DVD Konseling Kristen
T E L A G A

TELAGA -- Karakter/Kepribadian

Kategori ini memiliki 24 judul artikel yang mengupas tentang hal-hal seputar karakter/kepribadian manusia, seperti pribadi egois, pribadi lemah, mengikis ketamakan, kepribadian dominan, dan banyak lainnya. (Total Durasi: 12 Jam)<<Lihat Direktori>>

No.JudulFile MP3
1Pola Pikir Hitam PutihT010A
2KepribadianT021A
3Bagaimana Menghadapi StresT088A
4Mengenal DepresiT094A
5Transformasi KarakterT134A
6Lima Faktor Kepribadian SehatT165B
7Pribadi EgoisT190A
8Pribadi LemahT190B
9Pengakuan Akan Kelemahan DiriT219A
10Seni MemberiT219B
11Belajar Rendah HatiT250A
12Mengikis KetamakanT250B
13Berhati-hati dengan LidahT261A
14Hidup BerbedaT261B
15Menghadapi Pribadi yang BerbedaT265A
16Adakah Sifat Dasar?T272A
17Dapatkah Mengubah Sifat DasarT272B
18Kesengsaraan dan Karakter IT284A
19Kesengsaraan dan Karakter IIT284B
20Kepribadian DominanT305A
21Ketika Anak Terkena Skizofrenia 1T356A
22Ketika Anak Terkena Skizofrenia 2T356B
23Kata HatiT367A
24Nurani : Terhilang Atau Tercemar?T367B


1. Pola Pikir Hitam Putih


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T010A (File MP3 T010A)


Abstrak:

Pola pikir tidak sehat yang mencenderungkan seseorang untuk mengalami problem kejiwaan misalnya depresi. Pola pikir ini disebut pola pikir hitam putih yang membagi pola dalam 2 kutub hitam putih, baik jelek.


Ringkasan:

Pola pikir hitam putih ungkapan dari seorang pakar psikologi bernama David Burn dalam bukunya New Mood Therapy. Dia menyebutnya Either or atau All or Nothing. Pola pikir hitam putih adalah pola pikir yang cenderung membagi dunia ini dalam 2 kutub hitam atau putih, benar atau salah, jelek atau baik, suka atau tidak suka. Sedangkan hidup ini tidak bisa kita bagi dalam 2 kutub sejelas itu. Hidup ini seperti pelangi di mana banyak warna yang terdapat di antara hitam dan putih. Pola pikir ini juga disebut pola pikir yang tidak sehat yang mencenderungkan seseorang untuk mengalami problem kejiwaan. Pola pikir ini bersumber dari pengalaman-pengalaman masa lampau juga bisa muncul secara genetik.

Seorang anak yang memiliki pola pikir hitam putih ini cenderung mempunyai sikap yang ekstrim, teman itu harus dekat dengan dia, harus mengerti dan setuju dengan dia. Tatkala teman berbeda pandang dengannya dia menganggap teman itu tidak mau mengerti dia, menjauhkan diri dari dia, tidak lagi menyukainya sedangkan bukan itu yang terjadi.

Seseorang yang mempunyai pola pikir ini akan mulai terganggu pada saat dia ingin membangun hubungan yang akrab dengan lawan jenisnya. Sebab akhirnya pasangan itu dituntut untuk mengikuti jejak dia, harus mengikuti pikirannya.

Biasanya ada 2 reaksi yang akan timbul apabila pasangan merasa tidak sanggup atau terlalu letih menghadapi pasangannya yang menuntut sesuatu sempurna:

  1. Dia akan mencoba merasionalisasi, misalnya yang muncul adalah menyalahkan diri, seolah-olah karena sayalah, suami atau istri saya tidak bahagia.

  2. Dia/istri ini akan menyerah, dia akan masa bodoh, dia akan menjaga jarak dengan si suami, bersikap apatis.

Yang sering kali menjadi korban orang yang berpikiran pola hitam putih adalah:

  1. Pasangannya
  2. Anak-anaknya, jadi anak-anak sering kali menjadi korban yang besar sekali karena anak ini benar-benar hidup dalam kungkungan yang kaku yang tidak memberikan dia ruang gerak, dia tidak bisa lagi menjadi dirinya. Sewaktu dia ingin mencoba sesuatu dia akan merasa takut, takut kalau gagal, sebab dia harus memenuhi standar tertentu, kalau tidak ayah akan marah sekali. Jadi ketakutan ini akan menghalangi dia mencoba, sedangkan salah satu unsur yang penting dalam pertumbuhan anak adalah keberanian untuk mencoba.

Dalam bukunya David Burn menuliskan bahwa pola pikir hitam putih adalah benih munculnya gangguan depresi, jadi orang-orang yang mengalami gangguan depresi cenderung memiliki pola pikir hitam putih. Jadi orang seperti ini kalau berhasil dia akan senang, akan tetapi kalau dia gagal sedikit, langsung dia pukuli dirinya secara emosional, dan membuat dia akhirnya:

  1. Benar-benar menabrak tembok dalam hidup, waktu dia menabrak dia jatuh, dia mengalami depresi.

  2. Tidak sampai dia depresi, kalau dia mau percaya pada teman atau konselor atau pendeta yang bisa memberitahu dia. Memberi masukan-masukan bahwa cara pikir tersebut membahayakannya.

Ayub 1:21, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Kemudian Ayub menyambung: "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan." Dan ayat 22 disambung: "Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut." Ayub tidak memiliki pola pikir hitam putih, seolah-olah di sini Tuhan menarik berkatNya dari Ayub, tapi dia tidak berkata Tuhan jahat. Ayub justru berkata kita harus terima bahwa kita diberkati tapi kita juga terima pada waktu kita tidak merasa dan melihat berkat Tuhan itu. Dan bahkan dia kembalikan hal yang sangat bersifat eksistensial, "Aku datang telanjang, aku datang tidak membawa apa-apa dari kandungan ibuku, makanya dia putuskan Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil terpujilah nama Tuhan. Nah ini benar-benar pola pikir yang di tengah-tengah, tidak hitam putih sama sekali.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dan Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling yang kini juga aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan mengemukakan perbincangan tentang salah satu pola pikir yang bisa menimbulkan depresi. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi Anda sekalian. Jadi ikutilah acara Telaga kali ini dengan sebaik-baiknya.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita mengenal ada banyak pola pikir di dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi saya pernah mendengar ada satu bentuk pola pikir yang bisa mengganggu kestabilan jiwa seseorang dan itu tentunya tidak akan terlepas pasti akan mengganggu kehidupan berkeluarga baik dalam hubungan suami-istri, demikian juga hubungan antara orang tua dengan anak. Apakah Pak Paul bisa menjelaskan masalah itu lebih jauh Pak Paul?

PG : Ya Pak Gunawan, ada salah satu pola pikir yang tidak sehat yang mencenderungkan seseorang untuk mengalami problem kejiwaan, salah satunya yang mungkin bisa diidap olehnya adalah misalnya poblem depresi, ada juga masalah yang berkaitan dengan relasinya dengan orang lain.

Pola pikir itu disebut pola pikir hitam putih, sebetulnya ini berasal dari ungkapan yang saya petik dari seorang pakar psikologi bernama David Burn dalam bukunya "New Mood Therapy". Dia menyebut pola pikir "Either or" atau "All or Nothing" jadi saya singkatkan pola pikir hitam putih. Maksudnya begini Pak Gunawan, pola pikir hitam putih adalah pola pikir yang cenderung membagi dunia ini dalam 2 kutub, hitam atau putih, benar atau salah, jelek atau baik, suka atau tidak suka. Sedangkan hidup ini tidak bisa kita bagi dalam 2 kutub sejelas itu. Hidup ini seperti pelangi di mana banyak warna yang terdapat di antara hitam dan putih itu abu-abu misalnya. Nah jadi orang-orang yang berpola pikir hitam putih cenderung memang akan bertabrakan dengan peristiwa-peristiwa hidup yang dialaminya Pak Gunawan. Jadi memang tadi yang Pak Gunawan katakan betul, pola pikir ini bisa mengganggu kehidupan pribadinya tapi juga bisa mengganggu hubungannya dengan orang lain.
(2) GS : Pak Paul kalau boleh tahu bagaimana itu terbentuknya sehingga seseorang itu punya pola pikir seperti itu Pak Paul?

PG : Ini biasanya bersumber dari pengalaman-pengalaman masa lampau Pak Gunawan. Ada juga yang berteori bahwa pola pikir seperti ini bisa juga muncul secara genetik artinya diteruskan, kalau memng salah satu orang tuanya berpola pikir sangat kaku seperti itu maka ia pun akan mewarisi pola pikir yang serupa.

Jadi orang itu cenderung sangat kaku sekali baginya disukai atau tidak disukainya atau orang lain menyukainya atau tidak menyukainya. Sedangkan di dunia ini ada orang yang tidak termasuk dalam 2 kategori itu ya orang bisa berperasaan biasa-biasa saja/netral terhadap kita, tidak menyukai kita tapi juga tidak membenci kita. Nah, kalau misalkan dia dibesarkan di rumah tangga di mana dia mengalami peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan, pikiran ini bisa muncul. Nah, peristiwa seperti apakah yang mudah mencenderungkan seseorang untuk membentuk pola pikir hitam putih. Sudah pasti keluarga yang kita sebut disfungsional, keluarga yang bermasalah Pak Gunawan. Bermasalah seperti apa? Begini, jadi coraknya banyak, peristiwanya banyak, situasinya juga beragam sekali. Saya akan memberikan satu contoh yang praktis, misalkan seorang anak dibesarkan oleh seorang ayah yang sangat keras sekali. Di mana dia dituntut harus memenuhi syarat si ayah sehingga dia tidak bisa berkelit, kalau berkelit dianggap dia tidak benar, dianggap salah jadi benar-benar tuntutan itu sangat tinggi sekali. Kalau seseorang dibesarkan dalam sistem keluarga yang mempunyai tuntutan tinggi dan kaku seperti itu si anak akhirnya bisa tertular. Jadi dia juga akhirnya membentuk tuntutan yang sama, yang dia letakkan baik pada dirinya maupun pada orang lain, jadi dia menuntut orang juga harus memenuhi permintaannya atau syaratnya. Kalau orang tidak memenuhi syaratnya, berarti orang itu orang yang berniat untuk mengecewakannya, sebab itulah yang dialaminya waktu dia masih kecil atau waktu dalam masa pertumbuhannya. Tatkala dia gagal memenuhi permintaan si ayah, si ayah marah sekali dan menuduh dia dengan sengaja ingin mengecewakannya. Nah akhirnya pola pikir itu atau perlakuan seperti itu membentuk pola pikir dia dan dia terapkan pada dirinya dan pada orang lain juga, bahwa orang itu harus memenuhi tuntutan kalau tidak memenuhi tuntutan berarti memang sengaja ingin mengecewakannya. Nah akhirnya makin menjadi bagian dari hidup dia Pak Gunawan, itu salah satu contohnya.
IR : Nah bagaimana kalau tuntutan itu tidak bisa dipenuhi karena ketidakmampuan si anak itu Pak Paul?

PG : Si anak akan mengalami frustrasi Ibu Ida, karena akhirnya dia mengidentikkan memenuhi tuntutan dengan diterima atau dikasihi. Kalau gagal memenuhi tuntutan, berarti dia akan kehilangan kesmpatan diterima atau dikasihi.

Nah akhirnya si anak menggantungkan penerimaan dirinya pada dasar atau di atas dasar keberhasilannya itu untuk memenuhi tuntutan si ayah. Waktu dia merasa gagal atau si ayah marah karena dia tidak berhasil memenuhi tuntutan tersebut, dia akan merasa frustrasi. Frustrasi yang akhirnya memukul dia karena frustrasi itu akan membuahkan perasaan aku tidak dikasihi, aku tidak diterima oleh ayahku, nah itu akan benar-benar berpengaruh negatif terhadap konsep dirinya.
GS : Tapi seorang anak juga belajar di sekolah Pak Paul, di mana dia mulai belajar bersosialisasi sehingga sekalipun dulunya mungkin di rumah orang tuanya begitu keras menerapkan pola hitam putih itu, apakah pendidikan itu tidak memberikan pengaruh untuk berubah sikap terhadap seseorang itu?

PG : Maksudnya Pak Gunawan apakah sekolah bersumbangsih menetralisir atau memperburuk?

GS : Ya menetralisir atau mungkin malah memperburuk Pak Paul?

PG : Sekolah memang berdampak terhadap diri si anak, namun dampak sekolah tidaklah sebesar dampak perlakuan orang tuanya. Karena orang tua memiliki ikatan batiniah dengan si anak dan si anak meggantungkan sekali penerimaan orang tua terhadap dirinya itu.

Sedangkan anak di sekolah tidak mengharapkan sekolah mencintainya atau mengasihinya, jadi memang ada perbedaan tuntutan batiniah di situ. Di rumah anak mengharapkan orang tua mencintainya, di sekolah anak tidak mengharapkan sekolah atau guru mencintainya, itu dua hal berbeda jadi pukulannya tidak sama. Memang sekolah juga memiliki sistem yang sama yaitu sekolah menuntut kalau tidak memenuhi tuntutan tersebut, dianggap anak yang kurang pandai atau ya dia akan merasa gagal. Namun kegagalan di sekolah biasanya tidaklah separah kegagalan di rumah.
GS : Berarti anak atau orang itu akan menemui kesulitan menghadapi teman-temannya di sekolah.

PG : Betul Pak Gunawan, jadi dengan pola pikir hitam putih ini dia cenderung mempunyai sikap yang ekstrim, teman itu harus dekat dengan dia, harus mengerti dan setuju dengan dia. Tatkala teman erbeda pandang dengannya dia menganggap teman itu tidak mau mengerti dia, menjauhkan diri dari dia, tidak lagi menyukainya sedangkan bukan itu yang terjadi.

Sebab kita sadar bahwa kita bisa berbeda pandang dengan seseorang namun ya memelihara persahabatan, nah bagi dia tidak bisa. Persahabatan berarti kesepakatan dalam segala hal secara tuntas. Terjadi perbedaan pandangan berarti keretakan, jadi dia susah sekali menoleransi hal-hal seperti ini Pak Gunawan.
GS : Bagaimana dia bisa merintis untuk mempersiapkan diri memasuki jenjang pernikahan Pak Paul?

PG : Ya gejala seperti ini memang bukan gejala yang sangat menonjol Pak Gunawan, jadi orang-orang yang mempunyai pola pikir hitam putih ini berfungsi cukup normal dalam hidup ini, mereka bisa bkerja, bisa bersekolah, menyelesaikan sekolah dan sebagainya.

Dan memang gangguan itu tidak terlalu terasa pada masa dia belum mempunyai hubungan yang intim atau akrab dengan orang lain. Mungkin dia akan sedikit terisolasi, teman dekatnya tidak ada, namun dia merasa OK saja, dia tidak merasa apa-apa. Tapi waktu dia ingin membangun hubungan yang akrab dengan lawan jenisnya, nah ini biasanya mulai mengganggunya, akan timbul masalah sebab akhirnya pasangan itu dituntut untuk mengikuti jejak dia, harus mengikuti pikirannya. Nah ada yang sukses Pak Gunawan, jadi apakah mereka sudah pasti memiliki pernikahan yang gagal atau pernikahan mereka akan kandas di tengah jalan, belum tentu. Sebab akan ada pasangan yang rela untuk diperlakukan seperti itu juga oleh pasangan hidupnya, dituntut harus ke kiri ya ke kiri, ke kanan ya ke kanan, ya ikuti saja. Sebab ada orang-orang yang memang merasa tidak aman atau menganggap memang demikianlah pernikahan, jadi terus berlangsung berpuluhan tahun.
IR : Tapi Pak Paul ada kejadian karena masa kecilnya sudah terbentuk konsep pola pikir seperti itu, waktu dia menikah dia menuntut sesuatu yang sempurna pada pasangannya, sehingga pasangannya itu sangat depresi sekali.

PG : Ini bisa saja menimbulkan masalah seperti itu Ibu Ida, jadi akhirnya pasangannya tidak sanggup. Selama pasangannya sanggup ya tidak ada masalah. Tapi sewaktu dia merasa terlalu letih bisa da dua reaksi.

Reaksi pertama adalah dia akan mencoba merasionalisasi o....jadi ini dari pihak pasangannya, yaitu misalkan suaminya yang menuntut, suaminya yang mempunyai pola pikir hitam putih, istrinya yang harus mengikuti. Nah misalkan si istri akhirnya berpikir: "Ya ini salah saya, kenapa saya ini tidak bisa memenuhi tuntutan suami saya, saya gagal." Nah perasaan yang timbul frustrasi tapi yang lebih kuat lagi adalah mempersalahkan diri Bu Ida, jadi seolah-olah karena sayalah suami saya tidak bahagia, ada orang yang seperti itu Ibu Ida. Nah reaksi yang ekstrim yang satunya lagi adalah kalau seseorang atau si istri ini tidak lagi merasa sanggup untuk menoleransi perasaan gagalnya, memenuhi permintaan si suami, dia akhirnya akan menyerah, dia akan masa bodoh, dia akan menjaga jarak dengan si suami dan dia sudah memutuskan: "Udah saya tidak akan mampu memenuhi permintaanmu dan sebodoh amat engkau mau marah, engkau mau tinggalkan saya, engkau mau memukul saya tak peduli." (GS : Jadi bersifat apatis gitu Pak Paul?) Apatis sekali dan itu juga bisa terjadi, jadi sangat tidak sehat sekali. Nah yang sering kali menjadi korban orang yang berpikiran pola hitam putih, nomor satu pasangannya, yang kedua adalah anak-anaknya. Jadi anak-anak sering kali menjadi korban yang besar sekali di sini (GS: Misalnya bagaimana Pak Paul korban itu?) Ya karena anak ini benar-benar hidup dalam kungkungan yang kaku, yang tidak memberikan dia ruang gerak, dia tidak bisa lagi menjadi dirinya. Sewaktu dia ingin mencoba sesuatu dia akan merasa takut, takut kalau dia gagal sebab dia gagal ayah akan marah besar, sebab dia harus memenuhi standar tertentu. Jadi ketakutannya akan menghalangi dia mencoba, sedangkan kita tahu bahwa salah satu unsur yang penting dalam pertumbuhan anak adalah keberanian untuk mencoba. Anak yang tidak berani untuk mencoba menjadi anak yang memang akan terbatas, tidak berani untuk ini melangkah lebih jauh dalam hubungannya dengan orang lain atau bereksperimen sedikit banyak, nah itu soalnya akan berpengaruh terhadap konsep dirinya dan memberikan dia kekuatan. Anak yang nggak berani coba akan menjadi anak yang lemah sekali, tidak berani, tidak ada kekuatan untuk melangkah melawan tantangan hidup, sebab dia akan ambil jalan amannya terus-menerus. Nah jadi korban yang utama adalah anak-anak ini tertekan sekali dan depresi. Tapi korban yang kedua yang sangat berlawanan, Pak Gun dan Ibu Ida, yaitu ada anak yang akan berinteraksi mendobrak kerangka atau kurungan dari si ayah ini atau dari orang yang berpola pikir hitam putih ini. Sebab dia merasa tidak merdeka dan terikat sekali jadi akhirnya dia memutuskan untuk membangkang, melawan segala sesuatu yang dituntut oleh orang tuanya.
GS : Nah itu menarik sekali Pak Paul, sebenarnya faktor apa yang membuat anak itu tiba-tiba bisa berpikir bahwa dia harus melawan sehingga mata rantai itu putus Pak Paul ya. Tadinya 'kan orang yang berpola pikir hitam putih itu akibat pendidikan dari orang tuanya mungkin begitu. Nah sekarang anaknya ternyata bisa mendobrak dan dia berontak tidak mau berpola pikir seperti itu, nah itu ada faktor apa Pak Paul?

PG : Anak-anak memang tidak sama, ada yang lahir cenderung penurut, ada yang lahir cenderung keras, nah anak-anak yang mendobrak ini adalah anak yang memang sudah memiliki kekerasan pada waktu ahir.

Waktu dia melihat bagaimana dia diperlakukan dan dia tidak menyenanginya, dia tidak langsung menerima, jadi dia malah mau melawannya. Dan kemungkinan dia melihat contoh di luar, peristiwa-peristiwa yang dia juga alami di luar di mana dia melihat dunia di luar tidak sama dengan dunia di rumah ini. Bahwa di luar warnanya banyak, tidak hanya hitam dan putih, jadi dia mulai melihat yang di rumah itu tidak betul dan karena dia mempunyai kekerasan hati, dia akhirnya lebih mempunyai keberanian dan menanggung resiko untuk melawan orang tuanya. Dan anak-anak seperti ini akhirnya bisa keluar dari pola pikir hitam putih ini.
GS : Itu suatu anugerah Allah tersendiri.

PG : Ya itu anugerah Allah tersendiri, misalkan dia diajak ke gereja dan dia mendengar tentang Tuhan yang menerima kita apa adanya. Nah pengajaran rohani seperti itu akhirnya menyadarkan dia o.......bahwa saya tidak harus menjadi orang yang memenuhi syarat untuk datang kepada Tuhan, sebab Tuhan menerima saya apa adanya. Ini sebetulnya sebagai tambahan saja, Bu Ida dan Pak Gunawan, ini sebetulnya dialami oleh pengarang lagu 'Sebagaimana Adanya Aku Datang' itu "Just as I am" bahasa Inggrisnya. Itu adalah memang sungguh-sungguh kisah nyata dari penulis lagu ini seorang wanita yang berpenyakitan dan sakit untuk jangka waktu yang panjang sekali. Dan suatu waktu dia sangat frustrasi sekali, karena dia merasa dia harus berperforma untuk datang di hadapan Tuhan dan akhirnya dia disadarkan, tidak! Tuhan menerima engkau apa adanya, jadi akhirnya dia disejukkan oleh berita keselamatan itu dan itulah dia awalnya menulis lagu "Just as I am" atau 'Sebagaimana Adanya Aku Datang' kepada Tuhan.

GS : Suatu lagu yang syair-syairnya indah sekali. Pak Paul seorang yang mempunyai konsep pola pikir hitam putih, sebenarnya dia sendiri 'kan sadar bahwa dia sedang melakukan itu.

PG : Dia sadari tapi masalahnya adalah dia menganggap itu pola pikir yang betul.

(3) GS : Lalu bagaimana kita bisa menolong orang yang seperti itu Pak Paul?

PG : Ada dua kemungkinan yang sekarang saya bisa pikirkan Pak Gunawan, yaitu yang pertama kemungkinan akibat peristiwa yang dialaminya. Nah dalam buku yang ditulis oleh David Burn, pola pikir htam putih ini adalah benih munculnya gangguan depresi, jadi orang-orang yang mengalami gangguan depresi rupanya cenderung memiliki pola pikir hitam putih.

Jadi misalnya kalau dia bisa berhasil dalam melakukan sesuatu dia merasa senang, begitu dia gagal sedikit langsung dia pukuli dirinya secara emosional, saya orang gagal, saya orang yang tidak bisa apa-apa nah itu memang pola pikir yang sering muncul dalam kasus depresi Pak Gunawan. Jadi kemungkinan yang pertama adalah akhirnya dia benar-benar menabrak tembok dalam hidup, waktu dia menabrak tembok dalam hidup dia jatuh, dia mengalami depresi. Meskipun dalam depresinya dia tetap akan mengeluarkan pola pikir hitam putih, tapi karena dia tertabrak dan jatuh dalam hidup ini dia akan lebih lentur, dia akan lebih bersedia untuk mendengar masukan dari orang lain bahwa pola pikirnya ini salah dan inilah yang membuat dia akhirnya depresi. Yang kedua adalah tidak usah sampai dia depresi, yaitu kalau dia memang percaya pada kita sebagai teman atau sebagai konselor atau sebagai pendeta dia yang akhirnya bisa memberitahu dia. Masukan-masukan bahwa cara pikirmu ini membahayakanmu, bahwa ada orang-orang yang memang dekat denganmu tapi tidak berarti harus setuju denganmu selalu. Nah akhirnya dia bisa menerima masukan-masukan ini sebab dia percaya pada kita, nah mulailah dia berubah. Namun perubahan ini memang tidak gampang Pak Gunawan, tidak gampangnya karena nomor satu dia sudah sangat terbiasa dengan pola pikir seperti ini. Dan yang kedua tidak gampangnya adalah ada rasa ketakutan melepaskan pola pikir ini. Dia sudah merasa sangat aman dengan pola pikir hitam putih, sehingga dunianya menjadi dunia yang aman, yang dia bisa atur, dia bisa kendalikan, jadi orang seperti ini sangat hati-hati. Memang orang yang baik dengan dia o...teman, orang mulai sedikit berubah o..........bukan teman saya harus jauhkan nah dengan cara itu dunia menjadi dunia yang aman buat dia, dia tidak mengambil resiko lagi Pak Gunawan. Waktu kita berkata dan menganjurkan untuk dia melepaskan pola pikir ini, yang mungkin timbul adalah rasa khawatir, rasa cemas, takut; takut kalau-kalau dia kecolongan Pak Gunawan. (GS : Karena dia harus keluar dari kungkungan itu dia merasa takut) betul (GS : Dia akan masuk ke dunia yang lain) dan yang dia takutkan dia akan kecolongan, dia akan dirugikan oleh orang lain. Sebab pola pikir ini sedikit banyak telah berhasil melindungi dia dari kekecewaan kecuali dalam kasus tadi Pak Gunawan ya dia benar-benar akhirnya menabrak tembok jatuh depresi. Nah dia baru akan mendengarkan nasihat orang lain.
IR : Bagaimana saran Pak Paul untuk menolong orang seperti ini ataukah ada Firman Tuhan yang mungkin bisa menolong orang yang mempunyai pola pikir seperti itu Pak Paul?

PG : Saya teringat Ayub, Ayub itu menderita depresi yang sangat berat setelah dia mendapatkan musibah yang bertubi-tubi. Di Alkitab memang ditulis dia kehilangan harta bendanya dan bahkan kehilngan nyawa anak-anaknya.

Dan sewaktu istrinya dalam keadaan frustrasi, justru meminta Ayub untuk mengutuk Tuhan, dia tidak mau dan inilah yang dia katakan ayat yang sangat dikenal yaitu diambil dari kitab Ayub 1 mulai dari ayat 21 katanya: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Kemudian Ayub menyambung: "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan." Dan ayat 22 disambung: "Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut." Di sini kita melihat Ayub tidak memiliki pola pikir hitam putih Bu Ida, seolah-olah di sini Tuhan menarik berkatNya dari Ayub, tapi dia tidak berkata Tuhan jahat, Dia tidak berkata: Tuhan itu kok menghukum dia, tidak! Jadi Ayub justru berkata kita harus terima bahwa kita diberkati tapi kita juga terima pada waktu kita tidak merasa dan melihat berkat Tuhan. Dan bahkan dia kembalikan hal yang sangat bersifat eksistensial, "Aku datang telanjang," aku datang tidak membawa apa-apa dari kandungan ibuku, makanya dia putuskan Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil terpujilah nama Tuhan. Nah ini benar-benar pola pikir yang di tengah-tengah, tidak hitam putih sama sekali.
IR : Juga Ayub waktu istrinya menuntut Ayub mengutuk Tuhan, Ayub berkata ya Pak Paul bahwa kita kok hanya mau menerima yang baik dari Tuhan sedangkan kita tidak mau menerima yang buruk.

PG : Betul, betul.

IR : Itu suatu kisah bahwa Ayub itu memang orang yang mau menerima apa yang Tuhan mau.

PG : Betul, dan bahwa bagi Ayub Tuhan menyertai dia dalam kondisi apapun dan penyertaan Tuhan itu tidak dibuktikan oleh pemberian Tuhan, meski Tuhan tidak memberi pun Tuhan bersama dengan dia iu keyakinan dia, dan itu yang akhirnya bisa mendorong dia bertahan dalam penderitaannya.

GS : Memang pola pikir yang sudah terbentuk sejak dia kecil itu akan sangat-sangat sulit untuk bisa dilepaskan begitu saja Pak Paul, kecuali memang ada kuasa yaitu kuasa dari Tuhan Yesus sendiri yang memerdekakan dia. Jadi ini sesuatu hal yang sangat serius yang perlu dibantu dan tidak perlu ragu bahwa seseorang yang menyadari akan keadaannya itu datang ke konselor Pak Paul?

PG : Ya, sebab benar-benar Pak Gunawan kerangka atau tulang belakang dari iman kristiani adalah anugerah dan anugerah itu sebetulnya adalah lawan dari hitam putih atau pola pikir seperti ini. Than benar-benar memberikan kita suatu ruang gerak yang sangat lapang dia menerima kita apa adanya, Tuhan tidak menoleransi dosa tapi Tuhan menerima orang yang berdosa.

Jadi memang ini sesuatu yang kadang kala susah untuk kita cerna, tapi memang itulah anugerah, anugerah benar-benar menerima kita apa adanya.
IR : Jadi satu-satunya jalan untuk penyembuhan orang yang punya pola pikir seperti itu kalau mungkin mereka itu sudah hidup baru ya Pak Paul?

PG : Ya itu langkah pertamanya Ibu Ida, meskipun saya harus mengakui bahwa ada orang Kristen yang sudah hidup baru pun masih membawa masalah ini Bu Ida. Karena pengaruh latar belakang kita itu uat, terhadap diri kita sekarang ini.

IR : Dan orang sulit untuk berubah ya Pak Paul?

PG : Orang sulit untuk berubah meskipun akhirnya dia menyadari, tapi susah untuk berubah, apalagi seperti tadi saya katakan kalau pola pikir ini telah menjadi pelindung dan sukses untuk hidup da itu.

GS : Ya, jadi ini tentu suatu perbincangan yang menarik dan sangat berguna bagi para pendengar kita dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan ke hadapan Anda sekalian sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga, khususnya mengenai pola pikir yang dapat menimbulkan depresi yang tadi disebut dengan pola pikir hitam putih. Perbincangan kami tadi bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



2. Kepribadian


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T021A (File MP3 T021A)


Abstrak:

Dalam topik ini kita akan mengetahui tentang cirri-ciri, sifat, karakteristik, gaya yang khas dikaitkan dengan diri kita. Dan kepribadian ini bersumber dari bentukan-bentukan yang kita terima dari lingkungan dan bawaan sejak lahir.


Ringkasan:

Kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri kita. Dapat dikatakan bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan-bentukan yang kita terima dari lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada masa kecil kita dan juga bawaan-bawaan yang dibawa sejak lahir. Jadi yang disebut kepribadian itu sebetulnya adalah campuran dari hal-hal yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga yang bersifat fisik.

Kepribadian di bagi dalam 4 golongan yaitu:

  1. Sanguin, sanguin adalah orang yang gembira, yang senang hatinya, mudah untuk membuat orang tertawa, dan bisa memberi semangat pada orang lain. Tapi kelemahannya adalah dia cenderung impulsive, yaitu orang yang bertindak sesuai emosi atau keinginannya.
  2. Plegmatik, tipe plegmatik adalah orang yang cenderung tenang, dari luar cenderung tidak beremosi, tidak menampakkan perasaan sedih atau senang. Naik turun emosinya itu tidak nampak dengan jelas. Orang ini memang cenderung bisa menguasai dirinya dengan cukup baik, ia intorspektif sekali, memikirkan ke dalam, bisa melihat, menatap dan memikirkan masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kelemahan orang plegmatik adalah ia cenderung mau ambil mudahnya, tidak mau susah, sehingga suka mengambil jalan pintas yang paling mudah dan gampang.
  3. Melankolik, Tipe melankolik adalah orang yang terobsesi dengan karya yang paling bagus, yang paling sempurna dan dia memang adalah seseorang yang mengerti estetika keindahan hidup ini. Perasaannya sangat kuat, sangat sensitif maka kita bisa menyimpulkan bahwa cukup banyak seniman yang memang berdarah melankolik. Kelemahan orang melankolik, ia mudah sekali dikuasai oleh perasaan dan cukup sering perasaan yang mendasari hidupnya sehari-hari adalah perasaan murung.
  4. Dan kolerik. Seseorang yang kolerik adalah seseorang yang dikatakan berorientasi pada pekerjaan dan tugas, dia adalah seseorang yang mempunyai disiplin kerja yang sangat tinggi. Kelebihannya adalah dia bisa melaksanakan tugas dengan setia dan akan bertanggung jawab dengan tugas yang diembannya. Kelemahan orang yang berciri kolerik adalah kurangnya kemampuan untuk bisa merasakan perasaan orang lain, belas kasihannya terhadap penderitaan orang lain juga agak minim, karena perasaannya kurang bermain

Setiap orang yang diciptakan Tuhan sudah dilengkapi dengan kepribadian. Kepribadian itu sebetulnya adalah sumbangsih atau pemberian Tuhan ditambah dengan pengaruh lingkungan yang kita terima atau kita alami pada masa pertumbuhan kita.

Sebetulnya setiap kepribadian mempunyai kelemahan dan kekuatannya. Salah seorang teolog Kristen yaitu Tim La Haye pernah menulis buku "Temperamen Yang Diubahkan" ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam buku tersebut pada intinya Tim La Haye menegaskan bahwa setiap kepribadian itu akhirnya akan bisa dipakai Tuhan dan kelemahan yang ada di setiap kepribadian itu bisa diminimalkan atau dikurangi. Ia juga menegaskan bahwa kita ini diubahkan oleh Roh Kudus Tuhan.

Mazmur 139:23 berkata: "Selidikilah aku ya Allah dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku. Lihatlah apakah jalanku serong dan tuntunlah aku di jalan yang kekal." Disini kita melihat pemazmur mengundang Tuhan untuk melihat apakah jalannya serong. Nah, setiap orang harus mengundang Tuhan untuk melihat, menilik, dan memeriksa jalannya. Dan juga harus mengundang Tuhan untuk menuntunnya ke jalan yang benar.

Yehezkiel 11:19 mengatakan: "Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan Roh yang baru dalam batin mereka. Juga Aku akan menjauhkan mereka dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan hati yang taat."

Jadi antara kepribadian dan hati itu terkait erat. Apapun kepribadian kita, Tuhan Yesus mau menerima kita dalam keberadaan kita masing-masing. Karena Dia tahu persis karakter atau watak kepribadian kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Kepribadian". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, saya menyadari bahwa seseorang itu mempunyai kepribadian. Saya sering mendengar istilah itu, tapi terus terang sebenarnya saya kurang paham apa sebenarnya yang dimaksud dengan kepribadian?

PG : Kepribadian sebetulnya adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri kita. Jadi dapat dikatakan bahwa kepribadian itu bersumber dari bntukan-bentukan yang kita terima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan-bawaan yang kita bawa sejak lahir.

Jadi yang disebut kepribadian itu sebetulnya adalah campuran dari hal-hal yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga yang bersifat fisik.
GS : Jadi kalau begitu, kepribadian itu banyak sekali ragamnya Pak Paul?

PG : Betul, ada beberapa teori tentang penggolongan hal-hal ini, salah satunya yang paling dikenal adalah pembagian dalam 4 golongan yaitu sanguin, plegmatik, melankolik, dan kolerik. Sebetunya pembagian ini bukan saja diperkenalkan oleh para tokoh psikologi pada abad ke 20 ini, sebetulnya sudah diperkenalkan jauh pada masa ahli-ahli filsafat Yunani kuno.

Jadi misalnya teori-teori ini sudah ada pada zaman seperti Galland dan sebagainya, kira-kira hampir 2000 tahun yang lalu. Jadi mereka itupun sebenarnya sudah membicarakan tentang kepribadian-kepribadian manusia Pak Gunawan.
GS : Setiap orang yang diciptakan oleh Tuhan itu sudah dilengkapi dengan kepribadian, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, jadi kepribadian itu sebetulnya adalah sumbangsih atau pemberian Tuhan ditambah dengan pengaruh lingkungan yang kita terima atau kita alami pada masa pertumbuhan kita. Yan saya maksud dengan pemberian Tuhan adalah kepribadian itu sebetulnya sangat berkaitan dengan komposisi fisik kita.

Misalnya seseorang yang kolerik adalah seseorang yang dikatakan berorientasi pada pekerjaan, tugas. Dia adalah seseorang yang mempunyai disiplin kerja yang sangat tinggi. Kelebihannya adalah dia bisa melaksanakan tugas dengan setia dan akan bertanggungjawab terhadap tugas yang diembannya. Kelemahan orang yang berciri kolerik adalah kemampuannya untuk bisa merasakan perasaan orang lain agak kurang, belas kasihannya terhadap penderitaan orang lain juga agak minim. Karena apa? Karena perasaannya kurang bermain. Orang-orang yang kolerik ini menjadi kolerik bukan saja karena pengaruh lingkungan, misalkan dia dibesarkan dengan disiplin yang tinggi dan sebagainya, bukan hanya itu. Tapi secara fisikpun dia mempunyai kekuatan atau kecenderungan untuk tidak terlalu merasakan perasaannya. Hal ini lebih bersifat organik, secara ilmiahnya kita sebut organik itu sesuatu yang berkaitan dengan fisik kita. Jadi misalnya kimia senyawa atau senyawa kimiawi dalam otak kita itu, akhirnya membawa bawaan-bawaan tertentu pada waktu kita lahir. Misalnya ada orang yang mudah cemas. Kita tidak bisa langsung berkata orang ini memang beriman lemah, tapi memang sejak lahir jantungnya itu peka, mudah sekali untuk merasakan getaran-getaran yang bersumber dari luar dirinya. Oleh karena jantungnya itu peka, sensitif, maka juga lebih gampang berdenyut. Akibatnya dia juga lebih mudah dikejutkan, merasa tegang dan lebih rawan terhadap kecemasan. Nah sehingga kepribadiannya pun nantinya tidak terlalu akan ke arah kolerik misalnya, tapi ke arah melankolik. Jadi itulah sebabnya kita katakan bahwa kepribadian itu adalah juga pemberian Tuhan karena fisik kita, keberadaan fisik kita itu juga datangnya dari Tuhan, begitu kira-kira maksudnya.
GS : Tapi Pak Paul, di dalam hal tadi misalnya kolerik. Apakah kalau ayahnya kolerik dan ibunya juga kolerik lalu anaknya bisa kolerik, jadi seperti golongan darah begitu Pak Paul?

PG : Tidak bisa dipastikan secara matematis bahwa anaknya itu akan menjadi kolerik, tapi saya bisa berkata anaknya lebih berkemungkinan kolerik. Namun berkemungkinannya itu sebetulnya juga dkaitkan dengan dua sumber tadi Pak Gunawan, yaitu memang secara fisik dia mewarisi ciri-ciri fisik ayah dan ibunya yang kebetulan kolerik.

Dan juga karena dia dibesarkan di rumah tangga yang berkolerik dia juga akhirnya lebih dibentuk untuk menjadi anak yang kolerik.
GS : Punya kecenderungan besar ke arah itu, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Apakah kalau satu keluarga yang sudah berkumpul jadi satu dan terbentuk pribadi-pribadi yang kolerik, itu banyak di positifnya atau negatifnya Pak Paul?

PG : Nah sebetulnya setiap kepribadian itu mempunyai kelemahan dan kekuatannya. Salah seorang theolog Kristen yang bernama Tim La Haye pernah menulis buku yang diterjemahkan, kalau tidak salh dalam terjemahannya berjudul karakter atau "Temperamen Yang Diubahkan Tuhan" atau yang dikuasai Tuhan.

Nah intinya dalam buku tersebut Tim La Haye menegaskan bahwa setiap kepribadian itu akhirnya akan bisa di pakai Tuhan dan kelemahan yang ada di setiap kepribadian itu bisa diminimalkan atau dikurangi. Nah siapa yang mengurangi, dengan cara apa dikuranginya, dalam buku itu Tim La Haye menegaskan yaitu dengan kita ini diubah oleh Roh Kudus Tuhan. Jadi misalnya, tadi kita bicara tentang orang yang kolerik. Dia perlu buah Roh Kudus kesabaran karena orang yang kolerik cenderung tidak sabar, tergesa-gesa, mau segalanya berjalan sesuai rencana, harus sesuai jadwal. Nah akhirnya dia mudah sekali marah, tidak bisa sabar. Jadi Tim La Haye menegaskan bahwa orang yang kolerik ini perlu sekali dengan buah Roh Kudus kesabaran tadi.
(2) IR : Apa mungkin setiap orang kepribadiannya itu ganda, Pak Paul?

PG : Maksudnya mempunyai campuran dari dua tipe itu, bisa jadi waktu kita berkata saya misalnya sanguin, saya ini lebih banyak sanguinnya. Saya tidak murni sanguin tapi saya juga punya kolerk sebagian, ada sedikit melankolik, ada juga sedikit plegmatiknya.

Jadi kebanyakan kita ini terdiri dari campuran keempat tipe tersebut, namun dari keempat tipe itu ada yang dominan begitu.
GS : Itu mengenai campuran Pak Paul, tapi mungkin juga sering kali digunakan dengan kepribadian ganda adalah split personality, kepribadian yang terpecah begitu Pak Paul?

PG : Betul, itu memang adalah sesuatu yang berbeda dari yang kita bicarakan, jadi kepribadian yang terpecah itu merupakan suatu gangguan jiwa.

GS : Jadi secara garis besar itu dibagi dalam 4 kategori besar Pak Paul, apakah itu mempengaruhi di dalam kita bekerja, bermasyarakat atau bahkan dalam pernikahan Pak Paul?

PG : Sebetulnya tidak ada rumus yang paling tepat di dalam relasi, hubungan dekat atau misalnya pernikahan. Misalkan kolerik paling cocok menikah dengan melankolik misalnya, plegmatik denganyang sanguin.

Seolah-olah memang itu rumusan karena dua-duanya mencerminkan 2 kutub yang berbeda jadi seolah-olah digabung saling melengkapi. Namun sesungguhnya relasi yang akrab atau dalam konteks pernikahan, tipe apapun bisa cocok jika digabungkan dengan tipe yang lainnya. Tidak harus yang melankolik dengan yang kolerik dan sebagainya, setiap tipe bisa cocok dengan yang lainnya. Asalkan memang kita bisa mengendalikan kelemahan kita, inilah yang ditekankan oleh Tim La Haye dalam bukunya itu, yakni kita sebagai orang Kristen harus menyandarkan diri pada Tuhan dan membiarkan Roh Tuhan bekerja dalam hati kita, mengikis jiwa kita sehingga kelemahan yang sudah kita bawa di dalam kepribadian kita itu akhirnya bisa kita kurangi. Jadi orang yang kolerik misalnya bergaul dengan siapapun tapi kalau dia tidak bisa menguasai amarahnya akan menjadi orang yang dijauhi oleh orang lain, karena tidak ada yang suka bergaul dengan orang yang suka marah misalnya.
IR : Jadi tipe-tipe kepribadian seseorang itu bisa berubah ya Pak Paul?

PG : Sebetulnya yang dominannya itu akan tetap ada, tapi kalau Ibu Ida berkata bahwa lingkungan akhirnya bisa mempengaruhi kepribadian kita. Bisa misalnya kita ini adalah seseorang yang sangin, sanguin adalah orang yang gembira, senang hatinya, mudah untuk membuat orang tertawa, bisa memberi semangat pada yang lainnya.

Terus dia mengalami musibah, misalkan diputuskan oleh pacarnya, akhirnya tidak ada yang dekat dengan dia, kemudian di PHK dari pekerjaannya dan misalkan selang beberapa tahun orang tuanya dipanggil Tuhan. Nah mungkin sekali karena melewati begitu banyak kesengsaraan akhirnya dia menjadi orang yang murung. Nah dalam kemurungannya itu, sifat melankolik mulai menjadi dominan dalam dirinya, sehingga dia menjadi orang yang mudah untuk merasa sedih, merasa tidak ada semangat hidup dan sebagainya. Jadi bisa saja ada perubahan, itu biasanya tidak permanen. Kalau keadaannya berubah, kondisinya berubah, maka kemungkinan besar dia akan kembali lagi ke tipe asalnya.
GS : Mungkin Pak Paul bisa jelaskan secara sederhana ya Pak Paul. Kalau seseorang, saya misalnya ingin tahu saya itu berkepribadian apa. Ya memang kalau kita ke psikolog bisa, tapi apakah ada jalan yang sederhana supaya kita bisa tahu kira-kira saya itu berkepribadian apa Pak Paul?

PG : Mungkin saya jelaskan dulu keempat penggolongan itu Pak Gunawan dan kita bisa mencocokkan diri yang termaktub dalam kategori itu. Tipe yang tadi saya sudah sebut adalah sanguin dan koleik, saya lengkapi lagi tentang tipe sanguin itu.

Sanguin mempunyai banyak kekuatan, tadi saya sudah sebut misalkan dia orang yang bersemangat, orang yang mempunyai gairah hidup, bisa membuat lingkungannya gembira senang. Tapi kelemahannya adalah dia itu cenderung kita katakan impulsive adalah orang yang bertindak sesuai emosinya atau keinginannya. Jadi dia itu mudah sekali dipengaruhi oleh lingkungannya, kalau lingkungan itu mendorong dia untuk rajin dia rajin, kalau lingkungan misalnya membuat rasanya dia enggan, malas, tidak ada gairah dari luar dia juga tiba-tiba seperti orang yang kehabisan bensin. Jadi seperti mobil yang akhirnya mogok harus didorong-dorong. Jadi orang-orang sanguin itu mudah sekali dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan dari luar dirinya. Dan juga kelemahan yang lainnya adalah kurang bisa menguasai diri, jadi penguasaan dirinya lemah. Nah dalam bukunya Tim La Haye hal ini juga ditonjolkan, bahwa orang-orang sanguin itu cenderung akhirnya mudah jatuh ke dalam pencobaan, karena godaan dari luar bisa begitu memikatnya, dan dia bisa masuk terperosok ke dalamnya. Nah itu tipe sanguin.

Tipe yang lainnya adalah tipe plegmatik. Tipe plegmatik adalah orang yang cenderung tenang dan dari luar cenderung tidak beremosi, tidak menampakkan emosi misalnya sedih, senang. Jadi naik turun emosinya itu tidak nampak dengan jelas. Orang ini cenderung memang bisa menguasai dirinya dengan cukup baik dan orang ini introspektif sekali, memikirkan ke dalam, bisa melihat, menatap dan memikirkan masalah-masalah yang terjadi disekitarnya. Jadi dia adalah seorang pengamat yang kuat, penonton yang tajam dan bisa juga menjadi seorang pengkritik yang memang berbobot. Kelemahannya adalah orang yang plegmatik ini cenderung mau mengambil mudahnya, tidak mau susah, sehingga ambil sajalah jalan pintas yang paling mudah. Nah kelemahannya ini bisa membuat dia jadi orang yang kurang mau berkorban bagi yang orang lain. Maka salah satu buah Roh Kudus memang perlu ditingkatkan dalam dirinya adalah kemurahan atau murah hati. Karena dia cenderung atau bisa menjadi orang yang egois, hanya memikirkan dirinya sendiri, jadi saya suka menggunakan istilah orang yang plegmatik ini cenderung tidak mau mengotori tangannya. Biar orang lain susah, orang lain kerja dia hanya duduk saja tidak mau susah payah menolong yang lainnya. Jadi buah Roh Kudus yang kurang dalam dirinya adalah murah hati. Orang yang melankolik adalah orang yang terobsesi dengan karya yang paling bagus, yang paling sempurna dan dia itu memang adalah seseorang yang mengerti estetika keindahan hidup ini. Dan perasaannya sangat kuat, sangat sensitif maka kita bisa menyimpulkan bahwa cukup banyak seniman yang memang berdarah melankolik. Kenapa?Sebab untuk bisa menciptakan karya seni yang tinggi, perasaan kita itu harus luar biasa pekanya, dengan alam, getaran hidup ini dan sebagainya. Kelemahannya orang melankolik adalah mudah sekali dikuasai oleh perasaan dan cukup sering perasaan yang mendasari hidupnya sehari-hari adalah perasaan yang murung. Jadi orang yang melankolik itu memang seringnya berada di dalam perasaan-perasaan yang agak di bawah yaitu perasaan yang murung. Tidak mudah bagi orang melankolik itu untuk terangkat, untuk senang, atau tertawa terbahak-bahak, agak sulit bagi dia untuk begitu. Nah itu kira-kira secara umum.

GS : Jadi mungkin kita perlu tahu, kita berada di kelompok yang mana ya Pak Paul, untuk memudahkan pergaulan kita atau mengerti dengan pasangan kita?

PG : Dan terutama mengerti dengan diri kita Pak Gunawan, kekuatan dan kelemahan kita.

GS : Nah sampai sejauh mana dosa itu yang ada dalam diri kita berperan untuk mempengaruhi kepribadian kita. Tadi Pak Paul katakan Roh Kudus itu akan mendorong kita, memberikan buah-buah untuk menutupi kelemahan dari salah satu sifat itu. Tapi saya lihat dosa pasti berperan, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, setiap tipe itu unik. Jadi pada dasarnya setiap tipe kepribadian itu netral tidak lebih berdosa dari yang lainnya. Namun setiap tipe kepribadian itu mengundangmasuknya keberdosaan kita, masuknya diri kita yang memang sudah tercemar oleh dosa.

Misalnya orang yang plegmatik kalau tidak hati-hati dan tidak mau bertumbuh, bisa menjadi orang yang tidak bertanggung jawab atau kurang bertanggung jawab. Karena dia akan mencoba mengelak dari tugas dan dia akan berusaha membuat orang lain yang bertanggung jawab mengerjakan tugas serta kewajiban yang seharusnya dikerjakannya. Nah akhirnya apa yang terjadi, saya kira di sanalah dosa akhirnya masuk ke dalam tipe kepribadian tersebut, karena apa? Karena sewaktu kita tidak bermurah hati untuk menolong orang lain, saya kira kita berdosa di situ. Ada yang harus kita tolong, tapi kita lebih mau mencuci tangan, masa bodoh dengan dia, disitulah akhirnya berdosa. Misalkan tipe sanguin, memang dia adalah orang yang bisa memberikan keceriaan dalam lingkungannya, tapi karena dia mudah sekali dikuasai oleh rangsangan dari luar, dia menjadi orang yang bisa mudah jatuh ke dalam pencobaan, godaan-godaan dari luar dirinya. Nah disinilah dia bisa terjebak ke dalam dosa, jadi keberdosaan yang memang sudah mencemari dirinya itu terus bisa muncul dan akhirnya membuat dia jatuh ke dalam dosa. Sama juga dengan orang yang melankolik, karena orang yang melankolik itu cenderung mau yang sempurna, yang terbaik dalam segala hal sehingga akhirnya dia bisa kasar, misalnya bisa memarahi orang yang tidak menghargai karya orang lain dan sebagainya. Atau bisa sombong karena dia merasa karyanyalah yang paling indah, paling hebat akhirnya dia berdosa, dalam relasi dengan orang lain dia tidak bisa memahami, tidak bisa menghargai orang lain. Sama juga dengan orang yang kolerik keberdosaan itu bisa masuk, menyelusup dan akhirnya menjatuhkan dia. Misalnya orang yang kolerik itu cenderung yang akhirnya memperhatikan yang berguna baginya, orang yang bisa bermanfaat itulah orang yang akan didekatinya. Orang yang tidak ada manfaatnya bagi dia tidak akan dia dekati. Nah akhirnya apa yang terjadi dia kehilangan prespektif untuk hidup seperti yang Tuhan kehendaki. Mengasihi musuh kita, yang lemah, sebab dia hanya mau bergaul dengan yang sebanding dengannya, yang bisa menguntungkan dirinya. Nah di situ akhirnya dia bisa jatuh ke dalam dosa.
GS : Pak Paul, apakah kepribadian itu sama dengan watak?

PG : Ya.

GS : Dan orang mengatakan ya itu sudah watak saya, saya tidak bisa mengubah itu. Nah itu dipakai sebagai katakan sesuatu alasan membenarkan diri sendiri, bahwa dia boleh melakukan dosa itu karena memang wataknya seperti itu.

PG : Ya kita bisa memahami bahwa tipe tertentu rawan terhadap dosa tertentu, tapi saya kira tidak bisa kita ini berkata atau menyalahkan watak atau kepribadian kita yang memang kita sudah beini.

Jadi misalkan saya sendiri, saya tahu saya ini seorang sanguin. Saya tahu saya mudah sekali mengambil keputusan jadi artinya apa? Saya mendisiplin diri saya untuk tidak mengambil keputusan seketika. Seberapa bagusnyapun ide itu saya akan cenderung menahan diri untuk menggumulinya lagi, untuk menunggu tanda-tanda lain dari Tuhan, menunggu juga apakah Tuhan menggerakkan orang lain untuk mencetuskan ide yang sama dan sebagainya. Sebab bawaan saya adalah kalau misalnya saya inginkan A, saya benar-benar mau supaya orang lain juga melihat bahwa A itu penting dan A itu harus dilakukan. Jadi lakukanlah semuanya, jadi akhirnya saya harus menahan diri saya, dan setiap orang saya pikir dipanggil Tuhan untuk menahan diri.
IR : Mungkin Pak Paul bisa menunjukkan ayat di mana watak seseorang itu bisa dikendalikan atau bisa diubah dengan pertolongan dari Firman Tuhan.

PG : Firman Tuhan di Mazmur 139:23 berkata, "Selidikilah aku ya Allah dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku. Lihatlah apakah jalanku serong dan tuntunla aku di jalan yang kekal."

Di sini kita melihat pemazmur mengundang Tuhan, jadi syaratnya yang kita lakukan adalah mengundang Tuhan. Pemazmur di sini mengundang Tuhan, lihatlah apakah jalanku serong, nah setiap orang harus mengundang Tuhan, melihat, menilik, memeriksa jalannya. Dan harus juga mengundang Tuhan untuk menuntunnya ke jalan yang benar. Jadi kalau boleh saya simpulkan karakteristik yang paling penting adalah kita bersedia apa tidak kita mengundang Tuhan untuk masuk menilik hati kita, mau tidak kita ini berubah itu saya kira kuncinya.
IR : Jadi sebagai anak-anak Tuhan tidak ada alasan Pak Paul untuk mengatakan bahwa, watakku ya memang begini, saya juga ingat ayat dalam Yehezkiel 11:19, "Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan Roh yang baru dalam batin mereka. Juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan hati yang taat."

PG : Bagus sekali, Bu Ida.

GS : Jadi itu terkait erat antara kepribadian dengan hati dan saya percaya sekali apapun kepribadian kita, Tuhan Yesus mau menerima kita dalam keberadaan kita masing-masing karena dia yang tahu persis karakter atau watak, kepribadian kita itu. Jadi saya rasa ini suatu perbincangan yang sangat menarik karena kita perlu mengenal akan diri kita sendiri terlebih dahulu, dan juga mengenal orang-orang lain yang ada di sekeliling kita. Jadi para pendengar yang kami kasihi demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan kepribadian khususnya, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



3. Bagaimana Menghadapi Stres


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T088A (File MP3 T088A)


Abstrak:

Stress merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa terdesak atau tercekam yang disebabkan oleh tekanan dari luar maupun dari dalam atau dari kedua-duanya. Dan masing-masing orang memiliki ketahanan yang berbeda dalam menghadapi stres, ada yang lebih kuat dan ada juga yang mudah sekali untuk mengalami stres.


Ringkasan:

Stres itu adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa terdesak atau tercekam dan ini disebabkan oleh tekanan baik dari luar, atau juga bisa dari dalam atau kedua-duanya. Contoh misalnya kalau saya harus menunggu lama angkutan umum waktu pulang kerja. Padahal banyak angkutan yang ramai sekali dan saya harus menunggu cukup lama, itu akan menimbulkan stres karena saya merasa terdesak, karena saya merasa kurang nyaman di situ.

Antara stres dan depresi. Depresi itu adalah gejalanya, maksudnya stres itu suatu kondisi yang kita alami dan kondisi yang kita alami bisa membuat kita itu mengalami gangguan yang namanya depresi atau juga misalnya bukan hanya depresi yang bisa timbul, misalnya gangguan-gangguan yang lain. Dalam stres yang berat orang bisa menderita schizophrenia.

Masing-masing orang memiliki ketahanan yang berbeda dalam menghadapi stres. Ada yang lebih kuat dan ada juga yang mudah sekali untuk mengalami stres. Seorang pria dan wanita pun berbeda, pada pria misalnya tampak gejala stres yang lebih dirasakan berat adalah di dalam dunia kerja. Bila dibandingkan dengan wanita yang lebih rentan terhadap stres karena buruknya hubungan sosial.

Beberapa cara untuk menghindarkan diri dari stres adalah:

  1. Dengan memperbaiki hubungan sosial dengan rekan-rekan sekantor. Kalau memang stres yang dialami berhubungan dengan teman-teman kerja di kantor.

  2. Memperbaiki hubungan keluarga sehingga hubungan bisa lebih terasa harmonis dan manis. Kalau misalnya ada masalah di dalam keluarga.

  3. Kalau misalnya stres ternyata tidak bisa dihindarkan, yang perlu kita lakukan adalah memperkuat daya tahan kita atau mengubah cara kita memandang stres dan memperbesar toleransi kita terhadap stres. Dengan demikian stres itu tidak lagi dirasakan terlalu berat tetapi kita justru menyesuaikan diri menghadapi stres. Misalnya dengan cara kita memandang dunia ini, cara kita berpikir dan juga salah satunya yang penting adalah bagaimana kita memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan, bagaimana mempertebal iman kita.

Frustrasi, adalah misalnya kita mempunyai suatu tujuan yang ingin kita capai, kita mempunyai harapan tertentu tapi karena waktu kita ingin mencapai itu ternyata mengalami hambatan. Kondisi ini yang dikatakan sebagai frustrasi.

Filipi 4:13, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku."

Jadi apapun yang kita lakukan ingatlah bahwa kita melakukannya di dalam Tuhan dan kalau kita melakukan segala sesuatu di dalam Tuhan, Tuhan akan memberi kekuatan kepada kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan kali ini juga bersama Bapak Heman Elia, M.Psi., akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perlu Anda ketahui bahwa Ibu Esther dan Pak Heman pada saat ini adalah dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara dan mereka adalah pakar-pakar di bidang konseling keluarga. Karenanya kami percaya perbincangan kami kali ini pasti akan sangat bermanfaat bagi Anda sekalian. Dan dari studio kami semua mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, kali ini kita akan membicarakan tentang bagaimana menghadapi stres, suatu tema atau topik pembicaraan yang tentunya sangat menarik karena banyak dibicarakan orang. Tetapi sebelum kita bicara lebih lanjut, mungkin Pak Heman bisa menjelaskan kepada kita stres itu sebenarnya apa?

HE : Baik Pak Gunawan, stres itu adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa terdesak atau tercekam dan ini disebabkan oleh tekanan bisa dari luar, bisa dari dalam atau kedua-duanya. Sebagi contoh misalnya kalau saya harus menunggu lama angkutan umum waktu pulang kerja.

Padahal banyak angkutan yang ramai sekali dan saya harus menunggu cukup lama, itu akan menimbulkan stres karena saya merasa terdesak, saya merasa kurang nyaman di situ. Dan banyak hal lagi misalnya suasana kerja yang kurang nyaman atau misalnya kalau kita mengalami banyak masalah yang harus diselesaikan, banyak persoalan yang bertumpuk bahkan juga misalnya perubahan-perubahan cuaca yang drastis itu juga akan menimbulkan stres bagi kita. Demikian juga kalau di rumah biasanya suasana rumah yang kurang nyaman itu akan menimbulkan stres bagi kita. Stres yang dari dalam itu bisa dicontohkan misalnya ada kelainan hormonal di dalam diri saya yang menyebabkan saya menderita tekanan darah tinggi atau penyakit-penyakit yang lain, juga cacat fisik misalnya itu semua potensial sekali memberikan suatu kondisi tertekan atau kondisi stres.
GS : Jadi kalau katakan kami orang awam, saya sedang tertekan itu tidak salah ya, Pak?

HE : Itu tidak salah dan itu yang dikatakan sebagai stres.

(2) GS : Istilah ilmiahnya itu stres, tapi ada yang menyebutkan depresi Pak?

HE : Nah kalau depresi itu adalah gejalanya, maksud saya begini stres itu suatu kondisi yang kita alami dan kondisi yang kita alami bisa membuat kita itu mengalami gangguan yang namanya deprsi atau juga misalnya bukan hanya depresi yang bisa timbul, misalnya gangguan-gangguan yang lain.

Kalau dalam stres yang berat misalnya sampai orang itu bisa menderita schizophrenia.
(3) GS : Nah tadi Pak Heman juga sudah menyebutkan apa penyebab-penyebab stres itu, jadi apakah semua orang itu bisa mengalami stres, Pak Heman?

HE : Semua orang bisa mengalami stres dan sekali lagi stres itu bukan penyakit, yang perlu saya tekankan stres itu suatu kondisi yang dialami, yang menuntut seseorang itu harus menyesuaikan iri secara tepat.

Jadi kalau misalnya orang mengalami stres dan itu sampai melampaui daya tahannya, maka barulah akan timbul gejala-gejala yang berupa penyakit. Tetapi penyakit itu tidak dialami oleh semua orang, kalau gejala stresnya itu memang akan dialami atau kondisi stres itu akan dialami oleh semua orang.

ET : Kalau tadi Pak Heman mengatakan stres bisa dialami semua orang, saya juga jadi ingat kadang-kadang anak-anak kecil juga sudah bilang ya, masih TK, SD, sudah bisa mengeluh aduh aku ini sres begitu ya.

Jadi rasanya orang ini mudah melabelkan hal-hal yang pokoknya ada masalah sedikit, itu stres Pak Heman. Tapi di sisi lain di ujung satunya lagi kadang-kadang ada orang yang mengatakan aduh saya ini stres dan bisa gila begitu, ya mungkin karena memang tekanan hidupnya begitu rupa, begitu berat yang dihadapi. Jadi sebenarnya kalau yang kira-kira masih bisa ditolerir, yang masih OK stres yang dalam arti masih normal sepertinya memang ada tingkatannya supaya kita bisa menguji memang saya stres. Tapi stres saya ini masih termasuk normal belum menuju kepada suatu gangguan yang lebih membawa kepada sesuatu yang lebih lagi, misalnya sampai harus dirawat ke dokter kira-kira itu bagaimana bisa mengujinya, bisa melihat dalam batas-batas yang bagaimana, Pak Heman?

HE : Ya kita biasanya melihat gejalanya, kalau misalnya gejala itu sampai mengganggu sekali aktifitas kita sehari-hari berarti stres yang kita alami itu dalam tingkatan yang sudah lebih berat. Saya berikan contoh misalnya kalau orang stres kemudian tidak bisa tidur dan itu hanya berlangsung satu, dua hari itu tarafnya lebih ringan. Tetapi kalau sampai misalnya setengah tahun atau satu tahun tidak bisa tidur, nah berarti tingkat stresnya sudah lebih berat dan biasanya kalau sudah berkepanjangan seperti itu, itu lebih sulit diatasi daripada kalau misalnya hanya tidak bisa tidur 1, 2 hari, itu salah satu contohnya. Gejala-gejala yang lain kita bisa melihat kadang-kadang adanya tekanan membuat daya tahan fisik kita menjadi lemah dan itu salah satu indikasi. Misalnya ada orang yang lalu alergi, asmanya kumat atau misalnya tekanan darahnya naik, diabetesnya kumat biasanya juga orang yang di dalam kondisi stres itu akan terganggu organ-organ tubuhnya. Terutama organ-organ tubuh yang agak lemah dari sistem tubuhnya juga pengaruh ke hormonal dan sebagainya. Ada orang yang menderita sakit kepala berkepanjangan dan adakalanya gejala-gejala ini atau sering kali gejala ini tidak ditemukan di dalam gangguan atau penyakit fisik yang sesungguhnya, tapi dapat dirasakan oleh orangnya sendiri, wah....ini kenapa ya saya menderita gejala fisik seperti ini kadang susah dijelaskan dan kemungkinan ini karena stres.

ET : Tadi Pak Heman katakan juga setiap orang bisa mengalami stres, kira-kira ada tidak bedanya mungkin maksudnya di setiap orang ini ada orang-orang yang memang lebih mudah kena stres, ada orang yang lebih kuat maksudnya tidak mudah stres, sebenarnya perbedaannya ada atau tidak, Pak Heman?

HE : Ya beda, ada orang yang betul sekali seperti yang Ibu Esther katakan ada yang mudah mengalami stres, ada yang tidak ada yang lebih kuat, ada yang lebih lemah. Dan bukan hanya tingkatan aya tahan tetapi juga jenisnya, jadi ada orang yang mengalami masalah misalnya putus pacar dia langsung stres dan mengalami berbagai gejala gangguan tingkah laku.

Tapi sebaliknya ada orang yang kalau putus pacar, dia tidak merasa apa-apa tetapi pada waktu ayahnya meninggal nah di situ gejalanya muncul begitu. Jadi memang tiap orang daya tahan dan jenis ketahanan terhadap stres itu beda-beda.
GS : Kalau dari segi pria-wanitanya sama apa tidak?

HE : Pria-wanita juga bisa berbeda, jadi pada pria misalnya tampaknya gejala stres yang lebih dirasakan berat adalah di dalam, stres di dalam dunia kerja. Bila dibandingkan dengan wanita yan lebih mementingkan relasi, jadi biasanya bagi wanita lebih rentan terhadap stres karena buruknya hubungan sosial.

(4) GS : Nah Pak Heman, kalau dikatakan semua orang memang bisa menderita stres, mengalami stres, mengalami tekanan seperti ini maka sebaiknya kita ini melakukan suatu antisipasi atau apa, supaya tidak perlu terlalu berat menghadapi itu. Apa sebenarnya yang bisa kita lakukan, Pak Heman?

HE : Ada beberapa hal kalau misalnya stres itu sebetulnya bisa kita hindarkan, jadi kita bisa melakukan beberapa cara untuk menghindarkan diri dari stres yang tidak harus selalu kita hadapi ila ada pilihan.

Saya berikan contoh misalnya adakalanya kita sulit, sulit sekali menyesuaikan diri di dalam suatu situasi kerja tertentu karena adanya hambatan-hambatan di kantor misalnya. Dalam hal ini mungkin kita sulit mencari pekerjaan baru, yang dapat kita lakukan untuk menghindari stres yang lebih besar misalnya dengan kita melakukan atau memperbaiki hubungan sosial dengan rekan-rekan sekantor, dengan demikian stres itu akan menjadi berkurang. Kecuali misalnya kalau kita bisa mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan minat dan juga kemampuan kita, nah kita boleh mencari pekerjaan yang lain. Tetapi misalnya lagi kalau kita di dalam rumah mempunyai beberapa masalah, tidak mungkin pindah demikian saja dari rumah kita, kita tidak bisa keluar dari rumah kita, nah kita perlu melakukan tindakan-tindakan untuk memperbaiki hubungan keluarga, sehingga hubungan ini bisa lebih terasa harmonis dan manis begitu. Kalau misalnya stres itu ternyata tidak bisa dihindarkan, apa yang bisa kita lakukan adalah dengan memperkuat daya tahan kita dan memperbesar toleransi kita terhadap stres. Dan ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk itu, misalnya dengan memperbaiki cara kita memandang dunia ini, cara kita berpikir dan juga salah satunya yang penting adalah bagaimana kita memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan. Bagaimana memperbesar, mempertebal iman kita.
GS : Tetapi kalau masalahnya sendiri tidak pernah dihadapi Pak, dan tidak pernah terselesaikan itu pasti akan muncul terus.

HE : Ya ada hal-hal yang memang tidak pernah bisa selesai, kalau hal itu tidak bisa selesai maka itu merupakan sumber stres bagi kita. Yang kita bisa lakukan adalah mengubah diri kita yaitu emperbesar daya tahan kita atau mengubah cara kita memandang stres itu.

Dengan demikian stres tidak lagi dirasakan terlalu berat tetapi kita justru bisa menyesuaikan diri menghadapi stres itu.
GS : Saya memang punya seorang teman yang mengatakan saya ini stres karena tiap hari menghadapi orang stres. Ya itu yang dia katakan, jadi orang stres menimbulkan teman saya itu menjadi stres juga akhirnya. Lalu itu bisa terus berkembang biak karena orang sekelilingnya juga merasa stres.

HE : Baik mungkin bisa lebih jelas, waktu dia menghadapi orang stres itu seperti apa Pak Gunawan, maksudnya orang-orang yang stres di sekeliling dia itu stresnya dalam bentuk apa?

GS : Tadinya begini Pak Heman, istrinya itu menghadapi suatu masalah di rumah, istrinya menjadi stres entah itu karena anaknya yang nakal, dia tidak mau ceritakan tetapi yang pasti istrinya itu sedang stres. Si suami ini karena menghadapi istri yang stres itu tadi dia menjadi stres juga, melihat setiap kali pulang ke rumah menghadapi istri yang tingkah lakunya seperti itu lalu dia ikut-ikutan stres, nah stres ini dibawa ke kantor. Dia setiap kali datang ke kantor wajahnya itu sudah murung, kelihatan sekali itu perbedaannya. Anak buahnya, orang-orang atau rekan kerja yang di sebelahnya itu yang dekat-dekat dengan dia menjadi tidak enak, Pak Heman. Mau bertanya sesuatu juga sulit, nah ini tidak bisa disingkirkan, dia mau menyingkirkan istrinya ya tidak bisa, dia mau pindah pekerjaan yang sulit pada saat itu tidak bisa, rekan kerjanya juga tidak bisa mengusir dia dari situ. Ya sering kali dihibur-dihibur tapi tidak selesai masalahnya sampai berkelanjutan lama sekali.

HE : Saya kira ini suatu hal yang sering kita alami dan sangat biasa kita hadapi. Dalam hal ini adakalanya kita perlu untuk minta bantuan pihak ketiga, misalnya bisa lewat konseling pribadi tau konseling keluarga.

Adakalanya kita tidak kuat atau tidak bisa menghadapi stres itu sendirian dan kita perlu bantuan dari orang lain. Nah itu sebabnya juga di Alkitab misalnya dikatakan bahwa persekutuan itu penting, dengan kita sering bersekutu berarti ada saling berbagi beban dan itu memperbesar daya tahan kita dan juga memperingan stres yang kita alami. Jadi perlu ada waktu tenggang, maksudnya ada waktu di mana si suami ini bisa rileks sejenak atau bersama-sama dengan orang lain sharing kemudian saling berbagi beban dan juga mungkin perlu minta pertolongan seorang ahli.
GS : Tetapi masalahnya mulai dari mana, dari si suami itu atau dari istrinya atau dari orang yang menyebabkan istrinya stres?

HE : Saya kira bisa dilakukan mulai dari sang suami, tapi kalau lebih baik lagi kalau bisa sekaligus. Misalnya suami-istri datang bersama untuk konseling.

GS : Ya mungkin yang paling sulit itu kalau ada pihak yang merasa bahwa dirinya tidak stres. (ET : Padahal buat orang lain stres), buat orang lain stres itu terjadi, si suami ini pernah mengatakan kepada istrinya untuk hal itu. Tapi istrinya bilang saya ini tidak apa-apa, tetapi dengan nada marah dan sebagainya, jadi dia tidak terlalu sadar bahwa dia sedang stres, tapi suaminya mengindikasikan melihat istrinya ini stres.

HE : Tampaknya yang Pak Gunawan sebutkan ini mungkin sudah merupakan gangguan tingkah laku, (GS : Asal usulnya dari situ Pak, jadi berawal dari situ, mungkin tingkah lakunya memang sudah berbah sekarang).

Dan untuk ini memang harus ada bantuan ahli (GS : Berdua) ya berdua, memang tidak bisa dilakukan sendiri karena ada kemungkinan untuk hal-hal seperti ini perlu suatu keahlian khusus untuk penanganannya.

ET : Sebaliknya saya justru melihat kalau tadi kasusnya Pak Gunawan, sepertinya orang itu mudah stres. Sebaliknya ada orang yang pernah saya amati sungguh-sungguh tenang saja hidupnya, seperi tidak pernah susah, tidak pernah mengalami yang orang lain katakan stres ini.

Tapi kalau saya mengamati lebih jauh itu ada kesan kurang tantangan karena dia tidak pernah menghadapi, mungkin sebenarnya menghadapi tapi karena dia tidak menganggap itu sebagai kesulitan dan juga tidak menganggap itu sebagai tantangan rasanya juga ada yang kurang. Jadi sebenarnya stres itu rasanya ada unsur sampai titik tertentu kita butuhkan juga, betul atau tidak, Pak Heman?

HE : Betul, jadi stres itu sebetulnya mempunyai manfaat untuk melatih kita, sehingga kita juga sewaktu belajar menghadapi dan kemudian bisa mengatasinya, membuat hidup kita satu tahap lebih aju, kita bisa lebih matang, lebih dewasa.

ET : Kira-kira untuk orang yang seperti itu bagaimana supaya dia bisa tertantang juga, nyatanya benar-benar atau sungguh-sungguh menganggap segala sesuatunya begitu mudah.

HE : Ya adakalanya ada orang-orang yang mempunyai sifat dasar tertentu, yang memang agak kurang peduli dengan rangsangan dari sosialnya atau kurang begitu peka dengan lingkungan sosialnya. Y masing-masing kita punya potensi yang ada batasnya, ada orang yang kalau misalnya dia potensinya tidak terlalu besar untuk menanggapi situasi sosialnya, kita hanya bisa melatih sampai kepada batas potensinya itu.

Misalnya dengan lebih banyak melibatkan dia di dalam interaksi sosial sehingga dia juga mengenal berbagai jenis variasi di dalam hubungan sosial, tingkat kedalaman dan tingkat keintiman dari suatu hubungan sosial. Saya kira itu yang kita bisa lakukan.

ET : Latihan, soalnya memang rasanya semua masalah itu dianggap enteng setiap teman-teman yang punya masalah juga selalu begitu: "Begitu saja dipusingkan, kenapa harus dibuat stres, ayo kitahappy-happy saja begitu."

Jadi rasanya memang tidak bisa melihat kesulitan orang lain.

HE : Ya, tapi kadang-kadang juga ada orang yang suatu ketika ketemu batunya, suatu ketika misalnya karena kekurangpekaannya dia bisa menemui masalah. Misalnya dia tidak bisa memahami orang lin dan akhirnya orang lain juga jengkel kepada dia, suatu ketika dia mungkin juga frustrasi dan dia harus hadapi rasa frustrasinya itu.

GS : Pak Heman, berbicara tentang frustrasi, sebenarnya bagaimana seseorang disebut frustrasi?

HE : Ya kalau kita misalnya mempunyai suatu tujuan yang ingin kita capai, kita ingin mempunyai harapan tertentu tapi karena waktu kita menghadapi harapan itu, kita ingin mencapai itu ternyat mengalami hambatan, nah kondisi itu dikatakan sebagai frustrasi (GS : Semacam putus asa begitu ya) ya (GS : Belum sampai ke sana) katakan seperti contoh tadi dia ingin supaya hubungan dengan teman-temannya semua baik begitu.

Tetapi ternyata suatu ketika teman-temannya menjauh dari dia karena dia tidak bisa mengerti orang lain, nah dalam hal itu kita katakan frustrasi. Hambatan itu sendiri bisa kita katakan suatu kondisi stres dan menyebabkan adanya frustrasi, memang itu istilah yang berdekatan.
GS : Apakah seseorang yang sudah mengalami stres seperti tadi bisa menyembunyikan rasa stresnya itu di hadapan orang lain, Pak Heman?

HE : Ya adakalanya bisa, dia berusaha menampilkan dirinya yang lain, dia menutup dirinya rapat-rapat. Tapi saya kira untuk stres yang tingkat berat lama-lama orang lain juga akan tahu, akan erasakan bahwa dia sedang mengalami sesuatu.

GS : Ya karena tadi Pak Heman juga sudah singgung, stres bukan hanya karena masalah tetapi juga ada suatu kejutan yang bisa menimbulkan stres. Misalnya dia dapat hadiah itu, bonus yang besar di perusahaan lalu dia juga akan stres itu ya Pak?

HE : Itu yang dikatakannya sebagai U-stress. U-stress ini artinya bentuk stres yang menyenangkan dan tidak selalu hal-hal yang menyenangkan itu berarti tidak stres. Hal yang menyenangkan danterjadi secara mendadak itu bisa menyebabkan stres yang cukup besar juga, yang menyebabkan orang tidak bisa menyesuaikan diri lalu menimbulkan gangguan tingkah laku.

Ada contoh misalnya orang yang dipromosikan, dinaikkan pangkatnya, lalu dijadikan pimpinan di suatu perusahaan. Dia juga bisa stres karena dia harus menyesuaikan diri dengan jabatan yang barunya dan tentu itu dengan resiko-resiko yang lain.

(5) ET : Saya teringat tadi Pak Heman katakan tentang meningkatkan daya tahan, seumpama kalau masalah fisik dengan vitamin. Tadi Pak Heman sempat singgung soal cara berpikir saya kurang ini, mungkin Pak Heman bisa tolong menjelaskan lebih jauh tentang cara berpikir bagaimana yang bisa meningkatkan daya tahan kita terhadap stres?

HE : Baik, Ibu Esther, saya memberi contoh misalnya kalau kita mengalami suatu kegagalan pasti kita stres, tapi kita bisa berpikir dengan cara begini, wah kalau begitu saya ini orang yang gaal total, saya orang yang sudah hancur hidupnya dan tidak ada pengharapan lagi, lebih baik sekalian saja saya hancurkan hidup saya.

Nah ini adalah cara berpikir yang akan menimbulkan stres yang berkelanjutan dan mungkin bertumpuk, bertambah banyak, berakumulasi. Karena pada saat dia berusaha menghancurkan hidupnya lalu timbul masalah-masalah yang lain. Lebih baik dia berpikir seperti ini, orang yang gagal sekali itu misalnya adalah hanya merupakan sukses yang tertunda, nah yang penting bukan gagalnya itu tetapi yang penting adalah bagaimana mengatasi kegagalan itu, sehingga saya lebih maju dan lain kali lebih baik. Itu yang saya sebutkan cara-cara berpikir rasional dan lebih sehat untuk menghadapi stres dan sebetulnya masih banyak lagi cara berpikir.
GS : Tapi tentunya yang sangat dibutuhkan itu adalah penghiburan dan petunjuk dari firman Tuhan, bagaimana menghadapi stres khususnya pada saat-saat di sekeliling itu sebenarnya ada banyak alasan yang bisa menimbulkan kita stres. Pak Heman mungkin bisa membacakan sebagian firman Tuhan yang berkaitan dengan itu.

HE : Saya akan membacakan sebuah ayat yang ditulis oleh rasul Paulus, yang waktu itu berada di penjara. Rasul Paulus menulis untuk jemaat Filipi seperti ini, kita tahu bahwa rasul Paulus banak sekali mengalami stres karena pekerjaannya yang giat untuk memberitakan Injil dan firman Tuhan.

Diambil dari Filipi 4:13 "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Jadi apapun yang kita lakukan ingatlah bahwa kita melakukannya di dalam Tuhan dan kalau kita melakukan segala sesuatu di dalam Tuhan, Tuhan akan memberi kekuatan kepada kita.
GS : Terima kasih sekali, Pak Heman, untuk penghiburan dari firman Tuhan itu dan saya rasa itu pasti akan sangat mendukung, menghiburkan saudara-saudara kita yang saat ini mungkin dalam keadaan stres.

Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi telah Anda ikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dan juga Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bagaimana Menghadapi Stres". Pada kesempatan yang lain, kita akan melanjutkan perbicangan ini dengan sesuatu yang lebih spesifik lagi. Karenanya bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran serta pertanyaan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



4. Mengenal Depresi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T094A (File MP3 T094A)


Abstrak:

Langkah orang ditentukan oleh Tuhan, tetapi bagaimanakah manusia dapat mengerti jalan hidupnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidup kita, demikian juga depresi bisa menghantam siapapun termasuk kita anak-anak Tuhan.


Ringkasan:

Amsal 21:24, "Langkah orang ditentukan oleh Tuhan, tetapi bagaimanakah manusia dapat mengerti jalan hidupnya." Kita ini sebetulnya tidak begitu tahu tentang masa depan atau langkah-langkah ke depan kita maka benar sekali firman Tuhan berkata bagaimanakah manusia bisa mengerti jalan hidupnya, sesungguhnya memang tidak mengerti, kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidup kita. Dan sesungguhnya depresi itu bisa menghantam siapapun termasuk kita. Kenapa orang atau kita bisa terkena depresi atau orang-orang yamg memang rentan terhadap depresi?

  1. Faktor fisik, adakalanya depresi disebabkan oleh hal-hal yang bersifat jasmaniah atau biologis. Yaitu lebih mengacu pada fungsi kerja sel-sel di otak kita atau kita sebut senyawa kimiawi. Contoh orang-orang yang menderita depresi ditemukan kekurangan senyawa kimiawi yang disebut sorotonin.
    Tanda orang terkena depresi yang paling jelas adalah
    1. Kehilangan minat pada hampir semua aspek kehidupannya, hal-hal yang biasanya dia lakukan tiba-tiba tidak menarik hatinya lagi dan tidak ingin dilakukannya lagi.

    2. Keresahan yang luar biasa, tegang terus bawaannya. Dan pada depresi yang sudah berat kita akan bisa lihat penampakan wajahnya yang kaku sekali.

  2. Selain faktor fisik di atas, depresi bisa muncul dari akibat fungsi otak kita.

  3. Depresi disebabkan oleh kondisi kehidupan kita, ini bisa menyerang siapapun, yaitu pada waktu tekanan hidup terlalu berat dan kita tak sanggup lagi untuk memikulnya. Di sini juga ada 2 tipe orang yaitu:

    1. Ada orang yang memang daya tahannya lemah sehingga waktu menanggung beban yang sedikit terlalu berat dia ambruk, dia mengalami depresi.

    2. Namun ada orang-orang yang normal yang biasa mempunyai daya tahan yang kuat namun terpukul terus-menerus oleh hempasan-hempasan dalam hidup sehingga akhirnya dia ambruk.

Jadi dapat saya simpulkan bahwa pada umumnya depresi disebabkan oleh karena ketidakseimbangan, ketidakseimbangan antara tekanan hidup dan daya tahan untuk menanggungnya.

Ada 2 jenis depresi yaitu:

  1. Depresi berat atau major depression. Orang secara tuntas dan total kehilangan kemampuan memaksa dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang dia harus kerjakan.
  2. Depresi yang lebih ringan yang disebut destimia. Dalam hal ini orang masih bisa berfungsi pada umumnya meskipun depresinya berkepanjangan bulan demi bulan, tahun demi tahun namun dia masih bisa mengerjakan tugasnya.

Saran saya bagi yang sedang menderita depresi:

  1. Jangan berpikir bahwa Anda hanyalah menambahkan beban pada orang, sebab orang di sekitar kita justru ingin kita sembuh, ingin kita kembali seperti semula.

  2. Meskipun sulit untuk percaya pada orang, pada nasihat-nasihat tapi dengarkanlah nasihat-nasihat orang, pergilah ke dokter kalau memang itu yang diperlukan, makan obat secara teratur dan carilah orang yang bisa membantu memberikan petunjuk-petunjuk.

  3. Selalu berharap pada Tuhan sebab Tuhan tidak meninggalkan orang yang dalam kesusahan.

Firman Tuhan berkali-kali berkata : "Dia adalah penolong dalam kesesakan," orang yang depresi adalah orang yang sesak, nafas pun tidak enak, Dia berjanji Dialah penolong bagi orang yang dalam kesesakan. Amsal 21:18, "Rancangan terlaksana oleh pertimbangan, sebab itu berperanglah dengan siasat." Hiduplah dengan keseimbangan, pertimbangkan semuanya, rencanakan hidup ini jangan hidup sepertinya tidak ada aturan tidak ada pertimbangan. Hiduplah dengan penuh pertimbangan, hidup yang penuh pertimbangan, bisa menghindarkan diri kita dari depresi.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dan beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini kami beri judul "Mengenal Depresi". Kami percaya acara ini pasti menarik dan berguna bagi Anda sekalian. Maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sekarang ini banyak orang membicarakan tentang depresi tapi saya rasa tidak banyak pula yang mengetahui secara utuh atau secara lengkap apa sebenarnya depresi itu, bagaimana timbulnya, bagaimana menanggulanginya dan seterusnya. Mungkin Pak Paul bisa menjelaskannya kepada kita semua?

PG : Saya akan mencoba lakukan itu Pak Gunawan, namun sebelum kita masuk ke sana saya ingin mengawali dengan membaca sebuah ayat dari Amsal 21:24 "Langkah orang ditentukan oleh uhan, tetapi bagaimanakah manusia dapat mengerti jalan hidupnya."

Bagaimanakah manusia dapat mengerti jalan hidupnya, Pak Gunawan dan Ibu Esther. Akhir-akhir ini saya makin menyadari bahwa sedikit sekali tentang hidup ini, hidup yang ada dalam genggaman kita. Kita ini sebetulnya tidak begitu tahu tentang masa depan atau langkah-langkah ke depan kita, maka benar sekali firman Tuhan berkata bagaimanakah manusia bisa mengerti jalan hidupnya, sesungguhnya memang tidak mengerti, kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidup kita. Nah salah satu yang sering saya lihat juga adalah serangan depresi pada kita semua. Jangan sampai kita berkata bahwa o...depresi itu untuk orang-orang tertentu, memang nanti kita akan bahas ada tipe atau latar belakang tertentu yang bisa lebih merentankan kita terhadap depresi. Tapi sesungguhnya depresi itu bisa menghantam siapapun termasuk kita ini. Saya masih ingat sewaktu saya berkuliah, guru saya pernah berkata begini, "Jangan sampai kalian beranggapan bahwa kalian tidak pernah terkena gangguan jiwa atau tekanan hidup." Sebab dia bercerita ada klien saya yang datang kepada saya masih baik-baik saja, namun setelah melewati satu masa tertentu akhirnya kehilangan kewarasannya. Nah ada orang-orang yang juga seperti itu Pak Gunawan, dari kecil, remaja, dewasa hidup baik-baik namun tiba-tiba suatu ketika dihantam oleh depresi dan langsung roboh, tidak mau bekerja, tidak berani keluar rumah, ketakutan, cemas, berpikir yang tidak-tidak, murung, nah itu semua adalah bagian dari depresi. Untuk mulai menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan, kenapa kita bisa terkena depresi, jawaban yang pertama adalah memang adakalanya depresi itu disebabkan oleh hal-hal yang bersifat jasmaniah atau biologis. Ini bukannya sesuatu yang terjadi pada jantung atau ginjal kita, tapi lebih mengacu pada fungsi kerja sel-sel di otak kita atau kita sebut senyawa kimiawi. Saya berikan satu contoh ada satu senyawa kimiawi yang disebut serotonin, entah mengapa serotonin ditemukan berkurang pada orang-orang yang menderita depresi. Maka salah satu obat antidepresan yang digunakan adalah obat untuk menambahkan kadar serotonin di otak penderitanya. Jadi sekali lagi kenapa pada orang tertentu bisa berkurang level serotoninnya kita tidak ketahui dengan pasti. Itu salah satu penyebabnya, Pak Gunawan.
(2) GS : Tetapi apa sebenarnya tanda-tanda orang yang terkena depresi, Pak Paul?

PG : Tanda yang paling jelas adalah kehilangan minat pada hampir semua aspek kehidupannya. Hal-hal yang biasanya dia lakukan, tiba-tiba tidak menarik lagi dan tidak ingin dilakukannya lagi. tu salah satu gejala yang ada pada semua penderita depresi, benar-benar kehilangan minat melakukan hal-hal yang biasanya dia lakukan.

Hal-hal yang dia suka lakukan tiba-tiba kehilangan daya tariknya dan tidak ada semangat sama sekali untuk mengerjakan apa-apa, inginnya berdiam diri. Tapi berdiam diripun serba salah karena waktu dia berdiam diri, dia dihantam juga oleh kecemasan yang begitu tinggi sehingga resah sekali. Jadi suatu perasaan yang menderita sebetulnya, sangat menyesakkan. Di satu pihak tidak berminat, maunya berdiam diri tapi waktu berdiam diri juga tidak menikmatinya sebab resah dan cemas luar biasa, jadi benar-benar suatu keadaan terhimpit.

ET : Dalam keadaan yang seperti itu, apakah ada perbedaan antara orang-orang yang misalnya memang tidak berminat tetapi akhirnya dia tetap bisa memaksa diri?

PG : Ada 2 jenis depresi yang biasanya kita pilah, pertama disebutnya depresi berat atau dalam bahasa Inggrisnya "major depression" atau kedua, depresi yang lebih ringan yang disebutnya destmia.

Dalam kasus depresi berat, orang itu secara tuntas dan total kehilangan kemampuan memaksa dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang harus dia kerjakan. Dalam kasus destimia, orang ini masih bisa berfungsi pada umumnya meskipun depresinya berkepanjangan bulan demi bulan, tahun demi tahun namun dia masih bisa mengerjakan tugasnya, meskipun tadi Ibu Esther sudah singgung tidak ada lagi minat atau kenikmatan dalam mengerjakan semua itu.

ET : Mungkin berarti orang-orang yang seperti ini sepertinya masih berfungsi, tetapi mungkin sebenarnya bensinnya sudah tidak ada.

PG : Betul, jadi mereka seperti robot mengerjakan tugas sehari-hari, namun tidak ada lagi sukacita, sukacita itu benar-benar sudah terhilang dalam hidupnya. Mood orang-orang yang depresi, bak yang berat maupun yang lebih ringan biasanya di bawah murung, berat perasaannya.

Tanda-tanda lainnya misalnya adalah keresahan yang luar biasa, bawaannya tegang. Dan pada depresi yang sudah berat kita akan bisa lihat penampakan wajahnya yang kaku sekali, nah ini mungkin susah saya jelaskan. Tapi wajah kita ini wajah yang sebetulnya fleksibel, lentur, bisa senyum, tertawa, cemberut atau apa. Tapi orang yang terkena depresi berat wajahnya itu tidak lagi lentur, tidak lagi mempunyai ekspresi. Penampakannya hanya satu, benar-benar seperti kulit saja yang begitu keras menempel di wajah orang itu, kaku sekali, biasanya juga sorot matanya kosong dan hanya menatap pada satu arah meskipun tidak ada yang ditatapnya. Bisa orang ini tidur terus-menerus, tapi bisa juga jalan mondar-mandir namun kalau tidur tidak pernah merasa pulas. Jadi tidak pernah dia bangun tidur berkata saya senang karena telah tidur dengan nyenyak, dia tidak bisa berkata seperti itu. Sebab meskipun ia tidur, di dalam dirinya itu terjadi gejolak-gejolak yang membuat dia sangat tegang.
(3) GS : Tadi Pak Paul katakan ada orang-orang yang memang rentan terhadap depresi, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Selain dari faktor fisik yang tadi telah kita singgung, memang ada gangguan depresi yang muncul akibat fungsi di otak kita. Yang lebih umum juga adalah depresi itu disebabkan oleh kondii kehidupan kita, nah ini bisa menyerang siapapun yaitu pada waktu tekanan hidup terlalu berat dan kita tidak sanggup lagi untuk memikulnya.

Di sini saya perlu perjelas ada 2 tipe orang, yang pertama adalah ada orang yang memang daya tahannya lemah sehingga waktu menanggung beban yang sedikit terlalu berat dia roboh, dia mengalami depresi. Ada orang-orang normal yang biasa mempunyai daya tahan yang kuat, namun terpukul terus-menerus oleh hempasan-hempasan dalam hidup ini sehingga akhirnya dia roboh. Jadi dapat saya simpulkan bahwa pada umumnya depresi itu disebabkan oleh karena ketidakseimbangan, ketidakseimbangan antara tekanan hidup dan daya tahan untuk menanggungnya. Sewaktu terjadi kepincangan hasil akhirnya adalah depresi.
GS : Tetapi itu kalau kita bicara tentang daya tahan Pak Paul, sebenarnya seseorang bisa melatih dirinya atau mempersiapkan dirinya, nah apakah itu juga dimungkinkan?

PG : Sangat dimungkinkan, jadi ada orang-orang yang terlatih Pak Gunawan, menahan pukulan hidup bertubi-tubi namun tetap bisa berlangsung dan bertahan. Tapi ada orang yang memang kurang terltih, contohnya misalnya dia hidup dalam kecukupan, ketersediaan semua diberikan tidak perlu berjuang dan semuanya itu begitu mudah buat dia.

Bisa jadi orang seperti ini, tatkala mengalami misalnya kegagalan yang dia tidak harapkan bisa roboh, langsung roboh dan kita bertanya-tanya kenapa bisa seperti ini? Ya karena daya tahannya itu lemah, orang itu memang tidak terlatih.

ET : Sebaliknya saya menjadi tertarik dengan yang Pak Paul katakan, masalah fisik tentang senyawa kimia serotonin, apakah pasti orang-orang yang punya masalah dengan senyawa tersebut artinya akan selalu menjadi orang yang daya tahannya lemah?

PG : Betul Bu Esther, jadi ada orang-orang yang memang kita katakan dicenderungkan secara fisik untuk lebih rentan terhadap depresi, yaitu memang orang-orang yang level serotoninnya itu kurag atau lemah.

ET : Maksud saya kalau memang kita mengetahui punya kecenderungan seperti itu apakah memungkinkan misalnya dengan mengubah, ada sesuatu yang diubah dalam hidup yang membuat secara fisik memang punya kekurangan tetapi tetap mempunyai daya tahan, Pak Paul?

PG : Saya kira sangat dimungkinkan. Jadi pengalaman hidup, pelatihan, dukungan-dukungan orang untuk kita terus berjuang, tidak mudah menyerah itu akan berpengaruh secara positif terhadap perumbuhan diri kita, sehingga kita lebih bisa menanggung tekanan hidup ini.

Memang depresi itu dapat dikatakan karena faktor keturunan meskipun tidak semua kasus. Dan yang namanya faktor keturunan harus saya perjelas di sini yaitu bukan seperti penyakit darah tinggi yang diturunkan secara langsung, depresi itu kalau diturunkan faktornya itu sangat kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit fisik lainnya, nah jadi itu yang harus kita perhatikan. Tapi memang kalau orang itu rentan karena misalnya salah satu orang tuanya pernah terserang depresi yang berat, nah dia juga harus berhati-hati. Dia harus bisa mendeteksi kalau tekanan hidup itu mulai tidak tertanggungkan, dia harus bisa mengenali kemampuannya untuk menahan daya tekanan dari luar itu. Kalau dia tidak bisa mengenali kemampuannya atau keterbatasannya, takutnya waktu dia harus menanggung kehidupan yang seperti itu akhirnya benar-benar bisa roboh.

ET : Jadi kuncinya pengenalan terhadap kondisi, latar belakang keluarga dan diri sendiri ya, Pak Paul?

PG : Betul, jadi semakin kita bisa mengenal daya tahan kita, kita semakin bisa mempertahankan keseimbangan hidup ini. Jadi yang ingin saya garis bawahi di sini adalah keseimbangan hidup. Baha yang keluar itu harus sesuai dengan yang masuk, kalau kita terlalu banyak menerima tekanan-tekanan dan tidak ada yang bisa kita bagikan keluar akhirnya terjadilah ketidakseimbangan.

GS : Di dalam Alkitab ada suatu kisah, kisah Elia yang mungkin kalau sekarang kita sebut saja mengalami depresi ya, nah sebenarnya penyebabnya itu apa Pak Paul?

PG : Elia pada saat itu merasa sendirian, dia belum pernah merasa sendirian seperti itu maka tatkala dia sadari tidak ada lagi orang Israel yang masih menyembah Allah dia merasa sangat sendiian.

Lalu Izebel, istri Ahab mengeluarkan ancaman untuk membunuhnya. Yang menarik adalah dia sendiri berani menghadapi Ahab, rajanya dengan menghadapi lebih dari 400 nabi-nabi Baal dan Asyera. Tapi waktu menerima ancaman dari Izebel dia sangat ketakutan, kenapa dia bisa ketakutan diancam untuk dibunuh oleh Izebel itu, pada intinya adalah pada saat itu Elia merasa tidak ada lagi yang menopang dia, dia sangat sendirian, dia berjuang sendirian. Akhirnya dia terkena depresi dan rupanya dalam keadaan tegang sekali dia harus melarikan diri karena fisiknya melemah. Dalam keadaan fisik yang begitu melemah, pikiran itu bukan makin jernih malah makin tercemar, malah makin tidak rasional dia makin lari ketakutan. Maka waktu Tuhan mengunjungi Elia, yang pertama dia lakukan bukannya memarahi Elia atau memberi khotbah kepada Elia, Tuhan mengirimkan malaikat untuk memberikan makan pada Elia. Jadi di situ kita bisa melihat Tuhan memang mau menyeimbangkan hidup Elia lagi, setelah itu dia melarikan diri ke Gunung Horeb dan di sana Tuhan seolah-olah membiarkan dia beristirahat.
GS : Kemenangan yang dirasakan sebelum itu pasti dibanggakan, apakah itu tidak berdampak apa-apa di dalam dirinya?

PG : Yang menarik adalah rupanya tidak, jadi sewaktu kita mengalami depresi sungguh-sungguh kita ini tidak bisa mengingat hal-hal positif yang telah terjadi dalam hidup kita. Kecenderungan kta menegatifkan semua yang pernah kita alami secara positif.

Sungguh-sungguh, misalnya kita mencoba untuk meyakinkan orang yang depresi bahwa kita semua masih mencintai dia, dia akan tetap memfokuskan pada satu, dua orang yang mungkin tidak menunjukkan rasa simpatik kepadanya. Meskipun kita katakan kami mencintaimu, dia tetap akan berkata tidak, ada yang tidak menyukai saya. Jadi salah satu gejala yang umum atau pola pikir yang sering kali terdapat pada orang-orang yang depresi adalah pola pikir yang cenderung menegatifkan semua pengalaman, jadi dipukul rata dan kemudian dinegatifkan.

ET : Dan tentang pola pikir ini rasanya memang juga sudah terbentuk sejak kecil Pak Paul, dalam arti memang orangnya cenderung pesimis atau cenderung melihat yang negatif daripada positif, cara seperti ini yang terbawa sampai besar sehingga membuat dia menjadi lebih mudah depresi ya?

PG : Nah ini yang saya terus terang, Bu Esther, belum bisa pastikan apakah pola ini dapat ditemukan pada semua penderita depresi. Sebab saya juga pernah bertemu dengan para penderita depresiyang menurut pengakuan mereka waktu belum terkena depresi mereka orang-orang yang justru sangat positif, bersemangat, optimistis dalam hidup ini.

Namun memang tatkala terkena depresi, semua hal tiba-tiba menjadi sangat buruk, tidak ada lagi yang positif yang bisa diingatnya.
GS : Tapi mungkin juga lingkungan Pak Paul, tempat dia berada entah itu lingkungan pekerjaan atau keluarga yang mengitarinya memang bisa mengubah seseorang seperti itu.

PG : Apa maksud Pak Gunawan?

GS : Tadinya dia memang seseorang yang tabah, tapi masuk di suatu lingkungan yang tidak mendukung dia atau tidak membuat dia merasa aman dan sebagainya, apakah mungkin itu juga melemahkan daya tahannya terhadap tekanan-tekanan kehidupan itu?

PG : Sangat mungkin Pak Gunawan, jadi waktu seseorang merasa dipenjara oleh lingkungannya yang sangat buruk, reaksi depresi itu sangat umum. Jadi ini yang sering kali ditemui pada para tahann perang, mereka itu salah satu cara yang digunakan oleh para tentara untuk bisa mematahkan semangat tahanannya adalah dengan cara memisahkan para tahanan itu dari teman-temannya.

Sebab mereka tahu bahwa kalau disatukan dengan teman-teman, ini saling menguatkan sehingga resistensi mereka tambah kuat. Waktu misalnya diinterogasi atau apa mereka masih bisa bertahan, namun waktu mereka dipisahkan dan harus sendirian tiba-tiba yang terlihat adalah daya tahan mulai berkurang atau melemah. Jadi lingkungan memang sangat berperan besar di sini Pak Gunawan, ada orang-orang yang misalnya sebelum menikah hidup sangat kuat, positif, bekerja dengan baik kemudian memasuki pernikahan dan akhirnya pernikahan itu berubah menjadi sangat buruk. Tapi dia tidak bisa lepas dari penderitaan itu, dia harus hadapi hari lepas hari, akhirnya yang muncul adalah depresi.
GS : Ya saya rasa memang tepat sekali apa yang kita baca di dalam Alkitab, misalnya yang mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan persekutuan karena kita saling membutuhkan.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kalau orang itu dibawa oleh emosinya atau dorongannya untuk mengucilkan diri dan menolak untuk berkumpul dengan orang, keadaannya makin memburuk. Atau adkalanya justru memang lingkungan yang menolak karena dia biasanya dikenal sebagai orang yang kuat tiba-tiba sekarang roboh, lingkungan tidak bisa menerima dan membiarkannya sendirian, nah itu bahaya sekali.

Bahaya karena salah satu hal yang akan muncul dalam penderita depresi adalah keinginan mengakhiri hidup, jadi sekali lagi penting lingkungan itu bisa menjaga dengan baik-baik, mengawasi terus-menerus sehingga kesempatan untuk mengakhiri hidup itu bisa dihilangkan.

ET : Pak Paul, apakah pernah ditemukan sejauh mana hubungan antara orang yang cenderung introvert dengan kecenderungan depresi ini?

PG : Saya sudah melihat kasus yang dua-duanya Bu Esther, jadi ada orang yang introvert terkena depresi tapi juga ada orang yang ekstrovert terkena depresi, dua-duanya ada. Waktu sembuh dari epresi yang introvert ya tetap introvert, yang ekstrovert keluar ekstrovertnya.

ET : Jadi tidak berarti hanya orang-orang yang introvert punya kecenderungan mempunyai depresi ya?

PG : Tidak, jadi memang faktor introvert atau ekstrovert sebetulnya tidak begitu berpengaruh dalam hal depresi. Yang lebih berpengaruh sebetulnya adalah bagaimana seseorang melihat dirinya, enghargaan dirinya kalau negatif dari awalnya ya dia akan lebih rentan terhadap depresi.

Atau tadi Pak Gunawan sudah singgung, kalau dia terlalu menikmati kemudahan dalam hidup sehingga tidak terlatih untuk kuat menahan gempuran hidup ini, nah dia lebih mudah roboh. Yang lainnya adalah anak-anak yang dalam rumah tangganya dulu diperhadapkan dengan begitu banyak konflik antara orang tua, penuh ketegangan terus-menerus, nah dia akan membawa ketegangan yang besar dalam dirinya. Nah itu adalah benih depresi, sebab depresi itu sebetulnya kalau saya boleh umpamakan buah ketegangan yang sudah masak. Jadi ketegangan itu buahnya sedangkan kalau sudah masak itulah depresi.
GS : Memang ada banyak hal di dalam kehidupan seperti Pak Paul tadi bacakan di dalam Alkitab, yang kurang kita mengerti dan tidak bisa kita ketahui semuanya. Tetapi saya percaya bahwa masih ada harapan orang-orang yang mengalami depresi itu untuk bangkit dan meninggalkan kedepresiannya. Mungkin secara singkat Pak Paul bisa uraikan bagaimana itu?

PG : Saya tahu bahwa pada waktu kita mengalami depresi, Pak Gunawan, orang itu tidak lagi melihat cahaya, tidak melihat bahwa ada pengharapan. Jadi benar-benar yang dipikirkan adalah hidup ii sudah tidak ada lagi gunanya dan akan lebih baik kalau saya menyingkir dari hidup.

Sebab saya sudah menjadi beban buat lingkungan keluarga saya, buat orang-orang yang saya kasihi, nah buat apa saya menambah beban hidup mereka. Jadi saya mau menyampaikan pesan kepada para pendengar kita yang mungkin sedang menderita depresi pada saat ini. Pertama saya minta untuk Anda, jangan berpikir bahwa Anda hanyalah menambahkan beban pada orang, sebab orang di sekitar Anda justru ingin Anda sembuh, ingin kembali seperti semula. Mereka ingin menolong Anda jadi jangan menambah kesulitan mereka dalam menolong Anda. Dan yang kedua meskipun Anda sulit untuk percaya pada orang, pada nasihat-nasihat tapi dengarkanlah nasihat-nasihat orang, pergilah ke dokter kalau memang itu yang diperlukan, makanlah obat secara teratur dan carilah orang yang bisa membantu memberikan petunjuk-petunjuk dan yang ketiga adalah selalu berharap pada Tuhan, sebab Tuhan tidak meninggalkan orang yang dalam kesusahan. Firman Tuhan berkali-kali berkata: "Dia adalah penolong dalam kesesakan," orang yang depresi adalah orang yang sesak, nafaspun tidak enak, nah Dia berjanji Dialah penolong bagi orang yang dalam kesesakan. Nah ini dikatakan oleh firman Tuhan di Amsal 21:18 "Rancangan terlaksana oleh pertimbangan, sebab itu berperanglah dengan siasat." Kalau saya boleh terjemahkan dengan sederhana, hiduplah dengan keseimbangan, pertimbangkan semuanya, rencanakan hidup ini jangan hidup sepertinya tidak ada aturan dan tidak ada pertimbangan. Hiduplah dengan penuh pertimbangan bisa menghindarkan diri kita dari depresi.

GS : Saya percaya memang masih ada banyak segi yang perlu kita bicarakan mengenai depresi ini, mungkin kita bisa siapkan ini untuk pembicaraan yang mendatang. Jadi kita menghimbau para pendengar kita agar bisa mengikuti terus acara Telaga ini, sehingga mendapat gambaran yang lebih jelas lagi tentang depresi ini. Dan saudara-saudara pendengar demikian tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengenal Depresi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



5. Transformasi Karakter


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T134A (File MP3 T134A)


Abstrak:

Transformasi karakter bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar melainkan sesuatu yang dihasilkan dari dalam. Yang merupakan hasil dari penyerahan hidup kepada Tuhan.


Ringkasan:

Firman Tuhan mengatakan bahwa kita adalah ciptaan baru, "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru, yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17) Pertanyaannya ialah, mengapakah "ciptaan yang lama" masih ada pada diri kita? Dengan kata lain, mengapakah sukar buat kita berubah?

Ada dua penyebab mengapa kita tidak mudah berubah meski telah menjadi orang percaya.

  1. Penyebab I: Kesalahpahaman pengertian akan firman Tuhan. Kita menganggap perubahan itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab Roh Kudus. Kitalah yang bertanggung jawab untuk mengubah diri kita, bukan Roh Kudus. Firman Tuhan berkata, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2)

    Transformasi karakter bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar melainkan sesuatu yang dihasilkan dari dalam. Firman Tuhan berkata, " Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1) Transformasi karakter merupakan hasil penyerahan hidup: makin berserah atau taat, makin berubahlah karakter kita.

  2. Penyebab II: Karakter sukar berubah sebab terkait erat dengan diri kita. Sebagian besar problem kejiwaan bersumber dari karakter manusia. Misalnya, ketergantungan pada narkoba dan gangguan relasi berhubungan dengan karakter. Itu sebabnya masalah-masalah ini tidak mudah hilang.

Kalau begitu, apakah dan seberapa besarnyakah peran Roh Kudus dalam pembentukan karakter kita?

  1. Pertama, Roh Kudus menunjukkan kepada kita kehendak Allah: apa yang baik dan sempurna, apa yang berkenan kepada Allah. (Roma 12:2)

  2. Kedua, Roh Kudus menyediakan kekuatan kepada kita yang menaati-Nya. Firman Tuhan berkata, "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami." (2 Korintus 4:7)

Langkah Awal Menuju Pemulihan

  1. Mengakui bahwa kita bermasalah.
  2. Menerima pertolongan baik dari Tuhan maupun sesama.
  3. Menaati kehendak Tuhan sedikit demi sedikit dan sehari lepas sehari.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini berjudul "Transformasi Karakter", kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, perbincangan kali ini kita beri judul yang mungkin agak asing bagi sebagian pendengar dan kita sendiri, transformasi karakter sebenarnya apa itu Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, yang melatarbelakangi topik ini adalah sebuah pertanyaan yaitu mengapakah kita ini sukar berubah. Bukankah kita sebagai orang percaya kita sudah menerima Yesus sebagai uhan kita, kita mengundangnya masuk menjadi Tuhan dalam hidup kita dan kita meyakini firman Tuhan yang diambil dalam 2 Korintus 5:17 yang berbunyi: jadi siapa yang ada di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru, yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.

Nah pertanyaannya adalah kenapa ciptaan yang baru itu lama datangnya. Kita yang lama masih terus bercokol, jadi itu sebabnyalah pada saat ini kita mengangkat topik bagaimanakah caranya mengubah atau menstranformasi karakter kita sewaktu kita sudah menjadi percaya.
GS : Pengertian karakter itu sama atau tidak dengan sifat itu Pak?

PG : Sama, jadi memang ada beberapa istilah yang digunakan untuk makna yang sama ya bisa itu sifat, bisa itu kepribadian dan bisa itu karakter.

WL : Pak Paul waktu menyebutkan di II Korintus 5:17 itu saya ingat masa ketika saya baru lahir baru ya itu salah satu ayat hafalan saya yang benar-benar wah saya ingat sekali, tapi sekaligus membuat saya frustrasi. Di rumah saya masih sering marah-marah Pak Paul. Di rumah misalnya sedang menghadapi apa yang tidak menyenangkan saya misalnya konflik dengan orang tua atau apa begitu terus saya jadi berpikir kenapa saya kok tidak berubah, katanya kita sudah ciptaan baru dan itu juga suka disindir di rumah atau teman atau siapa, pusing kepala juga Pak Paul, jadi kaitannya bagaimana Pak Paul, bisa tolong jelaskan?

PG : Yang pertama ini Bu Wulan, kita mesti jelas dulu waktu kita membicarakan tentang perubahan. Sebetulnya perubahan apakah yang memang sewajarnya terjadi dalam diri kita setelah kita menjadi rang percaya.

Ayat yang akan saya ambil adalah ayat di Roma 12:2 ini menjadi dasar diskusi kita. "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." Firman Tuhan berkata berubahlah oleh pembaharuan budimu. Nah kata budi sebetulnya berasal dari kata pikiran, dengan kata lain perubahan seharusnya terjadi di daerah rasional atau di daerah sudut pAndang, cara melihat situasi atau cara bersikap, cara memberikan reaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita. Nah pola pikir itulah yang seharusnya berubah, jadi waktu tadi ibu Wulan berkata pada masa-masa awal setelah pertobatan ibu juga tetap bergumul dengan sifat yang sama dan sebagainya, nah sebetulnya dalam pengertian ini Ibu Wulan, reaksi-reaksi marah itu, emosi-emosi tersebut sesungguhnya adalah efek atau buah dari cara pAndang. Karena asumsinya, begitu cara pAndang berubah maka emosi yang menyertai cara pAndang tersebut juga akan berubah. Kita misalkan tidak lagi melihat bahwa orang tua kita atau keluarga kita sengaja menjengkelkan kita, kita akan mengubah cara pAndang kita dan berkata bahwa o.......mereka bukannya sengaja menjengkelkan kita, tapi itulah kelemahan mereka. Nah waktu kita mengubah cara pAndang itu, maka akan berubah pulalah reaksi emosional yang sebelumnya menyertai cara pikir kita.
GS : Padahal cara pAndang itu bukankah sudah terpola sedemikian lama di dalam diri kita itu Pak Paul?

PG : Betul sekali, cara pAndang sudah tercetak dalam benak kita, nah untuk mengubahnya akan memerlukan waktu. Sudah tentu akan ada hal-hal yang lebih mudah berubah, yang mudah mengelupas saya gnakan istilah itu ya, tapi ada hal-hal yang sukar mengelupas, nah mungkin ini nanti yang akan lebih kita fokuskan Pak Gunawan, yang sukar kok tidak mudah untuk mengelupas.

WL : Waktu disebut ada yang butuh waktu, ada yang lebih gampang begitu berarti ada proses. Ada kaitannya atau tidak Pak Paul kalau saya kaitkan dengan "pola kerjanya" Tuhan lebih ke arah proses bukan yang instan. Misalnya setiap bayi yang lahir saya belum pernah mendengar begitu lahir langsung dewasa, pasti melewati masa kanak-kanak, remaja, pemuda sampai dewasa, ada tahapan selalu ada proses. Apakah seperti itu, terus waktu bangsa Israel keluar dari Mesir ke tanah Kanaan juga ada maksud lain untuk membentuk bangsa Israel yaitu diputar dulu. Sebenarnya Tuhan 'kan Maha Kuasa kalau mau merubah memakai jalan pintas, tapi tidak, selalu ada proses apakah ada kaitannya dengan itu Pak Paul?

PG : Tepat sekali, kadang-kadang Tuhan bekerja dengan cara supernatural, cepat sekali, tapi kebanyakan Tuhan akan bekerja melalui proses yang lebih alamiah. Saya berikan contoh, saya teringat aa teman saya sewaktu bertobat dia langsung berdoa meminta Tuhan memutuskan keterikatannya pada rokok dan seketika rokok itu lepas, dia tidak pernah lagi merokok sama sekali.

Tapi juga ada orang-orang dan ini yang lebih banyak, setelah bertobat meminta Tuhan melepaskannya dari rokok tapi tidak langsung lepas nah yang lebih sering terjadi adalah mereka harus bergumul melewati proses yang panjang, jatuh bangun untuk supaya bisa berhenti merokok.
GS : Ya tadi yang Pak Paul kutib dari rasul Paulus, pengalaman rasul Paulus sendiri bagaimana Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, rasul Paulus juga membagikan pergumulannya, dia tidak membagikan kemenangan yang seketika. Misalkan kalau kita membaca Roma 6-7, rasul Paulus membagikan pegumulannya dengan hal-hal yang tetap mengganggunya.

Dia tidak selalu bisa mengerjakan hal yang dia tahu baik, dia tidak selalu bisa menahan diri tidak melakukan hal yang tidak baik, dengan kata lain Paulus dengan jujur mengatakan diapun harus melewati proses pertumbuhan jatuh bangun, bergumul untuk bisa melepaskan bagian-bagian tertentu dalam hidupnya. Jadi transformasi karakter dalam diri Paulus pun harus berjalan melewati proses waktu.
GS : Ya mungkin di situ ada salah pengertian Pak Paul, ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa seseorang harus lahir baru, bukankah kelahiran itu terjadi seketika, tidak sedikit lalu lain waktu sedikit, itu gimana Pak Paul?

PG : Setuju sekali Pak Gunawan, saya kira kesalahpahaman pemahaman akan firman Tuhan saya kira salah satu penyebab mengapa transformasi karakter tidak terjadi. Nah firman Tuhan yang telah kita aca tadi di Roma 12:2 menegaskan bahwa tanggung jawab berubah ada pada pundak kita bukan pada pundak Roh Kudus.

Sering kali kita beranggapan karena kita adalah Bait Allah, tubuh kita adalah tempat di mana Allah sekarang tinggal, maka Allahlah yang akan mengerjakan semua perubahan itu pada diri kita, tidak demikian. Justru firman Tuhan berkata berubahlah, jadi firman Tuhan meminta kita berubah. Jadi sekali lagi saya ingin tegaskan tanggung jawab mengubah diri terletak pada kita sendiri. Yang berikutnya yang berkaitan dengan ini juga adalah kita sering kali menganggap bahwa Tuhan akan mengirimkan kuasa-Nya dari luar diri kita yanG akan langsung memasuki kita, mengobrak-abrik sistem hidup kita, menciptakan sesuatu yang baru dalam diri kita, tidak demikian juga. Tuhan tidak mengirimkan sesuatu dari luar diri kita untuk langsung mendobrak dan menciptakan sesuatu yang baru. Tuhan akan menggunakan sesuatu yang berasal dari dalam diri kita sendiri yang nantinya akan menyebabkan perubahan karakter, dengan kata lain transformasi karakter bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan sesuatu yang dihasilkan dari dalam. Nah firman Tuhan berkata: "Karena itu saudara-saudara demi kemurahan Allah, aku menasihatkan kamu supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah itu adalah ibadahmu yang sejati." Nah firman Tuhan meminta kita untuk menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan sebagai persembahan yang kudus dan yang hidup itu. Dengan kata lain prinsip ini yang akan terjadi Pak Gunawan yaitu transformasi karakter merupakan hasil penyerahan hidup. Makin berserah atau taat makin berubahlah karakter kita, jadi dengan kata lain kita berandil sangat besar dalam proses perubahan karakter kita ini, sangat besar sekali peranan kita yaitu peranan menyerahkan, menaati lagi, menaati lagi, menaati lagi. Nah ternyata firman Tuhan memang meminta kita begitu mempersembahkan, mempersembahkan, menyerahkan, menyerahkan. Dan ternyata waktu kita menyerahkan hidup, menaati Tuhan nah hasil dari penyerahan itu barulah perubahan karakter.
WL : Pak Paul, kalau ada orang yang akhirnya berhasil walaupun tidak sempurna melewati tahapan itu, bisa berhasil berubah apakah dia bisa berkata ini karena hasil kerja saya, hasil kerja keras saya, saya merubah semua yang ada dalam saya, saya melaksanakan tanggung jawab yang dituntut oleh Tuhan, nah apakah bisa seperti itu begitu. Terus porsinya Roh Kudus bagaimana kalau dikatakan secara kasar?

PG : OK, kadang-kadang memang kita ini terlempar ke satu kubu, satu ekstrim sehingga kehilangan keseimbangan. Nah di satu pihak memang Tuhan meminta kita berperan dalam proses perubahan karakte kita ini, kita diperbaharui menjadi seperti Kristus.

Nah kitanya berandil, jangan sampai kita mempunyai konsep Tuhanlah yang melakukan segalanya, jadi kalau saya masih belum berubah yang salah Tuhan, tidak, Tuhan meminta kitanya yang mengerjakan tugas itu. Namun kita harus menyadari bahwa kadang kala justru Tuhan itu secara tidak nyata bekerja dan memberikan kuasaNya kepada kita. Nah kita memang tidak melihatnya seperti halilintar yang turun atas kita, tapi sebetulnya di tengah-tengah pergumulan kita itu juga Tuhan bekerja. Nah tidak ada sesuatu yang terjadi di luar pekerjaan Tuhan, jadi waktu manusianya menaati Tuhan di situ juga Tuhan bekerja.
GS : Pak Paul, apakah ada penyebab yang lain selain karena kita salah mengartikan firman Tuhan, bagian tertentu dari firman Tuhan itu tentang perubahan atau transformasi karakter ini?

PG : Kadang kala ini Pak Gunawan, kenapa kita susah berubah selain dari kesalahpahaman tadi, saya kira karena karakter itu sesuatu yang melekat erat pada diri kita, karakter itu sesuatu yang meupakan bagian diri kita, siapa kita apa adanya.

Nah apakah mudah mengubah siapa diri kita apa adanya itu, saya kira memang sukar sekali. Jadi saya berikan contoh tentang misalkan tadi merokok, kenapa kok sukar melepaskan rokok memang adanya keterikatan, kecanduan pada rokok itu sendiri, namun di luar dari soal kecanduan secara fisik itu, kecanduan yang terbesar adalah kecanduan psikologisnya. Memang tubuh akhirnya menuntut adanya nikotin yang masuk, tapi sebetulnya yang paling berat adalah dalam kasus kecanduan adalah kecanduan secara psikologis. Waktu dia bingung mengerjakan sesuatu dia memerlukan rokok, waktu dia lagi rasanya tertekan, terhimpit dia memerlukan rokok, waktu dia tidak bisa berpikir dan konsentrasi dia memerlukan rokok, dengan kata lain rokok menjadi penopang hidupnya secara psikologis. Nah ini yang susah berubah sebab ini sudah menjadi bagian dari kepribadiannya, jadi kita mesti memang memaklumi bahwa transformasi karakter memerlukan waktu panjang dan usaha keras. Ini adalah siapa diri kita dan kita sudah begitu terkait dengan semuanya.
WL : Pak Paul, kalau seperti itu berarti respons gereja seharusnya menolong ya orang-orang seperti ini yang bergumul terus untuk hidup berkemenangan dan bukan mengucilkan. Tapi realitanya di dalam banyak gereja tidak seperti itu, justru yang lebih diterima, lebih maksudnya dalam pergaulan lebih "diagungkan" orang-orang yang tingkah laku agamanya bagus, itu bukan yang inside out kalau kita pinjam istilahnya Larry Crap atau siapa, bagaimana Pak Paul?

PG : Ya saya kira kecenderungannya kita di gereja memang memfokuskan pada penampilan, dan kita mau melihat yang bersih, yang indah-indah. Jadi sedikit sekali perhatian yang diberikan kepada faka yang sebetulnya menjadi isi dari penampilan itu dan isinya sebetulnya adalah dosa, pergumulan hidup ini.

Tugas kitalah sebagai hamba-hamba Tuhan berani mengangkat isi yang melatarbelakangi penampilan-penampilan yang bersih-bersih di luar itu, sehingga jemaat pun atau orang-orang Kristen lebih berani juga untuk apa adanya.
GS : Ya itu karena tadi Pak Paul katakan bahwa karakter itu memang menyatu dalam diri seseorang, menjadi bagian dalam hidupnya selama orang itu tidak menyadari bahwa itu adalah suatu karakter yang Tuhan tidak berkenan, dia akan tetap bertahan hidup di dalam karakter itu Pak Paul.

PG : Betul sekali, itu sebabnya kita selalu tetap berkata Roh Kudus berperan, kita tidak bisa melihatnya secara langsung tapi Roh Kudus berperan dalam perubahan karakter kita ini. Peranan seperi apakah yang Roh Kudus akan lakukan, yang tadi Pak Gunawan munculkan yaitu Roh Kudus memberitahukan kita apa yang benar, yang baik, yang Tuhan inginkan nah itulah yang perlu kita ketahui.

Sebab tepat sekali tadi Pak Gunawan sudah singgung, sebab adakalanya kita tidak tahu bahwa itu tidak boleh, dan itu tidak baik dan kita menganggapnya tidak apa-apa. Misalkan: o....tidak apa-apa berbohong asal tidak merugikan siapa-siapa, nah pertanyaannya nomor satu apakah tidak merugikan siapa-siapa, saya kira berbohong akan merugikan seseorang itu salah satu argumennya. Tapi yang kedua adalah bahwa memang Tuhan tidak menyetujui perilaku berbohong itu, nah Roh Kuduslah yang akan memberitahukan kita, melalui apa? Melalui firman Tuhan yang kita baca, di dalam perenungan kita akan firman Tuhanlah Roh Kudus akan mengajarkan kepada kita, ini yang Tuhan minta, ini yang merupakan stAndar Tuhan. Nah jadi peranan pertama Roh Kudus dalam perubahan karakter kita adalah memberitahukan stAndar Tuhan, apa yang Tuhan inginkan jadi kita tahu arahnya dalam perubahan karakter kita ini.
WL : Tapi Alkitab tidak memberikan semua penjelasan sampai detail Pak Paul, tidak boleh A, tidak boleh B, tidak boleh C begitu. Pak Paul, bisa atau tidak memberikan rambu-rambu untuk pendengar mengerti yang kira-kira tidak mendukakan Tuhan?

PG : Bisa kita langsung gunakan atribut Tuhan yang hakiki yaitu kekudusanNya dan kasihNya. Jadi apakah yang kita lakukan ini merupakan wujud dari kasih kepada sesama kita dan kepada Tuhan, sebak apapun yang kita lakukan tanpa kasih itu kita tahu sebetulnya Tuhan tidak berkenan, itu prinsip pertama.

Prinsip kedua adalah kekudusan Tuhan, kita selalu bisa mengecek apakah ini berdosa kalau Alkitab memang jelas katakan berdosa, sebaik apapun terdengar di telinga kita, kita tetap tidak lakukan jadi mungkin secara garis besar itu saja.
GS : Ya kalaupun Roh Kudus itu sudah memberitahukan kepada kita ini dosa, Tuhan tidak berkenan, tetapi kita itu sudah berusaha namun tetap gagal Pak Paul. Nah tetap jatuh bangun, jatuh bangun lama-lama bosa, timbul kejenuhan wah memang saya tidak bisa lepas dari satu ini, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Sekali lagi saya ingin ingatkan bahwa memang jatuh bangun merupakan prosesnya, namun pada akhirnya kita akan lebih bisa mengatasinya. Bagaimanakah kita lebih bisa mengatasinya? Kita harus erjuang untuk menaati Tuhan, tidak selalu berhasil tapi kita harus berjuang menaati Tuhan.

Firman Tuhan di 2 Korintus 4:7 berkata: "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, (nah Paulus menggunakan metafora diri atau tubuh kita ini sebagai bejana tanah liat) supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah bukan dari diri kami". Dengan kata lain kekuatan untuk hidup seperti yang Tuhan kehendaki berasal dari Tuhan sendiri. Nah tapi jangan salah sangka dan berkata waktu kita menjadi orang percaya kita mendapatkan transfer kekuatan itu langsung dari Tuhan, tidak. Harus ada kuncinya, dengan kata lain kita ini hendak memasuki rumah kita mesti ada kuncinya, kita ingin menjalankan mobil yang mempunyai kekuatan itu untuk berjalan perlu ada kuncinya, nah kuncinya adalah ketaatan. Kalau kita taat mobil itu berjalan, kekuatan itu bisa didayagunakan, kalau kita taat kekuatan Roh Kudus itu baru berfungsi, kalau kita tidak taat kekuatan dari Roh Kudus itu tidak berfungsi juga. Nah dua-duanya ini berjalan pada saat yang sama, waktu manusia berkata saya mau taat, di titik itu, di detik itu jugalah kekuatan dari Roh Kudus masuk dan menolong. Tapi waktu manusia berkata ah saya tidak mau, saya tidak bisa ah, di situ jugalah kekuatan dari Roh Kudus berhenti berfungsi. Jadi keduanya bekerja pada detik yang sama.
GS : Pak Paul, orang yang sudah lahir baru, orang yang sudah mulai mengalami transformasi karakter, apakah dia bisa menyadari bahwa sedang terjadi sesuatu dalam dirinya.

PG : Saya kira kalau dia terus berusaha mencari Tuhan, membaca firman Tuhan, dia makin menyadari problem-problem yang masih tersisa dalam hidupnya karena sekali lagi Roh Kudus akan memberitahuknnya, Roh Kudus akan berkata kepada kita: "O...o...kamu

tadi tidak jujur, o....o....kamu tadi tidak tulus, o........o.....kamu tidak mengatakan yang sebenarnya, Roh Kudus akan memberitahukan kepada kita, itu kerja Roh Kudus. Nah apa yang harus kita lakukan waktu Roh Kudus memberitahu kita, mengakuinya. Maka langkah pertama selalu waktu menghadapi hal-hal seperti ini kita harus mengakui ya saya salah, ya saya punya problem, ya memang saya kurang bisa mengasihi, ya memang saya masih dengki, masih suka iri dan sebagainya, kita mesti mengakui problem kita itu.
WL : Pak Paul, kalau kita sudah mengakui bahwa kita memang bermasalah tetapi ada masalah-masalah tertentu yang misalnya ada kaitannya dengan latar belakang keluarga kita. Misalnya ada moment tertentu di masa kecil yang menyebabkan kita agak sulit melepaskan sifat jelek ini. Nah Pak Paul kira-kira memberikan pedoman bagaimana?

PG : Kalau kita sudah bisa mengakui saja bahwa saya mempunyai masalah ini, yang kedua memang kita harus merendahkan hati untuk meminta pertolongan. Nah seberat apapun problem kita terkait denga masa lalu kita atau apa kita mesti memberanikan diri meminta pertolongan baik itu dari Tuhan maupun dari sesama.

Saya sering kali melihat, yang menghalangi kita mendapatkan kesembuhan salah satunya adalah kita angkuh, kita gengsi, kita malu cerita, kita malu membuka diri karena misalkan masalah ini terkait dengan keluarga kita dulu. Jadi prinsipnya adalah bersedialah meminta bantuan, jangan sampai kita mengeraskan hati berkata saya bisa lakukan ini semuanya, tidak. Minta Tuhan menolong kita dan terbuka dengan cara Tuhan menolong kita. Yang sering kali Tuhan lakukan memakai orang-orang lain menolong kita pula.
GS : Langkah berikutnya apalagi Pak Paul?

PG : Prinsip yang terakhir ini Pak Gunawan, tadi saya sudah singgung sedikit yaitu menaati kehendak Tuhan sedikit demi sedikit dan sehari lepas sehari. Yaitu kalau kita belum bisa mengampuni pebuatan misalnya seseorang yang sangat keterlaluan, ok hari ini minta Tuhan menolong kita mengampuni perbuatannya yang lain yang menyakiti kita, tapi kadarnya lebih ringan.

Jadi selalu maju meskipun langkah kita sedikit, kecil, tidak apa-apa. Kadang kala kita duduk terdiam tidak bisa maju karena memikirkan langkah besar yang harus kita ambil dan kita merasa tidak mampu, jangan. Lakukan sedikit demi sedikit, tidak bisa mengampuni perbuatan yang sangat buruk kepada kita, mulailah mengampuni hal-hal yang buruk, yang tidak terlalu besar yang pernah menimpa kita itu. Jadi prinsipnya lakukan meskipun hanya sedikit. Kita belum bisa memberikan misalkan persembahan satu juta, Tuhan tidak minta kita memberikan persembahan 1 juta, mulai dengan seribu perak, mulai dengan seperti itu. Jadi menaati Tuhan sedikit demi sedikit dan hari lepas hari, artinya hari ini kita taati, sudah, jangan pikirkan besok bisa atau tidak ya, saya harus konsekuen besok-besok juga harus begini, tidak, hitung saja hari ini cukup.
GS : Yang penting itu ada langkah awal yang harus dilakukan.

PG : Betul sekali Pak Gunawan.

GS : Jadi saya rasa menarik sekali perbincangan kita kali ini Pak Paul, dan terima kasih untuk kesempatan yang diberikan kepada kita juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian yang telah setia mengikuti acara ini kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Transformasi Karakter". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



6. Lima Faktor Kepribadian Sehat


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T165B (File MP3 T165B)


Abstrak:

Ada lima karakteristik kepribadian sehat yang dibahas, yaitu neurotisisme, ekstraversi, keterbukaan terhadap pengalaman hidup, "agreeableness" dan hidup penuh tanggungjawab.


Ringkasan:

Ada banyak cara mengukur berapa sehat tidaknya kepribadian seseorang, salah satunya adalah melalui lima karakteristik berikut ini:

  1. Neurotisisme: Faktor ini merujuk kepada kesanggupan orang menanggung tekanan hidup. Orang yang bermasalah adalah orang yang memiliki tuntutan yang tidak realistik sehingga rawan terhadap stres bila keinginannya tidak tercapai. Akibatnya ia rentan terhadap depresi dan kemarahan. Kerap kali ia dibuat lumpuh oleh masalahnya atau, ia akan menyalurkan stres itu ke tubuhnya yang membuatnya sakit-sakitan. Sebaliknya, orang yang sehat adalah orang yang mampu menahan stres tanpa harus dikuasai oleh kecemasan yang berlebihan.

  2. Ekstraversi: Faktor ini merujuk kepada keterbukaan orang dengan dirinya termasuk pikiran dan perasaannya. Ia sanggup mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan tepat dan bebas sehingga mampu membangun relasi yang dalam dengan sesama. Ia memiliki energi yang tinggi dan mudah bersukacita, ia hangat dan menyenangkan.

  3. Openness to Experience: Faktor ini merujuk kepada semangat untuk hidup dan keterbukaan terhadap pengalaman hidup. Ia tidak takut pada pengalaman baru, bersedia mencoba pengalaman yang baru, dan mengizinkan diri untuk menghayati pengalaman hidup sepenuhnya. Ia terbuka terhadap reaksi perasaannya dan cenderung imajinatif.

  4. Agreeableness: Faktor ini merujuk kepada karakteristik yang lembut, baik hati, mudah percaya, ringan tangan, dan pemaaf. Lawan dari karakteristik ini adalah antagonistik-sinis, kasar, penuh curiga, sukar kerja sama, mudah marah, dan manipulatif.

  5. Conscientiousness (Tanggung jawab): Faktor ini merujuk kepada orang yang mampu menjalankan hidupnya dengan penuh tanggung jawab. Ia memiliki komitmen pada kewajibannya dan sanggup memenuhinya. Ia mempunyai tujuan hidup yang jelas dan target yang dapat dicapainya. Orang ini tidak mudah menyerah dan berdisiplin diri.

Firman Tuhan: "Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih." (1Korintus 13:13)

Kesimpulan: Orang yang sehat adalah orang yang beriman, berpengharapan, dan mengasihi.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Lima Faktor Kepribadian Sehat". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, banyak orang menaruh perhatian besar terhadap kesehatan tubuhnya, tetapi tentang kepribadiannya sendiri sebenarnya juga dibutuhkan sehat supaya menjadi orang yang utuh, begitu ya, Pak Paul. Apakah ada cara bagaimana kita bisa mengetahui kepribadian saya ini sehat atau tidak, begitu Pak Paul. Kalau kita sedang sakit jasmani terasa, sedang flu atau apa, kalau kepribadian ini bagaimana mengukurnya, Pak Paul?

PG : Nah untungnya ada, Pak Gunawan, sebagaimana kesehatan fisik atau jasmani itu dapat ditentukan berdasarkan tolok ukur tertentu, misalkan suhu badan sampai titik berapa itu sehat, terlalu paas atau terlalu dingin berapa, itu tidak sehat.

Nah kesehatan jiwa juga masih bisa diukur meskipun standardnya itu lebih relatif tidak selugas seperti ilmu medis. Ada beberapa hal yang bisa dilihat, dijadikan tolok ukur. Dalam sejarahnya, kepribadian manusia itu diteliti dan diteliti terus oleh para ahli jiwa, misalkan dulu sekali dikatakan ada tiga point besar, ada tiga tolok ukur besar terus belakangan berkembang menjadi 16 tolok ukurnya. Itu menjadi sifat atau karakter yang dilihat dalam sebuah kepribadian. Yang saya akan ungkap pada saat ini adalah lima yang mencakup hampir semua ciri-ciri kepribadian manusia. Dari lima ini kita bisa menimbang-nimbang berapa sehat atau tidak sehatnya kita. Yang pertama adalah yang disebut neurotisme dari kata neurotis, ini sebetulnya kata yang berarti kesanggupan orang untuk menanggung tekanan hidup. Artinya berapa rentannya dia terhadap stres, misalkan orang yang neurotisismenya tinggi adalah orang yang memiliki tuntutan yang tidak terlalu realistik sehingga dia rawan terhadap stres bila keinginannya tidak tercapai. Dia juga rentan terhadap depresi dan kemarahan karena yang diinginkannya tidak terjadi. Kerap kali ia dibuat lumpuh oleh masalahnya ini atau ia mungkin saja menyalurkan stresnya itu ke tubuhnya yang membuat dia sering sakit-sakitan. Orang yang sehat adalah orang yang mampu menahan stres tanpa harus dikuasai oleh kecemasan yang berlebihan. Jadi memang istilah neurotisisme mengacu kepada semua ini ciri-cirinya. Semakin tinggi neurotisismenya berarti semakin rentan dia terhadap stres, semakin mudah kacau, semakin mudah tidak bisa terfokus lagi menghadapi masalah, mungkin emosinya turun naik, mudah marah meletup-letup atau ambruk, depresi. Itulah kalau kita mau melihat sehat atau tidaknya orang dari salah satu faktor ini.
WL : Sulit juga ya menentukan seseorang itu sanggup menahan tekanan hidup atau tidak, karena secara umumnya kelihatannya OK waktu dapat masalah tertentu, tapi sebenarnya dia telan, dia tekan di-represi, dan tahunya beberapa tahun kemudian ada masalah tidak sebesar itu tapi benar-benar tiba-tiba seperti memukul dia dan "bleg" tiba-tiba depresi berat. Yang saya tahu dari beberapa masalah orang yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa, banyak di antara mereka yang ini, Pak Paul, hanya karena (bagi saya) masalahnya tidak terlalu besar, jadi misalnya sudah kuliah di Universitas terkenal terus sampai semester ke berapa saya lupa dianggap tidak bisa lanjut, pada saat itu tiba-tiba depresi berat. Secara umum orang akan melihat, masa masalah begitu saja kamu tidak kuat/sanggup. Cukup menarik, Pak Paul.

PG : OK, itu point yang bagus sekali, Bu Wulan, maka yang nanti kita harus lihat adalah sejarahnya, jadi kita harus melihat bukan saja pada kurun itu, tapi kita mau melihat ke belakang, berapa eringnya dia mengidap stres, berapa parahnya juga waktu dia mengidap stres dan apakah masalahnya memang masalah-masalah yang sah, misalkan orang terkena bencana, belum pulih terkena lagi bencana yang besar berkali-kali, seperti jatuh tertimpa tangga, maka kita akan berkata siapa pun dalam kondisi dia akan stres berat.

Kita tidak melabelkan dia mempunyai tingkat neurotisisme yang terlalu tinggi, tidak! Tapi misalkan kita melihat ya memang masalah-masalahnya relatif kecil-kecil namun berkepanjangan, teman tidak mau diajak pergi, langsung marah tidak mau ketemu orang 2 sampai 3 hari misalnya seperti itu, atau meminta bantuan tapi tidak didapatkan terus dia marah, dia menawarkan bantuan, orang tidak mau menerima bantuannya, dia juga marah, tersinggung. Kalau kita melihat pola seperti itu, maka kita katakan tingkat neurotisismenya tinggi dan ini bukanlah ciri kepribadian yang sehat.
GS : Ada orang yang memang kalau mendapat dukungan dari teman-temannya, dia masih tabah masih bisa menahan, tapi kalau sendirian dia goyah dan dalam hal ini dia harus dinilai ketika dia sendirian, begitu Pak Paul?

PG : Ketika sendirian, betul sekali. Nah meskipun kita bisa katakan juga, apakah pengaruhnya teman-teman itu besar? Besar sekali ya, kalau kita mendapatkan banyak dukungan, itu sangat menolongkita, maka ada kalanya masalah ini tidak nampak karena selama ini dukungan sangat kuat, keluarga sangat mengayomi sehingga tidak kelihatan, kemudian lepas dari keluarga tiba-tiba ada masalah kecil muncul langsung ambruk.

Barulah kita tahu bahwa pada dasarnya daya tahan dia lemah, tapi tidak nampak karena selalu ditutupi oleh campur tangan dan pertolongan pihak lain.
GS : Tolok ukur yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah yang disebut ekstraversi, ini dari kata extrovert. Faktor ini merujuk pada keterbukaan orang dengan dirinya termasuk pikiran dan perasaannya. Artinya dia sanggup mengeksprsikan pikiran dan perasaannya dengan tepat dan bebas sehingga pada akhirnya dia mampu membangun relasi yang dalam dengan sesama.

Dia juga memiliki energi yang tinggi, yang dapat membuat dia beraktifitas dan orang ini kalau ekstraversinya tinggi berarti dia mudah bersukacita, periang dan biasanya tampaknya orang ini hangat, menyenangkan tidaklah tertutup. Ini bukan berarti orang yang introvert, kebalikannya dari orang itu tidak sehat. Bukan itu maksudnya. Orang yang introvert pun kalau bisa menjalin hubungan, bisa mengeluarkan perasaannya dengan bebas, pikirannya juga dengan bebas, nah itu lebih membuat dia sehat. Semakin menutup, semakin menyimpan, diasumsikan tidak sehat. Semakin bisa kita mengeluarkannya dengan tepat, bukan dengan semau-maunya dan tepat sasaran juga nah itu akan menolong kita untuk hidup lebih sehat.
WL : Pak Paul tadi menyebutkan salah satu ciri yang extrovert ini mempunyai kemampuan membangun relasi secara mendalam ya Pak Paul, bukannya yang saya tahu mempunyai banyak teman tapi tidak bisa mendalam, begitu Pak Paul?

PG : OK yang dimaksud di sini jadinya begini, karena dia itu memang mempunyai energi yang tinggi jadi dia banyak bergaul, temannya banyak, banyak aktifitasnya, tapi dia bebas dalam berekspresi erasaan dengan pikirannya juga bebas.

Nah orang-orang yang seperti ini lebih berpeluang menjalin sebuah relasi dan memperdalamnya juga. Memang orang yang introvert bisa menjalin relasi dengan sedikit orang dan mendalam, itu juga baik, namun orang yang extrovert seperti ini pun bisa membangun sebuah relasi yang dalam karena kemampuannya untuk bisa mengeluarkan perasaan dan pikirannya dengan lebih bebas.
GS : Biasanya 'kan itu tergantung dengan siapa dia berhubungan, ya Pak Paul, ada orang kalau dengan keluarganya dia bisa bebas tetapi begitu masuk ke lingkungan yang lain, di tempat kerja misalnya, dia menjadi orang yang tertutup lagi.

PG : Bisa jadi ya orang yang seperti itu mungkin ada masalah dengan kepercayaan diri, dia perlu tahu dulu dia diterima baru dia bisa lebih apa adanya, lebih terbuka. Sampai titik tertentu saya ira itu wajar, Pak Gunawan.

Kita dalam lingkungan yang baru cenderung mau mengetes dulu, apakah orang-orang ini menerima kita atau tidak. Kalau kita tahu kita aman, kita diterima barulah kita lebih ekspresif dengan diri kita. Bukan hanya wajar, tapi saya kira ini baik, berhikmat, jangan sampai masuk ke lingkungan baru langsung kita semau-maunya itu juga menimbulkan kesan yang tidak baik kepada orang.
WL : Pak Paul, dua tanda yang Pak Paul sebut tadi, neurotisme dan ekstrovert, itu bawaan seseorang dari lahir atau bentukan dari lingkungan, keluarga atau bagaimana, karena kalau bawaan dari lahir berarti seperti tidak bisa diapa-apakan, Pak Paul.

PG : Sudah tentu apakah ada pengaruh-pengaruh dari lahir, saya kira ada, tidak semua orang dari lahir lebih extrovert, tidak ya! Apakah ada orang-orang yang dari lahir sudah membawa kerentaan terhadap stres, ada juga saya yakin, namun saya kira hasil penelitian ini juga mendorong kita untuk mencapai standar ini atau mencapai kehidupan yang seperti ini, meskipun kita mungkin saja dibatasi oleh pengaruh-pengaruh lahiriah tapi tidak ada salahnya kita mencoba misalkan yang lebih introvert, lebih tertutup ya belajarlah lebih terbuka, sebab ternyata memang terbuka itu lebih menyehatkan jiwa daripada tertutup.

Paksa diri untuk lebih terbuka, jadi saya kira ini bisa dipelajari.
GS : Ada faktor yang lain Pak Paul, yang bisa dilihat?

PG : Faktor yang lain adalah keterbukaan untuk mengalami sesuatu yang baru. Ini ternyata salah satu indikator sehat tidaknya jiwa kita. Orang yang sehat adalah orang yang mempunyai semangat untk hidup dan mempunyai keterbukaan terhadap pengalaman hidup.

Mungkin Pak Gunawan dan Ibu Wulan pernah bertemu dengan Ibu-Ibu atau Bapak-Bapak yang sudah berusia lanjut, 70 tahun lebih tapi semangat sekali, masih mau pergi, travel ke mana, mengunjungi apa, mencari tahu, mau belajar ini itu. Nah kita perhatikan orang yang seperti itu bukan saja jiwanya sehat, cenderungnya tubuhnya pun sehat. Kecenderungannya justru benar-benar berjiwa muda dan enak diajak bergaul. Rupanya ini mempunyai keterbukaan terhadap pengalaman hidup, dia tidak takut pada pengalaman yang baru, justru senang mau berpapasan dengan pengalaman yang baru, bersedia untuk mencoba sesuatu yang baru dan mengijinkan diri untuk menghayati pengalaman hidup sepenuhnya. Artinya dia terbuka terhadap reaksi perasaannya, meskipun dia harus sedih dia tidak takut dengan kesedihan, meskipun dia harus marah dia tidak takut dengan rasa marah itu, meskipun dia harus kecewa dia tidak takut dengan rasa kecewa itu, dia mengijinkan dirinya mengeluarkan reaksi-reaksi itu dengan bebas. Orang-orang ini juga cenderung imajinatif, kreatif, bisa membayangkan dan sebagainya. Ternyata ini suatu indikator atau ciri yang sehat dan kalau kita bisa memupuk diri kita lebih seperti ini saya kira akan sangat menolong kita pula.
WL : Pak Paul, dari penjelasan Pak Paul seolah-olah orang yang termasuk ciri ini cukup "kebal" terhadap pengalaman apa pun. Kalau pernah mengalami pengalaman yang buruk pun, pada masa yang akan datang dia tetap berani mengalami pengalaman yang baru lagi, tidak ada pengalaman apa pun yang membuatnya stop dibandingkan dengan misalnya orang yang takut beresiko, orang yang cukup kaku, apakah seperti itu Pak Paul?

PG : Betul sekali Ibu Wulan. Memang orang yang banyak takutnya, lumpuh dan akhirnya hidupnya makin hari makin sempit, pikirannya makin sempit bukan saja pergaulannya makin sempit tapi pikiranny pun makin menyempit, sebaliknya orang yang seperti ini yang lebih berani untuk keluar untuk mencoba, bergaul dengan teman baru dan sebagainya, akhirnya jiwanya juga lebih lapang dan ini rupanya berpengaruh terhadap kesehatan jiwa kita.

GS : Di dalam hal ini Pak Paul, kelihatannya kalau dia sudah agak lanjut usia, apakah bisa kelihatan sejak dia masih muda?

PG : Biasanya ya, biasanya mereka memang sudah begitu pada usia yang lebih muda, jadi tidak pada usia tua tiba-tiba dia berubah. Kebanyakan memang dari dulunya mempunyai semangat hidup yang tingi, nah ini ternyata sesuatu yang sangat baik sekali kalau bisa kita miliki, sebab saya juga pernah bertemu dengan orang yang baru berusia tiga puluhan, selalu menyebut dirinya sudah tua.

Waktu saya masih lebih muda dari dia, saya masih usia dua puluhan, dia usia tiga puluhan selalu menyebut dirinya, "Saya sudah tua, yang muda-mudalah". Jadi kapan dia pernah muda, kalau saya pikir-pikir sekarang! Sebab tiga puluhan pun sudah tua, jadi memang semangat hidup, mau mencoba menghayati yang baru, itu ternyata hal yang positif sekali.
WL : Pak Paul, 'kan banyak kasus di gereja, orang-orang yang kecewa terhadap gereja, entah terhadap hamba Tuhan, entah sistimnya, entah apa pun pokoknya kecewa lalu telah bertahun-tahun tidak mau ke gereja lagi. Apakah itu termasuk kategori seperti ini, tapi kalau ya apakah dengan mudahnya kita mengatakan "Wah berarti Oom ini atau Tante ini atau siapa, jiwanya sempit".

PG : Ya memang ada benarnya juga sempit karena dikecewakan oleh satu orang atau satu kelompok tidak mau ke gereja seumur hidup, apalagi harus saya katakan kalau bukan sempit, jadi orang yang lbih terbuka akan berkata, "Ya ini manusia memang bisa bersalah bisa berdosa, saya datang ke rumah Tuhan untuk menyembah Tuhan bukan menyembah manusianya, ya sudah biarkan saja atau saya pindah ke gereja lain sebab Tuhan pun ada di sana, kenapa saya harus hanya ke gereja saya ini."

Tidak apa-apa, ya saya kira itu lebih sehat.
GS : Jadi lebih terbuka pikirannya, ya Pak Paul (PG : Betul ). Itu biasanya diperoleh karena pergaulannya yang luas atau dia senang membaca dan sebagainya.

PG : Ya itu berpengaruh sekali, Pak Gunawan. Jadi orang yang memang tidak suka bergaul, sendiri saja, otomatis saya kira terpengaruh sehingga tidak begitu berani untuk menerjunkan diri pada kanah kehidupan yang berbeda dari kehidupannya.

GS : Mungkin Pak Paul mau sampaikan faktor yang lain atau indikator yang lain?

PG : Yang lain adalah ini, dalam bahasa Inggris disebut "agreeableness" artinya dapat setuju, lembut hati, bisa menolong orang, mudah percaya, ringan tangan, pemaaf, murah hati. Inilah ciri-cir yang disebut juga sebagai ciri yang positif, ternyata kalau jiwa kita seperti ini cenderung lebih sehat.

Lawan dari karakteristik yang baru saya sebut adalah yang disebut antagonistik, yaitu sinis, kasar, penuh curiga, sukar kerja sama, mudah marah dan bahkan manipulatif. Nah itu lawannya, antagonistik, tapi yang baik adalah yang "agreeable", yang lembut hati, yang pemurah, yang ceria, yang ramah, yang mau bergaul, yang mau menolong, yang berhati besar. Ternyata orang yang mempunyai ciri seperti ini jiwanya cenderung lebih sehat.
WL : Pak Paul, apakah orang seperti ini tetap punya ketegasan pada saat dia harus berkata "Tidak" atau oleh karena "agreeable" pada setiap kasus dia setuju saja, begitu Pak Paul.

PG : Saya kira ini satu point yang bagus, otomatis ini memang tanda awas bagi orang-orang yang kuat di sini karena mudah sekali dia terperosok pada ekstrim yang satunya, tidak mempunyai kendaliatas hidupnya, orang lain yang mengendalikan hidupnya sehingga akhirnya dia dikuasai oleh permintaan dan tuntutan orang lain.

Dia mesti jaga di sini, betul itu point yang baik sekali.
GS : Di dalam hal orang yang mudah memaafkan memang kadang-kadang dianggap orang yang lemah, yang selalu dikalahkan, Pak Paul, atau orang yang cari muka, ini menjadi masalah tersendiri buat dia. Jadi bukan yang positifnya, tapi dianggap orang yang mencari muka, mencari teman hanya untuk supaya dia diterima atau apa itu.

PG : Makanya karakter ini nanti diimbangi dengan karakter yang berikutnya, Pak Gunawan. Karena kalau hanya ini, betul, orang ini bisa-bisa justru akhirnya tertekan hidupnya, karena ditolak olehlingkungan, dianggap dia memang mencari muka, tidak mempunyai pendirian, hanya mencari kesempatan.

Justru nanti karakter yang berikutnya menegaskan bahwa orang yang sehat meskipun dia pemurah, bisa kerja sama, lembut dan sebagainya tapi dia bisa tegas juga, tidak sampai hidupnya dikuasai oleh orang di luar dirinya.
GS : Apa itu Pak Paul, yang kelima?

PG : Yang kelima adalah yang disebut "conscientiousness", jadi sebetulnya mengacu kepada hidup yang penuh tanggungjawab, mempunyai target, mempunyai disiplin, mempunyai pendirian, tahu tujuan hdupnya.

Ini justru faktor penyeimbang yang tadi itu. Kalau hanya "agreeable" mudah ikut, murah hati, tidak mempunyai yang berikutnya ini, dia seperti perahu yang diombang-ambingkan oleh angin. Justru yang terakhir adalah hidup dengan bertanggungjawab, mempunyai target, mempunyai tujuan, memiliki komitmen pada kewajibannya, sanggup untuk memenuhinya dan orang ini tidak mudah menyerah. Dia tahu apa yang harus dia lakukan meskipun ada tantangan, dia akan terus bisa menerobos sampai dia mendapatkan yang harus dia dapatkan itu. Ini justru juga adalah faktor yang positif.
WL : Pak Paul, kalau dari istilahnya seperti agak mirip dengan "conscience"(= hati nurani), apakah ada hubungannya, Pak Paul?

PG : Memang istilahnya dari kata "conscience" sebetulnya. Jadi "conscientious" adalah orang yang mempunyai hati nurani sebetulnya. Orang yang mempunyai nurani, jadi memang tidak terlalu dibahasdari segi moral di sini, bukan tapi lebih ditekankan pada orang yang memang bisa hidup dengan baik, mempunyai tanggungjawab, mempunyai target dan dia bisa penuhi.

Tidak mudah putus asa memang lebih ke arah itu, Ibu Wulan.
GS : Nah faktor-faktor tadi saling berkaitan tentunya. Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari satu atau dua faktor saja.

PG : Betul sekali, jadi kalau hanya satu faktor saja yang kuat, yang lainnya lemah, ya kita tidak bisa mengatakan dia sehat, sebab tadi kita sudah singgung contoh yang klasik, lembut hati, pemuah, pemaaf tapi tidak mempunyai target nah itu tidak bisa kita katakan dia sehat.

Atau dia orang yang pemurah tapi sedikit-sedikit stres, sedikit-sedikit stres, ya kita tidak katakan dia sehat juga. Jadi memang harus lima-limanya ini berkembang, semuanya dengan merata dan itulah yang kita katakan orang yang sehat.
GS : Seperti layaknya tubuh jasmani kita, Pak Paul, kesehatan itu harus dipelihara dan bisa dilatih supaya tahan terhadap serangan-serangan penyakit dan sebagainya. Nah ini kepribadian sehat apakah bisa dilatih dan bisa dipelihara, Pak Paul?

PG : Saya percaya demikian, Pak Gunawan. Jadi apakah gunanya penelitian seperti ini? Gunanya adalah agar kita berusaha mencapainya. Kita mudah stres, sedikit-sedikit stres, melempar tanggungjaab kepada orang.

Nah kita belajar, paksa diri kita, tidak saya mau atasi, saya tidak mau lempar tanggungjawab kepada orang lain, sayalah yang harus bertanggungjawab. Kita paksa diri kita untuk hidup seperti itu. Kita tidak biasa untuk membagi perasaan kita, kita simpan semuanya, tutup semuanya. Tidak, kita paksa diri kita untuk lebih berani, untuk berbicara dengan orang, mengeluarkan pikiran kita dan perasaan kita, atau kita takut-takut dengan pengalaman hidup yang baru. Kita katakan tidak apa-apa, silakan coba nanti pengalaman itu akan memperkaya kita, kita harus paksa diri kita. Yang berikutnya adalah misalkan kita orang yang pelit, tidak mau membantu orang, hati kita sempit. Kita paksa diri kita untuk lebih murah hati, membagi, menolong orang, jangan hanya pikirkan diri sendiri. Yang terakhir misalkan kita ikut orang saja, orang yang tolong kita, oh tidak kita yang mau tetapkan target sekarang, kita mau mencapai target itu, jadi hidup tidak hanya mengalir saja. Tidak, sekali-sekali tetapkan target dan saya kira ini bisa dilatih, bisa dikondisikan pada kita. Rupanya kalau kita berhasil ini akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa.
WL : Sekarang ini sedang hangat-hangatnya, seluruh bangsa Indonesia mempersiapkan diri untuk pesta demokrasi, Pemilu, Pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden, betapa idealnya kalau pemimpin-pemimpin bangsa kita tidak cuma Presiden, Wapres dan seluruh staf jajarannya bisa punya kriteria seperti ini, ya Pak Paul. Sepengetahuan saya dibahas melulu adalah kesehatan secara fisik, sedangkan kriteria-kriteria seperti ini tidak pernah disinggung, begitu Pak Paul.

PG : Sudah tentu indah sekali bukan saja negara tetapi dalam setiap bentuk organisasi, kalau memang ada orang-orang yang sehat itu akan berpengaruh besar, sebab kesehatan jiwa benar-benar hartakarun yang tak ternilai dan orang yang sehat menyehatkan lingkungan (WL : Betul), sebaliknya orang yang tidak sehat mengotori lingkungan juga.

Orang yang dekat dengan orang yang sehat, akhirnya terbawa lebih sehat. Kebalikannya juga orang kalau bergaul dengan orang yang tidak sehat, lama-lama terbawa ikut sakit, seperti itu.
GS : Pak Paul dalam hal ini apakah Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari 1Korintus 13:13, "Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih". Nah ini Firma Tuhan indah sekali, Pak Gunawan.

Meskipun kita tidak usah belajar psikologi, melihat ini saja sebetulnya kalau bisa kita terapkan, kita akan sangat sehat, yaitu ternyata kalau kita beriman, benar-benar hidup beriman, berserah pada Tuhan, kita tidak akan takut sebetulnya. Jadi kecemasan atau tekanan itu tidak lagi mengganggu, karena kita tahu Tuhan yang menguasai segalanya. Terus kalau kita berpengharapan kita tahu selalu ada pengharapan karena Tuhan tidak pernah kehabisan akal, kuasaNya tak terbatas jadi pasti ada pengharapan, nah ini memberi kita semangat untuk hidup terus dan terakhir kasih. Kalau kita memiliki kasih kepada Tuhan dan sesama kita, kita lebih rela menolong, kita lebih rela terbuka dengan orang, lebih rela percaya pada orang. Bukankah ini juga akan sangat memperkaya kesehatan jiwa kita. Jadi benar-benar, iman, pengharapan dan kasih namun yang paling besar di antaranya ialah kasih. Ini Firman Tuhan bukan saja untuk kehidupan rohani tapi juga untuk kehidupan jiwani sangat berkhasiat.
GS : Dan ini harus dimulai dari diri kita sendiri saya percaya, Pak Paul ya? (PG : Betul) Sebelum kita mengharapkan orang lain sehat, seperti tadi Pak Paul katakan, kesehatan kepribadian kita akan menular kepada orang lain dan menjadikan lingkungan ini lebih baik.

GS : Terima kasih banyak Pak Paul, juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Lima Faktor Kepribadian Sehat". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



7. Pribadi Egois


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T190A (File MP3 T190A)


Abstrak:

Salah satu pribadi yang sukar untuk menyatu dengan lingkungan adalah pribadi yang egois. Disini, kita akan menemukan ciri-ciri, dampak, penyebab dan langkah menuju perubahan.


Ringkasan:

Salah satu pribadi yang sukar untuk menyatu dengan lingkungan adalah pribadi yang egois. Berikut ini akan dipaparkan ciri dan langkah untuk mengubahnya.

Ciri-Ciri Pribadi yang Egois

  • Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya; tidak dapat melihat dari sudut pandang orang lain, apalagi merasakan apa yang orang lain rasakan. Jadi, tidak mudah untuk berdiskusi dengannya karena ia akan berusaha keras agar kita menuruti pendapatnya.

  • Hanya memikirkan kepentingan pribadinya; jadi, apa yang dikerjakannya selalu untuk kepentingan pribadi, bukan murni untuk kepentingan orang lain. Ia tidak mengenal makna pengorbanan dan ketulusan; semua hal diperhitungkan berdasarkan untung-ruginya.

Dampak Pribadi Egois

  • Lingkungan sulit menerimanya karena tidak ada usaha darinya untuk menyesuaikan diri. Daripada terjadi konflik, pada umumnya lingkungan akan menghindar berelasi dengannya sehingga ia terpaksa hidup dalam kesendirian. Malangnya, makin terkucil, makin ia menganggap bahwa lingkunganlah yang salah. Pada akhirnya orang yang egois hidup dalam kesendirian.

  • Lingkungan pun sulit untuk mempercayainya sebab lingkungan menilai ia tidak tulus. Semua yang dikerjakannya cenderung dinilai mempunyai maksud tersembunyi di belakangnya. Pada akhirnya relasinya dengan sesama terhambat dan makin hari makin sedikit orang yang bersedia berelasi dengannya. Kalaupun berelasi, relasi yang terjalin merupakan relasi timbal-balik, tanpa ketulusan dan pengorbanan.

Penyebab

  • Sebagian pribadi egois berasal dari latar belakang keluarga yang terlalu memanjakan sehingga apa pun yang diminta selalu diberikan.

  • Sebagian pribadi egois berasal dari latar belakang hampa kasih sayang sehingga ia tidak pernah belajar mengasihi. Ia menjadi hemat mengasihi dan berkorban karena ia tidak pernah mengenal kasih sayang.

Langkah Menuju Perubahan

  • Pribadi yang egois mesti menerima fakta bahwa ia egois; jangan lagi berkilah dan menyalahkan orang. Ia mesti melihat hal ini sebagai dosa- keangkuhan-bukan hanya karakteristik kepribadian yang unik. Pertobatan berawal dari pengakuan. "Tinggi hati mendahului kehancuran tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan." (Amsal 18:12)

  • Lihatlah apa yang dibutuhkan orang dan cobalah penuhi, tanpa pamrih. Pribadi egois tidak mempunyai teman karena tidak memikirkan orang lain. "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." (Amsal 17:17)

  • Hiduplah berdasarkan prinsip: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Matius 22:38) dan "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Matius 7:12).


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pribadi Egois" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Memang ada bermacam-macam orang tetapi ada sebagian orang yang dalam pergaulan rasanya mau menang sendiri. Sebenarnya apa saja yang menjadi ciri-ciri dan mengapa orang itu bisa seperti itu?

PG : Jadi memang Pak Gunawan, kadang-kadang kita bertemu dan harus bertemu dengan orang-orang yang seperti ini, orang-orang yang kita panggil egois. Sudah tentu egois itu mengandung suatu maknayang negatif.

Kata egois berasal dari kata ego, dari bahasa Yunani ego itu berarti 'aku'. Dengan kata lain memang kalau kita mengatakan seseorang itu egois, kita sebetulnya sedang membicarakan tentang seseorang yang selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, tidak bisa melihat dari kacamata orang lain. Nah ini memang menjadi masalah dalam kerja sama atau hidup bersama dengan dia, karena kita akan frustrasi berbicara dengan dia, mencoba menjelaskan sesuatu kepadanya, sebab dia selalu akan kembali kepada pikirannya atau sudut pandangnya. Ini akhirnya sering kali menjadi duri dalam relasi dengan sesama. Selain dari ini kadang-kadang yang membuat kita frustrasi adalah orang-orang ini kurang sensitif dengan perasaan kita, sebab yang diperhatikannya hanyalah perasaannya. Dia merasa tersinggung, dia merasa marah, dia merasa tidak puas, tapi perasaan kita bagaimana tidak dipedulikannya. Jadi akhirnya kita merasakan betapa sulitnya bekerja sama dengan orang yang egois, apalagi kalau harus hidup bersama dengan dia.
GS : Tapi memang sebenarnya setiap orang mempunyai ego, mempunyai rasa 'akunya' dan ingin menarik perhatian orang lain. Tapi mungkin orang-orang ini agak lebih berat Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi penekanannya pada kata 'aku' atau ego yang berlebihan sehingga tidak lagi mengenal batas. Semua orang memang mempunyai ego artinya mempunyai diri atau mempunai 'aku', mempunyai sudut pandangnya.

Tapi bukankah setiap orang seharusnya menyadari bahwa kita mesti mengakui bahwa pandangan orang lain pun bisa jadi benar bukan hanya pandangan kita, bahwa pendapat kita itu belum tentu mewakili semua, tapi bisa jadi pandangan kita hanyalah mewakili sebagian dari apa yang sebetulnya tengah terjadi. Nah hal-hal seperti ini seharusnya kita semua miliki, tapi orang-orang egois tidak bisa membagi pandangannya dengan orang atau masuk ke dalam kacamata orang, dia selalu menuntut orang untuk mengikuti kehendaknya dan melihat dari kacamatanya.
GS : Sebenarnya orang itu sadar atau tidak Pak Paul, bahwa dia itu egois?

PG : Saya kira orang-orang yang egois ini susah menyadari bahwa dia itu egois. Sebab dia akan berkata bahwa saya memang berpendapat seperti ini sebab ini benar. Kalau ini masalah moral, benar-slah saya kira bisa dimaklumi tapi yang sedang saya bicarakan ini sebetulnya bukan masalah-masalah moral seperti itu Pak Gunawan, lebih sering ini adalah sebuah perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak esensial, namun dia akan menuntut orang untuk melihat dari kacamatanya, memahami dirinya, memahami isi hatinya tapi dia sendiri tidak mau berusaha untuk memahami isi hati orang, perasaan orang, apa yang terkandung dalam benak orang, dia sama sekali tidak mau memperhatikan hal-hal itu Pak Gunawan.

GS : Itu tentu ada penyebabnya Pak Paul? Bukankah tidak mungkin orang-orang itu menjadi berkelebihan egonya tanpa ada sesuatu sebab tertentu, nah sebabnya apa saja Pak?

PG : Biasanya anak-anak yang terlalu dimanja, anak-anak ini sejak kecil kemauannya dituruti, orangtua tidak pernah memberikan disiplin, anak ini benar-benar tidak pernah terbatasi. Nah anak-ana yang seperti ini cenderungnya setelah besar mengembangkan ego yang terlalu kuat, sehingga dia mengharapkan dan menuntut orang untuk memahami pikirannya dan oranglah yang harus memenuhi kebutuhannya.

Nah ini sering kali tidak disadari oleh orangtua, orangtua beranggapan, kami mesti menyayangi anak. Berarti tidak boleh tegas, tidak boleh keras, tidak boleh mendisiplin anak, tidak boleh memarahi anak, kita harus selalu dengan kasih sayang, mengungkapkan perhatian kita kepada anak. Sudah tentu harus dengan kasih sayang, dan sudah tentu kalaupun kita mendisiplin anak itu dilakukan dengan kasih sayang pula. Namun perlu disiplin, perlu membatasi anak, kalau anak tidak dibatasi dia akan mengembangkan ego yang terlalu besar dan nantinya kita orangtua sebetulnya merugikan si anak. Sebab pada akhirnya anak-anak ini akan kesulitan bekerja sama dan hidup dengan orang lain.
GS : Tapi memang ada waku-waktu tertentu dalam diri seorang anak itu di mana egonya itu sangat menonjol?

PG : Memang ada waktu-waktu anak itu bisa keras kepala, tapi inilah tugas kita sebagai orangtua untuk bisa memberikan koridor, memberikan pagar sehingga dia tidak hanya melihat dari kacamatanyasendiri.

Anak-anak memang sudah tentu karena kita manusia berdosa, kita sebagai anak-anak pun ingin memuaskan diri kita, kepentingan-kepentingan kita, kita berusaha agar yang terpenuhi adalah kepentingan pribadi bukan kepentingan orang lain. Mainan, kita maunya untuk kita saja, kita tidak mau memberikan kepada adik kita atau kakak kita. Tugas orangtualah untuk membatasi anak dan berkata, "Tidak, meskipun ini milikmu, tapi sekali-sekali ya bagikanlah, pinjamkanlah kepada adik atau kakakmu, sehingga jangan hanya kamu saja yang menguasainya." Dengan kata lain tugas sebagai orangtua adalah mengajak anak untuk juga memperhatikan kepentingan orang lain, sebab kalau tidak anak-anak yang egois ini nantinya berkembang menjadi orang-orang yang tidak bisa mempertimbangkan kepentingan orang. Dia akan selalu beranggapan dia yang paling penting dan kebutuhannya itu yang terpenting dan harus dikedepankan. Dia tidak bisa memahami bahwa sekali-sekali dia harus menomorduakan dirinya dan kepentingannya harus dikesampingkan. Akhirnya sama sekali tidak bisa melihat hal itu, menyuruh orang untuk mementingkan dirinya, mengedepankan kebutuhannya, ini yang akhirnya membuat orang tidak suka dengan dia. Sebab orang akan berkata, "Aduh kamu tidak pernah berkorban untuk orang lain, kamu tidak pernah melakukan sesuatu tanpa pamrih, apapun yang kamu kerjakan ujung-ujungnya untuk kepentingan kamu sendiri." Akhirnya orang tidak suka karena orang akan menilai orang yang egois itu tidak tulus, apapun yang dikerjakan pasti ujung-ujungnya untuk kepentingannya sendiri. Nah ini yang akhirnya menjadi masalah dalam kehidupan orang ini sendiri.
GS : Apakah kalau seorang anak itu kurang diberikan perhatian atau kasih sayang dia akan juga menjadi orang yang egois Pak Paul?

PG : Yang menarik adalah sebagian anak yang akhirnya egois berasal dari latar belakang yang kurang kasih sayang. Ini sepertinya kontradiksi, tadi terlalu dilimpahi kasih sayang, dimanjakan bisamenjadi egois tapi kebalikannya juga betul.

Anak-anak yang tidak menerima kasih sayang yang cukup bahkan menjadi orang-orang yang haus akan kasih sayang, cenderung akhirnya benar-benar menuntut orang untuk mengasihinya, menuntut orang untuk memenuhi kebutuhannya. Dan tatkala dia menerima sedikit saja kasih sayang atau kepenuhan atas kebutuhannya, dia benar-benar seperti orang yang tidak bisa mengerem diri, dia terus-menerus menuntut orang untuk memikirkannya, menjaganya, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan mendengarkannya dan bahwa kebutuhan-kebutuhannya ini penting, harus dipenuhi. Adakalanya orang yang dari latar belakang kurang kasih sayang, bisa mengembangkan sikap yang egois pula, tidak mengenal batas, sehingga orang lain yang tadinya kasihan mau menolong, mau memberikan kasih sayang tidak tahan. Orang-orang ini karena tidak pernah dikasihi akhirnya tidak pernah belajar mengasihi. Di sini kita melihat satu prinsip penting yaitu anak belajar mengasihi tatkala dikasihi. Tapi anak yang tidak pernah dikasihi kadang kala tidak pernah tahu bagaimana mengasihi. Adakalanya setelah besar mengasihi tanpa batas posesif sama orang, itu adalah tanda-tanda orang ini tidak pernah belajar mengasihi dengan benar.
GS : Memang kita sebagai orangtua harus menjadi model di depan anak-anak ini, cara mengasihi yang benar itu bagaimana ya Pak Paul?

PG : Tepat, dan ini yang akan dilihat oleh anak Pak Gunawan, karena anak-anak bisa belajar secara teoritis tentang kasih dan mengasihi tapi yang diperlukan bukannya belajar secara teoritis tapibelajar lewat pengalaman langsung, lewat pengalaman melihat dan mengalami orangtua mengasihinya, menggendongnya, memberi perhatian kepadanya, namun kadang-kadang membatasi dirinya sehingga dia tidak selalu bisa melakukan hal-hal yang ingin dilakukannya.

Nah model seperti ini model yang sehat, dan waktu si anak melihat dia mencontohnya, sehingga nanti setelah besar dia menerapkannya. Dia menyadari bahwa waktu dia menerima kasih, dia tidak selalu bisa menuntut orang memberi kasih kepadanya. Atau kebalikannya waktu dia mengasihi, dia juga belajar untuk mengerem tidak selalu dia harus memberi apa yang orang minta. Sekali lagi dari manakah anak belajar semua ini? Dari orangtua.
GS : Saya melihat juga orang-orang yang egois ini hidupnya dipenuhi oleh kekhawatiran sehingga dia meminta orang lain itu mendahulukan dia, memperhatikan kata-katanya karena selalu ada kekhawatiran di dalam dirinya.

PG : Dia khawatir karena dia memang sebetulnya tidak bisa hidup bersama orang, bisa membagi dirinya dengan orang, jadi selalu yang mengisi benaknya, pikirannya adalah diri sendiri. Bagaimana meenuhi kebutuhan saya, bagaimana mendapatkan yang saya perlukan, jadi orang yang terlalu sibuk hanya memikirkan dirinya, akan mengkhawatirkan berikutnya apa nanti, siapa yang akan memberikannya, bagaimana nantinya.

Tetapi sebaliknya orang yang bisa menyeimbangkan antara memenuhi kebutuhan pribadi dan memenuhi kebutuhan orang, hidupnya akan lebih berimbang, matanya tidak terlalu tertuju pada dirinya sendiri sehingga tidak dikuasai oleh kekhawatiran tentang kebutuhannya sendiri karena dia juga pikirkan orang lain dan orang lain pun bisa memberikannya kepada dia. Orang yang egois memang khawatir karena lama kelamaan dia menyadari bahwa orang makin hari makin menjauhkan diri darinya. Orang tidak tahan tinggal dengan dia, orang tidak tahan bekerja sama dengan dia, ini adalah dampak dari pribadi yang egois. Lingkungan tidak bisa menerimanya lagi, waktu lingkungan tidak menerimanya, lingkungan menjauhkan diri darinya. Dia makin panik karena tidak ada lagi yang memenuhi kebutuhannya, tidak ada yang bisa mementingkan keinginannya, wah dia makin panik dan dia makin banyak khawatir. Makin banyak khawatir, makin banyak menuntut orang untuk memberi, makin orang menjauhkan diri darinya.
GS : Kalau orang yang egois ini menjadi seorang pemimpin, bukankah akan cukup berbahaya?

PG : Sangat berbahaya Pak Gunawan, karena orang-orang egois yang menjadi pemimpin akan mendahulukan dirinya dan akan meng-objek-kan orang lain, memanfaatkan orang hanya untuk kepentingannya seniri.

Mungkin secara basa-basi dia akan berkata ini untuk kepentingan bersama tapi ujung-ujungnya untuk kepentingan dia, karena bagi dia yang penting adalah dirinya sendiri. Maka waktu dia menyuruh orang mengerjakan sesuatu untuk dirinya lagi, dan akhirnya orang akan merasa letih dan tidak mau bekerja untuk dia. Karena orang akan berkata semuanya untuk dia, dia tidak pernah memikirkan untuk kami di sini.
GS : Apakah kita sebagai orang yang mengamati atau berkenalan dengan dia mau mencoba menyadarkan bahwa dia itu sebenarnya egois, itu memungkinkan atau tidak Pak Paul?

PG : Memungkinkan tapi memang susah, karena memerlukan waktu yang panjang. Pada akhirnya yang terjadi adalah dia sendiri tidak lagi mempercayai lingkungan. Sebab dia merasa lingkungan menjauhka diri darinya, dia luput melihat andilnya bahwa sebetulnya dialah yang membuat orang-orang itu tidak bisa menerimanya.

Tapi dia tidak bisa menyadari itu, dia hanya bisa menyalahkan orang, "Kenapa orang tidak bisa menerima dia, kenapa orang tidak bisa mengerti dia." Selalu yang salah adalah orang lain. Ada satu lagi problem, lingkungan akhirnya kehilangan kepercayaan terhadap dia karena lingkungan akan merasa, "Kamu itu hanya akan berbuat sesuatu kalau ada untungnya buat kamu." Jadi dengan kata lain lingkungan sudah melabelkan bahwa orang ini tidak tulus dan memang sering kali tidak tulus. Apa yang dilakukannya ujung-ujungnya untuk kepentingan diri, akhirnya lingkungan tidak mempercayai sehingga lingkungan makin hari makin menjauhkan diri dari dia. Karena lingkungan makin menjauh diri dari dia, dia pun makin tidak percaya dengan lingkungan, merasa tertolak oleh lingkungan. Maka waktu kita mau berbaik hati memberitahu dia bahwa kamu ini terlalu mementingkan diri, kamu harus pikirkan orang lain juga, dia tidak bisa terima. Dia akan berkata, kamu sama dengan orang lain, memang semuanya tidak ada yang bisa mengerti dia, semua ingin menjauhkan diri dari dia hanya itu yang sering kali dia bisa katakan.
GS : Kalau orang yang egois ini mau berubah bukankah harus diawali dia sadar dulu bahwa dia seorang yang egois?

PG : Mudah-mudahan acara kita ini didengarkan oleh orang yang agak egois, kita coba berbicara dengan orang yang seperti ini. Pertama-tama yang harus dilakukan oleh orang egois adalah mengakui dlu bahwa dia memang orang yang egois.

Kalau dia sendiri tidak berkata begitu lihatlah lingkungan, apakah selama ini lingkungan mendekati dia atau menjauhkan diri darinya. Apakah dia cukup mendengar tuduhan orang kepadanya bahwa dia egois, kalau dia cukup sering mendengar masukan orang bahwa dia egois, tolong perhatikan. Jadi terimalah fakta bahwa diri kita ini egois, jangan lagi berkilah dan menyalahkan orang, dan ini yang penting, dia mesti melihat hal ini sebagai dosa. Bahwa egois adalah dosa, yaitu dosa keangkuhan. Orang yang egois tidak bisa merendahkan diri, mementingkan orang, mendahulukan orang, jadi ini adalah dosa keangkuhan. Jangan sekali-sekali orang yang egois berkata ini keunikan saya, kepribadian saya, saya memang orangnya tegas; tidak, akui itu sebagai sebuah dosa, pertobatan berawal dari pengakuan. Firman Tuhan di Amsal 18:12, "Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan." Jadi akuilah dan fimran Tuhan pun berkata orang yang rendah hati justru akan menerima penghormatan dari orang lain.
GS : Rasanya hanya dengan firman Tuhan orang itu bisa disadarkan dari keegoisannya, kalau kita yang berbicara rasanya sulit diterima.

PG : Dia akhirnya memang harus berhadapan muka dengan Tuhan melalui firman-Nya. Kalau firman Tuhan sudah menegur jangan keraskan hati, kalau firman Tuhan berkata memang kamu egois dan suara Tuhn di hati begitu jelas terdengar, jangan keraskan hati, akui "Ya, Tuhan memang saya egois, saya mempunyai masalah ini dan mulai sekarang saya harus melihatnya sebagai dosa bukan sebagai kepribadian atau keunikan saya."

GS : Tapi kita sebagai orang-orang terdekat mungkin anggota keluarga kita harus tidak jemu-jemu mengingatkan dia tentang keegoisannya itu Pak Paul?

PG : Betul sekali, dan mungkin kita sebagai teman atau sebagai saudara mengingatkan dia untuk juga memikirkan kebutuhan orang. Jangan beranggapan hanya kebutuhannya saja yang ada di dunia ini, da kebutuhan orang cobalah penuhi tanpa pamrih.

Firman Tuhan di Amsal 17:17 berkata, "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." Jadi artinya sahabat mengasihi orang setiap waktu bukan hanya waktu untuk kepentingannya. Dan menjadi saudara dalam kesukaran untuk menolong orang itu. Dan yang terakhir firman Tuhan yang bisa saya bagikan adalah hiduplah berdasarkan prinsip "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri," Matius 22:39, artinya diri yang mau dipuaskan seperti ini, ini juga yang harus kita lakukan pada orang lain. Firman Tuhan yang lain adalah Matius 7:12 berkata, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Jadi orang egois harus belajar satu hal apapun yang dia tuntut dari orang lain, dia harus lakukan dulu, dia harus berikan dulu; kalau dia belum berikan atau dia belum lakukan jangan menuntut orang untuk memberikannya kepada dia.
GS : Sering kali orang-orang yang egois ini juga berlindung dibalik kekayaannya. Dia mengatakan dia tidak bisa memberikan hatinya tapi dia memberikan uangnya, supaya orang-orang itu dekat dengan dia.

PG : Betul sekali, jadi itu memang sebagai upaya untuk membuat orang tunduk lagi kepadanya, melakukan kehendaknya, jadi terpulang untuk kepentingannya lagi. Jadi benar-benar tidak ada yang namaya tanpa pamrih buat orang yang egois.

Dia mesti menyadari kalau dia hidup seperti ini terus dia hidup terus-menerus dalam dosa. Ini bukannya kepribadian atau keunikan, ini adalah dosa yaitu dosa keangkuhan, dosa ketamakan juga karena semua untuk diri sendiri. Dia harus belajar mengasihi seperti yang Tuhan perintahkan. Mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
GS : Jadi suatu model yang cukup jelas tentunya di dalam diri Tuhan Yesus itu sendiri, di mana kita bisa belajar bagaimana supaya kita tidak menjadi orang yang egois.

PG : Tepat sekali, dan Tuhan memberikan contoh, Dia memberikan nyawa-Nya sendiri, menyerahkan kehidupan-Nya untuk kita. Itulah contoh kasih yang perlu dituruti oleh kita semua.

GS : Jadi egois ini suatu dosa bukan sekadar kelainan dalam kehidupan, Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pribadi Egois", bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



8. Pribadi Lemah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T190B (File MP3 T190B)


Abstrak:

Kebalikan dari pribadi egois, ada sebagian orang yang memiliki ego yang lemah. Pribadi yang lemah mengalami kesukaran menghadapi tekanan dari luar, pribadi lemah disebabkan oleh banyak faktor dalam kehidupannya baik itu dari orang tua atau pun dari kehidupan masa lalunya.


Ringkasan:

Kebalikan dari pribadi egois, ada sebagian orang yang memiliki ego yang lemah. Berikut akan dipaparkan ciri dan penanganannya.

  • Pribadi yang lemah mengalami kesukaran menghadapi tekanan dari luar. Kecenderungannya adalah menghindar atau runtuh tatkala menghadapinya.

  • Pribadi yang lemah rentan terhadap rasa bersalah dan tuntutan untuk bertanggung jawab.

  • Pribadi yang lemah acap kali beremosi labil. Kadang orang terkejut melihat reaksinya yang tak terduga dalam menghadapi situasi yang sama. Pada dasarnya ia tidak mempunyai kendali atas hidupnya dan merasa orang lainlah yang memegang kendali atas hidupnya. Inilah pola yang menumpukkan kemarahan pada dirinya dan membuatnya labil.

  • Pribadi yang lemah kerap bergantung pada orang sebab dengan bergantung ia tidak perlu menghadapi tekanan. Namun kadang sebaliknya, ia sukar mendengar masukan orang terutama bila ia menerima tanggung jawab. Keinginannya untuk membuktikan diri sanggup begitu besar sehingga ia tidak bersedia membagi "kemuliaannya" dengan orang.

Penyebab

  • Kehilangan figur orangtua yang kuat sebagai model dan bahan serapan.
  • Penolakan dan kegagalan pada masa kecil.

Penyelesaian

  • Dengan bantuan orang, mulailah hadapi tantangan hidup. Berhentilah menghindar.
  • Ingatlah prinsip "satu per satu": selesaikan satu tugas demi satu tugas, satu masalah demi satu masalah. Jangan hilang fokus dan akhirnya tertimbun.
  • Firman Tuhan mengingatkan, "Ada orang yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan." (Amsal 11:24)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pribadi Lemah" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Kalau kita membicarakan tentang pribadi lemah, ini sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan perbincangan kami pada beberapa waktu yang lalu tentang pribadi egois. Supaya para pendengar bisa mempunyai gambaran yang jelas antara pribadi egois dan pribadi lemah, Pak Paul mungkin bisa uraikan secara singkat apa yang kita perbincangkan pada beberapa waktu yang lalu.

PG : Pribadi egois adalah pribadi yang melihat segala sesuatu dari kacamatanya. Dia tidak bisa memahami pikiran orang, perasaan orang, jadi selalu menuntut orang untuk mengikuti pendapatnya. Prbadi egois juga adalah pribadi yang mementingkan dirinya sendiri, dia tidak bisa mempertimbangkan kebutuhan orang, dia senantiasa mengedepankan kebutuhannya di atas kebutuhan orang.

Itu sebabnya kita simpulkan bahwa pribadi yang egois adalah pribadi yang sudah sekali untuk tulus, sebab ujung-ujungnya untuk kepentingannya sendiri. Kita sudah membahas pribadi yang egois, sekarang kita akan melihat pribadi yang lemah atau yang kebalikannya dari egois. Secara sepintas kita akan berkata kebalikannya dari egois seharusnya baik, tapi yang kita mau bicarakan bukan sisi yang baiknya, bukannya diri yang berimbang. Tapi kita akan membicarakan satu ciri yang ekstrim, kebalikan dari egois yaitu seseorang yang akhirnya kita katakan mempunyai pribadi yang lemah. Begitu lemahnya sehingga orang ini akan kesukaran untuk bisa berdiri sendiri dalam hidup ini dan seolah-olah orang ini tidak mempunyai benteng, selalu mudah runtuh, mudah diserang, mudah ambruk. Jadi tekanan-tekanan yang dihadapinya tidak bisa dihadapi, akhirnya segala sesuatu yang dihadapinya itu kalau menimbulkan tekanan atau stres akan membuat dia tercerai-berai, hancur berantakan. Nah ini adalah ciri kerpibadian lemah yang akan kita angkat pada saat ini.
GS : Jadi sebenarnya pribadi yang egois maupun pribadi yang lemah ini sama-sama merugikan temannya atau relasi dari orang yang memiliki pribadi ini, Pak Paul?

PG : Betul sekali, sebab misalkan sekarang kita melihat pribadi yang lemah, kalau dia tidak sanggup menghadapi tekanan dan sedikit-sedikit ambruk, sedikit-sedikit ambruk, orang akhirnya juga suit untuk bekerja sama dengan dia.

Sebab yang namanya kerja sama seharusnya timbal balik, saya ditolong nanti saya menolong. Tapi orang-orang yang berkepribadian lemah ini sering kali tidak bisa memberikan bantuan kepada orang lain, jadi apa yang dituntutnya dari orang selalu adalah pertolongan. Kalau misalnya dia menghadapi problem, belum apa-apa orang yang berkepribadian lemah akan berusaha untuk lari, meghindar. Akhirnya orang akan berkata kenapa kamu selalu lari, kenapa selalu menghindar. Nah orang akhirnya juga susah untuk respek kepada dia, karena terlalu mudah menghindar. Atau kalau pun menghadapi, belum apa-apa sudah langsung hancur, ambruk lagi. Dan siapa nanti yang harus memunguti ambrukannya, kepingan-kepingannya; siapa itu nantinya harus menguatkan dia lagi ya selalu orang lain. Sehingga akhirnya orang akan letih juga dekat dengan orang yang mempunyai kepribadian yang lemah.
GS : Jadi sebenarnya orang yang berkepribadian lemah ini pun ada unsur egoisnya, minta diperhatikan seperti itu, Pak Paul?

PG : Seakan-akan dari luar tidak, seolah-olah dia tidak banyak menuntut tapi ujung-ujungnya tetap ada tuntutan itu sebab dia mengharapkan orang selalu bisa memahami dan menolongnya. Kenapa kitatidak mudah melihatnya secara langsung kalau ada egoisnya juga, sebab memang orang-orang yang berkepribadian lemah cenderung bertanggung jawab, mau mengurus yang ada di sekitarnya dan kalau ada yang tidak beres di lingkungannya, dia yang merasa bersalah.

Jadi yang bukan bagian dia untuk merasa bertanggung jawab, dia merasa itu tanggung jawabnya sehingga dia nanti yang merasa bersalah. Dia pikul beban orang-orang pada hal itu bukan tanggung jawab dia untuk memikulnya. Itu sebabnya kita tidak dengan mudah bisa melihat bahwa ujung-ujungnya untuk dia juga, meskipun tidak secara langsung. Sebab di permukaan yang sering kali tampak adalah sikap-sikap yang mudah bersalah karena terlalu banyak memikul tanggung jawab yang seharusnya bukan tanggung jawab dia.
GS : Kalau begitu orang yang berkepribadian lemah ini emosinya sering kali berubah-ubah terus, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dia akan mudah sekali naik-turun; sebentar marah, sebentar sedih. Kadang-kadang orang agak sukar untuk bisa memprediksi sebetulnya arah perasaannya ke mana, suasaa hatinya sedang apa; pertanyaannya, kenapa begitu? Karena memang dia sangat-sangat dipengaruhi oleh lingkungan, artinya kalau lingkungan itu memberikan dukungan-dia akan makin senang, dia makin kuat.

Tapi kalau lingkungan tidak memberikan dukungan yang diharapkannya wah dia tidak suka, sebab dia akan berkata, "Bukankah saya sudah memberi dan memberi kepada orang-orang, kenapa orang sekarang tidak ada yang mau memberi kepada saya." Akhirnya dia marah, dia merasa dia sudah berkorban dan memang dalam kadar tertentu dia berkorban, jadi dia mengharapkan orang lain juga berkorban dan berkoban. Waktu tidak memberikan seperti yang dia harapkan dia akan marah. Jadi sebetulnya orang-orang yang mempunyai kepribadian lemah cenderung menghisap banyak ketidaksukaan, kemarahan dan dia sendiri tidak bisa melihat bahwa ini bukan bagian dia dan tidak apa-apa dia tidak berbuat apa-apa. Dia mau melakukannya dan waktu orang tidak membantu, dia marah lagi. Jadi emosinya sangat labil sekali.
GS : Dan rupanya kecenderungannya selalu mencari rasa aman Pak Paul?

PG : Betul, memang mencari rasa aman dengan cara bergantung atau bersembunyi dibalik orang lain. Kenapa dia mencari rasa aman, sebab pada dasarnya orang yang berkepribadian lemah tidak bisa menhadapi hidup ini, dia tidak memegang kendali penuh atas hidupnya, dia memang merasa tidak sanggup mempunyai kemampuan untuk menghadapi tuntutan hidup.

Oleh karena itu dia lebih suka bersembunyi di belakang orang lain sehingga nanti orang lain yang maju ke depan, orang lain nanti yang akan mengatasi problem-problem yang muncul, sehingga akhirnya dia aman di belakang orang lain.
GS : Pak Paul, kalau orang mempunyai kepribadian yang lemah seperti itu tentu ada penyebabnya yang membuat dia terbentuk menjadi orang seperti itu. Apa saja penyebabnya Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah orang-orang ini biasanya adalah anak-anak yang kehilangan figur orangtua yang sehat dan kuat, jadi mereka tidak mempunyai model dan tidak mempunyai bahan serapan, apa atinya menjadi orang yang kuat, yang sehat.

Artinya adalah orang yang bisa memikul tanggung jawab, bisa memilah-milah tanggung jawab, bisa juga menghadapi tekanan-tekanan hidup, tahu caranya bagaimana menghadapi kesulitan dalam hidup ini. Seharusnya kita sebagai anak melihat hal itu pada diri orangtua kita, dan karena kita mengalami dan melihatnya kita mulai menyerap keterampilan dan kekuatan-kekuatan itu. Namun bayangkan kalau kebalikannya yang terjadi, si anak bukannya melihat orangtua mengatasi tekanan hidup tapi malah melihat orangtua ambruk tatkala menghadapi tekanan hidup. Sedikit-sedikit orangtua histeris, sedikit-sedikit orangtua menangis, sedikit-sedikit orangtua lari ke minuman keras, sedikit-sedikit orangtua lari dari rumah, menghindar dari problem, apa yang bisa si anak serap dari situ? Tidak ada. Nah karena akhirnya tidak ada yang diserap, tidak ada model yang positif, si anak sendiri tidak mengembangkan kemampuan itu, dan kalau dia tidak mendapatkan cukup kasih sayang dari orangtuanya yang seharusnya menjadi bahan untuk membuat dirinya kuat, dia akan makin lemah dan makin lemah, tidak punya keterampilan, tidak punya kekuatan untuk menghadapi tekanan hidup itu.
GS : Tapi ada beberapa kasus ada anak yang sejak kecil ditinggal orangtuanya, entah karena meninggal atau pindah; anak ini menjadi pribadi yang kuat Pak Paul, kenapa bisa begitu?

PG : Dalam kasus yang tertentu Pak Gunawan, ada anak-anak yang kehilangan figur kuat dari orangtua namun mendapatkannya dari orang lain. Tetap mesti ada yang dilihatnya, sebab tidak mungkin diamenciptakannya sendiri.

Kalau misalkan dia dirawat oleh kakeknya atau oleh pamannya dan dia melihat ketangguhan-ketangguhan itu atau dibesarkan di lingkungan di mana dia melihat orang-orang di sekitarnya tangguh menghadapi tekanan-tekanan hidup, dia bisa juga menyerap dari orang-orang lain itu. Sehingga akhirnya dia mengerti cara-cara menghadapi masalah-masalah itu.
GS : Jadi sebenarnya anak ini lebih baik ditinggal oleh orangtuanya dibandingkan dengan anak yang harus menghadapi orangtuanya yang berkepribadian lemah?

PG : Betul, jadi kalau si anak hidup dengan orangtua yang tidak memberikan contoh yang baik, dan dia sehari-hari melihat kelemahan tersebut biasanya akan berdampak negatif, karena akhirnya inilh yang selalu diserapnya.

Dari sini kita bisa simpulkan satu hal yang lain, kalau orangtua terlalu melindungi anak, orangtua itu tanpa disadari sedang menciptakan kepribadian yang lemah pada si anak. Si anak tidak pernah dibiarkan menghadapi hidup sendirian, semua harus disortir atau disaring oleh orangtua, dan nanti kalau ada apa-apa yang tidak beres, orangtua yang terjun, membereskan bagi anak sehingga anak akhirnya tidak memiliki kekuatan itu. Sekali lagi ini penting bagi orangtua untuk menyeimbangkan antara melindungi anak dan membiarkan anak, antara memproteksi anak dan melepas anak sendiri. Jangan sampai anak itu besar terus-menerus kita proteksi sehingga akhirnya dia seperti burung yang tidak pernah mengembangkan atau tidak pernah mempunyai sayap.
GS : Tapi memang ada di dalam salah satu keluarga, anaknya tunggal dan sakit-sakitan sejak kecil sehingga oleh orangtuanya memang dilindungi secara berlebihan.

PG : Kadang kala hal-hal ini memang susah dihindari Pak Gunawan, sebab anak datang ke dunia memiliki kondisi-kondisi tertentu. Jadi contoh Pak Gunawan ini sering terjadi, ada orangtua yang memag tanpa merencanakan akhirnya memberi perhatian yang berlebihan kepada anak tertentu karena kelemahan tubuhnya atau kelemahan fisiknya.

Nah kalau kita sudah menyadari ini sekarang, penting bagi orangtua untuk memberikan kebebasan kepada anak, biarkan si anak menghadapi hidup. Jangan sampai kita mengambil alih tanggung jawab itu daripadanya.
GS : Selama itu tidak membahayakan jiwanya, Pak Paul?

PG : Betul, selama itu tidak membahayakan jiwanya.

GS : Ada anak yang sejak kecil, sering kali pendapatnya itu tidak dihiraukan bahkan disalahkan terus, itu bisa menjadi orang yang berkepribadian lemah atau tidak Pak Paul?

PG : Bisa juga Pak Gunawan, sebab apa yang dikatakannya tidak pernah benar, dianggap gagal terus-menerus, akhirnya dia tidak mempercayai suara hatinya atau dirinya. Ini yang pada akhirnya kita atakan dia tidak memiliki kepercayaan diri, sebab dia tidak bisa mempercayai apa yang dirinya sendiri kemukakan, apa yang dirinya sendiri pikirkan.

Dia tidak percaya sebab pada awalnya lingkungan dalam hal ini orangtua memang tidak mempercayai pikirannya, akhirnya dia ikut-ikutan; dia sendiri pun tidak mempercayai dirinya itu. Dan belum apa-apa dia sudah meramalkan dia akan salah, dia akan gagal, ini akhirnya yang akan melemahkan diri si anak. Dan yang lain yang mirip adalah penolakan; ada anak-anak yang memang tidak berbuat apa-apa pun sudah ditolak oleh lingkungan atau dalam hal ini oleh keluarganya. Karena misalkan ciri-ciri fisiknya tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemampuannya tidak sesuai dengan yang diharapkan sehingga belum apa-apa si anak sudah menerima penolakan-penolakan. Berarti dia tidak lagi bisa mendapatkan kekuatan dari orangtuanya, penghiburan; orangtua yang membesarkan hatinya waktu dia sedang kecil hati, semuanya itu akan terhilang dalam hidup dia. Sering kali anak-anak seperti ini goyah karena tidak pernah mendapatkan kekuatan-kekuatan dari orangtuanya. Waktu dia besar dia menjadi pribadi yang lemah.
GS : Sering kali orang yang memiliki kepribadian yang lemah ini, kalau sudah dewasa nampak sekali dia sangat rendah diri, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi memang kelihatan dari caranya bersikap, berlaku, memperlakukan orang, sepertinya dia merasa dirinya ada yang tidak benar, ada yang tidak layak untuk diberika kepada orang, sehingga dia rasanya malu dengan dirinya sendiri.

GS : Bahkan untuk diajak duduk bersama-sama pun harus dipaksa-paksa. Hanya untuk menghindari terjadinya pembicaraan yang dia tidak bisa ikuti atau dia merasa dirinya tidak mampu lagi.

PG : Betul, yang seharusnya mengundang iba dalam diri kita bersama dengan orang yang mengalami semua ini, sebab sesungguhnya dia sendiri pun tidak mau seperti ini, kalau memungkinkan dia ingin angkit dan menjadi sama seperti orang lain.

Tapi memang dia tidak mempunyai kekuatan itu, dan kita kalau tidak mengerti akan langsung memarahi dia dan berkata, "Kamu kok takut, kamu kok tidak percaya diri, kamu yang maju saja, hadapi saja dan sebagainya." Kita luput melihat masalah dari kacamatanya dia, sebab memang dari kacamatanya dia, menurutnya dia tidak mempunyai modal itu, dia tidak mempunyai kekuatan itu.
GS : Dan kalau dipaksakan pun itu bisa kelihatan secara fisiknya misalnya berkeringat dingin, berbicaranya juga terputus-putus itu sangat kelihatan dan itu sangat mengganggu pada suatu komunitas.

PG : Dan dia pun tahu bahwa orang melihat dia seperti ini sehingga dia sendiri pun sebetulnya menghindar dari situasi seperti ini. Dia tidak mau dilihat orang gugup, ketakutan, maka dia mencobamenghindar.

Nah waktu dia melihat dirinya seperti itu dan dia sadari orang pun melihat dirinya seperti itu, makin dia terpuruk, makin dia merasa dirinya itu bermasalah luar biasa dan dia akhirnya makin lemah. Nah inilah biasanya siklusnya Pak Gunawan.
GS : Tapi biasanya masalah ini bisa diatasi atau tidak Pak Paul?

PG : Sebetulnya bisa, misalnya yang pertama yang kita lakukan adalah kita memang harus memberikan bantuan kepada dia. Jadi keliru kalau kita berkata, "Justru dengan orang seperti ini biarkan di sendirian, dia hadapi semuanya."

Tidak demikian, sebab kalau kita baru bertemu dengan dia di usia dewasa berarti dia memerlukan waktu yang masih panjang untuk bisa membangun dirinya. Nah dia tidak bisa membangun dirinya sendirian, jadi kesimpulannya adalah memang dia memerlukan orang lain, tugas menolongnya menghadapi tantangan itu. Beritahu dia caranya, berikan dia dorongan, kita katakan kita akan mendoakan dia, kita akan berikan perhatian lagi, kita minta dia mencoba melakukannya lagi. Dengan kata lain kita memang harus bersama dia, sebab sendirian sudah pasti dia akan runtuh, maka kita mesti bersama dia. Tapi prinsipnya kita bersama menghadapi jangan kita membiarkan dia lari, kita katakan, "Saya akan bersama kamu, tapi kita mesti hadapi bersama-sama."
GS : Dan dari pihak yang bersangkutan itu harus mau menghadapi masalah itu Pak Paul, kalau dia sudah tidak mau memang sulit dipaksa-paksa.

PG : Betul, dan memang untuk meyakinkan dia untuk mau akan susah, maka kita harus yakinkan bahwa kita akan bersama dia, kita akan mencoba menolongnya sehingga dia tahu bahwa kalau sampai dia haus menemukan jalan buntu, nah kita akan berada di situ bersama dia untuk bisa memecahkan masalahnya juga.

Jadi itu langkah pertama, memang perlu kita menolong dia, tidak bisa menyuruh dia terjun sendirian.
GS : Sering kali yang dikemukakan itu kekhawatiran-kekhawatiran akan banyak hal yang bakal dihadapi walaupun belum tentu itu akan menjadi kenyataan dia sudah khawatir dulu.

PG : Betul, karena dalam bayangan dia, dia itu pasti gagal, jadi belum apa-apa dia akan pikirkan faktor-faktor yang akan menghambat dan menggagalkan dia. Ini akan membawa kita pada langkah kedu yaitu kita mesti menolongnya melihat problem satu persatu.

Melihat tugas atau apa yang harus dilakukannya satu persatu, kita tekankan prinsip pokoknya setiap hari mempunyai persoalan atau kekhawatirannya sendiri-sendiri. Jadi jangan pikirkan 10 hari dimuka berarti kalau 10 hari di muka ya 10 problem, pikirkan satu hari saja. Ini yang penting dia sadari, sebab kecenderungannya orang-orang yang berkepribadian lemah cepat merasa tertindih, belum apa-apa sudah merasa tenggelam dalam problem. Kita mesti yang menolong dia menguraikan problem itu, "Langkah pertama kamu begini, langkah kedua begini, sudah selesaikan ini dulu. Kalau kita sudah selesaikan ini, besok kita bicarakan lagi langkah berikutnya." Jadi awal-awalnya kita yang memang harus menolong membelah-belah problem, sehingga lebih bisa dicerna olehnya dan menjadi kepingan-kepingan yang kecil, yang dia bisa selesaikan.
GS : Padahal dalam kehidupan ini sulit menyelesaikan persoalan satu demi satu, datangnya persoalan biasanya secara bersamaan.

PG : Memang bisa jadi persoalannya ada beberapa dan banyak betul, namun dalam penyelesaiannya ini tugas kita untuk menolongnya melihat satu persatu. Jadi kita katakan, "Besok, kita akan melihatproblem yang satunya, hari ini kita hanya melihat problem ini, jangan pikirkan problem yang kedua."

Jadi itu yang kita mau ajarkan kepada dia, sebuah cara berpikir yang berbeda. Karena dia biasanya melihat semuanya sekaligus, kita menolongnya untuk menyusunnya saja, sehingga dia akan memandang satu demi satu.
GS : Itu kalau dia harus menyelesaikan, kita sudah membantu menyusunnya dan masalah itu ada yang mudah diselesaikan dan ada yang agak sulit diselesaikan. Biasanya yang mana yang didahulukan Pak Paul, diberikan masalah yang lebih berat atau yang lebih ringan untuk diselesaikan terlebih dahulu.

PG : Prinsipnya selalu memberikan kepada dia problem yang ringan, karena dengan dia bisa menyelesaikan satu tantangan yang ringan, itu akan membuat dia lebih percaya diri, dia merasa dirinya leih kuat, nah ini akan menjadi bekal atau modal bagi dia menyelesaikan problem lain yang sedikit lebih berat.

Jadi selalu awal-awalnya kita pecah-pecahkan problem dan kepingan yang ringan itulah yang pertama-tama dia mesti selesaikan. Seperti apa ringannya, misalnya kita memintanya untuk menelepon seseorang, misalnya begitu saja. Hari ini saya minta kamu untuk menelepon orang ini dan mengatakan ini dulu, tentang yang lain-lainnya besok kita bicarakan lagi, untuk hari ini kita fokuskan pada ini saja. Seperti itu sederhananya menolong orang yang memang berkepribadian lemah.
GS : Untuk menelepon saja itu sudah sesuatu yang berat, misalnya saja orang ini adalah orang yang berkepribadian lemah dan dia sedang membutuhkan pekerjaan, ada teman memang yang bisa menyediakan pekerjaan dan dia harus menelepon. Untuk melakukan menelepon ini saja dia sudah kesulitan.

PG : Sering kali Pak Gunawan, dan ini sering membuat kita frustrasi, menelepon saja tidak mau. Jadi apa yang harus kita lakukan, kita harus berada di situ dengan dia dan berkata, "Ayo sekarang ita telepon orang ini, ayo saya yang coba teleponkan dia dan nanti kamu langsung ngomong ya."

Jadi awal-awalnya kita itu harus seperti itu Pak Gunawan, memberikan bantuan sepraktis dan selangsung mungkin.
GS : Kekhawatirannya adalah orang itu menjadi bergantung pada kita, kita menjadi sesuatu yang membebani dia untuk dia terus bergantung pada kita, ini ada kekhawatiran itu.

PG : Dan ada kecenderungan yang kuat, karena seperti tadi kita bahas mereka memang senang bergantung pada orang lain sebab dengan cara seperti itu orang lain yang menyelesaikan problem untuk di, jadi kecenderungan itu sangat kuat.

Itu sebabnya dalam upaya kita menolong dia, kita selalu harus jeli melihat ini memang dia perlu atau memang dia tidak mau. Perlahan-lahan kita harus memberanikan diri berkata, "Kalau kamu tidak kerjakan ini saya tidak bisa kerjakan, kamu harus mengambil langkah," dan kita menahan diri untuk memberikan bantuan itu kepadanya. Kadang-kadang kita harus menarik diri kita dan memaksa dia untuk melakukannya.
GS : Atau mungkin orang yang mendapingi dia harus berganti-ganti?

PG : Ini ide yang baik jadi jangan hanya satu orang, karena kalau hanya satu orang bergantung pada satu orang saja.

GS : Dan dalam hal ini tentu orang yang berkepribadian lemah ini membutuhkan pertolongan dari Tuhan, hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan dia. Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul bagikan untuk menolong orang-orang yang berkepribadian lemah?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 11:24, "Ada orang yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan." Prinsip yang terkandung dalam irman Tuhan di sini adalah berilah, orang yang memberi makin hari akan makin mempunyai, tapi orang yang tidak mau memberi makin hari makin kekurangan.

Nah orang yang berkepribadian lemah hanya siap menerima, tidak mau memberi, nah kita harus mengingatkan. Mestilah belajar memberi, mesti belajar melakukan, makin melakukan makin kuat, makin memberi makin mempunyai, jangan berpikir biarkan orang lain saja dan dia hanya bergantung pada yang lain. makin bergantung, makin tidak berbuat apa-apa, makin kekurangan dan makin kekurangan. Firman Tuhan saya kira cukup jelas mendorong semua orang untuk lebih aktif dan tidak pasif.

GS : Itu juga yang dilakukan Tuhan Yesus untuk memotivasi para murid, para rasul dan kita semua untuk menjadi orang-orang yang bukan berkepribadian lemah tetapi pribadi yang kuat. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pribadi Lemah", bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



9. Pengakuan Akan Kelemahan Diri


Info:

Nara Sumber: Bp. Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T219A (File MP3 T219A)


Abstrak:

Dalam dunia yang penuh persaingan ini, orang berlomba untuk menjadi yang lebih baik, dan kalau perlu menjadi yang terbaik. Orang seringkali lupa kalau mengakui kelemahan merupakan salah satu kualitas kepribadian yang penting. Akan dijelaskan mengenai penyebab mengapa kita tidak mau mengakui kelemahan diri dan apa motif kita, saat kita mengakui kelemahan diri di depan orang lain.


Ringkasan:

Dalam dunia sekarang yang penuh persaingan ini, orang berlomba untuk menjadi yang lebih baik, dan kalau perlu menjadi yang terbaik. Orang seringkali lupa kalau mengakui kelemahan merupa-kan salah satu kualitas kepribadian yang penting. Ketika kita mulai melihat kekurangan diri, kita juga mulai berpikir untuk memperbaiki diri. Jadi, proses belajar dan mengembangkan diri berawal dari kesadaran dan pengakuan akan keterbatasan diri.

Penyebab mengapa orang sulit mengakui kelemahan diri :

Adanya pandangan atau keyakinan bahwa mengakui kelemahan membuat kita tampak lemah di hadapan orang lain. Padahal, memperlihatkan sisi kelemahan kita justru sebetulnya membuat kita lebih tampak sebagai orang yang menyenangkan dan rendah hati.

Adanya keinginan besar untuk tampil baik di hadapan orang lain dan menutupi atau menyembunyikan perbuatan atau niat buruk diri sendiri.

Besarnya keinginan untuk merasa diri lebih baik dibanding orang lain, untuk mengalahkan orang lain.

Ketidaktahuan akan kelemahan diri, atau seperti kata Alkitab, kita melihat selumbar di mata

kita, sedangkan balok di dalam mata kita tidak kita ketahui. Sikap melihat kelemahan orang lain dan menghakimi mereka akan mempersulit kita mengakui kelemahan kita sendiri.

Batas-batas mengenai kelemahan apa saja yang bisa kita buka dan apa yang sebaiknya kita simpan :

Dua hal penting ketika kita mengakui kelemahan di depan publik yaitu hikmat dan bijaksana. Setiap orang mempunyai rahasia dan saya kira hal ini wajar, bahkan sehat. Kepada orang tertentu kita dapat membuka lebar pintu hati kita, sehingga mungkin hampir tidak ada rahasia kita dengannya. Orang yang seharusnya kita tidak punya rahasia adalah pasangan kita dan tentu juga kepada Tuhan. Tetapi kepada orang yang baru kenal, atau kepada orang yang kita tahu kurang memiliki kemauan baik, kita tidak perlu beberkan semua kelemahan kita.

Motif kita saat kita mengaku kelemahan diri :

Tulus dan tidak manipulatif.

Keinginan untuk tampil apa adanya dan jujur serta rendah hati.

Kemauan untuk mengubah karakter kita yang kurang baik dengan pertolongan dari Tuhan.

Firman Tuhan :

"Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita daripada segala dosa. Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan Firman-Nya tidak ada di dalam kita." (I Yohanes 1:7-10)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pengakuan akan Kelemahan Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, kalau kita mengakui tentang kelemahan diri, padahal kita melihat orang berlomba-lomba mencari prestasi, berlomba-lomba menunjukkan kelebihannya apakah ini pembicaraan yang cukup relevan atau tidak?

HE : Saya rasa justru dalam kondisi semacam ini pengakuan akan kelemahan diri akan semakin relevan. Soalnya kemampuan untuk mengakui kelemahan merupakan salah satu kwalitas kepribadian yang pening yang mulai terhilang dari kita.

Ketika kita mulai melihat kekurangan diri, kita mulai berfikir untuk memperbaiki diri. Jadi proses belajar dan mengembangkan diri berawal dari kesadaran dan pengakuan akan keterbatasan diri.
GS : Justru seringkali masalahnya disitu. Pak Heman katakan kwalitas bagian yang penting, tapi sekarang ini justru orang tidak mementingkan kwalitas yang penting ada, murah, tersedia, kemudian orang mau membeli. Demikian juga terimbas pada kehidupan kita, orang tidak lagi memperhatikan kwalitas hanya kwantintas dan hal ini apakah tidak mengganggu atau tidak merepotkan seseorang mengakui kelemahannya.

HE : Memang ini akan cukup mengganggu tapi kita harus ingat bahwa hidup kita tidak hanya mengejar murah, mudah dan yang instan, tetapi kita juga mengejar hal-hal yang punya arti, yang mulia yan kita harus kejar.

GS : Bahkan yang bersifat kekal. Masalahnya kalau kita mengakui kelemahan kita orang akan meninggalkan kita atau paling tidak orang akan merendahkan kita tidak menghargai kita, apakah betul seperti itu?

HE : Kenyataannya sering tidak demikian karena orang yang cenderung kita dekati dan kita senangi itu justru orang yang kurang menyadari atau mengakui keterbatasannya. Sebab pengakuan akan kelemhan membuat orang lain merasa mereka dibutuhkan dan penting relasinya dengan kita.

Selain itu keterbukaan kita membuat orang lain merasa diundang masuk ke dalam diri kita, membuat orang lain lebih mendekat kepada kita. Orang lain juga bisa merasa senasib dengan kita, dengan pengertian karena kita pun memiliki kelemahan yang sama seperti orang lain itu.
GS : Tapi ada sebagian orang lain yang justru tidak mau didekati oleh orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya lemah, dirinya penuh kekurangan, dirinya memerlukan bantuan. Dengan alasan orang seperti ini akan merepotkan saya sehingga dia menjauh atau orang itu yang disuruh pergi.

HE : Tentu ada orang-orang yang demikian, dalam hal ini kita memang mengakui kelemahan diri tetapi tidak berarti kita bergantung kepada seseorang. Memang kalau kita mempunyai kelemahan kita memuka, tapi bukan kita ingin pertolongan orang lain dan meminta pertolongan orang lain, tidak berarti demikian.

GS : Kesannya orang yang seperti ini tidak percaya dengan dirinya sendiri.

HE : Tapi kalau kita melakukannya dengan tepat dan tulus, orang akan menghargai kita.

GS : Tadi Pak Heman katakan, kwalitas kepribadian yang penting adalah mengakui kelemahan kita sendiri. Sebenarnya letak keistimewaan itu sendiri dimana?

HE : Letak keistimewaan dari mengakui kelemahan diri adalah kita bisa memperlihatkan bahwa kita rendah hati, kita bukan orang yang serba sempurna dan kita bisa salah. Maka orang akan lebih meneima hal yang demikian, dibanding kalau kita tidak mengakui kelemahan diri.

Maka kita dikatakan orang yang tidak jujur atau orang yang tidak bisa menerima dirinya.
GS : Apakah ada kecenderungan dari manusia agar mereka dilihat lebih baik dari apa adanya.

HE : Betul, ini kecenderungan dari manusia yang berdosa, jadi ingin selalu dikagumi, dihargai. Padahal, terkadang orang juga bisa melakukan kesalahan.

GS : Apakah hal itu juga menjadi dosa manusia, Pak Heman?

HE : Betul, misalnya Adam dan Hawa ketika mereka jatuh dalam dosa mereka menutupi dirinya. Jadi bukannya mereka mengakui di hadapan Tuhan, tetapi menutupi diri waktu pertama kali mereka tahu bawa mereka telanjang lalu menyelimuti dirinya dengan daun-daunan dan bersembunyi karena ingin dilihat oke.

Dan bahkan mereka menyalahkan pihak lain misalnya Adam menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan ular yang menyebabkan mereka berbuat dosa, bukan diri mereka tetapi orang lain berbuat dosa yang menyebabkan mereka jatuh.
GS : Ditengah-tengah persaingan yang demikian ketat orang berlomba-lomba dan sebagainya. Apakah ada hal-hal yang positif yang bisa kita lihat kalau kita itu mengakui kelemahan kita.

HE : Tentu ada, sebetulnya persaingan itu tidak terlalu buruk. Jadi kadang-kadang kita bisa melihat dan membaca melalui Rasul Paulus menggambarkan kehidupan rohani orang percaya dengan ilustrai seperti pertandingan lari.

Tetapi dalam hal ini persaingan di dalam pengertian Alkitab itu berbeda dengan pengertian kita yang hidup di zaman ini. Persaingan yang melahirkan banyak problem dalam zaman ini adalah persaingan yang didasari oleh hawa nafsu dan kedagingan kita. Misalnya, menimbulkan perasaan iri hati, dendam, pertengkaran, fitnah dan bahkan juga pembunuhan. Didalam persaingan yang dimaksud oleh Alkitab adalah perlombaan di dalam perbuatan baik, pengembangan kerohanian, pengembangan karakter pribadi. Kalau kita berbicara kembali pada pengakuan akan kelemahan kita apa keistimewaannya yaitu kadang-kadang justru membuat orang lain mengikuti jejak kita dan membuat situasi menjadiih baik bukan saling bermusuhan tetapi justru ada kerelaan dari mereka untuk mau bekerjasama dengan kita. Sekali pun orang lain tidak mengikuti jejak kita, paliidak orang akan menghargai kita.
GS : Memang tidak semua persaingan itu buruk, tetapi ada sesuatu yang positif yang tadi sudah pak Heman katakan. Namun seringkali itu diwarnai oleh keinginan seseorang untuk menonjolkan diri, apakah dia menyadari atau tidak tetapi persaingan saya rasa punya nuansa seperti itu. Didalam kita mengemukakan kelemahan kita, orang juga akan berlomba-lomba menunjukkan kelemahan pribadinya tetapi itu akan menjadi sesuatu yang tidak sehat.

HE : Ya, sebaliknya ada juga orang-orang yang selalu menyebut-nyebut akan kelemahannya dengan harapan tentunya orang lain akan memuji dirinya. Tetapi seringkali yang demikian membuat orang lainkurang menghargai kita.

Dan bagaimanakah kita bisa membuat pengakuan ini tidak sampai membuat orang tidak menghargai kita, dan sepertinya kita ingin meminta pengertian orang lain? Salah satunya adalah kita perlu melihat atau mawas diri kepada motivasi kita, apa motivasi kita yang mendasarinya. Motif ini sungguh penting yaitu apa maksud kita menyatakan pengakuan ini, kalau motif kita baik, benar, maka hasilnya tentu akan positif buat pertumbuhan pribadi kita.
GS : Tetapi orang yang kita beritahu tentang kelemahan itu tidak mengerti motivasi kita. Kalau kita sendiri tahu motivasi kita, tetapi orang yang mendengar keluhan kita tidak bisa tahu.

HE : Pada dasarnya kita tidak selalu mengeluh tetapi sekali-kali misalnya dengan meminta maaf dan dengan menyesali kekurangan atau kesalahan kita, itu sudah merupakan suatu pengakuan terhadap kkurangan diri kita.

Dan yang penting adalah sebetulnya penilaian orang terhadap kita tentu tidak didasarkan kepada satu kejadian saja. Secara keseluruhan kalau kita memang memiliki suatu karakter kepribadian yang berkwalitas seperti yang dikatakan tadi, maka ketulusan dan kerendahan hati kita itu nantinya akan menjadi nyata. Jadi kita tidak perlu menyatakan atau mengumbar kalau kita itu motifnya baik. Tetapi keseluruhan dari apa yang kita sampaikan atau akui itu akan menunjukkan ketulusan kita. Nah ini juga sikap yang sangat dibutuhkan ketika kita berelasi dengan Tuhan. Sebab dalam ayat Alkitab dituliskan dengan keras, misalnya didalam 1 Yohanes 1:10 demikian "Jika kita berkata, bahwa kitdak ada berdosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita". Jelas-jelas bahwa kita itu orang yang berdosa tetapi kalau kita tidak mau mengakuinya maka keras sekali Firman Tuhan mengatakan, bahwa kita membuat Tuhan menjadi pendusta. Ini adalah Firman Tuhan yang menegaskan bahwa perlu mengakui kelemahan kita.
GS : Menjadikan Tuhan sebagai pendusta, ini memang sangat keras sekali. Memang motivasi kita kadang-kadang timbul dari awalnya. Sejak awal kita ingin mengutarakan kelemahan tetapi dengan berjalannya waktu dan beberapa pengaruh itu membuat motivasi itu bergeser. Bisa menjadi suatu kesombongan bagi dirinya sendiri atau mengambil keuntungan lewat kelemahan pribadi itu.

HE : Betul, sekali lagi motif kita. Dengan mengambil keuntungan itu berarti kita sedang mempertahankan kelemahan kita itu. Kita tidak ingin bertumbuh, berubah dan yang membedakan disini adalah otif yang mendasarinya.

Kalau misalnya kita sengaja dan bertahan di dalam kelemahan kita, berarti kelemahan diri akan memukul balik kita. Membuat kita justru tidak baik kwalitas kepribadiannya.
GS : Kadang-kadang pernah juga orang yang tadinya mengutarakan tentang kelemahannya, kekurangannya tapi ujung-ujungnya kelihatan bahwa dia sebenarnya menyombongkan dirinya sendiri. Bahwa dalam kelemahannya ini pun dia mampu dan bahkan sukses dalam kehidupannya. Itu sebenarnya sudah bergeser motivasinya.

HE : Rasanya kita memang harus belajar dari Rasul Paulus yang justru di dalam kelemahannya dia berbangga, bermegah akan kekuatan dari Tuhan dan dia mengatakan bahwa dirinya adalah Rasul yang paing berdosa.

Tetapi dengan keberdosaan ini atau pengakuan ini justru dia bekerja lebih keras dari semua orang. Ini saya kira teladan yang patut kita teladani.
GS : Intinya menyadari bahwa dirinya adalah orang berdosa yang penuh dengan kekurangan.

HE : Tapi tidak menghentikan dia untuk berubah, jadi dia tetap bekerja keras untuk mengatasinya.

GS : Dia tidak membutuhkan bantuan itu untuk seterusnya dan dia menggantungkan dirinya atau hidupnya kepada orang lain.

HE : Tapi ketergantungan kita akan Tuhan itu sangat penting.

GS : Apa yang mungkin menjadi penyebab sehingga orang-orang tertentu sulit sekali untuk menyampaikan atau menyebutkan kelemahan dirinya.

HE : Saya catat disini ada beberapa penyebab, misalnya yang pertama adalah pandangan atau keyakinan mengakui kelemahan membuat kita tampak lemah di hadapan orang lain. Padahal sebagaimana yang udah kita bahas, memperlihatkan sisi kelemahan kita itu justru sebetulnya membuat kita lebih tampak sebagai orang yang sangat menyenangkan.

Yang kedua adanya keinginan besar untuk tampil baik dihadapan orang lain dan menutupi perbuatan atau niat buruk diri sendiri. Yang ketiga ada besarnya keinginan untuk merasa diri lebih baik dibanding orang lain, untuk mengalahkan orang lain seperti tadi kita katakan untuk bersaing dengan orang lain dan tentu dengan hal seperti ini kita cenderung menutup-nutupi kelemahan diri. Padahal kelemahan diri itu seringkali dilihat dengan jelas oleh orang lain. Dan yang keempat kita tidak tahu akan kelemahan diri atau seperti kata Alkitab "Kita melihat selumbar di mata saudara kita sedangkan balok di dalam mata kita tidak kita ketahui". Bagaimana orang yang tidak mengetahui kelemahan diri bisa mengakui kelemahannya. Ini adalah empat hal mengenai sulitnya mengakui kelemahan diri.
GS : Tadi kalau Pak Heman katakan adanya pandangan atau keyakinan bahwa mengakui kelemahan itu membuat kita lemah, dan ini saya lihat tidak lepas dari pengaruh masa kecil. Seperti kita ini, kebanyakan sejak kecil sudah diberitahukan untuk tidak menunjukkan bahwa kita itu lemah. Seandainya "Tidak boleh menangis" apalagi anak laki-laki, kalau kita diganggu teman-teman tidak boleh sedikit-sedikit memberitahu orangtua dan harus dilawan sendiri. Ini sangat berpengaruh bahwa sampai dewasa pun kita punya konsep saya tidak boleh menunjukkan kelemahan diri kita.

HE : Saya kira ini cara mendidik dari orangtua yang tidak selalu bergantung pada orang lain. Saya kira hal ini tidak sekuat misalnya dari teladan orangtua sendiri artinya kalau orangtua terhada anak tidak pernah mengakui bahwa dia salah, tidak pernah mengakui bahwa dia mempunyai satu dua kelemahan di hadapan anak, atau tidak pernah meminta maaf kepada pasangan atau kepada anak.

Ini yang seringkali membuat anak berpikir, "buat apa saya menyatakan kelemahan diri saya".
GS : Ataupun kalau dia pernah mengemukakan kelemahan dirinya kemudian dia diolok-olok, sehingga dia malu untuk melakukan hal itu, hingga dewasa pun dia tidak mau melakukannya.

HE : Ya betul dan itu bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk guru.

GS : Tadi Pak Heman katakan, yang alasannya antara lain adalah karena kita tidak tahu adanya kelemahan didalam diri kita. Masalahnya bagaimana orang ini menjadi tahu tentang kelemahannya.

HE : Ini memang masalah, saya kira Firman Tuhan itu seringkali juga bisa menjadi cermin buat kita. Misalnya digambarkan tentang hikmat, tentang hidup yang bijaksana seperti apa, hidup bersama Than harusnya seperti bagaimana.

Hal-hal itu akan melatih kepekaan kita. Satu lagi didalam hubungan sosial kita, kadang-kadang orang menyampaikan kritikan, orang yang tidak aman dengan dirinya maka dia akan segera menyangkal atau pun membela dirinya. Kita perlu mengerem secara otomatis kita ingin menyangkalinya, tetapi beberapa saat kita harus diam dulu kita coba cerna. Itu akan membuat kita tahu akan diri kita yang sebagaimana dilihat oleh orang lain.
GS : Atau orang-orang yang dekat dengan kita juga dapat memberitahukan kita pada kelemahan kita.

HE : Betul, pada saat itu sering kali kita merasa tidak enak, kita ingin menyangkal dan itu mesti di rem.

GS : Paling tidak juga butuh konfirmasi dengan yang lainnya juga. Apakah betul ini kelemahan diri dan ini memang sangat membutuhkan kejujuran.

HE : Dan itu kesulitannya karena kita manusia yang berdosa.

GS : Memang ada kekhawatiran kalau kita sudah mengemukakan kelemahan kita kepada orang lain. Ini bisa dijadikan senjata oleh orang itu untuk menyerang kita, untuk merugikan kita, dan bagaimana sikap kita menghadapi hal ini?

HE : Mau tidak mau kita harus terima keterbukaan akan kelemahan diri itu ada resikonya yaitu dimanfaatkan oleh orang lain untuk menjatuhkan kita. Untuk itu, baiklah kita juga belajar kepada tokh-tokoh Alkitab.

Dimana mereka tidak harus sampai membela diri tetapi mereka dapat dengan rendah hati terbuka dan akhirnya mereka diakui oleh orang lain.
GS : Siapa tokoh Alkitab yang bisa Pak Heman pikirkan?

HE : Saya kira kita bisa belajar lagi kepada Rasul Paulus, karena Rasul Paulus juga dikritik tetapi dia tidak ragu-ragu untuk mengatakan, misalnya saja Apolos pandai berkhotbah dan dia kurang, etapi Rasul Paulus tetap dihargai oleh orang lain.

Dia mengakui akan kelemahannya misalnya dia tahu akan kekayaan, dia tahu juga tentang kemiskinan dan dia menderita ini dan itu. Tetapi dia tidak menjadikan hal-hal seperti itu sesuatu kebanggaan bagi dirinya. Jadi apakah kebanggaannya? Kebanggaannya adalah kekuatan dari Tuhan yang menguatkan dia mengatasi kelemahan-kelemahan itu, dan dengan cara demikian orang juga bisa mengerti bagaimana perjuangan yang keras dari Paulus. Orang bisa melihat bahwa Paulus ini bukan orang yang sungguh sempurna, pernah diangkat ke langit ketiga tetapi dia tidak berani berbicara atas namanya sendiri atau membanggakan itu. Karena itu Rasul Paulus mengatakan ada utusan iblis yang menggocoh dia dan sudah tiga kali dia minta kepada Tuhan tetapi utusan itu tidak dicabut, seperti duri dalam dagingnya tidak dicabut oleh Tuhan.
GS : Berarti ada hal-hal tertentu atau batas-batas tertentu, kelemahan mana yang patut kita sampaikan kepada publik atau kepada orang lain. Tetapi ada kelemahan-kelemahan tertentu yang sebaiknya kita simpan untuk diri kita sendiri.

HE : Betul dan disini kita memerlukan satu hikmat dan bijaksana.

GS : Itu seperti bagaimana Pak?

HE : Kira-kira dua hal penting yang kita harus jaga atau kita harus perhatikan yaitu setiap orang mempunyai rahasia dan saya kira ini wajar-wajar dan bahkan sehat. Setiap orang perlu suatu ruan untuk kerahasiaan ini.

Ada yang perlu kita buka kepada orang lain, ada yang tidak perlu dan juga yang bisa dibuka kepada orang tertentu saja. Tetapi misalnya sebagai contoh kalau kepada pasangan kita hampir boleh dikata kita tidak menyimpan rahasia dan ini sehat. Tetapi untuk orang lain, beberapa hal kita perlu jaga supaya kita tidak membuka semua hal. Seperti Raja Hizkia, dia membuka rahasia negaranya kepada raja di tempat lain dan itu menjadikan Tuhan marah. Ini perlu bijaksana dari kita dan kepada orang yang baru kita kenal atau orang-orang yang kita tahu kurang memiliki kemauan baik, kita tidak perlu membeberkan semua kekurangan kita.
GS : Berarti makin dekat kita dengan seseorang, maka kita lebih aman membuka kelemahan kita dibandingkan dengan yang agak jauh hubungannya dengan kita.

HE : Betul dan ini natural sekali.

GS : Dan itu pun harus diperhatikan tingkat usianya, tadi Pak Heman katakan terhadap pasangan suami atau istri kita bisa terbuka. Walaupun dekat dengan anak-anak kita belum tentu bisa membuka kelemahan itu.

HE : Betul.

GS : Memang dibutuhkan hikmat bijaksana itu. Kita dapatnya dari mana Pak?

HE : Ada beberapa pegangan buat kita. Kembali ke motif kita yang pertama adalah supaya motif kita tulus tidak manipulatif, tidak menggunakan kelemahan kita untuk memanipulasi orang lain. Yang kdua keinginan untuk tampil apa adanya, jujur serta rendah hati.

Biarlah itu menjadi dasar waktu kita mengakui kelemahan diri kita. Dan yang ketiga adanya kemauan untuk mengubah karakter kita yang kurang baik dan dengan pertolongan dari Tuhan. Dengan tiga hal ini kita harapkan bahwa waktu kita mengakui, kita juga mempunyai batas, kita mempunyai hikmat dan bijaksana.
GS : Ya memang kelemahan ini banyak aspeknya, Pak Heman. Ada kelemahan dibidang fisik dan kadang-kadang orang bisa langsung melihat. Memang kita memiliki kelemahan fisik tertentu, tadi mengenai Rasul Paulus mungkin orang bisa melihat duri didalam dagingnya itu tetapi juga ada kelemahan-kelemahan yang orang tidak mudah melihat hal itu, kelemahan karakter kita. Kalau seseorang tidak terlalu dekat 'kan tidak bisa tahu, kecuali kalau kita mengungkapkannya.

HE : Betul, dan memang kita tidak setiap saat mengungkapkannya. Jadi misalnya kalau kita lemah dalam mengingat nama orang dsb. Tidak ada salahnya misalnya kita bilang minta maaf "maaf ya, saya asanya masih ingat wajah saudara dan kita pernah ketemu dimana, tapi saya lupa nama kamu siapa, nama anda siapa" dari pada kita sok akrab lalu kita menyebut namanya dan ternyata kita salah.

GS : Sembarangan saja menyebut nama. Tetapi hal-hal yang bersifat mempermalukan kita misalnya saja kita punya kecenderungan mencuri diam-diam atau suka memikirkan hal-hal kotor itu sebenarnya tidak perlu kita langsung ungkapkan kepada orang lain.

HE : Dalam suatu persekutuan kadang-kadang ini perlu kita akui, misalnya didalam suatu persekutuan kecil, karena Alkitab mengatakan "Biarlah kita saling mengaku dosa kita dan saling mendoakan".Dan diharapkan dengan pangakuan ini misalnya ada permintaan saya ini sering susah menahan pikiran-pikiran kotor saya, boleh tidak minta tolong teman-teman untuk mendoakan saya, saya sungguh membutuhkan pertolongan dari Tuhan.

Dengan singkat dan tidak dengan cara mendetail menyatakan semua dosa-dosa. Maka saya kira ini akan baik.
GS : Pak Heman, apakah ada ayat Alkitab yang ingin Pak Heman sampaikan sehubungan dengan perbincangan kita kali ini.

HE : Saya ingin bacakan secara lengkap dari 1 Yohanes 1:7-10 : "Tetapi jika kita hidup dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain,dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.

Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita manipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada didalam kita".

GS : Itu suatu uraian yang lengkap dan cukup jelas, terima kasih Pak Heman untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pengakuan akan Kelemahan Diri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



10. Seni Memberi


Info:

Nara Sumber: Bp. Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T219B (File MP3 T219B)


Abstrak:

Dikatakan bahwa memberi lebih baik daripada menerima. Kita cenderung menuntut orang lain untuk memberi, tetapi sering kita sendiri enggan untuk memberi. Ada beberapa sebab kenapa orang susah untuk memberi, salah satunya ialah karena kita memiliki kecenderungan mementingkan diri.


Ringkasan:

Dikatakan bahwa memberi lebih baik daripada menerima. Tetapi dalam kenyataannya, ada beberapa persoalan yang membuat terhambat ketika ingin memberi sesuatu kepada orang lain.

Beberapa manfaat dari memberi :

Sebetulnya ada banyak manfaat ketika kita memberi pada orang lain. Kita mempunyai Tuhan yang murah hati dan suka memberi. Ketika kita juga memberi, kita percaya Tuhan menyukainya. Hidup kita pun menjadi lebih bermakna. Karena kita diciptakan bukan sekadar hidup buat diri kita sendiri.

Manfaat lain adalah dalam hal relasi. Orang yang memberi dengan tulus akan mempunyai relasi yang lebih baik dengan orang lain juga.

Kita cenderung menuntut orang lain untuk memberi, tetapi sering kita sendiri enggan untuk memberi. Ada beberapa sebab kenapa orang susah untuk memberi, urutannya adalah sebagai berikut :

Kita ini manusia berdosa. Kita yang percaya kepada Kristus sudah ditebus dan hutang dosa sudah dihapus. Tetapi kecenderungan berdosa masih ada dalam diri kita. Kecenderungan kita adalah mementingkan diri. Terus terang kita tidak rela melihat orang lain lebih beruntung, lebih menikmati hidup dan lebih baik dari kita. Padahal memberi menuntut pengorbanan dari kita. Sering memberi itu juga berarti mengorbankan hak yang kita miliki. Saya berhak atas gaji saya sepenuhnya karena hasil kerja saya. Memberi berarti mengorbankan hak atas penghasilan saya demi orang lain. Nah, saya tidak suka itu karena saya lebih terpaku pada hak dan kepentingan diri saya sendiri.

Contohnya adalah Yesus sendiri yang telah mengorbankan nyawanya untuk kita, ada pelajaran yang bisa kita petik dari tindakan Yesus, yaitu :

Tindakan Tuhan Yesus yang harus kita pelajari adalah pemberian itu didasarkan atas kasih. Pemberian yang tidak didasarkan kasih, tetap bersifat mementingkan diri.

Memberi juga kadang-kadang berarti ditujukan kepada orang-orang yang bertentangan dengan kita. Yaitu termasuk kepada orang-orang yang tidak menyukai kita.

Ketika pemberian kita ditolak, bahkan dibalas dengan kejahatan, kita perlu mengingat bahwa ini adalah bagian dari batu uji untuk mengasihi Tuhan dan sesama kita. Kasih kita menjadi nyata ketika kita tidak menjadi marah dan membalas kejahatan dengan kejahatan pula.

Firman Tuhan : "Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya." (2 Korintus 8:9)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Seni Memberi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, dikatakan bahwa memberi itu lebih baik dari pada menerima ini kutipan yang diambil dari Alkitab. Tetapi pada kenyataannya ada beberapa persoalan yang menghambat kita ketika kita ingin memberi orang lain. Salah satu persoalannya adalah mengenai manfaat kita memberi, apakah dengan memberi kita dapat memperoleh manfaat.

HE : Ada banyak manfaat, ketika kita memberi kepada orang lain. Tuhan kita itu murah hati dan suka memberi dan ketika memberi kita percaya Tuhan menyukainya. Hidup kita pun menjadi lebih bermaka karena kita diciptakan bukan sekadar hidup buat diri kita sendiri tetapi juga hidup buat orang lain.

Manfaat lain adalah didalam hal berelasi, orang yang memberi dengan tulus hati akan mempunyai relasi yang lebih baik dengan orang lain.
GS : Kalau melihat uraian ini, memberi bukan hanya terbatas secara materi atau keuangan jadi bisa memberi tenaga, memberikan pikiran, memberikan apa yang kita miliki. Banyak orang yang senang dekat dengan orang yang suka memberi dan kita juga cenderung menuntut orang lain untuk memberi. Tetapi seringkali kita sendiri enggan untuk memberi. Apakah ada sebabnya kenapa kita sukar untuk memberi pada orang lain.

HE : Karena kita ini manusia yang berdosa, kita yang percaya kepada Kristus telah ditebus dan hutang dosa sudah dihapus tetapi kecenderungan berdosa masih ada dalam diri kita. Dan kecenderungankita adalah mementingkan diri sendiri.

Terus terang kita tidak rela orang lain lebih beruntung, artinya kalau kita memberi kelihatan orang lain lebih beruntung dari kita, orang lain lebih menikmati hidup dan kita kurang senang karena mereka lebih baik dari kita. Padahal memberi menuntut pengorbanan dari kita, sering memberi berarti mengorbankan hak yang kita miliki. Misalnya saya berhak atas gaji saya sepenuhnya karena hasil kerja saya, saya tidak perlu berbagi dengan orang lain. Memberi berarti mengorbankan hak atas penghasilan saya demi orang lain dan saya tidak suka akan hal itu karena saya lebih terpaku pada hak dan kepentingan diri saya sendiri. Ini beberapa hambatan membuat orang enggan memberi.
GS : Kalau kita memberi berarti kita harus memahami dulu bagaimana Tuhan Yesus telah berkorban untuk kita artinya kalau kita belum bisa menghayati pengorbanan Tuhan Yesus hampir mustahil kita bisa memberi sesuatu kepada orang lain.

HE : Betul, ini benar sekali. Jadi kita harus menghayati bagaimana Tuhan sudah berkorban sedemikian besar buat kita. Dikatakan tidak menganggap kedudukannya yang setara dengan Allah itu sebagaihak yang perlu dipertahankan.

GS : Berarti dalam hal ini ketika kita memberi kepada seseorang ini harus dilandasi oleh kasih Kristus sendiri jadi bukan sekadar memberi.

HE : Betul sekali.

GS : Karena kadang-kadang kita bisa memberi pada seseorang dan kita merasa wajar kita memberikan hal ini, karena kita mengasihi dia. Jadi memang pada dasarnya kasih itu.

HE : Ya tentu saja kita boleh melakukan hal seperti itu, jadi memberi itu memang mengenal tingkatan-tingkatan. Seperti memberi kepada orang yang memang berhak menerimanya. Tapi dalam hal ini kaang-kadang dituntut juga ada pengorbanan dari diri kita dan kadang-kadang ada orang yang memang tidak tahu berterima kasih.

Disitu letak masalahnya membuat kita juga akhirnya enggan memberi.
GS : Seringkali kita memberikan sesuatu kepada orang yang kita kasihi dan kita tidak merasa itu sesuatu yang berat buat kita. Dan bagaimana kita bisa menjelaskan hal ini, mengingat kita ini secara natur adalah orang berdosa yang selalu mementingkan diri sendiri.

HE : Kita juga mengingat bahwa selain kita berdosa, sebetulnya awalnya kita diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Jadi sebetulnya kita juga sedikit banyak memiliki kemampuan untuk mengasihi. Tuhan Yesus juga menggunakan perumpamaan seorang ayah yang memberi kepada anaknya, kalau anaknya minta roti orang tua tidak memberikan batu kepada dia, dsb. Ini adalah suatu petunjuk bahwa memang kita sebagai manusia mempunyai kebutuhan atau pun suatu kemampuan untuk mengasihi dan memberi. Masalahnya adalah dengan kemampuan ini, tidak dengan sendirinya kita kehilangan keinginan untuk terus memikirkan diri sendiri. Sebagai contoh ada orangtua meskipun mengasihi anaknya tetapi pada keadaan yang mendesak sekali secara ekonomi, dia sampai rela menjual anaknya sendiri. Ada orangtua yang bisa mengeksploitasi anaknya. Juga ada orangtua demi kariernya dia mengorbankan anaknya dengan menyibukkan diri di luar keluarga sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi dan ini sebetulnya ditujukan untuk kepentingan dirinya.

GS : Sebenarnya sekali pun kita punya natur sebagai orang berdosa tetapi kita juga diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Memberi itu sendiri pada dasarnya sesuatu yang mudah atau yang sukar, Pak?

HE : Ini sesuatu yang sukar.

GS : Jadi bagaimana supaya kita bisa melakukan hal memberi?

HE : Kita belajar meneladani Allah. Memang hati kita perlu dipenuhi oleh kasih Allah dan seperti Pak Gunawan sudah sebut tentang penghayatan kepada kasih dan pengorbanan dari Yesus Kristus. Dalm firman Tuhan, Tuhan Yesus juga memerintahkan supaya kita mengasihi artinya memang kasih itu bukan sesuatu yang natural dan perlu mendapatkan perintah dari Tuhan untuk kita melakukannya.

GS : Dan kalau kita membaca di kitab Galatia, kasih merupakan suatu buah roh bukan sesuatu yang natural keluar dari diri seseorang.

HE : Jadi ada gabungan yaitu menuntut diri kita untuk melakukannya dan menaati firman Tuhan tetapi juga kita harus taat dan membiarkan Roh Kudus mengendalikan dan menguasai kita.

GS : Itu membutuhkan suatu usaha yang sungguh-sungguh atau ekstra keras didalam diri seseorang. Dalam hal memberi kalau kita berbicara mengenai memberi itu banyak seginya, kalau diawal kita sudah katakan bukan hanya uang tetapi bisa waktu, bisa tenaga, bisa pikiran dan sebagainya. Tetapi masalahnya seberapa banyak kita harus memberi dan sampai seberapa jauh kita itu harus berkorban.

HE : Disinilah seni memberi itu yaitu mengatur keseimbangan dan dikatakan bahwa hukum yang terutama dan yang utama adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi, hati dan jiwa ita, serta juga mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri.

Saya garis bawahi mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Berarti disini menunjukkan bahwa ada saatnya kita juga memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Kita juga ingat bahwa Yesus sendiri memerlukan waktu istirahat, tidur, makan, minum dan juga menyendiri untuk berdoa kepada Allah Bapa ketika Dia hidup di dunia ini. Yesus juga membiarkan orang melayani dia tetapi tidak seorang pun menyangka bahwa Yesus kurang memberi, sampai saat ini pun kita yang percaya kepadaNya dapat merasakan pemberiannya yang tidak terkatakan besarnya karena Ia memberi hidupnya sendiri untuk kita. Satu hal lagi kita ingat kisah dari Petrus dan Yohanes dari Kisah Para Rasul pasal 3, mereka Petrus dan Yohanes ini bertemu dengan seorang pengemis yang lumpuh sejak lahir tidak bisa jalan dekat pintu gerbang Bait Allah. Petrus berkata, "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang aku punyai kuberikan kepadamu, demi nama Yesus Kristus orang Nazaret itu berjalanlah". Dengan demikian disini ada satu catatan, memberi tidak bisa dari yang kita tidak punya karena kita ingin menyenangkan hati orang, lalu kita berkorban dengan memaksakan diri memberi yang kita sebetulnya tidak sanggup berikan.
GS : Jadi kalau kita memberi kepada seseorang tetapi kita berhutang kepada orang lain, itu sebetulnya salah, Pak?

HE : Ya, itu adalah perilaku yang kurang sehat.

GS : Atau kalau kita begitu mudah memberikan uang atau harta kita kepada orang lain sedangkan orangtua kita sendiri kekurangan. Itu pun suatu sisi yang tidak betul Pak?

HE : Betul, jadi kita harus melihat keseimbangan tetapi kembali lagi yaitu waktu memberi tentunya ada pengorbanan.

GS : Disini dalam perbincangan ini diberi judul "Seni Memberi", seninya itu justru menjaga keseimbangan.

HE : Tepat sekali, Pak Gunawan.

GS : Kalau mengingat akan Tuhan Yesus sendiri Dia memberi pengampunan kepada orang-orang yang menyakiti hatinya, bahkan yang menganiaya Dia. Apa ada pelajaran yang bisa kita ambil atau kita petik dari tindakan Tuhan Yesus yang juga memberikan kasih untuk orang yang sebenarnya tidak layak untuk diberi kasih.

HE : Disini ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik misalnya yang pertama tindakan Tuhan Yesus yang bisa kita pelajari adalah pemberian itu didasarkan atas kasih artinya bukan bersifat timbl balik "Kamu baik dengan saya jadi saya juga memberikan sesuatu kepada kamu", bukan begitu.

Tetapi pemberian kasih ini tidak didasarkan kepada sifat mementingkan diri sendiri. Hal yang kedua yaitu memberi juga kadang-kadang berarti ditujukan kepada orang-orang yang memang bertentangan dengan kita, termasuk orang-orang yang tidak menyukai kita. Yang ketiga ketika pemberian kita ditolak bahkan dibalas dengan kejahatan kita perlu mengingat bahwa ini adalah bagian dari batu uji untuk kita mengasihi Tuhan dan sesama kita. Kasih kita menjadi nyata justru ketika kita tidak menjadi marah dan membalas kejahatan dengan kejahatan pula.
GS : Memang seringkali kita memberi kepada orang lain menurut kepentingan kita. Tadi Pak Heman katakan "Kita memberi supaya kita diberi", dan seringkali juga kita memberi menurut apa yang kita anggap baik untuk orang itu. Padahal belum tentu dia membutuhkan itu, apa yang kita berikan kepadanya itu belum tentu menjadi kebutuhan pokoknya. Dia malah membutuhkan kita memberikan sesuatu yang lain dari pada hal itu. Apakah hal itu bisa terjadi, Pak Heman?

HE : Bisa terjadi juga, dan kita tidak harus memberikan sesuai dengan permintaan orang lain. Jadi kita tidak harus menyenangkan semua orang tetapi kita ingat Tuhan Yesus selalu memberikan sesuau yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh orang lain berdasarkan belas kasihan.

GS : Memang resikonya seperti Tuhan Yesus sendiri adalah apa yang diberikan kepada orang lain itu justru ditolak dan hal itu juga bisa terjadi dalam diri kita. Kita sudah memberi sesuatu dianggap menghina, dianggap memberikan sesuatu yang tidak pas untuk dia, dan bagaimana sikap kita?

HE : Inilah resikonya. Dan disini dibutuhkan kelapangan hati dan kita juga belajar untuk mengampuni. Karena pengorbanan Tuhan Yesus tidak diterima oleh semua orang. Ada orang-orang yang sampai apan pun tidak menerima kasih Tuhan Yesus itu.

Sebetulnya Tuhan Yesus itu memberikan nyawaNya dan itulah yang paling berharga yang Tuhan Yesus berikan kepada semua manusia, tetapi masalahnya adalah tidak semua orang menerimanya. Kalau ada orang yang tidak menerimanya ya apa boleh buat.
GS : Tetapi kadang-kadang Tuhan Yesus juga memberikan contoh suatu sikap yang sangat tegas yang mengatakan kepada para murid kalau kamu memberi salam dan orang itu tidak menyambut kamu, maka kebaskan debu di kakimu supaya salam itu kembali kepadamu. Artinya harus ada suatu sikap yang tegas yang harus ditunjukkan kepada orang yang menolak pemberian kasih itu.

HE : Betul, dan ini memang membutuhkan hikmat karena kadang-kadang memberi itu menjadi suatu hal yang dilematis yaitu serba salah. Sehingga ada kata-kata dari Tuhan Yesus yang sangat keras jugamisalnya dari Matius 7:6 Tuhan Yesus mengatakan, "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu".

Jadi kadang-kadang Tuhan Yesus juga tidak mengadakan mujizat ditengah-tengah orang yang tidak percaya kepadanya, disini perlu hikmat dan perlu seni.
GS : Berarti kadang-kadang tidak memberi pun merupakan hal yang bisa dibenarkan.

HE : Betul, misalnya kita terhadap anak. Anak meminta sesuatu tidak tentu harus kita ikuti sebab kalau kita memberikan semua hal yang diminta anak, itu berarti memanjakan dan justru merusak ana itu.

GS : Dalam kehidupan kita sehari-hari kadang ada orang-orang tertentu yang menyalah gunakan jabatannya atau kedudukannya untuk memeras kita. Sehingga kita harus dengan tegas mengatakan, "Tidak bisa."

HE : Betul.

GS : Jadi memang tepat apa yang menjadi judul pembicaraan kita ini merupakan seni dan ini dibutuhkan waktu untuk kita belajar. Kadang-kadang kita mudah saja memberi dan memberi, tetapi tanggapannya biasa-biasa saja.

HE : Itu sebabnya memberi itu bukan pekerjaan yang mudah kadang-kadang juga menuntut pemikiran kita, ada energi, ada yang kita harus gumulkan.

GS : Jadi kita harus memikirkan manfaat dari memberi bagi diri kita sendiri. Apakah hal ini bisa dibenarkan, Pak?

HE : Sebetulnya tidak sepenuhnya kita bisa membenarkan diri kita kalau misalnya memberi kemudian selalu mengingat akan apa yang kita dapatkan. Kalau itu yang kita lakukan maka kita kehilangan ktulusan kita.

Tetapi kadang-kadang kita bisa menerima hal yang positif ketika kita memberi dan kalau memang pemberian kita itu dihargai dan diketahui maka tidak apa-apa kita terima saja. Tetapi terlepas dari semuanya itu kita juga perlu ingat akan suatu pengajaran Yesus seperti yang saya kutip dari Matius 6:3-4, "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
GS : Maknanya seperti apa Pak? Karena sekarang ini orang justru berlomba-lomba memberi dan minta namanya dicantumkan bahkan ada jemaat yang marah-marah ketika dia memberikan persembahan dan namanya tidak tercantum dalam warta jemaat misalnya, seolah-olah hilang begitu saja. Itu bagaimana Pak?

HE : Tentu saja kita tidak bisa mencegah hal-hal seperti itu dan kita tidak bisa melarang orang untuk berbuat seperti. Mungkin saja ada orang-orang tertentu yang memang meminta tanggung jawab bhwa dia sudah mempercayakan kepada kita.

Tidak ada salahnya untuk kita penuhi, tetapi untuk kita sendiri waktu memberi kita perlu mengingat akan prinsip ini yaitu memberikan dengan tersembunyi dan ini hadiahnya besar / pahalanya besar yaitu Bapa sendiri. Allah kita akan memberikan kepada kita. Jadi bukan orang lain yang bisa kita lihat secara langsung tetapi justru Bapa kita dan ini luar biasa.
GS : Jadi kembali lagi kepada motivasi itu tadi. Ketika kita memberi sebenarnya motivasi kita itu apa. Untuk mengharapkan balasan dari Tuhan bahkan ada orang yang memberi dengan sikap seperti itu, supaya Tuhan membalasnya dengan berlipat-lipat ganda, pemberian seperti itu sebenarnya tidak bisa dibenarkan.

HE : Betul, jadi sebenarnya Tuhan akan membalas menurut firman Tuhan dan ini janji dari firman Tuhan. Tetapi dari kita sendiri memberi itu bukan sekadar pahala atau hadiah yang akan kita dapatkn tetapi ini adalah pernyataan kasih sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus.

GS : Kalau pun kita katakan sebagai balas jasa kita kepada Tuhan, maka kita tidak akan bisa membalas jasa yang sudah Tuhan diberikan kepada kita, Pak?

HE : Betul, sama sekali tidak sepadan. Kita bisa melihat Tuhan sudah begitu baik kepada kita tetapi kita melakukan hal seperti itu hanya kecil saja dan itu sangat tidak berarti.

GS : Jadi satu-satunya alasan adalah ini pengucapan syukur kita kepada Tuhan dan kepada sesama yang sudah memungkinkan kita sampai berada seperti sekarang ini.

HE : Ini ungkapan yang baik sekali, sebagai pengucapan syukur.

GS : Biasanya pemberian itu banyak dilakukan di hari-hari tertentu. Pada hari ulang tahun, Natal atau Tahun Baru atau ada moment-moment khusus seperti itu. Gejala apa yang dapat disimpulkan dalam hal seperti ini.

HE : Ini menunjukkan antara lain pada hari tertentu, sebagian orang memperoleh keuntungan yang lebih besar atau memperoleh misalnya dua bulan gaji, ada bonus dari perusahaan dan sebagainya. Sehngga lebih mudah dan lebih banyak memberi pada hari-hari tertentu.

Selain itu ada tradisi yang seolah mengharuskan kita untuk memberi kepada orang-orang yang kita sukai dan kita kasihi pada hari-hari tersebut. Tradisi demikian tentunya sangat baik dan dapat melatih atau mengingatkan kita untuk memberi dan mengingat saudara-saudara kita yang lain, terutama yang berada dalam kekurangan. Tetapi kiranya tradisi demikian juga boleh menjadi sikap hidup keseharian kita, sehingga kita senantiasa rela untuk memberi pada hari-hari yang lain juga.
GS : Ini memang suatu sikap yang baik sekali, kebiasaan memberi pada hari-hari tertentu tetapi juga tiap-tiap hari kita juga bisa memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan.

HE : Betul.

GS : Hal yang positif seperti ini memberi kepada orang lain, bagaimana kita bisa mengajarkannya kepada anak-anak supaya mereka juga terlatih untuk bisa memberi kepada orang lain.

HE : Yang paling penting adalah teladan, anak-anak sering melihat teladan orang tuanya bagaimana sikapnya terhadap orang lain. Misalnya terhadap orang yang membantu di rumahnya, terhadap karyawn atau bawahannya, bagaimana memperlakukan orang yang berkekurangan di sekitarnya, yang berkekurangan, orang yang sedang kedukaan, orang yang mengalami bencana dan sebagainya.

Kalau orang tuanya ini tidak segan untuk memberi, saya kira anak-anak akan menirunya.
GS : Dan itu sebaiknya diambilkan dari apa yang mereka miliki. Jadi misalnya dari tabungan mereka sendiri atau kita yang memberi supaya disalurkan.

HE : Tentu dua cara ini bisa dipakai. Pada saat anak-anak masih sangat kecil, mereka tidak tahu artinya uang lalu mereka tidak memiliki tabungan sendiri maka kita memberikan kepada mereka dan mngatakan, ini untuk kepentingan memberikan kepada orang yang membutuhkan lalu kita bersama-sama mendoakan orang tersebut.

Tetapi bisa juga dalam contoh sehari-hari melalui orangtua sendiri, orangtua memberikan milik mereka sendiri. Dan pada waktu anak semakin besar, kita bisa memberikan uang jajan dengan pesan sebagian kita sisakan untuk orang-orang yang memerlukannya.
GS : Memang dalam melatih anak untuk memberi dibutuhkan teladan supaya anak bisa melihat bagaimana orangtua tidak hanya mengajar tetapi juga melakukannya. Tetapi dalam hal ini anak juga perlu dilatih supaya tidak menghamburkan uangnya hanya untuk kepentingan orang lain, tetapi mereka sendiri menjadi kesulitan didalam kehidupannya.

HE : Ya dan ini perlu diajarkan tahap demi tahap.

GS : Tetap kita mengacu pada pengorbanan Tuhan Yesus. Jadi dasarnya memberi adalah kasih kalau tidak ada kasih maka akan percuma saja. Jadi kita melatih anak-anak ini bagaimana mereka bisa peka terhadap kebutuhan orang lain.

HE : Dan bagaimana mengenali seni memberi.

GS : Itu membutuhkan waktu yang cukup panjang. Bagaimana mereka sedini mungkin diajarkan seni memberi ini.

HE : Dan tidak harus dalam bentuk uang mungkin dalam tenaga mereka, makanan yang mereka sukai.

GS : Itu suatu pengorbanan yang saya lihat. Setiap kali kita memberi kalau motifnya benar, itu pasti ada rasa pengorbanan, ada sesuatu yang hilang dari tubuh kita.

HE : Tapi ada sukacita.

GS : Ada sukacita dan itu yang tidak bisa dibeli sebenarnya. Pak Heman, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin disampaikan?

HE : Saya ingin bacakan dari 2 Korintus 8:9 "Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu mejadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya."

Jadi sudah dicatatkan disini, pengertian dari kaya adalah kaya di dalam iman, di dalam perkataan, di dalam pengetahuan dan di dalam kesungguhan untuk membantu dan di dalam kasih, ini ada di ayat ke-7. Jadi memang kasih karunia Tuhan Yesus itu sungguh-sungguh kaya, dan dengan kekayaanNya Dia menjadi miskin supaya kita menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya dan ini luar biasa.
GS : Kalau kita perhatikan ayat-ayat ini sebenarnya setelah kita percaya kepada Tuhan Yesus dan menjadi milik Tuhan, itu tidak ada alasan untuk kita tidak memberi. Karena Tuhan sudah memberikan yang terbaik dan terbanyak buat kita.

HE : Betul.

GS : Terima kasih Pak Heman untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Seni Memberi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



11. Belajar Rendah Hati


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T250A (File MP3 T250A)


Abstrak:

Tuhan memerintahkan kita pengikut-Nya untuk hidup dengan penuh kerendahan hati. Sebenarnya apakah kerendahan hati itu? Kerendahan hati di sini juga akan dibandingkan dengan tinggi hati, apa itu tinggi hati?


Ringkasan:

Tuhan memerintahkan kita pengikut-Nya untuk hidup dengan penuh kerendahan hati. Sebenarnya apakah kerendahan hati itu?

Pertama, kerendahan hati bukanlah sebuah sikap tubuh yang merendah-rendah. Di dalam banyak budaya, sikap merendahkan tubuh dianggap sebagai kerendahan hati. Sesungguhnya kerendahan hati bukanlah sikap tubuh melainkan sikap hati, yang tidak mementingkan diri, malah mengedepankan kepentingan orang lain. Marilah kita lihat dengan saksama ciri orang yang rendah hati sebagaimana diuraikan di Filipi 2:3 dengan cara mengkontraskannya dengan sikap orang yang tinggi hati, "dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia... menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri. "

  • Orang yang tinggi hati akan mencari kepentingan diri sendiri, sedangkan orang yang rendah hati akan mencari kepentingan orang lain. Orang yang tinggi hati akan selalu berpikir, "Apa untungnya buat saya?" Dengan kata lain, orang yang tinggi hati sukar melakukan sesuatu murni untuk kepentingan orang lain. Sebaliknya, orang yang rendah hati bersedia berkorban melakukan sesuatu yang tidak berkaitan atau tidak memberi keuntungan bagi dirinya.
  • Orang yang tinggi hati akan mencari puji-pujian orang terhadap dirinya, sedangkan orang yang rendah hati tidak memikirkan hal ini. Sewaktu orang yang tinggi hati melakukan sesuatu, ia akan memikirkan efeknya-apakah hasil perbuatannya akan dihargai orang atau tidak. Dengan kata lain, jika ia beranggapan bahwa efek karyanya tidak akan mengundang pujian orang, ia tidak mau melakukannya. Tidak heran, orang yang tinggi hati cepat marah dan tersinggung, bila orang tidak memberi respons terhadap karyanya sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, orang yang rendah hati akan melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya, "dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. " (Kolose 3:23) Orang yang rendah hati melihat Tuhan sebagai "penonton" perbuatannya; ia tidak memusingkan orang. Fokus utamanya adalah mempersembahkan hasil karya hidupnya untuk Tuhan; jadi, terpenting baginya adalah membuat Tuhan senang. Kalau sampai orang memuji dirinya, itu adalah efek sampingan yang tidak dicarinya.
  • Orang yang tinggi hati akan menomorsatukan diri sedangkan orang yang rendah hati berupaya menomorduakan dirinya. Orang yang tinggi hati beranggapan bahwa ia lebih utama dan lebih baik dari orang lain. Itu sebabnya orang yang tinggi hati sering kali menuntut perlakuan khusus atau istimewa sebab ia beranggapan ia tidak sama dengan orang lain. Ia berharap orang akan membebaskannya dari kewajiban yang biasanya dituntut pada kebanyakan orang oleh karena baginya, ia bukanlah orang biasa. Sebaliknya, orang yang rendah hati tidak melihat dirinya sebagai orang yang istimewa dan selayaknya menerima perlakuan khusus. Ia akan menempatkan dirinya sejajar dengan yang lain, bahkan ia cepat menghargai sumbangsih orang. Dengan kata lain, orang yang rendah hati cepat melihat keistimewaan orang lain dan lambat melihat keistimewaan dirinya. Sudah tentu ini tidak berarti bahwa ia buta terhadap dirinya; tidak! Ia tahu siapa dirinya-kekuatan dan kelemahannya, namun baginya, tidaklah penting untuk menonjolkan kekuatannya. Baginya justru yang penting adalah bagaimana ia dapat menolong orang yang lain mengembangkan diri sehingga akan lebih banyak orang yang dapat melakukan apa yang baik bagi sesama dan Tuhan

Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Belajar Rendah Hati". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita baca di seluruh bagian Alkitab bahwa Tuhan memerintahkan kita sebagai pengikut-pengikutNya untuk hidup dalam kerendah hatian, sebenarnya rendah hati itu apa?

PG : Adakalanya kita mengidentikkan rendah hati dengan rendah diri. Ini dua istilah yang memang kedengarannya mirip, namun sebetulnya tidak sama. Rendah diri adalah sebuah sikap atau pandangan erhadap diri yang melihat diri itu kurang, yang melihat diri negatif, buruk, tidak layak.

Jadi benar-benar sebuah sikap yang tidak menghargai diri sama sekali, itu adalah rendah diri. Sedangkan rendah hati adalah sebuah sikap atau karakter yang positif. Jadi orang yang rendah hati bukanlah orang yang tidak bisa melihat kebaikan dan kekuatan pada dirinya, tapi dia menyadari bahwa dia mempunyai kekuatannya namun dia juga bisa melihat dan mengakui kekurangannya dan kelemahannya. Nanti yang kita akan uraikan adalah orang yang rendah hati memunculkan beberapa ciri-ciri yang pada akhirnya adalah tidak lagi meninggikan atau mementingkan dirinya dan ini adalah sebuah konsep yang memang sangat sentral dalam iman kristiani, sebab Tuhan pun berkata kepada kita bahwa kalau kita mau mengikutNya, kita harus memikul salib dan menyangkal diri. Jadi menyangkal diri artinya tidak lagi mengedepankan diri sebagai orang yang harus di utamakan. Untuk mendasari pembahasan ini maka saya akan menggunakan panduan dari Firman Tuhan yang terambil dari Filipi 2 ayat 3, " Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri."
GS : Kalau begitu rendah hati tidak dibawa oleh orang sejak lahir, Pak Paul?

PG : Tidak. Jadi ini sebuah sikap yang kita harus pelajari dan dalam banyak hal kita harus mengakui rendah hati adalah sebuah sikap yang berlawanan dengan kodrat alamiah kita. Sebab pada akhirna kita akan melihat bahwa sebagai manusia kita tidak terlalu suka untuk mengutamakan yang lain, kita sebagai manusia ingin diutamakan.

Jadi rendah hati adalah sikap yang perlu dipelajari, perlu ditanamkan dalam diri kita dan modelnya adalah Tuhan Yesus sendiri.
GS : Dan sikap rendah hati ini juga sangat dibutuhkan dalam relasi keluarga, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sebab pada akhirnya tinggi hati atau keangkuhanlah yang memisahkan kita baik dengan Tuhan maupun dengan sesama. Saya sering berkata bahwa satu-satunya dosa yang lngsung memisahkan manusia dengan Tuhan adalah keangkuhan.

Dosa lain yang kita lakukan misalnya kita jatuh ke dalam dosa perzinahan, memang dosa adalah sesuatu yang buruk, tapi dosa perzinahan dengan cepat bisa membuat kita tersadar dan kita cepat bertobat kepada Tuhan. Namun dosa keangkuhan tidak demikian Pak Gunawan, dosa keangkuhan seringkali tidak bisa kita lihat sebagai dosa, namun efeknya adalah justru membuat kita tidak merasa butuh dengan Tuhan. Maka tadi saya katakan itu adalah dosa yang langsung memisahkan kita dari Tuhan karena keangkuhan menempatkan diri sebagai penguasa, tidak ada lagi ruangan bagi Tuhan untuk berkuasa dalam hatinya. Kalau tidak ada lagi ruang bagi Tuhan untuk berkuasa di hatinya maka jangan harap ada ruang bagi orang lain untuk masuk dan diutamakan. Jadi sekali lagi keangkuhan adalah dosa yang sangat serius sekali dan kita bisa simpulkan bahwa kerendahan hati justru adalah sebuah karakter yang indah sekali di mata Tuhan.
GS : Tapi itu membutuhkan pengorbanan dari orang yang hidup didalam kerendahan hatinya?

PG : Sangat membutuhkan pengorbanan, karena kita sebagai manusia biasa, tidak terbiasa mengedepankan orang lain, kita tidak terbiasa menaruh diri di belakang. Sebetulnya kalau memungkinkan kitaingin mendapatkan yang paling baik, yang terutama.

GS : Karena kita juga sering menjadi korban dari orang-orang yang tidak rendah hati atau orang-orang yang sombong.

PG : Jadi sebetulnya ini Pak Gunawan, salah satu tes atau ukuran untuk mengetahui betapa rendah hatinya kita atau berapa tinggi hatinya kita adalah berapa mampunya kita berada bersama orang yan tinggi hati.

Maksud saya begini, orang yang tinggi hati akan cepat mengedepankan dirinya. Dan pertanyaannya adalah apa reaksi kita kepada orang yang cepat mengedepankan dirinya? Kalau reaksi kita marah dan kita ingin menjatuhkan orang tersebut, mempermalukannya, merendahkannya supaya dia tidak angkuh lagi, sesungguhnya upaya-upaya itu menunjukkan ketinggian hati kita pula karena orang yang tinggi hati tidak tahan dengan orang yang tinggi hati, karena dia tidak tahan dengan orang yang mengedepankan dirinya sehingga dia yang dibelakangkan. Sebetulnya kita bisa simpulkan bahwa reaksi kita yang terlalu keras dengan orang yang tinggi hati, itu bisa mencerminkan ketinggian hati yang ada pada diri kita sendiri.
GS : Biasanya itu hanya untuk membela diri Pak Paul, supaya kita tidak terlalu direndah-rendahkan di hadapan orang lain.

PG : Ya, memang akhirnya menolak untuk direndahkan. Berdasarkan alasan itu kita misalkan menyerang orang yang tinggi hati, tapi persoalannya adalah sebetulnya kita berkeberatan bersama orang yng tinggi hati, sebab kita akan dikebelakangkan.

Pemberontakan kita terhadap upaya orang membuat kita berdiri di belakang sedikit banyak mencerminkan ketinggian hati itu sendiri.
GS : Karena biasanya orang-orang yang tinggi hati senang dipuji padahal kita juga mengharapkan ada pujian yang diberikan kepada kita.

PG : Betul sekali. Jadi mungkin sekarang kita akan coba lihat dengan lebih seksama ciri-ciri orang yang rendah hati. Sebenarnya sudah berapa bagian yang sudah kita singgung tadi, Pak Gunawan. Utuk melihat apa ciri-ciri orang yang rendah hati dan mudah-mudahan pendengar kita dan kita disini juga termotivasi untuk mengikuti langkah Kristus menjadi rendah hati, yang pertama adalah orang yang tinggi hati akan mencari kepentingannya sendiri sedangkan orang yang rendah hati akan mencari kepentingan orang lain, orang yang tinggi hati akan berpikir seperti ini, "Apa untungnya buat saya?" Dengan kata lain orang yang tinggi hati sukar melakukan sesuatu murni untuk kepentingan orang, sebaliknya orang yang rendah hati bersedia melakukan sesuatu yang tidak berkaitan atau yang tidak memberi keuntungan bagi dirinya sendiri.

GS : Berarti orang yang tinggi hati sulit untuk tulus kepada orang lain?

PG : Tulusnya itu biasanya tercampur dengan kepentingan pribadinya, dia tidak bisa benar-benar dengan murni melakukan sesuatu bagi orang lain, bagi kepentingan yang lain dan tidak ada kepentingn sedikit pun baginya, itu sangat sulit sekali.

Jadi dia akan selalu mengukur dengan satu pertanyaan, "Apa untungnya buat saya?" kalau tidak menguntungkan buat saya, saya tidak mau mengerjakan, untuk apa! Jadi kadang-kadang kita tidak menyadari bahwa sikap seperti ini adalah tinggi hati, karena ujung-ujungnya adalah kita mencari kepentingan diri sendiri sedangkan rendah hati tidak mencari kepentingan diri sendiri malah mencari kepentingan orang lain. Contohnya adalah Tuhan Yesus Kristus, kedatanganNya ke dunia jelas-jelas untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan karena dia justru menyerahkan nyawaNya bagi kita untuk menebus dosa-dosa yang telah kita lakukan. Jadi itu adalah sebuah perbuatan yang murni demi orang lain, maka orang yang rendah hati juga melakukan hal yang sama dan inilah ciri orang yang rendah hati.
GS : Tapi seringkali hal itu disalahgunakan oleh orang lain Pak Paul, kalau tahu bahwa ada seseorang yang mau melakukan sesuatu dengan berkorban untuk kepentingan orang lain, maka orang itu akan diperalat.

PG : Makanya Tuhan juga berkata kita harus tulus seperti burung merpati tapi kita juga harus cerdik seperti ular, artinya apa? Kita juga harus mengerti bahwa manusia di sekeliling kita tidak smuanya baik, ada yang tidak baik dan akan sengaja memperalat kita.

Bolehkah kalau kita menolak untuk diperalat? Saya kira itu tidak apa-apa. Namun adakalanya demi Kristus kita membiarkan diri kita diperalat, kita tahu orang ini sengaja memperalat kita tapi demi kepentingan yang lebih besar maka tidak apa-apa kita biarkan. Sebagai contoh kita ini dimintai tolong, "Bisa tidak jemput saya dan sebagainya," dan kita merasa, "Kamu ini sebetulnya bisa pergi sendiri dan kenapa minta jemput saya," tapi kita berkata, "Biarlah karena dia melihat kita ini mau menolong, kita ini orangnya baik," dan memang kita bisa menjemput dia, maka tidak apa-apa supaya dia bisa melihat kebaikan kita sebagai anak Tuhan. Kadang-kadang kita juga melakukan hal seperti itu. Namun tadi saya sudah tekankan, tidak ada salahnya kalau kita katakan kepada orang yang mau terus memperalat kita "Maaf saya tidak bersedia," itupun juga tidak apa-apa.
GS : Ciri yang lain apa, Pak Paul, dari orang yang rendah hati itu?

PG : Saya bandingkan lagi dengan orang yang tinggi hati, supaya dapat melihat cirinya dengan lebih tepat. Orang yang tinggi hati akan mencari puji-pujian orang terhadap dirinya, sedangkan orangyang rendah hati tidak mementingkan hal ini.

Maksud saya seperti ini, sewaktu orang yang tinggi hati melakukan sesuatu dia akan memikirkan efeknya, yakni apakah hasil perbuatannya akan dihargai orang atau tidak. Dengan kata lain, jika orang yang tinggi hati beranggapan bahwa efek karyanya tidak akan mengundang pujian orang, maka dia tidak akan melakukannya. Tidak heran orang yang tinggi hati cepat tersinggung bila orang tidak memberi respons terhadap karyanya sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya orang yang rendah hati akan melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya, dia akan mengikuti Firman Tuhan yang tertera di Kolose 3:23, "Dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." Orang yang rendah hati melihat Tuhan sebagai penonton perbuatannya, dia tidak memusingkan orang, fokus utamanya adalah mempersembahkan hasil karyanya untuk Tuhan. Jadi terpenting baginya adalah membuat Tuhan senang, kalau sampai orang memuji dirinya itu adalah efek sampingan yang tidak dicarinya.
GS : Tapi tidak secara khusus dia melakukan sesuatu demi pujian, Pak Paul?

PG : Sama sekali tidak, dia akan lakukan sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan dan itulah prinsip hidupnya. Kebalikannya orang yang tinggi hati hanya melakukan sesuatu kalau dia tahu tindakannya aau perbuatannya itu akan mengundang pujian orang, dihargai orang.

Kalau orang tidak menghargainya maka dia tidak akan lakukan tapi kalau dia sudah terlanjur melakukan dan orang tidak menghargainya maka dia akan marah, sudah tentu untuk menutupi diri supaya tidak terlihat tinggi hati mungkin saja dia akan menuduh orang yang tidak menghargai, orang yang memang menyia-nyiakan sesuatu yang baik dan sebagainya tapi sebetulnya didalam perkataan-perkataan seperti itu tersembunyi sikap yang angkuh yaitu menganggap diri hebat, apa yang saya lakukan seharusnya mendapatkan penghargaan, kalau tidak dihargai berarti orang itu memang tidak bisa melihat betapa hebatnya saya ini. Inilah yang akhirnya membuat dia cepat tersinggung dan marah kalau orang tidak memberi respons yang dia harapkan yaitu pujian.
GS : Bisa berbentuk seperti yang non material yaitu pujian itu tadi, tapi ada pula yang menuntut dalam bentuk material, Pak Paul?

PG : Ada juga yang seperti itu dan memang segala sesuatu diukur dari keuntungannya. "Apa untungnya buat saya? Saya dihargai atau tidak sesuai dengan yang saya berikan." Jadi selalu menghitung-htung apakah yang saya berikan mendapatkan balasan atau imbalan yang seharusnya, kalau tidak, dia tidak akan mau mengerjakannya.

Sebaliknya orang yang rendah hati tidak seperti itu Pak Gunawan, dia akan mengerjakan untuk Tuhan, kalau dihargai manusia, dia merasa senang, kalau tidak dihargai manusia pasti rasa sedih itu ada, tapi sekali lagi bagi orang yang rendah hati penonton perbuatannya adalah Tuhan sendiri, yang penting bertanggung jawab kepada Tuhan melakukan sebaik-baiknya.
GS : Ada orang yang bukan menuntut pujian demi dirinya sendiri, tapi dia merasa untuk mengukur kemampuan dia. Jadi kalau orang memuji maka itu seperti "feedback" buat dia.

PG : Kalau dalam kasus seperti itu, itu masih dapat dibenarkan sebab kalau kita mendapatkan tanggapan barulah kita tahu kwalitas karya kita namun yang seharusnya kita cari adalah tanggapan atauevaluasi dan tidak mesti pujian yang kita cari.

Sekali lagi Pak Gunawan, kita tadi sudah singgung bahwa untuk rendah hati itu bukan sesuatu yang alamiah buat diri kita, sebab kalau kita boleh jujur bukankah kita semua mendambakan pujian dari apa yang kita lakukan, kita ingin dihargai orang, kalau tidak dihargai orang kita juga tidak senang. Jadi inilah kodrat manusia kita yang sangat menginginkan pujian orang tapi kita juga harus melawannya, kita harus selalu ingatkan diri kita, "Lakukanlah meskipun tidak ada keuntungannya buat kita, demi Tuhan maka lakukanlah, meskipun tidak mendapat pujian dari orang, itu tidak menjadi masalah jangan pikirkan itu tapi pikirkan Tuhan, Dialah penonton yang memang menyaksikan. Jadi lakukanlah sebaik-baiknya untuk Tuhan.
GS : Padahal sejak kecil kalau kita melakukan suatu prestasi tertentu, orang tua memberikan pujian dengan tujuan memotivasi kita dan ini mungkin membekas dalam pikiran kita, Pak Paul.

PG : Bukan hanya pada orang tua tapi nanti di sekolah pun mereka sebetulnya akan mendapatkan pujian lewat angka, nilai dari guru dan sebagainya. Maka sekali lagi ini adalah sesuatu yang memang ita lawan, Pak Gunawan, sebab secara naluriah, secara alamiah kita itu terdorong untuk terus mencari pujian dan orang yang tidak menjaga dirinya akan tersedot oleh keinginan untuk dipuji dan itu akhirnya yang menjadi motivasi utama perbuatannya, ada pujian kalau tidak mendapatkan penghargaan maka dirinya akan berhenti, kalau dia tahu dia akan mendapatkan pujian barulah dia berjalan dan itulah yang akhirnya menjadi sesuatu yang salah dan justru menumbuhkan keangkuhan.

GS : Ciri yang lain apa, Pak Paul?

PG : Ciri yang lain adalah orang yang tinggi hati akan menomor satukan diri sedangkan orang yang rendah hati berupaya menomor duakan dirinya. Orang yang tinggi hati beranggapan dia lebih utama an lebih baik dari orang lain, itu sebabnya orang yang tinggi hati menuntut perlakuan khusus atau istimewa sebab dia beranggapan dia tidak sama dengan orang lain.

Jadi orang yang tinggi hati berharap orang akan membebaskannya dari kewajiban yang biasanya dituntut pada kebanyakan orang oleh karena baginya dia adalah bukan orang biasa. Sebaliknya orang yang rendah hati tidak melihat dirinya sebagai orang yang istimewa dan selayaknya menerima pengakuan khusus, ia akan menempatkan dirinya dengan yang lain bahkan dia akan cepat menghargai sumbangsih orang. Dengan kata lain, orang yang rendah hati cepat menerima keistimewaan orang lain dan lambat menerima keistimewaan dirinya. Sudah tentu orang yang rendah hati itu tidak buta terhadap dirinya, ia tahu siapa dirinya, dia tahu kekuatannya, kelemahannya namun bagi dia tidaklah penting untuk menonjolkan kekuatannya, baginya justru yang penting adalah bagaimana dia dapat menolong orang lain mengembangkan diri sehingga akan lebih banyak orang yang dapat melakukan hal yang baik bagi sesama dan Tuhan.
GS : Seringkali di dalam pertemuan-pertemuan orang merasa dirinya itu yang penting, makanya Tuhan Yesus sendiri mengatakan, "Kalau kamu diundang jangan tergesa-gesa duduk di depan, lebih baik duduk di belakang dan nanti kalau dipersilakan duduk di depan maka lebih baik."

PG : Betul sekali, makanya Tuhan berkata, "Kalau mau menjadi yang terbesar dia harus menjadi yang terkecil, kalau mau menjadi yang terdahulu dia harus menjadi yang terakhir, terbelakang." Maka uhan berkata, "Anak manusia datang bukan untuk dilayani tapi untuk melayani."

Ini bertentangan dengan kodrat alamiah kita, siapa yang mau melayani? Siapa yang tidak mau dilayani? Itu memang kodrat manusia kita yaitu mau dilayani, melayani merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kodrat manusiawi kita. Siapa yang mau terbelakang? Semua inginnya terdepan. Jadi kita selalu mencari yang di depan dan bukan yang di belakang, yang menjadi nomor pertama dan bukan nomor dua. Namun Tuhan justru meminta kita secara terencana, secara rasional, secara sadar menomor duakan diri. Justru Tuhan meminta kita mendorong orang untuk di depan, untuk di nomor satukan. Sekali lagi bukan berarti kita ini minder atau rendah diri, kita tahu kemampuan kita, kita tahu apa yang bisa kita kerjakan tapi kita lebih mau memberi kesempatan kepada yang lain untuk maju dulu. Orang yang rendah hati, wawasan hidupnya luas, Pak Gunawan, dia tidak memikirkan dirinya saja, dia tidak terkurung pada tembok pribadinya, hanya melihat dirinya saja tapi orang yang rendah hati wawasannya luas sehingga dia berpikir, "Dengan dia menomor satukan orang, mendorong orang untuk bisa berkembang dan menolong mereka berkembang bukankah lebih banyak manfaatnya," orang yang lain akhirnya mendapatkan berkat pula dan Tuhan lebih dipermuliakan. Jadi memang wawasannya sangat luas dan orang yang tinggi hati wawasannya sangat sempit sekali, karena memikirkan diri sendiri.
GS : Tapi dengan mendorong orang supaya mereka menjadi yang nomor satu dan kita menjadi yang nomor dua, apakah itu tidak sama dengan mencobai orang supaya orang itu menjadi sombong?

PG : Tidak! Karena pada akhirnya kalau kita beranggapan setiap orang melakukan hal yang sama yaitu mengalah, membuat yang lain itu akhirnya bisa maju dan mengembangkan dirinya, berarti kita itumenjadi masyarakat atau menjadi orang-orang yang tidak mengedepankan diri, tapi mau mendorong orang lain untuk mengembangkan dirinya.

Sudah tentu orang yang memberikan kesempatan itu lain kali dia juga akan belajar menomor duakan dirinya. Dengan kata lain, begini Pak Gunawan, orang ini adalah orang yang nomor satu tapi dia menjadi nomor dua, kalau orang itu sudah menjadi nomor dua berarti dia tidak bisa lagi memberikan kesempatan kepada orang lain, dia tidak bisa berkata "Kamu nomor satu" sedangkan dirinya sendiri sudah menjadi nomor dua. Jadi ini untuk yang nomor satu, tapi dia berkata, "Tidak apa-apa yang lain saja," tapi sudah tentu kalau karyanya dibutuhkan maka dia akan bersedia melakukannya dia tidak akan menolak, sedangkan kalau dia bisa menolong orang, mengembangkan diri sehingga bisa sejajar dengan dia, dia justru akan senang sekali. Jadi ini adalah konsep bahwa saya jangan sampai sendirian di atas, saya sebisanya mau membawa sebanyak-banyaknya orang untuk naik ke atas dan ini adalah konsep yang dimilikinya.
GS : Pak Paul, apakah bisa orang yang rendah hati menjadi tinggi hati karena kerendahan hatinya, Pak Paul?

PG : Makanya untuk masalah ini Winston Churchill, seorang mantan perdana menteri Inggris berkata, "Hal tersulit dalam hidup adalah menjadi rendah hati, sebab begitu kita beranggapan kita rendahhati maka kita sudah sombong," ini memang ada benarnya.

Jadi orang yang rendah hati memang seyogianya tidak memikirkan diri, kalau orang yang beranggapan dirinya rendah hati tapi memikirkan dirinya terus sebagai rendah hati berarti dia tidak rendah hati. Sebab sekali lagi orang yang rendah hati tidak memikirkan, tidak mempunyai banyak waktu melihat-lihat dirinya, bercermin-cermin menatapi dirinya. Yang justru dia pusingkan atau fokuskan adalah, "Apa yang dia bisa lakukan untuk Tuhan dan untuk sesama." Jadi memang selalu fokusnya pada mengedepankan orang lain, menganggap orang lain lebih utama dari pada dirinya.
GS : Jadi kita perlu belajar langsung dari Tuhan Yesus sendiri mengenai kerendah hatian ini?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Dan ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Filipi 2:8, ini adalah Firman Tuhan yang menceritakan tentang apa yang Kristus telah lakukan, "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan tat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama." Kristus dalam keadaan sebagai manusia merendahkan diriNya dan merendahkan diriNya sampai mati artinya sempurna. Ada orang yang bersedia rendah hati tapi sampai titik tertentu, itu salah! Tapi sampai akhir hidupnya bahkan sampai mengorbankan nyawanya. Kalau Tuhan sebagai model kita maka seyogianya kita juga menuruti Dia, sebab bukankah kita adalah anak-anak Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar Rendah Hati". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terimakasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



12. Mengikis Ketamakan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T250B (File MP3 T250B)


Abstrak:

Sukar bagi manusia untuk merasa cukup; setiap kecukupan melahirkan keinginan baru sehingga pada akhirnya kita tidak merasa cukup. Jika tidak berhati-hati, rasa tidak cukup dapat menjadi benih ketamakan. Di sini akan dipaparkan kiat untuk menjaga diri tidak tamak.


Ringkasan:

Pernah seseorang bertanya kepada John D. Rockerfeller, salah seorang terkaya di Amerika pada awal abad 20, akan definisi kecukupan. Ia menjawab, "Mempunyai sedikit lebih dari apa yang saya miliki sekarang." Sukar bagi manusia untuk merasa cukup; setiap kecukupan melahirkan keinginan baru sehingga pada akhirnya kita tidak merasa cukup. Jika tidak berhati-hati, rasa tidak cukup dapat menjadi benih ketamakan. Berikut akan dipaparkan kiat untuk menjaga diri tidak tamak.

  • Ketamakan merupakan sifat dasar semua orang; jadi, jangan beranggapan bahwa kita tidak memiliki masalah dengan ketamakan. Ketamakan tidak selalu berkaitan dengan materi; ketamakan juga bisa mencakup hal lain seperti pujian dan perhatian. Ketamakan adalah ketidakpuasan tanpa batas; makin dipuaskan makin merasa tidak cukup. Kita tahu kita tamak tatkala kita telah mempunyai sesuatu namun ingin mempunyai lebih lagi.
  • Ketamakan dimulai dengan melihat apa yang tidak kita miliki; oleh sebab itu kita mesti melatih diri untuk melihat apa yang kita miliki dan menghargainya.
  • Ketamakan dipupuk dengan melihat apa yang orang lain miliki; oleh sebab itu kita mesti melatih diri untuk juga melihat apa yang orang lain tidak miliki.
  • Ketamakan tidak pernah berhasil memberi kepuasan sebab semua kepuasan mesti berasal dari dalam diri sendiri. Itu sebabnya buah Roh Kudus sebagaimana dipaparkan di Galatia 5:22-23 berasal dari hidup orang percaya itu sendiri, yakni "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri."
  • Ketamakan mesti dilawan dengan ketaatan pada kehendak Tuhan. "Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh dan janganlah kita gila hormat...." (Galatia 5:24-26)

Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengikis Ketamakan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita memiliki kecenderungan untuk tamak, untuk serakah, selalu tidak puas dengan apa yang kita miliki dan kita tahu sebenarnya ini bertentangan dengan Firman Tuhan, namun bagaimana kita bisa keluar dari dosa ketamakan ini, Pak Paul?

PG : Betul sekali apa yang Pak Gunawan katakan bahwa kita memang adalah orang yang tamak dan untuk mengetahui bahwa kita ini tamak sebetulnya tidak perlu jauh-jauh, kita bisa lihat dengan jela pada anak-anak kita.

Kecenderungan anak atau manusia untuk tamak misalnya siapa anak yang bila disuruh dengan rela memberikan apa yang dia senangi atau yang dia sukai kepada yang lain. Kalau untuk barang yang dia tidak suka, maka dia akan mudah untuk memberikan tapi kalau untuk yang dia sukai maka dia akan pegang terus. Misalkan dia sedang membawa makanan dan kita memintanya, kalau dia suka maka dia tidak akan memberi. Orang tua memang perlahan-lahan mengajar "Boleh tidak Papa minta, Papa lapar," akhirnya dia belajar memberikan. Jadi itulah sifat yang memang kita bawa sebab Alkitab mengatakan, "Saat kita dalam kandungan pun, kita dikandung dalam dosa" karena apa yang telah diperbuat oleh Adam dan Hawa memang terus berdampak pada diri kita. Jadi memang ketamakan ada dalam darah dan daging kita, untuk bisa melawannya bukanlah sesuatu yang mudah karena kecenderungan kita adalah berjalan ke arah itu, kalau kita sukai maka kita akan ingin lagi dan lagi. Jadi memang kita tidak akan pernah merasa cukup. Sebagai pembukaan Pak Gunawan, saya akan mengutip perkataan dari seseorang yang bernama John D. Rockerfeller, seorang yang sangat kaya pada abad ke 20 di Amerika serikat, saat ditanya apa definisi dari "Cukup" dan dia menjawab, "Mempunyai sedikit lebih dari apa yang saya punyai sekarang." Padahalnya dia adalah orang yang sangat kaya namun tetap berkata "Cukup" artinya mempunyai sedikit lebih banyak dari yang saya punyai sehingga artinya adalah tidak pernah cukup. Inilah kodrat dasar manusia yang kita harus lawan.
GS : Selain dari kodrat dasar kita, secara tidak sengaja orang tua kita atau kalangan pendidik kita mendorong kita untuk menjadi tamak.

PG : Betul sekali karena itulah cara orang hidup yang biasanya orang lakukan adalah tidak berhenti kalau memang ini disukai maka jangan berhenti dan teruskan dapatkan lagi dan dapatkan lagi. Mialnya ada orang yang membuka usaha dan berhasil, kecenderungannya bukannya membiarkan usahanya satu tapi dia akan membuka lagi yang satunya, kalau sudah berkembang maka dia akan berkata "Saya akan buka lagi," itu adalah kecenderungan manusiawi kita sehingga kita susah sekali berkata "Cukup atau sudah."

Bukankah adakalanya inilah ambisi kita yang didasari atas ketamakan, kita sampai-sampai rela mengorbankan orang lain, Pak Gunawan. Ada orang yang memperalat orang, mengabaikan keluarganya, yang penting bisa mempunyai lebih dan lebih lagi tidak pernah cukup-cukup. Malahan ada orang yang akhirnya melewati batas yaitu kalau orang yang lain akan mendapatkan pekerjaannya atau proyeknya meskipun dia sudah serba kecukupan maka dia berusaha menjegalnya dengan cara-cara yang kotor dia berusaha membatalkan kontrak orang yang sudah tertulis, sehingga orang lain tidak bisa mendapatkan proyek itu dan semua harus kembali kepada dirinya. Jadi inilah lingkungan kita, Pak Gunawan, dimana kita hidup. Betul apa yang telah Pak Gunawan katakan yaitu agak susah untuk bisa melawan semua ini karena di mana-mana seperti ini yaitu tidak pernah cukup dan harus lebih.
GS : Dan ketamakan ini bisa menjadi ancaman besar bagi keutuhan keluarga, Pak Paul, artinya ada suami yang rela meninggalkan keluarganya demi mencukupi kebutuhan rumah tangganya, melakukan hal itu padahal mereka sudah berlebihan.

PG : Betul sekali, mungkin dia bisa berkata "Ini untuk keluarga dan sebagainya" tapi sebenarnya tidak. Dalam kasus-kasus seperti itu istri atau anak-anaknya akan berkata, "Tidak! Ini bukan buatkami tapi buat engkau karena kalau sungguh-sungguh buat kami, maka yang kami butuhkan adalah engkau di rumah tapi engkau tidak pernah di rumah."

Jadi sekali lagi ini sebuah bentuk ketamakan dan untuk menghadapinya, yang pertama adalah kita mesti menyadari kalau kita semua pada dasarnya mempunyai sifat tamak ini dan jangan kita beranggapan, "Saya tidak mungkin akan tamak," karena kalau kita sudah mengatakan hal itu maka berarti kita sudah berjalan di atas rel ketamakan. Saya tahu akan ada orang yang berkata, "Tidak! Kalau dengan harta saya tidak seperti itu, kalau sudah dapat maka saya merasa cukup." Memang ada orang tidak tamak dengan harta tapi kita bisa tamak dengan hal-hal yang lain, Pak Gunawan. Contohnya ada orang yang sangat tamak dengan pujian tidak cukup dengan pujian, dia mungkin sekali mendapat pujian lewat perbuatan-perbuatan tertentu, tapi intinya adalah motivasi melakukan semua perbuatan itu adalah supaya menerima pujian dan kalau sudah menerimanya maka dia akan berusaha mencari pujian lagi, dia melakukannya lagi supaya dipuji dan terus seperti itu. Jadi benar-benar sepertinya tercandu pada pujian yang tidak pernah bisa memuaskannya. Ada juga orang yang tamak dengan kasih, dengan cinta atau dengan perhatian, tidak cukup-cukup menerima perhatian dari orang apalagi dari pasangan, dari suaminya atau dari istrinya, dia terus meminta dan menuntut diberikan perhatian, tidak pernah merasa puas. Ini sebetulnya bentuk-bentuk ketamakan meskipun bukan ketamakan materi tapi intinya atau dasarnya adalah sama yaitu tidak pernah merasa puas dan harus mendapatkan lebih.
GS : Itu juga bisa terjadi dengan pelayanan. Jadi yang tidak pernah puas melakukan pelayanan dengan bidang tertentu dan hampir semua bidang pelayanan dimasuki olehnya.

PG : Ada yang seperti itu, dia memasuki semua bidang. Atau ada orang yang di dalam suatu bidang namun dia tidak memberi kesempatan orang lain masuk menggantikannya karena dia merasa bahwa ini aalah hak miliknya.

Itu sebetulnya adalah bentuk-bentuk ketamakan. Memang ada orang yang harus mengontrol, mengetahui semua kegiatan sehingga dia masuk ke semua jurusan dan mungkin dia bisa menggunakan alasan, "Kalau ada yang menggantikan berarti saya tidak bisa memberi laporan, kalau saya tidak tahu apa-apa dan orang bertanya, maka itu juga bukan hal yang baik." Tapi sebetulnya di belakang itu, pertanyaannya adalah kenapa harus masuk ke segala jurusan, ke segala tempat pelayanan dan sebagainya? Sebetulnya ada yang dicarinya, Pak Gunawan, biasanya yang dicari adalah "merasa diri penting" bahwa kita dibutuhkan di pelayanan A, di pelayanan B, di komisi A, di komisi B, kalau saya masuk di mana-mana berarti saya punya tempat di semua jurusan. Dengan kata lain itu adalah sebuah ketamakan yakni tidak bisa puas, dia harus mendapatkan pengakuan bahwa dia masih penting, itu adalah ketamakan juga.
GS : Pak Paul, selain menyadari bahwa ketamakan sudah menjadi sifat dasar kita apakah ada hal-hal lain yang bisa kita lakukan untuk mencegah diri supaya tidak tamak?

PG : Ada dua, Pak Gunawan, yang akan saya bagikan dan sebetulnya ini berkaitan dengan perspektif bagaimana cara kita memandang diri kita dan sesama dan ternyata perspektif ini penting sekali unuk mengikis ketamakan pada diri kita.

Perspektif yang pertama adalah ketamakan umumnya dimulai dengan melihat apa yang tidak saya miliki. "Saya tidak bisa mempunyai mobil ini, kenapa saya tidak bisa mempunyai rumah ini." Jadi mulai dengan apa yang tidak kita miliki. Kalau kita mulai dengan perspektif ini yaitu apa yang tidak kita miliki maka sudah tentu langkah berikutnya adalah mau mendapatkan yang tidak kita miliki. Dengan kata lain ketamakan selalu melihat bagian yang kosong dari gelas yang terisi air. "Kenapa ini bisa kosong? Kenapa ini kosong?" dan luput melihat bahwa di bawah yang kosong itu ada air yang banyak. Sehingga kalau kita mau mengikis ketamakan, yang pertama adalah kita harus melihat apa yang kita miliki. Yang kedua adalah menghargainya, meskipun kita harus menghargainya dengan tepat tapi tetap kita harus menghargainya. Yang saya maksud dengan tepat adalah ada orang yang justru masuk dengan kejatuhan di dalam dosa yang lain yaitu kesombongan atau membesarkan diri. Misalkan dia tidak terlalu bisa bermain musik, tapi karena dia mau menghargai kemampuan musiknya maka dia membesar-besarkan diri memberi penilaian yang terlalu tinggi terhadap kemampuan musiknya dan itu juga salah. Maka Firman Tuhan berkata, kita harus bisa melihat diri dengan tepat jangan menilai diri terlalu besar. Jadi kita mesti tepat memandang diri kita. Ketamakan adalah kegagalan kita menghargai apa yang kita miliki maka mata kita melihat apa yang tidak kita miliki dan kita ingin mendapatkannya dan kalau sudah mendapatkannya maka ingin mendapatkan lagi. Sekali lagi saya mau tekankan apakah kita tidak boleh mengembangkan diri atau mengembangkan usaha? Sudah tentu boleh, tapi tujuannya yang mesti dibedakan. Orang yang mengembangkan usahanya supaya dia tambah besar, dia tambah kaya, itu adalah ketamakan. Namun orang yang memikirkan bagaimana bisa mengembangkan usahanya supaya bisa lebih banyak orang dipekerjakan dan menafkahi keluarganya atau dapat mengembangkan diri mereka, orang yang berpikir luas seperti itu memang benar usahanya maju, tapi dia tidak tamak. Jadi sekilas hampir sama, tapi sebenarnya tujuanlah yang membedakan.
GS : Memang itu sulit sekali dibedakan dengan jelas, Pak Paul, memang orang akan selalu berkata ini untuk kepentingan orang lain, karyawan saya, buruh-buruh saya, kalau perusahaan ini saya tutup maka mereka tidak mendapat nafkah dan sebagainya. Tapi yang pasti sebagian besar dari keuntungan dia itu justru untuk dia.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi seharusnya kita memang perlu mencukupi kebutuhan keluarga kita, namun kalau kebutuhan kita sudah cukup maka sudah, dan kelebihan-kelebihan itu lebih baik unuk kita tuangkan lagi untuk kesejahteraan diri kita, staf kita guna melebarkan usaha sehingga lebih banyak orang yang dapat diserap dan bekerja.

Jadi itulah yang memang dikehendaki oleh Tuhan. Prinsipnya harus jelas, Alkitab itu jelas mengajarkan kepada kita bahwa waktu kita diberkati tujuannya adalah agar kita membagikan berkat itu kepada yang lain. Jadi Tuhan menginginkan kita menjadi saluran, tidak pernah Tuhan menginginkan kita untuk menjadi seperti waduk, hanya menerima dan menyimpan, tapi Tuhan meminta kita untuk menjadi saluran, apa yang kita terima kita salurkan. Makanya Tuhan pertama-tama memanggil orang Israel mengikat perjanjian dengan Dia menjadi umat Tuhan namun mereka gagal menerima tugas tanggung jawab dari Tuhan, malahan mereka mengeraskan hati dan tidak percaya kepada Anak Allah, menolak Kristus Yesus, sehingga tugas itu diberikan kepada orang-orang yang non-Israel, ini adalah teologi Paulus. Paulus jelaskan misalkan di kitab Roma, dari bangsa-bangsa yang lain inilah Injil keselamatan bukan saja diterima tapi juga terus disebarkan. Jadi kita selalu melihat konsep yang sama mengalir di Alkitab, "Diberkati untuk menjadi berkat," orang yang tamak tidak bisa melakukannya, Pak Gunawan, kalau diberkati berarti untuk saya dan berhenti di situ dan ini yang salah.
GS : Tadi Pak Paul katakan ada dua hal, selain yang pertama tadi maka yang kedua apa, Pak Paul?

PG : Sekali lagi kita akan kembali kepada yang pertama yaitu perspektif. Kemudian yang berikut atau yang kedua adalah biasanya kita menjadi tamak karena kita selalu melihat apa yang orang lain iliki, "Wah dia punya mobil baru, wah dia bajunya bagus," selalu melihat apa yang orang lain miliki.

Tidak bisa tidak, kalau mata kita atau perspektif kita tertuju kepada orang lain dan apa yang mereka miliki sudah tentu akhirnya itulah yang akan kita kejar, kita juga mau memiliki yang orang lain miliki itu. Ini sebabnya banyak orang yang jatuh ke dalam dosa melakukan hal-hal yang salah untuk memperoleh yang dia inginkan, tapi awalnya adalah karena terus menyoroti apa yang orang lain miliki dan akhirnya timbul keinginan untuk memiliki yang sama. Oleh karena itu kita harus mengubah perspektif tersebut, kita sekarang harus melihat apa yang orang lain tidak miliki. Jangan hanya melihat apa yang orang lain miliki, coba perhatikan apa yang orang lain tidak miliki, misalkan dia sepertinya tidak punya kedamaian, sepertinya hidup mereka tidak tentram, dia tampaknya hidup penuh dengan tekanan, kapan dia bisa benar-benar relaks, kapan dia bisa santai. Jadi kita mulai melihat apa yang orang lain tidak miliki maka dengan cara itu kita nantinya juga akan bisa berkata, "Saya bersyukur karena saya memiliki ini, saya bisa mendapatkan kedamaian, saya bersyukur istri atau suami saya baik dan mencintai saya, saya bersyukur anak-anak juga baik." Jadi waktu kita melihat apa yang orang lain tidak miliki, itu juga mendorong kita untuk menghargai apa yang kita miliki itu.

PG : Memang sulit mengubah persepsi ini, Pak Paul, maka bagaimana kita bisa belajar untuk mengubah persepsi itu?

PG : Tadi Pak Gunawan betul, itu adalah persepsi kita sebab inilah yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar kita. Bukankah kita ini sering mendengar orang-orang bahwa, "Lihat orang itu sekarag? Punya ini dan itu," memang itulah yang dikatakan oleh orang di sekitar kita.

Jadi memang orang selalu melihat apa yang dimiliki oleh orang lain dan untuk melawan itu kita mesti berani untuk melihat dengan lebih kritis, "Sebetulnya dia tidak punya semuanya," jangan hanya membutakan mata atau melihat sebelah mata dia punya ini dan itu tapi lihat dengan teliti sekali lagi bahwa ada hal-hal yang tidak dia miliki. Kemudian kita juga melihat ke bawah dan melihat diri kita kemudian kita berkata, "Kita juga punya ini." Memang kita tidak punya itu dan tidak apa-apa tapi kita punya ini, dengan kita terus menekankan perspektif itu perlahan-lahan mata kita mulai berubah, kita tidak lagi melihat seperti itu. Dan perlahan-lahan dorongan untuk tidak puas akan mulai hilang dan yang keluar justru ucapan syukur. Jadi ini merupakan disiplin rohani, karena kalau kita mau bersyukur mau bersikap yang bisa berterima kasih memang perlu disiplin rohani. Dan disiplinnya adalah seperti yang tadi itu untuk mengubah perspektif kita.
GS : Memang ketamakan erat hubungannya dengan kepuasan, tapi mengapa kepuasan yang kita miliki itu seolah-olah tidak pernah puas, selalu ada kebutuhan-kebutuhan untuk memuaskan diri kita.

PG : Memang semua kembali kepada yang di dalam, yaitu kembali kepada sumbernya. Firman Tuhan di Galatia 5:22,23 menjabarkan Buah Roh yaitu kasih sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan,kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.

Ini semua adalah karakter yang muncul dari dalam, tidak ada yang disuntik dari luar seperti kelemahlembutan, tidak ada suntikan penguasaan diri. Maka untuk bisa melawan ketamakan memang kita harus tinggal di dalam Tuhan, dituntun oleh Tuhan sepenuhnya dan benar-benar dikuasai oleh Roh Kudus Tuhan sehingga perlahan-lahan buah Roh Kudus ini akan keluar yaitu kasih, kesetiaan, kemurahan hati. Waktu buah Roh Kudus keluar maka dosa ketamakan akan makin terkikis, makin tersisihkan sebab tidak ada lagi ruang untuk tamak. Kalau hati kita dipenuhi oleh kasih maka tidak ada ruang untuk tamak, kalau hati kita penuh dengan sukacita dan damai sejahtera serta kesabaran maka tidak ada ruang tamak. Kalau hati kita penuh kebaikan, kelemah lembutan akhirnya dosa tamak tidak bisa lagi masuk karena kita sekarang sudah berubah. Tapi sekali lagi perubahan memang harus terjadi dari dalam, yaitu akibat penyerahan dan relasi kita dengan Tuhan sendiri.
GS : Berarti upaya mengikis ketamakan tidak bisa kita lakukan dengan cara-cara kita sendiri, Pak Paul?

PG : Sangat sulit, Pak Gunawan. Tadi saya bagikan tentang mendisiplin diri untuk mengubah perspektif, namun pada akhirnya yang saya ingin tekankan adalah kita mesti kembali menjalin relasi dengn Tuhan.

Maka kita akan coba lihat di Galatia 5:24-26 dikatakan, "Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, dan janganlah kita gila hormat." Bagaimana untuk kita tidak gila hormat atau tamak hormat dan sebagainya, maka kita harus menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya, kita harus hidup oleh Roh Tuhan dan dipimpin oleh Roh Tuhan juga alias benar-benar taat. Ketaatan yaitu mengikuti semua yang Tuhan katakan, yang Tuhan ajarkan. Tuhan meminta kita mengasihi yang lain, jangan memikirkan diri sendiri, itulah yang kita harus taati, dengan kita mentaati Firman Tuhan maka terkikiskah ketamakan itu.
GS : Jadi kuncinya adalah yang Pak Paul tadi bacakan yaitu menjadi milik Kristus.

PG : Betul sekali. Jadi yang pertama, kita mesti percaya kepada Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya, dan kita menjadi milik Dia, kita menjadi hambaNya kita menjadi anakNya dan kita akan bekerja sekeras mungkin untuk mengikuti kehendakNya.

Waktu kita berjalan seperti itu maka sudah pasti dosa-dosa yang termasuk di dalamnya ketamakan juga makin hari akan makin tersisihkan dari hidup kita.
GS : Dan justru yang menjadi penghambat terbesar untuk mengikis ketamakan ini adalah diri kita sendiri, Pak Paul, kita merasa tidak enak kalau ketamakan kita terkikis.

PG : Sebab kadang-kadang kita ini khawatir, Pak Gunawan, "Kalau saya tidak punya sesuatu yang banyak, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" selalu berpikir "Bagaimana kalau ada apa-apa?" Seolah-lah di dalam hidup ini tidak ada Tuhan, kita mesti ingatkan diri masih ada Tuhan dalam hidup ini dan Tuhan adalah Tuhan yang berkuasa, kalau ada Tuhan maka kita tidak perlu khawatir, Dia akan memelihara kita.

Jadi kita tidak perlu menambah-nambahkan, "Nanti kalau ada apa-apa kan kita enak" itu salah! Karena kita harus mencukupkan diri dan kita percaya bahwa ada Tuhan yang akan memelihara kita.

GS : Pak Paul terima kasih untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengikis Ketamakan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terimakasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



13. Berhati-hati dengan Lidah


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T261A (File MP3 T261A)


Abstrak:

Salah satu kisah tragis yang dicatat di Alkitab adalah kisah kegagalan Musa masuk ke tanah yang dijanjikan Tuhan. Di padang gurun Meriba orang Israel mengeluh karena tidak ada air dan Tuhan memerintahkan Musa untuk berkata-kata kepada bukit batu untuk mengeluarkan air. Musa tidak menaati Tuhan, Musa gagal sebab ia teledor dengan mulutnya. Dan sayangnya, ada begitu banyak orang yang gagal oleh karena perkataannya. Dalam bagian ini akan lebih dipaparkan langkah praktis mengekang lidah.


Ringkasan:

"Mereka menggusarkan Dia dekat air Meriba sehingga Musa kena celaka karena mereka; sebab mereka memahitkan hatinya sehingga ia teledor dengan kata-katanya." (Mazmur 106:32,33)

Salah satu kisah tragis yang dicatat di Alkitab adalah kisah kegagalan Musa masuk ke tanah yang dijanjikan Tuhan. Di padang gurun Meriba orang Israel mengeluhkan ketidakadaan air dan Tuhan memerintahkan Musa untuk berkata-kata kepada bukit batu untuk mengeluarkan air. Musa tidak menaati Tuhan; bukannya berkata-kata, ia malah memukul bukit batu itu dua kali. Tuhan marah dan berkata kepada Musa, "Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka." (Bilangan 20:2-13) Musa gagal sebab ia teledor dengan mulutnya. Dan sayangnya, ada begitu banyak orang yang gagal oleh karena perkataannya. Yakobus 3:2-12 memberi kita panduan tentang menjaga lidah sebagaimana dapat kita lihat berikut ini:

  1. Banyak kesalahan dibuat oleh lidah. Dengan kata lain, salah satu pergumulan terbesar dalam hidup adalah pergumulan mengekang lidah. Kesalahan terbesar bukanlah pada dosa tidak mengatakan, melainkan pada mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan. Orang yang dapat mengendalikan lidah diumpamakan seperti kekang pada mulut kuda dan kemudi pada kapal yang berlayar di tengah angin keras. Singkat kata, pergumulan menguasai lidah diumpamakan seperti pergumulan menguasai kuda dan menerjang badai di lautan. Sungguh suatu pergumulan yang besar!
  2. Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya terlebih mudah menuruti kemauan lidah daripada menolaknya. Jika perjuangannya begitu besar, sudah tentu menyerah akan jauh lebih mudah.
  3. Akibat dari penggunaan lidah yang tak terkekang adalah dahsyat sehingga dilukiskan seperti kebakaran hutan yang besar dan racun yang mematikan. Perkataan yang tak bertanggung jawab dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Banyak relasi rusak akibat lidah; banyak kepercayaan hilang juga oleh lidah, banyak respek yang pudar, juga oleh karena lidah.
  4. Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa kita lebih sering gagal menguasai lidah, ibarat binatang buas yang tak dapat dijinakkan sepenuhnya. Lebih sering kita menyesali kegagalan kita namun sekali perkataan keluar, kita tidak dapat menariknya kembali.
  5. Namun terpenting adalah kita harus membersihkan hati sehingga darinya akan keluar air yang bersih. Dengan kata lain, pengekangan lidah diawali dengan pembersihan hati. Jika kita penuh kemarahan maka kemarahanlah yang akan keluar dari mulut; jika kita penuh kepahitan, maka kepahitan yang akan keluar dari mulut. Sebaliknya, bila hati dipenuhi kasih Tuhan, maka kasihlah yang akan keluar dari mulut. Jika hati penuh iman percaya kepada Tuhan, maka pengharapan dan keyakinanlah yang akan keluar dari mulut.
Langkah Praktis Mengekang Lidah:
  • Sebelum berkata-kata, pastikanlah kebenarannya terlebih dahulu. Jangan sampai kita menyebarkan gosip yang dapat menghancurkan hidup orang.
  • Sebelum berkata-kata, pikirkanlah dampaknya terlebih dahulu dan bertanyalah apakah kita siap menanggungnya.
  • Sebelum berkata-kata sesuatu yang berkandungan emosi, tahanlah dan menyingkirlah. Tenangkan hati sampai gejolak reda, baru kemudian timbang lagi apakah memang perlu kita mengatakannya.
  • Terakhir, sebelum berkata-kata, ujilah terlebih dahulu apakah ada dosa di dalamnya. Jika ada, berhentilah, jangan meneruskannya.
Firman Tuhan:
"Barang siapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat mengendalikan seluruh tubuhnya." ( Yakobus 3:2)

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berhati-hati dengan Lidah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita tahu ada satu bagian anggota tubuh kita yang memang sulit sekali untuk dikendalikan bahkan kadang bisa mengendalikan tubuh kita, itu adalah lidah. Kita mungkin lebih mudah untuk mengendalikan yang namanya tangan kita atau kaki kita atau mata kita dibandingkan dengan mengendalikan lidah, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya setuju dengan pengamatan Pak Gunawan, mengendalikan lidah adalah sesuatu yang sulit itu sebabnya pergumulan kita dalam Tuhan senantiasa melibatkan lidah. Salah satu kisah tragis yang icatat di Alkitab adalah kisah kegagalan Musa yang tidak bisa masuk ke tanah yang Tuhan janjikan, dan kegagalan Musa diakibatkan oleh keteledorannya dengan lidahnya.

Di Mazmur 106:32-33, pemazmur kilas balik melihat apa yang terjadi saat itu, mereka menggusarkan Dia yaitu Tuhan dekat air Meriba sehingga Musa kena celaka karena mereka, sebab mereka memahitkan hati Musa sehingga dia teledor dengan kata-katanya. Jadi memang di padang gurun itu mereka mengeluh karena tidak ada air, dan seperti biasa kalau mereka mengeluh seolah-olah mereka lupa dengan apa yang Tuhan telah perbuat dan juga lupa apa yang Musa telah perbuat. Dia sudah bersusah payah memimpin mereka, memelihara mereka tapi kalau sedang marah dan kesal, mereka lupa dengan kebaikannya. Dan hati Musa menjadi pahit, "Mereka itu tidak berterima kasih dan kurang ajar." Dalam kemarahan Musa tidak menaati Tuhan. Tuhan hanya meminta Musa menyuruh bukit batu untuk mengeluarkan air, tapi Musa memukul bukit batu itu dua kali, sedangkan bukit batu itu melambangkan Tuhan yang akan mengeluarkan air, memelihara kebutuhan umatNya. Jadi Tuhan marah kepada Musa dan berkata, "Karena kamu tidak percaya kepadaKu dan tidak menghormati kekudusanKu di depan mata orang Israel, itu sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Aku berikan kepada mereka," ini semua tercatat di kitab Bilangan 20:2-13. Karena itulah Musa tidak diizinkan masuk ke tanah yang Tuhan janjikan. Sekali lagi kisah ini tragis sebab Musa telah bekerja bersusah payah, mengeluarkan umat Israel keluar dari tanah Mesir tapi tidak bisa masuk, hanya karena teledor dengan lidahnya. Sayangnya ada begitu banyak orang yang gagal oleh karena perkataannya.
GS : Di Perjanjian Lama, tokoh yang bapak angkat adalah Musa, saya teringat akan Petrus di Perjanjian Baru, yang juga secara spontan kadang-kadang mengeluarkan kata-kata yang dia sendiri mungkin tidak tahu, dia berjanji tidak akan menyangkali tapi akhirnya dia menyangkali dan banyak hal dia keliru di dalam kata-katanya.

PG : Betul sekali.

GS : Pak Paul, kalau kita seringkali gagal atau banyak orang gagal mengendalikan lidahnya, pasti Alkitab memberikan tuntunan bagi kita orang-orang beriman ini, bagaimana seharusnya kita mengendalikan lidah kita?

PG : Saya akan ambil beberapa prinsip yang tertera di Yakobus 3:2-12, Pak Gunawan. Yang pertama adalah dalam Firman Tuhan itu ditegaskan bahwa banyak kesalahan dibuat oleh lidah, dengan kata lan, salah satu pergumulan terbesar dalam hidup adalah pergumulan mengekang lidah.

Kesalahan terbesar bukanlah pada dosa tidak mengatakan, melainkan mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan. Firman Tuhan mengumpamakan orang yang mampu mengendalikan lidah seperti memiliki kekang pada mulut kuda atau kemudi pada kapal yang berlayar di tengah angin keras. Dengan Alkitab menggunakan perumpamaan kekang pada mulut kuda, kemudi pada kapal yang berlayar di tengah lautan yang berombak diterpa angin yang keras, itu semua memberikan kepada kita suatu indikasi bahwa Firman Tuhan mengakui bahwa mengekang lidah itu sangat sulit, sampai-sampai kita seperti mengekang kuda atau mengemudikan kapal yang sedang diterjang badai. Seperti itulah kerasnya gempuran-gempuran dalam hati kalau ingin mengeluarkan kata-kata dan kita harus menahannya.
GS : Memang semua berasal dari pikiran kita, apa yang kita pikirkan itu yang keluar dari lidah kita. Tapi tidak semua yang kita pikirkan itu disampaikan lewat kata-kata.

PG : Dan kita semua sebenarnya mengerti hal itu, kita sudah diberitahukan dan mungkin kita telah belajar dari kesalahan di masa lampau. Namun sewaktu saatnya tiba, kita tahu kalau kita tidak pelu bicara, tapi hati tidak tahan ingin bicara.

Itu merupakan pergumulan yang sangat berat, itu sebabnya kebanyakan dari kita gagal. Saya yakin, kalau Musa ditanya untuk kilas balik maka dia akan berkata, "Kenapa saya harus seperti itu, mengeluarkan kata-kata yang begitu kasar kepada umat Israel dan ini semua dalam rangka Tuhan ingin memelihara umatNya dan seharusnya saya mendukung menghormati kekudusan Tuhan dan tidak berbuat seperti itu." Tapi saya kira semuanya sudah terlambat, pada waktu peristiwa itu terjadi, Musa sudah tidak bisa menguasai dirinya sehingga keluarlah kata-kata dan tindakan yang menodai kekudusan Tuhan.
GS : Penyesalan memang seperti itu. Dan sering terjadi sampai sekarang ini, kadang-kadang kita juga mengalaminya yaitu setelah berbicara kemudian menyesal, sebenarnya saya tidak perlu bicara seperti itu karena itu akan membuat orang lain sakit hati dan sebagainya, tapi sudah terlambat, sudah terlontar dan membuat orang lain terluka karena kita.

PG : Betul sekali. Jadi inilah pergumulan kita, yaitu melawan desakan-desakan atau hal-hal yang tidak seharusnya kita katakan. Jadi dengan kata lain kita mesti mulai dari sekarang menyikapi perumulan melawan desakan-desakan yang tidak seharusnya, sebagai sebuah proyek yang besar.

Saya kira mengapa diantara kita itu gagal menahan lidah kita, karena kita tidak menganggap bahwa ini benar-benar sebuah pergumulan yang besar dan dahsyat, kita menganggap ini adalah pergumulan yang kecil dan biasa karena mungkin kita hanya melihatnya sebagai masalah lidah dan perkataan saja. Tapi ini adalah sebuah pergumulan yang dahsyat. Jadi kita harus bersiap-siap melawan raksasa yang besar ini dan jangan kita melihat masalah lidah ini sebagai masalah yang kecil sebab Alkitab sendiri mengatakan bahwa masalah lidah ini bukanlah masalah yang kecil, karena mengekang kuda dan menerjang badai adalah masalah yang besar. Nah, maka langkah pertama untuk bisa menahan lidah kita adalah mengakui ini adalah masalah besar yang harus kita hadapi, ini adalah proyek yang tidak ada habis-habisnya yang kita harus hadapi dan kita tidak boleh lengah.
GS : Mungkin orang juga lengah menahan lidahnya karena akibatnya, Pak Paul? Kalau kita memukul seseorang, maka orang akan menunjukkan bekas pukulan yang kamu perbuat tapi kalau melontarkan lewat kata-kata, maka akan sulit dibuktikan kalau dia terluka karena kata-kata kita.

PG : Tepat sekali. Kita memang lebih mudah melihat dampak yang kasat mata, misalkan tadi Pak Gunawan berikan contoh akibat pukulan-pukulan fisik maka kita akan melihat bekas-bekasnya, dan meman kalau perkataan kita tidak begitu jelas melihatnya.

Apalagi dalam budaya kita, kecenderungan orang itu untuk diam, untuk tidak mau mencetuskannya, tidak berkata apa-apa atau memberikan tanggapan. Jadi akhirnya kita beranggapan bahwa tidak apa-apa, namun Alkitab justru mengatakan bahwa akibat dari penggunaan lidah yang tidak dikekang adalah dahsyat, begitu dahsyatnya sehingga dilukiskan seperti kebakaran hutan yang besar dan racun yang mematikan dan kita tahu sewaktu hutan terbakar maka susah untuk dihentikan karena terus-menerus merembet sangat cepat, satu pohon terbakar bisa-bisa itu berhektar-hektar, berarea-area tanah hutan akan terbakar habis. Atau seperti racun yang mematikan, begitu racun masuk dengan cepat akan dibawa oleh darah ke jantung dan akhirnya ke otak dan kita pun bisa mati. Inilah yang Alkitab katakan bahwa betapa dahsyatnya akibat penggunaan lidah yang tidak bertanggung jawab. Efeknya menimbulkan kerusakan yang besar, bukankah banyak relasi yang rusak akibat lidah, antara suami-istri, antara orang tua dan anak, antara anak dan orang tua, antara sesama rekan baik itu dalam pekerjaan atau pun dalam pelayanan, persahabatan. Banyak kepercayaan yang mulai hilang oleh lidah dan banyak respek yang pudar juga oleh karena lidah. Jadi benar-benar dampaknya itu sangat dahsyat. Maka kita harus benar-benar melihat ini adalah suatu proyek yang besar, kalau kita gagal menahannya maka dampak kerusakannya memang sangat luas.
GS : Mungkin yang membuat kita lengah adalah dampak itu tidak terjadi seketika. Kalau kita kembali lagi kepada contoh kita yang tadi yaitu memukul orang, dampak itu seketika kita lihat, yaitu orangnya pingsan dan sebagainya karena kita pukul. Tapi kalau karena kata-kata, mungkin saat itu kita tidak melihat apa-apa karena kita agak meremehkan, walaupun dikatakan dampak berikutnya bisa dahsyat seperti kebakaran hutan dan sebagainya.

PG : Kadang-kadang kita juga bersikap defensif, selain kita tidak melihat langsung dampak kerusakan. Yang berikutnya lagi adalah kita sebagai manusia tidak cepat mengakui kesalahan dan kadang-kdang kita berkata, "Itu salahmu dan kenapa kamu harus merasa tersinggung, kenapa kamu harus merasa marah" seolah-olah kita bebas mengatakan apa saja dan orang tidak harus dan tidak boleh terpengaruh oleh kata-kata kita.

Itu tidak mungkin sebab di dunia ini apa yang kita lakukan bisa menimbulkan sebuah akibat tapi adakalanya kita bersikap defensif, "Tidak, saya tidak salah dan saya bicara seperti itu benar. Terserah orang mau mendengarnya seperti apa, orang tidak percaya dengan saya, saya tidak pusingkan." Akhirnya semua rusak dan kita tetap merasa diri benar. Orang yang beranggapan diri selalu benar, tidak peduli dengan penggunaan kata-katanya akhirnya akan menjadi orang yang sangat kesepian, Pak Gunawan. Dia akan hidup sendirian sebab orang-orang yang makin dekat dengan dia, akan makin menjauh karena takut kalau nanti akan terkena serangan dari perkataannya atau memang sudah kehilangan respek kepadanya. Tapi sekali lagi kalau orangnya tidak mau menyadari bahwa ini ditimbulkan oleh perkataannya dan dia yang harus berubah, sampai kapan pun tidak akan ada perubahan.
GS : Sikap defensif itu seringkali juga terlontar dengan pernyataan, "Maksud saya sebenarnya bukan seperti apa yang saya katakan", jadi maksudnya berbeda, Pak Paul. "Saya tidak bermaksud buruk." Misalnya seperti itu tapi kata-kata yang dikeluarkan itu sangat tajam sekali.

PG : Betul, dan kalau itu yang memang terjadi maka kita bisa maklumi karena kita memang manusia tidak sempurna dan kita minta maaf. Kita jangan membela diri meskipun kita berkata, "Ini bukan masud saya," tapi kalau menimbulkan dampak yang merusakkan, maka kita minta maaf agar dapat merekonsiliasi kembali perkataan dan itu jangan sampai merusakkan relasi kita.

Jadi kita mau simpulkan Pak Gunawan, bahwa tidak bisa tidak dalam mengendalikan lidah seringkali kita gagal. Saya kira jarang sekali orang yang bisa berkata, "Saya selalu berhasil menahan lidah saya" saya kira kita akan selalu mengalami penyesalan-penyesalan, "Kenapa tadi saya katakan," dan sekali lagi ini adalah dosa mengatakan yang tidak seharusnya, jarang sekali kita menyesali apa yang tidak kita katakan. "Kenapa tidak saya katakan" itu lebih jarang. Jadi yang lebih sering adalah kenapa akhirnya saya harus mengatakan. Maka di Alkitab, di kitab Yakobus, lidah diumpamakan seperti binatang buas yang tidak bisa dijinakkan, tidak bisa dijinakkan sepenuhnya. Maka kita harus senantiasa menjaga diri, menyadari bahwa ada binatang buas yang sewaktu-waktu bisa keluar dengan liar dan kita senantiasa harus berhati-hati.
GS : Memang semua itu adalah merupakan ungkapan isi hati kita, apa yang ada di dalam hati kita, itu terlontar lewat kata-kata. Apakah seperti itu?

PG : Tepat sekali. Firman Tuhan di Yakobus memberikan ilustrasi yang indah sekali yaitu mata air atau sumber air tidak akan mungkin mengeluarkan air pahit dan air manis, kalau sumber air itu megeluarkan air yang pahit maka semua akan pahit dan kalau mengeluarkan air yang manis maka semua akan menjadi manis.

Dan Firman Tuhan berkata, "Tidak bisa kita ini memuji Tuhan, menghormati Tuhan, memuliakan dengan lidah tapi di saat yang sama kita bisa mengumpat-umpat Tuhan." Lidah memang bisa seperti itu, tapi Tuhan berkata, "Jangan sampai kita seperti itu" bagaimana caranya agar sumber mata air kita yang adalah hati kita mengeluarkan kedua-duanya. "Kepahitan, kebencian dan juga kemanisan. Bagaimana caranya?" Firman Tuhan menekankan, kita harus menjaga hati kita, membersihkan hati kita sehingga darinya akan keluar air yang bersih. Dengan kata lain, pengekangan lidah diawali dengan pembersihan hati. Jadi di sini Alkitab memberikan kepada kita sebuah fokus yang sangat tepat. Kalau kita hanya berputar-putar mengekang lidah, maka hal itu sangat sulit akan terus gagal. Maka kita harus masuk ke dalam, ke titik awalnya yaitu hati kita, kalau hati kita penuh dengan kepahitan maka kepahitanlah yang akan keluar dari mulut kita, sebaliknya bila hati kita dipenuhi kasih Tuhan maka kasihlah yang akan keluar dari mulut kita. Dan juga jika hati penuh dengan iman, percaya pada Tuhan Yesus maka pengharapan dan keyakinanlah yang akan keluar dari mulut kita, sekali lagi kita mau fokuskan kepada hati, bersihkan hati sebersih-bersihnya sehingga nanti lidah pun akan menurut, akan keluar sesuai dengan isi hati kita.
GS : Dan itu memang mesti dilakukan tiap-tiap hari, tidak bisa kalau dilakukan sekali tapi untuk selama-lamanya, setiap hari menjadi pergumulan kita.

PG : Maka ada baiknya waktu pagi hari kita datang kepada Tuhan, kita berdoa, kita membaca FirmanNya. Di malam hari sebelum kita tidur, kita memikirkan apa yang terjadi seharian mungkin ada tindkan, ada perkataan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, tenanglah di malam hari, periksalah, dan kalau Roh Kudus memunculkan hal-hal yang perlu kita akui jangan kita melawan, dan jangan kita defensif membenarkan diri.

Mengakui dan kita coba membenahi diri, "Mari kita bereskan, mari kita akui perbuatan kita dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan dan mengakuinya." Dengan cara itulah maka hari lepas hari hati kita bisa terjaga. Kata Pak Gunawan benar, ini bukanlah apa yang kita lakukan sekali dan berlangsung seumur hidup.
GS : Mungkin kita bisa mencontoh doa pemazmur yang berkata, "Tuhan jadilah penjaga atas mulutku."

PG : Betul.

GS : Apakah Pak Paul, mempunyai langkah-langkah praktis untuk menolong para pendengar sekalian, tentang bagaimana kita sebenarnya harus mengekang lidah?

PG : Ada beberapa yang bisa saya bagikan. Yang pertama adalah sebelum berkata-kata kita harus memastikan kebenarannya terlebih dahulu, jangan sampai kita menyebarkan gosip yang dapat menghancuran hidup orang lain apalagi kalau ini menyangkut integritas orang lain, kita benar-benar mesti memastikannya dan sudah tentu kalau memastikan kita tidak langsung ke nara sumbernya.

Kadang-kadang kita mendengar sesuatu dari pihak yang ketiga atau pihak yang lain, kita mesti mengecek dari pihak itu apakah memang informasi tersebut sungguh-sungguh telah dicek, sungguh-sungguh benar dan orang yang memberitahukan adalah orang-orang yang memang dapat kita percayai. Jadi kalau kita tidak bisa mengeceknya ke nara sumber maka kita harus memastikan bahwa yang menyampaikan itu layak dipercaya, bahwa dia pun telah melakukan cek dan cek ulang. Bukankah ini adalah prinsip etika jurnalistik bahwa apapun yang telah dilaporkan dianggap sudah dicek dan terpercaya dan kita pun harus melakukan hal yang sama, sebelum mengatakan sesuatu yang memang bernada negatif tentang seseorang atau sebuah peristiwa atau lembaga, jangan sampai kita mengatakan sesuatu gegabah tidak mengeceknya terlebih dahulu dan terlanjur disebarluaskan, itu akan sangat susah sekali untuk dikoreksi.
GS : Itu kalau untuk orang lain maka kita melakukan check and re-check seperti itu. Tapi kalau untuk diri sendiri, kalau kita mengatakan sesuatu hendaknya kita mengatakan sesuatu yang benar tentang diri kita, jadi bukan dengan dusta atau kebohongan.

PG : Penting sekali, Pak Gunawan. Kalau kita menyimpan kepahitan atau kemarahan kepada seseorang maka dia cenderung melebihkan. Jadi kita memulai dengan yang benar atau yang fakta tapi selebihna itu adalah ciptaan kita, bumbu kita, kita tambah-tambahkan, kita mesti berhati-hati untuk tidak menambahkan, apa yang tidak dikatakan oleh orang, jangan kita katakan, "Dia mengatakan ini" jadi jangan menambahkan.

Atau jangan mengubah perkataan menjadi lebih serius, berat, jadi seolah-olah orang yang mengatakan itu menjadi lebih buruk dan kita mesti berhati-hati. Makanya kita harus menjaga hati ini, kalau hati sudah penuh dengan kedengkian, kemarahan, tidak bisa tidak yang keluar dari mulut pastilah ampas-ampasnya yang juga buruk.
GS : Dalam hal ini, kita juga harus berhati-hati di dalam mengutip ayat Firman Tuhan. Kadang-kadang kita tambah-tambahkan padahal Tuhan mengatakan, "Tidak boleh ditambahkan dan tidak boleh dikurangi".

PG : Kadang-kadang kita dengar hal-hal seperti ini yaitu orang yang berkata "Firman Tuhan seperti ini" padahal tidak ada di Firman Tuhan. Itu karena apa? Bisa saja karena dia lupa, atau dia medengar dari orang lain, dia anggap itu adalah Firman Tuhan padahal bukan.

Tapi yang lebih berbahaya adalah seolah-olah dia itu menciptakan sebuah ayat untuk mendukung perilakunya atau mendukung keinginannya dan itu yang berbahaya maka kita tidak boleh melakukan hal seperti itu.
GS : Jadi harus dalam kebenaran yang pertama, tapi sebelum kata-kata itu keluar, kita sendiri itu harus memikirkan apa yang kita katakan.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kita harus selalu berpikir ke depan yaitu kalau saya mengatakan hal ini apa yang menjadi dampaknya. Saya tidak berkata gara-gara kita memikirkan dampaknya kmudian kita tidak mengatakan, bukan itu.

Adakalanya kita mesti mengatakan kendati dampaknya itu sangat berat, kita mesti menanggungnya namun kita mesti bertanya apakah kita siap untuk menanggung dampaknya. Jangan sampai kita hanya melempar batu kemudian menyembunyikan tangan kita, kalau kita yang mengatakan, maka kita tanggung jangan sampai kita lempar tanggung jawab itu kepada orang lain, tidak! Kalau kita yang melakukan maka kita yang menanggung akibatnya. Tapi sekali lagi kita mesti siap untuk menanggungnya, kalau tidak siap menanggungnya mohon dipertimbangkan ulang.
GS : Mungkin ada contoh langkah praktis yang lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Sebelum berkata-kata sesuatu, yang mengandung emosi maka tahanlah dan menyingkirlah, tenangkan hati sampai gejolak reda, baru kemudian timbang lagi apakah memang perlu kita mengatakannya. anyak kali saya harus diam menenangkan diri dan menyingkir dari situasinya, kemudian setelah saya reda, kemudian saya berpikir, "Tidak perlu."

Betapa banyak hal yang kalau tidak lagi emosi dan pikiran kita sudah kembali tenang, sebetulnya kita tidak mau mengatakannya. Makanya kalau kita tahu emosi sedang naik sebaiknya diam dan menyingkir dari situasi tersebut supaya kita bisa tenang dan kita tidak harus mengatakan hal-hal yang nanti kita sesali.
GS : Di dalam hal ini Pak Paul, kita melihat kenyataan di dalam kehidupan sehari-hari, kaum pria itu lebih mampu mengendalikan diri seperti itu dibandingkan dengan wanita. Apa sebabnya, Pak Paul?

PG : Tidak bisa disangkal memang pada umumnya tidak setiap kasus, tapi pada umumnya wanita itu lebih mudah terpengaruh dengan gejolak emosinya. Oleh karena itu jauh lebih sulit baginya untuk megendalikan perkataan sewaktu dia sedang emosi.

Maka sedapatnya terutama wanita kalau menyadari memang mempunyai masalah dengan hal ini maka harus lebih berhati-hati, sewaktu lagi emosi cobalah tahan, cobalah menyingkir, cobalah tenangkan hati dulu. Jangan mengatakan hal-hal yang nanti sangat menusuk hati pasangan atau anak-anak.
GS : Tapi kaum pria pun tidak terbebas dari hal itu, contohnya tadi yang saya katakan yaitu Petrus juga suka spontan bicara.

PG : Benar, dan Musa juga seorang pria. Dan betul sekali ini memang bukan hanya untuk seorang wanita tapi juga untuk pria. Kita semua harus selalu berjuang mengekang lidah kita.

GS : Mungkin ada langkah praktis terakhir yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yang terakhir adalah sebelum berkata-kata ujilah terlebih dahulu, apakah ada dosa di dalamnya. Jika ada, berhentilah jangan meneruskan kalau kita tahu bahwa kita marah atau dengki dan kitamau mengatakan sesuatu sengaja untuk melukai atau menodai kehormatan orang lain, maka lebih baik jangan.

Jangan sampai mulut kita dipakai sebagai kendaraan untuk melakukan dosa.
GS : Memang satu-satunya yang bisa memberikan kekuatan kepada kita untuk mengekang lidah atau berhati-hati dengan lidah, saya kira hanya Tuhan sendiri, Pak Paul. Kita sebagai manusia akan kesulitan menjaga lidah kita sendiri. Dalam hal ini apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Firman Tuhan di Yakobus 3:2 berkata, "Barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang yang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya." Firman Tuhan tidak akanmeminta kita melakukan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan, jadi ini mungkin tapi harus dengan pertolonganNya.

Firman Tuhan sudah memberikan beberapa panduan dan kita coba untuk mengikutinya, dan kalau kita mencoba untuk mengikutinya dan menaati pada akhirnya kita bisa mengendalikan lidah kita.

GS : Saya rasa ini menjadi pergumulan kita seumur hidup, Pak Paul. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berhati-hati dengan Lidah." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



14. Hidup Berbeda


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T261B (File MP3 T261B)


Abstrak:

Hasil riset di Amerika memerlihatkan bahwa sebagian besar anak-anak yang bersekolah Minggu, pada masa dewasanya tidak lagi bergereja. Dan kita pun tahu selama hampir 2000 tahun, benua Eropa dan Asia Kecil merupakan pusat kekristenan namun sekarang tidak lagi. Bagi banyak orang, Tuhan tidak lagi relevan dan tidak layak dipikirkan, apalagi diyakini. Tuhan tidak meminta kita untuk memisahkan diri dari lingkungan namun Tuhan memerintahkan kita untuk hidup berbeda dan tidak menuruti pola hidup dan iman yang berbeda. Apa yang bisa dilakukan agar kita sebagai umat Tuhan hidup berbeda?


Ringkasan:

"Mereka tidak memunahkan bangsa-bangsa seperti yang diperintahkan Tuhan kepada mereka, tetapi mereka bercampur baur dengan bangsa-bangsa dan belajar cara-cara mereka bekerja. Mereka beribadah kepada berhala-berhala mereka yang menjadi perangkap bagi mereka." (Mazmur 106:34-36)

Hasil riset di Amerika memperlihatkan bahwa sebagian besar anak-anak yang bersekolah Minggu, pada masa dewasanya tidak lagi bergereja. Sekali lagi hasil riset ini memperlihatkan betapa sulitnya menjaga dasar yang telah diletakkan dan betapa kuatnya pengaruh lingkungan. Begitu anak-anak menginjak bangku kuliah, sesungguhnya hanya tinggal setengahnya yang masih bergereja.

Erosi nilai dan iman kepercayaan tidak terjadi dalam sekejap. Selama hampir 2000 tahun benua Eropa dan Asia Kecil merupakan pusat kekristenan namun sekarang tidak lagi. Bagi banyak orang, Tuhan tidak lagi relevan dan tidak layak dipikirkan, apalagi diyakini. Tuhan tidak meminta kita untuk memisahkan diri dari lingkungan namun Tuhan memerintahkan kita untuk hidup berbeda dan tidak menuruti pola hidup dan iman yang berbeda.

Roma 12:1-2 memberi kita petunjuk bagaimanakah kita hidup berbeda:
"Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah, aku menasihatkan kamu supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persemabahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan: manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna."
  1. Kita hanya dapat hidup berbeda bila pertama-tama kita mempersembahkan hidup kepada Kristus, Tuhan kita. Dengan kata lain, kita mesti bertekad untuk hanya hidup sesuai dengan kehendak Allah dan menjalani misi-Nya. Fokus kita hanyalah Dia dan tidak ada lagi selain Dia. Kadang sebagai orangtua kita gagal menekankan hal ini; kita memandang hal rohani sebagai salah satu hal dalam hidup belaka, bukan sebagai bagian terutama dari hidup. Alhasil anak bertumbuh besar memiliki pandangan yang serupa-bahwa Tuhan hanyalah bagian dari sejumlah pilihan dalam hidupnya. Anak-anak seperti inilah yang rentan terhadap erosi rohani ketika menginjak usia dewasa.
  2. Tuhan meminta kita untuk tidak serupa dengan dunia ini. Istilah dunia di sini merujuk kepada pola hidup atau roh dari dunia yang berlawanan dengan kehendak Tuhan. Namun untuk dapat berbuat demikian, pertama-tama kita harus tahu terlebih dahulu apa itu yang menjadi pola hidup dunia. Sebagai orangtua kita mesti menjelaskan kepada anak akan pola dunia dan mengapa pola dunia ini tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Berikut adalah beberapa pola dunia yang berseliweran di sekitar kita:
    1. Bahwa hidup bergantung sepenuhnya pada kita, bukan Tuhan. Kemajuan ilmu pengetahuan membuat kita lupa bahwa pada akhirnya nafas ini pun adalah pemberian Tuhan dan bahwa kepandaian adalah karunia Tuhan belaka.
    2. Bahwa semua kepercayaan adalah baik dan sama di mata Tuhan. Pertanyaannya adalah, jika sama, mengapa harus ada begitu beragam dan berlainan?
    3. Bahwa terpenting adalah kebahagiaan dan bahwa Tuhan sesungguhnya ingin kita memiliki kebahagiaan. Jadi, faktor dosa atau melakukan sesuatu yang melawan Tuhan menjadi tidak relevan sebab semua diukur dari bahagia.
    4. Bahwa semua nilai moral relatif sebab semua tergantung pada bagaimanakah kita melihatnya. Singkat kata, benar-salah semua adalah masalah persepsi belaka.
  3. Tuhan memerintahkan kita untuk berubah dalam cara pikir. Dengan kata lain, kita harus mengadopsi nilai yang baru dan sudut pandang yang berbeda. Kita harus memahami bagaimanakah Kristus Tuhan kita memandang semuanya dan berusaha sekuat tenaga menerapkannya dalam hidup. Jadi, kendati bagi dunia, kita hanya akan dipandang kuat bila kita berani membalas, namun Tuhan memerintahkan kita untuk tidak membalas. Malah Tuhan meminta kita untuk berdoa bagi yang menyakiti kita. Jadi, sebagai orangtua kita harus mendorong anak untuk menerapkan Firman Tuhan dalam hidupnya dan memandang hidup dari lensa Tuhan.
  4. Firman Tuhan menegaskan bahwa perubahan baru terjadi ketika kita berupaya keras keluar dari pola dunia dan mempersembahkan hidup kepada Kristus. Mungkin ada waktunya ia mengalami pergolakan; dengarkan dan berilah dorongan namun jangan memarahinya. Kuncinya adalah menjalin relasi yang terbuka dengannya agar kita dapat memantau dan mengarahkan pertumbuhan rohaninya.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup Berbeda". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sebagai orang beriman kita tahu bahwa kita dipanggil oleh Tuhan untuk hidup kudus, bukan hidup tanpa dosa tapi lain dari pada yang lain. Dan letak lainnya ini dimana dan bagaimana?

PG : Sudah tentu yang dimaksud dengan lain ini bukan menunjuk pada atribut-atribut jasmaniah yaitu cara kita mendandani rambut kita. Tapi ini adalah perubahan nilai, apa itu yang penting dalam idup ini, apa itu yang akan kita tinggikan, apa yang akan kita kejar di dunia ini, untuk hal apa sajakah kita akan berkorban dalam hidup ini.

Hal-hal seperti itulah yang diminta Tuhan untuk kita ubah. Dan sudah tentu berbeda di dalam hal dosa juga merupakan sebuah keharusan, yaitu kita tidak melakukan dosa dari yang tadinya kita biasa lakukan atau dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita. Jadi seperti itulah kudus yang Tuhan kehendaki, Pak Gunawan.
GS : Dan untuk itu Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang Pak Paul ingin bahas?

PG : Ada, Pak Gunawan. Dan sebetulnya pembahasan kita kali ini muncul dari sebuah keprihatinan di Amerika Serikat, beberapa waktu yang lalu diadakan sebuah survei dan dari survei itu ternyata aak-anak yang di sekolah minggukan pada masa kecilnya, setelah SMA mereka makin berkurang untuk ke gereja, dan pada saat menginjak bangku kuliah hampir setengahnya sudah tidak lagi bergereja.

Dan setelah masuk ke dunia kerja, ternyata yang masih bergereja tinggal sekitar 10 persennya saja. Berarti begitu banyak anak-anak yang tadinya itu mengenal Tuhan, bergereja setiap minggu diajarkan tentang Tuhan tapi setelah dewasa tidak lagi menghiraukan hal-hal ini. Dan sesungguhnya apa yang terjadi? Apakah ini adalah sesuatu yang baru? Ternyata tidak! Mazmur 106:34-36 mengatakan bahwa mereka (orang-orang Israel) tidak memunahkan bangsa-bangsa seperti yang diperintahkan Tuhan kepada mereka, tapi mereka bercampur-baur dengan bangsa-bangsa dan belajar cara-cara mereka bekerja, mereka beribadah kepada berhala-berhala, mereka yang menjadi perangkap bagi mereka. Jadi orang-orang Israel setelah masuk ke tanah yang Tuhan janjikan akhirnya bercampur-baur dan akhirnya mulai mengadopsi nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa-bangsa di tanah Kanaan itu. Kita juga mesti berhati-hati karena ternyata gejala ini terus berlangsung dari zaman Perjanjian Lama, hal itu masih terus berlangsung sampai sekarang. Memang di satu pihak membuat kita frustrasi, apalagi yang harus kita kerjakan, bukankah kita sudah melakukan tugas sebagai orang tua mengajak anak-anak mengenal Tuhan kita Yesus Kristus, mengenal apa itu ibadah kepada Tuhan dan akhirnya juga mengenal Firman Tuhan lewat sekolah minggu dan khotbah-khotbah yang didengarnya tapi setelah besar dia bisa hilang begitu saja. Dan kita mesti mewaspadai, kita sudah melihat contoh yang sangat nyata terjadi di Eropa dan Asia kecil. Eropa adalah pusat kekristenan yang mengirimkan begitu banyak hamba-hamba Tuhan yang melayani Tuhan di segala penjuru dunia. Tapi sekarang kita ketahui tidak ada lagi pusat kekristenan secara umum karena orang-orang di sana sudah tidak terlalu menghiraukan Tuhan, Tuhan adalah sebuah konsep yang tidak relevan dalam hidup. Mereka mungkin saja percaya adanya Tuhan, tapi Tuhan bukanlah Tuhan yang seharusnya terlibat di dalam hidup mereka.
GS : Pak Paul, kalau pemazmur mengatakan tentang mereka itu bercampur-baur dengan bangsa-bangsa lain, pada saat ini juga sangat dimungkinkan karena kita sulit untuk mengisolir diri, apalagi sebagai orang Kristen untuk berkumpul dengan orang Kristen saja sulit, Pak Paul. Jadi percampuran ini bisa membawa dampak seperti yang telah kita bahas ini?

PG : Betul. Jadi sudah tentu yang dimaksud dalam konteks sekarang ini bukanlah kita mau memisahkan hidup yaitu tidak bergaul, tidak bersosialisasi dengan orang lain, sama sekali bukan. Sebab Tuan juga meminta kita untuk menjadi terang, menjadi garam dan benar-benar menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita supaya lewat perbuatan baik kita, orang bisa melihat kemuliaan Tuhan.

Jadi konsep berbaur di sini, lebih kepada suatu adaptasi dan asimilasi nilai-nilai hidup dan keyakinan kepercayaan sehingga kita mesti menjaga jangan sampai itu nanti yang turut tererosi.
GS : Kalau riset itu dilakukan di Amerika, Pak Paul, kalau seandainya dilakukan di Indonesia, saya rasa hasilnya juga tidak terlalu jauh berbeda, Pak Paul.

PG : Sebenarnya ya. Banyak orang yang setelah dewasa itu tidak lagi terlalu melibatkan Tuhan dalam hidup mereka, mungkin saja setiap minggu mereka tetap pergi ke gereja dan sebagainya, tapi Tuhn bukanlah menempati porsi terbesar dalam hidupnya, jadi benar-benar ke gereja, beribadah adalah sebagai kewajiban sebagaimana manusia namun tidak sungguh-sungguh tunduk kepada Tuhan di dalam setiap kehidupannya.

GS : Kalau begitu apa yang harus dilakukan, Pak Paul? Kita tentu tidak menghendaki anak-anak kita atau generasi muda ini tidak lagi mempunyai nilai-nilai yang sudah ditanamkan sejak mereka masih anak-anak.

PG : Kita akan melihat beberapa panduan yang diambil dari Roma 12:1,2. Firman Tuhan berkata, "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahka tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." Prinsip pertama yang bisa kita petik dari Firman Tuhan adalah kita hanya bisa hidup berbeda bila kita pertama-tama mempersembahkan hidup kepada Kristus Tuhan kita, dengan kata lain kita mesti bertekad untuk hanya hidup sesuai dengan kehendak Allah dan menjalankan misi-Nya, fokus kita hanyalah Dia dan tidak ada lagi selain Dia. Saya menyimpulkan begini, Pak Gunawan, orang yang mudah terpengaruh oleh lingkungan adalah orang yang tidak pernah benar-benar memersembahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan. Saya kira sedikit banyak kembali kepada peranan kita sebagai orang tua, misalkan saya mau katakan kadang-kadang sebagai orang tua kita gagal menekankan hal ini, kita memandang hal rohani sebagai salah satu dari sejumlah hal lain di dalam hidup ini, bukan sebagai bagian terutama dari hidup, dan pada akhirnya anak bertumbuh besar memiliki pandangan yang serupa bahwa Tuhan hanyalah satu bagian, satu hal dari sejumlah hal lain dalam hidup ini. Anak-anak seperti inilah yang nantinya rentan terhadap erosi rohani ketika menginjak usia dewasa.
GS : Masalahnya mungkin pada konsep memersembahkan diri kepada Tuhan Yesus, masih banyak orang yang menganggap kalau memersembahkan diri maka harus menjadi pendeta, harus bekerja penuh waktu di gereja. Sehingga orang tidak berani memersembahkan diri atau enggan memersembahkan diri, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Memersembahkan diri berarti, yang pertama adalah menjadikan Tuhan yang terutama dalam hidupnya. Jadi apa pun yang dilakukannya semua harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan, apa yang ingindilakukannya harus ditanyakan dengan Tuhan, apakah ini memang sesuatu yang Tuhan kehendaki dan yang saya maksud menanyakan sesuatu kepada Tuhan, untuk hal-hal yang memang penting untuk kita lakukan.

Saya bukannya berkata kalau mau mandi kemudian bertanya kepada Tuhan, atau mau makan bertanya kepada Tuhan. Tapi pada intinya memersembahkan diri kepada Tuhan berarti menempatkan Tuhan sebagai Tuhan dalam hidup kita, yang terutama dalam hidup kita. Saya masih ingat dengan diri saya pribadi, sebelum saya lahir baru, apa yang ingin saya lakukan maka saya lakukan sesuai dengan kehendak saya, saya tidak lagi memusingkan apakah Tuhan setuju atau tidak setuju dengan yang saya lakukan. Tapi setelah saya lahir baru, saya berusaha mengingat-ingat apakah ini sesuai dengan kehendak Tuhan, apakah ini memuliakan Tuhan atau tidak. Waktu saya mau sekolah dan memilih jurusan, memilih pasangan hidup, saya selalu terbiasa berdoa dan meminta pimpinan Tuhan. Saya mau memastikan bahwa yang saya lakukan tidaklah bertentangan dengan kehendak Tuhan. Jadi hal seperti ini yang sejak awal kita tanamkan kepada anak-anak bahwa Tuhan yang terutama, hidup ini untuk Tuhan sebab hidup ini dari Tuhan. Jadi tidak ada lagi yang istimewa dari pernyataan hidup ini untuk Tuhan sebab bukankah pada dasarnya hidup ini adalah dari Tuhan, jadi memang sepenuhnya untuk Tuhan oleh karena itu kita harus hidup seperti itu pula, bahwa kita ini adalah milik Tuhan dan hiduplah sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.
GS : Jadi pengajaran tentang cerita Alkitab, menanamkan nilai-nilai itu memang penting dilakukan sejak anak itu masih dini, tapi yang Pak Paul ingin sampaikan di sini bahwa menekankan kepada anak bahwa harus berani memersembahkan hidupnya kepada Tuhan secara pribadi.

PG : Betul. Jadi memersembahkan di sini bukan berarti kamu nanti harus menjadi pendeta, tapi memersembahkan artinya sepenuhnya hidup ini hanyalah untuk Tuhan.

GS : Makanya kalau kita sendiri sebagai orang dewasa masih tidak jelas dengan konsep ini, maka kita juga tidak akan memberikan dorongan kepada anak-anak kita.

PG : Benar. Memang harus diawali dari kita, apakah kita telah memersembahkan hidup kita kepada Tuhan. Sepenuhnya ini adalah untuk Tuhan, kita tidak lagi hanya mementingkan diri tapi selalu maumementingkan kepentingan Tuhan.

GS : Yang lain yang Pak Paul ingin sampaikan dari Roma 12 ini apa, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah Tuhan meminta kita untuk tidak serupa dengan dunia ini. Istilah dunia di sini merujuk pada pola hidup atau jiwa dari dunia yang berlawanan dengan kehendak Tuhan sehingg tidak setiap hal yang dicetuskan oleh dunia berarti bertentangan dengan Tuhan.

Tapi akan ada hal-hal atau nilai-nilai hidup yang dipromosikan yang memang berlawanan dengan kehendak Tuhan. Namun untuk dapat tidak serupa dengan dunia, pertama-tama kita harus tahu lebih dahulu apa itu yang menjadi pola hidup dunia, apa itu yang diajarkan oleh dunia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita sebagai orang tua mesti menjelaskan kepada anak-anak apa itu pola dunia yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan dan mengapa tidak sesuai. Jadi tidak boleh kita sebagai orang tua hanya berkata, "Ini salah, ini jahat" tapi tidak menjelaskan kenapa tidak boleh dan kenapa itu tidak benar, kenapa itu jahat. Saya akan berikan beberapa contoh pola dunia yang berada di sekitar kita yang mesti kita waspadai. Misalkan yang pertama, ada yang berpendapat bahwa hidup bergantung sepenuhnya pada diri kita manusia dan bukan Tuhan, ada orang yang mengandalkan kepandaiannya, mengandalkan kekuatannya, kebisaan-kebisaannya. Kemajuan ilmu pengetahuan memang salah satu hal yang baik tapi kalau tidak hati-hati, kemajuan ilmu pengetahuan akan membuat kita lupa bahwa pada akhirnya nafas ini pun adalah pemberian Tuhan dan bahwa kepandaian juga karunia Tuhan. Sebab misalkan kita membicarakan masalah IQ, kecerdasan intelektual, apakah itu sesuatu yang bisa ditambahkan misalkan yang tadi IQ-nya 90 dan sekarang menjadi 150, tidak! Kita tahu penambahan IQ hanyalah bisa berlangsung mencakup 5-10 point tapi itu pun masih bisa dipertanyakan apakah itu penambahan ataukah pengoptimalan, yang memang sudah ada dioptimalkan. Intinya adalah kita sudah membawanya. Itu sebabnya anak-anak yang cacat mental, yang memang mengalami kemunduran dalam kecerdasan intelektualnya, apa pun yang dilakukan tidak akan berhasil mengeluarkannya dari ikatan itu, tetap ada dan dia akan susah mengikuti pelajaran dan sebagainya. Jadi intinya kita mesti menyadari hidup ini pemberian Tuhan, nafas adalah pemberian Tuhan, kecakapan kita, kepandaian kita adalah juga pemberian Tuhan. Tapi betapa banyaknya orang yang tidak lagi menghiraukan Tuhan karena memikirkan bahwa tidak perlu tergantung pada Tuhan karena ini semua sudah begitu hebat dan begitu maju. Jadi akhirnya kita menyembah diri kita sendiri, bukan lagi Tuhan.
GS : Itu memberhalakan ilmu atau diri kita sendiri menggantikan Tuhan dan memang hal ini sangat gencar disampaikan kepada anak-anak yang mengatakan, "Kalau kamu berpikir bisa, maka kamu pasti bisa melakukan itu," dan itu adalah suatu ajaran yang membingungkan anak.

PG : Betul. Jadi kita memang boleh mendorong anak, "Kamu jangan sampai ragu, kamu harus coba teruskan, apakah yang kamu sudah kerjakan itu sudah baik" itu tidak apa-apa, namun jangan sampai berebihan, seolah-olah semua tergantung pada dia.

Kita mesti mengajar anak berdoa meminta berkat Tuhan dan meminta kehendak Tuhan, sebab memang apa pun yang dia persiapkan misalnya ujian, sebaik apa pun dia belajar kalau hari itu dia harus sakit maka dia tidak bisa ikut ujian sehingga semuanya harus terhenti. Jadi kita mengajak anak dari kecil untuk bergantung pada Tuhan.
GS : Mungkin ada anggapan keliru yang lain yang saat ini sedang berkembang?

PG : Yang kedua adalah bahwa semua kepercayaan adalah baik dan sama di mata Tuhan. Ini memang sebuah falsafah yang dianut oleh banyak orang di dunia ini, apalagi di kalangan kaum intelektual da sebagainya, "Tidak apa-apa, semua bergantung pada kita dan sebagainya."

Pertanyaan yang ingin saya sampaikan adalah jika semua keyakinan sama, mengapa harus ada begitu beragam dan ini yang penting, begitu berlainan? Kalau memang mirip, kita masih bisa berkata "Mungkin semua ini sama karena mirip", tapi faktanya kalau kita ingin mendalami setiap keyakinan, ternyata kita temukan berbeda sekali, tidak ada yang sama di dalam dasar-dasarnya, begitu beragam, begitu berbeda. Ini membuktikan bagi saya tidak sama, sebab kalau sama kenapa harus begitu berbeda, jadi bagi saya memang tidak sama dan karena tidak sama tugas kitalah untuk mencari tahu, mencari kebenaran itu, mendalaminya dan tidak menggampangkan. Buat saya orang yang menggampangkan, "Semua sama" adalah orang yang tidak mau menghiraukan Tuhan dalam hidupnya maka dia menganggap, "Semua sama" sehingga dia tidak harus pusing-pusing, sikap seperti inilah yang kita harus waspadai sebab anak-anak kita akan bertumbuh di dalam lingkup seperti ini, di mana pun dia berada sekarang, di luar negeri juga sama bahkan lebih parah lagi. Jadi benar-benar sebuah sikap yang mau menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat Tuhan dengan mengatakan, "Semua sama tidak ada bedanya".
GS : Itu seringkali dikemukakan dalam rangka kita menoleransi orang lain yang berbeda keyakinan atau agama dengan kita. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kita perlu hidup rukun, kita perlu saling mengasihi karena ini adalah perintah Tuhan dan perintah Tuhan adalah kita harus mengasihi orang bahkan perintah Tuhan lebih jauh lagi,kita harus mengasihi orang yang memusuhi kita, yang membenci kita, kita diminta untuk mendoakan.

Jadi bukan hanya menoleransi, sebab panggilan kristiani adalah mengasihi, lebih jauh lagi dari menoleransi. Tapi didalam kita mengasihi, kita pun mengakui bahwa memang tidak sama, tapi tidak sama tidak harus membuat kita membenci orang, sebab membenci orang adalah sebuah dosa. Tapi kita mesti tahu, saya ingin menggugah orang tua untuk mendorong anak supaya benar-benar mengerti apa yang Tuhan ajarkan sehingga mereka tidak mudah terbawa oleh angin yang berkata, "Ya sudahlah, kamu juga sama baiknya."
GS : Hal lain apa Pak Paul, yang ingin Pak Paul ungkapkan dari Roma 12?

PG : Yang berikut adalah ada orang-orang yang beranggapan bahwa yang terpenting adalah kebahagiaan dan bahwa Tuhan sesungguhnya menginginkan kita bahagia dan inilah sebuah falsafah kehidupan yag juga berkeliaran di sekitar kita.

Jadi pada akhirnya faktor dosa atau melakukan sesuatu yang melawan Tuhan menjadi tidak relevan sebab semua diukur dari bahagia, kalau kita bahagia berarti kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan terlalu banyak orang yang seperti itu, Pak Gunawan. Ada orang yang akhirnya tinggal bersama dengan pacarnya, dia tidak peduli bahwa ini adalah dosa, bahwa ini adalah perzinahan di mata Tuhan, dia tidak peduli. Sebab mereka bisa berkata, "Saya sudah tidak cocok dengan istri atau suami saya, maka sekarang saya tinggal dengan dia, yang penting saya bahagia, Tuhan pasti tidak ingin melihat saya hidup sengsara dan menderita." Itu salah! Tuhan lebih senang melihat kita menderita karena melawan dosa, daripada bersukacita karena hidup di dalam dosa. Jadi itu sebuah konsep yang sangat salah, anak-anak nanti akan hidup di dalam roh atau budaya seperti ini, "Yang penting kamu senang dan bahagia dan kamu menjadi orang yang lebih baik." Tidak! Yang Tuhan tekankan bukannya kebahagiaan tapi yang Tuhan tekankan selalu menaati kehendakNya.
GS : Memang seringkali orang menempatkan kebahagiaan, kesuksesan sebagai tujuan akhir kehidupannya dan itu yang menjadi masalahnya.

PG : Betul dan akhirnya apa pun yang kita lakukan, tujuannya adalah supaya bahagia, kalau kita sudah mencapai titik bahagia, kita akhirnya tidak lagi memedulikan cara dan kita membolehkan semuacara yang penting kita bahagia.

Kita mesti mengajarkan kepada anak-anak bahwa Tuhan menuntut pertanggungjawaban. Orang yang memutarbalikkan, yang menyelewengkan kebenaran Firman Tuhan yaitu supaya bahagia di dalam dunia ini, suatu hari kelak harus memertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Jadi inilah yang anak-anak mesti mulai menerima dari kita sewaktu mereka masih kecil.
GS : Apakah ada pendapat yang lain yang membingungkan atau yang menyimpang dari kebenaran Firman Tuhan?

PG : Yaitu bahwa semua nilai moral relatif sebab semua bergantung pada bagaimanakah kita melihatnya, boleh atau tidak boleh, salah atau benar. Itu semua relatif tergantung bagaimana kita meyakiinya dan sebagainya, itu salah! Jangan sampai nanti kita terpengaruh oleh nilai-nilai moral seperti ini yaitu benar atau salah semua adalah masalah persepsi belaka.

Ada yang benar dan ada yang salah, karena Tuhan sudah mengatakannya dan kita harus mengikuti, kita setuju atau tidak setuju itu yang nomor dua dan tidak penting, terpenting adalah apa yang Tuhan katakan. Ini juga yang mesti kita tekankan kepada anak-anak pada masa pertumbuhannya.
GS : Pak Paul, seringkali kita mengatakan sesuatu tanpa dasar sehingga semuanya relatif, baik itu kebaikan atau kekudusan. Hal-hal yang Pak Paul nilai sesuatu yang mutlak, itu yang bagaimana Pak Paul?

PG : Misalnya Tuhan sudah berkata bahwa, "Aku adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup, tidak ada seorang pun datang kepada Bapa kecuali melalui Aku." Ini yang mengatakan adalah Tuhan Yesus dan bagi sya Dia tidak berbohong dan kalau dia tidak berbohong berarti Dia mengatakan yang benar, saya akan pegang itu sebagai suatu kebenaran dalam hidup saya yang mutlak dan saya tidak akan kompromikan.

Misalnya Tuhan meminta kita untuk mengasihiNya dan mengasihi sesama dan kita akan memutlakkan itu. Kalau kita tidak mengasihi Tuhan dan tidak mengasihi sesama, itu adalah sebuah dosa, itu tidak berkenan kepada Tuhan. Kita tidak bisa berkata, "Ya, namanya juga manusia, membenci juga tidak apa-apa sekali-sekali" tidak! Yang namanya tidak berkenan kepada Tuhan adalah merupakan suatu dosa yang kita harus hindari.
GS : Hidup yang berbeda dengan yang lain ini, contohnya seperti apa lagi?

PG : Jadi akhirnya kita diperintahkan Tuhan untuk berubah dalam cara berpikir kita, tidak sama dengan cara dunia. Jadi kita harus ditransformasi, artinya kita harus mengadopsi nilai yang baru dn sudut pandang yang berbeda.

Hanya dengan perspektif yang baru kita dapat menjalani hidup berbeda dari pola dunia, kita harus memahami bagaimanakah Kristus Tuhan kita memandang semuanya dan berusaha sekuat tenaga menerapkannya dalam hidup. Jadi kendati bagi dunia, kita hanya dipandang kuat bila kita misalnya berani membalas, namun Tuhan memerintahkan kita untuk tidak membalas, malahan Tuhan meminta kita untuk berdoa bagi yang menyakiti kita. Jadi sebagai orang tua kita mesti mendorong anak untuk menerapkan Firman Tuhan di dalam hidupnya dan memandang hidup dari lensa Tuhan. Anak-anak yang sejak kecil dididik untuk menyikapi hidup melalui mata Tuhan akan bertumbuh besar dengan lebih kuat dan terbiasa menyikapi hidup lewat kacamata Tuhan. Kalau dia sejak kecil tidak terbiasa maka setelah dia dewasa dengan sangat mudah dia akan hanyut oleh nilai-nilai yang ada di sekitarnya.
GS : Jadi kita bisa mengubah pola hidup kita, kalau pola pikir kita berubah dan perubahan pola pikir hanya dimungkinkan kalau Firman Tuhan itu bekerja di dalam hidup seseorang, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Firman Tuhan menegaskan bahwa perubahan baru terjadi ketika kita berupaya keras keluar dari pola dunia dan mempersembahkan hidup kepada Kristus, semua ini memerlkan waktu dan proses.

Jadi sebagai orang tua kita patut rajin mengajarkan semua ini kepada anak. Mungkin ada waktunya ia mengalami pergolakan, kita dengarkan dan berilah dorongan namun jangan memarahinya. Kuncinya adalah terus menjalin relasi yang terbuka dengan anak-anak agar kita dapat memantau dan mengarahkan pertumbuhan rohaninya.
GS : Tetapi ada orang yang berpendapat bahwa kalau dia sudah menanamkan nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan kepada anak-anak sejak kecil, katakan dia nanti sejak remaja atau dewasa meninggalkan Tuhan atau gereja bahkan meninggalkan imannya, suatu saat dia akan kembali lagi dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya melihat kebenaran hal ini, Pak Gunawan, karena dasarnya bukanlah pengalaman, tapi dasarnya adalah kasih karunia Tuhan yang sangat besar sehingga kasih karuniaNya yang begitu besar mesipun orang itu sudah terlalu kelewatan dan sebagainya, di akhirnya Tuhan tetap memberinya kesempatan untuk kembali kepadaNya.

Sudah tentu ini terpulang juga pada individu tersebut apakah dia mau merendahkan diri datang kepada Tuhan atau tidak, kalau dia tidak mau berarti dia harus menanggung semua akibatnya tapi saya percaya di titik akhir Tuhan akan memberikan kesempatan kepada anak-anakNya yang telah hidup jauh dariNya untuk kembali kepadaNya. Sudah tentu kita tidak boleh berkata, "Kalau begitu kita hidup semaunya, karena nanti Tuhan akan memberikan saya kesempatan terakhir," jangan! Kenapa kita harus menyakiti hati Bapa selama puluhan tahun, kalau kita tidak menyakiti hati Bapa sehari pun bukankah itu yang lebih indah?
GS : Jadi waktu yang baik kita menaburkan Firman Tuhan itu, justru pada masa anak-anak, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kenapa begitu penting di masa anak-anak sebab bukankah kita sekarang menyadari lewat psikologi pendidikan dan sebagainya bahwa apa yang diingat pada masa kanak-knak itu akan terus tinggal bersama kita sampai di hari tua.

Bukankah sekarang ilmu medis menjelaskan kepada kita bahwa di hari tua memori jangka pendek kita itu makin hari makin menipis, yang terus bertahan adalah memori jangka panjang. Jadi apa yang kita terima pada masa kecil, Firman Tuhan demi Firman Tuhan, kebenaran demi kebenaran, di hari tualah itu yang akan kita pegang, kita bawa sampai nanti kita uzur dan yang terakhir-terakhir itu justru yang akan kita lupakan. Jadi betul sekali penting mendidik anak dalam Firman Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hidup Berbeda." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



15. Menghadapi Pribadi yang Berbeda


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T265A (File MP3 T265A)


Abstrak:

Salah satu tantangan terbesar dalam bekerja sama adalah bagaimanakah kita dapat menghadapi pribadi yang begitu berbeda dari kita. Termasuk perbedaan gaya hidup dan sudut pandang membuat konflik tak terelakkan bila kedua belah pihak tidak rela mengalah. Disini akan dipaparkan beberapa prinsip yang dapat digunakan untuk menghadapi pribadi yang berbeda dari kita.


Ringkasan:

Salah satu tantangan terbesar dalam bekerja sama adalah bagaimanakah kita dapat menghadapi pribadi yang begitu berbeda dari kita. Berikut akan dipaparkan beberapa prinsip yang dapat gunakan untuk menghadapi pribadi yang berbeda dari kita.

  • Pada dasarnya kita adalah manusia yang mempunyai kesamaan dan perbedaan antara satu sama lain. Di dalam kesamaan kita akan menemukan perbedaan dan di dalam perbedaan kita akan menjumpai kesamaan.
  • Tatkala kita menjumpai perbedaan kita mesti membedakan antara perbedaan dan kelemahan akibat dosa. Perbedaan menyangkut (a) gaya hidup dan (b) sudut pandang sedangkan kelemahan akibat dosa merupakan nilai moral, sikap, atau tindakan yang melawan Tuhan dan perintah-Nya, seperti keangkuhan, ketamakan, kebohongan, dsb.
  • Perbedaan gaya hidup berasal dari perbedaan latar belakang kehidupan dan cara melakukan hal-hal tertentu. Perbedaan ini bisa berhulu dari budaya maupun keluarga atau lingkungan. Sebagai contoh, di dalam budaya kita, tinggal bersama orangtua bahkan sampai tua sekalipun bukanlah sesuatu yang salah atau tidak semestinya. Di belahan dunia Barat, tinggal bersama orangtua pada masa dewasa dilihat sebagai sesuatu yang tidak semestinya dan menyiratkan adanya masalah dalam diri kita. Sudah tentu dalam hal ini, kita tidak bisa mengatakan mana yang benar dan mana yang salah sebab keduanya mempunyai alasan yang baik.
  • Perbedaan sudut pandang merupakan hasil dari nilai yang ditanamkan dan pembelajaran dari pengalaman hidup. Jadi, ada orang yang berkata bahwa kita tidak boleh mempercayai orang yang baru dikenal sedangkan ada orang yang mengatakan bahwa selama orang belum menunjukkan niat buruk, maka kita tidak boleh berprasangka buruk.
Perbedaan gaya hidup dan sudut pandang membuat konflik tak terelakkan bila kedua belah pihak tidak rela mengalah. Itu sebabnya beberapa hal berikut ini perlu dipertimbangkan.
  1. Jika jelas bahwa hal ini bukanlah masalah benar-salah dan kudus-dosa, maka kita perlu menetapkan kepemimpinan. Siapa yang memimpin berhak meneruskan gaya dan sudut pandangnya dan mereka yang berada di bawah kepemimpinannya mesti tunduk. Sudah tentu sebagai pimpinan yang baik seyogianyalah ia memberi kesempatan kepada bawahannya untuk memberinya masukan. Namun bila memang terdapat perbedaan yang tidak dapat disatukan, maka orang yang berada di bawah kepemimpinannya harus mengalah dan mengikuti keputusan si pemimpin. Masalah timbul bila semua orang merasa bahwa mereka mempunyai hak yang sama dengan si pemimpin.
  2. Bila si pemimpin bijak dan tanggap, secara berkala ia pun harus mengalah demi menjaga kesatuan dan rasa dihargai pada bawahannya. Alhasil bawahan merasa bahwa pandangannya didengarkan dan dihargai.
  3. Jika kedua belah pihak setara, sebaiknya ditentukan sistem giliran. Jadi, jika terdapat perbedaan yang tidak menyangkut benar-salah, maka masing-masing berinisiatif untuk mengalah sesuai giliran. Problem timbul bila satu pihak terus mengalah dan pihak lainnya tidak mau mengambil giliran mengalah. Di sini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya pertemanan dibangun di atas prinsip timbal-balik. Jika tidak ada timbal-balik maka pertemanan pun niscaya terbalik.
  4. Kadang perbedaan dapat diperdekat lewat penjelasan dan pencarian alternatif. Jadi, kita harus mengkomunikasikan alasan di belakang pandangan dan gaya hidup yang kita anut. Sering kali pemahaman menolong kita untuk berkompromi karena makin mengerti makin tinggi penghargaan kita akan satu sama lain. Juga, kita mesti memelihara semangat pencarian alternatif sebab jalan ini akan dengan cepat menyelesaikan perbedaan. Alternatif kerap memuaskan dan menghilangkan kebutuhan akan giliran sebab kedua belah pihak berada di posisi yang setara.

Kesimpulan:
Perbedaan tidak harus menyebabkan perpecahan selama kedua belah pihak jelas akan peran masing-masing dan memelihara komunikasi antara satu sama lain. Firman Tuhan mengingatkan, "Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat." (Amsal 13:10)


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghadapi Pribadi yang Berbeda". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Dalam pergaulan kita sehari-hari, kita tentu bertemu dengan orang-orang yang pasti berbeda dengan kita karena kita diciptakan secara unik oleh Tuhan. Hal ini bisa menjadi suatu masalah tapi juga bisa menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena bisa berkomunikasi dengan orang yang berbeda dengan kita. Nah ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang kita senang bisa bertemu dengan orang yang berbeda dengan kita sebab adakalanya perbedaan itu melengkapi kekurangan kita, apa yang tidak bisa kita lakukan dengan baik, di situlah akn dilakukan oleh orang lain dengan baik.

Kita menyambut perbedaan tersebut apalagi dalam sebuah kelompok dimana kita harus bekerjasama, tapi tidak bisa dihindari bahwa perbedaan itu juga berpotensi menimbulkan konflik karena perbedaan membuat kita tidak melihat sesuatu dengan pandangan yang sama, akibatnya adakalanya kita harus bersitegang. Jadi pada umumnya kita ini menyambut perbedaan dengan setengah hati, di satu pihak senang namun di pihak lain merasa cemas kalau-kalau nanti akan terjadi konflik. Saya kira ini juga dialami oleh para manager, waktu mereka misalkan harus menerima orang baru untuk bekerja di bawahnya atau juga di dalam gereja misalkan majelis dipilih maka hamba Tuhan juga akan melihat siapa yang akan dipilih. Itu adalah sesuatu yang wajar, kita bertanya-tanya kalau orang yang dipilih ini begitu berbeda dengan saya, nanti kira-kira apakah bisa bekerjasama dengan saya, ataukah lebih banyak konfliknya atau lebih banyak keharmonisannya.
GS : Memang kesulitannya adalah menyesuaikan diri atau supaya orang baru ini menyesuaikan diri dengan kita, dan ini merupakan suatu proses yang tarik- menarik.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Satu hal yang kita harus sadari adalah segala jenis kerjasama apalagi kalau ada unsur perbedaannya akan menuntut waktu karena semua ini tidak akan terjadi dengancepat, jadi kita harus bersabar.

Ini adalah salah satu hal dimana kita harus mengingatkan diri kita bahwa kita harus bersabar, dari awal semua tidak bisa berjalan dengan cepat.
GS : Jadi kalau begitu hal-hal apa saja yang harus kita perhatikan di dalam kita berinteraksi dengan pribadi yang berbeda seperti itu?

PG : Yang pertama, kita harus menyadari bahwa kita adalah manusia yang mempunyai kesamaan dan perbedaan antara satu sama lain. Jadi di dalam kesamaan kita akan menemukan perbedaan dan di dalam erbedaan kita akan menjumpai kesamaan.

Yang terpenting kita harus mengingatkan diri kita bahwa kadang kita ini dibuat kecewa karena kita beranggapan, "Kamu ini sama dengan saya kenapa harus berbeda, kenapa harus tidak setuju dengan saya." Maka kita harus menyadari di dalam kesamaan pun akan ada perbedaan jadi jangan kecewa kalau orang yang kita anggap sama dengan kita juga harus berbeda pandang, apalagi kalau kita ini seorang atasan dengan bawahan kita jangan tersinggung dan marah, "Kamu ini tidak mendukung saya, kamu ini juga tidak setuju dengan saya, saya anggap kamu ini di pihak saya, saya anggap kamu ini mengerti saya," sebab di dalam kesamaan akan ada perbedaan. Sebaliknya waktu kita menghadapi masalah akibat perbedaan dengan rekan kerja kita juga mesti menyadari dan mengingatkan diri kita bahwa di dalam perbedaan-perbedaan itu akan kita temukan persamaan. Jarang kita mendapati orang yang dari A sampai Z semuanya berbeda dari kita.
GS : Persamaan itu seringkali terjadi di luarnya saja misalkan kita itu sama-sama karyawan, sama-sama majelis, sama-sama orang Kristen, itu hanya permukaan tapi yang di dalamnya justru berbeda banyak, Pak Paul.

PG : Betul. Dan kalau pun ada kesamaan-kesamaan dalam hal-hal yang bersifat prinsipiil, akan ada hal-hal lain yang nantinya kita harus berbeda pandang dan itu wajar. Jadi memang itulah yang teradi sebab tidak ada orang yang 100 persen sama dengan kita dan sebaliknya tidak orang yang 100 persen berbeda dari kita pula.

GS : Jadi kita menemukan perbedaan atau kita sadar ada perbedaan. Dan apa yang harus dilakukan?

PG : Yang kita lakukan, yang pertama sebagai langkah awal kita harus memisahkan antara yang kita sebut perbedaan dan kelemahan akibat dosa, ini dua hal yang tidak sama meskipun itu kadang-kadan rancu dengan keduanya.

Misalnya yang saya maksud dengan perbedaan adalah perbedaan gaya hidup dan perbedaan sudut pandang dan kita memiliki kebiasaan-kebiasaan yang tidak sama dengan orang lain. Sudut pandang adalah perbedaan nilai-nilai kita, tapi kelemahan akibat dosa itu lain lagi. Kelemahan akibat dosa itu menyangkut nilai moral, nilai rohani yang kita anut, sikap-sikap atau tindakan-tindakan yang melawan Tuhan dan perintah-Nya misalnya keangkuhan, ketamakan, kebohongan dan sebagainya dan sudah tentu waktu kita harus berhadapan dengan kelemahan akibat dosa maka kita harus bedakan reaksi kita waktu kita menghadapi perbedaan, jangan sampai kita membabi buta menyamaratakan keduanya. "Pokoknya kalau ada sedikit perbedaan, maka kita labelkan ini dosa" kita buru-buru mau mengejarnya, mau mendisiplinnya dan sebagainya. Itu belum tentu! Perbedaan bisa jadi hanyalah perbedaan dan jangan cepat-cepat kita melabelkannya sebagai dosa. Orang yang berbeda pandang dengan kita janganlah kita lihat dia sebagai orang yang berdosa, orang yang pasti salah. Sebaliknya juga jangan sampai kita meringankan kelemahan akibat dosa dengan berkata, "Memang manusia itu tidak sama," padahal ini bukan masalah tidak sama, tapi ini adalah masalah sikap atau tindakan yang melawan Tuhan dan perintah-Nya. Ada orang yang berkata, "Kita tidak perlu setia kepada pasangan kita, sekali-kali kita mempunyai intermeso dengan orang lain di luar, itu adalah hal yang wajar dan banyak orang yang melakukannya," kita tidak boleh berkata, "Saya dengan dia lain, saya lebih cocok dengan satu pasangan, dia lebih cocok dengan beberapa orang," ini bukan soal beda tapi ini soal dosa. Jadi kita mesti membedakan keduanya dan sudah tentu kalau ini masalah kelemahan akibat dosa, yang harus dilakukan orang tersebut adalah bertobat dan kita pun harus mengingatkannya untuk bertobat, tapi kalau kita melihat masalahnya adalah perbedaan maka jangan menyuruh-nyuruh orang bertobat seolah-olah dia sedang bersalah. Maka kita harus menyesuaikannya.
GS : Kalau perbedaan yang menyangkut gaya hidup itu mungkin kita bisa terima sejauh tidak memengaruhi kita, tapi perbedaan karena nilai moral, ini yang sulit, Pak Paul. Pernah ada sebagian besar orang di sekelilingnya mendukung apa yang dia perbuat, padahal kita secara prinsip berbeda dalam hal ini.

PG : Memang sekali lagi kalau nilai moral ini sebuah sikap yang melawan Tuhan dan perintah-Nya, maka kita mesti tahu jelas bahwa ini salah dan kita akan berdiri tegas tidak berkompromi dengan aa yang dilakukannya itu.

Tapi kalau nilai moralnya ini bukan dalam pengertian sikap atau tindakan yang melawan Tuhan, ini merupakan nilai-nilai tertentu dimana kita berbeda, maka kita mesti lebih toleransi dan tidak harus menyamaratakan ini sebagai sebuah dosa. Sebagai contoh yang kita tidak bisa sangkal dalam tata ibadah kita sebagai orang Kristen, ada kelompok-kelompok yang berbeda dengan kita. Ada yang memang nyaman dengan cara-cara tertentu dan sebagainya, bagi mereka itu adalah nilai-nilai rohani yang penting. Nah, dalam tata ibadah di mana kita harus berbeda maka kita katakan itu sebuah perbedaan, kita tidak akan melabelkan itu sebuah dosa atau kelemahan akibat dosa.
GS : Kalau perbedaan gaya hidup itu asal muasalnya bagaimana?

PG : Biasanya itu muncul dari latar belakang dan cara-cara melakukan hal tertentu. Perbedaan itu bisa berhulu dari budaya maupun keluarga atau lingkungan. Sebagai contoh di dalam budaya kita, tnggal bersama orang tua bahkan sampai tua sekali pun, ini bukanlah sesuatu yang salah atau tidak semestinya, namun di belahan Barat anak yang tinggal bersama orang tua pada masa dewasa dilihat sebagai sesuatu yang tidak semestinya dan menyiratkan adanya masalah dalam diri kita.

Maka mereka tidak akan berkata bahwa ini adalah hal yang normal, itu adalah hal yang salah. Kalau kita sudah berusia empat puluh tahun dan masih tetap tinggal bersama orang tua maka orang akan mengerenyitkan dahi dan menduga ada yang kurang beres dalam diri kita sebab diharapkan setelah kita berusia dewasa umur 18 tahun, maka kita harus mulai mandiri, kita harus hidup di atas kaki kita sendiri. Jadi kita akan melihat perbedaan gaya hidup, kita tidak bisa berkata ini sebuah dosa. "Anak yang berusia dewasa itu sedang berdosa" ini adalah sebuah perbedaan dan kadang-kadang ini juga yang harus kita hadapi dengan rekan kerja. Contoh lain ada orang-orang yang tidak suka berlama-lama menyelesaikan tugas, begitu diberikan maka dia akan berupaya sesegera mungkin menyelesaikannya. Sebaliknya ada orang yang menggunakan waktu sebelumnya untuk mengerjakan hal lainnya sebab dia telah memperhitungkan bahwa masih tersedia waktu untuk menyelesaikan tugasnya. Sudah tentu dalam hal ini kita tidak bisa mengatakan mana yang benar dan mana yang salah sebab keduanya mempunyai alasan yang baik. Bagi orang yang sudah terbiasa melakukan tugas di menit terakhir, mereka akan berkata, "Inilah saya, saya tidak bisa untuk menyicil jauh-jauh hari hasilnya akan sama dan lebih baik saya lakukan hal-hal lain di hari-hari sebelumnya dan saya sisakan dua hari terakhir ini untuk menyelesaikan tugas saya." Bukankah bagi kita yang penting adalah tugas itu diselesaikan, jadi dalam bekerjasama kita sebagai atasan yang harus kita tuntut adalah hasil, bagaimana pun cara-caranya kita harus terima dan memang masing-masing orang tidak sama.
GS : Kalau ada batasannya misalnya tenggang waktu maka kita akan dengan mudah mengaturnya atau menyesuaikannya selama dia masih bisa dalam batas ditoleransi, tapi ada hal-hal yang kita sendiri tidak memiliki patokan, tidak punya ukurannya dan ini membuat kita sulit menentukan apakah ini perlu ditolerir atau tidak?

PG : Mungkin salah satu kriteria yang bisa kita gunakan adalah apakah ini bisa menghambat, kalau ini menghambat kinerja, mengganggu suasana kerja atau relasi di antara sesama atau menimbulkan kresahan, maka kita harus mengatakan kepada orang yang bersangkutan bahwa kendati kita menyadari ini bukan masalah besar, ini bukan masalah dosa tapi perbedaan ini sedikit banyak menimbulkan keresahan.

Jadi kita bisa bertanya kepada yang bersangkutan, "Apa yang bisa kamu lakukan supaya kita bisa meredam gejolak-gejolak ini dan supaya kinerja kita tidak terganggu, kita masih bisa tetap bekerja sama." Jadi mungkin ukurannya adalah apakah telah menimbulkan gangguan dan kalau menimbulkan gangguan maka kita harus membahasnya.
GS : Itu kalau mengganggu kinerja kelompok, tapi selama itu tidak mengganggu maka itu menjadi urusan dia.

PG : Sebaiknya, ya. Jadi sebaiknya kita memberikan ruang pada individualitas seseorang atau keunikan seseorang. Kita tidak bisa menyamaratakan orang. Jadi yang penting adalah hasilnya bahwa tugs itu diselesaikan.

Saya jadinya teringat dengan kelompok-kelompok orang yang bekerja di bagian 'hi-tech' di Silicon Valley, daerah California bagian Utara, mereka itu sangat diberikan kebebasan dalam cara bekerjanya. Jadi mereka diberikan ruangan untuk berekreasi, berolah raga, ada 'fitness centre'nya, juga boleh datang dengan pakaian yang sangat 'casual', dengan pakaian yang sangat bersahaja. Jadi yang penting perusahaan itu menuntut hasil, bagaimana mereka mengerjakannya itu tidak akan diatur lagi sebab mereka menyadari adanya keunikan masing-masing.
GS : Dan memang tidak semua pekerjaan bisa diberlakukan seperti itu dan juga budayanya, karena ada orang yang diberikan kebebasan malah menyalahgunakan kebebasannya.

PG : Betul sekali. Jadi kalau sama sekali bertentangan dengan budaya kerja di situ atau biasanya bagaimana pekerjaan itu dilakukan, maka akan menimbulkan sedikit banyak ketegangan maka kita mesi datang kepada yang bersangkutan dan meminta dia untuk menyesuaikan diri pula atau misalkan kita ingin memasuki sebuah lingkup kerja sama yang baru, maka kita harus melihat apakah kita bisa cocok di situ dengan cara kerja yang seperti itu.

Kalau kita berkata, "Saya memang tidak bisa dengan cara kerja yang seperti itu dan mungkin saya tidak akan tahan dengan tuntutan saya harus seperti itu pula", maka kita jangan masuk.
GS : Kita kadang-kadang melihat gaya hidup seseorang berubah, yang tadinya bisa bekerjasama dengan kita, entah karena sesuatu hal misalkan karena kenaikan jabatan lalu gaya hidupnya berubah dan akhirnya membuat kita sulit untuk berinteraksi dengan dia.

PG : Ini adalah hal-hal yang sering terjadi dan tidak bisa dihindari, bisa buruk dan bisa juga sebagai hal yang lazim yang kita harus terima. Misalnya dengan posisi kerja dia yang meningkat, keibukannya menjadi bertambah dan karena kesibukannya bertambah maka dia menjadi lebih peka dengan waktu sehingga dia lebih memperhatikan lamanya untuk dia berbicara dengan kita, misalkan kalau dia keluar makan dengan kita maka dia akan memperhitungkan waktunya.

Kalau dulu dia tidak seperti itu namun sekarang dia menjadi lebih tergesa-gesa, atau karena dia makin sibuk akhirnya dia mau mengefisienkan waktu misalkan untuk menelepon kita, dia akan meminta seseorang untuk meneleponkannya supaya bisa langsung berbicara dengan kita. Adakalanya kita di pihak yang satunya itu merasa tersinggung, tersisihkan karena merasa tidak dihormati lagi dan berubah sekarang seperti ini, dan kita dengan cepat menyimpulkan, "Kamu sekarang sombong mentang-mentang kamu di atas dan saya masih di bawah." Jadi kita juga mesti berhati-hati jangan cepat menuduh orang itu sombong dan sebagainya, karena sekali lagi itu adalah tuntutan kerja, perubahan jadwal hidup dan sebagainya dan itu bisa menuntut perubahan. Misalkan dulu belum menikah masih lajang bisa keluar beramai-ramai sampai jam berapa pun, dan sekarang sudah menikah maka dia harus diam di rumah dan dia harus bersama dengan pasangannya dan tidak bisa lagi untuk bisa bebas seperti dulu. Kita sebagai teman juga harus mengerti perubahan gaya hidup seperti itu dan sekali lagi yang dituntut di sini adalah pengertian dari kedua belah pihak.
GS : Masih ada prinsip lain Pak Paul, di dalam menghadapi orang yang berbeda dengan kita?

PG : Yang berikut jadinya kita harus menyadari selain gaya hidup ada juga yang terjadi yaitu perbedaan sudut pandang atau perspektif kita. Perbedaan sudut pandang itu merupakan hasil dari nilaiyang ditanamkan dan pembelajaran dari pengalaman hidup.

Jadi ada orang yang berkata bahwa kita tidak boleh memercayai orang yang baru dikenal sedangkan ada orang yang mengatakan selama orang belum menunjukkan niat buruk maka kita tidak boleh berprasangka buruk. Sudah tentu orang yang tidak memercayai orang yang baru dikenal mengembangkan pandangan tersebut dari nilai yang ditanamkan padanya atau pengalaman buruk yang menimpanya akibat terlalu cepat memercayai orang. Sebaliknya orang yang berprinsip bahwa seyogianya saya memercayai orang yang tidak memperlihatkan niat buruk, hal-hal seperti itu berdasarkan hal-hal yang ditanamkan padanya dan pengalaman hidup yang membuktikan bahwa hampir semua orang yang dipercayainya ternyata layak dipercaya. Jadi sekali lagi sangat-sangat subjektif bergantung pada pengalaman hidup seseorang dan nilai-nilai yang ditanamkan padanya. Jadi ini juga menciptakan perbedaan dalam kita bekerjasama.
GS : Jadi perbedaan gaya hidup maupun perspektif, itu seringkali merupakan penyebab konflik pribadi demi pribadi. Dalam hal ini apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita pertimbangkan supaya hubungan kita itu enak?

PG : Ada beberapa yang bisa saya bagikan, yang pertama adalah jelas bahwa hal ini bukanlah masalah benar atau salah, kudus atau dosa, sehingga kita perlu menetapkan kepemimpinan. Siapa yang memmpin berhak meneruskan gaya dan sudut pandangnya dan mereka yang berada di bawah kepemimpinannya mesti tunduk.

Sudah tentu sebagai pimpinan yang baik dia memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk memberikan masukan, namun bila terdapat perbedaan yang tidak dapat disatukan, maka orang yang berada di bawah kepemimpinannya harus mengalah dan mengikuti keputusan si pemimpin. Masalah timbul bila semua orang merasa bahwa mereka mempunyai hal yang sama dengan si pemimpin yakni hak, bukan saja untuk didengarkan melainkan juga untuk dipatuhi, bila ini yang terjadi maka kekacauanlah yang akan kita tuai.
GS : Seringkali ada pemimpin-pemimpin yang tidak formal. Jadi ada pemimpin-pemimpin formal yang diangkat karena ada surat keputusan bahwa dia diangkat, tapi bawahannya karena memiliki pengalaman yang lama di suatu tempat, sehingga mereka juga seolah-olah menjadi pemimpin-pemimpin dan mereka juga menuntut untuk didengarkan juga.

PG : Betul. Dalam kondisi itu dia juga mempunyai pengalaman yang mungkin lebih baik dari pada si pemimpin itu sendiri dan dia berkewajiban membagikannya kepada si pemimpin tapi tetap karena di alam struktur organisasi, dia adalah bawahan maka dia mesti tunduk.

Kalau dia sudah tidak bisa lagi menghormati dan tunduk kepada si pemimpin maka dia harus dengan baik-baik mengundurkan diri. Namun sekali lagi kalau dia berada di bawah kepemimpinan seseorang bagaimana pun juga dia harus menaati karena kalau tidak menaati maka semua akan kacau.
GS : Seringkali pemimpin baru itu adalah karyawan yang tadinya sama-sama bekerja dengan mereka, kemudian naik jabatan dan hal ini seringkali tidak bisa diterima secara langsung oleh bawahan-bawahan itu.

PG : Seringkali kita beranggapan bahwa kita mempunyai hak yang sama dengan si pemimpin, bahwa suara kita harus didengarkan sama seperti seorang pemimpin, namun tidak demikian! Di dalam strukturorganisasi ada yang menjadi atasan atau ada yang menjadi bawahan dan haknya tidak sama, kalau semua beranggapan bahwa haknya sama maka kita akan benar-benar menuai kekacauan maka perlu adanya ketertiban dan ini adalah sebuah perintah bahwa Tuhan pun menginginkan adanya ketertiban.

Misalkan di 1 Korintus, waktu Tuhan mengatur tata ibadah tentang berbicara dalam bahasa roh dan sebagainya, Tuhan memang dengan jelas menekankan ketertiban maka kita harus tunduk kepada yang memimpin.
GS : Apakah ada hal lain yang perlu dipertimbangkan, Pak Paul?

PG : Bila si pemimpin itu bijak dan tanggap secara berkala dia pun harus mengalah demi menjaga kesatuan dan rasa dihargai oleh bawahannya. Dengan kata lain jika dia melihat bahwa hal ini bukan asalah benar atau salah, maka akan jauh lebih baik jika sekali-kali ia melakukan apa yang disarankan bawahannya kendati itu berbeda dari apa yang dipikirkannya.

Alhasil bawahan merasa bahwa pandangannya itu didengarkan dan dihargai. Jadi pemimpin harus fleksibel untuk hal-hal yang tidak terlalu prinsipiil dan dia tidak berbeda pandang, jangan selalu meminta orang mengikuti pendapatnya. Pemimpin yang bijak akan sesekali memberikan ruangan kepada bawahannya untuk melakukan apa yang memang disarankan dan dia akan mengikuti yang diminta oleh bawahannya meskipun sebenarnya dia punya ide yang lain dan bisa jadi idenya itu memang lebih baik, tapi sekali lagi kalau ini bukan hal yang besar, sekali-sekali biarkan, agar bawahan merasa bahwa pemimpin itu sungguh-sungguh mendengarkannya sehingga mereka nanti akan terus bersemangat memberikan masukan-masukan yang berharga sebab mereka tahu kalau mereka akan di- dengarkan dan sekali-sekali si pemimpin akan melakukan apa yang mereka sarankan.
GS : Tapi masalahnya ada pada gengsi si pemimpin itu, Pak Paul.

PG : Memang ini masalahnya. Kadang-kadang si pemimpin itu merasa orang itu tidak boleh memiliki ide yang lebih baik darinya dan tidak boleh dia itu ikut pendapat bawahannya. Itu adakalanya pandngan yang keliru.

Justru kerjasama akan lebih optimal jika si pemimpin sekali-sekali bersedia merendahkan diri dan mengalah.
GS : Itu kalau hubungan atasan dan bawahan, pemimpin dan yang dipimpin, tetapi bagaimana kalau ini setara jadi sama-sama bawahan.

PG : Kalau setara sebaiknya digunakan sistem giliran. Jadi jika terdapat perbedaan yang tidak menyangkut benar salah maka masing-masing berinisiatif untuk mengalah sesuai giliran. Problem timbu jika satu pihak terus mengalah dan satu pihak tidak mau mengambil giliran mengalah.

Jika ini yang terjadi maka kita mengingatkan pihak yang satunya agar dia pun juga mengalah jika ia menolak maka besar kemungkinan itu akan menjadi akhir dari pertemanan atau kerjasama kita. Di sini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya pertemanan atau kerjasama dibangun di atas prinsip timbal balik. Di dalam benak kita sebenarnya akan mencatat 'track record', jadi berapa seringnya kita mengalah dan berapa seringnya dia mengalah, kalau tidak seimbang maka akan menimbulkan banyak masalah. Jika tidak ada timbal balik maka kerjasama itu juga akan harus disudahi.
GS : Ini juga dibutuhkan dalam relasi hubungan suami istri, Pak Paul?

PG : Benar sekali. Jadi masing-masing mesti mengingat giliran mengalahnya itu.

GS : Pak Paul, apakah ada pertimbangan lain yang harus diperhatikan?

PG : Bisa juga perbedaan itu diperdekat lewat penjelasan dan pencarian alternatif. Jadi kita harus mengomunikasikan alasan, di balik pandangan dan gaya hidup yang kita anut, seringkali pemahama akan menolong kita untuk berkompromi karena makin mengerti, maka makin tinggi penghargaan kita satu sama lain.

Jadi kita mesti memelihara semangat pencarian alternatif sebab jalan ini akan dengan cepat menyelesaikan perbedaan dan alternatif kerap memuaskan dan menghilangkan kebutuhan akan giliran, sebab kedua belah pihak berada di posisi yang setara.
GS : Mencari alternatif ini yang tidak mudah dilakukan sebab ini membutuhkan suatu kreatifitas tersendiri, kemampuan orang berkreasi sehingga bisa menemukan alternatif itu.

PG : Betul dan kadang-kadang kalau tidak bertemu jalan alternatif, maka jalan giliranlah yang kita harus tempuh kalau kita memang setara.

GS : Pak Paul, apakah Pak Paul bisa menyampaikan suatu kesimpulan dari apa yang kita sudah bicarakan ini?

PG : Firman Tuhan di Amsal 13:10 berkata, "Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat." Firman Tuhan jelas menyoroti masalah keangkuhan an bukankah seringkali keangkuhanlah yang menghalangi kita untuk merendahkan diri, mengalah, mendengarkan nasehat dan masukan dari orang atau bawahan di sekitar kita.

Jangan sampai keangkuhan menghancurkan pertemanan atau kerjasama kita. Firman Tuhan jelas berkata, "Mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat."

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghadapi Pribadi yang Berbeda". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



16. Adakah Sifat Dasar?


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T272A (File MP3 T272A)


Abstrak:

Ada orang yang beranggapan bahwa mustahil bagi kita mengubah sifat dasar. Pendapat ini bersumber dari keyakinan dan pengamatan bahwa sekali sifat dasar terbentuk maka tidak mungkin bagi kita mengubahnya. Namun ada pula yang meragukan keberadaan sifat dasar. Bagi sebagian orang, karakter atau sifat dasar hanyalah bentukan dari luar. Dari kedua anggapan tersebut, seringkali kita juga berpikir benarkah sifat dasar itu ada? Dan jawabannya adalah ADA. Dengan adanya sifat dasar, apa yang harus kita lakukan?


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Adakah sifat dasar?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, memang tiap-tiap orang itu sangat unik tetapi bicara tentang sifat dasar ada orang yang mengatakan, sifat dasar itu tidak ada karena orang itu dibentuk setelah lahir. Namun kalau yang namanya sifat dasar berarti sebelum orang itu lahir dia sudah terbentuk, sudah ada. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang ada yang berkata, sebenarnya kita ini dilahirkan ke dalam dunia, hampa atau kosong. Setelah kita lahir dan kemudian bertumbuh besar dalam keluarga, akhirnya kita bertemu dengan tema di sekolah atau pengalaman-pengalaman hidup yang kita lewati.

Semua itu yang akhirnya mengisi diri kita dan menjadikan kita seperti apa adanya sekarang ini. Nah pandangan ini sama sekali meniadakan pendapat yang berkata bahwa kita itu sebetulnya sudah membawa sifat-sifat dasar tertentu dalam diri kita, sebaliknya ada orang yang memang berkata bahwa pandangan tersebut keliru, tidak ada sifat dasar, memang lingkungan atau pengalaman dalam hidup begitu berpengaruh untuk membentuk diri kita, tetapi sesungguhnya juga ada sifat dasar yang kita bawa, kita wariskan ke dalam dunia ini. Jadi sekarang pertanyaannya, kalau begitu mana yang benar? Dan jawaban yang betul adalah sifat dasar itu memang ada. Kita lahir ke dalam dunia bukan dalam kehampaan atau kekosongan tanpa kecenderungan tertentu, tanpa watak atau perangai, kepribadian tertentu, namun kita sudah masuk ke dalam dunia ini membawa sifat-sifat dasar tertentu. Nanti kita akan membahas bahwa dalam perkembangannya sudah tentu apa yang kita alami juga bisa berpengaruh terhadap perkembangan diri kita pula.
GS : Apakah sifat dasar itu sama dengan karakter, Pak Paul?

PG : Jadi sifat-sifat dasar memang berkaitan sekali dengan karakter kita. Siapakah kita nantinya, sebetulnya cukup banyak hal yang sudah ditentukan sejak kita lahir.

GS : Padahal karakter terbentuk karena kebiasaan-kebiasaan atau tingkah laku kita yang berulang-ulang, Pak Paul?

PG : Betul, jadi di sinilah kita melihat bahwa apa yang kita bawa pada akhirnya harus berinteraksi dengan pengalaman hidup yang tadi Pak Gunawan sudah angkat. Jadi betul sekali ada hal-hal yangmenjadi bagian dalam diri kita yang sebetulnya tidak kita bawa, tetapi kita terima akibat bentukan-bentukan dari lingkungan.

Jadi kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan pada diri kita akhirnya menjadi bagian dari diri kita sendiri, sebagai contoh kalau orang tua kita menyenangi kebersihan, selalu meminta kita untuk membersihkan ruangan dan sebagainya, sebenarnya belum tentu kita senang untuk membersihkan kamar dan ruangan, akhirnya karena terpaksa kita menjadi terbiasa untuk membersihkan rumah, kalau melihat rumah tidak bersih kita merasa tidak enak. Kita mengadopsi sifat-sifat atau karakter yang dimiliki dari orang tua yang belum tentu kita miliki.
GS : Kalau sifat dasar yang dibawa sejak lahir itu seperti apa, Pak?

PG : Sebetulnya Pak Gunawan, kita ini bisa membagi hal-hal apakah yang sebetulnya kita wariskan dari orang tua. Sebelum kita masuk ke sifat dasar atau karakter sebetulnya ada dua hal lain yang uga kita bawa ke dalam hidup ini, ini mengkonfirmasi bahwa kita lahir ke dunia bukan dalam kekosongan, kita lahir ke dunia sudah membawa beberapa warisan dari orang tua kita.

Yang pertama adalah hal-hal yang bersifat jasmaniah, misalkan orang tua kita dua-duanya berbadan tinggi besar, maka besar kemungkinan kita lahir memiliki potensi untuk tinggi besar kecuali dalam perkembangannya kita tidak mendapatkan gizi yang selayaknya, sehingga akhirnya pertumbuhan kita terhambat, tetapi kalau pertumbuhan kita normal-normal saja, biasanya anak-anak yang dibesarkan atau lahir dari orang tua yang bertubuh tinggi, pasti cenderung bertumbuh tinggi. Sebaliknya juga demikian atau misalnya ada orang yang bermata besar, pasti orang tua yang dua-duanya bermata besar nantinya anak-anaknya juga akan mempunyai mata yang besar. Atau rambut, kedua orang tua berambut pirang, maka anak-anaknya juga mewarisi rambut pirang tersebut. Di sini kita bisa melihat bahwa kita tidak lahir dalam kehampaan, kita sudah membawa warisan-warisan, dalam hal ini adalah warisan-warisan yang bersifat fisik.
GS : Tetapi itu adalah sifat dasar yang tidak berkaitan dengan karakter, Pak Paul. Hanya berdampak pada tampilan kita, tinggi besar, mata besar, rambut pirang, tetapi sifat-sifatnya 'kan, tidak ada di situ.

PG : Betul. Memang saya kemukakan bahwa, kita lahir dengan warisan-warisan termasuk sifat dasar, karena kita lahir dengan membawa warisan-warisan lainnya, jadi bukan hanya sifat atau temperamen tetapi juga warisan-warisan jasmaniah.

Hal ini juga nantinya ada kaitannya dengan sifat dasar kita. Sebagai contoh: kalau kita dilahirkan oleh orang tua yang berenergi tinggi, senang berolah raga, aktif luar biasa, karena itulah warisan jasmaniah yang kita miliki, dapat pula kita mewarisi hal-hal yang berkaitan dengan energi tinggi misalnya salah satu hal yang terkait dengan energi tinggi, misalnya adalah mudahnya marah, atau susahnya menahan emosi kalau sedang marah, karena memang energi itu begitu besar. Bisa jadi karena kita juga mewarisi kecenderungan fisik yang kuat seperti itu, sehingga kita aktif sekali, akhirnya kita pun mewarisi kesukaran orang tua menahan kemarahan itu pula. Kita pun mewarisi penyakit-penyakit yang orang tua kita juga bawa, misalnya orang tua kita juga mengidap hipertensi atau diabetes, maka kita sebagai anak, akan berpotensi untuk mewarisi gangguan-gangguan fisik yang dialami oleh orang tua kita, bahkan sebagai tambahan, Pak Gunawan, kondisi mental orang tua, tatkala hamil pun dapat memberi warna tersendiri pada diri kita. misalnya ibu yang mengandung anak dalam kondisi depresi, cenderung melahirkan anak yang nantinya rentan terhadap depresi pula, atau ayah yang peminum, cenderung mewariskan hasrat minum-minuman keras pada anak itu pula. Jadi kita lihat disini sekali lagi, apa yang menjadi bagian dalam hidup orang tua kita, tidak bisa tidak, sebagian dari itu akan diwariskan kepada kita, suka tidak suka, baik atau buruk, menguntungkan atau merugikan, kita harus menerima. Paket pertama yang kita terima dari orang tua kita, yaitu: paket jasmaniah. Paket kedua yang juga berkaitan adalah: kemampuan untuk kelebihan kita, Pak Gunawan, jadi misalnya kalau orang tua itu dua-duanya senang musik, senang bernyanyi, besar kemungkinan kita pun mewarisi kemampuan itu. Ada orang yang memang tidak bisa menyanyi, susah sekali disuruh menyanyi, jika menyanyi salah-salah, tidak bisa melantunkan nada tertentu, tetapi ada orang yang dengan begitu mudah melantunkannya, kenapa? Sebab banyak hal yang telah kita warisi dari orang tua kita. Sebagai contoh adalah komposer klasik, Mozart. Mozart dibesarkan oleh seorang ayah yang juga seorang pemusik, atau Strauss yang kita kenal dengan dansa Waltz-nya, sebenarnya yang namanya Strauss itu ada tiga orang, Richard Strauss, Johan Strauss, dan satu lagi yang saya lupa namanya. Semua adalah Strauss, yang adalah kakek, anak, dan cucu, tiga-tiganya menjadi pemusik dan pengarang lagu-lagu klasik, di situ kita bisa melihat bahwa kita mewarisi kelebihan-kelebihan atau bakat-bakat tertentu dari orang tua kita. Nah, yang terakhir paket yang kita bawa adalah temperamen atau karakter, itupun juga kita bawa dari orang tua kita.
GS : Berarti ada sifat-sifat dasar yang dibawa sejak lahir itu pun yang merupakan suatu potensi bagi anak yang dilahirkan itu, Pak Paul? Jadi potensi untuk jadi seniman, seperti tadi Pak Paul katakan, atau olahragawan, tetapi ini tidak secara langsung akan bisa berkembang?

PG : Sudah tentu apa yang nantinya dilakukan oleh orang tua untuk memupuknya atau justru mengikisnya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan bahkan untuk kemampuan itu. Nah kalau orang tu juga memberikan pupukan karena dia bisa musik dan terus didorong untuk belajar bermusik, kalau orang tua juga memberikan pupukan, karena juga bisa musik maka secara langsung bakat itu menjadi berkembang.

Kalau tidak diberikan pupukan, maka sudah tentu bakat untuk berkembang juga kecil. Namun suatu waktu misalkan, anak itu berkesempatan untuk belajar musik, maka di situlah baru kita lihat, bakat yang tersedia itu tiba-tiba akan muncul dan berkembang dengan sangat cepat. Anak-anak lain belajar akan memakan waktu yang lama untuk belajar, namun anak ini belajar musik dalam waktu yang pendek dan bisa menguasainya. Di situ kita bisa melihat pengaruh bawaan. Jadi orang yang sudah mempunyai kemampuan bawaan, waktu diberikan kesempatan atau diberikan pemupukan, maka dia berkembang dengan sangat cepat sekali.
GS : Iya, dalam hal sifat dasar ini, apakah kecenderungan anak itu untuk berbuat dosa juga termasuk, Pak Paul? Yang diturunkan oleh orang tuanya.

PG : Saya kira semua anak sama seperti semua orang tua adalah orang berdosa. Jadi kita sudah mempunyai kecenderungan untuk berdosa, namun ada karakteristik tertentu, yang tidak bisa tidak lebihmemudahkan anak atau orang itu untuk berdosa.

Misalnya adalah anak yang dilahirkan dengan keberanian, dengan kekerasan hati, dengan tekad, kalau sudah ada maunya dia menjadi keras kepala. Sudah tentu sifat-sifat seperti ini bisa menyuburkan perkembangan dosa dalam hidup seseorang, saya kontraskan itu dengan seorang anak yang perasa, yang mudah merasa takut, cemas, karena sudah lahir dengan bawaan tersebut, secara langsung anak yang lebih merasa cemas, dan lebih takut, akan lebih dituntun, dikuasai oleh hati nuraninya oleh apa yang benar dan apa yang salah. Sebaliknya anak yang keras kepala, susah untuk taat. Tidak bisa tidak, dia lebih suka untuk menaati apa yang benar dan lebih tergoda untuk mencoba-coba yang salah. Jadi ada tipe-tipe kepribadian tertentu yang memang sudah kita wariskan, yang menyulitkan kita untuk hidup taat kepada Tuhan, namun ada juga yang lebih memudahkan orang untuk hidup taat kepada Tuhan. Maka kita kembali kepada Firman Tuhan, Tuhan mengatakan bahwa manusia menghakimi dari luar sedangkan Tuhan menghakimi dari dalam, karena Tuhan melihat apa yang di dalam. Mungkin di mata orang, orang ini mudah sekali jatuh ke dalam dosa, tapi sebetulnya sebelum dia jatuh ke dalam dosa sebenarnya dia sudah melawannya dengan susah payah karena tidak mudah bagi dia untuk menolak godaan dosa tersebut karena adanya faktor-faktor kecenderungan. Sebagai contoh, seorang anak anak laki-laki yang tadi saya sudah singgung, yang dilahirkan dalam keluarga di mana ayahnya seorang peminum, kalau dia seorang anak laki, maka dia akan mewarisi kemungkinan tersebut. Jadi kemungkinan untuk menjadi seorang alkoholik jauh lebih besar daripada anak lelaki lain yang dibesarkan dalam rumah, dimana orang tuanya bukanlah seorang alkoholik. Jadi buat si anak untuk menolak alkohol itu sangat susah, sebab kenapa? Karena dari dalam dirinya sudah ada bawaan untuk minum dan waktu dia minum dia benar-benar bisa menikmatinya. Dari sini kita bisa menyimpulkannya, bahwa pergumulan setiap orang itu tidak sama. Untuk orang yang cepat takut, cepat cemas dan merasa bersalah, dia memang tidak suka bermain dengan dosa, tetapi buat orang yang perasaan-perasaannya peka tersebut, dia lebih mudah untuk jatuh.
GS : Bagaimana pendapat Pak Paul, dengan orang yang mengatakan bahwa, bayi yang lahir itu tidak berdosa?

PG : Sudah tentu, kalau kita berkata bahwa bayi belum berbuat dosa, itu betul. Karena bayi memang belum bisa berbuat dosa, tetapi apakah bayi itu lahir dalam dosa, jawabannya adalah "Ya". Karen Firman Tuhan jelas berkata di Mazmur 139, kita itu dilahirkan dalam dosa, karena memang dosa itu sudah dilakukan dan dipilih oleh Adam dan Hawa.

Jadi sejak itu sampai sekarang setiap orang lahir sudah dalam dosa. Artinya apa? Seorang anak tanpa disuruh atau tanpa diberikan pendidikan tambahan, dia tetaplah sudah bisa berdosa. Misalnya tidak ada yang menyuruh dan mengajarkannya untuk berbohong tetapi dia sudah bisa berbohong. Nah itu adalah kecenderungan-kecenderungan yang lahir dari adanya dosa dalam hidup kita ini.
GS : Jadi kecenderungan berbuat dosa, merupakan salah satu sifat dasar manusia secara umum?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan!

GS : Kalau sekarang kita bicara tentang sifat dasar yang umum seperti itu, pertanyaannya adalah apakah kita lalu pasrah saja, jadi kita hanya menerima karena ini adalah warisan dari orang tua kita, apakah seperti itu?

PG : Jawabannya adalah ini, Pak Gunawan, kendati anak lahir membawa sifat dasar tertentu, tetapi ternyata sifat dasar itu masih dapat diubah, setidaknya kekuatannya dikurangi. Jadi tidak benar alau kita berkata, "Sudahlah ini sifat dasar saya, saya tidak akan bisa merubahnya, sudahlah saya terima saja."

Kalau sifat dasar itu menjuruskan kita untuk lebih mudah berdosa, atau untuk lebih menciptakan masalah, sudah tentu kita harus berusaha keras mengubahnya. Kita tidak bisa berkata, "Sudahlah, terima saja, pasrah saja, hiduplah seperti apa adanya." Kita tidak boleh seperti itu! Tuhan menuntut kita untuk bisa keluar dari kecenderungan kita dan dengan pertolongan-Nya, kita akan mampu untuk melakukannya. Saya akan memberikan sebuah hasil penelitian, Pak Gunawan, yang meneliti orang selama kurang lebih dua dekade atau dua puluhan tahun, orang-orang yang berusia mulai dari umur dua puluh tahun sampai berusia empat puluh tahun, perkembangannya terus diikuti. Ternyata hasilnya ini Pak Gunawan, orang makin tua makin cenderung menjadi lebih bernurani dan berhati-hati, serta menjadi lebih stabil. Dengan kata lain, akan terjadi perubahan dalam diri orang yang berusia dua puluh tahunan dengan orang yang berusia empat puluh tahunan. Dengan hasil ini akhirnya para peneliti berkesimpulan bahwa, ternyata pengalaman hidup memengaruhi, mengubah sifat dasar manusia. Tambahan lagi, setelah usia empat puluh tahunan, seorang akan lebih tertutup terhadap pengalaman yang baru atau konsep-konsep yang baru dan akhirnya cenderung lebih senang untuk menyendiri dan melakukan hal-hal yang sudah biasa dilakukan, yang dia sudah pernah lakukan. Berbeda dengan orang pada usia dua puluhan, mereka suka keramaian, suka pergi, bergaul dengan teman-teman dan mau mencoba hal yang baru, belajar ini, belajar itu, mencoba yang tidak pernah dilakukannya. Para peneliti ini berkata bahwa, "Semua sifat itu, baik itu sifat menyendiri, atau sifat yang mau ramai-ramai, sifat mau melakukan hal-hal yang baru, mau belajar hal-hal yang tidak pernah dilakukannya, itu semua sifat-sifat yang ditentukan oleh gen, atau hal-hal yang kita bawa sejak lahir, tetapi setelah usia empat puluhan, sifat-sifat itu berubah." Sekali lagi, hal-hal inilah yang makin mengkonfirmasi pandangan, bahwa ternyata pengalaman hidup dapat mengubah sifat dasar manusia, oleh karena itu kita tidak boleh berkata, "Sudahlah saya sudah seperti ini, terima apa adanya." Itu bisa berubah dan kuncinya adalah sebuah pengalaman yang terus-menerus. Jadi kalau pengalaman itu hanya terjadi sekali-sekali, maka susah untuk mengubah sikap dasar kita, Pak Gunawan. Tetapi kalau terjadi terus-menerus, untuk suatu kurun yang agak panjang, maka akan berpotensi untuk mengubah sifat dasar manusia.
GS : Jadi berubahnya sifat dasar manusia, menurut riset tadi, itu karena pengaruh lingkungan hidupnya atau karena perubahan biologis dari orang tersebut, Pak Paul?

PG : Ya, sebetulnya itu merupakan satu paket, Pak Gunawan, jadi dengan bertambahnya usia, misalnya secara fisik dia tidak selincah dulu, maka secara fisik, tubuhnya membutuhkan istirahat lebih anjang, tidak ada energi sekuat dulu dan sebagainya.

Itu juga menjadi pengaruh. Namun disamping itu tampaknya ada perubahan di dalam proses internal psikis orang yang tadinya mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda itu. Jadi sekali lagi kuncinya adalah sebuah pengalaman yang terus-menerus dan akhirnya akan mengubah orang. Sebagai contoh, orang yang masuk dinas militer, bisa jadi dulu sebelum masuk dinas militer, saat duduk badannya selonjor dan kalau berbicara suaranya lemah, tetapi setelah masuk dinas militer untuk suatu kurun dan menjadi seorang prajurit, tidak bisa tidak karena bentukan, akhirnya tubuhnya mengalami perubahan. Waktu dia berjalan, waktu dia duduk dan lama-kelamaan suaranya pun mengalami perubahan, karena semua itu adalah akibat bentukan intensif yang terus-menerus dilakukan. Jadi dengan kata lain, setelah melewati kurun itu, akhirnya orang berubah. Berarti kesimpulannya gen manusia sebetulnya fleksibel. Ada orang yang salah beranggapan bahwa kita lahir tanpa gen tertentu, namun jelas bahwa kita lahir membawa gen-gen yang menentukan sifat dasar kita, namun gen-gen tersebut ternyata, bisa berubah, tidak kaku, seperti yang dulu pernah dipikirkan oleh orang.
GS : Pak Paul, kalau kita bicara tentang orang yang punya sifat dasar pemarah, jadi misalkan karena orang yang awalnya adalah pemarah namun karena pengaruh lingkungan, pada usia empat puluh tahunan karena pengaruh lingkungan, dia menjadi orang yang lebih lemah lembut, lebih bisa menahan amarahnya. Dan kemudian orang ini mempunyai anak, apakah nantinya anak ini mewarisi gen yang dulu kakeknya berikan kepada orang tuanya, yaitu mudah marah, Pak Paul?

PG : Tidak, jadi orang yang sudah mengalami perubahan, sebetulnya secara genetik pun di dalamnya juga sudah mengalami perubahan, sehingga waktu dia nanti mempunyai anak, anak itu akan mewarisi ennya yang sekarang, bukan gen orang tua sewaktu orang tua itu berusia sepuluh tahun atau lima belas tahun.

Karena gen kita pun, masih bisa berubah, nah waktu kita mempunyai anak, gen terakhir itulah yang kita wariskan kepada anak kita, bukan yang dulu-dulu yang belum berubah.
GS : Jadi, seringkali seseorang beralasan bahwa dia menjadi seorang pemarah, karena ayahnya pemarah dan kakeknya juga pemarah. Sebenarnya adalah karena ayahnya tidak mau mengubah sifat pemarahnya itu tadi, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi, kalau misalnya orang tua kita tidak mengubah sifat-sifat dasarnya, misalkan pemarah tadi, orang tuanya terus pemarah, waktu kita dilahirkan maka potensi itu akan ada pada dirikita.

Memang tidak setiap anak akan mewarisi, tetapi pada setiap anak itu akan diwarisi hal yang sama. Tetapi kalau orang tua berubah, kemudian mempunyai anak, maka gen itulah yang dia akan wariskan pada anak-anaknya.
GS : Ya, jadi sebenarnya, sebagai orang tua kita bisa memutus mata rantai dari sifat-sifat dasar yang buruk, untuk menurunkan yang baik kepada anak-anak kita, Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan. Itu sebabnya kadang-kadang kita mendengar pengakuan orang yang berkata bahwa, "Sebetulnya kalau kamu tahu, nenekmu atau kakekmu dulu keras, kalau saya salah dipukul, teapi saya tidak memerlakukan kamu seperti itu."

Apa yang terjadi? Karena dia tidak memerlakukan anaknya seperti itu, maka anak-anaknya pun waktu dibesarkan dalam rumah itu, tidak lagi mewarisi sifat tersebut. Jadi sifat itu hanya ada pada kakek nenek. Karena orang tua sudah memutuskan sifat keras itu dan sewaktu anak-anaknya lahir, maka anak-anaknya tidak lagi mewarisi sifat-sifat tersebut.
GS : Tetapi sebaliknya, Pak Paul. Kalau orang tua justru melakukan hal yang lebih buruk dari orang tuanya itu maka keturunannya pun akan jauh lebih parah lagi, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi memang apa yang sudah dimulai oleh kakek nenek, malahan dikembangkan oleh orang tua, tidak bisa tidak, kalau anak itu lahir maka akan memiliki kecenderungan yang lebih kat lagi.

Itu sebabnya Pak Gunawan, secara fisik pun kita mengerti hal itu, yaitu kenapa orang tidak boleh menikah dengan saudara sendiri, sebab kelemahan yang dibawa oleh dua orang yang sama kemudian menjadi satu, maka gen itu akan kuat sekali diwariskan kepada anaknya.
GS : Pak Paul, ini suatu pembicaraan yang sangat menarik tentang sifat dasar, tetapi kita harus mengakhiri dulu bagian ini dan nanti kita akan lanjutkan pada kesempatan yang berikutnya dalam perbincangan program telaga yang akan datang. Namun sebelum kita mengakhiri bagian ini mungkin Pak Paul ingin menyampaikan Firman Tuhan?

PG : Mazmur 139:13 berkata, "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku." Firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan kita sejak ita dalam kandungan.

Ini berarti Tuhan yang menciptakan kita dan Tuhan sanggup membentuk kita atau mengubah kita, bukan saja Tuhan yang membentuk kita secara fisik menjadikan kita seperti ini, tetapi Tuhan pun bisa mengubah kita menjadi serupa dengan Dia. Inilah harapan kita, kita tidak boleh menyerah dan berkata ini sifat dasar kita, kita harus yakin bahwa kita bisa berubah, Tuhan juga dapat membentuk kita seturut seperti diri-Nya.
GS : Saya tertarik dengan istilah menenun yang digunakan oleh Pemazmur, berarti Tuhan itu mengerjakan kita satu demi satu, sehingga tidak ada manusia yang sama persis dengan orang lain, karena ini seperti "hand made", benarkah seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Adakah Sifat Dasar?" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



17. Dapatkah Mengubah Sifat Dasar


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T272B (File MP3 T272B)


Abstrak:

Kita semua memiliki sifat dasar karena kita mewarisi gen dari orangtua, sifat dasar itu bukan hanya menentukan diri jasmaniah tetapi juga diri mental dan emosional kita. Yang menjadi pertanyaan bagi kebanyakan orang adalah "dapatkah mengubah sifat dasar?" Jawabannya adalah BISA. Kalau sifat dasar bisa diubah, maka timbul pertanyaan seberapa permanenkah sifat dasar itu? Kalau kita mengetahui dengan jelas maka kita pun juga dapat mengubah sifat dasar dengan lebih tepat.


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dapatkah mengubah sifat dasar?". Perbincangan ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang lalu tentang "Adakah sifat dasar?" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita membicarakan tentang sifat dasar itu ada atau tidak, dan Pak Paul sudah cukup menguraikan panjang lebar. Sebelum kita melanjutkan ke topik pembicaraan tentang dapatkah sifat dasar itu diubah, dapatkah Pak Paul menjelaskan sedikit tentang apa itu sifat dasar, supaya para pendengar kita mempunyai suatu gambaran yang lengkap.

PG : Sifat dasar adalah bawaan-bawaan karakter yang kita warisi dari orang tua kita, karena kita adalah produk dari perpaduan kedua orang tua. Waktu kita lahir kita mewarisi gen-gen yang juga mmbawa kecenderungan atau sifat-sifat tertentu, itu sebabnya waktu kita bertumbuh besar, kita sudah memunyai kepribadian-kepribadian yang juga unik, berlainan antara satu dengan yang lainnya.

Pertanyaannya adalah apakah sifat dasar itu bisa diubah? Bisa, sebab ada orang berkata, "Sudahlah karena ini merupakan sifat dasar saya, maka untuk apa saya susah-susah berubah." Misalnya ada orang yang sedikit-sedikit marah, kemudian dia berkata, "Orang tua saya seperti itu, kakek nenek saya seperti itu, maka saya juga seperti itu dan tidak apa-apa," ini justru sebuah sikap yang salah. Justru kita itu harus bertanggung jawab untuk membendung, mengubahnya dan penelitian memperlihatkan bahwa ternyata gen itu bisa berubah, memang benar bahwa kita mewarisi gen tetapi konsep yang keliru kalau kita tidak bisa mengubah gen itu sebab ternyata gen kita masih bisa berubah. Oleh karena itu kita harus berusaha untuk mengubahnya, kita juga sudah petik Firman Tuhan, dari Mazmur 139 bahwa Tuhanlah yang menenun kita, membuat kita, sejak kita dalam kandungan ibu. Kalau Tuhan menenun atau membentuk kita secara fisik, maka secara mental pada waktu masih bayi, maka setelah kita dewasa Tuhan juga dapat terus membentuk kita, jadi masih bisa berubah. Kita tidak bisa menyalahkan sifat dasar kita.
GS : Pak Paul, kalau kita sudah jelas bahwa sifat dasar itu bisa berubah, faktor-faktor apa yang dapat mengubah sifat dasar seseorang itu?

PG : Pada dasarnya ada dua, Pak Gunawan. Yang pertama adalah pengalaman hidup, dan yang kedua adalah tekad atau komitmen, jadi yang saya maksud dengan pengalaman hidup adalah tempaan pengalaman yaitu apapun yang kita alami, dan berulang kali kita alami, pada akhirnya memunyai pengaruh yang kuat sekali untuk dapat mengubah sifat dasar kita.

Misalnya ada seseorang yang dahulunya seorang yang halus, sangat berperasaan, kemudian ia menikah dengan seorang suami yang keras, kasar, sehingga hatinya sering terluka, setelah menikah dengannya bertahun-tahun, akhirnya kita membiasakan diri untuk menerima kemarahan suami, kekasaran suami, dan kita juga melindungi diri, supaya tidak sampai terluka terus-menerus oleh perkataan suami, karena terus melindungi diri, mencoba untuk mengabaikan perasaan, jangan mudah terbawa emosi, jangan mudah terluka atau sedih, lama-kelamaan perasaan yang tadinya halus sekali, makin hari menjadi makin kuat, lebih tidak bisa terpengaruh oleh apa yang di luar dirinya. Setelah menikah selama beberapa tahun ia menjadi seorang pribadi yang berbeda, jadi dengan kata lain, apa yang dialami itu memunyai kemampuan untuk mengubah sifat dasarnya.
GS : Padahal pengalaman hidup seseorang itu macam-macam, baik kalau itu menikah, atau kalau orang itu tidak menikah, bukankah terjadi banyak sekali hal didalam kehidupannya. Dan mana yang akan memengaruhi sifat dasarnya ini?

PG : Biasanya hal-hal yang bersifat lebih keras atau lebih traumatik, itu cenderung memunyai dampak yang lebih besar dalam mengubah diri seseorang. Misalnya ada orang yang mudah sekali percaya,sangat lugu, apa yang orang katakan ia percaya, kemudian karena keluguannya dia memercayakan diri kepada orang, yang akhirnya itu akan merugikan dia dengan sangat besar.

Bisa jadi pengalaman yang begitu berat atau yang traumatik itu mengubah dia dalam sekejap, sehingga akhirnya dari seorang yang lugu menjadi seorang yang penuh dengan kecurigaan. Atau kita memercayai bahwa manusia itu pada dasarnya baik, sampai suatu hari kita mengalami suatu peristiwa yang sangat buruk, misalnya kita dirampok, setelah dirampok, dianiaya, dipukuli dan sebagainya. Bisa jadi karena satu pengalaman yang begitu berat, begitu traumatis, sanggup untuk mengubah temperamen atau sifat dasar kita yang tadinya mudah sekali percaya pada orang, akhirnya kita menjadi orang yang terlalu berhati-hati, penuh dengan pertanyaan terhadap motif atau maksud baik orang. Dengan kata lain, suatu peristiwa yang berat yang traumatis, sanggup untuk mengubah diri kita.
GS : Bisa, ada orang yang mengatakan bahwa pengaruh yang jelek, lebih mudah memengaruhi seseorang daripada pengaruh yang baik, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Sebetulnya tergantung, Pak Gunawan. Tidak selalu bahwa pengaruh yang buruk itu lebih gampang untuk mengubah kita, sebab pada kenyataannya adalah kita juga hidup di tengah-tengah lingkunganyang kadang-kadang juga dihadapkan dengan orang-orang yang berbuat hal-hal yang buruk, tetapi kita tidak terpengaruh.

Misalnya ada orang yang senang mencuri, tetapi kita tidak terpengaruh untuk senang mencuri. Namun untuk memulai sebuah kebiasaan baik, ternyata memang memerlukan waktu yang panjang untuk terus menumbuhkembangkan kebiasaan yang baik itu. Jadi tidak semua kebiasaan yang baik itu mudah, sama seperti untuk berbuat buruk, sebetulnya juga tidak begitu mudah. Dengan kata lain, jangan kita beranggapan karena kita tidak mudah berbuat buruk, gampang berbuat baik. Tidak tentu juga, jadi dua-duanya seringkali memerlukan waktu yang lebih lama dalam kondisi yang lemah, kecuali dalam kondisi yang tidak normal, misalnya orang yang dalam kondisi yang sangat susah sekali, kekurangan sekali dan harus benar-benar bertahan hidup ada kecenderungan akan lebih mementingkan diri sendiri, sehingga tidak memusingkan orang, entah dirugikan atau tidak, yang penting dirinya dipenuhi dulu. Nah dalam kondisi yang memang sangat susah itu maka karakter orang bisa juga terpengaruhi dan berubah.
GS : Dan mungkin jumlah orang, Pak Paul, kalau orang yang memengaruhi kita untuk melakukan yang negatif itu jumlahnya lebih banyak, misalnya jumlah orang yang memengaruhi kita berbuat negatif sampai lima puluh orang, tetapi yang memengaruhi kita bertindak positif hanya satu dua orang, maka pengaruh yang lima puluh orang akan lebih besar pengaruhnya.

PG : Betul sekali, jadi makin banyak orang, sudah tentu tekanan itu akan menjadi lebih besar, itulah yang terjadi. Misalnya juga di dalam sebuah kantor atau perusahaan, dimana begitu banyak orag yang korupsi, kalau kita sendirian dan di tengah-tengah orang-orang yang semuanya berkolusi, berkorupsi, maka sudah tentu untuk kita memertahankan diri akan jauh lebih berat, daripada di kantor dimana hampir semuanya hidup dengan integritas, dan hanya satu dua saja yang hidupnya tidak benar.

GS : Pak Paul tadi katakan ada dua hal yang bisa merubah sifat dasar orang, yaitu pengalaman hidup dan tekad, atau komitmen. Yang tekad ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi tekad atau komitmen adalah sebuah keputusan untuk hidup berbeda dari siapa kita, yang kita sudah kenal selama ini. Ternyata waktu kita bertekad, mau hidup berbeda, kemungkinan kita beubah jauh lebih cepat daripada kita tidak menetapkan tekad bahwa kita itu mau berubah.

Sebagai contoh, Pak Gunawan, kita tahu bahwa kita sudah tercandu oleh alkohol, minuman untuk menghentikan sangat berat sekali, tetapi lebih mudah menghentikan minuman alkohol, kalau kita bertekad, daripada kita tidak punya tekad. Ya, jadi sekali lagi saya mau menggarisbawahi hal ini, memang tekad itu tidak menjamin, bahwa kita pasti bisa berubah, memang tidak. Karena tantangan-tantangan di depan masih harus kita hadapi tetapi tanpa tekad maka perubahan itu jauh lebih susah untuk kita capai. Kalau memang kita sudah sadar bahwa kita punya sifat-sifat dasar tertentu yang tidak baik, yang kita mau ubah maka kita harus memunyai sebuah komitmen bahwa saya mau berubah, saya tidak mau menjadi seperti ini. Di sini penting sekali kita membuat hal itu sebagai proyek pribadi kita dan tidak menyalahkan orang lain. Sebagai contoh, Pak Gunawan, betapa seringnya kita yang kurang sabar dan menyalahkan orang bahwa dialah yang membuat kita kurang sabar. Kalau kita mau berubah, kita menjadi orang yang lebih sabar, kita harus menjadikan itu proyek pribadi kita, bahwa kalau sampai saya marah karena kurang sabar, itu bukan karena orang yang membuat saya marah, tetapi memang saya yang kurang sabar. Kalau kita bersedia untuk menjadikan itu proyek pribadi kita dan bertekad untuk terus mau berubah, maka pada akhirnya kemungkinan kita berubah, lebih besar.
GS : Biasanya pada awal tahun atau pada akhir tahun banyak orang yang membuat komitmen, Pak Paul. Untuk mengubah hal-hal yang buruk di dalam kehidupannya menjadi lebih baik, namun biasanya sampai pertengahan tahun, akhirnya kembali lagi ke aslinya, biasanya begitu Pak Paul, ini bagaimana, ya?

PG : Itu sebabnya Pak Gunawan, kita harus menyadari bahwa perubahan itu tidak permanen sebab sama seperti semen. Semen, kalau kita menyemen sesuatu kemudian hujan, maka sampai kapanpun semen it tidak akan kering-kering.

Jadi semen itu hanya bisa mengering, kalau tidak ada lagi hujan dan yang muncul adalah matahari. Sifat dasar kita juga demikian, kalau kita mau merubahnya, maka perubahan-perubahan itu harus terus-menerus ditanggapi misalnya dengan imbalan, atau dorongan-dorongan atau pemupukan-pemupukan secara terus-menerus, baru lama-kelamaan perubahan-perubahan itu menjadi lebih permanen. Jadi kalau kita berharap bahwa sekali saya berubah maka besok secara langsung/otomatis sudah berubah dan saya akan terus memertahankan perubahan ini, itu keliru. Itu sebabnya bagi orang yang pernah mengikuti program-program seperti "alcoholic anonymous" dan lain-lain untuk mengobati kecanduan pada alkohol atau narkoba, selalu ditekankan konsep hari demi hari, bahwa kita itu bertahan untuk tidak minum, atau tidak memakai narkoba. Hanya untuk hari ini, kita tidak bisa berpikir untuk besok, itu terlalu jauh karena kita hanya bisa berpikir hari ini, bisa tidak kita melalui hari ini, sehingga kita tidak menggunakan narkoba. Dan besok pagi kita membuat lagi komitmen yang sama, hari ini tidak boleh lagi menggunakan narkoba. Karena orang yang beranggapan bahwa sekali saya bisa lepas dari narkoba, dan besok saya tidak perlu bergumul, itu adalah konsep yang salah, sebab besok pergumulan itu muncul kembali. Jadi tekad tetap harus diperbaharui setiap hari.
GS : Tetapi ada orang yang membuat semacam target, Pak Paul. Bahwa pada tahun ini, jadi artinya dalam waktu setahun dia sudah harus bisa meninggalkan sikap buruknya tadi. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu tekad seperti itu baik. Dengan adanya tekad itu dia akan lebih berkonsentrasi, dia akan lebih berupaya untuk bisa mengubah sifat dasarnya yang dianggapnya buruk itu. Sudah tent kalau dia bisa melakukannya selama setahun, maka tahun berikutnya akan lebih mudah dan pada akhirnya selama bertahun-tahun maka dorongan untuk kembali kepada sifat dasar yang lama juga melemah.

Namun kita tidak boleh lengah dan berkata karena sifat dasar itu sudah lemah, maka sudah tidak ada lagi, kalau itu yang terjadi maka itu menjadi kekeliruan yang kedua. Kesalahpahaman yang kedua ini yang sering menjerumuskan orang, setelah cukup lama kita sudah bisa lepas dari kebiasaan lama atau dari sifat dasar yang lama, kita mulai lengah dengan beranggapan bahwa sifat dasar itu sudah lenyap, pada faktanya tidak, selalu di dasarnya masih ada. Berarti apa? Kalau kita tidak berhati-hati maka kita bisa jatuh kembali dan tiba-tiba sifat dasar itu keluar dengan sangat cepat sekali. Jadi memang kita tidak boleh sedikit pun lengah, sampai kapan pun kita harus ingat bahwa sifat dasar itu masih ada, meskipun hanya lapisan di bawah dan kalau kita tidak menjaganya, maka lapisan bawah itu dengan cepat bertumbuh menjadi sebuah gedung yang tinggi.
GS : Biasanya antara komitmen dan pengalaman hidup ada kaitan yang erat, Pak Paul. Ada orang yang sudah punya komitmen dan sudah tidak lagi mau melakukan hal yang buruk, tetapi karena pengaruh teman-temannya atau orang-orang di sekelilingnya maka dia kembali jatuh dengan melakukan perbuatan yang buruk. Apakah seperti itu, Pak?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi lingkungan memunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam diri kita, sehingga kita harus mengikuti Firman Tuhan, yaitu Firman Tuhan pernah berkata, lingkungan tau pertemanan yang buruk juga akan merusakkan karakter kita.

Jadi kita harus sadari kalau kita tahu kita akan mudah terhanyut kembali oleh lingkungan kita yang buruk maka kita harus menjauh dari lingkungan itu, jangan kita terus-menerus kembali kepada lingkungan yang sama karena kita sudah tahu dalam lingkungan itu kita rawan dan mudah jatuh, nah sudah tentu langkah itu adalah langkah yang penting untuk memisahkan diri dari sumber-sumber yang membuat sifat dasar itu timbul kembali, jadi jangan 'membangunkan macan tidur', kalau kita sudah berhasil mengalahkannya kita harus ingat sifat dasar itu masih ada dalam diri kita. Jadi kita harus terus-menerus menjaga, jangan sampai lengah, misalkan lingkungan dan kita sembarangan memilih teman-teman sehingga sifat dasar yang lama itu bisa kembali lagi.
GS : Berarti sifat dasar ini tidak bisa dihilangkan seratus persen, Pak Paul?

PG : Idealnya memang kita maunya mengatakan bisa, tetapi saya harus berkata secara realistik bahwa rasanya tidak bisa, Pak Gunawan. Rasanya sifat dasar itu selalu menunggu kita, kapan waktu dapt muncul kembali.

Maka kita harus terus menjaganya dengan takut dan gentar, kita hidup dalam Tuhan saya kira itulah yang memotivasi Paulus untuk berkata, "Dengan takut dan gentar kerjakanlah keselamatanmu." Kenapa? Sebab memang seharusnya kita takut dan gentar melihat betapa mudahnya kita dikuasai kembali oleh dosa. Jadi sama dengan sifat dasar kalau kita tidak hati-hati, tidak memerlakukan diri kita dengan takut dan gentar malah hidup sembarangan. Maka tinggal tunggu waktunya kita akan dikuasai kembali oleh sifat dasar yang lama itu.
GS : Tetapi Rasul Paulus pernah berkata pada Jemaat di Korintus yang mengatakan, bahwa yang lama itu sudah berlalu dan yang baru itu sudah terbit, itu bagaimana maksudnya, Pak Paul?

PG : Sudah tentu yang dimaksud di situ adalah sebuah status bahwa kita itu bukan lagi ciptaan yang lama, tetapi kita ini ciptaan yang baru, kita ini sudah di dalam Tuhan Yesus. Status kita barutetapi perubahan itu memang akan memakan waktu atau proses.

Maka kita harus terus-menerus bergantung kepada Roh Kudus untuk bisa makin hari makin serupa dengan Tuhan kita Yesus Kristus.
GS : Pak Paul, bagaimana kendati sifat dasar itu bisa berubah dan itu harus terus dikerjakan oleh diri kita sendiri, selanjutnya apa yang bisa kita lakukan?

PG : Saya akan memberikan sebuah contoh dari Alkitab, yang akan saya kontraskan yaitu kisah Raja Saul. Raja Saul itu sebenarnya orang yang sangat baik, awal-awalnya dia disuruh oleh orangtuanyauntuk mencari keledai yang hilang, akhirnya ketemu dan kemudian diminta oleh Samuel untuk menjadi seorang raja.

Mula-mula dia tidak mau, itu menandakan bahwa diawalnya dia tidak gila kuasa sehingga waktu ditunjuk pun, dia tidak mencari kesempatan diangkat menjadi raja, dan justru dia mau menghindar. Waktu Samuel memerkenalkan dia kepada Israel, malahan dia lari dan menghilang. Nah, itu sebuah sifat yang memerlihatkan bahwa dia adalah seorang yang relatif baik, rendah hati, tidak memikirkan kemuliaan, takhta atau kedudukan, waktu dia mendengar orang-orang yang ditangkap, dianiaya, oleh orang-orang, oleh bangsa-bangsa lain, raja Saul langsung tergerak untuk menolong, dia tidak mau membiarkan orang-orang Gibea itu akhirnya menjadi korban. Sekali lagi menunjukkan sebuah sifat yang baik mau menolong orang yang ditindas, itulah sebabnya dia dipilih, dia ditunjuk menjadi seorang raja, tapi apa yang terjadi pada akhirnya? Dia makin hari makin menikmati kekuasaannya, makin hari dia makin tidak bisa melepaskan kekuasaannya itu, akhirnya dia mulai congkak, mulai memikirkan diri, kurang memikirkan Tuhan, akhirnya dia tidak lagi menaati Tuhan. Sewaktu Tuhan memutuskan memilih Daud untuk menggantikan dia, dia tidak siap untuk melepaskan tahtanya, dia kejar-kejar Daud untuk dibunuh, jadi pertanyaan yang muncul adalah kenapa seorang yang bernama Saul, memulai sebagai seorang raja yang baik tetapi akhirnya berubah menjadi seorang raja yang lalim, dari taat kepada Tuhan, sehingga menjadi seorang pemberontak dari kehendak Tuhan, dari pengasih, penolong orang lain namun akhirnya mau menjadi pembunuh orang lain. Disinilah kita melihat pengaruh pengalaman hidupnya, dia semakin menikmati kuasa dan akhirnya sifat dari dalam-dalamnya pun juga mengalami perubahan. Itu sebabnya kita harus menyadari bahwa, kita itu bisa berubah, untuk kebaikan atau untuk keburukan, maka kalau kita tahu kita mengubah sifat dasar kita, yang tadinya buruk menjadi baik, kita juga harus sadar bahwa setelah kita berubah kita harus terus-menerus menjaganya, sebab apa yang kita alami kemudian berpotensi untuk mengubah kita kembali, bisa masuk kembali ke jerat sifat dasar yang lama, yang buruk itu atau kebalikannya. Kalau sifat dasar kita itu awalnya memang baik, kemudian kita itu hidup sembarangan, tidak memerhatikan pengaruh lingkungan, tanpa kita sadari, lingkungan itu lama kelamaan bisa masuk menyerap dalam diri kita, dan mengubah kita. Itu yang terjadi pada raja Saul. Sebagai perbandingan, adalah Yohanes, Pak Gunawan. Yohanes itu bahkan dijuluki anak guruh, anak geledek, kenapa? Sebab rupanya dia pemarah. Dia bertemperamen keras, tetapi dari seorang yang begitu keras, inginnya marah, tapi Tuhan mau ubah. Sehingga waktu itulah dia menulis di surat I Yohanes 4:7, "Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah." Dari sini kita melihat bahwa Yohanes, mengalami perubahan dari seorang pemarah yang tidak bisa mengontrol temperamennya atau emosinya menjadi orang yang lembut penuh dengan kasih. Maka dalam suratnya dia hanya menghimbau untuk terus mengasihi. Jadi kita bisa melihat bahwa, dengan kuasa Tuhan kita bisa berubah, tetapi kita juga harus menjaganya.
GS : Secara umum, yang Pak Paul lihat ini, orang yang berubah dari baik menjadi jahat, seperti yang dialami oleh raja Saul, atau sebaliknya yaitu seperti yang terjadi di dalam diri Yohanes?

PG : Saya katakan secara umum lebih banyak orang berubah dari baik menjadi kurang baik, pada akhirnya. Kenapa begitu? Sebab, kita harus akui bahwa pengalaman hidup tidak selalu positif dan cukp banyak hal buruk yang harus kita lalui.

Kalau kita tidak menjaga diri kita dengan baik, maka pengalaman-pengalaman yang buruk itu, yang mengecewakan kita, dengan cepat meracuni kita, kalau kita hidup dalam dunia yang ideal semua sempurna maka sudah tentu sifat dasar yang baik itu mudah tetap bertahan. Tetapi karena inilah hidup kita yaitu sedikit-sedikit mendengar orang yang dirampok, ditipu, kalau tidak berhati-hati semua itu akan meracuni kita, membuat kita menjadi orang yang akhirnya kadang-kadang sama seperti orang-orang lain.
GS : Seperti sifat dasar yang negatif, demikian juga sifat positif pun tidak pernah bisa hilang di dalam diri seseorang, Pak Paul?

PG : Jadi kalau memang sifat dasar yang baik itu ada di dalam diri kita, mungkin bisa terhilang oleh karena kondisi kehidupan yang sangat berat. Waktu kondisi kehidupan itu berubah, besar kemunkinan sifat dasar baik yang lama itu akan muncul kembali, dan itu benar Pak Gunawan.

Jadi apa yang sudah tertanam kebanyakan akan tinggal.
GS : Pak Paul, kita akan mengakhiri perbincangan ini namun sebelumnya, mungkin Pak Paul akan menarik suatu kesimpulan dari apa yang kita perbincangkan saat ini maupun yang lalu.

PG : Ada tiga yang akan saya utarakan, yang pertama adalah perubahan sifat dasar dimungkinkan kendati harus melewati proses yang panjang. Jadi jangan menyerah dan berkata, "Tidak bisa berubah lgi," padahalnya itu bisa! Kedua, perubahan Kristiani dimulai tatkala kita mengadopsi nilai hidup yang baru dan berusaha hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Jadi rujukan kita atau tolok ukur kita adalah kehendak dan Firman Tuhan, itulah yang kita jadikan pegangan. Dan yang terakhir, untuk membuat perubahan permanen, maka diperlukan pemupukan yang tak henti-hentinya, itu sebabnya kita harus terus-menerus hidup akrab dengan Firman Tuhan, dan membiasakan diri untuk menaatinya, hidup yang akrab dengan Firman Tuhan dan membiasakan diri untuk menaati kehendak Tuhan. Itulah yang menjadi pemupukan yang akan terus mengubah diri kita, sehingga perubahan kita menjadi permanen.

GS : Terima kasih, Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dapatkah mengubah sifat dasar?" yang merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang lalu tentang "Adakah sifat dasar?" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



18. Kesengsaraan dan Karakter I


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T284A (File MP3 T284A)


Abstrak:

Tidak ada yang senang dengan kesusahan. Sedapatnya kita berupaya untuk menghindar dari kesusahan. Bagi kita kesusahan identik dengan kesengsaraan dan kesengsaraan identik dengan kemunduran yang berakhir dengan keputusasaan—sebuah cara pandang yang pesimistik dan negatif. Namun sebuah karakter yang dihasilkan kesengsaraan adalah karakter yang bergantung penuh pada Tuhan. Ada 6 hal yang akan diuraikan untuk proses pembentukan karakter yang melibatkan kesusahan dan kesengsaraan.


Ringkasan:

"Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita."

Roma 5:3-5

Tidak ada yang senang dengan kesusahan. Sedapatnya kita berupaya untuk menghindar dari kesusahan. Bagi kita kesusahan identik dengan kesengsaraan dan kesengsaraan identik dengan kemunduran yang berakhir dengan keputusasaan-sebuah cara pandang yang pesimistik dan negatif.

Ternyata Tuhan tidak melihat kesusahan dengan kacamata yang pesimistik dan negatif. Sebaliknya, sebagaimana dapat kita baca pada ayat-ayat ini, Tuhan memandang kesusahan dengan kacamata yang jauh lebih optimistik dan positif. Kesusahan bukanlah sesuatu yang seharusnya berada di luar kehidupan kita sebagai orang Kristen. Ternyata kesusahan merupakan bagian dari kehidupan kita bersama Tuhan. Memang kesusahan tetap akan membuahkan kesengsaraan namun kesengsaraan itu sendiri adalah bagian dari pembentukan Tuhan menjadikan kita anak-anak-Nya yang matang. Berikut akan diuraikan proses pembentukan karakter yang melibatkan kesusahan dan kesengsaraan.

  • Kesusahan dan kesengsaraan. Selama kita hidup di dalam dunia kita tidak bisa lepas dari kesusahan-hal buruk yang berasal dari luar diri kita yang datang menimpa hidup kita. Misalkan, tanpa diduga anak yang kita kasihi mengalami kecelakaan. Atau, pekerjaan yang kita andalkan akhirnya mengalami kebangkrutan dan tubuh yang tadinya sehat tiba-tiba menderita sakit terminal. Semua ini adalah contoh keseharian dari kesusahan yang dapat kapan saja menimpa kita.
  • Kesusahan dan kehendak Allah. Acap kali tatkala sesuatu yang buruk menimpa kita bertanya-tanya, "Apakah kesalahan kita sehingga kita harus mengalami kesengsaraan ini?" Pertanyaan ini lumrah keluar dari mulut kita yang senantiasa berusaha untuk hidup diperkenan Tuhan. Jika selama ini kita tidak peduli dengan Tuhan, besar kemungkinan kita tidak akan menanyakan pertanyaan ini. Kita mungkin berpikir bahwa memang sudah seharusnyalah kita mengalami semua kesusahan ini. Atau, kita tidak menanyakan pertanyaan ini sebab selama ini kita juga tidak lagi memedulikan Tuhan.

Kesusahan masuk dalam rencana Tuhan dalam pengertian, Tuhan mengizinkan kesusahan itu menimpa kita sebab melalui kesusahan itu Tuhan akan menggenapi rencana-Nya yang tertentu. Kesusahan adalah bagian dari kehidupan di dunia yang tidak lagi sempurna; jadi, siapa pun-termasuk kita orang percaya-dapat mengalaminya. Di dalam Tuhan kita tahu bahwa Ia dapat dan akan menggunakan kesusahan itu untuk menggenapi rencana-Nya yang tertentu. Salah satu bagian dari rencana Tuhan (namun bukan satu-satunya tujuan akhir dari rencana Tuhan) adalah pembentukan karakter kita.

Jadi, kendati kita tergoda untuk menanyakan, apakah dosa atau kesalahan kita sehingga kita harus menanggung kesusahan ini, yakinlah bahwa kesusahan ini tidak terkait dengan perbuatan kita. Kesusahan ini terjadi dalam rencana atau kehendak Tuhan (kecuali bila kita sendiri yang memang hidup berdosa sehingga mendatangkan kesusahan ini pada diri kita).

  • Kesengsaraan dan pembentukan karakter. Tuhan mati menyelamatkan kita dari hukuman dosa bukan saja agar kita lepas dari jerat maut yang memisahkan kita selamanya dari Tuhan tetapi juga agar kita menjadi anak-anak-Nya. Dan, sebagai anak-anak-Nya Ia berkepentingan melihat kita menjadi serupa dengan-Nya-memiliki karakter Allah sendiri. Itu sebabnya dengan pelbagai cara-termasuk kesengsaraan-Tuhan berusaha menumbuhkan karakter yang diinginkan-Nya dalam diri kita.
  • Salah satu buah rohani yang dirindukan Tuhan bertumbuh pada diri anak-anak-Nya adalah ketekunan. Pada dasarnya ketekunan berarti ketahanan dalam penderitaan atau kesanggupan menahan sakit. Sewaktu kita merasakan kesakitan reaksi pertama adalah mencoba lari dari situasi yang menimbulkan rasa sakit atau berusaha menghilangkan sumber derita itu agar kita tidak lagi harus mengalami kesengsaraan.

Kuncinya di sini adalah bertahan. Itu sebabnya doa yang mesti dipanjatkan adalah doa untuk memohon kekuatan menahan kesengsaraan. Sewaktu Tuhan akan disalib, Ia berdoa meminta agar Allah Bapa berkenan mengubah garis kehendak-Nya dan melepaskan Allah Putra dari kesengsaraan. Inilah kesengsaraan dalam arti sesungguhnya dan inilah reaksi Allah Putra yang manusiawi-memohon kelepasan dari kesengsaraan.

Sebagaimana kita ketahui, Tuhan Yesus harus melewati lembah kesengsaraan. Itu sebabnya Allah Bapa tidak mengabulkan permohonan-Nya tetapi sebagai gantinya, Allah Bapa mengutus malaikat-Nya untuk memberi Kristus kekuatan (Lukas 22:42-43). Firman Tuhan di Lukas 22:44 menjelaskan kondisi Tuhan Yesus yang "sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa." Inilah kondisi kita tatkala mengarungi lembah kesengsaraan dan tidak ada jalan lain selain berdoa meminta kekuatan dari Tuhan.

  • Ketekunan dan tahan uji. Istilah tahan uji sebetulnya dapat pula diterjemahkan karakter. Singkat kata kendati terdapat sejumlah karakter yang indah namun puncak dari semua karakter adalah tahan uji. Seakan-akan Tuhan ingin berkata bahwa kalau kita telah memiliki tahan uji, kita telah lulus. Tahan uji keluar dari ketahanan yang memisahkan kita dari kehancuran. Tatkala mengalami tempaan, kita harus menahannya dan sampai titik tertentu kita merasa dekat sekali dengan kehancuran. Di saat nyaris hancur kita terus bertahan dan ternyata kita dapat bertahan sebab kekuatan Tuhan memberi kita kekuatan. Dengan kata lain, tahan uji muncul dari pengalaman nyaris hancur namun tidak hancur. Dari titik terendah karena kehabisan semua tenaga kemudian kembali memperoleh kekuatan untuk melanjutkan hidup.
  • Tahan uji dan pengharapan. Orang yang tahan uji adalah orang yang bukan saja pernah melihat tetapi juga mengalami pertolongan dan kekuatan Tuhan. Dari kebuntuan kita mengalami campur tangan Tuhan membukakan pintu; dari kegelapan kita melihat terang. Inilah pengalaman yang meyakinkan kita bahwa pertolongan dan kekuatan Tuhan selalu berada di samping kita ketika kita melewati lembah kesengsaraan.

Tidak heran orang yang telah melewatinya dan menghasilkan buah karakter, ia tidak mudah putus asa. Ia terus berpengharapan dan pengharapan ini muncul dari pengenalannya akan kasih Allah. Di dalam kesengsaraan ia menyaksikan dan mencicipi kasih Allah. Pada akhirnya ibarat pohon, ia pun berakar ke dalam dan menjadi kokoh, tidak mudah lagi diombang-ambingkan oleh terpaan badai kesusahan. Ia senantiasa melihat Tuhan di dalam setiap sudut kehidupannya. Ia tahu ia tidak pernah dan tidak akan sendirian.

Kesimpulan

Karakter yang dihasilkan kesengsaraan adalah karakter yang bergantung penuh pada Tuhan. Jika pada awalnya kita bergantung pada Tuhan karena panik dan tidak berdaya, setelah melewati ujian ini kita bergantung pada Tuhan karena kita percaya sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan. Kita tidak lagi mempertanyakan kehendak Tuhan sebab kita tahu rencana-Nya baik.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kesengsaraan dan Karakter". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Kita agak sulit melihat kaitan antara kesengsaraan yang kita alami dan karakter yang akan Tuhan bentuk melalui kehidupan kita karena hal itu tidak terjadi seketika. Kesengsaraan ini seolah-olah menutup mata kita kalau kita terlalu tenggelam di dalam kesengsaraan dan kesedihan yang berkepanjangan. Ini bagaimana kaitannya, Pak Paul?

PG : Saya kira sebagai manusia yang normal, sewaktu kita mengalami sebuah masalah yang berat dan orang berkata kepada kita, "Ini untuk kebaikan dan membuat kamu lebih dewasa" dan sebagainya, saya kira sulit kita melihat hal itu, sebab di dalam rasa sakit dan kesengsaraan, kita hanya bisa memfokuskan mata kita pada rasa sakit itu dan kita ingin segera keluar dari lilitan sengsara itu. Maka sangat sulit bagi kita melihat hal yang baik dari masalah yang sedang saya hadapi namun ini yang akan kita angkat, Pak Gunawan, sebab ternyata di dalam kamus Tuhan, Tuhan menempatkan kesengsaraan sebagai sebuah kata yang berharga yang indah dan ini yang nanti kita mau pelajari.

GS : Tapi sebenarnya Tuhan bisa membentuk kita tanpa harus melalui kesengsaraan, Pak Paul?

PG : Dan masalahnya adalah untuk hal-hal lain Tuhan memang bisa melakukan lewat sarana yang berbeda, tapi nanti kita akan melihat khusus untuk pembentukan karakter, ternyata hanya ada satu cara yaitu lewat tempaan kesengsaraan. Jadi untuk menumbuhkan buah karakter yang Tuhan inginkan, tidak ada jalan lain harus melewati lembah kesengsaraan.

GS : Apa ada ayat Alkitab yang menunjang hal itu, Pak Paul?

PG : Ada, Pak Gunawan. Saya bacakan di Roma 5:3-5, "Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." Jadi di sini kita bisa melihat bahwa sebagai orang Kristen sewaktu kita mengalami kesengsaraan, kita dipanggil untuk bermegah, bersukacita karena sebetulnya nanti kita akan menerima manfaatnya atau faedahnya yaitu pembentukan karakter dan ini yang Tuhan inginkan bagi kita supaya kita melihat bahwa waktu Tuhan mengizinkan kesengsaraan datang melewati hidup kita, maka ada sesuatu yang baik yang Tuhan sedang kerjakan di dalam hidup kita.

GS : Kalau kita sudah tahu tujuannya seperti itu yaitu tujuannya positif bagi diri kita tapi kita itu selalu mencoba untuk menghindar dan sebisa-bisanya menghindar dari kesengsaraan dan penderitaan. Kenapa, Pak Paul?

PG : Karena yang pertama kita memunyai harapan bahwa hidup kita seharusnya baik, lancar, bahagia, penuh dengan keberhasilan. Semua orang pada dasarnya memunyai pengharapan seperti itu. Jadi jarang orang yang pada awalnya sudah beranggapan bahwa hidup saya nanti akan sarat dengan kesengsaraan. Oleh sebab itulah waktu kita mengalami kesulitan, kita akhirnya bertanya-tanya "Kenapa bisa seperti ini?" jadi sesuatu yang dianggap semestinya tidak terjadi. Nanti kita akan lebih membahas hal ini, tapi secara sekilas saya akan katakan bahwa pandangan ini keliru. Selama hidup di dalam dunia kita tidak boleh hanya berharap bahwa semua yang kita alami itu seperti yang kita harapkan, hidup kita akan diisi dengan keberhasilan dan tidak akan ada kemalangan yang datang mengunjungi kita. Itu adalah suatu anggapan yang keliru. Kita mesti secara realistik berkata, "Selama kita hidup maka kita akan selalu bersinggungan dengan kedua-duanya." Maka waktu kita mengalami hal-hal yang buruk, yang kita ingin lakukan ialah inginnya lari dan tidak mau menerima. Dan yang kedua, mengapa kita itu mau lari dari hal yang menyusahkan kita adalah karena kita memunyai daya tahan yang terbatas dan tidak semua sanggup untuk menahan sakit dan rata-rata semua orang bisa merasakan sakit baik itu secara fisik maupun secara mental. Maka waktu kesusahan datang dan kita harus mengalaminya, tidak bisa tidak tubuh kita atau jiwa kita berontak tatkala harus didera oleh rasa sakit itu dan reaksi kita sebagai manusia adalah ingin lepas dari rasa sakit itu.

GS : Dan seringkali waktu kita mengalami penderitaan atau kesusahan yang kita pikirkan adalah, "Saya ini dosa apa dan salah apa?" jadi kita fokus melihat pada salah kita sendiri dan bukan pada hasil seperti tadi yang dituliskan di dalam kitab Roma itu.

PG : Betul, Pak Gunawan, saya kira ini sebuah pertanyaan yang manusiawi sewaktu kita mengalami masalah yang berat, kita cenderung mulai menanyakan, "Apakah yang telah saya perbuat?" sebab kita ini seolah-olah memunyai sebuah keyakinan, kalau kita berbuat baik maka kebaikanlah yang juga datang. Kalau kita berbuat jahat maka kejahatanlah yang juga akan datang. Sudah tentu secara umum ini yang terjadi dan sudah tentu ini juga yang Tuhan inginkan agar kita alami dalam hidup ini. Tapi karena kita hidup masih dalam dunia yang tidak sempurna, adakalanya kita juga harus menerima bagian yang tidak mengenakkan itu dan ketika kita harus mengalaminya bisa jadi karena merupakan akibat dari perbuatan kita, tapi kalau kita tahu bahwa kita telah hidup berkenan kepada Tuhan sebetulnya hal itu tidak perlu kita tanyakan, "Apa yang telah saya perbuat, kesalahan apa? Dosa apa yang saya perbuat?" Sebab bisa jadi atau yang seringkali terjadi itu tidak ada kaitannya dengan perbuatan kita dan ini benar-benar bagian hidup dari dunia yang tidak sempurna ini.

GS : Tapi tadi kalau kita perhatikan pada ayat yang Pak Paul bacakan, kesengsaraan tidak membawa langsung kepada pengharapan dan memerlukan tahapan-tahapannya.

PG : Jadi begini Pak Gunawan, yang biasanya terjadi kenapa kita mengalami kesusahan. Kesusahan itu saya definisikan sebagai sesuatu yang berasal dari luar diri kita. Sesuatu yang buruk yang menimpa kita. Sudah tentu ada kesusahan yang dapat dengan mudah kita selesaikan, tapi ada kesusahan yang tidak mudah kita selesaikan, perlu waktu yang lebih lama. Dalam masa kita menjalaninya itu adakalanya kita merasa ini di luar tanggungan kita dan kita tidak mampu lagi untuk bisa menghadapi kesusahan ini. Di saat kita merasa tidak mampu menghadapinya, itu yang saya sebut dengan masa kesengsaraan dan benar-benar keseimbangan hidup kita terganggu, kita tidak memunyai lagi sukacita, hari lepas hari bangun tidur rasanya muram dan tidak ada lagi adanya masa depan dan kita hanya bisa melihat kegelapan di depan kita, kita tidak lagi merasa adanya kekuatan, karena hidup itu memerlukan dorongan dan kemudian ada dorongan, kalau tidak ada dorongan rasanya itu ambles dan akhirnya jatuh terkulai, itulah yang saya sebut dengan masa sengsara. Sebuah masa yang benar-benar sulit akibat daya tahan kita yang makin menipis sedangkan kesusahan yang dari luar tetap datang dengan kekuatan yang begitu besar.

GS : Misalkan saja kita kehilangan orang yang kita kasihi atau pekerjaan yang kita dambakan. Mungkin seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi meskipun kita sudah siapkan hati untuk menerima bahwa hidup ini tidak sempurna dan dalam hidup ini ada yang namanya kesusahan, kematian dan sebagainya. Tapi akhirnya waktu kita harus mengalaminya sendiri itu memang lain ceritanya. Kita bisa menghibur orang yang misalnya kehilangan suami atau istrinya, tapi waktu kita harus mengalami kehilangan pasangan kita sendiri, itu sudah lain ceritanya, kita tidak bisa mengungkapkan derita kita, kita tidak bisa cetuskan dan kita tidak mendapatkan kekuatan dengan segera dan benar-benar kita seperti kehilangan keseimbangan hidup dan kita akhirnya terjungkal jatuh. Dan di saat-saat itu benar-benar sengsara. Ternyata waktu Tuhan ingin menumbuhkan karakter dalam diri kita, situasi seperti itu yang mesti kita alami dan barulah karakter itu akan keluar dengan indahnya. Sebagai contoh di Alkitab yang kita ingat ialah sewaktu Paulus dipenjarakan dengan Silas, kita tahu mereka bernyanyi dan kita tahu juga akhirnya Tuhan membebaskan mereka tapi waktu mereka bernyanyi mereka tidak tahu kalau mereka akan dibebaskan. Mereka bernyanyi dalam penjara dan pertanyaannya adalah mengapakah mereka bisa bernyanyi? Disini kita bisa melihat karakter, mereka adalah orang-orang yang telah ditempa oleh kesusahan dan pernah menjalani derita sengsara dalam hidupnya sehingga buah karakter itu keluar, waktu mereka dipenjarakan secara tidak adil, tidak ada ketentuan kapan mereka bisa lepas dari penjara atau kapan mereka bisa dibunuh atau dihukum mati, tapi mereka bisa bernyanyi. Itu adalah hasil dari tempaan kesusahan yang melahirkan derita-derita sengsara dan buah akhirnya adalah sebuah karakter yang begitu berkilau.

GS : Tapi pembentukan itu memerlukan waktu yang tidak sama dari diri setiap orang, Pak Paul?

PG : Betul sekali, memang ini sesuatu yang tidak bisa kita rencanakan dan sebaiknyalah kita tidak tahu, Pak Gunawan. Sebab kalau kita diberikan kesempatan oleh Tuhan melihat masa depan kita dan kita sudah diberitahukan Tuhan bahwa 20 tahun lagi kita akan mengalami kesengsaraan yang seperti ini, mungkin kita sudah mulai sengsara sejak hari ini sampai 20 tahun lagi. Dan waktu kita mengalami kesengsaraan itu yakni 20 tahun kemudian, benar-benar kita sudah tidak ada lagi tenaga dan kita benar-benar jatuh. Maka ada baiknya Tuhan tidak memberitahukan kepada kita apa yang akan kita tanggung di depan. Yang penting adalah kita tahu kalau itu harus kita lalui maka kekuatan Tuhanlah yang akan menjadi sandaran kita dan akan kita terima dari Dia. Jadi itulah yang menjadi kekuatan menghadapi hidup ini.

GS : Jadi kaitannya antara kesusahan dengan kesengsaraan ini bagaimana,Pak Paul?

PG : Jadi artinya kesusahan itu peristiwa buruk yang menimpa kita yang datang dari luar, tapi tidak selalu peristiwa yang buruk menimbulkan kesengsaraan karena kadangkala kita bisa menghadapi kesusahan itu. Misalnya ada orang di PHK banyak orang bisa menghadapi PHK itu, kemudian mereka kerja serabutan, walau gaji hanya tinggal separuhnya hal itu tetap dilakukan dan masih bisa berjalan. Tapi misalkan orang yang sama mengalami kehilangan anaknya, istrinya atau orang tuanya, hal itu benar-benar tidak bisa ditanggung dengan mudah dan dia mengalami sebuah kesengsaraan karena kehilangan orang yang dikasihinya jadi benar-benar hidupnya itu sepi luar biasa akhirnya yang muncul sebuah kesengsaraan dan ini yang nanti Tuhan akan gunakan untuk membentuk karakter kita.

GS : Berarti ada kaitan yang erat antara kesusahan itu sendiri dengan rencana Allah atau kehendak Allah bagi orang-orang yang mengasihi Tuhan, begitu Pak Paul?

PG : Saya kira ada. Sebab tidak ada yang terjadi di dalam hidup ini di luar kehendak Tuhan. Sebagai anak-anak Tuhan kita tahu bahwa kita dituntun Tuhan dengan cermat. Jadi apa pun yang kita alami itu dalam desain Tuhan. Seringkali waktu kita mengalami peristiwa yang menyusahkan kita, kita sering bertanya kepada Tuhan, "Kenapa hal ini harus terjadi?" seolah-olah ini di luar kehendak Tuhan, seolah-olah kita ini berpikir bahwa yang namanya kehendak Tuhan itu selalu berisikan permen-permen yang manis dan tidak pernah pare yang pahit. Ternyata kita harus belajar satu hal bahwa Tuhan tidak hanya memberikan kepada kita permen yang manis dan Tuhan kadang memberikan kepada kita pare yang pahit. Mengapa? Sekali saya sudah singgung bahwa yang pertama kita hidup di dalam dunia yang tidak sempurna. Kalau dari awal kita menjadi anak-anak Tuhan dan Tuhan selalu melindungi kita dari semua hal yang buruk, berarti kita sudah tidak tinggal lagi di dalam dunia, tapi kita sudah tinggal di surga. Selama tinggal di dunia kita harus menerima fakta karena kadangkala kita juga harus menerima yang susah itu. Setelah kita sadari hal itu maka kita akhirnya harus berkata, "Kalau begitu, saya menerimanya Tuhan, bahwa kesusahan ini pun berada dalam rencana Tuhan, tangan Tuhan tidak selalu membawa permen yang manis adakalanya pare yang pahit, dan pare yang pahit ini juga untuk kebaikan saya. Sebab Tuhan akan memakai kesusahan itu untuk menjadikan saya seorang anak Tuhan yang berkarakter." Jadi waktu kita mengalami kesusahan, jangan langsung melabelkan itu sesuatu yang terjadi di luar kehendak Tuhan. Waktu kita menderita sakit penyakit yang tidak kita duga, jangan beranggapan itu bukan dari Tuhan. Waktu kita misalkan mengalami tabrakan, kerugian dan sebagainya, jangan mengatakan itu bukan dari Tuhan, sebab belum tentu. Kadangkala Tuhan memang ijinkan itu terjadi. Saya kira Tuhan menempatkan buku Ayub bukan tanpa tujuan, tapi ada tujuan Tuhan yang tertentu dan salah satunya adalah supaya kita menyadari itulah bagian hidup seorang Kristen, kalau kita sebagai orang Kristen hanya menerima permen-permen yang manis untuk apa ada kitab Ayub, untuk apa ada cerita Yesus yang menderita dan sengsara yang akhirnya mati di kayu salib, bisa saja Tuhan menciptakan dan melepaskan kita dari dosa dengan cara-cara yang luar biasa, sehingga tidak ada lagi yang namanya darah yang harus dicucurkan, namun tidak seperti itu karena ini semua adalah bagian dari rencana Tuhan. Jadi kalau pun kita harus mengalami kesusahan maka kita terima porsi ini. Maka pada waktu Ayub menjawab istrinya yang menyerang dia, "Masakan kita hanya mau terima hal yang baik saja dari Tuhan dan tidak mau menerima yang buruk dari Tuhan." Jadi itulah yang mesti kita sadari, tapi di tangan Tuhan ada dua hal yaitu di satu tangan ada permen yang manis dan yang satunya memegang pare yang pahit.

GS : Tapi untuk bisa memahami hal seperti itu, sebelumnya orang-orang tersebut sudah harus pernah masuk ke dalam suasana kesengsaraan dalam bentuk yang lain, kemudian itu membentuk karakternya sehingga dia bisa menerima hal itu. Bagaimana dengan orang yang belum pernah mengalami hal seperti itu?

PG : Memang kalau saya bisa memastikan bahwa Tuhan akan memberikan kesusahan itu sedikit demi sedikit, atau mengizinkan kesusahan sedikit demi sedikit dan barulah yang lebih berat yang kita alami. Tapi harus saya akui bahwa tidak selalu itu terjadi, adakalanya orang mengalami musibah yang benar-benar terlalu berat dan saya pun tidak mengerti, tapi saya percaya bahwa Tuhan tahu kondisi dan kemampuan kita dan terlebih lagi Tuhan ingin agar kita tahu bahwa Dia selalu ingin memunyai kita kekuatan yang cukup untuk diberikan kepada kita supaya kita bisa menghadapi kesusahan itu. Jadi pada akhirnya sampai titik-titik terakhir kita harus berkata kepada Tuhan, "Saya tidak bisa lagi, hanya Engkau yang bisa. Tidak ada lagi kekuatan hanya Engkau yang memunyai kekuatan. Jadi biarlah dari kekuatan Tuhanlah saya bisa melanjutkan hidup ini." Jadi benar-benar besarnya kesusahan yang menimpa kita, namun kita harus bersandar kepada Tuhan untuk memberikan kepada kita pertolongan-Nya.

GS : Jadi sebenarnya kita tidak boleh terlalu mempermasalahkan kesengsaraan atau penderitaan yang kita alami, entah itu akibat dosa saya atau memang itu adalah sesuatu yang Tuhan ijinkan terjadi atas hidup saya, Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi waktu kita mengalami suatu kesusahan, lebih baik kita tidak bertanya lagi, "Apa dosa saya dan sebagainya?" kalau memang Tuhan ingatkan kita berdosa, biarlah ini bagian yang harus kita tanggung sebagai konsekwensinya, maka kita terima itu dengan jelas. Tapi kalau tidak ada kaitannya maka terima ini sebagai bagian dari rencana Tuhan. Satu hal yang ingin saya ingatkan kepada para pendengar kita adalah waktu kita berkata bahwa ini adalah kehendak Tuhan, maka kita harus berhati-hati karena yang saya maksud bukanlah orang yang melakukan perbuatan jahat kepada kita disuruh oleh Tuhan untuk menjahati kita, tidak seperti itu. Waktu kita dirampok, maka Tuhan yang menyuruh perampok itu untuk merampok rumah kita, tidak seperti itu. Jadi waktu kita berkata ini dalam kehendak Tuhan bukan berarti Tuhan menyuruh orang untuk berbuat jahat kepada kita. Tuhan tidak memunyai hati jahat, jadi Tuhan tidak akan pernah menyuruh orang berbuat jahat. Jadi waktu kita berkata ini adalah kehendak Tuhan artinya Tuhan mengizinkan dan Tuhan membiarkan yang buruk itu menimpa kita sebab ada tujuan Tuhan yang penting yang akan digenapi lewat peristiwa yang buruk itu.

GS : Tadi Rasul Paulus mengatakan bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan dan ketekunan itu menimbulkan tahan uji dan seterusnya baru kemudian menimbulkan pengharapan. Berarti disana kita harus tekun saja dalam masalah-masalah penderitaan ini.

PG : Betul, Pak Gunawan. Dan disinilah yang nanti akan kita fokuskan lebih mendalam lagi tapi intinya adalah kita mesti memiliki ketekunan. Orang-orang yang pernah belajar beladiri mengerti satu hal yaitu bagaimana pun dia menguasai teknik atau jurus-jurus beladiri tapi tetap akhirnya mereka harus membangun ketahanan diri. Walaupun mengetahui semua jurus tidak akan berguna kalau tubuhnya tidak memunyai ketahanan. Maka mereka harus melatih diri mengalami pemukulan-pemukulan supaya lama-lama tubuh mereka menjadi kuat dan tahan menghadapi kesakitan. Sudah tentu pada awalnya mengalami penempaan seperti itu rasanya sakit, tidak tahan tapi terus melatih diri dan membiarkan diri dipukul sehingga akhirnya perlahan-lahan tubuh mulai bereaksi mengembangkan otot-otot tertentu dan juga mematikan syaraf-syaraf tertentu sehingga akhirnya waktu dipukul, tidak lagi merasakan rasa sakit itu. Seperti itulah yang dimaksud di sini dalam Firman Tuhan, yaitu waktu kesusahan datang, membuat kita sengsara dan membuat kita bertahan dan diam seolah-olah seperti orang yang belajar beladiri seperti tadi yaitu dengan dipukul dan dipukul agar tubuhnya menjadi kuat. Dan kita pun seperti itu, yaitu kita diam dan bertahan dalam tempaan itu dan perlahan-lahan muncullah sebuah reaksi tahan uji yang dapat kita terjemahkan dengan bebas yaitu tahan sakit. Sehingga pukulan itu tidak lagi terlalu menyakitkan dan dia tetap bisa melangsungkan hidupnya meskipun dalam kondisi seperti itu.

GS : Tapi ada sebagian orang yang gagal untuk bertahan di sana, Pak Paul?

PG : Karena kita ini tidak selalu siap dan kuat dan bisa bergantung kepada Tuhan. Jadi adakalanya kita gagal. Namun kita tahu Tuhan itu pemurah dan penuh dengan kasih sayang, jadi ada waktu-waktu kita gagal tapi tangan Tuhan tidak membuang dan tidak mencampakkan dan Dia akan pegang kita, dan nanti Dia akan memberikan kita kekuatan dan lain kali waktu kita akan menghadapinya lagi maka dia akan memberikan kepada kita kekuatan tambahan.

GS : Jadi kalau sampai seseorang mau lari dari penderitaannya dengan bunuh diri, Pak Paul, berarti dia mengingkari kekuasaan Tuhan?

PG : Betul. Itu adalah titik dimana dia tidak lagi datang dan memohon menerima kekuatan Tuhan, dia sangat putus asa sekali. Justru itulah yang harus kita hindari. Sebesar apa pun kesusahan yang harus kita tanggung, tapi kita masih bisa datang kepada Tuhan dan akan mendapatkan kekuatan dari Dia. Pada saat-saat kita harus sengsara, mengalami pukulan yang begitu berat, memang hidup itu akan menjadi sangat sederhana dan kita tidak bisa melihat hari esok, hanya bisa melihat hari ini, kadang-kadang hari ini pun harus kita penggal-penggal dalam beberapa bagian. Dalam satu hari, bisa melewati pagi hari, siang hari, dan melewati malam hari dan kita berkata, "Puji Tuhan bisa lewat satu hari dan kita tidur dan berdoa supaya Tuhan memberikan kita kekuatan menghadapi hari esok." Namun ada waktu-waktu dimana kita tidak lagi hidup per hari, bahkan hanya lewat per jam. Itulah saat dimana kita sudah sangat sengsara.

GS : Jadi intinya adalah di dalam penderitaan bagaimana pun juga, kita harus tetap berpegang teguh kepada Tuhan, Pak Paul?

PG : Betul. Sebab sekali lagi kita tahu bahwa Tuhan tidak akan memberikan pencobaan yang melebihi kekuatan kita dan bahkan Dia akan memberikan kepada kita jalan keluar.

GS : Pak Paul, pembicaraan kita ini tentu akan lebih menarik pada kesempatan yang akan datang sebab kita akan membahas hubungan antara kesengsaraan dan karakter. Jadi kita tetap berharap para pendengar kita yang telah mendengarkan siaran pada saat ini akan mengikuti kelanjutannya pada kesempatan yang akan datang. Dan terima kasih, Pak Paul telah membicarakan hal-hal yang sangat penting di dalam pembentukan karakter kita. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kesengsaraan dan Karakter" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



19. Kesengsaraan dan Karakter II


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T284B (File MP3 T284B)


Abstrak:

Tidak ada yang senang dengan kesusahan. Sedapatnya kita berupaya untuk menghindar dari kesusahan. Bagi kita kesusahan identik dengan kesengsaraan dan kesengsaraan identik dengan kemunduran yang berakhir dengan keputusasaan—sebuah cara pandang yang pesimistik dan negatif. Namun sebuah karakter yang dihasilkan kesengsaraan adalah karakter yang bergantung penuh pada Tuhan. Ada 6 hal yang akan diuraikan untuk proses pembentukan karakter yang melibatkan kesusahan dan kesengsaraan.


Ringkasan:

"Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita."

Roma 5:3-5

Tidak ada yang senang dengan kesusahan. Sedapatnya kita berupaya untuk menghindar dari kesusahan. Bagi kita kesusahan identik dengan kesengsaraan dan kesengsaraan identik dengan kemunduran yang berakhir dengan keputusasaan-sebuah cara pandang yang pesimistik dan negatif.

Ternyata Tuhan tidak melihat kesusahan dengan kacamata yang pesimistik dan negatif. Sebaliknya, sebagaimana dapat kita baca pada ayat-ayat ini, Tuhan memandang kesusahan dengan kacamata yang jauh lebih optimistik dan positif. Kesusahan bukanlah sesuatu yang seharusnya berada di luar kehidupan kita sebagai orang Kristen. Ternyata kesusahan merupakan bagian dari kehidupan kita bersama Tuhan. Memang kesusahan tetap akan membuahkan kesengsaraan namun kesengsaraan itu sendiri adalah bagian dari pembentukan Tuhan menjadikan kita anak-anak-Nya yang matang. Berikut akan diuraikan proses pembentukan karakter yang melibatkan kesusahan dan kesengsaraan.

  • Kesusahan dan kesengsaraan. Selama kita hidup di dalam dunia kita tidak bisa lepas dari kesusahan-hal buruk yang berasal dari luar diri kita yang datang menimpa hidup kita. Misalkan, tanpa diduga anak yang kita kasihi mengalami kecelakaan. Atau, pekerjaan yang kita andalkan akhirnya mengalami kebangkrutan dan tubuh yang tadinya sehat tiba-tiba menderita sakit terminal. Semua ini adalah contoh keseharian dari kesusahan yang dapat kapan saja menimpa kita.
  • Kesusahan dan kehendak Allah. Acap kali tatkala sesuatu yang buruk menimpa kita bertanya-tanya, "Apakah kesalahan kita sehingga kita harus mengalami kesengsaraan ini?" Pertanyaan ini lumrah keluar dari mulut kita yang senantiasa berusaha untuk hidup diperkenan Tuhan. Jika selama ini kita tidak peduli dengan Tuhan, besar kemungkinan kita tidak akan menanyakan pertanyaan ini. Kita mungkin berpikir bahwa memang sudah seharusnyalah kita mengalami semua kesusahan ini. Atau, kita tidak menanyakan pertanyaan ini sebab selama ini kita juga tidak lagi memedulikan Tuhan.

Kesusahan masuk dalam rencana Tuhan dalam pengertian, Tuhan mengizinkan kesusahan itu menimpa kita sebab melalui kesusahan itu Tuhan akan menggenapi rencana-Nya yang tertentu. Kesusahan adalah bagian dari kehidupan di dunia yang tidak lagi sempurna; jadi, siapa pun-termasuk kita orang percaya-dapat mengalaminya. Di dalam Tuhan kita tahu bahwa Ia dapat dan akan menggunakan kesusahan itu untuk menggenapi rencana-Nya yang tertentu. Salah satu bagian dari rencana Tuhan (namun bukan satu-satunya tujuan akhir dari rencana Tuhan) adalah pembentukan karakter kita.

Jadi, kendati kita tergoda untuk menanyakan, apakah dosa atau kesalahan kita sehingga kita harus menanggung kesusahan ini, yakinlah bahwa kesusahan ini tidak terkait dengan perbuatan kita. Kesusahan ini terjadi dalam rencana atau kehendak Tuhan (kecuali bila kita sendiri yang memang hidup berdosa sehingga mendatangkan kesusahan ini pada diri kita).

  • Kesengsaraan dan pembentukan karakter. Tuhan mati menyelamatkan kita dari hukuman dosa bukan saja agar kita lepas dari jerat maut yang memisahkan kita selamanya dari Tuhan tetapi juga agar kita menjadi anak-anak-Nya. Dan, sebagai anak-anak-Nya Ia berkepentingan melihat kita menjadi serupa dengan-Nya-memiliki karakter Allah sendiri. Itu sebabnya dengan pelbagai cara-termasuk kesengsaraan-Tuhan berusaha menumbuhkan karakter yang diinginkan-Nya dalam diri kita.
  • Salah satu buah rohani yang dirindukan Tuhan bertumbuh pada diri anak-anak-Nya adalah ketekunan. Pada dasarnya ketekunan berarti ketahanan dalam penderitaan atau kesanggupan menahan sakit. Sewaktu kita merasakan kesakitan reaksi pertama adalah mencoba lari dari situasi yang menimbulkan rasa sakit atau berusaha menghilangkan sumber derita itu agar kita tidak lagi harus mengalami kesengsaraan.

Kuncinya di sini adalah bertahan. Itu sebabnya doa yang mesti dipanjatkan adalah doa untuk memohon kekuatan menahan kesengsaraan. Sewaktu Tuhan akan disalib, Ia berdoa meminta agar Allah Bapa berkenan mengubah garis kehendak-Nya dan melepaskan Allah Putra dari kesengsaraan. Inilah kesengsaraan dalam arti sesungguhnya dan inilah reaksi Allah Putra yang manusiawi-memohon kelepasan dari kesengsaraan.

Sebagaimana kita ketahui, Tuhan Yesus harus melewati lembah kesengsaraan. Itu sebabnya Allah Bapa tidak mengabulkan permohonan-Nya tetapi sebagai gantinya, Allah Bapa mengutus malaikat-Nya untuk memberi Kristus kekuatan (Lukas 22:42-43). Firman Tuhan di Lukas 22:44 menjelaskan kondisi Tuhan Yesus yang "sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa." Inilah kondisi kita tatkala mengarungi lembah kesengsaraan dan tidak ada jalan lain selain berdoa meminta kekuatan dari Tuhan.

  • Ketekunan dan tahan uji. Istilah tahan uji sebetulnya dapat pula diterjemahkan karakter. Singkat kata kendati terdapat sejumlah karakter yang indah namun puncak dari semua karakter adalah tahan uji. Seakan-akan Tuhan ingin berkata bahwa kalau kita telah memiliki tahan uji, kita telah lulus. Tahan uji keluar dari ketahanan yang memisahkan kita dari kehancuran. Tatkala mengalami tempaan, kita harus menahannya dan sampai titik tertentu kita merasa dekat sekali dengan kehancuran. Di saat nyaris hancur kita terus bertahan dan ternyata kita dapat bertahan sebab kekuatan Tuhan memberi kita kekuatan. Dengan kata lain, tahan uji muncul dari pengalaman nyaris hancur namun tidak hancur. Dari titik terendah karena kehabisan semua tenaga kemudian kembali memperoleh kekuatan untuk melanjutkan hidup.
  • Tahan uji dan pengharapan. Orang yang tahan uji adalah orang yang bukan saja pernah melihat tetapi juga mengalami pertolongan dan kekuatan Tuhan. Dari kebuntuan kita mengalami campur tangan Tuhan membukakan pintu; dari kegelapan kita melihat terang. Inilah pengalaman yang meyakinkan kita bahwa pertolongan dan kekuatan Tuhan selalu berada di samping kita ketika kita melewati lembah kesengsaraan.

Tidak heran orang yang telah melewatinya dan menghasilkan buah karakter, ia tidak mudah putus asa. Ia terus berpengharapan dan pengharapan ini muncul dari pengenalannya akan kasih Allah. Di dalam kesengsaraan ia menyaksikan dan mencicipi kasih Allah. Pada akhirnya ibarat pohon, ia pun berakar ke dalam dan menjadi kokoh, tidak mudah lagi diombang-ambingkan oleh terpaan badai kesusahan. Ia senantiasa melihat Tuhan di dalam setiap sudut kehidupannya. Ia tahu ia tidak pernah dan tidak akan sendirian.

Kesimpulan

Karakter yang dihasilkan kesengsaraan adalah karakter yang bergantung penuh pada Tuhan. Jika pada awalnya kita bergantung pada Tuhan karena panik dan tidak berdaya, setelah melewati ujian ini kita bergantung pada Tuhan karena kita percaya sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan. Kita tidak lagi mempertanyakan kehendak Tuhan sebab kita tahu rencana-Nya baik.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Kesengsaraan dan Karakter". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kali ini kita masih akan melanjutkan perbincangan kita yang terdahulu tentang kesengsaraan dan karakter dan mungkin ada beberapa pendengar kita yang waktu itu tidak sempat mendengarkan. Mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang sudah kita bicarakan pada kesempatan yang lalu?

PG : Pembahasan kita sebetulnya didasarkan dari Roma 5:3-5, yaitu Firman Tuhan yang berkata, "Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." Pak Gunawan, pada dasarnya seperti ini. Kita ini kadang-kadang tidak berpikir realistik dan kita ingin memunyai karakter yang indah tapi kita tidak mau untuk membayar harganya, ternyata untuk bisa memiliki karakter yang baik perlu harga mahal yang harus kita bayar dan harga mahal itu adalah kesengsaraan. Dari manakah munculnya kesengsaraan? Kesengsaraan adalah sebuah reaksi yang keluar dari diri kita atas kesusahan yang kita alami. Saya bisa gambarkan seperti ini, kesusahan itu datang dari luar diri kita, misalkan sebuah musibah yakni kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang kita kasihi dan sebagainya. Sewaktu kita masih bisa menghadapinya, maka kita mungkin tidak sampai jatuh sengsara, tapi waktu kita tidak bisa lagi menahannya maka kita jatuh sengsara. Ternyata Firman Tuhan berkata, "Jangan melihat sengsara secara negatif, justru lihatlah secara positif karena dari kesengsaraan ini nanti akan keluar satu karakter yaitu buah ketekunan dan ketekunan ini nanti yang akan menghasilkan sebuah karakter yang bagus yaitu tahan uji dan nanti dari tahan uji akan keluar sebuah sikap hidup yang sangat penuh dengan pengharapan pada Tuhan. Jadi Rasul Paulus di kitab Roma meminta orang-orang Kristen untuk tidak lari dari kesusahan tapi berani menanggungnya sebab bagi Rasul Paulus, selagi Tuhan membiarkan kesengsaraan itu melanda hidup kita, Tuhan sedang mengerjakan sesuatu dalam hidup kita pula yaitu membangun sebuah manusia yang baru.

GS : Karakter yang Allah kehendaki ada di dalam kehidupan kita, sebenarnya terkait dengan karakter dari pribadi Allah sendiri, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi seperti ini, kadang kita beranggapan menjadi orang Kristen itu hanya hidup bebas dari hukuman dosa. Jadi kita datang kepada Tuhan seolah-olah datang kepada Penolong yang melepaskan kita dari masalah. Sudah tentu saya tidak akan berkata bahwa Tuhan tidak akan seperti itu, sudah tentu itu betul karena Tuhan adalah penolong kita dan Tuhan menolong tidak dengan terpaksa menolong kita, tapi memang Tuhan mau menolong kita. Namun Tuhan menyelamatkan kita bukan hanya dengan tujuan membebaskan kita dari hukuman dosa yaitu kematian. Tuhan menyelamatkan kita agar kita bisa bertumbuh menjadi anak-anak-Nya karena sebelumnya kita ini bukan anak Tuhan, tapi setelah kita menerima keselamatan dari Kristus Tuhan kita, maka kita menjadi anak-anak-Nya. Dia ingin menurunkan sifat-sifat-Nya kepada kita. Karena kita ini dari luar dan waktu masuk ke dalam rumah Tuhan, kita perlu belajar sifat-sifat Tuhan agar nantinya bisa mengembangkan sifat-sifat Allah itu. Maka Tuhan bukan saja menyelamatkan kita, tapi Tuhan juga membentuk kita supaya kita menjadi seperti Dia dan kita benar-benar menjadi anak Tuhan yang mewarisi sifat-sifat Allah. Konsep ini adalah konsep yang harus kita camkan karena sebagian dari orang-orang Kristen tidak menyadari hal ini dan hanya memikirkannya seperti ini, "Saya menjadi anak Tuhan supaya bisa mewarisi berkat-berkat Tuhan," itu adalah satu bagian yang diterima menjadi anak Tuhan yaitu mewarisi berkat-berkat Tuhan. Tapi terlebih penting yaitu Ia ingin agar kita mewarisi sifat-sifat-Nya dan bukan hanya berkat-berkat-Nya. Untuk bisa mewarisi sifat-sifat Allah itu, ternyata kita harus melalui jalan yang lumayan berat yaitu jalan kesengsaraan.

GS : Apakah ini juga terkait dengan pemulihan manusia sebagai gambar dan teladan Allah, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kita ini diciptakan Tuhan sesuai dengan gambar-Nya, dan kita ini sangat serupa dengan Dia yaitu memiliki sifat-sifat Allah tetapi setelah kita jatuh ke dalam dosa sifat-sifat kita ini mengalami transformasi, transformasi menuju kepada yang buruk dan kita mewarisi sifat-sifat iblis. Sehingga misalnya kita menginginkan sesuatu dan kita tidak mendapatkannya maka kita marah, memukul orang. Kalau kita ingin sesuatu tapi jalan tertutup dan kita menggunakan jalan-jalan yang salah menipu kanan-kiri, itu adalah sifat-sifat iblis yang kita warisi dari iblis sebab waktu kita jatuh ke dalam dosa yang begitu dalam, kita tidak lagi memunyai sifat-sifat Allah tersebut malahan kita mewarisi sifat-sifat dari iblis. Tuhan menyelamatkan kita dan kita dibebaskan dari hukuman dosa yaitu kematian, kemudian Tuhan juga mulai membentuk kita agar kita ini kembali lagi menjadi seorang manusia sebagaimana Tuhan ciptakan menjadi anak-anak Allah yang sungguh-sungguh memiliki karakter-karakter Allah.

GS : Itu berarti membutuhkan suatu proses yang panjang bukan terjadi seketika ketika kita diselamatkan oleh Tuhan, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali. Proses untuk menjalani pembentukan ini sudah tentu harus berjalan seumur hidup dan tidak mengenal batas waktu. Kuncinya adalah kepatuhan. Ada anak-anak Tuhan yang susah bertumbuh dan susah mewarisi sifat Allah karena susah patuh. Sebaliknya kalau kita bersedia patuh yaitu dengan yang penting menerima, yang penting mengikuti semua yang menjadi kehendak Tuhan, maka makin patuh, makin cepat kita mewarisi sifat-sifat Allah. Ini menjelaskan sesuatu, mungkin kita mengenal orang yang sudah menjadi Kristen sudah berpuluhan tahun, bergereja dan menjadi orang Kristen tapi sifat-sifatnya tetap bukan sifat-sifat Kristus, sifat-sifatnya itu mirip dengan sifat-sifat iblis, kalau marah, benci, iri hati sungguh-sungguh bisa menjadi begitu jahat dan hati itu bisa menjadi begitu kotor. Kenapa bisa seperti itu? Besar kemungkinan karena orang ini tidak mengembangkan kepatuhan sehingga Allah itu ingin mewariskan sifat-sifat-Nya tapi tertahan oleh kekerasan hatinya. Tapi sebaliknya ada orang-orang yang belum lama menjadi orang Kristen dan menerima keselamatan dari Kristus namun dengan cepat mengalami perubahan-perubahan. Kenapa seperti itu? Karena lebih patuh, apa pun yang Tuhan ajarkan dia terima dan apa pun yang Tuhan inginkan, dia melakukannya. Akhirnya dengan cepat dia bertumbuh mewarisi sifat-sifat Allah itu.

GS : Ketidak patuhan kita, seringkali karena tidak sesuai atau tidak sejalan dengan apa yang kita pikirkan, "Allah itu membentuk saya, tapi kenapa caranya seperti ini?"

PG : Khusus Pak Gunawan, tentang pembentukan karakter, jalannya itu hanya satu yaitu jalan kesengsaraan. Kenapa? Sebab di dalam kesengsaraan, maka karakter itu benar-benar dibentuk dan dipoles sehingga menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Ibaratnya seperti besi yang begitu keras, mau dibengkokkan untuk menjadi alat yang berguna maka harus dibakar dan dipanaskan sampai besi yang begitu keras akhirnya lunak dan bisa dibengkokkan menjadi alat yang berguna. Begitu juga dengan kita, ibarat besi yang keras maka perlu api kesengsaraan yang membakar kita agar kita lunak, waktu sudah lunak barulah Tuhan bisa membengkokkan kita, menciptakan sebuah alat dalam diri kita yang berguna bagi pekerjaan Tuhan. Makanya untuk bisa menumbuhkan karakter yang Tuhan inginkan, tidak bisa tidak harus lewat jalan kesengsaraan.

GS : Kalau ada orang yang tidak tahan dengan kesengsaraan itu Pak Paul, seperti yang Pak Paul gambarkan yaitu seperti besi yang dibakar sampai panas dan kemudian dibengkokkan, kalau orang ini belum sampai panas kemudian dibengkokkan maka akhirnya patah. Jadi orang ini kemudian meninggalkan Tuhan atau bahkan memutuskan untuk bunuh diri. Apakah kita yang melihat seperti ini bisa berkata bahwa Tuhan itu terlalu berat memberikan kesengsaraan buat orang itu?

PG : Karena Dia adalah Tuhan, maka kita bisa berkata bahwa Tuhan tahu sebetulnya kesanggupan kita dan Tuhan sudah berjanji Dia tidak akan memberikan api pembakaran yang lebih panas dari apa yang bisa kita tanggung. Kalau sampai di tengah jalan kita sudah patah maka besar kemungkinan ini adalah pilihan kita. Bukan salah Tuhan yang memberikan kepada kita terlalu banyak, tapi salah kita yang tidak mau menerimanya maka kita kemudian lari sebab kekuatan Tuhan selalu tersedia. Namun saya tidak berkata karena ada kekuatan Tuhan maka kita tidak mengalami sakitnya. Itu sebabnya buah pertama yang disebut di kitab Roma tadi adalah ketekunan. Artinya waktu kita mengalami rasa sakit, tapi kita tidak lari tetap tekun artinya berdiam diri dan menahannya. Dalam rekaman yang lampau, saya sudah menggunakan istilah tempaan pukulan, ibarat orang yang belajar beladiri mau melatih ketahanan tubuhnya, justru dia harus memperkuat tangannya, badannya melalui pukulan-pukulan supaya lama-kelamaan tubuh itu mengeras dan mengeluarkan reaksi yang diharapkannya. Tetapi apakah dia tidak merasakan sakit lagi? Dia tetap merasakan sakit namun dia bisa menahannya. Kalau kita mau membedakan orang yang kuat atau yang lemah, yang dewasa atau yang kekanak-kanakan sudah tentu ini ukurannya. Orang yang dewasa dan kuat bisa menahan sakit, bisa menahan derita. Tapi orang yang lemah dan kekanak-kanakan tidak bisa menahan derita dan sakit, kalau ada derita dan sakit, dia menjadi kacau dan kalut, menyalahkan orang dan menuduh orang di sekitarnya untuk berbuat ini dan itu bagi dirinya. Tapi orang yang kuat dan dewasa bertahan, terdiam dan menghadapinya meskipun menerima pukulan demi pukulan dan dia tidak lagi lari kemana-mana. Inilah karakter yang Tuhan inginkan yaitu ketekunan.

GS : Padalah orang ini sulit sekali untuk menerima kesukaran yang seperti itu. Jadi dia memunyai kerentanan tersendiri terhadap penderitaan yang dia alami dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Kadangkala kita ini harus mengakui bahwa kita tidak kuat dalam segala hal, adakalanya kita ini kuat menghadapi hal-hal tertentu, tapi dalam hal-hal yang lain kita tiba-tiba menjadi lemah. Jadi jarang ada orang yang kuat dalam segala hal. Sebagai contoh misalkan seorang wanita yang menghadapi hidup susah, tidak ada uang, dia tahan lapar, dia mengalami semua itu namun dia kuat, kemudian jatuh cinta kepada seseorang dan perempuan ini dicintai, tapi setelah satu tahun berpacaran dia ditinggal pacarnya, dia bisa sangat "down" tidak mau bertemu orang, mengalami depresi berat. Dan orang lain yang mengenal dia menjadi bingung, dulu dia mengalami kesusahan yang berat-berat namun dia tahan tapi ketika ditinggal pacar, reaksinya seperti ini. Kita ini adalah manusia yang tidak sempurna dan ketahanan kita ini jarang merata. Jadi ada waktu-waktu rasanya kita ini seperti terhantam. Di dalam hidup kalau kita mau mengembangkan karakter yang Tuhan inginkan memang kita harus melalui jalur kesengsaraan itu. Jadi justru di daerah dimana kita lemah dan rentan, biasanya Tuhan mengizinkan kesusahan datang dan sebagai reaksi kita mengalami kesengsaraan namun kalau kita bisa bertahan mengeluarkan ketekunan, maka lama-kelamaan kita akan mengeluarkan reaksi berikutnya yaitu tahan uji. Maksudnya tahan uji itu ialah tahan sakit, dari situlah nanti karakter Kristen itu akan bertumbuh.

GS : Pak Paul, ketidak mampuan seseorang menghadapi kesengsaraan dalam satu bidang seperti yang Pak Paul katakan, itu terkait dengan imannya atau tidak?

PG : Saya kita tidak selalu terkait dengan iman, memang kadang-kadang orang cepat melabelkannya atau menuding, "Kamu ini kurang iman makanya kamu mengalami ini dan itu jadi kamu harus lebih kuat" dan sebagainya. Tapi seringkali yang saya temukan tidak seperti itu, jadi bukan masalah iman. Memang bisa jadi dalam hal-hal lain dia sungguh beriman kepada contoh yang saya berikan tadi. Kalau dia tidak beriman, maka pada waktu mengalami kesusahan, tidak ada pekerjaan atau uang dan sebagainya, kalau dia sama sekali tidak beriman harusnya dia juga tidak runtuh dari dulu tapi karena dia beriman maka dia bertahan. Pertanyaannya kenapa waktu ditinggal pacar dia bisa runtuh seperti itu dan dia kehilangan pegangan. Apa yang terjadi? Bisa jadi ini adalah wilayah yang memang lemah dalam hidupnya karena dari dulu wilayah ini tidak pernah terpenuhi. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang dalam hidupnya dan kemudian menemukan seorang pria yang menyayanginya, dia begitu senang dan menikmati kasih sayang itu namun akhirnya harus kehilangan orang yang dikasihinya karena dia tidak mau bersama dengan perempuan ini. Akhirnya dia mengalami reaksi yang begitu berat. Seringkali itu yang terjadi dan itu tidak berkaitan dengan kerohanian. Makanya di dalam rekaman yang lampau kita jangan cepat berkata, "Saya salah apa, Tuhan? Saya berdosa apa sehingga harus mengalami ini?" Belum tentu dan kadang tidak ada hubungannya dengan kesalahan atau dosa-dosa kita, tapi memang Tuhan membiarkan kesusahan itu datang agar akhirnya Dia bisa memperkuat wilayah yang lemah dalam diri kita itu.

GS : Pak Paul, kalau kita berbicara tentang ketekunan dan tahan uji, itu juga merupakan suatu karakter yang positif di dalam diri seseorang.

PG : Betul. Jadi itu adalah karakter yang lebih sesuai dengan desain awal Tuhan tentang siapakah manusia itu, manusia yang diciptakan Tuhan sesuai dengan gambar Tuhan adalah manusia yang seharusnya tahan uji yang memunyai ketekunan dan tidak mudah menyerah, bisa menahan derita dan sakit. Ini adalah yang Tuhan idamkan pada semua manusia dan bukan hanya kita sebagai orang-orang Kristen.

GS : Tapi prosesnya lama sekali. Misalkan kita tahan uji terhadap suatu penderitaan dan kesengsaraan, maka lain kali pasti akan menghadapi kesengsaraan dengan versi yang lain, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi tidak selalu kita kuat. Jadi mungkin saat ini kita kuat menghadapi pukulan yang berat, kemudian misalkan 10 tahun berlalu keadaan aman-aman saja, tapi kemudian terjadi sesuatu yang lain lagi. Sebetulnya kalau dilihat secara manusiawi, yang terjadi yang kedua itu lebih ringan daripada yang pertama, tapi bisa jadi waktu kita mengalaminya kita tidak bisa lagi kuat dan pada saat itu kita sedang lemah. Pada waktu kita sedang mengalami tiba-tiba hal itu menjadi sangat berat bagi kita. Namun sekali lagi yang mau kita pelajari adalah kita tidak mau bergantung pada berapa besarnya pukulan itu dan apakah pukulan itu? Kita harus bergantung kepada Tuhan yang memberi kita kekuatan, ini yang selalu Tuhan inginkan. Jadi jangan sampai mata kita bergeser dan harus terus memandang Yesus, memohon kekuatan dari-Nya, agar bisa menghadapi pukulan-pukulan hidup sebesar apa pun.

GS : Jadi tujuan utamanya adalah supaya kita punya harapan untuk terus-menerus berharap kepada Tuhan Yesus, menjalani hidup yang pasti ada kesengsaraannya ini, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi Firman Tuhan berkata, dari ketekunan muncul tahan uji dan nanti yang keluar adalah pengharapan. Orang yang memiliki karakter yang kuat yang indah seperti yang Tuhan inginkan adalah orang yang positif dan orang yang melihat harapan, dia tidak mudah berputusasa karena ini lahir dari pengalamannya. Dia mengalami tempaan, tapi Tuhan tetap menolong dan Tuhan memberikan kekuatan. Sebagai contoh, waktu saya selama 8 bulan tidak memunyai pekerjaan, saya tahu kalau Tuhan akan menolong saya, mencukupi saya dan saya menerima janji Tuhan bahwa sandal saya pun tidak akan lapuk, sebab Tuhan akan pelihara hidup saya. Waktu saya menjalani semua itu, tidak berarti saya tidak mengalami sakitnya, deritanya, sengsaranya, saya tetap mengalami semua itu tapi tetap saya klaim janji Tuhan, saya memohon kekuatan-Nya dan saya mau bersandar kepada kekayaan-Nya untuk mencukupi kebutuhan saya. Dan akhirnya saya melihatnya bahwa Tuhan menolong saya. Sebagai contoh, tidak ada asuransi kesehatan bagi kami sekeluarga karena saat itu tidak mampu bagi kami untuk membeli asuransi kesehatan. Tapi Tuhan menjaga kesehatan kami jadi kami tidak harus berobat ke rumah sakit. Memang Tuhan mencukupi dengan cara yang berbeda, dalam pikiran saya yang tradisional dan konvensional adalah Tuhan akan terus memberikan kecukupan finansial sehingga saya bisa memiliki asuransi, tidak seperti itu. Yang Tuhan lakukan adalah Tuhan memelihara kesehatan kami sehingga tidak perlu ke dokter atau ke rumah sakit. Tujuannya sama yaitu supaya saya bisa tetap hidup dan kita benar-benar harus terbuka dengan cara Tuhan. Waktu saya mengalami itu, saya berbicara dengan pembimbing rohani saya dan dia berkata kepada saya, "Paul, Tuhan itu dapat dipercaya. Percayakanlah semua kepada Dia." Dia berkata seperti itu kepada saya berdasarkan pengalaman. Dia seorang hamba Tuhan yang setiap 3 atau 4 tahun sekali harus menulis surat kepada pendukung-pendukung dananya, untuk menanyakan apakah mereka masih bersedia kembali memberikan dananya mendukung pelayanannya selama 3 atau 4 tahun mendatang. Itu berarti dia hidup hanya dari iman dan tidak ada yang tentu, namun dia sudah melayani Tuhan berpuluhan tahun, saya kenal dia disana sudah 30 tahunan lebih. Maka pada waktu dia berkata, "Tuhan memang layak dipercaya," itu keluar dari pengalamannya. Waktu sekarang saya berkata, "Tuhan memang bisa dipercaya, apa pun yang kita alami, kekurangan apa pun yang kita hadapi, Tuhan bisa dipercaya." Sekali lagi itu keluar dari pengalaman. Maka orang yang mengalami tempaan, orang itu selalu punya pengharapan, tidak negatif dan tidak pesimis.

GS : Itulah yang Rasul Paulus katakan yaitu pengharapan itu tidak mengecewakan dan karena kasih Allah telah dicurahkan dalam hati kita. Jadi ini adalah sesuatu yang telah terjadi bagi orang-orang yang mengalami kesukaran ini. Sudah ada pengharapan bagi orang itu karena kasih Allah, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi waktu kita melihat bahwa Tuhan menolong kita, membukakan pintu, yang kita lihat apa? Sebetulnya bukan hanya pertolongan tapi juga kasih Allah. Begitu kita mengalami pertolongan Tuhan di situ maka kita melihat kasih Allah. Kemudian buntu lagi dan Tuhan bukakan lagi pintu yang lain, maka kita melihat kasih Allah. Jadi di mana-mana akhirnya yang kita lihat adalah kasih Allah. Orang yang mengalami kasih Allah terus-menerus, melihatnya terus menerus menjadi orang yang berpengharapan. Inilah manusia Kristiani yang Tuhan inginkan, maka sebagai Bapa yang mengasihi kita, Dia ingin mewariskan sifat-sifat ini kepada kita, tapi Dia mewariskannya melalui sebuah perjalanan yang bernama kesengsaraan.

GS : Kalau ini adalah proses seumur hidup, berarti kita harus siap sengsara untuk seumur hidup, Pak Paul?

PG : Betul. Dan jarang di antara kita yang selama-lamanya mengalami sengsara namun hanya kadang-kadang saja kita melewati lembah kesengsaraan.

GS : Dari dua kali perbincangan kita kali ini, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Karakter yang disampaikan oleh kesengsaraan adalah karakter yang bergantung penuh pada Tuhan. Jika pada awalnya kita bergantung pada Tuhan, karena panik, tidak berdaya, setelah melewati ujian kita bergantung kepada Tuhan karena kita percaya sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan. Dengan kata lain, awal-awalnya bergantung dalam kepanikan akhirnya bergantung dalam kedamaian, kita tidak lagi mempertanyakan kehendak Tuhan sebab kita tahu rencana-Nya baik, kita tidak lagi mempertanyakan masa depan karena kita tahu bahwa Dia sudah di depan kita dan akan mengulurkan tangan memberikan pertolongan pada kita. Jadi bergantung dalam damai sejahtera.

GS : Jadi pengalaman kesengsaraan yang kita alami pada waktu yang lalu itu sangat berguna sebagai modal untuk kita menghadapi kesengsaraan yang berikutnya, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan dan nasehat-nasehat yang sudah disampaikan karena tentunya ini sangat berguna dan menjadi bekal bagi kita untuk menjalani kehidupan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kesengsaraan dan Karakter" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



20. Kepribadian Dominan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T305A (File MP3 T305A)


Abstrak:

Pada umumnya tatkala mendengar kata, "dominan," kita membayangkan sebuah gambar manusia yang berbuat seenaknya tanpa memerhatikan perasaan dan kepentingan sesama. Sebetulnya kata dominan tidak harus berkonotasi seburuk itu. Apakah Anda termasuk orang dalam kategori dominan? Jika ya, di sini akan dijelaskan mengenai kelemahan dan kelebihannya sehingga Anda bisa menempatkan diri dengan benar.


Ringkasan:

Pada umumnya tatkala mendengar kata "dominan," kita membayangkan sebuah gambar manusia yang berbuat seenaknya tanpa memerhatikan perasaan dan kepentingan sesama. Sebetulnya kata dominan tidak harus berkonotasi seburuk itu. Dominan, dengan kata lain, tidak mesti berwujud dalam dominasi. Berikut akan diuraikan lebih lanjut tentang kepribadian dominan-baik dari sisi kekuatan maupun kelemahannya.

  • Kekuatan 1. Ciri utama kepribadian yang dominan adalah adanya sebuah kepribadian yang kuat. Di dalam kepribadian yang kuat terdapat pendirian yang teguh dan kemampuan berpikir yang waras. Dengan kata lain, orang dengan kepribadian yang dominan tidak mengubah pendirian hanya karena tekanan dari luar. Ia mendasari pertimbangannya atas dialog nalar dalam dirinya dan tidak bergantung pada pendapat orang.
  • Kelemahan. Oleh karena ia berpendirian teguh dan bergantung penuh pada pertimbangan sendiri, ada kecenderungan ia tidak mudah mendengarkan masukan orang.
  • Kunci hidup bersamanya. Itu sebabnya tidak bisa tidak, bila kita hidup bersamanya kita sering merasa frustrasi sebab berkomunikasi dengannya kadang sama dengan berhadapan dengan tembok. Jalan keluar satu-satunya adalah, kita harus berkomunikasi dengannya sejelas dan selogis mungkin. Kita harus pandai-pandai mengemukakan alasan atau argumentasi kita supaya ia dapat memertimbangkannya dengan obyektif.
  • Kekuatan 2. Ciri berikut dari kepribadian yang dominan adalah adanya kemauan yang kuat. Kemauan inilah yang mendorongnya untuk terus maju mencapai sasaran kendati jalan harus mendaki. Itu sebabnya, tidak jarang, orang dengan kepribadian kuat ini cenderung menikmati keberhasilan dalam pekerjaannya.
  • Kelemahan. Keberhasilan biasanya melahirkan keyakinan diri. Dengan bertambahnya keyakinan diri, bertambah kuat pulalah keinginan untuk mencapai sasaran. Inilah kekuatan sekaligus kelemahan pribadi yang dominan. Kemauannya yang kuat menjadikannya sulit untuk mundur dari keinginannya sendiri-yang belum tentu selalu baik dan benar.
  • Hidup bersamanya. Salah satu hal yang menakutkan hidup bersamanya adalah sewaktu kita harus mendengar keinginannya. Kita merasa takut sebab kita tahu, sekali mau, sukar baginya untuk menerima penolakan. Jika itulah yang terjadi, kita mesti melakukan dua hal. Pertama, kita tidak memberinya reaksi tidak setuju seketika itu juga. Sebaliknya, ajukanlah pertanyaan untuk menimba informasi sebanyak-banyak tentang apa yang diinginkannya itu. Pertanyaan haruslah berwujud keingin-tahuan, bukan upaya untuk memerlihatkan kesalahan atau kekurangannya. Kedua, setelah itu mintalah waktu kepadanya untuk memertimbangkan keinginannya itu. Di saat yang tenang, dengan lembut ajukanlah keberatan kita. Setelah itu ajaklah dia untuk kembali mendoakan rencananya sekali lagi sebelum mengambil keputusan. Apabila setelah melakukan semua itu ia tetap pada rencana semula, kita dapat membiarkannya jika hal itu tidak berdampak luas pada kehidupan keluarga. Jika akan berdampak luas, dengan teguh berdirilah dengan tegas menyatakan ketidaksetujuan kita.
Kesimpulan :

Kepribadian dominan umumnya melahirkan kepemimpinan yang kuat. Bak lokomotif, ia dapat menghela gerbong kereta di belakangnya untuk mengikuti jejaknya. Di belakangnya orang merasa aman karena mengetahui dengan jelas arah yang ditempuh. Sebaliknya, ia pun dapat menarik gerbong kereta masuk ke dalam jurang. Itu sebabnya sebagai pendampingnya, kita mesti berfungsi sebagai penolong baginya. Selama ia percaya akan niat baik kita, ia akan bersedia mendengarkan kita.

Namun terlepas dari bagaimana berkomunikasi dengannya secara efektif, kita harus memerlihatkan kehidupan yang berintegritas agar ia respek kepada kita. Firman Tuhan di Mazmur 18:24-25 mengingatkan, "Aku berlaku tidak bercela di hadapan-Nya dan menjaga diri terhadap kesalahan. Karena itu Tuhan membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kesucian tanganku di depan mata-Nya." Hidup benar dan berhikmat adalah kunci untuk hidup bersama orang yang dominan.


Transkrip:

"Kepribadian Dominan" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kepribadian Dominan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, mendengar istilah dominan, pikiran kita atau asosiasi kita dengan sesuatu yang menguasai, sesuatu yang hebat, begitu Pak Paul. Kalau ini dikaitkan dengan kepribadian, bukankah ini sesuatu yang sangat membahayakan bagi orang lain atau pun dirinya sendiri, Pak Paul?

PG : Justru yang ingin saya angkat pada diskusi kali ini adalah bahwa dominan itu tidak selalu berkonotasi buruk. Dominan itu hanyalah menunjukkan sebuah kepribadian yang memang kuat, tapi tida perlu kita menyorotinya dari sisi buruknya.

Nanti akan kita bahas justru kepribadian yang dominan ini memunyai 2 sisi, sisi kekuatan dan sisi kelemahannya. Ini yang harus diwaspadai dan nanti saya akan memberi masukan pula bagaimana kita bisa hidup dengan orang berkepribadian dominan.
GS : Tetapi kalau kita berbicara tentang dominan tentu lebih dahulu kekuatannya, karena yang lebih menonjol untuk bisa dominan, tentu kelebihan atau kekuatan orang itu.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Nah, jadi yang pertama, kekuatan dari ciri kepribadian yang dominan adalah adanya sebuah kepribadian yang kuat. Artinya di dalam kepribadian orang yang dominan trdapat pendirian yang teguh dan kemampuan berpikir yang waras, yang sangat rasional.

Dengan kata lain, orang dengan kepribadian dominan tidak mudah mengubah pendiriannya hanya karena adanya tekanan dari luar. Jadi sekali dia sudah pikirkan, inilah yang dia yakini sebagai hal yang baik atau yang benar, maka orang ini akan cenderung bertahan, dia mendasari pertimbangannya atas dialog nalar dalam dirinya sehingga dia tidak terlalu bergantung pada pendapat orang lain. Kebalikan dari orang yang lemah, yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dia sangat bergantung pada penilaian atau pendapat orang lain. Kepribadian yang dominan kebalikannya, dia tidak akan gampang-gampang mengubah pikiran, sebab segala sesuatu yang telah dipikirkannya berdasarkan pertimbangan rasional akan dia yakini sebagai hal yang baik.
GS : Orang yang memiliki kepribadian dominan merupakan hasil pembelajaran atau memang dibawa sejak lahir, Pak Paul?

PG : Biasanya anak-anak yang pada akhirnya mengembangkan kepribadian yang dominan sudah mulai menunjukkan sifat-sifat ini sejak kecil, Pak Gunawan, yaitu misalnya anak ini tidak gampang disuruh Jadi kita mesti menyuruhnya berkali-kali sebelum ia melakukan yang kita minta.

Kadang kita mesti menggunakan ancaman, kalau dia tidak melakukan kita akan menghukumnya. Baru dia melaksanakannya, kenapa? Sebab dia memunyai pendapatnya sendiri, dia tidak serta merta menyetujui apa yang kita katakan. Jadi pada umumnya kita akan berkata, "Kepribadian ini hasil bawaan dari lahir".
GS : Tetapi proses kehidupan umumnya justru akan membuat lebih kuat atau malah melemahkan hal yang sudah dimiliki sejak kecil ini, seperti itu Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi kita sebagai orang tua jika tidak bijaksana membesarkan anak, maka kita justru meremukkan kepribadian yang dominan ini. Karena kita tidak suka maka kita akan menggunakanancaman kekerasan dan menakut-nakutinya sehingga kepribadian yang tadinya harus berkembang malahan akhirnya menjadi kuncup dan runtuh dan tidak bisa digunakan.

Tapi sebaliknya ada juga yang bisa jadi dikembangkan secara berlebihan, Pak Gunawan. Jadi ada orang tua yang terlalu mengagung-agungkan anak yang seperti ini dan memberi kepada dia kebebasan untuk berbuat apa saja, sehingga pada akhirnya kecenderungannya bukan saja kuat tapi justru mendominasi orang lain.
GS : Seperti secara fisik, kalau orang itu kuat maka dia juga bisa berdampak. Artinya misalkan dia bisa mengangkat barang yang berat dan dia juga tidak mudah sakit dan sebagainya, tapi dia memiliki sisi negatif yaitu bisa membuat orang lain takut, cedera dan sebagainya. Saya kira dengan kepribadian dominan ini, selain ada sisi positif juga ada negatifnya atau kelemahan-kelemahan yang dimiliki kepribadian ini, apakah ada kelemahannya, Pak Paul?

PG : Ternyata ada, Pak Gunawan. Jadi di dalam kepribadian yang kuat itu, dia memang akan berdiri teguh pada pendiriannya dan dia akan bergantung penuh pada pendiriannya sendiri dan dia tidak muah dipengaruhi oleh pandangan orang yang di luar darinya.

Kecenderungannya adalah dia juga susah mendengarkan pandangan orang yang diperlukannya. Jadi begitu dia sudah mengambil keputusan, dia menganggap ini benar maka sukar bagi dia memertimbangkan kemungkinan bahwa mungkin saja dia salah. Jadi akhirnya kalau tidak hati-hati, orang dengan kepribadian dominan bisa menyeruduk, akhirnya tergelincir dan jatuh. Justru dia membuat kesalahan yang fatal, karena dia kurang menghargai pendapat orang. Orang-orang dengan kepribadian yang dominan cenderung hanya akan mau mendengar pendapatnya orang yang dia anggap di atasnya, yang lebih bijaksana, yang lebih pintar dari dia dan sebagainya, sedangkan kriteria dia tentang orang yang seperti itu memang kriteria yang agak sempit, akibatnya dia tidak dengan mudah menerima pandangan orang lain apalagi yang dianggapnya di bawah dia, yang sejajar dengan dia saja tidak mudah untuk diterima apalagi yang di bawah dia, hal ini yang menjadi kelemahannya pula. Kekuatannya adalah berpendirian teguh, tidak mudah goyah tapi kelemahannya menjadi orang yang keras kepala dan akhirnya sukar untuk mendengar pandangan orang lain.
GS : Selain keras kepala, ini justru memerlihatkan kesombongan orang ini, kesan kita kepada orang-orang yang seperti ini adalah orang-orang yang sombong dan tinggi hati.

PG : Ini adalah salah satu konsekuensinya yaitu karena dia bergantung pada pendapatnya sendiri, dia cenderung meremehkan pendapat orang lain dan akhirnya bisa jatuh ke dalam dosa kesombongan it dan dia menganggap kalau dialah yang paling hebat, dialah yang paling pintar dan dia tidak perlu pendapat orang lain dan dia meremehkan orang lain.

Ini salah satu kelemahan fatal orang yang berkepribadian dominan.
GS : Apakah itu tidak membuat kita susah untuk bersosialisasi, Pak Paul, berhubungan dengan orang lain.

PG : Sudah tentu kalau kita bekerjasama dengan orang yang seperti ini memang tidak mudah karena di dalam kerjasama dibutuhkan saling pengertian, negosiasi, saling mengalah, tenggang rasa. Jadi rang-orang seperti ini memang kuat menjadi seorang pemimpin.

Tapi kadang-kadang sulit juga hidup dengan dia, apalagi kalau kita kebetulan suami atau istri dia. Jadi kalau kita memang kebetulan suami atau istrinya, kita sering merasa frustrasi sebab berkomunikasi dengannya kadang sama halnya berhadapan dengan tembok, kita mau bicara apa, memberitahu apa, kalau dia sudah memutuskan sesuatu dia sudah tidak bisa memertimbangkan masukan kita. Jadi jalan keluar satu-satunya adalah kita harus berkomunikasi dengannya, sejelas dan selogis mungkin. Dua kata ini yang mau saya garis bawahi karena penting sekali, kalau kita berteman dengan orang yang berkepribadian dominan maka kita harus berkomunikasi dengan jelas artinya apa pendapat kita maka kita harus nyatakan sejelas mungkin. Dan kalau kita tidak setuju, maka kita harus katakan sejelas mungkin bahwa saya tidak setuju, sebab orang-orang dengan kepribadian dominan kalau melihat bahwa kita ini ragu atau samar, maka dia akan merasa kalau dia harus makin tegas karena dia makin merasa bahwa dia harus makin memberikan kejelasan, supaya jangan sampai orang itu nanti tersesat. Jadi kalau kita itu bersikap terlalu samar, ragu-ragu, tidak berani menyatakan pendapat maka kita akan makin tergilas oleh dia. Maka kalau kita tidak setuju atau punya pandangan yang lain, kita harus katakan bahwa saya tidak setuju atau memunyai pandangan yang berbeda, "Apakah boleh untuk saya ungkapkan sesuatu sebab saya mau berdialog dengan kamu". Dan saya tadi katakan bahwa kita harus selogis mungkin kalau berbicara dengan dia, bukan hanya jelas tapi selogis mungkin. Artinya kita harus pandai-pandai mengemukakan alasan atau argumentasi kita supaya dia pun dapat memertimbangkannya secara objektif. Jadi kalau dia merasa bahwa kita itu tidak logis dan alur kita itu tidak berkesinambungan, dasar argumen kita lemah dan sebagainya maka kita akan malah tidak dihiraukan. Makanya kita harus mendasari argumen kita dengan alasan-alasan yang logis.
GS : Tapi untuk berkomunikasi atau berbicara dengan logis dan jelas, ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, Pak Paul, dan orang kalau tidak terlalu terikat dengan dia, misalkan bukan bawahannya dan sebagainya atau istrinya, maka dia akan cenderung untuk melarikan diri saja. Kalau orang ini melarikan diri, lama-lama orang yang berkepribadian dominan ini akan kesulitan mencari teman, Pak Paul.

PG : Dan ini adalah salah satu konsekuensinya, Pak Gunawan. Jadi orang yang berkepribadian dominan terus bersikukuh, tidak mau memberikan kesempatan kepada orang untuk berbagi pandang dengan di akhirnya cenderung ditinggalkan oleh orang atau didiamkan atau dihindarkan, karena orang akan berpikir, "Percuma berbicara dengan dia, kalau dia inginnya seperti apa yang dia inginkan maka itu yang harus terjadi dan dia tidak mau melihat pendapat kami lagi".

Jadi sekali lagi kita bisa melihat betapa sayangnya kalau kekuatan yang begitu baik akhirnya itu justru menjadi sebuah kelemahan yang begitu fatal.
GS : Seandainya Pak Paul, orang yang dengan kepribadian dominan ini harus bekerja, bermasyarakat, melayani dan sebagainya. Kira-kira bidang apa atau di bagian mana dia ini tepat untuk menempatkan diri, Pak Paul?

PG : Justru awalnya orang yang menyadari bahwa dirinya ini seperti ini, dia justru tidak boleh mendapatkan posisi tinggi atau sebagai pemimpin. Kalau misalnya kebetulan dia adalah anak seorang engusaha, Papanya adalah seorang pengusaha dan mudah bagi dia masuk menjadi seorang direksi dan sebagainya, justru saya akan anjurkan kepada anak ini, "Meskipun ayahmu memberikan kemudahan-kemudahan atau fasilitas-fasilitas kepada kamu untuk menjadi pimpinan, justru sebaiknya jangan kamu terima pada awal-awalnya.

Kamu justru harus mendisiplin diri untuk meniti tangga dari bawah dan jangan langsung ke atas". Karena orang yang berkepribadian dominan, kalau langsung menempati pucuk pimpinan di atas, maka dia akan makin tidak sadar dengan kenyataan di lapangan, dengan kenyataan orang, dengan pergumulan orang, dengan sudut pandang orang yang lain-lainnya. Karena sebagai pimpinan memang kehendaknya lebih cenderung untuk dituruti dan itu adalah posisi yang memberikan kepada kita keuntungan atau manfaat untuk memberikan pendapat lebih bebas. Tapi kalau orang ini masih muda maka dia perlu pengalaman dan dia perlu mendengarkan orang dengan lebih baik. Jadi apa pun yang dia kerjakan, itu tidak menjadi masalah dan yang penting adalah dia memulai dari bawah. Jadi apapun pekerjaannya dan memang tergantung talentanya. Tapi memang dia harus meniti dari bawah, mengikuti, merendah, mendengarkan orang, mengikuti perintah orang, sampai pada waktu yang agak panjang dan sampai dia terbuka untuk menjadi pimpinan, maka barulah dia naik menjadi pimpinan.
GS : Jadi sekali lagi kuncinya justru ada di dalam diri dia sendiri, kemauan dia untuk mendisiplin diri supaya tidak terlalu dominan, Pak Paul?

PG : Jangan sampai dominannya itu menjadi dominan yang buta, yang tidak ada arahnya dan tidak ada hikmatnya. Justru kalau dia harus dominan karena dia memang orang yang dominan, itu tidak mengaa, tapi hendaknya dominan itu yang memang berhikmat yang memunyai kasih dan yang juga memunyai kerendahan hati sehingga bisa mendengarkan masukan orang.

GS : Pak Paul, mungkin ada sisi yang lain dari kepribadian yang dominan ini?

PG : Sisi yang lain atau kekuatan yang lain adalah orang-orang dengan kepribadian yang dominan cenderung memunyai kemauan yang kuat, kemauan inilah yang terus mendorongnya untuk maju mencapai ssaran kendati jalan harus mendaki.

Kita tahu bahwa ada orang-orang yang ketika jalan sudah mulai mendaki, mereka seringkali menyerah dan berhenti di tengah jalan dan tidak mau lagi meneruskan. Tapi justru orang-orang dengan kepribadian yang dominan, waktu harus mengalami tantangan, gelombang dan sebagainya, dia tidak mudah untuk menyerah dan dia akan jalan terus. Itu sebabnya tidak jarang orang yang berkepribadian yang kuat ini cenderung menikmati keberhasilan dalam pekerjaannya karena orang-orang ini memang tidak mudah menyerah dan seringkali ini adalah kualitas dan karakteristik yang dihargai oleh atasannya.
GS : Kelebihan yang pertama dibandingkan dengan kelebihan yang kedua ini apa, Pak Paul?

PG : Saya kira sama. Kemauan yang kuat ini bagaimana pun juga menunjukkan kepribadian yang kuat itu, dia itu percaya kepada pertimbangannya sendiri dan bukan hanya percaya tapi dia akan memunya motor untuk menggerakkannya supaya sampai di tujuan dan motor itu adalah kemauannya, jadi kemauannya, pendiriannya yang kuat serta kemauannya yang bertahan di dalam terpaan badai, itu memang perpaduan kombinasi yang penting.

GS : Orang-orang seperti ini memang seringkali menemukan ide-ide yang baru, yang bagus, yang inovatif, yang bisa berguna bagi orang lain.

PG : Betul. Dan memang ini adalah kekuatan dari dia apalagi kalau memang didukung dan diberikan tanggapan positif dari orang lain. Tapi kadang-kadang juga kalau dia tidak mendengarkan orang, adkalanya inilah justru yang menjerumuskan, orang dan baik perusahaan atau pelayanan yang dipimpinnya masuk ke jurang.

Dan kadang-kadang itulah yang terjadi, gara-gara terlalu bernafsu mau ini dan pasti bisa, pertimbangannya begitu kuat, kita yakini keyakinannya begitu kuat juga dan susah dibendung, maka akhirnya orang mengikutinya, padahalnya dia membawa semua orang ke jurang dan itu pun terjadi.
GS : Jadi sisi lemahnya ciri yang kedua ini apa, Pak Paul?

PG : Ini, Pak Gunawan, tadi saya sudah singgung bahwa orang yang berkepribadian dominan karena kemauannya yang kuat itu cenderung mencapai sasarannya alias dia bisa mencicipi, menikmati keberhailan.

Keberhasilan biasanya melahirkan keyakinan diri, makin sering berhasil maka makin yakin diri, dengan bertambahnya keyakinan diri maka bertambah kuat pulalah keinginan untuk mencapai sasaran. Jadi dia merasa berhasil, rekan kerjanya mengatakan bahwa dia selalu berhasil, makin kuat keinginannya untuk sampai sasaran. Jadi ini adalah kekuatan sekaligus kelemahan pribadi yang dominan, kenapa? Keinginannya yang kuat membuat dia untuk sulit mundur dari keinginannya sendiri yang belum tentu selalu baik dan benar. Jadi dengan kata lain, musuh terbesarnya adalah dirinya sendiri sebab kalau dirinya sudah berkeinginan maka dia sendiri tidak bisa membendung keinginannya itu. Adakalanya ini justru yang menghancurkan hidupnya.
GS : Pak Paul, kalau kita memerhatikan tokoh Alkitab, apakah orang-orang seperti Musa, seperti Paulus mereka juga memunyai kepribadian yang dominan itu?

PG : Saya kira demikian, mereka adalah orang-orang yang dominan makanya seperti Musa, dia bisa menggembalakan atau memerintah jutaan orang Israel, meskipun 600.000 yang dicatat, itu adalah 600.00 pemuda yang sanggup berperang, tidak termasuk anak-anak dan orang-orang tua.

Jadi kalau dijumlahkan semuanya maka lebih dari 1.000.000 orang dan mungkin juga bisa 2.000.000 orang yang dipimpin oleh Musa dan hidup di padang gurun, itu bukan hal yang mudah. Jadi jelas kita melihat kepemimpinan yang kuat dari Musa.
GS : Bagaimana kalau kita hidup dengan orang yang memunyai ciri yang kedua itu yaitu memunyai kemauan yang kuat ini, Pak Paul?

PG : Ini merupakan salah satu hal yang menakutkan hidup bersamanya, kalau dia hidup seperti ini yaitu kemauannya kuat, kadang-kadang dia akan mengeluarkan pendapat atau menunjukkan sebuah keingnan yang benar-benar menunjukkan kalau ini adalah sesuatu yang keliru dan kita merasa takut waktu dia mengatakan sesuatu yang dia ingin lakukan.

Takut kenapa? Sebab kita tahu, sekali dia mau maka sukar baginya untuk menerima penolakan. Jadi kecenderungannya adalah terus mengejar kemauannya sampai dia mendapatkannya, kalau itu adalah hal yang baik maka tidak mengapa, tapi kalau kita lihat bahwa itu benar-benar salah dan benar-benar ini bisa menghancurkannya maka ini akan sangat mengerikan bagi kita. Jadi jika itulah yang terjadi, saya bisa sarankan dua hal ini. Pertama, waktu dia berkata mau ini dan itu dan sebagainya, kita tidak memberikan kepadanya reaksi tidak setuju, seketika itu juga. Jangan! Sebab orang-orang yang dominan itu juga langsung dengan keras berkata, "Tidak setuju dan sebagainya" maka justru dia akan tambah marah dan dia tidak bisa dibendung lagi. Justru kita harus tegas, namun tidak dengan reaksi keras. Tegas itu dengan pengertian kita berkata tidak setuju, namun tidak dengan reaksi keras. Salah satu cara yang bisa saya sarankan adalah kita mengajukan pertanyaan untuk menimba informasi sebanyak-banyaknya tentang apa yang diinginkannya itu, jadi kita bertanya terus kepadanya dan apakah dia itu bisa menjawabnya, apakah dia mengerti apa yang menjadi konsekuensinya, baik buruknya apa yang dia inginkan itu. Pertanyaan harus berwujud dari keingintahuan dan bukan upaya untuk memerlihatkan kesalahan atau kekurangannya, sebab kalau belum apa-apa kita sudah bertanya-tanya dan sengaja untuk merintangi dia, maka dia akan defensif, tidak suka dan melawan. Jadi memang kita tanya karena kita ingin tahu bahwa apakah dia tahu tentang semuanya, baik buruknya dan sebagainya. Setelah kita mendengarkan apa yang dia ucapkan, maka selalu kita katakan untuk memertimbangkan keinginannya itu, kalau kita memang tidak setuju, dengan tenang barulah kita ajukan keberatan kita. Jadi kita meminta kembali untuk dia berpikir ulang apa yang telah dia putuskan itu.
GS : Tapi biasanya orang dengan kemauan yang keras seperti ini justru menyukai tantangan dan berani mengambil resiko, dan kita yang memiliki kepribadian yang tidak sama dengan dia, sulit untuk mengikutinya, Pak Paul.

PG : Tapi memang hidup dengan orang yang seperti ini, kadang-kadang kalau ini sudah benar-benar terlalu mengerikan, keputusan ini sudah sangat salah. Kita memang harus bijaksana setelah minta da untuk menjelaskan dan kita bilang kalau kita akan memertimbangkan dan kemudian kita mengajukan keberatan kita dan mungkin kita mengajak dia untuk berdoa dulu, "Mari kita berdoa dulu, sebelum kamu memutuskan".

Jadi terus meminta waktunya untuk berdoa, misalkan setelah kita melakukan hal itu dan dia tetap pada rencana yang semula maka kita bisa membiarkannya jika hal itu tidak berdampak luas pada kehidupan keluarga. Tapi bila akan berdampak luas dan berdampak buruk dengan keluarga, maka dengan teguh kita harus berdiri tegas mengatakan ketidak setujuan kita karena sekali lagi kalau sampai titik akhir, dia masih mau seperti itu dan ini sangat berbahaya maka harus ada orang yang tegas berkata, "tidak". Jadi sekali lagi untuk orang yang berkepribadian dominan, kalau kita samar atau ragu maka nanti dia akan terus menerobos. Jadi pada akhirnya kita harus berdiri tegak dan berkata, "Kalau tidak, maka tidak".
GS : Itu berarti kita akan menjadi dominan di atas dia yang dominan?

PG : Pada titik itu kita memang harus berani melawannya atau tegas kepadanya, seolah-olah kita memang dominan, tapi sebetulnya kita tidak dominan, besar kemungkinan kita lebih mudah untuk berneosiasi dan sebagainya.

Kalau dia melihat bahwa kita bukanlah orang yang mudah untuk merintanginya, dia itu melihat 9 dari 10 akan mendukung dia, tapi yang satu ini yakni kita tidak mendukung dia, maka seharusnya dia itu sadar, "Benar juga ya, pasangan saya ini 9 dari 10 setuju ikut saya, tapi untuk yang kali ini dia tidak bisa ikut, mungkin ada yang dia pikirkan yang saya tidak lihat dan mungkin ada sesuatu yang tidak baik yang saya tidak hiraukan sekarang". Mudah-mudahan kita ini tidak mudah-mudah bilang tidak setuju, jadi kalau kita berkata bahwa kita ini tidak setuju, bobot ketidaksetujuan itu menjadi lebih berat atau menjadi lebih besar.
GS : Susahnya juga seperti yang Pak Paul katakan, orang-orang yang dominan ini terlalu percaya kepada dirinya sendiri. Sehingga ketergantungannya dengan Tuhan itu kecil sekali, Pak Paul dan dia merasa bisa, bahkan mungkin dia merasa dia bisa memaksa Tuhan untuk memenuhi keinginannya ini.

PG : Makanya ini salah satu kepribadian yang bisa menjadi berkat besar, tapi juga bisa menjadi kemalangan besar. Sebab betul, orang-orang seperti ini seringkali tidak menghiraukan Tuhan, merekatidak peduli apakah Tuhan setuju atau tidak.

Jadi orang-orang seperti ini menempatkan diri di atas Tuhan. Maka kalau pendengar kita kebetulan mengakui Anda berkepribadian seperti ini, harus bisa mengerem, Anda harus ingat bahwa tidak boleh kalau tidak menghiraukan Tuhan dan harus tunduk kepada-Nya.
GS : Kesimpulan apa yang ingin Pak Paul bagikan kepada para pendengar, Pak Paul?

PG : Kepribadian yang dominan umumnya melahirkan kepemimpinan yang kuat, seperti lokomotif bisa menghela gerbong kereta di belakangnya untuk mengikuti jejaknya dan tidak bisa disangkal yang di elakangnya, orang akan merasa aman karena mengetahui dengan jelas arah yang ditempuh.

Tapi sebaliknya, dia pun akan dapat menarik gerbong kereta untuk masuk ke dalam jurang. Itu sebabnya kalau kita sebagai pendampingnya, baik istri maupun suaminya, kita harus berfungsi sebagai penolong baginya, selama ia percaya dengan niat baik kita, pada umumnya dia akan bersedia mendengarkan kita. Jadi kita harus menjalin relasi dengan baik, sehingga dia tahu kalau kita sungguh-sungguh percaya kepadanya bahwa kita hanya mau melihat hal yang terbaik yang terjadi di dalam dirinya dan keluarga kita. Dan kita tidak gampang-gampang berkata, "tidak" terhadap ide-idenya, kalau semua kita lakukan dan waktu dia harus mengambil keputusan yang kita tahu sangat salah maka kita harus bersikap tegas. Namun terlepas dari berkomunikasi dengannya secara efektif, kita harus memerlihatkan kehidupan yang berintegritas agar dia dapat respek kepada kita. Firman Tuhan di Mazmur 18:24-25 mengingatkan "Aku berlaku tidak bercela dihadapannya dan menjaga diri terhadap kesalahan karena itu Tuhan membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kesucian tanganku di depan matanya". Jadi hidup benar dan hidup berhikmat adalah kunci untuk hidup bersama orang yang dominan.
GS : Justru di situlah kuncinya, banyak orang benar tapi hidupnya tidak berhikmat atau sebaliknya berhikmat tapi hidup tidak benar. Hal ini menjadi sesuatu yang kompleks sehingga masih banyak orang yang cukup dominan yang sebenarnya bisa menggunakan kelebihannya untuk hal-hal yang positif, tapi justru melakukan hal-hal yang negatif yang merugikan banyak orang.

PG : Betul sekali. Dan kita sebagai pendampingnya harus mengutamakan dan memerlihatkan kehidupan yang baik di hadapan Tuhan, kehidupan yang berkenan kepada Tuhan sehingga pasangan yang dominan tu menaruh respek sehingga mudah-mudahan meskipun dia kurang berhikmat atau kurang benar dalam sikapnya yang dominan, melihat kita hidup berkenan kepada Tuhan maka akhirnya dia akan menaruh respek dan lebih bersedia untuk mendengarkan masukan kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kepribadian Dominan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



21. Ketika Anak Terkena Skizofrenia 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T356A (File MP3 T356A)


Abstrak:

Memiliki anak yang berbeda dari anak-anak lainnya, bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika anak terkena skizofrenia, itu menjadi guncangan berat bagi para orang tua. Oleh karena itu di sini kita akan mengenal lebih jauh mengenai skizofrenia dan bagaimana untuk bisa menolong anak yang terkena skizofrenia.


Ringkasan:

Salah satu berita terburuk yang kadang mesti didengar oleh orang tua adalah bahwa anak yang dikasihinya terkena gangguan skizofrenia. Berikut akan dipaparkan beberapa hal tentang gangguan ini serta beberapa masukan untuk menghadapinya.

Apakah Skizofrenia?

Mungkin masih jelas di benak kita tentang film "The Beautiful Mind" yang dibintangi oleh Russel Crowe tentang kisah nyata seseorang bernama John Nash. Nash adalah seorang matematikawan yang jenius. Di usia yang sangat muda ia telah memperoleh gelar doktor dan mengajar di MIT(Massachusetts Institute of Technology), perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Namun karier yang begitu gemilang akhirnya terganggu dan runtuh oleh gangguan skizofrenia yang dideritanya.

Pada dasarnya istilah skizofrenia berarti keterpecahan atau keterbelahan pikiran. Disebut demikian sebab si penderita hidup dalam dua alam yaitu alam fantasi dan alam realitas yang nyata. Masalahnya adalah si penderita tidak selalu dapat membedakan kedua alam ini. Baginya alam fantasi merupakan alam nyata, senyata alam realitas yang kita semua hidupi. Pada akhirnya ia terpenjara di dalam dunianya sendiri.

Di dalam film itu—dan juga dalam kehidupannya—John Nash meyakini bahwa ia berada dalam sebuah kondisi yang mengancam jiwanya sebab ada begitu banyak orang yang memata-matainya. Akhirnya ia senantiasa hidup dalam ketakutan dan ini membuatnya selalu berjaga-jaga dan curiga. Di dalam kasus ini John Nash menderita gangguan skizofrenia jenis paranoia karena alam fantasinya bertemakan ancaman dan bahaya.

Gejala Gangguan
  1. Adakalanya penderita skizofrenia tidak menampakkan gejala kelainan yang mencolok pada masa pertumbuhannya. Namun pada umumnya pada masa pertumbuhannya penderita skizofrenia cenderung memerlihatkan gejala kelainan yang spesifik yakni kekurangterlibatan (uninvolved). Berikut akan dipaparkan beberapa perilaku yang kerap dikaitkan dengan kekurangterlibatan antara lain : tidak bersedia memberikan dirinya, takut direpotkan, tidak suka keramaian
  2. Tidak dapat menguasai emosi—marah, mengamuk, hiperaktif, hipersensitif terhadap lingkungan.
  3. Hipokondriak: mengeluhkan sakit penyakit kendati sebenarnya ia tidak menderita penyakit apa pun.
  4. Obsesif-Kompulsif: terpaku pada suatu pemikiran tertentu dan untuk menghilangkannya ia harus melakukan suatu perbuatan tertentu sehingga ia terjebak ke dalam siklus ritual yang tidak ada akhirnya.
  5. Delusi—pemikiran atau anggapan yang tidak berlandaskan realitas. Pada umumnya tema utama delusi ini adalah persecutory (dianiaya atau dicelakakan) dan grandiose (pandangan atau konsep diri yang berlebihan secara tidak realistik).
  6. Penuh kekacauan dan ketakutan—pikirannya begitu campur aduk dan kacau serta berjalan dengan kecepatan tinggi membuatnya sungguh tersiksa. Apalagi bila ditambah dengan rasa takut yang irasional, semua ini dengan cepat menciptakan sebuah kondisi yang sangat menyiksa.
  7. Penampakan wajah yang datar, hampa emosi (blunted affect)—seakan-akan ia adalah secarik kertas kosong.
  8. Ekspresi perasaan yang tidak tepat atau hilangnya ekspresi perasaan sama sekali.
  9. Bicaranya sukar dicerna atau malah lenyap sama sekali
  10. Terus berkutat pada pemikiran yang aneh, misalkan beranggapan bahwa seseorang tengah menyadap pikirannya atau bahwa ia adalah Juruselamat dunia.
  11. Terlepas dari realitas: melihat perubahan pada penampakan, suara, atau bau tertentu.
Data Tentang Skizofrenia
  • Pada tahun 1960, separuh dari penderita skizofrenia mencoba mengakhiri hidupnya, namun hanya 10% yang berhasil. Penyebabnya: merasa terperangkap dan tidak berdaya melepaskan diri.
  • Kebanyakan penderita yang berhasil mengakhiri hidupnya adalah laki-laki yang telah mengalami siklus sembuh-kambuh berkali-kali.
  • Sepertiga skizofrenik tidak mempan diobati.
  • Sebagian skizofrenik mengalami kemajuan setelah mencapai usia 40.
  • Permulaan penyakit muncul pada laki-laki antara usia 17-30 dan pada perempuan, antara 20-40.
Riwayat Perawatan
  • Untuk waktu yang lama, skizofrenia dianggap sebagai gangguan yang bersifat psikososial atau psikodinamik, sebagaimana dirumuskan oleh Sigmund Freud. Maksudnya, penyebab gangguan ini dianggap berasal dari masalah yang timbul pada pengasuhan anak oleh orang tuanya.
  • Pada awal abad 20, gangguan ini pertama didiagnosis sebagai gangguan fisik yang bersumber di otak oleh Emil Kraepelin, seorang psikiater di Munich University Hospital
  • Jasa Kraepelin yang besar lainnya adalah keberhasilannya membedakan dua jenis gangguan psikotik: manic-depressive nama lain dari bipolar disorder (yang dapat disembuhkan) dan skizofrenia (yang tidak dapat disembuhkan)
Sedikit Tentang Manic Depressive
  • Perubahan suasana hati yang ektrem: manik-depresif
  • Perbedaan dengan skizofrenia tidak selalu jelas
  • Kadang keduanya bersinggungan
  • Pada masa kecil ditandai dengan ledakan emosi kemarahan yang sangat besar
  • Obat pilihan: lithium (sejenis garam)
Mengapa Skizofrenia Sulit Sembuh?
  • Salah satu penyebabnya adalah dalam delusinya, ia melihat dokter atau konselor sebagai musuhnya, bukan penyakitnya itu sendiri!
  • Tidak cocok dengan obat
  • Kesulitan membedakannya dengan bipolar disorder
  • Penyebab: Kadar berlebihan dari dopamine—neurotransmitter di otak
  • Pengobatan: Menghentikan dan mengatur arus dopamine
  • Obat yang digunakan: Thorazine (chlorpomazine) dan Haldol, Risperdal (risperidone), Prolixin, Lithium, Olanzapine
Efek Sampingan Obat
  • ketegangan pada otot
  • insomnia, resah, pusing, haus
  • mengantuk, detak jantung yang cepat,
  • tekanan darah rendah, gangguan pada ginjal
  • serangan jantung (efek lithium)
Penanganan
  • Kita mesti membawa si penderita ke seorang dokter jiwa atau psikiater yang dapat memberinya obat. Tanpa bantuan obat si penderita cenderung terus berhalusinasi dan kadang memperlihatkan perilaku yang mengancam.
  • Setelah "sembuh" barulah kita dapat mengajaknya bertemu dengan seorang psikolog atau konselor untuk membantunya mengatasi stres yang dialaminya. Pada umumnya ia tidak memiliki kemampuan menanggung stres sehingga rentan kambuh sewaktu merasa tertekan.
  • Jika perilakunya tidak terkendali, alternatif terbaik adalah menempatkannya di rumah perawatan supaya ia dapat menerima pengobatan dan kita pun terlindungi darinya.
  • Pada akhirnya si penderita membutuhkan perawatan terus menerus sebab begitu obat berhenti, mulai kambuhlah ia kembali.
  • Jika kita merawatnya di rumah, kita memerlukan tenaga tambahan sebab tidak mudah hidup dengannya.
Mazmur 68:6-7 berkata, "Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di tempat kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara...." Seperti anak yatim dan seorang janda, penderita skizofrenia hidup sendirian, sebatang kara. Namun Firman Tuhan mengingatkan bahwa Tuhan tidak melupakannya. Allah adalah pelindung baginya dan Ia memberi tempat kepadanya pula.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ketika Anak Terkena Skizofrenia". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, dikaruniai anak tentu suatu kebanggaan atau sukacita tersendiri bagi keluarga dan tentunya mereka berharap bahwa anak ini akan tumbuh berkembang dengan baik seperti yang mereka harapkan. Tapi kenyataannya tidak begitu, ada yang terkena gangguan fisik atau ada juga yang terkena gangguan jiwa. Kalau kita berbicara tentang anak yang terkena gangguan skizofrenia sebenarnya apa? Karena ini sesuatu yang belum banyak diketahui dibandingkan dengan autis yang cukup banyak diketahui orang.

PG : Kalau dokter harus berkata kepada pasiennya, "Bu/Pak saya harus memberitahukan anak Bapak/Ibu terkena penyakit yang kita takuti misalnya kanker" maka saya kira tidak mudah bagi seorang dokter untuk menyampaikan berita itu. Saya juga kadang-kadang dalam pelayanan harus menyampaikan berita yang tidak enak kepada orang tua sewaktu mereka menceritakan masalah si anak dan dari cerita itu saya menyimpulkan bahwa gangguan yang diderita oleh anak itu adalah gangguan skizofrenia, itu seperti vonis yang harus diterima oleh orang tua apalagi setelah saya jelaskan sebetulnya apakah penyakit itu dan kira-kira apakah penyakit itu bisa disembuhkan atau tidak dan sebagainya dan apa dampaknya kepada si anak itu, ini adalah hal yang berat untuk disampaikan karena memang gangguan ini adalah gangguan yang berat dalam ilmu kejiwaan.

GS : Orang tua membawa anaknya kepada Pak Paul, dan Pak Paul menyatakan bahwa anak ini terkena serangan skizofrenia, sebenarnya apa yang mendorong orang tua, Pak Paul?

PG : Biasanya umumnya mereka tidak mengerti kenapa anaknya mulai menampakkan perilaku tertentu yang sebelumnya tidak dimunculkan, sebenarnya dalam kebingungan itu mereka mulai mencari tahu apa yang terjadi pada anak mereka. Baru ini saya mendapatkan telepon dari seseorang yang bercerita bahwa seseorang yang dikenalnya yang sedang studi di sebuah perguruan tinggi tiba-tiba mengalami gangguan atau gejala seperti ini, maka saya harus katakan kalau ini tampaknya gangguan skizofrenia karena yang terjadi adalah seperti itu. Jadi umumnya orang tua itu kaget sewaktu melihat gejala-gejala yang ditunjukkan oleh si anak, sehingga kita perlu memahami sebetulnya apakah yang dimaksud dengan gangguan skizofrenia itu.

GS : Apa itu Pak Paul?

PG : Kata 'Skizofrenia' berarti keterbelahan atau keterpecahan pikiran, mungkin di antara pendengar kita ada yang pernah menonton film The Beautiful Mind, yang dibintangi oleh Russel Crowe tentang seseorang yang bernama John Nash. Ini adalah sebuah kisah nyata, jadi Nash adalah seorang matematikawan yang sangat jenius di usia muda dan dia telah memeroleh gelar doktor dan mengajar di MIT (Massachusetts Institute of Technology) di Amerika Serikat, sebuah perguruan tinggi yang sangat ternama namun karier yang begitu gemilang akhirnya terganggu dan runtuh oleh gangguan skizofrenia yang dideritanya. Tadi saya sudah singgung artinya adalah keterpecahan atau keterbelahan pikiran, disebut demikian karena si penderita hidup dalam dua alam yaitu alam fantasi dan alam realitas yang nyata, masalahnya adalah si penderita tidak selalu dapat membedakan kedua alam ini. Kita juga bisa berfantasi tapi kita tahu bahwa kita berfantasi dan kita bisa keluar dari fantasi itu sehingga kita tahu ada Dunia Fantasi di Jakarta, kita bisa masuk ke Dunia Fantasi dan kita bisa keluar lagi. Demikian juga dengan kita dalam hal kesehatan jiwa kita ini, namun si penderita skizofrenia tidak lagi dapat membedakan kedua alam ini, bagi dia alam fantasi merupakan alam nyata, senyata alam realitas yang kita semua hidupi. Jadi pada akhirnya dia terpenjara di dalam dunianya sendiri. Dalam film itu dan juga dalam kehidupan nyata John Nash meyakini bahwa dia berada dalam sebuah kondisi yang mengancam jiwanya karena ada begitu banyak orang yang memata-matainya dan dia senantiasa hidup dalam ketakutan dan itu membuatnya selalu berjaga-jaga dan curiga, dalam kasus seperti ini John Nash memang menderita gangguan skizofrenia jenis paranoia karena alam fantasinya bertemakan ancaman dan bahaya.

GS : Kalau begitu penderita ini ada sesuatu yang melatarbelakangi sehingga dia terkena skizofrenia ini, Pak Paul.

PG : Gangguan ini sebetulnya gangguan yang terjadi atau bersumber di dalam otak manusia, misalnya orang berkata, "Ini karena lingkungan, karena orang tuanya mungkin kurang perhatian kepada anak dan sebagainya" itu tidak tepat karena ini sebuah gangguan yang bersumber dari otak kita sendiri. Jadi yang perlu kita ketahui adalah kita mengenali gangguan gejalanya supaya kalau ini harus terjadi kita mengetahui dengan cepat bahwa ini kira-kira masalahnya.

GS : Seperti kasusnya dalam film The Beautiful Mind, John Nash ada kaitan korelasi yang cukup jelas dengan pekerjaan yang dia tekuni.

PG : Benar tapi sebetulnya gangguannya tidak ada kaitannya dengan bidang yang ditekuninya itu, dia kebetulan ahli matematika tapi gangguan itu muncul secara mendadak di usia 20 tahun, nanti kita akan lihat ternyata gangguan ini seringkali muncul di usia-usia seperti itu. Jadi benar-benar orang tua kaget karena sebelumnya tidak terjadi apa-apa biasa-biasa saja, tapi sekarang menjadi seperti.

GS : Tapi benihnya sebenarnya dari awal atau tiba-tiba muncul, Pak Paul?

PG : Sebetulnya sudah ada. Jadi orang-orang ini sudah memiliki kelainan tapi tidak bisa diketahui pada awalnya karena tidak memunculkan diri atau tidak ada gejalanya sama sekali namun pada usia tertentu dan misalkan dengan adanya pemicu tertentu dan tidak harus berat maka muncullah semua itu. Misalkan salah satu pemicu yang seringkali menyerang dan menyebabkan munculnya gangguan ini adalah anak itu mengalami stres, misalkan dia disekolahkan di sebuah tempat dimana dia rasanya sendirian dan tidak diterima akhirnya dalam keadaan itu dia memunculkan gangguan ini. Orang kalau tidak mengerti akan berkata, "Ini dia kesepian, dia tidak bisa menghadapi lingkungan yang baru" sebetulnya bukan, itu hanya pemicu sebab kalau hanya itu penyebabnya maka ketika dia dipulangkan ke rumahnya maka dia akan kembali lagi seperti semula. Tapi tidak begitu dan dia terus memunculkan gangguan itu.

GS : Pak Paul, bagi kita orang-orang yang awam, tentunya ingin tahu apa gejala-gejala yang dialami oleh seseorang sehingga dia terserang gangguan skizofrenia itu, kita bisa golongkan sebagai itu.

PG : Ada beberapa gejala gangguannya, yang pertama adakalanya penderita skizofrenia tidak menampakkan gejala kelainan yang mencolok pada masa pertumbuhannya namun pada umumnya, pada masa pertumbuhannya penderita skizofrenia cenderung memerlihatkan gejala kelainan yang spesifik yakni kekurangterlibatan dan sekali lagi saya tekankan tidak semuanya memunculkan gejala ini tapi cukup banyak di antara mereka pada masa pertumbuhannya secara emosional tidak terlibat dan cenderung berdiam diri atau menarik diri. Misalnya beberapa perilaku yang sering dikaitkan dengan kekurangterlibatan ini atau dalam bahasa Inggris "uninvolved" yaitu tidak bersedia memberikan dirinya artinya dia susah sekali menawarkan dirinya untuk melakukan sesuatu berinisiatif, jadi kurang sekali inisiatif dalam dirinya. Atau takut direpotkan jadi sedikit-sedikit menolak, nyaman dengan dunianya atau aktifitasnya sendiri sehingga tidak suka direpoti. Satunya lagi adalah gejala "uninvolved" tidak bisa terlibat secara emosional adalah tidak suka keramaian jadi sukanya menyendiri, ini adalah beberapa perilaku yang merupakan manifestasi dari ketidakterlibatannya dia secara emosional dengan lingkungan.

GS : Orang yang egois juga menampilkan tanda-tanda seperti ini, Pak Paul.

PG : Memang untuk bisa mendiagnosis gejala seperti ini tidak cukup hanya satu saja, ini hanya salah satu gejalanya. Nanti untuk kita bisa berkata si penderita ini mengalami gangguan skizofrenia, ada beberapa gejala lain yang juga harus kita lihat dalam dirinya.

GS : Apa itu misalnya?

PG : Salah satunya adalah tidak bisa menguasai emosi. Jadi kadang kita berpikir orang yang menderita gangguan skizofrenia itu pasti diam saja, ternyata tidak. Sebagian memang memunyai emosi yang sangat labil misalnya dia mudah sekali marah, mengamuk atau hiperaktif tidak bisa diam, jalan putar-putar dan bolak-balik, atau hipersensitif terhadap lingkungan jadi tidak suka dengan yang namanya suara atau bunyi. Sangat peka seolah-olah panca inderanya menjadi sangat peka, jadi dia bereaksi sekali terhadap apa yang dicerna lewat panca indera.

GS : Hal itu berlangsung terus menerus atau sesaat saja, Pak Paul?

PG : Biasanya bisa panjang, jadi emosinya yang labil bisa muncul kalau apa yang diingininya tidak didapatinya, kalau semuanya berjalan sesuai kehendaknya maka tidak terjadi masalah, tapi kalau ada sesuatu yang tidak diinginkannya maka dia bisa marah. Itu adalah salah satu penyebabnya. Atau misalnya dia juga memang memunyai banyak kemarahan sebelum dia benar-benar terlepas dan masuk ke dalam dunia fantasinya, misalnya dia dibesarkan oleh seorang ayah atau ibu yang tidak bersikap baik kepadanya pada masa-masa sebelumnya bisa jadi dalam gangguan ini dia memunculkan begitu banyak kemarahan sebab sedikit-sedikit dia akan mengira bahwa orang ini adalah ibu atau bapaknya yang telah bersikap buruk kepadanya, di dalam alam fantasinya dia sungguh-sungguh melihat ini adalah ancaman sehingga dia menjadi marah dan dia bisa ingat karena bagi dia ini adalah orang yang pernah menyakiti dia.

GS : Apakah ada gejala yang lain, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah istilahnya Hipokondriak. Ini adalah istilah menuju kepada orang yang merasa sakit kiri kanan, yang ini sakit yang itu juga sakit padahal tidak sakit, jadi mudah sekali mengeluh tentang sakit. Bisa juga penderita skizofrenia mengeluhkan sakit-sakit pada tubuhnya, dia mungkin mengatakan dia akan mati misalnya ginjalnya sakit dan lain-lain, padahalnya tidak ada penyakit apa-apa.

GS : Tapi seorang anak yang takut datang ke sekolah juga menampilkan gejala seperti itu misalnya tiba-tiba sakit perut, tiba-tiba badannya panas.

PG : Itu adalah reaksi kecemasan, anak dalam kondisi takut akhirnya tubuhnya tidak bisa menahan rasa takut itu dan terkenalah dia. Jadi ada bedanya antara yang kita sebut Hipokondriak dengan gangguan psikosomatik. Kalau gangguan psikosomatik benar-benar orang itu sakit namun penyebabnya adalah psiko alias kejiwaan, jadi masalah dalam kejiwaan misalnya kecemasan yang paling umum memunculkan penyakit tertentu. Jadi benar-benar suatu penyakit. Kalau Hipokondriak berbeda, dia tidak apa-apa tapi rasanya sakit, sedikit-sedikit mengeluh ini dan itu padahalnya dalam tubuhnya tidak ada yang sakit.

GS : Gejala yang lain apa, Pak Paul?

PG : Gejala yang lain yang kita sebut Obsessif-Kompulsif jadi artinya Obsessif itu terobsesi dan Kompulsif itu artinya mau melakukan sesuatu. Jadi dia terpaku pada suatu pemikiran tertentu dan untuk menghilangkannya dia harus melakukan perbuatan tertentu hingga dia terjebak ke dalam siklus ritual yang tidak ada. Jadi misalnya contoh yang ada di film The Beautiful Mind dia membangun sebuah tempat persembunyian karena dia merasa kalau dia akan diserang, itu adalah obsesinya, jadi dia tidak bisa melepaskan pikirannya yang akan diserang, jadi untuk dia bisa melindungi diri dia harus membangun benteng. Jadi orang-orang yang menderita skizofrenia juga sering kali memunculkan gangguan ini yaitu terpaku pada suatu pemikiran tertentu, dia harus begini dan begini sehingga dia harus melakukan sesuatu untuk bisa mengurangi atau menghilangkan gangguannya tersebut.

GS : Ada orang kalau malam hari terus memeriksa pintu-pintu rumahnya, khawatir kalau nanti ada pencuri masuk dan sebagainya, dan itu dilakukan tiap kali bukan hanya dirinya sendiri tapi dia akan menyuruh orang lain misalnya istri atau anak-anaknya. Apakah hal itu bisa menjadi gejala awal?

PG : Tidak. Jadi kita itu memisahkan antara gangguan Obsessif-Kompulsif dengan gangguan skizofrenia namun di dalam gangguan skizofrenia seringkali ada unsur Obsessif-Kompulsif tapi Obsessif-Kompulsif bisa menjadi terpisah yang tidak seserius skizofrenia karena dia masih bisa berfungsi dan sebagainya. Namun dalam gangguan skizofrenia payungnya besar sehingga dalam payung yang besar itu ada gangguan Obsessif-Kompulsif, jadi misalkan dia merasa dia sedang diawasi oleh tetangga di depannya maka dia akan benar-benar mengawasi tetangganya sebab dia merasa tetangganya akan mencelakakannya, dia akan terus mengawasi, kalau ditanya, "Mengapa kamu terus mengawasi dia?" dan dia bisa berkata, "Sebab kalau saya tidak menatap, saya nanti akan diserang jadi saya harus menatap dan dia tidak berani apa-apa" itu yang disebut Obsessif-Kompulsif terpaku pada satu pemikiran tertentu, jadi dia harus berperilaku tertentu supaya bisa mengurangi ancaman tersebut.

GS : Apakah itu bukan kekhawatiran yang berlebihan, Pak Paul?

PG : Benar, jadi orang yang menderita skizofrenia seringkali dikuasai oleh ketakutan yang sangat besar, jadi dia memunyai gangguan dilusi atau pemikiran atau anggapan yang tidak realitas, mereka menganggap bahaya ada orang yang mau mencelakakan saya, atau kadang-kadang mereka juga memunyai konsep bahwa mereka itu hebat, mereka itu bisa melakukan banyak hal. Saya masih ingat dalam sebuah kasus yang pernah saya tangani, dia berkata bahwa dia adalah Yesus Kristus padahalnya dia adalah seorang manusia biasa. Jadi konsep dirinya tiba-tiba bisa begitu besar sekali.

GS : Tapi bagi kita yang awam ini kadang-kadang orang yang seperti itu kita sebut gila.

PG : Betul. Inilah yang mungkin terjadi pada banyak orang yang kita lihat di jalanan yang tidak mandi, yang rambutnya panjang dan sebagainya, dapat dipastikan mereka semua terkena gangguan skizofrenia ini. Jadi salah satu gejala lainnya juga adalah pikirannya kacau, orang—orang ini benar-benar pikirannya campur aduk dan berjalan dalam kecepatan yang tinggi sehingga membuatnya tersiksa dan pikirannya seperti punya motor tersendiri, tidak bisa dikuasai lagi, dan juga rasa takutnya yang begitu besar. Jadi benar-benar bagi si penderita ini sebuah kondisi yang menyiksa, bayangkan kalau pikiran kita kacau, campur aduk berjalan cepat dan kita ketakutan kalau ada bahaya yang mengancam.

GS : Kalau kita melihat penampilan dirinya bagaimana, Pak Paul?

PG : Biasanya penampakan wajahnya itu datar. Kalau kita bisa tersenyum dan sebagainya tapi kalau mereka seperti kertas, hampa emosi kadang-kadang seolah-olah tidak ada reaksi apa-apa dan kadang-kadang kalau dia mengekspresikan perasaannya itu tidak tepat, misalnya orang sedang serius dia tertawa atau sama sekali dia tidak ada ekspresi perasaan sama sekali seperti kertas. Dan kalau dia bicara juga seringkali sukar dicerna karena tidak nyambung, lompat-lompat dan kadang-kadang dia berhenti bicara, diam saja.

GS : Tapi sekali berbicara bisa panjang dan tidak berhenti-berhenti.

PG : Iya.

GS : Kita tidak bisa mengerti apa yang dia bicarakan sebenarnya.

PG : Kadang bisa seperti itu, dia bisa bicara tentang hal-hal yang tidak ada. Saya masih ingat waktu saya bekerja di Rumah Sakit Jiwa, pasien ini bisa bicara dengan televisi, jadi televisi sedang menyala dan dia juga bicara terus dan dia bicara dengan begitu serius karena bagi dia, dia sedang berbicara. Saya tanya, "Kamu sedang apa?" dan dia menjawab, "Saya sedang bicara dengan orang ini" padahal televisinya sedang bicara. Jadi pikirannya itu bagi kita sangat aneh tidak masuk akal dan dia bicara dengan orang dalam televisi atau dia beranggapan ada orang bisa masuk ke dalam otaknya menaruh alat perekam, dia tidak boleh bicara dan berpikir karena nanti ada orang bisa menyadap pemikirannya, karena ada orang menaruh alat perekam dalam otaknya. Jadi pemikirannya sangat aneh dan akhirnya kita melihat kebanyakan tidak lepas dari realitas, dia akan bicara sendiri dan kita bisa tahu dia mulai hidup dalam dunianya sendiri karena dia sendiri melihat hal-hal yang tidak kita lihat dan dia sungguh-sungguh melihat dan mencium bau atau suara tertentu. Dia bisa mendengarnya berbeda dengan kita, dan sungguh-sungguh alam pemikirannya bukanlah bau yang sesungguhnya, suara-suara ini tidak seperti itu, jadi bisa berbeda dengan kita. Kita bisa mengerti dia bisa bereaksi dengan begitu berbeda karena panca inderanya menangkap juga lain.

GS : Kalau kita ajak bicara apakah dia bisa menangkap kata-kata yang kita ucapkan, Pak Paul?

PG : Bicara dengan mereka kebanyakan pada awalnya bisa nyambung misalnya kita tanya, "Kamu umur berapa?" dan dia bisa menjawab misalnya, "Dua puluh satu" dan kemudian kita bicara yang lain, nah di situ sudah mudah berantakan tapi ada juga orang yang memang tidak bisa lagi, ya diam saja. Jadi misalkan kita melihat orang-orang di jalanan yang tidak mandi dan pakaiannya tidak ada, rambutnya panjang, itu sulit kita ajak bicara. Dalam kasus seperti mereka tidak ada yang bisa kita ajak bicara, tenggelam dalam dunianya.

GS : Sebenarnya, jumlah penderita skizofrenia itu banyak atau tidak, Pak Paul?

PG : Sebenarnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan gangguan lain, tapi kita harus mengerti beberapa hal tentang mereka ini. Misalnya ini menurut data tahun 1960 separuh dari penderita skizofrenia berusaha mengakhiri hidupnya dan hanya 10% yang berhasil. Kenapa mereka mau mengakhiri hidupnya karena merasa terperangkap dan tidak berdaya melepaskan diri, kenapa tahunnya 1960 karena sejak saat itu kemajuan obat sudah sangat canggih sehingga banyak yang tertolong, tidak lagi sampai merasa tidak berdaya melepaskan diri. Dan yang kita juga perlu ketahui adalah kebanyakan penderita yang berhasil mengakhiri hidupnya adalah laki-laki yang telah mengalami siklus sembuh kambuh berkali-kali, jadi mereka bisa mengerti kalau dirinya terperangkap dan tidak bisa lepas, akhirnya mengalami depresi dan mau membunuh dirinya.

GS : Kambuhnya itu karena pengobatan atau perawatan yang belum tuntas atau karena ada sesuatu tekanan emosi yang baru, Pak Paul?

PG : Memang mencari obat yang cocok bagi mereka juga tidak mudah jadi ada sejumlah obat-obatan yang digunakan yang disebut dengan anti psikotik, itu juga harus dicocokkan karena kalau tidak cocok akan membawa reaksi yang kebalikannya. Jadi memang tidak mudah dan menurut data kira-kira sepertiga dari mereka tidak bisa diobati, akhirnya diberi obat apa pun tidak efektif. Namun ada satu berita yang cukup menyejukkan hati, ternyata sebagian skizofrenia mengalami kemajuan setelah usia 40an, jadi semakin mereka tua makin tenang. Ada orang yang saya kenal, pada waktu masih muda jauh lebih gawat atau agresif sekali dan sekarang usia paruh baya memang menurun, dia lebih tenang dan sebagainya, mungkin sama seperti kita makin tua kita tidak terlalu energetik.

GS : Tapi apakah itu berarti dia sudah sembuh, Pak Paul?

PG : Belum. Jadi tetap gangguannya ada namun gangguan itu tidak memunculkan gejala yang separah pada waktu dia lebih muda.

GS : Pak Paul, misalnya ada suatu peristiwa yang berskala nasional misalnya kebangkrutan, jadi ada masalah ekonomi. Kadang-kadang banyak korbannya, orang-orang jadi lebih banyak yang terkena skizofrenia ini daripada kalau tidak ada kejadian seperti itu.

PG : Sebetulnya menurut saya tidak. Kalau dalam kondisi seperti itu paling orang menderita depresi, terhadap reaksi tekanan hidup yang besar orang mengalami depresi, kehilangan semangat hidup, putus asa dan sebagainya. Tapi kalau skizofrenia bukan. Kalau skizofrenia itu jarang disebabkan oleh tekanan dalam hidup. Yang kita perlu ketahui juga adalah kapan usia mereka memunculkan gejala ini, ternyata pada laki-laki antara usia 17-30 tahun. Jadi sampai usia 30 tahunan laki-laki masih bisa terkena gangguan ini sedangkan pada perempuan di antara usia 20-40 tahun; jadi intinya pada usia-usia dewasa awal atau remaja akhir.

GS : Kalau anggota keluarga kita ada yang mengalami hal seperti itu, perawatan apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Biasanya kita langsung harus membawanya ke dokter jiwa yaitu psikiater karena kalau tidak, mereka tidak bisa menguasai pikirannya, kita tidak bisa memberitahu dia seperti ini dan seperti itu, karena dia sendiri tidak bisa menguasai pikirannya. Pikirannyalah yang menguasai dia dan pikirannya adalah pikiran yang ngelantur, hidup dalam alam fantasi.

GS : Di beberapa tempat orang-orang seperti ini biasanya dipasung kakinya diikat, apakah ini menolong, Pak Paul?

PG : Tidak, itu hanya untuk membatasi ruang gerak mereka dan sudah tentu hal yang tidak manusiawi, sebetulnya riwayat pengobatan mereka sangat beragam dan seringkali cukup kasihan; bahkan di masa lampau di negara Amerika dan Eropa kepalanya dilobangi karena dianggap bahwa itulah penyebabnya dan cara menanganinya seperti itu. Jadi kasihan sekali.

GS : Mungkin ada ayat yang ingin Pak Paul bacakan?

PG : Kita semua menginginkan kehidupan yang lurus, yang baik dan tidak macam-macam tapi kadang-kadang kita dikagetkan dengan berita yang telah kita bahas yaitu anak kita terkena gangguan skizofrenia, maka tidak bisa tidak, kita akan takut dan inilah waktunya kita datang kepada Tuhan dan ingatlah firman Tuhan yang tercatat di 1 Petrus 5:7, "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu". Jadi kita juga meyakini anak kita pun dipelihara oleh Tuhan dan Tuhan tidak meninggalkannya, jadi kita tetap berserah kepada Tuhan untuk menolong kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketika Anak Terkena Skizofrenia" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



22. Ketika Anak Terkena Skizofrenia 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T356B (File MP3 T356B)


Abstrak:

Memiliki anak yang berbeda dari anak-anak lainnya, bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika anak terkena skizofrenia, itu menjadi guncangan berat bagi para orang tua. Oleh karena itu di sini kita akan mengenal lebih jauh mengenai skizofrenia dan bagaimana untuk bisa menolong anak yang terkena skizofrenia.


Ringkasan:

Salah satu berita terburuk yang kadang mesti didengar oleh orang tua adalah bahwa anak yang dikasihinya terkena gangguan skizofrenia. Berikut akan dipaparkan beberapa hal tentang gangguan ini serta beberapa masukan untuk menghadapinya.

Apakah Skizofrenia?

Mungkin masih jelas di benak kita tentang film "The Beautiful Mind" yang dibintangi oleh Russel Crowe tentang kisah nyata seseorang bernama John Nash. Nash adalah seorang matematikawan yang jenius. Di usia yang sangat muda ia telah memperoleh gelar doktor dan mengajar di MIT(Massachusetts Institute of Technology), perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Namun karier yang begitu gemilang akhirnya terganggu dan runtuh oleh gangguan skizofrenia yang dideritanya.

Pada dasarnya istilah skizofrenia berarti keterpecahan atau keterbelahan pikiran. Disebut demikian sebab si penderita hidup dalam dua alam yaitu alam fantasi dan alam realitas yang nyata. Masalahnya adalah si penderita tidak selalu dapat membedakan kedua alam ini. Baginya alam fantasi merupakan alam nyata, senyata alam realitas yang kita semua hidupi. Pada akhirnya ia terpenjara di dalam dunianya sendiri.

Di dalam film itu—dan juga dalam kehidupannya—John Nash meyakini bahwa ia berada dalam sebuah kondisi yang mengancam jiwanya sebab ada begitu banyak orang yang memata-matainya. Akhirnya ia senantiasa hidup dalam ketakutan dan ini membuatnya selalu berjaga-jaga dan curiga. Di dalam kasus ini John Nash menderita gangguan skizofrenia jenis paranoia karena alam fantasinya bertemakan ancaman dan bahaya.

Gejala Gangguan
  1. Adakalanya penderita skizofrenia tidak menampakkan gejala kelainan yang mencolok pada masa pertumbuhannya. Namun pada umumnya pada masa pertumbuhannya penderita skizofrenia cenderung memerlihatkan gejala kelainan yang spesifik yakni kekurangterlibatan (uninvolved). Berikut akan dipaparkan beberapa perilaku yang kerap dikaitkan dengan kekurangterlibatan antara lain : tidak bersedia memberikan dirinya, takut direpotkan, tidak suka keramaian
  2. Tidak dapat menguasai emosi—marah, mengamuk, hiperaktif, hipersensitif terhadap lingkungan.
  3. Hipokondriak: mengeluhkan sakit penyakit kendati sebenarnya ia tidak menderita penyakit apa pun.
  4. Obsesif-Kompulsif: terpaku pada suatu pemikiran tertentu dan untuk menghilangkannya ia harus melakukan suatu perbuatan tertentu sehingga ia terjebak ke dalam siklus ritual yang tidak ada akhirnya.
  5. Delusi—pemikiran atau anggapan yang tidak berlandaskan realitas. Pada umumnya tema utama delusi ini adalah persecutory (dianiaya atau dicelakakan) dan grandiose (pandangan atau konsep diri yang berlebihan secara tidak realistik).
  6. Penuh kekacauan dan ketakutan—pikirannya begitu campur aduk dan kacau serta berjalan dengan kecepatan tinggi membuatnya sungguh tersiksa. Apalagi bila ditambah dengan rasa takut yang irasional, semua ini dengan cepat menciptakan sebuah kondisi yang sangat menyiksa.
  7. Penampakan wajah yang datar, hampa emosi (blunted affect)—seakan-akan ia adalah secarik kertas kosong.
  8. Ekspresi perasaan yang tidak tepat atau hilangnya ekspresi perasaan sama sekali.
  9. Bicaranya sukar dicerna atau malah lenyap sama sekali
  10. Terus berkutat pada pemikiran yang aneh, misalkan beranggapan bahwa seseorang tengah menyadap pikirannya atau bahwa ia adalah Juruselamat dunia.
  11. Terlepas dari realitas: melihat perubahan pada penampakan, suara, atau bau tertentu.
Data Tentang Skizofrenia
  • Pada tahun 1960, separuh dari penderita skizofrenia mencoba mengakhiri hidupnya, namun hanya 10% yang berhasil. Penyebabnya: merasa terperangkap dan tidak berdaya melepaskan diri.
  • Kebanyakan penderita yang berhasil mengakhiri hidupnya adalah laki-laki yang telah mengalami siklus sembuh-kambuh berkali-kali.
  • Sepertiga skizofrenik tidak mempan diobati.
  • Sebagian skizofrenik mengalami kemajuan setelah mencapai usia 40.
  • Permulaan penyakit muncul pada laki-laki antara usia 17-30 dan pada perempuan, antara 20-40.
Riwayat Perawatan
  • Untuk waktu yang lama, skizofrenia dianggap sebagai gangguan yang bersifat psikososial atau psikodinamik, sebagaimana dirumuskan oleh Sigmund Freud. Maksudnya, penyebab gangguan ini dianggap berasal dari masalah yang timbul pada pengasuhan anak oleh orang tuanya.
  • Pada awal abad 20, gangguan ini pertama didiagnosis sebagai gangguan fisik yang bersumber di otak oleh Emil Kraepelin, seorang psikiater di Munich University Hospital
  • Jasa Kraepelin yang besar lainnya adalah keberhasilannya membedakan dua jenis gangguan psikotik: manic-depressive nama lain dari bipolar disorder (yang dapat disembuhkan) dan skizofrenia (yang tidak dapat disembuhkan)
Sedikit Tentang Manic Depressive
  • Perubahan suasana hati yang ektrem: manik-depresif
  • Perbedaan dengan skizofrenia tidak selalu jelas
  • Kadang keduanya bersinggungan
  • Pada masa kecil ditandai dengan ledakan emosi kemarahan yang sangat besar
  • Obat pilihan: lithium (sejenis garam)
Mengapa Skizofrenia Sulit Sembuh?
  • Salah satu penyebabnya adalah dalam delusinya, ia melihat dokter atau konselor sebagai musuhnya, bukan penyakitnya itu sendiri!
  • Tidak cocok dengan obat
  • Kesulitan membedakannya dengan bipolar disorder
  • Penyebab: Kadar berlebihan dari dopamine—neurotransmitter di otak
  • Pengobatan: Menghentikan dan mengatur arus dopamine
  • Obat yang digunakan: Thorazine (chlorpomazine) dan Haldol, Risperdal (risperidone), Prolixin, Lithium, Olanzapine
Efek Sampingan Obat
  • ketegangan pada otot
  • insomnia, resah, pusing, haus
  • mengantuk, detak jantung yang cepat,
  • tekanan darah rendah, gangguan pada ginjal
  • serangan jantung (efek lithium)
Penanganan
  • Kita mesti membawa si penderita ke seorang dokter jiwa atau psikiater yang dapat memberinya obat. Tanpa bantuan obat si penderita cenderung terus berhalusinasi dan kadang memperlihatkan perilaku yang mengancam.
  • Setelah "sembuh" barulah kita dapat mengajaknya bertemu dengan seorang psikolog atau konselor untuk membantunya mengatasi stres yang dialaminya. Pada umumnya ia tidak memiliki kemampuan menanggung stres sehingga rentan kambuh sewaktu merasa tertekan.
  • Jika perilakunya tidak terkendali, alternatif terbaik adalah menempatkannya di rumah perawatan supaya ia dapat menerima pengobatan dan kita pun terlindungi darinya.
  • Pada akhirnya si penderita membutuhkan perawatan terus menerus sebab begitu obat berhenti, mulai kambuhlah ia kembali.
  • Jika kita merawatnya di rumah, kita memerlukan tenaga tambahan sebab tidak mudah hidup dengannya.
Mazmur 68:6-7 berkata, "Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di tempat kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara...." Seperti anak yatim dan seorang janda, penderita skizofrenia hidup sendirian, sebatang kara. Namun Firman Tuhan mengingatkan bahwa Tuhan tidak melupakannya. Allah adalah pelindung baginya dan Ia memberi tempat kepadanya pula.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Ketika Anak Terkena Skizofrenia". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, karena perbincangan kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu maka supaya para pendengar bisa mengikuti perbincangan ini secara lengkap mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat perbincangan kita yang lampau.

PG : Kita berbicara tentang sebuah gangguan yang disebut skizofrenia, itu adalah gangguan yang berasal dari sebuah kata yang berarti keterbelahan atau keterpecahan pemikiran artinya adalah si penderita hidup dalam dua alam, alam yang nyata dan alam fantasi. Masalahnya adalah waktu dia berada dalam alam fantasi dia tidak menyadari kalau dia ada dalam alam fantasi. Kita semua bisa masuk ke dalam alam fantasi tapi kita bisa keluar karena kita tahu ini alam fantasi, bukan alam nyata. Tapi penderita skizofrenia berbeda, yang dia bayangkan sangat nyata buat dia. Jadi misalkan dia membayangkan dirinya sebagai kuda yang terbang maka dia benar-benar beranggapan sebagai kuda yang terbang, kalau dia percaya dia adalah mesias, juruselamat maka dia percaya kalau dia adalah mesias juruselamat, atau dia merasa ada orang-orang yang mau mencelakakan dia dan bagi dia itu sungguh nyata kalau ada yang akan mencelakakan dia maka rasa takutnya nyata, atau rasa marahnya terhadap sesuatu adalah nyata padahal tidak ada yang membuatnya marah tapi dia bisa marah sendiri. Maka gangguan skizofrenia memang bisa membuat orang beremosi labil, dia kadang bisa mengamuk. Saya masih ingat istri saya waktu di Jakarta sedang jalan setelah mengantar anak sekolah, ada seorang yang berpenyakit jiwa di pinggir jalan lewat, istri saya berpikir hal itu biasa karena mereka sering berlalu lalang, tiba-tiba dia langsung memukul kepala istri saya. Inilah kira-kira yang terjadi karena mereka dikuasai oleh fantasi khayalan bahwa ini apalah dan sebagainya, jadi dalam bayangannya mungkin saja kepala istri saya mungkin seperti monster yang akan menyerang dia atau mengingatkan dia kepada orang mungkin mirip dengan orang yang dia benci dan sebagainya sehingga dia harus memukulnya. Kalau ini menyerang anak kita maka ini akan sangat menyusahkan kita semua.

GS : Apa yang telah dialami oleh istri bapak, itu juga pernah saya alami langsung. Jadi waktu ada lampu lalu lintas warna merah, saya berhenti di perempatan jalan dan kemudian dari belakang tanpa saya tahu punggung saya dipukul dengan alat pemukul. Setelah saya lihat orangnya adalah orang gila, maka saya tidak bisa membalas apa-apa hanya cepat-cepat saja melanjutkan perjalanan dan lampu sudah hijau. Tapi kadang-kadang kita melihat orang dari penampilannya, ada orang yang berpura-pura gila tapi ada orang yang betul-betul gila. Pada pembicaraan yang lalu Pak Paul menyebutkan ada beberapa gejala yang begitu banyak dan kalau satu saja gejala yang nampak maka Pak Paul katakan belum tentu orang itu skizofrenia. Gejala-gejala yang paling umum apa, Pak Paul?

PG : Misalnya adalah anak-anak ini sejak kecil cenderung menarik diri dan tidak mau terlibat dalam pergaulan dan tidak mau terlalu menunjukkan emosi, cenderung emosinya tersimpan dalam dirinya, kemudian nanti kita melihat emosinya yang tidak labil dan kita juga melihat nantinya dia mulai berbicara sendiri, mulai melihat sesuatu yang orang tidak lihat dan mulai memunyai pemikiran yang aneh bahwa dia sepertinya orang yang sangat hebat atau dia sedang dikejar-kejar oleh bahaya. Ini adalah beberapa gejala umum yang dialami penderita skizofrenia.

GS : Ada orang yang berkhayal, berfantasi macam-macam seperti itu. Sebenarnya dari mana asalnya fantasi itu?

PG : Memang otak kita memunyai kemampuan untuk membayangkan sesuatu yang memang tidak ada dalam dunia nyata ini makanya dari situlah muncul kreatifitas tapi semua orang yang sedang mengekspresikan daya ciptanya itu tahu bahwa ini semuanya masih dalam tahap pemikiran dia, tapi seorang yang terkena gangguan skizofrenia tidak mengetahui hal itu, dia sungguh-sungguh meyakini berada dalam alam tersebut.

GS : Berapa banyak orang-orang yang menderita skizofrenia ini menurut hasil penelitiannya?

PG : Sebenarnya kita tidak tahu hasilnya dengan pasti, jadi secara umum saja diperkirakan antara 1 atau 2% dari populasi umum, memang tidak terlalu banyak. Dari semua gangguan jiwa sebetulnya ini relatif sedikit di antara gangguan yang umum yaitu depresi dan depresi lebih banyak, gangguan seperti kecemasan itu juga sangat tinggi atau misalnya yang lain juga Obsesif-kompulsif itu juga gangguan yang lumayan banyak. Jadi gangguan skizofrenia sendiri dibandingkan dengan gangguan yang lain relatif lebih sedikit.

GS : Itu sebabnya Alkitab banyak cerita tentang kekhawatiran supaya kita bisa menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan. Kalau saja orang bisa menyerahkan kekhawatirannya kepada Tuhan secara utuh, maka saya rasa penderita skizofrenia makin lama akan semakin menurun.

PG : Masalahnya adalah sebetulnya penyebabnya bukan karena dia cemas atau ketakutan, tapi benar-benar semua berasal dari dalam otaknya. Jadi dalam otak kita ada sebuah kimiawi yang disebut dopamine, dopamine itu kalau kelebihan memang memunculkan gejala-gejala skizofrenia ini. Maka akhirnya yang dilakukan adalah memberikan obat supaya suplainya dopamine ini dihalangi dan ternyata untuk sebagian besar kasus skizofrenia sewaktu cocok obatnya ternyata dopamine bisa dikurangi sehingga akhirnya gejala skizofrenia itu bisa dikurangi.

GS : Pak Paul, kenapa kita sering menyebutnya ini gangguan jiwa dan bukan gangguan fisiknya?

PG : Karena kita tidak bisa melihat penyakitnya, sebetulnya badannya normal saja dan kita tidak bisa melihat sakitnya apa, memang yang sakit adalah pemikirannya dan bukan perasaannya. Pemikirannya itu muncul dari otaknya dan semua ini diatur oleh otak ini. Kadang-kadang kita mendengar istilah "chemical imbalance" ketidakseimbangan kimiawi. Yang dimaksud adalah mestinya level dopamine terlalu tinggi akhirnya muncullah gejala skizofrenia itu.

GS : Tetapi kalau ada hormon-hormon dalam tubuh kita yang tidak seimbang lagi memang menimbulkan gejala seperti itu, badan merasa tidak nyaman, emosi kita labil. Hal-hal itu bisa terjadi, Pak Paul?

PG : Betul. Sudah tentu ada kesatuan antara tubuh dengan jiwa kita. Jadi kalau ada sesuatu yang tidak beres maka nanti semua bisa terpengaruhi.

GS : Kalau riwayat perawatan dari orang-orang yang terkena skizofrenia ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Untuk waktu yang lama skizofrenia dianggap sebagai gangguan yang bersifat psikososial artinya disebabkan oleh lingkungan, keluarga dan sebagainya sebagaimana dirumuskan oleh Sigmund Freud, dia adalah seorang yang memelopori psikologi modern. Jadi dengan kata lain, diduga penyebab awalnya adalah masalah yang timbul pada pengasuhan anak oleh orang tuanya. Jadi gampang diputuskan kalau mau bereskan masalah ini maka bereskanlah pola asuh terhadap anak. Sederhana, tapi akhirnya disadari bahwa ternyata bukan itu penyebabnya. Pada awal abad ke 20 gangguan ini pertama didiagnosis sebagai gangguan fisik yang bersumber di otak oleh seorang psikiater di Munich University Hospital, yaitu Emil Kraepelin dialah yang melihat bahwa hal ini bukan karena salah asuh orang tuanya, tapi penyakit ini bersumber di dalam otaknya. Jasa Kraepelin yang juga besar adalah keberhasilannya membedakan dua jenis gangguan psikotik yang mirip, selain skizofrenia ada juga gangguan yang lain yang mirip dengan skizofrenia yaitu yang sering disebut dengan nama 'manic-depressive' nama lain dari bipolar disorder. Jadi nanti akan kita lihat apa ciri-cirinya sehingga kita bisa membedakannya dari gangguan skizofrenia ini.

GS : Tapi sampai sekarang banyak orang yang berpendapat bahwa kalau ada anggota keluarganya yang skizofrenia yang seringkali disebut gila, orang akan meruntut ke generasi sebelumnya. "Apakah ada keturunan atau nenek moyangnya yang terkena penyakit seperti ini", begitu Pak Paul.

PG : Ada pengaruhnya. Jadi gangguan skizofrenia ini adalah sebuah gangguan yang bisa ditelusuri pada salah seorang kakek nenek kita. Hanya kita harus mengerti apa maksudnya waktu orang berkata, "Apakah ada faktor keturunan?". Sebagian penyakit fisik juga punya faktor keturunan atau genetik misalkan kalau orang tua kita menderita diabetes maka kita juga harus hati-hati, atau hipertensi kita juga harus hati-hati. Jadi ada beberapa penyakit yang memunyai kaitannya dengan faktor keturuan, salah satunya juga yang disadari adalah kanker, jadi penderita kanker seringkali ditanya apakah papa atau mamanya menderita kanker. Tapi bedanya dengan gangguan seperti skizofrenia atau gangguan jiwa lainnya, faktor keturunan meskipun ada namun kekuatannya itu jauh di bawah gangguan fisik yang lainnya itu. Jadi waktu kita berkata, "Ada faktor keturunan" namun pada gangguan jiwa faktor keturunan tidak sekuat gangguan fisik, bila dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya, kalau kita memunyai keturunan yang menderita gangguan ini kemungkinan yang kita kena sedikit lebih tinggi daripada orang pada umumnya. Namun ini tidak berarti, pasti kena, karena faktor itu tidak sekuat gangguan fisik lainnya jadi relatif lemah. Namun kalau ditanya apakah ada faktor kemungkinannya, ada meskipun tidak terlalu besar faktornya.

GS : Tadi Pak Paul menampilkan suatu pernyataan yang mengatakan bahwa ada orang yang mengalami gejala seperti pasien skizofrenia ini tapi sebenarnya bukan. Itu apa, Pak Paul?

PG : Itu gangguan disebutnya 'manic-depressive' atau 'bipolar disorder' ini adalah sebuah gangguan suasana hati. Jadi perasaannya itu naik turun dan naik turunnya ekstrem sekali, kalau manik itu bisa di puncak dan depresif berarti di bawah sekali. Jadi kadang-kadang mereka misalnya beranggapan mereka punya kemampuan khusus, bisa begini dan begitu atau nanti bisa depresi berat dan waktu dia terkena gangguannya memang bisa berhalusinasi sama seperti skizofrenia namun bedanya adalah kalau skizofrenia cenderung lebih permanen dan manic-depressive tidak permanen dalam pengertian kalau diberikan obat yang pas maka gejala itu akan hilang lebih cepat lagi. Kadang-kadang keduanya susah dibedakan karena keduanya tidak terlalu jelas, namun yang kita perlu ketahui adalah orang-orang yang menderita manic-depressive pada masa kecilnya sudah mulai menampakkan ciri-cirinya, salah satunya adalah yang sekarang disadari yaitu anak-anak yang nantinya mengembangkan manic-depressive adalah anak-anak kalau marah akan menampakkan kemarahannya dengan mengerikan sekali. Ada anak-anak kecil dia bisa marah dan marahnya mengerikan sekali sehingga tidak bisa ditangani oleh orang tuanya, anak-anak ini waktu ditelusuri setelah besarnya ternyata ada di antara mereka yang mengidap gangguan manic-depressive ini. Jadi waktu sedang kambuh maka mirip dengan skizofrenia, bicaranya melantur dan berhalusinasi namun karena gangguan ini sebetulnya adalah karena berkurangnya lithium di dalam otaknya. Lithium sebenarnya sejenis garam, jadi kalau lithium itu berkurang maka muncullah manic-depressive makanya kalau disuntikkan obat yang mengandung lithium dan diseimbangkan maka dia juga akan relatif bisa hidup normal.

GS : Ada orang yang menyangka hal itu karena pengaruh film di TV atau sebagainya yang memunculkan kekerasan dan menimbulkan banyak fantasi pada anak-anak.

PG : Ternyata bukan karena kalau anak-anak ini memunculkan kemarahan yang begitu mengerikan memang benar-benar besar sekali. Anak-anak memang bisa marah, dia berguling-guling dilantai. Tapi orang-orang atau anak-anak yang memunculkan gejala manic-depressive tidak seperti itu, jadi kemarahannya bisa sangat luar biasa.

GS : Sebenarnya pasien skizofrenia ini bisa sembuh atau tidak, Pak Paul?

PG : Memang tidak mudah sembuh, misalnya salah satu penyebabnya adalah di dalam pemikirannya yang penuh dengan khayalan itu dia justru melihat si dokter atau si konselor sebagai musuh, harusnya dia melihat penyakitnya sebagai musuh, tapi dia melihat si dokter sebagai musuh. Jadi obat yang harus dimakan dia buang atau dia sembunyikan di bawah lidahnya karena dia anggap ini sebagai musuh yang akan mencelakakan dirinya. Atau kenapa susah karena untuk cocok dengan obat juga tidak mudah, jadi kadang-kadang orang harus menukar-nukar obat beberapa kali sampai nanti ketemu yang pas. Saya sudah sebutkan adakalanya susah membedakan gangguan manic-depressive atau bipolar disorder itu sehingga akhirnya tidak diberikan obat yang tepat karena dianggap ini manic-depressive, diberikan obat untuk manic-depressive jadi diberikan obat untuk depresinya padahalnya gangguannya adalah skizofrenia. Kita sudah bahas penyebabnya adalah kadar berlebihan dari dopamine, yang memang ada dalam otak kita yang disebut neurotransmitter di otak, jadi kita berusaha untuk menghentikan dopamine ini melalu berbagai obat yang digunakan misalnya seperti Thorazine (chlorpomazine) dan Haldol, Risperdal (risperidone), Prolixin, Lithium, Olanzapine, obat-obat itu ternyata memang efektif untuk mengurangi gejala ini, namun untuk menemukan yang cocok untuk seseorang ternyata tidak semudah itu.

GS : Kalau seseorang dikirim ke Rumah Sakit Jiwa apakah pasti dia terkena skizofrenia?

PG : Tidak, ada banyak penyakit yang menyebabkan orang dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa, misalnya dia terkena depresi yang berat dan orang dalam keadaan depresi yang berat juga berkhayal, pikiran bukan saja negatif tidak ada semangat hidup, tapi bisa juga memunyai halusinasi yaitu berkhayal dan bicara sendiri, merasa ada yang memata-matai dia. Jadi kadang ada gejala yang mirip dengan gejala skizofrenia dan kalau kita ketahui dimulai dari depresi yang berat dan ini adalah manifestasi dari depresi saja.

GS : Katakan seseorang penderita skizofrenia sudah diobati, tapi kenapa bisa kambuh lagi?

PG : Yang pertama karena daya tahan menghadapi stres lemah, jadi meskipun mereka distabilkan, waktu mereka menghadapi stres agak berat mereka ambruk lagi. Yang kedua juga adalah mereka harus rajin, terus menerus kontrol ke dokter karena sedikit saja dosisnya kebanyakan waktu mereka sudah mulai sembuh, itu bisa memunculkan masalah. Jadi kebanyakan bisa masalah dan kalau kekurangan juga masalah. Kadang-kadang tidak bisa tepat, karena tidak bisa tepat, akhirnya gangguan ini timbul kembali. Tapi yang paling umum adalah kalau mereka sudah sembuh, sudah merasa enak menolak untuk makan obat, begitu menolak makan obat maka kembali lagi semuanya.

GS : Atau dia takut efek samping dari obat yang diminum.

PG : Ini memang keluhan yang sah, memang sebagian dari mereka mengalami kekejangan otot, saya masih ingat di Rumah Sakit ada pasien yang berjalan seperti robot, itu adalah efek samping obat yang dimakannya, untuk memutar leher juga tidak bisa kaku semua, atau tidak bisa tidur atau ada yang resah sekali dan ada yang merasa pusing dan yang paling umum adalah haus, sehingga lidah atau mulutnya kering, ada yang mudah mengantuk, ada yang detak jantungnya cepat, ada yang tekanan darahnya turun. Dan sebagaimana obat lainnya kadang-kadang gangguannya terkena ke ginjalnya atau ada juga yang terkena ke jantung. Jadi kita harus menyadari efek sampingnya. Maka kita harus memberikan obatnya dan dia harus minum dan makan yang cukup, itu hal yang harus diperhatikan juga.

GS : Kita memang membutuhkan tenaga ahli untuk bisa menolong orang yang terkena skizofrenia, tapi sebagai langkah awal apa yang harus kita lakukan sebagai keluarga, teman atau tetangga untuk menolong penderita skizofrenia ini, Pak Paul?

PG : Sebetulnya yang mereka perlukan adalah sesuatu yang sama, orang yang terkena gangguan ini sangat susah dengan perubahan dan dia senang dengan yang dia sudah kenal, kamarnya, ruangannya dan juga tidak bisa terkena stres, kalau ada stres dia bisa kambuh lagi. Jadi hidupnya relatif harus dilindungi dan disediakan, dibereskan. Jadi dia hanya perlu hidup saja. Ini yang harus dilakukan oleh keluarga dan sudah tentu kita harus berjaga-jaga sebagai keluarga karena mereka tidak selalu sadar apa yang mereka lakukan, mereka bisa berbahaya dan kalau kita tahu bahwa tema khayalannya adalah kemarahan maka kita harus lebih berhati-hati sebagai contoh yang klasik adalah percobaan pembunuhan Presiden Ronald Reagan di Amerika Serikat, yang mencoba membunuhnya adalah John Hinckley, dia adalah orang yang didiagnosis dengan gangguan skizofrenia ini. Jadi dalam khayalannya dia merasa diminta membuktikan cintanya kepada Jodie Foster dengan cara membunuh Ronald Reagan dan dalam kenyataannya bintang film Jodie Foster tidak kenal dia dan tidak meminta dia membunuh Ronald Reagan, tapi dalam alam khayalan dia, dia merasa diperintahkan. Kalau ada anggota keluarga yang terkena gangguan ini memang kita harus melihat apakah ada sejarah kekerasan, kebencian, kemarahan kalau memang tidak ada kemungkinan dia begitu lebih kecil tapi kalau ada sejarah itu maka harus lebih berhati-hati. Kalau jenis gangguannya itu yang paranoia artinya beranggapan dia sedang dikejar-kejar dalam bahaya. Bisa juga dalam kondisi dia terdesak dia bisa melakukan hal-hal yang membahayakan orang lain juga.

GS : Hal lain?

PG : Kita harus membawanya dengan segera ke dokter jiwa atau ke psikiater yang bisa memberinya obat, tanpa bantuan obat si penderita cenderung terus berhalusinasi dan kadang memerlihatkan perilaku yang mengancam. Setelah dia relatif stabil sembuh, bisa diajak bicara baru kita mengajaknya untuk bertemu dengan seorang psikolog atau konselor untuk membantunya mengatasi stres yang dialami dalam hidup. Pada umumnya dia tidak memiliki kemampuan menanggung stres maka rentan kambuh waktu merasa tertekan.

GS : Apakah pasien seperti ini harus minum obat seterusnya?

PG : Benar, seterusnya dan tidak bisa lepas. Ini duduk masalahnya sebab kebanyakan mereka sudah stabil tidak mau minum obat lagi.

GS : Sama seperti pasien hipertensi juga seperti itu, merasa badannya segar kemudian berhenti padahal itu berbahaya.

PG : Yang paling susah adalah jenis skizofrenia paranoia yang merasa dia sedang dikejar-kejar mau dibunuh atau dicelakakan, dia melihat dokternya sebagai musuh dan obat itu sebagai racun, dia tidak mau makan. Masalahnya kalau orang itu sudah dewasa, memaksa dia makan susah sekali sehingga kalau sudah seperti itu lebih baik dibawa ke Rumah Sakit Jiwa sehingga nanti dipaksa untuk memakan obat atau disuntikkan, sebab kalau tidak seperti itu nanti dia tidak mau makan sebab menganggap kalau ini racun dan dia tidak mau makan.

GS : Bagaimana kalau keluarga tidak bisa lagi mengontrol atau menguasai tingkah laku dari pasien ini?

PG : Ini memang tidak mudah tapi pada akhirnya harus diserahkan ke Rumah Sakit Jiwa daripada membahayakan orang lain atau memang kita sudah tidak sanggup lagi merawatnya, karena merawat orang seperti ini sangat meletihkan. Ada orang yang saya kenal dan anaknya terkena gangguan ini boleh dikata mereka itu mengurangi kehidupan sosial mereka 80 atau 90% hampir tidak berbuat apa-apa karena menjaga anaknya terus menerus.

GS : Itu bisa berdampak negatif kepada anggota keluarga yang lain yang sehat.

PG : Betul. Misalnya hidup dalam ketakutan, takut dia bisa berbuat yang tidak-tidak dan salah satu dampak psikologisnya adalah rasa malu. Jadi misalkan sebagai contoh dalam buku yang saya baca, sebetulnya salah satu kakak perempuan atau adik perempuannya Presiden John F. Kennedy juga menderita gangguan ini, tapi ayah mereka yang bernama Joseph Kennedy selalu berkata bahwa putrinya cacat mental atau keterbelakangan mental, padahal diduga dia terkena gangguan skizofrenia. Karena keluarga Kennedy, keluarga yang terhormat di Amerika Serikat, Joseph Kennedy tidak pernah mau mengakui karena semua anaknya pintar-pintar, John F. Kennedy menjadi presiden, Robert Kennedy menjadi Jaksa Agung, Edward Kennedy menjadi senator. Jadi keluarga yang sangat cerdas tiba-tiba ada satu anak perempuan terkena gangguan ini, biasanya keluarga malu mengakui hal ini, disembunyikan saja dan kalau si kakak atau si adik teman-teman ingin datang dan sebagainya tidak berani karena takut nanti orang mengetahuinya.

GS : Atau disediakan perawat khusus karena orang ini membutuhkan pendampingan khusus.

PG : Sebetulnya tidak juga, tapi ruang geraknya harus dibatasi sebab kalau tidak nanti dia pas sedang berkhayal maka dia bisa keluar dan dia bisa berbuat keonaran dan orang yang tidak mengerti pikirannya, dia mau berbuat yang jahat dan akhirnya misalnya bisa dipukuli dan sebagainya, padahalnya orang ini tidak menyadari apa yang dilakukan karena kehilangan kewarasannya.

GS : Kita yang relatif sehat harus lebih mengerti orang yang seperti ini, tapi saya yakin bahwa Tuhan jauh lebih mengerti terhadap orang-orang yang menderita skizofrenia ini. Pak Paul, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul ingin membacakan firman Tuhan?

PG : Mazmur 68:6,7 berkata, "Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara", seperti anak yatim dan seorang janda, penderita skizofrenia hidup sendirian, sebatang kara, namun firman Tuhan mengingatkan bahwa Tuhan tidak melupakannya. Allah adalah pelindung baginya dan Ia memberikan tempat baginya, memang di dunia seolah-olah tidak ada tempat tapi kita percaya Tuhan tidak membuat kesalahan dan Dia punya tempat. Kita memang tidak mengerti dan ini adalah misteri kenapa anak kita bisa seperti ini, tapi jangan sampai kita menyalahkan diri tapi terimalah ini sebagai bagian dari kehidupan, kita hidup dalam dunia yang tidak sempurna yang telah ternoda oleh dosa dan akhirnya ada hal-hal yang tidak semestinya akhirnya terjadi.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja menyelesaikan perbincangan tentang "Ketika Anak Terkena Skizofrenia" bagian yang kedua dan terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



23. Kata Hati


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T367A (File MP3 T367A)


Abstrak:

Salah satu misteri dalam hidup adalah hadirnya "suara" di dalam lubuk hati terdalam yang "bukan bagian dari diri sendiri." Dikatakan, "bukan bagian dari diri sendiri" sebab bukankah acap kali "suara" ini meminta kita melakukan sesuatu yang bukan saja TIDAK kita pikirkan sebelumnya, tetapi juga, TIDAK kita inginkan. Karena itu adakalanya kita berusaha melarikan diri dari "suara" ini. Atau setidaknya, kita berusaha mengalihkan perhatian sehingga tidak lagi berkesempatan mendengarkan "suara" ini. Namun, apa pun yang kita perbuat, satu hal yang TIDAK dapat kita lakukan adalah membungkam "suara" ini. "Suara" itu tetap berkata-kata—tidak peduli didengarkan atau tidak. Suara ini adalah kata hati atau nurani.


Ringkasan:

Salah satu misteri dalam hidup adalah hadirnya "suara" di dalam lubuk hati terdalam yang "bukan bagian dari diri sendiri." Saya katakan, "bukan bagian dari diri sendiri" sebab bukankah acap kali "suara" ini meminta kita melakukan sesuatu yang bukan saja TIDAK kita pikirkan sebelumnya, tetapi juga, TIDAK kita inginkan. Itu sebab adakalanya kita berusaha melarikan diri dari "suara" ini. Atau setidaknya, kita berusaha mengalihkan perhatian sehingga tidak lagi berkesempatan mendengarkan "suara" ini. Namun, apa pun yang kita perbuat, satu hal yang TIDAK dapat kita lakukan adalah membungkam "suara" ini. "Suara" itu tetap berkata-kata—tidak peduli didengarkan atau tidak. Suara ini adalah kata hati atau nurani.

Makna Kata

Istilah nurani berasal dari kata "nur" yang berarti sinar atau cahaya. Kita tahu bahwa "suara" ini selalu meminta kita melakukan sesuatu yang mulia—yang terang—dengan cara memberikan panduan atau pencahayaan agar kita dapat melihat jalan yang semestinya ditempuh. Dan, kita pun mafhum bahwa "suara" ini menerangi perbuatan yang kita lakukan bahkan di dalam gelap sekalipun. Itu sebab kendati tidak dapat dilihat apalagi diketahui orang, bagi kita yang melakukannya, kita tetap mengetahui nilai moral dari perbuatan itu—baik atau buruk; benar atau salah.

Di dalam bahasa Inggris, istilah nurani disebut conscience dan kata ini berasal dari bahasa Latin, con dan scire. Istilah scire bermakna "mengetahui" sedang kata con berarti "dengan" atau "bersama-sama." Jadi, istilah con-scire berarti "mengetahui bersama dengan." Ada sesuatu di dalam diri sendiri yang mengetahui semua dan sedalam-dalamnya dan kepadanya kita tidak dapat berbohong. Ia selalu bersama dengan kita; itu sebab ia mengetahui apa pun yang kita perbuat.

Asal Muasal Nurani

Darimanakah asalnya nurani atau kata hati? Sudah tentu pesan moral yang kita serap, baik dari orang tua maupun sekeliling bersumbangsih dalam perkembangan nurani. Sebagai contoh, kita tahu bahwa belajar bukan saja baik tetapi merupakan tanggung jawab kita sebagai pelajar. Itu sebabnya sewaktu kita tidak belajar—malah bermain video games—kita pun merasa bersalah karena nurani menegur kita yang lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Nah, pada umumnya pesan moral semacam ini diserap dari lingkungan dan menjadi bagian dari "suara" atau kata hati. Namun nurani atau "suara" ini lebih dari sekadar pesan moral dari lingkungan. Jika "suara" atau nurani seluruhnya berasal dari pesan moral lingkungan, maka seharusnya apa pun yang diajarkan lingkungan, diterima sepenuhnya tanpa ada pesan lain atau alternatif lain. Kenyataannya adalah tidak selalu kita mengikuti pesan moral lingkungan; kadang kita malah melawan pesan moral lingkungan. Entah mengapa kita menyadari bahwa pesan moral lingkungan bukanlah pesan moral yang termulia. Ada sesuatu dari dalam diri yang memberikan cahaya atau terang sehingga kita melihat alternatif lain yang berbeda—yang tidak diajarkan oleh lingkungan—namun dari lubuk hati terdalam kita tahu, bahwa alternatif lain ini terlebih murni dan benar.

Saya berikan sebuah contoh. Selama beratusan tahun Kerajaan Inggris Raya melegalkan perdagangan dan pemilikan budak—praktek kehidupan yang sudah mendarah daging dilakukan manusia di semua benua mulai dari ribuan tahun yang lampau. Seyogianya, jika kata hati sepenuhnya berasal dari lingkungan, maka semua orang di Kerajaan Inggris, meyakini bahwa perbudakan bukanlah sesuatu yang salah.

Namun sebagaimana kita ketahui, setidaknya ada seseorang yang bernama William Wilberforce, seorang anggota parlemen, yang menggagas untuk menghapuskan perbudakan. Setelah mencoba selama bertahun-tahun, akhirnya perbudakan dihapuskan dan efek perubahan hukum ini menjalar sampai ke Amerika, mantan koloni Kerajaan Inggris. Di bawah Presiden Abraham Lincoln perbudakan pun dihapuskan.

Baik Wilberforce maupun Lincoln, keduanya bertumbuh besar di dalam lingkungan yang melegalkan perbudakan namun keduanya menyadari bahwa perbudakan bukan bagian yang terbaik diri manusia. Jika kata hati sepenuhnya berasal dari lingkungan, maka keduanya tidak seharusnya mempunyai pesan moral yang lain. Kenyataan bahwa keduanya melihat pesan moral lain yang terlebih mulia, hal ini menandakan bahwa nurani atau kata hati bukan semata pesan moral yang berasal dari lingkungan.

Jika demikian, darimanakah asalnya nurani? Nurani berasal dari Tuhan sendiri. Kejadian 1:27 menjelaskan, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia...." Nurani adalah tuntunan yang dititipkan Allah kepada manusia agar ia dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Kata Hati". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, entah disadari atau tidak, kadang-kadang kita suka berdialog dengan diri sendiri, kadang-kadang ada semacam suara yang kita tidak bisa dengar terlalu jelas tetapi memberikan dorongan yang cukup kuat kepada kita sehingga kita harus berpikir. Sebenarnya apa itu, Pak Paul?

PG : Memang salah satu misteri dalam hidup adalah hadirnya suara di dalam lubuk hati terdalam yang bukan bagian dari diri sendiri. Saya katakan bukan bagian dari diri sendiri sebab bukankah acapkali suara ini meminta kita melakukan sesuatu yang bukan saja tidak kita pikirkan sebelumnya, tetapi juga tidak kita inginkan. Itu sebab adakalanya kita berusaha melarikan diri dari suara ini. Atau setidaknya kita berusaha mengalihkan perhatian sehingga tidak lagi berkesempatan mendengarkan suara ini. Jadi saya berikan contoh, kalau misalkan kita marah dengan seseorang dan kita ini berkata, "Pokoknya sampai kamu minta maaf, maka saya tidak akan mau bicara dengan kamu" itu sebetulnya yang ingin kita lakukan tapi tiba-tiba muncul suatu suara dalam diri kita berkata, "Tidak, kamu harus memulai dulu percakapan itu". Itu sebabnya saya berkata suara ini sebetulnya bukan bagian dari diri kita dan apa pun yang kita perbuat satu hal yang tidak dapat kita lakukan adalah membungkam suara itu. Suara itu tetap berkata-kata tidak peduli didengarkan atau tidak, misalkan kita berkata, "Tidak, saya tidak mau" tapi suara itu tetap berkata, "Tidak, kamu harus". Suara itu seperti tidak kenal kompromi dan tetap akan berkata, "Kamu harus memulai percakapan dengan dia". Jadi benar-benar kita tidak bisa membungkam suara itu. Suara ini adalah kata hati atau nurani.

GS : Itu dimiliki oleh semua orang, Pak Paul?

PG : Benar. Semua manusia memiliki kata hati ini.

GS : Kenapa itu disebut kata hati, bukankah itu berasal dari pikiran kita sendiri?

PG : Masalahnya adalah kalau kita katakan dari pikiran kita sendiri, pikiran kita sebetulnya yang tadi saya sebut itu yaitu kita tidak mau bicara lagi dengan orang itu sampai dia yang memulai percakapan, itu yang kita inginkan dan kita tidak punya pikiran lain. Tapi suara itu tiba-tiba muncul dan kenapa saya katakan bukan bagian dari diri kita, sebab yang pertama kita tidak berpikir untuk seperti itu dan yang kedua kita tidak suka dengan perkataan itu. Jadi justru kalau bisa kita ingin melarikan diri dari suara itu, kita tidak mau mendengarkannya. Kalau kita berkata ini dari diri kita sendiri, saya percaya memang bukan, sebab benar-benar itu berlawanan dengan kehendak hati kita.

GS : Apakah itu berarti di dalam diri kita ada dua kepribadian, Pak Paul?

PG : Tidak. Jadi dalam diri kita memang hanya ada satu kepribadian tapi entah mengapa di dalam diri manusia ada suara itu. Nanti kita akan mencoba menyimak sebetulnya apa suara itu dan dari mana datangnya suara itu.

GS : Jadi sebelum kita lebih jauh bicara tentang itu kami berharap Pak Paul bisa menjelaskan apa sebenarnya suara itu?

PG : Istilah kata hati atau nurani, kata nurani berasal dari kata nur yang berarti sinar atau cahaya. Kita tahu bahwa suara ini selalu meminta kita melakukan sesuatu yang mulia, yang terang dengan cara memberikan panduan atau pencahayaan agar kita dapat melihat jalan yang semestinya ditempuh. Kita pun mahfum bahwa suara ini menerangi perbuatan yang kita lakukan bahkan di dalam gelap sekalipun. Itu sebabnya kendati tidak dapat dilihat apalagi diketahui orang, bagi kita yang melakukannya kita tetap mengetahui nilai moral dari perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah. Jadi misalkan kita mengerjakan tugas sekolah, tapi kita sebetulnya menyontek dan tidak ada yang melihat karena kita mengerjakannya di rumah, kemudian kepada guru kita berkata, "Ini hasil karya saya" padahal kita menyontek. Itu kita kerjakan di dalam gelap namun sewaktu kita mengerjakannya sebetulnya suara itu berkata, "Kamu sedang menyontek dan ini tidak benar." Ini yang saya maksud dengan nurani, pencahayaan tiba-tiba seperti cahaya datang menyinari perbuatan kita yang kita lakukan dalam gelap itu sehingga kita tidak bisa tidak, harus melihat apa adanya dan bahwa ini adalah sebuah perbuatan yang tidak benar. Dalam bahasa Inggris istilah nurani kita sebut "conscience" dan kata "conscience" berasal dari bahasa Latin yaitu con dan scire. Istilah 'scire' bermakna mengetahui, dari kata 'scire' ini muncul kata 'science'. Sedangkan kata 'con' berarti dengan atau bersama-sama. Jadi istilah 'conscire' berarti mengetahui bersama dengan. Jadi maksudnya kata 'conscience' itu mengacu pada seperti ada orang dalam diri kita yang mengetahui bersama dengan kita, sebenarnya apa yang kita lakukan. Jadi suara ini mengetahui semua dan sedalam-dalamnya serta kepadanya kita tidak dapat berbohong, ia selalu bersama dengan kita. Itu sebab dia mengetahui apa pun yang kita perbuat.

GS : Jadi kata hati ini selamanya positif, begitu Pak Paul?

PG : Betul. Kata hati selamanya positif karena selalu menuntun kita melakukan hal yang benar.

GS : Kalau ada suara lain yang berkata misalnya tadi mencontek. Kita sudah ditegur oleh suara atau kata hati itu tapi ada suara lain yang berkata, "Tidak apa-apa orang lain juga berbuat seperti itu". Itu suara yang mana lagi, Pak Paul?

PG : Itu adalah suara kita, karena kita mencoba membenarkan tindakan kita. Nah yang menuduh kita dan menegur kita dan mencahayai kita sehingga kita melihat apa yang benar, itulah nurani atau kata hati.

GS : Apakah inspirasi yang dimiliki seseorang juga berasal dari kata hati ini?

PG : Betul. Kalau kita mendapatkan suatu dorongan melakukan sesuatu yang mulia yang sebetulnya kita tahu ini akan merugikan kita bahkan mengorbankan diri kita, tapi kita tetap mau melakukannya. Nah, inspirasi seperti itu muncul dari nurani yaitu kata hati itu.

GS : Ini dari mana asal kata hati itu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu pesan moral yang kita serap baik dari orang tua maupun sekeliling bersumbangsih dalam perkembangan nurani. Sebagai contoh, kita tahu bahwa belajar bukan saja baik, tapi merupakan tanggung jawab kita sebagai pelajar. Itu sebabnya sewaktu kita tidak belajar misalnya kita malah bermain video games kitapun merasa bersalah karena nurani menegur kita yang lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Pada umumnya pesan moral semacam ini diserap dari lingkungan dan menjadi bagian atau suara dari kata hati namun nurani atau suara ini lebih dari sekadar pesan moral dari lingkungan. Saya berikan sebuah hipotesis, jika suara atau nurani seluruhnya berasal dari pesan moral lingkungan, maka seharusnya apa pun yang diajarkan lingkungan diterima sepenuhnya tanpa ada pesan lain atau alternatif lain. Kenyataannya adalah tidak selalu kita mengikuti pesan moral lingkungan, kadang kita malah melawan pesan moral lingkungan, entah mengapa kita menyadari bahwa pesan moral lingkungan bukanlah pesan moral yang termulia. Saya berikan contoh, misalnya orang tua kita bukannya orang jahat tapi orang baik, namun manusia terbatas. Misalkan orang tua kita sering bicara begini, "Kamu jangan bodoh, kalau orang minta tolong jangan cepat-cepat berkata iya, ingat itu" ini pesan moral yang kita terima dari orang tua kita dan kita tidak mengenal pesan moral lain dari lingkungan. Nah, misalkan suatu hari kita sedang berjalan dan kemudian melihat seorang tukang minta-minta, dia mengeluarkan tangan meminta uang kepada kita, sebetulnya kita punya uang dan kita mau memakainya untuk membeli bekal kemudian tiba-tiba suara itu berkata dalam hati kita, "Berikan uangmu kepada orang yang mengemis itu". Darimanakah munculnya? Kalau nurani kita sepenuhnya berasal dari pesan moral lingkungan dalam hal ini orang tua kita, maka seharusnya tidak ada lagi suara yang lain dan hanya dari orang tua kita, tapi kenapa tiba-tiba muncul suara yang meminta kita melakukan sesuatu yang tidak pernah kita pikirkan dan sulit karena merugikan kita, justru berlawanan dengan apa yang orang tua kita katakan. Jadi bisa kita simpulkan ada sesuatu dari dalam diri yang memberikan cahaya atau terang sehingga kita melihat alternatif lain yang berbeda, yang tidak diajarkan oleh lingkungan, namun dari lubuk hati terdalam kita tahu bahwa alternatif lain ini terlebih murni dan benar, tidak ada yang mengatakannya dan mengajarkannya tapi dari dalam hati kita tahu bahwa pesan suara ini, "Berikan uang itu kepada si pengemis" lebih mulia ketimbang pesan yang kita terima dari lingkungan atau dalam hal ini orang tua kita yang berkata, "Kalau orang minta kamu jangan langsung beri". Suara itu memang adalah cahaya penuntun yang menyadarkan kita bahwa ada yang benar dan sungguh-sungguh mulia yang dapat kita perbuat.

GS : Apakah pengaruh lingkungan itu cukup besar? Misalnya seorang anak yang dibesarkan di suatu lingkungan keluarga yang seringkali tidak menghiraukan kata hati atau katakan selalu berbuat kejahatan dan sebagainya, dibandingkan dengan seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga baik-baik dan terus memberikan bimbingan untuk mendengarkan kata hati itu.

PG : Itu benar sekali akan ada bedanya. Jadi anak yang dibesarkan dalam lingkungan dimana dia terus menerima pesan yang salah atau keliru, lama kelamaan sudah tentu pesan moral itu akan memengaruhi si anak sehingga meskipun suara itu tetap menunjukkan kebenaran, apa yang harus dilakukan dan sebagainya, namun tidak bisa disangkal perlawanan dari lingkungan yang diserap menjadi pesan moral dan si anak akan berusaha melawan suara tersebut. Tapi sebaliknya kalau lingkungan kita adalah lingkungan baik yang mementingkan hal yang benar, mementingkan kehendak Tuhan, waktu suara itu berkata lakukan hal yang benar dan sebagainya maka pesan moral lingkungan lebih sinkron, sudah tentu itu akan lebih mendukung atau memerkuat.

GS : Apakah kita sebagai orang beriman boleh mengatakan kalau suara hati adalah suara Tuhan, begitu Pak Paul?

PG : Saya percaya memang demikian, bahwa benar-benar kalau kita pikir-pikir tidak ada lagi penjelasan lain, suara ini memang berasal dari Tuhan. Saya berikan contoh yang lain lagi, yang memerlihatkan bahwa suara ini benar-benar bukan dari manusia, bukan dari lingkungan. Saya ambil ini dari sejarah, selama ratusan tahun Kerajaan Inggris Raya melegalkan perdagangan dan kepemilikan budak, praktek kehidupan yang sudah mendarah daging dilakukan manusia di semua benua mulai dari ribuan tahun yang lampau, jadi bukan dimulai dari Kerajaan Inggris, tapi praktek memelihara budak, berdagang budak itu sering dilakukan ribuan tahun yang lalu. Seyogianya jika kata hati sepenuhnya berasal dari lingkungan maka semua orang di Kerajaan Inggris meyakini bahwa perbudakan bukanlah sesuatu yang salah sebab sekali lagi itu adalah sebuah praktek yang dilakukan turun-temurun dan tidak ada lagi yang mengatakan kalau ini tidak benar atau salah, karena semua melakukannya. Namun sebagaimana kita ketahui, setidaknya ada seseorang yang bernama William Wilberforce, seorang anggota parlemen yang menggagas untuk menghapuskan perbudakan. Setelah mencoba bertahun-tahun akhirnya perbudakan dihapuskan oleh Kerajaan Inggris dan efek perubahan hukum ini menjalar sampai ke Amerika, mantan koloni Kerajaan Inggris. Akhirnya kita mengetahui di bawah presiden Abraham Lincoln perbudakan dihapuskan. Baik Wilberforce maupun Lincoln keduanya ini bertumbuh besar di dalam lingkungan yang melegalkan perbudakan, karena saat itu Lincoln hidup di Amerika dimana perbudakan itu dilegalkan, namun keduanya menyadari bahwa perbudakan bukan bagian terbaik dari diri manusia. Jadi sekali lagi jika kata hati sepenuhnya berasal dari lingkungan maka keduanya baik Wilberforce dan Lincoln tidak seharusnya memunyai pesan moral yang lain. Kenyataan bahwa keduanya melihat pesan moral lain yang terlebih mulia, hal ini menandakan bahwa nurani atau kata hati bukan semata pesan moral yang berasal dari lingkungan.

GS : Lalu dari mana, kalau kita tidak bisa mengatakan itu dari lingkungan maka tidak mungkin tiba-tiba ada suara hati itu.

PG : Nurani memang berasal dari Tuhan sendiri. Kejadian 1:27 menjelaskan, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia". Kita ini benar-benar diciptakan Tuhan sangat serupa dengan Tuhan. Kita tahu yang terpenting dari Tuhan bukanlah wujud jasmaniah, yang terpenting dari Tuhan adalah nilai-nilai luhur moral, kekudusan-Nya, keadilan-Nya, kasih sayang-Nya, kesetiaan-Nya. Waktu Tuhan berkata Dia menciptakan manusia seturut dengan gambar-Nya, intinya adalah Tuhan menciptakan kita dengan modal-modal karakter seperti yang Tuhan miliki pula. Jadi benar-benar kita bisa berkata nurani berasal dari Tuhan sendiri sebab nurani adalah tuntunan yang dititipkan Tuhan kepada manusia agar ia dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah.

GS : Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, memang kita bisa memahami seperti itu, tetapi bagaimana setelah manusia itu jatuh di dalam dosa, apakah dosa itu juga mencemari hati nurani yang Tuhan berikan kepada manusia?

PG : Saya melihatnya seperti ini, nurani itu sendiri adalah titipan Tuhan dan tuntunan yang Tuhan berikan kepada manusia, namun pesan moral yang kita terima dari lingkungan, itu adalah tidak selalu mencerminkan kehendak Tuhan dan standar Tuhan, namun karena kita hidup dalam lingkungan kita dan dari kecil kita harus menelan dan menyerap pesan-pesan moral itu, maka tidak bisa tidak, pesan moral yang kita terima dari lingkungan menyerap masuk merembes ke dalam diri kita, makanya kadang-kadang pesan moral ini seolah-olah berdiri bertabrakan dengan nurani. Kadang-kadang yang kita ikuti adalah pesan moral ini. Jadi seperti contoh yang saya berikan, kita sudah diperingati orang tua kita jangan mudah memberikan kepada orang yang meminta. Kalau kita akhirnya hanya perhatikan pesan moral itu, maka tidak bisa tidak tindakan kita nantinya akan terkecohkan, tapi saya percaya Tuhan menempatkan nurani dalam hati kita supaya tetap kita berkesempatan mengetahui sebenarnya apakah yang benar itu. Kita tahu bahwa nanti akan ada penghakiman akhir, Tuhan hanya berhak menuntut kita bertanggung jawab atas perbuatan kita kalau kita tahu benar dari salah. Karena itu di surat Paulus kepada jemaat di Roma, kita bisa membaca di pasal satu dan dua, kondisi yang begitu rusak di kota Roma, Paulus dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan sebetulnya sudah memberikan kepada mereka pengetahuan yang sangat jelas, apa yang seharusnya tapi mereka meninggalkan apa yang seharusnya itu. Jadi dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang bisa berkata kepada Tuhan pada penghakiman akhir nanti, "Tuhan saya tidak tahu, benar-benar saya tidak mengerti mana yang benar" tidak! Tuhan akan berkata, "Aku sudah menitipkan suara-Ku di hatimu" namun besarnya pengaruh lingkungan itu. Jadi kalau kita dibesarkan dalam lingkungan yang memang buruk, kita menerima pesan moral yang sudah terselewengkan maka tidak bisa tidak pergumulan kita melakukan yang benar menjadi lebih berat.

GS : Tapi untuk bisa mendengarkan suara hati dengan baik, maka butuh latihan. Karena kita berhadapan dengan sesama manusia saja untuk bisa menangkap kata-kata, butuh latihan bertahun-tahun dan itu tidak mudah.

PG : Pada akhirnya yang dibutuhkan dan diminta Tuhan adalah ketaatan. Tuhan tidak menciptakan telinga yang berbeda-beda (maksudnya telinga rohani) semua diberikan telinga rohani yang sama. Kalau yang satu mendengar tapi yang satu tidak mendengar, bukan karena Tuhan itu tidak adil. Yang satu diberikan telinga yang lebih peka, yang satu lebih tuli, tidak seperti itu tapi persis sama, bedanya adalah yang satu memilih menaati yang satu memilih tidak menaati. Makin menaati suara Tuhan yang meminta kita melakukan kehendak-Nya, yang pertama kita semakin mengenali suara Tuhan itu dan yang kedua kita makin lebih jelas mendengar-Nya. Makin kita sering berbicara dengan orang tua kita, maka kita makin kenal suara orang tua kita. Kita makin dekat dengan suara orang tua kita. Jadi akhirnya apa yang orang tua kita katakan kita cenderung lebih sering melakukan, demikian juga sama dengan hati nurani ini, makin sering kita menaati maka makin jelas kita mendengarnya.

GS : Supaya seseorang yang tadinya pendengarannya lebih tumpul terhadap kata hati, supaya mereka bisa pulih lagi pendengarannya, itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Tidak ada jalan lain, Pak Gunawan, begitu kita mendengar nurani mengatakan sesuatu meskipun sulit untuk dia lakukan, melanggar egonya, merendahkan dirinya dan sulit untuk dia lakukan, maka dia harus melakukannya dan dia harus mendengarkan suara hati ini.

GS : Jadi sebenarnya sejahat-jahatnya seseorang kata hati itu tidak bisa mati, Pak Paul?

PG : Tidak, suara itu akan terus berkata-kata kepada kita, kita tidak mau mendengarkan atau mau mendengarkan, tetap suara itu akan berkata-kata. Saya berikan contoh sewaktu Daud akhirnya masuk ke dalam istana Saul, Saul makin hari makin iri hati, Saul akhirnya bertekad membunuh Daud dan Yonatan anak Saul membela Daud, dia pernah meminta ayahnya, "Jangan kamu membunuh Daud, dia orang yang baik" ada saat-saat Saul mendengarkan kata-kata dari putranya Yonatan, dia bilang, "Baik, saya tidak akan lagi mengejar dan membunuh Daud". Ada contoh Saul berada di gua dan Daud berkesempatan membunuhnya, tapi Daud tidak membunuhnya dan Daud berbicara kepadanya, Saul menangis sedih dan berkata, "Kenapa saya jahat sekali mau berbuat jahat kepada kamu". Saya percaya saat itu Saul tidak berpura-pura dan memang menyesal, tapi itulah kelemahan Saul dia menyesal 2 hari dan dia lupa dengan penyesalannya. Jadi apa yang terjadi? Menurut saya detik-detik itu dia seolah-olah disadarkan kembali sebab suara itu rupanya sudah sering berkata-kata kepada Saul, "Kamu bisa begitu jahat mau membunuh orang yang tidak bersalah". Tapi sekali lagi karena ambisinya, keinginannya mau memertahankan takhta kerajaan, itu yang membutakannya.

GS : Jadi sebenarnya kepekaan itu bisa dilatih. Jadi bisa ditumbuhkan kata hati itu di dalam diri seseorang?

PG : Saya percaya begitu, ini menurut saya tanggung jawab kita. Tuhan memberikan suara yang sama kepada setiap orang, kitalah yang sekarang bertanggungjawab untuk menaatinya. Kalau kita tidak menaatinya memang makin hari hati kita makin keras, makin kita tidak peduli dengan suara itu, tapi kalau kita menaatinya maka hati kita makin lembut. Makin tidak bisa kita melawan suara itu, tidak tega, bersalah, jadi kita makin lebih cepat melakukannya.

GS : Jadi sebenarnya kita harus beryukur kalau Tuhan melengkapi kita dengan kata hati di dalam diri kita masing-masing. Hanya tinggal kita perlu melatih kepekaan kita untuk mendengarkannya karena ini semua positif yang keluar dari kata hati kita. Padahal ada bagian firman Tuhan yang mengatakan bahwa dari dalam hati juga keluar hal-hal yang buruk. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Karena sekali lagi kita diciptakan Tuhan sebetulnya sesuai kehendak Tuhan tapi kita memilih berdosa melawan Tuhan maka dosa itu menjadi bagian hidup kita. Pesan-pesan moral yang kita terima dari lingkungan sudah tentu pesan moral yang tidak sempurna, yang sudah tercemar dosa dan kita masukkan dalam diri kita, menjadi bagian dari hidup kita yang akhirnya kadang-kadang maunya kita itu melakukan hal-hal yang hanya memuaskan diri dan mementingkan diri dan tidak peduli dengan orang, sehingga suara itu terus memberi tekanan kepada kita, peringatan demi peringatan.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kata Hati". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



24. Nurani : Terhilang Atau Tercemar?


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Karakter/Kepribadian
Kode MP3: T367B (File MP3 T367B)


Abstrak:

Kadang kita mendengar cetusan, "Orang itu sudah tidak berhati nurani!" Biasanya cetusan ini keluar sebagai reaksi terhadap perbuatan yang sungguh keji atau buruk. Namun demikian apakah benar bahwa kita bisa kehilangan nurani? Jika kita menjawab, "tidak", masalahnya adalah, mengapakah orang sanggup melakukan perbuatan yang keji? Bukankah kehadiran nurani seharusnya dapat menghentikan perbuatan yang keji itu. Disini akan dibahas apakah memang benar nurani dapat terhilang dan jika tidak, apakah yang sesungguhnya terjadi?


Ringkasan:

Kadang kita mendengar cetusan, "Orang itu sudah tidak berhati nurani!" Biasanya cetusan ini keluar sebagai reaksi terhadap perbuatan yang sungguh keji atau buruk. Namun demikian apakah benar bahwa kita bisa kehilangan nurani? Jika kita menjawab, tidak, masalahnya adalah, mengapakah orang sanggup melakukan perbuatan yang keji? Bukankah kehadiran nurani seharusnya dapat menghentikan perbuatan yang keji itu. Berikut akan dibahas apakah memang benar nurani dapat terhilang, dan jika tidak, apakah yang sesungguhnya terjadi?

Saya akan memulai dengan kisah Daud sewaktu ia dikejar oleh Raja Saul. Pada suatu ketika Saul—tanpa diketahuinya— memasuki gua di mana Daud tengah bersembunyi di dalamnya. Pada saat itu Daud memunyai kesempatan untuk mengakhiri hidup Saul. Semua temannya juga menasihatinya untuk membunuh Saul. Buat mereka, ini adalah jawaban doa—Tuhan telah menyerahkan Saul kepada Daud! Namun Daud menolak keinginan mereka—dan juga keinginan hatinya sendiri. Daud memilih taat kepada kata hatinya, "Dijauhkan Tuhanlah kiranya daripadaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi Tuhan.... " (1 Samuel 24:6-7) Menurut akal sehat dan pemikiran yang rohani, pada saat itu tampaknya tindakan yang paling baik adalah membunuh Saul. Ia adalah raja yang lalim, tidak takut kepada Tuhan, mementingkan diri dan tidak segan-segan membunuh orang yang tidak sepaham dengannya. Satu hal lain yang layak dipertimbangkan adalah, pada saat itu Daud dan semua orang yang bersamanya, mengalami banyak derita akibat kejaran Saul. Singkat kata, membunuh Saul bukan saja akan menghentikan derita mereka, tetapi juga akan dapat menghentikan langkah raja yang tidak takut Tuhan dan menggantikannya dengan seorang raja yang takut Tuhan, yakni Daud. Yang menarik untuk diperhatikan adalah, pada awalnya Daud INGIN membunuh Saul. Itu sebab ia tidak menolak nasihat teman-temannya dan sudah sempat menghampiri Saul dari belakang. Namun di titik genting itu Daud memutuskan untuk TIDAK membunuh Saul. Apakah yang membuatnya berubah pikiran? Firman Tuhan menjelaskan, "Kemudian berdebar-debarlah hati Daud, karena ia telah memotong punca Saul." (1 Samuel 24:6) KATA hati Daud melarang Daud mewujudkan KEINGINAN hatinya! Daud menjelaskan alasannya yakni sebab Saul adalah orang yang diurapi Tuhan. Di sini kita dapat melihat peran kata hati atau nurani di dalam menyampaikan kehendak Tuhan kepada manusia. Sewaktu semua orang berkata "ya", termasuk pemikiran Daud sendiri, nurani Daud mengatakan "tidak". Nurani Daud mengatakan sesuatu yang berkebalikan dari apa yang dikatakan pemikiran Daud. Dan Daud menaatinya. Di saat kritis itu, Daud dapat membedakan kehendak Tuhan yang mulia dari pikiran manusia yang baik. Membunuh Saul adalah tindakan yang baik tetapi membiarkannya hidup merupakan tindakan yang mulia.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, nurani adalah tuntunan yang dititipkan Allah kepada manusia agar ia dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah yang mulia. Namun sebagaimana telah dijelaskan pula, nurani juga menerima sumbangsih dari nilai-nilai yang berasal dari lingkungan, seperti keluarga, teman, guru dan budaya. Kadang keduanya sehati, sekata namun, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, adakalanya keduanya tidak sehati dan tidak sekata. Seperti dapat kita lihat pada diri Daud, di saat itu nuraninya mendapatkan ilham dari nilai yang berasal dari lingkungan—yakni lenyapkan Saul, maka lenyaplah kejahatan yang ditimbulkannya. Namun nurani yang berasal dari Tuhan justru menuntunnya untuk membiarkan Saul hidup—petunjuk yang sebetulnya tidak masuk akal sama sekali untuk saat itu.

Mungkin kita sekarang bertanya, bagaimanakah caranya membedakan keduanya—nurani yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari nilai lingkungan? Jawabannya adalah kita tidak perlu membedakannya! Nurani yang berasal dari Tuhan tidak pernah bungkam. Ketika ia melihat bahwa tuntunan nilai moral dari lingkungan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, maka ia akan bersuara. Masalahnya adalah, tidak selalu kita mendengarkannya. Jika kita mendengarkannya, maka kita akan lebih sering dan lebih jelas mendengarnya.

Jadi, jawaban terhadap pertanyaan tadi adalah, sesungguhnya kita tidak bisa menghilangkan nurani. Tuntunan Tuhan akan selalu bersuara. Namun kita dapat menenggelamkan suara nurani dengan suara keinginan hati dan nilai dari lingkungan. Makin keras kita menyuarakan keinginan hati dan nilai dari lingkungan, makin sulit kita mendengar suara kata hati. Itulah yang sesungguhnya terjadi. Itulah yang menyebabkan adakalanya kita sanggup melakukan perbuatan yang sangat buruk.

Mazmur 4:23 mengingatkan, "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." Di dalam budaya Israel, jantung (heart) adalah pusat kehidupan manusia. Tuhan menghendaki kita untuk menjaganya baik-baik sebab dari situlah memancar kehidupan. Kita menjaga hati dengan cara menaati kata hati. Makin sering kita menaatinya, makin jelas kita mendengar suaranya. Kita pun menjaga hati dengan cara, mengecilkan keinginan hati. Makin rela kita mengecilkan keinginan hati, maka makin jelas terdengar kata hati.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Nurani : Terhilang atau Tercemar?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita akan melanjutkan atau mengembangkan perbincangan kita tentang kata hati atau suara hati, namun sebelum kita lebih jauh melangkah untuk membicarakan ini, Pak Paul bisa menjelaskan secara singkat apa sebenarnya nurani atau kata hati itu?

PG : Jadi saya sudah menjelaskan bahwa nurani atau kata hati itu sebetulnya bukanlah bagian dari diri kita, itu adalah titipan Tuhan untuk menuntun hidup kita berjalan di jalan yang benar yang sesuai dengan kehendak-Nya. Saya berkata itu bukan bagian dari diri kita sebab pada kenyataannya bukankah seringkali kita justru tidak mau mendengarkan suara hati itu, karena suara hati itu atau nurani itu meminta kita melakukan sesuatu yang seringkali kita tidak inginkan, bukan karena meminta kita melakukan hal yang salah, bukan meminta kita melakukan hal yang buruk justru melakukan hal yang baik. Namun kenapa kita tidak suka dan seringkali kita mau melarikan diri karena kita diminta melakukan sesuatu yang terlalu mulia, kita sendiri menyadari ini yang benar, ini yang baik terlalu mulia bagi kita dan kita rasanya tidak sanggup membayar harga sebesar itu untuk melakukan hal yang mulia. Sebagai contoh, ada orang yang datang kepada kita meminta bantuan, sebetulnya kita tahu dia sungguh-sungguh perlu bantuan dan kita ada kesanggupan untuk membantunya, namun karena kita misalkan dibesarkan dari lingkungan dimana kita diajarkan bahwa tidak perlu memberi kepada orang dan biar orang mengurus dirinya sendiri dan kita urus diri kita sendiri, sepintas pesan moral seperti itu bukan pesan moral yang salah namun waktu orang itu datang meminta bantuan kepada kita tiba-tiba ada suara yang berkata, "Berikanlah bantuan kepadanya". Kita tidak suka dengan suara itu dan berkata, "Nanti orang ini tidak sanggup membayar dan saya kehilangan uang saya, buat apa saya menolong dia", tapi suara itu tetap berkata, "Tolong dia, dia butuh pertolonganmu". Jadi itulah kesimpulan kita dalam pembicaraan yang sebelumnya bahwa suara ini sebetulnya adalah titipan Tuhan, karena kita diciptakan Tuhan menurut gambar-Nya maka Tuhan selalu menuntun kita supaya dapat hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Jadi benar-benar kita simpulkan bahwa nurani dititipkan Tuhan di hati kita manusia, sebab Tuhan menghendaki kita ciptaan-Nya menjadi cerminan kemuliaan Tuhan di bumi.

GS : Jadi kalau nurani berasal dari Tuhan, maka sebenarnya nurani itu tidak bisa hilang, Pak Paul?

PG : Benar. Maka nurani ini akan selalu ada namun kita tahu kita ini menyerap pesan-pesan moral dari lingkungan yang seringkali berlawanan dengan nurani itu, pesan moral itu bisa jadi lumayan baik tapi bukan yang terbaik dan kita selalu tahu waktu nurani berkata itu adalah yang terbaik.

GS : Lalu bagaimana dengan orang yang mengatai orang lain dengan perkataan bahwa, "Orang itu sudah tidak punya hati nurani lagi" ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi kadang kita mendengar cetusan yang berkata, "Orang itu sudah tidak memiliki hati nurani", kita tahu biasanya cetusan itu keluar dari hati sebagai reaksi terhadap perbuatan yang buruk atau yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang lain. Namun pertanyaannya adalah apakah benar bahwa kita bisa kehilangan nurani? Sebab jika kita menjawab "tidak" maka kita tidak bisa kehilangan nurani, masalahnya adalah mengapakah orang sanggup melakukan perbuatan yang jahat atau yang keji, bukankah kehadiran nurani seharusnya dapat menghentikan perbuatan yang jahat itu. Jadi kita akan coba membahas topik ini, sebetulnya apakah benar nurani dapat hilang, jikalau tidak, apa yang terjadi sehingga orang tetap bisa melakukan perbuatan yang jahat.

GS : Apakah itu bukan yang dikatakan Alkitab, "karena ini kekerasan hatimu"?

PG : Itu bersumbangsih besar, pada akhirnya kalau nurani itu berkata-kata dan kita terus mengeraskan hati dan tidak mau menaatinya maka lama-lama hati kita makin bertambah keras, makin bertambah keras dan makin kita tidak mau menaati nurani itu berarti kita makin jauh dari nurani itu. Tapi itu tidak berarti nurani kita berhenti berkata-kata atau hilang dari diri kita, tetap ada. Saya berikan contoh, di tahun 1980-an ada seorang pembunuh dan pemerkosa di Amerika Serikat namanya Ted Bundy sebelum akhirnya dia dieksekusi mati karena dia dijatuhi hukuman mati, dia meminta berbicara dengan seorang psikolog Kristen yang bernama Dr. James Dobson. Dalam percakapannya dia menceritakan perbuatan-perbuatannya yang begitu keji dan dia benar-benar di saat-saat terakhir menunjukkan penyesalan, tapi memang sudah terlambat karena malam atau besoknya dia akan dieksekusi. Orang yang sanggup melakukan perbuatan sekeji dia, membunuh begitu banyak orang dan menyiksa perempuan seperti itu, tapi ternyata dia sebetulnya selalu mengetahui kalau dia salah dan dia bukan dalam kegelapan sehingga tidak bisa melihat apa yang terang yang sesungguhnya dapat dilakukan, tapi memang rupanya dia mengeraskan hatinya sehingga makin hari hatinya makin keras dan makin jauh dari suara hatinya.

GS : Apakah pengakuan seperti itu yang dilakukan oleh orang yang begitu jahat bisa kita sebut sebagai suatu pertobatan, Pak Paul?

PG : Saya percaya, memang kita tidak bisa memastikan dan hanya Tuhan yang dapat memastikan, tapi saya cenderung percaya bahwa dia memang bertobat di saat terakhir itu dan dia benar-benar menyesali perbuatannya meskipun dia sudah terlambat, tapi dia akhirnya bersedia menceritakan kenapa dia sampai begitu jahat dan sebagainya.

GS : Tapi ada orang yang sampai mati tetap mengeraskan hatinya, begitu Pak Paul.

PG : Ada juga, tapi sekali lagi kenyataan orang mengeraskan hati tidak berarti bahwa sudah tidak ada lagi hati nurani.

GS : Ada contoh di Alkitab, Pak Paul?

PG : Saya teringat kisah Raja Daud sebelum dia menjadi raja sewaktu dia dikejar-kejar oleh Raja Saul. Pada suatu ketika Saul tanpa diketahuinya memasuki goa dimana Daud tengah bersembunyi di dalamnya, pada saat itu Daud memunyai kesempatan untuk mengakhiri hidup Saul, semua temannya juga menasehatinya untuk membunuh Saul, bagi mereka ini adalah jawaban doa, Tuhan telah menyerahkan Saul kepada Daud namun Daud menolak keinginan mereka dan juga keinginan hatinya sendiri. Daud memilih taat kepada kata hatinya atau nuraninya. Di 1 Samuel 24:6-7 dia berkata, "Dijauhkan TUHANlah kiranya dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi TUHAN." Menurut akal sehat dan pemikiran yang rohani sekali pun pada saat itu tampaknya tindakan yang paling baik adalah membunuh Saul, kenapa? Saul itu raja yang lalim dan ia tidak takut kepada Tuhan lagi dan bahkan membunuh imam-imam Tuhan, dia begitu keji dan mementingkan diri dan tidak segan membunuh orang yang tidak sepaham dengan dia. Satu hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah pada saat itu Daud dan semua orang yang bersamanya mengalami banyak derita akibat kejaran Saul. Singkat kata membunuh Saul bukan saja akan menghentikan derita mereka, tapi juga akan dapat menghentikan langkah raja yang tidak takut Tuhan dan menggantikannya dengan seorang raja yang takut Tuhan yakni Daud. Yang menarik untuk diperhatikan adalah pada awalnya Daud ingin membunuh Saul, kita harus ingat bahwa Daud itu ingin membunuh Saul, itu sebabnya ia tidak menolak nasehat teman-temannya untuk membunuh Saul dan sudah sempat menghampiri Saul dari belakang dan dia benar-benar sudah berjalan menghampiri Saul, namun di titik genting itu Daud memutuskan untuk tidak membunuh Saul. Apakah yang membuat Daud berubah pikiran? Firman Tuhan menjelaskan di 1 Samuel 24:6, "Kemudian berdebar-debarlah hati Daud, karena ia telah memotong punca(jubah) Saul". Dengan kata lain, kata hati Daud melarang Daud mewujudkan keinginan hatinya, keinginan hatinya jelas dia mau membunuh Saul tapi berdebar-debar hatinya, rupanya nurani itu bersuara sangat keras jadi akhirnya kata hati melarang Daud mewujudkan keinginan hati. Daud menjelaskan alasannya yakni sebab Saul adalah orang yang diurapi Tuhan.

GS : Sebenarnya untuk bisa seperti Daud yang walaupun punya keinginan untuk membunuh tapi masih mendengarkan kata hatinya, ini merupakan bagian yang sulit untuk kita alami sehari-hari karena kita lebih sering menggunakan akal kita daripada mendengarkan kata hati itu sendiri.

PG : Dan kita lihat ini yang terjadi pada Raja Saul. Kita ingat bahwa awalnya Raja Saul adalah orang yang takut Tuhan, pada awalnya, kemudian menang perang terus dan dia mulai lupa dan dia mulai melakukan perbuatan yang melawan Tuhan. Waktu misalkan dia akhirnya iri hati kepada Daud dan dia ingin membunuh Daud, sebenarnya ada saat-saat dimana dia tidak jadi dan dia sadar, dia salah sewaktu dia diperingatkan oleh Yonatan, waktu Daud juga memeringati dia, dia sadar tapi dia balik lagi. Jadi saya memang mengerti bahwa tidak mudah menuruti kata hati sebab dalam kasus Saul ini, bagi dia ini ancaman besar bahwa posisinya akan diambil dan dia mengeraskan hati, dia tetap mengejar Daud dan mau membunuhnya, jadi kita senantiasa harus berhadapan dengan pergumulan ini sebab nurani itu menyuruh kita melakukan sesuatu yang sangat mulia dan seringkali harganya mahal dan kita tidak mau membayar harga itu sebab kita mau melakukan hal-hal yang justru menguntungkan diri kita.

GS : Apalagi dengan pertimbangan teman-temannya atau orang-orang dekatnya yang mendukung Daud untuk membunuh Raja Saul itu, sebenarnya ada cukup alasan bagi Daud seandainya dia hanya mendengarkan kata teman-temannya atau mendengarkan pikirannya sendiri.

PG : Dan saat itu kalau misalnya Daud menuruti keinginan hati dan nasehat teman-temannya membunuh Saul, tidak ada satu manusia pun yang akan menyalahkan dia sebab jelas-jelas Saul adalah raja yang memang lalim dan sedang mengejar-ngejar Daud yang tidak ada salahnya di sini. Kita bisa melihat dalam hal ini peran kata hati atau nurani dalam menyampaikan kehendak Tuhan kepada manusia, sewaktu semua orang berkata "ya" termasuk pemikiran Daud sendiri, nurani Daud mengatakan "tidak". Nurani Daud mengatakan sesuatu yang berkebalikan dari apa yang dikatakan pemikiran Daud dan Daud menaatinya. Jadi di saat kritis itu, Daud dapat membedakan kehendak Tuhan yang mulia dari pikiran manusia yang baik, sekali lagi saya tidak mengatakan pikiran teman-temannya dan Daud ingin mengakhiri hidup Saul adalah pikiran yang salah, tidak, itu adalah pikiran yang baik tapi di titik itu Tuhan menunjukkan kehendak-Nya dan kehendak Tuhan bukan saja baik tapi mulia, membunuh Saul adalah tindakan yang baik karena menghentikan kejahatannya, tapi membiarkan dia hidup merupakan sebuah tindakan yang mulia dan Daud memilih melakukan yang mulia.

GS : Katakan Daud tidak mendengarkan kata hatinya mungkin akan membawa penyesalan di dalam kehidupannya untuk masa-masa yang akan datang?

PG : Saya kira demikian karena dia akan selalu ingat bahwa nuraninya atau suara Tuhan sudah mengatakan kepada dia, "Jangan, dia orang yang Tuhan urapi" jadi artinya biar nanti Tuhan yang akan berhadapan dengan Saul. Jadi di sini kita melihat bahwa sungguh-sungguh nurani adalah tuntunan yang dititipkan Allah kepada manusia agar dia dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah yang mulia, namun nurani juga menerima sumbangsih dari nilai-nilai yang berasal dari lingkungan seperti keluarga, teman, guru dan budaya dan kadang keduanya tidak sehati bertabrakan, jadi tidak selalu apa yang diajarkan, ditanamkan oleh lingkungan sama dengan nurani yang kita katakan, tapi seperti dapat kita lihat pada diri Daud, di saat itu nuraninya mengatakan kepada Daud, "Jangan ikuti suara lingkungan atau teman-temanmu" gara-gara itulah Daud berhasil melakukan hal yang bukan saja baik, tapi yang sungguh-sungguh mulia.

GS : Ini hal yang sukar untuk seseorang mengetahui, ini sebenarnya suara hati atau kata hati, ini memang dari Tuhan asalnya atau dari setan. Itu yang kadang membuat orang ragu-ragu karena sama-sama kerasnya.

PG : Betul. Jadi kalau kita tempatkan diri kita pada posisi Daud saat itu saya kira di detik-detik awal Daud memang terkecoh dan dia sungguh-sungguh beranggapan nasehat temannya dan pemikirannya sendiri adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, raja ini lalim jahat mau membunuh dia dan ini kesempatan dia mengakhiri hidup Saul supaya mereka dapat hidup dalam keadaan yang lebih tentram. Jadi bagaimana caranya membedakan keduanya nurani yang berasal dari Tuhan atau yang berasal dari lingkungan. Jawabannya adalah kita tidak perlu membedakannya. Nurani yang berasal dari Tuhan tidak pernah bungkam ketika ia melihat bahwa tuntutan nilai moral dari lingkungan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan maka ia akan bersuara, masalahnya adalah tidak selalu kita mendengarkannya. Jika kita mendengarkannya maka kita akan lebih sering dan lebih jelas mendengarkan.

GS : Ini seringkali di dalam batin kita dan diri kita itu ada semacam pertentangan yang tadi Pak Paul uraikan, sehingga kita sendiri bingung untuk memutuskannya, itu seperti dialog yang terjadi di dalam diri kita dan terus- menerus berulang dan kita sulit untuk memutuskan mana yang mau dituruti.

PG : Jadi kita selalu akan memihak kepada yang mulia, yang luhur, yang sulit untuk kita lakukan, namun kita tahu itu yang terbaik. Sekali lagi sebetulnya sewaktu kita berkata, "Sungguh sulit, suara ini dari mana dan saya harus ikuti yang mana?" Sebetulnya kita tahu bahwa yang mana yang benar dan mana yang dari Tuhan. Saya berikan contoh yang mungkin pernah saya ceritakan sebelumnya, saya dulu bekerja di sebuah kantor sebagai 'sosial worker', pada suatu hari saya melihat teman kerja saya berjalan tertatih-tatih, kemudian saya tanya dia dan dia cerita, "Tidak tahu kenapa lutut saya sakit, jadi untuk jalan sakit" dan kemudian dia duduk kembali dan saya melanjutkan pekerjaan saya, tiba-tiba ada suara dalam hati saya berkata, "Doakan dia". Saat itu saya sedang bekerja dan saya saat itu bukan bekerja di gereja, tapi saya bekerja di sebuah departemen yang mengurusi anak-anak yang dianiaya, saya jadinya enggan dan malu ke tempat dia dan menawarkan untuk memberikan bantuan doa kepada dia. Suara itu tetap berkata, "Doakan dia, maka dia akan melihat kemuliaan Tuhan". Teman saya dan saya pernah ngobrol dan dia pernah bercerita bahwa dulu sekali dia seorang Kristen dan sudah tidak lagi memerhatikan hal-hal yang rohani. Jadi waktu suara itu berkata, "Doakan dia maka dia akan melihat kemuliaan Tuhan" sebetulnya saya tahu ini suara Tuhan tapi saya tidak mau. Jadi waktu saya tidak mau saya bertanya, "Apakah benar ini suara Tuhan?" Sebenarnya itu pertanyan yang tidak perlu, karena saya tahu ini adalah suara dari Tuhan, jadinya begitu susah tapi begitu murni. Karena suara ini tidak berhenti meminta saya berdoa untuk dia, akhirnya saya seolah-olah membuat persyaratan kepada Tuhan, "Nanti saya akan ke toilet dan kalau saya nanti ke toilet dan bertemu dengan dia di toilet, maka saya akan berdoa buat dia". Setelah beberapa lama saya ke toilet dan setelah saya selesai dan saya ingin keluar, tiba-tiba pintu toilet terbuka dan dia masuk dan di toilet tidak ada orang lain, dan di Amerika toiletnya besar-besar, saya kaget dan saat itu saya tahu pilihan saya hanya dua, saya menaati suara Tuhan dan saya tahu ini suara Tuhan atau tidak, hanya itu pilihan saya. Puji Tuhan saya menaati suara Tuhan, jadi saya ngobrol-ngobrol dengan dia tentang kakinya setelah itu saya bertanya,"Boleh tidak saya mendoakan kamu?" Dia jawab, "Boleh". Dia mungkin berpikir saya akan mendoakan dia kapan-kapan di rumah atau apa, tapi saya langsung berlutut dan saya langsung menumpangkan tangan saya pada lututnya dan saya berdoa, setelah itu kami keluar dari toilet, beberapa hari kemudian ketika saya sedang bekerja, dia tiba-tiba menghampiri meja saya dan berkata, "Paul, saya tidak tahu apa yang membuat saya sembuh, doa kamu atau kebetulan, tapi saya hanya mau katakan kepada kamu setelah kamu berdoa buat saya, kaki saya sembuh". Saat itu suara itu kembali muncul dan berkata, "Dia melihat kemuliaan Tuhan". Jadi kita sebetulnya tidak perlu belajar bagaimana membedakannya, sebetulnya kita tahu tapi kita seringkali tidak mau tahu karena suara hati itu menyuruh kita melakukan hal-hal yang terlalu sulit bagi kita dan terlalu mulia dan terlalu baik; kita seringkali tidak mau melakukan hal-hal yang terlalu baik itu.

GS : Memang di situ sangat dibutuhkan adanya kerendahan hati dan kedisiplinan untuk tunduk dan mau melaksanakan apa yang Tuhan bisikkan kepada kita, Pak Paul.

PG : Betul. Seperti Daud dia berdisiplin diri mendengarkan nurani yang berasal dari Tuhan itu sebab dia selalu peka mendengar kata hatinya, sehingga sewaktu dia jatuh ke dalam dosa bersama Batsyeba dia merana luar biasa kendati dia tidak mengakuinya secara terbuka karena takut. Di dalam Mazmur 51:5,10 ia menceritakan pergolakan yang dialaminya, "Aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Biarlah tulang yang Kauremukkan bersorak-sorak kembali!" Jadi selama berbulan-bulan Daud menyembunyikan dosanya, tampaknya dia menderita secara batiniah akibat teguran keras yang diterimanya dari Tuhan lewat nuraninya. Jawaban terhadap pertanyaan tadi, "Apakah kita bisa menghilangkan nurani atau tidak?" sebetulnya kita tidak bisa menghilangkan nurani. Tuntunan Tuhan akan selalu bersuara namun memang benar kita dapat menenggelamkan suara nurani dengan suara keinginan hati dan nilai-nilai dari lingkungan, makin keras kita menyuarakan keinginan hati dan nilai-nilai dari lingkungan maka makin sulit kita mendengar suara kata hati. Itulah yang sesungguhnya terjadi dan itulah yang menyebabkan adakalanya kita sanggup melakukan perbuatan yang sangat buruk.

GS : Seperti kita mendengarkan orang lain yang berbicara kepada kita, kalau hanya kita berdua yang berbicara mungkin itu cukup jelas, tapi begitu ada banyak suara di sekeliling kita dan kita memberikan perhatian kepada suara-suara itu maka pesan yang disampaikan itu tidak bisa diterima dengan baik.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi bukannya suara itu tidak lagi bersuara tapi karena banyak suara lain jadi akhirnya kita bisa terkecohkan.

GS : Dan suara yang asli ini tenggelam dengan kebisingan yang ada di sekeliling kita itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali.

GS : Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Amsal 4:23 mengingatkan, "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." Dalam budaya Israel jantung atau 'heart' adalah pusat kehidupan manusia, Tuhan menghendaki kita untuk menjaganya baik-baik sebab dari situlah memancar kehidupan. Kita menjaga hati dengan cara menaati kata hati. Jadi Amsal 4:23 mengingatkan kita harus menjaga hati dengan segala kewaspadaan, makin sering kita menaatinya maka makin jelas kita mendengar suaranya, kita menjaga hati dengan cara mengecilkan keinginan hati artinya makin rela kita mengecilkan keinginan hati maka makin jelas terdengar kata hati.

GS : Kita percaya bahwa masih banyak orang yang mendengarkan kata hati namun ini perlu dilatih terus-menerus, diasah ketajaman untuk mendengarkan kata hati supaya kehidupan di sekeliling kita bertambah baik.

PG : Benar sekali, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Nurani : Terhilang atau Tercemar?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



END_OF_FILE <<Prev Next>> Kembali ke atas