan membutuhkan lebih banyak hati. Yang saya maksud hati di sini adalah bagian terlembut pada diri kita. Ini adalah bagian diri kita yang berisikan kasih, berisikan belas kasihan, berisikan simpati. Lebih seringlah berbuat sesuatu kepada pasangan berdasarkan suara hati. Saya berikan contoh misalnya beberapa waktu yang lalu saya mau menelepon istri saya karena saya diundang untuk memimpin sebuah acara retreat dan saya ditempatkan di sebuah kamar yang nyaman di tempat retreat tersebut. Saya berpikir ingin menelepon istri saya untuk memberitahu bahwa hotel ini begitu nyaman dan enak, saya ingin memberi tahu dia, "Kalau saja ada kamu di sini mungkin kita bisa senang dan bahagia menikmati suasana yang indah ini" tapi kemudian saya berpikir lagi, waktu di sana masih pagi hari dan terlalu pagi kalau saya membangunkan dia karena di sana sekitar jam 5 pagi, tidak perlulah kasihan dia. Tapi tiba-tiba saya terpikir lagi bukankah memang buat istri saya, dia lebih rela dibangunkan dan mendengarkan kabar sebaik itu dari saya dari pada tidak dan dia tidak keberatan dibangunkan. Jadi suara hati saya berkata, "Teleponlah dia pasti senang" tapi pikiran saya berkata, "Jangan, dia sedang tidur". Kemudian akhirnya saya paksa untuk mendengarkan suara hati saya dan memang dia masih tidur karena di sana masih jam 5 pagi, waktu dia terbangun dan mendengar suara saya dan saya katakan, "Aduh, Siang kalau kamu ada di sini pasti akan sangat senang sekali menikmati hotel ini" reaksi dia senang sekali dan benar-benar merasa tersayangi dan terhibur oleh saya dan dia katakan, "Terima kasih kamu telepon saya dan beritahu saya". Jadi sekali lagi sering-seringlah kita menggunakan dan mendengarkan suara hati, bagian terlembut dan yang terdapat banyak rasa sayang dan kasih.
GS : Tapi dalam hal itu seperti yang Pak Paul katakan, Pak Paul mengenal betul istri Pak Paul, jadi yakin kalaupun dibangunkan karena telepon itu pasti reaksinya positif dalam hubungan Pak Paul dan istri. Tapi ada orang yang tidak berani melakukan hal itu karena tanggapan istrinya selalu negatif. Jadi dia sudah mencoba memberitahukan dengan baik tapi tanggapan istrinya, "Pagi-pagi kenapa telepon, kalau hanya berkata seperti itu, nanti siang 'kan bisa". Jadi lama-lama suara hati orang ini juga mati.
PG : Betul. Jadi kita simpulkan dua-dua harus sering-sering mendengarkan suara hati dan melakukan apa yang suara hati katakan, sehingga dalam pernikahan maupun keluarga kita akan lebih banyak kebahagiaan. Mungkin untuk anak kita, kita memberikan makanan pada malam hari karena mungkin dia sudah menunggu, memang akan sedikit repot harus jalan sedikit jauh untuk membelikan makanan tapi tidak apa-apa karena pasti dia senang karena ada kejutan. Jadi hal-hal kecil seperti itu. Tapi saya juga mengerti dan kadang saya berbuat yang sama, "Tidak perlulah, saya dan dia sudah capek". Namun sekali lagi kalau saja kita lebih sering mendengarkan suara hati dan melakukannya maka benar-benar kita akan lebih banyak melihat senyum dalam keluarga kita.
GS : Berarti itu harus ada tanggapan yang positif dari pihak yang menerima kemurahan hati kita, begitu Pak Paul?
PG : Betul sekali. Sebab kalau terlalu lama maka keinginan itu akan padam.
GS : Bagaimana untuk membangkitkan semangat murah hati dari pasangan dan anak-anak atau orang tua kita?
PG : Mungkin langsung kita katakan, "Maaf saya membangunkanmu, mungkin kamu mau tidur tapi saya sengaja melakukan apa yang suara hati saya katakan, sebab saya seringkali mencegah perbuatan-perbuatan seperti, jadi akhirnya jarang saya bisa mengutarakan kasih sayang saya kepada kamu dengan cara yang lebih spontan, saya tadi secara spontan menelepon". Waktu kita menjelaskan itu maka pasangan kita bisa lebih mengerti, "Itu maksudmu, kamu ingin lebih spontan menunjukkan kasih sayangmu kepadaku". Ketika orang melihat itu maka besar kemungkinannya dia akan menerima. Jadi waktu orang mengerti itu maka lebih besar kemungkinannya dia akan menerima karena waktu kita mengetahui maksud di belakang perbuatan seseorang, maka kita lebih jelas mengerti maksudnya yang baik untuk kita, dan kita akan lebih mudah menerimanya.
GS : Jadi seperti membelikan makanan, itu bisa juga ditanggapi negatif sebagai pemborosan, Pak Paul. Tapi kalau kita katakan, "Ini ada tambahan pemasukan sehingga kita mau menyenangkan" itu mungkin orang lebih mengerti. Perlu bagi kita untuk mengkomunikasikan kemurahan hati kita secara lisan.
PG : Betul. Jadi mungkin dalam hal makanan kita bisa berkata, "Saya mengerti kita hati-hati di dalam pengeluaran, tapi tadi saya sangat tergerak dan ingin membuat kamu bahagia dan ini memang kejutan supaya kamu bahagia, tolong diterima kejutan ini".
GS : Ada hal lain, Pak Paul, yang harus diterapkan di dalam kehidupan pernikahan?
PG : Tadi saya sudah garis bawahi pentingnya kita menggunakan suara hati di dalam keluarga supaya dapat menciptakan kebahagiaan dan yang kedua adalah kita tidak bisa mementingkan diri kita, tapi harus mengurangi diri sendiri. Jadi pernikahan memerlukan sedikit diri atau ego, tapi kita harus memberikan perhatian yang lebih besar kepada pasangan kita. Jadi berusahalah memenuhi kebutuhannya dan perbuatlah lebih banyak untuk membahagiakannya. Sering-seringlah bertanya apa yang membuatnya bahagia? Apa yang membuatnya tersenyum? Jadi sering-seringlah bertanya seperti itu. Apa yang dapat saya lakukan untuk membuatnya tersenyum hari ini? Kalau kita bisa mengingatkan diri kita 2 hari sekali saja, apa yang bisa membuat pasangan kita tersenyum, Maka pernikahan kita akan benar-benar diperkuat dan kita akan lebih sering melihat pasangan kita tersenyum.
GS : Tentu ini tersenyum bahagia, Pak Paul. Kalau tersenyumnya tersenyum sinis maka akan menimbulkan masalah lagi dalam keluarga kita. Kadang-kadang kita justru menuntut supaya kita dibuat tersenyum oleh pasangan kita dari pada kita bisa lebih membuat pasangan kita berbahagia.
PG : Makanya kita yang harus memulainya karena kita yang tahu terlebih dahulu. Dan kalau kita tidak mendapatkan tanggapan maka tidak apa-apa, biarlah kita tetap memulainya dan sering-seringlah mengkomunikasikan dan kita mau melatih diri kita lebih sering memikirkan apa yang membuat pasangan tersenyum, dan kita mau mencoba itu. Waktu pasangan kita mendengar bahwa kita ini berusaha membuatnya tersenyum atau membuatnya bahagia, maka dia akan senang atau tersentuh dan besar kemungkinan dia akan mau membalasnya pula.
GS : Jadi sifat murah hati ini tidak bisa berdiri sendiri. Ada sifat-sifat lain yang harus mendukung misalkan kerendahan hati, mau mengalah dan sebagainya menyenangkan hati orang lain. Hal-hal itulah yang akan membantu untuk menonjolkan supaya murah hati ini terbentuk di dalam diri seseorang dan tidak jatuh dari langit.
PG : Betul sekali. Memang perlu unsur-unsur itu, kalau tidak maka kita tidak bisa murah hati. Point ke dua adalah kita harus mengecilkan ego kita.
GS : Yang ketiga apa, Pak Paul?
PG : Yang ketiga pernikahan membutuhkan lebih banyak iman. Ada banyak hal yang dapat memicu pertengkaran namun sebagian darinya berasal dari kurangnya iman, misalnya oleh karena kurang beriman maka kita mengkhawatirkan kondisi keuangan dan mulai mengeluh dan menyalahkan pasangan. Oleh karena kurang iman kita terlalu mencemaskan masa depan anak sehingga terlalu membatasi ruang gerak anak. Itu sebabnya kita harus lebih beriman dan berserah kepada Kristus dan kesetiaan-Nya, makin kita berserah kepada-Nya maka makin sedikit tekanan hidup dan akan makin besar pula sukacita. Jadi orang yang beriman dan tidak khawatir tidak akan menimbulkan stres, berarti murah hati itu akan dapat diterapkan pula.
GS : Mewujudkan iman seperti yang Tuhan Yesus katakan, "Kalau iman itu tanpa perbuatan maka tidak ada gunanya", maka dikatakan iman itu mati. Mewujudkan iman di tengah-tengah keluarga ini seolah-olah memadukan antara kepala dan hati kita, kadang-kadang hati kita memang seperti itu tapi kepala itu seperti yang Pak Paul katakan seringkali bertentangan dengan hati dan kita tidak lakukan apa-apa akhirnya.
PG : Jadi kalau kita mau membahagiakan keluarga kita maka kita harus menanamkan sifat murah hati dan murah hati itu didirikan sekurang-kurangnya tiga sumber ini yaitu lebih banyak hati yang berperan, lebih banyak iman yang berperan dan lebih sedikit diri atau kepentingan pribadi yang berperan.
GS : Itu salah satu alasan kenapa firman Tuhan selalu mengingatkan agar kita berpasangan dengan orang yang seiman, kalau tidak seiman ini bisa menjadi masalah, Pak Paul.
PG : Betul dan memang kalau tidak seiman, tidak selalu kita sepaham dalam hal seperti ini walaupun seringkali dikompromikan tetapi seringkali memicu pertengkaran baru sehingga tidak ada gunanya atau sulit sekali, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Dari semua perbincangan ini, kesimpulan kita apa, Pak Paul?
PG : Jadi murah hati berasal dari lebih banyak hati, lebih banyak iman dan lebih sedikit diri. Kita harus mengingat itu, murah hati berarti lebih banyak hati, lebih banyak iman dan lebih sedikit diri. Ini adalah resep kebahagiaan pernikahan.
GS : Dari yang ketiga ini rasa lebih sedikit diri agak sulit karena menyangkut diri kita. Kalau lebih banyak hati mungkin kita masih bisa lakukan tapi untuk membuat diri sendiri kita terus mengalah, terus menjadi kecil maka ini menjadi tantangan tersendiri. Tapi saya percaya kalau Dia menyuruh kita melakukan hal itu maka Dia pasti akan memberikan kekuatan-Nya kepada kita.
PG : Amin.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kebahagiaan Keluarga dan Murah Hati". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
37. Kebahagiaan Keluarga dan Mengampuni | |
Mengampuni merupakan karakter utama Allah yang dinyatakan lewat kematian Yesus, Putra Allah. Mengampuni seyogianya menjadi karakter utama kita pula, anak-anak Allah. Keluarga didirikan di atas cinta namun dipelihara melalui pengampunan. Tanpa pengampunan, keluarga akan runtuh sebab dendam tidak dapat berjalan bersama keluarga. Ulasan tentang makna dari mengampuni akan dibahas dalam bagian ini.
Mengampuni merupakan karakter utama Allah yang dinyatakan lewat kematian Yesus, Putra Allah. Mengampuni seyogianya menjadi karakter utama kita pula, anak-anak Allah. Keluarga didirikan di atas cinta namun dipelihara melalui pengampunan. Tanpa pengampunan, keluarga runtuh sebab dendam tidak dapat berjalan bersama keluarga.
Marilah kita belajar tentang mengampuni lewat Markus 11:20-26.Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kebahagiaan Keluarga dan Mengampuni". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita membicarakan tentang kebahagiaan keluarga hubungannya dengan murah hati, dan sekarang kita akan memperbincangkan tentang hubungan kebahagiaan keluarga dan mengampuni. Namun saya melihat ada kaitan yang erat sekali antara murah hati dan pengampunan. Orang tidak mungkin bisa menunjukkan kemurahan hatinya kalau tidak ada pengampunan dan pengampunan itu sendiri juga membutuhkan sikap murah hati dari seseorang. Karena pembicaraan ini saling terkait, mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu.
PG : Kita belajar bahwa untuk membuat keluarga kita sehat dan bahagia diperlukan beberapa karakteristik atau sifat. Salah satunya adalah murah hati dan ternyata kita belajar bahwa murah hati muncul lewat beberapa tindakan, misalnya yang pertama adalah kita lebih sering mendengarkan suara hati dan bukan suara pikiran kita, sehingga kita lebih cepat tergerak untuk memberikan atau menolong atau berkorban sesuai dengan kata hati kita. Kita juga lebih bisa murah hati kalau kita lebih banyak iman, lebih percaya bahwa Tuhan akan memelihara hidup kita dan kita menjadi lebih rela untuk memberi dan berkorban. Dan yang ketiga untuk kita bisa menjadi murah hati maka kita harus bisa menekan diri kita, kepentingan pribadi kita dan kita harus mengecilkan semua itu, karena orang yang ber-ego besar tidak mungkin menjadi murah hati. Kalau kita bisa menekankan ketiga hal itu yaitu kita lebih sering menggunakan hati, lebih sering bersandar pada iman dalam Tuhan dan juga lebih mengecilkan diri, maka keluarga kita juga pada akhirnya akan lebih bahagia.
GS : Bukannya tidak mau, ada banyak orang yang mengetahui akan hal itu tetapi ketika dia mulai mengaplikasikannya atau menerapkan itu dalam kehidupan keluarganya, disalah tanggapi baik oleh pasangan atau anggota keluarga lain, sehingga dia menjadi marah-marah. Padahal dia sudah berusaha berkali-kali dan terus gagal, maka di situ saya melihat ada kebutuhan untuk dia mengampuni orang yang memang tidak mengerti itu. Tetapi karakter mengampuni sulit terbentuk dalam diri seseorang. Sebenarnya pengampunan macam apa, Pak Paul?
PG : Betul sekali bahwa kadang-kadang kita dalam pernikahan atau keluarga, baik kepada pasangan maupun kepada anak kita merasa capek, kita sudah berbuat dan berusaha tapi responsnya tetap bahkan kadang-kadang baik pasangan atau anak kita menyakiti hati kita sehingga kita akhirnya seringkali semangat kita padam untuk mencoba lagi untuk murah hati atau membahagiakan keluarga kita. Salah satu karakter yang diperlukan dalam keluarga supaya keluarga kita bisa bertumbuh bahagia adalah kita harus memunyai sikap mengampuni, kalau kita tidak bisa mengampuni maka mustahil kita bisa membangun keluarga apalagi membahagiakan pasangan dan anak-anak kita. Mengampuni merupakan karakter utama Allah yang dinyatakan lewat kematian Yesus Putra Allah. Mengampuni seyogianya menjadi karakter utama kita, anak-anak Allah. Keluarga didirikan di atas cinta, namun keluarga dipelihara melalui pengampunan dan tanpa pengampunan keluarga runtuh, sebab dendam tidak bisa berjalan bersama keluarga. Jadi kalau ada orang yang mendendam maka sudah pasti akan menghancurkan keluarga sebab keluarga didirikan di atas pengampunan.
GS : Seperti itu tadi contohnya, ketika orang berusaha murah hati kemudian disalahpahami dan itu diberitahukan kepada pasangannya bahwa sebenarnya dia bermaksud murah hati dan itu menimbulkan kemarahan dan memberikan kesempatan lagi kepada pasangannya untuk bisa mengerti namun gagal lagi maka pengampunan itu lama-lama habis, dan dia merasa, "Sampai kapan saya harus terus mengampuni orang ini, saya sudah berusaha bermurah hati tapi selalu ditanggapi negatif, minta maaf juga sudah dimaafkan tapi itu berulang kali terjadi" karena memang ada orang yang sulit menerima kebaikan orang lain.
PG : Saya kira kita perlu belajar sedikit tentang pengampunan dan yang akan saya gunakan sebagai teks kali ini adalah dari Markus 11:20-26, firman Tuhan berkata, "Pagi-pagi ketika Yesus dan murid-murid-Nya lewat, mereka melihat pohon ara tadi sudah kering sampai ke akar-akarnya. Maka teringatlah Petrus akan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata kepada Yesus: "Rabi, lihatlah, pohon ara yang Kau kutuk itu sudah kering." Yesus menjawab mereka: "Percayalah kepada Allah! Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu kiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.)" Nah, Pak Gunawan, firman Tuhan ini sebetulnya sarat dengan hikmat yang kita petik dan mudah-mudahan kita bisa menerapkannya dalam keluarga kita supaya kita bisa mengampuni sesama.
GS : Jarang sekali orang mengaitkan perikop ini dengan kebahagiaan keluarga, namun kita mencoba, apa yang bisa kita pelajari kalau itu dikaitkan dengan kebahagiaan keluarga dan pengampunan?
PG : Saya pertama-tama akan mempelajari dulu firman Tuhan ini supaya kita bisa memetik pelajarannya, kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus mengutuk pohon ara dan waktu Tuhan Yesus melihat pohon ara itu tidak memiliki buah maka Tuhan berkata, "Untuk selama-lamanya pohon itu akan kering dan tidak lagi menghasilkan buah". Tuhan mengutuk pohon ara itu, sebab Dia ingin mengajarkan sesuatu kepada para murid-Nya yaitu iman pada Allah yang Maha kuasa. Jadi kalau mereka memiliki iman kepada Tuhan yang Maha kuasa maka Tuhan akan dapat memberikan apa yang mereka doakan atau minta itu. Yang menarik adalah begitu selesai Dia mengajarkan tentang pelajaran itu, Yesus langsung mengaitkan pelajaran tersebut dengan hal mengampuni. Coba kita sekarang melihat bahwa ada dua pelajaran tentang iman dan tentang mengampuni. Penghubung di antara dua pelajaran ini adalah pelajaran tentang berdoa sebab dikatakan dalam firman ini, "Jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu", langsung Tuhan menghubungkannya dengan doa. Seolah-olah ini yang Tuhan katakan. Tuhan menyediakan kuasa-Nya yang tak terhingga bagi kita anak-anak-Nya, karena itu kuasa Tuhan begitu besar sehingga Tuhan berkata, "Seolah-olah kita bisa memindahkan gunung" untuk menerima kuasa itu kewajiban kita hanyalah berdoa, namun sebelum berdoa maka kita harus membersihkan diri dari dendam. Tuhan mengundang kita masuk menjadi bagian dari kehidupan dan dari keluarga sorgawi, syaratnya untuk masuk adalah kita harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita terlebih dahulu. Jadi inilah yang Tuhan ajarkan kepada para murid-Nya saat itu.
GS : Memang sangat penting mengaitkan kuasa yang dimiliki dengan pengampunan sebab kalau tidak maka orang bisa menafsirkan hal ini dan kemudian dia mengutuki istrinya supaya cepat mati dan sebagainya, itu pasti sulit dan saya yakin bukan itu maksud dari kisah ini.
PG : Betul sekali. Jadi memang maksudnya bukan supaya kita itu mengutuki keluarga kita, tapi memang pelajaran yang Tuhan inginkan kita serap adalah bahwa yang pertama Tuhan mengundang kita masuk menjadi bagian dari kehidupan dan kehidupan Tuhan adalah kehidupan yang penuh dengan kuasa dan kuasa-Nya adalah kuasa yang supernatural. Namun di dalam doa kita untuk bisa hidup bersama dengan Tuhan maka kita harus melihat diri sendiri dan kita harus melihat apakah kita memunyai dendam, apakah kita menyimpan sesuatu terhadap orang dan kita tidak bisa memaafkan orang. Tuhan berkata dengan sangat jelas di ayat 26 bahwa kalau kita tidak mengampuni, maka Allah Bapa tidak akan mengampuni kita. Maka dengan kata lain, Tuhan mau mengatakan kepada kita bahwa kita hanya akan dapat menjadi anak-anak Allah dan menikmati berkat sepenuhnya dari Dia jika kita mengampuni. Sebuah syarat yang sangat tegas yang Tuhan berikan kepada kita manusia, kalau kita tidak mengampuni maka Tuhan juga tidak akan mengampuni, alasannya sangat sederhana sebab kita diterima oleh Tuhan lewat pengampunan-Nya, bagaimana kita sekarang tidak mau mengampuni orang lain, bukankah kita sendiri adalah penerima pengampunan Tuhan, maka Tuhan menuntut kita juga memberi pengampunan yang sama kepada orang lain; kalau kita berdoa pada Tuhan, tapi hati kita penuh dengan dendam maka Tuhan tidak bisa mendengar doa itu.
GS : Di sisi lain memang mengampuni membutuhkan suatu kuasa dari Tuhan sendiri, dalam diri kita sendiri kuasa pengampunan itu saya rasa sulit untuk ditumbuhkan apalagi dikembangkan karena pada dasarnya kita pendendam pada orang lain. Hanya dengan pekerjaan Roh Kudus di dalam diri kita, maka diri kita mampu mengampuni orang lain dengan berpedoman pada apa yang Pak Paul sudah katakan, "Karena kita sudah menerima pengampunan" tapi kalau ini dipaksakan maka juga tidak ada hasil pengampunan kepada pasangan juga.
PG : Jadi memang kita harus mau mengampuni, kita tidak bisa dipaksakan untuk mengampuni kalau kitanya tidak mau biasanya tidak mau. Maka yang Tuhan minta adalah sebuah keinginan mau mengampuni. Tuhan mengerti bahwa perjalanannya panjang untuk benar-benar bisa menghilangkan semua luka di hati akibat perbuatan orang, tapi yang Tuhan minta adalah sebuah kesediaan untuk berkata, "Tuhan saya mau memulai perjalanan untuk mengampuni orang tersebut". Jadi yang Tuhan tidak mau adalah kebalikannya, "Tuhan saya tidak mau dan tidak akan sudi mengampuni dia" itu yang Tuhan tidak mau dengar dari anak-anak-Nya, sebab mengampuni adalah ciri atau karakteristik yang sangat sentral dari Tuhan yaitu Dia mati untuk kita, Dia menebus dosa kita, Dia mengampuni kita maka kita bisa menjadi anak-anak Allah. Jadi yang dituntut-Nya adalah kita pun harus memiliki sifat yang sama.
GS : Memang ini adalah sesuatu yang sangat penting, jadi kita harus mengupasnya dengan cukup jelas sehingga menjadi berkat bagi para pendengar kita. Apa yang kita lihat dari makna mengampuni orang lain ini, Pak Paul?
PG : Jadi ada beberapa yang bisa kita terapkan supaya kita bisa belajar mengampuni. Mengampuni ternyata sekurang-kurangnya memunyai tiga aspek yang pertama adalah mengampuni berarti kita tidak membalas, dengan kata lain, kita melepaskan hak untuk membalas. Kalau kita berkata, "Dia telah melukai saya, saya berhak membalasnya" itu memang betul, tapi kalau kita mau mengampuni maka kita melepaskan hak tersebut. Jadi walaupun kita punya hak membalas, tapi kita lepaskan hak tersebut. Respons alamiah kita sewaktu disakiti adalah membalas menyakiti, kenapa kita mau membalas sebab kita meyakini bahwa hanya dengan membalas sajalah, maka luka di hati akan berkurang dan ini yang biasanya ada di dalam hati dan pikiran kita. Memang tatkala membalas maka luka di hati berkurang sebab kita merasa puas, "Tahu rasa kamu sekarang, sekarang kamu menderita" kita merasa puas. Masalahnya adalah puas tidak sama dengan mengampuni, Tuhan mau agar kita bebas dari perasaan marah dan sakit hati bukan karena puas, tapi karena mengampuni. Jadi itu yang menjadi perbedaan antara cara kita manusia dan cara Tuhan, cara Tuhan adalah Tuhan mau agar kita sungguh-sungguh bebas dari kebencian dengan cara pengampunan. Tapi cara manusia adalah kita mau bebas dari kebencian dengan membalas. Puas setelah membalas hanyalah membuat relasi kita sebagai ajang pertandingan atau pertempuran, karena benar-benar seperti pertempuran, dia kalah maka kita puas. Mengampuni menyelesaikan pertempuran dengan tuntas, itu bedanya.
GS : Maka kita harus bercermin pada kehidupan Tuhan Yesus sendiri, kalau kita melihat teladan dari orang di sekelliling kita maka agak sulit dan tidak sesempurna yang Tuhan Yesus sendiri tunjukkan, peragakan didalam cara mengampuni orang lain, Pak Paul? Namun ini membutuhkan waktu yang panjang bagi seseorang untuk belajar mengampuni.
PG : Saya sangat setuju sekali bahwa tidak mudah, sebab sekali lagi mengampuni bukanlah sifat manusia yang hakiki, yang alamiah. Yang hakiki atau alamiah adalah membalas, tapi sekali lagi saya ingatkan bahwa kalau kita benar-benar mau membereskan dan bebas dari kebencian maka caranya bukanlah dengan merasa puas karena telah membalas, tapi karena telah mengampuni makanya tuntaslah kebencian itu.
GS : Malah kadang-kadang ada satu kasus di mana orang lebih mudah mengampuni orang lain yang bukan keluarga karena ikatannya tidak terlalu akrab, tapi dengan pasangan atau anak, proses mengampuni ini jauh lebih rumit karena seolah-olah dia menjadi korban yang sangat fatal dari keluarganya sendiri yang tadinya dia kasihi.
PG : Bisa kita simpulkan kalau kita dilukai oleh orang yang kita tidak duga akan melukai kita maka sakitnya akan berlipat ganda, kalau kita sudah mengetahui orang itu adalah orang yang memusuhi kita dan akhirnya melukai kita maka kita akan merasa lebih siap, tapi kita tidak akan siap kalau kita dilukai oleh orang yang kita anggap tidak akan berbuat begitu kepada kita.
GS : Menjadi masalah yang lain didalam mengampuni ketika kita harus mengampuni seseorang didalam keluarga kita sendiri, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Maka selain kita melepaskan hak untuk membalas, kita memutuskan tidak membalas, kita memutuskan memulai perjalanan untuk mengampuni maka kita harus berkata, "Tuhan saya serahkan orang itu kepadamu" benar-benar harus berkata, "Tuhan, saya percaya bahwa Engkau akan berhubungan langsung dengannya dan bukannya saya yang berhubungan langsung dengan dia" kalau kita marah karena disakiti, maka kita akan mau langsung berhubungan dengan dia, membalasnya dan sebagainya, tidak seperti itu tapi kita katakan,"Tuhan, saya lepaskan hak saya untuk membalas dan saya berdoa menyerahkan dia kepada-Mu". Betapa besar keinginan kita untuk terus mengoreksi orang yang bersalah kepada kita, biasanya itu reaksi kita dan kita ingin berhadapan dengan dia langsung. Misalnya kita ingin terus memastikan bahwa dia tidak akan pernah mengulangi perbuatannya lagi atau mungkin kita berusaha mengontrol ruang geraknya atau memantau tindakannya seketat mungkin, jadi kita ingin benar-benar memaksa dia supaya dia takut dan tidak berbuat hal yang sama. Tapi pada akhirnya kita harus mengakui bahwa semua upaya ini sia-sia, sebab jika ia mau mengulang perbuatannya maka dia pasti akan dapat melakukannya. Serahkan dia di tangan Tuhan dan biarkan Tuhan membentuknya, jadi harus ada keinginan dan kerelaan menyerahkan dia kepada Tuhan. Ini sering saya lihat di dalam kasus orang yang dilukai oleh pasangannya karena perzinahan, luka yang dalam karena dikhianati tetapi sebagai respons biasanya kita ingin membatasi ruang gerak pasangan kita, memastikan dia tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jadi kita terus seolah-olah mau bersama dengan dia, berhubungan dengan dia terus menerus, tidak seperti itu tapi serahkan dia kepada Tuhan. Sebab kalau dia ingin berbuat lagi maka dia bisa berbuat lagi dan benar-benar serahkan dia kepada Tuhan dan biarkan Tuhan yang berhubungan langsung dengan dia.
GS : Tapi kalau kita menyerahkan orang itu pada hukuman Tuhan berarti kita belum rela mengampuni orang itu, kita menyerahkan orang itu, kita mendoakan orang itu sesuai firman Tuhan yang mengatakan seperti meletakkan bara di atas kepalanya. Kalau itu yang kita inginkan terjadi pada orang yang seharusnya kita ampuni maka itu bukan pengampunan yang sesungguhnya.
PG : Pak Gunawan, kita masuk ke point yang terakhir jadi kita harus mengakui bahwa kemampuan kita mengampuni sangat tipis, maka mengampuni sebetulnya berarti kita menyediakan diri menjadi saluran kasih dan kemurahan Tuhan, kita tidak memunyai kekuatan untuk mengampuni, makanya kadang-kadang terus keluar perkataan, "Saya tidak bisa membalas dia, tapi biarlah Tuhan yang membalas", hati kita terus dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian, seolah-olah kita sedang menunggu-nunggu kapan Tuhan membalas, akhirnya kita berkata, "Memang saya tidak memunyai kekuatan mengampuni, saya hanyalah saluran kasih, saluran kemurahan Tuhan, jadi Tuhan ampuni dia karena saya hanyalah bejana". Pada waktu kita berkata seperti itu maka sebetulnya kita itu menjadi bukti nyata bagi orang itu bahwa Tuhan telah mengampuninya. Jadi waktu kita berkata kepada dia, "Saya mengampuni kamu" maka kita itu menjadi saluran kebaikan Tuhan kepadanya dan bukti nyata bahwa Tuhan mengampuninya lewat pengampunan yang kita berikan kepadanya. Jadi ada saat-saat kita tidak akan sanggup lagi mengampuni dan pada saat itulah kita berkata, "Tuhan jadikan saya saluran kasih dan pengampunan Tuhan, jadikanlah saya penerus kasih dan pengampunan Tuhan kepada orang yang telah bersalah kepada saya".
GS : Kalau kita baca di dalam Mazmur, Pak Paul, maka seringkali kita baca ungkapan doa dari pemazmur yang meminta Tuhan membalaskan atau memberikan hukuman kepada musuh-musuhnya, itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Itu sudah tentu teriakan kemarahan Daud karena dia tidak salah apa-apa namun Saul begitu jahat kepada dia, dan begitu banyak orang yang mau mencelakakannya, jadi dia marah. Tapi dia memutuskan untuk tidak membalas meskipun dia memunyai kesempatan membunuh Saul dua kali, namun tidak dilakukannya. Jadi dengan kata lain, dia menyerahkan Saul kepada Tuhan dan berkata, "Biarlah Tuhan yang langsung berhubungan dengan dia" dalam doanya biar Tuhan yang mengurus dia, maka terselip sebuah permintaan biarkan Tuhan menghukum karena memang orang itu jahat dan biarlah hukuman Tuhan jatuh atasnya, itu adalah teriakan kemarahan dan permohonan keadilan Tuhan. "Tuhan keadilan itu tidak ada, Tuhan orang ini begitu jahat lalim, Tuhan tolong tegakkan keadilan, tolong hukum dia". Jadi seolah-olah itu menjadi teriakan Daud pula.
GS : Di dalam kehidupan keluarga memang faktor mengampuni itu penting karena kita berhubungan tiap hari dan begitu dekat dan akrab, tentu saja keakraban dan kedekatan ini menimbulkan gesekan-gesekan yang mungkin terjadi dan tanpa pengampunan sulit sekali keluarga itu bertumbuh, apalagi mencapai sebuah kebahagiaan.
PG : Ada orang-orang yang memang suka mendendam, ada orang-orang yang sangat susah mengampuni, mungkin karena dulu terlalu sering dilukai, jadi orang yang terlalu sering dilukai akhirnya berkata, "Cukup, saya tidak mau dilukai dan saya akan menjaga diri saya, saya tidak akan membiarkan orang melukai saya". Jadi begitu orang melukainya maka dia tidak bisa mengampuni dia dan membenci seumur hidup. Tapi ada juga orang yang tidak diperlakukan seperti itu dan memang memunyai tingkat keegoisan yang sangat tinggi sehingga dia tidak bisa dirugikan oleh orang dan bawaannya membalas, sifat yang seperti itu tidak mungkin menjadi berkat bagi pasangan dan anak-anak kita, sebab pada akhirnya satu keluarga menjadi sengsara karena sifat pendendam itu. Kalau kita mau menikmati keluarga yang penuh kasih dan bahagia, maka kita harus menumbuhkan sifat mengampuni.
GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin ada kesimpulan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Di dalam pernikahan dan keluarga kesalahan terjadi dan dosa pun kadang-kadang diperbuat baik disengaja ataupun tidak, maka sebagai akibatnya hati kita terluka. Pengampunan harus diberikan sebab kalau tidak, maka relasi akan putus. Kita hanya akan dapat menikmati kehidupan sorgawi dan semua berkat Tuhan untuk pernikahan dan keluarga bila kita mengampuni, inilah dasar doa orang Kristen.
GS : Kalau begitu sebenarnya pengampunan itu lebih bermanfaat bagi yang mengampuni atau yang diampuni, Pak Paul?
PG : Pada akhirnya yang diuntungkan adalah yang mengampuni, orang yang mengampuni adalah orang yang diberkati karena kasihnya bertambah. Jadi kalau dia mengampuni maka kasihnya bertambah mungkin berton-ton. Orang yang tidak mengampuni maka kasihnya itu dicabut keluar berton-ton juga banyaknya. Jadi yang diuntungkan adalah yang mengampuni dan hatinya akan penuh dengan kasih sayang dan berkat-berkat Tuhan juga akan dilimpahkan kepadanya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini yang tentu saja akan sangat bermanfaat di dalam kita membangun sebuah keluarga yang bahagia. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kebahagiaan Keluarga dan Mengampuni". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
38. Dampak Rohani pada Keluarga | |
Untuk membangun dan memelihara relasi yang sehat diperlukan kehidupan pribadi yang sehat pula. Kehidupan pribadi yang sehat berawal dari dan harus didukung oleh kehidupan rohani yang sehat pula. Tiga hal yang menjadikan kehidupan rohani yang sehat,
Pada 2008 terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan di kota Oxnard, California. Seorang anak berusia 14 tahun menembak mati temannya, berusia 15 tahun. Apakah yang membuat si anak tega menghabisi nyawa temannya itu? Begini ceritanya. Anak yang ditembak itu adalah Larry, seorang anak yang berperilaku feminin, yang kerap menggoda teman-teman prianya dengan komentar genit. Salah seorang yang mendapat komentar tidak menyenangkan itu adalah Brandon, seorang pemain basket di sekolah. Komentar genit itu membuat Brandon begitu marah. Suatu hari Brandon datang ke sekolah membawa pistol. Di dalam pelajaran bahasa Inggris ia duduk di belakang Larry, lalu menembakkan dua peluru ke belakang kepala temannya itu. Larry pun mati seketika. Siapakah remaja Larry dan siapakah Brandon? Larry, remaja yang feminin itu adalah seorang anak yang diadopsi oleh sebuah keluarga pada usia 2 tahun. Ibunya pecandu narkoba dan ia tidak mengenal siapa ayahnya. Sedang Brandon adalah seorang anak yang dibesarkan dalam rumah yang sarat dengan kekerasan. Ayah dan ibunya sering bertengkar dalam pertengkaran terjadi kekerasan. Akhirnya orang tua Brandon bercerai. Satu hal yang menyedihkan adalah kedua anak itu sebenarnya adalah korban orang tua. Larry, si remaja yang feminin, kerap mencari perhatian karena rupanya ia haus perhatian sedang Brandon hanya tahu mengungkapkan kemarahan lewat kekerasan akibat relasi orang tua yang buruk.
Mungkin kita tidak pernah menjadikan orang korban kejahatan. Sayangnya sering kali kita menjadikan anak korban perbuatan kita. Akibat relasi yang buruk dan mungkin pula akibat karakter yang tak terpuji, kita menjadikan anak korban sehingga sampai bertahun-tahun kemudian, anak mesti menanggung akibatnya.
Itu sebabnya kita harus membangun dan memelihara relasi yang sehat di dalam keluarga. Nah, untuk membangun dan memelihara relasi yang sehat diperlukan kehidupan pribadi yang sehat pula. Dan, kehidupan pribadi yang sehat berawal dari dan harus didukung oleh kehidupan rohani yang sehat pula. Di dalam 2 Korintus 1:12, Rasul Paulus membagikan resep untuk memiliki kehidupan rohani yang sehat. Memang konteks pembicaraan Paulus di sini adalah relasi dengan sesama, namun saya kira kita dapat menerapkan prinsip yang sama ke dalam keluarga. "Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah, bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah."
PERTAMA, KEHIDUPAN ROHANI BERTUMPU
PADA PERTANGGUNGJAWABAN KITA KEPADA TUHAN KITA YESUS KRISTUS.
Perhatikan, Paulus merujuk kepada suara hati atau hati nuraninya untuk
mengkonfirmasi apa yang dikatakan-nya. Dengan kata lain, Paulus tidak menyebut
orang lain untuk membenarkan pengakuannya; ia merujuk kepada suara hatinya
sebab memang, suara hati tidak berbohong. Tuhan telah menitipkan hati nurani
kepada setiap kita dan lewat nurani, Tuhan menuntun kita ke jalan yang benar.
Jika kita ingin hidup sesuai kehendak-Nya maka kita perlu menaati suara Tuhan
dan mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Tuhan.
KEDUA, KEHIDUPAN ROHANI BERTUMPU PADA
KEHIDUPAN YANG KUDUS.
Paulus mengatakan bahwa ia telah
hidup tulus. Sebenarnya kata "tulus" di sini dapat juga diterjemahkan "kudus"
atau "bersih." Kekudusan adalah tulang punggung kehidupan kristiani. Tuhan
memerintahkan kita untuk hidup kudus, berarti berbeda dari dunia dan serupa
dengan Kristus. Kekudusan berawal dari rasa takut akan Allah dan diwujudkan
dalam rasa takut berdosa. Langkah pertama menuju dosa yaitu melihat-lihat
dosa. Mulai dari melihat-lihat dosa, akhirnya kita membelokkan arah, berjalan
menuju dosa. Banyak korban berjatuhan akibat perbuatan kita yang bergelimang
dosa. Ada anak yang telantar gara-gara orang tua hidup dalam dosa. Ada anak
menderita gangguan kepribadian dan jiwa oleh karena orang tua hidup dalam
dosa. Ada anak kehilangan masa kecil dan masa depan, karena orang tua hidup
dalam dosa. Itu sebabnya kita harus hidup takut akan Tuhan dan takut berdosa.
KETIGA, KEHIDUPAN ROHANI BERTUMPU PADA
KEBENARAN.
Paulus mengatakan bahwa ia telah hidup dalam kemurnian dari Allah. Kata
"kemurnian" dapat pula diterjemahkan "ketulusan" dan kita tahu
arti kata "ketulusan" adalah, sama luar dan dalam. Dengan kata lain, tulus
berarti "benar, tidak munafik, tidak ada kepalsuan." Beberapa
tahun yang lalu, pimpinan lembaga riset Barna di Amerika mengadakan penelitian
di antara kawula muda untuk mengetahui alasan mengapa begitu banyak pemuda yang
meninggalkan iman kristiani. Hasil temuannya dibukukan dengan judul,
"Unchristian." Ia menemukan, ternyata salah satu alasan mengapa begitu banyak
kaum muda meninggalkan iman Kristen adalah dikarenakan kemunafikan yang mereka
saksikan di dalam kehidupan orang Kristen. Di dalam berkeluarga kita mungkin
harus melewati krisis. Salah satu krisis adalah krisis yang terjadi dalam
hubungan orang tua-anak. Pada saat krisis terjadi, besar kemungkinan anak akan
tergoda untuk melawan kita. Bila kehidupan kita berbeda dari iman yang kita
yakini, besar kemungkinan ia makin termotivasi untuk memberontak sekuat
tenaga. Namun, bila ia melihat bahwa kita telah hidup tulus, ia cenderung
menahan diri dan tunduk kepada kita.
Kesimpulan
Memang kehidupan berkeluarga didirikan di atas banyak faktor, bukan hanya kerohanian. Namun demikian, kerohanian memainkan peran yang vital sebab kerohanian merupakan kemudi yang mengarahkan sikap dan perilaku kita. Hidup yang bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, hidup yang kudus, dan hidup yang tulus akan menebarkan berkat besar kepada keluarga.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dampak Rohani Pada Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
DL : Pak Paul, saya ingin mengajukan satu pertanyaan, apakah dampak rohani pada kehidupan keluarga khususnya keluarga Kristen masa kini?
PG : Dampaknya sangat besar, Ibu Dientje, sebab kita tahu bahwa dalam keluarga Kristen ada masalah-masalah yang terjadi dan itu memengaruhi anak-anak dan itu sebabnya sebagian anak-anak dalam keluarga Kristen akhirnya memilih untuk meninggalkan iman orang tuanya. Jadi kita mau memerhatikan dampak ini dan mungkin saya bisa memulai dengan sebuah cerita. Di tahun 2008 di Amerika ada peristiwa yang sangat menggemparkan yaitu seorang anak berusia 14 tahun di sekolah dalam kelas menembak temannya yang berusia 15 tahun, si anak yang menembak bernama Brandon dan temannya yang ditembak bernama Larry. Kenapa sampai seperti itu? Sebab si Larry adalah seorang anak yang berperilaku feminin dan dia sering digoda karena perilakunya yang feminin tapi ketika digoda dia bukanlah diam tapi dia juga membalas dan mengeluarkan komentar genit kepada teman prianya, teman-teman prianya menjadi tidak suka dengan si Larry. Satu kali si Larry suka dengan si Brandon yang adalah anak yang atletis dan pemain basket di sekolah dan katanya dia menyebarkan cerita bohong bahwa dia dan Brandon saling menyukai, berkencan bersama. Kemudian si Brandon tambah marah tapi saat itu belum berbuat apa-apa, satu kali mereka berpapasan di sekolah dan si Larry mengeluarkan sapaan mesra "Hai Baby" itu adalah sapaan mesra kepada seorang kekasih, seolah-olah dia dan si Brandon punya relasi cinta. Kemudian si Brandon tambah marah dan dia kemudian berkata kepada teman-temannya kalau dia akan membunuh si Larry dan benar dia datang ke sekolah suatu hari membawa pistol dan waktu pelajaran Bahasa Inggis, dari belakang dia menembak kepala si Larry dua kali sampai mati.
DL : Apa pengaruh keluarga Brandon terhadap dirinya sehingga dia berbuat sadis seperti itu?
PG : Cerita ini sangat menyedihkan, Bu Dientje, karena Brandon adalah anak yang dibesarkan oleh orang tua yang bercerai, sebelum orang tuanya bercerai mereka sering berkelahi. Kalau sedang berkelahi Papanya Brandon mencekik Mamanya, pernah bahkan satu kali Papanya menembak Mamanya tapi tidak kena. Jadi karena begitu kacaunya keluarga itu sehingga itulah yang melatar belakangi hidup si Brandon. Sedangkan si Larry dibesarkan oleh seorang ibu sampai usia 2 tahun karena papanya juga tidak diketahui di mana, kemudian setelah dua tahun dia diserahkan untuk diadopsi oleh keluarga lain. Jadi sekali lagi anak ini kedua-duanya menurut saya adalah korban, korban dari orang tua yang tidak bertanggung jawab, tidak memerhatikan anak-anak sehingga memberikan contoh kehidupan yang begitu buruk dan juga tidak memenuhi kebutuhan anak yang sangat penting yaitu kasih dan pengarahan. Sehingga akhirnya menjadi seperti itu, si Brandon tidak mengerti bagaimana mengatasi konflik dan kemarahan dan cara yang dia tahu adalah kekerasan, karena Papa dan Mamanya terus berkelahi, Papanya tembak dan cekik Mamanya. Jadi itulah yang dilihatnya sehingga dia hanya tahu cara kekerasan menyelesaikan masalah. Maka waktu si Larry membuat dia malu, dia marah sekali dan dia tembak mati si Larry. Ini baru saja selesai pengadilannya di Amerika. Setelah di sidang berkali-kali akhirnya pengadilan memutuskan "mis-trial" artinya tidak bisa diadili, kalau jaksa mau mengulang dan menuntut silakan, tapi pengadilan itu dianggap batal sebab juri yang biasanya menentukan bersalah atau tidak bersalahnya seseorang, tidak bisa sampai pada kesimpulan dan tidak bisa memutuskan karena sulit memutuskan kasus seperti ini, karena juri tahu masalah ini disebabkan oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab sehingga anaknya menjadi seperti ini. Sebab kalau si Brandon jadi dihukum maka hukumannya adalah mati, karena dia membunuh orang dengan terencana, itu pembunuhan derajat pertama jadi sangat serius sekali, meskipun waktu dia menembak masih dalam usia anak-anak, tapi hukum di Amerika kalau seorang kanak-kanak melakukan kejahatan orang dewasa yang sadis, maka dia akan dihukum dan diadili berdasarkan orang dewasa, jadi seharusnya dia dihukum mati. Makanya juri tidak bisa menjatuhkan hukuman itu karena tidak tega dan tahu kalau anak ini adalah korban orang tua, keduanya merupakan korban dari orang tua mereka. Akhirnya juri tidak bisa sampai pada kesimpulan dan dibatalkan.
GS : Kekerasan seperti itu, Pak Paul, seringkali terjadi bukan hanya di Amerika tapi juga di Indonesia dan di negara-negara yang lain, dan faktornya bukan hanya keluarga tapi lingkungan masyarakat dan sekitarnya, kesempatan-kesempatan yang ada sehingga bisa tercetus seperti itu. Kalau sekarang kita melihat ke diri kita sendiri di sekitar kita, sebenarnya hal-hal yang seperti itu bisa dicegah, apakah hal-hal yang harus kita lakukan sebagai orang tua untuk mencegah terjadinya hal-hal yang mengerikan itu?
PG : Saya akan dasarkan masukan yang saya berikan atas firman Tuhan yaitu dari 2 Korintus 1:12 firman Tuhan berkata, "Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah". Ini adalah ucapan dari Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, memang dalam konteks hubungannya dengan jemaat, tapi saya kira kita bisa terapkan prinsip ini dalam keluarga.
DL : Jadi kehidupan rohani yang seperti apa yang seharusnya ada dalam keluarga Kristen, Pak Paul?
PG : Ada beberapa yang saya mau bagikan; yang pertama, kehidupan rohani seharusnya bertumpu pada pertanggung jawaban kita kepada Tuhan kita Yesus Kristus. Kita coba perhatikan, Paulus merujuk kepada suara hati atau hati nuraninya untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakannya. Menarik sekali Paulus tidak berkata, "Biarlah orang-orang memberi kesaksian tentang saya bahwa saya orangnya tulus, saya orangnya punya kemurnian dari Allah" tidak! Tapi dia berkata "suara hati kami" yaitu hati nuraninya, kenapa dia berkata suara hati atau nuraninya? Karena suara hati tidak mungkin berbohong, jadi yang berbohong adalah kita manusia, tapi suara hati tidak pernah berbohong dan suara hati tahu mana yang benar, salah, baik dan buruk dan kitalah yang bisa menutupi dengan berbohong dan sebagainya, tapi hati nurani selalu mengatakan yang benar. Paulus menggunakan hati nuraninya sebagai saksi bahwa dia telah hidup dengan tulus. Kita tahu Tuhan telah menitipkan hati nurani kepada kita, maka Tuhan nanti menggunakan hati nurani untuk menuntun hidup kita supaya kita bisa hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Maka kita perlu menaati suara Tuhan dan mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Tuhan. Jadi setiap orang tua, ayah dan ibu harus ingat bahwa mereka bertanggung jawab langsung kepada Tuhan. Suami tidak selalu mengetahui perbuatan kita, istri tidak selalu mengetahui kemanakah kita pergi dan anak juga tidak selalu tahu apa yang kita lakukan, namun Tuhan tahu. Kehidupan rohani jadinya berawal dari relasi pribadi dengan Tuhan kita Yesus Kristus dan berakhir dengan pertanggungjawaban kita kepada-Nya pula.
GS : Pak Paul, berkaitan dengan suara hati nurani, ada yang mengatakan setelah manusia jatuh di dalam dosa maka hati nurani dipengaruhi oleh dosa, sehingga tidak bisa secara jelas membedakan mana yang baik dan yang jahat kecuali kita sudah menerima Roh Kudus di dalam diri kita. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Betul sekali. Jadi keseluruhan diri kita secara total tercemar oleh dosa, jadi cara berpikir kita, kadang-kadang juga reaksi emosional kita, kita bisa marah, iri hati, termasuk juga pertimbangan moral dan sebagainya itu juga tercemar oleh dosa. Itu sebabnya kadang-kadang yang salah menjadi benar, yang benar menjadi salah. Tapi seringkali berkaitan dengan hati nurani meskipun telah tercemar oleh dosa, masih ada yang tersisa, jadi tidak hilang seratus persen. Sehingga misalnya kita baca di Roma pasal1, Tuhan menitipkan kepada kita kesanggupan untuk mengetahui benar dan salah, makanya sewaktu orang-orang di Roma hidup semaunya, pesta-pora, hidup bebas, makan minum, seks dan sebagainya. Tuhan menegur mereka lewat surat Paulus, sebab sebetulnya mereka tahu mana yang salah dan mana yang benar. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa meskipun hati nurani kita tidak lagi sempurna dalam melakukan fungsinya menuntun kita ke jalan yang benar, tapi masih tersisa dan masih ada yang bisa mengatakan ini salah dan itu betul. Sebab itulah dimanapun manusia berada akhirnya manusia itu membentuk atau melembagakan hukum mana yang benar dan mana yang salah. Memang tidak sempurna tapi sekurang-kurangnya manusia akan melembagakan hukum, sebetulnya hukum adalah panduan mana salah dan mana yang benar. Jadi itulah kondisi manusia apalagi kalau misalkan orang itu memang sudah percaya pada Tuhan dan dibaharui oleh kuasa Roh kudus sehingga dia lebih mengerti mana salah dan mana yang benar, sudah tentu hati nuraninya makin berfungsi dan makin optimal meskipun sebetulnya tidak sempurna, tapi semakin optimal. Jadi benar-benar kita sebetulnya cukup bisa bergantung pada hati nurani yang sudah dikuasai oleh Roh Kudus Tuhan. Sehingga Paulus berkata, "Inilah dasarnya, hidup saya dituntun bukan oleh orang, tapi hati nurani saya sendiri." Dan orang tua juga harus begitu, kadang-kadang kita harus mengakui bahwa karena kita anggap kitalah kepala keluarga, dan kitalah mama di rumah, dan tidak ada yang tahu di luar rumah dan kadang-kadang kita berbuat semaunya, tapi Tuhan tahu. Jadi setiap orang tua harus menyadari bahwa ini tanggung jawab saya dan bukan hanya kepada pasangan tapi kepada Tuhan, jadi jangan main-main.
GS : Katakan orang tua Brandon sudah mendidik si Brandon, tapi dia juga selain punya hati nurani dia juga bisa menolak apa yang diajarkan oleh orang tuanya kepadanya, sehingga dia tetap melakukan perbuatan yang orang awam pun tahu bahwa itu suatu kejahatan.
PG : Betul. Dia pun pasti tahu itu salah. Kita tidak membenarkan tindakannya karena dia pasti tahu kalau dia salah makanya akhirnya polisi menangkap dia dan akhirnya kejaksaan menyeret dia ke pengadilan karena menuntut tanggung jawab dia, dan dia tahu hal itu karena dia sudah berumur 14 tahun. Namun yang menyulitkan adalah kita tidak bisa menyangkali fakta bahwa seorang anak apalagi yang masih berumur belasan tahun yang belum dewasa, boleh dikata mungkin 90 persen pertimbangan dalam hidup itu berasal dari titipan rumah tangga atau keluarganya. Kalau kita sudah lebih dewasa, sudah lebih tua, dan kita sudah keluar dari rumah dan bertemu dengan orang, bertemu dengan banyak situasi, akhirnya kita akan lebih bercampur dengan hal-hal lain. Tapi bagi anak umur 14 tahun bisa hampir banyak dikata 90 persen dia bisa seperti itu karena produk dari rumahnya, sehingga meskipun dia punya pilihan tapi pilihannya sangat terbatas dan dia benar-benar boleh dikata tidak mengerti bagaimana mengutarakan kemarahan sebab itulah rumah tangganya, rumah tangga yang penuh dengan kekerasan. Akhirnya waktu dia marah, yang langsung keluar secara alamiah adalah metode atau cara-cara mengungkapkan kemarahan yang dipelajari dari rumah itu.
DL : Tapi, Pak Paul, kalau saya melihat kesimpulannya hati nurani orang harus dikuasai betul-betul oleh Tuhan. Kalau Brandon tadi keluarganya bukan dalam Tuhan, tapi misalnya dia berada dalam keluarga Kristen yang selalu ibadah, tiap hari ada devotion. Apakah bisa terjadi anak itu tetap mengikuti hati nuraninya? Sebab saya melihat ada keluarga kristen yang dari kecil selalu mengadakan devotion tapi setelah besar anaknya tidak mengikuti apa yang telah diajarkan. Jadi hati nuraninya dikuasai oleh emosinya. Itu bagaimana, Pak Paul?
PF : Saya berikan contoh konkret. Mungkin Bapak Gunawan dan Ibu Dientje pernah menonton film yang judulnya, "A Stranger Beside Me" kira-kira itu judulnya dan saya rasa judul itu pernah dijadikan judul film bertahun-tahun yang lalu. Itu adalah cerita yang sebetulnya sungguh-sungguh terjadi. Jadi orang ini membunuh terbanyak di Amerika sampai-sampai tidak bisa dijumlahkan karena terlalu banyak dan mungkin bisa ratusan orang yang telah dia bunuh dan yang dia bunuh adalah perempuan, setelah dia perkosa. Jadi dia dengan van (mobilnya) dia akan keliling dan mencari mangsa dengan cara menawarkan bantuan kepada orang, kemudian dia pukul dan dia masukkan ke dalam mobilnya, dia perkosa dan dia bunuh. Berkali-kali sampai ratusan orang dan dia sendiri sudah tidak bisa ingat lagi satu persatu, dan yang menyedihkan adalah latar belakangnya yaitu dia sebetulnya dilahirkan oleh seorang ibu tanpa ayah dan akhirnya si ibu meninggalkan si anak kepada kakek-neneknya, dan kakek- neneknya mendisiplin anak itu luar biasa, memukul habis-habisan. Jadi waktu kecil anak ini sudah ditinggal mamanya dan dibesarkan oleh kakek-neneknya, selalu dia dihajar habis-habisan oleh kakek-neneknya. Masalahnya kakek-neneknya adalah orang yang paling rajin ke gereja, jadi si anak akhirnya juga dipaksa untuk ke gereja sejak kecil tapi di rumah dihajar seperti itu oleh kakek-neneknya tapi dia harus ke gereja, dan di gereja dia melihat kakek-neneknya seperti malaikat yang suci. Jadi jiwa anak ini rusak dan bahkan susah dipercaya anak ini waktu remaja menjadi Ketua Remaja di gereja itu. Jadi dia melakukan yang dituntut secara lahiriah dari luar menjadi anak yang baik, dan setelah lulus SMA nilainya bagus karena pintar dan dia masuk ke Universitas dan di Universitaslah dia baru melakukan rangkaian pembunuhan seperti itu. Jadi menjawab pertanyaan Ibu, kenapa bisa seperti itu? Bukankah ada didikan rohani, bukankah anak ini dibawa ke gereja, tapi yang terisi di dalamnya adalah kebencian-kebencian, kemarahan-kemarahan karena diperlakukan begitu buruk oleh kakek-neneknya sehingga akhirnya meluap menjadi masalah kejiwaan yang sangat parah.
GS : Hal lain yang menjadi landasan dari kehidupan rohani itu apa, Pak Paul?
PG : Kehidupan rohani bertumpu pada kehidupan yang kudus. Paulus mengatakan bahwa ia telah hidup tulus di II Korintus ini. Sebetulnya kata tulus bisa diterjemahkan kudus atau bersih, kekudusan benar-benar merupakan tulang punggung kehidupan Kristiani, Tuhan memerintahkan kita untuk hidup kudus yang berarti berbeda dari dunia dan serupa dengan Kristus. Dengan kata lain, kehidupan yang kudus adalah kehidupan yang terpisah dari dosa dan menyatu dengan Tuhan. Dari manakah asalnya kekudusan? Kekudusan berasal dari rasa takut akan Allah dan diwujudkan dalam rasa takut berdosa. Tidak mungkin kita takut pada Tuhan bila kita tidak takut berbuat dosa, apapun yang akan kita lakukan maka kita harus meneropongnya dari lensa Tuhan, jika Tuhan tidak berkenan maka hendaklah kita pun juga tidak melakukannya. Singkat kata, jadinya kekudusan keluar dari tekad untuk hidup lurus, tidak menyimpang, kita harus mendisiplin hati dan mata melihat ke depan dan bukan ke kiri atau ke kanan, sebab langkah pertama menuju dosa biasanya melihat-lihat dosa, akhirnya dari melihat dosa kemudian kita membelokkan arah berjalan menuju dosa dan akhirnya menjadi beli dosa. Kita tidak boleh melihat-lihat dosa, kalau kita mulai melihat-lihat dosa akhirnya jatuh ke dalam dosa. Banyak korban yang berjatuhan akibat perbuatan kita sebagai orang tua yang bergelimang dosa, ada anak yang terlantar gara-gara orang tua hidup dalam dosa, ada anak yang menderita gangguan kepribadian dan jiwa oleh karena orang tua hidup dalam dosa, ada anak kehilangan masa kecil dan masa depan karena orang tua hidup dalam dosa. Itu sebabnya kita harus hidup takut akan Tuhan dan takut berdosa. Contoh tadi yang telah saya berikan, semua berkaitan dengan dosa. Contoh yang pertama seorang anak yang membunuh temannya itu akibat dosa karena kesalahan orang tua yang menelantarkan anak seperti itu. Contoh kedua yang saya berikan si pembunuh berantai itu jelas-jelas keluar dari dosa, baik hubungan orang tuanya, anak itu dibesarkan oleh kakek-nenek, ibunya pergi, papanya tidak tahu, kakek-neneknya begitu sadis tapi juga mencerminkan kerohanian sehingga jiwa anak itu rusak sampai serusak itu. Jadi sekali lagi kita melihat itu akibat orang tidak hidup dalam kekudusan sehingga kita sebagai orang tua jangan main-main dengan dosa, karena kalau kita main-main dengan dosa maka nanti akibat dosa bukan saja ditanggung oleh kita, tapi oleh keturunan kita.
GS : Tapi sebagai orang tua yang penuh dengan kekurangan, tentu saja tetap melakukan dosa baik si ayah atau si ibu. Dalam hal ini bagaimana kita menjelaskan kepada anak bahwa kita orang yang penuh dengan kekurangan, cara mendidik kita mungkin keliru, tingkah laku kita tiap hari mungkin juga keliru. Apakah itu membawa dampak negatif dalam diri anak, Pak Paul?
PG : Anak akan mengerti kalau orangtuanya tidak sempurna. Jadi yang anak-anak perlu lihat atau saksikan langsung adalah kesediaan orang tua mengakui kesalahan. Misalkan dengan meminta maaf, di rumah kami, kami membiasakan diri kalau kami salah dan meminta maaf. Kedua, saya secara pribadi kadang-kadang bercerita tentang masa lalu saya, misalkan waktu saya dulu remaja terlibat pornografi dan saya cerita pada anak-anak saya. Ketika anak saya mengalami pergumulan yang sama, dia bercerita kepada saya sehingga bisa saling berbagi. Jadi yang anak tuntut dari orang tua sebetulnya bukanlah kesempurnaan, tapi keterbukaan mengakui diri apa adanya namun juga kesungguhan untuk mau memerbaiki hidup. Jadi tidak bisa kita berkata kepada anak-anak kita, "Ya sudah memang saya seperti ini" misalnya kita terus minum alkohol dan mabuk-mabukan, "Harus diterima kalau Papa seperti ini" itu salah. Tapi kita harus berusaha untuk hidup lebih baik lagi.
GS : Mungkin ada landasan lain dalam kehidupan rohani, Pak Paul?
PG : Yang ketiga, kehidupan rohani bertumpu pada kebenaran. Paulus mengatakan bahwa dia telah hidup dalam kemurnian dari Allah, kata kemurnian bisa diterjemahkan dengan ketulusan. Kita tahu arti kata tulus yaitu sama luar dan dalam, dengan kata lain, tulus berarti benar dan tidak munafik, tidak ada kepalsuan. Saya berikan sebuah contoh, beberapa tahun yang lalu seorang pimpinan dari Lembaga Riset Barna di Amerika mengadakan penelitian di antara kawula muda untuk mengetahui alasan kenapa begitu banyak pemuda yang meninggalkan iman Kristiani, hasil temuannya dibukukan dengan judul "Unchristian". Dia menemukan ternyata salah satu alasan kenapa begitu banyak kaum muda meninggalkan iman Kristiani di Amerika karena mereka menyaksikan kemunafikan baik di dalam rumah tangga maupun dalam gereja. Jadi itulah yang membuat mereka akhirnya tidak mau lagi memeluk iman orang tuanya karena merasa terlalu banyak yang munafik. Jadi kita belajar di sini bahwa kemunafikan adalah salah satu kekuatan terbesar yang dapat memadamkan keinginan anak menjadi seorang Kristen. Dalam berkeluarga kita mungkin harus melewati krisis. Salah satu krisis adalah krisis yang terjadi dalam hubungan orang tua-anak, itu normal. Pada saat krisis terjadi besar kemungkinan anak akan tergoda untuk melawan kita, itu normal, anak akan memberontak. Bila kehidupan kita berbeda dari iman yang kita yakini, besar kemungkinan dia makin termotivasi untuk berontak sekuat tenaga. Tapi kalau dia melihat bahwa kita telah hidup tulus luar dalam, maka dia cenderung menahan diri dan tunduk kepada kita. Jadi penting sekali kemurnian dari Allah, hidup tulus, hidup benar dan tidak ada kepalsuan sehingga anak-anak bisa menghormati kita juga.
GS : Bentuk kemunafikan seperti apa yang seringkali terjadi dan membuat seorang anak itu meninggalkan imannya, Pak Paul ?
PG : Yang paling umum adalah orang tua menyuruh anak melakukan sesuatu yang mereka sendiri tidak bisa melakukannya. Kalau orang tua misalnya si papa hidupnya tidak bertanggung jawab, pulang malam dan tidak memerhatikan keluarga, kemudian marah-marah kepada anak dan menyuruh belajar dan sebagainya, si anak akan langsung berpikir, "Papa sendiri hidupnya tidak bertanggung jawab". Kemudian misalnya si mama memarahi si anak, "Kamu harus belajar, nilainya harus bagus dan sebagainya" seolah-olah mamanya seperti orang yang seperti itu padahalnya mamanya bukanlah seperti itu mulai pagi, siang dan malam selalu menonton televisi dan si anak disuruh belajar seperti itu. Jadi ketidak konsistenan, apa yang disuruh dan diyakini tidak sama. Jadi benar-benar tidak cocok.
GS : Tapi orang tua seringkali menemukan alasan kenapa anaknya menjadi seperti itu yaitu rusak dan selalu yang disalahkan adalah sistem masyarakat, pendidikan, negara dan sebagainya dan tidak menyadari bahwa sebenarnya itu berasal dari rumah mereka sendiri, begitu Pak Paul.
PG : Sudah tentu lingkungan punya pengaruh dan saya juga tidak mau menyangkali bahwa anak-anak bisa dipengaruhi oleh teman-temannya juga. Tapi kitalah yang pertama-tama menyediakan tiang, kitalah yang diberikan kesempatan pertama oleh Tuhan untuk meletakkan dasar dan dasar-dasar yang lain itu sebetulnya tumpukan. Jadi kalau dasar yang kita berikan sudah benar dan kuat, cenderung dasar-dasar yang di atasnya itu tidak akan memberikan pengaruh sebesar dasar yang pertama. Tuhan memberikan kesempatan pada kita yang pertama-tama untuk meletakkan dasar itu, sehingga kita harus melakukannya dengan sebaik-baiknya.
GS : Pak Paul, apakah segi kerohanian ini merupakan satu-satunya alasan keluarga itu berhasil atau tidak?
PG : Tidak, Pak Gunawan. Kita harus akui bahwa hidup itu lebih luas daripada hal-hal kerohanian, jadi kita harus memerhatikan semuanya, kehidupan emosional kita, kehidupan sosial kita, itu semua memberi pengaruh pada anak-anak, tapi tetap kerohanian memainkan peran yang vital sebab kerohanian merupakan kemudi yang mengarahkan sikap dan perilaku kita.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dampak Rohani pada Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
39. Kepemimpinan Dalam Keluarga 1 | |
Kepemimpinan di dalam keluarga, dianugerahkan kepada kaum laki-laki. Dan rumus untuk bisa memimpin adalah laki-laki harus mengenal apa kelemahannya, sehingga kelemahan itu tidak menjerumuskan orang yang dipimpinnya. Apa saja kelemahannya? Disini diulas secara singkat dan jelas.
Tuhan memanggil dan menetapkan laki-laki untuk menjadi kepala keluarga. Dengan kata lain, ia mesti memimpin keluarganya. Untuk menjadi pimpinan dalam organisasi atau perusahaan, kita dapat belajar atau bersekolah, namun khusus untuk menjadi pimpinan dalam keluarga, tidak ada sekolah untuk itu.
Sudah tentu ada banyak hal yang dapat dipelajari untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin tetapi terutama di antaranya adalah menyadari kelemahan kita. Pemimpin yang buta akan kelemahannya pastilah menjerumuskan orang atau organisasi yang dipimpinnya. Berikut akan dipaparkan beberapa kelemahan laki-laki.
Pertama adalah KEANGKUHAN. Pada umumnya laki-laki mendasarkan harga dirinya atas KEBERHASILANNYA. Itu sebabnya, perkataan "Saya bisa" begitu lekat pada laki-laki sedangkan pengakuan "Saya tidak bisa" begitu sulit keluar dari mulut. Tidak heran, kebanyakan laki-laki tidak suka diberitahukan oleh istrinya sebab bagi laki-laki, pemberitahuan identik dengan perkataan, "Engkau tidak bisa."
Berkaitan dengan hal ini, laki-laki pada umumnya peka dengan penilaian atas performanya, baik dalam hal SEKSUAL maupun FINANSIAL. Istri mesti mengerti bahwa kegagalan laki-laki untuk berhasil dalam segi finansial dan seksual berpotensi menghancurkan penghargaan diri laki-laki. Itu sebabnya khusus untuk dua hal ini, istri mesti bersikap sensitif.
Sebaliknya, setelah menyadari bahwa inilah titik rawannya, laki-laki pun mesti berusaha keras untuk tidak mendasarkan siapakah dirinya sepenuhnya pada kesanggupannya. Laki-laki mesti membiasakan diri mengakui KETERBATASANNYA dan menghargai KELEBIHAN ISTRI. Kegagalan laki-laki mengakui keterbatasannya dan penolakannya terhadap sumbangsih istri, malah akan makin menghancurkan bukan saja usahanya, tetapi juga pernikahannya.
Singkat kata, laki-laki mesti berani berkata, "Saya tidak bisa" dan "Saya membutuhkan pertolonganmu." Kedua pernyataan ini bukanlah pernyataan akan kegagalan. Sebaliknya, kedua pernyataan ini memerlihatkan bahwa ia dapat melihat dirinya apa adanya.
Kedua, berkaitan dengan kebutuhan lak-laki untuk menerima pengakuan akan kesanggupannya, BIASANYA LAKI-LAKI SULIT MENGUTARAKAN PIKIRAN DAN PERASAANNYA DALAM HAL-HAL YANG MERUPAKAN TITIK KELEMAHANNYA. Sebagai contoh, laki-laki tidak mengalami kesukaran bercerita kepada istri tentang tantangan yang dihadapi dalam pekerjaannya. Tetapi, ia akan menemui kesulitan bercerita tentang kegagalannya dalam pekerjaan. Daripada mengungkapkannya, ia lebih suka menyimpannya sendiri. Itu sebabnya kebanyakan laki-laki bermasalah dalam hal KEINTIMAN.
Sebagaimana kita ketahui keintiman menuntut keberanian untuk menyingkapkan diri sedalam-dalamnya, termasuk kegagalan dan rasa malunya. Tidak heran banyak istri yang mengeluh bahwa suaminya sulit intim secara emosional dan bahwa berbicara dengan suami mirip dengan menggali sumur untuk mendapatkan air.
Kesukaran laki-laki mengekspresikan dirinya berdampak pada dua area di dalam hidupnya yaitu hal SEKSUAL dan KEKERASAN FISIK. Oleh karena kesukarannya menyatakan keintiman lewat ucapan, kebanyakan laki-laki cenderung mengkspresikannya melalui relasi seksual. Di dalam hubungan seksual, laki-laki barulah dapat membiarkan dirinya terbuka tanpa perisai dan menikmati kedekatan dengan istrinya. Inilah kesempatan yang baik untuk istri menikmati keintiman dengan suami dan tidak menjauh darinya.
Selain dari relasi seksual, laki-laki cenderung mengungkapkan pikiran dan perasaannya lewat kekerasan fisik. Apa yang tak terungkapkan secara verbal akhirnya terlontar secara fisik. Itu sebab dalam berelasi dengan suami, penting bagi istri untuk menjaga agar konflik tidak berkembang ke arah fisik. Berilah waktu kepada suami untuk berpikir dan menjawab sebab memang laki-laki memerlukan WAKTU dan KESIAPAN untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Sebagaimana kita ketahui kedua area ini menjadi titik kelemahan laki-laki. Banyak laki-laki jatuh dalam menghadapi godaan seksual dan banyak keputusan keliru diambil laki-laki dalam kemarahan. Oleh karena tidak mengalami kedekatan dengan istri, akhirnya suami jatuh ke dalam hubungan intim dengan wanita lain. Dan, oleh karena tersinggung dan merasa terhina, dalam kemarahan laki-laki bertindak gegabah dan merugikan banyak orang.
Ketiga, oleh karena laki-laki cenderung menggunakan rasio ketimbang emosi, laki-laki akhirnya menjadi sangat PRAGMATIS dalam bertindak. Masalahnya adalah tindakan yang mengedepankan hasil dan efisiensi akhirnya bukan saja mengorbankan perasaan orang tetapi juga kepentingan orang. Kadang laki-laki bertindak egois oleh karena terlalu berkiblat pada apa yang "terbaik" sehingga lalai melakukan kebaikan kepada istri dan anak-anaknya.
Di sinilah kerap timbul konflik antara suami dan istri. Banyak istri merasa frustrasi karena suami sukar memahami perasaannya. Dan, akhirnya kegagalan memahami emosi berakibat buruk—pertengkaran malah menjalar ke mana-mana padahal masalahnya relatif simpel. Laki-laki perlu duduk diam dan berupaya keras merasakan perasaan istri sebab hanya dalam bingkai inilah ia baru akan dapat mengerti mengapa istri melakukan dan mengatakan hal itu.
Keempat dan terakhir, oleh karena kesulitannya masuk ke wilayah perasaan dan kecenderungannya bersikap pragmatis, laki-laki SUKAR MENGEMBANGKAN MINAT TERHADAP HAL ROHANI. Segalanya diukur dari segi kegunaan sehingga ketika hal rohani tidak membuahkan hasil yang diharapkan, ia pun cepat undur dari kegiatan rohani.
Memang tidak bisa disangkal ada banyak hal rohani yang melibatkan perasaan, seperti rasa dikuatkan, rasa damai, rasa dijamah Tuhan, dan sebagainya. Nah, karena tidak mudah bagi laki-laki menyelami wilayah perasaan, kadang buatnya semua istilah ini tidak beda dengan istilah asing yang tak dipahaminya. Masalahnya adalah, kita kerap mengasosiasikan semua ini dengan kehadiran Tuhan di dalam hidup kita sehingga sewaktu kita tidak mengalaminya, kita pun beranggapan bahwa Tuhan jauh dari kita.
Laki-laki mesti menyadari bahwa kehadiran Tuhan lebih dari sekadar perasaan dan tidak mesti melibatkan perasaan. Laki-laki perlu mendasarkan pengalaman rohaninya pada Firman Tuhan dan ketaatan pada kehendak Tuhan. Perasaan boleh datang dan boleh pergi namun kehadiran Tuhan senantiasa bersama anak-anak-Nya yang menaati-Nya.
Berikut akan dipaparkan beberapa langkah yang perlu disiapkan dan diambil laki-laki agar ia dapat menjadi kepala dalam keluarga. Pertama, laki-laki mesti menyadari bahwa kepemimpinan yang dimaksudkan Tuhan adalah MELAYANI, BUKAN MEMERINTAH. Singkat kata, laki-laki mesti menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan pribadinya. Dalam pengambilan keputusan laki laki harus senantiasa memikirkan yang terbaik buat istri dan anak-anaknya.
Kedua, laki-laki mengepalai keluarganya bukan dengan cara melebihi istri melainkan MELENGKAPI ISTRI. Jadi, bukannya memikirkan bagaimana membawa lebih banyak uang daripada istri melainkan bagaimana mengerjakan hal-hal yang tidak dapat dilakukan istri dengan baik. Singkat kata, laki-laki memimpin lewat kerelaannya menolong istri dalam kelemahannya.
Ketiga, oleh karena laki-laki hanya dapat memimpin dengan dukungan istri, maka laki-laki pun perlu MEMINTA PERTOLONGAN ISTRI, terutama dalam hal yang merupakan kelemahannya. Laki-laki tidak perlu malu atau gengsi mengutarakan kekurangannya atau kebutuhannya sebab pemimpin yang baik adalah seseorang yang menyadari keterbatasannya dan tahu meminta bantuan orang lain.
Keempat, laki-laki memimpin keluarganya dengan cara MELAKUKAN APA YANG MENJADI KEHENDAK TUHAN. Singkat kata laki-laki mesti memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan sehingga apa pun yang dilakukannya merupakan pertanggungjawabannya kepada Tuhan. Terpenting bukanlah melakukan apa yang dikehendakinya melainkan apa yang dikehendaki Tuhan sehingga pada akhirnya satu keluarga turut berjalan di belakang Tuhan.
1 Petrus 5:3 mengingatkan, "Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu." Tuhan telah memercayakan istri dan anak-anak kepada laki-laki, jadi, tuntunlah mereka lewat keteladanan kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang konselor keluarga, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Kepemimpinan Dalam Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kalau kita mengumpamakan suatu keluarga sebagai suatu organisasi tentu membutuhkan pemimpin, harus ada orang yang memimpin keluarga itu. Dan Alkitab dengan jelas menyatakan suami atau ayah adalah kepala keluarga namun dalam kenyataan sekarang ada yang terbalik-balik, ada anak yang begitu dominan sehingga bisa menjadi pemimpin di dalam keluarga itu, atau istri. Ada banyak variasi yang lain. Sebenarnya apa panggilan Tuhan terhadap kita sebagai kita kaum pria?
PG : Tadi Pak Gunawan sudah mengungkapkan dengan tepat bahwa Tuhan memanggil kita pria dan menugaskan kita untuk mengepalai keluarga. Dengan kata lain, Tuhan mengharapkan kita menjadi pemimpin sehingga nanti anak, istri kita akhirnya mengikut kita, sebab untuk sebuah keluarga bisa berfungsi dengan tertib maka harus ada yang memimpinnya, kalau sama sekali tidak ada yang memimpin maka yang dilihat dalam keluarga itu adalah sebuah kekacauan. Masalahnya adalah untuk menjadi pimpinan dalam organisasi atau perusahaan, kita dapat belajar atau sekolah, namun khusus untuk menjadi pimpinan dalam keluarga tidak ada sekolah untuk itu. Jadi penting kita ini belajar memersiapkan diri menjadi pimpinan.
SK : Bagaimana supaya bisa menjadi pemimpin yang baik, sehingga seorang pria bisa menjadi kepala keluarga yang baik, apa yang perlu dia lakukan, Pak Paul?
PG : Ada beberapa yang penting tapi saya kira kita harus memulai dengan menyadari kelemahan kita, sebab pemimpin yang buta akan kelemahannya pastilah menjerumuskan orang atau organisasi yang dipimpinnya, maka saya melihat kita sebagai laki-laki kalau mau memimpin keluarga dengan baik, langkah pertama bukan memikirkan tentang kuasa atau hak kita, tapi melihat diri sendiri dulu dan menyadari kelemahan yang memang ada di dalam diri kita.
GS : Itu yang sulit, seringkali sebagai kaum pria agak superior melihat kita ini hampir tidak punya kelemahan dan malah kita berpikir kalau saya penuh dengan kelemahan maka bagaimana saya memimpin orang lain. Namun kalau Pak Paul mengatakan kita harus melihat kelemahan ini, apa sebenarnya kelemahan yang seringkali terjadi atau kita alami sebagai kaum pria, Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah keangkuhan. Saya kira pada umumnya laki-laki mendasarkan harga dirinya atas keberhasilannya. Itu sebabnya perkataan, "Saya bisa", begitu lekat pada laki-laki sedangkan pengakuan, "Saya tidak bisa" begitu sulit keluar dari mulut kita, saya kira ini menjelaskan kenapa banyak laki-laki tidak suka diberitahukan oleh istrinya sebab bagi laki-laki pemberitahuan identik dengan perkataan, "Engkau tidak bisa". Ini saya kira salah satu kelemahan pria, keangkuhan atau istilah umumnya kita berkata egonya.
GS : Padahal itu yang sering didengung-dengungkan, "Saya harus bisa, saya harus mampu melakukan ini" jadi ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Sudah tentu tidak apa-apa memunyai kepercayaan diri melakukan sesuatu tapi dalam rumah tangga kita ini harus menundukkan ego kita atau kita harus bisa mengendalikannya, sebab seringkali dalam hubungan suami istri egolah yang akhirnya menjadi kendala yang besar.
SK : Satu sisi ketika bicara laki-laki itu terlatih mengatakan, "Saya bisa" bukankah itu juga karena dia mengakui dirinya bisa, hal itu malah membuat wanita tertarik justru kalau dia berkata, "Saya tidak bisa", siapa wanita yang mau menikah dengan laki-laki ini. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Saya rasa itu betul. Jadi perempuan pada umumnya akan mencari kwalitas kepemimpinan pada pria sebab itulah yang dibutuhkan wanita melihat bahwa calon suaminya adalah orang yang bisa memimpinnya. Kalau belum apa-apa si pria menunjukkan kelemahannya tidak bisa ini dan itu, ragu ini dan itu maka si perempuan akan berkata, "Saya tidak bisa memercayakan hidup saya sepenuhnya pada suami saya, sedangkan dia tidak punya keberanian yang jelas". Jadi sampai titik tertentu, kita sebagai pria harus menunjukkan kalau kita ini bisa memimpin dan kita mengerti apa yang harus kita lakukan dan kita tahu arah hidup kita, namun di pihak lain kita juga harus berhati-hati jangan sampai kepercayaan diri ini justru menjadi bumerang yang akhirnya menghalangi hubungan kita dengan istri kita untuk bertumbuh.
GS : Atau memang yang kita butuhkan adalah sikap rendah hati karena keangkuhan bukan hanya nyata dalam perkataan, "Saya tidak bisa atau bisa" tapi wujudnya sehari-hari kerendahan hati yang dibutuhkan oleh keluarga, Pak Paul.
PG : Bagus sekali, jadi bukan saja kita tahu apa yang kita bisa lakukan dan sebagainya, tapi juga harus rendah hati sehingga sebagai pria kita bersedia misalnya mendengarkan perkataan istri kita, pendapat istri kita. Jadi kita juga berbesar hati untuk mau menampung apa yang diinginkan oleh istri kita.
GS : Dalam hal keangkuhan ini, sebenarnya kaum pria lebih banyak menjadi angkuh dalam bidang apa, Pak Paul?
PG : Ada dua area yang menjadi area sensitif bagi pria, yang pertama adalah hal seksual dan yang kedua adalah hal finansial atau keuangan. Jadi istri harus mengerti bahwa kegagalan laki-laki untuk berhasil dalam segi finansial dan seksual berpotensi menghancurkan penghargaan dirinya. Jadi khusus untuk dua hal ini, istri harus bersifat hati-hati. Benar-benar laki-laki perlu bisa melihat bahwa dirinya mampu dalam bidang seksual dan juga dalam bidang finansial, jangan sampai akhirnya istri terlalu cepat memberikan komentar atau evaluasi yang akhirnya membuat si suami merasa, "Istri saya tidak menghargai saya dalam dua hal ini".
SK : Pak Paul melihat bahwa bidang seksual dan bidang finansial menjadi bagian yang peka bagi laki-laki, kalau boleh tahu apa yang membuat Pak Paul menyimpulkan dua hal ini yang dipakai dan bukan bidang yang lain?
PG : Sebab dalam pengalaman saya melayani keluarga, hubungan suami istri yang bermasalah dan sebagainya, saya melihat berkali-kali kalau satu dari dua hal ini tersentuh maka reaksinya sangat dalam. Misalnya, kalau istri berkata kepada suaminya, "Kamu itu tidak ada kebisaan apa-apa secara keuangan, kamu dari dulu kerja tidak bawa uang dan tidak menghasilkan apa-apa" itu bisa menimbulkan luka di hati yang sangat dalam pada pria. Dan juga secara seksual ternyata kalau misalnya dia mendapatkan komentar dari istrinya kalau dia tidak puas dilayani oleh suaminya maka itu sangat menggentarkan hati si suami, sehingga membuat dia lain kali takut berhubungan dengan istrinya karena takut nanti dia gagal melakukan tugasnya. Saya lihat dalam dua hal ini dibandingkan dengan area lain dalam hidup, laki-laki itu sangat sensitif.
GS : Apakah hanya ketakutan yang muncul dalam diri seorang pria dan bukan kekecewaan atau kemarahan, Pak Paul?
PG : Saya kira sudah tentu ada, jadinya kalau dia merasa terhina oleh komentar istrinya, reaksinya bisa marah sekali atau juga bisa kecewa karena istri saya tidak menghargai saya, tapi merendahkan saya, namun intinya dua hal ini menjadi dua hal yang tidak boleh disentuh oleh seorang istri. Jadi kalau ada masalah dalam hal ini, saya hanya meminta kepada para istri untuk mengungkapkannya dengan bijaksana, sehingga tidak terkesan sengaja merendahkan suami.
GS : Sebaliknya bagi suami apa yang harus dilakukan, Pak Paul?
PG : Yang pertama laki-laki harus berusaha keras untuk tidak mendasarkan siapakah dirinya sepenuhnya pada kesanggupannya karena ini yang memang kita lakukan, jadi siapa diri kita berdasarkan pada kebisaan dan kesanggupan kita, saya kira jangan sampai seperti itu. Kita laki-laki harus membiasakan diri mengakui keterbatasan kita dan belajar menghargai kelebihan istri. Kegagalan laki-laki mengakui keterbatasannya dan penolakannya terhadap sumbangsih istri malah semakin menghancurkan bukan saja usahanya, tapi juga pernikahannya. Singkat kata, laki-laki mesti berani berkata, "Saya tidak bisa" dan "Saya membutuhkan pertolonganmu". Kedua pernyataan ini bagi saya bukanlah pernyataan kegagalan waktu berkata, "Saya tidak bisa atau saya membutuhkan pertolonganmu" sebaliknya kedua pernyataan ini memerlihatkan bahwa kita laki-laki dapat melihat dan menerima diri kita apa adanya.
SK : Kalau tadi Pak Paul menyebutkan agar laki-laki mendasarkan siapa diri kita sepenuhnya pada kesanggupannya, kalau demikian sebaiknya seperti apa suami mendasarkan siapa dirinya ini?
PG : Yang pertama dia harus tahu bahwa kebisaannya itu ada batasnya. Jadi kalau dia mau membicarakan kebisaannya janganlah seolah-olah membicarakan kebisaannya sebagai sesuatu yang tak pernah tertandingi seolah-olah dia selalu harus benar. Jadi yang saya maksud dengan jangan sampai sepenuhnya bercokol pada hal ini maksud saya jangan sampai kaku, sudah tentu kita mesti ada keyakinan diri kita bisa ini dan itu namun bukannya kebisaan tanpa batas, kita juga punya batas, ada hal yang kita tidak bisa dan kita akui hal itu. Yang berikut adalah kita harus mendasarkannya pada pengetahuan bahwa kita ini lebih dari kebisaan, kita ini sebuah diri, sebuah diri yang punya karakter dan bahwa kita juga adalah anak Tuhan, bahwa kita adalah orang yang memunyai Tuhan dalam hidup kita dan semua hal itu yang menjadikan siapakah kita itu dan saya kira penerimaan yang lebih komprehensif atau menyeluruh seperti ini membuat diri kita yang lebih berimbang dan tidak hanya mendasarinya atas kebisaan kita. Saya kadang mendengar keluhan istri kepada saya tentang suaminya sebab adakalanya cukup sering suami-suami yang makin jaya secara ekonomi, tidak bisa diberitahukan apapun oleh istrinya, benar-benar memberikan sikap seperti bos besar dan istri harus selalu melakukan yang dimintanya.
GS : Selain keangkuhan yang menjadi kelemahan laki-laki apa lagi, Pak Paul?
PG : Berkaitan dengan kebutuhan laki-laki untuk menerima pengakuan akan kesanggupannya, biasanya laki-laki sulit mengutarakan pikiran dan perasaannya dalam hal-hal yang merupakan titik kelemahannya. Sebagai contoh, laki-laki tidak mengalami kesukaran bercerita kepada istri tentang tantangan yang dihadapi dalam pekerjaannya, tapi ia akan menemui kesulitan bercerita tentang kegagalannya dalam pekerjaan. Daripada mengungkapkannya dia lebih suka menyimpannya sendiri, akhirnya istri tidak tahu karena dia sulit mengutarakan pikiran dan perasaannya yang dia anggap sebagai kelemahannya itu, susah sekali. Masalahnya bukan saja istri tidak tahu, sehingga dia tidak mendapatkan pertolongan dari si istri, tapi seringkali hal ini mengurangi keintiman di antara si suami dan si istri sebab untuk menjalin keintiman diperlukan keberanian untuk mengungkapkan pikiran kita dan perasaan kita tentang hal-hal yang kita anggap sebagai titik kelemahan dalam diri kita.
GS : Itu memang terkait dengan kelemahan yang pertama yaitu tentang keangkuhan, kita tidak membicarakan kegagalan dalam pekerjaan karena khawatir dinilai tidak mampu, Pak Paul.
PG : Benar, kita ada keangkuhan ego dan kita tidak mau dinilai tidak mampu oleh istri kita dan juga tidak mudah secara alamiah bagi kita laki-laki untuk mengungkapkan perasaan-perasaan tertentu. Kita bisa bicara tentang perasaan lain, tentang senang dan sebagainya, tapi khusus tentang hal yang berkaitan dengan kelemahan kita, seolah-olah mulut kita terkunci untuk bisa mengungkapkannya.
SK : Saya sependapat dengan apa yang dikatakan Pak Paul, kalau saya boleh merenungkan diri saya juga laki-laki, kalau mengungkapkan kelemahan justru rasanya tidak membangun diri kita sebagai laki-laki dan malah melemahkan kita. Jadi kita sepertinya sudah tidak berdaya dalam hal tertentu, menceritakannya sepertinya menambah beban yang berlipat ganda kepada kita sebagai laki-laki. Bagaimana Pak Paul dengan situasi ini?
PG : Saya rasa benar. Jadi adakalanya kita merasa dengan kita menceritakan tentang masalah kita, kita makin merasa lemah. Ada juga laki-laki berkata, "Daripada saya menceritakan masalah saya dan membuat istri saya lemah dan panik, khawatir, maka tidak diceritakan" tapi kita juga harus akui memang pada dasarnya tidak mudah bagi kita mengutarakan perasaan atau pikiran kita dalam hal yang menyangkut kelemahan kita, memang sulit mengeluarkannya. Jadi bukan saja karena kita punya kesombongan atau ego tapi memang tidak mudah, itu yang perlu dimengerti si istri, bukan karena suaminya sengaja hanya karena ego tidak mau cerita, tapi faktor lain yaitu mengutarakan perasaan dan pikirannya.
GS : Lalu dampaknya apa, Pak Paul?
PG : Setidak-tidaknya berdampak dalam dua hal besar yaitu dalam hal seks dan dalam hal kemarahan. Karena kesukarannya menyatakan keintiman lewat ucapan akhirnya laki-laki cenderung mengekspresikannya melalui relasi seksual. Hal yang perlu diungkapkan untuk menyatakan keintiman dan tidak mudah diungkapkan akhirnya lari ke seks. Dalam hubungan seksual laki-laki baru dapat membiarkan dirinya terbuka tanpa perisai dan menikmati kedekatan dengan istrinya. Ini kesempatan yang baik untuk istri menikmati keintiman dengan suami dan tidak menjauh darinya. Selain dari itu kita juga harus menyadari bahwa kalau laki-laki sedang marah, kecenderungannya adalah mengungkapkan pikiran dan perasaan lewat kekerasan fisik, apa yang tidak diungkapkan secara verbal terlontar secara fisik. Itu sebabnya dalam berelasi dengan suami penting bagi istri menjaga agar konflik tidak berkembang ke arah fisik. Jadi berilah waktu kepada suami untuk berpikir dan menjawab sebab laki-laki memerlukan waktu dan kesiapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
SK : Pak Paul, tentang hal seksualitas ini, bagi laki-laki itu menjadi cara dia mengekspresikan keterbukaannya sementara bagi wanita menghendaki keterbukaan secara cerita, kata-kata verbal. Bagaimana istri bisa menikmati keintiman dengan suami kalau hanya di bidang seksual saja, padahal dia merindukan keterbukaan secara cerita, kata-kata.
PG : Ini seringkali menjadi isu di dalam pernikahan. Jadi seringkali istri mengeluhkan kenapa kamu tidak bisa bicara dulu, kalau tidak hati-hati ada istri-istri yang merasa, "Kamu hanya memakai saya sebagai objek untuk memuaskan hasrat seksualmu", tapi duduk masalahnya susah bagi laki-laki menyatakan lewat ucapan atau cerita, maka sudah tentu jalan keluarnya laki-laki harus memaksa diri untuk bercerita, maka saya minta para istri untuk memberikan waktu dan kesiapan kepada pria untuk misalnya ngobrol dari hati ke hati sehingga laki-laki beberapa jam sebelumnya sudah bisa memikirkan dan menyiapkan diri, nanti saya dan istri saya mau ngobrol-ngobrol jadi dia mulai memikirkan apa yang dia mau bicarakan dan sebagainya. Sebab kalau sudah langsung ditodong dan istrinya berkata, "Coba kamu bercerita sekarang" maka mulutnya langsung terkunci dan dia tidak bisa cerita apa-apa.
GS : Makanya penting bagi istri untuk menciptakan suasana yang kondusif dan memberikan rangsangan pada suami untuk berani mengungkapkan perasaannya termasuk kelemahannya, tanpa suasana yang kondusif maka sebagai pria saya rasa tidak akan mencari perkara untuk bicara.
PG : Apalagi karena ingin menstimulasi percakapan, istri sudah mengeluh menyalahkan suami yang kelihatan tertutup tidak mau cerita, semakin merasa disalahkan sebelum berbicara, rasanya membuat suami makin susah untuk berkata-kata.
SK : Berarti bagaimana istri bisa menolong dalam hal ini, adakah kalimat-kalimat perkataan yang mungkin bisa menolong para istri untuk bisa memberi suasana yang kondusif itu, Pak Paul?
PG : Saya rasa sebelum duduk untuk bicara, mungkin istri bisa berkata sebelum suaminya pulang, "Nanti malam mari kita ngobrol, lama sudah tidak ngobrol mungkin kamu bisa pikirkan apa yang terjadi minggu ini sehingga kita bisa bicarakan juga". Jadi beritahukan si suami misalnya sebelum pulang kerja bahwa malam nanti akan ngobrol dengan suami tentang hal ini. Beberapa jam sebelum duduk ngobrol dengan istri dia sudah bisa memikirkan apa yang terjadi dalam minggu ini.
SK : Apakah tepat kalau istri mengatakan secara terbuka misalnya seperti, "Ceritalah apa adanya, kalau kau ada kegagalan kelemahan ceritalah, saya menghargai dirimu". Apakah kata-kata seperti itu bisa menolong?
PG : Saya kira menolong sekali, si istri memberikan jaminan bahwa ini tidak akan memengaruhi apa pun dan kita tetap suami istri dan saya sudah menerima kamu apa adanya, jadi silakan cerita apa saja dan saya akan dengarkan.
GS : Kadang-kadang hal itu seolah-olah memojokkan si suami, "Ternyata kamu tahu kelemahan saya selama ini dan kamu tidak memberitahu saya hal itu padahal saya itu butuh untuk diberitahu". Jadi memang serba sulit dalam kondisi seperti ini karena keangkuhan itu tadi, Pak Paul.
PG : Betul. Bisa saja suami yang akhirnya berprasangka buruk walaupun niat baik istri mau menolong si suami, tapi si suami merasa kamu tahu kelemahan saya tapi kamu diam-diam saja.
GS : Pak Paul, kalau hubungan seksual bisa menjadi suatu cara bagi laki-laki untuk membiarkan dirinya terbuka, itu ada kemungkinan besar dia berhubungan seksual orang yang bukan istrinya.
PG : Betul sekali. Jadi adakalanya karena dia tetap membutuhkan keintiman tapi tidak bisa secara ucapan namun lewat relasi seksual, kalau dia tidak mendapatkannya dari istri, godaannya adalah dia melakukannya dengan orang lain, maka kita tahu dalam hal inilah laki-laki akhirnya sering jatuh. Jadi karena tidak mengalami kedekatan dengan istri akhirnya suami jatuh ke dalam hubungan intim dengan wanita yang lain. Atau dalam hal kemarahan oleh karena tersinggung atau terhina dan dalam kemarahan laki-laki bertindak gegabah dan merugikan banyak orang. Jadi tolong laki-laki menyadari dua titik kelemahan ini.
GS : Apalagi kalau laki-laki ini dihina oleh istrinya dalam bidang seksual maka dia tidak akan segan-segan melakukan penyelewengan dalam hal itu.
PG : Dia akan mengatakan, "Saya bisa dan akan membalas dendam".
GS : Apakah masih ada lagi hal lain yang menjadi titik lemah dari kaum pria ini, Pak Paul?
PG : Yang ketiga, oleh karena laki-laki cenderung menggunakan rasio ketimbang emosi, laki-laki akhirnya menjadi sangat pragmatis dalam bertindak. Masalahnya adalah tindakan yang mengedepankan hasil dan efisiensi akhirnya bukan hanya saja mengorbankan perasaan orang, tapi juga kepentingan orang. Saya harus akui kita laki-laki bertindak egois oleh karena kita terlalu berkiblat pada apa yang kita anggap terbaik, sehingga kita lalai melakukan kebaikan pada istri dan anak, di sini kerap timbul konflik antara suami dan istri akhirnya banyak istri merasa frustrasi karena suami sukar memahami perasaannya dan akhirnya kegagalan memahami emosi berakibat buruk, pertengkaran malah makin menjalar kemana-mana padahal masalahnya relatif simpel. Sekali lagi laki-laki perlu duduk diam dan berupaya keras merasakan perasaan istri sebab hanya dalam bingkai inilah dia baru akan mengerti mengapa istri melakukan hal itu atau mengatakan hal itu.
SK : Tantangannya seperti yang Pak Paul sampaikan di awal bahwa laki-laki sendiri tidak mudah untuk mengutarakan perasaannya, kemudian satu sisi di sini mendapatkan tugas dia untuk bisa ikut merasakan yang dirasakan istri. Ada tidak hal-hal tertentu yang bisa menolong suami untuk lebih mudah bisa memahami perasaan istri itu.
PG : Saya kira istri harus berperan aktif, jadi istri harus berkata, "Yang saya tadi rasakan adalah ini..ini..ini, waktu kamu berkata begini yang ada dalam hati saya yang saya rasakan adalah begitu". Suami menjadi mengerti waktu saya berkata seperti ini, ini membuat istri saya begini. Jadi harus ada proses belajar mengajar, laki-laki perlu belajar mengerti perasaan istrinya.
GS : Itu butuh waktu, makanya untuk membangun keintiman tidak terjadi sesaat dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama selain kerendahan hati, mengakui kelemahan dari pihak suami juga belajar untuk menggunakan cara lain di dalam mengekpresikan dirinya. Rupanya ada bagian lain yang harus kita perbincangkan tentang kepemimpinan dalam keluarga, tapi karena waktu sudah mendesak, mungkin Pak Paul ingin menyampaikan ayat firman Tuhan dan memberikan kesimpulan tentang perbincangan kita yang pertama ini?
PG : Kita sedang membicarakan tentang kepemimpinan dalam keluarga, firman Tuhan berkata di Efesus 5:28-29, "Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat". Kalau kita mau menjadi kepala atau pemimpin dalam keluarga, modalnya dan syaratnya adalah kita harus memunyai kasih kepada istri dan juga nantinya kepada anak-anak kita, sebab dalam kasih dan dengan kekuatan kasihlah kita nanti memimpin keluarga kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kepemimpinan Dalam Keluarga" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan kami pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
40. Kepemimpinan Dalam Keluarga 2 | |
Kepemimpinan di dalam keluarga, dianugerahkan kepada kaum laki-laki. Dan rumus untuk bisa memimpin adalah laki-laki harus mengenal apa kelemahannya, sehingga kelemahan itu tidak menjerumuskan orang yang dipimpinnya. Apa saja kelemahannya? Disini diulas secara singkat dan jelas.
Tuhan memanggil dan menetapkan laki-laki untuk menjadi kepala keluarga. Dengan kata lain, ia mesti memimpin keluarganya. Untuk menjadi pimpinan dalam organisasi atau perusahaan, kita dapat belajar atau bersekolah, namun khusus untuk menjadi pimpinan dalam keluarga, tidak ada sekolah untuk itu.
Sudah tentu ada banyak hal yang dapat dipelajari untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin tetapi terutama di antaranya adalah menyadari kelemahan kita. Pemimpin yang buta akan kelemahannya pastilah menjerumuskan orang atau organisasi yang dipimpinnya. Berikut akan dipaparkan beberapa kelemahan laki-laki.
Pertama adalah KEANGKUHAN. Pada umumnya laki-laki mendasarkan harga dirinya atas KEBERHASILANNYA. Itu sebabnya, perkataan "Saya bisa" begitu lekat pada laki-laki sedangkan pengakuan "Saya tidak bisa" begitu sulit keluar dari mulut. Tidak heran, kebanyakan laki-laki tidak suka diberitahukan oleh istrinya sebab bagi laki-laki, pemberitahuan identik dengan perkataan, "Engkau tidak bisa."
Berkaitan dengan hal ini, laki-laki pada umumnya peka dengan penilaian atas performanya, baik dalam hal SEKSUAL maupun FINANSIAL. Istri mesti mengerti bahwa kegagalan laki-laki untuk berhasil dalam segi finansial dan seksual berpotensi menghancurkan penghargaan diri laki-laki. Itu sebabnya khusus untuk dua hal ini, istri mesti bersikap sensitif.
Sebaliknya, setelah menyadari bahwa inilah titik rawannya, laki-laki pun mesti berusaha keras untuk tidak mendasarkan siapakah dirinya sepenuhnya pada kesanggupannya. Laki-laki mesti membiasakan diri mengakui KETERBATASANNYA dan menghargai KELEBIHAN ISTRI. Kegagalan laki-laki mengakui keterbatasannya dan penolakannya terhadap sumbangsih istri, malah akan makin menghancurkan bukan saja usahanya, tetapi juga pernikahannya.
Singkat kata, laki-laki mesti berani berkata, "Saya tidak bisa" dan "Saya membutuhkan pertolonganmu." Kedua pernyataan ini bukanlah pernyataan akan kegagalan. Sebaliknya, kedua pernyataan ini memerlihatkan bahwa ia dapat melihat dirinya apa adanya.
Kedua, berkaitan dengan kebutuhan lak-laki untuk menerima pengakuan akan kesanggupannya, BIASANYA LAKI-LAKI SULIT MENGUTARAKAN PIKIRAN DAN PERASAANNYA DALAM HAL-HAL YANG MERUPAKAN TITIK KELEMAHANNYA. Sebagai contoh, laki-laki tidak mengalami kesukaran bercerita kepada istri tentang tantangan yang dihadapi dalam pekerjaannya. Tetapi, ia akan menemui kesulitan bercerita tentang kegagalannya dalam pekerjaan. Daripada mengungkapkannya, ia lebih suka menyimpannya sendiri. Itu sebabnya kebanyakan laki-laki bermasalah dalam hal KEINTIMAN.
Sebagaimana kita ketahui keintiman menuntut keberanian untuk menyingkapkan diri sedalam-dalamnya, termasuk kegagalan dan rasa malunya. Tidak heran banyak istri yang mengeluh bahwa suaminya sulit intim secara emosional dan bahwa berbicara dengan suami mirip dengan menggali sumur untuk mendapatkan air.
Kesukaran laki-laki mengekspresikan dirinya berdampak pada dua area di dalam hidupnya yaitu hal SEKSUAL dan KEKERASAN FISIK. Oleh karena kesukarannya menyatakan keintiman lewat ucapan, kebanyakan laki-laki cenderung mengkspresikannya melalui relasi seksual. Di dalam hubungan seksual, laki-laki barulah dapat membiarkan dirinya terbuka tanpa perisai dan menikmati kedekatan dengan istrinya. Inilah kesempatan yang baik untuk istri menikmati keintiman dengan suami dan tidak menjauh darinya.
Selain dari relasi seksual, laki-laki cenderung mengungkapkan pikiran dan perasaannya lewat kekerasan fisik. Apa yang tak terungkapkan secara verbal akhirnya terlontar secara fisik. Itu sebab dalam berelasi dengan suami, penting bagi istri untuk menjaga agar konflik tidak berkembang ke arah fisik. Berilah waktu kepada suami untuk berpikir dan menjawab sebab memang laki-laki memerlukan WAKTU dan KESIAPAN untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Sebagaimana kita ketahui kedua area ini menjadi titik kelemahan laki-laki. Banyak laki-laki jatuh dalam menghadapi godaan seksual dan banyak keputusan keliru diambil laki-laki dalam kemarahan. Oleh karena tidak mengalami kedekatan dengan istri, akhirnya suami jatuh ke dalam hubungan intim dengan wanita lain. Dan, oleh karena tersinggung dan merasa terhina, dalam kemarahan laki-laki bertindak gegabah dan merugikan banyak orang.
Ketiga, oleh karena laki-laki cenderung menggunakan rasio ketimbang emosi, laki-laki akhirnya menjadi sangat PRAGMATIS dalam bertindak. Masalahnya adalah tindakan yang mengedepankan hasil dan efisiensi akhirnya bukan saja mengorbankan perasaan orang tetapi juga kepentingan orang. Kadang laki-laki bertindak egois oleh karena terlalu berkiblat pada apa yang "terbaik" sehingga lalai melakukan kebaikan kepada istri dan anak-anaknya.
Di sinilah kerap timbul konflik antara suami dan istri. Banyak istri merasa frustrasi karena suami sukar memahami perasaannya. Dan, akhirnya kegagalan memahami emosi berakibat buruk—pertengkaran malah menjalar ke mana-mana padahal masalahnya relatif simpel. Laki-laki perlu duduk diam dan berupaya keras merasakan perasaan istri sebab hanya dalam bingkai inilah ia baru akan dapat mengerti mengapa istri melakukan dan mengatakan hal itu.
Keempat dan terakhir, oleh karena kesulitannya masuk ke wilayah perasaan dan kecenderungannya bersikap pragmatis, laki-laki SUKAR MENGEMBANGKAN MINAT TERHADAP HAL ROHANI. Segalanya diukur dari segi kegunaan sehingga ketika hal rohani tidak membuahkan hasil yang diharapkan, ia pun cepat undur dari kegiatan rohani.
Memang tidak bisa disangkal ada banyak hal rohani yang melibatkan perasaan, seperti rasa dikuatkan, rasa damai, rasa dijamah Tuhan, dan sebagainya. Nah, karena tidak mudah bagi laki-laki menyelami wilayah perasaan, kadang buatnya semua istilah ini tidak beda dengan istilah asing yang tak dipahaminya. Masalahnya adalah, kita kerap mengasosiasikan semua ini dengan kehadiran Tuhan di dalam hidup kita sehingga sewaktu kita tidak mengalaminya, kita pun beranggapan bahwa Tuhan jauh dari kita.
Laki-laki mesti menyadari bahwa kehadiran Tuhan lebih dari sekadar perasaan dan tidak mesti melibatkan perasaan. Laki-laki perlu mendasarkan pengalaman rohaninya pada Firman Tuhan dan ketaatan pada kehendak Tuhan. Perasaan boleh datang dan boleh pergi namun kehadiran Tuhan senantiasa bersama anak-anak-Nya yang menaati-Nya.
Berikut akan dipaparkan beberapa langkah yang perlu disiapkan dan diambil laki-laki agar ia dapat menjadi kepala dalam keluarga. Pertama, laki-laki mesti menyadari bahwa kepemimpinan yang dimaksudkan Tuhan adalah MELAYANI, BUKAN MEMERINTAH. Singkat kata, laki-laki mesti menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan pribadinya. Dalam pengambilan keputusan laki laki harus senantiasa memikirkan yang terbaik buat istri dan anak-anaknya.
Kedua, laki-laki mengepalai keluarganya bukan dengan cara melebihi istri melainkan MELENGKAPI ISTRI. Jadi, bukannya memikirkan bagaimana membawa lebih banyak uang daripada istri melainkan bagaimana mengerjakan hal-hal yang tidak dapat dilakukan istri dengan baik. Singkat kata, laki-laki memimpin lewat kerelaannya menolong istri dalam kelemahannya.
Ketiga, oleh karena laki-laki hanya dapat memimpin dengan dukungan istri, maka laki-laki pun perlu MEMINTA PERTOLONGAN ISTRI, terutama dalam hal yang merupakan kelemahannya. Laki-laki tidak perlu malu atau gengsi mengutarakan kekurangannya atau kebutuhannya sebab pemimpin yang baik adalah seseorang yang menyadari keterbatasannya dan tahu meminta bantuan orang lain.
Keempat, laki-laki memimpin keluarganya dengan cara MELAKUKAN APA YANG MENJADI KEHENDAK TUHAN. Singkat kata laki-laki mesti memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan sehingga apa pun yang dilakukannya merupakan pertanggungjawabannya kepada Tuhan. Terpenting bukanlah melakukan apa yang dikehendakinya melainkan apa yang dikehendaki Tuhan sehingga pada akhirnya satu keluarga turut berjalan di belakang Tuhan.
1 Petrus 5:3 mengingatkan, "Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu." Tuhan telah memercayakan istri dan anak-anak kepada laki-laki, jadi, tuntunlah mereka lewat keteladanan kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama penginjil Sindunata Kurniawan M.K., beliau adalah seorang konselor keluarga, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Kepemimpinan Dalam Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau sudah diungkapkan ada tiga hal kelemahan pria didalam kepemimpinan di keluarga. Tentu tidak semua pendengar kita sempat mendengarkan pada bagian yang pertama namun supaya para pendengar kali ini bisa memunyai gambaran yang lebih lengkap maka apakah bapak berkenan untuk mengulas secara cepat apa yang sudah kita bicarakan pada kesempatan yang lampau?
PG : Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa mengenali kelemahannya. Atas dasar asumsi inilah saya ini mengatakan bahwa kita-kita ini yang pria kalau mau menjadi pemimpin atau kepala keluarga yang baik kita juga harus mengenal kelemahan kita. Ada tiga yang kita telah bahas pada kesempatan yang lampau, yang pertama adalah kita harus menyadari bahwa kita suka mengalami masalah dengan keangkuhan atau ego yang besar sehingga akhirnya sulit sekali mendengarkan masukan atau pendapat istri kita. Kita mendominasi semuanya dan mengatakan bahwa "Saya bisa, saya benar" susah sekali mengakui bahwa "Saya juga bisa salah". Yang kedua, kita sebagai laki-laki kesulitan mengembangkan keintiman oleh karena kita sukar untuk mengutarakan pikiran dan perasaan kita dalam hal-hal yang berkaitan dengan kelemahan kita sehingga akhirnya relasi kita dengan istri susah mendalam sebab kita tidak bisa bercerita hal-hal yang lebih membuat kita rawan karena membicarakan tentang kelemahan kita. Sedangkan sebetulnya ini yang penting dalam keluarga, kalau kita mau menjadi seorang pemimpin kita mesti dekat dengan keluarga kita, akrab, menyatu. Bagaimana bisa menyatu dan intim kalau kita tidak bisa dan tidak mau membuka diri. Dan yang ketiga adalah kita laki-laki cenderung pragmatis, memikirkan kegunaannya apa, efisiensinya, sehingga akhirnya mengabaikan perasaan orang, dalam hal ini seringkali mengabaikan perasaan istri kita. Akhirnya dalam memimpin kita ini juga menginjak-injak perasaan orang lain, baik anak atau istri kita. Jadi kita harus menyadari kecenderungan kita mengabaikan perasaan dan malah melukai hati orang gara-gara kita ingin misalnya melakukan hal yang kita anggap baik. Jadi nanti kita akan masuk yang ke empat, tapi mudah-mudahan ketiga hal ini bisa juga kita ingat.
GS : Kalau begitu hal yang keempat itu apa, Pak Paul?
PG : Oleh karena kesulitan kita laki-laki masuk ke wilayah perasaan dan kecenderungan kita bersikap pragmatis maka kita laki-laki sukar mengembangkan minat terhadap hal rohani. Jadi kita harus mengakui bahwa di dalam gereja kita akan menjumpai lebih banyak wanita daripada laki-laki. Karena kita laki-laki seringkali mengukur segalanya lewat sudut kegunaan, ketika misalnya hal rohani tidak membuahkan hasil yang diharapkan maka kita undur dari hal-hal rohani atau dari kegiatan gereja atau berbakti kepada Tuhan.
SK : Kalau ada laki-laki yang aktif di gereja apakah berarti dia memiliki kondisi perasaan yang lebih baik daripada laki-laki yang tidak ke gereja, apakah sebenarnya sekalipun aktif di gereja tapi dia termasuk kondisi laki-laki yang punya kelemahan dalam segi ini, Pak Paul?
PG : Saya kira pada umumnya kita laki-laki punya kelemahan, Pak Sindu. Tapi ada di antara kita yang pernah mengalami pengalaman rohani yang khusus, kita lebih menyadari tentang kasih Tuhan mungkin kita pernah jatuh kemudian kita mendapatkan pertolongan Tuhan sehingga kita akhirnya juga tersedot masuk ke dalam hal-hal rohani. Namun kalau kita tidak punya pengalaman khusus seperti itu kecenderungannya pria itu adalah tidak begitu mau terlibat dalam pelayanan. Makanya sering laki-laki baru terlibat di gereja kalau ada tugas-tugas yang lebih bersikap pragmatis misalnya, pembangunan gereja, maka laki-laki baru mau terlibat memikirkan tentang ongkosnya, bangunannya, arsitekturnya, mencari tukang dan sebagainya. Di situlah laki-laki baru terlibat. Seringkali pemikiran atau kecenderungan atau kiblat terhadap yang pragmatis itu menghalangi laki-laki untuk bisa masuk ke dalam hal rohani.
SK : Dari pernyataan Pak Paul saya memahami bahwa aktif di gereja tidak serta merta punya minat rohani yang tinggi?
PG : Saya kira demikian, ada orang-orang yang bisa saja terlibat aktif tapi kita tidak perlu terkejut kalau kita tahu laki-laki ini hampir tidak pernah menyentuh Alkitab di rumah, tidak pernah baca sama sekali. Jadi hanya datang ke gereja nanti disuruh ini dan itu mengikut saja, tapi di luar itu tidak menyentuh Alkitab sama sekali. Itu cukup banyak karena laki-laki pada umumnya minat pada hal rohani agak lemah.
GS : Tapi sebenarnya panggilan Tuhan baik kepada pria atau wanita, agar kita sebagai anak-anak Tuhan punya minat rohani dan kita lihat seperti Daud mengatakan bahwa Taurat adalah kesukaan dia.
PG : Seharusnya seperti itu namun saya juga mau membicarakan secara lebih realistik yaitu bahwa perempuan secara alamiah lebih mudah tertarik dan menceburkan diri dalam hal-hal rohani ketimbang laki-laki sebab tidak bisa disangkal bahwa ada banyak hal rohani yang melibatkan perasaan misalnya rasa dikuatkan, rasa damai, rasa dijamah Tuhan dan sebagainya, itu adalah perasaan. Karena bagi laki-laki tidak mudah menyelami wilayah perasaan, kadang baginya istilah ini tidak beda dengan istilah asing yang tak dipahaminya. Masalahnya adalah kita kerap mengasosiasikan semua ini dengan kehadiran Tuhan dalam hidup kita, sehingga sewaktu kita tidak bisa mengalaminya kita pun beranggapan bahwa Tuhan jauh dari kita karena buat laki-laki tidak ada rasa apa-apa datang ke gereja, mendengarkan orang bicara, khotbah dia tidak merasakan gunanya. Jadi adakalanya jauh lebih susah untuk terjun dalam hal rohani.
SK : Kalau demikian apa yang bisa dilakukan laki-laki untuk bisa mengembangkan minat rohaninya ini, Pak Paul?
PG : Saya kira kita laki-laki harus menyadari bahwa kehadiran Tuhan lebih dari sekadar perasaan dan tidak harus melibatkan perasaan. Laki-laki perlu mendasarkan pengalaman rohani pada firman Tuhan. Jadi benar-benar menekuni, membaca, merenungkan firman Tuhan, dan kedua, kita laki-laki harus mendasarkan pengalaman rohani kita pada ketaatan, pada kehendak Tuhan artinya apa yang dikatakan oleh firman Tuhan sedapatnya kita taati. Jadi firman Tuhan dan ketaatan kita pada kehendak Tuhan haruslah menjadi dasar kehidupan rohani kita, perasaan boleh datang dan pergi, namun kehadiran Tuhan senantiasa bersama dengan anak-anak-Nya yang menaati-Nya.
GS : Ini menjadi suatu tantangan bagi para pimpinan gereja, pengkhotbah dan sebagainya untuk bisa memenuhi kebutuhan kaum pria didalam hal kerohanian karena seringkali kita sebagai pria kadang-kadang merasa hanya dibangkit-bangkitkan perasaannya saja, seperti yang tadi Pak Paul katakan tentang disertai Tuhan, rasa damai. Tapi untuk hal-hal yang bersifat pragmatis memang agak jarang diungkapkan, memang lebih mudah untuk menggelitik perasaan orang daripada memenuhi kebutuhan pragmatis itu tadi.
PG : Memang tidak bisa disangkal, Pak Sindu dan Pak Gunawan banyak mendengar orang yang sering mengeluh, "Di gereja saya dengarkan orang khotbah, tidak dapat apa-apa" karena mereka mau mendapatkan sesuatu yang lebih praktis yang mereka bisa lakukan sebab itulah yang akan membuat mereka tertarik. Kalau misalnya terlalu menyinggung-nyinggung hal-hal perasaan dan sebagainya, bagi laki-laki yang duduk mendengarkan khotbah akan merasa asing, kecuali saat itu dia memang dalam keadaan sangat butuh untuk dikuatkan barulah dia merasa ada manfaatnya.
GS : Tapi itu sangat jarang, lebih sering kita lebih siap untuk hal yang bukan hanya dibangkit-bangkitkan perasaan saja.
PG : Betul sekali. Ini masukan yang baik, bagi kami yang melayani mimbar Tuhan dalam menyiapkan firman Tuhan kita harus lebih mengingat bahwa inilah yang menjadi kebutuhan laki-laki.
GS : Pak Paul, apakah ada langkah yang bisa disiapkan atau dilakukan oleh kaum pria agar dia bisa menjadi kepala dan pemimpin di dalam keluarganya?
PG : Ada empat yang akan saya bagikan. Yang pertama adalah kita laki-laki harus menyadari bahwa kepemimpinan yang dimaksudkan Tuhan adalah melayani, bukan memerintah. Jadi kita harus jelas dengan konsep ini, memimpin itu melayani dan bukan memerintah. Singkat kata, kita laki-laki harus menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan pribadi, dalam pengambilan keputusan kita laki-laki harus senantiasa memikirkan yang terbaik bagi istri dan anak-anak kita. Kecenderungan yang harus kita akui bahwa dalam pengambilan keputusan yang kita kedepankan adalah kepentingan kita. Kita harus ingat kita memimpin lewat melayani, jadi kita harus pikirkan apa yang baik justru bagi istri dan anak kita terlebih dahulu.
SK : Bentuknya seperti apa, Pak Paul?
PG : Misalnya kita mendapatkan tawaran untuk dipromosikan, tapi kita harus pindah ke kota yang lain. Kita tahu bahwa anak-anak kita itu sudah cocok di sini, teman-temannya sudah banyak dan istri kita sudah mendapatkan komunitasnya di sini maka kita tidak boleh hanya memikirkan, "Ini kesempatan saya dipromosikan, kamu harus pikirkan saya" tidak, justru yang pertama kita harus berkata, "Saya memang diberikan kesempatan ini tapi saya melihat kamu sudah cocok di sini, anak-anak sudah cocok di sini maka saya tidak mau menerimanya". Kita menjadi orang pertama yang mengalah dan bukan orang terakhir yang mengalah, jangan sampai istri kita yang berkata, "Baiklah saya mengalah ikut kamu" anak-anak yang berkata, "Baiklah saya mengalah ikut papa" tapi kita harus menjadi orang yang pertama berkata, "Tidak apa-apa saya mengalah dan saya yang mengorbankan diri". Kalau setelah kita berkata seperti itu pada akhirnya istri kita juga berkata, "Pak, baiklah aku bersedia untuk pindah, nanti aku bicara dengan anak-anak siapa tahu mereka juga bersedia" itu lain, tapi kita harus menjadi orang pertama yang mengorbankan kepentingan kita, itu maksudnya.
SK : Dalam hal ini laki-laki dengan cara seperti ini, belajar untuk tidak angkuh?
PG : Betul sekali. Jadi dengan kita mengedepankan kepentingan istri dan anak-anak kita, kita membelakangkan diri, berarti kita menekan diri kita dan tidak memberikan makan kepada ego untuk bertumbuh besar.
GS : Ini seringkali terkait dengan pekerjaan, kaum laki-laki ini di tempat kerjanya menjadi pemimpin yang punya anak buah yang biasa diperintah, tetapi di rumah bersikap yang sebaliknya, itu kepribadiannya bisa terpecah. Namun kalau seseorang menyadari bahwa di tempat kerjanya pun dia dipanggil untuk melayani dan bukan untuk menjadi bos dalam arti kata mengatasi semua permasalahan saya rasa akan banyak menolong, jadi dia punya konsep yang sama baik di tempat kerja atau di rumah tangga bahwa memimpin itu melayani.
PG : Memang seharusnya demikian, makanya di dalam bahasa Inggris misalkan di Amerika, pegawai pemerintah disebutnya 'civil servant' jadi pelayan, tidak disebut staf. Jadi pelayan yang memang melayani masyarakat. Konsep inilah yang harus ada dalam diri kita. Kita dipanggil Tuhan memimpin dan mengepalai keluarga, tapi jalurnya langkahnya adalah lewat melayani dan bukan memerintah, dan konkretnya melayani bukan memerintah adalah kita adalah orang pertama yang mengorbankan kepentingan kita dan mendahulukan kepentingan anak dan istri kita.
GS : Hal lain yang bisa dilakukan laki-laki apa, Pak Paul?
PG : Yang kedua laki-laki mengepalai keluarganya bukan dengan cara melebihi istri, melainkan melengkapi istri, ini penting sekali. Jadi bukannya memikirkan bagaimana membawa lebih banyak uang daripada istri, melainkan bagaimana mengerjakan hal-hal yang tidak dapat dilakukan istri dengan baik. Singkat kata, kita laki-laki memimpin lewat kerelaan kita menolong istri dalam kelemahannya istri. Maksud saya, kita laki-laki akhirnya terkondisi untuk berpikir, "Jika saya menjadi kepala, saya harus membawa uang lebih banyak kepada istri". Kalau istri menghasilkan uang lebih banyak dari kita, kita merasa tidak berhak untuk memimpin dia, sebab dia mengukurnya dari segi moneter, justru tidak. konsepnya yang benar bukannya melebihi istri tapi melengkapi istri, karena istri kita tidak sempurna dan dia juga memiliki kelemahan. Kita pikirkan bagaimana melengkapi dia dalam hal kelemahannya itu. Kenapa? Sebab waktu istri merasakan kita laki-laki bersedia melengkapi dimana dia kurang, yang akan terjadi adalah dia makin tunduk dan menghormati kita, dia makin rela untuk mendengarkan kita. Justru kalau si istri melihat kita laki-laki beradu, berkompetisi dan mau mencari uang lebih banyak supaya bisa menundukkan dia, bukannya makin menghormati tapi makin tidak menghormati si suami sebab, "Kamu seperti ini" sedangkan dalam hal kelemahan si istri, dia sama sekali tidak mau menolong atau melengkapinya.
SK : Pak Paul, saya menemukan beberapa pasangan suami istri terutama dalam dunia bisnis, beberapa istri justru lebih punya jiwa bisnis atau kepemimpinan atau jiwa marketing lebih dibanding suami. Dengan cara bagaimana suami melengkapi istri yang kelihatan begitu 'super power'?
PG : Istri juga manusia dan tidak sempurna, bisa jadi dalam hal bisnis si suami mengakui kalau istrinya lebih hebat, penting bagi suami berkata, "Kamu memang lebih baik daripada saya dalam hal mengatur bisnis ini", dan tidak apa-apa serahkan kepada istri untuk mengaturnya dan biarkan dia mengerjakan apa yang dia bisa kerjakan. Namun akan ada hal-hal lain dalam diri istri dimana dia memerlukan si suami, misalnya di dalam rumah tangga kebetulan si suami yang lebih sabar untuk bersama dengan anak-anak mengajarkan kepada anak-anak, ini yang menjadi kelemahan istri, misalnya istri susah duduk bersama anak mengajarkan kalau dia duduk tidak sampai 5 menit sudah marah-marah kepada anak dan si istri mengatakan, "Memang saya tidak sanggup". Si suami berkata, "Tidak apa-apa saya yang melakukan" kalau istri melihat suami saya mau bantu saya dalam hal ini dia justru menghargai sebab, "Dalam hal yang saya tidak bisa, suami sayalah yang maju untuk menolong saya".
GS : Tapi itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran oleh suami karena kalau tidak maka akan diwarnai dengan perasaan rendah diri. "Saya tidak bisa tampil di masyarakat lewat bisnis, istrinya yang menonjol dimana-mana, dia yang menjaga anak-anak di rumah atau hanya mengerjakan pekerjaan di rumah" Kalau itu dikerjakan dengan rasa rendah diri saya rasa itu juga tidak akan menolong.
PG : Saya rasa sebisanya, tidak menganjurkan laki-laki itu sama sekali tidak bekerja, sebab bagaimana pun juga ini bisa berdampak di mata anak-anak, kalau anak melihat, "Papa tidak bekerja dan Mama yang bekerja" maka itu bisa memberikan kesan kurang baik. Jadi papa harus bekerja namun dalam hal misalnya mengurus anak karena si ayah jauh lebih mampu maka tidak apa-apa dia lebih memberikan waktu kepada anak dari pada istrinya. Jadi kita harus berbesar hati untuk berkata pada istri kita, "Memang kamu lebih mampu dan silakan" ini yang sulit untuk saya temukan pada laki-laki untuk dikatakan.
GS : Hal lain yang perlu disiapkan apa, Pak Paul?
PG : Oleh karena laki-laki hanya dapat memimpin dengan dukungan istri, maka kita laki-laki pun perlu meminta pertolongan istri terutama dalam hal yang merupakan kelemahan diri kita, misalnya kita laki-laki tidak perlu malu atau gengsi mengutarakan kekurangan atau kebutuhan kita, sebab pemimpin yang baik adalah seseorang yang menyadari keterbatasannya dan tahu meminta bantuan orang lain, ini memang tidak gampang bagi laki-laki apalagi yang memang penghargaan dirinya agak ragu. Jadi adakalanya yang terjadi adalah istri berniat baik mau menolong karena istrinya sadar ini memang kurang bisa dilakukan oleh suami dengan baik tapi suaminya justru marah, "Kamu itu menghina saya, kamu tidak menghargai saya". Istrinya berkata, "Sebenarnya saya hanya ingin membantu" tapi suami marah, "Saya tidak butuh bantuanmu", ini keliru sebab pemimpin yang baik mengakui keterbatasan ia tidak mampu melakukan segalanya, kalau dia menyadari istrinya bisa membantu dia silakan tanya dan minta bantuan istri dan istri juga akan senang, karena dia merasa dilibatkan di dalam kehidupan si suami.
SK : Jadi dalam hal ini suami perlu mengembangkan pola pikirnya bahwa meminta bantuan itu tidak identik "Saya ini di bawah istri" atau meminta bantuan ini justru saya sedang mengangkat, melayani istri supaya dia merasa dibutuhkan juga.
PG : Betul. Sekaligus mengangkat si istri, sekaligus mengakui keterbatasan, kalau memang tidak bisa dia akui dan tidak apa-apa. Jadi benar-benar perlu hati yang besar untuk berkat, "Memang saya tidak bisa dan saya perlu bantuanmu". Justru dalam pernikahan kalau ini terjadi benar-benar mereka berdua bisa bertumbuh. Sayang seribu sayang saya harus mengakui sering menjumpai kasus seperti ini, laki-laki sebetulnya kalau saja menerima bantuan si istri dia justru akan melesat dan mengalami perkembangan, tapi gara-gara ego tidak mau dibilangi dan tidak mau menerima bantuan istri akhirnya tambah hari tambah terpuruk, tapi ada orang yang tidak bisa sadar-sadar, dari pada mengakui tidak bisa dan tetap memaksakan dan akhirnya semuanya itu menjadi berantakan.
GS : Kendalanya di meminta, kami kaum pria senang-senang saja dibantu oleh istri tapi suami tidak perlu diminta. Untuk meminta itu yang sulit dan kalau pun istri sudah memberikan pertolongan untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongannya ini merupakan beban yang lain.
PG : Ada benarnya. Kita susah meminta karena meminta itu merendahkan diri kita dan kita tidak bisa melihat diri kita lebih rendah dari istri kita.
GS : Hal lain yang bisa dipersiapkan apa, Pak Paul?
PG : Yang terakhir untuk kita menjadi seorang pemimpin kita memimpin keluarga kita dengan cara melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan, ini penting. Jadi kita laki-laki harus memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan sehingga apapun yang kita lakukan merupakan pertanggungjawaban kita kepada Tuhan karena kita tahu ini yang Tuhan inginkan dan kita bertanggung jawab melakukannya. Jadi terpenting bukanlah melakukan apa yang kita kehendaki melainkan apa yang dikehendaki Tuhan, sehingga pada akhirnya satu keluarga turut berjalan di belakang Tuhan. Jadi seolah-olah Tuhan berjalan, kita mengikut Tuhan tapi kita harus jelas dan erat dengan Tuhan sehingga kita bisa mengikut Tuhan. Barulah kita bisa membawa istri dan anak-anak kita di belakang sama-sama mengikut Tuhan. Ini yang saya kira kepemimpinan yang dikehendaki oleh Tuhan.
GS : Seringkali hal itu tidak terjadi karena yang tadi Pak Paul katakan, kita kaum pria kurang tertarik dengan hal-hal yang rohani seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Bagaimana kita bisa mengetahui kehendak Tuhan karena kita jarang baca firman Tuhan dan tidak peka dengan suara Tuhan!
GS : Dan kita lebih condong untuk melakukan kehendak kita sendiri bahkan istri dan anak-anak kita paksa untuk menuruti kita, "Saya sebagai pemimpin dan kamu ikuti saya saja, pasti betul".
PG : Betul.
SK : Akhirnya kembali perlu dukungan gereja untuk memerhatikan kaum laki-laki supaya mereka lebih meminati belajar Alkitab, firman Tuhan dan mengaitkan hidupnya dengan kehendak Tuhan.
PG : Kalau kita jujur saya kira kegagalan kita terbesar sebagai laki-laki Kristen adalah memimpin keluarga kita mengikut Tuhan, kenapa? Karena kita sendiri pun tidak begitu tahu tentang kehendak Tuhan, itu masalah utamanya.
GS : Perbincangan ini kita akhiri sampai di sini, namun sebelum kita berpisah mungkin Pak Paul ingin menyampaikan firman Tuhan?
PG : Saya akan bacakan 1 Petrus 5:3, "Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu". Memang ayat ini sebetulnya adalah bagi para gembala, para hamba Tuhan yang dipercayakan Tuhan dengan domba-domba Tuhan tapi saya kira ini bisa kita terapkan juga untuk keluarga kita, kita laki-laki sudah ditetapkan Tuhan menjadi gembala bagi keluarga kita. Tuhan berkata, "Ingat domba ini istri anak-anak kita adalah orang yang Tuhan percayakan kepada kita dan Tuhan meminta kita menjadi teladan". Jadi kita harus menuntun mereka lewat keteladanan kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja menyelesaikan perbincangan kami tentang "Kepemimpinan Dalam Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
41. Media dan Keluarga 1 | |
Televisi telah menjadi "the other parent" (orang tua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada kaitan antara tayangan media dengan pola perilaku manusia. Media ternyata tidak bersifat netral. Tayangan mana yang aman ditonton anak? Apa saja pengaruh buruk media televise bagi keluarga? Apa kiat-kiat untuk mengatasi pengaruh buruk media tersebut?
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita bersyukur sekali bahwa berada di abad ke 21 ini, kita memiliki banyak kemudahan karena kemajuan media dan teknologi yang begitu rupa. Tetapi pasti ada hal-hal yang harus diwaspadai sehingga Bapak memilih topik media dan keluarga pada pertemuan kali ini.
SK : Benar, Pak Hendra. Memang ini merupakan jaman yang memberikan banyak kemudahan sebagaimana kita saksikan dalam sejarah media, berawal dari sekian abad yang lalu ditemukan mesin cetak sehingga ada karya-karya tulis, media cetak. Kemudian masuk ke dunia media audio dengan ditemukannya telegram, telepon, masuk juga ke media audio visual, seperti televisi, internet, bahkan berkembang ke berbagai sarana komunikasi, berupa 'gadget'. Itu merupakan hal yang menggembirakan, mempermudah sekaligus memberikan hal yang perlu kita kenali dampak negatifnya.
H : Dampak atau ekses negatif itu kelihatannya yang paling populer dan paling banyak dibahas di masyarakat adalah media televisi.
SK: Kita sepakat. Televisi termasuk media elektronik yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Karena jenis media audiovisual ini memang tidak membebani banyak syarat kepada masyarakat untuk menikmati. Kita mengenal bahwa masyarakat Indonesia lebih kuat dengan budaya lisan, percakapan, berbicara dan mendengar, daripada budaya baca dan tulis. Sehingga menonton televisi menjadi hal yang sangat disukai daripada membaca dan menulis serta kondisi itu makin dipermudah kalau kita melihat data bahwa tahun 1990, waktu itu hanya satu stasiun televisi di Indonesia yaitu TVRI, itu memiliki 250 program tiap minggunya. Tetapi 20 tahun kemudian dengan berkembangnya berbagai stasiun televisi swasta, dari 280 menjadi 9345 program televisi tiap minggunya. Dengan demikian benar-benar masyarakat Indonesia dimanjakan, dibuai dengan berbagai tayangan televisi jauh lebih banyak daripada di era 90 apalagi era sebelumnya.
H : Kenapa masyarakat Indonesia bisa begitu suka dengan media televisi?
SK : Karena ada satu hal yang terlihat, bisa dijelaskan dari segi sebuah penelitian yang memperlihatkan bahwa manusia memiliki kemampuan menerima pesan hanya sebesar 15% kalau ditangkap lewat media audio atau media yang menggunakan indera pendengaran saja. Sementara kalau menggunakan audiovisual, daya penerima pesan itu 55%. Tetapi selain audiovisual ditambah melibatkan segi emosi, dimana emosi disentuh dan dimainkan, maka sang penonton akan memiliki daya penerimaan sebesar 95%! Dalam hal inilah yang terjadi dalam dunia televisi kita, dimana lewat televisi khususnya tayangan yang beralur cerita, ada musik-musik yang melatari tayangan itu, benar-benra melibatkan emosi, benar-benar merasuk dan nikmati oleh penonton. Ini memberi hiburan tersendiri bagi masyarakat kita, bahkan murah meriah. Karena tinggal di klik di rumah, tanpa harus meninggalkan rumah, tanpa harus bayar iuran televisi kecuali untuk acara televisi berlangganan.
H : Jadi dari segi teoritis dan ekonomis ternyata media televisi memang memiliki pengaruh yang sangat kuat, Pak?
SK : Benar, bahkan pengaruhnya itu sangat memengaruhi pola pikir, pola keyakinan, atau dalam bahasa teknis ini kemampuan kognisi seseorang, yaitu sebuah proses dalam pikiran, dalam hal melihat, mengamati, mengingat, mengekspresikan sesuatu, membayangkan sesuatu, menduga, menilai, mempertimbangkan, memperkirakan. Seluruh proses berpikir yang demikian ini, televisilah yang begitu kuat memberi informasi dan pengetahuan mempengaruhi proses berpikir dan proses persepsi seseorang terhadap faktor yang lain. Televisi menjadi media yang begitu kuat dalam hal menanamkan ideologi, sudut pandang dan keyakinan dalam memengaruhi pola pikir bahkan membentuk menggiring pola pikir banyak orang.
H : Bahkan sampai dikatakan bahwa televisi itu telah menjadi 'the other parent', orangtua lain bagi anak-anak kita. Bagaimana pandangan Bapak?
SK : Benar, televisi memiliki kemampuan membentuk kenyataan. Merancang apa yang menjadi harapan. Mengarahkan perilaku seseorang, bahkan membentuk penghargaan diri atau citra diri seseorang. "Sebaiknya aku jadi seperti apa?" televisi memunyai kemampuan mencetak, yang seharusnya itu kuasa orang tua untuk membentuk konsep diri anaknya, tapi ternyata televisi menjadi orang tua yang lain, membentuk konsep diri anak-anak kita termasuk kita orang dewasa. Bahkan televisi bisa seperti mendikte kita bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya karena kita sedang tidak sadar sedang digiring kesuatu arah. Bahwa itulah yang sedang dilakukan televisi pada diri kita dan memang banyak penelitian membuktikan bahwa tayangan media televisi sangat berkaitan erat dengan pola perilaku manusia. Seperti banyak kajian yang memberatkan antara tayangan-tayangan kekerasan dengan perilaku kekerasan atau perilaku agresif seseorang.
H : Kalau begitu, media televisi ternyata tidak bersifat netral ya, Pak. Ibarat pisau dengan dua sisi, salah satu sisi memberi keuntungan dan di sisi yang lain bisa melukai.
SK : Benar, memang sebagai alat, televisi itu netral. Tetapi isi yang ditayangkan, pesan yang disampaikan oleh media apa pun termasuk televisi itu tidak bersifat netral, ada warnanya, hitam, putih, merah, jingga, bukan warna yang transparan.
H : Saya jadi teringat ungkapan dalam bahasa Inggris yang relevan dengan media televisi ini, yaitu ungkapan yang disingkat dengan GIGO, "Garbage In Garbage Out". Apa yang masuk itu jika itu adalah kotoran akhirnya bisa membuat kita dapat mengeluarkannya dalam kehidupan nyata dalam bentuk yang juga "kotor". Begitu, Pak?
SK : Ya, televisi dan media pada umumnya, apa yang disampaikan olehnya itu sedikit banyak lama kelamaan akan menghasilkan manusia-manusia sebagaimana apa yang dia serap dari media itu, termasuk apa yang dia tonton dari televisi itu. Jadi boleh dikatakan apa yang kamu tonton itulah yang akan membentuk dirimu, apa yang kamu serap dari media itulah yang akan menjadi jati dirimu.
H : Yang paling mengkhawatirkan orang dewasa saat ini adalah pengaruh media televisi terhadap anak-anak. Bagaimana itu, Pak?
SK : Memang ini hal yang perlu kita orang dewasa, khususnya orang tua, perlu mencermatinya. Ada pernyataan tajam dari profesor di bidang psikologi sosial bernama Prof. Dr. Sarlito Wirawan dari Universitas Indonesia, Jakarta, mengatakan bahwa televisi itu ibaratnya magnet yang telah menyita begitu besar perhatian anak-anak kita, jauh lebih besar daripada waktu yang digunakan oleh anak-anak kita untuk belajar di bangku sekolah. Jadi ini merupakan suatu pernyataan yang begitu tajam. Kuasanya begitu besar lebih daripada pendidikan formal di sekolah.
H : Apakah ada data-data yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pernyataan profesor tersebut?
SK : Memang ada suatu survei yang dilakukan oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli terhadap dunia media untuk anak, bernama Kidia singkatan dari Kritis Media untuk Anak. Kidia ini mengekspos bahwa memang idealnya anak-anak maksimal di depan pesawat televisi itu 2 jam per hari. Tetapi yang terjadi di Indonesia, ditemukan oleh Kidia ini, ternyata rata-rata anak Indonesia menonton televisi per hari antara 3,5 jam sampai 5 jam. Tentu jangka waktu yang begitu panjang ini tidak hanya tayangan untuk anak-anak saja yang ditonton, tetapi juga tayangan iklan, tayangan yang seharusnya ditujukan bukan untuk anak-anak tetapi untuk orang dewasa, itu pun ikut ditonton oleh anak-anak kita.
H : Itu data yang menarik, Pak. Misalnya dihitung dalam rata-rata harian atau mingguan, Bapak bisa memberikan gambaran yang memudahkan kita untuk memahaminya?
SK : Kalau di rata-rata berarti bisa dikatakan angka yang kita bulatkan, berarti anak kita rata-rata menonton 30-35 jam per minggu. Kalau kita misalnya memakai angka tertinggi yaitu 35 jam per minggu, maka dalam setahun anak-anak kita menonton 1820 jam. Dan itu kalau dibagi 24 jam hitung per harinya, sekitar 76 hari dalam setahun. Tujuh puluh enam hari dalam setahun secara total kumulatif digunakan hanya untuk menonton televisi dan angka tersebut jauh melebihi jam belajar anak sekolah dasar yang menurut UNESCO tidak melebihi 1000 jam per tahun. Kembali kalau 35 jam per minggu berarti dalam setahun anak kita menonton 1820 jam, sementara jam belajar anak SD itu kurang dari 1000 jam. Boleh dikatakan menonton televisi buat sebagian besar anak Indonesia itu nyaris 2 kali lipat dari jam belajar mereka di SD. Angka yang tidak main-main. Menonton itu jauh lebih lama daripada belajar. Itu berarti dengan kata lain, sebenarnya yang membentuk mentalitas anak-anak kita bukan pendidikan formalnya di SD, tapi televisilah.
H : Ini fakta yang mungkin tidak disadari oleh sebagian kita, ternyata kalau dihitung, porsi nonton televisinya jauh lebih besar daripada belajar. Bagaimana kita sebagai orang tua mewaspadai kategori-kategori tontonan yang baik untuk anak? Karena saya percaya tidak semua tontonan itu buruk. Pasti ada juga tontonan yang baik.
SK : Iya, kalau boleh saya timpali, dengan data yang demikian, bisa kita katakan bahwa anak-anak kita sedang dimuridkan oleh media televisi, sedang dimuridkan dunia lewat televisi. Bukan dimuridkan lewat sekolahnya, gereja, atau orang tuanya, tapi dimuridkan televisi. Menanggapi pertanyaan Pak Hendra tadi, kaitannya dengan program televisi untuk anak itu ada 3 kategori, Pak Hendra. Yang pertama, kategori aman. Yang kedua kategori hati-hati dan yang ketiga adalah kategori tidak aman atau bahaya.
H : Nah, yang membedakan ketiga kategori itu apa, Pak?
SK : Kategori aman ketika program televisi itu tidak banyak mengandung adegan kekerasan, seks atau mistik dan ceritanya cukup sederhana dan mudah dipahami oleh anak-anak. Dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan tayangan ini tanpa perlu didampingi oleh orang tua atau orang dewasa.
H : Contohnya apa?
SK : Misalnya kalau kita saksikan di beberapa stasiun televisi, acara Varia Anak yang menampilkan kreasi menyanyi, kreasi-kreasi anak. Acara di televisi swasta antara lain "Bocah Petualang", "Laptop Si Unyil", "Sesame Street" diterjemahkan sebagai tayangan Jalan Sesama, "Cita-citaku", "Surat Sahabat". Kalau tayangan asing itu "Dora The Explorer", "Go Dear Go Go", "Dunia Binatang", "Upin Ipin" dengan dialek Melayunya itu, "Pelangi Anak Nusantara", "Curious" tentang kera yang lucu. Itu semua tayangan yang membawa anak mengeksplorasi dunia alam, dunia cita-cita, dunia binatang dan anak bisa menjadi seperti anak yang sesungguhnya.
H : Kalau yang termasuk kategori hati-hati seperti apa, Pak?
SK : Kategori hati-hati itu artinya tayangan tersebut mengandung unsur kekerasan, seks atau mistik sekalipun tidak berlebihan. Sementara jalan cerita atau temanya mulai terasa kurang cocok untuk anak SD dan karena itulah anak-anak kita perlu didampingi. Kalau kita lihat di layar televisi ada singkatan BO yaitu Bimbingan Orang tua, ini yang termasuk kategori hati-hati atau lampu kuning. Misalnya acara yang cukup digemari oleh anak-anak atau orang dewasa itu idol. Idola cilik! Baik itu "Idola Cilik Seleb", "Catatan Harian Idola Cilik", Pentasnya, Raportnya tentang idola cilik, itu sudah mulai kurang cocok dimana anak mulai dibawa menjadi seperti orang dewasa. Lagu-lagunya juga lagu orang dewasa. Kalau film kartun seperti "Doraemon", "Casper", "Transformers", "Scooby Doo", "Spongebob Squarepants", itu mengandung unsur kekerasan dan pola—pola yang sudah menunjukkan sisi mistik yang membuat anak ketakutan. Ini beberapa tayangan dalam kategori hati-hati bagi anak-anak kita.
H : Oh, jadi sekalipun itu tayangan kartun tetap bisa termasuk kategori hati-hati ya, Pak?
SK : Iya.
H : Nah, yang mengkhawatirkan adalah kategori tidak aman atau bahaya. Itu seperti apa, Pak?
SK : Tayangan tersebut mengandung banyak adegan kekerasan, seks atau mistik yang terbuka. Dan justru itu yang menjadi daya tarik tayangan tersebut! Dalam hal ini, sebaiknya anak sama sekali tidak menontonnya.
H : Contohnya, Pak?
SK : Misalnya "Tom and Jerry". Kucing dan tikus yang suka berkelahi itu. Orang menganggapnya lucu. Tapi itu justru unsur kekerasan yang tanpa disadari lama kelamaan anak bisa meniru pola kekerasan itu. Yang lain yang kesannya lucu bagi orang dewasa adalah "Crayon Shinchan". Itu menampilkan hal-hal yang mengarah pada eksploitasi seksual, pola-pola orang dewasa. Kemudian "Popeye The Sailorman", "Detective Conan", "Dragon Ball", Naruto yang perang-perangan, yang pertarungan silat, itu juga mengeksplorasi unsur kekerasan yang sebaiknya tidak ditonton sama sekali oleh anak-anak kita.
H : Pak, kelihatannya banyak sekali tayangan yang harus kita ketahui kategorinya dan harus kita waspadai. Kalau pendengar kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kategori-kategori ini, sumber mana yang bisa dituju?
SK : Kita sebagai orang dewasa bisa mengakses situs www.kidia.org. Disanalah kita bisa mengetahui perkembangan tayangan televisi apa yang aman bagi anak-anak kita.
H : Selain televisi, sekarang ini budaya film Hollywood sudah populer di masyarakat Indonesia. Saya percaya itu juga memiliki kategori-kategorinya tersendiri. Bisa Bapak jelaskan mengenai kategori film di bioskop?
SK : Mengenai film di bioskop itu ada 5 kategori berdasarkan usia yang dibuat oleh MPAA yaitu Lembaga Asosiasi Film di negara Amerika Serikat. Kira-kira kalau di Indonesia seperti Lembaga Sensor Film. Yang saya soroti memang film-film Hollywood, karena itu yang paling banyak beredar di bioskop Indonesia.
H : Bisa tolong Bapak jelaskan apa saja kategorinya, Pak?
SK : Yang pertama yaitu kategori dengan huruf "G". dalam bahasa Inggris itu singkatan dari 'General Audiences' atau penonton yang umum. Disini memang isi film berlabel "G" ini bebas dari penggambaran kekerasan, bahasa kasar atau unsur seksual. Ini memang film aman untuk anak-anak kita, tapi kategori "G" ini bukan hanya layak ditonton oleh anak-anak atau film anak-anak, orang dewasa pun bisa menontonnya. Dalam bahasa Indonesia, Lembaga Sensor Film memakai istilah Segala Umur (SU). Di sini tidak ada hal-hal yang mengandung kekerasan, hal-hal yang memprovokasi kekerasan, seks, mistik dan hal-hal yang kasar yang tidak cocok untuk anak-anak kita.
H : Untuk kategori yang kedua, Pak?
SK : Untuk lebih memperjelas kategori "G" tadi, film yang telah beredar seperti "The Lion King", "Toys Story", "Pocahontas", "Cars". Itu beberapa film animasi yang masuk dalam kategori segala umur. Kategori yang kedua dengan simbol "PG" singkatan dari "Parental Guidance Suggested" dimana disarankan ada bimbingan orang tua (BO). Kategori ini terbilang aman namun beberapa adegan itu mungkin membingungkan anak-anak atau mungkin kurang pantas disaksikan anak-anak kita, misalnya mulai ada unsur kekerasan walau pun sifatnya komedi dan minim. Tapi juga ada sisi yang lain tema cerita atau bahasanya mulai agak berat. Lembaga Sensor Film Indonesia memberi label kategori film "PG" ini Semua Umur atau Remaja. Contohnya seperti Narnia, film-film kartun seperti "Ice Age", bukan kartun seperti "Felix and Obelix", "Harry Potter 1". Itu termasuk kategori "PG"
H : Jadi orang tua mendampingi dan harus memberikan penjelasan ketika melihat ada bagian-bagian yang kurang sesuai.
SK : Betul! Mendampingi bukannya menemani menonton dan diam, tetapi menonton sambil melihat kalau ada adegan yang mengandung unsur kekerasan atau jalan ceritanya agak rumit, orang tua berdialog, "Kamu mengerti tidak apa maksudnya?" atau "Wah, itu tidak bagus, tidak boleh ditiru." Jadi anak diajak untuk menyaring, didampingi oleh orang tuanya.
H : Ada pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Saya bacakan dari Mazmur 1:1-2, "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik; yang tidak berdiri di jalan orang berdosa; dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. Tetapi yang kesukaannya ialah taurat Tuhan dan yang merenungkan taurat itu siang dan malam." Di dalam teks firman Tuhan yang kita lihat ini ada beberapa kata kerja. Kata "berjalan" artinya bertindak. Ada kata "berdiri", ada kata "duduk". Berdiri dan duduk itu pasif. Kemudian ada kata "merenungkan", itu juga pasif tetapi aktif dalam proses berpikir. Sebenarnya itu juga terjadi ketika kita berhadapan dengan media. Apa yang kita baca, dengar, tonton, atau saksikan, itu sangat mempengaruhi kita. Firman Tuhan mengatakan janganlah berjalan, berdiri, duduk atau memperkatakan dan mempercakapkan hal-hal yang bukan kebenaran Allah, yang malah mencemooh, membawa kepada dosa, itu mencelakai kita. Ingat peribahasa "Garbage In Garbage Out" itu memengaruhi kita, tapi kalau yang masuk kepada kita, yang kita renungkan adalah kebenaran yang baik, apalagi firman Allah, itulah yang akan membangun kita dan itulah yang dikehendaki Tuhan atas masing-masing kita.
Kita disini bukannya mau berkata bahwa kita harus menjauhi media sepenuhnya. Karena pada dasarnya media itu telah memberikan dampak yang juga positif bagi penggenapan Amanat Agung Tuhan kita. Di jaman inilah dilaporkan bahwa 1 dari 3 orang di dunia ini menonton olimpiade tingkat dunia, pertandingan olahraga tingkat dunia dan di sini juga era dimana film yang banyak ditonton dan diterjemahkan dalam sejarah perfilman justru adalah film "Jesus". Di era inilah gelombang radio Kristen menutupi bumi ini dengan Injil. Bahkan di Amerika ada data bahwa gereja mengoperasikan sebanyak 322 stasiun televisi Kristen dan 1350 stasiun radio Kristen. Di sini kita melihat kemajuan teknologi media membawa kemajuan juga dalam usaha-usaha pemberitaan Injil. Tapi memang ada sisi yang perlu kita kritisi bahwa media televisi memiliki daya hipnosis yang luar biasa. Gambar televisi menawarkan lebih dari 3 juta titik dalam 1 detik. Dan penonton hanya bisa menangkap beberapa lusin saja darinya. Setiap 3,5 detik atau kurang, gambar itu diganti, dan gambar yang baru ganti menuntut perhatian. Maka dari gambaran demi gambaran yang bergulir dengan cepat, televisi memikat penontonnya untuk tetap menonton agar mereka tidak ketinggalan apa pun dan tidak peduli apapun isinya. Sementara isi dari media yang beredar luas itu mengkomunikasikan nilai-nilai dunia, filsafat dunia, kebisingan suara, dengan ide-ide dunia yang ada di dalam kebanyakan siaran televisi membuat kita mau tidak mau perlu menjadi konsumen media yang bijak. Termasuk konsumen televisi dan film yang bijak, karena dalam hal ini terjadi peperangan pikiran. Apa yang kita masukkan dalam pikiran kita, itulah yang akan membentuk dan memengaruhi kita. Jadi dalam konteks ini, penting kita berani memberi batasan yang sehat. Seberapa banyakkah kita memberi waktu kita kepada media umum, baik itu televisi dan siaran-siaran lainnya dan seberapa banyak kita perlu secara sengaja memberi diri untuk duduk tenang tanpa kebisingan media. Kita bisa merenung dan merenungkan firman Allah itu, mempercakapkan firman Allah itu dan kita bisa mengembangkan satu keintiman dengan Tuhan. Justru di masa sekarang ini, sebuah ketenangan dan keteduhan batin itu menjadi sebuah tantangan yang semakin lama semakin sulit. Terlalu mudah pikiran kita dipecah belah dengan berbagai daya tarik media. Dalam konteks ini sangat bagus, sangat bijak, puasa yang perlu kita kerjakan adalah puasa media, bukan sekadar puasa makan dimana media kita matikan dan kita tenang dengan diri kita, merenungkan firman Allah, merenungkan hidup kita, berelasi intim dengan Allah. Juga menjadi satu hal yang penting kita perlu menjalin komunikasi aktif dengan orang-orang di sekitar kita; suami, istri, anak-anak, saudara seiman, karena media televisi dan media lainnya sanggup untuk menghipnosis kita, menjadikan kita tidak berdaya dan membuat kita hanya bisa menerima secara pasif, tidak mampu untuk aktif. Dan itu menggerus kemampuan sosial kita. Jangan lupa, Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk sosial, "zoon politikon". Tuhan menciptakan kita bukan sebagai makhluk teknologi, yang bersifat pasif, tapi makhluk yang bersifat aktif dan interaktif. Dengan manusia lainnya. Maka dalam konteks ini, puasa media kita tegakkan. Yang kedua untuk bagaimana kita mengembangkan relasi yang sehat, percakapan yang bermutu, perbincangan santai yang membangun, yang membuat kita intim secara emosional dengan pasangan hidup, anak-anak, cucu, dan orang tua kita. Betapa pentingnya kita untuk bisa mengembangkan satu dinamika relasi yang sehat.
Para pendengar yang dikasihi Tuhan, dalam hal ini penting diet media ini kita lakukan. Kehidupan yang kaya dengan Tuhan itu perlu kita kembangkan. Kehidupan yang kaya dengan sesama pun perlu kita kembangkan.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita bersyukur sekali bahwa berada di abad ke 21 ini, kita memiliki banyak kemudahan karena kemajuan media dan teknologi yang begitu rupa. Tetapi pasti ada hal-hal yang harus diwaspadai sehingga Bapak memilih topik media dan keluarga pada pertemuan kali ini.
SK : Benar, Pak Hendra. Memang ini merupakan jaman yang memberikan banyak kemudahan sebagaimana kita saksikan dalam sejarah media, berawal dari sekian abad yang lalu ditemukan mesin cetak sehingga ada karya-karya tulis, media cetak. Kemudian masuk ke dunia media audio dengan ditemukannya telegram, telepon, masuk juga ke media audio visual, seperti televisi, internet, bahkan berkembang ke berbagai sarana komunikasi, berupa 'gadget'. Itu merupakan hal yang menggembirakan, mempermudah sekaligus memberikan hal yang perlu kita kenali dampak negatifnya.
H : Dampak atau ekses negatif itu kelihatannya yang paling populer dan paling banyak dibahas di masyarakat adalah media televisi.
SK: Kita sepakat. Televisi termasuk media elektronik yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Karena jenis media audiovisual ini memang tidak membebani banyak syarat kepada masyarakat untuk menikmati. Kita mengenal bahwa masyarakat Indonesia lebih kuat dengan budaya lisan, percakapan, berbicara dan mendengar, daripada budaya baca dan tulis. Sehingga menonton televisi menjadi hal yang sangat disukai daripada membaca dan menulis serta kondisi itu makin dipermudah kalau kita melihat data bahwa tahun 1990, waktu itu hanya satu stasiun televisi di Indonesia yaitu TVRI, itu memiliki 250 program tiap minggunya. Tetapi 20 tahun kemudian dengan berkembangnya berbagai stasiun televisi swasta, dari 280 menjadi 9345 program televisi tiap minggunya. Dengan demikian benar-benar masyarakat Indonesia dimanjakan, dibuai dengan berbagai tayangan televisi jauh lebih banyak daripada di era 90 apalagi era sebelumnya.
H : Kenapa masyarakat Indonesia bisa begitu suka dengan media televisi?
SK : Karena ada satu hal yang terlihat, bisa dijelaskan dari segi sebuah penelitian yang memperlihatkan bahwa manusia memiliki kemampuan menerima pesan hanya sebesar 15% kalau ditangkap lewat media audio atau media yang menggunakan indera pendengaran saja. Sementara kalau menggunakan audiovisual, daya penerima pesan itu 55%. Tetapi selain audiovisual ditambah melibatkan segi emosi, dimana emosi disentuh dan dimainkan, maka sang penonton akan memiliki daya penerimaan sebesar 95%! Dalam hal inilah yang terjadi dalam dunia televisi kita, dimana lewat televisi khususnya tayangan yang beralur cerita, ada musik-musik yang melatari tayangan itu, benar-benra melibatkan emosi, benar-benar merasuk dan nikmati oleh penonton. Ini memberi hiburan tersendiri bagi masyarakat kita, bahkan murah meriah. Karena tinggal di klik di rumah, tanpa harus meninggalkan rumah, tanpa harus bayar iuran televisi kecuali untuk acara televisi berlangganan.
H : Jadi dari segi teoritis dan ekonomis ternyata media televisi memang memiliki pengaruh yang sangat kuat, Pak?
SK : Benar, bahkan pengaruhnya itu sangat memengaruhi pola pikir, pola keyakinan, atau dalam bahasa teknis ini kemampuan kognisi seseorang, yaitu sebuah proses dalam pikiran, dalam hal melihat, mengamati, mengingat, mengekspresikan sesuatu, membayangkan sesuatu, menduga, menilai, mempertimbangkan, memperkirakan. Seluruh proses berpikir yang demikian ini, televisilah yang begitu kuat memberi informasi dan pengetahuan mempengaruhi proses berpikir dan proses persepsi seseorang terhadap faktor yang lain. Televisi menjadi media yang begitu kuat dalam hal menanamkan ideologi, sudut pandang dan keyakinan dalam memengaruhi pola pikir bahkan membentuk menggiring pola pikir banyak orang.
H : Bahkan sampai dikatakan bahwa televisi itu telah menjadi 'the other parent', orangtua lain bagi anak-anak kita. Bagaimana pandangan Bapak?
SK : Benar, televisi memiliki kemampuan membentuk kenyataan. Merancang apa yang menjadi harapan. Mengarahkan perilaku seseorang, bahkan membentuk penghargaan diri atau citra diri seseorang. "Sebaiknya aku jadi seperti apa?" televisi memunyai kemampuan mencetak, yang seharusnya itu kuasa orang tua untuk membentuk konsep diri anaknya, tapi ternyata televisi menjadi orang tua yang lain, membentuk konsep diri anak-anak kita termasuk kita orang dewasa. Bahkan televisi bisa seperti mendikte kita bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya karena kita sedang tidak sadar sedang digiring kesuatu arah. Bahwa itulah yang sedang dilakukan televisi pada diri kita dan memang banyak penelitian membuktikan bahwa tayangan media televisi sangat berkaitan erat dengan pola perilaku manusia. Seperti banyak kajian yang memberatkan antara tayangan-tayangan kekerasan dengan perilaku kekerasan atau perilaku agresif seseorang.
H : Kalau begitu, media televisi ternyata tidak bersifat netral ya, Pak. Ibarat pisau dengan dua sisi, salah satu sisi memberi keuntungan dan di sisi yang lain bisa melukai.
SK : Benar, memang sebagai alat, televisi itu netral. Tetapi isi yang ditayangkan, pesan yang disampaikan oleh media apa pun termasuk televisi itu tidak bersifat netral, ada warnanya, hitam, putih, merah, jingga, bukan warna yang transparan.
H : Saya jadi teringat ungkapan dalam bahasa Inggris yang relevan dengan media televisi ini, yaitu ungkapan yang disingkat dengan GIGO, "Garbage In Garbage Out". Apa yang masuk itu jika itu adalah kotoran akhirnya bisa membuat kita dapat mengeluarkannya dalam kehidupan nyata dalam bentuk yang juga "kotor". Begitu, Pak?
SK : Ya, televisi dan media pada umumnya, apa yang disampaikan olehnya itu sedikit banyak lama kelamaan akan menghasilkan manusia-manusia sebagaimana apa yang dia serap dari media itu, termasuk apa yang dia tonton dari televisi itu. Jadi boleh dikatakan apa yang kamu tonton itulah yang akan membentuk dirimu, apa yang kamu serap dari media itulah yang akan menjadi jati dirimu.
H : Yang paling mengkhawatirkan orang dewasa saat ini adalah pengaruh media televisi terhadap anak-anak. Bagaimana itu, Pak?
SK : Memang ini hal yang perlu kita orang dewasa, khususnya orang tua, perlu mencermatinya. Ada pernyataan tajam dari profesor di bidang psikologi sosial bernama Prof. Dr. Sarlito Wirawan dari Universitas Indonesia, Jakarta, mengatakan bahwa televisi itu ibaratnya magnet yang telah menyita begitu besar perhatian anak-anak kita, jauh lebih besar daripada waktu yang digunakan oleh anak-anak kita untuk belajar di bangku sekolah. Jadi ini merupakan suatu pernyataan yang begitu tajam. Kuasanya begitu besar lebih daripada pendidikan formal di sekolah.
H : Apakah ada data-data yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pernyataan profesor tersebut?
SK : Memang ada suatu survei yang dilakukan oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli terhadap dunia media untuk anak, bernama Kidia singkatan dari Kritis Media untuk Anak. Kidia ini mengekspos bahwa memang idealnya anak-anak maksimal di depan pesawat televisi itu 2 jam per hari. Tetapi yang terjadi di Indonesia, ditemukan oleh Kidia ini, ternyata rata-rata anak Indonesia menonton televisi per hari antara 3,5 jam sampai 5 jam. Tentu jangka waktu yang begitu panjang ini tidak hanya tayangan untuk anak-anak saja yang ditonton, tetapi juga tayangan iklan, tayangan yang seharusnya ditujukan bukan untuk anak-anak tetapi untuk orang dewasa, itu pun ikut ditonton oleh anak-anak kita.
H : Itu data yang menarik, Pak. Misalnya dihitung dalam rata-rata harian atau mingguan, Bapak bisa memberikan gambaran yang memudahkan kita untuk memahaminya?
SK : Kalau di rata-rata berarti bisa dikatakan angka yang kita bulatkan, berarti anak kita rata-rata menonton 30-35 jam per minggu. Kalau kita misalnya memakai angka tertinggi yaitu 35 jam per minggu, maka dalam setahun anak-anak kita menonton 1820 jam. Dan itu kalau dibagi 24 jam hitung per harinya, sekitar 76 hari dalam setahun. Tujuh puluh enam hari dalam setahun secara total kumulatif digunakan hanya untuk menonton televisi dan angka tersebut jauh melebihi jam belajar anak sekolah dasar yang menurut UNESCO tidak melebihi 1000 jam per tahun. Kembali kalau 35 jam per minggu berarti dalam setahun anak kita menonton 1820 jam, sementara jam belajar anak SD itu kurang dari 1000 jam. Boleh dikatakan menonton televisi buat sebagian besar anak Indonesia itu nyaris 2 kali lipat dari jam belajar mereka di SD. Angka yang tidak main-main. Menonton itu jauh lebih lama daripada belajar. Itu berarti dengan kata lain, sebenarnya yang membentuk mentalitas anak-anak kita bukan pendidikan formalnya di SD, tapi televisilah.
H : Ini fakta yang mungkin tidak disadari oleh sebagian kita, ternyata kalau dihitung, porsi nonton televisinya jauh lebih besar daripada belajar. Bagaimana kita sebagai orang tua mewaspadai kategori-kategori tontonan yang baik untuk anak? Karena saya percaya tidak semua tontonan itu buruk. Pasti ada juga tontonan yang baik.
SK : Iya, kalau boleh saya timpali, dengan data yang demikian, bisa kita katakan bahwa anak-anak kita sedang dimuridkan oleh media televisi, sedang dimuridkan dunia lewat televisi. Bukan dimuridkan lewat sekolahnya, gereja, atau orang tuanya, tapi dimuridkan televisi. Menanggapi pertanyaan Pak Hendra tadi, kaitannya dengan program televisi untuk anak itu ada 3 kategori, Pak Hendra. Yang pertama, kategori aman. Yang kedua kategori hati-hati dan yang ketiga adalah kategori tidak aman atau bahaya.
H : Nah, yang membedakan ketiga kategori itu apa, Pak?
SK : Kategori aman ketika program televisi itu tidak banyak mengandung adegan kekerasan, seks atau mistik dan ceritanya cukup sederhana dan mudah dipahami oleh anak-anak. Dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan tayangan ini tanpa perlu didampingi oleh orang tua atau orang dewasa.
H : Contohnya apa?
SK : Misalnya kalau kita saksikan di beberapa stasiun televisi, acara Varia Anak yang menampilkan kreasi menyanyi, kreasi-kreasi anak. Acara di televisi swasta antara lain "Bocah Petualang", "Laptop Si Unyil", "Sesame Street" diterjemahkan sebagai tayangan Jalan Sesama, "Cita-citaku", "Surat Sahabat". Kalau tayangan asing itu "Dora The Explorer", "Go Dear Go Go", "Dunia Binatang", "Upin Ipin" dengan dialek Melayunya itu, "Pelangi Anak Nusantara", "Curious" tentang kera yang lucu. Itu semua tayangan yang membawa anak mengeksplorasi dunia alam, dunia cita-cita, dunia binatang dan anak bisa menjadi seperti anak yang sesungguhnya.
H : Kalau yang termasuk kategori hati-hati seperti apa, Pak?
SK : Kategori hati-hati itu artinya tayangan tersebut mengandung unsur kekerasan, seks atau mistik sekalipun tidak berlebihan. Sementara jalan cerita atau temanya mulai terasa kurang cocok untuk anak SD dan karena itulah anak-anak kita perlu didampingi. Kalau kita lihat di layar televisi ada singkatan BO yaitu Bimbingan Orang tua, ini yang termasuk kategori hati-hati atau lampu kuning. Misalnya acara yang cukup digemari oleh anak-anak atau orang dewasa itu idol. Idola cilik! Baik itu "Idola Cilik Seleb", "Catatan Harian Idola Cilik", Pentasnya, Raportnya tentang idola cilik, itu sudah mulai kurang cocok dimana anak mulai dibawa menjadi seperti orang dewasa. Lagu-lagunya juga lagu orang dewasa. Kalau film kartun seperti "Doraemon", "Casper", "Transformers", "Scooby Doo", "Spongebob Squarepants", itu mengandung unsur kekerasan dan pola—pola yang sudah menunjukkan sisi mistik yang membuat anak ketakutan. Ini beberapa tayangan dalam kategori hati-hati bagi anak-anak kita.
H : Oh, jadi sekalipun itu tayangan kartun tetap bisa termasuk kategori hati-hati ya, Pak?
SK : Iya.
H : Nah, yang mengkhawatirkan adalah kategori tidak aman atau bahaya. Itu seperti apa, Pak?
SK : Tayangan tersebut mengandung banyak adegan kekerasan, seks atau mistik yang terbuka. Dan justru itu yang menjadi daya tarik tayangan tersebut! Dalam hal ini, sebaiknya anak sama sekali tidak menontonnya.
H : Contohnya, Pak?
SK : Misalnya "Tom and Jerry". Kucing dan tikus yang suka berkelahi itu. Orang menganggapnya lucu. Tapi itu justru unsur kekerasan yang tanpa disadari lama kelamaan anak bisa meniru pola kekerasan itu. Yang lain yang kesannya lucu bagi orang dewasa adalah "Crayon Shinchan". Itu menampilkan hal-hal yang mengarah pada eksploitasi seksual, pola-pola orang dewasa. Kemudian "Popeye The Sailorman", "Detective Conan", "Dragon Ball", Naruto yang perang-perangan, yang pertarungan silat, itu juga mengeksplorasi unsur kekerasan yang sebaiknya tidak ditonton sama sekali oleh anak-anak kita.
H : Pak, kelihatannya banyak sekali tayangan yang harus kita ketahui kategorinya dan harus kita waspadai. Kalau pendengar kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kategori-kategori ini, sumber mana yang bisa dituju?
SK : Kita sebagai orang dewasa bisa mengakses situs www.kidia.org. Disanalah kita bisa mengetahui perkembangan tayangan televisi apa yang aman bagi anak-anak kita.
H : Selain televisi, sekarang ini budaya film Hollywood sudah populer di masyarakat Indonesia. Saya percaya itu juga memiliki kategori-kategorinya tersendiri. Bisa Bapak jelaskan mengenai kategori film di bioskop?
SK : Mengenai film di bioskop itu ada 5 kategori berdasarkan usia yang dibuat oleh MPAA yaitu Lembaga Asosiasi Film di negara Amerika Serikat. Kira-kira kalau di Indonesia seperti Lembaga Sensor Film. Yang saya soroti memang film-film Hollywood, karena itu yang paling banyak beredar di bioskop Indonesia.
H : Bisa tolong Bapak jelaskan apa saja kategorinya, Pak?
SK : Yang pertama yaitu kategori dengan huruf "G". dalam bahasa Inggris itu singkatan dari 'General Audiences' atau penonton yang umum. Disini memang isi film berlabel "G" ini bebas dari penggambaran kekerasan, bahasa kasar atau unsur seksual. Ini memang film aman untuk anak-anak kita, tapi kategori "G" ini bukan hanya layak ditonton oleh anak-anak atau film anak-anak, orang dewasa pun bisa menontonnya. Dalam bahasa Indonesia, Lembaga Sensor Film memakai istilah Segala Umur (SU). Di sini tidak ada hal-hal yang mengandung kekerasan, hal-hal yang memprovokasi kekerasan, seks, mistik dan hal-hal yang kasar yang tidak cocok untuk anak-anak kita.
H : Untuk kategori yang kedua, Pak?
SK : Untuk lebih memperjelas kategori "G" tadi, film yang telah beredar seperti "The Lion King", "Toys Story", "Pocahontas", "Cars". Itu beberapa film animasi yang masuk dalam kategori segala umur. Kategori yang kedua dengan simbol "PG" singkatan dari "Parental Guidance Suggested" dimana disarankan ada bimbingan orang tua (BO). Kategori ini terbilang aman namun beberapa adegan itu mungkin membingungkan anak-anak atau mungkin kurang pantas disaksikan anak-anak kita, misalnya mulai ada unsur kekerasan walau pun sifatnya komedi dan minim. Tapi juga ada sisi yang lain tema cerita atau bahasanya mulai agak berat. Lembaga Sensor Film Indonesia memberi label kategori film "PG" ini Semua Umur atau Remaja. Contohnya seperti Narnia, film-film kartun seperti "Ice Age", bukan kartun seperti "Felix and Obelix", "Harry Potter 1". Itu termasuk kategori "PG"
H : Jadi orang tua mendampingi dan harus memberikan penjelasan ketika melihat ada bagian-bagian yang kurang sesuai.
SK : Betul! Mendampingi bukannya menemani menonton dan diam, tetapi menonton sambil melihat kalau ada adegan yang mengandung unsur kekerasan atau jalan ceritanya agak rumit, orang tua berdialog, "Kamu mengerti tidak apa maksudnya?" atau "Wah, itu tidak bagus, tidak boleh ditiru." Jadi anak diajak untuk menyaring, didampingi oleh orang tuanya.
H : Ada pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Saya bacakan dari Mazmur 1:1-2, "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik; yang tidak berdiri di jalan orang berdosa; dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. Tetapi yang kesukaannya ialah taurat Tuhan dan yang merenungkan taurat itu siang dan malam." Di dalam teks firman Tuhan yang kita lihat ini ada beberapa kata kerja. Kata "berjalan" artinya bertindak. Ada kata "berdiri", ada kata "duduk". Berdiri dan duduk itu pasif. Kemudian ada kata "merenungkan", itu juga pasif tetapi aktif dalam proses berpikir. Sebenarnya itu juga terjadi ketika kita berhadapan dengan media. Apa yang kita baca, dengar, tonton, atau saksikan, itu sangat mempengaruhi kita. Firman Tuhan mengatakan janganlah berjalan, berdiri, duduk atau memperkatakan dan mempercakapkan hal-hal yang bukan kebenaran Allah, yang malah mencemooh, membawa kepada dosa, itu mencelakai kita. Ingat peribahasa "Garbage In Garbage Out" itu memengaruhi kita, tapi kalau yang masuk kepada kita, yang kita renungkan adalah kebenaran yang baik, apalagi firman Allah, itulah yang akan membangun kita dan itulah yang dikehendaki Tuhan atas masing-masing kita.
Kita disini bukannya mau berkata bahwa kita harus menjauhi media sepenuhnya. Karena pada dasarnya media itu telah memberikan dampak yang juga positif bagi penggenapan Amanat Agung Tuhan kita. Di jaman inilah dilaporkan bahwa 1 dari 3 orang di dunia ini menonton olimpiade tingkat dunia, pertandingan olahraga tingkat dunia dan di sini juga era dimana film yang banyak ditonton dan diterjemahkan dalam sejarah perfilman justru adalah film "Jesus". Di era inilah gelombang radio Kristen menutupi bumi ini dengan Injil. Bahkan di Amerika ada data bahwa gereja mengoperasikan sebanyak 322 stasiun televisi Kristen dan 1350 stasiun radio Kristen. Di sini kita melihat kemajuan teknologi media membawa kemajuan juga dalam usaha-usaha pemberitaan Injil. Tapi memang ada sisi yang perlu kita kritisi bahwa media televisi memiliki daya hipnosis yang luar biasa. Gambar televisi menawarkan lebih dari 3 juta titik dalam 1 detik. Dan penonton hanya bisa menangkap beberapa lusin saja darinya. Setiap 3,5 detik atau kurang, gambar itu diganti, dan gambar yang baru ganti menuntut perhatian. Maka dari gambaran demi gambaran yang bergulir dengan cepat, televisi memikat penontonnya untuk tetap menonton agar mereka tidak ketinggalan apa pun dan tidak peduli apapun isinya. Sementara isi dari media yang beredar luas itu mengkomunikasikan nilai-nilai dunia, filsafat dunia, kebisingan suara, dengan ide-ide dunia yang ada di dalam kebanyakan siaran televisi membuat kita mau tidak mau perlu menjadi konsumen media yang bijak. Termasuk konsumen televisi dan film yang bijak, karena dalam hal ini terjadi peperangan pikiran. Apa yang kita masukkan dalam pikiran kita, itulah yang akan membentuk dan memengaruhi kita. Jadi dalam konteks ini, penting kita berani memberi batasan yang sehat. Seberapa banyakkah kita memberi waktu kita kepada media umum, baik itu televisi dan siaran-siaran lainnya dan seberapa banyak kita perlu secara sengaja memberi diri untuk duduk tenang tanpa kebisingan media. Kita bisa merenung dan merenungkan firman Allah itu, mempercakapkan firman Allah itu dan kita bisa mengembangkan satu keintiman dengan Tuhan. Justru di masa sekarang ini, sebuah ketenangan dan keteduhan batin itu menjadi sebuah tantangan yang semakin lama semakin sulit. Terlalu mudah pikiran kita dipecah belah dengan berbagai daya tarik media. Dalam konteks ini sangat bagus, sangat bijak, puasa yang perlu kita kerjakan adalah puasa media, bukan sekadar puasa makan dimana media kita matikan dan kita tenang dengan diri kita, merenungkan firman Allah, merenungkan hidup kita, berelasi intim dengan Allah. Juga menjadi satu hal yang penting kita perlu menjalin komunikasi aktif dengan orang-orang di sekitar kita; suami, istri, anak-anak, saudara seiman, karena media televisi dan media lainnya sanggup untuk menghipnosis kita, menjadikan kita tidak berdaya dan membuat kita hanya bisa menerima secara pasif, tidak mampu untuk aktif. Dan itu menggerus kemampuan sosial kita. Jangan lupa, Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk sosial, "zoon politikon". Tuhan menciptakan kita bukan sebagai makhluk teknologi, yang bersifat pasif, tapi makhluk yang bersifat aktif dan interaktif. Dengan manusia lainnya. Maka dalam konteks ini, puasa media kita tegakkan. Yang kedua untuk bagaimana kita mengembangkan relasi yang sehat, percakapan yang bermutu, perbincangan santai yang membangun, yang membuat kita intim secara emosional dengan pasangan hidup, anak-anak, cucu, dan orang tua kita. Betapa pentingnya kita untuk bisa mengembangkan satu dinamika relasi yang sehat.
Para pendengar yang dikasihi Tuhan, dalam hal ini penting diet media ini kita lakukan. Kehidupan yang kaya dengan Tuhan itu perlu kita kembangkan. Kehidupan yang kaya dengan sesama pun perlu kita kembangkan.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
42. Media dan Keluarga 2 | |
Televisi telah menjadi "the other parent" (orang tua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada kaitan antara tayangan media dengan pola perilaku manusia. Media ternyata tidak bersifat netral. Tayangan mana yang aman ditonton anak? Apa saja pengaruh buruk media televise bagi keluarga? Apa kiat-kiat untuk mengatasi pengaruh buruk media tersebut?
Kita bersyukur bahwa kita berada di abad ke-21, abad kemajuan media dan teknologi. Televisi adalah media elektronik yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jenis media ini sebagai media audio-visual, tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya. Untuk masyarakat Indonesia, yang lebih kuat dengan budaya lisan, media televisi tidak memiliki jarak yang jauh. Menonton televisi berbeda dengan budaya baca-tulis.
Sebuah teori tentang kemampuan manusia dalam penerimaan pesan menyebutkan bahwa apabila sebuah pesan diterima hanya dengan perangkat audio atau indera pendengaran semata, maka kemampuan daya tangkapnya adalah 15%. Sedangkan jika dengan audio-visual maka kemampuan daya tangkapnya sebesar 55%, dan akan meningkat hingga 95% jika selain audio-visual juga melibatkan emosional.
Media khususnya televisi, memang telah diakui mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Kognisi adalah semua proses yang terjadi di pikiran, yaitu melihat, mengamati, mengingat, mengekspresikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berpikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan sesuatu. Media khususnya televisi memberikan informasi dan pengetahuan yang menjadi ranah kognisi seseorang, yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi, memiliki kekuatan yang besar untuk menanamkan ideologi atau mempengaruhi khalayak.
Televisi telah menjadi "the other parent" (orangtua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada kaitan antara tayangan media dengan pola perilaku manusia. Misalnya saja, banyak kajian yang menghubungkan kaitan antara terpaan tayangan kekerasan media dengan perilaku agresif. Media ternyata tidak bersifat netral.
Ada ungkapan dalam bahasa Inggris yang relevan tentang media: Garbage In, Garbage Out.
Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarjono memberi tanggapan bahwa televisi ibarat magnet yang telah menyita perhatian anak-anak Indonesia jauh lebih besar dari pada waktu yang digunakan untuk belajar di bangku sekolah. Pada sisi lain, seperti yang ditulis dalam Kidia (Kritis! Media untuk Anak) edisi 10 Mei 2007 "media, terutama televisi merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat mempengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio-visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan yang paling bisa diterima. Hal tersebut menunjukkan bagaimana daya penetrasi media di tengah kehidupan masyarakat kitasekarang ini. Intensitas konsumsi media yang tinggi tersebut tentunya akan memengaruhi juga tingkat kecepatan transfer nilai dan pesan itu."
Selanjutnya, disajikan data jumlah jam yang dihabiskan anak-anak di depan pesawat televisi yang melebihi ambang batas ideal, 2 jam sehari. Di Indonesia, rata-rata setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5-5 jam sehari. Tentu saja yang disaksikan anak-anak di televisi itu bukan hanya tayangan untuk anak-anak, melainkan juga ada tayangan iklan yang diselipkan di tengah tayangan untuk anak-anak dan tentu pula tayangan yang tidak ditujukan bagi anak-anak. Dari sekian banyak tayangan untuk anak pun ada yang dikategorikan "aman", "hati-hati" dan "berbahaya".
KATEGORI PROGRAM TELEVISI UNTUK ANAK
Film dengan kategori 'R' (restricted), orang tua diminta mempelajari tentang film ini sebelum mengajak anak-anak mereka (remaja awal — akhir, usia 13 — 17 tahun), tema cerita tindak kekerasan yang kuat, penggunaan obat-obatan terlarang serta unsur dan adegan seksual yang begitu dominan. Di LSF dikategorikan sebagai film-film untuk orang dewasa. Contoh : 'Final Destination', 'Underword' dan 'Basic Instinct'.
Kalau kita ingin mengetahui lebih lanjut, bisa membuka imdb.com yaitu situs yang membahas film-film Hollywood, kita bisa membuka di bagian 'movie & theaters' dan akan muncul rating. Sebaiknya sebelum kita menonton, atau jika kita mau mengajak anak-anak untuk menonton, check lebih dulu untuk mengantisipasinya.
Menurut survei yang dilakukan di Amerika Serikat ditemukan 63% orang menonton televisi sambil makan malam termasuk 76% berusia 8 — 24 tahun. Televisi sudah dijadikan kebutuhan. 29% orang jatuh tertidur sementara televisi tetap menyala. 42% orang menyalakan televisi setiap kali masuk ke ruang di rumahnya. Hal ini menunjukkan gejala-gejala kecanduan televisi.
Keluarga menjadi tidak lebih daripada unit ekonomi dengan tanpa mempraktekkan karunia Allah yang luar biasa untuk berkomunikasi secara verbal dan non-verbal. Keluarga bukan lagi sekelompok individu yang saling mengasihi, saling membagi nilai-nilai dan kepercayaan maupun saling melayani dengan tanpa pamrih.
Orangtua memenuhi waktu luang mereka dengan mengkonsumsi media dan juga mendorong anak-anak untuk melakukan hal yang sama. Mungkin menjadi hal lumrah jika kita saksikan misalnya: sang ayah asyik dengan remote TV, sang ibu dengan Blackberry dan sang anak dengan Ipad-nya. Mereka ada dalam satu ruangan namun tidak terjadi komunikasi di antara mereka. Jadi, adalah sebuah MITOS atau KEBOHONGAN BESAR bahwa dengan lebih banyak teknologi otomatis waktu luang akan meningkat dan kehidupan keluarga akan berkembang makin harmonis, mendalam dan berkualitas. TV dan perkembangan teknologi media termasuk media sosial bukan lagi mempersatukan keluarga, tapi lebih mungkin mencerai-beraikan keluarga. Sudah saatnya kita memenangkan kembali anak-anak kita dari media. Dalam hal ini, membutuhkan komitmen bersama untuk membangun hubungan yang mendalam dan bermanfaat antara satu dengan yang lain maupun dengan sahabat-sahabat terdekat.
Pendidikan Media adalah istilah yang digunakan untuk pembelajaran bagi khalayak media sehingga menjadi khalayak yang berdaya hidup di tengah dunia sesak-media, khalayak dalam hal ini adalah bisa para pelajar, bisa orang dewasa khususnya orangtua dan para pendamping anak-anak di rumah.
FILIPI 4:8-9, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu". "Garbage In Garbage Out" — hukum tabur tuai, menabur pikiran menuai perbuatan, menabur perbuatan menuai kebiasaan, menabur kebiasaan menuai karakter, menabur karakter menuai nasib akhir. Apa yang kita tabur dalam pikiran jangan dianggap remeh, itu sangat penting. Ada rentetannya. Biarlah diri kita menjadi media yang baik bagi anak-anak kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, melanjutkan percakapan kita sebelumnya, Bapak sudah sempat menyinggung ada dua jenis kategori yang perlu kita perhatikan terkait tentang film-film bioskop Hollywood yaitu kategori pertama 'General' dan kategori kedua 'Parental Guidance Suggested'. Nah, kategori yang ketiga apa, Pak?
SK : Kategori ketiga adalah dengan simbol "PG-13" atau dalam bahasa Inggris disebut Parents Strongly Caution. Artinya orang tua diminta untuk berhati-hati karena beberapa isi dari tayangan film tersebut kurang cocok bagi remaja usia awal. Jadi memang kategori rating usia ini paling populer di Amerika Serikat karena berada di tengah-tengah dan dipercayai sebagai rating yang paling menguntungkan secara komersial. Dalam hal ini anak-anak usia 13 tahun masih bisa menyaksikan film ini apalagi orang dewasa. Dalam film kategori PG-13 ini, penggambaran tindakan kekerasan, sensualitas, aktifitas seksual, bahasa kasar, itu bisa ditemukan di beberapa adegan film ini namun dalam takaran yang dianggap tidak berlebihan bagi anak di usia minimal 13 tahun asal didampingi oleh orang tua. Sementara adegan merokok, adegan mengkonsumsi obat-obatan terlarang juga masih bisa ditemukan dalam kategori film ini. Termasuk juga adegan seks, sekalipun tidak menunjukkan seluruh bagian tubuh secara eksplisit.
H : Bapak bilang rating ini sangat populer terutama ditujukan bagi anak-anak kita yang berusia remaja awal, usia 13 tahun ya, Pak?
SK : Iya dan juga bagi orang dewasa.
H : Bisakah Bapak memberikan contoh film apa dan bagaimana proses orang tua dalam pendampingan ini?
SK : Contoh pendampingannya, jadi memang sebagaimana dijelaskan dalam bimbingan orang tua kategori film atau program televisi "Bimbingan Orang tua" (BO), Kategori Lampu Kuning (Hati-hati), di sini orang tua perlu menyaksikan bersama dan mendiskusikan dengan anak-anak yang menyaksikan film itu. Memang kembali ini memang bukan film yang cocok bagi usia di bawah 13 tahun. Jadi usia anak-anak yang masih TK, SD, apalagi yang balita, usia Kelompok Bermain jangan sekali-sekali menonton film ini. Karena akan cenderung mencederai mentalitas dan tumbuh kembang anak kita menjadi pribadi yang sehat.
H : Kalau saya lihat karena ini sudah memasuki usia remaja, kelihatannya proses dialognya agak berbeda dengan usia anak-anak, ya Pak? Kalau anak-anak saya rasa pada saat 'on the spot' kita menonton film bersama kita dapat berdiskusi bersama, tapi kalau dengan remaja apa mungkin sesudahnya ya, Pak?
SK : O ya, tentu. Karena ini film bioskop berarti setelah menonton barulah kita sebagai orang tua dapat membangun diskusi atau dialog.
H : Terima kasih, Pak. Apakah Bapak bisa memberikan contoh film yang berkategori PG-13?
SK : Cukup mudah, Pak Hendra. Biasanya ini film-film Box Office, film-film yang laris manis khususnya di masa musim panas (Summer dalam konteks Amerika) dan itu jatuhnya di masa liburan sekolah, sekitar bulan Juni — Juli di Indonesia. Seperti film Iron Man, The Avengers, Man of Steel, Superman yang seri terakhir, The Incredible Hulk, Si Raksasa Hijau, Spiderman, Godzilla, King Kong, Pirates of The Caribbean, Jurassic Park, Harry Potter (Seri kedua, ketiga dan seterusnya yang termasuk kategori remaja ke atas). Jadi Harry Potter yang pertama masih bisa disaksikan oleh anak yang bukan remaja tapi dengan bimbingan orang tua. Sedangkan Harry Potter kedua dan seterusnya berada di level yang lebih atas, usia remaja, dan itu pun sebaiknya di bawah bimbingan orang tua. Ada diskusi, ada percakapan supaya anak bisa menyaring hal-hal yang kurang tepat bagi tumbuh kembang yang sehat bagi anak kita.
H : Bagaimana dengan kategori yang keempat, Pak?
SK : Kategori yang keempat dengan simbol huruf R yaitu 'Restricted'. Jadi ini berisi beberapa adegan untuk orang dewasa, dimana orang tua diminta untuk benar-benar mempelajari lebih banyak lagi tentang film ini sebelum mengajak anak-anak mereka menontonnya. Jadi film kategori R dalam konteks Amerika Serikat, usia di bawah 17 tahun/remaja akhir wajib didampingi oleh orang tua, karena di dalam film berkategori R memiliki tema cerita tindak kekerasan yang kuat, bahasa yang sangat kasar, penggunaan obat-obatan terlarang, serta unsur dan adegan seksual yang begitu dominan dan memang sebaiknya anak-anak tidak menyaksikannya. Oleh Lembaga Sensor Film Indonesia, film-film seperti ini dikategorikan sebagai film Dewasa (D) atau 17 Tahun Keatas (17+). Film-film yang masuk dalam kategori R biasanya adalah film-film 'horror', 'thriller', 'action', dimana mengumbar kekerasan, darah bercucuran dan ini tidak baik bagi tumbuh kembang seorang anak.
H : Contoh-contoh filmnya apa, Pak?
SK : Misalnya seperti film "Final Destination"; film pembunuhan berantai, menegangkan, mencekam, berdarah; film "Underworld"; film-film fantasi; film dewasa atau film yang didominasi oleh adegan kekerasan dan adegan seksual. Yang terkenal di tahun 1980-an atau 1990-an awal itu "Basic Instinct". Film-film seperti ini banyak mengekspose hal-hal yang tidak cocok dan tidak membangun bagi anak-anak termasuk remaja.
H : Kalau kategori yang terakhir, Pak?
Sk : Kategori terakhir adalah kategori yang bersimbol NC-17 singkatan dari "No One 17 and Under Admitted". Artinya yang berusia 17 tahun dan kurang dari 17 tahun tidak diijinkan menonton film ini. Dalam konteks Amerika, ini untuk film yang sangat vulgar, kekerasan di luar batas, adegan seksual yang begitu blak-blakan dimana menunjukkan bagian tubuh yang vital dan ada unsur yang dianggap hanya dapat dicerna oleh orang dewasa. Contohnya film Salt.
H : Film yang sadis dan berdarah-darah itu ya, Pak?
SK : Betul! Saya sendiri kapok untuk nonton. Saya cukup nonton secuplik lalu tidak melanjutkannya. Karena begitu kejam dan dapat menyebabkan mimpi buruk dan tidak sehat. Menurut saya, film ini juga tidak sehat bagi jiwa saya.
H : Iya. Terima kasih untuk penjabarannya, Pak. Kalau kita sudah mengetahui kategori-kategori tersebut, kelihatannya lembaga sensor film Amerika maupun Indonesia sangat mengkritisi bagian ini karena ingin menghindarkan anak-anak dari pengaruh negatif. Pengaruh-pengaruh negatif tersebut konkretnya seperti apa, Pak?
Sk : Ada berbagai unsur. Sebelumnya saya ingin tambahkan. Bagi kita yang ingin tahu lebih lanjut, bisa membuka imdb.com. Ini adalah situs yang membahas film-film Hollywood dan kita bisa membuka di bagian "Movie and Theater". Disana kita bisa ketik atau klik judul filmnya, nanti akan muncul ratingnya. Seperti rating yang saya jelaskan tadi. Jadi sebelum menontonnya sendiri apalagi hendak mengajak anak-anak yang berusia balita, remaja atau pun di bawah 17 tahun, sebaiknya kita cek dulu. Jangan terkelabui, "Oh ini 'kan film tokoh fantasi komik, pasti film anak. Ini 'kan film animasi kartun, pasti untuk segala umur." Oh, nanti dulu. Cek dulu. Jadi supaya kita mengantisipasi jangan sampai kita bawa film itu kemudian terkelabui dan terlanjur ditonton oleh anak kita.
H : Terima kasih untuk infonya, Pak.
SK : Untuk menjawab pertanyaan Pak Hendra tadi, saya menemukan ada 7 dampak yang nyata bagi anak-anak kita, Pak Hendra.
H : Apa saja itu, Pak?
Sk : Yang pertama yaitu mempengaruhi perkembangan otak dan daya pikir anak kita. Dalam hal ini bagi anak kita yang berusia 0 — 3 tahun, pengeksposan televisi, film atau acara televisi yang berjam-jam, itu bisa menghambat kemampuan bicara anak kita. Menghambat sehingga anak kita mengalami gangguan berbicara, lambat berbicara. Kemampuan untuk membaca, kemampuan untuk memahami sesuatu. Jadi saya pernah menemukan suatu situasi anak umur 3,5 tahun tapi masih belum bisa berucap selain "papa" dan "mama" saja. Saya coba menggali lebih lanjut, ternyata kedua orang tuanya sama-sama sibuk, kemudian anak ini diserahkan kepada televisi, tanpa disadari, untuk menjadi orang tua pengganti. Karena di depan televisi anak bisa tenang, tidak banyak bertingkah sebab acara televisi itu menarik. Tapi karena pasif, akibatnya anak tersebut tidak terstimulasi atau terasah dalam hal berbicara. Orang tua pun pulang sudah lelah, hanya memandikan, memberi makan, lalu tidur. Jadi akhirnya kemampuan bicara anak itu terhambat.
H : Selain gangguan bicara, gangguan apalagi yang berkaitan dengan perkembangan otak ini, Pak?
SK : Berikutnya untuk usia 5 — 10 tahun, yaitu hambatan dalam pengekspresian pikiran lewat tulis menulis. Jadi kemampuannya menulis mengalami hambatan dan anak cenderung berperilaku agresif, menyerang, melakukan kekerasan, akhirnya anak sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan. Misalnya yang ekstrem pakai selimut berwarna merah, lompat dari lantai dua. "Aku Superman!" Akhirnya jatuh, gegar otak. Karena dia terus-menerus menyaksikan film Superman. Dia tidak bisa membedakan bahwa itu adalah khayalan. Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu dia menyaksikan film Superman, akhirnya dia meniru. Anak adalah peniru ulung. Itu menjerumuskan anak kita. Kemudian yang lain berkaitan dengan otak, pola pikirnya cenderung linier. Artinya datar, tidak ada kreatifitas. Hanya menerima, sehingga tidak terangsang berpikir secara kreatif melintas batas, sehingga dia tidak bisa optimal dengan potensi yang sebenarnya Tuhan taruh.
H : Yang berikutnya masih ada, Pak?
SK : Ya, berkaitan dengan konsentrasi, Pak Hendra. Ada istilah GPP singkatan dari Gangguan Pemusatan Perhatian. Jadi anak-anak yang terlalu banyak terpapar di depan televisi, menonton tayangan-tayangan audiovisual, berhari-hari berminggu-minggu, berjam-jam, maka kecenderungannya dia susah tenang di kelas, baik di Sekolah Minggu maupun di sekolah, karena guru-guru ini membosankan bagi anak-anak jika dibandingkan dengan televisi yang warnanya ganti-ganti, bergerak cepat, adegannya macam-macam, suasananya berbeda. Kelas di sekolah cenderung monoton, sehingga anak itu gelisah. Bahkan sebuah penelitian yang diekspose di halaman pertama Harian Kompas beberapa tahun yang lalu, disampaikan hasil penelitian yang menunjukkan dampak negatif tayangan televisi beriklan bagi anak kita. Hal itu akan membuat daya fokus anak jadi pendek-pendek. Konsentrasinya semakin lama semakin pendek. Anak gelisah untuk sesuatu yang membutuhkan waktu 10, 15 apalagi 30 menit. Karena televisi beriklan paling tayangan acaranya 10 menit, iklannya 3 menit. Tayang 5 menit iklannya 3 menit, atau tayangan acaranya 3 menit, iklannya 5 menit. Nah, itu membuat daya konsentrasi anak menjadi pendek-pendek.
H : Nah, tayangan iklan itu sendiri juga pendek-pendek ya, Pak. Pendek dan menarik.
SK : Betul, inilah, Pak Hendra. Ternyata apa yang disaksikan anak kita tidak sederhana.
H : Selain pengaruh negatif terhadap perkembangan otak anak, apalagi pengaruh negatifnya, Pak?
SK : Pengaruh lain, Pak Hendra, yaitu anak kita konsumtif. Dalam konteks televisi beriklan yang disaksikan oleh anak-anak menampilkan berbagai macam makanan, mainan, bentuk-bentuk barang-barang tertentu yang akhirnya anak ingin memiliki. Membeli barang ini dan membeli barang itu. Kemudian pengaruh televisi yang ketiga adalah sikap yang terpengaruhi. Jadi memang terutama sampai usia 3 tahun, anak belum pandai menyaring apa yang mereka tonton. Jadi apa yang mereka tonton, itulah yang menjadi tuntunan mereka. Termasuk usia yang lebih tua seperti 5 - 7 tahun, sekarang sudah mengerti soal pacaran, mengerti istilah galau dan istilah-istilah atau ungkapan. Belajar darimana? Ternyata setelah diusut, televisilah yang mengajari anak kita.
H : Bukan hanya perilaku ya Pak, tapi juga cara berpakaiannya? Segala yang ada di televisi dia ingin tiru.
SK : Betul, begitulah. Kadang yang ironis, tanpa sadar kita memberi penguatan. Kita tertawa, kita pikir lucu melihat anak kita seperti itu. Bagi anak kita, "Wah, aku disetujui, aku didukung!" Malah membuat anak kita menjadi-jadi.
H : Pengaruh negatif yang lain lagi apa, Pak?
SK : Yang lain, Pak Hendra, semangat belajar cenderung turun. Menonton televisi itu rileks, pasif. Sedangkan belajar itu aktif, perlu berpikir. Jadi anak kita malas berpikir kalau dia berlama-lama di depan televisi. Dampak yang lain adalah obesitas atau kegemukan. Nonton asyik pasti didampingi oleh masakan yang asyik juga. Dan makan makanan seperti makanan di iklan itu 'kan kaya lemak, penuh zat-zat karbohidrat, lemak dan itu menumpuk potensi kegemukan pada anak dan malas bergerak.
H : Ini untuk anak yang hobi menonton sekaligus hobi makan, ya Pak?
SK : Ya, tapi tidak hobi makan pun akan terstimulasi. Waktu dia menonton kan ada tayangan iklan. Pada tayangan film anak-anak juga ada tayangan iklan anak-anak. Terstimulasi, ingin beli, akhirnya ingin menikmati. Dan benar, rasanya memang rasa untuk anak. Sekalipun zat-zatnya sintetik yang tidak baik untuk tumbuh kembang anak kita, tapi rasanya memang enak.
H : Berikutnya apa, Pak?
SK : Yang lain, anak kita cenderung asosial. Artinya dia kurang mampu menempatkan diri dalam relasi dengan orang lain. "Bagaimana sih anak sekarang tidak tahu tata krama, masuk begitu saja, tidak permisi, lupa ngomong terima kasih, lupa minta tolong, lupa minta maaf?" Ternyata apa? Memang televisi bukan orang tua yang baik, malah jadi orang tua dan guru yang buruk untuk beberapa adegan yang sebenarnya adegan untuk orang dewasa atau adegan yang jelek. Sinetron-sinetron dilahap, jargon-jargon yang bersifat lelucon, infotainment untuk orang dewasa yang tidak membangun disaksikan anak kita. Sehingga dia jadi orang yang tidak peduli dengan orang lain.
H : Dampak yang terakhir, Pak?
Sk : Yaitu dampak secara seksual, Pak Hendra. Jadi anak kita cenderung akan lebih cepat matang secara seksual, karena dia sudah menyaksikan tayangan-tayangan atau adegan-adegan yang sebenarnya mengeksploitasi seksual dimana anak kita belum bisa menyaring. Itu membuat dia meniru dan terangsang pola pikirnya. Perilaku pun akan terpengaruhi, dia akan mencoba-coba perilaku seksual yang sebenarnya tidak cocok dilakukan oleh anak-anak kita.
H : Ok, Pak. Jadi itu adalah pengaruh-pengaruh negatif yang harus kita waspadai dan sebisa mungkin harus kita hindarkan dari anak-anak kita, ya Pak. Kalau pengaruh negatif media televisi bagi orang dewasa itu apa, Pak?
SK : Seperti pada anak-anak, pengaruh negatif televisi bagi orang dewasa yang pertama yaitu menjadi pribadi yang konsumtif dan pasif statis. Konsumtif artinya cenderung doyan belanja. "Rumah macam ini yang tren." "Apartemen ini yang modern." Produk elektronik ini yang tren, gaya hidup masa kini." Jadi kalau kita mau jadi orang yang gaya hidupnya sederhana, apa adanya, kurangilah nonton acara televisi beriklan. Pasif dan statis itu mempengaruhi dimana kita jadi penonton. Ada peristiwa apa di negara kita, "Sudahlah tidak usah repot-repot, beri uang saja. Sudahlah biar orang lain yang melakukannya." Semuanya ingin rileks, terhibur. Akhirnya kurang peduli dengan sekitar. Dan yang ironis, Pak Hendra dan saya juga jadi prihatin, hal ini juga mempengaruhi dunia dalam bergereja. Kadang kita mengkritik, "Bagaimana sih gereja itu mengundang artis? Gereja entertainment." Eh, tanpa sadar, gereja-gereja kita pun yang tidak mengundang artis pun sebenarnya mengarah menjadi gereja entertainment. Buktinya apa? Jemaat kita yang kemungkinan suka menonton televisi, malas untuk berpikir. Mintanya kotbah yang cepat, pendek dan lucu. Itukan gaya entertainment, gaya komedi, gaya film yang menghibur, diminta dimunculkan di model khotbah. "Natalnya nanti meniru acara ini, Paskahnya seperti ini." Tapi saat diajak, "Ayo berpikir solusi untuk masyarakat." Jawabnya, "Aduh, tidaklah. Hamba Tuhan saja yang bekerja." Atau misalnya dalam hal pelayanan, "Ayo bertindak, ayo memberi sesuatu, sumbangkan pikiran dan tenaga." Jawabnya,"Tidaklah, uang saja yang saya persembahkan." Nah ini pola pikir entertainment masuk dalam dunia bergereja. Pengaruhnya sampai seperti itu, Pak Hendra.
H : Bisakah itu dikatakan sebagai Kristen sekuler atau Kristen duniawi, Pak?
SK : Ya. Itu bisa masuk pada poin yang kedua, pengaruh negatif bagi orang dewasa dimana hari minggu mendengar firman Tuhan, tapi di hari-hari yang lain tontonan media yang sekuler, hidup tanpa saat teduh merenungkan firman, pergaulan pun percakapannya sekuler. Maka dia menjadi pribadi yang Kristen tapi sekuler dan duniawi. Ini dampak negatif yang lain.
H : Iya, Pak. Konsumtif, pasif dan statis; bisa membuat kita menjadi orang Kristen sekuler dan duniawi. Apalagi Pak pengaruhnya bagi orang dewasa?
SK : Yang ketiga, Pak Hendra, menjadi pribadi yang mengalami kecanduan media. Kecanduan media ini merupakan keadaan yang seringkali kurang kita sadari. Seringkali orang lebih menyadari kecanduan alkohol, kecanduan obat-obatan terlarang. Tapi orang tidak menyadari bahwa media yang kesannya netral itu ternyata bisa menjadi objek dimana orang mengalami kecanduan. Hal ini memiliki beberapa gejala, Pak Hendra.
H : Gejala-gejala seperti apa, Pak?
SK : Yang pertama, orang yang mengalami kecanduan media ditandai oleh pikiran yang terus menerus tertuju kepada media. Jadi ketika dia sedang beraktifitas, yang dipikirkan media. Misalnya, "Aduh, tayangan televisi ini harus ditonton. Ini bagus. Apa ya acara hari ini?" Atau dalam bentuk handphone, atau Facebook bagi yang berbentuk media sosial. "Wah, saya harus pasang status apa ya? Kira-kira respons apa yang muncul, ya? Wah saya harus update, saya harus perbaharui, saya harus beri tanggapan." Itu yang pertama, Pak Hendra.
H : Pak, terkait tentang media televisi. Seandainya orang itu mengikuti serial sinetron atau serial film Korea, apa itu termasuk kategori kecanduan, Pak? Karena dia mungkin menanti-nantikan jam tayang film serial yang ditunggu itu.
SK : Ya itu baru poin yang pertama, Pak Hendra. Jadi kalau hanya berdasarkan menantikan serial berikutnya itu belum menunjukkan orang itu kecanduan atau tidak. Masih ada lima poin lagi, Pak Hendra.
H : OK. Jadi poin kedua dan seterusnya itu apa, Pak?
SK : Poin kedua adalah orang tersebut cenderung menambah waktu demi meraih kepuasaan yang dulunya pernah dicapai. Misalnya dulu menonton televisi satu jam sehari sudah cukup, puas, lega, nyaman. Namun dalam perjalanannya kurang puas. Bertambah jadi satu setengah jam supaya menimbulkan efek seperti dulu yang satu jam. Setelah satu setengah jam kok kurang puas, kepuasannya menurun. Tambahkan dosis jadi dua jam. Tambah lagi tiga jam, tambah lagi empat jam. Jadi ada kecenderungan menambah waktu demi mencapai kepuasan yang dulu pernah dicapai.
H : Dan bisa dipastikan kalau sampai seperti itu tidak ada titik puasnya, ya Pak?
SK : Betul! Betul! Maka itulah yang membahayakan. Sebagaimana orang ketika mengalami kecanduan alkohol. Dulu minum satu sloki sudah puas, sekarang minum dua sloki kurang puas, akhirnya minum tiga sloki, satu botol, dua botol dan seterusnya. Itu yang kedua. Yang ketiga, kecenderungannya adalah orang tersebut berulang kali gagal untuk mengontrol atau menghentikan pemakaian. "Ah, aku menyesal sudah menghabiskan empat jam di depan televisi. Aku jadi tidak produktif!" "Aku menyesal! Empat jam aku habiskan untuk membuka media sosial, aku habiskan untuk memperbaharui status. Aku 'kan tidak kerja-kerja ini." Menyesal tapi diulangi lagi, menyesal diulangi lagi. Jadi berulang kali gagal untuk menghentikan pemakaiannya.
H : OK, Pak Sindu. Saya percaya masih ada beberapa pengaruh negatif bagi orang dewasa yang ingin Bapak sampaikan lagi. Tapi kita harus akhiri sampai di sini karena keterbatasan waktu, Pak. Namun sebelumnya, adakah pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan bagi kita semua?
SK : Pak Hendra dan para pendengar, saya akan bacakan dari Efesus 5:15—17, "Karena itu perhatikanlah dengan seksama bagaimana kamu hidup. Janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif. Dan pergunakanlah waktu yang ada karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan." Ini sebuah peringatan firman Tuhan yang semakin relevan bagi jaman kita dimana kita perlu memperhatikan apa yang kita pakai, apa yang kita nikmati, apa yang kita saksikan. Itulah sebagai bagian dari gaya hidup kita. Dan Tuhan minta jangan seperti orang yang tidak mengenal Tuhan, orang yang mengeraskan hati. "Ah tidak apa-apa kok. Itu 'kan netral. Yang penting aku baca firman. Yang penting aku ke gereja." Tetapi kalau kita tidak mengkritisi, tidak membatasi hal-hal asupan media yang beberapa bagiannya negatif, justru kita menjadi orang yang bodoh kata firman Tuhan. Yang tidak hidup dalam mengerti dan melakukan apa yang Tuhan mau. Dan kita jadi orang yang tidak bijak dalam menyikapi waktu yang terbatas ini.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Tuhan Yesus memberkati. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
43. Media dan Keluarga 3 | |
Televisi telah menjadi "the other parent" (orang tua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada kaitan antara tayangan media dengan pola perilaku manusia. Media ternyata tidak bersifat netral. Tayangan mana yang aman ditonton anak? Apa saja pengaruh buruk media televise bagi keluarga? Apa kiat-kiat untuk mengatasi pengaruh buruk media tersebut?
Kita bersyukur bahwa kita berada di abad ke-21, abad kemajuan media dan teknologi. Televisi adalah media elektronik yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jenis media ini sebagai media audio-visual, tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya. Untuk masyarakat Indonesia, yang lebih kuat dengan budaya lisan, media televisi tidak memiliki jarak yang jauh. Menonton televisi berbeda dengan budaya baca-tulis.
Sebuah teori tentang kemampuan manusia dalam penerimaan pesan menyebutkan bahwa apabila sebuah pesan diterima hanya dengan perangkat audio atau indera pendengaran semata, maka kemampuan daya tangkapnya adalah 15%. Sedangkan jika dengan audio-visual maka kemampuan daya tangkapnya sebesar 55%, dan akan meningkat hingga 95% jika selain audio-visual juga melibatkan emosional.
Media khususnya televisi, memang telah diakui mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Kognisi adalah semua proses yang terjadi di pikiran, yaitu melihat, mengamati, mengingat, mengekspresikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berpikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan sesuatu. Media khususnya televisi memberikan informasi dan pengetahuan yang menjadi ranah kognisi seseorang, yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi, memiliki kekuatan yang besar untuk menanamkan ideologi atau mempengaruhi khalayak.
Televisi telah menjadi "the other parent" (orangtua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada kaitan antara tayangan media dengan pola perilaku manusia. Misalnya saja, banyak kajian yang menghubungkan kaitan antara terpaan tayangan kekerasan media dengan perilaku agresif. Media ternyata tidak bersifat netral.
Ada ungkapan dalam bahasa Inggris yang relevan tentang media: Garbage In, Garbage Out.
Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarjono memberi tanggapan bahwa televisi ibarat magnet yang telah menyita perhatian anak-anak Indonesia jauh lebih besar dari pada waktu yang digunakan untuk belajar di bangku sekolah. Pada sisi lain, seperti yang ditulis dalam Kidia (Kritis! Media untuk Anak) edisi 10 Mei 2007 "media, terutama televisi merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat mempengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio-visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan yang paling bisa diterima. Hal tersebut menunjukkan bagaimana daya penetrasi media di tengah kehidupan masyarakat kitasekarang ini. Intensitas konsumsi media yang tinggi tersebut tentunya akan memengaruhi juga tingkat kecepatan transfer nilai dan pesan itu."
Selanjutnya, disajikan data jumlah jam yang dihabiskan anak-anak di depan pesawat televisi yang melebihi ambang batas ideal, 2 jam sehari. Di Indonesia, rata-rata setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5-5 jam sehari. Tentu saja yang disaksikan anak-anak di televisi itu bukan hanya tayangan untuk anak-anak, melainkan juga ada tayangan iklan yang diselipkan di tengah tayangan untuk anak-anak dan tentu pula tayangan yang tidak ditujukan bagi anak-anak. Dari sekian banyak tayangan untuk anak pun ada yang dikategorikan "aman", "hati-hati" dan "berbahaya".
KATEGORI PROGRAM TELEVISI UNTUK ANAK
Film dengan kategori 'R' (restricted), orang tua diminta mempelajari tentang film ini sebelum mengajak anak-anak mereka (remaja awal — akhir, usia 13 — 17 tahun), tema cerita tindak kekerasan yang kuat, penggunaan obat-obatan terlarang serta unsur dan adegan seksual yang begitu dominan. Di LSF dikategorikan sebagai film-film untuk orang dewasa. Contoh : 'Final Destination', 'Underword' dan 'Basic Instinct'.
Kalau kita ingin mengetahui lebih lanjut, bisa membuka imdb.com yaitu situs yang membahas film-film Hollywood, kita bisa membuka di bagian 'movie & theaters' dan akan muncul rating. Sebaiknya sebelum kita menonton, atau jika kita mau mengajak anak-anak untuk menonton, check lebih dulu untuk mengantisipasinya.
Menurut survei yang dilakukan di Amerika Serikat ditemukan 63% orang menonton televisi sambil makan malam termasuk 76% berusia 8 — 24 tahun. Televisi sudah dijadikan kebutuhan. 29% orang jatuh tertidur sementara televisi tetap menyala. 42% orang menyalakan televisi setiap kali masuk ke ruang di rumahnya. Hal ini menunjukkan gejala-gejala kecanduan televisi.
Keluarga menjadi tidak lebih daripada unit ekonomi dengan tanpa mempraktekkan karunia Allah yang luar biasa untuk berkomunikasi secara verbal dan non-verbal. Keluarga bukan lagi sekelompok individu yang saling mengasihi, saling membagi nilai-nilai dan kepercayaan maupun saling melayani dengan tanpa pamrih.
Orangtua memenuhi waktu luang mereka dengan mengkonsumsi media dan juga mendorong anak-anak untuk melakukan hal yang sama. Mungkin menjadi hal lumrah jika kita saksikan misalnya: sang ayah asyik dengan remote TV, sang ibu dengan Blackberry dan sang anak dengan Ipad-nya. Mereka ada dalam satu ruangan namun tidak terjadi komunikasi di antara mereka. Jadi, adalah sebuah MITOS atau KEBOHONGAN BESAR bahwa dengan lebih banyak teknologi otomatis waktu luang akan meningkat dan kehidupan keluarga akan berkembang makin harmonis, mendalam dan berkualitas. TV dan perkembangan teknologi media termasuk media sosial bukan lagi mempersatukan keluarga, tapi lebih mungkin mencerai-beraikan keluarga. Sudah saatnya kita memenangkan kembali anak-anak kita dari media. Dalam hal ini, membutuhkan komitmen bersama untuk membangun hubungan yang mendalam dan bermanfaat antara satu dengan yang lain maupun dengan sahabat-sahabat terdekat.
Pendidikan Media adalah istilah yang digunakan untuk pembelajaran bagi khalayak media sehingga menjadi khalayak yang berdaya hidup di tengah dunia sesak-media, khalayak dalam hal ini adalah bisa para pelajar, bisa orang dewasa khususnya orangtua dan para pendamping anak-anak di rumah.
FILIPI 4:8-9, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu". "Garbage In Garbage Out" — hukum tabur tuai, menabur pikiran menuai perbuatan, menabur perbuatan menuai kebiasaan, menabur kebiasaan menuai karakter, menabur karakter menuai nasib akhir. Apa yang kita tabur dalam pikiran jangan dianggap remeh, itu sangat penting. Ada rentetannya. Biarlah diri kita menjadi media yang baik bagi anak-anak kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita sudah berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" untuk sesi pertama dan sesi kedua. Pada kali ini kita bertemu lagi untuk melanjutkan perbincangan kita dan perbincangan yang terakhir berakhir pada topik pengaruh negatif media bagi orang dewasa. Bapak sudah menyebutkan salah satunya adalah konsumtif dan pasif statis, kemudian ada efek membuat orang Kristen menjadi orang Kristen sekuler dan duniawi. Dan terakhir Bapak juga sempat mengulas mengenai kecanduan. Ternyata ada rasa penyesalan di dalam gejala kecanduan ini ya, Pak?
SK : Betul! Betul! Ada titik tertentu orang merasa hidupnya terganggu gara-gara media. Tetapi ternyata penyesalan tersebut tidak bisa terwujud dalam bentuk perubahan perilaku yang nyata.
H : Jadi penyesalan yang selalu gagal itu sudah bisa dikategorikan salah satu ciri kecanduan ya, Pak?
SK : Betul.
H : Baik, Pak. Kalau yang keempat apa, Pak?
Sk : Yang keempat mulai merasakan tidak nyaman, galau, murung, cepat tersinggung ketika berusaha berhenti memakai atau menggunakan media. Memang salah satu cirinya,"Oke aku harus berhenti. Aku harus bertobat." "Aku harus lepaskan ikatan dari televisi ini." "Aku harus lepas dari penggunaan internet yang tanpa batas ini." "Aku harus lepas dari penggunaan gadget yang sudah keterlaluan ini." Tapi ketika dia berhenti, dia gelisah, dia galau. Ini mirip dengan ketika orang mengalami putus obat dari alkohol atau putus dari obat-obatan terlarang. Ketika dia putus dari memakai alkohol, putus dari memakai rokok, putus dari memakai jarum suntik. Dalam beberapa jam tidak sampai satu hari dia akan gelisah atau istilahnya sakau. Sakit dan akibatnya tidak enak. Perasaan gelisah, kepala pusing, melakukan apa-apa serba tidak enak. Kondisi ini menunjukkan gejala ketika orang putus dari sumber kecanduan itu dan mengalami kondisi yang tidak nyaman.
H : Kalau mendengar penjelasan Bapak dari poin satu sampai empat, memang ini kelihatannya mirip dengan gejala kecanduan-kecanduan pada umumnya, misalnya terhadap alkohol atau penggunaan obat-obatan terlarang ya, Pak. Tapi disini objeknya berbeda, disini objeknya adalah media.
SK : Betul.
H : Kalau poin yang kelima itu apa, Pak?
SK : Pemakaian media itu telah membawa resiko hilangnya relasi yang berarti. Bahkan hilangnya pekerjaan, hilangnya kesempatan studi, kesempatan meraih prestasi dalam sekolahnya, kesempatan untuk mengembangkan kariernya. Jadi media itu tidak sekadar untuk mengisi waktu luang lagi tetapi bahkan menggerus waktu-waktu produktifnya di dalam belajar, dalam karier, pekerjaan, termasuk dalam memelihara dan mengembangkan relasi dengan pasangan hidup, orang tua, anak, maupun dengan sahabat-sahabatnya. Ketika gangguan-gangguan tersebut dialami dengan parah, itu salah satu tanda nyata bahwa orang itu mengalami kecanduan, dalam hal ini kecanduan media.
H : Oh, jadi bisa dalam konkretnya kalau dia adalah seorang pelajar dia bisa sampai putus sekolah atau kalau mahasiswa bisa putus kuliahnya, begitu Pak?
SK : Bisa! Ya itu tadi. Karena tidak naik kelas akhirnya DO (Drop Out/Keluar) karena prestasinya anjlok. Tugas-tugas sekolah atau kuliahnya terabaikan, terlambat atau sebagainya sehingga mengakibatkan konsekuensi yang serius seperti tidak naik kelas, nilai tidak bagus, bahkan sampai DO.
H : Kalau untuk konteks orang yang bekerja apa mungkin dia sampai rela meninggalkan jam kerjanya hanya untuk mengakses media dan sebagainya?
SK : Bisa! Jadi dia mulai mengabaikan, datang terlambat atau saat di tempat kerja waktu yang semestinya dipakai menyelesaikan tugas-tugas kantornya dia malah mencuri-curi waktu, dia menonton, dia memperbaharui status di media sosialnya, mengirim gambar-gambar, mengirim kalimat-kalimat. Jadi sambil bekerja, dia buka jejaring sosialnya. Ini sudah menimbulkan gangguan sampai akhirnya pimpinannya marah, mendapatkan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga, sampai akhirnya di-skorsing bahkan dikeluarkan.
H : Ini memang berkaitan dengan poin sebelumnya ya Pak. Kalau dia hentikan, dia bisa jadi gelisah, galau, atau dikatakan sakau, ya Pak?
SK : Betul.
H : Kalau poin yang terakhir apa, Pak?
Sk : Poin yang keenam gejala kecanduan media ditandai dengan media sebenarnya digunakan untuk melarikan diri dari masalah-masalah atau meredakan perasaan-perasaan negatif seperti rasa bersalah, cemas, depresi, kehampaan dan kekosongan dalam jiwanya.
H : Oh, jadi ada masalah-masalah yang menjadi pelarian ini ya, Pak?
SK : Betul. Jadi sesungguhnya kalau saya mengamati dalam perjumpaan dengan beberapa orang yang mengalami kecanduan media, sebenarnya di balik itu mereka mengalami masalah yang lain. Kekosongan dalam hal relasi yang bermakna, tidak punya sahabat dan merasa kurang diterima atau kurang dimengerti, kurang punya relasi yang berarti bagi dirinya, akhirnya dia lari kepada dunia maya. Melarikan diri, merasa punya banyak teman karena punya banyak follower (teman/pengikut) di media sosialnya. Atau dia lari dengan cara menggemari tayangan-tayangan televisi, film-film tertentu, koleksi atau menonton berjam-jam untuk melupakan sesaat rasa kegelisahan, kegalauan, dan depresi dalam dirinya.
H : Apakah disadari oleh orang yang kecanduan ini Pak, bahwa dia mengalami masalah itu?
SK : Mungkin awalnya tidak menyadari. Pokoknya dia merasa tidak enak, dia akan menonton. Tapi kalau digali lebih lanjut dia baru menyadari,"Sebenarnya saya tidak puas dengan yang saya lakukan, dengan banyak jam di depan televisi, banyak jam untuk media sosial, banyak jam untuk bermain-main dengan gadget atau game online. Sebenarnya saya tidak suka, tapi saya lakukan. Kenapa? Sebab saya merasa jika saya kembali kepada dunia nyata, sebenarnya saya punya rasa tertekan, rasa bermasalah. Jadi saya coba alihkan, saya tutupi, saya kelabui dengan bentuk-bentuk kegiatan dengan media itu tadi."
H : OK. Dari poin, satu, dua, dan tiga pengaruh negatif yang Bapak jelaskan yaitu: konsumtif pasif statis, Kristen sekuler dan duniawi, serta kecanduan. Apakah ada lagi yang ingin Bapak tambahkan terkait tiga poin ini?
SK : Ya. Memang begini, untuk lebih memperjelas, ada sebuah survei yang dilakukan di Amerika Serikat yang saya pikir masih bisa menggambarkan kondisi di Indonesia. Dimana ditemukan 63% orang ternyata sering menonton televisi sambil makan malam, jadi di atas 50% ya. Termasuk di antara 63% itu, 76% berusia 8 — 24 tahun. Itu berarti usia anak dan usia remaja maupun dewasa awal. Ini menunjukkan sebuah tren dimana orang-orang muda termasuk anak-anak sudah menjadikan televisi sebagai bagian dari kesehariannya dalam hal soal makan malam. Minimal ditemani oleh televisi bukan ditemani oleh keluarganya. Kemudian angka lain dalam survey yang sama menemukan bahwa 29% orang jatuh tertidur dengan televisi tetap menyala. Bayangkan! Mungkin dia merasa jenuh, gelisah, tidak nyaman, akhirnya lari ke televisi dan dihidupkan terus. Walaupun dia mengantuk televisinya tetap dinyalakan, bahkan sampai dia tertidur, televisinya tetap menyala, bahkan mungkin kita pernah menyaksikan atau mengalami televisinya sudah gemerisik, sudah tidak ada acara yang tayang lagi. Ditemani suara gemerisik itu kita bisa tidur nyenyak. Kemudian bangun baru sadar kalau televisinya menyala semalaman. Atau bahkan terbangun karena sudah muncul berita pagi, jam 5 pagi, sudah ramai lagi. Jadi televisi menjadi sumber ketenteraman jiwa kita secara palsu. Terakhir datanya adalah 42% orang ditemukan menyalakan televisi setiap kali memasuki ruangan rumahnya. Begitu masuk tidak nyaman kalau tidak menyalakan televisi, padahal belum tentu dia menonton. Jadi dia merasa nyaman atau eksis di rumahnya kalau dia mendengar keramaian hiruk pikuk televisi sekalipun dia tidak menontonnya. Tapi suara itu membuat dia teduh. Inilah menunjukkan bentuk-bentuk tanda-tanda yang mengarah kepada gejala kecanduan televisi atau media.
H : Ini survei di Amerika Serikat ya, Pak? Tapi tampaknya banyak terjadi di Indonesia.
SK : Ya, saya sendiri mengalami situasi seperti ini di masa kecil. Jadi televisi itu tetap menyala sekalipun kami tidak menonton. Kami beraktifitas di ruang masing-masing, mungkin di dapur, di ruang makan. Kami tidak nonton pun televisi tetap menyala. Seolah televisi itu menjadi anggota keluarga yang kesekian. Misalnya kami ada 6 anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anak, televisi bisa dikatakan sebagai anggota keluarga yang ketujuh. Yang tidak disadari hadir secara nyata, tapi diakui kepentingannya dalam hidup kami. Ini menjadi bentuk yang kurang sehat, sehingga saya pun harus berproses sendiri ketika dewasa untuk bagaimana berkata tidak dan membatasi diri terhadap pola-pola yang mengarah pada kecanduan media ini.
H : Bahkan banyak rumah tangga sekarang ini yang memiliki jumlah televisi lebih dari satu, ya Pak.
SK : Benar, jadi ada kalanya seorang itu sampai punya dua televisi ditumpuk. Jadi dia bisa gonta-ganti saluran televisi. Bukan sekedar gonta-ganti tapi bisa menonton beberapa tayangan secara bersamaan. Jadi selama menonton, matanya tetuju kepada dua televisi. Itupun di tiap kamar. Itu baru satu orang, belum lagi setiap anggota keluarga memiliki satu televisi. Bisa jadi dalam satu rumah ada 5 buah televisi. Inilah hal yang seharusnya membuat hati kita miris dengan fenomena ini.
H : Kemirisan ini mungkin masuk dalam pengaruh negatif yang keempat ya, Pak?
SK : Ya. Jadi dampak negatif yang keempat dari media adalah memiskinkan relasi keluarga. Jadi relasi keluarga ini digerus. Saya sebutkan sebuah data dimana ibu yang bekerja di luar rumah ternyata rata-rata hanya memberi waktu 11 menit untuk anaknya. Sebelas menit itu termasuk membacakan buku, bercakap-cakap antara ibu dengan anaknya, ataupun bermain bersama, kalau dihitung rata-rata 11 menit per hari. Dan ibu yang bekerja di rumah atau ibu rumah tangga, ternyata tidak jauh lebih baik. Hanya 30 menit waktu yang dia gunakan untuk berinteraksi langsung dengan anaknya. Baik itu bermain, membacakan buku maupun bercakap-cakap dengan anaknya. Ini sebuah kondisi yang nyata.
H : Apakah waktu ibu-ibu tersebut lebih banyak untuk media televisi?
SK : Ya, ditemukan sebenarnya waktunya dirumah sekitar 3-4 jam namun sebagian besar waktu itu untuk media. Khususnya untuk televisi.
H : Kalau dengan ayah bagaimana, Pak?
SK : Kalau ayah ditemukan hanya 8 menit untuk anak! Dan kalau anaknya sudah menginjak usia SMP — SMA, itu hanya 5 menit! Jadi rupanya secara alami ayah memang bukan ayah yang relasional. Jadi dia pikir dia hadir secara fisik saja sudah cukup.
H : Secara fungsional?
SK : Iya. Secara ekonomi. Aku sudah bekerja. Itu menunjukkan tanggung jawabku. Aku membawa uang dan makanan, aku sudah menyekolahkan anak-anak di sekolah yang bagus, sudah cukup. Berbicara dengan anak-anak itu tugas ibunya anak-anak, bukan tugas saya sebagai bapaknya." Padahal seorang bapak punya pengaruh besar, kehadirannya memberi pengaruh psikis dan emosional bagi anaknya tapi tanpa disadari diabaikan.
H : Selain sudah salah paradigma dari awal ditambah dengan pengaruh media, makin memperburuk relasi ayah dengan anak ya, Pak. Kalau dengan anak sendiri bagaimana, Pak?
SK : Jadi akhirnya situasi ini membuat anak-anak tumbuh dengan media. Orang tua karena merasa sama-sama sibuk bekerja, akhirnya merasa, "Sudahlah. Saya belikan televisi. Saya belikan komputer, saya sambungkan dengan internet. Saya belikan mainan yang baik agar dia bisa bermain di rumah. Itu sudah menunjukkan kasih sayang saya bagi anak saya." Itu yang membuat sejak kecil anak diasuh oleh orang tua yang lain, yaitu media. Akhirnya tanpa sadar terciptalah sebuah motto bagi sang anak sejak balita sampai memasuki remaja, kira-kira seperti ini: "Media itu bikin senang, tapi orang tua bikin bosan". Kelompok sebaya teman-temanku bikin senang, tapi waktu bersama keluarga bikin stres." Kenapa? Karena orang tua bisa menuntut dan menyuruh anak belajar, mengerjakan tugas dan menghardik anak. Sementara media televisi, komputer, mainan tidak penah menuntut, bahkan melayani kemauan anak-anak tersebut. Demikian juga teman-teman sebaya, satu selera, satu pengertian, satu maksud. Sementara acara keluarga, makan di rumah, acara makan di tempat di luar rumah, liburan di masa bulan Juni-Juli, kadang liburan di tempat yang jauh, nyaman, tapi ada konflik, ada gesekan sehingga acara dengan orang tua dan keluarga itu jadi tidak nyaman buat anak-anak. Lebih baik main dengan teman-temannya sendiri. Inilah sebuah kondisi bahwa memang media itu bisa memiskinkan relasi keluarga.
H : Dan bisa dikatakan lama-lama dirinya merasa yatim piatu secara psikis ya, Pak?
SK : Iya, itu benar, Pak Hendra. Ini istilah yang sangat tajam, tapi inilah realitasnya, Pak Hendra. Jadi, orang tua ada. Ayah ibu ada secara fisik bahkan satu rumah. Ada foto keluarganya. Kita katakan,"Wah, ini keluarga yang harmonis. Keluarga yang berbahagia. Ganteng-ganteng dan cantik-cantik seperti ayah dan ibunya. Fotonya manis. Sekolahnya berhasil." Tapi kalau kita selidiki lebih jauh ternyata anak dibesarkan secara psikis dan emosional tanpa orang tua.
H : Tapi apakah dengan demikian sebenarnya anak itu mendapatkan kebahagiaan meskipun lewat media, Pak?
SK : Survei membuktikan bahwa anak-anak seperti itu tidak pernah bahagia dengan media. Jadi media itu lebih menimbulkan kesenangan yang semu dan sementara. Sesungguhnya anak-anak ini menjadi remaja kemudian menjadi orang dewasa yang merasa kesepian. Karena sebenarnya manusia diciptakan bukan untuk media, Pak Hendra. Tapi manusia diciptakan sebagai makhluk sosial oleh Tuhan. Berelasi dengan sesama manusia, terlebih berelasi dengan orang tuanya dan saudara-saudaranya dalam hubungan yang penuh kasih, penuh perhatian, kata-kata positif, penerimaan dan saling mengembangkan hal-hal baik sebagaimana yang Allah maksudkan.
H : Relasi sosial yang paling primer itu justru dalam keluarga ya, Pak?
SK : Betul. Justru sebenarnya sebuah ironi. Bertambahnya keberhasilan secara ekonomi tidak serta merta membuat keluarga bahagia.
H : Fakta yang sangat menarik sekaligus memprihatinkan ya, Pak.
SK : Iya. Bahkan mungkin saya katakan keluarga yang kesannya di luar tidak bahagia, pas-pasan, ekonominya minim, tidak bisa liburan ke luar negeri, tidak punya mobil mewah, sekolah di sekolah biasa bukan sekolah yang elit. Justru waktu digali, mereka adalah keluarga yang bahagia. Kenapa? Mungkin tidak gegap gempita dalam segi materi, dari yang tampak di luar, tapi mereka kaya dalam relasi, kaya dalam kasih sayang satu sama lain. Sesungguhnya inilah keluarga yang bahagia.
H : Dan itu tidak ternilai, ya, Pak?
SK : Betul.
H : Kalau tadi kita sudah bahas tentang orang tua dan anak, kalau tentang sesama orang tua atau dalam konteks pasangan, bagaimana pengaruhnya, Pak?
SK : Iya. Memang ditemukan tentang pasangan ini dalam sebuah survei bahwa 50% keluarga merasa mereka kekurangan waktu dengan pasangannya, baik terhadap istrinya atau terhadap suaminya. Tapi survei yang sama menemukan ternyata mereka menghabiskan waktu yang cukup banyak dengan televisi dan media lainnya. Jadi sebuah kondisi yang kontradiktif. Di satu sisi kurang waktu dengan pasangan, kurang waktu berbicara, kurang waktu untuk saling memperhatikan dan mengisi satu sama lain, tapi ternyata mereka punya waktu yang berlimpah untuk gadget, media-media, dan teknologi-teknologi yang mereka gunakan. Jadi bisa dikatakan memang televisi dan media teknologi itu menjadi pengganti keintiman antara pasangan ataupun antara orang tua dan anak.
H : Kalau begitu bagaimana Bapak menanggapi hal ini, dimana media teknologi tinggi menjadi ancaman bagi keluarga yang berteknologi rendah?
SK : Ya, ini memang menjadi ancaman nyata, Pak Hendra. Sebuah penelitian membandingkan antara tahun 1965 dengan tahun 1990. Jadi dalam rentang 25 tahun ditemukan bahwa ternyata waktu yang dihabiskan para orang tua dengan anak-anaknya berkurang 40%. Dari tahun 1965 dibandingkan dengan tahun 1990, 25 tahun kemudian waktu bersama anak ternyata berkurang sampai 40%. Ditambah dengan penelitian lain menunjukkan kegiatan menonton televisi akan mengurangi 40% percakapan selama kegiatan tersebut dibandingkan kegiatan yang lainnya. Selama ini tercipta sebuah keyakinan, "Televisi pemersatu keluarga". Bahwa lewat media teknologi hubungan keluarga satu dengan yang lainnya semakin dekat. Ternyata tidak demikian. Memang saat menonton acara televisi keluarga bersama-sama, orang tua dan anak-anak bisa berkumpul sambil berbincang-bincang. Tertawa, bergurau, membahas sesuatu sambil menonton acara televisi itu. Tapi sesungguhnya percakapan yang terjadi itu sesungguhnya adalah percakapan yang dangkal. Dan itu 40% lebih rendah daripada saat mereka melakukan kegiatan lain, misalnya masak bersama, bersih-bersih rumah bersama, waktunya lebih banyak digunakan untuk dialog komunikasi yang membangun daripada kalau menonton televisi bersama.
H : Jadi seolah-olah kelihatannya akrab di depan televisi tapi sebenarnya dangkal, ya, Pak?
SK : Betul, Betul!
H : Ada peribahasa yang berkata, "Jauh di mata, dekat di hati." Tetapi kini yang terjadi justru dekat di mata jauh di hati!
SK : Iya, Betul Pak Hendra. Memang itu sebuah kenyataan bahwa seringkali kita merasa tidak apa-apa berjauhan yang penting dekat di hati. Tapi yang ironis, dengan teknologi menjauhkan orang-orang yang dekat di mata kita. Misal gambaran yang mungkin juga kita alami atau kita saksikan yang sudah dianggap umum tanpa sadar itu sebuah ironi: Ayah sibuk dengan tablet-nya, ibu dengan acara sinetronnya, anak dengan handphone, anak yang lain dengan gadget yang lain. Serumah, seruangan, tapi tidak ada relasi dan komunikasi. Inilah kenyataannya bahwa keluarga terancam menjadi satu unit ekonomis saja. Berkumpul di seputar media dan sepertinya terikat satu sama lain dalam ikatan satu kasih dan komitmen. Tapi ternyata itu semu, palsu, dangkal. Tidak ada relasi kasih, relasi sayang antara satu sama lain.
H : Kalau seperti itu bukan hanya jumlah televisi yang bertambah di dalam keluarga, tetapi jumlah stasiun televisi di Indonesia juga terus meningkat. Bagaimana pandangan Bapak dengan keadaan seperti ini?
SK : Ini menjadi godaan untuk semakin terikat dengan media, khususnya televisi dan jejaring sosial atau dengan kelompok-kelompok minat di internet, itu yang membuat semakin banyak potensi kita tercabik-cabik antara satu sama lain. Bahkan akhirnya orang tanpa sadar seringkali berkata, "Dunia sekarang ini adalah era globalisasi. Globalisasi adalah kita hidup dalam satu kampung global." Itu sebuah pernyataan yang keliru. Kampung itu menggambarkan relasi dan interaksi. Sebenarnya bukan perkampungan global tapi sebuah isolasi global. Misalnya saya hobi sepak bola. Saya akan membuat kelompok di Blackberry®, di jejaring android, di jejaring milis internet yang sama-sama minat sepak bola. Tapi untuk politik dan dunia sosial yang tidak saya minati, saya tidak mau tahu. Memang saya terhubung dengan negara-negara lain, tapi hanya dengan satu minat yaitu sepak bola. Tanpa disadari, masyarakat kita disekat-sekat berdasarkan kelompok minat. Sekalipun globalisasi dengan bangsa lain, ternyata disekat-sekat minat dan tidak mau tahu satu sama lain. Ini sebuah erosi secara sosial.
H : Penyekatan minat-minat seperti itu seolah-olah membuat orang berada pada sebuah komunitas yang seminat, seolah-olah kompak, memiliki hobi yang dan selera yang sama. Tapi ternyata itu memiliki bahayanya sendiri ya, Pak. Saya melihat salah satu bahaya yang bisa dimunculkan dalam kondisi seperti itu adalah bahaya penipuan. Bagaimana pandangan Bapak?
SK : Ya. Memang salah satu bahaya lain yang perlu kita waspadai adalah penipuan lewat perkembangan media. Baru saja saya membaca di surat kabar beberapa waktu lalu, ada sebuah peristiwa yang cukup ironis dimana dikisahkan pekerja rumah tangga mendapat sebuah SMS, "Anda beruntung mendapatkan mobil mewah dengan merek XXX. Dan untuk itu silakan menghubungi nomor sekian..." Karena dia seorang yang sederhana secara pengetahuan, dia meladeninya. Dia menelepon nomor yang meng-SMS dia dan diminta untuk membayar sejumlah uang sebagai pajak, baru kemudian berjanji mobilnya akan dikirim kepada ibu tersebut. Ibu ini ingin tapi tidak punya uang. Apa yang dia lakukan? Dia mencuri berlian dari majikannya! Karena perbuatannya itu tidak ketahuan, dia mencuri lagi, sampai akhirnya dia mencuri senilai satu milyar rupiah. Dia menjual dan menggadaikan berlian itu, dia kirim uangnya kepada si penipu itu. Jadi ini sebuah ironi. Ternyata kemajuan teknologi komunikasi tanpa disertai kecerdasan pemahaman maka menjadi ajang empuk untuk penipuan. Contoh kasus lain seperti beberapa orang mengalami tindak pelecehan seksual lewat teman Facebook, bertemu, tapi akhirnya diperlakukan dengan buruk. Kasus yang lain yaitu penipuan di luar negeri. Pacaran lewat dunia maya dan tidak pernah ketemu, namun merasa intim dan mesra lewat media, tapi kemudian pada suatu saat pacarnya meminta uang dengan alasan kehilangan uang, mendapat musibah dan sebagainya. Akhirnya dia mengirimkan uang kepada pacarnya di luar negeri itu. Setelah itu ternyata pacarnya tidak bisa dihubungi. Barulah dia sadar bahwa dia telah ditipu.
H : Penipuan ini awalnya dimulai dengan hubungan yang seolah-olah baik, ya Pak, tapi ternyata dimanipulasi dan dimangsa pada akhirnya!
SK : Betul.
H : Diakhir sesi ini, apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Saya bacakan dari Kolose 3:12 dan Kolose 3:14,"Karena itu sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Dan di atas semuanya itu kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." Teks firman Tuhan ini menegaskan bahwa manusia itu membutuhkan kasih satu sama lain. Kasih inilah yang menjadi yang utama. Lewat kasih inilah orang saling memperhatikan, saling melayani, saling mengerti. Media tetap kita butuhkan. Tapi jangan lupa, media tidak pernah menggantikan kasih. Tidak pernah menggantikan relasi. Relasi jauh lebih penting daripada media.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
44. Media dan Keluarga 4 | |
Televisi telah menjadi "the other parent" (orang tua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada kaitan antara tayangan media dengan pola perilaku manusia. Media ternyata tidak bersifat netral. Tayangan mana yang aman ditonton anak? Apa saja pengaruh buruk media televise bagi keluarga? Apa kiat-kiat untuk mengatasi pengaruh buruk media tersebut?
Kita bersyukur bahwa kita berada di abad ke-21, abad kemajuan media dan teknologi. Televisi adalah media elektronik yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jenis media ini sebagai media audio-visual, tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya. Untuk masyarakat Indonesia, yang lebih kuat dengan budaya lisan, media televisi tidak memiliki jarak yang jauh. Menonton televisi berbeda dengan budaya baca-tulis.
Sebuah teori tentang kemampuan manusia dalam penerimaan pesan menyebutkan bahwa apabila sebuah pesan diterima hanya dengan perangkat audio atau indera pendengaran semata, maka kemampuan daya tangkapnya adalah 15%. Sedangkan jika dengan audio-visual maka kemampuan daya tangkapnya sebesar 55%, dan akan meningkat hingga 95% jika selain audio-visual juga melibatkan emosional.
Media khususnya televisi, memang telah diakui mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Kognisi adalah semua proses yang terjadi di pikiran, yaitu melihat, mengamati, mengingat, mengekspresikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berpikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan sesuatu. Media khususnya televisi memberikan informasi dan pengetahuan yang menjadi ranah kognisi seseorang, yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi, memiliki kekuatan yang besar untuk menanamkan ideologi atau mempengaruhi khalayak.
Televisi telah menjadi "the other parent" (orangtua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada kaitan antara tayangan media dengan pola perilaku manusia. Misalnya saja, banyak kajian yang menghubungkan kaitan antara terpaan tayangan kekerasan media dengan perilaku agresif. Media ternyata tidak bersifat netral.
Ada ungkapan dalam bahasa Inggris yang relevan tentang media: Garbage In, Garbage Out.
Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarjono memberi tanggapan bahwa televisi ibarat magnet yang telah menyita perhatian anak-anak Indonesia jauh lebih besar dari pada waktu yang digunakan untuk belajar di bangku sekolah. Pada sisi lain, seperti yang ditulis dalam Kidia (Kritis! Media untuk Anak) edisi 10 Mei 2007 "media, terutama televisi merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat mempengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio-visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan yang paling bisa diterima. Hal tersebut menunjukkan bagaimana daya penetrasi media di tengah kehidupan masyarakat kitasekarang ini. Intensitas konsumsi media yang tinggi tersebut tentunya akan memengaruhi juga tingkat kecepatan transfer nilai dan pesan itu."
Selanjutnya, disajikan data jumlah jam yang dihabiskan anak-anak di depan pesawat televisi yang melebihi ambang batas ideal, 2 jam sehari. Di Indonesia, rata-rata setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5-5 jam sehari. Tentu saja yang disaksikan anak-anak di televisi itu bukan hanya tayangan untuk anak-anak, melainkan juga ada tayangan iklan yang diselipkan di tengah tayangan untuk anak-anak dan tentu pula tayangan yang tidak ditujukan bagi anak-anak. Dari sekian banyak tayangan untuk anak pun ada yang dikategorikan "aman", "hati-hati" dan "berbahaya".
KATEGORI PROGRAM TELEVISI UNTUK ANAK
Film dengan kategori 'R' (restricted), orang tua diminta mempelajari tentang film ini sebelum mengajak anak-anak mereka (remaja awal — akhir, usia 13 — 17 tahun), tema cerita tindak kekerasan yang kuat, penggunaan obat-obatan terlarang serta unsur dan adegan seksual yang begitu dominan. Di LSF dikategorikan sebagai film-film untuk orang dewasa. Contoh : 'Final Destination', 'Underword' dan 'Basic Instinct'.
Kalau kita ingin mengetahui lebih lanjut, bisa membuka imdb.com yaitu situs yang membahas film-film Hollywood, kita bisa membuka di bagian 'movie & theaters' dan akan muncul rating. Sebaiknya sebelum kita menonton, atau jika kita mau mengajak anak-anak untuk menonton, check lebih dulu untuk mengantisipasinya.
Menurut survei yang dilakukan di Amerika Serikat ditemukan 63% orang menonton televisi sambil makan malam termasuk 76% berusia 8 — 24 tahun. Televisi sudah dijadikan kebutuhan. 29% orang jatuh tertidur sementara televisi tetap menyala. 42% orang menyalakan televisi setiap kali masuk ke ruang di rumahnya. Hal ini menunjukkan gejala-gejala kecanduan televisi.
Keluarga menjadi tidak lebih daripada unit ekonomi dengan tanpa mempraktekkan karunia Allah yang luar biasa untuk berkomunikasi secara verbal dan non-verbal. Keluarga bukan lagi sekelompok individu yang saling mengasihi, saling membagi nilai-nilai dan kepercayaan maupun saling melayani dengan tanpa pamrih.
Orangtua memenuhi waktu luang mereka dengan mengkonsumsi media dan juga mendorong anak-anak untuk melakukan hal yang sama. Mungkin menjadi hal lumrah jika kita saksikan misalnya: sang ayah asyik dengan remote TV, sang ibu dengan Blackberry dan sang anak dengan Ipad-nya. Mereka ada dalam satu ruangan namun tidak terjadi komunikasi di antara mereka. Jadi, adalah sebuah MITOS atau KEBOHONGAN BESAR bahwa dengan lebih banyak teknologi otomatis waktu luang akan meningkat dan kehidupan keluarga akan berkembang makin harmonis, mendalam dan berkualitas. TV dan perkembangan teknologi media termasuk media sosial bukan lagi mempersatukan keluarga, tapi lebih mungkin mencerai-beraikan keluarga. Sudah saatnya kita memenangkan kembali anak-anak kita dari media. Dalam hal ini, membutuhkan komitmen bersama untuk membangun hubungan yang mendalam dan bermanfaat antara satu dengan yang lain maupun dengan sahabat-sahabat terdekat.
Pendidikan Media adalah istilah yang digunakan untuk pembelajaran bagi khalayak media sehingga menjadi khalayak yang berdaya hidup di tengah dunia sesak-media, khalayak dalam hal ini adalah bisa para pelajar, bisa orang dewasa khususnya orangtua dan para pendamping anak-anak di rumah.
FILIPI 4:8-9, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu". "Garbage In Garbage Out" — hukum tabur tuai, menabur pikiran menuai perbuatan, menabur perbuatan menuai kebiasaan, menabur kebiasaan menuai karakter, menabur karakter menuai nasib akhir. Apa yang kita tabur dalam pikiran jangan dianggap remeh, itu sangat penting. Ada rentetannya. Biarlah diri kita menjadi media yang baik bagi anak-anak kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, melengkapi perbincangan kita pada tiga sesi sebelumnya, kita sudah banyak membahas mengenai pengaruh negatif media terhadap keluarga pada khususnya. Kali ini tentu kami, para pendengar dan beserta semua orang yang terlibat dalam pelayanan tentang keluarga ingin mengetahui solusi untuk mengatasi pengaruh negatif tersebut. Bagaimana solusinya?
SK : Yang pertama, kita perlu membatasi waktu dalam menggunakan atau menikmati media, termasuk di dalamnya bersikap selektif terhadap acara, tayangan dan program media yang kita gunakan. Jadi dalam hal ini bukan berarti karena ada hal-hal negatif dari media, sehingga serta merta kita buang semua penggunaan teknologi media kita. Dan mungkin misalnya menjadi seperti orang-orang Kristen Amish di Amerika Serikat yang anti kemajuan jaman, hanya hidup dengan alam tanpa menggunakan listrik dan lain-lain. Atau seperti orang-orang Badui di Jawa Barat. Kita tidak perlu se-ekstrem itu, tetapi kita gunakan dengan membatasi waktu dan bersikap selektif.
H : Apakah pembatasan ini termasuk kategori kita bisa melakukan puasa media, Pak?
SK : Ya. Sebelum membahas tentang puasa media, saya perlu memberikan contoh konkret tentang pembatasan media. Mungkin waktu yang baik untuk menonton seperti saran umum seperti yang pernah disebutkan dalam bahasan kita sebelumnya, maksimal dua jam per hari kita menggunakan media, misalnya media televisi. Jadi misalnya ada seorang yang berkomitmen 1 : 3, seperti seorang penulis dalam hal media dan keluarga, memberikan tips 1 : 3. Kalau kita menggunakan waktu interaksi dengan keluarga selama 3 jam, kita baru bisa menggunakan atau menikmati media selama 1 jam, baik itu televisi, jejaring sosial dan sebagainya. Tips 1 : 3 ini sebagai contoh saja, bukan sebagai sesuatu yang baku, tapi sebagai suatu pembanding. Seperti yang saya usahakan diterapkan di rumah yaitu waktu bagi anak saya menonton televisi cukup satu jam per hari. Saya pernah cerita bahwa saya tumbuh di keluarga yang berlimpah jam-jam menonton televisi. Dengan membatasi anak-anak ini akhirnya membuat saya belajar untuk membatasi diri dengan penuh kesabaran. Saya menonton dalam waktu 10 — 15 menit, kemudian saya menggunaakan waktu bersama anak saya. Anak saya menonton televisi 1 jam, lalu saya menonton televisi yang sama selama 1 jam, kemudian istri saja juga menonton 1 jam, itu berarti 3 jam kami tidak berkomunikasi 'kan? Jadi satu jam yang terpisah-pisah itu bisa berarti 3 jam, kalau tiga orang. Jadi satu jam itu maksudnya satu orang bersama-sama, menonton bersama dalam waktu satu jam. Tapi kalau satu jam terpisah-pisah itu berarti berlipat. Jadi jangan terkelabui oleh hal itu. Intinya media digunakan secukupnya, lebih banyak waktu yang digunakan untuk membangun relasi yang hidup antara anggota keluarga.
H : Apa perbedaannya dengan puasa media, Pak?
SK : Memahami puasa media semudah kita memahami puasa makan. Saya mau puasa makan dan minum. Itu sebenarnya sebuah bentuk ekspresi saya belajar menyatakan kepada Tuhan, "Tuhan, Engkaulah segala-galanya. Saya rela setengah hari/sehari/dua hari ini untuk tidak makan dan minum. Saya menyatakan saya jauh butuh Engkau daripada kenikmatan makanan dan minuman ini." Tapi kita lupa untuk konteks sekarang tidak cukup kita berpuasa makan atau minum, tapi juga media. Media juga makanan jiwa kita. Puasa media perlu sesekali kita lakukan. Misalnya setengah hari atau satu hari penuh sama sekali tidak menonton televisi, sama sekali tidak membaca koran atau majalah, sama sekali tidak membuka internet, sama sekali tidak mengecek handphone. Itu masa kita untuk belajar mengatasi rasa galau dengan kemungkinan kebergantungan pada media teknologi. Kita gunakan waktu itu dalam relasi kita dengan Tuhan, memfokuskan relasi dengan keluarga dan saudara-saudara kita. Kita membangun suatu kesadaran, "Aku bisa hidup tanpa media." Jadi kalau dikatakan oleh firman Tuhan jaman sekarang: "Manusia hidup bukan dari media saja, tetapi manusia hidup dari perkataan yang keluar dari mulut Allah."
H : Jadi boleh disimpulkan poin yang pertama tadi kita membatasi media karena kita mau menyisihkan waktu bersama keluarga, poin yang kedua ini sebenarnya dalam konteks kita mau fokus pada relasi kita dengan Tuhan, begitu Pak?
SK : Ya. Bisa tentang relasi dengan Tuhan, tapi juga bisa dalam bentuk relasi dengan keluarga dan saudara-saudara kita. Intinya, kalau yang tadi hanya membatasi jam penggunaan media, itu bersifat keseharian. Batasi dan selektif. Poin yang kedua adalah ada saatnya kita sama sekali tidak menggunakan atau tidak berinteraksi dengan media-media ini. Misalnya dalam sehari penuh kita atau keluarga kita sama sekali tidak menggunakan media, namun lebih menggunakan waktu untuk kebersamaan secara interaktif dengan anggota keluarga yang lain, plus menggunakan waktu membangun hubungan pribadi dengan Tuhan. Satu hari tanpa media. Inilah puasa media.
H : Konkretnya mingguan ya, Pak. Misalnya dalam seminggu ada satu hari kita tidak menggunakan media sama sekali, Pak?
SK : Bisa. Tapi juga mungkin bagi kebanyakan orang satu hari dalam seminggu tanpa media adalah hal yang berat, tidak apa-apa bila dilakukan sebulan sekali atau tiga bulan sekali. Ini sebagai cara untuk menyehatkan jiwa kita.
H : Kalau cara yang ketiga apa, Pak? Selain membatasi dan puasa media?
SK : Poin pertama dan kedua tadi kesannya sebuah penderitaan ya, Pak Hendra?
H : Maksudnya dengan penderitaan, Pak?
SK : Iya. Kita kan harus membatasi. Media itu 'kan nikmat, membuat nyaman dan terhibur, membuat perasaan gembira. Tapi dengan membatasi dan berpuasa itu 'kan penderitaan. Nah, poin yang ketiga justru mengejar kenikmatan dan kebahagiaan itu dengan menjadi hedonis Kristen.
H : Maksudnya apa, Pak?
SK : Hedonisme itu mengejar kepuasan dan kenikmatan. Seringkali dikonotasikan dengan hal-hal yang material, yang di permukaan, bersifat fisik, bahkan identik dengan dosa. Tapi istilah hedonis Kristen berarti begini, firman Tuhan mengatakan dalam 1 Korintus 10:31, "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukan itu untuk kemuliaan Allah." Jadi teks firman Tuhan mengatakan engkau boleh makan, minum, melakukan apapun yang membuat engkau nikmat, tapi lakukan itu untuk kemuliaan Allah. Ini sejalan dengan pernyataan penting dalam Katekismus Westminster, salah satu dokumen intisari pengajaran iman Kristen yang digali dari berbagai teks Alkitab, mengatakan begini: Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Tujuan utama manusia, bukan tujuan-tujuan. Jadi dengan kata lain, ada satu tujuan manusia hidup di dunia ini yaitu memuliakan Allah sekaligus menikmati Allah. Ingat ada kata "menikmati". Dari kata inilah muncul istilah hedonisme Kristen. Istilah ini dipopulerkan oleh Pendeta John Piper, seorang pendeta jemaat dan penulis buku "Desiring God" atau sudah disalin dalam bahasa Indonesia "Mendambakan Allah". Jadi marilah kita tetap mengejar kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan di dunia ini yang selama ini mungkin kita identikkan mencari di dalam media tapi kini kita cari di dalam Allah. Jadilah Hedonis Kristen.
H : Konkretnya Hedonisme Kristen itu dibangun dalam bentuk seperti apa, Pak?
Sk : Jadi mari kita sadari bahwa mengejar kebahagiaan itu tidak berdosa. Manusia diciptakan Allah untuk mengejar dan mengalami kebahagiaan. Yang kedua, kebahagiaan sejati hanya bisa kita dapatkan di dalam relasi dengan Tuhan kita dan dengan cara kita berbagi kasih dengan sesama kita. Jadi kita mengejar kebahagiaan dalam membangun keintiman dengan Allah secara personal atau secara komunal. Secara pribadi atau secara kelompok dalam keluarga kita, dengan saudara-saudara seiman membangun belajar iman, membangun penerapan, sharing, berdoa bersama, termasuk melayani satu sama lain. Berbuat kasih, mempraktekkan kasih, itulah Hedonis Kristen. Dan kepuasan itu tidak bisa digantikan oleh kepuasaan sesaat yang kita alami dengan media. Kalau kita puas di dalam Allah, maka media tidak akan pernah membuat kita kecanduan. Media akan bisa kita gunakan secara terbatas, selektif, atau pada saat tertentu kita bisa berkata "tidak" terhadap media karena saya sudah puas di dalam Allah, puas berelasi dengan Allah, puas dalam relasi melayani sesamaku.
H : Dan termasuk melakukan atau menggunakan media itu untuk kemuliaan Allah, ya, Pak?
SK : Betul.
H : Kalau poin yang keempat apa, Pak?
SK : Yang keempat adalah tingkatkan interaksi yang sehat dalam keluarga. Dalam hal ini saya mau menggarisbawahi istilah "waktu yang bermutu atau waktu yang berkualitas". Kebanyakan kita di era yang begitu padat dengan akitvitas, kita berkata, "Yang penting 'kan kualitasnya. Buat apa kuantitas begitu melimpah tetapi tidak berkualitas. Kebersamaan antara suami dan istri atau orang tua dengan anak." Hei, jangan lupa! Kualitas tidak pernah diciptakan dalam waktu yang sempit. Kualitas itu membutuhkan waktu yang memadai, membutuhkan kuantitas waktu yang memadai. "Papa hanya punya waktu setengah jam. Ayo kita gunakan waktu yang berkualitas. Ayo kamu bercerita dalam 30 menit. Papa akan tanggapi dengan empatik." Tidak bisa! Jadi kita jangan terperangkap dengan waktu yang berkualitas, "Ayo kita berlibur ke Danau Toba. Tahun depan kita liburan di Bunaken." Tapi dalam kesehariannya tidak ada waktu untuk berinteraksi. Jadi meningkatkan interaksi yang sehat dalam keluarga itu membutuhkan keseharian, kebersamaan lewat hal-hal yang natural sehari-hari.
H : Pernah Bapak singgung sebelumnya yaitu tantangan terbesar terutama dihadapi oleh para pria, untuk kalangan ayah yang bekerja di luar, yang seharian sudah sibuk di luar rumah dan ketika pulang dia sudah kelelahan, dan disini konteksnya dia harus meningkatkan interaksi yang sehat dengan keluarganya dengan menyisihkan waktu yang memadai. Solusinya bagaimana, Pak?
SK : Dalam hal ini perlu disadari para pria bahwa itulah titik lemah kita. Kita sebagai pria sebenarnya lahir sebagai pribadi yang enggan bicara. Kita fokus pada kegiatan fisik, problem solving (pemecahan masalah). Tapi kita sadari, pria berani menikah, berarti pria itu berani untuk membangun relasi. Apalagi berani punya anak, berarti berani menjadi ayah yang baik. Dan disini relasi komunikasi diperlukan. Mari jadikan waktu di rumah seserius sebagaimana kita serius di tempat kerja kita. Tinggalkan pekerjaan kita, gunakan waktu 1-2 jam untuk benar-benar bermain, mendengar, bercakap-cakap dari hati ke hati dengan anak dan istri. Di dalam hal ini berhubungan dengan waktu yang berkualitas, mari gunakan kegiatan masak bersama. Sesekali masaklah sesuatu bersama-sama, masakan yang sederhana saja. Membuat mie goreng, pancake, jajanan pasar dan sebagainya. Sambil melakukan kegiatan itu kita membangun keceriaan, kita bisa sambil berbincang, "Dulu Papa begini lho...". Dengan cerita memori masa lalu, anak bisa nyaman dan dia juga ingin bercerita. "Papa, aku sukanya ini! "Papa, di sekolah aku punya teman seperti ini, di gereja temanku seperti ini." "Aku ada masalah ini...". Jadi artinya lewat hal-hal yang ringan dan kadang kesannya remeh, akhirnya bisa masuk ke cerita-cerita yang dalam, masuk ke personal dan anak tidak akan merasa diinterogasi (ditanya-tanya) atau diinvestigasi (diselidiki) oleh orang tuanya. Jadi waktu yang berkualitas itu lahir lewat waktu yang berlimpah dalam keseharian, yang mungkin hanya 1-2 jam sehari tapi akan membangun kedalaman.
H : Dengan kata lain, seorang ayah itu harus secara sadar dan sengaja berinisiatif untuk membuat waktu khusus untuk berinteraksi dengan anak dan istrinya ya. Bukan sambil melakukan kegiatan misalnya sedang dalam perjalanan atau sambil menonton televisi bersama-sama, Pak?
SK : Betul.
H : Ya Pak. Poin yang kelima apa, Pak?
SK : Carilah pertolongan bagi yang sudah mengalami kecanduan media. Perlu kita sadari bahwa kecanduan media tidak bisa kita pandang remeh. Tapi butuh tindakan nyata untuk menyelesaikan, kita butuh pertolongan dan butuh pendampingan. Saya suka dengan suatu ungkapan, "Orang Bijak Peduli Konseling". Seringkali kalau diminta mencari pertolongan, pendampingan atau konseling, orang berkata, "Aku masih waras, masih sehat! Aku bukan seperti orang gila di rumah sakit jiwa itu!" Justru saya bilang, orang yang sudah di rumah sakit jiwa itu sudah tidak bisa berpikir jernih. Yang dia butuhkan adalah obat, suntikan, butuh pendekatan medis. Justru orang yang waras, orang yang masih berpikir sehatlah, yang menyadari dia mempunyai masalah, dan dia bersedia mencari konselor, hamba Tuhan atau orang-orang lain yang bisa memberikan pertolongan dalam bentuk konsultasi ataupun pendampingan dan bimbingan! Jadi saya sepakat dengan motto "Orang Bijak Peduli Konseling".
H : Memang kenyataannya seringkali akan lebih mudah jika kita ditolong oleh 1-2 orang di luar diri kita sendiri daripada kalau kita berjuang sendiri untuk mennghadapi masalah.
SK : Betul, begini Pak Hendra. Adakalanya orang yang mengalami kecanduan media seperti bahasan sebelumnya itu bukan sekadar media saja, tapi bentuk dari pelarian dari masalah, kekosongan, hal-hal tertentu yang tidak nyaman, dia tutupi dengan media. Dia lari kepada media! Orang tersebut seringkali tidak menyadarinya. Dengan adanya pendamping, hamba Tuhan atau konselor yang sudah diperlengkapi dengan pendidikan khusus, maka dia akan bisa menjadi penolong yang baik, pendamping yang baik, untuk menolong dia mengenali akar masalahnya dan dibimbing setahap demi setahap menyelesaikannya dan akhirnya dia bisa menggunakan media secara proposional. Tidak lagi secara eksesif, sebagaimana selama ini dia mengalami kecanduan media.
H : Akhirnya yang tidak disadari itu bisa disadari dan bisa diselesaikan, ya?
SK : Betul, Pak Hendra.
H : Selain mencari pertolongan, poin apa lagi yang bisa dijadikan titik solusi kita?
SK : Yang keenam, orang tua perlu mengenali karakteristik alat-alat media tehnologi atau gadget yang diberikan kepada anaknya dan dia perlu memantau penggunaannya. Jadi seringkali tanpa sadar berpikir, "Gadget itu seperti mainan. Ditinggal saja tidak perlu diawasi." Jangan lupa! Gadget atau alat teknologi itu bersifat interaktif. Ada kasus yang membuat saya merasa prihatin. Kasus di Filipina dimana ada anak gadis di bawah 10 tahun, tanpa disadari orang tuanya, pikirnya di rumah 'kan aman, ternyata karena dia memiliki akses internet tanpa batas di rumahnya, gadis ini menjadi korban kaum pedofilia. Kaum pedofilia ini berasal dari berbagai negara mereka ini menyukai anak-anak gadis di bawah umur sebagai objek seksual mereka. Mereka bayar lewat kartu kredit dan anak itu diminta untuk membuka pakaiannya di depan tayangan semacam Skype lalu ditonton oleh kaum pedofil melalui internet di banyak negara. Itu menjadi pelecehan seksual tanpa perlu kontak secara fisik. Dalam hal ini saya tidak merasa galau dengan isu gereja setan dan sekte sesat. Bagi saya yang sesat seperti itu gampang ditangani, gampang dilokalisir. Tapi bagi saya ancaman yang luar biasa adalah kesesatan di dalam rumah kita, termasuk di kamar anak-anak atau bahkan di kamar kita sendiri. Ketika kita menggunakan media secara tidak bertanggung jawab, tidak ada pemantauan, maka media itu akan liar bahkan menjadi seperti iblis yang menelan kita, yang seperti dikatakan oleh Rasul Petrus, mengelilingi kita mencari kesempatan menelan kita anak-anak Tuhan. Inilah yang mesti kita sadari. Berani memberikan gadget tertentu pada anak kita, berarti kita bersedia mempelajari bagaimana menggunakan gadget itu, bagaimana dampaknya dan kita mau sering-sering membangun komunikasi dengan anak kita. Membahas apa yang dia dapatkan dan nikmati, pelan-pelan kita bisa memantau dengan siapa dia berteman dan bagaimana batas waktu penggunaan gadget itu. Dengan begitu kita menjadi orang tua yang bertanggung jawab.
H : Itu fakta yang sangat mengerikan ya, Pak. Berarti poin yang terakhir ini bisa dikatakan sebagai poin khusus bagi orang tua mengenai pemantauan terhadap anak-anak mereka ya, Pak? Jadi lebih ke orang tua terhadap anak secara umum atau pribadi. Kalau selain orang tua memantau anak, adakah cara lain yang bisa dilakukan misalnya oleh kelompok di luar keluarga?
SK : Ada, Pak Hendra. Saya memberikan empat tips aksi kelompok. Kalau yang tadi adalah aksi yang bersifat pribadi atau individual, sekarang aksi yang bersifat kelompok. Yang pertama, mari sebagai gereja Tuhan kembangkan sekolah jemaat, pemuridan intensional, pemuridan yang dilakukan secara sadar, sengaja dan terarah pribadi ke pribadi, serta mengembangkan komunitas yang sehat, sejati, ada kasih karunia di dalam gereja kita. Kembali isu media yang kita bahas tadi termasuk dalam sesi-sesi sebelumnya itu adalah pengaruh media kepada relasi. Media seringkali dianggap menggantikan relasi, padahal relasi tidak pernah dapat digantikan sepenuhnya oleh media. Mari, di gereja masing-masing, ciptakan relasi yang sesungguhnya, relasi seperti yang diinginkan Tuhan dimana kita sebagai gereja dibangun di atas pondasi firman. Mengerti, dimuridkan, dicerahkan dengan firman Tuhan, dibuat cerdas oleh firman Tuhan, sambil kita membangun komunitas yang sehat, ada kasih karunia, ada kepedulian, ada saling membangun. Itu aksi yang pertama, Pak Hendra.
H : Yang kedua apa, Pak?
SK : Yang kedua mari kembangkan layanan titipan anak secara Kristiani. Fenomena sekarang, ada kalanya ayah dan ibu sama-sama bekerja. Dimana anak dititipkan? Dalam kasus-kasus yang sudah saya ungkapkan di sesi yang lalu, ada kalanya televisi menjadi babysitter (pengasuh) sang anak. Mari kalau memang tidak ada orang tua atau kakek nenek yang bisa mendampingi, kita perlu layanan anak-anak, kita titipkan anak kita pada tempat penitipan anak yang sudah terbukti baik. Kalau belum ada, mari kita sebagai gereja Tuhan dirikan tempat penitipan anak, yang kita asuh secara bertanggung jawab, sehingga itu menjadi aksi kelompok.
H : Kelihatannya poin kedua ini masih sangat langka, Pak.
SK : Ya. Mungkin untuk beberapa kota masih langka dan justru ini membuka ruang pelayanan. Mari, pelayanan jangan dibatasi hanya di dalam gedung gereja tapi juga bisa di luar gedung gereja, melayani jemaat dan masyarakat termasuk lewat tempat penitipan anak yang berkualitas.
H : Aksi kelompok yang ketiga seperti apa, Pak?
SK : Yang ketiga yaitu mari sebagai gereja Tuhan atau kelompok orang percaya kita bisa kembangkan kegiatan bermain yang bersifat edukatif di luar jam belajar. Anak pulang sekolah, orang tua mungkin masih bekerja. "Daripada menganggur, berikan saja video game, berikan kaset-kaset video, kita beri fasilitas berbagai tayangan televisi." Dan kita tahu hal itu tidak membangun. Daripada bermain yang sifatnya pasif dan solitaire atau seorang diri, bukankah lebih sehat kalau anak-anak belajar bermain dengan kelompok, dolanan anak-anak seperti petak umpet, gobak sodor? Di kampung-kampung sudah jarang, apalagi di perumahan-perumahan modern. Gereja bisa ciptakan itu! Bukankah gereja kosong di hari-hari biasa? Kenapa tidak menggunakan halaman atau aula gereja untuk bermain bersama. Anak-anak di daerah perumahan dikumpulkan, dipandu oleh beberapa relawan, anak-anak ini dilayani lewat permainan yang edukatif dan membangun sportifitas. Ini lebih membangun anak kita dibandingkan apa yang diberikan oleh media.
H : Termasuk permainan yang bersifat sport atau olahraga ya, Pak?
SK : Bisa.
H : Poin yang keempat apa, Pak?
SK : Yang keempat yaitu mari kembangkan pendidikan media termasuk diskusi film atau acara televisi. Yang dimaksud dengan pendidikan media ini adalah suatu kegiatan untuk membuat orang melek media atau ada istilah literasi media. Orang bisa tercerahkan, belajar tentang apa dan bagaimana media itu. Bagaimana acara televisi itu dibuat, adakah pesan sponsornya, siapa pemilik stasiun televisi ini, adakah kepentingan politiknya, mau dibawa kemana siaran televisi ini, bagaimana mengkritisinya, bagaimana kita menyeleksi, bagaimana prosesnya. Sehingga kita bisa melakukan kajian analisa dan dari situ kita menjadi penonton yang cerdas, tidak bersifat pasif. Dalam konteks ini, maka akan membuat kita bisa melakukan tindakan sebagai kelompok, misalnya memberi usulan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), "Siaran ini kurang bagus. Siaran ini tidak edukatif. Siaran ini mengandung tayangan seksual, kekerasan dan berbagai hal yang tidak membangun." Kita juga bisa membuat surat pembaca di surat kabar, internet, LSM, supaya terjadi suatu bentuk penyeimbangan dalam dunia media kita. Ada control, ini dilakukan sebagai kelompok, diawali oleh jemaat yang dididik mengenai pendidikan media, dibuat menjadi pengguna media yang cerdas, kritis dan bertanggung jawab.
H : Terima kasih Pak. Tentunya ini informasi yang sangat bermanfaat. Apa ada lagi aksi kelompok yang bisa dilakukan selain melalui pendidikan media?
SK : Ada dua hal lagi. Yaitu kembangkan klub pencinta internet secara Kristiani dan klub pembuat media Kristiani. Mari kumpulkan anak-anak maupun orang tua pengguna internet termasuk orang-orang yang belum terbiasa menggunakan internet, kita belajar bersama-sama bagaimana menggunakan internet, media sosial dan bagaimana mendampingi anak-anak dalam menggunakan internet. Kita mungkin tidak bisa membuat, tapi anak-anak kita yang bisa diajari atau dididik bukan hanya sebagai penonton tetapi pembuat dengan muatan yang Kristiani, yang membangun. Video klip, iklan, tayangan film, sampai mungkin sinetron. Mungkin semacam membuat rumah produksi (Production House), memberi sumbangsih secara Kristiani, menjadi garam dan terang dalam dunia media.
H : Dan inilah wujud konkrit penggunaan media untuk kemuliaan Allah ya, Pak?
SK : Betul.
H : Baik, Pak. Di akhir sesi terakhir topik perbincangan"Media dan Keluarga" ini, ayat firman Tuhan apa yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Ayatnya saya ambil dari Filipi 4:8-9, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar, dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu." Dalam hal ini saya mengingatkan tentang istilah yang Pak Hendra pakai di sesi sebelumnya GIGO (Garbage In Garbage Out) atau disebut Hukum Tabur Tuai. Menabur pikiran, menuai perbuatan. Menabur perbuatan, menuai kebiasaan. Menabur kebiasaan, menuai karakter. Menabur karakter, menuai nasib akhir. Apa yang kita tabur dalam pikiran jangan dianggap remeh, itu sangat penting sekali, ada rentetannya. Firman Tuhan mengatakan apa yang benar, apa yang mulia, apa yang adil, apa yang suci, apa yang patut dipuji, apa yang bajik, itulah yang patut kita pikirkan, yaitu kebenaran firman Tuhan. Apa yang baik, tontonan yang baik, percakapan yang membangun, itulah yang kita tabur. Mari pilih media yang bisa membangun kita. Katakan tidak pada media yang tidak membangun, hanya bisa menghibur. Mari diri kita sendiri menjadi media yang baik bagi anak-anak kita. Rasul Paulus menempatkan diri menjadi media yang baik. "Apa yang telah kamu pelajari, terima, denganr, dan lihat padaku, lakukanlah itu." Jadi Paulus menempatkan diri sebagi sumber media keteladanan bagi orang-orang yang dia muridkan. Mari kita orangtua menjadi pelaku firman, hidup dalam kasih dan kemurnian sehingga akan bisa menjadi tontonan dan tuntunan bagi anak-anak kita. Demikian, Pak Hendra.
H : Terima kasih atas perbincangan yang sangat bermanfaat ini, Pak Sindu. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang mengenai topik "Media dan Keluarga" bagian keempat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org; Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
45. Pria Dan Konflik Rumah Tangga | |
Ada banyak soal yang membuat pria terlibat konflik dengan istrinya. Sudah tentu penyelesaian konflik beragam dan tidak dapat diseragamkan secara sederhana. Namun pada akhirnya bagaimanakah kita berkonflik dan apakah kita dapat menyelesaikannya bergantung pada diri kita sendiri, yaitu apakah kita bisa mengendalikan diri. Langkah menuju pengendalian diri bertahap dan melewati proses namun langkah awalnya adalah sama yaitu mengenali diri terlebih dahulu. Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang pada umumnya dialami oleh pria sebelum dan pada waktu konflik.
Ada banyak soal yang dapat membuat kita terlibat konflik dengan istri. Sudah tentu penyelesaian konflik beragam dan tidak dapat diseragamkan secara sederhana. Namun pada akhirnya bagaimanakah kita berkonflik dan apakah kita akan dapat menyelesaikannya bergantung pada diri kita sendiri, yaitu apakah kita bisa mengendalikan diri. Langkah menuju pengendalian diri bertahap dan melewati proses namun langkah awalnya adalah sama yaitu mengenali diri terlebih dahulu. Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang pada umumnya dialami oleh pria sebelum dan pada waktu konflik.
Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pria dan Konflik Rumah Tangga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, konflik rumah tangga memang sesuatu yang sulit sekali untuk dihindari baik skala sederhana atau pun kompleks tapi kita sebagai suami, sebagai seorang pria memang memunyai sikap yang berbeda dibandingkan dengan istri kita atau pasangan kita dalam menanggapi suatu konflik. Perbincangan ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Tadi Pak Gunawan telah memunculkan akan pengamatan yang benar, yang tepat bahwa memang kita meskipun sama-sama bisa berkonflik, kita juga kadang-kadang tidak selalu tepat dalam menghadapi masalah namun memang ada perbedaan antara kita, pria dan wanita dalam menyelesaikan konflik. Jadi kita akhirnya harus memfokuskan pada bagaimanakah kita berkonflik dan apakah kita akan dapat menyelesaikannya. Satu point yang akan kita angkat adalah ternyata semua berpulang pada satu keterampilan yaitu apakah kita bisa mengendalikan diri. Kalau kita tidak bisa mengendalikan diri maka apa pun yang kita hadapi, konflik sekecil apa pun tidak bisa kita selesaikan, tapi kalau kita bisa mengendali-kan diri maka ini adalah kunci yang dapat kita gunakan untuk bisa mengatasi konflik dalam rumah tangga kita.
GS : Sebenarnya apa yang terjadi di dalam diri kita sebagai kaum pria atau kaum suami ketika kita berkonflik dengan pasangan kita, Pak Paul?
PG : Ada beberapa hal, Pak Gunawan. Yang pertama, pada umumnya kita pria tidak begitu cakap menghadapi kejutan yang bersifat emosional misalnya seperti letupan kemarahan, kebingungan, tuduhan dan sebagainya. Kecenderungan kita sewaktu istri misalnya tiba-tiba meletup adalah melihatnya sebagai sebuah krisis yang mesti dikendalikan, tidak heran dalam kondisi terkejut kita lebih memfokuskan energi untuk mengendalikan emosi istri ketimbang membereskan masalah yang diangkatnya. Mungkin pertanyaannya adalah mengapa kita, pria tidak begitu cakap menghadapi kejutan emosional. Untuk dapat menghadapi masalah kita membutuhkan ketenangan, tidak heran kita cepat menginterpretasi ledakan emosi sebagai pengusik ketenangan yang mesti kita padamkan dengan segera. Singkat kata, sebagai laki-laki kita memunyai kebutuhan akan ketenangan yang besar, itu sebab kita tidak begitu mudah menghadapi gangguan yang mengusik ketenangan.
GS : Kondisi ini semakin diperburuk ketika kita sendiri sedang tidak tenang, misalnya pulang dari kerja atau dari luar rumah lalu tiba-tiba disambut dengan kemarahan istri, misalnya datang terlambat atau celaan dari istri. Ini lebih cepat meledaknya, Pak Paul.
PG : Saya perhatikan memang kita semuanya sebagai manusia, baik laki maupun perempuan, sudah tentu kalau kita tidak siap untuk berkonflik, kita akan lebih buruk dalam menghadapi konflik. Namun saya perhatikan perempuan pada umumnya lebih dapat membagi-bagi dirinya, meskipun dia lelah pulang kerja kurang begitu siap tapi kecenderungannya dalam menghadapi konflik seolah-olah perempuan masih dapat membelah dirinya kemudian menggunakan bagian yang satunya untuk menghadapi konflik. Sedangkan pria tidak bisa, begitu kita mendengar istrinya tiba-tiba marah, kita rasanya seperti kapal yang terjungkal. Perahunya sudah terbalik, itu membuat kita kehilangan keseimbangan dan kita tidak bisa lagi berpikir dengan baik, sehingga akhirnya kita tidak bisa mengendalikan emosi kita juga dengan baik. Maka penting buat kita untuk mengetahui inilah diri kita sebagai pria, kita perlu ketenangan untuk dapat berpikir dengan jernih sebelum akhirnya bisa mengatasi konflik yang timbul itu.
GS : Tapi emosi itu 'kan sebenarnya dapat dikendalikan, Pak Paul, termasuk oleh kita kaum pria ini?
PG : Betul sekali, kalau kita tidak bisa mengendalikan emosi sama sekali itu memang lebih buruk lagi. Ada sebagian pria yang jarak antara mulai marah sampai marah itu sangat dekat sekali, ada sebagian kita pria, jarak antara mulai marah sampai marah agak lebih panjang. Bagi yang jaraknya lebih pendek lebih susah lagi namun saya berharap dengan kita menyadari bahwa kita lebih perlu ketenangan, kita lebih bisa menjaga diri. Misalnya kalau kita sudah mengetahui akan ada konflik, kita bisa memberikan peringatan kepada istri kita dengan mengatakan, "Bisakah ditunda lebih dulu, saya sangat sangat letih, saya tidak siap untuk bicara, daripada kita bicara dan akhirnya saya akan meledak, bisakah ditunda, sebab tujuannya akan menyelesaikan masalah, tujuan saya bukan untuk berkelahi, jadi saya tidak mau berkelahi, jadi tolong beri saya waktu". Saya juga meminta kaum ibu untuk mengerti bahwa suami mereka memang sungguh-sungguh membutuhkan ketenangan itu untuk dapat berpikir jernih. Kalau tidak ada ketenangan, kebanyakan pria akan bereaksi dengan sangat salah.
GS : Biasanya dari pihak istri ingin cepat-cepat masalahnya selesai, kalau kita minta penundaan malah menimbulkan kemarahan dari pihak si istri itu.
PG : Memang ini perlu disiplin sebab kita juga mengerti bahwa istri kita perlu berbicara. Kalau dia tidak mengeluarkan isi hatinya, dia juga susah, tersumbat. Nah, kita bisa berkata, "Saya tidak minta waktu lama-lama, bagaimana nanti malam kita berbicara, saya hanya perlu waktu beberapa lama untuk berdiam dulu". Kalau istri-nya merasa saya perlu bicara juga, OK, suami berkata "OK, silakan kamu bicara tapi akan saya tanggapi nanti". Kita harus saling mengenal masing-masing sehingga bisa saling percaya bahwa ini masalah akan kembali diangkat dan diselesaikan.
GS : Jadi peran istri untuk mencegah konflik semakin besar, sangat besar peranannya, Pak Paul.
PG : Betul sekali memang besar, tapi saya tetap mau meletakkan tanggungjawab ini kepada kita, pria bahwa kita mesti mengenali diri kita dan coba untuk bisa ber-tanggungjawab mengaturnya.
GS : Apakah ada cara untuk kita melatih diri supaya kita bisa menahan emosi ketika istri membuat kejutan dengan membangkitkan emosi kita, Pak Paul?
PG : Kalau misalnya kita sama sekali tidak siap dan emosi sudah terpancing dan meledak mungkin reaksi pertama kita tidak bisa lagi kendalikan, Pak Gunawan, namun yang saya minta adalah setelah reaksi pertama keluar coba tolong hentikan dan minta waktu, kita keluar supaya jangan sampai kita teruskan lagi pertengkaran ini. Atau misalkan kita sudah bisa tenang, kita jangan lupa untuk meminta maaf, jadi kita disiplin diri untuk berkata, "Saya salah, saya tidak seharusnya begitu". Kalau masih bisa waktu istri kita tiba-tiba marah dan kita berada dalam situasi itu, kita mesti kenali reaksi kita, kalau kita melihat rasanya cepat sekali saya akan marah, benar-benar minta "time-out" dan berkata, "Saya harus keluar dulu, saya tidak bisa menanggapi". Saya perhatikan kalau saja ada kerja sama dalam soal "time-out" ini, banyak masalah bisa diselesaikan dan saya yakin istri pun akan melihat kalau "saya tidak benar-benar mendorong-dorong, menyudutkan suami saya ternyata dia bisa memberi respons yang lebih baik". Akhirnya istri akan berkata, ya sudah saya akan bersiap untuk tunggu. Namun sekali lagi, kita pria harus pegang janji. Kalau sudah kita katakan kita akan membahasnya, tetapi tidak sekarang, kita harus memegang janji untuk membahasnya.
GS : Selain kita memang tidak begitu cakap menghadapi kejutan yang bersifat emosional, hal yang lain apa, Pak Paul?
PG : Yang kedua, pada umumnya kita tidak fasih lidah mengutarakan segala hal yang bermuatan emosi. Sewaktu sedih dan kecewa, kita sukar mengatakannya. Pada saat takut kita juga sulit mengakuinya dan tatkala marah kita mudah mengung-kapkannya lewat kata-kata. Masalahnya kita cenderung diam ketika merasa sedih, kecewa dan takut tapi cenderung bertindak agresif pada waktu marah. Singkat kata, oleh karena kita tidak dapat mengutarakan kemarahan dengan tertata lewat perkataan, kemarahan itu cenderung meletup secara fisik. Sudah tentu langkah awal yang biasanya kita lakukan adalah berdiam diri atau mencoba berdialog secara tenang namun tatkala kita tidak dapat lagi berdiam diri dan dialog pun tidak membuahkan hasil, kita cenderung meledak dan mengalami dorongan yang kuat untuk mengutarakan kemarahan kita secara agresif. Yang saya ingin sarankan adalah penting bagi kita untuk mengenali dorongan adrenalin sewaktu mengalir dengan lebih cepat dalam tubuh dan berbuat sesuatu supaya tidak berakhir dengan ledakan jika kita menyadari bahwa kita mulai mendekati titik puncak, minta waktu jeda kepada istri dan janjikan waktu untuk melanjutkan percakapan yang belum selesai itu.
GS : Perbedaan yang mendasar dengan yang pertama tadi apa, Pak Paul?
PG : Yang pertama memang adalah kita tidak siap dengan ekspresi atau emosi yang keluar dari istri kita secara mendadak oleh karena itu membuat kita cepat terpancing, kita benar-benar langsung meledak. Yang berikut, kita menyadari bahwa pada waktu sesuatu terjadi kita tidak mudah mengutarakannya. Kecenderungannya adalah sama dengan marah atau kecewa, kita cenderung simpan. Kebanyakan pria akan begitu, simpan, takut — simpan, kecewa — simpan, sedih — simpan, marah juga kita simpan mula-mulanya. Nah, lama-kelamaan karena tidak terbiasa mengatakannya, untuk mengutarakannya susah. Simpanan itu makin membesar, satu kali meledak. Pada waktu meledak kecenderungan kita tidak lewat perkataan memang. Kalau sudah terlalu besar kita meledak biasanya kita ekspresikan secara fisik. Ada istri yang mengeluh, "Kok suami saya kalau marah membanting barang, memukul pintu, menendang barang", seringkali memang itulah yang terjadi, sebab awalnya adalah menyimpan..... menyimpan....menyimpan. Mengapa tidak bisa langsung mengeluarkan? Bagi laki-laki itu susah sekali untuk bicara, berkata pada istrinya, "Saya tadi sebetulnya marah kepada kamu karena kamu begini, begini, begini". Sangat susah bagi pria untuk mengatakannya. Saya bukan membela pria atau memberikan dalih, bukan! Saya mengerti inilah pergumulan kita semua, kita tidak begitu fasih lidah mengutarakan perasaan kita. Perempuan lebih mudah mengeluarkan isi hati dan perasaannya lewat perkataan.
GS : Atau pun kalau kita bicara ditanggapi secara keliru, Pak Paul, sehingga kita harus mengatakan, "Saya tidak bermaksud seperti itu", begitu Pak Paul.
PG : Mungkin sekali karena memang kenapa bisa sampai salah tafsir, bisa juga masalahnya ada pada kita karena tidak begitu bisa menjelaskannya secara tepat tapi bisa juga istri kita terlalu peka sehingga cenderung menafsirnya dari sudut yang berbeda.
GS : Memang ada beberapa orang istri yang peka terhadap kata-kata seperti itu, sehingga sedikit saja yang menurut si suami tidak apa-apa, secara rasional memang seperti itu, tapi dia menanggapinya bisa keliru.
PG : Kita laki-laki pada waktu menghadapi situasi seperti itu ada yang berusaha keras untuk menjelaskannya lagi dan bisa, tapi kebanyakan laki-laki tidak bisa disuruh menjelaskannya lagi. Dia sudah bicara dan disalah tafsir, kebanyakan dia akan berkata, "Sudah diam, tidak usah bicara sebab percuma bicara!" Tapi sebetulnya selain dari laki-laki merasa percuma bicara, dia juga susah untuk menjelaskan kedua kali atau ketiga kalinya. Tidak mudah, ini perbedaan yang saya lihat dengan wanita. Wanita bisa menjelaskannya lagi untuk kedua atau ketiga kalinya. Pria memang susah, apa yang sudah dikatakan seperti kereta sudah berjalan di relnya untuk disuruh belok atau berputar dia tidak bisa lagi, susah!
GS: Itu bisa kadang-kadang menimbulkan masalah baru dalam pertengkaran itu, hanya karena salah pengertian. Masalah yang pertama belum selesai, ditambah dengan ini salah bicara, Pak Paul.
PG : Sekali lagi kita melihat, tadi sudah saya singgung perbedaannya, pada waktu muncul problem nomor dua, nomor satu belum beres. Sedikit pria yang akan bersedia untuk meneruskannya ke problem dua. Kalaupun dia bersedia meneruskannya ke problem dua, seringnya di tengah jalan dia meledak, keluar pembicaraan atau tindakan-tindakan yang lebih agresif, jadi susah untuk dia benar-benar hanya bercakap-cakap saja mengeluarkan isi hatinya lewat perkataan. Kalau dia sudah masuk ke problem nomor dua atau problem nomor tiga, kecenderungannya untuk lepas kendali dan meledak, makin besar.
GS : Apakah ada faktor yang lain, Pak Paul?
PG : Yang ketiga adalah penting untuk kita sadari bahwa pada dasarnya kita membutuhkan instruksi atau penjelasan konkret dari istri untuk dapat memahami apa yang dipikirkan dan diharapkannya. Saya berikan contoh, kata-kata seperti "butuh disayangi" atau "butuh dimengerti" tidak bermakna terlalu jelas untuk kita. Jangan ragu untuk kita bertanya dan meminta contoh konkret akan apa yang diharapkannya. Sekali lagi, kita tidak mengerti. Ada kalanya istri sudah menjelas-kan, lain kali kita tetap saja mengulang kesalahan yang sama sebab kita tidak mengerti. Mohon kepada istri untuk mengerti bahwa sesungguhnya kita sebagai pria tidak mudah mengerti hal-hal yang bersifat emosional. Daripada mengatakan, "Saya butuh disayangi" atau "Saya butuh dimengerti", tolong berikan contoh konkret apa artinya "Saya butuh disayangi", bagaimana kamu bisa menyayangi saya, bagaimana kamu bisa mengerti saya. Contohnya apa secara konkret.
GS : Di pihak istri dibutuhkan juga kemampuan untuk bisa menjelaskan kepada kita karena kalau dia hanya mengatakan "Begitu saja tidak mengerti", ya habis lagi kita, Pak Paul.
PG : Saya masih ingat istri saya menyuruh saya untuk memegang pundaknya, memeluknya, untuk memegang tangannya. Hal-hal seperti itu membuat istri saya merasa disayangi. Atau pada waktu saya pergi, saya tidak lupa untuk menghubunginya. Saya bisa menghubunginya seminggu sekali, saya bisa menghubunginya 2 hari sekali, nah yang membuat dia merasa disayangi waktu saya menghubungi dia 2 hari sekali, bukan seminggu sekali. Hal-hal konkret seperti itu yang kita laki-laki perlu ketahui. Kalau tidak, kita memang benar-benar "buta".
GS : Karena ada sebagian istri yang menganggap kita itu bisa mengerti sendiri seperti dia mengerti. Ini yang agak sulit memang.
PG : Betul, misalnya kita tidak mengetahui apa yang diharapkan, kita bisa bertanya, "Bisakah tolong beri saya penjelasan, kamu tadi berkata kamu tidak merasa dimengerti oleh saya. OK, saya mau mengkomunikasikan bahwa saya mengerti perasaanmu atau pikiranmu jadi apa yang harus saya lakukan?" Berilah penjelasan, misalnya istri berkata tolong kamu kalau berkata kamu mengerti, coba lakukan yang saya minta. Jangan lagi kami memberikan penjelasan tapi langsung lakukan yang saya minta, misalnya si istri berkata tadi saya sudah berkata pada kamu tolong kamu jemput anak", tapi kamu lupa. Saya 'kan sudah lelah, saya berharap kamu langsung menjemput anak karena kamu mengetahui saya lelah, tapi kamu tidak melakukan itu. Bisakah langsung kamu lakukan yang saya minta? Pada waktu kamu tidak melakukannya, membuat saya merasa kamu tidak mengerti pergumulan atau keletihan saya. Itu contoh konkret yang bisa istri berikan kepada suaminya.
GS : Mungkin ada hal yang lain lagi, Pak Paul?
PG : Hal yang lain adalah sebenarnya kita adalah orang yang sensitif jika topik konflik menyangkut tanggungjawab dan kemampuan kita. Besar kemungkinan ini berkait-an dengan dunia kita sebagai laki-laki yang dinilai berdasarkan prestasi kerja. Tampaknya kita membawa konsep kerja ini ke dalam pernikahan sehingga keluhan istri menjadi tidak beda dengan evaluasi kerja yang tidak memuaskan. Tidak heran mendengar keluhan istri, reaksi kita biasanya adalah menarik diri atau menyalah-kan diri, berkata "tidak bergunalah saya ini", "tidak cukup baiklah saya ini" atau sebaliknya kita bersikap defensif alias membenarkan diri. Itulah sebab penting bagi kita menyampaikan kepada istri bahwa dalam menyampaikan keluhan atau tuntutan tolong katakan pula hal lain yang telah kita lakukan dengan baik. Jangan sampai perhatiannya hanya terfokus pada yang "kurang saja". Begitu, Pak Gunawan.
GS : Memang kalau menyangkut tanggungjawab, sangat peka untuk kita kaum pria, tetapi bisa juga terjadi kalau kita dituntut melakukan sesuatu di luar kemampuan kita. Sudah tahu kita tidak mampu misalnya, membetulkan genteng di atap rumah, tapi dikatakan ketidakmampuan kita, maka kita tidak mau menerima hal itu.
PG : Saya akhirnya menyimpulkan mungkin karena dunia kita adalah dunia kerja, lain dengan seorang ibu rumah tangga. Meskipun ibu rumah tangga adalah juga pekerja, seringkali seorang wanita yang memunyai anak akan melihat dirinya terutama adalah sebagai ibu rumah tangga. Itu sebabnya kalau kita kritik istri kita yang berkenaan dengan soal anak, biasanya susah diterima. Atau kita mencela dia dalam hal mengurus rumah, istri kita bisa juga tersinggung, sebab itu adalah wilayah pekanya. Kita pria karena dunia kita adalah dunia kerja, maka kita peka dan evaluasi yang berkaitan dengan yang namanya prestasi, tanggungjawab, kemampuan. Itu sebabnya kalau istri kita mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan tanggungjawab kita sebagai suami apalagi kalau kata-katanya kasar, seperti, "Kamu tidak mampu, kamu tidak bertanggungjawab sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah. Kamu ayah yang tidak benar", itu biasanya akan sangat melukai hati si suami dan bisa jadi membuat si suami bereaksi dengan keras terhadap hal-hal itu.
GS : Karena merasa kewibawaan kita terganggu di situ, Pak Paul?
PG : Memang itu benar-benar bagi kita pria, merupakan serangan yang menohok ulu hati kita sebagai seorang pria, sebab itulah diri kita. Kita dinilai berharga atau bernilai lewat kemampuan kita dan tanggungjawab kita.
GS : Tapi sebenarnya sebagai istri bukankah dia berhak menanyakan atau mengatakan itu, Pak Paul?
PG : Yang penting adalah caranya, kita harus mengatakannya dengan lebih halus dan lebih tepat. Sekali lagi daripada memojokkan, lebih baik kita bertanya, misalnya ada sesuatu yang harusnya dikerjakan tapi tidak dikerjakan, tanyakan lagi, ingatkan lagi, tapi kalau bisa hindari kata-kata seperti, "Kamu tidak bertanggungjawab, kamu tidak mampu" dan sebagainya.
GS : Hal yang lain lagi yang menjadi faktor penyebab apa, Pak Paul?
PG : Yang berikut dan yang terakhir adalah pada hakikinya kita adalah manusia yang lebih rasional daripada spiritual. Kita laki-laki jauh lebih mudah untuk berpikir dari pada berdoa. Lebih mudah untuk kita, laki-laki mencari jalan keluar daripada mencari Tuhan. Kita laki-laki lebih mudah memecahkan masalah dari pada kita menyerahkan masalah kepada Tuhan. Itu sebabnya acapkali Tuhan memakai konflik rumah tangga untuk menumbuhkan iman dan buah roh dalam hidup kita. Memang harus kita akui bahwa kita tidak terlalu spiritual dan seringkali istri kitalah yang lebih spiritual dari pada kita.
GS : Kadang-kadang seorang suami adalah orang yang spiritual tapi juga tetap timbul masalah di sini, apakah karena dia kurang bertumbuh di dalam imannya atau bagaimana, Pak Paul?
PG : Tidak mesti karena kita ketahui bahwa masalah bisa timbul, baik dari suami maupun dari istri. Saya memang memunculkan hal ini supaya kita waswas, kita bisa melihat konflik sebagai cara Tuhan untuk mengingatkan kita terbatas, kita bisa juga salah, kita bisa gagal, kita membutuhkan Tuhan dan istri kita untuk mengarungi lautan kehidupan ini.
GS : Walaupun Tuhan bisa memakai konflik untuk menumbuhkan atau membentuk kita menjadi lebih dewasa, tapi kita tidak mau terlalu terlibat banyak konflik, Pak Paul?
PG : Sudah tentu sedapat-dapatnya kita harus berusaha mengharmoniskan relasi kita dan salah satu cara mengharmoniskan relasi adalah berhasil menyelesaikan konflik yang timbul. Kita seringkali rasanya letih kalau harus konflik terus dan kita tidak selalu bisa konflik, kadang-kadang silakan berkata kepada istri kita, "Hari ini jangan sampai ribut, saya tidak bisa lagi karena sudah lelah", sebab kapasitas kita sebagai laki-laki untuk mengatasi konflik tidak besar. Konflik yang bersifat rasional lebih bisa kita hadapi, tapi konflik emosional kita tidak memunyai tabungan yang besar.
GS : Pak Paul, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan?
PG : Di I Petrus 3:7 firman Tuhan berkata, "Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang". Jadi Firman Tuhan memang berkata dengan gamblang, kita laki-laki mesti hidup dengan bijaksana, artinya kita mesti mengerti istri kita, kelemahan-kelemahannya. Suami yang bijaksana adalah suami yang bisa mengerti kelemahan istri dan bisa menerimanya dan terutama jangan sampai kita tidak menghormati istri kita. Tuhan mengingatkan, istri adalah teman pewaris, sama-sama sejajar, sama tingginya, sama rendahnya dan mewarisi kasih karunia. Tuhan jelaskan juga dengan tegas kalau kita tidak menghormati istri, menyia-nyiakan istri maka Tuhan juga akan membatasi, tidak mendengarkan doa kita. Oleh karena itu firman Tuhan berkata, "supaya doamu jangan terhalang". Yang membuat doa kita terhalang adalah Tuhan tidak mau dengarkan kalau hati kita penuh kemarahan, kebencian dan tidak menghormati istri kita.
GS : Atau mungkin karena ketika kita sedang konflik dengan istri, kita tidak bisa berdoa dengan sungguh-sungguh, hanya mencurahkan isi hati kita yang penuh dengan kemarahan sehingga doa yang demikian tidak berkenan di hadapan Tuhan, Pak Paul?
PG : Saya kira itu juga bisa kalau kita terus menyimpan dendam, tidak habis-habis marah akhirnya mana bisa kita berdoa juga.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pria dan Konflik Rumah Tangga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
46. Ayah yang Mendidik dan Mendisiplin | |
Pada umumnya kita selalu mengaitkan tugas mendidik anak dengan ibu, bukan dengan ayah. Ternyata di dalam Alkitab, tidak ada instruksi khusus yang diberikan kepada ibu mengenai hal mendidik anak. Sebaliknya, dua kali Paulus menitipkan pesan kepada ayah dalam kaitannya dengan tugas mendidik anak.
Pada umumnya kita selalu mengaitkan tugas mendidik anak dengan ibu, bukan dengan ayah. Ternyata di dalam Alkitab, tidak ada instruksi khusus yang diberikan kepada ibu mengenai hal mendidik anak. Sebaliknya, dua kali Paulus menitipkan pesan kepada ayah dalam kaitannya dengan tugas mendidik anak.
Mari kita lihat Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran (discipline) dan nasihat (instruction) Tuhan." Berikut adalah Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya."
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa perintah untuk mendidik anak ditugaskan secara khusus kepada bapa, bukan kepada ibu? Jika kita perhatikan baik-baik, Paulus tidak menugaskan ayah secara khusus. Sebenarnya Paulus hanya menitipkan pesan YANG BERHUBUNGAN dengan tugas seorang bapa. Itu sebabnya pada surat Efesus, Paulus memulai dengan pesan, "jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu," baru mengakhiri dengan instruksi "mendidik dan mengajar anak. " Dan, di Kolose, Paulus memulai dan mengakhiri dengan pesan, "jangan menyakiti hati anakmu."
Jadi, dapat disimpulkan tugas mendidik dan mengajar anak berada pada pundak ayah DAN ibu sebagaimana disampaikan oleh Tuhan lewat hamba-Nya, Musa, di Kitab Ulangan 6:6-9. Dalam pelaksanaannya, Tuhan perlu menitipkan pesan tambahan kepada para bapa, tidak kepada ibu. Dan, pesan khusus ini berhubungan dengan kemarahan. Tampaknya di dalam menjalankan tugasnya, Tuhan melihat adanya kecenderungan pada ayah untuk membangkitkan kemarahan pada diri anak. Sebagai seorang ayah, saya memperhatikan betapa mudahnya anak-anak menyimpan kemarahan kepada saya, tetapi tidak kepada istri saya. Pada kenyataannya istri saya—yang lebih banyak di rumah—lebih sering memarahi mereka. Jauh lebih jarang saya memarahi mereka. Itu sebab saya mulai mengintrospeksi diri untuk menemukan jawabannya. Ternyata ada beberapa hal tentang cara saya mendidik anak yang berpotensi membangkitkan kemarahan anak.
Hal pertama tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA TIDAK SUKA BERBASA-BASI. Sewaktu saya menegur anak, yang keluar dari mulut adalah perkataan yang bersifat rasional. Saya menyampaikan apa yang saya lihat sekaligus teguran kepadanya—apa yang seharusnya ia perbuat. Tidak ada kata pembukaan dan tidak ada kata penutup. Semua tertuju langsung pada isi.
Hal kedua tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA MENUNGGU TERLALU LAMA UNTUK MENEGUR MEREKA. Pada umumnya saya membiasakan diri untuk tidak langsung menegur anak sampai ia mengulang perbuatannya beberapa kali. Masalahnya adalah, pada waktu saya menyampaikan teguran, adakalanya emosi marah saya sudah menanjak, mengingat ini adalah kesalahan yang sudah terjadi berulang kali. Akibatnya, nada suara saya cenderung meninggi dan kata-kata yang keluar menjadi lebih tegas. Inilah yang melukai hati mereka.
Hal ketiga tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA TERLALU JAUH MELIHAT ATAU MENGANTISIPASI KE DEPAN. Oleh karena saya memikirkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi bila mereka terus melakukan kesalahan, bobot teguran saya menjadi lebih berat. Sebagai akibatnya mereka merasa bahwa teguran saya terlalu keras dan menyudutkan mereka. Sebagai kesimpulan, anak melihat saya sebagai dua pribadi. Di satu pihak mereka melihat saya sebagai figur penyayang yang hangat tetapi di pihak lain mereka melihat saya sebagai figur otoritas yang dingin, kedua sosok ini seakan-akan terpisah dan tidak menyatu dalam satu tubuh.
Berbeda dengan saya yang menampakkan dua figur berbeda—hangat dan dingin—istri saya merangkum keduanya dalam satu tubuh atau pribadi. Sewaktu marah, ia tidak kehilangan sisi kehangatannya sehingga anak-anak tetap merasakan bahwa ibu yang tengah memarahinya adalah ibu yang juga menyayanginya. Hal kedua yang membuat anak sukar marah kepadanya sewaktu menerima disiplin adalah di luar pendisiplinan, ia MENJALIN RELASI DENGAN ANAK-ANAK YANG BUKAN SAJA KUAT TETAPI RINGAN. Istilah ringan di sini mengacu kepada 1001 hal yang ringan—tidak serius—yang menjadi bagian hidup sehari-hari.
Istri saya sering bergurau dengan mereka dan acap membicarakan banyak hal yang sepele namun menambah keakraban. Sebaliknya, saya cenderung berbicara dengan anak menyangkut hal yang serius sehingga dapat dikatakan, pembicaraan kami lebih bersifat diskusi.
Hal ketiga yang membuat anak sukar marah kepada istri saya adalah ia MEMBUKA DIRI SELEBAR-LEBARNYA KEPADA ANAK UNTUK MELIHATNYA SEBAGAI SEORANG MANUSIA APA ADANYA. Saya kira pada umumnya wanita lebih nyaman untuk mengekspresikan perasaannya ketimbang pria. Saya perhatikan sewaktu istri menegur anak atau berbicara kepada mereka, dengan alamiah ia dapat memperlihatkan luapan perasaannya, baik itu kekesalan, kesedihan, atau ketakutan. Saya kira keterbukaan ini membuat anak lebih dekat dengannya dan lebih dapat menerima didikan darinya.
Tuhan mengingatkan kita, para bapa, untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas. Kita mesti memberi perhatian yang besar akan hal ini sebab materi yang akan kita ajarkan kepada anak berkaitan erat dengan Tuhan sendiri. Singkat kata, ada potensi yang besar anak mengidentikkan materi dengan si penyampai materi. Akhirnya bukan saja anak tidak suka dengan kita yang mendisiplinnya, anak pun tidak suka dengan materi yang kita ajarkan—yakni tentang Tuhan dan perkataan-Nya. Sewaktu ia menolak kita, ia pun menolak Tuhan yang kita ajarkan kepadanya.
Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Ayah yang Mendidik dan Mendisiplin". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, dalam budaya Indonesia, mendidik anak diserahkan kepada ibu atau kakek dan neneknya. Tetapi sebagai ayah, dirasa kurang terlibat dalam mendidik anak. Bagaimana pandangan menurut Alkitab mengenai hal ini?
PG : Sebetulnya pandangan itu tidak tepat, Pak Gunawan. Itu adalah budaya dimana kita tinggal, bukan hanya disini tetapi di berbagai belahan dunia pun kebanyakan orang beranggapan bahwa tugas mendidik anak ada di pundak ibu. Tidak, jadi saya akan menggunakan, akan saya bacakan dulu firman Tuhan yang diambil dari Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Itu yang pertama. Yang kedua, di Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Nah, mungkin ini yang seringkali membuat kita bertanya-tanya, mengapa perintah untuk mendidik anak ditugaskan secara khusus kepada bapak bukan kepada ibu. Tetapi jika kita perhatikan baik-baik, Pak Gunawan, Paulus sebenarnya tidak menugaskan kepada ayah secara khusus. Sebenarnya Paulus hanya menitipkan pesan yang berhubungan dengan tugas seorang bapak. Sebab pada Efesus, Paulus memulai dengan pesan, "jangan bangkitkan amarah dalam hati anak-anakmu" baru mengakhiri dengan instruksi mendidik dan mengajar anak. Di Kolose, Paulus juga berkata, "jangan menyakiti hati anakmu". Waktu kita baca di Ulangan 6:6-9 kita juga bisa melihat dengan jelas bahwa tugas mendidik dan mengajar anak berada pada pundak ayah dan ibu, bukan hanya ada pada pundak ibu, tetapi dua-duanya. Namun rupanya dalam pelaksanaannya, Tuhan perlu menitipkan pesan tambahan kepada para bapak bukan kepada ibu. Dan pesan khusus ini berhubungan dengan kemarahan. Jadi kesimpulannya, tampaknya dalam menjalankan tugasnya, Tuhan melihat ada kecenderungan pada ayah untuk membangkitkan kemarahan pada diri anak. Jadi inilah yang akan kita coba bahas dalam kesempatan ini, Pak Gunawan.
GS : Tetapi memang dikalangan orang Yahudi, tugas mendidik anak memang dipercayakan kepada ayah? Peran ayah itu besar terutama terhadap anak laki-lakinya, Pak Paul.
PG : Betul. Memang mereka sangat menekankan tanggung jawab ayah dalam membesarkan anak-anaknya.
GS : Kalau ayah memang ditugasi untuk mendidik dan mendisiplin, sedangkan ayah juga menjadi orang yang mencari nafkah bagi keluarganya. Apakah ini tidak terlalu sulit bagi ayah itu untuk melakukan peran tersebut? Karena dengan mencari nafkah, dia harus sering meninggalkan rumah.
PG : Betul. Tentu saja yang akan lebih banyak berperan dalam pelaksanaannya adalah ibu. Yang kita coba beritahukan kepada para pendengar, ini tidak berarti pria dibebastugaskan. Kita mau menjelaskan dari firman Tuhan, justru peranan untuk mendidik anak adalah tanggung jawab ayah dan ibu. Namun dalam pelaksanaannya sudah tentu ibu akan lebih berperan karena waktu yang dia habiskan bersama anak akan lebih banyak. Tetapi ayah tidak boleh lepas tangan dan berkata, "Ini bukan urusan saya, ini urusan istri saya." Itu juga tidak boleh. Sebab Tuhan memanggil dan menugaskan kita berdua untuk mendidik anak-anak kita.
GS : Kalau Paulus mengingatkan agar ayah tidak membangkitkan amarah dalam hati anak-anaknya, misalnya dalam hal apa, Pak Paul?
PG : Kita laki-laki, misalnya mau mendisiplin anak, cenderung tanpa sadar justru membangkitkan amarah anak-anak. Ini yang saya perhatikan, mengapa tidak terjadi pada ibu? Saya melihat, kalau saya yang bicara, anak-anak saya lebih susah menerima. Kalau istri saya yang bicara, mereka lebih bisa menerima. Ini yang membuat saya bertanya, "Ada apa dengan saya sehingga anak saya lebih mudah bereaksi marah, dan ada apa dengan istri saya sehingga anak-anak tidak cepat marah kepadanya?" Ini akan coba kita soroti.
GS : Memang seperti itu yang terjadi. Pak Paul mengamati hal itu dan apa yang Bapak dapatkan?
PG : Yang pertama, saya temukan bahwa saya orang yang tidak suka basa-basi. Pada umumnya saya berfungsi secara rasional. Dan dalam alam rasional yang tersaji adalah fakta demi fakta yang hampa perasaaan. Sewaktu saya menegur anak, yang keluar dari mulut adalah perkataan yang bersifat rasional. Saya menyampaikan apa yang saya lihat sekaligus teguran kepadanya yaitu apa yang seharusnya dia perbuat. Masalahnya adalah, akhirnya saat saya menyampaikan, karena biasanya saya menyampaikannya secara rasional, langsung ke faktanya. Saya lihat ini, saya katakan langsung. Saya pikir ini, saya katakan langsung. Benar-benar ke faktanya. Seolah-olah tanpa kata pembuka dan tanpa kata penutup, langsung ke isinya. Rupanya ini yang cukup melukai hati anak sehingga mereka bereaksi keras kepada saya.
GS : Inikah yang Paulus katakan sebagai melukai hati anak, Pak Paul?
PG : Betul. Artinya kalau saya tidak berhati-hati, memang cenderung membicarakan fakta dan berpikir secara rasional, akhirnya aspek-aspek yang bisa menyiapkan hati anak untuk mendengar perkataan saya, kurang saya lakukan. Hal-hal yang seharusnya saya lakukan setelah menegur anak juga kurang saya lakukan. Seolah-olah anak ditampar begitu mendengar perkataan saya.
GS : Dalam hal ini, seorang istri lebih diplomatis dalam menegur anak sehingga anak tidak sampai marah kepadanya, begitu Pak Paul?
PG : Betul. Saya perhatikan istri saya lebih bisa bicara dengan anak. Sehingga akhirnya perasaan anak sudah lebih dulu terlibat, merasa disayangi atau apa, sehingga tidak bereaksi marah kepadanya.
GS : Jadi dalam hal ini, yang membedakannya apa cara kita dan istri kita yang berbeda, ataukah istri kita itu memunyai tabungan emosional di dalam diri anaknya sehingga anak tidak sampai marah kepadanya, Pak Paul?
PG : Sudah tentu itu betul, Pak Gunawan. Karena istri banyak memberikan waktu untuk anak, membesarkan anak dan lebih banyak waktu di rumah, itu membuat tabungan emosionalnya pada anak itu penuh. Ditambah lagi dengan waktu menyampaikan teguran, istri kita lebih bisa berbicara sehingga lebih bisa diterima oleh anak.
GS : Hal apa lagi yang membuat anak marah ketika kita tegur dia, Pak Paul?
PG : Yang kedua, saya melihat pada diri saya, saya menunggu terlalu lama untuk menegur mereka. Pada umumnya saya membiasakan diri untuk tidak langsung menegur anak sampai dia mengulang perbuatannya beberapa kali. Saya tidak langsung menegur, sebab pada dasarnya saya tidak suka menegur orang. Saya tidak langsung menegur sebab saya ingin memastikan bahwa perbuatannya itu terulang kembali. Saya maklum bahwa kita bukan orang yang sempurna, kita bisa melakukan kesalahan, jadi saya tidak merasa saya harus menyampaikannya setiap saat. Masalahnya adalah pada waktu saya menyampaikan teguran, ada kalanya emosi marah saya sudah menanjak, mengingat ini adalah kesalahannya yang sudah terjadi berulang kali. Akibatnya nada suara saya cenderung meninggi dan kata-kata yang keluar cenderung lebih tegas. Inilah yang melukai anak saya. kadang mereka berkata, "Kenapa sih Papa kalau bicara suaranya mesti keras?" Nah, harus saya akui, karena saya memang sudah menyimpan rasa jengkel dan sebelumnya saya harap mereka bisa berubah sehingga saya tidak perlu menegur mereka. Jadi pada waktu saya mengeluarkan teguran, nadanya sudah terlalu keras.
GS : Memang menunda teguran seperti itu juga membingungkan anak. Anak akan berkata, "Dulu saya pernah melakukan ini, tapi papa tidak bertindak marah seperti ini. Kenapa sekarang tiba-tiba marah luar biasa?"
PG : Bisa. Ada hal-hal yang dulu terjadi dan kita biarkan, terjadi lagi dan kita diamkan lagi. Pada awalnya kita tidak selalu setuju atau tidak terlalu senang. Sekarang kita keluarkan karena kita rasa sudah keterlaluan. Tapi pada waktu kita keluarkan, volume suara kita akan lebih keras karena memang sudah ada simpanan kemarahan juga.
GS : Tapi setiap kali ditegur tentang kesalahan yang sama terus, apakah di hadapan anak kita tidak menjadi orang tua yang terlalu cerewet, Pak Paul?
PG : Ini memang keunikan kita sebagai pria dan keunikan istri kita sebagai wanita. Kebanyakan istri kita akan sering-sering menegur, lebih langsung menegur. Anak memang bisa mengeluh mamanya cerewet, tapi masalahnya waktu diberikan teguran itu tidak terlalu marah anak-anak itu. Tetapi kita sebagai ayah, jarang menegur dan waktu menegur memang lebih keras. Nah, teguran yang keras itu juga ada positifnya dalam hal ini. Seringkali teguran kita yang keras itu lebih menyadarkan anak untuk tidak boleh lagi seperti itu. Sedangkan teguran ibunya yang berulangkali itu sudah terbiasa dia dengar, sehingga tidak dia hiraukan dan dia mengulangi kesalahan yang sama.
GS : Memang ada gejala seperti itu, anak yang berulangkali diberitahu tentang hal yang sama, akhirnya tidak menghiraukan teguran ibunya, Pak Paul.
PG : Ya. Memang dalam hal ini benar-benar perlu hikmah Tuhan supaya kita masih bisa menegurnya dengan tegas dan keras tanpa harus melukainya. Saya kira, emosi kita mesti kita jaga sehingga waktu kita bicara dengan suara yang keras, kita masih bisa jaga supaya tidak menyakiti hatinya.
GS : Tetapi teguran yang tepat pada waktunya, artinya pada waktu anak kita melakukan kesalahan, kita langsung menegurnya, itu memang perlu, Pak Paul. Karena kalau terlalu lama dan baru kita ungkit lagi, anak akan marah kepada kita.
PG : Saya kira kebanyakan pria mengerti hal ini, tapi dalam pelaksanaannya pria tidak terlalu terbiasa langsung menegur anak setiap kali ada sesuatu yang salah. Kebanyakan para pria akan berkata, "Sudahlah biarkan saja, nanti dia mengerti sendiri." tapi masalahnya pas kita tegur, karena sudah terlalu lama membiarkan, nada atau volumenya menjadi lebih keras.
GS : Ada orang tua atau ayah yang sebenarnya tahu anaknya salah, tetapi dia tidak mau menegur secara langsung melainkan menyuruh istrinya untuk menegur anak tersebut. Ini bisa membuat anak kurang respek terhadap orang tuanya, Pak Paul.
PG : Ya. Betul sekali. Kita tidak boleh memberikan tanggung jawab menegur dan mendisiplin anak kita kepada istri. Ada bagian kita juga. Ini tanggung jawab kita jadi kita juga harus berani maju dan berkata kepada anak kita, "Kamu salah dan harus berubah."
GS : Hal lain yang menimbulkan potensi membangkitkan kemarahan anak itu apa, Pak Paul?
PG : Yang ketiga, kalau saya perhatikan diri saya, saya terlalu jauh melihat atau mengantisipasi ke depan. Karena saya memikirkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi bila mereka terus melakukan kesalahan, bobot teguran saya menjadi lebih berat. Sebagai akibatnya mereka merasa teguran saya terlalu keras dan menyudutkan mereka. Kesalahan yang diperbuat dianggap sebagai kesalahan yang fatal dan seolah-olah telah dipastikan mereka akan berbuat kesalahan yang sama lagi. Singkat kata, teguran saya membuat mereka tidak berkutik. Intinya, kadang karena saya terlalu mikir jauh, jadi saya ingin memastikan jangan sampai dia berjalan sejauh itu. Namun tanpa saya sadari, saya memperbesar masalahnya atau saya memperbesar kesalahannya. Padahal kesalahan yang dilakukannya tidak terlalu besar. Namun karena saya sudah berpikir ke depan, seolah-olah kesalahannya itu sangat besar. Sebagai contoh kita para ayah waktu memberikan teguran kepada anak, "Ayo, belajar, jangan sampai tidak belajar. Jangan sampai ulangan dapat jelek. Jangan sampai tidak naik kelas!" Kadang-kadang kita sebagai ayah juga menegur anak seperti itu. Ada kecenderungan kita sebagai ayah karena memikirkan masa depan si anak, sehingga waktu menegur dia agar jangan sampai lalai belajar, akhirnya kita kebanyakan bicara. "Kamu kalau begini terus pasti tidak naik kelas! Kalau kamu tidak naik kelas, kamu pasti malu dan dihina oleh teman-temanmu. Nanti kalau kamu tidak lulus sekolah mau jadi apa? Apa kamu mau jadi pengemis?" Seolah-olah anak berkata, "Aduh, belum juga tidak naik kelas, kok papa sudah bicara begitu? Seolah-olah saya memang orang yang tidak bisa berhasil dalam hidup ini." Jadi kita mesti berhati-hati juga saat menegur anak jangan sampai terlalu jauh.
GS : Tapi biasanya memang diwarnai oleh pengalaman masa lalu dari si ayah itu sendiri, Pak Paul. Wajar saja dia sebagai orang tua tentu mengkhawatirkan kondisi anaknya yang rasa-rasanya hampir sama pengalamannya dengan dirinya sendiri, Pak Paul.
PG : Saya kira demikian, Pak Gunawan. Kita para pria memang takut anak kita akan gagal dalam hidup ini. Apalagi kalau kita punya pengalaman hidup susah di masa lampau, kita akan lebih takut lagi. Kita mesti hati-hati jangan sampai ketakutan kita itu memvonis dia waktu kita memarahi dia kita memvonis dia akan gagal seperti itu.
GS : Tapi kita 'kan selalu katakana bahwa itu untuk kepentingan dia atau si anak itu, Pak Paul?
PG : Betul. Sudah tentu buat kepentingan si anak. Namun kita juga mesti jaga jangan sampai berlebihan. Kita boleh bicara begitu, "Saya bicara seperti ini demi kepentingan kamu, sebab saya tidak mau nanti kamu susah." Tapi jangan sampai akhirnya terlalu berlebihan dalam menegurnya.
GS : Di dalam hal menegur, kenapa seorang ibu lebih diterima oleh anak daripada ayahnya, Pak Paul?
PG : Akhirnya saya simpulkan begini, ini juga saya dapat dari anak saya, yaitu seolah-olah saya punya dua kepribadian. Ayah yang hangat dan penyayang, tapi juga bisa jadi ayah yang dingin sewaktu menegur. Seolah-olah waktu saya menegur, saya menjadi diri yang berbeda. Nah, saya perhatikan, istri saya tidak. Atau kalau saya samakan semua perempuan sama. Waktu menegur, anak melihat ibunya sebagai ibu yang menyayanginya. Anak tidak sampai merasa ibunya ini bukan sebagai ibu yang sama. Kalau pria ada kecenderungan waktu mendisiplin anak, anak akan merasa kita sebagai orang lain. Yang tadinya hangat dan baik, sekarang dingin dan tegas. Tetapi kalau perempuan atau ibu, tidak. Anak-anak melihat ini ibu yang sama. Mama yang memarahi saya adalah juga ibu yang menyayangi saya. Jadi saya kira yang perlu kita lihat pada diri istri kita adalah, "Mengapa tidak kehilangan sisi kehangatannya, mengapa tetap bisa utuh sewaktu dia memarahi anak?" Itu yang pria perlu pelajari, Pak Gunawan. Jangan sampai waktu marah kita melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi sebab itu yang akan membuat anak merasa, "Papa ini seperti dua pribadi yang berbeda, yang sedang marah dan yang sedang tidak marah."
GS : Dan itu yang membingungkan anak, ya Pak?
PG : Betul.
GS : Hal yang lain yang membuat seorang anak selalu sayang kepada ibunya walaupun berkali-kali dimarahi itu apa, Pak Paul?
PG : Yang lain, ibu itu menjalin relasi yang bukan saja kuat, tetapi juga ringan dengan anak. Yang saya maksud dengan ringan adalah seribu satu hal yang ringan yang tidak serius yang menjadi bagian hidup sehari-hari. Misalnya istri saya sering bercanda dengan anak-anak dan sering membicarakan hal yang sepele, namun menambah keakraban. Sebaliknya saya cenderung berbicara dengan anak menyangkut hal yang serius, sehingga bisa dikatakan pembicaraan kami lebih bersifat diskusi. Anak itu perlu diskusi, tapi juga lebih perlu pembicaraan ringan. Ini yang lebih susah saya lakukan. Dan saya menduga cukup banyak pria juga susah membicarakan hal yang ringan, yang biasa-biasa saja. Kalau bicara dengan anak biasanya serius, lebih bersifat diskusi. Kita mesti belajar untuk lebih banyak membicarakan hal-hal yang ringan.
GS : Tapi itu juga tergantung tingkat usia anak dan jenis kelamin anak, Pak Paul? Itu kan sangat memengaruhi bagaimana kita membentuk pembicaraan kita itu?
PG : Betul, makanya ada kecenderungan anak-anak lebih dekat dengan ayah setelah mereka remaja dan dewasa. Sebab di situlah peran diskusi jauh lebih besar. Mereka perlu masukan, pertimbangan dan ayahlah yang lebih berperan disini untuk membukakan wawasan dan memberikan arahan kepada anak. Waktu anak lebih kecil, biasanya memang ibulah yang lebih bisa berbicara, bergurau dengan ringan dan sebagainya. Nah, namun saya juga mau mengakui suatu fakta ini, karena ibu berperan sewaktu anak masih kecil dan itu berlangsung lama sehingga tabungan emosinya penuh, Pak Gunawan. Sehingga waktu ibu menegur anak, anak lebih bisa menerimanya. Sedangkan kita pria baru lebih berperan setelah anak-anak menginjak dewasa, dalam hal-hal yang bersifat diskusi dan pertimbangan. Nah, masalahnya waktu anak masih lebih kecil itu kita terlanjur memarahi dan menyakiti hati mereka.
GS : Disamping itu kalau seorang ayah terlalu banyak bergurau dengan anaknya, seringkali ada suara sumbang yang menyatakan, "Nanti kamu tidak dihormati anakmu, nanti anakmu kurang ajar sama kamu." Itu yang membuat ayah enggan atau membatasi diri dalam bergurau dengan anak-anaknya, Pak Paul.
PG : Bisa. Kadang ini yang menjadi penghalang ayah bergurau dengan anak-anak karena takut tidak dihormati. Sedapatnya waktu anak masih kecil, kita sebagai ayah bergurau dengan anak. Salah satu hal yang diamati anak adalah, "Mengapa papa bisa bergurau dengan teman-temannya, ya? Tapi dengan kami tidak bisa." Ini yang kadang dimunculkan oleh anak dan itu hal yang mereka rindukan dari kita seorang ayah untuk lebih bisa bicara hal-hal yang ringan dengan mereka.
GS : Jadi seorang ayah harus pandai-pandai mencampurkan kapan dia harus bersenda gurau, kapan dia harus serius dan sebagainya itu, Pak Paul?
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Apakah ada hal lain yang membuat anak sukar marah kepada istri kita atau ibunya, Pak Paul?
PG : Yang berikut adalah ibu-ibu biasanya dapat membuka diri selebar-lebarnya kepada anak untuk melihatnya sebagai manusia apa adanya. Saya kira pada umumnya wanita lebih nyaman untuk mengekspresikan perasaannya dibandingkan pria. Saya perhatikan waktu istri menegur atau berbicara kepada anak, dengan alamiah dia dapat memperlihatkan ungkapan perasaannya baik itu kesal, sedih, atau takut. Saya kira keterbukaan ini yang membuat anak lebih dekat dengan ibunya, lebih dapat menerima didikan darinya. Ibarat tanaman di dalam pot, seperti inilah anak menerima disiplin dari ibunya dan ternyata mereka menerimanya dengan lapang dada. Mungkin hari ini mereka marah karena ditegur, namun esoknya sudah baik kembali. Sedangkan dengan saya, ayahnya, mereka bisa menyimpan kemarahan sampai bertahun-tahun.
GS : Pengalaman seperti ini ternyata terbawa sampai anak itu dewasa, Pak Paul. Sampai dewasa pun, seorang anak lebih gampang berdamai kembali dengan ibunya ketika terjadi konflik daripada dengan ayahnya, Pak Paul.
PG : Ya. Saya sendiri teringat pengalaman saya misalnya saya marah kepada anak atau bagaimana tanpa saya tahu itu telah melukai hatinya. Setelah bertahun-tahun kemudian akhirnya dia munculkan, betapa sebetulnya hatinya terluka oleh apa yang telah saya lakukan. Saya akhirnya harus berdamai dengan dia, meminta maaf kepadanya. Ini adalah hal-hal yang saya sendiri alami. Jadi jangan ragu untuk minta maaf kepada anak, untuk merendahkan diri mendengarkan keluhannya yang telah dia simpan selama bertahun-tahun, itu juga yang harus saya lakukan.
GS : Kalau anak itu mengatakan dia terluka oleh sikap atau kata-kata kita, lebih mudah bagi kita sebagai seorang ayah, untuk menjelaskan masalah itu, Pak Paul. Tetapi kalau dia diam-diam tetapi memendam luka batin, ini yang sulit.
PG : Betul sekali. Memang ini tergantung sikap kita. Waktu anak itu berbicara dengan kita, bisakah kita terima dan mendengarkan dia? Ada orang yang tidak bisa mendengarkan, malah marah. "Kamu kok anak kurang ajar? Kurang berterima kasih?" Akhirnya anak berkata, "Buat apa saya bicara dengan papa?" jadi kita mesti merendahkan diri, bersedialah mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh anak kita itu.
GS : Pada waktu Pak Paul dan keluarga mengalami hal seperti itu, apa yang Pak Paul lakukan?
PG : Akhirnya saya pernah menjalani konseling keluarga, Pak Gunawan. Disitu kami bicara dari hati ke hati, dia mengeluarkan isi hatinya dan sebagainya. Lalu saya berdamai dengan dia, Tuhan memulihkan relasi kami. Saya jadi belajar lebih berhati-hati juga. Namun satu hal yang ingin saya tekankan, kita 'kan mewakili Tuhan, jadi kita mengajarkan tentang Tuhan kepada anak-anak kita, Pak Gunawan. Jangan sampai kita sebagai penyampai materi tentang Tuhan akhirnya membuat anak tidak bisa menerima materi yang kita ajarkan, sebab sebetulnya dia menolak kita sebagai penyampai materi tapi akhirnya menolak semuanya, materi tentang Tuhan juga ditolak. Ini yang perlu kita waspadai karena sekali lagi, kita ini mewakili Tuhan. Jangan sampai sewaktu anak marah dan menolak kita, anak jadi marah dan menolak Tuhan dan Alkitab yang kita ajarkan kepadanya.
GS : Memang disitulah peran ayah dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak yang dipercayakan Tuhan di tengah-tengah mereka, Pak Paul.
PG : Betul sekali.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ayah yang Mendidik dan Mendisiplin". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
END_OF_FILE | <<Prev Next>> Kembali ke atas |