DVD Konseling Kristen TELAGA

TELAGA -- Orang Tua-Anak


Dalam kategori ini, Anda dapat mendengarkan dan membaca 121 judul artikel yang membahas hal-hal seputar hubungan orang tua dan anak serta seperti apa pola pengasuhan anak yang sesuai dengan firman Tuhan. (Total Durasi: 61 Jam)<<Lihat Direktori>>

No.JudulFile MP3
1Perhatian Orangtua terhadap AnakT004A
2Peran Ayah dalam Pembinaan AnakT011A
3Membangun Respek Anak terhadap OrangtuaT014A
4Pemberontakan Anak terhadap OrangtuaT023A
5Kekecewaan Orangtua terhadap AnakT023B
6Peran Orangtua Menghadapi Anak BerpacaranT024A
7PerjodohanT024B
8Dampak Pertengkaran Orangtua Terhadap AnakT028A
9Korban Melahirkan KorbanT028B
10Wibawa OrangtuaT046A
11Bagaimana Menghadapi Orangtua yang Tidak BerwibawaT046B
12Pengaruh Ejekan atau Olokan Terhadap Perkembangan AnakT050B
13Orangtua TunggalT057A
14Anak yang Diasuh oleh Orangtua TunggalT057B
15Seks dalam BerpacaranT061B
16Anak dan TelevisiT066A
17Anak dan Video GameT066B
18Mengapa Anak Saya Tidak Percaya DiriT067A
19Menanamkan Percaya Diri pada AnakT067B
20Bagaimana Membentuk A Boy A Man 1T070A
21Bagaimana Membentuk A Boy A Man 2T070B
22Bagaimana Membentuk A Girl A Women 1T071A
23Bagaimana Membentuk A Girl A Women 2T071B
24Membantu Anak yang Takut SekolahT075A
25Menjadi Sahabat Buat AnakT075B
26Membantu Anak Mengelola KemarahanT083A
27Membantu Anak Yang CemburuT083B
28Bagaimana Membantu Anak Menghadapi StresT088B
29Ketegasan dalam Mendidik AnakT089A
30Anak FavoritT089B
31Waktu Buat AnakT098A
32Bermain Bersama AnakT098B
33Mengajar Anak BerdoaT102A
34Aku Punya AdikT102B
35Membantu Anak BergaulT105A
36Anak dan TemannyaT105B
37Anak NakalT106A
38Anak Sulit BelajarT106B
39Rasa Bersalah OrangtuaT109A
40Perilaku Manipulatif AnakT109B
41Yang Menyakitkan AnakT110A
42Mengidolakan AnakT110B
43Memuji AnakT113A
44Hadiah Buat AnakT113B
45Orangtua Over ProtectiveT119A
46Memberi Kepercayaan Kepada AnakT119B
47Ibu dan Anak PerempuannyaT121A
48Kebutuhan dan Relasi RomantisT121B
49Mengapa Anak Saya BermasalahT122A
50Tatkala Nasi Sudah Menjadi BuburT122B
51Orang Tua OtoriterT123B
52Anak Baik Anak ManisT128A
53Memahat AnakT128B
54Membangun Keakraban dengan AnakT132A
55Mendisiplin Bukan Menghancurkan AnakT132B
56Keras Kepala dan PenurutT138A
57Mengapa Anak BerbohongT138B
58Mengapa Anak Menjadi AgresifT145A
59Menghitung Pengorbanan OrangtuaT145B
60Mengapa Anak Tidak MenurutT154A
61Kurang Kasih SayangT154B
62Tertawa dengan AnakT163A
63Menangis Bersama AnakT163B
64Mengajarkan KepatuhanT171A
65Mengajar Anak Mengatakan TidakT171B
66Konsep DiriT173A
67Membangun Konsep Diri AnakT173B
68Pelajaran Menjadi Orangtua 1T194A
69Pelajaran Menjadi Orangtua 2T194B
70Disiplin dan Emosi AnakT195A
71Mengendalikan Emosi Anak HiperaktifT195B
72Anak AdopsiT199A
73Masalah Anak AdopsiT199B
74Mengapa Anak Bersikap Negatif 1T207A
75Mengapa Anak Bersikap Negatif 2T207B
76Mengendalikan Diri Sejak DiniT217A
77Menyatakan Kasih Kepada AnakT217B
78Tragedi Pada Anak 1T224A
79Tragedi Pada Anak 2T224B
80Siapakah Anak KitaT230A
81Menjahit Relasi Dengan RemajaT230B
82Dekat Tapi JauhT232A
83Berkomunikasi Dengan RemajaT232B
84Tegas Pada TempatnyaT235A
85Kepercayaan Pada AnakT235B
86Dikasari Susah Dihalusi SusahT237A
87Menanamkan Kebenaran Pada AnakT239A
88Tuntutan Tinggi Kasih RendahT240A
89Kekerasan Dan TuntutanT240B
90Persaingan Antar AnakT251A
91Membangun Saling Tolong Antar AnakT251B
92Tanggung Jawab Anak kepada Orang TuaT262A
93Mengasihi Anak Lebih Dari TuhanT282B
94Tuntutan Yang Menghimpit Anak IT286A
95Tuntutan Yang Menghimpit Anak IIT286B
96Konflik Orang Tua dan Pemberontakan AnakT295A
97Ketidakadilan dan Pemberontakan AnakT295B
98Putusnya Komunikasi dan Pemberontakan AnakT296A
99Hidup yang Rohani dan Pemberontakan AnakT296B
100Membesarkan Anak IT314A
101Membesarkan Anak IIT314B
102Iri Terhadap Saudara SendiriT322A
103Rayakan Kesetiaan IT324A
104Rayakan Kesetiaan IIT324B
105Dampak Kudus pada AnakT331B
106Pemberontakan Anak IT333A
107Pemberontakan Anak IIT333B
108Kepahitan AnakT350A
109Ketika Anak Terlibat MasalahT350B
110Peran Orang Tua dalam Keselamatan Anak 1T357A
111Peran Orang Tua dalam Keselamatan Anak 2T357B
112Pengaruh Ibu Pada AnakT360A
113Berpisah Tidur Dengan AnakT368A
114Mematahkan Sayap AnakT368B
115Trauma Masa KecilT370A
116Mengatasi TraumaT370B
117Kekerasan Terhadap Anak 1T373A
118Kekerasan Terhadap Anak 2T373B
119Kekerasan Terhadap Anak 3T373C
120Kekerasan Terhadap Anak 4T373D
121Kekerasan Terhadap Anak 5T373E


1. Perhatian Orangtua terhadap Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T004A (File MP3 T004A)


Abstrak:

Topik ini menceritakan bagaimana orangtua yang bekerja baik suami maupun istri. Namun tetap dapat memberi perhatian yang sepantasnya diterima oleh anak.


Ringkasan:

Perbedaan masyarakat dahulu dan sekarang yaitu:

  1. Kehidupan sosial masyarakatnya tidak sama.

    Masyarakat dahulu? Hidup dalam suasana komunal artinya hubungan dengan kerabat, sanak keluarga masih lumayan dekat dan tidak jarang ada sanak keluarga yang tinggal di dalam rumah yang sama. Mereka bisa mengisi kekurangan karena kepergian orang tua.

    Masyarakat sekarang? Hidup lebih individualis maksudnya yang di kota-kota besar hidup sendiri-sendiri, banyak yang tidak mengenal siapa yang tinggal di sebelah rumah mereka, bahkan hubungan dengan sanak saudara juga lumayan jauh.

  2. Tekanan atau gangguan atau godaan dari lingkuangan tidak sama antara waktu dulu dan sekarang. Pada zaman dulu, gangguan atau tekanan dari lingkungan tidaklah sebanyak sekarang, contoh: kemudahan mendapatkan gambar-gambar porno. Zaman sekarang kalau anak kita tinggalkan di rumah sendirian, sementara suami-istri pulang malam, tidak ada di rumah sepanjang hari itu akan menimbulkan dampak yang jauh lebih serius dibandingkan kalau itu terjadi pada 20, 30 tahun yang lampau.

Sehubungan dengan situasi sekarang yang semakin sulit bagi orang tua untuk mengawasi anak-anak maka dalam hal ini interaksi orang tua dan anaklah yang memegang peranan sangat penting sekali, dan hal ini perlu dibina sejak anak-anak masih kecil. Interaksi di bawah usia 6 tahun dapat dikatakan sebagai fondasi, sebagai dasar hubungan orang tua dengan anak.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan anak yang sudah lumayan besar sementara suami-istri bekerja, apa yang dilakukan untuk memaksimalkan interaksi orang tua dengan anak? Ada yang beranggapan bahwa paling penting adalah kwalitas bukan kwantitas, jadi mutu bagaimana kita berinteraksi dengan anak jauh lebih penting daripada kwantitas atau jumlah waktu yang dihabiskan dengan anak. Namun pada prakteknya hal ini susah sekali dilakukan, karena kwalitas hanya bisa muncul dalam keberadaan kwantitas. Kita hanya bisa menjalin hubungan yang baik dengan anak kalau kita memang menghabiskan waktu dengan anak, kalau tidak kita habiskan waktu itu dengan anak, yang bermutu itu tidak muncul. Selanjutnya yang kita anggap berwalitas belum tentu berkwalitas bagi anak, belum tentu itu adalah hal yang dihargai dan dibutuhkan oleh anak kita.

Dua hal yang perlu kita perhatikan untuk mengetahui bahwa anak itu kurang perhatian. Kita bisa mulai mencermati melalui dua tipe anak yaitu:

  1. Tipe anak yang cenderung agresif, yang mengganggu anak lain, yang memberontak, yang tidak sabar, yang mudah meledak.

  2. Tipe anak yang terlalu menarik diri, mengurung diri, tidak sosial, tidak mau bergaul dengan teman-teman dan cenderung menyendiri.

Namun juga perlu diingat bahwa belum tentu anak yang agresif itu dibesarkan dalam keluarga yang bermasalah. Sedangkan anak yang cenderung menarik diri biasanya ada masalah yang dihadapinya dalam rumah tangganya. Karena apa, sebab pada dasarnya anak kecil adalah anak-anak yang bersifat sosial.

Amsal 11:30 , "Hasil orang benar adalah pohon kehidupan, dan siapa bijak, mengambil hati orang." Salah satu golongan atau tujuan kita sebagai orang tua Kristen adalah menjadi orang yang benar, maksudnya melakukan hal yang benar, kalau kita mendidik anak dengan benar, hasilnya adalah pohon kehidupan. Orang tua yang bijak akan mengambil hati anak-anaknya. Anak hanya akan memberikan hatinya kepada kita kalau kita dilihatnya sebagai orang tua yang benar dan yang bijak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Perhatian Orang Tua terhadap Anak-anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita sering kali mendengar keluhan orang tua yang mengatakan bahwa anak-anak jaman sekarang ini sukar diatur, itu tentu saja dibandingkan dengan dirinya sendiri waktu mereka masih kecil dulu. Tetapi kalau kita melihat banyak anak-anak yang merasa juga kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya, sebenarnya masalah perhatian orang tua terhadap anak-anak bagaimana pada zaman ini?

PG : Pak Gunawan, memang kita harus akui adalah zaman mempuyai keunikannya masing-masing, tidak mempunyai kesamaan 100% dengan zaman-zaman sebelumnya. Kalau orang tua berkata kenapa anak-anak skarang ini lebih banyak masalah dibandingkan dengan anak-anak dulu, ada orang tua yang berkata saya dulu tidak pernah berani protes terhadap orang tua, tapi anak-anak sekarang berani protes.

Memang tidak sama, ketidaksamaan misalkan dalam hal keberanian untuk mengutarakan pendapat. Zaman sekarang anak-anak lebih didorong untuk berani mengutarakan pendapat sedangkan pada zaman dulu tidak. Bahkan pada zaman kita sekolah dulu kira-kira 20, 30 tahun yang lalu saya kira kita tidak terlalu diberikan kebebasan untuk mengutarakan pendapat, sekarang lebih banyak diberikan. Nah selain dari itu saya kira salah satu faktor yang membuat anak-anak sekarang ini lebih cenderung atau lebih rawan terhadap masalah adalah perbedaan struktur kehidupan. Misalkan, dulu masyarakat lebih komunal, hidup dalam satu komunitas, hubungan dengan kerabat jauh lebih akrab dan juga sanak keluarga masih sering mengunjungi atau tidak jarang ada yang tinggal dalam rumah kita. Dengan kata lain kalaupun orang tua kita itu pergi karena harus bekerja atau apa, kita itu jarang sendirian di rumah. Saya masih ingat waktu saya masih kecil, nenek saya, kakek saya itu datang ke rumah kami menginap bisa berminggu-minggu, nanti pindah ke rumah saudara kami yang lain nanti tinggal di sana beberapa minggu, nanti tinggal lagi di rumah kami, hal-hal seperti itu sangat umum terjadi. Sehingga dapat dipastikan jarang sekali anak-anak itu bertumbuh tanpa pengawasan atau perhatian orang tua baik ini orang tua kandung atau sanak atau kerabat yang tinggal di rumah yang sama. Sekarang memang zaman tidak sama, sekarang masyarakat lebih individualis, bahkan tidak jarang si anak misalkan yang sudah berusia dewasa tinggal di kota Jakarta tapi orang tuanya masih tinggal di Wonosobo. Ada lagi yang dari luar pulau tapi sekarang tinggal di sini, sanak keluarganya masih tinggal di luar pulau. Nah sekarang masyarakat jauh lebih mobile, lebih sering pindah akibatnya banyak orang yang tinggal sendiri-sendiri sekarang, kita tidak lagi mengenal siapa yang tinggal di sebelah rumah kita. Jadi akibatnya kalau orang tua tidak di rumah kebanyakan memang sekarang tidak ada lagi sanak keluarga yang ada di rumah, kebanyakan yang tinggal di rumah sekarang pembantu rumah tangga atau suster yang memang kita panggil untuk mengawasi anak-anak. Jadi benar-benar kevakuman itu akhirnya menimbulkan dampak karena perhatian dari orang tua atau sanak keluarga tidak ada lagi.
WL : Maksud Pak Paul, kehadiran suster itu tetap tidak bisa disamakan atau menggantikan peran dari keluarga dekat kita kakek-nenek atau paman, om-tante, begitu Pak Paul?

PG : Saya kira tidak bisa karena suster tahu bahwa dia adalah orang yang digaji untuk mengawasi anak-anak ini dan anak-anak ini juga tahu bahwa suster ini adalah orang yang digaji oleh orang tunya.

Sehingga pada umumnya anak-anak lebih berani dan tidak takut pada suster dan sebagai akibatnya suster pun juga enggan untuk lancang berani memarahi anak atau memberikan teguran kepada anak, dia takut anak ini mengadu kepada orang tuanya dan dia malah disalahkan. Jadi saya kira akhirnya suster juga berjaga-jaga, dia merawat, dia melayani tapi dalam kapasitas sebagai perawat, pemberi bantuan bukan sebagai figur yang memberikan perhatian, kasih sayang, otoritas atau mau tahu kehidupan pribadi si anak. Misalkan si anak ada masalah, saya kira dia juga tidak akan cerita dengan susternya tentang problemnya di sekolah. Jadi relasi suster itu dengan si anak akan terbatas maka tidak bisa menggantikan peranan orang tua itu.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, dalam hal orang tua sudah begitu sibuknya karena tuntutan zaman, apakah orang tua itu juga tidak menyadari bahwa hal itu bisa membuat kerenggangan hubungan dengan anak sehingga anak ini menjadi anak yang sukar diatur?

PG : Saya kira orang tua pada umumnya tidak menyadari sampai anak itu mulai remaja dan mulai memunculkan masalah. Misalkan mulai berani melawan, sudah diberitahukan tidak boleh misalkan pergi dngan temannya, tetap dia pergi; diberitahukan tidak boleh untuk menonton bioskop pada hari sekolah, tetap dia pergi dan menonton.

Nah orang tua biasanya mulai menyadari problem ini pada masa anak-anak sudah mulai remaja, tapi masalahnya adalah dua belas tahun sebelumnya si anak luput dari perhatian orang tua. Orang tua menganggap bahwa anaknya baik-baik saja, sekolah, pulang sekolah dan sebagainya seolah-olah tidak ada masalah. Namun karena perhatian yang seharusnya mereka berikan itu tidak diberikan kepada anak-anak, akhirnya anak-anak tumbuh besar tanpa orang tua, nah masuk usia remaja dia mulai menunjukkan problem.
WL : Tapi banyak orang tua yang menggunakan alasan (maksudnya pada zaman sekarang) untuk mau tidak mau istri juga turut bekerja tidak bisa mengawasi anak-anak. Karena banyak hal yang sudah bukan lagi karena tuntutan, misalnya kalau di Jakarta yang udaranya panas, mau tidak mau harus mempunyai AC itu sudah menjadi kebutuhan bukan menjadi hal yang mewah untuk maksudnya bisa bekerja dengan nyaman, bisa belajar dengan nyaman dan sebagainya, dan tuntutan-tuntutan yang lainnya misalnya harus kredit rumah, kredit mobil, mesin cuci dan sebagainya. Jadi mau tidak mau dua-dua harus bekerja, jadi anak dikorbankan, Pak Paul.

PG : Saya kira ada waktunya orang tua memang harus bekerja, saya mengerti bahwa kebutuhan sekarang makin meningkat dan juga ada wanita yang memerlukan kerja. Tidak semua wanita memang cocok untk diam di rumah terus itu lebih menimbulkan stres baginya, saya kira itu hal yang baik, hal yang memang seharusnya dilakukan.

Yang saya minta adalah kalau itu sudah dilakukan, setelah itu sebisanya di rumah dan waktu di rumah berikan perhatian. Jadi jangan menambah kegiatan-kegiatan yang masih bisa kita kesampingkan, kalau tidak sangat perlu jangan lakukan, sehingga waktu itu masih bisa kita berikan untuk keluarga kita di rumah. Kenapa orang tua sangat perlu memberikan perhatian, ini yang mungkin sering kali diajukan oleh orang tua. Mereka berkata kami dulu di rumah juga tidak ada mama-papa, meski mereka bekerja kami baik-baik saja. Nah yang ingin saya katakan sekarang adalah godaan atau pencobaan dulu dan sekarang tidak sama. Dulu (saya masih ingat waktu saya masih remaja, karena saya juga ikut-ikutan dan melakukan hal yang sama) saya akan pergi ke rumah teman yang lain untuk menonton film-film porno, hal yang salah, hal yang memang Tuhan tidak kehendaki, namun itulah yang saya dan teman-teman lakukan. Dan kami tidak bisa begitu mudah mendapatkan barang-barang porno atau yang salah itu, nah zaman sekarang mereka tidak usah ke mana-mana, di dalam rumah mereka sendiri mereka bisa mengakses gambar-gambar itu dan mereka bisa meminjam video-video dan menontonnya di rumah. Nah bayangkan kalau dari pagi sampai malam orang tua tidak ada di rumah, suster atau orang dalam rumah hanya melihat anak-anak ini di kamar beranggapan anak-anak ini sedang belajar, padahalnya lagi asyik-asyik menonton film-film porno. Jadi hal-hal seperti ini harus disadari oleh orang tua. Hal lainnya lagi yang memang sudah membedakan zaman sekarang dengan zaman dulu adalah chating. Kita tidak tahu anak kita itu chating dengan siapa di internet, nah kadang-kadang ada orang-orang yang memang sangat-sangat tidak waras itu masuk ke internet dan akan menggait anak kita, mereka akan mengajak anak kita, menyuruh anak kita melakukan hal-hal yang gila dan yang salah. Nah masalahnya kalau anak kita tidak mendapatkan pantauan dan pengawasan, mereka akan bebas melakukannya dan mereka tidak menyadari bahwa ini hal yang sangat berbahaya. Jadi di sinilah orang tua sangat perlu lebih memberikan perhatian, jadi bukan hanya buku, gambar-gambar, majalah-majalah, yang porno, tidak baik yang mereka bisa dapatkan sekarang gambar-gambar hidup, film-film hidup bahkan berhubungan langsung dengan orang-orang tersebut melalui internet, itu dapat dilakukan oleh anak-anak kita. Atau orang itu bisa mengirimkan materi kepada anak-anak kita kalau di rumah kita ada mesin fax atau melalui internet itu bisa juga dikirimkan. Jadi benar-benar orang tua itu harus menciptakan pagar, nah pagar itu hanya akan ada kalau mereka ada di rumah juga, memberikan perhatian kepada anak-anaknya.
GS : Pak Paul, di dalam keterbatasan waktu yang sangat singkat itu bersama dengan anak, mungkin Pak Paul bisa mengusulkan perhatian dalam bentuk apa yang bisa orang tua lakukan terhadap anaknya?

PG : Saya kira yang paling penting adalah orang tua harus berinteraksi dengan anak. Saya akhirnya simpulkan begini Pak Gunawan, mudah sekali buat kita berada di rumah tetapi tidak berada dalam ehidupan anak-anak kita, itu tidak sama.

Kita bisa berada di rumah tapi tidak berada di dalam kehidupan anak-anak kita, kenapa? Sebab kita tidak berinteraksi, tidak berbincang-bincang, kita tidak bertanya-tanya kepadanya tentang kehidupannya, tentang apa yang menjadi pergumulannya, tentang kesukaannya dan ketidaksukaannya. Orang tua harus berinisiatif membangun jembatan demi jembatan, sehingga setiap fase dalam kehidupan si anak akan tercipta kontak, komunikasi antara kita dan anak-anak kita. Kalau kita bersifat pasif, kita beranggapan anak-anaklah yang seharusnya mendekati kita dan menjalin komunikasi, saya kira kita keliru. Ada anak yang memang lebih manja, senang ngobrol-ngobrol dengan kita tapi sebagian anak-anak terutama menginjak usia remaja akan bersifat pasif, mereka tidak akan berkata apa-apa, menjelaskan apa-apa kalau kita tidak bertanya. Nah kalau kita tidak mempunyai jalinan relasi dengan si anak itu, otomatis kita akhirnya terpinggirkan dari kehidupan si anak dan kita tidak hadir di dalam kehidupan si anak. Jadi apa yang penting? Kalau boleh saya simpulkan dengan satu kata adalah interaksi.
WL : Pak Paul, kalau ada orang tua yang memang agak pendiam, pada dasarnya pendiam jadi jarang ngomong, jarang ngobrol dan sulit menciptakan topik-topik pembicaraan, mungkin ada usul atau saran dari Pak Paul untuk mencoab berinteraksi dengan anak bagi orang tua seperti ini Pak Paul?

PG : Misalkan si anak sedang mengerjakan sesuatu, nah orang tua bisa berkata bisa saya bantu, mengerjakan pekerjaan tangan misalkan, tanya saja "Boleh papa bantu?" Nah anak ini akan berata terserah.

Terus misalkan si papa langsung ambilkan ini ambilkan kertasnya, guntingnya atau apa, lemnya jadi bekerja sama. Atau si anak sedang membaca buku, si papa berkata: "Papa pernah membaca buku itu." Si anak akan berkata: ""O.....ya?" "Ini ceritanya," nah si papa kemudian ceritakan. Atau si papa membaca satu buku yang pendek kemudian berkata: "Papa, baru saja membaca buku bagus, mau atau tidak papa ceritakan?" Nah dia sendiri mungkin bukanlah seorang pembicara yang luwes tapi dia bisa mengambil bahan-bahan itu untuk dia sampaikan kepada anaknya. Nah dengan cara seperti itulah terjamin komunikasi antara si orang tua dengan si anak. Atau kalau pun sampai-sampai tidak ada percakapan, waktu si anak sedang berada di kamarnya mengerjakan sesuatu, si orang tua bisa berkata: "Boleh saya masuk?" Anaknya pasti berkata ya boleh, terus duduk-duduk di situ, diam-diam temani si anak. Siapa tahu si anak diam-diam begitu akhirnya bertanya sesuatu kepada orang tua. Atau si orang tua terpikir sesuatu dia bertanya lagi. Yang penting si anak melihat orang tua berusaha juga untuk masuk dalam kehidupannya atau kalau di rumah sudah dilakukan masih kurang juga, ajak anak kadang-kadang untuk pergi makan bakso, makan es crim, nah hal-hal kecil seperti itu menciptakan suasana di mana mereka bisa berdialog. Jadi orang tua bisa memberitahukan si anak bahwa kami tertarik kepadamu atau fungsi pemantauan itu sekali-sekali kita lakukan misalkan waktu si anak chating, orang tua langsung bertanya dan melihat apa yang dia tulis, anak itu buru-buru mematikan atau apa kita tanya : "Kenapa? Kamu bicara dengan siapa tadi? Kamu chating dengan siapa?" Kalau anak sama sekali merasakan bahwa dia bebas sepenuhnya di rumah, tidak ada pertanggungjawaban, itu awal dari bencana. Anak-anak akhirnya kalau dibesarkan tanpa pengawasan dia memang akan tumbuh tanpa arah sebab dia tidak tahu benar dan salah dan mudah sekali terjebak dan bisa menjadi liar.
GS : Tapi ada beberapa kasus, orang tuanya sebenarnya sudah memberikan perhatian penuh, istrinya juga tidak bekerja, jadi ibu dari anak ini tidak berkerja jadi memberikan perhatian dan kasih sayang tapi anaknya tetap menjadi anak yang nakal yang menyakitkan hati orang tua dan sebagainya.

PG : Kadang-kadang itu terjadi Pak Gunawan, jadi adakalanya kita sudah melakukan semua yang bisa kita lakukan, secara konsisten kita mendidiknya, memberikan perhatian kepadanya tapi masih tetapnakal, nah kadang-kadang itu akibat dari pilihan si anak itu sendiri.

Dia di luar bertemu dengan teman dia bisa diberikan atau disuguhkan pilihan-pilihan yang berbeda dari orang tuanya pernah diajarkan kepadanya akhirnya dia bisa ikut temannya. Atau dia memang sudah memiliki bahan, bahan yang memang maunya nakal misalkan energinya terlalu tinggi dan dia memang anak yang berani, maunya melakukan hal-hal yang agak nakal, nah hal-hal itu juga akhirnya bisa membawa dia ke dalam perilaku yang tidak sehat. Jadi kadang-kadang itu terjadi, nah orang tua tidak harus langsung menyalahkan dirinya, ini pasti karena kami, ya tidak usah begitu. Tapi yang penting orang tua tahu orang tua telah melakukan tugasnya. Jangan sampai orang tua berpikir seperti ini Pak Gunawan dan Ibu Wulan, "yang penting 'kan bukannya banyak waktu atau jumlahnya waktu yang kami berikan, yang penting 'kan kwalitasnya bukan kwantitas." Nah ini argumen yang saya ingin patahkan, kwalitas itu tidak akan ada di luar kwantitas. Kwalitas itu hanya ada di dalam kwantitas, kalau kita tidak memberikan waktu sama sekali buat anak, ya tidak akan ada waktu yang berkwalitas yang bisa diserap oleh anak, maka harus ada waktunya juga. Kita jangan berkata tidak apa-apa setengah jam yang penting ini bernilai, nah yang memutuskan bernilai sering kali bukan kita tetapi anak kita. Kita boleh menganggap diskusi ini bernilai, tapi bisa jadi besok si anak lupakan sebab bagi dia diskusi ini diskusi yang tidak bernilai. Tapi waktu papanya atau mamanya mengajak dia main, ketawa, bercanda, itu hal yang dia kenang sampai dia besar karena itu adalah tali yang mengikatkan dia dengan orang tuanya, membuat dia tambah sayang kepada orang tuanya. Jadi sekali lagi yang menentukan waktu itu berkwalitas sering kali si anak itu sendiri.
GS : Bagaimana orang tua bisa menyadari bahwa kehadirannya itu memang akan membuahkan sesuatu yang positif bagi anaknya?

PG : Biasanya begini Pak Gunawan, tadi saya sudah singgung bahwa orang tua memang tidak menyadari sampai problem muncul. Jadi apa yang harus menjadi tanda awas bagi orang tua, sehingga waktu prblem muncul orang tua bisa menyadarinya jadi jangan terlalu jauh masalahnya berkembang.

Misalkan anak-anak itu menjadi terlalu agresif, makin susah diatur, makin suka bermasalah, berkelahi di luar dan sebagainya, nah itu bisa jadi problem nah itu bisa jadi sebagai orang tua kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, kurang memberikan arahan waktu dia mulai nakal kepada adiknya, kita tidak ada di rumah, mungkin adiknya dia tonjok, mungkin adiknya mau pinjam mainan dia tidak berikan, dia banting mainannya atau apa, kita tidak ada di rumah, kita sama sekali tidak tahu hal-hal seperti itu sehingga dari kecil akhirnya si anak-anak itu mengembangkan sifat-sifat yang kasar. Kita tahunya kapan, waktu di di luar berkelahi dengan anak-anak lain, baru kita sadar. Jadi satu perilaku ekstrim yang menjadi tanda awas kita adalah agresif. Yang satunya adalah perilaku menarik diri, murung, maunya di kamar, susah bergaul dengan orang, tidak mempunyai teman, ketakutan ke mana-mana, nah kita mesti mulai berpikir kenapa anak kita begini. Apakah ada dampaknya dari orang tua, apakah kita ini cukup baik, apakah kita mempunyai masalah, apakah kita sering bertengkar, sehingga anak kita menjadi penuh ketakutan. Nah kalau kita melihat ada masalah-masalah yang muncul kita mesti sadari nah ini sudah perlu bantuan. Apa yang bisa kita lakukan, kita mesti melihat duduk masalahnya apa, penyebabnya apa, apa yang kurang, nah di situ perlu kita perbaiki. Nah salah satunya tadi saya sudah singgung adalah kita mesti berada dalam kehidupan si anak, mesti hadir dalam dirinya, memberikan waktu, berinteraksi dengan si anak.
WL : Pak Paul, saya tertarik dengan penjelasan Pak Paul tentang tanda anah yang agresif tadi. Itu sebenarnya memang dia tipe anak yang agresif atau itu cuma upaya dia supaya menarik perhatian orang tuanya, Pak Paul?

PG : Bisa dua-duanya Bu Wulan, memang ada anak-anak tertentu yang bawaannya agresif sekali, tenaganya tinggi sekali, sehingga mereka ini cenderung terlibat dalam masalah juga. Tapi ada tipe ana yang kedua yang memang bermasalah karena di rumah bermasalah.

Misalkan di rumah orang tua sering bertengkar, berteriak-teriak, sehingga si anak ketakutan, tegang, menyimpan banyak kemarahan pula karena melihat orang tuanya sering bertengkar. Kemarahannya tidak bisa diekspresikan kepada orang tuanya yang lebih besar darinya, nah dia akan ekspresikan di luar rumah dengan teman-temannya, temannya berkata salah langsung dia tonjok, gurunya lagi mengajar dia lempar dengan kapur dan sebagainya. Nah itu merupakan luapan frustrasinya, kemarahannya yang memang harus dia keluarkan, tapi dia mengeluarkannya dengan cara yang tidak sehat.
GS : Pak Paul, ada anak yang terhadap salah satu orang tuanya misalkan terhadap ayahnya dia menaruh hormat, baik kepada ayahnya, tapi begitu dengan ibunya tingkah lakunya berubah. Berani melawan ibunya, berani memukul ibunya dan sebagainya, sebenarnya faktor apa Pak Paul yang menyebabkan hal itu?

PG : Bisa jadi faktor utama adalah memang ibunya terlalu lembek, sehingga si anak tidak menaruh hormat kepada ibunya. Waktu ibunya berkata apa, dia tahu dia bisa lawan dan dia akan lawan dan keetulan sifat anak ini agak keras.

Ada anak-anak yang sifatnya penurut, lebih sensitif perasaannya, anak-anak seperti ini cenderung tidak bersikap kasar kepada ibunya, itu yang pertama. Yang kedua kemungkinannya adalah si anak memang melihat si ayah memarahi si mama dan waktu memarahi si mama berkata hal-hal yang kasar. Saya mengingat sebuah kasus di mana seorang pemuda waktu masih kecil sering melihat papanya memaki-maki mamanya tolol, goblok, sering kali dia lihat dan itu membuat dia marah dan benci kepada papanya. Tapi apa yang terjadi setelah dia mulai remaja dan menginjak dewasa, mamanya sebagai mama kadang-kadang bertanya ini, bertanya itu, mau tahu ini, mau tahu itu, nah dia juga kesal dengan mamanya, nah anak-anak lain kesal dengan mamanya ya sudah diam tidak berani berkata apa-apa. Tapi dia karena melihat papanya sering mengatakan goblok kepada mamanya sekarang waktu mamanya tanya ini, itu, dia langsung meledak dan dia panggil mamanya goblok, tolol. Nah si papa berani atau tidak memarahi si anak, dia dosen yang paling baik di rumah, dia guru yang paling baik mengajar memanggil mamanya tolol, goblok, nah jadi si papa juga akan diam. Akibatnya si anak makin besar makin berani dengan mamanya, nah jadi kadang-kadang penyebabnya yang kedua ini Pak Gunawan.
GS : Juga bisa terjadi sebaliknya Pak Paul, kalau ada anak yang justru iba kepada ibunya yang diperlakukan kasar seperti yang tadi Pak Paul katakan dan anak ini justru tidak senang terhadap ayahnya.

PG : Betul sekali, jadi adakalanya kebalikannya justru dia mau melindungi si mama karena diperlakukan tidak baik oleh papanya. Namun yang tadi itu juga cukup umum, meskipun sayang dan kasihan kpada mama tapi waktu dia marah apa yang telah terekam di benaknya itu langsung keluar dengan otomatis.

Dia sendiri mungkin tidak suka dan malu, merasa bersalah mengatai mamanya goblok dan tolol, tapi karena terekam terlalu kuat di benaknya sering mendengarkan papanya memaki-maki mamanya akhirnya setelah dia besar rekaman itu bermain dengan sendirinya.
WL : Atau ada juga ini Pak Paul, para ibu yang memang menciptakan kondisi seperti itu dia tidak mempunyai power memarahi anaknya selalu memakai kalimat nanti kalau papa pulang begini, begini. Jadi dia melimpahkan kekuasaan itu kepada papa.

PG : Dan melemahkan wibawanya di hadapan anak, betul. Jadi adakalanya karena mama kurang menyadari melakukan hal-hal yang justru makin melemahkan wibawanya sehingga anak makin berani kepadanya.

GS : Padahal sebenarnya idealnya dua-duanya yang harus peduli terhadap anak agar dua-dua dihormati. Dalam hal ini apakah ada ayat firman Tuhan yang menunjang atau mendukung perbincangan kita ini.

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 11:30 , "Hasil orang benar adalah pohon kehidupan, dan siapa bijak, mengambil hati orang." Saya senang dengan bagian pertama ayat ini yang erkata hasil orang benar adalah pohon kehidupan, nah saya yakin salah satu tujuan kita sebagai orang tua Kristen adalah menjadi orang yang benar maksudnya kita melakukan hal yang benar, kita mendidik anak-anak dengan benar.

Kita berharap hasil dari perbuatan kita adalah pohon kehidupan, saya kira itu betul, kalau orang tua hidup benar lebih terbuka peluang anak-anaknya itu akan menjadi pohon kehidupan, karena orang tua telah melakukan tugasnya dengan benar. Jangan sampai kita sebagai orang tua tidak melakukan tugas kita dengan benar, melalaikan tanggung jawab kita, tidak memberi perhatian kepada anak-anak kita, saya takutkan nanti hasilnya karena kita tidak hidup benar bukanlah pohon kehidupan, malahan kita akan menanam pohon kematian di rumah kita. Pohon masalah yang tidak habis-habisnya dalam keluarga kita, maka tanamlah kebenaran, tanamlah hidup yang benar di rumah tangga kita sehingga anak-anak kita bertumbuh menjadi pohon kehidupan.

GS : Ya memang tantangannya jauh lebih berat zaman sekarang daripada zaman terdahulu Pak Paul, tetapi firman Tuhan ini pasti menguatkan dan mengarahkan kita semua. Terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan, para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Perhatian Orang Tua terhadap Anak-anak." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



2. Peran Ayah dalam Pembinaan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T011A (File MP3 T011A)


Abstrak:

Salah satu peran yang dituntut firman Allah terhadap ayah adalah peran mendisiplin anak. Dalam materi ini diajarkan bagaimana seorang ayah mendisiplin anak yang sesuai dengan firman Tuhan.


Ringkasan:

Efesus 6:4 berkata: "Dan kamu bapa-bapa janganlah bangkitkan amarah hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Ada hal yang menarik dalam ayat ini yaitu yang diminta oleh Tuhan untuk mendidik anak bukanlah ibu tapi ayah.

Kata didik sebenarnya kata mendisiplin. Jadi peran mendisiplin anak-anak adalah tanggung jawab ayah, satu peran yang Tuhan dengan jelas minta adalah peran seorang pendidik atau peran sebagai seorang pendisiplin. Sementara peran membesarkan anak secara fisik, secara emosional lebih berada pada pundak ibu. Mendisiplin memang mempunyai suatu resiko, resikonya adalah membangkitkan amarah bagi yang didisiplin.

Pada prinsipnya kalau kita / seorang ayah mendisiplin anak, harus melihat kedua hal yaitu:

  1. Anak mesti melihat kita adil. Anak boleh tidak setuju tetapi dia melihat keadilan di sini, baik terhadap adik atau kakaknya.

  2. Anak mesti melihat motivasi kita. Sewaktu kita mendisiplin, anak dapat melihat bahwa motivasi kita benar dan baik bukan karena kita sedang memuaskan hasrat marah.

Peran seorang ayah untuk mendidik anak sudah ada sejak lama, di kitab Ulangan Tuhan memberikan perintah kepada orang tua yang pada prinsipnya adalah terapkanlah dan ajarkanlah anak-anak tentang Tuhan, didiklah mereka, besarkanlah mereka dalam Tuhan di setiap keadaan yang kita miliki.

Seorang anak cenderung menerima suatu disiplin kalau dia merasa dekat dengan orang yang mendisiplinkan dia. Namun hal ini memang kurang memungkinkan bagi seorang ayah yang setiap harinya sibuk bekerja. Tapi Tuhan pun tidak menuntut hal yang di luar jangkauan kita, jadi peran mendisiplin ini diberikan memang dalam konteks yang ada batasannya.

Yang perlu diperhatikan manakala seorang ayah harus menghadapi anak yang melakukan kesalahan adalah menjaga emosi. Ada kecenderungan kita sebagai pria memiliki pola pikir kerja yaitu:

  1. Aku memberi instruksi, anak melakukan instruksi

  2. Ayah menganggap anak sudah tahu tanggung jawabnya. Jadi dalam hal ini pengharapan anak sadar itu kuat sekali dalam diri ayah biasanya dan sewaktu anak mengulang perbuatan yang sama cenderungnya kita marah. Kita tidak cukup sabar menoleransi bahwa anak memang cenderung mengulang perbuatan yang sama.

Peran seorang ayah sebagai pendisiplin dapat menimbulkan kesan yang kurang baik pada diri anak. Yaitu bisa menimbulkan terjadinya interaksi negatif dalam keluarga. Interaksi negatif adalah sewaktu kita ini sedang berinteraksi dengan si anak atau sewaktu kita berbicara dengan anak, interaksi tersebut ditandai oleh kemarahan, pendisiplinan atau teguran dan koreksi. Jadi ayah memang harus berupaya dengan keras dekat dengan anak, meskipun terbatas dalam hal waktu. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah setelah mendisiplin perlu mendekati si anak, ngomong dengannya, peluk dia, misalkan kita sadar kita keliru kita sampaikan permintaan maaf kita kepadanya. Nah hal ini akan menetralisir apa yang telah terjadi, jadi menyeimbangkan hubungan kita dengan dia kembali.

Dampak negatif yang terjadi apabila seorang ayah kurang berperan dalam pendidikan anak, sbb:

  1. Anak akan kehilangan peran. Karena anak khususnya anak laki-laki memerlukan model, baik cara dia bersikap, berpikir, dia bertindak, cara dia menanggapi suatu masalah. Kalau seorang ayah tidak berperan, anak akan dirugikan dalam artian tidak cukup bahan yang diserapnya untuk menjadikan dia seorang manusia yang tangguh dan sudah pasti kehilangan peran model ayah yang positif seperti apa.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling, juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan mengajak Anda berbincang-bincang tentang "Peran Ayah dalam Pembinaan Anak". Kami percaya topik ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, di dalam mendidik anak sering kali yang kami jumpai adalah diserahkan kepada istri atau ibu dari anak-anak itu. Sebenarnya pola pendidikan seperti itu secara Kristiani itu bisa dipertanggungjawabkan atau bagaimana Pak?

PG : Kalau dilihat dari sudut Kristiani sudah tentu memang kurang begitu tepat Pak Gunawan, karena Tuhan memang meminta ayah untuk terlibat. Jadi budaya kita memang lebih memberikan tanggung jaab itu kepada para ibu, tapi yang disetujui oleh budaya belum tentu adalah hal yang dikehendaki oleh Tuhan.

Misalkan Pak Gunawan saya bisa kutip dari Firman Tuhan di kitab Efesus 6:4 "Dan kamu bapa-bapa janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Bagi saya hal ini cukup menarik, Pak Gunawan, karena yang diperintahkan oleh Tuhan untuk mendidik anak bukanlah ibu tapi ayah. Nah kata mendidik sebenarnya kata mendisiplin, jadi kalau saya boleh menginterpretasikannya dengan lebih luas, saya berkesimpulan bahwa peran mendisiplin anak-anak adalah tanggung jawab ayah, peran membesarkan anak secara fisik, secara emosional saya simpulkan lebih berada pada pundak ibu seperti itu Pak Gunawan.
GS : Tetapi keduanya harus bekerja sama begitu maksudnya Pak Paul, jadi antara kedisiplinan dan membesarkan itu 'kan harus seimbang dan bersama-sama, padahal ayah kebanyakan sering kali waktunya habis dengan pekerjaannya, dengan kegiatannya di luar dan sebagainya.

PG : Betul, jadi Tuhan memang mendisain peranan ini dengan lengkap dan sempurna, tidak realistik kita ini menuntut ayah untuk bertanggung jawab dalam hal membesarkan anak dalam pengertian membei makan anak, merawat, mengasuh kebutuhan fisiknya, saya kira ayah akan mengalami kesulitan untuk mengatur semua itu karena dia memang sudah bekerja dari pagi sampai sore.

Namun Tuhan memang meminta ayah untuk berperan dalam rumah tangga dan satu peran yang Tuhan dengan jelas minta adalah peran sebagai seorang pendidik atau peran sebagai seorang pendisiplin.
(2) IR : Pak Paul mungkin bisa memberikan contoh-contoh konkret bagaimana seharusnya seorang ayah itu mendisiplin seorang anak?

PG : Nah di sini Tuhan memberikan suatu prasyarat yang bagus ya dan "kamu bapa-bapa janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu." Mendisiplin memang mempunyai suatu resiko IbuIda, resikonya adalah membangkitkan amarah bagi yang didisiplin.

Misalkan kita tempatkan diri sebagai seorang pekerja, sewaktu kita menerima disiplin dari perusahaan atau tempat kita bekerja, biasanya memang membangkitkan amarah dalam diri kita. Meskipun kita tahu kita bersalah dan harus menerima sanksi, namun waktu disiplin itu diberikan oleh atasan kita, kita rasanya tidak mudah menerima hal itu. Dengan kata lain, memang sudah merupakan natur atau sifat kita sebagai manusia yang tidak begitu suka untuk menerima teguran atau disiplin. Karena disiplin itu memang menghalangi keinginan kita atau hasrat kita, membuat kita harus berubah sesuai dengan kehendak orang lain. Namun kita cenderung bisa menerima disiplin atau lebih mudah menerima disiplin kalau kita benar-benar merasa bahwa nomor 1 kita bukan diperlakukan secara semena-mena, dengan kata lain kita merasa adanya keadilan. Kalau kita tidak melihat keadilan atau unsur keadilan itu di dalam disiplin, kita akan marah kita tidak akan senang. Kedua kita lebih mudah menerima disiplin kalau kita memahami dan melihat jelas bahwa motivasi orang tersebut dalam mendisiplin kita adalah baik, dalam pengertian bukan untuk kesenangan pribadinya. Nah misalkan alasan manager kita misalnya mendisiplin kita, meskipun kita tahu ini bukan karena dia mengasihi kita dia mendisiplin kita, tapi kita lebih bisa menerima kalau kita tahu tidak ada konflik pribadi, tidak ada konflik atau bukan kepentingan dia mencoba untuk memuaskan nafsunya saja dalam mendisiplin kita. Nah kalau kita bisa melihat kemurnian hati si pendisiplin, kita lebih mudah menerima disiplin tersebut. Jadi prinsipnya Bu Ida, sebelum kita bahas yang lebih konkret kalau kita mendisiplin anak, anak itu perlu melihat kedua hal tersebut yaitu anak mesti melihat kita adil. Dia boleh tidak setuju tapi dia melihat adil dalam pengertian kalau adik saya yang bersalah, adik juga menerima sanksi yang sama, kakak saya bersalah, kakak menerima sanksi yang sama dan sebagainya, biasanya keadilan itu kita ukur dari sudut perbandingan. Anak kecil gemar sekali membandingkan diri dengan adik atau kakaknya, jadi anak harus melihat unsur keadilan baru lebih mudah menerimanya. Kedua, anak mesti melihat motivasi kita bahwa waktu kita mendisiplin dia bukan karena kita ini sedang memuaskan hasrat marah itu, kita lagi marah dengan siapa akhirnya kita lampiaskan kepada anak, nah 2 hal itu harus ada.
GS : Peranan ayah yang begitu besar itu baru dikenal pada saat Paulus menulis surat atau memang prinsip itu sudah diperkenalkan oleh Tuhan sejak lama Pak?

PG : Sudah sejak lama, sebab misalnya di kitab Ulangan Tuhan memang memberikan perintah kepada orang tua secara keseluruhan, satu unit untuk juga membesarkan anak-anak di dalam Tuhan, mengajarkn anak-anak tentang Tuhan, bahkan digunakan kalimat-kalimat yang sangat konkret pada waktu dia bangun, pada waktu dia tidur atau waktu engkau berjalan, waktu engkau duduk yang sebetulnya semua mengacu pada satu prinsip yaitu terapkanlah dan ajarkanlah anak-anak tentang Tuhan, didiklah mereka, besarkanlah mereka dalam Tuhan di setiap kesempatan yang engkau miliki.

Jadi memang tidak ada pembedaan bahwa ibulah yang harus merawat, ayah yang harus bekerja di luar, pembedaan itu sebetulnya tidak ada di Alkitab. Pembedaan itu atau pembedaan peran itu sebetulnya lebih disebabkan oleh latar belakang budaya kita sendiri.
IR : Pak Paul apakah itu juga dipengaruhi oleh kedekatan seorang ayah dan anaknya Pak Paul? Sebab prakteknya seorang ayah yang sehari bekerja, malam sudah lelah itu sulit sekali untuk bisa berkomunikasi, untuk bisa dekat dengan seorang anak. Sehingga waktu anak itu didisiplinkan si ayah mengalami kesulitan sama sekali Pak Paul.

PG : Itu betul Ibu Ida, jadi anak itu cenderung menerima disiplin kalau dia merasa dekat dengan orang yang mendisiplin dia. Nah faktor ayah yang otomatis akan sedikit jauh dari anak karena faktr pekerjaan tadi, memang merawankan si ayah tatkala mendisiplin anak.

Maka tadi Alkitab berkata dengan jelas, jangan bangkitkan amarah anakmu artinya memang mendisiplin anak mempunyai resiko yang berkebalikan dari yang kita harapkan. Hasilnya tidak produktif malah merugikan, karena membuat anak malah mendendam kepada kita. Kalau dia merasa dekat dengan kita, dia akan lebih cenderung untuk menerima disiplin tersebut, sekali lagi dia mesti juga melihat apakah adil dan juga yang kedua dia mesti melihat bahwa motivasi si ayah ini benar dan baik, bukannya melampiaskan hasrat amarahnya saja, syaratnya begitu Ibu Ida.
GS : Ya tetapi 'kan pada naturnya, kami bapak-bapak ini 'kan agak sulit untuk dekat terutama ketika anak itu masih kecil. Kalau sudah menjelang remaja atau dewasa dia bisa seperti teman dengan kami, tetapi untuk mendidik anak ini dibutuhkan sedini mungkin artinya sejak kecil kita sudah mulai ikut terlibat di dalam pendidikan anak itu. Nah tindakan-tindakan konkret apa yang bisa kami lakukan sebagai ayah?

PG : Saya mengakui bahwa kita sulit sekali berkompetisi dengan istri-istri kita Pak Gunawan dalam hal kedekatan dengan anak, apalagi istri yang memang fulltime di rumah tangga. Jadi saya kira Than pun tidak menuntut hal yang di luar jangkauan kita, jadi memang tidak bisa.

Jadi peran pendisiplin atau peran mendisiplin itu memang kita berikan dalam konteks yang ada batasannya. Waktu kita pulang kita sudah lelah, nah terus kita mendengar misalnya dari istri kita bahwa si anak nakal atau berbuat hal yang tidak benar. Yang mesti kita jaga adalah nomor satu emosi kita, ada kecenderungan kita ini sebagai pria karena dari pagi sampai sore dan bahkan bagi sebagian orang sampai malam, kerja di luar, pola pikir itu sudah menjadi pola pikir kerja. Dan pola pikir kerja adalah aku memberi instruksi engkau melakukan instruksi, kita diperlakukan seperti itu oleh atasan kita, kita berbuat hal yang sama kepada bawahan kita, itu yang pertama. Jadi instruksi - pelaksanaan, instruksi - pelaksanaan polanya seperti itu. Pola yang lain adalah bahwa seharusnya masing-masing sudah tahu tanggung jawabnya itu pola kerja yang sebetulnya kita semua serap tanpa kita sadari. Jadi sewaktu seseorang tidak melakukan tanggung jawabnya sudah dapat dipastikan akan muncul perasaan tidak suka, tidak senang terhadap orang tersebut. Seharusnya engkau sudah tahu tapi engkau melalaikan tanggung jawabmu. Nah dua hal ini biasanya kita bawa pulang Pak Gunawan dan Ibu Ida, kita bawa pulang ke rumah dan kita mengharapkan nomor satu, kita memberi instruksi, anak melaksanakan instruksi. Waktu kita memberi instruksi, anak membantah, kita ini seolah-olah harus tukar gigi kalau naik mobil dari gigi 4 ke gigi 2 glek....glek....glek begitu. Kenapa tukar gigi karena tiba-tiba kita harus belajar menoleransi bantahan. Di tempat kerja istilah bantah itu istilah yang memang haram, kita tidak terima istilah bantah, apalagi kalau itu diberikan oleh atasan. Nah tukar gigi itu tidak gampang Pak Gunawan dan Ibu Ida, ayah itu cenderung susah sekali menukar gigi dan akan membawa pola yang sama. Dan pola yang kedua tadi yang saya sudah sebut adalah ayah itu menganggap anak sudah tahu tanggung jawabnya atau hal ini sudah pernah dibicarakan sebelumnya dulu: "Seharusnya engkau ingat, seharusnya engkau sadar", nah jadi ekspektasi atau pengharapan anak sadar itu biasanya kuat sekali dalam diri ayah, dan sewaktu anak mengulang lagi perbuatan yang sama cenderung kita marah. Kita tidak cukup sabar untuk menoleransi bahwa anak ini memang mengulang perbuatan yang sama berkali-kali sebab di dunia pekerjaan hal itu tidaklah lazim atau tidak ditoleransi. Pekerja yang mengulang perbuatan yang salah berkali-kali akan dikeluarkan, tapi anak tidak bisa kita keluarkan.
GS : Jadi Pak Paul kalau kita sebagai ayah cuma mendisiplin anak, itu bisa timbul kesan bahwa ayah ini kejam begitu, jadi cuma menguraikan hal-hal yang jelek saja, pada hal ibunya yang membesarkan dan sebagainya itu bisa bercitra positif Pak Paul. Nah bagaimana untuk mengatasi hal ini supaya anak itu tidak timbul kesan ayah ini bisanya cuma mendisiplin kami saja?

PG : Betul, itu yang kita sebut interaksi negatif jadi itulah salah satu hal yang harus dicegah dalam kehidupan berkeluarga yakni menciptakan interaksi negatif. Saya jelaskan yang saya maksud dngan interaksi negatif, interaksi negatif adalah sewaktu kita ini sedang berinteraksi dengan si anak atau sewaktu kita berbicara dengan anak, interaksi tersebut ditandai oleh kemarahan, pendisiplinan atau teguran dan koreksi, nah itu yang disebut atau yang dimaksud dengan interaksi negatif.

Kalau si ayah hanya berinteraksi dengan anak secara negatif dalam konteks menegur, mendisiplin si anak, anak pasti akan merasa tidak senang dengan si ayah. Dan memang reaksi yang diberikan oleh si anak adalah marah, jadi betul sekali Pak Gunawan, ayah memang harus berupaya dengan keras dekat dengan anak, meskipun terbatas dalam hal waktu. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah setelah mendisiplin perlu mendekati si anak, itu prinsip yang harus kita pegang. Setelah kita menegur atau memarahi anak berikan tenggang waktu misalnya 5 menit atau 10 menit, setelah itu kita mesti mendekati dia, kemudian kita ajak dia bicara, kita peluk dia atau misalkan kita sadar kita keliru kita sampaikan permintaan maaf kepadanya. Ini untuk menetralisir apa yang telah terjadi, jadi menyeimbangkan hubungan kita dengan dia kembali, kalau tidak takutnya seperti tadi yang Pak Gunawan sebut, yaitu si ayah akhirnya akan dilihat hanya sebagai pendisiplin.
GS : Jadi itu untuk menimbulkan rasa keyakinan bahwa kami itu mendisiplin untuk kebaikannya dan bahwa kita tetap mengasihi dia itu Pak Paul yang mau dicapai dari pendekatan-pendekatan itu. Tapi juga ada masalah Pak Paul, anak-anak yang tumbuh khususnya pada akhir-akhir ini itu 'kan merasa bebas, berbicara dengan orang tua pun dia bebas bahkan menentang orang tua pun dia merasa tidak bersalah sama sekali itu Pak Paul. Nah sedang kami sebagai ayah, sebagai orang tua itu masih terikat dengan pola pikir lama pada waktu kami masih anak-anak itu dididik dengan keras, dengan rotan, dihukum di dalam kamar dan sebagainya itu yang rasanya sekarang sulit untuk diterapkan Pak Paul, nah itu bagaimana kami itu mengatasi kesulitan itu?

PG : Dan memang seharusnya sulit Pak Gunawan, tapi saya harus berkata bahwa metode-metode yang seperti dulu itu kalau terus digunakan sekarang, saya takut lebih berakibat buruk daripada baik. Knapa? Sebab jaman dulu di luarpun dunia seperti itu, jadi benar-benar iklim demokratis tidak ada, semuanya itu benar-benar searah dan bersikap hirarkis.

Nah sekarang kalau anak-anak di rumah dibesarkan seperti itu, apa yang aku katakan engkau lakukan, dengan keras kita ini tidak mengijinkan ruangan untuk berbantah, sedangkan di luar dia mulai melihat kehidupan yang berbeda nah ini akan menimbulkan konflik yang jauh lebih besar. 20-30 tahun yang lalu hal ini tidak terjadi karena di luar pun dia melihat hal yang sama, misalkan figur guru, figur otoritas yang sangat kuat dulu-dulu itu ditakuti sekali. Namun sekarang kita melihat iklim demokratis sudah benar-benar merambah ke mana-mana, sehingga waktu si anak keluar si anak mendapatkan kenyamanan, bebas bicara apa adanya dan sebagainya. Waktu pulang ke rumah tidak bisa bebas seperti itu, dia merasa sangat tertekan karena sekarang muncul konflik antara yang di luar dan yang di dalam. Maka dorongan dia untuk memberontak akan jauh lebih diperbesar, begitu saya melihatnya.
IR : Dan kenyataannya Pak Paul, anak-anak itu kalau dinasihati ayah sekalipun nasihat itu lemah lembut sering tidak bisa menerima tapi kalau si ibu sekalipun marah dia itu bisa menerima, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Itu saya alami juga Bu Ida, di rumah tangga saya sendiri. Kalau saya yang menegur anak, anak saya itu bereaksi dan saya senang karena di rumah iklim keterbukaan kami coba pelihara, sehingg mereka beritahu saya secara langsung.

"Papa kenapa suaranya keras? Kenapa sih Papa itu mesti marah seperti itu?" walaupun bagi saya suara saya tidak begitu terlalu keras menurut saya, tapi bagi anak-anak mereka mengeluh sekali. Tapi istri saya kalau marah, anak-anak jarang-jarang mengeluh rasanya itu hal yang mereka terima, nah saya hanya bisa menduga, dugaan saya yang pertama faktor waktu, anak itu lebih terbiasa dengan Mama dibandingkan dengan Papa, sehingga anak lebih mengenal emosi Mama yang bisa marah, bisa tidak marah, bisa lembut, bisa keras, karena terbiasa hidup dengan Mama dari pagi sampai malam. Sedangkan dengan Papa kurang, jadi sewaktu Papa pulang misalnya sudah jam 07.00 atau 06.00 sore dan kemudian terjadi sesuatu, ayah marah si anak itu seolah-olah tidak siap, sementara pagi sampai jam 06.00 engkau tak ada di rumah. Nah tiba-tiba sekarang jam 07.00 malam engkau marah. Beda dengan ibu dari pagi sampai malam, ibu bersama-sama dengan kami, dan mungkin sekali dari pagi sampai malam itu dia sudah mendengar mamanya itu berteriak 10 kali atau 5 kali. Jadi sewaktu jam 07.00 malam, mamanya marah lagi itu hanya kemarahan yang ke 6 kali atau ke 11 kalinya jadi anakpun lebih bisa menerima. Yang kedua adalah karena lebih banyak waktu yang diberikan ibu kepada anak, anak itu juga lebih mengenal Mama dibandingkan mengenal Papa. Kita harus sadari bahwa lebih banyak hidup dengan seseorang akan lebih membuat orang itu mengenal kita, jadi anak cenderung lebih mengenal Mamanya dibandingkan mengenal Papanya, karena keterbatasan waktu itu. Mengenal artinya apa? Mengenal artinya tahu Mama itu seberapa marahnya, benar-benar benci atau tidak pada saya, waktu Mama bilang "Kamu jangan berteriak lagi!!" Artinya hanyalah jangan berteriak lagi, tapi bagi si anak waktu mendengar si papa "Kamu jangan berteriak lagi!" nah kemungkinan anak akan bertanya-tanya Papa tidak suka pada saya? Kenapa Papa tiba-tiba marah? Apa yang saya perbuat? Kok Papa moodnya bisa begini sekarang? Lebih banyak pertanyaan karena kurangnya pemahaman atau pengenalan itu. Jadi ini dugaan saya, hal-hal inilah yang membuat anak akhirnya lebih bisa menoleransi kemarahan Mama dibandingkan dengan kemarahan Papa.
IR : Tapi akhirnya si ayah itu kurang berperan di dalam mendidik anak-anak Pak Paul?

PG : Ya, bisa begitu Bu Ida, karena akhirnya ayah bisa berpikir saya ini kalau malam pulang kok jadi ribut dengan anak. Nah kecenderungan kita akhirnya adalah menghindar: "Udah dah kamuyang urus kita," berkata kepada istri kita, sebab daripada kita ribut dengan anak setiap kali pulang akhirnya menghindar.

Nah akhirnya kita kurang berperan itu bisa terjadi juga, sebab kita akhirnya mengakui: "Ya, istri kita lebih efektif, anak lebih bisa terima, anak tidak marah ya sudah, kita jarang di rumah, waktu terbatas ya kita mau manfaatkan waktu yang ada secara positif kita mau membangun hubungan yang baik dengan si anak. Jadi akhirnya dengan rela atau tidak rela kita melemparkan lagi tanggung jawab ke pundak Ibu.
(3) GS : Seandainya itu yang terjadi Pak Paul, sebenarnya apa dampak negatif yang terjadi pada diri si anak kalau ayah itu kurang berperan di dalam pendidikan?

PG : Dampaknya banyak Pak Gunawan, karena pertama-tama anak-anak itu apalagi anak laki, memerlukan model, contoh, dia bersikap, dia berpikir, dia bertindak sebetulnya melalui percontohan. Nah swaktu ayah kurang berperan meskipun secara fisik hadir di rumah tapi tidak banyak bicara dengan dia, tidak banyak berinteraksi dengan anak-anak, malah hanya diam-diam saja di rumah, si anak akan kehilangan peran, contoh peran yang seharusnya dia dapat.

Bagaimana menyikapi sesuatu bagaimana bereaksi terhadap sesuatu, misalkan si ayah membaca koran kemudian ada 1 berita yang dibaca kemudian si ayah memberikan komentar. Nah mungkin komentar seperti itu biasa saja, tapi bagi anak ini sebetulnya adalah bahan-bahan untuk membangun dia menjadi seorang manusia dewasa yang tangguh. Dia bisa melihat bagaimana si ayah menyikapi hal ini, o......ada perampokan misalnya o....ayah ini berkata gini..gini....gini.....gini, o...misalnya ada keadaan di mana ketidakadilan terjadi, si ayah mengeluarkan komentar seperti ini. Dari semua hal itu si anak akhirnya menimba masukan bagaimana membentuk diri dia itu. Nah saya takutnya kalau ayah tidak berperan, anak akan dirugikan dalam arti tidak cukup bahan yang diserapnya untuk menjadikan dia seorang manusia yang tangguh dan sudah pasti kehilangan peran model itu, ayah yang positif seperti apa, ini saya pikir kerusakan yang paling berbahaya, yang paling besar.
GS : Ya jadi saya melihat bahwa peran pendidikan yang harus dilakukan oleh istri maupun suami atau ayah maupun ibu itu sebenarnya sangat mendasar Pak Paul ya. Jadi kalaupun ayah itu sekarang diminta untuk terlibat dalam pendidikan, itu bukan sesuatu hal yang baru tetapi kita kembali kepada prinsip-prinsip dasar yang Allah sudah berikan kepada kita untuk membina suatu rumah tangga yang baik, begitu Pak Paul?

PG : Betul, jadi yang mesti kita ingat adalah anak kita berdua, jadi tidak benar kalau ada prinsip saya sebagai pria mencari uang, engkau sebagai ibu yang mengasuh anak, membesarkan anak, mendiiplin anak, itu tidak benar.

Budaya kita memang begitu tapi itu bukanlah pengajaran Firman Tuhan.
GS : Menurut Pak Paul adakah contoh-contoh konkret di dalam Alkitab di mana ayah maupun ibu bisa terlibat langsung di dalam pendidikan anak Pak Paul?

PG : Ini yang susah Pak Gunawan, sebetulnya kita cukup sering melihat contoh yang negatif di dalam Alkitab, akan peranan ayah yang kurang.

GS : Tapi justru sebenarnya orang-orang Yahudi khususnya ayah mempunyai peran besar sekali Pak Paul. Seperti Tuhan Yesus itu dididik oleh Yusuf sebagai tukang kayu, sebetulnya itu 'kan ada pengaruhnya?

PG : Ya itu rupanya kita harus sadari Alkitab bukanlah buku keluarga, memang Alkitab menceritakan tentang siapa Allah dan karya Allah bagi keselamatan kita. Jadi memang tidak membahas tentang kluarga dengan mendetail.

Namun dari contoh-contoh yang ada harus diakui Tuhan memberikan kita banyak peringatan melalui contoh-contoh kegagalan para ayah. Misalnya kita melihat Eli, Daud, Salomo, jadi banyak sekali contoh-contoh yang harusnya menjadi pelajaran buat kita, jangan kita mengulanginya lagi.
GS : Jadi kalau kita melihat perkembangan anak-anak sekarang itu kalau sampai terjadi hal-hal yang negatif, sebenarnya peran ayah itu besar sekali andilnya di dalam ikut merusak generasi sekarang Pak Paul ya.

PG : Betul dan memang harus diakui Pak Gunawan, di penjara juga lebih banyak pria daripada wanita, jadi produknya sangat riil.

GS : Ya mungkin karena kegagalan peran ayah di dalam mendidik anak-anak atau anak mereka. Jadi saya rasa perbincangan ini tentu saja akan sangat bermanfaat kalau kita menindaklanjuti dengan suatu tindakan-tindakan konkret, walaupun harus banyak waktu yang kita sisihkan untuk kepentingan anak atau anak-anak kita. Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan ke hadapan Anda tentang peran ayah di dalam pendidikan anak, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



3. Membangun Respek Anak terhadap Orangtua


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T014A (File MP3 T014A)


Abstrak:

Salah satu hal yang perlu dilakukan orangtua dalam membangun anak untuk menghormati orangtua adalah orangtua menunjukkan bahwa antara perkataan dan tindakan itu sama.


Ringkasan:

Latar belakang yang menyebabkan respek anak terhadap orang tua pada masa sekarang menurun:

  1. Saat ini kita sedang memasuki iklim yang baru yaitu iklim demokrasi. Iklim ini mewabah dan telah benar-benar mempengaruhi dunia secara keseluruhan sehingga akibatnya kita tidak mudah untuk menghormati seseorang berdasarkan statusnya atau siapa.

Kita sekarang cenderung memberikan penghormatan atas dasar karya atau hasil atau perbuatan. Jadi orang yang kita anggap layak untuk menerima penghormatan adalah orang yang telah menghasilkan sesuatu, telah berbuat sesuatu yang memang sepatutnyalah menerima penghormatan. Sementara kalau pada zaman dulu, hidup dalam zaman fiodal. Seseorang mendapatkan pengakuan, penghormatan bukan berdasarkan hasil karyanya tapi atas dasar siapa orang tuanya, contoh seorang raja dipilih karena dia adalah anak dari ayahnya yang adalah penguasa sebelumnya.

Cara menumbuhkan respek anak terhadap orang tua adalah sbb:

  1. Pertama-tama anak itu haruslah anak yang mengenal Tuhan dan takut akan Tuhan. Menghormati orang tua bukanlah pilihan, tetapi merupakan satu dari 10 hukum Tuhan yaitu "hormatilah ayahmu dan ibumu supaya panjang umurmu." Anak yang tidak bisa menghormati orang tua akan sulit sekali menghormati Tuhan. Secara praktis yang harus dilakukan orang tua, sehingga anak-anak bisa hormat kepada orang tua.

  2. Secara prinsip orang tua haruslah menjadi orang tua yang konsisten, orang tua yang sama dalam dan luar, orang tua yang tidak berpura-pura. Tatkala anak menyaksikan ketidakkonsistenan reaksi yang biasanya ditunjukkan adalah kemarahan kepada orang tua, dan kemarahan itu berakhir dengan tidak lagi hormat kepada orang tua.

Tidak hormat, didefinisikan membangkang dengan sengaja melawan otoritas orang tua atau melawan otoritas kita. Dr. James Dobson dari Focus on the Family berkata bahwa kita hanya perlu menghukum anak kalau anak itu membangkang, kalau anak itu berbuat kesalahan sesuai dengan usianya tidak perlu kita hukum sebab anak itu akan berbuat kesalahan.

Mazmur 92:13-16 berkata: "Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelaratan Allah kita. Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar, untuk memberitakan, bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan padaNya."

Orang tua seharusnyalah menjadi orang yang benar, orang yang benar bukan orang yang sempurna tapi orang yang terus berusaha untuk hidup benar. Waktu dia salah, dia berbuat kekeliruan seyogyanya dia minta maaf kepada anak, waktu dia tahu dia terlalu cepat emosi seyogyanyalah dia belajar untuk mengekang emosi.
Jadi menghormati berarti juga memelihara mereka, mengasihi mereka, dan tidak mencampakkan tatkala mereka seolah-oah tidak lagi berfungsi untuk kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Sebuah paket perbincangan tentang masalah-masalah keluarga yang dikemas oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen, saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK kali ini telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang masalah bagaimana kita sebagai orang tua itu menumbuhkan rasa hormat anak terhadap orang tuanya. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul ada banyak keluhan orang tua pada saat ini yang merasa bahwa anaknya itu kok tidak hormat kepada orang tuanya, mungkin kami orang tua itu merasa bahwa kami dulu dengan orang tua hormat sekali Pak Paul juga terhadap guru, terhadap ayah dan ibu. Anak-anak sekarang ini tidak terlalu seperti kami-kami dulu, apakah keluhan itu memang umum Pak Paul?

PG : Saya kira demikian Pak Gunawan karena kita ini memang memasuki abad yang baru dengan pola pikir dan nilai hidup yang juga bergeser dari yang sebelumnya. Sebelumnya kita hidup dalam zama feodal, baik di negara kita maupun di negara-negara lain.

Dan kita tahu bahwa dalam masa itu seseorang mendapatkan pengakuan, penghormatan dan sebagainya bukan berdasarkan hasil karyanya tapi atas dasar siapa orang tuanya, jadi raja itu dipilih bukan karena dia adalah orang yang bijaksana yang bisa mengatur negara tapi raja itu dipilih karena dia adalah anak dari ayahnya yang adalah penguasa sebelumnya. Nah itu adalah sistem kehidupan pada zaman dulu dan memang terus berdampak hingga mungkin 30-40 tahun yang lalu, tapi setelah itu kita memang memasuki iklim yang baru yaitu iklim demokrasi. Nah iklim ini mewabah dan benar-benar telah mempengaruhi dunia secara keseluruhan sehingga akibatnya kita tidak mudah untuk menghormati seseorang berdasarkan statusnya atau siapa orang tuanya atau karena memang saya seharusnya menghormati dia. Kita cenderung sekarang memberikan penghormatan atas dasar karya atau hasil atau perbuatan. Jadi orang yang kita anggap layak menerima penghormatan adalah orang yang telah menghasilkan sesuatu, telah berbuat sesuatu yang memang sepatutnyalah menerima penghormatan. Kira-kira itulah yang melatarbelakangi Pak Gunawan kenapa ada pergeseran sehingga kalau orang berkata, dulu anak-anak itu jauh lebih hormat kepada guru, kepada orang tua tepat sekali memang demikian. Dan sekarang memang anak-anak tidak terlalu hormat ya memang begitu, sebab penekanannya adalah pada perbuatan bukan pada siapa orang itu.
(2) IR : Nah bagaimana sikap orang tua untuk menumbuhkan respek anak terhadap orang tua, mungkin ada contoh-contoh konkret dari Pak Paul?

PG : Pertama-tama anak-anak kita haruslah anak yang mengenal Tuhan dan takut akan Tuhan, karena menghormati orang tua sebetulnya bukanlah pilihan, bukanlah o.....saya kalau mau menghormati sya menghormati, kalau saya tidak mau ya saya tidak usah menghormati, tidak.

Menghormati orang tua adalah satu dari 10 hukum Tuhan hormatilah ayahmu dan ibumu dan Tuhan juga memberikan janjinya di situ, sebab anak-anak yang menghormati orang tua akan diberikan umur yang panjang. Jadi Tuhan memang sangat memperhatikan aspek penghormatan terhadap orang tua, saya kira alasannya sangat jelas sekali. Anak yang tidak bisa menghormati orang tua sebetulnya akan sulit sekali menghormati Tuhan, jadi anak pertama-tama sebelum bisa menghormati orang lain harus menghormati orang tuanya terlebih dahulu. Sebab orang tualah orang pertama yang dilihatnya, orang tualah orang pertama yang juga merawatnya, orang tualah orang pertama memberikan kebaikan kepadanya. Jadi orang tua adalah orang pertama yang diminta Tuhan untuk dihormati oleh anak-anaknya. Jadi anak-anak kita memang mesti kenal Tuhan dan takut akan Tuhan sehingga terdorong untuk menaati perintah Tuhan, itu yang pertama. Nah secara praktisnya apa yang harus dilakukan oleh orang tua sehingga anak-anak kita itu bisa hormat kepada kita. Secara prinsip orang tua haruslah menjadi orang tua yang konsisten, orang tua yang sama dalam dan luar, orang tua yang tidak berpura-pura. Sebab anak itu adalah orang dalam, anak itu adalah orang yang mengerti sisi lain dari orang tua yang tidak dilihat oleh orang lain di luar, dengan kata lain anak adalah orang yang paling peka dengan kepura-puraan. Nah kalau kita di luar berbuat A di rumah berbuat B yang tahu anak, bukannya orang luar. Nah jadi tatkala anak menyaksikan ketidakkonsistenan, reaksi yang biasanya dirasakan atau ditunjukkannya adalah kemarahan kepada si orang tua. Dan kemarahan yang sebetulnya berakhir pada tidak lagi hormat kepada orang tua, tidak respek karena engkau menampilkan sisi yang sama sekali berbeda dengan keadaan engkau yang sebenarnya di rumah, kira-kira itulah yang akan dilihat oleh anak-anak kita. Jadi kesamaan itu penting sekali, kekonsistenan itu sangat penting sekali.
GS : Mungkin anak menjadi jengkel dengan penampilan kita yang berbeda tadi, dan dari kejengkelan itu lalu tumbuh ketidakhormatan atau tidak respek pada orang tua jadi kalau kita mau anak kita menghormati kita, Pak Paul tadi menyarankan supaya perkataan dan perbuatan kita itu sama. Masalahnya juga adalah pengertian anak terhadap hormat, dia merasa saya itu sudah menghormati orang tua saya, saya sudah hormat pada ayah ibu tapi tuntutannya ini yang melebihi dari apa yang mereka bisa lakukan itu Pak Paul, jadi dia merasa tuntutan kita sudah berlebihan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Di sini memang diperlukan suatu sinkronisasi ya, penyesuaian sehingga adanya kesamaan definisi, karena adakalanya orang tua menganggap tindakan tertentu tidak hormat, anak menganggap it hormat.

Contoh yang paling klasik adalah anak misalnya tidak senang karena ditegur, kemudian dia mengurung diri di kamar, nah apa yang harus kita lakukan atau apa yang seharusnya menjadi reaksi kita. Apakah tindakan anak ini tidak hormat kepada kita ataukah hormat tapi dia sedang membutuhkan waktu untuk marah, untuk ngambek begitu misalnya. Nah saya kira orang tua juga perlu belajar menerima perspektif yang berbeda bahwa tindakan seperti ini belum tentu menunjukkan ketidakhormatan. Saya cenderung mendefinisikan tidak hormat dengan kata melawan atau membangkang, nah ini saya meminjam dari konsepnya Dr. James Dobson dari Fokus on the Family di Amerika Serikat. Dr. Dobson pernah berkata bahwa kita hanya perlu menghukum anak kalau anak itu membangkang, kalau anak itu berbuat kesalahan sesuai dengan usianya tidak perlu kita hukum sebab anak itu akan berbuat kesalahan. Nah tapi kalau anak membangkang, kita sudah beritahu tapi dia terus membangkang berarti memang anak itu melawan dan sewaktu dia melawan atau membangkang yang terhilang adalah rasa hormat pada diri kita. Nah itu yang perlu kita sambuti atau berikan sanksi kepadanya, jadi saya mendifinisikan tidak hormat secara lebih sempit Pak Gunawan yaitu membangkang dengan sengaja melawan otoritas kita. Nah itu adalah memang tidak hormat, kalau dia hanya ngambek dia marah dan sebagainya saya kira itu belum tentu tidak hormat atau ada anak waktu kita tegur dia juga emosi, dia juga marah berteriak dan sebagainya belum tentu anak itu menunjukkan ketidakhormatannya kepada kita, mungkin saja itu adalah ekspresi ketidaksenangannya yang berlebihan itu saja.
GS : Dan sekaligus kejujuran anak itu Pak ya, jadi kalau tidak puas dia mengekspresikan dalam bentuk seperti itu. Tetapi ada juga kalau diamati rasa hormat atau respek yang semu Pak Paul, yang kelihatannya menghormati orang tuanya pada hal di belakangnya dia tidak mempunyai rasa hormat sama sekali dengan orang tuanya, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Itu dua kemungkinan Pak Gunawan, yang pertama adalah anak memanipulasi orang tuanya guna mendapatkan keinginannya dia tahu dengan dia bertindak seperti yang diinginkan orang tua dia aka aman dan dia akan mendapatkan yang dia butuhkan.

Atau yang kedua dia takut, jadi bukan lagi hormat tetapi takut dia tahu kalau dia melakukan A atau B orang tuanya akan marah dan menghukum dia dengan berat, nah daripada dia mengalami hukuman tersebut ya dia ikuti saja aturan mainnya tapi di luar dia sama sekali tidak mengindahkan.
GS : Ya tapi itu biasanya memang orang tua tidak menyadari hal itu Pak Paul karena pandainya si anak itu bersandiwara dan bagaimana kita mencegah hal itu terjadi dalam diri kita. Kalau saya misalnya anak saya itu hormatnya semu dan saya tidak merasa bahwa itu suatu rasa hormat yang semu yang ditujukan kepada saya, saya mengambil bagian dalam kesalahan ini.

PG : Betul Pak Gunawan, jadi kita sebagai orang tua memang perlu meneropong diri, mengintrospeksi apakah ada hal-hal yang telah kita lakukan yang akhirnya menghilangkan rasa hormat anak terhdap kita.

Contoh yang klasik, misalkan waktu kita bertengkar dengan pasangan kita baik istri maupun suami kita, misalkan kita mengeluarkan kata-kata yang kasar atau membuat pasangan kita itu nangis dan sebagainya. Nah waktu anak menyaksikan ini anak bisa sekali marah namun tidak berdaya untuk mengungkapkan perasaannya itu. Dalam kemarahan melihat misalkan si ayah melecehkan si mama, si anak akan kehilangan respek, akan sulit sekali menghargai si papa seperti dulunya. Nah meskipun tidak dia ungkapkan tapi perasaan tersebut mulailah terakumulasi, tertimbun dalam hatinya dia mulai sulit untuk bisa dekat dengan si papa atau misalkan kebalikannya si mama kalau marah beremosi tinggi, main seenaknya saja pukul, maki semua orang di rumah nah tidak bisa tidak si anak akan juga kesulitan untuk bisa akhirnya menghormati si mama. Jadi tindakan seperti itu juga menjadi bahan yang akan mengurangi rasa respek anak terhadap orang tuanya.
GS : Ya ada juga orang tua yang merasa kalau dia itu bersenda gurau dengan anak-anak mereka itu membuat anak menjadi tidak respek terhadap orang tuanya, pendapat seperti itu betul atau tidak Pak Paul?

PG : Saya kira bergantung pada senda guraunya seperti apa ya, misalkan teman anak-anak kita datang, terus kita bersenda gurau seperti misalkan contohnya anak kita ini pria, kita ini pria jua, anak-anak wanita datang berkunjung ke rumah kita.

Kemudian kita bercanda dengan teman-teman wanita anak-anak kita, bercandanya seperti kita itu anak remaja juga malahan mulai memegang-megang bahu si anak wanita tersebut, nah anak kita mungkin sekali tidak suka dengan tindakan ayahnya seperti itu. Nah akibatnya dia akan tidak respek pada kita, jadi senda gurau yang melewati batas memang itu bisa membuat anak kehilangan respek pada oran tuanya. Senda gurau yang misalnya melecehkan si anak, misalkan anak itu agak pendek ya, pendek kontet, pendek katek misalnya seperti itu terus sampai anak itu marah tapi si ayah atau si ibu terus meledek seperti itu. Nah si anak akan kehilangan respek, namun senda gurau yang sehat yang alamiah bercanda dan sebagainya saya kira itu hal yang justru menyuburkan hubungan antara orang tua dan anak, dan orang tua tidak perlu takut kehilangan respek.
IR : Mungkin atau tidak Pak Paul kalau si anak terlalu didisiplinkan oleh orang tua, sedang anak sekarang juga menuntut kebebasan, respek terhadap orang tuanya berkurang?

PG : Hukuman yang berlebihan atau disiplin yang tidak kena sasaran, semena-mena itu berpotensi besar menghilangkan respek anak terhadap kita. Sebab tatkala anak menyaksikan orang tua semena-ena terhadapnya, memukul terlalu keras, memaki terlalu kasar dan misalkan kalau marah tidak bisa berhenti pada satu topik terus melebar ke mana-mana misalnya, nah itu berpotensi besar untuk menghilangkan respek anak terhadap orang tua.

Jadi pada intinya kalau boleh saya simpulkan apa itu yang dituntut oleh anak atau diharapkan oleh anak sehingga anak bisa menghormati orang tua adalah kita menjadi orang yang benar. Saya ingat satu firman Tuhan yang diambil dari Mazmur 92:13-16 , "Orang benar akan bertunas seperti pohon kurma, akan tumbuh subur seperti pohon ara di Libanon. Mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita, pada masa tuapun mereka masih berbuah menjadi gemuk dan segar untuk memberitakan bahwa Tuhan itu benar bahwa Dia gunung batuku dan tidak ada kecurangan padaNya." Jadi intinya adalah orang yang benar itu akan bertunas seperti pohon kurma dan akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon. Orang tua seharusnyalah menjadi orang yang benar, orang yang benar bukan orang yang sempurna tapi orang yang terus berusaha untuk hidup benar, waktu dia salah, dia berbuat kekeliruan seyogyanya dia minta maaf kepada anak. Waktu dia tahu dia terlalu cepat emosi seyogyanyalah dia belajar untuk mengekang emosi. Misalkan kita emosi marah kepada anak, kita tahu kita salah kita minta maaf kepada anak. Namun minggu depan kita berbuat hal yang sama, dan kalau itu berlangsung berkali-kali si anak tidak akan menghargai permintaan maaf kita, sebab bagi dia percuma engkau minta maaf hari ini, minggu depan engkau mau marah engkau akan marah lagi semaumu. Dan anak akan merasa terhina pada akhirnya, siapa memangnya saya ini bisa diperlakukan seenaknya, engkau lagi merasa salah engkau bisa minta maaf, engkau lagi mau marah engkau akan bisa benar-benar menghina saya seperti itu. Nah hal seperti itu memang harus menjadi pergumulan orang tua, orang tua dituntut Tuhan untuk bertumbuh, sama seperti anak juga dituntut Tuhan untuk bertumbuh. Nah orang tuanya dituntut untuk bertumbuh menjadi orang yang benar begitu.
IR : Mungkin juga kasih dan kesabaran ya Pak Paul, kelemahlembutan itu mungkin juga membuat anak itu respek ya terhadap orangtua?

PG : Betul, betul, saya kira perkataan-perkataan yang menghina atau yang kasar itu akan benar-benar memicu kemarahan anak dan akhirnya menghilangkan respek anak terhadap kita.

IR : Kalau pengaruh dari luar Pak Paul, dari teman-teman luar apa itu juga bisa membuat anak itu kadang-kadang melawan pada orang tua?

PG : Bisa misalkan dia mulai melihat bahwa teman-temannya itu mudah keluar rumah, sedangkan anak kita susah keluar rumah harus minta izin. Waktu kita larang mungkin sekali dia marah, karena embandingkan diri dengan teman-temannya dan dia akan menilai kita yang kolot, yang terlalu mudah khawatir dan sebagainya.

Nah bisa sekali itu memang mempengaruhi anak, tapi bagi kita yang penting adalah rumah tangga kita mempunyai aturannya juga misalkan kita sudah mempunyai aturan, pada hari sekolah anak-anak tidak boleh keluar, hanya boleh keluar untuk kegiatan yang bersifat sangat penting sekali. Misalnya ada persekutuan doa hari Rabu dia mau ikut ya silakan selain itu tidak ada acara ke mall atau main bolling atau apa tidak ada dia harus belajar di rumah. Nah dia harus patuhi hal itu tapi kita juga fleksibel atau luwes hari Sabtu dan hari Minggu misalnya kita izinkan dia keluar. Nah hal seperti itu ya tetap kita pegang jangan kita korbankan gara-gara kita ingin disukai oleh anak, sebab ini adalah bahaya yang satunya. Ada orang tua yang sangat takut sekali dimarahi atau tidak disukai oleh anak sehingga berupaya keras supaya disukai oleh anak, nah ini juga bisa menjerumuskan orang tua pada masalah yang sama beratnya.
GS : Memang sebagai orang tua kita yang berusaha untuk menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak kita antara lain bagaimana anak itu belajar menghormati orang tuanya. Nah apakah kecenderungan saat ini di mana ada banyak orang tua yang betul-betul sudah tua, sudah lanjut usia ditinggalkan oleh anak-anaknya itu merupakan satu bentuk tidak respeknya anak terhadap orang tua Pak Paul?

PG : Bisa jadi, tapi yang lebih pasti menurut perkiraan saya adalah, ini bukti bergesernya nilai hidup manusia. Yakni manusia makin hari makin menghargai yang kita sebut produktifitas sehinga nilai hidup kita makin hari menjadi makin prakmatis.

Yaitu selama berfungsi, selama itu pulalah dia berharga, tidak berfungsi tidak berharga lagi, nah saya khawatir nilai hidup ini makin hari makin merebah ke mana-mana karena apa, karena sering kali nilai hidup seperti ini dikaitkan dengan era modernisasi. Karena masa modern itu sebetulnya didahului oleh yang kita sebut masa industrialisasi. Nah masa industrialisasi adalah masa produktifitas di mana penekanannya benar-benar pada produksi, menghasilkan. Tatkala manusia juga mulai memegang atau mengadopsi nilai hidup seperti itu, saya kira yang tadi Pak Gunawan sebut akan terjadi. Yaitu orang tua akan seolah-olah disingkirkan dari kehidupan karena apa, karena tidak lagi menghasilkan apa-apa.
GS : Bahkan mungkin dirasakan sebagai penghambat produktifitas Pak Paul?

PG : Bisa jadi ini adalah bahaya yang kita mesti memang camkan baik-baik, karena Tuhan benar-benar menekankan hal itu, bahwa hormatilah ayahmu dan ibumu. Jadi menghormati itu berarti juga meelihara mereka, mengasihi mereka, dan tidak mencampakkan mereka tatkala mereka seolah-olah tidak lagi berfungsi untuk kita.

GS : Tapi juga ada firman Tuhan yang mengingatkan khususnya kepada bapak-bapak untuk tidak menyakiti hati anak-anaknya. Jadi saya rasa itu suatu hubungan timbal balik yang Tuhan berikan kepada kita supaya terbentuk suatu keluarga yang harmonis.

PG : Betul, karena kalau tidak si ayah bisa menjadi batu sandungan bagi si anak dengan cara menyakiti anaknya itu.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar sekalian yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga khususnya tentang bagaimana membangun rasa hormat atau respek anak terhadap orang tuanya. Perbincangan kami tadi bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



4. Pemberontakan Anak terhadap Orangtua


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T023A (File MP3 T023A)


Abstrak:

Dalam hal ini kita diajarkan apa yang melatarbelakangi pemberontakan anak terhadap orangtua. Diantaranya adalah tanpa disadari orangtua menciptakan hati yang getir, pahit dalam diri anak yang akhirnya membuahkan kebencian.


Ringkasan:

Ada beberapa faktor yang terlibat mengapa anak memberontak sampai tega melakukan hal-hal kekerasan yang melebihi batas, yaitu:

  1. Anak bermasalah, anak yang bertumbuh besar dengan hati nurani yang lemah, sangat egois, mementingkan diri sendiri, menuntut agar kehendaknya dipenuhi.

  2. Orang tua tanpa disadari melakukan hal-hal yang melukai hati anak-anak dan waktu hal-hal itu bertumpuk dalam hati si anak akhirnya membuahkan kebencian dalam diri si anak kepada orang tuanya. Firman Tuhan mengingatkan kita

Kolose 3 : 21 , "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu (diterjemahkan janganlah membuat hati anakmu pahit/getir), supaya jangan tawar hatinya."

Beberapa tindakan orang tua yang dapat mengakibatkan hati anak pahit, yaitu:

  1. Anak akan merasa pahit kalau dia ditolak, jadi anak lahir ke dunia dengan suatu permintaan agar orang tua menerimanya, mereka membutuhkan penjagaan, dan uluran tangan orang tuanya. Beberapa bentuk penolakan adalah :

    1. Membandingkan anak.

    2. Penghinaan, kita kadangkala lupa bahwa anak kita punya perasaan dan dalam kemarahan kita keluarlah kata-kata yang menghina dia nah itu sangat mempunyai muatan penolakan yang besar.

  2. Orang tua tanpa merencanakan atau tidak membuat si anak merasa dia adalah bukan bagian dari keluarga itu sendiri.

  3. Tatkala disiplin diberikan, kekerasan diberikan tanpa adanya cinta kasih yang cukup. Disiplin dan cinta kasih adalah dua unsur yang sangat dipentingkan dalam pertumbuhan anak. Cinta kasih yang diberikan tanpa disiplin membuat si anak menjadi anak yang luar biasa egoisnya, kekanak-kanakan, tidak dewasa, menganggap semua orang harus tunduk kepadanya dan harus memenuhi keinginannya.

Kebalikannya disiplin yang diberikan tanpa cinta kasih membuat si anak menjadi anak yang memberontak, membenci orangtuanya.

Lingkungan pun sangat mempengaruhi, anak yang terbiasa dengan kehidupan yang keras, dia terbiasa menyakiti orang, karena dia terbiasa disakiti. Akhirnya gaya hidup yang keras itu menjadi bagian dari kehidupannya sendiri. Jadi bagi dia melakukan tindak kekerasan bukanlah hal yang luar biasa itu adalah hal yang lazim.

Langkah-langkah yang perlu kita lakukan sebagai orangtua untuk mengurangi sifat anak yang memberontak adalah sbb:

  1. Sewaktu kita menghukum anak, kita mesti mengecek apakah kita telah memberikan peringatan kepada si anak. Prinsipnya kita tidak mendisiplin anak dengan pukulan, kalau kita belum memberikan dia peringatan kecuali dalam kasus yang mendadak.

  2. Perhatikan bagaimana kita memukul anak, jadi tidak diperkenankan memukul anak misalnya dengan sekuat tenaga kita, semau kita, dan tidak diperkenankan memukul anak di mana saja yaitu di mukanya, di kepalanya atau dengan apa saja, dengan rotan, dengan kayu, dengan ban. Jadi kalau mau pukul anak, pukullah pantatnya karena itu bagian yang memang tidak terlalu melukai si anak.

  3. Setiap kali kita mau mendisiplin anak, kita harus tanyakan diri kita apakah si anak ini mengerti kenapa si anak itu dipukul. Jadi menuntut kita untuk memberikan waktu setelah kita pukul anak untuk berbincang-bincang dengan kita.

  4. Harus selalu mengecek sudahkah anak itu tahu bahwa dia dicintai oleh kita, cukupkah pengekspresian kasih kita kepadanya. Sebab jangan sampai si anak merasakan bahwa kita hanyalah datang untuk memukulnya, mendisiplinnya tanpa anak itu menyadari bahwa kita mengasihinya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang kebencian seorang anak terhadap orang tuanya. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, maksud baik orang tua untuk mendidik anak dengan memarahi, memukul atau memberi batasan-batasan tertentu, kadang disalahpahami oleh si anak dan tidak jarang itu menimbulkan suatu kebencian bahkan dendam yang berlarut-larut, bahkan tercetus dalam tindakan nyata di mana anak melawan orang tua. Bukan cuma memberontak dan kita dengar akhir-akhir ini ada sebuah pemberitaan tentang seorang anak yang tega membunuh kakak dan orangtuanya. Gejala seperti ini pasti sebuah penyimpangan, namun bagaimana hal itu bisa terjadi, Pak Paul?

PG : Ya memang ada beberapa faktor yang terlibat di dalam peristiwa ini atau secara umum saja saya akan membahasnya. Misalkan kita melihat anak itu sendiri, ada anak yang memang bermasalah, jad ada anak-anak yang akhirnya bertumbuh besar dengan hati nurani yang sangat lemah, egois, mementingkan diri sendiri, menuntut agar kehendaknnya dipenuhi.

Nah, anak-anak seperti ini adalah anak-anak yang bisa melakukan apa saja agar mendapatkan yang dia inginkan bahkan sampai sejauh melukai orangtuanya. Namun yang lebih umum adalah orang tua tanpa disadari melakukan hal-hal yang melukai hati anak-anak dan waktu hal-hal ini terus bertumpuk dalam hati si anak akhirnya membuahkan kebencian dalam diri si anak kepada orang tuanya. Misalkan kita bisa melihat sendiri Firman Tuhan juga pernah memberikan atau memberikan peringatan yang sejenis kepada kita sebagai orang tua, yang terutama di sini kepada bapak. Saya membacakan dari Kolose 3:21 , "Hai bapak-bapak, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Kata 'janganlah sakiti hati anakmu' sebetulnya dapat juga diterjemahkan 'janganlah membuat hati anakmu pahit, getir'. Nah saya kira ada kalanya kita sebagai orang tua tanpa disadari menciptakan hati yang pahit dalam diri anak, akhirnya membuahkan kebencian kepada kita. Nah, saya rasa itu salah satu penyebab kenapa ada anak yang bisa begitu sadis dan kejam kepada orang tuanya.
GS : Ya tadi Pak Paul katakan ada tindakan-tindakan orang tua yang tanpa disadari membuat hati anak itu pahit. Mungkin Pak Paul bisa menguraikan kira-kira tindakan-tindakan apa itu yang bisa menyakiti hati anak atau membuat hati anak pahit?

PG : Pada intinya adalah anak akan merasa pahit kalau dia ditolak. Jadi anak lahir ke dunia dengan suatu permintaan agar orang tua menerimanya. Sebab anak-anak itu lahir ke dunia tanpa mereka mminta untuk berada di dunia ini, dan dalam keadaan mereka yang membutuhkan penerimaan, penjagaan dan uluran tangan orang tuanya.

Pada waktu orang menolak si anak, anak itu akhirnya merasa terluka sekali, luka yang mendalam akibat penolakan-penolakan itu bisa membuahkan kebencian pada si anak.
GS : Penolakan itu apakah dalam arti kata kalau dia itu mengusulkan sesuatu itu tidak ditanggapi atau kekurangan rasa kasih sayang?

PG : Dua-duanya betul Pak Gunawan, jadi adakalanya anak-anak merasa ditolak karena apa yang diinginkannya tidak diberikan oleh orang tua. Nah ini bukannya dalam kasus yang wajar tapi adakalanyaorang tua memang tidak memberikan apa yang diinginkan anak demi kebaikan anak itu sendiri.

Namun secara lebih menyeluruh apa yang diminta oleh si anak cenderung ditolak oleh orang tuanya. Atau dalam kasus yang kedua tadi, seperti yang Pak Gunawan singgung adalah si orang tua ini akhirnya juga tanpa merencanakan atau tidak membuat si anak itu merasa dia adalah bukan bagian dari keluarga itu sendiri.
IR : Juga ada faktor lain Pak Paul, misalkan si anak ini kalau dibandingkan dengan saudaranya itu juga menimbulkan rasa sakit hati. Pengalaman saya dulu mengkonseling seorang anak siswa, dia mempunyai sifat yang aneh di dalam kelas. Kemudian waktu saya konseling, dia mengatakan bahwa dia di rumahnya sering dibandingkan dengan kakak perempuannya karena kakak perempuannya ini selalu menurut, selalu di rumah. Dibandingkan seperti itu, dia punya rasa dendam bahkan dendamnya itu sampai ada perasaan membunuh. Jadi karena dibandingkan itu, Pak Paul, dia merasa sakit hati.

PG : Betul sekali, Bu Ida, jadi anak yang dibandingkan memang merasa ditolak, jadi salah satu bentuk penolakan yang tanpa disadari adalah membandingkan anak. Kita kadang-kadang sebagai orang tu membandingkan dengan tujuan memacu untuk memberikan semangat kepada si anak supaya diapun mencontoh kakak atau adiknya atau saudara sepupu misalnya.

Namun seringkali waktu anak dibandingkan tidak merasa terpacu, justru waktu dibandingkan merasa tertolak, bahwa dia merasa tidak bernilai atau tidak berharga. Seolah-olah si anak dibuat merasa bahwa yang berharga di mata orang tuanya adalah tipe seperti kakaknya atau seperti saudara sepupunya. Jadi kesimpulan si anak itu adalah karena saya tidak pas dengan tipe yang diminta atau diharapkan oleh orang tua saya, Jadi saya juga bukanlah bagian dari keluarga ini, saya tidak berharga, saya tidak layak dianggap menjadi anak dari keluarga ini, jadi itu kesimpulan saya. Nah makanya karena itu ada anak yang bisa begitu sadis kepada orang tuanya, saya kira salah satu penyebabnya adalah sebab si anak itu tidak merasa menjadi bagian dari keluarga tersebut. Sebab kalau dia merasa dia adalah bagian dari keluarga tersebut hati nuraninya tidak akan mengizinkan dia melakukan tindakan yang begitu sadis kepada keluarganya. Nah hal ini hanya dimungkinkan kalau dia memang tidak merasa dekat dan merasa bagian dari keluarga tersebut. Jadi pembandingan itu seringkali menyakitkan sekali.
GS : Orang dewasa pun tidak senang dibanding-bandingkan. Tapi Pak Paul itu 'kan baru disadari setelah anak ini bisa berkomunikasi langsung secara verbal dengan orang tuanya, ataukah jauh sebelum itu dia bisa merasakan bahwa dia sebenarnya ditolak. Maksud saya itu sejak usia berapa anak itu kira-kira mulai menyadari dia ditolak atau diterima oleh keluarga?

PG : Saya cenderung berpikir bahwa anak sudah mulai merasakan penolakan orang tua sejak pada masa dikandung. Memang tidak bisa saya buktikan secara empiris karena saya tidak bisa mengadakan anget atau me"riset" anak-anak.

Tapi anak itu bisa bereaksi misalkan orang tuanya itu jalan seenaknya misalnya tidak memberikan nutrisi yang cukup atau misalnya sering marah-marah. Nah anak dalam kandungan itu adalah bagian dari tubuh si ibu. Sebaliknya kalau si ibu itu dengan suara yang lembut bicara dengan si anak yang ada dalam kandungan, membelai perutnya, maka si anak akan merasakan hal itu juga. Ini salah satu contoh yang konkret, ada seorang ibu yang mengandung kemudian mengalami suatu trauma yang menyakitkan yaitu rumahnya dirampok, dalam ketakutan itu dia menjadi histeris dan setelah peristiwa tersebut anak dalam kandungan yang sudah usianya sudah lumayan besar meninggal dunia, gugur. Sebetulnya 'kan secara fisik anak itu 'kan terawat dengan baik dalam kandungan si ibu, tapi waktu si ibu mengalami peristiwa yang begitu menakutkan anak itu kaget dan jantungnya tidak kuat menahan kekagetan tersebut maka anak itu langsung meninggal. Jadi kita bisa melihat suatu keterkaitan antara emosi kehidupan mental si ibu pada si anak. Jadi saya kira anak itu tahu bahwa dia itu diinginkan atau tidak. Ada anak yang sejak kecil itu dikasihberi makan obat supaya gugur tapi tidak gugur-gugur. Nah obat itu 'kan sebetulnya racun yang dimasukkan ke dalam tubuh, jadi tidak bisa si anak dalam kandungan si ibu itu merasakan rasa sakit atau tidak nyaman yang luar biasa. Karena memang racun itu diberikan untuk membunuhnya namun tidak berhasil membunuhnya tapi karena dia juga manusia yang melekat dalam tubuh si ibu, saya kira keracunan dan rasa sakit sekali. Jadi ada anak-anak yang saya kira tidak diinginkan sejak lahir, sejak dalam kandungan dia memang merasakan penolakan tersebut. Meskipun dia belum mampu mengungkapkannya secara verbal.
IR : Kalau misalnya si ibu itu mengharapkan anaknya itu perempuan tapi nyatanya keluar laki-laki itu juga merasa tertolak, Pak Paul, dan itu seringkali menimbulkan kebencian. Hal ini seringkali terjadi dalam keluarga yang mengharapkan jenis kelamin tertentu biasanya pria. Jadi kasihan sekali anak-anak yang lahir di dunia. Salah satu bentuk penolakan yang lainnya adalah penghinaan. Kita adakalanya lupa bahwa anak kita itu punya perasaan dan dalam kemarahan kita keluarlah kata-kata yang menghina dia. Misalnya kita berkata: "Kamu ini goblok bener bodoh sekali.....!" Atau misalnya kita berkata: "Kamu tidak bisa apa-apa", nah itu kalau kita ucapkan sekali-sekali dalam kemarahan saya kira anak bisa toleransi namun kalau itu cukup sering kita katakan dan memang pedas, kasar dan waktu kita ucapkan kita mengucapkannya juga penuh dengan kemarahan, si anak merasa terhina dan membuat dia merasa tertolak. Dia bukanlah anak dari orang tuanya.
GS : Memang bisa dimengerti perasaan-perasaan seperti itu, Pak Paul, kita pernah jadi anak, kita juga pernah merasa tidak senang dengan orang tua, tapi yang kita lihat akhir-akhir ini adalah ekspresi dari ketidakpuasan anak ini terhadap orang tuanya. Jadi pemberontakan itu dilakukan secara terang-terangan sekali dengan melawan secara fisik terhadap orang tuanya, bahkan membunuh bisa terjadi. Kita itu biasanya merasa dendam tapi tidak sampai melakukan seperti itu.

PG : Sudah tentu anak yang bisa mengambil tindakan sedrastis itu karena anak ini memang sangat bermasalah. Jadi udah pasti hati nuraninya itu sudah ada penyimpangan, tidak wajar, tidak bertumbu semestinya.

Kenapa anak itu sampai membenci orang tuanya seperti itu, kita tadi sudah membicarakan tentang penolakan ya Pak Gunawan. Salah satu hal lain lagi adalah sewaktu disiplin diberikan, kekerasan diberikan tanpa cinta kasih yang cukup. Nah disiplin dan cinta kasih itu dua unsur yang sangat dipentingkan dalam pertumbuhan anak. Cinta kasih yang diberikan tanpa disiplin membuat si anak itu menjadi anak yang luar biasa egoisnya, kekanak-kanakan, mau menang sendiri dan mementingkan diri sendiri, tidak dewasa, menganggap semua orang harus tunduk pada kehendaknya. Dan harus memenuhi keinginannya. Kebalikannya disiplin yang diberikan tanpa cinta kasih membuat si anak itu menjadi anak yang memberontak, membenci orang tuanya. Karena apa? Karena disiplin itu hanya akan efektif untuk membentuk si anak kalau disertai dengan cinta kasih. Tanpa cinta kasih, disiplin menjadi tindakan yang kejam, tindakan kejam. Nah kita cenderung menerima kekerasan atau pukulan dari orang tua kalau kita sadar bahwa orang tua mengasihi kita. Dan kita bisa mengenang saat-saat di mana kita dilimpahkani oleh kasih sayang. Namun tatkala kita dipukul dengan begitu keras, terus kita sendiri tidak bisa mengingat kapan kita ini disayangi oleh orang tua kita. Nah yang muncul bukannya rasa terima bahwa saya telah dipukul tapi rasa benci luar biasa. Sebab pukulan itu sendiri menyakitkan dan segala yang menyakitkan kita cenderung memancing reaksi marah. Tapi marah itu masih bisa dinetralisir kalau ada cinta kasih. Nah yang kadangkala terjadi adalah kita ini tidak berimbang dalam memberikan keduanya; sering mendisiplin tapi kurang menunjukkan atau mendemonstrasikan cinta kasih kita kepada si anak. Nah reaksi yang muncul dari si anak bukannya penerimaan tapi kebencian.
GS : Dan kebencian itu akan berkembang terus ya Pak Paul, kalau tidak ada limpahan cinta kasih tadi. Nah itu biasanya terjadi dalam keluarga yang anaknya sedikit atau bisa banyak atau kedua-duanya bisa terjadi seperti itu?

PG : Bisa terjadi pada segala keluarga, bisa yang anaknya banyak atau anaknya sedikit.

GS : Apakah pengaruh lingkungan itu juga besar Pak Paul, jadi misalnya melalui televisi, melalui lingkungan bermain mereka, persahabatan mereka? Maksud saya apakah itu juga mempengaruhi tindakan-tindakan yang ekstrim?

PG : Sangat mempengaruhi, jadi misalkan si anak itu akhirnya terbiasa dengan kehidupan yang keras, dia terbiasa menyakiti orang, karena dia terbiasa disakiti. Nah akhirnya gaya hidup yang kerasitu menjadi bagian dari kehidupannya sendiri.

Jadi bagi dia melakukan tindak kekerasan bukanlah hal yang luar biasa, itu adalah hal yang lazim.
GS : Tapi yang kita amati di dalam kasus yang baru terjadi di Medan adalah anak itu setelah membunuh 'kan dia merasa menyesal. Dia juga cerita kepada pacarnya tentang hal itu dan dia menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib, bagaimana itu bisa berubah dengan begitu cepat, Pak Paul?

PG : Ini tafsirannya memang kita tidak tahu beritanya secara langsung tapi anak-anak atau kita sebagai manusia dalam kebencian yang tinggi mampu untuk melakukan hal-hal yang di luar batas kemansiaan, jadi kita bisa begitu marahnya sehingga rela menghabiskan nyawa orang lain.

Itu memang berkaitan sekali dengan kebencian. Tapi pengaruh luar saya kira juga penting, Pak Gunawan. Kalau misalnya kita memang benci kepada seseorang atau siapa, tapi misalkan kita memang mendapatkan pengaruh yang positif ya dari Firman Tuhan, kita tahu kita diminta untuk menghormati orang tua. Nah, tidak bisa tidak, Roh Tuhan dalam hidup kita akan mengendalikan tindakan atau rencana kita, keinginan mungkin ada untuk membalas, tapi akhirnya Roh Tuhan lebih berkuasa untuk mencegah kita melakukan hal-hal seperti itu. Jadi dalam kasus tersebut yang bisa saya simpulkan adalah anak itu tidak lagi dikuasai oleh hati nuraninya pada saat dia gelap mata. Sebab peristiwanya luar biasa, bukan saja secara spontan dia membunuh tapi satu persatu dihabiskan.
GS : Tapi kalau kita tidak terlalu tahu detailnya tetapi kita tahu bahwa kalaupun itu dikatakan berencana, pemicunya itu hanya sederhana sebenarnya Pak Paul; dia dipaksa untuk membersihkan rumah lalu marah, lalu menghabisi keluarganya, yang saya lihat itu kebencian yang sudah bertimbun-timbun. Itu hanya pemicu saja bahwa dia marah terhadap ibunya lalu membunuh. Tapi tadi yang saya kurang mengerti itu bagaimana perasaan seseorang itu bisa berubah drastis seperti itu, dari benci yang mendalam lalu tiba-tiba dia bisa menyesal dan menyadari kesalahannya bahkan menyerahkan diri kepada yang berwajib, seolah-olah tidak konsisten itu.

PG : Ya bagaimanapun dalam diri si anak meskipun ada kebencian tapi juga ada perasaan sayang, kalau tidak bisa dikatakan perasaan sayang, sekurang-kurangnya ada perasaan inilah orang tua saya, nilah kakak saya, ini adalah orang-orang yang tidur dengan saya setiap hari, yang merawat saya.

Jadi bagaimanapun waktu akhirnya dia tenang kembali dan kesadarannya mulai timbul. Dia menyadari bahwa dia kehilangan mereka dan kemungkinan sekali rasa kehilangan yang besar itulah yang membuat dia merasa menyesal. Dulu saya bekerja untuk membantu anak-anak yang teraniaya, saya mengunjungi dan juga memantau anak-anak yang dianiaya orang tuanya. Nah yang menarik adalah setiap kali kami datang dan mengunjungi anak-anak yang dianiaya orang tuanya menanyakan, "Maukah engkau kami pindahkan ke rumah asuh?" Saya masih ingat cukup banyak anak yang tidak mau dipisahkan dari orang tuanya meskipun orang tuanya sudah menganiayanya. Nah ini 'kan cukup menarik, kenapa dia tidak mau membebaskan diri dari orang tuanya yang telah menganiaya dia. Nah saya kira memang adanya ikatan batiniah itu antara orang tua dan anak, sejelek apapun si anak tetap tahu bahwa ini adalah orang tuanya. Dan anak itu marah waktu orang tuanya harus kami bawa ke pengadilan. Ini saya ceritakan bukan konteks di Indonesia tapi di Amerika Serikat. Peristiwa ini cukup sering terjadi. Marah karena kamilah yang menyebabkan orang tua mereka itu harus dibawa ke pengadilan, jadi harus menderita karena ulah mereka. Nah mereka tidak bisa melihat bahwa sebetulnya orang tua mereka sendirilah yang menjadi penyebab semuanya ini karena tindakan mereka yang menganiaya anak-anak ini. Jadi sekali lagi ikatan batiniah antara anak dan orang tua biasanya tetap ada, jadi saya menduga kasus tersebut, dalam kasus tersebut yang di Medan akhirnya menyadari kehilangan.
GS : Setelah melihat akibatnya itu yang nampak jelas di muka matanya. Mungkin dia sendiri tidak menyadari waktu melakukan sehingga akibatnya sampai fatal seperti itu. Nah, Pak Paul langkah-langkah apa sebenarnya yang bisa kita lakukan sedini mungkin supaya mengurangi hal-hal yang seperti itu?

PG : Ada beberapa pedoman yang bisa kita ingat sebagai orang tua, Pak Gunawan, yang pertama adalah sewaktu kita ingin menghukum anak, kita mesti mengecek apakah kita telah memberikan peringatankepada si anak itu.

Jadi prinsipnya adalah kecuali dalam kasus yang mendadak dan luar biasa sekali pada umumnya kita tidak mendisiplin anak dengan pukulan, kalau kita belum memberikan dia peringatan. Jadi kita mesti memberitahu dia, kalau kamu terus begini misalkan kita minta dia mandi dia tetap tidak mau mandi, nonton televisi terus. Setelah kita berikan peringatan kalau kamu tidak mau mandi nanti saya pukul, tetap tidak mau mandi baru kita pukul dia. Jadi berikan peringatan terlebih dahulu, kalau belum ya jangan. Yang kedua adalah perhatikan bagaimana kita memukul anak itu, jadi tidak diperkenankan memukul anak misalnya dengan sekuat tenaga, semau kita. Dan tidak diperkenankan memukul anak di mana saja yaitu di mukanya, di kepalanya atau dengan apa saja, dengan rotan, kayu, ban. Jadi kalau mau memukul anak pukullah pantatnya karena itu bagian yang memang tidak terlalu melukai si anak, memang menimbulkan sakit tapi tidak melukai si anak. Itu dua prinsip yang harus kita ingat sewaktu kita mendisiplin si anak. Yang lainnya lagi adalah setiap kali kita mau mendisiplin anak, kita harus tanyakan diri kita, apakah si anak ini mengerti kenapa si anak itu dipukul. Nah, jadi ini menuntut kita untuk memberikan waktu setelah kita pukul anak itu untuk berbincang-bincang dengan kita. Kita hampiri dia lagi, kita jelaskan kenapa tadi kita marah, apa yang kita inginkan dari dia, tindakan perubahan apa yang kita ingin lihat pada dirinya, nah itu juga kita harus lakukan. Dan yang terakhir adalah kita harus selalu mengecek sudahkah anak itu tahu bahwa dia dicintai oleh kita, cukupkah pengekspresian kasih kita kepadanya. Sebab jangan sampai si anak merasakan bahwa kita itu hanyalah datang untuk memukulnya, mendisiplinnya tanpa anak itu menyadari bahwa kita mengasihinya. Jadi empat pedoman itu harus kita pegang.
IR : Jadi kalau anak yang sedang kita didik untuk disiplin itu kita pukul misalnya, setelah itu perlu kita komunikasikan maksud-maksud orang tua mendisiplinkan anak dengan memukul tadi.

PG : Betul sekali. Tanpa ada pendekatan seperti itu kita itu sebetulnya membuat jurang antara kita dengan dia. Sewaktu kita memukul itu sebetulnya jurang, waktu kita dipukul oleh orang tua kitamerasa jauh darinya, nah sewaktu orang tua datang kembali kepada kita bicara dengan kita dengan baik-baik jurang itu tiba-tiba dirapatkan kembali sehingga pukulan itu jauh lebih efektif.

Sebab lain kali si anak akan jauh lebih sungkan untuk mengulang perbuatannya yang salah.
IR : Yang lebih bijaksana itu adalah kalau orang tua itu setelah memukul itu juga menyatakan maaf kalau karena telah melakukan itu.

PG : Betul, kalau memang dia merasa melewati batas dan dia perlu minta maaf silakan, minta maaf.

GS : Nah di situ peran orang tua sangat besar sekali Pak Paul di dalam menentukan jiwa anak ini. Jadi tanggung jawab kita yang dikaruniai oleh Tuhan maupun anak-anak.

PG : Saya masih ingat ada satu judul buku yang bagus sekali yaitu membentuk anak tanpa menghancurkan jiwanya.

GS : Baiklah Pak Paul terima kasih sekali bisa berbincang-bincang pada malam hari ini dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang pemberontakan anak terhadap orang tuanya bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



5. Kekecewaan Orangtua terhadap Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T023B (File MP3 T023B)


Abstrak:

Orangtua memiliki tuntutan atau harapan yaitu menghendaki anaknya lebih baik daripada mereka atau sekurang-kurangnya sama. Waktu anak menjadi yang tidak diinginkan seringkali orangtua terluka.


Ringkasan:

Kecenderungan orangtua adalah memiliki tuntutan atau harapan, harapan kita sebetulnya adalah anak kita itu seharusnya lebih baik dari pada kita, atau sekurang-kurangnya sama dengan kita. Waktu anak kita tiba-tiba melakukan atau menjadi yang tidak kita inginkan seringkali kita terluka. Penyebab kenapa orang tua kecewa terhadap anaknya adalah sbb:

  1. Kekecewaan muncul dari konsep yang keliru tentang anak. Dalam ilmu terapi keluarga ada satu istilah yaitu self extension, perpanjangan diri, adakalanya orang tua menjadikan anak sebagai perpanjangan dirinya untuk mengkompensasi atau menambal lubang yang ada pada diri orang tuanya.
    Maksudnya adalah kita ini tidak mampu mencapai standar atau tujuan kita, kita mengharapkan anak kita yang menyambung dan akhirnya berhasil mencapai standar atau tujuan yang kita harapkan. Sewaktu anak-anak tidak mencapai perpanjangan atau mencapai tujuan yang kita dambakan kita merasa kecewa.

Dalam hal ini yang perlu dilakukan orang tua adalah? harus melihat anak kita seperti apa adanya, jadi Tuhan memberikan anak kepada kita dengan rancangan Tuhan bukan rancangan orang tua.

Anak memang titipan Tuhan dan apa yang dia bawa adalah dia bawa dari Tuhan, namun tidak berarti Tuhan mempunyai rencana yang jelek untuknya. Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah untuknya seperti juga untuk kita.

Cara kita mengenali kemampuan atau karuna anak:

  1. Memberikan kesempatan, yaitu memintanya untuk mencoba.

  2. Berbincang-bincang dengan si anak agar kita tahu minat si anak yang dia sungguh-sungguh senangi.

Cara mengatasi kekecewaan kita sebagai orang tua, karena kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan kita (misalkan dalam hal anak mencari jodoh) adalah:

  1. Kita harus komunikasikan seperti apa adanya bahwa kita tidak setuju. Dan seharusnya kita mengkomunikasikan seturut dengan Firman Tuhan jadi bukan karena selera pribadi kita tapi memang sesuai dengan kehendak Tuhan. Misalkan menikah dengan yang tidak seiman, sebab firman Tuhan jelas meminta kita menikah dengan yang seiman bukan dengan yang tidak seiman, jadi alas an itulah yang kita sajikan kepada dia.
    Kita harus telan atau menerima seandainya arahan kita tidak diterima oleh anak. Sebab anak mempunyai kehendak sendiri dan pada akhirnya semua orang tua harus menyadari bahwa anak itu terpisah dengan dirinya. Pada akhirnya kita harus sadari dia adalah seorang individu yang bebas.

  2. Kita harus mengevaluasi tuntutan dan harapan kita. Misalnya tentang konsep perpanjangan diri, perpanjangan diri sebetulnya bersumber dari kita yang belum bisa terima diri kita atau keadaan kita apa adanya. Banyak orang tua harus berdamai dengan dirinya terlebih dahulu yaitu bersedialah menerima diri sehingga tidak menjadikan anak sebagai perpanjangan diri.

Amsal 15:16,17 . "Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan dari pada banyak harta dengan disertai kecemasan. Lebih baik sepiring sayur dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian."

Jadi saya kira intinya adalah tuntutlah sesimpel mungkin, harapkanlah sesederhana mungkin, nah yang sederhananya itu apa? Saya kira tuntutan nomor satu adalah yang paling sederhana anak kita itu bisa kenal Tuhan Yesus hidup dalam takut akan Tuhan itu yang sederhana.

Jadi Firman Tuhan memang menegaskan lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan dari pada banyak harta dengan disertai kecemasan.

Nah tuntutlah sesederhana mungkin yaitu yang lebih bersifat kehidupannya secara pribadi, karakternya, kehidupan moralnya untuk hal-hal yang lainnya kita hanya bisa giring dia, arahkan dia.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang kekecewaan orang tua terhadap anaknya. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sebagai orang tua tentu kita punya harapan terhadap anak. Kalau kita sudah punya dua anak laki-laki dan kehamilan yang ketiga kita mengharapkan anak perempuan itu wajar saya rasa Pak Paul. Tapi kenyataannya kalau yang lahir itu laki-laki lagi, itu bisa kecewa dan ada pada etnis tertentu yang mengharapkan anak laki-laki semua lalu lahir anak perempuan sehingga dia kecewa terhadap kelahiran anaknya. Ada juga orang tua yang mengharapkan anaknya itu jadi dokter tapi ternyata dia pilih jadi seniman, orang tua itu pasti kecewa. Ada banyak kekecewaan saya rasa Pak Paul, yang terungkap maupun tidak terungkap yang bisa terjadi dan itu pasti menimbulkan ketidakharmonisan di dalam rumah tangga mereka. Sebenarnya bagaimana harus mengatasi atau mencegah kekecewaan-kekecewaan seperti itu?

PG : Saya akan mengawali dengan pengakuan, Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya ini mengakui bahwa salah satu anggota tubuh saya yang tidak saya sukai adalah hidung, sebab sewaktu masih kecil saya ni sering diejek karena hidung saya besar.

Nah, sewaktu saya punya anak saya masih ingat sekali, saya mengharapkan hidung anak saya mancung. Saya benar-benar ingat ada perasaan dalam hati saya. Dan waktu anak saya itu lahir, anak pertama saya lahir, anggota tubuh pertama yang saya lihat adalah hidungnya. Ternyata sama dengan saya. Dan sekarang anak saya itu paling suka kesal dengan saya karena hidungnya, dia suka berkata kenapa harus sama dengan papa. Dan celakanya adalah anak-anak saya yang lain tidak begitu, jadi akhirnya dia suka berkata kenapa sih yang jelek harus dia terima dari saya. Nah saya sudah bisa menerima bagian dari diri saya ini tapi saya harus akui dalam masa-masa remaja saya, hal itu yang mengganggu saya sekali. Kembali pada tadi yang Pak Gunawan sudah bicarakan, kita sebagai orang tua memang memiliki tuntutan atau harapan, harapan kita sebetulnya adalah anak kita yang seharusnya lebih baik dari kita, atau sekurang-kurangnya sama dengan kitalah. Jadi waktu anak kita itu melakukan atau menjadi yang tidak kita inginkan, seringkali kita memang terluka. Nah, dalam ilmu terapi keluarga ada satu istilah yaitu perpanjangan diri, "self-extension", adakalanya orang tua itu menjadikan anak sebagai perpanjangan dirinya. Maksudnya adalah kita ini tidak mampu mencapai standar atau tujuan kita, kita mengharapkan anak kitalah yang menyambung dan akhirnya berhasil mencapai standar atau tujuan yang kita harapkan. Nah, adakalanya sewaktu anak-anak itu tidak mencapai perpanjangan atau mencapai tujuan yang kita dambakan kita merasa kecewa. Jadi kekecewaan bisa muncul dari konsep yang keliru tentang anak. Ada orang tua misalnya dari kecil ingin main piano terus tidak berkesempatan belajar piano, setelah dewasa tidak ada kesempatan lagi belajar piano karena sudah punya anak. Akhirnya anak-anaknya dipaksa untuk belajar piano. Nah, kalau anak itu memang kebetulan berbakat dan mempunyai talenta main piano tidak apa-apa. Tapi masalahnya kalau anak itu tidak berbakat main piano, anak itu akan mendapatkan tekanan yang luar biasa. Dalam kasus ini si anak berfungsi menjadi perpanjangan diri orang tuanya untuk mengkompensasi atau menambal lubang yang ada pada diri orang tuanya.
(2) GS : Berarti ada harapan yang sebenarnya wajar dimiliki oleh orang tua, ada harapan yang berlebihan ya Pak Paul? Sampai sejauh mana batasan-batasannya itu?

PG : Kita memang harus melihat anak kita seperti apa adanya, jadi Tuhan memberikan anak kepada kita dengan rancangan Tuhan bukan rancangan orang tua. Tanpa kita sadari kita itu memang merancng anak kita untuk menjadi seperti yang kita inginkan, tapi kita selalu harus mengingatkan diri kita bahwa si anak itu lahir ke dunia sudah membawa rancangan Tuhan untuk dirinya.

Contoh yang pernah saya dengar dalam suatu kesaksian ada seorang pemuda yang sejak kecil merasa dibandingkan dengan kakaknya. Karena kakaknya itu pemain football di Amerika. Di Amerika Serikat pemain football dikenal sebagai orang-orang yang jantan, badannya besar-besar( kebetulan si kakak begitu). Si adik tubuhnya kurus kerempeng, bukan senangnya main bola, senangnya baca buku di rumah. Si ayah senangnya main bola juga, akhirnya si ayah itu dekat dengan si kakak. Pada suatu saat, malam hari si kakak itu meninggal dunia. Si ayah begitu terpukul sekali karena kematian anaknya. Tapi masalahnya adalah dalam suatu percakapan atau pertengkaran pernah terlontar meskipun tidak secara langsung perkataan si ayah yang seolah-olah mengharapkan yang mati bukannya si kakak tapi si adik misalnya seperti itu. Nah si anak ini bertumbuh besar dengan perasaan yang sangat luka, dia merasa anak yang tidak diinginkan oleh si ayah, akhirnya dia menjadi seorang pendeta. Dan setelah dia menjadi pendeta dia tetap menyimpan luka yang dalam itu terhadap si ayah. Sampai suatu ketika si ayah sakit berat dan dia datang mengunjungi si ayah. Waktu dia mengunjungi si ayah, si ayah membuka mata, kebetulan ada seorang suster perawat di situ tiba-tiba si ayah berkata: "Suster, saya mau kenalkan engkau dengan anak saya, dia seorang pendeta." Dan si anak ini bercerita dalam kesaksiannya pertama kali dalam hidupnya dia itu mendengar suara si ayah yang bangga terhadapnya, sampai seperti itu. Jadi bertahun-tahun memang dia merasa si ayah itu tidak pernah bangga karena si anak itu tidak mencapai standar apa yang diharapkannya. Jadi si ayah gagal melihat siapa si anak itu seperti yang Tuhan sudah desain, rancang. Sebab si ayah mengharapkan anak itu seperti rancangannya, nah setiap orang tua harus menyadari apa yang dibawa oleh si anak tatkala dia hadir dalam dunia ini dan kita harus mendidiknya, membentuknya sesuai dengan bawaannya itu, sebab bawaannya itu adalah titipan dari Tuhan. Dia senang musik, dia senang apakah itu adalah bawaan dari Tuhan, ke sanalah kita akan kembangkan dia, bukan sesuai dengan rancangan kita.
GS : Berarti setiap orang tua itu diharapkan sudah siap mental sebelum anak itu lahir ke dunia. Tapi tetap masih boleh punya harapan-harapan, Pak Paul?

PG : Tetap boleh asalkan memang bisa dicapai oleh si anak. Nah, saya kira kita sekarang sedang membicarakan hal yang spesifik, bukan hal yang umum seperti kita mengharapkan anak kita baik, tdak nakal, itu harapan umum.

Tapi yang secara spesifik memang kita biasanya mempunyai harapan tersembunyi. Ibu Ida bagaimana sebagai orang tua?
IR : Jadi harus belajar menerima anak apa adanya, dan mengarahkan sesuai dengan bakat dia.

PG : Betul. Kita kadang-kadang susah menerima anak itu kalau anak itu mencerminkan kelemahan kita. Tadi dalam kasus yang berkenaan dengan diri saya sendiri, saya menganggap kelemahan secara isik adalah hidung saya.

Justru saya ingin supaya anak-anak saya tidak ada yang seperti saya. Ternyata ada yang seperti saya, kenapa saya tidak mau? Sebetulnya bukan supaya anak itu tidak menderita, salah satu motivasi saya adalah supaya tidak ada lagi yang lemah dalam keluarga saya, tidak ada lagi yang harus merasa malu dengan anggota tubuhnya itu. Jadi adakalanya kita ini kecewa dengan anak karena anak kita itu seolah-olah menyingkapkan kelemahan kita kepada dunia luar, itu yang tidak kita inginkan.
GS : Tapi apakah kekecewaan seperti itu bisa berkembang lagi dengan menyalahkan, karena itu ciptaan Tuhan?

PG : Bisa kalau kita memang memiliki konsep yang salah tentang Tuhan. Sebab anak itu memang titipan Tuhan dan apa yang dia bawa adalah dari Tuhan, namun tidak berarti Tuhan mempunyai rencanayang tidak baik untuknya.

Meskipun kita melihat tidak seperti yang kita inginkan, belum tentu itu tidak baik baginya. Sebab kita harus selalu ingat bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah untuknya, seperti juga untuk kita. Jadi Tuhan adalah Tuhannya pula, Tuhan Yesus bukan hanya Tuhan kita tapi Tuhan anak kita pula.
GS : Memang kalau secara fisik itu, kita tidak bisa merubah atau mungkin kalau mau dipaksakan bisa dengan operasi plastik dan sebagainya, tetapi itu terlalu jauh. Ada hal-hal yang sebenarnya itu bisa kita ubah Pak Paul, misalnya dalam hal anak memilih hobynya atau jurusan pendidikannya, sebenarnya sampai sejauh mana orang tua itu boleh mengintervensi anak?

PG : Kita harus mengenali kemampuan si anak, karunia si anak itu dengan cara apa. Dengan cara memberikan kesempatan. Salah satu cara untuk mengetahui anak itu mempunyai karunia atau tidak unuk bidang tertentu adalah dengan memintanya untuk mencoba.

Tidak apa-apa, misalkan kita ini belum tahu anak kita berbakat musik atau tidak, silakan ajarkan dia musik. Dalam perkembangannya kita lihat apakah dia memang bisa atau tidak, kalau memang tidak bisa dan tidak berminat kita relakan. Terus kita coba lagi untuk hal yang lain, misalnya olah raga kita minta dia untuk ikut lagi jadi kita harus mencoba dan uji coba, ini berlangsung bukan hanya seminggu atau dua minggu bisa bertahun-tahun.
GS : Jadi di sana dibutuhkan pengamatan orang tua terhadap anak?

PG : Betul, pengamatan sekaligus juga pendengaran yang baik yaitu berbincang-bincang dengan si anak agar kita tahu minat si anak apa yang dia sungguh-sungguh senangi begitu.

GS : Masalahnya kalau kita sudah punya konsep, walaupun itu salah, Pak Paul, kita cenderung untuk memaksakan itu kepada si anak. Konsep saya adalah anak saya itu menjadi pemain piano misalnya tadi yang Pak Paul katakan, dengan berbagai cara saya akan paksakan dia untuk jadi pemain piano.

PG : Kalau dia tidak mempunyai bakat ya kasihan si anak, kalau si anak itu memang punya bakat tidak apa-apa. Saya masih ingat saya pernah punya teman yang memang sekarang menjadi dokter, ters saya bertemu dengan ibunya.

Ibunya berkata, ibunya seorang suster/perawat, anak saya memang sudah saya didik untuk menjadi dokter. Si ibu itu benar-benar mendorong si anak untuk mencapai gelar dokter. Tapi anak itu memang pandai dan dia mampu, ibunya pun perawat jadi memang rupanya ada bakat ke arah itu. Kalau anak itu tidak berbakat kasihan sekali, dampak-dampaknya adalah si anak merasa tertolak lagi di situ.
IR : Jadi bagi setiap orang tua harus rela kalau memang itu tidak sesuai dengan kemampuan anak, kita harus dengan besar hati menerima apa yang diinginkan anak ya, Pak Paul?

PG : Ya, seringkali memang harus ada keseimbangan juga ya Bu Ida, misalkan dia ingin mengambil suatu bidang yang kita tahu sulit untuk dia kembangkan dan sulit untuk dia gantungkan sebagai mta pencahariannya.

Adakalanya memang kita harus berpikir praktis pula, tidak bisa terlalu idealis. Nah yang bisa kita lakukan adalah bukannya melarang dia memasuki bidang tersebut, tapi kita bisa mendorong dia untuk misalnya mengembangkan keterampilan yang mungkin dia juga sukai, meskipun tidaklah sebesar bidang yang pertama itu. Jadi kesukaannya pada bidang yang kedua sedikit lebih rendah tapi tidak apa-apa, yang penting adalah kita tidak melarangnya memasuki bidang tersebut. Namun kita minta dia untuk juga mengembangkan bidang yang lainnya, yang lebih praktis maksud saya sehingga akhirnya dia bisa mendapatkan juga mata pencaharian itu.
GS : Tetapi kalau hal yang agak lebih serius, kita bicara tentang anak-anak kita yang sudah mulai menjadi dewasa dalam hal mereka berpacaran kita pun sebagai orang tua punya idealisme tertentu, saya mengharapkan menantu saya itu seperti ini. Ternyata yang dipilih itu berbeda dengan apa yang kita harapkan, mungkin berbeda agama, suku, tingkat sosial yang kita harapkan. Sampai sejauh mana yang kita bisa ungkapkan kepada anak kita?

PG : Idealnya adalah kita mulai memberitahukan anak apa itu yang menjadi suami atau istri yang baik, ciri-ciri apa yang baik. Kita sudah melakukan itu sejak anak kecil, sebetulnya kita sudahmulai berkomunikasi dengan dia, suami yang baik seperti apa, istri yang baik seperti apa.

Informasi ini akhirnya akan mulai tertanam pada diri si anak dan pada waktu nanti dia mencari pasangan hidup, tanpa dia sadari informasi ini menjadi seperti panduan, pedoman baginya yang akan mengarahkannya untuk mendapatkan seperti yang kita inginkan. Kalau dia menemukan yang sama seperti yang kita inginkan sebetulnya dia akan senang karena dia tahu ini akan menyenangkan hati orang tuanya. Kalau dia kebetulan jatuh cinta dengan yang tidak disetujui orang tua dan dia tahu orang tua pasti menolak, sebetulnya dalam diri dia sendiri ada konflik itu. Nah kadang kala kita berpikir anak itu sengaja mendapatkan pasangan yang tidak kita kehendaki, tapi sebetulnya hampir semua kasus yang saya kenal, yang saya ketahui, mereka tidak sengaja memilih orang seperti itu, kebetulan saja jatuh cinta dengan orang seperti itu. Jadi memang cara untuk mengaturnya, membimbing dia itu perlu sekali penanganan yang khusus dan kelembutan. Betul sekali kata Pak Gunawan, kita akhirnya memang bisa kecewa dengan pilihan anak kita, saya hampir percaya bahwa pada umumnya orang tua itu pada awalnya kecewa dengan pilihan anaknya. Saya hampir percaya itulah yang terjadi.
GS : Kenapa bisa terjadi seperti itu, Pak Paul?
IR : Justru memilih orang yang tidak sesuai dengan selera.

PG : Pertama, kita cenderung mengukur orang dengan diri kita. Kedua, kita cenderung menginginkan anak kita lebih bahagia daripada kita, jadi kita cenderung menginginkan anak kita memilih pasngan hidup yang lebih baik daripada kita dan hidupnya nanti akan lebih baik daripada hidup kita sekarang ini.

(3) GS : Lalu mengatasi kekecewaan itu bagaimana Pak Paul, kalau kenyataannya tidak sesuai dengan harapan kita misalnya tidak seiman, banyak hal yang tidak sesuai?

PG : Saya kira kita harus mengkomunikasikan seperti apa adanya bahwa kita tidak setuju karena hal-hal ini. Nah sebaiknya dan seharusnyalah yang kita komunikasikan itu seturut dengan Firman Than, jadi bukan karena selera pribadi kita, tapi memang sesuai dengan yang Tuhan kehendaki.

Misalnya menikah dengan yang tidak seiman sebab Firman Tuhan jelas meminta kita menikah dengan yang seiman, bukan dengan yang tidak seiman. Jadi alasan itulah yang kita sajikan kepada dia, waktu kita mulai menyajikan alasan-alasan yang di luar Alkitab tapi memang mengandung kebenaran kita mesti berhati-hati. Misalkan anak yang ingin menikah dengan seorang wanita yang sakit-sakitan, si orang tua tahu bahwa nanti si anak akan menderita menikah dengan wanita ini karena tubuhnya yang lemah. Terus kita katakan kamu jangan menikah dengan dia nanti kamu akan menderita. Nah si anak yang dalam usia muda dan sedang jatuh cinta tidak bisa mengerti perkataan kita. Saya kira reaksi yang pertama kali muncul dari bibirnya adalah "Papa-Mama kok begitu sebagai orang Kristen, bukankah Papa-Mama mengajarkan kepada saya harus mengasihi orang yang lemah. Nah sekarang ini orang lemah kenapa saya tidak boleh mengasihi dia?" Nah, memang dalam kondisi yang idealis seperti itu anak tidak mungkin mengerti yang kita katakan. Jadi cara kita mengkomunikasikan konsekuensi pernikahannya jangan dalam bentuk larangan seperti itu, karena sudah pasti mengundang reaksi yang keras dari dirinya. Yang bisa kita lakukan adalah, dalam percakapan sekali sekali kita bisa berkata kepada dia, "Anakku saya harap kamu akan siap," "Siap apa, Pa, siap apa, Ma?" "Siap untuk kamu berkorban, itu yang saya minta. Saya tahu kamu mencintai dia dan kamu mau menikahi dia silakan, dia anak yang baik, tapi memang tubuhnya lemah. Nah akan banyak hal yang nanti kamu ingin lakukan tidak bisa kamu lakukan karena istrimu lemah, kamu harus siap berkorban." Hal seperti itu, dengan cara-cara seperti itulah si anak dibuat berpikir, jadi bukannya dia menerima serangan dari orang tua justru orang tua seolah-olah mencerahkan pikirannya sehingga lebih terbuka wawasannya, itu lebih efektif.
GS : Itu berarti bahwa kekecewaan itu tidak perlu kita sembunyikan tapi kita komunikasikan dengan anak-anak kita itu. Kalau kita punya harapan seperti ini tetapi yang dia lakukan seperti itu Pak Paul, sambil memberikan arahan lagi. Tetapi kalau arahan itu ditolak, kekecewaan kita makin bertambah.

PG : Dan kita harus terima itu, sebab anak itu yang mempunyai kehendak sendiri dan pada akhirnya semua orang tua menyadari bahwa anak itu terpisah dari dirinya. Kita cenderung berpikir bahwaanak itu tetap terikat dengan kita dan masih bersambungan dengan kita.

Tapi pada akhirnya kita harus sadari dia adalah seorang individu yang bebas.
GS : Atau mungkin kita perlu mengevaluasi lagi apakah harapan kita itu memang realistis ya Pak Paul, apakah yang kita harapkan itu sesuatu yang realistis kadang-kadang harapan kita itu 'kan tidak realistis. Sehingga sekalipun dikomunikasikan, dinasihati tetap ditolak karena memang bukan salah yang menolak tapi salah yang menuntut. Jadi di dalam mengatasi kekecewaan ini Pak Paul, selain tadi kita bisa komunikasikan dsb, apakah ada langkah lain yang bisa kita ambil?

PG : Saya kira langkah yang pertama adalah kita harus mengevaluasi tuntutan dan harapan kita. Tadi saya sudah singgung tentang konsep perpanjangan diri, perpanjangan diri sebetulnya bersumbe dari satu hal, Pak Gunawan dan Ibu Ida, yaitu kita belum bisa menerima diri kita atau keadaan kita apa adanya.

Sebabnya adalah kalau kita sudah menerima apa adanya diri kita, kita tidak merasa perlu untuk membuat anak itu sebagai perpanjangan diri kita. Untuk meraih tujuan yang kita dambakan, tidak perlu lagi jadi saya kira banyak orang tua yang harus berdamai dengan dirinya terlebih dahulu yaitu bersedialah menerima diri sehingga tidak menjadikan anak sebagai perpanjangan diri atau ada yang pakai istilah anak itu adalah untuk meningkatkan kehidupan kita atau nama baik kita, meninggikan reputasi kita dsb. Kalau kita sendiri sudah bisa terima apa adanya, anak akan bertumbuh dengan bebas, tidak dibebani lagi misi untuk mengangkat harkat atau nama baik orang tuanya. Anak tidak berkewajiban mengangkat harkat orang tuanya, orang tua wajib mengangkat nama baik kita sendiri.
IR : Tapi orang tua juga menuntut anak melakukan kebenaran Firman Pak yang seringkali justru ditolak, bagaimana itu Pak Paul? Boleh kalau orang tua itu menuntut anak berbalik pada Tuhan. Jadi kalau memutuskan sesuatu itu yang sesuai dengan Firman Tuhan, apakah itu salah?

PG : Tidak itu betul, jadi Firman Tuhan di kitab Ulangan yang meminta kita untuk mengajarkan ketetapan Tuhan pada waktu kita tidur, bangun, berjalan, duduk yang semuanya mengandung satu artiyaitu kapan saja, di mana saja coba ajarkanlah tentang Firman Tuhan, jadi silakan.

Namun yang penting juga Bu Ida bagaimana kita menyampaikannya, sebab pada anak-anak yang sudah remaja atau menginjak usia dewasa, instruksi-instruksi tidak bisa efektif lagi, anak itu tidak lagi tanggap terhadap perintah-perintah orang tua. Jadi yang lebih cocok sistem bimbingan, kita minta dia ingat Tuhan, kita ingatkan dia untuk berdoa, membaca Firman Tuhan, kita ceritakan pengalaman kita dengan Tuhan, terus kita juga sampaikan kepada dia bahwa kita mendoakan dia setiap hari. Nah hal-hal itulah yang bisa kita lakukan, tetapi kalau kita perintahkan biasanya ditolak.
GS : Jadi mengenai kekecewaan Pak Paul, semua orang tua itu pada dasarnya mengharapkan anak itu menjadi anak yang baik dan seterusnya, tetapi tidak semua harapan itu bisa tercapai baik untuk kita, belum tentu baik untuk anak itu. Nah apakah ada pedoman Firman Tuhan yang bisa menguatkan kita sebagai orang tua di dalam membinanya?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 15:16-17 . "Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan daripada banyak harta dengan disertai kecemasan. Lebih baik sepiring sayu dengan kasih daripada lembu tambun dengan kebencian."

Jadi saya kira intinya adalah tuntutlah sesimpel mungkin, harapkanlah sesederhana mungkin, nah yang sederhananya itu apa? Saya kira tuntutan nomor satu adalah yang paling sederhana anak kita itu bisa kenal Tuhan Yesus, hidup dan takut akan Tuhan. Jadi Firman Tuhan memang menegaskan lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan daripada banyak harta dengan disertai kecemasan. Tuntutlah sesederhana mungkin yaitu yang lebih bersifat kehidupan secara pribadi, karakternya, kehidupan moralnya Untuk hal-hal yang lainnya kita hanya bisa menggiring, mengarahkan dia. Dia mau capai kita senang, dia tidak mencapai kita coba mencarikan jalan yang lain bagi dia. Saya kira orang tua semakin anak besar semakin harus melepaskan genggamannya, kalau tidak dia akan kecewa berat.

GS : Supaya dia pun terbentuk sesuai apa yang Tuhan inginkan dan tugas kita sebagai orang tua adalah memberikan suasana atau kondisi yang memungkinkan anak itu bertumbuh. Sekalipun itu tidak sesuai dengan harapan-harapan kita sendiri ya Pak Paul. Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kasihi kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang kekecewaan dan harapan orang tua terhadap anak bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan banyak terima kasih untuk surat-surat yang sudah dikirimkan kepada kami, namun saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



6. Peran Orangtua Menghadapi Anak Berpacaran


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T024A (File MP3 T024A)


Abstrak:

Materi ini mengarahkan orangtua untuk menyampaikan pesan-pesan moral secara positif jauh sebelum anak masuk dalam jenjang berpacaran. Juga membahas bagaimana sikap orangtua ketika mengetahui anak berpacaran dengan yang tidak seiman.


Ringkasan:

Yang membedakan berpacaran dengan berteman akrab adalah:
Perbedaan utamanya adalah ketertarikan secara romantis dan emosional. Persahabatan biasanya diikat oleh rasa kebutuhan, kebutuhan emosional yang dipenuhi oleh seorang sahabat. Sedangkan berpacaran mengandung unsur suatu ketertarikan secara romantis.

Teman juga memberikan pengaruh dalam kehidupan remaja, apalagi kalau mereka mulai berteman secara eksklusif. Misalkan pada usia 15 tahun, mayoritas teman-teman belum berpacaran, biasanya anak-anak remaja mulai berpacaran secara eksklusif pada usia 16 tahun ke atas. Waktu umur 15, 14 mulai mengembangkan persahabatan yang eksklusif dengan lawan jenis, dia juga malu untuk membuka fakta itu di hadapan teman-temannya. Jadi kecenderungan anak remaja juga menyembunyikan fakta tersebut, karena malu di hadapan teman-teman dianggap terlalu dini berpacaran dan sebagainya.

Yang perlu dilakukan orangtua kalau mengetahui anaknya sudah mulai berpacaran:

  1. Jauh sebelum anak kita berpacaran, kita seharusnya sudah mulai berbicara pada dia tentang calon pacarnya, tentang suami atau istri yang baik. Sehingga anak kita mempunyai kerangka atau standar atau tolok ukur sewaktu dia akhirnya mulai dekat dengan seorang pria, tanpa disadarinya prinsip-prinsip atau kriteria yang kita berikan itu melekat padanya dan menjadi panduan yang dia akan gunakan.

Ada kecenderungan anak justru tertarik kepada yang tidak seiman, sebetulnya dipengaruhi oleh kematangan iman, kematangan usia dan jiwa anak. Artinya ada anak-anak yang usia 11-12 tahun, 13 tahun yang memiliki kematangan rohani. Tapi pada umumnya kalau kita lihat secara umum, kebanyakan kita ini mulai memikirkan dengan serius akan iman, akan Tuhan pada umumnya sekitar usia 17, 18 tahun ke atas. Artinya pada usia sebelumnya hal-hal rohani itu kurang menempati posisi yang penting di dalam kehidupannya, dan pada umumnya pintu pertama yang menjadi penghubungnya antara kita dengan yang kita sukai adalah ketertarikan fisik. Soal kedua kecocokan kepribadiannya, sifat-sifatnya.

Melalui hal ini kita bisa tarik kesimpulan bahwa sewaktu anak menjalin hubungan dengan lawan jenisnya yang kebetulan tidak seiman itu dilakukannya tidak dengan sengaja, bukannya dia sengaja mencari yang tidak seiman tapi karena prosesnyalah memang begitu. Dari situ baru mulai memusingkan faktor-faktor lainnya, sifat-sifatnya, kebaikan hatinya, kecocokannya dan nanti yang terakhir yang dia akan pikirkan barulah kesamaan iman. Orang tua yang mengetahui anaknya pacaran dengan yang tidak seiman, reaksi pertamanya adalah panik dan kita takut itu akan membawa kerugian bagi si anak.

Yang perlu orang tua lakukan adalah pertama, berdialog dengan dia, larangan yang keras kurang begitu efektif. Salah satunya kita bisa membacakan satu ayat yang ditulis oleh Amsal 19:14 , "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Kita dapat bertanya: "Dapatkah engkau mempertanggungjawabkan keputusanmu ini dan berkata bahwa dia adalah pemberian Tuhan." Sebab sebagai orang Kristen kita harus berkata bahwa pasangan hidup kita itu adalah pemberian Tuhan, pemberian Tuhan berarti sesuai dengan kehendak Tuhan. Firman Tuhan meminta kita menikah dengan yang seiman, kita tidak diizinkan untuk menikah dengan yang tidak seiman.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang berpacaran, kami percaya bahwa topik ini sudah sering Anda dengar dan dibahas namun kami akan berusaha pada kesempatan perbincangan ini juga akan menyuguhkan sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat bagi Anda sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, tentu sebuah proses pernikahan itu diawali dengan berpacaran. Kita pernah mengalami dan mungkin kita sekarang menghadapi anak-anak kita mulai terlibat dalam proses berpacaran. Sebenarnya yang membedakan antara berpacaran dan berteman akrab itu selain hanya perbedaan jenis kelamin, apakah ada hal-hal lain yang sifatnya lebih spesifik, Pak Paul?

PG : Ada Pak Gunawan, jadi yang menjadi perbedaan utama adalah ketertarikan secara romantis dan emosional. Persahabatan biasanya diikat oleh rasa kebutuhan emosional yang dipenuhi oleh seorang ahabat.

Sedangkan berpacaran mengandung unsur suatu ketertarikan secara romantis, Pak Gunawan.
GS : Ya itu saya ajukan karena begini, Pak Paul, sering kali kalau anak-anak itu ditanyakan, "Kamu pacaran dengan itu ya?" Dia cuma menjawab: "Tidak, kami cuma berteman saja!" Kalau berteman biasanya kita biarkan saja, tapi kalau berpacaran kita harus memperhatikan lebih serius hubungan mereka.

PG : Kecenderungannya memang anak-anak remaja pada awal-awalnya tidak berterus-terang bahwa dia memiliki ketertarikan secara romantis terhadap teman lawan jenisnya. Jadi yang biasa dia ungkapka adalah "Kami hanya berteman", tujuannya adalah untuk menghindari larangan dari orang tua, Pak Gunawan, jadi orang tua itu cenderungnya tidak memberikan izin kepada anak remajanya untuk berpacaran.

Oleh karena itulah mereka tidak menyebutnya itu pacar, hanya teman saja. Tapi sebetulnya dalam hati si anak remaja itu mengakui bahwa ada rasa ketertarikan secara romantis.
GS : Apakah kalau mereka sering pergi berduaan dan mengambil kesempatan-kesempatan hanya berdua saja, kemudian kita bisa mengatakan mereka sedang berpacaran?

PG : Kemungkinan kalau dengan lawan jenis dan sudah mulai bepergian berdua, saya kira sudah menjurus ke situ. Sebab dalam persahabatan sering kali tidak kita lakukan, biasanya kita bersahabat iu berdua, bertiga apalagi pada anak-anak remaja jarang sekali yang eksklusif hanya berdua dengan lawan jenis.

Jadi kalau mulai berdua dengan lawan jenis mungkin juga mereka pada awalnya mengatasnamakan itu persahabatan, namun dalam hati saya menduga meskipun mereka belum tentu mau mengakuinya mereka sudah memiliki ketertarikan yang romantis, tapi karena untuk penjajakan pada tahap awal masing-masing tidak mau mengungkapkan perasaan sebetulnya. Jadi mereka hanya bepergian dan berpikir ini adalah persahabatan, tapi biasanya setelah melewati satu jangka waktu tertentu mereka makin menyadari betapa bergantungnya mereka pada satu sama lain, betapa butuhnya kehadiran pasangannya itu. Jadi akhirnya mungkin salah satu akan mengungkapkan isi hatinya dan resmilah mereka menjadi pacaran.
IR : Seringkali yang kita dengar dari anak-anak bilang saya tidak ada apa-apa, tapi dari pergaulan yang selalu berduaan itu sudah menjurus ke pacaran ya Pak Paul?

PG : Betul, jadi kita bisa bedakannya dari segi berapa eksklusifnya persahabatan itu, sebab kalau dengan lawan jenis dan usianya tidak jauh berbeda dan eksklusif kemungkinan besar itu adalah bepacaran.

GS : Mungkin juga mereka khawatir disebut gonta-ganti pacar kalau mereka disebut berpacaran karena itu mereka katakan berteman. Kalau berteman mau gonta-ganti tidak apa-apa.

PG : Betul sekali, sebab ada pengaruh juga tekanan dari teman-teman apalagi kalau mereka mulai berteman secara eksklusif itu pada usia yang relatif muda. Misalkan pada usia 15 tahun mayoritas eman-temannya belum berpacaran.

Biasanya anak-anak remaja mulai berpacaran secara eksklusif itu pada usia 16 tahun ke atas. Nah waktu dia umur 15 tahun, 14 tahun mulai mengembangkan persahabatan yang eksklusif dengan lawan jenis, dia juga merasa malu untuk membuka fakta itu di hadapan teman-temannya. Jadi ada kecenderungan anak remaja juga menyembunyikan fakta tersebut, karena malu juga di hadapan teman-teman dianggap terlalu dini berpacaran dan sebagainya.
(2) GS : Nah kalau seandainya kita tahu memang anak ini /anak kita itu sudah mulai menjurus ke berpacaran, Pak Paul, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua?

PG : Nomor satu adalah jauh sebelum anak kita mulai berpacaran, kita seharusnya sudah mulai berbicara kepada dia tentang calon pacarnya, tentang suami atau istri yang baik. Jadi itulah yang hars kita tekankan jauh sebelum dia itu akhirnya berpacaran.

Misalkan kita mulai berbicara tentang hal-hal seperti ini secara rileks, santai itu kira-kira pada waktu anak usia sekitar 9, 10 tahun. Nah ini tidak harus dilakukan secara terencana dan sistematik tapi kita bisa lakukan serileks mungkin, namun juga mengandung pesan moral yang jelas. Misalkan belum lama ini saya berdua dengan salah satu putri saya dan saya berkata kepada dia: "Nanti saya mengharapkan kamu akan menikah dengan seseorang yang lebih baik dari saya." Dia seperti terkejut mendengar perkataan tersebut, "Lebih baik dari Papa?" Saya bilang: "Ya"; "Maksudnya?" "Ya kamu akan menemukan orang yang lebih baik dari saya, jangan mengira bahwa sayalah orang yang terbaik! Akan ada pria yang lebih baik daripada saya. Terus saya bilang: "Saya hanya minta kamu memilih seseorang yang sangat mencintai Tuhan Yesus dan sangat mencintai kamu dengan sepenuh hati." Itu saya ucapkan kepada dia secara sepintas waktu kami sedang berduaan, berbincang-bincang. Hal-hal inilah yang kita perlu mulai sampaikan kepadanya, sehingga dia mempunyai kerangka atau standar atau tolak ukur sewaktu dia akhirnya mulai dekat dengan seorang pria tanpa disadarinya prinsip-prinsip tersebut atau kriteria tersebut sudah melekat padanya dan menjadi panduan yang dia akan gunakan. Nah itu yang pertama yang seharusnya kita lakukan jadi jauh sebelum anak remaja kita mencapai usia berpacaran kita sudah mulai harus berbicara. Nah sebaiknya pembicaraan kita itu juga tidak bernada instruksi, larangan, keharusan atau menggurui, jangan sampai kita menggunakan kata-kata: "Kamu tidak boleh menikah dengan ini, kamu harus begini dan sebagainya." Nah itu larangan-larangan bagi saya bisa efektif namun dampaknya bagi saya kurang begitu konstruktif, karena anak itu cenderung tidak begitu tanggap terhadap larangan-larangan. Justru bisa-bisa anak itu merasa ingin tahu mengapa tidak boleh berpacaran dengan orang yang dilarang oleh orang tuanya. Akhirnya melakukannya, jadi sampaikanlah pesan-pesan moral kita itu secara positif bukannya secara negatifnya. Itu saya kira langkah awalnya, Pak Gunawan.
GS : Tapi apakah mereka tidak canggung, Pak Paul, untuk diajak bicara seperti itu. Kalau umur 9 atau 10 tahun tanggapannya tidak serius kadang-kadang.

PG : Memang ada kecenderungan anak tidak akan menunjukkan sikap bahwa dia itu sungguh-sungguh memperhatikan karena ada rasa malu. Jadi ada kecenderungan dia akan menganggap itu sepertinya tidakserius, tapi sebetulnya dalam hatinya dia akan dengarkan dengan serius.

Sebagai contoh lagi saya juga berduaan dengan salah satu anak saya dan saya berkata kepada dia: "Waktu saya masih kecil saya berkata, saya ini menyukai seorang wanita, tahu tidak umur saya berapa saat itu?" Dia sepertinya tidak menghiraukan saya, sepertinya lagi berkonsentrasi dengan hal yang lain tapi terus dia jawab dia tanya saya, "Berapa umur papa?" Saya bilang: "Saya kira-kira umur 9 tahun, 10 tahun saat itu, saya menyukai sekali gadis itu. Saya bilang : "Ya, tapi akhirnya setelah saya besar ya udah, saya tidak menyukai dia lagi dan saya tidak menikahi dia, sebab saya sekarang menikah dengan mama kamu," dia diam aja. Terus saya sambung, saya bilang "Ya itulah yang terjadi pada kita, adakalanya kita menyukai seseorang." Sesudah itu saya diam, saya tidak sambung lagi, tidak tanya-tanya juga tidak korek-korek dari dia. Tujuannya adalah saya mau memberitahu dia bahwa natural, alamiah bagi dia untuk suatu hari kelak menyukai seseorang yang berlawanan jenis dan tidak perlu dia merasa malu. Saya bertujuan mengambil inisiatif mengungkit, memunculkan hal ini agar dia akhirnya mempunyai keberanian untuk bercerita kepada saya, itu tujuannya.
GS : Di situ, Pak Paul, tidak membedakan misalnya ayah harus bicara dengan anak putra, atau ibu dengan anak putri, apakah tidak ada pengaruhnya?

PG : Tidak, dua-duanya sebenarnya boleh saja tapi sebaiknya memang dua-dua, jangan hanya satu sebab ada kecenderungan ayah akan berkata : "Ini tugas ibu." Saya kira justru tidak, ini ugas dua-duanya.

IR : Kalau kadang-kadang orang tua sudah menanamkan seperti yang dikatakan, Pak Paul, tadi tapi kadang-kadang sesudah anak ini menginjak dewasa, sudah waktu pacaran yang saya sering ketahui itu, mereka justru tertarik pada orang-orang yang dikatakan tidak seiman. Kalau ditanya kenapa kamu justru tertarik dengan yang tidak seiman. Mereka menjawab karena yang seiman itu kadang-kadang kurang cantik. Bagaimana kalau menurut, Pak Paul?

PG : Sebetulnya yang harus kita akui adalah kematangan iman kita yang sering kali memang dipengaruhi oleh kematangan usia dan jiwa kita, maksud saya begini, ada memang anak-anak remaja yang usi 11-12 tahun, 13 tahun yang memiliki kematangan rohani.

Tapi pada umumnya kalau kita lihat secara umum, kebanyakan kita ini mulai memikirkan dengan serius akan iman kita, Tuhan itu pada umumnya sekitar usia 17 tahun, 18 tahun ke atas, bukan di bawahnya. Dan saya kira ini cukup alamiah jadi jangan kita ini merasa anak kita kurang rahani, sebab ada tahapannya. Biasanya memang setelah usia 17 tahun, 18 tahun anak-anak itu baru mulai memikirkan dengan lebih serius tentang hal-hal yang rohani. Artinya apa? Artinya adalah pada usia sebelumnya hal-hal rohani itu kurang menempati posisi yang penting di dalam kehidupannya, kecenderungannya adalah dia ikut dengan kita ke gereja karena kewajiban. Pada masa dia belum memiliki kematangan rohani ini dan di mana hal-hal yang rohani itu penting baginya mungkin saja dia tertarik dengan lawan jenisnya. Nah harus kita akui bahwa pada umumnya pintu pertama yang menjadi penghubung antara kita dengan yang kita sukai adalah ketertarikan fisik Bu Ida, kita harus akui itulah yang seringkali menjadi daya tarik pertama. Seringkali adalah syukur-syukurlah kalau dia juga sesama iman terutama orang percaya, tapi seringkali unsur percaya atau tidak itu soal kedua sama juga dengan unsur misalnya kecocokan kepribadian, sifat-sifatnya. Seringkali pada anak-anak remaja itu bukan faktor yang penting, jadi ketertarikan mereka lebih didasari atas ketertarikan fisik. Nah dari pengertian ini kita bisa belajar atau menyimpulkan satu hal ya Bu Ida, bahwa sewaktu anak kita itu menjalin hubungan dengan lawan jenisnya yang kebetulan tidak seiman. Bukannya dia sengaja mencari yang tidak seiman tapi karena memang prosesnyalah seperti itu, rasa ketertarikan karena menyukai penampilan fisiknya. Dari situ baru dia akan mulai memusingkan faktor-faktor lainnya, sifat-sifatnya, kebaikan hatinya, kecocokannya dan nanti yang terakhir yang dia akan pikirkan barulah kesamaan imannya. Sehingga sering terjadi anak-anak remaja yang kita didik dari kecil di dalam Tuhan akhirnya berpacaran dengan yang tidak seiman.
GS : Kalau kita sudah tahu yang tadi Pak Paul katakan tanda-tandanya cukup jelas bahwa mereka sedang berpacaran dengan yang tidak seiman, padahal sejak dini kita sudah menanamkan norma-norma itu. Nah apa yang harus kita lakukan karena sering kali kita itu panik mengapa pacaran dengan orang yang tidak seiman atau tidak sesuku atau yang lain-lain yang tidak sesuai dengan kita?

PG : Ya itu reaksi yang umum, Pak Gunawan, kita merasa panik karena (GS : Tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan). Dan kita takut ini menjadi kerugian pada si anak. Nomor satu adalah kita mncoba untuk berdialog dengan dia, makin hari makin saya menyadari bahwa larangan yang keras kurang begitu efektif, justru anak-anak itu kalau kita larang dengan keras berbalik malah membela pacarnya dan merasa bahwa kita itu tidak adil.

Nah jadi yang saya akan lakukan adalah saya akan mengembalikan tanggung jawab ini pada pundaknya dan saya akan mendorongnya untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu di hadapan Tuhan, ini penting sekali kita lakukan. Kecenderungan kita adalah kita ini memaksakan si anak supaya si anak menuruti permintaan kita. Anak remaja sedang berada pada tahap pemberontakan, sering kali anak remaja itu melakukan hal yang justru tidak disukai oleh orang tuanya. Nah waktu kita lebih menekankan "Mama tidak setuju, papa tidak setuju kamu menikah dengan dia karena dia bukanlah seorang yang percaya dan sebagainya." Ada kecenderungan si anak ini tidak mendengarkan kita, jadi cara yang saya anjurkan adalah kita beritahu si anak, "Anakku ini adalah keputusanmu, pada akhirnya yang menikah adalah engkau tapi hendaknya kamu yakin satu hal, dapatkah engkau mempertanggungjawabkan pilihanmu di hadapan Tuhan?" Jadi kita memaksa dia atau menggiring dia kembali berhadapan dengan Tuhan bahwa dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya itu di hadapan Tuhan. Misalkan kita bisa membacakan satu ayat yang ditulis oleh Amsal 19:14 , "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Nah saya akan tanya kepada dia, "Dapatkah engkau mempertanggungjawabkan keputusanmu ini dan berkata bahwa dia adalah pemberian Tuhan." Sebab sebagai seorang Kristen kita harus berkata bahwa pasangan hidup kita itu adalah pemberian Tuhan. Pemberian Tuhan berarti yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita tahu bahwa firman Tuhan meminta kita menikah dengan yang seiman, kita tidak diizinkan untuk menikah dengan yang tidak seiman, tapi sekali lagi kita tidak menekankan pada kehendak kitanya tapi kita menekankan pada engkau sekarang bertanggung jawab secara langsung kepada Tuhan. Jadi itulah yang kita harus lebih tekankan sehingga dia tidak melawan kita, jadi kalau dia mau melawan dia tahu dia melawan Tuhannya sendiri.
GS : Itu 'kan menambah beban buat dia itu sebenarnya ya Pak Paul, dia 'kan sedang dalam kebingungannya. Dia tahu sebenarnya bahwa ini tidak boleh, karena sejak dini sudah ditanamkan norma-norma itu tapi kenyataannya yang tadi Pak Paul katakan dia tertarik secara fisik dengan orang yang tidak seiman. Sekarang kita kembalikan kepada dia, kamu pergumulkan sendiri dengan Tuhan, cari kehendak Tuhan. Tetapi itu saya rasa makin memberatkan dia, Pak Paul?

PG : Dan ada baiknya, memberatkan dia dalam pengertian agar dia sekarang mulai memikul tanggung jawab itu. Sebab kita harus berhati-hati jangan sampai masalah ini menjadi konflik antara dia denan kita, dia melawan kehendak kita.

Yang kita mau beritahukan kepada dia adalah "Engkau sudah melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan, nah apa keputusanmu?" Itu fakta yang harus kita berikan kepada dia. Namun setelah itu kita juga mau berdialog dengan dia misalkan sekali waktu kita tanya kita bisa berkata: "Engkau tertarik kepada dia sebab pasti ada hal-hal yang baik tentang dia yang kau sukai, boleh saya tahu apa saja yang kau sukai tentang dia?" Dengan cara itu kita ini memberikan kesan kepada anak kita bahwa kita juga tertarik atau kita ini merasa berkepentingan mendengarkan sisi dia. Sebab adakalanya si anak merasa orang tua belum apa-apa sudah menjatuhkan fonis tidak boleh, tapi tidak mengerti pergumulan dia, nah ini yang kita mau tunjukkan kepadanya bahwa kita pun mau memahami dirinya, bahwa dia menyukai orang ini karena ada hal-hal yang memang baik tentang orang tersebut, yang dia sukai. Nah waktu kita dengarkan dia bercerita tentang apa yang dia suka mengenai atau tentang orang tersebut dia akan merasa setidak-tidaknya orang tua mau mendengarkan sisi dia. Setelah dia cerita begitu kita bisa misalkan berikan komentar, "Saya mengerti ini pergumulan yang besar bagi kamu. Di satu pihak kamu mau mengikuti kehendak Tuhan, di pihak lain orang ini kurang pas dengan kamu dan kamu sangat menyukainya. Nah adakalanya itulah yang harus kita hadapi dalam hidup dan di situlah Tuhan meminta kita untuk kembali kepadaNya dan menyerahkan masalah ini kepadaNya dan tidak berjalan sesuai dengan kehendak kita saja. Jadi kita beri panduan seperti itu, jadi bukan dengan sikap yang frontal, konfrotatif tapi dengan sikap memandu, membimbing dia.
GS : Pak Paul, bisa katakan dia mengambil keputusan untuk putus dengan pacarnya yang tidak seiman itu, lalu ada perasaan bahwa ternyata dia tidak berani lagi untuk pacaran. Dia memilih supaya dia tidak terluka lagi hatinya lalu tidak pacaran lagi dia, itu bagaimana cara kita menolongnya?

PG : Ya kita bisa sampaikan kepadanya bahwa setelah kita putus, luka itu akan terus tinggal dalam hati kita untuk jangka waktu yang lama, jadi sudah sepantasnya kalau dia itu tidak mau mencoba embali namun kita bisa beritahu dia.

"Setelah lukamu sembuh nanti keinginan itu akan muncul juga secara lebih alamiah, makanya engkau perlu lebih berhati-hati lain kali." Misalkan kita bisa bagikan pengalaman kita. Saya secara pribadi sejak masih SMA mempunyai kriteria istri seperti apa yang saya inginkan. Setelah saya kuliah dan saya lahir baru saya menambahkan kriteria saya bahwa orang itu harus orang percaya. Jadi saya tidak lagi mempedulikan lawan jenis saya yang tidak seiman dengan saya, sebab saya tidak mau mencari penyakit. Mungkin bisa saya berikan firman Tuhan, dari Amsal 20:18 , "Rancangan terlaksana oleh pertimbangan sebab itu berperanglah dengan siasat," jadi rancangan terlaksana oleh pertimbangan sebab itu berperanglah dengan siasat. Ayat ini bisa kita bagikan kepada anak kita bahwa lain kali engkau harus mempertimbangkan dengan baik sebelum melangkah masuk dalam hubungan yang lebih serius, karena yang terluka adalah kita dan Tuhan mau melindungi kita, luka dan kerugian-kerugian. Oleh sebab itulah sebelum kita melangkah, kita dasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
IR : Tapi sebaliknya, Pak Paul, kalau mereka putus, tapi kalau si anak ini berdialog dengan orang tua mengatakan kebaikan-kebaikan sang pacar. Tapi misalnya dari sumber luar ada sisi-sisi yang negatif tentang pacarnya, apa yang dilakukan orang tua terhadap anak ini?

PG : Kita harus sampaikan tapi dengan nada bukan memaksakan. Kita bisa beritahu dia bahwa saya mendengar begini, saya juga tidak tahu benar apa tidak, namun saya sampaikan kepada kamu supaya kau perhatikan saja.

Sebab waktu kita menyampaikannya seperti itu si anak biasanya akan dengar, dia akan pikir apalagi kalau dia percaya dengan perkataan kita.
IR : Soalnya biasanya kalau orang sudah jatuh cinta itu keburukannya tidak dipikirkan ya Pak Paul. (PG : Betul sekali) terus mengeraskan hati, tidak mau menghadapi untuk putus cinta itu rasanya dia takut, biasanya begitu.

PG : Betul, kita juga pernah muda ya Bu Ida, mengerti hal ini juga.

GS : Memang di sini kita melihat bahwa peranan orang tua itu sangat besar sekali, dan kita sebagai orang tua tidak bisa lepas tangan begitu saja, kalau ada orang tua yang mengatakan, sesuka anaknyalah pilih pasangannya sendiri, itu sebenarnya kurang bertanggung jawab ya Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Jadi semoga perbincangan yang kita sudah lakukan pada saat ini bisa berguna bagi para pendengar kita. Demikianlah tadi saudara-saudara pendengar kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang kehidupan berpacaran bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan terima kasih untuk Anda yang sudah mengirim surat kepada kami namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda masih sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



7. Perjodohan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T024B (File MP3 T024B)


Abstrak:

Kita belajar tentang siapa atau criteria yang bagaimana yang Tuhan kehendaki untuk menjadi pasangan hidup kita. Perjodohan memang di tangan Tuhan tetapi dalam prosesnya kita harus memperhatikan 3 hal yang disampaikan dalam topik ini.


Ringkasan:

Ada beberapa faktor yang membuat pernikahan pada masa lalu itu langgeng dibandingkan dengan pernikahan pada zaman sekarang.

  1. Faktor tekanan sosial, jadi pada masa dulu itu lingkup di mana kita tinggal, orang-orang di sekitar kita mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tindakan kita. Jadi kalau lingkup kita itu tidak menyetujui yang kita lakukan kita lebih tertekan untuk melakukannya karena pada umumnya pada masa lampau kita masih hidup dalam sistem komunal atau sistem di mana kita ini cukup terkait dengan orang lain. Sekarang kita ini lebih individual, orang tidak lagi terlalu mengenal siapa yang tinggal di sebelah mereka, akibatnya kita juga tidak terlalu tunduk pada sorotan masyarakat seperti dulu.

  2. Karena kehidupan masa lalu lebih simpel, sekarang hidup jauh lebih komplek dibandingkan dahulu.

Kita perlu menyadari bahwa Alkitab tidak memberikan kita kriteria yang spesifik tentang jodoh kita bahkan kalau kita melihat dengan saksama Alkitab tidak secara langsung menceritakan kisah di mana Tuhan menentukan jodoh orang. Dalam cerita Alkitab hanya satu saja di mana Tuhan turut turun tangan secara langsung dalam menentukan jodoh yaitu pada kisah Ishak, tetapi yang lainnya tidak. Seolah-olah Tuhan memberikan kebebasan kepada anak manusia untuk memilih jodohnya.

Prinsip-prinsip atau kriteria yang Tuhan tentukan tentang pasangan hidup bagi kita:

  1. 2Korintus 5 : 17 , "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." Sebagai orang kristen kita harus bersanding dengan orang yang sudah mengalami kelahiran baru. I Korintus 7 : 39 , "Istri terikat selama suaminya hidup, kalau suaminya telah meninggal ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya." Sekali lagi ini ditekankan bahwa Tuhan menghendaki kita menikah dengan sesama orang yang percaya.

  2. Kita diberikan kebebasan menikah dengan siapa saja yang kita kehendaki artinya sesuai dengan selera kita.

  3. Prinsip ketiga diambil dari Kejadian 2 yaitu pilihlah istri atau suami yang juga sepadan dengan kita, yang cocok, yang pas. Ini menyangkut kecocokan sifat dan karakteristik.

Dalam prosesnya kita terus-menerus meminta pimpinan Tuhan sebab di kitab Yakobus mengatakan siapa yang tidak punya hikmat mintalah hikmat kepada Tuhan. Jadi dalam masa berpacaran kita perlu meminta hikmat Tuhan agar bisa melihat dengan jelas, apakah orang ini cocok atau tidak dengan kita meskipun seiman, meskipun sesuai selera kita tapi kalau tidak cocok bukan kehendak Tuhan. Perjodohan memang di tangan Tuhan itu betul, tapi dalam prosesnya Tuhan meminta kita memperhatikan ketiga hal ini.

Usia yang cocok untuk mulai berpacaran adalah usia perguruan tinggi, usia kuliah, jangan di bawah karena di bawah usia perkuliahan sebetulnya masih dalam masa remaja. Dan masa remaja adalah masa pembentukan diri remaja, remaja masih mencari-cari jati diri dan di saat itulah remaja juga bergaul dengan luas sehingga anak remaja mengenal orang-orang juga dengan luas. Setelah mengenal dengan luas barulah akhirnya mereka siap untuk memulai hubungan yang lebih eksklusif yaitu berdua. Jadi waktu memasuki hubungan eksklusif itu mereka merasakan juga siap karena sudah cukup mengenal orang lain.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang jodoh. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1)+(2) GS : Pak Paul, sering kali satu hal yang membingungkan banyak orang juga orang-orang Kristen pada kehidupannya itu masalah perjodohan. Kebingungan ini mungkin sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang sebagian besar mengatakan jodoh itu di tangan Tuhan. Tetapi nyatanya banyak pernikahan yang hancur, artinya mereka cerai dan sebagainya. Lalu orang bertanya-tanya apakah kalau jodoh itu memang dari Tuhan lalu menimbulkan kesengsaraan seperti itu sampai mereka harus bercerai dan sebagainya. Sehingga timbul keraguan dan sekaligus kerancuan pikir tentang perjodohan itu. Zaman dulu orang dijodohkan, kadang-kadang oleh orang tua mereka dan bisa langgeng, bisa sampai punya cucu dan sebagainya, padahal yang menjodohkan itu orang tua, Pak Paul. Nah sekarang di era kita dan anak-anak kita ini sebenarnya pandangan iman Kristen tentang perjodohan atau jodoh itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya akan berkomentar terlebih dahulu tentang masa lampau, tadi Pak Gunawan singgung bahwa di masa lampau orang itu dijodohkan dan pernikahan mereka langgeng sampai akhirnya. Ada beberapa aktor yang membuat pernikahan mereka langgeng dibandingkan dengan pernikahan pada zaman sekarang ini.

Yang pertama adalah faktor tekanan sosial, jadi pada masa dulu lingkup di mana kita tinggal, orang-orang di sekitar kita mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tindakan kita. Jadi kalau lingkup kita itu tidak menyetujui yang kita lakukan, kita lebih tertekan untuk tidak melakukannya, karena apa? Karena pada umumnya pada masa lampau kita masih hidup dalam sistem komunal atau sistem di mana kita ini cukup terkait dengan orang lain. Sekarang kita ini lebih individual, orang tidak lagi terlalu mengenal siapa yang tinggal di sebelah mereka, akibatnya kita juga tidak terlalu tunduk pada sorotan masyarakat seperti dulu kala, itu sebabnya perceraian lebih mudah muncul pada zaman sekarang ini karena apa? Karena manusia ini tidak lagi diikat oleh norma-norma sosial seperti pada masa lampau. Yang kedua, kenapa pada zaman dulu pernikahan itu relatif lebih langgeng dibandingkan sekarang karena kehidupan dahulu lebih simpel, sekarang hidup jauh lebih komplek. Jadi saya kira dua hal ini yang membedakan kenapa pernikahan dulu itu lebih langgeng dibandingkan dengan sekarang. Nah kembali pada tadi yang Pak Gunawan tanyakan, apa artinya perjodohan itu di tangan Tuhan, kalau setelah menikah terus mengalami percekcokan-percekcokan dan akhirnya ada yang bercerai bahkan di kalangan orang-orang Kristen sendiri. Saya pun mempunyai pengalaman pribadi, Pak Gunawan dan Ibu Ida, waktu saya mulai bertengkar dengan istri saya pada awal-awal pernikahan kami, saya suka bertanya-tanya apa yang salah; saya yang salah menginterpretasikan kehendak Tuhankah? Atau saya ini melawan kehendak Tuhan atau saya salah pilih atau apa ini. Saya kira ini pertanyaan-pertanyaan yang baik ya, pada dasarnya kita harus kembali pada konsep apa itu yang dimaksud dengan perjodohan di tangan Tuhan. Pertama adalah kita harus menyadari bahwa Alkitab tidak memberikan kita kriteria yang spesifik tentang jodoh, bahkan kalau kita mau melihat dengan seksama Alkitab tidak secara langsung menceritakan kisah di mana Tuhan menentukan jodoh orang, yang kita tahu dengan pasti di mana Tuhan campur tangan dan menentukan jodoh untuk seseorang adalah dalam kisah Ishak. Eliezer bawahan dari Abraham ayah Ishak pergi untuk mencarikan jodoh buat anak majikannya Ishak itu, dan dia meminta tanda dari Tuhan dan Tuhan menjawab sesuai dengan tanda yang diminta. Dan datanglah Rifkah, akhirnya Ishak menikah dengan Rifkah. Dalam cerita Alkitab hanya satu saja di mana Tuhan turut campur tangan secara langsung dalam menentukan jodoh. Yang lainnya tidak, seolah-olah memang Tuhan memberikan kebebasan kepada anak manusia untuk memilih jodohnya. Jadi yang saya akan gunakan adalah prinsip-prinsip atau kriteria yang Tuhan sudah tentukan buat kita. Yang pertama adalah kita ambil di 2 Korintus 6:14 , "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" Jadi Tuhan memang menghendaki agar kita menjalin hubungan yang akrab, membentuk pasangan yang kuat dengan yang seiman. Sebab bagaimanakah mungkin kita dipersatukan dengan yang tidak seiman, saya bacakan misalnya di 2 Korintus 5:17 , "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru, yang lama sudah berlalu sesungguhnya yang baru sudah datang." Nah dari ayat ini kita bisa simpulkan sebagai orang Kristen kita adalah ciptaan yang baru dan tidak masuk akal yang baru itu disandingkan dengan ciptaan yang lama. Jadi ciptaan yang baru di dalam Tuhan seharusnyalah bersatu dengan ciptaan yang baru juga di dalam Tuhan. Jadi ayat-ayat ini saya kira cukup kuat apalagi ditambah dengan 1 Korintus 7:39 , "Istri terikat selama suaminya hidup, kalau suaminya telah meninggal ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya" Sekali lagi ditekankan bahwa kita menikah dengan yang percaya pada Tuhan Yesus. Jadi prinsip pertama adalah Tuhan menghendaki kita menikah dengan sesama orang percaya. Prinsip kedua adalah yang saya juga petik dari 1 Korintus 7:39 tadi itu, kita ini diberikan kebebasan menikah dengan siapa saja yang kita kehendaki (selain dari orang percaya, maksudnya orang percaya itu) artinya sesuai dengan selera kita. Jadi kita tidak harus menikah dengan tipe tertentu, tidak! Kita ini masing-masing mempunyai keunikan dan selera yang juga unik dan berbeda jadi silakan kita mau yang pendek silakan, yang tinggi ya silakan, yang kurus silakan tidak harus seragam, Tuhan memberikan 2 prinsip itu. Kemudian prinsip yang ketiga yang kita juga tahu adalah diambil dari Kejadian 2 yaitu Tuhan meminta kita atau Tuhan menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan untuk kita. Jadi pilihlah istri atau suami yang juga sepadan dengan kita, yang cocok itu artinya yang pas, ini menyangkut sebetulnya kecocokan sifat dan karakteristik. Jadi Alkitab sebetulnya hanya memberikan kita tiga garis besar, tiga pedoman dalam mencari jodoh. Dalam prosesnya kita terus-menerus meminta pimpinan Tuhan sebab dikatakan di kitab Yakobus juga siapa yang tidak punya hikmat mintalah hikmat kepada Tuhan. Jadi dalam masa berpacaran kita perlu meminta hikmat Tuhan agar bisa melihat jelas itu yang sering saya tekankan. Melihat jelas apakah orang ini cocok atau tidak dengan kita meskipun seiman, meskipun sesuai selera kita tapi kalau tidak cocok bukan kehendak Tuhan. Nah jadi kita kembali pada prinsip ini, Pak Gunawan, perjodohan itu di tangan Tuhan itu betul, tapi dalam prosesnya Tuhan meminta kita memperhatikan ketiga hal ini. Seringkali kita ini gagal melihat faktor yang ketiga tadi, kita hanya melihat dia seiman, cocok pasti dengan kita Tuhan izinkan, kedua dia sesuai dengan selera saya, saya suka dengan orang yang seperti dia dan sebagainya. Tapi kita gagal melihat dengan jelas kecocokan kita, akhirnya kita menikah dengan seseorang yang tidak cocok dan kita sering bertengkar, salah pengertian, kita rasanya lebih banyak susahnya daripada senangnya dengan dia. Tapi karena dia sesuai selera kita, kita tidak rela meninggalkan atau memutuskan hubungan dengan dia, akhirnya kita menikah dan kita berharap bahwa Tuhan akan mengubah dengan otomatis sifat-sifat yang tidak cocok itu dengan kita, itu tidak terjadi. Kebanyakan Tuhan akan berkata ya, "Silakan kalau engkau tetap ingin menikah, "Tuhan sudah tunjukkan kepada kita ketidakcocokan ini, seringnya bertengkar, seringnya mempertengkarkan hal yang sama, seringnya kita merasa tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi kita, tapi tetap kita melangkah masuk ke pernikahan, Tuhan akan diamkan namun nanti kita mulai menuai buahnya betapa tidak cocoknya kita. Dan pada saat itulah kita bertanya-tanya, "Tuhan, salah," sebetulnya bukan salah Tuhan tapi memang kita kurang melihat atau memperhatikan ketidakcocokan itu.
IR : Jadi selama mencari jodoh itu, Pak Paul, selain terus bergumul dengan Tuhan juga harus menjajaki kira-kira siapa yang cocok. Jadi tidak harus satu atau hanya dua orang saja ya Pak, jadi harus membandingkan dengan yang lain.

PG : Dalam pengertian kita bukannya berpacaran secara majemuk, banyak begitu. Dalam pengertian kita bergaul dengan luas maka kalau orang bertanya usia berapa sih yang cocok untuk mulai berpacarn.

Menurut saya usia Perguruan Tinggi, usia kuliah jangan di bawahnya, karena apa? Karena pada usia di bawah usia perkuliahan kita itu sebetulnya masih dalam masa remaja. Dan masa remaja adalah masa pembentukan diri kita, kita masih mencari-cari jati diri dan di saat itulah kita juga bergaul dengan luas sehingga kita mengenal orang juga dengan luas. Setelah kita mengenal dengan luas barulah akhirnya kita siap untuk memulai hubungan yang lebih eksklusif yaitu berdua. Jadi kita waktu memasuki hubungan eksklusif itu kita merasakan juga siap karena kita cukup mengenal orang-orang lain. Saya merasa kasihan kalau ada seorang pemuda atau pemudi yang mulai berpacaran sejak usia misalnya 15 tahun, secara praktis dia tidak mengenal orang lain secara dekat. Terus pacaran sampai umur 25, 26. 10 tahun lebih terus menikah, saya takut kalau-kalau nanti setelah dia menikah baru dia akhirnya menyadari saya baru tahu ada orang lain selain dia yang lebih cocok tapi sudah terlambat.
GS : Itu ada masa yang sangat kritis di dalam menentukan jodoh itu ya Pak Paul, banyak orang yang meminta tanda dari Tuhan. Misalnya saja kalau orang tuanya menghendaki, itu dianggap sebagai pertanda bahwa itu memang kehendak Tuhan. Atau misalnya bahkan ada, pokoknya dia dapat pekerjaan tadinya tidak bekerja masih baru lepas kuliah, pokoknya saya dapat kerjaan berarti ini jodoh saya sudah tiba. Pemikiran seperti itu bagaimana menurutPak Paul?

PG : Saya pernah mendengarkan khotbah mantan rektor sekolah saya, mantan rektor seminari saya Headen Robinson. Dia bercerita dan membahas tentang mencari kehendak Tuhan. Ada bahayanya kalau kit itu sedikit-sedikit meminta kehendak Tuhan.

Dia memberikan contoh, dia bilang saya baru berbicara dengan seorang mahasiswi, mahasiswi ini berkata: "Saya sedang mencari kehendak Tuhan boleh tidak main ski. Nah saya sudah menetapkan tandanya kalau orang tua saya mengirimkan uang berarti itu tanda saya main ski, kalau tidak dikirimkan uang saya tidak main ski." Lalu dosen saya berkata: "Engkau salah meminta tanda, kalau engkau meminta tanda dari Tuhan, mintalah tanda yang mustahil dilakukan manusia dan hanya Tuhan yang bisa lakukan." Jadi dia bilang: "Jangan berharap bahwa orang tuamu mengirimkan uang, kamu harus beri tanda kalau besok presiden Amerika Serikat mengirimkan saya uang main ski, itu tanda dari Tuhan. Dia bilang soalnya dengan tanda seperti itu kita tidak mungkin salah menilai ini dari Tuhan atau kebetulan." Dia berikan contohnya Gideon, bagaimana tanda yang Gideon minta adalah tanda yang berlawanan dengan hukum alam. Dan kita juga tahu raja Hosea waktu dia ingin meninggal dunia terus Tuhan menambahkan usianya bayangan berjalan mundur, jadi sesuatu yang memang tidak mungkin dilakukan manusia, jadi itu pesan dosen saya yang saya rasa juga baik. Pada umumnya memang Tuhan tidak bercampur tangan seperti itu, memberikan tanda-tanda khusus dalam mencari jodoh tapi Tuhan memimpin kita melalui hikmat. Seringkali manusia itu sebetulnya cukup melihat tapi tidak memiliki hikmat untuk mau mengakuinya. Misalkan saya pernah membimbing sepasang sejoli yang sedang berpacaran, lebih banyak bertengkar daripada bersukacita, tapi dua-dua tetap mau bersama-sama. Jadi saya langsung berkata saya tidak setuju engkau ini tidak cocok, engkau sendiri yang mengatakan lebih sering bertengkarnya dan susah hatinya, tapi kenapa tidak bisa memisahkan diri, karena itu faktor yang kedua tadi sesuai dengan selera kita begitu. Jadi kembali lagi, kita memang perlu sekali minta bimbingan Tuhan yang lebih bersifat hikmat bukannya minta tanda-tanda seperti itu. Kalau meminta tanda saya anjurkan adalah tanda yang mustahil dilakukan oleh manusia atau terjadi secara kebetulan.
IR : Dan hikmat itu pasti sesuai dengan firman Tuhan ya Pak Paul?

PG : Ya, Tuhan akan beritahu kita, misalkan kita ini makin jauh dari Tuhan, tidak semangat pelayanan di gereja. Itu adalah gejala-gejala, tanda-tanda yang Tuhan sedang dikirimkan pada kita.

IR : Soalnya ini ada kasus, Pak Paul, ada seorang bergumul dia itu harus pergi karena dia itu ditawari suatu pekerjaan. Dia minta tanda dari Tuhan dan memang secara ajaib Dia berikan misalkan kemudahan-kemudahan dan fasilitas-fasilitas yang rasanya mustahil. Tapi ini bertentangan bahwa dia meninggalkan tanggung jawab keluarga, ini tidak benar Pak Paul?

PG : Betul, jadi itu adalah salah satu contoh di mana kita bergantung pada "tanda" yang sebetulnya belum tentu tanda. Jadi hikmat selalu mendahului hal-hal yang supernatural seperti iu.

Kecuali supernaturalnya yang spektakuler, yang luar biasa. Misalkan seperti tadi contohnya Gideon meminta tanda yang benar-benar tidak bisa dilakukan manusia. Kalau tandanya hanya kemudahan-kemudahan tapi terus dia meninggalkan keluarganya, melalaikan keluarganya. Saya kira dia tidak lagi berimbang dalam mengerti atau mengikuti kehendak Tuhan, itu bahayanya. Tapi memang Pak Gunawan saya harus akui dalam masa berpacaran kita ini karena terlalu cintanya dan sesuai dengan selera kita, kita cenderung memang memaksakan kehendak dan menciptakan tanda-tanda yang pro keputusan kita. (GS: Rasionalisasi ya Pak) merasionalisasi itulah sifat kita.
GS : Ya memang, Pak Paul, sekarang kalau kita melihat dari peran orang tua tadi yang tentu menghendaki anak-anaknya bahagia, kita sebagai orang-orang yang beriman itu boleh tidak, Pak Paul, katakan itu seperti menjodohkan anak kita dengan seseorang atau keluarga yang kita sukai?

PG : Saya sangat setuju, kita boleh sekali memperkenalkan anak kita dengan orang yang kita tahu baik dan kita tahu dari keluarga yang baik, seiman dengan kita.

GS : Tanpa membuat ikatan apa-apa, Pak Paul? (PG : Ya tanpa membuat ikatan apa-apa) sejauh itu perkenalan biasa, kalau mereka suka ya terus.

PG : Betul, karena tidak bisa tidak, Pak Gunawan, kita-kita ini yang sudah mulai berumur akan mengakui bahwa latar belakang keluarga berpengaruh pada si anak, kita menyadari hal ini, tapi anak-nak kita belum menyadari hal itu.

Misalkan kalau anak kita ini ingin menikah dengan seorang gadis yang kebetulan gadis itu mempunyai ayah yang menyeleweng dan akhirnya menikah dengan wanita lain. Mungkin si gadis tersebut masih menyimpan trauma ya, ketakutan terhadap suami yang menyeleweng dan karena ayahnya telah pergi meninggalkan keluarganya, dia itu juga rasanya sulit percaya pada pria. Jadi kalau dia dekat dengan seorang pria, dia ingin memastikan pria ini 100% untuknya, karena ketakutannya itu. Nah anak kita kemungkinan tidak mengerti hal-hal ini, dia hanya melihat anak ini baik sesuai dengan seleranya, penampilannya dan kasihan, dia tidak punya papa, papanya dulu mengkhianati keluarganya. Kesulitan kita sebagai orang tua, karena kalau kita menyampaikan hati-hati engkau dengan dia, anak kita bisa menuduh kita itu kejam tidak berperikemanusiaan. Anak yang ditinggal oleh ayah harusnya 'kan dikasihani bukannya malah dijauhkan, tapi anak kita memang belum bisa melihat yang kita lihat, maka penting bagi kita dengan cara yang dialogis tidak memaksakan kehendak, memberikan dia informasi yaitu "Anakku memang dia anak yang baik, dia adalah orang yang mencintai kamu dan kamu mencintai dia, papa dan mama senang dengan dia secara pribadi. Tapi ada hal-hal yang mama atau papa minta engkau perhatikan mulai dari sekarang yaitu dia perlu belajar untuk tidak terlalu posesif misalnya itu." "Kenapa? Dia tidak posesif dengan saya dan sebagainya." "Ya, sekarang mungkin tidak tapi ada kemungkinan dia akan posesif sebab biasanya anak-anak yang dibesarkan di keluarga yang tidak utuh lagi dan adanya kasus penyelewengan mungkin mempunyai rasa curiga yang lebih besar, sulit percaya pada orang itu masuk akal karena dia pernah terluka. Jadi ketakutan itu terus menghantui dia, jadi engkau juga perlu memperhatikan hal ini, sebab nanti kalau dia terlalu posesif kepadamu, yang susah engkau. Pada masa berpacaran engkau senang karena engkau melihat dia begitu mencintaimu, engkau pulang jam berapa dia tanya, engkau sudah menikah engkau sebel. Setiap kalau engkau pulang jam berapa dia tanya, ini sekarang yang engkau belum bisa lihat tapi aku beritahu engkau, agar engkau mulai perhatikan hal-hal ini." Biarkan dia mulai perhatikan dan biarkan dia gumulkan.
GS : Sebagian orang ada yang bersikap pasif, Pak Paul, di dalam menantikan pasangan hidupnya karena mereka berpikiran/berpendapat bahwa jodoh itu nanti Tuhan sendiri yang kirim akan diberikan, kalau memang belum waktunya tidak. Padahal usianya bertambah terus dan dia makin enggan untuk melakukan pendekatan pada lawan jenis.
IR : Dan biasanya kalau bertambah tua itu bertambah rewel dalam memilih jodoh, banyak tuntutannya.

PG : Bisa jadi saya rasa juga kesalahan konsep ya Pak Gunawan dan Ibu Ida, kita 'kan tidak sepasif itu dalam mencari pekerjaan. Kita juga tidak sepasif itu dalam mencari rumah yang cocok. Denga kata lain Tuhan mengharapkan kita ini berfungsi secara normal untuk hal-hal yang rutin, aktifitas-aktifitas yang memang kita harus lakukan, kita lakukan, termasuk aktifitas mencari jodoh.

Kalau rumah kita cari, pekerjaan kita cari, jodoh kita tidak cari saya rasa itu tidak cocok pengertiannya.
GS : Tapi mungkin budaya kita memang tidak mendukung khususnya untuk yang putri, Pak Paul, kalau yang putri yang tadi istilah kita mencari, yang aktif begitu ya lalu orang itu pandangannya lain, negatif.

PG : Betul, bahkan di budaya Barat wanita pun tetap tidak sama dengan pria dalam hubungan berpacaran. Saya suka menggunakan istilah kalau pria mencari jodoh, wanita melihat jodoh. Sebab memang alau wanita mencari-cari dianggap tidak cocok untuk budaya kita, kasihan sih memang.

Tapi wanita harus lebih pasif dalam budaya kita ini, jadi dia menantikan dan dia berdoa, menyanggupi uluran-uluran atau inisiatif-inisiatif dari pria.
GS : Sekarang 'kan ada banyak program-program yang diadakan untuk mempertemukan orang-orang yang belum menikah dan sebagainya, itu dampaknya bagaimana Pak Paul sebenarnya?

PG : Saya rasa sih baik ya, tapi saya minta ini juga dalam konteks yang seiman (GS: Prinsip-prinsip tadi harus tetap menjadi acuan yang kuat begitu Pak Paul) betul, jadi jangan sampai kita jug sembarangan mengikuti biro jodoh, kita ikuti yang diadakan gereja kita misalnya itu lebih baik.

GS : Di sana mungkin peran gereja besar sekali ya Pak Paul.

PG : Betul, ini memang masalah Pak Gunawan, saya sering ke gereja-gereja dan saya menemukan rata-rata (di setiap gereja) surplus gadis dan kekurangan pria, itu dia masalahnya. Jadi akhirnya banak wanita lajang yang tidak ada jodoh dan karena tidak ada jodoh di gereja mereka mencari jodoh di luar.

GS : Lain halnya kalau memang Tuhan menghendaki dia untuk melajang, Pak Paul, itu ada orang-orang yang memang secara khusus dipanggil Tuhan untuk itu. Tapi pada umumnya kita memang perlu hikmat Tuhan untuk mencari jodoh yang Tuhan sediakan karena kita membutuhkan teman di dalam menjalani kehidupan ini.

Jadi saya rasa demikian tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang perjodohan bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



8. Dampak Pertengkaran Orangtua Terhadap Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T028A (File MP3 T028A)


Abstrak:

Anak yang dibesarkan di tengah keluarga yang tidak harmonis, tidak bisa tidak sendi-sendi keluarga akan tergoyahkan, sudah tidak lagi berfungsi dengan semestinya. Dan hal ini akan berakibat pada anak khususnya melumpuhkan daya fantasi anak dan akan membuat pertumbuhan anak itu terhambat.


Ringkasan:

Salah satu indikator atau tanda keluarga yang tidak harmonis adalah seringnya terjadi pertengkaran. Tidak bisa tidak pertengkaran merupakan suatu tanda tidak sehatnya hubungan suami-istri atau hubungan orang tua. Ibarat mobil kalau misalkan mesinnya sudah tidak lagi berfungsi dengan baik kita tahu itu membuat mobil tidak akan bisa berjalan dengan baik. Seluruh fungsi mobil itu akan terpengaruh, semikian juga dengan anak-anak yang dibesarkan dalam rumah di mana orang tua tidak hidup dalam keadaan yang harmonis, tidak bisa tidak sendi-sendi keluarga tersebut sudah tergoyahkan, sudah tidak lagi berfungsi dengan semestinya.

Anak belum memiliki kekuatan untuk bisa menerima dan mengintegrasikan suatu tindakan pertengkaran yang keras ke dalam hidupnya. Karena keterbatasan pengalaman, keterbatasan daya fungsi yang memang belum berkembang dengan matang, otomatis tidak begitu mampu untuk menahan gempuran pertengkaran tadi. Dia tidak mampu untuk bisa memasukkan pertengkaran ke dalam jiwanya. Dan hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan anak, pertumbuhan anak menjadi terhambat atau hal-hal yang seharusnya bertumbuh dengan natural malah terdistorsi atau terselewengkan, jadi tidak bisa bertumbuh dengan semestinya.

Aspek-aspek pertumbuhan yang mempengaruhi anak adalah:

  1. Anak-anak itu yang pasti adalah karena tidak memiliki ketenteraman lagi dalam rumah, dia akan hidup dalam ketakutan atau ketegangan. Hal ini bisa dikurangi dalam pengertian si anak diberikan suatu keterangan bahwa inilah kehidupan rumah tangga yang normal, yang seharusnyalah diterima oleh si anak. Si anak tidak bisa tidak akan beradaptasi, dalam beradaptasi pun tetap terjadi gangguan yaitu, yang terganggu adalah rasa percaya pada orang lain, maksudnya si anak sukar sekali untuk bisa membangun hubungan dengan orang yang dilandasi atas rasa percaya yang seadanya, yang terbuka, yang diberikan secara sukarela

  2. Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah seperti itu setelah dewasa mempunyai masalah dengan pengendalian emosi. Maksudnya dia menjadi anak yang akhirnya mudah bereaksi, mudah marah sebab dalam hatinya sudah tergenang perasaan tegang.

  3. Anak juga cenderung sulit untuk menghadapi stres, dasarnya sudah tegang sehingga sudah tidak lagi bisa menahan tambahan stres, tambahan tekanan. Ada dua kemungkinan yang terjadi pertama, menjadi anak yang reaktif, dalam arti pemarah, eksplosif, mudah meledak. Dan kebalikannya adalah dia mudah patah, tidak ada semangat hidup.

2 Korintus 5 : 17 berkata: 'Jadi siapa yang ada di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang."

Ini salah satu ayat yang menghibur kita bahwa setelah kita menyerahkan hidup kepada Tuhan Yesus kita diberikan kesempatan untuk memperbaharui hidup kita. meskipun masa lalu kita itu mempunyai cengkeraman yang kuat tapi sekarang di dalam Tuhan kita tidak lagi berkelahi sendirian. Kita ditemani oleh Tuhan yang hidup dalam diri kita agar kita bisa melepaskan cengkeraman itu sedikit demi sedikit.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang dampak pertengkaran orang tua terhadap pertumbuhan anak. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, saya begitu terkesan atau masih membekas di dalam ingatan saya secara tidak disengaja melihat kedua orang tua saya pernah bertengkar, cukup seru juga. Tapi kesan itu adalah kesan yang menakutkan sehingga sampai sekarang walaupun mereka berdua sudah tiada, membekas sekali, Pak Paul. Lalu saya berpikir kalau saya sekarang bertengkar dengan istri saya, kami berusaha mencari tempat yang tersembunyi, misalnya di kamar. Tapi pernah anak-anak melihat, lalu mereka ketakutan dan lari ke kamarnya. Saya sebenarnya ingin mengetahui lebih banyak, Pak Paul, tentang pengaruhnya kalau orang tua itu bertengkar, baik sengaja maupun tidak sengaja anak melihat orang tuanya bertengkar, padahal mereka sekarang ini pada masa pertumbuhan.

PG : Sebagai seorang konselor, Pak Gunawan, saya memang kebanyakan berhubungan dengan orang dewasa, tidak terlalu banyak anak kecil yang datang pada saya, dan saya melihat itu bukan karunia saya. Tapi yang mau saya katakan adalah meskipun hampir semua yang datang dengan masalah pribadi mereka adalah orang dewasa namun kebanyakan masalah mereka bersumber dari masa kecil. Dan kebanyakan dari mereka yang sekarang bermasalah adalah anak-anak atau mereka itu adalah anak-anak yang dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang kebetulan tidak harmonis. Salah satu indikator atau tanda keluarga yang tidak harmonis adalah seringnya terjadi pertengkaran; pertengkaran itu merupakan suatu tanda tidak sehatnya hubungan suami istri atau hubungan orang tua. Ibarat mobil kalau misalkan kita lihat mesinnya sudah tidak lagi berfungsi dengan baik, kita tahu mobil tidak akan bisa berjalan dengan baik pula. Seluruh fungsi mobil itu akan terpengaruh, demikian juga dengan anak-anak yang dibesarkan dalam rumah di mana orang tua tidak hidup dalam keadaan yang harmonis. Sendi-sendi keluarga tersebut sudah tergoyahkan, sudah tidak lagi berfungsi dengan semestinya, jadi yang tadi Pak Gunawan katakan memang tepat sekali, apa yang anak-anak alami terutama hal-hal negatif yang mereka terima atau alami dari orang tuanya sering kali membekas. Yang terutama akan kita fokuskan pada hari ini adalah bekas-bekas yang muncul dari pertengkaran dan seperti tadi Pak Gunawan sudah singgung, dampak pada si anak yang langsung pada saat itu adalah ketakutan.

GS : Begini Pak Paul, yang membekas itu justru pertengkarannya. Berbaikan kembali itu seolah-olah memang biasa sebagai suami istri seharusnya begitu Pak Paul, tetapi pertengkaran itu justru yang membekas, memang begitu, Pak Paul?

PG : Memang begitu, karena pertengkaran yang terlalu keras bukanlah sesuatu yang bisa dicerna oleh anak. Dalam keterbatasan anak untuk mencerna semua yang terjadi di sekitarnya, anak memang belm memiliki kekuatan untuk bisa menerima dan mengintegrasikan suatu tindakan pertengkaran yang keras ke dalam hidupnya.

Kita yang sudah dewasa karena telah mengalami bentukan hidup, ketegangan dan sebagainya lebih terkondisi untuk mampu menoleransi ketegangan yang keras. Walaupun demikian sebetulnya meskipun kita terbiasa atau lebih kuat dari anak-anak seharusnya kita tidak begitu menyukai hal-hal yang terlalu menegangkan meskipun lebih mampu untuk menahannya. Nah, anak-anak karena keterbatasan pengalaman, kemampuan daya fungsi yang memang belum berkembang dengan matang, otomatis tidak begitu mampu untuk menahan gempuran pertengkaran tadi. Dia tidak mampu untuk bisa memasukkan pertengkaran itu ke dalam jiwanya. Jadi otomatis jiwanya akan menolak, namun karena belum kuat gempuran itu biasanya langsung menohok ke dalam jiwanya.
IR : Dan situasi yang seperti itu sangat mempengaruhi akan pertumbuhan anak?

PG : Betul sekali Ibu Ida, gempuran-gempuran dari luar misalnya adalah pertengkaran yang keras akan melumpuhkan sebagian dari daya fungsi anak dan akan membuat pertumbuhan anak itu terhambat atu hal-hal yang seharusnya bertumbuh dengan lurus atau natural menjadi terdistorsi, terselewengkan, jadi tidak lagi bertumbuh dengan lurus atau sebagaimana semestinya.

GS : Padahal sekarang ini kita melihat kekerasan itu ada di mana-mana. Juga disiarkan di televisi, bahkan di jalan pernah kita jumpai. Kalau anak-anak melihat kejadian nyata seperti itu, dampaknya lebih besar di keluarga atau di luar atau sama, Pak Paul?

PG : Seharusnya sama kalau derajat pertengkaran atau kekerasan itu terlalu berlebihan, dampaknya bisa sama. Yang seringkali membedakan adalah orang tua bertengkar dalam pengertian tidak sekali jadi anak harus hidup terus-menerus dengan pertengkaran orang tua.

GS : Dan mungkin juga ada ikatan emosional?

PG : Tepat sekali, jadi ikatan emosional itu lebih membuat si anak menolak untuk mengakui dan melihat adanya pertengkaran. Suatu kali saya dan istri saya sedang berargumen, kami tidak berteriaktapi nada suara kami mulai meninggi.

Saya masih ingat sekali anak saya waktu itu masih berusia sekitar 7 tahun, tiba-tiba dia datang dan berkata: "Kalian bertengkar lagi ya? Sudah jangan bertengkar!" Nah memang anak-anak cukup bebas untuk mengekspresikan diri kepada kami, tapi yang jelas adalah saat itu si anak merasa tidak nyaman bahkan hanya dengan nada suara yang mulai meninggi. Meskipun kami tidak memukul, tidak berteriak-teriak tapi nada suara yang mulai meninggi pun sudah membuat si anak merasa tidak nyaman. Sekali lagi itu karena memang ada ikatan emosional yang sudah terjalin.
GS : Yang saya alami kalau raut muka saya menunjukkan kemarahan, anak saya bisa merasakan itu dan beberapa hari kemudian menanyakan, "Apakah papa marah pada waktu itu?" Dan saya katakan "ya," jadi tanpa kata-kata tapi sudah dirasakan sebagai kemarahan. Anak masih belum bisa menerima itu sampai usia berapa kira-kira, Pak Paul?

PG : Saya duga secara umum anak-anak itu mulai bisa mengembangkan dirinya dengan lebih baik setelah dia melewati usia remaja. Jadi anak-anak itu mulai bisa menerima hal-hal yang keras sekitar stelah usia mungkin 16, 17 tahun, sebelum itu saya rasa masih sulit.

(2) IR : Kira-kira aspek pertumbuhan apakah yang mempengaruhi anak itu?

PG : Ada beberapa, Ibu Ida. Yang pertama adalah karena tidak memiliki ketenteraman lagi dalam rumah, dia akan hidup dalam ketakutan atau ketegangan. Nah, tadi Pak Gunawan memberikan contoh peruahan wajah yang langsung dirasakan oleh anak, saya bisa bayangkan saat itu waktu anak-anak melihat perubahan wajah Pak Gunawan, mereka harus mengatur tindakan mereka.

Misalkan mereka (GS : Menyingkir biasanya) betul misalkan mereka ingin bicara lebih keras dengan adik atau kakaknya mereka tidak berani, mereka ingin bermanja-manja dengan kita juga tidak berani dan sebagainya. Jadi anak yang diperhadapkan dengan situasi rumah yang penuh pertengkaran, tidak menjadi anak yang natural, itu sudah pasti. Kita pun hidup seperti sekarang ini di dalam keadaan yang cukup tegang ya karena keadaan politik dan sosial yang tidak menentu, kita tidak hidup secara natural; mau pergi ke mana berpikir dulu, (GS : Takut-takut) takut-takut dan sebagainya. Bayangkan anak-anak harus hidup seperti itu 24 jam sehari, sehingga mereka menjadi anak-anak yang tidak natural. Selain dari ketidakberaturan itu yang muncul dari dalam diri anak adalah mereka menjadi anak yang was-was, mudah tegang. Karena apa? Karena mereka harus selalu siap menantikan ledakan lagi di rumah. Kalau anak-anak hidup di dalam situasi di mana mereka tidak bisa lagi memprediksi apa yang terjadi selanjutnya, mereka menjadi anak yang tegang, senantiasa bersiap siaga. Maksudnya anak-anak jangan sampai merasa rileks kemudian tiba-tiba orang tua bertengkar lagi, nah mereka kaget. Karena mereka terlalu kaget, lain kali mereka tidak mengizinkan lagi diri mereka untuk terlalu rileks, santai, dekat, manja, karena adanya rasa takut. Jangan-jangan nanti ada apa-apa, lagi manja meledak lagi, timbul lagi pertengkaran antara orang tua, itulah yang biasanya dialami oleh anak-anak.
GS : Pak Paul, apakah hal itu bisa dikurangi pengaruhnya kalau orang tua itu menjelaskan kepada anak atau anak-anak mereka, bahwa memang kehidupan suami istri itu pasti pernah bertengkar. Apakah ada pengaruhnya kalau dijelaskan seperti itu?

PG : Ada, dalam pengertian si anak seolah-olah sekarang diberikan suatu keterangan bahwa inilah kehidupan rumah tangga yang normal, yang seharusnya diterima oleh si anak. Lalu anak dapat beradatasi namun dalam beradaptasi pun tetap terjadi gangguan, misalnya yang terganggu adalah rasa percaya pada orang lain; maksudnya si anak itu sukar sekali untuk bisa membangun hubungan dengan orang yang dilandasi atas rasa percaya yang seadanya, yang terbuka, yang diberikan secara sukarela sukar sekali untuk dia mempercayai orang.

Nah dalam kehidupannya kelak kalau tidak ada perubahan yang berarti, dia menjadi seorang anak atau seorang pria atau wanita yang sukar sekali bisa intim dengan orang. Harus diketahui bahwa keintiman itu dilandasi atas kepercayaan, nah mungkin Ibu Ida dan Pak Gunawan bertanya muncul dari mana itu rasa kurang percaya, sebetulnya yang terjadi adalah hubungan antara dia dengan orang tua yang sekarang ternoda. Tatkala anak menyaksikan orang tua bertengkar dengan keras, jadi yang saya maksud bertengkar bukan sekali-sekali kita berargumentasi. Hubungan orang tua dengan si anak tercemar dalam pengertian terjadilah suatu pengkhianatan sebetulnya. Pengkhianatan karena si anak seolah-olah merasa sekarang dikhianati oleh orang tua. Setiap anak lahir ke bumi seolah-olah mempunyai suatu asumsi bahwa dia akan dibesarkan di rumah yang tenteram dan dikasihi oleh orang tuanya dan akan bertumbuh besar dalam keluarga yang penuh kasih sayang, tidak ada keributan yang menegangkan. Itu adalah asumsi yang dibawa oleh setiap anak atau harapannya. Sewaktu si anak harus menghadapi pertengkaran-pertengkaran, tiba-tiba memang dia merasa tidak lagi bisa mempercayai orang tuanya. Sebab yang seharusnya baik tidak baik, yang seharusnya saling mencintai tidak mencintai, maka hubungan mereka itu akan berdampak dan merugikan mereka. Ini semuanya otomatis terjadi bukan secara sadar mereka ketahui semua yang saya paparkan tadi. Dan tentang rasa percaya ini mereka juga kurang bisa mempercayai orang lain karena akhirnya mereka menjadi orang yang tidak bisa mempercayai orang tua, jadi seolah-olah kalau tidak bisa mempercayai orang tua sendiri apalagi orang lain.
GS : Lalu apa ada yang lain Pak, jadi bagaimana dengan pola pikir dia dan bagaimana dengan emosinya?

PG : Kebanyakan anak-anak yang dibesarkan dalam rumah seperti ini setelah dewasa mempunyai masalah dengan pengendalian emosi. Maksudnya adalah dia menjadi anak yang akhirnya mudah bereaksi, mudh marah apa sebabnya? Sebab dalam hatinya sudah tergenang perasaan tegang.

Ini bukannya tegang yang muncul sebulan sekali tatkala orang tua agak ribut, tidak. Yang saya bicarakan adalah orang tua yang ribut, bertengkar seminggu 2 kali, 3 kali, nah itu sudah cukup untuk menggenangi hati si anak dengan suatu ketegangan. Akhirnya si anak berfungsi dalam hidup sehari-hari secara tegang. Seperti kita misalnya menarik karet, kalau menarik sampai cukup panjang, otomatis kalau kita sentuh karet itu tegangannya tentu akan lebih besar dibandingkan kalau karet itu kita lemaskan. Anak yang dibesarkan dalam rumah yang penuh pertengkaran cenderung bertumbuh besar menjadi anak yang reaktif (GS: Emosional maksudnya begitu Pak?) emosional karena emosinya sudah lumayan tinggi meskipun tidak ada apa-apa.
IR : Dan anak yang mengalami demikian itu, bagaimana daya tahannya menghadapi stres, Pak Paul?

PG : Kecenderungannya adalah anak ini sulit untuk menghadapi stres, karena apa? Karena dasarnya sudah tegang sehingga tidak bisa lagi menahan stres dan tambahan tekanan. Jadi apa yang bisa terjdi sebetulnya ada dua reaksi yang ekstrim dari satu sumber yang sama.

Si anak bisa menjadi reaktif dalam arti pemarah, eksplosif, mudah meledak, kebalikannya adalah dia mudah patah, mudah depresi. Misalkan mudah mau bunuh diri, mudah untuk merasa tidak ada harapan hidup, tidak ada semangat hidup, jadi akhirnya anak-anak ini memang tidak bisa menahan stres, sedikit stres dialami maka reaksinya bisa cepat meledak atau dia mudah patah.
GS : Itu terbawa sampai nanti dia dewasa, Pak Paul, kalau tidak ada unsur yang positif?

PG : Betul, kalau tidak ada unsur positif yang lain, yang memasuki dirinya dia kira-kira akan menjadi seperti itu.

GS : Lalu apakah kalau dia pria akan memperlakukan istrinya juga seperti itu?

PG : Sering kali begitu (GS : Melihat contoh orang tuanya Pak Paul ya) betul. Dan mungkin kita bertanya kenapa munculnya di dalam keluarga kita ya, seringkali waktu kita belum menikah hal-hal ii justru tidak muncul.

Hal yang perlu kita ingat adalah bahwa keluarga kita, hubungan kita dengan istri kita ini sebetulnya merupakan replika suatu jiplakan dari hubungan kita dengan orang tua dulu. Sebab waktu kita hidup dengan orang tua kita sebetulnya mulai mencontoh dan akhirnya memasuki peran suami dan istri, kalau kita pria kita memasuki peran si papa, kalau kita wanita kita memasuki peran si mama. Jadi saya berikan contoh yang lain, misalkan ada seorang ayah yang tidak setia kepada si istri, pada si ibu. Si anak wanita melihat ketidaksetiaan si ayah, dia memasuki diri si ibu, kasihan si mama ini dikhianati oleh suaminya. Tanpa disadari tatkala dia besar, dia juga sudah membawa peran si ibu atau jiwa si ibu itu ke dalam dirinya sehingga nanti setelah dia misalkan menikah tanpa dia sadari dia mulai merasakan rasa was-was terhadap si suami. Jangan sampai suamiku ini mempunyai wanita lain, nah ini sebetulnya tidak masuk akal, belum ada apa-apa, suaminya baik-baik saja, sudah ada perasaan was-was. Yang terjadi sebetulnya adalah karena si anak itu, si ibu/si wanita tersebut sewaktu kecil telah mengadopsi figur si ibu ke dalam hidupnya sehingga hal itu dia bawa dan munculkan sewaktu dia menjadi seorang istri.
GS : Misalnya ada sebuah keluarga yang bertengkar, lalu anaknya itu sebagian membela ayahnya sebagian membela ibunya. Memang di dalam pertengkaran itu tidak ada hanya salah satu yang betul, kedua-duanya mungkin salah tetapi tanggapan anak bisa berbeda-beda Pak Paul, apakah itu karena dia anak laki lalu membela ayahnya, bagaimana Pak Paul kalau sampai terjadi pengelompokan seperti itu?

PG : Ada beberapa kemungkinan, yang pertama adalah memang ada yang salah, jadi ada yang salah dalam pengertian yang satu ini kalau marah cenderung kasar, yang satu marah tidak kasar. Jadi sebetlnya meskipun yang tidak kasar yang salah, tapi waktu terjadi pertengkaran yang kasar itu dilihat salah oleh anak-anak, sehingga anak-anak lebih memihak kepada yang tidak kasar, misalkan seperti itu.

Kedua adalah pengaruh dari kedekatan, misalkan si anak ini dekat dengan si papa, adiknya dekat dengan mamanya. Secara otomatis dia akan membela yang dekat dengannya, itu juga bisa terjadi. Yang berikutnya juga adalah si anak akhirnya harus memihak karena dia melihat sendiri bahwa misalkan si ayah itu sayang, memperhatikan si anak/anak-anaknya sedangkan si ibu kurang memberikan perhatian kepada anak-anak. Dalam hal misalnya pertengkaran itu si ayah yang salah, tapi sekali lagi karena yang lebih banyak memberi perhatian adalah si ayah, maka dia yang dibenarkan.
GS : Pak Paul, kalau memang dampaknya sangat luas, kompleks sekali, mungkin Pak Paul dapat menjelaskan bagian dari firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman untuk orang tua atau mungkin anak di dalam menghadapi hal itu.

PG : Saya akan bacakan dari II Korintus 5:17 , ayat yang saya kira kita kenal. "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesunggunya yang baru sudah datang."

Ini adalah salah satu ayat yang menghibur kita bahwa setelah kita menyerahkan hidup kepada Tuhan Yesus, kita diberikan kesempatan untuk memperbaharui hidup kita. Meskipun masa lalu kita mempunyai cengkeraman yang kuat, bukannya tidak kuat, tapi sekarang di dalam Tuhan kita tidak lagi berkelahi sendirian. Kita ditemani oleh Tuhan yang hidup dalam diri kita agar kita bisa melepaskan cengkeraman itu sedikit demi sedikit. Jadi janji Tuhan saya kira sangat menguatkan bagi kita semuanya.
GS : Jadi kita sangat tergantung oleh seseorang itu dilahirkan baru, diciptakan baru oleh Tuhan, jadi mungkin sifatnya, pola pikirnya, tindak tanduknya akan diperbarui ya, Pak Paul?

PG : Betul, meskipun tetap ada pergumulan Pak Gunawan, saya saksikan itu tapi saya juga melihat di tengah-tengah kekalahan dan pergumulan ada kemenangan-kemenangan yang bisa mereka catat.

GS : Yang tadi Pak Paul singgung-singgung, kalau tidak ada sesuatu yang khusus dan ternyata firman Tuhan tadi mengatakan dari kuasa Tuhan orang akan mengalami dampak yang sangat negatif dari pertengkaran orang tuanya, Pak Paul?

PG : Betul, dampaknya luas sekali Pak Gunawan, memang kita harus bicarakan lagi pada kesempatan lain, karena nanti setelah mereka menikah kecenderungannya adalah mengulang kembali proses yang mreka alami, sekalipun mereka benar-benar berusaha untuk menyingkirkan dari kehidupan mereka, tiba-tiba muncul lagi di depan mata mereka.

GS : Tadi firman Tuhan mengatakan kalau yang baru itu sudah terbit maka yang lama itu lenyap Pak Paul, itu adalah suatu pengharapan yang sangat perlu dimiliki baik oleh orang tua maupun oleh anak-anak itu?

PG : Betul, tapi ini perlu proses ya Pak Gunawan.

GS : Melalui proses yang panjang, melalui suatu pergumulan yang mungkin jatuh bangun, karena di dalam setiap keluarga pasti pernah terjadi pertengkaran yang tanpa kita kehendaki tentunya muncul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang pengaruh pertengkaran orang tua terhadap pertumbuhan anak. Kami percaya bahwa tema ini sangat berguna bagi para pendengar sekalian dan perbincangan kami tadi bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



9. Korban Melahirkan Korban


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T028B (File MP3 T028B)


Abstrak:

Pertengkaran orangtua mempunyai pengaruh terhadap hubungan atau relasi seseorang. Anak yang dibesarkan dalam rumah yang sarat dengan pertengkaran akan mengalami gangguan dalam hubungannya dengan orang lain.


Ringkasan:

Kisah nyata sebuah keluarga: di mana suami suka bertengkar dengan istrinya dan jika bertengkar dia itu suka menghakimi istrinya dan itu dilakukan di hadapan anak-anaknya. Kemudian setelah anak dewasa dia mulai meniru atau mencontoh sikap ayahnya dan dia juga suka marah dan juga suka menghakimi persis seperti ayahnya menghakimi ibunya.

Lingkaran setan yang sebetulnya mengandung arti suatu kesinambungan yang jahat ini yang seringkali terjadi dalam keluarga-keluarga yang tidak harmonis yang penuh dengan kekerasan atau pertengkaran.

Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti itu sebetulnya dalam hati berjanji tidak mau menjadi seperti orang tua mereka, tapi acapkali mereka cenderung mengulang perbuatan dan tindakan yang mereka waktu masih kecil saksikan, seolah-olah cengkeraman itu sudah begitu masuk ke dalam hidup mereka sehingga waktu mereka dewasa mereka akhirnya menjadi tiruan langsung dari orang tua mereka.

Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang sarat dengan pertengkaran akan mengalami gangguan dalam hubungannya dengan orang lain.

Ada dua hal yang terjadi pada diri anak yaitu:

  1. Si anak menjadi anak yang berusaha menguasai keadaan, jadi mengontrol semuanya.

  2. Si anak menjadi anak yang bergantung pada orang lain.

Dua sifat ini seolah-olah bertolak belakang, tapi sesungguhnya muncul dari satu sumber yang sama yaitu dia adalah anak yang penuh ketakutan karena pertengkaran orangtua yang membuat dia tegang dan takut.

Dua cara untuk menguasai ketakutan yaitu:

  1. Menguasai keadaan sehingga keadaan itu selalu bisa dia kendalikan, karena dalam keadaan yang tak terkendali kita merasa lebih tegang, lebih takut. Atau kebalikannya menjadi orang yang luar biasa lemahnya, selalu menyajikan diri yang lemah yang perlu dilindungi, akhirnya dia menggelendot hanya bisa menempel orang lain yang diharapkan bisa melindunginya.

  2. Kita mesti mulai mencari tahu kebutuhannya, apa kebutuhan yang spesifik yang dimiliki oleh si anak. Pada umumnya dia memerlukan ketenangan. Dan salah satu hal yang sering dibutuhkan si anak adalah :

    1. Dia membutuhkan kepermanenan. Sebab dia hidup dalam ketidakpermanenan artinya ketidakmenentuan, begitu sering orangtuanya meledak tanpa dia bisa duga, nah dia perlu hidup dalam rumah yang bisa dia duga.

    2. Dia sangat membutuhkan melihat figur orangtua, hubungan suami istri yang baik. Karena kalau tidak, dia nanti setelah menikah akan mempunyai suatu bayang-bayang bahwa dia pun nanti akan seperti orangtuanya. Dan tidak bisa tidak bayang-bayang itu akan menghantuinya, berpuluhan tahun dia hidup dengan ayah ibu yang terus tidak rukun, harapan bahwa dia nanti akan rukun dengan istri itu mudah sekali pupus tatkala mereka misalkan bertengkar.

2Korintus 5:19 , "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan dirinya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka."

Setiap kita yang dirundung oleh masalah kita tahu kita orang yang penuh dengan pelanggaran. Biarlah Firman Tuhan mendamaikan atau menenangkan kita bahwa Allah tidak memperhitungkan pelanggaran kita, jadi artinya apa yang sudah ya sudah dan kita mencoba hidup yang baru.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kali ini akan kami beri judul Korban melahirkan Korban. Judul ini merupakan perbincangan yang menjadi kelanjutan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu yaitu pengaruh pertengkaran orang tua terhadap pertumbuhan anak, namun kami akan berbicara secara lebih spesifik lagi bahwa korban itu melahirkan korban berikutnya. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Perbincangan ini akan diawali dengan sebuah kisah nyata yang akan disampaikan oleh Ibu Idajanti Raharjo.
IR : Pak Paul dan Pak Gunawan, saya pernah menemui sebuah keluarga di mana sang suami suka bertengkar dengan istrinya dan jika bertengkar dia suka menghakimi istrinya dan itu dilakukan di hadapan anak-anaknya. Kemudian setelah anak ini dewasa dia mulai mencontoh sikap dari ayahnya dan dia juga suka marah. Yang saya heran si anak ini kalau marah terhadap ibunya, suka menghakimi persis seperti ayahnya menghakimi ibunya. Jadi si ibu ini seolah-olah sudah kehilangan wibawa di hadapan anak-anaknya, seperti jadi korban, menurut Pak Paul bagaimana?

PG : Tepat sekali seperti ungkapan lingkaran setan ya Bu Ida, sebab lingkaran setan sebetulnya mengandung arti suatu kesinambungan yang jahat. Yang tadi Ibu Ida katakan seringkali terjadi daam keluarga-keluarga yang tidak harmonis yang penuh dengan kekerasan atau pertengkaran.

Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti itu sebetulnya dalam hati berjanji tidak mau menjadi seperti orang tua mereka, tapi yang acapkali terjadi adalah mereka menjadi seperti orang tua yang tidak mereka sukai itu. Mereka mengulang perbuatan dan tindakan yang ketika mereka masih kecil sangat membencinya, tapi seolah-olah cengkeraman itu sudah masuk ke dalam hidup mereka sehingga waktu mereka sudah dewasa akhirnya menjadi tiruan langsung dari orang tua mereka.
GS : Apakah anak itu adalah anak laki-laki, Bu?
IR : Perempuan, justru anak laki-lakinya sayang kepada ibunya.
GS : Usianya kira-kira? Sepertinya remaja.
IR : Anaknya itu remaja, tapi sekarang sudah menikah.
GS : Kenapa bisa mencontoh ayahnya Pak? Tadi saya pikir anak perempuan cenderung mencontoh ibunya tetapi anak perempuan kenapa bisa mencontoh sikap ayahnya yang begitu keras terhadap istrinya?

PG : Dalam hal ini memang bergantung pada proses identifikasi. Siapa yang diidentifikasi oleh si anak itu, yang saya maksud dengan identifikasi adalah si anak menempatkan dirinya di pihak sipa.

Dalam contoh tadi si anak wanita menempatkan dirinya di pihak si papa, mungkin yang terjadi adalah si anak wanita memiliki cukup banyak kesamaan dengan si papa. Contoh kalau si anak itu cukup rasional dan si papa juga cenderung orang yang sangat rasional, sedangkan si mama orang yang lumayan emosional kurang rasional. Otomatis kesamaan ini mendekatkan mereka dan si anak lebih bisa mengerti si papa. Papa marah karena mama tidak mudah mengerti misalnya, papa marah karena mama itu lemah, terlalu mudah dipengaruhi oleh emosinya, jadi yang lebih bisa mengerti adalah si anak wanita sehingga dia seolah-olah membenarkan tindakan si papa kepada si mama. Dan ini yang sebetulnya lebih berbahaya, si anak akhirnya mengakui kelemahan si mama, bahwa si mama itu seharusnya tidak demikian. Karena si mama itu lemah, seolah-olah sudah selayaknyalah menerima ganjaran-ganjaran itu. Akhirnya si anak mengikuti jejak si papa, karena apa? Karena sama-sama tidak tahan juga dengan sikap si mama yang misalnya emosional, lama-kelamaan si anak yang lebih mirip dengan si papa juga merasa tidak tahan dengan mamanya, jadi akhirnya kebenciannya mulai tumbuh juga terhadap si mama.
GS : Dalam hal ini yang jadi korban mama tadi ya?

PG : Betul.

IR : Ini bagaimana Pak Paul, untuk memperbaiki hubungan ini, karena saya tahu rasanya kalau komunikasi kedua orang antara anak dan ibu tidak pernah cocok, setiap ibunya punya ide selalu ditolak.

PG : Jadi si ibu itu, dulu harus menghadapi si ayah, sekarang harus menghadapi si anak, jadi diteruskan satu generasi selanjutnya.

GS : Tapi kalau tadi kita bicara, Pak Paul bahwa korban melahirkan korban, apakah tidak mungkin bahwa ibu itu yang sekarang kita lihat menjadi korban. Apakah tidak mungkin bahwa orang tuanya, orang tua si ibu ini dulu juga mengalami hal yang sama, Pak?

PG : Sangat mungkin, sebab si anak wanita ini nanti kalau jadi ibu dia akan cenderung juga seperti itu, misalkan dengan suaminya atau dengan anaknya dia cenderung sangat reaktif sekali dan mdah sekali marah terhadap hal-hal yang tidak bisa dia toleransi.

(1) GS : Berarti pertengkaran orang tua itu akan punya pengaruh pada hubungan atau relasi seseorang?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang sarat dengan pertengkaran akan mengalami gangguan dalam hubungannya dengan orang lain. Pada kesempatan yang lal kita bicara tentang kurangnya rasa percaya diri, was-was terhadap orang lain.

Ada dua kecenderungan, Bu Ida dan Pak Gunawan, yang pertama adalah si anak ini menjadi anak yang berusaha menguasai keadaan, jadi mengontrol semuanya. Yang kedua kebalikannya anak ini menjadi anak yang bergantung pada orang lain, seolah-olah ini dua sifat yang bertolak belakang tapi sesungguhnya muncul dari satu sumber yang sama yaitu dia adalah anak yang penuh ketakutan karena pertengkaran orang tua itu membuat dia tegang dan takut. Nah orang tidak bisa hidup dalam ketakutan terus-menerus, akhirnya yang dia lakukan adalah mencoba untuk menguasai ketakutannya itu. Ada dua cara untuk menguasai ketakutan, yang pertama tadi saya singgung menguasai keadaan sehingga keadaan itu selalu bisa dia kendalikan, karena dalam keadaan yang tidak terkendali kita merasa lebih tegang, lebih takut. Orang seperti ini sukar sekali berelasi dengan orang lain karena kecenderungannya menguasai orang lain sehingga reaksi orang akan seperti yang dia inginkan, kalau tidak seperti yang dia inginkan maka dia bisa marah dan sebagainya. Atau kebalikannya dia menjadi orang yang luar biasa lemahnya, selalu menyajikan diri yang lemah yang perlu dilindungi, akhirnya dia menjadi seperti lintah, dia hanya bisa menempel pada orang lain, yang diharapkan bisa melindunginya. Supaya apa? Supaya dia tenang, jadi sekali lagi sumbernya sama yaitu dia takut, tegang dan sangat membutuhkan keamanan.
(2) GS : Tadi Pak Paul katakan memang itu seperti lingkaran setan Pak Paul ya, tapi dengan pertolongan Tuhan pasti ia mau mencoba untuk memutuskan lingkaran itu supaya proses ini berhenti, supaya tidak berkelanjutan. Tentunya dalam hal ini kita akan lebih condong untuk menolong si anak, kalau katakan orang tuanya mungkin lebih susah. Seandainya kita mau menolong si anak yang mengalami kondisi keluarga seperti itu, hal-hal apa yang bisa kita lakukan terhadap anak itu, Pak Paul?

PG : Pertama-tama si anak perlu diberikan wadah atau kesempatan agar dia bisa mengekspresikan perasaan-perasaannya. Biasanya dilakukan melalui proses terapi yang lebih terkendali dan juga bekesinambungan.

Jadi maksudnya si anak menyimpan banyak perasaan, baik itu kebencian, kemarahan, ketakutan, ketegangan. Masalahnya adalah dalam rumah tangga dia tidak berkesempatan mengutarakannya, karena apa? Tidak ada yang mau mendengar, orang tua sudah sibuk dengan problem mereka sendiri jadi si anak akhirnya terpaksa menyimpan, memendam semuanya. Oleh sebab itulah kalau memang dia mempunyai karakter yang agak keras, sewaktu anak ini remaja, akhirnya dia melampiaskannya di luar dengan berkelahi, memukul misalnya.
GS : Tapi tadi Pak Paul juga katakan bahwa anak yang mengalami problem seperti ini sulit sekali untuk mengekspresikan emosinya, lalu bagaimana cara kita menolong anak ini, Pak Paul?

PG : Yang bisa dilakukan misalnya dalam terapi kita mengajak dia berbicara, kalau usianya masih relatif kecil bisa digunakan terapi permainan misalnya kreatifitas menggambar. Dari gambar, kaya tangannya si anak mulai mencetuskan perasaannya, misalkan dia menggambar ibu yang besar, ayah yang kecil.

Terus ditanya oleh si terapis, kenapa menggambar ibumu begitu besar, mungkin dia berkata sebab mama itu menakutkan misalnya, si papa misalnya pendiam jadi tidak menakutkan bagi dia. Dengan cara itulah si anak mulai mengekspresikan dirinya.
IR : Mungkin ada hal-hal lain yang bisa kita lakukan, Pak Paul?
GS : Selain memberikan saluran supaya anak itu mengutarakan emosinya?

PG : Yang berikutnya adalah kita harus mulai mencari tahu kebutuhannya, apa kebutuhan spesifik yang dimiliki oleh si anak. Pada umumnya dia memerlukan atau membutuhkan ketenangan, tapi salahsatu hal yang juga sering dibutuhkan si anak adalah dia membutuhkan kepermanenan.

Sebab dia hidup dalam ketidakpermanenan artinya ketidakmenentuan, begitu sering orang tuanya meledak tanpa bisa diduga maka dia perlu hidup dalam rumah yang bisa dia duga. Jadi kita tahu kalau anak ini membutuhkan kepermanenan. Misalkan kita adalah penolong bagi si anak itu. Kita bisa memperhatikan kata-kata kita misalnya kalau kita berjanji kita tepati, kalau kita berkata minggu depan jam berapa kita ketemu maka kita datang pada jam yang sudah kita janjikan. Jadi kekonsistenan kita itu membawa dia masuk ke dalam alam yang dia inginkan yaitu adanya kepermanenan, keteraturan sesuatu yang bisa diduga, itu menolong dia untuk hidup dalam dunia atau alam yang berbeda, sehingga dia belajar untuk menyesuaikan diri dengan hidup seperti itu. Kebutuhan lainnya yang biasanya dimiliki oleh anak yang seperti ini adalah dia sebetulnya sangat membutuhkan untuk melihat figur orang tua, hubungan suami-istri yang baik. Karena kalau tidak, nanti setelah menikah dia akan mempunyai suatu bayang-bayang bahwa dia akan seperti orang tuanya. Pasti bayang-bayang itu akan menghantuinya, berpuluhan tahun dia hidup dengan ayah-ibu yang terus tidak rukun, harapan bahwa dia nanti akan hidup rukun dengan istri itu mudah sekali pupus tatkala mereka misalkan mulai bertengkar. Bagi pasangannya pertengkaran itu biasa, tapi tidak bagi dia yang tidak mau bertengkar karena ingin mempunyai hidup yang berbeda dari hidup orang tuanya. Dia kaget sewaktu dia bertengkar dengan si istri, misalnya dia tidak bisa lagi menoleransi kenapa saya bisa bertengkar, tidak seharusnya saya bertengkar. Anak ini perlu melihat hubungan yang baik itu seperti apa, hubungan yang baik itu tidak berarti bebas dari konflik, tapi pencetusan konfliknya adalah yang baik. Dengan kata lain si anak akhirnya perlu belajar untuk mengutarakan amarahnya dengan baik dan menerima reaksi marahnya itu juga dengan lebih wajar, kebutuhan tentang kasih sayang juga merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan. Orang tua yang sibuk berkelahi pasti kurang memperhatikan kepentingan anak, kurang melihat perasaan anak karena mereka pun sudah dirundung oleh masalah.
IR : Bahkan mungkin juga mudah marah terhadap anak-anak ya Pak Paul?

PG : Betul sekali, mudah sekali marah karena sudah banyak kekesalan dalam hidupnya, jadi tidak bisa lagi diganggu oleh si anak.

GS : Kalau begitu langkah yang berikut tadi yang Pak Paul katakan itu lebih sulit dari yang pertama, kalau yang pertama tadi mungkin dia bisa diasingkan sejenak untuk mengutarakan emosinya. Tapi yang berikutnya Pak Paul, itu bersangkutan langsung dengan orang tuanya. Maksudnya sekalipun dia sudah dibekali dan sebagainya, sudah diminta untuk mengutarakan emosi, sampai di rumah dia menjumpai orang tuanya bertengkar lagi. Apakah anak ini harus diasingkan Pak Paul?

PG : Kalau diasingkan, kita harus memastikan ada rumah tangga yang memang bisa menyediakan suasana yang sangat baik ya. Tapi ini yang paling sering saya temukan Pak Gunawan, Ibu Ida, bahwa aak-anak seperti ini yang terus-menerus melihat pertengkaran orang tua mereka, tidak mau dipisah dari orang tua.

Jadi tetap ikatan batiniah antara anak dan orang tua itu begitu kuat. Akibatnya meskipun hidup tidak bahagia di rumah, tapi tetap di rumah lebih bahagia daripada di luar rumah.
GS : Berarti sebenarnya kalau memang kita mau menolong anak itu, tidak bisa terlepas dari orang tuanya juga, jadi orangtuanya harus ditolong juga untuk mengurangi frekwensi pertengkaran mereka?

PG : Betul, dan ini yang sulit karena seringkali orang tua menolak untuk ditolong. Kita juga perlu melihat ya Pak Gunawan dan Ibu Ida dalam relasinya dia sekarang dengan orang-orang lain siaa yang berfungsi menjadi pemenuh kebutuhannya.

Si anak yang sudah dewasa ini sekarang misalkan dari anak wanita itu. Waktu dia sudah menikah dia sebetulnya mempunyai suatu kebutuhan, kebutuhan yang diharapkan dipenuhi oleh orang-orang yang dekat dengan dia sekarang, baik itu suaminya maupun anaknya. Jadi dalam kasus tadi misalkan dia tidak bisa menoleransi kehidupan mamanya yang terlalu emosional. Nah waktu dia sudah menikah, dia akan menuntut orang di rumahnya baik suami maupun anak-anaknya menjadi orang-orang yang relatif tidak beremosi. Jadi artinya apa? Dia sukar menoleransi kenaikan emosi atau turun naiknya emosi baik itu dari pihak suami maupun anak, itu yang ke satu. Kedua, dia juga akan menuntut supaya orang-orang di rumahnya bersumbangsih menenangkan dia ketika dia sendiri tidak harus beremosi turun naik. Jadi bukan saja dia mau melihat orang-orang di rumahnya itu relatif tenang tidak beremosi, dia pun menuntut orang di rumahnya menyediakan itu untuk dia. Sebab sebetulnya dia sendiri juga karena lahir dari rumah tangga yang penuh pertengkaran, seharusnya dia itu mudah tegang, mudah beremosi jadi dia akan menuntut supaya orang di rumahnya menjadi orang-orang yang menenangkan dia. Ini yang harus dilihat oleh orang tersebut, siapa yang sekarang berfungsi sebagai pemenuh objek atau pemenuh kebutuhannya. Karena apa? Tidak ada yang bisa memenuhi kebutuhannya, itu intinya.
GS : Apa tidak menimbulkan masalah baru lagi?

PG : Tepat sekali.

GS : Tidak mungkin karena orang serumah harus memenuhi semuanya, itu korban melahirkan korban lagi.

PG : Tepat sekali, itu sebabnya cukup banyak terjadi contoh misalnya anak wanita melihat papanya tidak setia pada mamanya. Dan sering melihat orang tuanya bertengkar karena urusan wanita lai misalnya, setelah dia dewasa menikah tiba-tiba dia mempunyai ketakutan yang sama bahwa suaminya nanti akan mempunyai wanita lain.

Yang dia tuntut adalah nomor satu si suami tidak boleh dekat sedikit pun dengan wanita lain. Jadi dia sangat menjaga hubungan si suami dengan wanita lain, itu ke satu. Kedua dia akan menuntut si suami membuat dia tenang, jangan sampai dia itu harus merasa was-was, contoh konkretnya dia meminta si suami atau menuntut si suami untuk melimpahkan cinta kasih yang membuat dia merasa sangat tenang karena sangat dicintai. Kita semua tahu ini tugas yang mustahil bisa dilakukan oleh siapapun.
GS : Tapi kalau si suami itu sebenarnya tahu latar belakang istrinya atau calon istrinya, itu akan banyak menolong ya, Pak Paul?

PG : Betul, tapi memang harus ada kesadaran dari orang yang bersangkutan, jadi dia harus sadar "Sebetulnya inilah yang terjadi. Saya menuntut jangan sampai saya seperti orang tua saya yang tdak saya sukai dan yang kedua saya menuntut supaya orang-orang membuat saya menjadi orang yang berbeda."

IR : Orang yang seperti itu tentu bagi Tuhan tidak ada yang mustahil Pak Paul. Pak Paul mungkin bisa memberikan saran yang terkait dengan firman Tuhan bagaimana mengatasi orang yang mempunyai sifat seperti itu?

PG : Saya akan bacakan dari 2 Korintus 5:19 , "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan dirinya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka." Waktu saya membaca bagin belakang dari ayat ini hati saya penuh dengan pengucapan syukur Bu Ida, yaitu Allah tidak memperhitungkan pelanggaran kita.

Setiap kita yang dirundung oleh masalah yang tadi kita bicarakan, kita tahu bahwa kita ini penuh dengan pelanggaran. Biarlah firman Tuhan mendamaikan, menenangkan kita bahwa Allah tidak memperhitungkan pelanggaran kita, jadi artinya apa yang sudah biarlah dan kita coba hidup yang baru.
GS : Tapi mungkin langkah awal yang bisa kita lakukan adalah berdamai dulu dengan Allah ya Pak (PG : Tepat sekali) kita akan berdamai dengan diri kita sendiri dan berdamai dengan orang lain.

PG : Betul, dan memang Alkitab menegaskan kita hanya bisa didamaikan dengan Allah melalui Kristus Yesus. Ia adalah penebus semua hukuman dosa kita sehingga melalui Tuhan Yesus kita didamaika dan kalau kita sudah damai dengan Allah, kita memang lebih mudah damai dengan diri sendiri dan dengan orang lain pula.

GS : Hanya dengan cara itu yang tadi kita sebut sebagai lingkaran setan itu akan berhenti ya, Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi bahwa sekalipun pada umumnya korban melahirkan korban, tapi kita tahu bahwa di dalam Tuhan, di dalam kita percaya kepada Tuhan Yesus ada sesuatu pengharapan yang memungkinkan kita keluar dari lingkaran setan itu dan tidak perlu menjadi korban-korban berikutnya. Itulah sebuah perbincangan tentang pengaruh pertengkaran orang tua terhadap pertumbuhan anak dan juga kehidupan kita selanjutnya bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan banyak terima kasih untuk semua surat-surat yang ditujukan kepada kami. Namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda masih sangat kami nantikan. Dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



10. Wibawa Orangtua


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T046A (File MP3 T046A)


Abstrak:

Wibawa orangtua muncul bukan dari kemampuan orangtua mencukupi kebutuhan finansial anak tetapi muncul dari kehidupan orangtua yang sesuai dengan peranan dan tugasnya sebagai orangtua. Dan wibawa orangtua muncul dipandang dari kualitas hubungan suami istri. Waktu orangtua mempunyai hubungan yang kuat, yang baik dan yang harmonis, anak-anak tidak bisa tidak akan memandang orangtua dengan penuh hormat.


Ringkasan:

Beberapa tindakan harus dilakukan oleh orang tua, supaya dia mempunyai wibawa yang tepat, sedini mungkin sejak anak itu masih kecil.

Pertama-tama, saya akan paparkan yang bukan wibawa tapi sering kali dianggap wibawa, yaitu:

  1. Faktor uang. Seringkali orang tua beranggapan kalau saya mampu mencukupi kebutuhan fisik, finansial, anak-anak atau istri atau suami saya maka otomatis saya layak untuk dihormati oleh anak-anak.

  2. Adakalanya orang tua beranggapan dengan semakin keras perlakuannya kepada anak, semakin berwibawalah dia. Justru sebetulnya reaksi yang tersembunyi pada diri anak sewaktu anak menjadi ketakutan terhadap orang tua ialah rasa tidak suka, rasa tidak hormat, bahkan rasa benci kepada orang tua.

Langkah-langkah yang harus dilakukan orang tua di dalam membangun wibawa:

  1. "Hai istri-istri tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan." Kolose 3:18
    Ingin saya tekankan bahwa wibawa orang tua muncul kalau orang tua hidup sesuai dengan peranan dan tugasnya sebagai orang tua. Waktu orang tua mempunyai hubungan yang kuat, yang baik dan yang harmonis, anak-anak tidak bisa tidak akan memandang orang tua dengan penuh hormat. Jadi wibawa yang pertama muncul dari kualitas hubungan suami-istri, ini tidak bisa ditawar-tawar.

  2. "Hai suami-suami kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia." Kolose 3:19
    Ini mengandung 2 unsur:

    1. Yang pertama adalah perintah, yakni kasihilah istrimu. Sekali lagi anak-anak akan menghormati ayah dan ayah menjadi ayah yang berwibawa waktu anak-anak melihat ayah mengasihi mama. Ini adalah hal yang penting sekali untuk dilihat si anak. Dan waktu ayah dilihat mengasihi mama, anak-anak cenderung akan menghormati papa.

    2. Yang kedua adalah larangan, jangan berlaku kasar terhadap istri. Tuhan juga tegaskan larangan jangan memperlakukan istrimu dengan kasar.

  3. "Hai bapa-bapa janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Kolose 3:21 .

Terhadap istri, Tuhan hanya memberikan satu perintah, ayah malah tiga, memang pria itu perlu banyak dilarang. Yang dimaksud menyakiti hati itu sebetulnya mempunyai arti, jangan membuat hati anak itu menjadi pahit. Pahit itu mencakup unsur tersinggung, benci, tidak ada lagi gairah untuk dekat dengannya, tidak mempedulikan orang ini, masa bodoh dengan orang ini.

Pahit intinya berarti kita memasukkan yang pahit ke dalam hatinya. Adakalanya orang tua atau dalam hal ini khususnya ayah bisa membuat hati anak pahit biasanya, yang pertama melalui disiplin yang berlebihan. Dan yang kedua adalah ayah kalau marah cenderung melihat anak itu sebagai "sparring partnernya" kecenderungan pria memang berkelahi, sejak kecil makanya yang sering berkelahi secara fisik adalah anak pria.

Salah satu kasus di Alkitab, di mana Absalom itu memberontak kepada Daud, itu adalah contoh wibawa hilang sebagai akibat perbuatan Daud sendiri. Daud memberikan contoh hidup yang tidak berintegritas. Orang tua harus memiliki kehidupan yang benar, bukan saja kualitas hubungan suami-istri harus baik, bukan saja perlakuan terhadap anak tidak memahitkan perasaan anak, tapi kehidupan orang tua juga harus berintegritas.

Pada akhirnya harus kita sadari, bahwa kewibawaan itu datang dari pihak Tuhan, dan itu harus kita kelola dengan baik. Untuk membina hubungan yang harmonis suami istri maupun terhadap anak, jadi tetap dibutuhkan wibawa. Yang harus kita camkan adalah, wibawa tidak datang dengan sendirinya, wibawa itu bergantung pada perbuatan kita sebagai ayah dan ibu. Jadi yang terutama adalah orangtua harus hidup takut akan Tuhan. Sekali dia takut akan Tuhan, dia lebih takut untuk memperlakukan istri atau suami, dan anak-anak dengan lebih baik, sehingga hidupnya pun akan lebih benar. Jadi semuanya itu saya kira adalah hal-hal yang membangun wibawa orang tua.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Wibawa Orang Tua". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada banyak keluhan dari orang tua khususnya pada akhir-akhir ini mereka merasa anak-anak mereka itu sudah tidak menghormati mereka lagi. Tidak sopan dan sebagainya karena terlalu berani dalam berkata, bersikap, dibandingkan dengan keadaan orang tua pada waktu mereka itu masih anak-anak. Lalu mereka mengatakan apa kami ini memang sudah tidak berwibawa lagi dihadapan mata mereka itu, nah sebenarnya apa Pak Paul wibawa itu?

PG : Saya ingin menanggapi yang tadi Pak Gunawan singgung memang saya kira ada pengaruh dari luar Pak Gunawan, pengaruh dalam pengertian kita sekarang hidup di alam demokratis. Nah, alam demokrtis tidak bisa tidak akan mempengaruhi cara kita hidup atau cara kita melihat hidup.

Salah satu hal yang menjadi unsur penting dalam konsep demokrasi adalah bahwa kita ini sama rata, kita ini mempunyai hak yang sama, kita ini mempunyai kewajiban yang sama, jadi keistimewaan itu tidak diberikan secara otomatis karena faktor kelahiran, atau faktor hal-hal yang bersifat jabatan. Sesuatu itu menjadi istimewa kalau memang ada keistimewaan dalam sumbangsihnya, dalam perbuatannya, nah alam pikir anak-anak sekarang tidak bisa tidak dipengaruhi oleh alam demokrasi atau budaya demokrasi yang makin hari memang makin meluas di dalam hidup kita ini. Oleh sebab itulah anak-anak sekarang memang tidaklah setakut pada orang tua seperti anak-anak dulu, ini juga adalah keluhan yang sering kali saya dengar, sebab memang kita sadari pada waktu dulu anak-anak takut sekali untuk misalnya membangkang orang tua, melawan atau kurang ajar dan sebagainya. Nah, saya kira ada pengaruh faktor budaya juga Pak Gunawan.
GS : Tapi apakah itu membuat orang tua harus mengorbankan wibawanya terhadap anak-anak Pak Paul?

PG : Nah, oleh karena adanya alam dari luar, alam demokrasi yang memang melanda masuk ke dalam rumah tangga kita oleh karena itulah orang tua sekarang mempunyai tuntutan tugas yang lebih berat,untuk membuktikan dirinya sebagai orang-orang yang layak untuk dihormati oleh anak-anak mereka.

Kalau dulu pokoknya begitu menjadi seorang tua, begitu mempunyai anak sudah mendapatkan suatu wibawa tertentu, namun sekarang, orang tua seolah-olah harus membuktikan dirinya layak mendapatkan wibawa itu, barulah anak-anak akhirnya lebih bisa hormat kepada mereka.
(2) GS : Nah, kalau memang begitu Pak Paul tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan oleh orang tua, tentu sedini mungkin sejak anak itu masih kecil. Supaya dia mempunyai wibawa yang tepat Pak Paul, jadi bukan ditakuti oleh anak-anak mereka tetapi memang anak-anak ini hormat kepada kedua orang tuanya ini.

PG : Pertama-tama Pak Gunawan, saya akan paparkan yang bukan wibawa tapi sering kali dianggap wibawa. Pertama adalah saya kira faktor uang Pak Gunawan, sering kali orang tua beranggapan kalau sya mampu mencukupi kebutuhan fisik, finansial anak-anak atau istri atau suami saya, maka otomatis saya layak untuk dihormati oleh anak-anak.

Nah point pertama adalah sebetulnya keuangan bukanlah ukuran, yang paling penting bukanlah soal berapa besarnya, tapi dalam soal uang berapa bertanggungjawabnya. Jadi adakalanya konsep kita ini keliru dalam hal wibawa. Adakalanya orang tua beranggapan selama saya masih bisa menyediakan uang kepada anak-anak, anak-anak seharusnyalah hormat kepada saya. Jadi bukan soal berapa besar jumlahnya namun berapa bertanggungjawabnya si orang tua, berapa rajinnya dia, itu yang akan membuahkan wibawa pada dirinya, itu yang pertama.
IR : Kemudian sikap yang lain, Pak Paul?

PG : Nah yang kedua ini Bu Ida, adakalanya orang tua beranggapan dengan semakin keras perlakuannya kepada anak, semakin berwibawalah dia. Tadi sebenarnya Pak Gunawan sudah singgung anak-anak taut pada orang tua atau istilahnya ketakutan kepada orang tua.

Anak-anak menjadi ketakutan kepada orang tua karena perlakuan orang tua yang sangat keras sekali, nah ini juga anggapan yang keliru Bu Ida, sebab membuat anak-anak ketakutan sebetulnya tidaklah melahirkan wibawa. Justru sebetulnya reaksi yang tersembunyi pada diri anak sewaktu anak menjadi ketakutan terhadap orang tua ialah rasa tidak suka, rasa tidak hormat, bahkan rasa benci kepada orang tua. Nah ini adalah faktor kedua yang acapkali kita kaitkan dengan wibawa, maka orang tua merasa anak-anak tidak menghormatinya; biasanya ya langkah pertama adalah memarahi, berteriak-teriak, memukul anak tambah hari tambah keras, nah dengan harapan wibawa itu akan dibangkitkan kembali, terbalik justru tidak ada wibawa.
GS : Tapi yang selalu menjadi alasan adalah mau menegakkan disiplin, orang tua itu mau menegakkan disiplin terhadap anak, Pak Paul?

PG : Memang secara lahiriah yang diharapkan akan tercapai, karena ketakutan anak-anak akan taat melakukan yang dikehendaki oleh orang tuanya. Tapi saya kira ini akan berpengaruh pada usia tertetu atau sampai usia tertentu misalkan sewaktu anak-anak ini remaja dan sudah mampu melawan, dia melawan atau karena tidak mampu melawan di depan orang tua dia akan mengulang perbuatannya di belakang orang tua.

IR : Kadang-kadang sikap disiplin ini ditunjukkan dengan sikap yang keras Pak Paul, pada usia-usia tertentu untuk membiasakan supaya anak ini disiplin, tapi apakah itu bisa terpengaruh atau terbawa terus sampai usia dewasa?

PG : Disiplin itu sendiri memang mutlak diperlukan, jadi orang tua mesti mendisiplin anak tapi berapa kerasnya dia mendisiplin dan berapa adilnya dia mendisiplin, itu 2 hal yang sangat penting ang harus dilihat oleh anak.

Dan kita tidak boleh sedikitpun melupakan bahwa disiplin hanya efektif kalau sebelum disiplin diberikan, anak merasa dicintai dan setelah disiplin diberikan anak juga merasa dicintai. Jadi disiplin itu tidak berdiri sendiri, disiplin harus didampingi oleh kedua belah pihak oleh cinta kasih sebab waktu anak-anak dikasihi dan dia tahu dikasihi kemudian didisiplin, disiplin itu efektif. Tapi setelah anak didisiplin anak-anak ini akan merasa terbuang, tersingkirkan, tidak diinginkan, karena dimarahi dengan begitu keras oleh orang tua, perlu cinta kasih diungkapkan lagi kepada si anak, perlu diberikan lagi suatu kesan bahwa aku mencintaimu, apa yang aku perbuat tadi tidak mengubah cintaku kepadamu. Jadi pasca disiplin atau setelah disiplin, cinta kasih juga harus diberikan, dengan cara inilah wibawa orang tua akan bisa ditegakkan. Jadi sekali lagi yang kedua ini yang sering kali disalahfahami oleh orang tua adalah soal disiplin yang keras barulah wibawa saya ini akan ada, kalau tidak ada ini tidak bisa. Jadi 2 hal ini memang sering kali menjadi anggapan yang keliru.
GS : Ada pendapat Pak Paul, kalau kita ini bergurau berlebihan kita itu bisa kehilangan wibawa, bagaimana pendapat Pak Paul?
IR : Kadang-kadang bisa dikatakan orang bisa kurang ajar Pak Paul.
GS : Jadi dia bersikap diam, kalau ngomong seperlunya, dengan tujuan supaya lebih berwibawa katanya.

PG : Adakalanya memang bercanda yang terlalu bebas bisa mengurangi wibawa orang tua itu betul, jadi saya kira dalam bercanda dengan anak mesti ada batasnya. Contoh misalkan si orang tua (maaf mnggunakan istilah ini) suka kentut di muka si anak, lama-lama si anak sengaja kentut di muka si orang tua, bapaknya atau mamanya, nah saya kira bercanda seperti ini tidak cocok untuk bercanda dikalangan orang tua-anak.

Jadi memang ada bercanda-canda yang jangan lagi digunakan tapi bercanda dalam hal humor yang masih segar dan memang tidak menyinggung seseorang, harga diri seseorang silakan. Nah, adakalanya yang sering kali orang tua perbuat dan keliru adalah misalnya menggoda anak, tapi menggodanya benar-benar keterlaluan, begitu keterlaluannya sehingga anak marah dan marahnya itu tidak menghormati lagi orang tua. Jadi memang dalam bercanda kita mesti menjaga diri juga, jangan sampai keterlaluan.
GS : Adat orang Timur biasanya akan marah kalau misalnya kepala kita dipegang-pegang oleh anak, Pak Paul; tapi sekarang ini biasanya sering kali terjadi seperti itu, apakah itu harus dihindari atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Ya saya kira kalau memang sekali-sekali anak memegang kepala kita, tidak apa-apa, tapi misalnya anak memegang-megang terus kemudian mendorong-dorong kepala si ayah, si ibu, saya kira itu sdah tidak sopan lagi.

(3) GS : Jadi bagaimana Pak Paul di dalam membangun wibawa itu apa atau langkah-langkah apa yang orang tua harus lakukan?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Kolose 3:18 "Hai istri-istri tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan." Nah, yang ingin saya tekankan yang pertamaadalah bahwa wibawa orang tua muncul kalau orang tua hidup sesuai dengan peranan dan tugasnya sebagai orang tua.

Waktu orang tua mempunyai hubungan yang kuat, yang baik dan yang harmonis, anak-anak tidak bisa tidak akan memandang orang tua dengan penuh hormat, jadi wibawa yang pertama muncul dari kualitas hubungan suami istri, ini tidak bisa ditawar-tawar. Yang pertama adalah istri memang atau mama diharapkan untuk menjadi mama yang tidak kurang ajar, menjadi mama yang bisa menghormati suaminya. Waktu anak-anak melihat mama adalah mama yang tidak kurang ajar, menghormati dan taat kepada suami, pada papa mereka, otomatis ini akan melahirkan respek terhadap mama. Waktu anak-anak melihat mama adalah mama yang berani memaki papa, menunjuk-nunjuk hidung papa, menjelek-jelekkan papa, meskipun papa punya kelemahan, kecenderungannya adalah anak-anak bukannya turut menghina papa saja tapi akan turut menghina mama pula. Saya gunakan kata saja karena memang kalau papanya itu mempunyai banyak masalah, kelemahanlah misalnya main judi dan sebagainya tapi misalnya mamanya terlalu menghina di depan anak-anak memang anak-anak akan menghina si papa karena melihat papanya tidak bertanggung jawab, hidupnya tidak benar. Tapi yang aneh adalah reaksi berikutnya anak-anak acapkali tidak menghormati mama, jadi tetap sejelek apapun, suami istri jangan sampai terlalu menjelek-jelekkan si suami di depan anak-anak, sebab sering kali anak-anak bukan saja menghina papanya tapi juga tidak hormat terhadap mamanya.
GS : Langkah yang lain Pak Paul, setelah istri itu menghormati suaminya?

PG : Kalau tadi Tuhan memberi satu perintah kepada istri, di ayat berikutnya Tuhan memberikan 2 perintah kepada suaminya. Saya bacakan dari pasal 3, Kolose 3:19 "Hai suami-sumi kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia."

Jadi memang ada 2 unsur Pak Gunawan, yang pertama adalah perintah yakni kasihilah istrimu dan yang kedua adalah larangan jadi larangan jangan berlaku kasar terhadap istri. Nah sekali lagi anak-anak akan menghormati ayah dan ayah menjadi ayah yang berwibawa waktu anak-anak melihat ayah mengasihi mama, ini adalah hal yang penting sekali untuk dilihat si anak dan waktu ayah dilihat mengasihi mama, anak-anak cenderung akan menghormati papa. Dan yang kedua, yang Tuhan juga tegaskan adalah yang berupa larangan jangan memperlakukan istrimu dengan kasar. Kita tahu kecenderungan pria adalah untuk agresif bisa berlaku kasar secara kata-kata, ucapan dan juga secara tindakan yaitu secara fisik misalnya memukul istri dan sebagainya. Nah, otomatis kalau anak melihat papa memukuli mama, anak-anak akan takut untuk waktu tertentu, setelah itu anak-anak akan berani membangkang, berani melawan, dan yang terutama adalah tidak akan hormat kepada papanya. Jadi sekali lagi kualitas hubungan suami istri adalah faktor pertama yang menentukan apakah mereka orang tua yang berwibawa atau tidak.
GS : Ya mungkin memang perlu ada 2 hal yang disampaikan kepada para suami atau ayah karena perannya sebagai kepala keluarga itu Pak Paul?

PG : Betul, dan perintah Tuhan mengasihi istri sebetulnya dalam wujud nyata atau konkretnya ialah mendahulukan istri di atas yang lain-lainnya. Jadi sewaktu ayah itu mengutamakan kerja di atas stri, nah dia tidak memberi cinta kepada istri, waktu si ayah mendahulukan kakek dan neneknya atau bibi dan pamannya di atas istri, anak-anak melihat ayah tidak begitu mengasihi istri.

Bahkan waktu ayah terlalu mengasihi anak-anak di atas istri, anak-anak pun melihat ayah tidak mengasihi mama, nah ini adalah wujud-wujud konkret dari cinta sebab cinta pada dasarnya adalah mengutamakan di atas yang lain-lainnya. Jadi sebagai ayah, kita diingatkan untuk mengutamakan istri kita, dan waktu anak-anak melihat bahwa ayah mengutamakan istri, wibawa ayah akan muncul. Dan waktu ayah memperlakukan istri dengan penuh hormat, penuh kasih sayang, tidak menghina, tidak memaki-maki, anak-anak itu juga akan lebih menghormati ayah.
GS : Ada satu ayat yang mengingatkan saya yang mengatakan "Hai bapa-bapa jangan sakiti hati anakmu."

PG : Betul, nah ini adalah ayat yang selanjutnya ayat 21 "Hai bapa-bapa janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Jadi terhadap istri, Tuhan memberikan dua perintah emudian untuk anak, ada lagi yang Tuhan berikan kepada ayah.

Jadi benar-benar wanita hanya dapat satu perintah, ayah malah tiga, memang pria itu perlu banyak dilarang.
GS : Yang dimaksud di sana menyakiti hati itu bagaimana Pak?

PG : Begini, sebetulnya menyakiti hati mempunyai arti jangan membuat hati anak itu menjadi pahit.

IR : Tersinggung itu Pak Paul ya?

PG : Betul, pahit itu mencakup unsur tersinggung, mencakup unsur benci, mencakup tidak ada lagi gairah untuk dekat dengannya, mencakup unsur tidak mempedulikan orang ini, masa bodoh dengan oran ini, nah jangan sampai anak mempunyai perasaan tersebut kepada kita sebagai ayah.

Nah, janganlah membuat tawar hatinya, sama kata-katanya jadi jangan membuat hati anak kita itu pahit. Pahit berarti begini sebetulnya kita memasukkan yang pahit ke dalam hatinya itu kira-kira intinya. Apa yang kita masukkan ke dalam hati anak kita, ini yang perlu kita lihat kepahitan atau yang manis, yang baik atau justru yang pahit, yang negatif. Nah adakalanya orang tua atau termasuk dalam hal ini ayah bisa membuat hati anak pahit biasanya melalui tadi yang sudah kita bahas, disiplin yang berlebihan. Dan yang kedua adalah ayah kalau marah cenderung melihat anak itu sebagai "sparring partnernya" kecenderungan pria memang berkelahi sejak kecil, makanya yang sering berkelahi secara fisik adalah anak pria. Waktu orang tua atau waktu ayah sudah mulai agak tua anak-anak sudah mulai besar, ayah itu mulai melihat anak sepertinya melawan, menantang, dia merasa ditantang. Nah, ibu tidak melihat anak itu menantang, mengajak duel, tidak, tapi ayah cenderung menyoroti kelakuan anak yang nakal sebagai tantangan untuk seolah-olah diajak berduel. Jadi akhirnya si ayah bukan mendidik, tapi justru mengeluarkan kata-kata yang memancing amarah si anak, seolah-olah ayah itu ingin mengajak anaknya berduel, kalau engkau berani silakan lawan saya, soalnya menunggu kesempatan kapan anak ini bisa dihajar lebih keras lagi. Seperti dalam perkelahian, nah inilah yang akan menjadikan anak pahit yaitu penghinaan-penghinaan untuk membuat anak itu mengaum dan melawan si ayah, nah itulah kesempatan yang ditunggu oleh si ayah. Si anak seolah-olah menanggapi tantangannya untuk supaya bisa dihajar lebih keras lagi, nah hinaan-hinaan inilah yang memahitkan hati anak.
IR : Tadi Pak Paul katakan bahwa seorang suami yang keras terhadap istrinya membuat orang tua ini tidak juga berwibawa. Tapi juga ada kasus yang lain yaitu sering kali menghakimi, memarahi istrinya di hadapan anak-anak, tapi anak-anak itu akhirnya menganggap mamanya itu tidak berwibawa lagi, bahkan anaknya ini berani menghakimi ibunya, kalau ibunya salah. Nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Itu juga akan terjadi, itu betul sekali Bu Ida, jadi kalau ayah menghina ibu terlalu sering, meremehkan ibu terlalu sering, anak-anak juga akan menghina ibu. Misalkan ayah selalu berkata kpada ibu, goblok kamu, goblok kamu, jangan kaget kalau anak-anak itu sudah dewasa atau sudah besar tiba-tiba akan berkata hal yang sama kepada ibunya.

Goblok kamu mama, kenapa.... sebab, perkataan goblok itu sudah terlalu terekam dalam pikiran si anak, sehingga yang terekam mudah muncul di mulut kita secara natural.
IR : Yang heran si anak ini sebetulnya justru menyalahkan si ayah, si ayah itu sebenarnya tidak berwibawa, tapi yang menjadi korban itu ibunya Pak Paul?

PG : Sebetulnya dua-duanya, dia benci kepada si ayah tapi juga pada akhirnya tidak hormat pada si mama, meskipun dengan mama terjadilah konflik perasaan. Di satu pihak tidak hormat, di pihak yag lain sangat kasihan dengan mama karena mama itu korban perlakuan ayahnya.

Nah, kenapa si anak itu kok bisa turut tidak menghormati mamanya, karena memang si mama punya kelemahan juga yang seharusnya tidak diperlakukan kasar oleh si ayah. Misalkan mamanya agak lamban, nah dalam kelambanan itulah si ayah memaki-makinya luar biasa. Nah, anak memang akan tetap melihat mamanya lamban dan tanpa disadari dia akan juga bereaksi seperti papanya bereaksi. Atau misalnya mamanya suka tanya papanya, ke mana kamu, pulang jam berapa kamu, nah waktu si anak mendengar mama bertanya hal yang sama kepadanya, reaksinya sama terhadap mamanya, mama terlalu cerewet, mengurus saya dan dia memaki mamanya juga.
GS : Pak Paul, dalam kasusnya Daud di mana Absalom itu memberontak kepada dia, itu sebenarnya apa kesalahan Daud, Pak Paul?

PG : Bagus sekali pertanyaan itu Pak Gunawan, sebab itu adalah contoh wibawa yang hilang atas perbuatan Daud sendiri. Yaitu apa Daud memang memberikan contoh hidup yang tidak berintegritas dan ni adalah hal ketiga yang harus ditegakkan di rumah.

Yaitu orang tua harus memiliki kehidupan yang benar bukan saja kualitas hubungan suami istri harus baik, bukan saja perlakuan terhadap anak tidak memahitkan perasaan anak, tapi yang ketiga adalah kehidupan orang tua harus berintegritas. Kalau orang tua baik kepada anak, baik kepada suami istri tapi tukang tipu uang orang, menggencet, membohongi orang dan sebagainya, anak-anak tidak akan menghormati. Daud melakukan kesalahan yang sangat fatal waktu menikahi Batsyeba atau meniduri Batsyeba secara ilegal kemudian membunuh Uria; nah itu sudah diketahui oleh khalayak ramai dan bahkan yang pasti oleh anak-anaknya sendiri. Dan Absalom adalah anak yang salah satu atau mungkin yang tertua dari anaknya Daud itu, jadi dia melihat perbuatan papanya yang seperti itu maka tidak ada lagi rasa hormat.
IR : Jadi yang terutama adalah orang tua harus hidup takut akan Tuhan ya Pak Paul?

PG : Betul sekali, takut akan Tuhan, dia lebih takut untuk tidak memperlakukan istri atau suami dengan baik dan anak-anak yang lebih baik dan hidupnya pun akan lebih benar. Jadi tiga hal itu saa kira adalah hal-hak yang membangun wibawa orang tua.

GS : Tadinya saya pikir begini Pak Paul, orang lain saja yang bukan anaknya Daud hormat kepada Daud, karena Daud seorang raja, tapi kenapa anaknya justru tidak menghormati dia?

PG : Betul, itu yang terjadi juga dengan anak-anak Imam Eli dia dihormati oleh rakyat Israel tapi....

GS : Anaknya tidak menghormati dia.

PG : Tidak menghormati dia, dan yang menarik anak-anak Samuel pun tidak menghormati Samuel, sehingga hidup mereka tidak benar. Pada awalnya Samuel melihat contoh Eli, dia tinggal di rumah Eli tpi dia mengulang kesalahan yang sama, kita manusia memang penuh dengan kelemahan Pak Gunawan.

IR : Tapi juga pengaruh lingkungan Pak Paul, sering kali membuat anak-anak itu kadang berontak terhadap orang tua, kadang melawan orang tua, apakah itu juga karena pengaruh orang tua itu?

PG : Ada, pasti ada tapi meskipun kalau terjadi seperti itu ada pengaruh dari luar, namun kalau ketiga faktor wibawa itu ada di rumah, anak tidak bisa bergerak terlalu jauh juga, tidak bisa bererak terlalu jauh.

Sering kali anak itu hanya bisa menjajah orang tua kalau memang sistem rumah tangganya sudah runtuh.
GS : Jadi memang pada akhirnya kita bisa menyadari bahwa kewibawaan itu datang dari pihak Tuhan yang harus kita kelola dengan baik supaya untuk membina hubungan baik suami istri maupun terhadap anak, tetap dibutuhkan wibawa.

PG : Betul, dan ini yang harus kita camkan Pak Gunawan, wibawa tidak datang dengan sendirinya, wibawa itu bergantung pada perbuatan kita sebagai ayah dan ibu.

GS : Mungkin kali ini kita akhiri pembicaraan kita dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang "Wibawa Orang Tua", bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 46 A

  1. Apakah sebenarnya wibawa itu...?
  2. Apa yang harus dilakukan orang tua supaya memiliki wibawa yang tepat bagi anak-anaknya..?
  3. Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk membangun wibawa sesuai dengan firman Tuhan...?


11. Bagaimana Menghadapi Orangtua yang Tidak Berwibawa


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T046B (File MP3 T046B)


Abstrak:

Sebagai seorang anak kita harus tetap tidak boleh semena-mena menutup telinga terhadap apa yang dikatakan orangtua kita. Betapa pun buruknya orangtua kita tidak semuanya dari mereka buruk. Tuhan meminta kita tetap membuka kesempatan kepada orangtua memberi petuah kepada kita.


Ringkasan:

Beberapa waktu yang lalu kita membahas tentang bagaimana orangtua membangun wibawanya, baik terhadap pasangan hidupnya maupun terhadap anak-anaknya. Faktor- faktor yang akan dilihat dan dijadikan ukuran untuk menghormati orang tua adalah:

  1. Kualitas hubungan papa mamanya. Apakah ayah ibu memiliki hubungan yang baik saling menghormati, saling mencintai, tidak berlaku kasar satu sama lain.

  2. Perlakuan orang tua terhadap anak, apakah adil, apakah sepatutnya, apakah juga orangtua menghormati mereka.

  3. Dan yang ketiga adalah integritas hidup orang tua, apakah mereka hidup dengan benar di hadapan Tuhan atau tidak, apakah mereka orang-orang yang hidup munafik tidak sama luar dan dalamnya.

Ketiga hal ini mutlak perlu dilihat oleh anak-anak, barulah anak-anak cenderung menghormati orang tua.

Tapi memang harus saya akui, adakalanya orang tua bersifat atau bersikap kekanak-kanakan, tidak berarti sewaktu seseorang menjadi orangtua jiwa dan karakternya akan menjadi matang sesuai dengan usia dan tanggung jawabnya. Ada orang tua yang kekanak-kanakan, mempunyai kebutuhan yang bahkan lebih besar dari anak-anak mereka, contoh misalnya kebutuhan untuk disayangi seharusnya 'kan orang tua yang menyayangi anak, memberikan kepada anak kasih sayang. Tapi ada orang tua yang begitu tidak aman dengan dirinya, karena kemungkinan besar, masa lalunya sehingga dia menjadi orang tua yang akan memanipulasi anak untuk senantiasa menyayangi, mengutamakan dia.

Dalam keadaan seperti itu, dimana kondisi orang tua sudah sedemikian buruknya di mata anak itu, yang seharusnya dilakukan anak adalah:

  1. Anak-anak perlu melihat dengan jelas di mana duduk masalahnya, sebab ada kecenderungan anak-anak ini akan terjerat di dalam hubungan yang tidak sehat. Di sini anak-anak perlu melihat dengan pikiran yang jernih di mana duduk masalahnya, tempatkan masalahnya di tempat yang sebenar-benarnya. Amsal 23:22 , "Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau dia sudah tua."
    Di sini ada dua kata yang perlu diperhatikan:

    1. Yang pertama ialah kata mendengarkan. Mendengarkan dalam pengertian kita tidak semena-mena menutup telinga terhadap apa yang dikatakan oleh orangtua kita.

    2. Yang kedua, Tuhan berkata jangan menghina ibumu kalau dia sudah tua. Sebetulnya dengarkanlah dan jangan menghina sebetulnya dua sisi dari satu logam yang sama. Menghina artinya kalau memang orang tua salah, dan memang mereka punya kelemahan-kelemahan, Tuhan meminta kita jangan menghina, menginjak-injak, atau memaki-maki mereka.

  2. Yang kedua adalah, anak harus berani untuk memisahkan diri dari orang tua secara emosional dan kalau perlu secara fisik. Artinya begini, adakalanya karena kita sudah menjadi bagian keluarga, kita akhirnya tidak berani untuk pisah atau misalnya mandiri karena kita merasa kita ini harus bertanggung jawab berbuat sesuatu dan sebagainya untuk mereka.

  3. Yang ketiga adalah, anak harus melihat ayah dan ibu secara spesifik sekali.

  4. Anak harus mengampuni. Kita mengampuni bukan berarti tidak mengakui kemarahan kita, kita perlu mengakui luka yang ditimbulkan oleh orang tua kita bahwa kita telah diciderai olehnya.

Kita harus kembali pada Tuhan, orang yang sungguh-sungguh beriman tidak akan mengukur untung rugi dalam menghormati dan memperlakukan orang tua dengan baik.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini perbincangan kami mungkin kami tujukan kepada para remaja dan pemuda, karena kali ini kami akan membahas tentang bagaimana menghadapi orang tua yang tidak lagi berwibawa di mata Anda. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita berbincang-bincang tentang bagaimana orang tua itu membangun wibawanya baik terhadap pasangan hidupnya maupun terhadap anak-anaknya. Dan masalahnya adalah sekalipun orang tua itu berusaha membangun kemungkinan keliru, salah langkah dan sebagainya sehingga di depan mata anak-anaknya mereka atau salah satu dari kedua orang tua itu sudah tidak lagi berwibawa, anaknya berani melawan orang tuanya dan kata-katanya pun tidak di anggap. Nah, sebenarnya akar permasalahannya di mana Pak Paul?

PG : Seperti yang telah kita bicarakan Pak Gunawan, bahwa yang anak-anak akan lihat dan akan dijadikan ukuran untuk menghormati orang tua atau tidak adalah yang pertama kualitas hubungan papa mmanya.

Apakah ayah ibu memiliki hubungan yang baik saling menghormati, saling mencintai, tidak berlaku kasar satu sama lain. Yang kedua adalah perlakuan orang tua terhadap anak apakah adil, apakah sepatutnya, apakah juga orang tua menghormati mereka. Dan yang ketiga adalah integritas hidup orang tua, apakah mereka hidup dengan benar di hadapan Tuhan atau tidak, apakah mereka orang-orang yang hidup munafik tidak sama luar dan dalam dan sebagainya. Nah ketiga hal ini mutlak perlu dilihat oleh anak-anak barulah anak-anak cenderung menghormati orang tua, tapi dalam perjalanan hidup memang adakalanya kita tidak sempurna. Yang saya temukan Pak Gunawan, kebanyakan anak-anak sebetulnya siap untuk menerima orang tua dan memaafkan orang tua kalau orang tua kadang-kadang berbuat kesalahan dalam perlakuannya, dalam disiplinnya kepada anak-anak dan sebagainya. Tapi adakalanya anak-anak akan sukar sekali untuk menerima orang tua, nah saya tidak berbicara tentang kasus di mana memang yang bersalah adalah anak-anaknya, tapi saya bicara di mana yang bermasalah adalah orang tua. Nah, akhirnya anak-anak tidak bisa menerima atau menoleransi orang tua, biasanya karena perbuatan itu di ulang-ulang, yang keliru itu, yang salah itu, baik misalnya cara papa memperlakukan mama, cara mama memperlakukan papa, cara memperlakukan anak yang semena-mena atau hidup mereka yang tidak benar. Nah, hal yang terjadi berulang-ulang akhirnya membuat anak-anak tidak bisa menoleransi dan tidak bisa menerima orang tua, sehingga akhirnya mereka harus menyadari dan menerima fakta bahwa inilah orang tua mereka. Yang berikutnya Pak Gunawan kita harus juga camkan bahwa dengan menjadi orang tua artinya menjadi ayah ibu, tidak berarti mempunyai kedewasaan sebagai orang tua. Kita harus benar-benar berhati-hati di sini, jangan sampai para pendengar yang remaja atau yang pemuda langsung berkesimpulan mama saya, papa saya tidak dewasa, saya yang benar dari dulu. Nah, saya juga tidak mau para remaja, para pemuda yang mendengarkan program ini langsung mengambil kesimpulan yang begitu cepat. Tapi memang saya harus akui adakalanya orang tua bersifat atau bersikap kekanak-kanakan, tidak berarti sewaktu seseorang menjadi orang tua jiwa dan karakternya akan menjadi matang sesuai dengan usia dan tanggung jawabnya. Ada orang tua yang kekanak-kanakan, mempunyai kebutuhan yang bahkan lebih besar dari anak-anak mereka, contoh misalnya kebutuhan untuk disayangi seharusnya 'kan orang tua yang menyayangi anak, memberikan kepada anak kasih sayang. Tapi ada orang tua yang begitu tidak aman dengan dirinya, karena kemungkinan besar, masa lalunya sehingga dia menjadi orang tua yang akan memanipulasi anak untuk senantiasa menyayangi, mengutamakan dia. Kalau anak misalnya mulai merdeka, mulai mandiri, misalkan si orang tua akan memelas, akan membuat anak merasa bersalah meninggalkan dia di rumah sendirian, sehingga anak tidak bisa pergi harus di rumah, jadi di sini yang kekanak-kanakan memang si orang tua. Nah adakalanya itu yang terjadi dan anak-anak terpaksa hidup dalam keadaan seperti ini.
(2) GS : Dalam hal seperti itu Pak Paul, kondisi orang tua sudah sedemikian katakan buruknya di hadapan mata anak itu, apa yang seharusnya anak itu lakukan?

PG : Yang pertama adalah anak-anak perlu melihat dengan jelas, di mana duduk masalahnya sebab apa, ada kecenderungan anak-anak ini akan terjerat di dalam hubungan yang tidak sehat ini sehingga aktu si orang tua berkata engkau tidak sayang kepada papa, engkau tidak sayang kepada mama, engkau kok tega-teganya meninggalkan mama di rumah atau apa, si anak merasa bersalah, si anak merasa ya saya yang jahat, saya yang tidak baik, saya yang harus diam di rumah.

Atau contoh si anak tidak bisa keluar, disimpan di rumah terus, sudah umur 22 tahun tapi tidak keluar rumah, harus pulang sore, tidak boleh pergi dengan teman-teman. Waktu dia mau keluar dengan teman-teman, orang tua langsung memarahinya, nah akhirnya si anak jadi bertanya-tanya saya salah ini ya, saya seharusnya memang di rumah, saya seharusnya memang tidak keluar dengan teman-teman. Nah anak-anak perlu melihat dengan jelas di mana duduk masalahnya, yang lain lagi yang juga klasik, orang tua yang sering bertengkar, terus bertengkar, anak-anak kadang-kadang beranggapan merekalah pokok pertengkaran antara orang tua. Mungkin waktu masih kecil ada peristiwa di mana orang tua bertengkar, dan memang melibatkan si anak, misalkan si anak terlalu nakal atau si anak kurang bertanggung jawab dalam studinya, akhirnya si mama marah, si papa membela ribut besar, mungkin pernah terjadi sekali-sekali. Tapi sebetulnya mereka bertengkar terus-menerus karena memang kualitas hubungan suami istri yang tidak baik, namun si anak karena pernah merasa dia menjadi pokok pertengkaran orang tua akhirnya beranggapan setiap kali orang tua bertengkar pasti salahnya. Jadi apa yang terjadi, si anak merasa dia anak yang tidak baik, karena dialah orang tua menjadi susah hati, apalagi kalau orang tua berkata kenapa kamu membuat susah kami, kamu kenapa begitu jahat pada kami, tidak memperhatikan kami dan sebagainya. Nah, di sini anak-anak perlu melihat dengan pikiran yang jernih di mana duduk masalahnya, tempatkan masalahnya di tempat yang sebenar-benarnya. Kalau memang bukan mereka sebagai anak, tapi pada orang tua, anak-anak harus berkata memang ini masalah mereka. Ada contoh yang klasik misalnya yang terjadi, ada anak-anak yang sampai tidak berani tinggal di luar rumah, karena mereka selalu sadar, kalau dulu keluar rumah orang tua pasti berkelahi, jadi anak-anak harus di rumah terus. Sehingga akhirnya tidak berani keluar rumah dalam pengertian sudah akil balig, umur sudah 30 tahun tidak berani menikah, tidak berani punya pacar, kalaupun punya pacar atau punya istri diharapkan tinggal di rumah; misalnya seperti itu karena harus menjadi penjaga orang tua terus-menerus. Nah saya kira anak-anak harus tempatkan problemnya ini di mana.
IR : Tapi sebaliknya Pak Paul, ada orang tua yang tidak dewasa membuat anak itu justru tidak betah di rumah, tidak kerasan di rumah. Kadang-kadang untuk menghilangkan kejenuhan itu dia naik bus dari ujung kota satu ke kota yang lain, keujung yang satu lagi kemudian dia pulang. Tapi kalau dia di rumah lagi mendapatkan situasi di mana orang tuanya tidak dewasa minta dikasihani terus dia tidak ingin pulang, dia pergi.

PG : Betul, yang tadi pun anak-anak yang di rumah terpaksa di rumah sebetulnya tidak betah di rumah, tapi terpaksa di rumah. Ada yang terpaksa di rumah untuk menjadi pendamai atau terpaksa di rmah karena kehadiran anak-anak setidaknya mencegah orang tua berkelahi atau bertengkar.

Atau sengaja di rumah supaya misalnya ayah tidak memukuli ibu, namun sebetulnya mereka di rumah secara terpaksa, nah kalau bisa mereka ingin keluar. Tapi waktu ingin keluar rasa bersalahnya dibangkitkan kembali sehingga tidak berani keluar, jadi yang berani keluar seperti tadi itu masih lebih bagus.
GS : Masih tersalurkan.

PG : Masih tersalurkan, betul.

GS : Tapi Pak Paul, ada khususnya ini yang mendapat pendidikan iman sejak kecil terus diajarkan untuk menghormati orang tuanya, nah itu kadang-kadang sulit untuk mengekspresikan bagaimana dia harus menghormati orang tuanya. Kepada siapa mereka itu tidak respek, tidak menaruh rasa hormat lagi Pak Paul, padahal 'kan perintah itu jelas hormatilah ibu bapakmu.

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 23:22 , "Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau dia sudah tua." Nah ada dua kata di sini yang pelu diperhatikan, pertama ialah kata mendengarkan.

Nah, mendengarkan dalam pengertian kita tidak semena-mena menutup telinga terhadap apa yang dikatakan oleh orang tua kita, mungkin mereka mempunyai sifat kekanak-kanakan, tapi mereka sebagai manusia yang hidup lebih tua dari kita dan sebagai manusia yang sebetulnya juga mencintai kita sebagai anak mereka pasti memberikan kita sumbangsih. Ada hal-hal yang mereka bisa sampaikan dan kita bisa pelajari dari mereka, jadi betapa buruknya pun orang tua kita, mereka tidak semuanya buruk, tidak seluruh tentang diri mereka itu buruk. Nah, Tuhan meminta kita tetap membuka telinga untuk memberikan kesempatan kepada orang tua memberikan petuah kepada kita. Yang kedua, Tuhan berkata jangan menghina ibumu kalau dia sudah tua, dengarkanlah dan jangan menghina, sebetulnya dua sisi dari satu logam yang sama. Menghina artinya memang mereka salah misalkan, memang mereka punya kelemahan-kelemahan tapi Tuhan meminta kita jangan menghina, menginjak-injak, memaki-maki, itu adalah contoh-contoh menghina, jadi tetap yang Tuhan minta jangan kita menghina mereka. Tapi dalam prakteknya apa yang bisa kita lakukan, tadi saya sudah singgung yang pertama adalah kita mesti jelas tempatkan masalahnya di mana seharusnya berada. Yang kedua adalah kita juga mesti berani untuk memisahkan diri dari orang tua secara emosional dan kalau perlu secara fisik, artinya begini, adakalanya karena kita sudah menjadi bagian keluarga ini, kita akhirnya tidak berani untuk pisah atau misalnya mandiri karena kita merasa haruslah kita ini bertanggung jawab berbuat sesuatu dan sebagainya untuk mereka. Nah, yang saya mau tekankan adalah jangan terlalu berharap bahwa kita akan bisa mengubah mereka, kadang kala saya harus berkata kepada para pemuda atau siapa yang tinggal dalam rumah atau tinggal dengan orang tua yang memang bermasalah berat. Saya harus berkata biarlah orang tuamu mengurus masalah mereka sendiri, sebab mereka sudah hidup dalam masalah ini berpuluhan tahun dan jangan jadikan dirimu korban berikutnya, lebih baik tali ini diputuskan dalam pengertian bukannya tidak menjadi anak lagi, tapi jangan sampai korban ini dilanjutkan yaitu kepada engkau. Karena kalau tidak, engkau akan hidup dalam ikatan yang tidak sehat dan pasti akan mempengaruhi kehidupan keluargamu nanti dengan istri atau dengan suami ataupun dengan anak-anakmu nanti. Jadi langkah kedua adalah kita memang mesti berani mengambil langkah untuk pisah, untuk mandiri dan berkatalah biarkanlah orang tua menyelesaikan masalah mereka, dan saya harus membangun keluarga sendiri sekarang. Memang kedengarannya egois, apalagi kita sebagai orang Kristen rasanya kok tidak seharusnya berkata demikian, tapi kita memang berkewajiban pertama-tama untuk membangun keluarga kita sekarang, yang sudah terjadi dengan orang tua ya sudah terjadi, begitu. Misalnya mama kita sering dipukuli oleh ayah kita dan sebagainya, waktu kita mandiri kita ajak mama untuk pergi dengan kita, tinggal dengan kita biarkan papa tinggal sendiri supaya dia tidak bisa memukuli mama lagi, daripada kita semua masih tinggal di situ misalnya.
GS : Dalam rangka peringatan Tuhan tadi bahwa kita sebagai anak tidak boleh menghina orang tua Pak Paul, yang kita alami sekarang adalah anak-anak kita pendidikannya lebih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari orang tuanya. Sehingga kalau mereka berbicara, kalau anak-anak ini membicarakan sesuatu kadang-kadang tidak pas, orang tua tidak bisa menanggapi dan itu di hadapan mata anak-anak sering kali mengurangi wibawa orang tua, bagaimana pandangan Pak Paul tentang hal ini?

PG : Adakalanya memang masalah ini muncul kalau anak dan papa misalnya bekerja di satu perusahaan yang sama. Anak lebih sekolah tinggi, lebih mengerti sistem managemen yang baru, orang tua misanya ingin mempertahankan managemen yang sudah dipakai sejak seratus tahun yang lalu misalnya.

Nah, memang sering kali menjadi masalah di sini, tapi tetap Tuhan meminta tidak boleh menghina, jadi silakan berbeda pandang, silakan beritahukan yang seharusnya dia kerjakan tapi kalau orang tua tidak setuju dan memang sampai saat ini merekalah empunya perusahaan saya kira anak harus mengikuti. Kalau anak mungkin berkata bagaimana kalau perusahaannya rugi ya biarkan, memang ini adalah keputusan orang tua, biar orang tua melihat sendiri, nah nanti karena dia melihat rugi, ya keliru, dia akan bisa berkata anak saya betul. Tapi justru kalau anak itu misalnya memaki-maki orang tua karena dianggap kolotlah apa dan sebagainya, meskipun rugi, keliru pun orang tua enggan mengakuinya, gengsi. Tapi kalau anak tidak menghina orang tua, hanya memaparkan jalan yang seharusnya dilakukan dia akan lebih berani mengakui keunggulan si anak, dan nanti malahan mendayagunakan si anak.
GS : Apakah cukup bijaksana kalau anak itu memberitahukan kepada orang tuanya entah ayah atau ibunya atau keduanya itu, apa yang dia inginkan orang tuanya itu lakukan untuk dia?

PG : Boleh, silakan kalau memang orang tuanya masih bisa mendengar, kalau tidak bisa mendengarkan lagi karena tidak mampu juga untuk mendengarkan, karena terlalu memikirkan diri mereka sangat eois dan kekanak-kanakan saya pikir tidak perlu terlalu bersemangat memberitahukan kepada orang tua apa yang menjadi kebutuhannya, sebab mungkin tidak bisa didengar malahan menjadi bumerang dipersalahkan oleh orang tua.

Kamu kok tidak bisa melihat orang tua sudah susah, jadi salah lagi ya lebih baik sudah diamkan. Terimalah kondisi orang tua yang memang begini.
GS : Ya memang kadang-kadang agak sulit Pak Paul, kondisinya itu misalnya ada anak yang mengatakan kepada ayahnya, sebenarnya saya itu respek kepada ayah, hormat, menghargai wibawa ayah, kalau ayah mau menceraikan istri yang kedua dan sebagainya dan tinggal bersama kami di rumah ini. Nah, apakah permintaan seperti itu cukup wajar, Pak Paul? 'Kan ini ayahnya sudah terlanjur punya istri kedua dan sebagainya, si anak ini tidak bisa respek kepada orang tuanya terutama ayahnya karena punya istri kedua dan dia merasa ibunya yang menjadi korban, diapun menjadi korban.

PG : Nah ini membawa kita kepada point yang ketiga Pak Gunawan, tadi saya katakan point pertama adalah kita tempatkan duduk masalahnya dengan jelas dan yang berikutnya adalah kita memisahkan dii dari problem orang tua dan yang ketiga adalah kita harus melihat ayah dan ibu kita ini secara spesifik sekali.

Sebab kita tidak bisa dengan mudah seolah-olah melabelkan papa mama baik atau tidak baik, tidak bisa, jadi dalam kasus seperti ini kita harus melihat seolah-olah ayah ibu kita itu terdiri dari kepingan-kepingan, kepingan-kepingan sifat kualitas atau perbuatan. Lihatlah dengan jelas perbuatan, sifat atau sikapnya yang tidak benar sekaligus lihatlah yang juga benar. Jadi point yang ketiga adalah untuk tetap berhadapan atau berhubungan dengan orang tua yang bermasalah carilah hal-hal yang memang tetap masih bisa kita hormati dan yang baik, dan hormatilah mereka untuk hal-hal tersebut. Sebab jalan yang sering kali ditempuh oleh anak-anak adalah ekstrim, ada anak-anak yang membela buta orang tuanya, orang tua salah seperti apapun pokoknya dia bela buta, dia akan menjaga kehormatan keluarganya, nah itu juga keliru. Tidak bisa melihat kelemahan orang tua atau ada anak yang membuang orang tuanya sama sekali, orang tua yang jahat, tidak baik, yang buruk nah saya kira kita perlu di tengah dalam pengertian melihat jelas setiap perbuatan, kelakuan atau sifat sikapnya. Adakah yang baik, adakah yang memang sangat menunjang kita dulu, yang kita hargai, di situlah kita menghargai mereka, di situlah kita menghormati mereka.
GS : Tapi biasanya memang khalayak masyarakat itu bisa menerima Pak Paul, kalau anaknya tidak menghormati orang tua karena ulah dari orang tuanya sendiri, masyarakat itu masih bisa menerima. Ada anak yang sampai ketika ayahnya meninggal dia tidak mau hadir pada saat penutupan peti maupun pemakamannya, karena ayahnya sudah menyakiti hati dia, dan dia sama sekali tidak respek terhadap ayahnya. Tapi kalau itu kita kaitkan dalam kehidupan kekristenan 'kan sangat bertentangan Pak Paul, orang sudah mati masih dibenci, dendamnya itu kok sampai segitu Pak Paul, seolah-olah tidak ada pengampunan sama sekali.

PG : Ini membawa kita ke point berikutnya Pak Gunawan, yaitu pada akhirnya tidak bisa tidak kita harus mengampuni. Kita mengampuni bukan berarti tidak mengakui kemarahan kita, kita perlu mengaki luka yang ditimbulkan oleh orang tua kita bahwa kita telah diciderai olehnya.

Dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu ada yang cacat oleh karena orang tua, namun setelah kita akui luka yang ditimbulkan, kita akui kemarahan kita bahwa kita memang marah mendapatkan perlakuan seperti itu, langkah selanjutnya memang harus mengampuni. Sebab tetap kalau kita kembali kepada Tuhan, Tuhan selalu memisahkan orang dari perbuatan memang susah sekali, karena antara orang dan perbuatan memang menyatu. Tapi Tuhan mencintai orang berdosa dan membenci dosa, jadi kita juga akan diminta Tuhan pada akhirnya untuk sampai ke situ, tapi sekaligus saya juga akan menekankan silakan marah, silakan menangis karena cidera-cidera yang telah ditimbulkan oleh orang tua. Namun sekaligus ampuni mereka, ya nanti bisa marah silakan, tapi setelah itu coba ampuni lagi, jadi memang langkah yang terakhir menghadapi orang tua yang bermasalah, kita akhirnya tetap harus berlutut dalam doa dan mengampuni mereka.
GS : Memang biasanya anak itu hormat atau menaruh hormat kepada orang tuanya ketika orang tuanya itu masih kuat, masih punya penghasilan dan sebagainya. Tetapi kalau anak itu mulai merasa bahwa orang tuanya itu menjadi beban, rasa hormat itu lama-lama luntur, dia mengharapkan orang tuanya yang menghormati dia sekarang, karena seolah-olah orang tua ini yang bergantung pada dia Pak Paul.
IR : Itu apa karena sikap egois Pak Paul?

PG : Bisa egois, tapi mungkin juga bisa karena sikap manusia yang berdosa, yaitu kita cenderung mengukur dari segi keuntungan. Nah, waktu kita merasa kita yang memberi keuntungan kepada orang ta, seolah-olah orang tua yang harus berterima kasih kepada kita dan menghormati kita.

Dan memang dunia ini diukur oleh nilai sistem material, kita harus akui itu sehingga yang beruang yang berkuasa, yang beruang yang mempunyai kehormatan. Jadi kadang-kadang orang tua pun terjebak dalam sistem itu, anak yang kaya lebih dihormati, menantu yang kaya lebih disanjung-sanjung, yang kurang, kurang diperhatikan.
IR : Tapi juga harus kembali pada Tuhan ya, kalau orang yang sungguh-sungguh beriman mungkin tidak mengukur untung rugi Pak Paul?

PG : Betul, jadi anak-anak yang mempunyai orang tua bermasalah akhirnya ditantang, ini kesimpulannya Pak Gunawan, ditantang apakah akan hidup bermasalah atau hidup benar, dan pada akhirnya ada ua pilihan.

Dan pilihan ini tanggung jawab anak-anak, pada titik terakhir anak-anak tidak bisa berkata saya begini karena orang tua seperti itu, tidak bisa. Sebab sekarang setelah dewasa anak-anak memiliki pilihan untuk hidup benar atau untuk hidup bermasalah seperti orang tua. Jadi tetap pilihan yang seharusnya adalah hidup benar, hidup berintegritas meskipun orang tua dulu tidak berintegritas atau tidak benar.
GS : Tetapi di dalam memilih, justru itu yang sulit Pak Paul untuk merealisasikan, karena rasa hormat itu sudah tidak ada.

PG : Meskipun tidak ada lagi, tadi yang berikutnya yang saya tekankan adalah carilah yang positif, yang baik, tetap dia harus memilih hidup benar, dia harus tidak tunduk pada masa lalunya. Jangn sampai dia meneruskan masalah yang sama itu.

GS : Mungkin dia harus lakukan karena mungkin Tuhan yang memerintahkan dia untuk melakukan itu Pak Paul ya.

PG : Seperti firman Tuhan katakan bahwa setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia tidak bisa berkata di Sorga nanti: "Tuhan, saya begini, karena papa saya dulu begini, tidak bisa.

Jadi titik akhirnya adalah kepada siapakah kita harus bertanggungjawab dan jawabannya kepada Tuhan.
IR : Jadi masing-masing harus bertanggungjawab Pak Paul, segala sikap dan perbuatan yang dilakukan?

PG : Betul, waktu dia terus hidup di dalam masa lalunya dan menyalahkan orang tua, dia menjadi seperti orang tua yang kekanak-kanakan.

GS : Dan kesalahan itu akan berulang kembali, padahal kita terpanggil untuk memutuskan hal-hal yang tidak benar seperti itu dan berjalan pada jalan kebenaran firman Tuhan.

PG : Betul.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana kalau kita berhadapan dengan orangtua yang di mata kita sudah tidak berwibawa lagi. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET 46 B

  1. Apakah yang melatarbelakangi orangtua kehilangan wibawa...?
  2. Apa yang harus dilakukan seorang anak dalam menghadapi...?
  3. Apa yang harus dilakukan seorang anak dalam menghadapi orangtua yang demikian...?


12. Pengaruh Ejekan atau Olokan Terhadap Perkembangan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T050B (File MP3 T050B)


Abstrak:

Pada dasarnya ejekan teman berdampak lumayan terhadap perkembangan jiwa si anak. Dan hal ini cenderung membuat anak memiliki perasaan minder.


Ringkasan:

Besar kecilnya pengaruh olok-olok atau ejekan terhadap perkembangan anak memang tergantung pada beberapa faktor, namun pada dasarnya ejekan teman sangat berdampak terhadap perkembangan jiwa si anak.

Amsal 12:18 , "Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang."

Dampak ejekan atau olokan bergantung pada beberapa faktor yaitu:

  1. Idealnya sebelum anak-anak masuk ke sekolah kira-kira 4, 5 tahun pertama dalam kehidupannya, anak itu mendapatkan kasih sayang yang kuat dari orang tuanya dan menerima tanggapan-tanggapan positif dari orang tuanya tentang keberadaan dirinya. Sehingga waktu dia masuk ke kancah sekolah pada usia 5, 6 tahun, sedikit banyak dia sudah menerima bekal dari orang tua yang mengatakan kepada dirinya bahwa dia adalah seorang manusia yang berharga. Dengan bekal itulah dia memasuki pergaulan sosial yang lebih luas daripada di rumah, yakni di sekolah.

  2. Yang berbahaya adalah kalau anak tidak mendapatkan bekal dari orang tua, dia justru sering merasa dirinya tidak berharga karena tidak dikasihi, kurang diperhatikan. Kalau di sekolah mendapatkan ejekan-ejekan yang menyakiti hati seperti itu, itu benar-benar menjadi suati vonis kebenaran bahwa dirinya adalah memang seperti hewan, seperti babi, seperti kerbau, dan sebagainya. Akhirnya konsep dirinya langsung terpengaruh oleh label-label yang telah diterimanya dari teman-temannya itu.

  3. Biasanya anak akan malu sekali karena ditertawai oleh teman-teman, selain dari malu anak juga merasa sakit hati.

Anak-anak cenderung untuk takut sekali bercerita kepada orang tua, kalau orang tua itu bersikap dua ekstrim:

  1. Anak akan takut dan enggan bercerita kalau orang tua tidak menunjukkan perhatian. Mereka akan berpikir daripada bercerita orang tua tidak menanggapi, lebih baik dia tidak usah bercerita.

  2. Orang tua yang terlalu protektif juga bisa memadamkan keinginan anak untuk bercerita kepadanya, karena seolah-olah orang tuanya itu seperti Srikandi atau pendekar. Si anak tahu kalau saya cerita, mama akan datang ke sekolah seperti pendekar membawa pedang dan akan siap membabat anak-anak yang mengejek saya. Dia akan ketakutan sebab dia takut masalahnya bertambah runyam.

Ada orang tua yang memberi tekanan bahwa bagaimanapun juga anak ini adalah karunia Tuhan jadi diciptakan oleh Tuhan suatu ciptaan Tuhan yang pasti akan dihargai oleh Tuhan sendiri. Inilah yang perlu kita komunikasikan kepada anak dan yang penting sejak kecil orang tua memang harus mempunyai komunikasi yang akrab.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Pengaruh Ejekan atau Olokan terhadap Perkembangan Anak." Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kalau kita mempunyai anak yang masih kecil tentu kita akan sayang kepada mereka dan kita panggil dengan nama yang baik; tentunya supaya dia bangga dengan namanya. Tetapi masalahnya timbul ketika anak ini mulai bersosialisasi keluar rumah dan sekolah. Sering kali kita mendengar sendiri, anak kita itu diolok-olok entah karena fisiknya, entah karena tingkah lakunya, dengan ucapan-ucapan yang kadang kita sebagai orang tua mendengarnya itu sakit hati Pak Paul, karena anak yang demikian baik, diolok-olok seperti itu. Sebenarnya pengaruhnya besar atau tidak olokan itu terhadap perkembangan anak ini?

PG : Besar kecilnya memang tergantung pada beberapa faktor Pak Gunawan, namun memang pada dasarnya ejekan teman berdampak lumayan terhadap perkembangan jiwa si anak. Saya kira anak-anak ini memng bisa kejam dalam mengolok-olok sesama temannya, dan saya mengingat firman Tuhan di Amsal 12:18 berkata: "Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang," memang ada orang-orang yang senang mengejek teman supaya justru hatinya disenangkan oleh ejekan.

Saya masih ingat waktu saya bekerja di rumah sakit jiwa, ada pasien yang menderita gangguan yaitu merasa sangat minder sekali dan salah satu hal yang dia katakan adalah sejak kecil dia dikata-katai orang, nah dalam hal ini karena dia gemuk dikata-katai orang gendut-gendut, gembrot dan sebagainya. Jadi ejekan-ejekan yang menertawakan fisiknya biasanya itu akan berdampak pada si anak, dan juga anak yang dikatai dengan julukan-julukan hewan, nah biasanya yang akan lebih terkena adalah anak-anak perempuan. Pada umumnya anak-anak perempuan itu tatkala memasuki usia remaja akan sangat peka dengan penampilan fisiknya, karena memang tidak bisa disangkal bahwa masyarakat atau teman-teman sejawatnya akan menyoroti penampilan fisik seorang gadis. Oleh karena itulah ada kecenderungan anak-anak remaja yang wanita mengalami krisis konsep diri pada masa remaja, karena salah satu penyebabnya itu, dia tahu dia akan dinilai berdasarkan penampilan fisik jadi harus tampil menarik. Nah apa yang terjadi kalau dia tak menarik, dia akan menerima julukan atau ejekan yang seperti tikaman pedang, yang bukan saja menusuk hatinya tapi juga merobek penilaian dirinya yang positif menjadi negatif.
GS : Tapi bukankah sudah menjadi sifat anak-anak Pak Paul, dalam keriangan mereka, sebetulnya mereka tidak terlalu serius, mengolok dan diolok begitu Pak Paul?

PG : Betul, tadi Pak Gunawan bertanya sampai berapa besar dampaknya, nah dampak itu memang bergantung pada beberapa faktor, Pak Gunawan. Faktor yang pertama adalah idealnya sebelum anak-anak mauk ke sekolah jadi kira-kira 4, 5 tahun pertama dalam kehidupannya anak itu mendapatkan kasih sayang yang kuat dari orang tuanya dan menerima tanggapan-tanggapan positif dari orang tuanya tentang keberadaan dirinya.

Sehingga waktu dia masuk ke kancah sekolah pada usia 5, 6 tahun sedikit banyak dia sudah menerima bekal dari orang tua, bekal yang mengatakan kepada dirinya bahwa dia adalah seorang manusia yang berharga. Waktu dia dicintai, waktu dia diperhatikan, tidak bisa tidak yang dia terima adalah suatu keyakinan bahwa dia seseorang yang berharga, begitu berharganya sehingga orang tua meluangkan waktu untuk mengasihi dan memperhatikannya. Dengan bekal itulah dia memasuki pergaulan sosial di rumah yakni sekarang di sekolah, waktu teman-teman mulai mengejek-ejeknya, ejekan itu tentu akan tetap menyakiti hatinya namun bekal dari rumah itu yang dia terus-menerus juga alami seiring dengan perkembangan usianya akan menjadi seperti tameng yang menolong dia melawan atau tidak menerima ejekan dari teman-temannya. Yang berbahaya adalah kalau anak ini tidak mendapatkan bekal dari orang tua, dia justru sering merasa dirinya tidak berharga karena tidak dikasihi, kurang diperhatikan, terus di sekolah mendapatkan ejekan-ejekan yang menyakiti hati seperti itu. Nah ejekan itu benar-benar menjadi suatu vonis kebenaran bahwa engkau adalah memang seperti kerbau, seperti hewan, seperti babi dan sebagainya. Nah akhirnya konsep dirinya langsung akan menjiplak label-label yang telah diterimanya dari teman-temannya itu.
GS : Kalau dalam hal ini Pak Paul, kita tidak bisa melarang anak orang lain untuk mengolok-olok anak-anak kita itu, sekalipun dia sudah dibekali di rumah sebelum dia sekolah tapi ketika diejek biasanya apa reaksi anak itu, Pak Paul?

PG : Anak biasanya malu, malu sekali karena dia ditertawakan oleh teman-teman, selain dari malu anak juga merasa sakit hati. Namun sekarang masalahnya adalah ada anak yang bisa membalas, nah kaau dia mempunyai kekuatan tertentu terus mempunyai kelompok teman-teman tertentu dan dia lumayan percaya diri dia akan membalas ejekan tersebut atau dia akan tidak mengakui ejekan tersebut.

Dengan berkata saya tidak begini, kamu yang begini dan sebagainya, nah perlawanan itu sedikit banyak akan menolongnya, akan melindunginya. Yang kasihan adalah kalau ini terjadi pada anak yang tidak berdaya melawan, nah anak-anak tidak semua sama, tapi anak-anak yang lebih aman adalah anak yang mempunyai banyak kesamaan dengan teman-teman sejawatnya. Yang lebih merepotkan adalah kalau memang dia itu lebih banyak kelainannya atau perbedaannya dibandingkan dengan kesamaannya, karena apa, anak-anak yang sama akan berkelompok dan menyudutkan yang paling berbeda itu. Dan yang berbeda sendirian tidak akan mampu untuk melawan kelompok teman-temannya yang mengeroyoknya itu, nah pada kasus seperti ini biasanya si anak akan mengalami tekanan yang luar biasa. Namun sering kali anak-anak pada usia misalnya 8, 9 tahun sampai 12, 13 tahun apalagi remaja jarang memberitahukan orang tua, kebanyakan dia simpan sendiri.
GS : Alasannya apa, Pak Paul?

PG : Saya kira salah satu alasannya adalah begini, dia sudah diejek-ejek berarti dia itu sudah diperlakukan sebagai pihak yang lemah oleh teman-temannya dan dia pun tahu dia lemah karena dia tau dia lemah karena dia tidak melawan keroyokan dari teman-temannya.

Kalau dia pulang mengadu pada mamanya, mamanya datang besok ke sekolah membela dia, hari lusanya dia makin diejek-ejek karena dia merasa dirinya benar-benar seperti anak mama yang makin melemahkan di hadapan teman-temannya. Jadi sering kali dalam posisi terjepit seperti ini si anak merasa tertekan luar biasa tidak bisa mengadu ke rumah tapi tidak berdaya melawan keroyokan teman-temannya.
IR : Nah untuk mengatasi itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Yang menjadi masalah adalah anak-anak ini sering kali tidak cerita Ibu Ida. Saya ingat suatu kisah yang positif di mana anak itu bercerita, ini dikisahkan oleh seorang pendeta memang dia brmukim di Amerika namanya pendeta Bill Halburst.

Suatu malam dia itu sedang bersiap-siap nonton acara televisi kegemarannya, tatkala dia sedang mau turun menonton dia melihat putranya sedang murung dan hanya tiduran di atas ranjang. Kemudian dia bertanya kepada si anak, kenapa kamu murung sekali, si anak diam tidak menjawab jadi akhirnya dia memutuskan untuk membaringkan diri di sebelah si anak itu. Dia tanya lagi ada apa, si anak tetap murung tidak mau cerita, nah pendeta Bill Halburst mulailah mengalami konflik di sini, terus menemani si anak yang tidak mau diajak bicara atau turun menonton acara televisi kegemarannya. Dia sangat berdebat turun nonton atau jangan sebab si anak juga tidak mau diajak ngomong, tapi akhirnya dia memutuskan tidak jadi nonton, dia tetap membaringkan diri di sebelah si anak. Setelah itu dia hanya diam membaringkan diri, tidak lagi bertanya, tiba-tiba si anak menoleh kepadanya dan setengah berteriak berkata: "Tadi di sekolah teman saya mengejek saya," nah saya lupa ejekannya apa. Tapi setelah dia berkata begitu si anak menangis terisak-isak dengan sedihnya. Nah di situlah pdt. Bill Halburst berkesempatan menghibur si anak, menguatkan si anak. Memang dalam cerita tersebut pdt. Bill Halburst harus memberikan prioritas kepada anak-anaknya, tapi intinya pada saat itu si anak memang terbuka, nah kenapa terbuka karena si orang tua menyediakan dirinya. Anak cenderung akan takut sekali bercerita kepada orang tua, kalau orang tua itu bersikap dua hal yang ekstrim. Pertama anak akan takut dan enggan bercerita kalau orang tua itu tidak menunjukkan perhatian, nah daripada bercerita orang tua tidak menanggapi, lebih baik tidak perlu cerita. Bagaimana menunjukkan kesungguhan tersebut, ya orang tua bisa mengajak bicara anak pada kesempatan-kesempatan yang muncul, menanyakan tentang keberadaan si anak di sekolah, dalam pergaulan dan sebagainya meskipun tidak terlalu sering. Nah itu menunjukkan kesungguhan orang tua atau kesanggupannya untuk mendengarkan si anak. Tapi ada reaksi orang tua yang kedua, yang juga bisa memadamkan keinginan anak untuk bercerita kepadanya, yang kedua adalah orang tua yang terlalu protektif, jadi seolah-olah orang tuanya itu seperti Srikandi, pendekar. Dan si anak tahu kalau saya cerita, mama akan datang seperti pendekar ke sekolah membawa pedang dan akan siap membabat anak-anak yang mengejek saya. Nah dia akan ketakutan juga, sebab dia takut masalahnya tambah runyam nanti, begitu.
(2) GS : Ada orang tua yang mengatakan tidak usah dianggap, teman-temanmu itu cuma main-main saja, tanggapan seperti itu bijaksana atau tidak, Pak Paul?

PG : Saya kira yang bijaksana adalah mengakui bahwa itu melukai hati si anak, nah tahunya bagaimana, orang tua harus bertanya, bagaimana perasaanmu sewaktu dia berkata hal itu kepadamu. Nah ana akan berkata ya saya tidak mau dia berkata begitu dan orangt ua bisa bertanya, kamu marah, ya; terus bisa bertanya juga kamu sedih, ya; kamu malu juga, ya.

Nah waktu kita bertanya dan mengadakan konfirmasi bahwa si anak memang terluka, kita memberikan rasa pengertian kita dengan berkata saya mengerti atau mama papa mengerti engkau pasti sakit hati dan memang orang tidak boleh berkata-kata seperti itu kepada siapapun. Itu perkataan yang sangat menusuk hati orang dan dia harus menyadari hal itu, nah kita bisa berkata seperti itu, misalkan kita melihat anak kita di keroyok, apa yang harus kita lakukan, kita bisa bertanya kepada anak apa yang bisa kita lakukan, biar anak memberitahu kita. Nah kita bisa menawarkan bantuan kita, kita bisa berkata: "Perlu tidak papa sama mama ke sana untuk bicara dengan teman-temanmu?" Kalau dia berkata dengan cepat: "Jangan, mama jangan datang nanti mereka akan tambah mengejek saya," sudah dan kita berkata: "OK! Mama tidak akan datang sebab mama percayakan kamu untuk menghadapinya tapi di rumah kalau kamu cerita, silakan cerita pada mama." Nah dengan kesepakatan itu si anak lain kali lebih mempunyai keberanian bercerita pada orang tuanya.
IR : Jadi harus menanyakan dulu atau menawarkan ya Pak Paul, sebab kasihan kalau anak itu lemah tidak dibela akan sakit terus-terusan.

PG : Entah mengapa di dalam kelas selalu ada satu, dua anak yang ditunjuk sebagai sasaran ejekan. Saya melihat setiap kelas tidak pernah kosong dan di situlah kita bisa melihat bahwa manusia bedosa bahkan sejak kecil.

Dia tahu itu menyakiti hati orang, tapi demi kesenangan bersama tetap diejek-ejek, tetap diolok-olok seperti itu.
GS : Pak Paul, seandainya ejekan atau olokan itu tadi tidak mendapatkan tanggapan yang positif, artinya anak tidak dibekali di rumah dan diapun juga tidak berani melawan anak ini, pengaruhnya apa untuk kehidupan dia selanjutnya?

PG : Dia melihat dirinya dengan negatif bahwa dia adalah orang yang jelek, tidak menarik, seburuk itulah seperti yang dikatakan teman-temannya, dengan kata lain, dia akan mempercayai olokan temnnya.

Nah di sinilah orang tua harus berfungsi, sebab orang tualah yang bisa menetralisir ejekan tersebut supaya ejekan itu tidak menjadi bagian konsep diri si anak tentang siapa dirinya. Kalau orang tua tidak masuk di sini, takutnya anak akan memasukkan yang mengintegrasikan olokan tersebut sebagai bagian dari dirinya, dia adalah orang yang jelek, tidak menarik sehingga akan benar-benar menghancurkan kepercayaan dirinya nanti, terutama dalam kaitan dengan lawan jenisnya dia akan menjadi orang yang takut dan tidak percaya diri.
GS : Apakah mungkin yang terjadi sebaliknya Pak Paul, dia akan membuktikan bahwa dia tidak seperti yang dikatakan oleh teman-temannya?

PG : Kebanyakan anak yang akan membuktikan, yang bereaksi dengan gagah adalah anak yang memang sudah gagah, memang dia sudah mempunyai keyakinan diri yang lumayan baik. Tapi justru untuk anak yng lemah, ejekan-ejekan itu benar-benar akan merusakkan dia.

GS : Dan itu akan terbawa terus sampai dia dewasa?

PG : Mungkin tidak sampai dewasa, tapi sekurang-kurangnya sampai masa usia remaja, nah mudah-mudahan setelah dia usia remaja akan terjadi perubahan, baik perubahan fisiknya misalnya dia menjadigemuk sekarang makin kurus makin ramping, wajahnya dulu kurang menarik sekarang makin hari semakin menarik dan sebagainya.

Atau perubahan lingkungan di mana lingkungannya yang baru, di sekolah yang baru misalnya lebih menerima dia, jadi perubahan-perubahan itu akan menolong. Nah hal lain juga yang penting adalah pertumbuhan rohaninya, sebab tatkala dia bertumbuh dalam Tuhan, mengerti siapa dirinya dalam Tuhan dan mendapatkan kekuatan dari firman Tuhan, apalagi penerimaan yang hangat dari rekan-rekan segerejanya itu akan menetralisir olokan-olokan yang pernah dia dengar dulu.
(3) GS : Nah, bagaimana kalau olokan atau ejekan itu justru terjadi di dalam rumah, dilakukan oleh saudaranya atau bahkan oleh orang tuanya, yang mengolokkan bodoh atau apa bukankah itu bisa terjadi Pak Paul dalam sebuah rumah tangga?

PG : Betul.

GS : Beberapa waktu yang lalu kita sudah membahas tentang Yusuf, Yusuf itu selalu diolok-olok sebagai pemimpi kalau tidak keliru.

PG : Ya, kalau terjadi dalam rumah Pak Gunawan, sudah tentu efeknya lebih pribadi, efeknya akan lebih masuk ke dalam, benar-benar lebih memberikan dampak yang negatif. Sebab kalau terjadi di seolah saja dia lemah tak berdaya, setiap hari dia ke sekolah, dia sebetulnya merasa tertekan, tapi dia masih bisa berkata jam 12.00

saya pulang atau jam 3.00 saya pulang dan saya tidak usah bertemu dengan teman-teman itu. Atau dia masih bisa berkata ada teman-teman yang masih menerima saya, namun kalau di rumah, ini yang susah dia tidak bisa lagi melarikan diri dari rumah sebagai anak kecil, dia terpaksa mendengarkan kata-kata yang dilontarkan oleh ibu atau bapaknya atau kakaknya dan sebagainya, dampaknya lebih menghancurkan dia. Tapi manusia itu memang lentur Pak Gunawan, manusia itu tidak hanya terdiri dari satu sisi, jadi dalam anugerah Tuhan, bisa saja seperti ini, di rumah tidak mendapatkan dukungan malah dihina, tapi di sekolah justru diterima dan mendapatkan pengakuan atau keberhasilannya secara akademik dan sebagainya. Nah itu sedikit banyak akan menetralisir. Nah anak-anak yang di rumah mendapatkan banyak tekanan atau penghinaan, sedangkan di luar mendapatkan pengakuan dan penerimaan, hampir dapat dipastikan pada waktu dia remaja dia mulai akan jarang berada di rumah, dia akan habiskan kebanyakan waktunya di luar rumah. Karena di situlah ia mendapatkan rumah yang sesungguhnya.
GS : Mungkin memanggil anak yang paling tepat dengan namanya itu Pak Paul, supaya tidak terjadi salah tafsir atau apa.

PG : Betul, anak-anak itu peka, kita harus selalu sadari dan jangan beranggapan bahwa perasaan anak sama dengan perasaan orang tua, kadang kala orang tua berpikir seperti itu. Orang dewasa suda memiliki kemampuan berasionalisasi atau kemampuan menjelaskan suatu peristiwa, suatu keadaan yang abstrak, anak-anak belum bisa.

Jadi waktu dikatai atau dipanggil-panggil dengan olok-olokan yang menggelikan tapi sebetulnya merendahkannya dia tidak bisa menjelaskan itu, dia hanya bisa menerimanya. Kalau orang dewasa bisa berkata o... tidak begitu, buat apa saya dengar, habis perkara, anak-anak tidak bisa berdalih seperti itu. Apalagi usia-usia di bawah 12 tahun di mana daya pikiran abstraknya masih lemah, dia terpaksa menerima apalagi yang memanggil orang tua sendiri. Yang dia percayai sebagai orang yang paling tahu kebutuhannya dan yang membesarkannya, jadi dia akan menerima itu sebagai suatu kebenaran.
IR : Tapi kalau itu sifatnya senda gurau misalnya kalau anak kecil makannya terlalu lama kamu itu seperti 'mak; moh bukan, bukan mak, begitu bagaimana?

PG : Kalau dia memang menunjukkan sikap tidak suka, saya kira jangan diulang lagi. Sebab sekecil apapun anak-anak itu sudah bisa meminta penghargaan, waktu kita tidak melakukannya lagi, dia tah dia dihargai.

Kecuali memang untuk atau dalam kasus-kasus yang bercanda secara jarang-jarang dan diapun juga menolaknya secara bercanda, nah itu lain tidak apa-apa. Sebab dia tahu kita tidak memanggilnya seperti itu. Yang berbahaya adalah yang mengejek dengan nada sinis atau untuk mengatai dia, untuk menekankan bahwa engkau itu seperti itu bodohnya dan sebagainya, itu yang berbahaya, itu benar-benar akan membuat anak sangat terhina.
GS : Tapi olokan di antara saudara kandung atau apa, biasanya itu terjadi karena iri hati Pak Paul, seperti kasusnya Yusuf itu. Tapi itu sampai sekarang pun seperti itu, misalkan kakaknya iri terhadap adiknya dia memanggil adiknya itu dengan olokan atau sebaliknya, jadi menutupi rasa irinya tadi dengan olokan, nah itu sebagai orang tua harus bersikap apa?

PG : Kalau memang itu akan berdampak, kita tahu itu menyakiti hati anak kita, kita harus memarahi, kita harus memberitahu kepada si kakak atau si adik, tidak boleh mengolok seperti itu lagi. Na waktu mereka mengulangnya kita patut memarahi.

Jadi kita membela yang ditindas, yang lemah itu, saya kira itu yang penting, sehingga si anak merasa bahwa dia memang dihargai.
GS : Memang kita harus hati-hati menggunakan kata-kata kita, Pak Paul?

PG : Betul, karena memang sekali lagi anak-anak itu peka dan saya mau tekankan bahwa anak membentuk konsep dirinya melalui informasi yang dia dengarkan dari orang lain. Jadi anak-anak itu waktulahir tidak memiliki informasi tentang siapa dia, informasi tersebut dia peroleh dari lingkungannya, teman-teman atau orang tua atau kakak adiknya.

Nah dari informasi tersebutlah dia mulai membentuk gambar atau membentuk konsep siapa saya, jadi yang akan masuk tidak bisa tidak olokan juga masuk itu menjadi bagian dari dalam konsep dirinya. Namun kalau memang dia mempunyai banyak kekuatan dan dukungan dia akan bisa menetralisir yang negatif tersebut dan hanya mempertahankan yang positif. Tapi kalau dalam dirinya kurang dukungan orang tua yang bisa memahami dan menerimanya, serangan dari luar itu dengan kuat menguasai konsep dirinya, dan itu akan melumpuhkan keyakinan dirinya di kemudian hari.
GS : Ada orang tua yang memberi tekanan bahwa bagaimanapun juga anak ini adalah karunia Tuhan, diciptakan oleh Tuhan, suatu ciptaan Tuhan yang pasti akan dihargai oleh Tuhan sendiri ya Pak Paul?

PG : Betul, itu yang perlu kita komunikasikan kepada anak dan yang penting sejak kecil orang tua memang harus mempunyai komunikasi yang akrab dengan anak. Dan sekali-sekali bertanya, apakah temn-temanmu mengolokmu, pernah tidak mereka meledekmu atau apa sejak usia kecil, sehingga dari usia kecil dia mulai berani berbicara dan dia tahu kita tidak akan merugikannya atau mempermalukannya di depan teman-temannya.

Sehingga dia merasa aman dan mulai cerita sebab meskipun dia diolok di sekolah, kalau di rumah dia bisa bercerita dan mendapatkan pil penawar dari orang tua, itu benar-benar akan menawarkan ya, akan menetralisir dampak negatif yang dia terima dari sekolah.
GS : Dan di situ memang dibutuhkan pengorbanan orang tua baik dalam hal waktu maupun perhatiannya Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Jadi saya rasa kita semua pasti mengharapkan anak-anak kita bertumbuh dengan baik menghadapi ejekan dan sebagainya itu dengan kita memberikan respons yang positif terhadap anak-anak kita, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang pengaruh ejekan atau olokan terhadap pertumbuhan anak. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilahkan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 50 B

  1. Seberapa besar dampak atau pengaruh olokan terhadap perkembangan anak..?
  2. Tindakan bijaksana apakah yang perlu dilakukan orangtua terhadap olokan yang dialami anak....?
  3. Apa dampaknya kalau olokan itu justru muncul di rumah oleh orangtua atau saudaranya..?


13. Orangtua Tunggal


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T057A (File MP3 T057A)


Abstrak:

Orangtua tunggal terjadi akibat adanya beberapa hal di antaranya karena pasangan yang meninggal, pasangan pergi jauh, atau pun perceraian. Dan hal ini sangat berakibat atau berpengaruh bagi keluarga tersebut terutama berpengaruh pada anak.


Ringkasan:

Beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya orang tua tunggal adalah:

  1. Jikalau pasangan hidup kita meninggal dunia, otomatis itu akan meninggalkan kita sebagai orang tua tunggal.

  2. Jika pasangan hidup kita meninggalkan kita atau untuk waktu yang sementara namun dalam kurun yang panjang. Misalkan ada suami yang harus pergi ke pulau lain atau ke kota lain guna mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.

  3. Yang lebih umum yakni akibat perceraian.

Dari ketiga kasus di atas yang memungkinkan terjadinya orang tua tunggal, sebenarnya yang berdampak paling negatif ialah perceraian. Dan yang juga sama negatifnya, kalau salah seorang dari orang tua kita itu harus mendekam di penjara.

Pada dasarnya kehilangan figur ayah atau ibu dalam rumah tangga pasti membawa akibat pada pertumbuhan anak-anak dan juga pada yang ditinggalkan itu.

Ada beberapa akibat langsung yaitu:

  1. Yang pertama ialah hilangnya interaksi langsung dari orangtua. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan si anak, karena si anak sebetulnya sangat memerlukan pembicaraan, tukar pikiran, dialog dengan si ayah. Dia juga harus mendapatkan banyak informasi atau bagaimana menjdi seseorang dalam hal ini seorang pria dari figur si ayah.

  2. Yang kedua adalah hilangnya kesempatan untuk meneladani perilaku atau sikap orangtua yang tidak ada lagi. Anak belajar bukan saja dari pembicaraan yang dilakukannya dengan orang tua, tapi anak terutama belajar dari apa yang dilihatnya.

  3. Yang ketiga, orang tua yang tertinggal atau yang hidup bersama si anak akan kehilangan kesempatan untuk berdiskusi dalam pengambilan keputusan dan ia pun akan memiliki kebutuhan emosional yang besar akibat kesendiriannya itu.

Dalam kasus kedua orang tua hilang dalam sekejab atau mendadak, misalnya karena kecelakaan, itu dampaknya akan lebih parah bagi si anak. Waktu kedua orang tua tidak ada lagi, yang direnggut pergi darinya adalah keamanannya.

Dalam hal seperti ini yang perlu kita lakukan adalah

  1. Yang pertama, bisa kita sampaikan adalah bahwa hidup ini tidak hanya di bumi.

  2. Yang kedua, tekankan bahwa kita akan hidup bersama Tuhan di Sorga. Hidup bersama di Sorga adalah hidup yang jauh lebih baik dari hidup di masa sekarang ini di bumi.

  3. Yang berikutnya kita juga harus menekankan bahwa hidup ini sementara, bahwa kita tidak akan selalu bersama dia, dan kita tidak mengetahui kapan kita akan meninggalkan mereka. Dan sebaliknya mereka pun sementara, itu juga kita bisa tunjukkan kepada mereka bahwa suatu haru kelak mereka pun akan meninggalkan kita atau meninggalkan bumi ini. Perlahan-lahan konsep ini bisa kita sampaikan, namun tidak sekaligus.

Lukas 18:7,8 , "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya dan adakah Dia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka. Aku berkata kepadamu Ia akan segera membenarkan mereka akan tetapi jika anak manusia datang adakah Ia mendapati iman di bumi?" Yang ingin saya tekankan disini adalah, Allah akan membenarkan orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya, dan Allah tidak akan mengulur-ulur waktu untuk menolong mereka. Bagi orang tua tunggal memang bebannya sangat besar tapi kita mesti mengingat firman Tuhan ini bahwa Allah akan membenarkan orang tua tunggal, bahwa Allah juga akan menolong mereka dan tidak akan mengulur-ulur waktu, sebab Allah memperhatikan mereka dengan beban yang mereka pikul itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Orang Tua Tunggal". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, istilah orang tua tunggal, 'kan sebenarnya kita dilahirkan karena ada ayah dan ibu, tetapi dalam perjalanan kehidupan ini kadang-kadang memang harus ada salah satu yang meninggalkan keluarga itu. Nah sebenarnya apa saja Pak Paul yang menyebabkan terjadinya orang tua tungga?

PG : Sebetulnya ada beberapa Pak Gunawan yang dapat saya pikirkan adalah 3 di antaranya. Yang pertama adalah jikalau pasangan hidup kita meninggal dunia, nah otomatis itu akan meninggalkan kitasebagai orang tua tunggal.

Yang kedua adalah pasangan hidup kita meninggalkan kita untuk waktu yang sementara, namun dalam kurun yang panjang. Misalnya ada suami yang harus pergi ke pulau lain atau ke kota lain guna mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Atau ada anak yang dikirim di kota lain atau bahkan ke negara lain di mana akhirnya si ibu pergi menemani si anak untuk belajar dan si ayah tetap di kotanya. Atau mungkin yang lebih bersifat tragedis, jikalau seorang pria misalkan ditangkap dan dipenjarakan, dan istrinya terpaksa harus diam di rumah dan membesarkan anak-anak mereka. Itu semua masuk dalam kategori kedua, jadi di mana salah satu dari orang tua harus meninggalkan keluarga karena suatu hal. Yang ketiga ini adalah yang lebih umum yakni perceraian dan saya kira melihat apa yang terjadi saat ini akan lebih banyak orang tua tunggal yang muncul dari kategori yang ketiga yakni perceraian.
(2) IR : Nah, kalau dalam satu keluarga sudah ada yang meninggalkan atau hanya mempunyai orang tua tunggal tentu mempunyai akibat ya Pak Paul; akibat langsung dari keluarga itu bagaimana Pak Paul?

PG : Ada beberapa akibat langsung Ibu Ida, namun pada dasarnya adalah kehilangan figur ayah atau ibu dalam rumah tangga pasti membawa akibat pada pertumbuhan anak-anak dan juga pada yang ditingalkan itu.

Misalkan di sini yang harus pergi adalah si ayah dan yang tinggal adalah si ibu, dampaknya juga akan mempengaruhi si ibu yang ada di rumah. Yang pertama yang bisa sekali terjadi adalah hilangnya interaksi langsung dari orang tua tersebut, waktu si ayah misalkan tidak ada otomatis anak-anak hanya akan berinteraksi dengan ibu. Nah tidak dapat tidak, ini sebetulnya akan mempengaruhi pertumbuhan si anak, kenapa mempengaruhi karena si anak itu sebetulnya sangat memerlukan pembicaraan, tukar pikiran, dialog dengan si ayah pula. Dia juga harus mendapatkan banyak informasi atau bagaimana menjadi seseorang dalam hal ini seorang pria dari figur si ayah tersebut. Nah tatkala figur ayah tidak ada lagi dalam rumah, nah terjadilah kepincangan di sini.
GS : Pak Paul, sebelum kita melanjutkan tentang akibat langsung tadi Pak Paul, saya teringat ada seseorang yang kebetulan ini wanita, yang mengadopsi anak walau tidak secara legal, mungkin kalau legal persyaratannya harus suami-istri. Nah dia menganggap anak dari saudaranya itu sebagai anaknya sendiri. Nah dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai orang tua tunggal atau tidak Pak?

PG : Dapat, jadi itu adalah suatu kategori yang tidak saya cakup tadi, namun dengan pasti saya bisa kategorikan itu adalah kasus orang tua tunggal. Memang itu terjadi dan saya kira lebih umum trjadi di negara-negara Barat, sebab waktu saya sekolah, dulu ada salah seorang dosen saya sebagai seorang wanita yang tidak menikah dia mengadopsi seorang anak dan membesarkan anak tersebut sampai kuliah dan sebagainya dan dianggap sebagai anaknya sendiri.

GS : Nah dalam hal ini kalau kita kembali kepada akibat, selain hilangnya interaksi langsung tadi yang Pak Paul sudah singgung, akibat apalagi Pak Paul ya bisa dialami?

PG : Yang kedua adalah hilangnya kesempatan untuk meneladani perilaku atau sikap orang tua yang tidak ada lagi itu, nah ini adalah hal yang sangat penting. Anak belajar bukan saja dari pembicaran yang dilakukannya dengan orang tua, tapi anak belajar terutama dari apa yang dilihatnya, bagaimana orang tua mengerjakan sesuatu, bagaimana si orang tua bergerak, bersikap, bagaimana mengekspresikan kejengkelan, bagaimana menghadapi kesedihannya, bagaimana orang tua itu menghadapi atau mengatasi pertengkaran di antara mereka.

Bagaimana orang tua mendisiplin si anak, itu semua adalah aspek-aspek dalam kehidupan yang tidak bisa kita berikan melalui buku pelajaran. Itu adalah aspek-aspek dalam kehidupan yang riil, yang hanya bisa dipelajari melalui pengalaman langsung, nah jadi dengan tidak adanya orang tua yang telah meninggalkan keluarga itu si anak akan mengalami kerugian yang besar. Dia akan kehilangan kesempatan untuk memotret dan merekam semua sikap dan perilaku orang tua tersebut.
GS : Tapi mungkin juga dia bisa belajar dari pihak lain, dari orang yang lain selain ayahnya atau ibunya, mungkin kakeknya, neneknya atau saudara dari orang tuanya.

PG : Jadi kalau memang ada orang lain di rumah yang sedikit banyak bisa turut terlibat dalam kehidupan si anak, itu akan sangat membantu Pak Gunawan. Sebab memang betul dia akan sedikit banyak ertolong, dia akan mendapatkan model-model dari figur seorang kakek, neneknya atau pamannya.

Namun tetap tidak bisa menggantikan kehilangan orang tuanya tersebut, kadang memang tidak sama.
GS : Itu mungkin dalam hubungan emosi, Pak Paul?

PG : Orang tua yang tertinggal atau yang hidup bersama si anak akan kehilangan kesempatan untuk berdiskusi dalam pengambilan keputusan dan iapun akan memiliki kebutuhan emosional yang besar akiat kesendiriannya itu.

Misalkan yang meninggalkan adalah si ayah dan yang tertinggal untuk mengurus anak adalah si ibu, si ibu akan kehilangan rekan atau mitra untuk bertukar pikiran. Kita tidak bisa mengambil keputusan sendiri dalam banyak hal kita bisa namun hidup ini penuh dengan keputusan yang harus kita ambil dari hal yang penting hingga hal yang sepele. Namun kita sebetulnya sudah sangat terbiasa untuk mendiskusikannya dengan pasangan hidup kita; nah ini saya memang harus jelaskan, yang saya maksud adalah orang tua yang tadinya memang bersama-sama, kemudian sekarang kehilangan pasangan hidupnya. Nah waktu dia masih lajang dia terbiasa mengambil keputusan sendiri, tapi setelah menikah pernikahan itu akan mengubah gaya hidup seseorang. Dari biasa mengambil keputusan sendiri sekarang harus berembuk dengan pasangannya. Nah setelah menjalani hidup bersama-sama dengan pasangannya tiba-tiba pasangannya itu tidak ada lagi, nah akan terjadi kehilangan. Bagi yang lajang mungkin tidak terlalu merasa kehilangan tersebut karena memang terbiasa sendiri. Namun bagi yang biasa menikah dan biasa mengambil keputusan bersama-sama kehilangan itu akan dirasakannya, sehingga menimbulkan kepincangan. Biasanya si ibu ini akan merasa kurang yakin dengan keputusannya, dia akan bertanya-tanya atau mempertanyakan pertimbangannya apakah saya mengambil keputusan yang benar. Meskipun itu hal yang sangat sepele misalnya setelah anaknya lulus SD dia memikirkan untuk memindahkan anaknya ke sekolah yang lain, hal yang sebetulnya relatif sederhana. Tapi karena dia terbiasa mendiskusikan hal itu dengan pasangannya, sekarang tidak ada lagi, dia akan sedikit banyak meragukan apakah dia telah mengambil keputusan yang tepat untuk si anak. Dengan kata lain dia akan sedikit banyak mengalami ketakutan, jangan-jangan saya mengambil keputusan yang salah untuk anak ini. Kalau ada pasangannya hal ini akan jauh berkurang karena bukankah kita akan merasa lebih lega atau tidak terlalu terbeban, kalau mengambil keputusan bersama. Sebab kita akan menanggung keputusan itu juga bersama atau berdua namun sekarang semua beban tiba-tiba diletakkan pada pundak kita seorang diri, sehingga kita takut sekali kita akan mengacaukan atau merugikan kehidupan si anak sampai sedemikian besarnya. Oleh karena itulah ada kecenderungan ibu tunggal kalau memang waktunya mengizinkan akan menjadi ibu yang jauh lebih protektif dibandingkan kalau ada suaminya. Nah ini bersumber dari ketakutan tadi yang saya sebut, juga tadi saya singgung dia mempunyai kebutuhan yang lumayan besar, karena sekali lagi dia sudah terbiasa mengalami pemenuhan atau dipenuhi kebutuhannya oleh pasangannya. Nah sekarang tiba-tiba pasangannya tidak ada lagi, jadi ada banyak kebutuhan-kebutuhan yang biasanya dipenuhi oleh si suami misalnya sekarang tidak lagi dipenuhi oleh si suami. Nah ada kebutuhan yang memang dia bisa memperoleh pemenuhannya di luar, tapi ada beberapa kebutuhan yang sangat khusus yang sangat-sangat unik yang hanya dapat dipenuhi oleh suaminya. Jadi ada beberapa hal yang tetap akan terhilang, meskipun dia akan berusaha menggantikannya atau mendapatkan pemenuhannya melalui jalan lain yang lebih sehat juga.
IR : Kalau si istri itu komunikasinya dengan suami tidak baik Pak Paul, apa juga sama dampaknya dengan orang tua tunggal?

PG : Kalau hubungan dia tidak baik dengan si suaminya otomatis kehilangan tersebut tidaklah sebesar kalau hubungannya sangat akrab dengan si suami. Nah tapi saya harus akui juga meskipun hubungn dengan si suami misalkan tidak terlalu baik, namun tetap akan ada beberapa kebutuhan yang telah dipenuhi oleh si suami.

Contoh yang mudah sekali, dia terbiasa dengan adanya seorang pria di rumah, misalkan ada orang datang meminta uang atau orang misalnya sedikit banyak ingin membuat perkara dengannya. Dengan adanya suami di rumah dia akan bisa memanggil si suami keluar dari rumah dan menghadapi orang tersebut. Nah jadi akan banyak hal-hal kecil yang sebetulnya sudah menjadikan dia lumayan bergantung pada si suami, meskipun hubungannya tidak terlalu baik.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, ada anak yang tiba-tiba ditinggal oleh ayahnya atau ibunya, anak itu menjadi pendiam Pak Paul, nah itu sebenarnya apa yang terjadi di dalam diri anak itu?

PG : Kalau anak itu memang lumayan dekat dengan si ayah, misalkan si ayah yang telah meninggalkan mereka, kediaman si anak sebetulnya menandakan rasa kehilangan dia. jadi rasa kehilangan itu tiak bisa diungkapkan secara verbal, secara ucapan oleh si anak karena dia masih kecil.

Jadi dia tidak bisa menyalurkan secara langsung, yang dia lakukan adalah menunjukkan perilaku kehilangannya. Maka itulah dia diam terlebih banyak seolah-olah mengurung diri, yang dia lakukan sebetulnya adalah dia sedang mencoba keluar dari kesedihannya namun dengan caranya itu karena dia belum mengerti cara yang lain yang lebih positif. Misalkan dengan dia bicara atau menceritakan isi hatinya kepada orang lain atau orang tuanya.
GS : Nah dalam kasus itu memang meninggal, jadi orangtuanya itu meninggal, ibunya juga kesulitan untuk menjelaskan kepada si anak bahwa ayahnya sudah meninggal. Sebenarnya apa yang harus dikatakan atau disampaikan oleh ibu ini?

PG : Dalam kasus di mana seseorang meninggal saya berprinsip si orang tua yang masih ada harus mengatakan apa adanya, yakni misalkan di sini ayah, ayah telah meninggal. Artinya apa ayah meninggl nah misalnya kita harus menerangkan pada seorang anak yang baru berusia 4 tahun yang belum begitu memahami tentang kematian.

Kita misalnya berkata meninggal artinya pergi dan tidak akan kembali, pergi ke mana dia akan bertanya nah kita bisa menjelaskan tentang kematian itu sendiri, dia misalnya bilang apa itu kematian. Kita bisa gunakan hewan yang mati, nah kita katakan hewan ini tidak lagi dapat bergerak artinya dia mati. Tapi kalau hewan mati dia hanya akan dikubur di tanah, tapi kalau ayahmu ini tubuhnya dikubur di tanah, tapi di dalam tubuhnya yang namanya roh itu akan dibawa oleh Tuhan, nah jadi ayah sekarang bersama dengan Tuhan. Nah hal-hal seperti itu kita bisa jelaskan pada anak-anak kita tapi prinsip saya kita harus katakan apa adanya, yakni ayah telah meninggal.
GS : Dari ketiga kasus tadi Pak Paul ya, di mana memungkinkan terjadinya orang tua tunggal, sebenarnya yang paling berdampak itu yang mana, Pak Paul?

PG : Yang berdampak secara negatif atau positif

GS : Positif

PG : Kalau secara negatif, saya kira perceraian itu berdampak paling negatif dan kedua yang juga sama negatifnya, kalau salah seorang dari orang tua kita itu harus mendekam di penjara. Itu jugaberdampak negatif bagi si anak, karena si ibu ini suatu kali harus menjelaskan kenapa si ayah tidak di rumah yaitu si ayah mendekam di penjara.

Saya duga kecenderungan adalah ibu-ibu ini tidak akan menjelaskan kepada si anak, namun kalau si ibu ini terus-menerus menutupi, si anak lama-kelamaan akan mencurigainya sebab semua penjelasan itu tidak akan lagi masuk akal. Nah pada titik itu si ibu harus mengatakan terus terang bahwa si ayah memang mendekam di penjara.
GS : Tadi Pak Paul singgung sedikit, apakah memang ada dampak positifnya Pak Paul? Tadi kok Pak Paul menanyakan positif atau negatif itu?

PG : Ada sedikit yang positif dalam kasus memang si ayah sangat berperilaku negatif, sangat merusakkan keluarga tersebut. Nah kepergiannya akan membawa kelegaan, contoh setiap kali di rumah diaberkelahi dengan istrinya, memukuli istrinya, mengancam anaknya, mau membunuh anaknya, itu kasus-kasus yang kadang kala terjadi.

Dalam peristiwa itu kepergian si ayah justru akan membawa dampak positif pada si anak.
GS : Ada kemungkinan Pak Paul kalau kedua-duanya hilang dalam sekejab itu, artinya mendadak misalnya karena kecelakaan, itu dampaknya akan lebih parah?

PG : Dampaknya akan lebih parah bagi si anak.

GS : Langsung kehilangan kedua orang tuanya, Pak Paul?

PG : Karena anak memang sangat membutuhkan orang tua, itu adalah sumber keamanannya, jadi waktu kedua orang tua tidak ada lagi, yang dia renggut pergi darinya adalah keamanannya. Tiba-tiba dia erasakan bahwa hidup ini menjadi sangat tidak aman mengakibatkan dia kehilangan pegangan.

Nah dalam keadaan seperti itu pertolongan harus diberikan segera.
IR : Tapi juga ada dampak positifnya, Pak Paul, anak-anak itu bisa mandiri atau tidak?

PG : Kalau dia memang sudah mampu mandiri pada usia yang lebih dewasa, mungkin dampaknya tidaklah senegatif kalau anak-anak itu masih kecil. Tapi tetap saya harus akui meskipun anak itu berusia16 atau 17 tahun, kehilangan orang tua secara sekaligus, tetap membawa dampak shock atau trauma pada si anak.

Karena kematian yang tiba-tiba sering kali membuat si anak atau si individu tersebut tidak mempersiapkan dirinya. Kita ini adalah orang yang tidak suka kejutan, waktu kita tahu bahwa misalkan orang tua kita akan meninggalkan kita dalam waktu beberapa bulan karena penyakit yang sedang diidapnya sedikit banyak kita bisa mulai mempersiapkan diri kita. Kita mau menyisakan dan melalui sisa waktu ini sebaik dan seindah-indahnya. Nah bagi seseorang yang tidak memiliki kesempatan tersebut karena kematian mendadak dia akan merasakan kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa dalam hal ini si ayah atau si ibu tidak ada lagi. Sehingga tidak ada lagi waktu yang indah yang bisa dikenangnya dengan begitu khusus, nah itu sebabnya meskipun dia dipaksa untuk mandiri namun kehilangan orang tua sekaligus tetap biasanya cukup menggoncangkan si anak.
GS : Pak Paul, sekarang yang terjadi biasanya anak itu tidak terlalu akrab dengan orang tuanya, karena orang tuanya sibuk dengan pekerjaan dan sebagainya, nah kalau sampai terjadi orang tua tunggal apakah dampaknya sama beratnya atau bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau hubungannya tidak terlalu akrab memang dampaknya tidaklah terlalu besar, namun waktu saya mengucapkan kata terlalu besar, tidak berarti tidak besar. Dulu saya bekerja di dinas yang mngawasi dan merawat anak-anak yang dianiaya orang tuanya, hal ini saya saksikan berulang kali Pak Gunawan.

Waktu kami hendak membawa keluar dari rumah dan ditempatkan biasanya di rumah asuh, meskipun dia itu dianiaya oleh orang tua, meninggalkan orang tua atau meninggalkan rumahnya, meskipun rumah itu rumah yang sangatlah negatif baginya. Nah saya sudah pernah mengunjungi rumah yang sangat berantakan sekali, di mana misalkan si ayah peminum, suka berkelahi dengan si ibu, si ayah tidak menjadi peran yang positif bagi si anak. Tapi tetap waktu si anak dipisahkan tetap dia akan sebetulnya berontak, di satu pihak dia tahu dia harus keluar dari rumah ini dan ini baik untuk dia. Tapi di pihak lain dia tetap harus bergumul, jadi sering kali kita harus menyadari bahwa figur si orang tua itu sangat penting bagi si anak. Meskipun mungkin mereka berperan negatif tapi toh tetap dibutuhkan oleh si anak.
GS : Memang hal itu sulit diperkirakan lebih dulu Pak Paul, terjadinya perpisahan dan sebagainya itu, tetapi kalau kita menyadari bahwa hal itu bisa terjadi sewaktu-waktu. Nah, sebenarnya apa yang bisa dilakukan orang tua sementara mereka masih bersama-sama Pak Paul, maksud saya di dalam hal mempersiapkan anak yang sudah mengerti diajak berbicara?

PG : Saya kira itu adalah suatu pikiran yang baik Pak Gunawan, dengan catatan kita tidak terlalu sering membicarakannya karena kalau terlalu sering membicarakannya kita akan menimbulkan rasa taut yang berlebihan pada si anak.

Sehingga dia menjadi anak-anak yang senantiasa bertanya-tanya kapankah ayahnya atau ibunya itu akan diambil pergi oleh Tuhan. Yang pertama yang bisa kita sampaikan adalah bahwa hidup ini tidak hanya di bumi, namun setelah itu yang kedua, kita akan hidup bersama Tuhan di Surga. Yang harus kita tekankan adalah bahwa kita hidup bersama di Surga adalah hidup yang jauh lebih baik dari hidup di masa sekarang ini di bumi. Kita juga harus menekankan bahwa Tuhan ialah Tuhan yang baik, Tuhan yang mencintai kita, memelihara kita, dan sebagai bukti cinta-Nya untuk kita Dia rela mati untuk dosa kita. Kenapa saya mau tekankan kedua hal ini, sebab anak-anak perlu untuk mempunyai konsep yang betul tentang kematian, tentang orang tua dipanggil Tuhan. Kalau tidak, dia akan mengembangkan konsep yang negatif terhadap Tuhan, mengapa Tuhan tega mengambil papa atau mama dan kami harus ditinggalkan oleh ayah atau ibu. Nah jadi kita senantiasa harus menanamkan konsep itu, yang berikutnya kita juga harus menekankan bahwa hidup ini sementara, bahwa kita tidak akan selalu bersama dia, dan kita tidak mengetahui kapan kita akan meninggalkan mereka. Dan sebaliknya merekapun sementara, itu juga kita bisa tunjukkan kepada mereka bahwa suatu hari kelak mereka pun akan meninggalkan kita atau meninggalkan bumi ini. Jadi perlahan-lahan konsep itu bisa kita sampaikan, namun kita sampaikan tidak sekaligus. Sekali-sekali secara berkala waktu topiknya muncul dalam saat teduh bersama itu kita munculkan, sehingga mereka akhirnya dibuat lebih realistik dalam hidup ini. Nah dengan cara itulah saya kira anak akan lebih bersiap hati jikalau memang benar-benar harus meninggalkan mereka.
IR : Nah mungkin ada firman Tuhan yang bisa disampaikan Pak Paul, untuk memberikan saran pada anak, atau orang tua yang tunggal ini?

PG : Saya akan bacakan dari Lukas 18:7, 8 . "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya dan adakah Dia mengulur-ulur waktu sebelm menolong mereka.

Aku berkata kepadamu Ia akan segera membenarkan mereka akan tetapi jika anak manusia datang adakah Ia mendapati iman di bumi?" Yang ingin saya tekankan di sini adalah Allah akan membenarkan orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya, dan Allah tidak akan mengulur-ulur waktu untuk menolong mereka. Bagi orang tua tunggal memang bebannya sangat besar tapi kita mesti mengingat firman Tuhan ini bahwa Allah akan membenarkan orang tua tunggal, bahwa Allah juga akan menolong mereka dan tidak akan mengulur-ulur waktu, sebab Allah memperhatikan mereka dengan beban yang mereka pikul itu.
GS : Jadi memang berat juga untuk menjadi orang tua tunggal tetapi juga buat anak, itu juga berat. Tapi firman Tuhan tadi saya rasa sangat menguatkan dan mengingatkan kita akan peran kita masing-masing. Dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi telah kami persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tetang orang tua tunggal. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 57 A
  1. Apa yang menyebabkan terjadinya orangtua tunggal...?
  2. Akibat apa yang timbul dari orangtua tunggal...?


14. Anak yang Diasuh oleh Orangtua Tunggal


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T057B (File MP3 T057B)


Abstrak:

Pengaruh atau akibat secara langsung maupun tidak langsung pasti akan terjadi terutama bagi anak. Akan ada kebutuhan-kebutuhan tertentu yang tidak dapat terpenuhi, namun ada hal-hal juga yang sangat perlu dilakukan bagi orangtua tunggal di dalam mendidik putra-putrinya.


Ringkasan:

Dampak tidak langsung yang dirasakan oleh anak-anak ketika diasuh oleh orang tua tunggal adalah sbb:

  1. Yang pertama anak-anak ini sebetulnya akan mempunyai kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi. Contohnya yang pergi meninggalkan mereka adalah si ibu, biasanya mereka akan kehilangan kasih sayang yang khas dari seorang ibu. Kalau misalkan yang tidak ada adalah ayah, yang akan juga terhilang dalam keluarga ialah disiplin yang khas seorang ayah.

    Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah orang tua tunggal cenderung pada masa remajanya mengekspresikan perilaku pelampiasan, "acting out behavior". Dari kata pelampiasan kita bisa menarik kesimpulan itu merupakan perilaku untuk unjuk rasa, perilaku untuk menunjukkan atau memperlihatkan kebutuhannya, di mana kebutuhan tersebut tidak terpenuhi.

  2. Yang kedua, si ibu atau si ayah yang ditinggal harus berhati-hati agar tidak mendewasakan anak terlalu dini sehingga dia kehilangan masa kanak-kanaknya. Ini tidak sehat karena pada masa atau usia yang relatif muda si anak belum sanggup untuk memikirkan masalah kehidupan ini dengan begitu kompleknya. Dan belum sanggup untuk memikul kesedihan dan beban yang berat.

    Kalau si anak jadi nakal karena kehilangan figur mendisiplin, maka langkah yang harus dilaksanakan oleh orang tua tunggal adalah terus-menerus memelihara keintiman, jangan sampai ini berkurang. Kedekatan dengan si anak adalah modal yang sangat berperan besar untuk mengurangi potensi konflik sewaktu anak-anak itu menginjak usia remaja.

Saya ajak kita perhatikan Lukas 19 yaitu cerita tentang Zakeus, di sini saya akan kutip perkataan Tuhan Yesus, di ayat ke 5.

Ketika Yesus sampai ke tempat itu Dia melihat ke atas dan berkata : " Zakeus segeralah turun...! sebab hari ini Aku akan menumpang di rumahmu." Zakeus seorang pemungut cukai dan disingkirkan dari kehidupan masyarakatnya, dia dianggap orang yang jahat oleh orang Yahudij saat itu. Namun Tuhan Yesus melihat hatinya yang ingin bertemu dengan-Nya, yang bisa kita petik dari pelajaran ini adalah Tuhan memperhatikan orang yang tersingkirkan dan ingin menumpang di rumah saudara pula. Jadi bagi orang-orang percaya, tidak pernah ada istilah tunggal dalam arti kata yang sebenarnya karena Tuhan Yesus pasti menggantikan peran itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan ini merupakan lanjutan dari perbincangan pada beberapa waktu yang lalu tentang orang tua tunggal. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, pada kesempatan beberapa waktu yang lalu kita telah membicarakan tentang orang tua tunggal, mengenai latar belakang penyebabnya dan sebagainya dan akibat langsungnya. Dan kita mencoba membicarakan dari sisi yang lain kalau ada akibat yang langsung dari orang tua tunggal ini tentu dampak yang paling dirasakan oleh anak. Nah apakah dampak yang tidak langsung dirasakan oleh anak itu, Pak Paul?

PG : Yang pertama Pak Gunawan, anak-anak ini sebetulnya akan mempunyai kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi. Sebagai contoh kalau misalkan yang pergi meninggalkan mereka adalah si ibu, bisanya mereka akan kehilangan kasih sayang yang khas dari seorang ibu.

Kalau misalkan yang tidak ada adalah ayahnya yang akan juga terhilang dalam keluarga tersebut ialah disiplin yang khas seorang ayah. Saya berikan contoh Pak Gunawan, beberapa waktu yang lalu, istri saya karena ada suatu keperluan meninggalkan kami sekeluarga selama 4 hari kalau tidak salah pergi ke Jakarta. Nah saya masih ingat sekali bahwa suasana rumah kami menjadi sangat berbeda dengan tidak adanya istri saya. Istri saya sangat dekat dengan anak-anak, saya pun mencoba dekat dengan anak-anak tapi ternyata pada waktu istri saya tidak ada di rumah saya benar-benar baru disadarkan bahwa yang sebetulnya menjadi titik sentral, pusat dari kehidupan keluarga kami bukanlah saya, tapi istri saya. Itulah sebabnya waktu dia tidak ada di rumah, tiba-tiba seolah-olah roda keluarga kami berhenti berputar, ketiga anak-anak saya lebih diam, tidak banyak interaksi dan bahkan salah seorang dari ketiga anak saya yang begitu kehilangan istri saya, sampai menangis-nangis setiap hari mencari mamanya. Nah ini harus dibandingkan dengan peristiwa sewaktu saya meninggalkan rumah, saya sudah pernah meninggalkan rumah selama kira-kira sebulan tidak bertemu dengan keluarga saya dan menurut laporan dari istri saya tidak ada seorangpun anak saya yang menangisi saya. Ternyata memang yang menjadi poros atau titik sentral dari kehidupan keluarga adalah seorang ibu, nah ibu itu akan banyak berperan dalam kehidupan si anak, memberikan dan menyediakan kebutuhan emosional si anak yang tidak dapat dijabarkan, didaftarkan satu persatu karena terlalu banyaknya. Nah semua ini waktu tidak lagi di terima oleh si anak akan menimbulkan atau meninggalkan suatu lubang dalam diri si anak. Dan kalau yang terhilang adalah si ayah atau yang meninggalkan mereka si ayah juga akan menimbulkan lubang pada si anak meskipun tidak sebesar kalau si ibu yang meninggalkan mereka.
GS : Apa itu Pak Paul yang menghilang kalau seandainya si ayah itu yang pergi?

PG : Yang akan terhilang biasanya adalah disiplin, jadi salah satu peranan ayah yang penting dalam rumah tangga adalah peran sebagai pendisiplin. Oleh sebab itulah firman Tuhan di Kolose mengaskan bahwa ayah itu harus membesarkan anak dalam takut akan Tuhan.

Sebetulnya kata membesarkan yang digunakan di situ mengandung makna mendisiplin anak dalam takut akan Tuhan. Jadi memang suara ayah yang lebih berat, tubuh ayah yang lebih besar, mencerminkan otoritas atau disiplin bagi anak. Nah itu sebabnya rumah tangga yang kehilangan figur ayah cenderung pada nantinya setelah anak-anak itu sudah mulai remaja direpoti oleh ulah si anak. Karena si anak seolah-olah hidup tanpa pagar, dia berani untuk melawan si ibu, sebab memang ibu lebih melambangkan peranan cinta kasih dalam rumah tangga.
(2) IR : Kalau boleh memilih Pak Paul, si anak ini lebih baik kehilangan ibu atau kehilangan ayah?

PG : Kalau boleh memilih, saya akan memilih kehilangan ayah daripada kehilangan ibu. Sebab sebagaimana tadi telah saya singgung, ibu mempunyai peranan yang begitu sentral dalam kehidupan si nak.

Ibu benar-benar adalah titik pusat yang menggerakkan roda keluarga, kalau tidak ada lagi roda keluarga itu juga akan terganggu, sangat terganggu. Kadang kala yang terjadi adalah seperti ini dan ini sering kali terjadi, sewaktu ayah meninggalkan keluarga si ibu terpaksa mengurus anak-anak sendirian. Sebab kemungkinan si ibu menikah kembali tidaklah terlalu besar, apalagi kalau dia sudah berusia 40 tahun ke atas. Kebanyakan kalau si ayah yang masih hidup, ibu yang sudah meninggalkan mereka, si ayah akan menikah kembali. Nah masalahnya adalah kalau si ayah menikah kembali, anggapannya adalah bahwa akan ada 2 orang yang akan memelihara anak-anak. Tapi anggapan ini tidak selalu benar, kadang kala benar, ada juga ibu tiri yang juga sayang mencintai anak-anaknya. Namun kita tidak bisa mengesampingkan naluri keibuan, dalam pengertian naluri keibuan yang dimiliki oleh seorang ibu terhadap anak kandungnya. Sewaktu yang dirawatnya bukan anak kandung biasanya memang akan ada perbedaan dibandingkan kalau dia merawat anak kandungnya sendiri. Jadi kalau si ayah menikah kembali, sebetulnya si anak-anak itu lebih seringnya kehilangan kedua orang tuanya. Sebab si ayah pada umumnya tidak terlalu dekat pada si anak dan harus bekerja di luar, si anak ditinggalkan dengan si ibu tiri, sedangkan si ibu tiri pun tidak terlalu dekat dengan anak-anak. Nah sekali lagi saya tetap memberikan catatan, saya tahu ada ibu tiri yang sangat mencintai anak-anak tiri mereka, itu ada. Ini bukan untuk ibu tiri yang sangat mencintai anak-anak tiri mereka, tapi saya berbicara secara global saja.
IR : Tapi saya pernah mengamati satu keluarga Pak Paul, yang karena kehilangan ibunya, si suami ini kawin lagi dan dia sangat tidak peduli dengan anaknya. Bahkan harta warisannya itu diberikan pada istri mudanya sehingga anaknya ini terlantar Pak Paul.

PG : Ya sangat menyedihkan sekali Ibu Ida, dan kadang kala itu terjadi, kadang kala si ayah yang menikah dengan istri yang baru merasa hidup itu begitu semarak, begitu indahnya mendapatkan itri yang baru sehingga melalaikan tanggung jawabnya.

Atau si ayah ini menggantungkan diri pada si istri yang baru ini untuk mengasuh anak-anaknya, tapi masalahnya adalah si istri itu bukanlah ibu kandung dari anak-anaknya. Sehingga tidak bisa atau lebih sulit memberikan dirinya sepenuhnya kepada anak-anak yang bukan anak kandungnya. Nah apalagi kalau nanti ditambah dengan anak kandung, secara natural dia akan jauh lebih dekat pada anak kandungnya.
GS : Ada orang tua tunggal yang mencoba Pak Paul, bertekad untuk merangkap jabatan, kalau dia ditinggal oleh istrinya dia katakan saya berfungsi sebagai ayah sekaligus ibu dan seterusnya. Itu ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul terhadap anak-anak?

PG : Misalkan si ibu yang harus mengambil peranan ganda Pak Gunawan, biasanya dia akan cukup tertekan, karena menjadi ayah dan ibu sekaligus bukanlah tugas yang mudah. Misalkan kalau ada aya dan ibu di rumah, si ayah memarahi anak-anak, akan ada figur si ibu yang sedikit banyak menenangkan rumah atau menjadi seseorang yang menyambut si anak waktu si anak sedih atau takut dan sebagainya, nah sekarang tidak ada lagi peranan seperti itu, jadi si ibu harus keras tapi sekaligus harus menjadi orang yang dekat dengan anak-anak.

Nah kadang-kadang 2 peranan ini tidak begitu mudah untuk dilakukannya sekaligus. Biasanya ibu-ibu itu akan kesulitan menghadapi perilaku-perilaku si anak tatkala si anak menginjak usia remaja. Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah orang tua tunggal cenderung pada masa remajanya mengekspresikan perilaku pelampiasan, "acting out behavior". Perilaku pelampiasan dari kata pelampiasan, kita bisa menarik kesimpulan perilaku pelampiasan merupakan perilaku untuk unjuk rasa, perilaku untuk menunjukkan atau memperlihatkan kebutuhannya, di mana kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Namun dia akan menunjukkan perilaku yang lain untuk mendapatkan kebutuhan tersebut, malangnya biasanya perilaku itu perilaku yang negatif. Jadi seorang anak yang merindukan cinta kasih di rumahnya akan cenderung mencari cinta kasih di luar. Seorang anak yang kekurangan disiplin karena tidak ada ayah di rumah, akan juga menunjukkan perilaku pelampiasan, dia akan melanggar batas, melanggar pagar-pagar yang didirikan oleh ibunya. Karena dia merasa tidak ada lagi yang harus ditakuti, jadi akan banyak muncul perilaku pelampiasan seperti ini. Nah waktu si ibu yang harus merangkap tugas dia akan lumayan kerepotan untuk mengatasi perilaku pelampiasan ini. Pada umumnya orang tua tunggal yang misalnya wanita ini, biasanya mereka tidak terlalu bermasalah memberikan cinta kasih, karena itu terbiasa diberikan oleh para ibu. Namun mereka akan kesulitan menerapkan disiplin bagi si anak, sebab memang ibu bukanlah figur disiplin dalam rumah tangga.
GS : Berapa kali saya jumpai seperti itu, lalu ibu itu menggunakan, menarik belas kasihan anak dengan sering kali berkata ayahmu itu sudah tidak ada, aku ini sendirian coba kamu mengerti saya dan sebagainya itu Pak Paul, tapi anak tetap sulit menghadapi hal itu.

PG : Sering kali itu yang dilakukan, betul Pak Gunawan jadi akhirnya memelas supaya dibelaskasihani agar si anak berubah. Namun saya setuju juga dengan pengamatan Pak Gunawan, kenyataannya aalah anak-anak hanya berubah sementara saja, setelah dia keluar rumah bertemu dengan kawan-kawannya lagi dia lupa akan belas kasihannya tadi, dia akan terbawa lagi oleh teman-temannya.

Nah memang ini suatu dilema dan ini banyak sekali terjadi dalam rumah di mana hanya ada orang tua tunggal. Saya melihat gejala ini di Amerika Serikat, banyak sekali orang tua tunggal di sana, karena pria-pria itu misalkan menceraikan istrinya, atau ada yang menikah lagi dengan wanita lain dan sebagainya. Atau hamil di luar nikah, tidak ada suami sehingga membesarkan anak sendiri, nah ini cukup banyak terjadi di sana. Dan yang umum dilakukan oleh anak-anak ini adalah pada waktu mereka sudah menginjak remaja, mereka bermasalah, kebanyakan terlibat dalam perilaku-perilaku negatif ikut dengan gang, memakai obat, minum dan yang paling umum adalah tidak bisa melanjutkan sekolah. Misalkan pada usia 15 tahun, 16 tahun sudah dropped-out, putus sekolah.
GS : Di samping memang masalah pembiayaan mungkin Pak Paul ya?

PG : Di sana sebetulnya tidak masalah, karena mereka bisa mendapatkan tunjangan dari negara dan sampai SMA sekolah tidak bayar. Jadi sebetulnya mereka bisa sekolah.

GS : Jadi memang niatnya sendiri untuk tidak sekolah. Dalam hal-hal seperti itu bukankah sering kali terjadi antara pendapat ibu dan pendapat anak berbeda, sehingga mau tidak mau akan memungkinkan timbulnya konflik Pak Paul, nah bagaimana kalau sampai itu terjadi?

PG : Itu pengamatan yang betul sekali Pak Gunawan, orang tua akhirnya harus menjadi sasaran kemarahan si anak, sebab konflik akan benar-benar bersifat frontal berhadapan langsung. Kalau ada rang tua yang satunya terjadilah segitiga di mana waktu si anak marah pada si ayah, si ibu juga bisa mendukung si ayah atau si ibu bisa menenangkan si anak atau kebalikannya juga bisa terjadi.

Jadi bola itu tidak langsung dilempar ke satu sasaran, jadi bola itu sepertinya berkisar pada ketiga titik ini atau sudut ini, pada orang tua tunggal tidak ada lagi orang ketiga, jadi benar-benar sering terjadi konflik yang frontal. Segala kefrustrasian dilimpahkan pada si orang tua itu, ini yang sering kali menambah stres yang luar biasa beratnya pada si orang tua tunggal ini. Dia kehilangan suami bukan karena kesalahannya namun sekarang dia harus memikul beban yang begitu berat, terutama nantinya pada anak-anak remaja. Pada waktu anak remaja, di mana si anak-anak cenderung mulai memberontak dan melampiaskan kemarahannya pada si orang tua tunggal itu.
(3) IR : Nah kira-kira saran apa Pak Paul yang harus diberikan?

PG : Yang pertama Bu Ida, si orang tua yang masih ada ini harus mengakui kehilangan itu dihadapan anak. Jadi si orang tua misalnya bisa berkata saya mengerti engkau kehilangan papamu, saya mngerti betapa indahnya kalau kita bisa pergi bersama dengan ayahmu, betapa indahnya kalau bisa pergi ke gereja bersama-sama, betapa indahnya kalau nanti engkau lulus ayahmu hadir.

Jadi akui hal-hal seperti itu, anak-anak sering kali tidak akan berinisiatif untuk mengakui hal-hal tersebut, kemungkinan sekali dia memang belum bisa mengakui secara verbal sebagaimana kita bisa melakukannya. Nah setelah kita mengakui itu kita bisa mengajak anak untuk mengatasi kehilangan itu dengan bersama-sama. Si ibu misalnya bisa berkata meskipun kamu kehilangan, mama juga kehilangan ayah, tapi ayo kita bersama-sama menghadapinya, ayo kita bersama-sama mengatasinya, kita masih bisa mengatasinya sebab Tuhan akan mendengarkan doa kita, menjaga kita, memelihara kita, Dia Bapa kita. Jadi si ibu jangan sampai menutup jalur komunikasi dan misalnya memarahi si anak waktu si anak lemah atau kehilangan ayahnya. Kadang kala si ibu bersikap demikian dengan tujuan baik yaitu membuat si anak kuat, jangan sampai membuat si anak lemah. Sebab kalau dia lemah dia tidak bisa langsung, dia tidak bisa melangsungkan hidupnya atau bertahan dalam hidup ini. Atau adakalanya si ibu ini mungkin takut dia sendiri akan menjadi lemah atau dibuat lemah sewaktu dia membiarkan dirinya merasakan kesedihan karena kehilangan pasangannya atau suaminya. Nah yang saya maksud dengan mengakui di sini, mengakui pengaruh atau akibat kehilangan tersebut. Biar si ibu juga mengakui dia kehilangan si ayah, diapun sedih, diapun mengerti si anak sedih karena kehilangan ayahnya, nah tapi bersama-sama ayo kita hadapi ini, itulah langkah pertama yang sangat penting.
GS : Langkah berikutnya apa, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah si ibu atau dalam hal ini si ayah yang ditinggal harus berhati-hati untuk tidak mendewasakan anak terlalu dini, sehingga dia kehilangan masa kanak-kanaknya. Nah ada keenderungan dan ini saya bisa memahami, ada kecenderungan misalkan si ibu yang ditinggal dia akan bergantung pada anak yang lebih tua untuk menjaga adik-adiknya.

Waktu yang lebih tua ini ingin bermain-main dia juga yang ditekan oleh ibunya dengan mengatakan kok kamu ini tidak bertanggung jawab, tiak mau membantu saya, bukankah ayahmu tidak ada lagi sekarang, seharusnyalah engkau yang menjadi pengganti. Kadang kala ini diletakkan pada pundak anak laki, engkau sekarang pengganti ayahmu, nah masalahnya adalah anak ini baru merumur 10 tahun, dia tidak mungkin menggantikan tugas dan peran ayahnya. Jadi sebaiknya jangan berkata kepada si anak engkaulah sekarang yang menggantikan ayahmu, ini adalah tugas yang melampaui kemampuan si anak untuk dilakukan, jadi sebaiknya jangan. Orang tua tunggal harus berhati-hati jangan sampai mengkarbit si anak menjadi terlalu dewasa pada usia yang masih kecil, nah sekali lagi ini tidak sehat, karena pada masa atau usia yang relatif muda ini si anak belum sanggup untuk memikirkan masalah kehidupan ini dengan begitu kompleksnya. Belum sanggup untuk memikul kesedihan dan beban yang berat ini, nah kita mungkin berkata tapi kok bisa, ya bisa tapi sebetulnya jiwanya akan sedikit dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang semestinya belum dipikulnya itu.
GS : Bagaimana halnya kalau si anak itu menjadi nakal, karena tadi sudah kita bicarakan kehilangan figur yang mendisiplin dia, lalu dia menjadi nakal. Nah itu bagaimana tindakan orang tua, khususnya ibu?

PG : Langkah yang harus dilaksanakan terus-menerus adalah memelihara keintiman, jadi ini jangan sampai berkurang. Saya menyadari memelihara keintiman tidaklah mudah karena orang tua tunggal ering kali harus memikul beban finansial keluarga.

Jadi di satu pihak dia harus menjadi mama di rumah yang harus memasak untuk anak-anak, namun dia harus bekerja di luar pula, biasanya dia akan pulang sore atau malam, dan waktu dia pulang dia sudah sangat letih sekali. Dengan kata lain akan ada banyak keterbatasan untuk menjalin komunikasi dengan si anak tapi harus tetap dilakukan. Misalkan seminggu sekali pastikanlah dia dan anak-anak keluar bersama, bisa ngobrol-ngobrol bersama, kalau tidak bisa menghabiskan waktu yang panjang sekurang-kurangnya setiap malam 0,5 jam saja sebelum tidur bisa ngobrol-ngobrol dari hati ke hati dengan anak-anak. Jadi kedekatan dengan si anak adalah modal yang sangat berperan besar untuk mengurangi potensi konflik sewaktu si anak-anak itu menginjak usia remaja. Dengan kata lain kita mau mengurangi potensi munculnya perilaku pelampiasan yang tadi kita sudah singgung itu.
GS : Cuma biasanya memang karena tersita waktunya untuk pekerjaan dan rasa lelah itu, kontrolnya itu hilang Pak Paul dari si ibu itu?

PG : Ya memang itu dilematis sekali Pak Gunawan dan jalan keluarnya tidak mudah namun saya tetap berpendapat sedikit pengorbanan. Misalkan 0,5 jam saja setiap malam dan seminggu sekali kelua bersama, itu akan berkhasiat besar sekali.

Kalau tidak ada itu semuanya waktu remaja anak-anak akan lebih berani melanggar permintaan orang tua tunggalnya itu, karena memang dia merasa tidak terlalu dekat. Kalau dia merasa dekat sedikit banyak dia akan merasa sungkan kepada ibunya misalnya, jadi sudah tentu ibu ini harus berkorban besar tapi saya kira khasiatnya akan jauh lebih besar kalau dilakukan sekarang.
GS : Nah biasanya di dalam pembicaraan itu dengan anak Pak Paul, bukankah anak mempunyai kesempatan untuk mengutarakan isi hatinya, itu bagaimana menanggapinya Pak?

PG : Yang pertama adalah menyambut, jadi kita sebagai orang tua tunggal jangan sampai menyumbat anak-anak itu, biarkan dia mengeluarkan unek-uneknya, kesusahannya, kepincangannya dan terimalh dengan hati yang terbuka.

Ada kecenderungan orang tua tunggal akan lumayan difensive atau cepat tersinggung sewaktu anak mengeluh kepada dia, karena dia sendiri membutuhkan penghargaan, dia sudah berkorban begitu berat e....anak ini kok sekarang menyerangnya, mengkritiknya sehingga dia lebih difensive. Ini harus diwaspadai, lebih baik dia mendengarkan dan mengakui itulah pergumulan dan unek-unek si anak.
GS : Biasanya anak akan mengatakan bahwa dia berbeda dengan teman-temannya yang punya ayah dan sebagainya itu Pak Paul, itu tanggapan apa yang bisa disampaikan oleh ibu?

PG : Akui bahwa dia memang berbeda, akui bahwa dia memang kehilangan hal-hal yang dinikmati oleh teman-temannya. Namun ajak si anak untuk menerima fakta ini, bahwa hidup tidak selalu lengkapdan adakalanya memang tidak lengkap.

Namun ketidaklengkapan tidak berarti membuat kita jadi orang yang tidak lengkap pula, itu yang kita tekankan kepada si anak. Bahwa engkau dibesarkan di rumah yang tidak lengkap, ayahmu tidak ada, namun engkau tidak harus bertumbuh menjadi anak yang tidak lengkap. Engkau masih bisa lengkap, nah caranya adalah kita memang harus lebih terlibat dengan orang-orang lain, di gereja, di persekutuan, dengan sanak saudara kita supaya si anak bisa juga menyerap masukan-masukan dari figur-figur pamannya, kakeknya dan sebagainya. Nah itu sedikit banyak akan mengkompensasikan kehilangannya yang dialaminya.
GS : Pak Paul, itu kalau meninggal mungkin bisa kita hadapi seperti itu, tetapi bagaimana halnya kalau itu perceraian dan orang tua masih tinggal dalam kota yang sama, apakah baik bagi si ibu itu menyarankan kepada anak untuk sekali-sekali menjenguk ayahnya atau bagaimana?

PG : Yang dianjurkan adalah meskipun sudah bercerai si ayah tetap mempunyai bagian dalam mendidik si anak. Jadi kontak dengan si ayah itu sebaiknya tetap dipelihara. Kecuali dalam kasus di mna ayah itu adalah seseorang yang sangat membahayakan jiwa si anak, nah dalam hal seperti itu sebaiknya tidak ada kontak.

Namun kalau karena hanya misalnya ketidakcocokan antara orang tua dan sebagainya tetap dua-dua menjadi orang tua bagi si anak. Jadi perceraian tidak mengubah status orang tua, perceraian mengubah status nikah orang tuanya.
GS : Apa itu tidak membingungkan anak, Pak Paul?

PG : Membingungkan, sudah tentu. Namun daripada dia kehilangan kontak dari orang tuanya dengan ayahnya, lebih baik dia ada kontak dengannya. Sebab nanti dibutuhkan peranan si ayah untuk mendsiplin si anak pada waktu anak itu remaja.

GS : Itu sejauh masing-masing belum menikah lagi Pak Paul?

PG : Bahkan setelah menikahpun juga begitu, orang tua itu tetap harus menjadi orang tua bagi si anak.

IR : Ikut bertanggung jawab begitu?

PG : Betul, mereka berdua harus bertanggung jawab.

GS : Nah Pak Paul dalam kaitan seperti ini, apa yang firman Tuhan itu katakan?

PG : Saya akan bacakan dari Lukas 19 . Lukas 19 adalah cerita tentang Zakeus, di sini saya akan membacakan perkataan Tuhan Yesus, di ayat ke 5. "Ketika Yesus sampai e tempat itu Dia melihat ke atas dan berkata : "Zakeus segeralah turun...!

sebab hari ini Aku akan menumpang di rumahmu." Zakeus seorang pemungut cukai dan disingkirkan dari kehidupan masyarakatnya, dia dianggap orang yang jahat oleh orang Yahudi saat itu. Namun Tuhan Yesus melihat hatinya yang ingin bertemu dengan-Nya, nah yang bisa kita petik dari pelajaran ini adalah Tuhan memperhatikan orang yang tersingkirkan dan ingin menumpang di rumah saudara pula.
GS : Jadi bagi orang-orang percaya tidak pernah ada istilah tunggal dalam arti kata yang sebenarnya Pak Paul ya karena Tuhan Yesus pasti menggantikan peran itu. Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang anak yang diasuh oleh orangtua tunggal yang merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 57 B

  1. 1.Dampak apakah yang timbul dari orangtua tunggal, yang dapat dirasakan oleh anak-anak....?
  2. 2.Kalau boleh memilih, lebih baik mana kehilangan ayah atau kehilangan ibu...?
  3. 3.Saran apakah atau hal apakah yang perlu dilakukan ketika orangtua tunggal menghadapi kemarahan anak akibat perasaan kehilangan...?


15. Seks dalam Berpacaran


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T061B (File MP3 T061B)


Abstrak:

Seorang pria dan seorang wanita yang berpacaran dalam abad ini menghadapi tantangan yang luar biasa beratnya. Baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri kita. Namun yang menjadi pertanyaan sampai sejauh mana kita sebagai kaum muda Kristen menyikapi masalah ini.


Ringkasan:

Seorang pria dan seorang wanita yang berpacaran dalam abad ini memang menghadapi suatu tantangan yang luar biasa beratnya. Dari luar tantangan sudah begitu berat, dari dalam dirinya gangguan atau gejolak seksual juga memang sedang pada puncaknya. Bagaimana mereka menahan diri menghadapi semua ini memang merupakan perjuangan yang sangat besar, jauh lebih besar dari pada perjuangan kita 20 tahun lebih yang lalu.

Tuhan memanggil kita baik yang pria maupun yang wanita, untuk menjaga kesucian kehidupan ini. Karena dorongan dan godaan itu begitu besar, maka sekarang kita harus melakukan beberapa hal yang bersifat pencegahan:

  1. Yang pertama adalah saya anjurkan bagi yang sedang berpacaran dari awalnya baik perempuan maupun si pria harus menentukan batas fisik, seberapa dekat mereka akan mendekatkan diri. Dalam pengertian dua-dua harus menyepakati hal apa yang boleh dilakukan dan hal apa yang tidak boleh dilakukan. Misalnya: tidak boleh menyentuh bagian-bagian tubuh yang erotis, membatasi diri dalam berpelukan, menjaga berapa jauh atau berapa panas berciuman. Sebagai orang Kristen kita harus menghormati bahwa tubuh pasangan kita adalah kudus. Sewaktu saya memegang-megang sembarangan, itu berarti saya mencemari tubuh yang kudus tersebut. Saya mau mengingatkan baik kepada pria maupun yang wanita, waktu engkau memberikan tubuh sembarangan yakinlah satu hal bahwa engkau telah membuat dirimu sangat murah di hadapan pasanganmu. Seorang pria pada umumnya akan menghormati wanita yang tidak bersikap sembarangan.

  2. Bagi yang sedang berpacaran ingatlah prinsip ini, semakin lambat semakin baik. Artinya jangan mengawali pacaran dengan hal-hal seksual atau jangan mengawali masa pacaran dengan tindakan fisik yang terlalu berani, terlalu cepat. Sebab kalau pada kali pertama sudah begitu cepat, tinggal tunggu waktu sebelum akhirnya melakukan hubungan seksual.

  3. Prinsip yang berikutnya yakni kita harus mempunyai tanggung jawab yang sama, yang konsisten antara di depan orang banyak, di depan publik dan hanya di antara kita berdua. Artinya janganlah kita melakukan hal-hal yang tidak berani kita pertanggungjawabkan secara umum.

Seks yang terlalu menjadi bagian dalam masa berpacaran akan mengaburkan perspektif orang yang sedang berpacaran. Mungkin ada ketidakcocokan yang seharusnya mereka sadari, tidak mereka sadari karena seks telah mengikat mereka. Mungkin ada hal-hal yang harus mereka tegaskan kepada pasangannya, tidak mereka tegaskan, karena seks telah memenuhi kebutuhan mereka.

I Korintus 6:19 , "Tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri."

Sekali lagi firman Tuhan menegaskan bahwa tubuh kita adalah rumah Allah, oleh karena itu tidak bisa kita berbuat sembarangan dengan rumah Allah.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang seks dalam berpacaran. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu ada salah seorang pendengar setia kita yang mengajukan sebuah pertanyaan, permasalahan, saya rasa cukup up-to-date untuk kita bicarakan saat ini yaitu tentang sampai seberapa jauh sebenarnya seseorang boleh melakukan hubungan seksual atau kontak-kontak dengan pasangannya itu, Pak Paul. Nah untuk membahas lebih jauh pertanyaan ini, persoalan ini, apakah ada yang Pak Paul ingin sampaikan?

PG : Pertama saya ingin membuka dengan cerita saya sendiri. Sebelum saya berpacaran saya dapat dikatakan tidaklah mengalami gangguan atau tidaklah mengalami suatu ketegangan menghadapi doronganseksual.

Saya lahir baru dan setelah lahir baru saya bisa menguasai hidup saya dengan relatif baik, tapi saya masih ingat sekali sewaktu saya mulai berpacaran, saya akhirnya mengalami pergumulan dalam hal membatasi hubungan saya secara fisik dengan pacar saya yang sekarang adalah istri saya. Permasalahan timbul karena sebelum berpacaran tidak ada orang di sebelah saya, namun sekarang setelah berpacaran ada orang di sebelah saya, dengan kata lain sekarang saya bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa saya lakukan sebelumnya. Dulu memang tidak ada pacar, tidak ada yang di sebelah saya, sekarang sudah ada orang di sebelah saya. Nah, masa-masa berpacaran menjadi masa-masa yang penuh dengan pergumulan buat kami berdua, karena kami senantiasa harus menjaga batas sampai seberapa jauh kami harus menahan diri kami. Saya harus akui bahwa itu adalah masa yang berat buat saya secara pribadi. Nah, sekarang saya ingin menempatkan diri saya sebagai seorang pemuda di abad ke 21 ini. Saya kira situasinya sudah sangat berbeda dengan waktu-waktu ketika saya masih berusia 20 tahun, ya lebih dari 20 tahun yang lalu. Sekarang kita bisa melihat begitu banyak adegan seksual melalui internet, melalui komputer yang ada di rumah kita sendiri, tidak lagi kita harus mencari-cari film-film porno di luar, kita bisa mendapatkannya dengan begitu mudah dalam jangkauan hampir setiap anak-anak, remaja atau pemuda dewasa ini. Dengan kata lain, saya harus mengakui bahwa godaan atau gangguan secara seksual meningkat berkali-kali lipat untuk generasi sekarang ini. Berikutnya saya harus menempatkan diri dalam generasi sekarang ini dan mengakui bahwa godaan itu begitu besar, karena dulu misalkan pada 20 tahun yang lalu kalaupun si pria ingin melakukannya, pada umumnya para wanita itu akan dengan cepat menolak usaha-usaha pria untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Namun seperti kita bahas pada kali yang terakhir, nilai-nilai moral sudah begitu sangat berubah sehingga sekarang bukan saja pria yang menganggap hubungan seksual itu tidak apa-apa, sekarang makin banyak kaum wanita yang menganggap itu juga tidak apa-apa, sehingga cukup banyak wanita, baik yang remaja maupun yang sudah pemudi, bersedia untuk melakukan hubungan seksual. Nah dari dulu prianya mau, dari dulu prianya siap, tapi dulu wanita tidak siap, sekarang wanitanya lebih siap untuk menyambut ajakan si pria untuk berhubungan seksual dengannya. Oleh karena itu sekarang bagi seorang pemuda, pada usia belasan tahun hingga usia 20-an dorongan seksualnya memang sedang mencapai puncaknya. Jadi saya bisa katakan seorang pria dan seorang wanita yang berpacaran dalam abad ini memang menghadapi suatu tantangan yang luar biasa beratnya. Dari luar tantangan sudah begitu berat, dari dalam dirinya gangguan atau gejolak seksual juga memang sedang pada puncaknya. Nah bagaimana dia menahan diri menghadapi semua ini memang merupakan perjuangan yang sangat besar, jauh lebih besar daripada perjuangan kita 20 tahun lebih yang lalu, sewaktu kita masih menjadi seorang pemuda.
(1) GS : Tapi panggilan Tuhan terhadap kita justru menjaga kesucian kehidupan ini, Pak Paul, baik yang pria maupun yang wanita. Tadi Pak Paul katakan dorongan itu begitu besar, godaan itu begitu besar, lalu apa yang harus dilakukan, Pak Paul?

PG : Nah, sekarang kita harus melakukan beberapa hal yang bersifat pencegahan, yang pertama adalah saya anjurkan bagi yang sedang berpacaran dari awalnya baik wanita maupun si pria harus menentkan batas fisik seberapa dekat mereka akan mendekatkan diri.

Dalam pengertian begini, dua-dua harus menyepakati hal apa yang boleh dilakukan dan hal apa yang tidak boleh dilakukan. Misalkan sudah tentu baik si pria dan si wanita harus menyepakati mereka tidak boleh menyentuh bagian-bagian tubuh yang erotis misalnya seperti payudara ataupun alat-alat kelamin mereka. Jadi dua daerah itu menjadi daerah yang tertutup, dua-duanya harus saling mengingatkan bahwa dua daerah ini adalah daerah yang tidak boleh mereka langgar. Yang berikutnya mereka juga harus membatasi diri dalam hal misalnya berpelukan, sebab waktu pria dan wanita berpelukan ke depan-depan sudah tentu akan ada sentuhan dengan anggota tubuh yang erotis, nah itu perlu juga dicegah. Jauh lebih baik berpelukan misalkan dari samping atau tidak mengenai bagian tubuh yang erotis tersebut. Yang berikutnya yang bisa dilakukan juga adalah menjaga berapa panas, berapa jauh berciuman, ciuman bisa menjadi sesuatu yang sangat lembut, tapi bisa menjadi sesuatu yang sangat bersifat erotis atau panas sekali. Nah, ciuman-ciuman yang lebih ke arah erotis itu yang harus dijaga, jadi saya menganjurkan bagi pasangan yang sedang berpacaran, dari awal dua-dua harus sudah membicarakan batas-batas apa yang harus dihormati kedua belah pihak.
GS : Jadi sebenarnya masing-masing harus tahu bagaimana caranya menjaga begitu Pak Paul yang satu pasangan berbeda dengan pasangan yang lain tentunya.

PG : Memang bisa berbeda, tapi saya berharap bedanya tidak terlalu besar, jadi bagi kita orang Kristen kita harus menghormati bahwa tubuh pasangan kita adalah kudus. Sewaktu saya memegang-megan sembarangan saya mencemari tubuh yang kudus tersebut, jadi baik pria maupun wanita harus melihat tubuhnya sebagai tubuh Tuhan yang kudus sehingga tidak boleh sembarangan mencemarinya.

Nah saya kira kalau dua orang ini, sudah kehilangan perspektif bahwa tubuh adalah tubuh Kristus yang kudus itu, dia akan mudah sekali mencemarinya. Tapi kalau dia menyadari bahwa ini adalah tubuh Tuhan yang kudus, dia lebih didorong untuk tidak melanggarnya atau mencemarinya. Dan yang lainnya lagi adalah bukankah waktu kita bisa sembarangan memegang tubuh pacar kita sesungguhnya respek kepada dia pun menurun, karena kita menganggap dia 'gampangan' dan segalanya yang gampangan tidak terlalu berharga. Jadi saya mau mengingatkan baik kepada pria maupun wanita, waktu memberikan tubuh sembarangan yakinlah satu hal bahwa engkau telah membuat dirimu sangat murah di hadapan pasanganmu. Nah, janganlah membuat diri kita menjadi begitu murah, hormati diri kita; kalau kita tidak menghormati diri kita, jangan berharap orang akan menghormati diri kita. Jadi mulai dengan menghormati diri sendiri baru orang akan menghormati diri kita. Kalau kita sembarangan memberikan tubuh kita, sama saja dengan kita berkata bahwa tubuh kita memang murah, silakan engkau berbuat sesukanya.
IR : Itu juga tergantung dengan iman seseorang ya Pak Paul, kalau iman mereka tidak kuat mungkin juga mudah untuk melakukan hubungan seks itu.

PG : Tepat sekali, kalau ada pasangan yang tidak mempunyai keyakinan sama seperti tadi telah saya paparkan, seks menjadi sesuatu yang bagi mereka boleh dilakukan asal keduanya sama-sama senang.Sebab tidak ada kaitannya dengan kehendak Tuhan.

GS : Nah, Pak Paul biasanya kaum pria itu lebih cepat terangsang, untuk menghindari hal-hal seperti itu pasti si wanita juga harus pandai-pandai menjaga jarak atau juga bahkan menolak. Tetapi seringkali yang menjadi permasalahan itu ada kekhawatiran juga dari pihak wanita, nanti kalau ditolak malah ditinggalkan.

PG : Betul sekali, jadi adakalanya wanita memberikan tubuhnya karena takut kehilangan pacarnya, nah ini adalah hal yang sangat salah dan saya juga mengerti ada pria yang sengaja memanfaatkan ha ini.

Misalnya pria yang mengancam bahwa kalau engkau mencintai saya, serahkan tubuhmu, jika engkau tidak memberikan tubuhmu berarti engkau tidak mencintai diriku. Nah, hal-hal seperti itu adalah tipuan, itu tipu daya, jadi kalau ada pria yang mengatakan seperti itu, si wanita harus langsung dengan tegas berkata engkau sedang menipu dirimu sendiri dan engkau tidak bisa menipu aku, sebab cinta tidak identik dengan penyerahan tubuh sebelum pernikahan. Cinta mengandung unsur menghormati, kalau kita mau memakai, mau mencemari tubuh orang, maka kita tidak menghormati orang tersebut. Nah, jadi wanita di sini juga harus bersikap tegas jangan sampai termakan oleh tipuan pria yang seperti itu. Pak Gunawan dan Ibu Ida mungkin juga pernah mendengar kasus-kasus di mana bukankah kalau sudah berhubungan seksual dan putus sebelum menikah, siapa yang paling dirugikan?
IR : Wanita.

PG : Tepat sekali, wanita yang langsung mengalami kerugian yang terbesar, nanti dia berpacaran dengan pria yang lain dia harus mengakui, sebab memang mempunyai bekasnya. Jadi akhirnya yang cuku sering terjadi adalah kalau hubungan ini sudah ditandai dengan hubungan seksual dan putus, si wanita itulah yang depresi berat.

Sampai-sampai ada yang kehilangan jati dirinya, sampai-sampai depresi tidak mau makan, bahkan ada yang akhirnya berpikiran untuk mengakhiri hidupnya, karena merasa hidupnya tidak ada lagi gunanya, semua yang berharga telah diberikan kepada pacarnya. Sekarang pacarnya pergi. Yang terutama, seorang pria pada umumnya akan menghormati wanita yang tidak bersikap sembarangan, justru kalau wanita itu bersikap begitu dan sembarangan memang si pria akan menikmatinya sebab dia akan mendapatkan kepuasan yang dia inginkan itu. Tapi dalam lubuk hatinya dia tidak lagi menghormati wanita itu. Jadi di hadapan si pria, wanita itu tidak ada lagi harganya.
IR : Wanita murahan, bisa dikatakan begitu, Pak Paul?

PG : Betul sekali dan dianggap sebagai wanita yang tidak lagi ada harganya. Jadi hati-hati dengan rayuan dan tipuan pria yang seperti itu. Untuk membuktikan cinta, berikan tubuhmu; jangan, itu dalah ancaman yang sama sekali salah.

IR : Nah, Pak Paul kalau sudah bercacat seperti itu, bagaimana tanggung jawab si laki-laki itu?

PG : Kalau memang mereka itu sudah berpacaran, saya kira yang harus dilakukan adalah mereka harus menikah. Namun saya juga mau mengatakan kalau mereka adalah dua orang yang tidak cocok, tidak aa kesamaan kepribadian, lebih sering diisi dengan pertengkaran, saya lebih menganjurkan mereka untuk tidak menikah.

Sebab dosa telah dilakukan itu betul, tapi jangan menimbun dosa dengan dosa-dosa yang lebih parah lagi. Nah saya mengetahui akhirnya ada kasus-kasus di mana karena dua-dua sudah saling berhubungan ya sudahlah langsung menikah, padahalnya tidak cocok sama sekali. Dua-duanya tidak cocok namun akhirnya terjerat oleh masalah seksual. Menikah dalam ketidakcocokkan, dalam waktu beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun persoalan mereka akhirnya menggurita, makin banyak problem, makin banyak percekcokan dan sekarang ada anak-anak. Akhirnya apa yang terjadi makin merugikan anak-anak dan akhirnya bercerai. Jadi saya juga mau berpikir lebih panjang lagi, memang seolah-olah menikahkan adalah hal yang paling benar, tapi saya yakin bukan untuk setiap kasus, karena kalau tidak cocok itu akan menimbulkan problem lain yang jauh lebih besar di kemudian hari.
GS : Saya rasa bukan cuma sekadar tidak cocok Pak Paul, kadang-kadang mereka masih terlalu muda untuk menikah.

PG : Betul, betul, bukankah adakalanya ini yang terjadi, misalkan umur 17 tahun berhubungan dan akhirnya hamil, kemudian orang tua biasanya langsung berkata dua-duanya harus dikawinkan. Itu belm tentu merupakan solusi yang paling baik untuk keduanya, belum tentu sama sekali ya, kalau memang tidak ada kecocokan, tidak ada kematangan, belum siap untuk menikah dan kita nikahkan, kita hanya memang bisa menutupi rasa aib kita untuk sejenak.

Tapi sebetulnya kita memunculkan problem lain yang lebih besar.
GS : Nah, sebagai makhluk sosial kalau sudah sampai terjadi hubungan yang sejauh itu, apakah ada dampaknya terhadap masyarakat yang ada disekelilingnya Pak Paul, maksud saya apakah masyarakat sekelilingnya itu bisa menerima keadaan seperti itu atau menolaknya atau bagaimana, Pak?

PG : Biasanya kalau sudah misalnya hamil sebelum nikah, biasanya akan tetap menjadi pergunjingan masyarakat. Nah, sudah tentu pergunjingan ini akan lebih banyak memberikan tekanan pada pasanganmuda ini.

Tapi itu memang konsekuensi yang harus dihadapi. Namun saya juga mau meminta agar kita di pihak Gereja tidak terus-menerus memberi sanksi sosial seperti itu, kita tidak menyetujui perbuatan tersebut tapi kita juga dipanggil Tuhan untuk mengampuni dan menerima kembali orang yang telah berdosa dan bertobat. Jadi jangan sampai kita bersifat kritis, mengucilkan mereka dan terlalu menghakimi, saya kira kita perlu juga menyambut mereka.
GS : Karena kadang-kadang kejadian itu sampai menimpa mereka, itu karena desakan orang-orang yang di sekelilingnya, masyarakat itu, Pak Paul. Mendesak pasangan yang masih muda ini, yang masih sedang berpacaran untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh mereka lakukan sebelum pernikahan, jadi dalam hal ini sebenarnya masyarakat juga punya tanggung jawab.

PG : Tepat sekali, tepat sekali, saya setuju dengan yang Pak Gunawan katakan sebab kita harus akui bahwa kita-kita ini memang yang lebih tua, kita-kita yang lebih dewasa, adakalanya tidak membeikan contoh yang baik pula.

Dan contoh-contoh yang tidak baik itu memberikan penguatan perilaku seksual anak-anak muda yang lebih bebas sekarang, jadi memang kita orang-orang yang lebih tua tidak bisa semena-semena hanya menyalahkan anak-anak remaja. Kita harus melihat juga diri kita, apa yang kita telah lakukan, apakah kita memang merintangi mereka, atau tanpa disadari kita seolah-olah mengijinkan mereka untuk berbuat seperti itu.
GS : Katakanlah kita menemui pasangan di jalan atau di mana, yang agak terlalu berlebihan kita pun segan untuk menegur mereka, Pak Paul.

PG : Jadi memang akhirnya kita juga yang menoleransi perbuatan itu.

GS : Ya semacam itu, sekarang seringkali kita melihat pasangan muda-mudi, yang pacaran di tempat umum dengan sangat demonstratif, berlebihan sekali, tapi tetap masyarakat bisa menerima itu.

PG : Jadi Pak Gunawan menyarankan agar kita lebih kritis, lebih berani untuk menegur hal-hal yang memang sudah melewati batas kewajaran.

GS : Tapi buat pasangan muda-mudi ini dianggap sesuatu yang wajar, pacaran ya seperti itu. Itu yang mereka lihat di TV, mereka lihat di film dan sebagainya.

PG : Maka kita sebagai orang tua Kristen, kita dipanggil untuk memberikan bimbingan pada anak kita ya, mungkin kita tidak bisa menegur dan membimbing anak-anak orang lain tapi kita minimal dipaggil untuk membimbing anak-anak kita sendiri.

Saya juga mau mengingatkan nasihat yang lainnya Pak Gunawan, bagi yang sedang berpacaran ingat prinsip ini, semakin lambat semakin baik, artinya jangan mengawali pacaran dengan hal-hal seksual atau jangan mengawali masa pacaran dengan tindakan fisik yang terlalu berani, terlalu cepat. Sebab kalau pada kali pertama sudah begitu cepat, tinggal tunggu waktu, sebelum akhirnya melakukan hubungan seksual. Jadi dari awalnya jangan mulai terlalu cepat, mulai bergandengan tangan, pertahankan bergandeng tangan selama mungkin. Misalkan yang lainnya mulai dengan mengecup pipi, pertahankan selama mungkin hanya mengecup pipi, jadi pertahankan tidak menaikkan kadarnya dan itu akan menolong kita. Sekali kita langgar, sekali kita kebablasan, kita akan minta yang lebih dari itu pada kemudian harinya; jadi ini prinsip yang harus disadari oleh yang sedang berpacaran.
GS : Tetapi mungkin kita-kita yang pernah mengalami berpacaran, hal itu semacam suatu petualangan Pak Paul, jadi kalau yang itu-itu juga itu akan cepat membosankan dan kita selalu dituntut lebih dari itu.

PG : Saya setuju sekali karena dorongan itu memang dari dalam diri kita dan rasa ingin tahu begitu besar, maka saya mau memberikan prinsip yang berikutnya yakni kita harus mempunyai tanggung jaab yang sama, yang konsisten antara di depan orang banyak, di depan publik dan hanya di antara kita berdua.

Artinya janganlah kita melakukan hal-hal yang tidak berani kita pertanggungjawabkan secara umum. Kalau misalkan kita sudah memegang-megang anggota seksual daripada pasangan kita sudah tentu kita tidak akan berani membicarakan ini di depan umum karena ini hal yang bagi kita salah. Nah prinsipnya adalah di depan umum dan berdua harus sama, kalau ada yang tidak sama berarti ada yang sudah terlalu jauh kita lakukan, itu berarti kita harus mundur kembali. Seks yang terlalu menjadi bagian dalam masa berpacaran akan mengaburkan perspektif orang yang sedang berpacaran. Mungkin ada ketidakcocokkan yang seharusnya mereka sadari, tidak mereka sadari karena seks telah mengikat mereka. Mungkin ada hal-hal yang harus mereka tegaskan kepada pasangannya, tidak mereka tegaskan, karena seks telah memenuhi kebutuhan mereka. Ada banyak hal yang akan dikaburkan oleh seks oleh karena itu kalau masa berpacaran terlalu diisi dengan seks, biasanya setelah menikah problem akan muncul dengan begitu banyaknya, karena ada banyak hal yang seharusnya diperhatikan tidak lagi diperhatikan, semua luput dari perhatian karena seks telah mengisi aktifitas berpacaran.
IR : Jadi itu termasuk membutakan, ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Ida, jadi membutakan mata karena yang di dapat itu terlalu nikmat, jadi kenapa harus pusing-pusing memikirkan pertengkaran yang lainnya. Semua langsung ditutupi dengan hubugan seks, malangnya setelah menikah, seks tidak lagi menempati posisi yang begitu tinggi dalam pernikahan, sebab semuanya menjadi biasa.

Nah pada saat itulah kita makin menyadari bahwa kita ini tidak cocok dengan pasangan kita, itu sebabnya masa berpacaran sebaiknya dan seharusnya tidak diisi dengan aktifitas seksual untuk kepentingan kedua orang ini pula.
GS : Nah, bagaimana Pak Paul kalau terjadi misalnya di dalam hal berpacaran ada pihak yang memang menyerahkan dirinya terhadap pasangan yang lain, apa sebenarnya yang mendorong atau melatarbelakangi si remaja itu, dia terang-terangan memberikan dirinya.

PG : Kadangkala hal itu dilakukan karena si remaja berpikir inilah yang harusnya dilakukan pada masa berpacaran.

GS : Pengertian yang keliru begitu saja.

PG : Pengertian yang keliru, nah jadi ini yang harus kita tegaskan. Orang yang berpacaran seharusnya tidak berhubungan seksual. Nah nilai moral sekarang sudah begitu bergeser sehingga ada anakanak remaja yang berpikir ini bagian dari berpacaran, kalau tidak ini justru bukan bagian berpacaran.

Dan yang tadi Pak Gunawan sudah singgung ada anak-anak yang takut kehilangan pacarnya sehingga akhirnya melakukan hubungan seksual untuk mengikat hubungan yang memang tidak kuat ini.
GS : Nah sejauh ini, Pak Paul, apa yang Firman Tuhan itu mau berikan sebagai bekal, sebagai pedoman khususnya bagi saudara-saudara kita yang sedang berpacaran.

PG : Saya akan ingatkan dari 1 Korintus 6:19 , "Tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan bahwakamu bukan milik kamu sendiri."

Jadi sekali lagi Firman Tuhan menegaskan bahwa tubuh kita adalah rumah Allah, oleh karena itu tidak bisa kita berbuat sembarangan dengan rumah Allah. Kalau kita membaca Firman Tuhan pada Perjanjian Lama, kita tahu Tuhan sangat tegas dengan kekudusan rumah Allah dengan yang namanya persembahan-persembahan di rumah Allah, itu sebabnya kedua anak Harun langsung meninggal karena memberikan persembahan dengan tidak benar. Anak-anak Imam Eli dihukum dengan kematian pula, melakukan hal yang tidak benar dalam peribadatan rumah Allah, raja Manasye mengotori rumah Allah dan Tuhan menghakiminya, jadi Tuhan sangat serius dengan rumah-Nya. Nah tubuh kita rumah Allah, jadi kita harus sadar bahwa kita tidak boleh main-main dengan rumah Allah, yakni tubuh yang Tuhan huni ini. Nasihat saya yang terakhir adalah meskipun kita bergumul jangan menyerah, hari ini kita menyerah, besok lawan lagi, jangan sampai kita berkata ya memang sudah nasib saya, saya tidak bisa menguasai nafsu saya, memang inilah saya, malangnya saya tidak, jangan menyerah dan jangan menurunkan standar Tuhan, yang tidak boleh tetap tidak boleh. Meskipun kita bergumul jangan sampai kita menyerah, ini nasihat saya.
IR : Dan kalau sudah melakukan, mereka harus bertobat, Pak Paul?

PG : Betul, jadi kalau sudah melakukan mereka harus berhenti, karena apa jangan sampai menyerah, ingat ini adalah tubuh Tuhan, rumah Tuhan harus dihormati.

GS : Saya percaya sekali bahwa perbincangan kita ini sebagian besar tentu akan menjawab pertanyaan dari salah seorang pendengar yang begitu perhatian dengan acara ini dan telah mengirimkan surat kepada kami, kami ucapkan terima kasih melalui kesempatan ini kepada saudara kita yang mengajukan pertanyaan yang sangat relevan ini. Dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang seks dalam berpacaran. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



16. Anak dan Televisi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T066A (File MP3 T066A)


Abstrak:

Banyak pengaruh atau dampak yang muncul akibat adanya televisi. Baik itu berdampak positif maupun berdampak negatif khususnya bagi anak-anak.


Ringkasan:

Kehadiran televisi dan acara-acaranya itu pasti membawa dampak dan pengaruh pada anak, khususnya anak-anak yang masih di bawah usia 10 atau 9 tahun. Pada saat ini kita perlu sedikit memeriksa apa dampak televisi pada anak-anak. Untuk memulai hal itu, kita perlu melihat siapakah dan apakah keadaan anak, terutama yang berusia di bawah 10 atau 9 tahun tadi.

  1. Pertama yang harus kita ketahui adalah anak-anak pada usia-usia segitu berada pada tahap pemikiran yang konkret, mereka belum mampu berpikir dengan abstrak. Pada usia-usia ini anak-anak belum bisa memisahkan yang fiksi dari yang realitas.
    Contoh-contoh tentang anak-anak belum bisa membedakan yang fiksi dan yang riil:

    1. Dalam film ada anak yang diculik, anak ini mudah sekali mempunyai anggapan bahwa penculikan itu terjadi di mana-mana, bahwa anak-anak kecil itu korban penculikan, jadi dia senantiasa harus berhati-hati.

    2. Anak-anak ikut-ikutan orangtua menonton sinetron, misalnya kisah perselingkuhan, anak kecil bisa mengembangkan pikiran bahwa semua pria itu tidak setia pada istrinya, atau dia juga mengembangkan pikiran bahwa papanya juga salah seorang kandidat ketidaksetiaan.

    3. Kehidupan para tokoh di sinetron yang super mewah, nah anggapan si anak kalau tidak hati-hati adalah nanti kalau saya sudah besar saya pun akan kaya seperti itu.

  2. Kedua, anak-anak ini berada pada tahap pembentukan moralitas. Prinsip di sini adalah apa yang dilakukan pahlawannya adalah apa yang benar. Pada saat pembentukan moralitas inilah si anak mulai menentukan apa yang benar, apa yang salah.
    Dalam rangka pembentukan moralitasnya, anak menganggap apa yang dilakukan oleh pahlawannya itu selalu benar. Contoh konkret misalnya:

    1. Kalau pahlawannya itu menembak atau membunuh atas nama kebenaran, si anak akan senang sekali. Tanpa disadari si anak mempunyai suatu nilai atau moralitas bahwa selama kita membunuh penjahat itu adalah tindakan yang benar.

    2. Menghancurkan musuh itu tidak salah malah seolah-olah dianjurkan. Misalnya dalam film Rambo, anak-anak akan mempunyai pikiran tidak apa-apa asal kita berada di pihak yang benar.

    3. Di fim-film kecenderungan ditonjolkan bahwa orang miskin selalu berada di pihak yang dirugikan atau menjadi pihak yang benar, sedangkan seorang kaya selalu di pihak yang salah. Padahal dalam kehidupan tidaklah selalu demikian, kalau tidak hati-hati anak-anak mulai mengembangkan pikiran bahwa orang kaya itu jahat, orang kaya itu suka menghina dan menekan orang miskin. Dsb.

Kuncinya terletak pada setiap orangtua: Bagaimana kita mengatur waktu kapan boleh atau tidak boleh menonton televisi, serta memberikan pengarahan dsb. Saran saya adalah orangtua duduk bersama anak-anak waktu menonton acara anak- anak sehingga kita mempunyai gambaran kira-kira apa sih yang ditonton. Secara keseluruhan banyak manfaat yang televisi berikan, asal kita sortir acaranya dan kita bimbing anak-anak kita.

Filipi 4:8 , "Jadi akhirnya saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." Tuhan menginginkan kita memasukkan hal yang baik, yang indah ke dalam pikiran kita, jangan sampai kita mengotori pikiran kita. Maka kita yang harus melindungi anak-anak kita dari pikiran-pikiran yang bisa mencemari mereka. Baik seks yang terlalu dini, film yang terlalu menegangkan, atau kisah kehidupan yang tidak riil sama sekali, semua itu perlu anak-anak kita sadari dan ditangkal olehnya sehingga tidak menyerapnya dan membabi buta. Memang semakin lama semakin sulit dilakukan, tetapi tanpa seleksi itu akan lebih sulit untuk memperbaiki kehidupan anak itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang acara televisi dan anak. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Televisi rupanya sudah umum ada di setiap rumah, bahkan sampai di pelosok-pelosok pun ada pesawat televisi, ya Pak Paul. Dan sekarang makin banyak saluran-saluran televisi dan acaranya makin beragam. Nah, kehadiran televisi dan acara-acaranya itu pasti membawa dampak pada anak, khususnya anak-anak yang masih di bawah usia 10 atau 9 tahun. Menurut pengamatan Pak Paul bagaimana itu terjadinya, Pak?

PG : Televisi adalah sesuatu yang menayangkan kisah-kisah yang menarik, menggugah dan memang dikemas sedemikian rupa untuk bisa menarik para pemirsanya. Saya kira pada saat ini kita perlu meeriksa apa dampak televisi pada anak-anak.

Nah untuk memulai hal itu, Pak Gunawan, kita perlu melihat pertama-tama siapakah atau bagaimanakah keadaan anak terutama pada anak-anak yang berusia di bawah 10 atau 9 tahun tadi. Yang pertama adalah anak-anak pada usia itu berada pada tahap pemikiran yang konkret, mereka belum mampu berpikir dengan abstrak. Maksudnya anak-anak ini belum mampu untuk melihat hal yang tidak tampak dan hal yang tampak. Dengan kata lain, bagi si anak apa yang dilihat adalah apa yang terjadi, misalkan dia melihat hal yang menakutkan, ada laba-laba yang bisa memakan manusia. Nah, bagi si anak itu adalah hal yang terjadi yakni laba-laba itu bisa memakan manusia, karena pada usia-usia ini anak-anak belum bisa memisahkan yang fiksi dari yang realitas.
IR : Kalau ada acara silat, pembunuhan, yang ada di bayangan si anak juga terjadi, ya Pak Paul?

PG : Betul, jadi pada anak-anak yang masih kecil itu waktu dia melihat seseorang terbunuh dalam film, baginya orang itu memang terbunuh. Karena dia belum bisa mengetahui lebih jelas bahwa in adalah suatu adegan yang dimainkan oleh para aktor, ini adalah sesuatu yang sangat riil sekali.

Karena itulah yang dia lihat dalam kehidupannya sehari-hari, misalkan dia melihat teman-temannya bermain bola, yang dia lihat adalah teman-teman yang bermain bola itu yang riil bagi dia, dia melihat adiknya menangis, itulah yang riil bagi dia. Dan misalkan kita memarahi dia karena adiknya menangis, dia perlu tahu apa yang dia lakukan sehingga membuat adiknya menangis. Jadi kita pun mengajar anak-anak di bawah usia 9 tahun haruslah secara konkret, itu sebabnya kita mengatakan pada anak kita kalau engkau membuat adikmu menangis karena tadi engkau atau kemarin engkau tidak memberikan mainanmu kepadanya sehingga dia masih terluka dan dia sekarang memintanya kembali padamu. Nah bagi dia hal yang terjadi kemarin itu sesuatu yang tidak lagi riil, dia akan mengalami kesukaran untuk melihat perbuatannya kemarin yang mempunyai dampak pada adiknya sekarang. Sekali lagi apa yang dilihat, apa yang terjadi dia belum bisa membedakan dengan yang dalam bayangan atau yang fisik dari yang realitas.
GS : Di sana peranan orang tua itu besar sekali, orang tua bisa mengatakan itu bohong-bohongan dan sebagainya.

PG : Meskipun orang tua bisa berkata itu bohong-bohongan, tapi dampak emosional dari apa yang dilihatnya sudah terlanjur menggetarkannya dan sudah terlanjur tercetak pada dirinya. Jadi misalan kepada anak-anak itu disajikan tontonan yang terlalu menakutkan untuk ukurannya, dampak ketakutan atau ketegangan itu sudah terlanjur diterimanya.

Contoh yang paling mudah sekali di kalangan kita, orang-orang dewasa suka menceritakan kisah-kisah hantu pada anak-anak kecil. Nah, kita semua tahu bahwa setelah kita beranjak lebih dewasa, kisah-kisah itu tidak benar dan tidak masuk akal. Tapi kita harus mengakui bahwa dampak dari hantu yang diceritakan orang tua kepada kita terlanjur terserap dan itu sebabnya membawa dampak dalam kehidupan kita. Misalkan kita takut melewati kuburan pada malam hari, sebab pada waktu kecil kita terlalu sering mendengarkan kisah-kisah yang menakutkan tentang kuburan yang banyak hantunya dan sebagainya. Kita sekarang sudah dewasa dan mengerti itulah cerita yang dibuat orang pada kita dan itu tidak benar, tapi sebetulnya kita juga bukan orang yang terlalu senang untuk pergi ke kuburan pada malam hari.
GS : Selain anak belum bisa membedakan antara yang fiksi dan riil, apa ada hal lain yang membuat anak harus waspada terhadap dampak televisi ini, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah anak-anak berada pada tahap pembentukan moralitas, prinsipnya di sini adalah apa yang dilakukan pahlawannya adalah apa yang benar. Anak-anak sekali lagi berada pada taap pemikiran yang konkret dan pada saat pembentukan moralitas ini si anak mulailah menentukan apa yang benar, apa yang salah.

Apa yang benar apa yang salah itu diserapnya bukan saja dari yang orang tua katakan, apa yang guru Sekolah Minggu katakan, tapi juga apa yang dikatakan oleh teman-temannya. Nah, termasuk dalam hal ini adalah apa yang dia tangkap dari televisi. Jadi cerita-cerita yang dia tonton biasanya mempunyai figur pahlawan, apa yang pahlawannya lakukan dianggapnya sebagai suatu hal yang benar. Dia belum mempunyai kemampuan untuk menyortir, misalnya yang kita sebut etika situasi, juga dia belum bisa mengerti bahwa ada etika yang absolut. Pokoknya apa yang dilakukan oleh pahlawannya atau istilah kita jagoannya, itu sudah pasti benar.
GS : Sekalipun itu membunuh orang, Pak Paul?

PG : Ya, jadi karena pola pikirnya yang masih konkret itulah yang menjadi kebenarannya.

GS : Bagaimana halnya kalau yang dilihat itu adalah sebuah film kartun. Di situ ada gambar, tapi ada juga tokoh-tokohnya, dari situ sebenarnya anak sudah bisa membedakan mana yang fiksi dan mana yang benar.

PG : Dari film-film kartun memang dampak riilnya sangat berbeda dari film yang lebih nyata, karena film yang nyata lebih mirip dengan kehidupan yang dilaluinya. Film kartun lebih mudah diterma anak sebagai sesuatu yang tidaklah riil di dalam kehidupannya.

Namun tetap harus saya ingatkan bahwa apa yang dilihatnya tetap akan diserapnya. Dia tidak menyerapnya secara langsung, otomatis dia akan menyerapnya tanpa sadar. Nah apa yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan kartunnya, tanpa disadari akan dianggap sebagai sesuatu yang benar.
IR : Kalau seringkali anak-anak itu melihat hal-hal yang buruk, dampaknya itu apa, Pak Paul?

PG : Kalau dia melihat hal-hal yang buruk misalnya dia melihat gambar-gambar yang penuh kekerasan, kekelaman, saya kira akan membuat dia melihat bahwa dunia adalah sesuatu yang penuh dengan ekejaman sehingga bisa membuat dia merasa tidak aman.

Atau dia merasa, dia harus melakukan hal yang sama kepada orang lain.
GS : Kalau apa yang dilihatnya itu terjadi berulang-ulang, nah lama-kelamaan akan muncul semacam keyakinan di dalam dirinya. Bagaimana itu?

PG : Biasanya waktu anak melihat sesuatu secara berulang kali, yang terjadi adalah toleransi. Dia mulai menoleransi bahwa yang terjadi itu sesuatu yang memang biasa, sesuatu yang harus diharpkannya terjadi dalam hidup ini.

Reaksi-reaksi yang seharusnya muncul misalnya reaksi jijik, reaksi ini tidak benar, akan hilang. Jadi misalkan cerita pembunuhan, seseorang ditusuk, bagi si anak mula-mula dia akan memberikan reaksi yang sangat keras terhadap tindakan tersebut, tapi kalau dia terlalu sering menyaksikannya, maka terbentuklah toleransi, dia mulai merasa bahwa itu biasa dan tidak lagi menimbulkan reaksi yang tidak enak pada dirinya.
GS : Maksudnya kebal, Pak Paul?

PG : Betul jadi terjadilah proses pengebalan pada perasaannya, dia tidak lagi merasa terganggu dengan yang dilihatnya itu.

GS : Apa yang ditayangkan di televisi tidak semuanya jelek, ada juga acara untuk anak-anak. Tadi kita bicarakan dari sisi negatif, Pak Paul, apa sisi positifnya ada?

PG : Sudah tentu banyak Pak Gunawan, jadi televisi itu mempunyai unsur-unsur hiburan, rekreasional dan itu bisa memberikan anak kesempatan untuk merasa santai, tidak terlalu tegang. Jadi apayang dilihatnya bisa membawa penghiburan baginya, kesenangan hatinya, menenangkan jiwanya, itu merupakan hal yang positif.

Tapi saya mau tegaskan sekali lagi bahwa orang tua perlu menolong anak menyeleksi apa yang dilihatnya. Saya tidak menginginkan orang tua panik atau mengalami reaksi histeris, anak tidak boleh nonton televisi, bukan itu maksud saya. Tujuan saya adalah orang tua bisa selektif memberikan tayangan yang sesuai dengan usia anak. Saya berikan contoh untuk kasus yang pertama tadi, Pak Gunawan, tentang anak-anak yang belum bisa membedakan yang fiksi dan yang realitas atau riil. Misalkan di dalam film ada anak yang diculik, anak ini mudah sekali mempunyai anggapan bahwa penculikan itu terjadi di mana-mana. Bahwa korban penculikan adalah anak-anak kecil, jadi dia senantiasa harus berhati-hati. Kita tahu bahwa penculikan terjadi, tapi kita tahu itu tidak terjadi pada setiap anak atau terjadi di mana-mana, tapi anak-anak belum bisa berpikir secara abstrak seperti itu. Contoh yang lain lagi untuk kasus yang konkret misalnya anak-anak ikut-ikutan orang tua menonton sinetron, nah saya memperhatikan cukup banyak sinetron yang berisikan kisah perselingkuhan dan biasanya si suami yang berselingkuh. Anak kecil bisa mengembangkan pikiran bahwa semua pria itu tidak setia pada istrinya, nah saya khawatir si anak mulai mengembangkan pemikiran pula bahwa papanya juga salah seorang kandidat ketidaksetiaan, bahwa papanya bisa-bisa mempunyai wanita lain. Jadi misalkan si anak melihat papanya berbicara dengan seorang wanita, yang muncul dalam hatinya adalah suatu kecurigaan, nanti papa tertarik pada wanita itu, atau misalkan nantinya ada pertengkaran di rumah, si anak langsung mengaitkan bahwa tadi papa bertengkar karena ada wanita lain, ini harus kita waspadai. Sekali lagi karena apa apa yang dilihatnya dari film atau sinetron itu ialah pria berselingkuh, pria tidak setia, jadi anggapannya semua pria seperti itu. Yang lainnya lagi juga saya lihat di televisi terutama di sinetron bahwa kehidupan para tokoh-tokoh itu kehidupan yang super mewah, mobil yang sangat mewah, rumah yang sangat mewah, baju, berlian yang sangat mewah. Anggapan si anak kalau tidak hati-hati adalah nanti kalau sudah besar, dia akan berpikiran kaya seperti itu. Karena anak belum bisa mengerti bahwa tidak semua orang akan kaya dan untuk kaya seperti itu memerlukan usaha yang keras, kerja yang memang benar-benar harus serius dan kesempatan, tanpa adanya peluang mungkin tidak mendapatkan pekerjaan seperti itu dan sebagainya. Dia belum bisa mengerti seperti itu, pada anak-anak kecil yang dilihat adalah orang-orang ini sesudah dewasa menjadi kaya. Sebab memang kita tahu dalam film atau sinetron-sinetron itu kebanyakan tokohnya adalah orang dewasa, jarang anak kecil, jadi anggapannya setelah dewasa saya juga akan menjadi kaya, itu sesuatu yang otomatis akan saya alami. Nah sekali lagi ini disebabkan oleh pola pikir anak yang sangat konkret. Hal-hal ini kalau ditonton oleh anak, orang tua harus menetralisirnya. Misalnya dengan berkata bahwa tidak seperti itulah kehidupan, berkat Tuhan untuk masing-masing orang, tidak semua orang akan secantik para bintang film itu, tidak semua ibu tiri jahat. Bukankah kita seringkali mempunyai pikiran, praduga bahwa semua ibu tiri itu jahat dan pasti akan membuang anak-anak kandung dari ayahnya. Bukankah karena memang dari bacaan atau film yang kita tonton, jadi sekali lagi itu semua mempengaruhi kita. Saya sendiripun waktu masih kecil dipengaruhi pikiran bahwa semua ibu tiri jahat, karena selalu ditayangkannya seperti itu, nah ini dampak-dampak yang perlu kita ketahui.
GS : Kalau yang kedua Pak Paul, tadi dikatakan bahwa anak dalam rangka pembentukan moralitasnya sehingga apa yang dilakukan oleh pahlawannya itu dianggap benar, bagaimana contoh-contoh konkretnya di televisi?

PG : Yang bisa saya pikirkan misalnya kalau pahlawannya itu menembak atau membunuh atas nama kebenaran si anak akan senang sekali, jadi tanpa disadari si anak mempunyai suatu nilai atau moraitas bahwa selama kita ini membunuh penjahat itu adalah tindakan yang benar.

Jadi benar salahnya anak sangat kaku sekali, karena didasari atas apa yang dilakukan oleh tokoh jagoannya atau tokoh pahlawannya. Misalnya seseorang dihina kemudian jagoannya datang, jagoannya langsung memukul yang menghina itu, nah kita mungkin bertepuk tangan dalam hati kita senang, kita mengunggulkan jagoan kita memukul orang yang menghina orang yang lemah tadi. Ini menjadi konsep kebenaran si anak, ini menjadi nilai moralnya si anak, nanti di sekolah kalau ada temannya yang lemah sepertinya diejek-ejek oleh teman yang lebih kuat dia mungkin langsung tergoda untuk membela dengan membabi buta dan memukul atau berkelahi dengan teman dan sebagainya. Jadi itu adalah salah satu hal yang perlu kita waspadai. Yang lain misalnya menghancurkan atau membasmi musuh itu tidak salah seolah-olah dianjurkan, apalagi kalau anak kecil menonton film Rambo. Rambo itu pahlawan yang bisa menghancurkan, membumihanguskan musuhnya dan sebagainya. Anak-anak akan mempunyai pikiran tidak apa-apa asalkan kita berada di pihak yang benar, kita boleh membasmi, membumihanguskan, membakar dan membunuh. Sekali lagi moralitas film ditransfer kepada si anak dan anak mempunyai pikiran tidak apa-apa membasmi orang sampai habis, asalkan kita merasa berada di pihak yang benar. Itu sangat berbahaya sekali sebab nantinya dia di pihak yang benar, lawannya juga bisa berpikir saya di pihak yang benar pula misalnya. Yang lainnya lagi adalah konteks orang miskin dan orang kaya, bukankah di film-film ada kecenderungan ditonjolkan bahwa orang yang miskin selalu berada di pihak yang dirugikan atau menjadi pihak yang benar. Sedangkan orang yang kaya selalu di pihak yang salah, nah kita tahu dalam kehidupan tidaklah selalu demikian, yang miskin tidak secara otomatis berada di pihak yang benar. Kalau tidak hati-hati anak-anak mulai mengembangkan pemikiran bahwa orang kaya itu jahat, orang kaya itu suka menghina dan menekan orang-orang miskin. Tapi di pihak lain dia juga ingin kaya, tadi saya sudah singgung ya. Jadi hal-hal itu tidak sehat kalau tidak dikoreksi oleh orang tua.
IR : Kalau anak itu melihat berkali-kali dan apa yang paling sering dilakukan itu sama dengan apa yang seharusnya dilakukan, akibatnya apa, Pak Paul?

PG : Anak-anak seringkali begini, Bu Ida, waktu dia melihat sesuatu yang sering ditayangkan, sering dilakukan, dia beranggapan itu yang seharusnya dia lakukan, jadi sering dilakukan identik engan seharusnya dilakukan.

Misalnya dia melihat orang berbohong, asalkan tidak merugikan orang lain boleh saja. Tapi selama berbohong itu tidak merugikan, misalkan dibuat bergurau ya tidak apa-apa atau berbohong itu membuat suasana lebih riang, lebih lucu. Jadi karena sering dilakukan dia menganggapnya sebagai sesuatu yang memang seharusnyalah dilakukan, normal, sesuatu yang biasa. Yang lainnya lagi contohnya kalau tidak hati-hati anak-anak juga mulai menonton adegan-adegan seks, nah mungkin muncul suatu keyakinan bahwa seks dibolehkan asal dilakukan karena cinta dan seharusnya dilakukan setelah kencan pertama. Kalau tidak hati-hati, anak-anak akan membentuk keyakinan seperti ini, sebab anak-anak di bawah usia-usia 9-10 tahun ini sedang berada pada tahap pembentukan keyakinan, kepercayaan-kepercayaan seperti ini. Dia melihat di film 2 orang bertemu, berkencan kemudian tidur bersama-sama. Nah dia menonton ini misalnya 1 tahun seratus kali, dari umur misalnya 7, 8 tahun sampai dia umur 18 tahun misalnya sudah 10 tahun, 10x100 kali berarti 1000 kali dia melihat adegan seperti ini, tidak bisa tidak, hal itu sudah dipatrikan pada benaknya. Nanti dia umur 25, tujuh tahun kemudian misalkan dia sudah nonton ini dari awalnya sampai umur 25 sudah 2000 kali, waktu dia pertama kali kencan, tanpa disadari godaan itu sudah ada pada dirinya. Kencan pertama seolah-olah harus diikuti oleh sikon atau urutan ranjang, jadi itu adalah hal-hal yang berpotensi membentuk keyakinan anak. Yang lainnya lagi dalam tahapan pembentukan keyakinan misalnya menerima perbedaan adalah segalanya, sikap menghakimi dianggap sebagai sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Jadi kesimpulannya, anak-anak akan bisa berkata o.... jangan menerapkan konsep benar salah artinya jangan menghakimi. Yang lebih dianjurkan adalah menerima, tidak apa-apa orang berbuat seperti apapun itu, orang bebas mempunyai keyakinannya, moralitasnya. Jadi akhirnya anak-anak bertumbuh besar tanpa keyakinan benar salah lagi yang absolut. Sebab segala sesuatunya akan jadi relatif, tergantung pada pelakunya karena tayangan-tayangan yang ditontonnya memberikan pesan-pesan seperti itu, tidak apa-apa, yang penting kita bisa saling menerima, menoleransi dan menghormati. Oleh karena itu orang tua perlu waspada dan mengoreksinya.
GS : Jadi memang kuncinya terletak pada orang tua itu, bagaimana mengatur jam televisi itu boleh dilihat dan memberikan pengarahan. Masalahnya orang tua jarang mendapat bimbingan untuk itu.

PG : Saran saya adalah orang tua duduk bersama anak-anak waktu menonton acara anak-anak sehingga kita mempunyai gambaran kira-kira yang ditonton. Saya dan istri saya juga tidak senantiasa meonton bersama anak, tapi ada beberapa kali misalnya seminggu kami akan duduk bersama, sehingga kita bisa menilai apakah cocok ditontonnya dan apakah perlu toleransi, perlu koreksi yang kita harus berikan pada anak kita.

GS : Dan biasanya di sana anak juga akan menyangkal atau membantah apa yang orang tua katakan, Pak Paul?

PG : Betul, itu menjadi ajang diskusi, hal yang positif, saya setuju dengan Pak Gunawan. Televisi tidak semuanya jelek, banyak hal yang bagus dan memang sangat bermanfaat. Saya secara keseluuhan berkata televisi banyak manfaatnya asalkan kita sortir dan bimbing anak-anak kita.

GS : Dalam hal ini, Pak Paul, tentu ada Firman Tuhan yang bisa menjadi pegangan dan menjadi pedoman bagi orang tua khususnya.

PG : Saya akan bacakan dari Filipi 4:8 , "Jadi akhirnya saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap idengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."

Jadi memang Tuhan menginginkan kita memasukkan hal yang baik, yang indah ke dalam pikiran kita. Jangan sampai kita mengotori pikiran kita. Kita harus melindungi anak-anak kita dari pikiran-pikiran yang bisa mencemarinya, baik itu seks yang terlalu dini, baik itu film yang terlalu menegangkan atau baik itu kisah kehidupan yang tidak riil sama sekali. Anak-anak kita perlu menyadari dan menangkalnya sendiri sehingga tidak menyerapnya dan membabi buta.
GS : Memang semakin lama semakin sulit dilakukan Pak Paul, tetapi tanpa seleksi akan lebih sulit untuk memperbaiki kehidupan anak itu.

PG : Tepat sekali.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang acara televisi dan anak. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



17. Anak dan Video Game


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T066B (File MP3 T066B)


Abstrak:

Video games dan play-station merupakan suatu benda baru yang dekat dengan anak-anak. Benda ini tidak harus berkonotasi negatif atau jelek. Karena benda ini juga dapat berperan positif bagi anak-anak. Tetapi di sini orangtualah yang perlu berperan untuk mengatur sebaik mungkin agar tidak merugikan anak.


Ringkasan:

Ada orang memanggil abad kita sekarang ini sebagai abad informasi, abad telekomunikasi, atau abad teknologi tinggi. Saya memanggil abad ini adalah abad layar karena kalau kita perhatikan banyak hal yang sekarang kita lakukan, itu dilakukan di depan layar. Yang sekarang lagi marak dan populer adalah permainan video game atau play-station.

Biasanya video game dan play-station ada beberapa jenis:

  1. Adalah untuk hiburan. Ada game yang memang hanya bersifat hiburan, tidak ada tantangan-tantangan dan yang diperlukan hanya konsentrasi.

  2. Adalah unsur misteri, cukup banyak video game dan play-station game yang memuat aspek-aspek misteri.

Yang cukup sering dimainkan sekarang adalah jenis pertandingan, pertandingan ini bisa 2 orang bertanding atau berkelahi. Ada juga game yang memang khusus dibuat untuk mendidik, misalnya ada yang melatih anak untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Sekali lagi, dalam hal ini peran orang tua itu sangat besar. Saran yang bisa saya sampaikan kepada para orang tua, supaya kalau anak-anaknya memainkan video game atau play-station, mereka bisa memainkan itu dengan aman, adalah: Kita perlu memperhatikan dampak game itu pada anak-anak kita karena semua anak unik tidak sama. Ada anak yang memang dasarnya agak pasif, agak lembut, agak penurut, tapi ada anak yang dasarnya agak keras dan bersifat fisik sekali alias dia akan bersifat agresif.

Beberapa dampak yang mungkin orangtua perlu perhatikan:

  1. Anak menjadi lebih agresif setelah menonton pertandingan atau memainkan game.

  2. Anak menjadi menang sendiri.

  3. Anak jadi malas untuk pergi atau bergaul dengan teman-teman.

  4. Daya khayal yang semakin meningkat. Misalnya mencari harta karun bahwa di hutan itu banyak harta dsb, dia pikir itu hal yang riil.

Kadang-kadang anak-anak harus dipaksa untuk keluar dari keterikatan dan pengaruh permainan itu. Anak-anak perlu mendapatkan pembatasan waktu. Ada dua alasan mengapa kita harus membatasi mereka:

  1. Yang pertama, menggunakan mata yang berlebihan di depan layar itu tidak sehat.

  2. Yang kedua, bermain di depan televisi atau di depan game pasti akan mengurangi waktunya dia bermain atau berinteraksi dengan kita.

Permainan seperti ini bisa menimbulkan sifat individualistis yang lebih tinggi, karena anak kekurangan kesempatan untuk bersosialisasi. Itu pasti akan mengakibatkan ketimpangan, dia kurang bisa menempatkan diri pada orang lain, tidak bisa mengerti pemikiran orang lain, atau pun berempati pada perasaan orang, karena dia hanya melihatnya dari sudutnya terus-menerus.

Filipi 3:17 , "Saudara-saudara ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu."

Paulus dengan berani berkata kepada jemaat di Filipi, ikutilah teladanku. Dengan kata lain Paulus berani berkata seperti itu karena dia telah memberikan contoh hidup yang baik. Dengan modal itulah dia bisa menegur dan mengoreksi jemaat di Filipi. Orang tua juga harus seperti ini, sebelum dia bisa menegur anak, orangtua juga perlu memberikan contoh yang baik.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Anak dan Video Game". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Beberapa waktu yang lalu kita membicarakan tentang pengaruh televisi terhadap anak, nah di televisi anak itu memang banyak pasif, banyak melihat saja, tetapi sekarang ada bentuk-bentuk permainan baru yang disukai anak-anak seperti video game, play-station, dan sebagainya di mana anak itu aktif di sana Pak Paul. Nah itu pengaruhnya bagaimana terhadap anak Pak Paul?

PG : Pak Gunawan dan Ibu Ida, ada orang memanggil abad kita sekarang ini abad informasi atau abad telekomunikasi, abad teknologi tinggi, saya memanggil abad ini adalah abad layar karena kala kita perhatikan banyak hal yang sekarang kita lakukan, kita lakukan di depan layar.

Misalnya hiburan mayoritas sekarang ini kita peroleh melalui atau dari televisi depan layar juga. Pekerjaan kita di kantor apalagi yang bekerja dalam bidang-bidang teknik atau banking, tidak bisa tidak berhadapan di depan layar pula. Nah di rumah kita mau mengecek e-mail, kita mau mengirim surat kepada teman, kita mau dapatkan informasi juga layar. Yang masih menjadi pelajar layar komputer juga, mengetik paper, mendapatkan masukan atau data semua dari komputer, di depan layar juga. Untuk rekreasi juga di depan layar, kita main video game, kita main play-station itu semua di depan layar, jadi benar-benar saya memanggil abad ini abad layar. Nah salah satu yang sekarang marak, yang tadi Pak Gunawan sudah singgung adalah permainan video game atau yang sekarang populer adalah play-station. Dulu anak-anak waktu kita masih kecil bermainnya di playgram sekarang mainannya di play-station, ya dulu kita mainnya di lapangan, lari, petak umpet dan sebagainya. Sekarang kita main petak umpetnya ya di play-station mencari musuh dan sebagainya. Nah dampaknya apa terhadap anak-anak, saya kira yang pertama harus kita sadari adalah bahwa benda-benda ini sebetulnya tidak harus berkonotasi atau berarti negatif atau jelek. Jadi saya juga tidak setuju dengan reaksi yang berlebihan dari orang yang mengenyahkan play-station atau video game, banyak hal-hal yang baik dari benda-benda ini asalkan kita tahu bagaimana mengaturnya dan memanfaatkannya.
GS : Nah selain berfungsi sebagai hiburan, Pak Paul ya apa sebenarnya yang bisa diperoleh oleh anak-anak itu dengan memainkan permainan-permainan itu...?

PG : Biasanya video game dan play-station itu mempunyai beberapa jenis Pak Gunawan, tadi Pak Gunawan sudah singgung, yang pertama adalah hiburan. Jadi ada game yang hanya memang bersifat hibran, tidak ada challenges ya tidak ada tantangan-tantangan yang diperlukan hanya konsentrasi.

Beberapa tahun yang lalu, mungkin lebih 10 tahun yang lalu diperkenalkan misalnya packman yang makan-makan, nah dari packman ini dikembangkan banyak sekali game yang ia tidak memerlukan banyak sekali tantangan hanya yang penting konsentrasi. Yang penting adalah ada unsur hiburannya setelah kita menang, kita main kita senang dapat berapa skor dan sebagainya. Yang berikutnya adalah unsur misteri Pak Gunawan, jadi cukup banyak video game dan play-station game yang memuat aspek-aspek misteri. Di sini si pemain harus misalnya mencari jalan keluar atau misalkan ada yang mencari harta karun dia harus melalui begitu banyak jebakan dan harus melewati hal-hal yang berbahaya supaya bisa sampai di tujuannya mendapatkan harta karun itu, dia harus pecahkan banyak sekali persoalan-persoalan karena tidak gampang untuk direka, jadi si anak harus berpikir, harus mencoba ini itu, jadi perlu konsentrasi yang tinggi dan bisa menaklukkan tantangan. Ini saya kira aspek yang positif bagi anak sebetulnya.
GS : Kreatifitas anak itu bisa tumbuh di sana, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, jadi memang yang memuat misteri bisa mengasah kreatifitas anak dan daya pemecahan problemnya. Sehingga dia harus memikirkan banyak unsur dari banyak sudut, sebab jalan kelarnya itu muncul dari tempat-tempat yang biasanya tak terduga, itu yang harus dia pikirkan tidak ada yang boleh luput dari pengamatannya.

GS : Nah Pak Paul, penggemarnya itu juga banyak anak-anak di bawah usia 10 tahun, nah beberapa waktu yang lalu, waktu kita membicarakan televisi dan ana, kesimpulannya adalah anak tidak bisa membedakan yang fiktif dan yang riil, nah dalam hal ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Seperti kita bahas pada waktu yang lalu kalau itu kartun memang lebih mudah buat si anak untuk mencernanya sebagai sesuatu yang tidak riil. Karena dia tahu dia bukanlah kartun dan kartu bukanlah dia, sehingga dia memang masih bisa memisahkan dirinya di kartun itu.

Jadi video game dan play-station game setahu saya masih menggunakan kartun nah jadi dampaknya tetap tidak sekuat kalau itu benar-benar diperankan oleh manusia.
GS : Walaupun yang akhir-akhir ini animasinya makin halus saja seperti manusia.

PG : Betul, makin halus sekali apalagi ada tiga dimensinya dan sebagainya.

GS : Jenis permainan apa lagi yang bisa diperoleh Pak Paul?

PG : Yang cukup sering dimainkan sekarang adalah jenis pertandingan, jadi pertandingan ini bisa 2 orang bertanding, berkelahi, nah ini kadang-kadang cukup sadis. Misalnya dipukul kemudian kealanya copot, atau waktu ditusuk darahnya muncrat meskipun kartun tetap cukup sadis dan cukup berdarah (saya panggil itu).

Pertandingan juga bisa misalnya hendak mengalahkan musuh perang di udara dengan pesawat terbang atau memasuki benteng musuh dengan cara-cara yang pandai, jadi pertandingan pada intinya adalah berusaha mengalahkan musuhnya. Nah bisa juga mempunyai dampak kalau misalnya dia terlalu sering dan bermain hal-hal yang bersifat keras, perkelahian-perkelahian, pukul-memukul nah itu kita mesti waspadai apakah itu bisa membawa dampak pada si anak.
(1) IR : Apakah ada segi pendidikannya, Pak Paul?

PG : Ada juga game yang memang khusus dibuat untuk mendidik misalnya ada yang melatih anak untuk berbicara dalam bahasa Inggris misalnya mengerti kata-kata khusus artinya apa, nah itu bisa dklik, diklik sehingga nanti dijelaskan artinya apa.

Waktu dia mengklik yang betul dipuji kamu telah melakukannya dengan tepat sekarang mulai lagi yang baru. Atau misalnya program yang menolong anak untuk mengasah kemampuan matematisnya jadi diberikan contoh atau soal dan si anak harus memecahkannya kemudian diberitahu bagaimana menyelesaikan masalahnya, nah hal-hal itu adalah hal-hal yang positif. Belum lagi anak-anak bisa juga melihat gambar tentang bumi tentang apa dan sebagainya sehingga menambah wawasan anak, jadi ada game yang memang bersifat sangat edukatif, nah itu pun juga baik untuk dilihat oleh anak-anak kita.
(2) GS : Nah sekali lagi di sana peran orang tua itu sangat besar Pak Paul, nah hal-hal apa yang bisa kita berikan atau sampaikan kepada para orang tua khususnya yang menjadi para pendengar setia kita supaya kalau anak-anaknya memainkan video game atau play-station, mereka bisa memainkan itu dengan aman, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah kita perlu memperhatikan dampak dari game itu pada anak-anak kita, semua anak unik tidak sama. Ada anak yang memang dasarnya agak pasif, agak lembut, agak penurut, tpi ada anak yang dasarnya agak keras dan bersifat fisik sekali alias dia akan bersifat agresif.

Nah menonton pertandingan yaitu memainkan game yang bersifat pertandingan berkelahi, memukul sampai kepalanya copot dan sebagainya, bisa berdampak, bisa pula tidak. Nah kalau mulai berdampak, orang tua misalnya menegur si anak dan berkata, saya melihat sejak kau menonton game ini atau memainkan game ini engkau menjadi lebih agresif, engkau maunya memukul adikmu, engkau mau memukul kakakmu, saya berikan peringatan. Kalau engkau masih begitu baik di rumah maupun di sekolah tidak boleh lagi menonton atau memainkan game ini. Nah dengan teguran-teguran itu si anak dilatih untuk mengontrol dirinya, impulsenya itu sehingga tidak terlalu agresif. Tapi kalau tetap masih agresif setelah kita berikan teguran kita mulai kurangi, kita berkata : hari ini engkau tidak boleh main, engkau hanya boleh main besok jadi 2 hari sekali. Masih agresif lagi kita kurangi 3 hari sekali jadi kita tidak 100% ya 'cut', tidak boleh main sama sekali, tapi kita menguranginya supaya si anak bisa belajar untuk mengendalikan energinya itu.
GS : Nah bagaimana kalau ada anak itu yang karena main, lalu menjadi mau menangnya sendiri terus Pak Paul. Pernah tadi dalam salah satu permainan itu 'kan anak berusaha menang dan itu pasti menang, nah itu terbawa di dalam kehidupannya.

PG : Itu pun perlu diperhatikan orang tua Pak Gunawan, sebab cukup banyak permainan-permainan ini yang menyuburkan insting kompetitif anak. Artinya jangan sampai kalah engkau harus menang, nh kalau tidak hati-hati si anak memang akan mulai menyerap insting kompetitif ini dengan berlebihan, sehingga dalam kehidupannya dia susah mengalah.

Orang tua perlu mengamati perilaku anak, apakah makin susah mengalah, kalau makin susah mengalah, kita langsung kaitkan dengan permainan-permainan ini dan kita katakan saya akan kurangi, sehingga kita menggunakan permainan untuk memberikan sanksi atau untuk membentuk perilakunya. Jadi kita memanfaatkan sebab memang bisa kita manfaatkan untuk membentuk perilaku anak.
IR : Juga dalam bergaul Pak Paul, kalau sudah melihat itu rasanya malas untuk pergi atau bergaul dengan teman-teman.

PG : Betul, ini sering kali saya jumpai pada anak-anak saya, teman-temannya datang berjam-jam duduk di depan layar televisi main game, kalau dulu main lari ke sana, ke situ. Nah kadang-kadan mereka lakukan berjam-jam hanya duduk di depan televisi main game.

Jadi unsur main ini juga harus kita seimbangkan, jangan sampai kita terlalu cepat puas kalau anak-anak kita bisa duduk diam-diam di depan gamenya, kita perlu anjurkan dia untuk bermain keluar, untuk lari ke sana, ke sini karena itulah yang sehat buat anak-anak.
GS : Kalau sifat yang tidak mau kalah Pak Paul, yang dikhawatirkan itu dia menghalalkan segala cara untuk dapat menang, Pak Paul.

PG : Betul, sebab memang kita sendiri kalau main ya kita mau menang, kita harus sadari itu tapi memang kita tidak terlalu ditantang seperti kalau kita main video game. Waktu pertandingan kit kalah, teman kita menang, waduh....kita

rasanya panas, kita mau menang lagi, menang lagi, apalagi mainnya berdua. Nah saya melihat yang Pak Gunawan katakan yaitu akan muncul godaan menghalalkan segala cara itu betul sekali, yaitu dengan menonjok dengan cepat supaya kita bisa meng-KO-kan dia itu 'kan kita lakukan. Nah di sini orang tua memang perlu memperhatikan dampak itu semua pada perilaku dan nilai-nilai hidup si anak. Kalau mulai-mulai luber keperilakunya, mulai kelihatan, orang tua perlu membuat sanksi-sanksi seperti tadi kita telah bahas.
IR : Dan anak bisa berkhayal Pak Paul dengan seringnya dia main itu.

PG : Bisa, karena memang daya khayal anak memang kuat Bu Ida, dan pada saat ini anak-anak memang masih hidup dalam khayalannya belum hidup 100% dalam dunia realitasnya, kalau tidak hati-hat memang dia mengkhayalkan bahwa itulah kenyataannya dalam hidup, misalnya mencari harta karun bahwa di hutan itu banyak harta dan sebagainya, nah dia pikir itu hal yang riil.

GS : Kadang-kadang terbawa sampai ke mimpi Pak Paul, sehingga dia sebenarnya tidak bisa tidur dengan nyenyak, terbangun pada tengah malam.

PG : Bisa jadi, betul, jadi dampak pada anak-anak ini seperti susah tidur atau khayalannya makin menggila, harus diperhatikan orang tua. Kalau memang khayalannya makin liar kita mesti kurang, dan kita juga mesti pilihkan game yang dia mainkan itu.

GS : Tadi Pak Paul berikan contoh ada saatnya bermain di depan layar, karena ini era layar, tetapi juga kadang-kadang harus dipaksa untuk keluar. Nah dalam hal ini bagaimana kita membagi waktunya Pak Paul?

PG : Anak-anak perlu mendapatkan pembatasan waktu, jadi tidak ada namanya main sepuasnya bahkan dalam hari libur pun anak-anak perlu mendapatkan batasannya, pembatasan. Jadi kita mesti membtasi sekurang-kurangnya karena 2 hal, yang pertama adalah menggunakan mata yang berlebihan di depan layar itu tidak sehat, dan kita semua tahu itu.

Bahkan yang sudah dilakukan dibuatkan suatu layar tambahan untuk mengurangi radiasi tapi tetap saya kira akan ada yang terpancarkan keluar. Dan kalau anak berjam-jam menghabiskan waktu di depan televisi saya kira itu akan membawa dampak. Kita tahu bahwa mata itu justru terlatih dengan baik kalau sering melihat jauh, makanya orang-orang yang tinggal di alam yang masih asri kecenderungannya adalah mempunyai mata yang baik, karena dia melihat jauh sekali. Sedangkan anak-anak yang hidup di kota-kota besar yang disuruh belajar, membaca, menulis atau membuat paper di depan komputer biasanya akan memakai kacamata pada usia muda. Misalkan saya mengamati, saya tidak ada data pastinya, saya melihat begitu banyak orang Singapura yang memakai kacamata, itu kesan saya yang saya lihat jelas sekali, begitu banyak orang-orang di sana pakai kacamata, dan orang dewasa juga sangat banyak yang pakai kacamata. Jadi saya kira itu semua dampak dari melihat dengan dekat, nah layar televisi kita akan dilihat dari jarak yang dekat, video game dan sebagainya kita melihat dengan jarak misalnya 1 meter sampai 2 meter. Berjam-jam dan kita jumlahkan dalam 1 minggu, dalam 1 tahun dan sebagainya akan bisa merusak mata anak, itu yang pertama. Yang kedua adalah bermain di depan televisi atau di depan game tidak bisa tidak, akan mengurangi waktunya dia bermain atau berinteraksi dengan kita, jarang atau makin kecillah peluang anak ngobrol-ngobrol dengan kita, karena dia akan sibuk bermain. Dan kita tahu permainan itu benar-benar mencandu tidak bisa lepas-lepas sampai dia ketemu jalannya baru dia puas, jadi akan mengurangi sekali waktu interaksi di rumah, nah orang tua harus bisa menjaga keseimbangan ini, boleh main tapi dibatasi. Dalam rumah kami anak-anak itu pulang sekolah habis makan biasanya kami ijikan main selama 1 jam sampai 2 jam paling lama, setelah itu mulailah belajar atau les sampai malam. Nah kalau sudah malam biasanya kami tidak ijinkan lagi dia main.
GS : Ada orang tua yang berpendapat daripada anaknya bergaul atau berinteraksi dengan orang-orang yang dia tidak kenal, orang tua ini merasa lebih save, merasa lebih aman kalau anaknya di rumah, main video game.

PG : Itu ada betulnya daripada anak kita keluyuran ke mana-mana tidak ada arahnya lebih baik di rumah. Tapi toh orang tua harus mengerti apa yang dilakukan anak di rumah, karena apa yang dilkukan anak di rumah itu juga penting.

Kalau dia menghabiskan berjam-jam di depan layar monitor memainkan gamenya saya kira itu juga tidak sehat. Sangat tidak sehat, dia kehilangan waktu untuk sosialisasi.
IR : Sebenarnya manfaatnya itu apa, Pak Paul?

PG : Sudah tentu ada manfaat hiburannya Ibu Ida, jadi anak-anak itu pulang sekolah ingin sekali santai, dia telah terbebani oleh pelajaran selama 7 jam, ada yang 8 jam. Jadi pada waktu dia plang dia ingin sekali santai, dan kita harus menerima fakta bahwa anak-anak kita sekarang mempunyaai jam kerja yang lebih banyak daripada orang tuanya.

Sebab di sekolah saja sudah sekitar 7 jam, dia pulang ke rumah ada les-les dan sebagainya, bisa tambah 2 jam, atau 3 jam selama mengerjakan PRnya. Jadi total antara 10 sampai 11 jam setiap hari, kecuali hari Sabtu mungkin ya, karena sekolah biasanya lebih pagi. Tapi kira-kira 5 hari seminggu dia itu bisa menghabiskan sekitar 45 jam untuk bekerja, nah orang-orang dewasa ada yang bekerja seperti itu, ada yang lebih juga tapi cukup banyak yang bekerja misalnya 5 jam perhari 40 jam misalnya perminggunya. Jadi anak-anak kita itu lumayan mempunyai tanggung jawab yang berat, otaknya diperas terus-menerus, di sekolah diperas, pulang ke rumah diperas lagi, belum lagi orang tua yang getol mengeleskan anak bermain pianolah, bermain gitarlah, belajar bahasa Inggrislah, belajar bahasa Mandarinlah dan segala macam. Anak-anak itu akhirnya sangat perlu hiburan, jadi video game menjadi hiburannya, itu manfaatnya yang bisa saya lihat juga.
GS : Tapi di samping itu juga, di dalam pergaulan antar anak itu Pak Paul, kalau teman-temannya bicara tentang video game, tentang materi yang baru dia bisa ikut bicara di sana. Kalau dia tidak pernah main, dia merasa terasing.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi permainan-permainan ini membantu dia masuk untuk diterima oleh teman-temannya, kalau tidak bisa menggunakan bahasa-bahasa game ini betul kata Pak Gunawan,dia akan terpinggirkan dari teman-temannya.

IR : Tapi kasihan bagi mereka yang tidak punya, Pak Paul?

PG : Itu tadi yang kita bicarakan sebelum dimulainya acara ini, saya tadi bercerita bahwa saya bercerita dengan tukang bakmi gerobak di pinggir jalan di kota Malang ini yang sedang bicara-biara dengan saya mengeluhkan tentang anak-anaknya yang terlalu sering bermain play-station di rumahnya, jadi berarti dia membeli play-station.

Saya langsung tercengang memikirkan tukang bakmi yang mungkin hanya bisa memperoleh penghasilan mungkin Rp. 200.000, Rp. 300.000 per bulan harus membeli play-station yang harganya dua ratusan ribu, tapi toh akhirnya saya melihat rela untuk membeli benda itu demi anaknya. Sehingga memang alokasi uang dari keluarga begitu besar dicurahkan untuk benda ini buat anak-anak, memang buat si anak rupa-rupanya sangat penting.
GS : Biasanya anak menyukai permainan seperti itu sampai usia berapa, Pak Paul?

PG : Nah ini sebetulnya terus berlanjut ya, banyak anak-anak yang sudah kuliah pun ya hobby sekali main. Tetapi memang kegandrungan makin berkurang, makin banyaknya kesibukan di luar dan halhal lebih nikmat otomatis dia akan mulai meninggalkan permainan-permainan ini.

GS : Yang namanya permainan ini suatu saat akan membuat orang itu bosan juga Pak Paul.

PG : Betul, masalahnya di Indonesia kita mendapatkan kemudahan yaitu VCD-VCD itu semua copy-an, bajakan dan harganya cuma Rp. 6000, Rp. 7000 sedangkan aslinya saya tahu di Amerika Serikat yag baru itu $50, Rp.

350.000 untuk satu. Jadi orang memang tidak bisa sering membeli, jadi belinya itu 3, 4 bulan sekali baru beli 1 game, di Indonesia, 3 hari sekali beli 1 game.
(3) GS : Selain murah masih bisa menyewa lagi, tidak usah membeli itu memang memudahkan prasarana-prasarana seperti itu menjadi lebih mudah Pak Paul. Belum lagi sarana di komputer sendiri kita bisa main di situ tanpa membeli perangkat yang baru. Nah masalahnya memang bagaimana orang tua mengatur waktu anak ini antara belajar, bermain, bersosialisasi, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Anak-anak harus dilibatkan dalam pergaulan, dalam rekreasi dengan orang tuanya sendiri. Jadi kalau orang tuanya hanya bicara kamu harus begini, kamu harus itu, tidak ada hasilnya. Jadiajak anak-anak keluar bermain bersama-sama, ajak rekreasi bersama-sama, jadi dengan cara itulah anak-anak akan bergaul, ajak ke rumah temannya atau ajak ke rumah teman kita yang mempunyai anak-anak sebaya dengan dia, sehingga dia juga bermain.

Sehingga anak-anak melihat pola hidup kita, itulah pola hidup kita yang kita anggap sehat dan seimbang biarlah dia mencontohnya dan mengikutinya pula. Kalau kita juga di rumah, kita pun dari jam 5 sampai jam 11 malam di depan televisi, tidak bisa tidak anak kita akan berkata, itu pola yang akan saya turuti juga. Bedanya saya bukan layar televisi tapi layar monitor untuk main play-station, jadi kembali kepada orang tua, apa itu yang akan dilakukan oleh orang tua akan dicontoh oleh anaknya, jadi orang tua tidak bisa memarahi anak kamu main play-station berjam-jam, anak akan berkata mama dan papa juga 5 jam, 6 jam setiap malam di depan televisi.
GS : Apakah permainan seperti ini bisa menimbulkan sifat individualistis yang lebih tinggi lagi, Pak Paul?

PG : Karena kekurangan sosialisasi tidak bisa tidak akan mengakibatkan ketimpangan, dia kurang bisa menempatkan diri pada orang lain, mengerti pemikiran orang lain, berempati pada perasaan oang karena dia hanya melihatnya dari sudut dia terus-menerus.

Jadi sekali lagi jangan sampai play-station itu membunuh kesempatan si anak untuk bermain dengan teman-temannya.
GS : Pak Paul, selain nasihat-nasihat dari orang tua tentu kita juga mau mendengar nasihat dari Alkitab itu apa, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Filipi 3:17 , "Saudara-saudara ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu." Paulus dengan berani erkata pada jemaat di Filipi ikutilah teladanku, dengan kata lain Paulus berani berkata seperti itu karena dia telah memberikan contoh hidup yang baik.

Nah dengan modal itulah dia bisa menegur jemaat Filipi, dia bisa mengoreksi jemaat di Filipi. Nah orang tua juga harus seperti ini sebelum dia bisa menegur anak jangan terlalu banyak waktu di depan layar monitor dan sebagainya, orang tua juga perlu memberikan contoh yang baik. Dia harus misalnya membaca, dia harus juga menunjukkan bahwa dia berminat untuk menambah pengetahuannya dengan cara-cara yang sehat. Kalau dia hanya menyuruh anak belajar, sedangkan dia sendiri berjam-jam di depan televisi tampaknya akan berkurang, otoritasnya pun tidak akan terlalu kuat. Jadi anak-anak perlu melihat teladan orang tuanya terlebih dahulu.
GS : Itu dalam arti kata, baik ayahnya atau ibunya, Pak Paul.

PG : Tepat, dua-duanya betul.

GS : Tapi kalau pengaruh kakaknya bagaimana, Pak Paul?

PG : Bisa, tetap ada pengaruhnya karena kakaknya boleh kenapa saya tidak, anak cenderung membandingkan diri dengan kakaknya atau adiknya.

GS : Atau sebaliknya kalau kakaknya memang sudah dilatih sejak dini sehingga dia bisa mengatur waktu dengan baik maka adiknya pun akan mengikuti langkah-langkah kakaknya itu.

PG : Betul, akan jauh lebih mudah.

GS : Jadi memang di dalam era layar ini Pak Paul, rasanya peran orang tua makin berat saja.

PG : Betul, akan dituntut semakin terlibat Pak Gunawan dan bertanggung jawab.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Video Game dan Anak". Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



18. Mengapa Anak Saya Tidak Percaya Diri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T067A (File MP3 T067A)


Abstrak:

Dalam hal ini kita akan mengetahui bagaimana anak itu dapat mempunyai percaya diri dan sejauh mana kepercayaan dirinya tersebut.


Ringkasan:

Percaya diri pada anak berkaitan langsung dengan tugas-tugas akademiknya, jadi biasanya kepercayaan diri anak itu berkaitan dengan tugas-tugas sekolah. Kalau ia mendapatkan konfirmasi bahwa dia adalah seorang pelajar yang baik, kemungkinan besar kepercayaan dirinya akan tertopang.

Pada masa remaja kepercayaan diri seorang anak mulai bercabang, bukan saja pada segi yang bersifat akademik tetapi juga:

  1. Penampilan fisiknya, jadi anak-anak yang mempunyai penampilan fisik yang baik dan dihargai oleh teman-temannya karena penampilan fisiknya itu juga akan mengalami dukungan.

  2. Cabangnya adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan sosialnya, jika ia diterima dengan baik maka harga dirinya pun atau kepercayaan dirinya akan tertopang pula.

Kepercayaan diri anak sangat bertalian dengan perlakuan orang tua pada si anak justru di masa-masa sebelum dia bersekolah. Dengan kata lain apa yang kita berikan kepada anak-anak di usia-usia di bawah misalnya 5, 6 tahun akan sangat mempengaruhi kepercayaan dirinya sewaktu dia nanti memasuki sekolah. Perlakuan orang tua yang penuh kehangatan itu adalah suatu modal yang akan memberikan si anak kekuatan melangkah keluar dari lingkup rumahnya memasuki tempat yang asing baginya.

Semakin seorang anak kuat berakar karena dia tahu dicintai dan diterima apa adanya di rumahnya sendiri, dia seolah-olah akan mendapatkan lebih banyak energi untuk melangkah keluar menghadapi tantangan dan tuntutan dari luar. Kebalikannya, anak yang mengalami banyak ketegangan dan perlakuan orang tua lebih bersifat kritis, memarahinya atau hidup di mana orang tua mempunyai hubungan nikah yang tidak baik, anak justru tidak mempunyai kekuatan, dia justru merasa lemah, akhirnya waktu dia harus melangkah keluar dia bukannya berani tapi justru merasa takut.

Mengenali anak-anak ini mempunyai rasa percaya diri yang cukup:

  1. Kita harus mempunyai perspektif yang jelas tentang yang kita maksud dengan kurang percaya diri. Seorang anak mempunyai keunikan masing-masing, anak yang bawaannya adalah anak yang perasa, lebih peka artinya waktu dia merasa cemas atau takut dia lebih merasakan kecemasannya. Nah kita harus berhati-hati untuk tidak melabelkan anak yang perasa ini anak yang tidak percaya diri.

Penyebab anak-anak gagal dalam mengerjakan tugas ujian di sekolah, pada halnya anak itu mampu adalah:

  1. Kemungkinan yang umum adalah anak tegang pada waktu mengerjakan ujiannya.

  2. Ada anak yang waktu belajar menyimpan informasi di dalam 'short memory' memori jangka pendek, bukan masuk ke dalam memori jangka panjang. Sehingga pada saat sore sudah belajar besoknya memori jangka pendeknya sudah menguap. Kalau kasusnya seperti ini ada beberapa yang bisa dilakukan:

    1. Menyimpan informasi belajarnya dalam memory jangka panjang.

    2. Belajar dengan sistem cicilan atau tabungan maka informasi tersebut bisa diselipkan dalam memori jangka panjangnya.

    3. Melatih anak ulangan di rumah.

Mazmur 49:17,18 , "Janganlah takut, apabila seseorang menjadi kaya, apabila kemuliaan keluarganya bertambahm sebab pada waktu matinya semuanya itu tidak dibawanya serta, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia."

Tuhan memberikan pesan di sini yaitu milikilah perspektif hidup yang tepat, bahwa kemuliaan seseorang tidaklah bergantung pada kekayaannya, dengan kata lain hati-hati sebagai orang tua agar kita tidak menempatkan harta atau hal yang bersifat sangat fisik pada porsi yang terlalu besar, karena itu justru akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada anak dan akan justru membunuh kepercayaan dirinya bukan menumbuhkannya. Justru yang penting bagi kepercayaan diri anak adalah perlakuan orangtua yang penuh kasih dan penuh penerimaan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mengapa anak saya tidak percaya diri. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Berbicara tentang percaya diri yang dimiliki oleh orang dewasa, anak-anak pun rasanya juga punya rasa percaya diri, persisnya itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Percaya diri pada anak berkaitan sekali dengan tugas-tugas akademiknya, jadi biasanya kepercayaan diri anak itu berkaitan dengan tugas-tugas sekolah. Kalau ia mendapatkan konfirmasi baha dia adalah seorang pelajar yang baik, kemungkinan besar kepercayaan dirinya akan tertopang.

Nah, nanti pada masa-masa yang lebih besar lagi, terutama pada masa remaja kepercayaan diri seorang anak mulai bercabang. Jadi bukan saja pada segi-segi yang bersifat akademik, akan juga bercabang misalnya penampilan fisiknya. Jadi anak-anak yang mempunyai penampilan fisik yang baik dan dihargai oleh teman-temannya akan mengalami dukungan. Yang kedua, cabangnya adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan sosialnya, jikalau ia diterima dengan baik maka harga dirinya pun atau kepercayaan dirinya akan tertopang pula. Jadi kita memang harus menyoroti pada kira-kira fase yang mana dalam pertumbuhan anak. Kepercayaan diri pada mulanya, pertama-tama di SD, biasanya memang sangat berkaitan dengan prestasi akademik anak itu.
(1) GS : Ya memang yang banyak berbicara tentang percaya diri atau PD itu anak-anak remaja, tapi sejak dia belum bersekolah apakah kita di rumah bisa menumbuhkembangkan akan percaya diri anak, Pak Paul?

PG : Sebetulnya kepercayaan diri anak itu sangat bertalian dengan perlakuan orang tua pada si anak pada masa sebelum dia bersekolah. Dengan kata lain, apa yang kita berikan kepada anak-anak i usia-usia misalnya di bawah 5, 6 tahun akan sangat mempengaruhi kepercayaan dirinya sewaktu dia nanti memasuki sekolah.

Yang saya maksud adalah perlakuan orang tua yang penuh kehangatan, itu adalah suatu modal yang akan memberikan si anak kekuatan melangkah keluar dari lingkup rumahnya memasuki tempat yang asing baginya. Semakin seorang anak kuat berakar karena dia tahu dicintai dan diterima apa adanya di rumahnya sendiri, dia seolah-olah akan mendapatkan lebih banyak energi untuk melangkah keluar menghadapi tantangan dan tuntutan dari luar, yakni dalam hal ini teman-teman maupun guru-guru sekolahnya. Kebalikannya kalau si anak mengalami banyak ketegangan dan perlakuan orang tua lebih bersifat kritis, memarahinya atau dia hidup di mana orang tua mempunyai hubungan nikah yang tidak baik atau misalnya rumahnya sangat kacau sekali, terlalu banyak orang dan sebagainya. Anak ini justru tidak mempunyai kekuatan, dia justru merasa lemah meskipun mungkin dia tidak menyadarinya, jadi akhirnya waktu dia melangkah keluar, ke sekolah, dia bukannya berani, tapi justru merasa takut. Rasa takut ini tidak selalu dimanifestasikan dalam bentuk ketakutan, tapi bisa juga dalam bentuk pelampiasan yaitu menjadi lebih nakal, melakukan hal-hal yang negatif yang tidak diinginkan oleh pihak sekolah atau pun keluarganya.
GS : Kadang-kadang ada orang tua yang mungkin karena ingin anaknya punya rasa percaya diri itu sejak kecil, lalu dipaksakan untuk masuk ke ruangan-ruangan yang gelap, melewati lorong yang gelap. Yang terjadi anak ini tidak malah percaya diri, tapi ketakutan seperti yang tadi disinggung Pak Paul.

PG : Betul sekali, anak justru akan menumbuhkembangkan percaya dirinya dalam suasana aman, bukan kebalikannya yaitu dalam suasana yang penuh ketegangan dan ancaman. Memang kadang-kadang oran tua berpikir kalau anak dipaksakan, maka dia akan lebih berani, sebetulnya kalau anak itu dipaksakan dan dia mampu mengalahkan tantangan itu memang dia akan berani.

Sebaliknya kalau anak dipaksakan mengalahkan tantangan itu dan memang dia tidak sekuat itu, dia bukannya dikuatkan. Jadi cara-cara seperti memaksakan anak untuk berdiam dalam ruangan yang gelap seringkali memang membuat anak bisa bertahan dalam kegelapan karena tidak ada jalan keluar. Dia harus berada dalam ruangan yang gelap, lama-lama dia akan menahan dirinya ada dalam ruangan yang gelap. Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah dia tidak menghilangkan ketakutannya, dia hanya untuk sejenak mengesampingkannya. Ketakutan itu akan muncul dan mempengaruhi lebih banyak aspek kehidupannya, jadi di luar bukannya menjadi seorang anak yang berani, kebalikannya dia justru menjadi anak yang mempunyai lebih banyak ketakutan. Namun dia belajar untuk menyembunyikan ketakutannya, karena dia tahu ketakutan ini adalah sesuatu yang tidak ditoleransi, misalkan oleh orang tuanya atau lingkungannya. Jadi dia hanya belajar lebih pandai menyembunyikan ketakutannya, tapi sesungguhnya di dalam dirinya yang mengalir dengan deras justru adalah ketakutan dan keragu-raguannya, bukannya kepercayaan diri yang kita dapatkan, kita justru akan menuai keragu-raguan dirinya.
IR : Kalau anak kecil itu sudah dibekali misalnya keterampilan atau les, komputer, bahasa Inggris atau lainnya, apa ini juga merupakan salah satu faktor untuk membekali anak supaya percaya diri, Pak Paul?

PG : Orang tua adakalanya mempunyai anggapan semakin banyak kita membekali anak dengan keterampilan pada usia yang makin dini, maka dampaknya akan makin positif. Misalnya anak akan menumbuhkmbangkan keyakinan diri yang lebih kuat, padahal tidak sama sekali.

Jadi keterampilan-keterampilan yang kita berikan pada anak-anak usia dini, sebetulnya belum mempunyai dampak yang langsung dengan kepercayaan dirinya. Sebab sekali lagi pada usia-usia misalkan 12 tahun, yang jauh lebih berperan adalah kemampuan akademik si anak itu, kalau di sekolah dia mendapatkan nilai yang bagus kecenderungannya adalah dia mulai memupuk kepercayaan dirinya. Keterampilan misalnya berbahasa Inggrisnya, kalau memang berguna dalam pelajaran sekolahnya sudah tentu akan memberikan sumbangsih. Namun sebetulnya tidak secara langsung menumbuhkan kepercayaan dirinya atau kemampuan dia bermain musik atau misalnya berenang sudah tentu akan menjadi hal yang baik, yang positif tapi bukanlah mutlak diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri seorang anak.
GS : Ada juga yang memberikan pujian secara berlebihan dengan tujuan anak itu bangga akan dirinya sendiri, bagaimana itu, Pak Paul?

PG : Pujian sudah tentu adalah hal yang positif, saya boleh ibaratkan pujian dengan vitamin. Tapi kita tahu kebanyakan dosis vitamin pada tubuh kita, bukannya bekerja untuk kebaikan malah mejadi racun bagi tubuh kita.

Kepercayaan diri akan sangat tertolong dan akan bertumbuh dari pujian yang diterima oleh seorang anak, namun pujian dalam dosis yang sepatutnya dan untuk hal yang memang sepatutnya. Jadi hindarkan pujian yang berlebihan dalam pengertian mengidolakan anak, misalkan kata-kata "engkau anak yang tercantik, engkau anak yang tertampan, tidak ada anak lain yang sebagus engkau, tidak ada orang yang bajunya seindah bajumu". Hindarkan perkataan pujian yang memberikan kesan si anak itu terbaik, terbagus dan sebagainya, karena kita tahu itu adalah hal yang memang tidak benar dan tidak realistis. Bahayanya si anak melihat dirinya sebagai yang ter....., yang paling. Waktu dia di luar tidak mendapatkan yang terbaik atau mendapatkan konfirmasi yang terbagus, dia sulit menerima dan dia cenderung menangkap atau menafsir perlakuan orang sebagai penolakan terhadap dirinya. Atau dia merasionalisasi dengan berkata orang-orang yang tidak bisa menghargainya adalah orang-orang yang lebih bodoh darinya. Oleh sebab itulah mereka tidak bisa menghargai kekhususan atau kespesialannya. Jadi sekali lagi hindarkanlah pujian-pujian yang terlalu berlebihan. Berikutnya tentang pujian yang juga harus diwaspadai oleh orang tua adalah jangan terlalu sering memuji anak atas karakteristik yang memang dia sudah miliki dari awalnya, maksudnya lebih bersifat bawaan. Contoh kalau memang dia seorang anak yang pandai, karena memang sudah pandai, sudah tentu sekali-sekali kita boleh dan sebaiknyalah kita mengutarakan bahwa engkau seorang anak yang pandai, namun jangan terlalu sering. Karena kepandaian bukanlah sesuatu yang harus dikerjakan oleh seorang anak, kepandaian adalah sesuatu yang Tuhan berikan kepada seseorang tatkala dia masuk ke dalam dunia ini. Atau kita berkata tubuhmu itu bagus sekali, tinggi, tinggi bukanlah sesuatu yang dia kerjakan, tinggi adalah sesuatu yang dia sudah bawa sejak lahir, matamu bagus sekali, sekali lagi mata adalah sesuatu yang dia sudah bawa sejak lahir. Saya tidak berkata jangan memberikan pujian sama sekali atas hal-hal ini, silakan namun jangan terlalu sering. Yang lebih sering adalah pujian yang dikaitkan dengan usahanya, dengan yang dia lakukan misalnya ulangan bagus, bukannya kita memuji-muji dia pandai tapi kita memuji dia bekerja keras. Jadi dengan kata lain, pujian itu lebih dikaitkan dengan perbuatan, sekali-sekali silakan memuji hal-hal yang berkaitan dengan bawaannya tapi lebih sering kita memuji dia atas perbuatannya. Ini menolong seorang anak untuk menempatkan dirinya dalam perspektif yang lebih benar, jadi tadi yang Pak Gunawan sudah katakan memang sangatlah tepat, anak-anak yang mendapatkan pujian yang berlebihan mempunyai konsep diri yang akhirnya terlalu menggelembung dan menuntut orang memberi pengakuan bahwa dia sebesar itu. Waktu orang tidak mengakui sebesar itu, sehebat itu, dia cenderung menafsirnya sebagai orang menolak dia atau orang-orang tidak bisa menghargai keunikannya, kehebatannya.
IR : Dan anak tersebut dapat dikatakan sombong, ya Pak?

PG : Tepat sekali, dia mudah sekali mengembangkan sifat kesombongan dan saya khawatir sifat itu akan menghambat pertumbuhan sosialnya, sebab anak-anak yang lain enggan berteman dengan anak sperti dia, karena tidak akan bisa akrab dengannya.

Yang berbahaya adalah semakin dia terkucil dari lingkup pergaulan, semakin dia mengembangkan konsep diri yang tidak realistik, yang terlalu menggelembung bahwa orang harus mengerti dirinya, itu yang terjadi pada sebagian anak-anak yang bertumbuh kembang dalam lingkup seperti itu. Jadi mereka setelah mulai remaja akhirnya kesulitan bergaul, menuntut orang untuk bisa memahaminya, mengertinya dan mengalah. Tidak bisa dia mengalah, orang lain yang harus mengalah terus-menerus, orang yang harus memberi jalan di depan. Akhirnya keterampilan pergaulannya akan terganggu, nanti sesudah besar saya khawatir masalah-masalah pribadinya makin lebih merugikannya.
(2) GS : Untuk anak-anak, Pak Paul, bagaimana kita bisa mengenali bahwa anak-anak ini mempunyai rasa percaya diri yang cukup?

PG : Pertama-tama kita harus menjelaskan atau mempunyai perspektif yang jelas tentang yang kita maksud dengan kurang percaya diri. Seringkali Pak Gunawan, kita ini pertama-tama tidak bisa meihat keunikan anak karena tidak semua anak itu sama.

Ada anak yang dari bawaannya adalah anak yang perasa, lebih peka. Artinya waktu dia merasa cemas atau takut, dia lebih merasakan kecemasannya. Nah, kita harus berhati-hati untuk tidak melabelkan anak yang perasa ini sebagai anak yang tidak percaya diri. Otomatis kalau anak ini kurang perasa waktu dia merasa cemas karena misalkan dia harus bernyanyi di depan kelas, dia tidak begitu merasakan kecemasannya dan memang tingkat kepekaannya lemah. Sebaliknya anak yang tingkat kepekaannya tinggi akan jauh lebih merasakan ketegangannya dan dampak negatifnya, dia akan lebih terlumpuhkan oleh ketegangannya itu. Jangan sampai orang tua mengidentikkan itu dengan kurang percaya diri, sebab sekali lagi dua hal ini tidak bisa langsung berhubungan atau berkaitan. Jadi menjawab pertanyaan Pak Gunawan tadi, bagaimanakah kita mengenali anak ini percaya diri atau tidak. Pertama-tama prinsipnya jangan terlalu cepat mengaitkan ini dengan kepercayaan diri. Waktu anak tidak berani menyanyi di depan, jangan terburu-buru menganggap anak kita ini kurang percaya diri. Waktu dia tidak mau disuruh gurunya bermain drama, jangan kita sebagai orang tua tergesa-gesa berkata anak saya ini tidak percaya diri, sekali lagi kita harus lihat tipe anak kita, perasa atau memang kurang perasa. Atau ada anak yang memang merasa memasuki dunia yang baru seperti main drama adalah sesuatu yang sangat-sangat asing buat dia dan dia tidak mengetahui apakah dia bisa atau tidak. Dan kecemasan itu adalah kecemasan yang sangat wajar, jadi sekali lagi ini juga bawaan, ada anak yang senang drama tapi sangat gugup di depan/muka umum. Artinya apa, anak ini memang anak yang lebih, misalkan kita katakan anak yang introvert, anak yang lebih ke dalam, otomatis anak yang introvert tidak nyaman diawasi oleh berapa puluh atau ratusan mata, ini hal yang memang bersifat bawaan. Kita sekarang yang sudah dewasa tahu bahwa tidak semua kita ini berani berbicara di depan umum, ada yang rasanya gugup, ada yang rasanya lebih nyaman, itu memang berkaitan sekali dengan sifat-sifat bawaan kita. Orang yang extrovert akan lebih senang untuk berdiri di depan umum dan menjadi sorotan umum. Orang tua perlu membedakan sifat dan keunikan anak, jangan sampai mengaitkan introvert, sifat introvert dengan kurang percaya diri. Anak yang introvert akan tetap introvert, yang extrovert memang extrovert. Kita tidak harus membuat semua anak extrovert, seolah-olah anak yang extrovert ini yang percaya diri. Jadi kita terima dia, makin kita desak-desak dia supaya menjadi extrovert makin gugup, makin tidak percaya diri.
GS : Berkaitan dengan prestasi anak di sekolah, di bidang akademis ada anak yang sebenarnya mampu, mampu dalam arti kata diberikan soal-soal di rumah dia bisa mengerjakan itu dengan baik. Tapi tiba gilirannya ulangan, ujian atau apa dia selalu gagal, dia lupa semua yang dia pelajari di rumah itu. Apa itu karena rasa percaya dirinya yang kurang atau ada masalah lain yang sedang dihadapi?

PG : Itu bisa terjadi karena beberapa sebab, Pak Gunawan. Yang pertama adalah kemungkinan yang umum, si anak tegang pada waktu mengerjakan ujiannya. Kalau orang tua berkata kenapa harus tegag, mungkin orang tua lupa suasana ujian.

Jika orang tua sedikit saja mengingat-ingat masa ujian, seharusnya orang tua lebih toleran terhadap anak yang tegang pada masa ujian atau ulangan. Bukankah suasana ulangan itu menegangkan, semua tenang tidak ada yang boleh berbicara, si guru terus menatap anak-anak yang sedang mengerjakan tugasnya. Suasana tegang itu memang sangat dihidupkan pada waktu ujian, tidak bisa tidak anak akan merasa takut. Jadi suasana tegang memang bisa memberikan pengaruh, sehingga akhirnya dia lupa dalam ketegangannya. Atau yang kedua, ada anak yang waktu belajar menyimpan informasi di dalam yang kita sebut "short memory"nya. Jadi memory jangka pendeknya, bukan masuk ke dalam memory jangka panjang. Kira-kira besok, misalkan dia belajar sore ini, besok kira-kira berapa belas jam kemudian dia mengambil test-nya, memory jangka pendeknya itu sudah menguap, tidak ada yang tersisa, akhirnya waktu dia mengerjakan ujian dia lupa semuanya. Nah kalau itu memang kasusnya dia harus belajar mencicil, karena dengan sistem cicilan atau tabungan maka informasi tersebut bisa diselipkan dalam memory jangka panjangnya, itu cara yang kedua. Untuk cara yang ketiga yang bisa kita gunakan dengan melatih anak ulangan di rumah. Jadi minta anak siapkan kertas kita berikan waktunya, ayo ulangan sekarang sama Mama atau sama Papa, kita berikan ujian dan minta dia selesaikan. Kita katakan tidak boleh bicara, suasana kita buat lebih sunyi di rumah, nah kita latih dia mengambil ulangan itu di rumah. Jadi bukan saja memberikan penjelasan kemudian dia mengertinya, tapi kita memberikan dia ulangan di rumah. Nah suasana ulangan itu akan lebih menyiapkan dia keesokan harinya pada waktu mengerjakan ulangan di sekolah.
GS : Tapi biasanya anak mengambil jalan pintas dan berkata minta les saja, begitu Pak Paul, pihak orang tua sebenarnya tidak keberatan itu, cuma dia melihat anaknya mampu sebenarnya, itu problemnya.

PG : Sekarang saya kira hampir semua orang tua tidak percaya diri bukan saja si anak, tapi semua orang tua tidak percaya diri dengan menggunakan guru les. Jadi orang tua beranggapan bahwa seandai apapun anak saya, tanpa les tidak akan bisa, harus dileskan.

Jadi seolah-olah les itu menjadi suatu kewajiban yang mutlak, sesuatu hal yang memang harus dimiliki atau bisa diberikan kepada anak-anak yang tidak selalu bisa menyerap pelajaran yang diberikan di sekolah, sehingga memerlukan bantuan ekstra dari guru les. Dan yang lebih sering lagi adalah sebetulnya alasannya orang tua sendiri tidak lagi mempunyai energi atau mempunyai kemampuan memberikan bantuan tersebut kepada anak-anak. Sebab kita ketahui pelajaran sekarang sudah sangat berbeda dengan pelajaran yang kita dulu terima pada masa SD misalnya, jadi kepercayaan diri kita akhirnya kita limpahkan kepada guru les.
IR : Tapi itu juga mengakibatkan anak tidak percaya diri, Pak Paul?

PG : Tidak harus, bisa tidak percaya diri. Dalam pengertian kalau dia akhirnya terlalu bergantung pada guru les, justru itu adalah hal yang negatif, menghambat pertumbuhan dan tanggung jawabsi anak.

Tapi bisa jadi karena dia bisa waktu dia mengambil ujiannya, dia justru makin memiliki kepercayaan dirinya bahwa dia mampu melakukannya. Jadi sekali lagi saya ingin menegaskan kepada anak-anak terutama di SD, prestasi akademik sangat penting dan dapat dikatakan tiang yang menopang kepercayaan dirinya. Pada waktu dia memasuki usia remaja barulah kepercayaan dirinya itu dibangun di atas dua tiang yang lainnya, meskipun prestasi akademik tetap penting. Dua tiang yang lainnya lagi adalah pergaulan sosialnya, dapat diterima atau tidak, dan juga penampilan fisiknya, kalau dia punya penampilan yang baik, dia akan lebih mudah diterima.
GS : Ya itu suatu pokok yang menarik untuk dibahas lebih panjang lebar pada perbincangan yang akan datang. Kalau kita kembali pada rasa percaya diri anak, ada anak TK yang sudah ditunjuk oleh ibu gurunya untuk menjadi ketua kelas, memimpin teman-temannya. Dari situ bisa tumbuh rasa percaya diri juga, Pak Paul?

PG : Bisa, tapi sekali lagi ini sangat bergantung pada tipe si anak. Kalau memang dia dasarnya introvert, meskipun dia diberikan kesempatan memimpin dia tidak terlalu menikmatinya, justru bai dia itu adalah kewajiban yang harus dia kerjakan.

Dia tidak ragu-ragu, tapi juga dia tidak terlalu menikmatinya, justru kalau dia diminta akan cenderung berkata tidak mau. Jadi anak-anak yang pada dasarnya introvert akan menghindarkan diri dari tugas-tugas yang mengharuskan dia berada di tengah-tengah umum. Kalau anak itu memang extrovert, seolah-olah kita akan berkata dia semakin berkembang karena diberikan posisi sebagai ketua kelas atau pemimpin. Tapi sekali lagi saya ingin orang tua memperdalam definisi atau pemahaman akan kepercayaan diri anak, jangan terlalu mudah mengaitkan perilaku atau sikap extrovert dengan kepercayaan diri. Anak yang introvert pun tetap bisa percaya diri, namun sekali lagi karena dia introvert dia tidak memperlihatkan rasa percaya dirinya secara lebih nyata, itu bedanya.
GS : Tapi tetap dapat dikenali ya Pak Paul, bahwa anak yang introvert ini punya rasa percaya diri kalau dilihat dari prestasi akademiknya?

PG : Ya, dari prestasi akademiknya atau perilakunya yang lebih berani untuk mengambil resiko dapat kita gunakan sebagai tolok ukur bahwa dia mempunyai keberanian atau kepercayaan diri. Tapi ekali lagi saya mau memperdalam itu ya Pak Gunawan, jangan sampai kita terlalu mudah mengaitkan, berani ambil resiko dengan kepercayaan diri.

Sebab anak-anak yang introvert cenderung memang tidak terlalu mau ambil resiko, tapi juga tidak berarti dia tidak percaya diri, percaya diri jadinya lebih mengacu kepada apa kebisaannya dan apa ketidakbisaannya, apakah dia mengenali kedua aspek dalam kehidupan dan berhasil menerimanya. Anak yang berhasil menerima keduanya, apa yang dia bisa dan apa yang dia tidak bisa, kita katakan dia adalah anak yang percaya diri.
GS : Tapi kita sebagai orang tua punya tugas untuk menciptakan rasa aman di sekitar anak itu, supaya rasa percaya dirinya tumbuh ya Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Sehubungan dengan perbincangan kita ini, Firman Tuhan mengatakan apa, Pak?

PG : Saya akan membacakan dari Mazmur 49:17-18 , "Janganlah takut apabila seseorang menjadi kaya, apabila kemuliaan keluarganya bertambah, sebab pada waktu matinya semua itu tida dibawanya serta, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia."

Tuhan memberikan pesan di sini yaitu milikilah perspektif hidup yang tepat, bahwa kemuliaan seseorang tidaklah bergantung pada kekayaannya. Dengan kata lain, kalau saya boleh terjemahkan dalam konteks yang kita sedang bahas ini, hati-hati sebagai orang tua agar kita tidak menempatkan harta atau hal yang bersifat sangat fisik pada porsi yang terlalu besar, karena justru akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada anak dan akan justru membunuh kepercayaan dirinya, bukan menumbuhkannya. Sekali lagi justru yang penting bagi kepercayaan diri anak adalah perlakuan orang tua yang penuh kasih dan penuh penerimaan.

GS : Terima kasih Pak Paul, jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang mengapa anak saya tidak percaya diri. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



19. Menanamkan Percaya Diri pada Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T067B (File MP3 T067B)


Abstrak:

Dalam hal ini kita akan megetahui beberapa kiat atau beberapa cara menanamkan rasa percaya diri pada anak. Dan juga tingkat kepercayaan diri anak yang dibagi dalam 3 kategori.


Ringkasan:

Beberapa cara menanamkan rasa percaya diri pada anak:

  1. Orang tua perlu mengenal jelas kemampuan anaknya, dengan melihat apakah anak kita berada di lingkup akademik yang dalam jangkauannya. Jangan sampai anak kita berada di lingkup akademik yang menuntutnya di luar batas kemampuannya, karena akan menyebabkan anak bukannya terpacu malah akan lebih terbenam. Jadi kepercayaan diri bertumbuh dalam suasana aman, bukan kebalikannya suasana yang mencekam, yang mengancam, yang menakutkan justru akan menurunkan kepercayaan diri anak.

  2. Orang tua harus memeriksa tuntutannya sendiri. Kadang kala tanpa disadari orang tua telah mengkomunikasikan tuntutan yang sangat tinggi kepada anak-anaknya.

  3. Orang tua hendaknya tidak menjadikan rumah sebagai sekolah dan jangan sampai kita ini menjadi ibu guru atau kelanjutan dari ibu guru atau bapak guru di sekolah. Jadi saran saya adalah setelah anak mengerjakan tugasnya dan kita tahu dia sudah mencoba, sudah jangan lagi terlalu dipaksa, bermainlah dengan anak, bercandalah dengan anak, ciptakan suasana rumah yang lebih santai sehingga anak merasakan perbedaan yang besar antara sekolah dan rumah.

Kepercayaan diri anak di bagi dalam 3 sumber:

  1. Prestasi akademiknya.

  2. Penampilan fisiknya.

  3. Kemampuan bergaulnya, diterima atau tidaknya di pergaulan.

Prestasi akademik merupakan dasarnya, anak-anak pada masa-masa usia di bawah 12 tahun pada masa SD sangat menumpukan kepercayaan dirinya pada keberhasilan akademiknya. Namun pada masa remaja modal itu satu tidak cukup dia perlu dua modal yang lainnya, dua tonggak yang lainnya yakni penampilan fisiknya dan juga keterampilan bergaulnya.

Amsal 3:5,6 menekankan di situ adalah jangan kita itu menjadikan diri kita sebagai tolok ukur terakhir dalam menentukan langkah hidup kita, ada Tuhan yang menjadi penentu akhir. Kita ini hanyalah orang yang mengerti sedikit, mengetahui sedikit, Tuhan yang mengetahui semuanya. Maka Dia minta akuilan jalanmu maka Ia akan meluruskan jalanmu, akuilah Tuhan dalam segala aspek kehidupanmu artinya kita memang menyadari Tuhanlah yang menjadi penentu akhir. Kepercayaan pada diri berarti kita mengerti kesanggupan kita dan ketidaksanggupan kita.

Amsal 13:4 , "Hati si pemalas penuh keinginan tetapi sia-sia, sedangkan hati orang rajin diberi kelimpahan." Penekanannya di sini adalah pemalas banyak keinginannya tapi sia-sia karena dia tidak akan mau dan bertenaga untuk meraihnya, sedangkan orang yang rajin akan memiliki banyak karena dia rajin pula bekerja untuk mendapatkannya. Saya kira lebih penting dari kepandaian atau apa, yang perlu kita tanamkan pada anak adalah bahwa dia bisa maju, bahwa dia mempunyai kewajiban atau mencoba. Nah itu lebih penting dari prestasinya, selagi dia masih mau coba, dia punya itu kerajinan dia akan percaya bahwa dia bisa maju, dia bisa melangkah ke depan. Yang berbahaya adalah kalau anak sudah beranggapan saya tidak akan bisa maju memang tidak mempunyai kemampuan untuk melangkah, itu akan mematikan dia.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang beberapa kiat menanamkan percaya diri pada anak, dan perbincangan ini merupakan kelanjutan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Beberapa waktu yang lalu kita telah berbincang-bincang tentang mengapa anak saya tidak percaya diri dan Pak Paul sudah menguraikan banyak hal. Kita akan melanjutkan perbincangan itu dengan memberikan atau membahas beberapa kiat atau beberapa cara menanamkan rasa percaya diri pada anak, ada berapa hal yang mungkin Pak Paul bisa sampaikan?

PG : Yang pertama Pak Gunawan, orang tua itu perlu melihat apakah anak kita berada di lingkup akademik yang dalam jangkauannya. Jangan sampai anak kita berada di lingkup akademik yang menuntut i luar batas kemampuannya, karena kalau itu yang terjadi si anak bukannya terpacu malah akan lebih terbenam.

Satu prinsip yang harus diingat oleh kita semua adalah memacu anak, memang kita harus memberikan tuntutan sedikit lebih besar atau sedikit lebih tinggi dari kemampuannya. Kalau kita memberikan tuntutan atau tantangan di bawah kemampuannya, dia tidak akan mengembangkan diri. Kalau kita memberikan tantangan sesuai dengan kemampuannya, dia hanya akan mempertahankan yang dia telah miliki. Tapi kalau kita memberikan tantangan sedikit di atas kemampuannya, dia akan dipacu untuk meraih lebih daripada yang sudah dimilikinya sekarang. Yang penting adalah orang tua mengenal jelas kemampuan anaknya, jangan sampai orang tua beranggapan bahwa anak saya pandai. Nah, saya cenderung mengira bahwa kebanyakan orang tua pada awalnya menganggap anak-anak kita pandai, jarang sekali saya mendengar orang tua mengeluh pada awalnya bahwa anak itu bodoh. Kalau akhirnya sekolahnya gagal dan sudah terlanjur mempermalukan orang tua, barulah orang tua berkata anak saya ini bodoh. Tapi pada umumnya orang tua cenderung beranggapan anak itu pintar sebetulnya tapi, tapinya itu misalkan gurunyalah ini, sekolahnyalah itu, teman-temannyalah ini, jadi kita cenderung memang memberikan bobot kesalahan pada pihak-pihak di luar si anak itu. Jadi kembali lagi, tadi saya katakan memang perlu memberi tantangan sedikit di atas kemampuan si anak tapi jangan berlebihan. Kalau anak dimasukkan sekolah yang memang menuntut sangat tinggi dan kemampuannya tidak mencapai tuntutan tersebut, saran saya adalah kita harus menyesuaikan diri. Misalnya kita memindahkan dia ke sekolah yang lebih memberikan tuntutan sepadan dengan kemampuannya atau sedikit di atas kemampuannya, itu yang perlu kita lakukan yang pertama. Yang berikutnya lagi adalah kita harus mengingat di dalam sekolah yang sangat bagus biasanya suasana kompetitif itu sangat kuat. Artinya kita harus menyadari bahwa dalam suasana kompetitif, anak-anak itu dipacu untuk mengadu diri dengan teman-temannya, suasana belajar atau suasana kelas menjadi suatu suasana yang mencekam dan menegangkan. Tidak semua anak mampu mengatasi ketegangan, ada anak yang perasaannya sangat peka dan lebih mudah termakan atau dikuasai oleh ketegangannya. Ada anak yang memang tidak terlalu peka sehingga dia pun lebih bisa mengalahkan ketegangannya itu. Artinya apa, sekali lagi orang tua harus melihat apakah anak saya mampu mengatasi ketegangan, suasana kompetitif yang sangat tinggi itu, kalau dia tidak sanggup jangan dipaksakan. Jadi sekali lagi orang tua harus mengenali kemampuan anak. Nah, mungkin orang tua yang mendengarkan kita bercakap-cakap sekarang berkata kalau begitu bagaimanakah saya bisa memacu kepercayaan diri anak. Justru yang saya mau tekankan adalah kepercayaan diri bertumbuh dalam suasana aman, bukan kebalikannya suasana yang mencekam, yang mengancam, yang menakutkan justru akan menurunkan kepercayaan diri anak. Itu langkah pertama yang kita harus ambil untuk memupuk kepercayaan diri pada anak-anak.
GS : Tapi biasanya orang tua kadang-kadang salah tafsir dan mengatakan kamu ini bukan bodoh tapi malas. Jadi bukan menyalahkan lingkungan luar, mengatakan anaknya itu sebetulnya bisa, cuma malas atau terlalu banyak bermain. Bagaimana hal ini menurut Pak Paul?

PG : Nah di sini orang tua harus memeriksa dirinya sendiri dan memeriksa suasana rumah, apakah memang si anak itu malas. Kadang-kadang orang tua melabelkan anaknya malas guna mempertahankan konep bahwa si anak itu tetap pandai, daripada mengakui anaknya tidak sepandai itu.

Seringkali orang tua lebih rela mencap anaknya malas, jadi orang tua harus realistik dan harus berani terbuka. Bagaimanakah cara menumbuhkan kepercayaan pada anak, langkah berikutnya lagi adalah orang tua harus memeriksa tuntutannya sendiri. Kadangkala orang tua tanpa disadari telah mengkomunikasikan tuntutan yang sangat tinggi kepada anak-anaknya. Kalau dia sampai tidak bisa, justru dikatakan malas, kadangkala ini yang terjadi. Si anak bukannya malas dia telah mengerjakan sebisanya, tapi sebisanya hanya sampai di situ. Nah orang tua harus menerima, jadi kalau tidak bisa menerima malah terus membebani anak dengan tuntutan dan hal ini bukan menumbuhkan kepercayaan diri tetapi makin mematahkan. Jadi orang tua perlu realistik, kalau anak mengatakan, "Saya sudah belajar, Ma" dan kita pun mengakui, kita melihat dia sudah belajar, jangan lagi mengatakan engkau malas. Kalau engkau sedikit lebih rajin, engkau akan mencapai lebih tinggi lagi, kalau memang sudah dilakukan sebisanya, orang tua harus menerimanya dengan realistik.
GS : Apakah ada langkah-langkah lain Pak Paul, yang praktis dan harus diketahui orang tua?

PG : Yang berikutnya adalah saya mau meminta orang tua untuk tidak menjadikan rumah sebagai sekolah, yang kedua jangan sampai kita ini menjadi ibu guru atau kelanjutan dari ibu guru atau bapak uru di sekolah.

Sekarang ini saya kira orang tua harus berjuang keras melawan dorongan untuk menjadi guru kedua atau bapak guru kedua. Memang kita hidup dalam suasana atau lingkup yang sangat menekankan bobot akademik sehingga di rumah pun yang lebih mendominasi kehidupan anak-anak adalah pekerjaan rumah (PR). Kita pernah membahas bahwa anak-anak sangat memerlukan waktu yang santai, yang menyegarkan, yang membuat dia akhirnya bisa berfungsi dengan lebih bebas. Selain dari kesempatan bermain yang dapat mengembangkan kreatifitas juga keterampilan bergaulnya, nah hal-hal itu memang sangat berkurang dalam kehidupan anak-anak dewasa ini. Jadi saran saya, setelah anak mengerjakan tugasnya dan kita tahu dia sudah mencoba, jangan lagi terlalu dipaksa. Bermainlah dengan anak, berguraulah dengan anak, ciptakan suasana rumah yang lebih santai sehingga anak merasakan perbedaan yang besar antara sekolah dan rumah. Jangan sampai dia tidak betah di sekolah, juga tidak betah di rumah, itu sebabnya kalau usia sudah meningkat lebih dewasa atau masa-masa remaja dia tidak betah di sekolah, dia betah di mall, di jalan-jalan sama temannya. Jadi ciptakan suasana rumah yang lebih santai, berguraulah, ngobrollah dengan anak-anak, bermainlah dengan anak-anak, ini adalah hal-hal yang sangat tidak menegangkan anak. Anak-anak yang santai diterima orang tua seperti ini justru lebih mempunyai energi untuk belajar. Anak-anak yang terlalu dipaksa-paksa melebihi kemampuannya, tenaganya habis sehingga semakin tidak konsentrasi untuk belajar, apalagi kalau berlangsung tahun demi tahun.
IR : Tapi kalau sebaliknya, Pak Paul, ada anak yang selalu minta diajari itu bagaimana kira-kira?

PG : Kalau anak minta diajari, memang pertama-tama kita harus menyediakan diri kita, kita tidak langsung berkata jangan atau tidak mau. Kita harus tahu dulu apa duduk masalahnya, sehingga anak ni tidak mengerti pelajarannya.

Kalau memang dia tidak mengerti dan kita sudah menanyakan pada gurunya kalau di sekolah dia mendengarkan, tapi di rumah tidak bisa mengerjakan tugasnya, nah kita ingin tahu apakah kalau kita menjelaskannya dengan cara yang lain si anak bisa mengerti. Kalau si anak ternyata mengerti, kita mulai bisa menebak duduk masalahnya yaitu di kelas entah mengapa dia tidak mengerti apa yang dijelaskan oleh si guru, mungkin caranya yang berbeda. Di rumah dengan cara misalkan yang lebih konkret atau apa si anak bisa mengerti, nah untuk itulah kita perlu memberikan penjelasan-penjelasan kepadanya, supaya nanti waktu dia di sekolah dia lebih bisa menggunakan pola pikir yang telah kita berikan untuk mencerna pelajaran yang diberikan di sekolahnya. Berikutnya kepada anak kadang-kadang meminta mamanya untuk mengajari dia, sebetulnya anak memerlukan sosialisasi, dia sudah lelah di sekolah belajar sendirian, tidak bisa kerja sama dengan teman. Di rumah dia ingin sosialisasi dengan orang tuanya tidak bisa, orang tuanya berkata duduk di sana kamu belajar, berarti apa dia disekolahkan lagi di rumah, maka ada kalanya teriakan atau permintaan anak "temani saya belajar", bukannya terlalu bersifat akademik tapi lebih bersifat emosional. Anak meminta Mama untuk dekat, untuk bisa bersama-sama dia, sebab kalau tidak mamanya tidak menemani dia atau papanya tidak menemaninya, sibuk dengan kesibukan masing-masing dan dia terpaksa harus sekolah lagi di rumah selama 3 jam begitu.
IR : Apakah itu anak yang ambisi Pak Paul, yang mengatakan saya besok ulangan Ma, ayo Ma aku diajari?

PG : Kalau anak-anak itu meminta dukungan mamanya untuk ulangan besok, saya bisa menafsirkan itu dari dua sudut. Yang pertama memang dia memerlukan kedekatan dengan mamanya, dia merasa ada kontk sosial ketika mamanya ada disampingnya.

Kedua mungkin sekali dia mendapatkan bantuan dari mamanya, jadi si mama berhasil memberikan dia, baik itu kekuatan moral atau penjelasan-penjelasan intelektual yang menolong dia lebih memahami pelajarannya. Hal-hal itu memampukan dia untuk melakukan tugasnya dengan baik.
GS : Kalau sejak dini tidak punya rasa percaya diri yang bagus, lalu dia beranjak menjadi remaja apakah rasa percaya dirinya itu bisa goyah karena sesuatu masalah?

PG : Kalau saya boleh bagi kepercayaan diri itu dari 3 sumber seperti yang telah kita bahas pada pertemuan yang lampau, saya akan membaginya dalam 3 kategori. Sumber pertama untuk percaya diri nak adalah prestasi akademiknya, sumber yang kedua adalah penampilan fisiknya dan yang ketiga adalah kemampuan bergaulnya, diterima atau tidak di dalam pergaulan.

Yang pertama adalah dasarnya, anak-anak pada masa usia di bawah 12 tahun (SD) sangat menumpukan kepercayaan dirinya pada keberhasilan akademiknya. Namun pada masa remaja modal itu tidak cukup, dia perlu dua modal yang lainnya, dua tonggak yang lainnya yakni penampilan fisiknya dan juga keterampilan bergaulnya. Kalau saya boleh bagi dalam prosentase, 30% untuk masing-masing itu semuanya, Pak Gunawan, jadi anak-anak yang berhasil secara akademik dia telah memiliki modal 30% untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dirinya. Waktu nanti dia bisa mengembangkan tubuh yang baik, wajah yang lumayan itu menambahkan 30% lagi. Kalau kebetulan juga dia luwes bisa bergaul dengan baik dan diterima oleh teman-temannya itu 30%nya lagi, sehingga semuanya itu akan mencakup kepercayaan dirinya.
GS : Tapi yang jadi masalah yang kedua berkaitan dengan penampilan dirinya, bukankah itu dibawa sejak lahir, Pak Paul?

PG : Harus saya akui bahwa penampilan diri berdampak, maka tadi saya kategorikan itu sebagai salah satu sumber pemberi kekuatan kepercayaan diri anak. Kalau memang dia misalnya terlalu besar tuuhnya dan justru sejak dari masa-masa remaja dia jadi bahan ejekan, olok-olokan teman, akhirnya itu akan menggerogoti kepercayaan dirinya.

Meskipun misalnya sebelumnya dia telah berhasil menumbuhkembangkan kepercayaan diri yang positif atas dasar prestasi akademiknya, begitu dia memasuki tahap remaja dan penampilan tubuhnya itu tidak disambut malah dikritik dan diolok-olok,itu bisa akhirnya menggerogoti kepercayaan diri sudah ada pada dirinya. Malah membuat dia misalnya terkesan ragu-ragu, susah untuk konsentrasi di kelas atau enggan ke sekolah atau mulai mengaitkan sekolah dengan sesuatu yang pahit, yang tidak enak sehingga dia menjadi malas ke sekolah. Mudah-mudahan dia mendapatkan dorongan-dorongan dari temannya atau dari keluarganya, sehingga dia tetap berani untuk ke sekolah dan menghadapi olok-olokan temannya itu.
GS : Mungkin itu akan bisa ditutupi, katakan itu dengan prestasi akademiknya dan mudahnya dia bergaul dengan teman-teman yang lain sehingga diterima oleh lingkungannya.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sehingga anak-anak akhirnya harus sedikit banyak berkompensasi dari kekurangan yang satu pada kelebihan yang satunya, itu akan lebih menyeimbangkan kepercayaan diinya.

Namun saya tetap harus berkata bahwa kekurangan pada salah satu tonggak tersebut tetaplah kekurangan, misalnya dalam hal penampilan diri meskipun secara sosial dia diterima, baik kemampuan bergaulnya yang luwes, prestasi akademiknya juga lumayan, tetapi dalam hal penampilan diri dia tetap akan merasakan lebih banyak keragu-raguan. Dia misalnya tidak begitu berani untuk mendekati lawan jenisnya, tetap itu merupakan defisit dalam pertumbuhannya, tapi akan sangat terobati dengan keberhasilan dalam 2 bidang yang lainnya.
GS : Atau dia menggunakan pakaian atau asesoris yang lain untuk menutupi kekurangannya itu, Pak Paul?

PG : Bisa jadi, kadang-kadang memang orang yang lebih banyak defisit atau kekurangannya cenderung "over-acting", lalu memakai asesoris yang terlalu berlebihan.

GS : Di situ bisa terjadi kesalahpahaman lagi dengan orang tua, Pak Paul. Masalahnya kita sebagai orang tua harus bersikap bagaimana kalau sudah begitu?

PG : Saya kira sebaiknya kita munculkan. Kalau memang kita melihat anak kita memiliki kekurangan secara fisik, kita munculkan bahwa orang mungkin melihat engkau kurang dalam hal misalnya tubuhm terlalu kurus atau terlalu kecil atau terlalu besar atau matamu terlalu sipit atau terlalu besar.

Orang tua sebaiknya memunculkan kekurangan anak dengan santai, jangan membuat itu sesuatu yang menegangkan, kemudian berkata tapi tidak berarti engkau jelek. Bahwa engkau itu mempunyai kekurangan dalam hal A atau hal B, tidak berarti dalam semua hal engkau kurang dan engkau tidak dinilai berdasarkan hal A atau hal B belaka. Engkau dinilai oleh orang berdasarkan hal-hal yang lain misalnya keramahanmu, kesiapanmu menolong orang, kerajinanmu, ketabahanmu, kepandaianmu, itu semua hal-hal yang orang akan hargai dan begitu banyak hal yang orang hargai tentang dirimu. Dan bukankah teman-temanmu juga menghargaimu atas hal-hal itu, jadi kita munculkan dan kita sadarkan bahwa anak-anak kekurangan dalam 1 hal atau 2 hal tidak akan mengalahkan hal-hal yang baik misalnya yang berjumlah 10 sampai 20.
GS : Pak Paul, saya pernah mendengar suatu keluhan atau yang disampaikan oleh orang tua sebenarnya kita sebagai orang Kristen, tidak boleh percaya pada diri kita sendiri, tapi percayanya kepada Tuhan. Saya terus terang agak kurang sependapat, saya setuju tapi tidak setuju 100%. Itu bagaimana sebenarnya, Pak Paul?

PG : Saya kira prinsip yang tepat adalah kita gunakan dari Firman Tuhan; di kitab Amsal 3:5-6 yang ditekankan di situ adalah jangan kita itu menjadikan diri kita sebagai tolak ukurterakhir dalam menentukan langkah hidup kita.

Ada Tuhan yang menjadi penentu akhir, kita hanyalah orang yang mengerti sedikit, Tuhan yang mengetahui semuanya. Oleh karena itu, Dia minta akuilah jalanmu maka Ia akan meluruskan jalanmu, akuilah Tuhan dalam segala aspek kehidupanmu artinya kita memang menyadari Tuhanlah yang menjadi penentu akhir. Kepercayaan pada diri berarti kita mengerti kesanggupan kita dan ketidaksanggupan kita, kesanggupan kita pun secara spesifik kita mengerti berapa sanggupnya kita. Kita menyadari dan menerima ada orang yang lebih sanggup dari kita, atau kita menyadari sedikit lebih sanggup dari yang lain, jadi semakin tepat kita menilai diri kita dan menerimanya semakin percayalah kita pada diri kita. Tidak berarti atau bertentangan dengan kita percaya pada Tuhan, sebab kita tahu Tuhan yang tetap menentukan semua yang kita miliki, kesanggupan yang telah kita punyai, itu pun pemberian Tuhan. Jadi memang keduanya tidak harus bertentangan, orang yang mempercayai diri tetap bisa bertumpu pada Tuhan yang memelihara dan menentukan hidupnya, kepercayaan dirinya itu tidak mengeluarkan/mengesampingkan Tuhan dalam keputusan-keputusan hidupnya.
(2) IR : Bagaimana Pak Paul kalau kita menghadapi anak yang beberapa kali gagal sehingga dia kadang-kadang putus asa, sebagai orang tua sikap apa yang kita berikan pada mereka?

PG : Pertanyaan yang baik sekali Ibu Ida, kita ini sebetulnya sudah termakan oleh budaya kompetisi, begitu termakannya kita, sehingga menurunkan suasana kompetisi itu di rumah kita. Terutama paa anak-anak kita, sehingga tanpa kita sadari kita lebih sering memperlakukan anak-anak seperti kuda pacu.

Kalau berhasil kita senang, berteriak hore..hore, bila anak kita tidak menang kita kecewa sekali. Yang penting sebagai orang tua kita menerima kegagalan anak dengan lapang, jangan sampai kita memberikan sikap yang berlebihan, seolah-olah kegagalannya dia masuk ke sekolah A misalnya menjadi pertanda buruk bahwa sepanjang hidup nasibnya itu sudah tentu buruk, tidak akan ada lagi keberhasilan yang akan dicicipinya atau kegagalan dia untuk naik kelas kita katakan itu seolah-olah pertanda anak yang paling bodoh. Jadi janganlah kita memberi sikap yang berlebihan pada kegagalan anak, kita harus menerimanya. Yang penting kita tekankan engkau telah mengerjakan tugasmu, kalau memang dia tidak mengerjakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab itu bagian yang kita soroti, apakah memang dia kurang bertanggung jawab dan perlu lebih rajin, jadi sekali lagi kita soroti pada aspek perbuatannya. Kalau tidak hati-hati kita terlalu mengatakan dia bodoh makanya tidak naik kelas, dia akhirnya akan mengidentikkan kata gagal dengan dirinya. Jadi kalau dia ingat tentang dirinya kata yang pertama kali meloncat adalah takut gagal, percayalah yang dia hasilkan bukan potensi maksimalnya, justru potensi yang sangat jauh dari kemaksimalannya. Dia makin takut mengeluarkan kebiasaannya untuk mencoba karena dia takut gagal. Jadi sekali lagi peluklah anak waktu dia gagal, kalau perlu tegur pada perbuatannya namun dorong dia melakukan apa yang dia sanggup lakukan.
IR : Kalau sebaliknya Pak Paul, anak yang sebenarnya tidak mampu dan orang tua mengetahui anak-anak ini tidak mampu, tapi dia mempunyai cita-cita yang menurut orang tua tidak mampu, bagaimana sikap kita?

PG : Kita bisa berkata cita-citamu itu sangat tinggi dan sangat baik. Papa, Mama akan senang sekali kalau engkau bisa mencapainya. Jadi yang saya katakan di sini adalah kita jangan terlalu cepa memadamkan semangat anak, jadi biarkan anak menargetkan sesuatu yang tinggi.

Silakan kamu coba, Papa, Mama ada di belakangmu. Tapi misalkan dia sudah gagal beberapa kali dia coba, mungkin kita bisa berkata Tuhan tidak memberikan karunia yang sama pada setiap orang, memang temanmu atau saudaramu memiliki karunia itu, tapi Tuhan tidak memberikan kepadamu berarti kita harus menerimanya bahwa ini memang bukanlah karunia Tuhan, artinya ada yang lain, yang kau bisa kerjakan ayo kita cari yang lainnya itu. Jadi kita mengajak anak mengeksplorasi karunia Tuhan yang sudah diberikan kepadanya, sehingga dengan cara itu anak akan kita salurkan ke karunia yang lebih tepat untuknya.
GS : Jadi rasa percaya diri itu saya rasa memang penting sebagai bekal untuk dia memasuki masa dewasanya juga, Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Dalam hal ini Firman Tuhan berkata apa, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 13:4 , "Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia sedangkan hati orang rajin diberi kelimpahan." Penekanannya di sini adalah pemalas anyak keinginannya, tapi sia-sia karena dia tidak akan mau dan berusaha untuk meraihnya, sedangkan orang yang rajin akan memiliki banyak karena dia rajin bekerja untuk mendapatkannya.

Saya kira lebih penting dari kepandaian atau apa, yang perlu kita tanamkan pada anak adalah bahwa dia bisa maju, dia mempunyai kewajiban dan mencoba. Nah itu lebih penting dari prestasinya, selagi dia masih mau mencoba, dia punya kerajinan dia akan percaya bahwa dia bisa maju, dia bisa melangkah ke depan. Yang berbahaya adalah kalau anak sudah beranggapan saya tidak akan bisa maju, saya memang tidak mempunyai kemampuan untuk melangkah, itu akan mematikan dia.

GS : Firman Tuhan yang sudah dibacakan pasti akan menjadi dasar yang sangat kuat, landasan yang sangat kuat untuk mengembangkan cara-cara menumbuhkan percaya diri pada anak. Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang beberapa kiat untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



20. Bagaimana Membentuk A Boy A Man 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T070A (File MP3 T070A)


Abstrak:

Membentuk atau membesarkan secara khusus anak laki-laki kita menjadi seorang pria dewasa yang kita harapkan dan diharapkan oleh Tuhan juga. Dan dalam hal ini arahan dari seorang ayah sangatlah diperlukan di dalam mentransfer kualitas yang diinginkan masuk di dalam anaknya. pria dewasa/sigap.


Ringkasan:

Seorang anak laki-laki perlu mendapatkan didikan, arahan dari ayahnya sebab apa-apa yang telah diterima dari si ayah itulah yang akan membentuk dia menjadi seorang pria yang diharapkan dan yang memang diharapkan oleh Tuhan.

Peranan seorang ayah pada anak laki-lakinya:
Bahwa anak-anak perlu menyerap sifat kelaki-lakian dari seorang ayah. Proses ini disebut identifikasi yaitu proses memasukkan sifat-sifat perilaku, pola tingkah laku atau pola pikir atau pengungkapan emosi dari ayah ke dalam diri anak. Contoh: ayah kalau bicara menggunakan gerakan-gerakan tangan, tanpa disadari kita mulai menyerap perilaku tersebut. Atau kalau ayah lagi marah cenderung diam, anak-anak cenderung juga menyerap sifat-sifat seperti itu.

Kalau anak tidak mendapatkan dari ayahnya dia akan mendapatkan dari pihak-pihak luar baik itu teman maupun tokoh-tokoh di televisi. Dalam hal ini seorang ayah sangat perlu memberikan waktu terlibat hadir dalam kehidupan si anak, sering bermain, bergaul, berkomunikasi dengan si anak.

Hal yang perlu kita berikan atau hal yang perlu kita ajarkan secara terencana kepada anak laki-laki kita:

  1. Kita mesti mengajar anak mengambil keputusan. Mengajarkan proses mengambil keputusan yang benar. Menekankan bahwa seorang pria sebaiknya menjadi pemula atau menjadi orang yang mengambil inisiatif, jangan menjadi pria yang pasif, yang hanya menantikan orang untuk mengambilkan keputusan.

  2. Di dalam melaksanakan tugas seorang pria diharapkan bersifat sigap bukan malas-malasan atau lamban.

Hal yang lain juga yang perlu kita perhatikan adalah jangan kita mengajarkan hal-hal yang negatif, yaitu dalam bentuk kemarahan-kemarahan, mencela-mencela si anak. Sebab sifat negatif bukannya membangun si anak untuk menjadi seperti yang kita harapkan, seringkali justru menjadi bumerang, menjadi kebalikan dari yang kita harapkan.

Sehubungan dengan sosialisasi anak laki-laki kita dengan lawan jenisnya, kita perlu dan sepatutnya mengajarkan kepada anak laki-laki untuk melindungi wanita, yaitu mempunyai sikap atau persepsi yang tepat terhadap wanita yaitu melindunginya bukan memanfaatkannya.

Sehubungan kalau anak laki-laki kita berhubungan dengan sesamanya atau pria lain, kita perlu sebagai seorang ayah perlu mengajarkan anak laki kita bahwa dia setara dengan pria lain. Adakalanya anak laki-laki itu merasa dia baik, kalau merasa dirinya lebih hebat dia itu superior dari teman prianya atau kalau anak minder dia merasa dia kecil, teman-teman prianya yang lain lebih besar dari padanya. Kita perlu mengajar anak laki kita untuk setara, untuk bersikap sama bahwa dia tidak lebih dan dia tidak kurang dari orang-orang lain. Sebagai seorang ayah perlu memunculkan hal yang spesifik misalnya tentang kebaikan anak, kita mesti tunjukkan sesuatu yang memang dia lakukan dan lumayan baik, sehingga itu menjadi bekal dia menempatkan diri sejajar dengan pria-pria lainnya.

Seorang anak usia remaja sering kali mencoba-mencoba, bereksperimen. Dukungan yang bisa kita berikan sebagai orang tua adalah kita menekankan bahwa keberanian mengambil resiko adalah sifat pria yang baik yang dihormati, justru sifat pria yang takut mengambil resiko itu menjadi sesuatu yang tidak dihargai oleh orang lain. Jadi anak-anak pria perlu mendapatkan dorongan dari ayahnya untuk mengambil resiko meskipun dia itu bisa keliru, bisa dirugikan tapi kita bisa dorong dia kenapa tidak mencoba, otomatis dalam hal yang benar.

Kadang kala anak-anak takut mengambil resiko karena:

  1. Takut gagal
  2. Takut disalahkan

Ketakutan gagal dan ketakutan disalahkan adalah hal yang wajar dan tidak apa-apa tapi kalau berlebihan akan melumpuhkan si anak. Jadi sekali lagi sebagai ayah kita harus berhati-hati jangan terlalu cepat mengevaluasi, mengkritik, mencela, menjatuhkan anak kita, waktu dia mengambil resiko melakukan sesuatu.

Kita perlu mengarahkan anak untuk menjadi pria dewasa yang bisa mengontrol emosinya. Salah satu kualitas pria yang dihargai oleh lingkungan adalah stabil, kestabilan emosi itu adalah suatu ciri pria yang baik. Pria yang emosinya turun naik cenderung mendapatkan kesukaran dan kurang mendapatkan penghargaan dari lingkungannya. Jadi sebagai ayah kita perlu mengajarkan kepada anak-anak untuk mempunyai emosi, jangan sampai tidak punya emosi, jadi silakan beremosi, silakan marah, silakan kecewa tapi kita ajarkan dia menyatakan emosi tersebut dengan benar.

Ada 3 hal yang perlu kita perhatikan dalam membimbing anak laki-laki kita menjadi seorang pria dewasa yang baik, yaitu:

  1. Jangan sampai kita terlalu terjebak dalam pembedaan antara feminin, maskulin. Contoh: ada orang tua atau ayah yang berkata anak laki tidak usah cuci piring itu pekerjaan wanita, itu tidak benar. Silakan dia mencuci piring dan tidak ada salahnya anak laki mencuci piring, anak laki tidak boleh menangis itu wanita, tidak apa-apa anak laki menangis, anak laki-laki kadang-kadang perlu menangis.

  2. Jangan menghina anak laki-laki, jadi anak laki-laki itu peka terhadap penghinaan. Misalkan penghinaan menyamakan dia dengan wanita, memanggil dia dengan wanita atau kata-kata banci, anak laki mempunyai satu ketakutan yang total yaitu takut disamakan dengan wanita. Atau misalnya kita tempeleng dia, menunjuk-nunjuk dahinya dengan telunjuk kita di depan temannya itu sangat menghina dia. Anak laki yang merasa terhina, cenderung menyimpan rasa terhinanya dan menjadi dendam kesumat pada dirinya terhadap kita sebagai ayah.

  3. Jangan mengharuskan anak laki kita menyukai hobby kita atau dengan kata lain jangan sampai kita mencoba untuk mencetaknya menjadi jiplakan kita. Misalnya kita sebagai ayah melihat anak kita kok tidak senang sepak bola, kemudian mulailah kita meremehkan dia, nggak mau dekat dengan dia, itu adalah penolakan yang sangat menohok penolakan diri si anak. Dia akan merasa menjadi pria yang tidak lengkap karena ayahnya menolak dia, dan dia akan melihat figur ayahnya adalah figur pria yang lengkap, keren, ayahnya menolak dia seakan-akan dia bukan pria yang lengkap, itu tidak positif dan tidak baik.

Amsal 20:18 , "Sekalipun emas dan permata banyak tetapi yang paling berharga adalah bibir yang berpengetahuan." Pengetahuan itu diidentikkan dengan berhikmat jadi yang kita ingin berikan kepada anak kita adalah yang paling berharga yakni hikmat. Yakni hikmat menjadi seorang pria, menjadi seorang yang takut Tuhan, mengenal Tuhan dan bisa hidup di tengah-tengah lingkungannya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Bagaimana Membentuk A Boy menjadi A Man. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita mau membicarakan bagaimana membentuk a boy (anak laki-laki) menjadi a man (pria dewasa). Apakah tidak dengan sendirinya bisa terjadi, Pak Paul?

PG : Itu adalah asumsi orang pada umumnya, memang akan terjadi. Jadi anak-anak yang dibesarkan, diberikan makanan yang cukup akan berkembang menjadi seorang pria dewasa. Tapi persoalannya adlah pria dewasa macam apakah itu, oleh karena itu akan kita bicarakan.

Jadi bukan masalah ya, anak-anak pasti akan berkembang menjadi pria dewasa, tapi pria dewasa seperti apakah nantinya.
(1) GS : Ya seperti apa kira-kira, Pak Paul? Saya sendiri juga kurang jelas.

PG : Maksud saya adalah sebagai seorang ayah, kita memikul tanggung jawab untuk memberikan kepada anak laki-laki kita, membesarkannya secara khusus agar anak laki kita dapat bertumbuh besar enjadi seorang pria dewasa yang memang kita harapkan dan juga diharapkan oleh Tuhan.

Nah saya kira itu adalah inti yang akan kita bicarakan pada hari ini.
GS : Jadi penciptaan Tuhan terhadap pria dewasa itu pasti sangat unik ya Pak Paul, maksudnya pasti berbeda sama sekali dengan yang wanita.

PG : Saya kira akan ada perbedaan antara seorang pria dan seorang wanita. Apa yang ayah berikan, saya kira tidak dapat diberikan oleh ibu, nah sudah tentu apa yang ibu berikan tidak dapat jua diberikan persis oleh seorang ayah.

Tapi khusus untuk anak laki-laki, saya berpendapat bahwa seorang ayah memegang peranan yang sangat besar untuk diberikan kepada si anak.
(2) GS : Padahal biasanya kami menjadi ayah agak jarang atau kurang terlibat di dalam pembinaan anak semasa kecil, Pak Paul.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, kita memang sebagai pria harus memberikan banyak waktu di luar untuk bekerja. Tapi saya kira ada baiknya, pada kesempatan ini kita memperhatikan dengan lebih sksama, sebetulnya apa peranan seorang ayah pada anak laki-lakinya.

Yang pertama, yang penting kita ketahui adalah bahwa anak-anak itu perlu menyerap sifat kelaki-lakian dari kita sebagai ayahnya. Nah, proses ini disebut identifikasi, jadi identifikasi adalah proses memasukkan sifat-sifat, perilaku, pola-pola, tingkah laku atau pikir atau pengungkapan emosi dari ayah kita atau dari orang tua kita ke dalam diri kita. Saya berikan contoh, kalau kita melihat bahwa ayah itu waktu bicara sering kali menggunakan misalnya gerakan-gerakan tangan, tanpa kita sadari kita mulai menyerap perilaku tersebut. Atau kalau ayah kita sedang marah dia cenderung diam, nah anak-anak yang dibesarkan oleh ayah yang seperti itu cenderung juga menyerap sifat-sifat seperti itu. Waktu misalnya ibu marah-marah atau ngomel-ngomel sedikit, ayah juga tidak menanggapi dengan emosionalnya tapi mencoba untuk memberikan penjelasan dan lebih tenang. Nah sifat atau perilaku tersebut akan diserap pula oleh seorang anak pria, jadi hal-hal seperti itulah yang akan diserap oleh seorang anak. Sifat-sifat tersebut akhirnya masuk ke dalam diri si anak dan menjadi bagian dirinya sendiri, itulah yang kita sebut identifikasi. Nah proses ini penting sekali harus diterima oleh seorang anak laki-laki.
GS : Kalau begitu harus direncanakan oleh si ayah itu, ya Pak Paul. Hal-hal apa yang akan ditanamkan di dalam diri anaknya itu, apa tidak perlu direncanakan atau secara alamiah begitu atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira pada dasarnya semua ini akan berjalan dengan alamiah, namun kita juga harus membuat suatu perencanaan untuk hal-hal tertentu. Misalkan kita mau memberikan dia petunjuk dalam mnghadapi hal seperti ini, sebaiknya kita begini.

Kita tidak perlu terlalu menekankan kata-kata seorang pria harus begini, itu bisa kita lontarkan secara natural. Namun yang penting memang secara umum kita menyadari betapa pentingnya kita di dalam anak pria kita, apa yang kita katakan dan apa yang kita kemukakan, karena itu akan diserap oleh dia. Kalau kita kurang banyak berada di rumah dan kalaupun di rumah kita jarang sekali dilihat oleh anak, jarang sekali bergaul dengan anak, yang saya maksud jarang dilihat misalkan kita pulang terus kita makan, kita mandi atau terus kita diam di kamar, nonton televisi atau ke meja komputer melihat pesan-pesan di e-mail kita dan sebagainya sampai malam hari atau melakukan pekerjaan kita di rumah, kita menjadi ayah yang tidak dilihat oleh anak kita. Nah, otomatis yang akan dia lihat orang lain, dalam hal ini bisa jadi sifat mamanya yang akan dia lihat. Jadi sifat-sifat feminin mama yang akhirnya lebih menyerap dalam dirinya atau waktu dia menginjak usia yang lebih besar, dia akan menyerap sifat-sifat yang dia lihat dari orang lain. Di sekolah dari teman-temannya, atau ini yang paling umum yaitu karena dia sering nonton televisi yang dia lihat adalah tokoh-tokoh di dalam televisi tersebut dan itulah yang dia akan serap pula. Jadi yang ingin saya katakan adalah kalau kita jarang dilihat di rumah, anak akan menyerap dari orang lain yang dilihatnya. Kembali lagi pada apa yang saya katakan pada awalnya yaitu masalahnya bukan apakah anak kita akan bertumbuh besar menjadi seorang pria dewasa, tapi pria dewasa seperti apakah nantinya, pria itu akan menjadi seperti apa, nah ini tergantung pada peranan kita.
GS : Di dalam hal menyerap pasti ada yang baik maupun yang buruk dari sifat-sifat kita, tingkah laku kita sebagai pria dewasa juga diserap oleh anak itu, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, misalkan kita pada waktu jengkel mudah sekali untuk bersikap ketus, kita mungkin tidak berteriak-teriak, tidak emosional tapi kita ketus. Lama kelamaan anak-anak akan menyrap dan akan bersikap ketus.

Apapun yang kita lakukan, baik yang buruk ataupun yang baik, memang akan mudah sekali diserap oleh anak kita. Tapi kembali lagi kepada yang tadi Pak Gunawan sudah tekankan, bahwa kita harus terlibat, kita harus hadir, jadi itu kuncinya. Nah, secara otomatis kita sebaiknya tidak memberikan pengaruh yang buruk kepada anak-anak kita, tapi yang paling penting adalah kita harus hadir dalam kehidupannya itu.
GS : Biasanya kehidupan anak sejak bayi itu di pelukan ibunya terus, Pak Paul?

PG : Betul, biasanya anak-anak yang pria pada usia 0 hingga usia mungkin 7-8 tahun cenderung dekat dengan ibunya. Menginjak usia pra remaja anak-anak pria itu lebih bisa dekat dengan ayahnya karena biasanya pada usia menjelang dewasa itu anak-anak mulai bereaksi juga terhadap ibunya karena pada umumnya tidak semua ibu itu cenderung protektif, cenderung banyak memberi instruksi dan kadang-kadang suka diajak berdialog dengan logis misalnya.

Nah adakalanya sifat-sifat yang seperti itu ditolak oleh seorang anak pria remaja atau pra remaja dan dia akan lebih merasa nyaman bicara dengan ayahnya, disinilah ayah itu bisa berperan sangat besar sekali. Jadi persiapan pertama, ya Pak Gunawan seorang ayah itu memang harus hadir dan terlibat dalam kehidupan si anak. Pada masa yang lebih kecil si ayah bisa bermain dengan anak, anak sangat senang bermain dengan ayahnya. Nah, waktu bermain dia bisa melihat juga kejujuran ayahnya, apakah ayahnya itu sportif atau tidak. Sifat-sifat seperti itu yang akan dia contoh, bermain dengan anak dan yang lainnya adalah berkomunikasi, hal-hal kecil seperti bagaimana hari ini, sekolah bagaimana apa yang terjadi dan ini yang menjadi favorit saya di rumah yaitu malam hari sebelum tidur temani anak, berikan waktu setengah sampai satu jam sebelum tidur untuk berbincang-bincang dengan anak-anak kita. Terutama dalam hal ini, kalau kita seorang ayah dengan anak pria kita, ajak dia bicara begini-begitu dan pada waktu dia menginjak usia remaja kita bisa memunculkan percakapan tentang berhubungan dengan teman wanita misalnya. Belum lama ini dalam saat teduh keluarga, saya menceritakan tentang pengalaman waktu masih SMP di mana saya dipermalukan oleh seorang teman wanita. Nah, hal-hal seperti itu yang kita perlu bagikan, kita komunikasikan dengan anak-anak kita, dalam waktu-waktu itulah si anak akhirnya menyerap apa yang ayahku lakukan menghadapi hal seperti itu, apa yang ayahku lakukan sewaktu dia tertekan, apa yang ayahku lakukan sewaktu dia dipermalukan. Nah inilah ilmu-ilmu yang perlu diserap oleh seorang anak laki-laki dari ayahnya.
GS : Memang biasanya kita kaum pria kurang memperhatikan hal-hal seperti itu, ya Pak Paul. Nah, dampaknya kalau anak nanti sudah menyerap hal-hal yang positif dan negatif dan mencontoh ayahnya itu, apakah itu tidak membuat dia kesulitan dalam terjun ke masyarakat nantinya?

PG : Tidak, karena yang dia terima atau serap dari ayahnya itu menjadi bekal, bekal yang dia bawa kalau nanti dia terjun ke masyarakat. Otomatis kalau dia menyerap yang buruk, yang buruk ituakan berbenturan waktu dia bergaul di luar dengan hal-hal yang dituntut oleh orang lain yang baik-baik.

Misalkan dia mudah sekali beremosi, dia keluar dia beremosi pula nah dia akan berbenturan dengan orang lain, jadi sifat atau bekal yang dia terima itu dipaksa untuk berubah. Nah memang tergantung pada dirinya, apakah dia akan bersedia mengubah dirinya atau tidak, tapi dengan kata lain semua yang kita bawa dari rumah memang akan diuji coba dan akan mengalami bentukan-bentukan kalau tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh orang di luar.
(3) GS : Nah, Pak Paul, sesuai dengan perkembangan usia anak itu, hal-hal apa yang mula-mula sekali kita bisa berikan kepada anak laki-laki khususnya?

PG : Yang pertama adalah kita harus mengajar anak kita mengambil keputusan. Saya tekankan bahwa seorang pria sebaiknya menjadi pemula atau menjadi orang yang mengambil inisiatif, itu yang saa coba tekankan pada anak laki-laki saya.

Jangan sampai kita menjadi pria yang pasif, yang hanya menantikan orang untuk mengambilkan keputusan bagi kita. Dorong anak kita untuk mulai mengambil keputusan, otomatis keputusan hanya bisa diambil jikalau ada pilihan. Nah di sini penting bagi ayah untuk tidak mempermalukan atau melecehkan si anak sewaktu misalnya si anak tidak bisa mengambil keputusan. Contoh kita mengajak dia pergi untuk membeli sesuatu kemudian dia bertanya kepada kita mana yang harus saya pilih, ada dua ini sama-sama bagusnya. Nah kita bisa jelaskan proses pengambilan keputusan, kita bisa jelaskan materi, misalnya kita mau membelikan dia baju, materi baju ini lebih bagus daripada yang satunya dan jahitannya lebih bagus juga daripada yang satunya. Harganya lebih mahal tapi kalau bahannya lebih bagus dan jahitannya lebih bagus berarti akan tahan lebih lama. Nah bukan saja lebih enak dipakai tapi akan lebih lama dipakai, nah bagaimana membeli yang ini meskipun sedikit lebih mahal. Yang ingin saya tekankan di sini adalah sekali lagi bukan memberikan jawaban langsung kepada si anak, tapi mengajarkan kepada anak proses pengambilan keputusan itu sendiri, sehingga nanti waktu dia menghadapi situasi yang sama bahkan yang berbeda dia mulai menerapkan metodenya atau rumusannya tadi yang telah kita ajarkan kepadanya. Waktu dia mulai bisa mengambil keputusan karena dia sudah mengerti rumusannya dia akan lebih berani mengambil inisiatif. Kebanyakan anak-anak yang takut mengambil inisiatif sebetulnya takut salah, takut salah sebetulnya takut dihukum karena kesalahannya. Di sini pentingnya seorang ayah berhati-hati dengan celaan, pelecehan, kritikan, "Begini saja tidak bisa, kok kamu begitu", yang penting adalah mengajarkan proses mengambil keputusan yang benar. Sehingga dia mempunyai bekal untuk mengambil keputusan dan lebih berani untuk mengambil inisiatif, karena dia tahu keputusannya itu kemungkinan besar akan benar.
GS : Tapi kadang-kadang kita sebagai orang tua tidak sabar, Pak Paul, menunggu anak mengambil keputusan rasanya lama sekali untuk hal-hal yang sederhana. Bagaimana kita mengutarakan hal-hal seperti itu kepada anak, Pak Paul?

PG : Sudah tentu dalam hal-hal sederhana dan kecil, sekali-sekali tidak apa-apa kita ambilkan keputusan untuk dia, tapi untuk hal-hal yang lain kita berikan dia waktu, kita dengan sengaja megundurkan diri supaya dia bisa maju dan mengambil keputusan.

Nah perlahan-lahan kita juga bisa katakan kepada dia, sebagai pria kita harus belajar untuk mengambil inisiatif karena itu merupakan sikap pria yang baik. Hal seperti itu kita boleh katakan kepada dia secara positif, jangan sampai kita utarakan dengan negatif. Misalnya "kamu pria tidak bisa ambil keputusan seperti ini, memalukan saja kamu ini, pria macam apa kamu nantinya", nah itu diungkapkan dengan negatif, bukan malah membangun, malah meruntuhkan harga dirinya.
GS : Tapi memang kadang-kadang kita ini kesulitan, Pak Paul, dalam hal kita memutuskan sesuatu hal. Misalnya tadi Pak Paul sudah singgung baju, baju yang dipilih menurut hemat kami sebagai orang tua kalau dari mutu kain dan sebagainya bagus, warnanya itu kadang-kadang yang mencolok sekali sehingga akhirnya kita merasa agak kurang pas melihat anak kita seperti itu, lalu bagaimana memberitahukannya?

PG : Saya akan beritahukan pendapat kita sendiri tidak apa-apa ya, jadi saya kira warnanya mencolok sekali, menurut kamu kalau kamu pakai baju ini di sekolah apa kira-kira reaksi teman-teman Misalnya dia berkata tidak apa-apa, memangnya ini umum, teman-teman memakai baju seperti ini tidak apa-apa, ya sudah kalau memang menurut kamu tidak apa-apa silakan.

Jadi adakalanya kita membiarkan anak kita mengambil keputusan yang memang menurut kita kurang pas, tapi selama kita tahu memang bukannya berkaitan dengan dosa dan tidak membahayakan jiwanya, saya kira sekali-sekali biarkan. Dengan cara itulah dia akan lebih berani mengambil inisiatif, karena kalau kita terus memastikan dia mengambil keputusan, justru dia akan mencari tahu apa pendapat kita sebelumnya dia berani mengambil keputusan.
GS : Atau diserahkan kepada kita, "Terserahlah Papa mau belikan yang mana", seperti itu Pak Paul?

PG : Tepat sekali, nah adakalanya kita terjebak dalam masalah itu, Pak Gunawan. Tanpa kita sadari kita malah melumpuhkan daya keberaniannya untuk mengambil keputusan, akhirnya ia tidak bertubuh menjadi anak yang berinisiatif malah menjadi anak yang pasif.

Nah, kita tahu di kalangan pria seperti kita kualitas atau karakteristik pasif itu bukanlah hal yang dianggap baik untuk seorang pria. Jadi saya kira itu tanggung jawab kita sebagai ayah untuk menanamkan dan menumbuhkannya. Sekali lagi saya harus garis bawahi Pak Gunawan, jangan mengajar anak secara negatif, itu yang seringkali kita lakukan, "Kamu ini begini saja tidak bisa, pria macam apa kamu nantinya, harus berinisiatif bikin malu saya saja kamu....", nah akhirnya anak tambah tidak berani berinisiatif, tambah takut berinisiatif.
GS : Atau keputusannya lalu jadi sama terus, maksud saya begini, Pak Paul, kalau kita makan di luar misalnya di restoran. Ditanya kamu mau makan apa, suatu saat dia memilih salah satu menu misalnya nasi goreng. Kita setuju dengan hal itu, lain kali dia memilih suatu menu yang memang mahal, kita katakan jangan ini terlalu mahal, uangnya tidak cukup, dia akhirnya kembali ke nasi goreng lagi. Lain kali kalau ditanyai lagi mau makan apa, langsung dia katakan nasi goreng, dan setiap kali makan nasi goreng, nasi goreng, seolah-olah tidak ada menu yang lain, Pak Paul.

PG : Sekali-sekali kita harus merentangkan anak untuk berani mengambil keputusan yang berbeda. Jadi misalkan dalam contoh tadi kita tidak bisa belikan menu yang dia inginkan, nah kita ingat tu misalnya minggu depannya kita makan dia berkata nasi goreng saja sudah cukup, sudah kita diamkan.

Tapi berikutnya karena kita sudah tahu pola berikutnya waktu dia pesan nasi goreng, kita katakan 2 minggu yang lalu kamu pernah ingin pesan ini, tapi Papa tidak punya uang, sekarang Papa punya uang ayo kita pesan itu, tidak....tidak usah, tidak usah. Tidak apa-apa Papa juga ingin coba sedikit, nah kita dorong dia sehingga akhirnya dia berani merentangkan dirinya, tidak hanya berada di dalam kotak yang aman.
(4) GS : Tapi makin dewasa seorang anak, makin banyak yang dia harus putuskan, ya Pak Paul. Nah itu kadang-kadang membingungkan dia juga. Sebenarnya peranan kita sebagai orang tua sampai sejauh mana, Pak Paul?

PG : Kita memang harus mengikuti anak, kalau kita tidak mengikuti anak, maka kita bisa memberikan dia kebebasan yang keliru dalam hal mengambil keputusan ini. Misalnya kita karena tidak mengkuti perkembangannya, dia mau pergi kita ijinkan saja, dia pergi dengan siapapun kita tidak tahu, nah akhirnya kita bisa menjerumuskan dia ke dalam pergaulan yang salah.

Jadi kuncinya adalah kita harus mengikuti perkembangannya, jadi saya berikan pengibaratan dia melangkah satu langkah ke depan kita pun segera melangkah bersama dengan dia ke depan, sehingga kita bisa mengetahui dia menghadapi keputusan seperti apa sekarang ini. Nah sekali lagi penting sekali ada komunikasi, kalau tidak ada komunikasi kita tidak bisa mengikuti perkembangannya, waktu ada komunikasi kita bisa mulai masuk memberikan dia sinyal-sinyal keputusan apa yang baik karena begini-begini. Anak pada umumnya kalau merasakan kita tidak menghakimi dia, tidak mencela dia, cenderung mau terbuka dengan kita. Satu tindakan orang tua yang paling umum dan yang paling membuat anak tidak mau berbicara pada orang tua adalah celaan, teguran. "Kenapa kamu begini, seharusnya begitu, kamu seharusnya sudah pikirkan itu", nah kata-kata seperti itu memadamkan anak untuk bercerita di kemudian hari kepada kita. Jadi ikuti perkembangan anak sehingga kita bisa memantau keputusan-keputusan yang harus dibuatnya dan sekali lagi yang paling penting kita mengajarkan dia proses pengambilan keputusan itu sendiri. Kenapa harus mengambil keputusan seperti ini, kenapa bukan yang itu, nah kita ceritakan jalan pikiran kita, sehingga itu yang dia serap, yang paling penting. Jangan kita hanyalah memberikan solusi atau jawaban langsung.
(5) GS : Karena memang lebih mudah menjawab langsung itu Pak Paul, daripada membimbing seperti itu, tapi bagaimana dengan tugas-tugas atau pekerjaan seorang anak laki-laki itu, Pak Paul?

PG : Dalam menghadapi tugas, saya kira seorang anak laki-laki diharapkan menjadi anak atau orang yang sigap. Saya kira kualitas atau ciri pria yang lamban bukanlah sifat yang dihormati. Jadidi kalangan pria, sifat atau sigap itu jauh lebih positif.

Nah kita sebagai pria perlu memberikan masukan, didikan kepada anak-anak kita untuk menjadi orang yang sigap. Saya mengakui adakalanya kalau kita sudah sigap, kita orang yang sigap melihat anak kita lamban itu luar biasa menjengkelkan kita, kita meminta sesuatu dilakukan tapi tidak dilakukan, atau kita meminta ini dilakukan dengan segera, dilakukannya dengan sangat santai. Nah, itu benar-benar sangat menjengkelkan kita, ya saya mengakui, Pak Gunawan, kadangkala saya pun tidak sesabar itu, adakalanya yang keluar dari mulut saya adalah kemarahan, menegur anak laki-laki saya, kamu lamban sekali, kamu harus lebih sigap. Seorang pria diharapkan untuk sigap, jangan terlalu lamban, nah kadang-kadang itu keluar dari mulut saya karena saya ingin mendorong dia untuk sigap. Tapi saya kira yang lebih banyak seharusnya bukan celaan tadi, yang lebih banyak seharusnya adalah mendorong dia untuk lebih cepat dengan kata-kata yang positif. Misalnya tolong kerjakan sekarang ya atau ayo kerjakan sama-sama atau dengan nada yang lebih mendorong dia mengerjakannya dengan lebih cepat, ayo harus kerjakan sekarang. Nah itu tanpa disadari akan melatih dia untuk menjadi orang yang lebih sigap, lebih cekatan.
GS : Ya, biasanya anak itu minta contoh dari kita sebagai orang tua, tapi kita merasa terganggu atau merasa lebih enak kalau kita kerjakan sendiri pekerjaan itu.

PG : Untuk hal-hal yang memang harus kita kerjakan sendiri dan lebih cepat silakan kerjakan tidak apa-apa. Yang bisa kita delegasikan dan seharusnyalah kita delegasikan kita harus berikan it kepada dia, jadi anak laki-laki terutama perlu diberikan tanggung jawab, misalnya tanggung jawab meletakkan sepatu di rak sepatu, mengembalikan, membersihkan atau apa, itu hal-hal yang rutin yang harus diberikan.

Jangan karena punya pembantu, kita tidak memintanya melakukan itu. Kita harus mengajarkan selesai makan, taruh piring di dapur, jangan tinggalkan di meja makan. Meskipun ada pembantu yang akan bisa mengambilnya, sebaiknya kita meminta anak membawanya ke dapur. Bukan kita ini menyusahkan atau menyengsarakan anak, tapi kita sedang mendidik dia apa yang harus dilakukannya setelah makan. Jadi untuk hal-hal yang memang kita harus kerjakan dengan cepat ya silakan, tapi kalau memang dia bisa kerjakan biarkan dia kerjakan.
GS : Memang kadang-kadang yang sulit di sini adalah memberikan teladan pada anak itu seperti tadi pengambilan keputusan maupun bekerja dengan sigap Pak Paul, kadang-kadang kita menyadari kekurangan diri kita sendiri sebagai orang tua, saya sendiri tidak mampu mengambil keputusan dengan cepat, bekerja dengan sigap lalu menuntun anak kita melakukan itu kita tidak berani.

PG : Itu betul sekali dan yang seringkali anak lihat akhirnya bukanlah perkataan kita, tapi perbuatan kita. Saya berikan contoh, beberapa waktu yang lalu anak kami meminta dibelikan celana utuk berolah raga di sekolahnya.

Nah, mula-mula tidak begitu saya perhatikan apakah hari itu dia harus mempunyai celana tersebut. Malam hari sebelumnya dia baru memberitahu kami bahwa besok harus ada celana ini, ya sudah tentu menjengkelkan kami karena malam-malam baru cerita. Tapi memang kami bisa mengerti juga beberapa jam sebelum itu ada temannya datang, jadi dia main dengan temannya sehingga malam hari baru ingat. Nah mula-mula kami katakan sudah pakai yang lain saja, terus saya tanyakan lagi ternyata memang gurunya sudah mengatakan harus dipakai hari esok. Jadi yang saya lakukan adalah meskipun sudah hampir jam 8, maka saya katakan ayo kita pergi, kita beli. Jawabnya, tidak...... tidak usah. Saya katakan tidak, saya mau membelikan karena ini penting buat kamu, saya belikan, waktu saya pulang saya katakan pada dia, tahu tidak kenapa tadi Papa paksa kita beli juga malam ini? Dia bilang tidak. Sebab Papa tidak mau kamu dipermalukan, saya bisa bayangkan besok kalau kamu tidak pakai celana ini dan guru kamu berkata kamu tidak pakai celana ini, tidak boleh ikut olah raga, kamu duduk sendirian di situ, kamu akan merasa dipermalukan dan saya tidak mau kami dipermalukan. Nah sikap seperti itu, saya kira menunjukkan kesigapan juga saya langsung pergi dengan dia. Itu memang perlu kita bagikan kepada anak-anak kita.
GS : Di samping itu Pak Paul, firman Tuhan mengatakan apa dalam hal ini?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 22:6 "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Inilah yangkita perlu ingat, tanamkan pada anak-anak kita jalan yang benar, sampai tua dia tidak akan menyimpang dari jalan itu.

GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang membentuk a boy menjadi a man. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



21. Bagaimana Membentuk A Boy A Man 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T070B (File MP3 T070B)


Abstrak:

Lanjutan dari T70A


Ringkasan:

Seorang anak laki-laki perlu mendapatkan didikan, arahan dari ayahnya sebab apa-apa yang telah diterima dari si ayah itulah yang akan membentuk dia menjadi seorang pria yang diharapkan dan yang memang diharapkan oleh Tuhan.

Peranan seorang ayah pada anak laki-lakinya:
Bahwa anak-anak perlu menyerap sifat kelaki-lakian dari seorang ayah. Proses ini disebut identifikasi yaitu proses memasukkan sifat-sifat perilaku, pola tingkah laku atau pola pikir atau pengungkapan emosi dari ayah ke dalam diri anak. Contoh: ayah kalau bicara menggunakan gerakan-gerakan tangan, tanpa disadari kita mulai menyerap perilaku tersebut. Atau kalau ayah lagi marah cenderung diam, anak-anak cenderung juga menyerap sifat-sifat seperti itu.

Kalau anak tidak mendapatkan dari ayahnya dia akan mendapatkan dari pihak-pihak luar baik itu teman maupun tokoh-tokoh di televisi. Dalam hal ini seorang ayah sangat perlu memberikan waktu terlibat hadir dalam kehidupan si anak, sering bermain, bergaul, berkomunikasi dengan si anak.

Hal yang perlu kita berikan atau hal yang perlu kita ajarkan secara terencana kepada anak laki-laki kita:

  1. Kita mesti mengajar anak mengambil keputusan. Mengajarkan proses mengambil keputusan yang benar. Menekankan bahwa seorang pria sebaiknya menjadi pemula atau menjadi orang yang mengambil inisiatif, jangan menjadi pria yang pasif, yang hanya menantikan orang untuk mengambilkan keputusan.

  2. Di dalam melaksanakan tugas seorang pria diharapkan bersifat sigap bukan malas-malasan atau lamban.

Hal yang lain juga yang perlu kita perhatikan adalah jangan kita mengajarkan hal-hal yang negatif, yaitu dalam bentuk kemarahan-kemarahan, mencela-mencela si anak. Sebab sifat negatif bukannya membangun si anak untuk menjadi seperti yang kita harapkan, seringkali justru menjadi bumerang, menjadi kebalikan dari yang kita harapkan.

Sehubungan dengan sosialisasi anak laki-laki kita dengan lawan jenisnya, kita perlu dan sepatutnya mengajarkan kepada anak laki-laki untuk melindungi wanita, yaitu mempunyai sikap atau persepsi yang tepat terhadap wanita yaitu melindunginya bukan memanfaatkannya.

Sehubungan kalau anak laki-laki kita berhubungan dengan sesamanya atau pria lain, kita perlu sebagai seorang ayah perlu mengajarkan anak laki kita bahwa dia setara dengan pria lain. Adakalanya anak laki-laki itu merasa dia baik, kalau merasa dirinya lebih hebat dia itu superior dari teman prianya atau kalau anak minder dia merasa dia kecil, teman-teman prianya yang lain lebih besar dari padanya. Kita perlu mengajar anak laki kita untuk setara, untuk bersikap sama bahwa dia tidak lebih dan dia tidak kurang dari orang-orang lain. Sebagai seorang ayah perlu memunculkan hal yang spesifik misalnya tentang kebaikan anak, kita mesti tunjukkan sesuatu yang memang dia lakukan dan lumayan baik, sehingga itu menjadi bekal dia menempatkan diri sejajar dengan pria-pria lainnya.

Seorang anak usia remaja sering kali mencoba-mencoba, bereksperimen. Dukungan yang bisa kita berikan sebagai orang tua adalah kita menekankan bahwa keberanian mengambil resiko adalah sifat pria yang baik yang dihormati, justru sifat pria yang takut mengambil resiko itu menjadi sesuatu yang tidak dihargai oleh orang lain. Jadi anak-anak pria perlu mendapatkan dorongan dari ayahnya untuk mengambil resiko meskipun dia itu bisa keliru, bisa dirugikan tapi kita bisa dorong dia kenapa tidak mencoba, otomatis dalam hal yang benar.

Kadang kala anak-anak takut mengambil resiko karena:

  1. Takut gagal
  2. Takut disalahkan

Ketakutan gagal dan ketakutan disalahkan adalah hal yang wajar dan tidak apa-apa tapi kalau berlebihan akan melumpuhkan si anak. Jadi sekali lagi sebagai ayah kita harus berhati-hati jangan terlalu cepat mengevaluasi, mengkritik, mencela, menjatuhkan anak kita, waktu dia mengambil resiko melakukan sesuatu.

Kita perlu mengarahkan anak untuk menjadi pria dewasa yang bisa mengontrol emosinya. Salah satu kualitas pria yang dihargai oleh lingkungan adalah stabil, kestabilan emosi itu adalah suatu ciri pria yang baik. Pria yang emosinya turun naik cenderung mendapatkan kesukaran dan kurang mendapatkan penghargaan dari lingkungannya. Jadi sebagai ayah kita perlu mengajarkan kepada anak-anak untuk mempunyai emosi, jangan sampai tidak punya emosi, jadi silakan beremosi, silakan marah, silakan kecewa tapi kita ajarkan dia menyatakan emosi tersebut dengan benar.

Ada 3 hal yang perlu kita perhatikan dalam membimbing anak laki-laki kita menjadi seorang pria dewasa yang baik, yaitu:

  1. Jangan sampai kita terlalu terjebak dalam pembedaan antara feminin, maskulin. Contoh: ada orang tua atau ayah yang berkata anak laki tidak usah cuci piring itu pekerjaan wanita, itu tidak benar. Silakan dia mencuci piring dan tidak ada salahnya anak laki mencuci piring, anak laki tidak boleh menangis itu wanita, tidak apa-apa anak laki menangis, anak laki-laki kadang-kadang perlu menangis.

  2. Jangan menghina anak laki-laki, jadi anak laki-laki itu peka terhadap penghinaan. Misalkan penghinaan menyamakan dia dengan wanita, memanggil dia dengan wanita atau kata-kata banci, anak laki mempunyai satu ketakutan yang total yaitu takut disamakan dengan wanita. Atau misalnya kita tempeleng dia, menunjuk-nunjuk dahinya dengan telunjuk kita di depan temannya itu sangat menghina dia. Anak laki yang merasa terhina, cenderung menyimpan rasa terhinanya dan menjadi dendam kesumat pada dirinya terhadap kita sebagai ayah.

  3. Jangan mengharuskan anak laki kita menyukai hobby kita atau dengan kata lain jangan sampai kita mencoba untuk mencetaknya menjadi jiplakan kita. Misalnya kita sebagai ayah melihat anak kita kok tidak senang sepak bola, kemudian mulailah kita meremehkan dia, nggak mau dekat dengan dia, itu adalah penolakan yang sangat menohok penolakan diri si anak. Dia akan merasa menjadi pria yang tidak lengkap karena ayahnya menolak dia, dan dia akan melihat figur ayahnya adalah figur pria yang lengkap, keren, ayahnya menolak dia seakan-akan dia bukan pria yang lengkap, itu tidak positif dan tidak baik.

Amsal 20:18 , "Sekalipun emas dan permata banyak tetapi yang paling berharga adalah bibir yang berpengetahuan." Pengetahuan itu diidentikkan dengan berhikmat jadi yang kita ingin berikan kepada anak kita adalah yang paling berharga yakni hikmat. Yakni hikmat menjadi seorang pria, menjadi seorang yang takut Tuhan, mengenal Tuhan dan bisa hidup di tengah-tengah lingkungannya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami tentang membentuk a boy menjadi a man yang kami tayangkan beberapa waktu yang lalu. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang bagaimana membentuk a boy menjadi a man, tetapi mungkin ada sebagian dari para pendengar kita yang setia pada acara ini justru kurang mengikuti atau belum mengikuti yang lalu, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara singkat apa yang kita perbincangkan waktu yang lalu itu?

PG : Pada dasarnya seorang anak laki-laki perlu mendapatkan didikan, arahan dari ayahnya sebab yang telah diterima dari si ayah itulah yang akan membentuk dia menjadi seorang pria yang diharpkan.

Kalau tidak mendapatkan dari ayahnya, dia akan mendapatkannya dari pihak-pihak luar, baik itu teman maupun tokoh-tokoh di televisi. Bagaimana caranya ayah mentransfer atau memindahkan kualitas yang diinginkan masuk ke dalam anaknya, tidak ada jalan lain selain daripada memberikan waktu terlibat hadir dalam kehidupan si anak, sering bermain, bergaul, berkomunikasi dengan si anak. Dan secara terencana juga mulai mengajarkan beberapa hal yang memang penting. Nah terakhir kali kita telah membahas sekurang-kurangnya 2 hal yang perlu ayah itu secara terencana ajarkan kepada anaknya. Yang pertama adalah dalam hal pengambilan keputusan, seorang pria diharapkan menjadi seorang pria yang berinisiatif bukan pasif, ini aspek yang perlu ayah berikan atau ajarkan pada anak laki-lakinya. Dan yang kedua adalah seorang pria, diharapkan dalam melaksanakan tugasnya dia bersifat sigap bukan malas-malasan, lamban. Itu merupakan sifat yang perlu ditanamkan oleh seorang ayah kepada anaknya. Kita tekankan juga pada kesempatan yang lalu, jangan sampai kita mengajarkan hal-hal ini dalam hal negatif, yaitu dalam bentuk kemarahan, mencela si anak. Sebab sifat negatif bukannya membangun si anak untuk menjadi seperti yang kita harapkan, seringkali justru menjadi bumerang, menjadi kebalikan dari yang kita harapkan. Karena dia itu bereaksi terhadap kemarahan-kemarahan atau celaan-celaan kita, sehingga yang kita ingin sampaikan tidak lagi diserapnya.
(1) GS : Nah menanggapi tentang tujuan konkret Pak Paul, yang kita sudah bicarakan pada kesempatan yang lalu, pengambilan keputusan dan melaksanakan tugas itu anak juga perlu dipersiapkan bagaimana anak bersosialisasi. Yang bukan hanya berhubungan dengan para pria saja atau laki-laki saja tapi juga ada yang wanita, nah apa yang kita ajarkan kepada anak kita?

PG : Seorang ayah sepatutnya mengajarkan kepada anak laki-lakinya untuk melindungi wanita, jadi ajarkan anak laki-laki untuk mempunyai sikap atau persepsi yang tepat terhadap wanita, yaitu mlindunginya bukan memanfaatkannya.

Adakalanya anak laki-laki terjebak oleh pengaruh-pengaruh luar misalkan di acara-acara tontonan atau apa sehingga melihat bahwa perempuan itu dimanfaatkan dan seringkali itu yang kita bisa saksikan. Misalkan dalam film-film di mana ada seorang penjahat duduk dikelilingi oleh para wanita cantik yang mengelus-elusnya, itu memberikan kesan kepada si anak bahwa pria seharusnyalah bersikap seperti itu. Seperti jagoan di mana wanita itu tunduk dan menyembah-nyembahnya dan hanya untuk dimanfaatkan, untuk kesenangan, itu sikap yang salah, nilai hidup yang keliru. Seorang ayah perlu untuk mengajarkan bahwa tugasnyalah melindungi wanita dari serangan orang, ancaman orang, eksploitasi orang, dan dari pemanfaatan orang lain serta terutama jangan sampai dia menjadi seorang pria yang memanfaatkan wanita. Yang lainnya juga tentang wanita, adakalanya pria menyerap pandangan atau nilai-nilai hidup yang mengajarkannya untuk memang bukan mengeksploitasi atau memanfaatkan tapi meremehkan wanita, melecehkan bahwa wanita itu seolah-olah tolol, tidak bisa apa-apa, terlalu emosional, tidak mandiri, nah itu juga persepsi yang kita harus juga tekankan pada si anak bahwa kau sebagai pria tidak boleh meremehkan, melecehkan atau menghina wanita, kau harus melindunginya. Itu yang Tuhan minta kepada kita di I Petrus bahwa jangan sampai doa kita terhalang kalau kita ini tidak memperlakukan istri kita dengan benar.
GS : Pak Paul, di dalam sikap seperti itu terhadap wanita biasanya anak akan melakukan hal itu, melindungi temannya wanita di sekolah, di pergaulan, atau di gereja. Tapi anehnya atau uniknya saya katakan, terhadap adiknya sendiri yang perempuan misalnya dia enggan melakukan hal itu, apa yang menyebabkannya, Pak Paul?

PG : Saya kira anak-anak itu seperti kita ya, kalau dengan orang luar kita tidak bisa melihat dalam-dalamnya orang, jadi kita cenderung lebih positif dengan orang lain. Kalau dengan orang yag serumah dengan kita, kita melihat begitu banyak tentang orang tersebut sehingga sukar untuk benar-benar mempunyai citra yang positif terhadap orang yang serumah dengan kita.

Jadi anak juga begitu dengan orang luar dia melihatnya lebih baik daripada adiknya di rumah, karena adiknya itu mengganggu dia, membuat dia marah. Orang luar mungkin tidak seperti itu terhadap dia. Yang penting juga adalah anak seperti kita, ingin disukai oleh orang, sehingga dia cenderung melakukan hal-hal yang diharapkan oleh orang lain di luar, sebab dia membutuhkan reaksi yang positif dari orang terhadap dirinya. Sedangkan kepada adiknya dia tidak perlu bersikap terlalu baik, karena dia tidak membutuhkan penerimaan adiknya atau disukai oleh adiknya, sehingga sifat dasarnya lebih mudah ke luar. Yang kita bisa lakukan adalah kita mulai menumbuhkan rasa belas kasihan kepadanya, misalnya anak laki-laki kita dalam pertengkaran dengan si adik atau menghukum dia karena memukul kakak atau adik wanitanya. Tapi kita mengajak dia merefleksikan tindakannya bahwa adiknya atau kakaknya yang wanita itu sakit akibat pukulannya dan dia adalah seorang pria yang mempunyai tenaga yang jauh lebih besar daripada adik wanitanya itu. Dan pukulan yang menyakitkan itu akan membuat orang sedih dan juga kesakitan, nah anak laki-laki perlu menyadari hal itu. Waktu dia menyadari dampak perilakunya itu, pukulannya pada adiknya bahwa itu menyakitkan dan membuat adiknya menangis, belas kasihan yang mulai muncul akan dapat bertahan, menahan dia untuk tidak memukul adiknya lagi pada kesempatan yang lain, karena dia sadar itu akan sangat menyusahkan adiknya.
GS : Karena kelihatannya tidak pas, Pak Paul, orang lain dia lindungi, dia bantu tapi keluarga sendiri tidak. Apakah hal itu akan malah merenggangkan hubungan antara kakak adik itu, Pak Paul?

PG : Saya kira ya dan tidak. Ya dalam pengertian adiknya mungkin marah si kakak membela orang, tidak membelanya, tapi saya kira itu dinamika kehidupan bersaudara yang nanti akan bisa dihilankan atau hilang dengan sendirinya.

Sehingga hal-hal yang positif yang lebih banyak akan mendominasi hubungan mereka sebagai kakak adik.
(2) GS : Sekarang bagaimana halnya kalau anak laki-laki ini berhubungan dengan pria lain begitu?

PG : Kita sebagai ayah perlu mengajarkan anak laki kita bahwa dia setara dengan pria lain. Adakalanya anak laki-laki itu merasa dia baik. Kalau merasa dirinya lebih hebat, dia itu superior dri teman prianya atau kalau anak minder dia merasa dia kecil, teman-teman prianya yang lain lebih besar daripadanya.

Kita perlu mengajar anak laki kita untuk setara, bersikap sama bahwa dia tidak lebih dan dia tidak kurang dari orang lain. Dua-duanya bisa salah, dua-duanya bisa menjerumuskan anak kita ke dalam masalah yang lebih besar. Anak laki-laki yang menganggap dirinya hebat bisa merasa paling kuat dan sebagainya, itu akan mempunyai masalah dengan teman-temannya. Jadi kita perlu tekankan kalau kita mulai melihat sifat tersebut pada anak kita, bahwa itu bukan sikap yang baik, kita harus menghormati orang lain, bahwa mereka itu bukanlah orang yang harus kita lecehkan, misalnya pria ini tidak bisa ini, tidak bisa itu. Nah sebaliknya dia merasa dia tidak bisa apa-apa, teman-temannya lebih hebat daripadanya. Kita harus katakan tidak ada ini dalam dirimu, tidak ada itu dari dirimu, sehingga dia mulai membangun percaya diri dia bisa sesuatu. Waktu dia mengetahui dia bisa sesuatu, mulailah menempatkan dirinya setara dengan orang lain. Jadi kita sebagai ayah perlu memunculkan hal yang spesifik tersebut, jangan hanya berkata wah... engkau punya kelebihan, anak kita akan bertanya: "apa kelebihannya?" Ya tidak tahu pokoknya ada kelebihan, setiap orang itu ada kelebihannya nah itu tidak bisa, kita harus tunjukkan sesuatu yang memang dia lakukan dan lumayan baik, sehingga itu menjadi bekal dia menempatkan diri sejajar dengan pria-pria lainnya.
GS : Tapi juga ada kemungkinan dia merasa lebih tinggi, tadi yang Pak Paul utarakan, dia merasa rendah diri dan sebagainya. Ada yang terlalu yakin dengan dirinya, kalau Pak Paul katakan harus setara bukankah itu pun harus diredam?

PG : Betul Pak Gunawan, jadi sebagaimana saya singgung tadi adakalanya anak justru menempatkan dirinya berlebihan di atas anak-anak lainnya, terutama anak-anak pria lainnya. Dan mungkin sekai dia mempunyai kelebihan tersebut misalnya wajahnya tampan sehingga dari kecil guru-guru selalu memuji ketampanannya atau orangnya pandai sehingga dari kecil dia menerima pujian dari kecemerlangan pikirannya.

Nah kita harus lebih tekankan bahwa wajahmu, kepandaianmu itu anugerah Tuhan. Entah mengapa Tuhan memilih memberikannya kepadamu bukan kepada anak lain, tapi engkau tidak pernah mendapatkannya karena engkau itu bekerja keras, tidak. Wajahmu memang sudah Tuhan berikan seperti itu, kepandaianmu memang Tuhan sudah berikan seperti itu, itu bukan karena pada waktu dalam kandunganku engkau sudah belajar melebihi anak-anak lain. Jadi kita terus tekankan hal seperti itu dan kalau dia bersifat atau memunculkan sifat sombong, melecehkan pria lain kita tegur dia. Jadi di sini orang tua terutama ayah harus bersikap lebih proaktif, kita marahi, kita tegur tidak boleh kamu melecehkan anak lain. Apalagi misalnya anak yang lemah yang memang tidak bisa apa-apa atau anak yang kurang berada. Nah kita harus tekankan kau jangan melecehkan mereka. Kau harus menghormati mereka, itu hal-hal yang seorang ayah bisa lakukan untuk anak prianya.
GS : Ada juga ini Pak Paul, anak-anak seusia mereka itu seringkali mencoba-coba bereksperimen. Apa dukungan orang tua dalam hal itu atau apa dukungan orang tua khususnya ayah terhadap anak laki-lakinya?

PG : Saya kira keberanian mengambil resiko adalah sifat pria yang baik dan dihormati, justru sifat pria yang takut mengambil resiko itu menjadi sesuatu yang tidak dihargai oleh orang lain. Jdi anak-anak pria perlu mendapatkan dorongan dari ayahnya untuk mengambil resiko meskipun dia itu bisa keliru, bisa dirugikan tapi kita bisa mendorong dia untuk mencoba.

Otomatis mencoba dalam hal yang benar, bukan mencoba memakai obat dan sebagainya. Kadangkala seperti yang kita telah bahas pada kesempatan yang lalu, anak-anak takut mengambil resiko karena takut gagal atau yang kedua seperti yang kita bahas takut disalahkan. Nah, ketakutan gagal dan ketakutan disalahkan adalah hal yang wajar dan tidak apa-apa, tapi kalau berlebihan akan melumpuhkan si anak. Jadi sekali lagi sebagai ayah kita harus berhati-hati jangan terlalu cepat mengevaluasi, mengkritik, mencela, menjatuhkan anak kita, waktu dia mengambil resiko melakukan sesuatu. Jadi biarkan dia mengambil resiko itu, misalnya orang Jakarta ke dunia fantasi melihat roller coaster, kita di situ merasa takut untuk naik, anak kita berkata Pa... saya ingin coba, biarkan anak kita mencobanya kalau memang usianya memadai. Jangan kita tergesa-gesa berkata, jangan nanti kamu jatuh atau apa, jadi kita ini mentransfer ketakutan kita padanya sehingga dia takut mengambil resiko. Biarkan dia mencoba kalau dia berkata mau mencoba, silakan tidak apa-apa. Sebagai contoh yang lain adalah kami, kita-kita yang tinggal di Malang mungkin lebih beruntung daripada yang tinggal di kota besar. Anak saya kadang-kadang berkata bolehkah saya pergi ke sini, boleh tidak saya pergi ke sana, mula-mula terus terang saya agak takut, nah yang saya lakukan adalah saya meminta dia pergi dengan temannya yang sudah tahu bagaimana menggunakan angkutan umum. Nah dia pergi sekali dia sudah mengetahuinya, lain kali saya akan ijinkan dia, tapi kadang-kadang dia berkata boleh tidak saya naik sepeda ke sana, agak takut dalam hati saya tapi saya kira-kira tahu dia akan bisa, saya biarkan. Saya berkata silakan, nah hal-hal seperti itu mendorong si anak untuk mengambil resiko mengunjungi tempat yang dia belum pernah kunjungi, berjalan lebih jauh daripada biasanya, naik kendaraan umum yang dia belum pernah naiki sebelumnya, hal-hal seperti itu menjadi modal baginya untuk menumbuhkan sikap yang berani mengambil resiko.
GS : Tetapi sebagai orang tua biasanya kita memberitahukan resiko-resiko apa, karena kita sudah tahu terlebih dahulu, misalnya tadi bawa sepeda. Sudah sejak awal kita mengingatkan supaya sepedanya dikunci, supaya jalan di sebelah kiri, dll. Pak Paul, apakah hal itu tidak membuat anak lalu merasa dirinya digurui oleh kita?

PG : Kalau kita lakukan pada usia yang kecil seharusnya tidak, anak-anak cenderung merasa lebih sering digurui pada masa usia remaja. Jadi biarkan anak-anak yang masih kecil menerima instruki kita.

Contoh tentang naik sepeda, saya mengajak anak saya naik sepeda beberapa tahun yang lalu, nah saya tidak membiarkan dia naik sepeda sendirian di jalanan, jadi mula-mula saya naik sepeda di depan dia, dia di belakang saya dan kalau ada mobil atau apa saya beritahu dia, di perempatan saya minta dia berhenti. Jadi saya ajak dia, saya ajarkan dulu selama berkali-kali baru saya merasa aman dan saya biarkan dia pergi sendiri. Jadi orang tua juga perlu untuk menimbang-nimbang berapa besar resiko yang bisa dihadapi oleh si anak, jangan sampai juga kita menghalangi si anak.
(3) GS : Biasanya melalui pengalaman-pengalaman itu emosi anak itu bertumbuh Pak Paul, ya senang, susah, marah dan sebagainya. Bagaimana kita mengarahkan supaya nanti dia bisa menjadi pria dewasa yang bisa mengontrol emosinya?

PG : Saya kira salah satu kualitas pria yang dihargai oleh lingkungan adalah stabil, kestabilan emosi itu adalah suatu ciri pria yang baik. Pria yang emosinya turun naik itu cenderung mendaptkan kesukaran dan kurang mendapatkan penghargaan dari lingkungannya.

Jadi kita sebagai ayah, kita perlu mengajarkan kepada anak-anak untuk mempunyai emosi, jangan sampai tidak punya emosi, jadi silakan beremosi, silakan marah, silahkan kecewa, itu jangan dipupus tapi kita ajarkan dia untuk menyatakan emosi tersebut dengan benar. Contoh bukan saja kemarahan yang diluap-luapkan, tapi adakalanya kemarahan yang disimpan, dipendam sehingga menjadi seperti bom waktu. Adakalanya kita lihat pada diri anak kita, dia marah dia tidak suka sesuatu tapi dia simpan wajahnya seperti batu, tidak mau diajak bicara. Nah kita bisa ajak dia bicara, kita bisa ajak dia berkomunikasi. Kita tegur dia, kita katakan sikap seperti ini tidak baik kalau engkau marah, engkau simpan wajahmu seperti ini, engkau mendiamkan orang itu bukan sikap pria yang baik. Silakan lontarkan kata-kata seperti itu, sehingga anak tahu dia perlu belajar mengekspresikan emosinya dengan lebih benar. Sudah tentu kita ajarkan dia untuk mengekspresikan emosi dengan kata-kata tapi bukan dengan tindakan fisik memukul. Hal-hal yang kasar seperti itu justru yang kita harus tekankan supaya tidak dilakukannya. Kadangkala anak-anak dipengaruhi oleh tayangan atau tontonan di luar atau mungkin pengaruh dari teman-teman marah langsung pukul, nah hal yang seperti itu harus kita menegurnya. Namun kita sendiri sebagai seorang ayah jangan memberi contoh yang sama, sedikit-sedikit kita pukul dia, ya dia akan mengikuti kita.
GS : Pak Paul, di dalam memberikan bimbingan terhadap anak karena kita punya kerinduan membimbing seorang anak laki-laki menjadi pria dewasa yang baik, hal-hal apa lagi yang perlu kita perhatikan?

PG : Ada 3 hal, Pak Gunawan, yang kita harus waspadai. Yang pertama adalah jangan sampai kita terlalu terjebak dalam pembedaan antara feminin, maskulin. Misalnya ada orang tua atau ayah yangberkata anak laki tidak perlu cuci piring karena itu pekerjaan wanita, saya kira itu tidak benar.

Silakan dia mencuci piring dan tidak ada salahnya anak laki mencuci piring. Anak laki tidak boleh menangis, itu seperti wanita, tidak apa-apa anak laki-laki menangis, anak laki-laki kadang-kadang perlu menangis, anak laki yang terus-menerus menangis itu menandakan emosi yang tidak stabil. Tapi sekali-sekali menangis karena kesedihan silakan atau misalnya kalau anak laki itu diajarkan hanyalah pasang lampu itu baru sifat pria, kalau menyapu itu bukan sifat pria, jangan. Jangan sampai kita terjebak dalam pembedaan feminin maskulin yang tidak ada dasarnya.
GS : Atau mengatai dia seperti perempuan saja.

PG : Nah itu kadang-kadang bisa keluar, betul Pak Gunawan, dalam kejengkelan. Itu juga tidak tepat Pak Gunawan, karena perkataan kamu seperti wanita itu sekali lagi tidak membangun, malah leih meruntuhkan dia dan yang cenderung terjadi dia tidak menyerap sikap yang kita inginkan malahan dia akan bereaksi, memberontak terhadap kita, melakukan yang kebalikannya.

Karena dia bereaksi terhadap kemarahan kita atau pelecehan kita tersebut.
GS : Tadi Pak Paul katakan ada 3 yang kedua apa, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah tadi sudah saya singgung sedikit yakni jangan menghina anak laki-laki, jadi anak laki-laki itu peka terhadap penghinaan. Misalnya yang tadi ya penghinaan menyamakan di dengan wanita, memanggil dia dengan wanita atau kata-kata banci, anak laki mempunyai satu ketakutan total yaitu takut disamakan dengan wanita, takut sekali anak pria.

Jadi jangan lontarkan kata-kata seperti itu atau misalnya kita di luar marah terhadap anak laki kita, kita tempeleng dia, itu sangat menghina anak atau kita menunjuk-nunjuk dahinya dengan telunjuk kita di depan temannya, itu sangat menghina dia. Atau kita memarahi dia semau kita di depan temannya apalagi di depan teman wanitanya, itu sangat menghina dia. Anak laki merasa terhina, yang merasa terhina cenderung menyimpan rasa terhinanya itu dan yang sering terjadi menjadi dendam kesumat pada dirinya terhadap kita sebagai ayah. Jadi berhati-hati dengan kata atau tindakan-tindakan yang menghina harga dirinya, kita sebagai pria mengerti bahwa kita peka dengan harga diri kita, kita peka dengan penghinaan, kita mungkin tidak berkeberatan lelah bekerja, berkeringat pulang sampai sore atau malam tapi jangan dihina. Pria seperti kita tidak mau dihina, anak laki pun tidak mau dihina.
GS : Tapi sering kali kita sebagai orang dewasa berdalih, begitu saja kamu tersinggung, jangan cepat tersinggung. Pernyataan seperti itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Kita harus menimbang apakah sewajarnya anak kita tersinggung kalau sewajarnya dia tersinggung ya kita perlu minta maaf. Kalau memang tidak sewajarnya karena sungguh-sungguh terlalu keci ya kita ajarkan dia, kamu tidak sepatutnya kamu bereaksi seperti itu karena itu tidak terlalu menyinggung kamu.

Ya kita bisa ajarkan dia juga.
GS : Sedang hal yang ketiga, Pak Paul?

PG : Yang ketiga ini, jangan mengharuskan anak laki kita menyukai hobby kita atau dengan kata lain jangan sampai kita mencoba untuk mencetaknya menjadi jiplakan kita. Ada anak-anak laki yangsenang membaca buku, tidak begitu senang untuk berpetualang, sepak bola begitu.

Jangan kita sebagai pria merasakan anak laki kita tidak seperti kita senang main sepak bola dan kita mulailah meremehkan dia, tidak mau dekat dengan dia, itu penolakan yang sangat menohok diri si anak. Dia akan merasa tidak menjadi pria yang lengkap karena ayahnya menolak dia, dan dia akan melihat figur ayahnya adalah figur pria yang lengkap karena ayahnya menolak dia seakan-akan dia bukan pria yang lengkap, nah itu tidak positif, tidak baik. Saya ingat ada suatu cerita tentang seorang pendeta di Amerika Serikat yang dari kecil sering diremehkan oleh ayahnya yang senang dengan permainan sepak bola tapi dia sendiri tidak senang, dia senang membaca buku. Nah selalu dia itu dipermalukan tapi sampai titik terakhir sebelum ayahnya meninggal dunia di rumah sakit si anak yang sudah menjadi pendeta tersebut mengunjungi si ayah. Dan si ayah memanggil seorang suster dan berkata: "Ini anakku dia seorang pendeta," dengan bangga dia mengatakannya. Nah si anak itu bercerita atau memberikan kesaksian ya pertama kali dalam hidupnya dia merasakan ayahnya bangga kepada dia. Jadi seorang ayah berperan besar terhadap anak prianya meskipun anak pria seolah-olah tidak begitu membutuhkan kita, tapi sebetulnya sangat membutuhkan kita dan dia akan senang kalau kita bangga dengan dia sebagai anak laki-laki kita.
GS : Tentunya kita sebagai ayah, sebagai orang tua itu menghendaki anak-anak kita, anak laki-laki kita khususnya tumbuh berkembang menjadi pria dewasa yang bisa berguna dan bisa mendatangkan kemuliaan bagi nama Tuhan. Nah dalam hal ini Pak Paul, firman Tuhan mengatakan apa?

PG : Saya ambil dari Amsal 20:18 , "Sekalipun ada emas dan permata banyak tetapi yang paling berharga adalah bibir yang berpengetahuan." Pengetahuan ini diidentikkan dengan berhimat jadi yang kita ingin berikan kepada anak kita, sekali lagi bukannya emas, bukannya permata yang ingin kita berikan kepada anak kita.

Yang paling berharga yakni hikmat. Dalam hal ini hikmat menjadi seorang pria, menjadi seorang yang takut Tuhan, mengenal Tuhan dan bisa hidup di tengah-tengah lingkungannya.

GS : Saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan hikmat kepada kita khususnya para pendengar yang juga sungguh rindu untuk membimbing anak-anaknya agar menjadi pria dewasa yang baik. Nah saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja melanjutkan perbincangan kami tentang bagaimana membentuk a boy menjadi a man. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



22. Bagaimana Membentuk A Girl A Women 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T071A (File MP3 T071A)


Abstrak:

Seorang perempuan sangat perlu dipersiapkan untuk menjadi seorang wanita yang dewasa, dan dalam hal ini ibu sangat berperan, sang ayah pun sangat diperlukan di dalam ikut membentuk anak perempuannya karena ayah sudah terlebih dahulu mengenal wanita-wanita yang sudah dewasa. Sehingga dia dapat memberitahu bagaimana seorang pria berpikir, seorang pria mengungkapkan diri, perasaan dan sebagainya.


Ringkasan:

Membesarkan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal-hal yang prinsiple memang tidak ada beda tapi dalam hal-hal yang menyangkut budaya dan keadaan sosial akan ada perbedaan. Bagi orang tua yang membesarkan anak perempuan cenderung memiliki ketakutan yang lebih spesifik. Pada anak laki-laki, mungkin orang tua mempunyai ketakutan tertentu misalnya kalau anak itu jadi nakal, tidak sekolah, memakai obat terlarang atau pada masa kecil kita takut misalnya anak kita mendapatkan kecelakaan. Tapi khusus untuk anak-anak perempuan, orang tua rupanya mempunyai ketakutan yang lebih spesifik yaitu jangan sampai anak perempuan kita ini menderita kerugian-kerugian, ada yang melukai atau merugikan dia.

Apa yang harus dilakukan orangtua untuk memantau anak:

  1. Kita melihat dengan siapa dia pergi atau ke rumah siapa dia bermain. Jadi yang kita ingin tahu dengan siapanya, apa yang dia lakukan itu kita perlu ketahui secara garis besar. Jangan sampai sebagai orang tua melewati garis yaitu terlalu mau tahu dan bertanya-tanya ngomongin apa, bicara apa dsb.

  2. Kita ingin memantau atau memonitor teman-temannya dengan cara lebih banyak berbicara tentang karakter teman. Siapakah teman yang baik, siapakah orang yang baik sebab ada perbedaan antara teman yang baik dengan orang yang baik. Teman yang baik belum tentu orang yang baik karena teman yang baik bisa saja sama-sama rusaknya dengan kita. Kita perlu tegaskan orang yang baik adalah orang yang mencintai Tuhan, takut akan Tuhan dan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan tidak menjerumuskan teman-temannya dalam hal yang jahat atau yang salah.

Seorang anak perempuan itu memang perlu dipersiapkan untuk menjadi seorang wanita. Yang paling tepat untuk mempersiapkannya adalah:

  1. Nomor 1 ibunya sendiri, karena ibu sudah menjadi seorang wanita.

  2. Nomor 2 ayahnya, sebab seorang ayah adalah seorang anak laki-laki yang telah mengenal wanita-wanita yang sudah dewasa, sehingga dia pun bisa memberitahukan si anak bagaimanakah seorang pria berpikir, bagaimana seorang pria mengungkapkan dirinya atau perasaannya atau kebutuhannya. Dengan kata lain masukan-masukan dari si ayah ini akan menolong si anak wanita mengerti tentang pria sehingga waktu dia sudah mulai besar dia tidak akan terlalu asing bergaul dengan pria.

Amsal 3:1-4 , "Hai anak-Ku, janganlah engkau melupakan ajaran-Ku dan biarlah hatimu memelihara perintah-Ku, karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu. Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu."

Ada dua hal yang bisa ditinggalkan oleh orangtua pada anak di sini yaitu kasih dan setia, jadi itu mungkin juga yang bisa kita tinggalkan kepada anak-anak wanita kita, apapun yang terjadi kita perlu mempunyai kasih dan setia di dalam hidup ini. Karena mengasihi orang dan setia adalah dua karakteristik yang kekal yang pasti akan bisa menjembatani hubungan dia dengan siapapun.

Prinsip yang diberikan kepada anak-anak wanita dalam bergaul dengan teman-teman prianya: adalah sebaiknya tidak pacaran terlalu dini, karena itu akan membuka peluang kontak seksual yang lebih pagi, terlalu prematur.

Wanita perlu diajarkan untuk mandiri secara emosional karena:

  1. Sebab ada kecenderungan kalau seorang wanita terlalu bergantung itu bukannya menjadi daya tarik baginya, justru itu menjadi kelemahan baginya. Kelemahan dalam pengertian pria sebetulnya menghargai wanita yang mandiri, justru wanita yang terlalu bergantung pada akhirnya kurang dihormati oleh pria.

  2. Sebab dia membuka peluang untuk dimanfaatkan, tatkala seorang pria melihat dia adalah wanita yang begitu membutuhkan pria. Jadi mudah sekali dimasuki oleh pria yang bermaksud buruk dan akhirnya memanfaatkan. Jadi saya kira sejak kecil atau sejak usia remaja penting bagi seorang ibu dan ayah menanamkan konsep ini kepada mereka. Engkau seorang yang lengkap, engkau memerlukan pria sama seperti pria memerlukan engkau, tapi engkau tetap adalah seorang yang matang dan lengkap, meskipun kalau misalnya nanti engkau sendirian tanpa pria.

Wanita cenderung memiliki rasa bersalah yang lebih besar dari pada pria, hal ini disebabkan:

  1. Dipengaruhi oleh emosi.

  2. Sejak kecil anak wanita sudah dididik untuk lebih bertanggung jawab. Kita orang tua cenderung membolehkan anak pria tidak terlalu bertanggung jawab, terutama dalam hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan rumah. Sedangkan anak wanita lebih dituntut untuk bertanggung jawab akan pekerjaan rumahnya.

Amsal 3:11,12 , "Hai anak-Ku, janganlah engkau menolak didikan Tuhan dan janganlah engkau bosan akan perintahnya atau peringatannya. Karena Tuhan memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi."

Yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah memberikan teladan kepada anak-anaknya. Dan saya kira teladan, berbicara jauh lebih banyak dari pada perkataan atau instruksi-instruksi. Jadi bagaimana orangtua hidup, bagaimana dia memperlakukan satu sama lain dan juga orang-orang di luar, bagaimana dia melakukan tanggung jawab di rumah dan juga di luar, itu semua merupakan didikan atau ajaran yang akan diserap oleh anak-anak kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Kali ini kami juga didampingi oleh seorang Amerika Ibu Collins Martin istri dari seorang hamba Tuhan yang melayani di kota Malang ini. Kami akan berbincang-bincang "Membentuk A Girl menjadi A Woman". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita berbincang-bincang tentang bagaimana membentuk a boy menjadi a man. Nah sekarang pada kesempatan ini bersama-sama ibu Collins Martin kita akan mencoba memperbincangkan tentang bagaimana membentuk a girl menjadi a woman. Sebenarnya menurut Pak Paul apakah ada perbedaan yang hakiki di sana?

PG : Saya kira dalam hal-hal yang prinsiple memang tidak ada beda tapi dalam hal-hal yang menyangkut budaya dan keadaan sosial saya kira akan jelas sekali ada perbedaan antara membesarkan ank yang laki-laki dan anak perempuan.

Nah untuk itulah kita merasa keperluan untuk mengundang Ibu Collins Martin untuk memberikan masukan-masukan karena beliau adalah seorang ibu yang mempunyai anak remaja yang juga wanita.
GS : Ya, Ibu Collins saya dengar tadi ada dua anak pria dan satu anak wanita. Pengalaman Ibu membesarkan anak wanita Ibu, apa yang Ibu alami selama ini?
CM : Mengenai membesarkan anak wanita.
GS : Jadi sejak a girl ya, sekarang putrinya sudah berusia berapa Bu?
CM : Baru 15 tahun.
GS : Ya tentu selama 15 tahun ada pengalaman yang spesifik yang bisa dibagikan.
CM : Ya ada yang menarik karena memang laki-laki lain daripada perempuan dan anak perempuan berbeda daripada saya juga. Jadi untuk membesarkan dia saya harus belajar apa yang cocok untuk dia.

(2) PG : Kalau boleh saya tanya Ibu Collins, menurut Ibu apakah pada dewasa ini para ibu rumah tangga mempunyai ketakutan-ketakutan tertentu dalam membesarkan anak-anak wanitanya?

CM : Memang untuk wanita kita harus menjaga mereka dengan lebih baik karena ada yang mau ambil kesempatan. Dan waktu dia masih kecil saya berdoa supaya Tuhan melindungi dia supaya waktu dia menjadi lebih besar Tuhan melindungi dia. Tapi sekarang saya tidak takut, saya tahu Tuhan menolong dia dan waktu dia kecil saya melihat dia waktu tidur, dan saya tidak tahu mungkin ada ketakutan meninggal dunia atau ada sesuatu, saya harus belajar percaya kepada Tuhan.

PG : Jadi ada ketakutan yang spesifik Ibu Collins, kalau orang tua mempunyai ketakutan tertentu terhadap anak lakinya misalnya kalau anak itu menjadi nakal, tidak sekolah misalnya memakai obt terlarang atau pada masa lebih kecil kita takut anak kita misalnya mendapatkan kecelakaan.

Tapi khusus untuk anak-anak perempuan orang tua rupanya mempunyai ketakutan yang lebih spesifik yaitu jangan sampai anak perempuan kita ini menderita kerugian-kerugian, ada yang melukai atau merugikan dia.
CM : Sebetulnya kami tidak mempunyai banyak ketakutan waktu dia kecil, tapi sekarang sejak dia menjadi remaja lebih banyak ketakutan. Dan memang tergantung kalau tinggal di kota harus menjaga dia dan kami membuat peraturan waktu dia menjadi remaja, mengenai laki-laki saya sedikit lebih cepat tapi selain itu kami tidak mempunyai ketakutan yang terlalu.
IR : Apakah Ibu Collins juga mempunyai tuntutan untuk anak perempuannya di dalam pergaulan, dia harus bergaul dengan siapa?
CM : Memang ada, kami tidak sering menyuruhnya, tapi kami mencoba membimbing waktu mereka kecil tidak boleh ini, harus ini, makin besar mereka makin dilepaskan. Tetapi tetap membimbing dan bertanya banyak hal itu yang kami coba lakukan dengan memakai open comunication, komunikasi yang terbuka. Supaya kami mengetahui apa yang mereka perlukan. Dan kalau kami terbuka kepada mereka, mereka lebih terbuka kepada kami. Kalau saya melihat dia dengan orang yang mungkin tidak cocok atau mungkin orang yang mau menyakiti dia, kami berbicara tentang itu. Dan mungkin cukup sekarang.
GS : Saya pernah mengalami ketakutan sedikit Pak Paul terhadap anak perempuan saya yang mungkin bagi sebagian orang agak tidak wajar yaitu ketika dia mulai memasuki masa remaja, tetapi masa haidnya itu agak terlambat Pak Paul, teman-teman seusia dia sudah mengalami masa haid dan dia belum. Itu timbul suatu ketakutan atau kekhawatiran tersendiri, itu masih wajar atau tidak Pak Paul?

PG : Saya kira wajar, sebab kita ini tidak mau anak kita terlalu berbeda dari anak-anak lain. Tapi sebetulnya Pak Gunawan dari segi psikologis seorang anak perempuan yang sedikit terlambat brkembang dalam hal ini misalnya haidnya terlambat dan dapat juga disimpulkan jika haidnya terlambat pembentukan tubuhnya tidak secepat anak-anak yang lainnya.

Itu sebetulnya merupakan keuntungan bagi anak-anak wanita sebab anak-anak wanita yang bertumbuh lebih dini alias matang lebih cepat sering kali mengalami tekanan-tekanan psikologis yang lebih banyak. Misalnya karena tubuhnya terbentuk dengan lebih cepat dia menjadi sorotan teman para prianya, dia menjadi bahan ejekan, bahan guyonan dan sudah tentu tubuhnya itu akan menjadi juga sasaran untuk dilihat oleh para teman prianya pada usia yang lebih muda itu. Itu sebabnya anak-anak wanita yang matang lebih cepat mempunyai tingkat kerawanan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam hal-hal yang negatif. Karena apa, karena dia merasa ditolak oleh teman-teman usia sebayanya yang pria karena menjadi bahan ejekan, di kalangan teman wanita pun dia merasa dirinya berbeda karena teman-teman wanita yang lain belum berkembang seperti dia. Akibatnya dia mencari teman yang lebih tua darinya nah kalau kebetulan teman-teman wanitanya yang lebih tua itu tidak terlalu baik dia juga akan terbawa arus oleh mereka. Jadi justru anak wanita yang berkembangnya sedikit terlambat itu adalah faktor keuntungan baginya bukan kerugian.
GS : Kekhawatiran yang lain yang pernah saya alami adalah ketika dia mulai bergeser, tadinya dia dekat dengan saya tetapi pada usia remaja dia agak menjauh, menjauh dan makin dekat kepada ibunya, apakah gejala itu umum Pak Paul?

PG : Saya kira semua remaja pada umumnya akan menjauh dari orang tua karena apa, karena pada saat-saat itu mereka mulai membentuk diri mereka yang terpisah dari orang tua. Jadi akan ada kebuuhan untuk lebih privat, untuk lebih tersendiri tidak lagi terlalu suka menceritakan banyak kepada orang tua atau memberikan kesempatan kepada orang tua untuk tahu tentang dirinya.

Jadi kadang kala anak remaja itu tidak terlalu mau menceritakan banyak kepada orang tuanya bukan karena tidak percaya kepada orang tua, bukan karena tidak sayang kepada orang tua, tapi hendak menutup pintu jangan sampai orang tua terlalu tahu tentang diri mereka. Sebab kebutuhan untuk merahasiakan makin membesar seperti itu.
(3) IR : Bagaimana tindakan orang tua di dalam memantau anak perempuannya?

PG : Apakah kira-kira yang bisa dilakukan Ibu Collins, sebagai orang tua untuk memonitor anak, jangan sampai dia bergaul dengan teman-teman yang keliru ya.

CM : Itu sangat penting, saya baru membaca salah satu artikel di majalah mengenai seorang anak yang dibunuh di Amerika dan dia salah satu yang ditanya apakah kamu orang Kristen dia bilang ya. Tapi cerita latar belakang dia menarik dan ibunya katakan dulu mereka tidak terlalu mengecek dia bergaul dengan siapa, lalu dia sadar dia harus lebih tahu, dia harus tahu mengenai itu, karena kalau tidak tahu anak akan bergaul dengan yang menyakiti mereka.

PG : Jadi penting sekali untuk memonitor dengan siapa anak-anak kita bergaul.

CM : Dan baik juga kalau kita ada hubungan cukup baik dengan anak-anak, undang mereka mendorong anak-anak untuk mengundang teman ke rumah dan jangan terlalu tegas pada anak lain yang mungkin mereka datang karena tidak rapi atau sesuatu, tapi kenali anak itu supaya kita tahu dengan siapa mereka bergaul.
(4) GS : Tadi yang kami dengar dari Pak Paul memang itu faktanya, anak-anak mulai menjauhkan dirinya dari orang tua itu satu sisi. Sisi yang lain tadi kita mendengar bahwa kita harus memonitor mereka, nah itu sejauh mana kita bisa lakukan sebagai orang tua Pak Paul?

PG : Saya kira memonitornya dari dua cara, cara pertama adalah kita melihat dengan siapa dia pergi atau ke rumah siapa dia bermain. Jadi kita ingin tahu dengan siapanya, apa yang dia lakukanitu kita perlu ketahui secara garis besar, nah jangan sampai kita sebagai orang tua melewati garis yaitu terlalu mau tahu dan bertanya-tanya apanya, bicara apa, tadi kok lama benar.

Jadi apa sekali-sekali boleh ditanyakan dan seharusnya ditanyakan, tapi apanya jangan menjadi sorotan utama. Yang paling penting kita tahu dengan siapanya, nomor dua adalah kita ingin memantau atau memonitor teman-temannya dengan cara lebih banyak berbicara tentang karakter teman. Siapakah teman yang baik, siapakah orang yang baik, sebab ada perbedaan antara teman yang baik dengan orang yang baik. Teman yang baik belum tentu orang yang baik karena teman yang baik bisa saja sama-sama rusaknya dengan kita. Nah di situ peranan orang tua sangat dibutuhkan untuk menjelaskan kepada anak apa itu orang yang baik, nah kita bisa tegaskan orang yang baik adalah orang yang mencintai Tuhan, takut akan Tuhan dan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan tidak menjerumuskan teman-temannya dalam hal yang jahat atau yang salah. Nah orang yang baiknya itu yang kita tekankan, sehingga anak kita mempunyai standar nilai, waktu dia memilih teman dia akan memilihnya dengan yang tadi kita telah sebutkan. Saya mungkin bisa bertanya kepada Ibu Collins secara spesifik, apakah yang Ibu lakukan misalnya kalau Ibu melihat anak Ibu mulai berteman dengan teman pria yang kurang baik?
CM : Yang pertama saya bicara tentang dia, siapa dia dan dari mana apakah satu kelas, cuma tanya sedikit-sedikit dari pada menjelekkan teman. Saya membaca di buku dan sudah mengalami itu, kalau menjelekkan teman anak remaja kita, mereka tidak terima dan mereka akan membela teman, dari pada menerima pendapat orang tua. Jadi kalau saya langsung bertanya siapa itu dia kelihatan orang yang tidak terlalu baik, macam-macam, jadi kami tanya dulu. Lalu mereka tak bisa bicara, kami belum mengalami yang terlalu susah di kehidupan keluarga kami karena kami bisa lewat komunikasi, lewat bicara, kami bisa stop sebelum menjadi terlalu jelek. Jadi itu sebabnya saya memilih jangan terlalu sibuk kalau saya ke luar karena saya tidak kerja full time, saya tidak banyak ke luar rumah kalau anak pulang dari sekolah, saya berusaha ada. Supaya kalau ada sesuatu saya bisa melihat dan menolong, dari waktu mereka lebih besar saya bebas tapi sekarang walaupun mereka remaja masih perlu orang yang memonitor mereka.
(5) IR : Apakah juga seorang tua membekali anak-anak itu dalam pendidikan seks untuk mempersiapkan mereka?

PG : Apakah hal ini menurut Ibu Collins perlu dilakukan, membicarakan tentang seks kepada anak wanita?

CM : Lebih baik dari orang tua dari pada dari luar, waktu anak perempuan kami ada di Amerika kami 4 tahun di Indonesia dan 1 tahun di Amerika, waktu itu dia kelas 6 SD. Mereka ada kelas untuk itu dan saya takut karena ini sekolah umum mereka mau mengajar anak saya apa. Jadi saya sempat ketemu dengan guru dan bicara apa yang mereka ajarkan. Tapi kami sudah bicara cukup baik. Saya pikir orang tua tidak harus menjelaskan mengenai semua karena mereka tidak bisa membawa beban sebesar itu. Dan mengenai seks kami juga sangat hati-hati dengan vidio acara televisi, majalah, buku-buku yang anak baca sejak kecil. Kami bicara mengenai hal begitu karena apa yang mereka membaca, melihat, mendengar musik juga itu akan mempengaruhi mereka. Tapi kalau anak tidak mendengar seks dari orang tua mereka mendengar dari mana. Dari teman atau mereka ingin tahu dan ingin belajar dan itu tidak sehat melalui pengalaman mereka belajar. Dan kalau kami mengajar mengenai seks itu seperti menjaga mereka, mereka mengritik kalau laki-laki mau mendekati mereka, mereka sudah tahu o.... itu tidak boleh orang tua sudah beritahukan. Jadi itu sangat menolong mereka.

PG : Saya ada kesan bahwa para ibu dewasa ini melihat anak perempuannya seperti domba di tengah-tengah serigala, tapi serigalanya para pria-pria ini. Dan kebetulan anak kita sebagian juga pria, apakah memang seperti itu bahwa kita harus menjaga anak perempuan kita dari serangan para serigala ini?

CM : Saya menganggap kalau saya belum memakai istilah itu dan saya tidak mau nama anak saya serigala saya tidak mau takut laki-laki tapi harus cukup takut supaya dia sadar apa yang bisa terjadi. Kami bersyukur karena dia tidak ada keinginan untuk terlalu dekat dengan laki-laki yang tidak baik, kami bersyukur dan saya pikir itu karena kebaikan Tuhan dan juga karena pendidikan waktu kecil. Kami mulai mendidik mereka semua mengenai Allah dan mengenai moral sejak kecil, tapi kalau tunggu sampai mereka remaja memang itu terlalu terlambat. Bukan tidak bisa tapi memang lebih susah, laki-laki bukan serigala tapi bisa jadi begitu.

PG : Jadi jangan kita mengajar anak untuk takut kepada laki-laki tapi untuk waspada dengan kelemahan laki-laki jadi itu yang Ibu tekankan ya. Bukan laki-lakinya tapi waspadalah terhadap keleahan laki-laki.

CM : Harus hormati laki-laki tetapi harus ada batasan juga, boleh bilang tidak.
GS : Pak Paul, ada sebagian ibu yang mempunya anak perempuan memang lebih banyak mengkhawatirkan masa depan dari si anak daripada masa sekarangnya, padahal tadi dikatakan sedini mungkin anak itu dipersiapkan untuk masa depan. Nah masalahnya hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh orang tua baik oleh ayah maupun ibu untuk mempersiapkan anak yang wanita ini a girl ini untuk masa depannya Pak Paul?

PG : Saya kira anak perempuan itu memang perlu dipersiapkan untuk menjadi seorang wanita, nah yang paling tepat untuk mempersiapkannya adalah nomor 1 ibunya sendiri karena ibunya sudah menjai seorang wanita.

Tapi seorang ayah menurut saya juga mempunyai tugas untuk mempersiapkan anak perempuannya menjadi seorang wanita pula. Sebab seorang ayah adalah seorang anak laki-laki yang telah mengenal wanita-wanita yang sudah dewasa, sehingga diapun bisa memberitahukan si anak bagaimanakah seorang pria itu berpikir, bagaimanakah seorang pria itu mengungkapkan dirinya atau perasaannya atau kebutuhannya. Dengan kata lain masukan-masukan dari si ayah ini akan menolong pula si anak wanita mengerti tentang pria sehingga waktu dia sudah mulai besar dia juga tidak akan terlalu asing bergaul dengan pria karena masukan-masukan dari ayahnya telah membekali dia. Bahwa misalnya pria kalau marah tidak senantiasa mengungakapkan perasaannya, cukup banyak pria yang marah kemudian diam. Sedangkan yang lebih umum di kalangan wanita waktu marah mengekspresikan dirinya. nah hal kecil ini misalkan dia sadari waktu dia sudah menginjak usia dewasa dengan sendirinya dia juga akan lebih bisa membawa diri dengan pria. Waktu pria itu tidak berkata apa-apa dan diam bukan berarti pria itu pasti menyetujui yang dia lakukan atau dia katakan, mungkin saja pria itu tidak setuju nah dia lebih tahu apa yang harus dia lakukan misalnya dia bisa langsung bertanya lebih spesifik, engkau setuju atau tidak, engkau tampaknya tidak senang. Sehingga hal-hal itu lebih membekali dia dalam berkomunikasi dan bergaul dengan pria, nah peranan seorang ibu juga sangat dibutuhkan di sini, sudah tentu. Menyambung yang tadi Ibu Collins katakan tentang seks, istri saya memberi informasi tentang seks kepada anak-anak wanita kami pula, jadi anak-anak perempuan kami belum mengalami haid istri saya sudah mulai memberitahukan bahwa suatu hari mungkin tahun ini, mungkin tahun depan kamu melalui suatu perubahan fisik yang tidak pernah kamu alami sebelumnya yaitu kamu akan mengalami haid. Dan istri saya menjelaskan apa itu haid dan sebetulnya apa yang terjadi secara konkret sekali, dengan tujuan supaya anak kami tidak kaget dan ketakutan waktu pertama kali mengalami haid. Nah setelah itu juga akan dibimbing bagaimana menghadapi haidnya dan sebagainya dan istri saya pun juga mulai membicarakan mengenai hubungan perempuan dengan laki-laki. Jadi apa itu yang harus dilakukan dengan anak laki-laki dan sebagainya. Saya juga bersyukur anak wanita saya cukup terbuka, menyambung yang tadi Ibu Collins katakan penting sekali komunikasi yang terbuka. Kadang anak perempuan saya membicarakan tentang teman prianya pula, perilaku teman-teman prianya yang nakal seperti ini itu, nah saya juga harus berhati-hati tidak memberikan gambaran yang terlalu buruk tentang pria karena saya juga harus memaklumi itulah perilaku pria. Terutama pada usia-usia remaja yang cenderung nakal, yang cenderung genit yang mau menggoda anak wanita dan sebagainya. Nah jadi saya hanya memberikan masukan supaya dia berhati-hati, waspada dan sebagainya tapi saya juga tidak memberikan gambaran pria itu adalah makluk yang sangat buruk sehingga engkau harus menjauhkan diri dari pria. Nah saya kira hal-hal ini penting dipahami oleh anak wanita kita sehingga dia waktu dewasa dia mempunyai pandangan yang lumayan tepat tentang pria. Nah adakalanya orang tua mempunyai pengalaman yang buruk dengan pasangan hidupnya misalnya sehingga memberikan banyak informasi yang negatif tentang pria, nah itu yang akan dibawa oleh anak-anak wanita ini sewaktu mereka besar. Sehingga tatkala anak wanita itu besar gambaran tentang pria tidak ada lagi yang positif, pria adalah makluk yang selalu harus dicurigai misalnya. Kita di situ telah berjasa membentuk seorang anak wanita yang tidak lagi mempunyai perspektif yang sehat tentang pria, jadi saya kira hal-hal ini perlu dibicarakan, diberitahukan kepada anak-anak sehingga waktu dia dewasa dia menjadi seorang wanita yang sehat.
GS : Ibu Collins, pengalaman Ibu yang mempunyai dua anak pria dan satu anak wanita apakah mereka bisa bermain bersama-sama ibu?
CM : Ya memang baru sebelum saya datang mereka main, mereka main walaupun sudah remaja mereka main dan mengganggu satu dengan yang lain. Dan anak perempuan, tidak belum mempunyai pacar tapi ada laki-laki teman baik bisa main bersama mereka dan sama dengan Pak Paul katakan memang saya juga melihat itu kalau wanita ada kesempatan bargaul dengan laki-laki dan mereka belajar sifat laki-laki. Karena memang berbeda dan anak laki-laki sama wanita mereka main bersama-sama.

PG : Ibu Collins, saya mau tanya apakah kita juga perlu mempersiapkan anak wanita kita bergaul dengan sesama wanita, apakah ada isu-isu tertentu yang perlu disadari.

CM : Itu beda karena anak perempuan kami sudah tidak punya adik atau kakak perempuan jadi dia harus belajar dan itu memang lebih susah untuk dia kadang-kadang, karena dia punya satu adik dan satu kakak yang laki-laki. Jadi kami bicara tentang itu mengenai wanita karena mereka berbeda yang positif sekali dan kadang-kadang ada yang negatif juga, wanita kadang-kadang lebih lemah lembut dan mereka tertawa dan suka shoping berbelanja tapi juga ada wanita yang suka memanipulasi dan dari pengalaman saya dan saya membaca. Wanita lebih bersifat begitu dari pada laki-laki dan saya bicara kepada dia harus hati-hati, harus baik, sopan, kepada mereka tapi juga harus hati-hati dengan hal begitu. Dan dia ada beberapa teman yang baik sekali Tuhan memberi kepada dia dan dia belajar bagaimana menjadi wanita lebih baik lewat teman-teman.

PG : Menarik sekali sebab istri saya pun pernah mengutarakan hal yang serupa yaitu dia pernah menyinggung bahwa wanita itu mampu untuk dia tidak menggunakan kata manipulasi tapi seperti itulh.

Jadi bisa mengatur tindakan dan perilakunya agar apa yang dia inginkan itu bisa dia dapatkan, rupanya Ibu Collins juga mempunyai kesan yang sama ya, tapi inilah sesuatu yang perlu disadari oleh anak wanita kita pula. Dan mungkin yang harus kita tekankan kepadanya adalah sebaiknya dia tidak begitu ya. Sebaiknya dia lebih terbuka, apa adanya dan tidak usah bermain-main sandiwara.
CM : Dan kami sering usul dan mendorong untuk boleh mengungkapkan perasaan tidak boleh manipulasi atau pakai kata-kata yang memaksa orang membuat apa yang dia mau, tapi juga kalau tidak setuju dengan sesuatu harus sopan untuk mengungkapkan itu, kalau tidak setuju boleh tapi harus sopan.

PG : Pak Gunawan apakah juga mempunyai kesan yang sama?

GS : Ya saya rasa memang seperti itu Pak Paul, tapi ngomong-ngomong di dalam Alkitab itu banyak bicara tentang anak-anak pria dan sebagainya Pak Paul, tetapi kenyataannya Tuhan menciptakan pria dan wanita. Nah bimbingan firman Tuhan terhadap orang tua yang mempunyai anak wanita, dikaruniai anak wanita supaya orang tua bisa membimbing anaknya menjadi perempuan dewasa yang baik itu bagaimana Pak Paul?

PG : Alkitab sebetulnya tidak begitu banyak membicarakan tentang anak-anak wanita Pak Gunawan, jadi memang ada firman Tuhan yang mengatakan bahwa kita harus memperlakukan yang wanita lebih mda itu sebagai adik kita sebagai saudari kita ya.

Tapi selain itu petuah bagaimana orang tua memperlakukan anak wanitanya dan sebagainya memang hampir tidak ada. Ada juga I Korintus tentang anak wanita yang mau menikah, jadi saya akan gunakan saja prinsip yang umum yang bisa berlaku pula bagi anak wanita maupun pria. Saya akan bacakan dari Amsal 3:1-4 , "Hai anakKu, janganlah engkau melupakan ajaranKu dan biarlah hatimu memelihara perintahKu, karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu. Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu." Ada dua hal yang ingin ditinggalkan oleh orang tua kepada anaknya di sini yaitu kasih dan setia, jadi itu mungkin juga yang bisa kita tinggalkan kepada anak-anak wanita kita, apapun yang terjadi kita perlu mempunyai kasih dan setia di dalam hidup ini. Karena memang mengasihi orang dan setia adalah 2 karakteristik yang kekal yang pasti akan bisa menjembatani hubungan dia dengan siapapun.

GS : Jadi berdasarkan kebenaran firman Tuhan itu tentu tidak betul, faham yang mengatakan anak laki-laki itu lebih berharga daripada anak wanita karena tanggung jawabnya tetap sama Pak Paul. Jadi demikian tadi saudara-saudara pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Collins Martin dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja melanjutkan perbincangan kami tentang 'Bagaimana Membentuk A Girl Menjadi A Woman". Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



23. Bagaimana Membentuk A Girl A Women 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T071B (File MP3 T071B)


Abstrak:

Dalam topik ini kita akan mempelajari bagaimana mendidik anak-anak wanita kita khususnya di dalam pergaulan dengan lawan jenisnya. Dalam usia berapa dan dengan siapa.


Ringkasan:

Membesarkan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal-hal yang prinsiple memang tidak ada beda tapi dalam hal-hal yang menyangkut budaya dan keadaan sosial akan ada perbedaan. Bagi orang tua yang membesarkan anak perempuan cenderung memiliki ketakutan yang lebih spesifik. Pada anak laki-laki, mungkin orang tua mempunyai ketakutan tertentu misalnya kalau anak itu jadi nakal, tidak sekolah, memakai obat terlarang atau pada masa kecil kita takut misalnya anak kita mendapatkan kecelakaan. Tapi khusus untuk anak-anak perempuan, orang tua rupanya mempunyai ketakutan yang lebih spesifik yaitu jangan sampai anak perempuan kita ini menderita kerugian-kerugian, ada yang melukai atau merugikan dia.

Apa yang harus dilakukan orangtua untuk memantau anak:

  1. Kita melihat dengan siapa dia pergi atau ke rumah siapa dia bermain. Jadi yang kita ingin tahu dengan siapanya, apa yang dia lakukan itu kita perlu ketahui secara garis besar. Jangan sampai sebagai orang tua melewati garis yaitu terlalu mau tahu dan bertanya-tanya ngomongin apa, bicara apa dsb.

  2. Kita ingin memantau atau memonitor teman-temannya dengan cara lebih banyak berbicara tentang karakter teman. Siapakah teman yang baik, siapakah orang yang baik sebab ada perbedaan antara teman yang baik dengan orang yang baik. Teman yang baik belum tentu orang yang baik karena teman yang baik bisa saja sama-sama rusaknya dengan kita. Kita perlu tegaskan orang yang baik adalah orang yang mencintai Tuhan, takut akan Tuhan dan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan tidak menjerumuskan teman-temannya dalam hal yang jahat atau yang salah.

Seorang anak perempuan itu memang perlu dipersiapkan untuk menjadi seorang wanita. Yang paling tepat untuk mempersiapkannya adalah:

  1. Nomor 1 ibunya sendiri, karena ibu sudah menjadi seorang wanita.

  2. Nomor 2 ayahnya, sebab seorang ayah adalah seorang anak laki-laki yang telah mengenal wanita-wanita yang sudah dewasa, sehingga dia pun bisa memberitahukan si anak bagaimanakah seorang pria berpikir, bagaimana seorang pria mengungkapkan dirinya atau perasaannya atau kebutuhannya. Dengan kata lain masukan-masukan dari si ayah ini akan menolong si anak wanita mengerti tentang pria sehingga waktu dia sudah mulai besar dia tidak akan terlalu asing bergaul dengan pria.

Amsal 3:1-4 , "Hai anak-Ku, janganlah engkau melupakan ajaran-Ku dan biarlah hatimu memelihara perintah-Ku, karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu. Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu."

Ada dua hal yang bisa ditinggalkan oleh orangtua pada anak di sini yaitu kasih dan setia, jadi itu mungkin juga yang bisa kita tinggalkan kepada anak-anak wanita kita, apapun yang terjadi kita perlu mempunyai kasih dan setia di dalam hidup ini. Karena mengasihi orang dan setia adalah dua karakteristik yang kekal yang pasti akan bisa menjembatani hubungan dia dengan siapapun.

Prinsip yang diberikan kepada anak-anak wanita dalam bergaul dengan teman-teman prianya: adalah sebaiknya tidak pacaran terlalu dini, karena itu akan membuka peluang kontak seksual yang lebih pagi, terlalu prematur.

Wanita perlu diajarkan untuk mandiri secara emosional karena:

  1. Sebab ada kecenderungan kalau seorang wanita terlalu bergantung itu bukannya menjadi daya tarik baginya, justru itu menjadi kelemahan baginya. Kelemahan dalam pengertian pria sebetulnya menghargai wanita yang mandiri, justru wanita yang terlalu bergantung pada akhirnya kurang dihormati oleh pria.

  2. Sebab dia membuka peluang untuk dimanfaatkan, tatkala seorang pria melihat dia adalah wanita yang begitu membutuhkan pria. Jadi mudah sekali dimasuki oleh pria yang bermaksud buruk dan akhirnya memanfaatkan. Jadi saya kira sejak kecil atau sejak usia remaja penting bagi seorang ibu dan ayah menanamkan konsep ini kepada mereka. Engkau seorang yang lengkap, engkau memerlukan pria sama seperti pria memerlukan engkau, tapi engkau tetap adalah seorang yang matang dan lengkap, meskipun kalau misalnya nanti engkau sendirian tanpa pria.

Wanita cenderung memiliki rasa bersalah yang lebih besar dari pada pria, hal ini disebabkan:

  1. Dipengaruhi oleh emosi.

  2. Sejak kecil anak wanita sudah dididik untuk lebih bertanggung jawab. Kita orang tua cenderung membolehkan anak pria tidak terlalu bertanggung jawab, terutama dalam hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan rumah. Sedangkan anak wanita lebih dituntut untuk bertanggung jawab akan pekerjaan rumahnya.

Amsal 3:11,12 , "Hai anak-Ku, janganlah engkau menolak didikan Tuhan dan janganlah engkau bosan akan perintahnya atau peringatannya. Karena Tuhan memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi."

Yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah memberikan teladan kepada anak-anaknya. Dan saya kira teladan, berbicara jauh lebih banyak dari pada perkataan atau instruksi-instruksi. Jadi bagaimana orangtua hidup, bagaimana dia memperlakukan satu sama lain dan juga orang-orang di luar, bagaimana dia melakukan tanggung jawab di rumah dan juga di luar, itu semua merupakan didikan atau ajaran yang akan diserap oleh anak-anak kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Bersama dengan kami Ibu Collins Martin seorang ibu dari 3 orang anak, dua pria dan satu wanita, dan beliau saat ini sedang mendampingi suaminya, seorang hamba Tuhan dan melayani di kota Malang ini. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami tentang masalah-masalah yang dihadapi dalam pembentukan a girl menjadi a woman. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

(1) PG : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membicarakan tentang masalah-masalah atau keadaan yang spesifik dalam membesarkan seorang anak wanita. Memang ada banyak orang yang bekata dikaruniai anak laki atau perempuan itu sama saja.

Tapi saya rasa dalam hal membesarkan anak pria dan wanita itu tentu mempunyai masalah-masalah yang tersendiri, Pak Paul. Pak Paul juga punya anak wanita, jadi tentu masalah-masalah apa sebenarnya yang seringkali dihadapi oleh orang tua, Pak Paul?

(2) PG : Yang umum sekali difokuskan adalah masalah dengan teman-teman pria, tapi saya kira orang tua perlu menyadari masalah dengan pria adalah satu dari sejumlah masalah lainnya. Kaau tidak hati-hati kita akhirnya terlalu menitikberatkan pada pria, pilihlah pria yang baik dan sebagainya.

Sedangkan dalam hidup ini kita sadari ada sejumlah hal-hal lain yang perlu juga diketahui oleh anak wanita kita. Tugas kitalah sebagai orang tua untuk melengkapi anak-anak wanita kita untuk bertumbuh besar menjadi wanita dewasa yang bijaksana. Nah untuk itulah pada hari ini kita mengundang seorang ibu yang bernama Ibu Collins Martin yang kebetulan anak wanitanya sudah remaja. Mungkin saya bisa langsung saja bertanya-tanya kepada Ibu Collins Martin, yang kita tanyakan sudah tentu sedikit tumpang tindih dengan apa yang sudah kita bicarakan pada waktu yang lampau. Bisa Ibu jelaskan lagi, kira-kira prinsip apa yang harus diberikan kepada anak-anak wanita kita dalam bergaul dengan teman-teman prianya?
CM : Kami di rumah ada beberapa peraturan tapi salah satunya kami tekankan, walaupun tidak terlalu tegas kami tidak izinkan laki-laki di dalam kamar anak kami, kami tidak izinkan anak laki-laki di rumah kami tanpa ada orang tua. Karena bisa terjadi sesuatu tanpa mungkin mereka memikirkan sesuatu dulu, tapi untuk mencegah masalah itu, satu peraturan yang sangat menolong.

PG : Bagaimana kalau dia berkata : "Ma.... saya ingin pergi dengan....," nah dia sebut teman prianya dan anak ibu, saya tahu baru berusia 15 tahun, apakah ibu akan mengizinkan?

CM : Belum, kecuali dengan beberapa teman lain, baru minggu lalu kami bicarakan itu dan anak mengatakan, "O.... Mami kami sudah minta izin dan anak laki-laki umur 17 tahun", kami bilang o.... kalau ada yang cocok dan macam-macam. Tapi untuk anak perempuan kami bilang belum bisa, kecuali dalam kelompok besar dan tampak aman.

PG : Apa alasannya jangan dulu sebelum usia-usia tertentu itu?

CM : Kami bicara kepada mereka. Dulu sebelum kami terlalu mengetahui mengenai membesarkan remaja, kami katakan waktu umur 16 tahun mereka boleh mulai pergi satu laki-laki satu perempuan. Tapi sekarang kami katakan bahwa kita lihat kedewasaan mereka dan kami usul supaya mereka jangan berdua dulu karena dari data-data dan statistik-statistik anak remaja yang mulai berpacaran lebih muda lebih banyak masalah yang mereka alami, lebih banyak kesempatan tentang seks pada waktu itu kalau mereka bergaul terlalu cepat. Dan juga untuk menjaga mereka kami menjelaskan bahwa kami mengasihinya.

PG : Jadi berpacaran terlalu dini membuka peluang kontak seksual yang lebih pagi, terlalu prematur. Saya setuju dengan Ibu Collins, Pak Gunawan dan Ibu Ida, di rumah kami pun, kami jauh-jauhhari mengatakannya bahwa mereka tidak boleh berpacaran sampai setelah lulus SMA.

Jadi kami mengatakannya itu bukan sekarang waktu anak kami berusia 14 tahun, tapi kami katakan itu beberapa tahun sebelumnya. Jadi mereka jauh-jauh hari sudah tahu bahwa tidak ada lagi kemungkinan mereka berpacaran. Jadi kemungkinan itu seharusnya mereka sudah tutup jauh hari, alasan saya sangat simpel sekali, secara psikologis seorang anak memang memerlukan teman yang banyak pada usia-usia remaja, justru teman yang banyak itu akan menyumbangkan masukan-masukan yang berguna dalam dia membentuk jati dirinya. Semakin dia terpisah dari teman-temannya yang banyak dan eksklusif dalam hubungannya semakin terasing dan semakin sedikit masukan dari teman-teman sebayanya. Jadi saya kira ada baiknya dan seharusnyalah kita menegaskan pada anak-anak kita, tidak boleh berpacaran sampai setelah lulus SMA.
IR : Orang tua juga akan mengekspresikan emosi anak itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira untuk anak wanita memang kita perlu juga belajar memberikan arahan. Saya secara pribadi, sehubungan dengan anak-anak saya di rumah, saya tidak begitu melihat perbedaan yang mecolok antara pengekspresian emosi anak wanita dan anak laki-laki.

Maksud saya kalau marah ya dua-duanya marah, ya sama. Tapi saya kira saya tidak tahu, Ibu Collins, apa setuju atau tidak, saya kira pada umumnya anak wanita lebih sensitif daripada anak laki-laki, sehingga dalam pengaturan emosi anak wanita mungkin sekali memerlukan tenaga atau kekuatan ekstra untuk mengontrol emosinya, jangan sampai terlalu peka. Dan akhirnya dia dibawa, dia diayun-ayunkan oleh perasaannya. Itu yang saya bisa lihat pada anak-anak wanita saya dibandingkan dengan anak pria saya. Jadi misalkan ada sesuatu yang mengganggu perasaannya, anak wanita saya cenderung memang untuk berubah, untuk berdiam di kamar dan agak susah untuk mengatur perasaannya. Mungkin itu yang menjadi perbedaannya atau bagaimana komentar, Ibu Collins?
CM : Untuk laki-laki dan perempuan memang ada perbedaan. Waktu anak kami perempuan, dia masih kecil walaupun kami harus pukul pantatnya dia jarang menangis, anak laki-laki lebih menangis. Tapi setelah menjadi remaja memang ada perbedaan besar, dia tidak menangis terus, tapi ada waktu dimana dia lebih merasa sedih ketika kakek saya meninggal dunia, itu sangat mengganggu dia lebih daripada laki-laki.

PG : Dan kalau ada sesuatu yang terjadi di luar, misalkan di sekolah dengan teman-teman, saya lihat itu lebih berdampak pada anak wanita dibandingkan pada anak laki-laki. Anak-laki-laki lebi bisa memasabodohkan, mengacuhkan sedangkan saya melihat anak wanita lebih mudah untuk dipengaruhi oleh apa yang terjadi, temannya berkata ini, temannya berbuat ini, nah dia pulang akan bisa sedikit murung dan terpengaruh.

IR : Di dalam rumah Pak Paul, apakah orang tua juga perlu melatih kemandirian seorang anak perempuan. Misalnya sekalipun mereka itu ada pembantu, apakah dia dididik untuk melakukan pekerjaannya sendiri?

PG : Saya kira ada baiknya anak-anak wanita juga dipersiapkan untuk hidup mandiri, sudah tentu tanggung jawab rumah tangga perlu kita limpahkan. Saya pribadi setuju, tidak hanya pada anak waita tapi juga pada anak pria.

Namun dalam hal kemandirian saya percaya anak wanita perlu dipersiapkan untuk mandiri, bahwa dia akan menikah tidak berarti dia seharusnya tidak mempersiapkan diri untuk mandiri, saya kira itu pandangan yang keliru. Jadi saya sangat percaya anak wanita harus bisa hidup sendiri, meskipun dia menikah dia tetap bisa hidup sendiri, misalkan ada apa-apa dengan suaminya. Jadi jangan sampai anak wanita itu berpikir nanti hidup saya akan dipelihara oleh suami saya, jadi buat apa saya berusaha mandiri sekarang. Tidak tahu bagaimana pandangan Ibu Collins?
CM : Untuk saya dan suami, anak itu sangat penting untuk belajar mandiri dan khususnya juga wanita karena sekarang kami membesarkan anak dalam abad baru, anak perempuan juga mau ke Universitas, mereka mungkin mau ada pekerjaan sendiri. Walaupun saya sendiri menganggap menjadi ibu itu penting dan kami menyiapkan supaya dia bisa mandiri di rumah, dia harus bekerja sama seperti laki-laki, tapi dia harus belajar lebih banyak memasak dan macam-macam begitu. Supaya dia bisa membantu di rumah bukan hanya membantu, tapi harus masak sendiri. Dan kami ingin anak kami mandiri waktu dewasa, tapi masih ada hubungan erat dengan kami. Jadi harus ada keseimbangan, kami berusaha supaya ada keseimbangan, dia bisa mandiri tapi masih mengasihi kami.
GS : Mungkin ada sedikit perbedaan yang saya lihat, Pak Paul, terhadap anak-anak saya. Yang pria, kemandirian itu nampak di luar rumah, di luar rumah misalnya dia bisa mengendarai sepeda motor sendiri, pergi sendiri, lepas dan kami merasa masih tetap aman, dulu diantar. Nah sedang kemandirian di dalam rumah itu lebih banyak didominasi atau dikuasai oleh anak perempuan, Pak Paul. Jadi dalam hal mengatur kamar dan sebagainya rasanya dia lebih terampil, lebih bisa, apakah itu membedakan anak pria dan anak wanita, Pak Paul?

PG : Mungkin dalam hal itu ada pengaruh budaya ya Pak Gunawan, jadi kita ini sebagai orang tua cenderung lebih mengharapkan anak wanita terlibat dalam pekerjaan rumah apalagi di kalangan orag tua kita atau kakek-nenek kita.

Saya kira budaya itu jauh lebih kuat dan sekarangpun masih ada tekanan budaya yang seperti itu. Mungkin itu sebabnya anak-anak laki-laki tidak merasa dia harus terlalu terlibat dalam pekerjaan rumah, dia merasa ada sedikit hak untuk mendelegasikannya kepada orang tuanya atau adik perempuannya atau kakak perempuannya. Lebih dari kemandirian sosial dan karier, saya juga mengharapkan anak-anak wanita bisa mandiri secara emosional. Dalam pengertian dia tetap menjadi seorang yang lengkap, meskipun sendiri, jangan sampai anak wanita bertumbuh besar dengan suatu konsep bahwa hidupnya barulah lengkap kalau dia dicintai oleh seorang pria dan dinikahi oleh seorang pria. Adakalanya konsep itu cukup menguasai para anak wanita kalau belum menikah, berarti ada yang kurang dalam dirinya. Jadi ketergantungan emosional telah dipupuk dalam hidup anak wanita sejak kecil. Hal ini yang saya kira anak-anak perlu belajar dan tidak harus mendapatkan cinta atau disukai oleh pria barulah dia menjadi seorang wanita yang lengkap. Ini saya coba tekankan, kalau Ibu Collins sendiri bagaimana tentang hal ini?
CM : Saya setuju dan sebetulnya tadi saya memikirkan kalau kita mau wanita yang dewasa, dewasa penuh, mereka bukan cuma lulus dari SMA dan masuk ke Universitas dan sebagainya. Mereka harus tahu siapa diri mereka dan mereka sudah lengkap, saya sangat setuju dengan apa yang Pak Paul katakan.

PG : Ya, sebab ada kecenderungan kalau seorang wanita terlalu bergantung itu bukannya menjadi daya tarik baginya, justru itu menjadi kelemahan baginya. Kelemahan dalam pengertian pria sebetunya menghargai wanita yang mandiri, justru wanita yang terlalu bergantung pada akhirnya kurang dihormati oleh pria.

Memang pada awalnya pria akan senang dengan wanita yang manja, tapi saya yakin kemanjaan itu hanya mempunyai daya tarik pada masa berpacaran. Setelah menikah kalau wanitanya terus manja dan semua harus disediakan oleh prianya, sifat tersebut tidak lagi menjadi daya tarik, justru menjadi hal yang mengganggu si pria. Kedua, kenapa saya kira wanita perlu diajar untuk mandiri secara emosional, sebab dia membuka peluang untuk dimanfaatkan, tatkala seorang pria melihat dia adalah wanita yang begitu membutuhkan pria. Jadi mudah sekali dimasuki oleh pria yang bermaksud buruk dan akhirnya memanfaatkan. Saya kira sejak kecil atau sejak usia remaja penting bagi seorang ibu dan ayah menanamkan konsep ini kepada mereka. Engkau seorang yang lengkap, engkau memerlukan pria sama seperti pria memerlukan engkau, tapi engkau tetap adalah seorang yang matang dan lengkap, meskipun kalau misalnya nanti engkau sendirian tanpa pria.
GS : Tetapi ada orang tua yang berpandangan kalau wanita terlalu dominan bisa menyalahi kodratnya sebagai wanita.

PG : Saya kira itu ketakutan dan dilema wanita yang harus saya akui sebetulnya ditimpakan kepada wanita secara tidak adil. Wanita merasa terjepit antara mandiri dan dituduh dominan, kalau di terlalu mandiri dikatakan dia dominan, sedangkan di kalangan pria, anak pria yang mandiri itu dianggap sebagai suatu karakteristik yang baik.

Dan dominan pada pria justru dianggap sesuatu yang juga baik, tapi sebetulnya dua hal itu tidak harus sama, tidak harus dalam satu paket yang sama. Di sini saya juga harus bersimpatik dengan wanita, sebab karena dia ingin mandiri, dia dituduh dominan, kalau dia terlalu bergantung dituduh seperti lintah, menempel terus pada pria. Jadi wanita benar-benar diharapkan mempunyai peranan yang sempurna dan pas sekali, tidak terlalu dominan, tidak terlalu lemah, barulah dia menjadi wanita yang pas.
IR : Itu memang sangat sulit, biasanya kalau anak wanita itu mandiri menjadi dominan, Pak?

PG : Dituduhnya begitu ya Bu, padahal tidak harus begitu, bagaimana pandangan Ibu Collins?

CM : Saya suka laki-laki yang bisa menerima wanita yang mandiri, mungkin istilah yang bisa dipakai, mereka masih bersandar kepada teman-teman dan suami, masih saling menolong tapi tidak menganggap dominan, tapi masih bisa diterima. Dan itu tidak, saya mengritik apa yang Pak Paul katakan mengenai wanita harus sempurna, harus tidak boleh terlalu ini, tidak boleh terlalu itu, ini memang susah untuk wanita. Misalnya ada sifat suka menjadi pemimpin sering kali tidak diterima dan kasihan karena Tuhan memberi karunia yang berbeda-beda untuk setiap orang.

PG : Jadi mungkin seorang ibu terutama di sini seorang ibu perlu memberikan lebih banyak petuah kepada anak wanita, bukan melarang anak wanita menjadi mandiri tapi mengajarkan anak wanita baaimana menempatkan diri.

Menempatkan diri terutama dengan pria. Maksudnya begini, pada umumnya pria senang jika pendapatnya didengarkan terlebih dahulu. Pria tidak terlalu berkeberatan dengan argumentasi, perdebatan yang rasional, yang mempunyai landasan-landasan buktinya. Namun pada umumnya berkeberatan dengan wanita yang belum apa-apa sudah mengedepankan pandangannya, tanpa wanita itu memberikan kesempatan pada si pria untuk mengutarakan pikirannya. Jadi dalam hal ini si ibu bisa mengajarkan kepada anak wanita bahwa jika engkau nanti menikah dengan suamimu, dalam proses pengambilan keputusan mintalah pandangan suamimu terlebih dahulu. Dan dengarkan pandangannya sebaik mungkin setelah itu barulah berikan pandanganmu, nah jadi di sini saya kira kita tidak perlu membuat si wanita itu bergantung, tapi kita juga bisa membuat dia mandiri yang pas, sehingga bisa diterima penuh oleh suaminya. Karena kalau tidak kita juga bisa menciptakan anak wanita kita menjadi wanita yang susah diterima di mana-mana. Sebab sekali dia berpikir apa, langsung dia lontarkan, dia merasakan apa dia langsung lontarkan. Pada umumnya pria keberatan bersama wanita yang terlalu ekspresif dengan ide-idenya dan kurang memberikan kesempatan kepada pria untuk mengutarakan pikirannya. Hal ini memang bukan soal benar salah, tapi itulah kenyataan dalam kehidupan sosial kita. Jadi kita perlu mempersiapkan anak wanita kita pula agar bisa hidup dan diterima dalam masyarakat. Bagaimana pandangan Ibu Collins?
CM : Tadi saya katakan mandiri dan saya bermaksud itu suatu hal yang positif dan bukan mandiri dari laki-laki atau suami, tapi ada keseimbangan. Saya perhatikan kalau wanita memakai cara dan tidak terlalu memaksa ide-ide mereka, mereka mau mendengar dulu itu sangat menolong laki-laki karena memang kita beda. Dan saya perhatikan mengenai hal-hal membesarkan anak atau membentuk a girl menjadi a woman, kita sebagai ibu-ibu harus menjadi teladan terhadap anak-anak supaya mereka belajar bagaimana mereka bergaul dengan laki-laki, bagaimana bergaul dengan suami, itu sangat penting. Dan mereka bisa belajar dan itu tidak mudah, saya ingat waktu saya hamil anak pertama, saya sadar aduh anak ini akan menjadi seperti saya, O..... Tuhan tolong ubah saya dan Dia menolong, belum sempurna, tapi Dia beri saya baca buku, ada teman yang memberi nasihat dan Dia memberi hikmat lewat firmanNya, supaya saya menjadi teladan buat anak perempuan saya, karena itu tanggungjawab saya.
(3) GS : Pak Paul, baik anak pria maupun anak wanita itu pasti melakukan kesalahan, cuma yang saya amati adalah rasa bersalah dari anak perempuan itu bisa berkepanjangan, lebih daripada anak pria itu, mengatasinya bagaimana ya Pak Paul, yang pria itu katakan berkelahi pasti dua-dua salah, tapi yang pria itu menganggap sudah tidak ada apa-apa, yang wanita ini masih terus saja. Entah menyalahkan dirinya, entah menyalahkan orang lain, tapi menghadapi rasa bersalah seperti ini bagaimana kita sebagai orang tua?

PG : Sebelum saya jawab, saya ingin mendapatkan juga konfirmasi dari Ibu Collins dan juga Ibu Ida, apakah ibu-ibu ini melihat yang tadi Pak Gunawan katakan bahwa wanita memang cenderung mempunyai rasa bersalah yang lebih daripada pria?

IR : Ya.

PG : Kenapa begitu?

IR : Karena terpengaruh emosi ya Pak Paul?

PG : Emosi juga akan mempengaruhi sekali di situ.

CM : Tapi mungkin kebudayaan juga.

PG : Maksudnya apa, budaya?

CM : Karena cara kami dibesarkan, laki-laki sering kali diberi kesempatan bicara, saya baru dengar ada wanita bilang dia memakai suara kecil, laki-laki selalu benar, wanita selalu salah.

PG : Ya, saya tidak akan menyangkal yang ibu-ibu katakan, sebab itu betul ya. Itu yang sering kali terjadi di dalam masyarakat kita. Ada satu penyebab yang lain yaitu sejak kecil anak wanitasudah dididik untuk lebih bertanggung jawab, itu memang kenyataannya.

Kita sebagai orang tua cenderung membolehkan anak pria tidak terlalu bertanggung jawab, terutama dalam hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan rumah. Sedangkan anak wanita lebih dituntut untuk bertanggung jawab akan pekerjaan rumahnya. Jadi saya kira orang tua perlu berhati-hati, jangan menambahkan beban rasa bersalah pada anak, jangan terlalu sering berkata kamu anak wanita kamu harus tahu diri, kamu anak wanita jangan kalau mau berkata kamu harus berhati-hati, jangan ditambah embel-embel kamu anak wanita. Sebab seharusnyalah memang sama, jadi jangan sampai menambahkan beban rasa bersalah itu pada anak-anak kita.
GS : Memang Pak Paul kalau sepanjang yang kita bisa amati, yang kita bisa monitor lewat kehidupan ini, sering kali anak perempuan bermasalah untuk menjadi "a woman" itu justru karena pola dari orang tuanya. Karena itu apa yang firman Tuhan ajarkan kepada kita, khususnya orang tua di dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul sehubungan dengan anak perempuan kita itu?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 3:11-12 "Hai anakku janganlah engkau menolak didikan Tuhan dan janganlah engkau bosan akan perintahnya atau peringatannya. Karena Tuhan memberiajaran kepada yang dikasihiNya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi."

Tadi Ibu Collins mengatakan bahwa yang penting adalah seorang ibu atau seorang ayah memberi teladan kepada anak-anaknya. Dan saya kira teladan berbicara jauh lebih banyak daripada perkataan atau instruksi-instruksi, jadi bagaimana orang tua hidup, bagaimana dia memperlakukan satu sama lain dan juga orang-orang di luar, bagaimana dia melakukan tanggung jawab di rumah dan juga di luar, itu semua merupakan didikan atau ajaran yang akan diserap oleh anak-anak kita. Nah firman Tuhan jelas meminta orang tua memberikan pengajaran-pengajaran itu kepada anak-anak, jadi memang orang tua tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut. Tapi sekali lagi terlebih penting daripada perkataan, hiduplah yang akan lebih efektif menjadi ajaran bagi anak-anak kita.

GS : Jadi demikian tadi saudara-saudara pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Collins Martin dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang masalah-masalah dalam membentuk a girl menjadi a woman. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



24. Membantu Anak yang Takut Sekolah


Info:

Nara Sumber: Esther Tjahja, S.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T075A (File MP3 T075A)


Abstrak:

Takut sekolah bukan hanya terjadi pada anak-anak yang baru pertama kali sekolah, tetapi ada anak-anak yang mungkin sudah satu minggu, dua minggu atau bahkan beberapa bulan tiba-tiba takut sekolah. Dan dalam hal ini orangtua sangat perlu memperhatikan kira-kira apa yang menjadi dasar penyebabnya.


Ringkasan:

Takut sekolah terjadi bukan hanya pada anak-anak yang baru pertama kali sekolah, tetapi ada anak-anak yang mungkin seminggu, dua minggu atau bahkan beberapa bulan pertama sekolah tiba-tiba menjadi takut sekolah.

Ciri-ciri anak yang takut sekolah ini sbb:

  1. Ciri-ciri secara fisik, kadang-kadang anak mau berangkat sekolah baru bangun, pagi-pagi sudah dibangunkan oleh orang tua, sudah mulai mengeluh baik sakit perut, pusing, rasanya ingin ke belakang. Kadang sudah sampai di sekolah begitu masuk pagar ada yang bilang mau muntah, sakit perut dsb.

  2. Ciri yang lain menangis, nggak mau pisah dengan orang tuanya. Untuk yang ikut antar jemput mungkin untuk naik ke mobil jemputan juga sudah mulai ketakutan dan menangis.

  3. Bisa juga yang tadinya tidak ngompol jadi ngompol

  4. Nilainya juga mulai merosot.

Anak merasa takut sekolah biasanya disebabkan oleh:

  1. Bagi anak-anak yang pertama kali sekolah misal masuk play group atau TK rasanya memang pengalaman berpisah cukup lama dengan orangtua, ini menjadi hal yang tidak enak buat anak-anak.

  2. Masuk dalam sebuah lingkungan baru yang belum diketahui sama sekali, teman-temannya baru, guru-gurunya baru, ruangannya baru. Jadi itu menimbulkan kecemasan atau hilangnya rasa aman pada anak-anak.

  3. Bagi yang sudah sekolah mungkin pengalaman menghadapi guru yang galak, dimarahi atau ditegur guru.

  4. Memiliki teman yang agresif, begitu dia di sekolah dipukuli atau diancam dengan hal-hal tertentu.

  5. Anak-anak yang takut dengan pelajaran tertentu misalnya matematika, atau terhadap guru tertentu guru olah raga.

  6. Anak takut ke sekolah karena anak takut meninggalkan rumah. Ada anak yang tahu bahwa di rumah itu orangtua sering bertengkar, ada anak yang mengkhawatirkan misalnya ayahnya akan memukuli ibunya. Sehingga waktu dia ke sekolah dia merasa cemas, dia merasa tidak tenang, selanjutnya dia menjadi enggan ke sekolah sebab dia merasa dia bertugas untuk ada di rumah.

Hal-hal di atas bisa menjadi pemicu dari ketakutan anak-anak.

Apa yang bisa dilakukan orangtua untuk menolong anak yang takut ke sekolah tersebut:

  1. Mencari penyebabnya. Sebagai orang tua kita sangat perlu terlibat untuk kita lebih bisa mengenal apa itu yang menjadi penyebab perilaku anaknya. Jadi kedekatan itu penting sekali, kalau anak tidak merasa dekat dengan orang tua, dia mungkin juga enggan untuk bilang terus-terang apa itu yang membuat dia tidak mau ke sekolah. Jadi sekali lagi keterbukaan dan hubungan yang erat antara orang tua anak memang sesuatu yang mutlak, bukan suatu pilihan yang boleh ada atau boleh tidak ada.

  2. Anak tetap dianjurkan untuk ke sekolah, jangan sampai orangtua membiarkan atau mengizinkan anak untuk tidak berangkat ke sekolah kecuali memang keluhan fisik yang dialami demikian berat misalnya buang air terus, muntah-muntah dsb. Namun pendampingan amat sangat tetap diperlukan oleh anak.

  3. Kita mau mengakui bahwa ketakutan itu adalah reaksi yang wajar, tidak ada yang harus malu dengan rasa takut ini dan ketakutan terhadap penyebab itu adalah hal yang wajar pula.

  4. Secara rohani, mungkin orang tua bisa mengajak anak untuk berdoa bersama atau membaca satu atau dua ayat Alkitab sebelum berangkat ke sekolah, ini akan menolong si anak.

Galatia 6:1 , "Saudara-saudara kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut." Orang tua perlu memimpin anak kembali ke jalan yang benar, tidak hidup dalam ketakutan tapi lakukanlah dalam roh lemah lembut, jangan malah memarah-marahi anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan. Pada hari ini kami bersama dengan Ibu Esther Tjahja seorang sarjana psikologi alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang saat ini menjadi staf psikologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan juga sebagaimana biasanya juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi bersama-sama dengan kami akan berbincang-bincang mengenai suatu topik yaitu membantu anak yang takut sekolah. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada banyak orang tua yang menjadi pendengar dari TELAGA ini yang sudah mempunyai anak dan sudah waktunya harus masuk sekolah. Tetapi mereka kesulitan karena anaknya merasa takut atau enggan pergi ke sekolah. Di zaman seperti ini di mana anak-anak disediakan sarana sekolah pada usia sedini mungkin, sebenarnya kita sebagai orang tua bisa mengenali secara dini anak yang enggan atau takut masuk sekolah.

PG : Yang Pak Gunawan tadi ungkapkan adalah memang kenyataan, Pak Gunawan, jadi di tempat kami ada beberapa orang tua yang datang membawa anak-anak mereka dan rupanya anak-anak itu mengeluh,bukan saja keluhan-keluhan yang bersifat emosional tapi keluhan yang bersifat fisik pula.

Kebetulan di klinik kami yang menangani masalah ini adalah staf psikologi yang bernama Ibu Esther Tjahja. Jadi kami sangat bersenang hati pada hari ini dapat mengundang beliau untuk hadir bersama kita, Pak Gunawan. Nah mungkin secara langsung kita bisa bertanya kepada Ibu Esther Tjahja, bagaimana ciri anak-anak yang takut sekolah?

ET : Memang ada beberapa ciri-ciri yang cukup jelas pada anak-anak tertentu. Tapi sebelum saya katakan ciri-ciri itu, saya ingin jelaskan terlebih dahulu bahwa takut sekolah itu bukan hanya erjadi pada anak-anak yang baru pertama kali sekolah.

Tetapi ada anak-anak yang mungkin seminggu, dua minggu atau bahkan beberapa bulan pertama sekolah baik-baik saja, sampai pada suatu titik tiba-tiba jadi takut sekolah. Nah ciri-cirinya seperti yang dikatakan Pak Paul tadi, mungkin nyata dari fisik, kadang-kadang mau berangkat sekolah mungkin baru dibangunkan pagi-pagi oleh orang tua sudah mulai mengeluh, baik sakit perut, pusing, rasanya ingin ke belakang ya. Kadang-kadang begitu masuk pagar sekolah, juga ada yang mengatakan mau muntah dan sakit perut, itu kira-kira ciri fisiknya. Dan kalau mau dianggap main-main, ya sebenarnya kalau diamati memang sungguh-sungguh anak itu sakit, kadang-kadang ada yang sampai pucat dan berkeringat dingin untuk masuk ke sekolah. Selain itu juga ada ciri-ciri yang nampak yaitu biasanya menangis tidak mau berpisah dengan orang tuanya, kalau yang ikut antar jemput mungkin untuk naik ke mobil jemputan juga sudah mulai ketakutan dan menangis, belum sampai sekolah, baru mau masuk ke mobil antar jemput sudah menangis. Beberapa anak TK juga mungkin memperlihatkan pada malam hari yang tadinya sudah tidak ngompol tiba-tiba jadi mengompol. Lalu kalau yang tadi saya katakan sudah sekolah, lalu tiba-tiba takut sekolah, biasanya salah satu nilainya mulai merosot, kira-kira itu ciri-ciri yang menandakan anak-anak ini punya masalah dengan sekolah.

PG : Apakah biasanya mereka dengan teman-temannya bisa bergaul dengan baik, Bu Esther?

ET : Nah tergantung juga Pak Paul, penyebabnya apa.

PG : Jadi apakah ada misalnya yang di sekolah jadinya tidak bergaul, tapi di rumah bergaul biasa dengan adik dan kakaknya. Atau karena masalah ini, di rumah pun jadinya menarik diri tidak ma bergaul dengan kakak dan adiknya.

ET : Kalau kebanyakan kasus yang saya lihat rasanya memang orang tua punya kesan anak-anak ini sepertinya "jago kandang". Mungkin di rumah nakal, malah kadang-kadang mengekspresikan ketakutanya di sekolah, sepertinya nakal di rumah tetapi di sekolah dia jadi penakut.

Jadi cenderung menarik diri jadi penonton tidak mau bergaul dengan teman-temannya.
IR : Dan apakah anak yang ketakutan itu bisa terus terang dengan orang tuanya?

ET : Ada yang mengatakan memang keluhan-keluhan tertentu, mungkin kepada gurunya atau teman-temannya. Tetapi ada anak-anak yang langsung begitu saja mau ke sekolah dengan tanda-tanda sepertiyang saya katakan tadi, tapi dia tidak bisa mengatakan takut kepada apa dan kepada siapa.

PG : Bisa apa tidak Ibu Esther memberikan kepada kami gambaran penyebabnya secara umum?

ET : Kalau untuk anak-anak yang pertama kali sekolah, misal pertama kali masuk play group atau TK rasanya memang pengalaman berpisah cukup lama dengan orang tua. Ini yang menjadi hal yang tiak enak buat anak-anak tersebut, karena selama ini sebelumnya selalu ada di rumah dekat dengan orang tua, di dalam keluarga yang aman, tetapi sekarang mereka harus masuk ke sebuah lingkungan baru yang belum diketahui sama sekali, teman-temannya baru, gurunya baru, ruangannya baru.

Jadi itu menimbulkan kecemasan atau hilangnya rasa aman pada anak-anak itu. Selain itu kalau yang sudah sekolah bisa juga karena pengalaman menghadapi guru yang galak, dimarahi atau ditegur guru. Atau terus ada teman yang cenderung agresif, begitu dia di sekolah dipukuli atau diancam dengan hal-hal tertentu atau mungkin ada anak-anak yang takut dengan pelajaran tertentu misalnya pelajaran matematika, atau terhadap guru tertentu guru olah raga, itu juga bisa menjadi pemicu dari ketakutan anak-anak.
GS : Bagaimana dengan anak yang pada dasarnya penakut, jadi artinya memang sukar untuk bergaul dengan teman-temannya. Kalau dia pertama kali dibawa ke sekolah dengan langsung menemukan lingkungannya yang dia bisa cocok berarti tidak ada masalah, tapi anak ini memang dasarnya di rumah itu sendirian, tidak punya saudara dan sebagainya, apakah itu bisa menjadi penyebab anak enggan ke sekolah?

ET : Ya, itu bisa menjadi penyebab karena kalau kita lihat cukup banyak anak-anak lain yang rasanya mempunyai guru galak atau mungkin diancam oleh teman atau pelajaran-pelajaran tertentu sult tapi tetap bisa survive, tetap bisa bertahan mengikuti sekolah.

Tetapi ada anak-anak tertentu yang memang dasarnya juga mungkin istilahnya nyalinya kecil, begitu ketemu kesulitan langsung mengkerut. Memang anak-anak yang seperti ini mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menghadapi masalah ketakutan di sekolah.
GS : Ada juga pengalaman orang tua yang anaknya pertama kali bisa masuk sekolah dengan mudah, kemudian setelah satu minggu dia memutuskan tidak mau masuk sekolah karena dia merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dalam hal seragam. Seperti kita ketahui bahwa sejak di TK pun anak memakai seragam tiap hari. Anak ini kebetulan belum jadi seragamnya, Bu Esther, sehingga dia memutuskan tidak mau ke sekolah, nah pengalaman seperti itu bagaimana?

ET : Ya, saya pikir untuk anak-anak seperti itu hanya karena tidak mau berbeda dengan teman-temannya. Tapi mungkin kalau penyebabnya hanya itu, dengan diberikan seragam saja mungkin masalahna sudah selesai.

GS : Tapi awalnya tidak tahu kenapa dia tiba-tiba tidak mau sekolah biasanya tiap hari mau, menemukan penyebabnya itu yang sulit.

ET : Betul, karena itu sebenarnya memang diharapkan adanya kerjasama antara orang tua dan pihak guru, juga pihak di sekolah, kira-kira hasil pengamatan di sekolah bagaimana. Dan juga kalau T biasanya masih ditunggu, ada orang tua atau ada yang mengantar yang bisa mengamati, mulai bisa menangkap gejalanya atau menerka-nerka kira-kira apa penyebabnya.

IR : Bagaimana sebaiknya orang tua mengatasi anak-anak yang seperti itu, Ibu Esther?

ET : Ya memang yang pertama-tama Pak Gunawan katakan tadi, ya susah-susah gampang, dicari dulu penyebabnya. Masalah penyebabnya ini yang kadang-kadang memang butuh waktu lama juga ya. Ada ank-anak yang kalau ditanya, "o...

tidak guru saya baik, teman-teman saya baik", tapi tetap takut sekolah. Ternyata memang setelah dilihat-lihat lagi ada unsur nyalinya kecil itu tadi, gurunya pernah memarahi anak-anak yang lain, ditanya tidak pernah kena tegur langsung, tapi melihat guru menegur atau menghukum teman-temannya sudah mengkerut juga hatinya. Jadi memang mencari penyebab ini yang tidak mudah, tapi itu sebenarnya nomor satu yang perlu kita ketahui penyebabnya.
GS : Nah Pak Paul dalam keadaan sekarang itu sering kali anak pergi ke sekolah, seperti tadi Ibu Esther juga katakan diantar jemput, di rumah sudah dilepas. Sampai di sekolah pun oleh pengemudinya dibiarkan turun sendiri atau yang agak lebih bagus diantarkan oleh baby sitternya atau pembantu rumah tangganya dan sebagainya. Tetapi orang tua tidak terlibat di sana. Padahal Bu Esther tadi katakan, kerja sama antara orang tua dan guru itu penting sekali, bagaimana pemecahannya menurut, Pak Paul?

PG : Saya kira orang tua memang perlu lebih terlibat. Kalau orang tua terlalu mendelegasikan tugas pada suster atau pembantu, dia akan kehilangan kesempatan untuk bisa mengenal apa yang menjdi penyebab perilaku anaknya sekarang ini.

Jadi kedekatan itu penting sekali, kalau anak tidak merasa dekat dengan orang tua, dia mungkin juga enggan untuk mengatakan terus-terang apa yang membuat dia tidak mau ke sekolah. Jadi sekali lagi keterbukaan dan hubungan yang erat antara orang tua dan anak memang sesuatu yang mutlak, bukan suatu pilihan yang boleh ada atau boleh tidak ada. Saya ingin menambahkan satu hal juga, Pak Gunawan dan Ibu Ida, tadi kita membicarakan hal-hal yang bersumber dari sekolah yang membuat si anak itu takut ke sekolah. Ada kemungkinan pula yang terjadi kebalikannya, jadi anak-anak yang takut ke sekolah karena takut meninggalkan rumah. Nah pertanyaannya kenapa takut meninggalkan rumah? Ada anak yang tahu bahwa di rumah itu orang tua sering bertengkar, ada anak yang mengkhawatirkan misalnya ayahnya akan memukuli ibunya. Sehingga waktu dia ke sekolah dia mengkhawatirkan keadaan rumah, akibatnya waktu dia ke sekolah dia merasa cemas dan merasa tidak tenang. Yang terjadi selanjutnya adalah dia menjadi enggan ke sekolah, sebab dia merasa dia bertugas untuk ada di rumah. Seolah-olah dia mempunyai anggapan dengan dia ada di rumah, dia bisa melindungi misalnya adiknya atau mamanya yang berada di pihak yang lemah dari misalkan serangan ayahnya. Atau dia merasa anak yang bisa membuat ayahnya tidak marah dengan dia ada di rumah, dia bisa mencegah ayahnya untuk meledak dan sebagainya. Jadi hal-hal ini bisa membuat si anak akhirnya khawatir dan tidak mau ke sekolah. Mengapa anak tidak mau ke sekolah? Bisa muncul dari sekolah sebagai sumbernya atau bisa juga muncul dari rumah. Ada anak-anak yang terlalu sering mendengar orang tuanya bertengkar sehingga dia peka dengan amarah. Waktu dia bersekolah, dia mendengar gurunya marah kepada temannya dia takut sekali. Karena seolah-olah dia mengalami ketakutan yang sudah dia alami di rumah, akhirnya takut ke sekolah karena ada trauma tertentu yang dialaminya. Tapi bisa juga kebalikannya karena dia terbiasa mendengar orang tuanya bertengkar di rumah, waktu dia ke sekolah dia mendengar gurunya marah-marah, dia justru tidak merasa terganggu karena sudah kebal, apakah Ibu Esther juga pernah mengalami kasus yang serupa?

ET : Ya, ya itu biasanya kondisinya lebih kompleks lagi dan biasanya memang lebih susah untuk kita temukan apa penyebab ketakutannya, yang pasti dia di sekolah tidak tenang, di rumah juga tiak tenang.

PG : Apakah Ibu Esther pernah menemukan bahwa anak-anak yang takut ke sekolah ternyata di rumah mempunyai problem tertentu, bukan dia yang bermasalah tapi antara orang tuanya juga ada masalh.

ET : Ya, saya pernah cuma ini bukan anaknya langsung, tapi cerita ketika dia lebih besar ya. Pengalaman dia ketika lebih mudanya. Jadi katakan ketika dia umur 5, 6 pada saat itu orang tuanyabercerai.

Lalu ada ketakutan karena pada waktu itu terjadi perebutan adiknya akan ikut siapa sebagai hasil perceraian itu. Akhirnya ia takut berangkat ke sekolah karena dia takut setibanya di rumah nanti adiknya sudah diambil oleh pihak ibunya, sehingga begitu berat meninggalkan rumah untuk bersekolah.

PG : OK. Memang masalah-masalah ini bisa kompleks sekali dan tugas kita adalah untuk mencari tahu penyebabnya, baru kita bisa menyelesaikan masalahnya. Kalau yang lainnya lagi, Bu Esther, ap yang bisa kita lakukan untuk membantu si anak yang mengalami ketakutan ini.

Apakah kita perlu memaksa dia untuk tetap ke sekolah, memarahi dia supaya dia lebih tegar lagi atau apakah ada cara yang terbaik?

ET : Soal memaksakan ke sekolah mungkin bukan istilah dipaksakan, tetapi sedapat mungkin anak dianjurkan ke sekolah. Kecuali memang keluhan fisiknya sudah demikian rupa beratnya, misalnya di harus buang air terus, atau dia sampai muntah-muntah, rasanya juga mungkin sulit orang tua untuk meninggalkannya di sekolah.

Tapi tanpa keluhan fisik yang seperti itu, sedapat mungkin orang tua jangan sampai membiarkan atau mengizinkan anak untuk tidak berangkat ke sekolah. Karena untuk anak-anak seperti ini begitu diijinkan untuk tidak ke sekolah, biasanya akan mengalami kemunduran ketika saatnya harus sekolah. Jadi waktu dia harus masuk lagi, biasanya justru gejala-gejalanya akan lebih macam-macam lagi, mungkin dia harus mulai dari nol. Usulan untuk tetap sekolah harus, tetapi pendampingan itu sangat diperlukan oleh si anak. Jadi pengakuan dari orang tua bahwa rasa takut itu adalah wajar, maksudnya sah-sah saja untuk kamu merasa takut, bahwa orang tua memahami kalau anak ketakutan sangat berarti buat si anak. Bukannya dia takut sendirian, kadang-kadang orang tua suka bicara tidak perlu takut, masa begitu saja takut! Atau pengecut! Atau makin diberikan label-label yang bukannya mendorong anak untuk berani malah semakin menciutkan hatinya, Pak Paul.

PG : Jadi penting sekali orang tua tidak menambah ketegangan anak, karena dengan orang tua memarahi anak sebetulnya akan menambah ketegangan anak. Dan ketegangan tidak meredakan ketakutan, mlah membuat ketakutan makin membesar.

ET : Tapi kalau dia diberi pendampingan, pengakuan, waktu untuk menyesuaikan diri mungkin dia bisa mengatasi penyebab-penyebab ketakutan, itu akan lebih menolong buat si anak.

PG : Jadi kita mau mengakui bahwa ketakutan itu adalah reaksi yang wajar, tidak ada yang harus malu dengan rasa takut dan ketakutan terhadap penyebab itu adalah hal yang wajar pula. Misalkantakut karena ada teman-teman yang suka mengganggunya, melecehkannya dan kebetulan teman-temannya itu jumlahnya lebih banyak atau tubuhnya lebih besar sehingga dia merasa takut.

Mungkin sebagai orang tua ada baiknya kita mengakui juga ketakutan terhadap hal seperti itu, karena itu adalah hal yang wajar.

ET : Jadi cukup realistis kalau mungkin papa atau mama menjadi seperti kamu, papa mama juga akan ketakutan, tetapi bagaimana cara kita untuk mengatasinya. Itu akan sangat menguatkan sekali bat si anak.

IR : Jadi paling tidak sebagai orang tua harus tega untuk anaknya, misalnya terpaksa ya harus dipaksa berpisah dengan orang tua selama di sekolah. Ini ada pengalaman dahulu, waktu anak saya juga takut sekolah. Ruangan kelasnya sudah ditutup, tetapi dia buka jendela lalu dia melompat. Akhirnya dipaksa oleh gurunya untuk masuk lagi. Kami sebagai orang tua sebenarnya juga tidak tega, bagaimana menurut, Bu Esther?

ET : Ada sekolah tertentu yang rasanya masih mengizinkan paling tidak orang tuanya ada di depan kelas untuk anak-anak kasus seperti itu, sehingga kalau dia buka jendela atau dia mengintip jedela dia lihat o..

ada mama, cuma memang tidak semua sekolah mengizinkan seperti itu, jadi memang harus tega.

PG : Sebetulnya yang lebih baik yang mana Bu Esther, membiarkan anak itu di sekolah sendirian atau untuk sementara orang tua menemani. Jadi orang tua berada di dalam gedung sekolah meskipun idak langsung di kelas, tapi ada di pekarangan.

Sehingga si anak tahu ibunya atau ayahnya berada di pekarangan sekolah, sebetulnya mana yang lebih baik?

ET : Kalau menurut saya, apalagi kalau anak itu punya masalah nyali seperti yang kita katakan tadi, ada baiknya pendampingan orang tua di dalam kompleks itu. Karena dari beberapa kasus yang aya hadapi dengan sekolah mengizinkan seperti itu, prosesnya juga ternyata lebih cepat.

Dalam waktu beberapa minggu anak sudah tidak keberatan untuk ditinggalkan orang tuanya, tetapi memang minggu-minggu pertama sangat berat. Pertama dia harus yakin orang tua harus ada di depan kelas, lama kelamaan yang penting dia tahu mama ada di pekarangan, lama-lama yang penting waktu istirahat saya bisa ketemu mama dan akhirnya sekarang ditinggal sudah tidak apa-apa. Jadi prosesnya malah lebih positif daripada dipaksa seperti itu, mungkin kalaupun bisa butuh waktu yang lebih panjang lagi bagi si anak.
IR : Akhirnya anak itu selama 3 bulan menangis terus di kelas.

ET : Lebih sulit, tapi mungkin ada cara lain juga dengan kalau memang sekolah tidak mengizinkan kita bisa menggunakan pendekatan teman-teman yaitu sebagai orang tua kita coba carikan teman yng mungkin rumahnya dekat cukup terjangkau, kenalan dengan orang tuanya.

Kemudian kalau memungkinkan diundang ke rumahnya atau mungkin anak ini dibawa main ke rumah teman-teman itu, supaya sedikit demi sedikit dia merasakan ada rasa aman, ada orang-orang yang dia cukup kenal di kelas begitu. Mungkin proses ini juga membantu mengurangi ketakutan kalau memang orang tua dilarang untuk menemani di dalam kelas.
GS : Sebenarnya ada baiknya juga kalau menurut saya, Bu Esther, ada masa-masa persiapan. Jadi sebelum tahun ajaran dimulai, anak sudah mulai dikenalkan dengan sekolah. Jadi artinya sering diajak lewat di depan sekolah atau kadang-kadang ada kesempatan masuk di dalam sekolah, diperkenalkan seperti tadi Pak Paul katakan, teman-temannya yang dekat rumahnya sudah sekolah di sana, itu juga akan sangat membantu saya rasa.

ET: #9;Ya, bisa tapi kalau memang ternyata ada pengalaman-pengalaman trauma tertentu nanti ketika dia sekolah tetap akan muncul.

GS : Itu sebagai upaya saja untuk mengurangi kecanggungan anak untuk masuk ke sekolah, cuma masalahnya memang agak jarang sekolah-sekolah khususnya TK yang memberikan hari-hari tertentunya itu bisa terbuka untuk umum, di mana beberapa anak khususnya calon murid diperbolehkan masuk. Juga ada teman-teman dari orang tuanya ini seolah-olah mengejek atau melecehkan si orang tua ini, kenapa anakmu itu penakut sekali dan sebagainya. Lalu orang tua menjadi jengkel sehingga anaknya yang jadi sasaran untuk dipukuli dan sebagainya, dipaksa untuk masuk sekolah tadi, bagaimana seharusnya, Pak?

PG : Karena si anak mempermalukan mereka ya? Saya kira orang tua sebagai manusia seperti kita semua tidak lepas dari tekanan perbandingan. Dalam perbandingan itu kita ingin anak-anak kita nomal-normal atau justru di atas dari yang normal, jadi waktu anak kita di bawah yang normal kita pasti merasa malu.

Namun penting bagi kita untuk menyadari bahwa setiap anak itu tidak sama. Tadi Ibu Esther sudah menekankan bahwa ada anak yang sejak lahir membawa karakteristik keras, kuat, ada anak yang sejak lahir membawa karakteristik agak lembut sehingga agak takut dan sebagainya. Orang tua harus menerima anak apa adanya, sehingga tidak tunduk pada tekanan-tekanan di luar harus seperti anak-anak yang lain. Ibu Esther, bagaimana secara rohani sebagai orang Kristen, apakah ada cara-cara yang bisa kita lakukan untuk menolong anak-anak yang takut ke sekolah ini?

ET : Sebenarnya ini juga kalau memang keluarganya kuat dari segi rohani, juga bisa dijadikan seperti sebuah pokok doa di dalam keluarga, berdoa untuk yang namanya siapa agar bisa sekolah denan berani, misalnya.

Jadi kalau memang keluarga itu punya jam doa bersama, bisa dijadikan pokok doa yang rutin setiap malam atau ketika anak sebelum berangkat ke sekolah misalnya diajak baca satu ayat Alkitab yang katakan jangan takut atau yang menguatkan seperti itu dan diajak berdoa. Saya rasa dengan pendekatan seperti itu, anak juga merasa bahwa papa mama sangat memperhatikan dia, papa mama juga berdoa untuk dia. Selain itu sebenarnya Sekolah Minggu juga bisa menjadi wadah untuk membantu anak-anak yang secara karakternya lemah tadi. Jadi mereka sejak kecil sudah diperkenalkan dengan komunitas di luar keluarga, dengan membiasakan anak-anak ke Sekolah Minggu dari kecil. Saya pikir itu juga termasuk salah satu cara mempersiapkan anak untuk sekolah khususnya yang pra sekolah sampai dengan TK, SD. Pengalaman sekolah biasanya menolong buat mereka.

PG : Ya lain lagi, Bu Esther, kalau benar-benar memang ada orang atau teman yang jahat, nakal, apa yang harus dilakukan orang tua?

ET : Ya, ini memang tidak mudah karena itu anak orang lain, tidak bisa langsung kita marahi tapi paling tidak kita bisa mengajarkan, memberikan tips-tips tertentu kepada si anak bagaimana meghadapi teman-teman yang agresif.

Misalnya kalau memang anaknya bukan yang cukup berani, lebih baik menghindari teman-teman yang nakal misalnya. Atau kalau misalnya sampai diserang mungkin perlu dilatih juga untuk membela diri, maksudnya diberitahu kapan memang dia diserang dalam arti kalau sudah dipukul dan disakiti yang berbahaya, kapan memang dia harus bertindak, bukan hanya berdiam diri.

PG : Atau orang tua mungkin harus datang ke sekolah dan memberitahukan guru atau menegur langsung anak tersebut agar tidak mengganggu anaknya.

GS : Pak Paul, dalam hal ini tentunya para pendengar juga mengharapkan ada pegangan dari firman Tuhan. Pak Paul bisa bacakan ayat untuk itu?

PG : Saya akan bacakan dari Galatia 6:1 "Saudara-saudara kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang bear dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan".

Meskipun konteksnya di sini adalah dalam tubuh Kristus dan dosa, tapi kita bisa terapkan untuk hal-hal yang sudah kita bahas. Orang tua perlu memimpin anak ke jalan yang benar, tidak hidup dalam ketakutan tapi lakukanlah dalam roh lemah lembut. Jangan malah memarah-marahi anak.

GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Ibu Esther Tjahja dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang membantu anak yang takut sekolah. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



25. Menjadi Sahabat Buat Anak


Info:

Nara Sumber: Esther Tjahja, S.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T075B (File MP3 T075B)


Abstrak:

Setiap anak memerlukan seorang sahabat, terlebih bersahabat dengan orangtuanya. Dalam topik ini dikupas tentang bagaimana orangtua dapat menjadi sahabat buat anak.


Ringkasan:

Untuk mengawali agar orang tua bisa bersahabat dengan anak:

  1. Sebagai orangtua harus terlebih dahulu mempunyai sikap yang benar terhadap anaknya. Siapa sih anak saya sesungguhnya, maksudnya apakah hanya sebatas pelanjut keturunan atau marga saja supaya tidak sampai hilang, atau lebih dari sekadar penyambung keturunan. Ulangan 11 : 18, 19, "Tetapi kamu harus menaruh perkataan-Ku ini dalam hatimu dan dalam jiwamu. Kamu harus mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu. Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." Jadi di sini Tuhan meminta kita untuk mewariskan iman kita kepada anak, jadi anak adalah pewaris iman kita, itu adalah sikap yang harus dimiliki oleh orang tua. Jangan sampai melihat anak hanya penyambung keturunan belaka dan juga penting supaya kita menyadari bahwa anak itu bukanlah beban.

  2. Perlu sekali bagi orang tua untuk memasuki dunia anak. Dalam hal ini pertama-tama kita mesti pahami tahap perkembangan anak dulu dan pola pemikirannya. Dengan kita tahu dia usia berapa dia mampu berpikir seperti apa baru kita bisa masuk dan dengan tahu pola pemikirannya kita juga bisa menggunakan bahasa-bahasa yang memang dipahami oleh anak-anak seusianya. Matius 7 : 12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu perbuatlah demikian juga kepada mereka, itulah isi hukum taurat dan kitab para nabi." Jadi mengertilah anak-anak mempunyai perasaan-perasaan seperti kita meskipun situasinya berbeda dan komunikasikan pengertian kita itu kepada mereka.

Sebagai orang tua peran yang harus kita berikan kepada anak adalah:

  1. Kita perlu menerima kelemahan anak kita sendiri. Artinya jangan kita itu melecehkannya karena kelemahannya, justru kalau kita melecehkannya dia tidak merasakan kita sahabatnya sebab kita pun tidak mau bersahabat dengan orang yang melecehkan kelemahan kita.

  2. Kita bersama dia menikmati kesukaannya. Contoh kesukaan anak akan lagu-lagu modern. Hal lainnya lagi kita bisa bermain bersama anak, misalnya berfantasi, main masak-masakan, main boneka dsb.

Jadi persahabatan tidak dibentuk pada usia anak sudah berusia 11 tahun, persahabatan itu dibentuk melewati proses waktu dan harus dimulainya dari bawah. Dari umur sedini mungkin dan waktu kita berhasil membangunnya tahap demi tahap, kita mulai memetik hasil atau buahnya nanti di kemudian hari pada anak-anak remaja.

Untuk menjadi sahabat anak, kita mesti memainkan dua peran yaitu:

  1. Di satu pihak kita memang sahabat, seolah-olah selevel

  2. Di pihak lain kita jangan sampai melupakan status kita sebagai orang tua jadi itupun kita harus pertahankan.

Maksudnya apa? Jadilah orang tua dalam pengertian pertama, kita mesti memberikan cinta kasih kepada anak, kita tidak boleh melupakan bahwa tugas kita adalah mengasihi mereka, memperhatikan dan mendisiplin mereka. Kadang-kadang ada orang tua yang merasa saya dekat dengan anak, bersahabat dengan anak, tapi sampai tidak mendisiplin anak waktu anak berbuat salah. Saya kira ini kesalahan, jadi penting orang tua berfungsi sebagai orang tua yang mendisiplin anak-anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan. Pada hari ini kami bersama dengan Ibu Esther Tjahja seorang sarjana psikologi alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang saat ini menjadi staf psikologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan juga sebagaimana biasanya juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi bersama-sama dengan kami akan berbincang-bincang mengenai suatu topik yaitu menjadi sahabat buat anak. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Ibu Esther, sebagai anak sering kali membutuhkan sahabat dan sering kali kita juga orang tua tidak bisa atau tidak terbiasa mungkin ya, menjadi sahabat bagi anak kita sendiri. Kita lebih mudah bersahabat dengan orang yang sebaya dengan kita, tetapi anak yang di rumah dan begitu dekat dengan kita kehilangan atau tidak mempunyai seorang sahabat. Tentunya akan lebih baik kalau orang tua bisa menjadi sahabat buat anak-anaknya. Tetapi masalahnya bagaimana atau dari mana kita itu sebagai orang tua memulainya, Bu Esther?

ET : Memulai untuk menjadi sahabat, yang pertama saya pikir sebagai orang tua tentunya orang tua harus terlebih dahulu mempunyai sikap yang benar terhadap anaknya. Siapa anak saya ini sesungguhya, maksudnya apakah anak itu hanya sebagai pelanjut keturunan atau marga saja supaya tidak sampai hilang.

Apalagi kalau itu hanya misalnya anak laki satu-satunya, atau justru ada sesuatu yang lebih dari sekadar penyambung keturunan.

PG : Nah saya berprinsip, Pak Gunawan, bahwa anak itu bukan penyambung keturunan semata, sebab misalkan kalau kita baca dari kitab Ulangan 11:18,19 dikatakan di sini: "Tetapi amu harus menaruh perkataan-Ku ini dalam hatimu dan dalam jiwamu.

Kamu harus mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu. Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." Jadi di sini kita melihat Tuhan meminta kita untuk mewariskan iman kita kepada anak, jadi anak adalah pewaris iman kita. Seharusnya itu adalah sikap yang harus dimiliki oleh orang tua. Jangan sampai melihat anak hanya penyambung keturunan belaka dan juga penting supaya kita menyadari bahwa anak itu bukanlah beban. Karena adakalanya anak itu dilihat sebagai beban yang menyebabkan pengeluaran bertambah besar. Misalnya karena ada anak saya tidak bisa melanjutkan sekolah, karena ada anak saya harus berhenti bekerja, karena ada anak saya tidak bisa lagi pergi ke kafe, pergi dengan istri ke kafe karena harus bersama dengan anak pada malam hari. Nah adakalanya sebagian dari kita melihat anak justru sebagai beban, itu keliru sekali, sebab bisa kita baca juga di kitab Ulangan 7:12-13 dikatakan di sini "Dan akan terjadi karena kamu mendengarkan peraturan-peraturan itu serta melakukannya dengan setia maka terhadap engkau Tuhan Allahmu akan memegang perjanjian dan kasihnya yang diikrarkan dengan sumpah kepada nenek moyangmu. Dia akan mengasihi engkau, memberkati engkau dan membuat engkau banyak, dia akan memberkati buah kandunganmu dan hasil bumimu dan sebagainya." Jadi Tuhan berkata kalau kita mendengarkan firman Tuhan, menaati perintahNya, Dia akan memberkati buah kandungan kita dan ini jelas berkat untuk anak-anak kita. Jadi justru mempunyai anak merupakan berkat buat orang Israel saat itu, justru Tuhan memberikan anak sebagai tanda Dia memberkati anak-anaknya, Dia memberkati kita sebagai orang tua. Jadi sikap yang benar adalah sebagaimana yang disinggung oleh Ibu Ester tadi, yaitu menghargai anak sebagai pemberian Tuhan, pewaris iman kita dan berkat yang Tuhan berikan kepada kita.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, sering kali orang tua menjaga jarak, justru dengan anaknya supaya bisa melakukan amanat tadi. Dia tidak mau anaknya kurang ajar kepada dia, ada kekhawatiran seperti itu sebenarnya, bagaimana sikap seperti itu Pak Paul?

PG : Adakalanya orang tua memang takut kalau-kalau saya ini tidak dihormati oleh anak, jadi menjaga jarak atau justru bersikap lebih otoriter kepada anak, saya kira sikap-sikap seperti itu tida perlu.

Wibawa orang tua diperoleh bukan dari sikap menjauhkan diri dari anak, justru anak yang merasakan orang tuanya dekat dengan dia akan lebih bisa menghormati orang tuanya. Justru orang tua yang terlalu jauh menjadi orang tua yang mungkin sekali ditakuti, tapi belum tentu dihormati sebab anak menghormati orang tua yang dekat dengan dia dan yang akrab dengan dia.
GS : Sebenarnya apakah memang ada kebutuhan untuk mempunyai sahabat dalam diri seorang anak, Pak Paul?

PG : Saya kira seorang anak mempunyai kerinduan untuk dekat dengan orang tua dan mau sekali orang tua itu menjadi sahabatnya. Saya masih ingat waktu saya masih SMP, SMA, saya mempunyai teman, tdak banyak.

Ada teman saya yang cerita bahwa mereka itu dengan orang tuanya sangat akrab dan dekat sekali, misalnya bisa bergurau dan sebagainya. Saya kira itu adalah suatu kebanggaan tersendiri karena bisa bermain bersama-sama. Kebetulan saya juga cukup akrab dengan orang tua, misalnya bisa bergurau dengan ayah saya. Beliau kebetulan dulu tubuhnya cukup gemuk, jadi kadang-kadang saya suka bergurau memegang perutnya dan sebagainya. Jadi hal-hal seperti itu membuahkan rasa dekat dan menghormatinya, justru kalau dia terlalu berjaga-jaga saya kira reaksi saya tidak hormat kepadanya.
IR : Jadi kita perlu masuk dalam dunia anak ya Pak Paul, menerima kesukaannya atau kelemahannya?

PG : Betul sekali, jadi memang untuk menjadi sahabat anak saya kira perlu sekali seseorang itu memasuki dunia anak. Nah mungkin di sini Bu Esther, bisa memberikan masukan kepada kita, karena measuki dunia anak terutama anak-anak yang kecil, saya kira cukup susah.

Mungkin sedikit lebih mudah dengan yang beranjak dewasa atau remaja, Ibu Esther bisa memberikan masukan kepada kita semua.

ET : Saya rasa pertama kita harus pahami tahap perkembangannya dulu, dengan kita tahu dia usia berapa dan kemampuan berpikir seperti apa, baru bisa kita masuk begitu. Masalahnya kadang-kadang kta sebagai orang tua suka lupa bahwa kita ini sudah sekian langkah di depan anak kita.

Kadang-kadang kita menuntut dia untuk sepertinya berjalan sejajar dengan kita. Kalau kita punya pola pikir yang seperti itu, artinya kita tidak masuk ke dalam dunianya. Pernah ada orang tua yang mengeluh seperti ini "aduh Bu, anak saya ini sama sekali tidak bertanggung jawab, tidak bisa disiplin" dan keluhan-keluhan seperti itu langsung saya tanya ya "anaknya usia berapa tahun Bu?" 3½ tahun. Jadi saya langsung berpikir kenapa ibu ini tidak berpikir, masa anak kecil sudah mengerti yang namanya tanggung jawab. Kadang-kadang kita ini mempunyai label yang sama, tuntutan yang sama seperti kita. Jadi yang pertama-tama untuk masuk ke dunianya ini adalah kita pahami tahapan perkembangannya dan pola pemikirannya. Kalau memang anak masih tahunya yang konkret, lalu kita menyuruh dia memberikan ilustrasi atau kita menjelaskan kepada dia sesuatu dengan cara yang abstrak seperti "Nak, papa mama ingin jadi sahabatmu", sahabat itu apa, jadi mereka belum mengerti. Jadi dengan kita memahami pola pemikirannya, kita juga bisa menggunakan bahasa yang memang dipahami oleh anak-anak seusianya.
GS : Dan memahami pola pikirnya itu tentu saja kita harus banyak terlibat dengan dia, karena tidak mungkin kalau waktu kita sangat singkat bisa langsung mengerti pola pikirnya.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi memang memberikan bukan saja pengertian kita namun waktu adalah hal yang penting. Satu hal lagi yang kadang-kadang kita juga lupakan ya, tadi sudah disinggun oleh Ibu Esther.

Karena kita ini sudah cukup melangkah lebih dulu dan kita lupa tentang masa kecil kita, akhirnya kita mengabaikan sudut pandangnya, perasaannya, dan situasinya yang membuat dia bereaksi seperti itu. Misalkan bagi anak-anak tidak diajak main adalah hal yang sangat mengganggu, menyedihkan, membuat dia terbuang. Ya untuk kita sekarang tidak ada yang main memang tidak merasakan seperti itu. Tapi bukankah sama kalau misalnya kita ini di tempat kerja merasa bahwa teman-teman itu membuat klik dan kita itu tidak dimasukkan dalam klik mereka, ada yang main basket, ada pertandingan apa, semua main kita tidak diundang. Ada pesta semua diundang tapi kita tidak diundang, bukankah kita juga merasa disisihkan, nah anak-anak juga mempunyai perasaan yang sama, perasaan yang namanya tersisihkan, terbuang. Anak-anak akan bereaksi terhadap situasi-situasi seperti itu, jangan sampai kita sebagai orang tua berkata kepada anak-anak kita masak begitu saja kamu sudah marah, sedih, cengeng. Tidak apa-apa teman-teman kamu tidak ada yang mengajak kamu bermain, kamu bisa main sendiri, jangan hiraukan teman-teman yang tidak mengajak kamu main, kamu bisa ciptakan permainan sendiri. Bagi saya itu adalah kalimat atau perkataan yang tidak realistik, sebab kitapun dalam keadaan kita sekarang kalau tersisihkan akan merasa sedih, terbuang, nah anak memang situasinya berbeda tapi perasaannya tetap sama. Jadi saya mau mengingatkan kita semua sebagai orang tua untuk berbuat kepada anak seperti yang kita kehendaki orang berbuat kepada kita pula, ini yang disebut atau prinsip hukum emas yang terambil dari Matius 7:12 yang kalau saya boleh bacakan berbunyi "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu perbuatlah demikian juga kepada mereka, itulah isi hukum taurat dan kitab para nabi." Jadi mengertilah bahwa anak-anak mempunyai perasaan-perasaan seperti kita, meskipun situasinya berbeda dan komunikasikan pengertian kita itu kepada mereka.
GS : Di ayat tadi yang Pak Paul bacakan itu, penekanannya adalah perbuatan dari orang dan juga kita melakukan apa yang orang mau lakukan pada kita. Nah perbuatan apa yang seharusnya cocok atau yang tepat kita lakukan terhadap anak itu?

PG : Saya kira kalau kita dalam situasi seperti itu, kita tidak mau orang malah memarahi atau mempermalukan kita atau melecehkan kita. Misalkan kita diajak ke pesta oleh teman-teman, tetapi tidk diajak pertandingan basket.

Kita pasti merasa sedih dan kita tidak ingin orang menyudutkan kita. Masak begitu saja kamu sedih, kamu ciptakan permainan sendiri, kita pasti tidak mau orang begitu kepada kita. Kita mau orang berbuat kepada kita seperti apa? Menerima kita, mengerti perasaan kita yang tersisihkan. Nah perbuatlah hal yang sama kepada anak-anak kita. Yang mereka butuhkan adalah pengertian bukan penyudutan atau pelecehan.
IR : Kalau kita sebagai orang tua, Pak Paul, peran apa yang harus kita berikan pada anak-anak kita?

PG : Saya kira yang pertama seperti yang Ibu Ida sudah singgung yaitu kita perlu menerima kelemahan anak kita sendiri. Anak mempunyai kelemahannya, tidak semua yang dia miliki adalah kekuatanny, artinya jangan kita ini melecehkannya karena kelemahannya, justru kalau kita melecehkannya dia tidak merasakan kita sahabatnya, sebab kita pun tidak mau bersahabat dengan orang yang melecehkan kelemahan kita.

Misalkan sebagai anak remaja dia memang kurang begitu bisa bergaul, agak sedikit malu, nah yang penting adalah kita memberitahukan anak kita engkau perlu berusaha dan kalau dia sudah berusaha dan memang sifatnya pendiam kita harus menerima itu juga. Jangan malahan mencerca dia, mengata-ngatai dia karena dia di rumah, tidak pergi. Jadi boleh dorong dia, tapi jangan mencecar dan menghina kelemahannya, anak akan merasa ditolak oleh orang tua yang justru seolah-olah melecehkan kelemahannya. Mungkin dalam hal ini, Ibu Esther, juga bisa memberi masukan ya, apa yang bisa orang tua lakukan dalam hal menerima kelemahan anak yang lebih kecil?

ET : Yang pasti orang tua harus bisa melihat dari sisi anak. Saya jadi teringat pada sebuah ilustrasi tentang seorang anak yang mengatakan dia sedang menggambar mama, tapi ketika dilihat yang trlukis dalam gambar adalah kaki yang panjang dengan rok saja.

Lalu orang yang lain memprotesnya, kamu bilang menggambar mama ini cuma kakinya, lalu dia katakan memang hanya segitu yang dia lihat. Memang jarak pandangannya hanya segitu, jadi itulah yang dia gambar. Kita sebagai orang tua memang perlu tahu bahwa memang cara dia melihat hanya seperti itu. Jadi untuk bisa melihat kelemahan, kita juga perlu lihat juga kelemahan itu apakah memang sungguh-sungguh kelemahan si anak dalam arti memang dia belum bisa atau kelemahan dalam arti orang tua yang berambisi, anak saya untuk melakukan ini tetapi kenapa belum bisa begitu.
GS : Memang untuk anak-anak saya rasa yang penting itu adalah peragaan dari tindakan kita yang mereka bisa terima. Jadi kalau kita cuma bicara itu rasanya akan sulit mereka itu menjadi sahabat kita, karena persahabatan adalah sesuatu yang abstrak sekali Pak Paul, tapi tindakan-tindakan nyata apa yang bisa dilakukan oleh orang tua?

PG : Yang bisa dilakukan orang tua adalah kita ini bersama dia menikmati kesukaannya. Kadangkala orang tua merasa canggung untuk bermain bersama dengan anak dan menikmati kesukaan anak, tapi unuk menjadi sahabat anak kita harus belajar menikmati kesukaannya.

Sebagai contoh, kalau misalkan setiap kali anak kita mendengar lagu-lagu modern yang dinyanyikan oleh misalnya Backstreet boys atau Bon Jovi atau yang sekarang lagi populer adalah Westlife, kita berkata lagu macam apa ini, kita marahi dia, nah sulit bagi anak merasa bahwa kita ini sahabatnya. Jadi saya kira orang tua tidak begitu memahami hal ini, sering orang tua berkata saya ingin menjadi sahabat anak saya, sering mengeluhkan kenapa anak-anak tidak mau dekat dengan saya, tidak mau terbuka cerita apa adanya kepada saya. Tapi di pihak yang lain orang tua tidak membangun jembatan, malah membakar jembatan-jembatan itu dengan mencela-cela, memarah-marahi misalnya selera si anak. Nah saya kira kita perlu menikmatinya bersama dia, kita bisa berkata lagu ini nadanya enak atau kata-katanya bagus, sehingga waktu satu kali kita mendengar lagunya yang kurang bagus dan kita berkomentar si anak bisa menerima. Sebaliknya kalau semua lagunya kita cela kebetulan ada yang kurang bagus dan kita akhirnya mau mengoreksinya, dia juga terlanjur membangun persepsi bahwa orang tuanya memang tidak suka pada semua lagu saya, dan dia pasti tidak akan lagi mengindahkan koreksi kita. Nah mungkin pada usia lebih kecil, Ibu Esther juga bisa memberikan masukan di mana orang tua juga bisa turut menikmati kesukaan anak.

ET : Saya sering mendengar banyak orang tua mengatakan, "aduh saya sudah tidak bisa main dengan anak saya karena memang menghabiskan waktu", tetapi mereka tidak menyadari bahwa sebenanya justru dengan berusaha bermain dengan anak umur segitu itulah mereka benar-benar menjadi sahabat dan selain menjadi sahabat sebenarnya itu membantu di dalam proses belajar mereka.

Jadi kadang-kadang orang tua enggan untuk berfantasi, main masak-masakan, main boneka, sementara memang buat anak-anak itulah teman-teman yang memang dunianya. Tapi kalau orang tua bisa meluangkan sedikit waktu untuk bisa bermain bersama mereka, ikut terjun di dalam fantasinya itu akan sangat berarti buat anak, juga sampai dalam tahap berikutnya.
GS : Saya rasa justru dalam pendekatan-pendekatan seperti itu, kita tahu kapan dia sangat membutuhkan kita, Pak Paul dan justru pada saat-saat dia membutuhkan kita ada di sana, persahabatan itu akan terjalin.

PG : Betul sekali Pak Gunawan jadi persahabatan tidak dibentuk pada usia misalkan anak itu sudah berusia 11 tahun, tidak. Persahabatan itu dibentuk melewati proses waktu dan harus dimulainya dai bawah.

Dari umur sedini mungkin dan waktu kita berhasil membangunnya tahap demi tahap, kita mulai memetik hasil atau buahnya nanti di kemudian hari pada waktu anak-anak remaja. Jadi orang tua yang berpikiran mau menjadi sahabat anak setelah anak itu berusia 16 tahun sering kali tidak mendapatkannya, karena memang sudah lewat waktunya. Satu hal Pak Gunawan, yang ingin saya tekankan untuk menjadi sahabat anak, kita harus memainkan 2 peran. Di satu pihak kita memang sahabat, seolah-olah selevel, di pihak yang lain kita jangan sampai melupakan status kita sebagai orang tua, jadi itupun kita harus pertahankan. Nah maksudnya apa, jadilah orang tua dalam pengertian yang pertama kita harus memberikan cinta kasih kepada anak, kita tidak boleh melupakan bahwa tugas kita adalah mengasihi mereka, memperhatikan dan mengkomunikasikan cinta kita kepada mereka. Kita juga jangan melupakan tugas kita mendisiplin mereka, kadang-kadang ada orang tua yang merasa, saya dekat dengan anak, bersahabat dengan anak sampai tidak mendisiplin anak sewaktu anak berbuat salah. Saya kira ini kesalahan, jadi penting orang tua berfungsi sebagai orang tua yang mendisiplin anak-anak. Kenyataannya adalah anak yang tidak menerima disiplin dari orang tua justru makin kurang respek pada orang tua, orang tua yang dihormati anak adalah orang tua yang mengasihi anak dan juga mendisiplin anak. Nah sudah tentu tadi Pak Gunawan sudah singgung, orang tua perlu menjadi contoh yang hidup, panutan yang baik, teladan yang bisa dicontoh oleh anak-anak. Kalau orang tua hanya bisa memberikan instruksi, tapi tidak bisa menyatakan kebenaran itu dalam kehidupannya, dia juga kehilangan wibawa dan akhirnya anak tidak bisa lagi menghormati mereka. Sewaktu anak tidak lagi menghormati orang tua, dia tidak bisa membuat orang tua sebagai sahabatnya. Anak-anak perlu menghormati orang tua baru bisa menjadikan orang tua itu sahabatnya. Saya mungkin bisa mendapatkan masukan dari Bu Esther tentang hal ini.

ET : Banyak orang tua suka mengeluh begini, "aduh anak saya itu keras kepala, kalau sudah melakukan kesalahan disuruh mengaku atau disuruh minta maaf itu susah sekali". Terus ketika dselidiki, ditanya, kita bicara lebih jauh, memang orang tua tidak pernah memberikan contoh seperti itu.

Kadang-kadang orang tua menganggap masa orang tua harus meminta maaf kepada anak, tapi sebenarnya itu adalah nilai yang begitu tinggi yang dapat diajarkan pada anak. Kita bisa berbuat salah dan perlu meminta maaf sekalipun orang tua kepada anak dan juga dalam hal yang tidak sebenarnya kadang-kadang. Kalau di kota besar seperti di Jakarta banyak orang yang menggunakan kalimat yang penting kwalitas daripada kwantitas, jadi walaupun jumlah pertemuan saya dengan anak sedikit yang penting mutunya. Tapi kalau kita mau melihat lebih jauh, itu suatu yang mustahil. Mana mungkin ada kwalitas waktu yang baik tanpa adanya jumlah waktu yang dihabiskan bersama dengan anak, terlebih kalau kita memang mau menunjukkan cinta kasih, disiplin dan contoh kehidupan itu tadi.
GS : Memang seperti Ibu Esther katakan, seperti dikatakan orang yang penting kwalitasnya bukan kwantitasnya. Tapi nyatanya orang yang berkata begitu justru memberi makanan anaknya cukup banyak, Pak Paul, tidak pernah cuma diberikan makanan pokok yang bergizi cuma satu sendok begitu, ternyata agak dualisme orang itu. Tetapi kalau kita betul-betul berpegang pada prinsip yang tadi Pak Paul dan Ibu Esther sudah katakan, ternyata tidak perlu orang tua itu merasa takut untuk dekat atau bahkan menjadi sahabat anaknya lalu dikurangajari oleh anaknya. Buktinya Tuhan Yesus sendiri tidak segan-segan berkata kepada muridNya: "Kamu adalah sahabatku, kamu bukan hamba tapi sahabat", itu sesuatu yang luar biasa, Pak Paul.

PG : Saya kira Tuhan Yesus melambangkan keakraban sekaligus wibawa. Keakraban, Dia dekat hidup bersama dengan muridNya. Wibawa karena dia tidak segan-segan menegur pada waktu murid-muridNya beruat hal yang salah.

Nah, selain dari Dia bisa menegur Dia juga hidup sesuai dengan teguran itu, sehingga Dia itu mewakili atau melambangkan integritasnya yang sempurna. Jadi orang tua yang bisa menegur, tetapi tidak hidup sesuai dengan tegurannya, dia justru akan kehilangan wibawa. Jadi sekali lagi kalau kita boleh simpulkan, orang tua yang menjadi sahabat anak adalah orang tua yang dekat dengan anak namun sekaligus juga bisa menegur dan mendisiplin anak serta hidup sesuai dengan tegurannya itu. Sebagai penutup Pak Gunawan, saya ingat ceritanya Dr. James Dobson, dia sangat menghormati ayahnya dan dia menganggap ayahnya adalah sahabatnya. Nah kenapa dia menganggap ayahnya sebagai sahabatnya, ayahnya itu berbuat banyak untuknya, ayahnya adalah penasihatnya buat dia, kalau ada masalah atau apa dia harus menelpon ayahnya dan bertukar pikiran. Jadi unsur orang tua berbuat untuk anak itu hal yang penting. Di zaman sekarang saya kira ini tantangan buat kita, karena orang tua sering kali mendelegasikan tugas kepada orang lain untuk mengurus anak. Sehingga waktu anak besar anak kehilangan memori ingatan kapan orang tua berbuat sesuatu untuknya, berbuat hal yang baik untuknya. Kapan dia bisa mengenang Ibu memasak buat saya, kapan dia bisa mengenang ayah mengantar saya untuk pergi ke sekolah atau yang lain-lainnya. Nah memori ini adalah memori yang akan membentuk perasaan-perasaan yang positif dari anak terhadap orang tua, sehingga dapat menjadikan orang tua mereka sebagai sahabat.
GS : Kalau kita sebagai orang tua tidak menghendaki anak kita bersahabat dengan orang yang tidak kita senangi sebenarnya peran orang tua besar sekali, Pak Paul untuk bisa menjadi sahabat buat mereka.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Ibu Esther Tjahja dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang menjadi sahabat buat anak. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



26. Membantu Anak Mengelola Kemarahan


Info:

Nara Sumber: Esther Tjahja, S.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T083A (File MP3 T083A)


Abstrak:

Seorang anak sangat membutuhkan penerimaan dari orangtua bahwa marah adalah bagian emosi manusia yang merupakan hal yang manusiawi. Dan hal yang bisa dimiliki oleh setiap orang.


Ringkasan:

Pengekspresian kemarahan ada dua:

  1. Secara aktif misalnya dengan memakai komunikasi verbal. Yaitu dengan kata-kata memaki, menghina orang, mengumpat bahkan juga dengan berteriak. Atau kalau tidak dengan verbal biasanya dilakukan dengan tindakan, misalnya membanting barang, memukul sesuatu, bahkan menendang sesuatu.

  2. Diekspresikan dengan pasif, biasanya ditandai dengan sikap menarik diri, berdiam diri, dengan sengaja tidak mau bertemu dengan orang lain, tidak mau berbicara, atau juga diekspresikan dalam bentuk menangis.

Hal yang menyebabkan anak marah adalah:

  1. Yang paling mendasar sering kali nampak pada anak-anak yang masih kecil, yang belum terlalu bisa mengkomunikasikan apa yang dia mau. Biasanya kalau mereka lagi sakit, badannya tidak enak, mereka tidak bisa bilang apa yang dia rasakan, bawaannya rewel, bawaannya marah.

  2. Kegagalan kadang-kadang juga bisa menimbulkan kemarahan dalam diri seorang anak. Kegagalan yang terus-menerus biasanya membuat seseorang frustrasi, perasaan frustrasi biasanya juga terus tidak tahu harus berbuat apa, tidak bisa keluar dari rasa kegagalan atau frustrasi itu biasanya berbuntut kepada kemarahan.

  3. Mungkin juga ada seorang anak itu membutuhkan perhatian dan tidak mendapatkannya, ini bisa menjadi penyebab kemarahan dalam dirinya. Reaksi orang tuanya melihat dia berbuat ini itu tidak seperti yang dia bayangkan, akhirnya mengkompensasikan diri, marah-marah supaya yang dia butuhkan itu bisa dia peroleh.

Banyak hal yang bisa menyebabkan anak marah, namun orang tua pun bisa memberikan tanggapan atau reaksi yang kurang tepat pada anak di antaranya:

  1. Yang cukup sering terjadi adalah banyak orang tua yang beranggapan marah itu dosa, jadi kemarahan itu identik dengan dosa, jadi orang tidak boleh marah.

  2. Ada juga orang tua yang malah membiarkan anaknya marah, kalau mau marah, marah sana sampai kamu bosan. Jadi orang tua merasa dan berharap dengan dia biarkan begitu saja kemarahan anak mereda.

Orang tua seharusnya bertindak dengan bijaksana. Anak sangat membutuhkan penerimaan dari orang tua bahwa marah itu adalah bagian dari emosi manusia yang manusiawi.

Jadi penerimaan itu penting, orang tua perlu menerima hal itu dan orang tua sendiri perlu mengenali ada tidak kemarahan-kemarahan dalam diri orang tua yang mungkin juga belum terselesaikan. Orang tua bisa membantu dengan mencoba mengajak anak mencari apa sebenarnya yang membuat dia marah. Pada saat anak marah memang sulit mengajak dia untuk mencari penyebab kemarahannya, biasanya itu bisa dilakukan setelah kemarahan si anak itu reda. Tetapi pada saat anak itu sedang marah-marahnya sebaiknya yang dilakukan orang tua adalah dengan tenang dan sabar menghadapinya. Mungkin kita tidak berharap dia akan menceritakan semuanya sekaligus pada saat itu. Tetapi biasanya kalau anak-anak merasa orang tuanya bisa menerima kemarahannya, ia akan mudah diajak kerja sama. Dan sebaiknya juga anak dibantu untuk bisa mengungkapkan kemarahannya dan kenapa dia marah. Itu bisa dipelajari dari orang tuanya, misalnya ibu menceritakan saya marah karena kamu pulang terlambat, tidak minta izin, jadi anak juga bisa belajar.

Amsal 14:29 , "Orang yang sabar besar pengertiannya tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan." Yang ditekankan di sini adalah bahwa tidak apa-apa marah, yang harus kita ajarkan kepada anak adalah bukannya tidak boleh marah, tapi cara marah yang tepat.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. Beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kali ini akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti menarik dan bermanfaat. Ibu Esther Tjahja akan mengulas tentang bagaimana membantu anak mengelola kemarahan. Perbincangan ini tentu akan sangat berguna bagi kita sekalian khususnya Anda yang punya anak-anak kecil yang perlu bantuan dalam hal ini, karenanya dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Ibu Esther, seorang anak pasti bisa marah tetapi bagaimana sebenarnya cara mereka mengungkapkan atau mengekspresikan kemarahannya itu?

ET : Sebenarnya bukan hanya anak-anak, semua manusia pasti bisa marah, baik anak-anak, orang dewasa sampai orang tua bahkan bayi juga. Dan kemarahan itu sebenarnya dapat diekspresikan secaraaktif.

Misalnya secara verbal yaitu dengan kata-kata memaki, menghina orang, mengumpat bahkan juga dengan berteriak atau kalau tidak secara verbal dengan misalnya membanting barang, memukul sesuatu bahkan menendang, biasanya yang sering menjadi objek kemarahan adalah binatang-binatang piaraan, anjing ditendang, mobil ditendang. Kemarahan juga dapat diekspresikan dengan pasif, biasanya ditandai dengan sikap menarik diri, tidak suka bersama-sama dengan orang lain, lebih baik menyendiri, berdiam diri, jadi memang dengan sengaja tidak mau bertemu orang lain, dengan sengaja tidak mau berbicara dan satu ciri yang lain dari kemarahan yang pasif dapat diungkapkan dalam bentuk menangis, jadi diekspresikannya dengan air mata.
GS : Nah apakah seorang anak yang biasanya mengekspresikan kemarahan secara pasif, dia akan selalu mengekspresikannya dengan cara seperti itu atau keluar juga yang aktif?

ET : Kalau saya melihat biasanya ada pola yang lebih, istilahnya lebih permanen, lebih sering dalam bentuk seperti itu, kalau orang yang cenderung aktif biasanya dia akan selalu seperti itu.Kalau orang yang memang pola kemarahannya pasif, biasanya disuruh marah dengan mengeluarkan perkataan seperti misalnya memaki itu susah, biasanya semarah-marahnya akhirnya menangis.

Tapi kadang-kadang bisa kalau dalam situasi tertentu dengan cara yang sebaliknya, cuma biasanya lebih mayornya ya itu.

PG : Atau kadang kala juga ada pengaruh kepada siapakah dia marah. Saya memperhatikan di rumah, istri saya dibandingkan dengan saya. Saya ini bertaring jadi anak-anak lebih takut dengan saya kalau tidak ada saya, istri saya sering berkata anak ini tadi marah kepada saya, berani begini begitu kepada saya, tapi begitu saya pulang dan bicara dengan dia, dia tidak berani begitu kepada saya.

Dan istri saya pun melihat perbedaannya dan itu sering kali menjengkelkan dia, "mengapa dengan saya dia berani dengan kamu tidak berani". Kita sadari kadang-kadang manusia akan memilih sasaran yang lebih empuk sebagai tempat pengekspresiannya.

ET : Selain itu juga obyeknya, misalnya seperti dimarahi oleh guru, dimarahi oleh orang tua biasanya lain, adakalanya dengan orang tua berani menjawab tapi kalau dengan guru paling-paling haya berdiam diri karena kalau membalas berarti tidak naik kelas.

GS : Yang penting mungkin dia bisa menyalurkan kemarahannya, entah itu secara pasif atau aktif.

ET : Intinya diekspresikan cuma dengan cara bagaimana, memang kalau secara aktif ya aktif tetapi yang tepat secara pasif. Jadi intinya kadang-kadang orang mempermasalahkan tentang ekspresi krena takut kebablasan, tapi di sisi lain juga kebanyakan jadi makan dalam, memang ada dua sisi di sini.

(2) GS : Tapi sebenarnya yang penting adalah mengetahui penyebab kemarahan anak, Bu?

ET : Ya betul sekali.

GS : Nah itu apa saja?

ET : Banyak hal yang bisa menyebabkan anak-anak marah, yang paling mendasar sering kali biasanya nampak pada anak-anak yang masih kecil, yang belum terlalu bisa mengkomunikasikan apa yang di mau.

Biasanya kalau mereka sedang sakit, badannya tidak enak juga tidak bisa mengatakan apa yang dia rasakan, bawaannya mau marah, rewel. Dan biasanya kalau anak sudah lebih besar dan ada rasa sakit juga bisa membuat seseorang marah, cuma biasanya kalau sudah lebih besar sakitnya bukan hanya sakit secara fisik, bisa jadi sakit hati, secara emosi terganggu dia bisa marah-marah, dan apa yang menyebabkan mereka bisa sakit hati atau secara emosi terganggu biasanya juga macam-macam seperti mungkin menghadapi orang tua yang tidak konsisten. Maksudnya, di satu hari dia melakukan sesuatu tidak diapa-apakan, keesokan harinya dia melakukan hal yang sama kena marah atau kadang-kadang dimarahinya hanya ditegur tetapi dengan kelakuan yang sama bisa dihukum dengan keras. Jadi orang tua yang seperti itu bisa membuat anak sakit hati.

PG : Berbicara tentang badan yang sakit Bu Esther, saya kira bukan hanya anak kecil saja kalau sedang sakit mau marah. Saya akui saya pun juga begitu (ET : Apalagi sakit gigi ya?) ya, tubuh tidak enak, kenapa emosi rasanya lebih mudah untuk meletup ya?

ET : Jadi lebih sensitif rasanya, sepertinya syaraf-syaraf kita ini siap buat beraksi terhadap hal-hal yang tidak nyaman.

PG : Rasanya memang daya tahan kita menurun ya, sehingga kemampuan untuk mengontrol emosi menjadi lebih tipis, rupanya itu juga yang kita bawa dari kecil sampai sekarang.

ET : Apalagi kalau misalnya sakitnya juga tidak jelas di mana, biasanya membuat kita juga lebih emosional.

PG : Betul.

GS : Tadi pada awalnya Bu Esther sudah mengatakan bahwa semua orang bisa marah termasuk kita yang sudah dewasa dan menjadi orang tua. Nah anak-anak sering kali memperhatikan kalau kita marah, apakah itu berpengaruh pada pola kemarahan si anak?

ET : Ya itu bisa sekali, karena mereka melihat bagaimana orang tuanya, itu mempunyai kemungkinan yang besar untuk membuat anak meniru pola kemarahan orang tuanya. Jadi kalau misalnya anak seing dimaki-maki walaupun mungkin belum tentu balik memaki orang tuanya, tapi biasanya di luar dia juga akan lebih mudah memaki-maki.

Dan biasanya kata-kata makiannya mirip dengan yang dia dengar dari orang tuanya. Atau kalau misalnya orang tua yang melarang anak membuat marah, biasanya nanti juga akan merasa tidak nyaman dengan orang lain yang marah-marah.
GS : Dan itu sebenarnya berbahaya, mungkin buat orang dewasa tidak terlalu berbahaya mengekspresikan kemarahan seperti itu tapi buat anak kadang-kadang itu bisa berbahaya sekali, Bu Esther?

ET : Ya betul sekali, saya pernah mendengar ada satu orang tua menceritakan tentang suatu hari dia ditelepon oleh pembantu di rumah, jadi ibu ini sedang di kantor ditelepon oleh pembantunya.Dan pembantunya mengeluhkan bahwa anak ini sedang marah kepada adiknya sambil membawa-bawa pisau.

Jadi memang kadang-kadang tidak selalu dari orang tua tapi bisa juga meniru dari apa yang dia lihat dari TV, yang dia dengar. Nah pola-pola seperti itu juga bisa memberi ide pada si anak bagaimana mengekspresikan kemarahannya, kalau memang tidak pernah diarahkan dengan tepat.
GS : Atau mungkin kegagalan, apakah itu bisa menimbulkan kemarahan dalam diri seorang anak?

ET : Ya, kegagalan yang terus-menerus biasanya membuat seseorang frustrasi, perasaan frustrasi biasanya juga bisa membuat tidak tahu harus berbuat apa, tidak bisa keluar dari rasa kegagalan tau frustrasi itu biasanya berbuntut kepada kemarahan.

Misalnya seseorang yang merasa tidak mampu di satu bidang padahal itu dituntut terus-menerus misalnya anak yang memang matematikanya lemah tapi terus dituntut harus mendapat nilai 8, 9, 10 sementara jelas-jelas dia tidak bisa mendapat nilai seperti itu. Hal itu kalau tidak dipahami juga bisa menghasilkan kemarahan buat si anak.
GS : Saya pernah mengalami ada seorang anak yang marah karena dia merasa tidak bersalah tapi dituduh bersalah. Orang tuanya atau kakaknya memarahi dia padahal dia sendiri merasa tidak salah, lalu dia bereaksi dengan keras, nah apakah itu disebut ekspresi kemarahan atau membela diri atau bagaimana?

ET : Kemarahan itu sendiri bisa campuran, biasanya karena merasa diperlakukan tidak adil, karena memang sepertinya jadi kambing hitam, itu juga bisa mengakibatkan kemarahan.

PG : Kalau yang lainnya Bu Esther, seorang anak yang membutuhkan perhatian dan tidak mendapatkannya, apakah ini bisa menjadi penyebab kemarahannya?

ET : Ingin mendapatkan perhatian tetapi tidak dia dapatkan, bisa sekali mengakibatkan dia marah.

PG : Bisa sekali ya, jadi yang dia harapkan reaksi orangtuanya melihat dia berbuat ini itu tidak seperti yang dia bayangkan, jadi akhirnya mengkompensasikan diri, marah-marah supaya yang diabutuhkan itu bisa dia peroleh.

ET : Misalnya orang tua terlalu sibuk, jadi dia minta diperhatikan dengan cara baik-baik rasanya tidak didapatkan, setelah mencapai puncaknya dia mungkin bisa melampiaskan tapi tidak beranilangsung ke orang tuanya.

Misalnya terhadap mainannya, terhadap orang di sekitarnya intinya sebagai protes bagaimana memanfaatkan kemarahannya ini untuk mendapatkan yang dia butuhkan dari orang tua. Jadi biasanya hal ini dipelajari dari waktu kecil, pokoknya begitu dia minta sesuatu tidak didapatkan wah dia marah. Akhirnya pola ini yang dipelajari, semakin besar sepertinya cara itu yang digunakan sebagai senjata supaya dipenuhi keinginannya, dengan dia marah. Dan begitu marah orang tua biasanya kalah, akhirnya diberikanlah apa yang dia inginkan. Dan akhirnya itu terus yang menjadi senjata, senjata untuk mendapatkan hal-hal yang dia inginkan.
GS : Ya kadang-kadang ada yang sampai jongkok di depan toko atau sampai di lantai berguling-guling karena keinginannya tidak dipenuhi oleh orang tuanya. Nah masalahnya sekarang adalah setelah kita tadi mengungkapkan banyak hal ternyata yang bisa menyebabkan anak marah; apa reaksi orang tua dalam menghadapi anak-anak yang sedang marah?

ET : Ya, kita akan membahas lebih dahulu cara-cara yang selama ini kurang tepat, yang sering kali dilakukan orang tua. Yang cukup sering terjadi adalah sempat saya singgung sedikit yaitu banak orang tua yang beranggapan marah itu dosa, jadi kemarahan itu identik dengan dosa sehingga orang tidak boleh marah.

Karena dia menerapkan hal itu pada dirinya dia akan mengatakan kepada anak juga tidak boleh marah. Jadi kalau anak sampai marah malah dihukum, sehingga itu justru membuat anak tidak bisa menyalurkan kemarahannya. Sudah sakit hati, mau mengungkapkan dengan marah justru dimarahi lagi tambah sakit lagi. Dan anak juga semakin tidak tahu seharusnya bagaimana, karena pada kenyataannya tidak bisa begitu saja memadamkan amarah yang ada di dalam hatinya.

PG : Seperti memencet/menekan balon ya, kita pencet atau kita tekan di sini akan melejit di sana. Jadi orang tua yang meredam kemarahan anaknya seolah-olah menghilangkan kemarahan, namun sesngguhnya hanyalah memindahkan sasaran kemarahan si anak.

Tadinya mungkin kemarahan tersebut harus dialamatkan kepada orang tuanya, tapi karena tidak boleh dan orang tuanya lebih besar, lebih berdaya, lebih bertaring terpaksa dia harus simpan. Dan akan dia lampiaskan misalkan kepada adiknya, kepada yang lain di luar rumah, jadi sama sekali bukan solusi yang baik, merantai anak untuk tidak boleh marah sama sekali.

ET : Ya apalagi tidak ada alternatif, tidak diberikan alternatif pokoknya jangan marah! Dengan kata jangan marah, anak tidak tahu mesti berbuat apa lagi.

GS : Nah ada juga orang tua yang justru membiarkan anaknya marah, bagaimana dengan hal seperti itu Bu Esther, kalau mau marah, marahlah begitu?

ET : Sampai dia bosan begitu ya, jadi orang tua membiarkan begitu saja berharap kemarahannya mereda. Tapi kalau ternyata penyebab kemarahan itu tidak tersentuh sebenarnya sama saja. Mungkin ada saat itu sepertinya dia merasa puas.

Puas dalam arti mengungkapkan kemarahannya pada saat itu, hanya sesaat, sepertinya reda tapi karena tujuannya belum tercapai, kebutuhannya belum terpenuhi, suatu saat bisa muncul lagi.
(3) GS : Bagaimana orang tua seharusnya bertindak, Bu Esther?

ET : Memang yang kebalikan melarang anak untuk marah adalah anak sangat membutuhkan penerimaan dari orang tua bahwa marah itu adalah bagian dari emosi manusia yang merupakan hal yang manusiai.

Hal yang dimiliki setiap orang itulah emosi. Kalau orang bisa bahagia, orang bisa senang kenapa orang tidak bisa marah itulah bagian dari emosi yang Tuhan berikan juga buat manusia. Jadi memang yang pertama penerimaan, orang tua perlu menerima hal itu dan orang tua sendiri perlu mengenali ada atau tidak kemarahan-kemarahan dalam diri orang tua yang mungkin juga belum terselesaikan. Nah itu kadang-kadang bisa jadi penghambat, mungkin misalnya orang tua sendiri masih berjuang dengan perasaan-perasaan marahnya, jadi dia sendiri sedang merasa tidak suka maksudnya masih terus bergumul dengan perasaan marah, lalu melihat orang lain seperti itu jadi maunya tidak usah marah supaya jangan sampai menghalangi seperti apa yang dialami orang tua. Tapi kalau orang tua sendiri bisa memahami kemarahannya, dia dapat juga menerima emosi kemarahan anak.
GS : Memahami dalam hal ini apakah itu berarti mentolerir kemarahan anak?

ET : Mentolerir maksudnya bagaimana, Pak?

GS : Kita setuju dengan kemarahan itu walaupun berkali-kali dia marah atau sampai memecahkan barang dan sebagainya.

ET : Kita menerima bahwa anak itu bisa marah dan memang sedang marah, itu yang pertama, tapi tidak berarti kita membiarkan cara dia mengekspresikan dengan seenaknya. Kadang-kadang anak-anak ang kemarahannya sampai sekian derajat itu memang yang tidak pernah dipenuhi keinginannya, tidak pernah tahu cara mengekspresikan kemarahan dengan tepat biasanya akan menjadi destruktif, akan ada saja barang-barang yang rusak.

Kadang-kadang anak dengan sengaja melakukan hal tersebut misalnya mereka tahu ini barang kesukaan orang tua, sengaja dia rusakkan supaya bisa membalas dendam, bisa mendapatkan yang dia inginkan. Kalau hal-hal seperti itu tentu saja tidak dapat ditolerir, jadi memang kalau ekspresi kemarahannya arahnya sudah destruktif baik dalam diri sendiri ataupun ke orang lain tentunya orang tua perlu mengendalikan situasi tersebut dan tidak membiarkan ekspresi yang seperti itu. Tapi orang tua bisa membantu dengan mencoba mengajak anak mencari penyebabnya, sebenarnya apa yang membuat dia marah.
GS : Tetapi pada saat anak marah memang sulit mengajaknya untuk mencari penyebab kemarahan dan sebagainya, itu biasanya bisa dilakukan nanti setelah kemarahan si anak reda. Tetapi pada saat anak itu sedang marah-marahnya, apa biasanya atau sebaiknya apa yang perlu dilakukan oleh orang tua?

ET : Memang mungkin kita tidak berharap untuk dia menceritakan semuanya sekaligus pada saat itu, tetapi biasanya kalau anak-anak yang merasa orang tuanya bisa menerima kemarahannya, bisa memhami kemarahannya dan ini memang perlu latihan, anak perlu diajar untuk: "Memang kamu marah tidak apa-apa, tetapi kamu marah kepada siapa? Karena apa?" ini memang perlu dilatih kepada anak.

Kadang-kadang latihan ini tidak terjadi karena begitu anak marah, orang tua sudah ikut tegang atau pusing juga, anak marah orang tua ikut marah jadi saling marah berdua, mana lebih kuat akhirnya anak akan semakin marah karena merasa tidak dipahami. Sebaliknya ketika anak merasa papa atau mama atau orang tua atau orang-orang yang lebih dewasa mengerti kemarahannya, menerima kemarahannya, mereka biasanya akan lebih komunikatif, lebih-lebih kalau kemampuan tersebut sudah dilatih.
GS : Biasanya kemarahan itu akan menjadi-jadi kalau ditanggapi, lalu kemarahannya tambah berkobar-kobar tapi kalau didiamkan seolah-olah merasa tidak ditanggapi, tidak mendapat respon, kemudian kemarahan si anak itu reda sendiri.

ET : Ya memang ini tergantung dengan usia juga, kalau anak sudah lebih bisa diajak komunikasi, mungkin kalau memang dia sedang marah-marah, sekali dibiarkan dia akan menenangkan diri dulu suaya orang tua bisa tenang, anak juga bisa tenang, orang tua bisa berpikir juga langkah apa yang bisa diambil.

Dan ketika dia bisa lebih tenang, mungkin sudah bisa diajak komunikasi, apa yang menyebabkan dia marah.
GS : Apakah tanda-tanda kemarahan itu bisa dilihat sejak awal, misalnya pulang dari sekolah wajahnya merengut atau apa, lapar, kadang-kadang membuat dia cepat marah juga, apakah kita bisa kenali hal itu?

ET : Anak-anak biasanya lumayan ekspresif, apalagi kalau anak-anak yang biasanya ceria suatu saat pulang dengan murung, ditanya tidak mau menjawab ataupun pulang bawaannya dibanting-banting,biasanya sudah bisa kita deteksi ada sesuatu yang terjadi pada anak.

Nah justru ketika kita sebagai orang tua sudah melihat hal ini, orang tua bisa membantu. Kadang-kadang tidak setiap anak bisa dengan spontan bercerita, aku marah atau apa yang dia rasakan. Tapi misalnya kalau memang orang tua bisa menanyakan: sepertinya sedang tidak enak, bertanya dengan cara yang memang memberikan kenyamanan, itu akan membuat anak lebih bisa mengaku, lebih bisa menceritakan, dari pada anak pulang dengan marah-marah terus orang tuanya juga "Kenapa pulang-pulang seperti itu!" Langsung disemprot wah bisa bertambah marah lagi.
GS : Mungkin pola kemarahan kita sebagai orang tua perlu dijaga Bu Esther, khususnya kalau kita marah ada anak-anak di depan kita. Kita menjadi tontonan mereka, kita mesti hati-hati rupanya.

ET : Karena mereka belajar dari apa yang mereka lihat juga. Sebenarnya bukan berarti sebaiknya anak tidak pernah melihat orang tua bertengkar, tidak juga, atau tidak pernah melihat orang tuaya marah itu juga tidak ada contohnya.

Tapi yang perlu adalah mereka melihat bagaimana orang tua mengekspresikan kemarahannya. Bukan berarti ada banyak orang tua yang merasa tidak boleh, kita tidak boleh marah, tidak boleh menunjukkan kejengkelan padahal anak ya tidak belajar. Dan sebaiknya memang anak perlu dibantu untuk bisa mengungkapkan kemarahannya dan kenapa dia marah. Itu bisa dipelajari dari orang tuanya misalnya ibu marah karena kamu pulang terlambat, tidak minta izin, jadi anak juga bisa belajar seperti itu.

PG : Bu Esther, apakah bijaksana bagi orang tua memperlihatkan rapuhnya dia waktu si anak marah, misalnya waktu si anak marah dia ikut menangis, dia memelas pada si anak untuk jangan marah, apakah tindakan itu baik?

ET : Rasanya kalau memang itu menjadi satu cara yang dipakai orang tua supaya anak reda marahnya tidak baik ya. Karena sebaliknya itu orang tua yang memanipulasi anak kalau tadi anak yang meanipulasi orang tua untuk mendapatkan keinginannya; ini orang tua yang sepertinya memanipulasi anak untuk mendapatkan kepentingannya, dalam arti orang tua merasa tidak nyaman dengan kemarahan anak.

Jadi seperti itu tapi kalau misalnya peristiwanya adalah peristiwa yang sangat besar dalam arti memang sungguh-sungguh menyakitkan misalnya anak mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan orang tua mungkin memang tidak apa-apa dalam situasi tertentu orang tua memperlihatkan bahwa orang tua sakit atau sedih. Mungkin dalam situasi-situasi tertentu tapi bukan menjadi pola.

PG : Jadi kita tetap harus mempertahankan wibawa sebagai orang tua, jangan sampai kita ini tunduk pada kemarahan anak. Sebab itu adalah awal dari berkuasanya anak atas orang tua.

ET : Jadi posisinya terbalik, saya setuju karena ada beberapa anak yang akhirnya justru tidak menunjukkan rasa hormat ketika orang tua merasa ini adalah cara pendekatan yang sepertinya mau mngajak anak memikirkan perasaan papa, mama tapi kalau itu terjadi terus-menerus akhirnya anak tidak hormat lagi kepada orang tuanya.

GS : Tapi walaupun anak-anak itu mudah marah, rupanya marahnya lebih cepat reda juga dibandingkan kita yang dewasa. Mengapa seperti itu? Kadang-kadang marah dengan temannya sampai ramai, tetapi mereka cepat bermain lagi. Nah kita sulit untuk seperti itu.

ET : Kalau saya melihat mungkin lebih kepada unsur asam garam ya, maksudnya anak-anak yang seperti itu adalah anak-anak yang memang di rumahnya juga cukup nyaman. Jadi untuk memaafkan juga lbih mudah, sementara kalau kita sudah terlalu banyak pengalaman-pengalaman tidak enak.

Dibohongi, disakiti sehingga lebih susah untuk mengampuni.
GS : Nah Pak Paul, sehubungan dengan ini yang tentunya suatu pembicaraan yang cukup penting bagi kita yang sudah dewasa, apa firman Tuhan yang bisa kita temukan?

PG : Saya membacakan dari Amsal 14:29 "Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan." Saya kira sekali lagi yang ditekankan Ibu Esther disini adalah bahwa tidak apa-apa marah, yang harus kita ajarkan kepada anak adalah bukan tidak boleh marah, tapi cara marah yang tepat.

Nah ini yang orang tua harus selalu tekankan, orang tua tidak melarang anak marah, orang tua melarang anak marah-marah dengan cara yang tidak sehat misalnya membanting barang atau apa. Tapi marah dalam pengertian menaikkan suara, menunjukkan sikap marah dan misalnya sedikit melawan orang tua itu adalah hal yang memang ekspresi normal dari kemarahan. Nah jadi kita bisa tekankan pada anak, marah tidak apa-apa asal jangan melewati batas, dalam pengertian membuat keributan dan sebagainya. Dan yang kedua adalah kita perlu setelah itu berbicara pada anak, kenapa dia marah dan apakah ada cara lain yang bisa dia gunakan selain tadi menunjukkan kemarahannya. Dengan cara itu anak diajarkan untuk belajar bersabar, nah anak yang diajarkan belajar bersabar, Firman Tuhan berkata akan memperlebar pengertiannya atau hikmatnya atau kebijaksanaannya. Dengan perkataan lain, orang tua yang tidak memberikan waktu mengajar anak untuk bersabar sama juga menyempitkan ruangan untuk dia menjadi bijaksana.

GS : Terima kasih Pak Paul, saudara-saudara pendengar demikian tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang membantu anak mengelola kemarahannya. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



27. Membantu Anak Yang Cemburu


Info:

Nara Sumber: Esther Tjahja, S.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T083B (File MP3 T083B)


Abstrak:

Setiap orangtua perlu membantu anak menggali asetnya sebenarnya keunikan-keunikan, kelebihan-kelebihan apa yang mereka miliki, apa yang bisa mereka kembangkan itulah yang menjadi kebanggaan dirinya, sehingga dia tidak perlu iri lagi kepada orang lain.


Ringkasan:

Perasaan cemburu biasanya muncul dari adanya perasaan pada seorang anak bahwa dia tidak cukup baik, tidak cukup dikasihi, atau juga merasa tidak yakin apakah dia akan diterima atau akan disayang. Pada umumnya rasa cemburu yang cukup kuat seringkali terjadi pada seorang anak ketika ia mendapatkan adik. Jadi ketika si adik baru muncul, anak ini merasa ia yang dulunya menjadi pusat perhatian setiap orang kalau datang ke rumah sekarang tidak lagi diperhatikan.

Reaksi anak yang cemburu bisa macam-macam:

  1. Kalau konteksnya dengan adik baru, awal-awalnya mungkin bisa muncul rasa tidak suka dengan kehadiran si adik. Karena tidak suka dengan adiknya, tidak mau dekat-dekat. Yang makin parah adalah kemungkinan kalau nanti adiknya ini mulai diisengin, disakiti atau dilukai.

  2. Atau mungkin hal-hal yang dulunya dan biasanya sudah biasa dia lakukan sendiri sekarang jadinya tidak mau dilakukan atau tidak bisa lakukan lagi. Dulu sudah bisa mandi sendiri, ke kamar mandi sendiri, buang air sendiri, sekarang tidak mau, mungkin tidur minta ditemani atau malah ngompol.

  3. Anak yang mengalami cemburu dan tidak ditanggapi dengan tepat oleh orang tua juga bisa menjadi anak yang marah kepada orang-orang di sekitarnya.

Cemburu seorang anak terhadap kakaknya bisa juga terjadi, biasanya ini disebabkan karena kakak lebih memiliki kesempatan-kesempatan tertentu. Karena sudah lebih besar juga lebih dipercaya boleh melakukan ini itu, tapi dia karena masih kecil biasanya orang tua akan lebih menahan, jangan dulu, akan menghasilkan kecemburuan. Banyaknya pujian-pujian yang diberikan orang tua kepada kakaknya itu juga bisa membuat si adik cemburu kepada kakaknya.

Intinya, setiap pembandingan bisa membuat anak cemburu. Kita orang dewasa juga merasa tidak nyaman kalau kita dibandingkan dengan orang lain. Anak-anak sebenarnya juga sudah merasakan hal tersebut dibandingkan dengan siapapun tidak akan suka. Jadi setiap orang tua harus sadar bahwa ketika pembandingan itu terjadi, biasanya sudah bisa jadi bibit rasa cemburu pada anak.

Sebagai orang tua kita seharusnya sadar dan berusaha, jangan sampai kita bersikap lebih sayang kepada satu anak dibanding anak yang lain. Kita sebagai orang tua harus introspeksi diri, apakah sikap menganakemaskan itu ada pada diri kita. kalau memang benar ada, orang tua harus sadar mengenali dan mengakuinya. Kalau kita tahu anak ini sedang cemburu dengan saudaranya dalam hal kemampuan, kita bisa bantu dengan mencari kemampuan dirinya. Jadi kembali lagi ke keunikan setiap anak. Jadi memang ada baiknya setiap orang tua membantu anak menggali asetnya sebenarnya keunikan-keunikan, kelebihan-kelebihan apa yang mereka miliki, apa yang bisa mereka kembangkan itulah yang menjadi kebanggaan dirinya, sehingga dia tidak perlu iri lagi kepada orang lain.

Amsal 15:13 "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat." Saya kira intinya adalah setiap orang harus mempunyai hati yang gembira, baru bisa menjadi anak atau menjadi orang yang merdeka dan bebas. Anak-anak juga harus mempunyai hati yang gembira, dan untuk mempunyai hati yang gembira anak-anak mesti menyenangi dirinya. Agar anak memulai menyenangi dirinya, tidak ada jalan lain yang pertama adalah orang tualah yang perlu untuk menyenangi anak itu, mengkomunikasikan rasa sayang itu kepada si anak. Anak yang disayangi akan belajar mulai menyayangi dirinya, anak yang disenangi orang tua akan belajar juga untuk menyenangi dirinya, jadi itu awalnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Esther Tjahja, S.Psi., beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti menarik dan bermanfaat. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang membantu anak yang cemburu dan Ibu Esther Tjahja akan menguraikan hal-hal yang penting dalam topik bahasan kali ini. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Ibu Esther, anak pasti mempunyai perasaan cemburu, iri dan sebagainya. Apakah ada hal-hal tertentu yang sering kali menyebabkan seorang anak bisa menjadi cemburu.

ET : Perasaan cemburu ini biasanya muncul karena adanya perasaan pada seorang anak bahwa dia tidak cukup baik atau tidak cukup dikasihi atau juga merasa tidak yakin apakah saya akan diterimaatau akan disayang atau bahkan yang mungkin paling intinya curiga.

Nanti kalau saya begini curiga tidak diterima atau ditolak oleh orang lain, jadi intinya merasa tidak aman seperti ini bisa membuat orang menjadi cemburu atau iri hati.
GS : Biasanya ini yang sering kali terjadi, rasa cemburu muncul dalam diri anak ketika seorang anak mendapatkan adik. Jadi ketika ada adik yang baru muncul, mahkluk yang mungil, dulunya setiap orang kalau datang ke rumah mungkin dia yang menjadi pusat perhatian, sekarang kalau ada tamu datang ke rumah, yang dicari adik kecilnya ini dan mendapat kado banyak. Sehingga ini akan membuat orang merasa jangan-jangan kalau begini terus saya tidak akan diterima begitu. Atau misalnya nanti ternyata si adik lebih lucu berarti saya tidak lagi selucu dulu, jadi akhirnya akan memicu rasa cemburu pada anak.

PG : Rasa cemburu di sini, Bu Esther, boleh kita katakan sebagai perasaan yang alamiah ya, sebab bukankah secara manusiawi kita ingin menjadi pusat perhatian dan kalau kita sudah menjadi pust perhatian, menjadi orang yang disayangi tiba-tiba harus membagi rasa sayang dengan adik kita, kita sedikit banyak tidak rela begitu.

ET : Apalagi kalau ternyata bukan hanya kemunculannya, mungkin muncul saja sudah menjadi ancaman, ternyata kemunculannya langsung wah....lebih hebat begitu, jelas akan menghasilkan cemburu.

PG : Dulu kita memanggil, Mama langsung datang, dulu kita berteriak Papa langsung datang sekarang kita panggil 4, 5 kali belum datang-datang. (ET: Sementara si adik sekali menangis.... langsng dicari) ya betul jadi reaksi itu memang diharapkan dalam pengertian wajar dan seyogyanya orang tua tidak harus terlalu kaget melihat reaksi si anak yang seperti itu.

Biasanya reaksi seperti apa itu, Bu Esther?

ET : Bisa macam-macam, kalau misalnya mula-mula mungkin bisa seperti rasa tidak suka dengan kehadiran kalau memang konteksnya dengan adik baru. Mungkin tidak suka dengan adiknya, tidak mau dkat-dekat, yang makin parah lagi adiknya mulai diganggu atau dilukai, disakiti, mungkin hal yang lain biasanya dengan hal-hal yang dulunya dia sudah biasa lakukan sendiri sekarang dia tidak mau melakukan atau tidak bisa melakukan lagi.

Dulu sudah bisa mandi sendiri, ke kamar mandi sendiri, buang air sendiri, sekarang tidak mau, mungkin malah ngompol, tidur minta ditemani. Lalu juga karena, sebelum ini kita juga pernah membahas tentang anak yang marah, anak yang mengalami cemburu dan tidak ditanggapi dengan tepat oleh orang tua juga bisa menghasilkan anak yang marah kepada orang-orang di sekitarnya.
GS : Kalau cemburu seorang anak terhadap kakaknya biasanya karena apa? Tadi terhadap adiknya yang baru lahir, kalau dengan kakaknya biasanya karena apa?

ET : Kalau dengan kakak biasanya karena kesempatan-kesempatan yang lebih banyak dimiliki si kakak. Karena sudah lebih besar, lebih dipercaya, boleh melakukan ini itu sementara dia karena mash kecil biasanya orang tua akan lebih menahan ya, jangan dulu, biasanya itu akan menghasilkan kecemburuan.

Atau karena kakak sudah lebih besar tentunya juga pengalaman hidupnya lebih banyak, sehingga lebih mahir melakukan beberapa hal sementara dia belum bisa, itu juga bisa. Kalau dia tidak menerima keadaannya atau selalu dibandingkan bisa menjadi cemburu.

PG : Bisa atau tidak karena pujian-pujian yang diberikan orang tua kepada kakaknya bahwa dia bisa begini, dia bisa begitu, sedangkan si adik ini belum membuktikan dirinya apakah itu juga membuat si anak atau si adik itu juga cemburu kepada kakaknya?

ET : Intinya setiap pembandingan buat kita orang dewasa juga tidak nyaman, kita dibandingkan dengan orang lain. Anak-anak sebenarnya juga sudah merasakan hal tersebut dibandingkan dengan siaa pun tidak akan suka.

Jadi ketika pembandingan itu terjadi, biasanya sudah bisa menjadi bibit rasa cemburu pada anak.

PG : Apakah mungkin juga begini Bu Esther, ada orang tua tanpa disadari menyenangi anak yang satu lebih daripada anak yang lainnya.

GS : Meng-anakemas-kan begitu, ya?

ET : Memang ada beberapa orang tua juga dengan terbuka, dengan jujur pernah mengakui memang di antara dua atau tiga anaknya, ada satu anak yang sejak lahir itu sudah lebih sayang, ada perasan yang lebih kuat kepada anak ini.

Jadi waktu anaknya menjadi lebih besar tetap terbawa, memang mereka sendiri mengatakan tidak tahu apa sebabnya tiba-tiba sudah begitu, rasanya lebih senang. Yang pasti dengan sistem atau cara berpikir seperti ini dari orang tua, kecenderungan-kecenderungan ini juga disadari atau tidak disadari oleh orang tua dapat dirasakan oleh anak.
GS : Dan makin anak itu menjadi lebih besar dia tidak lagi di dalam rumah, tetapi sudah mulai keluar rumah entah ke sekolah, entah bergaul itu juga menampakkan kadang-kadang rasa cemburunya terhadap teman-temannya yang lain, bisa seperti itu, Bu Esther?

ET : Ya bisa, misalnya menemukan bahwa orang lain lebih populer dari dia atau orang lain lebih bisa dari dia, itu juga bisa menghasilkan perasaan cemburu. Dan yang paling nyata biasanya kala anak sudah mulai keluar dari rumah, ia juga mulai bisa merasakan yang namanya kecemburuan sosial.

Mulai bisa membanding-bandingkan dulu mungkin di rumah sudah bisa menerima, tetapi ketika keluar dia melihat teman mempunyai mainan lebih baik, teman mempunyai sepatu/barang-barang yang lebih baik, yang lebih mahal sementara orang tuanya tidak bisa memberikan, itu juga bisa menimbulkan perasaan cemburu atau iri hati.
(2) GS : Dan bagaimana halnya dengan anak tunggal yang tidak mempunyai kakak, tidak mempunyai adik, dia sendiri tidak ada alasan sebenarnya untuk cemburu.

ET : Sama saja bahwa intinya secara natural dia ingin menjadi pusat perhatian, jadi ketika anak tunggal ini mempunyai saingan lain, bisa jadi saudara sepupu atau teman yang tampak lebih daridia juga bisa, walaupun tidak kepada kakak atau adik tapi kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.

Biasanya ini juga yang terjadi, anak-anak tidak mau datang ke pesta ulang tahun temannya, karena temannya bisa dipestakan seperti itu namun dia tidak. Perasaan-perasaan seperti ini juga muncul, dia juga mulai membandingkan dirinya dengan orang lain. Atau ada yang mereka miliki yang saya tidak miliki, kesempatan apa yang mereka dapatkan saya tidak dapatkan.
(3) GS : Nah itu kalau terbawa terus sampai anak ini remaja bahkan pemuda atau dewasa akan sangat merugikan, baik buat si anak maupun lingkungannya. Nah kita sebagai orang tua apa seharusnya yang kita perbuat, Bu Esther?

ET : Ya, pertama mungkin orang tua itu sendiri, seperti yang Pak Paul katakan tadi tentang kemungkinan orang tua untuk lebih sayang kepada satu anak dibanding anak yang lain, tentunya kita sbagai orang tua mesti melihat dahulu benar atau tidak, ada atau tidak pada diri kita.

Kalau memang benar ada, kepada yang mana, rasanya mau tidak mau orang tua harus sadar dulu, kenali dulu dan mengakui kalau memang ada. Lalu kalau misalnya ada seperti itu, apa kita rela untuk membiarkan dampaknya nanti pada anak-anak, kalau kita ingat contoh di Alkitab terlepas dari campur tangan Allah yaitu kejadiannya Ishak dengan Ribka terhadap anak-anaknya Esau dan Yakub, mungkin juga ada favoritisme pada orang tua yang akhirnya membuat mereka sepertinya ingin bersaing, Yakub ingin mendapatkan haknya Ishak. Jadi kecemburuan itu juga terjadi karena dari orang tua sudah memilih anak mana yang lebih dikasihi.

PG : Jadi waktu anak menuduh orang tua dalam kemarahan: "Papa lebih sayang kepada adik, mama lebih sayang kepada dia daripada saya." Nah daripada orang tua memberikan jawaban klasik: "Tidak,kami semua sayang dengan kalian.

Secara rata tidak ada yang kami bedakan," mungkin yang Ibu Esther katakan adalah ada baiknya orang tua memeriksa diri juga. Sebab mungkin yang mereka lihat tanpa disadari oleh orang tua itu adalah benar.

ET : Karena anak sudah bisa membaca sendiri walaupun kita mati-matian mengatakan seperti itu dan juga nyatanya tidak pernah memperbaiki sikap itu, anak bisa merasakan dan biasanya akan lebihsakit hati lagi.

Dan ini sering kali yang lebih berat terjadi, kalau pada keluarga dengan dua anak misalnya, satu disayangi Papa, satu disayangi Mama rasanya masih tidak apa-apa, kamu anak Papa, saya anak Mama. Tapi biasanya kalau sudah lebih dari dua yang satu biasanya mempertanyakan saya disayang siapa, itu biasanya lebih menyakitkan buat si anak.
GS : Dan itu bisa menimbulkan kebencian di antara anggota keluarga yang lain, seperti Yusuf dan saudara-saudaranya, karena Yusuf itu dijadikan anak emas ayahnya. Tentu kita sebagai orang tua mencoba belajar untuk mengasihi mereka sama rata supaya sama-sama tidak timbul masalah ini, tetapi seperti yang Ibu Esther tadi juga sudah singgung bahwa sejak kecilpun kadang-kadang kita merasa lebih dekat dengan si anak sulung daripada si anak bungsu, nah ini bagaimana mengatasinya, Bu Esther?

ET : Ya kalau misalnya memang hal itu sudah diakui oleh orang tua, kalau memang mempunyai perasaan-perasaan seperti itu. Ya kadang-kadang tidak bisa disalahkan juga itu natural terjadi begit saja.

Cuma pertanyaan berikutnya adalah apakah dia memang rela kalau nanti anak-anaknya yang kurang dikasihi ini akan merasa cemburu akhirnya malah seperti kisah Yusuf, dicemburui oleh saudara-saudaranya, akhirnya hubungan mereka tidak baik lagi. Jadi tentunya orang tua perlu belajar, memang di dalam hal ini untuk langsung mungkin juga susah tapi belajar untuk bisa memperlakukan sama, belajar untuk menerima keunikan setiap anak. Saya pernah membaca cerita tentang orang tua yang pada dasarnya kurang mengasihi anak, jadi setiap kesalahannya, setiap kelemahannya itu akan tampak lebih menonjol. Misalnya karena secara fisik dia kurang menyenangkan, hidungnya mungkin tidak seperti hidung si Mama karena hidungnya pesek, lalu mata, jadi penampilan fisiknya tidak seperti yang diharapkan oleh orang tua, jadi itu yang terus menonjol. Tapi kelebihan-kelebihan yang lainnya tidak pernah diakui, tidak pernah dipuji, selalu yang dilihat hal-hal yang tidak menyenangkan pada anak itu. Tentunya kalau sudah seperti itu bawaannya ke sana, mana lebih disayang, mana kurang disayang, yang lebih disayang setiap kelebihan akan diangkat, yang kurang disayang setiap kelebihan diabaikan. Jadi kalau memang mau menyamaratakan ya berusaha untuk melihat kelebihan, juga keunikan pada setiap anak.

PG : Ada orang tua yang berkata begini, Bu Esther, kami hanya mau memotivasi anak kami, jadi caranya adalah misalnya si orang tua ini menonjolkan kelebihannya si sulung dengan harapan supayasi bungsu lebih termotivasi.

Jadi apakah itu cara yang baik, Bu Esther?

ET : Ya kalau kebetulan memang sisi kekuatannya sama ya, maksudnya memang orang tua jelas-jelas menyadari dalam hal tertentu sama-sama punya bakat, cuma si kakak lebih rajin latihan, si adikkurang rajin, mungkin itu maksudnya pembandingan yang nyata.

"Ayo... kamu rajin latihan". Yang fatal akibatnya kalau ternyata berbeda, memang kelebihan yang dimiliki si kakak ini tidak dimiliki oleh si adik. Dia sampai kapanpun tidak akan bisa mengejar kemampuan kakak, ini akan mengakibatkan anak selain cemburu juga frustrasi dan akhirnya penghargaan terhadap dirinya juga kurang karena dia akan selalu merasa kurang, padahal belum tentu. Bisa jadi di aspek lain dia mempunyai banyak kelebihan yang si kakak tidak miliki, tapi juga tidak dilihat oleh orang tua. Karena kelebihan yang dimiliki si kakak itu lebih menghasilkan satu kebanggaan buat orang tua.

PG : Dan kadang masalahnya adalah orang tua yang tidak mau menerima hal itu, jadi orang tua tetap mengharapkan bahwa anaknya yang lain-lain juga akan mewarisi yang bagus itu, yang dimiliki oeh si kakak.

Misalnya si kakak bisa main musik, nah orang tua mengharapkan adiknya pun bisa main musik seperti kakaknya, tidak mau menerima fakta bahwa bakat musik tidaklah dimiliki oleh setiap anak.

ET : Jadi kalaupun misalnya orang tua nekat ya, nekat dalam arti tetap memaksa semua anaknya belajar musik ya nanti sampai akhirnya tetap saja orang tua akan frustrasi, sama-sama frustrasi krena tidak pernah ketemu dengan yang menjadi harapannya.

GS : Nah kita semua tentu menghindari kondisi seperti itu sampai terjadi di tengah-tengah keluarga kita Bu Esther, tapi faktanya biasanya anak-anak yang bisa mengerti kita, anak-anak yang bisa mengambil hati kita entah membantu di rumah dan sebagainya itu mau tidak mau menyebabkan kita terbawa atau lebih memprioritaskan dia, lebih memperhatikan dia. Tanpa kita sengaja menimbulkan kecemburuan pada anak yang lain, hanya karena kedekatan saja. Mungkin yang bungsu atau yang sulung itu lebih dekat dengan kita.

ET : Biasanya juga ada orang tua yang mempunyai alasan-alasan khusus misalnya karena anak yang lebih dikasihi itu mungkin secara fisik lebih lemah, dari kecil sakit-sakitan. Punya kekurangankekurangan tertentu, yang akhirnya kasih sayangnya lebih dicurahkan, itu juga biasanya mengakibatkan kecemburuan bagi saudara yang lainnya.

GS : Ya tapi kalau sakit mungkin, yang saya tahu itu dalam satu keluarga anak yang terakhir, anak yang bungsu itu sering sakit dan mendapatkan perhatian khusus. Tapi kakak-kakaknya bisa menerima itu, kakak-kakaknya masih bisa menerima, melihat memang si bungsu ini sering sakit dan badannya kurus dan sebagainya, kakak-kakaknya masih bisa mengerti.

ET : Ya biasanya penerimaan itu akan lebih mudah ditunjukkan oleh saudara-saudara yang lain ketika memang kebutuhan mereka pun tercukupi, terpenuhi. Kalau sampai sama sekali tidak, benar-benr hanya diasuh oleh pembantu, biasanya sekalipun mereka secara rasio mengatakan bisa menerima, maksudnya secara pikirannya mereka bisa mengatakan ya, memang Papa Mama lebih sayang karena dia sakit.

Mungkin mereka bisa berbicara seperti itu tetapi rasa kehilangan, rasa cemburu itu pasti sebenarnya ada di dalam hati mereka, cuma mungkin tidak setiap anak bisa mengemukakan hal itu.
GS : Kalau kita tahu o.... anak kita ini sedang cemburu dengan saudaranya, apa yang bisa kita lakukan terhadap anak ini?

ET : Kalau memang dia cemburu dalam hal kemampuan ya anak bisa dibantu dengan mencari apa kemampuannya sendiri. Jadi kembali lagi kepada keunikan setiap anak, "OK! mungkin si kakak unggul, bik dalam hal ini, kamu mungkin tidak baik tetapi ayo kita cari mana kelebihan kamu mungkin dalam bidang yang lain."

Kalau memang anak dibantu seperti ini anak juga akan lebih percaya diri kalau memang kita tahu sisi-sisi di mana dia kurang dan kita bantu di situ. Anak yang kalah populer juga kita ajarkan dia sebenarnya bagaimana cara berkomunikasi menjalin hubungan dengan orang lain yang baik, supaya kamu lebih diterima. Dan juga tidak harus anak ini sepopuler kakaknya, karena kadang-kadang kalau anak-anak yang introvert seperti itu ya memang tidak selalu menonjol di kalangan orang-orang, tapi tidak berarti dia kalah baik dibandingkan dengan si kakak.
GS : Memang ada yang mengatakan, anak yang cemburu itu diekspresikan dengan kata-kata langsung kepada ibunya waktu itu, lalu ibunya mengatakan makanya kamu jadilah seperti itu. Lalu anak itu terdiam tidak bisa menjawab, nah apakah itu menyelesaikan masalah atau menambah masalah sebenarnya?

ET : Itu diam sambil hatinya pasti luka, karena kembali lagi dibandingkan.

GS : Tapi yang memicu itu dia sendiri, dia mengemukakan itu kepada orang tuanya.

ET : Karena memang ada dua kemungkinan, kemungkinan yang pertama bisa jadi karena kecemburuan yang tidak riil dalam arti sama, kita mempunyai sifat dosa yang sebenarnya sama yaitu iri, "bukakah rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri."

Lalu kalau memang seperti itu tidak perlu selalu ditanggapi, dalam arti dia perlu belajar bahwa ada sifat-sifat dosa, iri hati ini perlu diatasi. Tetapi kalau memang pernyataan itu dalam arti setelah orang tua mengevaluasi diri memang ada kekurangan waktu kita berbicara, sebenarnya 'menembak' anak juga, dia sudah mengemukakan yang sebenarnya, tetapi kita katakan "kamu jangan protes", padahal sebenarnya ada kebenaran dibalik protesnya si anak.
GS : Ya tapi tadi seperti yang Pak Paul katakan sebenarnya ibu ini di dalam keterbatasannya ingin memacu anak supaya lebih termotivasi lagi. Cuma mungkin salah pengekspresiannya atau bagaimana?

ET : Jadi memang ada baiknya setiap orang tua membantu anak menggali asetnya mereka, sebenarnya apa yang mereka miliki, keunikan-keunikan, kelebihan-kelebihan mereka, apa yang bisa mereka kebangkan yang menjadi kebanggaan dirinya, sehingga dia tidak perlu iri lagi kepada orang lain karena dia sendiri juga mempunyai, orang lain tidak mempunyai; orang lain punya dia tidak punya.

Jadi artinya setiap orang bertumbuh di dalam keunikannya masing-masing.

PG : Misalkan Ibu Esther, ada seorang ibu datang kepada Ibu Esther menceritakan mengenai dua anaknya, dua-dua wanita. Si kakak misalkan sangat cantik, langsing, luar biasa sosialnya, populersekali di mana-mana dikenal, anak laki datang ke rumahnya menelepon dia dan sebagainya.

Si adik sejak kecil gemuk, lari susah, olah raga tidak pernah bisa baik, akhirnya di sekolah dikenal sebagai si gemuk, anak laki tidak ada yang menelepon dia, hanya berteman dengan satu, dua orang saja sehingga si anak kecil ini selalu merasa sangat terpojok dengan kakaknya yang begitu populer. Apa yang bisa orang tua lakukan melihat kasus seperti ini, Bu Esther?

ET : Memang secara tampak luar fisiknya dan jumlah teman-teman yang dimiliki jelas-jelas sepertinya si adik ini kalah, banyak sekali ketertinggalannya, tapi sekali lagi saya tetap meyakini trlepas dari masalah fisiknya sang adik ini, pasti ada sisi-sisi lain yang menjadi aset dirinya yang masih bisa kita bantu untuk ditemukan.

Walaupun mungkin secara fisik dia gemuk, tapi pasti ada kelebihannya yang lain, misalnya mungkin bukan selalu dalam hal yang menonjol dengan teman-teman mungkin lebih di belakang layar. Misalnya dia mempunyai kelebihan dalam menulis atau dia mempunyai kelebihan dalam keterampilan-keterampilan yang lainnya yang perlu kita bantu untuk mengenalinya supaya dia tidak selalu bertanding dengan si kakak dalam hal itu, sudah jelas si adik kita ajak untuk melihat dirinya yang lain yang memang itu adalah dirinya.

PG : Selain daripada menemukan aset, apakah orang tua juga perlu misalnya mendorong si adik untuk mengikuti program diet. Kalau kamu mau ya kamu harus diet seperti kakakmu, jangan makan terllu banyak dan sebagainya.

Apakah orang tua seharusnyalah memberikan kata-kata seperti itu kepada si anak yang sedang bermasalah dengan kegemukannya ini?

ET : Susah juga ya, karena kalau selama perkataan: kamu mau seperti si kakak, artinya kita masih terus (GS: Membandingkan) ya, masih di dalam arena lomba, sepertinya dilombakan siapa yang meang, siapa yang kalah.

Tapi kalau orang tua mendorong anak untuk diet dalam arti demi kebaikanmu sendiri, ya saya setuju tapi kalau mendorong untuk diet supaya menyamai si kakak, kembali ke pembandingan itu lagi dan ya kalau berhasil, kalau tidak berhasil dia tidak lagi (GS: membuat dia kurang percaya diri lagi), tidak berhasil dalam upaya menemukan dirinya.
(4) GS : Nah apakah rasa cemburu ini selalu negatif atau bisa berdampak positif, Bu Esther?

ET : Pada anak-anak tertentu, biasanya orang mengatakan itu sindrom anak kedua, anak kedua yang cemburu dengan keberhasilan si kakak lalu dia berusaha untuk juga menyamai dalam arti memang da mempunyai kemampuan itu, itu biasanya bisa menjadi sebuah pemicu semangat buat menemukan kelebihan-kelebihannya.

Tapi kalau memang tidak bisa, ya rasanya kebanyakan cemburu memang tetap hal yang negatif.
GS : Tapi justru di situ peran orangtua untuk meyakinkan anak yang kedua ini bahwa memang orang mempunyai keunikan sendiri-sendiri, seperti tadi yang Bu Esther katakan.

ET : Ya kalau memang ternyata tidak bisa dalam banyak hal, kadang ada anak-anak yang memang punya kemiripan dalam bidang-bidang tertentu, ada kesamaan dengan adanya rasa itu membuat mereka brsaing secara sehat, sama-sama bertumbuh sama-sama belajar, itu juga ada cemburu tetapi bisa ditambah dengan penerimaan tentunya ya, membuat dia bisa memicu dirinya juga.

Tapi kalau ada rasa cemburu dan dibanding-bandingkan lagi, biasanya semakin terpuruk.
GS : Jadi sebenarnya peran orangtua di sini adalah mengawasi sampai sejauh mana kecemburuan itu bisa berdampak positif dalam diri anak-anak mereka. Karena menghilangkan sama sekali kecemburuan itu saya rasa tidak mungkin, pasti ada rasa kecemburuan itu. Jadi kita mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin seperti itu maka yang kita lakukan adalah mengelolanya saja, mendampingi mereka supaya jangan termakan sendiri, kecemburuan yang merugikan dirinya sendiri.

ET : Ya akhirnya membuat dia merasa cemburu tapi tidak melakukan apa-apa, ya.

GS : Malah merugikan. Nah Pak Paul, dalam mengatasi atau mengelola kecemburuan pada diri anak ini apakah yang firmanTuhan katakan kepada kita...?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 15:13 "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat." Saya kira intinya adalah kita harus mempunyai hti yang gembira baru bisa menjadi anak atau menjadi orang yang merdeka dan bebas.

Nah, anak-anak juga harus mempunyai hati yang gembira, nah untuk mempunyai hati yang gembira anak-anak mesti menyenangi dirinya kalau tidak menyenangi dirinya tidak mungkin dia mempunyai hati yang gembira. Nah, bagaimanakah anak memulai menyenangi dirinya, tidak ada jalan lain yang pertama adalah orangtualah yang perlu untuk menyenangi anak itu, mengkomunikasikan rasa sayang itu kepada si anak. Anak yang disayangi akan belajar mulai menyayangi dirinya, anak yang disenangi orangtua akan belajar juga untuk menyenangi dirinya, jadi itu awalnya.
GS : Ya di awal Alkitab itu, ada kisahnya Kain dan Habel, dikatakan Kain itu cemburu terhadap Habel, sebenarnya apa yang dicemburui Kain terhadap Habel itu Pak...?

PG : Yang dicemburui adalah Habel memberikan yang terbaik kepada Tuhan sedangkan Kain memberikan yang sembarangan kepada Tuhan. Dan kemudian Tuhan dengan jelas menerima persembahan Habel dantidak menerima persembahan Kain.

Jadi yang menjadikan Kain marah adalah kenapa Tuhan tidak menerima persembahannya. Dia gagal melihat apa andilnya, apa tindakannya yang membuat Tuhan menolak persembahannya. Jadi memang setiap anak atau setiap orang perlu berkaca kembali untuk melihat apa andilnya sehingga perlakuan orang terhadapnya seperti itu, demikian juga anak-anak kita tidak bisa menciptakan rumah tangga yang bebas dari perbandingan 100% karena di luar sana juga akan ada perbandingan. Yang penting memang di rumah itu kita juga melimpahi anak-anak dengan cinta kasih dan penerimaan.

GS : Saya rasa itu sesuatu yang sangat penting buat kita semua dan demikianlah tadi saudara-saudara pendengar Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Esther Tjahja dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang membantu anak yang cemburu. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



28. Bagaimana Membantu Anak Menghadapi Stres


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T088B (File MP3 T088B)


Abstrak:

Dalam hal ini orangtua sangat perlu sekali memberikan suasana yang menerima dan memahami anak serta dapat memberikan suatu lingkungan di mana anak merasa terlindung dan merasa aman.


Ringkasan:

Ada 3 hal yang bisa kita lakukan untuk memperbesar daya tahan terhadap stres yaitu:

  1. Kita perlu memperbaiki cara kita memandang lingkungan di sekitar kita, cara memandang realita di sekitar kita secara lebih utuh dan realistis.

  2. Kita perlu berpikir secara rasional dan lebih sehat di dalam menghadapi kegagalan, baik itu peristiwa yang kurang menyenangkan yang kita alami dsb.

  3. Kita memandang situasi lingkungan dengan cukup realistis, itu kalau kita mempunyai kehidupan yang baik di dalam kehidupan rohani kita. Dalam hal ini kita perlu setiap hari membaca, merenungkan firman Tuhan, karena di dalam firman Tuhan banyak memberikan kepada kita suatu pandangan yang sehat, cara-cara yang baik di dalam menghadapi situasi di sekitar kita yang tidak selalu baik.

Faktor yang menyebabkan anak stres, dibedakan berdasarkan tingkatannya adalah:

  1. Pada tingkatan sedang, kalau misalnya anak harus ikut pindah rumah, pindah sekolah. Kemudian kalau orang tua bertengkar terus-menerus, anak menghadapi kelahiran adiknya, kalau orang tua menikah lagi, kalau anak harus bekerja pada usia yang masih muda, kalau orang tua jarang di rumah semua itu menimbulkan stres bagi anak.

  2. Pada tingkatan berat, kalau misalnya anak harus diopname dan dioperasi di rumah sakit, kemudian kalau orang tua bercerai, kalau anak mengalami perkosaan atau pelecehan seksual.

  3. Pada tingkat yang terberat adalah kematian beberapa anggota keluarga sekaligus atau kalau ada bencana alam atau ada peperangan misalnya kerusuhan dan sekarang mereka harus hidup di pengungsian, ini sebetulnya stres tingkat yang terberat.

Gejala-gejala perubahan tingkah laku akibat stres adalah sbb:

  1. Perubahan tingkah laku menjadi lebih tegang, lebih rewel, lebih gelisah, lebih cemas, lebih cengeng, mundur ke tingkat perkembangan sebelumnya.

  2. Selain itu gejala-gejala yang berakibat fisik. Misalnya pada anak-anak usia 3 tahun bisa sakit lambung, muntah-muntah kemudian demam dan juga sampai usia-usia selanjutnya hal ini bisa terjadi misalnya gangguan tidur, mimpi buruk dsb.

Yang harus kita lakukan untuk menciptakan suasana yang mendukung anak tahan menghadapi stres adalah:

  1. Menciptakan suasana rumah yang harmonis, yang bisa memberikan rasa aman bagi seluruh anggotanya.

  2. Hendaknya jangan sampai di dalam keluarga mempunyai anak di bawah usia 3 tahun lebih dari 2 orang. Supaya mengurangi kemungkinan untuk stres pada anak.

  3. Memerlukan seorang ibu yang responsif terhadap anak, ibu perlu mengetahui hal-hal yang umum mengenai perawatan anak.

  4. Orang tua tidak banyak cekcok

  5. Kondisi rumah bersih dan teratur

  6. Orang tua perlu hadir secara teratur di dalam kehidupan anak.

Yang perlu orangtua lakukan adalah :
  1. Prinsip utama kita perlu memberikan suasana yang menerima, bisa memahami anak dan bisa melihat masalah dari sudut anak.

  2. Kedua, orang tua harus memberikan satu lingkungan, di mana anak merasa terlindung dan merasa aman.

  3. Ketiga, orang tua menciptakan suasana ibadah di rumah sehingga anak terbiasa untuk berdoa, dan minta perlindungan Tuhan dan selalu bersandar kepada Tuhan.

Mazmur 23:4 , "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku. Gada-Mu dan tongkat-Mu itulah yang menghibur aku." Daud semasa hidupnya banyak mengalami stres tetapi dia memberikan banyak ayat-ayat yang indah dan salah satunya adalah dari Mazmur 23 tersebut.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan juga Bapak Heman Elia, M.Psi. dan beliau berdua adalah pakar konseling di bidang keluarga dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu yaitu bagaimana menghadapi stres, tetapi kali ini kami akan lebih memusatkan perhatian kami pada masalah bagaimana "Membantu Anak Menghadapi Stres". Jadi kami sangat percaya bahwa Anda bisa mengikuti acara ini dengan baik, maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, beberapa waktu yang lalu kita bicara tentang bagaimana menghadapi stres dan sekarang kita akan membicarakan bagaimana membantu anak menghadapi stres. Tapi sebelum kita bisa membantu anak menghadapi stres, saya rasa Pak Heman kalau boleh menjelaskan bagaimana kita itu bisa meningkatkan daya tahan diri kita sendiri sebagai orang tua agar kita tidak stres menghadapi anak yang stres itu, Pak?

HE : Saya kira ada 3 hal yang bisa kita lakukan untuk memperbesar daya tahan kita sendiri terhadap stres. Yang pertama yaitu kita perlu memperbaiki cara kita memandang lingkungan sekitar kit, cara memandang realita di sekitar kita secara lebih utuh dan realistis.

Misalnya kita tidak membesar-besarkan ancaman, tidak menghantui atau menakut-nakuti diri kita sendiri. Kita menyaksikan sesuatu lalu menganggap sesuatu itu pasti akan menimpa diri kita setiap saat. Saya ambil contoh misalnya kita mendengar ada kenalan kita yang mengalami kecelakaan lalu lintas, lalu setelah itu kita benar-benar tidak berani keluar rumah, karena merasa tidak lama lagi saya pasti juga akan mengalami kecelakaan serupa. Tampaknya ini kurang realistis, kalau misalnya kita sudah melakukan pencegahan supaya kecelakaan tidak kita alami, kita tidak perlu takut secara berlebihan untuk keluar rumah. Ketakutan yang tidak realistis seperti ini sering kali merupakan beban stres bagi kita. Ada banyak contoh yang lain seperti kalau kita menghadapi atau pernah mengalami kejahatan tertentu misalnya ditodong dan sebagainya, lalu kita selamat dari penodongan itu, biasanya kita akan merasa gentar untuk keluar rumah karena merasa bahwa seolah-olah setiap kali saya keluar rumah pasti saya diincar, padahal belum tentu seperti itu. Tentu saja penjahatpun tidak setiap kali akan menghadang kita di jalan yang sama dan pada situasi yang sama. Kemudian hal lain yang juga kita perlu perbaiki adalah cara kita berpikir secara rasional dan lebih sehat di dalam menghadapi baik itu kegagalan, baik itu peristiwa yang kurang menyenangkan yang kita alami dan sebagainya. Sering kali apa yang kita alami itu tidak selalu harus membuat kita terpuruk atau merasa gagal dan sebagainya. Tetapi kita harus membisikkan ke dalam diri kita sendiri bahwa kita harus bangkit dari hal-hal seperti itu. Cara berpikir yang rasional berarti kita tidak mengalahkan diri kita dengan menambahkan pikiran-pikiran yang negatif di dalam diri kita. Dan untuk itu semua baik yang pertama maupun yang kedua yang lebih penting lagi adalah yang ketiga bagaimana kita bisa mempunyai cara berpikir yang rasional, sehat dan juga bisa memandang situasi lingkungan dengan cukup realistis, itu kalau kita mempunyai kehidupan yang baik di dalam kehidupan rohani kita. Dalam hal ini kita perlu sering kali membaca, merenungkan firman Tuhan, karena di dalam firman Tuhan banyak memberikan kepada kita suatu pandangan yang sehat, cara-cara yang baik di dalam menghadapi situasi di sekitar kita yang tidak selalu baik. Sering kali apa yang kita alami adalah sesuatu yang kurang menyenangkan, tetapi Alkitab memberikan suatu dasar bagi kita untuk menghadapinya. Terutama di dalam kehidupan iman, saya memberikan contoh misalnya di I Raja-raja. Di situ dicantumkan nabi Elisa dikepung oleh tentara Aram. Dan Gehazi sebagai pelayan dari Elisa itu merasa sangat ketakutan. Waktu itu terjadi Elisa berdoa meminta supaya Tuhan membuka mata Gehazi dan saat itu juga Gehazi melihat di sekitar bukit itu banyak sekali tentara sorga bersama dengan kereta yang berapi. Nah hal-hal seperti ini perlu kita yakini, bahwa apapun yang kita alami itu ada dalam tangan kuat kuasa Tuhan yang menjadi Tuhan dan Allah Bapa kita. Dengan adanya rasa aman, rasa tenang karena kepercayaan kita, keyakinan kita yang teguh kepada Tuhan bahwa apapun tidak akan menimpa kita kalau tidak seizin Tuhan, kita juga akan lebih tenang di dalam menjalani hidup ini dan lebih wajar di dalam menjalani hidup ini.
GS : Masalahnya kita mungkin lebih cenderung mendengar suara orang di sekitar kita daripada suara Tuhan melalui Alkitab, Pak. Karena dalam hubungannya dengan anak itu sering kali pasangan-pasangan muda itu semacam ditakut-takuti. Seharusnya tujuannya bukan menakut-nakuti tetapi ibu-ibu yang lebih senior itu sering kali menceritakan tentang waduh anak ini nakal, bagaimana sulitnya mendidik anak dan sebagainya sehingga ibu muda ini belum-belum sudah stres duluan. Bisa terjadi seperti itu ya, Pak Heman?

HE : Ya bisa terjadi seperti itu, karena itu menjadi orang tua juga harus memahami bahwa adakalanya apa yang kita katakan, apa yang kita lakukan itu akan memberikan dampak kepada orang lain.Dalam hal ini perkataan tertentu akan membuat anak-anak itu bertambah stres, bukannya memperbesar daya tahan dia terhadap stres tetapi memperbesar stres dari anak.

Demikian juga apa yang kita lakukan dan kita katakan itu juga bisa merupakan suatu stres bagi diri kita sendiri.
(2) GS : Jadi kalau kita sekarang ke topik yang tadi kita sudah sampaikan yaitu bagaimana membantu anak menghadapi stres. Sebenarnya di usia berapa anak-anak mulai bisa mengalami stres di dalam kehidupannya?

HE : Bahkan kalau saya berpikir dari sejak dalam kandungan anak itu sudah bisa mengalami stres. Biasanya kalau ibu yang mengandung itu mengalami tekanan berat, lalu menghadapi misalnya suasaa keluarga yang kurang menyenangkan dan tidak harmonis itu akan berdampak kepada janin.

Dan menurut penelitian janin-janin yang dikandung oleh ibu yang mengalami stres cukup berat, pada masa kelahirannya anak ini akan cenderung lebih banyak mengalami kegelisahan dan ini akan terbawa sampai remaja. Waktu remaja mereka akan cenderung lebih banyak mengalami kecemasan dan lebih cengeng dan sebagainya.

(3) ET : Kalau yang waktu di dalam kandungan ibunya tidak mengalami stres, tapi tetap anak mempunyai potensi untuk stres ya Pak Heman, biasanya apa yang menyebabkan mereka terserang stres atau mengalami stres?

HE : Banyak sekali faktor yang menyebabkan anak itu stres, jadi kalau sekalian saya golongkan menurut tingkatannya secara umum apa yang bisa menyebabkan anak stres pada tingkatan sedang itu isalnya kalau anak harus ikut pindah rumah.

Jadi pindah rumah pun bagi anak itu stres, bagi orang dewasa mungkin pindah rumah tidak terlalu meskipun ada tetapi pada anak ini sudah tingkatan sedang, kemudian pada anak juga kalau dia pindah sekolah. Karena itu tidak diharapkan orang tua mengancam anaknya untuk memindahkan sekolah, tidak begitu saja untuk memindahkan sekolah. Kemudian kalau orang tua bertengkar terus-menerus biasanya juga menimbulkan stres yang cukup berat, tingkatan sedang. Kalau anak menghadapi kelahiran adiknya, kalau orang tua menikah lagi, kalau anak harus bekerja pada usia yang masih muda, kalau orang tua jarang di rumah itu semua menimbulkan stres bagi anak. Sedangkan tingkat yang berat itu misalnya anak harus diopname dan dioperasi di rumah sakit, kemudian kalau misalnya orang tua bercerai itu berat bagi anak dan kalau anak mengalami perkosaan atau pelecehan seksual. Dan stres pada tingkat yang terberat itu adalah kematian beberapa anggota keluarga sekaligus atau kalau ada bencana alam atau kalau ada peperangan misalnya kerusuhan dan sekarang mereka harus hidup di pengungsian, ini sebetulnya stres tingkat yang terberat. Dan tingkatan-tingkatan ini berguna bagi kita untuk kurang lebih memperkirakan begitu, gangguan tingkah laku apa yang akan kita akan hadapi. Semakin berat tentunya semakin besar potensi gangguan tingkah laku yang akan muncul.

ET : Tapi selain dari tingkah laku sebenarnya ada apa tidak hal-hal lain yang terjadi pada anak, yang membuat kita mulai bisa menduga misalnya jangan-jangan dia sedang mengalami stres, Pak Heman?

HE : Mulai dari perubahan tingkah laku dulu, gangguan tingkah laku yang dialami misalnya adalah adanya perubahan tingkah laku menjadi lebih tegang, lebih rewel, lebih gelisah, lebih cemas, lbih cengeng, mundur ke tingkat perkembangan sebelumnya, misalnya tadinya sudah tidak ngompol sekarang ngompol lagi dan sebagainya.

Nah ini semua adalah gejala-gejala perubahan tingkah laku akibat stres dan sekali lagi sebagai catatan ini adalah perubahan. Jadi bukan keadaan yang wajar dari sehari-harinya, mungkin lebih depresi, lebih pemurung, lebih pendiam dan sebagainya. Selain itu masih ada misalnya gejala-gejala yang berakibat pada fisik misalnya pada anak-anak usia 3 tahun itu bisa sakit lambung, muntah-muntah kemudian demam bahkan begitu. Dan juga sampai usia-usia selanjutnya hal ini bisa saja terjadi, gangguan tidur, mimpi buruk dan sebagainya.
GS : Jadi timbulnya stres pada anak itu lebih banyak diakibatkan karena anak itu merasa tidak aman karena pindah lingkungan, karena orang tua bertengkar, Pak?

HE : Yang jelas pada diri anak, anak itu berbeda dengan orang dewasa. Dia sangat bergantung kepada orang dewasa di sekelilingnya, dalam hal ini juga terutama orang tuanya. Jadi memang orang ua itu bisa menjadi sumber stres bagi anak, tetapi sekaligus orang tua juga berperan menjadi orang yang bisa memperbesar daya tahan anak terhadap stres.

Membuat anak itu merasa aman, membuat anak merasa kuat di dalam menghadapi situasi stres di lingkungannya.

ET : Jadi memang peran orang tua di sini sangat penting karena kadang-kadang bisa jadi perubahan itu tidak diperhatikan. Mungkin tidak terlalu dekat hubungannya, jadi anak mengalami perubaha-perubahan tingkah laku ataupun keluhan-keluhan tertentu yang luput akhirnya memang anak sudah mengalami stres di luar pengaruh orang tua.

Dengan luputnya perhatian itu bisa jadi anak semakin stres lagi karena tidak dipahami ya, Pak Heman?

HE : Betul, memang orang tua mempunyai peran yang besar.

GS : Ya orang tua dan anak lingkup hidupnya itu di dalam rumah, di dalam rumah tangga mereka. Suasana bagaimana yang sebenarnya bisa mendukung seorang anak supaya dia lebih tahan menghadapi stres?

HE : Kalau bisa di rumah itu adalah rumah yang harmonis, yang bisa memberikan rasa aman bagi seluruh anggotanya. Itu yang akan memberikan suatu bekal bagi anak untuk menghadapi lingkungan leih baik.

Selain itu juga misalnya saya akan memberikan beberapa contoh di mana anak akan mengalami stres yang lebih besar adalah kalau misalnya keluarga itu mempunyai anak di bawah usia 3 tahun lebih dari 2 orang. Jadi artinya setiap tahun itu muncul seorang anak begitu, kalau bisa jarak antar anak itu agak diperenggang supaya mengurangi kemungkinan untuk stres pada anak, agak dijauhkan begitu. Kemudian kalau bisa waktu menikah ini ada kepribadian yang lebih baik dulu dari masing-masing pasangan, karena seorang ibu dalam hal ini pengasuh utama bagi anak itu mempunyai peran penting. Kalau misalnya sang ibu itu mudah mengalami gangguan tingkah laku atau rentan terhadap stres, ini akan berpengaruh terhadap anak juga. Di samping itu seorang ibu perlu juga responsif terhadap anak, nah ini akan memperbesar daya tahan anak. Ibu juga perlu mengetahui hal-hal yang umum mengenai perawatan anak dan kemudian kalau bisa orang tua tidak banyak cekcok, kondisi rumah sebaiknya bersih dan teratur. Banyak rumah yang kondisi rumahnya tidak teratur sehingga kadang menimbulkan stres yang lebih berat. Satu hal lagi yang juga penting adalah orang tua perlu hadir secara teratur di dalam kehidupan anak. Banyak sekali yang kita saksikan keluarga sekarang, ayah ibu tidak tahu kapan pulang dan sebagainya, dan ini merupakan stres yang berat bagi anak. Karena anaknya terus menanti kapan orang tua saya pulang, bagaimanapun anak perlu ada orang dewasa yang bisa menampung keluhan-keluhannya juga rasa takutnya dan sebagainya. Nah ini beberapa hal yang akan membantu anak untuk menghadapi stres yang dialaminya.
(5) GS : Ya itu tadi sifatnya preventif, jadi untuk mencegah saja. Tapi kalau seandainya ada anak di dalam rumah tangga kita yang mengalami tekanan, mengalami stres, lalu apa yang bisa lakukan terhadap anak ini sebagai orang tuanya?

HE : Prinsip yang utama adalah kita perlu memberikan suasana yang menerima, bisa memahami anak itu dan bisa melihat masalah dari sudut anak itu. Kalau anak itu mengaku sesuatu ketakutan dan ebagainya, janganlah anak itu ditolak atau direndahkan atau diejek apa lagi, nah itu akan memperbesar stres dia.

Kemudian juga hal yang tidak kurang pentingnya, orang tua harus memberikan satu lingkungan di mana anak itu merasa terlindung dan merasa aman. Nah sering kali orang tua kurang bisa memberikan suasana seperti itu, suasana bagi anak merasa terlindung. Kalau anak misalnya pulang mempunyai masalah di sekolah dan sebagainya, adakalanya kita sebagai orang tua cenderung tidak sabar, cenderung cepat marah dan itu akan berakibat anak stresnya tidak terselesaikan. Itu beberapa hal yang saya kira penting dan juga satu hal yang juga saya pikir sangat penting adalah bagaimana kita harus menciptakan suasana ibadah di rumah. Jadi kalau anak pada saat itu tidak di dalam pengawasan kita dan sedang menghadapi suatu masalah, dia sudah terbiasa untuk berdoa, minta perlindungan Tuhan dan selalu bersandar kepada Tuhan, saya kira itu yang penting.

ET : Saya pernah bertemu dengan anak-anak yang mungkin kalau dikatakan keluarganya disiplin, maksudnya kalau tadi Pak Heman katakan kriterianya tentang kehadiran orang tua hadir, tapi juga mnerapkan disiplin itu dengan keras sekali.

Jadi tidak boleh salah ya, semuanya harus benar, segala sesuatu diletakkan di tempat yang tepat, harus melakukan kegiatan tertentu pada waktu yang pas. Kalau memang kita katakan kepada orang tua, orang tua mengatakan itu hal yang baik untuk menciptakan keteraturan di rumah ya. Tapi saya lihat dampaknya juga ke anak, anaknya jadi stres begitu. Jadi dalam hal ini saya melihat banyak orang tua juga sebenarnya kebingungan, di satu sisi mereka ingin melakukan yang terbaik tapi di sisi lain tanpa disadari yang mereka anggap baik itu ternyata menimbulkan tekanan-tekanan tertentu buat anak. Mungkin kalau dalam hal ini, apakah Pak Heman punya masukan atau saran jalan tengahnya bagaimana supaya yang orang tua anggap baik juga tertangkap baik oleh anaknya, anak yang diharapkan baik juga dipahami begitu oleh orang tua?

HE : Yang pertama orang tua perlu memandang atau belajar memandang apa yang dipandang dari sudut anak, jadi sering kali orang dewasa beranggapan anak itu adalah orang dewasa juga cuma dalam entuk mini.

Nah itu yang sering kali secara tidak sadar kita lakukan. Dan akibatnya adalah anak-anak tidak berkembang menurut perkembangannya yang wajar. Saya ambil contoh misalnya soal disiplin, anak usia 3 tahun itu tidak bisa disuruh duduk lebih dari 15 menit, untuk 10 menit duduk diam saja itu sudah bagus sekali. Nah anak usia 3-5 tahun misalnya dia membutuhkan banyak sekali gerakan, harus lari ke sana ke sini jadi kalau dia harus belajar kemudian menulis masih dimarahin lagi otomatis dia tidak suka untuk belajar. Dan kita harus terus berusaha melihat begitu dari sudut anak ini dan yang kedua adalah orang tua perlu belajar untuk memahami perkembangan anak atau psikologi perkembangan anak dengan orang tua mengetahui pada tahap-tahap atau usia berapa saja anak mengalami hal-hal tertentu, maka orang tua akan lebih banyak menghargai anak. Dalam hal disiplin mungkin kita perlu satu topik khusus untuk membicarakan ini, tetapi prinsipnya adalah orang tua harus membedakan antara ketidakbisabertanggungjawaban anak dengan ketidakmampuan anak bertanggung jawab. Apakah anak tidak mengikuti perintah kita itu karena dia belum bisa karena belum matang, belum cukup matang ataukah karena anak itu memang sengaja tidak mau dan menentang begitu, itu harus dibedakan. Jadi kalau kita tahu bahwa dia memang belum bisa bertanggung jawab kita tidak boleh menerapkan disiplin dengan ketat, kita harus melatih dia, setahap demi setahap, itu kira-kira prinsipnya.

ET : Saya punya satu pertanyaan lagi mungkin kalau misalnya memang kita tahu anak itu sedang mengalami stres, memang katakanlah orang tua sudah berusaha untuk melihat dengan cara pandang ana, lalu dia sudah mulai lebih memahami yang dari sisi yang lain lalu para orang tua ini mulai melihat ada saat-saat tertentu anak mengalami stres begitu.

Apakah sebaiknya setiap kali anak mengalami permasalahan, orang tua perlu turun tangan dalam rangka supaya dia tidak sampai stres, tidak sampai stresnya lebih berat atau jangan sampai dia mengalami stres, sebaiknya apa yang harus dilakukan oleh orang tua, Pak Heman?

HE : Saya lebih suka bagi kita orang tua untuk pencegahan, melakukan tindakan preventif dalam arti begini, lebih baik kita memberikan suasana di dalam keluarga kita supaya satu dengan yang lin bisa berkomunikasi secara terbuka tanpa rasa takut.

Nah kalau itu sudah terjalin baik, bagaimanapun juga kalau anak menghadapi satu stres tertentu yang dia tidak bisa atasi, dia tidak bisa diam dan dia akan dengan sendirinya meminta kita untuk membantu dia entah bagaimana caranya. Dan kalau itu terjadi maka kita bersama-sama dengan dia mencoba memecahkan masalah tersebut begitu. Jadi kalau memang ada suasana yang baik di dalam satu rumah tangga, maka biasanya kita tidak perlu selalu melihat gejala anak ini stres atau tidak dan selalu kita harus intervensi untuk bercampur tangan begitu. Adakalanya dengan diskusi atau komunikasi seperti itu kita bisa memperbaiki cara anak memandang dan memperkuat daya juangnya, sehingga dia mau berlatih mengatasi masalahnya sendiri. Misalnya anak yang baru belajar bersepeda dan dia mau kita latih untuk ke sekolah sendiri dengan sepedanya. Pada saat permulaan tentu ada stres yang cukup besar begitu, pada saat itu kalau komunikasi berjalan baik maka kita bisa menghibur anak itu misalnya dengan memberikan contoh bahwa dulu papa atau mama juga seperti ini tegang dan sebagainya tapi lama-lama kalau sudah terbiasa tentu akan lebih baik dan bisa mengatasi ketegangan ini.
GS : Jadi rupanya stres itu memang bisa dialami oleh siapa saja dan tidak selamanya itu jelek karena ada juga yang positif tinggal bagaimana kita me-managenya, mengaturnya, mengelolanya supaya menjadi baik, baik bagi diri kita terutama juga untuk anak-anak kita yang masih butuh banyak pengalaman untuk bagaimana mengelola stres yang mereka alami. Tetapi saya sangat yakin bahwa firman Tuhanlah yang akan memberikan pedoman yang paling tepat untuk hal-hal seperti ini. Pak Heman bisa bagikan sebagian dari firman Tuhan yang cocok untuk ini.

HE : Daud semasa hidupnya banyak mengalami stres dan juga dikejar-kejar oleh Saul yang dihormatinya tetapi dia memberikan banyak ayat-ayat yang indah salah satunya dari Mazmur 23 :4 "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku.

GadaMu dan tongkatMu itulah yang menghibur aku."

GS : Jadi demikianlah tadi saudara-saudara pendengar Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dan juga Ibu Esther Tjahja, S.Psi. Kami baru saja berbincang-bincang tentang bagaimana membantu anak menghadapi stres. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran serta pertanyaan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



29. Ketegasan dalam Mendidik Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T089A (File MP3 T089A)


Abstrak:

Salah satu masalah dasar di dalam pendidikan anak adalah pergumulan untuk menyeimbangkan antara membiarkan anak sehingga anak bisa mengembangkan dirinya atau membatasi anak yaitu anak tidak bisa semau-maunya. Dan kedua hal ini perlu sekali ada keseimbangan.


Ringkasan:

Dalam mendidik anak, jika tidak berhati-hati, mudah sekali bagi orang tua untuk jatuh ke dalam salah satu sikap yang tidak sehat. Ada orang tua yang terlalu menekankan anaknya sehingga anak kehilangan kebebasan untuk mengembangkan dirinya. Di pihak lain, ada orang tua yang terlalu membiarkan anak berlaku semaunya sehingga anaklah yang mengemudikan orang tuanya.

Kita akan melihat prinsip-prinsip bagaimana menegakkan ketegasan, yang akan diambil dari cerita Alkitab yaitu:
I Samuel 2: 12-14 , dari latar belakang kisah yang dicatat ini kita bisa melihat bahwa kedua anak Eli hidup dalam dosa yang sangat serius.
I Samuel 2:22-24 , kita juga bisa melihat, anak Eli yang seharusnya menjadi suri tauladan ternyata menjadi perintis perbuatan dosa di kalangan umat Israel dan sebagai imam dia telah melakukan begitu banyak hal yang jahat dan berdosa.
I Samuel 2:29 , Tuhan menegur Eli, dari bagian Alkitab ini kita melihat suatu kisah yang tragis tentang seorang hamba Tuhan yang gagal membesarkan anak-anaknya dengan baik di hadapan Tuhan.

Yang dapat kita pelajari adalah:

  1. Eli gagal menetapkan batas hak pada anak-anaknya dalam hal ini hak sebagai imam. Dengan kata lain Eli gagal menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri anak-anaknya.
    Ada dua hal yang perlu kita perhatikan di sini adalah:

    1. Hak harus disertai kewajiban dan kewajiban berasal dari tanggung jawab yang diserahkan kepada anak. Misalnya hak untuk dicintai orang tua berjalan seiring dengan kewajiban menghormati orang tua.

    2. Tidak ada hak yang tak terbatas, semua hak mempunyai batasnya. Misalnya ada hak untuk memiliki uang saku, tidak berarti dia dapat membeli apa saja yang diinginkannya, ada hak menyuruh pembantu rumah tangga, tidak berarti si anak boleh menyuruh apa saja dan kapan saja.

  2. Prinsip kedua, Eli melakukan pelanggaran yang sama yakni turut mengambil bagian dalam dosa anak-anaknya, dengan kata lain Eli tidak konsisten. Ketidakkonsistenan merupakan pembunuh orang tua yang nomor satu.
    Dua aspek tentang kekonsistenan orangtua:

    1. Orang tua tidak melakukan pelanggaran yang sama atau melakukan hal negatif yang dilarangnya.

    2. Orang tua melakukan hal yang positif yang diharapkannya.

  3. Eli tidak menghukum anak-anaknya. Menghukum anak berarti mendidik anak bahwa tindakan membawa akibat. Hukuman memang perlu dipertimbangkan:

    1. Hukuman diberikan harus sesuai usia anak, jangan memukul keras pada anak yang masih kecil. Dianjurkan pukullah pantat anak jangan badan atau kepalanya.

    2. Hukuman harus sakit namun tidak boleh melukai tubuhnya atau merendahkan martabatnya.

    3. Hukuman diberikan dengan segera setelah pelanggaran dilakukan.

    4. Hukuman diberikan setelah peringatan diberikan atau konsekuensinya diketahui oleh anak.

Amsal 22:6 , "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Buah ketidaktegasan tidak terlihat dengan segera, buah ketidaktegasan muncul di kemudian hari. Jadi kuncinya adalah jadilah tegas tanpa harus menjadi beringas dan mulailah sejak dini.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kali ini kami beri judul "Ketegasan dalam Mendidik Anak", dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, khususnya mungkin bagi pasangan-pasangan muda yang baru dikaruniai anak, pendidikan anak merupakan sesuatu yang tidak mudah. Jadi melalui perbincangan ini mungkin kita bisa memberikan saran dan sebagainya, tapi sebenarnya apa yang menjadi masalah dasar di dalam pendidikan anak itu, Pak?

PG : Salah satu masalah dasar adalah pergumulan untuk menyeimbangkan antara membiarkan anak sehingga anak juga bisa mengembangkan dirinya atau membatasi anak yaitu anak tidak bisa berbuat seaunya.

Semua orang tahu bahwa kita perlu menyeimbangkan kedua hal ini, namun pada kenyataannya kita tidak terlalu berhasil menyeimbangkan. Kadang-kadang kita menjadi terlalu keras, sehingga menekan anak atau kadang-kadang justru kita terlalu longgar sehingga membiarkan anak berbuat semaunya.
GS : Yang menyebabkan ketidakberhasilan itu apa, Pak Paul?

PG : Biasanya dalam diri kita apalagi yang baru punya anak pertama, rasa sayang luar biasa besarnya sehingga keinginan menyenangkan hati anak sungguh-sungguh juga sangat kuat. Nah apalagi watu anak memberikan sikap atau respons seperti yang kita inginkan kita menjadi tambah senang, sehingga kita ini menjadi tidak tega membatasi perilaku anak.

Yang kedua, kadang-kadang saya kira orang tua sibuk, karena sibuk tidak mempunyai banyak waktu di rumah sehingga adakalanya memberikan sikap yang ekstrim. Yang pertama adalah keras, marah pada anak, tegas sehingga anak-anak merasa sangat tertekan. Atau karena sibuk tidak banyak waktu bisa diluangkan untuk anak, apapun yang anak minta diberikan supaya tidak ada masalah. Nah jadi saya kira 2 hal tadi sering kali menjadi penghambat orang tua memberikan perlakuan yang seimbang kepada anak-anak.
GS : Pak Paul, apakah menjadi masalah bahwa kadang-kadang hanya ketidakseimbangan itu tadi, hanya ibunya saja yang mendidik anak dan ayahnya lepas tangan atau sebaliknya ayahnya yang terlalu banyak terlibat sedang ibunya mungkin bekerja atau sebagai wanita karier.

PG : Bisa terjadi seperti itu Pak Gunawan, jadi orang tua akhirnya juga tidak mempunyai kesetaraan atau memberikan waktu yang cukup untuk mendidik anak. Bisa jadi yang satu sangat-sangat perisif memberikan kebebasan, yang satu agak represif, agak keras.

Nah biasanya kalau itu yang terjadi akan membawa dampak terhadap si anak, si anak akan tahu misalnya kepada siapakah dia harus meminta sesuatu, kepada siapakah dia harus mendapatkan yang dia inginkan itu.
GS : Ya atau mungkin ini Pak Paul, neneknya atau bahkan orang luar dalam hal ini baby-sitter atau yang mau bertindak keras juga tidak berani dia.

PG : Betul, betul karena dia tahu dia di bawah otoritas orang tua dan hanya mewakili orang tua. Betul sekali itu.

ET : Tapi rasanya memang gejala ini justru yang malah semakin parah karena kebanyakan anak-anak justru sekarang dibesarkan bukan oleh orang tuanya sendiri, yang bukan orang tua langsung ya Pk Paul.

Maksudnya pembantu ataupun mungkin keluarga yang lain sehingga mungkin kalau orang tuanya pulang justru manis-manis di depan orang tuanya, tetapi begitu orang tuanya tidak ada nah dia yang menjadi penguasa.

PG : Betul Bu Esther, jadi ada kecenderungan sekarang ini karena orang tua mendelegasikan pengawasan anak pada suster, anak-anak ini menjadi penguasa-penguasa kecil di rumah. Dan ini juga cuup sering saya lihat sewaktu saya misalkan berada di tempat umum, melihat orang tua dengan anak.

Saya menyaksikan banyak orang tua yang lemah sekali terhadap anak, sehingga bukannya orang tua mengemudikan anak malah si anak yang mengemudikan orang tua. Jadi intinya adalah saya kira orang tua perlu mempunyai ketegasan dalam mendidik anak supaya tidak menimbulkan masalah.

ET : Yang pernah saya lihat juga banyak orang tua muda yang keduanya bekerja, jadi memang tidak setiap saat full bersama dengan anak. Kalau anaknya rewel justru si ibu ini langsung memanggilsusternya, begitu anaknya tidak mau makan, susternya yang disuruh menangani karena dia sudah tidak tahu harus berbuat apa.

(2) PG : Betul sekali dan itu seharusnya yang terjadi, Bu Esther. Jadi saat ini yang akan kita lakukan, Pak Gunawan dan Ibu Esther, adalah kita mau melihat kembali prinsip-prinsip bagimana menegakkan ketegasan.

Dan untuk itu saya akan mengungkit satu cerita di Alkitab yang bisa kita jadikan bahan diskusi. Nah, cerita ini menyangkut kehidupan seorang imam bernama Eli. Eli mempunyai 2 orang putra dan seharusnya kedua putranya ini menggantikan Eli nantinya sebagai seorang imam. Saya akan bacakan beberapa bagian dari firman Tuhan yang terambil dari I Samuel. Yang pertama diambil dari 1 Samuel 2:12-14 ini akan memberikan kita latar belakangnya. "Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila, mereka tidak mengindahkan Tuhan ataupun batas hak para imam terhadap bangsa itu. Setiap kali seseorang mempersembahkan korban sembelihan sementara daging itu dimasak, datanglah bujang imam membawa garpu bergigi tiga di tangannya dan dicucukkannya ke dalam bejana atau ke dalam kuali atau ke dalam belanga atau periuk. Segala yang ditarik dengan garpu itu ke atas, diambil imam itu untuk dirinya sendiri. Demikianlah mereka memperlakukan semua orang Israel yang datang ke sana, ke Silo." Dari latar belakang ini kita bisa melihat bahwa kedua anak Eli ternyata hidup dalam dosa yang sangat serius. Sebagai imam, Tuhan sudah menentukan bagian-bagian hewan yang boleh diambil dan ada bagian-bagian yang tidak boleh diambil misalnya lemak itu adalah bagian yang tidak boleh diambil oleh imam, harus diserahkan untuk menjadi korban bakaran, tapi ternyata anak-anak Eli ini memakannya, mengambilnya dengan paksa. Dan juga dikatakan di Alkitab bahwa anak-anak Eli ini tidur dengan para perempuan-perempuan yang menjaga kemah pertemuan. Nah kita bisa melihat lagi di kitab 1 Samuel 2:22-24 "Eli telah sangat tua. Apabila didengarnya segala sesuatu yang dilakukan anak-anaknya terhadap semua orang Israel dan bahwa mereka itu tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu kemah pertemuan, berkatalah ia kepada mereka : "Mengapa kamu melakukan hal-hal begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu, anak-anakku, bukan kabar baik yang kudengar itu bahwa kamu menyebabkan umat Tuhan melakukan pelanggaran." Jadi kita bisa lihat sekali lagi anak Eli yang seharusnya menjadi suri tauladan ternyata menjadi perintis perbuatan dosa di kalangan umat Israel dan sebagai imam dia telah melakukan begitu banyak hal yang jahat dan berdosa. Namun yang terakhir adalah saya ingin membacakan dari 1 Samuel 2 : 29 di mana kita bisa melihat Tuhan menegur Eli. Ternyata Eli ini juga mempunyai kesalahan dan inilah teguran Tuhan: "Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihanKu dan korban sajianKu yang telah Kuperintahkan. Dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari padaKu sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umatKu Israel." Nah dari bagian Alkitab ini kita melihat suatu kisah yang tragis, Pak Gunawan dan Ibu Esther, tentang seorang hamba Tuhan, seorang imam yang gagal membesarkan anak-anaknya dengan baik di hadapan Tuhan.
GS : Ya kita tentu bersyukur bahwa Alkitab tidak perlu menutup-nutupi sesuatu yang memang perlu untuk kita pelajari pada saat ini. Dari bagian ini sebenarnya kita bisa belajar apa, Pak Paul, khususnya di dalam pendidikan anak itu?

PG : Yang pertama Pak Gunawan, Eli ini gagal menetapkan batas hak pada anak-anaknya dalam hal ini hak sebagai imam. Ada 2 hal yang perlu kita perhatikan di sini pertama adalah hak harus disetai kewajiban dan kewajiban berasal dari tanggung jawab yang diserahkan kepada anak.

Jadi misalnya hak untuk bermain perlu diimbangi dengan kewajiban menyelesaikan tugas sekolah. Contoh lain lagi hak untuk dicintai orang tua berjalan seiring dengan kewajiban menghormati orang tuanya. Jadi dengan kata lain yang dimaksud di sini adalah Eli itu gagal menetapkan batas hak, dalam pengertian Eli gagal menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri anak-anaknya. Kita sebagai orang tua jangan sampai melupakan hal itu juga, anak-anak memang mempunyai hak untuk dicintai, diperhatikan oleh kita dan sebagainya, tapi anak-anak juga mempunyai kewajiban dan kewajiban hanya muncul kalau kita sebagai orang tua melimpahkan tanggung jawab kepadanya. Sudah tentu akan terjadilah tarik ulur, kita tahu anak-anak tidak mudah melakukan perintah kita atau melaksanakan tanggung jawabnya. Tapi inilah tugas orang tua untuk melimpahkan tanggung jawab dan menuntut anak untuk melaksanakan tanggung jawab itu. Yang saya takut adalah kita sebagai orang tua apalagi di zaman yang sangat sibuk ini akhirnya gagal melimpahkan tanggung jawab kepada anak. Kita mendelegasikan itu kepada orang-orang lain, anak-anak kita bertumbuh besar tanpa diberikan tanggung jawab sehingga akhirnya tidak menyadari kewajiban, semua akan bisa diselesaikan oleh orang tua dengan jalan pintas. Tidak naik kelas, mudah bagi orang tua menyogok gurunya, misalnya pindahkan ke sekolah yang lain atau apa, sehingga anak benar-benar tidak pernah mendapatkan tanggung jawab itu sehingga tidak melaksanakan kewajiban. Hak tanpa kewajiban sangat berbahaya, ini berarti si anak-anak memang hanya akan mampu menuntut haknya.
GS : Tapi memang lebih mudah memberikan hak kepada anak daripada kita memberikan kewajiban, Pak Paul. Tanpa kita mengenal anak dengan baik, kadang-kadang memberikan kewajiban itu terlalu berat atau terlalu ringan sehingga tidak pas pada proporsi untuk anak itu, Pak Paul.

PG : Bagus sekali masukan Pak Gunawan, jadi memang orang tua harus cukup mengenal anak sehingga tahu berapa porsi yang bisa dia laksanakan dan juga mengerti kondisi si anak sehingga tidak sebarangan menuntut anak, itu betul sekali.

Ada kecenderungan juga orang tua yang memang memberikan tanggung jawab terlalu ringan kepada anak-anaknya. Tapi intinya selalu konsep ini jangan sampai dilupakan oleh orang tua, ada hak perlu ada kewajiban. Yang berikutnya lagi tentang ini, Pak Gunawan, tentang membatasi hak, anak-anak Eli dikatakan dia tidak menyadari batas haknya. Jadi yang kedua adalah tidak ada hak yang tidak terbatas, semua hak mempunyai batas. Misalnya ada hak menyuruh pembantu rumah tangga, tidak berarti si anak ini boleh menyuruh apa saja dan kapan saja, misalnya begitu. Atau yang lainnya adanya hak untuk memiliki uang saku, tidak berarti dia dapat membeli apa saja yang diinginkannya. Anak-anak kami juga dapat uang saku, kadang-kadang dititipkan uang atau diberikan uang waktu ulang tahun oleh kakek neneknya. Kadang-kadang mereka menuntut membeli barang yang ia inginkan dan berkata ini uang saya, saya dan istri saya berkata: "kamu tidak bisa membeli barang semau kamu, kami sebagai orang tua mempunyai kewajiban dan hak untuk menuntun kamu agar bisa membeli barang yang cocok, kami tidak akan membiarkan kamu semaunya menghabiskan uang ini." Jadi hak tetap mempunyai batas, jangan sampai orang tua melalaikan dan lupa akan hal ini, seolah-olah anak-anak itu selalu bisa saja melakukan apa saja. Pembantu misalkan di rumah untuk membantu rumah, membantu tugas-tugas rumah tangga, jadi si anak sepatu dipakaikan, kaos kaki dipakaikan, sudah umurnya misalnya 12 tahun tidak masuk akal jika hal itu masih dilakukan. Jadi si orang tua di sini bertugas berkata: "engkau yang harus memakai sendiri, misalkan piring habis makan. Kenapa orang tua tidak mendidik anak untuk membawa piring ke dapur meskipun ada pembantu yang bisa mencucikan atau mengambil dari meja makan, paksa anak untuk membawakan piringnya ke dapur, jadi tidak berarti dia punya hak dia bisa pakai hak itu tanpa batas. Nah ini yang terjadi pada anak-anak Eli tidak mengenal batas, haknya itu seolah-olah terus bisa saja dia pergunakan.

ET : Tapi kalau kita lihat di bagian yang tadi Pak Paul bacakan 1 Samuel 2:22-24 bukankah di sana dikatakan Eli juga mencoba untuk menegur anak-anaknya, itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Bagus sekali Bu Esther, memang ternyata Eli ini pernah menegur anaknya, betul, pertanyaannya kenapa di bagian berikutnya Tuhan menegur Eli bahwa Eli itu lebih menghormati anak-anaknya dripada Tuhan.

Dan ternyata di sini ada jawabannya, Tuhan berkata: "Engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihanKu dan korban sajianKu." Ini prinsip kita yang kedua yang kita bisa pelajari dari kisah Eli dan anak-anaknya. Yaitu Eli melakukan pelanggaran yang sama, yakni turut mengambil bagian dalam dosa anak-anaknya. Dia tegur ya tegur, memarahi anaknya ya memarahi anaknya, tapi jelas-jelas Eli itu dimarahi Tuhan, ditegur Tuhan karena dia berpartisipasi dalam dosa anaknya. Rupanya anak-anaknya mengambil makanan yang begitu sedap dan dibawa ke rumah Eli ikut makan, jadi dengan kata lain yang bisa kita simpulkan Eli itu tidak konsisten. Ketidakkonsistenan merupakan pembunuh otoritas orang tua yang nomor 1. Nah saya mau menjabarkan 2 aspek tentang kekonsistenan. Yang pertama, orang tua tidak melakukan pelanggaran yang sama jadi orang tua yang konsisten. Contoh orang tua yang sering pulang larut malam tidak akan berwibawa melarang anaknya pulang larut malam. Dia sendiri pulang jam 01.00, jam 02.00 habis karaoke, nah anaknya pulang jam 01.00, jam 02.00 apakah dia bisa memarahi si anak, menegur si anak? Tidak mungkin. Dan si mama misalkan yang pergi keluar itu si papa, si mama tidak bisa menegur si anak pula karena si anak bisa langsung berkata: "Papa pulang jam 02.00 kenapa saya dimarahi pulang jam 02.00, begitu. Contohnya yang lain tentang kekonsistenan ini, orang tua perlu memberi contoh kehidupan yang dituntutnya itu. Misalnya orang tua yang jarang membaca akan mengalami kesulitan memaksa atau menuntut anaknya untuk sering-sering membaca. Jadi kalau seorang ayah mengharapkan anaknya rajin membaca, dia perlu memberikan contoh itu juga, dianya sendiri juga rajin membaca. Kalau dia berkata kepada anak-anaknya jangan buang waktu, kamu buang-buang waktu saja tapi si anak melihat si papa jam 08.00-an, jam 09.00-an kedatangan teman-temannya, tamu-tamunya untuk mengobrol, nah apa yang si anak lihat, si papa membuang-buang waktu. Jadi dengan kata lain yang namanya konsisten adalah memberikan contoh itu sendiri sehingga si anak mudah untuk mentaati contoh itu. Jadi dengan kata lain, kekonsistenan orang tua berarti ada 2 aspek di sini, tidak melakukan hal negatif yang dilarangnya dan melakukan hal positif yang diharapkannya. Eli gagal di sini, Eli ikut makan makanan-makanan yang dibawa oleh anaknya itu, jadi dia ikut berdosa. Apakah dia bisa menegur si anak dengan wibawa? Tidak bisa, tegurannya tidak dihiraukan oleh anak-anaknya. Dan Eli sendiri tidak memberikan contoh yang baik yang dia inginkan, dia ikut makan. Jadi orang tua juga harus menyadari kalau sampai anak-anak itu tidak mendengarkan dan tidak menghiraukan otoritasnya, mungkin sebagian itu adalah kesalahan yang ada pada diri orang tua sendiri.
GS : Ada orang tua yang mengatakan dengan kata-kata mungkin itu agak memudahkan, lalu dia katakan lho jangan contoh ayahmu misalnya, jangan contoh seperti ibumu, apakah kata-kata itu cukup berarti buat anak?

PG : Jangan contoh dalam pengertian memang itu hal yang buruk dari si ayah itu, si ibu itu memberikan contoh yang positif yang bagus, mungkin itu berdampak positif pula karena si anak akan mlihat yang berbicara tidak melakukannya begitu.

Tapi tetap akan jauh lebih baik kalau ayah dan ibu sama-sama tidak melakukannya, sehingga tuntutan mereka menjadi tuntutan yang bisa dihormati oleh si anak.

ET : Kalau tadi Pak Paul juga sempat menyinggung soal kesibukan orang tua, rasanya ini masalah krisis untuk zaman sekarang. Karena yang mau dicontoh juga apa ya, waktu bertemu dengan orang tuapun begitu singkat sehingga berbagi hidup, contoh hidup yang nyata itu rasanya memang mungkin sulit didapatkan oleh anak-anak untuk zaman sekarang ya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, itu masukan yang baik Bu Esther. Jadi orang tua akan juga kesulitan menuntut dari anak-anak karena anak-anak tidak bisa melihat orang tua itu melakukannya juga, sebab jarag bertemu.

Jadi sekali lagi perlu meluangkan waktu yang lebih banyak pada anak-anak, sehingga anak-anak bisa melihat orang tuanya dengan lebih banyak pula.
GS : Apakah ada hal-hal lain Pak Paul yang kita bisa pelajari dari sikap Eli terhadap anak-anaknya?

PG : Yang ketiga adalah Eli tidak menghukum anak-anaknya, Pak Gunawan. Dosa perzinahan menuntut hukuman mati pada saat itu, bukan hanya pencopotan jabatan imam. Nah Eli tidak melakukan dua-danya, tidak mencopot jabatan imam pada anak-anaknya dan tidak menghukum anak-anaknya.

Menghukum anak tidak berarti kejam, adakalanya ini konsep yang dimiliki oleh sebagian orang tua, menghukum anak berarti mendidik anak bahwa tindakan membawa akibat. Ini adalah pelajaran yang penting dalam hidup, tindakan membawa akibat. Salah satu tanda kedewasaan ialah keberanian untuk menanggung akibat perbuatan kita, jadi anak-anak perlu didewasakan. Salah satu cara mendewasakan anak adalah mengajarkannya bahwa tindakannya membawa akibat, pelanggaran mengundang hukuman. Tapi memang kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor tatkala memberikan hukuman kepada anak, misalnya yang pertama hukuman diberikan harus sesuai usia anak, jangan memukul keras pada anak yang masih kecil. Dan selalu saya anjurkan pukullah pantat anak jangan badannya atau kepalanya, dan jangan dengan benda-benda yang tajam atau yang keras. Misalnya yang kedua, hukuman harus sakit, namun tidak boleh melukai tubuhnya atau merendahkan martabatnya. Kalau tidak sakit bukan hukuman, harus sakit, namun jangan sampai melukai tubuhnya. Waktu anak-anak saya masih lebih kecil kadang-kadang saya memukul anak saya dengan sapu lidi, tapi tidak saya minta membuka bajunya atau celananya karena sakit sekali kalau kena kulit. Dengan adanya baju atau celana, waktu dipukul dengan sapu lidi suaranya terdengar keras tapi tidak terlalu sakit, begitu. Dan juga jangan merendahkan martabatnya misalnya menjambak, dengan telunjuk menekan-nekan dahi si anak atau menggampar si anak, itu merendahkan martabat si anak. Nah akhirnya akan menimbulkan kebencian pada si anak (ET : Atau di depan orang lain juga ya) atau misalnya memukul di depan orang lain, memakinya di depan orang lain. Yang ketiga adalah hukuman diberikan dengan segera setelah pelanggaran dilakukan, jangan sudah dua hari baru diingat dan baru dihukum, makin cepat makin baik, sehingga anak tahu inilah konsekuensi perbuatannya. Dan yang keempat adalah hukuman diberikan setelah peringatan diberikan atau konsekuensinya diketahui oleh anak, jangan jadinya tidak ada peringatan atau tidak ada penjelasan sebelumnya apa yang dituntut oleh orang tua, tiba-tiba orang tua langsung memukuli anak, itu saya kira tidak tepat.
GS : Rupanya ketidaktegasan setiap orang tua termasuk Eli itu bukan cuma berdampak pada anak-anaknya, juga bisa berdampak pada lingkungannya ya Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi dalam kasus Eli kita melihat dampak itu begitu luas, apa saja dampaknya? Yang pertama kita tahu dalam kisah Eli itu, kedua anak Eli membawa bangsa Israel untuk pergi erperang, tapi karena Tuhan tidak bersama dengan anak-anak Eli yang sudah berbuat dosa akhirnya bangsa Israel kalah perang dikalahkan oleh bangsa Filistin dan kehilangan 30.000

pasukannya, 30.000 orang meninggal dunia. Berikutnya dampak yang bisa kita lihat adalah kedua anak Eli itu akhirnya meninggal dalam perang, yang berikutnya lagi dampaknya menantu Eli meninggal karena terkejut mendengar suaminya meninggal. Begitu tahu suaminya meninggal, dia lagi hamil tua dan langsung melahirkan anaknya dan meninggal. Dan yang keempat dampaknya adalah Eli sendiri mati setelah mendengar bahwa tabut perjanjian Allah dirampas bangsa Filistin. Dia terkejut lalu jatuh langsung dan meninggal, yang terakhir ini dampak yang serius secara spiritual, tabut perjanjian Allah direbut oleh bangsa Filistin, sedangkan itu adalah simbol kehadiran Allah. Jadi kita bisa melihat ketidaktegasan Eli membawa dampak yang begitu luas terhadap satu kerajaan Israel dan membawa akibat-akibat yang begitu tragis.
GS : Jadi kalau kita melihat saat ini banyaknya kenakalan remaja dan sebagainya itu orang tua cukup besar andilnya, Pak Paul?

PG : Saya kira demikian, maka mengatasi masalah yang muncul di tengah kita anak-anak remaja yang narkoba dan lain sebagainya, saya kira orang tua tidak bisa lepas tangan. Karena kalau memangdari awal dari sejak dini bisa dideteksi dan ditangani dengan lebih baik maka masalah ini tidak meluas juga.

GS : Jadi sebagai kesimpulan dari seluruh pembicaraan kita ini, apa yang firman Tuhan katakan Pak Paul?

PG : Firman Tuhan mengingatkan kita dari Amsal 22:6 yaitu "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada jalan tu."

Buah ketidaktegasan tidak terlihat dengan segera, buah ketidaktegasan muncul di kemudian hari. Nah tidak mudah mengatasi masalah yang timbul akibat ketidaktegasan orang tua sebab polanya itu sudah terlanjur terjalin. Jadi kuncinya adalah jadilah tegas tanpa harus menjadi beringas dan mulailah sejak dini.

GS : Jadi terima kasih sekali Pak Paul dan juga Ibu Esther untuk masukan ini dan saya rasa ini sangat bermanfaat sekali bagi para pendengar kita yang dengan setia mengikuti acara ini. Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi beserta Ibu Esther Tjahya, S.Psi. Dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketegasan dalam Mendidik Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



30. Anak Favorit


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T089B (File MP3 T089B)


Abstrak:

Anak favorit merupakan anak yang dibanggakan oleh orangtua, sehingga dia menerima perhatian yang paling besar dari orangtuanya.


Ringkasan:

Walaupun orang tua berusaha mengasihi anak secara sama rata, namun padda kenyataannya, orang tua tidaklah selau berhasil melakukannya. Pada akhirnya orang tua merasakan kedekatan yang khusus dengan anak tertentu dan tidak jarang seorang anak mengeluh bahwa orang tuanya lebih mengasihi saudaranya, ketimbang dirinya. Anak kesayangan atau anak favorit sering kali merupakan fenomena yang umum bukan perkecualian.

Contoh di Alkitab yaitu Ishak dan Ribka di Kejadian 25:27-33 , "Lalu bertambah besarlah kedua anak itu, Esau menjadi seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang tetapi Yakub adalah seorang yang tenang yang senang suka tinggal di kemah. Ishak sayang kepada Esau sebab ia suka makan daging buruan tetapi Ribka kasih kepada Yakub."

Ada beberapa prinsip yang bisa kita pelajari yaitu:

  1. Ribka dan Ishak gagal menerima anak apa adanya. Kesukaan atau standar mereka mendahului keberadaan anak sehingga anak yang sesuai selera merekalah yang mereka terima, yang tidak sesuai tidak mereka terima. Tidak bisa disangkal, hal-hal seperti kesamaan sifat yang kita senangi dan capaian anak yang terpuji akan mempengaruhi perlakuan kita terhadap anak. Namun kita perlu berhati-hati agar tidak menunjukkan kekhususan itu di hadapan anak yang lainnya.

  2. Perlakuan yang berbeda menimbulkan iri hati. Itu sebabnya Yakub menginginkan hak kesulungan kakaknya, seakan-akan ia ingin menjadi anak sulung yang diberkati oleh ayahnya.

  3. Gara-gara anak, mereka hidup terpisah dan tidak lagi membela kepentingan suami-istri. Pada akhirnya mereka membela kepentingan anak dan melawan satu sama lain. Poros keluarga adalah hubungan suami-istri, bukan orang tua-anak; jadi, penting bagi orang tua memupuk hubungan suami-istri yang kuat dan sehat.

Sebagai kesimpulan, ada beberapa dampak yang bisa kita pelajari:

  1. Pertama adalah terjadinya penipuan antara keluarga, yang jelas di sini adalah Ribka menggunakan Yakub anaknya untuk menipu suaminya sendiri.

  2. Kedua, kebencian Esau yang melahirkan niat untuk membunuh Yakub, adiknya sendiri.

  3. Ketiga, keluarga itu terpecah dan Yakub harus meninggalkan rumahnya selama bertahun-tahun. Keempat, Yakub hidup dalam ketakutan selama berbelasan tahun. Dan Esau selama berbelasan tahun itu hidup dalam kebencian.

Maka penting untuk kita sadari, tugas orang tua ialah menyayangi anak bukan menciptakan anak kesayangan. Ingat firman Tuhan yang berkata, "Janganlah engkau menahan kebaikan daripada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." Amsal 3:27


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dan beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kami kali ini, kami beri judul "Anak Favorit" dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, istilah anak favorit ini seperti ada makanan favorit, ada sekolah favorit, nah sebenarnya anak favorit ini apa, Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, walaupun orang tua berusaha mengasihi anak secara sama rata namun pada kenyataannya orang tua tidak selalu berhasil melakukannya. Pada akhirnya orang tua biasanya measakan kedekatan yang khusus dengan anak tertentu dan tidak jarang ada anak yang mengeluh bahwa orang tuanya lebih mengasihi saudaranya daripada dirinya.

Jadi anak kesayangan atau anak favorit sering kali merupakan fenomena yang umum bukan perkecualian, sering terjadi pada kita-kita ini sebagai orang tua.
GS : Nah itu bisa terjadi pada anak kembar juga, Pak Paul?

PG : Bahkan pada anak kembar, karena adanya kedekatan yang khusus itu misalkan kita menerima atau menyukai karakternya atau kelebihannya yang kita agungkan, yang kita hargai.

ET : Makanya ada istilah ini anak mama, yang itu anak papa.

PG : Betul sekali.

GS : Itu masih lebih baik kalau cuma satu yang menjadi anak mama dan papa, lalu yang satunya tidak kebagian apa-apa jadi susah, Pak Paul?

PG : Betul, jadi adakalanya ada anak yang menjadi favorit kedua orang tuanya, dan ada anak yang sama sekali tidak menjadi favorit orang tuanya. Biasanya anak yang menjadi anak favorit adalahanak yang dapat dibanggakan, meskipun ada kesamaan-kesamaan atau apa namun pada intinya anak favorit adalah anak yang dibanggakan oleh orang tua, sehingga menerima perhatian yang paling besar dari orang tuanya.

GS : Ya memang kadang-kadang ada anak atau kebetulan saya punya 2 anak itu yang satu memang pandai mengambil hati. Jadi kalau lelah mijit-mijit dan sebagainya, suka menolong sehingga mau tidak mau kadang-kadang kita terpancing untuk memperhatikan dia atau mengasihi dia.

PG : Betul sekali, maka saya tidak menyoroti hal ini sebagai sesuatu yang tidak wajar atau abnormal atau sangat salah. Karena saya kira sebagai manusia kita memang mudah terpancing untuk dekt dengan orang yang lebih mengerti kita, lebih memberikan banyak kepada kita, lebih bisa membuat kita merasa bahagia, itu saya kira fenomena yang umum.

Jadi terhadap anakpun ada kecenderungan itu, jadi yang akan kita ungkit saat ini adalah bagaimana kita bisa menyadari diri kita, apakah kita memang mempunyai kedekatan khusus itu dan juga kita harus memahami dampak-dampaknya pada anak sehingga kita lebih bijaksana, saya kira ini tidak bisa dihilangkan 100%.

ET : Jadi memang seperti disuruh menyukai sesuatu yang dasarnya sebenarnya biasa-biasa saja. Mungkin seperti orang yang tidak suka pada makanan tertentu kemudian disuruh menyukai makanan tersebut, begitu ya Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Apa ada contoh konkretnya di Alkitab, Pak Paul?

PG : Ada Pak Gunawan, seseorang yang bernama Ishak dan istrinya Ribka. Ini diambil dari Kejadian 25 , saya akan bacakan ayat 27 hingga 33 "Lalu bertambah besarlah kedua anak itu anak dari Ishak dan Ribka) Esau menjadi seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang, tetapi Yakub adalah seorang yang tenang yang senang suka tinggal di kemah.

Ishak sayang kepada Esau sebab ia suka makan daging buruan, tetapi Ribka sayang kepada Yakub." Jadi jelas sekali di sini kita bisa membaca bahwa ada kesamaan tertentu antara si bapak dan anak pertamanya Esau, antara si ibu yang juga adalah seseorang yang menyukai rumah sebagai ibu rumah tangga dengan Yakub yang rupanya juga senang tinggal di rumah. Pada suatu kali Yakub sedang memasak sesuatu lalu datanglah Esau dengan lelah dari padang. Kata Esau kepada Yakub "Berikan kiranya aku menghirup sedikit dari yang merah-merah itu karena aku lelah." Itulah sebabnya namanya disebutkan Edom tetapi kata Yakub "Juallah dahulu kepadaku hak kesulunganmu," sahut Esau "Sebentar lagi aku akan mati apa gunanya bagiku hak kesulungan itu." Kata Yakub: "Bersumpahlah dahulu kepadaku", maka bersumpahlah ia kepada Yakub dan dijuallah hak kesulungannya kepadanya. Jadi di sini kita melihat ada suatu transaksi yang sebetulnya sangat penting, Esau menyerahkan hak kesulungannya sebagai anak yang paling besar kepada adiknya. Nah terus kita melihat ada kepanjangan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada rumah tangga Ishak dan Ribka dan semua ini bersumber dari fakta ayah sayang dengan anak sulung, ibu sayang dengan anak bungsu. Di Kejadian 27:6-10 berkatalah Ribka kepada Yakub anaknya : "Telah kudengar ayahmu berkata kepada Esau kakakmu, bawalah bagiku seekor binatang buruan dan olahlah bagiku makanan yang enak supaya kumakan dan supaya aku memberkati engkau di hadapan Tuhan sebelum aku mati. "Maka sekarang anakku," kata Ribka. "Dengarkanlah perkataanku seperti yang kuperintahkan kepadamu, pergilah ke tempat kambing domba kita, ambillah dari sana 2 anak kambing yang baik maka aku akan mengolahnya menjadi makanan yang enak bagi ayahmu seperti yang digemarinya. Bawalah itu kepada ayahmu supaya dimakannya agar dia memberkati engkau sebelum ia mati." Jadi di sini Ribka menyuruh anaknya Yakub untuk menipu ayahnya, menipu dengan cara memakai bulu domba dan membawa makanan yang dipesan oleh ayahnya kepada si kakak yaitu Esau supaya Yakub akhirnya yang menerima berkat sebagai anak sulung itu. Sebab berkat anak sulung adalah sesuatu yang sangat istimewa, nah apa akibatnya semuanya ini Kejadian 27:41 mengatakan, Esau menaruh dendam kepada Yakub karena berkat yang telah diberikan oleh ayahnya kepadanya lalu dia berkata kepada dirinya sendiri: "Hari-hari berkabung karena kematian ayahku itu tidak akan lama lagi, artinya ayah sudah tua dan dia akan meninggal tidak lama lagi, pada waktu itulah Yakub adikku akan kubunuh." Seperti itulah perjalanan rumah tangga Ribka dan Ishak yang membeda-bedakan anak, yang memfavoritkan anak, kita bisa melihat ujung-ujungnya begitu runyam.
GS : Tapi rasanya di sana terjadi persekongkolan antara si Ribka dan si Yakub. Nah kalau kita mencoba perhatikan hubungan mereka itu, apa yang bisa kita pelajari dari hubungan Ribka dan Yakub?

PG : OK! Kalau saya bilang hubungan Ribka dan Yakub itu hubungan yang tidak sehat, tidak sehat dalam pengertian Ribka sampai-sampai berkenan untuk menjerumuskan anaknya dalam penipuan, jadi tu sangat tidak sehat sekali.

Apakah Ribka dan Ishak memiliki hubungan yang baik, meskipun Alkitab tidak mengatakan apa-apa, saya menduga kemungkinan tidak terlalu baik. Karena Ribka sebagai istri mau menipu suaminya sendiri dan menggunakan si anak Yakub. Saya kira ini mencerminkan hubungan suami-istri yang tidak terlalu baik lagi pada saat itu.
(2) GS : Seharusnya bagaimana mereka menghadapi masalah ini, Pak Paul?

PG : Begini, saya kira ada beberapa prinsip yang bisa kita pelajari Pak Gunawan, yang pertama adalah ternyata sebagai orang tua Ribka dan Ishak gagal menerima anak apa adanya. Saya kira itu ang menjadi duduk masalah pertamanya, kesukaan atau standar mereka mendahului keberadaan anak atau siapa anak apa adanya.

Sehingga anak yang sesuai merekalah yang mereka terima, yang tidak sesuai tidak mereka terima. Karena Esau mempunyai hobby yang sama dengan ayahnya sehingga dia yang disayang, sedangkan Yakub mempunyai hobby yang sama dengan ibunya sehingga dia yang disayang oleh ibunya. Saya mengakui tidak bisa disangkal bahwa hal seperti kesamaan sifat yang kita senangi atau capaian anak yang terpuji akan mempengaruhi perlakuan kita terhadap anak. Namun kita perlu berhati-hati agar tidak menunjukkan kekhususan itu di hadapan anak yang lainnya. Jangan sampai di depan anak lainnya kita memuji-muji si anak yang paling bungsu atau anak yang paling sulung itu, sehingga kalau didengar oleh adiknya akan menimbulkan perasaan saya dibedakan, kenapa saya tidak menerima pujian seperti itu. Kalau mau memuji karena hal yang sangat khusus sebaiknya secara pribadi, itu lebih bijaksana.

ET : Sulitnya memang hal-hal seperti ini sungguh-sungguh tidak disadari dan pujian seperti itu lebih mudah muncul ketika memang ternyata yang dibandingkan itu memang terlalu jauh, memang tidk sepadan untuk dibandingkan.

Jadi rasanya memang sudah di mata anak ini kurang begitu untuk mendapatkan pujian, ya kecil sekali kemungkinannya.

PG : Dan mungkin sekali awalnya motivasi orang tua adalah untuk memacu si anak dengan membandingkannya dengan kakaknya misalnya, tapi sangat menekan sebetulnya. Belum lagi di sekolah, kalau ia bersekolah di sekolah yang sama, kalau si kakak itu prestasi belajarnya sangat tinggi, guru-guru akan cenderung membandingkannya juga.

Jadi seperti ibu Esther tadi katakan hal-hal seperti ini dilakukan tanpa disengaja atau disadari, omongan atau celotehan ini baru anak mama, ini baru anak papa itu sering kita lontarkan tapi saya kira itu bukan tindakan yang bijaksana, dan ini yang terjadi pada keluarga Ishak dan Ribka, kesamaan sifat yang akhirnya melekatkan mereka dan standarnya adalah kesamaan-kesamaan. Seharusnya Ishak lebih menerima atau menerima Yakub apa adanya, seharusnya Ribka juga menerima Esau meskipun tidak sama dengan dia. Jadi harus ada usaha ekstra yang mereka keluarkan untuk menunjukkan atau mengkomunikasikan penerimaannya terhadap si anak yang berbeda itu, kalau tidak jarak makin jauh. Karena tidak bisa disangkal hobby yang sama mendekatkan itu betul. Jadi orang tua harus berusaha mendekatkan diri meskipun hobbynya berbeda. Kalau tidak secara natural, secara alamiah jarak ini makin membesar.
GS : Nah hal itu sebenarnya dibawa anak sejak lahir atau karena kedekatan mereka dengan orang tuanya, misalnya tadi Esau dan Ishak. Apakah karena mereka dekat lalu mereka punya hobby yang sama berburu, makan enak dan sebagainya, juga demikian Yakub dengan ibunya apa itu tidak terbawa sejak kecil mereka akrab begitu.

PG : Bisa juga, tapi bisa juga karena memang ada kecenderungan bawaan dari dasarnya Esau adalah anak yang aktif, berani, orang yang di luar "outdoor", Yakub orang yang lebih "indoor" di dala rumah, lebih tenang.

Memang bisa sekali ini bawaan dari lahirnya pula.
GS : Nah dalam hal ini Pak Paul, bagaimana orang tua itu selanjutnya bisa mengatasi supaya kesenjangan itu tidak terlalu melebar?

PG : Saya kira secara sadar orang tua itu tidak kembali kepada point pertama, tidak membesar-besarkan kesamaannya itu. Wah.... lihat dong dia suka ini, papa juga suka ini, atau dia suka ini ama juga suka ini.

Jangan membesar-besarkan kesamaan-kesamaan itu, kalau mau membicarakan, bicarakan berdua saja jangan di depan anak yang lainnya. Pelajaran yang kita bisa tarik yang lainnya adalah ini Pak Gunawan dan Ibu Esther, perlakuan yang berbeda menimbulkan iri hati, itu sebabnya Yakub menginginkan hak kesulungan kakaknya seakan-akan dia ingin menjadi anak sulung yang diberkati oleh ayahnya. Kalau kita pikir-pikir apa alasannya Yakub meminta Esau menjual hak kesulungannya, sewaktu Esau meminta kacang merah itu. Seharusnya Yakub sudah cukup senang dia anak yang disayangi oleh ibunya, tapi kenapa dia meminta. Saya menduga meskipun spekulatif Alkitab tidak menjelaskannya, Yakub ingin menjadi anak yang sulung. Jadi saya menduga Yakub merasa dibedakan: "Kenapa papa sayang kepada kakak, tidak seperti kepada saya." Jadi waktu dia meminta hak kesulungan itu menunjukkan keinginannya menjadi anak sulung, menjadi yang disayangi dan diberkati oleh ayahnya sendiri dan itu yang tidak dia terima dari ayahnya.
GS : Atau mungkin berkaitan bahwa anak sulung mempunyai hak yang lebih besar di dalam rumah tangga pada waktu itu?

PG : Betul sekali, anak sulung memang akan mendapatkan hak yang lebih besar, pelimpahan-pelimpahan warisan juga akan lebih besar, tapi apakah itu seharusnya menjadi motivasi Yakub yang terutma.

Sebab dia juga mendapatkan perhatian yang begitu besar dari ibunya sendiri, mungkin ada motivasi ingin lebih, memperoleh lebih dari Yakub saya kira itu bisa ada. Tapi saya juga melihat unsur yang satunya, dia menjadi anak yang tertolak oleh ayahnya sebab ayahnya memang sangat dekat sekali dengan kakaknya begitu.

ET : Mengikuti yang spekulatif tadi, mungkin juga jangan-jangan walaupun tidak dituliskan di Alkitab sesudah itu rasa iri berikutnya adalah dari Esau kepada adiknya. Karena dapat pembelaan sdemikian rupa dari ibu sampai dia harus kehilangan hak kesulungannya.

Jadi rasa iri yang dari Yakub kepada kakak, kakak kepada adik juga sebenarnya.

PG : Bisa jadi, sebab memang Esau juga merasakan bahwa ibunya itu tidak dekat dengan dia. Maka dikatakan di Alkitab pada bagian yang lain, Esau akhirnya menikah dengan seseorang dari bani Isael, sebelumnya dia menikah dengan orang di luar kaum Israel kenapa? Sebab ibunya yang mengeluh.

Seolah-olah dia juga ingin menyenangkan hati ibunya, dia menikah salah satu keturunan Ismael. Jadi mungkin sekali yang Ibu Esther katakan memang tepat, akhirnya si kakak juga menginginkan perhatian yang sama dari ibunya, si adik menginginkan perhatian yang sama dari ayahnya. Dan itu bibit iri hati sudah tertanam dan membuahkan persoalan yang lebih parah nantinya.
GS : Jadi sebenarnya anak itu mengharapkan kedua orang tuanya ya Pak Paul, untuk mengasihi dia secara utuh?

PG : Betul, jadi waktu dia merasakan bahwa si ayah atau si ibu tidak mempunyai kasih yang sama, reaksi pertama adalah dia akan berjuang mendapatkan kasih itu. Tatkala dia tidak mendapatkanny barulah memunculkan reaksi-reaksi negatif iri hati, marah, berontak, itu reaksi yang kedua.

Kalau kita melihat dalam sebagian keluarga-keluarga bermasalah itu yang muncul, namun reaksi pertama adalah perjuangan mereka mendapatkan setetes cinta kasih atau perhatian dari orang tuanya itu.
GS : Pak Paul, walaupun tidak di depan anak yang lain kalau kita memuji-muji anak yang kita favoritkan atau memberi dia sesuatu, apakah kita tidak risau Pak Paul, nanti anak itu bercerita pada saudaranya, tadi mama atau ibu saya memberi sesuatu yang kamu tidak diberi saya anak favoritnya lho. Itu sudah dilakukan di luar sepengetahuan saudaranya, tapi namanya anak pasti suka cerita begitu, Pak Paul?

PG : Kalau memberikan sesuatu saya sarankan kita memberikan sama, kalau hanya dalam bentuk pujian, kita bisa sampaikan secara privat. Namun kalau kita hendak memberikan hadiah atau apa, berian secara sama.

Maksud saya begini, kalau kita hendak memberikan persenan misalnya Natal berikan dalam jumlah yang sama, kalau anak-anak kita memang usianya itu setara. Atau kita ini kebalikannya jangan misalnya yang satu kita berikan yang lebih besar, yang satu lebih kecil. Yang satu kalau ulang tahun kita berikan yang sangat mewah, yang satu biasa-biasa saja. Nah dalam hal pemberian yang bisa dilihat secara konkret dan bisa dipertontonkan kepada yang lainnya. Saya kira penting orang tua sensitif untuk tidak memberikan pemberian-pemberian yang berbeda, itu sangat menyakitkan dan selalu bisa diingat oleh si anak karena bendanya terlihat.
GS : Tapi kadang-kadang sebagai orang tua itu melihat kebutuhannya memang berbeda Pak Paul. Katakan itu sudah sebaya, dua-dua mahasiswa tapi kebutuhan anak perempuan itu lebih banyak ternyata daripada yang pria.

PG : Kalau si anak kita melihat, tidak mempunyai rasa iri atau dipinggirkan oleh orang tuanya tidak apa-apa, karena si anak akan mengerti bahwa orang tua dua-dua mengasihi mereka dengan samabegitu.

Namun kalau kita sudah mengetahui adanya persaingan dan yang satu mengeluhkan bahwa si kakak lebih didahulukan, kita lebih harus berhati-hati meskipun memang dia lebih memerlukan. Jadi kalau kita tahu ada yang merasakan kurang dikasihi atau apa, justru itu bagi saya sinyal agar kita lebih memberikan perhatian kepadanya. Misalkan kita memuji dalam hal pujian juga sama, kita memuji anak yang mempunyai sifat yang sama dengan kita. Jangan sampai kita lupa memberikan pujian yang lain kepada anak yang satunya, sehingga kalaupun dia banggakan tentang pujian itu, yang satunya akan bisa berkata: "Ya, tapi mama juga puji saya tentang ini, begitu."

ET : Tadi sebelumnya Pak Paul sempat mengatakan mungkin hubungan Ishak dengan Ribka ini juga tidak begitu baik ya, kira-kira seberapa jauh pengaruhnya terhadap masalah yang kemudian muncul ini?

PG : Ini menjadi masalah yang berat, jadi begini karena si Ribka dan Ishak ini hidupnya terpisah dengan anak-anak. Yakub harus lari, jadi akhirnya masalah menjadi lebih kompleks. Ribka dan Ihak tidak lagi mementingkan hubungan suami-istri atau kepentingan suami-istri, malah membela kepentingan anak dan melawan satu sama lain dengan menggunakan anak.

Poros keluarga adalah hubungan suami-istri bukan hubungan orang tua-anak, jadi penting bagi orang tua memupuk hubungan suami-istri yang kuat dan sehat, jangan sampai terbalik. Hubungan orang tua-anak yang dipentingkan, suami-istri itu akhirnya terbelah nah ini yang terjadi pada keluarga Ishak dan Ribka.
GS : Sebagai kesimpulannya Pak Paul, apa dampak yang bisa kita pelajari di sini, dampak yang tentunya tidak perlu terjadi pada kita sekarang ini?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah terjadinya penipuan antara keluarga, yang jelas di sini adalah Ribka menggunakan Yakub anaknya untuk menipu suaminya sendiri. Kedua, kebencan Esau karena ditipu yang melahirkan niat untuk membunuh Yakub, adiknya sendiri.

Yang ketiga, keluarga itu terpecah dan Yakub harus meninggalkan rumahnya selama bertahun-tahun. Kita tahu untuk menikahi istri yang pertamanya dia butuh 7 tahun, untuk menikah yang berikutnya perlu 7 tahun, sekurang-kurangnya 14 tahun dan kemungkinan besar lebih dari itu sampai anak-anaknya sudah cukup besar. Jadi mungkin berbelasan tahun Yakub harus melarikan diri, keluarga mereka akhirnya berantakan dan yang terakhir adalah dampaknya Yakub hidup dalam ketakutan selama berbelasan tahun itu. Dan Esau selama berbelasan tahun itu hidup dalam kebencian, itulah dampak yang begitu fatal. Maka kita penting menyadari tugas orang tua ialah menyayangi anak, bukan menciptakan anak kesayangan. Nah kalau orang tua misalnya memang mempunyai kebutuhan yang besar untuk disayangi oleh anak, dia akan mudah atau lebih mudah terjerumus ke dalam masalah ini. Kalau ada anak yang bisa mengambil hati, wah dia akan lebih senang karena memang dia dari dulu butuh disayangi, dia kurang kasih sayang sejak dari dulunya. Nah sudah tentu kalau hubungan suami-istri bermasalah, menambah masalah ini karena misalkan si istri kurang disayangi suaminya dia akan lebih membutuhkan kasih sayang dari si anak, si suami kurang dihargai istrinya dia akan lebih membutuhkan penghargaan dari si anak. Jadi memang karena anak hubungan suami-istri bisa terpecah, tapi bisa juga yang lebih sering terjadi karena hubungan orang tua yang sudah mulai renggang sehingga akhirnya meresap masuk ke dalam hubungan orang tua-anak dan anak akhirnya digunakan, sehingga semua keluarga terpecah belah.

(3) ET : Tadi Pak Paul mengatakan yang penting sekarang menyadari kalau memang ada unsur itu. Kalau memang setelah para pendengar yang menjadi orang tua menemukan ternyata memang ada terjadi dalam keluarga saya yaitu favoritisme, bagaimana saran Pak Paul?

PG : Yang langsung adalah dengan anak yang kita sudah dekat itu janganlah menjadikan hubungan itu eksklusif, khusus. Kita harus lebih membagi diri dengan yang lainnya, jangan pergi berduaan,bicara berduaan, paling enak kalau berduaan dengan si anak ini jangan.

Pergi ramai-ramai dan secara khusus ajak anak yang lainnya untuk pergi berdua dengan kita, bicara berdua dengan kita, belikan sesuatu untuk dia juga, peluk dia lebih banyaklah memberikan perhatian kepada yang satunya lagi. Nah mudah-mudahan kalau anak kita masih relatif kecil rasa dibedakan itu bisa mulai menipis dengan perjalanan waktu.
GS : Tapi nanti kalau agak besar menginjak masa remaja itu biasanya memang anak yang laki itu dekat dengan kita yang Bapak ini, lalu anak yang perempuan itu juga agak menjauhi kita lalu dekat ke ibunya, nah itu sulit dihindarkan Pak.

PG : Betul, tapi kalau dasarnya sudah kuat dia tahu dia dikasihi juga, dia tidak akan menuntut itu sebagai sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Dia menerima itu sebagai sesuatu yang alamiah bhwa sebagai seorang gadis dia akan dekat dengan ibunya, sebagai seorang pria dia akan lebih dekat dengan ayahnya, begitu.

GS : Dan itu mungkin ada juga ibu yang cenderung untuk terus mendekati anak prianya Pak Paul, walaupun anak prianya itu sudah menghindar.

PG : Ya ini saya kira perlu disadari oleh si ibu bahwa menjauhnya si anak bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kalau memang dari dahulu dekat, ini adalah bagian yang alamiah si anak pria it untuk mengembangkan dirinya sebagai seorang pria.

Dan lebih membutuhkan masukan dari figur ayahnya juga, begitu.
GS : Dalam hal ini Pak Paul apakah yang firman Tuhan katakan?

PG : Amsal 3:27 berkata: "Janganlah engkau menahan kebaikan daripada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." Menahan kebaikan bisa juga kita terpkan dalam hubungan orang tua-anak kalau orang tua memang bisa melimpahkan kebaikan kepada semua anak, kenapa tidak, jangan hanya 1, 2 anak saja yang memang mempunyai kesamaan sifat dengan kita atau yang kita banggakan.

Beri kebaikan kepada mereka sebab semua anak-anak kita berhak menerimanya dan kita mampu untuk memberikannya, jadi berilah dengan murah hati kebaikan kita kepada semua anak.
GS : Ya itu kalau anaknya relatif banyak Pak Paul, misalnya lima makin sulit orang tua itu untuk menentukan favoritnya?

PG : Meskipun ada 4 atau 5 kadang-kadang itu terjadi, ada saja yang satu rasanya mengerti saya, dekat dengan saya begitu.

GS : Tapi kasusnya bisa tidak disenangi oleh saudara-saudara yang lain, seperti Yusuf dengan kakak-kakaknya itu Pak?

PG : Tepat sekali, itu salah satu contoh yang sangat tragis. Karena Yusuf akhirnya mau dibunuh oleh semua kakaknya.

GS : Tapi saya yakin sekali firman Tuhan tadi sudah mengingatkan kita dengan terang dan kita akan melakukan sesuai apa yang Dia tunjukkan kepada kita.

Nah saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak Favorit". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



31. Waktu Buat Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T098A (File MP3 T098A)


Abstrak:

Kehadiran orangtua itu sangat berarti bagi anak dan memiliki makna tersendiri, karena kehadiran itu sendiri mengandung arti pemberian orangtua yang sangat berarti bagi anak.


Ringkasan:

Kehadiran orangtua itu sangat berarti bagi anak, karena kehadiran itu sendiri mengandung beberapa arti pemberian orang tua yang sangat berarti bagi anak.

Makna kehadiran orang tua bagi si anak:

  1. Misalnya perlindungan dan perhatian

  2. Orang tua bisa berfungsi sebagai seseorang yang mengisi hidup anak

  3. Orang tua juga memberi arah hidup dan penanaman nilai-nilai

  4. Orang tua berfungsi untuk mempermudah anak melepaskan diri dari orang tua ketika dewasa kelak, atau akan memudahkan anak untuk lebih mudah mandiri di kemudian hari.

  5. Hubungan keluarga akan lebih baik kalau orangtua mempunyai waktu yang cukup bagi anak.

Dampak negatif kalau orang tua kekurangan waktu untuk menyediakan diri buat anak:

  1. Anak tumbuh dewasa dan dia menjadi kurang bisa mengontrol diri mereka karena mereka tidak dikontrol sewaktu mereka masih kecil.

  2. Mereka tumbuh tanpa pengawasan dan tanpa didikan atau pun tanpa arahan orang tua.

  3. Seharusnya seorang anak yang tumbuh berkembang dengan sehat itu mempunyai identitas diri yang mantap dan memadai. Kalau tanpa orang tua di samping mereka, mereka akan merasa kurang aman dengan diri mereka sendiri, mereka kekurangan kemantapan terhadap identitas diri mereka sendiri.

  4. Menyebabkan anak memiliki perasaan kesepian dan haus akan perhatian orang lain.

  5. Komunikasi antara anak dengan orang tua terhambat. Hal ini bisa berakibat terhadap anak pada masa dewasanya, anak akan kurang hormat kepada orang tua dan orang tua pun akan kehilangan kontrol terhadap anak-anaknya.

  6. Anak juga akan kehilangan pegangan dan kekurangan tokoh yang dapat memberi arah hidup bagi mereka, akibatnya anak dikhawatirkan menyimpang jalannya dari pada yang diharapkan oleh orang tua.

Yang perlu dilakukan orang tua untuk dapat meluangkan waktu buat anak di tengah-tengah kesibukan, yaitu:

  1. Perlu mencatat seluruh kegiatan dan waktu yang kita habiskan selama ± dua minggu.

  2. Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus penggunaan waktu kita bersama anak selama seminggu dan sehari yang akan datang. Tujuan umum misalnya menciptakan hubungan yang lebih baik dengan anak. Tujuan khusus adalah misalnya ngobrol dengan anak mengenai berbagai hal.

  3. Kita prioritaskan dulu hal-hal yang kita anggap lebih penting, misalnya: mau menyelesaikan tugas apa begitu yang lebih penting, tetapi juga tidak meninggalkan prioritas waktu untuk anak.

  4. Catatlah hal-hal yang terlaksana sesuai rencana kalau itu sudah dilakukan, ini akan memberikan kepuasan karena kita mengetahui bahwa kita telah melakukan sesuatu yang benar-benar produktif.

  5. Amati kapan saatnya anda merasa paling produktif berdasarkan catatan-catatan tadi dan kemudian jadwalkan kegiatan anda yang terpenting pada masa produktif tersebut.

  6. Nilai kembali jadwal anda apakah terlalu banyak hal yang ingin dikerjakan sekaligus, seringkali karena terlalu bernafsu kegiatan yang direncanakan menjadi berlebihan.

Ulangan 6:4-9 , "Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Heman Elia, M.Psi. akan bersama-sama membahas masalah yaitu "Waktu buat Anak". Kami percaya perbincangan kami saat ini akan bermanfaat bagi Anda sekalian dan juga dengan keluarga Anda khususnya, dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, kalau kita berbicara tentang waktu buat anak memang harus diakui makin jarang saja kita mempunyai waktu dengan anak. Tetapi kalaupun kita bisa sempatkan meluangkan waktu buat anak, sebenarnya apa pengaruhnya kepada anak itu, Pak?

HE : Saya kira pengaruhnya cukup besar, jadi kalau orang tua bisa menyediakan waktu secara khusus buat anaknya, itu menunjukkan bahwa orang tua hadir di dalam kehidupan anak. Kehadiran orang tu sangat berarti bagi anak, karena kehadiran itu sendiri mengandung beberapa arti pemberian orang tua yang sangat berarti bagi anak.

Misalnya tentang perlindungan dari orang tua, perhatian. Orang tua juga berfungsi sebagai seseorang yang mengisi hidup anak sehingga anak tumbuh dewasa dan tidak merasa kosong, kesepian di dalam kehidupannya. Kemudian juga orang tua memberi arah hidup dan penanaman nilai-nilai. Selain itu orang tua juga berfungsi untuk mempermudah anak melepaskan diri dari orang tua ketika dewasa kelak. Dalam arti memang pertumbuhan seorang anak pada mulanya itu bergantung kepada orang tua tetapi kalau orang tua hadir, anak akan lebih mudah menjadi mandiri di kemudian hari. Dan hubungan keluarga akan lebih baik kalau orang tua mempunyai waktu yang cukup bagi anak-anaknya.
GS : Sebelum kita lebih jauh Pak Heman, anak ini dalam pengertian usia berapa?

HE : Anak yang sangat membutuhkan waktu dari orang tua tentu saja pada usia balita dan semakin berkurang ketika menjelang remaja. Dan pada waktu remaja meskipun orang tua masih dibutuhkan oleh nak remajanya, kebutuhan anak remaja untuk waktu orang tua semakin berkurang.

GS : Jadi kalau memang waktu itu ditujukan kepada anak, tapi tadi Pak Heman katakan di bagian terakhir salah satu maknanya yaitu hubungan keluarga menjadi lebih baik. Maksudnya bagaimana Pak?

HE : Kalau misalnya orang tua jarang hadir di dalam kehidupan anak, anak mungkin tidak akan protes pada waktu mereka masih terlalu kecil. Tetapi semakin besar semakin anak itu mengerti bahwa orng tua sebetulnya "Lebih memperhatikan diri mereka sendiri daripada memperhatikan anak-anak", anak-anak ini akan menjadi pemberontak-pemberontak dan ada kemungkinan hal ini akan mempengaruhi hubungan suami-istri maupun orang tua dengan anak.

(2) GS : Pada dasarnya memang saya percaya banyak orang tua yang ingin meluangkan waktunya untuk anak, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Kalau ditanyakan selalu ada saja alasannya, tapi sebenarnya alasan yang timbul dalam diri orang tua ketika dia dituntut katakan harus meluangkan waktu untuk anak-anaknya.

HE: Kalau diamati orang tua kebanyakan mempunyai alasan, misalnya orang tua sibuk karena mencari nafkah dan memang kalau kita melihat sebagian betul juga bahwa keadaan ekonomi sekarang kurang mnguntungkan, sehingga banyak suami-istri yang harus bekerja.

Tetapi saya pikir ini tidak khas pada zaman krismon seperti sekarang ini, karena pada waktu keadaan ekonomi lebih baikpun banyak orang tua yang sangat sibuk untuk mencari kebutuhan materi yang lebih baik. Selain itu juga banyak orang tua saat ini berpendapat bahwa kehadiran orang tua bisa digantikan oleh baby sitter, pembantu, sopir atau mereka hidup bersama opa, oma, om, tante. Bahkan sebagian orang tua merasa cukup memberikan anak-anaknya televisi, playstation dan sebagainya. Sebetulnya ini anggapan keliru yang akan membuat banyak orang tua merasa tidak terlalu perlu untuk meluangkan waktu bagi anak-anak. Sebagian orang tua juga ada yang beranggapan bahwa mereka sudah cukup menyediakan banyak waktu bagi anak-anak mereka, padahal sebetulnya tidak demikian. Jadi ini memang seharusnya dilihat dari sudut pandang anak, bukan dari sudut pandang orang tua. Kemudian ada lagi orang tua yang sebagian lagi tidak merasa berminat terhadap anak-anak, jadi masalah anak-anak didorong tanggung jawabnya dan diserahkan kepada orang lain atau pasangannya. Nah ini masih sedikit lebih baik atau ke orang lain yang bukan orang tua dari anak-anak ini. Ini beberapa alasan yang umumnya dikemukakan oleh orang tua.
GS : Ada juga yang mengatakan kalau anaknya masih 1, anak saya ini sudah 3 dan kecil-kecil sehingga merasa kesulitan untuk mengatur waktunya, Pak Heman?

HE : Ya betul, ini memang suatu masalah yang memang tidak bisa selesai, tapi kita harus mengupayakan semampu kita, sebisa kita.

GS : Ada juga yang mengirim anaknya sekolah sedini mungkin, umur 2 tahun bahkan, setengahnya itu penitipan anak-anak, saya pikir karena tidak ada pendidikan apa-apa di sana. Tetapi sementara orang tuanya bekerja, anaknya dititipkan di situ, apa mempunyai dampak yang negatif, Pak?

HE : Kalau di dalam perkembangan anak, sebetulnya kalau seorang anak itu lebih baik waktu balita jangan diasuh oleh terlalu banyak orang, paling banyak 2 orang atau 3 orang. Kalau seorang anak erlalu banyak berganti-ganti pengasuh, anak juga akan kurang sehat tingkat perkembangannya.

Kalau misalnya anak dititipkan di tempat pengasuhan anak yang tidak ada pendidikannya sama sekali, yang saya khawatirkan adalah anak-anak ini tumbuh dengan kurang perhatian maupun kurang kasih sayang dari seseorang yang bisa diandalkan. Kita bisa bayangkan tempat penitipan anak, tentu 1 pengasuh dengan berapa anak sekaligus.
(3) GS : Pak Heman, kalau begitu pasti ada dampak negatif yang bukan cuma sekadar sering kita lihat kalau kita itu kekurangan waktu untuk anak sebagai orang tua, nah dampak-dampak negatifnya apa saja, Pak?

HE : Cukup banyak, misalnya saja anak tumbuh dewasa dan dia menjadi kurang bisa mengontrol diri mereka, karena mereka tidak dikontrol sewaktu mereka masih kecil. Mereka tumbuh tanpa pengawasan,didikan, dan arahan.

Kemudian juga seharusnya seorang anak yang tumbuh berkembang dengan sehat itu mempunyai identitas diri yang mantap dan memadai. Kalau tanpa orang tua di samping mereka, mereka menjadi bertanya-tanya mungkin sepanjang hidup mereka akan merasa kurang aman dengan diri mereka sendiri, mereka kekurangan kemantapan terhadap identitas diri mereka sendiri. Selain itu juga misalnya lagi hal yang lain yang bisa mempengaruhi, menghambat perkembangan anak adalah perasaan kesepian dan haus akan perhatian orang lain. Ada suatu hasil dari survey yang menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa kecilnya kurang perhatian dari orang tua, pada waktu dewasa akan terus haus dan mencari perhatian orang lain. Biasanya dengan tingkah laku yang menjengkelkan, kemudian juga dampak yang lain adalah komunikasi anak dengan orang tua terhambat dan ini dampaknya panjang sekali. Kalau kita melihat nanti di dalam kehidupan anak pada masa dewasanya dan sebagainya, anak akan kurang hormat kepada orang tua dan orang tua pun akan kehilangan kontrol terhadap anak-anaknya. Anak juga kehilangan pegangan nantinya dan kekurangan tokoh yang dapat memberi arah hidup bagi mereka. Apalagi sekarang dengan pengaruh media massa, kemudian pengaruh-pengaruh lain yang lebih besar dari teman-teman dan sebagainya, berakibat anak akan dikhawatirkan menyimpang jalannya daripada yang diharapkan oleh orang tua. Kira-kira itu dampak yang bisa disebutkan bagi perkembangan jiwa anak, kalau misalnya orang tua kurang meluangkan waktu bagi anak-anaknya.
GS : Ya, jadi cukup banyak dan saya rasa itu sangat serius karena dampaknya sampai anak ini menjadi orang dewasa pun masih terasa seperti tadi yang Pak Heman katakan itu.

HE : Betul.

(4) GS : Mungkin Pak Heman mempunyai saran kepada orang tua khususnya, supaya bisa meluangkan waktunya di tengah-tengah segala kesibukannya untuk anak-anak mereka?

HE : Ini memang tidak mudah apalagi bagi orang tua yang sangat sibuk, tapi bagi orang tua yang mempunyai komitmen ini harus diusahakan. Saya menyarankan seperti ini untuk mengatur waktu orang ta bersama anak itu mirip-mirip dengan pengolahan jadwal kerja di kantor.

Yang pertama kita perlu mencatat seluruh kegiatan dan waktu yang kita habiskan selama ± dua minggu, kemudian yang kedua kita menentukan tujuan umum dan tujuan khusus penggunaan waktu kita bersama anak selama seminggu dan sehari yang akan datang, jadi hari ini kemudian besok. Tujuan umum misalnya itu menciptakan hubungan yang lebih baik dengan anak, tentu saja bisa dikembangkan lebih lanjut. Contoh tujuan khusus adalah misalnya mengobrol dengan anak mengenai berbagai hal, apa saja tidak usah ditentukan saya kira untuk ini. Kemudian yang ketiga kita prioritaskan dulu hal-hal yang kita anggap lebih penting, misalnya kita mau menyelesaikan tugas apa, tetapi juga tidak meninggalkan prioritas waktu untuk anak. Keempat, catatlah hal-hal yang terlaksana sesuai rencana kalau itu sudah dilakukan, ini akan memberikan kepuasan karena kita mengetahui bahwa kita telah melakukan sesuatu yang benar-benar produktif. Dan kelima amati kapan saatnya Anda merasa paling produktif berdasarkan catatan-catatan tadi dan kemudian jadwalkan kegiatan Anda yang terpenting pada masa produktif tersebut. Sebagian orang merasa paling produktif mengobrol dengan anak dan sebagainya itu pada saat pagi, sebagian lagi pada waktu malam, yaitu misalnya saja sebelum anak-anak pergi tidur. Keenam, nilai kembali jadwal Anda apakah terlalu banyak hal yang ingin dikerjakan sekaligus, sering kali karena terlalu bernafsu kegiatan yang direncanakan menjadi berlebihan. Akibatnya bukan saja banyak hal yang dilakukan setengah-setengah, kita pun menjadi stres karena merasa diburu-buru. Dalam hal ini lebih baik sedikit hal yang kita lakukan namun dilakukan dengan baik, untuk itu kita kembali perlu melakukan prioritas. Dan untuk menciptakan waktu yang berkwalitas, perencanaan waktu ini merupakan hal yang sangat penting, meskipun demikian harus cepat ditambahkan bahwa kita pun perlu fleksibel, luwes, tidak setiap kali penggunaan waktu dapat direncanakan atau terlaksana sesuai rencana. Misalnya saja pada anak-anak di bawah usia 12 bulan banyak waktu yang tidak bisa direncanakan dengan baik dan juga pada saat-saat misalnya anak menderita sakit atau mempunyai masalah tertentu di sekolah yang perlu kita selesaikan. Ada saatnya kita perlu menjadi sahabat yang siap mendengar dan menghibur anak-anak kita. Kadang-kadang mereka datang tepat pada saat yang sebenarnya tidak kita harapkan, misalnya waktu kita lagi capek atau kita sendiri menghadapi masalah, nah dalam hal ini kepekaan kita sebagai orang tua diperlukan. Kalau misalnya mau menyediakan waktu dalam kondisi demikian, boleh jadi ini merupakan waktu yang sangat berkwalitas, dengan kata lain kita tidak sekadar pasif di dalam menjalankan tugas kita sebagai orang tua, tetapi sebagai orang tua yang juga penuh dengan perhatian.
GS : Ya memang intinya itu mengelola waktu tadi Pak Heman, bagaimana kita bisa mengelola waktu. Tapi kadang-kadang kenyataannya ada orang yang begitu pandai mengatur waktunya di kantor atau di tempat kerja, tapi justru di rumah dia tidak mampu melakukan itu Pak Heman, sebenarnya apa yang menyebabkan?

HE : Saya pikir ada beberapa hal yang pertama yaitu prioritas, biasanya karena kita menganggap bahwa kita cenderung meremehkan waktu kita bersama dengan keluarga. Kita berpikir tiap hari masih isa bertemu, masih ada hari esok, tidak ada target dan sebagainya.

Sehingga kita tidak betul-betul menyusun jadwal bersama dengan anak-anak kita. Dan kemudian hal yang lain adalah adakalanya orang tua terlalu tegang, karena merasa sudah mengatur jadwal, harus bermain bersama anak atau meluangkan waktu bersama anak sehingga kelihatannya pekerjaan yang serius. Padahal kalau saya pikir orang tua juga perlu mengadakan waktu secara rileks bersama dengan anak-anaknya.
GS : Jadi kalaupun seseorang itu orang tua yang sudah mampu mengatur waktunya sedemikian rupa dan dia punya waktu untuk anaknya, apa yang bisa dilakukan untuk anak itu?

HE : Nah sehubungan dengan tadi jangan terlalu tegang, orang tua bisa saja melakukan banyak hal dan banyak cara. Misalnya kalau anak-anak lagi banyak ulangan, lagi bersekolah bisa belajar bersaa-sama dengan anak, orang tua mungkin belajar atau membaca sendiri, anak juga belajar sendiri atau orang tua mengajar anaknya.

Bisa juga bermain bersama, bernyanyi bersama, jalan-jalan bersama, mungkin sekadar ngobrol atau tertawa bersama, berdoa bersekutu bersama. Selain itu orang tua juga harus sering memberikan nasihat dan mendidik atau bahkan membantu anak pada waktu memerlukan pertolongan. Dia perlu bantuan kita untuk menggergaji tripleks misalnya atau mengikat atau mengajar dia mengikat tali sepatu, menyemir sepatu dan sebagainya dan juga mungkin sekadar menghibur dia sewaktu kita melihat dia lagi sedih.
GS : Kebanyakan waktu-waktu seperti itu digunakan orang tua untuk menasihati anaknya itu Pak, sehingga anaknya itu juga merasa kurang senang, setiap kali ketemu orang tua khususnya ayahnya yang dia dengarkan itu cuma nasihat-nasihat saja.

HE : Ya betul dan itu yang menyebabkan hubungan orang tua dan anak menjadi tegang, orang tua sendiri tegang karena merasa bahwa waktu yang dia sediakan buat anak-anak menjadi terasa sia-sia karna anak-anak ini menolak orang tua, tampaknya seperti itu.

GS : Dan kebanyakan orang tua punya prinsip Pak, jadi tidak perlu terlalu lama meluangkan waktu untuk anak, tapi yang penting dia katakan asal dalam waktu yang sedikit itu dia bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Jadi kwalitasnya itu yang dia tekankan, bagaimana pendapat yang demikian, Pak?

HE : Saya kalau boleh mengutip kata-kata doktor Dobson, dia seorang psikolog yang terpandang di Amerika. Dia pernah mengatakan bahwa waktu berkwalitas itu tidak ada, kalau misalnya kita tidak bsa menyediakan jumlah waktu yang cukup banyak.

Ini masuk akal karena bagaimana kalau kita mau bicara dengan seseorang yang selalu terburu-buru misalnya. Jadi itu harus diupayakan di dalam waktu yang banyak, di dalam waktu yang banyak itu ada waktu yang kemudian bisa ditemukan waktu yang berkwalitas.
GS : Kalau tadi Pak Heman katakan waktu yang banyak, seberapa banyakkah waktu yang cukup untuk bisa dekat dengan anak kita?

HE : Nah ini memang agak sulit dijawab, tetapi sebaiknya yang lebih baik adalah kalau bisa suami-istri bergantian hadir bersama-sama dengan anak sebanyak mungkin dalam kehidupan anak. Yang tadisaya katakan adalah balita perlu waktu yang jauh lebih banyak dan ketika anak-anak masuk sekolah kalau bisa waktu anak pulang dari sekolah mereka melihat salah satu orang tuanya di rumah.

Sehingga pada saat-saat mereka memerlukan pertolongan kita dan ingin bertanya sesuatu, ingin perlindungan orang tua mereka menemukan ada seseorang di situ. Dan tentu saja waktu anak memasuki usia yang semakin besar dan memasuki usia remaja nantinya, mereka dengan sendirinya tidak terlalu membutuhkan lagi kehadiran kita dan waktu itu kita sudah boleh mengurangi lebih banyak lagi waktu bersama-sama dengan anak-anak.
GS : Apakah kita bisa tahu kira-kira, apakah hasil pertemuan kita dengan anak kita itu membawa hasil yang positif atau tidak, Pak?

HE : Kira-kira kita bisa bertanya dengan jujur kepada diri kita sendiri, jadi ada beberapa pertanyaan yang bisa menjadi petunjuk bagi kita apakah sebetulnya kita telah banyak menyediakan waktu agi anak-anak.

Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya begini, apakah kita tahu apa yang paling disukai dan yang tidak disukai oleh anak kita. Kadang-kadang orang tua tidak tahu apa yang disukainya, kalau begini dia tersinggung, kalau begitu dia merasa senang dan sebagainya. Apakah makanan kesukaannya atau makanan yang tidak disukainya, ada orang tua yang tidak tahu, nah ini berarti orang tua kurang mengenal anaknya, berarti waktu yang dia sediakan mungkin kurang atau kurang berkwalitas. Apakah bakat dan keterampilan anak kita yang paling menonjol juga harus kita ketahui, apa sifat positif dan apa sifat negatifnya. Apa yang paling suka dilakukannya bersama dengan kita sebagai orang tua, apa hal yang paling sering dilakukannya, siapa nama gurunya, siapa teman terbaiknya, nah kalau kita sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, besar kemungkinan kita sudah lumayanlah bersama dengan anak-anak kita. Tetapi di samping itu kita juga bisa melanjutkan lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang lain misalnya saja, apakah anak kita cukup terbuka dan tidak takut mengungkapkan isi hatinya kepada kita. Kalau misalnya kita melihat anak itu canggung-canggung kemudian lebih suka berbicara kepada orang lain rahasia pribadinya, ada kemungkinan kita kurang dekat dengan anak-anak kita. Apakah ada rasa saling berbagi perasaan bisa kita berbicara dengan anak kita. Apakah anak kita mau cerita perasaannya yang terdalam dan apakah kita juga merasa nyaman mendengar perasaan dan mengemukakan perasaan kita. Apakah kita cukup bisa menangkap perasaan-perasaan anak kita, kadang-kadang orang tua tidak tahu apa yang dirasakan anak. Apakah anak kita cukup menghormati kita sebagai orang tua mereka, apakah kita mampu bergurau dengan anak-anak kita, pada saat-saat tertentu, nah ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk menguji apakah kita cukup menginvestasikan waktu kita untuk anak kita. Pasti investasi itu tidak sia-sia dan itu perlu untuk mengajar mereka dalam kebenaran firman Tuhan.
GS : Ya memang itu membutuhkan suatu perhatian khusus terhadap anak-anak sementara kita meluangkan waktu dan sebagainya. Padahal memang cukup banyak lagi yang kita harus ingat, sehingga kadang-kadang hal-hal yang detail sekalipun bisa kita ingat di kantor tetapi yang di rumah yang tadi Pak Heman sebutkan itu terluputkan juga. Jadi kita tidak tahu nama gurunya, barangkali anak kita sudah kelas 3 sudah ganti guru tapi kita ingatnya dengan guru yang kelas 1 dulu dan seterusnya. Nah saya melihat kedekatan Tuhan Yesus dengan murid-muridnya karena Tuhan Yesus sendiri meluangkan waktu begitu banyak terhadap murid-muridnya, mungkin mereka tiap-tiap hari berkumpul. Apakah ada suatu peristiwa yang bisa kita pelajari yang menunjukkan kedekatan antara Tuhan Yesus dengan muridnya itu, Pak Heman?

HE : Kedekatan Tuhan Yesus dengan para murid itu sudah demikian erat sehingga kalau kita lihat teguran-teguran Yesus itu begitu keras terhadap murid-muridnya. Misalnya terhadap Petrus dan sebaginya, begitu tidak sampai membuat Petrus itu mundur dari hadapan Tuhan Yesus.

Di samping itu kita melihat dampak dari pengalaman pribadi murid-murid bersama Tuhan Yesus sedemikian erat, sehingga murid-murid itu membawa pengalaman bersama Tuhan Yesus dan mereka begitu mengasihi Tuhan.
GS : Tetapi sejak di Perjanjian Lama Tuhan itu memperingatkan orang tua, bangsa Israel ini khususnya untuk dekat dengan anaknya ya Pak? Nah mungkin Pak Heman bisa singgung hal itu.

HE : Saya akan bacakan dari Ulangan 6:4-9 dan ini menunjukkan perintah Tuhan kepada kita umat Tuhan tentang bagaimana kita harus bersama dengan anak kita dan mengajar mereka. "Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu."

GS : Saya rasa perintah Tuhan ini masih sangat relevan untuk kita saat ini Pak Heman, dan terima kasih untuk kesempatan perbincangan kali ini. Saudara-saudara pendengar demikian tadi perbincangan kami dengan tema "Waktu buat Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



32. Bermain Bersama Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T098B (File MP3 T098B)


Abstrak:

Orangtua yang bermain bersama anak sesungguhnya akan memberi arti penting bagi relasi orangtua dengan anak. Dan orangtua yang bersama anak adalah orangtua yang senantiasa dekat dan hadir di dalam keseharian anak-anak.


Ringkasan:

Ketika orang tua bermain bersama anak itu akan memberi arti penting bagi relasi orang tua dengan anak. Orang tua yang bersama anak itu adalah orang tua yang dekat dan hadir di dalam keseharian anak-anak kita.

Dampak kalau orang tua tidak bisa bermain-main dengan anak yaitu:

  1. Ada jarak yang membatasi, ada gap antara orang tua dengan anak.

  2. Komunikasi antara orang tua dan anak menjadi komunikasi yang serius dan formal semata-mata. Dengan demikian anak tidak berani mengemukakan isi hatinya pada orang tua.

  3. Hubungan antara anak dengan orang tua menjadi hubungan yang hanya terjadi kalau ada kepentingan yang mendesak.

  4. Anak mungkin saja merasa orang tuanya tidak menyayangi mereka sekalipun sebetulnya orang tua tidak bermaksud tidak menyayangi tetapi akan dipandang anaknya sebagai tidak menyayangi.

Ada beberapa arti penting bermain bagi seorang anak yaitu :

  1. Bisa hanya sekadar semacam kesenangan dan kegembiraan. Itu sangat penting dan sehat untuk kehidupan anak-anak.

  2. Memberikan pelepasan dari beban stres anak sehari-hari, dia mempunyai alternatif untuk mengalihkan perhatiannya.

  3. Sebagai sarana belajar, secara sosial, jadi dia belajar bagaimana berelasi dengan orang lain tetapi lewat mainan dan dia juga belajar keterampilan pada umumnya.

  4. Dapat membuat atau membuka minat dan peluang anak untuk memasuki dunia orang dewasa. Misalnya main dokter-dokteran, penjual dan pembeli dsb.

Orang tua yang bermain dengan anak pun bisa mendapat manfaatnya yaitu:

  1. Dia bisa menikmati suatu keadaan rileks, oran gtua sebetulnya juga mendapat selingan dan hiburan kalau dia pulang kantor capek.

  2. Dia bisa menimbulkan suatu suasana yang lain, orang tua juga bisa menunjukkan dirinya betul-betul sebagai manusia biasa yang bisa sekali-sekali kalah dan juga harus mengakui kelemahan dan keterbatasannya. Dengan demikian orang tua juga bisa merasa lebih dekat dengan anaknya.

  3. Orang tua juga bisa mendapatkan kekuatan baru untuk menghadapi stres.

Melalui permainan orangtua bisa mendidik anak:

  1. Memberi dan memilihkan berbagai jenis permainan yang merangsang perkembangan kecerdasan dan keterampilan anak sejak masih kecil.

  2. Dengan bermain bersama anak sesungguhnya orang tua bisa mengontrol jadwal anak-anak. Sehingga mereka belajar berdisiplin diri, dan memperhatikan waktu bermain dengan waktu tidur, waktu belajar, waktu makan dsb.

  3. Orang tua juga bisa mengajarkan anak-anak strategi bermain, sehingga mereka menjadi bisa bermain dengan terampil, sekaligus juga dengan jujur.

  4. Mengarahkan mereka ketika mereka melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan, seperti menipu, berbuat curang, ngambek karena kalah, berebut mainan dsb.

Ada anak yang enggan bermain dengan orang tuanya, hal ini disebabkan karena
  1. Anak merasa malu atau merasa tidak cocok bermain bersama orang tuanya.

  2. Anak merasa tidak akrab dengan orang tuanya.

Usaha yang perlu dilakukan orang tua adalah:
  1. Mengajak anak ngobrol dan bercerita apa saja tanpa memberi nasihat-nasihat lebih dulu.

  2. Mengajak anak jalan-jalan santai

  3. Sekali-sekali lakukan sentuhan-sentuhan fisik dengan lembut, misalnya dengan memegang tangan atau bahu anak.

  4. Mulailah dengan permainan-permainan sederhana yang disukai anak dan tunjukkan seolah-olah anda memiliki kemampuan bermain yang sedikit di bawah anak anda.

  5. Ciptakan hubungan yang harmonis dengan pasangan anda karena itulah yang akan membuat anak anda menikmati permainan dengan anda sebagai orang tuanya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Heman Elia seorang M.Psi. yang saat ini juga mengajar atau menjadi dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Bermain Bersama Anak", maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, pada dasarnya kita memang senang bermain sebelum waktu pemuda, waktu awal pernikahan sampai kadang-kadang lupa bahwa kita sudah dikaruniai anak dan kita masih mau bermain dengan teman-teman yang sebaya dengan kita. Setelah pulang kantor masih bermain-main sehingga pulangnya malam dan anak kita sudah tidur. Tetapi juga pernah berpikir anak kita masih kecil, tidak cocok kalau kita main-main dengan anak kita. Nah sebenarnya apa memang penting bermain dengan anak itu?

HE : Saya kira penting, karena ketika orang tua itu bermain bersama anak akan memberi arti penting bagi relasi orang tua dengan anak. Orang tua tidak semata-mata bersikap polisi yang selalu beusaha menegakkan aturan atau guru yang mengajar secara otoriter, dengan marah-marah dan yang harus selalu mengarahkan anak bahkan mungkin juga yang tidak mau tahu tentang kebutuhan anak-anaknya.

Orang tua yang bersama anak itu adalah orang tua yang dekat dan hadir di dalam keseharian anak-anaknya.
(2) GS : Kalau begitu memang alasannya cukup penting sekali meluangkan waktu untuk bisa bermain-main dengan anak kita. Tapi kalau tidak terpenuhi artinya kita tidak bisa bermain-main dengan anak kita, apa dampak pada si anak?

HE : Ada beberapa contoh dampak, misalnya ada jarak yang membatasi, ada gap antara orang tua dengan anak. Orang tua dengan anak ini hidup seolah-olah di dalam dunia sendiri-sendiri sehingga mesipun hidup di bawah satu atap, tapi masing-masing merasa kesepian.

Kemudian kemungkinan yang lain adalah komunikasi antara orang tua dan anak menjadi komunikasi yang serius dan formal semata-mata. Dengan demikian anak itu tidak berani mengemukakan isi hatinya pada orang tua. Hal lain lagi yaitu hubungan antara anak dengan orang tua menjadi hubungan yang hanya terjadi kalau ada kepentingan yang mendesak. Jadi misalnya kalau anak membutuhkan sesuatu, anak baru bicara dengan orang tua atau orang tua mau meminta anak melakukan sesuai dengan keinginan orang tua, orang tua baru bicara dengan anaknya. Hubungan yang demikian memungkinkan terjadinya saling manipulasi antara anak dengan orang tua. Bahkan mungkin anak yang dekat dengan ibunya akan lebih mau bicara dengan ibunya, anak yang dekat dengan ayahnya meminta sesuatu kepada ayahnya dan seterusnya. Dan hal yang lain lagi adalah mungkin saja anak merasa orang tuanya tidak menyayangi mereka karena orang tuanya kalau ketemu dengan anak selalu marah-marah, menasihati, sekalipun orang tua sebetulnya tidak bermaksud tidak menyayangi tetapi akan dipandang anaknya kalau tidak menyayangi.
(3) GS : Artinya hubungan orang tua dengan anak ini menjadi renggang ya Pak, padahal sebenarnya diharapkan ada keakraban antara orang tua dan anak. Nah sebenarnya apa arti penting bermain bagi anak, Pak?

HE : Ada beberapa arti penting bermain bagi seorang anak yaitu bisa hanya sekadar semacam kesenangan dan kegembiraan. Dan saya kira itu sangat penting dan sehat untuk kehidupan anak-anak. Dan kmudian bisa berarti memberikan pelepasan dari beban stres anak sehari-hari, dia mempunyai alternatif untuk mengalihkan perhatiannya.

Kemudian juga sebagai sarana belajar, baik secara sosial jadi dia belajar bagaimana berelasi dengan orang lain tetapi lewat mainan dan juga dia belajar keterampilan pada umumnya. Ada banyak keterampilan yang bisa anak pelajari melalui bermain, kemudian bermain ini juga bisa membuat atau membuka minat dan peluang anak untuk memasuki dunia orang dewasa. Jadi misalnya permainan pura-pura, permainan dokter-dokteran, permainan antara penjual dengan pembeli dan sebagainya itu membuka minat anak untuk bidang-bidang pekerjaan nantinya bila sudah dewasa.
GS : Apakah dalam permainan itu mendapat manfaat, yang mendapat manfaat itu anak atau orang tua?

HE : Orang tua juga bisa mendapatkan manfaat.

GS : Misalnya apa Pak?

HE : Misalnya orang tua itu kalau bermain bersama anaknya dia bisa juga menikmati suatu keadaan rileks, jadi orang tua sebetulnya juga mendapat selingan dan hiburan kalau misalnya pulang dari kntor capek atau habis bekerja atau habis bertengkar dengan relasi dan sebagainya.

Kalau bermain dengan anak bisa menimbulkan suatu suasana yang lain. Kemudian perlu juga kita ingat bahwa orang tua itu adalah manusia biasa. Di dalam bermain, orang tua bisa menunjukkan dirinya betul-betul seperti manusia biasa yang bisa sekali-sekali kalah dan juga harus mengakui kelemahan dan keterbatasannya. Dengan begitu orang tua akan merasa lebih dekat dengan anak yang diajaknya bermain. Dan selain itu orang tua juga bisa mendapatkan kekuatan baru untuk menghadapi stres. Jadi misalnya kalau dia harus bekerja lagi keesokannya, dia sudah mendapat tenaga yang baru dan semangat yang baru.
GS : Dalam hal bermain ini, apakah orang tua harus menyesuaikan dirinya dengan anak, Pak Heman?

HE : Kita perlu menyesuaikan diri dengan anak-anak kita, tapi di samping itu juga sebetulnya permainan ini bisa dimanfaatkan oleh orang tua untuk mengarahkan, mendidik anak-anaknya.

GS : Tadi bukan sekadar bermain ya Pak, jadi orang tua sering kali mau memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk pendidikan anaknya. Jadi dalam bermain itu orang tua masih punya kesempatan untuk mendidik ya Pak?

HE : Betul, jadi ini manfaatnya bermain antara orang tua dengan anak, permainan itu sendiri bisa dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak. Biasanya orang tua berpendapat bahwa bermain ya bermain, alau belajar ya belajar tetapi sebetulnya antara bermain dengan belajar itu bisa dipadukan, bahkan akhir-akhir ini ada beberapa metode yang menggabungkan antara bermain dengan belajar, karena dengan demikian anak-anak belajar dengan satu minat yang besar dengan satu kesenangan.

GS : Contohnya apa Pak?

HE : Jadi katakanlah bermain dengan beberapa permainan misalnya monopoli. Monopoli itu ada strateginya, ada keterampilannya dan juga orang tua sebetulnya bisa mengarahkan anak-anak ini dari seg emosi.

Misalnya kalau mereka kalah kemudian mengambek, kita bisa mengarahkan mereka, atau mengarahkan relasi mereka misalnya tidak boleh menipu, tidak boleh berbuat curang. Orang tua dengan bermain bersama anak ini sekaligus bisa mengontrol jadwal anak-anak kita. Misalnya mengingatkan atau membantu mereka sehingga mereka bisa belajar berdisiplin diri dan memperhatikan juga waktu bermain. Mereka bisa mengatur waktu bermain dengan waktu tidur, dengan waktu belajar, waktu makan dan sebagainya. Kemudian orang tua juga sekaligus bisa mengajarkan anak-anak strategi bermain, sehingga mereka menjadi bisa bermain dengan terampil, tetapi sekaligus juga dengan jujur.
GS : Ya kalau kita memang secara sadar mau mengajak mereka bermain sekaligus belajar tentunya ada jenis-jenis permainan tertentu yang cocok untuk hal ini, yang bisa menunjang tujuannya, tetapi juga ada permainan-permainan yang kurang menunjang tujuan ini. Jadi membuat anak bermain dan belajar, mungkin Pak Heman bisa sampaikan kepada para pendengar, kepada kita semua ini, bagaimana memilih mainan yang cocok untuk anak?

HE : Mainan yang kita pilih itu bukan berarti harus selalu mainan yang mahal dan canggih. Ada beberapa mainan yang sederhana-sederhana saja, tetapi bisa mengajarkan banyak hal dan dilakukan berama anak tanpa rasa bosan.

Bukan selalu mainan harus kita beli, misalnya tadi sudah disebutkan tentang monopoli, catur, jengga, kemudian permainan pasang-pasangan nah itu semua ada alatnya ya. Tetapi kita juga bisa bermain dengan anak dengan permainan pura-pura seperti tadi penjual dan pembeli, bahkan mungkin juga kadang-kadang bergulat bersama anak, terus orang tua berpura-pura kalah dan sebagainya. Ada beberapa mainan yang perlu kita waspadai karena dampak negatifnya yang bersifat merusak, jadi kita harus mewaspadai mainan-mainan yang membawa dampak kekerasan dan juga pornografi yang saat ini banyak sekali. Misalnya beberapa permainan playstation, computer games yang sangat sadis dan sangat riil, sebaiknya itu tidak diberikan kepada anak-anak, demikian juga senjata-senjata yang bisa membahayakan, bisa menembakkan peluru dan sebagainya itu akan berdampak buruk bagi anak-anak kita. Nah beberapa alternatif yang lain itu misalnya kita bisa memberikan anak-anak kita permainan memasang lego, memasang lasi, 'jigsaw-puzzle' bahkan teka-teki silang kemudian bermain sandiwara bersama mereka, permainan-permainan yang tradisional misalnya petak umpet, memancing ikan, mendaki gunung, berlayar dan sebagainya. Ini semua bisa dipakai orang tua untuk bermain bersama anak sekaligus mendidik mereka.
GS : Anak itu sifatnya pembosan, dia tidak tahan lama-lama misalnya monopoli, sering kali kita masih lagi seneng-senengnya main apalagi menang tetapi si anak ini sudah mulai bosan. Nah kalau kita sudah melihat tanda-tanda kebosanan di dalam diri anak itu, apa yang sebaiknya kita lakukan, Pak?

HE : Memang kita harus mencari variasi dan mencari permainan-permainan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tidak bisa kita memberikan permainan-permainan yang terlalu rumit atau terlau sulit bagi anak-anak.

Demikian juga kita tidak bisa memberikan permainan yang jauh di bawah tingkat perkembangan usia mereka, jadi memang tidak terlalu mudah tetapi bisa diupayakan. Berikan permainan yang cukup bervariasi, juga berikan permainan yang sesuai dengan tingkat perkembangan usia mereka.
GS : Jadi harus ada suatu tantangan terhadap anak. Tetapi kalaupun kita sudah berusaha sedemikian rupa, anak itu merasa lebih senang bermain dengan teman-temannya daripada dengan kita, lalu bagaimana kita harus bersikap Pak?

HE : Ini memang suatu hal yang tidak mudah untuk dipecahkan tetapi ada beberapa usaha yang bisa disarankan di sini. Yang bisa kita lakukan sebagai pendahuluannya itu kita harus membina kembali ubungan akrab dengan anak terlebih dulu.

Jadi supaya anak-anak ini bisa dekat dengan kita terlebih dulu. Biasanya begini orang tua sudah mempunyai hubungan yang agak kaku atau mungkin orang tua terasa angker bagi anak-anaknya, sehingga ketika orang tua mengajak anak bermain, anak itu seperti kaget dan atau kurang mau dekat dengan orang tua. Untuk itu kita perlu upayakan dulu dengan beberapa cara misalnya mengajak anak bicara, cerita-cerita, tanpa memberikan nasihat-nasihat, mungkin beberapa kali mengajak anak itu jalan-jalan, kemudian waktu jalan-jalan kita juga mengajak mereka bercerita, kita tanya mereka dan sebagainya. Sekali-kali lakukan sentuhan-sentuhan fisik dengan lembut, misalnya memegang tangan anak kita, menggandengnya, memegang bahunya dan kemudian kita mulai dengan permainan-permainan sederhana yang disukai dengan anak. Dan jangan menunjukkan kita itu jauh di atas mereka, jadi kita harus menyesuaikan diri dengan tingkat kemampuan mereka, bahkan kalau perlu kita bermain sepertinya kita berada sedikit di bawah mereka. Kadang-kadang kita "kalah" sehingga anak itu tidak merasa frustrasi, kalau anak terus-menerus kalah dia tidak mau bermain dengan orang tuanya lagi. Dan juga yang sangat penting adalah ciptakan hubungan yang harmonis dengan pasangan Anda, karena itulah yang membuat anak bisa menikmati permainan bersama orang tuanya. Kalau ada hubungan yang tidak harmonis antara suami dan istri, maka anak tidak menikmati bermain dengan orang tuanya.
GS : Jadi bisa melibatkan istri atau berdua, orang tua bermain dengan anak-anak sekaligus ya Pak?

HE : Bisa atau sendiri-sendiri. Yang memang sangat bisa dinikmati kalau misalnya semua satu keluarga bisa terlibat.

GS : Nah itu di dalam permainan ya Pak, sering kali kadang-kadang di pihak anak itu timbul pertengkaran atau marah dan sebagainya. Bagaimana menyikapi kalau pada waktu suasana senang lalu ada anak yang marah?

HE : Dalam hal ini orang tua jangan menganggap serius tentang kemarahan anak, kalau orang tua terlalu tegang dengan kemarahan anak, akhirnya anak tidak bisa menikmati lagi permainan seperti itu Jadi yang kita perlu usahakan adalah rileks saja, hadapi kemarahan anak dengan wajar-wajar saja dan kemudian kita mungkin dengan tertawa sebentar, kemudian kita berhenti bermain lalu kita katakan misalnya: "Ya tidak semua orang menang setiap waktu, dan kamu lihat Papa atau Mama juga pernah kalah, apakah Papa terus marah-marah, apakah Papa terus mengambek,tidak.

Nah kamu juga harus belajar menguasai diri, kadang-kadang menang, kadang-kadang kalah dan itu tidak masalah namanya permainan," seperti itu yang bisa kita katakan.
GS : Jadi tetap memotivasi anak untuk tetap dekat dengan kita, tetapi bagaimana halnya kalau memang anak itu tidak senang dengan jenis mainan atau permainan yang kita tawarkan ke dia, Pak?

HE : Ya kalau anak tidak mau bermain dengan mainan-mainan yang kita tawarkan, mungkin kita perlu ketahui dulu penyebabnya apa. Kadang-kadang anak tidak mau bermain dengan mainan-mainan yang kit rasakan menarik dan mahal, padahal kita sudah upayakan dan rasakan berguna bagi mereka.

Yang pertama kemungkinan suasana di rumah itu panas. Kalau suasana di rumah tidak harmonis, anak-anak itu dengan cepat bosan meskipun mainan itu sangat menarik, tetapi rasanya anak ingin marah saja sehingga dia tidak mau bermain. Yang kedua adalah anak-anak ini melihat teman-temannya mempunyai permainan-permainan yang lebih bagus, lebih canggih. Dengan demikian anak-anak ini merasa apa yang diberikan orang tuanya tidak memuaskan mereka. Nah ini beberapa sebab, dalam hal ini anak perlu diajar untuk mencukupkan diri dengan apa yang bisa orang tua sediakan dan dengan apa yang diberikan kepada mereka. Penguasaan diri ini tentunya juga perlu kita ajarkan kepada mereka di dalam kesempatan-kesempatan misalnya kita bicara bersama mereka, kita bercerita mendongeng ketika malam sebelum tidur dan sebagainya. Yang ketiga adalah mainan yang kita pilihkan itu kurang sesuai dengan tingkat usia mereka, sehingga mereka malas bermain. Jadi di dalam hal ini kita perlu melihat, menyesuaikan dengan tingkat usia mereka juga. Yang keempat kemungkinan kita memberikan mainan-mainan yang terasa monoton, itu-itu saja, kurang bervariasi juga akan menyebabkan anak kurang suka bermain. Kalau bisa berikan kepada mereka mainan-mainan yang mempunyai banyak sekali kemungkinan untuk dimainkan, jadi ada cukup banyak permainan yang bisa dimainkan dengan berbagai cara. Saya kira akan lebih menarik perhatian mereka untuk bermain.
GS : Jadi menuntut anak untuk lebih kreatif juga, selain kita juga harus kreatif menyediakan mainan itu. (HE: betul) tetapi apakah pengaruh teman-temannya itu sangat besar Pak, jadi kalau temannya punya mainan A dia juga inginnya dapat mainan yang seperti A itu tadi, paling tidak yang mirip-mirip. Tapi kalau bedanya terlalu jauh dia tidak mau.

HE : Kuncinya di sini sebetulnya hubungan akrab antara orang tua dengan anak yang tadi saya sudah singgung. Kalau orang tua ini akrab dengan anaknya, umumnya anak akan lebih kooperatif dengan oang tua.

Anak akan bisa memahami orang tuanya, jadi selain orang tua memahami anak, anak juga tidak menuntut, tidak memaksa. Dan pengalaman kami, anak itu senang bermain dengan sesuatu yang kelihatannya hanya itu-itu saja, tetapi yang dia cari sebetulnya adalah keakraban itu tadi.
GS : Setelah bermain bersama biasanya orang tua langsung pergi karena ada kesibukan, mungkin harus terima telepon dan sebagainya lalu bilang itu tolong dibersihkan, tolong diatur lagi. Tetapi dia tinggal begitu saja, jadi orang tuanya meninggalkan arena bermain itu lalu anaknya yang diperintahkan untuk membersihkan malah meninggalkannya. Bagaimana itu Pak Heman?

HE : Sebaiknya untuk membersihkan dan membereskan mainan juga perlu dilatihkan kepada anak dan kalau bisa orang tua bersama-sama dengan anak merapikan. Memang nantinya kita berharap bahwa anak ama-kelamaan bisa merapikan mainan sendiri, tetapi pada mulanya anak perlu dibantu.

Jadi kita memberikan contoh dan kita mengajak anak-anak itu untuk bersama-sama merapikan mainan, ini jauh lebih baik.
GS : Sehubungan dengan contoh itu tadi, memang keteladanan itu sesuatu yang bicara cukup keras, memberikan kesan yang cukup keras kepada anak dan kepada kita semua bahkan yang sudah dewasa ini. Apakah Tuhan Yesus juga melakukan hal yang sama terhadap para murid?

HE : Saya kira ya dan ada contoh yang menarik, sebaiknya saya bacakan saja ada suatu kisah tentang Tuhan Yesus berjalan di atas air dari Matius 14:25-33 . "Kira-kira jam tiga mlam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air.

Ketika murid-muridNya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: "Itu hantu!", lalu berteriak-teriak karena takut. Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: "Tuhan, apabila itu Engkau, suruhlah aku datang kepadaMu berjalan di atas air." Kata Yesus: "Datanglah!" Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan berkata: "Tuhan, tolonglah aku!" Segera Yesus mengulurkan tanganNya, memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah. Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: "Sesungguhnya Engkau Anak Allah." Nah di sini kita melihat beberapa hal yang menarik yaitu kenapa Tuhan perlu-perlunya berjalan di atas air sampai mengejutkan murid-muridNya dan spontan murid-muridNya ini mengatakan itu hantu, nah ini seolah-olah seperti orang tua yang bermain ciluk ba dengan anak-anaknya. Tetapi di balik ini ada permintaan Petrus yang juga tampaknya kekanak-kanakan, Petrus ini minta kepada Tuhan untuk berjalan di atas air, ini cukup lucu seperti kalau saya juga pingin sekali kalau bisa berjalan di atas air. Ternyata inipun dipenuhi oleh Tuhan Yesus, Tuhan Yesus mengatakan datanglah, dan di sini kita melihat ada pengajaran yang luar biasa berharga setelah itu dan Tuhan Yesus dengan seolah-olah "bermain-main" seperti itu, ternyata mengajarkan pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan oleh Petrus, berjalan di atas air hampir tenggelam dan kemudian mengajarkan kepadanya tentang iman.
GS : Jadi memang itu suatu keteladanan yang baik sekali dan seharusnya kita sebagai orang tua yang dikaruniai Tuhan dengan anak-anak sungguh-sungguh berusaha menyediakan waktu bagaimanapun sibuknya kita, bagaimanapun lelahnya kita, Pak Heman. Dan saya percaya sekali banyak pendengar kita setelah ini akan lebih banyak memberikan perhatian kepada anak-anak, karena anak-anak memang membutuhkan itu bahkan kita sendiri sebagai orang dewasa juga membutuhkan suasana yang akrab, rileks, melepas ketegangan itu.

Jadi banyak terima kasih Pak Heman, untuk perbincangan kali ini dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang suatu pokok yaitu "Bermain Bersama Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran serta pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



33. Mengajar Anak Berdoa


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T102A (File MP3 T102A)


Abstrak:

Berdoa adalah perlu kita ajarkan kepada anak sejak anak masih bayi, pada saat dia masih belum mengerti apa-apa. Dengan doa, anak akan selalu merasa bahwa dia harus hidup di hadapan Tuhan dan dia tidak bisa lari dari hadirat Tuhan.


Ringkasan:

Berdoa sesungguhnya perlu kita ajarkan kepada anak sejak anak masih bayi, pada saat dia masih belum mengerti apa-apa. Misalnya waktu kita menggendong, kita mengajak mereka bercakap-cakap, atau juga kita selipkan doa-doa kita sehingga anak-anak meskipun belum mengerti tapi mereka menghayati suasana doa.

Yang perlu kita lakukan untuk mengajar anak berdoa:

  1. Yang pertama, kita perlu perhatikan adalah contoh dari orangtua lebih dulu. Meskipun anak-anak ini tidak mengerti berdoa, berkata-kata kepada sesuatu pribadi yang tidak kelihatan langsung, tetapi sikap berdoa mungkin itu yang perlu kita ajarkan dan kita contohkan terlebih dulu.

  2. Kita menanamkan sikap berdoa dulu waktu kecil dan ada baiknya ketika anak-anak mulai bisa berkomunikasi, anak-anak sudah mulai berkata-kata anak diajak untuk menhafal doa.

  3. Kita ajak anak-anak untuk mendoakan misalnya temannya, mendoakan kakak atau adiknya, mendoakan ayah atau ibunya.

  4. Kita juga bisa mengajarkan doa Bapa Kami, dan kita juga harus membiasakan anak untuk berdoa sesuatu secara bebas. Jadi kita berusaha melatih mereka untuk berdoa mengucapkan apa saja kepada Tuhan.

Dampak positif dari kita mengajarkan anak berdoa adalah dengan doa, anak selalu merasa dia harus hidup di hadapan Tuhan dan dia tidak bisa lari dari hadirat Tuhan. Dan ketika dia dewasa ada kemungkinan dia akan mengingat masa-masa indah ini di mana dia berdoa bersama keluarganya, dia diajarkan untuk berdoa dan dia pasti akan mengingat hal-hal ini.

1 Samuel 1:27-28 , "Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya. Maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan, lalu sujudlah mereka di sana menyembah kepada Tuhan."

Ayat ini mengisahkan tentang Hana yang mendapat anak yaitu Samuel dan dia mengucap syukur kepada Tuhan dan saya kira sikap ini penting bagi orangtua yaitu bagaimana orangtua itu menyerahkan anak-anaknya kepada Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini bersama Bp. Heman Elia, M. Psi., beliau adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang; kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat, dan perbincangan kami kali ini kami beri judul 'Mengajar Anak Berdoa". Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, kita tahu bahwa berdoa atau mendidik anak untuk bisa berdoa dengan baik itu penting sekali, karena kita sendiri juga sudah merasakan manfaatnya. Tetapi masalahnya kapan mau dimulai atau bagaimana caranya kita memulai itu yang kadang-kadang banyak orang tua agak kesulitan. Sebenarnya bagaimana mengajar anak untuk bisa berdoa sendiri?

HE : Ya tentu perlu tahapan-tahapan Pak Gunawan, karena anak itu perlu dibiasakan dari kecil untuk berdoa, misalnya kalau menunggu dia remaja baru kita mengajarkan mereka berdoa mungkin akanada rasa malu, rasa segan bagi anak-anak ini.

Karena itu perlu mulai mengajar mereka berdoa sejak dini, sejak kecil.
GS : Nah masalahnya ini Pak Heman, doa itu 'kan seolah-olah kita sedang berbicara pada seseorang, nah kesulitannya adalah bagaimana mengajarkan kepada anak ini untuk berbicara pada sesuatu yang dia sendiri tidak lihat.

HE : Pertama-tama yang perlu kita perhatikan adalah contoh dari orang tua lebih dulu, meskipun anak-anak ini tidak mengerti berdoa, berkata-kata kepada sesuatu pribadi yang tidak kelihatan lngsung, tetapi sikap berdoa mungkin itu yang perlu kita ajarkan dan kita contohkan terlebih dulu.

Bukan yang terutama orang tua menjelaskan dulu kepada siapa kita berdoa dan sebagainya, karena itu tidak relevan dan tidak akan dimengerti oleh anak, justru akan menimbulkan berbagai pertanyaan yang kurang perlu. Jadi pertama-tama adalah kita mengajarkan kebiasaan berdoa lebih dulu.
GS : Mereka sering melihat kita berdoa, ikut memejamkan mata dan sebagainya, tetapi pada gilirannya kita meminta anak kita itu untuk berdoa begitu. Nah sebaiknya pada kesempatan apa itu Pak Heman, pada waktu acara makan bersama atau waktu mau tidur atau apa, Pak Heman?

HE : Ya itu yang paling dasar saya kira waktu makan, waktu tidur dan sebagainya. Sebetulnya masalah berdoa ini kita bisa mengajarkan sejak anak itu masih bayi, saat dia belum mengerti apa-apa. Misalnya waktu kita menggendong anak-anak ini, kita mengajak mereka bercakap-cakap, kadang-kadang di dalam percakapan ini kita tanya sendiri, kita jawab sendiri dan di antara itu kita selipkan doa-doa kita. Dengan demikian anak-anak ini meskipun belum mengerti, tapi mereka menghayati suasana doa dan kemudian ketika anak ini semakin besar, ketika mereka sudah bisa diajak berkomunikasi meskipun mereka belum bisa berbahasa atau berbicara dengan bahasa yang kita gunakan, mereka kita ajak untuk misalnya melipat tangan, menutup mata dalam sikap berdoa dan kita sendiri yang berkata-kata.

GS : Di situ peran ibu sangat besar Pak, karena anak lebih banyak waktunya dengan ibu. Nah, bagaimana peran ayah di sana?

HE : Ayah juga penting sebetulnya, kelihatannya memang ayah tidak sering, mungkin tidak sering merawat si bayi seperti ibunya, tetapi ayah ini juga perlu mendoakan anaknya. Terutama waktu maam anak mau tidur, nah ayah bisa mengajak anaknya itu untuk berdoa.

GS : Tentu anak ini dengan pola pikir yang sederhana, dengan kalimat-kalimat yang sederhana mungkin Pak Heman bisa memberikan contoh, Pak Heman?

HE : Pada waktu anak-anak masih sangat muda dan mulai bisa berkata-kata, kita bisa mengajarkan misalnya terima kasih Tuhan atau terima kasih Bapa, amin! Hanya itu saja kata-kata yang pendek-endek, waktu makan misalnya Tuhan berkati makanan ini, amin! Hanya kata-kata yang pendek-pendek dulu.

Ketika anak semakin besar dan dia semakin banyak perbendaharaan katanya kita boleh tambahkan lebih panjang dan lebih panjang.
GS : Ya itu biasanya bertambah sendiri sesuai dengan perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak itu, tetapi apakah itu bisa mendorong atau memotivasi si anak ini supaya tanpa pengawasan kita pun dia secara keinginannya sendiri itu berdoa, Pak?

HE : Itu baru pada anak-anak yang sudah lebih besar. Yang penting di sini adalah kita menanamkan sikap berdoa dulu waktu kecil dan ada baiknya ketika anak-anak mulai bisa berkomunikasi, anakanak sudah bisa mulai berkata-kata, anak diajak untuk menghafal doa.

Mulanya memang begitu perkembangannya, jadi anak-anak ini belajar menghafal, lalu kita juga ajak anak-anak ini untuk mendoakan misalnya mendoakan temannya, mendoakan kakaknya atau adiknya, mendoakan ayah ibunya. Dan menurut pengalaman saya anak waktu usia misalnya 3 tahun pun dia sudah bisa mendoakan orang lain dengan baik, meskipun kadang-kadang masih pelo-pelo.
GS : Biasanya sekalipun dia sudah terbiasa di rumahnya sendiri memimpin atau berdoa, kadang-kadang kalau ada temannya atau saudaranya yang menginap di rumah, kemudian menjadi enggan, malu atau bagaimana itu Pak?

HE : Ya kita mesti bertahap, mungkin kita berikan contoh lebih dulu, kita katakan bahwa setiap orang di sini memimpin doa secara bergiliran. Jadi ayahnya berdoa lebih dulu dengan kata-kata yng pendek, singkat, supaya anaknya tidak minder, kemudian ibunya juga berdoa dan kemudian giliran anak dan kemudian tamunya.

Jadi mudah-mudahan dengan cara ini anak lebih tertolong dari rasa malunya, kalau misalnya itu tidak jalan orang tua dapat memimpin doa, "OK, mungkin kamu masih malu ya" misalnya begitu, kita berdoa sama-sama jadi ayah atau ibu yang memimpin doa kemudian diikuti oleh anak-anak.
GS : Anak-anak mempunyai daya ingat yang cukup kuat, Tuhan Yesus 'kan mengajarkan sebuah doa yang cukup panjang mungkin bagi anak yaitu doa Bapa Kami. Sering kali kita melihat di Sekolah Kristen khususnya juga atau sekolah Katolik dan sebagainya, anak diajar menghafalkan sebuah doa, itu bagaimana Pak?

HE : Saya kira itu baik-baik saja dan memang itu perlu dilakukan. Doa Bapa Kami misalnya itu memberitahukan bagaimana seharusnya kita berdoa. Paling sedikit di sana banyak prinsip-prinsip yag kita bisa pegang dengan demikian kita juga akan lebih mudah mengajarkan anak-anak ini bagaimana seharusnya berdoa dan apa saja yang perlu ada dalam suatu doa.

Juga memberi arah pada anak ini, bagaimana berdoa secara bebas.
GS : Ya tapi seringkali justru itu Pak, karena dia sudah hafal lalu diucapkan seperti otomatis gitu Pak? Nah itu apa tidak membawa suatu dampak yang negatif buat anak itu sendiri?

HE : Saya kira kita selain mengajarkan Doa Bapa Kami, kita harus membiasakan anak juga untuk berdoa sesuatu secara bebas. Jadi kita berusaha melatih mereka untuk berdoa mengucapkan apa saja epada Tuhan.

Kita katakan kepada mereka bahwa Tuhan itu adalah selain Dia itu Raja di atas segala raja yang kita harus betul-betul hormati, kita harus hidup kudus dihadapanNya sebelum kita berdoa, tetapi dia juga sayang kepada anak-anak. Dia juga dekat kepada anak-anak dan Dia juga mengasihi kita semua, Dia adalah seorang Bapak yang penuh kasih. Nah kita sebagai anak Tuhan boleh meminta apa saja dan boleh berkata-kata apa saja sama seperti anak-anak ini berkata-kata kepada ayah ibunya sendiri. Dan kemudian kita juga perlu tegaskan kepada anak-anak bahwa Yesus itu sangat menghargai anak-anak, sehingga Dia pernah mengatakan bahwa yang di kerajaan sorga ini ya seperti anak-anak ini. Dengan demikian anak-anak yang polos, yang selalu berdoa dengan kejujuran hatinya ini merasa dikuatkan dan mereka akan lebih berani untuk mengucapkan doa, meskipun dengan kesalahan-kesalahan kita harus maklumi itu.
GS : Masalah kesalahan itu pernah terjadi Pak, seorang anak itu memimpin dalam doa makan, tetapi ada juga saudara-saudaranya di situ, dia bukan anak tunggal. Nah di tengah-tengah doanya mungkin dia kehabisan kata-kata atau apa lalu terdiam jadi dia tidak bisa melanjutkan doanya, nah kakak-kakaknya ini yang mentertawakan. Oorang tua memang sudah tidak menghiraukan itu dan orang tuanya juga bersikap cukup positif, tapi sebenarnya apa yang harus dilakukan oleh orang tua seandainya hal itu terjadi Pak?

HE : Begitu anak ini terdiam, kemudian ditunggu sementara waktu misalnya (ini di luar bahwa anak ini sudah ditertawakan oleh saudaranya) katakan dia belum ditertawakan, orang tua boleh membatu dengan melanjutkannya kemudian langsung diakhiri.

Kalau misalnya dia sudah ditertawakan, orang tua wajib untuk mendidik, mengatakan kepada anak-anak yang lain, jangan ditertawakan karena kita semua tidak ada yang berdoa dengan sempurna dan Alkitab mengatakan Roh Kudus sering kali membantu kita berdoa dalam kata-kata yang kita sendiri tidak bisa ucapkan. Nah kita katakan bahwa kita harus betul-betul hormat di hadapan Tuhan dan bahwa Tuhan menghargai apapun doa kita, meskipun itu dengan ada kesalahan-kesalahan seperti itu.
GS : Ya memang yang dikhawatirkan adalah anak yang ditertawakan itu lain kali tidak mau lagi memimpin doa, agak trauma.

HE : Ya kita harus memuji anak ini bahwa bagaimanapun juga kamu sudah berusaha dengan baik, dan Tuhan menghargai doa kamu, Tuhan mendengar doa kamu, tidak sempurna tidak apa-apa. Ya memang iulah kamu belajar di sekolah dan sebagainya itu 'kan juga harus tahap demi tahap begitu.

GS : Sebenarnya bagi si anak, pengaruh positif atau dampak positif apa itu Pak yang membuat dia dipersiapkan untuk masa depannya?

HE : Ya dengan doa, anak ini akan selalu merasa dia harus hidup di hadapan Tuhan dan dia tidak bisa lari dari hadirat Tuhan. Dan ketika dia dewasa ada kemungkinan dia akan mengingat masa-mas indah ini di mana dia berdoa bersama keluarganya, dia diajarkan untuk berdoa dan dia pasti akan mengingat hal-hal ini.

Kita tidak selalu bisa mengawasi anak-anak kita, tetapi kalau anak-anak kita terbiasa hidup di dalam doa dia akan hidup di hadapan Tuhan dan Tuhan sendiri yang akan mengawasi dia pada saat kita tidak bisa mengawasi kehidupan mereka.
GS : Apakah hal-hal yang dilakukan di masa kecil ini punya suatu kenangan atau pengaruh untuk masa depannya, Pak?

HE : Ya, pasti ada kenangan-kenangan yang indah ketika anak ini berdoa, meskipun misalnya suatu ketika mereka meragukan apakah doa saya didengar, mungkin juga kadang-kadang anak ini ketika tmbuh remaja mereka berpikir apakah Tuhan sungguh-sungguh ada dan sebagainya.

Tetapi kenangan-kenangan ini akan mengingatkan mereka, ada doa-doa yang pernah dijawab, ada doa yang membuat kita semua merasa terharu dan itu yang diharapkan akan menjadikan anak-anak kita itu selalu ingat untuk hidup di dalam doa.
GS : Dalam hal berdoa seperti ini Pak, anak itu meminta sesuatu kepingin mainan atau kepingin dibelikan apa, ingin mendapatkan sesuatu. Nah orang tuanya berkata ya kamu berdoa pada Tuhan, nah kalau seandainya ternyata apa yang diinginkan oleh si anak ini tidak terkabul atau tidak terwujud bagaimana seharusnya sikap orang tua Pak?

HE : Kita katakan kepada anak demikian, kita tidak boleh menjanjikan pada anak bahwa apa yang didoakan itu pasti akan terkabul. Nah kita harus belajar, kita semua harus belajar pada doa Tuha Yesus di Taman Getsemani, di mana Dia berdoa agar Dia tidak usah minum cawan pahit itu, tetapi biar kehendak Tuhan yang terjadi.

Jadi anak-anak sering kali mengajukan keinginan kekanak-kanakannya akan suatu mainan, nah kita katakan bahwa kalau misalnya sesuatu itu entah berbahaya, entah tidak berguna atau kadang-kadang Tuhan memikirkan sesuatu yang lebih dari itu, maka ada kemungkinan permintaan itu tidak dipenuhi. Dan dalam situasi-situasi demikian kita bisa mengajar kepada anak-anak untuk lebih berpikir secara dewasa, untuk menahan diri, dan berdoa tidak hanya sekadar memuaskan hawa nafsu seperti yang dikatakan oleh Alkitab.
GS : Nah, sebaliknya kalau apa yang didoakan itu terkabul atau terwujud di dalam hidupnya. Bagaimana kita mengajarkan kepada anak bahwa doanya itu sudah dijawab oleh Tuhan?

HE : Kalau misalkan doa anak ini sudah terkabul, kita bisa katakan bahwa kita harus mengucap syukur. Karena sering kali kita mengajar anak untuk berdoa waktu dia sakit dan kita sering kali lpa ketika anak itu sudah sembuh kita minta anak untuk mengucap syukur.

Nah, di sini kita mengingatkan bahwa ketika anak sembuh, nah ini Tuhan sudah menjawab doa, meskipun itu misalnya lewat dokter dan sebagainya, tetapi yang jelas bahwa Tuhan memberikan kekuatan untuk sembuh, karena banyak orang juga tidak bisa sembuh. Dan kemudian kita mengajak dia berdoa dan mengucap syukur dengan demikian anak ini tahu bahwa doanya sudah dikabulkan.
GS : Jadi peranan orang tua di sini sebenarnya besar sekali Pak. Di dalam memberikan contoh nyata buat anak-anak, kita itu kadang-kadang juga kepingin waktu berdoa itu tidak dilihat orang termasuk anak-anak kita sendiri. Jadi kita lebih suka menyendiri, itu bagaimana Pak?

HE : Saya kira di dalam kehidupan kita adakalanya anak-anak perlu melihat orang tuanya berdoa dan berdoa ini 'kan tidak sekadar waktu makan, waktu mau tidur tetapi anak-anak perlu melihat keidupan doa dari kehidupan nyata orang tuanya.

Saya ingat tentang ayah saya, setiap pagi sebelum saya bangun, beliau sudah bangun dan berlutut berdoa, ayah saya sudah meninggal tetapi kehidupan doanya ini sangat berkesan di dalam kehidupan saya dan saya tahu ketika ayah saya berlutut di situ dia mendoakan setiap anaknya termasuk saya, dan mendoakan masa depan saya dan sebagainya. Ada satu hal juga yang saya berkesan sekali dari kehidupan ibu saya, ibu saya mengatakan sejak di dalam kandungan ketika ibu saya tahu bahwa dia hamil, maka dia sudah mendoakan saya. Jadi seumur hidup menyerahkan diri saya dan itu sangat mengharukan saya.
GS : Jadi keteladanan yang nyata yang perlu diperagakan, diperagakan di depan anak supaya mereka melihat dan bisa mencontoh begitu Pak. Nah apakah ada hal-hal penting lain yang perlu disampaikan dalam hal ini?

HE : Saya kira ada, sikap doa kita yang perlu kita ajarkan pada anak-anak. Sering kali anak-anak ini karena mereka masih suka bermain, sehingga mereka tidak bersikap hormat. Nah kita harus aarkan kepada mereka bahwa sikap hormat waktu berdoa itu sangat penting dan kemudian juga kita harus ajarkan tentang kerendahan hati dan kekudusan, waktu kita berdoa di hadapan Tuhan.

Kita ingat saja waktu Yesus memberi perumpamaan tentang membandingkan kehidupan doa orang Farisi dengan pemungut cukai, nah di situ mengajarkan tentang kerendahan hati seorang pemungut cukai yang doanya diterima oleh Tuhan. Demikian juga tentang kekudusan, ketika ada dosa di dalam diri kita, kita tidak bisa berdoa dengan baik di hadapan Tuhan. Ini saya kira penting kita ajarkan kepada anak ketika kita ingin supaya mereka berdoa.
GS : Apakah ada ayat Alkitab yang tepat Pak yang bisa mendasari atau menjadikan suatu kesimpulan dari pembicaraan kita saat ini?

HE : Saya akan bacakan dari 1 Samuel 1:27-28 , "Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari padaNya. Maka akupun menyerahkanya kepada Tuhan; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan, lalu sujudlah mereka di sana menyembah kepada Tuhan."

Ayat ini mengisahkan tentang Hana yang mendapat anak yaitu Samuel dan dia mengucap syukur kepada Tuhan dan saya kira sikap ini penting bagi orang tua yaitu bagaimana orang tua ini menyerahkan anak-anaknya ini kepada Tuhan. Di dalam doanya orang tua mengatakan demikian, seumur hidup terserah anak saya mau dipakai Tuhan seperti apa, nah saya kira ini penting sekali. Dan ada hal lain juga yang perlu kita ajarkan kepada anak-anak mengenai doa yaitu di dalam doa kita tidak hanya semata-mata meminta sesuatu dari Tuhan, tetapi juga misalnya bersyukur, mungkin juga memuji-muji kebesaran Tuhan atau hanya sekadar berdiam diri, merenungkan kebesaran Tuhan dan berdiam di hadapanNya. Saya kira kehidupan ini yang kita perlu ajarkan kepada anak-anak kita.

GS : Saya percaya bahwa pembicaraan kita ini penting sekali khususnya pada generasi yang sekarang ini di mana banyak kesibukan orang tua, tetapi juga tidak bisa memberikan suatu teladan yang nyata kepada anak-anak mereka untuk berdoa dan sebagainya. Kehidupan doa ini kita tahu sesuatu yang penting sekali dan saya percaya bahwa para pendengar kita dan kita sekalian juga akan memulai bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun beratnya, tetapi itulah panggilan yang Tuhan berikan kepada kita. Saya melihat doa itu sebagai suatu hak istimewa kita yang sebenarnya Tuhan berikan untuk setiap anak-anakNya. Jadi terima kasih sekali, Pak Heman untuk perbincangan kita pada saat ini. Saudara-saudara pendengar, kami baru saja berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. di dalam sebuah judul yaitu mengajar anak berdoa. Kami percaya Anda telah mengikuti perbincangan kami dalam acara TELAGA ini dengan seksama. Namun kalau Anda masih berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, Anda dapat mengalamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



34. Aku Punya Adik


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T102B (File MP3 T102B)


Abstrak:

Memiliki anak lagi memang suatu anugerah dan karunia yang menggembirakan sekali bagi orang tua. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan munculnya suatu masalah terutama bagi anak yang sulung, karena kecenderungannya kemunculan adik atau anak kedua akan menimbulkan masalah bagi si kakak.


Ringkasan:

Punya anak lagi itu sering kali merupakan kebahagiaan tersendiri bagi orang tua. Tapi apakah ini juga akan terjadi pada anak kita yang akan jadi kakak? Belum tentu, dan kebanyakan anak akan mengalami stres, meskipun awalnya sebagian anak merasa senang. Masalah yang banyak dialami orang tua adalah sang kakak menjadi lebih manja, cengeng, rewel, pemarah, dan mengalami kemunduran perkembangan.

Perasaan semacam ini sudah hampir pasti akan timbul. Tugas kita adalah memberi pengertian yang justru tidak memperberat masalahnya, melainkan membantu anak melihat dari sudut pandang yang positif, bahwa kita tetap menganggapnya sebagai kekasih kita, sekalipun harus berbagi kasih dengan orang lain.

  1. Siapkan sang kakak menghadapi kelahiran adik.
  2. Ketika adik lahir, orang tua bergantian memberi perhatian pada masing-masing anak.
  3. Utamakan kakak di hadapan para tamu.
  4. Ajak anak Anda untuk membantu Anda.

Satu prinsip di sini adalah kita tidak boleh membuat anak merasa dibanding-bandingkan satu dengan lainnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Prinsip lain adalah kita harus membuat anak merasa diperlakukan secara adil. Bukan berarti kita harus memperlakukan semua anak secara sama, melainkan kita perlu menyeimbangkan hak dan kewajiban setiap anak sesuai dengan usia mereka. Dengan demikian kita akan mengurangi problem iri hati antar saudara kandung.

Mazmur 133 , "Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan selama ± 30 menit ke depan dan perbincangan kami kali ini kami beri judul "Aku Punya Adik". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita sekalian.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, tentu sebagai orang tua akan merasa senang kalau tahu bahwa kita bakal dikaruniai anak yang berikutnya, jadi kita sudah punya anak yang pertama lalu istri kita hamil lagi. Tetapi masalahnya bagaimana mempersiapkan anak yang sulung atau anak yang mendahuluinya itu karena ada banyak masalah yang sering kali muncul. Anak saya sendiri dulu ketika dia tahu bahwa dia punya adik malah dianggap menjadi saingannya dia dan anak kami beda usianya tidak terlalu jauh cuma 15 bulan, nah itu bagaimana sebenarnya Pak Heman, menolong orang tua yang mengalami masalah seperti ini?

HE : Untuk menolong orang tua seperti ini saya kira di sini orang tua ada peran untuk mengurangi beban pikiran, beban perasaan pada sang kakak. Ada tahapan-tahapan yang perlu kita persiapka untuk sang kakak ini sejak si adik ini belum lahir, jadi disiapkan langkah demi langkah supaya lama kelamaan si kakak ini sudah bisa menerima kenyataan akan lahirnya adik.

Dan yang perlu diingat orang tua sebagai prinsip di sini adalah orang tua membantu anak yaitu sang kakak ini untuk bisa mengangkat beban, beban ini tetap harus ada tetapi beban ini bisa diangkat oleh si anak.
GS : Mungkin ketika adiknya masih di dalam kandungan itu tidak terlalu menimbulkan masalah, apa memang begitu Pak?

HE : Ya kadang-kadang begitu, karena bagaimanapun si kakak ini misalnya terutama pada anak pertama dia mendapat perhatian yang cukup meskipun ibu ini sudah hamil tetapi seluruh perhatian mash ada pada sang kakak, dengan demikian sang kakak belum terlalu merasa kehilangan perhatian dan sebagainya.

GS : Tapi begitu adiknya lahir, dia mulai merasakan bahwa perhatian orang tua mulai terpecah mungkin itu yang dirasakan.

HE : Betul dan anak-anak ini akan mengalami berbagai masalah.

(2) GS : Biasanya apa reaksi anak terhadap situasi seperti itu Pak?

HE : Anak ini akan bisa lebih manja, lebih cengeng, rewel, pemarah dan juga kadang-kadang mereka ini mengalami berbagai kemunduran perkembangan. Sebagai contoh misalnya tadinya sudah tidak nompol, wah...ini

ngompolnya sering sekali misalnya, atau misalnya anak ini tadinya sudah bisa bicara dengan lumayan jelas, sekarang kembali lagi ternyata bicaranya wah menjadi kacau atau pun kembali lagi pada tahap sebelumnya di mana dia masih belum bisa bicara dengan jelas.
GS : Nah menurut pengamatan Pak Heman, makin jauh jarak usianya makin timbul masalah atau bagaimana Pak?

HE : Kalau misalnya terpaut di atas 5 tahun antara kakak dengan adik, nah ini masalahnya tidak akan sebesar misalnya kalau beda seperti anaknya Bapak tadi terpaut 15 bulan. Karena apa? Karen selain kematangan berpikir anak, juga anak-anak usia 5 tahun itu sudah disibukkan oleh sekolah-sekolahnya, pelajaran di sekolahnya sehingga dia tidak begitu perhatian kepada masalah dengan adiknya ini.

GS : Ya tapi mungkin kalau baru 1½ maksudnya saya 15 bulan atau sampai 18 bulan itu, anak itu lebih cepat diajak, ditarik perhatiannya untuk hal-hal yang lain dibandingkan dengan mereka yang beda 2 tahun atau 3 tahun malah jadi lebih sulit begitu.

HE : Jadi maksud Bapak kalau misalnya ditarik perhatian, boleh Pak Gunawan memberikan contoh mungkin?

GS : Misalnya sementara ibunya menyusui adiknya, nah dia bisa diajak ke tempat bermain yang lain, kita bisa mendampingi dan dia sudah istilahnya keslimur, jadi dia lupa akan masalah itu, dia tidak menghiraukan itu lagi begitu.

HE : Itu adalah salah satu contoh sebetulnya dan menurut saya ada baiknya itu dilakukan oleh kedua pasangan misalnya pada saat ibu ini harus sibuk dengan bayinya, sang ayah harus cepat-cepatmengambil bagian untuk lebih banyak memperhatikan si kakak dan harus putar begitu.

Ketika si ayah harus melayani si baby, nah ibunya ini lebih banyak memperhatikan sang kakak.
GS : Ya jadi memang ada semacam perjanjian, ada kesepakatan begitu Pak?

HE : Ya, dan ini bahkan bisa dilakukan sejak sebelum bayi lahir, pada waktu sang bayi belum lahir si ayah perlu menjalin hubungan yang lebih dekat dengan si kakak ini untuk persiapan kalau msalnya si ibu ada di rumah sakit, kemudian si ibu melayani babynya lebih banyak, jadi ada kedekatan antara si ayah dengan sang kakak ini.

GS : Tapi biasanya itu pun tidak berlangsung terlalu lama Pak Heman, jadi ada jangka waktu tertentu kemudian semuanya seperti dia memang sudah menerima kenyataan itu dan semuanya berjalan lagi seperti biasa.

HE : Ya ada beberapa kejadian seperti itu, tapi tidak sepenuhnya juga didalam arti ada beberapa anak yang kemudian karena terus-menerus melihat kehadiran adiknya yang masih bayi dan dia akanmerasa bahwa adiknya ini begitu rewelnya dan dia akan kesel sekali ketika baru saja mau bermain dengan ibunya, adiknya sudah menangis dan ibunya harus berlari-lari meladeni si bayi, nah ini dia akan menjadi bermasalah begitu.

GS : Jadi di sana sebenarnya yang bermasalah juga orangtuanya Pak ya, jadi orangtua terlalu mencurahkan perhatiannya atau kasih sayangnya kepada anak yang baru lahir ini dibandingkan dengan kakaknya itu.

HE : Ya di dalam pandangan anak seperti itu, meskipun sering kali ini tidak bisa dihindari oleh orang tua. Nah kita bisa bayangkan misalnya tentang anak, sang kakak ini bisa kita ibaratkan sperti orang tua misalnya suami-istri.

Nah si suami misalnya membawa pulang seorang kekasih dan dia mengatakan kepada si istri, pasangannya bahwa ini saya membawa pulang ini, tolong diperlakukan dengan baik jangan ganggu dia. Ketika kemudian si suami bersama kekasih ini menonton TV, si istri ini masuk dan si suami bilang kepada istri jangan ganggu kami, kami sedang menonton TV dan sebagainya, nah perasaan-perasaan ini 'kan menimbulkan perasaan jengkel kepada si istri atau sebaliknya juga si istri membawa kekasihnya, bagi suami ini suatu hal yang buruk sekali. Demikian juga perasaan si kakak ini ketika adiknya lahir kira-kira seperti itu perasaannya. Dan perasaan ini pasti sulit diatasi oleh sang kakak, otomatis itu akan terjadi sehingga sang kakak selalu menaruh suatu kejengkelan terhadap orang tua meskipun orang tua tidak bermaksud demikian.
(3) GS : Itu kira-kira membutuhkan waktu berapa lama Pak Heman biasanya untuk anak bisa menerima adiknya yang baru lahir itu?

HE : Ini tidak bisa dipastikan, tetapi bisa terjadi sampai dengan kalau misalnya si adik sudah bisa diajak main, biasanya ini akan berkurang. Tetapi perlakuan orang tua memperlakukan sang kaak dan sang adik ini juga akan mempercepat atau memperlambat proses penyesuaian ini.

GS : Apakah itu ada pengaruhnya Pak misalnya kakaknya itu laki lalu lahir adiknya yang perempuan atau sebaliknya lahir laki-laki, sama-sama laki, itu ada pengaruhnya atau tidak?

HE : Pengaruhnya saya rasa tidak terlalu beda menyolok, unsur perasaan tingkah laku mungkin bisa berbeda antara laki dan perempuan. Tetapi reaksinya itu ± hampir sama.

GS : Nah itu sebaiknya bagaimana Pak kalau misalnya tidur begitu ya, apakah kakak dan adik ini nanti dijadikan satu kamar atau dipisahkan dalam tempat masing-masing, itu sebenarnya bagaimana Pak?

HE : Saya kira sebaiknya memang kalau anak sudah sampai pada usia misalnya 4 tahun di mana dia sudah bisa mengatur dirinya, baik ada adik maupun tidak ada adik dia sudah harus dipisah. Masalhnya adalah kita mesti memberi pengertian kepada sang kakak bahwa si adik seperti juga sang kakak waktu bayi harus ditemani dan harus mendapat banyak bantuan.

GS : Itu akan lebih membuat si kakak menerima biasanya?

HE : Ya kita akan berusaha supaya sang kakak itu bisa memandang dari sudut yang lain bukan dari sudut bahwa perhatiannya itu dialihkan atau direbut, itu prinsipnya.

GS : Nah kita sebagai orang tua tentu menginginkan anak ini bukan cuma sekadar menerima adiknya, tetapi juga mengasihi adiknya, nah ini bagaimana Pak kita bisa mengajarkan hal ini?

HE : Langkah demi langkah pada saat si adik belum lahir, masih di dalam kandungan, orang tua membantu anak ini misalnya kadang-kadang bilang "O.... adiknya lagi bergerak-gerak ini coba pegan, disayang, disayang" begitu, dan orang tua mungkin bisa membelikan binatang peliharaan atau boneka yang lucu-lucu supaya anak ini mempunyai rasa sayang terhadap hal-hal yang demikian.

Dan kemudian juga anak ini dibawa ke rumah sakit untuk melihat baby, untuk menyayangi baby-baby ini atau kadang-kadang boleh mengajak ke tempat panti asuhan dan sebagainya untuk mengasihi orang lain, untuk mengasihi anak-anak kecil. Dan kemudian meminta supaya anak bersama-sama mendoakan si baby ini supaya dia lahir dengan selamat dan ketika si baby sudah betul-betul lahir akan dibawa pulang kita bisa ajak anak juga untuk membantu, dan kita puji anak ini supaya anak ini bisa timbul rasa sayangnya kepada adik ini. Memang ada masa-masa di mana sang kakak ini tidak bisa diberitahu dari sudut pandang yang lain, tetapi dengan cara-cara demikian mudah-mudahan si kakak perlahan-lahan bisa menyayangi adiknya.
GS : Nah, bagaimana kalau ada tamu yang lagi berkunjung, tentu saja tamu ini ingin melihat si bayi yang baru lahir itu, dan perhatian tamu 'kan tercurah semua kepada bayi dan ibunya pasti. Nah, anak ini merasa dia tidak diperhatikan nah itu bagaimana Pak?

HE : Ya ini point yang baik sekali, jadi pada saat semua tercurah kepada si adik, orang tua harus peka terhadap hal ini, yang saya bisa sarankan kepada orang tua adalah ketika tamu-tamu datag yang pertama kali diperkenalkan adalah sang kakak dan sang kakak ini perlu dipuji di depan tamu-tamunya, baru kemudian mereka diajak untuk melihat sang adik.

GS : Maksudnya pujian itu seperti apa pak?

HE : Ya bahwa kakak ini sudah pinter menyanyi misalnya dia juga sayang kepada adiknya dan seterusnya, kita bisa saja mencari berbagai keunggulan dari sang kakak.

GS : Ada juga juga orang tua itu yang mungkin maksudnya mendekatkan sang kakak dengan adiknya, kemudian ketika ibunya ada keperluan atau sibuk sebentar kakaknya disuruh menjaga adiknya, pada hal sama-sama kecil, hanya kakaknya lebih besar sedikit, tapi beda usianya tidak terlalu jauh, dan anak ini kadang-kadang tidak tahu bahayanya begitu Pak. Ada kakak yang berusaha memberikan botol minuman kepada adiknya, karena dia melihat ibunya juga melakukan itu, nah akhirnya adiknya tersedak karena itu masuk ke hidung. Nah ini sebenarnya bagaimana?

HE : Ya kita mesti peka juga terhadap hal ini, bahwa yang memegang tanggung jawab utama untuk mengasuh anak itu adalah orang tua, jadi ketika anak diminta bantuan itu bukan betul-betul kita ngin minta pertolongan dari sang kakak, tetapi hanya supaya sang kakak ini lebih dekat kepada adiknya.

Soalnya sangat besar kemungkinan ketika terjadi kesalahan sang kakak ini dimarah-marahi, kalau sudah dimarahi sang kakak akan jera bahkan semakin jengkel, semakin sakit hati terhadap adiknya.
GS : Jadi seolah-olah adiknya itu yang menjadi penyebab dia dimarahi, padahal tadinya untuk membuat supaya si kakak ini punya atau ada semacam kebanggaan, anak ini juga kepingin berbuat seperti yang ibunya lakukan tapi malah mencelakakan.

HE : Ya betul begitu, jadi orang tua hendaknya melatih, tetapi bukan berarti anak ini dibiarkan, dibiarkan melakukan tugas mengasuh seperti itu.

GS : Nah, Pak Heman dalam hal itu 'kan perlu perencanaan yang cukup matang, sekalipun kita bersandar sepenuhnya pada Tuhan. Tetapi sebaiknya berapa jarak usia yang normal atau ideal antara kakak dan adik itu Pak?

HE : Ya tadi saya katakan kalau bisa di atas 5 tahun terpaut usianya, ini akan lebih baik. Memang adakalanya ini tidak bisa diatur, kadang-kadang memang kita bisa di dalam jangka 5 tahun iniada 3 anak yang lahir berturut-turut begitu.

GS : Ya itu 'kan merepotkan itu bagaimana?

HE : Ya ini memang merepotkan dan ini merupakan tekanan tersendiri bagi anak, tetapi kalau kita dapat mempersiapkan semuanya dan kita bisa melakukan langkah-langkah ini. Sebagai contoh, misanya ketika anak bertengkar dan sebagainya kita bisa memperlakukan mereka dengan bijaksana, mereka akan menjadi saudara-saudara yang sangat akrab dan mereka akan saling menolong satu dengan yang lain.

GS : Biasanya yang laki bersama yang laki kalau mereka ada temannya, saudaranya yang sejenis itu, lalu yang satunya ini agak-agak tersingkir, apakah itu bisa terjadi Pak?

HE : Ya bisa terjadi seperti yang kita saksikan misalnya dalam Alkitab, keluarganya Yusuf. Yakub memperlakukan saudara-saudaranya Yusuf itu berbeda dengan Yusuf. Jadi di sini saya kira orangtua itu juga memegang peran dan orang tua perlu berhati-hati untuk tidak memperlakukan istimewa salah satu anak.

GS : Dan proses ini akan berjalan terus, saya rasa anak itu akan merasa iri seperti tadi yang Pak Heman katakan, itu akan terus berjalan Pak, jadi merasa diperlakukan tidak adil dan sebagainya, nah itu orang tua harus bersikap bagaimana Pak?

HE : Ada satu prinsip di sini yaitu kita tidak mungkin bisa memperlakukan semua anak sama persis, yang dikatakan sebagai keadilan kalau misalnya itu digugat maksud saya oleh anak-anak, biasaya yang digugat itu adalah "kok saya diperlakukan tidak sama dengan saudara ya."

Nah prinsipnya di sini bukan sama perlakuan, tetapi menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Jadi misalnya kakak mendapatkan hak lebih banyak, dalam arti boleh tidur lebih malam, dapat uang jajan dan sebagainya. Nah kalau dia menuntut kewajiban yang seperti adiknya yang kurang maka kita harus juga menuntut haknya dikurangi begitu. Kalau dia tidak mau haknya dikurangi, kewajibannya harus sebesar itu. Dan kemudian juga yang satu prinsip lagi yaitu orangtua jangan sampai membanding-bandingkan satu anak dengan yang lain. Kadang-kadang secara implisit ya/tidak sengaja itu dikemukakan.
GS : Ya memang kadang-kadang kita terpancing untuk membandingkan kakak dengan adiknya atau sebaliknya, dengan motivasi mendorong yang agak ketinggalan ini Pak. Awalnya maksudnya seperti itu, tapi rupanya berdampak negatif Pak. Sebagai orang tua tentunya kita ingin sekali melihat anak-anak kita sebagai satu saudara hidup rukun. Apakah ada ayat Alkitab Pak yang mendukung ini?

HE : Ada ayat-ayat yang bagus dari Mazmur 133 dan ini boleh kita bacakan kepada anak-anak kita yang bersaudara ini. "Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudaa diam bersama dengan rukun! Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan leher jubahnya.

Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah Tuhan memerintahkan berkat kehidupan untuk selama-lamanya."

GS : Ya memang sering kali ayat ini ditujukan pada orang-orang yang sudah dewasa Pak, yang seiman, segereja dan sebagainya. Tapi rupanya juga tepat kalau itu diterapkan atau diaplikasikan kepada kehidupan anak-anak kita Pak. Ya tentu kita juga senang kalau anak-anak itu hidupnya rukun seperti itu, dan dikatakan Tuhan itu memerintahkan berkatNya untuk datang ke situ. Dan berarti itu menjadi berkat bagi rumah tangga kita masing-masing. Terima kasih sekali Pak Heman untuk perbincangan kali ini dan tentunya ini tidak membuat kita kemudian mempunyai anak tanpa direncanakan, tetapi setelah kita tahu bahwa memang ada banyak hal yang bisa timbul di dalam diri kakak-kakak yang mendapatkan adik baru ini, kita juga harus memperhitungkan dan harus mempersiapkan kakak-kakak ini dengan lebih baik. Jadi saudara-saudara pendengar, demikianlah tadi perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Aku Punya Adik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



35. Membantu Anak Bergaul


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T105A (File MP3 T105A)


Abstrak:

Memberikan bantuan kepada anak agar mereka bergaul itu adalah menciptakan suasana juga di dalam keluarga yaitu suasana di mana interaksi antara orangtua-anak dan sesama saudara bisa berjalan dengan baik.


Ringkasan:

Serius-tidaknya keengganan anak untuk bergaul bergantung pada apakah perilaku ini berjangka panjang ataukah tidak. Untuk itu, kita perlu mengetahui latar-belakang mengapa anak tidak mau bergaul. Bila anak tidak mau bergaul pada satu situasi atau tempat tertentu dan bergaul baik di tempat lain, ini berarti masalah tidak begitu serius. Sebaliknya, bila anak tidak mau bergaul pada semua situasi, mungkin kita perlu membantunya mengembangkan diri lebih baik.

Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial. Dengan demikian, anak yang sehat juga adalah anak yang suka bersahabat. Memang ada anak yang cenderung pendiam dan ada yang aktif. Tetapi mereka tetap suka bersahabat. Anak yang pendiam dan introvert cenderung mempunyai satu dua sahabat yang sangat akrab. Anak yang sangat aktif cenderung mempunyai banyak sahabat. Jadi kalau anak tidak menyenangi pergaulan, kita perlu selidiki sebabnya dan kalau perlu dikoreksi.

Tanda-tanda serius yang kita perlu perhatikan bila anak sulit bersahabat. Kita dapat membandingkan tingkah laku anak di rumah dan di luar rumah. Bila di rumah ia lincah dan banyak bicara, dan sebaliknya bila berada di luar rumah ia menolak untuk berbicara dengan temannya atau gurunya; maka masalah ini perlu kita amati lebih lanjut. Kita juga dapat membandingkan tingkah laku anak biasanya atau dulunya dan akhir-akhir ini. Bila anak biasanya suka bersahabat dan tiba-tiba mengeluh tidak punya sahabat, masalah ini juga perlu diselidiki lebih lanjut. Artinya, kalau ada perubahan dari keadaan yang baik normal dan baik menuju ke arah kurang baik, ini tandanya kita perlu memperhatikan lebih seksama? Ya. Terjadinya perubahan ini dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa yang penting, misalnya karena ejekan berlebihan dari teman-teman, ancaman, hukuman, konflik, dan sebagainya yang membuat anak berpikir lebih baik menghindari persahabatan karena berteman itu tidak menyenangkan.

Bagaimana bila sejak kecil anak memang tidak mau bergaul dan tidak bisa bergaul? Ini juga masalah yang perlu menjadi perhatian. Beberapa kemungkinan yang perlu kita pertimbangkan dalam hal ini adalah bahwa anak mengalami depresi sejak bayi, tidak terpenuhi kebutuhan psikologisnya sejak kecil, atau kurangnya latihan-latihan yang mempertajam keterampilan bergaulnya. Kemungkinan lain adalah anak menderita perasaan rendah diri yang parah.

Yang perlu orang tua lakukan menghadapi anak yang sulit bergaul adalah:

  1. Orang tua harus menciptakan interaksi yang baik dan menyenangkan di rumah. Ini adalah keterampilan persahabatan yang paling mendasar, sekaligus juga wahana bagi anak untuk menyampaikan kelebihan dan kekurangannya dalam berelasi.

  2. Orang tua perlu menyediakan sarana persahabatan di rumah maupun di luar rumah. Orang tua dapat menggunakan kesempatan berkunjung ke rumah saudara dan keluarga sahabat Anda sebagai sarana bergaul. Sekolah minggu dan taman kanak-kanak juga adalah tempat yang baik bagi anak untuk belajar bersahabat.

  3. Orang tua perlu mengajarkan cara bergaul yang baik dan bertenggang rasa ketika anak melanggar etika dan tata-cara bergaul.

  4. Orang tua sedapat mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis anak, seperti kasih, rasa aman, rasa berharga, dan didikan-arahan orangtuanya.

  5. Beri kesempatan kepada anak untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepada saudaranya dan kepada teman-temannya.

Amsal 17 : 17 , "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbinang-bincang bersama Bp. Heman Elia, M. Psi., beliau adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang; perbincangan kami kali ini tentang "Membantu Anak Bergaul". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, kita sebagai orang tua tentu akan merasa senang kalau anak-anak mempunyai pergaulan yang luas Pak Heman, itu tentu harapan semua orang tua. Tetapi masalahnya bagaimana kita bisa memberikan bantuan itu kepada anak-anak itu?

HE : Memberikan bantuan kepada anak-anak agar mereka bergaul adalah menciptakan suasana juga di dalam keluarga, suasana di mana interaksi antara orang tua-anak dan sesama saudara itu bisa bejalan dengan baik, dengan demikian anak-anak juga akan belajar dari sana bagaimana berinteraksi dan bergaul satu dengan yang lain.

GS : Ya, yang kami jumpai itu kadang-kadang ada anak itu yang pendiam, tadinya kami kira memang pada dasarnya anak itu pendiam apakah memang begitu Pak?

HE : Ya, adakalanya memang ada anak yang pendiam, tetapi sebetulnya kalau misalnya seorang anak sama sekali tidak mau bergaul, nah ini kemungkinan ada masalah di sana.

GS : Biasanya dia merasa pernah disakiti atau pernah dirugikan Pak, sehingga anak itu enggan bergaul dengan teman-temannya atau dengan saudaranya sendiri.

HE : Ya betul, ada kemungkinan peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan waktu dia bergaul dengan orang lain itu membuat dia menjadi enggan untuk bergaul dengan orang lain. Tetapi kalau mialnya pendiam itu adalah suatu sifat, yang penting adalah kita melihat kalau anak itu pendiam, meskipun dia pendiam dia masih tetap mau bergaul.

Mungkin bergaulnya tidak dengan banyak orang, satu dua orang tetapi dengan satu dua orang ini dia bisa bergaul dengan akrab dan dia bisa berinteraksi dengan baik dengan orang-orang itu.
GS : Sebenarnya sejak usia berapa anak itu mulai bersosialisasi seperti itu yang bisa kita amati Pak?

HE : Yang kita bisa amati sebetulnya sejak bayi pun anak-anak sudah bisa diamati, interaksinya dengan orang lain. Jadi misalnya saja kalau orang tua itu mau bercakap-cakap dengan anak meskipn anak belum mengerti, belum tahu tentang bahasa tapi kadang-kadang orang tua ini mengajak anak ini atau si bayi berbicara, dia bertanya sendiri, menjawab sendiri.

Kita akan melihat perkembangan yang baik sekali dari seorang anak yaitu si bayi ini akan lebih cepat tersenyum menanggapi pembicaraan dan mengeluarkan suara-suara seolah-olah dia sedang berkomunikasi.
GS : Jadi kalau ada bayi atau anak yang masih terlalu kecil itu sering kali ditinggal oleh orang tuanya atau bahkan para pengasuhnya, akibatnya apa Pak?

HE : Akibat yang paling buruk dia bisa lumpuh di dalam hal keterampilan sosialnya, jadi memang sebaiknya orang tua atau pengasuh itu sebanyak mungkin mengajak anak untuk bercakap-cakap atau erinteraksi sekalipun anak ini belum mengerti akan bahasa.

GS : Ya, setelah anak itu sudah mulai belajar, mulai berjalan, biasanya memang dunianya mulai luas Pak, bukan lagi di box atau di apa. Nah, bagaimana kita itu membantu dia yang sudah mulai berkeliaran ini supaya bisa terjadi pergaulan yang sehat Pak?

HE : Kita berinteraksi saja dengan anak seperti cara-cara yang biasa, pada anak-anak usia seperti ini dia mungkin memerlukan banyak pelukan, kemudian juga tetap seperti biasa diajak bercakapcakap dan kalau dia misalnya ke sana-ke sini mengeksplorasi lingkungannya nah kita bantu dia dan kita banyak bersama-sama dengan dia.

Ini adalah satu sarana bagi orang tua untuk membuat anak ini terampil dalam berinteraksi dengan orang lain sejak bayi.
(2) GS : Apakah memang ada tanda-tandanya Pak Heman kalau seorang anak itu nantinya akan sulit di dalam pergaulan, apakah kelihatan itu Pak?

HE : Adakalanya tidak langsung bisa terlihat, tetapi kalau kita meliha seorang anak sejak bayi misalnya waktu diajak berinteraksi, dia tidak ada kontak mata atau pun kontak matanya miskin keudian dia lebih suka asyik dengan dirinya sendiri dan dengan mainannya.

Dia tidak bisa dengan sedemikian mudah distimulasi atau ditarik perhatiannya sewaktu kita bermain-main dengan dia, berusaha menarik perhatian dia, ada kemungkinan anak ini di kemudian hari akan mengalami beberapa gangguan di alam interaksi sosialnya.
GS : Ya, sulitnya kalau anak di rumah itu lincah sekali gampang bermain dengan saudaranya, tapi begitu keluar rumah misalnya di sekolah atau di tetangga-tetangganya dia menjadi anak yang pendiam Pak?

HE : Ya, biasanya yang seperti ini bisa terjadi karena beberapa hal, kemungkinan yang paling besar adalah bahwa anak ini merasa tidak aman berada di lingkungan sosial tertentu, sehingga dia ebih cenderung diam atau bersembunyi, jadi dia tidak bisa dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

GS : Tapi akhirnya akan bisa, kalau sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya tapi akhirnya akan terbiasa Pak?

HE : Anak memang berbeda-beda, ada anak yang bisa dengan cepat menyesuaikan diri, jadi setelah selang beberapa hari, dia sudah mempunyai teman yang banyak dan dengan lincah dia bergaul tetap ada juga anak-anak yang memang lambat di dalam bergaul.

Memang ada bermacam-macam anak, bermacam-macam tipe, nah yang kita harus jaga adalah jangan sampai misalnya anak sama sekali menolak berbicara atau pun bergaul dengan anak lain di luar keluarganya, nah ini berarti ada kemungkinan sesuatu yang serius telah terjadi.
GS : Bagaimana halnya kalau ini Pak, jadi dia itu hanya bisa bergaul dengan anak-anak tertentu saja, padahal kita itu mengharapkan supaya pergaulannya luas dia bisa bergaul dengan sebanyak mungkin anak, selama itu pengaruhnya tidak negatif. Tapi anak ini cenderung memilih satu anak di mana dengannya dia bisa akrab, tapi dengan yang lainnya kurang bisa akrab.

HE : Saya cenderung di satu sisi melihat ini bukan sesuatu yang terlalu serius karena ada kemungkinan anak ini memang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dia tidak bisa cocok dengan ebiasaan-kebiasaan lainnya.

Nah, untuk membantu anak-anak yang demikian ada baiknya anak-anak ini dibiasakan dari kecil untuk mengalami berbagai lingkungan yang bervariasi, jadi misalnya dia mengenal apa itu perkumpulan olah raga, misalnya renang dan sebagainya dia mengenal juga dunia sekolah, dia mengenal sekolah minggu, dia mengenal berkunjung ke rumah tetangga atau pun rumah saudara-saudaranya dan dia belajar bergaul dengan anak-anak yang lain, dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Kalau anak sudah mengenal banyak lingkungan yang berbeda-beda seperti ini anak akan lebih berani untuk mencoba bergaul dengan orang-orang yang berbeda dari dirinya.
GS : Hanya masalahnya biasanya orang tua justru agak malas mengajak anaknya untuk ke tempat-tempat yang seperti itu Pak, dianggap itu sangat merepotkan. Anak kadang-kadang 'kan suka melakukan hal-hal yang justru merepotkan orang tuanya.

HE : Ya betul Pak Gunawan, jadi memang perlu ada sedikit pengorbanan dari orang tua supaya anaknya ini mempunyai dasar yang baik untuk bisa berinteraksi sosial. Dan kita tahu bahwa relasi soial ini sangat penting terutama ketika seseorang beranjak dewasa, dan kemudian dia harus memasuki dunia yang bervariasi yang di mana-mana kita perlukan keterampilan sosial itu.

GS : Nah, pergaulan ini makin lama 'kan makin meningkat Pak, sampai seberapa jauh seorang anak itu mengembangkan pergaulannya? Maksud saya biasanya hanya terhadap teman sejenisnya saja mereka mau berkumpul, yang laki berkumpul dengan yang laki. Sementara dia akan bertumbuh terus dan nantinya temannya bukan hanya laki, tetapi ada yang wanita, ini bagaimana Pak?

HE : Ini adalah menurut perkembangan jiwa seorang anak, jadi pada mulanya dia hanya asyik dengan dirinya sendiri. Meskipun dia bermain bersama-sama dengan anak lain, tetapi dia masih mengikui peraturan dan iramanya sendiri.

Dia seolah-olah tidak berinteraksi dengan orang lain di alam satu permainan. Lama-kelamaan dia mulai mengenal orang lain dan bisa bermain bersama orang lain, tetapi dari yang sejenis. Dan kemudian lama-lama dia juga mengenal lawan jenis, tetapi mungkin pada suatu saat terjadi semacam permusuhan, namun itu tidak sungguh-sungguh bermusuhan tetapi semacam klik. Dan kemudian makin besar, makin besar, ketika organ-organ seksualnya sudah mulai berkembang, pada saat pra remaja dan kemudian remaja, anak sudah mulai tertarik dengan lawan jenis tapi masih malu-malu. Dan pada masa remaja tengah, remaja madya, sudah semakin banyak yang berpasangan atau berpacaran dan mereka sudah mulai berusaha untuk mendekat antar lawan jenis. Mulanya berkelompok kemudian semakin lama, semakin intim dan kemudian berpasangan.
GS : Jadi itu memang ada tahapan-tahapannya Pak, untuk sampai terus berkembang seperti itu ya?

HE : Ya betul, tahapan ini harus dilalui.

(3) GS : Nah, itu peran orang tua sebenarnya Pak, keinginan kita sebagai orang tua itu memberikan bantuan, memberikan dorongan, memberikan pengarahan dan sebagainya, itu sebenarnya sampai sejauh mana kita itu boleh memberikan bimbingan itu. Kadang-kadang anak itu merasa tidak enak sendiri kalau orang tuanya itu terus mencampuri pergaulannya, dia merasa kurang senang Pak.

HE : Dalam hal ini saya kira sebagai orang tua yang terpenting kita menciptakan atau membuat dasarnya, dasar interaksi bagi anak, daripada menyuruh-nyuruh anak untuk banyak bergaul, anak sebiknya menciptakan interaksi yang baik dan menyenangkan serta akrab di rumah.

Dan saya kira ini adalah keterampilan persahabatan yang paling mendasar lebih-lebih kalau di dalam keluarga ada hubungan yang akrab, ini merupakan sarana atau wahana bagi anak sehingga bisa dilihat kekurangan dan kelebihannya di dalam berelasi, ini yang perlu dilakukan oleh orang tua.
GS : Sedang keakraban itu sendiri membutuhkan waktu, membutuhkan perhatian yang mungkin saat ini orang tua semakin sulit menyediakan semua itu.

HE : Ini memang kendala yang dialami banyak keluarga, tetapi kalau kita misalnya mengurangi kebutuhan anak untuk berelasi, ini mengurangi sarana-sarana yang bisa kita sediakan dampaknya adalh anak menjadi kurang pengalaman di dalam berelasi.

Dan kita tahu bahwa di dalam relasi sosial bukan hanya pengalaman-pengalaman yang menyenangkan, yang manis, yang baik, yang harus diperoleh seorang anak, tetapi juga pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan. Baru misalnya kalau anak mempunyai pengalaman seperti ini orang tua bisa mengarahkan anaknya, bisa menghibur anak pada waktu kesepian, orang tua mendampingi, memberitahu kekurangannya di dalam berelasi, memberitahu juga kelebihannya dan dia bisa mengembangkan terus keterampilan-keterampilan ini. Tanpa waktu, tanpa pengorbanan, tanpa pengalaman, anak akan menjadi miskin di dalam keterampilan sosialnya.
GS : Nah, katakanlah orang tua sudah membantu sampai sejauh itu artinya menciptakan suasana yang kondusif, memberikan kesempatan bergaul dengan kita dan seterusnya, nah langkah berikutnya apa yang bisa dilakukan oleh orang tua?

HE : Kalau bisa orang tua perlu menyediakan sarana persahabatan di luar rumah, sebagai contoh seperti tadi telah saya katakan bahwa adakalanya kunjungan ke rumah saudara atau pun keluarga saabat orang tua itu adalah suatu sarana yang baik di dalam bergaul.

Anak akan melihat bagaimana orang dewasa bergaul satu dengan yang lain secara akrab, kemudian juga anak bisa bergaul dengan sesama sebaya mereka. Mungkin juga tempat-tempat yang bisa kita kunjungi atau bisa kita sediakan bagi anak misalnya Sekolah Minggu, lingkungan sekolah, nah lingkungan sekolah kita juga perlu berhati-hati di dalam memilih, menyeleksi, sehingga anak mempunyai sarana bergaul yang baik di sekolah itu. Dan banyak tempat-tempat lain sebagai contoh perkumpulan-perkumpulan tertentu misalnya olah raga tertentu, nah di sana anak-anak bisa belajar bergaul berlatih bersama kemudian mendengar instruksi-instruksi guru dan mereka bisa belajar berinteraksi.
GS : Sebenarnya kalau kita amati Pak, anak itu begitu bertemu dengan teman sebayanya yang tadinya tidak kenal itu kok bisa cepat akrab, dibandingkan kita yang orang dewasa. Mungkin kalau sama-sama orang tua membawa anaknya, mungkin anaknya sudah akrab bermain kita orang tua masih basa-basi, itu kenapa Pak?

HE : Ya ada beberapa hal, ini hal yang unik dan juga kelihatannya lucu. Anak-anak itu secara naluri mereka lebih spontan, mereka tanpa prasangka. Kalau orang dewasa mungkin sudah mendapat inoktrinasi atau pikiran-pikiran negatif macam-macam atau banyak prasangka, sehingga membuat adanya satu penghalang antara kita dengan orang lain.

Sedangkan anak-anak ini tidak membedakan warna kulit asalkan kelihatan sebaya, bahasa isyaratpun jadi. Karena spontan, anak-anak tidak begitu banyak hambatan di dalam berinteraksi dengan anak-anak yang lain, ini yang menyebabkan anak-anak kelihatan lebih cepat akrab dan kelihatan lebih tulus, karena orang dewasa umumnya banyak topeng ya.
GS : Katakanlah anak itu berasal dari dua bangsa yang berbeda dan bertemu, apakah mereka bisa bergaul?

HE : Ya, bisa asalkan tidak ada hambatan-hambatan dari orang tuanya, misalnya orang tuanya melarang seorang anak bergaul dengan suku bangsa yang lain. Secara umum kalau anak dilepas, anak-ank akan bergaul dengan akrab, ini salah satu cara membuat anak-anak tidak banyak berprasangka.

Mereka tumbuh di dalam suasana yang baik yang tidak berprasangka terhadap suku lain ataupun orang dari agama yang lain. Dengan mengumpulkan mereka bersama-sama untuk dididik di suatu dunia pendidikan yang sama, tanpa suatu hambatan, tanpa suatu nasihat yang tidak membolehkan bergaul dengan orang yang macam begini dan sebagainya.
GS : Tapi tetap kita melihat kadang-kadang di dalam pergaulan, ternyata anak tersesat atau keliru di dalam bergaul, sehingga menjadi kurang baik atau bahkan mencelakakan masa depannya. Dan kalau kita mengetahui hal itu, apa yang harus dilakukan orang tua agar hal itu tidak terjadi?

HE : Sekali lagi dasarnya adalah di dalam rumah dulu, jadi kalau kita mau mencegah semua itu kita harus mempunyai keluarga yang kokoh. Kemudian kita mengajarkan kepada anak-anak apa yang bai, apa yang tidak baik.

Dan nantinya ketika anak lebih banyak bergaul di luar rumah, mendapatkan banyak pengaruh dari luar maka anak sudah tahu dari lingkungannya dan dia bisa bercerita di rumah: "O...tadi saya diajak begini, begini, o....tadi si anu berbicara begini, begini," nah dari dirinya sendiri anak akan bisa memilih mana yang baik yang harus dia lakukan, mana yang kurang baik. Jadi itu boleh kita ajarkan dan kita arahkan di rumah.
GS : Ya sebenarnya itu akan sangat menolong orang tua, kalau anak setelah bergaul atau pulang dari bermain-main di luar kemudian menceritakan pengalamannya kepada kita Pak. Jadi melalui anak bercerita, kita dapat mengetahui bagaimana pola atau bentuk pergaulan mereka di luar.

HE : Ini point yang bagus sekali Pak Gunawan, jadi memang orang tua harus menciptakan komunikasi yang baik di rumah. Dengan komunikasi yang terbuka dan tidak saling mencela maka anak akan leih berani untuk bercerita segala sesuatu yang terjadi di luar dengan teman-temannya, dengan interaksi dia dengan gurunya dan orang lain dia akan ceritakan.

Dan ketika ini diceritakan kita mempunyai kesempatan untuk mengarahkan anak di dalam berelasi, ini suatu sarana yang baik.
GS : Ya tetapi kita tahu bahwa pedoman yang terbaik itu tentu datang dari firman Tuhan Pak. Apakah firman Tuhan membicarakan sesuatu tentang peran orang tua di dalam membina pergaulan si anak ini?

HE : Ada satu ayat yang mengesankan hati saya tentang seorang sahabat, bagaimana sifat dari seorang sahabat. Saya ambil dari Amsal 17:17 , "Seorang sahabat menaruh kasih setiap wktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran."

Semoga ini bisa menjadi suatu sarana atau bekal bagi oran tua baik di dalam pergaulannya sendiri maupun di dalam mengarahkan anak-anaknya untuk bergaul dengan orang lain.
GS : Ya jadi pertama-tama bagaimana kita mempersiapkan anak-anak bisa menjadi sahabat bagi orang lain, apa yang bisa dilakukan oleh orang tua itu?

HE : Adalah kasih, jadi ada suasana saling mengasihi di rumah membuat anak itu memperoleh kasih dan belajar juga mengasihi orang lain. Dan kita tahu dari ayat tadi bahwa yang dimiliki oleh sorang sahabat adalah kasih setiap waktu.

GS : Biasanya buat anak-anak itu yang saya amati juga, kalau dia dalam kesukaran dan ditolong oleh sahabatnya itu rasanya lebih berkesan dari pada kita orang tua yang menolong dia, kok bisa begitu Pak?

HE : Ya itulah seorang sahabat, kadang-kadang bisa menjadi seorang saudara di dalam kesukaran seperti ayat firman Tuhan katakan.

GS : Ya jadi kita bisa tekankan atau beritahukan kepada anak-anak kita bahwa setiap orang itu suatu saat membutuhkan orang lain. Jadi bagaimana dia menjadi sahabat orang lain, tapi dia juga bisa menerima orang lain bersahabat dengan dia. Jadi itu yang saya rasa saat ini sangat dibutuhkan sekali, karena kalau tidak mereka akan mencari persahabatan yang seadanya aja, karena makin hari rasanya makin sulit mencari sahabat yang baik di sekeliling kita.

Jadi terima kasih sekali, Pak Heman untuk kesempatan perbincangan kali ini, dan saudara pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan dengan Bapak Heman Elia, M. Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membantu Anak Bergaul".. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menghubungi kami lewat e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



36. Anak dan Temannya


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T105B (File MP3 T105B)


Abstrak:

Anak perlu menerima ajaran yang baik di rumah, kalau dasar pengajaran di rumah sudah kuat, akan tidak mudah bagi anak untuk terpengaruh dengan lingkungan atau teman-teman di sekelilingnya, karena nilai itu sudah ditanamkan sedari kecil, sehingga anak akan terbentuk. Dengan mengajarkan hal-hal yang baik di rumah, anak akan tahu bahwa temannya melakukan hal-hal yang baik atau pun tidak baik.


Ringkasan:

Adakalanya anak kita sudah kita ajarkan peraturan dan tata-cara yang baik di rumah ternyata dipengaruhi oleh temannya sehingga membawa pulang kata-kata yang tidak senonoh dan sebagainya. Lebih jauh lagi, sering kali anak kita sudah telanjur bergaul dengan teman yang tidak kita sukai. Umumnya anak atau terlebih remaja akan bereaksi membela teman, ketika temannya itu kita cela. Karena itu, sebaiknya kita jangan serta-merta mencela dan melarang kita bergaul dengan teman yang tidak kita sukai.

Saya mengusulkan agar orang tua melakukan hal sebagai berikut:

  1. Tetapkan peraturan mengenai pertemanan, termasuk mengenai waktu berkunjung. Misalnya, setiap anggota keluarga harus memberitahukan ke mana mereka pergi dan dari jam berapa sampai jam berapa. Hal yang sama juga berlaku untuk teman anak kita yang berkunjung ke rumah kita.

  2. Bukalah komunikasi dengan anak Anda sehingga anak tidak mempunyai hambatan apa-apa untuk membicarakan temannya. Untuk itu sedapat mungkin orangtua jangan memberi nasihat apa-apa lebih dulu dan lebih banyak mendengar komentar-komentar anak kita. Arahan sebaiknya diberikan secara umum tanpa menyebut nama dan kalau bisa dilakukan pada kesempatan berbeda, misalnya ketika ngobrol bersama anak. Pendapat kita secara langsung dapat kita sampaikan ketika anak menanyakan pendapat kita mengenai temannya itu.

  3. Kita perlu membedakan masalah moral dengan masalah kebiasaan yang berbeda yang tidak terkait dengan moralitas.

Jadi sebaiknya kita orang tua menaruh perhatian dan menanggapi terutama mengenai perilaku anak kita lebih daripada perilaku temannya, karena seringkali teman anak kita di luar wewenang dan jangkauan kita untuk menegur dan mengoreksinya.

Tips bagaimana mencegah pengaruh buruk teman sehingga anak kita dapat menjaga diri:

  1. Kita perlu mengajar anak-anak kita mengenai pergaulan dan menyediakan sarana bergaul bagi mereka. Sekolah Minggu dan Persekutuan Remaja yang baik akan membantu anak kita bergaul secara sehat.

  2. Sedapat mungkin usahakan untuk memperoleh lingkungan sekolah yang baik bagi anak.

  3. Penuhi kebutuhan psikologis mereka sehingga mereka tidak merasa harus mencarinya di luar rumah, terutama dengan teman-teman mereka yang tidak sesuai dengan ajaran yang mereka terima di rumah. Anak yang terpenuhi kebutuhan psikologisnya akan mempunyai kepercayaan diri lebih baik, sehingga mampu menolak pengaruh negatif teman-temannya.

  4. Ciptakan suasana keluarga yang harmonis. Dengan adanya suasana rumah yang menyenangkan, anak tidak punya alasan untuk lari pada pergaulan yang tidak baik di luar rumah.

  5. Doakan anak-anak kita senantiasa, agar mereka terhindar dari jeratan pergaulan buruk.

Mazmur 28:3 , "Janganlah menyeret aku bersama-sama dengan orang fasik ataupun dengan orang yang melakukan kejahatan, yang ramah dengan teman-temannya, tetapi yang hatinya penuh kejahatan. "

"Biarlah doa Daud ini menjadi doa kita juga, dan semoga kita beroleh kekuatan untuk terus bertahan hidup kudus di tengah lingkungan yang tidak kudus sekalipun."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang bersama Bp. Heman Elia, M. Psi., beliau adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang; kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Anak dan Temannya, kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, ada satu pengalaman saya yang agak kurang menyenangkan waktu itu adalah saya sudah mempersiapkan anak saya sedemikian baik, mencoba sedemikian baik di dalam pergaulan, dalam tutur kata dan sebagainya. Tetapi tiba-tiba suatu saat saya dikejutkan ketika dia memaki dengan perkataan yang menurut saya itu sudah agak kelewatan sehingga pada waktu itu saya tanyakan "lho kamu tahu dari mana kata-kata seperti itu?" Dan dia katakan "itu driver (karena diantar jemput) driver itu suka mengatakan itu kalau marah" lalu dia juga melampiaskan kemarahannya dengan cara seperti itu Pak Heman. Nah, pada satu sisi saya sebenarnya merasa percuma atau sia-sia, sekian tahun saya sudah mendampingi dan mengarahkan dia, nyatanya kata-kata yang seperti itu tercetus juga, nah ini bagaimana Pak Heman?

HE : Kekecewaan Pak Gunawan dapat saya maklumi dan saya kira ini bukan sesuatu hal yang istimewa atau perkecualian di dalam salah satu keluarga. Keluarga saya juga pernah mengalami hal seperi ini.

Dan ini terjadi karena anak mudah sekali meniru kebiasaan-kebiasaan lingkungannya, tetapi di dalam hal ini saya kira Pak Gunawan juga mengalami ini tapi tidak akan berlangsung seterusnya, kalau misalnya anak-anak ini sudah mempunyai kebiasaan yang baik di rumah. Jadi dia akan kembali lagi pada kebiasaan lamanya yang baik yang telah dilakukan, dipupuk di rumah.
GS : Ya, saya tahu bahwa dia tidak sungguh-sungguh mengucapkan atau bahkan tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Ketika saya tanyakan: "Kamu mengerti atau tidak apa yang kamu katakan?" Dia katakan "tidak!" Cuma kalau orang marah, (drivernya yang marah itu) suka berbicara seperti itu, jadi dia hanya meniru Pak, apa itu yang terjadi?

HE : Ya, jadi dia mungkin melihat bahwa drivernya itu berbicara begitu dan ternyata menimbulkan reaksi tertentu dari orang lain. Dan kalau dia ingin menimbulkan reaksi kejengkelan atau menark perhatian seseorang, maka dia keluarkan kata-kata seperti itu.

Kadang-kadang ini betul seperti yang Pak Gunawan katakan, anak tidak mengerti betul apa arti kata-kata yang dia lontarkan itu, nah di dalam keadaan seperti ini kita tidak perlu langsung gusar, kalau kita tahu bahwa anak belum tentu mengerti akan apa yang dia katakan. Ya kita tanyakan saja dengan tenang tetapi tegas, "Apakah kamu tahu arti kata-kata itu? Coba Papa atau Mama ingin tahu, apa yang kamu katakan tadi artinya apa?" Kalau misalnya dia tidak tahu artinya, kemudian kita mengetahui artinya kita boleh memberi tahu dan yang penting adalah kita beritahu kepada dia bahwa itu adalah kata-kata yang tidak baik, bisa menyakitkan hati orang dan membuat orang tidak suka dengan kamu. Dan dengan tegas kita harus larang mereka menggunakan kata-kata itu lagi di manapun juga dan terutama di rumah.
GS : Ya mungkin itu masalahnya di dalam anak yang mempunyai teman lewat pergaulan mereka. Jadi di satu sisi sebenarnya kita sebagai orang tua juga ingin anak kita itu bisa bergaul dengan sebanyak mungkin orang, tetapi di sisi lain kita itu juga was-was nanti ada pengaruh-pengaruh yang buruk yang bisa mempengaruhi anak kita. Jadi ini dilematis Pak sebenarnya.

HE : Betul, dilematis memang, dan memang kita harus mengajarkan kepada anak, sehingga anak nantinya bisa memilih-milih di mana atau dengan siapa dia harus bergaul. Pada mulanya memang agak slit karena seperti itu tadi, anak memerlukan pergaulan dan kita juga perlu mendorong anak untuk bergaul.

Tetapi pada suatu ketika, ketika anak memperoleh pengaruh-pengaruh yang negatif, di situ kita harus bereaksi untuk mencegah hal-hal yang buruk mempengaruhi anak kita.
(1) GS : Ya itu bagaimana Pak Heman, apakah kita memberikan semacam kriteria kepada anak kita, kamu kalau bergaul dengan teman, carilah teman yang seperti ini, ini, ini atau bagaimana Pak?

HE : Sebaiknya secara natural saja, dalam arti kita mengajarkan hal-hal yang baik di rumah. Dengan mengajarkan hal-hal yang baik di rumah, anak akan tahu bahwa temannya ini melakukan hal-halyang tidak baik.

Saya berikan contoh: pernah terjadi anak saya itu waktu dia di kelompok bermain, membawa pulang mainan yang ada di sekolah, kemudian dia membawa pulang itu dan mengeluarkan kemudian bermain pasang-pasangan itu, lego itu. Kemudian istri saya mengajarkan kepada dia: "Ini namanya mencuri, kamu tidak boleh mengambil begitu saja, ayo besok dikembalikan." Keesokan harinya anak ini diantar dan mengembalikan mainan itu dan dia mengaku bahwa teman-temannya melakukan hal yang sama dan tidak ada reaksi. Memang mungkin karena tidak ketahuan, dan sebetulnya bukan saja dia tidak melakukan itu lagi dia bisa menasihatkan teman-temannya untuk tidak berbuat demikian. Jadi saya kira kita perlu mengarahkan anak-anak di dalam bergaul dan ketika kebiasaan yang baik terbentuk di rumah, maka anak-anak ini akan mempengaruhi anak-anak yang lain.
(2) GS : Ya itu memang sangat bijaksana tindakan seperti itu Pak Heman, tetapi kalau sampai tanpa sepengetahuan kita anak itu terlanjur berteman dengan teman yang kurang baik, kita sudah tahu bahwa ternyata mereka berteman. Nah kalau kita beritahu temanmu itu tidak baik, dia akan merasa sakit hati temannya kok dikatakan tidak baik tetapi kita ingin anak itu mengerti bahwa temannya itu tidak baik, itu bagaimana Pak?

HE : Ini memang dilematis terutama pada anak-anak yang sudah lebih besar yang sudah relatif mempunyai kemandirian dan keinginannya sendiri, juga terutama pada remaja yang sering kali bereaks untuk membela temannya ketika temannya itu dikritik atau dicela.

Jadi sebaiknya kita sebagai orang tua jangan serta merta mencela atau melarang anak kita bergaul dengan teman mereka yang sebetulnya tidak kita sukai. Ada baiknya orang tua melakukan hal seperti ini, tidak mencela teman dari anak kita karena mereka akan bela mati-matian, tetapi sebaliknya kita memberikan peraturan yaitu peraturan mengenai bagaimana berteman, di dalam arti termasuk misalnya kapan boleh pergi ke rumah teman, kapan mengundang temannya ke rumah kita. Kemudian juga misalnya di dalam keluarga harus ada peraturan semua anggota keluarga termasuk ayah dan ibu kalau misalnya mau pergi ke mana dari jam berapa sampai jam berapa, itu harus diberitahukan kepada semua anggota yang lain, sehingga satu dengan yang lain itu bisa saling kontak. Dan untuk anak-anak ini masih harus ditambah dengan satu batasan yaitu mengenai permintaan ijin, pada anak-anak diharapkan minta ijin kepada orang tuanya kalau dia mau berkunjung ke rumah temannya. Nah, tujuan dari peraturan-peraturan ini adalah ketika ia bergaul dengan siapa kita bisa tahu itu dan kemudian kita bisa membuat suatu peraturan-peraturan, peraturan itu tidak ditujukan kepada temannya secara khusus tetapi peraturan ini berlaku secara umum dengan siapapun anak ini bergaul. Dan juga kenapa kita harus tahu ke mana dia pergi dan pada jam berapa dia pergi, kita perlu dan kita punya hak untuk melarang anak-anak ini untuk pergi ke suatu tempat-tempat yang mempunyai godaan yang terlalu besar, agar anak tidak jatuh ke dalam dosa. Jadi kita harus mencegah kalau misalnya anak akan pergi ke diskotik karena ini akan membuat pergaulan anak menjadi kacau balau.
GS : Kadang-kadang anak itu juga agak ragu tentang temannya Pak, lalu dia tanyakan kepada kita "Menurut Papa atau Mama, kalau saya bergaul dengan dia bagaimana? Temanku itu bagaimana?" Itu kadang-kadang terlontar juga pertanyaan seperti itu. Bagaimana kita harus menyikapi itu, kadang-kadang kalau kita berbicara terlalu keras atau apa seolah-olah kok menghakimi orang lain dan sebagainya. Tapi anak ini membutuhkan suatu pendapat kita, itu bagaimana Pak?

HE : Ini suatu pertanyaan yang baik sekali dan saya kira kalau misalnya di dalam keluarga ada komunikasi yang indah, yang baik antara orang tua dengan anak, hal-hal seperti ini akan terjadi an hal ini sesungguhnya suatu hal yang baik sekali, di mana kita bisa langsung mempunyai kesempatan untuk berbincang dengan anak soal temannya tanpa anak merasa terlalu banyak bertahan atau defensif.

Juga anak merasa tidak terlalu perlu untuk melindungi temannya ini, nah kalau misalnya anak bertanya kepada kita bagaimana pendapat kita tentang temannya, maka kita perlu katakan mungkin mulai dengan hal-hal yang positif dulu dan kemudian kita juga tanyakan kalau menurut kamu bagaimana, jadi anak juga berpendapat lalu kita juga menghargai temannya ini. Nah, pada saat tertentu misalnya anak bisa bertanya lagi, "tapi dia begini-begini" nah waktu kita tanggapi lagi misalnya anak ini mengatakan, "tapi dia suka mengadu-adu saya dengan teman saya, dengan sahabat saya." "Setiap orang memang mempunyai kekurangan, kalau kamu menjadi sahabat dari seseorang, kamu jangan mengadu-adu mengatakan hal-hal yang jelek mengenai temanmu yang lain dan sebagainya." Nah, dengan demikian kita bisa mengarahkan anak ini, tapi sekali lagi kalau bisa kita berbicara secara umum artinya sifat manusia yang secara umum bisa merusak persahabatan atau justru memupuk persahabatan, bukan tertuju kepada orang tertentu, karena kalau kita sudah menyerang orang tertentu apalagi yang akrab dengan anak kita maka kita akan cenderung memperoleh tanggapan atau pembelaan dari anak kita.
GS : Sering kali yang kita saksikan atau yang kita alami, anak-anak ini untuk jangka waktu yang panjang perilaku, kata-katanya, atau tindakannya itu bisa berubah Pak. Jadi kadang-kadang mirip-mirip dengan temannya, apakah itu pengaruh seringnya mereka bergaul atau bagaimana Pak?

HE : Lingkungan memang sangat besar pengaruhnya di dalam pembentukan pola kebiasaan kita, kalau misalnya kita pindah dari Jawa Timur ke Jakarta, logat-logat kita pun akan berubah, kebiasaan-ebiasaan kita juga akan berubah.

Tapi yang lebih penting dari kebiasaan-kebiasaan seperti itu adalah sebenarnya masalah moral, jadi kalau misalnya hanya sekadar masalah kebiasaan yang berbeda misalnya kebiasaan makan, tidur, cara belajar, minat, hobby dan sebagainya itu masih boleh kita tolerir, sampai sejauh mana batas kita bisa mentolerirnya. Tetapi kalau misalnya sudah menyangkut hal-hal yang moralitas, menyangkut dosa dan sebagainya kita sebaiknya tidak tolerir hal itu dan kita harus mencegah hal itu sebelum berlanjut.
GS : Dalam hal ini Pak Heman, tentu yang sangat dibutuhkan oleh semua orang tua khususnya pada pendengar yang setia ini, mungkin Pak Heman bisa memberikan beberapa pedoman atau tips atau semacam arahan, apa sebetulnya yang bisa kita lakukan sebagai orang tua untuk mencegah pengaruh-pengaruh yang buruk terhadap anak kita.

HE : Kalau bisa sebelum anak-anak terlanjur besar dan anak-anak ini sudah bisa memilih sarana-sarana pergaulannya sendiri, kita arahkan dulu dan kita sediakan alternatif-alternatif pergaulanyang sehat.

Misalnya saja kita bawa mereka ke Sekolah Minggu atau ke persekutuan remaja atau pun gereja di mana orang tua di sana juga bisa bersekutu dengan baik juga dengan anak-anak. Dan kita perlu menyadarkan mereka bahwa ada teman-teman yang baik sekali secara umum, dan mereka dapat dijadikan sahabat, tetapi ada juga anak-anak atau teman-teman yang buruk yang bisa menjerumuskan dan membuat kita terseret di dalam kebiasaan-kebiasaan buruk mereka. Kemudian hal yang lain yang boleh kita usahakan adalah memperoleh atau mencari lingkungan sekolah yang baik bagi anak, karena lingkungan sekolah ini sering kali tidak ada pelajaran, kemudian anak-anaknya suka berkelahi dan sebagainya mempengaruhi pergaulan anak-anak kita, sehingga merusak kebiasaan baik yang telah dimiliki oleh anak kita. Kemudian hal lain lagi yang perlu sekali kita penuhi adalah kebutuhan psikologis anak-anak kita, dengan demikian anak-anak yang telah puas di rumah tidak akan mencari-cari di luar, apalagi berusaha menarik perhatian teman-temannya karena mereka sudah mempunyai kepercayaan diri yang baik. Sehingga dengan kepercayaan diri yang baik ini anak-anak juga mampu menolak pengaruh negatif teman-temannya dan yang penting lagi adalah kita perlu menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Dengan adanya suasana harmonis anak tidak punya alasan untuk lari pada pergaulan yang tidak baik di luar rumah dan satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya kita harus mendoakan anak-anak kita senantiasa agar mereka terhindar dari jeratan pergaulan yang buruk.
GS : Ya, dari sekian atau beberapa tips yang Pak Heman katakan untuk mencarikan pergaulan, anak biasanya sudah berkeliaran sendiri, mencari tempat bermain sendiri, teman-teman sendiri itu bagaimana Pak?

HE : Ya, kalau misalnya sudah terlanjur memang ini lebih sulit diatasi. Kalau bisa kita siapkan dulu hal-hal ini sebelum anak beranjak dewasa, sebelum anak beranjak remaja. Memang ada beberaa hal yang tidak terlalu mudah dijawab karena biasanya anak-anak yang sudah terlibat dengan kelompok-kelompok "pembuat onar" itu biasanya mempunyai latar belakang yang kurang menguntungkan, salah satunya misalnya keluarga tidak berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan utama atau pemenuh kebutuhan psikologis utama bagi anak-anaknya.

Dan anak-anak ini biasanya kekurangan dukungan sosial ekonomi, nah ini yang agak sulit. Tetapi bagaimanapun juga kalau misalnya kita bisa menyiapkan, kadang-kadang sebetulnya anak-anak ini bukan menolak apa yang dianjurkan orang tuanya, tetapi masalahnya mereka tidak tahu bagaimana memulainya. Jadi ada baiknya orang tua berusaha merancang misalnya ada pembesukan dari gereja, dari orang-orang tertentu dan berkenalan dengan anak ini secara wajar, secara alami kemudian mengajak anak ini bersama-sama, ada kemungkinan anak-anak ini dengan bangga akan terlibat dengan pergaulan yang lebih sehat.
GS : Demikian juga dengan sekolah Pak Heman, kita itu memang ingin mengarahkan ke sekolah yang baik, tetapi anak-anak juga dipengaruhi oleh teman-temannya ke mana teman-temannya melanjutkan studinya, kebanyakan dia akan mengikut ke situ Pak?

HE : Ya kadang-kadang memang kita inginkan anak kita bisa sekolah di sekolah tertentu tetapi berhubung teman-temannya banyak ke sekolah lain dia ikut. Nah kalau bisa kita arahkan, misalnya sbelum kita mencari informasi tentang sekolah ini dan kemudian anak ini dibawa ke sekolah yang berbeda dan kemudian melihat lingkungannya, berbincang-bincang dengan 2 atau 3 murid di sana, berkenalan mungkin cari nomor teleponnya dan sebagainya.

Nah dengan adanya beberapa pilihan sekolah kemungkinan anak juga mau mencoba.
GS : Masalahnya mungkin ini Pak, kalau dia pindah ke suatu sekolah di mana teman-temannya tidak sekolah di situ dia enggan kalau harus mencari teman baru.

HE : Ya, ini harus kita antisipasi mungkin jauh-jauh hari sebelumnya anak ini perlu diberi bekal, bagaimana supaya dia bisa menyesuaikan diri lebih cepat dengan lingkungan pergaulan baru. Didalam hal ini yang bisa kita siapkan adalah anak ini diperkenalkan dengan berbagai lingkungan yang bervariasi dan dari yang tadinya asing, belum kenal kita dorong mereka, kita berikan keberanian kepada mereka, tantangan bahwa kamu kalau bisa memperoleh satu atau dua teman di situ di dalam jangka waktu sekian misalnya kamu berarti anak yang berani, anak yang bisa sukses nantinya sebagai bekal untuk menjadi pemimpin di masyarakat dan sebagainya.

Nah, anak-anak diberi tantangan-tantangan yang seperti itu.
GS : Tetapi kita melihat bahwa memang teman-teman anak-anak kita atau teman-teman kita itu pengaruhnya luar biasa besarnya untuk masa depan dari si anak ini. Nah, dalam hal ini Pak Heman, apakah yang dikatakan oleh firman Tuhan sebagai suatu pedoman bagi kita untuk memberikan bimbingan pada anak-anak kita di dalam mencari teman?

HE : Ada satu permohonan doa dari Daud, saya akan bacakan dari Mazmur 28 : 3 , "Janganlah menyeret aku bersama-sama dengan orang fasik atau pun dengan orang yang melakukan kejahaan, yang ramah dengan teman-temannya tetapi yang hatinya penuh kejahatan."

Biarlah doa Daud ini juga menjadi doa kita dan semoga kita terus beroleh kekuatan untuk terus hidup kudus di tengah lingkungan yang tidak kudus sekalipun.
GS : Saya rasa memang peranan doa ini luar biasa besarnya juga terhadap pengaruh anak-anak kita, kadang-kadang kita cuma memberikan kebutuhan-kebutuhan psikologisnya, kebutuhan-kebutuhan jasmaninya, tapi ada suatu kebutuhan spiritual yang sebetulnya harus dipenuhi dan kita bisa membantu mereka di dalam doa. Dan apakah itu harus mereka ketahui Pak?

HE : Ya, saya kira ada baiknya kalau misalnya ayat ini menjadi ayat hafalan dari kita dan anak kita.

GS : Jadi kita bersama-sama menghafalkan ayat itu di dalam suasana makan atau suasana ibadah keluarga begitu Pak.

HE : Betul, dan saya kira ini baik sekali untuk mengingatkan kepada anak-anak bahwa ada teman-teman yang bisa menjerumuskan.

GS : Saya rasa orang tua juga harus lebih berhati-hati di dalam memilih teman-temannya sendiri Pak karena itu akan menjadi suatu cermin, suatu teladan yang nampak nyata di dalam diri anak-anak ini. Mereka akan melihat siapa teman-teman papanya atau siapa teman-teman dari ibunya itu.

Terima kasih sekali Pak Heman untuk perbincangan kali ini, dan saudara pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M. Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang anak dan temannya. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menghubungi kami lewat e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



37. Anak Nakal


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T106A (File MP3 T106A)


Abstrak:

Kita orangtua tidak bisa memberikan label nakal begitu saja kepada anak kita, karena adakalanya anak hanya menunjukkan keisengan atau juga karena dia seorang anak yang aktif bergerak. Kita orangtua harus berhati-hati memakai istilah nakal ini terhadap anak-anak kita.


Ringkasan:

Cap nakal atau label nakal sebaiknya tidak disebut untuk anak, ada beberapa alasan yaitu:

  1. Karena kita tidak tahu apakah benar secara sengaja anak melakukan pelanggaran dan secara terus-menerus sedang memanipulasi kita, kecuali kalau kita memang sungguh-sungguh mengetahui bahwa anak sedang memanipulasi. Itu pun yang kita lakukan bukan memberikan cap tetapi kita melakukan tindakan-tindakan untuk menghentikan tingkah laku mereka.

  2. Karena label nakal ini tidak jelas menunjukkan suatu perilaku tertentu, sehingga anak tidak tahu perilaku apa yang harus dikoreksi dsb. Label nakal tidak akan banyak mengubah tingkah laku anak menjadi lebih baik.

  3. Ketika kita memberi label kepada anak, label ini dipakai sebagai suatu cap anak itu sendiri terhadap dirinya. Hukum perilaku ada kecenderungan, kalau saya menganggap diri saya itu nakal saya akan berperilaku sesuai dengan julukan saya yaitu nakal. Jadi ada kemungkinan anak semakin berperilaku bandel dan banyak melanggar peraturan.

Penyebab anak menjadi nakal:

  1. Orang tua yang tidak harmonis, yang menyebabkan orang tua ini menghukum anak secara sewenang-wenang. Akibatnya anak banyak menderita luka batin, mereka merasa frustrasi dan dalam kondisi ini akan menyebabkan pemberontakan yang hebat dari anak.

  2. Karena kebutuhan emosi dan psikologis utamanya tidak terpenuhi. Misalnya kebutuhan akan kasih dan perhatian dari orang tua, kebutuhan untuk rasa aman atau merasa terlindungi oleh orang tua, kebutuhan untuk mandiri dan hal-hal ini tidak terpenuhi.

  3. Orang tua kurang tegas kalau anak melakukan pelanggaran, banyak dibiarkan atau malah orang tua ikut tertawa karena merasa lucu.

  4. Orang tua yang selalu mengikuti kemauan anaknya, sehingga sewaktu tidak bisa memenuhi kemauan anak, anak menjadi marah dan melakukan kenakalan-kenakalan.

Yang harus kita lakukan sebagai orang tua untuk menghadapi anak yang nakal:

  1. Kita mengusahakan untuk menciptakan keluarga yang harmonis.

  2. Orang tua berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan emosional anak yang utama.

  3. Bersikap tegas kepada anak dan didik mereka secara wajar sesuai dengan ajaran firman Tuhan.

Sebagai orang tua kita perlu introspeksi diri dulu sebelum menuduh anak kita nakal, yaitu apa yang menyebabkan anak menjadi nakal.

Amsal 29 : 17 , "Didiklah anakmu maka ia akan memberi ketenteraman kepadamu dan mendatangkan sukacita padamu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya ditemani oleh Ibu Esther Tjahja, S. Psi., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi., beliau adalah pakar dalam bidang konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang; perbincangan kami kali ini akan kami beri judul "Anak Nakal". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, terima kasih berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan kami pada saat ini, perbincangan kami kali ini akan mengambil judul anak nakal. Yang kelihatannya memang lumrah atau biasa ada di sekeliling kita, tetapi kita juga masih tidak mempunyai suatu batasan yang tepat atau pengertian yang sama tentang anak nakal itu seperti apa Pak?

HE : Ya anak nakal memang bergantung pada penilaian orang tua, misalnya orang tua kalau mengatakan anak ini nakal karena dia aktif sekali atau karena dia itu sering melanggar peraturan yang itetapkan orang tua, seperti itu yang biasa dikatakan oleh orang tua.

Tetapi saya kira kita tidak bisa melabel, memberikan cap begitu saja bahwa anak ini nakal, karena kita harus membedakan kenakalan anak dengan misalnya apakah itu suatu keisengan atau memang suatu hal yang boleh dikatakan dia sebetulnya aktif, bergerak dan sebagainya. Sehingga kita memang harus berhati-hati dengan istilah nakal ini.
GS : Itu bukan dari sudut orang tua yang senang atau tidak senang dengan tindakan anak Pak, jadi kalau orang tua itu merasa dirugikan atau merasa tidak senang dengan tindakan anak itu lalu disebut nakal?

HE : Itu juga bisa seperti itu, tapi kalau kita mau menilai perilaku anak, seharusnya dari kondisi anak itu sendiri. Jadi kita berangkat dari keadaan anak itu sendiri dan kita jangan menilaiya secara subyektif dari penilaian kita sendiri.

(2) ET : Cuma memang rasanya istilah anak nakal ini mudah sekali tercetus dari mulut orang tua atau pun orang dewasa. Begitu melihat anak-anak yang mungkin berperilaku atau bersikap kurang sesuai dengan yang kita harapkan begitu Pak Heman ya, tapi kalau Pak Heman katakan bahwa anak nakal itu harus dinilai jangan secara subyektif sebaiknya bagaimana kita bisa membedakannya?

HE : Kalau kita mau menilai perilaku anak yang melanggar peraturan, kita akan melihat bahwa anak-anak ini kalau sudah melanggar peraturan tanpa memiliki rasa bersalah yang memadai, meskipun elanggarannya tergolong berat.

Dan sebetulnya sudah ada usaha dari orang tua untuk benar-benar mendidik anak ini secara baik maka kita bisa katakan anak ini melanggar peraturan mungkin anak ini dikatakan sebagai "nakal". Jadi anak ini sering kali tidak mau minta ampun, minta maaf dan tidak pernah ada penyesalan yang sungguh-sungguh, kalau kita paksa dia untuk minta maaf, dia tidak menyesal sungguh-sungguh. Nah, hal yang lain adalah pelanggaran anak itu biasanya melampaui tingkat perkembangan anak. Jadi kalau misalnya masih sesuai dengan tingkat perkembangannya kita katakan usil dan sebagainya. Nah, misalnya anak kelas III SD sebagai contoh melempar kepala gurunya dengan sengaja menggunakan penghapus papan tulis, nah itu tergolong perilaku kenakalan. Dan kemudian juga selain tidak adanya rasa penyesalan dia itu sebetulnya sudah tahu bahwa ada peraturan yang tidak boleh dilanggar. Tapi dia tidak peduli dan dia juga tidak peduli bahwa ada orang lain yang dirugikan atau terluka. Biasanya anak-anak yang aktif saja biasanya tidak sengaja melukai, tetapi ini dengan sengaja meskipun dia tahu dia melakukan pelanggaran, bahkan berusaha melukai baik secara fisik maupun mungkin luka hati kepada orang lain.
GS : Nah contoh yang Pak Heman tadi berikan, anak melempar gurunya, apakah tidak bisa dikategorikan sebagai anak yang kurang ajar?

HE : Ya saya kira bisa dikatakan sebagai kurang ajar, di lain sisi kita melihat bahwa anak ini sebetulnya melakukan pelanggaran yang melampaui batas usianya sehingga tergolong tidak wajar. Jdi kalau kurang ajar itu dari sisi sopan santunnya, etika sosialnya.

Kalau kita mengatakan anak ini melanggar peraturan atau melakukan "kenakalan" kita katakan anak ini melakukan perilaku yang melanggar, yang keterlaluan.

ET : Tapi kalau kita lihat anak-anak ini memang kadang-kadang banyak idenya Pak Heman, aktif dan rasanya banyak hal yang tidak kita pikirkan tetapi mereka lakukan. Jadi kalau memang seperti yang Pak Heman katakan sebagai kriterianya adalah pelanggaran, kira-kira bagaimana kita bisa mengenali bahwa suatu perilaku mereka itu memang pelanggaran atau memang mereka iseng-iseng atau ikut-ikutan teman begitu?

HE : Ikut-ikutan teman maupun iseng itu bisa kita nilai juga sebagai pelanggaran peraturan atau tindakan kenakalan, kalau misalnya memenuhi beberapa ciri bahwa dia sebetulnya sudah mampu beraku sesuai dengan peraturan.

Dan dia sebetulnya tahu ada peraturan seperti itu dan biasanya dia juga bisa untuk mengikuti peraturan itu, tetapi dia sengaja melanggar peraturan itu. Hal yang lain adalah dia sengaja dengan tindakannya itu berusaha menentang atau melawan misalnya guru, orang tua atau orang lain, sengaja untuk menjengkelkan hati mereka. Biasanya anak yang iseng atau usil itu tidak secara sengaja berusaha melukai hati orang lain tetapi melakukan hal-hal seperti itu hanya untuk misalnya kesenangan diri dan sebagainya. Nah ketika misalnya tanpa sengaja terjadi luka atau cidera pada orang lain, anak ini biasanya akan sangat menyesal, berbeda dengan anak yang nakal.
GS : Nah kenakalan itu memang terbawa dari lahir atau terbentuk karena lingkungannya Pak?

HE : Saya cenderung mengatakan bahwa kenakalan itu bergantung kepada lingkungannya, baik cara mendidik orang tua maupun lingkungan sosial tempat anak berada. Meskipun adakalanya ada kenakala tertentu yang disebabkan oleh pengaruh genetis misalnya saja pengaruh genetis ini menyebabkan anak-anak ini kurang peka secara naluri, secara emosi kurang peka.

Ada anak-anak yang dilahirkan memang dengan kondisi seperti itu, tetapi dalam keadaan yang umum kita bisa katakan bahwa ini lebih bergantung pada lingkungan.
GS : Kalau anak itu melakukan kenakalan tetapi di luar kesadaran dia atau sepengetahuan dia hanya karena meniru, itu bagaimana Pak?

HE : Ya, kita memang mengetahui bahwa perilaku anak itu banyak dipengaruhi oleh cara dia mencontoh dari lingkungannya dan sebagainya. Masalahnya adalah kalau dia mencontoh dari lingkungannya pertama kali begitu ketahuan misalnya kita mengarahkan dia, anak-anak ini akan bereaksi mematuhi atau setidaknya berlaku kooperatif mau bekerja sama.

Tetapi kalau ini sampai berkelanjutan dan pengaruh dari lingkungan sekitar sedemikian besar dan kemudian ditambah lagi menjadi pihak otoritas terasa tidak berdaya, maka hal ini bisa berlangsung terus menjadi suatu kebiasaan. Dan kebiasaan ini bisa mengikis suara hati anak, membuat anak tidak peka lagi terhadap penderitaan orang lain. Dalam hal ini lama-kelamaan anak bisa terpengaruh menjadi nakal.

ET : Wah, kalau kita sudah tahu batasannya seperti ini rasanya selama ini mungkin banyak salah kaprah dalam hal orang tua memberi label nakal kepada anak-anak, Pak Heman. Karena kadang-kadan lupa kalau misalnya mungkin mereka belum mengerti tetapi sudah dianggap nakal, padahal Pak Heman katakan harusnya pada saat anak sudah mengerti tetapi sengaja melanggar begitu Pak ya? Masalahnya nanti kalau ternyata mungkin para pendengar merasa pernah atau cukup sering memberi predikat nakal kepada anak-anaknya padahal sebenarnya anak-anak yang digolongkan nakal ini kalau menurut kriteria yang kita bicarakan malam hari ini tidak tergolong nakal begitu.

Untuk anak-anak yang seperti ini apakah ada dampaknya Pak dengan cap-cap yang diberikan?

HE : Saya kira ada dan label atau cap nakal ini cukup besar sebetulnya dan kurang disadari dampaknya oleh kebanyakan orang tua. Kalau boleh saya menganjurkan bahwa label atau cap nakal ini sbaiknya tidak disebut untuk anak, kenapa? Ada beberapa alasan di sini.

Pertama karena kita tidak tahu apakah benar secara sengaja anak melakukan pelanggaran dan secara terus-menerus sedang memanipulasi kita, kecuali kalau kita memang sungguh-sungguh mengetahui bahwa anak ini sedang memanipulasi kita, itu pun yang kita lakukan bukan memberikan cap tetapi kita melakukan tindakan-tindakan untuk menghentikan tingkah laku mereka memanipulasi kita. Nah, ada dampak yang lain yang kedua karena label nakal ini tidak jelas menunjukkan suatu perilaku tertentu, jadi kita misalnya mengatakan: "Nakal kamu! Jangan nakal!" dan sebagainya. Nah, ketika kita menyebut jangan nakal, kita tidak menuju kepada suatu perilaku tertentu sehingga anak tidak tahu perilaku apa yang harus dikoreksi dan sebagainya. Karena itu label nakal yang kita terapkan kepada anak tidak akan banyak mengubah tingkah laku anak menjadi lebih baik, nah itu dampak yang lain. Dan dampak selanjutnya adalah ketika kita memberi label kepada anak, label ini kadang-kadang dipakai sebagai suatu cap anak itu sendiri terhadap dirinya. Nah, di dalam hukum perilaku ada kecenderungan begini, kalau misalnya saya menganggap diri saya itu nakal saya akan berperilaku sesuai dengan julukan saya itu yaitu nakal. Jadi ada kemungkinan lama-kelamaan anak ini semakin berperilaku yang melanggar peraturan, semakin bandel dan seterusnya.

ET : Jadi semula tidak nakal justru dengan adanya cap ini malah akhirnya jadi sungguh-sungguh nakal begitu?

HE : Betul, bisa jadi begitu.

GS : Tapi saya pernah mendengar seorang ibu yang menyebut anaknya nakal itu dengan penuh kebanggaan, jadi semacam kebanggaan tersendiri. Lalu dia berkata kepada temannya: "O.....anak saya ini memang nakal," sambil tertawa-tawa dan merasa bangga bahwa anaknya bisa nakal, bisa begitu Pak?

HE : Ya saya kira ini juga semacam salah kaprah bahwa nakal itu sering kali dikacaukan dengan aktif, dikacaukan dengan anak-anak yang memang sehat. Padahal bagi anak-anak tertentu atau kebanakan anak, nakal itu suatu cap yang negatif, yang jelek, jadi sekalipun ibunya bangga mudah-mudahan anaknya tidak merasa dengan cap itu dia terbebani.

Kalau anak itu misalnya sampai bangga juga bahwa dirinya nakal, ada kemungkinan nakal yang dipikirkan anak itu lain dengan yang dipikirkan ibunya dan dampaknya bisa negatif juga.
GS : Itu kadang-kadang juga dididik, di dalam sekolah tertentu di mana memang anak-anaknya (kalau kita secara awam berkata itu nakal), itu bagaimana Pak?

HE : Ya sebetulnya kembali lagi ke kriteria orang dewasa, peraturan yang ingin kita tegakkan. Kalau saya pikir kita harus betul-betul memperhitungkan perkembangan anak, artinya begini anak-aak usia dari TK sampai dengan kelas II SD, bahkan sampai kelas III SD itu banyak bergerak.

Nah kita tidak boleh menerapkan peraturan yang banyak melarang perkembangan motorik mereka atau gerak-gerik mereka, jadi misalnya salah satu contoh kalau misalnya di kelas guru tidak bisa menerapkan peraturan yang terlalu keras sehingga anak tidak boleh bergerak sedikitpun. Bayangkan kita orang dewasa saja ½ jam disuruh duduk tanpa bergerak dan harus menulis terus akan kelelahan apalagi anak-anak yang kecil seperti itu. Jadi kalau kita menerapkan peraturan yang terlalu keras kita akan melihat banyak sekali anak nakal padahal bukan itu masalahnya, masalahnya adalah di peraturan kita apakah wajar, sesuai ataukah berlebihan.

ET : Atau justru kadang-kadang saya melihat ada orang tua yang terlalu mentolerir perilaku anaknya dengan mengatakan, "Ah wajar anak-anak nakal" begitu karena mungkin mereka melihatnya sebagi sesuatu yang lucu, sebagai yang biasa padahal setelah besar ternyata yang mereka anggap wajar itu ternyata sesuatu yang nakal seperti yang Pak Heman katakan tadi.

HE : Karena terlanjur terbentuk ketidakpekaan nurani, nah ini yang orang tua harus perhatikan bahwa anak-anaknya masih mempunyai kepekaan terhadap penderitaan orang lain.

GS : Ya, kadang-kadang orang tua juga mentolerir kalau anaknya laki-laki yang nakal. Kalau yang perempuan nakal dimarahi habis-habisan tapi kalau yang laki ini "O.....anak laki tidak apa-apa, itu memang wajar." Itu anggapan seperti itu bagaimana?

HE : Kembali lagi ke kriterianya ya, memang anak laki-laki akan cenderung lebih banyak bergerak dari pada anak perempuan, tetapi yang harus kita tetapkan sebetulnya apakah anak itu melanggar pelanggaran itu adalah pelanggaran perilaku yang biasa, yang normal, yang wajar-wajar saja karena anak itu belum mampu meniru atau menyesuaikan perilakunya dengan perilaku orang dewasa.

Kalau itu, saya kira itu tidak terlalu menjadi masalah tetapi yang lebih serius adalah pelanggaran di dalam hal pelanggaran moral, di dalam hal pelanggaran terhadap hak orang lain, nah ini yang orang tua langsung harus mengambil tindakan atau paling sedikit mengarahkan anak supaya anak ini tidak menjadi berkepanjangan atau berkelanjutan tingkah laku pelanggarannya ini.
GS : Katakan kasusnya menggoda temannya, sama-sama menggoda yang anak pria ini atau anak laki-laki ini menggoda temannya, anak perempuan juga menggoda temannya tapi yang laki ini lebih ditolerir daripada yang perempuan.

HE : Ya memang umumnya begitu, ini persepsi saja bahwa laki-laki ini lebih usil dan sebagainya sehingga kita meletakkan kriteria lebih berat pada wanita. Melanggar sedikit, anak perempuan diatakan nakal.

(3) ET : Sebenarnya bisa diselidiki atau dicari penyebabnya yang lebih utamanya atau tidak Pak, yang menyebabkan anak-anak itu bisa nakal seperti itu?

HE : Anak-anak yang nakal seperti kriteria tadi misalnya sampai melanggar peraturan tanpa rasa bersalah dan seterusnya itu ada beberapa sebab yang memang saling berkait, susah dipisahkan sat dengan yang lain namun beberapa hal yang penting di sini saya kira adalah misalnya orang tua yang tidak harmonis, yang menyebabkan orang tua ini menghukum anak secara sewenang-wenang.

Kalau anak dihukum secara sewenang-wenang kemudian anak itu banyak menderita luka batin, mereka merasa frustrasi kondisi-kondisi ini akan menyebabkan pemberontakan yang hebat dari anak. Nah, kondisi ini seharusnya diperbaiki lebih dulu dan sebetulnya di dalam keadaan seperti ini bukan orang tua itu berpikir, "hukuman apa yang sebaiknya saya lakukan atau lebih keras supaya anak menjadi kapok atau jera." Karena kalau ini dilakukan, anak semakin banyak memberontak. Kemudian kemungkinan lain dari anak nakal adalah karena kebutuhan emosi dan kebutuhan psikologis utamanya itu tidak terpenuhi. Misalnya saja kebutuhan akan kasih dan perhatian terutama dari orang tua, kebutuhan untuk rasa aman atau merasa terlindung dari orang tua itu tidak terpenuhi, kebutuhan anak untuk mandiri. Nah ini kenapa saya sebutkan kebutuhan untuk mandiri karena anak yang terlalu dikekang ini tidak boleh, itu tidak boleh, maka reaksi anak adalah memberontak. Dan kalau pemberontakan ini kembali lagi ditekan akan terjadi reaksi frustrasi. Hal yang lain misalnya karena orang tua kurang tegas dan kalau anak melakukan pelanggaran banyak dibiarkan atau malah orang tua ikut tertawa karena merasa lucu dan sebagainya. Nah, ini sering kali diperburuk oleh orang tua yang selalu mengikuti kemauan anaknya. Suatu kali orang tua setelah dia tidak bisa memenuhi kemauan anak, anak menjadi marah dan melakukan kenakalan-kenakalan.
(4) GS : Ya mungkin Pak Heman mempunyai saran untuk menanggulangi kalau ada orang tua yang punya anak atau anak-anak yang memang nakal, bagaimana Pak?

HE : Sesuai dengan sebab-sebab tadi yang pertama kita usahakan, kita harus mengusahakan untuk menciptakan keluarga yang harmonis. Kemudian yang kedua orang tua berusaha sekuat tenaga untuk mmenuhi kebutuhan emosional anak yang utama.

Dan yang ketiga bersikap tegas kepada anak dan didik mereka secara wajar dan sesuai dengan ajaran firman Tuhan, saya kira ini 3 hal yang terpenting yang bisa dilakukan oleh orang tua.

ET : Jadi dalam hal ini kuncinya kembali kepada orang tua, Pak Heman?

HE : Itu yang bisa kita lakukan selaku orang tua.

ET : Pak Heman, bisa atau tidak kalau kita menyimpulkan bahwa sebelum menuduh anak kita nakal, sebaiknya orang tua yang introspeksi dulu apa yang menyebabkan anaknya menjadi nakal seperti itu?

HE : Ini saran dan kesimpulan yang baik.

GS : Ya, karena bukan cuma anak-anak yang nakal, banyak orang tua yang lebih nakal dari anak-anaknya Pak Heman, yang kita harus sadari bahwa kita sebenarnya ditatap oleh mata-mata kecil yang gara-gara kita itu mereka bisa bersikap seperti itu.

HE : Ya betul karena orang tua juga sering melanggar peraturan.

GS : Karena ini Pak, kalau memang kenakalan itu kita tekan-tekan bisa jadi nanti suatu saat juga akan terlampiaskan entah waktu dia remaja, entah dia pemuda, itu akan mewujudkan dirinya itu.

HE : Betul, terutama ketika orang tua tidak lagi bisa sepenuhnya mengontrol anaknya.

GS : Tapi saya percaya ada firman Tuhan yang akan memberikan bimbingan yang benar dan pasti sehubungan dengan ini, Pak Heman.

HE : Amsal 29:17 mengatakan demikian: "Didiklah anakmu maka ia akan memberi ketenteraman kepadamu dan mendatangkan sukacita kepadamu."

GS : Ya, tegas sekali firman Tuhan mengatakan didiklah anakmu. Jadi saya rasa itu menjadi tanggung jawab orang tua dan tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain.

Terima kasih sekali, Pak Heman untuk kesempatan berbincang-bincang kali ini dan saya percaya sekali bahwa perbincangan ini akan pasti menjadi berkat bagi banyak orang. Dan para pendengar sekalian terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak Nakal". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



38. Anak Sulit Belajar


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T106B (File MP3 T106B)


Abstrak:

Kesulitan anak untuk belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor. Namun biasanya yang menjadi salah satu faktor yang utama yang seringkali dilihat adalah faktor intelektualnya.


Ringkasan:

Beberapa faktor yang menyebabkan anak sulit belajar yaitu:

  1. Kemampuan intelektual anak ada yang cepat dan ada yang lambat.

  2. Kesehatan fisik anak, kalau anaknya lemah sering sakit dia juga akan mengalami kesulitan-kesulitan di dalam belajar.

  3. Strategi belajar dan kebiasaan belajar, kebiasaan yang salah itu akan mempengaruhi hasilnya yang tidak memuaskan.

  4. Masalah lingkungan belajar, kalau lingkungannya tidak menyenangkan, maka anak juga akan terganggu belajar.

  5. Rasa tanggung jawab anak di dalam belajar.

Untuk mengetahui kemampuan intelektual ada beberapa hal yang bisa kita lakukan yaitu:

  1. Membawa anak ke seorang psikolog atau biro konseling untuk memeriksakan anak dengan test intelegensi.

  2. Cara yang lain kita bisa mengamati anak kita ketika anak ini di sekolah yang bobot pelajarannya itu sama jadi tingkat kesulitan pelajarannya itu sama. Yang secara spesifik lagi mungkin anak misalnya mempunyai konsentrasi yang buruk, anak mengalami kesulitan dalam membaca atau juga ada anak yang kesulitan di dalam koordinasi visual dan motoriknya, jadi antara mata dengan tangannya dsb itu tidak terkoordinasi dengan baik.

Untuk masalah fisik yang juga menjadi penyebab anak kesulitan belajar misalnya gangguan penglihatan sehingga waktu di kelas dia kesulitan untuk melihat ke papan tulis, gangguan pendengaran sehingga anak tidak bisa mendengar pelajaran dengan baik, kemungkinan juga anak kekurangan kadar Hb atau bahkan mungkin cacingan yang menyebabkan anak lemas dan tidak bisa konsentrasi. Hal-hal seperti ini orang tua harus menyadari dan memperhatikan dengan cermat.

Kebiasaan belajar yang menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar:

  1. Anak diharuskan mempelajari sekaligus bahan pelajaran yang begitu banyak dalam waktu yang sangat panjang.

  2. Anak bermain playstasion dan menonton televisi sebelum belajar, sementara main dan nonton itu menyerap semangat kita cukup banyak sehingga melelahkan. Jadi waktu anak belajar dia sudah lelah dan kehilangan minat.

  3. Anak yang tidak pernah merapikan bukunya dan menghabiskan waktu hanya untuk mencari bahan pelajaran sekolahnya.

  4. Anak yang sebenatar-sebentar mencari makanan ketika belajar.

Lingkungan belajar yang mengganggu anak belajar adalah:

  1. Suasana rumah yang semrawut dan tidak rapi.

  2. Rumah yang dipenuhi oleh kebisingan suara musik, motor, dan lain-lain.

  3. Pertengkaran orang tua, orang tua tidak harmonis ini banyak sekali membuat prestasi anak merosot dsb.

  4. Tetangga yang suka datang atau menelepon dan mengajak anak kita bermain.

  5. Kakak atau adik yang suka mengganggu.

Untuk tanggung jawab, pada mulanya anak memang perlu dibimbing untuk mempunyai strategi dan kebiasaan belajar yang baik dan dibantu ketika mengalami kesulitan memahami pelajaran. Ketika anak sudah mempunyai strategi yang pas dsb. dan anak bisa dilepas, biarkan dia mengerjakan atau memikul bebannya sendiri.

Amsal 19:2 a, "Tanpa pengetahuan, kerajinanmu tidak baik."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya ditemani oleh Ibu Esther Tjahja, S. Psi., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi., dan beliau adalah pakar dalam bidang konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang; Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Mengapa Anakku Sulit Belajar". Dan kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, sebagai orang tua tentu kita pernah mendampingi anak kita belajar khususnya yang masih di tingkat Sekolah Dasar, dan itu bukan sesuatu kegiatan yang menyenangkan. Kadang-kadang kita juga jengkel kepada anak yang sudah diberikan soal, dilatih, didampingi ternyata hasil ulangannya juga masih jelek, Pak Heman. Sebenarnya apakah yang membuat anak itu sulit belajar, di samping kita melihat ada anak-anak lain yang hanya belajar sebentar tapi sudah bisa menguasai?

HE : Secara singkat saya ingin mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan anak sulit belajar. Yang pertama yaitu kemampuan intelektual anak ada yang cepat, ada yang lambat. Yang kedua yaiu kesehatan fisik anak, kalau anaknya lemah sering sakit dia juga akan mengalami kesulitan-kesulitan di dalam belajar.

Yang ketiga adalah strategi belajar dan kebiasaan belajar, kebiasaan yang salah akan mempengaruhi hasilnya menjadi tidak memuaskan. Yang keempat adalah masalah lingkungan belajar, kalau lingkungannya tidak menyenangkan, maka anak juga akan terganggu belajarnya. Dan yang kelima adalah rasa tanggung jawab anak di dalam belajar.
GS : Begitu banyak faktor yang mempengaruhi Pak Heman, tetapi secara ringkas sebenarnya dari sekian banyak faktor itu apakah yang paling besar pengaruhnya?

HE : Sulit dikatakan, semuanya mempunyai kepentingannya masing-masing, tetapi di dalam hal intelektual saya kira itu yang kalau misalnya kita menemukan anak kita sulit belajar maka itu adala hal yang pertama-tama harus kita periksakan, harus kita cek apakah intelektual anak kita itu memadai atau tidak.

GS : Tapi bagaimana kita bisa mengetahui bahwa faktor penyebabnya adalah intelektual, kalau sakit fisik mungkin kita tahu badannya panas, atau matanya merah tetapi kalau yang itu bagaimana Pak?

HE : Untuk kemampuan intelektualnya kita bisa membawa anak ke seorang psikolog atau biro konseling untuk memeriksakan anak ini dengan test intelegensi. Cara lain yang lebih sederhana adalah ita mengamati anak kita ketika anak ini di sekolah yang kurang lebih bobot pelajarannya itu sama.

Jadi tingkat kesulitan pelajarannya itu ± sama, mungkin cara atau metode yang digunakan guru untuk mengajar ± sama. Kalau misalnya dia itu pernah mendapatkan prestasi-prestasi yang bagus dan di atas rata-rata atau tergolong rata-rata tapi masih baik dan itu pernah terjadi di dalam suatu jangka waktu tertentu, misalnya ½ tahun atau 1 tahun, kemudian untuk saat ini makin merosot, nah ini ada kemungkinan bukan faktor intelektual, tetapi faktor yang lain. Biasanya kalau hanya faktor intelektual saja yang berpengaruh hasilnya ± akan sama. Ini secara awam kita bisa memperkirakan bahwa tingkat intelektual anak itu cukup baik. Nah dengan catatan ada 1, 2 catatan lagi tentang kemampuan intelektual ini kalau anak mengalami masalah yang spesifik di dalam kemampuan yang lebih spesifik dalam kapasitas intelektualnya. Pada awalnya ada kemungkinan anak-anak ini masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik misalnya di kelas 1, kelas 2 SD. Karena kita biasanya lebih memperhatikan mereka, tetapi semakin besar, ketidakmampuan mereka di dalam hal yang spesifik ini semakin menonjol. Ketidakmampuan spesifik ini misalnya konsentrasi yang buruk, nah pada waktu kecil kita masih bisa awasi itu, mereka belajar dan kita betul-betul mengajar mereka, tetapi ketika pelajaran makin sulit, makin rumit, anak-anak dengan konsentrasi yang buruk akan cenderung mengalami kesulitan yang lebih banyak. Kemudian ada juga anak-anak yang kesulitan di dalam membaca, masalahnya mereka sulit merangkai kata dan kalimat secara cepat, ada anak yang kalau dia membaca satu alinea depannya sudah lupa ingat belakangnya, ingat depannya belakangnya lupa dan seterusnya, ini karena kesulitan di dalam membaca. Kemudian ada juga anak-anak yang kesulitan di dalam koordinasi visual dan motoriknya, jadi antara mata dengan tangannya dan sebagainya itu tidak terkoordinasi dengan baik, nah itu kemungkinan karena anak ini mengalami cacat di bidang koordinasi visual dan motoriknya.

ET : Lalu sebagai orang tua kalau memang ternyata setelah diperiksakan, menemukan anaknya mengalami masalah dalam hal ini, apakah yang bisa dilakukan Pak Heman?

HE : Kalau di dalam kemampuan intelektualnya anak ini terbatas, maka yang kita lakukan kita tidak menyekolahkan dia di sekolah yang tuntutannya terlalu berat, jadi disesuaikan dengan kemampun anak ini.

Kalau misalnya ada kemampuan spesifik yang terganggu kita bisa membawa mereka untuk menjalani terapi perilaku, jadi ada ahli-ahli yang memang dilatih khusus dan mereka mempunyai kemampuan untuk melatih anak-anak ini melalui berbagai pelatihan. Misalnya dengan berbagai macam permainan memasang 'puzzle', kemudian belajar dengan menyulam dan sebagainya, banyak permainan yang bisa dipakai untuk mempertinggi kemampuan anak di dalam kecacatan-kecacatan seperti ini.

ET : Untuk anak-anak yang seperti itu apakah mereka harus dipindahkan ke sekolah yang khusus juga begitu Pak Heman, yang punya masalah dengan kemampuan-kemampuan itu?

HE : Sejauh kapasitas intelektualnya memadai saya kira anak ini cukup dilatih saja, misalnya di sore hari dibawa terapi seminggu 3 atau 4 kali dan seterusnya.

GS : Kalau masalahnya adalah masalah fisik itu, yang tadi Pak Heman juga singgung itu bagaimana Pak?

HE : Masalah fisik contohnya adalah seperti ini karena banyak orang tua sering kali tidak menyadari hal-hal seperti ini, orang tua hanya berpikir anaknya kok prestasinya menurun dan tanpa diadari kita sudah menghukum mereka.

Sebetulnya kita harus cek dulu, kalau masalah-masalah kesehatan yang gampang dilihat, diidentifikasi masih bisa langsung melihatnya. Misalnya penyakit asma, tifus, radang paru-paru dalam bentuk misalnya batuk yang tidak sembuh-sembuh, radang tenggorokan dan sebagainya. Tetapi kita juga harus memperhatikan, nah hal ini sering kali kurang diperhatikan oleh orang tua yaitu gangguan penglihatan. Jadi anak kadang-kadang di kelas kalau mau melihat papan tulis matanya kerkedip-kedip, nah ada kemungkinan dia perlu kacamata, karena kalau tidak memakai kacamata anak ini belajarnya terganggu. Kemudian juga gangguan pendengaran, kadang-kadang karena suatu gangguan atau penyakit tertentu sedangkan anak sering kali tidak bisa mengeluh secara jelas, padahal anak-anak ini tidak bisa mendengar pelajaran dengan baik, siapa tahu anak-anak ini memerlukan bantuan pendengaran. Dan kemudian ada kemungkinan anak-anak yang kekurangan kadar Hb atau bahkan mungkin cacingan, ini juga menyebabkan anak-anak ini lemas dan tidak bisa konsentrasi, dengan pengobatan yang memadai sering kali masalah-masalah ini selesai dan anak kembali lagi berprestasi.
GS : Ya memang kadang-kadang penyakit itu bisa lama Pak, jadi dalam seminggu, kadang-kadang dalam sebulan kadang-kadang anak cuma masuk seminggu saja. Sehingga mau tidak mau prestasinya itu jauh di bawah teman-temannya. Dan dia merasa tidak enak sendiri di lingkungannya itu, itu bagaimana upaya orang tua? Mau disekolahkan anaknya sakit, tapi tidak disekolahkan dia ketinggalan terus pelajarannya.

HE : Ya betul, dalam hal ini memang kita tidak bisa terlalu memaksakan anak, kita mesti memperhatikan gizi anak dan kita memperbaiki kesehatannya dengan lebih banyak berolah raga dan berusah mengobati mereka.

Tapi di lain pihak, (nah ini juga yang perlu diketahui oleh orang tua) karena anak ini ingin menghindari tanggung jawab atau pun karena dia kurang berminat terhadap pelajaran, kalau dia mengalami kesulitan di sekolah maka dia akan melarikannya pada misalnya gangguan fisik dengan keluhan-keluhan fisik, sakit perut dan sebagainya. Nah, kalau ini dia berhasil dia akan cenderung mengulang, mengulang dengan lari dari pelajaran sekolahnya dengan keluhan-keluhan fisik, nah ini perlu orang tua perhatikan. Cuma memang kita jangan sampai misalnya anak yang sungguh-sungguh sakit, kita anggap hanya memanipulasi kita atau sebaliknya anak sedang manipulasi tapi kita pikir dia sakit sungguh-sungguh, sehingga dia bisa lari dari tanggung jawabnya ini.

(2) ET : Tadi selain masalah kemampuan intelektual dan kesehatan fisik, Pak Heman juga menyinggung soal kebiasaan belajar. Kebiasaan belajar apakah yang biasanya menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar, Pak Heman?

HE : Ada beberapa kebiasaan sebagai contoh saja misalnya anak diharuskan mempelajari bahan pelajaran yang begitu banyak dalam jangka waktu yang sangat panjang. Nah ini memang sebagian disebakan oleh kekhawatiran orang tua kalau misalnya anaknya tidak belajar dengan waktu yang panjang, dia bisa ketinggalan pelajarannya sehingga anak mengantuk pun dipaksa-paksa untuk melêk untuk belajar lebih banyak.

Padahal ini suatu strategi yang salah karena dengan semakin dipaksa anak tidak bisa konsentrasi, otomatis tidak ada bahan pelajaran yang bisa diingat oleh anak lebih banyak, bahkan mungkin yang sudah dipelajari menjadi lupa semua. Kemudian hal yang lain misalnya anak bermain playstation atau nonton televisi sebelum belajar, sedangkan bermain playstasion dan menonton televisi itu bisa menyedot semangat kita cukup banyak sehingga melelahkan. Anak waktu mau belajar dia sudah lelah dan kehilangan minat. Kemudian lagi misalnya kebiasaan anak yang tidak pernah merapikan mejanya, ruang belajarnya, dan dia hilangkan buku pelajarannya, maka akan lebih banyak waktu untuk mencari buku pelajarannya dari pada waktu belajarnya. Jadi di dalam hal ini kita perlu ajarkan juga kepada anak untuk merapikan kamarnya. Selain orang tua sendiri perlu juga merancang atau merapikan rumahnya, sehingga anak ini bisa belajar lebih baik. Nah, kemudian ada juga kebiasaan anak yang suka makan, sebentar-sebentar di dalam belajarnya sambil ke sana, ke sini makan dan sebagainya nah kebiasaan-kebiasaan ini seharusnya dikurangi.

ET : Saya tertarik dengan yang tadi Pak Heman katakan bermain playstasion dan menonton televisi. Kadang-kadang ada orang tua karena susah membujuk anaknya untuk belajar akhirnya tawar-menawa dengan anaknya.

Lalu anaknya mengatakan: "Ya, saya akan belajar, kalau saya diijinkan main, saya akan belajar kalau saya boleh nonton TV dulu, sebenarnya ini bagaimana Pak Heman?

HE : Saya cenderung mengatakan sebaiknya playstasion dan nonton TV itu diletakkan sebagai satu 'reward' artinya setelah anak belajar, kalau dia mempunyai prestasi yang baik baru dia boleh meonton TV lebih banyak atau bermain playstation.

Dan sebaiknya itu diletakkan di hari-hari di mana dia tidak terlalu banyak ulangan. Salah satu contoh misalnya Sabtu malam, dia bebas bermain playstation dan sebagainya, dengan catatan kalau dia mempunyai prestasi yang cukup baik. Di dalam kita menentukan prestasi yang baik ini juga jangan membuat anak frustrasi, anak sama sekali tidak bisa mencapainya sehingga dia tidak peduli lagi diijinkan main atau tidak dan dia melakukan banyak rengekan atau pemberontakan. Nah ini juga kurang baik, ini juga akan mengganggu prestasi belajarnya. Jadi sebaiknya diletakkan di kemudian jangan diletakkan di depan, sebelum anak belajar.

ET : Sepertinya kehadiran dan ketegasan dari orang tua penting sekali di sini, karena biasanya kalau tidak ada orang tua mereka bermain dulu.

HE : Betul, di sini diperlukan ketegasan orang tua, jangan sampai orang tua tidak tega dengan anak dan itu justru menyebabkan anaknya semakin tidak berminat untuk belajar.

GS : Ya, berbicara tentang kebiasaan belajar anak-anak kadang-kadang memang aneh-aneh Pak. Ada yang pulang sekolah dia langsung belajar dan setelah itu dia tidak belajar lagi. Kemudian hasilnya memang cukup memuaskan Pak. Tetapi sebagai orang tua kita menginginkan dia pulang sekolah istirahat dulu, nanti sore belajar lagi atau malam setelah makan belajar lagi. Nah polanya dia atur sendiri. Nah sebenarnya bagaimana peran orang tua itu Pak?

HE : Kalau anak bisa mengatur pola belajarnya sendiri, ini sesuatu yang baik sekali dan kita hanya perlu cek apakah anak masih bisa mempertahankan prestasinya dan kemudian apakah anak sudah erusaha maksimal dalam mencapai prestasinya ini.

Jadi masalah dia tidak tidur siang atau tidur siang, sebetulnya orang tua tidak perlu terlalu banyak mengatur, kalau anak bisa mengaturnya sendiri. Kecuali kalau misalnya anak tidak disiplin, nah kita membantu mendisiplin anak di dalam hal belajar. Jadi memang setiap anak betul ada polanya masing-masing, ada yang bisa atau bahkan harus dengan mendengarkan musik sambil belajar, ada yang maunya tenang sekali, tidak ada suara sedikitpun itu memang cara yang berbeda-beda bagi setiap anak. Nah, di sini kita perhatikan saja tentang rasa tanggung jawab anak itu, kalau anaknya itu bertanggung jawab, orang tua akan dengan lega hati lebih banyak memberikan tanggung jawab dan beban itu kepada anak.
GS : Tetapi saya khususnya sebagai orang tua kadang-kadang merasa tidak pas dengan polanya Pak. Seperti tadi Pak Heman singgung dengan musik, dia memakai headphone memang tidak mengganggu orang lain dan saya tahu itu musik yang cukup keras yang dia bunyikan dan itu dilakukan sambil belajar. Saya tidak bisa mengerti bagaimana sambil mendengarkan musik yang sekeras itu dia berkata dia bisa belajar.

HE : Ya, memang sering kali kita belajar itu dengan gaya kita, sehingga kita tidak bisa membayangkan kenapa anak kita bisa dengan gaya yang berbeda dari kita. Tetapi kita bisa melihat hasilna saja, kalau misalnya hasilnya masih cukup memadai kenapa tidak.

(3) GS : Dan pengaruh lingkungan itu seberapa besar Pak terhadap keberhasilan seorang anak di dalam belajar?

HE : Saya kira besar sekali pengaruh lingkungan ini, umumnya hanya anak-anak tertentu yang tidak terpengaruh. Suasana rumah yang semrawut dan tidak rapi ini membuat anak kesulitan di dalam beajar.

Kemudian rumah yang dipenuhi oleh kebisingan, misalnya suara musik, motor dan sebagainya, nah sekali lagi kecuali anak-anak tertentu. Dan kemudian orang tua yang bertengkar, orang tua tidak harmonis ini banyak sekali membuat prestasi anak merosot. Kemudian juga lingkungan tetangga-tetangga dan teman-teman, banyak teman-teman yang suka datang mengajak anak kita bermain nah ini akan mengganggu. Kemudian juga kakak atau adik dari anak yang bersangkutan suka mengganggu dan sebagainya, ini juga harus dicegah. Kemudian guru itu faktor yang penting, guru yang baik akan membangkitkan minat belajar sehingga membuat prestasi anak meningkat. Dan sebaliknya guru sering kali menjadi faktor yang melemahkan semangat belajar anak, ini beberapa hal dari lingkungan belajar yang mempengaruhi prestasi anak.

ET : Rasanya ada beberapa hal yang bisa dipersiapkan oleh orang tua untuk masalah lingkungan ini. Tetapi kadang-kadang ada kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan yang menyebabkan ligkungan belajar itu menjadi tidak memadai.

Misalnya seperti tadi faktor guru, faktor tetangga bukankah ini hal-hal yang tidak bisa kita cegah sedemikian rupa, menurut Pak Heman bagaimana mengatasi hal ini?

HE : Kalau soal teman kita tetapkan saja jam di mana anak boleh terima tamu dan tidak. Anak sering kali tidak tega juga atau tidak bisa tegas, jadi orang tua yang membantu. Kadang-kadang oran tua menjadi kambing hitam sementara, tapi saya kira pada usia anak yang masih sangat muda kita perlu bantu mereka, sambil orang tua juga mengajarkan kepada anak untuk mengatakan tidak kepada teman-temannya.

Nah, kalau misalnya anak dari kecil sudah mempunyai kebiasaan yang baik yang ditanamkan orang tua, anak biasanya akan merasa terganggu oleh teman-temannya. Kecuali kalau anak tidak terbiasa disiplin dia lebih mengikuti temannya daripada orang tuanya. Tugas orang tua adalah mendisiplin anak. Nah tentang faktor guru ini lebih sulit, tentang guru ini memang di luar jangkauan kita. Kita bisa melakukan tindakan misalnya dengan menghibur anak ketika kita melihat tindakan guru atau cara mengajar guru tidak sepatutnya. Jadi kita menguatkan anak dan mempertinggi semangat belajarnya, menceritakan misalnya Papa atau Mama dulu juga pernah mengalami seperti ini dan kita pernah mempunyai guru-guru yang tidak disukai, dan kita ceritakan kegagalan kita juga dan juga keberhasilan kita mengatasi perasaan-perasaan tidak suka terhadap guru. Kemudian juga kita bisa membantu anak untuk mencari strategi belajar yang baik, selain itu orang tua juga bisa bertindak sebagai guru, misalnya dengan mencarikan buku-buku yang menarik menurut pelajaran dari anak yang bersangkutan. Buku-buku pengetahuan, buku cerita yang ada sangkut-pautnya dengan pelajaran anak, banyak buku-buku yang baik misalnya tentang sejarah dan sebagainya di dalam bentuk cerita yang menarik saat ini, nah itu bisa membantu anak.
GS : Ada kekhawatiran sebagian orang tua itu tidak mau terlalu jauh mencampuri pelajaran anaknya atau cara mengajar pada anaknya, karena kadang-kadang itu bertentangan dengan cara guru mengajar Pak. Sehingga orang tua mengambil mudahnya yaitu dengan dileskan atau mengikuti pelajaran tambahan, tapi dia sendiri tidak akan terlibat dalam mendampingi anaknya belajar.

HE : Saya tahu ini kesulitan yang luar biasa dan tidak mudah diatasi. Les itu salah satu cara tetapi kita juga perlu mencegah jangan sampai les itu sebagai pelarian dari rasa tanggung jawab aak dan orang tua.

Jadi tetap anak itu sendiri harus punya rasa tanggung jawab untuk mengatasi kesulitan-kesulitannya sendiri. Terutama dia yang harus dituntut rasa tanggung jawabnya, bukan guru lesnya. Nah tentang cara mengerjakan soal yang berbeda, apa boleh buat, kadang-kadang kita harus mengalah meskipun kita juga harus mengajarkan kepada anak bahwa tidak hanya dengan satu cara saja kita bisa mencapai penyelesaian soal seperti itu karena kreatifitas anak juga perlu diperhatikan.
GS : Kalau faktor tanggung jawab itu bagaimana Pak?

HE : Tentang tanggung jawab, pada mulanya orang tua memang perlu membimbing dengan cara mengajarkan strategi dan kebiasaan belajar yang baik. Ketika anak sudah mempunyai strategi yang pas, dimana anak itu bisa dilepas, biarkan dia mengerjakan atau memikul bebannya sendiri.

Pokoknya kalau dia bisa dalam hal tertentu harus dilepas dan orang tua hanya sesekali memantau, seperti itu.
GS : Apakah ada firman Tuhan yang cocok untuk ini Pak, sebagai bekal untuk orang tua atau anak-anaknya.

HE : Dari Amsal 19:2a dikatakan demikian: "Tanpa pengetahuan, kerajinanpun tidak baik." Tanpa pengetahuan, kerajinanpun tidak baik, jadi tidak hanya kerajinan yang harus kita paka-paksa atau kita tekankan kepada anak tetapi kita juga harus mengetahui berbagai hal yang mempengaruhi misalnya strategi belajar, kebiasaan belajar dan seterusnya, itu kita harus juga mendidik atau mengatur dan kita beritahukan kepada anak-anak.

GS : Terima kasih, Pak Heman untuk perbincangan kali ini juga Ibu Esther banyak terima kasih. Para pendengar sekalian terima kasih Anda juga telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anakku Sulit Belajar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



39. Rasa Bersalah Orangtua


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T109A (File MP3 T109A)


Abstrak:

Rasa bersalah yang tepat bisa kita katakan sebagai rasa bersalah yang realistis, tapi juga ada rasa bersalah yang tidak atau kurang tepat. Akibat kesalahan atau rasa bersalah yang realistis pun bisa juga membawa dampak yang merugikan maupun menguntungkan.


Ringkasan:

Dalam mendidik anak, kita selalu menghadapi rasa bersalah ketika terjadi sesuatu pada anak kita. Apakah rasa bersalah ini ada manfaatnya atau justru merugikan ketika kita menghadapi anak?

Rasa bersalah akan membawa manfaat dan dapat pula merugikan. Secara kasar rasa bersalah dapat dibagi menjadi dua. Pertama, rasa bersalah realistis, dan kedua rasa bersalah yang tidak realitstis. Kedua jenis rasa bersalah ini dapat membawa kita memperlakukan anak secara baik, ataupun sebaliknya, kurang sesuai dengan prinsip mendidik yang baik dan sehat.

Yang perlu kita lakukan kalau timbul rasa bersalah dalam diri kita:

  1. Kita perlu menyadari apakah rasa bersalah ini, kita harus menyadari bahwa ini rasa bersalahdan tindakan kita disebabkan oleh rasa bersalah ini.

  2. Lalu kita harus mengontrol dan mengukur kadar rasa bersalah ini. Terutama kita pikirkan apa tujuan dari tindakan kita, apakah tindakan kita ini berlebihan sebagai reaksi terhadap rasa bersalah itu ataukah tindakan kita sebetulnya cukup memadai, bukan sekadar menebus rasa bersalah tetapi bagaimana kita tetap melakukan suatu cara untuk mendidik dan memikirkan akan masa depan anak.

Ada dua cara mengenali rasa bersalah yang timbul dalam diri kita yaitu:

  1. Rasa bersalah yang realistis. Jadi memang terjadi kesalahan pada diri kita dan akibat dari kesalahan ini membuat anak menderita sesuatu.

  2. Rasa bersalah yang kurang realistis. Dalam arti ada anak yang melakukan kesalahan, tapi kita tidak mengoreksinya tapi justru kita menanggung kesalahan anak atau mengambil beban tanggung jawab yang seharusnya itu adalah beban anak. Rasa bersalah ini akan membuat anak menjadi semakin tidak mandiri dan kalau anak peka, anak bisa mempermainkan rasa bersalahnya orangtua untuk kepentingan anak.

Bagaimana supaya rasa bersalah itu seimbang atau proporsional yaitu:

  1. Kita harus menyadari apa yang seharusnya mulai menjadi beban tanggung jawab anak dan mana yang menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua.

  2. Membedakan antara apa yang sungguh-sungguh menjadi kebutuhan anak dan yang seharusnya kita penuhi dan mana sebetulnya keinginannya yang didasarkan pada ketidakmatangan.

  3. Meminta anak bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahannya sendiri. Contoh, anak tidak mau belajar, kadang-kadang anak perlu mengalami konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya, misalnya kemudian anak mendapat nilai jelek.

Jadi letak rasa bersalah yang realistis dengan yang tidak realistis itu terletak pada tanggung jawab yang proporsional atas suatu kesalahan. Bila kesalahan itu dibuat oleh orang tua dan orang tua merasa bersalah ini adalah rasa bersalah yang realistis. Sebaliknya bisa kesalahan itu dibuat oleh anak dan orang tua tidak berani mengoreksinya karena merasa bahwa itu adalah dampak dari perbuatan orang tua itu sendiri, berarti itu rasa bersalah yang tidak realistis.

Mazmur 51:14-15 , "Bangkitkanlah kembali kepadaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela! Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu."

Jadi kalau kita mempunyai rasa bersalah, tidak dengan sendirinya kita harus berhenti di dalam mengajarkan anak-anak kita, justru kita harus bangkit kembali dan melakukan tugas mendidik anak-anak kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang rasa "Rasa Bersalah Orang Tua". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, kita semua tahu bahwa sebagai orang tua sekalipun kita sudah berusaha dengan baik mendidik anak-anak kita, kita merasakan ada saja yang kurang. Tetapi masalahnya timbul rasa bersalah di dalam diri kita ketika melihat perkembangan anak kita tidak normal Pak Heman, entah dalam tingkah lakunya, sikapnya dan sebagainya kemudian timbul rasa bersalah di dalam diri kita itu, wah ini gara-gara saya anak kita menjadi seperti ini. Nah, sebenarnya Pak Heman apakah rasa bersalah seperti itu salah di dalam diri kita?

HE : Ada rasa bersalah yang memang tepat dan realistis, tetapi juga ada rasa bersalah yang tidak atau kurang tepat. Dan rasa bersalah yang tepat bisa kita katakan sebagai rasa bersalah yang reaistis.

GS : Maksudnya kita bisa mengintrospeksi diri kemudian lain kali kalau mempunyai anak yang lain kita lebih hati-hati, apakah itu yang Bapak maksudkan?

HE : Ya betul Pak Gunawan, tetapi rasa bersalah yang realistis sekalipun, maksudnya yang betul-betul akibat kesalahan kita bisa juga membawa dampak yang merugikan, jadi tidak selalu membuat kit mengubah perilaku dan mengoreksinya tetapi adakalanya justru membawa dampak-dampak yang kurang menguntungkan.

(2) GS : Nah, dampak-dampak yang kurang menguntungkan itu misalnya seperti apa Pak?

HE : Seperti ini Pak Gunawan, kadang-kadang kita itu karena merasa terganggu oleh rasa bersalah, kita kurang memperhatikan anak ketika mereka balita dan itu menyebabkan anak-anak ini kurang memeroleh layanan kesehatan yang memadai, maka akibatnya setelah anak ini tumbuh makin besar anak ini lemah dan setiap kali anak merasa sakit maka kita merasa bersalah.

Nah, di dalam hal ini kalau kita misalnya terus terlalu melindungi anak dari segala macam, anak menjadi tidak boleh keluar, tidak bebas dan setiap kali ke mana-mana harus diantar, diawasi dan sebagainya maka rasa bersalah ini menimbulkan suatu perilaku berlebihan dari kita, menyebabkan kita terlalu melindungi anak. Dan kalau kita tidak hati-hati kita malah akan membuat anak menjadi lumpuh atau semakin tergantung kepada kita.
GS : Kemudian kita sebagai orang tua sebaiknya apa yang kita lakukan kalau timbul rasa bersalah di dalam diri kita?

HE : Salah satunya adalah kita perlu menyadari apakah rasa bersalah ini, kita tentu harus menyadari bahwa ini rasa bersalah dan tindakan kita disebabkan oleh rasa bersalah ini. kemudian kita pu harus mengontrol dan mengukur kadar rasa bersalah ini.

Terutama kita pikirkan apa tujuan dari tindakan kita, apakah tindakan kita ini berlebihan sebagai reaksi terhadap rasa bersalah itu ataukah tindakan kita sebetulnya cukup memadai, bukan sekadar menebus rasa bersalah itu tetapi bagaimana kita tetap melakukan suatu cara untuk mendidik dan memikirkan akan masa depan anak. Sebagai contoh, untuk anak-anak yang sering sakit, kita perlu tetap melatih mereka supaya mereka mempunyai tubuh yang lebih sehat dan bukannya terus-menerus melindungi mereka.
GS : Ada suatu pola atau suatu gaya orang tua untuk menebus kesalahannya terhadap anaknya dengan memberikan materi sebanyak-banyaknya Pak Heman. Jadi mungkin karena orang tuanya itu bekerja terutama ibunya yang merasa bersalah, karena meninggalkan anaknya yang masih balita, lalu setiap kali hampir setiap kali pulang kerja dia selalu membawa oleh-oleh buat anaknya. Sikap seperti itu bagaimana Pak?

HE : Ya kalau misalnya oleh-oleh ini berdampak kepada perilaku anak yang kemudian semakin cengeng dan misalnya kalau anak ini minta sesuatu pasti dituruti oleh ibunya didorong oleh rasa bersala ini, maka nantinya anak ini justru tidak semakin baik, tetapi justru anak ini akan belajar suatu perilaku yang manipulatif.

GS : Ada pula ketika ibunya sedang bekerja anaknya jatuh, nah ibunya ini merasa sangat bersalah sekali, di mana sebenarnya harus ada di samping anaknya ternyata anaknya itu jatuh dan cukup. Nah perasaan bersalah itu positif atau negatif atau bagaimana Pak?

HE : Perasaan bersalah itu positif, perasaan itu sendiri sah dan memang harus ada tetapi yang selanjutnya kita harus kontrol adalah perilaku kita, apa yang kita lakukan terhadap anak untuk mengtasi dampak itu, dampak dari terjatuh tadi.

Yang kita harus lakukan misalnya tindakan-tindakan yang realistis, di dalam arti kita belajar bagaimana mengontrol keadaan sehingga tidak sampai anak itu terjatuh lagi dengan akibat yang fatal, tetapi bukan dengan memanjakan anak secara berlebihan atau melindungi anak secara berlebihan.
GS : Berarti ada sesuatu yang baik atau meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri terhadap anak dengan timbulnya rasa bersalah itu Pak?

HE : Betul, ada akibat yang baik asalkan kita bisa meletakkan rasa bersalah ini pada porsi yang seharusnya.

(3) GS : Dan bagaimana kita bisa mengenali rasa bersalah yang timbul dalam diri kita itu Pak?

HE : Ada dua macam rasa bersalah, yang tadi itu adalah rasa bersalah yang realistis. Memang terjadi kesalahan pada diri kita dan akibat dari kesalahan ini membuat anak menderita sesuatu. Di lai pihak ada rasa bersalah yang juga sebetulnya kurang realistis, dalam arti ada anak yang sebenarnya melakukan kesalahan, anak mempunyai perilaku yang tidak matang atau kekanak-kanakan, tetapi bukannya kita mengoreksinya namun sebaliknya kita menanggung kesalahan anak itu.

Mengambil beban tangggung jawab yang seharusnya itu adalah beban anak menjadi beban kita, nah itu adalah rasa bersalah yang kurang realistis. Dan rasa bersalah yang kurang realistis ini akan membuat anak menjadi semakin tidak mandiri dan kalau anak peka akan hal ini, anak bisa mempermainkan rasa bersalah orang tuanya untuk kepentingan anak.
GS : Nah, itu bagaimana menyeimbangkannya supaya memiliki rasa bersalah yang proporsional seperti itu?

HE : Yang harus kita perhatikan pertama-tama adalah agar kita mengetahui, menyadari apa yang seharusnya sudah bisa dan apa yang sudah mulai menjadi beban tanggung jawab anak, dan mana yang tangung jawab kita sebagai orang tua.

Kadang-kadang misalnya anak itu menangis ketika kita tidak mampu membelikan mainan yang mahal, nah di dalam hal ini kadang-kadang orang tua merasa bersalah karena mereka tidak mempunyai penghasilan yang besar dan tidak bisa mengusahakan mainan-mainan yang mahal. Nah ini adalah rasa bersalah yang kurang realistis kenapa? Karena itu sesuatu yang tidak bisa diusahakan oleh orang tua, itu keterbatasan orang tua yang tidak bisa dihindari. Di samping itu kalau misalnya kita memberikan semua yang diminta oleh anak, mainan-mainan yang mahal dan sebagainya maka kita kehilangan suatu tujuan di dalam kita mendidik anak yaitu membuat mereka semakin bisa mengontrol diri dan semakin matang. Di dalam hal ini misalnya anak yang meminta mainan yang mahal dan sebagainya, seharusnya anak itu diajarkan untuk mengontrol diri dan mengurangi rasa frustrasinya sendiri ketika permintaannya itu tidak dipenuhi. Jadi di sini adalah adanya rasa tanggung jawab anak yaitu anak tidak boleh misalnya di dalam rasa frustrasinya itu meluapkan perasaan frustrasinya dengan cara yang tidak baik misalnya dengan marah-marah, dengan ngambek, dengan perilaku ngadat dan sebagainya.
GS : Itu berarti harus diajarkan kepada anak itu secara bertahap Pak, tidak mungkin sekaligus kita bisa menjelaskan kepada anak tentang hal itu?

HE : Betul sekali, ini memang menjadi sesuatu yang harus membuat orang tua peka. Jadi pertama memang tahapan-tahapan itu dan tahapan-tahapan itu sebetulnya menyangkut hal yang kedua yaitu bagaiana kita membedakan antara apa yang sungguh-sungguh menjadi kebutuhan anak dan yang seharusnya kita penuhi dan mana sebetulnya keinginannya yang didasarkan pada ketidakmatangannya.

Ini harus kita bedakan betul-betul dan ini memang terlalu mudah untuk membedakannya.
GS : Katakan kita sudah bisa membedakan itu, langkah selanjutnya apa Pak?

HE : Langkah selanjutnya adalah kita meletakkan proporsi tanggung jawab itu kepada diri anak-anak kita dan kepada diri kita. Saya berikan contoh demikian misalnya anak tidak mau belajar, kadangkadang anak itu perlu mengalami konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya, misalnya kemudian anak mendapat nilai jelek dan sebagainya.

Nah, kalau misalnya orang tua selalu berusaha supaya anak itu belajar, anak itu menyelesaikan PR-nya, orang tua selalu mengerjakan PR bagi anak-anaknya ini berarti membuat anak tidak merasa bertanggung jawab. Dan ketika orang tua tidak sempat untuk mengajar anak-anaknya atau membuatkan PR, anak-anak akan menyalahkan orang tuanya sehingga beban ini terbalik yang seharusnya rasa bersalah ini ada pada anak, ternyata menjadi beban orang tuanya dan ini tidak mendewasakan anak-anak. Jadi langkah selanjutnya adalah meminta anak juga bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahannya sendiri.
GS : Tetapi kalau dari hasil evaluasi itu ternyata justru kita yang memang betul-betul bersalah, apa yang harus kita lakukan Pak?

PG : Ada beberapa hal, pertama kita harus menyadari bahwa itu adalah kesalahan kita dan kalau kita merasa mempunyai rasa bersalah yang berlebihan kita harus menyadarinya. Dan kemudian yang selajutnya adalah kita perlu menyadari pula bahwa setiap orang tua itu pernah mempunyai rasa bersalah.

Jadi setiap orang tua itu pernah melakukan kesalahan-kesalahan, yang penting di sini adalah bukan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan itu, tetapi bagaimana kita bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. Kalau misalnya kesalahan-kesalahan yang ada sudah sulit dikoreksi, maka kita juga perlu mengalihkannya. Jadi misalnya begini kadang-kadang kita semua orang tua melakukan kesalahan dan kita tahu orang tua kita juga melakukan kesalahan, tetapi kita mempunyai kesan bahwa orang tua kita itu sering kali adalah orang tua yang meskipun tidak sempurna tapi mereka memberikan kesan yang baik. Karena kita tahu mereka mempunyai tujuan yang baik dalam mendidik anak-anaknya. Demikian juga kalau kita mendidik anak kita, kita perlu memberi kesan-kesan khusus, dalam hal ini misalnya orang tua bisa menciptakan kenangan-kenangan yang indah bersama anak-anaknya. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam kenangan yang indah ini, misalnya saja orang tua bisa menyediakan waktu secara khusus yang berharga, menciptakan moment-moment indah bersama anak seperti misalnya bercerita tentang masa kecil anak yang lucu kemudian bercengkrama bersama mereka, bepergian ke alam bebas hanya bersama dengan keluarga saja dan kemudian di dalam perjalanan itu kita saling bercerita, membagi cerita dan kemudian juga merenungkan kebesaran Tuhan, berdoa, membaca Alkitab bersama, bernyanyi bersama anak dan sebagainya. Banyak sekali moment yang kita bisa ciptakan dan kalau moment-moment ini cukup banyak maka anak sering kali tidak membebankan kesalahan-kesalahan semata-mata kepada orang tua, tetapi bisa mengingat bahwa hubungan orang tuanya sebetulnya lebih banyak indahnya, lebih mengesankan hal-hal yang indah itu.
GS : Nah, moment-moment seperti itu justru sering kali itu membuat anak banyak bertanya tentang kehidupan kita, termasuk kelemahan dan kekurangan kita, lalu kita harus bersikap bagaimana kalau demikian?

HE : Adakalanya kita boleh membuka sedikit kelemahan-kelemahan kita dan kegagalan-kegagalan kita. Percuma kita menyangkali kegagalan dan kelemahan ini, karena itu akan semakin membuat anak misanya merasa pahit, merasa marah terhadap diri kita jadi kita akui saja kita katakan bahwa memang kadang-kadang orang tua melakukan kesalahan dan kadang-kadang kita perlu juga meminta maaf kepada anak-anak.

Dan dengan cara ini sebetulnya kita juga mendidik anak-anak untuk mengakui kesalahan mereka dan kemudian meminta maaf atas kesalahan mereka. Dengan demikian, rasa bersalah kita juga bisa dikontrol dengan lebih baik, kalau tidak kita akan selalu terombang-ambing antara dua ekstrim. Antara memanjakan dan terlalu ketat dan seterusnya.
GS : Ya sering kali Pak Heman kita sebagai orang tua kalau sudah ketemu kadang-kadang yang dibicarakan adalah anak-anak kita. Dan kadang-kadang juga masih tercetus atau terungkap rasa bersalah itu dalam pembicaraan kita dengan sesama orang tua, sebenarnya dampaknya itu bagaimana Pak?

HE : Saya kira itu cukup baik karena di dalam kita bicara-bicara, berbagi dengan sesama orang tua, di situ kita belajar, belajar dari kesalahan diri kita sendiri, belajar dari kesalahan orang lin, belajar bagaimana mengatasi kesalahan-kesalahan itu dan kita akan merasakan o.....ternyata

bukan saya sendiri yang melakukan kesalahan seperti ini, orang tua lain juga melakukan kesalahan seperti ini. Dan juga kadang-kadang kita beroleh penghiburan dari sana, ternyata ada kesalahan-kesalahan yang sebetulnya tidak harus menjadikan anak itu besarnya menjadi tidak seperti yang kita inginkan. Adakalanya kesalahan-kesalahan yang seperti itu justru akan membuat anak tumbuh menjadi lebih dewasa, misalnya begitu. Nah, dengan berbagi rasa bersalah kita juga akan lebih bisa dikontrol, nah ini hal yang baik juga.
GS : Ya itu supaya tidak menimbulkan kesan kita menjelek-jelekkan diri kita sendiri atau anak kita. Sampai sejauh mana kita bisa mengungkapkan hal itu kepada teman kita?

HE : Saya kira perlu kita ketahui juga mengenai lawan bicara kita, jadi kalau dua orang tua itu semakin saling terbuka sebetulnya kedua orang tua ini atau kedua belah pihak yang sedang berbicar ini semakin mau mengakui kesalahannya masing-masing, dengan demikian ada saling menerima.

Jadi di dalam hal ini tidak akan terlihat lagi saling menjelek-jelekkan, tetapi justru ada perasaan bahwa kita sedang mengakui kelemahan kita masing-masing.
GS : Pak Heman, kalau kesalahan yang kita buat itu berdampak sangat negatif terhadap anak kita, sehingga seolah-olah tidak bisa lagi diperbaiki, apa tindakan kita selanjutnya Pak?

HE : Kadang-kadang ada situasi yang sangat sulit di mana kita terlambat melakukan koreksi atas kesalahan kita. Dan kadang-kadang kita harus membayarnya dengan harga yang mahal, misalnya anak yag dulunya pernah menyaksikan ayahnya memukul ibunya, mungkin ayah ini memerlukan waktu yang panjang untuk memulihkan hubungan dengan anaknya.

Nah, di dalam hal ini ada satu prinsip yang boleh kita pegang yaitu usahakan supaya diri kita menjadi orang tua yang maksimal, dan kita berhenti berusaha menjadi orang tua yang sempurna. Karena kita tidak akan menjadi orang tua yang sempurna, sambil kita juga mengoreksi semaksimal mungkin apa yang masih tersisa sampai kita perlu terus berdoa bagi anak-anak kita supaya mereka tetap mempunyai masa depan yang baik.
GS : Jadi ada suatu perbedaan yang jelas antara rasa bersalah yang realistis dan rasa bersalah yang kurang realistis. Mungkin Pak Heman bisa menyimpulkan lagi, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini.

HE : Jadi letak rasa bersalah yang realistis dengan yang tidak realistis itu terletak pada tanggung jawab yang proporsional atas suatu kesalahan. Bila kesalahan itu dibuat oleh orang tua dan orng tua merasa bersalah ini adalah rasa bersalah yang realistis.

Sebaliknya, bisa kesalahan itu dibuat oleh anak dan orang tua tidak berani mengoreksinya karena merasa bahwa itu adalah dampak dari perbuatan orang tua itu sendiri, berarti itu rasa bersalah yang tidak realistis, nah ini kesimpulannya.
GS : Dan apakah ada firman Tuhan yang mendukung prinsip itu Pak?

HE : Saya ingin bacakan dari ayat-ayat yang indah yang ditulis oleh raja Daud beberapa saat setelah dia jatuh ke dalam dosa perzinahan dengan Batsyeba dan kemudian dia menuliskan sebuah doa di alam Mazmur 51:14-15 (Disebutkan ayat 12 dan 13) dikatakan demikian : "Bangkitkanlah kembali kepadaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela! Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu."

Di sini sebetulnya Daud melakukan kesalahan yang sangat mendalam, sehingga dia berteriak kepada Tuhan di dalam kedukaannya, tetapi dia tidak berhenti sampai di situ, dia minta kepada Tuhan supaya membangkitkan kembali kegirangannya karena selamat yang dari pada Tuhan. Dan juga Daud tetap melanjutkan pekerjaannya antara lain mengajarkan jalan Tuhan kepada orang-orang, di dalam pembicaraan kita adalah anak-anak kita yang akan kita didik ketika mereka melakukan pelanggaran. Jadi kalau kita mempunyai rasa bersalah tidak dengan sendirinya kita harus berhenti di dalam mengajarkan anak-anak kita, justru kita harus bangkit kembali dan melakukan tugas mendidik anak-anak kita.

GS : Ya jadi dengan demikian saya percaya ini menjadi suatu pengharapan yang besar bahwa karena kelemahan dan dosa-dosa kita itu juga dalam mendidik anak itu tetap ada pengampunan, tetap ada jalan keluar di dalam Yesus Kristus sebagai Juru Selamat kita. Terima kasih banyak Pak Heman untuk perbincangan kita kali ini. Dan saudara-saudara pendengar, terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rasa Bersalah Orang Tua". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



40. Perilaku Manipulatif Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T109B (File MP3 T109B)


Abstrak:

Seorang anak akan mengalami perkembangan, dan bagian dari perkembangan itulah dia belajar bagaimana mengatur tingkah laku orang-orang di sekelilingnya untuk memenuhi kebutuhannya dan kemauan-kemauannya.


Ringkasan:

Seorang anak memang akan mengalami masa perkembangan, dan bagian dari perkembangan itulah dia belajar bagaimana mengatur tingkah laku orang-orang di sekelilingnya untuk nantinya memenuhi kebutuhannya dan kemauan-kemauannya. Contoh, seorang bayi yang baru lahir dia akan menangis dan mulai belajar bagaimana menjadikan tangisan itu sebagai cara berkomunikasi untuk mengatur perilaku orang lain di sekitarnya.

Cara mengamati tingkah laku anak:
Dengan membedakan mana sebetulnya kehendak yang kekanak-kanakan, mana yang sebetulnya keinginan dan kebutuhannya yang dia perlukan untuk dipenuhi. Biasanya anak akan melakukan rengekan, pembangkangan, tidak mau tidur, tidak mau makan,dsb.

Yang perlu kita lakukan sebagai orangtua berhubungan dengan kebutuhan anak adalah :

  1. Kita harus menentukan kemudian juga menanggapi dan mengarahkan mereka, tujuannya adalah supaya mereka suatu ketika dapat membedakan mana yang pantas dan yang tidak pantas mereka lakukan.

  2. Misalnya anak tidak mau ke sekolah. Kita perlu peka apakah ini akibat beban yang berlebihan yang harus ditanggungnya di sekolah atau karena dia mau lari dari tanggung jawab yang seharusnya dia dapat tanggulangi.

Langkah-langkah yang perlu kita ambil supaya anak tidak terus-menerus memanipulasi kita yaitu:

  1. Kita perlu menegaskan kepada mereka mana keinginan mereka yang wajar dan mana yang tidak wajar.

  2. Di dalam menerapkan disiplin kita mesti punya peraturan-peraturan yang kita sesuaikan dengan tingkatan usia anak.

  3. Kita juga perlu memberitahukan konsekuensinya kalau peraturan itu tidak dilakukan. Dengan cara seperti ini anak belajar disiplin dan setiap pelanggaran itu jangan sampai anak bisa lolos dari sanksi itu kalau kita sudah memikirkan sanksi yang cukup wajar, yang tidak berlebihan, maka kita harus terapkan itu ketika anak melakukan pelanggaran.

Amsal 24:13-14 , "Anakku, makanlah madu sebab itu baik; dan tetesan madu manis untuk langit-langit mulutmu. Ketahuilah, demikian hikmat untuk jiwamu: Jika engkau mendapatkannya, maka ada masa depan, dan harapanmu tidak akan hilang."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi., dalam acara ini dan kami akan mengambil suatu topik yaitu "Perilaku Manipulatif Anak". Bp. Heman Elia, M. Psi. adalah seorang pakar dalam bidang konseling khususnya di dalam bimbingan pendidikan anak dan beliau juga seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Maka kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian jadi kami mengucapkan selamat mengikuti acara ini.

Lengkap
GS : Pak Heman kalau kita jeli mengamati anak-anak, tepat kalau orang mengatakan anak-anak itu seperti seorang ahli jiwa yang bisa mengenali kelemahan-kelemahan dari orang tuanya. Memang secara tidak sadar kita itu terbawa oleh keinginan anak untuk memenuhinya dan mengabulkan permintaannya, sebenarnya pengamatan ini bagaimana Pak?

HE : Ini hal yang menarik yang Pak Gunawan sebutkan sebagai ilmu jiwa, dan memang ternyata anak-anak sejak sangat muda sekalipun itu bisa mengatur bahkan kadang-kadang mengontrol atau mempermaikan perilaku orang tuanya.

Jadi rupanya kita semua sejak kecil adalah para manipulator.
(1) GS : Dalam hal apa itu biasanya Pak, anak memanipulasi orang tuanya?

HE : Kalau anak menginginkan sesuatu, ini memang bagian dari perkembangannya yaitu dia belajar bagaimana mengatur tingkah laku orang-orang di sekelilingnya untuk nantinya juga memenuhi kebutuhanya.

Selain kebutuhannya juga kemauan-kemauannya yang kekanak-kanakan. Misalnya seorang bayi, bayi itu baru lahir dia akan menangis dan dari tangisan-tangisan ini kita akan tahu bahwa sang bayi mulai belajar bagaimana menjadikan tangisan itu sebagai cara berkomunikasi untuk mengatur perilaku orang lain di sekitarnya. Ada nada tangis yang kita bisa perhatikan, salah satunya adalah anak minta supaya bisa dekat-dekat dengan pengasuhnya. Kalau semakin bertambah besar bayi menggunakan tangis juga untuk menyatakan keinginan-keinginannya seperti misalnya ingin mengambil barang, kalau barang itu diambil dari dirinya dia akan menangis, maksudnya tidak boleh melepaskan diri dari barang itu dan seterusnya.
GS : Tapi sampai sejauh itu seperti contoh yang Pak Heman katakan, sebenarnya anak hanya ingin mengkomunikasikan keinginannya terhadap orang lain dia tidak bisa bicara, satu-satunya hanya dengan tangisan Pak.

HE : Ya betul dan seperti saya katakan tadi, ada kecenderungan anak-anak tertentu selain menuntut kebutuhannya terpenuhi juga menyatakan kemauan-kemauannya yang kekanak-kanakan. Jadi kalau misanya kita tanggapi kemauan yang kekanak-kanakan ini lama-kelamaan anak tidak belajar untuk semakin matang.

Misalnya kalau apa saja yang anak tuntut itu kita penuhi, pada saat dia belajar merangkak kemudian dia tidak mau merangkak, dia maunya digendong terus oleh orang tua dan orang tua selalu menggendongnya maka dia akan kehilangan kesempatan untuk belajar merangkak demikian seterusnya. Jadi kalau misalnya kita terus-menerus memenuhi keinginan kekanak-kanakannya kapanpun, maka kita akan menjadikan anak-anak kita menjadi orang yang manipulatif atau pun orang yang tidak bisa mandiri.
(2) GS : Kalau begitu kita harus lebih cermat mengamati tingkah laku anak kita, nah itu bagaimana caranya Pak?

HE : Kita harus membedakan mana sebetulnya kehendak yang kekanak-kanakan, mana yang sebetulnya keinginan dan kebutuhannya yang sah yang memang pada masa itu dia memerlukannya untuk kita penuhi.Jadi kalau kita melihat bahwa ini kemauannya atau keinginannya yang kekanak-kanakan, kadang-kadang anak itu melakukan rengekan, setelah merengek anak akan melakukan ancaman-ancaman misalnya saja ancaman-ancaman dengan cara pembangkangan.

Anak tidak mau tidur, tidak mau makan, memuntahkan makanan yang disuapkan kepadanya, tidak mau ke sekolah, sampai tingkah laku yang kelihatannya lebih halus misalnya ketika anak sudah bisa berkomunikasi dengan verbal mereka melemparkan kesalahan kepada adiknya, kakaknya atau berpura-pura menangis ketika akan dihukum, sehingga dia tidak jadi dihukum dan sebagainya. Nah, ini perilaku-perilaku yang tidak matang, dan kalau ini bisa "menundukkan" orang tuanya, orang tuanya masuk di dalam pola permainan ini maka anak akan mengembangkan pola-pola ini lebih lanjut.
GS : Biasanya memang kita orang tua tidak mau terlalu repot Pak, ya sudahlah dituruti, kali ini saja dituruti tapi itu keterusan Pak.

HE : Betul Pak Gunawan, biasanya perilaku anak sekali dituruti padahal itu perilaku yang manipulatif, maka itu akan cenderung berulang karena ada suatu hukum perilaku yang mengatakan demikian, erilaku yang mendatangkan hasil yang menyenangkan atau yang diinginkan akan cenderung diulang.

Jadi misalnya kalau anak sekali berhasil dengan cara merengek atau dengan cara mengancam, maka itu akan cenderung diulang dan lain kali kalau dia meminta sesuatu tidak dituruti dia akan melakukan ancamannya.
GS : Nah kalau begitu Pak, kalau seandainya kita sadar wah....anak ini sedang mempermainkan kita, mau menyuruh-nyuruh kita dengan caranya dia, apakah kita secara spontan harus tidak menganggapnya atau bagaimana Pak?

HE : Pertama kali kita harus sadar apa yang sedang dilakukan anak ini, pertama-tama kita harus bedakan apakah anak ini sedang memanipulasi kita dan dia tahu jelas bahwa hal itu tidak diperkenanan dan tidak baik bagi dia, tetapi dia ingin itu demi memuaskan dirinya ataukah memang itu kebutuhannya yang wajar.

Kalau memang kebutuhannya yang wajar kita perlu segera memenuhinya atau katakan kalau bisa ditunda ya kita tunda sebentar dan kita mencari waktu lain untuk memenuhinya. Tugas kita adalah untuk pertama menentukan, kemudian juga menanggapi dan mengarahkan mereka dan tujuannya adalah supaya mereka suatu ketika dapat membedakan mana yang pantas dan yang tidak pantas mereka lakukan. Bayi memang misalnya sebagai contoh memerlukan banyak gendongan, tetapi terlalu banyak digendong itu juga akan membuat mereka kurang bisa belajar hal-hal yang lain misalnya merangkak, berdiri dan kemudian berjalan dan sebagainya. Jadi hal ini yang pertama-tama harus kita lakukan.
GS : Nah, yang sulit memang menentukan itu sampai batas mana, kita harus berhenti atau meneruskan. Tetapi katakanlah kita sudah sampai pada suatu kesimpulan meneruskan atau berhenti, langkah selanjutnya apa Pak?

HE : Langkah selanjutnya adalah misalnya pada saat kita melihat anak itu tidak mau bersekolah dengan alasan sakit, ini sebagai contoh konkret supaya mempermudah kita. Kita perlu peka apakah iniakibat beban yang berlebihan yang harus ditanggungnya di sekolah atau karena dia mau lari dari tanggung jawab yang seharusnya dia dapat tanggulangi.

Kalau misalnya dia mau lari dari tanggung jawab yang seharusnya dapat dia tanggulangi, kita bisa melakukan konfrontasi kepada dia, misalnya dengan mengatakan: "Papa tahu atau Mama tahu, kamu ini lagi malas ke sekolah." Dan kalau misalnya kamu sakit kamu mengeluh sakit dengan cara ini kamu bisa tidak ke sekolah, tetapi masalahnya kalau kamu ingin menjadi orang yang pandai dan kamu bisa terus berhasil di sekolah, kamu harus menghadapi ini, belajar menghadapi ini dan sebagainya. Jadi melakukan konfrontasi dan mengenali, membuat anak tidak bisa menghindar dari tujuan-tujuan yang dia sembunyikan.
GS : Sebenarnya seorang anak makin dia besar dia makin pandai memanipulasi atau makin berkurang, karena mengetahui manipulasinya tidak berhasil?

HE : Ya dia akan terus berusaha untuk menciptakan perilaku-perilaku manipulasi yang semakin canggih. Kalau dia tidak berhasil di satu sisi dia akan mencoba sisi yang lain, tetapi kita harus menenalinya dan mengemukakannya kepada dia, sehingga dia belajar perilaku yang tidak manipulatif.

Nah, kenapa dia semakin hari semakin canggih, karena dia juga semakin mengenal dunia lingkungannya, kelemahan-kelemahan dari lingkungannya dalam hal ini kelemahan orang tuanya. Sehingga dia juga semakin pandai di dalam melakukan hal itu.
GS : Katakan sekali-sekali kita memenuhi, kita tahu bahwa ini kita sedang dimanipulasi, kita ditundukkan dengan polanya dia, lalu kita menuruti kemauannya. Apakah itu mempunyai dampak yang negatif?

HE : Kalau misalnya kita tahu pertama kali bahwa dia memanipulasi dengan cara itu, dan kalau kita tidak menurutinya tetapi justru mengarahkannya itu sebetulnya akan mempermudah kita supaya periaku itu tidak terlanjur berkembang.

Tetapi kalau misalnya kita turuti, katakan anak itu dengan berperilaku manis sekali yang membuat kita tidak bisa mendisiplin dia kemudian dia mendapat kelonggaran tidak perlu belajar pada hari itu dan dia bisa tidur jauh malam, maka nantinya anak akan mencoba itu. Kalau lain kali tidak diizinkan dia akan berusaha dengan sekeras mungkin, karena dengan cara itu dia pernah berhasil. Jadi dia mengharapkan dengan cara yang lebih keras dia akan memperoleh apa yang dia inginkan. Dengan demikian tingkah laku manipulatifnya akan diperkuat.
(3) GS : Memang lebih baik kalau kita bisa mendidik anak-anak kita supaya tidak berperilaku manipulatif. Tapi langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan supaya anak kita itu tidak terus-menerus memanipulasi kita?

HE : Yang pertama kita perlu menegaskan kepada mereka mana keinginan mereka yang wajar dan mana yang tidak wajar. Janganlah semua permintaan mereka kita tolak, tetapi kita perlu bedakan kedua hl itu, kalau permintaan mereka wajar dan kira-kira itu mempunyai dampak positif, kenapa tidak kita berikan sehingga anak bukannya menjadi takut untuk meminta kepada kita.

Tetapi sebaliknya kalau permintaan anak itu tidak wajar, kita ajarkan kepada mereka dan kita beri tahu kepada mereka apa alasannya bahwa mereka itu meminta sesuatu yang tidak bisa dipenuhi. Itu salah satu cara.
GS : Saya percaya bahwa kedisiplinan di dalam pendidikan itu sangat penting Pak, tetapi bagaimana kita memulai kedisiplinan di dalam pendidikan anak ini, supaya anak tidak mencoba-coba untuk memanipuler kita?

HE : Di dalam menerapkan disiplin kita mesti mempunyai peraturan-peraturan. Dan di dalam peraturan yang kita lakukan kita mau menerapkan peraturan ini dan itu haruslah cukup wajar untuk tingkatn usia seperti mereka.

Nah, ketika kita bisa memberikan kepada mereka peraturan-peraturan, maka kita juga perlu beritahukan apa konsekuensinya kalau peraturan ini tidak dilakukan. Mungkin kadang-kadang ada peraturan yang memang tidak bisa setiap saat diterapkan dengan sangat konsisten dan kita harus beri tahukan toleransi atau fleksibelitas apa yang kita bisa berikan kepada mereka. Nah, dengan cara seperti itu anak belajar disiplin dan setiap pelanggaran itu jangan sampai anak bisa lolos dari sanksi, itu kalau misalnya kita sudah memikirkan sanksi yang cukup wajar dan tidak berlebihan, maka kita harus menerapkan itu ketika anak melakukan pelanggaran. Kalau anak bisa mencari kesempatan untuk lolos dari sanksi padahal peraturan itu ada, di situlah bibit mulainya perilaku yang manipulatif.
GS : Ya, tadi Pak Heman menyinggung tentang kita harus mengkonfrontasikan perilaku anak yang konfrontatif, itu mungkin Pak Heman bisa menjelaskan sekali lagi atau contoh-contohnya bagaimana Pak?

HE : Misalnya kita tahu bahwa anak itu sedang mengkambinghitamkan kakaknya atau adiknya atas kesalahan yang mereka perbuat. Kisa bisa misalnya malam-malam waktu kita bercerita dengan mereka, watu mau tidur bersama anak-anak dan sebelum mulai doa malam, kita bisa mengilustrasikan misalnya dari contoh-contoh Alkitab.

Saya rasa contoh seperti kisah dari Adam dan Hawa itu suatu contoh yang baik sekali. Di mana Adam itu berusaha untuk menyembunyikan dosanya, pertama-tama dengan bersembunyi dari hadapan Allah, tetapi sesungguhnya dia tidak bisa menyembunyikan dirinya di hadapan Allah dan ini perlu disadari oleh anak-anak. Dan kemudian kita berikan lagi satu prinsip bahwa si Adam ini ternyata menyalahkan istrinya si Hawa, dan si Hawa ini juga menyalahkan si ular. Nah, kita jelaskan kepada anak-anak bahwa ini perilaku manipulatif dengan mengambil contoh tingkah laku anak yang menyalahkan kesalahan pada diri orang lain, dengan cara ini anak kemudian menjadi sadar o......ternyata tingkah laku saya terungkap dan ternyata saya sebelum melakukan ini sebetulnya ayah atau ibu sudah mengetahui tingkah laku ini, sehingga tingkah laku ini menjadi berkurang.
GS : Tetapi bagaimana hal itu supaya tidak mempermalukan si anak yang dibuka kedoknya di hadapan saudara-saudara yang lain itu Pak?

HE : Memang akan terasa malu dan tidak apa-apa, saya kira ini suatu hasil pendidikan yang cukup wajar supaya ini bisa dinetralisi. Biasanya ketika anak disoroti, diberikan contoh itu saudara-sadaranya yang lain itu saling mengejek, saling menuduh, saling menertawakan.

Kita juga mengatakan hal yang sama bahwa misalnya tingkah laku seperti ini juga ada pada kakaknya atau adiknya. Dan kita bisa lagi memberikan contoh kepada tingkah laku manipulatif yang lain sebagai contoh ketika Daud ditegur oleh Natan, tidak secara langsung ketika Daud itu berzinah dengan Batsyeba. Dengan mengumpamakan ada seorang kaya yang mempunyai banyak domba dan seterusnya itu, itu adalah tingkah manipulatif yang secara tidak disadari dilakukan oleh Daud. Nah ini bisa dikemukakan juga kepada saudara-saudaranya yang lain jangan menuduh orang lain sedangkan kamu sendiri juga mempunyai perilaku yang sama. Tingkah laku yang manipulatif yang dibukakan ini juga berlaku bagi mereka, dengan demikian mereka juga saling mengoreksi.
GS : Tetapi apakah ada anak yang begitu peka ketika mau dibuka sikap aslinya yang mau memanipulasi kita, kemudian dia mendahului dengan kesalahannya itu, ada atau tidak Pak?

HE : Jarang, biasanya secara natural anak itu spontan akan menutupi. Nah, di dalam kondisi seperti ini sangat penting bagi orang tua untuk menciptakan suasana yang tidak saling menyalahkan tapijustru saling memaafkan.

Kadang-kadang orang tua bisa mengambil sikapnya sendiri yang pernah meminta maaf kepada anaknya, ketika orang tua secara tidak sengaja melakukan kesalahan terhadap anaknya. Jadi misalnya kita bisa katakan bahwa "Ya memang susah bagi seseorang untuk mengakui kesalahannya, Papa sendiri pernah salah, tidak ada orang yang tidak pernah salah. Papa 'kan pernah minta maaf sama kamu, jadi kalau kamu ada kesalahan kamu juga perlu minta maaf." Dengan cara-cara seperti itu anak menjadi belajar bagaimana tidak memanipulasi menutupi kesalahannya tetapi mengakui dan meminta maaf.
GS : Ya mungkin kita perlu ciptakan hubungan dengan anak sedemikian rupa, sehingga anak tidak takut-takut atau tidak ragu-ragu mengemukakan keinginan yang sebenarnya Pak.

HE : Betul sekali Pak Gunawan, jadi ketika anak bisa mengemukakan dirinya secara langsung tanpa menyuruh adiknya atau tanpa melalui orang lain untuk meminta, dan ketika anak itu mau meminta sesatu dengan terus-terang, kita harus menghargai keterusterangan dan kejujurannya.

Perkara dipenuhi atau tidak kita perlu juga katakan kepada dia secara baik-baik, bahwa permintaan kamu ini belum bisa papa atau mama penuhi. Tetapi intinya kejujuran, keterusterangan, keberanian anak untuk meminta ini juga perlu dihargai, tentu dengan catatan bahwa permintaan ini tidak secara manipulatif.
GS : Bagaimana dengan tanggung jawab yang harus dipikul oleh anak itu Pak?

HE : Anak harus menanggung tanggung jawabnya sendiri, kalau misalnya melakukan kesalahan anak harus menerima konsekuensinya sendiri. Jadi di dalam hal ini misalnya anak berlambat-lambat ke sekoah dengan harapan bahwa nantinya dia tidak perlu masuk sekolah atau dia punya alasan kalau misalnya dia dapat ulangan jelek dan sebagainya.

Nah, sekali-kali biarkan saja dia terlambat dan memperoleh sanksi dari guru atas keterlambatannya ini. Kecenderungan orang tua yang perlu dihindarkan adalah jangan sampai orang tua berusaha menyelamatkan anaknya dari konsekuensinya ini, konsekuensi atas kesalahan anaknya. Sekali-kali seperti itu.
GS : Apakah itu tidak merugikan si anak dalam pertumbuhan yang berikutnya?

HE : Saya kira setiap orang belajar dari akibat perbuatannya sendiri dan justru kalau dia mengalami hal-hal seperti ini, dia belajar menanggung resikonya sendiri, belajar menjadi lebih matang.

GS : Jadi memang harus ada keberanian dari sisi orang tuanya Pak? Dan dalam hal ini apakah ada ayat firman Tuhan yang mengingatkan kita?

HE : Saya ingin bacakan dari Amsal Salomo 24:13-14, dan ini adalah ayat yang ditujukan kepada anak, supaya anak itu bisa menerima didikan dari orang tuanya. "Anakku, makanlah madu sebab itubaik; dan tetesan madu manis untuk langit-langit mulutmu.

Ketahuilah, demikian hikmat untuk jiwamu: Jika engkau mendapatnya, maka ada masa depan, dan harapanmu tidak akan hilang."
GS : Ya semoga ada anak-anak yang sempat mendengar ayat ini dibacakan, tetapi paling tidak orang tua sebagai pendamping, sebagai pembimbing bisa mengingatkan anak-anaknya dengan adanya ayat ini, karena ini penting sekali.

HE : Dan memperoleh keberanian untuk mendidik anak-anaknya.

GS : Jadi ini akan memotivasi banyak orang tua yang mendengar siaran ini, maupun anak-anak yang suka memanipulasi orang tuanya untuk diingatkan melalui kebenarang firman Tuhan ini. Terima kasih sekali Pak Heman untuk perbincangan yang sangat menarik kali ini dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Perilaku Manipulatif Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



41. Yang Menyakitkan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T110A (File MP3 T110A)


Abstrak:

Seorang anak sangat membutuhkan perhatian dari orangtua, dia ingin bahwa kehadirannya itu diakui oleh orangtua dengan cara orangtua tidak enggan untuk memberikan perhatian dan kepeduliannya.


Ringkasan:

Cara orang tua mendidik anak dapat digolongkan dalam 3 golongan yaitu:

  1. Otoriter, orang tua yang memaksakan kehendaknya, apa yang dikatakannya menjadi hukum bagi si anak atau bagi rumah tangga itu. Jadi anak-anak tidak mempunyai kebebasan untuk berargumentasi atau membela diri atau mencoba untuk melakukan kehendaknya.

  2. Orang tua yang otoritatif, orang tua yang menegakkan disiplin dalam batas yang wajar, jadi bukannya otoriter, memaksakan kehendak terus-menerus secara membabi buta tapi tahu kapan menegakkan disiplin.

  3. Kelompok permisif, orang-orang ini terlalu membiarkan anak, membolehkan anak, mengizinkan anak berbuat semaunya.

Dampak cara mendidik orang tua bagi anak:

Orang tua yang otoriter, membuat anak terpasung artinya tidak memiliki kebebasan atau kesulitan untuk mengekspresikan dirinya apa adanya sehingga anak-anak ini tidak bisa bebas menjadi dirinya. Bahayanya adalah kalau anak ini di luar orang tua, anak ini bisa berubah liar atau mempunyai sifat dualisme. Di depan orang tua baik, penurut, di depan teman-teman atau di belakang orang tua dia menjadi anak yang berkebalikan.

Bagi anak yang dibesarkan di rumah yang otoritatif, orang tua yang tahu kapan menegakkan disiplin dan mengkombinasikannya dengan izin, membolehkan anak, biasanya akan menciptakan anak yang terarahkan, anak-anak yang tahu arah hidupnya, tahu batasnya tapi juga tidak ketakutan.

Bagi anak-anak yang dibesarkan di rumah yang terlalu permisif, semua diizinkan, tidak mengenal batas, tidak lagi bisa mengendalikan dirinya sebab semua boleh. Akibatnya ada kecenderungan anak-anak ini bertumbuh liar.

Dampak ketidak pedulian orang tua bagi anak adalah:

Anak merasa tidak berharga, kita hanya merasa berharga kalau misalkan bahwa orang mempedulikan kita. Dan perasaan tidak berharga perasaan yang sangat-sangat menyakitkan. Yang menyakitkan hati anak adalah sebetulnya waktu orang tua tidak mempedulikan anak sebab waktu tidak mempedulikan anak mengkomunikasikan satu hal, engkau tidak berharga.

Tidak berharga ini dalam hal:

  1. Anak akan merasakan tidak cukup berharga untuk dikasihi, sebab dia akan berkesimpulan kalau saya cukup berharga, seharusnya saya dikasihi. Kalau tidak hati-hati anak-anak ini akan mencari kasih di luar.

  2. Tidak berharga untuk dicukupkan kebutuhannya atau keinginannya atau hasratnya. Saya tidak cukup berharga sebab banyak hal yang saya utarakan, saya inginkan tidak pernah diberikan. Anak-anak seperti ini sering kali pada akhirnya menjadi anak-anak yang pasif, tidak lagi mengkomunikasikan pikiran, keinginannya dan hasratnya.

Yang perlu dilakukan orang tua adalah:

  1. Tetap terlibat dalam kehidupan anak, jangan sampai kita terlalu capek sehingga tidak punya energi untuk terlibat dalam kehidupan anak.

  2. Meski sedang marah tetaplah jaga batas dalam mendisiplin anak, jangan sampai kita kalau marah itu lupa daratan.

  3. Meski dalam kekecewaan, orangtua harus tetap melihat sisi positif pada anak, meski ada kekurangan, negatifnya tetap fokuskan pada yang positif dan komunikasikan itu kepada anak.

Amsal 18:19 berkata: "Saudara yang dikhianati lebih sulit dihampiri dari pada kota yang kuat," jadi saya kira kalau kita menyakiti anak dengan tidak mempedulikannya akhirnya kita akan kesulitan untuk menghampiri dia, bahkan kata Alkitab lebih sulit dihampiri dari pada kota yang kuat.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar di bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini, kami akan beri judul "Yang Menyakitkan Anak", kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kalau kita melihat cara orang tua atau cara kita mendidik anak-anak, bergaul 'kan bermacam-macam. Tetapi secara umum bisa digolong-golongkan atau bagaimana Pak Paul?

PG : Secara umum kita dapat bagi dalam 3 golongan Pak Gunawan, yang kita sebut otoriter. Jadi ada orang tua yang memang sangat memaksakan kehendaknya, apa yang dikatakannya menjadi hukum bag si anak atau bagi rumah tangga itu.

Jadi anak-anak tidak mempunyai kebebasan untuk berargumentasi atau membela diri atau mencoba untuk melakukan kehendaknya, terpisah dengan apa yang diinginkan oleh orang tua.
GS : Itu beda dengan orang tua yang menegakkan disiplin di dalam rumahnya?

PG : Beda, ada lagi orang tua yang otoritatif, otoritatis ini yang mungkin tadi Pak Gunawan sebut yaitu orang tua yang menegakkan disiplin dalam batas yang wajar, jadi bukannya otoriter, memksakan kehendak terus-menerus secara membabi buta tapi tahu kapan menegakkan disiplin, kapan tidak mundur, kapan maju, nah itulah yang kita sebut orang tua yang otoritatif.

GS : Kalau orang tua yang sering kali kita sebut orang tua itu keras, itu digolongkan yang mana Pak Paul?

PG : Kalau yang keras digolongkan otoriter, jadi orang tua yang tidak bisa menerima pendapat anak atau kehendak anak, jadi yang dipikirkan, yang diinginkan adalah yang harus terjadi dalam ruah tangganya.

GS : Biasanya yang otoriter dan otoritatif itu pria, jadi papa atau ayahnya.

PG : Ya sering kali pria, tapi ada juga yang wanita, ibu-ibu. Nah, kelompok yang ketiga yang kita sebut kelompok permisif Pak Gunawan, jadi orang-orang ini terlalu membiarkan anak, membolehkn anak, mengizinkan anak berbuat semaunya.

Nah, saya kira masing-masing dari metode atau gaya orang tua membesarkan anak ini akan berdampak pada anak-anak.
GS : Tapi dari masing-masing gaya biasanya mereka mempunyai alasan-alasan sendiri Pak Paul, biasanya yang otoriter itu juga orang tua yang mungkin dulunya juga diperlakukan begitu oleh orang tuanya.

PG : Bisa jadi, dan meskipun pada saat mereka kanak-kanak mereka tertekan, tapi akhirnya mereka yakini itu cara yang baik sebab mereka melihat hasilnya yaitu diri mereka baik-baik saja. Tapimasing-masing mempunyai dampaknya Pak Gunawan dan ini yang perlu disadari oleh orang tua.

Orang ua yang terlalu otoriter membuat anak terpasung, artinya tidak memikili kebebasan atau kesulitan untuk mengekspresikan dirinya apa adanya, sehingga anak-anak ini tidak bisa bebas menjadi diri apa adanya takut sekali di depan orang tuanya. Nah, bahayanya adalah kalau di luar orang tua anak ini bisa berubah liar atau mempunyai sifat dualisme, di depan orang tua baik, penurut, di depan teman-teman atau di belakang orang tua menjadi anak yang berkebalikannya.
GS : Itu beda dengan orang tua yang terlalu melindungi anaknya Pak Paul?

PG : Lain ya, jadi ada orang tua yang memang protektif tapi tidak otoriter, tapi ada juga orang tua yang protektif terlalu melindungi anak dan otoriter tidak selalu sama. Misalkan dampak pad yang lainnya misalnya anak-anak dibesarkan di rumah yang terlalu permisif, semua diizinkan itu cenderung tidak mengenal batas, tidak bisa lagi mengendalikan dirinya sebab semua boleh.

Akibatnya ada kecenderungan anak-anak ini bertumbuh liar, syukur kalau anak ini tahu diri jadi orang tua tidak terlalu melarang, anak-anak ini menjadi baik-baik saja. Tapi misalkan ada bakat-bakat membangkang, ada pengaruh teman yang tidak baik, mengakibatkan anak ini tumbuh liar, jadi keluarga yang permisif harus berhati-hati dengan hal-hal seperti ini. Sedangkan yang otoritatif, orang tua yang tahu kapan menegakkan disiplin dan mengkombinasikannya dengan izin, membolehkan anak biasanya akan menciptakan anak yang terarahkan, anak-anak yang tahu arah hidupnya, tahu batasnya tapi juga tidak ketakutan, seperti anak-anak yang dibesarkan di rumah yang otoriter.
GS : Ada orang tua yang ketika anak pertamanya lahir dia sangat otoriter Pak Paul, tetapi kemudian lahir anak yang kedua, ketiga itu secara berdekatan. Nah, lama-lama dia tidak bisa lagi mengontrol anak-anaknya dan dia mengambil sikap yang tadi Pak Paul katakan permisif, anak-anaknya dibiarkan saja.

PG : Betul, ini adalah hal yang cukup umum terjadi Pak Gunawan, jadi adakalanya dengan anak yang pertama orang tua sangat-sangat berhati-hati, keras sekali dengan anak itu. Tapi dengan bertabahnya usia dan bertambahnya kesibukan orang tua akhirnya menjadi sangat permisif dengan anak-anak yang dibawahnya.

Nah, ini bisa menimbulkan masalah karena anak-anak yang di atas itu sudah terlanjur dibesarkan dalam suasana yang begitu keras tapi adik-adik mereka itu kebalikannya, semua diizinkan. Dan ada kecenderungan orang tua Pak Gunawan, kalau dengan anak pertama dia sangat keras, dengan anak yang kelima tidak keras meskipun nanti seharusnya karena dia tidak keras lagi dengan anak yang kelima seharusnya dengan anak yang pertama pun tidak keras, tapi yang sering kali terjadi meskipun dengan anak yang keempat, kelima misalkan tidak keras, namun dengan anak yang pertama tadi tetap keras. Jadi adakalanya gaya itu tidak mudah berubah, kalau kita sudah terlanjur menjalin hubungan orang tua yang otoriter dengan si anak. Misalnya anak yang paling besar namanya si Andi. Nah, dia akan tetap memperlakukan Andi dengan keras meskipun Andi itu sudah lebih besar, tapi dengan yang paling kecil misalnya si Buyung, memang dari dulunya agak permisif, cenderung dengan Andi dia keras, dengan Buyung dia permisif nah itu yang kadang-kadang terjadi dalam rumah tangga. Dan ini memang tidak sehat buat pertumbuhan anak-anak.
GS : Ya anak-anak sering kali bingung, tetapi orang tua itu sering kali beralasan khawatir kalau wibawanya berkurang Pak Paul, karena tadinya sudah begitu otoriter kalau dia berubah permisif terhadap si Andi dia akan merasa kehilangan wibawa di hadapan Andi itu.

PG : Bisa jadi, sebab memang sudah terpola dan dia merasakan bahwa Andi si anak sulung itu hanya respek kalau dia keras dengan si Andi. Jadi akhirnya itu terus dipertahankan sampai anak yangsulung itu besar, tapi bisa menimbulkan rasa tidak adil pada anak yang diperlakukan dengan keras itu karena mereka melihat adik-adik mereka bisa hidup dengan lebih santai.

GS : Tetapi anak yang diperlakukan permisif pun kadang-kadang juga merasa dia kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, jadi ini yang kita akan angkat pada acara Telaga kali ini yaitu sebetulnya ada satu hal lain yang lebih menyakitkan daripada orang tua yang otoriter yaitu orang tua yng tidak mempedulikan anak.

Adakalanya meskipun tidak semua, orang tua yang terlalu permisif kepada anak bisa diinterpretasi oleh anak sebagai orang tua yang tidak mempedulikan anak. Jadi anak-anak itu memang sangat membutuhkan perhatian dari orang tua, bahwa kehadirannya itu diakui oleh si orang tua maka orang tua akan memberikan perhatian dan kepeduliannya. Orang tua yang tidak memberikan kepada anak cenderung akan menimbulkan dampak yang dalam pada si anak, jadi sekali lagi ini adalah hal yang sebetulnya lebih berbahaya atau lebih menyakitkan dari pada orang tua yang keras.
GS : Dengan perkataan lain walaupun orang tuanya keras, anak itu masih bisa merasakan kasih sayang orang tuanya itu Pak Paul.

PG : Setidak-tidaknya anak masih bisa berkata bahwa orang tua saya masih memperhatikan saya, maka dia itu keras kepada saya.

GS : Nah, yang Pak Paul katakan dengan tidak mempedulikan itu seperti apa Pak Paul?

PG : Misalnya yang pertama Pak Gunawan, anak-anak yang dibesarkan di rumah jarang diajak bicara oleh orang tuanya, jarang terjadi komunikasi antara orang tua dan anak. Orang tua sibuk dengankehidupan mereka masing-masing, anak-anak sibuk dengan kehidupan mereka dan sejak kecil orang tua jarang bercakap-cakap dengan anak.

Benar-benar dalam rumah itu hampir tidak ada jalinan, tidak ada ikatan nah ini salah satu ciri di mana anak-anak itu besar tanpa perhatian orang tua.
GS : Atau mungkin yang dipercakapkan itu hanya hal-hal yang formal atau cuma perintah-perintah atau pertanyaan-pertanyaan yang sudah rutin itu juga terjadi begitu.

PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi adakalanya orang tua tidak menyadari bahwa yang dipercakapkan di rumah adalah hal-hal yang memang tidak ada nuansa-nuansa personalnya. Jadi salah sau hal lain lagi yang bisa kita katakan inilah contoh orang tua yang kurang mempedulikan anak yaitu orang tua yang tidak menunjukkan interest terhadap apa yang anak lakukan atau anak sedang hadapi.

Jarang sekali bertanya kepada anak, apa yang sedang kamu lakukan? o......sedang membuat PR ya, o.......kamu besok ke mana, o......kamu pergi dengan siapa, o.....kamu senang atau tidak tadi nonton ini atau o....bagaimana menurut kamu setelah kamu mengalami hal ini dan itu. Jadi hal-hal yang menunjukkan interest pada kehidupan si anak, nah orang tua yang tidak menunjukkan interest sama sekali pada anak hanya misalnya yang tadi Pak Gunawan sudah sebut memerintahkan anak melakukan ini, mengerjakan tugasnya, akhirnya membuat anak berpikir orang tua memang tidak peduli dengan kami.
GS : Ya memang kadang-kadang sebagai orang tua agak kesulitan di situ Pak Paul. Kadang-kadang kita khawatir dianggap terlalu mencampuri atau ingin tahu urusan anak.

PG : Saya kira ada tempatnya kita mengerem diri, ada waktunya kita berkata jangan terlalu mencampuri, sudah biarkan. Adakalanya anak memang memerlukan tempat dan waktu untuk bergumul dengan ehidupan pribadinya terutama dia sudah mulai berusia remaja.

Tapi saya kira secara berkala orang tua tetap harus menunjukkan minatnya kepada si anak, ini juga bisa ditunjukkan dengan menghadiri acara-acara yang melibatkan si anak. Bukankah ada yang namanya mengambil rapor, hadir dalam pertemuan orang tua atau sekali waktu mengantar anak ke sekolah, atau mengantar anak ke rumah temannya, menjemput anak dari kegiatan apa, jadi orang tua juga menunjukkan kepedulian kepada anak melalui kehadirannya, bukan saja kehadiran dalam hal-hal yang berkaitan dengan si orang tua. Nah, kadang-kadang ini yang dilakukan oleh kita orang tua, kita mengajak anak karena kita ingin berekreasi, kita mengajak anak ke gereja karena kita mau satu keluarga pergi ke gereja. Tapi apa yang kita lakukan untuk si anak dalam kegiatannya, misalkan dalam acara sandiwara natal anak kita bermain, sebisanya saya kira kita luangkan waktu hadir melihat anak kita bermain sandiwara atau pertunjukkan lainnya, nah hal-hal ini menunjukkan kepedulian kita kepada si anak. Dan ini yang akan menjadi bahan buat diingat si anak, terkenang bahwa orang tua memang mempedulikannya.
GS : Tetapi juga ada anak yang tidak senang kalau orang tuanya hadir pada saat kegiatan untuk anak-anak Pak Paul, misalnya mengadakan camping di sekolah, diadakan acara camping di luar kota. Kemudian kami sebagai orang tua ingin mengunjungi, sebenarnya ingin hadir di sana tetapi anak ini mengatakan : Papa jangan hadir, nanti saya malu," dia merasa nanti masih dianggap sebagai anak-anak yang harus diperhatikan terus itu bagaimana?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, pada usia-usia tertentu anak-anak memang sudah tidak lagi menyambut kehadiran kita. Dan biasanya ini adalah usia remaja, jadi kalau kita baru mau memulainya paa anak usia remaja sudah susah.

Anak memang sudah menutup pintu, tapi kenangan pada masa kecilnya waktu orang tua datang melihat dia bermain sandiwara dan sebagainya itu adalah kenangan yang menjadi modal dia melewati usia-usia selanjutnya. Bahwa dia selalu bisa berkata bahwa orang tua mengasihi dan mempedulikannya, karena kenangan itu ada. Dengan kata lain kalau orang tua hadir dalam bagian anak itu menunjukkan jalinan, kepedulian. Salah satu hal yang lainnya juga adalah ini Pak Gunawan, adakalanya orang tua itu bersikap masa bodoh terhadap kegagalan anak, anak salah, anak gagal, ya sudah tidak diapa-apakan. Tidak naik kelas dibiarkan, ulangan dapat 4 ya dibiarkan, tapi ada orang tua yang juga memasabodohkan anak sewaktu anak itu menunjukkan keberhasilan. Dia naik kelas sebagai juara tidak dipuji, tidak diberikan komentar apapun, dia menang juara apa juga tidak pernah diberikan apa-apa. Nah, sekali lagi semua ini hal-hal yang menunjukkan orang tua itu tidak mempedulikan anak dan ini yang akan ditangkap oleh si anak. Yang lainnya lagi yang saya bisa pikirkan misalnya, orang tua yang sama sekali tidak mendisiplin anak. Ini adalah masuk kategori orang tua yang terlalu permisif, sehingga apapun yang anak lakukan dibiarkan, tidak ada yang namanya hukuman atas kesalahan si anak. Atau kebalikannya orang tua yang terlalu keras memukul anak, sedikit-sedikit salah langsung dihukum sedangkan di luar itu tidak ada jalinan apa-apa, jadi orang tua hanya ada kontak dengan anak kalau sedang memukuli anak atau sedang menghukum anak. Nah, ini semua mengkomunikasikan satu hal kepada anak bahwa kami tidak mempedulikan kamu.
GS : Sekarang ini sering ada acara anak-anak yang dilombakan, entah itu menyanyi, entah itu pakaiannya semacam fashion show atau atraksi-atraksi, di mana orang tuanya hadir di situ. Tetapi setelah tahu bahwa anaknya ternyata tidak menjadi juara, anaknya turun dari panggung dimarah-marahi Pak Paul?

PG : Itu kadang-kadang yang terjadi dan sangat-sangat meruntuhkan kepercayaan diri anak, bukannya dorongan yang kita berikan justru amarah. Karena sekali lagi orang tua menggunakan standar, eskipun adakalanya orang tua beralasan bahwa ini untuk kebaikan si anak, tapi sekali lagi kita melihat usaha si anak, dia telah mencoba sebaik-baiknya tapi tidak menjadi juara ya sudah kita harus menerima.

(2) GS : Itu kalau sampai terjadi, mungkin bentuknya masih banyak yang bisa menyakitkan atau menunjukkan ketidakpedulian orang tua ini, tapi dampak yang serius apa Pak Paul?

PG : Dampak utamanya adalah anak merasa diri tidak berharga, kita hanya merasa berharga kalau misalkan orang mempedulikan kita. Kalau misalkan kita datang ke tempat pekerjaan kita tidak ada ang menyapa, atasan kita tidak menyapa, kita bekerja baik tidak disapa, bekerja buruk tidak diberikan komentar, kita berbuat apapun tidak ada yang memperhatikan, kesimpulan kita hanya satu kita tidak berharga dan perasaan tidak berharga itu perasaan yang sangat-sangat menyakitkan.

Tadi awalnya saya katakan yang menyakitkan hati anak adalah sebetulnya waktu orang tua tidak mempedulikan anak, sebab waktu tidak mempedulikan anak mengkomunikasikan satu hal, engkau tidak berharga.
GS : Tidak berharga ini dalam hal apa Pak Paul?

PG : Yang pertama anak akan merasakan tidak cukup berharga untuk dikasihi, sebab dia akan berkesimpulan kalau saya cukup berharga, seharusnya saya dikasihi. Saya tidak dikasihi berarti meman saya tidak berharga, maka kalau tidak hati-hati anak-anak ini akan mencari kasih di luar, dia akan dekat dengan anak lain.

Maka ada anak-anak yang masih berumur 13 tahun sudah punya pacar 3, anak umur 11 tahun sudah pacaran 3, 4 kali kenapa sampai begitu, karena memerlukan kasih. Sedangkan ada anak-anak lain yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh perhatian dan kasih sampai umur 20 dia tetap menikmati kebersamaan dengan teman-teman, dia tidak terlalu membutuhkan kasih yang sebegitu spesifik untuk dirinya saja. Jadi yang pertama itu Pak Gunawan dampaknya tidak berharga untuk dikasihi.
GS : Yang lain Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah tidak berharga untuk dicukupkan kebutuhannya atau keinginannya atau hasratnya artinya kalau saya berharga maka yang saya inginkan itu dipikirkan, setidak-tidaknya diertimbangkan, tapi rupanya saya tidak berharga sebab yang saya inginkan, yang saya impikan itu tidak dipikirkan atau dipertimbangkan apalagi diberikan.

Jadi kesimpulannya anak adalah saya tidak cukup berharga, sebab banyak hal yang saya utarakan atau saya inginkan tidak pernah diberikan. Nah, anak-anak seperti ini sering kali pada akhirnya menjadi anak-anak yang pasif, tidak lagi mengkomunikasikan pikiran, keinginannya, hasratnya. Semua dia simpan sendiri sebab tidak pernah dituruti, tidak pernah diberikan, tidak ada yang cukup peduli untuk memberikannya.
(3) GS : Ada anak-anak yang semacam itu yang terus bersikap agak brutal dan nakal Pak Paul, sebenarnya apa tujuannya?

PG : Anak-anak ini memang seolah-olah ingin memancing reaksi orang tua untuk memberikan kasihnya, pedulinya, dalam bentuk apa? Disiplin, jadi ada anak-anak yang akhirnya berkesimpulan, bahka setelah saya berbuat kesalahan sekalipun tetap tidak didisiplinkan, artinya apa? Saya tidak cukup berharga bahkan untuk didisiplin.

Jadi ada satu hal yang menarik sekali yang perlu kita sadari adalah anak itu terlalu didisiplin tidak suka, tidak didisiplin sama sekali itu juga sangat menyakitkan. Justru waktu orang tua masih mendisiplin anak, anak-anak itu tetap akan berkata bahwa orang tua mengasihi saya makanya masih ada disiplin, masih mempedulikan saya. Jadi kalau sampai dia berbuat apapun tidak ada lagi disiplin buat dia, dia akan berkata memang saya tidak cukup berharga bahkan untuk didisiplin oleh orang tua.
(4) GS : Melihat pentingnya hal seperti ini, apakah saran Pak Paul khususnya kepada orang tua?

PG : Yang pertama adalah ini Pak Gunawan, saya sadari bahwa banyak orang tua itu capek, letih, banyak pekerjaan, tuntutan tugas, dan sebagainya. Namun ini saran saya, orang tua tetap harus trlibat dalam kehidupan anak, jangan sampai kita terlalu capek sehingga tidak punya energi untuk terlibat dalam kehidupan anak.

Saya melihat orang tua yang misalkan bermain dengan anak-anak, main kembang api dengan anak, hati saya senang luar biasa karena saya melihat inilah contoh orang tua yang terlibat dalam kehidupan anak, orang tua yang misalnya mengantar anaknya, mau tahu teman anaknya siapa, membuatkan ulang tahun untuk anaknya dan sebagainya, itu semua adalah wujud-wujud kepedulian orang tua terhadap anak. Jadi meski letih, permintaan saya tolong tetap terlibat dalam kehidupan anak.
GS : Atau mungkin ada saran yang lain juga Pak Paul?

PG : Yang berikutnya, kita orang tua bisa marah kalau anak itu mengecewakan, membuat kita marah, melanggar lagi kita sudah katakan jangan, tetap diperbuat lagi, tapi ini permintaan saya mesk marah tetaplah jaga batas dalam mendisiplin anak, jangan sampai kalau marah kita lupa daratan.

Sebab seolah-olah semua kasih sayang yang telah kita berikan kepada anak itu pupus dalam waktu satu menit dihapuskan oleh kebencian dan kemarahan kita yang terlalu keras kepada anak. Jadi meski marah tetap jaga batas, jangan kita berlebihan menghukum anak.
GS : Kalau letih lalu marah mungkin kita bisa membatasi, tapi kadang-kadang itu timbul rasa kecewa Pak Paul terhadap anak itu.

PG : Kadang kala tidak bisa dihindari Pak Gunawan, kita kecewa sebab kita mempunyai tuntutan, harapan kepada anak kita seharusnyalah begini. Jadi dalam kekecewaan itu orang tua harus tetap mlihat sisi positif pada anak, meski ada kekurangan atau negatifnya tetap fokuskan pada yang positif dan komunikasikan itu kepada anak.

GS : Nah, dalam hal ini apakah ada firman Tuhan yang membekali kita?

PG : Amsal 18:19 berkata: "Saudara yang dikhianati lebih sulit dihampiri dari pada kota yang kuat," saya jadi berpikir kalau saudara apalagi anak sendiri, kalau saya diizinkan utuk menambah atau mengganti kata saudara dengan kata anak kira-kira firman Tuhan akan berbunyi: "Anak yang dikhianati lebih sulit dihampiri dari pada kota yang kuat."

Dikhianati artinya apa yang dia tidak duga, yang dia harapkan tidak terjadi, justru terjadi, yang menyakitkan hatinya itulah yang menimpanya. Jadi saya kira kalau kita menyakiti hati anak dengan tidak mempedulikannya akhirnya kita akan kesulitan untuk menghampiri dia, bahkan kata Alkitab lebih sulit dihampiri dari pada kota yang kuat.

GS : Jadi bagaimanapun kondisi anak kita sebenarnya ada peluang, kita tetap punya peluang untuk memperhatikan mereka Pak Paul. Jadi terima kasih sekali Pak Paul untuk kesempatan perbincangan yang pasti sangat berguna khususnya bagi para orang tua. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Yang Menyakitkan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



42. Mengidolakan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T110B (File MP3 T110B)


Abstrak:

Mengidolakan anak berarti memuji kelebihan anak tanpa batas dan gagal mengakui kelemahan anak. Berarti juga memfokuskan pada satu aspek yaitu aspek kelebihan atau hal-hal yang kita sukai sedangkan untuk kelemahannya kita nggak mau melihatnya.


Ringkasan:

Mengidolakan anak berarti memuji kelebihan anak tanpa batas dan gagal mengakui kelemahan anak. Jadi saya akan memunculkan dua aspek ini, ada hal-hal tentang anak yang kita sukai, anggap saja itu kelebihannya, ada hal-hal tentang anak yang harus kita akui, itulah keterbatasan atau kekurangannya.

Mengidolakan anak berarti hanya memfokuskan pada satu aspek yaitu aspek kelebihan atau hal-hal yang kita sukai itu dan kita terus memberikan komentar positif, memuji-muji dia, mengagum-agumi dia tanpa batas, sedangkan kelemahannya kita tidak mau melihatnya.

Salah satu ciri orang tua yang mengidolakan anak adalah:

  1. Cenderung hanya membicarakan keberhasilannya, dia sulit membicarakan yang lain, jadi di depan anak maupun di depan orang lain hanya membicarakan kehebatan anaknya itu.

  2. Cenderung mengecilkan dan hampir tidak pernah menghukum anak atas kesalahannya, jadi yang namanya kesalahan itu akan diabaikan.

  3. Mereka menolak mengakui keterbatasan anak.

Dampak perlakuan orang tua ini bagi anak yaitu:

  1. Orang tua ini akan menggelembungkan penghargaan diri anak dan membuat si anak haus pujian. Bahayanya anak ini akan menuntut orang untuk juga memuji-muji dia sebab dia menganggap dirinya layak untuk mendapatkan perlakuan yang seperti itu dari orang lain.

  2. Anak ini biasanya sukar menerima perlakuan orang. Jadi dalam pergaulan dia akan

  3. Mengalami kesukaran karena intinya tidak bisa dikritik, tidak bisa menerima komentar yang negatif tentang dirinya.

Saran bagi orang tua:

  1. Kalau memberikan pujian kepada anak, hendaknya kita berikan secara spesifik dan berkala. Spesifik di sini yaitu pada perbuatannya. Kadang-kadang kita mau memuji pada kondisi tubuhnya atau kepandaiannya bukan pada perbuatannya sesuatu yang dibawanya sejak lahir.

  2. Ada waktunya menunjukkan kekecewaan kepada anak, dan bukan hanya kekaguman. Ada tempat dan waktu untuk menunjukkan kekaguman pada anak.

  3. Jangan orangtua terlalu takut menidisiplin anak asal disiplin itu kita berikan dengan tepat. Disiplin yang tepat tidak menghancurkan anak, disiplin yang tepat hanyalah membatasi gerak anak sehingga dia tidak menjadi anak yang liar.

  4. Jangan biarkan pengalaman masa lalu mengaburkan pendidikan anak yang benar. Di antara kita orangtua yang dibesarkan secara tidak baik oleh orangtua kita. masa lalu kita yang pahit dan berjanji tidak akan memperlakukan anak seperti ini, jangan sampai ini mengaburkan pandangan kita bagaimana membesarkan anak dengan baik.

Amsal 19:18 , "Hajarlah anakmu, selama ada harapan tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya." Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya dikatakan: Discipline your son, for in that there is hope. Disiplinlah anakmu karena di situlah letak harapan. Jadi sebetulnya waktu kita mendisiplin anak kita sedang menciptakan pengharapan bahwa ada masa depan, kalau kita tidak mendisiplin anak, justru kita mematikan masa depan si anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini, kami beri judul "Mengidolakan Anak", kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, saya merasa setiap orang memang mempunyai idola, entah itu bintang film, entah itu tokoh, pimpinan dan sebagainya atau bahkan tokoh-tokoh Alkitab. Tetapi kalau anak dijadikan idola ini maksudnya bagaimana Pak Paul?

PG : Saya berikan definisinya seperti ini Pak Gunawan, mengidolakan anak berarti memuji kelebihan anak tanpa batas dan gagal mengakui kelemahan anak. Jadi saya memang mau memunculkan dua aspk ini, ada hal-hal tentang anak yang kita sukai, anggap sajalah itu kelebihannya, ada hal-hal tentang anak yang harus kita akui, itulah keterbatasan atau kekurangannya.

Nah, mengidolakan anak berarti hanya memfokuskan pada satu aspek yaitu aspek kelebihan atau hal-hal yang kita sukai itu dan kita terus memberikan komentar positif, memuji-muji dia, mengagumi dia tanpa batas, sedangkan kelemahannya itu kita tidak otak-atik sama sekali bahkan kita tidak mau melihatnya. Nah, inilah yang saya maksud dengan mengidolakan anak.
GS : Itu 'kan salah satu wujud rasa kasih orang tua terhadap anaknya.

PG : Sering kali memang muncul dari rasa kasih yang besar, baik itu misalkan karena tidak mempunyai anak untuk waktu yang lama kemudian Tuhan anugerahkan anak, wah...begitu sayangnya. Atau s orang tua mempunyai masa lalu yang kurang baik, diperlakukan buruk oleh orang tuanya sendiri sehingga dia berjanji kalau saya mempunyai anak kelak, saya tidak akan mengulangi perbuatan orang tua saya.

Jadi yang baik, yang positif terus-menerus dilimpahkan kepada si anak.
GS : Itu misalnya dalam hal apa Pak, apa dalam hal wajah atau dalam hal keterampilan atau kepandaian atau apa biasanya?

PG : Bermacam-macam, memang bisa bersifat fisik kalau misalnya kita sangat senang dengan anak ini, anak ini begitu tampan, lucu, cantik dan sebagainya atau mempunyai keterampilan tertentu, kbisaan-kebisaan tertentu.

Ada anak-anak pada usia tiga tahun sudah bisa membaca wah......itu kita puji-puji terus, anak ini pandai luar biasa. Ada anak-anak yang memang bisa mengerti orang tua pada masa yang masih kecil, tapi bisa berbicara dengan begitu dewasanya, sehingga akhirnya kita memuji-muji juga. Kadang-kadang ini muncul dalam keluarga yang bermasalah Pak Gunawan yaitu hubungan suami-istri buruk, sehingga si orang tua yang sedih ini, yang menderita ini, tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari pasangannya nah dia melimpahkan itu kepada si anak. Dia ingin anaknyalah yang memberikan dia kasih sayang, nah kalau menyoroti kelemahan atau kekurangan si anak 'kan konflik yang muncul, jadi yang dilimpahkan terus kepada si anak adalah kasih sayang, puji-pujian.
GS : Itu sebenarnya mencerminkan kecenderungan macam apa Pak Paul?

PG : Orang tua yang mengidolakan anak pada dasarnya mencerminkan adanya kebutuhan dalam dirinya yang tak terpenuhi Pak Gunawan. Jadi ketidakpenuhan kebutuhan itulah yang akhirnya muncul dala bentuk sepertinya berlebihan dalam memuja-muja anak.

Sedangkan orang tua yang stabil atau yang mantap, yang tahu batasnya cenderung tidak mengidolakan anak. Jadi ini tidak berarti tidak boleh sama sekali memuji anak, bukan itu yang saya maksud, tapi karena kalau kita mempunyai kebutuhan terpenuhi dengan baik kita tidak terlalu butuh memuji-muji anak, sehingga anak itu memberikan respons yang kita inginkan tadi.
GS : Nah, biasanya kalau ibu-ibu terlibat dalam pembicaraan, mereka kadang-kadang membicarakan anak-anaknya, itu yang sering kali saya dengar masing-masing menonjolkan kehebatan anaknya Pak Paul.

PG : Kalau di depan anak jangan, kalau misalkan di depan orang lain tidak ketahuan sama sekali mungkin tidak apa-apa, tapi intinya ada beberapa perilaku yang mungkin bisa kita waspadai Pak Gnawan.

Yang tadi Pak Gunawan katakan betul yaitu orang yang mengidolakan anak, cenderung hanya membicarakan keberhasilannya. Dia sulit membicarakan yang lain, jadi di depan anak maupun di depan orang lain hanya membicarakan kehebatan anaknya itu.
GS : Apa sebenarnya yang dibicarakan itu Pak Paul?

PG : Biasanya hanyalah memperhatikan pada hal-hal tertentu, kwalitas-kwalitas tertentu pada si anak itu. Dan si orang tua ini akan terus memperlihatkan kekagumannya tanpa henti pada hal-hal ertentu, misalkan tadi yang saya sebut kok anak ini lucu, bagus, anak ini pandai menjadi juara kelas wah...

ini terus yang dibicarakan tanpa henti-hentinya.
GS : Nah, kalau kecenderungannya seperti itu Pak Paul, apakah orang tua yang mengidolakan anak ini terus tidak mendisiplin anaknya?

PG : Ada kecenderungan begitu Pak Gunawan, jadi anak-anak ini bebas melakukan apa yang dia inginkan. Karena orang tua itu mengecilkan dan hampir tidak pernah menghukum anak atas kesalahannya jadi yang namanya kesalahan itu akan diabaikan.

Orang tua itu 'kan dua orang, kadang-kadang yang satu mau menghukum, yang satu tidak mau menghukum. Nah, ada orang tua yang berkata anak tidak perlu dihukum sama sekali, biarkan nanti dia akan belajar sendiri, ada orang tua yang lebih berkata: Tidak.....! Anak ini salah perlu dihukum, nah akhirnya orang tua bertengkar. Nah, anak melihat orang tua berbeda pandang, yang menjadi favorit dia sudah tentu yang tidak menghukum dia.
GS : Tetapi bagaimana pun juga sebenarnya kalau orang tua mau objektif, setiap anak itu mempunyai kelemahan atau kekurangannya Pak?

(2) PG : Betul, jadi salah satu ciri orang tua yang mengidolakan anak adalah mereka menolak mengakui keterbatasan anak. Jadi menolak mengakui bahwa anak memang tidak bisa dalam hal in, memang anak tidak mampu dalam hal ini, tidak bisa itu.

Dianggap anak itu bisa semuanya dan anak itu memang anak yang super, nah ini adalah ciri-ciri atau perilaku-perilaku orang tua yang mengidolakan anaknya.
GS : Ya mungkin hampir sama kalau kita mengidolakan tokoh-tokoh tadi, tokoh-tokoh idola kita Pak Paul, seolah-olah memang kita tidak bisa mengakui kesalahan atau kekurangan mereka itu.

PG : Betul, dan kita hanya mau melihat yang bagus-bagus pada orang itu dan membicarakan yang bagus-bagus tentang orang tersebut.

(3) GS : Mungkin kalau terhadap orang luar yang tidak terlalu kita kenal atau tidak berhubungan langsung, dampaknya tidak seberapa Pak Paul. Tapi kalau ini terhadap anak kita sendiri dampaknya bagaimana Pak?

PG : Ada beberapa dampak yang pertama adalah mereka atau orang tua ini akan menggelembungkan penghargaan diri anak dan membuat si anak haus pujian. Jadi orang tua yang terlalu memuja-muji ank, pada akhirnya akan menciptakan diri anak yang terlalu besar, terlalu membalon.

Nah bahayanya adalah anak ini akan menuntut orang untuk juga memuja-muji dia, sebab dia menganggap dia sehebat itu, seindah itu, sesempurna itu dan selayaknyalah dia mendapatkan perlakuan yang seperti itu dari orang lain. Jadi kalau orang tidak mengagumi dia, dia tidak suka, dia akan meminta orang untuk mengaguminya, menjadi pusat perhatian, menjadi pusat dunia.
GS : Nah, apakah ini tidak membuat anak ini sulit bergaul Pak Paul, kalau dia sudah sekolah 'kan tidak mungkin lingkungan yang lain memperlakukan dia seperti orang tuanya?

PG : Biasanya akan mempersulit dia dalam pergaulan dengan anak-anak lainnya, maka saya kira Puji Tuhan ada yang namanya sekolah. Sebab sekolah itu salah satu fungsinya adalah mengasah anak yng kelebihan-kelebihan ini, sehingga realitas yang akhirnya menyadarkan si anak bahwa dia tidaklah seindah atau sesempurna yang dikatakan oleh orang tuanya.

Nah biasanya anak ini sukar menerima perlakuan orang, dia sukar menerima dan juga kalau orang-orang itu mulai mengritiknya, teman-temannya tidak suka atas perbuatannya dia akan tutup pintu, dia akan berkata o.....teman-teman ini tidak bisa menghargai dia, teman-teman ini memang tidak bisa mempunyai pemikiran secemerlang pikirannya dan sebagainya. Jadi dalam pergaulan dia akan mengalami kesukaran karena intinya dia tidak bisa dikritik, tidak bisa menerima komentar yang negatif tentang dirinya, sama sekali tidak bisa, maunya dipuji dan kehendaknya selayaknyalah dipenuhi.
GS : Padahal itu adalah andil dari orang tuanya yang terlalu mengidolakan dia Pak Paul?

PG : Betul, dan ini harus dibayar juga oleh si orang tua Pak Gunawan, yaitu akhirnya orang tua akan kesulitan memerintahkan si anak melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki si anak. Jadi orag tua yang terlalu mengidolakan si anak pada akhirnya akan menuai hasilnya.

Pada suatu hari kelak anak itu sudah mulai besar, si orang tua menyuruhnya melakukan sesuatu si anak akan menolak, tidak bisa si anak dengan mudah melakukan yang diminta oleh si orang tua. Nah inilah yang sering kali terjadi, sudah pada usia agak besar orang tua baru sadar, wah....kami dari dulu mengiakan dia, memuja-muji dia, sekarang sudah umur 14, 15 tahun anak ini tidak mau belajar, kami tidak bisa menyuruhnya belajar; anak ini tidak mau ke sekolah, kami tidak bisa menyuruhnya ke sekolah. Ini memang menjadi masalah akhirnya.
GS : Tetapi pengidolaan ini juga bisa datang dari masyarakat Pak Paul, artinya bukan datang dari rumah, mungkin karena anak ini berprestasi dalam seni suara atau seni lukis atau apapun, nah masyarakat itu mengidolakan dia walaupun mungkin orang tuanya itu tidak, itu bagaimana?

PG : Bisa jadi, kalau memang dia menjadi bintang sehingga diakui oleh masyarakat, ya dia terlalu banyak menerima pujian. Tapi akhirnya adalah kalau dia tidak sanggup menerima puji-pujian itudia akan menjadi anak yang tertekan sekali.

Karena dia merasakan dia diharapkan mencapai standar setinggi itu yang diharapkan oleh masyarakat. Nah itu juga akan menimbulkan tekanan bagi dia. Maka kita tahu ada contoh-contoh di mana anak-anak yang terlalu dini menerima pengakuan, pujian-pujian dari masyarakat akan mengalami sedikit banyak gangguan pada masa pertumbuhannya karena dia kehilangan kesempatan menjadi dirinya dengan kelemahan-kelemahannya itu. Sebab seolah-olah masyarakat tidak mau menerima bahwa dia mempunyai kelemahan atau kekurangan.
GS : Jadi rupanya banyak segi negatifnya dari pada segi positifnya, Pak Paul?

PG : Kalau terlalu mengidolakan, hidup ini berpusat pada anak, nah ada orang tua yang seperti itu Pak Gunawan. Dan saya masih percaya bahwa orang tua sebetulnya tidak berniat buruk, tapi munkin karena masa lampaunya yang kurang menerima perhatian sehingga terlalu berlebihan memperhatikan anak.

Bahkan kadang-kadang dalam rumah tangga, pembicaraan orang tua itu tidak pernah lepas soal si anak saja, si anak dipuji-puji seolah-olah tanpa si anak, si suami-istri tidak mempunyai bahan pembicaraan sama sekali. Jadi benar-benar kehidupan rumah tangga itu bertumpu pada si anak, si anak benar-benar menjadi bintang dalam rumah tangga itu, ini tidak sehat. Sebab seharusnya orang tualah yang menjadi poros, yang memikul si anak, dalam kondisi seperti ini seolah-olah orang tua memang sangat bergantung pada anak itu.
GS : Jadi dia bukan cuma bintang tapi mengatur kehidupan rumah tangga itu Pak Paul?

PG : Akhirnya sering kali itu yang terjadi, anak ini benar-benar menjadi raja dan menterinya adalah orang tuanya. Orang tua mungkin masih berpikir o....kami yang menjadi penguasa rumah tangg kami.

Tidak! Sebetulnya si anak inilah yang menjadi penguasa. Sekali lagi saya tekankan, munculnya problem biasanya bukan waktu anak itu umur 5 tahun tapi waktu anak itu berusia 15 tahun. Si orang tua menyuruh anak melakukan sesuatu si anak menolak dan orang tua tidak bisa berbuat apa-apa, nah ini yang sering kali terjadi orang tua baru menyadari o.....tidak ada itu otoritasnya. Jadi pelajaran yang bisa kita petik di sini adalah otoritas orang tua itu dibangun setahap demi setahap. Ibarat membangun rumah, rumah itu dibangun satu bata demi satu batu bata, tidak langsung sekaligus, nah otoritas orang tua juga demikian. Kalau pada usia 15 tahun orang tua baru berminat menunjukkan otoritasnya sedangkan sebelumnya anak itu dipuja-puji seperti dewa, anak itu tidak bisa apa-apa, tidak bisa disuruh orang tuanya justru akhirnya frustrasi.
(4) GS : Kalau begitu apakah saran Pak Paul terhadap orang tua? Ini 'kan masalah yang sangat serius Pak.

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, kalau kita memberikan pujian kepada anak, hendaknya kita memberikannya secara spesifik dan berkala. Yang saya maksud adalah spesifik terhadap perbuatannya. Kadng-kadang kalau kita mau memuji pada kondisi tubuhnya atau kepandaiannya, bukan pada perbuatannya sesuatu yang dibawanya sejak lahir sekali-kali boleh.

Sekali-kali, jangan terlalu sering apalagi terus-menerus di depan dia, sekali-sekali kita katakan wajahmu kok bagus, manis atau apa, rambutnya kok begini, tapi jangan terlalu sering sebab ini sesuatu yang dibawanya sejak lahir. Tapi kita lebih mau memberikan pujian pada perbuatan atau usaha. Jadi ulangan dapat 7 kalau dia sudah berusaha begitu keras kemarin malam berikan pujian, ulangan dapat 5 pun kalau dia sudah berusaha dengan begitu keras kita tetap katakan : "Kamu sudah berusaha keras dan itu yang paling penting, itu yang paling membuat papa atau mama bangga denganmu." Jadi spesifik terhadap suatu perbuatan tertentu, jangan sampai tadi yang sudah saya katakan memuji-muji anak, waduh anak saya pintar, ini tidak spesifik lagi. Dan yang dipuji itu adalah bukannya usaha si anak, sesuatu yang memang sudah dia bawa dari lahir, pemberian Tuhan. Dan yang saya katakan adalah berkala, jadi memuji itu ada batasnya jangan terus-menerus tanpa henti, berkala. Kalau anak mendengar papa mamanya memuji-muji di depan orang-orang terus-menerus dia pun merasakan sebetulnya sedikit banyak tekanan. Tekanan untuk menjadi anak yang sempurna, bahwa dia haruslah seindah yang dikatakan oleh orang tuanya, sedangkan dia tahu dia tidak seindah itu. Maka karena ada anak-anak yang karena tidak tahan dan tidak mampu hidup dalam tekanan seperti itu, akhirnya justru melakukan hal-hal yang berkebalikan dengan yang orang tuanya katakan. Seolah-olah dia mau memecahkan mitos bahwa dia sempurna dengan cara melakukan hal-hal yang sangat-sangat ditentang oleh orang tuanya, seolah-olah dia ingin mengatakan saya tidak sesempurna yang kau katakan dan saya tidak sanggup hidup sesuai dengan tuntutanmu.
GS : Tapi pada awalnya biasanya anak dipuji-puji begitu juga merasa tidak senang, tidak terlalu merasa nyaman Pak Paul dengan pujian, lalu dia merasa malu. Itu perasaan apa ya Pak Paul, pura-pura atau memang sungguh-sungguh dia malu?

PG : Jadi ada anak-anak yang memang akan merasa malu karena dia tahu dia tidaklah sebaik yang dikatakan orang tuanya. Dia mempunyai kekurangan dan keterbatasannya pula, jadi ini membawa kitake point berikutnya yaitu ada waktunya menunjukkan kekecewaan kepada anak.

Dan bukan hanya kekaguman, harus ada tempat dan waktu untuk menunjukkan kekaguman pada anak. Jangan sampai kita tidak pernah menunjukkan kita kagum pada anak kita, tapi ada waktunya menunjukkan kita kecewa, ya tidak apa-apa asalkan kita tidak berkubang pada kekecewaan itu, menyoroti sisi negatifnya, kekurangannya terus-menerus, tidak. Ya kita katakan saya kecewa dengan tindakanmu, misalkan anak kita berbohong dia pergi dengan siapa tapi bilangnya pergi dengan yang lain. Kita katakan saya kecewa engkau berbohong kepadaku atau misalkan dia belajarnya sembarangan hasilnya jelek, kita katakan saya kecewa sebab seharusnya engkau bisa lebih baik dari ini, jadi ada waktunya mengatakan saya kecewa kepada anak.
GS : Tetapi di sana bukankah dibutuhkan suatu keseimbangan antara pujian dan kekecewaan yang kita ungkapkan?

PG : Ya, jadi tentu ada waktu memberikan atau menyatakan kekaguman kita, ada waktunya kita mengutarakan kekecewaan. Orang tua yang terus-menerus mengatakan saya kecewa pada kamu, itu juga tiak sehat, itu akan menjatuhkan spirit si anak.

GS : Ya di dalam hal ini bagaimana orang tua itu harus mendisiplin anaknya?

PG : Jadi saran saya, jangan orang tua terlalu takut mendisiplin anak, sudah tentu jangan sembarangan melewati batas dalam mendisiplin anak. Tapi ini juga yang saya ingin katakan jangan taku mendisiplin anak.

Beberapa kali saya bertemu dengan orang tua di jalanan atau di supermarket atau di mana, yang saya lihat pada usia yang begitu kecil si anak itu mampu menguasai orang tua dan orang tua begitu merasa tak berdaya mengatur perilaku anak yang masih berumur misalnya 3 tahun. Jadi saya pikir apa ini yang terjadi, tubuhnya 6 kali, 7 kali lebih besar dari si anak, kok bisa begitu tak berdaya menghadapi anak yang baru berusia 3 tahun. Nah jangan takut mendisiplin anak asalkan disiplin itu kita berikan dengan tepat. Disiplin yang tepat tidak menghancurkan anak, disiplin yang tepat hanyalah membatasi gerak anak sehingga dia tidak menjadi anak yang liar. Tanpa disiplin yang tepat anak-anak memang bisa menjadi penguasa-penguasa di rumah kita.
GS : Tetapi untuk disiplin seperti itu memang lebih gampang dilakukan di rumah Pak Paul daripada di luar rumah, karena kita sebagai orang tua kadang-kadang sungkan, merasa tidak enak di lihat orang lain. Misalnya di restoran atau di supermarket yang tadi Pak Paul katakan, kita menjadi salah tingkah dan akhirnya kita berkata kali ini dituruti saja, tapi kalau di rumah akan lebih mudah.

PG : Sering kali anak tahu itu Pak Gunawan, maka dia cenderung berulah di hadapan publik, di muka umum. Sebab dia sudah berpikir orang tua pasti malu untuk marah atau apa kepadanya. Saran saa tidak, kalau di depan publik si anak berulah, nah saya tidak akan malu untuk menghukum dia di depan publik.

Sebab nanti kalau menangis dan sebagainya, yang malu dia dan itu menjadi pelajaran buat dia di lain waktu bahwa di depan publik atau di depan umum dia tidak akan berulah lagi.
GS : Apakah ada saran yang lain Pak Paul?

PG : Yang lain adalah jangan biarkan pengalaman masa lalu mengaburkan pendidikan anak yang benar. Tadi saya sudah singgung, ada di antara kita orang tua yang dibesarkan secara tidak baik ole orang tua kita.

Masa lalu kita pahit sekali dan kita berjanji tidak akan memperlakukan anak seperti itu, jangan sampai ini mengaburkan pandangan kita bagaimana membesarkan anak dengan baik. Jangan kita ini mau menebus masa kelam kita itu dengan menyajikan sesuatu yang tidak realistik kepada anak-anak sebab itu akan mencelakakannya. Bukannya dia menjadi anak yang utuh, yang stabil, yang mantap, kuat, tetapi dia menjadi anak yang tidak berimbang. Anak yang terlalu diidolakan menuntut orang mengidolakannya, sehingga selalu menganggap semua orang harus memenuhi kehendaknya dan seolah-olah orang harus menyembahnya, nah ini justru akan mencelakakan si anak bukan menolongnya.
GS : Kadang-kadang orang tua karena harus bekerja mulai Senin sampai dengan Jumat, nah Sabtu dan Minggu itu dia curahkan seluruh perhatiannya kepada anak dan memenuhi semua tuntutan anak itu.

PG : Betul, dan kadang-kadang muncul dari rasa bersalah Pak Gunawan, rasa bersalah kenapa tidak memberikan banyak waktu kepada anak, jadi apa yang anak minta terus diberikan. Dan untuk memenngkan hati si anak agar si anak itu sayang kepada orang tua, anak itu terus dipuji-puji.

Memang pujian perlu diberikan kepada anak, namun tidak berlebihan dan jangan dilakukan secara membabi buta.
GS : Apakah yang firman Tuhan katakan sehubungan dengan ini Pak Paul?

PG : Di Amsal 19:18 firman Tuhan berkata: "Hajarlah anakmu, selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya." Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya yang saya ambi dari NIV dikatakan : Discipline your son, for in that there is hope.

Disiplinlah anakmu karena di situlah letak harapan, saya sebetulnya lebih suka terjemahan yang ini, jadi waktu kita mendisiplin anak kita sebetulnya menciptakan pengharapan bahwa ada masa depan. Kalau kita tidak mendisiplin anak, justru kita mematikan masa depan si anak. Dia menjadi anak yang bermasalah, jadi anak yang diidolakan sebetulnya dirugikan karena masa depannya itu menjadi masa depan yang sangat bermasalah dalam pergaulannya dengan teman, nanti kalau dia sudah berumah tangga beristri, atau bersuami dia akan menjadi masalah yang besar. Jadi justru kalau kita mau menciptakan masa depan bagi si anak jangan idolakan si anak.
GS : Tetapi sampai batas tertentu atau umur tertentu, apakah si anak pada masa kecilnya diidolakan oleh orang tuanya bisa menjadi sadar Pak?

PG : Kalau dia menyadarinya karena bentukan lingkungan dan sebagainya itu bagus, mudah-mudahan itu yang terjadi dan ada yang memang begitu disadarkan oleh kehidupan nyata di luar bahwa dia tdaklah sesempurna itu.

Ada juga yang disadarkan karena kejatuhannya, kegagalannya dia jatuh terperosok sekali baru dia sadar. Ada juga yang jatuh karena sengaja menjatuhkan diri yaitu tidak sanggup lagi hidup sesuai dengan tuntutan orang tua seindah itu, jadi seolah-olah tanpa disadari dia sengaja merusakkan semua idealisme orang tua pada dirinya nah akhirnya dia baru sadar. Jadi ada yang memang sadar karena pengalaman-pengalaman berikutnya.

GS : Ya terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan setia bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang mengidolakan anak. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



43. Memuji Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T113A (File MP3 T113A)


Abstrak:

Pujian kepada anak memang diperlukan, tapi hendaknya kita pun tahu kapan waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Dan pujian itupun kita berikan dalam porsi yang tepat juga.


Ringkasan:

Ketika kita mencela, mengkritik, mengomel, dan mengoreksi anak, fokus perhatian kita adalah pada kesalahan atau kekurangan anak. Tetapi ketika kita memuji, yang kita temukan adalah kelebihan atau hal positif yang anak miliki. Dengan demikian, pada saat kita memuji anak, perilaku anak yang baik itu diperkuat. Anak pun akan lebih suka mengulang perbuatan baiknya itu, dan dengan itu ia membentuk kebiasaan baik.

Efek psikologis dari pujian.

Pujian menyebabkan anak merasa dirinya oke dan diterima oleh orang tuanya. Pujian yang tepat akan menyebabkan tumbuhnya rasa percaya diri anak dan membuat anak senang dan bangga atas dirinya sendiri. Rasa senang yang dibangkitkan oleh pujian akan mendekatkan hubungan anak dengan orang tuanya.

Efek negatif dari pujian.

Pujian yang diberikan secara berlebihan dan tidak sesuai dengan kenyataan, akibatnya anak akan salah mempersepsikan dirinya. Selanjutnya hal ini membawa dampak kurang baik dalam relasi anak dengan teman-temannya. Ketika anak kecewa atas kritikan atau celaan teman- temannya, ini akan memperburuk relasi sosialnya dan kemungkinan membuat anak membenci dirinya sendiri. Untuk menghibur dirinya yang terluka, sebagian anak bersikap sombong dan tidak mau menerima masukan dari orang-orang di sekitarnya.

Pujian yang pantas diberikan kepada anak

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa seyogyanya kita mengarahkan pujian kita pada sifat-sifat baik yang anak tampilkan: kasih, murah hati, ingin berdamai, meminta maaf, tekun, jujur, dst. Kita perlu menghindarkan diri memuji anak terlalu banyak dari segi fisiknya atau segi-segi yang dimilikinya dan bukan yang diusahakannya, misalnya kecantikannya, kepandaiannya, kekuatan ototnya, dsb. Karena itu hanyalah penghargaan yang bernilai sementara. Apa yang dimiliki seseorang itu adalah pemberian yang harus diterima dengan pengucapan syukur. Lagipula fokus kita akan sifat baik itu lebih membuat anak merasa mampu mencapainya dan mempertahankan apa yang telah dicapainya.

Batas-batas memuji anak agar dampak negatif pujian berlebihan dapat dicegah?

  1. Memuji anak perlu memperhatikan waktu yang tepat, selain juga isi pujian yang tepat.

  2. Sekali suatu perilaku terbentuk sebagai kebiasaan, pujian hanya perlu diberikan sekali-sekali, lalu berhenti sama sekali. Setelah itu kita boleh arahkan pujian kita pada hal-hal lain yang lebih mendasar dan dengan itu kita mengembangkan kepribadian anak.

Mengapa ketika memuji anak, adakalanya hasil yang kita dapatkan justru berkebalikan dari hasil yang kita inginkan?

  1. Anak beranggapan bahwa pujian yang kita berikan tidak tulus.
  2. Kemungkinan lain adalah anak tidak puas hanya dengan pujian saja dan mengharapkan sesuatu yang lebih, misalnya diperbolehkan main PS atau multiplayer game, dan sebagainya. Atau berharap diberi mainan yang mahal yang kita tidak mampu membelinya atau yang kita tidak ijinkan.

Hambatannya sehingga kita sulit sekali memuji anak:

  1. Masalah kebiasaan. Orang tua tidak terbiasa menghargai orang lain, dan karena itu juga tidak terbiasa menghargai anak sendiri yang tiap hari bersama mereka.

  2. Orang tua sulit melihat hal positif pada diri anak mereka secara pas.

  3. Orang tua sering menganggap kelebihan anak sebagai sesuatu yang biasa yang memang sudah seharusnya demikian.

  4. Orang tua banyak mengalami kesulitan hidup sehingga tidak melihat hal-hal yang cerah dan menggembirakan dalam hidup, termasuk dalam kehidupan anak-anaknya.

1 Petrus 1:7 , "Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu--yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api--sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. dan beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Memuji Anak". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pah Heman, sebagai orang tua kita tentu pernah walaupun tidak terlalu sering memberikan pujian kepada anak kita. Nah ada orang yang mengatakan tidak perlu anakmu dipuji nanti malah besar kepala dan sabagainya. Sebenarnya apakah perlu memberikan pujian kepada anak?

HE : Ya saya kira perlu memuji anak, memang ada dampak negatifnya seperti yang tadi Pak Gunawan sebutkan tetapi jangan lupa bahwa pujian itu bisa sangat besar manfaatnya.

GS : Misalnya Pak?

HE : Misalnya saja ini kita bandingkan dengan mengkritik, mengomel atau mengoreksi anak, nah kalau kita bandingkan dengan itu kita akan lebih jelas yaitu kalau kita sedang mengkritik anak maa yang menjadi pusat perhatian kita adalah kesalahan atau kekurangan anak.

Dan sebaliknya kalau kita memuji, yang kita utamakan atau kita fokuskan adalah kelebihan atau hal positif yang anak miliki. Nah dengan memuji tingkah laku anak yang baik itu yang kita perkuat. Kalau dengan celaan kita ingin menghilangkan atau mengurangi tingkah lakunya yang buruk, tetapi dengan memuji anak maka tingkah laku yang baik itu yang diperkuat sekaligus juga dengan demikian anak juga mengetahui apa yang harus dia lakukan atau yang sebaiknya dia lakukan.
GS : Berarti dalam setiap pujian yang kita sampaikan itu tentunya dengan tulus hati itu punya dampak psikologis atau efek kejiwaan Pak?

HE : Betul, efek psikologis yang cukup baik yaitu misalnya anak itu merasa dirinya OK, diterima orang tuanya. Dan dengan pujian-pujian yang tepat justru akan menimbulkan atau menumbuhkan ras percaya diri pada anak dan membuat anak senang dan bangga atas dirinya.

(2) GS : Tetapi masalahnya bagamana kita bisa memberikan pujian itu yang bisa mempunyai dampak positif seperti itu Pak?

HE : Kalau misalnya kita mau memberikan pujian kita perlu memperhatikan beberapa hal. Yang terutama adalah pujian itu hendaknya diberikan tepat waktunya, tidak berlebihan dan yang kedua yangtidak kurang pentingnya adalah bahwa pujian itu hendaknya memperhatikan apa yang menjadi materi atau menjadi fokus pujian kita.

GS : Yang Bapak maksud diberikan tepat pada waktunya itu seperti apa Pak misalnya?

HE : Misalnya saja kalau anak melakukan perilaku yang kita anggap baik, kita harus langsung memberikan pujian kepadanya kalau misalnya itu belum menjadi kebiasaan yang terbentuk baik. Nah keapa harus segera memberikan pujian pada saat itu, karena kalau misalnya sudah selang beberapa waktu setelah perbuatan anak itu berlangsung kita baru memberikan pujian, selain anak itu memorinya pendek dia tidak tahu dan tidak bisa mengasosiasikan pujian yang kita berikan dengan perilaku yang dia lakukan.

Nah itu menyebabkan kemungkinan anak untuk mengulang atau mengasosiasikan pujian itu dengan perilaku baiknya itu akan berkurang.
(3) GS : Berarti selain membawa dampak yang positif suatu pujian terhadap anak itu juga ada dampak negatifnya Pak. Nah itu sejauh mana dampak negatif itu?

HE : Dampak negatifnya adalah kalau kita memuji anak tidak sesuai dengan kenyataan, itu yang pertama. Jadi misalnya kalau kita mengatakan bahwa anak kita itu pandai bergaul, anak kita itu lues, anak kita itu rajin dsb padahal sebetulnya tidak demikian.

Dan anak bisa menyembunyikan kelemahan-kelemahannya, maka ini berdampak pada anak yang menggelembung harga dirinya sehingga ketika dia bergaul dengan teman-temannya yang lain, teman-temannya tidak menyukai dia dan memberikan umpan balik yang berkebalikan dari pujian yang diterimanya di rumah. Akibatnya anak bisa frustrasi atau menjauhkan diri dari teman-teman atau menyerang teman-temannya atau membenci dirinya sendiri, nah ini efek pujian yang kurang pas.
GS : Ya ada orang tua yang memberikan pujian dengan harapan memotivasi anak itu untuk mencapai sesuai apa yang dipujikan. Seperti dikatakan oh kamu pasti bisa mengerjakan soal seperti ini, kamu besok pasti dapat angka yang lebih baik. Nah orang tua memotivasi si anak melalui pujian itu, sebenarnya itu bisa diterima atau tidak Pak?

HE : Kalau misalnya anak itu memang sanggup mengatasi itu, dan anak itu punya kepercayaan diri untuk itu, dia pernah berhasil tentang itu maka pujian ini kadang-kadang bisa mendorong anak in untuk memacu dirinya untuk ke arah situ.

Tetapi masalahnya adalah kalau misalnya ternyata anak tidak mampu sehingga ujian ini bisa juga menjadi bumerang buat si anak.
(4) GS : Kadang-kadang kita sebagai orang tua kesulitan mencari dari sudut apa atau dari segi apa kita itu mau memuji anak kita, itu bagaimana Pak?

HE : Nah mungkin yang menjadi fokus bagi kita sebaiknya adalah sikap-sikap baik yang anak tampilkan, jadi dari perilakunya kita melihat yang anak berikan itu kita langsung memuji. Misalkan yng anak lakukan itu adalah kasih misalnya atau dia bermurah hati memberikan sesuatu kepada orang lain atau keinginannya untuk berdamai, untuk meminta maaf, untuk tekun, untuk jujur dan masih banyak perilaku yang lainnya yang mencerminkan sifat-sifat yang baik ini.

GS : Bagaimana dengan prestasi anak itu Pak, apakah kita bisa melakukan pujian lewat prestasinya itu?

HE : Tentu saja sekali-sekali kita boleh memuji prestasi anak tetapi yang hendaknya kita fokuskan terutama adalah usahanya. Jadi kalau dia berusaha dengan keras dan prestasi itu adalah hasilusahanya yang murni maka kita harus memuji atas dasar ketekunannya.

Tetapi prestasi itu sendiri jangan dijadikan fokus, karena kalau tidak ketika anak tidak bisa mencapai prestasi itu sekalipun dia sudah berusaha keras maka dia akan merasa frustrasi dan merasa rendah diri, merasa dirinya tidak berguna. Padahal yang harusnya menjadi fokus kita adalah sifat-sifatnya yang baik.
GS : Padahal kenyataannya itu kadang-kadang ada orang tua yang memuji anaknya justru pada sifat-sifat yang secara umum itu negatif Pak. Katakanlah anak itu berhasil mengelabuhi temannya bermain atau temannya di sekolah itu, ada orang tua yang bangga bahwa anaknya bisa melakukan itu, nah itu sebenarnya bagaimana?

HE : Memang sebagai orang tua kita juga perlu berhati-hati perlu juga sensitif dalam hal ini. Ketika anak melakukan sesuatu yang katakan licik kita juga tidak boleh memuji karena itu memperkat kelicikannya.

Misalnya keberaniannya di dalam berkelahi dengan anak lain, nah hal ini kalau dipuji akan menimbulkan sifat agresif pada anak yang bersangkutan dan anak akan mengulangi hal ini. Nah untuk menjaganya memang orang tua perlu sensitif dan perlu tahu aspek-aspek apa saja yang mengandung nilai apa saja, apakah nilai itu positif atau negatif.
GS : Bagaimana halnya kalau orang tua memuji anak dari sisi fisiknya, mungkin waduh....matamu ini bagus sekali atau hidungnya atau secara keseluruhan dikatakan sebagai anak yang tampan atau cantik itu bagaimana?

HE : Saya kira kalau itu sekali-sekali dilakukan itu tidak apa-apa, tetapi jangan itu yang dijadikan fokus. Karena apa? Karena itu adalah yang sementara sifatnya. Selain itu boleh dikatakan al-hal seperti ini, ini adalah sesuatu yang dimiliki sebagai anugerah, sebagai karunia.

Dan itu patut disyukuri tapi tidak menjadi fokus pujian. Karena apa? Karena seharusnya yang menjadi fokus pujian kita adalah sesuatu yang menjadi tujuan yang bisa dicapai oleh anak. Kalau kita misalnya memfokuskan pada kecantikannya misalnya atau kepandaiannya atau kekuatannya, nah hal-hal ini suatu ketika bisa berubah. Kalau anak sampai mendasarkan harga dirinya pada hal-hal yang sementara ini maka ketika hal yang sementara ini ternyata tidak memuaskan dirinya atau menjadi luntur, pada saatnya saudara-saudara akan menjadi tua atau berjerawat waktu remaja, tidak cantik lagi maka ini akan memukul dirinya.
GS : Tapi kadang-kadang pujian itu dia terima bukan cuma di rumah dari orang tuanya tapi di sekolah. Nah itu kelihatan setiap acara-acara tertentu yang menonjolkan kecantikan atau ketampanan dia itu selalu diikutsertakan Pak, jadi dia sendiri lama-lama merasa bahwa memang dia itu lebih cantik dibandingkan teman-temannya yang lain.

HE : OK! Dalam hal demikian misalnya orang tua bisa mengingatkan anak bahwa kamu beruntung karena kamu diberi anugerah wajah yang cantik dari Tuhan, ingat baik-baik bahwa jangan memanfaatkankecantikanmu ini untuk hal-hal yang kurang baik.

Yang terpenting dari seseorang adalah bukan dari kecantikan fisiknya, yang dikatakan juga oleh Alkitab adalah kecantikan dari dalam dan itu adalah sifat-sifat baik yang harus diusahakan oleh seseorang, yang masih bisa diubah oleh seseorang. Sedangkan kalau misalnya orang cerdas atau tidak, cantik atau tidak itu lebih agak susah untuk diubah karena itu suatu bawaan atau pemberian.
GS : Justru itu Pak, sebagai orang tua kita kadang-kadang kesulitan menentukan suatu batasan atau kriterianya kapan kita harus memuji, kapan kita harus menghentikan pujian supaya tidak menimbulkan dampak yang negatif. Apakah ada semacam pedoman untuk itu Pak?

HE : Baik saya akan mencoba memberikan batasan atau kriteria yaitu ketika sifat-sifat baik itu misalnya muncul, misalnya anak itu biasanya jarang membantu orang tua lalu tergerak untuk membatu orang tua, entah itu memasak di dapur, menyapu, membersihkan rumah dsb segera kita puji dia dan kita katakan : "Kamu ternyata peka terhadap orang tua, kamu ternyata baik hati dan mau membantu orang lain, membantu orang tua nah papa senang atau mama senang tingkah laku kamu seperti ini."

Nah itu tidak setiap kali anak itu membantu diberikan pujian seperti itu, sekali-sekali tapi permulaannya itu agak sering dan ketika perilaku membantu itu sudah menjadi suatu kebiasaan, pujian perlu semakin dikurangi dan akhirnya boleh tidak memuji sama sekali. Dan setelah itu pujian boleh dialihkan pada hal-hal yang lebih mendasar atau hal-hal lain yang juga penting, tidak kurang pentingnya. Nah dengan demikian kepribadian anak itu juga berkembang.
GS : Ya Pak Heman, kadang-kadang kita itu memang sudah punya niat, punya maksud agar pujian yang kita berikan itu berdampak positif. Saya rasa kita sebagai orang tua pasti mengharapkan hal yang demikian. Tetapi kenyataannya setelah sekian lama kita amati, pujian kita itu malah dampaknya negatif jadi anak semakin nakal atau semakin terlalu menyombongkan diri dan sebagainya, yang kita lihat ini bukan yang saya harapkan, nah itu kenapa Pak?

HE : Salah satu kemungkinan penyebab yang paling sering terjadi adalah anak beranggapan bahwa pujian yang kita berikan itu tidak tulus. Biasanya ini terjadi karena mereka merasa tidak sunggu-sungguh mengasihi anak atau juga ketika kita sebagai orang tua dengan anak itu mempunyai hubungan yang renggang.

Nah ketika kita memuji, pujian itu bukannya manis terdengar tetapi rasanya menjadi suatu pisau yang mengiris, seperti sesuatu yang sinis yang diberikan, nah ini kemungkinan pertama. Kemungkinan yang lain adalah bahwa ada kebutuhan-kebutuhan anak yang tidak terpenuhi pada mulanya, misalnya kebutuhan dia akan perhatian, akan kasih, begitu dia mendapatkan pujian berarti itu perhatian, dia bisa sangat berbunga-bunga sehingga tingkah lakunya menjadi tidak karu-karuan karena dia tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa senangnya. Nah ada kemungkinan lain lagi adalah nah ini juga hal yang penting yaitu anak tidak puas hanya dengan pujian saja, anak mengharapkan sesuatu yang lebih. Misalnya anak ingin supaya dia diperbolehkan main playstasion, multi player game dan sebagainya yang kadang-kadang sulit dipenuhi oleh orang tua. Nah ketika orang tua memuji, anak itu tidak puas, memberontak dengan cara-cara ngambek dan sebagainya hal ini menyebabkan anak berperilaku berkebalikan dari hasil yang kita inginkan.
GS : Nah Pak Heman di dalam hal ini kalau sampai terjadi hal yang demikian itu apa sebaiknya yang perlu kita lakukan sebagai orang tua?

HE : Tergantung sebabnya Pak Gunawan, jadi misalnya kalau hubungan kita dengan anak kita kurang baik atau renggang maka kita sebagai orang tua perlu mengoreksi diri, memperbaiki cara kita bekomunikasi dengan anak.

Katakanlah kita lebih sering mengusahakan untuk lebih sering berada di rumah, lalu setelah beberapa saat kita agak sering di rumah kita mulai membangun komunikasi, perlahan-lahan mulai mengobrol dengan anak. Sekali jalan-jalan bersama anak dan ketika ada waktu semakin sering bersama anak, semakin akrab bersama anak, maka kita boleh mulai melontarkan pujian di mana perlu. Demikian juga hubungan suami-istri itu juga perlu diperbaiki sehingga anak bisa menikmati pujian.
GS : Ya kadang-kadang memang itu justru menjadi sesuatu yang membingungkan anak, di mana sang ayah itu memuji dia, tapi justru ibunya itu memarahi dia karena hal yang sama Pak.

HE : Ya karena ini biasanya hubungan suami-istri kurang harmonis, sehingga terjadi perbedaan seperti itu.

GS : Nah kalau hal seperti itu Pak, apakah kita itu perlu mengadakan semacam perjanjian pada pasangan kita bahwa kita akan melakukan pujian terhadap anak atau bagaimana?

HE : Saya kira demikian, jadi perlu ada kesepakatan antara suami-istri apa yang dinilai atau dianggap sebagai baik dan apa yang kurang baik.

GS : Nah Pak Heman, di dalam hal menyampaikan pujian kepada anak itu apakah itu perlu dilakukan di hadapan banyak orang atau dengan saudara-saudaranya atau siapa atau kita melakukan itu secara personal Pak?

HE : Saya kira tergantung kondisinya, ada baiknya juga dan tidak ada salahnya sekali-sekali kita memuji anak di depan orang lain dan di hadapan anak kita. Dengan demikian anak juga merasa bawa orang tua tidak hanya berbasa-basi tetapi juga di hadapan orang lain pun orang tuanya dengan bangga memuji anaknya ini.

Tapi memang sekali lagi yang perlu juga kita berhati-hati adalah ketika kita memuji, pujian kita harus pas terutama di hadapan orang-orang lain. Jangan sampai ketika kita memuji anak kita di depan orang lain, ternyata anak ini menjadi malu karena tidak sesuai dengan persepsi orang lain terhadap anak kita.
GS : Ya sering kali kalau kita mendengar ibu-ibu itu berkumpul lalu bercerita tentang anaknya, mereka itu saling memuji anaknya masing-masing sedangkan anaknya tidak ada di situ Pak hanya kebanggaan pribadi, anaknya mempunyai kelebihan ini, ini nah itu bagaimana sebenarnya Pak?

HE : Itu biasa dilakukan dan tidak ada salahnya, keadaan seperti itu sebetulnya tidak berdampak terlalu besar kepada anak karena yang dipuaskan adalah kebutuhan orang tua sendiri, kebutuhan rang tua yang merasa perlunya suatu kebanggan terhadap anaknya.

GS : Khawatirnya itu terus mempengaruhi kita di dalam mengajar atau mendidik anak kita, lalu kita membandingkan itu lho anaknya si itu pintar begini, begini, kamu tidak bisa, nah seperti itu Pak.

HE : Nah ini juga orang tua perlu berhati-hati sekali karena seharusnya kita memuji atau menghargai anak itu adalah karena dia anak kita. Dan kita bandingkan atau tidak kita bandingkan maksunya kita menghargai dia karena dianya, jadi bukan karena dia dibandingkan dengan orang lain.

Kita akan merasa tidak enak ketika kita dibandingkan dengan orang lain dan itu menyebabkan kita selalu tidak bisa menjadi diri kita sendiri. Kita selalu merasa tidak enak atau tidak merasa diterima kalau misalnya kita adalah kita, saya adalah saya. Jadi saya harus selalu merasa bahwa orang lain lebih baik dan saya harus lebih baik dari orang lain, merasa bersaing dengan orang lain.
GS : Ya dalam kesempatan-kesempatan kita bersama dengan anak itu yang saya rasakan justru lebih banyak kita itu memberikan nasihat, cerita tentang diri kita sendiri, dan unsur pujian itu sedikit sekali sebenarnya Pak Heman, ada sesuatu yang berat untuk dikatakan. Sebenarnya apa hambatan kita itu?

HE : Hambatan kita ada beberapa yang bisa kita telusuri misalnya yang pertama adalah masalah kebiasaan. Biasanya kita itu jarang atau tidak terbiasa menghargai orang lain, nah kita hanya panai mencari-cari kelemahan-kelemahan orang lain dan karena itu juga kita tidak terbiasa menghargai anak sendiri, apalagi anak kita itu setiap hari bersama dengan kita.

Orang lain yang jauh yang lebih jarang kita temui saja kita lebih mudah temukan kelemahannya apalagi anak sendiri. Yang kedua misalnya adalah orang tua sulit melihat hal positif pada diri anak secara pas jadi sering kali orang tua kurang lagi objektif terhadap anak, sehingga orang tua susah untuk melakukan pujian. Dan yang ketiga orang tua juga sering menganggap kelebihan anak itu sebagai sesuatu yang biasa, yang memang sudah seharusnyalah demikian, jadi orang tua di sini juga perlu belajar untuk menghargai anak apa adanya dengan melihat konteks perkembangan anak yang terjadi secara bertahap. Nah ini beberapa hal yang mungkin menjadi penghambat bagi orang tua. Dan juga ada kemungkinan yang lain yang keempat, yaitu orang tua sudah banyak mengalami kesulitan hidup, sehingga karena hidupnya susah dia tidak lagi melihat hal-hal yang cerah, yang menggembirakan dalam hidup termasuk di dalam hal-hal yang positif di dalam kehidupan anak-anaknya.
GS : Ya itu mungkin menarik sekali, banyak orang tua yang juga hidup saat ini itu jarang sekali menerima pujian dari orang tuanya maupun orang lain, jadi kita itu kesulitan untuk melakukan pujian terhadap anak kita. Tapi apakah kita harus mencari pujian orang sebelum bisa memuji anak kita itu Pak?

HE : Ya tentu saja tidak, kalau kita memuji orang lain pada umumnya kita juga suatu ketika akan dihargai oleh orang lain dan dari sana kita juga bisa memetik pujian.

GS : Apakah ada ayat Alkitab yang tepat untuk menyimpulkan pembicaraan kita saat ini?

HE : Ada satu ayat Alkitab yang cukup baik yaitu dari I Petrus 1:7 begini bunyinya: "Maksud semua itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu - yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada ema yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api - sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya."

Jadi di sini dikatakan ini dalam konteks kita itu diuji sebagai orang Kristen di dalam iman kita. Dan ketika kita lulus dari ujian ini dan kita menjadi murni, kita beroleh pujian dan bukan pujian sembarang pujian karena pujian ini berasal dari Allah sendiri melalui Yesus Kristus. Nah ini artinya bahwa kita juga harus mengarahkan pujian kita kepada anak-anak kita pada iman mereka dan kita mengarahkan mereka kepada Yesus Kristus.

GS : Nah jadi sebenarnya Allah sendiri memberikan contoh atau teladan bagaimana kita memberikan pujian. Jadi saya rasa perbincangan ini penting sekali Pak Heman, karena kita harus belajar dan membiasakan diri memberikan pujian yang pas kepada anak-anak itu sangat penting untuk perkembangan mereka di kemudian hari. Saya rasa di dalam mereka bermasyarakat dan sebagainya. Terima kasih Pak Heman untuk kesempatan kali ini. Para pendengar sekalian yang setia kami juga mengucapkan banyak terima kasih bahwa Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, Magister Psikologi dalam dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang 'Mmemuji Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



44. Hadiah Buat Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T113B (File MP3 T113B)


Abstrak:

Hadiah perlu diberikan kepada anak namun kita orangtua juga harus pandai-pandai melihat dengan tepat kapan hadiah itu diberikan dan dalam bentuk yang bagaimana.


Ringkasan:

Memberi hadiah tentu baik dan sehat buat hubungan orang tua-anak. Tentu saja memberikan hadiah juga harus memperhitungkan aspek lainnya agar tidak menjadikan anak manja. Kekhawatiran bahwa pemberian hadiah dapat menjadikan anak manja masuk akal, bila hadiah diberikan terlalu banyak atau terlalu mewah atau bersifat manipulatif.

Hubungan antara manja dengan pemberian hadiah ini. Kalau hubungan orang tua-anak bersifat manipulatif, maka kemungkinan hadiah menjadikan anak manja akan semakin besar. Jadi, pemberian hadiah haruslah dijauhkan dari hubungan manipulatif orang tua-anak ini, sehingga betul-betul menjadi pemberian yang bermakna dan berkesan.

Sering terjadi anak tidak puas dengan hadiah yang kita berikan. Mengapa demikian?

  1. Yang sering terjadi adalah keinginan atau harapan anak akan hadiah yang diperolehnya lebih tinggi daripada yang mampu diberikan orang tuanya.

  2. Sering kali orang tua terlalu cepat memberikan hadiah yang belum saatnya diberikan kepada anak.

  3. Ketidakharmonisan dalam keluarga membuat anak senantiasa kurang puas akan situasi di sekitarnya.

Yang dapat kita lakukan untuk mencegah ketidakpuasan anak

  1. Kita perlu mendidik anak agar mereka tidak menggerutu atas hidup yang telah Tuhan karuniakan. Bila anak belajar puas atas apa yang Tuhan telah karuniakan, mereka akan lebih mudah terpuaskan oleh keterbatasan orang tua memberi hadiah.

  2. Berilah hadiah yang menarik dan membawa manfaat.

  3. Berikan hadiah itu dengan sukacita. Sering kali yang lebih dibutuhkan oleh anak adalah perasaan sukacita dan kebersamaan itu, dan itu lebih penting artinya daripada hadiah itu sendiri.

Fungsi hadiah dalam kaitannya dengan mendidik anak. Bila hadiah diberikan dalam suasana hubungan orang tua-anak yang baik dan akrab tanpa tendensi manipulatif, hadiah akan memperlihatkan bagaimana perhatian orang tua secara khusus kepada anak dan bahwa anak itu berharga di mata orang tuanya.

Pemberian hadiah justru menyebabkan anak berperilaku buruk:

  1. Ketika efek dari hadiah itu merusak perkembangan anak, misalnya dengan memberikan senapan angin kepada anak di bawah usia remaja dan sebagainya.

  2. Bila hadiah terlalu sering diberikan dan terlalu mudah bagi anak memperoleh hadiah, karena dalam keadaan demikian, hadiah tidak lagi berguna dan cenderung disia-siakan.

  3. Bila orang tua memberi hadiah tanpa hati, maksudnya untuk menggantikan kehadiran dan perhatian orang tua kepada mereka, maka anak akan merasa kecewa dan memandang dengan rasa pahit hadiah yang diberikan orang tuanya.

Hadiah itu tidak perlu yang mahal, asal dikemas dan dirancang dengan hati-hati. Juga gunakan aktivitas sebagai salah satu bentuk hadiah bagi anak. Dalam hal ini misalnya berekreasi bersama ke pantai atau gunung atau jalan-jalan, dan sebagainya.

Filipi 4:13-14 , "Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, Magister Psikologi dalam acara ini dan kami akan berbincang-bincang tentang "Hadiah buat Anak". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, kita sebagai orang tua kadang-kadang memberikan hadiah kepada anak, sesuatu yang tidak lazim kita berikan sebagai pemberian tetapi suatu saat itu kita berikan kepada dia. Tetapi juga tidak jarang pemberian hadiah itu disalahartikan oleh anak. Sebenarnya apakah kita boleh memberikan hadiah atau tidak perlu memberikan hadiah atau paling tidak bagaimana supaya jangan pemberian kita itu ditanggapi secara negatif, atau berdampak negatif Pak?

HE : Pertanyaannya apakah hadiah itu sebaiknya kita berikan atau tidak, perlu atau tidak. Boleh saya katakan bahwa pemberian hadiah ini perlu, karena kita saja sebagai orang dewasa mungkin adaklanya masih berkesan di dalam ingatan kita hadiah yang diberikan oleh orang tua kita kepada kita.

Meskipun mungkin hadiah yang berkesan bagi kita itu sudah dilupakan atau orang tua kita sendiri yang memberikan hadiah itu sudah tidak ingat lagi apa yang mereka pernah berikan kepada kita. Jadi hadiah itu perlu diberikan, nah masalahnya memang kadang-kadang hadiah bisa menyebabkan akibat-akibat yang negatif, selain juga yang positif.
GS : Kalau kita berbicara tentang hadiah itu biasanya dikaitkan dengan prestasi. Tapi biasanya yang kita berikan itu hadiah waktu ulang tahun, kalau naik kelas itu 'kan suatu prestasi, tetapi seperti ulang tahun itu tidak ada prestasi, apa kemudian kita berikan hadiahnya nah itu bagaimana Pak?

HE : Memang hadiah ada beberapa jenis kalau kita mau golong-golongkan ke dalam moment-moment seperti itu. Bisa berdasarkan prestasi, bisa berdasarkan sesuatu yang kita sukai kemudian mereka lakkan dan kemudian kita berikan hadiah dan juga moment-moment tertentu misalkan hari natal, ulang tahun dan sebagainya.

Dan ini boleh saja dilakukan, dengan adanya hadiah pada hari ulang tahun anak juga akan merasa bangga, merasa senang, merasa ulang tahunnya atau kehadirannya di dunia ini dihargai. Dia juga mungkin mendapatkan doa-doa pada hari ulang tahunnya, dengan demikian dia punya asosiasi yang baik yang menyenangkan antara hari kelahirannya dengan hadiah-hadiah yang mereka peroleh.
GS : Tapi kadang-kadang juga tidak menyangkut langsung dengan anak itu misalkan katakan orang tuanya baru mendapat bonus dari tempat dia bekerja, nah lalu ada pendapatan ekstra yang sebagian disisihkan untuk dibelikan hadiah kepada anaknya, nah itu 'kan anak tidak terkait apa-apa Pak sebenarnya?

HE : Paling tidak ini memberikan anak suatu persepsi bahwa ada sukacita, berkat tersendiri yang diperoleh orang tuanya dan anak boleh turut menikmati bersama-sama orang tua. Dan ini juga akan mmbuat hubungan orang tua dengan anak juga bisa semakin erat atau semakin akrab.

(1) GS : Nah apakah ada kaitannya pemberian hadiah itu dengan kemanjaan anak itu?

HE : Kalau tentang manja nah ini tergantung bagaimana kita memberikan atau bagaimana kita memberikan hadiah itu dan apa hadiah yang kita berikan. Kalau misalnya itu terlalu mewah dan terlalu seing itu menjadi terlalu mewah maka ini juga bisa menyebabkan tuntutan anak kadang-kadang semakin tidak masuk akal.

Dan selain itu pemberian hadiah itu juga jangan bersifat manipulatif.
GS : Contohnya bagaimana Pak?

HE : Misalnya yang manipulatif ini adalah kalau misalnya anak merengek minta sesuatu misalnya yang belum waktunya dia miliki atau misalnya yang kurang sehat yang dia inginkan. Sebagai contoh di minta sepeda motor pada hal usianya baru 12 tahun.

Dan kalau orang tua ini tidak tahan dengan rengekan anak dan kemudian membelikan SIM dengan usia yang palsu, dengan memberikan motor kepada dia selanjutnya pola ini akan berulang. Selain rengekannya dan perilakunya yang menjengkelkan ini akan berulang anak juga cenderung memaksakan kehendaknya, tidak mau tahu keadaan orang tuanya, dan merasa segalanya gampang diperoleh sehingga dia akan terus mengulang perilaku-perilaku demikian.
GS : Juga kadang-kadang menimbulkan anggapan bahwa hadiah yang diberikan itu memang menjadi hak dia. Jadi seperti pada ulang tahun tadi, dia tidak peduli orang tuanya mempunyai uang atau tidak tapi ulang tahun mesti ada hadiah buat dia, nah itu bagaimana?

HE : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi kalau misalnya anak-anak dibiasakan dengan hadiah-hadiah seperti ini maka anak-anak merasa ini menjadi haknya dan dia menuntut. Kalau tuntutannya tidak dipenhi anak akan ngambek dan mungkin menjadi perilaku yang memberontak, berperilaku yang tidak kita inginkan.

GS : Nah bagaimana kita menjelaskan itu kepada anak-anak kita Pak?

HE : Yang pertama kita perlu mencoba untuk meletakkan anak pada porsinya. Artinya begini jangan sampai kita memberikan anak terlalu cepat, terlalu cepat ke arah hadiah yang terlalu mewah buat aak.

Sesuatu yang mepet atau hampir tidak mungkin kita jangkau sehingga akhirnya ketika kita mau memberikan hadiah itu sedikit kurang dari itu atau kita tidak mampu lagi memberikan hadiah yang lebih tinggi dari itu, anak akan merasa tidak puas. Nah ini harus kita jaga supaya anak itu merasa puas dengan hadiah-hadiah yang kita berikan, nah itu yang perlu kita perhatikan. Misalnya saja kalau anak menuntut dia diberikan mobil-mobilan yang mahal, yang bisa dijalankan di jalan raya, padahal kita juga belum mampu, kita juga kuatir akan keselamatan anak, nah sebaiknya kita tidak memberikan itu. Tetapi kita mulai dari hal-hal yang lebih kecil, lebih kreatif dan lebih mudah dijangkau sehingga anak-anak mempunyai rasa puas ketika hadiah itu diberikan dan anak tidak perlu menuntut. Yang kedua kita juga perlu mengajarkan kepada anak suatu rasa syukur, rasa berkecukupan terhadap apa yang kita miliki sekarang ini dan itu perlu diciptakan dalam suasana keluarga kita, ada hati yang bersyukur kepada Tuhan atas apa yang sekarang ini kita miliki. Nah saya kira itu dua hal yang penting.
GS : Ada anak yang setelah diberi hadiah oleh orang tuanya, neneknya atau kakeknya itu lalu dia merasa ini bukan hadiah yang dia idamkan begitu Pak, walaupun sama-sama misalkan boneka, tetapi boneka 'kan macam-macam. Boneka yang dia terima dari orang tuanya itu ternyata berbeda dari yang dia idamkan, sehingga dia tidak menghargai lagi pemberian atau hadiah itu. Itu bagaimana Pak?

HE : Kalau anak tidak menghargai atau kurang puas, kita juga tidak bisa melarang mereka untuk tidak puas, jadi kita boleh terima saja rasa tidak puas itu. Yang penting di sini adalah jangan samai anak itu memanipulasi atau gara-gara itu dia mengkambinghitamkan lalu dia tidak mau berbuat yang baik-baik.

Dia sengaja, dia memanipulasi, dia merengek dan seterusnya itu jangan sampai. Jadi rasa tidak puas itu sendiri OK kita terima, tetapi anak perlu juga menerima nenek ini mempunyai suatu maksud baik. Nah ini harus dipahami oleh anak dengan rasa syukur, dengan rasa berterima kasih.
GS : Tapi biasanya anak-anak ini begitu polos lalu dia spontan saja mengatakan ini jelek, ini bukan yang aku mau begitu Pak, sehingga kita sebagai orang tua merasa tidak enak dengan orang tua kita sendiri mungkin Pak.

HE : Ya memang ini perlu diajarkan perlahan-lahan, mengajarkan kepada anak bahwa yang penting itu sering kali bukan apa yang tampak atau apa yang diberikan tetapi dibalik itu adalah suatu hati ang mengasihi.

Memang agak susah karena mereka masih anak-anak yang polos, anak-anak yang cenderung melihat hal-hal yang di luar tetapi kesempatan ini perlu kita tangkap untuk mengajarkan anak-anak suatu hal yang lebih dalam dari itu.
GS : Nah apakah tepat kalau ada orang tua yang berkata ya sudah itu terima saja nanti saya belikan lagi yang sesuai dengan kehendakmu, itu apa tepat Pak?

HE : Saya kira kurang pas karena dengan demikian kita itu memupuk rasa tidak puas dan kalau merasa tidak puas anak berhak menuntut sampai kepuasannya terpenuhi. Masalahnya tingkat kepuasan oran terus meningkat dan tidak ada batasnya, lama-lama kita juga tidak bisa memenuhi tuntutan anak dan ini sekali lagi bisa menjadi hubungan yang manipulatif.

GS : Ya di dalam hubungan manipulatif, kadang-kadang kita sebagai orang tua memanipulasi hadiah dengan misalnya nanti kalau kamu bisa melakukan sesuatu membantu ibu misalnya nanti saya berikan hadiah. Nah kita sebagai orang tua sebenarnya memanipulasi, kita yang menggunakan hadiah itu sebagai iming-iming agar anak itu melakukan sesuatu pada halnya bukan seperti itu Pak?

HE : Tentang hal ini memang kita mesti berhati-hati juga, nah prinsipnya sekali-sekali kalau orang tua menjanjikan sesuatu supaya anak melakukan sesuatu, saya kira tidak apa-apa. Tetapi itu janan sering-sering dilakukan karena akibatnya adalah anak itu seperti mesin, seperti robot, kalau dia tidak mendapatkan sesuatu dia tidak bergerak.

Dia selalu menuntut sesuatu yang baru, dia akan melakukan apa yang kita kehendaki dan itu kurang baik pada akhirnya. Nah lebih baik ketika anak melakukan sesuatu lalu anak tidak mengharapkan, anak juga tidak menuntut tahu-tahu kita berikan hadiah dan hadiah itu juga jangan juga yang terlalu tinggi, yang bisa kita capai. Dengan demikian anak itu juga merasa senang dia dihargai dan dia tidak memaksa orang tuanya untuk memberikan hadiah ketika dia melakukan sesuatu.
GS : Ada orang tua yang mungkin sudah jenuh atau bosan anaknya merengek-rengek terus meminta sesuatu lalu dia menjanjikan bahwa itu akan diberikan nanti. Tapi karena nanti itu tidak ada suatu kepastian, buat si anak juga tidak ada kepastian, orang tua pun juga tidak wajib memberikan sehingga berlarut-larut, itu dampaknya apa Pak?

HE : Dampaknya adalah anak menjadi kurang percaya lagi pada orang tua dan kurang mau berusaha kalau suatu ketika orang tuanya menjanjikan hadiah lagi. Nah akhirnya anak menjadi malas-malasan, aatis.

GS : Tapi orang tua kemudian mengatakan, kamu tidak mengingatkan saya lagi, dipikir sudah tidak membutuhkan itu lagi Pak, memang betul orang tuanya juga lupa atau pura-pura lupa atau bagaimana?

HE : Saya kira orang tua perlu berhati-hati mengingatkan dirinya sendiri dalam hal ini tidak menjanjikan sesuatu yang di luar jangkauan mereka, jadi kalau misalnya sudah janji harus sedapat munkin diusahakan untuk dipenuhi dan dipenuhinya juga tidak terlalu dalam jangka waktu yang terlalu lama, membuat anak itu merasa frustrasi.

Kalau anak merasa frustrasi, merasa orang tua hanya janji-janji saja anak-anak ini juga akan melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan yang kita inginkan.
GS : Ada anak yang beranggapan bahwa hadiah yang diberikan orang tunya itu sebenarnya bukan hadiah, itu sebenarnya sudah menjadi kewajiban bagi orang tua. Misalnya pada hari ulang tahun diberikan baju atau celana atau tas sekolah, nah anak merasa ini bukan hadiah sudah semestinya orang tua saya menyediakan ini. Jadi anak tidak memandang itu sebagai hadiah Pak. Padahal kita sebagia orang tua memberikan itu sebagai hadiah.

HE : Ya supaya anak kita itu merasa bahwa itu hadiah, kita perlu memikirkan tentang hadiah ini yaitu sebaiknya hadiah ini tidak terlalu rutin, sesuatu yang bersifat spesial, yang cukup berguna an yang cukup menarik.

Dipikirkan secara cermat dan kira-kira memenuhi minat anak. Kalau misalnya orang tua itu memberikan hadiah itu menjadi sesuatu yang rutin dan tanpa "hati", "hati" maksudnya tanpa sesuatu kesungguhan di dalam memberikan itu akibatnya memang anak akan merasa itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Tapi kalau itu dipersiapkan dengan hati-hati, kemudian anak itu juga merasa bahwa ini istimewa bagi dia, nah ini akan memberikan kesan tersendiri dalam hati anak. Ini yang memang tidak terlalu mudah tapi itu kita harus bisa usahakan.
GS : Berarti hadiah itu bisa berfungsi atau berperan untuk mendidik anak kita itu?

HE : Ya hadiah sering kali bisa bersifat mendidik anak kita terutama ketika ada perbuatan-perbuatannya yang baik dan kita menghargai mereka. Dan ketika memberikan hadiah kepada mereka seolah-olh begini anak itu berharga di mata orang tuanya.

GS : Dalam hal ini besarnya atau nilai hadiah itu tidak ikut menentukan?

HE : Asalkan begini, asalkan jangan sampai hadiah yang pertama kali diberikan nilainya terlalu besar sehingga kita tidak bisa memberikan sesuatu yang lebih memuaskan lagi dari itu. Jadi sebetulya hal-hal yang sederhana, hadiah-hadiah yang sederhana itu bisa diberikan kepada anak, yang penting di sini sebetulnya bukan "hadiah" itu sendiri di dalam (".......")

tetapi yang lebih penting adalah hati orang tua dan juga kehadiran dan perhatian dari orang tua. Banyak anak-anak yang ketika hadiah itu diberikan merasa biasa-biasa saja atau kadang-kadang ada sesuatu rasa pahit di dalam diri mereka. Bukan karena hadiah itu tidak menarik tetapi karena orang tua itu memberikan dengan suasana hati yang biasa-biasa saja. Orang tua itu jarang di rumah, jarang memperhatikan anak dan memberikan hadiah itu demikian saja, kadang-kadang tanpa bertemu sama sekali, lewat pembantunya atau sopirnya dan sebagainya nah ini akan menimbulkan rasa kecewa. Tetapi kalau hadiah itu diberikan dengan sukacita oleh orang tuanya dan dengan suasana keakraban dengan anaknya, maka sekalipun hadiah ini tidak terlalu mewah akan menjadi sesuatu yang berkesan dan indah bagi anak.
GS : Sebenarnya pemberian hadiah ini apakah masih cocok diberikan kepada anak yang sudah pemuda atau menjelang dewasa Pak?

HE : Ya tentunya adakalanya berguna asalkan kita memberikan yang pas, sebagai contoh buku yang istimewa, itu juga kadang-kadang sebagai hadiah yang sangat berguna bagi anak.

(2) GS : Kalau ada hadiah yang justru menimbulkan dampak yang negatif, itu kenapa Pak?

HE : Karena hadiah-hadiah ini tidak memperhatikan perkembangan anak misalnya, terlalu cepat diberikan kepada anak. Suatu contoh kita memberikan senapan angin karena anak suka main tembak-tembakn, dia suka menembak burung maka kita berikan senapan angin kepada anak-anak yang di bawah usia remaja.

Maka anak-anak ini kemungkinan justru akan menggunakan itu melukai dirinya sendiri atau membahayakan orang lain, ini justru merupakan hadiah yang merusak. Atau misalnya kita memberikan mereka playstasion, sedangkan pelajarannya saja sekarang sudah pas-pasan, mereka sudah ogah-ogahan belajar, begitu diberikan playstasion justru membuat kebiasaan belajar itu semakin buruk, nah ini tentu tidak sesuai dan akan merugikan perkembangan anak.
GS : Berarti ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum kita memberikan hadiah kepada anak itu.

HE : Betul Pak Gunawan, tapi sering kali justru hadiah-hadiah yang sebetulnya tidak terlalu mewah itu cukup berarti bagi anak dan kita sering kali mungkin tidak terpikir bahwa hadiah-hadiah yan sederhana itu juga bisa berguna.

GS : Apakah kalau seorang anak itu sering membicarakan sesuatu, dia menyatakan keinginannya, saya ingin sekali mempunyai ini, apakah itu suatu pertanda bahwa dia ingin kita memberikan hadiah itu kepadanya?

HE : Bisa jadi Pak Gunawan, bisa jadi mereka menginginkan sesuatu itu kita berikan kepada mereka.

GS : Nah itu akan timbul masalah, kadang-kadang kita sebagai orang tua kepenginnya memberikan, tetapi kemampuan kita atau kondisinya belum memungkinkan untuk kita memberikan itu sebagai hadiah Pak?

HE : Ada beberapa cara dalam hal ini, kalau itu masih dalam jangkaun kita misalnya maka kita bisa meminta anak-anak untuk ikut mendoakan. Nah di dalam perhitungan kita, misalkan dalam jangka watu sekian tahun lama kita bisa mengusahakan untuk memberikan hadiah seperti itu, kita boleh minta supaya mereka turut memikirkan dan mendoakan dan kita lihat itu pantas misalnya.

Tetapi kalau misalnya itu jauh di atas jangkauan kita dan itu tidak mungkin, kita bisa menghibur mereka, kita sebetulnya bisa memberikan kepada mereka hadiah-hadiah alternatif. Banyak hal sederhana sebetulnya yang sudah bisa cukup memuaskan anak kita, misalnya anak-anak kecil itu suka sticker itu sudah merupakan hadiah yang cukup berarti, kartu-kartu bergambar dengan ucapan yang indah-indah, anak-anak ini 'kan suka mengoleksi. Sampai remaja pun ada remaja-remaja yang suka mengoleksi. Kemudian kartu-kartu permainan mungkin juga buku diary di mana anak sudah bisa menulis pengalaman mereka di buku harian, album foto pribadi dan sebagainya. Hal-hal ini sederhana dan tidak terlalu mewah juga.
GS : Kadang kala itu pada waktu ulang tahun atau hari raya natal dan sebagainya ketika ada banyak hadiah yang diterima oleh anak pada waktu yang bersamaan seperti itu, hadiah yang diberikan orang tuanya ternyata itu jauh lebih sederhana dibandingkan dengan hadiah yang diberikan oleh orang tuanya, nah itu apakah membawa suatu dampak negatif Pak?

HE : Bisa ya, bisa tidak, kembali ke rasa puas tadi, rasa tidak puas anak terhadap orang tuanya. Sebetulnya kalau hubungan orang tua dengan anak itu akrab, baik, dan kemudian orang tua pernah mndidik anak-anaknya dengan baik dan itu membuat anak-anak mempunyai perasaan empati pada orang tuanya.

Mereka tahu keterbatasan orang tuanya dan anak-anak ini tahu hati orang tuanya yang mengasihi mereka, mereka akan cukup maklum. Bahkan mereka dengan terharu menerima sesuatu hadiah yang tampak sederhana tetapi mereka tahu bahwa ini adalah jerih payah dan merupakan bentuk perhatian orang tua yang tulus kepada mereka.
GS : Ya ada orang tua itu yang selalu mengingatkan anaknya akan hadiah yang pernah diberikan, padahal itu suatu yang sangat sederhana. Tadi disinggung album, diary yang lama sudah dipakai dan mungkin sudah hilang atau apa tetapi orang tua ini selalu menanyakan mana dulu album yang saya berikan, nah itu bagaimana?

HE : Ya sebaiknya tidak terlalu sering mengulang, soalnya anak akan merasa wah orang tua memberikan ini seolah-olah tidak rela atau terus-menerus mengingatkan itu dan bisa-bisa terselip dalam hbungan yang manipulatif nantinya.

Jadi kalau orang tua memberikan ya terserah anak mau diapakan itu terserah anak.
GS : Ada anak yang setelah menerima hadiah karena dia tidak terlalu suka dengan hadiah itu entah itu dari orang tuanya, entah dari temannya, lalu ketika temannya ulang tahun atau apa itu diberikan lagi kepada temannya yang berulang tahun ini Pak, itu bagaimana Pak?

HE : Dalam hal ini orang tua saya kira tidak perlu sakit hati karena apa yang sudah kita berikan kepada anak, anak mempunyai hak menggunakan itu untuk apa saja. Nah justru di sini orang tua bis semakin kenal dengan anaknya dan melihat apa sebetulnya yang menjadi minat dari anaknya, sehingga lain kali kalau memberikan hadiah bisa lebih pas kepada anaknya.

GS : Tapi dalam hal seperti itu apakah sebaiknya anak itu diajar atau diberitahu toh tidak senang mau diberikan kepada temannya yang lain itu harus beritahu dulu kepada orang tuanya?

HE : Kalau pendapat saya, kalau itu sudah diberikan kepada anak ya terserah anaknya itu mau diapakan karena itu sudah menjadi milik dari anak dan dia berhak, dia punya kebebasan atas miliknya iu.

GS : Itulah sebabnya kadang-kadang sesuatu yang diberikan itu lalu diberi label atau diberi nama yang sukar dihapus itu, maksudnya orang tua supaya tidak bisa diberikan ke orang lain lagi.

HE : Saya kira itu salah satu ide yang baik kalau misalnya orang tua ingin supaya itu eksklusif, itu diberikan hanya kepada anaknya tidak diberikan kepada orang lain.

GS : Nah Pak Heman, di dalam memberikan hadiah ini apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung atau merangkumkan pembicaraan kita ini.

HE : Saya akan membacakan surat rasul Paulus kepada jemaat di Filipi yang ada kaitannya dengan hadiah. Yaitu Filipi 3:13-14 , "Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bawa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus."

Jadi sekali lagi hadiah yang terpenting bagi kita adalah Kristus Yesus adalah suatu panggilan sorgawi dari Allah dan ketika hadiah-hadiah kita itu kita berikan kepada anak kita, kita juga perlu mengingatkan kepada anak-anak kita bahwa ada suatu hadiah yang kita harus kejar seumur hidup kita, kita perjuangkan dan kita lari mengarah kepada apa yang ada di hadapan kita, dan ini haruslah menjadi tujuan kita sehingga kita bisa mengabaikan hal-hal yang lain dalam hidup ini.
GS : Saya percaya sekali bahwa memang pemberian hadiah ini perlu kita tekankan kepada anak-anak kita nilai dari pada hadiah itu sendiri Pak, jadi bukan dalam bentuk materinya tetapi mutunya seperti yang tadi kita baca di sini bahwa Allah sendiri memberikan hadiah yang sangat mahal, saya rasa itu yang sangat bernilai dan yang tidak bisa dinilai yaitu pengorbanan Tuhan Yesus sendiri untuk kita.

HE : Saya setuju sekali Pak Gunawan.

GS : Jadi di tengah-tengah obral hadiah di mana anak bisa melihat hadiah itu diberikan dengan begitu gampangnya lewat berbagai macam media, saya rasa kita perlu memberikan pengertian yang mendalam tentang hadiah ini. Jadi saya percaya sekali perbincangan ini sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan Pak Heman kami ucapkan terima kasih Bapak telah bersama kami pada acara Telaga di dalam kali ini kita berbincang-bincang tentang memberi hadiah khususnya kepada anak-anak. Dan Anda sekalian kami ucapkan banyak terima kasih Anda telah setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi., seorang pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Nah bagi Anda yang masih berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Anda dapat mengalamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



45. Orangtua Over Protective


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T119A (File MP3 T119A)


Abstrak:

Over-protective adalah sikap orang tua yang terlalu memberikan perlindungan kepada anak sehingga anak terbatasi. Atau perlindungan itu diberikan secara berlebihan yang menyebabkan anak terhambat perkembangannya.


Ringkasan:

Over-protective adalah sikap orang tua yang terlalu memberikan perlindungan kepada anak sehingga anak terbatasi. Atau perlindungan itu diberikan secara berlebihan yang menyebabkan anak terhambat perkembangannya.

Dampak negatif yang ditimbulkan dari orang tua yang bersifat over-protective adalah:

  1. Anak tidak berani melakukan apapun, kecuali dia mendapat izin dari orang tuanya.

  2. Kecenderungan anak menjadi sangat pasif dan menjadi merasa takut yang berlebihan.

Tanda-tanda dini bahwa anak itu sudah mendapat perlindungan yang berlebihan adalah:

  1. Kalau mereka tumbuh makin besar tetapi justru tumbuh semakin pasif, semakin penakut, sering melakukan aktifitas secara sembunyi-sembunyi.

  2. Anak-anak mengabaikan larangan karena mereka sudah bosan dengan larangan-larangan dan anak-anak meski tanpa seizin kita mereka melakukan sesuatu di luar pengetahuan kita.

  3. Misalnya anak-anak seusianya sudah bisa lakukan sesuatu tetapi mereka belum bisa.

Mazmur 127:3 , "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah."

Anak-anak adalah milik pusaka Tuhan itu artinya Tuhan juga yang akan memelihara dan menjaga anak kita, jadi kenapa kita tidak menyerahkan anak-anak kita dan masa depannya kepada Tuhan? Menyerahkan kepada Tuhan berarti kita melakukan tanggung jawab kita, mendidik, membesarkan mereka karena mereka adalah milik pusaka Tuhan, tetapi kita tidak terlalu mengawatirkan mereka sehingga melindungi mereka secara berlebihan.


Transkrip:

Saudara-daudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Orang Tua Over-protective", kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman sebenarnya yang disebut over-protective itu seperti apa Pak?

HE : Over-protective itu terjadi kalau misalnya dalam mendidik anak, orang tua terlalu banyak memberikan perlindungan kepada anaknya sehingga akhirnya anaknya itu terbatasi.

GS : Tapi bukankah setiap orang tua itu secara naluri akan melindungi anak-anaknya?

HE : Ya betul, di dalam hal ini kalau misalnya perlindungan ini diberikan secara wajar dan pas, maka anak-anak akan mendapatkan manfaat dari perlindungan ini. Jadi anak-anak dapat berkembang mekipun dilindungi.

Masalahnya terjadi pada over-protective, perlindungan itu diberikan secara berlebihan, menyebabkan anak terhambat perkembangannya.
GS : Mungkin Pak Heman bisa memberikan contoh yang disebut berlebihan itu seperti apa Pak?

HE : Berlebihan itu kalau melihat tanda-tandanya, misalnya sebetulnya anak itu sudah bisa melakukan beberapa hal sendiri. Memakai sepatu sendiri, mungkin ke sekolah sendiri tanpa perlu diantar rang tua dsb.

Tetapi pada saat anak bisa melakukan itu mereka tidak diberikan kesempatan karena orang tua beranggapan wah....ini akan ada banyak bahayanya kalau anak dibiarkan melakukan itu sendiri. Sehingga banyak sekali aktifitas atau kegiatan yang anak bisa lakukan sendiri itu menjadi tidak bisa dilakukannya dan itu mengakibatkan anak menerima perlindungan yang berlebihan.

ET : Dalam kenyataannya bukankah dunia kita ini juga semakin lama semakin tidak aman Pak Heman, bukankah rasanya wajar kalau orang tua kemudian khawatir. Misalnya seperti anak pergi ke sekolah, dibandingkan zaman kita waktu kita kecil kita bisa pergi sekolah sendiri sekarang mungkin malah lebih banyak bahayanya, bagaimana dengan hal ini Pak Heman?

HE : Ini wajar sekali, dan saya kira perlu adanya perlindungan maupun larangan-larangan tertentu. Nah tetapi ini juga menyangkut kebanyakan anak karena kurangnya pengalaman dan perkembangan, meeka belum mampu melihat dan membedakan bahaya dengan peristiwa yang tidak berbahaya.

Salah satu contoh misalnya kita perlu melarang atau mencegah anak-anak bermain dengan pisau waktu mereka masih sangat muda, lalu mereka misalnya lari ke jalan raya begitu saja, mereka loncat dari ketinggian dan bahaya-bahaya ini mereka belum tentu tahu. Nah di dalam hal ini kita memang perlu memberikan perlindungan kepada mereka dan seperti contoh tadi misalnya ke sekolah dan akan menghadapi bahaya-bahaya. Nah masalah kita adalah bagaimana memberikan perlindungan tetapi di lain pihak kita tidak sampai terlalu khawatir, terlalu takut sehingga anak menjadi tidak berkembang, baik keberaniaannya maupun inisiatifnya.
(2) GS : Biasanya itu diwujudkan dalam bentuk larangan-larangan Pak, tidak boleh itu, tidak boleh ini dsb. Nah apakah itu mempunyai dampak yang negatif terhadap diri anak?

HE : Ya, kalau terlalu banyak larangan itu juga salah satu bentuk dari orang tua yang over-protective, akhirnya anak-anak tidak berani melakukan apapun itu salah satu dampaknya. Kecuali kalau da mendapat izin dari orang tuanya, nah anak-anak demikian biasanya menjadi sangat pasif dan menjadi merasa takut berlebihan.

Kadang-kadang orang tua itu di dalam memberikan perlindungannya sambil melarang mereka, memberitahukan hal-hal yang ngeri-ngeri sehingga anak-anak menjadi ketakutan berlebihan terhadap benda-benda dan orang lain. Nah ini memang satu masalah bagi kita supaya kita tetap memberikan larangan tetapi supaya kita juga bisa menciptakan kehati-hatian yang wajar kepada anak dengan tetap memberi ruang kepada anak untuk mengembangkan kemandirian mereka, ini seninya.
GS : Yang Bapak maksudkan berlebihan, takut dalam suasana seperti apa Pak misalnya?

HE : Misalnya sampai anak melihat orang asing, nah ketika masih kecil anak-anak dikatakan harus hati-hati nanti kamu bisa diculik dsb. Nah akhirnya anak-anak melihat setiap orang yang belum diknalnya akan ketakutan dan bergantung begitu banyak kepada orang tuanya.

Kalau tidak berjalan bersama orang tuanya mereka tidak berani, apalagi nantinya suatu saat mereka harus pergi sendiri. Di samping itu dengan banyaknya bantuan orang tua mereka misalnya takut pergi sendiri membeli barang-barang tertentu. Takut dibohongi, takut kemahalan dan banyak ketakutan-ketakutan lain yang mungkin tidak wajar bagi anak seusia mereka.
GS : Kalau ini Pak, saya pernah melihat ada anak yang sampai kelas VI SD itu selalu diantar oleh ibunya, ibunya itu menunggu sampai anak itu masuk ke kelas. Apakah itu salah satu bentuk over-protective?

HE : Ya betul, karena kalau kita bandingkan dengan anak-anak seusianya sebagian terbesar dari anak-anak usia kelas VI mereka sudah bisa ke sekolah sendiri bahkan naik kendaraan umum sendiri, keudian mereka menyiapkan apa yang harus mereka pelajari pada hari itu dsb mereka bisa lakukan sendiri.

Nah kalau misalnya di usia seperti itu mereka masih di antar sampai masuk kelas, nah ini tentu agak berlebihan.
GS : Tetapi kelihatannya Pak, ibunya ini memang menikmati melakukan itu setiap hari.

HE : Nah ini biasanya yang menjadi masalah orang tua bukan anak pertama-tamanya, tetapi di kemudian hari menghambat masa depan perkembangan dari anak, ini masalahnya.

ET : Saya tertarik dengan penyataan Pak Heman tadi tentang menakut-nakuti, melarang karena takut ini, takut itu. Tapi dalam kenyataannya memang ada sisi-sisi tertentu yang anak perlu diberitahumisalnya seperti contoh supaya tidak sampai lari ke jalan raya, membawa pisau.

Jadi dalam hal ini batasan melarang tapi jangan sampai terlalu over-protective itu bagaimana Pak Heman?

HE : Kita harus perhatikan benar-benar usia perkembangan anak dan pemahaman mereka. Nah kalau misalnya usia balita, mereka belum tahu pisau itu bisa melukai dan kalau pun diberitahu terutama ank-anak di bawah 3 tahun misalnya diberitahu sekalipun, mereka belum tahu akan bahayanya.

kita harus mencegah, melarang. Kalau misalnya pencegahan atau larangan itu kita anggap kurang efektif kita harus melakukan tindakan-tindakan. Jadi misalnya kita harus mengusahakan benda-benda tajam seperti itu tidak bisa dijangkau dengan mudah oleh anak. Dan kemudian kalau misalnya masalahnya lari ke jalan raya, kita harus beritahukan kepada mereka dengan misalnya juga melakukan pencegahan. Pintu tidak sembarang terbuka dan anak juga diberitahukan bisa lewat cerita dsb. Dan cerita-cerita itu tidak harus menyeramkan, dalam hal ini saya menyarankan supaya pemberitahuan itu bentuknya lebih bersifat umum jadi bukan detail. Kalau kita terlalu mendetail sampai misalnya kita bilang: "Hati-hati lho kamu, kalau ke jalan raya kamu bisa ditabrak mobil, nanti badanmu hancur berkeping-keping, darah berceceran," dsb sampai menggambarkan dengan sebegitu ngerinya, saya kira itu akan juga nantinya menimbulkan ketakutan berlebihan kepada anak. Dan itu rasanya tidak perlu. Secara umum saja kita katakan bahwa bahaya kalau kamu sampai tertabrak dan kamu bisa cacat, nah kamu pernah melihat tidak orang yang cacat dsb, seperti itu cukup.
GS : Jadi sebenarnya memang masalah orang tua ini adalah memberikan larangan, rupa-rupanya ada semacam itu Pak. Mungkin Pak Heman bisa memberikan kepada kami itu pedoman apa yang harus kita perhatikan di dalam kita itu memberikan larangan-larangan terhadap anak supaya tidak over-protective?

HE : Ya larangan-larangan itu yang pertama tentu saja sebagaimana yang saya tadi jelaskan memperhatikan usianya. Jadi dengan memperhatikan usianya ini kita melihat apakah anak sudah mampu melakkan hal itu dan bisa bertanggung jawab atas hal itu.

Kalau mereka misalnya sudah kita rasakan seharusnya anak usia sebegitu dia harus belajar untuk itu, maka kita lakukan saja pencegahan bukan dalam bentuk larangan. Pencegahan itu bisa dalam bentuk misalnya mereka belajar memanjat kita siapkan tempat-tempat yang aman di mana mereka bisa memanjat. Jadi itu juga sekaligus sebagai alternatif bagi anak, kalau misalnya yang dilarang memanjat tiang listrik, takut mereka kesetrum dan sebagainya. Nah mereka bisa disiapkan tempat di mana mereka boleh memanjat dengan bebas, suatu tempat yang tidak berbahaya bagi mereka. Nah mungkin hal lain lagi yang perlu diperhatikan adalah dalam hal pencegahan ini lebih penting pada larangan-larangan. Nah ini yang kita perlu fokuskan lebih banyak yaitu bagaimana mencegah mereka dari kecelakaan.
GS : Ya sering kali ada kecelakaan yang terjadi, di mana ibu itu sedang memasak air, lalu tanpa sepengetahuan dia air itu tumpah ke diri anaknya atau bahkan minyak Pak Heman. Nah dalam hal itu sebenarnya ibu ini bisa mengantisipasi jangan sampai terjadi peristiwa itu, bagaimana Pak?

HE : Nah itu yang saya tadi maksudkan dengan salah satu pencegahan. Jadi misalnya kalau kita sudah tahu bahwa anak ini suka iseng dan suka mencoba-coba dan dia belum tahu bahaya, salah satu penegahan adalah kalau memasak di tempat yang tertutup dan anak diawasi dengan orang lain misalnya.

Untuk pencegahan lain kita mengusahakan supaya tempat-tempat masak itu tidak atau sulit dijangkau oleh anak.
GS : Atau kadang-kadang memasukkan paku atau logam yang lain ke colokan listrik itu Pak sehingga dia kesetrum.

HE : Ya betul, nah seperti itu kita bisa memasang colokan-colokan yang sulit untuk dimainkan oleh anak-anak. Yang tertutup dan tutupnya itu pun harus dengan kalau misalnya kita mau memasang colkan harus diputar dsb.

Dan juga misalnya begitu terjadi arus pendek langsung misalnya sekringnya memutuskan hubungan listrik. Nah hal-hal seperti itu bisa dilakukan sebagai pencegahan. Salah satunya lagi misalnya dengan membuat tempat colokan itu tidak di bawah atau dekat dengan lantai tapi di dinding agak tinggi.

ET : Jadi dalam hal ini orang tualah yang memegang peranan untuk mencegahnya Pak Heman ya? Tapi kadang-kadang ada situasi-situasi tertentu misalnya anak-anak yang memang lebih lemah dari pada sudara-saudaranya sehingga orang tua juga tanpa sadar melindungi anak yang lebih lemah ini.

Mungkin misalnya sakit-sakitan jadi lebih banyak larangan juga. Dalam hal ini batasannya bagaimana Pak?

HE : Kita perlu beritahukan kepada dia anak yang lemah ini bahwa dia mempunyai kelemahan di dalam hal ini dan setiap orang juga mempunyai kelemahan tertentu. Dan untuk kelemahan ini memang kamumisalnya tidak bisa melakukan hal seperti ini, seperti ini, dia boleh melakukan hal ini dan sebagainya.

Nah di lain pihak kita juga memfokuskan kepada kekuatannya jadi kita katakan bahwa kamu juga mempunyai kekuatan dalam hal ini misalnya atau bakat tertentu menyanyi atau apa nah itu kita kembangkan ke sana. Nah memang di satu sisi orang tua secara naluriah akan timbul rasa khawatir bahwa anak ini kalau misalnya menghadapi situasi tertentu dia akan sakit atau apa. Nah tetapi kita perlu melatih anak itu supaya dia sendiri akhirnya lebih kuat dan itu saya kira adalah salah satu bentuk pencegahan yang lebih baik daripada perlindungan berlebihan. Sebagai contoh ada anak-anak yang asma, nah anak-anak yang asma ini tentu lemah kalau dia makan apa, atau kena debu atau apa nah dia lemah. Lebih baik kita tidak melindunginya sedemikian rupa dia tidak boleh ke mana-mana dsb tetapi melatih dia supaya dia lebih kuat. Salah satunya adalah dengan memberikan latihan renang dan kemudian melatih untuk secara bertahap dia menghadapi situasi-situasi yang menimbulkan alergi tetapi secara bertahap perlahan-lahan. Dengan perlahan-lahan begitu anak akan lebih kuat sehingga asmanya tidak kumat terlalu sering.

ET : Jadi anak diajak bekerja sama dalam hal ini bukan hanya berupa larangan tetapi mereka dilibatkan.

HE : Betul dan dilatih

(3) ET : Namun sebaliknya, kebalikan dari anak-anak ini adalah anak yang cenderung nekad justru dengan hal-hal yang menyerempet bahaya rasanya memang semakin dikatakan jangan, semakin mereka akn melakukannya.

Apa yang bisa kita lakukan untuk anak-anak yang seperti ini?

HE : Nah ini pertanyaan yang baik dalam hal anak-anak yang lebih nekad begitu dan anak-anak ini kemungkinan kita larang pun mereka akan lebih banyak memberontaknya ini. Boleh mengusahakan untuksedikit bersusah diri tentunya menyediakan alternatif petualangan yang kita izinkan bagi mereka.

Salah satu contoh misalnya mereka suka pergi-pergi begitu ke tempat-tempat yang asing padahal sebetulnya usianya belum mencukupi untuk mereka pergi-pergi sendiri dan mereka pernah tersesat dsb sehingga kita mencarinyasetengah mati. Nah alternatif yang kita bisa berikan misalnya adalah kita mengajak mereka ke tempat rekreasi yang menyediakan ruangan-ruangan dengan petualangan demikian. Mereka mencari jejak, mereka ke sana-ke sini sendiri sambil kita juga mengajarkan apa yang mereka lakukan kalau mereka tersesat. Nah hal-hal seperti ini kalau kita sediakan berarti anak-anak juga menumbuhkan kepercayaan diri untuk melakukan petualangan-petualangan demikian sambil mencegah bahaya.
(4) GS : Pak Heman sebagai orang tua apakah kita itu bisa mengetahui tanda-tanda dini bahwa anak yang kita asuh itu sudah mendapat perlindungan yang berlebihan dari kita itu?

HE : Kalau dari sudut anak itu ada beberapa tanda yaitu kalau misalnya mereka tumbuh makin besar tetapi justru tumbuh semakin pasif, semakin penakut, sering melakukan aktifitas secara sembunyi-embunyi jadi tidak terang-terangan padahal bagi kita juga aktifitas itu bukan sesuatu yang membahayakan atau apa.

Nah kemungkinan kalau anak-anak itu seperti itu kita sudah melakukan tindakan yang over-protective jadi kita harus waspada untuk tanda-tanda seperti ini.
GS : Apa ada tanda-tanda yang lain Pak?

HE : Tanda yang lain misalnya, anak-anak lalu mengabaikan larangan karena mereka sudah bosan dengan larangan-larangan dan anak-anak yang misalnya sebaliknya mereka tanpa izin sudah melakukan seuatu di luar pengetahuan kita dan banyak hal yang misalnya anak-anak seusianya itu sudah bisa lakukan tetapi mereka belum bisa, ini juga sesuatu tanda di mana kita sudah terlalu berlebihan melindungi anak.

GS : Ya, saya pernah menjumpai anak dari salah seorang teman saya itu yang mengeluh kepada orang tuanya karena dia merasa malu, misalnya itu tadi Pak diantar ke sekolah, lalu dibawakan makanan, dibawakan minuman dia sendiri merasa malu dan itu dia keluhkan ke orang tuanya. Apa itu juga salah satu tanda bahwa orang tuanya melakukan perlindungan yang terlalu berlebihan?

HE : Betul, ya hanya saja kita perlu melihat konteksnya juga, ada anak-anak remaja merasa malu untuk berdekatan dengan orang tua itu memang sesuatu yang wajar dan naluriah. Jadi untuk anak remaa kita tidak terlalu bisa menerapkan patokan ini, karena baik over-protective maupun tidak, anak-anak remaja memang cenderung malu kelihatan bersama orang tua.

GS : Ya ada pengalaman dari orang tua, karena anak yang pertama itu meninggal Pak lalu dia memberikan perhatian yang sangat besar kepada anaknya yang kedua. Dan dia juga khawatir bahwa peristiwa yang kurang menyenangkan itu berulang kembali Pak. Jadi ini memang dari sisi orang tuanya.

HE : Ya dan ini adalah suatu bentuk kekhawatiran yang berlebihan yang akan menyebabkan tindakan over-protective dari orang tua. Nah di dalam hal ini kita harus berusaha meyakinkan diri bahwa ank-anak kita itu bukan saja, kita tidak bisa melihat anak kita setiap saat dan kita tidak bisa melindungi dan menjaga mereka setiap saat.

Pada suatu ketika nanti mereka harus mengahadapi tantangan dan bahaya-bahaya sendiri. Jadi lebih baik melatih mereka untuk menghadapi bahaya dan tantangan daripada melindungi mereka dan terus-menerus menjaga mereka.
GS : Pak Heman apakah ada ayat Alkitab yang sesuai untuk pembicaraan ini Pak?

HE : Saya ingin membacakan dari Mazmur 127:3 , "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah." Point saya adalah i sini dikatakan bahwa anak-anak adalah milik pusaka dari Tuhan itu artinya Tuhan juga akan memelihara dan menjaga anak kita jadi kenapa kita tidak menyerahkan anak-anak kita dan masa depannya kepada Tuhan.

GS : Menyerahkan itu di dalam arti kata bagaimana Pak?

HE : Menyerahkan di dalam arti kita melakukan tanggung jawab kita, mendidik, membesarkan mereka karena mereka adalah milik pusaka Tuhan. Tetapi kita tidak terlalu mengawatirkan mereka sehingga elindungi mereka secara berlebihan.

GS : Ya, jadi seolah-olah kita mau melampaui apa yang Tuhan bisa lakukan Pak. Bagaimana dengan kalau kita memberikan kepercayaan kepada anak itu Pak?

HE : Ya memberikan kepercayaan kepada anak, ini akan ada topik tersendiri yang akan membahas tentang ini dan secara singkat ini memang suatu bagian kita melatih diri kita dan mengukur supaya kia tidak bertindak secara over-protective.

GS : Ya Pak Heman, saya rasa pembicaraan ini sangat menarik dan tentu akan sangat bermanfaat khususnya bagi orang tua yang memiliki anak-anak balita maupun anak-anak remaja. Jadi karena kesempatan ini terbatas memang mungkin pada kesempatan yang lain kita akan membahas dengan lebih detail lagi. Namun para pendengar sekalian kami dari studio mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda. Anda baru saja mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Orang Tua Over-protective". Bagi anda yang berminat untuk mengetahui acara ini lebih lanjut kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



46. Memberi Kepercayaan Kepada Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T119B (File MP3 T119B)


Abstrak:

Memberikan perlindungan pada anak adalah hal yang wajar, tapi jangan sampai itu mengambil alih apa yang seharusnya anak kerjakan, kita perlu juga memberikan kepercayaan lebih banyak kepada anak supaya anak juga bisa mengembangkan dirinya.


Ringkasan:

Kata kunci: kekuatiran, memberikan kepercayaan

Sumber-sumber kekuatiran orang tua terhadap anak sehingga kurang bisa memberikan kepercayaan kepada anak adalah:

  1. Orang tua cenderung kuatir sejak muda mereka maka mereka akan menyebarkan benih-benih kekuatiran itu di sekeliling mereka.
  2. Orang tua mempunyai pengalaman-pengalaman tertentu misalnya salah satunya anaknya meninggal, maka dia akan melakukan perlindungan berlebihan kepada anak yang lain. Atau punya anak yang mengalami kecelakaan atau anak yang lahir cacar itu seringkali menyebabkan kekuatiran berlebihan.

Dampak kekuatiran orang tua terhadap anak adalah:

  1. Orang tua sangat tidak mempercayai anak dan tidak memberikan peluang bagi anak melakukan sendiri apa yang seharusnya menjadi bagiannya. Mengakibatkan anak juga penuh kekuatiran.
  2. Anak akan memberontak dan melakukan berbagai hal yang dilarang secara sembunyi-sembunyi atau pun terang-terangan. Baik sebagai pemberontakan atau sebagai pelampiasan rasa jengkel karena dia selalu tidak dipercayai, selalu dicurigai.

Yang perlu diperhatikan orangtua di dalam memberikan kepercayaan kepada anak-anak: * Kepercayaan yang besar itu harus dibangun dari kepercayaan yang kecil-kecil lebih dahulu, dibangun secara bertahap. Misalnya kalau anak mau keluar malam, kita sendiri tidak pernah mendidik mereka tentang apa yang boleh, apa yang harus dilakukan kalau mereka sendirian, kalau mereka keluar malah ya kita jangan seketika juga memberikan kebebasan sebesar itu.

Matius 25 : 23,
" Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu."


Transkrip:

Saudara-daudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Memberi Kepercayaan Kepada Anak", kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, pada kesempatan yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang orang tua yang terlalu melindungi anaknya, over-protective terhadap anaknya dengan segala akibat-akibat yang negatif tentunya pada anak, tetapi di sisi yang lain yang menjadi masalah bagi orang tua adalah memberi kepercayaaan atau melepaskan anaknya di tengah-tengah kondisi yang sangat berbahaya, lingkungan yang sangat berbahaya ini Pak Heman. Nah apakah sebenarnya salah kalau orang tua merasa was-was atau sangat hati-hati di dalam memberikan kepercayaan kepada anaknya?

HE : Tentu saja tidak dan ini wajar, memang merupakan naluri bagi setiap orang tua yang baik untuk melakukan perlindungan atau mungkin satu tindakan. Biasanya orang tua ini ingin berkorban bgi anak-anaknya dan ini adalah tindakan orang tua sebagai martir bagi anak-anaknya.

Tetapi yang kita perlu juga sadari adalah apa yang merupakan hal yang wajar bagi kita itu tidak atau jangan sampai membuat anak kita itu masa depannya tergerogoti, dan kita lalu selalu mengambil alih apa yang seharusnya anak kerjakan. Jadi di dalam hal ini kita perlu memberikan kepercayaan semakin banyak kepada anak untuk supaya anak juga bisa mengembangkan dirinya.
(1) GS : Itu sejak usia berapa biasanya kita mulai bisa memberikan tanggung jawab itu Pak?

HE : Kita melihat tanggung jawab di dalam hal apa, jadi sejak usia mereka di mana mereka bisa melakukan itu sendiri maka kita harus berikan kesempatan itu sebagai satu contoh. Begitu mereka isa berjalan mereka jangan dibantu berlebihan, diberi kepercayaan, diberi kesempatan untuk jatuh misalnya.

Begitu mereka bisa mandi sendiri meskipun mandinya tidak terlalu bersih kita harus berikan kepercayaan kepada mereka untuk mandi sendiri dan sekali-sekali saja kita membantu mereka. Begitu mereka bisa memakai baju sendiri dan seterusnya mereka membuat PR sendiri dan seterusnya sesuai dengan usia mereka.

(2) ET : Dalam kenyataannya ada orang tua atau cukup banyak orang tua yang sulit untuk mulai memberi kepercayaan itu Pak Heman. Mungkin ada berdasarkan pengamatan Pak Heman ada latar belakang tertentu orang tua yang sulit untuk mempercayai anaknya?

HE : Ya ada beberapa orang tua yang sulit melihat anaknya ini menderita dan saya rasa banyak juga orang tua yang seperti ini karena penderitaan anak itu sering dikaitkan oleh orang tua sebagi kegagalan mereka sebagai orang tua.

Jadi kalau melihat anaknya susah, kami ini sebagai orang tua yang salah jadi tidak tega melihat anaknya menderita. Padahal sebetulnya kita semua juga harus menghadapi penderitaan supaya kita bisa bertumbuh lebih matang, lebih dewasa. Dan kemungkinan lain juga adalah ada orang tua tertentu yang mengasihi anaknya sedemikian rupa sehingga seperti yang waktu lalu kita bicarakan yaitu melakukan perlindungan berlebihan terhadap anak-anaknya. Melarang ini, melarang itu mencegah anak melakukan berbagai pengalaman, dan aktifitas dan di dalam hal ini orang tua merasa dirinya ini aman lalu merasa sudah menunaikan tugasnya sebagai orang tua. Nah masalahnya yang paling gampang bagi kita orang tua lakukan adalah kalau kita tidak membolehkan anak melakukan ini dan itu. Dan kalau kita melarang dan melarang begitu dengan sendirinya kita merasa sudah melakukan kewajiban kita sebagai orang tua dan kita bisa melihat dengan lega bahwa anak kita tidak melakukan sesuatu yang kita larang. Tetapi masalahnya adalah akhirnya ini menunjukkan bahwa orang tua yang terlalu protective dan kurang bisa mempercayai anak-anaknya.
GS : Ya kadang-kadang juga orang tua tidak mau repot Pak, dengan memberikan kepercayaan atau tanggung jawab kepada anak itu yang kadang-kadang belum tentu berhasil dengan baik. Jadi daripada repot-repot lebih baik dikerjakan sendiri saja oleh orang tuanya.

HE : Nah itu juga salah satunya bahwa orang tua tidak mau repot, banyak orang tua yang merasa wah ini terlalu banyak pekerjaan ini, terlalu banyak perhatian, terlalu banyak waktu yang harus ikorbankan kalau misalnya anak-anaknya harus diberi kepercayaan, tetapi sembari diberi kepercayaan kita juga harus melakukan kontrol nah itu yang merepotkan.

GS : Ya lagi pula ini Pak, ada pembantu rumah tangga, ada baby sitter dsb yang terus menolong anak itu Pak jadi apa yang sebenarnya bisa dilakukan anak itu diambil alih baik oleh pembantu maupun oleh baby sitter.

HE : Ya ini salah satu masalah juga yang perlu diatasi oleh orang tua, di dalam hal ini orang tua perlu mengajak kerja sama juga baby sitter dan pembantu supaya memberikan ruang dan kepercayan kepada ank-anaknya melakukan berbagai hal secara mandiri.

GS : Ya, nah di dalam hal memberikan kepercayaan Pak Heman, bagaimana kita tahu bahwa anak itu sudah melakukan tanggung jawabnya sesuai yang kita berikan kepercayaan kepadanya.

HE : Ini mau tidak mau harus kita coba, jadi kalau kita melihat bahwa anak-anak sudah seharusnya bisa tidur sendiri misalnya. Maka kita berikan kesempatan kepada mereka untuk tidur sendiri, ita berikan dorongan, kita berikan pujian, dsb.

Kalau misalnya anak-anak belum berhasil untuk pertama kalinya misalnya memakai baju sendiri yang penting mereka senang dan punya dorongan untuk melakukannya maka kita berikan pujian, kita berikan dorongan. Dan ketika mereka bisa bertanggung jawab untuk itu, kita melihat bahwa mereka akhirnya tanpa disuruh pun mereka akan melakukan itu berarti mereka sudah mampu untuk bertanggung jawab dan mengontrol dirinya.

ET : Saya perhatikan adakalanya dalam hal urusan memberi kepercayaan ini juga erat kaitannya dengan orang tua yang mudah khawatir Pak Heman, misalnya jangan-jangan nanti dia jatuh, jangan-jagan nanti dia begini, jadi penuh dengan kekhawatiran.

Sejauh mana hal ini juga bisa menghambat dalam hal unsur memberi kepercayaan ini Pak?

HE : Betul Ibu Esther, ini adalah salah satu ciri orang tua yang sulit memberi kepercayaan kepada anaknya. Orang tua yang cenderung merasa khawatir berlebihan dan sumber-sumber kekhawatiran ni tentunya cukup banyak.

Dan pada umumnya kalau orang tua tidak bisa mengatasi perasaan kekhawatiran ini, kekhawatiran ini menggerogoti dan bisa melumpuhkan baik orang tua maupun anak-anaknya sendiri.

ET : Sumber-sumber yang dimaksud?

HE : Jadi misalnya kalau orang tua itu cenderung khawatir dari sejak muda mereka, maka mereka akan menyebarkan benih-benih kekhawatiran itu di sekeliling mereka. Jadi kadang-kadang orang tuademikian itu orang tuanya sendiri pun begitu.

Terlalu banyak khawatir, dan melarang terlalu banyak, memberikan ancaman terlalu banyak di masa kecil mereka. Kemudian orang tua-orang tua yang terlalu khawatir ini atau cenderung khawatir ini memasukkan apa-apa yang dilihatnya sebagai bahaya, mereka pernah saksikan atau dengar dari media masa dsb. Semakin mengukuhkan membiasakan mereka untuk khawatir. Ada hal lain yaitu sehubungan juga dengan topik kita yang lalu orang tua yang over-protective itu misalnya orang tua yang mempunyai pengalaman-pengalaman tertentu misalnya dengan salah satu anaknya yang meninggal dan kemudian melakukan perlindungan berlebihan kepada anak yang lain. Atau mempunyai anak yang pernah mengalami kecelakaan atau anak yang lahir cacat, itu sering kali menyebabkan kekhawatiran yang berlebihan jangan-jangan pengalaman yang sama akan terjadi lagi. Sehingga kurang bisa memberikan kepercayaan kepada anak-anaknya. Nah hal-hal itu sering kali menimbulkan suatu kekhawatiran berlebihan yang sulit dihilangkan dari orang tua.

(3) ET : Jadi kelihatan sekali bagaimana orang tua itu diperlakukan dulunya itu juga akan mempengaruhi orang tua itu memperlakukan anaknya. Dan tanpa disadari anaknya juga akan menjadi sperti orang tuanya itu tadi yang Pak Heman katakan dengan kekhawatiran.

Mungkin apakah ada dampak lain terhadap perilaku anak kalau memang orang tua yang terlalu khawatir seperti ini Pak Heman?

HE : Ada dua kemungkinan dengan berbagai variasinya. Kemungkinan pertama kalau kita sangat tidak mempercayai anak dan tidak memberikan peluang bagi anak melakukan sendiri apa yang seharusnyamenjadi bagiannya.

Yang pertama anak mungkin akan menurut, akan menaati, tetapi dia tumbuh menjadi orang yang juga penuh kekhawatiran. Sedangkan kemungkinan yang kedua adalah anak akan memberontak dan melakukan berbagai hal yang dilarang secara sembunyi-sembunyi atau pun terang-terangan. Baik sebagai pemberontakan atau sebagai pelampiasan rasa jengkel karena dia selalu tidak dipercayai, selalu dicurigai melakukan ini dan itu di luar pengetahuan orang tuanya.
GS : Biasanya orang tua sering kali berkata jangan kamu salah gunakan kepercayaan yang saya berikan kepadamu, ya itu buat telinga anak kadang-kadang tidak enak seolah-olah orang tuanya tidak percaya dengan dia.

HE : Ya betul, dan kita sebagai orang tua supaya tidak terjebak seperti itu sebaiknya kita lebih mengarahkan ke hal yang positif, artinya begini kita balik bukannya terus memperingati bahwa angan sampai kamu menyalahgunakan kepercayaan ataupun terus mengungkit-ungkit kesalahan anak tentang penyalahgunaan kepercayaan ini.

Sebaliknya kita memfokuskan diri kepada apa yang kita sudah percaya dan mereka lakukan dengan baik. Nah itu menjadi fokus kita sehingga kita bisa katakan wah....sekarang Papa atau mama bisa mempercayai kamu lebih banyak karena kamu memegang kepercayaan yang papa atau mama pernah berikan. Nah itu lebih ditekankan.
GS : Dalam hal memberikan kepercayaan ini Pak, kalau anaknya lebih dari satu, itu kadang-kadang tidak seimbang Pak. Jadi kepada yang sulung mungkin diberikan kepercayaan lebih banyak daripada yang bungsu nah apakah itu akan menimbulkan dampak terhadap diri anak-anak itu baik yang sulung maupun yang bungsu?

HE : Kadang-kadang dari pandangan anak sendiri mereka akan melihat bahwa ini ketidakadilan karena bagi anak-anak, mereka merasa kepercayaan yang diberikan dengan lebih banyak itu berarti kebbasan dan rasa enak yang lebih banyak.

Di dalam hal ini kita bisa menekankan dan mengkaitkan antara kepercayaan dan kebebasan yang kita berikan dengan tanggung jawab dan tuntutan juga yang lebih banyak. Jadi salah satu contoh misalnya sang kakak dipercaya untuk tidur lebih malam misalnya dan kemudian dia juga diberi kepercayaan boleh ke rumah temannya dengan minta izin, yang adik belum boleh ke rumah temannya. Nah kepada sang adik misalnya kalau dia menuntut kita bisa katakan bahwa: "OK! Kamu mau tidur malam boleh, tetapi kamu harus misalnya mengerjakan PR lebih banyak kemudian belajar lebih lama." Nah lihat apakah dia mau menanggung resiko-resiko dan tanggung jawab sebanyak kakaknya ini. biasanya anak lalu bisa menganggap bahwa o......ya ini kalau begitu cukup adil buat saya.
GS : Jadi biasanya memang yang dilihat anak itu hanya sisinya saja, enaknya diberi kepercayaan tapi lupa melihat dari sisi tanggung jawabnya yang besar itu Pak. Tapi secara umum memang bagi anak itu lebih bisa menerima diberi kepercayaan atau kepercayaan itu diambil alih oleh orang tuanya Pak?

HE : Ya anak-anak tentu akan lebih senang kalau mereka diberikan kepercayaan soalnya kalau mereka dipercaya, mereka juga merasa wah saya bisa, saya mampu melakukan ini, saya adalah orang yan pantas untuk dipercaya dan sehat bagi perkembangan anak.

GS : Ya saya rasa orang tua juga perlu memberikan pujian kalau anak itu sudah melakukan tanggung jawabnya dengan baik misalnya disuruh menjaga rumah dsb, tatkala orang tuanya pergi itu 'kan ada semacam kebanggaan bahwa dia dipercaya untuk menjaga rumah yang sedemikian besar dan sebagainya Pak.

HE : Betul dan ini cukup sehat bagi perkembangan mereka.

ET : Dan dalam proses pertumbuhan anak memang mereka sedang belajar untuk dipercaya, belajar untuk bertanggung jawab. Kadang-kadang memang mungkin saja terjadi yang sempat disinggung oleh Pa Gunawan tadi tentang menyalahgunakan tanggung jawab.

Karena memang mereka masih merasa dari sisi enaknya itu tadi wah enak disuruh tinggal di rumah, tapi lupa dengan tanggung jawab yang lain. Dalam hal ini sejauh mana sanksi itu bisa diberikan dalam kaitan juga untuk memberi kepercayaan ini?

HE : Saya kira peraturan tetap perlu ada meskipun kita memberikan kepercayaan kepada mereka selama anak-anak ini masih di bawah asuhan kita, selama anak-anak ini belum dewasa secara penuh. Jdi kalau di dalam hal sanksi, ini sekaligus ditetapkannya di dalam peraturan yang kita berikan.

Jadi misalnya anak-anak diberi kepercayaan boleh keluar malam hari misalnya, nah dengan perjanjian berapa lama atau jam berapa dia boleh pulang. Dan batasannya seperti apa, atau juga misalnya orang tua bisa menetapkan bahwa dia kalau harus terlambat sedikit atau ada masalah atau apa dia harus memberi tahu kepada orang di rumah dsb. Nah pelanggaran terhadap misalnya jam ke luar rumah dsb adalah dengan mencabut sebagian dari kepercayaan yang telah kita berikan. Jadi misalnya kalau tadinya dia boleh keluar sampai jam 08.00 malam sekarang kita batasi hanya boleh sampai jam 07.00 malam. Sampai suatu ketika dia bisa memegang jam 07.00 itu kita baru berikan kembali misalnya batasan sampai jam 08.00 dst. Jadi kita bisa mencoba mencabut sebagian dari kepercayaan yang telah kita berikan kepada mereka.
GS : Berarti ada hal-hal yang kita sebagai orang tua itu perlu perhatikan di dalam kita memberikan kepercayaan kepada anak-anak kita itu supaya tidak disalahgunakan itu Pak.

HE : Ya, sebetulnya ada beberapa hal antara lain misalnya rasa tanggung jawab itu tidak bisa dalam waktu yang singkat, yang seketika kita berikan semuanya kepada mereka. Kepercayaan yang besr itu harus dibangun dari kepercayaan yang kecil-kecil lebih dahulu.

Jadi kalau misalnya soal keluar malam, kalau kita sendiri tidak pernah mendidik mereka tentang apa yang boleh, apa yang harus dilakukan kalau mereka sendirian, kalau mereka keluar malam dsb, ya kita jangan seketika juga memberikan kebebasan sebesar itu. Jadi harus dibangun secara bertahap. Kalau misalnya anak masih sangat muda dan dia belum bisa menguasai dirinya, belajar sendiri nah kita harus bimbing mereka untuk mengetahui strategi belajar dan kemudian bagaimana mereka bisa belajar tanpa diawasi setahap demi setahap sampai suatu ketika OK! Coba kita katakan kamu sudah cukup besar sekarang kamu tidak usah diawasi sepenuhnya. Nah kamu papa berikan kesempatan untuk belajar sendiri. Kalau misalnya nilainya anjlok atau turun baru kita coba bimbing lagi sampai suatu ketika kira-kira rasanya dia sudah bisa kita lepas lagi dst. Dan inilah bahwa kita perlu membangunnya tahap demi tahap, juga ketika anak menunjukkan tanggung jawab kepercayaan harus semakin banyak kita berikan. Kalau kita berikan waktu itu misalnya uang jajan dia Rp. 500 setiap hari sekarang uang sakunya bisa ditambah-sedikit demi sedikit sampai akhirnya mereka boleh membeli barang-barang kesukaan mereka, mereka bisa tentukan sendiri.
GS : Ya apa dampaknya apabila kita sudah memberikan kepercayaan kepada seorang anak itu secara bertahap dan mereka bisa bertanggung jawab atas kepercayaan yang kita berikan?

HE : Ya sehubungan yang tadi Pak Gunawan katakan itu memang betul, kalau kita berikan kepercayaan tahap demi tahap mereka akan menumbuhkan dalam dirinya rasa tanggung jawab. Juga tadi sudah isebutkan bahwa pada diri anak akan tumbuh kepercayaan diri dan inisiatif keberanian untuk mengambil tindakan-tindakan.

Terutama juga kepercayaan diri ini penting sewaktu mereka berhadapan dengan teman-teman sebayanya yang mengajak mereka bertindak amoral atau melakukan berbagai hal yang buruk, mereka bisa dengan berani menolaknya karena mereka bisa membedakan dan mengambil keputusan sendiri. Yang juga anak bisa tumbuhkan adalah sifat atau sikap lebih mandiri, lebih aktif dan lebih inisiatif, ini yang kita harapkan.

ET : Jadi hal ini kalau kita kaitkan dengan yang Pak Heman singgung di awal tentang orang tua itu menjadi martir, mungkin memang akhirnya menjadi martir dalam bentuk melepaskan hal-hal yang emang harus dilepaskan begitu Pak Heman.

Maksudnya belajar untuk menyerahkan kepercayaan supaya justru dengan memberikan kepercayaan itulah orang tua nantinya yang akan mendapatkan kembali keuntungan dari melepaskan atau memberikan kepercayaan itu tadi.

HE : Ya itu kesimpulan yang baik Ibu Esther.

GS : Ya dan sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin ada ayat yang tepat untuk ini Pak Heman.

HE : Saya ingin bacakan dari Matius 25:23 , ini ilustrasi yang diberikan oleh Yesus. "Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan seti, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.

Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." Ya semoga ilustrasi ini menggambarkan bagaimana orang tua dapat membimbing anak-anaknya supaya mereka lebih bertanggung jawab.

GS : Ya jadi kepercayaan itu memang tidak diberikan sekaligus tetapi secara bertahap dan kita sebagai orang tua mesti terus mengamati bagaimana tanggung jawab itu dilakukan oleh anak atau anak-anak kita Pak Heman. Jadi terima kasih sekali Pak Heman dan juga Ibu Esther untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memberi Kepercayaan Kepada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



47. Ibu dan Anak Perempuannya


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T121A (File MP3 T121A)


Abstrak:

Peranan orang tua yang sejenis dalam hal ini ibu sangatlah besar terhadap perkembangan kepribadian anak perempuannya. Dan salah satu hal penting yang dapat diberikan ibu kepada anak perempuannya adalah rasa dikasihi.


Ringkasan:

Peranan orang tua yang sejenis dalam hal ini ibu sangatlah besar terhadap perkembangan kepribadian anak perempuannya.

  1. Kebutuhan pokok anak perempuan yang berkaitan erat dengan peran ibu adalah kebutuhan untuk dikasihi.

  2. Dikasihi oleh ibu merupakan landasan terbentuknya penghargaan diri yang kuat pada diri anak perempuan. Inilah dasar keyakinan diri bahwa ia berarti/bernilai.

  3. Ibu mengkomunikasikan kasih sayangnya kepada anak mulai dari dalam kandungan melalui sikap, perkataan, dan sentuhannya.

  4. Pada masa pertumbuhan, ibu menyatakan kasihnya kepada anak perempuan melalui penerimaannya yang tak bersyarat terhadap kodratnya sebagai wanita. Bagaimana ibu menyikapi kodratnya sendiri sebagai wanita akan mempengaruhi penerimaan diri anak terhadap kodrat kewanitaannya.

  5. Kasih sayang ibu akan menjadi modal anak perempuan untuk mengemban peran sebagai pengasuh atau pemberi kasih-peran yang dikaitkan dengan kewanitaan.

Problem muncul tatkala:

  1. Sejak kecil anak perempuan tidak menerima kasih sayang ibu. Ia akan bertumbuh dengan kekosongan, dengan perasaan tidak berharga, dan cenderung akan mencari perasaan bernilai itu dari sumber lain.

  2. Ia pun akan mencari-cari tempat di mana ia bisa menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang bernilai.

  3. Jika ibu memperlihatkan sikap tidak menerima terhadap kodrat kewanitaannya, ia pun akan mengembangkan sikap bermusuhan terhadap kodrat kewanitaannya.

  4. Penolakan terhadap kodrat kewanitaannya akan berlanjut dengan penolakan terhadap peran yang terkait dengan kewanitaan yakni peran pengasuh atau pemberi kasih.

  5. Pada akhirnya akan timbul konflik batiniah dalam dirinya. Di satu pihak ia sangat membutuhkan kasih dan oleh karenanya ia akan senantiasa mencari-cari kasih. Di pihak lain, ia justru ingin memperlihatkan bahwa ia bernilai dan tidak membutuhkan kasih.

  6. Itu sebabnya kita dapat melihat pada sebagian kasus, mereka menjadi sosok yang menantikan cinta dan mendambakan orang yang bisa menjadikannya berharga. Pada sebagian kasus lainnya, mereka menjadi orang yang sangat mandiri dan membenci kelemahan (salah satunya kewanitaan itu sendiri).

Sebagai pembimbing sekaligus sebagai model, ada hal-hal yang ibu bisa lakukan yaitu:

  1. Si anak harus menerima kasih sayang sejak kecil, harus menerima suatu pelukan, rangkulan tanpa syarat dari ibu.

  2. Si ibu pada masa-masa anak makin besar memang harus lebih berperan sebagai pembimbing, dia tidak bisa lagi terlalu mengguruhi si anak, karena kalau itu yang terjadi si anak akan merasa hubungan yang tidak setimpal.

  3. Lebih seringlah berbicara dan bertanya kepada si anak kalau dia tidak mengerti, sehingga anak merasakan bahwa ibunya tidak menempatkan diri jauh di atasnya.

  4. Jangan terlalu kritis kepada si anak.

Titus 2:3-4 , "Demikian juga perempuan-perempuan yang tua hendaklah mereka...mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi..."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), kali ini akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami kali ini akan memperbincangkan tentang "Ibu dan Anak Perempuannya". Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Paul Paul, kalau kita memperhatikan hubungan anak dengan orang tuanya rasanya memang ada sesuatu yang khas kalau anak itu perempuan dengan ibunya, Pak Paul. Apakah memang ada hubungan yang khas Pak?

PG : Ada Pak Gunawan, jadi meskipun orang tua yang berlawanan jenis mempunyai andil dalam membesarkan anak, tapi orang tua yang sesama jenis dengan si anak ternyata mempunyai peranan yang unik erhadap pertumbuhan atau perkembangan si anak itu.

GS : Apakah itu karena sama-sama emosionalnya atau bagaimana Pak?

PG : Sebetulnya memang ada pengaruh kesamaan ciri-ciri tertentu misalkan kalau anak itu kebetulan memang agak mirip dengan ayahnya, sehingga ayahnya lebih bisa mengerti si anak atau si anak itumirip dengan ibunya, si ibu lebih bisa mengerti si anak.

Tapi sebetulnya peranan orang tua yang sejenis dalam hal ini ibu sangatlah besar terhadap perkembangan kepribadian anak perempuannya.
GS : Tapi yang mula-mula menyadari hal itu, sebenarnya anak itu yang lebih sadar lebih dahulu atau ibunya yang lebih sadar terlebih dahulu Pak Paul?

PG : Sebetulnya kehilangan peranan si ibulah nanti yang akan dirasakan oleh si anak, sering kali si anak tidak begitu menyadari kalau ibunya itu memang terlibat dalam kehidupannya. Waktu si ibutidak terlibat dalam kehidupannya barulah kehilangan itu membuahkan dampak yang dirasakan oleh si anak.

GS : Kalau begitu anak itu tadi merasakan dampaknya, nah bukankah itu tidak bisa disadari kalau anak itu masih bayi sekali itu Pak Paul, sebetulnya pada usia sekitar berapa Pak Paul, si anak baru menyadari atau merasakannya?

PG : Sebetulnya si anak mulai merasakan perlakuan si ibu kepada dirinya sejak masa kandungan. Sudah tentu pada masa kandungan si anak memang belum bisa mencerna secara komprehensif, secara inteektual, apa yang terjadi pada dirinya atau apa itu yang ibunya berikan atau tidak berikan kepada dirinya.

Tapi si anak sebetulnya bisa sedikit banyak mengetahui apakah kelahirannya diingini atau tidak oleh ibunya. Misalnya melalui belaian, melalui suara yang lembut, melalui doa yang ibu panjatkan untuk si anak, hal-hal itu mengkomunikasikan kasih sayang. Sebaliknya si ibu sering marah-marah, si ibu tidak langsung memberikan susu kepada si anak, pada masa si anak itu misalkan usia beberapa bulan, membiarkan si anak dalam kotorannya tidak membersihkannya atau membentak si anak. Hal-hal tersebut mengkomunikasikan bahwa kehadiran si anak itu tidak terlalu diinginkan oleh ibunya. Nah meskipun si anak belum bisa mencerna secara intelektual apa yang terjadi tapi si anak sudah bisa tahu apakah kehadirannya diinginkan atau tidak, oleh ibunya sendiri.
GS : Nah kalau sampai tahap itu sebenarnya anak itu perempuan atau anak itu laki-laki bukankah sama saja, tidak ada bedanya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi pada masa bayi itu boleh dikata baik anak laki-laki ataupun anak perempuan akan menikmati kehadiran si ibu dan akan sama-sama juga menderita kehilangan si ibu kalau si iu itu tidak terlibat dalam kehidupan mereka.

Nah perbedaan jenis kelamin ini barulah menampakan dampaknya sewaktu si anak mulai besar sekitar usia misalnya 4 tahun, 5 tahun, barulah si anak perempuan pada khususnya lebih bisa mendapatkan dampak-dampak baik positif maupun negatif. Kalau si ibu itu misalnya tidak terlibat dalam kehidupannya.
GS : Mungkin ada kebutuhan untuk melihat model itu Pak Paul, karena sama-sama perempuan bukankah itu lebih gampang buat si anak.

PG : Ternyata model itu penting sekali dalam pertumbuhan kepribadian anak perempuan. Dengan dia melihat si ibu dia juga bisa mencontoh bagaimanakah bersikap, berperilaku sebagai seorang wanita.Namun Pak Gunawan, salah satu hal yang penting sekali yang bisa diberikan ibu kepada anak perempuannya ialah rasa dikasihi.

Jadi anak perempuan itu perlu sekali merasakan bahwa dirinya itu dikasihi oleh ibunya. Sudah tentu anak perempuan juga perlu mengetahui bahwa dia dikasihi oleh ayahnya. Tapi ternyata bahwa dia dikasihi oleh ibunya itu akan lebih berdampak di dalam kehidupannya.
GS : Ya, ayah itu juga bisa memberikan kasihnya itu kepada si anak, tetapi apakah anak itu tidak menanggapinya seperti kalau ibunya yang mengasihi dia, Pak Paul?

PG : Ternyata memang ada perbedaannya Pak Gunawan, nanti dalam pertemuan kita berikutnya kita akan menyoroti peranan ayah terhadap pertumbuhan anak perempuannya dan juga kebalikannya peranan ib terhadap pertumbuhan kepribadian anak laki-lakinya.

Tapi apa itu yang disumbangsihkan oleh si ibu kepada si anak perempuan. Yang disumbangsihkan adalah rasa berharga Pak Gunawan, jadi anak perempuan kalau dia menerima kasih sayang dari ibunya dia akan mempunyai anggapan bahwa dirinya bernilai. Kalau dia tidak dikasihi oleh ibunya rasa tidak bernilai itu akan merosot dengan sangat drastis sekali. Nah sudah tentu kita tahu bahwa perasaan bernilai ini adalah modal yang menghantar si anak memasuki kehidupannya di dunia ini. Dia bisa berjalan dengan tegap, dia bisa memiliki kepercayaan diri, dia melihat dirinya itu OK! Itu semua bergantung pada apakah dia merasa dikasihi dan sekali lagi yang penting di sini adalah si anak perempuan mengetahui bahwa ibunya mengasihi dia.
GS : Nah, bagaimana kalau ibunya itu seorang wanita karier yang mesti meninggalkan rumah cukup, Pak Paul?

PG : Sudah tentu hal-hal seperti bekerja atau ada kegiatan di luar rumah akan menyita waktu yang bisa diberikan kepada si anak. Namun tidak mesti hal ini berdampak buruk pada si anak dalam pertmbuhannya.

Sebab di luar jam kerjanya, si ibu tetap masih bisa berinteraksi dengan si anak dan memberikan kasih sayangnya itu kepada dia. Anak perempuan nantinya akan mengemban peran sebagai pemberi kasih atau pengasuh. Nah ternyata kemampuan memberi kasih dipengaruhi sekali oleh apakah si anak perempuan ini pada awalnya mendapatkan kasih dari ibunya, dengan kata lain kalau si anak perempuan ini dari awal tidak menerima kasih dari mamanya sendiri, pada masa dewasanya dia mungkin akan mengalami kesulitan memberikan kasih atau berperan sebagai pengasuh bagi anak-anaknya atau memberikan kasih kepada suaminya. Nah sudah tentu yang terjadi adalah seperti ini prosesnya kira-kira Pak Gunawan, kita ini mengasihi karena kita mempunyai modal kasih dalam hidup kita. Kalau kita tidak menerima modal kasih kita tidak mempunyai kekuatan atau bahan atau modal untuk membagikan kasih itu kepada orang lain. Nah anak perempuan nanti setelah dewasa akan mengemban peran sebagai pemberi kasih, sebagai pengasuh, itu sebabnya penting sekali dari kecil dia sudah membawa modal atau bahan kasih itu sehingga pada usia dewasanya dia bisa memberikan kasih atau asuhan itu kepada orang lain.
GS : Nah, apakah itu tidak bisa diperolah ketika dia misalnya memasuki usia remaja atau pemuda, Pak Paul?

PG : Memang bisa dan akan sedikit banyak menetralisir kehilangan yang seharusnya dia dapat pada masa kecilnya. Tapi sudah tentu yang lebih baik adalah si anak perempuan itu sudah mendapatkan kaih sayang pada masa kecilnya, sebab itulah yang menjadi modal dia memasuki masa remajanya.

Kalau anak perempuan tidak mendapatkan itu Pak Gunawan, yang saya khawatirkan adalah dia akan mencari-cari kasih sayang itu dari luar atau dia akan mencoba membuktikan dirinya sangat mandiri. Dia orang yang tidak bergantung kepada orang lain, tujuannya adalah agar orang bisa menghargai dia. Nah sekali lagi saya ingatkan bahwa dikasihi oleh ibu membuat anak perempuan merasa dirinya bernilai jadi kalau tidak dikasihi dia merasa tidak bernilai. Akibatnya ada sebagian anak perempuan yang akan mengembangkan sikap mandiri yang sangat kuat sekali agar bisa mendapatkan pengakuan atas prestasinya, atas kemampuannya dan bahwa dia tidak bergantung pada orang lain dan dia tidak perlu bantuan orang lain untuk membuat dirinya bernilai. Nah sekali lagi terpaksalah si anak itu mengumpulkan bahan untuk membuat dirinya bernilai atau kecenderungan satunya yang ekstrim berkebalikan dari mandiri adalah justru mengembangkan sikap bergantung. Dia akan bergantung pada orang lain agar orang bisa sedikit banyak memberikan perlindungan dan kasih sayang kepada dirinya.
GS : Ya itu akan menarik perhatian orang, Pak Paul?

PG : Menarik perhatian orang atau dia sangat mendambakan kasih alias kita berkata dia menjadi anak atau menjadi seseorang yang mencari-cari cinta ke mana pun dia pergi.

GS : Pak Paul, sebenarnya kenapa ada ibu yang kadang-kadang itu walaupun itu ibu kandung, kurang memberikan cinta kasih atau perhatian terhadap anak perempuannya itu?

PG : Salah satu ironinya adalah kebanyakan ibu yang tidak mampu menjadi ibu, alias memberikan kasih sayang kepada anaknya adalah orang-orang yang pada masa kecilnya juga tidak mendapatkan kasihsayang itu dari orang tuanya.

Sehingga kita melihat bahwa masalah sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Saya teringat sebuah kasus Pak Gunawan, yang pernah saya hadapi sewaktu saya masih bekerja sebagai pekerja sosial di Los Angeles, saya bertemu dengan seorang anak perempuan berusia 15 tahun. Dia dengan adik-adiknya dititipkan di rumah neneknya, itu dia kalau tidak salah ada 2 apa 3 adik dan hampir semuanya itu mempunyai ayah yang berbeda karena ibunya gonta-ganti pacar, dan akhirnya melahirkan dia dan adik-adiknya. Waktu saya bertemu dengan dia, dia itu terkena penyakit kelamin, saya bertanya kepada anak perempuan yang masih muda ini baru berusia 15 tahun, sejak kapankah engkau sudah melakukan hubungan seksual? Dan dia mengaku, dia sudah mulai berhubungan seksual sejak usia 13 tahun. Nah bayangkan anak yang berusia 13 tahun Pak Gunawan, anak yang sangat belia tapi ternyata sudah begitu bebas dalam pergaulannya. Pertanyaannya mengapakah dia menjadi seperti itu, nah sewaktu kita melihat struktur keluarganya tidak akan heran, tidak ada laki-laki tidak ada ayah dalam rumah tangganya dan si ibunya pun tidak ada di situ, waktu saya berkunjung anak-anaknya itu dirawat oleh neneknya. Nah dalam kasus seperti ini tidak jarang justru kita akan menemukan bahwa si ibu pun sejak kecil tidak disayangi oleh orang tuanya. Nah akhirnya sewaktu dia sudah menjadi dewasa dia tidak bisa memberikan asuhan atau kasih sayang kepada anak-anaknya juga. Jadi dengan kata lain saya mau menekankan betapa pentingnya peranan ibu di dalam kehidupan anak perempuannya. Si ibulah yang mempunyai andil sangat besar menjadikan anak perempuannya nantinya bisa atau tidak menjadi seorang mama atau ibu juga bagi anak-anaknya.
GS : Sebenarnya hal itu juga bisa dilakukan oleh seorang ibu walaupun itu bukan ibu kandungnya dalam hal ini ibu tiri Pak Paul. Yang sering kali kita mendengar konotasinya negatif itu tidak bisa mengasihi, padahal sebenarnya ada banyak ibu tiri itu yang baik.

PG : Bisa, jadi ini memang tidak terbatasi oleh ikatan biologis, tidak harus ibu biologislah tapi bisa juga si anak menerima kasih sayang ini dari misalnya ibu tirinya itu kalau memang si ibu trinya itu juga mengasihi dia.

Sekali lagi kasih sayang inilah yang membuat si anak mantap dalam hidup. Dia tidak lagi melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak utuh, seseorang yang tidak lengkap, kebalikannya adalah anak perempuan yang dibesarkan di rumah di mana dia tidak mendapatkan kasih sayang dari ibunya dia akan menjadi seseorang yang menganggap dirinya itu kurang lengkap, ada yang terhilang dalam hidupnya, sehingga dia gamang menghadapi hidup ini, tidak mempunyai kemantapan. Saya tidak mengatakan atau tidak sedang membicarakan kasus di mana ibu itu tidak ada sama sekali di rumah, bukan itu yang saya maksud. Yang saya maksud adalah ibu yang terlibat di rumah, jadi ada kasus-kasus di mana ibu ada di rumah tapi tidak terlibat sama sekali. Atau misalnya ada kasus di mana si ibu itu luar biasa kritisnya kepada anak, sedikit-sedikit ibu itu memarahi si anak, sedikit-sedikit si anak itu pasti salah, tidak ada yang bisa benar yang dilakukan oleh si anak. Nah meskipun si ibu misalkan secara ucapan mengatakan kepada si anak "saya mengasihi kamu" tapi ucapan itu langsung akan disapu bersih oleh ketidakmenerimaannya si ibu kepada si anak melalui kritikan, celaan, omelan yang terus-menerus disampaikan kepada si anak. Itulah yang akan membuat si anak bertumbuh besar tidak merasakan dirinya itu dikasihi dan berharga.
GS : Tapi Pak Paul, ada satu keluarga di mana ibunya itu sebenarnya sudah memberikan perhatian penuh kepada anak perempuannya ini. Tapi si anak perempuan yang sudah memasuki usia remaja ini justru yang menjauh dari ibunya, Pak Paul?

PG : Pada usia remaja sangatlah lumrah jikalau anak menjauh dari orang tuanya dan ini tidak melulu sesuatu yang negatif atau yang buruk. Kenapa saya mengatakan begitu, sebab pada usia remajalahanak mulai mengembangkan kemandiriannya, kemandirian berarti keterpisahan.

Jadi memang si anak mulailah mendorong, menjauhkan orang tuanya dari dirinya sebab dia ingin mulai terpisah dari orang tuanya. Nah sekali lagi sesuatu yang terjadi dengan tiba-tiba mendadak itu tidak baik, tapi kalau terjadi secara alamiah sedikit demi sedikit, itu biasanya memang lebih sehat. Dengan kata lain kalau si anak tadinya dekat dengan orang tua tapi dalam waktu yang sekejap mendadak berubah menjauhkan diri dari orang tuanya, menolak orang tuanya dekat dengan dia, nah itu mengundang tAnda tanya, kita mesti mulai berhati-hati dalam kasus seperti itu ada apa dengan anak kita. Tapi kalau memang secara alamiah, si anak mulai menjauhkan diri dari orang tuanya, dia tidak terlalu banyak cerita lagi, kalau si ibu atau si ayah ingin pergi dengan anaknya si anak mulai tidak mau, ada acara dengan teman-teman si ayah, ibu mau datang si anak tidak mau hal-hal itu hal yang normal. Namun dalam konteks yang berbeda si anak tetap masih bisa berkomunikasi dengan orang tuanya. Jadi sekali lagi pada masa remaja memang anak-anak cenderung mulai ingin lebih terpisah dari orang tua dan itu harus kita terima sebagai sesuatu yang wajar.
GS : Padahal sebagai ibu itu tentu mempunyai kekhawatiran yang lebih besar dibandingkan ayah itu Pak Paul, terhadap anak perempuannya. Dia itu kepenginnya dekat dengan anak perempuannya mau memberitahukan supaya hati-hati dalam pergaulan dan sebagainya.

PG : Dan sudah tentu itu tetap bisa dia lakukan dan seharusnyalah dia lakukan. Jadi si ibu itu memberikan pengawasan, memberikan bimbingan, memberikan kesempatan si anak untuk cerita, nah denga cara-cara itulah si anak perempuan lebih bisa terbuka.

Dan kalau si anak perempuan bisa yakin bahwa ibunya tidak mengkritik, tidak memarahi dia dan bisa menerima pergumulannya, kemungkinan besar si anak perempuan justru akan mau terbuka dengan mamanya. Sebab dia akan mengalami kebingungan dan suatu ketika dia mungkin ingin tahu pendapat mamanya yang pernah mengalami masa remaja juga. Jadi sesungguhnya kalau kedekatan ini bisa dipelihara terus sampai masa remaja justru pada masa remaja inilah si anak perempuan mendapatkan dukungan yang sangat dia butuhkan. Sekali lagi banyak hal-hal yang dialami oleh anak-anak remaja ini yang dia tidak mengerti dan dia butuh sekali seorang perempuan yang lebih dewasa untuk memberikan pengarahan kepadanya.
GS : Jadi sebenarnya di sini peran ibu sebagai pembimbing maupun sebagai model Pak Paul, secara praktis apakah yang ibu ini bisa lakukan terhadap anaknya?

PG : Nomor satu adalah si anak harus menerima kasih sayang sejak kecil, harus menerima suatu pelukan, rangkulan tanpa syarat dari ibunya sejak dari kecil. Kalau sudah masa remaja barulah si ibumemulainya, terlambat sudah tidak ada lagi ikatan itu.

Jadi masa remaja akan bisa lebih mudah dilewati kalau masa-masa kecil itu sudah terjalin hubungan yang baik antara si ibu dengan si anak perempuannya. Yang kedua, si ibu pada masa-masa si anak makin besar memang harus lebih berperan sebagai pembimbing, dia tidak bisa lagi terlalu mengguruhi si anak, karena kalau itu yang terjadi si anak akan merasa ini hubungan yang tidak setimpal. Ibu tidak bisa mendengarkan saya, ibu tidak bisa mengerti saya jadi buat apa saya ngomong, ini salah satu keluhan anak-anak termasuk anak perempuan juga. Dia akan merasakan bahwa percuma bicara dengan ibunya karena toh ibunya tidak akan mendengarkan masukannya atau memperhatikan kebutuhannya. Jadi penting sekali si ibu membuka telinga tidak cepat-cepat mengguruhi seolah-olah dia yang paling tahu tentang kehidupan dan anak perempuannya. Jadi secara praktis ibu lebih seringlah berbicara dan sering-seringlah bertanya kepada si anak kalau dia tidak mengerti, sehingga si anak merasakan bahwa mamanya tidak menempatkan diri jauh di atasnya. Dan tadi saya singgung juga adalah jangan terlalu kritis kepada si anak, meskipun kita mengatakan kita mengasihi anak, kalau terlalu kritis itu akan menghilangkan usaha kita mengasihi si anak itu.
GS : Tetapi justru nanti kalau anak perempuan ini sudah agak besar Pak Paul, jadi sudah memasuki usia yang pemudi, anak perempuan ini yang justru terlalu kritis terhadap ibunya. Misalnya make-upnyalah, pakaiannyalah, kok bisa begitu Pak Paul?

PG : Kebanyakan itu terjadi karena memang adanya perbedaan budaya pada masa-masa tertentu, anak perempuan akan masuk ke dalam gaya hidup usianya. Sudah tentu ibunya masuk ke dalam gaya hidup usa ibunya yang lebih tua itu.

Dan kadang-kadang di sini bisa timbul konflik juga, ketika si ibu tidak setuju dia akan mengkritik si anak dan sebaliknya. Tapi saran saya adalah jangan kita perbesar hal-hal yang lebih bersifat lahiriah, kita fokuskan pada hal-hal yang lebih bersifat hakiki, misalnya kerohanian si anak. Apakah si anak bertumbuh besar percaya kepada Tuhan, apakah dia tetap mau ke gereja meskipun tidak disuruh, apakah dia mau membaca firman Tuhan meskipun tidak lagi diminta, apakah dia berdoa sendiri ataukah hanya mau berdoa jika diajak berdoa nah hal-hal seperti itulah yang lebih penting. Namun sekali lagi hal-hal itu sering kali hanya bisa muncul jika si anak melihat si ibu melakukannya, kalau ibu hanya bisa menyuruh tapi tidak melakukan saya takut akhirnya si anak pun tidak melakukannya.
GS : Pak Paul, sering kali kelihatan anak perempuan itu mengalami konflik batin lebih sering dibandingkan anak laki-laki.

PG : Karena anak perempuan memang dinilai berdasarkan penampilannya, jadi sering kali pada masa-masa remaja meskipun anak laki pun juga mengalami goncangan secara identitas, anak perempuan sebeulnya cukup sering mengalami konflik-konflik batiniah, mungkin saja tidak terekspresikan karena di dalam hatinya saja.

Tapi mungkin sekali dia mengalami keragu-raguan apakah dia menarik atau tidak, bisa diterima atau tidak. Maka sekali lagi kalau dia tidak mendapatkan pelukan dari ibunya, dia tahu dia dikasihi nah hal itu akan bisa mengganggu si anak tapi kalau dia dikasihi oleh ibunya dengan sangat berlimpah dia akan lebih bisa, lebih kuat menghadapi tantangan-tantangan itu. Meskipun dia tidak terlalu menarik, meskipun tidak terlalu cantik atau pAndai tapi dengan modal dikasihi itu dia tetap bisa melewati masa-masa remajanya dan pemudinya dengan lebih baik.
GS : Pak Paul, dalam hal perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung yang bisa kita jadikan lAndasan dari semuanya ini?

PG : Saya akan baca dari Titus 2:3 dan 4 inti sarinya adalah begini: "Demikian juga perempuan-perempuan yang tua hendaklah mereka mendidik perempuan-perempuan muda untuk mengaihi."

Jadi saya mau tekankan bahwa inilah tugas ibu yang memang usianya lebih tua, tugasnya adalah mendidik perempuan-perempuan muda, anak-anaknya sendiri itu untuk bisa mengasihi. Kalau si anak tidak mendapatkan kasih dia akan kesulitan mengemban tugas memberikan kasih kepada orang lain. Jadi hendaklah dimulai dari ibu sendiri.
GS : Ya, apakah itu juga terkait bahwa para pendidik khususnya guru untuk anak-anak yang masih kecil itu lebih baik wanita dari pada pria?

PG : Mungkin pada masa yang kecil sekali ya, tapi pada masa remaja apalagi guru pria itu sebetulnya berperan besar sekali karena pria itu melambangkan otoritas dalam kehidupan.

GS : Jadi terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan ini dan kita tentunya mengharap para pendengar setia ini untuk mengikuti acara Telaga ini pada kesempatan yang akan datang, karena kita masih akan melanjutkan beberapa point yang berkaitan dengan perbincangan kita kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tetang "Ibu dan Anak Perempuannya", bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



48. Kebutuhan dan Relasi Romantis


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T121B (File MP3 T121B)


Abstrak:

Hubungan antara ayah dan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki merupakan perkenalan pertama si anak dengan lawan jenis, ini yang akan membekas dan mewarnai relasi anak dengan lawan jenis di kemudian hari.


Ringkasan:

Ternyata hubungan anak dengan orang tua yang berlawanan jenis menjadi dasar bagaimana nanti si anak akan berelasi dengan lawan jenis.

  1. Ada yang berkata bahwa pria menikah dengan orang yang seperti ibunya dan wanita menikah dengan orang yang seperti ayahnya.

  2. Perkenalan pertama kita dengan lawan jenis adalah dengan ayah dan ibu. Perkenalan pertama selalu berkesan lebih kuat daripada perkenalan berikutnya dan turut mewarnai sikap kita terhadap relasi selanjutnya.

  3. Jika relasi kita dengan orang tua yang berlawanan jenis, positif, ada kecenderungan kita akan memilih pasangan hidup yang seperti mereka.

  4. Jika relasi kita dengan orang tua yang berlawanan jenis, negatif, kita cenderung memilih pasangan hidup yang tidak memiliki karakter yang tidak kita sukai itu.

  5. Sungguhpun demikian, meski kita tidak menyukai karakter negatif itu, kita telah terbiasa olehnya dan kita lebih tertarik untuk memilih yang telah kita kenal baik dibanding dengan yang tidak kita kenal sama sekali. Itu sebabnya ada sebagian orang yang menikah dengan pasangan yang serupa dengan orang tuanya meski hal-hal yang tidak disukainya pada orang tuanya itu ada pada pasangannya.

  6. Relasi anak laki-laki dengan ayahnya adalah wadah terciptanya kestabilan dan kestabilan merupakan bahan pembentuk peran pengayom. Jika ini tidak terjadi, ia akan cenderung mencari istri yang tidak menjadi ancaman baginya. Dengan kata lain, ia akan menikah dengan istri yang dapat dikuasainya atau ia akan menikah dengan istri yang akan melindunginya.

  7. Relasi anak perempuan dengan ibunya merupakan landasan terbentuknya penghargaan diri yang kuat dan dari penghargaan diri akibat dikasihi ini akan terbit naluri untuk memberikan kasih. Jika ini tidak terjadi, ia akan mencari pria yang dapat mengasihinya dan membuatnya merasa berharga.

Amsal 28:19 , "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan." Tanah adalah anak-anak. Anak-anak yang menerima makanan cukup dari orang tuanya karena orang tuanya telah mengerjakan dengan baik, si anak-anak itu akan bertumbuh dengan kenyang. Tapi orang tua yang tidak mengerjakan tanahnya dengan baik atau dalam kasus ini orang tua tidak melakukan kewajibannya dengan baik dia akan membuat anak-anaknya bertumbuh kelaparan.

Jadi anak-anak yang mendapatkan kecukupan makanan emosional, makanan rohani dari orang tuanya dia akan cenderung memilih dengan lebih bijaksana. Tapi anak-anak yang kelaparan kasih sayang cenderung sembarangan memilih pasangan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kebutuhan dan Relasi Romantis". Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau satu keluarga dikarunia anak dan anak-anak itu ada yang laki, ada yang perempuan, itu sebenarnya hubungan mereka dengan orang tuanya yang juga laki dan perempuan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Ternyata hubungan anak dengan orang tua yang berlawanan jenis menjadi dasar bagaimana nanti si anak akan berelasi dengan lawan jenis. Maksud saya begini, bagaimanakah saya berelasi dengan anita sebetulnya sangat dipengaruhi oleh hubungan saya dengan ibu saya atau bagaimanakah seorang wanita berelasi dengan pria, sangat dipengaruhi oleh relasi anak itu dengan ayahnya.

Dengan kata lain sebetulnya hubungan antara ayah dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki merupakan perkenalan pertama si anak dengan lawan jenis. Jadi perkenalan pertama itu akan berbekas dan mewarnai relasinya dengan lawan jenis di kemudian hari.
GS : Padahal beberapa waktu yang lalu kita pernah membicarakan bahwa seorang anak perempuan itu lebih dekat kepada ibunya, Pak Paul?

PG : Lebih dekat dalam pengertian si anak perempuan membutuhkan sesuatu yang hanya dapat diberikan oleh ibunya secara khusus yakni kasih sayang. Sudah tentu dia membutuhkan kasih sayang juga dai ayah, namun dari segi intensitas ternyata kebutuhan itu lebih seharusnya dipenuhi oleh ibunya dan itu yang menjadi modal dia bisa memberikan kasih kepada orang lain.

Kalau dari pihak anak laki yang pernah kita bahas pada pertemuan yang lampau kita belajar bahwa anak laki memerlukan kestabilan karena nanti dia akan berperan sebagai seorang pengayom, pemimpin. Nah dia membutuhkan kehadiran atau keterlibatan ayah dalam hidupnya. Sebab keterlibatan ayah yang positif dalam hidupnya akan membekali dia dengan kepemimpinan, kemantapan, kepercayaan diri, arah dalam hidupnya, nah itu yang membuat dia nantinya mampu melangkah sebagai seorang pemimpin. Nah itu adalah keterkaitan orang tua dengan anak yang sejenis. Sekarang kita akan melihat keterkaitan orang tua dengan anak yang berlawanan jenis, dan ternyata ini pun hal yang penting. Sebab sekali lagi saya tekankan hubungan si anak dengan orang tua yang berlawanan jenis menjadi proto tipe, menjadi cikal bakal, penentu atau pewarna hubungannya dengan orang-orang yang berlawanan jenis dengannya.
GS : Jadi dengan kata lain seorang anak laki maupun perempuan itu membutuhkan dua figur itu, baik figur ayah maupun figur ibu, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, dalam sebuah ceramah ada yang pernah bertanya kepada saya begini, saya kebetulan mempunyai anak laki-laki (ini yang bertanya seorang ibu), jadi apakah peran saya? (sebab sebeumnya saya membahas tentang pentingnya relasi orang tua dengan anak yang sejenis).

Nah, justru saya katakan kepada ibu tersebut, hubungan si ibu dengan si anak laki ini menjadi hubungan yang sangat mewarnai relasi si anak laki nantinya dengan teman-teman lawan jenisnya. Misalnya si anak laki dibesarkan oleh ibu yang terlalu dominan, kemungkinan sekali si anak laki akan mengembangkan konsep bahwa wanita adalah makhluk yang harus dia jauhi atau berwaspada terhadapnya. Sebab kenapa? Sebab dia dibesarkan oleh ibu yang terlalu menguasainya dan itu merupakan ancaman buatnya. Misalkan si ibu terlalu mau mencampuri urusannya, mengaturnya, nah akhirnya dia sangat takut sekali dekat dengan wanita karena takut diatur dan dikuasai. Atau si ibu adalah ibu yang merendahkannya, menghinanya, kemungkinan sekali dia akan bertumbuh besar mengembangkan konsep bahwa wanita adalah seseorang yang berbahaya karena bisa merendahkannya juga. Kebalikannya contoh yang sering kita lihat Pak Gunawan, si anak perempuan melihat ayah kok tidak mesra, tidak begitu menyayangi mamanya dan si anak perempuan juga akhirnya melihat si ayah tidak begitu mengindahkan dia, kok lebih memberikan perhatian dan penghargaan kepada anak laki, konsep yang negatif itu yang telah dibentuk dalam relasi dengan si ayah akan dibawa oleh si anak perempuan ke luar rumah dan akan mewarnai hubungannya dengan anak laki. Dia mungkin sekali akan mengembangkan pemikiran bahwa anak laki adalah orang yang tak bisa dia percaya hanya akan manis pada masa awalnya, pada akhirnya akan mengabaikan dan tidak lagi memperhatikan istrinya.
GS : Nah kesimpulan-kesimpulan seperti itu apakah disadari oleh anak-anak ini, Pak Paul?

PG : Sering kali tidak, jadi anak-anak ini biasanya tidak memikirkan dengan sengaja hal-hal ini namun pada waktu dia berhubungan dengan lawan jenis, tiba-tiba muncullah reaksi-reaksi yang tadi aya paparkan itu.

Dan saya juga mau mengakui bahwa hidup ini tidak berubah bentuk, eksakta, bisa saja pada masa remaja misalnya si anak-anak ini berjumpa dengan figur-figur lawan jenis yang positif, nah sedikit banyak itu akan menetralisir konsep negatif yang dibawanya dari kecil itu, nah itu pun bisa terjadi. Jadi memang dalam anugerah Tuhan ada banyak cara yang Tuhan bisa gunakan untuk menolong kita tapi kalau misalkan hal-hal itu tidak terjadi nah kira-kira inilah proyeksi ke depannya bahwa relasi dia dengan orang tua yang berlawanan jenis itu akan sangat mewarnai relasinya dengan lawan jenis di kemudian hari. Jika positif akan berdampak positif juga Pak Gunawan.
GS : Nah apakah itu juga berpengaruh pada pemilihan karier anak-anak ini, Pak Paul?

PG : Bisa secara langsung atau tidak langsung berpengaruh, misalnya kalau dia melihat bahwa karena ayahnya bekerja sebagai seorang dokter, terlalu capek dari pagi sampai malam tidak ada waktu utuk keluarga bisa jadi dia mengembangkan rasa anti terhadap profesi ayahnya yaitu sebagai dokter.

Atau misalnya justru dia melihat kebalikannya kok ayahnya dihormati, dan ayahnya kebetulan juga menyayangi keluarga sebagai seorang dokter, bisa jadi si anak justru mengembangkan ketertarikan terhadap profesi kedokteran ayahnya itu.
GS : Jadi pengaruh orang tuanya ini sangat besar di dalam anak itu nanti memilih teman hidupnya itu, Pak Paul?

PG : Teman hidup apalagi Pak Gunawan, itu akan sangat-sangat berpengaruh, jadi kecenderungannya begini, kalau hubungan kita dengan orang tua yang berlawanan jenis itu positif, kecenderungan kit adalah memilih seseorang yang mirip dengan orang tua kita itu.

Misalnya ayah adalah seseorang yang hangat, penuh perhatian dan si anak perempuan menikmati ayah yang penuh dengan perhatian ini. Kemungkinan besar si anak perempuan akan memilih pasangan hidup yang serupa dengan ayahnya atau misalnya anak laki melihat mama yang begitu penuh kasih sayang, lembut, merawat rumah, mengurus rumah dengan begitu baik, ada kecenderungan setelah dia dewasa dia akan mencari istri yang serupa dengan mamanya yang bisa mengurus rumah, yang lembut, yang sabar dsb. Jadi kalau relasi kita positif dengan orang tua yang berlawanan jenis kita cenderung akan memilih pasangan hidup yang serupa dengan orang tua kita itu.
GS : Tapi bagaimana kalau misalnya si anak laki-laki itu memang mengagumi mamanya, tetapi hubungan antara ibunya dengan ayah ini kurang harmonis, Pak Paul?

PG : Biasanya tetap dia akan memilih yang sesuai dengan mamanya karena dia mengagumi mamanya sebagai figur yang baik, yang positif, dia tetap akan memilih seperti mamanya itu. Namun kalau hubunannya negatif nah ada dua kemungkinan Pak Gunawan, kalau kebetulan hubungannya dengan si mama negatif si anak laki ini bisa jadi akan memilih pasangan hidup atau wanita yang tidak memiliki sifat yang dia tidak sukai pada mamanya.

Contoh misalnya mamanya terlalu mau ikut campur dalam kehidupannya, nah kemungkinan dia akan memilih istri yang tidak memiliki sifat itu, sifatnya justru kebalikan yaitu lebih bisa mempercayainya, tidak mau terlalu ngorek-ngorek darinya nah dengan kata lain si anak memilih seseorang yang tidak memiliki sifat yang dia tidak sukai pada orang tuanya. Tapi kadang-kadang kita akan melihat situasi yang kebalikannya Pak Gunawan, dia justru memilih pasangan hidup yang akhirnya mirip sekali dengan orang tua yang tidak disukainya nah itu juga sering terjadi. Misalnya seperti misalkan si anak perempuan tidak suka dengan ayahnya yang terlalu otoriter e......dia sudah dewasa menikah dengan pria yang otoriter. Pertanyaannya kenapa, bukankah pada masa kecil dia tidak suka dengan sifat ayahnya yang otoriter itu. Begini, meskipun ayahnya otoriter tapi si anak akhirnya menikmati sesuatu dari sifat otoriter ayahnya itu. Segi positif dari sifat otoriter ayahnya adalah si ayah sangat peduli dengan si anak perempuan, semua yang terjadi pada anak perempuan si ayahnya tahu dan ayahnya mau mengontrol semua yang dialami oleh si anak perempuan ini. Sehingga si anak perempuan merasakan sedikit banyak rasa aman dengan ayahnya karena ayahnya itu tahu apa yang terjadi pada dirinya dan peduli dan mau menolong dan mau ikut campur. Nah nanti setelah dewasa ini yang dia akan cari dari pria, pria yang mau mengayomi, yang mau melindungi, yang mau tahu urusan dia, yang peduli dengan hidupnya dan dia akan menikah dengan orang yang seperti itu. Namun seringnya adalah orang yang seperti itu juga misalnya cenderung otoriter akhirnya dia menikah dengan orang yang otoriter. Dan sifat yang dia tidak sukai pada ayahnya akhirnya dia temukan lagi pada suaminya.
GS : Sehingga dia bisa melihat sisi positif dari tindakan negatif orang tuanya itu, Pak Paul.

PG : Nah bagaimana kalau misalnya tidak ada sisi positifnya, Pak Gunawan. Ternyata adakalanya anak tetap akan memilih yang serupa dengan orang tuanya meskipun si anak mungkin sekali tidak menemkan yang positif.

Karena apa? Begini, seseorang akan akhirnya mengembangkan adaptasi terhadap lingkungan. Seburuk apapun lingkungan orang harus menyesuaikan diri dan terbiasa dengan lingkungan seperti itu. Nah cukup sering akhirnya anak-anak yang hidup dalam rumah tangga yang tidak positif, hubungan dengan orang tua yang berlawanan jenis juga buruk, namun pada akhirnya terbiasa dengan sifat-sifat orang tuanya yang tidak disukainya itu. Akhirnya karena terbiasa dan dia tidak mengenal lagi sifat yang lain karena misalnya di luar dia kurang begitu tahu atau kurang bergaul akhirnya menikah atau memilih pasangan hidup yang seperti orang tuanya, jadi meskipun sifatnya tidak dia sukai dia tetap akan memilih yang sama. Contoh yang saya sering lihat dulu adalah waktu saya bekerja di rumah sakit jiwa yang menangani juga masalah ketergantungan obat, anak wanita misalnya dibesarkan oleh ayah yang alkoholik, akhirnya setelah dewasa menikah dengan pria yang alkoholik, itu sering terjadi. Kenapa, bukankah dia tidak suka dengan ayahnya yang alkoholik itu, mungkin ada segi positif yang dia pernah temukan juga tapi salah satu yang terjadi adalah dia terbiasa dengan ayah yang alkoholik, dengan pria yang alkoholik, sehingga akhirnya dia memilih dengan yang dia tahu. Sebab kita cenderung memang menjauhkan diri dari sesuatu yang kita tidak ketahui dengan jelas, dan kita lebih mau memilih sesuatu yang kita ketahui dengan jelas. Nah itu salah satu faktor yang membuat akhirnya orang menikah dengan yang serupa orang tuanya meskipun dia tidak suka sifat itu.
GS : Tapi dia mungkin sudah tahu kelemahan-kelemahannya juga Pak Paul, bagaimana cara mengatasinya?

PG : Betul, jadi ketahuan inilah pemahaman yang familiarity inilah yang membuat si anak setelah dewasa memilih yang serupa dengan orang tuanya.

GS : Tapi biasanya anak yang sudah mulai menjadi dewasa itu agak malu Pak Paul, kalau berhubungan dengan orang tua lawan jenisnya, jadi anak perempuan yang dekat-dekat dengan ayahnya itu merasa malu dengan teman-temannya.

PG : Betul sekali, itu penting sekali Pak Gunawan untuk kita sadari sehingga kita sebagai orang tua lebih memberikan perhatian kita sewaktu anak-anak masih kecil. Sebab seperti tadi kata Pak Guawan, setelah mencapai usia remaja misalnya si anak itu akan enggan menerima kasih sayang dari kita secara terbuka sebagai orang tua yang berlawanan jenis.

Jadi memang seolah-olah pada masa-masa remaja itu tidak banyak lagi yang bisa kita lakukan untuk mengekspresikan kasih kita kepada anak. Jadi pada masa lebih kecillah orang tua seharusnya memberikan dirinya kepada anak-anaknya ini. Dan saya mau ingatkan sekali lagi bahwa relasi kita sebagai orang tua dengan anak-anak yang berlawanan jenis, itu menjadi dasar. Dasar bagaimanakah dia nanti akan berelasi dengan lawan jenisnya. Dalam contoh yang tidak positif Pak Gunawan, bukankah sering kali kita juga melihat contoh anak-anak yang mencari-cari cinta di mana-mana, ini baik anak laki maupun anak perempuan. Kenapa mencari-cari cinta nah kita sudah bahas, memang ada pengaruhnya dalam relasi dia dengan orang tua yang sejenis tapi orang tua yang berlawanan jenis di sini juga sangat berpengaruh. Ada anak-anak misalnya anak laki yang baru umur 14 tahun sudah berpacaran, serius pacarannya waktu pacarnya memutuskan tidak jadi hubungan waduh bisa hampir depresi, ada yang mau bunuh diri misalnya. Pertanyaannya kenapa sampai begitu sederhana sekali, jawabannya sebab si anak laki itu sungguh-sungguh membutuhkan orang yang mencintainya, seperti dia itu orang dewasa meskipun dia itu sebetulnya masih kanak-kanak. Nah ini juga bisa dilihat pada anak-anak perempuan, pada usianya yang sangat muda sudah begitu dekatnya, galang-gulung dengan anak-anak laki sebab apa, ya dia mencari dan mendambakan cinta dari pria yang seharusnya dia dapatkan dari ayahnya sendiri di rumah.
GS : Jadi dalam hal ini Pak Paul, sebenarnya kita itu membutuhkan semacam pedoman atau petunjuk dalam waktu yang singkat itu, bagaimana kita itu membina suatu relasi yang baik dengan anak yang berlawanan jenis dengan kita itu, Pak Paul?

PG : Yang penting adalah sekali lagi saya ulang yang tadi sebelumnya saya sudah singgung. Memang anak itu sangat memerlukan cinta kasih, cinta kasih adalah modal agar anak melihat dirinya berhaga atau bernilai ini pokoknya atau pangkalnya.

GS : Jadi baik laki maupun perempuan itu sama, Pak Paul?

PG : Betul, dua-duanya. Kalau seorang anak sudah melihat dirinya cacat tidak lagi bernilai, tidak lagi utuh, tidak lagi berharga, maka si anak akan mengembangkan sedikit banyak problem dalam beelasi dengan orang termasuk dengan lawan jenisnya.

Misalnya kalau dia menganggap dirinya tidak bernilai atau tidak berharga mungkin sekali dia mengembangkan sikap misalnya antipati terhadap lawan jenisnya. Atau kebalikannya dia akan mengemis-ngemis cinta atau penghargaan dari lawan jenisnya. Dengan kata lain kita menyaksikan adanya gangguan dalam pola relasinya dengan lawan jenis itu. Yang lainnya lagi orang tua memang perlu memberikan pengarahan tapi juga orang tua perlu berhati-hati dengan pengarahan sehingga tidak terlalu menetapkan standar atau tuntutan yang tidak realistik, yang tidak bisa dipenuhi oleh si anak. Kenapa? Ini akan juga berpengaruh pada penghargaan diri si anak, dia melihat dirinya berharga atau tidak sedikit banyak dipengaruhi oleh apakah orang tuanya itu bisa bersyukur akan dirinya, apakah orang tua justru kebalikannya misalnya terus-menerus tidak bisa menerima keadaan dirinya, mengharapkan si anak lebih lagi, seharusnya seperti siapa dan yang lain-lainnya, nah ini juga akan sangat mengganggu penghargaan diri si anak. Dan penghargaan diri yang sudah terganggu akan menjadi masalah dalam relasi dia dengan orang-orang lain termasuk dalam relasinya dengan orang yang berlawanan jenis dengannya.
GS : Ya memang dalam hal ini agak sulit Pak Paul, anak ini dalam posisi yang cukup sulit untuk menemukan pasangan hidupnya. Misalnya saja seorang anak laki-laki itu yang sudah begitu mengagumi ibunya sehingga dia mencari pasangan itu yang mirip dengan ibunya. Tapi ternyata ketika teman perempuannya ini dikenalkan dengan orang tuanya terutama ayahnya, ayahnya tidak setuju, ternyata ayah ini juga tidak menyukai sifat ibunya. Dia katakan kamu kok mencari orang seperti ibumu, anak ini jadi bingung lagi di dalam kehidupannya.

PG : Dan itu bisa terjadi, sebab bagaimanapun si ayah dalam kasus tadi ingin si anak bahagia. Dan dia akan seolah-olah berkata lihat ayah ini, ayah tidak bahagia menikah dengan ibumu karena ibuu mempunyai sifat-sifat seperti ini, kok kamu mau memilih seperti ibumu nanti kamu tidak akan bahagia.

Jadi saya kira motivasinya sebetulnya baik, tapi memang susah dihindari karena ada kecenderungan kita memang akan memilih yang tidak terlalu jauh berbeda dengan orang tua kita. Tapi sekali lagi saya mau tekankan modal yang kita terima dari orang tua itu sangat-sangatlah penting, jadi misalkan dalam contoh anak laki, kalau hubungan dengan ayahnya baik dia menerima kekuatan dari relasi dengan ayahnya, dia menjadi seseorang yang mantap, yang stabil, yang punya arah. Dia akan memilih wanita juga yang sehat, yang sejenis dengan dia dalam pengertian yang sama-sama sehatnya. Tapi kalau dia misalkan mengalami banyak konflik dengan ayahnya, dia tidak mempunyai arah dalam hidupnya ini, dia tidak mempunyai keyakinan diri yang jelas. Ada kemungkinan dia akan menikah dengan salah satu wanita dari dua ini. Yang pertama dia akan menikah dengan wanita yang sama-sama tidak sehatnya dengan dia, yang sama-sama tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa sehingga dia tidak merasa dirinya terancam, dia masih bisa melihat dirinya berguna untuk pasangannya. Atau kebalikannya dia mungkin akan mencari pasangan hidup yang sangat mandiri, dominan dan menguasai karena dia merasa aman, dia cukup memberikan atau mempersembahkan dirinya sebagai orang yang tidak bisa apa-apa dan biarlah si istri akan mengurus dia. Jadi sekali lagi kita melihat akhirnya dia memilih pasangan hidup yang berpotensi menciptakan problem dalam keluarganya di kemudian hari.
GS : Jadi kunci pembentukan diri anak ini sebenarnya sangat besar tergantung pada peran orang tua itu sendiri, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, jadi waktu kita hidup dengan baik, hubungan suami-istri kita baik, hubungan kita dengan anak pun baik, positif, kemungkinan yang lebih besar adalah anak-anak akan memilih pasngan hidup yang juga baik atau yang sehat juga.

Tapi kalau kita dalam rumah tangga sudah mempunyai problem yang terlalu besar, yang terlalu banyak itu akan mempengaruhi si anak. Dan dalam pemilihan pasangan hidup si anak pun akhirnya tidak memilih yang sehat atau yang cocok.
GS : Dan ironisnya sering kali di dalam hubungan relasi orang tua, suami-istri yang kurang baik justru anaknya banyak, Pak Paul?

PG : Dan itu menjadi masalah tersendiri lagi nantinya.

GS : Nah Pak Paul, untuk melandasi pembicaraan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukungnya.

PG : Saya membaca dari Amsal 28:19 , firman Tuhan berkata: "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang denga kemiskinan."

Tamsil ini indah sekali Pak Gunawan, terutama bagian pertama ini yang akan saya coba terapkan dalam pembahasan kita. Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, artinya (kalau saya boleh terapkan dalam pembahasan kita), anak-anak yang menerima makanan cukup dari orang tuanya karena orang tuanya telah mengerjakan dengan baik, tanah adalah anak-anaknya, si anak-anak itu akan bertumbuh dengan kenyang tapi orang tua yang tidak mengerjakan tanahnya dengan baik atau dalam kasus ini orang tua yang tidak melakukan kewajibannya dengan baik dia akan membuat anak-anaknya bertumbuh kelaparan. Dan yakinlah satu hal bahwa orang yang kelaparan akan mencari makanan dan mencarinya sembarangan atau mencarinya dengan cara yang tidak sehat. Jadi anak-anak yang mendapatkan kecukupan makanan emosional, makanan rohani dari orang tuanya dia akan cenderung memilih dengan lebih bijaksana. Tapi anak-anak yang kelaparan kasih sayang dan rasa bernilai cenderung akhirnya karena lapar ya sembarangan memilih pasangan yang tidak pas atau tidak sesuai dengannya.
GS : Ya sebenarnya kita cenderung menyalahkan anak-anak kita yang menimbulkan masalah, tapi kalau mengamati pembicaraan ini sebenarnya masalah itu timbul justru karena orang tuanya, Pak Paul?

PG : Ya saya tidak berani memastikan untuk setiap kasus tapi pada umumnya ya, bahwa peranan kita sebagai orang tua akan sangat-sangat mewarnai kehidupan anak kita kelak.

GS : Ya tentunya kita berharap para pendengar Telaga ini bisa menjadi teladan bagi anak-anak mereka yang Tuhan karuniakan kepada mereka. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar yang kami hormati, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang kebutuhan dan relasi romantis, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



49. Mengapa Anak Saya Bermasalah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T122A (File MP3 T122A)


Abstrak:

Anak seringkali menimbulkan masalah di tengah-tengah keluarga, hal ini dipengaruhi atau disebabkan oleh adanya sumber-sumber masalah itu sendiri, baik itu yang berasal dari dalam keluarga maupun sumber yang berasal dari luar keluarga.


Ringkasan:

Masalah dapat dipicu oleh dua sumber: dari luar dan dari dalam.

Sumber Luar:

  1. Perubahan lingkungan hidup, misalnya pindah rumah atau pindah sekolah

  2. Perubahan gaya hidup, misalnya dari keadaan berkecukupan menjadi tidak berkecukupan

  3. Tekanan akademik

  4. Tekanan teman, misalnya penolakan teman atau tuntutan teman

Sumber Dalam

  1. Konflik antara orang tua

  2. Hilangnya (kematian) seseorang yang dekat dengannya

  3. Perlakuan orang tua yang negatif

Dari semua yang paling berpengaruh ialah perlakuan negatif dari orang tua. Perlakuan orang tua akan mencetak anak.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam memperlakukan anak:

  1. Tuntutan: Apakah sesuai dengan kemampuan anak?

  2. Harapan: Apakah sesuai dengan kepribadian anak?

  3. Penerimaan: Apakah sarat dengan kondisi bersyarat?

  4. Penghukuman: Apakah bermuatan kebencian dan berlebihan?

  5. Pemberian kasih: Apakah berlebihan?

  6. Percakapan: Apa yang menjadi isi percakapan kita? Apakah itu keluhan, ketidakpuasan, pembandingan, celaan dsb?

Anak akan Hidup Sesuai dengan Apa yang Telah Dipelajarinya

Jika anak hidup dengan celaan, ia akan belajar menghakimi orang.
Jika anak hidup dengan kebencian, ia akan belajar untuk bermusuhan.
Jika anak hidup dengan ejekan, ia akan menjadi minder.
Jika anak hidup dengan rasa malu, ia akan dihantui oleh rasa bersalah.
Jika anak diberikan semangat, ia akan belajar untuk percaya diri.
Jika anak hidup dengan pujian, ia akan belajar untuk menghargai orang.
Jika anak hidup dengan keadilan, ia akan belajar bersikap adil.
Jika anak hidup dengan rasa aman, ia akan belajar untuk beriman.
Jika anak hidup dengan penerimaan, ia akan belajar untuk menyukai dirinya.
Jika anak hidup dengan persahabatan, ia akan belajar untuk mengasihi hidup ini.

Amsal 3:27 , "Janganlah engkau menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya ditemani oleh ibu Wulan dari SAAT akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah salah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mmengapa Anak Saya Bermasalah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita tahu bahwa anak sering kali membawa masalah di dalam keluarga kita, di samping kehadirannya yang membuat keluarga ceria. Tetapi yang banyak orang tidak tahu kenapa anak ini menjadi bermasalah Pak Paul, padahal dididik dengan baik, diasuh dengan baik, tapi kok selalu atau sering menimbulkan masalah itu kenapa, Pak Paul?

PG : Ada beberapa hal yang akan kita bahas Pak Gunawan, yang menjadi penyebab kenapa anak bermasalah. Nah, saya akan membagi penyebab itu dalam dua golongan yaitu sumber-sumber yang berasal dar dalam rumah tangga itu sendiri dan sumber-sumber yang berasal dari luar keluarga itu.

Yang berasal dari luar keluarga biasanya pertama berkaitan dengan perubahan lingkungan hidup. Jadi anak bisa mulai menunjukkan masalah-masalah perilaku, tatkala dia itu pindah rumah sehingga dia harus meninggalkan teman-temannya dan dalam lingkungannya yang baru dia belum mempunyai teman-teman. Atau dia pindah sekolah dan dia di sana juga harus bertemu dengan lingkungan yang baru yang belum mengenalnya nah kadang-kadang akibat perpindahan lokasi tempat tinggal dan sekolah ini terjadilah masalah perilaku. Misalkan ada anak yang tidak mau sekolah, ada anak yang tiba-tiba pelajarannya menurun dengan drastis dsb. Yang lain adalah perubahan gaya hidup, ini juga termasuk sumber dari luar. Gaya hidup yang saya maksud di sini misalnya adalah dari keadaan berkecukupan masuk menjadi keadaan yang tidak berkecukupan. Biasa dulu bisa pergi main ke tempat-tempat 'games center' misalnya tapi sekarang tidak bisa lagi sehingga harus berdiam di rumah, dulu naik kendaraan bermotor sekarang harus naik angkutan kota dsb. Nah itu juga bisa berdampak pada anak dan si anak karena tidak siap dalam beradaptasi dengan gaya hidup yang baru itu dia menunjukkan atau memunculkan masalah perilaku atau emosional. Yang lainnya juga yang sangat umum adalah tekanan akademik. Adakalanya anak-anak berada dalam sistem sekolah yang tidak tepat untuk dia, dia tidak bisa menunjukkan kebolehannya, dia merasa tertekan, akhirnya dari masalah-masalah sekolah itu merembet ke masalah-masalah perilaku di rumah dan di luar sekolah. Dan yang terakhir adalah yang bisa saya pikirkan yaitu tekanan teman. Adakalanya anak-anak kita itu tidak diterima oleh lingkungannya, oleh teman-temannya, karena tidak diterima dia akhirnya harus dikucilkan dan merasa sangat-sangat terpinggirkan. Atau justru kebalikannya, dia diterima namun dengan tuntutan jadi harus hidup sesuai dengan teman-temannya. Tuntutan teman-temannya macam-macam, ada yang menuntut agar dia berbuat hal-hal yang negatif, melakukan hal-hal yang terlarang atau dia dituntut untuk menurut pada teman-temannya, tidak boleh berbantah. Nah kadang-kadang dalam lingkup-lingkup seperti itu tuntutan teman itu tidak bisa dipenuhinya dengan baik, dia tertekan sekali. Nah inilah yang saya maksud dengan sumber-sumber luar yang bisa menjadi penyebab kenapa anak kita akhirnya bermasalah.
GS : Tapi mengenai gaya hidup, itu bisa juga terjadi dari yang tadinya kurang mampu, menjadi mampu, Pak Paul. Apakah itu juga bisa memicu timbulnya masalah?

PG : Itu bagus sekali Pak Gunawan, jadi adakalanya anak-anak yang misalnya terbiasa hidup pas-pasan atau bahkan dalam kekurangan sekarang mendapatkan peningkatan, jadi bisa membeli barang dsb. isa jadi karena tidak bisa menguasai diri dan misalnya orang tua juga langsung jor-jorana atau berlomba memberikan kebebasan membeli barang, bisa jadi uang itu atau peningkatan taraf hidup itu menjadi pemicu munculnya masalah.

Dia misalnya cenderung membelikan barang untuk teman-temannya, jadi seolah-olah dia membeli teman-temannya dengan uangnya atau dia mulai merasa terlalu berkuasa di kalangan teman-temannya, sehingga akhirnya tidak bisa dibendung oleh mereka, kehendaknya harus terjadi itu bisa juga menjadi masalah.
GS : Ya mengenai lingkungan Pak Paul, yang sulit kita pantau itu yang bisa berubah sewaktu-waktu entah karena ada kekacauan, entah ada kerusuhan dalam kota atau di sekolah itu juga bisa menimbulkan masalah, Pak Paul?

PG : Bisa, jadi kadang-kadang memang hal-hal yang terjadi di luar itu seperti kerusuhan atau keadaan yang mencekam bisa membawa tekanan tertentu pada si anak, sehingga dia misalnya menjadi taku sekali untuk pergi ke sekolah atau bergaul dengan teman-temannya, itu sering kali terjadi juga.

GS : Kalau yang bersumber dari dalam rumah sendiri, apa Pak Paul?

PG : Yang paling umum adalah konflik antara orang tua Pak Gunawan, jadi anak-anak yang terus-menerus terekspos pada konflik antara orang tua tidak bisa tidak akan terpengaruh secara negatif. Meeka biasanya akan tertekan sekali, dan karena konflik antara orang tua itu terjadi dengan cukup sering dia akan mengembangkan rasa takut atau dia mengembangkan rasa marah terhadap orang tuanya yang terus berkelahi.

Nah akibatnya rasa takut itu dan rasa marah itu akan keluar, akan luber. Lubernya dalam kelakuan-kelakuan yang bermasalah, kalau dia terlalu penuh dengan rasa takut dia bisa mengembangkan diri yang sangat penakut, penuh dengan kecemasan dan ketegangan. Sebaliknya kalau yang lebih memenuhi hatinya adalah kemarahan, pemberontakan nah dia akan keluar dari rumah membuat masalah di luar, perilakunya menjadi destruktif, tidak lagi mendengarkan bimbingan dari orang lain. Jadi yang paling umum adalah konflik antara orang tua. Yang lainnya lagi adalah sumber dari dalam yakni hilangnya atau dalam hal ini kematian dari seseorang yang dekat dengannya. Jadi tidak jarang Pak Gunawan, kalau si anak itu misalkan dekat dengan kakeknya kemudian si kakek meninggal dunia nah itu bisa menimbulkan gejolak dalam diri si anak. Sehingga akhirnya dalam gejolak itu dia memunculkan reaksi-reaksi tidak mau ke sekolah, maunya di rumah saja, dia bisa mengembangkan rasa takut yang begitu berlebihan. Sekarang dia ketakutan kalau-kalau nanti mamanya atau papanya yang meninggal, gara-gara kakeknya meninggal dia akhirnya menjadi sangat protektif terhadap papa-mamanya dan bisa-bisa dia tidak mau pergi ke mana-mana termasuk ke sekolah karena dia takut kalau dia pergi ke sekolah nanti ayah atau ibunya meninggal dunia. Nah, jadi dia akan mau di rumah saja, akan menuntut orang tuanya terus-menerus melayani dia, nah hal itu juga bisa terjadi. Dan yang terakhir adalah sumber dari dalam yakni perlakuan orang tua yang negatif terhadap anak. Nah ini contohnya adalah kalau misalnya orang tua terlalu sering memarahi anak atau terlalu menolak anak, menuntut anak berlebihan dan sebagainya. Nah itu hal-hal yang akhirnya sangatlah berdampak pada pertumbuhan si anak.
GS : Pak Paul, kalau secara umum antara pengaruh luar dan pengaruh yang dari dalam rumah, itu sebenarnya yang paling besar pengaruhnya yang mana Pak?

PG : Harus saya akui yang paling besar di dalam rumah Pak Gunawan, sebab asumsi saya seberapa besarnya pun tekanan dari luar, kalau keluarga solid keluarga akan bisa memberikan dukungan kepada i anak dalam menghadapi perubahan-perubahan yang harus dilewatinya itu.

Misalkan perpindahan rumah atau sekolah sudah tentu itu membawa stres pada si anak, namun kalau orang tua bisa memberikan kehangatan, penerimaan, dorongan dan si anak bisa berakses langsung ke orang tua bisa berbicara, bisa cerita dsb, nah itu akan menolong si anak untuk bisa melewati masa yang sulit itu. Tapi sekali lagi meskipun lingkungan luar mendukung, tidak ada masalah, si anak itu baik-baik saja di luar, tapi kalau di rumah tidak ada dukungan karena orang tua misalkan pergi dari pagi sampai malam, tidak begitu mempedulikan anak, atau mereka sering kali bertengkar atau perlakuan terhadap anak buruk, seberapa bagusnya pun dukungan yang diterimanya dari luar itu tetap akan mempengaruhi dia kalau yang dari dalam itu sangat buruk.
GS : Karena itu ada yang mengatakan kalau bertengkar jangan di depan anak, tapi sekalipun pertengkaran itu tidak dilakukan di depan anak, saya itu merasa anak itu tahu kalau orang tuanya bertengkar, Pak Paul?

PG : Betul, dan ketegangan itulah yang akan ditangkap oleh si anak bahwa papa-mama dalam keadaan yang tidak baik, sehingga mereka pun tidak begitu berani untuk berbicara dengan orang tuanya, atu cerita kepada orang tuanya, nah kadang-kadang itu yang terjadi.

GS : Jadi kalau begitu apa yang harus kita perhatikan, kalau kita itu sebagai pihak orang tua, Pak Paul?

PG : Ada beberapa panduan yang akan saya bagikan Pak Gunawan, yang pertama adalah tuntutan, jadi orang tua perlu bertanya apakah tuntutannya sesuai dengan kemampuan anak. Adakalanya orang tua brpikiran terlalu positif, orang tua beranggapan bahwa anak saya mampu, nah kenyataannya adalah tidak selalu anak mampu.

Mampu dalam pengertian tuntutan yang diembankan padanya tidak sesuai dengan kemampuannya, sudah tentu kalau misalnya ini yang terjadi, orang tua harus peka dan menyeimbangkannya antara kemampuan anak dan tuntutannya. Misalnya salah satu yang menjadi gejala dewasa ini adalah orang tua menginginkan anak-anak sekolah di sekolah yang unggul. Nah sekolah unggul berarti memang untuk anak unggul dan saya mengerti betapa indahnya kalau anak-anak kita semuanya dikategorikan anak-anak unggul. Tapi faktanya adalah tidak semua anak-anak kita unggul nah kita mesti bisa melihat dengan jelas kemampuan anak-anak kita. Dan misalkan dia itu bersekolah di sekolah yang biasa pun tapi kalau memang dia tidak menyukai bidang-bidang yang tertentu dan hanya bidang-bidang yang tertentu saja dia sukai, kita juga harus bisa memilah untuk bidang yang dia memang tidak begitu bisa. Kita tidak terlalu mendesaknya, memarahinya, kalau dia tidak mencapai angka yang kita inginkan. Kita bisa memberikan dia harapan, kita bisa mendorongnya agar dia belajar tapi setelah dia belajar hasil berapa pun yang dia dapat ya kita terima. Tapi untuk bidang yang kita tahu dia lebih bisa nah kita lebih dorong dia di sana. Salah satu sumber ketegangan antara orang tua dan anak adalah masalah belajar, masalah sekolah dan saya kira salah satu penyebabnya adalah tuntutan orang tua. Nah orang tua juga harus menyadari tuntutan itu harus diikuti oleh rekreasi jangan sampai orang tua lupa, kadang kala orang tua hanya maunya anak belajar, pulang sekolah harus belajar, pulang sekolah harus belajar nah kapan anak itu bisa rekreasi, senang-senang dsb. Jadi perlu ada pembagian waktu kapan belajar, kapan bermain atau bisa main video games atau apa, jadi perlu pembagian waktu sehingga tuntutan yang orang tua embankan kepada anak menjadi tuntutan yang realistik.
WL : Pak Paul, banyak orang tua pada umumnya yang sering saya dengar orang tua menganggap anak di dalam usia anak itu tidak tahu apa yang terbaik buat mereka begitu. Nah jadi tugas kamilah sebagai orang tua atau tanggung jawab kami itu memberikan yang terbaik buat mereka. Jadi kami harus, sebagai orang tua memacu, mendorong anak supaya maksudnya memaksimalkan kemampuan mereka kalau tidak dipacu bisa saja mereka malas padahal sebenarnya mampu, nah itu hikmatnya bagaimana untuk menyeimbangkan hal itu?

PG : Saya setuju bahwa orang tua itulah yang memberi arah kepada anak jadi jangan sampai anak-anak itu tidak mendapatkan pengarahan sama sekali. Anak-anak yang bertumbuh besar tanpa pengarahan rang tua, menjadi anak-anak yang tersesat dalam hidup ini, mencari-cari arah dalam hidupnya.

Jadi perlu sekali, tapi orang tua perlu melihat dengan jelas apa yang menjadi talenta atau kebisaan atau karunia si anak itu. Dan mengarahkan sesuai dengan kemampuan itu. Nah yang saya takut adalah kebanyakan orang tua kurang memahami hal ini. Misalnya kebanyakan orang tua itu beranggapan kalau anak saya bisa mendapatkan nilai 8 di Matematika, seharusnya dia memperoleh nilai 8 di bidang-bidang lainnya misalnya di bidang-bidang lainnya misalnya di bidang bahasa dan sebagainya. Nah faktanya adalah kita pun tahu bahwa kita ini jarang sekali yang bisa semua, kebanyakan kita hanya bisa sebagian, karena itulah ada yang namanya kekuatan kita, ada yang namanya bukan kekuatan kita. Tugas orang tualah untuk mengerti bahwa waktu anaknya jago atau mampu dalam matematika kemungkinan besar dia akan lemah dalam bidang-bidang yang kebalikannya dari matematika misalnya dalam bidang sejarah, hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan bahasa mungkin sekali anaknya lemah di situ. Atau kebalikannya dia kuat dalam bidang bahasa, menulis dsb nah di dalam misalnya ilmu alam dia kurang kuat, nah itu hal yang harus orangtua terima. Jadi saya kira orang tua bermaksud baik supaya anak-anak itu bisa memaksimalkan kemampuan tapi ya harus disadari bahwa kemampuan si anak itu tuh terbatasi dalam bidang-bidang tertentu saja.
WL : Dan itu wajar sekali Pak Paul ya?

PG : Sangat wajar, jadi justru kalau orang tua menyamaratakan bahwa anak harus baik dalam semua bidang, ya, anak itu genius. Nah kenyataannya yang genius itu minoritas, jarang sekali.

GS : Jadi yang dibutuhkan sebenarnya oleh orang tua selain tuntutan juga tuntunan. Jadi adakalanya tuntunan ini yang kadang-kadang dinomorduakan oleh orang tuanya, padahal anak itu lebih membutuhkan tuntunannya dari pada tuntutannya.

PG : Itu istilah yang bagus sekali Pak Gunawan, jadi selain tuntutan juga tuntunan. Nah tuntunan sudah tentu didasari atas pengenalan orang tua akan anaknya nah jangan sampai orang tua tidak megenal anak karena dari pagi sampai malam sudah sibuk pulang-pulang malam sudah tidak tahu lagi anaknya bisa apa, maunya apa, hobynya apa, interestnya apa, dia tidak tahu.

Tugas orang tualah untuk dekat dengan anak, sehingga dia mengerti apa yang sebetulnya menjadi interest si anak itu.
GS : Banyak yang mengatakan orang tua kadang-kadang lebih kenal orang lain daripada kenal anaknya sendiri Pak Paul. Sering kali terjadi begitu, tapi bukankah tiap-tiap orang tua tentu punya harapan-harapan atau idealisme tertentu untuk anaknya Pak Paul, apakah itu salah?

PG : Tidak, tidak salah asal idealisme itu cocok dengan kemampuan si anak, yang menjadi salah adalah kalau idealisme itu tidak ada kaitannya dengan kebisaan si anak, nah itu akan menjadi beban agi si anak.

GS : Misalnya bagaimana Pak Paul, contoh konkretnya?

PG : Misalnya yang paling jelas adalah banyak orang tua tetap masih dipengaruhi oleh cara pikir lamanya yaitu kalau sudah besar anak-anak menjadi dokter, menjadi insinyur, menjadi bankir misalna hanya itu saja.

Padahal sekarang bidang studi sudah begitu menjamur, sehingga tidak ada sekolah satu pun yang bisa mempersiapkan anak untuk menempati jabatan-jabatan yang sekarang tersedia dalam hidup ini. Terlalu banyak ragam pekerjaan sekarang ini, jadi memang tidak bisa disiapkan. Kadang-kadang orang tua karena tahunya hanya beberapa bidang itu memaksa anak masuk ke bidang yang tadi ia pikirkan nah itu 'kan belum tentu tepat. Jadi memang mengarahkan saja dulu, dia kuat di mana itu yang didorong, yang tidak ya tidak.
GS : Apakah itu berkaitan dengan kepribadian anak itu, Pak Paul?

PG : Sangat berkaitan, jadi misalkan anak-anak yang lebih pendiam, mungkin sekali keterampilan interpersonalnya agak lemah. Nah si orang tua tidak bisa membawa anak ini, misalnya masuk menjadi ntrepreneur atau menjadi kuat dalam bisnis, marketing dsb ya mungkin tidak tapi harus diterima bahwa dia punya kekuatan yang lainnya begitu.

WL : Ada kemungkinan tidak Pak Paul, orang tua waktu mudanya tidak mencapai apa yang dia impikan. Bisa karena tidak mampu atau sebetulnya dia mampu cuma kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk mencapai itu, lalu terlampiaskannya kepada anak, jadi memaksa anak begitu Pak?

PG : Itu sering terjadi, jadi akhirnya orang tua menjadikan anak itu perpanjangan dirinya. Perpanjangan diri dalam pengertian yang tidak dia capai dulu nah sekarang dia harapkan terjadi pada anknya.

Ini membawa kita kepada point berikutnya Ibu Wulan yaitu harapan orang tua itu kadang-kadang membawa harapan yang tidak sesuai dengan kepribadian anak. Anak itu harus menjadi apa, tapi kepribadiannya tidak cocok. Tidak bisa berbicara di muka umum didorong-dorong harus bisa memimpin, anak itu memang pendiam suka membaca di dalam kamar ya sudah kita terima. Kita dorong dia boleh tapi jangan dipaksa, jadi harapan-harapan itu sangat penting sekali. Misalnya yang lain lagi adalah penerimaan, nah kadang-kadang orang tua hanya menerima anak kalau anak itu memenuhi kondisi mereka, anaknya manis, ulangannya dapat bagus, tapi apakah anak-anak kita semuanya seperti itu, apakah anak-anak kita semuanya akan manis-manis, kenyataannya kok tidak. Jadi jangan sampai orang tua terlalu menetapkan kondisi, baru menerima anak. Nah anak perlu tahu bahwa apa adanya mereka itu telah diterima sepenuhnya oleh orang tua. Nah jadi kita mesti perhatikan tentang penerimaan itu. Dan yang berikutnya adalah penghukuman, orang tua ini kadang-kadang kalau lagi menghukum anak yang muncul adalah kebencian, marah atas perbuatan anak tidak sama dengan membenci diri anak, nah orang tua jangan sampai membaurkan keduanya. Adakalanya dalam kemarahan orang tua itu memarahi anak dengan nada yang benci, membenci pribadi si anak, itu jangan.
GS : Tapi disiplin tetap perlu ditegakkan, Pak Paul?

PG : Disiplin perlu, jadi kita menyoroti perbuatannya, kita marah atas perbuatannya. Tapi kita tidak membenci diri si anak nah ini orang tua perlu jaga. Yang berikutnya adalah pemberian kasih, adi jangan sampai orang tua ini terlalu berlebihan memberikan kasih, dalam pengertian semua dibolehkan, anaknya tidak pernah salah, orang lain yang salah, semua dibela membabi buta anaknya yang paling hebat, itu pemberian kasih yang sudah tidak lagi tepat sasaran.

Nah ini sering kali justru akan berdampak negatif pada si anak di kemudian hari. Dan yang terakhir adalah orang tua perlu memperhatikan percakapannya, apa yang menjadi isi percakapan kita. Apakah itu lebih sering berisi keluhan-keluhan, ketidakpuasan kita, pembandingan-pembandingan, anak ini begini kamu kok begini atau celaan-celaan, nah hal-hal seperti itu perlu kita perhatikan. Apa yang menjadi karakteristik utama pembicaraan kita di rumah itu yang perlu orang tua tanyakan.
GS : Jadi sebenarnya kalau anak bermasalah itu awalnya orang tuanya yang bermasalah Pak Paul ya?

PG : Sebetulnya kita tidak bisa mematok pasti begitu, kadang-kadang pengaruh-pengaruh luar, teman-teman juga bisa memunculkan masalah. Maka tadi awalnya saya katakan ada masalah yang muncul dar luar.

Namun tetap saya tekankan kalau di rumah kuat, penerimaannya kuat, disiplin juga kuat, seharusnya yang dari luar itu tidak akan mengobrak-abrikkan yang di dalam tapi kebalikannyalah yang sering kali terjadi, di dalam rumah memang sudah ada masalah.
GS : Ya ada bagian Alkitab yang mengatakan apa yang kita tabur itu yang harus kita tuai.

PG : Betul sekali, nah Pak Gunawan dan Ibu Wulan, saya ingin membacakan suatu puisi yang indah sekali, yang saya kira banyak pendengar kita telah juga mendengarnya. Untuk mengingatkan kita apa ang harus kita lakukan sebagai orang tua.

Judulnya adalah anak akan hidup sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya,

Jika anak hidup dengan celaan, dia akan belajar menghakimi orang
Jika anak hidup dengan kebencian, dia akan belajar untuk bermusuhan
Jika anak hidup dengan ejekan, dia akan menjadi minder
Jika anak hidup dengan rasa malu, dia akan dihantui oleh rasa bersalah
Jika anak diberikan semangat, dia akan belajar untuk percaya diri
Jika anak hidup dengan pujian, dia akan belajar untuk menghargai orang
Jika anak hidup dengan keadilan, dia akan belajar bersikap adil
Jika anak hidup dengan rasa aman, dia akan belajar untuk beriman
Jika anak hidup dengan penerimaan, dia akan belajar untuk menyukai dirinya
Dan jika anak hidup dengan persahabatan, dia akan belajar untuk mengasihi hidup ini.

GS : Tapi memberikannya itu harus dalam porsi yang pas itu ya Pak Paul, kalau berlebihan bisa negatif. Seperti pujian misalnya tadi dikatakan bisa berdampak positif tapi kalau pujian itu berlebihan bisa berakibat negati.

PG : Betul, jadi memang perlu keseimbangan dalam segalanya ini.

GS : Pak Paul, sebelum kita mengakhiri pembicaraan kita kali ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang pas untuk mendukung pembicaraan ini.

PG : Amsal 3:27 berkata: "Janganlah engkau menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." Saya tetap ingatkan para orng tua, kita mempunyai tanggung jawab jangan sampai kita menahan tanggung jawab yang baik ini dari anak-anak kita yang berhak menerimanya.

Mereka berhak menerima penerimaan, berhak menerima kasih, berhak menerima disiplin, berhak menerima pemberian semangat, kita harus memberikannya jangan sampai kita menahan kebaikan-kebaikan itu dari anak-anak kita.
GS : Tetapi saya percaya bahwa orang tua akan memberikan yang terbaik untuk anaknya baik bidang pendidikan, dsb. Hanya masalahnya kadang-kadang apa yang diberikan tidak pas Pak Paul, jadi yang dibutuhkan tidak diberikan, yang tidak dibutuhkan malah diberikan.

PG : Salah satu tAnda untuk melihat kita pas atau tidak pas adalah perilaku si anak. Kalau dia mulai memunculkan masalah seharusnya itu adalah tAnda awas o.....o....mungkin yang kita lakukan kuang pas, kita harus lebih sesuaikan lagi.

GS : Pak Paul, kalau masalah itu sebenarnya masalah dalam apa yang sering kali muncul itu?

PG : Biasanya dalam emosi dan perilakunya. Jadi kalau emosi misalnya terlalu mudah naik turun, marah, banting barang atau depresi, sedih, sendu terus-menerus atau dalam bentuk perilaku misalnyamulai bohong, mencuri, mencontek, tidak mau sekolah, membangkang nah itu hal-hal yang berkaitan dengan perilaku.

GS : Jadi terima kasih sekali Pak Paul dan Ibu Wulan, juga pendengar sekalian, bahwa kita sudah melakukan perbincangan pada saat ini tentang suatu topik yang menarik yaitu "Mengapa Anak Saya Bermasalah". Anda baru saja mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



50. Tatkala Nasi Sudah Menjadi Bubur


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T122B (File MP3 T122B)


Abstrak:

Ada yang harus kita perbuat tatkala anak sudah tidak lagi mendengarkan perkataan kita dan tidak bisa lagi membuatnya melakukan hal-hal yang kita kehendaki. Materi ini akan menolong para orang tua menemukan jawaban dalam menghadapi anak yang seperti tersebut di atas.


Ringkasan:

Apa yang harus kita perbuat tatkala anak sudah tidak lagi mendengarkan kita dan kita tidak bisa lagi membuatnya melakukan hal-hal yang kita kehendaki?

Pertama, sadari dan terimalah penyebabnya.

  1. Apakah sumber penyebabnya berasal dari luar (perubahan lingkungan hidup, perubahan gaya hidup, tekanan akademik, tekanan teman) atau dalam (tuntutan tidak sesuai kemampuan, harapan tidak sesuai kepribadian, penerimaan sarat dengan kondisi, penghukuman yang berlebihan, pemberian kasih yang tidak sehat, percakapan yang negatif)

  2. Apakah kondisi penyebabnya bersifat sementara atau permanen? Jika permanen, targetkan pengurangan dampak buruk dan penghentian penyebaran masalah.

  3. Jangan ragu untuk meminta pendapat pihak luar dan jangan terlalu cepat membenarkan diri. Menyangkal hanyalah memperlambat dan menghalangi penyelesaian.

Kedua, rapatkan barisan. Orang tua yang searah akan lebih mudah menghadapi anak yang bermasalah; sebaliknya, ketidakharmonisan antara orang tua akan melemahkan otoritas terhadap anak.

Ketiga, senantiasa seimbangkan kasih dan ketegasan. Kasih mencakup pengampunan; ketegasan mencakup kekonsistenan.

Keempat, anggaplah pergumulan ini sebagai pelayanan. Bukankah kita akan lebih siap berkorban dan bertahan jika kita tahu ini adalah pelayanan?

Matius 7:12 , "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), bersama Ibu Wulan dari SAAT. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Tatkala Nasi Sudah Menjadi Bubur". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada beberapa kesaksian atau keluhan dari orang tua yang mengatakan rasanya dunia ini mau kiamat ketika mendengar anak putrinya berkata: Pa, saya hamil atau anak putranya yang ketangkap basah ketika menggunakan obat-obat bius sehingga orang tuanya dipanggil ke kantor polisi dan berurusan dengan yang berwajib dan sebagainya. Saya percaya peristiwa-peristiwa begitu bisa menimpa keluarga siapa saja Pak Paul. Tetapi sekalipun kita tidak berharap itu menimpa kepada keluarga kita, kalau seandainya hal itu terjadi apakah yang harus kita sikapi sebagai orang tua itu?

PG : Ada beberapa hal yang kita bisa lakukan Pak Gunawan, yang pertama adalah kita mesti menyadari dan menerima penyebabnya terlebih dahulu. Nah sebelum saya menguraikan hal ini saya ingin meneankan satu hal yaitu saya tidak menganjurkan bahwa kita ini terus berputar-putar, berkubang pada penyebabnya bukan itu maksud saya, kita harus berorientasi ke depan pada penyelesaiannya.

Namun dalam rangka mencari penyelesaiannya kita harus tahu dulu penyebabnya, sebab tanpa kita mengetahui penyebabnya kita juga tidak bisa mengoreksi permasalahannya. Jadi yang pertama tentang penyebab ini yang bisa saya sarankan adalah kita perlu bertanya apakah sumber penyebabnya ini berasal dari luar atau dari dalam keluarga kita. Sebagaimana tadi atau sebelumnya kita telah bahas bahwa problem bisa muncul dari luar atau dari dalam keluarga. Yang dari luar misalnya adalah perubahan tempat tinggal, perubahan lingkungan hidup atau perubahan gaya hidup. Biasanya anak itu hidupnya lebih mewah, sekarang tidak mewah, misalnya juga tekanan-tekanan akademik, atau tekanan-tekanan dari teman, nah itu adalah problem yang berasal dari luar dan kita harus benar-benar bisa melihat apakah problemnya dari luar dan kalau dari luar, apa itu? Ataukah problem dari dalam, misalkan kita menyadari bahwa kita telah memberikan tuntutan yang tidak sesuai dengan kemampuan si anak, kita telah membebani anak dengan harapan yang tidak sesuai dengan kepribadiannya atau kita menyadari bahwa kita ini memberikan penerimaan kepada anak yang sarat dengan kondisi-kondisi. Kalau anak tidak melakukan yang kita inginkan kita langsung menolaknya atau kita telah memberikan penghukuman yang berlebihan yang penuh dengan kebencian-kebencian atau kita memberikan kasih yang tidak sehat, semua boleh membiarkan anak berlaku semaunya. Atau kita memang sering kali mengisi percakapan dengan anak itu dengan hal-hal yang negatif, kita membandingkan anak, mencela anak dsb. Kita perlu bercermin apakah penyebabnya dari luar atau dari dari dalam, dan kalau dari luar apa dan kalau dari dalam apa, nah jadi perlu sekali kita melihat hal-hal ini.
GS : Tapi sering kali gabungan penyebab dari luar dan dari dalam itu Pak Paul yang sering kali juga terjadi?

PG : Betul, jadi kadang-kadang masalah memang sudah ada dalam rumah dimunculkannya di luar itu yang sering kali terjadi. Atau bisa juga kebalikannya problem dari luar, dia ditolak di luar, tema-temannya tidak bisa lagi menerima dia, dia dikucilkan nah dibawa ke dalam rumah, dia akhirnya bermasalah, sering melawan orang tuanya itu juga bisa terjadi.

WL : Pak Paul, kalau orang tua akhirnya sudah mencari tahu penyebabnya apa, terus juga sudah berusaha berbagai cara supaya masalahnya bisa ditangani atau diatasi tapi ternyata tidak berhasil begitu. Apakah menurut Pak Paul bijak kalau orang tua ini meminta pertolongan dari luar, sedangkan mungkin malu kalau sampai orang luar mengetahui masalah dalam keluarga?

PG : Saya kira orang tua perlu dan jangan malu meminta pertolongan dari luar. Sebab begini Bu Wulan, kadang-kadang anak-anak kita itu waktu melihat kita berusaha mendekatinya, dia sudah mempunyi sikap negatif terhadap kita, dia tidak akan menerima uluran tangan kita.

Justru perbuatan baik kita ditampiknya, omongan kita diputarbalikkannya, dan sering kali yang terjadi adalah justru mereka sengaja mau menyerang kita, jadi benar-benar menangkap peluang untuk bisa membalas dendam atau menyerang kita. Itu sebabnya dalam kondisi seperti itu jangan kita orang tua memaksakan, kadang-kadang memang tidak bisa lagi jadi lebih baik kita mencari masukan dari luar, hanya masalahnya kira-kira apakah orang bisa membantu. Misalnya anak dibawa ke seorang psikolog atau ke seorang konselor atau hamba Tuhan agar bisa diajak bicara. Sebab sering kali mereka lebih mau berbicara dengan orang lain daripada dengan kita sebagai orang tuanya.
WL : Kalau penyebabnya itu bersifat permanen, apakah masih bisa tertolong menurut Pak Paul? Dari konselor atau dari apa begitu.

PG : Salah satu tugas kita adalah memang memilah apakah problem anak kita ini bersifat permanen atau sementara. Apa yang saya maksud dengan permanen atau sementara, misalnya begini, hal-hal yan berkaitan dengan perubahan gaya hidup, lingkungan hidup itu sering kali sementara.

Ya misalnya anak kita pindah sekolah, atau kita pindah tempat tinggal dan anak kita mulai memunculkan masalah, sering kali masalahnya bersifat sementara karena itu menandakan si anak sedang beradaptasi. Dalam beradaptasi tidak selalu berhasil, akan jatuh bangun, kita perlu memberikan dorongan, mencarikan teman dsb. Kalau yang permanen saya berikan contoh, anak kita terlibat narkoba nah itu permanen dalam pengertian bukan seumur hidup, bisa saja tidak tapi kalau dia sudah kecanduan itu berarti sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dengan mudah. Dan ini berarti akan menjadi problem yang memakan waktu lama untuk menanganinya. Nah orang tua perlu membedakan keduanya sehingga dalam menangani si anak respons orang tua juga lebih tepat dan realistik. Misalkan untuk masalah-masalah seperti kecanduan obat, kalau orang tua berharap dengan diomeli habis-habisan atau dipukul sekeras-kerasnya besok si anak kapok atau jera, ya orang tuanya itu keliru. Karena apa? Ya hari ini dia dipukuli habis-habisan dia akan kapok, tapi besok kecanduannya muncul lagi dia nagih lagi, dia tidak peduli orang tua berkata apa, dia tetap akan pergi. Jadi hal-hal itu permanen, atau anak kita mempunyai penghargaan diri yang miskin sekali, sehingga butuh teman untuk menerimanya akhirnya melakukan hal-hal yang salah dengan teman-temannya, kita larang dia pergi dengan teman-temannya, kita marahi dia pergi dengan teman-temannya tapi masalahnya itulah penghargaan diri dia, itulah jati diri dia, dia tidak ada teman dia benar-benar tidak ada yang menganggap. Nah dari pada dia hidup tidak ada yang menganggap lebih baik dia tetap bermain dengan teman-temannya itu. Nah larangan kita sering kali tidak akan efektif sebab itu jati diri dia, itu lingkup dia. Dia mungkin di rumah juga merasa tidak dia bisa berbicara dengan siapa-siapa, dia tidak mempunyai telinga yang mau mendengarkannya, dan dia sudah terbiasa cerita dengan teman-temannya itulah keluarga dia di luar rumahnya, nah akhirnya kita berusaha menghentikan memutuskan hubungan dengan teman-temannya akan sangat sulit. Nah jadi orang tua perlu memilah, masalah ini bersifat permanen atau sementara.
GS : Tapi bukankah itu sulit khususnya bagi kita sebagai orang tua yang awam ini untuk menganalisa sampai sejauh itu, Pak Paul?

PG : OK! Mungkin petunjuk yang lebih praktis adalah apakah anak ini sudah lama bermasalah, jadi lama atau cepat itu juga sering kali berpengaruh. Kalau terlalu lama berarti memang bisa lebih laa, kalau baru muncul masih dalam tahap dini kita ketahui, itu berarti bisa lebih cepat selesai.

Yang berikutnya apakah usaha kita untuk mengoreksinya membuahkan hasil dengan cepat, kalau membuahkan hasil dengan cepat berarti memang lebih bersifat sementara. Misalkan anak kita itu tidak mau sekolah, terus mulai uring-uringan tidak mau sekolah dsb, kemudian kita mencari tahu duduk masalahnya o.....tidak ada teman. OK! Kita proaktif, kita mengajak dia ke rumah teman, kita bawakan teman ke rumah dia, nah itu yang bersifat sementara. Tapi misalnya dia selalu berbicara, dia anak yang tidak berguna, dia anak yang tidak bisa apa-apa, dan tidak percaya diri sama sekali, nah hal-hal seperti itu kita perlu sadari akan memakan waktu untuk berubah karena lebih bersifat pribadi, tidak gampang untuk merombak cara pikir yang sudah negatif seperti itu.
GS : Ya saya pernah berbicara dengan seorang ibu yang anaknya hamil di luar nikah, Pak Paul. Saya katakan lho kamu tidak tahu kalau anakmu kumpul sama orang itu, ya anaknya selalu bilang kami cuma teman biasa. Baru suatu saat dia mengatakan bahwa dia itu hamil tapi bukankah itu sudah terlambat.

PG : Betul, seharusnya memang saya katakan tidak berarti kita bisa selalu mengetahui, tapi ada hal-hal yang seharusnya bisa kita lihat misalnya perubahan-perubahan sikap pada anak-anak kita. Kaau anak-anak kita lebih menegatif sekali, mulai menyerang kita nah itu tanda awas, kita harus mulai bertanya-tanya kenapa dia mempunyai begitu banyak kemarahan.

Apakah kita yang terlalu membatasinya, tidak memberikan dia ruang gerak ataukah ada hal-hal lain yang terjadi dalam diri dia yang membuat dia itu dalam keadaan yang tidak senang, bad mood terus-menerus dan dia lampiaskan kemarahannya pada kita. Nah kita tahu atau tidak tahunya sangat bergantung pada kualitas komunikasi kita dengan dia. Kalau kita dari awalnya dari kecilnya memang sudah mempunyai komunikasi yang baik dengan anak, kecenderungannya kita masih bisa pertahankan hal itu meskipun kwantitas berkurang, karena anak-anak remaja cenderungannya tidak lagi banyak bicara dengan kita. Meskipun kwantitas berkurang tapi kwalitas seharusnya masih ada. Dia masih mau cerita dan terbuka dengan kita, kita pun juga bisa bertanya-tanya bukan sebagai detektif tapi sebagai seorang teman. Nah dari hal-hal itulah kita bisa memantau perkembangannya, teman-temannya siapa kita juga mau tahu, kadang-kadang mereka bawa ke rumah kita mau lihat dengan siapa mereka pergi. Nah hal-hal itu seharusnya tetap dipantau oleh orang tua. Sebab sekali lagi saya ingin tekankan satu prinsip, anak yang tahu bahwa dia dipantau akan lebih berhati-hati, anak yang tahu dia tidak dipantau oleh orang tuanya cenderung akan lebih sembrono dan sembarangan.
GS : Apakah ada sikap yang lain Pak Paul, yang harus diambil oleh orang tua khususnya kedua orang tua kalau ada hal-hal yang tidak menyenangkan seperti itu?

PG : Misalkan kalau kita sadari bahwa memang masalahnya ini masalah yang permanen, contoh tadi anak kita hamil, nah kita tidak bisa berbuat apa-apa karena anak ini sudah hamil. Yang kita bisa lkukan adalah tetap menerima si anak, itu yang pertama, yang kedua adalah kita mencoba mengurangi dampak negatifnya.

Sekali lagi kita tidak bisa hilangkan masalah ini, kita mencoba mengurangi dampak negatifnya. Misalkan kita membawa anak ini yang sudah hamil ke tempat yang lebih terpisah, sehingga dia bisa lepas dari lingkungannya dan tidak menanggung malu, kita tetap bisa bersama dia di sana, temani dia sampai dia misalnya melahirkan. Dan setelah melahirkan kita juga (sebelumnya ya), kita sudah rancang apa yang akan kita lakukan yakni kita akan serahkan anak itu untuk diadopsi misalkan. Jadi sudah dari jauh-jauh hari anak kita, kita persiapkan hatinya bahwa nanti anak kamu akan diadopsi dan kita mesti siapkan hati. Jadi sekali lagi kita sering kali dalam keadaan seperti itu tidak bisa menghilangkan problem tapi kita mencoba mengurangi dampak buruk dari problem itu. Nah ini kadang-kadang yang terbaik yang orang tua bisa lakukan, hanya itu sebetulnya.
GS : Tapi bukankah itu membutuhkan kesepakatan antara suami dan istri atau orang tua dari anak itu Pak Paul, kalau yang satu bilang begini, yang lain bilang begitu bukankah akan menjadi sulit?

PG : Betul, jadi salah satu hal yang harus dilakukan orang tua adalah mereka perlu merapatkan barisan. Merapatkan barisan artinya, orang tua perlu bersatu. Saya mau tekankan satu prinsip di sin, kalau orang tua tidak bisa bersatu susah sekali akan ada perubahan pada diri anak kita, itu sangat sulit.

Jadi orang tua memang harus menahan diri apapun yang menjadi problem di antara mereka harus mencoba selesaikan, sehingga mereka bisa bersatu. Sekali lagi saya tekankan kalau orang tua tidak bersatu, sulit bagi mereka untuk bisa mendidik anak atau mengoreksi problem yang sedang dihadapi oleh anak itu.
GS : Padahal justru pada saat-saat seperti itu biasanya mereka saling menyalahkan, ini salah kamu.

PG : Itu sering terjadi Pak Gunawan, yang sering kali kita dengar adalah yang satu menyangkal dan memindahkan masalah pada pasangannya, yang satu menerima inilah memang problem anak, tapi yang atu berkata bukan itu.

Saya pernah bertemu dengan kasus seperti ini Pak Gunawan, begitu tebalnya penyangkalan. Seperti ini, anak itu jelas-jelas terkena gangguan jiwa yang serius dalam istilah medisnya atau istilah psikiaternya adalah anak itu terkena schizophrenia, tapi ada satu orang tua yang berkata anak saya itu tidak apa-apa, anak saya hanya perlu kasih sayang. Ya memang betul si orang tua itu merasa bersalah karena kurang memberikan kasih sayang sebelumnya. Yang satu berkata jelas anak saya sakit, tapi yang satunya berkata tidak anak saya tidak sakit, hanya perlu kasih sayang. Makanya perlu sekali kita merapatkan barisan yang setuju, tidak lagi menyangkali faktanya.
WL : Ya Pak Paul, idealnya seperti itu, justru karena ada masalah timbul mereka suami-istri bersatu padu menangani anak ini begitu ya. Tapi yang sering kali terjadi bagaimana kalau misalnya sudah ada "pihak ketiga" yang terlibat, misalnya ada WIL atau PIL, bukankah itu akan lebih rumit lagi penanganannya, jadi bagaimana Pak Paul?

PG : Wah itu memang sangat-sangat komplek, si anak susah sekali untuk mendengarkan masukan dari orang tua yang mempunyai simpanan di luar, yang berhubungan dengan orang ketiga di luar, dia akansulit mendengar itu.

Tapi dia juga bisa-bisa sulit mendengarkan petuah dari orang tua yang menjadi korban, yang misalnya dirugikan, si suami itu ada perempuan lain di luar. Nah si anak susah mendengarkan kata-kata papanya karena papanya ada perempuan lain di luar, namun juga cukup sering si anak susah mendengarkan kata-kata mamanya. Karena dalam keluarga kadang-kadang yang terjadi adalah meskipun anak itu tidak suka dengan tindakan papanya karena berselingkuh, tapi dia sebetulnya menghargai si papa karena si papa misalnya orangnya lebih bisa mendengarkan si anak, lebih bisa berdialog dengan si anak, tidak mudah marah dengan si anak, justru si anak ini lebih susah berbicara dengan mamanya karena mamanya misalnya dianggap susah sekali bisa mengerti dia, terlalu cepat menghakimi dia. Nah jadi akhirnya si anak tidak mau mendengarkan dari kedua belah pihak, dari si papa meskipun dia senang dengan papanya tapi papanya sekarang ada perempuan lain dan itu membuat dia sangat marah, tidak mau juga mendengarkan dari si mama karena dia juga tidak begitu menghormati si mama dan tidak pernah benar-benar dekat dengan si mama. Nah jadi itu juga sering terjadi, makanya kalau sudah ada orang lain di luar rumah, masalah memang akan sangat kompleks karena orang tua sudah kehilangan otoritas untuk bisa mengoreksi perilaku si anak.
GS : Pak Paul, sebenarnya kalau anak mengalami masalah yang sudah lanjut seperti tadi entah kecanduan obat atau hamil atau apapun juga, sebenarnya apa yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anak itu, Pak Paul?

PG : Saya kira kita terus menggunakan satu prinsip yang kekal dari dulu sampai sekarang tetap benar yaitu kita memberikan ketegasan tapi kita juga memberikan kasih, kita menerima dirinya tapi kta menegur perbuatannya.

Kita tetap berkata bahwa engkau anakku, kami tetap menyayangimu tapi kami tidak bisa menerima perbuatanmu. Jadi kita memang akhirnya harus bisa mengkomunikasikan keduanya, meskipun ini sangat sulit sekali. Kebanyakan kita sebagai orang tua karena terlalu terluka oleh tindakan anak-anak kita, kita akhirnya lebih suka tidak mau ada kontak dengan dia, kita tidak mau lagi mendengar apapun yang terjadi pada dirinya, kita tidak mau tahu lagi. Nah penolakan seperti ini juga akhirnya memutuskan komunikasi dan menutup peluang si anak itu kalau misalnya bertobat dia mau kembali ke rumah. Jadi penting sekali tetap kami menyayangi engkau, namun kami tidak setuju dengan perbuatanmu dan karena kami tidak setuju ini tindakan kami. Jadi kedua tindakan ini tetap harus diberikan, kadang-kadang kasih yang kita berikan, kadang-kadang ketegasan yang kita berikan, terus keduanya harus diberikan.
GS : Tapi itu menjadi sulit Pak Paul, kalau anak itu meninggalkan rumah, jadi dia memang setelah tahu masalahnya terungkap dia sengaja meninggalkan rumah itu tanpa pengetahuan orang tuanya, sampai orang tuanya sendiri berkata karena mungkin dalam emosi dsb ya memang sejak itu kami putus hubungan dengan anak ini. Itu bagaimana penyelesaiannya, Pak Paul?

PG : Saya sarankan sebetulnya jangan sampai berkata putus hubungan, kita bisa berkata kepada si anak: "Kamu pilih jalan mana yang kamu mau tempuh sekarang, kalau mau tinggal dalam rumah na ini yang kami harapkan dari kamu, kalau kamu tidak bisa menuruti yang kami tetapkan bagi kamu nah terpaksa kamu juga harus keluar dari rumah ini."

Jadi dengan kata lain jangan sampai kita serta-merta memutuskan hubungan tanpa memberikan kesempatan kepada si anak untuk memilih. Nah waktu kita memberikan kesempatan bagi dia untuk memilih, kita ini mau mengatakan kepada dia bahwa kita tetap mengasihi dia dan kita inginkan dia kembali ke rumah. Tapi dalam rumah ada aturannya dan ini yang kita akan minta dia taati, kalau dia tidak bisa taati peraturan-peraturan ini berarti memang dia harus ke luar dari rumah ini.
GS : Yang saya maksud tadi anaknya itu dia tanpa berkonsultasi dengan orang tuanya dia langsung meninggalkan rumah.

PG : Apa yang harus dilakukan, ada orang tua yang mengejar anaknya, mencari-cari anaknya, nah saya tidak bisa salahkan ini karena saya tahu orang tua rasanya susah kalau anak tidak dicari. Jaditerus dicari-cari tapi saya mau memberi satu masukan, kalau sudah berkali-kali terjadi saya kira sebaiknya jangan dicari lagi, biarkan.

Dalam pengertian anak ini yang nanti harus pulang, karena kalau terus dicari-cari, dibujuk-bujuk terus supaya pulang pada akhirnya si anak tidak belajar apa-apa. Saya juga tidak mau tidak realistik dan berkata sekali dia keluar dari rumah sudah peduli amat jangan dicari, saya kira itu juga tidak realistik, orang tua yang pasti ingin mencari. Tapi kalau sudah berkali-kali terjadi anak itu terus kabur, lari lagi, tidak pulang lagi, saya kira yang terbaik adalah diamkan. Waktu dia pulang baru kita konfrontasi dia dengan yang tadi saya katakan, silakan engkau pulang dan kami mau engkau pulang tapi di rumah ini kami mengharapkan engkau harus tunduk pada permintaan kami dan ini permintaan kami, kalau engkau tidak bisa penuhi silakan engkau keluar.
GS : Mungkin ada sikap yang lain Pak Paul yang harus kita tunjukkan sebagai orang tua?

PG : Yang terakhir adalah ini Pak Gunawan, kita harus melihat ini sebagai sebuah pelayanan. Pelayanan yang kadang kala nomor satu panjang, perjalanannya ini panjang sekali dan nomor dua pelayann yang penuh dengan kegagalan.

Yang saya maksud dengan kegagalan adalah orang tua akan mencoba seribu satu macam usaha atau cara namun tidak berhasil. Bukankah kita sering mendengar orang tua berkata: kami kerasi anak ini tidak jalan juga, kami lembuti baik-baik dia tidak jalan juga, tidak tahu lagi mesti diapakan, memang itulah jalurnya, perjalanannya. Jadi benar-benar tidak ada jalan pintas dan jarang sekali bisa menemukan cara yang paling jitu. Dengan kata lain berbagai cara betul dan berkali-kali gagal, nah saya mendapatkan istilah anggaplah ini pelayanan dari orang tua yang mengalami masalah seperti ini Pak Gunawan dan Ibu Wulan. Orang tua ini berkata : saya kok anggap ini pelayanan, bukankah kalau ini terjadi pada anak lain yang saya layani, saya akan bersedia menderita, berkorban, menanti, berdoa untuknya. Kenapa saya tidak bersedia melakukan hal yang sama untuk anak saya. Jadi benar-benar menganggap ini pelayanan yang Tuhan berikan pada keluarga kita. Kenapa juga penting menganggap ini sebagai pelayanan, sedikit banyak kalau kita berkata ini pelayanan, kita mulai memisahkan diri kita dari masalah ini atau dari anak kita. Saya kira terlalu dalam luka orang tua kalau terus melihat anaknya seperti itu, nah waktu dia berkata ini pelayanan saya sedikit banyak masalah ini dipisahkan dari dirinya sebagai pelayanannya supaya hatinya tidak terlalu hancur. Sebab hati yang terlalu hancur akan menyulitkan dia efektif mendidik si anak. Nah waktu dia pisahkan mungkin dia lebih bisa bertahan, terus bertahan dan saya ingatkan juga bahwa ini akan menuntut banyak kegagalan, jadi jangan putus asa waktu gagal. Sebab memang akan menghadapi mungkin seribu satu macam kegagalan.
GS : Jadi sebenarnya Pak Paul, kita sebagai orang beriman, itu 'kan tidak pernah menganggap bahwa suatu masalah itu sudah tidak ada harapan lagi untuk menjadi baik, Pak?

PG : Kita akan terus berharap, tapi kita tahu bahwa ada harapan yang bisa membuahkan hasil dengan cepat, ada harapan yang akan makan waktu yang lama untuk membuahkan hasil, dan kita harus terim itu.

Salah seorang hamba Tuhan yang pernah dilanda masalah karena perilaku anak-anaknya adalah Billy Graham sendiri. Jadi kedua putranya pada masa remaja dan dewasa mudanya mengalami pergumulan, pergolakan, dan Billy Graham mengakui dalam otobiografinya bahwa itu sedikit banyak berkaitan dengan seringnya dia pergi. Tapi puji Tuhan kedua anaknya bertobat.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mengikat kita dalam pembicaraan ini, melandasi pembicaraan ini.

PG : Saya akan bacakan dari Matius 7:12 , "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Pada waktu anak-anak elah begitu bermasalah, nasi telah menjadi bubur, kita ingat apa yang kita kehendaki orang perbuat kepada kita, kalau kita dalam kondisi itu.

Nah itulah yang coba kita terapkan pada anak-anak kita, jadi selalu kita gunakan prinsip Alkitab ini, kalau saya dalam kondisi anak saya apakah yang saya inginkan dari orang tua saya, nah kita coba berikan itu, kita terus berikan itu.

GS : Ini sabda Tuhan Yesus sendiri Pak Paul ya, terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbicangan kali ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang "Tatkala Nasi Sudah Menjadi Bubur". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



51. Orang Tua Otoriter


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T123B (File MP3 T123B)


Abstrak:

Salah satu kriteria orang tua otoriter adalah seberapa banyak kita mengekang anak dan tidak membiarkan mereka memiliki ruang geraknya sendiri. Orang tua yang otoriter tidak mengijinkan anak mempunyai pendapat sendiri, memiliki minat yang berbeda, atau melakukan sesuatu yang berbeda. Anak memerlukan ruang untuk bergerak, agar ia terlatih untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.


Ringkasan:

Salah satu kriteria orang tua otoriter adalah seberapa banyak kita mengekang anak dan tidak membiarkan mereka memiliki ruang geraknya sendiri. Orang tua yang otoriter tidak mengijinkan anak mempunyai pendapat sendiri, memiliki minat yang berbeda, atau melakukan sesuatu yang berbeda. Saya setuju dengan pendapat bahwa orang tua harus menjadi pemimpin anak-anaknya. Namun ini tidak berarti orang tua dapat memaksakan seluruh kehendaknya. Anak memerlukan ruang untuk bergerak, agar ia terlatih untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.

Masalahnya sekarang, kapankah kita tahu bahwa kita telah memaksakan seluruh kehendak kita, padahal yang kita maksud adalah mendidik anak agar mereka mempunyai hidup yang baik kelak? Untuk membedakan mana yang otoriter dan mana yang tidak memang dibutuhkan kepekaan ekstra dari orang tua atas dirinya sendiri. Kalau kita dapat memikirkan apa yang dipikirkan anak dan merasakan apa yang mereka rasakan setiap kali kita berkomunikasi dengan mereka, kita akan memiliki kepekaan itu. Jadi, kalau misalnya anak selalu salah, apapun yang mereka lakukan, dan hal ini membuat mereka apatis, atau sebaliknya memberontak habis-habisan, ada kemungkinan kita telah bertindak otoriter.

Akibatnya bagi anak bila kita bersikap otoriter?

  1. Anak akan bertumbuh menjadi orang yang bergantung pada orang lain.

  2. Anak menjadi keras kepala dan sulit diatur. Ini akan terjadi pada anak yang lebih berani.

Dalam keadaan tertentu, kita memang tidak akan sempat lagi berdebat dengan anak karena mendesaknya waktu. Dalam keadaan demikian, kita perlu mengambil tindakan yang bersifat otoriter. Saya kira pemimpin manapun tentunya pernah melakukan tindakan dan keputusan sepihak tanpa persetujuan bawahannya, yaitu terutama dalam situasi darurat. Tetapi sedapat mungkin dalam kebanyakan keadaan, berikan pilihan-pilihan kepada mereka, sehingga anak relatif mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri bersama dengan konsekuensinya.

Dapat dikatakan bahwa gaya mendidik yang otoriter kita perlukan lebih banyak pada usia-usia dini anak, dan hendaknya semakin demokratis ketika anak semakin dewasa. Seharusnya pada saat remaja, anak semakin memperoleh kebebasannya. Untuk itu, kita perlu menyelesaikan penanaman dasar moral dan kebiasaan yang baik sesaat sebelum anak memasuki usia remaja. Sehingga ketika anak remaja diberi kebebasan menentukan dirinya lebih banyak, mereka tidak mengambil tindakan yang kurang bertanggung-jawab.

Otoriter itu didominasi oleh pemaksaan-pemaksaan orang tua kepada anak, jadi lebih banyak bertujuan memuaskan keinginan, target, ambisi, bahkan hawa nafsu orangtua sendiri. Sebaiknya orang tua dalam melakukan tindakan mendisiplin ataupun berelasi dengan anak dengan dilandaskan kasih sayang, jadi lebih banyak memikirkan kebutuhan dan kemampuan anak. Dalam hal ini orang tua lebih baik bersikap demokratis dan memberi ruang kepada perbedaan anak dengan orang tua, dan memberi ruang juga bagi anak untuk bertanya dan mencari alasan mengapa suatu hal diijinkan dan hal lain tidak diijinkan.

Efesus 6:4 , "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Firman Allah yang Hidup. Dan sekarang sedikit nasihat kepada para orang tua. Jangan terus-menerus menggusari dan mencari-cari kesalahan anak-anak Saudara, sehingga membuat mereka marah dan jengkel. Tetapi didiklah mereka dengan tata tertib yang penuh kasih dan yang menyukakan hati Allah, dengan saran-saran dan nasihat-nasihat berdasarkan firman Allah.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Orang Tua Otoriter." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, istilah otoriter itu memang sering kita dengar, tapi selama ini biasanya itu dikaitkan dengan pemerintahan, dengan sistem di kemiliteran dan sebagainya. Nah ini kalau dikaitkan dengan hubungan orang tua dan anak, otoriter itu artinya apa Pak?

HE : Nah kalau kita mau melihat apakah orang tua itu otoriter atau tidak kita bisa mengukurnya dari orang tua itu sendiri. Yaitu seberapa banyak orang tua melakukan tindakan mengekang anak dan idak membiarkan anak-anak memiliki ruang geraknya sendiri.

Jadi orang tua yang otoriter tidak mengizinkan anaknya mempunyai pendapat sendiri, mempunyai minat yang berbeda atau melakukan sesuatu yang berbeda. Anak-anak selalu berada di dalam tekanan terus-menerus untuk bertindak bahkan juga untuk berpikir sesuai dengan keinginan orang tua.
GS : Sering kali kita orang awam menyebut itu orang tua keras sekali.

HE : Ya, bisa kadang-kadang dalam istilah sehari-hari kita katakan bahwa itu orang tua yang keras sekali tapi sebetulnya itu tindakan yang otoriter.

GS : Apakah ada yang berbalikan dengan itu yang berbalikan 180° dengan orang tua yang otoriter ini, orang tua apa Pak?

HE : Orang tua yang permisif atau dikatakan dengan istilah kadang-kadang disebut Laissez-faire. Jadi orang tua yang membiarkan anaknya, tidak melakukan tindakan apa-apa untuk anak-anaknya.

GS : Jadi otoriter ini dinyatakan atau bisa kita lihat lewat tindakan orang tua itu Pak?

HE : Lewat tindakan orang tua.

GS : Nah, tapi kita sebagai orang tua itu tentunya menghendaki anak-anak kita itu nanti menjadi orang yang baik, sehingga sebagian besar orang tua memang mempunyai prinsip saya harus mendidik anak saya itu untuk menurut pada saya. Bukankah saya lebih tua, saya lebih pengalaman, saya lebih banyak tahu, begitu Pak Heman?

HE : Ya itu betul, prinsip itu betul tetapi pada saat prinsip itu diterapkan kita harus sungguh-sungguh memikirkan beberapa hal supaya kita tidak bertindak otoriter atau semena-mena. Jadi untukmembedakan mana yang otoriter dan mana yang tidak otoriter itu memang dibutuhkan kepekaan yang ekstra dari orang tua atas dirinya sendiri.

Kalau kita bisa memikirkan misalnya apa yang dipikirkan pada anak selagi kita melakukan hal ini, melarang ini, melarang itu, apa yang mereka rasakan setiap kali kita berkomunikasi dengan mereka maka kita akan mulai memiliki kepekaan ini. Kepekaan apakah saya sedang melakukan sesuatu yang otoriter atau tidak. Jadi kalau misalnya anak selalu kita salahkan, apapun yang mereka lakukan kita marahi, jadi mereka sering kali menjadi ragu-ragu tidak bisa begini, tidak bisa begitu akhirnya mereka menjadi apatis atau memberontak habis-habisan (sebaliknya dari apatis), nah ada kemungkinan di sana kita sudah bertindak otoriter.
GS : Kalau begitu berarti orang tua ini perlu ada suatu kedekatan tertentu dengan anak-anaknya Pak?

HE : Betul, kalau misalnya anak-anak ini selalu menjauh dari orang tua dan tidak merasa nyaman berdekatan dengan orang tuanya, nah di situ ada kemungkinan orang tua sudah bertindak otoriter.

GS : Jadi kalau orang tua itu terlalu menekankan disiplinnya tetapi kedekatannya sangat rendah dengan anak-anaknya, itu bisa menjadi orang tua yang otoriter begitu Pak?

HE : Ya betul, tetapi masalahnya adalah kapan kita tahu bahwa kita itu sudah memaksakan kehendak diri kita sendiri.

GS : Padahal kita, dalam hati kecil kita itu tentu bermaksud mendidik mereka supaya nantinya menjadi baik, Pak?

HE : Ya ukurannya adalah bagaimana kita masih menyediakan ruang gerak bagi mereka, sebisa mungkin kalau misalnya itu tidak membahayakan diri anak-anak itu. Kita juga harus memikirkan bahwa serig kali kita melarang ini dan melarang itu, sebetulnya itu lebih beralasan untuk memuaskan keinginan kita, ambisi kita, tujuan-tujuan kita sendiri dan kita kurang memikirkan bahwa ini sebetulnya hanya masalah perbedaan antara anak dengan orang tua.

Perbedaan gaya, perbedaan cara berpikir, perbedaan situasi, latar belakang, suasana sosial sekarang ini dsb. Nah itu yang harus kita pikirkan, kalau kita memang lebih mudah untuk melarang semua hal tetapi masalahnya adalah bahwa anak kemudian tidak bertumbuh sesuai dengan irama mereka sendiri, perkembangan mereka sendiri dan akhirnya mereka menjadi lumpuh secara sosial, mereka tidak berani mengambil keputusan sendiri. Bahkan mereka menjadi orang yang tidak berani bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Nah ini kerugiannya kalau kita sebagai orang tua bertindak otoriter.
GS : Pak Heman, sering kali memang yang sulit itu adalah bagaimana kita menempatkan diri kita pada diri anak itu, makanya kita lebih gampang menuntut supaya anak itu yang menempatkan dirinya pada diri kita, Pak?

HE : Ya betul, ini kesimpulan yang baik sekali, saya kira inilah masalah dari orang tua sering kali kita tidak bisa membayangkan kita sebagai anak. Memang ini karena sebagian kita itu sudah jau dari kehidupan anak, kita sudah melewati masa anak-anak sudah sekian lama dan kita mungkin akhirnya meniru pola orang tua kita mendidik kita.

Lalu daripada kita susah-susah sudah begini saja dan kita memaksakan kehendak kita pada anak-anak. Padahal mungkin belum tentu itu hal yang cocok atau pas buat anak-anak.
GS : Kita memakaikan baju kita kepada anak pasti tidak cocok Pak, kalau sikap otoriter orang tua ini berkelanjutan, apakah dampaknya terhadap kehidupan anak-anak, Pak Heman?

HE : Ada dua kemungkinan yang ekstrim, memang ini masih bergantung pada masing-masing anak. Kadang-kadang kita juga bisa mendapati anak-anak yang rasanya masih bisa bertumbuh dengan wajar, tetai dalam keadaan yang normal ada dua kemungkinan yaitu yang pertama anak itu menjadi apatis atau pasif.

Karena segala sesuatu sudah dikerjakan oleh orang tua, dan orang tua yang selalu benar dan anak selalu salah sehingga anak-anak tidak berani melakukan apa-apa dan akibatnya dia juga tidak berani untuk mengambil keputusan, pasif, apatis. Nah di lain pihak ada anak-anak yang lebih berani, pada anak-anak yang lebih berani mereka akan melawan habis-habisan, memberontak. Kenapa habis-habisan? Karena ketika mereka melawan menunjukkan tanda-tanda pemberontakan, baru tanda saja itu sudah ditekan habis oleh orang tua. Mereka tidak boleh berbeda dengan orang tua dan semakin ditekan anak-anak ini semakin memberontak, nah ini dua hal yang kemungkinannya bisa terjadi.
GS : Pak Heman, kadang-kadang kita itu memang sudah menghindari untuk tidak bertindak otoriter, tetapi ada waktu-waktu tertentu kita itu secara jelas melihat anak kita itu sedang menuju sesuatu yang berbahaya Pak, yang bisa merugikan dia, nah apakah dalam waktu atau kondisi seperti itu kita tidak boleh bertindak otoriter?

HE : Ini pertanyaan yang baik sekali, dan memang saya kira kita juga harus bijak, kita harus berhikmat. Jadi adakalanya itu terjadi, kita harus mengambi tindakan yang otoriter. Tetapi mengambiltindakan yang otoriter bukan berarti kita sepanjang waktu bersikap otoriter kepada anak.

Nah ada keadaan-keadaan darurat yang kita sudah tahu pasti bahayanya tetapi anak-anak tidak tahu dan karena mendesaknya waktu, kita tidak sempat lagi memberikan anak pilihan-pilihan ataupun kita berdiskusi, berdialog dengan mereka. Dan saya kira pemimpin manapun juga termasuk orang tua sebagai pemimpin tentu pernah melakukan tindakan atau keputusan sepihak tanpa persetujuan bawahannya yaitu terutama dalam situasi darurat, situasi perang misalnya. Tindakan seperti ini seolah-olah seperti suatu tindakan pembedahan untuk mengobati penyakit. Nah keadaan darurat itu seperti misalnya kalau kita melihat anak itu memanjat ke atas gedung atau dia lari ke jalan raya yang ramai atau dalam keadaan tertentu karena keadaannya yang parah anak harus dipaksa ke dokter atau anak-anak yang masih terlalu muda dan mereka belum bisa mengatur waktu belajarnya sendiri. Nah di sini kita harus mengambil tindakan yang tegas juga tanpa memberikan pilihan kepada mereka.
GS : Tetapi kalau memungkinkan kita masih bisa memberikan pilihan kepada anak atau anak-anak kita?

HE : Sejauh mungkin, sebisa mungkin kita harus memberikan pilihan kepada mereka meskipun pilihan-pilihan ini tetap kita batasi juga.

GS : Itu contoh konkretnya bagaimana?

HE : Misalnya nah ini sekali lagi juga saya tekankan bahwa memberikan pilihan itu jangan pilihan yang kita tidak bisa tolerir jadi di dalam batas-batas yang kita bisa izinkan jadi misalnya di dlam hal belajar.

Kalau kita melihat bahwa ada gaya-gaya belajar tertentu pada anak dan kita ingin mengajarkan kemandirian kepada mereka, kita bisa tawarkan kepada mereka apakah mereka mau belajar sendiri atau mereka mau belajar dengan kita. Tentu saja kita harus juga memberitahukan konsekuensinya, apa konsekuensinya kalau mereka belajar sendiri, apa konsekuensinya kalau belajar dengan kita. Kalau kita mau mengontrol belajar mereka karena mereka belum bisa menguasai diri kita juga perlu memberitahukan hal ini. Dan kemudian dalam hal makanan, misalnya mereka sekarang belum boleh makan makanan gorengan, nah kita bisa tawarkan kepada mereka apa yang boleh mereka makan. Misalnya kamu hari ini mau pilih makan apa? Mau makan soto atau mie kuah dsb. begitu sejauh yang kita bisa izinkan. Kalau kita mau memberikan mereka kursus, kita tawarkan kepada mereka, mereka mau kursus ini atau kursus itu dan juga kemudian sekalian konsekuensinya seperti itu.
GS : Menyinggung makanan, biasanya anak kalau sudah senang dengan satu jenis makanan dia akan memilih makanan itu terus, Pak. Misalnya dia memang senang soto, dan setiap kali ditanya mintanya soto terus. Padahal kita sebagai orang tua tahu bahwa dia membutuhkan makanan yang bervariasi supaya tumbuh dengan baik.

HE : Ya betul, tetapi adakalanya kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka juga untuk berlaku berbeda. Sampai pada suatu titik, ketika melihat bahwa ini sudah berlebihan kita tawarkan lagipilihan-pilihan yang lain dan kalau misalnya anak tidak mau mengikuti pilihan ini artinya memperkaya gizi mereka, menyeimbangkan makanan mereka maka kita boleh melakukan tindakan untuk mengarahkan secara lebih tegas lagi.

Tapi sejauh mungkin di mana kita bisa memberikan pilihan, kita berikan pilihan.
GS : Ada beberapa orang tua itu yang bersikap membiarkan anaknya memilih agamanya sendiri. Nah kita percaya imannya sendiri itu boleh dipilih sendiri, itu menurut Pak Heman bagaimana?

HE : Kalau menurut saya ini soal iman, soal yang lain. Soal iman kita perlu membimbing mereka sejak mereka muda. Ini pertanyaan yang baik sekali karena ada hal-hal tertentu termasuk soal agama tu kita tidak boleh memberikan pilihan kepada anak sebelum waktunya karena mereka belum tahu, mereka belum bisa mengambil pilihan.

Jadi ketika anak yang masih muda misalnya selain keadaan darurat tadi ada anak-anak yang masih terlalu muda itu belum bisa memilih, karena dia belum tahu dan kita harus memilihkan untuk mereka. Dan pada saatnya nantilah ketika anak itu sudah tahu mana yang baik, mana yang tidak baik barulah kita berikan kesempatan pilihan yang lebih banyak kepada mereka.
GS : Justru itu alasan orang tua selalu mengatakan daripada nanti anaknya bingung, sekarang ini saya tidak mendidik agama tertentu kepada anak saya, biar nanti kalau katakanlah remaja atau pemuda dia memilih sendiri begitu Pak.

HE : Nah ini saya kurang setuju, karena firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus mendidik anak-anak kita di dalam rasa takut akan Tuhan. Dan rasa takut akan Tuhan itu apa, ya sesuai dengan ima kita kepada Tuhan, Tuhan itu seperti apa dan sebagainya.

Ini kita harus membimbing mereka sejak mereka masih muda, kalau tidak demikian, kalau tidak ada bimbingan maka kemungkinan anak-anak itu tersesat sangat-sangat besar.
GS : Pak Heman, kalau ada sebagian anak di mana boleh memilih dan sebagian lagi kita yang menentukan apakah hal itu tidak membingungkan anak?

HE : Tidak membingungkan anak, saya kira asal orang tua itu tegas, artinya begini tegas itu bukan berarti otoriter tetapi ia mengambil peran sebagai seorang pemimpin. Jadi pemimpin itu selalu mngarahkan dan ada hal-hal yang secara konsisten kita membuat pilihan-pilihan.

Ada hal-hal yang kita katakan kepada anak bahwa belum saatnya mereka boleh memilih sendiri seperti itu.
GS : Berarti pilihan-pilihan itu juga ditentukan oleh usia anak itu yang harus kita pertimbangkan Pak?

HE : Ya tepat sekali Pak Gunawan, jadi usia ini mengambil peran penting ketika kita harus melakukan tindakan tertentu, jadi artinya begini ketika anak-anak pada usia yang dini memang gaya mendiik kita adalah gaya mendidik yang lebih cenderung ke arah otoriter, mengingat bahwa anak-anak pada usia dini belum mempunyai bekal untuk memilih.

Dan semakin besar, anak itu perlu dididik secara demokratis, lebih banyak dijelaskan, mendapatkan penjelasan bukan "Pokoknya kamu harus begini!" tidak. Tetapi diajak diskusi dsb, dan sampai pada saat remaja anak seharusnya semakin memperoleh kebebasan untuk memilih, mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Jadi kita harus menyelesaikan banyak dasar-dasar penanaman moral yang baik, kebiasaan yang baik itu sesaat sebelum anak menginjak masa remaja.
GS : Ya memang berdasarkan pengalaman seperti itu Pak Heman, jadi waktu anak-anak kita masih kecil kita berikan pengarahan atau dasar-dasarnya itu sudah cukup baik, kalau remaja-pemuda kita agak berikan pilihan dan tentu dia akan memilih yang biasa dia terima sejak kecilnya Pak?

HE : Ya, betul, jadi kita sebagai orang tua juga tidak ingin anak-anak kita besoknya hidup menyimpang sekali dari jalan Tuhan.

GS : Jadi berarti otoritas kita itu sebenarnya dibutuhkan ketika anak masih kecil Pak ya?

HE : Ya, otoritas kita maksudnya pemaksaan-pemaksaan kita, itu lebih dibutuhkan pada saat anak-anak masih kecil.

GS : Sehingga ketika nanti beranjak dewasa, pemuda, remaja dia sudah terpola dengan pola pikir kita juga, begitu Pak?

HE : Betul, dan ada satu tambahan Pak Gunawan, sehubungan dengan tadi, bahwa anak-anak usia muda kita lebih bertindak otoriter, tetapi tetap kita tidak boleh melupakan akan tahapan perkembanganmereka.

Jadi kita tetap harus membayangkan mereka yang masih muda, yang tidak terlalu bisa banyak konsentrasi, mereka yang perlu lebih banyak bergerak, mereka yang lebih sering menangis dsb. ini perlu kita tolerir.
GS : Pak Heman, sekalipun anak-anak kita itu sudah remaja atau pemuda, kadang-kadang mau tidak mau kita sebagai orang tua itu sekali-sekali bertindak otoriter itu Pak, apakah hal itu berdampak negatif kepada anak yang sudah remaja atau pemuda itu?

HE : Saya kira tidak, selama kita bisa menjelaskan kenapa begitu terutama pada anak-anak remaja yang hidupnya masih bergantung penuh kepada kita. Kita katakan bahwa selama anak-anak ini hidup d rumah kita maka mereka harus juga mendengarkan, menaati kita.

Dan ini juga sesuai dengan prinsip Alkitab bahwa anak-anak harus menaati orang tuanya di dalam Tuhan.
GS : Ya tetapi itu memang masa-masa pemberontakan di dalam diri pemuda-remaja itu kadang-kadang sulit Pak Heman bisa diatasi oleh orang tua. Saya mengenal sekali ada orang tua yang sejak kecil sebenarnya sudah mengajarkan kepada anaknya ini untuk sungguh mengasihi Tuhan dalam iman yang benar. Tetapi karena pengaruh lingkungannya ternyata anak ini memilih suatu ajaran yang campur baur tidak karu-karuan, sehingga orang tuanya itu menjadi sangat sulit sekali mengendalikan anak ini, mau dipaksa pun sulit karena dia sudah beranjak ke dewasa.

HE : Ini kasus yang baik juga, jadi sebetulnya kalau kita sudah memberikan, menanamkan ajaran-ajaran moral kemudian kerohanian yang baik kepada anak, maka ada kemungkinan memang anak di dalam msa untuk sementara waktu seolah-olah menyimpang.

Tetapi kalau memang dasarnya sudah baik, dia tidak akan tahan lama-lama menyimpang di jalan itu, dia akan kembali lagi ke jalan yang semula. Kebanyakan seperti itu.
GS : Itu memang menjadi harapan orang tuanya dan harapan kita semua Pak, suatu saat bisa melihat dia kembali bahkan sungguh-sungguh menyadari akan kesalahannya dan sekarang sungguh-sungguh menekuni apa yang benar.

HE : Betul, dan di sini doa mengambil peran penting, jadi saya percaya kalau orang tua berdoa, doa itu besar kuasanya.

GS : Ya semua percaya akan hal itu, nah Pak Heman kalau otoriter itu memang banyak segi yang negatifnya, seharusnya kita itu harus bertindak bagaimana itu sebagai orangtua itu, Pak?

HE : Kalau bisa kita lebih banyak bertindak demokratis, demokratis itu berarti memberikan ruang gerak kepada anak untuk berbeda dengan orang tuanya. Kadang-kadang di dalam hal yang kecil saja msalnya di dalam hal belajar, anak kadang-kadang harus atau baru bisa belajar dengan baik kalau dengan bergerak.

Jalan ke sana-ke sini kadang-kadang sambil memakai walkman, dengan begitu dia bisa belajar dengan lebih baik. Tetapi orang tua yang tidak memahami, bisa melakukan pemaksaan dengan mengharuskan dia duduk di depan meja dsb dengan penerangan yang sekian dan sebagainya. Kita kalau misalnya mengarah ke demokratis kita bisa memberikan pilihan-pilihan atau juga mendengarkan apa yang diinginkan oleh anak, apa yang anak-anak senangi dsb, nah itu orang tua yang demokratis memberi ruang bagi anak untuk bertanya dan juga mencari alasan kenapa sesuatu hal yang itu diizinkan sedangkan hal yang lain tidak diizinkan selain dari otoriter.
GS : Pak Heman, kita di dalam kehidupan berkeluarga suami-istri tentunya menghendaki anak-anak kita baik. Tetapi dalam hal sikap seperti ini kadang-kadang bisa berbeda Pak Heman, jadi saya sebagai laki-laki itu kadang-kadang bertindak otoriter, lalu istri saya atau ibunya itu memberikan kelonggaran-kelonggaran. Atau bahkan sebaliknya kadang-kadang istri saya yang kelihatan otoriter dan saya yang memberikan kelonggaran-kelonggaran, nah itu bagaimana Pak dampaknya?

HE : Nah ini yang memang paling sering terjadi, ketika salah seorang orang tua bertindak otoriter kemudian pasangannya ingin mengimbanginya dengan cara yang sebaliknya. Jadi secara tidak disadai ingin supaya anak-anak bisa lebih dekat kepada orang tua.

Tetapi tentu saja ini ada dampaknya, nah kita akan melihat polanya seperti ini, anak menjadi lebih dekat kepada orang tua yang tidak otoriter tentu saja dan lebih longgar kepada anak. Dan repotnya lagi ketika orang tua yang otoriter melihat hal ini yaitu anak lebih dekat kepada pasangannya maka secara, kadang-kadang tanpa disengaja orang tua yang otoriter menjadi semakin otoriter. Dia tidak suka dengan ini dan semakin membuat anaknya semakin menjauh dari dirinya dan kemudian juga mengakibatkan dia juga semakin jauh dari pasangannya. Untuk pasangan-pasangan yang demikian kita perlu menyadarinya bahwa pola ini sudah terjadi, kalau pola ini lebih disadari maka kita akan lebih besar kemungkinannya untuk memutuskan mata rantai ini.
GS : Ya memang bisa membuat anak bingung Pak, melihat orang tuanya yang satu begini, yang satu begitu.

HE : Ya, tapi anak-anak sering kali membaca hal ini dan anak-anak yang cerdik bisa memainkan ini.

GS : Memilih yang menguntungkan dia tentunya.

HE : Betul, dan ini akan berpotensi memecah belah keluarga.

GS : Tentunya hal ini tanpa dia sadari Pak Heman, seorang anak tidak mau orang tuanya sampai bertengkar gara-gara dia.

HE : Ya, tetapi anak inginnya untung begitu Pak.

GS : Pak Heman, kita mau melihat bagian dari Alkitab Pak Heman yang bisa mendukung perbincangan kita pada saat ini. Pak Heman bisa memberikan?

HE : Saya akan membacakan dari kitab Efesus 6:4 , saya akan bacakan dari dua fersi Alkitab yaitu fersi Alkitab dari Lembaga Alkitab Indonesia dan satu lagi dari fersi Firman Allah yng hidup.

"Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Dari fersi Firman Allah yang hidup yaitu di dalam bahasa sehari-hari terbitan Kalam Hidup. "Dan sekarang sedikit nasihat kepada para orang tua, jangan terus-menerus menggusari dan mencari-cari kesalahan anak-anak saudara, sehingga membuat mereka marah dan jengkel." Tetapi didiklah mereka dengan tata tertib yang penuh kasih dan menyukakan hati Allah, dengan saran-saran dan nasihat-nasihat berdasarkan firman Allah. Jadi orang tua di sini dinasihatkan untuk tidak terus-menerus mencari-cari kesalahan anak dan membuat mereka gusar.
GS : Ya memang ini menjadi tanggung jawab dari kedua orang tua Pak, jadi bukan hanya bapak-bapak tapi juga ibu-ibu. Keduanya terpanggil untuk melakukan perintah Tuhan ini.

HE : Betul, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Heman, untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang suatu judul "Orang Tua Otoriter". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



52. Anak Baik Anak Manis


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T128A (File MP3 T128A)


Abstrak:

Ada anak yang sejak lahir menampilkan perilaku yang manis. Ia senantiasa menurut dan berupaya menyenangkan hati orang tuanya. Tanpa disuruh, anak ini akan belajar sendiri dan menunjukkan prestasi belajar yang cemerlang. Dan ia akan selalu berusaha memenuhi harapan orang tuanya, namun di balik semua yang positif itu, ada beberapa hal pada diri anak itu yang berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.


Ringkasan:

Ada anak yang sejak lahir menampilkan perilaku yang manis. Anak ini senantiasa menurut dan berupaya menyenangkan hati orang tuanya. Tanpa disuruh, anak ini akan belajar sendiri dan menunjukkan prestasi belajar yang cemerlang. Anak ini selalu berusaha memenuhi harapan orang tuanya seberapa tingginya harapan itu.

Namun di balik semua yang positif itu, ada beberapa hal pada diri anak itu yang berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.

  1. Ia terbiasa hidup bergantung pada permintaan dan harapan orang lain. Akibatnya, ia dapat terpaku pada performa atau penampilan luar. Ia lebih tahu bagaimana menyenangkan hati orang lain daripada menyenangkan hati sendiri. Jika dibiarkan, ia akan bertumbuh kehilangan dirinya: ia tidak tahu siapa dirinya lepas dari pengharapan orang, ia tidak tahu apa yang disukai dan tidak disukainya, apa yang menjadi impiannya, apa yang Tuhan telah titipkan padanya.

  2. Ia mudah menjadi perfectionist; ia sukar menoleransi ketidaksempurnaan, segala yang dikerjakannya harus berhasil dan memuaskan orang, Jika tidak, maka ia akan merasa gagal dan tidak bernilai. Penghargaan dirinya bersumber dari tepukan tangan orang; tanpa tepukan tangan, ia gamang dan meragukan pertimbangannya.

  3. Ia terkondisi untuk memendam problem dan tidak membicarakannya dengan orang lain. Problem membuat penampilannya tidak sempurna itu sebabnya ia harus membenamkannya agar tidak dilihat orang.

  4. Ia pun pada akhirnya menuntut orang untuk berbuat hal yang sama terhadapnya. Ia telah berusaha keras menyenangkan orang, ia pun berharap orang akan mengerti keinginannya. Ia ingin sempurna, ia pun menuntut orang yang terkait dengan hidupnya untuk tampil sempurna.

Apa yang harus dilakukan orang tua dari anak manis?

  1. Menahan diri agar tidak membebani anak dengan tuntutan; bagilah tugas secara merata; jangan menambah rasa bersalahnya yang memang sudah besar itu.

  2. Menahan diri untuk tidak memberinya pujian yang terlalu sering; pujian akan makin merangsang anak untuk berperforma terus; pujian seyogianya lebih berpijak pada karakter, daripada performa.

  3. Lebih sering menanyakan pendapat atau isi hati anak itu; doronglah agar ia lebih berani untuk menyatakan suara hatinya; izinkanlah ia mengeluarkan perasaannya.

  4. Berilah ruang untuk gagal dan ajarlah agar ia pun dapat menerima kegagalan.

Firman Tuhan: "Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu." Mazmur 103:14


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak Baik, Anak Manis". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, Sekalipun kita tahu bahwa baik itu sesuatu yang relatif, yang berbeda satu dengan yang lainnya tapi sering kali ada ungkapan-ungkapan: "O....anakmu ini manis sekali lho, anakmu ini baik sekali lho." Atau kita mengatakan anak saya ini lho anak yang baik, anak saya yang bungsu ini lain dengan kakaknya. Sebenarnya pengertian baik itu sejauh mana Pak Paul?

PG : Biasanya orang tua akan memanggil anaknya baik jika anak itu anak yang penurut, anak yang mengikuti kehendak orang tuanya tatkala diminta melakukan sesuatu, dia akan melakukan tanpa membanah.

Dan jarang sekali akan terjadi konflik antara anak dan orang tua karena si anak memang tidak suka dengan konflik, daripada mengalami konflik dia akan cenderung mengikuti apa yang orang tua minta. Nah biasanya anak seperti inilah yang dianggap anak baik tidak usah disuruh belajar, belajar sendiri dan pelajarannya juga baik karena PR dikerjakan, ulangan dipelajari. Nah hal-hal inilah yang sering kali menyenangkan hati orang tua dan orang tua biasanya memuji anak seperti ini sebagai anak yang baik.
GS : Jadi ukurannya adalah anak itu memuaskan kebutuhan orang tuanya itu Pak Paul?

PG : Sering kali ya, jadi anak itu memenuhi stAndar orang tuanya.

GS : Tetapi pengertian baik itu sendiri sebenarnya bagaimana Pak Paul?

PG : Sudah tentu kita tidak hanya melihat dari kacamata apakah anak ini memenuhi stAndar kita, kita juga harus melihat apakah perkembangan anak ini sesuai dengan jalurnya, apakah anak ini sedan bertumbuh secara sehat tidak senantiasa berarti menuruti kemauan kita.

Sebab salah satu hal yang nantinya akan terjadi dalam masa-masa pertumbuhan anak adalah dia akan mulai ingin mengepakkan sayapnya, dia akan mulai menyatakan dirinya, alam pikirannya. Nah pada saat-saat seperti itulah bisa jadi kehendak orang tua dan keinginan anak bertabrakan.
GS : Berarti apa yang kelihatan baik pada masa anak itu kecil atau balita itu tidak menjamin bahwa nanti kelak ketika dia menjadi remaja atau pemuda bahkan dewasa tetap menjadi anak yang baik Pak?

PG : Betul, jadi sebagai orang tua kita sudah tentu bersenang hati kalau melihat anak kita baik, manis, pelajarannya baik, menuruti orang tua, namun kita juga mesti waspada terhadap potensi prolem yang mungkin muncul di kemudian hari.

GS : Nah itu potensi problemnya apa saja Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah anak-anak yang kita kategorikan anak manis, anak baik terbiasa hidup bergantung pada permintaan dan harapan orang lain. Sekali lagi saya ulangi dia terbiasa hidup bergatung pada permintaan dan harapan orang lain.

Akibatnya dia mudah terpaku pada performa atau penampilan luar, dia lebih tahu bagaimana menyenangkan hati orang lain daripada menyenangkan hati sendiri. Nah kalau hal ini dibiarkan si anak bisa bertumbuh kehilangan dirinya, maksud saya adalah dia tidak tahu siapa dirinya lepas dari pengharapan orang, karena apa? Karena dia tidak tahu apa yang disukainya, dia tidak tahu apa yang tidak disukainya, dia tidak tahu apa yang menjadi impiannya dan dia tidak tahu apa yang Tuhan telah titipkan padanya. Yang dia tahu hanyalah apa yang diharapkan oleh orang lain, apa yang akan menyenangkan hati orang lain dan itulah yang menjadi targetnya, yang akan dikejarnya, yang akan diperbuatnya. Jadi target itu berada di luar dirinya, dan diri yang sesungguhnya tidak berkesempatan untuk digali, dikenali apalagi ditumbuhkan.
GS : Apakah orang dengan potensi problem seperti itu menjadi seseorang yang pasif Pak Paul?

PG : Saya kira akan ada kecenderungan anak ini akan lebih pasif daripada anak-anak yang diberikan kesempatan untuk berekspresi diri walaupun berekspresi diri kadang kala menimbulkan gesekan denan orang tuanya.

Dia memang tidak menimbulkan gesekan tapi gara-gara dia tidak menimbulkan gesekan dia bisa lebih berperan pasif.
GS : Termasuk dalam hal berinisiatif, Pak Paul?

PG : Ya jadi ada ketakutan dalam dirinya mengambil inisiatif sendiri kalau-kalau yang dilakukannya itu tidak sesuai dengan pengharapan orang tuanya atau orang lain. Anak ini berhati-hati sekalidan senantiasa melihat keadaan atau reaksi orang di sekitarnya.

Jika dia merasa pasti bahwa orang akan menyetujui tindakannya barulah dia berani bertindak. Jika dia tahu bahwa tindakannya ini akan disukai oleh orang barulah dia akan melakukannya. Dengan kata lain kalau tidak mendapatkan isyarat atau sinyal dari luar dia cenderung diam dan bersikap pasif.
GS : Tapi ada anak yang tadinya bukan anak baik, dalam pengertian seperti yang tadi kita bicarakan Pak Paul, tetapi karena oleh orang tuanya dia terus didikte, dia terus diberi instruksi-instruksi akhirnya bisa menjadi anak seperti itu Pak Paul.

PG : Betul, jadi kalau anak-anak ini terlalu menerima tuntutan dan terlalu digariskan sehingga kehilangan kesempatan untuk menyatakan dirinya pada akhirnya cenderung akan mengembangkan sikap paif.

GS : Apakah ada potensi problem yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah anak-anak ini mudah menjadi orang yang perfeksionis, mendambakan dan mengejar kesempurnaan. Dia sukar menoleransi ketidaksempurnaan, jadi segala yang dikerjakannya harus erhasil dan memuaskan orang, jika tidak maka dia akan merasa gagal dan tidak bernilai.

Dengan kata lain penghargaan dirinya bersumber dari tepukan tangan orang, tanpa tepukan tangan dia gamang dan meragukan pertimbangannya. Nah di sini kita melihat kepercayaan dirinya mulailah mengalami gangguan. Seharusnya kepercayaan diri memang bertumbuh atau bergerak dari eksternal ke internal. Kita tidak bisa mengembangkan kepercayaan diri tanpa mendengar tanggapan dari orang. Orang berkata bagus, wah benar, wah kamu bisa dsb, nah tanggapan-tanggapan seperti itu yang akan memupuk kepercayaan diri dalam diri kita, itu yang saya maksud dengan eksternal. Namun perlahan-lahan kita mulai mengembangkan pengetahuan akan keterbatasan dan kemampuan kita berdasarkan tanggapan-tanggapan tadi itu. Kita mulailah bisa berkata saya mampu di sini, dan mulailah kita bisa mengakui saya tidak mampu di sana. Kalau anak-anak ini tadi yang disebut anak yang manis, anak yang baik ini dibiarkan apa adanya, kekhawatiran saya adalah dia akan bertumbuh terlalu bergantung pada tanggapan-tanggapan orang lain dan tidak berkesempatan menumbuhkan kepercayaan pada pertimbangannya sendiri, penilaiannya sendiri. Dia terus akan mendambakan dan meminta orang lain yang memberitahu dia apa yang harus dikerjakan dan seginilah stAndarnya, dia akan terus-menerus dengan kata lain menantikan tepukan tangan orang, kalau tidak mendengarkan tepukan tangan orang dia bingung, dia gamang sekali dia akan bertanya-tanya benar atau tidak ya, saya keliru atau tidak. Jadi akhirnya dia tidak mengembangkan kepercayaan diri yang berasal dari dalam dirinya sendiri, dia terus akan terpaku dan berputar-putar pada fase pertama itu yakni kepercayaan diri berdasarkan penilaian orang lain.
GS : Nah anak dengan tipe seperti itu apakah memang dibekali dengan kemampuan bahwa dia akan menjadi orang yang bisa ditepuki oleh orang lain, Pak Paul?

PG : Ini suatu pengamatan yang baik Pak Gunawan, saya kira betul jadi secara tersirat ada pengharapan dari orang tuanya bahwa anak ini menjadi anak yang ditepuki terus-menerus, akan menjadi pujan dan buah bibir orang di sekitarnya.

Jadi kita akhirnya melihat bahwa memang orang tua berperan secara langsung atau tidak langsung mengkondisikan si anak untuk menjadi bintang, untuk menjadi pujian. (GS: Atau menjadi publik figur begitu Pak Paul). Betul, untuk menjadi figur yang akhirnya dikenal.
GS : Nah ini akan berdampak negatif di kemudian harinya Pak Paul, kalau dia terus-menerus mengharapkan pujian orang, padahal kenyataannya dia hidup di tengah-tengah lingkungan yang tidak sempurna.

PG : Betul sekali, jadi dia sendiri nanti akan sangat tertekan, akan penuh dengan konflik karena tidak selalu dia akan menemukan keadaan yang sempurna dan tidak selalu orang mengakui kesempurnannya juga.

Nah muncullah siklusnya Pak Gunawan, siklusnya adalah waktu dia mendapati orang tidak melihat dia sempurna, dia makin didorong untuk berkarya lebih sempurna lagi, jadi siklus itu terus berputar-putar tidak ada habis-habisnya sehingga dia menjadi orang yang letih, terlalu capek. Nah kalau dia tidak kuat-kuat ya ambruk, dia stres misalnya, dia menjadi tumpul, dia lumpuh secara emosional, tidak mau lagi mengerjakan apa-apa, takut dicela atau takut gagal. Dan daripada dikatai gagal atau tidak berhasil lebih baik tidak mencoba sama sekali.
GS : Ya, tapi seAndainya ada orang yang menanyakan kepadanya tentang problemnya itu sendiri, masalahnya yang dia hadapi apa dia mau mengungkapkan itu Pak?

PG : Kecenderungannya adalah anak-anak baik dan anak-anak manis ini memendam problem, dia sukar mengeluarkan masalahnya kepada orang atau membagikannya kepada orang. Sudah tentu ini berpangkal ari kesulitannya bercerita kepada orang tuanya, bercerita tentang hal-hal yang mengkhawatirkan, kegagalannya dan sebagainya.

Sebab dia mengharapkan orang tua tetap akan melihat dia sebagai anak yang baik, anak yang manis, anak yang tidak menyusahkan orang tua. Dia sudah hidup dengan label itu sekian lama tidak pernah menyusahkan orang tua jadi dia tidak merasa nyaman untuk keluar dari label itu dan menjadi anak yang menyusahkan orang tua. Masalahnya adalah dengan dia terus memendam, tinggal masalah waktulah dia benar-benar akhirnya akan patah, waktu dia patah, dia ambruk dia akan menyusahkan orang tuanya.
GS : Jadi itu memendam masalah yang pada suatu saat pasti akan terwujud Pak?

PG : Mau tidak mau akhirnya akan muncul, jadi kebanyakan anak-anak yang manis, anak-anak yang baik ini bertahan untuk sekian lama namun ada waktu-waktu di mana ambruk dan berbuat hal yang berkealikan dari yang sebelumnya, justru ini akan mengagetkan orang tua.

Nah kebanyakan pada titik itu si anak sebetulnya berkata saya tidak sanggup lagi, secara implisit secara tidak langsung si anak berkata saya tidak mampu hidup dengan stAndar ini lagi. Nah orang tua kadang-kadang kaget sebab orang tua mungkin berkata saya tidak pernah mengharapkan kamu sesempurna ini, kami tidak menuntut kamu seperti ini, tapi siklus itu sudah berjalan. Anak ini telah hidup dalam peran sebagai anak yang manis, anak yang baik, anak yang tidak menyusahkan orang tua, dia harus memenuhi tuntutannya sendiri.
GS : Dan itu biasanya terjadi pada masa-masa dia remaja atau pemuda, Pak Paul?

PG : Betul, biasanya kalau dia bisa melewati masa remaja, pada masa pemudanya. Kalau misalnya dia tidak bisa melewati masa remaja, di masa remajalah tiba-tiba anak ini berubah dengan drastis.

GS : Dan orang tua berpikir itu gejala perubahan anak remaja itu saja.

PG : Betul, dan bisa jadi bukan hanya masalah remaja jadi ada yang lebih dalam lagi.

GS : Ada masalah yang lain Pak Paul?

PG : Yang berikutnya lagi adalah karena dia menuntut kesempurnaan pada dirinya, dia akhirnya juga menuntut kesempurnaan pada orang lain, dia akan mengharapkan orang berbuat yang sama terhadapnya. Dia telah berusaha keras menyenangkan orang maka dia pun berharap orang akan mengerti keadaannya atau keinginannya. Dia ingin sempurna, dia pun menuntut orang yang terkait dengan hidupnya untuk tampil sempurna. Dia tidak menoleransi ketidaksempurnaan yang terkait dengan dirinya.

GS : Itu menjadikan dia pada posisi yang lebih sulit lagi Pak Paul?

PG : Betul, karena ini akan sangat mempengaruhi relasinya dengan orang. Kalau orang itu tidak terlalu dekat mungkin tidak terkena dampaknya secara langsung tapi kalau orang itu dekat dengannya isalkan dia nanti menikah atau dia punya anak, dia akan menuntut hal itu.

Dia akan mempunyai pemikiran seperti ini Pak Gunawan, dulu waktu saya kecil saya tidak begini, waktu saya kecil saya tidak menyusahkan orang, saya tidak membuat malu orang tua saya, selalu tahu kapan saya harus belajar dsb. Dengan kata lain waktu saya kecil saya sempurna nah sekarang kenapa anak saya tidak bisa. Dan kepada pasangannya juga dia akan bersikap sama, saya selalu tahu menyenangkan engkau, selalu tahu kapan membuat hatimu gembira dsb, kenapa engkau tidak bisa berbuat hal yang sama kepadaku. Jadi stAndar yang tinggi itu akan dia terapkan pada relasi dengan orang lain.
GS : Nah bukankah itu pada saat dia sudah dewasa bukan pada saat dia masih kanak-kanak Pak Paul?

PG : Biasanya akan mulai tampak dengan jelas setelah dia dewasa, sebab pada masa dewasalah terbentuk relasi intim. Pada masa remaja kita katakan anak-anak ini masih terlibat dalam relasi kelompk belum benar-benar mencapai keintiman yang dalam.

Pada masa pemuda dan pemudilah mereka memasuki keintiman yang dalam dan di situlah problem akhirnya muncul.
GS : Nah apakah kehidupannya tidak menjadi terisolir, Pak Paul?

PG : Bisa karena dia akan mengalami konflik dengan orang di sekitarnya dan kekecewaan, merasa orang tidak bisa memahaminya akhirnya dia cenderung menyendiri, bisa seperti itu.

GS : Nah Pak Paul kita sebagai orang tua tentunya senang mempunyai anak yang manis, yang baik seperti itu tetapi kalau memendam sedemikian banyak potensi konflik yang terjadi maka sebenarnya apa yang bisa dilakukan oleh orang tua?

PG : Ada beberapa hal Pak Gunawan, yang pertama adalah dia harus menahan diri, maksud saya orang tua menahan diri agar tidak membebani anak dengan tuntutan. Jadi secara konkretnya misalnya adalh bagilah tugas secara merata antara anak yang satu dengan yang lain.

Kecenderungan kita orang tua adalah melimpahkan tugas kepada anak yang manis ini, karena kita tahu akan dikerjakan. Anak yang kurang penurut akhirnya tidak menerima limpahan tanggung jawab, saya kira kita sebagai orang tua harus peka, harus melihat: Ya......ya....si anak kok akhirnya menanggung lebih banyak sekali tugas, nah kita cobalah bagikan meskipun waktu kita limpahkan kepada anak yang tidak sepenurut dia tidak dikerjakan dengan terlalu baik, tapi tetap kita harus coba bagi rata. Nah yang juga harus kita lakukan, jangan menambah rasa bersalahnya yang memang sudah besar itu. Dengan membebankan tuntutan, kita akan menyuburkan rasa bersalahnya, tanpa tuntutan tambahan pun dia sudah memikul rasa bersalah karena tuntutan untuk sempurnanya begitu tinggi. Oleh karena itu kita mesti berhati-hati, jangan cepat-cepat memberikan tuntutan yang berlebihan kepadanya.
GS : Ya makanya walaupun kita sudah membagi tugasnya agak merata Pak Paul, biasanya anak yang baik ini mengambil alih tugas dari saudara-saudaranya, saya saja yang mengerjakan, dengan harapan dia dapat pujian dari orang tuanya.

PG : Betul, dan selain mendapat pujian, karena memang dia sukar melihat ketidakberesan di rumahnya atau di sekitarnya sehingga akhirnya dia menyediakan atau menawarkan dirinya untuk melakukan smuanya itu.

GS : Selain dua hal itu apakah ada lagi Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah orang tua perlu menahan diri untuk tidak memberikan pujian yang terlalu sering. Saya tidak mengatakan jangan memberikan pujian bukan itu maksud saya, sudah tentu ana ini pun perlu mendengar pujian dari orang tuanya namun jangan terlalu sering.

Karena apa? Pujian akan makin merangsang anak ini untuk terus berperforma, untuk terus menunjukkan kebisaannya, kesempurnaannya. Pujian seyogyanya lebih berpijak pada karakternya daripada performanya atau keterampilan dan kemampuannya. Pujilah anak karena dia baik, sabar, menolong yang lainnya, rajin, ramah kita puji seperti itu, tidak terlalu mendasari pujian kita pada hasilnya, capaian-capaiannya. Sekali-sekali sudah tentu kita harus berikan pujian itu namun jangan akhirnya mengaitkan hasil atau capaian dengan pujian, nah itu yang kita harus perhatikan baik-baik dengan anak-anak yang memang mempunyai kecenderungan untuk maju dan lebih lagi.
GS : Tapi pada awalnya anak-anak akan merasa kurang dipuji dan tadi Pak Paul katakan itu menjadi beban buat dia.

PG : Kalau dia menerima pujian secara berkala, seharusnya itu akan lebih cukup. Justru kalau semakin sering, semakin terangsanglah dia untuk menghasilkan yang lebih lagi dan lebih lagi karena kta hanya memberikannya sekali-sekali rangsangan, itu juga akan lebih kurang.

GS : Apakah ada hal lain Pak Paul yang bisa kita lakukan?

PG : Yang lainnya adalah orang tua lebih sering menanyakan pendapat atau isi hati anak itu. Jadi orang tua lebih mendorong anak untuk lebih berani menyatakan suara hatinya, izinkanlah dia mengeuarkan perasaannya.

Misalkan biarkan dia marah, biarkan sekali-sekali dia menampakkan kemarahannya, dia mau masuk ke kamar, tidak mau berbicara dengan kita nah biarkanlah perasaan-perasaan itu diungkapkan. Meskipun dengan cara, bagi kita ya kita anggap cara-cara yang kurang berkenan, namun itulah anak-anak. Nah waktu kita melarangnya mengekspresikan perasaan tidak sukanya, perasaan marahnya kita akhirnya akan menjadikan anak ini terlalu sempurna dan menyuburkan masalah-masalah yang tadi telah kita bicarakan. Dan orang tua perlu menggali, tanya dia apa yang kamu rasakan kok kamu tampaknya kurang bahagia, ada masalah apa, ajak berbicara dari awalnya dan biarkan dia menceritakan masalah dan kegagalannya pula.
GS : Pak Paul, tadi menyinggung kegagalan, apakah atau bagaimanakah sikap kita kalau seAndainya anak yang kita anggap baik itu suatu saat mengalami kegagalan?

PG : Saya kira kita mesti menunjukkan sikap tenang sebab reaksi orang tua yang pertama biasanya adalah kalau anak yang manis dan baik itu gagal, kaget, terkejut sekali kenapa kamu bisa begini, enapa bisa dapat jelek seperti ini, ada apa kamu, seolah-olah ini suatu bencana alam yang terjadi pada keluarganya.

Jangan, saran saya dengan tenang tanyakan saja apakah ada masalahnya dan katakan itu manusiawi, kita tidak selalu berada di tempat yang paling tinggi, adakalanya kita memang turun jadi kita menunjukkan kita menerima dia apa adanya dan dia tidak selalu harus bersinar atau menjadi bintang di sekolahnya.
GS : Tetapi itu membuat dia merasa kurang dihargai Pak Paul?

PG : Pada waktu dia menerima komentar dari orang tuanya yang memberi ruang untuk kegagalan, sebetulnya lebih memberikan dia kelegaan karena yang dia takuti tidak terjadi. Yang dia takuti adalahorang tua akan terperangah, marah, bereaksi keras kepadanya tapi tidak begitu, o.....orang

tua bisa menerima. Nah penerimaan orang tua ini akan memberinya kelegaan dan menurunkan dorongan untuk menanjak terlalu cepat dan terlalu kuat.
GS : Kalau begitu dari perbincangan kita ini kita melihat bahwa faktor orang tua ini cukup besar dalam pembentukan anak.

PG : Sangat besar dan penting sekali orang tua melihat semua ini, jadi kuncinya adalah orang tua melihat anaknya satu persatu dengan jelas. Kalau orang tua tidak melihat anaknya dengan jelas baaimanakah mungkin orang tua melakukan saran-saran yang telah kita paparkan ini Pak Gunawan.

Ini yang saya takuti kadang-kadang orang tua terlalu repot akhirnya tidak melihat dalam hal ini hanya bersenang hati anaknya kok manis dan baik.
GS : Jadi sesuatu yang nampaknya baik ternyata mengandung potensi yang bisa merugikan baik diri anak maupun orang tuanya Pak Paul. Dalam hal ini Pak Paul apakah ada pedoman dari firman Tuhan yang bisa kita gunakan.

PG : Salah satu ayat firman yang bisa orang tua sampaikan kepada anak adalah "Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu." Ayat yang diambil dari Mazmur 103:4 .

Kita harus hidup dengan prinsip ini bahwa Tuhan tahu siapa kita bahwa kita sesungguhnya debu, jadi yakinlah Tuhan menerima kita, kami pun menerima engkau, kami menyadari kita semua tidak sempurna. Jadi biarlah ini menjadi lAndasan penerimaan dalam rumah tangga kita.
GS : Tetapi kadang-kadang juga di luar lingkungan rumah, jadi artinya pendidikan di luar rumah itu juga memberikan rangsangan pada anak sehingga rasa percaya dirinya sangat berlebihan itu Pak Paul.

PG : Bisa jadi inilah tugas orang tua melihatnya, kalau orang tua sudah melihat wah...ini yang terjadi di luar, si anak meggelembung terlalu cepat nah di rumah orang tua harus menyesuaikan sehigga kita tidak menambah gelembung itu.

GS : Terima kasih banyak Pak Paul, untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan terima kasih Anda masih tetap dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak Baik, Anak Manis". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



53. Memahat Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T128B (File MP3 T128B)


Abstrak:

Ibarat batu, kadang kita menemukan karakter anak yang negatif dan susah diubah. Ada bagian anak yang lunak artinya mudah dibentuk, namun ada juga bagian anak yang keras atau sulit dibentuk. Bagian yang keras inilah yang harus dipahat / dikikis sedikit demi sedikit secara berhati-hati agar tidak rusak dan hancur.


Ringkasan:

Ibarat batu, kadang kita menemukan karakter anak yang negatif dan susah diubah. Misalnya, ada anak yang terlalu mudah menyerah, ada yang mau menang sendiri dan tidak rela mengalah, ada yang cepat berbohong dan berpura-pura, ada yang mudah cemas, ada yang mudah marah, dan sebagainya. Kita telah memastikan bahwa sifat itu bukanlah reaksi atau akibat didikan dan perlakuan kita terhadapnya. Segala cara telah kita gunakan namun tidak membuahkan hasil.

Apa yang terjadi? Bagian yang keras merupakan bagian dari kepribadiannya yang berakar dari sifat bawaannya. Mudah menyerah menandakan ia adalah anak yang tidak tahan dengan stres yang berkepanjangan; mau menang sendiri menandakan bahwa ia berkemauan keras, cepat berbohong dan berpura-pura menandakan ia cerdik dan kreatif namun malas, mudah cemas berarti ia tidak tahan dengan ketegangan dan memerlukan kepastian untuk membuatnya tenang, mudah marah berarti metabolismenya cepat dan energinya tinggi.

  1. Ada bagian anak yang lunak(mudah dibentuk) namun ada bagian anak yang keras (sulit dibentuk). Bagian yang keras ini harus dipahat-dikikis sedikit demi sedikit secara berhati-hati agar tidak rusak dan hancur. Pengikisan melalui dua tindakan: memberinya tekanan agar menghentikan perilaku buruknya dan memberinya kepercayaan untuk tidak mengulangnya. Misalnya dalam kasus anak berbohong, kita menegur perbuatannya dan memberinya sanksi. Setelah itu kita memberinya kepercayaan bahwa sesungguhnya ia berniat baik namun telah memanfaatkan cara yang salah.

  2. Mungkin kita tidak dapat menghilangkan sifat itu seluruhnya, namun kita dapat menguranginya. Setidaknya kita dapat membuatnya melihat itu sebagai masalah yang harus ia hadapi-sebagai problem pribadinya pula.

  3. Bagian yang keras itu sukar hilang sebab menguntungkannya: ia memperoleh apa yang ia inginkan. Itu sebabnya kita mesti memikirkan apa keuntungannya itu dan mengajarkannya untuk mendapatkan yang ia inginkan dengan cara lain yang lebih sehat.

  4. Contoh kasus adalah Petrus. Ia sering berbuat dan berbicara tanpa berpikir panjang. Tuhan sudah memperingatkannya namun ia tidak memperhatikannya. Setelah penyangkalannya, Tuhan datang kepadanya dan bertanya, "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku lebih daripada mereka ini?" ( Yohanes 21:15-17 ) Di sini kita melihat Tuhan menjadikan masalah itu sebagai masalah pribadi. Kepada anak pun kita perlu melakukan hal yang sama: Membingkai masalahnya secara pribadi, yakni apa dampak perbuatannya pada orang dan kita. Namun Tuhan memberikan Petrus kepercayaan untuk menggembalakan domba-domba-Nya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Memahat Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, tentunya para pendengar kita juga bertanya-tanya saya sendiri pun bertanya-tanya di dalam hati, sebenarnya apakah yang mau Pak Paul sampaikan dengan memberikan judul perbincangan ini memahat anak itu Pak?

PG : Begini Pak Gunawan, membesarkan anak menuntut kita terlibat di dalam kehidupan si anak dan membentuknya. Ada anak yang seperti tanah liat, kita tinggal memencet sini, mencet sana, kita bis mengubah perilaku si anak sesuai dengan yang kita harapkan.

Namun adakalanya kita menemukan bagian kepribadian si anak atau karakternya yang tidak begitu cepat berubah. Kita telah berusaha mengubahnya, menegurnya, memarahinya, memujinya tapi tetap ada pada diri si anak itu. Nah maka saya menggunakan istilah memahat, tidak bisa lagi kita membentuknya dengan tangan kita tapi haruslah dengan sedikit kekerasan. Maksud saya bukannya sesuatu yang kasar atau konfrontatif, tapi maksud saya kita lebih dengan intensif mengikis dan mengikis dan mengikis bagian-bagian kepribadiannya itu yang memang tidak baik.
GS : Sifat-sifat apakah Pak Paul, yang biasanya begitu melekat pada diri si anak?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, misalnya ada anak yang terlalu mudah menyerah. Kita dorong, berikan semangat tetap saja mudah menyerah. Sedikit-sedikit berkata: tidak saya tidak bisa, tidak mau agi, saya menyerah dan sebagainya.

Atau yang lainnya misalnya mau menang sendiri nah ini sering dihadapi oleh kita pula, anak ini tidak bisa mengalah kalau tidak terpaksa dan kita tekan dia untuk mengalah tidak mau mengalah dia harus menjadi yang terutama.
GS : Jadi itu dua ekstrim yang berbeda Pak Paul, yang tadi Pak Paul katakan gampang menyerah yang ini malah sulit sekali untuk menyerah.

PG : Betul, dan dua-duanya adalah karakteristik yang tidak sehat baik yang terlalu mudah menyerah atau yang tidak mau mengalah sama sekali. Yang lainnya adalah ini Pak Gunawan, ada anak yang ceat berbohong dan berpura-pura.

Kita tidak mengajarkannya untuk berbohong, di rumah kita tidak ada yang dengan sengaja berbohong atau berpura-pura tapi entah mengapa anak ini bisa mengembangkan perilaku berbohong. Jelas-jelas kita tahu dia melakukannya, waktu kita tanya dia tidak mau mengakuinya dan mudah sekali berpura-pura, nah kita juga akhirnya bingung apa yang harus kita lakukan. Yang lain yang kadang-kadang muncul adalah ada anak yang mudah cemas, terlalu mudah cemas, terlalu penuh dengan ketakutan, penuh kebimbangan, kita minta dia memilih tidak bisa, kita minta dia berinisiatif tidak mau, terlalu banyak pertimbangannya akan hal-hal buruk yang mungkin nanti timbul. Jadi kita juga akhirnya bingung bagaimana menghadapi anak seperti ini. Atau yang lainnya adalah anak yang mudah marah. Ada anak yang dari kecil kalau marah itu bisa banting-banting badan, tidak bisa berhenti kalau tidak kita usahakan dengan keras. Kalau nangis itu urat-urat di leher bisa menonjol, muka merah dan sebagainya, mudah sekali marah dan kalau marah seperti itu. Nah inilah beberapa sifat atau karakteristik yang memerlukan pahatan yang tidak mudah kita bentuk dan inilah yang akan menjadi topik bahasan kita Pak Gunawan.
GS : Sering kali orang tua juga cepat menyerah dan berkata memang sudah sifatnya seperti itu dari sananya sudah seperti itu atau malah mungkin menurun dari orang tuanya dia katakan.

PG : Adakalanya itulah kesimpulan kita bahwa memang warisan ini dari siapa, dan sebagainya jadi akhirnya orang tua angkat tangan dan membiarkan anaknya menjadi seperti itu terus.

GS : Jadi bagaimana Pak Paul, kita menghadapi anak yang seperti itu?

PG : Pertama-tama kita harus memahami lebih luas lagi tentang sifatnya itu, sifat negatifnya itu. Saya ingin memberikan catatan di sini yaitu yang pertama adalah orang tua jangan terpancing menoroti sifat buruknya itu, dengan kata lain akhirnya orang tua terus-menerus memberi reaksi keras terhadap sikap itu.

Sedikit-sedikit kalau misalnya anak ini cemas, orang tua langsung marah, waktu anak ini mudah menyerah dan berkata: tidak mau lagi ah Ma atau tidak mau lagi ah Pa, wah langsung kita marah. Jadi akhirnya tanpa kita sadari kita mulailah membentuk suatu pola aksi reaksi dalam relasi kita dengan si anak itu. Aksinya adalah sifat si anak yang tidak kita sukai itu, reaksinya adalah sikap kita yang memarahinya atau melabelkannya dan sebagainya. Nah orang tua mesti berhati-hati, jangan sampai karakter ini menjadi pewarna relasi seluruhnya, keseluruhannya, nah ini mesti kita perhatikan. Saya juga mengharapkan orang tua bisa memandang atau menempatkan problem ini dalam perspektif yang lebih luas. Saya berikan contoh misalkan kalau kita berkata anak kita itu mudah menyerah, sebetulnya sikap mudah menyerah ini menandakan dia adalah anak yang tidak tahan dengan tekanan atau stres yang berkepanjangan. Nah sudah tentu definisi berkepanjangan berbeda dengan definisi kita. Kita mungkin beranggapan ah......begini saja kok sudah terlalu berat buat kamu sebab buat saya tidak terlalu berat. Kita mesti menyadari bahwa ternyata kapasitas anak kita menanggung stres lemah dan kalau sampai lemah dari kecilnya kemungkinan ini memang bukan pengaruh dari luar. Jadi saya mau sekali lagi ingatkan bahwa kita mesti refleksi diri jangan sampai anak-anak menjadi seperti ini gara-gara kita. Kalau kitanya sering mengamuk-ngamuk di rumah dan sebagainya nah itu akan menimbulkan dampak pada pertumbuhan anak, jadi yang saya bicarakan sekarang bukanlah anak-anak yang bertumbuh dalam keluarga yang bermasalah. Kita benar-benar tidak menciptakan masalah ini pada diri anak, rumah tangga kita relatif baik sehat, tapi anak-anak bisa menumbuhkan sifat-sifat negatif seperti ini. Nah contoh tadi misalnya mudah menyerah itu menandakan dia anak yang tidak tahan dengan stres yang berkepanjangan, oleh karena itu mungkin kita harus sesuaikan bahwa buat anak kita stres ini terlalu panjang. Mungkin kita harus bagi stresnya, kita harus tolong dia membagi waktunya sehingga stres bisa kita gunting-gunting, atau kita bisa potong-potong menjadi guntingan yang kecil. Itu lebih produktif daripada langsung memberi reaksi terhadap sikap mudah menyerahnya itu.
GS : Sebaliknya Pak Paul, anak yang mudah marah, anak yang tidak mudah menyerah itu bagaimana?

PG : Nah misalkan anak ini memang tidak bisa menahan kemarahannya, berarti memang kita langsung berkata penguasaan dirinya lemah. Betul, memang ada kaitan dengan penguasaan diri tapi mungkin seali yang lebih berperan besar adalah metabolismenya terlalu cepat, energinya terlalu tinggi.

Nah anak-anak yang memang membawa kondisi energi tinggi, metabolisme cepat mudah bereaksi dan akhirnya lebih mudah marah juga. Dengan kata lain kita mesti menolong si anak misalnya mengatur energinya, sehingga dia bisa menjadwalkan diri dengan lebih baik sebab energi yang begitu tinggi tapi misalnya tidak terjadwal atau teratur dengan baik, mudah sekali meledak. Misalkan ada yang menghambatnya, energi itu akan menabrak hambatan dan muncul dalam bentuk ledakan amarah. Nah kita ajarkan dia bagaimana menghadapi hambatan, bagaimana bernegosiasi, bagaimana berbicara kepada orang, meminta dia melakukan sesuatu daripada karena energi yang begitu tinggi dan metabolisme cepat langsung meledak dan meruntuhkan hambatan dari luar.
GS : Tadi di dalam contoh juga ada anak yang memang suka berbohong, yang pandai berpura-pura sebagai anak yang perlu dipahat Pak Paul, itu bagaimana?

PG : Kita bisa memahami sikap berbohong dan berpura-puranya itu dari perspektif yang lebih luas yaitu sebetulnya anak ini cerdik dan kreatif namun malas, ini kelemahannya. Karena dia malas makadia menggunakan kecerdikan dan kreatifitasnya untuk lari dari tanggung jawab, untuk menggunakan jalan pintas.

Nah dalam kasus seperti ini kita harus sadari o....ya anak kita cerdik dan kreatif kita lebih bisa mengarahkan dia nantinya bagaimana menggunakan cara yang lebih benar misalnya seperti itu.
GS : Bagaimana dengan anak yang mudah cemas, Pak Paul?

PG : Anak yang mudah cemas sebetulnya adalah anak yang tidak tahan dengan ketegangan dan memerlukan kepastian untuk membuatnya tenang. Maka tidak bisa tidak orang tua berperan besar untuk menurnkan ketegangan di rumah, misalnya besok ulangan kita berikan masukan sebetulnya ulangan ini begini, kalaupun hasilnya tidak maksimal kami menerima, yang penting kamu belajar, sehingga anak akan lebih tenang dia tahu dia tidak akan harus menanggung konsekuensi yang buruk kalau tidak mencapai sasarannya.

Atau kita lebih memberikan dia lebih banyak kepastian-kepastian sehingga dia tidak terlalu memikirkan jauh-jauh akan masa depannya. Nah cara-cara seperti itu akan lebih produktif daripada orang tua memarahinya karena kok mudah cemas.
GS : Di dalam hal memahat itu sendiri Pak Paul, apa yang perlu kita perhatikan sebagai orang tua?

PG : Memahat sebetulnya terdiri dari dua tindakan Pak Gunawan, yang pertama adalah kita misalkan menyaksikan sifat buruknya berbohong, sudah tentu mesti ada tanggapan yang tegas terhadap berbohngnya sebab itu adalah hal yang buruk.

Kita bisa memberitahukan dia itu salah, kita bisa memarahinya meskipun tidak selalu kita menggunakan cara yang memarahi itu. Tapi tindakan pertama silakan kalau memang itu hal yang buruk kita mesti berikan teguran, kita marahi tidak apa-apa. Namun yang kedua adalah kita memberikan kepercayaan untuk dia agar tidak mengulanginya. Misalnya dalam kasus berbohong tadi itu setelah kita menegurnya, memberinya sanksi kita memberinya kepercayaan dengan tugas yang lain, dengan kepercayaan yang lain, jadi kita tidak menutup pintu sama sekali tapi kita mau memberikan dia kepercayaan. Sebab waktu kita memberinya kepercayaan kembali, kita mengkomunikasikan kepadanya bahwa kami masih percaya pada niat baikmu, bahwa engkau tidak seburuk itu; kami percaya engkau adalah anak yang lebih baik namun engkau telah menggunakan cara yang salah, itu saja.
GS : Justru di situlah sering kali kita sebagai orang tua mengungkit-ungkit kesalahan yang pernah diperbuat oleh anak itu, Pak Paul.

PG : Nah ini yang saya takuti Pak Gunawan, bahwa pada akhirnya sifat buruk itu menjadi pewarna utama relasi orang tua-anak, sehingga hal-hal lainnya terkubur, warna-warna lainnya pudar dan warn yang mendominasi adalah warna yang dicetuskan oleh sifat buruk si anak itu.

Tiap hari akhirnya terjadilah pertengkaran dan menyangkut hal yang sama.
GS : Lalu bagaimana dengan hal yang lain Pak Paul?

PG : Begini, kadang ya kita terlalu berharap sifat ini cepat selesai, cepat hilang tapi kita harus menyadari bahwa tidak begitu cepat hilangnya dan kita mungkin tidak bisa menghilangkannya 100% Kita mungkin hanya bisa menguranginya, tapi ini yang kita perlu lakukan, kita perlu menyadarkan si anak akan problem ini, bahwa problem ini adalah problem buat dia, bahwa masalah ini bukanlah masalah orang tua.

Bahwa waktu dia misalkan berbohong ini bukanlah masalah orang tua yang tidak bisa menerima dia berbohong. Pada akhirnya kita mau menyadarkan dia bahwa berbohong adalah problem dia yang harus dia tangani, yang harus dia kurangi dan akhirnya hilangkan. Misalkan tentang mudah marah jangan sampai anak beranggapan bahwa yang menjadi masalah adalah kita sebagai orang tua yang tidak bisa mendengar kemarahannya si anak, kita mesti melimpahkan tanggung jawab itu pada pundaknya lagi. Bahwa kemarahanmu yang seperti ini, membuat masalah seperti ini, kemarahanmu membuat orang akhirnya tidak mau bermain lagi dengan kamu, kemarahanmu membuat orang takut dengan kamu dan akhirnya menjauhkan diri dari kamu. Misalkan seperti itu kebohongan kamu membuat kami tidak bisa percaya dan orang lain pun sukar percaya pada kamu, nah dengan kata lain sedikit demi sedikit anak itu akhirnya mudah-mudahan mengerti bahwa problem ini bukanlah problem orang tua. Sebab awalnya dia tidak mengerti, dia hanya berpikir ini orang tua yang tidak bisa menerimanya, tidak bisa hidup dengan dirinya tapi lama-lama diingatkan-diingatkan anak akhirnya lebih bisa mengerti bahwa ini problem dirinya yang harus menjadi proyek pribadinya untuk dia selesaikan.
GS : Kalau dia menyadari bahwa itu problem buat dirinya mungkin dia akan segera meninggalkan sesuatu yang kurang baik itu Pak Paul, tetapi bagaimana kalau dia justru merasakan itu sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya?

PG : Ini memang masalah Pak Gunawan, sebab akhirnya sifat-sifat buruk ini menjadi kendaraan baginya untuk mencapai apa yang diinginkannya, nah ini yang menjadi masalah. Misalnya dengan dia muda menyerah, dia tidak harus menghadapi tantangan berarti dia lolos, dengan dia mudah panik, mudah takut, mudah cemas berarti orang lainlah yang harus turun tangan menyelesaikan problemnya.

Dengan dia mudah marah orang takut kepadanya sehingga akhirnya memberikan yang dia inginkan dengan tidak senang hati misalnya, tapi segalanya dia terima. Dengan dia tidak mudah mengalah, mau menang sendiri akhirnya dia bisa mendapatkan yang dia inginkan. Nah ini sering kali yang menyulitkan si anak untuk berubah sebab sifat buruk telah menjadi sesuatu yang bermanfaat baginya.
GS : Lalu kalau sampai begitu bukankah bisa dibiarkan Pak Paul, apa yang bisa dilakukan?

PG : Dari kecil kalau kita sudah melihat adanya sifat-sifat ini dan sifat-sifat ini telah berfungsi menjadi kendaraan bagi si anak mencapai apa yang diinginkannya, kita harus mengetahui apa itusebetulnya yang ingin dicapai oleh si anak, apa tujuannya si anak melalui sifat buruknya itu.

Setelah kita ketahui apa tujuannya si anak nah kita mengajarkan si anak untuk bisa mendapatkan atau mencapai tujuannya dengan cara yang berbeda. Misalkan anak ini marah, membuang badannya, mengamuk, nah pada usia misalkan masih relatif kecil 3 tahun, 4 tahun. Kita bisa dudukkan, kita bisa pegang pundaknya, kita bisa lihat matanya dan pegang wajahnya dan kita katakan : "Apa yang kamu mau, katakan, beritahu Mama atau Papa." Kita memang tidak mendapatkan hasil sekali saja, kita harus melakukan ini berulang kali namun kalau kita lakukan ini cukup sering, lama-lama si anak akan merespons sewaktu kita dudukkan, pegang pundaknya, minta dia mengungkapkan apa yang dia inginkan saat itu, lama-lama dia akan katakan. Setelah dia katakan kita berikan tanggapan yang positif. "Bagus, nah ini yang kamu mau nah ini Mama berikan, lain kali beritahu jangan marah-marah, buang barang, banting barang, beritahu." Nah waktu si anak belajar bahwa dengan dia mengatakannya dia mendapatkannya, di situlah si anak belajar cara yang berbeda, yang lebih positif untuk mendapatkan yang dia inginkan.
GS : Ya Pak Paul, kalau kita melihat sifat anak siapapun dia itu sebenarnya pasti punya bagian-bagian yang seharusnya oleh orang tua dipahat Pak Paul.

PG : Setuju sekali, memang pada pertemuan yang lampau kita membicarakan anak manis, anak baik. Memang ada sebagian anak yang seperti itu Pak Gunawan anak manis, anak baik, benar-benar pada awalawalnya kita tidak menemukan cacat cela padanya.

Tapi kebanyakan anak-anak memang memiliki sifat-sifat yang keras atau yang buruk ini dan memang perlu penanganan yang lebih khusus untuk menghilangkan sifat ini.
GS : Nah, itu saya kira alkitabiah sekali karena memang Tuhan Yesus sendiri pun pernah memberikan perumpamaan tentang carang yang mesti dipotong, yang mesti dipangkas itu supaya bisa berbuah.

PG : Betul dan ini sekali lagi menuntut orang tua untuk bisa terlibat dalam kehidupan si anak sehingga melihat carang yang tidak sehat itu sehingga bisa dipangkas.

GS : Nah, apakah ada contoh yang lain di Alkitab, pribadi seseorang di mana Tuhan itu membentuk orang itu?

PG : Saya melihat Tuhan memahat Petrus, sebetulnya bukan hanya Petrus semua murid tapi marilah kita melihat kehidupan Petrus. Dia seseorang yang impulsive, dia mudah berkata-kata, berbuat, namu tidak dipikirkan dengan matang.

Nah, Tuhan sudah mengingatkan dia akan kecenderungan buruknya ini, sifat buruknya ini. Dan bahkan secara eksplisit Tuhan sudah menegur dan mengingatkan bahwa kamu akan menyangkal Aku, bukan sekali tapi tiga kali, namun Petrus dengan gagah berani menampik perkataan Tuhan, terlalu percaya diri meskipun sudah diberitahukan oleh Tuhan dan akhirnya benar kita tahu dia jatuh. Dia menyangkal mengenal Tuhan tiga kali, akhirnya Tuhan disalib. Dan yang menarik adalah waktu itu terjadi Tuhan hanya menatap Petrus, Tuhan tidak menegur dia, tapi tatapan Tuhan menimbulkan penyesalan yang sangat dalam terhadap Petrus. Yang kita ketahui adalah pada akhirnya Tuhan menghampiri Petrus di pantai dan menanyakan: "Simon anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?" Tiga kali Tuhan bertanya dan Petrus menjawab dan Petrus benar-benar menyesali kesalahannya. Nah yang pertama kita melihat Tuhan menjadikan masalah itu sebagai masalah yang pribadi bahwa kesalahan Petrus ini bukan kesalahan yang abstrak, tidak memberi dampak pada orang. Sifat itu membuat orang susah, menyebabkan masalah dan dia harus sadari itu. Nah kita perlu melakukan hal yang sama kepada anak yaitu membingkai masalahnya secara pribadi bahwa perbuatannya atau sifatnya tadi itu akan berdampak pada orang, relasional. Tapi yang kita lihat pada akhirnya adalah Tuhan memberikan Petrus kepercayaan lagi dengan memintanya menggembalakan domba-dombanya, terus Tuhan mengajar Petrus seperti itu. Tuhan menegur agar Petrus menyesal tapi Tuhan kembali memberikan kepercayaan, Tuhan tetap menyoroti yang positifnya. Ada orang tua yang akhirnya tenggelam di sifat negatif anak dan hanya terus menyoroti si anak dalam sifat negatifnya dan tidak keluar-keluar. Pilihan orang tualah untuk berkata tidak, saya akan fokuskan yang positif dan saya akan coba membangun dari yang positif. Dan itulah yang kita lihat apa yang Tuhan telah Lakukan pada Petrus.
GS : Dan tanggung jawab memahat ini dipercayakan oleh Tuhan kepada kita sebagai orang tua dari anak-anak yang dikaruniakan kepada kita.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan memang tidak bisa kita mengharapkan orang lain yang melakukannya, guru atau pun pembimbing gereja, Tuhan telah memberikan tugas ini kepada kita.

GS : Padahal kita kadang-kadang dengan mudah mengalihkan tanggung jawab yang Tuhan percayakan kepada orang lain, Pak Paul.

PG : Betul, seolah-olah orang lainlah yang seharusnya sudah tahu masalah anak kita dan lebih mengertilah, lebih berbuat banyak pada anak-anak kita, tidak. Anak-anak diberikan kepada kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memahat Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



54. Membangun Keakraban dengan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T132A (File MP3 T132A)


Abstrak:

Keakraban adalah hal yang diperlukan ada dalam hubungan antara orang tua dan anak. Namun seringkali orang tua bertanya-tanya bagaimana menciptakan keakraban itu sendiri, nah materi ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.


Ringkasan:

Hal-hal yang perlu dilakukan orang tua terhadap anak mereka yaitu:

  1. Kuantitas waktu sama atau bahkan lebih penting daripada kualitas waktu yang kita habiskan dengan anak. Ingat, anak tidak menyimpan memori akan semua hal yang terjadi; anak menyimpan ikatan batiniah yang terjalin melalui waktu yang kita bagikan dengan anak.

  2. Mengerjakan atau melakukan kegiatan bersama, bukan sekadar mengajak anak dan membiarkannya melakukan aktivitas itu sendirian, misalnya bermain atau mengerjakan proyek bersama.

  3. Memberikan barang yang disukainya. Mendapatkan hadiah yang didambakan senantiasa menambah sukacita anak. Memberikan kepada anak barang yang disukainya merupakan wujud kasih orang tua kepada anak. Ingat, memberikan barang harus dilakukan dengan penuh hikmat.

  4. Jika tidak mempunyai alasan untuk mengatakan, tidak, katakan, ya, terhadap permintaannya. Jangan sampai anak membentuk pemikiran bahwa orang tuanya selalu mengatakan, tidak, terhadap permintaannya. Relasi dibangun di atas, ya, bukan, tidak.

  5. Perlakukan anak dengan adil; jangan bersikap kejam atau tidak manusiawi. Ingat, berhati-hatilah dengan tuntutan yang kita sendiri tidak dapat memenuhinya.

  6. Lakukanlah hal-hal yang spontan dan menyenangkan. Inilah hal-hal yang akan diingat oleh anak.

Firman Tuhan: "Raja yang menghakimi orang lemah dengan adil, takhtanya tetap kokoh untuk selama-lamanya. Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya." Amsal 29:12-15


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya ditemani Ibu wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun Keakraban dengan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita sebagai orang tua tentu ingin akrab dengan anak atau pun anak-anak kita bahkan mungkin kerinduan kita bisa lebih akrab dengan teman-teman yang lain. Tetapi masalahnya bagaimana keakraban itu bisa terwujud, Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, yang melahirkan konsep yang akan kita bahas pada saat ini adalah pengalaman pribadi saya, Pak Gunawan. Saya ini berbincang-bincang dengan anak-anak dan saya bertanya-taya kepada mereka tentang tempat-tempat yang kami dulu kunjungi waktu kami rekreasi bersama karena itu sering kami lakukan waktu mereka masih kecil.

Jawaban mereka ternyata sangatlah mengejutkan saya, ternyata mereka itu tidak terlalu ingat dengan tempat-tempat yang kami kunjungi, saya tanya ingat tidak ini, ingat tidak itu, ingat tidak ini, kebanyakan yang kami tanyakan mereka tidak ingat. Yang mereka ingat memang hal-hal yang telah terjadi misalnya di atas usia 9, 10 tahun, itu mereka lebih ingat, tapi yang lebih kecil ternyata mereka tidak ingat. Nah hal inilah yang membuat saya berpikir-pikir yaitu ternyata membangun keakraban itu adalah sesuatu yang sangat-sangat bersifat tidak kasat mata, tidak terlihat. Ternyata kita itu sebetulnya mengumpulkan memori atau kesan, yang kita bangun sebetulnya ikatan batiniah itu Pak Gunawan. Kita tidak bisa selalu mengingat banyak hal yang telah kita lakukan pada masa lampau, jadi anak-anak juga sama, mereka tidak mengingat hal-hal itu, akitifitas-aktifitas itu, tapi kalau kita bisa membagi waktu dengan mereka, kita akan membangun keakraban, ikatan batiniah itu. Jadi inilah yang saya kira kita perlu pahami bahwa membangun keakraban dengan anak memang harus melalui membagi waktu dengan mereka. Dan yang mereka akan bawa di usia dewasa nantinya bukanlah ingatan akan aktifitas itu sendiri, tapi yang akan mereka bawa ke usia dewasa mereka adalah ikatan batiniah, keakraban itu dan itulah yang tercipta tatkala kita bersama dengan mereka dan membagi waktu dengan mereka. Nah inilah yang nanti akan kita bahas Pak Gunawan.
GS : Ya apakah itu menjadi penyebab sehingga seorang anak biasanya lebih akrab dengan ibunya daripada dengan ayahnya.

PG : Saya kira itu salah satu penentunya, sebab pada umumnya ibu menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak daripada ayah. Itu sebabnya ikatan batiniah antara anak dan ibu pada umumnya sangatlh kuat dan dapat dikatakan lebih kuat daripada ikatan batiniahnya dengan ayahnya.

GS : Tetapi bisa juga terjadi kalau anak ini diserahkan ke baby sitter anak ini menjadi lebih akrab dengan baby sitternya.

PG : Betul, atau pengasuh-pengasuh yang lain misalnya neneknya atau tantenya. Nah makanya ada dua istilah yang kita gunakan, yang pertama adalah ibu kandung atau ibu biologis atau orang tua bioogis.

Dan yang kedua adalah orang tua psikologis, sebab orang tua yang tidak akrab dengan anak-anak akhirnya tidak menjadi orang tua psikologis bagi anak-anak itu.
WL : Jadi membangun keakraban atau hubungan dengan anak Pak Paul, lebih penting mana antara kwalitas dengan kwantitas Pak?

PG : Intinya begini Ibu Wulan, kita ini sering berpikir yang penting itu kwalitas, kwantitas tidak terlalu penting, tidak ya. Keduanya itu penting dan kwalitas hanya bisa ada jika ada kwantitasya.

Saya sering mengumpamakan anak itu seperti sutradara, dan pelakunya kita-kita ini orang tua, kitalah para pemainnya yang nanti menentukan bagian yang mana itu masuk ke dalam film adalah sutradara. Anaklah yang menentukan hal-hal apa yang akan masuk ke dalam hidupnya yang dia bawa sampai ke usia dewasa, yang berkesan pada dirinya. Nah orang tua sering kali berpikir yang penting kwalitas, tapi hal yang kita anggap berkwalitas belum tentu itulah yang akan nanti dibawa oleh si anak.
WL : Pak Paul, akhir-akhir ini saya sering membaca artikel atau tulisan buku-buku itu yang bertemakan tentang The absent Father, nah itu pengertiannya bisa dua, memang ayahnya ada tapi tidak pernah ada interaksi dengan anak-anak atau ada juga yang memang tidak pernah hadir begitu, maksudnya sudah tidak bertanggung jawab, nah itu bagaimana Pak Paul menjelaskannya?

PG : Sudah tentu kalau ayahnya sama sekali tidak ada di rumah pengaruhnya juga akan tidak positif karena dia perlu ayah di rumah. Namun kalau si ayah di rumah tapi tidak bergaul dengan anak sam sekali itu juga sebetulnya tidak memberikan sumbang sih yang signifikan bagi kehidupan si anak-anak, karena yang diperlukan terutama pada masa-masa yang lebih kecil adalah interaksi orang tua dan anak itu dan adanya kepedulian orang tua dalam hal ini ayah kepada anak-anaknya.

Jadi bukan hanya hadir di rumah tapi berfungsi, sebagai seorang ayah, dia mengawasi, dia bertanya, dia mau tahu apa yang terjadi pada anak-anaknya itu yang kita memang harapkan.
GS : Nah Pak Paul, di dalam hal keterbatasan waktu orang tua, biasanya ketika anak masih kecil-kecil orang tua dua-dua sedang membangun karier, nah di dalam keterbatasan itu apa sebaiknya yang bisa dilakukan baik oleh ayah atau pun ibu terhadap anak-anaknya itu?

PG : Ada beberapa yang bisa kita bahas. Yang pertama adalah orang tua bisa mengerjakan atau melakukan kegiatan bersama, bukan sekadar mengajak anak dan membiarkannya melakukan aktifitas itu senirian.

Misalnya bermain, kita bisa mengajak anak ke kolam renang kemudian kita biarkan berenang sendiri nah itu bukan yang saya maksud, yang saya maksud adalah mengajaknya berenang dan ikut berenang dengannya, ikut bermain dengannya. Atau mengajaknya ke play ground, bukannya hanya duduk membaca buku atau membaca koran atau ngobrol dengan teman-teman dan anak-anak kita bermain sendirian di ayunan atau apa, tidak, kita ikut misalnya mendorong ayunannya. Atau bermain kelereng, kita juga terjun bermain bersama dengan mereka. Dan ini tidak hanya untuk main, ini bisa juga berlaku untuk mengerjakan proyek tertentu, misalnya membangun kAndang ayam. Kita mengajak anak membangun kAndang itu bersama-sama, nah pekerjaan yang kita lakukan bersama, atau aktifitas yang kita lakukan bersama dengan anak ternyata akan sangat-sangat menambah keakraban dengan anak. Betul kita ini orang-orang yang sibuk banyak tugas-tugas di luar rumah, tapi jika bisa kita luangkan waktu dan mengerjakan tugas-tugas atau bermain bersama dengan anak ini adalah bonus yang akan nanti hasilnya kita tuai.
GS : Sebenarnya yang terjadi itu orang tua enggan mengajak anaknya untuk bermain atau berkarya bersama-sama atau anak yang memang sulit untuk bisa melakukan pekerjaan itu karena masih kecil.

PG : Sebetulnya pada masa anak-anak kecil terutama dalam hal main, anak-anak itu senang sekali kalau orang tuanya bisa bermain bersama mereka. Mereka akan senang bermain dengan orang yang lebihdewasa daripada mereka, itu pada usia kecil.

Pada masa anak-anak sudah berusia misalnya usia 9, 10 tahunan memang mereka akan lebih menikmati bermain bersama dengan teman-teman sebayanya. Tapi waktu masih lebih kecil-kecil tidak, justru mereka sungguh-sungguh akan senang kalau orang tuanya ikut bermain. Makanya kalau kita bermain sepeda misalnya kita dorong-dorong sepedanya suruh dia main sepeda anak-anak akan berkata: "Pa, Ma, main sepeda sama-sama yuk." Atau berenang, "Yuk berenang sama-sama yuk." Anak akan mengajak orang tua, nah ini yang kita perlu indahkan karena anak mengajak sampai usia tertentu, melewati usia-usia itu anak tidak lagi mengajak dan kalau kita mengajaknya pun mereka tidak lagi mau bermain-main bersama-sama dengan kita.
WL : Jadi yang ditekankan maksudnya kebersamaannya itu Pak Paul? (PG : Betul). Nah yang menjadi pertanyaan batasannya sampai di mana itu Pak Paul, kita bersama-sama terus untuk mendorong kekreatifitasan anak, kemandirian anak, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Walaupun kita bermain bersama dengan anak, tapi permainan itu sendiri hampir kebanyakan semua permainan sebetulnya menuntut kreatifitas. Misalkan main kartu bersama-sama, kapan dia menaruhkartunya, kapan dia tidak menaruh kartu, itu sendiri sebenarnya sudah memberi ruang buat anak berkreatifitas.

Atau dalam aktifitas yang lainnya orang tua jangan selalu mengambil alih, biarkan anak-anak itu berkesempatan juga melakukannya dengan cara dia, sebab kalau kita terus mengambil alih dia tidak akan menikmati dan waktu mengerjakan suatu proyek bersama jangan anak itu kita marah-marahi, nah itu yang membuat anak lain kali tidak mau lagi.
GS : Makanya penekanannya sebenarnya pada unsur bermainnya Pak Paul, bukan pada unsur hasil dari permainan atau pun karya itu sendiri?

PG : Tepat sekali hasilnya itu nomor dua, prosesnya itu nomor satu.

GS : Pak Paul, di dalam hal itu kadang-kadang anak itu menuntut sesuatu Pak Paul, supaya apa yang dia inginkan dan sebagainya itu dia terima. Nah bagaimana Pak Paul kita harus memberi atau menolak atau bagaimana?

PG : OK, hal kedua yang bisa kita lakukan untuk menambah keakraban dengan anak adalah memberikan barang yang disukainya. Nah tetap ini hukum universal, ternyata mendapatkan hadiah yang didambakn selalu menambah sukacita manusia termasuk anak-anak.

Nah maka ini penting kita lakukan juga, misalnya kita tahu waktu anak menginginkan sepeda yang tertentu itu dan kalau misalkan kita memang mempunyai uangnya kita belikan yang dia suka. Saya juga bingung kadang-kadang orang tua itu mempunyai kebiasaan yang kurang positif, yaitu kalau anak minta A selalu yang dikasih B, kalau minta yang hitam, yang dikasih yang putih, jangan. Justru kalau memang dia minta yang putih dan memang kita mampu silakan tidak apa-apa, belikan barang itu. Karena sekali lagi mendapatkan barang yang diharapkan itu akan menambah sukacita anak, nah waktu dia sukacita dia akan juga mengucapkan syukur dan terima kasih kepada kita, dan itulah hal yang akan menambah keakraban dengan kita. Nah tapi ya juga saya kira jangan sampai kita ini lupa prinsip bahwa anak-anak tidak selalu harus mendapatkan yang mereka minta. Kita harus tahu batasnya juga, harganya, keseringan atau tidak, apakah perlu atau tidak nah hal-hal itu memang kita harus perhatikan. Namun sekali lagi kalau memang itu hal yang dia bisa dapatkan dan seharusnyalah dia dapatkan berikan, berikan ya sebab itu akan membuat anak senang dan membuat mereka disadarkan bahwa papa-mama memang mengasihi mereka.
GS : Yang dikhawatirkan banyak orang tua adalah kalau sekali diberi, nanti lain kali menuntut lagi Pak Paul.

PG : Nah di sini orang tua memang perlu bijaksana kapan memberikan, kalau memang terlalu cepat orang tua bisa berkata, baru saja kami berikan ini, kamu jangan menantikan lagi sekarang, nanti tuggu kapan.

Jadi biarkan anak juga belajar menunda hasratnya dan menantikan kapan dia bisa mendapatkan barang itu. Tapi sekali lagi prinsipnya adalah kalau memang kita bisa dan itu baik buat dia, berikan yang dia minta dan itu akan menambahkan keakraban dengannya.
WL : Waktu Pak Paul menjelaskan tentang hadiah, saya tiba-tiba teringat ke masa kecil saya. Jadi saya mengamini banget makna sebuah hadiah, suatu kali (saya masih kecil) ayah saya membelikan sepasang sepatu warna merah, jadi sekarang saya masih teringat di benak saya, warnanya seperti apa, bentuknya seperti apa walaupun ukurannya tidak pas, kegedean atau kesempitan saya lupa. Tapi saya senang, sampai sekarang itu saya masih ingat, berapa harga hadiahnya saya juga tidak tahu tapi saya merasa ayah saya memperhatikan saya. Saya pikir dia bisa juga memilih sepatu buat saya, padahal perempuan, dia itu bukan orang yang romantis agak kaku begitu. Setelah besar saya pikir-pikir begini, dibalik hadiah itu sebenarnya papa saya mengeluarkan banyak uang, untuk banyak hal membayar sekolah, membiayai segala macam semua itu jauh lebih besar harganya dibandingkan harga sepatu itu. Tapi sepatu itu ternyata bermakna sekali buat seorang anak kecil begitu, jadi benar, Pak Paul.

PG : Karena itu hadiah, kalau uang sekolah itu kewajiban. Dan kita memang menanggapi kewajiban biasa saja, waktu hadiah kita sungguh-sungguh merasa diberkati oleh hadiah itu.

GS : Mana sebenarnya yang lebih berkesan pada anak Pak Paul, sesuatu yang dia minta lalu diberikan atau pemberian yang sifatnya itu surprise?

PG : Sudah tentu biasanya yang surprise ada unsur mendadaknya, dia tidak mengharapkan terus kita berikan, nah itu akan sangat mengejutkan dan menyenangkan dan hal-hal itu yang sering kali merek ingat untuk waktu yang lama.

GS : Ya tetapi itu sebagai orang tua harus peka apa sebenarnya yang diinginkan oleh anak itu tetapi anak itu tidak berani mengucapkan atau belum mengucapkan itu.

PG : Wah kalau itu yang terjadi pasti akan membuat dia senang.

GS : Dan itu tetap diingat Pak Paul, walaupun sederhana bukan masalah harganya tetapi diberikan pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat pula. Tetapi pasti ada cara-cara lain Pak Paul untuk membangun keakraban dengan anak ini?

PG : Yang berikutnya adalah ini, Pak Gunawan, yaitu jika tidak mempunyai alasan untuk mengatakan tidak, katakan ya terhadap permintaannya, prinsip ini saya pelajari dari Pdt. Charles Swindoll. ia mengemukakan pendapatnya, dia berkata kadang-kadang orang tua itu gemar sekali mengatakan tidak, kalau anak ngomong apa, minta apa, belum apa-apa langsung jawabannya tidak atau jangan.

Justru Swindoll mau mengajak kita mengubah perspektif yaitu berangkatlah bukan dari TIDAK, berangkatlah dari YA. Kalau kita bisa menemukan alasan supaya berkata JANGAN, baru kita katakan JANGAN, namun kalau kita tidak bisa menemukan alasan untuk kata JANGAN, katakan YA. Itu prinsip yang saya kira memang sedikit baru buat kita-kita ini, tapi perlu kita renungkan bersama. Intinya begini Pak Gunawan, Bu Wulan, jangan sampai anak membentuk pemikiran bahwa orang tuanya selalu mengatakan TIDAK terhadap semua permintaannya. Karena lama-lama kalau anak-anak berpikir ah.....orang tua pasti menjawab tidak, respons anak akhirnya tidak berani minta. Nah kalau anak sudah tidak berani meminta berarti akan ada jarak antara anak dan orang tua. Saya kira itu sebabnya Tuhan mendorong anaknya, kita-kita ini untuk mengutarakan permintaan kita kepada Tuhan dalam doa, sebab permintaan itu mengakrabkan hubungan kita dengan Tuhan. Apalagi waktu Tuhan menjawab dan memberikan apa yang kita minta, itu benar-benar akan mengakrabkan kita sekali. Jadi sama dengan orang tua jangan sampai anak-anak beranggapan papa-mamanya itu sudah pasti jawabnya stAndar, tidak. Ada respons yang pertama yang tadi saya sebut akhirnya anak-anak menjauhkan diri dari orang tuanya, mereka berpikir percuma minta. Tapi kalau anaknya agak nakal mereka akan melakukan hal yang kedua yaitu mereka akan mencuri-curi melakukannya atau mencuri-curi uang atau mencuri-curi barang nah itu kadang-kadang terjadi. Waktu orang tua datang membawa anaknya kepada saya, saya suka bertanya waktu mereka berkata anaknya mencuri, saya suka bertanya berapa uang jajan yang engkau berikan. Dan saya terkejut ada orang tua yang memberikan uang jajan sangat kecil sekali sedangkan anaknya hidup di tengah-tengah teman-teman yang hidupnya lebih atau uangnya sedikit lebih banyak sehingga mereka kesulitan mau membeli ini, mau membeli itu tidak bisa, akhirnya ada yang mencuri. Jadi prinsipnya adalah relasi dibangun di atas YA, relasi tidak dibangun di atas TIDAK, jadi ini yang harus kita camkan baik-baik.
GS : Ya mungkin sebagai orang tua mau mengambil amannya dengan berkata tidak terlebih dahulu, baru nanti setelah dipikir-pikir kalau memang memungkinkan baru berkata ya. Tapi kalau sudah berkata ya kemudian tidak bisa, akhirnya tidak bisa memenuhi janji atau nanti belakangnya kurang bagus itu Pak Paul, jadi mengambil amannya mengatakan tidak dahulu.

PG : Saran saya adalah kita ini meminta anak untuk menunggu kita akan pikirkan dulu baru berikan jawaban, nah itu lebih baik daripada memang mengatakan ya kemudian berubah ke tidak atau sekaran mengatakan tidak kemudian juga nanti berubah menjadi ya, itu lebih baik.

GS : Kadang-kadang anak juga bisa melihat bahwa kalau minta ke ayahnya berkata tidak, dan minta kepada ibunya berkata ya, kemudian ini dipertentangkan.

PG : Betul, akhirnya mereka mengadu domba ayahnya dan ibunya dan mereka selalu tahu lain kali datang kepada siapa untuk mendapatkan yang mereka minta, ini menjadi kurang baik juga.

GS : Itu bagaimana kalau anak yang diasuh itu bukan cuma seorang tapi ada beberapa anak, bagaimana kaitannya dengan membangun keakraban ini?

PG : Saya kira kita perlu yang berikutnya adalah memperlakukan anak dengan adil. Adil ini misalnya dalam konteks yang tadi Pak Gunawan sebut, kalau kita berkata tidak kepada anak pertama, anak edua juga tidak, anak ketiga juga tidak.

Kalau ya kepada anak yang pertama, yang kedua, ketiga juga ya. Jangan sampai kita memperlakukan mereka tidak adil. Anak akan merasa dekat dengan orang tua kalau mereka tahu bahwa orang tuanya adil. Nah yang lainnya lagi contoh kurang adil adalah memukul berlebihan, memarahi berlebihan untuk kesalahan yang mereka anggap terlalu kecil untuk diperbesar. Nah kalau anak-anak sudah mempunyai anggapan orang tuanya berlebihan, mereka sukar sekali untuk merasa dekat dengan orang tua. Jadi penting sekali anak melihat bahwa kita-kita ini adil.
WL : Pak Paul, sering saya bertemu dengan keluarga-keluarga yang ada salah satu anak itu menjadi anak favorit, di keluarga itu pasti tahu, kakak, adik tahu, jadi setiap kali mau minta sesuatu pasti lewat orang ini dan pasti selalu dapat kalau lewat dia, tapi kalau mereka langsung tidak diberikan, itu mungkin tidak sehat ya Pak Paul?

PG : Nggak sehat karena memang itu menimbulkan iri hati dan melihat orang tuanya tidak adil. Inilah yang terjadi pada anak-anak Yakub, terlihat Yakub terlalu memanjakan Yusuf, begitu bencinya mreka kepada Yusuf sehingga akhirnya rela membuangnya sebagai seorang budak, jadi semua itu muncul dari perlakuan ayah yang tidak adil kepada anak-anaknya.

Satu hal lagi yang perlu saya munculkan tentang adil ini adalah kita mesti berhati-hati dengan tuntutan yang kita sendiri tidak bisa memenuhinya. Kadang-kadang anak-anak melihat kita tidak adil dalam pengertian seperti itu, kita menuntut anak-anak tapi kita sendiri tidak melakukannya. Misalnya anak-anak kita suruh belajar, kamu harus membaca misalnya, terus kitanya sendiri di rumah tidak pernah dilihat oleh anak belajar atau membaca. Anak-anak hanya melihat kita itu ngobrol, telepon kanan kiri, anak-anak akan berpikir orang tua sendiri tidak pernah begitu. Misalnya bangun harus bereskan kamar dan ranjang, anak-anak melihat papa mamanya kalau bangun kamarnya tidak pernah dibereskan. Kalau marah jangan berteriak, tidak boleh berteriak, tidak boleh marah, tapi orang tuanya kalau marah langsung meledak. Hal-hal yang kita tuntut tapi kita sendiri tidak memenuhinya, itu menjadi bumerang buat kita. Anak-anak akan menilai orang tua saya tidak konsisten dan tidak adil, menuntut saya sedangkan engkau sendiri tidak bisa melakukannya dan akhirnya ini menimbulkan jarak bukan keakraban.
GS : Saya juga melihat dalam membagi waktu itu Pak Paul, banyak anak mengeluh diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya karena orang tuanya sering di luar rumah dan dia sendiri merasa ditinggalkan Pak Paul.

PG : Betul sekali, jadi anak-anak itu makin besar makin melihat hal-hal yang kita anggap mungkin mereka tidak lihat, o...mereka melihat.

GS : Apakah mungkin ada yang lain Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah lakukanlah hal-hal yang spontan dan menyenangkan, inilah hal-hal yang akan diingat oleh anak-anak. Spontan dan menyenangkan artinya lakukanlah perbuatan-perbuatan yangkocak, menggoda anak, main-main sama anak tapi masih dalam batas kewajaran.

Nah ini adalah hal yang menyenangkan yang akan dibawa oleh anak-anak dan menambahkan keakraban. Misalnya sebagai contoh kadang-kadang saya sedang menonton tembang kenangan, hampir setiap minggu saya dan istri saya menonton tembang kenangan, nah kadang-kadang saya akan berdansa dengan istri saya, anak-anak tertawa melihat kami berdansa-dansa, tapi itulah yang kami lakukan dengan spontan. Kadang-kadang kami mencium anak, nah hal-hal spontan seperti itulah yang nanti akan mereka bawa, hal-hal yang mungkin terlalu serius-serius mereka mungkin tidak terlalu ingat lagi.
GS : Jadi itu ada unsur bermain lagi

PG : Betul.

WL : Berarti bisa dilatih Pak Paul, karena saya pikir Pak Paul jelaskan itu bagaimana dengan orang yang pendiam, dari dulu pendiam sulit akan hal-hal seperti itu apakah bisa dilatih Pak Paul?

PG : Ya memang kalau super pendiam agak susah juga, tapi dia juga mungkin bisa mengejutkan dengan cara-cara dia yang agak pendiam, yang lebih introvert. Misalnya memeluk anaknya, mencium keningya atau yang baru kita sebut misalnya membelikan sesuatu yang simpel, sederhana misalnya membelikan anak anjing, anaknya tidak pernah minta tahu-tahu ayahnya pulang membawa anak anjing atau membawa kelinci, hal-hal seperti itulah yang akan dibawa anak-anak sampai usia dewasa.

GS : Itu seberapa besar pengaruh keakraban yang dibangun masa kecil itu untuk masa depannya Pak Paul?

PG : O......sangat-sangat besar Pak Gunawan, karena keakraban adalah modal, modal yang nanti akan kita petik hasilnya. Waktu anak-anak memasuki usia remaja, masa gejolak kalau kita sudah menana ikatan batiniah ini, masa remaja mereka akan lebih mudah kita hadapi, mereka akan lebih siap mendengarkan kita, tidak langsung marah meninggalkan kita atau mendiamkan kita, karena ikatan itu sudah ada.

Ibaratnya kita ini (memang saya gunakan kata ikatan), kita memang mengikatkan tali di pinggang kita dan di pinggang anak kita. Sehingga waktu dia nanti sudah mulai besar memang akan terbawa angin ke kanan ke kiri tapi tetap terikat dengan kita. Nah orang tua yang tidak memberikan waktu dan melakukan ini dengan anak-anaknya, tidak mempunyai tali itu. Waktu anak-anak besar tertiup angin ke kanan, ke kiri, anaknya terbang, lepas.
GS : Ada kekhawatiran bahwa nanti anaknya sangat tergantung pada orang tuanya padahal orang tuanya ingin anaknya ini bisa mandiri Pak Paul?

PG : Kalau anak-anak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan, mengutarakan pikirannya saya kira tidak, mereka bisa tetap berkembang dengan mandiri.

GS : Dan apakah Pak Paul akan memberikan ayat firman Tuhan untuk merangkumkan pembicaraan ini?

PG : Saya bacakan Amsal 29:14 , "Raja yang menghakimi orang lemah dengan adil, takhtanya tetap kokoh untuk selama-lamanya. Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anakyang dibiarkan mempermalukan ibunya."

Ada dua prinsip yang bisa kita petik di sini yang pertama adil, orang yang adil atau raja yang adil takhtanya tetap. Orang tua yang adil pada anak-anaknya memang pada porsi yang lebih lemah dia akan kokoh sebagai orang tua. Dan yang kedua adalah Tuhan meminta kita tidak membiarkan anak, anak dilahirkan untuk kita awasi, kita besarkan, kita bina bukan kita biarkan saja.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan juga ibu Wulan yang bergabung dalam perbincangan kita. Para pendengar kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Keakraban dengan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



55. Mendisiplin Bukan Menghancurkan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T132B (File MP3 T132B)


Abstrak:

Mendisiplin anak merupakan kewajiban, bukan sekadar pilihan kesukaan orang tua. Melalui materi atau judul ini akan disajikan bagaimana kita orang tua dapat mendisiplin anak dengan efektif.


Ringkasan:

Mendisiplin anak merupakan kewajiban, bukan sekadar pilihan kesukaan orang tua. Kasih yang berimbang diberikan dalam bentuk kelembutan dan ketegasan. Itu sebabnya firman Tuhan mengajarkan, "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." ( Amsal 13:24 )

Mengapakah anak memerlukan disiplin?

  1. Disiplin menolong anak berkata, tidak, kepada diri sendiri. Ingat, kita tidak selalu mempunyai hasrat yang baik, jadi, kita harus dapat berkata tidak kepada hasrat yang tidak baik. Juga, hasrat yang baik sekalipun tidak senantiasa dapat terealisasi seketika, jadi, kita harus bisa menunda pemenuhannya.

  2. Disiplin menolong anak mencapai sasaran atau keinginannya. Disiplin membantu anak berkonsentrasi dan fokus pada target.

  3. Disiplin mendorong anak untuk menghormati orang lain; tanpa disiplin anak tidak mudah menghormati siapa pun, ia hanya akan menghormati orang yang menuruti kehendaknya belaka.

  4. Terlebih penting, disiplin membantu anak hormat kepada orang dengan alasan yang benar-berhasil karena kerja keras. Dengan kata lain, disiplin membentuk karakter anak-mengajarnya menggunakan waktu dengan lebih baik dan mengembangkan etika hidup yang sehat yakni melalui bekerja keraslah orang mendapatkan ia dambakan.

  5. Pada akhirnya, disiplin membuat anak dapat menghormati dirinya sendiri. Ia menyukai dirinya sebab ia melihat bahwa ia dapat menetapkan sasaran dan mencapainya. Ia dapat mencatat keberhasilan dan ini membuahkan kebanggaan tersendiri.

Prinsip Mendisiplin Anak dengan Efektif

  1. Disiplin yang efektif tidak selalu berbentuk pukulan; disiplin bisa berbentuk teguran atau pemberian sanksi.

  2. Disiplin yang efektif diberikan dengan segera, jangan ditunda. Penundaan menimbulkan ketidakpastian dan kecemasan yang tidak perlu.

  3. Disiplin yang efektif sesuai kesalahannya, tidak berlebihan.

  4. Disiplin yang efektif tetap menyisakan hormat pada harkat anak, tidak menghinanya.

  5. Disiplin yang efektif harus spesifik, tidak menjalar kepada kesalahan lain atau dikaitkan dengan kemarahan lainnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya ditemani Ibu wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara ini. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Mendisiplin Bukan Menghancurkan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Ada orang tua yang beranggapan bahwa kasih itu selalu bersifat lembut, jadi mereka ini tidak percaya bahwa mereka harus mendisiplin anak. Mereka beranggapan tugas mereka sebagai orang tua dalah melimpahkan anak-anak dengan kasih.

Nah sudah tentu saya setuju dengan pendapat bahwa kita harus melimpahkan anak dengan kasih. Tapi kasih tidak hanya berbentuk kelembutan, kasih juga kadang kala berbentuk ketegasan, itu sebabnya firman Tuhan berkata: "Siapa tidak menggunakan tongkat benci kepada anaknya, tetapi siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya." Ini saya ambil dari Amsal 13:24 . Jadi dengan kata lain dari ayat ini bisa kita simpulkan satu prinsip umum yaitu mendisiplin anak merupakan kewajiban, mendisiplin anak bukannya sekadar pilihan kesukaan orang tua, kapan-kapan lagi mau baru mendisiplin, o....tidak, mendisiplin adalah kewajiban orang tua, nah inilah yang akan kita angkat dan bahas pada kesempatan ini Pak Gunawan.
GS : Ya di sini perintah Tuhan ini ditujukan pada ibu atau ayah Pak Paul?

PG : Sudah tentu sebetulnya kepada kedua orang tua, tapi di Alkitab yang menarik adalah kalau kita membaca di Perjanjian Baru seperti di Kolose atau di Efesus dan juga Perjanjian Lama seperti d kitab Amsal ini, hampir dapat dipastikan setiap kali ada instruksi mendisiplin anak yang diberikan tugas adalah orang tua yang berjenis kelamin pria yaitu ayah.

GS : Atau karena ayah sebagai kepala keluarga itu Pak?

PG : Ya dan juga saya kira adalah karena ayah figur otoritas di rumah, yang merawat dan membesarkan anak adalah ibu, tapi tugas mendisiplin itu lebih sering diembankan kepada figur ayah.

GS : Tapi sekarang itu justru yang sering kali disalahkan oleh ayah itu ibunya kalau anaknya tidak karu-karuan.

PG : Betul, itu yang sering kali terjadi, seolah-olah semua tugas domestik, tugas dalam rumah tangga adalah tugas ibu, ayah sama sekali tidak mau tahu dan dia hanya mau tahu jadi, yaitu anak-anknya bertumbuh besar menjadi anak-anak yang sempurna.

WL : Pak Paul, tapi banyak orang tua yang memukul anak menggunakan istilah atas nama disiplin, tapi sebenarnya tidak pada tempatnya. Saya pernah pelayanan ke remaja, beberapa anak SMP cerita ke saya untuk hal-hal yang tidak salah pun bisa kadang-kadang dijambak, dipukul segala macam, waduh mengerikan sekali Pak Paul.

PG : Dan dampaknya adalah jauh lebih personal dari yang dibayangkan yaitu menghancurkan anak, maka itulah yang kita akan coba bahas yaitu mendisiplin anak bukan menghancurkan anak. Adakalanya oang tua kebablasan malah menghancurkan anak itu.

GS : Ya tetapi sebenarnya mengapa anak itu membutuhkan disiplin?

PG : Ada beberapa alasannya Pak Gunawan, yang pertama adalah disiplin menolong anak berkata tidak kepada diri sendiri. Maksud saya begini Pak Gunawan, kita ini tidak selalu mempunyai hasrat yan baik, adakalanya hasrat kita hasrat yang kurang baik.

Misalnya, ah.....malas belajar ah...maunya tidur saja ah....atau main saja ah....nanti lama-lama bertambah buruk lagi. Ah...kemarin tidak belajar eh....ada kesempatan nyontek, nyontek ah.....Nah hasrat kita ini tidak selalu hasrat yang positif atau yang baik. Kadang kala kita berhasrat yang buruk, anak-anak perlu dilengkapi dengan kemampuan untuk berkata tidak kepada hasratnya, kepada keinginannya itu. Kalau dari kecil tidak ada disiplin anak-anak tidak belajar menolak keinginannya sendiri. Nah dia perlu mempunyai kemampuan menolak keinginannya, sebab adakalanya keinginannya itu tidak baik.
GS : Tapi disiplin itu diberikan setelah anak itu melakukan kesalahan Pak Paul, bukan sebelumnya?

PG : Nah meskipun kesalahan sudah dilakukan dan disiplin baru diberikan, namun disiplin itu sendiri akan meninggalkan kerangka dalam pikiran si anak. Lain kali kalau saya melakukan ini, saya akn mendapatkan hukuman ini, jadi walaupun hukuman belum diberikan pada kesempatan yang lain, si anak sudah membayangkan hukuman itu.

Dan bayangan akan hukuman itulah yang menghentikan dia untuk berkata tidak kepada keinginannya yang kurang baik. Tapi bahkan keinginan anak yang baik sekalipun tidak selalu bisa dilakukan atau direalisasikan seketika. Misalnya dia ingin sekali misalnya mempunyai sepeda, itu bukan hal yang buruk tapi tidak selalu keinginan itu bisa dipenuhi dengan seketika. Nah anak juga perlu memiliki rem untuk bisa berkata kepada dirinya saya tunda dulu keinginan ini. Nah sekali lagi itu hanya bisa muncul dalam konteks disiplin, tidak ada disiplin tidak ada rem sama sekali.
GS : Tetapi keinginan itu tetap harus dipelihara.

PG : Keinginan yang positif tidak apa-apa dipelihara, kalau keinginan atau hasrat yang buruknya karena dia berhasil berkata tidak, lama-lama keinginan yang buruk itu bisa dia kuasai.

Wl : Pak Paul, tadi kalau tidak salah saya menangkap Pak Paul menjelaskan tujuan dari menghukum atau mendisiplin supaya anak itu tidak mengulangi kesalahan. Tapi dalam beberapa kali pelayanan kok saya menemukan ada anak-anak sepertinya tidak berdampak apa-apa kalau dia punya hukuman di sekolah. Seperti malah "menikmati", misalnya terlambat ada sanksinya nanti harus begini, atau dia tidak membuat PR ada sanksinya begini. Tapi ya berulang-ulang, jadi di sekolah itu pasti guru-guru sudah tahu yang selalu melanggar pasti orang-orang itu saja, kenapa ya Pak Paul?

PG : Ada beberapa kemungkinan, yang pertama adalah memang hukuman itu tidak bersifat hukuman buat dia. Sebab hukuman seyogyanyalah bersifat menghukum, menyakitkan, tidak enak. Kalau bersifat tiak menyakitkan dia tidak akan mendapatkan efeknya, itu yang pertama.

Atau yang kedua memang dia tetap melakukan itu sebab itulah yang dia cari, dia mencari perhatian dari orang-orang lain dan itulah yang membuat dia eksis sebagai seorang manusia, jadi dia akan tetap lakukan meskipun dia harus bayar harga agak mahal, agak sakit. Atau misalnya kemungkinan yang ketiga adalah dia memang hanya mendapatkan disiplin itu di gereja, di rumah sama sekali tidak ada jadi dari gereja dapatnya seminggu sekali, satu jam tidak begitu meninggalkan dampak, yang meninggalkan dampak seharusnya adalah yang dia terima di rumah itu.
GS : Apakah ada fungsi lain dari disiplin itu?

PG : Yang lainnya adalah ini Pak Gunawan, disiplin menolong anak mencapai sasaran atau keinginannya. Dengan kata lain begini disiplin membantu anak berkonsentrasi dan fokus terhadap target. Ana yang tidak mengenal disiplin sama sekali, tidak akan bisa memfokuskan matanya pada target, apalagi mencapainya.

Nah karena disiplin itu ada unsur mengekang, ini akhirnya akan menolong anak untuk dengan sendirinya bisa memfokuskan matanya pada satu target dan berusaha mencapainya. Nah makanya penting sekali disiplin itu juga diberikan di rumah.
WL : Bisa tolong berikan contoh atau tidak Pak Paul, maksudnya kaitan dengan target itu?

PG : Misalkan begini, waktu saya kecil saya ini memang diwajibkan oleh orang tua untuk main piano, semuanya harus main piano, papa mama saya main piano. Nah saya masih ingat sekali hampir setia kali main piano itu harus dipukul, karena tidak mau main piano, malas, maunya bermain.

Nah tapi apakah ada gunanya? Bukan saja sekarang saya mengerti musik, bisa membaca not dan sebagainya tapi saya kira disiplin itu sendiri menolong saya pada akhirnya untuk fokus. Karena waktu saya dipukul saya harus main piano duduk, akhirnya saya membawa kebiasaan ini kepada hal-hal yang lainnya, waktu saya belajar akhirnya saya bisa duduk dan fokus. Waktu saya tahu besok ada ulangan saya bisa duduk dan belajar karena besok saya mau bisa untuk ulangan itu. Jadi akhirnya memang disiplin menolong kita memasuki aspek-aspek lain dalam kehidupan kita dan memfokuskan diri supaya bisa mencapai target kita itu.
WL : Jadi manfaatnya banyak ya Pak Paul?

PG : Betul, bayangkan rumah tangga yang tidak ada disiplin sama sekali, mau belajar kapan, tidak belajar tidak diapa-apakan. Anak-anak ini akhirnya tidak mempunyai sasaran dan kalaupun mempunya sasaran tidak punya tenaga untuk mencapainya karena tidak bisa memfokuskan diri itu.

GS : Ada anak itu di dalam suatu rumah, terhadap orang yang lebih tua dari dia kurang menaruh rasa hormat. Apakah itu karena dampak disiplin atau bagaimana Pak?

PG : Saya kira ada kaitannya Pak Gunawan, jadi saya kira disiplin itu mendorong anak untuk menghormati orang lain, tanpa disiplin anak tidak mudah menghormati siapapun. Artinya begini, ia hanyaakan menghormati orang yang menuruti kehendaknya belaka, kalau orang ini memberikan yang dia minta, melakukan yang dia suruh o....dia

senang, dia akan hormati atau dia akan baik-baik dengan orang itu. Tapi waktu orang itu tidak melakukan yang dia inginkan, dia tinggalkan. Nah disiplin menolong anak untuk tetap tunduk melakukan hal yang dia tidak suka, artinya maunya anak orang tua tidak usah memarahi anak waktu anak tidak belajar, tapi waktu orang tua memarahi anak karena dia tidak belajar, orang tua melakukan sesuatu yang tidak diharapkan oleh si anak. Tapi kalau ini terus terjadi dan memang dibantali oleh kasih sayang, si anak akan menumbuhkan respek, maka kita akan melihat bahwa anak yang dibesarkan dengan disiplin menghormati orang tuanya, anak yang dibiarkan semaunya, tidak diatur, tidak diberikan disiplin, tidak menghormati orang tua. Memang dia akan berkata: wah enak papa saya seperti ini, enak mama saya seperti ini, tapi kalau ditanya apakah engkau menghormatinya, tidak. Nah masalah biasanya muncul di kemudian hari tatkala mereka misalnya remaja. Waktu orang tua meminta ini atau itu atau menyuruh mereka, mereka tidak melakukannya dan mereka tidak takut sama sekali dengan orang tuanya.
WL : Ini benar sekali Pak Paul, jadi saya mempunyai teman waktu kuliah, zaman kuliah dengan SMA, SMP, SD itu berbeda sekali selalu dikontrol orang tua atau pun guru, kalau kuliah kita bertanggung jawab pada jadwal kita sendiri, yang penting semua beres. Nah teman saya ini sama sekali tidak bisa mengatur jadwalnya, inginnya bermain dan sebagainya. Nah tapi satu kali yang mengherankan, waktu saya kebetulan pimpin acara kemudian membuat satu permainan terus saya berikan pertanyaan begini, apa yang kamu inginkan bisa dirubah oleh orang tuamu satu saja, jadi dari semua pilihan pilih satu yang paling ini. Mencengangkan sekali ketika dia mengatakan saya kepengin sekali orang tua saya dulu mendisiplin saya. Jadi saya dan teman-teman terutama saya, kaget sekali. Selama ini saya sebel sekali karena anak ini tidak pernah belajar, tidak membuat tugas, maunya main tapi pas dia berbicara begitu baru saya mengenal dia lebih baik ternyata ya, ya waktu kecil mungkin dia menikmati itu, tapi sebetulnya pada usia dewasa dia menderita sekali. Walaupun di depan orang, orang melihatnya o....dia tukang main saja padahal sebenarnya dia menderita dia kepengin belajar tapi dia tidak mampu mendisiplin diri dia sendiri, tidak pernah terlatih untuk itu, dia menyesali sekali itu.

PG : Betul, ini adalah hukum alam Bu Wulan. Bukankah kita ini menghormati guru yang berdisiplin diri, yang berani mendisiplin kita tapi juga memang mengasihi kita dan itu bantalnya selalu. Dan ita memang senang mempunyai guru yang luar biasa baiknya tapi tidak pernah bisa mendisiplin kita, namun kita tidak terlalu menghormati dia.

Jadi anak-anak juga sama, kalau orang tua ingin mendapatkan hormat dari anak dia mesti mendisiplin anak-anak.
GS : Ya khawatirnya memang terjebak pada aspek anak bukan menghormati tapi takut pada orang tuanya Pak Paul, karena disiplin yang mungkin salah diterapkan atau bagaimana?

PG : Betul, ini yang terjadi kalau orang tua memang salah menerapkan disiplin akhirnya anak-anak ketakutan kepada orang tua, nah bukan itu yang kita inginkan, yang kita inginkan adalah anak-ana hormat kepada orang tuanya.

Nah melanjutkan dari bahan ini Pak Gunawan, artinya begini yang terlebih penting disiplin membantu anak hormat kepada orang dengan alasan yang benar. Yaitu apa alasan yang benar, yaitu dia hormat kepada orang yang berhasil karena kerja keras. Dengan kata lain disiplin membentuk karakter anak, karena apa? Disiplin mengajarnya menggunakan waktu dengan lebih baik, mengembangkan etika hidup yang lebih sehat yakni apa, melalui bekerja keraslah orang mendapatkan yang dia dambakan. Karena orang tuanya misalkan memarahi dia waktu dia malas-malasan tidak belajar. Nah dengan cara itu si anak akhirnya mengembangkan nilai hidup yang sehat yaitu orang yang kerja, orang yang bekerja keras dan mendapatkan hasilnya adalah orang yang dia akan hormati. Tapi misalkan kebalikannya orang tuanya tidak pernah menyuruh apa-apa, tidak pernah ada di rumah, dia pun tidak mempunyai konsep bahwa yang baik adalah orang yang bekerja keras, tidak ada konsep itu dalam diri dia.
GS : Jadi sebenarnya disiplin itu juga sangat bermanfaat bagi anak itu sendiri, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sebab pada akhirnya disiplin membuat anak dapat menghormati dirinya sendiri. Dia menyukai dirinya sebab dia melihat bahwa dia dapat menetapkan sasaran dan mencapanya, dia dapat mencatat keberhasilan, dan ini akan membuahkan kebanggaan tersendiri.

Kalau anak tidak mempunyai sasaran atau mempunyai sasaran tidak bisa mencapainya, lama-lama dia pun tidak bisa menghormati dirinya sendiri, dia tidak bisa menyukai dirinya. Jadi anak yang bisa berdisiplin pada akhirnya akan memiliki penghargaan diri yang lebih positif.
GS : Pak Paul sudah menjelaskan kepada kita makna atau perlunya disiplin itu baik bagi orang tua maupun anak, tetapi masalah orang tua sekarang adalah bagaimana orang tua itu bisa mendisiplin anak secara efektif?

PG : OK! Ada beberapa yang bisa saya bagikan. Yang pertama adalah disiplin yang efektif tidak selalu berbentuk pukulan, nah ini harus kita camkan baik-baik. Disiplin bisa berbentuk teguran ataupemberian sanksi, jadi jangan langsung mengaitkan disiplin dengan memukul anak, tidak harus begitu.

WL : Nah ini menarik Pak Paul, waktu Pak Paul berbicara begini saya ingat tadi di permulaan waktu saya memberikan contoh anak-anak yang berulang-ulang melakukan kesalahan, Pak Paul memberikan respons bahwa berarti hukumannya kurang menyakitkan, nah kaitannya dengan prinsip yang ini bagaimana Pak Paul?

PG : OK! Misalkan pada waktu anak-anak masih kecil sekali misalkan dia nakal, sudah kita bilang jangan tetap dia bermain juga, tetap dia ambil juga barang itu. Kita bisa misalnya memukul tanganya, nah untuk anak kecil masih umur 3, 4 tahun dipukul tangannya itu cukup menyakitkan atau kita pukul pantatnya dengan tangan kita itu pun cukup menyakitkan.

Sehingga dia lama-kelamaan belajar takut kepada kita dan tanpa kita pukul pun lain kali dengan suara kita saja yang tegas, dia sudah melakukannya, nah itu aspek menakutkan atau menyakitkan buat anak. Atau yang lainnya dia suka sekali misalnya main video game, nah kita katakan kalau kamu tidak belajar, satu hari besok kamu tidak boleh main video game, nah kita terapkan itu itu hal yang cukup menyakitkan buat dia. Jadi kita mesti tahu hal apa yang dia tidak suka nah itu yang akan menyakitkan kalau kita lakukan kepadanya (WL : Dan harus sesuai dengan usianya juga Pak Paul) dan harus sesuai dengan usianya, betul.
GS : Ya bahasa tubuh itu kadang-kadang digunakan orang tua juga untuk memberitahukan bahwa dia tidak senang dengan tindakan anaknya Pak Paul.

PG : Betul, bahasa tubuh juga bisa dan nada suara. Maka nada suara waktu bicara dengan anak, waktu mendisiplin perlu tegas, tidak usah berteriak sebetulnya, tidak usah melengking tapi yang pentng tegas, nah itu yang lebih menggetarkan hati anak.

GS : Ya justru yang melengking itu sebenarnya orang tua tidak bisa menggunakan disiplin dengan betul. (PG : Dan anak-anak biasanya tidak terlalu takut juga) ya hanya suara geledek-geledek itu tapi anak tahu bahwa orang tuanya tidak mampu untuk mendisiplin dia. Nah apakah ada kiat yang lain Pak Paul?

PG : Disiplin yang efektif diberikan dengan segera, jadi jangan ditunda-tunda. Kenapa? Sebab penundaan menimbulkan ketidakpastian dan kecemasan yang tidak perlu. Dan juga kesalahan itu perlu degan segera dikaitkan dengan hukumannya, jangan kesalahan ini dibuat hari ini baru dua hari kemudian dihukum.

Nah dua hari anak menanti-nanti dihukum itu menambahkan kecemasannya dan tidak ada kepastian kapan dia akan dihukum, jadi ini suatu sistem yang kurang baik. Semakin cepat semakin baik jadi langsung terkait dengan kesalahan.
WL : Tapi Pak Paul, misalnya anak kita berbuat kesalahan atau melakukan hal-hal yang memalukan orang tua di depan orang-orang, saya melihat banyak orang tua menunda tidak memarahi anaknya ini di depan orang lain, nanti kamu di rumah, nah itu boleh tidak Pak Paul?

PG : Adakalanya orang tua memang berkata demikian dan tidak selalu salah, tidak selalu itu kurang tepat. Tapi begini, kalau kita sudah berikan peringatan jangan, dia tetap melakukannya di depanorang-orang itu berarti apa, si anak tahu orang tuanya tidak berani memukul dia karena ada banyak orang jadi malu, usaha anak-anak itu semakin menjadi.

Kalau dalam kasus seperti itu kita sudah berikan peringatan dia tetap lakukan, di depan orang-oranglah kita berikan hukuman, langsung.
GS : Itu tidak membuat anak itu menjadi minder atau apa Pak Paul, dihukum di depan orang banyak?

PG : Karena itulah yang dia tantang, dia menantang kita sebab dia tahu kita itu tidak berani menghukum dia di depan orang-orang, dia gunakan kesempatan itu. Nah justru kita harus katakan kepadaya: "Tidak, kami tidak takut malu menghukum kamu di depan orang-orang, kami tidak takut malu kamu menangis menggerung-nggerung di depan orang lain, justru kamu yang akan malu karena kamu akan dilihat orang menangis menggerung-nggerung."

Nah dengan cara inilah si anak lain kali belajar jangan melakukan lagi di depan orang.
GS : Nah porsinya untuk mendisiplin itu seperti apa Pak Paul?

PG : Begini, kita mendisiplin harus sesuai dengan kesalahannya dan jangan berlebihan. Jangan berlebihan artinya saya selalu mengikuti prinsipnya dari Dr. James Dobson kalau memukul anak di pantt, gunakan tangan, atau kalau menggunakan benda jangan terlalu keras sehingga kita tidak melukai anak.

Jangan memukuli anak di kepalanya, di badannya, jangan, pantat itu cocok sekali atau kalau misalkan tangan ya tangannya boleh kita pukul juga di telapak tangannya. Tapi jangan misalnya ada orang yang menggunakan cabe, mulutnya dicabe aduh saya pikir itu keterlaluan, jangan, atau jambak-jambak anak, itu hanya akan menimbulkan kepahitan dalam diri si anak, menghancurkan jiwa si anak.
GS : Ya, kadang-kadang juga memarahi anak-anak itu tidak ada habis-habisnya Pak Paul, bisa 1 jam, 2 jam, nanti sore masih diulang lagi, bukankah itu berlebihan Pak Paul?

PG : Saya kira anak-anak akhirnya pusing kalau terlalu panjang begitu, makanya kalau anak-anak salah ya untuk kesalahan itulah kita tegur, setelah itu sudah jangan orang tua seperti kebakaran htan menjalar ke mana-mana.

WL : Dan saya pikir mungkin perlu diberitahu Pak Paul, untuk hal-hal ini yang kamu tidak boleh lakukan, jadi anak mengerti, jangan tidak pernah diberitahu tahu-tahu dia dihukum. Karena saya pernah mengalaminya sendiri, tiba-tiba saya disambelin tadi Pak Paul berkata itu tidak baik. Saya masih ingat itu sampai dewasa saya disambelin bukan oleh orang tua saya, oleh salah satu saudara begitu, untuk hal yang tidak pernah saya tahu karena tidak diberitahu. Jadi tidak boleh mengucapkan kalimat apa begitu ya tapi saya ngomong, jadi di antara teman-teman saya ngomong lalu begitu pulang langsung disambelin. Saya menangis nggerung-nggerung, itu sampai besar pun menyakitkan sekali karena saya merasa saya tidak tahu kalau itu salah, untuk berikutnya memang saya tidak pernah lagi.

PG : Betul sekali, jadi orang tua hanya boleh menghukum sebetulnya ya kalau sudah memberikan peringatan, kalau belum sebetulnya jangan. Ya, jadi selalu berikan peringatan dan yang tadi Ibu Wula katakan sesungguhnya yang terjadi adalah Ibu Wulan sakit hati karena merasa dipermalukan sekali, jadi waktu kita menghukum anak kita tidak menghina martabatnya, kita harus tetap menghormati dirinya.

Ada orang tua yang misalkan sengaja di depan anak-anaknya, apalagi usia remaja, dia marah langsung, dia maki-maki si anak atau dia gampar si anak di depan teman-temannya itu sangat mempermalukan. Menjambak itu juga memang sangat mempermalukan atau menghina anak, jadi kalau kita mau mendisiplin dan tidak menghancurkan gunakanlah disiplin yang tidak menghina si anak.
GS : Juga ini Pak Paul, menyebutkan cacat tubuh atau kelainan dari anak itu yang menjadi kekurangan anak dengan membandingkan, itu akan sangat menyakitkan sekali.

PG : Betul, apalagi hal itulah yang dia tahu merupakan kelemahannya dan dia malu dengan kelemahan itu dan justru itulah yang diserang oleh orang tuanya dan digunakan untuk memaki-makinya itu kaihan sekali.

GS : Ya maksudnya orang tua memang tadinya untuk mendorong atau memotivasi anak supaya dia lebih pandai atau lebih rajin seperti saudaranya katakan itu, tetapi kemampuannya memang beda

PG : Betul, sebetulnya prinsip ini bisa kita reduksikan menjadi satu prinsip saja Pak Gunawan. Firman Tuhan berkata begini: "Berlakulah apa yang kita inginkan orang berlaku kepada kita, bebuat kepada kita, kita lakukan yang sama."

Jadi kalau kita mau orang menghormati kita, tidak menghancurkan kita, lakukanlah hal yang sama. Misalkan tadi yang Pak Gunawan katakan, apakah kita bisa dibangunkan dengan cara dimaki-maki kelemahan kita, tidak, kita akan justru tambah jatuh, tambah tidak semangat, tambah tidak percaya diri. Jadi kita selalu juga akan berkata saya mau orang mendorong bukannya memaki-maki kelemahan saya, berbuatlah yang sama kepada anak-anak kita. Kalau dia memang tidak bisa jangan kita maki-maki dia tolol dan sebagainya, ya akan semakin tidak bisa.
GS : Pak Paul, sering kali terjadi orang tua di dalam kemarahannya dalam rangka mendisiplin anak itu, mengusir anaknya untuk meninggalkan rumah dan sebagainya, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Itu salah satu hal yang menyakitkan anak Pak Gunawan, saya sering mendengar ini dari anak-anak yang sudah besar sekarang ini. Mereka akhirnya (ini sering saya dengar, hampir semuanya mengaakan yang sama) mereka mulai detik itu berencana meninggalkan rumah, walaupun tidak melakukannya ya, ada yang melakukannya ada yang tidak.

Tapi intinya adalah pengusiran anak itu, membuat si anak menganggap bahwa orang tuanya itu tidak menginginkan dia di rumah ini, dia adalah oknum yang lebih diharapkan keluar dari rumah ini dan ini merupakan penghinaan dan penantangan bagi si anak. Sehingga si anak akhirnya bertekad saya akan keluar dari rumah ini, dia tinggal tunggu waktu, dia akan angkat koper dan tinggalkan rumah ini. Nah itu tindakan bagi saya yang sangat memutuskan hubungan antara orang tua dan anak, jadi orang tua mesti menjaga jangan sampai keluar omongan-omongan seperti itu.
GS : Atau dengan dalih disekolahkan di tempat anak-anak nakal atau apa Pak Paul, walaupun nadanya kita yang dewasa tahu itu ancaman tapi buat anak itu ditanggapi serius.

PG : Sering kali demikian dan dia menganggap bahwa sekali lagi dia itu adalah anak yang tidak diinginkan di sini. Maka orang tuanya begitu siapnya dan sedianya untuk mengirim dia ke tempat yanglain, nah itu sangat menyakitkan.

Ini sering kali muncul di kala anak-anak itu sudah menjadi besar, dia menyimpan kepahitan-kepahitan seperti ini.
WL : Kalau sudah mengeluarkan kalimat seperti itu, tapi terus besoknya orang tuanya misalnya meminta maaf dan bahkan memeluk, terus nanti suatu hari lagi mengeluarkan kalimat seperti itu lagi, terus memeluk lagi, meminta maaf lagi itu bagaimana dampaknya Pak Paul kepada anak itu?

PG : Memang akan ada anak yang bisa memaklumi sebab ada tindakan mengasihi setelahnya, jadi anak memaklumi bahwa orang tua lagi emosi makanya dia berbicara begitu, orang tuanya dia maafkan. Tap buat anak-anak yang lain tetap dia akan ingat itu sebagai tantangan bahwa satu hari saya akan keluar dari rumah ini, dan saya tidak perlu lagi untuk menerima bantuan atau dukungan dari orang tua saya.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan yang sangat menarik dan tentunya sangat bermanfaat bagi orang tua yang mendengarkan acara ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mendisiplin Bukan Menghancurkan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



56. Keras Kepala dan Penurut


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T138A (File MP3 T138A)


Abstrak:

Sebagian anak lahir penurut, sebagian lagi lahir dengan karakter keras kepala. Sebenarnya apakah yang membuat anak keras kepala dan penurut? Materi ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan itu.


Ringkasan:

Sebagian anak lahir penurut, sebagian lagi lahir dengan karakter keras kepala. Sebenarnya apakah yang membuat anak keras kepala dan penurut?

  1. Anak yang penurut mempunyai perasaan yang peka sehingga sedikit ketegangan sudah membuatnya tidak nyaman. Untuk meredakan ketidaknyamanan itu, ia memberi respons menurut. Sebaliknya, anak yang keras kepala tidak memiliki kepekaan seperti itu. Ketegangan yang besar sekalipun tidak terlalu mengganggunya; itu sebabnya ia tidak terlalu terdorong untuk meredakan ketidaknyamanannya. Singkat kata, anak yang keras kepala tidak terlalu merasakan getaran perasaannya; sebaliknya, anak yang penurut sangat peka merasakan getaran perasaannya. Tidak heran dalam menghadapi anak yang keras kepala, orangtua harus menggunakan cara pendisiplinan yang keras.

  2. Berkaitan dengan kepekaan ini, anak yang keras kepala tidak mempunyai rasa takut sebesar anak yang penurut. Ketakutan adalah reaksi terhadap ancaman yang datang dari luar; dengan kata lain, semakin besar dan jelas kita melihat ancaman itu, semakin takut reaksi kita. Berhubung anak yang penurut memiliki kepekaan yang tinggi, ia pun lebih bisa meresapi ancaman itu. Sebaliknya, anak yang keras kepala tidak begitu mampu untuk menghayati ancaman itu; itu sebabnya ia tidak terlalu takut.

  3. Anak yang penurut bergerak menjauh dari tantangan; sebaliknya, anak yang keras kepala bergerak menuju tantangan. Anak yang penurut lebih tertarik untuk berdiam dalam suasana yang sama sedangkan anak yang keras kepala lebih menyukai hal-hal yang baru. Dengan kata lain, anak yang penurut cenderung tekun sedangkan anak yang keras kepala cenderung mudah bosan.

Penanganan
Kepada anak penurut kita tidak perlu berteriak atau memukul, sedangkan dengan anak yang keras kepala kita menggunakan pukulan dengan bijak. Dengan anak yang keras kepala, kuncinya adalah ketegasan dan kekonsistenan.

  1. Kepada anak yang keras kepala berikanlah pilihan dalam pengambilan keputusan sebab ia lebih menyukai keputusan yang diambilnya sendiri. Namun ingat, kitalah yang menyediakan pilihan-pilihan itu. Kepada anak penurut kita pun menyediakan pilihan agar ia belajar menyuarakan kesukaan dan pendapatnya.

  2. Anak yang keras kepala memerlukan tantangan, jadi, sebaiknya libatkan dalam pelbagai kegiatan.

  3. Anak yang keras kepala juga memerlukan sosialisasi agar ia tidak berkembang menjadi anak yang egois. Jadi, perhatikan aspek ini pula. Sebaliknya, kita mesti menjaga agar anak yang penurut tidak dimanfaatkan oleh temannya.

Kesimpulan
Dengan arahan yang sesuai, anak yang keras kepala tetap dapat menjadi anak yang kompetitif namun tidak egois. Sebaliknya, dengan arahan yang tepat, anak yang penurut tetap bisa menjadi anak yang lembut namun tidak penakut.

Firman Tuhan, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." ( Amsal 22:6 )


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keras Kepala dan Penurut", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sekalipun semuanya adalah anak-anak kita, tetapi rupa-rupanya di dalam perkembangannya itu kelihatan ada perbedaan yang menyolok sekali Pak Paul dalam hal kalau diberitahu terutama. Ada anak itu kalau yang satu diberitahu itu gampang mengerti dan dia bisa melakukan apa yang kita perintahkan, tetapi ada anak yang berkali-kali diberitahu, berkali-kali ditegur juga tetap saja dia melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan hati kita. Nah sebenarnya faktor-faktor apa dan bagaimana nanti penanganannya dan bagaimana menghadapi anak-anak seperti ini Pak Paul?

PG : Ini adalah salah satu hal yang cukup sering dikeluhkan kepada saya oleh para orang tua Pak Gunawan. Dan biasanya orang tua ini merasa terkejut menemukan anaknya berbeda antara anak pertamadan kedua, yang satu penurut sedangkan yang satu keras kepala.

Apalagi kalau orang tua itu sendiri pada masa kecilnya penurut, nah mereka akan terkejut menemukan anak mereka begitu keras kepala. Jadi saya kira memang penting sekali kita memahami kenapa ada anak yang keras kepala dan kenapa ada anak yang penurut. Yang pertama adalah anak yang penurut mempunyai perasaan yang peka, sehingga sedikit ketegangan sudah membuatnya tidak nyaman. Nah maksud saya begini Pak Gunawan, untuk meredakan ketidaknyamanan itulah si anak penurut itu akan memberikan respons yang manis, respons menurut saja agar apa? Agar ketegangan tidak terjadi, orang tua tidak marah atau tidak jadi dipukul dan sebagainya. Nah duduk masalahnya sekali lagi adalah perasaan si anak yang peka itu, sebaliknya dengan anak-anak yang keras kepala, nah mereka-mereka ini tidak memiliki kepekaan seperti itu. Bahkan jadinya begini, ketegangan yang besar sekalipun tidak terlalu mengganggu anak-anak yang keras kepala. Itu sebabnya karena dia tidak terlalu terganggu, dia tidak terlalu terdorong untuk meredakan ketidaknyamanannya itu. Jadi kalau boleh saya simpulkan begini, anak yang keras kepala itu tidak terlalu merasakan getaran perasaannya, sebaliknya anak yang penurut sangat peka merasakan getaran perasaannya. Nah karena bergetar lebih keras otomatis dia lebih merasakan ketidakenakan, ketidaknyamanannya itu dan bisa juga perasaan-perasaan itu yang akhirnya membuat dia terdorong melakukan sesuatu untuk meredakannya. Yang dia lakukan adalah dia menuruti saja karena anak yang keras kepala tidak mengalami hal seperti itu, dia tidak terdorong untuk meredakannya dia akan biarkan saja. Nah ini salah satu perbedaan mendasar antara anak yang peka atau anak yang penurut dengan anak yang keras kepala.
GS : Atau mungkin karena faktor itu lalu banyak kita jumpai anak-anak yang wanita itu lebih cenderung menurut dibandingkan yang pria itu Pak Paul?

PG : Saya kira itu observasi yang baik sekali, jadi sebagian besar anak-anak yang keras kepala dan membuat ulah adalah anak-anak laki, itu betul. Kita menjumpai anak-anak wanita cenderung lebihpenurut, di rumah juga begitu kalau kita minta anak wanita melakukan sesuatu mereka lebih mudah menuruti permintaan kita sebaliknya dengan anak laki-laki meskipun ini tidak bisa kita pukul rata untuk semua kasus, tapi saya kira itulah yang membuat mereka berbeda.

GS : Tapi kalau menurutnya itu karena faktor takut Pak Paul, ada perasaan tidak enak, apakah itu sehat untuk perkembangan selanjutnya?

PG : Saya kira ini tidak mempengaruhi si anak menjadi tidak sehat atau lebih sehat, tidak juga, maksud saya begini, ini adalah bawaan yang memang menjadi bagian dari keperibadiannya. Apakah diatetap bisa hidup dengan baik, dengan sehat, o.....ya

tentu saja, apakah anak keras kepala pasti mempunyai kehidupan yang lebih baik, o......tidak ada jaminan juga. Jadi akan ada banyak faktor di kemudian hari yang akan mewarnai perkembangan mereka. Nah faktor ini sendiri sebetulnya tidak memberikan kepastian anak ini nantinya sehat atau tidak sehat.
GS : Nah Pak Paul, sehubungan dengan anak yang keras kepala tadi itu, apakah artinya anak ini tidak mempunyai rasa takut Pak?

PG : Ya, jadi sebetulnya anak yang keras kepala tidak mempunyai rasa takut sebesar anak yang penurut. Begini, ketakutan sebetulnya adalah reaksi terhadap ancaman yang datang dari luar, dengan kta lain semakin besar dan jelas kita melihat ancaman itu, semakin takut reaksi kita.

Nah berhubung anak yang penurut memiliki kepekaan yang tinggi dia pun lebih meresapi ancaman itu, dia melihat jelas ancaman itu. Nah sebaliknya dengan anak yang keras kepala mereka tidak begitu mampu menghayati ancaman itu, nah itulah sebabnya dia tidak terlalu takut. Jadi sekali lagi saya simpulkan takut atau tidaknya kita atau berapa besar atau kecilnya takut kita bergantung pada berapa jelasnya kita melihat ancaman itu. Semakin jelas kita melihat ancaman dan bagi kita itu besar sekali otomatis rasa takutnya akan muncul. Jadi saya bukan mengatakan anak yang keras kepala itu tidak mempunyai rasa takut, dia punya, namun karena keterbatasannya melihat ancaman dia tidak terlalu merasakan dia terancam. Sebaliknya dengan anak yang peka, anak-anak yang penurut karena dia bisa melihat jelas ancaman itu dan melihat dengan begitu mendetail dan besar maka otomatis reaksi takutnya lebih besar. Nah kadang-kadang ini yang terjadi di rumah, kita memberikan ancaman kepada anak-anak tapi tetap tidak dituruti kenapa, sebab memang anak yang keras kepala itu tidak melihat jelas ancaman itu, dia tidak menyadarinya. Jadi sekali lagi getarannya sedikit karena getarannya sedikit dia tidak berbuat apa-apa.
GS : Itu yang kita jumpai kadang-kadang seorang anak bisa terhadap ayahnya dia menurut tetapi terhadap ibunya dia keras kepala gitu Pak Paul, padahal orang yang sama.

PG : Nah inilah yang sebetulnya kita bicarakan yakni si anak melihat adanya ancaman pada si ayah dan tidak melihat ancaman pada si ibu. Misalkan dia tahu bahwa ibu akan marah, tapi tidak akan mngancamnya, tidak akan memukulnya.

Tapi dia tahu si ayah kalau marah akan memukulnya, jadi dia melihat jelas lebih besar ancaman datang dari si ibu hal-hal seperti itulah yang membedakan rasa takut kita. Kalau anak yang keras kepala kita dapat katakan, secara umum dia memang sulit melihat ancaman baik itu di rumah maupun di sekolah. Tapi adakalanya kita melihat hal ini juga dalam konteks yang berbeda, kadang-kadang orang tua berkata begini, anak saya keras kepala di rumah tapi di sekolah dengan gurunya kok bisa menurut, nah sekali lagi faktor ancaman dia melihat di sekolah rupanya si guru itu cukup besar mengancamnya jadi dia takut, di rumah dia tidak merasakan ketakutan yang sama itu.
GS : Itu kalau menghadapi ketakutan ya Pak Paul, bagaimana halnya kalau yang dihadapi itu suatu tantangan jadi bukan suatu yang menakutkan tetapi suatu tantangan.

PG : Ternyata anak yang penurut dan anak yang keras kepala memberikan reaksi yang berbeda terhadap tantangan Pak Gunawan. Kita bisa berkata begini, anak yang penurut bergerak menjauhi tantangandan sebaliknya anak yang keras kepala bergerak menuju tantangan.

Maksud saya begini, anak yang penurut itu lebih tertarik untuk berdiam dalam suasana yang sama, yang tenteram. Sedangkan anak yang keras kepala menyukai hal-hal yang baru, tantangan yang baru nah inilah yang sering kali membuat anak yang penurut cenderung tekun melakukan hal yang sama, dia tidak putus asa, terus dia lakukan. Anak yang keras kepala cenderung mudah bosan, o....sama lagi, sama lagi dia tidak mau, tapi kalau dia menemukan tantangan dalam tugasnya nah biasanya dia akan lebih bersemangat. Namun karena tadi kita sudah singgung dia mudah bosan juga, kalau tidak hati-hati anak-anak yang keras kepala pun bahkan dalam menghadapi kesukaran dia mudah padam, mudah putus asa, tidak mau karena kecenderungan bosannya sudah kadung menggejala dalam hidupnya. Tapi pada umumnya tadi saya sudah singgung dalam menghadapi tantangan, anak-anak yang keras kepala lebih tertarik. Jadi dengan hal yang bersifat petualangan dia akan lebih mau untuk ikut dan sebagainya. Anak-anak yang penurut cenderung tidak mau karena itu terlalu menegangkan, terlalu baru, tidak bisa diprediksi akan apa yang terjadi jadi akhirnya dia hindari.
GS : Tapi bagi kita orang tua kesannya bagi anak yang keras kepala itu menjadi anak nakal Pak Paul.

PG : Betul, karena dia akan melakukan hal-hal yang nomor satu kita larang, dia berani membantah kita, di sekolah juga seperti itu atau dia melakukan hal-hal yang anak-anak lain tidak berani lakkan.

Misalnya manjat pohon, anak-anak lain pohonnya yang pendek-pendek, dia pohonnya yang paling tinggi. Sambit batu, orang lain hanya berani menyambit misalnya hewan yang lagi lewat misalnya kucing, nah anak-anak yang keras kepala ini lebih berani untuk menyambit misalnya obyek yang seperti mobil, kendaraan lain, atau seperti orang. Dengan kata lain kalau tidak hati-hati anak-anak yang keras kepala cenderung melakukan perilaku-perilaku yang kita sebut perilaku riskan, perilaku yang memang berisiko tinggi ya baik bagi dirinya maupun diri orang lain. Dia bisa melakukan hal-hal yang mungkin mengancam atau membahayakan orang lain pula.
GS : Tapi saya juga bisa melihat ada satu sisi positif Pak paul, anak yang nakal ini biasanya bisa mengatasi masalahnya lebih cepat daripada anak yang penurut itu Pak Paul.

PG : Betul, bisa jadi karena dia mempunyai kekerasan itu ketebalan di dalam dirinya, sehingga problem tidak mudah menghancurkannya, tidak mudah melumpuhkannya. Tapi anak-anak yang berjiwa peka,ya tidak bisa tidak kalau mengalami tekanan dia akan lebih mengalami rasa tertekannya itu, sehingga membuat dia lebih mudah lumpuh dan putus asa.

Ya di sinilah kita memang melihat ya ada plus-minusnya untuk masing-masing karakter ini.
GS : Ya saya pernah melihat anak yang dikatakan keras kepala itu, jatuh sampai luka dia tidak menangis Pak Paul, sebentar digosok-gosok, lalu diobati tidak menangis. Tetapi anak-anak yang relatif penurut tadi itu luka sedikit saja sudah ramai, menangis meraung-raung.

PG : Betul, nah ini juga mengingatkan saya Pak Gunawan untuk mengingatkan orang tua agar orang tua melihat anak dengan jeli. Kadang-kadang kita ini dipengaruhi oleh pandangan-pandangan stereotiikal artinya kita mempunyai anggapan anak keras kepala itu anak laki, anak yang penurut anak perempuan, jadi anak laki harus seperti ini harus tegar, harus kuat, anak perempuan seharusnya penurut dan sebagainya.

Saya minta orang tua berhati-hati, sebab tidak semua anak laki-laki memang mempunyai karakter yang keras. Sebagian anak laki-laki mempunyai karakter yang lembut, yang peka, yang penurut, nah jadi seorang ayah apalagi harus peka dengan hal-hal seperti ini. Jangan sampai dia menuntut si anak laki-laki menjadi anak yang terlalu keras, tegar seperti yang dia harapkan, padahalnya anak itu memang berjiwa peka. Jadi kalau berbicara akhirnya si anak itu dilecehkan oleh si ayah karena dianggap kamu terlalu lemah nah justru ini makin menghancurkan, tidak membangun si anak.
GS : Jadi kalau begitu bagaimana Pak Paul, kalau Tuhan karuniakan kepada kita anak yang satu keras kepala, yang satu penurut begitu bagaimana menanganinya Pak?

PG : Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari, yang pertama adalah ini kepada anak penurut kita tidak perlu berteriak atau memukulnya kalau kita ingin mendisiplin dia. Kita cukup mengatakannya engan nada yang sedikit lebih keras, dengan nada yang sedikit lebih tegas, cukup itu.

Karena anak yang penurut cenderung sudah bergetar sewaktu kita memberikan reaksi marah atau tidak suka, sedangkan dengan anak yang keras kepala memang kadang-kadang kita harus menggunakan cara pendisiplinan yang lebih keras, misalkan kita pukul pantatnya, kita katakan kamu harus lakukan. Jadi dengan kata lain, dengan anak yang keras kepala kunci untuk mendisiplinkannya adalah ketegasan dan kekonsistenan. Orang tua mesti berani tegas, mesti juga konsisten, kalau kemarin tidak boleh hari ini tidak boleh, kalau untuk anak pertama tidak boleh, untuk anak kedua tidak boleh jangan sampai untuk anak pertama boleh, anak yang kedua tidak boleh. Nah itu ketidakkonsistenan menjadi celah bagi si anak keras kepala untuk menabrak larangan kita dan kita akan dipandang tidak lagi terlalu berwibawa di matanya. Sebab anak-anak yang keras kepala ini menghormati orang yang bisa tegas, orang yang bisa juga konsisten. Kalau dia melihat bahwa orang tua itu tidak tegas, tidak konsisten nah merosotlah martabatnya atau wibawanya di mata si anak yang keras kepala, jadi orang tua mesti mempertahankan hal-hal yang seperti ini. Namun saya ingatkan lagi, tidak selalu kita ini tegas di rumah, terus-menerus marahi si anak, jangan, harus diimbangi dengan interaksi-interaksi yang manis, banyaknya dialog-dialog yang positif, membicarakan hal-hal yang ringan nah itu yang menjalin hubungan antara orang tua-anak dengan baik. Semakin baik hubungan-hubungan ringan yang ini semakin si anak yang keras kepala bersedia mendengarkan kita asalkan kitanya juga tegas dan konsisten.
GS : Ya bagaimana kalau kita mau memberikan pilihan pada anak itu, dan anak itu harus memutuskan salah satu di antaranya Pak Paul?

PG : Saya kira itu pilihan adalah cara yang baik untuk mendidik anak pula dalam pengambilan keputusan. Jadi kepada anak yang keras kepala berikanlah pilihan karena mereka memang tidak terlalu ska menuruti instruksi atau perintah orang lain termasuk orang tuanya, nah daripada kita memberikan instruksi kamu harus melakukan A, ya kita katakan kamu mau A atau B atau C.

Pilihan-pilihan itu kita sajikan kepadanya dan kita sendiri bilang itu kemudian kita minta dia yang memutuskan dari tiga itu mana yang akan dia pilih. Kepada anak penurut pun kita harus menyediakan pilihan agar ia belajar menyuarakan kesukaan dan pendapatnya. Karena anak-anak yang penurut cenderung berkata terserah mama atau papa mau apa ya terserah saya ikuti saja. Nah dengan anak-anak yang penurut kita juga perlu memberikan dia pilihan ada ini, ada itu kamu mau pilih yang mana, kita pergi ke sini atau pergi ke situ kamu pilih yang mana. Dengan anak-anak yang keras kepala juga sama, misalkan kita mau mendisiplin dia, kita katakan Papa putuskan ada dua pilihan untuk kamu karena kesalahan yang telah kamu telah buat, kamu tidak menonton televisi selama dua hari atau uang jajan kamu Papa potong selama dua hari, nah misalkan seperti itu. Nah waktu dia diberikan pilihan, anak yang keras kepala ini cenderung tetap merasakan adanya otonomi dalam dirinya, dialah yang memutuskan, nah ini yang mengajar anak untuk bertanggung jawab. Sebab pada dasarnya anak-anak yang keras kepala setelah memasuki usia remaja biasanya mengalami problem karena dia tidak takut, tidak mudah tunduk pada orang lain. Maka kalau dari kecil bisa kita serahkan tanggung jawab, maka dia akan belajar lebih bertanggung jawab untuk lain kali.
GS : Dalam hal ini kadang-kadang anak yang keras kepala itu bisa membuat pilihan yang lain, menawarkan kepada orang tuanya tadi Pak Paul katakan kita berikan dua pilihan, dia malah menyodorkan alternatif lain Pak Paul.

PG : Nah kita boleh pertimbangkan, kita tidak perlu langsung menutup pintu dan berkata kamu tidak boleh memberikan masukan, kadang-kadang kita layani kalau memang itu pilihan yang baik juga.

GS : Jadi ada kecenderungan lebih kreatif Pak Paul, anak-anak yang keras kepala itu kelihatannya.

PG : Memang sebagian dari mereka bisa menjadi anak-anak yang kreatif, saya kira ini juga terkait dengan dia menyukai hal-hal yang baru, dia menyukai tantangan-tantangan, nah sebagai orang tua kta bisa juga libatkan mereka dalam berbagai kegiatan.

Dengan kata lain energinya kita salurkan, kreatifitasnya kita salurkan, kebutuhannya akan tantangan dan hal yang baru juga kita penuhi, sehingga dia tidak terlalu senggang, banyak waktu senggang tidak ada pekerjaan dan kegiatan ya benar-benar mendorong dia untuk melakukan hal-hal yang negatif.
GS : Nah apakah anak yang penurut itu tidak perlu diberi sedikit rangsangan, tantangan supaya dia bisa kelihatan lebih dinamis sedikit Pak Paul?

PG : Saya kira itu baik, jadi silakan berikan tantangan-tantangan, motivasi, dorongan, yang penting adalah orang tua memang perlu menanamkan kepercayaan diri pada anak-anak yang penurut. Sebab da kecenderungan mereka mudah sekali meragukan dirinya, tidak berani, orang lain saja, saya di belakang, nah kita perlu memberikan motivasi bahwa kamu coba saja yang penting coba, hasilnya apa tidak apa-apa, papa-mama tidak akan marah atau kecewa tidak apa-apa, yang penting kamu coba.

Nah motivasi seperti inilah yang perlu kita sajikan kepada anak-anak yang penurut.
GS : Kelihatannya anak-anak penurut ini cenderung rendah diri Pak Paul?

PG : Ya di satu pihak kita bisa melihat sepertinya rendah diri sebetulnya belum tentu karena dia mungkin saja mempunyai penilaian yang baik terhadap dirinya tapi dia memang tidak terlalu beraniuntuk keluar dari sangkarnya, mencoba hal yang baru, nah itu yang kita perlu motivasi.

Jadi saya tidak langsung menjuluki atau mengatakan mereka itu minder, tidak.
GS : Pak Paul, anak-anak yang keras kepala kadang-kadang tidak disukai oleh teman-temannya Pak Paul?

PG : Ya, jadi ada sebagian anak-anak memang tidak begitu suka bermain, bergaul dengan anak-anak yang keras kepala karena itu dia susah untuk mengalah, mau menang sendiri sehingga akhirnya bisa ianggap egois, dan dia memang mempunyai potensi untuk egois.

Jadi anak-anak yang keras kepala ini justru memerlukan sosialisasi, pergaulan, pertemanan jadi orang tua harus proaktif melihat anak-anaknya agak keras kepala dan sebagainya. Cobalah ajak dia ke rumah temannya, biarkan teman-temannya main di rumah kita sehingga dia belajar untuk bermain. Dan kita perhatikan caranya bermain, kalau kita melihat memang dia terlalu keras, mau menang sendiri kita berikan dia masukan, kita bentuk, kita ajarkan dia. Sebaliknya untuk anak-anak yang penurut ini Pak Gunawan, mereka ini justru cenderung ikut teman, mau saja dimanfaatkan teman-teman nah kita juga perlu memantau anak-anak yang penurut jangan sampai kita menganggap mereka baik-baik saja, hati-hati mereka sering kali dimangsa oleh teman-temannya untuk dimanfaatkan oleh mereka.
GS : Ya karena dianggap lemah itu Pak Paul?

PG : Dan ikut saja, mau saja, disuruh apa juga mau. Kita mesti memberitahukan anak yang penurut ini tidak mesti kalau orang menyuruh kamu maju, kamu maju; atau mundur, kamu mundur, kamu harus anya dulu sebetulnya dirimu mau atau tidak.

Kalau tidak mau beranikan diri untuk berkata saya tidak mau, jadi hal-hal seperti itu yang perlu kita tanamkan kepada anak yang penurut.
GS : Tapi dengan menjawab tidak mau itu, dia merasa tidak aman lagi Pak Paul.

PG : Dia takut betul, dia takut nanti temannya marah dia mungkin tidak disukai temannya, maka di sini orang tua berperan besar menanamkan penilaian yang tepat, pemahaman yang tepat bahwa teman ang terus memanfaatkan kamu bukan teman yang baik, teman yang baik juga menghargai kamu, adanya saling memberi dan saling menerima, tidak hanya mereka maunya menerima dari kamu, nah hal-hal ini perlu diajarkan kepada anak-anak yang penurut.

GS : Berarti dari apa yang kita telah perbincangkan ini Pak Paul, apakah ada suatu kesimpulan yang Pak Paul bisa sampaikan?

PG : Kesimpulannya adalah dengan arahan yang sesuai anak yang keras kepala tetap dapat menjadi anak yang kompetitif, namun tidak egois. Anak yang keras kepala memang mudah sekali masuk ke dalamjiwa kompetitif dan itu tidak apa-apa, itu memacu mereka, menghasilkan hal-hal yang baik.

Yang kita perlu jaga adalah jangan sampai egois. Sebaliknya dengan anak-anak yang penurut, dengan arahan yang tepat anak yang penurut tetap bisa menjadi anak yang lembut, namun tidak penakut, tidak membiarkan orang menginjak-injaknya dan tidak kehilangan dirinya. Jadi inilah arah yang harus kita tetapkan bagi anak-anak kita sesuai dengan karakternya.
GS : Kelihatannya juga sama tidak mudahnya Pak Paul, menangani anak yang keras kepala maupun anak yang penurut.

PG : Betul, walaupun secara sekilas kita katakan kita lebih senang dengan anak yang penurut karena memang menurut saja, tapi banyak hal-hal yang bisa merugikan dia di kemudian hari.

GS : Sehubungan dengan ini apa yang firman Tuhan katakan Pak?

PG : Saya akan ambil dari Amsal 22:6 , firman Tuhan berkata: "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun dia tidak akan menyimpang daripada jala itu."

Jadi firman Tuhan meminta kita mengenali anak kita, jalannya apa untuk dia, caranya apa mendidik dia, nah itulah yang kita didik, kita tanamkan maka sampai masa tua dia akan terus mengikuti didikan yang kita sudah berikan sesuai dengan karakternya tadi itu.
GS : Jadi kita patut bersyukur kepada Tuhan apapun anak yang diberikan kepada kita baik keras kepala maupun penurut Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua melakukan firman Tuhan tadi memberikan didikan yang tepat buat mereka. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan yang menarik kali ini, dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keras Kepala dan Penurut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



57. Mengapa Anak Berbohong


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T138B (File MP3 T138B)


Abstrak:

Salah satu ketakutan orang tua tatkala mendapati anaknya berbohong adalah bahwa anaknya akan bertumbuh menjadi pembohong. Apakah benar demikian dan sikap apa yang mesti kita perlihatkan sewaktu anak berbohong?


Ringkasan:

Salah satu ketakutan orang tua tatkala mendapati anaknya berbohong adalah bahwa anaknya akan bertumbuh menjadi pembohong. Apakah benar demikian dan sikap apa yang mesti kita perlihatkan sewaktu anak berbohong?

Pertama, kita tidak boleh menuduh anak berbohong bila kita tidak mempunyai buktinya. Ini penting sekali sebab hal ini menyangkut kepercayaan. Anak membutuhkan kepercayaan orang tua, bila ia tidak mendapatkannya, ia akan menolak untuk berkomunikasi, "Buat apa, toh tidak dipercaya!"

Kedua, kita mesti memahami mengapa anak berbohong.

  1. Anak berbohong karena ia takut kepada kita.

  2. Anak berbohong karena ia tahu kita tidak akan memenuhi permintaannya.

  3. Anak berbohong karena ia ingin membenarkan tindakannya.

  4. Anak berbohong karena ia baru saja menemukan "ilmu" baru ini-berbohong-dan ternyata ia menuai manfaatnya, misalnya lolos dari tugas, hukuman, dsb. Jadi, ia terus mempraktekkan keterampilannya itu.

Ketiga, kita harus mengontrol emosi kita. Emosi berlebihan dan memanggil anak pembohong tidak menyelesaikan masalah, malah makin membuat anak takut dan berbohong lagi. Berikan jaminan bahwa jika ia berterus terang, maka kali ini, kita akan memaafkan dan tidak menghukumnya.

Keempat, kita harus memotong mata rantai bohongnya. Jangan menginterogasi anak untuk membuatnya mengaku bila kita sudah tahu bahwa ia berbohong. Tindakan ini hanya akan mendidiknya menjadi lebih canggih dalam berbohong. Langsung kemukakan faktanya dan kita tidak perlu menunggunya mengaku. Sesuaikan sanksi kita dengan perbuatannya.

Kelima, kita perlu mengevaluasi diri kita. Apakah kita terlalu keras kepadanya? Apakah kita tidak memberinya cukup kebebasan? Apakah kita kurang memberinya uang saku?

Firman Tuhan, "Orang benar akan menerima berkat kebenarannya dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya." ( Yehezkiel 18:20 )


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Anak Berbohong", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sebagai orang tua itu saya rasa tidak ada yang mengajari anaknya untuk berbohong kepada orang lain apalagi membohongi orang tuanya, tetapi pada suatu saat saya pernah dikejutkan ketika saya tahu anak saya itu berbohong, saya tahu persis bahwa dia berbohong mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya. Nah ini sebenarnya apa yang mendorong anak ini sampai berbohong?

PG : Dapat kita katakan hampir semua anak atau dapat kita katakan semua anak pernah berbohong. Di mana kita pun sewaktu masih kanak-kanak pernah berbohong, jadi saya tidak mengatakan berbohong dalah hal yang baik atau hal yang benar, tetapi saya ingin mengatakan bahwa berbohong merupakan bagian pertumbuhan kita juga sebagai manusia.

Jadi kita jatuh bangun, dan melalui jatuh bangun itulah kita belajar untuk lebih berani menghadapi fakta. Nah anak-anak juga akan harus melewati fase-fase ini dan penting sekali bagi orang tua untuk bisa menyikapi hal ini dengan benar. Yang pertama yang perlu sekali orang tua lakukan adalah orang tua tidak boleh menuduh anak berbohong bila tidak mempunyai bukti, ini yang selalu menjadi prinsipnya jangan sampai karena adanya kecurigaan orang tua sudah langsung menuduh anak berbohong. Sebab kalau itu tidak benar, tuduhan orang tua sangat melukai anak, melukai anak sampai-sampai dia akhirnya bisa berkata pada akhirnya buat apa menjelas-jelaskan karena toh akhirnya saya tidak dipercaya. Nah ini yang tidak kita inginkan tertanam atau tumbuh dalam diri anak kita, jangan sampai anak-anak akhirnya malas berkomunikasi dengan kita. Nah saya sering melihat masalah ini antara orang tua dan anak, orang tua sudah langsung mencecar, menuduh anak sudah melakukan sesuatu dan kalau tidak mengakui dituduh berbohong walaupun belum mempunyai bukti. Nah sering kali anak-anak sebetulnya sudah melakukan yang dituduhkan orang tua tapi orang tua belum punya bukti namun karena terlalu sering orang tua menuduh, nah anak-anak akhirnya merasa marah karena kok engkau menemukan bukti langsung menuduh sehingga masalahnya berubah, berubah menjadi masalah engkau memang tidak mempercayaiku. Nah dari sini menjalar ke daerah-daerah lain dalam hubungan mereka, si anak akhirnya berkata percuma menjelaskan kepada orang tua tidak akan dipercaya.
GS : Ya reaksi kita sebagai orang tua itu biasanya kalau tahu anaknya berbohong itu langsung panik Pak Paul, makanya tadi timbul tuduhan-tuduhan dan sebagainya, marah dan sebagainya karena panik. Saya ini orang tua terang-terangan dibohongi oleh anak yang kecil, yang kita asuh begitu Pak Paul.

PG : Itu sebabnya penting bagi kita memahami kenapa anak berbohong. Saya akan memberikan beberapa penjelasan, pertama anak berbohong karena takut kepada kita. Nah kadang-kadang kita memang terllu keras (Suara Pak Paul gembret) menit 05:02 akibatnya anak-anak tidak berani mengatakan kebenaran, karena dia tahu kalau mengatakan apa yang sungguh-sungguh terjadi dia akan kena marah kita, atau pukulan kita, konsekuensi kita terlalu keras untuknya, jadi akhirnya anak berbohong.

Adakalanya anak berbohong karena dia tahu kita tidak akan memenuhi permintaannya, kalau dia beritahu terus-terang bahwa dia akan menonton (menit 05:19 - 05:34) dia tidak akan diberikan ijin maka dia berbohong dia berkata dia ke rumah temannya untuk belajar. Dengan kata lain kalau anak sudah tahu banyak yang dia minta itu tidak akan diberikan dia akan lebih terdorong (menit 05:44 - 05:50) tergoda untuk berbohong, nah itu salah satu alasan kenapa anak berbohong. Alasan yang lain adalah anak berbohong karena dia ingin membenarkan tindakannya, jadi dia tidak terima disalahkan, dia tidak mau dicap dia yang salah, dia yang keliru, nah itu terlalu mengganggu egonya misalkan. Jadi untuk membela diri jangan sampai dia disalahkan dan tidak terlihat dia itu yang lemah atau dia itu yang kalah maka anak berbohong, nah kadang-kadang itu yang terjadi ya. Dan satu lagi penjelasan kenapa anak berbohong adalah ada sebagian anak yang memang baru menemukan ilmu baru ini, ilmu berbohong ini dan dia menemukan bahwa ilmu berbohong ini ada manfaatnya dia bisa lepas dari tugas, dari hukuman, berkelit ah....rupanya ini ilmu yang bagus juga jadi si anak mulai menerapkannya. Dari yang saya jelaskan ini saya mau menyadarkan kita semua bahwa memang berbagai motivasi kenapa anak berbohong dan orang tua perlu menyadari yang mana itu. Nah sebagian dari yang telah saya singgung merupakan bagian wajar dari kehidupan anak-anak apalagi yang mulai masuk dalam kehidupan remaja, mereka ingin bisa membela diri, tidak mau langsung dipersalahkan jadi adakalanya itu adalah bagian yang wajar jadi saya kira orang tua jangan sampai terlalu terkejut, kaget, takut sehingga buru-buru memarahi anak dan sebagainya, kita tempatkan masalah ini dalam perspektif yang lebih tepat.
GS : Ya tapi dalam banyak hal mereka itu bisa berbohong karena mereka melihat kita kadang-kadang berbohong itu Pak.

PG : Nah itu salah satu penyebab kenapa anak berbohong juga, karena anak melihat kita pun berbohong. Dan kalau sampai kita memarahi dia, dia akan berkata: "Papa pun berbohong," nah jadi pentingkita sebagai orang tua tidak melakukan hal yang kita larang anak kita melakukannya.

GS : Nah Pak Paul apakah ada hal yang lain tentang hal ini, tentang berbohong ini?

PG : Yang berikutnya adalah ini Pak Gunawan, kita harus bisa mengontrol emosi kita, emosi berlebihan dan memanggil anak pembohong tidak akan menyelesaikan masalah, malah makin membuat anak taku dan bebohong lagi.

Jadi kita mesti mengatakannya kepada anak-anak bahwa jika kamu terang-terang maka kali ini kami akan memaafkan dan tidak akan menghukummu. Dengan kata lain anak tahu bahwa jujur mendapatkan imbalan yang positif, berbohong akan mengundang imbalan yang negatif maka kita memang menekankan kejujuran. Kalau kamu terus-terang, maka tidak akan ada hukuman buatmu, nah dengan cara seperti ini akhirnya anak lebih terdorong untuk berani terbuka. Tapi kalau kita marah-marahin dia dengan keras, kita mengancam dia dan meminta dia untuk berterus terang dia akan berkata belum ketahuan saja sudah begini, apalagi ketahuan lebih parah lagi. Maka waktu anak berbohong kita perlu mengontrol emosi kita itu.
GS : Dan itu harus dilakukan berdua, artinya suami-istri, ayah-ibu dari anak itu harus sepakat menerapkan itu.

PG : Saya setuju, jangan sampai ada satu yang misalkan membela si anak melawan orang tua yang satunya, membaik-baikkan si anak nah dua-dua memang harus seimbang. Tapi di pihak lain juga jangan ampai dua-dua itu seperti macan, karena sama-sama konsisten akhirnya dua-dua seperti macan yang mengerasi anak, si anak juga susah.

Jadi kuncinya memang dua-dua harus bisa menguasai emosi.
GS : Dan itu sekali kalau kita menoleransi dengan mengatakan sekali ini tidak apa-apa kamu, bisa dimengerti dan sebagainya. Tapi bagaimana kalau lain kali dia melakukan kebohongan lagi Pak Paul?

PG : Itu sebabnya kita perlu mengatakan, kali ini kami memaafkan kamu kalau dia mengulang lagi baru kita berikan hukuman. Jadi setelah kita maafkan dia kita katakan jangan mengulang lagi, kalaukamu lain kali mengulang lagi nanti kami berikan hukuman.

Jadi kita sudah janjikan itu, nah lain kalinya kalau kita mendapati si anak melakukan hal yang sama baru kita berikan dia hukuman.
GS : Ya tapi dia katakan memang takut Pak Paul, jadi alasan yang sering kali dikemukakan itu saya takut kalau saya ngomong yang sebenarnya.

PG : Ya hampir semua anak akan mengatakan itu, tapi nggak semua anak benar-benar menggunakan alasan itu karena itulah yang sebenarnya dia rasakan. Sebagian anak hanya menggunakan itu untuk menuupi kenapa dia berbohong.

Sebab anak-anak sebagian besar tahu bahwa orang tua itu kalau pun tahu dia berbohong, kalau pun tahu kesalahannya apa, mungkin reaksinya tidak seperti yang dia pikirkan. Tapi dia akan gunakan alasan tersebut.
GS : Ya ada orang tua itu menjelaskan panjang lebar tentang resiko berbohong lalu menggunakan cerita-cerita dari Alkitab dan sebagainya sebagai contoh akibatnya apa kalau berbohong, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira tidak apa-apa, jadi misalkan dalam ibadah keluarga orang tua bisa menjelaskan kenapa tidak boleh berbohong, kenapa Tuhan tidak senang dengan orang yang berbohong, hal-hal itu kit boleh bagikan dan seharusnyalah kita ajarkan kepada anak-anak kita untuk terus-terang.

Namun sekali lagi sikap orang tua itu penting sekali, orang tua yang bereaksi berlebihan menghadapi kebohongan anak akan membuat anak sangat takut dan ketakutan itu membuat anak lebih mudah berbohong. Tapi kenyamanan dan rasa aman membuat anak lebih tidak terdorong untuk berbohong, jadi ini prinsip jangan sampai kita lupakan.
GS : Ada anak itu yang mengatakan akibatnya tidak apa-apa, tidak serius lalu dia merasa berbohong itu tidak apa-apa Pak Paul.

PG : Sekali lagi ada waktu memberikan maaf, kita memberikan anugerah tapi juga ada waktunya kita menepati ancaman kita, kalau kita katakan lain kali kita berikan hukuman dan benar-benar lain kai kita berikan hukuman.

Dan hukuman sudah tentu tidak menyenangkan agar dia bisa ingat bahwa ini menyakitkan jangan sampai dia mengulangi lagi.
GS : Ya hal itu bisa menjadi sifat Pak Paul, seorang anak yang suka sekali berbohong kemudian dia itu cenderung mengulang-ulang kebohongannya itu.

PG : Dan ini yang harus kita jaga Pak Gunawan, jangan sampai anak itu makin hari makin canggih berbohong. Maka kita katakan ini prinsip yang harus kita pahami yaitu kita harus memotong mata ranai bohong.

Maksud saya begini, jangan mengintrogasi anak untuk membuatnya mengaku bila kita sudah tahu bahwa ia berbohong. Kita sudah temukan buktinya tapi kita sekarang memaksa dia untuk mengakuinya, nah untuk bisa membuat dia tersudut dan mengakuinya maka kita mendesaknya, mengintrogasinya, menjebaknya dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga akhirnya dia masuk ke perangkap kita dan akhirnya mengakui bahwa dia telah berbohong. Nah ini yang sering kali saya temukan dalam reaksi orang tua waktu anak berbohong, dan saya harus katakan reaksi ini kurang tepat. Sebab semakin anak itu melihat orang tuanya mencoba menjebaknya agar dia mengakui perbuatannya, semakin banyak ilmu yang dia pelajari dari orang tua bagaimana supaya lain kali dia jangan tertangkap. Dengan kata lain semakin orang tua mengintrogasinya semakin anak belajar berbohong dengan lebih canggih, nah mata rantai seperti ini yang harus kita putus. Jadi kalau kita sudah punya bukti bahwa anak memang berbohong, kita tidak usah lagi menuntut pengakuannya, tidak usah menunggu sampai dia berkata ya saya telah berbuat ini dan saya berbohong. Kita langsung katakan saja bahwa ini dia faktanya dan kamu telah melakukannya titik dan kita tidak meminta dia untuk memberikan penjelasan karena buktinya terlalu jelas. Setelah itu baru kita berikan sanksi yang sesuai dengna perbuatannya.
GS : Kalau dia merasa diperhadapkan seperti itu Pak Paul, apakah itu tidak membuat dia malu?

PG : Adakalanya ya, tapi memang itu hal yang dia lakukan dan dia harus menanggung akibatnya, biarkan kita sajikan apa yang dia telah lakukan dan ini memang salah. Daripada kita sudut-sudutkan da sampai dia akhirnya terpojok dan dia harus mengaku.

Jangan akhirnya terjebak ke dalam perdebatan, kita katakan apa; dia debat, mana buktinya; ini apa, ini apa, nah akhirnya si anak makin hari makin pandai berbohong. Maka ini kita perlu putuskan Pak Gunawan, jangan sampai orang tua masuk ke dalam lingkaran ini.
GS : Tapi bagaimana halnya kalau kita itu ragu-ragu Pak Paul, anak ini bohong atau tidak, tapi perasaan kita mengatakan ini bohong.

PG : Saran saya kita memang harus mencari buktinya, maka kita kembali kepada prinsip pertama kalau memang kita belum punya bukti sebaiknya kita tidak memanggilnya dan menuduhnya berbohong, sebaknya tidak.

Kalau tidak punya bukti bagi saya ya sudah sebab nanti kalau memang dia bersalah dia akan mengulang lagi dan akan memunculkan bukti, nah di saat itulah kita kaitkan bukti tersebut. Kalau baru setengah-setengah kita biarkan, sebab kita memang tidak punya bukti itu.
GS : Nah itu berarti kesalahan yang telah dilakukan beberapa hari atau beberapa minggu yang lalu, tahunya baru sekarang dan kita marahi baru sekarang, bukankah itu tidak pas Pak Paul?

PG : Nah kalau memang baru sekaranglah kita temukan buktinya saya kira tidak apa-apa. Kalau memang kita sudah tahu buktinya tapi kita tahan-tahan nah itu yang keliru. Kalau sudah tahu buktinya eskipun peristiwanya terjadi beberapa hari yang lalu tidak apa-apa, kita katakan kepada anak kita bahwa kami temukan ini dan ini memang terjadi beberapa hari yang lalu.

Nah baru kita katakan saya kecewa, saya kira daripada memarah-marahi anak, satu kata yang efektif untuk menunjukkan kepada anak bahwa kita marah dan kita terluka adalah dengan mengatakan kami kecewa, kami kecewa kok engkau berbuat seperti ini. Nah kata-kata seperti itu efektif sekali, ampuh sekali bahkan lebih ampuh dari memarah-marahi si anak dengan suara yang paling keras atau memukul-mukul si anak, justru cara-cara seperti itu makin membuat anak lain kali akan lebih mau berbohong, jadi lebih baik kita dengan tenang berkata kami kecewa. Dan adakalanya justru dengan perkataan seperti itulah anak tersentuh bahwa dia telah mendukakan orang tua sedemikian dalamnya, nah inilah yang akan diingatnya pada kesempatan lain sewaktu dia tergoda untuk berbohong.
GS : Kalau anak beberapa kali melakukan kebohongan kepada kita Pak Paul, apakah tidak lebih baik kita juga melihat diri kita sendiri kenapa anak kita ini suka berbohong begitu Pak Paul.

PG : Saya kira akan baik sekali bagi kita orang tua ini mengevaluasi diri, melihat apakah mungkin kita ini memberi andil yang besar kepada anak-anak sampai dia berbohong. Apakah kita terlalu keas, apakah kekerasan kita itulah yang menjadi momok baginya sehingga dia takut sekali membuat kesalahan dan daripada tertangkap membuat kesalahan lebih baik berbohong.

Apakah kita menuntut anak terlalu tinggi, adakalanya kita menuntutnya terlalu tinggi sehingga kita tidak menoleransi kegagalan, ketidaksempurnaan. Nah pada waktu si anak mengalami kegagalan, ulangan tidak sebaik yang kita harapkan, angka dihapus, diganti, tanda tangan orang tua dipalsukan karena apa, mungkin tidak takut dimarahi tapi takut mengecewakan orang tua. Karena tuntutan orang tua terlalu sempurna mungkin itu penyebab si anak berbohong, kita mesti melihat diri kita. Atau mungkin kita ini tidak memberi anak-anak kebebasan yang cukup sesuai dengan usianya, sampai usia 15 kita harus antar-jemput meskipun dia anak laki misalkan. Tidak pernah kita biarkan dia pergi sendiri nah akhirnya dia tidak nyaman di dalam keterikatan seperti itu dan dia akan mencoba mencari celah apa yang akan diijinkan oleh orang tua nah dia memikirkan rancangan-rancangan sehingga akhirnya berbohong. Atau ini yang klasik, apakah kita kurang memberi uang saku yang cukup. Kadang-kadang orang tua datang kepada saya mengatakan anak saya berbohong, uang untuk membeli buku pelajaran dipakai keperluan lain. Saya tanya apakah ibu atau bapak memberikan uang jajan, saya kadang-kadang terkejut ada orang tua yang anak-anaknya sudah berusia cukup besar tidak memberikan uang saku sedikitpun kepada anak-anak. Jadi saya tekankan sekali lagi mungkin ini yang membuat anak-anak bebohong, karena dia ingin beli. Temannya beli makanan atau mainan kecil atau apa tapi dia tidak punya uang akhirnya dia membohongi orang tuanya. Jadi periksa diri juga sebagai orang tua, kalau kita memang perlu mengubah beberapa hal tentang cara-cara kita membesarkan si anak bersedialah untuk mengubahnya, sehingga anak-anak tidak digiring untuk berbohong.
GS : Kalau kita sebagai orang tua juga terlalu lemah, artinya setiap kebohongan kita bersikap tidak apa-apa, terus kita toleransi, itu 'kan memupuk anak untuk berbohong terus kepada kita?

PG : Ya maka jangan sampai kita itu meninggalkan sanksi, adakalanya kita memberikan anugerah tapi pada umumnya kita memberikan sanksi, asal sanksinya yang sesuai. Jangan sampai sanksi itu berleihan, dengan berteriak-teriak memukuli anak seperti apa, nah sanksi yang berlebihan membuat anak nantinya lebih mau untuk berbohong, jadi sanksi yang sesuai yang cukup akhirnya membuat si anak sadar, lain kali jangan begitu.

Tapi yang paling penting adalah si anak akhirnya harus belajar dan harus tahu bahwa dia tidak perlu berbohong. Kebanyakan anak-anak yang berbohong, pada awalnya menganggap bahwa mereka perlu berbohong sebab apa, tidak ada jalan lain, nah ini yang perlu atau yang harus kita sadari jangan sampai anak berkeyakinan mereka perlu berbohong. Ciptakan suasana rumah yang relatif aman penuh kasih dan penuh pengampunan, sehingga anak-anak merasakan tidak perlu berbohong sebab jujur pun akan diterima. Nah jadi kita sebetulnya menyuburkan kejujuran di situ tanpa disadari.
GS : Itu kalau terhadap kita sebagai orang tuanya kita bisa bersikap seperti itu, tapi kadang-kadang orang tua itu setengahnya mengajari anaknya berbohong terhadap gurunya, misalkan saja mau diajak pergi bilang saja besok kamu sakit nanti saya yang akan membuatkan surat, nah itu bagaimana?

PG : Ya ini kesalahan-kesalahan yang acap kali orang tua lakukan dan tidak menyadari bahwa ini akan berdampak kepada anak. Yang lain lagi yang cukup klasik adalah kalau orang telepon bilang tidk ada, bilang lagi tidur, atau kembalinya jam berapa.

Nah hal-hal seperti ini membuat anak berpikir bahwa tidak apa-apa berbohong untuk lari dari tanggung jawab. Nah waktu anak berbohong kita marah setengah mati, tidak menyadari bahwa kita telah memberi contoh untuk berbohong guna bisa lari dari tanggung jawab. Nah kita memang mesti periksa diri kita apakah kita menjadi contoh kejujuran ataukah kita menjadi contoh kebohongan bagi anak-anak, kalau kita menjadi contoh kejujuran nah baru anak-anak lebih bisa mengikuti kejujuran itu.
GS : Sebenarnya Alkitab itu cukup lantang Pak Paul, cukup banyak mengingatkan kita bahkan di 10 perintah Allah pun dengan jelas dikatakan kita tidak boleh berbohong, jangan berdusta itu jelas sekali Pak Paul. Nah untuk perbincangan kita kali ini apakah ada ayat firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan.

PG : Saya akan bacakan dari Yehezkiel 8:20 , "Orang benar akan menerima berkat kebenarannya dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya." Nah ini prinsip yang ingin kita tanakan pada anak-anak bahwa orang benar akan menerima berkat kebenarannya.

Jadi kalau dia hidup benar dia mengatakan yang benar dia akan menerima berkat kebenarannya itu, sebaliknya kalau dia hidup tidak benar, hidup fasik maka kefasikan itu juga akan ditanggungnya suatu hari kelak. Jadi hal-hal seperti ini kita tanamkan, tapi sekali lagi saya tekankan tanamkan bukan hanya melalui mulut kita, pengajaran-pengajaran kita tapi melalui perbuatan-perbuatan kita juga dan sebagai orang tua memang kita harus menciptakan iklim yang aman dalam rumah kita, begitu amannya sehingga anak-anak tidak merasakan perlu untuk berbohong.
GS : Ya memang sulitnya melakukan firman Tuhan ini Pak Paul, untuk hidup tidak bebohong, padahal kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang kita tahu bahwa kebohongan itu setiap hari bisa kita jumpai dengan mudah sekali.

PG : Ya menjadi hal yang akhirnya kita anggap bukan dosa, berbohong kita katakan ada bohong untuk kebenaran, bohong untuk apa, kita akhirnya memang mengkompromikan nilai-nilai itu, tapi sebetulya benar ya benar, bohong ya bohong.

GS : Itu sulitnya kalau anak kita melakukan seperti itu di luar kadang-kadang juga dijadikan mangsa, dimangsa oleh teman-temannya untuk dirugikan.

PG : Maka salah satu hal yang kita juga ingin tumbuh kembangkan pada anak-anak ialah dia harus mampu menjaga diri, melindungi diri, dengan cara apa salah satunya memang adalah berdalih. Maka tai di awal pembicaraan kita saya juga mengatakan bahwa meskipun kita tidak membenarkan berbohong tapi ini memang bagian dari pertumbuhan anak, pertumbuhan untuk dia bisa merasionalisasi untuk membenarkan tindakannya, dengan kata lain untuk berdalih.

Dan kadang-kadang memang masalah itu bukan hitam-putih nah dia bisa menemukan titik tengah bukan hitam putihnya itu. Nah dengan dia menemukan titik tengah itu dia bisa selamat juga jadi hal-hal seperti ini perlu dipelajari oleh anak. Maka tadi sekali lagi bukannya saya membenarkan berbohong tapi sikap atau reaksi kita jangan berlebihan. Karena ini salah satu keterampilan juga, keterampilan yang kalau dipoles menjadi keterampilan yang baik tidak berbohong, tapi sekaligus bisa melindungi dia dari orang-orang yang memang mau menekannya.

GS : Ya ini sesuatu hal yang sangat penting sekali Pak Paul, dan akan sangat bermanfaat bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya hidup benar di hadapan Tuhan dan di hadapan sesama, terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anak Berbohong". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



58. Mengapa Anak Menjadi Agresif


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T145A (File MP3 T145A)


Abstrak:

Anak yang agresif adalah anak yang suka menyerang orang lain. Keagresifan anak ini sebenarnya bisa dikontrol oleh orangtua khususnya, sehingga sifat ini tidak dibawa oleh anak hingga dewasa.


Ringkasan:

Anak yang agresif adalah anak yang suka menyerang orang lain. Bisa dilakukan secara fisik yaitu memukul, mencubit, menggigit, tetapi bisa juga secara verbal misalnya dengan memaki atau memarahi orang lain dengan kasar.

Hal-hal yang bisa memicu keagresifan anak:

  1. Mencontoh atau melihat teman bertengkar
  2. Anak-anak belajar atau mencontoh dari tontonan, misalnya televisi, film dsb.
  3. Orang tua sering bertengkar atau orang tua tidak bisa menguasai kemarahannya.
  4. Orang tua yang mendorong anaknya untuk membalas tingkah laku atau perlakuan teman-temannya
  5. Pujian orang tua terhadap anak laki-laki yang kalau berkelahi dikatakan jago dan sebagainya.

Bagaimana orang tua bisa mengontrol keagresifan anak?

  1. Orang tua sungguh-sungguh memperhatikan keharmonisan hubungan suami-istri. Anak yang melihat orang tuanya harmonis dia akan meredakan rasa frustrasi dan kemarahannya.
  2. Mengurangi sebanyak mungkin tontonan yang agresif.
  3. Mempunyai peraturan keluarga tentang bagaimana cara kita untuk menyatakan kemarahan.

Efesus 4:26-27, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa; janganlah matahari terbenam, sebelum pada amarahmu. Dan janganlah beri kesempatan kepada iblis." Jadi ditekankan boleh marah tetapi jangan sampai berbuat dosa.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Anak Menjadi Agresif", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, kita sering mendengar istilah agresif. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan istilah anak yang agresif itu?

HE : Anak yang agresif yang diartikan di sini adalah anak yang suka menyerang orang lain. Menyerang ini bisa secara fisik misalnya memukul atau mencubit, menggigit tetapi juga bisa secara vrbal maksudnya misalnya dia suka memaki atau memarahi orang lain dengan kasar.

GS : Ya berarti anak itu sudah bukan anak yang masih bayi ya Pak jadi sudah agak besar, itu kira-kira usia sekitar berapa dapat nampak sifat keagresifannya itu?

HE : Mungkin usia 1 tahunan dia sudah bisa nampak agresifnya.

GS : Ya ada anak yang kecil seperti Pak Heman katakan 1 tahun itu suka membanting-banting barangnya. Apakah itu anak yang agresif?

HE : Ya dan terutama kalau misalnya dia suka membanting itu untuk menyerang orang. Nah itu bentuk-bentuk agresifitas.

GS : Sering kali yang saya lihat (kebetulan saya tahu orang ini) bukan untuk menyerang orang, tapi untuk melampiaskan kejengkelannya dia membanting pintu begitu misalnya atau membanting gelas yang sedang dia pegang itu kalau dia jengkel dia lakukan itu. Apakah itu sifat agresif?

HE : Ya kalau misalnya dia kehilangan kontrol bisa saja dia melakukan itu sebagai suatu agresifitas. Kita kadang-kadang perlu melihat latar belakangnya atau tujuannya. Apa maksudnya dia membnting pintu.

Apakah tujuannya untuk melukai hati orang atau tidak senang dan sebetulnya itu merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap orang lain, nah hal-hal yang seperti itu sudah termasuk agresif.
GS : Kalau saya amati dia hanya mencari perhatian dari orang-orang yang ada di sekitarnya karena orang-orang itu seolah-olah mungkin dia merasa kok tidak memperhatikan dia, lalu dia membuat tindakan-tindakan yang over itu supaya kita melihatnya, kadang-kadang dia tiba-tiba berguling-guling di lantai itu tanpa ada suatu alasan yang jelas.

HE : Kalau berguling-guling di lantai ini belum tindakan agresif. Maksudnya agresif yang ditujukan kepada orang lain. Tetapi memang sering kali tindakan agresif si anak itu agak susah dibedaan mana yang sungguh-sungguh dia itu melampiaskan kejengkelan, mana yang sebetulnya dia sedang menarik perhatian.

Apapun itu kalau pada saat itu dia bermaksud menyerang orang lain entah itu dengan berusaha menarik perhatian atau sebab lainnya maka kita bisa sebut dia bertindak agresif.
GS : Ya, kadang-kadang memang tiba-tiba dia lari begitu ke pembantunya atau ke pengasuhnya itu langsung menggigit begitu Pak.

HE : Ya, itu adalah tindakan yang agresif.

GS : Padahal kalau kita amati kedua orang tuanya itu tidak seperti orang yang kasar, orang tuanya itu tergolong orang yang sopan yang halus bicaranya kok bisa begitu ya, siapa yang dicontoh sebenarnya?

HE : Tidak. Kadang-kadang bukan karena harus mencontoh, tetapi memang sering kali juga anak-anak mencontoh dan anak tidak harus mencontoh dari orang tuanya. Dia bisa mencontoh dari temannya,dia bisa melihat orang bertengkar dan sebagainya.

Dan mungkin sekalipun orang tuanya tidak merasakan telah memberi contoh, tetapi kadang-kadang orang tua juga memperlihatkan tidak bisa menguasai kemarahan. Kemudian yang penting lagi sering kali anak-anak juga belajar mencontoh dari tontonan. Misalnya televisi, film, dan sebagainya.
GS : Ya, saya kadang-kadang melihat orang tuanya itu bertindak terlalu ramah terlalu lemah terhadap anak ini. Jadi anak yang sudah berlaku seperti itu tidak dipukul, tidak dimarahi, dia hanya berkata: "Jangan, jangan begitu, itu jelek," hanya seperti itu sehingga anak ini tidak berubah Pak.

HE : Ya, betul. Jadi kadang-kadang anak yang masih muda memang tidak selalu bisa menyalurkan kemarahannya dengan baik, kalau dia tidak pernah dilatih dan diajarkan untuk itu. Nah, kalau misanya waktu dia marah membanting barang, memukul, dan sebagainya itu dibiarkan atau tidak dianggap terlalu serius, dimarahipun tidak diikuti dengan tindakan yang serius maka anak akan menjadikan ini kebiasaan dia.

Apalagi kalau kebiasaan ini bisa membuat orang-orang di sekitarnya lebih takut atau lebih tunduk kepada dia. Dengan demikian kebiasaannya terbentuk dan menjadi sulit hilang. Di dalam hal ini Pak Gunawan dengan tepat menyebutkan bahwa anak ini menjadi agresif karena orang tuanya kurang memperhatikan atau mengontrol ketika dia agresif.
GS : Pak Heman, apa ada sebab lain dari orang tua anak ini yang bisa memicu keagresifan si anak ini.

HE : Salah satunya misalnya orang tua yang sering bertengkar atau orang tua yang tidak bisa menguasai kemarahannya. Nah, kadang-kadang di dalam keluarga yang orang tuanya itu tidak harmonis nak-anak merasa frustrasi.

Dan ketika frustrasi dia pernah melihat misalnya orang tuanya memukul meja atau membanting barang. Nah, ini akan membuat anak itu kalau di dalam keadaan frustrasi dia akan melakukan seperti itu secara otomatis. Dan kemudian juga misalnya orang tua yang mendorong anaknya untuk membalas tingkah laku atau perlakuan dari teman-temannya. Kemudian ada anak laki-laki yang dipuji kalau dia berkelahi dibilang jago dan sebagainya oleh orang tuanya sendiri. Nah, ini akan menyebabkan anak semakin agresif.
GS : Ya, memang ada orang tua itu yang sering malah memanas-manasi anaknya dengan berkata jangan mau dipukuli, besok balas pukul nanti saya yang membantu kamu. Nah saya rasa itu suatu teladan yang kurang baik.

HE : Ya itu pujian yang justru akan memperkuat keagresifitas dia.

GS : Ya, kalau kita melihat secara umum kebanyakan anak laki-laki itu melakukan tindakannya menyatakan bahwa dia itu seorang yang agresif. Apakah itu juga berpengaruh masalah laki, perempuan, dan sebagainya apakah itu ada, karena anak perempuan pun ada yang kadang-kadang suka mencubit, suka menggigit itu.

HE : Kalau dibanding-bandingkan persentasenya, kemungkinan memang bisa ada pengaruh seperti ini. Tapi masalah agresif itu bukan saja masalah fisik, tetapi juga agresif verbal. Nah, di sini sya melihat bahwa laki-laki umumnya lebih agresif secara fisik.

Kalau wanita secara verbal. Kita tahu juga waktu Kain membunuh Habel. Nah Kain itu laki-laki, jadi di dalam Alkitab Perjanjian Lama itu banyak sekali laki-laki yang melakukan kekerasan.
GS : Ya, kalau perempuan itu akan agresif secara verbal begitu Pak, seperti apa misalnya? Apakah dia itu marah-marah atau dia mengata-ngatai temannya atau itu disebut sebagai suatu bentuk keagresifannya?

HE : Ya, betul. Jadi memaki-maki, marah-marah, mengomel-ngomel seperti itu.

GS : Ya, Pak Heman, apakah ada faktor lain itu selain orang tua atau saudara atau teman dekatnya yang membuat seorang anak itu menjadi agresif begitu?

HE : Oh ya terutama faktor belajar. Jadi faktor belajar ini saya anggap lebih penting daripada faktor bawaan. Meskipun faktor bawaan itu ada tentu ya sehingga dia lebih cepat belajar agresif Ada anak yang juga lebih lambat dalam belajar agresifitas.

Faktor belajar ini seperti yang tadi antara lain juga dilakukan oleh orang tua misalnya anak-anak yang suka berkelahi kemudian menjadi ditakuti oleh teman-temannya atau dipuji oleh kelompoknya. Ini akan membuat dia semakin agresif semakin suka memeras, menindas orang lain dan seterusnya.
GS : Mungkin juga ada pengaruh apa yang dia lihat sehari-hari lewat permainan, lewat tayangan TV dan sebagainya itu kita melihat ada perubahan tingkah laku itu dari anak-anak yang ada sekarang?

HE : Ya, tepat sekali jadi ada banyak sekali mainan yang sekarang ini membuat anak itu agresif. Salah satunya misalnya permainan Play Station dan sebagainya, di mana anak ini menokohkan menjdi tokoh yang agresif yang memukul orang lain begitu.

Nah, ini membuat anak lama-lama kehilangan kepekaan perasaan yang lebih halus.
GS : Ya, biasanya dia melihat sebagai tokoh pahlawan begitu Pak. Jadi orang yang agresif itu dijadikan pahlawan di situ.

HE : Betul, sehingga anak meniru.

GS : Ya, dan lagipula biasanya itu selalu menang dan bukankah karakter itu menjadi keinginan setiap orang.

HE : Ya, itu menjadi keinginan setiap orang. Makanya kita orang tua di sini harus mewaspadai hal ini.

GS : Bagaimana kalau orang tuanya itu justru senang melihat film-film atau cerita-cerita yang penuh dengan kekerasan itu, film action, dan sebagainya itu Pak?

HE : Nah, di sini orang tua juga harus belajar mengontrol diri mungkin bagian dari pengorbanan orang tua juga supaya apa yang menjadi hobi dia itu tidak sampai merusak anaknya.

GS : Berarti keagresifan anak itu sebenarnya bisa dikontrol oleh orang tua khususnya.

HE : Ya, betul bisa dikontrol.

GS : Misalnya bagaimana Pak?

HE : Yang pertama seperti tadi disebutkan bahwa keharmonisan antara orang tua ini penting, maka kita harus sungguh-sungguh memperhatikan keharmonisan hubungan suami-istri. Jadi kita berusahasupaya bisa mengasihi pasangan kita secara lebih baik sehingga keluarga kita lebih harmonis.

Anak yang melihat orang tuanya harmonis dia akan meredakan rasa frustrasinya, kemarahannya sehingga itu berkurang. Dan kalau kemarahan itu berkurang maka dia akan lebih bisa mengontrol tindakan-tindakan agresifnya. Yang kedua tadi kita sudah bicara tentang tontonan. Nah, kita harus mengurangi sebanyak mungkin tontonan yang agresif. Memang anak yang sudah terbiasa menonton itu susah untuk dikontrol tetapi kalau kita mempunyai relasi yang sangat baik dengan anak maka relasi ini menggantikan tontonan-tontonan. Sehingga anak tidak merasa perlu lagi untuk menonton yang dia senangi. Dan kemudian yang ketiga kita juga perlu mempunyai peraturan keluarga tentang bagaimana cara kita untuk menyatakan kemarahan. Dan kalau kita menjalankan peraturan itu secara konsisten, bagaimana marah yang boleh dan marah yang tidak diijinkan dan sebagainya. Ini akan membantu anak mengontrol sifat agresifitasnya.
GS : Ya, kadang-kadang ada pasangan suami-istri yang memang menyadari bahwa anaknya itu menyaksikan mereka sebagai pasangan yang harmonis. Jadi di depan anak mereka kelihatan rukun, mesra dan sebagainya tetapi diam-diam di belakang anak itu sering kali terjadi percekcokan atau si suami itu berlaku kasar terhadap istrinya. Nah, suatu saat anak itu 'kan bisa memergoki, jadi tiba-tiba mengetahui, nah itu pengaruhnya besar Pak?

HE : Ya, pengaruhnya cukup besar.

GS : Jadi dianggap orang tuanya membodohi dia begitu?

HE : Tidak sekadar hanya itu saja, tetapi anak itu bisa merasa bingung merasa konflik, merasa ditarik ke sana-sini, dan dia tidak tahu apa yang harus dia perbuat. Nah, anak-anak yang begini alaupun dia tidak melakukan agresi di rumah atau mungkin kurang berani dia bisa melakukan tindakan-tindakan agresi di luar.

Jadi karena dia merasa pahit di dalam menyimpan rasa tidak puas kadang-kadang apa yang dia katakan itu menyerang orang lain. Nah, ini akibat dari orang tua yang tidak harmonis.
GS : Saya juga pernah melihat ada anak yang agresif sekali itu ternyata untuk menutupi ketidakmampuannya, jadi dia gagal di dalam bidang studi nilainya selalu jelek dan sebagainya itu tetapi supaya dia itu disegani oleh teman-temannya, lalu dia bertindak agresif. Hal seperti itu, itu pengaruh apa Pak?

HE : Ini kita katakan sebagai kompensasi, jadi ada orang yang ingin menaikkan tingkat penghargaan dirinya, kepercayaan dirinya dengan cara-cara yang kurang sehat seperti itu. Nah, untuk itu rang tua juga perlu tahu bagaimana mengobati perasaan rendah diri dari anak ini.

GS : Ya, tadi Pak Heman katakan bahwa peraturan di rumah itu bisa digunakan juga untuk mengontrol atau membentuk anak supaya tidak menjadi anak yang agresif itu. Nah, misalnya bagaimana peraturan itu Pak?

HE : Peraturan itu seperti begini sekarang kita bicara dahulu dengan anak tentang rasa marah. Nah, kita perlu mengijinkan perasaan marah ini karena di dalam Alkitabpun kita tahu bahwa kemaraan itu bukan selalu harus berarti dosa.

Masalahnya adalah apakah kemarahan itu dikontrol atau tidak. Kemarahan itu agresif, destruktif, merusak atau tidak. Jadi ada dua macam kemarahan. Nah, kemarahan itu kita perlu terima sebagai perasaan sama seperti perasaan negatif yang lain. Seperti misalnya kesedihan, rasa malu, rasa bersalah, dan rasa takut. Kenapa ini disebutkan karena kita pada umumnya lebih susah menerima perasaan marah dari anak. Tetapi yang perlu kita cegah adalah kalau dia mulai menyerang orang lain. Jadi kita memberikan satu prinsip dulu peraturan kamu boleh marah tetapi kalau marah kamu tidak boleh membanting barang, tidak boleh memukul orang, tidak boleh memaki-maki. Ini peraturannya.
GS : Ya, tentu anaknya bertanya, saya harus mengekspresikan kemarahan saya dalam bentuk apa kalau yang itu tidak boleh semua.

HE : Kalau anak itu sudah bisa ngomong kita bisa segera mengajarkan seperti ini saya marah atau saya kesal saya tidak suka kalau papa dan mama, papa atau mama menyuruh saya begini, begini teus.

Nah, itu anak boleh menyampaikan melalui yang namanya NIMESES (18:14). Jadi mulai dengan perkataan saya, mulai dengan perasaan saya, itu berarti bukan menyerang orang lain tetapi mengakui bahwa saya mempunyai perasaan yang seperti itu. Nah, anak juga boleh misalnya dia tidak terlalu pandai berkata-kata dia boleh misalnya melakukan protes lewat corat-coret yang kita sudah sediakan alatnya misalnya atau misalnya dia menggambar, dia marah sama kakaknya dia menggambar, ini muka kakakku yang jelek sekali dan sebagainya. Nah itu masih diijinkan tentu ada kata-kata tertentu yang nantinya kita boleh melatih dia dan mengatakan kata-kata ini tidak boleh dilakukan, dikeluarkan karena melukai hati orang. Tetapi itu langkah berikutnya yaitu ketika anak sudah mulai bisa menyatakan kemarahannya secara verbal. Dan kemudian juga dia boleh menulis dengan kata-kata protes misalnya atau anak-anak yang sudah lebih besar kita bisa sediakan diary. Di dalam diary itu dia bisa menumpahkan segala isi hatinya. Prinsipnya adalah membantu anak mengekspresikan kemarahan lewat media lain yaitu tulisan, coretan, dan kemudian kata-kata yang tidak menyakiti hati orang lain.
GS : Itu 'kan hanya menyalurkan energi yang ada di dalam diri anak itu untuk melakukan sesuatu Pak, tetapi apakah itu menyelesaikan masalahnya dia?

HE : Ya, tidak semua bisa selesai dan saya setuju itu menyalurkan energi dia tetapi paling tidak dia mempunyai satu cara kalau ini tidak boleh, itu tidak boleh apa yang boleh. Dan itu yang kta hargai karena membantu dia mengontrol perasaan kemarahan dia.

GS : Ya, ada orang tua yang memberikan permainan atau apa itu yang bisa dipukuli oleh anak itu. Apakah itu tidak malah menumbuhkan apa unsur agresif di dalam diri anak itu Pak?

HE : Saya setuju dengan Pak Gunawan. Karena ada penelitian juga tentang hal ini di mana kalau anak ini melakukan yang namanya katarsis pelepasan emosi kemarahan dengan mengarahkannya kepada enda-benda lain maka bukannya kemarahan itu mereda kadang-kadang justru meningkat tingkat kemarahannya.

Jadi justru di sini anak juga harus diajarkan bahwa ada hal-hal yang bisa membuat kita marah tetapi kita tidak perlu marah. Kita bisa mengontrol kemarahan itu.
GS : Ya, memang betul itu Pak Heman apa yang dilakukan itu ternyata anaknya tidak tambah menyelesaikan kemarahannya tetapi tambah marah dia karena yang dipukuli juga tidak bergerak dan itu semacam permainan dan dia jengkel karena dia kalah di dalam permainan itu begitu. Nah kalau peraturan itu tadi kita terapkan di dalam rumah tangga kita di dalam memdidik anak ini kemudian anak ini entah sengaja atau tidak itu melakukan pelanggaran terhadap aturan yang sudah kita berikan. Apakah kita harus memberikan sangsi terhadap anak itu?

HE : Kita perlu memberikan sanksi dan di sini kita perlu peka terhadap kematangan anak juga. Nah sanksinya apa. Setelah misalnya kita memberikan kesempatan supaya dia bisa mengontrol diri mialkan kita berikan kesempatan sampai tiga atau empat kali, kita ajarkan kepada dia berkali-kali tetapi kita melihat bahwa dia sengaja melanggar itu nah di situ kita terapkan sanksi.

Sebelumnya tentu kita memberi tahu sanksinya seperti apa dan sanksi sebaiknya bukan dengan memukul anak karena akan membuat anak semakin agresif. Tetapi kita bisa lakukan misalnya begini kalau anak itu membanting barang sampai pecah, sampai rusak, dan sebagainya kita minta kepada anak atau kita kurangi uang jajannya atau uang tabungannya untuk menggantikan barang yang dia pecahkan atau dia rusak. Misalnya contoh lain lagi kalau dia marah-marah waktu dia bermain dengan temannya atau saudaranya ya kita hentikan dengan segera permainannya. Lalu salah satu cara lagi adalah meminta anak itu untuk tidak bermain sementara waktu atau berdiri di suatu tempat selama 5 sampai 10 menit. Nah, itu cara untuk mengisolasi anak supaya anak tidak berinteraksi untuk sementara dengan temannya.
GS : Kalau anak diperlakukan seperti itu Pak kan bisa timbul perasaan bahwa orang tuanya tidak menyayangi dia?

HE : Pada saat kita memberikan sanksi sedapat mungkin kita tidak terlalu banyak berkomentar memberikan nasihat, tetapi setelah sanksi itu berlalu dan kemudian kita melihat anak itu sudah muli reda kemarahannya.

Nah, di sini kita boleh katakan bahwa papa atau mama sayang kamu dan papa atau mama tidak mau kejadian seperti ini terjadi lagi supaya kamu tidak kena sanksi yang sama. Nah, itu adalah salah satu cara untuk membuat anak tidak tambah marah.
GS : Ya, tetapi ada yang malah tambah marah jadi kemarahannya tambah menjadi-jadi setelah diperlakukan seperti itu, itu bagaimana ya Pak?

HE : Nah, itu dia akan kena sanksi lagi. Dan ada kemungkinan juga dia semakin menampakkan kemarahannya itu karena kita kurang tegas. Sanksinya terlalu ringan, sehingga dia bisa menanggung saksi itu tanpa ada rasa takut.

Sedikit banyak kita perlu rasa takut terhadap anak itu supaya dia bisa mengontrol dirinya. Tetapi juga yang sangat penting adalah saya kira kita perlu membina hubungan yang dekat dengan anak kalau misalnya secara umum secara keseluruhan kita itu sangat dekat dengan anak, bisa mengobrol apa saja dengan anak saya kira anak tidak akan marah-marah kalau kena sanksi karena dia tahu bahwa sanksi itu hanya bagian kecil dan dia tahu persis bahwa orang tua ingin melatih dia melalui sanksi itu. Bukan bermaksud untuk menghukum atau sengaja melukai hati anak.
GS : Ya, dalam hal kemarahan ini Pak Heman memang alkitab banyak sekali berbicara tentang kemarahan dan memberikan prinsip-prinsip bagaimana kita boleh marah dan tidak boleh marah dan sebagainya. Apakah ada hal yang bisa kita ajarkan kepada anak kita itu sesuai dengan kebenaran firman Tuhan Pak?

HE : Ada yang tentang kemarahan yang baik sekali yang akan saya kutip dari kitab Efesus 4:26-27 , "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terenam, sebelum padam amarahmu.

Dan janganlah beri kesempatan kepada iblis." Jadi di sini ditekankan bahwa boleh marah tetapi jangan sampai berbuat dosa.
GS : Ya itu bagaimana mengajarkannya kepada anak yang masih kecil Pak?

HE : Dengan melalui latihan-latihan melalui peraturan yang kita berikan dan kemudian juga lewat cerita-cerita Alkitab, ada kemarahan misalnya dari kemarahan Tuhan Yesus yang kudus yang bersiat mendidik, melatih murid-muridnya maupun menegur orang Farisi dan sebagainya.

Tetapi ada kemarahan-kemarahan yang tidak kudus yang misalnya dari Kain membunuh Habel seperti tadi. Dan kita bercerita supaya anak bisa membedakan kedua hal ini.

GS : Ya terima kasih sekali Pak Heman untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M. Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anak Menjadi Agresif". Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silahkan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



59. Menghitung Pengorbanan Orangtua


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T145B (File MP3 T145B)


Abstrak:

Seorang anak sangat membutuhkan pengorbanan dari orangtua. Kita sebagai orangtua seharusnya tahu sejauh mana kita berkorban dan apakah batas-batasnya itu. Pengorbanan ini juga harus disertai dengan kedisiplinan supaya anak tidak salah mengerti.


Ringkasan:

Kasih kita terhadap anak itu bisa memudar. Terutama ketika anak kita itu tampak tidak berjalan sesuai dengan harapan-harapan kita. Ini memang keterbatasan orang tua dan selain itu sebagai manusia biasa kita juga memiliki keinginan lebih besar untuk memuaskan diri kita dahulu. Karena itu kita harus mengingatkan diri supaya kita juga rela berkorban, kita tidak boleh putus asa selagi memiliki kesempatan untuk mendidik anak-anak.

Pengorbanan yang dilakukan orang tua untuk diberikan kepada anak-anak:

  1. Perlu mengorbankan waktu.
  2. Tenaga dan semangat kita
  3. Keuangan kita
  4. Karier kita
  5. Kenikmatan kita
  6. Kesehatan kita

Yang dilakukan orang tua disebut pengorbanan, yaitu:

  1. Kalau orang tua menyediakan diri lebih banyak dari yang bisa dibayangkan atau juga dipikirkan oleh anak-anak.

  2. Dorongan untuk melakukan sesuatu itu bukan didorong dengan tujuan pribadi untuk memperoleh balas budi anak atau dipuji orang, tetapi demi kesejahteraan anak sendiri.

  3. Meskipun orang tua mungkin dirugikan tetapi tetap mendahulukan kepentingan anak, terutama untuk kesejahteraan anak yang bersifat kekal.

Yohanes 12 : 24 , Aku berkata kepadamu: "Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jia ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghitung Pengorbanan Orang Tua", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, membaca atau memikirkan tentang judul atau topik perbincangan kita pada saat ini, saya itu jadi berpikir apakah pengorbanan orang tua itu bisa dihitung begitu Pak, kok ada judul perbincangan seperti ini?

HE : Ini sebetulnya bukan di dalam pengertian yang kuantitatif atau kita benar-benar menghitung pengorbanan orang tua. Nah di sini memang saya ingin mengajak kita semua untuk memikirkan sejauh ana kita sudah berkorban dan apakah ada juga batas-batas dari pengorbanan orang tua.

GS : Ya, orang tua ini setengahnya itu dikatakan wajib memang mengorbankan bahkan hidupnya sendiri untuk anaknya begitu, tetapi mengapa kita itu masih perlu lagi memikirkan tentang pengorbanan sebagai orang tua itu Pak?

HE : Ya, di sini kadang-kadang kita sebagai orang tua itu tidak sempurna adakalanya kita menjadi lelah, merasa sia-sia sudah berkorban. Masalahnya pada saat kita mendidik atau mendisiplin anak ita mereka sering kali tidak seketika berubah sesuai dengan keinginan kita.

Jadi di sini kita perlu membahas tentang pengorbanan orang tua antara lain untuk memberikan semangat kepada diri kita sendiri supaya kita tidak merasa jenuh, merasa lelah, merasa sia-sia di dalam mendidik anak.
GS : Ya, tetapi bukankah pengorbanan sebagai perwujudan kasih kita sebagai orang tua itu terhadap anak Pak? Nah kalau orang tua itu mulai merasa bahwa wah pengorbanan saya ini tidak ada gunanya atau sia-sia, apakah itu berarti bahwa kita sebagai orang tua itu sudah mulai tidak mengasihi anak kita dengan sungguh-sungguh itu.

HE : Secara jujur harus saya katakan bahwa kasih kita terhadap anak kita itu bisa memudar. Terutama ketika anak kita itu tampaknya tidak berjalan sesuai dengan harapan-harapan kita. Tidak setia saat anak kita tampak menyenangkan dan kalau misalnya mereka terus-menerus menjengkelkan hati kita, kitapun akan lebih sulit mengasihi mereka.

Nah ini memang keterbatasan dari orang tua dan selain itu sebagai manusia biasa kita juga memiliki keinginan lebih besar untuk memuaskan diri kita sendiri dahulu. Karena itu kita juga harus mengingatkan diri supaya kita juga rela berkorban kita tidak boleh putus asa selagi memiliki kesempatan untuk mendidik anak-anak. Kalau kita tekun menjalankan tugas dan tanggung jawab kita dengan cinta kasih anak akan merasakan ketulusan hati kita dan kita akan memetik hasilnya nanti. Nah, ini anak yang hidup di dalam suasana kasih akan lebih mampu pula menyatakan kasih kepada orang lain termasuk kepada orang tuanya.
GS : Pak Heman, sering kali yang dirasakan memang kejengkelan sesaat begitu Pak kalau apa-apa yang kita harapkan dari anak, kita itu sudah bersusah payah dan sebagainya kok balasannya seperti itu, itu hanya semacam kejengkelan apakah itu bisa dikatakan bahwa kasih kita itu memudar?

HE : Kalau hanya sekadar kejengkelan-kejengkelan saya kira tidak sampai memudar. Tetapi kalau kejengkelan itu kadang-kadang bisa memuncak lalu kita menjadi hambar di dalam memperlakukan anak kia di dalam perasaan kita terhadap anak kita.

Nah di situ ada kemungkinan makin hari kasih kita akan makin memudar.
GS : Ya, dalam hal itu apakah anak kita itu bisa merasakan bahwa kita itu sudah kurang mengasihi dia atau kasih kita memudar, anak tersebut bisa merasakan atau tidak?

HE : Ada yang bisa, ada yang tidak juga. Tetapi pada umumnya ini akan mendapatkan semacam refleksi balik dari anak kita. Kalau kita misalnya rasanya sudah tidak sehangat dulu lagi anak-anak jug akan merasa sedikit frustrasi.

Nah, kalau mereka frustrasi mereka sulit untuk kita ajak kerja sama. Misalnya kalau kita minta supaya mereka melakukan sesuatu mereka susah untuk menaati kita.
GS : Kadang-kadang itu bukan memudar juga bukan jengkel tapi kasih kita itu teralihkan Pak. Jadi misalnya ketika anak tadi mempunyai adik, nah perhatian orang tua itu tentu saja kepada adik yang baru lahir atau yang masih kecil itu?

HE : Ya, ini yang saya sebutkan sebagai batas-batas pengorbanan kita. Jadi kita memang di dalam berkorban untuk anak itu juga mempunyai batas-batasnya di antaranya contoh kongkret yang seperti ak Gunawan sampaikan itu tepat sekali.

Kita harus membagi atau melakukan prioritas-prioritas.
GS : Ya, kalau begitu pengorbanan apa yang kita bisa lakukan sebagai orang tua untuk kita berikan kepada anak atau anak-anak kita?

HE : Ada banyak hal yang bisa kita berikan sebagai pengorbanan. Ada macam-macam, antara lain misalnya kita perlu mengorbankan waktu, itu jelas sekali dan anak memerlukan banyak sekali waktu danperhatian dari kita.

Kemudian tenaga dan semangat kita. Kadang-kadang keuangan kita, di mana kita punya keperluan tetapi kita harus menyisakan atau bahkan memprioritaskan kepentingan anak kita. Demikian juga karier kita itu kadang-kadang agak terhambat gara-gara kita harus memprioritaskan anak. Kenikmatan mungkin juga kadang-kadang kesehatan karena kita kurang tidur misalnya. Dan adakalanya juga kehidupan orang tua sendiri. Hal ini sangat penting dilakukan terutama ketika anak masih muda yaitu mulai dari 0 tahun sampai masa usia remaja. Itu yang paling banyak bukan berarti setelah remaja tidak ada pengorbanan lagi. Tetapi yang paling banyak adalah pada usia-usia seperti itu.
GS : Ya, jadi ada batasan sampai remaja itu lalu kasih itu dikurangi atau bagaimana itu Pak kok batasannya sampai remaja?

HE : Ya, bukan kasihnya tetapi waktu kita, tenaga kita itu mungkin akan lebih sedikit terbuang. Katakanlah begitu, ketika anak menginjak remaja. Terutama setelah remaja akhir.

GS : Maksudnya sekitar usia berapa Pak?

HE : Sekitar misalnya sekitar 15 tahunan kita sudah bisa agak berkurang ini untuk menghabiskan sedemikian banyak waktu. Tetapi memang sebaliknya kalau kita misalnya kita kurang memberikan waktutenaga dan sebagainya itu pada waktu mereka masih sangat muda.

Maka kemungkinan kita justru harus menghabiskan lebih banyak waktu lagi. Jauh lebih banyak waktu lagi ketika mereka menginjak remaja.
GS : Dan bukan cuma itu, saya rasa bukan cuma menghabiskan waktu tenaga lebih banyak tetapi juga membutuhkan kesungguhan yang lebih serius lagi saya rasa kalau anak kita sudah remaja itu Pak.

HE : Oh ya betul. Tepat sekali Pak Gunawan, memang kita perlu lebih serius lagi kalau misalnya dulu-dulunya kita tidak pernah menanamkan hal itu.

GS : Ya, jadi kalau begitu yang disebut pengorbanan itu kapan yang kita lakukan sebagai pengorbanan itu?

HE : Kalau misalnya kita sebutkan itu pengorbanan, ada beberapa hal yang kita bisa tandai yaitu misalnya kalau orang tua menyediakan diri lebih banyak dari yang bisa dibayangkan atau juga dipikrkan oleh anak-anak kita.

Disebut pengorbanan juga misalnya kalau dorongan untuk melakukan sesuatu itu bukan didorong dengan tujuan pribadi untuk memperoleh balas budi anak atau dipuji orang, tetapi demi kesejahteraan anak sendiri. Jadi semata-mata demi anak. Pengorbanan juga bisa terjadi kalau orang tua yang melakukan hal ini mereka sendiri mungkin saja dirugikan meskipun demikian orang tua berusaha mendahulukan kepentingan anak. Terutama untuk kesejahteraan anak yang bersifat kekal.
GS : Pak Heman, kalau kita sudah menyediakan diri atau mengorbankan diri kita itu untuk anak-anak kita waktu kita, uang kita dan sebagainya, menurut ukuran kita sebenarnya itu sudah banyak begitu Pak, tetapi anak ini masih belum dapat menanggapi secara obyektif apa yang kita berikan itu ditanggapinya masih kurang atau bahkan dia merasa ya memang sudah seharusnya orang tuaku itu seperti itu, itu bagaimana Pak?

HE : Kita bisa sering kali mengajak anak itu bersyukur. Jadi dari rasa syukur kemudian kita menceritakan misalnya tentang pengorbanan Tuhan kita lewat banyak sekali ilustrasi-ilustrasi seperti tu.

Anak biasanya akan memahami oh ya ternyata keluarga kami, ternyata orang tua kami itu telah berkorban dengan banyak. Kadang-kadang lewat cerita-cerita pengalaman misalnya bagaimana anak ini pernah sakit atau bagaimana orang tua pernah menyediakan waktu dan mengorbankan sesuatu. Itu akan membantu anak untuk membayangkan bahwa sebetulnya orang tua mengasihi mereka. Cuma memang cerita-cerita begini tidak boleh terlalu sering juga sehingga anak merasa oh ini ada udang dibalik batu.
GS : Kadang-kadang ada orang tua itu Pak yang mengatakan kepada anaknya walaupun anaknya masih kecil sekalipun dia katakan ini ibu atau ayah ini sudah korban buat kamu sedemikian banyaknya kamu besok kalau besar jangan lupa lho sama papa, mama begitu bagaimana Pak?

HE : Ya, sebaiknya buntutnya itu jangan lupa sama mama, papa itu sedekat mungkin tidak dikatakan karena kalau itu dikatakan memang memberi kesan bagi anak wah ini orang tua kurang sedikit tulusini.

GS : Ya, atau kadang-kadang begini kalau waktunya orang tua repot itu saya 'kan sudah banyak berkorban untuk kamu, sekarang waktumu ini membantu mama, membantu papa masa kamu diam saja. Nah, itu apakah wajar orang tua meminta anaknya melakukan hal seperti itu Pak?

HE : Ya, itu wajar-wajar saja tetapi di sini kita juga perlu mengingatkan, mendidik anak-anak kita bahwa sebetulnya yang dibutuhkan itu bukan balas budi. Sebetulnya yang kita maksud adalah supaa anak-anak ini tahu atau bisa melakukan sesuatu itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Untuk kebaikan dan nantinya setelah mereka dewasa mereka melakukan ini tidak dengan susah.
GS : Ya, yang Pak Heman sebutkan dengan kesejahteraan untuk yang bersifat kekal, itu seperti apa Pak?

HE : Seperti misalnya kalau kita berkorban kepada anak itu untuk kesejahteraan yang bersifat kekal itu adalah kalau kita memikirkan tentang nantinya ketika dewasa maka anak-anak ini semakin beranggungjawab misalnya begitu.

Itu bersifat kekal. Nantinya mereka bisa lebih memberikan kasihnya, nantinya mereka lebih bisa mengasihi Tuhan dan seterusnya. Nah itu maksudnya tetapi kalau misalnya nantinya mereka akan lebih manja misalnya begitu. Nah itu tidak boleh dilakukan karena kadang-kadang kita orang tua begitu menghemat untuk kepentingan sendiri tetapi untuk anak boros sekali, apa saja yang diminta oleh anak itu dituruti. Nah itu saya kira pengorbanan yang kurang tepat. Untuk saat itu mereka terpuaskan keinginannya. Tetapi untuk kemudian hari yang bersifat kekal mereka tidak tahu lagi bagaimana mengendalikan diri dan bagaimana bisa menyenangkan orang tua dan juga bagaimana menyenangkan Tuhan. Itu yang bersifat kekal.
GS : Ada sebagian orang tua yang latar belakangnya memang dulu dia susah sekali kehidupannya waktu masih anak-anak. Sekarang ini dia berusaha untuk menyenangkan hati anaknya. Dengan yang tadi Pak Heman katakan itu memberikan apa saja yang anaknya minta, itu bentuk pengorbanan atau bukan?

HE : Betul itu pengorbanan. Itu salah satu pengorbanan orang tua tetapi pengorbanan yang saya katakan kurang begitu tepat. Karena itu akan merusak masa depan anak. Jadi di dalam berkorban kita uga harus memikirkan batas-batasnya.

Yaitu ketika itu membuat anak semakin tidak bertanggungjawab misalnya atau semakin tidak bisa mengontrol diri. Maka kita harus stop sampai di sana. Tetap kita harus bungkus pengorbanan kasih kita itu di dalam satu kerangka juga yaitu di dalam hal mendidik anak-anak.
GS : Ya, jadi masalahnya itu adalah bagaimana kita harus mempraktekkan pengorbanan itu khususnya terhadap anak atau anak-anak kita?

HE : Jadi kalau misalnya kita mendidik anak kita, kita memberikan sesuai dengan apa yang mereka butuhkan bukan apa yang mereka inginkan. Jadi kita harus bedakan dua hal ini. Apa kebutuhan anak ang utama dan kalau misalnya itu tentang keinginan anak tidak setiap kali kita bisa penuhi.

GS : Ya, misalkan saja ketika anak itu masih bayi masih kecil sekali, kebutuhannya 'kan berbeda dengan ketika nanti dia sudah berumur satu, umur dua. Itu bagaimana Pak kita harus menerapkan pengorbanan ini terhadap mereka pada jenjang usia seperti itu?

HE : Kita juga menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Pada 0 sampai 1 tahun misalnya mereka anak-anak ini butuh sekali sentuhan dari orang tua kemudian pelukan, asuhan, gendongan,dan kebutuhan-kebutuhan fisik lainnya.

Selain itu anak juga harus sering kita ajak ngomong-ngomong misalnya meskipun mereka belum bisa berbahasa. Nah dengan sentuhan-sentuhan seperti ini, ini termasuk pengorbanan orang tua karena orang tua perlu menyediakan waktu untuk bangun malam dan sebagainya. Kalau setelah itu misalnya anak sudah bisa mulai bisa berjalan dan sebagainya. Kita harus kadang-kadang mendampingi mereka untuk belajar berjalan, belajar berbicara, dan seterusnya. Jadi setiap tahapan usia mempunyai cara dan juga bentuk pengorbanan yang berbeda-beda.
GS : Mungkin karena repotnya dan beratnya kemudian kita berpikir 'kan lebih gampang kalau kita itu mengundang seorang perawat anak atau pembantu yang sudah kita latih khusus untuk itu, bagaimana itu Pak?

HE : Untuk tanggung jawab jangan semua tanggung jawab itu dibebankan kepada pembantu atau pengasuh anak. Saya kira orang tua harus tetap bertanggung jawab di dalam sebagian besar kehidupan anak Kalau misalnya ada yang menyimpang dari kehidupan anak, orang tualah yang harus memegang kendali.

GS : Misalnya tanggung jawab apa yang kita harus tangani sendiri dan itu tidak bisa kita alihkan kepada pihak lain?

HE : Misalnya seperti tadi tugas mendidik anak. Kemudian juga memenuhi sentuhan emosional atau kebutuhan emosional anak. Jadi kalau misalnya kita sibuk, kalau kita di rumah sebaiknya semua tangung jawab ada dipundak kita dan tidak diserahkan kepada orang lain.

GS : Masalahnya sekarang ini banyak orang tua yang repot sekali Pak, bahkan pekerjaan dari kantorpun harus di bawa ke rumah untuk dikerjakan. Itu akan menyita waktu untuk berkomunikasi dengan anak itu Pak?

HE : Nah, di sinilah pentingnya pengorbanan Pak, karena dengan memberanikan diri kadang-kadang untuk meletakkan pekerjaan kita apalagi pada saat anak itu membutuhkan waktu untuk cerita sesuatu epada kita kesempatan itu sering kali tidak akan datang kedua atau ketiga kalinya kalau kita tidak segera meletakkan pekerjaan kita sebentar kemudian melayani anak.

Nah kalau kita ingin berkorban kita kadang-kadang perlu menghentikan pekerjaan kita dan berbincang atau bercerita dengan mereka.
GS : Ya, sering kali itu kalaupun dilakukan itu dilakukan dengan setengah hati karena pikirannya masih pada pekerjaan, masih pada tugas yang belum selesai juga sebagai ibu rumah tangga. Kalau rumah tangganya masih kacau dan sebagainya itu akan terpecah perhatiannya Pak?

HE : Ini memang satu tarik-menarik dan di sinilah sulitnya berkorban Pak. Nah, ini saya sendiripun punya pengalaman yang seperti itu. Di sini justru pentingnya kita bicara tentang bagaimana berorban untuk anak.

GS : Ya, rupa-rupanya itu ada batasnya atau ada waktunya pengorbanan orang tua itu bisa merugikan anak itu Pak? Nah, tadi Pak Heman juga sudah menyinggung hal itu tetapi yang perlu kita jelaskan adalah batasnya sampai di mana pengorbanan kita terhadap anak supaya tidak malah memperburuk atau merugikan anak kita itu Pak?

HE : Mungkin diberi contoh lebih kongkret yaitu misalnya kalau orang tua selalu menyiapkan apapun yang sebetulnya sudah bisa disiapkan oleh anak sendiri. Masih dimandikan sekalipun usianya suda usia anak SD dan sebagainya.

Bahkan ada orang tua yang membuatkan PR anaknya. Nah, itu akan membuat perkembangan anak kurang sehat. Anak menjadi terlalu bersandar kepada orang tua dan menjadi tidak mandiri. Meskipun maksud orang tua baik orang tua berkorban, orang tua menyediakan waktu bagi anaknya. Tetapi itu tidak melatih anak untuk mandiri.
GS : Sering kali memang disadari itu bukan pengorbanan Pak tapi karena kita tidak sabar saja menunggu dia menyelesaikan itu misalnya mandi yang tadi Pak Heman katakan, mandi itu anak bisa berlama-lama di dalam kamar mandi dan kotor semua kamar mandi itu karena dia main sabun main air dan sebagainya. Setiap kali disuruh keluar nangis, daripada begitu lalu orang tua mengambil inisiatif dimandikan aja cepat-cepat selesai sudah begitu.

HE : Ya, di sini juga pengorbanannya juga orang tua perlu menahan diri. Nah, ini pengorbanan orang tua menahan diri untuk tidak terlalu cepat membantu anaknya, orang tua juga belajar untuk bersbar, ini juga pengorbanan buat orang tua karena memang kadang-kadang saya menyadari bahwa kita itu sebagai orang tua stres, banyak tekanan, terburu-buru.

Nah, di sini tentunya penting kita juga tahu menyeimbangkan, jadi pengorbanan di sini ada batasnya tetapi kita juga harus belajar untuk memberi.
GS : Ya, di dalam hal pengorbanan ini saya rasa juga mesti didampingi dengan kedisiplinan terhadap anak begitu supaya anak tidak salah mengerti dengan pengorbanan kita Pak?

HE : Ya ini kesimpulan yang baik Pak.

GS : Ya. Nah kalau begitu Pak Heman, apakah ada batas pengorbanan orang tua yang lain, jadi artinya apakah ada batasan lain selain yang kita bahas tadi?

HE : Ada lagi jadi misalnya kadang-kadang kita tidak mampu memberikan sekalipun kita ingin memberikan itu, misalnya secara finansial kita tidak mungkin menyediakan fasilitas belajar yang lebih aik dari yang sekarang kita berikan buat anak.

Ya apa boleh buat dan kadang-kadang seperti kita itu mempunyai satu prioritas. Jadi adakalanya kita dituntut untuk mendahulukan ada hal-hal yang lebih penting lebih urgen untuk dilakukan. Kadang-kadang kita juga harus di suatu waktu tertentu kita mendahulukan kepentingan pasangan kita. Nah ini semua adalah keterbatasan-keterbatasan di dalam pengorbanan kita sebagai orang tua.
GS : Juga pengalaman membagikan kasih itu 'kan tidak semua orang bisa sama, ada orang yang memang bisa melimpahkan kasihnya kepada anak tetapi ada orang-orang tertentu yang mungkin karena latar belakang waktu dia masih muda dan sebagainya dia sulit sekali memberikan kasih, nah itu bagaimana Pak?

HE : Ini di sini perlu pengorbanan orang tua juga untuk belajar lebih banyak. Nah kalau misalnya keterbatasan itu memang bukan suatu kesengajaan orang tua itu kita tidak perlu merasa bersalah. etapi selama kita bisa mengusahakan untuk belajar untuk lebih baik dan sebagainya kita perlu usahakan itu.

GS : Ya, juga ada kebutuhan anak yang tadi Pak Heman berikan contoh itu kebutuhan finansial itu sebenarnya di masyarakat kita ini ada banyak hal yang kebutuhan minimalnya sudah tidak bisa terpenuhi oleh orang tuanya begitu Pak?Apakah itu berpengaruh negatif terhadap anak itu?

HE : Berpengaruh negatif jelas. Tetapi kalau anak melihat kesungguhan orang tuanya di dalam segala keterbatasannya saya rasa anak juga tidak akan merasa sakit hati pada orang tuanya. Apalagi nati setelah dia dewasa di mana perkembangan kematangan berpikirnya dan sebagainya itu sudah lebih baik dia akan menghargai orang tuanya.

GS : Ya, apakah dalam hal ini Pak pengorbanan orang tua untuk anaknya ini ada suatu ilustrasi atau penjelasan dari kitab suci yang bisa menolong kita untuk memahami pengorbanan ini?

HE : Ya, ketika kita memikirkan tentang pengorbanan orang tua mau tidak mau kita berpikir tentang pengorbanan maka Tuhan Yesus, maka di sini saya ingin kutip dari Yohanes 12:24 dari apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus Aku berkata kepadamu: "Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan b

GS : Ya, ilustrasi ini mati dalam hal ini 'kan tentu tidak secara fisik kita harus mati begitu Pak Heman, apa yang dimaksud di sini?

HE : Ini sebenarnya menggambarkan kematian Tuhan Yesus sendiri tetapi sebagai orang tua tentu kita tidak mati di dalam arti harafiah. Ini hanya sebagai suatu teladan kita, patokan keinginan kit untuk menuju ke situ.

Kita tidak bisa sempurna seperti Tuhan Yesus.

GS : Ya, terima kasih sekali Pak Heman untuk perbincangan pada saat ini yang tentunya sangat bermanfaat buat para pendengar kita yang masih mempunyai anak-anak yang membutuhkan pengorbanan dari orang tuanya. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghitung Pengorbanan Orang Tua". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran serta tanggapan pertanyaan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



60. Mengapa Anak Tidak Menurut


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T154A (File MP3 T154A)


Abstrak:

Semua orangtua mengharapkan anak-anaknya bisa menjadi penurut, tapi pada kenyataannya setiap anak itu tidak sama, dan inilah salah satu yang dikeluhkan oleh banyak orangtua. Nah apa yang perlu kita lakukan sebagai orangtua?


Ringkasan:

Ada beberapa penyebab mengapa anak tidak menurut orang tua:

  1. Secara pembawaan ada anak yang lahir dengan kemauan yang kuat. Anak-anak ini tidak mudah tunduk pada perintah orang tua dan sering kali memperlihatkan sikap menantang.

  2. Anak yang ekstrovert cenderung lebih sukar menurut karena membutuhkan teguran yang keras.

  3. Anak tidak memahami dengan jelas apa itu yang dituntut orang tua karena instruksi orang tua samar dan umum atau kadang tidak konsisten.

  4. Anak tidak respek kepada orang tua sebab orang tua tidak menjadi panutan yang positif.

Menghadapi Anak yang Tidak Menurut:

  1. Orang tua mesti mengenali karakteristik anak; jangan menyamaratakan anak. Tidak semua memerlukan teguran keras, namun tidak semua tanggap terhadap teguran ringan.

  2. Orang tua mesti mengkomunikasikan respek kepada anak; ada perbedaan antara menegur dan menghina anak.

  3. Orang tua harus memberi teladan terlebih dahulu kepada anak; tanpa teladan anak hanya akan takut-bukan tunduk-kepada orang tua.

  4. Orang tua perlu menjelaskan alasan mengapa perintah atau larangan diberikan.

  5. Orang tua mesti berpadu, kalau tidak sehati, orang tua akan mengalami kesukaran membuat anak menurut.

  6. Orang tua harus menyadari bahwa tidak menurut, tidak selalu buruk. Adakalanya tidak menurut justru diperlukan karena orang tua tidak selalu benar. Tidak menurut menunjukkan kebebasan anak mengekspresikan diri dan sampai titik tertentu, hal ini berdampak positif. Jadi, tidak menurut tidak senantiasa menuntut respons represif orangtua.

Firman Tuhan, "Ia seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." Mazmur 1:3

Saya mau terapkan ini dalam konteks anak-anak kita. Kalau kita dapat mendidik anak, membentuk anak dengan baik, tidak mematahkannya, tidak mengikis habis dirinya, justru anak-anak itu akan tumbuh seperti pohon. Dia seperti pohon yang subur menghasilkan buah dan tidak layu daunnya, namun jangan sampai lupa anak-anak ini perlu dinaungi terus-menerus dengan firman Tuhan, dengan bimbingan dari Tuhan sehingga dia bisa bertumbuh dengan arah yang tepat.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Anak tidak Menurut", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, siapapun orang tua itu pasti menginginkan anaknya itu anak yang manis, anak yang dengar-dengaran, anak yang tidak suka melawan. Atau kalau melawan ya tidak terlalu parah yang biasa-biasa, tapi kenyataannya kadang-kadang kita jumpai anak itu mempunyai karakter yang keras, setiap kali orang tuanya berbicara dibantah dan sebagainya. Itu sebenarnya bagaimana Pak Paul?

PG : Yang semua orang tua harapkan adalah anak-anak itu penurut Pak Gunawan, tapi memang kenyataannya adalah anak-anak itu tidak sama, inilah salah satu hal yang dikeluhkan oleh orang tua. Knapa anak saya tidak menurut, mereka bandingkan dengan anak-anak lain, kenapa si anak itu penurut.

Nah kadang-kadang orang tua itu tergesa-gesa menyalahkan diri atau menyalahkan anak, untuk itulah kita perlu angkat topik ini agar kita bisa melihat masalah ini dengan lebih tepat. Yang pertama yang saya ingin utarakan adalah tentang penyebabnya, mengapakah ada anak-anak yang tidak penurut. Yang pertama adalah secara pembawaan ada anak yang lahir dengan kemauan yang kuat, anak-anak ini tidak mudah tunduk pada perintah orang tua dan sering kali memperlihatkan sikap menantang. Jadi kalau orang tua berkata jangan, anak ini akan melihat mata si orang tua kemudian sengaja melakukannya. Misalnya si orang tua berkata: "Mama minta kamu tidak ke sana." Dia hanya akan mungkin menengok sedikit tapi kakinya terus berjalan ke sana, jadi memang anak ini sejak kecil umur setahun, umur dua tahun terlihat jelas memiliki kemauan yang sangat keras. Jadi dari sini kita mulai bisa menyimpulkan satu hal tentang anak-anak yang tidak penurut dari kecilnya. Yaitu mereka memang sejak kecil sudah membawa kemauan yang keras, nah kemauan yang keras itu susah ditundukkan oleh kemauan orang tuanya. Jadi waktu kita berkata anak itu tidak penurut, salah satu penyebabnya adalah karena anak ini dilahirkan dengan kehendak atau kemauan yang keras.
WL : Pak Paul, apakah artinya kehendak yang kuat atau strong willed itu selalu negatif?

PG : Sebetulnya tidak Bu Wulan, anak-anak yang berkamauan keras kalau menerima pengarahan yang tepat dari orang tuanya justru akan berkembang menjadi anak-anak dengan pribadi yang tangguh, pibadi yang tidak mudah diombang-ambingkan dan dapat mencapai target yang dicanangkannya.

Jadi sekali lagi kemauan yang keras itu sendiri bukanlah sesuatu yang buruk yang harus dikikis habis, nah ini jangan sampai orang tua keliru menanggapi kemauan keras. Tugas orang tua bukan mengikis habis tapi mengarahkannya saja.
WL : Tapi ada kebalikan juga anak-anak yang nampaknya penurut di rumah, di depan orang tuanya, tapi di luar rumah disebutnya sebagai troublemaker, sering juga begitu Pak Paul?

PG : Ada anak-anak yang memang di rumah itu tidak berani karena sangat takut pada orang tuanya, mereka tahu bahwa orang tua kuat, memiliki konsekuensi yang jelas sehingga mereka tidak beranimacam-macam.

Namun di luar mereka tahu bahwa orang-orang di luar itu tidak sekuat orang tuanya, jadi dengan kata lain mereka bisa unjuk rasa. Itulah yang kadang-kadang kita lihat, mereka keluar rumah dan mulailah melakukan hal-hal yang tidak diizinkan oleh gurunya atau oleh teman-temannya.
GS : Anak-anak yang berkemauan keras seperti itu kecenderungannya egois Pak Paul, nah bagaimana kita itu mengarahkan supaya yang timbul ini nanti egois yang berlebihan?

PG : Anak-anak yang berkemauan keras sudah tentu dia akan mendahulukan kepentingannya, itu sebabnya kita memang harus menjaga jangan sampai akhirnya anak-anak ini berkembang menjadi anak-ana yang egois, tidak melihat kepentingan anak atau orang lain hanya melihat kepentingan dirinya.

Sudah tentu orang tua perlu memberikan pagar, pagar artinya ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan tapi orang tua juga perlu menetapkan dengan jelas hal-hal yang boleh dilakukan. Kadang-kadang orang tua terlalu terpaku kepada memberikan larangan, hal-hal yang tidak boleh dilakukan dan gagal memberikan penjelasan kepada anak tentang hal-hal yang boleh dilakukan. Jadi dengan kata lain anak-anak itu perlu tahu sebetulnya wilayah bebasnya itu seperti apa, nah jangan sampai anak-anak tidak mengerti sama sekali di manakah wilayah bebasnya.
GS : Anak-anak seperti ini juga terlihat tindakannya spontan dan kadang-kadang ekstrim, itu bagaimana?

PG : Sebab memang kebanyakan anak-anak yang berkemauan keras itu anak-anak yang ekstrovert (tidak semuanya). Jadi anak-anak yang ekstrovert memang anak-anak yang keluar, anak-anak yang menamakkan dirinya kepada orang di luar, mengeluarkan perasaannya dan pikiran-pikirannya.

Sehingga apa yang dipikirkan dan dirasakan ya dengan langsung diutarakannya, nah ini kadang-kadang yang membuat anak-anak ini lebih sukar menurut. Kenapa? Sebab memang anak-anak ini mempunyai kecenderungan untuk aktif melakukan, berbuat, ke sana, ke sini dan sebagainya. Oleh karena itulah orang tua perlu bisa untuk mengatasinya. Misalkan untuk anak-anak yang ekstrovert ini, sebetulnya kita mesti menyadari bahwa anak-anak yang ekstrovert memang memerlukan teguran yang lebih keras. Anak-anak yang introvert kita berikan teguran yang ringan sudah langsung melakukannya, anak-anak yang ekstrovert mesti lebih keras, baru dia dengar. Kadang-kadang diancam dengan konsekuensi, kalau tidak menurut nanti mama atau papa pukul, kita pukul pantatnya atau tangannya, nah anak-anak itu baru mengerjakan yang kita minta.
WL : Pak Paul, kalau tadi disebutkan memang ekstrovert kecenderungannya memang seperti itu, bagaimana dengan anak-anak yang introvert apakah memang berarti mereka bukan tipe pemberontak, tidak menurut atau karena memang mereka jarang memunculkan, lebih ditahan, begitu?

PG : Saya kira yang kedua Bu Wulan, jadi anak-anak yang introvert bisa jadi dalam hatinya tidak setuju tapi tidak memunculkannya. Dan daripada nanti benturan dengan orang tua, ribut, dimarah, anak-anak introvert akhirnya lebih cenderung untuk mengambil langkah yang lebih damai yaitu sudah ikuti saja kehendak orang tuanya.

Namun perasaannya disimpan ke dalam dan tidak dimunculkan, memang seperti itu. Nah yang ketiga adalah penyebab mengapa anak-anak itu tidak menurut orang tua adalah selain pembawaannya, ada anak-anak yang memang lebih ekstrovert, yang ketiga ini karena memang mereka tidak memahami dengan jelas apa itu yang dituntut orang tua. Kenapa? Karena instruksi orang tua itu samar atau umum atau kadang-kadang tidak konsisten, akhirnya anak-anak terpaksa tidak mendengarkan perintah orang tuanya. Jadi kadang-kadang orang tualah yang mesti bercermin dan melihat kenapa anak-anak itu sampai tidak menurut. Kalau memang anak-anak itu tidak jelas apa yang diminta orang tua atau tidak konsisten, akhirnya mereka cenderung untuk tidak menurut.
WL : Atau juga orang tua yang cerewet Pak Paul, segala sesuatu ngomel, jadi anak juga tidak bisa membedakan mana yang serius, mana yang tidak.

PG : Betul, dan kadang-kadang meskipun cerewet tapi tidak ada konsekuensi, tidak ada sanksi, sehingga mereka tahu bahwa kalaupun mereka tidak menurut apa yang orang tua minta, mereka tidak aan menerima konsekuensi apapun, jadi kenapa mesti takut ya tetap saja lakukan.

GS : Jadi di sini Pak Paul, kelihatannya ada faktor orang tua juga yang menyebabkan anak itu menjadi anak yang tidak penurut. Nah seberapa besar pengaruh orang tua terhadap ketidakmenurutan anak ini?

PG : Saya kira sebetulnya besar Pak Gunawan, meskipun dalam kasus anak-anak yang memang sudah membawa kecenderungan keras kepala, kemauannya keras. Kalau orang tua bisa mengarahkan seyogyany anak-anak ini bisa diarahkan dengan baik, bisa diatur untuk tidak sampai menjadi anak yang liar.

Jadi ada hal-hal yang perlu orang tua lakukan. Misalnya yang pertama, orang tua mesti mengenali karakteristik anak, jangan sampai orang tua menyamaratakan anak. Misalkan tidak semua anak-anak memerlukan teguran keras, namun tidak semua anak-anak tanggap terhadap teguran ringan. Orang tua mesti bisa membedakan anak yang mana yang cukup menerima teguran ringan dan anak yang mana yang memang mesti diberikan teguran keras beserta ancaman akan konsekuensi perbuatannya. Nah ini penting sekali, dengan kata lain orang tua diharapkan untuk bisa mengenal anak-anaknya, jangan sampai orang tua tidak kenal anaknya. Dan akhirnya berprinsip kalau anak pertama cocok dengan cara ini berarti anak kedua, ketiga dan keempat mesti akan cocok. Tidak, mesti dilihat satu persatu.
WL : Pak Paul, apakah tidak menimbulkan dampak iri pada diri anak-anak. Kalau dari sudut orang tua, mungkin orang tua membedakan begini karena tahu dan mengenali karakter anak yang berbeda-beda. Tapi dari sudut anak, anak 'kan merasa mama lebih sayang kepada kakak atau adik, kepada saya sering sekali ditegur, dimarahi dan sebagainya. Jadi dia semakin marah lagi.

PG : Ini point yang penting sekali Bu Wulan, jadi pada prinsipnya seberapa banyak atau seberapa besar kita memberikan sanksi, teguran-teguran kepada anak sebesar itu pulalah kita harus membeikan kasih sayang kepada anak.

Jadi kepada anak-anak yang memang jarang kita harus pukuli, jarang kita harus marahi, anak-anak itu perlu atau tidak kasih sayang? Sudah tentu perlu, tapi kita tidak terlalu harus bersusah payah meyakinkannya bahwa kita mengasihinya. Sebab pada kenyataannya kita jarang memberikankan disiplin kepadanya atau memarahinya, itu sendiri pun sudah cukup bagi anak meyakini bahwa orang tuanya sayang kepadanya. Jadi kepada anak-anak yang keras kepala, yang tidak mudah menurut, waktu orang tua mendisiplinkannya orang tua juga harus dengan terencana, dengan sengaja memberikan kasih sayang. Benar-benar mewujudkan perhatian dan kasih sayang, meskipun anak itu nakal, setelah mendapatkan ganjarannya orang tua mesti mendekati si anak kemudian menyayanginya kembali. Nah itu perlu, kalau tidak, pukulan-pukulan atau teguran-teguran itu memang akan membuat si anak merasa bahwa dia itu anak yang dibedakan. Kenapa kakaknya atau adiknya tidak seperti itu, tetapi saya harus begitu, nah itu yang membuat anak-anak akhirnya tumbuh besar dengan kepahitan. Karena mereka tidak bisa mengerti kenapa orang tuanya menggunakan metode disiplin yang berbeda.
GS : Padahal justru kita sebagai orang tua sering kali dipengaruhi oleh sikap, kalau anak itu menurut kita tambah sayang tapi yang suka berontak, suka melawan kita, kita malah kurang suka.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, saya kira itu memang sikap manusiawi, kita senang dengan anak yang menurut. Jadi waktu anak kita tidak menurut otomatis kita jadinya agak jengkel dan karena jegkel susah memberikan kasih sayang.

Tapi justru saya ingin mengingatkan, kepada anak-anak yang sering kita berikan teguran atau berikan sanksi, kepada merekalah kita perlu lebih menunjukkan kasih sayang sehingga teguran-teguran itu dinetralisir, tidak menumbuhkan bibit kepahitan pada si anak.
GS : Tapi itu apakah tidak malah menimbulkan kebingungan dalam diri anak, sebenarnya orang tua saya ini sayang atau tidak sama dia.

PG : Yang penting adalah waktu anak menerima teguran, itu sungguh-sungguh teguran jangan campuradukkan. Jadi waktu orang tua memarahi, marahi, setelah anak itu diam, merenung atau menangis brikan jeda misalnya dua, tiga jam, setelah itu baru orang tua datang menyayanginya, memeluknya.

Jadi jangan dijadikan satu, baru dimarahi dalam waktu setengah menit orang tua langsung sepertinya menyesal, memelas, nah itu justru akan membingungkan si anak.
WL : Pak Paul setuju atau tidak dengan teori extinction, saya pernah membaca jadi sekali-sekali anak dibiarkan. Contohnya anak yang agak kecil, diberitahu jangan dekat api: "jangan dekat-dekat, api, panas, berbahaya" dan sebagainya. Tapi anak ini tetap entah dia tidak mau tahu atau bagaimana, nah sekali-sekali anak itu dibiarkan misalnya pegang kompor gas atau apa, nah begitu kepegang tangan itu 'kan langsung merasakan panas. Nah moment dia mengalami rasa sakit itu bermaknanya jauh lebih dalam daripada diomeli, diomeli.

PG : Saya setuju, asalkan kita bisa menjaga agar anak itu tidak diancam, maksudnya jiwanya menjadi terancam. Saya kira untuk hal-hal yang kecil tidak apa-apa, karena memang itu bersifat menddik.

GS : Tetapi sebenarnya juga ada banyak orang tua yang membiarkan anaknya sampai tidak naik kelas hanya dengan alasan seperti itu, biar dirasakan. Tapi itu bukankah menjadi kerugian yang cukup besar?

PG : Betul, jadi harus selalu ditimbang-timbang dampak kerugiannya seberapa besar, apakah benar-benar akan berkepanjangan, kalau berkepanjangan ya jangan.

GS : Apakah ada hal lain yang bisa dilakukan oleh orang tua, Pak?

PG : Yang berikutnya adalah orang tua mesti mengkomunikasikan respek kepada anak. Ada perbedaan antara menegur dan menghina anak. Anak-anak yang tidak menurut kalau diberitahukan dengan respk dia akan lebih tanggap, tapi kalau kita beritahukan dengan penghinaan, menghina-hina dia misalnya "Kamu memang anak yang tidak diinginkan di sini, kamu keluar dari rumah ini, kamu seperti sampahlah," itu penghinaan.

Nah anak-anak seperti kita juga memerlukan respek, bahkan dari orang tua sendiri. Ada bedanya antara orang tua yang marah namun tetap ada respek, dan orang tua yang marah tanpa respek sehingga menghina. Apa perbedaan mendasarnya? Anak-anak yang ditegur tanpa respek itu menjadi anak-anak yang hancur, tapi anak-anak yang ditegur dengan respek, bertumbuh besar menjadi anak-anak yang utuh. Mereka dibentuk karakternya sehingga mereka bisa menempatkan diri dengan lebih baik.
GS : Mungkin yang perlu ditegur itu adalah perbuatan atau sikap yang jelek Pak Paul, bukan pribadi anak itu sendiri.

PG : Betul sekali, kadang-kadang orang tua karena emosi lupa ya bukan menegur, kenapa kamu tidak belajar, kamu melalaikan tanggung jawab kamu, nah orang tua malahan memaki-maki si anak. Dasa kamu anak yang inilah dan sebagainya, belum lagi orang tua kalau memaki anak benar-benar mulutnya itu sangat kotor.

Nah makian-makian seperti itu menghancurkan anak atau malah menumbuhkan kebencian anak pada orang tuanya. Itu tidak mendidik, sebab tetap anak-anak itu tidak lagi respek dan tidak mau patuh kepada kita.
GS : Kalau dia dibandingkan dengan saudaranya atau orang lain, anak bisa tersinggung.

PG : Betul, kalau sekali-sekali, benar-benar jarang kita munculkan kamu kok tidak seperti ini, sekali-sekali saya kira tidak berbahaya. Tapi kalau sering kali dibandingkan anak akan sakit hai sekali, karena mereka merasa tidak diterima.

Yang lainnya adalah orang tua itu harus memberi teladan, harus memberi teladan terlebih dahulu kepada anak. Tanpa teladan, anak hanya akan takut bukan tunduk kepada orang tua. Anak-anak itu kalau melihat teladan kita, melihat kehidupan kita dengan baik, kita juga melakukan yang kita tuntut darinya mereka akan lebih patuh. Tapi kalau kita meminta mereka sesuatu yang kita sendiri tidak lakukan, mereka susah patuh. Contoh: kalau kita merokok kemudian kita berkata kepada anak kita tidak boleh merokok, ya susah anak-anak menurut. Sudah tentu teladan kita tidak merokok itu sudah menjadi standar nilai yang tinggi di rumah kita, sehingga anak-anak memang dipaksa untuk mengikuti standar itu. Misalkan kita itu melarang anak-anak nonton film sampai malam-malam, tapi kita sampai jam satu atau sampai jam dua pagi memutar video atau apa di rumah, bagaimanakah anak-anak bisa patuh. Jadi sebelum meminta anak melakukan sesuatu, mohon introspeksi apakah kita telah menjadi teladan untuk hal itu.
GS : Sering kali anak yang sudah berkembang menjadi lebih besar sedikit, itu sering kali bertanya, dan juga pada waktu dinasihati atau diberitahu kadang-kadang juga suka mengajukan pertanyaan. Dan kita sebagai orang tua itu juga bisa kehilangan kesabaran di dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

PG : Namun perlu Pak Gunawan, sebab pada intinya adalah kita akan lebih bersedia menuruti permintaan orang kalau kita memahami alasannya. Kenapa harus begini, apa tujuannya, nah sering kali nak-anak itu hanya menerima instruksi, larangan dan sebagainya, keharusan begini, begitu, tapi tidak memahami alasannya kenapa.

Jadi perlu orang tua itu memberikan penjelasan, tadi mama bilang ini, tadi papa meminta kamu ini karena apa-apa. Nah waktu diberikan penjelasan anak akan lebih bersedia untuk taat pada perintah orang tuanya.
WL : Pak Paul, tapi banyak orang tua yang mungkin mengalami kesulitan waktu mencoba menjelaskan ke anak. Saya ingat waktu pengalaman saya sendiri waktu kecil, saya sering kali kalau diberi larangan ini dan itu, kalau saya tanya sering-sering jawabannya nanti kalau kamu sudah besar kamu lebih bisa mengerti, sekarang belum mengerti, yang penting ikuat saja begini, begini.

PG : Sudah tentu orang tua perlu belajar menerjemahkan alasan itu ke dalam bahasa anak sesuai dengan usia dan perkembangannya. Dan kalau sudah dijelaskan dengan sebaik-baiknya pada bahasa ank-anak itu, anak-anak tetap tidak mengerti saya kira ya sudah.

Yang penting anak melihat orang tua berusaha memberikan penjelasan, kenapa bagi anak penting melihat ini? Anak melihat orang tua tidak semena-mena. Kita cenderung berontak terhadap perintah yang dikeluarkan dengan semena-mena, tapi kalau kita mendengarkan alasannya meskipun tidak kita pahami, kita cenderung lebih mau untuk menaatinya. (WL :Seperti ditaktor begitu Pak Paul?) betul, jadi kita cenderung mudah berontak kalau orang tua itu otoriter.
GS : Menghadapi orang tua yang otoriter itu kadang-kadang anak juga pintar Pak Paul, kalau ayahnya yang otoriter dia mencari ibunya, dan biasanya dia berkata oleh mama boleh, tidak apa-apa.

PG : Itu sebabnya Pak Gunawan, penting sekali orang tua berpadu. Kalau mau anak-anak itu taat kepadanya, orang tua harus sehati. Ini sesuatu yang sering kali saya dengar dari orang tua yang atang membicarakan masalah anak-anak.

Biasanya yang datang hanya satu saja dan biasanya yang datang adalah kaum ibu. Mereka sering kali berkata: "Pak, sebetulnya saya sudah tahu ini harus saya lakukan, saya setuju dengan Bapak, tapi bapaknya anak-anak tidak setuju, bapaknya anak-anak selalu membolehkan lagi, nah akhirnya anak-anak tidak taat kepada saya." Betul sekali, yang saya mau ingatkan adalah kalau orang tua itu tidak berpadu yang akan merosot adalah respek anak terhadap orang tuanya. Maka mereka mulai bisa mengadu domba orang tua, memain-mainkan orang tua dan akhirnya yang dirugikan justru kedua orang tua bukan hanya satu.
GS : Tapi respek yang melorot itu 'kan hanya yang tidak setuju dengan anak Pak Paul, di hadapan anak ini mungkin respeknya merosot kalau ayahnya yang otoriter, tapi anak ini 'kan senang dengan ibunya?

PG : Yang sering terjadi begini Pak Gunawan, tidak selalu begitu karena adakalanya anak-anak justru tidak respek kepada orang tua yang terlalu gampang, yang terlalu mudah menuruti keinginan nak-anaknya.

Sebab anak-anak akhirnya juga bisa melihat siapa itu hidupnya yang lebih benar, yang lebih mempunyai wibawa dan mempunyai teladan. Kalau misalnya anak melihat memang yang melarang ini hidupnya lebih benar justru akan lebih direspek.
GS : Jadi ada penilaian anak terhadap orang tua Pak Paul?

PG : Betul sekali, pada akhirnya ini yang ingin saya katakan Pak Gunawan, tentang anak-anak yang tidak menurut. Orang tua harus menyadari bahwa tidak menurut tidak selalu buruk, adakalanya tdak menurut justru diperlukan karena orang tua tidak selalu benar.

Jadi jangan sampai orang tua itu memutlakkan, harus menurut, tidak, sebab kita pun tidak selalu benar. Tidak menurut menunjukkan kebebasan anak mengekspresikan diri dan sampai titik tertentu hal ini berdampak positif, menjadi anak yang terus menurut justru bagi saya itu mengkhawatirkan. Sebab bisa-bisa itu menunjukkan si anak tidak mengembangkan suatu pribadi yang kokoh, yang sudah ada, karena terlalu mudah sekali dipengaruhi oleh orang lain termasuk orang tuanya. Jadi dengan kata lain, tidak menurut tidak senantiasa menuntut respons yang represif dari orang tua.
GS : Sering kali justru anak yang menurut itu nantinya menjadi anak yang tidak mempunyai pendirian Pak Paul?

PG : Kalau terlalu menurut, takutnya saya begitu akhirnya tidak berpendirian dan ini akan merugikan si anak.

GS : Ya, baik di dalam pergaulan atau apa juga sangat kelihatan sekali. Dia mudah disuruh-suruh.

PG : Betul sekali, dan akhirnya menjadi korban dari orang lain. Maka jangan mengikis habis kemauan anak, kadang-kadang biarkan anak itu berdebat dengan kita apalagi waktu mulai remaja, izinkn mereka berbeda pendapat dengan kita asalkan nanti kita bisa arahkan kembali.

GS : Jadi selain faktor bawaan memang anak ini mempunyai kemauan yang keras, faktor orang tua ini ternyata besar sekali peranannya Pak Paul ya?

PG : Betul sekali.

GS : Dalam hal ini Pak Paul, apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 1:3 , "Ia seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya dan yang tidak layu daunnya, apa saja yang diprbuatnya berhasil."

Kata ia di sini merujuk kepada orang yang benar, orang yang hidup takut akan Tuhan. Saya mau terapkan ini dalam konteks anak-anak kita. Kalau kita dapat mendidik anak, membentuk anak dengan baik, tidak mematahkannya, tidak mengikis habis dirinya, justru anak-anak itu akan tumbuh seperti pohon. Dia seperti pohon yang subur menghasilkan buah dan tidak layu daunnya, namun jangan sampai lupa anak-anak ini perlu dinaungi terus-menerus dengan firman Tuhan, dengan bimbingan dari Tuhan sehingga dia bisa bertumbuh dengan arah yang tepat.

GS : Baik, terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini dan juga Ibu Wulan banyak terima kasih bisa bersama kami. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anak tidak Menurut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



61. Kurang Kasih Sayang


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T154B (File MP3 T154B)


Abstrak:

Kasih sayang adalah materi yang membangun bayi menjadi seorang anak dan dari seorang anak menjadi seorang dewasa. Kasih sayang adalah materi atau gizi atau kekuatan atau energi yang anak-anak sangat perlukan agar mereka bisa bertumbuh menjadi seorang manusia yang utuh.


Ringkasan:

Kita sering mendengar ungkapan "kurang kasih sayang." Sebenarnya apa makna dan dampaknya pada pertumbuhan anak?

Makna Kasih Sayang:

  1. Kasih sayang adalah materi yang membangun bayi menjadi seorang anak dan dari seorang anak menjadi seorang dewasa.

  2. Kasih sayang adalah penyambutan orang tua yang penuh sukacita kepada anak atas kehadirannya di dalam dunia ini, terutama dalam kehidupan orang tua.

  3. Kasih sayang adalah penerimaan orang tua kepada anak-penerimaan tanpa syarat akan keberadaan dirinya secara utuh.

  4. Kasih sayang adalah upaya mengutamakan kepentingan anak demi kebaikannya.

  5. Kasih sayang adalah perlakuan orang tua yang lemah lembut kepada anak.

Kurang kasih sayang ditandai dengan penyambutan yang tidak hangat atas kehadirannya, penerimaan yang bersyarat, kepentingan orang tua di atas segalanya, dan perlakuan kasar kepada anak.

Dampak Kurang Kasih Sayang:

  1. Tanpa kasih sayang, anak akan bertumbuh besar keropos. Ia memiliki sosok fisik sesuai usia namun tidak memiliki isi batiniah yang sematang usianya.

  2. Karena tidak disambut dengan sukacita, ia merasa tidak diinginkan dan bahwa kehadirannya lebih merupakan beban daripada berkat.

  3. Akibat penerimaan bersyarat, anak merasa diri tidak cukup berharga dan bahwa selalu ada yang kurang cukup baik pada dirinya.

  4. Orang tua yang senantiasa mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan anak, akan membuat anak tertekan dan kehilangan kesempatan mengaktualisasikan dirinya sesuai karunia yang Tuhan berikan kepadanya.

  5. Perlakuan kasar kepada anak akan menanamkan bibit kebencian anak terhadap dirinya dan orang lain, juga menyuburkan perilaku kasar itu sendiri.

Firman Tuhan, "Celakalah dia yang membangun istananya berdasarkan ketidakadilan dan anjungnya berdasarkan kelaliman, yang memperkerjakan sesamanya dengan cuma-cuma dan tidak memberikan upahnya kepadanya." Yeremia 22:13


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kurang Kasih Sayang", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ungkapan kurang kasih sayang itu sering dilontarkan orang tapi mungkin juga tidak sepenuhnya dimengerti ungkapan yang diungkapkan. Sebenarnya bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Pertama-tama kita perlu jelas dengan apa itu makna kasih sayang dan mungkin kita bisa melihat juga dampaknya nanti pada pertumbuhan anak-anak. Kasih sayang adalah materi yang membangun ayi menjadi seorang anak dan dari seorang anak menjadi seorang dewasa.

Saya mengidentikkan kasih sayang seperti pasir dan semen yang kita gunakan untuk membangun rumah kita. Kalau materi yang kita gunakan itu buruk, maka rumah itu tidak akan menjadi rumah yang kokoh. Jadi kasih sayang adalah materi, gizi, kekuatan, energi yang anak-anak perlukan agar mereka bisa bertumbuh menjadi seorang manusia yang utuh. Nah itu makna pertamanya. Yang kedua adalah kasih sayang merupakan penyambutan orang tua yang penuh sukacita kepada anak atas kehadirannya dalam dunia ini terutama dalam kehidupan orang tua. Dengan kata lain, benar-benar orang tua itu mengekspresikan sukacitanya terhadap si anak dan terhadap kehadirannya. Bahwa bukan saja si anak menjadi tambahan anggota keluarga, menjadi nama tambahan, bukan, tapi benar-benar keunikannya, siapa dirinya itu ditepuki tangan, disambut sungguh-sungguh. Nah ini juga adalah kasih sayang. Kasih sayang juga adalah penerimaan orang tua kepada anak, artinya menerima anak tanpa syarat, tidak kritis, itu juga kasih sayang. Anak-anak yang dikritik-kritik, diwajibkan begini, begini, begini, wah.....susah melihat bahwa mereka itu disayangi. Dan kasih sayang juga adalah upaya mengutamakan kepentingan anak demi kebaikannya. Jadi anak melihat jelas orang tua itu berusaha mementingkan, mendahulukan kepentingan anak, nah itu juga kasih sayang. Contoh kecil, si mama mau makan tapi anaknya mau lagi, mamanya berkata kamu makan habisi, papa sebetulnya ingin pergi dengan teman tapi anak-anaknya sepertinya butuh dia di rumah, papanya berkata tidak pergilah dengan teman, saya di rumah saja. Anak-anak perlu beli apa, papanya malam-malam mengantar misalnya beli buku atau apa untuk pelajaran sekolahnya. Nah itu mengutamakan kepentingan anak dan itulah tindakan yang diidentikkan oleh si anak dengan kasih sayang. Dan yang terakhir yang bisa saya katakan tentang kasih sayang adalah perlakuan orang tua yang lemah lembut kepada anak. Kalau orang tua kasar, suaranya kalau ngomong dengan anak keras, berteriak memanggil anak, kalau menyuruh anak membentak, meskipun si orang tua lidahnya sampai terjulur berkata saya mengasihi kamu, saya mengasihi kamu, susah diterima oleh anak sebagai kasih sayang karena kelemahlembutanlah yang lebih diidentikkan dengan kasih sayang.
WL : Pak Paul, saya mau tanya, yang pertama tadi Pak Paul katakan kasih sayang itu seperti materi atau gizi atau nutrisi kalau diibaratkan dengan pertumbuhan anak secara fisik. Kalau nutrisi apakah berarti "pelengkap" bukan yang utama, jadi boleh ada boleh tidak, tapi kalau ada membuat anak memang lebih sehat, kalau tidak ada tetap anak ini bisa hidup, cuma memang tidak sesehat yang lebih ideal yang memakai nutrisi, Pak Paul?

PG : Memang anak-anak tanpa kasih sayang bisa hidup Bu Wulan, bisa berfungsi, mungkin bisa bekerja dan sebagainya. Namun anak-anak ini akan bertumbuh besar keropos. Sama seperti bangunan, kaau pasirnya atau batunya tidak baik, rumah itu akan keropos, tiang-tiangnya tidak akan kuat menyangga rumah.

Artinya anak-anak ini memang secara sosok fisik bertumbuh sesuai usianya, namun muatan atau isi batiniahnya itu tidak sematang usianya. Berarti kalau misalnya dia mendapatkan tekanan, mudah ambruk. Ambruknya seperti apa? Menyalahkan diri, saya memang orang yang tidak berguna, saya orang yang tidak diinginkan, orang-orang akan bingung kenapa reaksinya seekstrim itu. Kami 'kan hanya memberitahukan, menegur, dan tegurannya spesifik terhadap perbuatannya bukannya semua hal tentang dirinya jelek, kok dia langsung menjelekkan dirinya, menghina-hina dirinya. Nah itu adalah salah satu ciri anak ini atau orang ini keropos, kenapa keropos? Karena kekurangan kasih sayang. Jadi betul kata Ibu Wulan, bisa atau tidak anak-anak itu bertumbuh? Bisa, bisa atau tidak hidup? Bisa, tapi tidak efektif, tidak optimal. Misalnya ditolak, misalnya dia mencintai seorang gadis kemudian gadis itu menolaknya, waduh.....bisa benar-benar efeknya itu drastis sekali. Tidak mau kuliah, hanya mau di rumah saja dan sebagainya. Kenapa? Karena memang dalam dirinya sudah ada pemikiran, anggapan, saya tidak berharga, saya itu orang yang ditolak. Jadi tanpa gizi kasih sayang ini anak-anak bertumbuh besar keropos, tidak memiliki ketangguhan.
GS : Pak Paul, apakah benar bahwa anak di dalam kandungan itu sudah bisa merasakan kasih sayang orang tuanya?

PG : Memang ini tidak bisa dibuktikan karena kita tidak bisa bercakap-cakap dengan si anak dalam kandungan itu. Tapi secara logikanya sangat masuk akal kalau kita menyimpulkan seperti yang tdi Pak Gunawan katakan.

Kenapa? Sebab anak itu dalam kandungan menjadi bagian langsung dari si ibu, jantungnya, apa yang dirasakan si ibu dirasakan oleh si anak juga. Ibu berdegub kencang, si anak juga akan berdegub kencang, ketakutan si ibu akan dirasakan oleh si anak sebagai ketakutannya juga. Kenapa? Sebab si anak itu adalah bagian bukan sesuatu atau sosok yang terpisah tapi bagian dari tubuh si ibu. Artinya kalau si ibu tidak menyayanginya, bersikap kasar dengan kandungannya, dia rasakan meskipun dia tidak bisa menyuarakannya. Jadi memang penting sekali pada waktu anak-anak masih dalam kandungan, ibu atau bapak menyayangi, membelai perut si ibu, menyanyikan senandung buat si anak, hal-hal seperti itu menyejukkan jiwa si anak bahkan dalam kandungan. Dan dari kecil, dari masa kandungan itu dia sudah tahu bahwa dia itu disayang oleh orang tuanya.
WL : Pak Paul, apalagi waktu bayi ini lahir, kehadirannya disambut dengan sukacita oleh orang tuanya. Kebetulan memang sejak anak ini lahir, usaha si papa dari bayi ini makin menanjak, makin meningkat, jadi kalau istilah buat orang-orang Tionghoa ini membawa hoki, pasti bayi ini disambut dengan sukacita, Pak Paul.

PG : Nah, itu sudah tentu sesuatu yang baik, namun jangan sampai kita itu dikuasai oleh pemikiran seperti ini. Banyak orang-orang yang memang mengaitkan kelahiran anak dengan keberuntungan. alau anak ini lahir terus keberuntungannya bertambah, wah....anak

ini membawa keberuntungan, o......tidak, yang membawa keberuntungan adalah Tuhan. Yang memberikan berkat adalah Tuhan dan anak ini sendiri adalah berkat Tuhan untuk kita, maka sikap orang tua adalah menyambutnya. Nah ini menunjukkan kasih sayang, sukacita dengan kehadiran si anak. Apa yang dirasakan si anak? Dia merasa diinginkan. Sebaliknya kalau orang tua tidak menyambut si anak, kadang-kadang malah mengutuki si anak, kenapa kamu lahir, gara-gara kamu lahir maka usaha kita berantakan, gara-gara kamu lahir ayahmu meninggalkan mama dan sebagainya. Nah komentar-komentar seperti ini mengkomunikasikan penolakan atas kelahiran si anak. Dan apa dampaknya pada si anak? Dia tidak merasa diinginkan, kehadirannya lebih merupakan beban daripada berkat. Semuanya ini akan berdampak panjang dalam kehidupan si anak.
GS : Bagaimana dengan si anak yang diadopsikan kepada orang lain, maksud saya bagaimana sikap anak itu terhadap orang tua aslinya?

PG : Sebagian anak-anak yang diadopsi, kemudian mereka tahu bahwa mereka diadopsi memang pada awal mengetahui itu akan mengalami gejolak. Gejolak karena apa, bagaimanapun mereka terkejut, tekejut karena kok orang tua itu tega memberikan saya kepada orang lain.

Bukankah orang tua seharusnya mengasihi saya, nah mestinya memang ada gejolak seperti itu. Tapi kalau di rumah yang baru ini dia diterima, disambut, disayangi maka gejolak itu tidak sampai menimbulkan goncangan dalam hidup si anak. Namun kalau kebalikannya, di rumah yang baru ini diapun tidak merasa disayangi, maka dia tambah tergoncang. Itu sebabnya setahu saya hukum di Amerika Serikat mewajibkan anak yang diadopsi untuk diberitahukan statusnya dan biasanya diwajibkan orang tua itu untuk memberikan informasi ini kepada anak adopsinya sebelum dia menginjak usia remaja. Kenapa? Sebab kalau usia remaja, baru diberitahu atau baru dia tahu gejolaknya bisa lebih besar, karena memang masa remaja adalah masa pemberontakan, jadi lebih dianjurkan pada masa yang lebih kecil misalkan di bawah 10 tahun anak itu diberitahukan. Bahwa memang Tuhan memberikan kamu kepada kami dengan cara yang lain, tapi kamu adalah anak kami dan kami tetap mengasihi kamu dan sebagainya.
WL : Pak Paul, berarti adopsi ini ada kaitannya dengan konsep orang tua yang tadi Pak Paul jelaskan, makna kasih sayang adalah mengutamakan kepentingan anak demi kebaikannya. Mungkin waktu orang tua ini memberikan anak ini kepada keluarga lain, mungkin mereka berpikir kalau hidup dengan saya jauh lebih susah. Misalnya kehidupannya miskin atau berantakan relasi dengan suami dan sebagainya, sedangkan di keluarga lain kehidupannya lebih terjamin dan sebagainya. Orang tua ini berpikir demi kebaikan si anak tetapi konsep kebaikannya ini bisa berbeda dari sudut pandang si anak. Anak justru bisa menjadi sakit hati, kecewa dan sebagainya. Terus dalam kasus lain, demi kebaikan anak tentang sekolah dan sebagainya, itu 'kan sering kali berbeda Pak Paul?

PG : Betul, dan itu memang yang sering kali membuat anak merasa terbuang meskipun orang tua memiliki alasannya tapi tetap bagi si anak itu adalah saya dibuang, saya disingkirkan. Apalagi kalu si anak tahu bahwa dia mempunyai kakak dan adik, dan dia akan bertanya kenapa kok saya yang dipilih untuk diserahkan kepada keluarga lain.

Nah tidak bisa tidak dalam dirinya itu terbersitlah suatu perasaan saya tidak diinginkan, makanya saya diserahkan kepada orang lain. Nah dengan kata lain si anak sudah langsung melabelkan dia tidak dikasihi, tidak disayang. Nah ini bisa dibawa terus sampai dia besar, dia menjadi orang yang senantiasa meminta-minta kasih sayang dari orang dan seakan-akan tidak pernah cukup dia dikasihi, dia terus menuntut kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.
GS : Ya, Pak Paul, ada anak yang bereaksi kepada orang tuanya, meragukan bahwa orang tuanya itu adalah orang tua kandungnya karena mungkin sering dimarahi atau apa. Sehingga dia bertanya sebenarnya saya ini anak kandung atau anak adopsian? Begitu Pak Paul, ini ditanggapi bagaimana padahal sebenarnya dia anak kandung.

PG : Salah satu adalah ini Pak Gunawan, anak-anak yang memang dituntut terus-menerus oleh orang tuanya seakan-akan apapun yang dilakukannya tidak pernah cukup baik. Jadi dengan kata lain, kaih sayang orang tua itu terlalu bersyarat, kalau tidak memenuhi standar tertentu dari orang tuanya, wah.....orang

tuanya marah sekali. Waktu anaknya itu berhasil mencapai, orang tuanya biasa-biasa tapi kalau tidak mencapai standar dimarahi. Anak-anak ini lama-lama mengembangkan suatu anggapan bahwa saya ini hanya berguna dan disayangi orang tua kalau saya ini berhasil memuaskan hati mereka. Dengan kata lain akhirnya mereka mengaitkan bahwa kasih orang tua kepadanya itu tidak penuh, tidak tulus, tidak menerima dia apa adanya. Nah dari pemikiran seperti inilah bisa muncul suatu anggapan bahwa mungkin saya ini bukan anak kandung. Kenapa? Sebab kalau anak kandung kenapa diperlakukan seperti ini, seharusnya orang tua tidak menuntut saya seperti ini. Jadi memang orang tua itu perlu berhati-hati. Boleh atau tidak menuntut anak? Boleh. Boleh atau tidak mengkomunikasikan standar? Boleh. Namun kalau tidak mencapai standar ya juga tidak apa-apa. Dan tentukan standar yang realistik, soalnya saya tahu ada anak-anak yang dituntut ulangan raportnya tidak boleh di bawah 9, sungguh-sungguh tidak boleh di bawah 9. Masih lebih baik kalau anak itu mempunyai kesanggupan akademik yang seperti itu. Bayangkan kalau anak itu tidak mempunyai kesanggupan akademik yang tinggi, betapa sengsaranya anak-anak ini, dituntut harus 9. Tidak bisa tidak akhirnya anak-anak ini langsung menyimpulkan, memang tidak dikasihi. Apa dampaknya? Setelah dewasa dia selalu harus sempurna dan dia selalu meragukan orang bahwa orang itu sungguh-sungguh mengasihi dan menerimanya. Dia sungguh-sungguh tidak percaya orang bisa tanpa pamrih mengasihinya, dia tidak percaya itu. Dia selalu akan mencurigai, kamu pasti ada yang diharapkan dari saya, ada udang di balik batu, ada yang kamu minta dari saya, saya harus berbuat ini dan berbuat itu, barulah saya layak menerima kasih sayang darimu. Dan kalau tidak hari-hati dia bawa sikap ini juga kepada Tuhan, Tuhan tidak mungkin mengasihi saya, saya harus berbuat ini, itu, ini itu, buat Tuhan baru Tuhan mengasihi saya. Dia akhirnya tidak mengenal konsep anugerah, Tuhan mengasihi kita apa adanya.
WL : Bahkan banyak yang lebih parah dari itu ya Pak Paul, kalau tadi penerimaan bersyaratnya berdasarkan prestasi atau hasil usaha dari si anak. Ada banyak orang tua yang sebelum anak ini bisa berbuat apapun, dari bayi saja, dari jenis kelaminnya yang ketahuan o...bukan laki-laki (dari sudut tertentu seperti itu) itu maksudnya si anak belum sampai memperlihatkan prestasinya dan sebagainya itu sudah dibedakan sekali Pak Paul.

PG : Betul sekali, dari jenis kelamin, dari warna kulit, anak yang warnanya berlainan dengan kulit kakaknya atau adiknya itu bisa sudah langsung menerima fonis dari orang tuanya bahwa kamu iu anak kelas dua dalam rumah tangga kami.

Atau tinggi badan, besar kecilnya mata, mancung tidaknya hidung, pandai atau kurang cerdasnya si anak, orang tua kadang-kadang menetapkan begitu banyak kriteria. Dan kalau anak tidak memenuhi syarat seolah-olah menjadi warga kelas dua dalam rumah tangganya sendiri.
GS : Ada orang tua itu merasa khawatir Pak Paul, mengekspresikan kasih sayang kepada anaknya atau anak-anak mereka. Kekhawatiran mereka adalah nanti anak-anak ini menjadi tergantung kepada kasih sayang, itu 'kan sesuatu yang enak, pasti anak ini menuntut yang lebih tinggi, lebih tinggi. Nah kekhawatiran orang tua adalah bagaimana nanti kalau sudah bekerja, bagaimana kalau menikah. Tidak mesti orang tua mengurangi kasih sayang barulah bisa membuat anak lebih mandiri, bukan. Jadi konsepnya atau pengertian yang tepat adalah kasih sayang plus, bukan justru meminuskan kasih sayang. Kasih sayang plus apa? Misalkan plus disiplin. Anak yang dikasihi terus tanpa menerima disiplin dari orang tuanya wah.....menjadi anak manja, yang setelah keluar dari rumah tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa bertanggung jawab, jadi harus ada disiplin. Yang lainnya lagi kasih sayang plus tanggung jawab, orang tua perlu mulai memberikan tanggung jawab sesuai usianya. Misalkan hal kecil, setelah mandi handuk dijemur, buka sepatu jangan sembarangan ditaruh di ruang tamu, taruh di rak sepatu, habis makan piring dibawa ke dapur dan sebagainya. Hal-hal kecil seperti itu menumbuhkan rasa tanggung jawab kepada si anak, nah kasih sayang tetap diberikan tidak dikurangi, namun tanggung jawab diberikan. Dan anak-anak itu akhirnya belajar bertanggung jawab sehingga bisa keluar menjadi anak-anak yang utuh. Berikutnya lagi kasih sayang plus konsekuensi. Kadang-kadang orang tua memberikan kasih sayang tapi lupa memberikan konsekuensi waktu anak berbuat hal-hal yang memang salah atau tidak diinginkan, silakan berikan konsekuensi. Sehingga anak-anak tahu bahwa hidup itu tidak selalu bisa mudah lepas dari konsekuensi, ada hal-hal yang kita lakukan yang akan membuahkan sanksi. Nah belajarlah anak-anak itu dengan cara seperti itu, berikan sanksi sehingga meskipun dia dikasihi dia tahu dia harus berhati-hati, karena kalau dia berbuat hal yang salah, dia mengambil keputusan yang salah, ada sanksi yang harus dibayar. Dan kadang-kadang orang tua membiarkan sanksi itu terjadi sehingga anak-anak belajar.
WL : Pak Paul tadi menjelaskan makna kasih sayang itu sama seperti perlakuan yang baik, lemah lembut kepada anak. Apakah itu juga harus dijelaskan secara verbal. Saya pernah membaca sebuah penelitian yang dilakukan di Oklahoma kepada anak-anak yang bermasalah. Nah waktu dikumpulkan ditanyakan, kapan terakhir kali orang tuamu menyatakan bahwa mereka mencintai kamu, mengasihi kamu. Hampir semua mengatakan lupa bahkan tidak pernah mereka katakan, lalu dibandingkan dengan anak-anak yang tidak bermasalah, cukup baik dan cukup berprestasi. Ditanyakan pertanyaan yang sama, kebanyakan dari mereka mengatakan kemarin, semalam atau tadi pagi atau mereka katakan setiap malam ketika saya mau tidur mama dan papa saya mencium pipi kiri dan kanan dan mengatakan saya mengasihi kamu. Berarti apakah itu mengungkapkan secara verbal juga penting Pak Paul?

PG : Sangat-sangat penting Bu Wulan, sebab kasih sayang memang perlu dikomunikasikan, dilihat, dirasakan oleh si anak. Apalah artinya orang tua berkata saya mengasihi kamu, tapi kasihnya dismpan dalam hati tidak pernah dibagikan kepada si anak.

'Kan yang penting diterima bukannya orang tua mengklaim diri mengasihi anak, yang penting diterima atau tidak oleh si anak, kalau tidak diterima ya apalah gunanya, tidak ada gunanya sama sekali. Contoh yang lebih sederhana Bu Wulan, bukankah anjing sendiri sewaktu melahirkan anak untuk waktu-waktu mungkin sekitar dua bulanan, si induk akan terus-menerus menjilati anak anjing itu. Terus dijilati, tidak ada anak anjing itu digigit-gigit oleh orang tuanya, selalu dijilati dengan lemah lembut. Kenapa bukan dicakar-cakar, tidak, karena cakaran kasar, maka lidahlah yang digunakan oleh si anjing untuk memberikan kehangatan kepada anak-anak anjing itu. Demikian juga kita orang tua, kalau mau mengkomunikasikan kasih sayang harus dengan kelembutan, kekasaran hanyalah akan menanamkan bibit kebencian anak terhadap dirinya dan juga orang lain. Belum lagi menyuburkan perilaku kasar itu sendiri, artinya anak-anak yang dikasari bukan saja membenci kita yang mengasarinya, lama-lama dia juga benci dengan diri sendiri karena kebencian orang tua kepadanya itu membuat dia berpikir atau beranggapan saya memang sejelek itu, saya memang tidak layak dikasihi. Jadi dia menanamkan bibit kebencian terhadap dirinya, akhirnya dia mudah kasar kepada anak-anak lain bahkan kalau nanti sudah berkeluarga kepada pasangan dan anak-anaknya sendiri.
GS : Pak Paul, ada anak itu yang merasa orang tuanya kurang mengasihi dia sejak adiknya lahir, sehingga dia mencari-cari, berulah, yang tadinya dia tidak lakukan itu. Lewat pendekatan ditanya papa sudah tidak sayang lagi sama saya, mama tidak sayang lagi.

PG : Saya kira kuncinya di sini adalah memberikan perhatian dan mendahulukan kepentingan anak. Kenapa anak-anak adiknya lahir suka merasa begitu, sebab memang anak ini melihat kepentingannyatidak didahulukan, yang didahulukan kepentingan adiknya.

Begitu adiknya menangis mamanya langsung datang, kemudian menggendongnya, tapi kalau dia harus memanggil 6, 7 kali baru mamanya datang. Nah hal-hal seperti inilah yang membuat anak karena ketidakmengertiannya beranggapan bahwa mama mendahulukan kepentingan adikku, mama tidak mendahulukan kepentinganku, itu berarti mama tidak mengasihiku. Maka kalau ada anak kecil, ada anak bayi, orang tua perlu ya memberikan perhatian yang juga kuat kepada kakaknya bahwa kamu tetap penting bagi saya dan saya mau mendahulukan juga kepentingan kamu.
GS : Pak Paul, memang setiap orang tua tentu ingin memberikan kasih sayangnya, cuma memang yang kita perlu belajar adalah bagaimana mengekspresikan kasih sayang ini kepada anak-anak kita.

PG : Betul sekali.

GS : Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk mendukung judul ini?

PG : Saya akan bacakan dari Yeremia 22:13 , "Celakalah dia yang membangun istananya berdasarkan ketidakadilan dan anjungnya berdasarkan kelaliman, yang mempekerjakan sesamanya degan cuma-cuma dan tidak memberikan upahnya kepadanya."

Saya mau terapkan ayat ini untuk rumah tangga kita, nah orang tua perlu bersikap adil terhadap anak-anak. Adil dalam pengertian apa? Berilah kepada anak-anak yang seharusnya mereka terima, sama seperti pekerja mereka seharusnya menerima upah yang sesuai dengan jasa yang telah diberikannya. Maka anak-anak juga memang seharusnya menerima kasih sayang, nah sudah selayaknyalah orang tua memberikan itu, itu adalah kewajibannya. Ini bukan pilihan, ini adalah kewajiban. Inilah yang harus anak-anak lihat dan alami, barulah anak-anak ini bisa bertumbuh dengan kokoh.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, Bu Wulan banyak terima kasih. Dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kurang Kasih Sayang". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Kami juga menantikan kehadiran Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda akan meningkatkan mutu dari rekaman kami. Dan dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



62. Tertawa dengan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T163A (File MP3 T163A)


Abstrak:

Relasi orangtua dan anak dibangun di atas kepingan-kepingan pengalaman hidup bersama. Kepingan yang indah dan positif akan menjadi fondasi kuat bagi pembentukan diri anak dan perekat bagi relasi orangtua - anak. Tertawa dengan anak merupakan upaya orangtua untuk membagi pengalaman hidup yang menyenangkan dengan anak.


Ringkasan:

Relasi orangtua dan anak dibangun di atas kepingan-kepingan pengalaman hidup bersama. Sudah tentu, kepingan yang indah dan positif akan menjadi fondasi kuat bagi pembentukan diri anak dan perekat bagi relasi orangtua-anak. Tertawa dengan anak merujuk pada upaya orangtua untuk membagi pengalaman hidup yang menyenangkan dengan anak.

Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan orangtua untuk itu.

  1. Menyediakan pengalaman yang menyenangkan hati anak, misalnya mengajak anak pergi ke tempat wisata dan bermain bersama anak di sana. Pada intinya terpenting bukanlah sekadar mengajak anak pergi melainkan menghabiskan waktu bersamanya di sana.

  2. Menghadiahkan anak. Di sini terpenting adalah unsur kejutannya yakni menghadiahkan sesuatu yang tidak terduga pada waktu yang tak terduga pula. Jangan terikat pada sistem imbalan belaka, sekali-sekali berikanlah sesuatu yang menyenangkannya tanpa harus dikaitkan dengan perbuatannya.

  3. Rayakanlah hari bersejarahnya, misalnya hari ulang tahun, hari kenaikan kelas, hari kemenangannya dalam pertandingan, dan sebagainya. Ada perbedaan yang besar antara pergi pada hari "biasa" dan hari "luar biasa."

  4. Bercandalah dengan anak, misalkan menirukan gerakan tokoh tertentu atau menceritakan pengalaman yang lucu, atau menertawakan guyonan anak.

  5. Masaklah makanan kesukaannya dan katakanlah bahwa kita memasaknya untuk dia. Ada perbedaan besar antara membelikan dan memasakkan makanan kesukaannya.

  6. Tertawakanlah kekalahannya, bukan dalam pengertian melecehkannya melainkan dalam pengertian, mengajarnya untuk tidak tenggelam dalam dirinya sendiri. Orang yang sehat adalah orang yang dapat menertawakan kekalahannya.

Firman Tuhan: "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang." ( Filipi 4:4-5 )


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tertawa Dengan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul ada yang mengatakan satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang bisa tertawa itu manusia, jadi kita dikaruniai sesuatu yang lebih dari yang lain. Tentu ini perlu dimanfaatkan khususnya dalam membina hubungan dengan anak, namun sejauh mana kita bisa melakukan hal itu karena sering kali juga ada kekuatiran orangtua kalau saya terlalu bersenda-gurau dengan anak saya, lalu wibawa saya menjadi merosot, begitu Pak Paul, itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu akan ada waktunya untuk tertawa, ada waktunya untuk tidak tertawa. Ada waktunya kita serius dengan anak, pada waktu kita mendisiplin dia dan sebagainya, namun yang ingin saya tkankan adalah bahwa tertawa itu sesuatu yang sehat.

Alkitab juga menegaskan hal itu bahwa jiwa yang sehat adalah jiwa yang tertawa dan itu berkhasiat pada tubuh kita, pada kesehatan kita. Tertawa juga adalah sesuatu yang menyenangkan sehingga waktu kita tertawa kita juga disenangkan oleh tertawa kita dan anak-anak yang melihat kita tertawa juga akan senang. Dengan kata lain, tertawa adalah bagian membangun kehidupan yang positif dengan anak. Jangan sampai anak tidak pernah melihat kita tertawa, mereka hanya melihat kita marah-marah. Penting sekali anak-anak melihat kita tertawa terbahak-bahak dengan mereka dan kita juga bersama-sama dengan mereka menertawakan sesuatu atau apa. Itu adalah intermezzo-intermezzo yang melegakan,meringankan dan juga membangun relasi ya. Relasi yang dibangun di atas suasana hati yang ceria, yang senang menjadi relasi yang enak untuk dilalui. Relasi seperti inilah yang kita ingin bangun dengan anak-anak kita.
GS : Ya tapi tentunya kita mesti punya alasan yang cukup ya Pak Paul untuk bisa tertawa bersama-sama. Ini kadang-kadang sebagai orangtua kurang bisa menemukan alasannya untuk tertawa. Kalau untuk marah banyak!! Tapi untuk tertawa kita seolah-olah kekeringan ide. Nah, Pak Paul bisa menyampaikan apa?

PG : OK, saya akan memberikan beberapa masukan. Yang pertama adalah bagaimana kita orangtua ini bisa akhirnya membuat diri kita dan anak-anak kita tertawa. Sudah tentu tertawa tidak harus diartkan secara harafiah, yaitu benar-benar terbahak-bahak, tidak perlu namun kita bisa misalkan pertama memulai dengan menyediakan pengalaman yang menyenangkan hati anak.

Misalkan kita mengajak anak-anak pergi ke tempat wisata, ke kebun binatang dan bukan saja kita mengirim mereka ke sana, me"maket"kan mereka ke sana dan kemudian kita diam-diam. O, tidak, kita pun turut bermain bersama mereka, misalkan kita berenang bersama, kita gendong mereka waktu kita berenang, kita main air bersama dengan mereka atau kita lari-lari bersama mereka atau kita 'hiking' mendaki bersama-sama mereka. Jadi dengan kata lain, lakukanlah bersama-sama mereka, bukan hanya me"maket"kan mereka ke tempat wisata, kemudian kita sendiri diam-diam saja, o tidak. Jadi yang pertama marilah kita mulai dengan menyediakan pengalaman yang menyenangkan hati anak terlebih dahulu.
WL : Pak Paul, tapi banyak anak yang saya perhatikan, kurang menikmati bila diajak pergi oleh orangtuanya misalnya ke suatu tempat, karena beberapa waktu yang lalu yang anak alami tidak terlalu menyenangkan selama perjalanan, misalnya anaknya dimarahi terus, sedikit salah sedikit salah atau antara kedua orangtuanya, suami-istri cekcok dalam perjalanan atau tipe orangtuanya memang tegang, jadi memang perjalanan tersebut tidak menyenangkan.

PG : Sungguh disayangkan kalau itu yang harus terjadi, Bu Wulan dan memang itu sering terjadi, saya akui. Jadi dalam perjalanan, orangtua itu marah, misalkan anaknya menyanyi terlalu keras kemuian memukul-mukul kaca atau apa jadi akhirnya suasana rusak.

Jadi dengan perkataan lain, ini terpulang pada orangtua ya apakah mereka bisa menyenangkan hati mereka, lebih kendur jangan terlalu ketat jangan terlalu keras, apakah mereka bisa hidup seperti itu, karena kalau tidak bisa ya sudah tentu suasana tidak enak dan anak-anak tidak akan bisa menikmati. Dan waktu sampai di tempat tujuan mungkin mereka lebih senang orangtua tidak ikut main bersama mereka. Karena apa? Karena mereka tidak mau bermain bersama-sama orang yang keras, yang tegang. yang baru saja memarahi mereka. Jadi saya ingin meminta orangtua untuk kreatif, ya Bu Wulan. Saya masih ingat waktu kami ke Surabaya dengan anak-anak, waktu itu masih kecil. Kami memang menyiapkan semuanya, misalkan kami melipat kursi belakang kemudian membawa kasur dan mereka bertiga duduk di kasur, main, membawa mainan mereka di situ. Perubahan kecil seperti itu saja membawa perubahan besar. Duduk di belakang dengan duduk di lantai di atas kasur dalam perjalanan dari Malang ke Surabaya 2 jam itu ternyata sangat menyenangkan. Saya masih ingat sekali setiap kali kami mau ke Surabaya membawa anak-anak dan kami membawa kasur, wah mereka senang luar biasa. Bukan saja tempat tujuannya menjadi tempat yang menyenangkan, namun perjalanan itu sendiri menjadi perjalanan yang menyenangkan. Istri saya juga sering mengajak anak menyanyi-nyanyi, nah itu juga membangun suasana. Istri saya juga kadang-kadang meminta anak-anak bercerita dan lain-lain, nah hal-hal itulah yang saya kira menimbulkan gelak tertawa. Itu terjadi ketika anak-anak masih kecil. Anak-anak sudah besar ya sudah tentu tidak bisa lagi melakukan perjalanan seperti itu, namun misalkan di rumah sekarang ini anak saya dengan istri saya suka bergurau, tertawa-tertawa dan kami pun suka bergurau dengan mereka dan tertawa, nah itu membangun sebuah suasana yang menyenangkan. Itulah salah satu hal penting yang mesti kita lakukan yang dapat membuat anak kita dan kita tertawa bersama.
GS : Mungkin di dalam melakukan perjalanan kadang-kadang tidak perlu terlalu jauh. Jadi waktu saya dan istri saya ketika itu belum ada mobil, hanya sepeda motor. Ya kami pergi dengan sepeda motor, Pak Paul, di sekitar kota Malang ini. Yang saya tekankan adalah perubahan suasana saja, dari rumah dibawa ke pedesaan atau ke tepi sungai dan sebagainya, ya cuma itu.

PG : Betul sekali dan benar-benar Tuhan adil sehingga semua orangtua sebetulnya bisa menyediakan suasana menyenangkan bagi anaknya. Semua, yang kaya, yang tidak terlalu kaya, yang tidak punya ung pun bisa menyediakan tempat yang menyenangkan.

Tadi Pak Gunawan memberikan contoh yang sangat baik sekali, pergi bersama ke tempat yang dekat-dekat pun bisa menjadi perubahan suasana yang sangat menyenangkan buat anak-anak.
GS : Yang penting mereka tidak berulang-ulang ke tempat itu lagi. Masalahnya kita kadang-kadang kehabisan ide, begitu Pak Paul. Mau kemana lagi atau apa lagi yang harus disiapkan, karena harus ada kegiatan. Akhirnya kami kadang-kadang melibatkan mereka untuk perencanaannya. Kita ada waktu untuk pergi bersama-sama, apa yang kira-kira akan kita lakukan, itu setelah mereka agak besar, tapi setelah besar mereka tidak mau juga ikut. Sulit sekali mengajak mereka.

PG : Betul jadi waktunya memang terbatas, mungkin sampai anak-anak berusia 15, 16 tahun, setelah itu tidak mau lagi.

GS : Malah berbalik, Pak Paul. Itu menimbulkan suatu kesedihan atau tekanan buat kami orangtua. Kenapa yang dulunya biasa diajak senang-senang mau, lalu kita kehilangan rasa sukacita itu.

PG : Betul dan itu sesuatu yang harus kita terima. Betul sekali.

GS : Tapi selain bepergian bersama-sama, bukankah ada hal lain yang bisa membuat kita tertawa bersama keluarga?

PG : Yang lain adalah menghadiahkan sesuatu kepada anak kita. Menghadiahkan ini yang penting adalah unsur kejutannya, yakni menghadiahkan sesuatu yang tidak terduga dan pada waktu yang tidak trduga pula.

Jadi yang saya ingin tekankan jangan kita terikat pada sistim imbalan belaka, artinya mereka ujian bagus kita janjikan hadiah, bukan! Itu boleh itu tidak salah, tapi janganlah kita terikat pada sistim imbalan seperti itu, jangan selalu mengaitkan hadiah dengan perbuatan baik mereka. Hadiah juga harus dikaitkan dengan cinta kasih kepada mereka, lepas dari perbuatan, diri merekalah yang kita kasihi. Begitu kita mengasihinya sehingga kita senang memberikan sesuatu kepada mereka. Sudah tentu ini tidak dilakukan seminggu sekali. Itu tidak sehat, apalagi memberikan mainan-mainan yang mahal kepada anak terlalu sering. Yang saya maksud adalah sekali-sekali, misalkan kita berikan sesuatu yang menyenangkannya. Kita belikan dia sesuatu mainan yang tidak terlalu mahal, kita hadiahkan. Lalu dia tanya, "Untuk apa ini?" "Tidak untuk apa-apa, kami hanya ingin memberikan untuk kamu". Nah, apa dampaknya? Sangat menyenangkan, itu membuat anak dalam hati tertawa senang, bersukacita, karena tidak ada angin tidak ada hujan, orangtua memberikan sesuatu kepada mereka dan hadiahnya pun tidak terduga. Unsur-unsur kejutan ini yang menambah semarak dalam rumah tangga kita.
WL : Pak Paul, bagi keluarga yang keuangannya agak minim mungkin agak sulit menerapkan saran yang tadi Pak Paul berikan.

PG : Tetap masih bisa, Bu Wulan. Misalkan ini ya, anak-anak pada waktu masih kecil senang sekali dengan buku tulis atau dengan buku-buku bacaan yang harganya cuma Rp. 5.000,-, nah itu pun bisa ibelikan atau belikan pinsil yang lucu, belikan setip (penghapus), belikan penggaris, banyak hal kecil yang bisa diberikan dengan harga yang relatif murah.

Yang penting unsur kejutannya, tidak ada angin tidak ada hujan, kita memberikannya, asalkan tidak terlalu sering ya. Kalau terlalu sering maknanya jadi hilang. Tapi kalau jarang-jarang kita belikan dan kita katakan, "Tidak ada apa-apa, Mama atau Papa hanya ingin belikan untuk kamu, menghadiahkan kamu". "Mengapa?" "Tidak tidak ada apa-apa kami hanya mau menyatakan bahwa kami mengasihi kamu, kami senang kamu adalah anak kami". Nah, itulah bahan membuat anak sukacita, bahan untuk membuat anak-anak kita lebih bisa tertawa.
GS : Kami pernah mewariskan mainan yang dulu memang kami miliki, jadi istri saya mempunyai mainan yang disimpan, saya pun pernah membawa mainan yang dulu pernah saya gunakan lalu saya berikan pada mereka, mereka agak heran bahwa mainan itu masih ada dan boleh menjadi milik mereka.

PG : Nah itu ada unsur kejutannya, Pak Gunawan, sebab berapa banyak orangtua menghadiahkan anaknya mainan yang dimainkan oleh orangtuanya pada masa kecil. Sangat langka dan itu sangat sangat meyenangkan si anak.

GS : Tapi ini Pak Paul, ada juga mainan-mainan yang bisa kita buat. Jadi kita buat sendiri, mereka dilibatkan dalam pembuatannya dengan apa yang ada sambil kita bercerita, begitu Pak Paul, dulu ya seperti ini mainannya, sebelum ada mainan dengan baterei ya seperti ini, dari kotak korek atau apa, mereka boleh menarik-nariknya, rusak ya sudah.

PG : OK, itu bagus sekali atau misalkan dengan jeruk bali ya menjadi mobil-mobilan kita. Dulu 'kan begitu mainan kita. Betul, betul sekali.

GS : Atau mainan bersama seperti 'petak umpet' atau apa, yang penting suasananya. Kalau mereka sudah lebih dewasa akan sulit sekali.

PG : Betul, betul sekali. Hanya ada masa tertentu saja untuk hal seperti itu.

GS : Mungkin yang lain, ada Pak Paul?

PG : Yang lain adalah ini, rayakanlah hari bersejarahnya. Misalkan hari ulang tahun, rayakan tidak usah di hotel bintang lima, tidak usah. Artinya hanya mengingat, misalkan memberikan kue atau engucapkan Selamat, memberikan kado atau hari bersejarah yang lain, misalnya hari kenaikan kelas.

Kita berkata, "Ayo kita pergi, kita makan bersama di luar, ini hari ulang tahun kamu. Boleh undang teman-teman kamu datang". Secara mendadak kita katakan, coba telepon teman-teman boleh datang juga. Atau hari kemenangannya dalam pertandingan, ya ada pertandingan apa dan ia menang, nah kita rayakan sama-sama. Nah apa bedanya antara pergi dengan anak-anak pada hari-hari biasa dan pada hari yang bersejarah ini? Beda sekali, pergi pada hari bersejarah, itu benar-benar menambah semarak, menambah sukacita. Kita pergi, misalkan hari ulang tahun kita hari ini, kita perginya minggu depan, beda kalau kita perginya minggu depan, hari ulang tahunnya sekarang! Tapi kalau hari ini juga kita pergi rasanya senang sekali. Kalau pada hari bersejarah itu kita rayakan, itu akan sangat menyenangkan hati anak-anak. Yang membuat mereka senang juga adalah kita turut merayakannya bersama mereka. Jadi bukan saja, "Ini hari ulang tahun kamu ya, selamat ya", tidak itu tidak ada sukacita, tidak ada unsur merayakannya bersama anak. Yang penting dilihat anak adalah kita turut merayakannya, turut senang bersama mereka, maka kita mengeluarkan ide-ide seperti itu dan tidak ada salahnya unsur kejutan di sini juga terjadi. Kita jemput anak kita setelah pertandingan atau apa, kita tanyakan, "Wah menang, Pa" begini - begini - begini. "Ayo kita rayakan kemenanganmu, ayo kita berhenti", kita beli es krim misalnya, nah hal kecil seperti itu sangat menyemarakkan hati anak-anak kita.
WL : Pak Paul, bisakah di hari-hari khusus mereka, di hari bahagia mereka, kita ajak mereka juga untuk membagi kebahagiaan mereka dengan orang-orang yang misalnya tidak bisa merayakan itu, misalnya ke tempat Panti Asuhan atau ke tempat anak-anak cacat supaya anak juga tidak merasakan hanya mereka sendiri, tapi belajar membagikan pada orang lain juga, Pak Paul?

PG : Itu ide yang baik, Bu Wulan. Silakan ya ide seperti itu digunakan juga, misalkan direncanakan jauh-jauh hari, ada orang yang sakit atau ada anak-anak di Panti Asuhan yang bisa kita kunjung pada Natal atau apa.

"Ayo kita ke sana, ayo", atau misalkan anak-anak kita mendapatkan hadiah ulang tahun dan mainannya banyak lalu kita katakan, "Mau atau tidak kita berikan satu" misalkan kepada anak siapa yang kekurangan. Itu ide-ide yang baik ya, mereka pun akan bisa bersukacita karena dapat memberikan sesuatu kepada orang yang lagi membutuhkan.
GS : Pak Paul, kadang-kadang kita telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik agar suasana itu menyenangkan dan sebagainya, tapi tidak jarang pada saat-saat seperti itu ada saja gangguan yang merusak suasana, misalnya tadi bepergian sudah senang-senang dari rumah, mereka bertengkar sendiri antara saudara atau kita membelikan hadiah sesuatu yang maksud kita sebagai kejutan tapi ternyata dia tidak menghendaki itu. Itu bagaimana Pak Paul mengatasinya?

PG : Nah, misalkan hadiah yang kita belikan kemudian tidak dikehendaki oleh anak, ya kita harus simpan, telan kembali kekecewaan kita dan kita hanya bisa katakan, "Oh, Papa kira kamu senang", "ama dulu dengar kamu minta ini, jadi Mama belikan, ya sudah kalau kamu tidak mau ya tidak apa-apa".

Ya kita utarakan kita kecewa, karena kita kira mereka akan menyukainya, tapi ya sudah kita telan kembali. Tidak apa-apa, jadi anak pun belajar untuk menerima kekecewaan nanti melihat bagaimana cara orangtua menerima kekecewaan. Kalau misalkan tadi dalam perjalanan anak-anak akhirnya berkelahi, apa yang bisa kita lakukan? Kita perlu mengantisipasi, Pak Gunawan, maksudnya begini, kalau mereka mulai main dan nadanya mulai keras, kita mengetahui tinggal tunggu beberapa menit mereka akan berkelahi. Sebelum mereka berkelahi dan sebelum amarah kita memuncak kita langsung menghentikan dan kita berkata, "Kamu ini hampir berkelahi dan saya minta kamu berhenti, jangan berkelahi" dan kita langsung katakan, kita katakan kenapanya. "Kita lagi mau pergi, kita mau bersenang-senang, Papa atau Mama tidak mau nanti terjadi keributan, tolong jaga suasana ini". Jadi kita pun mengatakan hal-hal ini kepada anak-anak sehingga mereka pun dari kecil belajar untuk bertanggungjawab menjaga suasana, sehingga mereka tahu kalau mereka sedang dalam suasana senang mereka berusaha keras jangan sampai mereka merusakkan suasana yang menyenangkan ini. Jadi antisipasilah kira-kira kuncinya di sini.
GS : Ada orangtua itu yang tingkah lakunya bisa menyenangkan anak, mereka bergurau dengan mudah sekali, tetapi ada orangtua yang kaku yang sulit melakukan seperti itu, nah bagaimana itu Pak Paul?

PG : Sudah tentu untuk orangtua yang lebih kaku ya, langkah-langkah yang telah kita berikan bisa digunakan misalkan dengan memberikan hadiah. Tapi untuk orangtua yang lebih jenaka, lebih kreati, memang akan lebih banyak hal yang bisa dilakukan untuk menambah semarak anak-anaknya.

Misalkan bergurau dengan anak, yang Pak Gunawan sudah singgung, misalkan menirukan gerak orang, itu bisa membuat anak-anak tertawa. Misalkan belum lama ini ada film "Lord of the Rings", ada manusia yang menjadi seperti hewan, ngomongnya tingkah lakunya merangkak-rangkak. Saya ikut menggoda anak-anak, saya menjadi seperti makhluk itu. Misalkan waktu itu kami nonton film "Tarzan", si Tarzan kalau mau disayangi oleh ibunya yang adalah kera, ya dia minta kepalanya diusap-usap. Nah istri saya sering minta anak saya mengusap-usap kepalanya, kemudian dia menirukan suara kera. Jadi silakan berguraulah dengan anak-anak, itu sangat manjur membuat hati anak-anak senang. Waktu melihat orangtuanya menirukan gerakan-gerakan yang lucu dan mereka tertawa, suasana menjadi sangat cair, rumah menjadi tempat yang menyenangkan buat anak-anak.
WL : Pak Paul, apakah bedanya, ada keluarga yang orangtuanya bisa melakukan seperti itu, tapi anak tetap menghormati martabat orangtua, tapi di sisi lain ada anak-anak yang menjadi agak kurang ajar terhadap orangtuanya.

PG : Saya kira disiplin itu mesti ada, jadi orangtua bisa berwibawa di hadapan anak untuk memberikan disiplin kalau anaknya salah atau apa, perlu ditegur ya ditegur. Jangan sampai itu tidak jaln dan juga kehidupan orangtua penting, kalau orangtuanya senang bergurau tapi juga sering berkelahi, nah anak-anak tidak menghormati orangtuanya.

Kehidupan orangtua, integritasnya itu juga diperhitungkan oleh anak-anak, sehingga meskipun orangtuanya bergurau mereka juga tidak merendahkan orangtuanya.
GS : Ada ibu-ibu yang hobi masak dan senang masak, apakah itu bisa dipakai sebagai satu sarana untuk menyenangkan hati anak?

PG : Oh, bisa sekali, Pak Gunawan. Masak kesukaan anak-anak itu luar biasa menyenangkan anak-anak, apalagi kita beritahu dia, "Besok kamu akan menemukan satu kejutan", "Apa?" "Papa atau Mama kan masak ini" atau kita katakan, "Besok pagi Papa yang masak ya, biasa Mama yang masak", misalkan masak nasi goreng atau apa.

Nah ternyata memasak makanan yang disukai anak-anak, menggembirakan hatinya, menggembirakan sekali, kita pun begitu bukan? Kita pun senang bila bisa memakan makanan kesukaan kita. Nah apa bedanya membelikan dan memasak? Memang membelikan makanan yang enak itu juga berguna, tapi memasaknya sendiri memberikan sentuhan pribadi, sehingga anak-anak melihat orangtua begitu menyayangi sehingga mengambil waktu yang panjang menyiapkan masakan ini dan kita katakan "Sengaja saya masak ini untuk kamu, karena saya tahu kamu suka makanan ini". Nah itulah hal yang menggembirakan anak-anak kita juga.
WL : Pak Paul, kalau tadi 'kan banyak saat-saat yang senang, bahagia, tapi kalau saat yang "kurang enak" misalnya ketika anak mengalami kekalahan dalam pertandingan atau apa, dikaitkannya dengan tertawa bersama anak, bagaimana Pak Paul?

PG : Begini, Bu Wulan. Anak-anak itu harus diajar bukan saja bisa tertawa dalam suasana kemenangan, tapi juga dalam suasana kekalahan karena jiwa yang sehat diawali atau ditandai oleh kemampuankita menertawakan diri sendiri.

Ada di antara kita yang tidak bisa menertawakan diri sendiri, kita akhirnya cepat tersinggung, cepat marah sedikit-sedikit, karena kita tidak bisa menertawakan diri. Kenapa? Sebab awalnya kita tidak bisa ditertawakan orang. Jadi orangtua juga perlu melatih anak, membiasakan anak untuk bisa menertawakan dirinya, dengan cara apa? Sekali-sekali, bukan dengan nada mengejek atau merendahkan tapi misalkan membicarakan tentang kekalahannya dalam pertandingan atau apa kemudian kita membuat guyon, kita tertawa. Ya otomatis kita harus sensitif juga, kalau memang perasaannya sedang sedih ya jangan dibuat lelucon saat itu, tapi setelah itu terus kita membicarakan gerak-gerik siapa temannya, kita tertawa-tertawa meskipun ia kalah dalam pertandingan itu. Akhirnya apa yang dia belajar? Bahwa kekalahan bukanlah sesuatu yang terlalu memalukan sehingga harus disembunyikan. Kekalahan adalah sesuatu yang harus diakui dan dilihat, apa yang menyebabkan kalah dan yang memang kalau harusnya kalah ya sudah. Jadi ajarlah anak juga untuk bisa tertawa, jangan sampai anak itu tenggelam dalam dirinya sendiri kalau kalah, kalau tidak mendapatkan yang diinginkannya. Wah, tenggelam!! Nah, kita harus bangkitkan dengan cara sekali-sekali kita menertawakan hal-hal yang dilakukannya dalam pertandingan tadi misalnya.
GS : Ada beberapa orang yang berpandangan kalau kita terlalu sering tertawa, apalagi tertawa bersama anak itu lalu jadi kurang rohani begitu, Pak Paul. Dalam hal ini apakah ayat Firman Tuhan itu mendukung pendapat ini atau bagaimana?

PG : Tidak ya, sebab saya kira Tuhan itu senang apabila kita bersukacita, maka di Filipi 4:4,5 Firman Tuhan berkata, "Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan! Sekali lagi kukataka: bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang".

Jadi dua kali diulang-ulang oleh Paulus. Bersukacitalah artinya senanglah, senang-senanglah, tertawalah, bersorak-soraklah dan hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Dan dalam hal ini kita terapkan untuk orangtua anak, biarlah kebaikan hati orangtua diketahui anak-anaknya, terutama anak-anaknya, jangan sampai orangtua itu kebaikan hatinya hanya diketahui orang di luar, tapi di rumah karena jarang tersenyum jarang tertawa, tidak pernah diketahui oleh anak-anaknya.

GS : Saya rasa menarik sekali perbincangan ini dan menjadi ciri gereja yang mula-mula saya rasa kesukacitaan mereka dalam berjemaat, Pak Paul. Terima kasih untuk perbincangan kali ini, Pak Paul juga untuk Ibu Wulan terima kasih. Saudara-saudara pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tertawa Dengan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sekalian sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



63. Menangis Bersama Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T163B (File MP3 T163B)


Abstrak:

Sama seperti orang dewasa, anak pun dapat bersedih hati namun alasannya mungkin berbeda. Anak bisa merasa sedih karena kehilangan, kekecewaan, penolakan, disakiti atau karena orangtua tidak rukun. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk mendampingi anak yang sedang bersedih hati.


Ringkasan:

Sama seperti kita, anak pun dapat bersedih hati namun anak bersedih hati untuk alasan yang mungkin saja berbeda dengan kita. Orangtua perlu peka membaca kesedihan anak dan mendampinginya dalam masa kesedihan itu. Interaksi yang penuh empati ini akan menjadi penghiburan bagi anak dan kekuatan baginya melalui kesedihan yang akan dialaminya kelak.

Berikut ini saya akan menjabarkan penyebab kesedihan anak dan membagikan beberapa petunjuk bagi orangtua untuk mendampingi anak melewati kesedihannya.

  1. Anak sedih karena kehilangan, misalkan kehilangan teman dekatnya, mainan kesayangannya, perawatnya, kakek dan neneknya.

  2. Anak sedih karena kekecewaan, misalnya teman yang diharapkannya hadir ternyata tidak datang, permintaannya tidak dapat kita turuti, harapannya untuk mendapatkan nilai yang baik tidak terpenuhi, rencananya untuk pergi dibatalkan.

  3. Anak sedih karena penolakan, misalnya tidak diundang ke pesta ulang tahun temannya, tidak diajak bermain sandiwara atau ikut dalam pertandingan olahraga, tidak dimintai tolong.

  4. Anak sedih karena disakiti, misalnya perkataan orangtua yang menghinanya, permusuhan dengan teman, atau kritikan guru yang menjatuhkan martabatnya.

  5. Anak sedih karena orangtua tidak rukun atau bahkan saling bermusuhan. Ini adalah sumber kesedihan yang dalam dan acap kali tak terungkapkan.

Tindakan Orangtua untuk Mendampinginya:

  1. Perlihatkanlah kesedihan kita melalui mimik wajah atau bahasa tubuh kita.

  2. Bertanyalah seperlunya, jangan menginterogasinya.

  3. Berilah penghiburan, bukan pengguruan.

  4. Jangan sepelekan perasaannya dengan mengatakan bahwa itu adalah hal yang biasa.

  5. Bagikan pengalaman kita yang serupa agar anak tahu bahwa kita sungguh memahaminya dan ia pun akan dapat belajar dari pengalaman kita.

  6. Ajak anak untuk berdoa dan mendoakan apa pun atau siapa pun itu yang terlibat.

Firman Tuhan: "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. Namun baik juga perbuatanmu, bahwa kamu telah mengambil bagian dalam kesusahanku" ( Filipi 4:13-14 )


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menangis Bersama Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau beberapa waktu yang lalu kita berbicara tentang "Tertawa Bersama Anak" tetapi memang kenyataan hidup ini membuktikan bahwa kita tidak selamanya bisa tertawa, anak-anak pun punya perasaan untuk bersedih dan sebagainya, kadang-kadang sebagai orangtua kita tidak tahu harus berbuat apa, Pak Paul, mungkin dalam perbincangan ini Pak Paul bisa memberikan masukan-masukan kepada kami sebagai orangtua khususnya tatkala anak mengalami kesedihan, kekecewaan dan sebagainya itu sebenarnya apa yang harus kita perbuat?

PG : Yang pertama adalah kita mesti menyadari bahwa anak bersedih hati atas hal-hal yang sering kali berlainan dari hal-hal yang membuat kita bersedih hati, namun itu tidak penting. Yang pentin adalah bahwa anak bersedih hati, sama seperti kita dapat bersedih hati, anak pun dapat bersedih hati.

Intinya jangan sampai kita menyepelekan kesedihan hati anak dengan berkata, "Ah, begitu saja kamu menangis!", "Ah, begitu saja kamu sedih". Ya untuk kita memang tidak menyedihkan, karena fase kehidupan kita pun sudah berbeda, tapi buat si anak itu menyedihkan. Jadi langkah pertama untuk membantu anak atau mendampingi anak adalah kita mesti menyadari dulu kira-kira hal-hal apa yang membuat anak-anak bersedih hati. Yang pertama yang biasanya membuat anak-anak bersedih hati ialah kehilangan, misalkan kehilangan teman, temannya pindah, sekolahnya berbeda, itu bisa menyedihkan hati buat anak-anak, meskipun ia baru berusia misalkan 6 tahun, kelas I SD, II SD, kehilangan mainan kesayangannya, dia cari-cari, tidak ada dan dia menangis, biasanya kita berkata, "Masa menangis karena mainan hilang, tidak apa-apa nanti Mama belikan lagi". Nah, itu benda berharga untuk dia, sama seperti kita kehilangan seseorang yang berharga, kita pun akan sedih. Ini pun sama anak-anak akan sedih kalau barang yang disayanginya itu hilang, atau dia kehilangan misalkan perawatnya, pulang tidak ada lagi bersama dia. Sudah empat tahun bersama-sama, yang mendampinginya yang merawatnya sekarang tidak ada lagi, dia akan sedih. Mungkin orangtua tidak mengerti dan berkata, "Mengapa harus bersedih, 'kan ada Mama ada Papa". Tapi perawatnya itu sudah menjadi bagian dalam kehidupannya. Atau karena kematian kakeknya, neneknya, hal-hal itu juga akan sangat membuat anak-anak bersedih. Jadi yang sering kali membuat anak-anak bersedih biasanya yang pertama adalah kehilangan dan ini yang harus orangtua peka untuk dapat membacanya.
WL : Pak Paul, berkaitan dengan kesedihan karena kehilangan ini, kalau anak kehilangan salah satu orangtua karena berpisah atau bercerai, itu rasa kesedihannya lebih dalam atau tidak daripada yang tadi Pak Paul jelaskan.

PG : Biasanya lebih dalam, ya Bu Wulan, karena kalau orangtua bercerai itu akan menimbulkan sederetan perasaan yang saling bertentangan. Misalkan dia harus mencurahkan kasih sayangnya kepada sipa, Papa atau Mama? Dia harus memihak pada siapa, Papa atau Mama? Dia harus berbelas kasihan kepada siapa, Papa atau Mama? Itu semua perasaan-perasaan yang berkecamuk dalam dirinya disamping dia sendiri kehilangan salah satu dari orangtuanya.

Itu sudah tentu membawa lebih banyak konflik dalam hidupnya, di satu pihak sedih kehilangan di pihak lain mungkin dia senang juga tidak ada orangtuanya supaya tidak berkelahi dan sebagainya. Itu saya kira hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua kalau mereka sampai harus berpisah atau bercerai.
GS : Kematian dari binatang yang dia sayangi kadang-kadang menimbulkan kesedihan yang mendalam juga, Pak Paul. Ada anak yang sampai beberapa hari sulit untuk diajak makan bersama karena kucingnya atau anjingnya meninggal, Pak Paul.

PG : Betul sekali karena itu telah menjadi temannya, benar-benar seorang sahabat buat dia, kucing atau anjingnya. Jadi kematian hewan peliharaan memang biasanya itu akan sangat menyedihkan anakdan tidak jarang orangtua pun, orang dewasa seperti kita masih mengingat saat kita kehilangan hewan peliharaan kita dan masih bisa kita meneteskan air mata waktu mengingat hal yang terjadi, waktu kita masih berusia misalkan 5, 6 tahun.

GS : Bagaimana dengan kekecewaan, Pak Paul?

PG : Sama ya, Pak Gunawan. Jadi anak-anak itu cukup sering bersedih hati karena kekecewaan. Misalnya teman yang diharapkannya hadir dalam pesta ulangtahunnya tidak hadir, sudah janji mau pergi ersama.....

tidak datang atau permintaan anak tidak dituruti oleh orangtuanya. Wah itu juga menyedihkan hati anak, dia kecewa atau harapannya untuk mendapatkan nilai yang baik tidak terpenuhi, nah dia juga akan kecewa. Rencananya untuk pergi dibatalkan karena satu hal atau yang lainnya, itu kekecewaan-kekecewaan yang berpotensi menyedihkan hati anak. Kalau kita lihat begitu, kita pekalah kita tahu dia sedih jangan kita mengecilkan makna kesedihannya, "Begitu saja sedih", jangan! Tidak, memang dia sedih, kecewa karena hal yang dia harapkan tidak terwujud.
WL : Menurut Pak Paul, kekecewaan seperti itu perlu ada atau tidak supaya anak belajar bahwa dalam hidup ini, realita hidup yang benar-benar, sering kali kita menghadapi hal-hal yang memang tidak sesuai dengan yang kita inginkan atau sebaliknya sebagai orangtua kita berusaha menghindarkan anak dari kemungkinan kekecewaan, begitu Pak Paul?

PG : Saya kira yang baik adalah ijinkan anak hidup alamiah, artinya hal-hal yang memang seharusnya terjadi dan mengecewakannya ya biarlah terjadi. Kita tidak seharusnya melindungi anak sedemikan rapatnya sehingga dia tidak bersentuhan dengan realita kehidupan.

GS : Ada anak yang merasa sedih, juga terjadi pada anak saya, ketika ditanya dia mengatakan, dia tidak diajak ketika teman-temannya pergi, nonton dan sebagainya dia ditinggalkan, dia merasa ditinggalkan, entah karena lupa diajak atau apa tapi dia sangat sedih sekali, Pak Paul.

PG : Wah itu sangat sangat menyedihkan, Pak Gunawan. Ini yang kita sebut sedih karena penolakan, nah anak-anak itu sedih dengan penolakan. Mungkin orangtua lebih bisa mengerti hal seperti ini,kita misalkan masuk ke sebuah kelompok dan kita mengharapkan kita diterima oleh kelompok tersebut tapi ternyata ya tidak, waktu mereka mengadakan kumpulan atau apa kita tidak diundang, kita akan merasa rasa tertolak tersebut, tapi bedanya kita sudah dewasa kita lebih bisa misalnya merasionalisasi dengan berkata, "Mungkin mereka ada urusan lain atau lupa atau apa", anak-anak belum bisa yang dia tahu adalah dia tidak diundang, dia tidak diajak.

Artinya apa? Teman-teman atau saudaranya menolaknya. Misalkan ada sandiwara, tidak diajak main, teman-temannya diajak main; ada pertandingan olah raga, teman-temannya diajak masuk tim, dia tidak diajak masuk tim. Teman-temannya dimintai tolong, dia tidak. Itu semua pesan-pesan yang baginya merupakan penolakan dan ini menjadi alasan anak bersedih hati pula.
WL : Pak Paul, kenapa ada anak-anak yang berbeda. Saya ingat pengalaman saya dulu termasuk golongan seperti yang Pak Gunawan cerita, agak rentan juga cepat sedih kalau tidak diajak dan sebagainya, tapi saya perhatikan ada teman saya yang cukup berani, misalnya ada kerumunan di sana sedangkan saya tidak diajak, terus teman saya bisa saja terus masuk menghampiri kelompok tersebut dan berkata, "Eh, mau kemana sih, mau kemana, eh, saya kok tidak diajak?" Dan dia bisa, OK dan akhirnya dia ikut, walaupun dia diajak karena terpaksa, akhirnya diajak juga oleh teman-temannya. Kalau saya kurang bisa seperti itu, Pak Paul.

PG : Saya kira ada unsur perbedaan kepribadian. Ada anak-anak yang memang berkepribadian lebih halus, lebih lembut, lebih peka. Ada yang memang lebih tegar, lebih 'tidak berperasaan'. Anak-ana yang lebih 'tidak berperasaan' memang rasa malunya juga kurang, rasa pekanya terhadap penolakan juga kurang akhirnya masuk saja dan menganggap itu biasa, tidak apa-apa.

Tapi untuk anak-anak yang lebih peka ya orangtua juga mesti lebih menyadarinya. Orangtua juga bisa memberikan penjelasan, jadi tidak hanya mengerti anaknya sedih, "Mungkin teman-teman tidak mengajak engkau karena memang mereka melihat ini bukan talentamu", jadi tidak ada salahnya orangtua memberikan masukan-masukan yang menyadarkan anak juga tentang realitas, sebab ini juga penting buat anak jangan sampai orangtua akhirnya hanyalah mendampingi anak dan memarah-marahi orang yang tidak mengajak anaknya pergi atau tidak mengajak anaknya terlibat dalam sandiwara sekolah atau apa. Sadari juga bahwa mungkin itu bukan talenta anak kita atau mereka lupa atau apa, itu kemungkinan-kemungkinan yang perlu kita munculkan sehingga anak-anak kita juga bisa melihat dari sudut pandang yang lain, tidak hanya melihat dari kacamatanya.
GS : Disengaja atau tidak, ya Pak Paul, entah teman-temannya entah kita sendiri sebagai orangtua, kata-kata kita bisa membuat anak kita sedih betul, marah, sedih dan sebagainya, begitu Pak Paul.

PG : Itu biasanya karena kata-kata kita yang menyerangnya, menjatuhkannya, menghakiminya, pertengkaran antara orangtua dan anak, itu sering kali memang membawa kesedihan pada anak-anak atau orngtua saling ribut, bertengkar antara Papa - Mama, anak-anak mendengar, melihat mereka bertengkar, anak-anak juga bisa sedih.

Kita telah lihat banyak sebetulnya sumber kesedihan anak dan sebagai orangtua kita mesti peka, jangan meremehkan, melecehkan anak waktu sedih, kita mesti akui inilah yang dirasakannya, setelah itu barulah kita nanti melakukan beberapa hal untuk dapat mendampingi anak.
WL : Apalagi selain mendengar secara verbal kata-kata yang tidak enak terus tambahan tangannya ringan, ya Pak.

PG : Itu juga tambahan menjadikan anak biasanya setelah dipukul akan menjadi sangat sedih sekali, maka penting setelah itu orangtua mendatangi anak, memberi penjelasan kenapa tadi sampai Papa aau Mama marah.

"Nah ini sebabnya, tapi sekarang tidak lagi, Papa tidak marah, Mama tidak marah, ayo kita makan, ayo kita pergi", kita peluk dia. Jadi perlu ada pendamaian setelah kita memarahi anak.
GS : Ya memang yang penting dalam perbincangan ini adalah bagaimana kita sebagai orangtua bisa menolong atau mendampingi anak kita yang sedang sedih, bagaimana Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah kita perlu memperlihatkan kesedihan kita pula melalui mimik, wajah kita atau bahasa tubuh kita. Ya jadi jangan sampai kita justru memperlihatkan wajah sinis, anak kita edih kita malah melecehkannya, "Begitu saja kamu sedih".

Wajah kita sinis sekali, wah itu benar-benar membuat anak kita terluka, tertusuk dan ada sebagian anak yang akan bertekad, "Lain kali kalau saya sedih tidak akan saya perlihatkan di hadapan orangtua saya, karena saya tidak mau dihina lagi", maka penting sekali orangtua peka dan setelah peka memperlihatkan kepekaannya itu. Sedih, anaknya sedih ya sudah wajah kita pun turut prihatin, bahasa tubuh kita pun turut prihatin, jangan sepertinya kita tidak peka, malah menyetel lagu yang keras-keras supaya anak kita senang. Tidak kalau dia sedang sedih, ya kita sedih, tunjukkanlah empati kita, "Saya pun turut bersedih, karena engkau sedang sedih".
GS : Ada orang yang beralasan dan ini memang sudah agak dewasa. Dia mengatakan, "Kalau saya ikut larut dalam kesedihan anak saya, dia tidak akan tertolong, dia akan tambah sedih", lalu seperti yang tadi Pak Paul katakan, diputarkan lagu keras-keras dan sebagainya tapi anaknya malah bersedih, begitu Pak Paul.

PG : Saya kira ada waktunya untuk bersedih. Sedih itu bukan sesuatu yang buruk, karena itu dalam Kitab Pengkhotbah pasal 3 pun dikatakan, "Ada waktunya tertawa, ada waktunya menangis". Memang da waktunya untuk orang-orang itu dan termasuk kita menangis, sedih hati, itu sesuatu yang alamiah.

Kalau memang harus bersedih karena kehilangan, kekecewaan ya itulah perasaan kita. Jadi yang penting kita mengakui perasaan itu, namun jangan sampai berlama-lama dalam perasaan itu misalkan lewat 1 jam atau lewat 2 jam nah kita harus terlibat dan kemudian berkata pada anak kita dan mengajarkannya dengan cara misalnya memberi penjelasan apa yang terjadi tadi, melihat sisi bagusnya dan sebagainya. Nah itu perlu kita lakukan namun setelah kita memperlihatkan keprihatinan atau kesedihan kita kepada anak kita.
WL : Mungkin itu fungsinya air mata ya. Tuhan menyediakan air mata sebagai sarana untuk kita bisa mengekspresikan kesedihan kita, tapi kalau saya perhatikan tuntutan orangtua termasuk juga masyarakat kepada anak laki dan kepada anak perempuan agak berbeda, ya Pak Paul? Kalau anak laki menangis langsung dibentak atau dimarahi, "Cengeng kamu, kamu laki-laki tidak boleh menangis, begini - begini - begini." Kalau perempuan lebih ditolerir sehingga waktu dewasa lebih banyak pria yang sulit untuk turut sedih, mengekspresikan kesedihannya, begitu Pak Paul.

PG : Kadang saya ingin bertanya kepada ayah-ayah yang melarang anak lakinya menangis, "Kenapa Tuhan memberikan air mata kepada pria pula kalau memang dalam desain Tuhan pria itu seharusnya tida menangis?" Sudah tentu air mata itu diberikan kepada semua manusia karena Tuhan tahu ini sesuatu yang sehat, yang baik, yang alamiah.

Kalau kita sedih ya kita ingin menangis dan air mata benar-benar mempunyai efek yang sangat menyembuhkan. Dengan kita menangis kita akan merasa lebih ringan, kita lebih merasa lega sehingga kita terangkat tidak ditindih lagi oleh kesedihan itu dari pada kita tidak menangis, kita coba-coba tahan diri kita tidak menangis tapi akhirnya kita ngamuk-ngamuk seperti banteng. Ya itu 'kan juga lebih menyusahkan. (WL :Lebih jantan mungkin, Pak). Ya mungkin dianggap lebih jantan, begitu!
GS : Bagaimana kalau kita tidak tahu dengan jelas alasan anak kita itu bersedih, Pak Paul?

PG : Kalau memang tidak kita ketahui, sebaiknya kita bertanya, hanya saya ingin memberikan satu masukan dalam hal bertanya ini. Bertanyalah seperlunya waktu anak sedang sedih, jangan menginteroasinya, "Mengapa sampai begitu, kamu 'kan tahu" dsb.

Anak sedang sedih diinterogasi, ya susah. Jadi tanya saja seperlunya, "Apa yang terjadi?" Terus dia ceritakan, lalu kita tanya lagi dan dia diam tidak mau menjawab. Sudah kita diam, kita hanya bersama dengan dia saja. Temani dia, lalu kita hanya berkata misalkan, "Mama juga sedih" atau "Papa juga sedih, Papa juga mengerti kalau mengalami seperti itu ya tidak enak". Jadi sekali lagi, tanya silakan tapi jangan berlebihan sehingga lebih seperti interogasi.
WL : Ada anak-anak tertentu yang agak sulit mengungkapkan isi hatinya, kesedihannya, terlebih lagi kalau memang kesedihan itu cukup dalam bagi dia pada saat itu, walaupun sudah ditanya dengan lembut, dia masih sulit mengungkapkan. Saya pernah baca ada bagusnya misalnya anak itu diajak menggambar, "Coba ungkapkan apa yang kamu rasakan lewat gambaran", atau disuruh menulis seperti menulis cerita ke diarinya, supaya lebih keluar apa yang terpendam itu, Pak Paul.

PG : Itu ide yang baik sekali. Ya bisa melalui tulisan, bisa melalui gambar, ada juga yang bisa menceritakannya itu melalui mainan, boneka atau apa. Jadi gunakan cara yang memang paling cocok utuk anak kita, tidak apa-apa.

Tapi pada intinya kita mau anak kita dalam kesedihannya bisa mengungkapkannya, baik melalui bahasa tulisan atau bahasa ucapan. Kenapa? Sebab kalau dia tidak bisa membagi kesedihannya, hanya bisanya memendam saja, itu tidak sehat juga buat jiwanya. Kita mengerti ada anak yang dapat langsung bercerita, tapi ada anak yang perlu waktu baru bisa bercerita, tidak apa-apa. Kalau anak kita memang tipenya lebih introvert ya mungkin perlu waktu. Mungkin tidak pada menit ini, namun mungkin setengah jam kemudian dia bisa, jadi kita bisa berkata, "Kalau kamu tidak bisa ceritakan tidak apa-apa nanti mungkin setengah jam lagi Papa atau Mama kembali dan kita bisa omong-omong, apa yang menjadi masalahmu". Jadi setengah jam kemudian kita kembali dan kita tanyakan, "Bagaimana, bisakah kamu ceritakan sekarang?" Jadi si anak kita latih untuk belajar menceritakan apa, mengeluarkan bebannya sehingga dia tidak terbiasa hanya menindih dirinya dengan beban-beban hidup.
GS : Ya itu buat kita orangtua membutuhkan kesabaran yang luar biasa kadang-kadang, Pak Paul. Kalau anak sedang menceritakan penyebab kesedihannya, sering kali kita memotongnya dengan memberikan saran atau memarahinya bahkan dan itu memutuskan cerita selanjutnya sebenarnya.

PG : Wah itu reaksi yang kita harus jaga, Pak Gunawan dan memang sering kali kita lakukan itu akhirnya kita bukan memberikan penghiburan malah memberikan pengguruan kepada anak kita dan itu tidk diinginkan.

Kita sendiri yang sudah dewasa bila sedang sedih, kita tidak ingin digurui, diberi nasihat-nasihat, "Seharusnya begini, mengapa begitu kamu", ya akhirnya kita tidak mau cerita lagi. Nah jadi yang harus kita lakukan, memberi penghiburan, kita berkata, "Ya mungkin ini kali tidak apa-apa tidak bisa ya, lain kali ayo kita coba mungkin bisa". Penghiburan-penghiburan seperti itu atau "Kali ini kita tidak bisa pergi, minggu depan kita bisa pergi ya, Papa janji minggu depan kita pergi". Nah itu penghiburan dari pada menggurui, "Kamu kenapa begini, harusnya kamu begini". Itu benar-benar mematahkan keinginan anak lain kali untuk bercerita kepada kita. Kadang-kadang orangtua tidak mengerti, lain kali dia bertanya anaknya tidak mau menjawab, dia marah, "Kok tidak mau menjawab?" Padahal anak-anak tahu, percuma bicara karena setiap kali kami bicara akan digurui.
WL : Pak Paul, tadi nampaknya semua sarannya bagus-bagus, tapi mungkin bisa digunakan bagi keluarga yang masih cukup OK lah begitu istilahnya. Kalau misalnya bagi keluarga-keluarga yang taraf keributannya tiap hari, terus-menerus, mungkin agak sulit ya Pak Paul. Misalnya anak-anak ini sedih di gereja, di Sekolah Minggu, dia sedih waktu datang ke Sekolah Minggu, apa mungkin saran-saran ini juga berguna bagi guru-guru Sekolah Minggu, Pak Paul?

PG : Ini ide yang baik sekali, Bu Wulan. Betul sekali, sebab memang yang berkecimpung dalam kehidupan anak bukan saja orangtua, tapi juga guru sekolah, guru Sekolah Minggu. Mungkin ini tips yan seharusnya juga dibagikan kepada mereka, sehingga mereka peka dengan keadaan anak dan bisa menjadi penolong yang tepat pada waktunya buat anak-anak itu, mendampingi dia, betul sekali itu.

GS : Pak Paul, kadang-kadang kita bisa mendapatkan alasan kesedihan anak ketika kita menanyakan, "Apa yang bisa saya lakukan untuk kamu?" Jadi kesediaan diri untuk membantu dia dan akhirnya dia cerita.

PG : Itu baik sekali idenya Pak Gunawan. Jadi benar-benar kita datang dengan tulus, mau melakukan sesuatu dan kita menawarkan bantuan kita kepadanya, "Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu " Nah, ini memang mengundang anak untuk bercerita, sebab ia tahu orangtuanya mau melakukan sesuatu, meskipun sering kali pada akhirnya anak pun berkata, "Ya tidak ada apa-apa yang Papa atau Mama bisa lakukan" tapi dia sudah bercerita dan kenapa dia cerita? Karena dia melihat itikad baik orangtuanya.

Jadi itu ide yang sangat bagus sekali, Pak Gunawan.
GS : Mungkin ada yang lain, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah bagikan pengalaman kita yang serupa agar anak tahu bahwa kita sungguh memahaminya dan ia pun dapat belajar dari pengalaman kita itu. Apakah kita selalu diterima orang? Tiak, kita pernah ditolak.

Apakah kita selalu mendapatkan yang kita inginkan? Tidak juga. Jadi waktu kita cerita tentang pengalaman kita pada masa terutama seusia dia, itu akan benar-benar mencelikkan matanya. Papanya atau Mamanya pernah kecil dan pernah mengalami yang sekarang tengah dialaminya. Apa yang Papa lakukan, apa yang Mama lakukan, nah itu menjadi pelajaran yang dapat diterimanya dengan mudah, karena dia sedang mengalaminya juga. Jadi sebagai orangtua jangan ragu untuk bercerita, namun jangan bercerita terlalu panjang, anak sedang sedih lalu diceritakan sejarah hidupnya selama 2 jam, jadi anak menjadi kesal.
GS : Ya memang itu kita mesti hati-hati sekali juga. Nah kalau tidak di mata anak seolah-olah kita menyombongkan diri kita sendiri, Pak Paul.

PG : Betul, atau kita bercerita bahwa kita tidak pernah seperti dia, justru kita menunjukkan betapa hebatnya kita dulu, sehingga kita tidak mengalami kesedihan seperti yang dialami oleh si anakini, tidak maksud saya ceritakanlah peristiwa kegagalan kita, kekecewaan kita pula dan kita katakan, "Saya pun mengalami itu".

Jangan tergesa-gesa berkata tapi saya tidak membiarkan diri saya kecewa. Papa langsung begini, begini, begini, ya anak tidak merasa dimengerti. Ceritakan dulu kita mengerti setelah itu baru kita bagikan, "Boleh atau tidak Papa berikan usulan buat kamu". "Boleh atau tidak Mama berikan usulan ini?" Baru anak mau dengarkan.
GS : Bermanfaat atau tidak Pak Paul, kalau kita misalkan mengajak anak pada saat bersedih itu berdoa bersama atau lebih baik kita mendoakan dia dari tempat yang jauh, Pak Paul?

PG : Sebaiknya kita memang melihat saat itu si anak sedang perlu apa? Kadang-kadang saat itu si anak sedang perlu menyendiri dan kita katakan, "Tidak apa-apa kamu lagi mau menyendiri ya?" Yasudah kita diamkan, nah misalkan anak kita sudah mulai besar kita katakan saja, "Papa doakan ya" atau "Mama doakan buat kamu", tapi kita doakan dari tempat yang jauh atau misalkan waktunya cocok anak kita sedang sedih, habis ngomong dan menangis, nah waktunya tepat sekali untuk kita berkata, "Ayo kita berdoa, ayo kita serahkan masalah ini kepada Tuhan".

Misalkan melibatkan temannya yang sedang mengalami musibah atau apa dan dia sedih, kita katakan, "Ayo kita doakan". Jadi doa itu perlu namun kita juga harus membaca situasinya, apakah mendoakan dari jarak jauh atau mendoakan dengan dia pada saat itu juga. Itu yang kita harus nanti bedakan.
GS : Pada saat-saat seperti itu yang saya pernah alami itu buat anak khususnya yang perempuan, sentuhan itu luar biasa bermanfaatnya, Pak Paul. Misalnya kita merelakan dia menangis di bahu kita atau dengan dirangkul, itu sangat menolong dan itu sangat memberikan kesan yang cukup mendalam.

PG : Itu indah sekali. Itu indah sekali, Pak Gunawan, kalau bisa terjadi pada waktu anak sedang sedih kita kemudian membuka tangan, mengundangnya untuk bisa meletakkan kepalanya kepada dada kita. Itu yang luar biasa indahnya.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang mendukung pembicaraan kita ini?

PG : Saya akan bacakan Filipi 4:13-14 , "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. Namun baik juga perbuatanmu bahwa kamu telah mengambil bagian dlam kesusahanku".

Memang Paulus berkata Tuhanlah yang memberikan dia kekuatan sehingga dia bisa menanggung segala perkara. Itu betul sekali, itu fondasinya dalam kehidupan kita juga, tapi Paulus pun mengakui bahwa ternyata jemaat Pilipi telah berbuat baik kepadanya yang dia akui, yaitu "Kamu telah mengambil bagian dalam kesusahanku". Paulus membutuhkan kekuatan dari Tuhan, betul harus itu, tapi Paulus pun menerima perbuatan baik dari teman-teman yang mengasihinya sewaktu dia sedang mengalami kesusahan. Nah inilah yang kita juga harus lakukan kepada anak-anak kita, kita mendorong anak kita, mengajarkan anak kita datang kepada Tuhan, bersandar pada Tuhan untuk kekuatannya melewati masa-masa yang sulit dan menyedihkan. Tapi kita juga memberi contoh kita mau datang kepadanya memberikan bantuan yang dibutuhkannya tatkala dia sedang mengalami kesedihan atau kesusahan.
GS : Mungkin ada hal yang ingin saya tanyakan juga, Pak Paul. Di dalam satu keluarga yang anaknya lebih dari satu kadang-kadang saudara-saudaranya kurang bisa mengerti kalau ada salah satu saudaranya yang sedang susah terutama pada anak-anak, mereka ceria sekali tapi yang satu ini sedang susah, Pak Paul. Apa yang bisa kita lakukan?

PG : Kita bisa mengajak anak yang lain itu berbicara tentang adiknya itu misalkan. Kita bisa berkata, "Saya melihat adikmu agak sedih ya, kamu melihat tidak hal itu?" Misalkan dia mengatakan "idak", "O, saya lihat agak sedih, apakah dia berbicara pada kamu bahwa dia sedih?" Jadi kita libatkan anak yang lain dan mengajaknya untuk melihat dengan lebih teliti, mencermati apakah benar-benar adiknya sedang sedih, sehingga dia akhirnya lebih bisa peka pada kondisi adiknya pula.

GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan ini, juga Ibu Wulan banyak terima kasih. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menangis Bersama Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



64. Mengajarkan Kepatuhan


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T171A (File MP3 T171A)


Abstrak:

Dalam batas-batas tertentu ketidakpatuhan sering kali dikatakan sebagai sesuatu yang normal. Tetapi orangtua tetap perlu memberi batasan kepada anak karena tanpa arahan dan batasan, anak tidak akan belajar tentang arti disiplin dan rasa tanggung jawab.


Ringkasan:

Dalam batas-batas tertentu ketidakpatuhan sering kali dikatakan sebagai sesuatu yang normal. Tetapi orangtua tetap perlu memberi batasan kepada anak karena tanpa arahan dan batasan, anak tidak akan belajar tentang arti disiplin dan rasa tanggung jawab. Memberi batasan berarti adakalanya kita harus memaksa anak untuk patuh.

Beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua sehubungan dengan kepatuhan, yaitu:

  1. Tetapkan dulu peraturan yang ingin kita terapkan, dengan sanksi yang sesuai dengan kesalahan mereka, artinya tidak terlalu berat juga tidak terlalu ringan.salah satu sanksi yang dapat kita lakukan adalah misalnya mencabut hak mereka atau kesenangan mereka.
  2. Kalau terjadi pelanggaran segera terapkan sanksi yang telah ditetapkan.
  3. Siapkan situasi yang dapat membuat mereka mau tidak mau harus belajar menurut jadwal yang ditetapkan.

Bagaimana menghadapi anak yang keras kepala dan tidak mau patuh? Pertama-tama orangtua perlu melihat penyebabnya terlebih dahulu, karena ada kemungkinan-kemungkinan mereka menghadapi problem yang perlu diatasi.

  1. Anak bermasalah karena menanggung stres yang besar. Dia tidak mampu menanggulangi stres itu dan akibatnya dia memberontak dan menjadi keras kepala.
  2. Ada kemungkinan karena orangtua salah menanganinya, misalnya anak sudah terlalu sering dihukum, terlalu keras atau sebaliknya orangtua membiarkan anak sehingga anak bisa bertindak sewenang-wenang. Anak menjadi susah diatur dan dia menjadi anak yang keras kepala.
  3. Secara bawaan anak tergolong anak yang impulsive, susah mengendalikan diri, tidak peka terhadap perasaan orang lain, kurang peka terhadap rasa sakit.

Amsal 13:12, "Siapa meremehkan Firman, ia akan menanggung akibatnya tetapi siapa taat kepada perintah akan menerima balasan".

Ayat ini mengingatkan kita sebagai orangtua pada saat kita mengarahkan anak kita supaya patuh, terutama bukan patuh kepada keinginan kita tetapi untuk patuh dan taat kepada Firman Tuhan. Kalau mereka bisa taat kepada Firman Tuhan maka mereka akan memperoleh berkat dari Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengajarkan Kepatuhan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, kita sering kali repot menghadapi anak yang bukan saja tidak patuh dan sebenarnya kondisi anak yang tidak patuh itu oleh sebagian besar orang dikatakan bahwa itu normal, karena anak memang begitu. Tapi sebenarnya bagaimana, Pak Heman?

HE : Betul, ketidakpatuhan itu sering kali kita katakan sebagai sesuatu yang normal di dalam batas-batas tertentu. Tetapi kita tetap perlu memberi batasan kepada anak karena tanpa arahan da batasan yang orangtua berikan, anak tidak akan belajar tentang arti disiplin dan rasa tanggung jawab.

Memberi batasan itu berarti kita adakalanya harus memaksa mereka untuk patuh.
GS : Artinya tidak ada seorang pun yang lahir di dunia ini dengan sifat kepatuhan atau otomatis patuh, Pak?

HE : Untuk setiap anak yang normal, ketidakpatuhan adalah sebetulnya suatu cara bagi anak untuk menyatakan sesuatu yang wajar, yang normal bagi anak yang cukup sehat.

GS : Sering kali kelihatan bagi anak yang masih sangat kecil pun yang baru berusia beberapa minggu kadang-kadang disusui menolak. Apakah itu sebagai salah satu bentuk ketidakpatuhan?

HE : Belum tentu ketidakpatuhan, jadi bisa saja karena mereka masih bayi itu merupakan respons yang spontan, yang terjadi secara otomatis, jadi dia menolak sesuatu yang tidak enak.

GS : Atau mungkin dia sedang kenyang dan sebagainya.

HE : Ya betul, yang penting dia tidak ingin melakukan misalnya minum susu.

GS : Tadi Pak Heman katakan sampai batas-batas tertentu tidak apa-apa, nah batasan-batasanya itu apa Pak Heman?

HE : Batasannya adalah kalau misalnya kita melihat anak-anak sudah tidak patuh, maka kita mesti melihat apa yang menyebabkan dia tidak patuh, karena ada banyak sebab yang bisa menjadikan anak tidak patuh.

Apakah itu suatu pernyataan bahwa dia ingin menyatakan saya ini berbeda dari Anda, dari orang tua. Saya adalah seorang yang unik, yang mempunyai kepribadian sendiri. Kalau hanya seperti ini sebaiknya diberi ruang, diberikan kesempatan pada dirinya supaya dia menjadi lebih mandiri.

ET : Tapi kadang-kadang membedakan itu yang sangat susah ketika anak sedang ingin mengembangkan diri. Tapi mungkin bagi orang yang lebih dewasa melihatnya bahwa ini ketidakpatuhan.

HE : Betul, memang susah untuk membedakannya, orangtua perlu kepekaan untuk merasakan mana yang ketidakpatuhan dan mana reaksi yang normal bagi anak.

GS : Sebenarnya apa perlunya kita mengajarkan kepatuhan kepada anak?

HE : Untuk semua segi kita perlu memberikan latihan-latihan, misalnya dia merasa ingin memberontak atau merasa ingin tidak menuruti orangtuanya, dia tidak ingin didisiplin. Karena pada dasanya setiap anak mempunyai atau bahkan setiap kita tidak ingin begitu saja mengikuti hal-hal yang tidak enak bagi kita.

Kadang-kadang kita memerlukan latihan-latihan bagi anak. Dengan latihan-latihan ini akhirnya membuat mereka patuh, membuat mereka mengikuti apa yang kita inginkan. Tetapi memang kita perlu berhati-hati kapan kita perlu memaksakan anak untuk memenuhi keinginan kita, keinginan seperti apa kita juga perlu kaji.

ET : Apakah Pak Heman bisa memberikan contoh latihan-latihan yang dimaksud tadi?

HE : Misalnya saja ada anak yang harus belajar menghadapi ulangan pada hari esoknya, tapi dia ingin bermain terus. Nah ini masalah disiplin dan tanggung jawab. Kita tahu dengan persis bahwaanak mempunyai waktu yang cukup untuk bermain, seharusnya sudah cukup bermain dan dia sekarang ini bisa belajar dengan baik kalau dia mau artinya dia tidak dalam keadaan lelah, mengantuk, lapar atau sakit.

Tetapi karena dia tidak mau belajar, kini saatnya kita perlu memaksanya untuk belajar, nah ini salah satu contoh.

ET : Dipaksa untuk patuh?

HE : Betul, kadang-kadang anak-anak memerlukan paksaan untuk patuh.

ET : Kalau situasi seperti tadi bagaimana Pak Heman?

HE : Dalam situasi seperti ini ada beberapa yang bisa kita lakukan. Beberapa cara ini misalnya yang pertama tetapkan dulu peraturan yang ingin kita terapkan, dengan sanksi yang sesuai denga kesalahan mereka, artinya tidak terlalu berat juga tidak terlalu ringan, jadi kita pikirkan dulu sanksinya seperti apa.

Salah satu sanksi yang dapat kita lakukan adalah misalnya mencabut hak mereka atau kesenangan mereka. Umpamanya membatasi mereka menonton TV lebih lama atau melarang mereka keluar rumah sesering biasanya. Ini sanksi, jadi bukan suatu larangan setelah perilaku itu terjadi, tapi kita tetapkan dulu sanksinya. Kedua, kalau terjadi pelanggaran segera terapkan sanksi yang telah ditetapkan. Ketiga, siapkan situasi yang dapat membuat mereka mau tidak mau harus belajar menurut jadwal yang ditetapkan. Misalnya setiap jam belajar orangtua ada di tempat itu dan duduk bersama mereka, mengawasi mereka. Mungkin orangtua tidak perlu harus terus-menerus mengetes mereka atau menguji mereka tetapi cukup orangtua mendampingi mereka dengan cara orangtua membaca buku. Ini hanya salah satu contoh yang bisa kita lakukan dan penerapannya nanti bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing keluarga.
GS : Tapi bukankah itu juga sangat tergantung pada umur berapa anak itu bisa kita terapkan sanksi seperti ini. Kalau masih terlalu kecil bukankah itu sulit?

HE : Ya betul, karena itu kita perlu juga melihat usia perkembangan anak. Memang kita tidak bisa memaksa anak melampaui dari usia perkembangannya. Misalnya anak usia 3, 4 tahun. Daya konsenrasi mereka paling lama hanya 15 menit saja dan ketika mereka belajar pun mereka perlu banyak istirahat dan mungkin juga perlu banyak gerak.

GS : Kadang-kadang kita sebagai orang yang awam dalam hal ini, mau menetapkan suatu sanksi itu sulit. Kadang-kadang ukurannya adalah ukuran untuk kita atau untuk anak yang sudah lebih besar daripada anak yang kita mau didik untuk patuh.

HE : Betul, itu tidak mudahnya di sana, kita perlu belajar juga saling menyesuaikan diri dengan anak. Jadi selain kita meminta anak untuk patuh kita juga perlu memperhitungkan daya kekuatananak.

Itu sebabnya tadi saya kemukakan sebelum kita memberikan paksaan atau sanksi kita harus memperhitungkan juga dan kita mesti fleksibel apakah mereka dalam keadaan lapar, kebutuhan emosinya apakah sudah tercukupi, kebutuhan fisik mereka apakah tercukupi. Juga termasuk bukan saja usia tetapi misalnya kalau anak dalam keadaan sakit tentu saja mereka rewel dan itu sudah otomatis. Dan kita mesti juga menempatkan diri kita dan perasaan kita pada keadaan anak pada saat itu.

ET : Bicara soal paksaan Pak Heman, kadang-kadang orangtua juga mengalami kebingungan karena khawatir mentalnya anak seolah-olah harus dipaksa. Kalau tidak ada itu tanggung jawabnya tetap tdak ada, padahal tadi sebenarnya tujuan kita melakukan ini untuk membangkitkan disiplin dan tanggung jawab.

Kadang-kadang sepertinya mesti didorong terus baru jalan.

HE : Kenapa anak nantinya berkembang selalu harus didorong, karena kita terlalu menghendaki anak kita itu 100% patuh sehingga anak tidak mempunyai ruang bergerak lagi. Anak tidak mengembangan dirinya, kemandiriannya seperti tadi pertama kali kita bicarakan.

Jadi anak perlu mempunyai ruang gerak juga, bagaimana caranya kita bisa membuat anak mempunyai ruang gerak yang cukup, salah satunya adalah kita tidak terlalu mengatur hal-hal yang terlalu mendetail. Jadi kita memegang terutama hal yang umum, yang prinsipnya saja. Misalnya tentang jadwal belajar, kita perlu fleksibel tentang ini. Yang penting adalah anak menyelesaikan belajarnya, jadi yang penting bukannya berapa jam dia belajar. Mungkin prinsip-prinsip ini yang perlu kita atur, sedangkan hal yang kecil-kecil misalnya mereka menumpahkan air minum dan sebagainya hal-hal yang kecil-kecil seperti itu kita hanya perlu melatih mereka supaya lebih hati-hati, tapi kita tidak perlu memaksa mereka.

GS : Nah ketergantungan akan dipaksa yang makin lama makin tumbuh, misalnya tadi Pak Heman katakan kalau belajar itu didampingi orangtua walaupun orangtuanya membaca buku dan sebagainya. Ada anak yang kalau orangtuanya tidak di rumah karena ada undangan atau apa, dia tidak belajar.

HE : Ya, jadi memang nanti di dalam perkembangan itu pada awalnya karena anak itu cenderung untuk menunjukkan dirinya dan kemudian tidak patuh maka kita memang melatih mereka untuk patuh telebih dulu.

Tetapi setelah mereka bisa patuh terutama di dalam hal yang prinsip di kemudian hari kita perlu memberikan kelonggaran dan kebebasan secara bertahap, sehingga anak belajar untuk menguasai dirinya. Hanya kalau kita melihat bahwa mereka sudah terlalu banyak menyimpang dari yang kita harapkan, baru kita memberikan batasan lagi. Tetapi batasan itu semakin hari harus semakin longgar dan semakin banyak tanggung jawab yang perlu kita bebankan kepada anak. Salah satu contoh ada kemungkinan kita perlu membiarkan anak itu gagal satu, dua kali ulangan. Biarkan mereka merasakan apa itu kegagalan.

GS : Untuk anak ini Pak Heman, sering kali mereka merasa kepatuhannya kepada orangtua itu hanya menguntungkan orangtua, sedangkan di pihak dia hanya dirugikan saja dengan adanya kepatuhan, nah ini bagaimana Pak?

HE : Sering kali begitu karena mereka tidak dari awal belajar untuk bertanggung jawab, jadi di dalam hal ini sesuatu yang dipaksakan dari luar itu hanya pada awalnya dan nantinya kita harapan sesuatu yang dari luar ini bisa tumbuh dari dalam.

Salah satu caranya adalah kita perlu memuji anak, membesarkan hati anak, menghargai anak sewaktu anak bisa mengerjakan sesuatu itu dengan sendirinya secara otomatis tanpa disuruh dan sebagainya, nah hal-hal seperti itu harus dihargai. Jadi begitu anak bisa melakukan sesuatu sendiri kita perlu lepaskan, kita biarkan mereka lalu sekali-sekali kita memuji mereka, sekali-sekali menghargai mereka.

GS : Tapi kondisi itu sering kali tidak stabil, kadang-kadang pada suatu saat anak itu kelihatan bisa dilepaskan, tapi beberapa hari kemudian dia kelihatan sebagai anak yang kalau tidak dipaksa tidak jalan lagi.

HE : Ya, ini baik sekali, ini sehari-hari yang kita temukan, karena itu kita tidak bisa serta merta atau sekaligus melepaskan anak. Jadi memaksa mereka untuk taat pertamanya, kemudian setelh mereka bisa perlahan-lahan dilepas.

Seperti contoh tadi di dalam hal ulangan, mereka tidak bisa belajar sendiri kalau tidak disuruh, coba kita lepas, kita lepaskan tentu tidak sepenuhnya, secara bertahap. Kita katakan kepada anak, "Nah sekarang kamu sudah lebih besar, jadi Papa dan Mama ingin memberikan kepada kamu kepercayaan yang lebih besar. Papa dan Mama ingin melihat kamu bisa belajar sendiri, jadi untuk hari ini dan besok Papa dan Mama coba tidak mengawasi kamu. Kami harapkan kamu bisa mengatur sendiri." Dan kita evaluasi setelah misalnya ternyata mereka gagal, kita bicara dengan anak itu kembali, kita tanyakan, "Kenapa kamu kelihatannya kok susah kalau misalnya Papa dan Mama lepas, bagaimana caranya apakah kamu mau Papa dan Mama bantu lagi supaya kamu bisa lebih baik." Kalau misalnya anak bilang, "Tidak, saya mau berusaha lagi, Papa Mama perlu memberikan kepercayaan kembali." Tetapi kalau anak bilang mau minta tolong Papa Mama, berarti rasa tanggung jawab itu mulai bertumbuh.

ET : Jadi kita sepertinya mau mengajarkan kepada anak sisi-sisi mana yang memang benar-benar mereka lakukan seperti yang orangtua inginkan dan sisi-sisi mana yang mereka bisa lakukan cengan cara mereka. Begitu Pak Heman?

HE : Ya, betul sekali Ibu Ester, ini kesimpulan yang sangat baik.

GS : Ada orangtua yang menggunakan moment ulang tahun anak, jadi setiap anak itu ulang tahun pada saat ulang tahunnya langsung diberitahukan, "Sekarang ini kamu kerjakan sendiri, yang ini tanggung jawabmu." Dan nanti di evaluasi, kalau gagal dan minta pendampingan ya didampingi lagi. Dan di tahun berikutnya akan ditambahkan- ditambahkan lagi Pak?

HE : Ya ini salah satu cara yang bisa dilakukan oleh keluarga moment yang baik di ulang tahun atau moment lain adalah kenaikan kelas.

GS : Tapi yang berkesan ini, ulang tahun itu sifatnya pribadi, jadi itu hari istimewa buat dia dan kita katakan ini tanggung jawabmu bertambah lagi karena kamu sudah tambah usia, tanggung jawabnya ditambah lagi. Mengenai anak-anak yang keras kepala akhirnya susah sekali untuk menurut, bagaimana kita menghadapinya, Pak?

HE : Pertama kita lihat penyebabnya dulu, jadi sebelum kita melakukan apa-apa kita harus tahu penyebabnya sehingga kita bisa memperlakukan mereka dengan lebih tepat. Saya mencatat ada beberpa kemungkinan penyebab anak bisa keras kepala dan sangat sulit diatur, karena ada kemungkinan mereka sedang menghadapi problem yang perlu diatasi.

Kemungkinan pertama adalah anak itu bermasalah karena menanggung stres yang besar. Dia tidak mampu menanggulangi stres itu dan sebagai akibatnya dia memberontak menjadi keras kepala. Stres salah satunya yang paling umum adalah masalah keluarga yaitu ketidakharmonisan antara ayah dan ibu ini. Jadi anak ini mau memberontak atau frustrasi tidak bisa menyatakannya, sehingga dia melakukan tindakan yang memberikan kepadanya label keras kepala. Kedua, ada kemungkinan karena orangtua salah menanganinya, misalnya anak ini sudah terlalu sering dihukum terlalu keras, atau sebaliknya orangtua membiarkan anak ini sehingga anak bisa bertindak sewenang-wenang. Waktu mau diatur, anak ini menjadi susah diatur dan dia menjadi anak yang keras kepala. Ketiga, secara bawaan anak ini tergolong anak yang sulit. Salah satu penelitian ada yang mengatakan bahwa ada anak yang sejak lahir memang kurang peka terhadap rasa sakit, jadi dihukum seperti apapun dia tidak merasa sakit atau bagi dia rasa sakit ini bisa dia tanggung. Anak-anak ini cenderung impulsif artinya susah untuk mengendalikan diri, tidak peka terhadap perasaan orang lain. Jadi anak-anak ini menjadi keras kepala dan susah untuk ditundukkan dan dijadikan untuk menjadi lebih taat.

ET : Sepertinya aturan yang bisa kita pakai untuk anak-anak lain, untuk anak-anak keras kepala ini seolah-olah harus dobel, Pak?

HE : Ya, atau kita menggunakan cara yang berbeda di dalam pendekatannya. Salah satunya kalau misalnya itu berasal dari kondisi pernikahan, anak ini mengandung stres maka kita harus mengadakn perbaikan untuk kondisi pernikahan.

Ada anak yang mengalami tekanan berat dari teman-teman maupun dari sekolahnya. Di dalam hal ini orangtua perlu tahu terlebih dahulu dan kemudian mendampingi dia untuk menghadapinya. Mendampingi, tidak harus ke mana-mana mengikuti anak, tetapi bisa dengan kata-kata penghiburan, nasihat dan sebagainya. Kemudian yang kedua kalau misalnya ada hal-hal yang seperti ini orangtua yang pertama-tama harus lakukan adalah memperbaiki dan meningkatkan relasi dengan anak. Jadi relasi ini akan mempermudah kita menuntut ketaatan, kepatuhan kalau itu diperlukan. Dan yang ketiga kita perlu perhatikan apakah anak sudah tercukupi kebutuhan fisik dan emosinya. Terutama untuk anak yang keras kepala barangkali kita tidak perlu melakukan paksaan kalau misalnya anak itu mudah untuk dibujuk atau dia peka terhadap pujian. Kalau kita memuji dia dan sebagainya dia bisa lebih menaati orangtuanya, barangkali ini yang dia butuhkan.
GS : Pak Heman, apakah keras kepala seperti ketidakpatuhan itu menurun, soalnya banyak orang mengatakan, "Anak ini keras kepalanya seperti kakeknya atau seperti ayahnya."

HE : Ya, sebagian memang seperti yang sudah dikatakan tadi bahwa ada anak-anak yang secara bawaan seperti itu. Tetapi sebagian kita perlu perhitungkan sebagian dari anak keras kepala itu buan menurun secara bawaan tetapi dia melihatmencontoh.

Ada orang-orang dewasa yang dia hormati ternyata mereka keras kepala atau mereka memang tidak mudah ditundukkan dan mereka meniru pola yang seperti ini.
GS : Kadang-kadang kita itu sebagai orang yang lebih dewasa atau orang tua itu sulit membedakan antara anak ini keras kepala, tidak patuh dan mempunyai kemauan yang kuat.

HE : Ya, betul, kalau anak ini mempunyai kemauan yang kuat, kita tidak mematahkan kemauan yang kuat ini tetapi kita mengarahkannya. Seperti misalnya dalam hal selera, umpamanya soal makan, da anak yang sedemikian keras kepala sehingga misalnya kalau dia minta, "Saya minta nasi goreng," asalkan dia konsekuen dia minta nasi goreng dan dia makan itu bahkan sampai sedemikian kuat kemauannya kemudian dia habiskan, dia konsekuen, kita harus hargai konsekuennya.

Ini soal selera, soal minat, saya kira ini tidak perlu dipaksakan mereka menyesuaikan diri dengan selera kita. Tetapi ada hal-hal tertentu yang kita memang harus tegas, kalau orangtua tegas, orangtua bisa menjaga wibawanya. Orangtua yang dihormati, tetapi dekat dengan anak ini lebih bisa menjaga kepatuhan dari anak. Karena di dalam masyarakat anak harus menyesuaikan diri, ada saatnya dia harus memimpin, ada saatnya di bawah, ada saatnya dia harus patuh, ada saatnya dia tidak boleh patuh. Jadi anak-anak perlu juga diberikan kesempatan di dalam hal selera, itu terserah anak. Anak mau memilih baju seperti apa sebaiknya kita berikan sedikit kebebasan. Tetapi untuk karakter, sifat-sifat baik, itu perlu kita latihkan.
GS : Sering kali ketidakpatuhan itu timbul karena orangtuanya yang tidak konsisten. Tegas tapi tidak terus-menerus tegas, jadi suatu saat dia perbolehkan, suatu saat dia melarang jadi anak bingung.

HE : Ini baik sekali, kalau orangtua tidak konsisten anak juga akan bisa semakin keras kepala, semakin kuat keinginannya untuk melanggar, karena dia tahu dia bisa lolos pada saat-saat tertetu, jadi dia paksakan saja.

GS : Untuk menyimpulkan perbincangan kita pada saat ini, apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Heman sampaikan?

HE : Saya ingin membacakan satu bagian Alkitab dari Amsal 13:12, "Siapa meremehkan Firman, ia akan menanggung akibatnya tetapi siapa taat kepada perintah akan menerima balasan." Bagian firmn Tuhan ini mengingatkan kita sebagai orangtua pada saat kita memaksakan atau mengarahkan anak kita supaya mereka patuh, terutama bukan patuh kepada keinginan kita tetapi kita mengarahkan mereka untuk taat kepada firman Tuhan.

Dan kalau mereka bisa taat kepada firman Tuhan maka mereka akan memperoleh balasan, di dalam hati mereka akan memperoleh berkat dari Tuhan.
GS : Itu saya rasa bentuk yang konkret yang perlu diajarkan oleh orangtua sedini mungkin kepada anak-anaknya untuk patuh kepada Tuhan. Terima kasih Pak Heman dan ibu Ester untuk perbicnangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengajarkan Kepatuhan." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



65. Mengajar Anak Mengatakan Tidak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T171B (File MP3 T171B)


Abstrak:

Ada banyak hal yang perlu ditolak dan yang perlu anak ketahui, salah satu misalnya eksperimen seks di luar nikah, pornografi, judi, minum-minuman keras, menggunakan narkoba dan sebagainya. Ini hal-hal yang sangat berbahaya yang menjadi masalah besar bagi anak-anak generasi sekarang ini dan itu perlu diajarkan sejak dini.


Ringkasan:

Orangtua perlu memberi ruang kepada anak untuk mengatakan 'tidak' atau menolak suatu permintaan. Mungkin untuk anak-anak yang masih kecil bisa menerapkan semua apa yang dikatakan orangtua untuk dipatuhi tetapi untuk anak yang sudah makin besar misalnya remaja, anak harus diajak untuk berpikir.

Ada banyak hal yang perlu ditolak dan yang perlu anak ketahui, salah satu misalnya eksperimen seks di luar nikah, pornografi, judi, minum-minuman keras, menggunakan narkoba dan sebagainya. Ini hal-hal yang sangat berbahaya yang menjadi masalah besar bagi anak-anak generasi sekarang ini.

Mengajarkan anak untuk mengatakan 'tidak' perlu kita lakukan sejak mereka masih dini, tetapi untuk hal-hal yang sudah boleh mereka ketahui misalnya tentang seks, minum-minuman keras, itu perlu kita beritahukan sejauh usia perkembangan mereka. Misalnya saat yang paling tepat adalah saat mereka mulai berinteraksi dengan orang di luar rumah, misalkan dia sudah mulai bermain-main di luar atau di jalan atau bahkan sudah mulai masuk sekolah. Mereka perlu diajarkan tentang bahaya apa yang perlu mereka hindari.

Orangtua juga perlu mengajarkan bagaimana cara menolak permintaan. Antara lain:

  1. Misalnya dengan menolak dan langsung pergi.
  2. Mengatakan `tidak` dengan suara yang tegas dan cukup keras.

Ada kekhawatiran di dalam diri orangtua ketika mengajarkan anak untuk berkata 'tidak, jangan-jangan mereka berani melawan kita sebagai orangtua. Urut-urutannya memang kita perlu mengajarkan kepatuhan dan memberikan landasan yang baik terlebih dulu. Selain itu kita perlu memberikan landasan pengetahuan moral yang baik kepada anak di dalam Tuhan, yaitu mengajar anak tentang Firman Tuhan sedari mereka masih kecil. Jadi mereka bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Setelah anak patuh dan anak mempunyai ketulusan barulah kita mengajarkan anak untuk mengatakan 'tidak; guna melawan yang tidak baik.

Mazmur 1:1-2, "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam."


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengajar Anak Berani Menolak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, beberapa waktu yang lalu kita telah memperbincangkan bagaimana mengajarkan anak untuk patuh, tetapi dalam kehidupan nyata ini kalau seseorang itu patuh, patuh, patuh terus tanpa mempedulikan kepada siapa dia harus patuh, bukankah pada suatu saat itu akan membahayakan dirinya sendiri?

HE : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi selain kepatuhan seperti yang pernah kita perbincangkan kita juga perlu memberi ruang kepada anak untuk mengatakan 'tidak' atau menolak suatu permintaan.Karena kalau misalnya kita membiarkan anak untuk patuh terus-menerus memang kelihatannya anak itu manis, tetapi repotnya kadang-kadang mereka menjadi tidak berani menolak hal-hal yang membahayakan mereka.

GS : Sampai seberapa jauh batasan untuk mengajarkan anak bahwa yang ini kamu harus tolak, yang ini kamu harus patuh. Nah bukankah kadang-kadang anak juga akan mengalami kesulitan?

HE : Ya, betul, kita memang harus mengajarkan dulu yang mana yang mereka tidak boleh terima, yang mana yang harus mereka terima dan seterusnya. Jadi untuk hal ini PR-nya orangtua memang banak.

GS : Biasanya kami memulai dengan pokoknya yang dikatakan orangtua kamu patuhi tapi untuk yang di luar orangtua kamu pikir-pikir dulu.

HE : Mungkin untuk anak-anak yang masih lebih muda hal ini bisa dilakukan atau diterima oleh anak tetapi makin anak besar, anak harus diajak untuk berpikir. Jadi ada banyak hal yang perlu dtolak yang perlu anak ketahui, salah satu misalnya eksperimen seks di luar nikah, pornografi, judi, minum-minuman keras, menggunakan narkoba dan sebagainya.

Ini hal-hal yang sangat berbahaya yang menjadi masalah besar bagi anak-anak generasi sekarang ini.

ET : Apakah kita memang menunggu usia-usia tertentu untuk mengajarkan ini atau lebih dini lebih baik, menurut Pak Heman bagaimana?

HE : Saya kira untuk mereka mengatakan 'tidak' kita perlu ajarkan sejak dini tetapi bukan itu saja misalnya hal-hal yang sudah boleh mereka ketahui misalnya tentang seks, minuman-minuman keas, itu sejauh usia perkembangan mereka kita perlu juga memberitahukan apa yang tidak baik, apa yang tidak boleh dilakukan dan seterusnya.

Dan kalau misalnya ada orang melakukan seperti ini kepada kamu, memegang bagian ini pada kamu, tolong kamu beritahukan segera kepada Papa dan Mama karena itu perbuatan yang tidak baik. Kamu harus lawan misalnya kamu mengatakan, "Tidak, tidak mau," dan sebagainya dengan keras kepada orang itu. Jadi dari kecil meskipun mereka belum tahu tentang seks di dalam arti yang sebenarnya, paling tidak mereka tahu bahwa hal-hal tertentu yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang lain itu membahayakan mereka dan harus mereka tolak.
GS : Saat yang paling tepat saya rasa anak ini mulai berinteraksi dengan orang di luar rumah, misalkan dia sudah mulai bermain-main di luar atau di jalan bahkan sudah mulai masuk sekolah. Misalnya dijemput, bukankah kadang-kadang ada orang yang tidak kenal yang menjemput dengan tujuan menculik. Jadi anak sudah dipersiapkan, "Kalau tidak kenal siapapun yang mengajak kamu, dirayu atau diberi hadiah kamu harus bilang 'tidak'."

HE : Ya ini contoh yang baik sekali, jadi anak diajarkan tentang bahaya apa yang perlu mereka hindari.

GS : Selain tadi yang Pak Heman katakan, masalah-masalah seksual apakah ada hal-hal yang lain?

HE : Hal-hal yang lain misalnya tentang narkoba, ini memang masalah yang cukup mengerikan. Memang tidak sepenuhnya kita bisa sungguh-sungguh mencegah secara total, tetapi paling tidak kita isa mengajarkan anak jangan sembarangan menerima pemberian misalnya permen, promosi makanan dan sebagainya.

Mereka tidak boleh menerima terutama yang gratisan atau kalau mau membeli pun mereka perlu bertanya dulu kepada orangtua apakah ini boleh atau tidak. Kalau ada orang-orang yang menawarkan sesuatu kepada mereka, apalagi dari orang yang tidak dikenal, mereka harus berani menolaknya. Ini yang perlu kita ajarkan kepada mereka.
GS : Berarti orangtua itu harus memberikan bimbingan kepada anak tentang bagaimana mengatakan 'tidak' kepada pihak-pihak yang mau merugikan dia. Tetapi bagaimana pola pembimbingan itu sendiri?

HE : Selain tadi yang sudah disebutkan kita memberitahukan dan memberikan pengetahuan tentang kehati-hatian dan tentang bahaya di sekitar kita, soal kriminalitas, soal seks, soal narkoba da sebagainya sesuai dengan batas usia mereka, kita juga perlu memberitahukan bagaimana cara menolak permintaan.

Contohnya antara lain menolak dan langsung pergi, salah satu contohnya kita bisa mengatakan seperti ini; kalau misalnya anak kita pernah diajak untuk membolos sekolah dan mereka cerita, kita bisa memberikan cara. "Kamu lain kali kalau diajak begitu, kamu boleh bilang begini: "Sorry, saya ini ada pelajaran yang belum jelas dan saya mau tanya kepada guru, mau ikutan yuk." Jadi setelah mengatakan sorry, mereka langsung pergi jangan terus berada di situ. Karena kalau terus di situ dan tidak langsung pergi, biasanya tekanan itu makin lama makin besar. Kemudian hal yang lain adalah kita perlu melatih anak untuk mengatakan 'tidak' dengan suara yang tegas dan cukup keras. Jadi ini bisa dalam permainan drama dengan anak, kita menjadi temannya yang jahat dan mereka yang harus menolak. Ini memang harus dimulai dari anak sejak muda, karena kalau mereka sudah mencapai usia remaja mereka tentu malu melakukan ini. Kemudian hal berikutnya adalah mereka diajarkan untuk menghindarkan diri dari situasi-situasi yang bisa membuat mereka serba salah. Jadi kalau mereka sudah tahu ada kelompok-kelompok tertentu yang kurang baik kita suruh agar tidak dekat-dekat dengan mereka, karena kalau mereka sudah dekat dan sudah masuk ke kelompok itu mereka akan susah untuk keluar lagi, ini perlu kita beritahukan kepada mereka agar mereka langsung pergi. Dan mungkin juga yang berguna adalah membantu anak mempunyai banyak kegiatan dan teman yang sehat, misalnya mengikutsertakan mereka dalam kegiatan gerejawi supaya mereka bisa ikut club olahraga yang baik, sanggar seni dan sebagainya.

ET : Jadi memang pilihan teman itu juga berpengaruh besar untuk mereka bisa berkata 'tidak'?

HE : Betul sekali, karena kalau teman-teman ini teman yang jahat bisa membuat tekanan sehingga lama-kelamaan mereka susah untuk mengatakan 'tidak', sedangkan teman-teman yang baik bisa memprkuat mereka, membantu mereka, mendukung mereka untuk mengatakan 'tidak' kepada kelompok yang jahat.

ET : Tapi kadang-kadang bisa jadi menimbulkan konflik yang lebih besar, karena dia dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, di keluarga yang baik, tetangga-tetangga yang baik, kemudian tema-teman sekolah yang baik.

Tetapi semakin besar anak bukankah pergaulannya semakin luas, kemudian sampai usia tertentu seperti matanya terbuka melihat wah ternyata ada yang tidak baik. Sementara dia menjadi tidak terlatih.

HE : Ya, bisa jadi begitu karena itu kita sebagai orangtua juga kalau bisa mempunyai hubungan yang baik dengan anak supaya kita bisa segera tahu apa yang mereka alami. Biasanya anak-anak yag baik yang dekat dengan orangtua akan bisa cerita dengan bebas apa saja yang dia alami, kalau misalnya mereka menghadapi tekanan yang lebih besar ketika mereka terbuka matanya lalu dengan bercerita orangtua mendengarkan, memahami tanpa terlalu banyak memberikan nasihat itu sudah merupakan suatu dukungan bagi anak, memperkuat anak untuk tidak ikut-ikutan.

GS : Memang sampai ada orangtua memindahkan anaknya dari sekolah tertentu karena orangtua melihat pergaulannya sudah mulai membahayakan bagi anaknya.

HE : Ini salah satu cara juga untuk menghindarkan anak dari tekanan yang terlalu berat, saya kira ini tindakan yang baik untuk dilakukan kalau memang itu memungkinkan.

ET : Walaupun tidak selalu menjamin juga Pak Gunawan?

GS : Memang tidak menjamin, tapi sebagai tindakan darurat dipindahkan anaknya ke sekolah yang lain, walaupun agak berat. Bagi anak itu sendiri keluar dari lingkungan itu juga berat karena sudah mempunyai banyak teman dan sebagainya.

HE : Betul, tetapi kita juga boleh melihat dengan satu kacamata yang positif juga, kadangkala meskipun anak ini hidup di lingkungan itu justru dia bertumbuh dalam kemandiriannya dan kekuatanya untuk menolak bahkan mungkin mempengaruhi teman-temannya ke arah yang baik.

GS : Ada kekhawatiran juga di dalam diri orangtua ketika mengajarkan anaknya untuk berkata 'tidak', orangtua masih khawatir jangan-jangan anak ini nanti berani melawan dia sebagai orangtua. Bukankah itu akan menjadi senjata makan tuan.

HE : Ya karena itu seperti yang di waktu lalu kita pernah membicarakan tentang mengajar anak akan kepatuhan maka urut-urutannya harus dari semula mengajarkan kepatuhan dan memberikan landasn yang baik lebih dulu.

Selain itu kita perlu memberikan landasan pengetahuan moral yang baik kepada anak di dalam Tuhan, jadi mengajar anak tentang Firman Tuhan sedari mereka masih kecil. Jadi mereka bisa membedakan mana yang baik mana yang tidak. Setelah anak patuh dan anak mempunyai ketulusan lalu kita ajarkan anak untuk mengatakan 'tidak' untuk melawan yang tidak baik, pada saat seperti itu anak sudah bisa melakukan pilihan di mana anak tumbuh di dalam dirinya rasa tanggung jawab dan kemandirian. Kalau urutan itu yang dipakai maka biasanya orangtua masih mempunyai otoritas kepada anak dan anak akan bisa memilih mana yang dia harus patuhi dan mana yang dia harus tolak.
GS : Bagaimana kita mengajarkannya Pak Heman, supaya anak itu bisa mengatakan 'tidak', secara tepat dan mengatakan 'ya' juga pada tempatnya?

HE : Pertama-tama kita perlu mengajarkan kepada mereka apa yang Tuhan sukai dan apa yang tidak berkenan di hati Tuhan. Dan berikutnya adalah mengusahakan supaya anak mempunyai kebanggaan dii dan identitas diri yang kuat.

Karena biasanya anak yang sering kali susah menolak permintaan temannya adalah anak yang tidak mempunyai kebanggaan diri, dia misalnya merasa rendah diri terhadap teman-temannya, jadi dia selalu ingin menyenangkan hati teman-temannya dengan cara memenuhi keinginan mereka. Kalau mereka mempunyai kebanggaan diri misalnya orangtua memberikan keterampilan tertentu yang unik kepada anaknya dan anaknya bangga dengan keterampilan itu. Atau anak ditumbuhkan kepercayaan dirinya di dalam keluarga sehingga dia tidak perlu mencari-cari perhatian di luar, mencari persetujuan dari teman-temannya di luar, maka anak-anak seperti ini dia akan lebih bisa menolak dan mengetahui mana yang tidak baik dan mana yang baik.

ET : Dan kadang-kadang yang saya lihat adalah penanaman kepatuhan justru membuat anak memang patuh tapi tidak mempunyai identitas diri, larut karena papa bilang tidak boleh, mama bilang tidk boleh.

HE : Ya betul, jadi apa-apa dari papa dari mama dan ini akan mudah sekali dipakai oleh teman-temannya untuk mempermalukan anak ini. Dan kalau anak ini malu, apa-apa ikut papa-mama akhirnya ia akah larut dan ikut teman-temannya.

Ya ini contoh yang baik.
GS : Memang tekanan dari teman-teman ini sangat besar Pak Heman terhadap diri seorang anak, sehingga anak lebih condong mengikuti apa yang dikatakan temannya daripada yang dikatakan orangtuanya?

HE : Betul, yang sering saya katakan kepada saya misalnya bahwa kalau kamu bisa membalik itu yaitu mempengaruhi teman-temanmu ke arah yang baik, kamu adalah seorang pemimpin, dan memang kam mempunyai arah atau jiwa seorang pemimpin.

Jadi dengan begitu dia bangga, bangga dengan keunikannya, bangga dengan kebaikannya dan bangga karena dia bisa menolak permintaan teman-temannya yang tidak baik.
GS : Berarti ada korelasi antara kebanggaan diri dan keberanian untuk mengatakan 'tidak', Pak Heman?

HE : Betul, ada kaitannya antara kebanggaan diri dengan penolakan itu, karena anak yang bangga dengan dirinya akan merasa bahwa dia diterima dan dikasihi orang pada umumnya. Kalau misalnya da satu, dua orang yang tidak suka kepada dia, dia tidak menjadi terlalu takut atau gelisah atau merasa mendapatkan tekanan yang sedemikian besar supaya orang lain menyenangi dirinya.

Dia sendiri sudah merasa puas dengan dirinya, merasa cukup senang dengan keadaan dirinya, jadi dia tidak perlu lagi ikut-ikutan dengan teman-temannya, apalagi misalnya diajak pacaran terus diajak hubungan seks dan sebagainya, karena dia merasa tubuh saya ini berharga, buat apa saya mengorbankan diri dan mengikuti ajakan teman saya.

ET : Tapi dasarnya untuk anak bisa mengatakan 'tidak' dengan tegas dan keras harus mempunyai kebanggaan terhadap dirinya.

HE : Betul itu landasannya.

ET : Masalahnya ini saya mencoba membayangkan mungkin ada orangtua yang mulai tegang karena membayangkan harus mengajarkan anak berkata 'tidak', karena bukankah ini juga berkaitan dengan eg orangtua juga.

Misalnya orangtua mengatakan sesuatu kemudian anak berkata 'tidak', bukankah orangtua akan merasa disepelekan. Padahal kadang-kadang bukankah ini merupakan bagian proses belajar anak.

HE : Ya, betul dan biasanya ini yang terus-terang saya sebagai orangtua juga bisa spontan bereaksi, misalnya ada rasa tidak enak, saya bisa membayangkan kebanyakan kita bisa tersinggung kalu ternyata anak menolak permintaan kita.

Tetapi mungkin saja ini tahapannya dan kita perlu menumbuhkan suasana yang lebih demokratis setelah anak sudah bisa taat kepada kita. Jadi secara perlahan orangtua juga perlu menyesuaikan diri, belajar menerima bantahan anak tanpa menjadi marah dan kemudian mengalihkan, jadi bukan dengan kemarahan tapi dengan diskusi, dengan dialog, sehingga dengan pembicaraan-pembicaraan seperti itu kita bisa berdebat tanpa harus merusak relasi antara orangtua dan anak dan anak tetap bisa menghargai kita.

ET : Saya membayangkan kalau misalnya kita sebagai orangtua dibesarkan dalam suasana keluarga yang tidak boleh membantah, saya rasa para pendengar pun kebanyakan mempunyai latar belakang seerti itu jadi waktu orangtua mengatakan A ya kita harus A, sementara sekarang kita justru diperlakukan kita bilang A, anak bilang B.

HE : Betul, jadi memang suatu hal yang berbeda dengan kebiasaan kita dan tentu ada masalah, tidak sedemian mudah. Sebagaimana yang sudah dibicarakan di waktu yang lalu tentang kepatuhan, meang kita perlu memilih mana yang lebih prinsip, mana yang anak perlu patuh, mana yang tidak perlu dan mereka boleh memiliki pendirian sendiri.

Kalau mereka misalnya mengatakan 'tidak', kita coba untuk diam sebentar dan coba kita lihat dulu kenapa mereka berbicara seperti itu, kalau perlu ajaklah anak ini bicara. Biasanya anak yang sudah pernah diajarkan tentang ketaatan mereka akan merespons kalau kita berbicara dengan mereka secara baik-baik, terutama kalau kita mendekati mereka dan menyentuh perasaan mereka.
GS : Memang yang perlu tahu kenapa justru anak itu mengatakan 'tidak' pada saat kita menyuruh melakukan sesuatu atau meminta sesuatu kepadanya.

HE : Ya, dan saya temukan juga ketika saya lebih sabar dan mau mendengarkan anak ternyata anak sering kali mempunyai alasan yang cukup kuat dan bisa diterima. Saya harus akui cukup sering sya yang salah karena terlalu memaksa anak.

GS : Memang proses belajar ini bukan pada diri anak saja, tetapi kita sebagai orangtua juga belajar memahami kenapa anak suatu saat itu mengatakan 'tidak' kepada kita.

HE : Betul, saya setuju sekali Pak Gunawan.

GS : Kemudian bagaimana kalau orangtua perlu memperhatikan anaknya yang mempermalukan diri, Pak Heman?

HE : Anak yang mempermalukan dirinya biasanya karena mereka kurang kebanggaan diri dan kenapa mereka bisa kurang bangga dengan diri sendiri karena apapun yang mereka lakukan jarang mendapatan pengakuan, penghargaan, baik dari orangtua, teman-teman maupun gurunya.

Jadi memang yang pertama-tama kita harus berikan kepada anak adalah penghargaan bahwa mereka itu unik, bahwa mereka itu mempunyai sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda dengan orang lain. Bagaimanapun kita harus temukan dan kita bisa temukan keunikan dari setiap anak dan kita memberikan dukungan kepada mereka. Selain itu yang perlu juga kita perhatikan adalah hubungan yang baik antara sesama orangtua dan orangtua dengan anak. Artinya kalau kita mempunyai dua hal ini kita bisa menghargai anak, kita bisa mempunyai hubungan yang baik dengan anak, maka anak biasanya tidak akan memandang dirinya secara negatif dan mereka tidak terbiasa dengan mempermalukan diri mereka sendiri.
GS : Memang perlu memberitahukan kepada anak ini apa risikonya kalau dia mengatakan 'tidak'. Jadi kita sudah memberitahukan kepada dia bahwa memang segala sesuatu yang sudah diputuskan itu akan membawa suatu risiko baik terhadap teman-temannya maupun orang lain, pasti ada risiko. Misalnya diajak hubungan seks di luar nikah kemudian dia mengatakan 'tidak', kemungkinan risikonya adalah pacaran ini putus. Jadi kita sebagai orangtua jauh-jauh hari sudah memberitahukan ini berisiko mengatakan 'tidak' tapi ini bisa diterima oleh anak.

HE : Ini point yang baik sekali, jadi kadang-kadang kita tidak boleh terlalu melindungi anak sejak kecil mereka juga perlu sekali-sekali merasakan bagaimana itu mengalami konflik dengan temn, dimusuhi dan kemudian ditinggalkan; yang penting kita bisa mendampingi, memberi nasihat dan menghibur mereka.

Dan kalau mereka mengalami hal-hal seperti ini lalu kita ajak mereka ngomong-ngomong dan menanyakan apa yang mereka bisa dan biasanya mereka lakukan dalam menghadapi keadaan ini dan seterusnya. Saya setuju sekali risiko ini harus diberitahukan.
GS : Memang di dalam mengajarkan sesuatu kepada anak kita selalu menggunakan landasan Firman Tuhan, suatu landasan yang kokoh dan suatu alat ukur yang sudah standar buat kita. Dalam hal ini apakah Firman Tuhan yang ingin Pak Heman sampaikan?

HE : Saya ingin membacakan dari Mazmur 1:1-2, "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dala kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam."

Kiranya orangtua bersama dengan anak juga boleh membaca dan siapa tahu boleh menghafal ayat ini menjadi pegangan di dalam kehidupan mendidik anak dan membesarkan anak.

GS : Terima kasih Pak Heman dan Ibu Ester untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengajar Anak Berani Menolak." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



66. Konsep Diri


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T173A (File MP3 T173A)


Abstrak:

Konsep diri merupakan bagian yang sangat penting dalam kepribadian dan hidup kita, karena selain menyangkut aspek pengetahuan, juga menyangkut aspek perasaan. Dengan memiliki konsep diri yang baik, kita akan merasa diri berharga serta memiliki kehidupan yang lebih memuaskan di dunia ini.


Ringkasan:

Konsep diri merupakan cara seseorang memandang atau menggambarkan dirinya. Kita dapat memiliki gambaran yang baik dan menyenangkan tentang diri kita. Sebaliknya, kita juga bisa mempunyai gambaran yang buruk tentang diri sendiri.

Konsep diri merupakan bagian yang sangat penting dalam kepribadian dan hidup kita, karena selain menyangkut aspek pengetahuan, juga menyangkut aspek perasaan. Konsep diri menentukan bagaimana kita bereaksi atau menanggapi dunia di luar kita, dan menentukan juga sejauh mana kita puas dengan hidup kita.

Konsep diri sebetulnya relatif stabil, tapi tetap dapat berubah secara perlahan. Kita bisa mengubahnya seiring dengan berjalannya waktu. Jadi kita tidak harus terus-menerus tersiksa dan dibelenggu oleh gambaran diri yang buruk. Ketika gambaran diri kita semakin membaik, kita pun semakin mampu menghargai diri sehingga relasi kita dengan Tuhan dan orang lain pun semakin baik pula. Tapi sekali lagi proses ini membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Dengan memiliki konsep diri yang baik, kita akan merasa diri berharga. Tidak sedemikian mudah lagi kita untuk kecewa dan kecil hati karena diremehkan dan dihina orang. Selain itu, kita pun tidak mudah dipatahkan oleh penderitaan. Dan karena merasa diri berharga, kita pun terdorong untuk lebih memperhatikan orang lain.

Konsep diri haruslah didasarkan pada pandangan yang objektif dan sehat sebagaimana yang diwahyukan Tuhan di dalam Alkitab. Dengan dasar ini, kita akan lebih mampu menghargai dan menerima diri, serta memiliki kehidupan yang lebih memuaskan di dunia ini.

Mazmur 8:4-6, "Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan, apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat."


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Konsep Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, kalau kita berbicara tentang konsep diri, mungkin Pak Heman bisa lebih dahulu menjelaskan sebenarnya apa konsep diri itu?

HE : Konsep diri adalah satu cara seseorang memandang atau menggambarkan dirinya. Kita bisa memiliki gambaran yang baik dan menyenangkan tentang diri kita, sebaliknya kita juga bisa mempunyi gambaran yang buruk tentang diri kita sendiri.

Konsep diri atau cara kita melihat diri ini merupakan bagian yang sangat penting di dalam kepribadian dan hidup kita. Karena selain menyangkut aspek pengetahuan juga menyangkut aspek perasaan. Jadi konsep diri menentukan bagaimana kita bereaksi atau menanggapi dunia di luar kita dan menentukan juga sejauh mana kita bisa puas dengan hidup kita.
GS : Kalau begitu apakah setiap orang mempunyai konsep diri?

HE : Betul, setiap orang mempunyai konsep diri hanya ada yang positif dan ada yang negatif ada juga yang tidak terlalu positif dan tidak terlalu negatif.

ET : Tadi Pak Heman mengatakan tentang aspek pengetahuan dalam konsep diri maksudnya bagaimana?

HE : Yang menyangkut pengetahuan adalah gambaran atau apa yang kita ketahui tentang diri kita, misalnya saya tahu bahwa saya mempunyai tubuh yang kurus atau mungkin ada orang yang mempunyaitubuh yang gemuk, wajah yang menarik atau tidak, cerdas atau kurang cerdas.

Selain itu kita juga tahu apa sifat baik dan sifat buruk kita, kesukaan atau ketidaksukaan kita, kurang lebih juga bagaimana orang lain memandang atau menilai diri kita, ini semua merupakan aspek pengetahuan di dalam konsep diri.
GS : Nah bagaimana kita bisa memperoleh pengetahuan atau bagaimana seseorang itu mendapatkan pengetahuan seperti itu?

HE : Pada awalnya ini berasal dari pengasuh atau orangtua kita saat kita masih sangat muda, lalu kita belum punya pandangan apa-apa tentang diri kita. Dari cara orangtua bereaksi, cara orantua menilai kita, kita membentuk konsep diri kita.

Dan di kemudian hari dari lingkungan yang lain di luar keluarga juga turut membentuk pandangan-padangan tentang diri kita, jadi dari sana awalnya kita mengetahui tentang diri kita.
GS : Lalu bagaimana dengan segi perasaan, yang tadi Pak Heman juga singgung?

HE : Perasaan merupakan aspek yang sangat penting karena apa yang kita tahu tentang diri kita itu sekaligus melibatkan perasaan-perasaan kita. Sebagai contoh kalau saya tahu tubuh saya kuru tetapi saya mempunyai perasaan tertentu misalnya saya cukup puas dengan tubuh saya yang seperti itu.

Atau sebaliknya saya orangnya tertutup dan saya merasa jengkel kenapa saya selalu merasa tidak nyaman bersama orang lain. Jadi ketika pengetahuan akan diri kita bergabung dengan perasaan kita, integritas kerpibadian kita terbentuk dan dengan itu kita menentukan sikap terhadap orang lain dan dunia di sekitar kita.

ET : Jadi maksud Pak Heman, ketika kita mempunyai pengetahuan tertentu tentang siapa diri kita itu akan menghasilkan perasaan-perasaan tertentu, begitu Pak?

HE : Ya, sering kali itu menjadi satu.

ET : Kalau misalnya memang tadi Pak Heman katakan, seseorang mengetahui dia pandai dan dia puas dengan hal itu. Tapi kalau misalnya tidak puas apa yang perlu kita lakukan untuk mengembangkan konsep diri ini Pak?

HE : Biasanya kalau tidak puas memang tidak selalu kita mudah melakukan sesuatu untuk memperbaikinya, tetapi sebagai arah kita perlu belajar lebih banyak untuk bisa menerima diri dan merasapuas terhadap diri sendiri.

Dan kita pun perlu menerima kelebihan atau pun kekurangan diri kita. Agar hal ini dapat dilakukan kita perlu sering mengucap syukur kepada Tuhan atas keberadaan diri kita dan kita percaya bahwa setiap kita diciptakan khusus sesuai dengan rencana dan kehendak Allah yang mulia.
GS : Dari dua aspek tadi yaitu pengetahuan dan perasaan, yang mana yang lebih menonjol dalam diri seseorang?

HE : Seharusnya perasaan itu yang lebih mempengaruhi, karena banyak aspek yang ditentukan oleh perasaan ini termasuk misalnya apakah kita puas atau apakah kita senang dengan orang lain ataudengan diri kita, itu semua dipengaruhi oleh aspek perasaan.

GS : Di sini perbedaan pria dan wanita tidak ada pengaruhnya, Pak?

HE : Di dalam hal merasa puas atau tidak antara pria dan wanita tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan, hanya aspeknya saja. Misalnya pada pria dewasa, umumnya karier menjadi salah sat yang cukup menentukan di dalam membentuk konsep diri yang positif, sedangkan wanita lebih mendasarkan diri pada relasi.

GS : Kalau seseorang mempunyai konsep diri yang buruk karena pikiran-pikirannya yang negatif, sebenarnya dari mana pikiran-pikiran negatif itu timbul?

HE : Pada awalnya itu berasal dari penilaian-penilaian negatif orang lain. Pada umumnya kita lebih condong atau lebih mudah dipengaruhi oleh penilaian-penilaian negatif ini. Jadi ada beberaa sebab kenapa orang bisa berpikir negatif tentang dirinya antara lain dari kritik orang lain, juga dari pengalaman-pengalaman hidup misalnya kegagalan yang terus-menerus.

Juga misalnya setiap kali dia bergaul, dia dijauhi oleh orang lain dst. Ini memungkinkan orang memandang dirinya secara negatif dan mempunyai konsep diri yang negatif.
GS : Apakah orangtua atau pengasuh juga bisa memberikan penilaian yang negatif?

HE : Ya, karena tidak jarang pengasuh cenderung melihat adanya sesuatu yang perlu dikoreksi pada diri anak asuhnya, sehingga dia cenderung melihat kekurangan daripada dia melihat kelebihanna.

Kecenderungan kita pada umumnya lebih mudah melihat hal yang negatif, sehingga hal itu berdampak kepada anak.
GS : Dengan berjumpa dengan banyak orang yang masing-masing orang memberikan penilaian, apakah seseorang itu tidak menjadi kacau di dalam menentukan konsep dirinya?

HE : Pada umumnya yang lebih berperan itu adalah pandangan yang pertama-tama dia peroleh di rumah. Misalnya di dalam keluarga, dia dikasihi atau diasuh dengan baik maka pada umumnya ini yan lebih mempengaruhi konsep dirinya.

Tetapi kalau misalnya dia menghadapi dunia luar yang terus-menerus secara konsisten juga menyerang dia, hal ini mau tidak mau akan mempengaruhi juga. Kacau di dalam arti apakah seseorang itu melihat dirinya seperti apa, tidak jelas, kabur mungkin tidak, kecuali kalau misalnya pada saat dia di rumah diasuh oleh pengasuhnya atau orangtuanya, dia tidak memperoleh gambaran diri yang sejelas yang diharapkan. Jadi misalnya orangtua yang tidak pernah mempedulikan atau memperhatikan anaknya, orangtua yang selalu berada di luar rumah, sehingga anak hidup dengan dunianya sendiri, tidak punya arah, nah hal ini mungkin saja bisa membuat konsep diri anak menjadi kacau.

ET : Jadi dari penilaian-penilaian negatif yang diterima, kemudian anak mengembangkan konsep diri yang negatif dan dari sana akan menghasilkan perasaan-perasaan tidak puas. Nah kalau terus-menerus merasa tidak puas dan terus-menerus negatif dalam konsep diri seseorang, apakah dampak terburuk yang mungkin terjadi?

HE : Ada banyak dampak yang buruk misalnya ada orang yang kemudian menjadi depresi, ada gangguan perasaan, gangguan kecemasan, emosi tidak stabil. Juga mempengaruhi relasi, antara lain dia uga bisa melihat orang lain dengan perasaan curiga atau dia sering menarik diri dari pergaulan atau dia cenderung menyerang orang lain, jadi hampir segenap aspek itu terpengaruh.

ET : Jadi ada aspek perilaku juga, dan apakah misalnya kalau kita melihat orang dengan pola perilaku tertentu kita juga dapat mengambil kesimpulan kira-kira konsep dirinya orang itu seperti apa, begitu Pak?

HE : Ya, kurang lebih kita bisa menilai seseorang dari konsep dirinya dilihat dari perilakunya.

GS : Ada orang itu selalu tidak puas dengan apa yang dimiliki pada tubuhnya sehingga dia rela mengeluarkan banyak uang untuk terus memperbaiki, padahal dirinya itu sudah baik tetapi dia merasa dirinya itu buruk. Apakah sikap seperti ini bisa dirubah, Pak?

HE : Bisa, tetapi memang membutuhkan usaha kuat dan mungkin juga perlu bantuan kalau memang konsep dirinya sudah sedemikian buruknya. Perlu waktu dan proses yang panjang juga, jadi ini tergntung kepada awal atau dasarnya.

Sebetulnya konsep diri ini bisa dilihat bahwa ada hal-hal yang bersifat subyektif. Orang sudah melihat dia cukup baik, cukup cantik tapi dia terus merasa bentuk tubuhnya tidak memenuhi syarat. Mungkin pada awalnya dia tidak mempunyai dasar pembentukan konsep diri yang positif.
GS : Orang yang tidak mempunyai rasa percaya diri apakah itu berarti konsep dirinya kurang baik?

HE : Betul, jadi kalau misalnya kurang percaya diri itu berarti dia mempunyai konsep diri yang merasa dirinya itu lebih rendah, lebih di bawah dibandingkan orang lain.

ET : Tadi Pak Heman mengatakan soal konsep diri yang subyektif, yang membuat orang justru kalau berbicara soal puas tidak puas, terus tidak puas dengan dirinya dan ingin melakukan upaya-upaa untuk meningkatkan supaya menjadi lebih baik.

Sesungguhnya apakah memang ada patokan konsep diri yang obyektif yang bisa menjadi standar untuk orang bisa menerima dirinya sendiri?

HE : Kalau kita mau obyektif adalah bagaimana kita bisa memandang diri kita sebagaimana Firman Tuhan atau Allah memandang diri kita. Ini memang tidak mudah karena kita harus mulai kembali dngan dasar Firman Tuhan.

Tuhan sangat menghargai manusia, menghargai kita dan Tuhan mengasihi kita, ini yang harus menjadi dasar yang obyektif bagi diri kita. Jadi bukan karena kita cantik, bukan karena kita kaya atau karena kita baik dan sebagainya yang membuat Tuhan itu menghargai kita dan mengasihi kita, tetapi Tuhan memang menghargai dan menciptakan kita seperti ini.

ET : Seharusnya pengetahuan atau pemahaman ini membawa perubahan dalam perasaan atau perilaku kita juga dan itu sejauh mana, Pak?

HE : Kalau kita bisa senantiasa berpijak pada dasar ini dan kemudian juga kita sering merenungkan, membaca dan juga meyakini, berdoa dan berkomunikasi dengan Tuhan, maka kita akan semakin ykin, semakin mempunyai iman yang teguh di dalam Dia.

Nah kita ini pada awalnya adalah orang berdosa yang hina, ini yang dikatakan Firman Tuhan, tetapi atas anugerah Allah ketika kita dibenarkan oleh pengorbanan Kristus di atas kayu salib kita memperoleh status yang sangat tinggi di hadapan Allah sebagai orang yang dikuduskan dan diangkat menjadi anak-anakNya. Ini adalah gambaran obyektif yang diberikan oleh Alkitab. Masalahnya memang kita sering kali dipengaruhi oleh beban atau pengalaman penilaian orang di masa lalu yang memang susah untuk kita tinggalkan. Nah ini harus digantikan, untuk menggantikan memang perlu suatu jangka waktu juga, agar kita meyakinkan diri kita terus bahwa kita adalah anak-anak yang dikasihi oleh Tuhan.
GS : Problemnya kadang-kadang muncul ketika kita membandingkan. Kita memang merasa Tuhan mengasihi kita, tetapi ketika kita melihat orang lain, kita melihatnya bahwa orang lain itu lebih dikasihi. Kita sudah puas dengan kondisi kehidupan ini, tapi kalau kita melihat orang lain, kita baru menyadari bahwa orang lain itu hidupnya lebih enak dari kita, sehingga konsep diri itu menjadi goncang.

HE : Ya problem ini memang tidak mudah dan kita hidup selalu di dalam perbandingan-perbandingan. Tetapi kalau kita melihat di dalam Alkitab kita harus percaya bahwa Tuhan itu menghargai karkter dan Tuhan sangat mengasihi, menghargai terhadap orang-orang yang mengembangkan sifat-sifat yang baik di dalam dirinya.

Kita bisa melihat itu pada diri para nabi yang dihargai Tuhan karena sifatnya bukan karena suatu kekayaan dan sebagainya. Itu yang harus kita usahakan dan terus-menerus kontak dan mengadakan komunikasi dengan Tuhan, itu penting sekali.
GS : Di dalam hal ini seseorang yang merasa dikasihi oleh Tuhan, diberkati oleh Tuhan, apakah dia tidak mudah terjerumus pada suatu kesombongan rohani yang sering kali diucapkan orang dan dia merasa lebih superior daripada yang lain.

HE : Seharusnya kalau orang itu memang hidup di dalam Tuhan maka dosa juga akan semakin sedikit dilakukan, jadi semakin kecil kemungkinan dia berbuat dosa termasuk kesombongan. Dan semakin rang di dalam Tuhan dia akan semakin rendah hati.

ET : Saya masih tertarik dengan pernyataan Pak Heman bahwa konsep diri itu ditanamkan sejak kecil. Jadi mungkin mengubah konsep diri pada anak-anak atau pada anak remaja, mungkin lebih muda dibandingkan dengan orang dewasa yang mungkin sudah berumur 30, 40 tahun tetapi selama hidupnya mempunyai konsep diri yang begitu buruk.

Mungkin di usia 30, 40 tahun atau mungkin lebih sudah terbiasa dengan melihat diri tidak ada yang positif, tidak ada kelebihannya. Nah mungkin ada di antara para pendengar yang bergumul dengan hal ini, saran-saran apakah yang mungkin Pak Heman bisa bagikan?

HE : Ada ucapan yang cukup terkenal yaitu "orang boleh saja menghina kita tetapi yang penting kita sendiri jangan menghina diri kita," ini penting untuk konsep diri kita. Satu hallagi adalah "bagaimanapun penilaian orang, kita sendiri perlu menghargai diri kita sendiri, dengan kita menghargai diri kita sendiri nantinya orang lain juga akan menghargai diri kita."

Kalau kita mengacu kepada kehidupan Tuhan Yesus sendiri, Tuhan Yesus selama hidupNya di dunia ini, Dia miskin dan dihina orang. Sering sekali dikritik dan diremehkan orang, tetapi ini tidak mematahkan semangat Dia. Dan di sinilah kita bisa melihat betapa agungnya kepribadian Tuhan Yesus. Kita perlu mencontoh hal-hal seperti itu yaitu kita tidak mudah diremehkan atau dihina orang, karena sering kali orang menghina kita itu berarti kita adalah seseorang yang sesungguhnya berharga di mata orang itu. Kalau kita orang yang tidak punya apa-apa, tidak perlu orang itu menghina atau memandang rendah kita karena kita seseorang, maka kita pun diperhatikan dan dinilai orang. Ada hal lain yang saya lihat itu juga penting adalah kita sebaiknya bisa mempunyai beberapa orang sahabat. Sahabat penting karena bisa saling menghargai, saling mengkritik tanpa kita merasa terluka terlalu dalam. Kita perlu menjalin dengan kelompok-kelompok yang seperti ini sehingga kita juga tidak merasa terlalu tergoncang kalau misalnya kita diremehkan orang.
GS : Melalui kelompok itu menjadi semacam umpan balik buat kita yang menunjukkan sebenarnya siapa kita, apakah bisa seperti itu Pak Heman?

HE : Ya betul, dan terutama juga kita merasa diri kita diterima dan dikasihi oleh sebagian orang.

GS : Tadi Pak Heman mengatakan, wajah cantik dan ketenaran itu tidak selalu terkait dengan konsep diri yang sehat. Kalau begitu apakah yang dapat disimpulkan bahwa konsep diri tidak banyak dipengaruhi oleh kegagalan atau bentuk wajah kita yang kurang cantik itu?

HE : Ya, sebetulnya kegagalan dan kesuksesan juga kemampuan bentuk fisik kita itu sedikit banyak mempunyai pengaruh atas konsep diri. Kecantikan dan ketenaran tidak selalu membuat konsep dii kita positif.

Karena kita saksikan banyak artis yang cantik atau ganteng mereka tetap mempunyai konsep diri yang buruk. Jadi di sini sekali lagi menegaskan tentang subyektifitas konsep diri kita. Tetapi karena konsep diri kita juga dibentuk oleh penilaian orang lain dan mau tidak mau kita dipengaruhi oleh itu, maka tetap ada gunanya kita itu berdandan rapi dan menjaga penampilan diri. Demikian juga kita perlu tetap mengasah keterampilan dan meningkatkan kemampuan diri, terlepas dari itu konsep diri harus didasarkan pada pandangan Firman Tuhan sebagaimana yang Tuhan wahyukan melalui Alkitab. Dengan dasar ini kita lebih mampu menghargai dan menerima diri serta memiliki kehidupan yang lebih memuaskan di dunia ini.
GS : Misalkan ayat yang mana Pak Heman yang bisa kita perhatikan?

HE : Saya ingin mengutip dari Mazmur 8:4-5, "Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakahanak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat."

Ini adalah Mazmur dari Daud yang memuji Tuhan karena ciptaanNya yang agung dan Tuhan tetap menghargai manusia.

GS : Sebagai ciptaanNya, dan kita tetap berpedoman pada Firman Tuhan ini bahwa kita diciptakan oleh pencipta yang sangat agung dan keadaan kita pun sungguh agung. Terima kasih Pak Heman dan Ibu Ester untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Konsep Diri." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



67. Membangun Konsep Diri Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T173B (File MP3 T173B)


Abstrak:

Setiap anak mempunyai konsep diri, dan kita perlu membangunnya sehingga konsep diri ini bisa terbangun dengan baik dan positif. Menjadikan anak yang baik dan sehat, konsep dirinya biasanya ditunjukkan dalam tingkah lakunya yang relatif bebas dan gembira. Konsep diri anak dibagi atas anak yang memiliki kemampuan intelektual dan yang memiliki intelektual kurang.


Ringkasan:

Setiap anak mempunyai konsep diri, dan kita perlu membangunnya sehingga konsep diri ini bisa terbangun dengan baik dan positif. Ada beberapa ciri konsep diri yang positif, yaitu:

Ada beberapa hal yang orangtua perlu perhatikan untuk membangun konsep diri yang baik dan sehat pada anak, yaitu:

Untuk anak yang memiliki kemampuan intelektual yang kurang, yang perlu orangtua lakukan untuk membentuk konsep diri anak yang baik adalah:

Mazmur 139:13-17, ini Mazmur Daud "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepadaMu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagiMu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mataMu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiranMu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!" Ini menggambarkan waktu kita belum lahir pun Tuhan sudah membentuk kita dengan begitu ajaib.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun Konsep Diri Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, beberapa waktu yang lalu kita berbicara tentang konsep diri secara umum dan dampak-dampaknya. Sekarang kita akan mencoba memfokuskan perhatian kita pada bagaimana membangun konsep diri anak. Nah di dalam hal ini apakah seorang anak membutuhkan konsep diri?

HE : Setiap anak mempunyai konsep diri, yang perlu kita lakukan adalah membangunnya sehingga konsep diri ini bisa terbangun dengan baik dan positif.

GS : Seperti apa yang baik dan positif itu?

HE : Ada beberapa ciri yang bisa kita lihat dan bisa kita kelompokkan ke dalam dua hal, yaitu yang pertama anak yang baik dan sehat, konsep dirinya biasanya ditunjukkan dalam tingkah lakuny yang relatif bebas dan gembira.

Mereka merasa bebas dari rasa takut berlebihan atau perasaan sedih terus-menerus dan mereka juga relatif mudah mengendalikan kemarahan. Mereka mudah menunjukkan perasaan mereka yang sebenarnya dan dapat mengkomunikasikan diri dengan jelas. Mereka lebih disukai di dalam pergaulan, karena mereka tampil menyenangkan, mereka suka menolong dan lebih menyukai persahabatan.

ET : Jadi konsep diri dapat membuat anak tampil dengan lebih menyenangkan, apakah Pak Heman dapat menjelaskan hubungannya dari konsep diri yang sehat dan membuat anak lebih disukai?

HE : Biasanya anak yang sehat akan melihat dirinya secara positif, karena anak menilai dirinya pantas untuk dikasihi dan mendapat perhatian. Jadi dia tidak perlu bertingkah laku aneh atau mmbuat masalah untuk menarik perhatian orang lain.

Karena mereka memandang diri positif, pada umumnya mereka juga memandang orang lain secara positif juga, sehingga mereka tidak perlu memusuhi, menyerang orang lain atau sebaliknya menarik diri dari orang lain. Sebaliknya anak yang memiliki konsep diri yang sehat juga banyak terdorong untuk memperhatikan dan menolong orang lain karena mereka merasa gembira dan menganggap diri mereka cukup beruntung.
GS : Dalam hal ini apakah anak tersebut yang mempunyai konsep diri yang begitu baik tidak kemudian menjauhkan diri dari teman-temannya yang lain yang dianggapnya tidak seperti dia?

HE : Kalau konsep diri mereka ini sehat dan baik, mereka justru suka dengan pergaulan, mereka senang memperhatikan orang lain. Karena fokus mereka bukan lagi pada dirinya dan merasa bahwa drinya kurang dibandingkan dengan orang lain, jadi fokusnya lebih ke arah luar.

GS : Nah tentu semua orangtua berkeinginan mempunyai anak yang mempunyai konsep diri yang baik dan sehat, tetapi bagaimana atau apa yang bisa dilakukan orangtua untuk membangun konsep diri seperti itu?

HE : Ada beberapa hal yang orangtua perlu perhatikan, yaitu yang pertama orangtua perlu menyatakan kasih dan perhatian yang cukup kepada anak. Kalau orangtua bisa menyatakan kasih, orangtuaakan memperlihatkan bahwa anak ini memang layak untuk dikasihi dan ini membuat anak mempunyai konsep diri bahwa saya ini memang anak yang pantas untuk dikasihi.

Dan hal yang kedua adalah kehadiran orangtua perlu cukup, di samping kehadiran orangtua juga perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Kehadiran dan komunikasi orangtua ini berfungsi untuk mengisi hidup anak sehingga anak merasa hidupnya terisi jadi tidak merasa hidupnya kosong. Anak juga memerlukan nasihat, arahan, dari orangtua sehingga mereka juga mengetahui siapa mereka sesungguhnya.

ET : Tampaknya kehadiran ini yang mungkin kurang disadari bahwa itu memang berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak?

HE : Ya betul, padahal ini penting, karena anak membentuk identitas dirinya jadi tahu mereka itu siapa berdasarkan identitas orangtuanya. Sering kali kalau kita bertanya kepada anak, maka aak akan mengatakan, "Saya anaknya........."(dia

sebut nama papanya atau sebut nama mamanya) dan anak laki-laki biasanya suka kalau dikatakan dia mirip dengan papanya atau kalau anak perempuan mirip dengan mamanya. Karena ini memang dasar-dasar pembentukan konsep diri yang paling awal.

ET : Padahal sekarang kalau saya bayangkan khususnya di kota-kota besar orangtua yang dua-duanya sibuk kerja, tidak terlalu hadir dalam kehidupan anak. Mungkin cukup banyak juga yang terganikan oleh televisi atau media-media yang ada.

HE : Ya, dan ini saya kira kita perlu khawatirkan.

GS : Apakah ada dampak buruk yang langsung nyata Pak?

HE : Misalnya yang langsung terlihat adalah kehilangan arah, dan kalau anak kehilangan arah kemudian dia tidak mempunyai konsep diri yang sehat, dia akan lebih mudah untuk dipengaruhi. Kala pengaruh ini positif tidak apa-apa, tetapi kalau pengaruh ini dari teman-teman yang lebih nakal, anak-anak seperti ini mudah sekali menyimpang.

ET : Dan mungkin juga akhirnya gambaran diri itu lebih ingin seperti tokoh-tokoh yang ada di media-media itu. Bahwa orang yang cantik itu mungkin harus rambutnya panjang, rambutnya hitam, wajah seperti apa, penampilan seperti apa dan itu yang mempengaruhi mereka, Pak Heman?

HE : Betul, tepat sekali apalagi kalau misalnya anak laki-laki sering menonton film kekerasan, dan dia anggap itu jagoan dan dia mengidentifikasikan dirinya dengan jagoan itu, mungkin saja nak-anak ini menjadi agresif sekali.

GS : Selain kedua hal tadi Pak Heman, apakah ada hal lain atau faktor lain yang bisa mempengaruhi terbentuknya konsep diri pada anak?

HE : Hal lain yang juga penting adalah kalau kita ingin terbentuknya konsep diri yang positif, perlu orangtua menghargai anak-anaknya. Jadi anak memerlukan pujian serta pengukuhan atas apa ang baik yang telah mereka lakukan.

Kalau misalnya orangtua tidak berkomentar waktu anak bertingkah laku baik, tetapi begitu mereka melakukan kesalahan orangtua mencela dan memarahi mereka, anak akan terus-menerus merasa mereka penuh kekurangan dan tidak layak. Konsep diri mereka menjadi buruk, dengan demikian mereka kadang-kadang harus berjuang seumur hidup hanya untuk membuktikan bahwa diri mereka cukup berharga.

ET : Saya menjadi ingat juga dengan teman-teman yang pada masa kecilnya pernah mendapatkan panggilan-panggilan tertentu sesuai dengan kondisi tubuhnya. Mungkin waktu kecilnya gendut, sampaidewasa walaupun sekarang kurus tetapi tetap dengan panggilan gendut.

Nah hal-hal seperti itu apakah termasuk dalam penghargaan juga Pak Heman?

HE : Harusnya misalnya anak yang gendut dan sebagainya jangan diejek atau dicemooh, karena itu bisa menimbulkan suatu gambaran buruk di dalam konsep diri mereka. Kita mengarahkan ke hal-halyang positif dan terutama adalah kita mengarahkan kepada sifat-sifat atau karakter baik mereka.

GS : Bagaimana dengan faktor keluarga, apakah keharmonisan keluarga atau sebaliknya ketidakharmonisan keluarga itu akan membentuk konsep diri anak, Pak?

HE : Ini tepat sekali bahwa keharmonisan keluarga cukup banyak mempengaruhi konsep diri anak. Kalau orangtua sering bertengkar dan rumah tangganya bermasalah, itu akan membuat anak merasa bhwa kehadiran merekalah yang membuat orangtuanya tidak harmonis.

Memang ini tampaknya tidak logis, tapi sering kali ini yang diyakini anak. Jadi mereka sering merasa buruk meskipun sebetulnya pertengkaran orangtua bukan disebabkan oleh anak-anak dan di dalam beberapa keluarga anak-anak ini yang menjadi korban atau kambing hitam. Sebaliknya orangtua yang harmonis membuat anak merasa bangga dengan keluarga mereka. Dan keluarga mereka bisa menjadi sumber identitas diri mereka yang kokoh.

ET : Tadi Pak Heman menyebutkan tentang kasih, penghargaan, orangtua yang harmonis sebagai dasar untuk membangun konsep diri yang baik. Tapi kenyataannya anak-anak ini dengan sifat keberdosan yang ada kadang-kadang juga memang butuh ditegur, dimarahi atau dihukum.

Dalam hal ini bagaimana kita bisa melakukan atau menerapkan pendisiplinan ini tapi tanpa merusak konsep diri anak?

HE : Kalau arahan, teguran dan sanksi itu diberikan dengan porsi dan cara yang pas, maka berbagai cara seperti itu akan mempunyai dampak yang positif terhadap konsep diri anak. Jadi anak tahu arahnya, ada yang disebut konsep diri ideal, anak tahu apa yang dituju dan dia relatif cukup puas dengan dirinya tetapi dia tetap mempunyai semangat untuk memperbaiki dirinya mencapai target konsep diri yang ideal yang dia cita-citakan. Tetapi sebaliknya kalau misalnya porsinya itu berlebihan atau juga terlalu keras, itu akan berdampak negatif. Saya berikan contoh yang positif lebih dulu, misalnya anak TK mengambil mainan di sekolah dan dibawa pulang padahal itu milik sekolah, maka kalau kita memberikan nasihat bahwa ini yang namanya mencuri dan kita membimbing anak itu mengembalikan ke sekolah dan kalau anak ini sebelumnya sudah mendapatkan kasih yang cukup biasanya anak ini akan mau berkerja sama. Selain itu akan tumbuh kepercayaan diri sehingga dapat mendorong anak-anak lain untuk tidak melakukan pencurian yang serupa. Tetapi misalnya yang berlebihan adalah kalau kita menghukum anak padahal kita belum mengajarkan, belum memberikan nasihat, belum menegur tetapi tiba-tiba menghukum anak ini kemudian mungkin menelanjanginya, mengurungnya di kamar mandi sampai berjam-jam, ini kita akan merusak harga diri mereka karena anak-anak ini akan merasa dirinya dihina dan dipermalukan.

GS : Ada anak yang tidak mendapatkan perhatian tapi malah dicaci maki terus-menerus oleh orangtuanya, mungkin karena kehadirannya memang tidak diharapkan di tengah-tengah keluarga. Itu bagaimana pengaruhnya terhadap pembentukan konsep diri anak yang masih mudah ini?

HE : Ya, ini akan berdampak buruk sekali, anak ini akan terus memandang dirinya secara negatif dan mungkin saja dia terbawa ke dalam depresi. Kadang-kadang perasaan ingin bunuh diri awalnyadari sini, dia membenci dirinya bahkan ada juga yang membenci semua orang termasuk orangtuanya, ini sebaiknya tidak dilakukan.

GS : Pak Heman, memang di tengah-tengah kita sebagai orang dewasa banyak persaingan-persaingan yang bisa kita lihat. Tetapi kita juga bisa menyaksikan bahwa di tengah-tengah dunia anak sekarang ini sangat ketat atau sangat kuat, misalnya dengan barang-barang tertentu elektronik dsb, bukankah tidak semua orangtua itu mampu membelikan atau menyediakan apa yang diminta anak. Dalam hal ini apakah ada pengaruhnya juga?

HE : Ya ini cukup besar pengaruhnya, namun saya juga mengerti bahwa ini kondisi yang sulit yang sedang kita hadapi. Tetapi kita bisa menjadikan ini suatu tantangan di dalam konsep diri anak Saya ingin mengutip gagasan dari Dr.

James Dobson, dia adalah seorang psikolog terkemuka di Amerika yang antara lain menyatakan bahwa "konsep diri yang sehat itu dibangun di atas karakter yang baik." Artinya anak perlu diajarkan dari kecil bahwa yang membuat seseorang berharga di mata Allah adalah sifat kepribadiannya yang baik bukan kekayaan atau kecerdasannya. Ini harus dibangun dulu sebagai dasar sehingga anak mempunyai kebanggaan diri, setelah itu kita baru bisa mengarahkan kepada anak bahwa misalnya hal-hal yang lain kemewahan itu tidak penting, bukan merupakan hal yang nomor satu. Memang tidak mudah tetapi kita bisa membantu anak untuk menghadapinya.

ET : Apakah itu berarti kita tidak perlu memberikan kepada anak-anak barang-barang yang mungkin memudahkan anak sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada?

HE : Tentu tidak harus demikian, kalau misalnya perkembangan teknologi itu sungguh diperlukan untuk perkembangan keterampilan dan intelektual anak dan itu bisa kita usahakan, kenapa tidak. api kalau itu sebagai dasar konsep diri anak maka itu akan menyimpang, jadi kalau akhirnya mereka harus bersaing dengan kemewahan ini akan menjadikan masalah karena persaingan itu tidak ada habisnya.

Dan tidak semua kita mampu untuk mengusahakannya tetapi kita mendasarkan diri pada fungsi, jadi bukan kemewahannya. Kalau misalnya anak tidak perlu mempunyai HP, saat ini belum perlu, kita tidak perlu memberikannya kecuali kalau memang kita merasa anak ini memang sangat perlu, kita juga perlu memantau dia, dia ada di mana dan sebagainya. Nah berikan HP yang sewajarnya saja jangan yang terlalu mewah, kemudian kalau misalnya kita belum mampu mengusahakan seperti itu, kita juga harus memperkokoh konsep diri mereka, sehingga mereka juga bisa menghadapi rasa malu karena kalah di dalam persaingan dengan teman-temannya.

ET : Soalnya kadang-kadang saya melihat ada anak-anak tertentu yang merasa lebih baik saya tidak diberi HP daripada saya diberi HP tapi sudah ketinggalan zaman, begitu Pak?

HE : Ya, itu karena mereka mulai merasakan status sosial, gengsi dan sebagainya. Makanya kita harus mulai dari awal, anak itu diajarkan tentang firman Tuhan, bahwa kemiskinan atau kesederhaaan itu bukan sesuatu yang hina, bahwa justru Tuhan menyebut yang berbahagia adalah orang yang miskin di hadapan Allah.

Karena mereka akan menjadi kaya, di dalam kerajaan sorga banyak orang miskin yang mempunyai status yang tinggi di hadapan Allah, ini perlu kita tanamkan sejak dini, sejak mereka belum mengetahui apakah itu persaingan, apakah itu gengsi dan sebagainya. Saya kira akan lebih mudah kalau sejak kecil mereka sudah mengenal Firman Tuhan dengan baik.
GS : Pak Heman, anak juga mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam hal intelektualnya. Kalau seorang anak yang tidak terlalu pandai kemudian dicemooh di kelasnya bahkan di tengah-tengah keluarganya, nah ini bagaimana orangtua itu bisa membantu supaya anak itu mempunyai konsep diri yang baik?

HE : Kalau orangtua ingin membantu anaknya mempunyai konsep diri yang baik maka yang perlu kita lakukan adalah yang pertama, jangan sampai kita memberi kesan kepada anak bahwa kita menganggp remeh atau kita menyetujui celaan-celaan terhadap mereka.

Kemudian yang kedua kita perlu membangun karakter yang baik pada mereka dan itu yang kita jadikan sebagai salah satu patokan di dalam konsep diri mereka. Ketiga, kita juga memperhatikan keunggulan-keunggulan mereka, bukan saja menghargainya tetapi kita kembangkan sehingga mereka mempunyai kebanggaan juga meskipun mereka tidak perlu menjadi juara I, jago olahraga atau jago musik, melukis, tapi setidaknya mereka mempunyai pengalaman istimewa di dalam hal keunggulan ini. Dengan demikian kalau mereka mempunyai kebanggaan mereka tidak dengan mudah terseret ke sana dan ke sini.

ET : Masalahnya sistem pendidikan yang ada sering kali mengelompokkan anak cerdas atau tidak cerdas itu dari prestasi akademis. Kadang-kadang orangtua suka menanyakan anaknya ranking berapa kamu ranking berapa, jadi itu membuat anak tertekan walaupun dia tahu dia punya kelebihan di bidang yang lain.

HE : Betul, jadi memang tidak mudah kita bisa membantu dengan memberikan contoh dari tokoh-tokoh cerita yang yang terkenal. Ada banyak tokoh terkenal misalnya seperti Thomas Alfa Edison ata Einstein, yang waktu kecilnya dianggap bodoh, dianggap lamban dan sebagainya bahkan Edison pernah dikeluarkan dari sekolah.

Dengan cerita-cerita ini mereka dibantu untuk merasa lebih percaya diri, lebih mempunyai konsep diri yang positif. Karena pada akhirnya yang menentukan seseorang itu hidupnya memuaskan atau tidak kemudian apakah mereka cukup sukses di dalam hidup, itu bukan kecerdasan, itu bukan unsur utama, tetapi antara lain adalah konsep diri yang positif.
GS : Pak Heman, ada anak yang mudah sekali dipengaruhi oleh teman-temannya untuk melakukan hal-hal yang tak terpuji, apakah ini berkaitan dengan konsep diri anak yang buruk?

HE : Kalau anak mudah terseret dengan itu, mudah dipengaruhi berarti dia memang kurang teguh, dia cenderung mempunyai konsep diri yang buruk karena dia tidak mantap dengan dirinya dan karen itu dia perlu mengandalkan orang lain, jadi dia lebih menghargai pendapat orang lain daripada pendapatnya sendiri.

GS : Memang kadang-kadang di rumah kita sudah berusaha untuk membentuk konsep diri yang baik, tetapi anak makin besar makin bersosialisasi dan banyak bertemu dengan orang lain. Nah bagaimana supaya pengaruh yang negatif itu bisa dicegah?

HE : Kalau misalnya anak kita dihina atau diejek oleh anak lain, yang pertama-tama kita mesti memberi peluang kepada anak untuk menumpahkan uneg-unegnya. Kita tidak boleh mengabaikannya saj, "Ya........sudah

tidak dihiraukan dan sebagainya," tetapi kita perlu terbuka dan menyatakan bahwa kita juga sedih mendengarkan ejekan itu, nah kalau kita membuka diri seperti itu anak akan lebih banyak bercerita dan menumpahkan perasaannya. Dan yang kedua setelah mereka menumpahkan perasaannya kita perlu memberi mereka kekuatan dan menghibur mereka. Kita bisa katakan misalnya semua nabi dan tokoh Alkitab yang baik-baik pun pernah diejek dan dipermalukan, demikian juga tokoh-tokoh dunia yang lain misalnya penemu atau presiden atau tokoh-tokoh hebat yang lain, itu semuanya pernah diejek orang.

ET : Pak Heman, kalau memang kita misalnya sebagai orangtua sudah menerapkan hal-hal yang pernah Pak Heman sampaikan tadi tentang membantu anak membentuk konsep diri yang positif, apakah ada peluang kalau anak-anak pada saat ini mempunyai konsep diri yang sehat tapi ternyata di kemudian hari di masa dewasanya menjadi orang yang mungkin terlibat dalam kriminal, menjadi pelaku kejahatan atau mungkin berubah menjadi orang yang tidak disukai lagi oleh orang-orang di sekitarnya?

HE : Ada saja peluang untuk itu karena konsep diri terus bertumbuh dan berubah seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup. Tetapi saya percaya kalau anak sudah mempunyai dasar kosep diri yang kokoh dan sehat, kemungkinan berubah ke arah yang buruk itu dapat dikurangi sampai sekecil mungkin.

Jadi memang ada peluang tapi peluangnya lebih kecil.
GS : Pembentukan konsep diri anak ini sesuatu yang sangat penting bukan saja untuk keluarga tetapi juga untuk bangsa ini, dalam hal ini apa yang Pak Heman ingin sampaikan dari Firman Tuhan?

HE : Saya ingin kutib dari Mazmur 139:13-17, ini Mazmur Daud "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepadaMu oleh karena kejaianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.

Tulang-tulangku tidak terlindung bagiMu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mataMu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiranMu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!" Ini menggambarkan waktu kita belum lahir pun Tuhan sudah membentuk kita dengan begitu ajaib.

GS : Jadi ini sebuah doa yang indah sekali yang disampaikan oleh Daud dan tentunya akan menolong kita semua untuk bisa menaikkan pujian seperti ini. Terima kasih Pak Heman dan Ibu Ester untuk kesempatan perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Konsep Diri Anak." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



68. Pelajaran Menjadi Orangtua 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T194A (File MP3 T194A)


Abstrak:

Untuk menjadi orangtua diperlukan satu syarat utama yaitu kemampuan untuk mengasuh anak, tetapi tidak semua orangtua mempunyai syarat itu. Mengapa demikian? Disini akan dijelaskan 5 alasan mengapa orang tua tidak memenuhi syaratnya sebagai orang tua.


Ringkasan:

Tidak semua orangtua telah berfungsi sebagai orangtua. Mengapa demikian?

Firman Tuhan: "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23)


Jadi, jika demikian apakah yang sesungguhnya harus kita perbuat untuk menjadi orangtua yang melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan kodrat dan panggilan kita?

Untuk menjadi orangtua diperlukan satu syarat utama yaitu kemampuan untuk mengasuh anak.
Berikut akan dipaparkan makna dan cara konkret mengasuh.

Firman Tuhan: "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pelajaran Menjadi Orangtua" bagian yang pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Berdasarkan kenyataan sehari-hari, menjadi orangtua itu memang tidak mudah, apalagi kita tidak dibekali dengan pendidikan yang cukup sehingga akibatnya sebagai orangtua kita mencoba belajar dari kesalahan kemudian yang menjadi korban adalah anaknya. Dalam hal ini Pak Paul, bentuk-bentuk macam apa kesalahan yang sering kali dibuat oleh orangtua?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, namun sebelum saya menjawab saya memang ingin mengamini yang Pak Gunawan tadi katakan. Yaitu kita ini memasuki pernikahan dan menjadi orangtua tanpa bekal yang cuup, itu faktanya.

Kadang kala kita berpikir bahwa kenyataan kita telah menjadi seorang anak, pernah hidup dengan orangtua, maka itu menjadikan kita akar atau bisa menjadi orangtua. Tapi kita tahu asumsi itu tidak tepat, bukankah sering kali kita mengulang kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh orangtua kita. ada di antara kita yang dibesarkan oleh ayah yang sangat keras sekali dan kita tidak suka karena kita menjadi korban kekerasannya. Tuntutannya berlebihan dan kita menjadi korban darinya, tapi setelah kita menikah dan mempunyai anak, kita menjiplak karakteristik ayah kita dan kita menjadi seperti dia. Untuk itulah saya kira kita perlu membahas tentang bagaimanakah menjadi orangtua yang Tuhan kehendaki. Namun sebelumnya kita akan melihat apa-apa saja bentuk-bentuk kekeliruan yang acap kali menjadi tipe atau model kita menjadi orangtua. Yang pertama adalah sebagian orangtua menjadi orangtua hanya karena mereka telah melahirkan anak, setelah anak dilahirkan mereka langsung mempercayakan peran dan tugas membesarkan anak kepada perawat atau pembantu atau neneknya atau kakeknya dan sebagainya. Jadi benar-benar mereka tidak berfungsi sebagai orangtua. Masalahnya adalah mereka menganggap ini sebagai sesuatu yang wajar/tidak apa-apa; kenapa, apa salahnya menitipkan anak untuk dibesarkan oleh orang lain, nanti mereka juga bertumbuh besar. Ini salah satu kekeliruan yang sering kali terjadi.
GS : Tapi sebenarnya secara naluri kita dibekali oleh Tuhan mempunyai rasa sayang kepada anak kita. Jadi sekalipun anak itu diserahkan pada pembantu atau perawat, itu juga sebenarnya dengan rasa kasih Pak Paul?

PG : Yang menarik adalah rasa cinta kepada siapapun itu harus dipupuk, makanya kita belajar di firman Tuhan, Tuhan berkata: "Kalau engkau mengasihi Aku, engkau menaati, engkau melakukan perinta-perintahKu."

Sebab mempunyai perasaan kasih kepada Tuhan namun tidak disertai ketaatan alias perbuatan-perbuatan konkret yang mematuhi Tuhan, pada akhirnya hanyalah akan memadamkan perasaan kasih itu kepada Tuhan. Jadi perasaan kasih memang harus terus-menerus dipupuk lewat perbuatan-perbuatan konkret. Kalau orangtua berkata saya mengasihi anak saya, tapi pagi sampai malam anak dirawat oleh orang lain, jarang sekali mereka bergaul akrab dengan anak-anak. Apa yang akan terjadi? Yang namanya kasih kepada anak itu lebih merupakan sebuah komitmen, sebuah pemikiran, sebuah tekad, sebuah keyakinan, berarti sesuatu hanya ada di kepala kita tapi di hati kita, perasaannya itu sendiri tidak ada atau kalau ada sangatlah sedikit.
GS : Memang kadang-kadang mempunyai perawat atau pembantu sampai dua untuk merawat anaknya, itu sudah bukan lagi merupakan kebutuhan bagi keluarga itu. Misalnya istri atau si ibu tidak bekerja tapi tetap menggaji perawat atau pembantu sebagai semacam status sosial Pak Paul.

PG : Betul, jadi ada sebagian orang yang beranggapan bahwa zaman sekarang tidak lagi zamannya mengurus anak seperti itu, mengurus popoknya anak, membersihkan kotoran anak, meninabobokkan anak, da orang-orang yang beranggapan bahwa itu bukan zamannya lagi.

Meskipun tidak ada pekerjaan di luar rumah, hanya di rumah tapi dia merasa ini bukan tanggung jawab saya, kalau saya bisa menggaji perawat kenapa tidak, biarkan perawat yang mengurus semua itu. Nah orangtua dalam hal ini tidak menyadari bahwa perbuatan mereka itu akan memberi dampak. Dampaknya adalah anak tidak menerima kasih dari orangtua secara langsung dan nyata. Mungkin papa-mama sekali-sekali berkata saya mengasihi kamu, tapi anak-anak perlu melihat secara langsung bentuk konkret kasih sayang itu. Anak-anak akhirnya berada dalam rumah bersama orangtua tapi hampir tidak ada pergaulan langsung dengan orangtua. Paling hanya seminggu sekali, pulang gereja makan bersama tapi apalah artinya satu jam, dua jam makan bersama dari satu minggu penuh. Sebab pagi sampai malam orangtua tidak pernah bergaul dengan anak-anak, nanti anak-anak sudah mulai besar meskipun ada perawat, anak-anak sudah bisa mengurus diri, nah apa yang akan dilakukan oleh orangtua; sekali-sekali bertanya bagaimana PR mu, baik, dan sebagainya. Sudah......, akhirnya hanya seperti itu percakapan antara orangtua dan anak karena tidak ada lagi bahan percakapan, apa yang mau dipercakapkan memang tidak ada. Dan tambahan lagi anak-anak ini juga akan kehilangan kesempatan untuk mencontoh atau belajar dari orangtua. Mungkin saja orangtuanya dikenal di masyarakat atau di gereja sebagai orang-orang yang baik tapi si anak-anak hampir tidak pernah melihat mereka. Jadi apa yang bisa dicontoh atau diserap dari orangtua, hampir tidak ada karena jarang sekali berinteraksi, tidak mendapatkan dekapan, perhatian, diajak bicara, diajak untuk misalkan mengerti sesuatu, tidak ada semua itu; si anak kehilangan sesuatu untuk belajar atau menyerap dari orangtuanya.
GS : Dampak itu hanya dirasakan anak pada masa kecil atau nanti sampai remaja atau pemuda atau bahkan sampai dewasa pun masih terasa dampaknya?

PG : Biasanya dampaknya pada masa remaja itu berbeda, waktu si anak merasakan kehilangan kasih sayang itu dan kesempatan untuk mencontoh dari orangtuanya, justru sering kali masalah timbul di uia remaja.

Yaitu dia tidak sungkan-sungkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh orangtuanya, tidak ada yang menahan si anak karena si anak tidak merasa sungkan, tidak merasa, "Aduh......kok saya menyakiti orangtua seperti itu." Sebab memang tidak ada perasaan-perasaan seperti itu. Jadi dengan kata lain buah itu baru nanti kita petik di usia remaja. Di usia dewasa, kita tambah melihat itu; si anak pergi lama tidak telepon, tidak menghubungi, tidak mengabari perkembangannya, kita bertanya-tanya dia tapi dia tidak menjawab. Kenapa, karena memang tidak ada kontak batiniah, sebab dari kecil tidak pernah terjalin.
GS : Apakah ada bentuk kesalahan lain yang diperbuat orangtua pada umumnya?

PG : Ada Pak Gunawan, ada orangtua yang menjadi orangtua atas dasar kebutuhan. Misalnya ingin dikasihi, ingin merasa diri berharga, alhasil anak dituntut untuk memenuhi kebutuhan mendasar oranguanya.

Saya mengerti memang orangtua tidak sempurna, jadi ada orangtua yang memiliki latar belakang yang buruk atau yang penuh dengan kekurangan-kekurangan kasih sayang, penghargaan dan sebagainya. Akhirnya semua itu dibawa sampai usia dewasa. Seyogianya orangtua mencoba membereskan semua ini dengan pertolongan teman-teman, dengan pertolongan hamba-hamba Tuhan, beranikanlah diri untuk membuka masalahnya kepada orang sehingga bisa mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya. Tapi ada sebagian orang tidak melakukannya kemudian masuk ke pernikahan, tetap membawa semua itu. Akhirnya dia akan menuntut pasangan untuk memenuhi kebutuhannya misalkan untuk merasa dihargai. Tapi sering kali bukan hanya dari pasangan, dia juga akan menuntut dari anak-anaknya. Kalau anaknya sedikit tidak hormat, dia akan marah luar biasa, kalau anak-anaknya sedikit melakukan suatu kesalahan di luar yang normal anak-anak kecil melakukannya juga; marah luar biasa, membuat malu kami dan sebagainya. Atau butuh dikasihi, butuh anak-anak terus-menerus menanyakan, benar-benar memanjakan kita. Kalau sedikit saja anak lupa untuk seolah-olah memberi perhatian kepada kita, kita ngambek, kita menganggap anak tidak mengasihi kita, kita marah, tersinggung dan sebagainya. Jadi kita justru menuntut anak menjadi orangtua buta kita, memenuhi semua kebutuhan kita yang tak terpenuhi.
GS : Tapi sampai batas-batas tertentu sebenarnya kebutuhan untuk diperhatikan, kebutuhan untuk dikasihi oleh anak, bukankah itu masih wajar Pak Paul?

PG : Wajar sebab memang kita berada pada suatu relasi yang akrab, dekat, jadi sudah tentu kita akan senang sekali jika mendapatkan reaksi-reaksi timbal balik dari anak-anak kita yang mengasihi ita, menghormati kita dan sebagainya.

Tapi intinya atau kuncinya adalah reaksi anak benar-benar reaksi Pak Gunawan. Artinya si anak itu memberikan reaksi kepada perlakuan kita, jadi si anak sebetulnya memberikan kepada kita karena mereka telah menerima dari kita. Nah yang saya maksud dengan orangtua yang masuk ke pernikahan membawa kebutuhan yang begitu banyak dan menuntut anak memenuhinya, adalah orangtua-orangtua yang sebetulnya tidak memberikan kepada anak. Atau kalau memberikan sangat sedikit tapi menuntut anak memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, membuat mereka berharga, membuat mereka merasa dikasihi sedangkan mereka sendiri tidak memberi terlalu banyak. Bukankah kalau kita memberi banyak kepada anak baik itu kasih sayang, penghargaan, anak-anak nanti secara otomatis akan memberikan penghargaan dan kasih sayang pula kepada kita.
GS : Mungkin kata kuncinya kita menuntut anak itu tadi Pak Paul?

PG : Betul

GS : Apakah itu sifat egois kita?

PG : Betul, karena memang terpulang pada kebutuhan-kebutuhan yang belum dipenuhi itu.

GS : Apa dampaknya terhadap anak, Pak Paul?

PG : Sudah tentu anak akhirnya menjadi letih, dia letih terus-menerus harus memenuhi kebutuhan orangtuanya, dan memikul beban yang tidak seharusnya dipikulnya. Pertumbuhannya akhirnya akan terhmbat karena apa yang seyogianya menjadi perhatian dan minatnya sekarang tergantikan dengan tugas menyenangkan orangtuanya.

Seharusnya dia mengembangkan dirinya dengan cara misalnya bergaul dengan teman-temannya, ke luar rumah, terjun dalam kegiatan tertentu. Tapi tidak bisa, karena orangtua di rumah menyedot tenaganya, energi mentalnya, harus terus-menerus memenuhi dan menyenangkan orangtuanya. Akhirnya si anak tidak lagi berkesempatan mengembangkan diri di luar rumah sebab di dalam rumah energinya tersedot terlalu banyak. Akibatnya akhirnya adalah dia terhambat. Anak-anak ini memang cenderung memikul beban, di luar pun juga begitu cenderung memikul beban, mengabaikan dirinya. Akhirnya apa yang harusnya menjadi kebutuhan dia tak dipenuhi juga dan dia nantinya meneruskan tradisi orangtuanya, dia pun setelah besar akan menjadi orang yang kosong dan bisa-bisa menuntut anak-anaknya untuk mengisi kekosongannya itu.
GS : Apakah itu kelihatan tanda-tanda yang jelas di dalam diri anak yang merasa memikul beban yang berat ini Pak Paul?

PG : Ada Pak Gunawan, tanda yang paling jelas adalah anak-anak ini memiliki tanggung jawab yang berlebihan. Kita senang anak-anak bertanggung jawab tapi tidak sehat kalau si anak bertanggung jaab berlebihan, sehingga memikul semua beban.

Ada kesalahan, ada yang tidak beres, dia yang merasa bersalah; sedikit-sedikit merasa bersalah, tidak ada yang menyalahkan dia tapi dia selalu merasa bersalah. Yang kedua, mudah stres; tapi stresnya tidak ditampakkan jadi dia pikul sendiri namun sering tertekan. Misalkan nanti sering sakit maag, lambungnya sering sakit, kepalanya sering pusing karena memikul beban banyak, sering memikirkan orang lain, memikirkan keluarganya. Kalau ada apa-apa dengan orangtua, dia yang tergopoh-gopoh harus datang, harus menyediakan semua, waktu dan tenaganya untuk menyenangkan dan merawat orangtuanya. Akhirnya memang meskipun dia hidup, tapi tidak pernah bisa berlari dengan bebas karena seolah-olah ada yang menggandoli kakinya yaitu beban berat itu.
GS : Bagaimana dengan anak-anak yang lahir atau dilahirkan di tengah-tengah satu keluarga di mana pasangan suami istri sebenarnya tidak menghendaki kelahiran anak itu, mungkin karena kehamilan di luar nikah, kondisi ekonomi yang sedang parah atau macam-macam alasan. Itu bagaimana Pak Paul?

PG : Ya, saya tambahkan satu lagi atau mereka menyesal menikah dengan pasangannya, jadi yang terkena getahnya adalah si anak, si anak disesalkan kehadirannya. Dan yang akan terjadi adalah serin kali dalam kasus seperti ini si anak akan menjadi sasaran amuk amarah orangtuanya.

Mereka bertengkar, si anak yang kena; mereka ada sedikit masalah, marah, si anak yang kena. Jadi benar-benar semua dilampiaskan kepada si anak, mengapa, sebab anak menjadi target yang mudah, bukankah anak tak bisa melawan, bukankah anak terus bisa menerima perlakuan orangtuanya seburuk appaun, akhirnya si anak yang terus kena getahnya. Kalau berantem dengan pasangan, ributnya besar dan mungkin akan mengganggu juga. Tapi kalau anak yang dimarahi, bukankah anak tidak bisa berbuat apa-apa, jadi dalam kasus di mana banyak terjadi penyesalan, tidak menginginkan anak itu hadir, akhirnya anak itu sangat kasihan. Dia merasa sangat tertolak karena kehadirannya tidak pernah diinginkan. Dan selain tertolak dia akan merasa terbantai (saya menggunakan istilah yang agak keras) tapi seperti itulah rasanya, sebab apa-apa yang terkena selalu dia, yang akan dimarahi dia lagi, sejak kecil dia merasa kehadirannya tidak diinginkan. Dan akhirnya dia merasa dia lebih merupakan beban daripada berkat, pada akhirnya anak-anak ini bertumbuh besar membawa kesedihan dan kepahitan. Di simpan dalam hati tapi sebetulnya itulah perasaan yang menggenangi hatinya yaitu kesedihan dan kepahitan. Saya takut akhirnya hal ini akan melahirkan masalah-masalah yang lebih besar lagi dalam kehidupan si anak.
GS : Itu biasanya terjadi pada anak sulung atau anak yang pertama ya Pak?

PG : Itu point yang baik sekali Pak Gunawan, sering kali memang di anak yang pertama itu ketidaksiapan orangtua nyata. Acap kali orangtua akan lebih siap dengan anak-anak berikutnya, tapi pada nak pertama mungkin orangtua tidak siap.

Belum waktunya punya anak sudah punya anak, ekonomi benar-benar morat-marit tapi anak sudah lahir. Dan kita menuntut anak sulung bertanggung jawab untuk adik-adiknya, menjadi contoh atau panutan bagi adik-adiknya, karena kita sudah stres, beban terlalu besar, kita sesalkan anak-anak lahir, tapi yang kita tuntut untuk mengurangi beban kita adalah si anak yang paling besar. Akhirnya dialah yang terkena semua kemarahan-kemarahan kita.
GS : Itu kalau untuk anak-anak yang berikutnya, yang bungsu dan sebagainya, biasanya anak itu diberikan kepada orang lain. Dan kalau anak tahu, bisa merasa sakit hati Pak Paul.

PG : Betul, kadang-kadang ini terjadi karena kesulitan ekonomi atau yang lain, tapi yang terjadi adalah anak-anak ini merasa dirinya terbuang, dan kalau dia diadopsi oleh keluarga lain kalau tiak dikasihi dan dirawat dengan benar, cenderungnya nanti mengembangkan masalah, sebab dalam dirinya sudah tersimpan perasaan saya anak yang dibuang, jadi sudah melahirkan kefrustrasian dan kemarahan di dalam dirinya.

GS : Mungkin Pak Paul ingin sampaikan bentuk kesalahan yang lain yang dibuat oleh orangtua?

PG : Ada orangtua yan menjadikan anak sebagai bagian program perbaikan hidup, sehingga menuntut anak menjadi orang yang didambakan orangtua untuk dirinya sendiri namun tak berhasil diraihnya. Da ingin menjadi bintang belajar, tidak pernah bisa karena kemampuannya kurang; anak dituntut menjadi bintang belajar.

Dia ingin menjadi orang yang berhasil dalam hidupnya, dihormati oleh orang-orang, dia tidak begitu tapi anak-anaknya dituntut seperti itu. Akhirnya yang terjadi adalah tuntutan orangtua menjadi beban yang menghambat pengembangan diri anak. Terlalu berat beban itu, si anak akan bertumbuh kembang melenceng dari garis karunia yang dimilikinya. Dia akan kehilangan kesempatan menjadi dirinya sendiri dan terus merasa ada sesuatu yang terhilang dalam hidupnya. Dia ingin misalkan menjadi seorang musisi, tidak boleh, harus menjadi seperti yang orangtua harapkan. Mengapa, karena ini yang bisa mengangkat harkat keluarga, "kamu mengapa jadi ini, tidak boleh, masa kamu sekolah seperti itu, sekolah yang ini dong." Sehingga anak-anak itu benar-benar diprogram untuk meningkatkan harkat keluarga, kasihan si anak kehilangan dirinya. Dia mungkin besar sepertinya anak baik, bisa menuruti kemauan orangtua tapi dalam hidupnya selalu ada yang terhilang. Yang terhilang adalah dirinya sendiri, dia tidak menghidupi hidupnya sendiri, dia menghidupi hidup orangtuanya.
GS : Kadang-kadang kita sebagai orangtua, dulu pernah mempunyai cita-cita misalnya ingin menjadi dokter atau insinyur, tapi karena itu tidak kesampaian kita mengharapkan generasi penerus kita itu bisa mengambil atau memenuhi cita-cita kita itu Pak Paul?

PG : Berharap boleh, berdoa boleh, tapi jangan sampai kita mengabaikan kondisi riil anak kita. apa sebetulnya yang Tuhan titipkan bagi dia, Tuhan pun mempunyai rencana atas hidupnya dan rencanaTuhan bisa jadi berbeda dengan rencana kita, nah itu yang kita mesti serahkan kembali kepada Tuhan.

Anak ini anak siapa-anak Tuhan, jadi jangan sampai kita mengambil alih kehendak Tuhan atas diri anak kita.
GS : Kalau bentuk kesalahan yang lain apa Pak Paul?

PG : Ada satu lagi, ini yang terakhir yaitu ada orangtua yang mengharapkan anak menjadi seperti dirinya sendiri, jika dia pandai ia mau anaknya sepandai dia. Bila ia berbakat, ia pun menuntut aaknya seberbakat seperti dirinya.

Nah seolah-olah ini tidak apa-apa; saya pintar ya saya mau anak saya pintar, saya mempunyai gelar ini maka anak saya juga harus mempunyai gelar seperti ini, seolah-olah tidak apa-apa. Tapi akan menjadi masalah, karena anak tertuntut menjadi sempurna dan tidak boleh gagal harus seperti orangtuanya, seberhasil orangtuanya, yang mudah dirundung rasa bersalah, merasa diri tidak berarti jika gagal memenuhi permintaan orangtuanya. Hidupnya terpenjara oleh tuntutan demi tuntutan dan pada akhirnya dia pun akan menerapkan tuntutan yang sama pada orang-orang yang dekat dengannya. Nah ini tipe-tipe orang-orang yang perfeksionis, sempurna, harus seperti yang dituntut oleh orangtuanya. Tapi kasihan karena dia tidak pernah bisa hidup merdeka, selalu kurang; harus lebih lagi, harus lebih lagi karena itu yang dituntut oleh orangtua.
GS : Tapi itu juga bisa karena dulu orangtua pada masa kecilnya juga pernah ditekan oleh orangtuanya sendiri.

PG : Sering kali itu akan kita wariskan kepada generasi selanjutnya. Itu betul sekali, padahal waktu kita kecil kita sengsara, kita berkata kita tidak mau hidup seperti ini, kita kehilangan mas kanak-kanak kita, tapi setelah dewasa kita lupa dan kita wariskan kepada anak-anak kita sehingga anak-anak kita tersiksa lagi oleh kita.

GS : Atau mungkin ada ketidakrelaan di dalam diri kita secara tidak kita sadari, "saya dulu hidupnya sengsara, bisa seperti ini karena kerja keras, kamu juga harus kerja keras."

PG : Betul, dan ini yang sering kali melahirkan kebanggaan Pak Gunawan. Karena kita berhasil melewati tuntutan orangtua yang begitu berat, dan kita melihat hasilnya, "Wah......saya berhasil nih saya menjadi orang yang seperti ini," maka anak-anak kita juga harus seperti ini, sehingga nantinya ditempa dan berhasil seperti kita.

Nah kebetulan juga kita berhasil, namun bukankah dalam keluarga yang menekankan kesempurnaan seperti ini akan ada korban yang berjatuhan. Mungkin kita selamat tapi adik kita tidak selamat, berjatuhan, jadi kebalikannya dari kita, menjadi brengsek, tidak pernah menuruti orangtua, justru apa yang orangtua tuntut dia buang dari orangtuanya. Nah kita tidak melek mata dan melihat adik kita menjadi korban, kita hanya melihat kita yang berhasil, jangan sampai kita lupakan sejarah ini.
GS : Ada juga kekhawatiran Pak Paul, kalau kita tidak mendidik anak secara keras atau berdisiplin tinggi seperti itu lama-lama harta kekayaan kita habis, dihabiskan oleh anak ini, jadi kita yang susah-susah mengumpulkan dan anak ini seenaknya saja menggunakannya.

PG : Sudah tentu ada tempatnya dan waktunya bagi kita mengajar anak untuk mempunyai disiplin, tentu itu penting sekali. Untuk bisa menetapkan target dan mencapainya, itu perlu kita ajarkan kepaa anak-anak.

Tapi sekali lagi kita harus melihat siapakah anak kita, apakah dia mampu atau tidak meniru atau menjadi seperti kita. Kalau memang tidak karena kemampuannya di bawah kita, terima kemampuannya seperti apa adanya, jangan menuntut anak secara berlebihan nanti si anak akan terus-menerus dirundung oleh rasa bersalah dan buat apa seperti itu.
GS : Perbincangan kita kali ini banyak membicarakan atau mencoba mencari bentuk-bentuk kesalahan orangtua, mungkin ini perlu kita tindaklanjuti dengan memperbincangkan bagaimana seharusnya kita sebagai orangtua untuk mengatasi masalah-masalah seperti itu tadi. Namun sebelumnya Pak Paul, apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bagikan Kolose 3:23, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." Saya mau mengajak orangtua untuk melihat tugasmenjadi orangtua sebagai tugas yang Tuhan berikan kepada kita.

Dan Tuhan meminta apapun tugas kita, apapun yang kita lakukan dalam hal ini kita menjadi orangtua, Tuhan meminta kita melakukannya dengan segenap hati kita seperti untuk Tuhan. Mengapa kita tidak dengan segenap hati menjadi orangtua, yang benar-benar menjadi orangtua buat anak-anak kita dan bukankah ini adalah persembahan kita yang mulia kepada Tuhan. Karena bukankah Tuhan juga yang memberikan anak-anak ini kepada kita.

GS : Saya sangat yakin banyak orangtua juga inginnya seperti itu, tpai bagaimana kita bisa mengerjakan kebenaran firman Tuhan ini, mungkin dalam perbincangan yang akan datang kita lebih banyak mengupas bagaimana menjadi orangtua yang seharusnya sesuai dengan kebenaran fiman Tuhan itu. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pelajaran Menjadi Orangtua" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



69. Pelajaran Menjadi Orangtua 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T194B (File MP3 T194B)


Abstrak:

Lanjutan dari T191A


Ringkasan:

Tidak semua orangtua telah berfungsi sebagai orangtua. Mengapa demikian?

Akibat: Anak tidak menerima kasih orangtua secara langsung dan nyata. Anak juga kehilangan kesempatan untuk mencontoh atau belajar dari orangtua.

Akibat: Anak letih dan memikul beban yang tidak seharusnya dipikulnya. Pertumbuhannya akan terhambat karena apa yang seyogianya menjadi perhatian dan minatnya sekarang tergantikan dengan tugas menyenangkan orangtua.

Akibat: Anak merasa tertolak dan terbantai. Sejak kecil ia merasa kehadirannya tidak diinginkan dan bahwa ia lebih merupakan beban daripada berkat. Biasanya anak seperti ini menyimpan kesedihan dan kepahitan mendalam dan semua ini akan melahirnya masalah dalam dirinya kelak.

Akibat: Tuntutan orangtua menjadi beban yang akan menindih pengembangan dirinya. Ia akan bertumbuh kembang melenceng dari garis karunia yang dimilikinya. Ia akan kehilangan kesempatan menjadi dirinya sendiri dan terus merasa ada sesuatu yang terhilang dalam hidupnya.

Akibat: Anak menjadi tertuntut menjadi sempurna dan tidak boleh gagal. Ia mudah dirundung rasa bersalah yang berat dan akan merasa diri tidak berarti jika gagal memenuhi permintaan orangtua. Hidupnya terpenjara oleh tuntutan demi tuntutan dan pada akhirnya ia pun akan menerapkan tuntutan yang sama pada orang yang dekat dengannya.

Firman Tuhan: "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23)

Jadi, jika demikian apakah yang sesungguhnya harus kita perbuat untuk menjadi orangtua yang melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan kodrat dan panggilan kita?

Untuk menjadi orangtua diperlukan satu syarat utama yaitu kemampuan untuk mengasuh anak. Berikut akan dipaparkan makna dan cara konkret mengasuh.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu tentang "Pelajaran Menjadi Orangtua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah memperbincangkan tentang pelajaran menjadi orangtua, ternyata pada waktu itu Pak Paul menceritakan cukup banyak kesalahan-kesalahan yang pada umumnya dilakukan oleh orangtua. Nah sebelum kita memperbincangkan tentang bagaimana seharusnya menjadi orangtua yang baik yang diperkenan oleh Tuhan, mungkin Pak Paul bisa mengulang sejenak secara ringkas, apa kesalahan-kesalahan orangtua pada umumnya dan apa dampaknya bagi anak.

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, jadi ada sebagian orangtua menjadi orangtua dalam pengertian yang melahirkan anak, tapi setelah itu menyerahkan tanggung jawab mengurus anak kepada perawat, pengauh.

Anak-anak akhirnya kehilangan kasih sayang, tidak bisa melihat dan menerima kasih sayang secara nyata dan kehilangan kesempatan untuk menyerap masukan-masukan dari orangtua, karena minimnya interaksi dengan anak-anak. Yang kedua adalah ada orangtua yang mempunyai banyak sekali kebutuhan-kebutuhan, datang ke dalam pernikahan dan mempunyai anak tidak mencapai kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkannya, misalnya mau dihargai dan sebagainya, akhirnya anak-anaklah yang dituntut untuk menjadi pemenuh kebutuhan orangtua. Anak-anak akan merasa sangat letih, menjadi anak-anak yang tidak bebas karena dari kecil harus memikul beban. Ada juga orangtua yang menuntut anaknya harus bisa mengangkat harkat mereka, harus menjadi lebih dari mereka, jadi dengan kata lain anak-anak sejak kecil dituntut untuk bekerja sangat keras. Anak kehilangan dirinya, apa yang dia ingin lakukan tidak bisa, karena orangtua sudah memprogramkan dia harus menjadi seperti yang orangtua inginkan. Ada juga orangtua yang menuntut anak harus sempurna, tidak bisa gagal, karena mereka pun orang-orang yang berstandar tinggi, mempunyai banyak catatan keberhasilan, anak-anak akhirnya dituntut untuk perfeksionis; mereka mudah dirundung masalah karena tidak bisa berbuat seturut dengan isi hatinya. Ada pula anak-anak yang lahir di situasi yang sulit, orangtua tidak siap mempunyai anak, akhirnya disesali kehadirannya, sejak kecil anak itu ditolak, merasa terbuang, tak diinginkan, akhirnya si anak bertumbuh besar menyimpan kesedihan dan kepahitan. Itulah contoh-contoh dari orangtua yang yang tidak mengetahui apa peran dan tugasnya. Jadi sekarang kita mau melihat apa peranan dan tugas orangtua sehingga anak-anak tidak menjadi sambungan kita, tidak menjadi tumpuan harapan kita yang berlebihan, tidak menjadi sasaran amuk amarah kita pula.
GS : Pada waktu itu Pak Paul juga bacakan dari Kolose 3:23 yang mengatakan kita harus melakukan ini dengan sepenuh hati seperti kepada Tuhan, juga di dalam mengasuh anak. Begitu pak Paul ya?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi kita sebagai orangtua harus melihat tugas ini dengan sangat serius, ini adalah tugas yang diembankan Tuhan kepada kita hendaklah kita melakukannya dengan sepnuh hati jangan asal-asalan, atau malah menyerahkannya kepada orang lain.

Tuhan menyerahkan anak-anak ini kepada kita untuk kita asuh.
GS : Jadi sebenarnya bagaimana mengasuh anak itu Pak Paul?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, namun ada syarat utama yang memang harus kita perlukan untuk kita bisa menjadi orangtua yang baik kita harus bisa mengasuh. Saya akan coba paparkan apa itu maknadan cara konkret mengasuh.

Pertama, mengasuh berarti mengasihi, apa maksudnya, perbuatan mengasuh tanpa kasih dan mengasihi tanpa berbuat apa-apa untuk mengasuh adalah sama buruknya. Jadi ada orang yang melakukan tugas menjadi orangtua tapi tidak ada kasih, memberikan makan anak dengan marah-marah, mengantar anak ke sekolah juga dengan marah-marah. Nah perbuatan mengasuh tanpa kasih itu buruk, namun sama buruknya dengan mengasihi anak tanpa mengasuh; mungkin ulang tahun-dibelikan mainan, kalau memarahi anak-merasa bersalah, namun masalahnya adalah hanya begitu saja bentuk kasih kita. Kita tidak melakukan apa-apa untuk mengasuh si anak, kita serahkan mengasuh si anak pada orang lain; ini sebetulnya sama buruknya dengan yang pertama tadi yaitu perbuatan mengasuh namun tidak ada kasih. Kasih mesti diperlihatkan lewat tindakan mengasuh, tidak bisa tidak sebab kasih haruslah menjadi sumber kekuatan dan penggerak mengasuh. Kita mengasuh karena kita mengasihi, kadang-kadang kita letih tapi tetap kita mengasuh karena kita mengasihi anak kita. Jadi benar-benar mengasuh berarti mengasihi.
GS : Memang sering kali kita terjebak atau terjerumus pada dua ekstrim yang berbeda yaitu kita kurang mengasihi atau terlalu banyak mengasihi sampai anak itu manja, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi akhirnya pengasuhan itu tidak lagi berimbang sebab memang kita akan pelajari bahwa mengasuh juga tidak mengabaikan mendidik anak atau atau membantu anak atau mendisiplinanak, itu perlu, itu satu paket.

Jadi mengasihi anak-mengasuh anak, mengasihi anak tidak berarti membiarkan anak bertumbuh semaunya. Kalau kita cukup mengasihinya berarti kita juga harus memberikan disiplin yang cukup pula pada anak kita, jadi harus ada keseimbangan.
GS : Itu yang sulit buat kita sebagai orangtua yang tidak terbiasa karena kita pun sering kali diperlakukan seperti itu Pak Paul, entah dikasihi secara berlebihan sampai kita merasa tergantung pada orang itu atau kita kurang mendapatkan kasih yang sepatutnya dari orangtua kita atau orang di sekeliling kita.

PG : Dan kalau kita tidak berhati-hati atau mempelajari hal yang baru untuk menjadi orangtua, itulah yang kita adopsi dari orangtua kita dan nanti kita akan terapkan waktu kita menjadi orangtuabagi anak-anak kita.

Maka saya kira perlu sekarang kita belajar apa itu sebetulnya mengasuh anak.
GS : Pengertian yang lain tentang mengasuh ini bagaimana?

PG : Mengasuh berarti berkorban, maksudnya untuk menjadi pengasuh anak acap kali kita harus mengesampingkan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan anak. Ada orangtua yang benar-benarhampir tidak pernah berkorban bagi anak-anaknya, justru dia menuntut anak-anaknya berkorban demi dia.

Contoh praktisnya, kalau mau pergi makan, anaknya minta: "Pa, Ma, kita ke sini yuk"; "Tidak, tidak enak," kenapa, sebab dia tidak suka tapi anak-anaknya suka. "Tidak, pergi ke sini saja, ngapain makan begituan." Ada orangtua yang seperti itu, "Pa, kita rekreasi yuk ke sini"; "Ngapain, itu buang-buang waktu." Tapi bukankah itu yang disukai anak-anak, rekreasi yang bersifat anak-anak. "Tidak usah, buang-buang waktu, kalau mau rekreasi kita ke museum atau apa." Nah akhirnya anak-anak kehilangan kesempatan menjadi dirinya sendiri, melakukan apa yang baik dan sesuai dengan minatnya. Tidak bisa, sebab orangtuanya tidak mau berkorban. Jadi ada orangtua yang menuntut anak-anak berkorban untuk dia bukan sebaliknya. Mengasuh berarti berkorban, jadi memang kalau kita tidak mempunyai sifat berkorban dapat dipastikan kita tidak dapat menjadi orangtua yang mengasuh anak.
GS : Tapi herannya kadang-kadang ada orang yang kalau berkorban untuk orang lain dia bisa, tapi berkorban untuk anaknya itu yang sulit.

PG : Sebetulnya orang tersebut membuktikan dirinya sebagai orang yang sulit berkorban, kenapa kalau dengan orang lain dia bisa, karena sesungguhnya itu bukan pengorbanan. Kemungkinan besar denan dia berkorban dilihat oleh orang di luar dia akan mendapatkan manfaatnya, dia dikenal sebagai orang yang baik, sehingga orang memuji dia dan sebagainya.

Jadi dengan kata lain pengorbanannya selalu dengan pamrih. Kalau pengorbanannya dengan pamrih, kita tidak panggil itu pengorbanan, itu adalah suatu tukar-menukar, suatu batterning(10:49), tukar-menukar, sama-sama untung. Nah pengorbanan berarti kita tidak untung-kita rugi, itulah yang justru disebut pengorbanan. Orangtua yang dengan orang lain bisa berkorban tapi dengan anak sendiri tidak bisa berkorban, sesungguhnya memang dia orangtua yang tidak bisa berkorban. Makanya kelihatan sifat aslinya di rumah, di mana memang tidak ada yang memberikan imbalan apa-apa, dianya sendiri sekarang bisa atau tidak merugikan dirinya sendiri demi anak.
GS : Berkorban di sini bukan saja berkorban secara materi atau waktu, kadang-kadang kita juga dituntut untuk korban perasaan, karena ada banyak orang yang tidak mau memahami hal ini, kita dilecehkan, seolah-olah kita ini terlalu memanjakan anak atau takut sama anak, sampai seperti itu Pak Paul.

PG : Ini betul sekali Pak Gunawan, kita harus siap dituding, dilecehkan atau ditertawai orang, kita sepertinya dengan anak agak takut atau apa. Itu satu hal, yang kedua adalah korban perasaan alam pengertian dalam relasi dengan anak.

Kalau kita sebagai orangtua tidak pernah mau bersedia berkorban perasaan dengan anak, kita tidak bisa mengasuh; sebab bukankah ini kenyataan hidup. Anak tidak selalu bisa menghargai kita, apalagi pada masa-masa dia kecil, nanti sesudah dia menjadi orangtua barulah dia bisa menghargai kita. Pada masa-masa dia belum menjadi orangtua, dia tidak bisa memahami apa yang kita lakukan. Jadi kadang-kadang bukannya ungkapan penghargaan atau syukur yang kita terima malah sepertinya tidak ada artinya sama sekali, pengorbanan kita tidak diliriknya, dianggap sebagai sesuatu yang biasa, nah ini perlu korban perasaan. Nah orangtua yang tidak bisa berkorban perasaan menuntut anak untuk menghargainya, untuk berterima kasih kepadanya. Kalau anaknya kurang melakukan itu dia akan marah; mengasuh memang berarti berkorban tenaga, waktu dan juga perasaan.
GS : Bentuk mengasuh yang lain itu apa Pak?

PG : Mengasuh berarti melindungi, kita melindungi anak dari ancaman bahaya yang bersifat fisik sewaktu anak-anak masih kecil. Takut jatuh, diserempet, ditabrak, nah kita harus melindungi anak-nak.

Tapi sewaktu anak-anak sudah remaja kita mesti melindungi anak dari bahaya yang bersifat mental dan emosional, artinya melindungi anak dari tangan-tangan jahat, dari orang-orang yang mau memanfaatkan anak-anak kita, dari orang-orang yang mungkin mau menyalahgunakan anak kita. Nah kita sebagai orangtua mesti bisa melindungi anak, sudah tentu kita tidak boleh melindungi anak secara berlebihan sehingga anak tidak mempunyai ketahanannya sendiri, itu mesti ada keseimbangan. Tapi memang sampai titik tertentu, apalagi waktu anak-anak remaja, kita mesti bisa melindungi dia dari bahaya-bahaya yang tidak mungkin disadarinya tapi kita sadari, kita mesti komunikasikan itu kepada anak-anak kita.
GS : Yang Pak Paul katakan kita harus melindungi anak khususnya anak remaja dari bahaya yang bersifat mental dan emosional itu seperti apa Pak?

PG : Misalnya Pak Gunawan, ada anak-anak kita itu polos sekali; disukai oleh orang wah senang, karena kurang pergaulan, teman-temannya kurang banyak, memang pendiam, waktu disukai senangnya lua biasa.

Tapi kita melihat, jelas-jelas melihat orang ini luar biasa perhitungannya, bahkan anak kita sendiri cerita, kalau pergi ke luar makan harus gantian membayarnya. Masa di masa berpacaran sudah seperti itu, atau minta anak kita yang menjemput dia terus padahalnya dia sendiri pun mempunyai kendaraan. Atau anak itu ke rumah kita sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat, seenaknya di rumah kita. Nah kita sudah bisa membayangkan, orang seperti ini kalau nanti jadi dengan anak kita, dia hanyalah akan menunggangi anak kita, atau memperlakukan anak kita sebagai pesuruhnya, tidak akan menghargai anak kita sebagai rekan atau mitra yang setara. Nah ini yang saya maksud dengan bahaya yang mengancam anak kita. Atau anak-anak kita bergaul dengan teman-temannya yang memang rusak, yang maunya memanipulasi orang mau mengambil keuntungan dari orang, mau berbohong atau mendustai orang dan sebagainya atau memakai narkoba atau melakukan perbuatan-perbuatan yang berdosa, nah kita harus melindungi anak kita juga dari pengaruh-pengaruh buruk ini. Tatkala anak kecil kita bertanggungjawab melindungi anak dari bahaya, tapi biasanya bahaya itu bahaya yang bersifat fisik, setelah remaja bahaya bersifat mental dan emosional.
GS : Setelah anak remaja memang bentuk perlindungan ini agak sulit kita lakukan sebagai orangtua, artinya kita tidak bisa terus mendampingi mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka perbuat. Saya melihat salah satu bentuk perlindungan yang bisa kita lakukan adalah mendoakan anak kita, jadi itu memberikan perlindungan juga secara spiritual. Kita tidak tahu ada pengaruh-pengaruh jahat dari kuasa kejahatan Pak Paul.

PG : Betul sekali, dan kita memang tidak ada di luar sana, bukankah kita dengan cerita-cerita yang menyeramkan yang anak-anak pergi dengan teman-temannya diberi obat bius kemudian diperkosa. Nh hal-hal seperti itulah kita tidak bisa mengontrol namun di rumah, kita bisa mendoakan mereka, dan di rumahlah kita mulai menunjukkan kepada anak-anak kita perilaku-perilaku temannya yang memang tidak baik itu.

Kita tidak usah mengkategorikan atau menggolongkan temannya anak brengsek atau apa, kita menyoroti saja perbuatannya secara spesifik, bahwa itu bukan perbuatan terpuji dan orang yang melakukan perbuatan yang tidak terpuji ini adalah temanmu sendiri, jadi kamu perlu berhati-hati. Nah nasihat-nasihat seperti ini mesti kita bagikan kepada anak-anak.
GS : Bentuk mengasuh yang lain apa Pak Paul?

PG : Orangtua perlu mengasuh dalam pengertian memenuhi kebutuhan anak. Termaktub di dalamnya adalah kebutuhan fisik, kebutuhan intelektual, sosial, emosional dan juga rohani. Kita harus penuh kebutuhan fisik anak-anak, kebutuhan intelektual-kita mesti sediakan suasana belajar yang baik untuk anak-anak kita, secara sosial-kita juga mesti pilihkan teman yang baik dan ijinkan mereka bergaul dengan teman-teman yang baik itu, secara emosional-kita melimpahkan dia dengan kasih sayang, dengan disiplin yang cukup dan secara rohani-kita penuhi kebutuhannya dengan cara mengenalkan anak-anak kepada Tuhan dan Juru Selamat kita Yesus Kristus.

Ini adalah pemberian atau hadiah terbesar yang orangtua bisa berikan kepada anak-anaknya yaitu mengenalkan anak-anaknya kepada Tuhan dan Juru Selamat kita Yesus Kristus.
GS : Sering kali yang kita limpahkan kepada anak itu justru memenuhi kebutuhan fisik atau yang kita perhatikan kebutuhan intelektualnya.

PG : Betul, dan kita lupa anak kita mempunyai kebutuhan emosional, kebutuhan sosial dan kebutuhan rohani.

GS : Membuat atau memenuhi kebutuhan itu secara seimbang juga butuh kebijaksanaan tersendiri Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, dan memang memerlukan kedekatan, sebab kalau kita dengan anak memang dekat otomatis kita akan lebih cepat membaca kebutuhan-kebutuhan anak. Waktu kita melihat ank jarang berdoa, tidak ada minat rohani, kita langsung kenalkan anak lagi, giatkan anak lagi, ajak mereka berdoa bersama dengan kita.

Nah semua itu muncul karena kita dekat dengan mereka, kenapa tidak bergaul dengan teman-temannya, seringnya di rumah. Nah kita bisa bertanya kenapa tidak bergaul lagi, sehingga kita bisa memperhatikan kebutuhan sosialnya itu. Tapi kuncinya untuk kita bisa memenuhi kebutuhan anak kita mesti dekat dengan anak.
GS : Hal lain lagi yang bisa kita lakukan untuk mengasuh anak apa Pak?

PG : Mengasuh anak berarti membentuk anak, salah satu bagian membentuk anak adalah mendisiplinnya agar dia tidak bertindak seturut kehendaknya belaka dan dengan kita mendisiplinnya kita mengajanya untuk menghormati orang lain.

Nah bentukan inilah yang harus juga kita sediakan untuk anak, dan ini tanda mengasuhnya.
GS : Apakah anak itu tidak menilai sebagai suatu hal yang bertentangan, katanya mengasihi tetapi disiplinnya seperti ini, nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Sebab anak memang hanya akan bisa bertumbuh seimbang dan menjadi orang yang utuh jikalau memang dia mendapatkan keduanya. Dia mendapatkan kasih yang kuat, dia tahu dia berharga, dan dia mndapatkan penerimaan itu dari orangtuanya berarti dia orang yang layak untuk dikasihi.

Sebaliknya dia perlu juga menerima disiplin dari orangtua agar dia bisa belajar menguasai dirinya. Karena nanti itu perlu dikendalikan oleh dirinya, jangan sampai dia menjadi manusia yang tidak bisa mengendalikan dirinya. Karena tidak pernah menerima disiplin dari luar, dari orangtua sehingga tidak bisa mengembangkan disiplin dalam hidupnya sendiri.
GS : Disiplin itu tidak bisa diperoleh anak misalnya lewat sekolah Pak Paul?

PG : Tidak cukup Pak Gunawan, karena memang anak apalagi pada masa kecil hidupnya paling banyak di rumah. Berarti di rumahlah anak itu berinteraksi paling banyak, kedua dirumahlah anak paling ebas, di sekolah memang tidak bebas jadi perilaku yang sesungguhnya tidak terlihat.

Di rumahlah anak paling bebas sehingga perilaku sesungguhnya terlihat, nah inilah kesempatan orangtua untuk benar-benar bisa mengamati siapakah anaknya dan bagian-bagian manakah yang perlu kita poles sehingga nanti jangan sampai bagian-bagian itu menjadi bagian-bagian yang tajam, yang tidak bisa dikendalikan.
GS : Memang di dalam hal membentuk ini merupakan satu bagian yang sangat rumit dan membutuhkan suatu seni tersendiri supaya bentukannya itu betul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan.

GS : Bentuk yang lain dari mengasuh anak apa Pak Paul?

PG : Mengasuh berarti mengarahkan. Orangtua mesti menjadi pengarah hidup anak melalui kehidupannya sendiri maupun nasihat yang diberikan. Tanpa arah anak akan limbung dan mudah terbawa arus. Jadi melalui kehidupannya, suri tauladannya, orangtua sebetulnya sedang memberikan arahan inilah hidup yang engkau nanti juga harus capai, kehidupan seperti kami, kehidupan yang kokoh, yang stabil, yang berimbang, yang sehat, kehidupan yang rohani, yang kuat.

Nah dengan orangtua memberikan contoh seperti itu, orangtua sebetulnya sedang menyediakan model atau target sehingga anak terarah untuk mengikuti jejak orangtua untuk hidup seperti itu. Itu sebabnya kita melihat masalah kalau orangtua tidak hidup seperti itu namun menuntut anak hidup seperti itu. Anak tidak ada modelnya malah marah kepada orangtua karena hanya bisa menuntut tapi tidak bisa hidup seperti itu. Tapi tidak cukup hanya kehidupan, tetap orangtua mesti memberikan nasihat-nasihat, mengarahkan anak. Misalnya mengarahkan bidang karunianya, mengarahkan minatnya, mengarahkan si anak pada perilaku-perilaku yang baik yang sesuai dengan kehendak Tuhan, ini mesti dilakukan oleh orangtua, ini bagian dari mengasuh anak.
GS : Memang kadang-kadang anak menjadi bingung misalnya di dalam menentukan pilihan teman hidupnya, menentukan jurusan sekolahnya, di situ saya rasa peran orangtua penting sekali.

PG : Penting, dan memang anak-anak itu tidak serta merta bercerita dan meminta pendapat kita, namun kalau kita dekat dengan anak-anak dan sudah ada keterbukaan itu mereka akan siap mendengar maukan kita dan kita silakan munculkan.

"Saya melihat kamu agak dekat dengan dia, bolehkah mama atau papa berikan masukan tentang apa yang papa-mama lihat." Anak akan berkata boleh, silakan, nah kita berikan masukan. Nasihat-nasihat itu penting sekali karena inilah yang akan mengarahkan anak berjalan di jalan yang benar.
GS : Memang cara penyampaian itu juga menentukan apakah nasihat kita itu diterima anak atau tidak.

PG : Betul, dan kalau kita menyampaikannya dengan respek, tidak merendahkan dia kebanyakan anak akan siap mendengarkan kita. Dan terutama kalau kita mau memberikan komentar yang negatif kita msti memikirkan dasarnya atau alasannya.

Jangan belum apa-apa kita sudah mengecap temannya atau pacarnya brengsek dan sebagainya tanpa ada bukti, itu yang tidak disukai oleh anak-anak.
GS : Dan makin dewasa sebenarnya mereka bisa membandingkan antara keluarganya artinya orangtuanya dengan keluarga yang lain, dia bisa membedakan.

PG : Bisa, dan makin dia melihat betapa sehatnya orangtua, mereka makin menghargai dan mereka makin mencari arahan-arahan itu dari orangtuanya. Sebab ini hukum alam Pak Gunawan, kita pun sebaai orang dewasa tidak begitu suka mendengarkan masukan dari orang yang hidupnya pun tidak konsisten, tidak sehat, jadi kita akan menutup pintu, nah anak-anak juga sama.

Kalau mereka melihat kita hidupnya tidak beres, tidak sehat, mereka pun menutup pintu. Tapi kalau mereka melihat kita pun hidup dengan baik, sehat, mereka pun akan mau mendengarkan masukan dari kita.
GS : Pak Paul, itu tadi yang kita bicarakan adalah mengasuh anak-anak yang katakan normal. Ada keluarga-keluarga yang harus mengasuh anak yang mempunyai cacat fisik atau cacat mental, itu akan jauh lebih berat Pak?

PG : Jauh lebih berat karena misalkan aspek berkorban akan berlipat ganda, jadi akan lebih banyak pengorbanan yang harus diberikan orangtua. Namun kita tetap harus datang kepada Tuhan meminta ekuatan-Nya untuk hari ini, besok datang lagi kepada Tuhan meminta kekuatan untuk hari yang baru itu.

GS : Mungkin Pak Paul mau sampaikan firman Tuhan untuk membekali pendengar kita?

PG : Saya akan bacakan Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Inilah mengasuh yaitumendidik anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.

Tuhan juga pesan jangan bangkitkan amarah, kita diminta untuk mengasuh anak bukan mengobarkan amarah anak pada kita, ini panggilan Tuhan yang mesti kita penuhi.
GS : Cuma ini disebut kamu bapa-bapa, padahal yang sering kali kontak dan berinteraksi dengan anak adalah ibu dan anak sering kali jengkel dengan ibunya.

PG : Tapi rupanya memang anak-anak jengkel kepada ibu tapi lebih seringnya marah kepada bapak. Karena bapak kalau marah sering kali mengeluarkan kata-kata yang kasar yang menusuk hati anak danyang kedua bapak-bapak tidak menyediakan waktu yang cukup.

Dan memang kebanyakan bapak-bapak tidak ada waktu yang banyak untuk anak-anaknya jadi akhirnya di dalam keterbatasan waktu, jarang bergaul dengan bapak terus mendengar kata-kata dari bapak yang kasar itu sangat menusuk hati dan membuat anak-anak marah.
GS : Ini tersirat bahwa mengasuh itu sebenarnya juga tanggung jawab seorang ayah.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, itu tanggung jawab seorang ayah dan ini yang sering kali kita abaikan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan tentu akan menjadi berkat bagi pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pelajaran Menjadi Orangtua" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



70. Disiplin dan Emosi Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T195A (File MP3 T195A)


Abstrak:

Salah satu alasan mengapa disiplin diperlukan adalah karena disiplin akan mempengaruhi emosi anak. Ada kaitan yang erat antara disiplin dan pengembangan serta penguasaan emosi anak.


Ringkasan:

Ada sebagian orangtua yang berpendapat bahwa anak tidak memerlukan disiplin sebab pada akhirnya ia akan belajar disiplin dengan sendirinya. Pandangan ini tidak tepat sebab anak memerlukan disiplin sama seperti anak memerlukan tangan orangtua untuk menuntunnya belajar berjalan. Salah satu alasan mengapa disiplin diperlukan adalah karena disiplin akan mempengaruhi emosi anak. Ada kaitan yang erat antara disiplin dan pengembangan serta penguasaan emosi anak. Penerapan disiplin yang tidak tepat berpotensi menghambat pemgembangan dan penguasaan emosi anak. Berikut kita akan melihat penerapan disiplin yang tidak tepat dan pengaruhnya pada perkembangan emosi anak. Namun pertama kita akan membahas definisi disiplin itu sendiri.

Definisi Mendisiplin anak adalah usaha yang terencana dari pihak orangtua untuk (a) mengendalikan dan menghilangkan perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan orangtua dan (b) menumbuhkan dan mempertahankan perilaku anak yang sesuai dengan harapan orangtua. Setidaknya ada tiga unsur yang terlibat di sini.

Penerapan I: Terencana Pertama, disiplin merupakan usaha yang terencana dari pihak orangtua, dalam pengertian disiplin bukanlah sekadar reaksi emosional melainkan reaksi yang telah dipikirkan secara matang sehingga arah dan kekonsistenannya terjaga. Reaksi orangtua yang bersifat emosional dan insidental tanpa kesinambungan berpotensi menimbulkan kebingungan dan pada akhirnya memancing reaksi marah atau ketakutan pada anak.

Penerapan II: Mengendalikan dan Menghilangkan Kedua, disiplin digunakan untuk mengendalikan dan menghilangkan perilaku anak yang tidak sesuai harapan orangtua. Tidak semua perilaku anak benar dan baik, itu sebabnya anak memerlukan pembentukan agar perilaku yang tidak sesuai dapat dikendalikan dan dihilangkan. Untuk itu diperlukan sistem konsekuensi yang jelas dan tepat. Kegagalan orangtua menerapkan disiplin membuat anak bebas melakukan hal-hal negatif dan ini akan membuatnya lemah dalam penguasaan diri. Sebaliknya disiplin yang berlebihan membuat anak ketakutan atau memendam kemarahan yang dalam.

Penerapan III: Menumbuhkan dan Mempertahankan Ketiga, disiplin digunakan untuk menumbuhkan dan mempertahankan perilaku yang sesuai dengan harapan orangtua. Kadang kita beranggapan, sekali nilai yang baik itu tertanam, selamanya ia akan berakar dan berbuah. Faktanya tidak demikian; bukankah ada banyak hal positif yang pernah kita lakukan tidak kita lakukan lagi sekarang?

Orangtua perlu menciptakan sistem imbalan agar anak melihat dan mencicipi sendiri buah keberhasilannya. Dengan kata lain, anak perlu menyadari bahwa disiplin yang diterapkannnya memang baik untuknya, bukan hanya untuk kita. Selama anak melihat bahwa semua ketaatannya hanyalah untuk menyenangkan hati orangtua, disiplin itu belum menjadi bagian hidupnya. Jika ini terjadi, tujuan disiplin telah tercapai: disiplin orangtua telah menjadi disiplin diri.

Firman Tuhan: Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengashi anaknya, menghajar dia pada waktunya. (Amsal 13:24)

Sekali lagi tentang anak yang masuk golongan Attention Deficit Hyperacitivity Disorder. Ciri utamanya adalah kesulitan untuk berkonsentrasi dan mengendalikan emosi serta perilakunya. Ada yang hanya mengalami kesulitan memusatkan perhatian untuk kurun yang lama; ada pula yang tidak dapat mengendalikan perilaku dan emosinya akibat energi yang berlebihan. Kali ini kita hanya akan membahas tentang emosi dan perilakunya yakni bagaimanakah kita sebagai orangtua dapat menolongnya mengendalikan emosi dan perilakunya. Ada beberapa langkah yang dapat kita ajarkan dan semuanya termaktub dalam akronim STAR.

Stop Kita mengajarkannya untuk berhenti dan tidak melakukan apa-apa tatkala anak tengah marah. Pertama, kita melatihnya untuk mengontrol pernapasannya yakni menarik napas yang panjang dan melepaskannya perlahan-lahan. Kedua, kita mengajarkannya untuk merilekskan pundaknya. Ketiga, kita mengajarkannya untuk mendengarkan pernapasannya. Keempat, bila memungkinkan kita mengajarkannya untuk meninggalkan situasi yang membuatnya marah itu.

Think Anak yang mengidap ADHD cenderung peka secara berlebihan dan hal ini membuatnya mudah tersinggung dan marah. Setelah ia mampu untuk stop, langkah berikutnya adalah mengajarkannya untuk berdialog dengan diri sendiri. Dalam dialog ini, ia harus menjawab pertanyaan, "Apakah ini ditujukan kepada saya dengan maksud untuk membuat saya marah?" Dengan kata lain, kita memintanya untuk berpikir obyektif dan luas.

And Respond Jika jawaban terhadap pertanyaan itu adalah ya, ditujukan kepadanya untuk membuatnya marah, maka langkah berikutnya adalah mengajarkannya untuk menimbang respons seperti apakah yang seharusnya ia berikan. Di sini kita perlu mengajarkannya tentang kehendak Tuhan yakni tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Kita pun dapat mengajarkannya untuk memikirkan alternatif yang lain, misalkan berbicara langsung kepada pihak yang bersangkutan atau melaporkannya kepada kita.

Firman Tuhan Siapa memelihara mulut dan lidahnya memelihara diri daripada kesukaran. (Amsal 21:23)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Disiplin dan Emosi Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada sebagian orangtua yang beranggapan bahwa anak itu dapat belajar disiplin dengan sendirinya, bagaimana pendapat Pak Paul?

PG : Pendapat itu tidak benar Pak Gunawan, sebab sama seperti seorang anak yang memerlukan tangan orangtua untuk menuntunnya belajar, sebetulnya si anak juga memerlukan disiplin orangtua agar nntinya dia dapat belajar mendisiplin dirinya sendiri.

Kenapa disiplin itu begitu penting di dalam pertumbuhan seorang anak, salah satu penyebabnya karena disiplin orangtua nantinya akan mempengaruhi perkembangan emosi anak.
GS : Di dalam hal ini mungkin disiplin apa yang bisa diterapkan kepada anak yang masih kecil?

PG : Sudah tentu kalau anak-anak masih di bawah usia 2 tahun, kita lebih banyak melakukan tindakan atau pencegahan langsung. Misalkan, dia mau mengambil sesuatu yang kita tahu itu berbahaya atu bisa jatuh, kita langsung pegang, kita langsung alihkan tangannya.

Jadi di bawah usia dua tahun, tindakan langsung kitalah yang secara fisik mencegahnya melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan. Tapi dengan berjalannya waktu, anak makin besar maka kita mulai menerapkan disiplin dengan metode pemberitahuan, peringatan. Kadang-kadang kita juga akan gunakan kemarahan-kalau dia membangkang kita. Dan dalam kasus tertentu kita juga harus menggunakan pukulan di pantatnya atau di pahanya, hal-hal seperti itulah nantinya yang akan kita gunakan. Waktu anak-anak sudah mulai besar, sudah remaja, sudah tentu disiplin yang menggunakan seperti pukulan di pantat sudah tidak lagi efektif. Kita harus mengubah metode disiplin kita, lebih banyak kita menggunakan peringatan-peringatan serta nanti ada kosekuensi yang harus ditanggung oleh anak.
GS : Apakah memang ada keterkaitan antara disiplin dan emosi anak, Pak Paul?

PG : Ada Pak Gunawan, karena pada akhirnya emosi itu adalah sesuatu yang kita mesti kelola, kita mesti kuasai. Kita tidak bisa mengumbar emosi, kita harus menyadari emosi kita, kita harus memblehkan diri kita merasakan emosi, tetapi kita juga harus dapat menguasainya.

Dengan kata lain waktu kita berkata kita harus bisa menguasai atau mengelola emosi, ini adalah bagian dari disiplin diri, dan disiplin diri ini sendiri pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya pada diri anak. Disiplin ini harus awalnya ditanamkan oleh orangtua.
GS : Jadi sebenarnya apa arti dari mendisiplin anak ini, Pak Paul?

PG : Ada dua Pak Gunawan, yang pertama adalah usaha yang terencana dari orangtua untuk mengendalikan dan menghilangkan perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan orangtua. Dan bagian beriktnya mendisiplin anak adalah usaha yang terencana dari pihak orangtua untuk menumbuhkan dan mempertahankan perilaku anak yang sesuai dengan harapan orangtua.

GS : Berarti kalau Pak Paul katakan itu merupakan usaha yang terencana orangtua, orangtua harus merencanakan dan merundingkan bersama-sama untuk menentukan kebijaksanaan di dalam pendisiplinan itu?

PG : Betul Pak Gunawan, jadi antara ayah dan ibu mesti ada sebuah kesepakatan bahwa kalau anak melakukan kesalahan ini atau itu, kira-kira inilah pendisiplinan yang akan kita berikan kepada si nak.

Selain dari itu kata terencana di sini lebih mengacu kepada bahwa pendisiplinan bukanlah reaksi emosional dari orangtua, reaksi yang memang muncul secara tiba-tiba, meledak dengan tiba-tiba nah itu bukan terencana. Yang dimaksud dengan terencana adalah reaksi atau konsekuensi yang kita berikan kepada anak adalah sesuatu yang telah kita pikirkan secara matang. Bahwa reaksi ini reaksi yang memang tepat untuk kesalahan si anak dan bukan sesuatu yang langsung meledak tanpa dikuasai oleh orangtua. Kenapa penting bagi orangtua untuk menguasai perasaannya sendiri dalam pengertian reaksinya menjadi terencana. Sebab kalau orangtua memberikan reaksi yang meledak-ledak, yang emosional, akan menimbulkan kebingungan dan ketakutan kepada anak sehingga nantinya memancing reaksi marah dari anak. Bukannya si anak tunduk dan hormat malah si anak marah melihat orangtuanya meledak-ledak seperti itu tanpa ada kekonsistenan, tanpa ada ketentuan. Itu yang dibutuhkan oleh anak pada waktu anak melihat orangtua mendisiplin, dia perlu melihat bahwa orangtua mendisiplin dengan terencana, dengan pemikiran yang rasional, bukan hanya berdasarkan emosi yang meledak-ledak.
GS : Di samping itu kalau tidak direncanakan, misalnya si ayah menentukan policy disiplin tapi oleh si istri tidak disepakati, sehingga anak bisa menjadi bingung.

PG : Betul, ini juga bukannya menunjukkan sesuatu yang direncanakan, sebab yang nampak di mata si anak adalah kekacauan, kekisruhan. Ayah berkata apa-ibu berkata apa, si anak yang di tengah da dia selalu akan terjepit di tengah dan dia akan mengalami kebingungan, yang manakah yang harus dituruti oleh dia.

Dan yang lebih berbahaya adalah kalau itu yang terjadi pada diri anak, lama-kelamaan nomor satu si anak akan mulai memanipulasi orangtuanya. Waktu si ayah berkata tidak boleh, dia akan pergi kepada si mama sebab dia tahu mama nanti akan membolehkan atau kebalikannya. Jadi mulailah si anak mempermainkan kedua orangtuanya. Kedua yang juga akan menjadi dampak yang tidak sehat bagi si anak kalau orangtua tidak sepakat dalam mendisiplin anak adalah si anak nantinya akan mengembangkan juga ketidakpastian dan ini menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Karena dia tidak pernah benar-benar tahu bahwa apa yang dilakukannya ini sungguh-sungguh boleh, karena bisa jadi saat ibunya melihat tidak apa-apa, membolehkan tapi waktu ayahnya melihat ayahnya meledak marah. Atau kebalikannya, jadi anak akhirnya hidup dalam suasana yang menegangkan. Tidak adanya kepastian hukum, kalau boleh kita gunakan istilah hukum di rumah itu, jadi dia harus selalu waspada.
GS : Jadi kalau misalnya suami-istri itu mau membuat perencanaan untuk mendisiplin anak, faktor-faktor apa yang perlu dipikirkan di dalam menyusun srategi untuk mendisiplin anak ini?

PG : Orangtua mesti menyadari pertama-tama usia anak, Pak Gunawan, jadi jangan sampai memberikan disiplin melampaui usia anak. Kadang-kadang kita menuntut anak di luar batas usianya, bahwa diaseharusnya misalkan tidak nangis, bahwa dia seharusnya tidak boleh menunjukkan sikap misalnya marah.

Bagi saya itu adalah tuntutan yang tidak sesuai usia anak, mengapa? Sebab anak-anak kecil pada umumnya waktu sedih, jengkel, dia akan menangis. Ada orangtua yang begitu melihat anaknya menangis akan memarahi si anak dengan suara lebih keras, mengancam si anak, kalau tidak berhenti menangis nanti akan diberikan hukuman yang lebih berat. Anak kecil akan menangis, ini bagian alamiah sebab dia belum mampu mengucapkan, memformulasikan pikirannya lewat ucapan-ucapannya atau lewat kemampuan verbalnya. Jadi reaksi pertama akan selalu menangis atau marah, itu bagian dari sifat kekanak-kanakan. Jadi orangtua pertama-tama harus menyadari usia anak dan berilah disiplin yang sesuai usia anak. Kedua, pertimbangkanlah kesalahan anak, berilah disiplin sesuai kesalahan si anak. Maksudnya kalau kesalahannya kecil, berilah konsekuensi yang kecil, jangan semua kesalahan disamaratakan, hukumannya semua sama keras dan sama beratnya. Nanti si anak tidak pernah lagi bisa membedakan kesalahannya atau perbuatannya, sehingga dia sendiri tidak bisa mengevaluasi dirinya, bagi dia semua hal itu sama beratnya, sama salahnya. Yang terjadi pada si anak adalah akhirnya dia selalu menyimpan rasa bersalah, sedikit-sedikit dianggap salah, sebab reaksi orangtua terlalu keras. Yang ketiga, kalau sampai kita harus mendisiplin secara fisik, (ini saya kutib dari pendapat Dr. James Dobson) kita hanya akan menggunakan disiplin fisik kalau anak membangkang. Kita memberi instruksi atau kita menyuruhnya melakukan sesuatu, dia dengan berani menantang kita atau membangkang kita. Di titik itu kita memang harus memberikan disiplin secara fisik, dengan kata lain kita memang harus langsung bertindak. Prinsip yang terakhir adalah selalu kita harus memberikan kejelasan apa yang kita harapkan, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, sehingga anak sudah tahu. Dan anak harus tahu konsekuensi kalau dia melanggar apa yang tadi kita telah tetapkan, jangan sampai anak akhirnya selalu meraba-raba, jangan sampai anak melihat kita tidak konsisten, jadi penting sekali kekonsistenan itu.
GS : Kalau anak yang didisiplin itu menunjukkan reaksi kemarahan, sebagai orangtua kadang-kadang kebingungan menghadapinya.

PG : Kita mesti melihat kenapa si anak marah, kalau kita tahu bahwa kita telah mendisiplin dengan tepat, kita tidak melampaui usianya, tidak melampaui kesalahannya tapi si anak sifatnya memang eras sekali dan langsung marah, kita jangan sampai mundur, kita jangan sampai justru ketakutan.

Kalau kita menunjukkan sikap malah ragu, takut, malah mundur itulah awal dari si anak menguasai kita. Dia akan tahu bahwa dia bisa mengontrol orangtuanya, bahwa dialah yang nanti berkuasa, jadi kita mesti tetap tegas. Misalkan kita meminta dia untuk mandi, misalkan dia marah, tidak mau, kita katakan, "Kamu mandi, kalau tidak mau saya akan paksa kamu mandi." Nah, waktu masih kecil dia tidak bisa melawan kita, kita benar-benar paksa dia dan kita mandikan dia. Mungkin ini berjalan beberapa kali tapi pada akhirnya kalau itu yang kita lakukan secara konsisten dan si anak tahu, "Buat apa saya membangkang, akhirnya saya harus di kamar mandi juga kok." Jadi penting sekali kita memberikan ketegasan dalam kondisi seperti itu. Dari sini kita bisa melihat bahwa disiplin itu berkaitan erat dengan emosi si anak, makanya kita kadang-kadang melihat kasus seperti ini, orangtua mengeluh, "Anak saya itu emosinya tidak bisa terkontrol, mengamuk," kalau itu yang terjadi hampir selalu dapat dipastikan penyebabnya adalah orangtua gagal menerapkan disiplin sewaktu anak itu masih kecil.
GS : Selain unsur terencana di dalam melakukan disiplin terhadap anak, apakah ada unsur yang lain?

PG : Unsur berikutnya adalah disiplin itu sebetulnya digunakan untuk mengendalikan dan menghilangkan perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan orangtua. Tidak semua perilaku anak benar da baik, itu sebabnya si anak memerlukan pembentukan agar perilaku yang tidak sesuai dapat dikendalikan bahkan dihilangkan.

Untuk itu diperlukan sistem konsekuensi yang jelas dan tepat. Kegagalan orangtua menerapkan disiplin membuat anak bebas melakukan hal-hal negatif dan ini akan membuatnya lemah dalam penguasaan diri atau penguasaan emosinya, jadi memang kita di sini mesti menetapkan sistem yang tepat agar konsekuensinya jelas, sehingga anak-anak tahu mana yang tidak boleh dan kalau dia melakukan yang tidak boleh maka akan ada konsekuensi yang dibayarnya.
GS : Misalnya perilaku macam apa yang harus dikendalikan dan dihilangkan?

PG : Misalkan kalau si anak itu tidak bisa menjaga kebersihan tubuhnya. Jadi ada beberapa area dalam kehidupan seorang anak yang harus bertumbuh dengan baik dan sesuai dengan usianya. Misalka area yang pertama atau wilayah yang pertama adalah kebersihan tubuh.

Anak mesti mandi, anak mesti menggunakan sabun kalau mandi, anak mesti menyikat gigi. Disiplin membersihkan tubuh perlu ditanamkan pada anak, saya tahu ada orangtua yang gagal menerapkan disiplin dalam hal kebersihan tubuh. Si anak kadang-kadang dibiarkan tidak mandi berhari-hari, anak tidak disuruh sikat gigi, kalau tidak mau ya didiamkan, ini awal yang buruk sehingga si anak akhirnya tidak mempunyai disiplin bahkan untuk membersihkan tubuhnya. Yang lainnya lagi adalah dalam hal menjaga kesehatan tubuh, misalnya dia perlu makan tiga kali sehari, dia perlu makannya lebih sedikit supaya makannya bisa tiga kali sehari ya kita kurangi, tapi kita atur adanya jadwal makan yang tetap. Dia perlu minum, misalnya dia tidak mau minum tapi dia harus minum, kita disiplinkan dia dari awal untuk minum, kalau tidak nanti akan mengembangkan penyakit. Jadi wilayah yang awal yang mesti kita tetapkan adalah wilayah kebersihan tubuh dan menjaga kesehatan tubuh. Nanti dengan bertambahnya usia ada lagi disiplin yang lain, misalnya disiplin dalam hal menggunakan waktu, misalnya untuk bermain, untuk belajar, itu bagian-bagian yang nantinya juga kita harus tanamkan pada anak.
GS : Jadi untuk hal-hal yang sifatnya negatif, kita mesti melakukan pengendalian bahkan menghilangkan yang negatif itu.

PG : Betul sekali, dan ini mesti terus-menerus dalam pengamatan orangtua sebab hal yang negatif itu bisa muncul dan berkembang di wilayah yang lain. Jadi waktu kita berhasil mendisiplinkan ana agar dia bisa menjaga kebersihan tubuhnya, bisa-bisa nanti dia tidak bisa disiplin dalam menggunakan waktunya.

Nah peranan orangtua diperlukan di sini, mendisiplin si anak agar dia benar-benar bisa duduk belajar. Atau dia menonton televisi hanya satu jam saja dan setelah itu dia harus belajar. Jadi penggunaan waktu pun harus mulai diajarkan. Ini berkaitan erat dengan emosi, misalnya si anak nonton televisi, dia mau nonton terus setelah satu jam tapi kita sudah beritahu, satu jam saja setelah itu belajar. Waktu kita hentikan, dia pasti tidak suka, dia akan marah, nah nanti kita akan berkata, "Tidak, saya sudah beritahu satu jam, ya satu jam, nanti kalau kamu sudah selesai dan waktu masih ada dan kamu ingin nonton setengah jam lagi, saya berikan. Meskipun dia jengkel, tapi karena orangtua berhasil mendisiplinnya, dia akan belajar menguasai kejengkelannya, di sini dia mulai belajar menguasai kemarahannya. Waktu dia senang, dia sedang bermain-main, jalan ke mana, naik sepeda kesana-kesini dan kita katakan, "Kamu harus berhenti, kamu harus mandi," sekali lagi emosinya muncul, tapi dia harus belajar mengelola dan menguasainya.
GS : Masih ada unsur yang lain atau tidak, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah disiplin digunakan untuk menumbuhkan dan mempertahankan perilaku yang sesuai dengan harapan orangtua. Kadang kita beranggapan sekali nilai yang baik tertanam selamany akan berakar dan berbuah, faktanya tidak demikian.

Bukankah ada banyak hal positif yang pernah kita lakukan namun tidak kita lakukan lagi sekarang. Yang orangtua perlu lakukan di sini adalah menciptakan sistem imbalan, agar anak melihat dan mencicipi sendiri buah keberhasilannya. Dengan kata lain si anak perlu menyadari bahwa disiplin yang diterapkan memang baik untuknya dan bukan hanya untuk kita. Dengan kata lain kita tidak mau si anak melihat bahwa dia hanya menuruti kehendak kita, ketaatannya itu hanyalah untuk menyenangkan hati orangtua. Dia mesti melihat bahwa disiplin itu pada akhinya adalah untuk kebaikannya. Misalkan waktu dia mendapatkan nilai ulangan yang baik, kita bisa langsung memuji dia dan berkata, "Nah ini hasilnya, kemarin kamu belajar baik meskipun sebetulnya kamu ingin main playstation tapi kamu berhasil menguasai diri, sehingga kamu berkata OK-lah saya akan belajar. Nah inilah hasilnya, ulangan kamu bagus sekali 'kan kamu juga senang." Hal-hal seperti ini yang orangtua perlu komunikasikan sehingga si anak akan mulai belajar, "Ya, ini baik buat saya." Hal kecil lain misalnya menjaga kebersihan tubuh, setelah dia mandi, dia sudah wangi kita bisa memeluk dan berkata, "Kamu wangi sekali, senang sekali kamu wangi, kamu pasti juga senang ya, bajunya sudah rapi, wangi, tubuh kamu wangi." Si anak pada akhirnya harus melihat bahwa disiplin itu ternyata bermanfaat baginya.
GS : Memang ada beberapa orangtua itu yang kesulitan menerapkan disiplin ketika anaknya sakit. Jadi pada waktu sakit orangtua mulai melonggarkan disiplin yang diterapkan pada anak misalnya nonton TV, jam tidurnya, jam belajarnya. Setelah sembuh anak ini sulit kembali pada disiplin yang lama. Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira itu memang hal yang wajar, sebab dia sudah menikmati enaknya hidup longgar. Kita bisa berkata, "Nak, karena kamu sedang sakit dan tidak ada tugas-tugas yang harus kamu kerjakan,kamu tidak bersekolah, OK-kamu sekarang mau duduk, mau nonton televisi lebih lama silakan."

Tapi tetap mesti ada batasnya, misalkan kalau pada hari sekolah satu jam karena sekarang dia sakit boleh ekstra satu jam lagi. Tapi tidak berarti dari pagi sampai sore dia nongkrong di depan televisi, jadi harus ada pendisiplinan juga atau harus ada pembatasannya. Dan kita dengan tegas mengatakan, "Ini saya berikan kelonggaran karena kamu sedang sakit, nanti setelah kamu sembuh kamu harus kembali lagi pada kerutinan yang sama. Jadi kita beritahukan sebelumnya bahwa nanti setelah dia sembuh dia harus kembali lagi.
GS : Hal yang sama dialami ketika anak setelah liburan panjang, setelah pergantian tahun ajaran juga mengalami kesulitan yang sama.

PG : Paling tidak perlu waktu seminggu, supaya si anak akhirnya kembali kepada kerutinan yang semula. Karena kita bisa maklumi, anak-anak pada dasarnya mempunyai keinginan yang besar untuk berain pada usia-usia itu.

Jadi duduk belajar bukan sesuatu yang alamiah mereka bisa lakukan.
GS : Imbalan dalam bentuk materi itu sesuai atau tidak, Pak Paul, misalnya kalau nilainya baik lalu diberikan imbalan uang atau barang itu bagaimana Pak Paul?

PG : Sekali-sekali boleh, tapi jangan sampai setiap kali. Jadi setiap kali ulangan dijanjikan, nanti diberikan imbalan saya kira tidak demikian. Jadi misalkan ketika ulangannya baik kita langung berikan sesuatu, sebaiknya begitu jangan sampai kita terjebak seperti ini-harus diberikan imbalan baru nanti ulangannya baik.

Begitu kita tidak berikan imbalan, ulangannya anjlok. Nah si anak benar-benar terlalu bergantung pada imbalan, jadi yang saya sarankan adalah jangan beritahukan sebelumnya. Sekali-sekali boleh misalkan hal yang penting, yang besar, misalnya dia mau membeli playstation yang mahal, kita katakan, "Kalau semester ini atau akhir semester ini nilai-nilaimu semua bagus, Papa akan belikan playstation." Tapi ini masih lama, beberapa bulan sebelumnya, ini tidak apa-apa tapi untuk yang lebih kecil-kecil misalnya ulangan sebaiknya jangan, waktu kita misalnya melihat hasilnya baik atau apa kita berikan imbalan. Kita hanya katakan, "Kamu telah belajar dengan baik, papa bangga sekali, nih untuk kamu." Itu yang bisa kita lakukan sekali-sekali.
GS : Sering kali juga orangtua mau melemparkan tanggung jawab untuk mendisiplin anaknya itu kepada orang lain. Jadi misalkan kepada gurunya, baby-sitternya itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang di tengah-tengah kesibukan hidup ada kecenderungan sekarang orangtua makin mendelegasikan tugas mendisiplin anak kepada pihak-pihak lain. Saya mengerti itu kadang-kadang sesuatu yag tidak dapat dihindarkan, namun tetap kita harus ingat bahwa pada akhirnya yang terpenting adalah disiplin itu dari kita orangtua.

Sebab disiplin nantinya berkaitan dengan respek, anak mesti respek pada otoritas orangtua. Jikalau orangtua sama sekali atau jarang terlibat dalam usaha mendisiplin anak, satu hal yang sebelumnya sedang terjadi adalah dia sedang menjual otoritasnya, si anak akan akhirnya sukar sekali tunduk pada otoritas orangtua. Dan sekali lagi siapakah yang paling mengenal anak, yang paling dekat, yang paling tepat selain kita sebagai orangtua. Jadi dengan kata lain tugas-tugas itu ada pada pundak kita. Dan saya mau ingatkan lagi bahwa disiplin akhirnya sangat berperan dalam pembentukan anak itu sendiri.
GS : Untuk merangkumkan perbincangan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 13:24, "Siapa yang tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya, tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya (kata mengajar sebetulnya adala kata mendidik) jadi siapa tidak menggunakan tongkat benci anak, tapi siapa mengasihi anak dia akan mendidik si anak pada waktunya.

Artinya orangtua mesti meluangkan waktu, merencanakan dan mendisiplin anak. Kalau tidak, maka sebetulnya dia sedang mengkomunikasikan bahwa dia tidak sayang anak. Sebab anak kalau kita sayang, kita harus disiplin sebab kalau tidak didisiplin benar-benar anak akan bertumbuh liar, emosinya tak terkontrol dan justru emosinya nanti yang akan menguasai si anak, dan itu akan merugikan hidupnya sendiri.
GS : Sehubungan dengan menggunakan tongkat, ada orangtua yang mengatakan lebih baik menggunakan tangannya daripada menggunakan alat pemukul yang lain untuk mendisiplin anak, pendapat Pak Paul bagaimana?

PG : Saya kira penggunaan alat atau tidak memang itu relatif, yang penting adalah alatnya harus sesuai, jangan sampai alat yang keras. Kalaupun menggunakan tongkat atau apa, pukullah dengan pelahan dan pukulnya juga di pantat.

Jangan gunakan itu untuk memukul tubuhnya atau kepalanya. Kalau menggunakan tangan juga sama, pukullah dengan tepat, jangan sampai kita gunakan tangan menggampar kepala anak. Jadi yang lebih penting adalah bagaimana kita mendisiplinnya, dengan kekuatan seperti apakah kita mendisiplinnya.

GS : Jadi terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini yang sangat bermanfaat khususnya bagi kami yang mempunyai anak-anak yang membutuhkan bimbingan untuk lebih berdisiplin. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Disiplin dan Emosi Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



71. Mengendalikan Emosi Anak Hiperaktif


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T195B (File MP3 T195B)


Abstrak:

Bagaimanakah kita sebagai orangtua dapat menolong mengendalikan emosi dan perilaku anak. Ada beberapa langkah yang dapat kita ajarkan dan semuanya termaktub dalam akronim STAR yakni Stop, Think And Respond.


Ringkasan:

Sekali lagi tentang anak yang masuk golongan Attention Deficit Hyperacitivity Disorder. Ciri utamanya adalah kesulitan untuk berkonsentrasi dan mengendalikan emosi serta perilakunya. Ada yang hanya mengalami kesulitan memusatkan perhatian untuk kurun yang lama; ada pula yang tidak dapat mengendalikan perilaku dan emosinya akibat energi yang berlebihan. Kali ini kita hanya akan membahas tentang emosi dan perilakunya yakni bagaimanakah kita sebagai orangtua dapat menolongnya mengendalikan emosi dan perilakunya. Ada beberapa langkah yang dapat kita ajarkan dan semuanya termaktub dalam akronim STAR.

Stop
Kita mengajarkannya untuk berhenti dan tidak melakukan apa-apa tatkala anak tengah marah. Pertama, kita melatihnya untuk mengontrol pernapasannya yakni menarik napas yang panjang dan melepaskannya perlahan-lahan. Kedua, kita mengajarkannya untuk merilekskan pundaknya. Ketiga, kita mengajarkannya untuk mendengarkan pernapasannya. Keempat, bila memungkinkan kita mengajarkannya untuk meninggalkan situasi yang membuatnya marah itu.

Think
Anak yang mengidap ADHD cenderung peka secara berlebihan dan hal ini membuatnya mudah tersinggung dan marah. Setelah ia mampu untuk stop, langkah berikutnya adalah mengajarkannya untuk berdialog dengan diri sendiri. Dalam dialog ini, ia harus menjawab pertanyaan, "Apakah ini ditujukan kepada saya dengan maksud untuk membuat saya marah?" Dengan kata lain, kita memintanya untuk berpikir obyektif dan luas.

And Respond
Jika jawaban terhadap pertanyaan itu adalah ya, ditujukan kepadanya untuk membuatnya marah, maka langkah berikutnya adalah mengajarkannya untuk menimbang respons seperti apakah yang seharusnya ia berikan. Di sini kita perlu mengajarkannya tentang kehendak Tuhan yakni tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Kita pun dapat mengajarkannya untuk memikirkan alternatif yang lain, misalkan berbicara langsung kepada pihak yang bersangkutan atau melaporkannya kepada kita.

Firman Tuhan
Siapa memelihara mulut dan lidahnya memelihara diri daripada kesukaran. (Amsal 21:23)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengendalikan Emosi Anak Hiperaktif". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Anak Hiperaktif itu seperti apa Pak Paul?

PG : Ada beberapa cirinya Pak Gunawan, sudah tentu kata hiperaktif itu menunjukkan kepada kegiatan fisik yang sangat berlebihan, jadi anak itu tidak bisa diam senantiasa berjalan, lari, kalau nik tangga pun tidak bisa perlahan-lahan.

Yang kedua, dia sangat susah untuk berkonsentrasi, jadi seringnya anak-anak hiperaktif itu mengalami kesulitan untuk mendengarkan instruksi sehingga akhirnya memancing kemarahan anak-anak lain atau orang-orang lain, karena dia sendiri tidak begitu bisa mematuhi peraturan atau permintaan orang. Anak-anak ini juga mempunyai kecenderungan untuk menggoda anak-anak lain, mengganggu anak-anak lain, membuat anak-anak lain kesal, marah dan sebagainya. Nah ini adalah bagian dari anak-anak hiperaktif. Kenapa kita mesti fokuskan pada saat ini, karena emosi mereka cenderung kuat, kalau marah-marahnya sangat besar.
GS : Biasanya yang menjadi penyebabnya apa Pak Paul?

PG : Sampai sekarang sebetulnya kita tidak mengetahui dengan pasti apa penyebabnya, nah gangguan ini memang masuk dalam gangguan yang disebut Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Nh kita hanya bisa memberikan deskripsi atau penjabaran apa yang sebetulnya terjadi.

Yang memang terjadi adalah adanya sesuatu yang lain di dalam sistem syaraf otaknya, namun kalau ditanyakan mengapakah demikian, tidak bisa kita ketahui. Misalkan ada yang bisa menyimpulkan kalau salah satu orangtua menderita gangguan ini anak mempunyai kemungkinan mengidap gangguan yang sama. Itu bisa dilihat dalam beberapa kasus, tapi apakah selalu seperti itu ya juga tidak. Misalnya yang lain lagi, di Amerika Serikat ada penelitian tentang anak-anak yang dikandung dalam kandungan ibu yang memakai alkohol, maksudnya pada waktu mengandung si anak mereka meminum minuman-minuman yang mengandung alkohol. Sebagian dari anak-anak itu waktu sudah lahir juga mengembangkan gangguan ADHD ini, apakah itu konklusif untuk semua anak ya juga tidak. Jadi memang sampai sekarang kita tidak bisa memastikan penyebabnya apa.
GS : Kalau orangtua mempunyai anak seperti itu, bagaimana seharusnya orangtua itu bersikap?

PG : Nomor satu, anak-anak itu memerlukan struktur Pak Gunawan, jadi orangtua mesti menerapkan disiplin. Kalau tidak ada disiplin anak-anak ini memang akan susah sekali untuk mengontrol dirinya. Karena di dalam dirinya dia sendiri harus menguasai energi yang begitu kuat. Sangat sulit sekali bagi dia menahan diri untuk tidak lari, tapi kalau dia lari nabrak sana nabrak sini, sulit sekali untuk diam. Misalnya dia disuruh diam, duduk diam dan sebagainya, tapi tenaganya begitu banyak sehingga waktu duduk diam dia sangat resah, dia harus jalan-jalan akhirnya terkena lagi diomeli. Jadi orangtua mesti menerapkan disiplin sekaligus mengkomunikasikan pengertian. Anak-anak ini cenderung nantinya di luar disalahpahami, dianggap anak nakal, anak yang bisanya mengganggu atau menggoda anak lain, atau anak yang membangkang perintah guru dan sebagainya. Nah sebagai orangtua kita mesti mengkomunikasikan pengertian, "saya mengerti kamu sebetulnya tidak mau menyusahkan orang tapi kadang-kadang kamu susah untuk mengontrol dirimu, sehingga akhirnya kamu menggoda atau melakukan hal ini." Jadi berikan pengertian tapi sekaligus tadi saya sudah tekankan, pertamanya mesti ada struktur, mesti ada disiplin. Pengertian tanpa disiplin tidak ada hasilnya malah membuat si anak semakin; disiplin yang berlebihan akan membuat si anak merasa tertolak, tidak ada yang mengerti di dunia ini termasuk orangtuanya. Sehingga dia akan lebih mudah frustrasi, jadi perlu kedua-duanya yaitu pengertian atau cinta kasih serta disiplin.

GS : Tapi disiplin dalam hal ini yang diterapkan harus berbeda dengan anak yang normal, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi kita harus menggunakan sebuah metode disiplin. Nah ini saya akan membagikan sebuah metode yang diajarkan oleh para pendidik dan juga para ahli jiwa di Amerika Serikat. Akronimnya atau singkatannya adalah STAR dalam bahasa Inggrisnya.

Kata yang pertama S dari STAR atau bintang itu, S adalah Stop, maksudnya kita mesti mengajarkan anak-anak ini untuk berhenti dan tidak melakukan apa-apa tatkala tengah marah. Sekali lagi saya tekankan, anak-anak dengan gangguan ADHD apalagi dengan hiperaktifitas cenderung mudah marah, emosinya sangat kuat. Jadi kita mesti melatihnya untuk stop, waktu dia marah dia harus belajar diam, karena kalau dia bicara, dia keluarkan kata-kata-emosinya makin menonjok. Kalau misalkan dia menonjok, dia tidak bisa menonjok sekali dan dia akan mau terlibat dalam perkelahian. Langkahnya untuk berhenti adalah yang pertama kita melatihnya untuk mengendalikan pernafasannya, kita meminta dia untuk menarik nafas yang panjang, melepaskannya perlahan-lahan. Jadi kita yang mesti menjadi 'cold', kita katakan, "Kamu sedang marah sekarang, mama atau papa ingin mengajarkan kamu; kalau kamu tengah marah seperti ini kamu harus stop. Nah ini caranya stop, mula-mula kamu harus ambil nafas yang panjang, lepaskan perlahan-lahan." Kedua kita ajarkan dia waktu dia sedang mengeluarkan nafas kita minta dia untuk merilekskan pundak. Sebab biasanya waktu dia marah, atau waktu kita marah, pundak kita mulai menegang dan mulai terangkat, nah kita berkata coba turunkan pundakmu, kita bisa membantunya dengan memijit pundaknya supaya lebih kendor. Yang ketiga, kita mengajarkannya untuk mendengar pernafasannya dan minta dia untuk terus bernafas, nah waktu bernafas coba kamu dengarkan pernafasan kamu. Kamu jangan pikirkan tentang peristiwanya tadi tapi coba dengarkan pernafasannya saja. Terakhir, bila memungkinkan kamu tinggalkan situasi yang bisa membuat kamu marah. Jangan kamu di sana terus sebab kalau anak-anak ini berada dalam situasi yang membuat dia marah dan dia terus-terus melihat dia tambah marah, jadi kita ajarkan sebisanya kamu keluar sehingga kamu tidak melampiaskan kemarahan kamu.
GS : Artinya sumber masalah yang menyebabkan dia marah itu harus dijauhkan dari dia Pak Paul?

PG : Tepat sekali, karena jikalau tidak dia akan terus bereaksi. Sekali lagi kita mesti menyadari bahwa anak-anak dengan hiperaktifitas ini mempunyai energi yang tinggi. Energi ini waktu dikeuarkan dalam bentuk kemarahan memang sangat kuat, itu sebabnya anak-anak ini pada akhirnya di sekolah sukar mempunyai teman kalau sering marah karena teman-temannya tidak suka dengan kemarahannya apalagi kalau dia marah terus mau memukul atau mendorong, nah itu makin menjauhkan dia dengan anak lain.

Jadi kalau kita mempunyai anak yang menderita gangguan hiperaktifitas, kita mesti menolongnya pertama-tama menguasai kemarahan.
GS : Kalau kemarahan itu justru sumbernya orangtua, jadi anak ini marah kepada orangtuanya; padahal tadi Pak Paul katakan yang mendampingi anak ini orangtua, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau memang kita sadari dia marah kepada kita, kita misalkan memarahi dia sehingga dia marah, nah kita lihat reaksinya. Kalau tiba-tiba dia reaksinya terlalu keras atau apa, kita memang arus mendekapnya dan kita katakan kamu tenang, kamu jangan bereaksi seperti ini.

Jadinya kita waktu marah kepada dia pun harus menunjukkan pengendalian diri. Kita tidak bisa mendekapnya dan berkata kamu sekarang tenang, kamu ambil nafas yang panjang; kita tidak bisa berkata seperti itu kalau kita sendiri juga meledak-ledak. Maka kita memberi contoh, waktu kita marah kepadanya kita pun tidak meledak-ledak, kita hanya memberikan dia konsekuensinya atau kita memberikan dia teguran. Waktu dia tidak senang, dia mulai marah, kita langsung pegang dia dan kita katakan kamu sedang marah sekarang, coba kamu stop, kamu ambil nafas, jadi kita katakan itu. Mungkin dia akan mengamuk dan tidak mau terima tapi terus-terus kita lakukan itu, lama-kelamaan dia akan ingat dan waktu nanti dia marah lagi dengan orang lain ataupun dengan kita, yang dia telah dengar itu akan muncul dan akan mengingatkan dia, bahwa ini langkah yang harus dilakukannya.
GS : Tapi tindakannya bukan cuma marah itu sendiri Pak Paul, apakah cara ini masih bisa digunakan?

PG : Bukan, kalau bukan dalam kaitan dengan emosi tapi dengan pengaturan energinya, dengan anak-anak seperti ini kita memang harus mempunyai jadwal aktifitas fisik. Keliru sekali kalau orangtu berkata anak ini tidak bisa diam, makanya mendingan dia duduk, belajar; mungkin akan semakin bermasalah.

Jadi justru anak seperti ini kalau pulang sekolah sedikitnya perlu diberikan jedah dua jam untuk dia benar-benar jungkir balik, dia lari ke sana-ke sini, dia main ke sana-kesini, dia perlu melepaskan stres yang dialami karena harus duduk diam selama berjam-jam di sekolah. Sekurang-kurangnya dua jam dia harus begitu, setelah itu kita bisa meminta dia untuk misalkan makan, setelah makan mandi dengan air hangat dan kemudian minta dia tidur. Setelah dia tidur siang, dia bangun dalam keadaan masih mengantuk dan tenaganya belum sepenuhnya pulih barulah kita ajak dia untuk mulai belajar. Misalkan kita cuci mukanya kemudian kita minta dia untuk belajar selama satu jam. Kemudian satu jam kita biarkan dia main-main dulu nanti belajar lagi. Jadi belajarnya pun harus dipotong-potong, tidak bisa tiga jam nonstop. Anak seperti ini kalau kita paksa belajar 3 jam yang dia benar-benar serap paling seperempat jam, sebab daya konsentrasinya tidak mencapai setengah jam. Paling lama sekitar 15-20 menit setelah itu sudah buyar.
GS : Langkah selanjutnya apa Pak Paul?

PG : Huruf yang kedua adalah T berasal dari kata THINK=berpikir. Anak-anak yang mengidap ADHD cenderung peka secara berlebihan dan hal ini membuatnya mudah tersinggung dan marah. Jadi setelahdia mampu untuk stop, langkah berikutnya adalah mengajarkannya untuk berdialog dengan dirinya sendiri.

Jadi dalam dialog, dia harus menjawab pertanyaan ini, apakah tindakan ini ditujukan kepada saya dengan maksud untuk membuat saya marah. Selalu kita ini harus ajarkan kepada si anak pertanyaan-pertanyaan ini. Kita nanti yang mengajarkannya, waktu dia cerita, waktu dia marah dengan adiknya atau apa, kita katakan apakah adikmu sengaja membuatmu marah ataukah ini dilakukan untuk memang menyinggung kamu. Sebab anak-anak ini sering kali tidak bisa berpikir seperti itu pokoknya dia tersinggung, dia marah, dia harus membalas. Pokoknya dia tersinggung, emosinya langsung keluar, keras sekali anak-anak ini makanya mudah marah. Kita harus melatihnya berpikir-think, apakah benar-benar ini ditujukan untuknya. Kadang-kadang anak kecil melempar kertas, kena pada dirinya harusnya ke orang lain, nah dia bisa langsung marah. Nah di sini kita ajarkan coba jawab, "Apakah melempar kertas itu sengaja ditujukan kepada kamu," misalkan dia berkata, "Ya, kena saya kok," "tapi apakah sebetulnya ditujukan kepada kamu, teman kamu tadi berkata dia sebetulnya melempar itu kepada teman yang satunya bukan kepada kamu, jadi kena kepada kamu secara kebetulan, kamu jadinya harus menahan dirimu, tidak boleh marah sebab ini bukan untuk membuat kamu marah."
GS : Ekspresi kemarahan, apakah selalu ditampilkan oleh anak-anak yang hiperaktif seperti ini?

PG : Betul Pak Gunawan, jadi anak-anak yang hiperaktif ini sering kali kalau marah langsung terlihat, dia tidak bisa mendiamkan, menyimpannya. Ini yang menjadi masalah dan ini yang kita harus jarkan kepada anak, untuk dia kelola dan kuasai.

GS : Itu juga yang membuat dia sulit berpikir seperti itu tadi, Pak Paul. Bagaimana ada juga anak yang suka menggigit temannya, apakah ini tergolong anak-anak yang hiperaktif?

PG : Belum tentu, jadi kalau memang dia hanya menggigit tapi di luar itu perilakunya diam, tidak terlalu lari sana-sini, berarti bukan. Tapi kenapa dia menggigit, memang banyak kemungkinan, mialnya orangtuanya pun pernah menggigitnya atau kakaknya atau adiknya pernah menggigitnya.

Jadi waktu dia digigit, dia membalas dengan perilaku yang sama, dia menggigit kembali. Atau mungkin sekali dia main-main terus kemudian dia menggigit, terus reaksi adik atau kakaknya waktu digigit adalah menangis kesakitan. Nah tiba-tiba si anak itu menemukan sebuah senjata yang baru, kita harus mengerti anak-anak terutama pada masa kecil dia belum menyadari kapasitas tubuhnya, kapasitas dirinya, apa-apa yang dia mampu lakukan. Salah satu yang dia sadari, yang mampu dia lakukan adalah kemampuannya untuk melukai, menyakiti anak lain atau orang lain. Misalkan ada anak yang belajar mendorong, ada anak yang belajar menjambak, ada anak yang belajar meludah, itu kemampuan-kemampuan yang si anak sadari o......dia bisa lakukan untuk melukai atau menyakiti temannya atau anak lain. Salah satunya dengan menggigit itu, jadi ini menjadi sebuah senjata. Kalau kita tahu sebagai orangtua anak kita melakukan hal seperti itu memang kita harus disiplin. Tidak harus disiplinnya berlebihan harus berteriak marah dan sebagainya, tapi kita berikan ancaman "Sekali lagi kamu lakukan itu, hukumannya adalah selama satu minggu kamu tidak akan menonton televisi sama sekali." Jadi kita berikan ancaman seperti itu, "Kamu mengulang lagi kedua kalinya, dua kali kamu tidak nonton." Atau kalau misalkan anak itu tidak terlalu suka nonton televisi, lebih suka main games, gamesnya itulah yang kita ambil. Jadi kita mulai berikan konsekuensi seperti itu sehingga mau tidak mau dia harus menghentikan perilakunya.
GS : Ini masih ada dua huruf yang lain, selanjutnya apa Pak Paul?

PG : Dua huruf yang lainnya adalah "And Respond", maksudnya begini. Tadi kita mengajak si anak bertanya apakah perbuatan ini ditujukan kepada saya dengan maksud membuat saya marah. Bagaimana alau jawabannya memang 'ya' si anak itu memang sengaja misalkan melempar kertas kepada dia.

Nah apa yang harus dia lakukan, di sini kita harus berkata kepada si anak, jika memang perbuatan ini ditujukan kepadamu, coba sekarang kita timbang respon apakah yang seharusnya dia berikan. Kita perlu mengajarkannya nomor satu tentang kehendak Tuhan, yaitu untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Berikutnya kita bisa mengajarkannya untuk memikirkan alternatif yang lain, misalnya berbicara langsung dengan pihak yang bersangkutan. Nah anak-anak itu kadang-kadang tidak menyadari bahwa berbicara langsung dengan menatap mata si anak satunya dengan langsung, itu sebetulnya metode yang efektif untuk meminta anak lain untuk berhenti mengganggunya. Kadang-kadang anak-anak itu waktu diganggu, reaksinya berteriak atau ngomel-ngomel sedikit, itu tidak menghentikan. Kadang-kadang anak-anak yang lain berpikir untuk menghentikan dia harus pukul, orang baru berhenti tidak mengganggunya lagi, tapi sebetulnya langkah yang di tengah tidak usah memukul, tapi hanya datang dengan tegas dan berkata pada anak yang mengganggunya, "saya tidak mau kamu lempar lagi, jangan lagi." Nah tindakan seperti itu pun sebetulnya sangat efektif menghentikan tindakan teman-temannya yang senang mengganggunya. Jadi kita mesti mengajar anak memikirkan respons yang tepat, sebab anak-anak ADHD waktu memberikan respons biasanya satu responsnya yaitu bertindak secara fisik; mendorong, memukul dan sebagainya. Ini yang mesti kita ajarkan kepada si anak untuk tidak melakukannya dan mengembangkan respons-respons lain yang lebih tepat.
GS : Memang anak-anak ini kesulitan mengontrol emosinya, menghadapi seperti itu dia tentu akan mengeluarkan reaksi yang spontan, responsnya seperti itu Pak Paul?

PG : Makanya ini yang mesti kita ajarkan kepada si anak sejak usia dini. Jadi kalau kita baru mengajarkan kepada anak saat usia 10 tahun sudah hampir tidak bisa. Sejak anak usia 2 tahun kita erlu ajarkan, waktu dia menangis, waktu dia mulai menunjukkan sikapnya seperti, kita langsung harus berada di situ, kita mendekapnya dan berkata, "Kamu tenang, kamu jangan nangis lagi, kamu jangan marah lagi."

Jadi orangtua harus sudah memberikan batas-batas si anak selagi dia kecil, apalagi kalau anak ini menderita gangguan ADHD.
GS : Tapi untuk mengenali itu bukankah orangtua akan kesulitan Pak Paul, orang tidak tahu anaknya menderita hiperaktif atau ADHD. Nah apakah orangtua ini perlu pertolongan orang lain untuk menentukan itu atau bisa memutuskan sendiri bahwa anaknya hiperaktif?

PG : Biasanya kalau sampai kesulitan, silakan dibawa ke seorang psikolog yang bisa melihatnya dengan lebih tepat. Namun kalau pun tidak si orangtua seyogyanya bisa melihat ciri-cirinya. Misalya anak-anak ini benar-benar tidak bisa diam dan kalau disuruh tidur susah sekali.

Benar-benar anak ini bisa melêk dari pagi sampai jam 12 malam, dan jam 12 malam pun kalau tidak dipaksa tidur dia masih bisa melêk, jadi daya tahan tubuhnya kuat. Kedua, biasanya anak-anak ini memang jarang sakit, tubuhnya kuat sekali dan tidak mudah menangkap penyakit. Ketiga, anak-anak ini cenderung susah sekali untuk konsentrasi, jadi kalau main satu sebentar saja dia mau main yang lain; tidak suka dengan yang baru dibeli-mau beli yang lain atau kalau ada mainan, dia akan lepasi semuanya. Atau kalau dia melihat hewan, maunya menyakiti hewan-hewan itu, jadi ada beberapa ciri-ciri yang bisa kita perhatikan namun yang terutama adalah kalau memang mempunyai hiperaktifitas, dia tidak bisa diam. Dia akan lompat sini - lompat sana; dia akan lari sini - lari sana; naik tangga dia akan lari, turun tangga dia akan lari atau dia akan merosot tidak mau lagi berjalan di tangga dan tenaganya itu tidak habis-habis.
GS : Tapi bukankah tingkat keparahannya itu berbeda-beda Pak Paul, nah kalau sampai parah sekali apakah anak seperti ini tidak membutuhkan sekolah khusus?

PG : Sebetulnya kalau ada sekolah khusus akan lebih baik lagi karena anak-anak ini memang kalau dicampur dengan terlalu banyak anak, dia akan merepotkan si guru. Jadi kalau ada anak-anak denga gangguan seperti itu, sebetulnya satu kelas itu tidak boleh lebih dari 20 anak.

Karena anak-anak ini kalau berada di tengah-tengah hiruk-pikuk anak-anak lain, benar-benar akan lebih merangsang energinya, merangsang reaksinya. Jadi kelas tidak boleh terlalu banyak anak. Setahu saya memang tidak ada sekolah khusus untuk anak-anak seperti ini karena dimasukkan ke dalam sekolah luar biasa pun tidak tepat karena ini sebetulnya secara mental, secara IQ baik dan normal. Jadi saya kira masukkanlah ke sekolah di mana setiap kelasnya muridnya tidak terlalu banyak. Dan yang penting orangtua perlu menjelaskan kepada guru sebelumnya, sehingga guru mengerti. Sebab kalau guru tidak mengerti, guru itu nanti belum apa-apa sudah akan menghukum si anak. Jadi lebih baik diberikan pengertian sehingga si guru bisa menempatkan si anak duduk paling depan. Jadi waktu menjelaskan si guru sering-sering melihat si anak, menyentuhkan, mengajaknya kembali melihat si guru.
GS : Atau mungkin ada obat-obat tertentu yang membuat dia mengurangi rangsangan-rangsangan untuk dia bertindak hiperaktif?

PG : Memang biasanya kalau kita bawa anak-anak ini ke psikiater, dan memang terlalu parah sekali biasanya akan diberikan obat, biasanya diberikan obat seperti ritalin dan sebagainya. Sebaiknyakalau pun harus minum obat karena terlalu hiperaktif, itu diberikan untuk satu kurun waktu saja misalkan untuk 2 bulan saja, setelah itu dihentikan.

Nah biarkan untuk suatu waktu tidak memakai obat sama sekali, kalau terus berkembang lagi coba tahan lagi, tapi jangan diberi obat. Nanti misalkan 5 bulan tidak diberikan obat, kalau misalkan terus begitu coba berikan lagi, mungkin selama 2 bulan. Setelah dua bulan kurangi lagi dan hentikan lagi, terus begitu, harus diberikan jedah. Kenapa? Sebab sebagian dari anak-anak yang akhirnya menjadi pecandu narkoba, sebetulnya waktu kecil adalah anak-anak ADHD, tapi terus-menerus diberikan obat-obat untuk menenangkannya. Pada akhirnya anak-anak ini kecanduan, kenapa? Sebab ia tidak pernah berhenti memakai obat, dari misalkan umur 8, 9 tahun terus sampai 18 tahun non-stop diberikan obat, yang terjadi adalah dia kecanduan. Sebab obat-obat ini akan memberikan dia ketenangan, lain kali bila tidak ada lagi obat itu dia tidak akan pernah bisa tenang sendiri, sehingga dia selalu membutuhkan obat. Lama-lama obat ini tidak bisa didapatkan, dia akan membeli obat-obat yang terlarang, seperti misalkan dia akan menggunakan heroin, mariyuana dsb. untuk memberikan ketenangan kepadanya. Jadi untuk mencegah ketergantungan memang harus diberikan jedah, namun itu langkah terakhir. Sebaiknya awal-awalnya tidak memberikan obat pada anak-anak hiperaktif ini, sebisanya tangani saja melalui pengaturan energinya, biarkan dia banyak bergerak, pulang sekolah ada olahraga sehingga energinya tersalurkan. Dan berikan dia pengertian serta disiplin yang tepat, kalau itu bisa dilakukan-lakukanlah tanpa menggunakan obat.
GS : Mungkin pola makannya juga perlu diatur, Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, biasanya anak-anak ini luar biasa suka coklat dan suka manis-manisan. Tapi justru ini yang harus dikurangi karena kalau dia banyak makan manis akan menambah energinya, enaganya berkali-kali lipat.

Jadi memang perlu pengurangan-pengurangan seperti itu meskipun tidak harus 100% hilang. Karena anak-anak kecil akan suka es cream, permen, tapi dibatasi saja.
GS : Tetapi juga ada harapan artinya masih ada kesempatan anak ini bisa terbebas dari gangguan ADHD?

PG : Sebetulnya 66% dari anak-anak ini tatkala usianya makin dewasa gangguan ini juga akan mereda dan akhirnya hilang, itu 66%=2/3-nya tapi 1/3 dari mereka akhirnya terus seperti ini sampai diusia tua.

Maka kadang-kadang kita masih bisa menemukan orang dewasa atau orang yang sudah tua tapi tidak bisa diam. Di rumah selalu ada saja yang harus dikerjakan, diotak-atik, dibersihkan dan sebagainya. Itu hanya 2/3 nya, 1/3 nya sebetulnya akan berubah dan tidak terlalu aktif seperti itu.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Amsal 21:23, Firman Tuhan berkata: "Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri daripada kesukaran." Ini ayat yang perlu kita tanamkan kepada anak-anak, dengan gangguan hiperaktfitas.

Dia harus memelihara mulut dan lidahnya kalau tidak dia akan selalu menjumpai kesukaran. Karena anak-anak ini sukar menguasai emosi, mulut, lidahnya atau tangannya selalu bergerak dan akhirnya menimbulkan masalah demi masalah jadi kita harus ajarkan kepada dia dengan langkah-langkah STAR tadi STOP, THINK, AND RESPOND.

GS : Terima kasih, Pak Paul biarlah ini berguna bagi kita sekalian yang mendengarnya. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengendalikan Emosi Anak Hiperaktif." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



72. Anak Adopsi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T199A (File MP3 T199A)


Abstrak:

Tidak semua pasangan nikah dikaruniakan anak sehingga mengadopsi anak menjadi sebuah alternatif yang layak dipertimbangkan. Sungguhpun demikian kita mesti memastikan beberapa hal di bawah ini agar tidak melakukan kesalahan dalam mengadopsi anak.


Ringkasan:

Tidak semua pasangan nikah dikaruniakan anak sehingga mengadopsi anak menjadi sebuah alternatif yang layak dipertimbangkan. Sungguhpun demikian kita mesti memastikan beberapa hal di bawah ini agar tidak melakukan kesalahan dalam mengadopsi anak.

Motivasi Kita harus memiliki motivasi yang benar dalam mengadopsi anak dan motivasi yang benar adalah keinginan untuk membagi kasih dan hidup dengan anak serta membesarkannya menjadi penggenap rencana Allah dalam hidupnya. Ada orang yang memiliki motivasi yang keliru, misalkan ada yang ingin berstatus mempunyai anak namun tidak bersedia membagi hidup dan kasih dengan anak. Atau ada yang bercita-cita agar anak menjadi penerus dirinya belaka dan melupakan satu fakta yang hakiki yakni anak adalah manusia ciptaan Tuhan yang Ia tempatkan di bumi untuk menggenapi rencana-Nya, bukan rencana kita. Singkat kata kita mengadopsi anak karena ingin mengasihinya, bukan memakainya demi kepentingan pribadi. Jika unsur kasih tidak kuat, jika suatu saat anak kandung lahir, niscaya anak adopsi akan menjadi anak terbuang. Atau, bila motivasi kasih tidak kuat, sewaktu anak adopsi mengembangkan masalah, orangtua dengan mudah mengusirnya atau mengembalikannya kepada orangtua kandung.

Kesiapan Sebelum mengadopsi anak kita mesti siap menerima kedatangannya di dalam kehidupan kita. Ada orang yang mengadopsi anak namun tidak siap untuk mengakomodosi kehadiran anak dalam jadwal kehidupannya. Anak langsung diserahkan kepada perawat untuk membesarkannya. Kita pun harus siap menerima kehadiran anak yang bukan dari darah daging sendiri-bentuk fisiknya mungkin akan sangat berbeda dari kita dan sifat atau tabiatnya juga berlainan. Dengan kata lain, kita selayaknya menyiapkan diri untuk menghadapi perbedaan ciri-baik itu ciri fisik maupun ciri kepribadian.

Selain kedua hal di atas, ada beberapa hal teknis yang mesti kita pertimbangkan dalam mengadopsi anak.

1. Sebaiknya kita mengadopsi anak sejak bayi sehingga terjalin ikatan yang kuat antara anak dan orangtua. 2. Kita harus memastikan kesiapan pribadi untuk mengadopsi anak sesuai jenis kelamin yang diharapkan. Ada orang yang lebih nyaman dengan anak perempuan atau sebaliknya. 3. Sebaiknya anak adopsi diberitahukan status sebenarnya pada waktu ia berusia di bawah 10 tahun sehingga kalaupun harus terjadi pergolakan, hal itu akan terjadi di usia kanak-kanak, bukan remaja. 4. Jika harus terjadi kontak dengan orangtua kandung, sebaiknya itu terjadi sewaktu anak sudah mendekati usia akil balig untuk mencegah terjadinya kerancuan.

Tuhan tidak membedakan anak-baik anak yang dibesarkan orangtua kandung atau bukan. Samuel dibesarkan oleh Iman Eli, bukan oleh ibunya Hana, namun Tuhan memberkati dan memakai Samuel. Nama Samuel berarti "Aku telah memintanya dari Tuhan." (1 Samuel 1:20) Inilah yang Hana katakan, "Untuk mendapat anak inilah aku berdoa dan Tuhan telah memberikan kepadaku apa yang kuminta dari pada-Nya. Maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan." (1:27-28)

Hampir semua anak adopsi tahu bahwa ia bukanlah anak kandung orangtuanya. Kadang ini terlihat dari ciri fisik yang begitu berbeda namun adakalanya perasaan ini muncul dengan sendirinya. Itu sebabnya jauh lebih baik bila ia diberitahukan status sebenarnya di waktu ia masih kecil. Sama seperti anak lain, anak adopsi tidak harus menimbulkan masalah namun orangtua mesti mewaspadai hal-hal berikut ini.

Ketertolakkan dan Kemarahan Anak adopsi cenderung mengembangkan rasa ketertolakan-bagaimanapun ia diserahkan orangtuanya kepada orang lain. Rasa ketertolakan berpotensi membuatnya merasa tidak berharga dan berpandangan negatif terhadap dirinya. Itu sebabnya kita mesti ekstra peka dalam mengasuhnya. Jika rasa ketertolakan berlanjut, ia dapat memberontak dan berusaha menjauhkan diri dari keluarga. Pada dasarnya isi dari ketertolakan adalah kesedihan dan kemarahan. Ia pun dapat merasa tertipu sebab selama ini ia merasa sebagai anak kandung.

Rasa Tidak Aman Anak adopsi cenderung membandingkan diri dengan anak lain dan berupaya terlalu keras untuk membuktikan bahwa ia layak dikasihi dan menjadi bagian dari keluarga yang mengadopsinya. Ia merasa tidak diinginkan oleh orangtua kandung, jadi sekarang ia berusaha keras mendapatkan penerimaan ini. Perilaku ini tidak sehat dan berpotensi menimbulkan masalah karena dengan mudah ia dapat kehilangan jati dirinya dan terjebak dalam perilaku menyenangkan orang secara membabi buta.

Ketersesatan Anak adopsi bisa pula merasa terhilang dalam hidup sebab tiba-tiba ia merasa sebatang kara. Tanpa penjagaan dan kasih yang kuat, ia dapat melakukan hal-hal yang salah karena kehilangan arah hidup. Ia beranggapan tidak ada seorang pun yang sungguh peduli kepadanya, jadi mengapakah ia harus mempedulikan perasaan orang lain.

Tindakan Orangtua

  1. Orangtua mesti memperlakukan anak adopsi seperti anak kandung karena fakta inilah yang akan berbicara kepadanya tatkala ia tengah mengalami pergolakan.
  2. Orangtua harus kuat bertahan dan tidak terjebak ke dalam upaya anak menguji batas kesabaran. Anak adopsi kadang berperilaku buruk seolah-olah meminta untuk ditolak kembali-jadi, menggenapi "nasib" sebagai anak yang terbuang.
  3. Orangtua tetap mesti mendisiplinnya dan tidak boleh memperlakukannya secara khusus. Kasih dan disiplin harus diberikan secara seimbang.

Firman Tuhan: Yefta adalah anak yang terbuang dan akhirnya menjadi anak berperilaku buruk (Hakim-Hakim 11:1-4) Anak adopsi bukanlah anak yang terbuang; sebaliknya, anak adopsi adalah anak yang terselamatkan. Tuhan menyelamatkan dan memberinya keluarga yang baru.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak Adopsi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita melihat ada pasangan-pasangan yang mengadopsi atau mengangkat anak. Secara umum biasanya yang menjadi alasan mereka apa Pak Paul?

PG : Biasanya memang karena dari awal mereka berpacaran sudah tentu mereka mengharapkan setelah menikah mereka akan dikaruniai anak, itu sesuatu yang ada dalam paket pernikahan. Kemudian setelh menikah mendapati bahwa mereka tidak dikaruniai anak, mereka merasa ada yang terhilang dalam kehidupan mereka sebagai suami dan istri.

Apalagi waktu mereka berkumpul dengan teman-teman dan teman-teman sudah mulai mempunyai anak, rasa kehilangan itu makin membesar atau makin menguat jadi rasanya sepi tidak ada anak-anak di rumah, sedangkan teman-teman ada anak-anak bisa ramai. Apalagi waktu mulai melihat ke depan, nanti di usia tua siapa yang akan menemani, siapa yang akan merawat kalau tidak ada anak dan sebagainya. Nah biasanya itulah hal-hal yang mencetuskan keinginan untuk mengadopsi anak.
GS : Memang saya ingat ketika saya melakukan konseling pranikah, pendeta kami menanyakan, "bagaimana nanti kalau di dalam pernikahan Anda, Tuhan tidak mengaruniakan anak?" Salah satu jawaban saya yaitu mengadopsi anak, karena kami sudah memikirkan ke sana.

PG : Ya memang itu umum, itu wajar, waktu kita menikah kita menempatkan anak sebagai bagian dari keluarga yang nanti akan kita bina.

ET : Jadi seharusnya motivasi yang murni itu seperti apa Pak Paul? Karena kadang-kadang motivasi orang lain-lain di dalam mengadopsi anak.

PG : Saya kira memang ada beberapa motivasi yang keliru, keliru bukan berarti salah 100%. Misalkan, ada orang yang memang ingin mempunyai status sebagai orangtua yang mempunyai anak, sebagai psangan nikah yang mempunyai anak.

Sebab kalau tidak ada anak itu berarti orang akan melihat bahwa ada masalah dalam diri mereka. Nah saya kira tidak usah sampai kita itu mengembangkan konsep bahwa pasangan nikah yang sempurna, yang baik adalah pasangan nikah yang mempunyai anak. Tidak demikian, pasangan nikah bisa tetap hidup dengan sehat, bahagia meskipun tanpa anak, jadi tidak perlu memburu status itu. Ada orang yang memburu status seperti itu saya kira keliru. Atau yang juga keliru adalah ada yang bercita-cita untuk menjadikan anak sebagai penerus dirinya, dia ingin sekali nanti perusahaannya bisa diteruskan oleh anak, pekerjaannya bisa diteruskan oleh anak. Keinginan ini wajar tapi jangan sampai kita mengadopsi anak hanya untuk hal-hal seperti ini. Apa yang seharusnya menjadi motivasi kita. Saya kira yang paling benar adalah kita ingin membagi kasih dan hidup dengan anak, serta membesarkannya menjadi penggenap rencana Allah dalam hidupnya. Jadi benar-benar motivasi membagi kasih, membagi hidup dengan anak, itu menjadi pendorong dan ingin membesarkannya menjadi penggenap rencana Allah. Artinya Allah memiliki rencana atas hidupnya dan waktu Allah menempatkan dia dalam naungan kita, berarti Allah ingin memakai kita; membentuknya, mengarahkannya supaya nanti menjadi penggenap rencana Allah sebagaimana yang Allah kehendaki pada awalnya.

ET : Yang sering berkembang di dalam pandangan masyarakat, kadang-kadang ada istilah bahwa mengadopsi anak itu dengan tujuan memancing supaya setelah adopsi nanti bisa mempunyai anak kandung. Nah bagaimana dengan motivasi ini Pak?

PG : Yang saya akan minta pada pasangan seperti itu, berjanjilah bahwa mereka akan tetap mencintai anak ini, apa pun yang terjadi mereka harus tetap mencintai. Jangan sampai nanti anak kandunglahir, mereka tidak lagi mencintai anak itu.

Apakah benar bahwa anak adopsi adalah anak pancingan? Sudah tentu konsep itu tidak benar. Kita tahu anak adalah pemberian Tuhan, anak tidak dipancing-pancing, anak bukan ikan, Tuhanlah yang memberikan anak kepada kita. Dalam kehendak Tuhan ada anak-anak yang memang dilahirkan setelah orangtua mengadopsi anak. Tapi itu sesuai dengan rencana Tuhan, yang bisa kita katakan kalau sampai nanti anak kandung lahir setelah ada anak adopsi, tetap harus mengasihi anak adopsi. Jangan sampai nanti setelah anak kandung lahir, anak yang disebut anak pancingan ini tidak lagi berharga karena anak kandung sudah ada. Maka saya tekankan mesti mempunyai kerinduan, keinginan. Kita mengadopsi anak karena ingin membagi kasih dan hidup, motivasi ini harus kuat sebab kalau tidak waktu anak kandung lahir maka kita mulailah tidak memperhatikan anak adopsi. Atau tatkala anak adopsi mengembangkan masalah, kalau cinta kasih kita tidak kuat, kita langsung berkata, "Udah kembalikan dia kepada orangtuanya." Dan kadang-kadang perkataan ini diucapkan oleh orangtua yang mengadopsi anak waktu si anak mulai mengembangkan masalah. "Sudah kamu pulang saja kamu tinggal saja di rumah orangtuamu, kami tidak mau lagi." Bukankah ini kasihan dan membuat anak merasa terbuang.
GS : Ada pula orang yang mengadopsi anak itu biasanya dari keluarga besar karena anak itu dilahirkan di keluarga atau saudaranya yang miskin jadi ini diadopsi, walaupun sebenarnya mereka sudah mempunyai anak sendiri.

PG : Kalau itulah tujuannya, saya menghormati sekali karena benar-benar ingin menolong keluarga yang susah itu. Tapi sekali lagi mesti ada komitmen untuk mengasihi anak, benar-benar membagi kaih dan membagi hidup dengan anak tersebut, membesarkannya menjadi penggenap rencana Allah dalam hidupnya.

GS : Berarti kedua orangtua itu sebenarnya harus mempunyai persiapan sebelum mereka mengadopsi anak itu?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, misalnya hal-hal apa yang kita mesti persiapkan untuk menerima kedatangan anak adopsi dalam kehidupan kita. Kita mesti menyiapkan diri untuk menyesuaikan jadwal ehidupan, misalnya ada anak begitu diadopsi dan dibawa ke rumah diserahkan kepada suster untuk dirawat, sebab orangtua dua-dua sangat sibuk.

Bagi saya lebih baik tidak mengadopsi anak, sebab mereka tidak siap untuk mengubah jadwal kehidupan mereka. Kedatangan anak sudah menuntut penyesuaian jadwal kehidupan, kita harus memberi tempat kepada anak ini di dalam jadwal atau waktu kita. Inilah tuntutannya jadi kita mesti siap mengubah itu semua dan tidak bisa menyerahkannya pada suster. Kita tidak mau bangun malam-malam, kita tidurkan anak dengan suster; malam-malam yang bangun suster. Nanti setelah anak itu besar tidak ada ikatan dengan orangtuanya, orangtuanya marah-marah, orangtuanya mungkin berkata anak ini tidak tahu berterima kasih, tidak tahu diri; padahalnya sejak kecil tidak ada kedekatan sebab yang merawat si anak bukanlah orangtua yang mengadopsi anak tersebut. Kita juga harus siap dengan hal kedua yang penting yaitu kita mesti siap menerima kehadiran anak yang bukan dari darah daging kita sendiri. Langsung kita akan melihat bahwa anak itu berbeda dari kita, bentuk fisiknya berbeda. Misalkan kulit kita agak putih, anak kita kulitnya agak gelap; rambut kita misalkan lurus, anak kita kriting sendirian. Nah adalah suatu kewajaran kalau anak ini berbentuk berbeda dengan orang yang mengadopsinya sebab memang bukan dari darah dagingnya. Orangtua yang mengadopsi anak harus siap dengan ciri-ciri fisik ini meskipun pada waktu anak itu kecil memang diperhatikan misalkan kulitnya dan sebagainya. Tapi bayi itu mengalami perubahan bentuk, tidak bisa dipastikan nantinya seperti apa. Bukankah banyak bayi dari kecil wajahnya hampir serupa, setelah usia enam bulan, setahun, dua tahun, tiba-tiba kita baru menyadari wajah atau ciri aslinya. Ciri yang dipersiapkan harus diterima adalah ciri-ciri emosional atau karakternya, temperamennya. Kita misalkan dua-dua tenang, tidak suka ribut-ribut, anak ini berteriak-teriak ada apa-apa berteriak, dari mana asalnya ya dari orangtua kandungnya bukan dari kita. Jadi anak yang diadopsi membawa ciri-ciri yang bukan dari diri kita dan kita harus siap menerimanya.

ET : Mungkin juga termasuk di dalamnya keadaan kesehatannya. Ada penyakit-penyakit bawaan seperti itu?

PG : Betul sekali Ibu Ester, jadi ada anak-anak yang akan mewarisi kondisi kesehatan orangtuanya, dan ini harus siap diterima. Misalkan setelah anak itu berusia delapan tahun baru kita sadar trnyata menderita diabetes, sehingga dari usia kecil harus menerima suntikan insulin.

Kita orangtua mungkin berkata, "Kita dua-dua tidak mempunyai diabetes, kok anak kita terkena diabetes?" Ya sebab anak ini memang bukan berasal dari kita dia mewarisi gen orangtuanya sendiri. Jadi kita juga mesti siap menerima kelemahan-kelemahan fisik anak kita.
GS : Kadang-kadang yang sering terjadi itu hanya satu dari pasangan itu. Maksud saya misalnya suaminya memang sangat ingin mengadopsi anak, tetapi pihak istri agak kurang suka, karena menuruti keinginan suami akibatnya mereka mengadopsi anak. Tapi seperti yang tadi Pak Paul katakan malah kurang diperhatikan, tetap sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, anak kurang terawat, nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Anjuran saya adalah sebisanya kalau kita mau mengadopsi anak, dua-dua sehati baik suami maupun istri memang sepakat mereka akan menerima anak ini apa pun kondisinya, mereka siap membagi kaih dan membagi hidup dengan anak ini, dan bertekad membesarkan anak ini menjadi pewaris dan penggenap rencana Allah.

Maka motivasinya harus kuat, dua-dua sepakat dan sehati, karena kalau hanya satu yang menginginkan dan yang satu tidak nanti akan terlihat perlakuan yang berbeda. Dan yang akan melihat adalah si anak itu, waktu si anak melihat papa dan mama begitu berbeda, yang satu begitu dingin-yang satu hangat. Nanti si anak akan lebih dekat dengan orangtua yang menerimanya dengan hangat, akibatnya orangtua yang tidak menerimanya dengan hangat makin jengkel. Dia tidak terlalu senang dengan adanya anak ini, dia merasa ini beban dia, dia selalu berkata ini bukan anak saya kenapa saya harus merawatnya. Anak ini juga karena tidak mempunyai kedekatan dengannya makin menjauhkan diri darinya, makin membuat hal-hal yang menjengkelkan dia, dia tambah benci dan tambah marah. Akhirnya hubungan menjadi rusak dan keluarga itu mengalami bencana yang besar.

ET: Bagaimana dengan kesiapan ekonomi dalam hal ini?

PG : Betul, itu point yang bagus sekali Ibu Ester, sudah tentu kalau kita mau mengadopsi anak kita mesti menyiapkan juga secara ekonomi apakah kita sanggup menambah beban satu lagi dalam keluara kita.

Karena anak ini nanti perlu biaya dan apakah kita mampu untuk mencukupinya. Jangan sampai kita karena rindu mempunyai anak kemudian mengambil atau megadopsi anak, akhirnya kalang kabut tidak bisa membiayainya, ini juga menjadi stres atau tekanan dalam keluarga.
GS : Ada orangtua atau pasangan yang mengadopsi anak tapi sejak anak itu masih dalam kandungan. Jadi sejak dalam kandungan itu dikatakan, "Nanti kalau lahir anak ini akan kami adopsi." Ini segi positif-negatifnya apa Pak Paul?

PG : Memang segi positifnya adalah waktu anak itu dilahirkan orangtuanya sudah lebih siap, karena memang orangtuanya pun sebelum melahirkan sudah berkomitmen menyerahkan anak ini untuk diadopsi jadi menjadi lebih siap.

Terus juga anak ini langsung dibawa pulang oleh orangtua yang mengadopsinya, dengan kata lain di saat itulah jalinan sudah ada antara orangtua yang mengadopsi dan si anak tersebut. Sebetulnya kalau bisa begitu baik dan terutama yang penting adalah orangtua bisa mengenal, siapakah orangtua kandung anak itu sehingga kalau misalkan mereka melihat ada hal-hal yang tidak bisa mereka terima pada diri orangtua anak tersebut dan ada kemungkinan nanti diwarisi oleh si anak, mereka bisa berkata, "kami sudah tahu." Kalau memang sudah tahu ada baiknya juga. Intinya yang saya ingin tekankan adalah kesiapan, artinya siap menerima anak itu apa adanya. Kita berbicara tentang kita-kita yang mempunyai anak kandung, waktu anak kandung kita mengembangkan masalah kita dibuat jengkel, saya kira ini reaksi manusiawi. Yang kita akan katakan adalah kalau anak kita bermasalah biasanya, "Ah.......kita salah di mana," tapi waktu kita berkata salah di mana sebetulnya kita sedang membicarakan perlakuan kita yang keliru atau yang salah terhadap anak ini. Apakah mungkin ada hal-hal yang kita lakukan yang menyebabkan anak ini bermasalah seperti ini, itu yang kita maksudkan, "Ah.....di mana masalahnya, di mana kesalahannya." Berbeda dengan kalau anak ini anak adopsi, besar kemungkinan orangtua yang mengadopsi anak waktu melihat anak mengembangkan masalah, besar kemungkinan orangtua akan berkata, "Di mana masalahnya, atau kesalahan siapa." Bukan lagi membicarakan kesalahan kami membesarkan dia seperti apa, tapi langsung yang sebetulnya bermaksud mau mengatakan, "Kami salah mengadopsi dia." Jadi saya harus tekankan kesiapan ini karena memang kecenderungan itu sangat kuat, kalau anak ini nantinya mengembangkan masalah kita akan berkata, "Kita salah, salah memilih dia," nah itu bisa berakibat fatal.

ET : Di sisi lain saya sering bingung juga, kalau ini tadi tahu orangtua kandungnya, tapi ada situasi-situasi lain di mana sama sekali tidak tahu orangtuanya. Sebenarnya ada yang lebih baik atau masing-masing ada pertimbangannya, mengetahui atau mengenal orangtua kandung atau tidak atau berikutnya masih kontak atau sudah putus hubungan sama sekali?

PG : Pada prinsipnya kalau anak itu memang kita adopsi dari orang yang kita kenal, sebaiknya orangtua tersebut dan anak kita tidak mempunyai kontak dengan anak yang kita adopsi sampai anak itu erusia dewasa.

Namun hal-hal yang perlu kita langsung lakukan, waktu kita mengadopsi si anak kita mesti siap memberitahukan si anak bahwa dia memang anak adopsi, jadi kita mesti memberitahukan statusnya. Karena anak yang diadopsi, sering kali secara instingtif merasakan dia bukan anak kandung. Dari mana tahunya? Biasanya atau ciri pertama dari penampilan fisik, si anak melihat wajahnya atau bentuk tubuhnya sangat berbeda dari orangtuanya. Tapi sering kali kalau pun penampilan fisik tidak terlalu, tidak tahu kenapa anak adopsi sudah merasakan bahwa dia itu bukan anak kandung. Itu sebabnya dianjurkan orangtua memberitahukan status sebenarnya sewaktu si anak berusia di bawah 10 tahun, sehingga kalau si anak mengalami goncangan setelah dia mengetahui kalau dia bukan anak kandung itu terjadi di usia kanak-kanak. Dan kita sebagai orangtua masih bisa membendung reaksinya itu, pemberontakannya, kekecewaannya, kemarahannya dan kesedihannya. Jangan sampai anak itu tahu atau diberitahu sewaktu dia berusia remaja, saat di mana dia memang sedang mengalami pergolakan. Makin dia memberontak, masalahnya melebar. Jadi biasanya inilah prinsip yang biasa kita gunakan kalau mau memberitahu, beritahukanlah pada masa kecil, kalau sudah telanjur tidak memberitahukan jangan beritahukan sampai anak itu sudah usia dewasa. Berarti secara jiwani anak itu sudah lebih stabil baru kita beritahukan. Nah kalau dari kecil kita sudah beritahu, dia pasti tanya dimanakah orangtuanya atau siapakah orangtuanya. Kalau memang ada orangtuanya dan di dekat kita, kita harus beritahukan juga. Misalkan yang tadi Pak Gunawan munculkan kalau memang anak ini sebenarnya anak dari adik kita. Tapi kita tidak perlu takut, sebab kalau anak ini dekat dengan kita, 10 tahun pertama dalam hidupnya meskipun dia tahu ibu kandungnya dia akan susah kembali ke rumah ibu kandungnya karena dia sudah memiliki kedekatan dengan kita. Apa yang terjadi? Secara emosional dia perlahan-lahan akan mengembangkan seolah-olah dua pasangan orangtua. Dia selalu tahu inilah orangtua kandungnya, tapi tidak lagi mempunyai ikatan emosional karena memang tidak dibesarkan oleh orangtua kandungnya, dan dia selalu tahu inilah orangtua yang mengadopsinya. Dan dengan orangtua yang mengadopsinyalah dia lebih memiliki ikatan emosional dengan mereka, jadi dia akan bertumbuh besar mengetahui set ini dan tidak apa-apa. Kadang-kadang kita berkata, "O....nanti bisa jadi kenapa-kenapa." Namun kalau memang orangtuanya jauh dan tidak kenal bukan sanak saudara, kita beritahukan orangtuamu tidak di sini dan jauh, sekarang kami tidak tahu mereka di mana-itu akan lebih baik lagi berarti anak itu tumbuh besar sama sekali tidak ada kontak dengan orangtua asalnya.
GS : Kekuatiran ada dalam pasangan itu ketika mau memberitahukan kepada anak yang masih relatif kecil, Pak Paul katakan 10 tahun. Mungkin Pak Paul bisa memberikan contoh bagaimana orangtua ini harus berkata-kata kepada anak ini memberitahukan bahwa kamu ini memang anak adopsi kami?

PG : Kita bisa memberitahukannya dengan cara kembali kepada Tuhan. "Anakku, Tuhan memberikan anak kepada kita orangtua dengan berbagai cara. Ada anak yang diberikan Tuhan kepada orangtua lewa kandungannya sendiri, tapi ada anak yang Tuhan berikan bukan lewat kandungannya sendiri tapi lewat kandungan orang lain.

Namun terpenting adalah anak ini dari Tuhan untuk si orangtua supaya orangtua membesarkannya. Jadi tugas orangtua di sini bukan melahirkan tapi membesarkan. Ada orangtua yang ditetapkan untuk melahirkan dan membesarkan, tapi ada yang Tuhan tetapkan hanya melahirkan sebaliknya ada yang Tuhan tetapkan hanya untuk membesarkan. Semua dalam rencana Tuhan, nah anakku Tuhan menetapkan kamu dilahirkan oleh orangtua yang lain tapi Tuhan menetapkan kami untuk membesarkan kamu, tapi kamu adalah pemberian Tuhan untuk kami dan kamu adalah anak kami." Nah dengan cara itulah kita menyampaikan kepada si anak bahwa dia bukan anak kandung kita.
GS : Biasanya anak usia 10 tahun itu banyak sekali pertanyaannya, kalau sampai ada suatu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh orangtua itu, apa yang harus mereka lakukan?

PG : Maka kalau anak itu makin hari bertanya makin spesifik sebaiknya kita memang tidak menutupi. Kalau memang orangtuanya ada di situ kita beritahukan, dan kita tidak takut sebab intinya adalh kalau kita sudah membesarkan anak ini dengan benar, anak ini mengalami dan merasakan kedekatan dengan kita, 10 tahun pertama itu sudah benar-benar mengakarkan dia dalam rumah tangga kita.

Justru kalau kita menutupi, si anak ini makin ingin tahu, karena dia ingin lebih tahu status yang sebenarnya. Tapi ada satu catatan yang ingin saya bagikan di sini bagaimanakah kalau misalkan anak ini memang dari hubungan di luar nikah atau orangtuanya mempunyai status yang memang sangat buruk sekali dan tidak terpuji, nah kita akan bisa menduga kalau anak ini sampai tahu bahwa dia sebetulnya mempunyai orangtua kandung yang seperti ini, anak itu bisa jadi akan sangat terpukul. Dalam kondisi seperti itu, saya memang akan lebih berani untuk tidak mengatakan siapakah orangtuanya, dan saya hanya akan berkata kepada anak itu bahwa, "kami mengadopsi kamu dan kami tidak lagi mempunyai kontak dengan orangtua kamu sebab kamu diserahkan untuk diadopsi." Sebab bagi saya daripada anak itu harus tahu dan nanti itu akan menjadi gejolak yang benar-benar memukulnya lebih baik dia tidak tahu.
GS : Kadang-kadang anak tahu sebelum diberitahu, bukan maksud orangtua itu untuk tidak memberitahu hanya mencari waktu yang tepat untuk memberitahukan, tapi sebelum itu anak ini tahu terlebih dahulu dan menanyakan. Ini pengaruhnya bagaimana Pak?

PG : Kalau itu yang terjadi orangtua sebaiknya memang berkata langsung bahwa ya betul. Kalau misalnya anak berkata, "Papa saya mendengar bahwa saya bukanlah anak kandung papa mama apakah betul" Harus diberitahukan ya.

Sebab kenapa? Jangan sampai anak berpikir bahwa kita membohonginya. Kecenderungan anak untuk menduga bahwa orangtua membohongi itu besar, jadi sebaiknya prinsip yang kita gunakan adalah keterbukaan.
GS : Apakah anak tidak merasa kenapa selama ini tidak diberitahukan, Pak Paul?

PG : Nah kalau anak itu bertanya, kita berkata, "Kami sudah berjanji akan memberitahukan kamu tatkala kamu mencapai usia 9 atau 10 tahun, tapi karena kamu sudah tahu dahulu ya sudah kami kataka, tapi kami memang berjanji kami akan memberitahukan."

Jadi usia 9 tahun paling lambat 10 tahun kita harus sudah beritahukan anak itu.
GS : Ada orang yang tidak menikah tapi mengadopsi anak, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Menurut saya yang penting adalah kesiapannya, apakah dia bisa menjadi orangtua yang baik, yang bisa membesarkan anak itu. Apakah dia siap membagi kasih dan hidup dengan anak itu, membesaran anak itu sebagai pewaris dan penggenapan rencana Tuhan dalam hidupnya, kalau ya saya kira tidak ada masalah.

Memang orangtua tunggal, tapi tetap bagi saya kalau memang anak itu memerlukan rumah lebih baik dirawat oleh satu orang yang mengasihinya daripada dirawat oleh dua orang yang tidak mengasihinya.
GS : Jadi sekalipun suatu saat anak ini bertanya bahwa ini ada ayahnya tapi tidak ada ibunya atau ada ibunya tidak ada ayahnya bukankah ini juga harus dijelaskan kepada anak adopsi ini?

PG : Betul, biasanya kalau seperti itu statusnya, anak mulai tanya jauh lebih dini, karena dia mulai melihat di sekolah dia kelas 1 SD, ada papa - mama saya hanya ada papa tidak ada mama, dia aan tanya.

Kalau itu yang terjadi apalagi anak itu sudah usia 7 tahun beritahukan apa adanya.
GS : Apakah ada contoh dalam Alkitab mengenai anak adopsi ini?

PG : Ada, sebetulnya memang tidak dikatakan anak adopsi yaitu cerita Hana yang berdoa kepada Tuhan supaya Tuhan mengaruniakan anak kepadanya. Akhirnya Tuhan memberikan anak dan anaknya bernamaSamuel.

Nama Samuel itu berarti "Aku telah memintanya dari Tuhan," jadi Tuhan memberikan seorang anak kepada Hana. Apa yang Hana lakukan? Dia memberikan Samuel kepada Tuhan lewat tangan imam Eli, jadi dia menyerahkan Samuel putra tunggalnya kepada imam Eli untuk dirawat, untuk dibesarkan menjadi seorang hamba Tuhan. Inilah yang Hana katakan, "Untuk mendapat anak dan Tuhan telah memberikan kepadaku apa yang aku minta daripada-Nya, maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan." Apa yang Tuhan lakukan? Tuhan terima, Tuhan pakai, Tuhan memberkati Samuel dia menjadi seorang pemimpin bangsa Israel, dia menjadi seorang hamba Tuhan yang setia dan banyak orang menerima berkat dari kehidupan Samuel. Samuel dapat dikatakan anak yang diadopsi oleh Eli, dia tahu orangtuanya siapa tapi tidak dibesarkan oleh orangtuanya, dia dibesarkan oleh imam Eli dan Tuhan tidak membedakan. Tuhan memakai baik anak kandung maupun anak adopsi, tidak ada bedanya dua-dua sama berharga di mata Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, terima kasih Ibu Ester dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak Adopsi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



73. Masalah Anak Adopsi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T199B (File MP3 T199B)


Abstrak:

Hampir semua anak adopsi tahu bahwa ia bukanlah anak kandung orangtuanya. Kadang ini terlihat dari ciri fisik yang begitu berbeda namun adakalanya perasaan ini muncul dengan sendirinya. Itu sebabnya jauh lebih baik bila ia diberitahu status sebenarnya, waktu ia masih kecil. Sama seperti anak lain, anak adopsi tidak harus menimbulkan masalah, namun orangtua mesti mewaspadai.


Ringkasan:

Hampir semua anak adopsi tahu bahwa ia bukanlah anak kandung orangtuanya. Kadang ini terlihat dari ciri fisik yang begitu berbeda namun adakalanya perasaan ini muncul dengan sendirinya. Itu sebabnya jauh lebih baik bila ia diberitahukan status sebenarnya di waktu ia masih kecil. Sama seperti anak lain, anak adopsi tidak harus menimbulkan masalah namun orangtua mesti mewaspadai hal-hal berikut ini.

Ketertolakkan dan Kemarahan
Anak adopsi cenderung mengembangkan rasa ketertolakan-bagaimanapun ia diserahkan orangtuanya kepada orang lain. Rasa ketertolakan berpotensi membuatnya merasa tidak berharga dan berpandangan negatif terhadap dirinya. Itu sebabnya kita mesti ekstra peka dalam mengasuhnya. Jika rasa ketertolakan berlanjut, ia dapat memberontak dan berusaha menjauhkan diri dari keluarga. Pada dasarnya isi dari ketertolakan adalah kesedihan dan kemarahan. Ia pun dapat merasa tertipu sebab selama ini ia merasa sebagai anak kandung.

Rasa Tidak Aman
Anak adopsi cenderung membandingkan diri dengan anak lain dan berupaya terlalu keras untuk membuktikan bahwa ia layak dikasihi dan menjadi bagian dari keluarga yang mengadopsinya. Ia merasa tidak diinginkan oleh orangtua kandung, jadi sekarang ia berusaha keras mendapatkan penerimaan ini. Perilaku ini tidak sehat dan berpotensi menimbulkan masalah karena dengan mudah ia dapat kehilangan jati dirinya dan terjebak dalam perilaku menyenangkan orang secara membabi buta.

Ketersesatan
Anak adopsi bisa pula merasa terhilang dalam hidup sebab tiba-tiba ia merasa sebatang kara. Tanpa penjagaan dan kasih yang kuat, ia dapat melakukan hal-hal yang salah karena kehilangan arah hidup. Ia beranggapan tidak ada seorang pun yang sungguh peduli kepadanya, jadi mengapakah ia harus mempedulikan perasaan orang lain.

Tindakan Orangtua

  1. Orangtua mesti memperlakukan anak adopsi seperti anak kandung karena fakta inilah yang akan berbicara kepadanya tatkala ia tengah mengalami pergolakan.
  2. Orangtua harus kuat bertahan dan tidak terjebak ke dalam upaya anak menguji batas kesabaran. Anak adopsi kadang berperilaku buruk seolah-olah meminta untuk ditolak kembali-jadi, menggenapi "nasib" sebagai anak yang terbuang.
  3. Orangtua tetap mesti mendisiplinnya dan tidak boleh memperlakukannya secara khusus. Kasih dan disiplin harus diberikan secara seimbang.

Firman Tuhan: Yefta adalah anak yang terbuang dan akhirnya menjadi anak berperilaku buruk (Hakim-Hakim 11:1-4) Anak adopsi bukanlah anak yang terbuang; sebaliknya, anak adopsi adalah anak yang terselamatkan. Tuhan menyelamatkan dan memberinya keluarga yang baru.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Masalah Anak Adopsi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita pernah memperbincangkan tentang anak adopsi atau anak angkat. Sekalipun ditutup-tutupi tetap suatu saat anak adopsi ini akan tahu bahwa dia bukan anak kandung di tengah-tengah keluarga itu. Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, itu sebabnya dianjurkan kepada orangtua yang mengadopsi anak, sebelum anak itu beranjak remaja sebisanya di bawah usia 10 tahun, orangtua sudah memberitahukan staus yang sebenarnya.

Supaya jika terjadi pergolakan pada si anak biarlah pergolakan itu terjadi di kala anak ini masih kanak-kanak; jangan sampai anak itu tahu di kala anak itu sudah usia remaja, pergolakan itu biasanya akan melebar. Karena memang di usia remaja si anak tengah mengalami pergolakan.
GS : Kalau seandainya pada waktu anak ini pada masa kanak-kanak belum diberitahu, kapan waktu yang tepat untuk memberitahukan?

PG : Kalau memang kita tidak memberitahukannya pada masa kecil, lebih baik tunda; pada masa remaja tidak memberitahukannya. Karena biasanya pada masa remaja pergolakan tengah terjadi, waktu sianak menyadari dan diberitahukan bahwa dia bukanlah anak kandung biasanya pergolakannya akan menjadi lebih besar.

Jadi kalau mau memberitahukan anak dan sudah lewat waktunya, beritahukan waktu anak itu sudah dewasa, umur 20 tahunan. Hidupnya lebih stabil dan sudah benar-benar berpikir dengan rasional dan dia juga tahu dia disayangi oleh kita. Nah di usia dewasa itulah baru kita beritahukan.

ET : Tapi masalahnya kalau keburu ketahuannya pada masa remaja itu Pak?

PG : Kita harus siap menghadapi beberapa masalah yang cenderung muncul. Yang pertama, anak-anak yang diadopsi meskipun dia disayangi oleh orangtua yang mengadopsinya tetap dia menyimpan sebuahperasaan bahwa dia anak yang tidak diinginkan, apa pun penjelasan yang kita berikan kepadanya dia akan tetap beranggapan bahwa, "saya tidak diinginkan".

Misalkan ada anak yang diberikan karena orangtuanya mengalami kesulitan ekonomi. Anak itu akan langsung bertanya, "Orangtua kandung saya anaknya berapa?" Misalkan kita beritahukan, anaknya misalnya lima dan dia nomor empat, yang nomor lima ada, "yang nomor empat saya kenapa saya yang diserahkan." Jadi apa pun alasannya anak itu sudah langsung berasumsi, "saya tidak diinginkan." Perasaan yang tidak diinginkan merupakan suatu ketertolakan, apa nantinya yang akhirnya mengisi rasa ketertolakan? Biasanya ada dua yaitu kesedihan dan kemarahan, maka kalau anak ini baru tahu dan terjadinya di usia remaja, biasanya keluar kemarahan dan kesedihan. Kalau memang moodnya lebih melankolis, mungkin akan lebih anjlok, depresi, murung, mengucilkan diri, tidak mau lagi bertemu dengan orang. Atau kalau memang anak ini sedikit lebih agresif, dia lebih sering marah, dia memberontak, dia mengamuk; karena memang dua perasaan inilah yang akan muncul, rasa sedih dan rasa marah. Muncul dari satu sumber yaitu "Saya anak yang tidak diinginkan."
GS : Memang kekhawatiran orangtua yang mengadopsi anak ini memang itu, kalau sampai anak ini berontak, lari meninggalkan rumah dan sebagainya itu yang dikhawatirkan, makanya mereka tidak memberitahukan.

PG : Itu sebabnya diberitahukan sewaktu anak itu kecil, sebab kalau itu diberitahukan kepada si anak sewaktu dia masih usia kecil, pengetahuan atau informasi bahwa dia bukan anak kandung, itu tdak memberi dampak emosional yang sama sebagaimana kalau dia sudah dewasa.

Maksud saya begini, waktu kita sudah dewasa atau kita memasuki usia remaja, informasi bahwa kita bukanlah anak kandung itu mengagetkan dan mempunyai makna, mempunyai bobot emosional tertentu, saya tertolak dan sebagainya. Tapi kalau itu diberitahukan kepada anak yang masih berusia 9 tahun atau 8 tahun, bobot emosional saya itu tertolak, saya tidak diinginkan, itu belum ada-kalaupun ada masih sedikit. Sebab anak usia-usia 8 tahun, 9 tahun belum memiliki kemampuan mental untuk mencerna bobot emosional seperti itu. Makin dewasa makin kita itu lebih penuh mengerti bobot emosional dari suatu peristiwa yang terjadi. Makin kecil makin kita kurang bisa memaknainya seperti itu, jadi dampaknya memang tidak akan sama tapi pengetahuan atau informasi ini sudah diketahui oleh si anak, dengan dia beranjak ke usia remaja misalkan ke 10 atau 11 informasi ini tetap akan ada. Dan akan membuat dia sekali-sekali berpikir bahwa, "Saya anak yang tidak diinginkan." Ini akan muncul, sebab dengan dia beranjak dewasa, pemahamannya tentang peristiwa saya tidak diinginkan lebih nyata. Namun bedanya adalah pada waktu dia mulai berpikir seperti itu kalau dia diberitahukan di usia kecil dia sudah bisa berkata juga, "Ya, meskipun saya diserahkan, saya diadopsi tapi orangtua saya yang sekarang ini sangat mengasihi saya." Dia melihat buktinya bahwa papa-mama baik dan mengasihi saya. Bandingkan dengan usia remaja, di usia remaja anak cenderung mengalami gesekan dengan orangtua. Meskipun anak itu anak kandung sekalipun, pada usia remaja anak kandung pun sering merasa, "Papa-mama tidak adil, papa-mama jahat, papa-mama tidak mau mendengarkan saya, tidak mau mengerti saya." Itu adalah keluhan anak-anak remaja, kalau ditambah dengan informasi bahwa saya bukan anak kandung, "Klop sudah, papa-mama memang selalu begini sama saya karena saya bukan anak kandung." Langsung dikaitkan seperti itu, jadi kalau anak itu masih kecil diberitahukan bahwa dia itu anak adopsi, waktu dia mulai menyadari statusnya, waktu dia bisa mulai mengerti langsung waktu dia menengok ke belakang dia akan melihat saya dicintai, dan memang belum ada masalah-masalah yang berkembang di usia remaja tersebut.

ET : Tapi kadang-kadang perasaan tertolak itu juga bisa membawa anak menjadi melihat dirinya begitu rendah, begitu tidak layak, sehingga dia menjadi minder waktu kumpul untuk acara keluarga karna dia mulai berpikir sesungguhnya saya bukan bagian dari keluarga ini.

GS : Itu hal yang cukup sering terjadi, terutama kalau dia memiliki baik fisik maupun mental yang berbeda dan di bawah standar ciri-ciri fisik dan mental orangtuanya. Saya berikan contoh, misalkan warna kulitnya berbeda dan warna kulit yang lebih dikagumi dan lebih diterima dalam lingkungan keluarganya adalah warna kulit orangtua yang mengadopsinya. Dia akan merasa minder karena dia berbeda. Atau semua pandai, papanya, mamanya cerdas-cerdas, bertemu dengan sepupu-sepupunya juga cerdas-cerdas sementara dia tidak. Dia sekolah dengan susah payah, tapi sepupu-sepupunya yang adalah anak kandung dari pamannya berprestasi semua, itu cenderung membuat anak akhirnya merasa minder. Di tambah dengan kenyataan atau perasaan bahwa saya adalah anak adopsi, kadang-kadang anak itu mudah sekali merasa minder, membandingkan diri terus-menerus dengan orang lain. Kadang-kadang si anak ini berupaya terlalu keras untuk mendapatkan penerimaan orangtuanya, pengakuan dari orang lain. Maka yang dia lakukan menjadi berlebihan, perilakunya menjadi perilaku kompensasi. Misalkan adakalanya anak-anak ini terlalu overacting, terlalu macam-macam, menarik perhatian orang, yang sebetulnya membuat kita kesal dan orang-orang pun kesal, tapi buat si anak dia seolah-olah harus melakukan yang berlebihan itu supaya diakui keberadaannya. Kadang-kadang juga terhadap orangtuanya terlalu mau menyenangkan hati orangtuanya, benar-benar mencari hati orangtuanya. Misalkan ada anak-anak lain di situ, misalkan anak kandung; anak kandungnya juga bisa sebel melihat kamu itu menjilat, mencari-cari muka. Itu salah satu kemungkinan yang bisa terjadi karena dia merasa tidak layak, anak yang tidak berharga, jadi keinginannya untuk diterima begitu besar. Dia berusaha membeli semua perhatian yang bisa dibelinya.

ET : Jadi itu yang ekstrim atau akhirnya menarik diri atau kabur?

PG : Betul, kalau dia merasa dia tidak bisa mendapatkannya dia kabur, dia akan mengucilkan diri seperti keong dia akan masuk ke dalam rumahnya dan mulailah dia memisahkan diri dari keluarganya. Ada pertemuan-pertemuan keluarga dia tidak mau datang, ada apa-apa dia tidak mau datang nah itu biasanya yang akan terjadi.

GS : Kalau anak ini tahu bahwa dia anak adopsi, kecenderungannya dia akan memberitahukan kepada orang lain bahwa dia anak adopsi atau justru menutupinya?

PG : Biasanya akan menutupinya, dia malu. Jadi di dalam budaya kita adopsi itu belumlah menjadi istilah yang dapat diterima dengan mudah oleh semua orang. Jadi saya akui anak yang diadopsi pu sering kali juga membawa beban itu bahwa saya bukan anak kandung.

Dia akan mengalami keraguan dan ketakutan untuk membukakan jati dirinya yang sesungguhnya.
GS : Walaupun dia tahu orang-orang di sekelilingnya mengerti bahwa ini anak adospi.

PG : Betul, sebab daripada dia harus akui bahwa dia adalah anak adopsi lebih baik dia tutupi saja. Seolah-olah begini Pak Gunawan, waktu dia harus mengakui bahwa dia anak adopsi, seolah-olah da menjadi anak sebatang kara.

Seolah-olah tali yang mengikatnya dengan orangtua meskipun dia tahu tali ini adalah tali imajiner karena memang dia bukan anak kandung, tapi kalau orang tidak bicarakan seolah-olah dia masih bisa bersembunyi di belakang tali ini bahwa saya tetap anak dari keluarga saya ini. Tapi di waktu dia harus mengakuinya seakan-akan dia menjadi anak yang sebatang kara, dia sendirian, dia tidak punya orangtua. Ini mungkin lebih sulit kita pahami tapi ini beda dengan kita ini dibesarkan oleh orangtua kandung kemudian suatu saat orangtua kita meninggal dunia, dua-duanya. Misalkan waktu itu kita baru berusia 15 tahun, orangtua kita dua-dua sudah meninggal dunia, kesebatangkaraan kita itu beda, karena kita tahu bahwa kita mempunyai orangtua, tapi sekarang orangtua kita itu sudah tidak ada. Kita tahu orangtua kandung kita tapi kalau anak-anak yang diadopsi perasaan sebatang karanya itu berbeda benar-benar sebuah kekosongan, karena mereka tidak tahu siapa orangtuanya kecuali dia tahu. Tapi kalau tidak tahu siapa orangtuanya, mereka hanyalah diadopsi, perasaan saya sungguh-sungguh sebatang kara itu benar-benar masuk ke dalam sumsum kita yang terdalam. Kecenderungannya adalah pada saat itu si anak merasa tersesat, dia kehilangan dirinya, dia kehilangan dunianya, dia seolah-olah tidak tahu lagi siapa dirinya. Kita mesti berwaspada di sini karena kalau tidak hati-hati si anak akan mencari-cari identitas dirinya. Di mana carinya, sudah tentu bukan dalam lingkungannya, kecuali dia bisa pas masuk diterima oleh lingkungannya. Misalkan anak itu kebetulan cerdas sekali, dihargai oleh keluarganya atau anak ini lucu sekali, cantik sekali atau ganteng sekali. Jadi kalau bagus-bagus yang dimiliki oleh anak ini masalahnya akan lebih kecil. Tapi kalau kebetulan dia tidak bisa memenuhi syarat-syarat yang ada dalam keluarganya dia akan merasa terbuang, tertolak dan dia akan mencari identitas dirinya di tempat yang berbeda. Biasanya tempat yang berbeda itu adalah tempat yang bertolak belakang dari keluarganya sendiri.

ET : Jadi sebenarnya kesiapan orangtua untuk memberitahukan anak itu dengan menyadari semua kemungkinan perasaan-perasaan yang akan timbul ini. Seperti nanti anak akan merasa tertolak, merasa tidak aman, merasa sebatang kara, tapi sebenarnya apakah memungkinkan jika memang dengan orangtua memberikan kasih sayang yang semaksimal mungkin, perasaan-perasaan itu bisa diminimalkan?

PG : Bisa sekali Bu Ester, sebab anak ini nantinya harus kembali kepada bukti, apapun yang dia rasakan kalau dia tidak bisa menyangkal bukti bahwa orangtua yang mengadopsinya sangat menyayangina.

Bukti ini akan cukup kuat mengalahkan atau menetralisir perasaan-perasaan ketertolakannya, perasaan terbuangnya dan sebagainya. Dan waktu dia merasa dia sebatang kara, tidak ada yang menginginkan dia, dia harus cari di mana-mana, dia akan berkata: "Tidak, ini rumah saya, ini benar-benar rumah saya. Waktu saya marah, waktu saya mau keluar rumah, papa-mama begitu sedih bahkan sampai menangis." Anak itu akan berkata siapakah yang mencintai saya di dunia seperti orangtua saya, jadi dia akan berkata, "inilah rumah saya," dan dia akan kembali lagi ke rumahnya. Jadi betul sekali, penting orangtua yang mengadopsi anak memang mengkomunikasikan kasih sayangnya secara kuat kepada si anak.
GS : Berarti ada hal-hal tertentu yang harus dilakukan oleh orangtua ketika mengadopsi anak, Pak Paul?

PG : Betul, point yang pertama atau hal yang pertama yang dilakukan adalah benar-benar orangtua harus memperlakukan anak adopsi sebagai anak kandung. Jangan atau tidak boleh orangtua memperlakkan anak adopsi sebagai anak adopsi.

Perlakukanlah anak ini sebagai anak kandung meskipun dia harus beritahukan bahwa engkau adalah anak adopsi tapi perlakuannya benar-benar sebagai anak kandung yang dikasihi. Dan orangtua siap membagi hidup dengannya dan membesarkan anak sebagai pewaris dan penggenap rencana Allah dalam hidupnya. Itu tindakan pertama yang harus orangtua tetapkan sebagai tekat.
GS : Kalau kemudian kita telah mengadopsi anak lalu lahir anak-anak kandung; untuk menjaga keharmonisan antara anak kandung dan anak adopsi ini apa Pak Paul yang harus dilakukan oleh orangtua?

PG : Anak adopsi diberikan tanggung jawab untuk merawat adik-adiknya, dengan kata lain waktu dia masih kecil kita minta tolong. "Bisa atau tidak tolong ambilkan botol susu, bisa tidak tolong abilkan popok adikmu, bisa tidak tolong lihat adikmu sebentar."

Si anak yang diadopsi itu dari kecil akan merasakan bahwa dia wakil si mama, dia adalah wakil si papa dan bahwa adik ini adalah adiknya sehingga dia juga akan menumbuhkan kasih sayang kepada adiknya. Waktu dia misalkan usia 8, 9 tahun dan dia diberitahukan bahwa dia anak adopsi bukan anak kandung, sekali lagi bobot mental atau bobot emosional bahwa dia anak adopsi belum sepenuh kalau dia sudah usia remaja. Namun yang pasti adalah di saat itu waktu orangtuanya memberitahukan bahwa dia anak adopsi, cintanya kepada si adik sudah tertanam. Dia sudah mempunyai rasa memiliki si adik, "Ini adik saya, saya yang merawatnya, saya yang memberikan dia susu, saya yang memberikan dia popok, saya mandi bersamanya, saya yang juga ambilkan makanan untuk dia." Nah itulah yang perlu ditanamkan oleh orangtua, libatkan si anak adopsi dalam merawat adik-adiknya. Sudah tentu kita berhati-hati juga dengan perlakuan-perlakuan khusus, jangan sampai ada perlakuan khusus; perlakukan semua anak-anak sama.

ET : Kalau tadi kita berbicara tentang kesiapan orangtua, yang menjadi masalahnya biasanya keluarga besar, begitu ada anak kandung mungkin kakek-nenek secara tanpa disadari lebih menyayangi cuc kandungnya atau pun paman-bibi dan saudara-saudara yang lain.

Bagaimana kalau berkaitan dengan keluarga besar?

PG : Kita mesti beritahukan kepada orangtua kita mohon jangan katakan hal seperti itu kepada anak kita, karena, "Tolong perhatikan kata-kata seperti ini nanti akan diingat oleh si anak. Dan natinya (kita ingatkan orangtua kita) anak saya nanti tidak respek kepada papa-mama.

Jadi ini bukan hanya masalah anak ini saja, apakah papa-mama mau nanti anak sudah besar malahan tidak respek kepada papa-mama, 'kan jadi tidak enak. Jadi kalau papa-mama mau tetap dihormati oleh cucu, tolong jangan katakan hal seperti itu kepada cucu meskipun dia cucu adopsi." Kita harus berbicara seperti itu juga kepada orangtua kita, karena memang betul Bu Ester, kadang-kadang karena mereka tidak merasa mereka yang adopsi, mereka tidak mempunyai beban mental jadi berbicara lebih seenaknya, berbuat semaunya.
GS : Pak Paul, ada kecenderungan orangtua yang mengadopsi anak, anaknya itu dimanjakan atau lebih diperhatikan secara khusus. Nah apakah ini baik untuk anak adopsi ini?

PG : Sama sekali tidak baik, kita harus memperlakukan anak sama. Artinya baik anak kandung maupun anak adopsi kita perlakukan sama. Dia salah mesti ada sanksi, dia membangkang mesti ada hukuan yang kita berikan.

Jadi kasih dan disiplin tetap harus kita berikan kepada dua-duanya. Ada orangtua yang memang di ekstrim yang satunya luar biasa mengidolakan anak itu. Apalagi misalkan anak yang diadopsi begitu bagus, begitu cakep, jadi orangtuanya selalu memimpikan mempunyai anak yang sebagus ini. "Wah mendapat anak adopsi sebagus ini," benar-benar mengidolakan, memanjakannya. Jangan seperti itu, karena tindakan-tindakan orangtua biasanya nanti menjadi bumerang. Nanti anak itu sudah besar tidak bisa dikontrol, tidak bisa diberitahukan, kemauannya harus selalu dituruti, apalagi nanti kalau dia tahu dia anak adopsi-dia makin-makinan pergolakannya dia merasa tidak diinginkan, tapi egonya sudah begitu kuat dan tidak bisa dicegah, problemnya benar-benar meledak. Jadi jangan sampai memanjakan, perlakukan sama dan tetap seimbangkan kasih dan disiplin pada anak adopsi.
GS : Memang itu bukan sesuatu yang mudah dilakukan karena mereka tetap melihat bahwa ini bukan bagian dari keluarga. Tetapi ada juga yang memberikan perbedaan di dalam hal warisan, jadi anak adopsi ini tidak diberikan warisan yang sama dengan saudara-saudaranya yang lain dan dijelaskan kenapa begitu. Nah ini memang akhirnya berdampak buruk pada anak itu.

PG : Saya kira sayang kalau orangtua sampai berbuat seperti itu, berpuluhan tahun dia merawat anak ini dengan begitu baik, kenapa di ujung-ujungnya warisannya dibedakan. Itu benar-benar menanakan bibit kepahitan pada si anak, justru di usia tua si anak itu tambah tidak respek kepada orangtuanya.

Jadi saya kira sayang sekali. Anak itu anak yang telah kita angkat menjadi anak kita, kita perlakukan sebagai anak kita, jadi jangan bedakan lagi. Dalam hal memberikan warisan pun berikan sama rata.
GS : Ya, itu karena desakan dari saudara-saudaranya yaitu anak kandung dari orangtua itu yang mendesak orangtuanya untuk melakukan seperti itu.

PG : Orangtua di sini memang harus tegas dan berkata, "Tidak, kalian semua sama, Tuhan memberikan anak ini kepada papa-mama, dia adalah anak kami. Ada anak yang Tuhan berikan lewat rahim sendii, ada anak yang Tuhan berikan lewat rahim orang lain.

Ada orangtua yang diberikan tugas oleh Tuhan melahirkan anak, ada orangtua yang diberikan tugas oleh Tuhan hanya membesarkan anak jadi kita menerima porsi masing-masing sesuai dengan yang Tuhan telah tetapkan."

ET : Kadang-kadang kita sudah memberitahukan anak bahwa dia bukan anak kandung, bukankah ada kemungkinan di masa remajanya pun mengalami pergolakan. Ada orangtua yang gamang dalam situasi sepeti ini, memang bukan memanjakan tapi dalam hal ini mau menghukum waktu dia melakukan kesalahan tapi takut, takut nanti ketika dihukum anak akan kabur atau anak akan merasa tidak dikasihi.

Jadi sebaiknya bagaimana dalam melakukan hal ini?

PG : Jangan gamang, kalau anak itu salah tetap berikan teguran, jadi kita katakan pada anak. Misalnya dia berkata, "Mama memang tidak mengasihi saya, memang saya bukan anak mama." Kita dengantegas berkata, "Kamu anak mama, apapun yang kamu katakan tidak akan mengubah satu fakta bahwa kamu anak mama, sebab Tuhan memberikan kamu kepada mama untuk kami besarkan, itu tidak akan pernah berubah."

Jadi jangan sampai gamang.

ET : Soalnya kadang-kadang seperti ada upaya ngetest, papa-mama ini sebenarnya bagaimana terhadap saya.

PG : Betul, jadi ngetestnya adalah orangtua tetap harus menjaga otoritasnya atau wibawanya, jangan sampai akhirnya orangtua terpancing. "Ah tidak berani tegas karena anak ini nanti bagaimana-bgaimana."

Tidak, tetap wibawa, otoritas orangtua ditegakkan tapi cinta kasih juga terus diberikan. Ya memang kadang-kadang anak-anak mau ngetest berapa besar kasih orangtua kepada saya, tetap orangtua berkata, "Kamu nakal seperti apa pun kamu anak kami, kami tidak akan melepaskan kamu." Nah jaminan seperti inilah yang memang diinginkan oleh si anak dan untuk mendapatkannya dia sering kali mengetest kesabaran orangtua. Jadi orangtua mesti tahan, jangan sampai terjebak ke dalam test-test yang diberikan oleh si anak ini.
GS : Kegamangan itu juga muncul kadang-kadang dari diri orangtua itu sendiri. Dia merasa kalau saya berlaku terlalu keras terhadap anak ini, dulu saya sudah mengadopsi dia masakan sekarang diperlakukan seperti ini, jadi dia agak gamang melakukan disiplin.

PG : Nah dia harus ingat bahwa Tuhanlah yang menitipkan anak ini untuk dibesarkan oleh mereka dengan cara yang Tuhan kehendaki. Dan cara yang Tuhan kehendaki adalah membesarkan anak dalam kasi dan dengan disiplin, itu cara yang paling bertanggung jawab.

Jadi kita mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Tuhan, jadi jangan sampai kita gamang dalam hal ini.
GS : Memang ada sebutan yang kurang pas yang kadang-kadang orangtua ucapkan yaitu ini adik tirimu, ini kakak tirimu. Ini menjadi tidak enak Pak Paul?

PG : Sebaiknya tidak, kita tidak usah menggunakan istilah-istilah tiri atau tidak, kakak-adik sudah cukup. Waktu kita perkenalkan kita tidak berkata, "Ini anak adopsi, ini anak kandung." Tida, "ini anak saya, ini kakak, ini adik," semua diperlakukan dengan sama rata.

GS : Apakah ada contoh di Alkitab sehubungan dengan ini?

PG : Di Hakim-hakim pasal 11 dikisahkan tentang seorang yang bernama Yefta. Yefta ini anak Gilead tapi masalahnya adalah ibunya bukanlah istri sah dari Gilead, maka Yefta menjadi anak yang teruang, dianggap anak haram.

Kasihan sekali, dia akhirnya berperilaku buruk ikut merampok dan sebagainya. Kita harus menekankan satu hal anak adopsi bukanlah anak yang terbuang, sebaliknya anak adopsi adalah anak yang terselamatkan. Tuhan menyelamatkan anak yang diadopsi dan Tuhan memberinya keluarga yang baru. Kita tahu cerita dari Yefta, Tuhan memakai Yefta, dia menjadi pemimpin bagi orang Israel melepaskan orang Israel dari bangsa-bangsa lainnya, dia menjadi seorang pahlawan. Sekali lagi kita melihat Tuhan tidak pernah membedakan anak, baik anak kandung maupun anak adopsi sebab semua anak pemberian Tuhan, jadi di mata Tuhan semua sama berharganya.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, terima kasih Ibu Ester dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masalah Anak Adopsi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



74. Mengapa Anak Bersikap Negatif 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T207A (File MP3 T207A)


Abstrak:

Beberapa faktor yang menyebabkan mengapa anak bersikap negatif dan bagaimana kita memberikan teladan supaya anak bersikap positif. Sikap positif dimulai dari relasi nikah orangtua yang positif, orangtua menghadapi kesusahan hidup secara negatif dan akhirnya sikap negatif inilah yang dipelajari anak dalam menghadapi kesusahan hidup, orangtua yang menyoroti aspek positif pada anak akan menanamkan pandangan positif anak terhadap dirinya dan juga orang lain, orangtua yang sering bercanda gurau dengan anak cenderung membangun sikap positif pada anak.


Ringkasan:

T 207 a+b "Mengapa Anak Bersikap Negatif" (I dan II) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan mengapa anak bersikap negatif dan bagaimana kita memberikan teladan supaya anak bersikap positif:

  1. Sikap positif dimulai dari relasi nikah orangtua yang positif. Relasi nikah yang positif berarti tidak banyak ketegangan dan inilah awalnya: anak hanya dapat mengembangkan sikap positif bila jiwanya tenteram. Sebaliknya, jiwa yang sarat ketakutan akan sulit melihat hidup secara positif. Relasi nikah orangtua adalah fondasi perkembangan diri anak; bila relasi nikah buruk, anak pun dengan mudah mengembangkan sikap negatif. Relasi yang buruk menciptakan ketegangan pada diri anak dan ini akan menyukarkan anak membangun sikap positif. Dalam relasi buruk, orangtua cenderung menyoroti hal buruk pada diri pasangannya dan ini membuat anak "belajar" melihat hal buruk pada diri orang lain.
  2. Orangtua menghadapi kesusahan hidup secara negatif dan akhirnya sikap negatif inilah yang dipelajari anak dalam menghadapi kesusahan hidup. Ia belajar untuk menyalahkan, bukan mencari solusi. Adakalanya orangtua melibatkan anak dalam masalah yang jauh melampaui usianya; ini akan membuat perkembangan anak tertindih dan melenceng. Karena pada usia belia ia belum dapat memikul beban yang berat dan belum bisa mencarikan solusi, pada akhirnya jiwanya sarat dengan masalah belaka-tanpa solusi. Ia cepat stres dan mudah menyerah.

    Mazmur 107:31, "Biarlah mereka bersyukur kepada Tuhan karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia." Tuhan meminta kita menjadi orang yang bersyukur karena Tuhan mengasihi kita dan setia kepada kita, dan perbuatan-Nya ajaib dan baik kepada kita, maka kita harus mengingat ini. Orangtua yang bersyukur, berarti orangtua yang melihat hidup dari kacamata yang positif. Karena mengetahui, percaya ada Tuhan, dan ada Tuhan yang memelihara dan mengatur segalanya. Ini adalah dasar sikap positif kita, ini yang mesti kita bawa ke dalam rumah kita dan ini nanti yang akan ditiru oleh anak-anak kita.

  3. Orangtua yang menyoroti aspek positif pada anak akan menanamkan pandangan positif anak terhadap dirinya dan juga orang lain. Anak yang menerima komentar positif tentang dirinya akan memiliki penilaian positif pula terhadap dirinya. Karena orangtua menerima dirinya apa adanya, ia pun menerima dirinya apa adanya. Ia pun akan belajar untuk melihat orang lain dari segi positifnya pula. Dengan kata lain, ia tidak mencari-cari yang buruk pada dirinya atau orang lain. Ini tidak berarti bahwa ia harus selalu dipuji; sudah tentu akan ada waktu dan tempat untuk menyampaikan tanggapan yang negatif. Jika itu yang harus dilakukan, penting bagi kita untuk memperhatikan dua hal. Pertama, kita harus menyampaikan komentar negatif itu secara positif yakni dengan cara menegaskan tujuannya (mencari solusi, bukan penyebab) dan bukan dengan nada merendahkan. Kedua, kita tidak boleh menyerang kepribadiannya; utarakanlah sejelas dan sekonkret mungkin apa itu yang telah dilakukannya. Jadi, fokuskan pada perbuatan, bukan dirinya.
  4. Orangtua yang sering bercanda gurau dengan anak cenderung membangun sikap positif pada anak. Canda gurau menimbulkan kegembiraan pada hati anak dan sikap positif lebih mudah bertunas pada jiwa yang riang. Lebih jauh lagi, canda gurau menolong anak untuk tidak selalu menatap hidup dengan serius. Kadang kita harus bersikap serius namun tidak selalu kita harus memperlakukan hidup dengan serius. Canda gurau juga akan menolong anak untuk memperlakukan dirinya dengan tidak terlalu serius. Anak yang memperlakukan dirinya dengan serius akan menjadi kaku dan mudah tersinggung. Sebaliknya anak yang dapat menertawakan dirinya akan mudah tersenyum bahkan di tengah kekecewaan.

    Amsal 27:18, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya..." Jadi dengan kata lain Tuhan mau berkata, yang kita tabur itulah yang kita tuai. Jadi sebagai orangtua tanamlah sikap yang positif, tanamlah benih positif nanti itulah buah yang akan dipetik. Anak-anak pun akan menuai buah yang positif dalam hidupnya.


Transkrip:

T 207 A

Lengkap

"Mengapa Anak Bersikap Negatif (I)" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Anak Bersikap Negatif". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, sekalipun dilahirkan sama ternyata di dalam pertumbuhannya, ada anak yang memiliki sikap-sikap yang positif, tetapi ada pula anak yang memiliki sikap negatif. Misalnya, anak yang suka marah-marah, anti sosial dan sebagainya. Sebenarnya apa yang mempengaruhi mereka sehingga bisa bersikap yang berbeda seperti ini?

PG : Saya akan membagi penyebabnya dalam dua bagian, yang pertama adalah bagian biologis dan yang kedua lebih berkaitan dengan psikososial atau lingkungannya. Sudah tentu yang lebih ruwet adalh bagian psikososial atau lingkungannya.

Bagian biologis adalah sebagai berikut, memang ada anak-anak yang sejak lahir sudah membawa bawaan khawatir, artinya perasaannya peka, perasaannya halus. Karena perasaannya halus dan peka, dia cenderung merasakan banyak; termasuk merasakan ketakutan. Memikirkan kira-kira nanti dampak buruknya apa, jadi waktu dia memikirkan sesuatu dia sudah langsung beranggapan bahwa ini nanti akan berakibat buruk. Kenapa? Karena memang dia sudah membawa kepekaan yang sangat tinggi. Karena kepekaan yang sangat tinggi itulah dia cenderung untuk melihat semua yang bisa berakibat buruk. Ini adalah faktor bawaan atau biologis. Kadang-kadang orangtua terkejut melihat, "kok anak saya begini, yang satu tidak begini." Sebab yang satunya mungkin sekali tidak membawa bakat kecemasan atau kepekaan itu. Anak itu lebih berani, kadang jatuh tidak menangis, tidak sakit; otomatis anak yang seperti ini tidak terlalu melihat dampak atau akibat buruk, jadi lebih berani dan tidak terlalu memikirkan kira-kira akibatnya apa. Inilah yang membedakan keduanya, dan ini adalah perbedaan yang lebih disebabkan oleh masalah biologis.
GS : Jadi dalam hal ini mungkin anak perempuan itu lebih peka daripada yang laki, bisa begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, itu sebabnya pada umumnya anak perempuan itu lebih memikirkan dampak buruk dan akibatnya; kalau anak laki cenderung lebih impulsif. Kalau ada apa-apa langsung dia menabrak dn melakukannya, tidak begitu memikirkan dampaknya pada lingkungan.

Anak perempuan kebalikannya, umumnya anak perempuan itu lebih peka, lebih memikirkan kira-kira apa yang bisa menjadi dampak buruk dari perbuatannya.
GS : Nah dengan potensi seperti itu, sebenarnya kecenderungan untuk bersikap negatif atau bersikap positif itu sama saja dihadapi oleh anak perempuan maupun anak laki-laki, Pak Paul?

PG : Jadi memang sama Pak Gunawan, karena dua-dua itu bisa mempunyai bawaan-bawaan tertentu. Akan ada anak-anak perempuan yang begitu berani "srudak-sruduk", sehingga tidak begitu memikirkan dmpak-dampak negatif dari perbuatannya.

GS : Risikonya Pak Paul, kalau anak itu bersikap negatif; untuk masa depan anak itu bagaimana?

PG : Saya kira akan ada banyak gangguan atau masalah yang nanti bisa mereka hadapi. Misalnya, pada dasarnya orang-orang tidak begitu suka dengan kita yang terlalu negatif. Karena memang negatf itu menular, kalau kita sudah negatif, lingkungan juga akan cenderung terpengaruh dan nantinya menjadi negatif.

Mematahkan semangat, mengecilkan harapan, sehingga akhirnya orang-orang disekitarnya juga akan terpengaruh. Kecenderungan orang adalah tidak menyukai atau tidak mau terlalu dekat dengan orang yang negatif, kebalikannya orang biasanya akan jauh lebih senang bersama dengan orang-orang yang berpikir atau bersikap positif. Itu sebabnya kita mesti belajar menanamkan sikap positif itu. Tadi saya sudah menjelaskan penyebab biologisnya, itu tidak berarti kita harus menyerah dan berkata, "Ya, anak saya memang bawaannya peka, kalau begitu dia akan cenderung berhati-hati, khawatir, memikirkan dampak negatif dan gagal melihat hal-hal yang positif." Kita masih bisa berbuat sesuatu, ini yang penting kita simak. Yang pertama yang kita harus lakukan adalah kita sebagai orangtua mesti memiliki relasi nikah yang positif terlebih dulu. Tidak mungkin kita dapat membangun sikap positif pada anak, kalau rumah tangga kita atau pernikahan kita bermasalah. Mungkin ada pendengar yang langsung bertanya, apakah kaitannya? Ada banyak kaitannya, misalnya: karena kita banyak cekcok, banyak pertikaian, maka kita tidak lagi bisa menyediakan lingkungan yang tenteram, tidak ada lagi ketenangan di rumah; akibatnya anak-anak hidup dalam ketegangan dan ketakutan, karena takut nanti kita akan bertengkar lagi. Anak yang sudah membawa atau menyimpan ketakutan akhirnya akan selalu dihantui oleh ketakutan atau kecemasan. Waktu dia mengambil keputusan pun yang muncul pertama di dalam hatinya adalah ketakutan. Waktu dia harus bertindak, yang pertama muncul dalam hatinya adalah juga ketakutan. Sebab ketakutan itulah yang sudah menggenangi hatinya, nah kalau ketakutan mendominasi dirinya, tidak bisa tidak dia akan selalu melihat dampak buruk. Sebab dampak buruk itu menakutkan, dampak buruk itu berarti bisa menjadi bumerang bagi dia, apalagi kalau orangtuanya sangat keras, memarahi dia kalau dia berbuat salah, wah dia takut sekali nanti yang dia lakukan berdampak buruk, dia akan kena lagi, diomeli, dipukul oleh orangtuanya sehingga dia menjadi terlalu takut dengan dampak buruk, sehingga apa pun dilihatnya dari segi buruknya. Jangan sampai yang buruk itu terjadi, maka matanya terus-menerus menyoroti hal-hal yang negatif.
GS : Berarti sebagai orangtua kita harus hati-hati tatkala bertengkar, kita harus melihat di mana anak kita waktu itu, dan bagaimana caranya kita bertengkar.

PG : Penting sekali dalam rumah tangga kita melindungi anak-anak dari konflik antara kita dengan pasangan. Saya mengerti adakalanya pertengkaran itu terjadi di depan anak, namun kalau itu haru terjadi janganlah menciptakan pertengkaran atau terlibat dalam pertengkaran yang keras.

Biarkanlah kita berbeda pandang di hadapan anak, setelah itu kita berhenti dan kalau kita mau sambung lagi, kita sambung di kamar di mana anak-anak tidak bisa mendengarnya. Karena apa, karena orang waktu bertengkar biasanya meninggikan suara, kedua orang bertengkar biasanya akan menampakkan ekspresi wajah yang tegang dan mengerikan. Wajah memerah, mata bisa membelalak, belum lagi ada orang waktu bertengkar harus menggunakan kekerasan; memukul, membanting barang atau ada yang juga mendorong pasangannya. Itu adalah gerakan-gerakan yang menambah ketegangan seorang anak, nah itu nanti yang akan dibawa oleh seorang anak. Itu yang pertama, kenapa kerukunan orangtua itu berpengaruh besar di dalam sikap positif atau negatif si anak. Yang kedua, yaitu waktu orangtua hidup di dalam ketidakharmonisan, otomatis mata mereka pun lebih terarah pada hal-hal negatif yang mereka temukan pada pasangannya. Sebab hal-hal negatif itulah mereka bertengkar, jadi kita mesti juga menjaga relasi kita. Kadang-kadang kita tidak menyadarinya, kita ribut, kita menyoroti sikap negatif atau hal negatif pada pasangan kita-tanpa disadari anak-anak belajar menyoroti sikap atau hal negatif pada orang lain. Sebab itulah yang didengarnya selalu, waktu ayah dan ibunya bertengkar.
GS : Biasanya pertengkaran itu lebih terkesan pada diri anak daripada hidup mesra mereka berdua, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi dapat kita simpulkan begini, kalau kita mempunyai 5 momen kemesraan dan 1 pertengkaran, kecenderungannya anak mengingat satu pertengkaran itu. Mungkin kalau kita mau hpus atau bersihkan, 1 pertengkaran itu harus diperbandingkan dengan misalkan 10 kemesraan.

Nah itu mungkin bagi si anak tidak akan terlalu mengingat dan dipengaruhi olehnya. Tapi saya duga, walaupun perbandingannya 1:5, anak akan cenderung mengingat yang satu itu.
GS : Ada orangtua, untuk menghindari pertengkaran yang hebat di depan anaknya dengan meninggalkan pasangannya. Dan itu pun bisa menimbulkan kesan negatif pada diri anak.

PG : BIsa, sebab apa pun yang orangtuanya lakukan-kalau misalnya bertengkar kemudian meninggalkan rumah, itu tetap tidak mengubah fakta, yaitu mereka bertengkar dan itu sudah menimbulkan ketegagan.

Waktu papa marah dan langsung keluar rumah, si anak di rumah akan tetap dikuasai oleh rasa takut, cemas. Apakah papa akan pulang, apakah papa nanti akan ngebut dalam keadaan marah, nanti mungkin menabrak atau ditabrak, apakah mereka akan bercerai. Itu ketakutan-ketakutan yang akan muncul dalam diri anak. Orangtua tidak harus berkata di depan anak, "kami mau bercerai." Kalau mereka bertengkar dan sering bertengkar, anak akan mulai memikirkan kemungkinan itu dan hal itu akan menakutkan anak. Sebab salah satu hal yang menakutkan anak adalah kemungkinan orangtua bercerai, itu benar-benar sangat menakutkan anak. Anak secara alamiah, secara kodrati membutuhkan kedua belah pihak; ayah dan ibu, tidak bisa kehilangan kedua-duanya. Jadi akhirnya yang mengisi hatinya adalah ketakutan. Yang kedua, karena orangtua bertengkar terus maka matanya pun terlatih atau terkondisi untuk menyoroti hal-hal buruk saja, tidak terlatih untuk menyoroti hal-hal yang positif. Sebab dia jarang mendengar orangtua mengatakan hal positif tentang pasangannya, selalu yang jelek; akhirnya itulah yang si anak akan tangkap dan pelajari. Bahwa dalam hidup, mata harus tertuju pada hal-hal yang buruk atau yang negatif.
GS : Dan juga mungkin anak akan bersuara tinggi, kalau dia berkata kepada orang lain cenderungnya seperti marah-marah terus, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, biasanya mereka mempunyai daya tampung stres yang tipis. Itu sebabnya tadi Pak Gunawan katakan, kalau mereka sedang mengekspresikan emosi itu cenderung bergemuruh, suaranya inggi dan ekspresinya itu juga sangat nyata.

Sebetulnya alasannya adalah karena itu melewati ambang stresnya. Jadi anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga yang penuh konflik, akhirnya tidak mempunyai kemampuan menampung stres yang tinggi. Tipis sekali, begitu ada stres dia ikut goncang, ikut marah, ikut ribut; karena itu waktu mereka sudah dewasa kecenderungannya mereka mengulang sejarah orangtuanya, mereka pun menjadi seperti orangtuanya; sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit meledak.
GS : Apalagi kalau sampai orangtua itu bercerai Pak Paul, bukankah itu menakutkan sekali bagi anak?

PG : Betul, sebab benar-benar ketakutan itu menjadi kenyataan; mereka kehilangan orangtua yang dikasihinya. Dulu saya bekerja di bagian pekerjaan sosial untuk menangani anak-anak yang dianiayaoleh orangtua, ini yang saya temukan.

Apa pun yang orangtua lakukan, tetap si anak itu kalau bisa memilih tinggal dengan orangtuanya. Meskipun mereka diperlakukan buruk, tapi waktu kami tawarkan untuk pindah ke rumah yang berbeda, rata-rata anak tidak mau, mereka tetap mau tinggal di rumah. Bukankah bagi kita orang dewasa tidak masuk akal, ada bahaya yang mengancam kok tidak mau lari. Kenapa? Sebab memang itulah kodrat anak-anak, pada masa anak-anak mereka membutuhkan kedua orangtuanya, mereka tidak mau dipisahkan. Jadi pada waktu terjadi perceraian, itu benar-benar akan menimbulkan dampak yang sangat buruk. Misalkan anak itu berhasil mempertahankan dirinya, tidak terlalu dikuasai oleh ketakutan sehingga tidak terlalu berpikir negatif, tapi akan ada satu atau dua wilayah dalam hidupnya, dimana dia cenderung berpikir negatif. Misalnya karena ayahnya dan ibunya bercerai, dia sudah memiliki ketakutan bahwa pernikahannya pun nanti akan gagal, dia tidak bisa mengambil keputusan dengan mudah tatkala berpacaran dengan orang. Karena dia sudah mempunyai anggapan bahwa pacarnya nanti pun bisa melukai dirinya, meninggalkannya sama seperti orangtuanya dulu yang akhirnya bercerai.
GS : Jadi untuk menanamkan sikap positif pada anak yang di tengah-tengah keluarga itu sering kali terjadi pertengkaran, apa yang bisa dilakukan oleh orangtua?

PG : Orangtua mesti membereskan masalah mereka, jangan lagi menunda-nunda. Kita sering kali menunda-nunda masalah, beranggapan nanti akan beres dengan sendirinya. Tidak demikian, kalau memangkita akui ada masalah kita bereskan, kita mencari bantuan agar mendapat pertolongan untuk membereskan masalah pernikahan kita.

Nomor dua, kita mesti mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa "meskipun kita bertengkar, kami ini akan terus bersama-sama jangan kamu berpikir bahwa kami ini akan bercerai." Jadi yakinkan kepada anak bahwa orangtua tidak akan ke mana-mana, ini penting supaya anak mendengar dan anak akan merasa aman. Dan yang ketiga, kalau pun harus bertengkar jangan di depan anak, sebisanya di dalam kamar tertutup atau di tempat di mana tidak ada anak sama sekali.
GS : Selain faktor itu, faktor lain apa yang membuat anak itu bersikap negatif di kemudian hari?

PG : Ada satu hal lain lagi Pak Gunawan, yaitu respons orangtua terhadap masalah yang dialaminya. Kadang-kadang orangtua itu berpikir negatif, jadi kalau ada apa-apa dalam hidupnya sedikit-sedkit sudah langsung berpikir negatif, bereaksi dengan negatif.

Akhirnya anak-anak mencontoh, melihat; "O.....ini caranya menghadapi masalah ini dan masalah itu," langsung saja berpikir negatif. Sebab itulah yang orangtuanya selalu ajarkan. Contoh yang gampang, berapa banyak orangtua yang sering kali berkata begini kepada kita anak-anaknya, "Jangan percaya pada orang, mulutnya manis padahalnya pasti ada apa-apa dibelakangnya, hati-hati dengan orang yang mulutnya manis pasti itu mau merugikan kamu." Nah mungkin saja orangtua pernah mengalami penipuan oleh orang yang bermulut manis, (sudah tentu orang yang mau menipu mulutnya ya harus manis, kalau mulutnya dari depan sudah pahit sudah tentu tidak mau memberikan kepercayaan pada orang tersebut). Tapi masalahnya, tidak semua orang yang bermulut manis itu penipu, dan ada sebagian orang yang memang bersikap lemah lembut dan baik, senang membangun dan memuji. Kalau tidak hati-hati jadinya langsung dituduh sebagai orang yang mau menipu. Maka orangtua harus berhati-hati, kalau ada apa-apa jaga pikiran, jaga mulut jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang negatif. Jangan terlalu cepat menghakimi orang dari sudut negatif, sudah pasti orang ini berniat buruk dan sebagainya. Hal seperti inilah yang akan ditangkap oleh anak. Orangtua memang harus menjaga sikapnya, tapi saya juga tidak berkata bahwa anak-anak itu harus 100% dipisahkan dari masalah, sudah tentu kadang-kadang ada masalah yang muncul, dan kalau masalah muncul berarti ada hal yang buruk juga yang terjadi. Saya tidak menganjurkan agar orangtua mengisolasi anak, sehingga anak sepenuhnya tidak pernah lagi mendengar masalah atau hal yang buruk yang terjadi di luar rumahnya. Tidak demikian, tetap orangtua harus berani terbuka, tapi sudah tentu harus sesuai dengan usianya, dengan mengatakan bahwa ini yang terjadi dalam kehidupan kita di sini ada orang berbuat ini atau itu. Namun sekali lagi cobalah bingkai sepositif mungkin, kalau ada yang negatif yang harus dikatakan-katakan, tapi memang hanya pada faktanya.
GS : Saya pikir justru penting dan baik juga untuk melibatkan anak di dalam krisis yang dialami oleh suatu keluarga. Misalnya ayahnya di-PHK, kesulitan secara finansial, saya rasa anak juga harus tahu juga pada batas-batas tertentu, yang penting adalah bagaimana kita memperagakan menyelesaikan masalah itu dengan baik, Pak Paul?

PG : Betul sekali, dan memang kita biasanya mempunyai dua pilihan dalam menghadapi masalah atau kesusahan seperti itu. Misalkan dalam hal PHK, ada orangtua yang akan berkata, "Ini faktanya, kai di-PHK terus apa tindakan selanjutnya, ayo kita berdoa, kita minta Tuhan mencukupi kebutuhan kita."

Tapi ada orangtua waktu di-PHK, selama mungkin, berminggu-minggu di rumah memarah-marahi, menyalahkan perusahaannya, menyalahkan orang-orang. Memarahi tetangga-tetangga, sebagai orang-orang yang tidak selayaknya bekerja dan seharusnya mereka yang di-PHK, karena kalau saya yang di-PHK...misalnya seperti itu. Kesusahan bisa selalu menimpa kita, kita hidup dalam dunia yang tidak sempurna, maka kadang kita menjadi bagian dari persoalan dalam hidup ini, namun penting sekali kita menunjukkan sikap yang positif pada waktu kita merespons terhadap kesusahan yang menimpa kita. Dari sinilah anak belajar bersikap positif Pak Gunawan. Itu sebabnya ada anak-anak karena orangtua itu kalau ada apa-apa terlalu mudah menyalahkan lingkungan dan orang lain, si anak juga begitu-sedikit-sedikit menyalahkan. Tidak pernah mau menanggung tanggung jawabnya sendiri, selalu melihat kiri-kanan dan mencari kambing hitam. Dan akhirnya apa yang orangtuanya selalu katakan tentang lingkungan, itu yang dikatakan oleh si anak. Maka orangtua mesti peka dalam bersikap terhadap masalah yang dihadapinya.
GS : Jadi membicarakan kejelekan orang atau situasi di depan anak, itu harus hati-hati sekali Pak Paul?

PG : Betul sekali, sebab anak itu cenderung menangkap apa yang orangtua katakan dan mengingatnya. Sebab sekali lagi orangtua adalah guru yang paling berpotensi mempengaruhi si anak, dibandingkn dengan guru-guru sekolahnya.

Sebab apa? Sebab ini adalah orangtuanya sendiri, yang si anak sudah kenal sejak usia nol. Jadi apa yang orangtua lakukan atau katakan itu mempunyai bekas atau dampak yang sangat kuat dalam diri si anak, maka penting sekali kita berhati-hati. Ada orang yang memang tidak menyadarinya, jadi sedikit-sedikit menyalahkan semua orang. "Ini begini, ini begitu" sementara si anak diam; si orangtua berpikir tidak apa-apa, padahal si anak mendengarkan. Dan lama-lama waktu masalah muncul, dia mengeluarkan ilmu yang telah diterimanya dari orangtuanya itu.
GS : Karena dia tidak melihat cara lain untuk mengatasi hal itu, sehingga dia mencontoh saja apa yang orangtua lakukan.

PG : Betul, sebab sering kali anak itu belajar mengatasi stres dari apa yang dilihatnya dari orangtuanya sendiri. Kalau dia melihat orangtuanya bisa duduk bersama, membicarakan persoalan yang ihadapi kemudian mulai memikirkan alternatif-alternatif yang bisa diambil, nah anak pun akan belajar hal yang sama.

Waktu menghadapi kesusahan, ini kira-kira yang bisa kita lakukan. Atau misalkan, waktu orang berbuat tidak baik kepada kita, orangtua yang positif akan menempatkan hal itu dalam bingkai yang lebih positif. Orangtuanya mungkin akan berkata, "Ya, kita maklumi mungkin sedang dalam keadaan stres, maka dia mengatakan hal seperti itu, ya sudah kita mengertilah jangan kita permasalahkan hal ini." Anak juga nanti belajar tatkala menghadapi hal yang serupa, orang tidak berbuat baik kepadanya dia akan berkata, "Ya, mungkin orang itu lagi dalam keadaan tertekan, maka tindakannya akhirnya tidak terkendali, ya sudahlah lupakan jangan diperpanjang." Bayangkan kalau sebaliknya yang terjadi, orang berbuat sedikit saja yang kurang enak, orangtua itu langsung marah dari pagi sampai malam, dan terus-menerus mencerca orang tersebut. Memang jahatlah, niatnya memang tidak baiklah; si anak sebetulnya tidak mau mendengarkan itu tapi lama-kelamaan setiap hari itu yang disuguhkan kepadanya, akhirnya melekatlah dibenaknya. Nah waktu masalah yang serupa timbul bahwa orang berbuat kurang baik kepadanya, tape recorder dari orangtuanya itu berputar kembali.
GS : Jadi sebenarnya sulit bagi anak Pak Paul, untuk menerima pernyataan orangtua yang mengatakan contohlah yang baik dari saya dan tidak usah dicontoh yang jelek dari saya?

PG : Betul sekali, anak memang tidak bisa memisahkannya sebab tindakan dan perkataan orangtua, dua-duanya menjadi kesatuan di mata anak. Dan anak akan lebih sering mencontoh apa yang dilihatny, dan kalau itu yang dilihatnya terus-menerus pada diri orangtuanya, itulah yang akan menjadi bagian dari dirinya; dia akan menjadi anak yang negatif.

Tapi kadang-kadang orangtua seperti ini Pak Gunawan, waktu anaknya besar dan makin negatif mereka marah. "Kamu kenapa sih sedikit-sedikit negatif, kenapa kamu sedikit-sedikit berprasangka buruk tentang orang?" Mereka lupa dulu merekalah yang mengajarkan kepada anak-anak mereka. Kalau ada apa-apa langsung soroti yang negatif, memarahi orang di seluruh dunia dan sebagainya. Akhirnya mereka disadarkan bahwa ini adalah buah perbuatannya sendiri.
GS : Memang bagi orangtua ini merupakan satu tanggung jawab untuk ikut serta membentuk anak itu supaya bersikap positif, tidak bisa hanya menyalahkan anak atau menyesal di kemudian hari karena anaknya bersikap negatif. Dalam hal ini kita baru berbicara dua faktor, tapi rupanya waktu juga yang harus memisahkan kita sehingga masih ada dua faktor yang lain yang nanti akan kita bahas pada kesempatan yang akan datang. Namun untuk mengakhiri perbincangan kita kali ini mungkin ada Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan.

PG : Saya akan bacakan Mazmur 107:31, "Biarlah mereka bersyukur kepada Tuhan karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia." Tuhan meminta kita mnjadi orang yang bersyukur karena Tuhan mengasihi kita dan setia kepada kita, dan perbuatan-Nya ajaib dan baik kepada kita, maka kita harus mengingat ini.

Orangtua yang bersyukur, berarti orangtua yang melihat hidup dari kacamata yang positif. Karena mengetahui, percaya ada Tuhan, dan ada Tuhan yang memelihara dan mengatur segalanya. Ini adalah dasar sikap positif kita, ini yang mesti kita bawa ke dalam rumah kita dan ini nanti yang akan ditiru oleh anak-anak kita.
GS : Jadi sedini mungkin, sejak anak-anak masih kecil kita mengajarkan kepada mereka bagaimana kita sebagai keluarga itu bersyukur kepada Tuhan.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan lain kali kita masih akan melanjutkan perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anak Bersikap Negatif" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



75. Mengapa Anak Bersikap Negatif 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T207B (File MP3 T207B)


Abstrak:

Lanjutan dari T207A


Ringkasan:

T 207 a+b "Mengapa Anak Bersikap Negatif" (I dan II) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan mengapa anak bersikap negatif dan bagaimana kita memberikan teladan supaya anak bersikap positif:

  1. Sikap positif dimulai dari relasi nikah orangtua yang positif. Relasi nikah yang positif berarti tidak banyak ketegangan dan inilah awalnya: anak hanya dapat mengembangkan sikap positif bila jiwanya tenteram. Sebaliknya, jiwa yang sarat ketakutan akan sulit melihat hidup secara positif. Relasi nikah orangtua adalah fondasi perkembangan diri anak; bila relasi nikah buruk, anak pun dengan mudah mengembangkan sikap negatif. Relasi yang buruk menciptakan ketegangan pada diri anak dan ini akan menyukarkan anak membangun sikap positif. Dalam relasi buruk, orangtua cenderung menyoroti hal buruk pada diri pasangannya dan ini membuat anak "belajar" melihat hal buruk pada diri orang lain.
  2. Orangtua menghadapi kesusahan hidup secara negatif dan akhirnya sikap negatif inilah yang dipelajari anak dalam menghadapi kesusahan hidup. Ia belajar untuk menyalahkan, bukan mencari solusi. Adakalanya orangtua melibatkan anak dalam masalah yang jauh melampaui usianya; ini akan membuat perkembangan anak tertindih dan melenceng. Karena pada usia belia ia belum dapat memikul beban yang berat dan belum bisa mencarikan solusi, pada akhirnya jiwanya sarat dengan masalah belaka-tanpa solusi. Ia cepat stres dan mudah menyerah.

    Mazmur 107:31, "Biarlah mereka bersyukur kepada Tuhan karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia." Tuhan meminta kita menjadi orang yang bersyukur karena Tuhan mengasihi kita dan setia kepada kita, dan perbuatan-Nya ajaib dan baik kepada kita, maka kita harus mengingat ini. Orangtua yang bersyukur, berarti orangtua yang melihat hidup dari kacamata yang positif. Karena mengetahui, percaya ada Tuhan, dan ada Tuhan yang memelihara dan mengatur segalanya. Ini adalah dasar sikap positif kita, ini yang mesti kita bawa ke dalam rumah kita dan ini nanti yang akan ditiru oleh anak-anak kita.

  3. Orangtua yang menyoroti aspek positif pada anak akan menanamkan pandangan positif anak terhadap dirinya dan juga orang lain. Anak yang menerima komentar positif tentang dirinya akan memiliki penilaian positif pula terhadap dirinya. Karena orangtua menerima dirinya apa adanya, ia pun menerima dirinya apa adanya. Ia pun akan belajar untuk melihat orang lain dari segi positifnya pula. Dengan kata lain, ia tidak mencari-cari yang buruk pada dirinya atau orang lain. Ini tidak berarti bahwa ia harus selalu dipuji; sudah tentu akan ada waktu dan tempat untuk menyampaikan tanggapan yang negatif. Jika itu yang harus dilakukan, penting bagi kita untuk memperhatikan dua hal. Pertama, kita harus menyampaikan komentar negatif itu secara positif yakni dengan cara menegaskan tujuannya (mencari solusi, bukan penyebab) dan bukan dengan nada merendahkan. Kedua, kita tidak boleh menyerang kepribadiannya; utarakanlah sejelas dan sekonkret mungkin apa itu yang telah dilakukannya. Jadi, fokuskan pada perbuatan, bukan dirinya.
  4. Orangtua yang sering bercanda gurau dengan anak cenderung membangun sikap positif pada anak. Canda gurau menimbulkan kegembiraan pada hati anak dan sikap positif lebih mudah bertunas pada jiwa yang riang. Lebih jauh lagi, canda gurau menolong anak untuk tidak selalu menatap hidup dengan serius. Kadang kita harus bersikap serius namun tidak selalu kita harus memperlakukan hidup dengan serius. Canda gurau juga akan menolong anak untuk memperlakukan dirinya dengan tidak terlalu serius. Anak yang memperlakukan dirinya dengan serius akan menjadi kaku dan mudah tersinggung. Sebaliknya anak yang dapat menertawakan dirinya akan mudah tersenyum bahkan di tengah kekecewaan.

    Amsal 27:18, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya..." Jadi dengan kata lain Tuhan mau berkata, yang kita tabur itulah yang kita tuai. Jadi sebagai orangtua tanamlah sikap yang positif, tanamlah benih positif nanti itulah buah yang akan dipetik. Anak-anak pun akan menuai buah yang positif dalam hidupnya.


Transkrip:

T 207 B

Lengkap

"Mengapa Anak Bersikap Negatif (II)" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Mengapa Anak Bersikap Negatif". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pada perbincangan terdahulu Pak Paul sudah mengungkapkan ada dua faktor mengapa anak bersikap negatif dan bagaimana kita memberikan teladan supaya anak bersikap positif. Nah supaya para pendengar kita bisa mengikuti pada saat ini sebagai kelanjutannya, Pak Paul bisa menguraikan secara singkat apa yang sudah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Yang pertama adalah relasi orangtua yang penuh konflik akan cenderung menimbulkan sikap negatif pada diri anak. Kenapa, sebab waktu orangtua berkonflik maka suasana rumah akan penuh denga ketegangan.

Akhirnya anak akan hidup dalam ketegangan atau ketakutan. Dalam kondisi takut, dalam kondisi tegang si anak akan sukar melihat hal-hal positif, dia cenderung melihat hal-hal yang buruk atau yang negatif. Juga pada waktu orangtua bertengkar sudah tentu orangtua akan menyoroti hal-hal negatif pada pasangannya. Akhirnya itulah yang dipelajari atau ditangkap oleh si anak, yaitu waktu melihat seseorang-lihatlah yang negatifnya. Karena itulah yang didengarnya setiap hari tatkala orangtuanya bertengkar, itu yang pertama. Yang kedua adalah adakalanya masalah muncul dalam kehidupan kita, bagaimanakah kita bereaksi terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan kita. Ada orangtua yang bereaksi terhadap masalah secara positif, tapi ada pula orangtua yang bereaksi terhadap masalah secara negatif. Menyalahkan orang, tidak mau memikul tanggung jawabnya, misalnya juga mengutuki orang-orang disekitarnya sebagai penyebab problem yang dihadapinya. Kalau itu yang dilakukan oleh orangtua maka pada akhirnya anak akan belajar hal yang sama, kalau ada masalah muncul maka dia akan bersikap negatif, menyalahkan semua orang, tidak bisa melihat jalan keluarnya sudah langsung kacau, stresnya langsung tinggi. Karena itulah yang dilihatnya dulu pada diri orangtuanya. Jadi kalau boleh saya rangkumkan dari kedua poin ini adalah kalau kita mau menanamkan sikap positif pada anak, kita harus hidup positif. Relasi kita harus positif antara suami dan istri, dan sikap kita pun terhadap hidup ini terhadap masalah yang muncul dalam hidup harus juga positif. Dan itu yang menjadi modal dalam menanamkan sikap positif pada anak-anak.
GS : Dan faktor berikutnya apa Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah anak-anak akan lebih positif, jikalau mereka sering mendengar orangtua mengatakan hal positif tentang dirinya. Kebalikannya, kalau orangtua terus-menerus menyoroti halnegatif pada si anak maka tidak bisa tidak si anak itu akan terlatih, terkondisi hanya melihat hal negatif pada dirinya.

Dan kalau dia sudah melihat dirinya negatif, otomatis atau besar kemungkinannya dia pun melihat hidup ini dari sisi negatifnya pula. Salah satu hal yang sering kali dilakukan oleh orangtua yang menjadi bibit negatif dalam diri anak adalah orangtua jarang memuji anak. Kalau anak berbuat salah langsung ditanggapi, langsung dikomentari tapi anak berbuat baik atau berbuat hal yang positif didiamkan. Ada orangtua berkata, "Ya, kalau memang sudah baik ngapain dipuji, kalau dia berbuat salah kita harus benarkan, kita harus koreksi." Ini suatu pandangan yang tidak tepat, sebab anak itu memerlukan keduanya. Anak memerlukan disiplin, sudah tentu itu betul tapi anak juga memerlukan pujian, agar dia bisa mengembangkan diri atau penghargaan diri yang juga positif.
GS : Karena itu mengata-ngatai anak atau mengolok-olok anak yang membuat anak itu malu, sebenarnya itu menanamkan sikap negatif dalam diri anak itu Pak Paul?

PG : Betul, akhirnya dia tidak melihat hal-hal positif pada dirinya, dia selalu meragukan kemampuannya; kenapa, sebab pada akhirnya memang dia takut dia akan gagal. Banyak anak-anak yang takutakan gagal; kenapa takut gagal, karena ada dua yaitu takut malu dan takut hukuman.

Ada anak yang mungkin saja tidak dihukum secara keras oleh orangtuanya kalau tidak mencapai target yang diharapkan oleh orangtua, tapi akan dipermalukan, akan dikata-katai, akan dibanding-bandingkan dengan anak-anak lain. Itulah akhirnya yang ditanggung oleh si anak yaitu rasa malu, sehingga si anak bertumbuh kembang dengan pemikiran bahwa dirinya itu ada yang kurang dan ada yang harus membuatnya merasa malu. Kalau anak sudah mempunyai konsep berpikir seperti ini bahwa ada yang tidak benar dalam dirinya dan seharusnya dia merasa malu, sudah tentu dia akan takut gagal. Daripada dia gagal ketahuan dan dibuat malu, akhirnya yang dia lakukan adalah berhenti mencoba. Yang dia lakukan supaya dia tidak mencoba adalah semua hal dilihat dari sisi negatifnya. Dia akan mengungkapkan semua yang negatif untuk atau agar dia tidak usah mencoba melakukannya. Dengan cara itulah dia bebas dari kemungkinan dipermalukan, atau yang kedua yang saya sebut adalah dihukum. Orangtua kadang-kadang terlalu keras menuntut anaknya harus seperti apa, akhirnya anak-anak menjadi takut gagal, takut berbuat salah, nanti hukumannya terlalu berat ditanggungnya; jadi yang akhirnya anak lakukan adalah berpikir negatif. Mencari alasan yang buruk dan negatif yang akan menghentikannya untuk melakukan sesuatu atau mencoba sesuatu, jadi akhirnya perlahan-lahan dia makin tergiring masuk ke lembah negatif.
GS : Malah sebagian anak seolah-olah ingin membuktikan perkataan orangtuanya. Maksud saya begini, anak itu selalu dikatakan malas, sudah berusaha rajin tapi tetap dikatakan malas. Akhirnya anak ini menunjukkan kemasalasannya di depan orangtua itu.

PG : Betul sekali, sebab akhirnya dia berpikir "buat apa lagi saya buktikan diri bahwa saya rajin, karena waktu saya mencoba membuktikan bahwa saya tidak malas tetap dikatakan malas, jadi tanggng lebih baik saya menjadi malas sekalian."

Ada juga yang menjadi masalah kalau orangtua menuntut anak sesuatu yang anak tidak bisa berikan, bukannya tidak mau tapi memang tidak bisa. Contohnya, tidak semua anak bisa ilmu science, karena memang kemampuannya tidak di situ. Tapi ada orangtua yang tidak mengerti akan hal itu, si anak harus bisa, akibatnya si anak mulai mengalami penurunan. Akhirnya nilainya makin hari makin jelek, nah ini juga nanti akan menanamkan bibit negatif pada diri si anak. Dia melihat dirinya memang penuh dengan ketidakbisaan, padahal masalahnya bukannya dia itu gagal atau tidak bisa dalam segala hal. Dia tidak bisa hanya pada bidang science, dalam bidang lain dia bisa tapi orangtua tidak mau melihat hal-hal lain yang dia bisa, karena orangtuanya mengharapkan dia bisa dalam bidang science, maka itulah terus-menerus yang disoroti oleh orangtua. Sayang sekali Pak Gunawan, sebab akhirnya si anak merasa dirinya buruk. Dengan pandangan diri yang negatif seperti itu, maka tidak heran akhirnya dia pun nanti akan terjun ke dalam kehidupan dengan modal negatif. Selalu beranggapan dirinya pasti tidak bisa, sudah beranggapan bahwa dirinya nanti pasti akan mêntok, tidak berani mencoba; daripada mencoba nanti gagal lagi, jadi benar-benar sebelum berperang dia sudah kalah terlebih dahulu. Kenapa? Alasannya sederhana, karena orangtua menyoroti sesuatu, gagal melihat hal-hal yang lain dimana sebetulnya si anak sangat baik.
GS : Jadi tuntutan untuk berprestasi misalnya mencapai ranking tertentu yang dituntut orangtua itu tidak selalu baik?

PG : Kita harus benar-benar mengerti dan melihat kemampuan anak kita. Seberapa tinggi, seberapa rendah dan melihat dimana anak kita itu memang mampu. Ada yang tidak mampu dalam bidang tertent tapi mampu dalam bidang yang lainnya.

Orangtua mesti peka melihat semua ini dan jangan menyamaratakan semua. Misalkan kalau dalam bidang science tidak bisa, orangtua langsung marah-marah dan mengata-ngatai si anak bodoh dan sebagainya, padahal si anak sangat bagus dalam bidang sosial atau dalam bidang bahasa atau dalam bidang seni. Nah orangtua perlu menyoroti dalam bidang yang si anak bisa, memujinya di situ dan menerimanya sehingga si anak tahu bahwa dirinya itu oke, tidak apa-apa, tidak ada yang salah. Kenyataan dia bisa dalam bahasa tapi kurang bisa dalam science, itu tidak menjadikan dia seseorang yang tidak komplit, tidak menjadikan dia seseorang yang seolah-olah cacat. Orangtua penting menanamkan sikap positif itu dengan cara menyoroti yang si anak itu bisa, dan memujinya dan mendorongnya. Dari fondasi inilah si anak akan membangun diri yang positif, sehingga dia nanti waktu terjun dalam kehidupan berpikir lebih positif, lebih berani mencoba sebab dia tahu dimanakah kekuatannya, apa yang bisa dilakukannya dan di bidang itulah dia akan mencobanya terus. Di bidang yang dia memang tidak bisa, dia akan katakan saya memang tidak bisa, tapi dia tidak akan berkata saya tidak bisa semuanya. Kebalikannya tadi yang kita sebut itu kalau anak dimarahi, dicela karena tidak bisa dalam bidang science, padahal dalam bidang yang lain dia bagus, akhirnya si anak akan beranggapan bahwa dalam semua hal, dalam semua bidang dia tidak bisa. Maka waktu disuruh apa-apa dia tidak mau dan sudah takut bakalan gagal daripada nanti dia dikatakan bodoh dan sebagainya.
GS : Jadi ada baiknya orangtua itu mendengarkan keluh kesah anak atau apa yang diharapkan oleh anak dan menyatakan kemampuannya sampai di mana, dalam pembicaraan yang cukup terbuka, Pak Paul?

PG : Betul, jadi jangan sungkan untuk orangtua memberikan tanggapan-tanggapan dimanakah si anak itu mampu, dan juga katakan dimanakah kira-kira si anak itu kurang. Saya tidak berkata bahwa oragtua itu tidak boleh membicarakan kelemahan anak atau masalah anak.

Ada tempat dan waktunya orangtua menyoroti juga yang tidak benar dan merupakan kelemahan si anak. Tapi ini penting, waktu kita mengatakannya kepada si anak, bingkailah dalam bingkai positif. Artinya kita mau mencari solusinya, kita bukan hanya mau melemparkan problem ini pada diri si anak dan memarahinya. Kita memunculkannya untuk mencari solusinya. Jadi waktu kita munculkan, misalnya si anak itu kurang semangat belajar; kita munculkan "ini yang kami lihat, kamu kok tidak semangat belajar, kamu kok begini bukannya belajar malah bermain-main." Langkah berikutnya atau perkataan berikutnya adalah orangtua bisa berkata, "apa yang bisa kami bantu supaya kamu bisa belajar, sebab kami memunculkan masalah ini dengan satu tujuan supaya kita menemukan satu solusinya bersama. Kami tidak berminat membenamkan kamu dengan rasa bersalah, itu tidak ada gunanya; kami memunculkan ini supaya kamu menyadarinya dan ayo kita diskusikan solusinya apa." Dengan cara begitu si anak melihat bahwa yang disoroti oleh orangtua bukannya problem tapi solusi yaitu bagaimana mencari solusi. Nah ini menolong anak untuk membangun sikap positif dalam hidup. Waktu ada masalah dia tidak terbenam dalam masalah tapi dia langsung berpikir apa solusi yang bisa dicari. Ini akan berdampak panjang tatkala anak nanti sudah dewasa.
GS : Itulah salah satu kesulitan bagi orangtua untuk berdiri sejajar dengan anak, supaya sama-sama melihat solusinya. Kadang-kadang kita sebagai orangtua sudah mempunyai konsep tersendiri seperti yang Pak Paul katakan, dan apa pun pendapat anak kita tidak mau terima.

PG : Betul, jadi adakalanya kita memang sudah menempatkan diri di atas anak. Kita yang tahu semuanya sehingga tidak mau melibatkan anak. Ini disayangkan, kalau memang anak-anak terlalu kecil an tidak bisa itu betul, tapi begitu anak sudah berusia di atas 10 tahun, kita seharusnya sudah bisa mulai mengajak anak untuk berdiskusi.

"Ini masalahnya, kamu ulangan jelek-jelek; kamu tidak bisa terus-menerus begini, ini tidak benar. Coba beritahu kepada kami apa penyebabnya tapi kami tidak mau terbenam dalam penyebab, setelah kamu katakan penyebabnya ayo kita mencari solusinya, supaya kamu tidak mengalami ini lagi." Jadi bingkailah dalam bingkai positif, yaitu kita memunculkan masalah untuk mencari solusi bukan untuk menyalahkan dia. Yang juga sering kali orangtua lakukan adalah karena marah pada anak, langsung menyerang diri si anak, mengata-ngatai si anak. Misalnya: "Tahu begitu kamu tidak usah lahir, nyesal kami mempunyai anak seperti kamu." Ini suatu tusukan di ulu hati si anak bahwa dia itu tidak diinginkan oleh orangtuanya, bahwa dia ini memang anak yang terlalu buruk untuk ada di tengah-tengah orangtuanya. Apa reaksi anak? Dia akan enggan untuk dikaitkan dengan orangtuanya, dia akan melakukan hal-hal yang berkebalikan dari yang orangtuanya idealkan atau harapkan. Dan sudah tentu dengan modal bahwa dirinya itu seburuk yang orangtuanya katakan, dia akan cenderung bersikap buruk, berpikir negatif tentang hidup ini, tentang hal-hal yang seharusnya dia lakukan, pasti tidak bisa buat apa dicoba, saya memang sebodoh ini, seburuk ini. Label-label orangtualah yang akhirnya membuat si anak menyikapi hidup dengan negatif.
GS : Selain faktor itu tadi apakah masih ada faktor lain yang bisa mempengaruhi anak supaya anak itu bersikap positif dan tidak bersikap negatif?

PG : Ada satu hal lain lagi yang sangat sederhana tapi kalau dilakukan besar sekali khasiatnya, yaitu kita mesti menciptakan suasana rumah yang santai, yang penuh gelak tawa, penuh canda. Misakan juga mengajak anak-anak untuk bermain bersama-sama, dari kecil misalnya main ci-luk-ba waktu anak masih usia di bawah 2 tahun, main petak umpet atau yang lain.

Jadi disitulah anak-anak itu menikmati kehidupan dengan gelak tawanya. Apa dampaknya pada sikap positif atau sikap negatif anak? Sudah tentu anak-anak yang dibesarkan dalam rumah dimana orangtua sering main bersamanya, terlibat dalam gelak tawa, tidak bisa tidak anak-anak ini hatinya penuh dengan sukacita; kegembiraan itu akan menandai hidupnya. Sudah tentu hati yang gembira akan membuat pikiran pun lebih positif. Kalau ada apa-apa dia tidak langsung cepat-cepat melihat yang negatifnya, dia akan melihat positifnya sebab hatinya penuh dengan sukacita.
GS : Malah ada sebagian orangtua yang menganggap kalau bergurau dengan anak, bercanda dengan anak itu membuat anak kurang ajar terhadap orangtuanya. Jadi ada kekhawatiran itu Pak Paul.

PG : Memang ada, sudah tentu anak-anak itu tidak selalu, tidak otomatis tahu batasnya; tugas kitalah mengajar dan mendidik si anak. Misalkan, dia bermainnya kurang ajar dengan kita, mengata-ngtai kita dan sebagainya; nah kita bisa mengatakan, "kalau main atau bercanda kamu jangan katakan ini kepada kami orangtuamu, ini tidak sopan, jangan katakan lagi ini tidak baik."

Nah inilah tugas kita memberitahukan kepada si anak sehingga dia tahu garis dimana dia tidak boleh melewatinya. Jangan waktu anak melakukannya orangtua meledak, marah; nanti anak takut, "kalau gitu tidak mau main lagi dengan papa-mama, sebab nanti tidak tahu kapan papa atau mama ngamuk lagi, marah lagi, kami dianggap melewati bataslah." Jadi kalau memang melewati batas, beritahukanlah secara baik-baik jangan langsung dimarahi.
GS : Untuk membangun suasana akrab seperti itu kadang-kadang pergi bersama dalam bentuk rekreasi dan sebagainya itu juga sangat menolong Pak Paul.

PG : Sangat menolong, berarti kalau orangtua bisa mengajak anak-anak rekreasi, anak-anak itu belajar rekreasi, belajar memulihkan dirinya sewaktu dia mengalami tekanan atau stres. Dia mulai megerti bagaimana memulihkan dan menyegarkan dirinya lagi, ini dia pelajari dari orangtuanya.

Sebab pada umumnya waktu kita berkreasi kita lebih sering tertawa, ini yang dibutuhkan oleh si anak. Kalau orangtua gagal melakukan itu semua malah menyoroti hidup anak dengan serius, menyoroti hidup ini dengan serius, jarang sekali tertawa; nomor satu suasana rumah memang menjadi tegang sehingga anak-anak juga akan takut untuk bercanda, untuk tertawa, untuk bermain, menggoda adiknya, kakaknya atau pun orangtuanya. Karena takut, takut dan takut, hatinya penuh dengan ketegangan dan ketakutan. Jadi kata yang sering kali muncul dibenaknya adalah jangan nanti ini, nanti itu; kenapa? Sebab orangtua terlalu tegang, terlalu serius. Jarang sekali mau bercanda dengan anak, mau bermain-main dengan anak. Ini nanti berpengaruh pada si anak, terutama ini dampaknya besar kalau orangtua selalu menyikapi hidup dengan serius. Si anak akhirnya mencontoh si orangtua menyikapi hidup seserius itu. Dampaknya si anak tidak bisa menoleransi canda-tawa, orangtuanya pun tidak bisa, jadi kalau ada orang lain bercanda-tertawa mereka akan marah, tidak suka, rasanya risih. Atau kalau orang bercanda-tawa, mereka berpikir negatif mungkin mereka yang menjadi bahan canda-tawa orang lain. Jadi benar-benar ketersinggungan mudah muncul, sedikit-sedikit tersinggung karena sudah mencurigai orang. Atau kalau ada orang bermain dan tertawa, dia tidak suka, nah itu makin menjauhkan dia dari orang lain. Waktu dia merasa kok orang menjauhkan diri dari dia, dia mulai mengembangkan pemikiran negatif, "memang orang tidak suka, orang tidak serius dalam hidup." Sehingga dia terlalu kritis dengan orang dan itu akan makin mengusir orang atau menghalau orang pergi jauh darinya.
GS : Memang ada orang-orang yang sudah dewasa tetapi sulit untuk diajak bergurau atau tertawa sejenak, bahkan ada yang menganggap bahwa senang-senang itu sebagai dosa.

PG : Betul, memang tidak sehat sekali. Jadi ada orang yang melihat canda-tawa, santai, rileks sebagai dosa sehingga merasa bersalah padahal tidak ada yang menyalahkan, tapi kalau dia bercanda tau santai dia sendiri sudah merasa bersalah.

Kenapa, ya karena itulah yang diperolehnya di dalam rumahnya dulu, waktu orangtuanya memarahinya kalau dia terlalu santai atau terlalu rileks atau bercanda, karena orangtuanya tidak suka dengan hal-hal seperti itu. Jadi anak ini mulailah mengembangkan sikap kehidupan yang kaku, sangat kaku sekali; kalau tidak hitam ya putih, kalau tidak salah ya benar. Tidak ada lagi daerah-daerah yang di tengah-tengah antara dua kubu ini, jadi orang akhirnya tidak begitu nyaman bersama dengan mereka. Dari mulut mereka cenderung keluar hal-hal yang kritis, kritis dan kristis, dan kita tahu kristis memang cenderung ke arah negatif. Inilah yang akan dibawanya sampai usia dewasa dan akan sangat berdampak dalam relasinya dengan orang lain.
GS : Padahal di kitab Amsal sendiri dikatakan, "Hati yang bergembira itu adalah obat."

PG : Yang sangat mujarab Pak Gunawan.

GS : Tetapi bagi orangtua, bagaimana membatasi dirinya supaya anak itu juga mengerti batas-batasnya antara yang serius dan yang canda-tawa?

PG : Sudah tentu kalau orangtua itu bisa menyeimbangkan keduanya, anak pun perlahan-lahan akan belajar. Jadi orangtua waktu menghadapi sesuatu tekanan, dia akan berusaha menyelesaikan. Dan suah tentu sikap yang dimunculkan adalah sikap serius, nah di situ anak belajar bahwa tatkala menghadapi tekanan atau masalah dalam hidup seperti ini, sikap seperti inilah yang diperlukan yaitu serius.

Ada tantangan kita harus selesaikan, kita harus serius. Jadi orangtua bisa mengajarkan lewat contoh, lewat perbuatannya tapi juga bisa dilakukan lewat perkataan. Orangtua bisa mengajarkan kepada anak, "ini masalah penting sekali, kamu tidak bisa main-main; kalau sampai keliru dampaknya ini panjang, coba tolong berhati-hati jangan sampai kamu lengah." Nah omongan-omongan seperti itu penting tapi sekali lagi orangtua tidak mengatakannya terus-menerus, kalau terus-menerus nanti si anak sedikit-sedikit sudah takut salah dan cenderung melihat hidup dengan serius. Pada intinya yang ingin saya tekankan di sini adalah orangtua mesti bisa menertawakan dirinya sendiri. Orang yang sehat adalah orang yang bisa menertawakan kesalahannya, kebodohannya sendiri. Nah orang yang bisa menertawakan dirinya akan berhati lebih besar, nanti anak pun akan belajar dari orangtuanya. Dia pun bisa menertawakan dirinya sehingga tidak mudah tersinggung, tidak mudah curiga kepada orang. Ini akan membuat relasi yang jauh lebih positif dengan orang lain.
GS : Sekali pun sebagai orangtua kita sudah berusaha keras untuk menanamkan atau menumbuhkan sikap-sikap positif dalam diri anak, sering kali masih muncul hal-hal yang negatif dalam diri anak yang kita lihat, yang kita sendiri heran siapa yang mengajar anak ini kok bisa seperti ini.

PG : Anak-anak tidak tumbuh dalam rumah saja, anak-anak juga bertumbuh di luar rumah, jadi akan ada pengaruh-pengaruh luar rumah yang akan bisa masuk ke dalam dirinya dan akhirnya memberikan pegaruh yang buruk kepadanya juga.

Itu sebabnya kita harus menerima fakta itu, kadang-kadang kita tanamkan 100 yang tumbuh 90 yang 10-nya negatif, tapi disitulah anak nantinya berkesempatan untuk memikirkan ulang, mengambil keputusan yang lebih positif dalam hidupnya.
GS : Tapi sebenarnya itu masih bisa dikurangi dampak-dampak negatif dari luar itu daripada dampak negatif itu timbul karena masalah dalam rumah sendiri?

PG : Betul sekali, jadi yang penting adalah rumah kita sendiri, setelah itu ya sudah kita tidak bisa selalu melindungi anak dalam lingkup yang sempurna. Inilah kehidupan.

GS : Pak Paul, dalam hal ini apakah ada Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 27:18, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya..." Jadi dengan kata lain Tuhan mau berkata, yang kita tabur itulah yang kita tuai. Jadi sebagai orangtua anamlah sikap yang positif, tanamlah benih positif nanti itulah buah yang akan dipetik.

Anak-anak pun akan menuai buah yang positif dalam hidupnya.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anak Bersikap Negatif" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



76. Mengendalikan Diri Sejak Dini


Info:

Nara Sumber: Bp. Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T217A (File MP3 T217A)


Abstrak:

Banyak pendapat, bahwa dengan sendirinya anak akan bisa mengendalikan diri ketika usianya sudah dewasa. Orangtua mempunyai peran untuk melatih anak agar mereka terampil mengendalikan dirinya.


Ringkasan:

Banyak pendapat, bahwa dengan sendirinya anak akan bisa mengendalikan diri ketika usianya sudah dewasa. Tetapi kenyataannya saat usia dini anak sangat perlu dilatih karena mereka harus belajar tahap demi tahap untuk lebih matang dan mampu menguasai diri. Orangtua mempunyai peran untuk melatih anak agar mereka terampil mengendalikan dirinya.

Hal-hal yang perlu diajarkan orangtua untuk mengendalikan anak :

Untuk anak yang memasuki masa pubertas atau remaja, mereka perlu diajarkan pengendalian diri dalam hal seksual.

Prinsip-prinsip untuk mendidik anak:

Anak yang bisa mengendalikan diri mempunyai ciri-ciri :

Dampak negatif jika kita membuat peraturan terlalu ketat kepada anak :

Firman Tuhan :
"Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya."
(Amsal 25 : 28)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Eli, M.Psi. Beliau adalah seorang Dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengendalikan Diri Sejak Dini". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, terima kasih telah meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dalam acara Telaga kali ini. Ada banyak pendapat bahwa anak yang masih kecil itu memang tidak dapat mengendalikan diri. Jadi mereka sukar sekali untuk bisa menertibkan dirinya sendiri dan mereka dengan sendirinya, nanti akan menjadi lebih baik. Jadi bisa mengendalikan diri ketika dia menjadi besar. Apakah pendapat ini benar Pak?

HE : Kalau anak masih kecil tidak mampu mengendalikan diri itu memang benar tetapi bahwa mereka dengan sendirinya nanti setelah besar bisa mengendalikan diri ini yang tidak sepenuhnya benar. Ad hal-hal yang memang sejalan dengan usianya mereka semakin matang, dan lalu semakin mampu menguasai diri tetapi pengendalian diri juga tidak sepenuhnya berjalan secara otomatis.

Dalam hal ini orangtua mempunyai peran yang besar untuk melatih anak agar mereka semakin terampil mengendalikan dirinya.
GS : Ada anak memang sejak secil yang temperamennya tenang, manis sekali tapi ada juga anak yang sejak kecil sudah banyak tingkahnya. Jadi sudah kelihatan sekali bagaimana dia aktif sehingga orangtuanya kewalahan, jadi bagaimana Pak?

HE : Betul Pak Gunawan jadi memang secara bawaan ada anak yang lebih sulit dikendalikan dibanding dengan anak yang lain. Itu berarti orangtua perlu bekerja sedikit lebih keras dibandingkan kala mempunyai anak-anak yang lebih manis.

GS : Walau pun bersaudara kandung ada yang kakaknya sangat aktif tetapi adiknya manis sekali, sebenarnya faktor apa yang mempengaruhi Pak?

HE : Ini faktor bawaan Pak, jadi memang seperti kita kenal dalam alkitab misalnya Esau dan Yakub itu bahkan saudara kembar tapi memiliki sifat yang sungguh berbeda.

GS : Jadi memang faktor bawaan itu sulit untuk kita lakukan. Tapi anak-anak ini bisa dilatih agar makin besar makin dia bisa mengendalikan diri, tapi sebetulnya seburuk apa bila anak itu tidak dilatih untuk mengendalikan dirinya Pak?

HE : Sebetulnya ada banyak hal yang bisa terjadi, hal-hal yang buruk sehingga anak nanti bertumbuh menjadi besar dia terlanjur tidak bisa mengendalikan diri. Salah satu contoh misalnya akhir-akir ini kita disuguhi banyak sekali berita anak yang menganiaya bahkan membunuh orangtuanya sendiri gara-gara mereka meminta sejumlah besar uang tetapi orangtuanya tidak bisa memberikan.

Tragisnya diantara mereka mengatakan tujuan mereka menggunakan uang itu hanya untuk foya-foya. Contoh lain misalnya ada orang-orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu belanjanya sehingga harus hutang sana-sini kesulitan membayar hutangnya dan menghancurkan keluarganya. Ada juga orang-orang yang susah mengendalikan kemarahan dengan misalnya melampiaskannya dengan menyerang orang lain, menghancurkan barang-barang bahkan ada sebagian yang menghancurkan diri sendiri.
GS : Dampak seperti itu memang kelihatan setelah anak ini menjadi dewasa tetapi sementara dia masih kecil apakah juga akan mempengaruhi lingkungannya?

HE : Ya ini akan mempengaruhi lingkungannya. Ada anak-anak yang dari kecil dia sudah terlihat suka memeras temannya. Sebetulnya orang dewasa atau orangtua sebagai orang yang lebih kuat di rumahharusnya mengendalikan anak.

Tetapi sebaliknya dibanyak keluarga justru anak-anak yang mengendalikan orangtuanya dan orangtuanya kewalahan.
GS : Memang kadang-kadang orangtua, karena setiap hari kumpul dengan anak ini tidak merasakan bahwa anak ini berbeda dengan anak-anak orang lain. Dianggap tingkahlaku yang biasa sehingga tidak diambil suatu tindakan untuk melatih anak ini.

HE : Ya betul, kalau memang sudah terlambat akan semakin sulit untuk dikendalikan. Karena itu, kita perlu mulai sejak anak masih bisa dibelokkan atau dikendalikan.

GS : Biasanya itu ketahuan ketika anak sekolah, jadi lebih bersosialisasi kemudian baru kelihatan bahwa dia berbeda dengan yang lain. Jadi kalau sejak usia sekolah anak ini dilatih, apakah anak ini sudah terlambat atau belum Pak?

HE : Sejak usia sekolah bisa dikatakan agak terlambat tetapi memang tidak sangat terlambat, jadi ada beberapa hal yang masih bisa kita atasi atau kita perbaiki. Tetapi memang yang terbaik adala sejak anak masih di rumah karena mereka masih sangat muda dan lebih mudah untuk diajar.

Takutnya, misalnya kalau sudah disekolah baru akan ditangani tidak setiap kali guru mempunyai wewenang atau cukup waktu untuk mengatur anak-anak ini.
GS : Tetapi sebaliknya Pak Heman banyak orangtua mau menyerahkan tanggung jawab ini, membina atau melatih atau mendidik anak ini yang sukar mengendalikan diri justru kepada gurunya. Biar saja kalau nanti sekolah, nanti gurunya yang akan melatih dia atau juga dilemparkan ke guru Sekolah Minggu dan sebagainya. Ini bagaimana sebenarnya Pak Heman?

HE : Sebetulnya tidak semua bisa diserahkan kepada guru dan guru Sekolah Minggu. Dalam hal ini guru hanya membantu sebagian bahkan sebagian kecil karena seorang guru menghadapi banyak siswa dalm satu kelasnya.

Salah satu contoh ada hal-hal diluar jangkauan guru. Misalnya bagaimana seorang guru bisa mengatur jajan anak, padahal itu adalah bagian yang penting didalam pengendalian diri dan misalnya lagi anak seringkali kecanduan nonton TV atau playstation. Kalau main playstation di kelas ngantuk dan sebagainya tentu waktu bermain playstation ini tidak bisa dikendalikan guru di sekolah.
GS : Betul, sebenarnya itu kelihatan ketika anak kecil ini diajak pergi ke toko atau ke tempat lain. Kalau minta sesuatu dia merengek-rengeknya itu melampaui kewajaran, misalnya sampai berguling-guling di lantai. Apakah itu membuktikan bahwa anak ini tidak bisa mengontrol dirinya Pak?

HE : Ini contoh yang baik sekali bahwa munculnya tingkah laku itu seringkali sebelum anak sekolah, dan kalau dibiarkan sampai dewasa kadang-kadang kalau memaksakan kehendak dia akan melakukan ssuatu yang tampaknya kekanak-kanakan.

Misalnya anak-anak berguling-guling di lantai, itu seharusnya kendali ada di orangtua. Jadi kalau misalnya berguling-guling itu tidak mendapatkan respon yang positif dari orangtua misalnya orangtua menuruti keinginan anak maka biasanya anak akan menghentikan guling-gulingnya itu.
GS : Tapi pada umumnya orangtua justru memenuhi keinginan anak karena dia malu anaknya berguling-guling di toko bahkan di pasar. Jadi daripada ramai maka dituruti saja kehendaknya. Tapi itu lebih memperparah saya rasa!

HE : Betul, akhirnya ini terbalik yaitu anak yang mengendalikan orangtua.

GS : Dan sebagian besar anak diserahkan pengasuhannya kepada baby-sitter atau perawat anak, pengasuh anak. Seringkali anak memukuli pengasuhnya ini tapi pengasuhnya juga tidak berani memberitahukan kepada orangtuanya karena nanti takut dikatakan mengada-ada dan sebagainya Pak?

HE : Makanya disinilah peran orangtua yang jauh lebih penting daripada pengasuh atau pun guru.

GS : Sebenarnya dalam hal apa kita bisa membantu anak untuk mengendalikan dirinya sendiri.

HE : Ada banyak hal yang kita perlu hati-hati dan perlu kita perhatikan. Misalnya yang pertama dalam hal pola makan, kadang-kadang kalau anak tidak suka makan ini atau makan itu dia tidak mau mkan atau kalau yang dia suka dia makan terus tidak berhenti-berhenti makan dan ini pola yang kurang sehat.

Terutama kalau kita mengerti tentang kesehatan dan bila menjadi kebiasaan tentu kurang baik. Yang kedua misalnya dalam hal kebersihan ada anak yang tidak mau misalnya menjaga kebersihannya dan sebagainya harus terus-menerus dikontrol oleh orang lain dan ini perlu juga anak diperhatikan dalam hal kontrol diri dalam hal kebersihan. Yang ketiga misalnya dalam kontrol emosi seperti tadi banyak contoh berguling di lantai, marah berlebihan atau pun kesedihan yang mendalam yang mereka tidak bisa atasi sendiri dan sebagainya. Rasa takut yang berlebihan ini juga masalah kontrol. Dan yang keempat misalnya dalam hal perkataan ada anak-anak yang ngomong terus tidak bisa berhenti atau ngomongnya kasar sekali atau selalu menyakitkan hati orang dan ini beberapa hal yang perlu kita perhatikan.
GS : Ada yang saya jumpai itu anak yang tidak bisa mengendalikan dirinya waktu buang hajat misalnya kencing dimana pun dia berada mau pipis ya pipislah disana, tapi itu menggangu sekali Pak?

HE : Ini adalah contoh kurang bisanya anak mengendalikan diri dan sebetulnya ini bisa dilatih.

GS : Memang harus ada suatu tindakan yang konkrit dari orangtua itu tapi kalau kebetulan bertamu itu biasanya yang punya rumah berkata "Tidak apa-apa anak kecil", tapi ini nantinya akan jadi berlarut-larut.

HE : Iya Pak, saya ingat anak kami sendiri waktu beberapa bulan kira-kira usianya baru tiga atau empat bulan itu anak sudah sebetulnya bisa dilatih mengontrol buang air kecil jadi kira-kira setngah jam sekali dia dibiasakan untuk diminta buang air kecil, lama-kelamaan kita tidak perlu minta dia begitu lagi dia bisa memberikan kode kepada kita.

GS : Ada juga yang pola makan anak berbeda, selalu minta diatas meja jadi kalau kita biasanya duduk dikursi lalu dia kalau tidak diatas meja dia tidak mau makan. Apakah hal ini, dia tidak bisa mengontrol dirinya atau bagaimana Pak?

HE : Ini kadang-kadang adalah kontrol yang terlalu ketat yang dilatihkan oleh orangtua sehingga anak tidak bisa relax misalnya didalam soal makan, dalam hal ini contoh yang baik dimana waktu kia memberikan kendali kepada anak kita harus ingat bahwa pada akhirnya anaklah yang harus mengendalikan dirinya tetapi supaya kendali ini tidak terlalu ketat, kita juga perlu memberikan suatu keleluasaan atau peluang kepada anak.

Dimana kadang-kadang anak juga boleh bebas memiliki ruang dimana dia bisa bermain.
GS : Sebenarnya mengajak anak berdoa sebelum makan merupakan satu bentuk latihan untuk mengendalikan diri juga.

HE : Ya, betul ini baik.

GS : Selain tadi yang bapak sudah sebutkan, apakah ada hal-hal lain yang bisa dilatihkan dalam diri anak?

HE : Tadi saya sudah sebutkan empat hal misalnya pola makan, kebersihan, kontrol emosi dan didalam hal perkataan anak perlu dilatih kontrol diri. Ada hal-hal yang berikutnya misalnya yang kelim dalam hal penggunaan waktu misalnya keseimbangan antara waktu belajar, waktu bermain, anak harusnya dilatih juga didalam penggunaan waktu.

Yang keenam adalah dalam hal penggunaan uang dan didalam hal penggunaan uang ini ada banyak contoh misalnya anak diberikan uang jajan tetapi tujuannya adalah untuk melatih mereka. Dan yang ketujuh misalnya lagi anak terutama yang memasuki masa pubertas atau remaja mereka perlu diajarkan pengendalian diri dalam hal seksual.
GS : Ternyata banyak juga yang mesti dilatihkan pada prinsipnya. Dan apa prinsipnya sehingga kita itu dapat melatih mereka Pak?

HE : Saya kira paling sedikit ada tiga kunci penting disini, disebutkan tiga saja yaitu yang pertama kita harus sabar mengikuti tahap-tahap usia dan kemampuan perkembangan mereka. Dalam hal inisetiap anak berbeda, didalam kecepatan belajar, kecepatan menyesuaikan diri, kecepatan untuk menguasai diri.

Maksudnya begini, kenapa kita harus sabar karena kita harus memikirkan jangan sampai memasang target yang terlalu tinggi sehingga anak tidak bisa mencapainya. Kalau target kita terlalu tinggi anak frustrasi lalu malas untuk belajar mengendalikan diri. Misalnya kalau anak terdorong untuk memukul orang lain kalau keinginannya dihalangi maka dia perlu diajarkan bertahap untuk menyatakan keinginannya dengan cara yang baik dan bisa menunda keinginannya itu. Jadi jangan sampai kita misalnya langsung menghukum mereka dengan keras tetapi kita bisa ajarkan tahap demi tahap. Prinsip yang kedua misalnya kita memberikan contoh dan arah dari tingkah laku yang diharapkan, jadi misalnya kalau kita mengharapkan anak bisa mengendalikan diri dalam berbicara orangtua sendiri perlu memperhatikan supaya bisa berkata-kata dengan cara yang baik. Lalu misalnya juga tidak menggosip atau misalnya ngobrol panjang lebar misalnya sampai lupa waktu dengan teman-teman. Juga perlu kita memperhatikan kalau kita bicara di telepon dan seringkali kalau orangtua menelepon mereka lupa bahwa mereka diamati juga oleh anak-anaknya.
GS : Jadi memang contoh atau keteladanan ini sesuatu yang sangat berbicara kepada anak karena mereka bisa melihatnya langsung. Kunci yang ketiga apa Pak?

HE : Ada prinsip yang ke-tiga yaitu anak perlu diberitahu tentang tingkahlaku apa yang kita harapkan dari mereka. Nah untuk itu kita juga bisa memberikan peraturan dan membantu mereka untuk melksanakan peraturan itu.

Dengan peraturan anak jadi dibantu untuk membatasi dirinya.
GS : Jadi kalau kita sudah memberitahukan kepada anak bagaimana yang kita harapkan dari dia, untuk melakukan sesuatu supaya anak ini bisa mengontrol dirinya. Lalu bagaimana kita perlu mengatur supaya peraturan ini bisa dipatuhi oleh anak?

HE : Tadi sudah disebutkan sebagian yaitu kita mengingat bahwa mereka itu dalam taraf belajar sehingga kita jangan memasang target terlalu tinggi. Selain itu kita juga memperhatikan peraturan kta tidak boleh terlalu ketat, sehingga mereka kehilangan ruang gerak mereka.

Kalau anak misalnya selalu salah, selalu salah, selalu merasa disalahkan, kalau peraturan itu terlalu ketat mereka selalu melanggar dan itu membuat mereka kehilangan motifasi untuk belajar mengendalikan diri, malah bisa jadi mereka menjadi pemberontak.
GS : Memang unsur pengendalian diri ini kita bisa terlalu ketat, seperti yang tadi bapak katakan. Banyak aturan-aturan yang begitu ketat tetapi kadang-kadang terlalu longgar sehingga bisa atau tidak bisa kelihatan apakah kita sudah melatih seorang anak itu dalam pengendalian dirinya. Sebenarnya apa ciri-ciri orang yang bisa mengendalikan diri itu?

HE : Ciri-cirinya misalnya seperti ini. Yang pertama kemampuan anak untuk menunda pemenuhan keinginan atau dorongan. Kalau anak merasa ingin sesuatu tetapi kalau dia merasa itu bukan prioritas adi anak bisa melihat mana penting mana kurang penting.

Dan dia bisa menahan atau menunda lalu nanti baru dipenuhi atau tidak sama sekali. Ini berarti anak sudah bisa mengendalikan dirinya. Ciri yang ke-dua adalah anak mampu mengalihkan dorongan ke arah yang lebih berguna meskipun dia harus mengorbankan kenikmatan yang dia inginkan. Jadi misalnya dia punya beberapa pilihan tetapi waktu dia dihadapkan dengan pilihan ini ada pilihan yang lebih berguna. Misalnya dalam hal penggunaan uang dia punya sisa uang dia mau pakai untuk membeli alat tulis yang dia butuhkan atau dia lebih mau ke tempat warnet atau ke tempat playstation untuk bermain. Dan dia akan lebih memperhitungkan, lebih memprioritaskan untuk membeli alat tulis yang dia butuhkan.
GS : Jadi kita melatih anak sedini mungkin untuk membedakan apakah itu suatu kebutuhan atau suatu keinginan semata-mata untuk menyenangkan dirinya

HE : Tepat sekali

GS : Lalu apakah ada prinsip yang lain, ciri yang lain?

HE : Ciri yang ke-tiga ini adalah kemampuan anak untuk mengenali batas-batas. Mungkin ini yang paling sulit yaitu bagaimana kita tetap melakukan sesuatu tetapi dalam batas-batas tertentu. Jadi isalnya kalau anak ini menggunakan uang, semua orang menggunakan uang tetapi mereka perlu menggunakan uang tidak melampaui batas diri mereka sendiri.

Menyatakan kemarahan, setiap orang marah tetapi bagaimana menyatakan kemarahan sehingga itu bisa diterima oleh orang lain dan tidak bersifat merusak.
GS : Ini yang sulit Pak. Menetapkan batas yang tidak semudah menetapkan batas suatu wilayah. Tetapi bagaima pun juga batas ini penting karena tanpa batas itu nanti tidak karuan jadinya. Apakah ada tips yang bapak bisa berikan dan untuk menentukan batas ini, misalnya dalam hal penggunaan uang itu. Bagaiman cara kita melatih anak mengendalikan dirinya?

HE : Ya ini memang tidak selalu mudah jadi misalnya saja kita beri contoh mereka dalam hal penggunaan uang. Kita mengajar mereka waktu mereka sudah bisa mulai berhitung dan mereka tahu arti, niai, nominal uang baru kalau anak sudah mulai berhitung kita ajak mereka untuk belanja sambil kita awasi, kita beri uang agar mereka membayar.

Lalu setelah itu mereka bisa mulai berhitung dan kita maju satu langkah lagi. Yaitu misalnya, mereka membutuhkan atau ingin membeli mainan kesukaan mereka dalam hal ini kita bisa memberikan, tidak terutama kalau mainan itu agak mahal. Kita memberikan sejumlah uang untuk ditabung dan kita katakan kita tidak mampu membeli mainan itu tetapi bisa kita tabung dulu nanti pada saatnya kalau uangnya sudah cukup kita membeli mainan itu. Tetapi adakalanya mungkin anak berpikir tentang mainan yang mahal. Misalnya Komputer Game yang orangtua tidak mampu mengusahakannya dan disamping itu kita juga berpikir itu tidak terlalu perlu. Kita bisa memberikan alternatif lain yang kita bisa jangkau dan kita membuat mainan itu sedemikian menyenangkan buat anak dan ini memang tidak mudah, tetapi justru dengan cara demikian kita bisa membantu anak untuk mengendalikan diri.
GS : Kalau seandainya batas itu tidak dikendalikan oleh orangtua, apakah ada dampak negatif yang timbul?

HE : Tergantung, saya kira tidak setiap kali ada dampak negatifnya. Khususnya untuk kemampuan mengendalikan diri, dampak-dampaknya yang mungkin bisa terjadi adalah anak tidak belajar untuk menglola dirinya.

Maksudnya mereka terus-menerus bergantung kepada orangtua atau orang lain, sekolah atau institusi untuk membatasi diri mereka. Akhirnya mereka tidak mandiri lagi mereka taat kepada peraturan kalau diawasi dan kalau mereka merasa takut. Dan yang kedua anak kehilangan ruang gerak yang membuat mereka dapat mengatur diri. Jadi anak-anak juga mungkin mereka terlalu ketat terhadap dirinya, sehingga terjatuh kepada extreme yang lain mereka terlalu takut ini dan itu, mereka tidak berinisiatif dan mereka tidak bisa menjadi orang yang bisa mengendalikan diri, baru mereka bisa memimpin mengendalikan orang lain itu prinsipnya. Sehingga mereka tidak bisa menjadi pemimpin.
GS : Jadi yang pasti batas tidak itu ditentukan, itu akan timbul walaupun kemungkinan itu dampak negatif. Kalau dampak positifnya itu sudah pasti tidak ada Pak?

HE : Tidak ada, kalau misalnya tidak ada batas. Artinya anak juga tidak dengan otomatis dia tahu tentang batas itu lalu dia tidak belajar juga dari sekolah, dan dari lingkungan yang lain soal btas itu.

Dan ini akan memberikan dampak negatif.
GS : Makin anak itu menjadi lebih besar makin sulit lagi kita menentukan batasnya. Biasanya dia justru sengaja melangar batas yang sudah ditetapkan oleh orangtuanya itu.

HE : Dan bukan hanya peraturan orangtuanya, nanti peraturan di masyarakat juga peraturan lalu lintas, peraturan hukum dan sebagainya.

GS : Termasuk hukum-hukum Allah sendiri yang ada didalam alkitab itu dengan mudah akan dilangar juga Pak?

HE : Tepat sekali.

GS : Dalam hal ini Pak Heman, apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Heman sampaikan.

HE : Ada satu ayat yang baik sekali dari Firman Tuhan dari Amsal Salomo 25:28 begini bunyinya "Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya", jadi seperti seuah kota yang kehilangan benteng pertahanannya.

Ini gambaran bagi orang yang tidak bisa mengendalikan diri.
GS : Kita juga bisa katakan seperti rumah yang tidak ada pagarnya atau tidak ada pintunya, sehingga pencuri itu dengan mudah akan masuk merampok.

HE : Ya betul.

GS : Yang menjadi tugas orangtua adalah memberikan pintu atau memberikan pagar kepada anak ini perlindungan. Karena mereka tidak dilahirkan otomatis dengan pagar-pagar dan pintu-pintu itu.

He : Betul Pak Gunawan.

GS : Banyak terima kasih Pak Heman untuk perbincangan yang sangat berharga pada kesempatan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengendalikan Diri Sejak Dini". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



77. Menyatakan Kasih Kepada Anak


Info:

Nara Sumber: Bp. Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T217B (File MP3 T217B)


Abstrak:

Anak seringkali tidak merasakan kasih yang diberikan oleh orangtuanya, padahal orangtua selalu berpendapat bahwa dia mengasihi anak-anaknya. Ada beberapa dampak buat anak yang merasa tidak dikasihi yang salah satunya ialah dia membenci dan menolak dirinya. Dan bagaimana cara kita menyatakan kasih kepada anak?


Ringkasan:

Anak seringkali tidak merasakan kasih yang diberikan oleh orangtuanya, padahal orangtua selalu berkata bahwa dia mengasihi anak-anaknya. Hal ini dikarenakan kasih yang dinyatakan orangtua itu tidak sesuai dengan gambaran kasih dalam benak anak.

Ada beberapa dampak buat anak yang merasa tidak dikasihi :

Bagaimana kita menyatakan kasih kepada anak :

Firman Tuhan :
"Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi".
(I Yohanes 4:10-11)


Transkrip:

pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menyatakan Kasih Kepada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, kebanyakan orangtua mengaku bahwa mereka sudah menyatakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya, tapi kalau kita tanyakan kepada anak-anak itu mereka seringkali mengatakan papa-mama tidak sayang sama saya. Ada pandangan seperti ini, menjelaskannya bagaimana Pak?

HE : Mungkin saja orangtua memang bermaksud menyatakan sayang kepada anaknya dan itu sungguh-sungguh bukan sesuatu yang dibuat-buat tetapi herannya anak tidak merasakan hal itu. Bisa terjadi kaena kasih yang dinyatakan oleh orangtua itu tidak dirasakan oleh anaknya.

GS : Jadi ada perbedaan persepsi antara kasih yang diberikan oleh orangtua dan kasih yang diterima oleh anak.

HE : Betul, apa yang orangtua katakan itu di dalam pandangan anak tidak seperti yang mereka bayangkan tentang kasih itu.

GS : Kasih itu memang sesuatu yang bukan benda real seperti kalau kita bilang memberikan sepatu, anak langsung tahu kalau ayah memberikan sepatu, anaknya menerima sesuatu. Tapi memberikan kasih ini memang akan terjadi seperti ini.

HE : Bukan selalu di dalam bentuk materi atau sesuatu yang bisa dilihat tetapi juga sesuatu yang menyentuh hati, sesuatu yang bisa dirasakan. Dan tidak mudahnya disini.

GS : Apakah itu karena orangtua begitu sibuknya sehingga mereka jarang bertemu atau bagaimana Pak?

HE : Itu salah satu unsur dan ini contoh yang baik. Jadi misalnya, orangtua berpikir bahwa mereka sibuk, lalu cukup anak itu diberikan uang diberi kecukupan, dan pasti anak akan senang dan merea tahu bahwa mama papanya mengasihi mereka.

Masalahnya tidak sesederhana itu, karena bagi anak di dalam hal ini mereka merasakan kehadirannya itu jauh lebih berarti. Jadi didalam hal ini orangtua kalau hadir, memperhatikan, memberikan waktu buat anaknya justru anaknya merasakan bahwa benar orangtuanya mengasihi saya.
GS : Jadi diharapkan anak dari kasih ini atau pengertian anak terhadap kasih bukan hanya uang atau barang tetapi orangnya itu sendiri Pak?

HE : Betul, orangnya atau kehadiran orangtuanya.

GS : Adakalanya ada juga orangtua mengatakan saya mengasihi anak saya sehingga saya memarahinya lalu mendisiplin anak. Tetapi anak juga tidak merasa bahwa itu bentuk kasih orangtua kepada mereka Pak?

HE : Ini karena suasana yang dirasakan oleh anak-anak. Jadi misalnya suasana keluarga itu penuh dengan kemarahan, pertengkaran lalu anak-anak menjadi pahit kepada orangtua. Nantinya bagaimana pn orangtua mengatakan sayang dan berusaha menyatakan sayang yang dirasakan anak tetap kepahitan itu.

GS : Seringkali kita jumpai seperti itu, apalagi kalau hubungan suami-istri itu begitu buruknya. Sehingga anak otomatis akan melihat apa yang terjadi antara orangtua ini dan walaupun orangtua mengatakan ini saya lakukan karena mengasihi kamu tetapi anak tetap tidak bisa mengerti.

HE : Bahkan saya ingin tambahkan satu hal yaitu dalam keluarga seringkali pernikahan yang tidak harmonis anak menjadi korban, menjadi rebutan kasih buat orangtuanya. Tetapi dalam hal ini akhirna anak merasa bahwa dia terjepit di tengah pertengkaran keluarga.

Mereka tidak tahu harus memihak ayah atau ibu sehingga membuat mereka semakin merasa bahwa mereka sebenarnya tidak diinginkan di dalam keluarga.
GS : Tetapi kalau dikatakan bahwa orangtua tidak mengingikan kehadiran anak ini atau tidak mengasihi anak ini, orangtua biasanya menyangkal dan langsung berkata "Kami mengasihi anak-anak kami".

HE : Betul, tetapi salah satu contoh misalnya bisa terjadi seperti ini. Seorang istri tidak berani melampiaskan kejengkelannya kepada suaminya, lalu dia menghukum anaknya untuk menunjukkan, inianak yang kamu kasihi saya hukum saya sakiti.

Ini mungkin terjadi diluar kendali atau kesadaran mereka. Mereka tetap berfikir bahwa mereka sayang, tapi tanpa disadari mereka sebetulnya menyakiti anak.
GS : Jadi sebenarnya apakah ada orangtua yang memang tidak mengasihi anaknya?

HE : Ada, tapi sebetulnya sangat jarang. Kebanyakan memang orangtua yang tidak secara sengaja menyakiti hati anak.

GS : Terutama ibu atau dari pihak istri. Itu dia katakan "Saya yang mengandung anak ini bagaimana mungkin saya tidak mengasihi dia".

HE : Betul, tapi kenyataannya anak-anak merasakan bahwa misalnya dimarahi sedemikian rupa dan kadang dihukum. Itu berlebihan dan merasa ibunya tidak sayang. Seperti contohnya ada anak yang mainnnya dirusak bahkan dibakar, mungkin tindakan ini tidak perlu seperti itu tetapi karena kadang-kadang karena orangtua sudah terlalu jengkelnya.

Dan kenangan itu membekas sedemikian dalam, mewarnai kehidupan anak dikemudian hari.
GS : Untuk meyakinkan bahwa orangtua itu mengasihi anak sagat sulit Pak, kalau sudah dilakukan hal seperti itu. Pak Heman, untuk orangtua yang mengatakan saya tidak mengerti kalau apa yang saya lakukan ini bisa menimbulkan kesan seperti itu terhadap anak saya. Disamping karena ketidak mengertian ini, apakah latar belakang dari orangtua itu juga berpengaruh terhadap hal ini?

HE : Saya kira sangat besar pengaruhnya. Ada orangtua yang betul-betul merasa dirinya sayang kepada anaknya, tetapi dalam bentuk kontrol. Cara mengontrol anak dalam bentuk kemarahan. Jadi anakna dimarahi, dinasehati terus-menerus apapun yang dilakukan anak ini tidak ada yang benar.

Dan setelah beberapa saat baru ketahuan bahwa dia sendiri sebetulnya dikontrol dan dimarahi dengan cara yang sama oleh orangtuanya. Dengan berbuat demikian akhirnya dia berharap anaknya nantinya akan menjadi lebih baik menjadi seperti dirinya.
GS : Padahal itu akan sangat sulit sekali dengan apa yang dia harapkan.

HE : Karena lebih banyak anak merasakan marah-marahnya itu. Dan marah itu bagi anak seperti tidak mau dirinya, mau menjauhi dirinya.

GS : Apa saja akibatnya kalau anak merasa tidak dikasihi oleh orangtuanya?

HE : Ada cukup banyak akibat, misalnya saja yang pertama anak bisa membenci dan menolak dirinya. Banyak anak yang merasa tidak dikasihi dan tidak diterima mulai membenci dirinya karena dia meraa tidak diterima oleh orang lain akhirnya dia juga merasa sulit menerima dirinya sendiri.

Anak yang demikian menyesalkan kelahiran diri mereka di dunia ini, beberapa diantaranya meraka jatuh dalam lembah depresi. Beberapa juga berusaha menghancurkan diri baik secara perlahan-lahan. Misalnya dengan berbagai zat atau obat-obat yang tidak baik atau mereka berusaha menghilangkan dirinya secara cepat. Dengan misalnya bunuh diri, gaya hidup awut-awutan, ngebut dan sebagainya tidak peduli bahwa mereka akan sewaktu-waktu mati mendadak. Ada dampak yang lain misalnya lagi yang kedua mereka mungkin mengasihani dirinya sepanjang hidupnya. Mereka terus-menerus merasa bahwa dirinya ini orang yang paling kasihan, akibatnya anak demikian tidak terlalu memperhatikan dirinya terutama hal-hal negatif yang ada di dalam dirinya. Apa pun yang kita katakan, orang lain katakan tidak menolong anak-anak ini untuk keluar dari pandangannya yang buruk atas dirinya. Jadi mereka mengurung dirinya di dalam pandangannya yang negatif terhadap diri sendiri mereka kehilangan kegembiraan hidup. Akibatnya panjang sekali misalnya mereka menyianyiakan potensi, bakat mereka dan mereka tidak merasa mereka adalah orang-orang yang istimewa dengan berbagai karunia dari Allah. Ini dua hal sebagai dampak yang cukup negatif buat anak yang merasa tidak dikasihi.
GS : Dari situ kelihatan sebenarnya bahwa anak yang tidak dikasihi ini menarik perhatian orang lain supaya dia mendapat perhatian. Kalau pun tidak didapat dari orangtuanya dia mengharap dapat dari temannya atau orang-orang yang berada disekitarnya.

HE : Betul, ini juga salah satu contoh bahwa dari anak yang merasa tidak dikasihi.

GS : Apakah ada dampak yang lain Pak?

HE : Yang ketiga misalnya anak itu membenci dan menolak orang lain. Jadi tadi membenci diri, yang ini mereka mungkin justru membenci orang lain karena merasa bahwa semuanya itu menghancurkan hiup mereka dan menolak mereka.

Jadi sebelum mereka merasa lebih sakit lagi, mereka juga berusaha menghancurkan orang lain, menghancurkan kebahagiaan dari orang lain. Anak-anak demikian juga mungkin sering melawan orangtuanya. Tapi sebetulnya di dalam lubuk hatinya yang terdalam mereka ingin dikasihi, tapi perilaku demikian justru membuat mereka lebih jauh dari orang lain. Berikutnya yang keempat misalnya ada anak-anak tertentu yang tidak dikasihi akhirnya bergantung kepada oranglain. Mengapa begitu? Karena mereka memiliki kebutuhan akan kasih tetapi kebutuhannya ini tidak pernah tercukupi. Jadinya mereka menghisap orang-orang disekitarnya, energi mereka, untuk memenuhi kebutuhan mereka, kebutuhan emosional mereka. Mereka mencari teman-teman, mencari gurunya bahkan beberapa diantaranya untuk memenuhi kebutuhan emosinya mereka sembarangan berpacaran dan pada akhirnya bergaul seksual secara awut-awutan dan seterusnya. Ini hal yang ketiga dan keempat.
GS : Kalau seandainya saja dia mendapatkan perhatian, atau mendapatkan kasih dari orang lain diluar orangtuanya, apakah itu cukup memuaskan dia Pak?

HE : Bisa memuaskan tapi hanya untuk sementara, jadi seperti menghisap dan dia selalu haus dan sedikit saja tanda bahwa orang yang dia gantungi itu mau beralih perhatian atau kasih kepada oranglain.

Atau kelelahan, dia langsung bereaksi kemudian melakukan berbagai tingkahlaku untuk membuat supaya orang yang dia kasihi itu kembali lagi kepada dia. Dengan cara-cara kadang-kadang mengancam, nanti saya bunuh diri dan sebagainya.
GS : Apakah ada dampak yang lain, selain keempat dampak yang sudah diuraikan.

HE : Berikutnya lagi adalah yang kelima, anak bisa ketakutan kepada dunia luar. Jadi seperti anak itu kehilangan perlindungan karena kasih dari orangtua seperti sebuah perlindungan. Jadi karenamereka tidak tahu apa itu kasih mereka selalu berjaga-jaga, curiga jangan-jangan mereka akan menjadi korban kekejaman orang lain.

Akibatnya mereka hidup dalam ketakutan dan kesepian. Yang keenam yaitu mereka akhirnya tidak mampu mengasihi orang lain, ini sangat buruk kondisinya. Karena anak yang tidak bisa mengasihi orang lain itu akan membuat sedih orangtuanya. Mereka tidak bisa membalas kasih orangtuanya, mereka tidak bisa merasakan kasih lalu akhirnya berdampak juga di dalam kehidupan mereka di dalam kehidupan sosial mereka. Waktu mereka mengejar karier mereka tidak peduli orang lain, tidak peduli perasaan dan kepentigan orang lain. Waktu mereka membentuk rumah tangga mereka menjadi orangtua yang buruk buat anak-anaknya.
GS : Kalau mendengar yang bapak uraikan tentang dampak-dampak ini memang sebenarnya ini mengerikan sekali dan itu banyak kita jumpai tanda-tanda itu di antara masyarakat disekeliling kita. Dan bisanya kita menyalahkan orang ini yang bermasalah, padahal ternyata sebetulnya kalau boleh jujur orangtua juga punya andil yang besar didalam pembentukan anak-anak sehingga mereka jadi sekarang ini.

HE : Betul, Pak Gunawan.

GS : Bagaimana orangtua itu harus menyatakan kasihnya agar anak ini betul-betul mengetahui, betul-betul merasakan bahwa orangtuanya mengasihi dia.

HE : Ada empat hal dan ini paling sedikit karena waktu. Kita melihat bahwa orangtua seharusnya bisa menyatakan kasih menurut yang anak bisa tangkap dan pahami. Pertama lewat kata-kata, yang keda lewat sentuhan fisik, yang ketiga lewat pemberian perhatian kita dan yang keempat lewat teladan kita.

GS : Mari kita coba teliti satu-satu dulu, seperti yang Bapak Heman katakan menyatakan kasih lewat kata-kata itu bagaimana segi praktisnya?

HE : Saya kutipkan dulu kenapa lewat kata-kata, Amsal Salomo 15:4 menyatakan demikian "Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati". Jadi seharusnya orangtua banyak meyatakan kasih melalui kata-kata, seperti ucapan terima kasih, kami papa atau mama sayang kamu.

Hal-hal seperti ini merupakan siraman kasih yang menyejukkan dihati anak. Ada hal yang lain misalnya kita mengenang masa-masa indah yang merupakan moment penting dalam kehidupan anak. Jadi misalnya kita mengingat lagi waktu mereka masih lucu sekali, masih banyak hal yang bisa dikenang dari kelucuan dan kemanisan mereka. Kemudian kita katakan dengan kata-kata yang mendukung mereka, kata-kata yang menguatkan memberi semangat kepada mereka, kata-kata yang menghargai, memuji mereka. Hal-hal demikian ini adalah pernyataan kasih dari orangtua soalnya seringkali kecenderungannya adalah lebih melontarkan kata-kata yang negatif, kemarahan atau hal-hal yang menyatakan kesalahan anak dan itu jauh lebih banyak. Kita perlu lebih banyak lagi mengucapkan kata-kata yang menguatkan mereka.
GS : Sebenarnya dengan membacakan cerita yang disenangi anak atau menyanyi kesenangan anak itu juga wujud kasih kita kepada anak lewat kata-kata.

HE : Betul, ini juga contoh yang sangat baik sekali.

GS : Banyak orang seringkali berkata bahwa lidah tidak bertulang tetapi dia lupa bahwa lidahnya banyak durinya itu Pak? Dan itu menyakitkan anak dan bisa melukai hati anak lewat duri-duri itu. Tadi dikatakan kasih itu bisa diungkapkan lewat sentuhan fisik, ini bagaimana Pak?

HE : Terutama sebelum usia remaja baik anak laki-laki maupun perempuan itu senang misalnya menerima elusan di kepala, lalu di peluk, di rangkul, di cium, di pangku bahkan kadang-kadang dikelitki oleh orangtuanya.

Ini adalah seperti pernyataan kasih lewat sentuhan fisik. Kalau pada anak remaja terutama pada laki-laki itu memang sudah berkurang keinginan untuk di sentuh, tetapi kadang-kadang mereka juga butuh sentuhan itu. Mungkin bukan dalam bentuk rangkulan lagi, ciuman lagi tetapi sentuhan-sentuhan yang simple.
GS : Seringkali kita sebagai orangtua terlambat melakukannya. Pada saat mereka membutuhkan kita tidak lakukan, dan pada saat mereka sudah tidak membutuhkan kita justru melakukan.

HE : Kadang-kadang memang kita terlambat, tetapi bisa juga dimulai dari hal-hal yang kecil. Misalnya sedikit menyenggol mereka dalam situasi bergurau, situasi yang menyenangkan. Hal-hal begini isalnya satu dua kali anak merasa senang, kita bisa lanjutkan lagi.

GS : Biasanya kami lakukan diatas tempat tidur secara bersama-sama, memang biasanya anak perempuan itu lebih suka kalau ibunya yang menyentuh dia memberikan pelukan itu tidak apa-apa walaupun sudah remaja. Yang pria pun yang sudah remaja kalau saya melakukan pelukan dia tidak merasa risih asal tidak terlalu berlebihan itu masih bisa diterima.

HE : Ini yang baik, jadi Pak Gunawan juga akrab dengan anak-anak. Karena kedekatan fisik itu menunjukkan keakraban, menunjukkan sedikitnya batas antara orangtua dan anak. Betul-betul anak bisa erasakan kasih itu.

GS : Disamping itu tadi Pak Heman katakan bahwa pernyataan kasih ini di berikan lewat pemberian perhatian kepada mereka, ini bagaiman Pak?

HE : Bagi anak kasih itu nyata dalam bentuk perhatian dan waktu yang didedikasikan oleh orangtuanya, kehadiran orantuanya seperti yang Pak Gunawan sebutkan tadi. Salah satu contoh misalnya kala anak pulang dari sekolah dan mereka mengalami persoalan di sekolah yang sebetulnya mereka tunggu-tunggu yang mereka ingin temui di rumah adalah orangtuanya.

Katakan orangtuanya sibuk itu masih tidak masalah asalkan ada waktu buat anak menyatakan pergumulannya, atau masalahnya yang dia temui sehari-hari. Ini kalau orangtua menyediakan telinganya untuk mendengarkan mereka, ini sangat membantu mereka. Memang teman-teman mereka bisa siap juga menampung keluhan mereka, tetapi mereka sangat membutuhkan orangtua. Karena orangtua bisa memberikan arah dan juga nasehat-nasehat bijak, jadi mereka perlu dimengerti dan dikenali kebutuhannya lewat waktu yang disediakan oleh orangtuanya. Memang ini menjadi tantangan yang luar biasa berat untuk orangtua yang sangat sibuk pada akhir-akhir ini. Karena memberi perhatian itu menuntut waktu yang tidak sedikit.

HE : Dan itu perlu diatur dengan komitmen dan dijadwalkan sama seperti kita menjadwalkan pekerjaan kita misalnya.

GS : Tapi ini buat saya semacam investasi yang harus kita lakukan terhadap anak. Dari pada nanti setelah selang sekian waktu setelah akan membayar itu pun tidak akan bisa dilakukan. Jadi lebih baik sekarang ditengah-tengah kesibukan kita, kita investasikan waktu kita untuk memperhatikan anak.

HE : Tepat sekali istilah investasi itu. Kita meminjam istilah bisnis, investasi ini memang sangat penting.

GS : Ada satu hal lagi yang bapak sudah katakan untuk menyatakan kasih dengan memberikan teladan kepada anak, ini bagaimana Pak?

HE : Anak perlu menyaksikan orangtuanya hidup harmonis, dengan keharmonisan anak menyaksikan bahwa orangtuanya saling mengasihi. Lalu saling memberi maaf baik antar orangtua maupun orangtua kepda anak dan anak kepada orangtua, memang mereka harus melihat teladan ini juga.

Lalu melayani tanpa bersungut-sungut kadang-kadang orangtua merasa mereka mengorbankan diri terlalu banyak dan menuntut pasangan untuk begini dan begitu. Akhirnya ini anak merasa, kalau begitu konsep kasih itu jadi berubah, mereka merasakan seharusnya ada timbal balik dan sebagainya. Padahal kasih adalah pengorbanan. Dalam hal ini orangtua juga bisa meneladankan kepada anaknya soal pengorbanan. Kadang-kadang orangtua ingin memiliki sesuatu, ingin mengkonsumsi sesuatu tetapi demi anak dan melihat anaknya lebih butuh, anaknya bisa menyaksikan dan merasakan bahwa orangtua berkorban untuk mereka.
GS : Kalau anak ini tidak sendirian artinya punya kakak atau punya adik, apakah orangtua juga perlu memperagakan bagaimana mereka mengasihi

-

itu Pak?

HE : Betul, mereka perlu menyaksikan hal ini. Tapi masalahnya adalah soal saling iri bagaimana pun yang dinyatakan orangtua dianggap tidak adil. Dalam hal ini kita bisa menyatakan kasih kita degan mengatakan seperti ini bahwa semakin besarnya hak yang diberikan kepada anak semakin besar juga tanggung jawab yang dituntut dari mereka.

Sehingga mereka bisa merasakan, ya memang saya diberi lebih sedikit tetapi saya juga tidak dituntut sebanyak kakak saya.
GS : Seringkali kita sebagai orangtua selalu saja merasa bahwa teladan yang kita tunjukkan kepada anak-anak ini tidak memadai. Kita lebih sering berkata-kata, kita sering memberikan sesuatu tetapi dalam hal keteladanan, kita sebagai orangtua itu selalu kurang, selalu ada cacatnya. Sehingga tidak mungkin kita bisa memenuhi kebutuhan anak, ini bagaimana Pak?

HE : Disini kita memang harus akui bahwa kita semua tidak ada yang sempurna. Yang bisa kita lakukan kita kerjakan bagian kita secara maksimal. Nah tentang sisanya bagaimana, sisanya biar Tuhan aja yang menyempurnakannya.

Kita memohon kepada Tuhan untuk menyempurnakan kita. Ada hal yang lain yang cukup penting adalah kita orangtua mau bersedia mengakui kekurangan kita, dan tidak terus bersikeras benar dalam semua hal. Ini juga bagian dari pernyataan kasih dalam bentuk menerima kelemahan diri dan nantinya juga yang berikutnya adalah menerima kelemahan anak.
GS : Didalam keterbatasan kita, orangtua melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya yang menjadi bagiannya dan sisanya biar Tuhan yang melakukan. Dalam hal ini penting saya rasa, berdoa bersama-sama dengan anak, dan kita menyebut nama anak itu dan kita mendoakan anak itu dan dia merasa diperhatikan oleh orangtuanya karena namanya disebut didalam doa itu.

HE : Ini saran yang sangat baik.

GS : Dan itu seringkali menimbulkan kesan yang dalam, dalam diri anak itu sampai dewasa.

HE : Ya betul, ini berkesan sekali karena ini juga pernyataan kasih dalam bentuk kata-kata, didalam bentuk doa.

GS : Dan kita akui saja, jujur kepada anak keteladanan yang kita berikan tidak sempurna tetapi Tuhan akan menyempurnakan itu. Dalam hal ini Pak Heman sebelum kita mengakhiri perbincangan kita, apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Heman sampaikan?

HE : Ada sebuah ayat Firman Tuhan yang sunguh indah melalui ayat ini orangtua bisa menyatakan kasih secara tepat berlandaskan kasih Kristus, tujuannya supaya anak juga belajar mengasihi orang lin.

Prinsipnya adalah anak yang dikasihi baru dia bisa mengasihi orang lain. 1 Yohanes 4:10-11 : "Inilah kasih itu : Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-sosa kita.

-

ku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi".

GS : Dalam hal ini hubungan orangtua dan anak juga bisa diterapkan pada ayat ini.

HE : Betul, apalagi hubungan antar orangtua dan anak.

GS : Terima kasih Pak Heman untuk perbincangan yang sangat menarik ini dan tentu menjadi berkat bagi banyak pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menyatakan kasih Kepada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



78. Tragedi Pada Anak 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T224A (File MP3 T224A)


Abstrak:

Tragedi bisa menimpa siapa saja baik orang dewasa maupun anak-anak, dan kalau menimpa anak-anak maka dampak yang dialami ialah kehilangan, kesedihan dan kebingungan. Apa reaksi kita sebagai orang dewasa mengenai hal ini?


Ringkasan:

Tragedi bisa menimpa siapa saja baik orang dewasa maupun anak-anak. Dan kita tidak bisa memperhitungkan bagaimana dampaknya kalau tragedi itu dialami oleh seorang anak.

Dampak yang dialami anak-anak ialah kehilangan, kesedihan dan kebingungan.

Misalkan temannya yang meninggal, anak-anak belum siap untuk menerima fakta kehidupan yang memilukan ini, bahwa seorang temannya bisa pergi meninggalkan mereka, bisa meninggal duni. Mereka belum terekspos dengan kematian apalagi kematian sesama teman.

Kita sebagai orang yang lebih dewasa, yang lebih bisa mengerti masalah itu, dapat menyampaikan kepada anak-anak yaitu :

  1. Jangan berjalan di depan atau di belakang anak, namun berjalanlan di samping anak. Maksud saya dengan berjalan di depan anak adalah terlalu membesar-besarkan tragedy. Berjalan di belakang anak artinya kita tidak terbuka untuk membicarakannya,
  2. Pekalah dengan reaksi-reaksi yang dialami anak dan kemudian berilah tanggapan atau bersikaplah sesuai dengan reaksi yang dialaminya itu.

Bentuk kecemasan yang dialami anak ialah :

Ada peristiwa anak meninggal karena dibunuh oleh orang tuanya, dan itu membuat bingung anak.

Dan reaksi kita sebagai orang tua adalah :

Jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa orang tuanya itu pasti jahat

Didalam kebingungannya itu sering kali anak bertanya banyak hal yang antara lain :

  1. Apakah orang tua yang membunuh anaknya itu masuk neraka?
    Kita sebagai orang tua seharusnya menjawab :
    Dalam II Timotius 2:19, Yohanes 3:16 dan II Timotius 1:9 artinya Tuhanlah yang empunya surga dan Dia memegang hak tunggal untuk menentukan siapa yang diterimanya di pintu surga. Jadi kalau anak berkata apakah orang tua yang melakukan perbuatan seperti itu akan masuk ke neraka? Maka kita katakan "Tidak tahu," Dan kita katakan kepada anak-anak kita, "Tuhan nanti yang akan menentukan, Tuhan adil, Tuhan tidak akan salah menilai manusia." Dan untuk anak dibawah usia enam tahun kita menjawab, "Mereka sudah berada dalam pelukan Tuhan di surga, Tuhan mengasihi mereka. Jadi pasti Tuhan menyambut dan memeluk mereka, saat ini mereka sudah bersama Tuhan."
  2. Kenapa Tuhan membiarkan tragedi itu terjadi?
    Kita sebagai orang tua seharusnya menjawab :
    Kita tidak bisa memberi semua penjelasan karena rencana Tuhan terlalu besar, kita tidak bisa selalu mengertinya. Namun kita tegaskan kepada anak-anak kita bahwa Tuhan mengasihi kita semua. Dan yang kedua ialah Tuhan selalu ingin menolong kita tapi kita tidak selalu bersedia di tolong Tuhan, kita tidak selalu bersedia datang kepada Tuhan meminta pertolonganNya.
  3. Seringkali saat anak itu tidur, mereka memimpikan temannya yang meninggal itu!
    Kita sebagai orang tua seharusnya menjawab :
    "Kamu itu sangat kehilangan temanmu, maka akhirnya kamu memimpikan temanmu." Ada hal-hal yang baik yang bisa dilakukan yaitu pergi kemakamnya yaitu untuk mengatakan "Selamat tinggal," karena mungkin dia belum sempat mengucapkan kata perpisahan kepada temannya itu.

Sebagai orang dewasa kita itu begitu berdosa, begitu lemah, kadang kita akan melakukan hal yang benar-benar tak terpikirkan, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang lain mungkin saja bisa dilakukan oleh kita pula. Namun kenapa tidak terjadi pada diri kita :

  1. Ada kemurahan Tuhan yang masih menjaga kita
  2. Karena kita masih mencari pertolongan Tuhan karena firman Tuhan dalam Surat Petrus berkata "Serahkan segala kekhawatiranmu," Dan firmanNya pun dengan tegas berkata "Dia tidak akan mencobai kita melebihi kemampuan kita."

Firman Tuhan :
Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum Kristus."
Kalau saja kita melakukan ini semua, kita bisa dipakai Tuhan untuk mencegah terjadinya sebuah tragedi.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tragedi pada Anak." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, memang tragedi bisa menimpa siapa saja baik orang dewasa maupun anak-anak tetapi kali ini kita akan membicarakan tentang Tragedi pada Anak. Kita tidak bisa memperhitungkan bagaimana dampaknya kalau tragedi itu dialami oleh seorang anak. Misalnya saja ada temannya atau bahkan saudaranya meninggal secara tragis, entah karena kecelakaan, entah karena bencana alam atau bahkan karena bunuh diri, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Waktu tragedi itu menimpa kepada anak, maka reaksi kita terhadap tragedi itu memang berbeda, dibandingkan kalau tragedi itu menimpa pada seorang dewasa. Waktu seorang anak misalkan mengalai kematian yang tragis baik itu karena bencana alam, karena kecelakaan atau karena dibunuh dan sebagainya, dan kita tahu juga bahkan ada yang dibunuh oleh orang tuanya sendiri.

Maka reaksi kita biasanya menjadi sebuah reaksi yang sangat-sangat pribadi dan dalam. Sebetulnya sukar untuk melukiskan apa yang kita rasakan tatkala kita mendengar tragedi seperti itu terjadi, mungkin ada rasa duka bercampur dengan kasih, marah, dan semuanya bersamaan kita rasakan, rasanya kita juga ingin menangis, kita ingin menghibur sekaligus memeluk anak tersebut, kita tidak rela melepaskan si anak yang akhirnya harus kehilangan nyawanya. Inilah reaksi yang berbeda, dibandingkan kalau tragedi itu menyangkut orang dewasa. Jadi reaksi yang ingin melindungi, memerisai, memeluk si anak supaya dia tidak mengalami tragedi seperti itu. Sedangkan pada orang dewasa, reaksinya tidaklah sekuat itu.
GS : Dampak utamanya kepada anak-anak yang ada di sekelilingnya, atau terhadap kita yang sudah dewasa ini, Pak Paul?

PG : Sebetulnya dua-duanya, Pak Gunawan. Pada orang dewasa, akan mengalami dampak yang sudah saya singgung. Pada anak-anak berdampak selain kehilangan dan kesedihan adalah kebingungan. Jadi ana-anak belum siap untuk menerima fakta kehidupan yang memilukan ini, bahwa seorang temannya bisa pergi meninggalkan mereka, bisa meninggal dunia.

Saya kira ini wajar dan bisa dimengerti oleh kita orang dewasa, anak-anak masih kecil jadi mereka belum terekspos dengan kematian apalagi kematian sesama teman. Mungkin anak-anak yang sudah agak besar pernah mendengar kematian kakek atau nenek, tapi kematian teman yang masih sebaya, yang masih belia itu biasanya adalah sebuah pengalaman yang relatif langka dalam kehidupan mereka. Dan yang kedua mereka juga belum mengerti dengan kematian tapi buat mereka kematian itu adalah sesuatu yang sangat jauh nun disana, sesuatu yang buat mereka tidak mungkin terjadi pada usia-usia ini. Jadi sewaktu kematian itu merenggut kehidupan seorang temannya, biasanya selain merasa kehilangan dan sedih juga merasakan kebingungan, ketidak mengertian dan ini yang biasanya membedakan reaksi anak dan reaksi orang dewasa. Reaksi orang dewasa sedih dan sebagainya, tapi umumnya tidak lagi mengalami kebingungan seperti itu karena kita mengerti inilah hidup, hidup ini penuh dengan ketidakpastian dan kejutan. Tapi buat si anak, mereka sangat-sangat bingung. Muncul banyak pertanyaan dalam benak mereka.
GS : Didalam kebingungan mereka Pak Paul, bertanya-tanya dan sebagainya, pasti yang didatangi adalah orang-orang yang lebih dewasa dari dia, entah itu orang tuanya, entah itu gurunya atau pembinanya di gereja. Kita sebagai orang yang lebih dewasa, yang lebih bisa mengerti masalah itu, apa yang bisa kita sampaikan kepada anak-anak?

PG : Ada beberapa yang akan kita angkat Pak Gunawan, kita sebagai orang dewasa untuk menolong, membimbing anak-anak kita lewat proses yang memang membingungkan mereka ini. Saya berharap lewat dskusi kita, para orang tua diperlengkapi dengan masukan-masukan yang mudah-mudahan nanti dapat mereka gunakan.

Yang pertama yang ingin saya bagikan adalah jangan berjalan di depan atau di belakang anak, namun berjalanlan di samping anak. Maksud saya dengan berjalan di depan anak adalah terlalu membesar-besarkan tragedi yang telah terjadi atau terus mengajaknya berbicara tentang tragedi tersebut misalkan kematian temannya, kenapa? Sebab anak tidak selalu siap untuk membicarakannya, anak kadang-kadang memerlukan jeda, waktu untuk bisa memprosesnya dalam keterbatasannya, dalam kemudaannya. Anak belum siap menghadapi kehilangan seperti ini. Jadi besar kemungkinan pada awalnya anak tidak menunjukkan reaksi, kita perlu menanyakan apa yang dirasakan, seperti apa kehilangan dsb. Tapi penting untuk kita tidak membesar-besarkannya apalagi misalkan memakainya dengan tujuan untuk menakut-nakuti si anak, kalau kamu nanti tidak menjadi anak yang baik, kamu juga bisa seperti dia. Itu adalah hal-hal yang tidak bijaksana kalau kita lakukan. Berjalan di belakang anak artinya kita tidak terbuka untuk membicarakannya, kita tidak mau anak justru membicarakannya. Waktu anak berbicara tentang kehilangan temannya, misalnya kita berkata "Ssst, jangan bicarakan hal itu lagi, orang sudah meninggal jangan dibicarakan lagi." Bukankah si anak itu mempunyai kebingungan, kesedihan, kehilangan dan dia ingin membicarakannya. Kalau tidak dengan orang tua mau dengan siapa lagi? Jadi jangan kita bersikap seperti itu tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk membicarakannya. Yang saya maksud berjalan disamping anak adalah yang pertama kita itu peka melihat reaksi pada dirinya, misalnya kalau kita melihat dia sedih maka peluklah dan katakan, "Kamu kehilangan temanmu, kamu sedih ya, dan tidak apa-apa menangis kehilangan temanmu," ijinkan dia menangis dan kalau keesokan harinya dia masih sedih, hampiri lagi, tanyakan lagi, peluklah lagi dan jangan kita berkata "Kemarin sudah menangis hari ini tidak perlu menangis lagi," biarkan. Karena mungkin seringkali dia memang sangat kehilangan. Jadi tanyakanlah sesuai dengan reaksi yang kita lihat atau misalkan si anak itu memang tidak mau membicarakannya, jangan paksakan dia bicara. Kita tanya anak tidak mau menjawab, anak mungkin berkata "Sudahlah Pa, saya tidak mau bicarakan lagi, tidak apa-apa kok," ya sudah kalau tidak ada apa-apa. Saya hanya ingin tanya atau saya ingin memastikan kamu tidak apa-apa tapi kalau ada apa-apa jangan sungkan ya bicara dengan Papa. Dengan perkataan seperti itu si anak tahu kapan waktu mau bicara, dia bisa membicarakannya dengan orang tua, tapi orang tua tidak mendahuluinya tidak memaksa harus membicarakannya. Jadi pekalah dengan reaksi-reaksi yang dialami anak dan kemudian berilah tanggapan atau bersikaplah sesuai dengan reaksi yang dialaminya itu.
GS : Hal yang seringkali memicu anak bertanya itu adalah pemberitaan, jadi lewat media seperti TV, koran dan sebagainya. Lalu mereka terpicu untuk bertanya, munkin dulu dia pernah bertanya tapi setelah membaca kemudian bertanya lagi dan bagaimana sikap kita?

PG : Disaat itulah kita tetap memberikan tanggapan yang sesuai meskipun mungkin sudah sebulan yang lalu, jangan kita berkata "Ini sudah lewat, kenapa masih dibicarakan lagi," tidak apa-apa seba sekali lagi saya tekankan, anak mungkin sekali tidak memberi reaksi pada awalnya dan reaksi itu belakangan muncul, setelah dipicu oleh misalkan pemberitaan yang lain atau temannya bicara.

Jadi biarkan anak melewati fase ini dengan kecepatannya, kita tidak boleh memaksakan bahwa setelah dua minggu semua harus beres dan tidak ada yang boleh lagi untuk membicarakannya. Salah satu reaksi yang juga kadang-kadang dialami oleh anak adalah dia mulai mengalami kecemasan, anak itu menunjukkan kecemasan sekurang-kurangnya lewat tiga bentuk.Yang pertama adalah kita tahu yang sering terjadi, anak susah tidur sendirian dia akan takut tidur sendiri, dan dia minta ditemani oleh orang tua, atau minta agar dia diijinkan tidur dengan orang tua. Saya minta kepada para orang tua untuk mengijinkan anak tidur dengan orang tua karena biasanya, ini adalah transisi yang bersifat sementara, dia memang dalam keadaan takut, dia perlu didampingi jangan kita bereaksi dengan marah dan berkata "Kamu ini sudah besar masih mau ditemani, tidur sendiri saja tidak berani." Dan hal itu membuat dia kasihan malam-malam ketakutan, jadi dampingi kalau anak ketakutan. Selain tidak berani untuk tidur sendiri atau tidak berani pergi ke WC sendiri, yang kedua adalah anak menunjukkan kecemasan biasanya lewat sakit perut dan itu umum. Anak sakit perut berkali-kali ke WC, nah kita harus ingat-ingat apakah ini terjadi setelah tragedi tersebut. Kalau memang benar, kemungkinan ini adalah reaksi dia. Reaksi yang dia tidak ungkapkan, kalau itu memang kasusnya, kita perlu mengajaknya berbicara dan bercerita kalau kita pun pernah kehilangan orang yang kita kasihi dan rasanya berat sekali. Dengan kita membuka diri seperti itu, si anak akan tahu bahwa kita menerima kesedihannya. Yang ketiga adalah anak kecil itu biasanya menunjukkan kecemasannya lewat mual dan anak sering muntah, tiba-tiba muntah itu juga salah satu gejala yang umum, yang dialami oleh anak-anak dalam kecemasan yang tinggi, dia akan mudah sekali muntah. Kalau anak remaja biasanya lain lagi, kalau anak remaja itu nyaman dengan tangisan maka dia akan tunjukkan kesedihannya lewat tangisan. Tapi ada anak remaja yang tidak nyaman dengan tangisan, maka yang muncul adalah ketidak stabilan emosi, mudah meletup-letup. Dan itu adalah bentuk dari kehilangan dan kesedihan yang dalam tapi tidak bisa diungkapkan secara wajar, maka yang muncul adalah letupan-letupan emosi.
GS : Bagi anak yang menjadi teman yang mengalami tragedi ini hubungannya lebih dekat dari pada orang tuanya, Pak Paul. Sehingga orang tua agak sulit untuk memahami apa yang dialami oleh anak ini. Anak ini memang susah karena dia dekat, tiap hari bermain sedangkan kita sebagai orang tua mungkin ketemu saja belum pernah dengan anak yang mengalami tragedi itu tadi.

PG : Betul, Pak Gunawan. Bagi orang tua mungkin hanyalah sebuah nama tapi bagi si anak ini adalah sebuah pribadi yang nyata, dikenalnya, dan diajak bermain dan sebagainya. Belum lagi kalau anakini adalah teman sekelasnya, berarti untuk waktu yang lama si anak akan teringat bahwa dibangku ini dulu duduk temannya, sekarang tidak ada lagi.

Hal ini memang bisa mengganggu si anak, misalkan bolehkah anak diajak ke pemakaman dan melihat jenazah. Kita memang harus meyakinkan si anak bahwa dia sudah siap, kalau memang dia belum siap maka jangan. Sebab anak-anak itu mempunyai imajinasi yang sangat kuat. Jadi jenazah temannya itu bisa terus akhirnya bertahan didalam pikirannya. Belum lagi sekarang di televisi cukup banyak sinetron hantu, horor, dan sebagainya jangan sampai tergabung. Karena si anak masih dalam tahap yang memang imajinatif, menggabungkan keduanya, nanti temannya menghantui dirinya. Jadi penting orang tua bijaksana untuk tidak mengajak anak ke pemakaman dan melihat jenazah. Kalau peti sudah ditutup, sudah tentu tidak masalah tapi melihat tubuh temannya saya kira hanya untuk anak yang lebih besar dan memang sudah siap. Kalau anak kecil lebih baik jangan, meskipun mereka mau pun juga jangan di perlihatkan. Tapi Pak Gunawan, mengangkat satu hal yang penting yaitu jangan menyamaratakan reaksi anak, tadi dikatakan kadang-kadang orang tua mengukur dari dirinya. Kalau dia memang tidak mudah menunjukkan emosi, orang tua mungkin berkeberatan anaknya menunjukkan emosi. Jangan kita menggunakan kriteria kita itu kepada anak-anak kita. Dan juga kita mesti mengingat anak itu tidak sama, ada anak yang lebih extrovert dia akan menyatakan kedukaannya dengan lebih ekspresif, tapi ada anak yang lebih introvert dia tidak terlalu ekspresif dalam menyatakan kedukaannya. Nah kita jangan menyamaratakan anak dan mengharuskan anak untuk berduka dengan cara yang sama, dalam hitungan hari yang sama, dengan tangisan yang sama. Kita dan mereka tidak sama dan setiap anak pun tidak sama. Jadi kita perlu memahami keunikan anak dan sekali lagi mendampingi anak dalam proses ini tidak memarahinya, tidak mencegahnya untuk membagikan kedukaannya dan kebingungannya.
GS : Kalau tragedi itu terjadi karena anak meninggal dibunuh oleh orang tuanya, tentu reaksi anak akan lebih kompleks lagi.

PG : Sudah tentu akan sangat membingungkan si anak. Karena dalam benak si anak dan memang seyogianyalah seperti itu bahwa orang tua seharusnya mengasihi dan melindungi anak. Jadi kalau ada beria bahwa orang tua menghilangkan nyawa si anak, bagi si anak itu benar-benar sesuatu yang sangat membingungkan.

GS : Dan bagaimana kalau anak itu bertanya kepada kita sebagai orang yang lebih dewasa atau sebagai orang tuanya dan apa reaksi kita?

PG : Anak biasanya bertanya begini, apakah orang tuanya itu jahat sehingga tega menghilangkan nyawa anaknya. Kita sebagai orang tua jangan sampai terburu-buru, tergesa-gesa mengatakan bahwa orag tuanya itu pasti jahat.

Kenapa saya mengatakan demikian, saya akan coba jelaskan. Yang pertama yang akan saya jelaskan adalah membunuh adalah perbuatan yang salah dan berdosa di mata Tuhan, jadi membunuh diri, membunuh orang lain adalah salah dan berdosa di hadapan Tuhan, itu adalah perbuatan jahat. Namun untuk melabelkan bahwa orang yang menghilangkan nyawa anaknya pastilah orang yang jahat, saya mau berhati-hati di situ dan bagi saya jangan katakan itu kepada anak-anak kita yaitu orang tuanya pasti jahat karena ada dua penjelasan saya. Pertama kita tidak tahu secara menyeluruh apa yang sebenarnya terjadi dibalik keputusan si orang tua yang memang nekat, yang memang penuh dengan keputusasaan sehingga menghilangkan nyawanya dan juga nyawa anak-anaknya. Didalam ketidak tahuan, saya kira tidaklah bijaksana kalau kita meyakinkan kepada anak-anak kita bahwa orang tuanya adalah orang tua yang jahat, saya kira itu tidaklah tepat. Kita memang perlu melihat seseorang secara utuh dan menyeluruh, sebelum kita memvonisnya jahat. Alasan kedua kenapa saya meminta kita orang tua jangan tergesa-gesa melabelkan bahwa orang tua yang menghilangkan nyawa anaknya pastilah orang jahat sebaiknya jangan, karena kenyataan hidup memperlihatkan bahwa adakalanya orang yang baik melakukan perbuatan yang jahat, dan orang yang jahat kadang melakukan perbuatan yang baik. Dengan kata lain, satu perbuatan jahat bukanlah bukti bahwa seseorang itu jahat, sebaliknya satu perbuatan baik bukanlah bukti bahwa seseorang itu baik. Oleh karena itu hindarilah pelabelan bahwa orang tersebut baik atau jahat. Sebagai gantinya ini yang saya minta orang tua lakukan yaitu ajaklah anak untuk melihat kenyataan hidup bahwa kita adalah manusia berdosa dan lemah, dan dalam keadaan lemah, kita ini manusia berdosa kadang melakukan perbuatan yang sangat salah yang kemudian kita sesali. Jadi pada anak, inilah pesan yang kita ingin sampaikan. Jangan terburu-buru melabelkan bahwa orang tua anak tersebut adalah orang tua yang jahat.
GS : Dan orang tua jangan merangsang anaknya untuk mendorong mereka memberikan lebel-label seperti itu Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan.

GS : Ini sangat terkait dengan pandangan anak bahwa orang jahat itu masuk neraka kalau orang baik itu masuk surga. Dan kalau ini sampai dipertanyakan bagaimana?

PG : Anak biasanya akan bertanya seperti itu, apakah orang tua yang menghilangkan nyawa anaknya masuk ke neraka. Saya akan kutip dari II Timotius 2:19 firman Tuhan berkata "Tuhan mengenal siapakepunyaan-Nya" artinya apa? Tuhanlah yang empunya surga dan Dia memegang hak tunggal untuk menentukan siapa yang diterimanya di pintu surga, bukan kita.

Kita bukanlah Tuhan yang bisa memastikan orang akan kemana. Tuhan Yesus sendiri berkata di Yohanes 3:16 "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal." Itulah kriteria yang Tuhan tetapkan dan atas dasar inilah kita memastikan apakah kita memiliki hidup yang kekal. Perbuatan baik atau tidak baik bukanlah dasar pemberian hidup yang kekal, iman kepada Kristuslah yang menjadi dasar pengampunan dosa dan pemberian hidup yang kekal bersama Tuhan di surga. Jadi kita mau tegaskan kepada anak bahwa yang membukakan tangan Tuhan untuk kita masuk kedalam rumahnya di surga kelak bukanlah perbuatan baik kita dan bukanlah karena satu perbuatan jahat pasti kita tidak akan akan masuk kedalam rumah Tuhan yang kekal, karena dasarnya kita itu diterima Tuhan bukanlah perbuatan-perbuatan kita tapi iman kepada Kristus, percaya Tuhan Yesus telah mengampuni dosa kita. Inilah yang akan membuka pintu surga dan akan membuat Tuhan menerima kita kembali kepada-Nya. Sekali lagi firman Tuhan mengingatkan di II Timotius 1:9, "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman." Jadi kalau anak berkata apakah orang tua yang melakukan perbuatan seperti itu akan masuk ke neraka? Maka kita katakan "Tidak tahu," yang penting kita ajarkan kepada anak kita masuk ke surga atas dasar iman kepada Kristus dan ini yang kita tekankan kepadanya kita tidak tahu kepastian akan orang tuanya. Kita katakan kepada anak-anak kita "Tuhan nanti yang akan menentukan, Tuhan adil, Tuhan tidak akan salah menilai manusia."
GS : Seringkali anak juga bertanya-tanya sehubungan dengan hal itu, Tuhan itu adalah kasih kenapa Tuhan membiarkan tragedi itu terjadi pada keluarga itu, pada anak yang menjadi teman dari anak ini.

PG : Pada akhirnya Pak Gunawan, memang kita harus mengajarkan pada anak-anak kita bahwa kita tidak tahu semua jawaban dan kita tidak selalu mengerti semua persoalan, kita tidak bisa memberi sema penjelasan karena rencana Tuhan terlalu besar, kita tidak bisa selalu mengertinya.

Namun kita tegaskan kepada anak-anak kita bahwa Tuhan mengasihi kita semua. Yang kedua adalah Tuhan selalu ingin menolong kita tapi kita tidak selalu bersedia di tolong Tuhan, kita tidak selalu bersedia datang kepada Tuhan meminta pertolongannya, ini adalah masalah yang sering kita hadapi. Akhirnya karena tidak mau datang kepada Tuhan dan tidak bersedia ditolong, kita akhirnya tidak lagi menemukan jalan keluar dan dalam kondisi buntu tidak ada jalan keluar, dalam kondisi lemah kita mudah tergoda dengan pikiran-pikiran yang salah yang tidak menyenangkan hati Tuhan. Akhirnya kita jatuh kedalam dosa. Jadi kenapa hal itu terjadi? Itu bukan karena Tuhan tidak mengasihi mereka tapi karena itu adalah bagian dari dosa, kita tidak lagi hidup dalam kemurnian, kesucian, kita telah tercemar oleh dosa, pertimbangan kita juga tidak lagi selalu tepat sudah ternoda oleh dosa. Maka kadang-kadang kita melakukan hal-hal yang salah. Kenapa Tuhan diamkan? Tuhan sebetulnya awalnya tidak mendiamkan, Tuhan pasti mengingatkan, menegur untuk memberikan pertolongan tapi Tuhan tidak memaksakan orang untuk menerima pertolongan. Kalau orang itu tidak mau dan menolak, Tuhan juga tidak akan memaksakannya.
GS : Jadi dalam hal ini, poin penting apa yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak kita untuk belajar mendekatkan diri kepada Tuhan?

PG : Yang penting adalah anak-anak kita perlu mengenal, mengetahui bahwa yang pertama Tuhan mengawasi dan mengasihi mereka bahwa Tuhan sayang kepada teman-temannya, kepada orang tua dari temanna itu juga.

Tuhan pasti sedih dengan semua yang telah terjadi, Tuhan berharap ini tidak lagi terulang. Maka kepada anak-anak kita tekankan, kalau kita tahu Tuhan tidak mau hal seperti ini terulang maka sebaiknya kita sebagai teman tolonglah saling melihat, saling peduli dengan satu sama lain. Siapa tahu karena kita saling peduli, kita bisa menolong teman yang sedang dalam kesusahan. Sehingga teman itu tidak harus akhirnya mengalami keputus-asaan.
GS : Memang ada beberapa hal lagi yang memang masih harus kita perbincangkan mengenai tragedi pada anak ini, namun waktu jua yang membatasi kita sehingga untuk kali ini kita cukupkan dulu perbincangan ini sebagai bagian yang pertama. Dan kita berharap para pendengar kita nanti akan mengikuti lanjutan perbincangan ini pada siaran yang akan datang. Banyak terima kasih untuk penjelasan yang Pak Paul sampaikan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tragedi pada Anak" bagian yang pertama, dan kami akan melanjutkan pada perbincangan kami yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



79. Tragedi Pada Anak 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T224B (File MP3 T224B)


Abstrak:

Lanjutan dari T224A


Ringkasan:

Tragedi bisa menimpa siapa saja baik orang dewasa maupun anak-anak. Dan kita tidak bisa memperhitungkan bagaimana dampaknya kalau tragedi itu dialami oleh seorang anak.

Dampak yang dialami anak-anak ialah kehilangan, kesedihan dan kebingungan.

Misalkan temannya yang meninggal, anak-anak belum siap untuk menerima fakta kehidupan yang memilukan ini, bahwa seorang temannya bisa pergi meninggalkan mereka, bisa meninggal duni. Mereka belum terekspos dengan kematian apalagi kematian sesama teman.

Kita sebagai orang yang lebih dewasa, yang lebih bisa mengerti masalah itu, dapat menyampaikan kepada anak-anak yaitu :

  1. Jangan berjalan di depan atau di belakang anak, namun berjalanlan di samping anak. Maksud saya dengan berjalan di depan anak adalah terlalu membesar-besarkan tragedy. Berjalan di belakang anak artinya kita tidak terbuka untuk membicarakannya,
  2. Pekalah dengan reaksi-reaksi yang dialami anak dan kemudian berilah tanggapan atau bersikaplah sesuai dengan reaksi yang dialaminya itu.

Bentuk kecemasan yang dialami anak ialah :

Ada peristiwa anak meninggal karena dibunuh oleh orang tuanya, dan itu membuat bingung anak.

Dan reaksi kita sebagai orang tua adalah :

Jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa orang tuanya itu pasti jahat

Didalam kebingungannya itu sering kali anak bertanya banyak hal yang antara lain :

  1. Apakah orang tua yang membunuh anaknya itu masuk neraka?
    Kita sebagai orang tua seharusnya menjawab :
    Dalam II Timotius 2:19, Yohanes 3:16 dan II Timotius 1:9 artinya Tuhanlah yang empunya surga dan Dia memegang hak tunggal untuk menentukan siapa yang diterimanya di pintu surga. Jadi kalau anak berkata apakah orang tua yang melakukan perbuatan seperti itu akan masuk ke neraka? Maka kita katakan "Tidak tahu," Dan kita katakan kepada anak-anak kita, "Tuhan nanti yang akan menentukan, Tuhan adil, Tuhan tidak akan salah menilai manusia." Dan untuk anak dibawah usia enam tahun kita menjawab, "Mereka sudah berada dalam pelukan Tuhan di surga, Tuhan mengasihi mereka. Jadi pasti Tuhan menyambut dan memeluk mereka, saat ini mereka sudah bersama Tuhan."
  2. Kenapa Tuhan membiarkan tragedi itu terjadi?
    Kita sebagai orang tua seharusnya menjawab :
    Kita tidak bisa memberi semua penjelasan karena rencana Tuhan terlalu besar, kita tidak bisa selalu mengertinya. Namun kita tegaskan kepada anak-anak kita bahwa Tuhan mengasihi kita semua. Dan yang kedua ialah Tuhan selalu ingin menolong kita tapi kita tidak selalu bersedia di tolong Tuhan, kita tidak selalu bersedia datang kepada Tuhan meminta pertolonganNya.
  3. Seringkali saat anak itu tidur, mereka memimpikan temannya yang meninggal itu!
    Kita sebagai orang tua seharusnya menjawab :
    "Kamu itu sangat kehilangan temanmu, maka akhirnya kamu memimpikan temanmu." Ada hal-hal yang baik yang bisa dilakukan yaitu pergi kemakamnya yaitu untuk mengatakan "Selamat tinggal," karena mungkin dia belum sempat mengucapkan kata perpisahan kepada temannya itu.

Sebagai orang dewasa kita itu begitu berdosa, begitu lemah, kadang kita akan melakukan hal yang benar-benar tak terpikirkan, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang lain mungkin saja bisa dilakukan oleh kita pula. Namun kenapa tidak terjadi pada diri kita :

  1. Ada kemurahan Tuhan yang masih menjaga kita
  2. Karena kita masih mencari pertolongan Tuhan karena firman Tuhan dalam Surat Petrus berkata "Serahkan segala kekhawatiranmu," Dan firmanNya pun dengan tegas berkata "Dia tidak akan mencobai kita melebihi kemampuan kita."

Firman Tuhan :
Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum Kristus."
Kalau saja kita melakukan ini semua, kita bisa dipakai Tuhan untuk mencegah terjadinya sebuah tragedi.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu pada acara TELAGA yaitu tentang "Tragedi pada Anak." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu dalam perbincangan kita, kita sudah memperbincangkan Tragedi pada Anak dan rupanya perbincangan itu harus terputus karena keterbatasan waktu, dan kali ini kita akan lanjutkan perbincangan ini. Namun supaya para pendengar kita mengingat kembali apa yang kita perbincangkan, atau mungkin pada waktu itu ada pendengar kita yang tidak sempat mendengarkan perbincangan TELAGA ini, mohon Pak Paul menjelaskan ulang apa yang telah kita bahas pada perbincangan kita yang terdahulu.

PG : Kita membahas tentang tragedi yang menimpa anak, baik itu kecelakaan atau pembunuhan, tragedi yang akhirnya menyebabkan kehilangan nyawa. Reaksi kita pada umumnya tidak sama tatkala peristwa itu terjadi pada anak-anak, biasanya bukan hanya sedih tapi juga tidak rela, kita ingin melindungi anak-anak itu supaya tidak menjadi korban.

Tapi jika menimpa pada anak-anak maka reaksinya juga akan berbeda, anak-anak biasanya selain merasa kehilangan dan sedih, mereka juga akan merasa bingung. Kenapa teman mereka tidak ada lagi? Kenapa akhirnya mengalami kematian? Ini bisa dimengerti karena anak-anak belum bisa melihat hidup secara utuh. Mereka pada usia yang belia baru bisa melihat hidup secara sepotong-sepotong, itu sebabnya mereka bingung. Tugas orang tualah untuk memandu anak-anak agar anak-anak tidak terus-menerus berkubang dalam kebingungan. Apa yang orang tua bisa lakukan? Misalkan yang pertama adalah kita mesti peka dengan reaksi anak dan mendampingi anak sesuai reaksinya itu. Misalnya ada anak yang ketakutan, ingin minta tidur dengan kita, jangan kita marahi menyuruh dia tidur sendirian. Atau anak-anak mulai diserang kecemasan sering mual-mual ingin muntah atau sering sakit perut dan sebagainya. Itu mungkin sekali adalah tanda si anak terganggu dengan peristiwa tragis yang dialami oleh temannya. Tugas kitalah untuk duduk bersamanya, menanyakan apa reaksinya, apakah dia merasa kehilangan, kehilangan seperti apakah yang dia alami sekarang ini, apa yang dia inginkan, ditemani dan sebagainya. Dengan cara itulah si anak bisa mengeluarkan perasaan-perasaannya, namun kita juga mesti sensitif untuk tidak menyamaratakan semua reaksi anak. Jangan menganggap anak-anak itu seperti kita. Jadi kalau kita sedih sehari besok sudah tidak lagi sedih maka anak-anak juga akan sama, hari ini sedih besok tidak boleh sedih lagi. Kita tidak boleh seperti itu sebab anak-anak berbeda dengan kita, dan mereka mungkin sekali jauh lebih dekat dengan temannya dibandingkan kita. Jadi kesedihannya pun akan jauh lebih berat dibandingkan dengan kesedihan kita. Jadi jangan samaratakan reaksi anak, bahwa anak harus begini setelah itu tidak boleh seperti ini dan sebagainya. Berikutnya lagi adalah kita jangan terburu-buru melabelkan bahwa orang tua misalkan sanggup menghabisi atau menghilangkan nyawa anaknya pastilah orang tua yang jahat. Kita tidak bisa memastikan seperti itu karena kita tidak tahu keseluruhan hidup orang tersebut, kita tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya pada diri orang tersebut. Dan saya mau ingatkan bahwa satu perbuatan baik tidak menjadikan orang itu baik sebaliknya satu perbuatan jahat tidak menjadikan seseorang itu jahat. Karena apa? Karena kita manusia itu tidak bisa dipotong-potong, kita merupakan sebuah kesinambungan, jadi kita tidak boleh mengatakan dengan pasti bahwa orang tua yang sanggup menghilangkan nyawa anaknya, pastilah orang jahat itu belum tentu. Dan yang berikut adalah, jangan melabelkan bahwa orang tua yang sanggup misalkan menghilangkan nyawa anaknya adalah orang tua yang pasti masuk ke neraka, tidak! Sebab kita tekankan kepada anak bahwa masuk kedalam kerajaan surga bukanlah lewat perbuatan baik tapi lewat iman kepada Kristus, itu yang akan membukakan pintu sorga bukanlah perbuatan baik kita. Jadi kalau kita berada dalam Kristus maka kita sudah berada didalam hidup yang kekal dengan Tuhan, itu yang kita tekankan kepada anak. Jadi kita menjawab kepada anak kalau anak bertanya "Apakah orang tua yang menghilangkan nyawa anaknya masuk ke neraka? Kita harus katakan dengan jujur "Kita tidak tahu," tapi yang kita tahu adalah Tuhan itu adil, Tuhan itu bukanlah hakim yang keliru untuk melihat atau menilai sesuatu, Dia pasti bisa melihat dengan tepat.
GS : Dan sekarang Pak Paul, anak bisa juga menanyakan didalam rasa keingintahuan yang besar, yaitu temannya yang mengalami tragedi ini masuk surga atau masuk neraka Pak Paul, ini pertanyaan yang sering dilontarkan oleh anak-anak dan bagaimana kita menjawabnya?

PG : Kalau anak-anak bertanya seperti itu kepada saya maka saya akan berkata bahwa anak-anak itu anak masuk ke dalam surga. Mungkin ada orang yang bertanya dari mana kamu tahu kalau anak-anak iu masuk ke dalam surga.

Pertama kita bisa menjelaskan kepada anak bahwa Tuhan mengasihi temannya itu, dan bertindak adil. Tuhan tahu bahwa teman-temannya adalah korban, teman-temannya itu tidak berbuat apa-apa, mereka adalah korban. Kalau kita berkata teman-temannya mungkin masuk neraka dan sebagainya, saya kira mereka akan mengembangkan sebuah gambaran bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang kejam luar biasa. Masakan orang telah menjadi korban akan dikirim ke neraka. Jadi kita tekankan Tuhan itu mengasihi teman-temannya dan Tuhan tahu teman-temannya adalah korban. Atas dasar itulah kita juga bisa berkata Tuhan akan mengampuni kesalahan dan dosa teman-temannya meskipun mereka masih kecil dan Tuhan akan memberikan anugerah khusus kepada mereka untuk masuk ke dalam kerajaan Tuhan. Yang kedua adalah kita juga ingin mengingatkan anak-anak itu tentang firman Tuhan, Tuhan Yesus pernah berkata "Biarkanlah anak-anak itu datang kepadaku dan jangan kamu menghalang-halangi mereka sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan surga." Memang Tuhan disini tidak mengatakan bahwa orang-orang ini masuk ke surga atau anak-anak ini masuk ke surga. Tapi Tuhan menjadikan anak-anak ini sebagai contoh bahwa orang-orang yang seperti inilah yang masuk kedalam kerajaan Allah. Atas dasar itu saya juga menyimpulkan bahwa anak-anak ini akan mendapatkan anugerah khusus, mereka masih kecil, mereka tidak mengerti banyak hal dan Tuhan selalu mengasihi anak-anak dan membiarkan anak-anak masuk kedalam pangkuanNya. Jadi saya percaya anak-anak akan masuk ke dalam kerajaan surga. Jadi sekali lagi kenapa saya mau mengatakan kepada semua anak, sebab saya mau mereka melihat Tuhan dengan kacamata yang tepat, bahwa Tuhan mengasihi kita semua, bahwa Tuhan bukanlah Allah yang kejam dan bahwa Tuhan mengasihi teman-temannya dan pasti Tuhan akan juga menerima teman-temannya itu.
GS : Jadi kalau ada orang tua atau guru sekalipun, yang menjawab bahwa dia tidak tahu korban ini masuk surga atau neraka, maka itu akan membingungkan anak, Pak Paul?

PG : Dan dalam kebingungan si anak, saya khawatir akhirnya mengembangkan pemikiran negatif "Mungkin Tuhan memasukkan mereka ke neraka," dan kalau sampai itu terbersit dalam benak mereka, saya kra itu malang sebab si anak sejak kecil sudah mempunyai gambar bahwa Tuhan adalah Tuhan yang kejam.

Itu adalah gambaran tentang Tuhan yang keliru. Yang kita inginkan untuk mereka ketahui adalah Tuhan adalah Tuhan yang penuh kasih dan Tuhan mengasihi teman-temannya itu. Jadi Tuhan tidak akan bertindak tidak adil terhadap teman-temannya. Sekali lagi kita tekankan faktor keadilan Tuhan, Tuhan sebagai Allah yang adil tidak mungkin berbuat sesuatu yang tidak adil. Jadi kita tidak perlu khawatir, kita katakan kepada anak-anak bahwa Tuhan itu pasti akan tahu dengan jelas dan kita katakan kepada anak-anak, "Saya percaya teman-temanmu ini berada dalam surga bersama Tuhan."
GS : Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan anak yang mengalami tragedi itu?

PG : Sekarang ini anak-anak akhirnya akan beranjak dari satu pertanyaan, kenapa orang tua bisa melakukan hal seperti itu kepada anak? Beranjak kepada arah yang lebih luas yaitu mengapakah hal sperti ini bisa terjadi pada temannya? Waktu anak-anak bertanya seperti itu, kita bisa mengajak anak untuk melihat dengan lebih luas misalkan tentang tsunami, tentang gempa, tentang kecelakaan pesawat terbang, kenapa Tuhan membiarkan tragedi-tragedi seperti itu terjadi? Kita bisa menjelaskan kepada anak-anak bahwa alam semesta beserta isinya telah tercemar oleh dosa, itu sebabnya kita menjumpai banyak ketidak beresan dalam kehidupan ini.

Itu sebabnya alam kadang-kadang bertindak benar-benar tidak lagi harmonis, gempa bumi, badai dsb. Karena apa? Karena alam semesta sudah tercemar oleh dosa maka Paulus berkata, "Bahwa segenap ciptaan sedang mengerang menantikan hari penebusan Tuhan". Waktu Tuhan akan kembali maka Tuhan memulihkan fungsi kerja alam semesta ini sehingga kembali seperti fungsi yang semula yang Tuhan sudah tetapkan. Berikut kita ajarkan kepada anak bahwa kadang kita menjadi korban perbuatan dosa orang lain, misalkan kita sedang berjalan kemudian orang merampok kita, kita kehilangan barang-barang. Kita adalah korban perbuatan dosa orang. Jadi kita tegaskan kepada anak-anak bahwa karena manusia berdosa, manusia melakukan perbuatan dosa dan adakalanya kita menjadi korban perbuatan dosa orang. Sebagaimana kadang-kadang kita pun melakukan perbuatan dosa dan orang lain menjadi korban perbuatan dosa kita. Jadi kalau anak-anak bertanya, kenapa peristiwa buruk itu bisa terjadi pada temannya, pada manusia dan sebagainya, kita katakan "Itulah kondisi hidup ini yang telah diisi atau telah tercemar oleh dosa, kita akan terus menerus menjumpai ketidak beresan dan didalam ketidak beresan hidup ini, kita lebih jelas diingatkan bahwa ada surga. Bahwa sebetulnya hidup ini tidak seyogianya seperti ini tapi akhirnya menjadi seperti ini karena ulah manusia itu sendiri yang berdosa kepada Tuhan." Dengan perkataan-perkataan seperti ini, kita jadinya mendorong anak untuk hidup dalam kekudusan, hidup takut akan Tuhan dan tidak hidup sembarangan.
GS : Memang ini banyak hal yang buat anak itu sesuatu yang abstrak yang sulit untuk mereka bayangkan sebenarnya seperti apa. Jadi kalau kita tidak bisa mengarahkan atau menjelaskan lebih baik, anak itu akan menjadi tambah bingung terutama anak yang lebih kecil. Kalau lebih besar lebih dewasa, kita lebih mudah untuk membicarakannya tapi untuk anak kecil dan yang banyak bertanya itu kadang-kadang merepotkan orang tua juga Pak Paul?

PG : Maka kepada anak-anak yang lebih kecil misalkan di bawah usia enam tahun, jawaban kita sebaiknya adalah jawaban yang sederhana namun pasti. Jangan kita membuka ruang kepada anak-anak untukterus menerus bingung karena sekali lagi pada usia seperti itu mereka berpikir masih sangat konkret jadi mereka membutuhkan jawaban yang konkret.

Itu sebabnya waktu mereka bertanya tentang teman-temannya saya anjurkan kita berkata, "Ya, mereka sudah berada dalam pelukan Tuhan di surga, Tuhan mengasihi mereka. Jadi pasti Tuhan menyambut dan memeluk mereka, saat ini mereka sudah bersama Tuhan." Waktu kita beritahukan begitu, itu akan meredakan kebingungan atau ketegangan si anak dan dia akan tenang kembali.
GS : Karena seringkali kebingungan mereka atau ketidak pastian yang mereka alami itu bisa berkembang jauh apalagi dengan jawaban-jawaban yang meragukan mereka, dan membuat mereka tambah bingung lagi. Jadi sebagai orang tua harus bersikap bagaimana Pak Paul?

PG : Kita penting membatasi ruang kebingungan anak, membatasi ruang ketidak pastian anak, sehingga akhirnya anak terus-menerus hidup didalam ketidak pastian dan ketakutan. Yang saya tekankan mialnya peristiwa tragis berpotensi mewarnai sudut pandang anak secara negatif dan membuatnya meragukan segala sesuatu termasuk kasih sayang dan niat baik orang tua.

Jadi mereka mungkin bertanya-tanya apakah hal seperti ini sanggup dilakukan oleh orang tua saya terhadap saya, apakah orang tua juga bisa menyakiti anaknya seperti itu. Kita harus terima kenyataan bahwa anak mungkin mulai berpikir seperti itu, kita dapat menolongnya lepas dari sikap ini dengan cara menanamkan kepedulian dan rasa tanggung jawab. Maksud saya begini, waktu anak mulai berpikir bahwa orang tua itu sanggup melakukan sesuatu yang jahat terhadap dirinya, anak akan hidup dalam ketidak pastian, ketakutan. Untuk menolong agar anak hidup dalam kepastian adalah anak harus tahu bahwa dia dapat berbuat sesuatu karena waktu kita tahu dapat berbuat sesuatu kita tidak lagi dalam kondisi tidak berdaya dan pasif, kita akan lebih tenang. Kita dapat mengatakan pada anak atau bisa kita ajarkan untuk mencari bantuan. Kita bisa berkata, "Kamu takut tidak, kalau papa dan mama bisa melakukan hal yang sama kepadamu" misalnya dia bilang "Ya." Orang tua berkata "Mau tidak kamu menolong Mama dan Papa supaya Mama dan Papa tidak melakukan hal seperti itu". Misalnya kamu jangan takut minta tolong kalau melihat Mama dan Papa ada masalah. Dengan kata lain kita mau mengajarkan anak untuk tidak menyembunyikan masalah karena masalah-masalah tragis seperti ini yang telah kita dengar, mempunyai satu kesamaan yaitu tidak adanya pertolongan. Kenapa? Karena tidak ada yang meminta pertolongan pula sebab memang kecenderungan kita menyimpan masalah, menyembunyikan masalah tidak mau membukanya untuk diketahui oleh orang lain dan jangan kita ajarkan anak untuk menyembunyikan masalah. Jadi kita beritahu anak kalau ada masalah carilah pertolongan, bahkan kalau engkau melihat kami ini orang tua bermasalah kamu jangan sungkan untuk mencari bantuan orang lain. Misalkan minta bantuan kakek, nenek atau paman atau guru atau pembimbing kamu di gereja atau di sekolah minggu. Dengan kita mengajarkan kepada anak untuk proaktif mencari pertolongan, anak merasa lebih tenteram, bahwa dia bisa berbuat sesuatu untuk mencegah hal seperti ini terjadi dalam keluarganya.
GS : Kadang-kadang ada anak yang sering berkata kepada orang tuanya bahwa waktu malam ketika dia tidur, dia itu mimpi atau memimpikan tentang temannya yang meninggal secara tragis. Dan bagaimana kita sebagai orang tua menjawabnya?

PG : Kita katakan padanya bahwa dia itu sangat kehilangan temannya. Maka akhirnya dia memimpikan temannya. Jangan sampai anak kita termakan oleh pemikiran bahwa temannya itu mengunjungi dia dalm mimpi.

Kita ajarkan bahwa temannya sudah berada didalam tangan Tuhan, jadi temannya tidak akan mengunjungi dia lagi. Kalau sampai dia bermimpi itu hanya menandakan bahwa dia masih mengingat-ingat temannya dan tidak apa-apa sebab dalam waktu seminggu dua minggu, dia tidak lagi terganggu oleh ingatan ini. Dia mungkin masih sedih, masih tetap mengingat tapi tidak lagi terganggu seperti sekarang ini.
GS : Apakah ada segi positifnya Pak Paul, jika mengajak teman-teman dari anak yang sudah meninggal ini, suatu saat pergi berkunjung ke makamnya, tabur bunga dan sebagainya, apakah itu sangat menolong?

PG : Sangat menolong Pak Gunawan, jadi tindakan-tindakan seperti itu yang pertama memberikan sebuah pengakhiran terhadap relasi dengan temannya itu. Bahwa inilah saatnya dia berkata "Selamat tiggal" kepada temannya.

Mereka memang tidak punya kesempatan itu sebelumnya, dan sekaranglah mereka datang ke makam kemudian menaburkan bunga, sebuah simbol bahwa mereka mengatakan selamat tinggal kepada temannya itu. Ini saya kira suatu usulan yang sangat positif.
GS : Tetapi tidak harus sering ke sana, maksudnya ke makam. Kalau itu merupakan suatu ucapan selamat tinggal maka tidak logis kalau terus-menerus dilakukan setiap bulan atau setiap tahun atau bagaimana?

PG : Sebisanya hanya sekali saja diorganisir misalkan teman-teman yang mau datang sekali saja. Kalau ada diantara anak-anak yang masih ingin datang lagi mungkin sebulan kemudian, secara pribadiboleh diantar untuk datang namun kita tidak lagi mengunjunginya secara per kelompok.

GS : Perbincangan ini sudah cukup panjang dan jauh. Mungkin para pendengar kita perlu mendapat suatu kesimpulan Pak Paul, dari apa yang sudah kita perbincangan sejak awal, Pak Paul?

PG : Sekali lagi kesimpulan yang ingin saya tekankan adalah kita hidup dalam dunia yang tidak sempurna dan kita ini kadang-kadang melakukan tindakan-tindakan yang juga salah, tindakan yang tida menyukakan hati Tuhan.

Begitu berdosanya kita, begitu lemahnya kita, kadang kita akan melakukan hal yang benar-benar tak terpikirkan, namun kita mesti menyadari bahwa kita semua sama-sama berdosanya, kita sama-sama lemah, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang lain mungkin saja bisa dilakukan oleh kita pula. Namun kenapa tidak terjadi pada diri kita. Nomor satu karena ada kemurahan Tuhan yang masih menjaga kita tapi nomor dua adalah mungkin sekali karena kita masih mencari pertolongan dari Tuhan, kita tidak berhenti berharap, jangan berhenti berharap, jangan sampai menyembunyikan masalah. Sebab Tuhan menolong kita sering kali lewat orang, lewat sesama teman. Mungkin teman tidak bisa menolong kita dengan tuntas tapi mereka bisa menolong kita sedikit banyak. Mungkin orang pertama tidak menolong kita, tapi orang kedua dan orang ketiga yang akan menolong kita. Jadi Tuhan menolong lewat anak-anaknya. Jadi jangan sampai kita itu menutup pintu terhadap pertolongan Tuhan, datanglah kepada Tuhan. Firman Tuhan dalam Surat Petrus berkata "Serahkan segala kekhawatiranmu," serahkan, serahkan. Kenapa? Tuhan yang nanti menolong kita, memberikan kelegaan kepada kita, menguatkan kita, melepaskan kita dari tekanan-tekanan yang kita alami. Dan firmanNya pun dengan tegas berkata "Dia tidak akan mencobai kita melebihi kemampuan kita." Tapi kadang-kadang kita beranggapan ini sudah lewat, kita tidak mau menghadapinya dan mengambil jalan pintas. Masih ada Tuhan yang sanggup menolong kita. Kita harus selalu mengingat bahwa masih ada Tuhan yang selalu menolong kita.
GS : Dan disamping itu memang perlu yang tadi sudah disinggung berbicara dengan orang lain. Karena Tuhan bisa memakai orang untuk menolong kita, kalau kita sedang mengalami masalah itu kita sering merasa enggan untuk bicara dengan orang lain. Mungkin ada beberapa alasan, kenapa Pak Paul orang itu enggan untuk bicara dengan orang lain tentang masalahnya?

PG : Salah satunya adalah karena kadang-kadang kita beranggapan orang pun tidak bisa menolong kita dan tidak mau menolong kita. Kita mencari pertolongan dari orang yang kita rasa orang itu mau enolong kita.

Kalau kita itu sudah merasa orang ini kira-kira tidak mau menolong kita, kita tidak mau datang kepadanya. Bagi saya ini juga merupakan sebuah pesan untuk kita semua. Kita mesti menampakkan sikap yang rela menolong karena sikap yang rela menolong itu akhirnya tercermin, terlihat dan waktu tertangkap oleh orang yang sedang butuh pertolongan, dia dengan sendirinya mau datang kepada kita. Tapi saya takut karena kita ini terlalu banyak dengan kesibukan dan kepentingan-kepentingan kita akhirnya kita tidak menampakkan wajah atau sikap yang rela menolong dan mau menolong. Akhirnya itu yang terbaca oleh orang, "Dia rasanya tidak mungkin mau menolong, sikapmu sudah seperti seperti itu." Jadi akhirnya orang tidak jadi membuka mulut meminta pertolongan. Hal yang kedua yang ingin saya tekankan dari semua ini adalah sebetulnya meskipun kita tidak dapat mencegah semua peristiwa tragis tapi sebetulnya kita bisa mencegah sebagian tragedi. Kalau saja kita menunjukkan kepedulian yang lebih tinggi terhadap satu sama lain. Sebab sikap yang terbuka mau menolong ini waktu terlihat oleh orang yang membutuhkan pertolongan, benar-benar ini seperti air dingin, air sejuk yang akan masuk ke tenggorokan yang kering.
GS : Tapi kadang-kadang ada orang yang berkata, "Sebenarnya saya sudah mau menolong dia, sudah datang kepadanya, sudah mengajak dia ke gereja tapi dia selalu menolak. Sehingga apalagi yang saya harus lakukan." Itu dikatakan memang setelah tragedi itu terjadi misalnya orang itu bunuh diri atau bahkan membunuh anaknya dan sebagainya. Dia mengatakan saya sudah menyediakan diri tapi korban itu yang tidak mau menerima. Jadi apa yang bisa saya lakukan, Pak Paul?

PG : Kalau sampai pada titik itu berarti tidak ada lagi. Sebab pada akhirnya Tuhan pun hanya menawarkan, Tuhan tidaklah memaksakan. Kalau orang tidak berkenan menerima penawaran Tuhan maka Tuha tidak akan memaksakan.

Jadi kalau ada yang berkata sudah berusaha menolong berarti kita sudah melakukan kewajiban kita dan kita memang tidak bisa memaksakan orang untuk menerima pertolongan kita. Jadi kita hanya melakukan bagian kita dan orang yang sedang dalam persoalan berat itu juga mempunyai tanggung jawabnya yaitu membuka diri dan menerima uluran tangan orang lain.
GS : Jadi bertolong-tolongan itu memang harus dari dua pihak, orangnya misalnya tidak pernah bergaul dengan masyarakat sekelilingnya, itu menjadi salah satu ciri betapa dia itu tertutup dengan persoalan-persoalannya.

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Jadi waktu dia menutup pintu, otomatis orang pun tidak bisa masuk lagi kesana. Jadi orang yang sedang menanggung masalah juga perlu memberikan sebuah sikap yang trbuka, Pak Gunawan.

GS : Dan untuk mengakhiri perbincangan ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum Kristus." Tadi Pak Gunawan sudah singgung kita dipanggil Tuhan untuk bertolong-tlongan menanggung beban.

Dan Tuhan dengan jelas berkata "Orang yang bertolong-tolongan menanggung beban adalah orang yang memenuhi hukum Kristus." Kalau saja kita melakukan ini semua, kita bisa dipakai Tuhan untuk mencegah terjadinya sebuah tragedi.
GS : Memang beban kehidupan ini terlalu berat dan tidak mungkin ditanggung oleh seseorang itu sendirian, jadi kita punya partner, pasangan hidup, punya keluarga, itu bisa menolong kita untuk mengatasi atau menanggung beban itu sendiri, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan yang sangat menarik ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tragedi pada Anak" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



80. Siapakah Anak Kita


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T230A (File MP3 T230A)


Abstrak:

Seringkali karena keinginan kita tidak sama dengan keinginan anak maka kita mengira apakah ini keinginan kita atau bukan? Ada beberapa hal yang merupakan keinginan orang tua, salah satunya ialah kita berharap bahwa anak kita adalah kepanjangan kita.


Ringkasan:

Kadang-kadang kita heran kalau tidak kenal dengan anak kita sendiri atau kita mempunyai pengertian yang agak berbeda dengan anak bahwa kita mengharapkan sesuatu dan ternyata tidak sesuai dengan kita.

Kita perlu mengetahui SIAPAKAH ANAK?

Konsep kita akan siapakah anak, menjadi sangat nyata tatkala anak bertumbuh menjadi Remaja. Misalkan:

Konsep kita akan siapakah anak, juga mempengaruhi kasih kita kepadanya

Kasih kepada anak berkurang sewaktu:

Firman Tuhan:
"Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan (kata-kata ini bisa ditukar anak-anak secara umum), dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (Mazmur 127 :3-5)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Siapakah Anak Kita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kadang-kadang kita heran kalau tidak kenal dengan anak kita sendiri atau kita mempunyai pengertian yang agak berbeda dengan anak bahwa kita mengharapkan sesuatu dan ternyata tidak sesuai dengan kita. Kadang-kadang muncul pertanyaan seperti ini "Ini sebenarnya anak saya atau anaknya orang lain." Apakah ini merupakan konsep tentang anak, apakah betul seperti itu atau bagaimana Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Saya kira kita tidak bisa membebaskan diri dari tuntutan dan pengharapan terhadap anak, meskipun kita ingin anak-anak kita itu bertumbuh besar dengan bebas menjad diri apa adanya namun kita tidak bisa menyangkali bahwa dalam hati kita terkandung harapan-harapan tentang anak kita akan menjadi seperti apa dan sebagainya.

Dan akhirnya relasi seperti itulah yang akan mewarnai relasi kita dengan anak. Sekali lagi penting untuk kita yaitu kembali kepada firman Tuhan, kembali menyadari sebetulnya apakah yang menjadi kehendak Tuhan, rencana Tuhan dengan menghadirkan anak dalam keluarga kita. Sehingga pada akhirnya kita juga bisa membesarkan anak-anak lebih tepat dan tidak membiarkan pengharapan/tuntutan kita mendominasi relasi kita dengan anak.
GS : Biasanya harapan-harapan apa yang muncul didalam diri orang tua atau apa pengertian orang tua terhadap anak itu sendiri, Pak Paul?

PG : Sekurang-kurangnya ada empat yang akan saya bahas dan yang kelima yang saya ambil dari firman Tuhan, keempat-empatnya ini biasanya akan nyata sewaktu anak kita itu bertumbuh remaja. Waktu nak kita masih kecil, interaksi kita itu relatif searah kita memberi kepada anak-anak, mengarahkannya, mengasihinya, merawatnya, jadi benar-benar searah.

Makin anak-anak besar, makin relasi itu dua arah karena anak-anak sudah mulai memberi tanggapan kepada kita, bisa berkata-kata yang menyukakan/mendukakan hati kita. Akibatnya waktu anak-anak mulai remajalah terlihat jelas konsep yang mendasari sebetulnya siapakah anak bagi kita? Pada masa kecil tidak terasa, kita bisa menyanyikan nina bobok, tapi waktu anak-anak sudah mulai remajalah kita mulai disadarkan sebetulnya kita mempunyai pengharapan dan tuntutan terhadap anak-anak ini. Yang pertama yang cukup umum yaitu sebagian kita ini orang tua berharap anak kita itu menjadi kepanjangan kita artinya kita berharap bahwa anak kita melakukan semua yang kita lakukan dan menjadi sama dengan diri kita. Maksudnya kalau kita sekarang menjadi dokter, kita mengharapkan anak-anak kita menjadi seorang dokter. Kalau kita berdagang, kita mengharapkan anak-anak menjadi seorang pedagang juga. Kalau kita menjadi orang yang rohani, kita mengarapkan anak-anak menjadi orang yang rohani seperti kita pula, kalau kita senang menolong orang dan tidak perhitungan, kita berharap anak-anak pun bertumbuh besar senang menolong orang dan tidak perhitungan. Itulah biasanya terkandung dalam hati kita yaitu anak menjadi kepanjangan kita tapi biasanya kita menganggap bahwa yang kita lakukan/siapakah kita ini baik, kalau kita tidak anggap baik sudah tentu akan lain ceritanya. Kalau kita anggap diri kita baik dan kita lakukan juga baik biasanya kita langsung mengharapkan anak-anak menjadi kepanjangan kita, dan nantinya sewaktu mereka tidak menjadi kepanjangan kita barulah kita itu tidak terima, kita marah kita kecewa, "Kenapa saya orangnya murah hati, saya orangnya suka menolong orang tapi kamu perhitungan sekali. Dulu saya diminta oleh orang tua sesuatu dan saya langsung lakukan, tapi kamu ini diminta sedikit oleh saya perhitungannya seperti itu. Kamu judes tapi saya ini orangnya ramah dengan orang." Disinilah terjadi konflik dan tadi saya sudah tekankan biasanya muncul tatkala anak menginjak usia remaja.
GS : Kalau itu sesuatu yang positif, kenapa anak tidak mau menerima apa yang diinginkan oleh orang tuanya?

PG : Anggap saja keluarga kita itu harmonis, seyogianyalah anak itu akan menyerap cukup banyak dari kita tapi kalau saya boleh umpamakan anak menyerap 80% dari kita, kita harus menerima fakta bhwa akan ada yang 20% yang dia akan kembangkan berdasarkan siapa dirinya sendiri, siapa diri menurut dirinya dan siapakah orang-orang menurut dirinya dan apakah hidup menurut dirinya dan siapakah Tuhan menurut dirinya, apakah hidup ini/dunia ini menurut dirinya.

Semua ini nanti akan diolahnya menjadi sesuatu yang dia sebut dirinya dan bisa jadi yang 20% itu berbeda, Pak Gunawan. Kalau rumah tangga kita memang menjadi lahan yang kacau banyak masalah dalam rumah tangga, besar kemungkinan memang anak-anak belum apa-apa sudah langsung menolak menjadi kepanjangan diri kita. Meskipun yang tadi Pak Gunawan katakan betul yaitu yang dilihat seharusnya yang positif tapi tetap dia tidak mau karena memang dia sudah menolak kita secara keseluruhan.
GS : Selain itu gambaran yang lain apa Pak Paul?

PG : Ada orang tua yang melihat anak sebagai kompensasi, artinya kita itu menuntut anak untuk menutupi kekurangan kita dan kita berharap anak kita tidak menjadi seperti kita. Misalnya dulu kitasebagai mama/istri tidak berhikmat yaitu menikah terlalu muda belum ada pengalaman hidup sudah langsung percaya kepada suami kita/ikut dia, kebetulan misalkan hubungan suami istri kita tidak bagus, kita terus-menerus diterjang oleh masalah demi masalah, kita kecewa dan melihat ke belakang kemudian berkata, "Kenapa dulu saya mau menikah dengan dia, seharusnya saya tidak menikah dulu.

Saya akan teruskan sekolah, saya akan kembangkan karier dan barulah saya lihat dunia lebih banyak dan barulah saya akan memilih siapa yang akan saya nikahi." Bisa jadi itu yang menjadi penyesalan kita, Pak Gunawan dan nanti kita akan tekankan kepada anak-anak, indoktrinasi anak-anak jangan sampai melakukan kesalahan yang saya lakukan. Artinya anak-anak didorong untuk ke sekolah sebaik-baiknya, anak-anak didorong untuk mengembangkan karier, kalau anak-anak mulai berpacaran pada masa-masa misalkan tingkat pertama tingkat ke dua orang tua atau si mama akan berkata, "Jangan pacaran dulu, lihat dunia dulu, lulus kuliah kerja dulu, agar kamu melihat dunia seluas luasnya, nanti setelah engkau melihat baru engkau tentukan pilihanmu." Jadi dimana kita gagal, biasanya kita nanti menuntut anak kita jangan sampai mengulangi kegagalan kita. Ini yang saya sebut dengan kompensasi.
GS : Padahal anak itu belum tentu akan mengulang sejarah yang sama dengan kita?

PG : Betul sekali. Karena memang kita tidak pernah bisa menyaksikan kehidupan anak kita. Dan yang kedua yang juga memang sering terjadi adalah kompensasi dalam pengertian kita itu dulunya mendabakan menjadi seseorang misalnya profesi tertentu dan kemudian kita tidak berhasil mencapainya, dan kegagalan kita disitu kita akan jadikan sebagai dorongan bagi anak kita "Kamu harus menjadi seperti ini."

Jadi dimana kita gagal, kita nanti menuntut anak untuk menutupi kekurangan atau kegagalan kita dan tidak menjadi seperti kita.
GS : Biasanya apakah anak mau dibentuk seperti itu?

PG : Ada yang mau dan ada yang tidak mau, Pak Gunawan. Kalau memang kebetulan anak itu punya kemampuan maka tidak menjadi masalah dan dia akan terima, misalkan dari dulu kita ingin menjadi seorng dokter dan kita tidak bisa menjadi dokter, kita benar-benar menyuruh anak kita untuk bekerja keras menjadi seorang dokter.

Kalau anak kita punya kemampuan menjadi seorang dokter maka tidak masalah dan itu memang adalah garisnya. Tapi kalau tidak itu akan justru mengacaukan hidupnya. Ada seorang yang saya kenal, dulu dia disekolahkan kedokteran dan memang orang tua mengharapkan anaknya menjadi seorang dokter maka dia sekolah kedokteran sampai lulus, setelah dia lulus dia menjadi seorang pedagang. Jadi akhirnya dia kembali lagi kepada diri yang semula, sebab dia harus akui bahwa dia tidak menyukai bidang itu. Belum lama ini saya berbicara dengan seseorang, yang dulunya adalah teman kuliah saya dia dulunya sudah berkata, "Saya tidak suka, tapi saya disuruh oleh orang tua saya sekolah bidang ini," sekarang dia sudah lulus dan sekarang sudah menjalani profesinya dan dia berkata, "Saya tidak suka melakukan ini juga." Jadi saya kasihan karena orang tua itu terlalu membebani anak menjadi yang mereka inginkan dan kadang-kadang menjadi seseorang dimana seseorang itu gagal menjadi diri dan anaklah yang dijadikan kompensasi, dia harus menutupi kesalahan orang tua.
GS : Apakah ada pandangan yang lain tentang orang tua terhadap anaknya?

PG : Ada Pak Gunawan. Ada orang tua yang beranggapan anaknya itu beban hidupnya, mungkin Pak Gunawan atau sebagian pendengar kita terkejut mana mungkin orang tua seperti itu? Tapi ini ada dan ii kita harus maklumi kadang-kadang bisa menimpa kita, yaitu misalkan kita dalam kondisi pas-pasan tidak ada uang, tapi tahu-tahu istri hamil atau kita hamil.

Kita tidak bayangkan bagaimana bisa membesarkan anak ini, uang sekolah mahal, biaya beli susu dan sebagainya mahal. Jadi waktu anak itu lahir, kita sudah benar-benar tidak bisa menyambutnya dengan suka cita, kita harus mengakui kalau kita melihatnya sebagai tambahan beban kita. Biasanya kalau itulah yang menjadi pandangan kita kepada anak, kita tidak ramah terhadap anak kita. Kita akan menganggapnya sebagai gangguan, kita susah bersikap ramah dan ini yang berbahaya yaitu kita mulai perhitungan kepada dia. Waktu kita minta tolong kepadanya, kita mengharapkan dia melakukannya. Kalau kita berikan lima kita berharap dia berikan kepada kita lima. Jadi benar-benar relasi dengan anak bukanlah relasi orang tua memberi kepada anak tapi seperti barter, saya beri maka engkau harus beri. Saya sudah bertemu dengan keluarga yang seperti ini, memang waktu si anak lahir orang tua dalam kondisi susah dan kesusahan itu berkelanjutan tidak berhenti-henti terus seperti itu. Saya lihat pola relasi dengan anak menjadi seperti itu yaitu perhitungan luar biasa. Seolah-olah suatu perdagangan saya jual kamu beli, saya bayar kamu harus bayar, benar-benar tidak ada lagi sebuah relasi yang bebas semua dihitung dari untung rugi, sedikit saja kita merasa rugi yaitu ketika anak tidak melakukan bagiannya lalu kita menjadi marah. Sehingga waktu anak-anak bertumbuh besar, mereka merasa belum apa-apa dia sudah berhutang. Maka dalam keluarga seperti ini, anak-anak tidak merasa dikasihi akhirnya mereka berkata, "Yang penting, kapan waktu bisa mandiri saya mau cepat-cepat mandiri, saya mau cepat-cepat keluar dari rumah, saya tidak mau lagi berhutang kepada orang tua. Dari pada saya nanti seumur hidup akan ditagih utang ini."
GS : Ini adalah anak-anak yang kelahirannya tidak dikehendaki. Bukan hanya faktor ekonomi, kadang-kadang karena jenis kelamin. Jadi karena orang tua sudah punya anak perempuan semua lalu yang lahir perempuan lagi, itu juga menjadi beban untuk keluarga itu sendiri Pak Paul?

PG : Bisa terjadi seperti itu, Pak Gunawan. Jadi jenis kelamin yang diharapkan tidak datang, akhirnya tidak menyambut dengan ramah, justru lebih bersikap tidak ramah. Atau ada kasus yang sepert ini, mulai dari kecil dia menderita karena dia seorang wanita dan kakak-kakaknya mendapatkan kenikmatan/keuntungan menjadi seorang laki-laki.

Akhirnya dia tidak menyukai kodratnya menjadi seorang wanita. Maka waktu anaknya yang lahir adalah wanita dia tidak senang sebab dia tidak mau anaknya nanti seperti dia yaitu menderita. Sehingga waktu anak ini lahir dia melihat anak ini sebagai beban tidak lagi menyambutnya dengan ramah sehingga perhitungan dengan anak, akhirnya menyuruh anak ini dan itu, harus ini dan itu. Benar-benar relasi itu ditandai dengan sebuah kontrak kerja, aku kerjakan bagianku kau harus kerjakan bagianmu.
GS : Itu seandainya karena faktor ekonomi tadi, anak-anak sudah lahir tentu bukan kemauannya sendiri justru itu kemauan orang tua Pak Paul, dan apa yang orang tua harus lakukan?

PG : Mereka memang harus kembali kepada konsep tentang siapakah anak menurut Tuhan, anak adalah pemberian Tuhan dan bahwa anak ini lahir berarti ada rencana Tuhan. Anak secara manusiawi memang enambahkan beban tapi ingat bahwa ada Tuhan yang dapat menolong kita dan Tuhan memiliki rencana atas anak ini pula.

Belum lama ini saya mendengar kesaksian ada seorang yang berkata, "Waktu saya masih dalam kandungan, ibu saya berusaha menggugurkan saya," saya telah mengenal orang ini, dia telah menjadi berkat buat masyarakat, buat orang di sekitarnya. Betapa berbahagianya saya bertemu dan mengenal orang ini yang telah menjadi berkat untuk orang di sekitarnya, itu rencana Tuhan. Bagi si ibu atau orang tua saat itu, dia adalah tambahan beban maka dia hendak digugurkan tapi Tuhan mempunyai rencana buat anak ini. Jadi begitulah orang tua harus menyikapi kelahiran anaknya.
GS : Apakah masih ada pandangan yang keliru dari orang tua terhadap anaknya?

PG : Yang berikutnya adalah ada orang tua yang melihat anak itu sebagai penolong, sekilas ini rasanya tidak salah menganggap anak sebagai penolong. Tapi tetap meskipun sekilas tampaknya tidak slah tetap tidak tepat karena orang tua yang menganggap anak sebagai penolong, cenderung anak itu makin dewasa makin bergantung kepadanya, sedikit-sedikit minta tolong, menyuruh anak ini dan itu.

Apalagi misalkan dalam rumah tangga bermasalah, ini sering terjadi si bapak merasa tidak bisa bicara dengan si ibu, susah hatinya, ada apa-apa dia simpan sendiri, dan anak perempuannya makin besar makin mengerti dia, dia curhat dengan anak perempuannya, minta tolong kepada anak perempuannya menjadi juru bicara kepada mama, membantu dia kalau sedang marah. Atau kebalikannya mama yang tersiksa oleh papa yang bermasalah, curhat kepada anak laki-lakinya atau perempuannya, menganggap anak sebagai penolongnya bertugas untuk mengeluarkannya dari masalah dan ini tidak sehat. Sehingga nanti kalau anak sudah besar, orang tua menuntut kepada anaknya sangat tinggi sekali, harus begini dan begitu, harus menolong saya dan sebagainya. Jadi meskipun terdengar baik tetap sebetulnya tidak tepat.
GS : Termasuk juga kalau orang tua mengharapkan nanti kalau sudah tua, ada anak yang menolong dia. Itu juga tetap tidak betul?

PG : Sudah tentu memang mempunyai harapan seperti itu, tidak salah. Namun sedapat-dapatnya sebelum kita menginjak hari tua, kita mempersiapkan diri. Sebisanya kita tidak menambahkan beban kepad anak-anak, kalau anak-anak berkelebihan mereka pun dengan sendirinya menolong kita mencukupi kebutuhan kita.

Tapi kalau kebetulan anak-anak kita tidak seperti itu, kita pun juga tidak harus membebani hidup mereka. Jadi yang terbaik saya kira adalah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi hari tua.
GS : Kalau begitu konsep yang benar orang tua terhadap anaknya itu apa, Pak Paul?

PG : Kita harus melihat anak sebagai ciptaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita, maka kalau kita melihatnya seperti itu kita akan mengasuh anak-anak dengan penuh tanggung jawab bersama Tuhan. aya tekankan bersama Tuhan, kita tidak melihat ini proyek kita tapi ini proyek Tuhan dan kita ini pekerja Tuhan.

Tuhan sedang membentuk anak-anak ini karena Tuhan memiliki rencana atas mereka. Tuhan memiliki proyek, proyeknya adalah anak-anak kita, kita dilibatkan dalam proyek Tuhan yaitu membesarkan dan mengarahkan anak sehingga rencana Tuhan dalam diri mereka tergenapi. Maka kalau kita melihatnya seperti itu, kita juga akan bisa lebih efektif menjadi orang tua. misalnya kita lebih bisa berserah meskipun mereka tidak seperti kita, kita maunya murah hati, baik hati seperti kita tapi anak kita tidak, dan kita mau serahkan kepada Tuhan. Kita mempunyai hati yang melayani Tuhan tapi anak kita rasanya tidak, itu tidak menjadi masalah dan kita bawa kepada Tuhan. Kita pernah gagal disini, kita pernah luka disini dan kita mau anak kita jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama, "Anak ini sudah diberi tahu tapi pergi kesitu lagi," itu tidak apa-apa sebab ada Tuhan. Sehingga dalam proses membesarkan anak, kita tidak terlalu tegang, kita tidak terlalu sedikit-sedikit inginnya marah tidak sabar dan kita tidak lagi seperti itu, karena kita tahu ini proyek Tuhan kita pekerja yang Tuhan libatkan, mereka ciptaan Tuhan yang Tuhan percayakan kepada kita, tapi Tuhanlah yang mengerjakan proyek dalam hidup mereka. Kalau ini sudah menjadi perspektif kita maka akan berbeda. Kita tidak akan memaksakan dia lagi sebagai kepanjangan kita, kita tidak mengharuskan dia menjadi kompensasi kita, kita juga tidak melihatnya sebagai beban karena kita tahu Tuhan dapat memikul semua beban, kita juga tidak menjadikan dia penolong sebab Tuhanlah penolong kita. Akhirnya si anak pun bisa bertumbuh besar dalam kondisi yang lebih bebas, bisa bernapas lebih lega dan rencana Tuhan atas hidupnya lebih bisa terwujud pula.
GS : Dan itu akan mempengaruhi bagaimana kita mengekspresikan kasih kita kepada anak itu Pak Paul?

PG : Tepat sekali. Bagaimanakah kita mengasihi anak itu pasti akan dipengaruhi oleh konsep kita akan siapakah anak itu. Misalkan kalau anak kita tidak seperti yang kita harapkan tidak menjadi kpanjangan kita dan sebagainya kasih kita berkurang atau kalau kita merasa anak kita tidak menghargai pengorbanan kita, kita lebih berprinsip untung dan rugi, saya beri kamu memberi, saya sudah berkorban tapi kamu tidak mau berkorban, kita akan kecewa karena kasih kita akan berkurang.

Atau kita mau dekat dengan anak, kita mau mengulurkan tangan, mau berhubungan dengan dia tapi anak tidak terlalu tertarik dan kita juga akan merasa, "Sudahlah tidak perlu mengasihi dia lagi buat apa mengasihi dia." Atau waktu anak mulai remaja, mulai membangkang/melawan maka kasih kita mulai berkurang kita tidak bisa mengasihi dia atau yang lebih parah lagi waktu anak mulai menghina kita dan tidak menghormati kita, kita rasanya marah sekali akhirnya mau buang anak itu bahkan ada orang tua yang berkata, "Menyesal melahirkanmu, saya menyesal punya anak sepertimu, saya berharap kamu bukan anak saya dan sebagainya." Kita melihat di situ kalau konsep kita terhadap anak itu sudah tidak lagi tepat maka kasih kita terhadap anak akan terpengaruh, tapi kalau kasih kita itu didasari oleh konsep yang tepat mereka adalah ciptaan Tuhan yang Tuhan embankan kepada kita, percayakan kepada kita, dan kita membesarkannya bersama Tuhan sebab inilah proyek Tuhan dalam hidupnya, maka kita tidak terlalu dipengaruhi oleh sikap-sikap mereka meskipun masih ada pengaruh kita manusia tapi tidak akan didikte oleh reaksi mereka sehingga kita lebih bebas bisa mengekpresikan kasih kepadanya.
GS : Kalau kita mengekspresikan kasih itu secara salah karena konsep yang keliru tadi, apakah hal itu juga akan dirasakan oleh anak?

PG : Sudah tentu, Pak Gunawan. Misalnya kalau anak melihat sebetulnya kasih papa/mama ini sangat mempunyai kondisi, tuntutan, syarat, tidak mungkin papa/mama memberikan kasih tanpa ada sesuatu ibaliknya.

Anak-anak itu akan tawar hati, Pak Gunawan, sebab anak-anak lahir di dunia mengharapkan orang tua mengasihi mereka tanpa syarat meskipun manusia masih ada syarat tidak bisa lepas dari tuntutan tapi kita tidak seharusnya membiarkan harapan-harapan kita itu terlalu mewarnai kasih kita kepadanya, karena mereka perlu rasakan dan lihat adalah memang kasih tidak bersyarat sehingga waktu mereka sadar mereka tidak memenuhi permintaan orang tuanya, mereka tetap bisa berkata "Tetap papa/mama mengasihi saya." Saya berikan contoh Pak Gunawan dari kehidupan saya, anak saya sudah kuliah dan ada yang sudah hampir selesai kuliah sekarang, saya dan istri saya selalu menekankan, doakan dan rencanakan pulang kembali ke Indonesia atau ke nagera-negara lain yang lebih membutuhkan sumbangsihmu, lebih membutuhkan kamu karena disitulah pekerjaan Tuhan lebih dibutuhkan. Saya tahu ada anak saya yang sedang bergumul mau menyenangkan hati saya tapi rasanya masih ingin tetap terus hidup di Amerika karena rasanya ke sanalah arah hidupnya, pacarnya juga orang situ dan sebagainya. Saya tahu bahwa dia merasa tidak enak dengan saya karena dia tahu harapan saya. Saya perlu tegaskan kepada dia begini "Kamu berdoa, kamu tahu apa yang saya rasakan dan harapkan, tapi saya tidak mau ini menjadi penentu hidupmu, Tuhanlah yang menjadi penentu hidupmu. Kalau memang kamu bisa berkata, 'Pa, saya tahu Tuhan menghendaki saya tinggal disini bukan di Indonesia,' dan saya berkata, "Baik silakan dan lakukan dan tidak perlu merasa bersalah." Saya perlu katakan itu Pak Gunawan, sebab tanpa disadari mereka sudah memiliki perasaan itu yaitu perasaan bahwa saya mengharapkan mereka menjadi orang tertentu.
GS : Memang di dalam hal ini anak harus jelas bahwa kita sebagai orang tua tidak menjadi penghalang mereka untuk melakukan apa yang Tuhan kehendaki bagi mereka, itu yang penting Pak Paul?

PG : Betul sekali, anak saya berkata seperti ini, "Pa, saya tahu Papa selalu menginginkan kami pulang ke Indonesia tapi saya jujur pada Papa," dan berkata, "Buat saya ladang misi yang lebih bert adalah di sini di Amerika.

Begitu banyak teman-teman saya yang tidak kenal Tuhan, di Indonesia lebih banyak orang yang takut akan Tuhan dari pada di Amerika. Justru ini ladang pelayanan saya yang saya mau menggumuli." Dan saya berkata, "Baiklah, memang itu yang kamu inginkan tapi tetap kamu berdoa dan memang kalau Tuhan menyatakan seperti itu, tinggallah penuhi panggilan Tuhan tanpa rasa bersalah."
GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 127 :3-5, "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan," dan kata-kata ini bisa ditukar anak-anak secara umum, "dan buah kandungan adalh suatu upah.

Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." Anak-anak adalah milik pusaka dari pada Tuhan, sekali lagi Tuhan dan bukan milik kita, ini proyek Tuhan, kita adalah pekerja yang Tuhan undang dan libatkan untuk mengerjakan proyek Tuhan ini.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Siapakah Anak Kita." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



81. Menjahit Relasi Dengan Remaja


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T230B (File MP3 T230B)


Abstrak:

Seringkali menjadi keluahan dari banyak orang tua yaitu sulit sekali menjalin suatu relasi dengan remaja karena suka melawan, banyak tanya dsb. Apa yang harus dilakukan orang tua untuk bisa berelasi baik dengan remaja?


Ringkasan:

Seringkali menjadi keluhan banyak orang tua yaitu sulit menjalin relasi dengan anak khususnya anak remaja yang sudah mulai akil balig karena mereka bermasalah.

Hal-hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki hubungan dengan anak remaja:

Firman Tuhan:
"Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu." (Amsal 29:17)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menjahit Relasi dengan Remaja". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, seringkali yang menjadi keluhan banyak orang tua ialah sulit sekali menjalin suatu relasi dengan anak, khususnya anak remaja mereka yang sudah mulai akil balig karena bermasalah, suka melawan, banyak tanya dan sebagainya. Apalagi kalau latar belakang hubungan mereka memang kurang baik sejak kecil karena harapan yang salah atau anak yang salah menanggapi kasih orang tua. Bangaimana ini Pak Paul, apakah bisa ditolong atau tetap kondisinya seperti itu karena semakin lama semakin buruk?

PG : Seharusnya waktu anak-anak memasuki usia remaja, relasi orang tua itu akan masuk ke dimensi yang berbeda. Dimensi yang berbeda tidak harus menjadi sebuah dimensi yang lebih buruk daripada imensi yang sebelumnya.

Tapi memang tadi Pak Gunawan sudah singgung kalau pada masa sebelum anak-anak remaja, relasi orang tua dengan anak-anak sudah buruk maka hampir banyak dipastikan dimensi remaja itu akan menjadi puncak buruknya relasi kita dengan anak. Dan kita juga harus menyadari bahwa pada masa anak remaja kalau kita dan suami atau kita dan istri menyimpan masalah, biasanya masalah kita pun akan meledakpada waktu anak-anak berusia remaja. Karena di usia remajalah boleh dikatakan kalau remaja itu dalam dimensi yang baru, dituntut mengadakan perubahan paling banyak melalui tahapan perubahan-perubahan dalam kehidupan. Kita setiap hari tidak selalu sama namun dapat dipastikan bahwa pada masa anak-anak remajalah orang tua dan anak-anak dituntut untuk melakukan banyak penyesuaian karena itulah yang diperlukan. Karena pada masa anak remaja mereka menjadi calon orang dewasa artinya kalau dulu di rumah kita hanya ada dua kepala yaitu suami dan istri, maksudnya bisa mengambil keputusan dan menentukan sesuatu, kalau anaknya tiga dan sekarang sudah mulai remaja berarti di rumah itu ada lima kepala. Dulu dua kepala sudah lumayan rumit karena dua-dua harus saling menyesuaikan tapi kalau dua kepala itu tidak menyatu, saat ada lima atau empat kepala akan terjadi masalah. Tapi kalau dua kepala yaitu suami dan istri sudah berhasil menyatu sebelum anak-anak memasuki usia remaja, maka nantinya mereka dapat mengatur dua atau tiga anak remaja itu. Maka sekali lagi saya tekankan memang usia remaja seyogianya menjadi sebuah dimensi baru dalam kehidupan, kita harus berubah, anak-anak harus berubah. Banyak penyesuaian yang harus kita lakukan namun tidak harus menjadi sebuah dimensi yang lebih buruk kondisinya dari pada sebelum-sebelumnya.
GS : Kalau begitu langkah-langkah apa atau hal-hal apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki hubungan itu. Katakan, pada waktu mereka masih anak-anak hubungannya buruk, tapi kita sekarang mau memperbaiki?

PG : Ada beberapa yang saya coba bahas Pak Gunawan. Yang pertama adalah saya mau kita mengingat prinsip pertama yaitu seburuk-buruknya relasi dengan anak, sadarilah bahwa pada dasarnya anak itutetap ingin menjalin relasi yang baik dengan kita.

Mungkin bagi sebagian orang tua rasanya tidak benar karena seringkali saya melihat kebalikannya yaitu rasanya anak-anak justru tidak mau menjalin relasi dengan kami, tapi Itu salah! Dan pada dasarnya/sebetul-betulnya anak-anak itu menginginkan relasi yang baik dengan orang tua namun dalam perjalanannya karena mereka merasa tidak mendapatkan tanggapan yang sesuai atau mereka merasa bahwa ada hal-hal yang kita lakukan yang membuatnya merasa tertolak akhirnya itu yang membuat mereka bersikap acuh tak acuh kepada kita atau menjauh dari kita. Tapi pada dasarnya sebetulnya anak ingin mendekat kepada orang tua, maka dalam usai-usia remaja sebetulnya orang tua masih berkesempatan untuk menjalin kembali relasi dengan anak-anaknya. Kalau saja orang tuanya bersedia untuk mengesampingkan gengsi, berani terbuka, berani mengakui kesalahan dan sebagainya dan terutama berani mendengarkan apa yang anak katakan kepadanya niscaya relasi itu akan bisa kembali dijahit, Pak Gunawan.
GS : Berarti memperbaiki mutu dari komunikasi antara orang tua dan anak?

PG : Tepat sekali. Komunikasi yang selalu menekankan gengsi, "Saya benar karena saya orang tua dan kamu harus dengarkan saya," itu salah! Relasi terbuka artinya kita terbuka juga dengan kekuranan kita, kelemahan, kesalahan kita, berani mengakui dan minta maaf, dan mau mendengarkan apa yang anak katakan.

Salah satu keluhan terutama remaja terhadap orang tuanya adalah "Orang tua saya tidak mendengarkan saya, orang tua lebih tertarik menyampaikan pikirannya kepada saya daripada mendengarkan pikiran saya." Ini akhirnya membuat anak-anak enggan menjalin relasi dengan kita. Jadi tetap saya mau tekankan, sebetulnya anak ingin menjalin relasi yang baik dengan kita.
GS : Tapi kalau keinginan itu tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari orang tua suatu saat juga bisa padam, Pak Paul?

PG : Betul sekali, akan padam. Kalau tidak ada perbaikan akhirnya anak berkata "Untuk apa, sudahlah," dan biasanya yang orang tua tangkap ialah anak tidak mau lagi membuka relasi dengan orang ta.

Sebelumnya apa yang telah terjadi itulah yang orang tua harus instrospeksi diri.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah tentang sikap menolak. Orang tua adakalanya melihat anak-anak menolaknya dan ketahuilah bahwa sikap menolak anak lebih dikarenakan oleh ketakutannya pada penolakan kitakepadanya.

Artinya anak-anak melihat kita sudah menolaknya, kita tidak mau bicara dengan dia, tidak suka dengan dia, anak-anak itu peka sekali meskipun bisa keliru. Mungkin saja anak menyimpulkan bahwa kita tidak mau bicara dengan dia sebagai suatu penolakan yang total, tapi padahalnya tidak! Hanya saat itu saja kita marah dengan dia. Tapi anak bisa berkesimpulan lain, anak bisa berpikir "Memang dari dulu Papa lebih sayang pada Adik karena Adik itu pandai, Adik itu bisa membuat Papa bangga dan saya tidak." Mungkin sekali kita tidak terpikir dan tidak merencanakan hal itu sama sekali tapi anak mungkin saja mengembangkan pemikiran seperti itu dan dengan kata lain kita harus menyadari adakalanya anak-anak itu mengembangkan sebuah persepsi bahwa orang tua sudah menolaknya, ini yang menimbulkan ketakutan pada dirinya bahwa dia sudah ditolak, makanya dia akhirnya menolak kita, dia menjauhkan diri dari kita sebab dia tidak mau disakiti hatinya, ini adalah sesuatu yang orang tua mesti peka terutama kalau ada orang tua yang memang suka membanding-bandingkan anak, baik dengan Kakak atau Adik maupun dengan saudara-saudara atau pun dengan teman-temannya. Cenderung mengkomunikasikan penolakkan pada anak sehingga anak akhirnya membalas menolak orang tua, "Engkau tidak suka saya sebagai anakmu, sudahlah saya juga tidak harus menjadi anakmu." Akhirnya relasi makin renggang.
GS : Dalam hal ini, biasanya anak perempuan lebih peka dibandingkan anak laki-laki. Tapi dalam soal keberanian, anak laki-laki lebih berani untuk menolak kembali orang tuanya dibandingkan anak perempuan dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Itu tepat sekali Pak Gunawan, anak wanita umumnya tidak berani menyatakan sikap yang negatif terhadap orang tua, tapi anak laki-laki lebih berani. Itu sebabnya, umumnya di masa remaja konfontasi frontal seringkali terjadi antara orang tua dan anak laki-laki, tapi kenyataan anak perempuan tidak berkonfrontasi frontal, dia tidak berarti dan bisa jadi justru dia yang merasa tertolak.

Misalkan berat tubuhnya, penampilan fisiknya maka hati-hatilah dengan cara kita berbicara, dengan cara-cara kita memberi komentar. Ada orang tua yang terlalu takut anaknya gemuk, dan setiap kali anak perempuan makan selalu diawasi dan dikomentari "Jangan makan ini nanti kamu gemuk, jangan makan itu nanti kamu tambah gembrot dan sebagainya," itu adalah mengkomunikasikan penolakan.
GS : Hal lain lagi apa, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah pahamilah bahwa ketakutan utama remaja adalah di mata kita orang tuanya tidak ada yang baik pada dirinya. Sebagian remaja memang berkeyakinan seperti ini Pak Gunawan, ii menyedihkan tapi ini fakta.

Sebagian remaja mempunyai persepsi bahwa orang tua tidak pernah melihat ada yang baik kepada dirinya, ini sebetulnya sebuah ketakutan yang akhirnya melahirkan kemarahan. Mula-mula ketakutan kenapa tidak ada yang baik terhadap diri saya, kenapa? Sebab orang tua kalau berbicara dengan nada negatf dengan nada mencela, kalau ada yang positif tidak pernah dikomentari, tapi kalau ada sesuatu yang negatif selalu dikomentari. Akhirnya anak berpandangan, "Baiklah orang tua memang tidak melihat ada yang baik dalam diri saya, semuanya buruk." Ini yang membuat anak-anak tadinya takut akhirnya marah dan apa yang mereka lakukan "Sudahlah, kalau memang saya seburuk ini," ada anak yang ekstrem berkata, "Baiklah saya akan menjadi seperti seburuk yang orang tua pikirkan." Atau ada anak berkebalikan berkata, "Saya akan buktikan diri saya tidak seperti yang Papa dan Mama pikir," dia akan buktikan tapi dengan sikap melawan dan memberontak. Apa pun yang orang tuanya katakan, dia akan lawan. Yang berikutnya adalah kita mesti menerima fakta bahwa sebaik-baiknya relasi kita dengan anak pada masa remaja, teman menjadi orang yang penting dalam hidupnya, namun itu tidak berarti bahwa kita tidak berarti baginya. Itu sebabnya sikap kita yang menolaknya sangat melukai hatinya, kadang-kadang orang tua itu seperti berkompetisi dengan teman-teman anak-anaknya, "Kenapa kamu dengan teman seperti itu dan dengan saya tidak. Kenapa teman selalu didahulukan dan saya tidak," memang pada masa remaja teman menduduki porsi yang penting dalam hidupnya tapi ini yang perlu orang tua sadari, bahwa itu tidak berati orang tua tidak penting, orang tua tetaplah penting. Waktu orang tua memberikan pilihan atau ultimatum atau alternatif "Pilih saya atau pilih teman," itu sangat menyulitkan anak dan menyedihkannya, mereka pasti akan berkata, "Saya akan pilih dua-duanya, orang tua penting dan teman-teman pun penting." Orang tua juga perlu sensitif, biarkanlah anak-anak mengembangkan sosialisasinya. Kita tetap memberikan arahan, kita tetap memandunya dan jangan berkompetisi dengan teman-temannya seolah-olah kita sedang berlomba mencari atau memenangkan trofi yaitu anak kita.
GS : Memang kadang-kadang orang tua merasa ada pembedaan, kalau mencari pendapat atau mencari nasehat selalu pada temannya tapi kalau butuh uang, dia lari ke orang tua. Jadi orang tua ini semacam bendahara yang terus membayari dia.

PG : Dan itu yang harus diantisipasi oleh orang tua yaitu pada masa-masa remaja memang anak-anak akan seperti itu. Tapi orang tua jangan menyimpulkan "Ternyata saya itu tidak penting lagi, sayaitu hanya menjadi objek pemanfaatan anak."

Ingat yang kita sudah bahas di sesi yang terdahulu bahwa konsep akan siapakah anak itu berpengaruh penting, Pak Gunawan. Kalau kita memang sudah terlibat dalam relasi untung dan rugi dengan anak, kita sering bereaksi dan kita marah kepada anak-anak. Tapi kalau kita sadar ini adalah proyek Tuhan maka kita bisa membesarkan, kita jaga sebaik-baiknya "Itu biasa! Kalau anak-anak remaja mulai dekat dengan teman dan tidak terlalu mau dengan kita. Itu tidak menjadi masalah tapi kita tahu kita tetap berarti buat dia. Nanti kalau mereka sudah memasuki fase remaja mereka akan kembali lagi menghargai kita."
GS : Kadang-kadang ucapan/kata-kata atau bahkan nasehat itu juga bisa memperburuk hubungan kita dengan anak remaja kita, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Kita mesti menjaga kata-kata atau ucapan kita atau perlakuan kita, jangan sampai kita mengatakan atau melakukan hal-hal yang nantinya anak kita sesali dan kita haus ingat prinsip ini.

Dia mungkin sudah melupakan apa yang sudah terjadi di masa kecil namun dia akan sukar melupakan apa yang dialaminya pada masa remaja. Kenapa? Sudah tentu karena pada masa remaja dia sudah lebih besar, dia sudah lebih ingat dan mengerti. Anak-anak kecil mengalami banyak hal yang nantinya dia akan lupakan, mungkin kalau kita prosentasekan hanya 10% dari memori masa kecil yang kita nanti bawa ke masa dewasa tapi besar kemungkinan 60-70% memori masa remaja kita bawa sampai usia dewasa karena jaraknya lebih dekat dengan usia dewasa. Dan di usia remaja kita lebih mengerti sehingga kita akan lebih bisa memaknai perlakuan atau ucapan orang tua. Misalkan tanpa kita sadari saat kita sedang marah, kita berkata kepada anak kita, "Saya menyesal punya anak kamu." Itu bisa ditafsir oleh anak bahwa benar Mama atau Papa benar-benar menyesal mempunyai saya sebagai anak. Tidak heran sikap-sikapnya dulu seperti ini dan itu dan anak sudah mulai merangkai dan memaknai dengan sebuah pemaknaan yang lebih logis. Kalau sampai Mama/Papa berkata seperti itu, itu merupakan cetusan hatinya sehingga itu berdampak lebih besar terhadap dirinya. Kalau anak kecil yang berumur 6 tahun dan Mamanya berkata seperti itu mungkin 2 hari lagi dia juga sudah lupa dan tidak ingat dan anak kita juga tidak tahu artinya, pengertiannya tidak seperti waktu dia sudah remaja. Maka hati-hatilah dengan ucapan dan perlakuan kita sebab inilah yang akan dia ingat di masa-masa dewasanya.
GS : Jadi kalau begitu langkah-langkah apa yang Pak Paul ingin sampaikan supaya hubungan antara orang tua dan remaja ini bisa terjalin kembali dengan baik?

PG : Yang pertama yang saya sarankan, ambillah langkah mengatakan kepada anak bahwa kita merindukan sebuah relasi yang akrab dengan dia. Jadi kita dengan terbuka berkata kepada dia, "Saya inginmempunyai relasi yang lebih akrab denganmu."

Jadi kita tidak datang kepadanya memarahinya dan berkata, "Kamu kenapa menjadi seperti ini, kamu kenapa begitu, kenapa kamu berbuat begini begitu," kalau anak remaja mendengar kata-kata seperti itu yaitu menyalahkan dia maka keinginannya untuk berelasi dengan kita langsung padam. Langkah kedua ialah datanglah dan akuilah bahwa kitalah yang merindukan sebuah relasi yang akrab dengannya, misalkan kita menyadari bahwa ada kesalahan yang telah kita lakukan maka akui dan minta maaf, jangan takut kalau nanti anak tidak hormat kepada kita kalau kita tidak minta maaf kepadanya. Justru waktu dia melihat kita berani minta maaf, itu akan mendekatkan kita dengan dia sebab dia akan melihat "Papa/Mama rupanya bisa mengakui kesalahan dan minta maaf," kalau begitu nantinya dia bisa lebih akrab, lebih bisa ngobrol dengan kita sebab Papa/Mama tidak lagi di atas tapi sekarang di bawah sejajar dengan saya, dan jangan menuntut anak meminta maaf terlebih dahulu. Ada orang tua yang berkata, "Yang penting anak dulu yang minta maaf, kalau dia tidak minta maaf kenapa saya harus meminta maaf duluan, inikan tidak lucu." Jadi menjadikan anak seperti musuh pribadi, bukan! Ini bukan musuh tapi ini adalah anak yang Tuhan percayakan kepada kita. Maka perlakukanlah dia sebagai seorang anak. Kitalah yang mengaku salah, tapi bagaimana kalau kita berkata, "Tapi saya merasa kalau saya tidak ada salah," mungkin kita tidak ada salah, tapi mungkin kita ada andil-andil atau bagian-bagian yang kita perlu katakan "Ya, kalau saja saya tidak mengatakan itu maka akan lebih baik." Kita mulai dari situ, kita mungkin tidak bisa berkata kalau itu sebuah kesalahan tapi kita harus akui.
GS : Memang ada orang tua yang berkata "Memang saya salah dan saya minta maaf, tapi yang memicu kesalahan itu kamu." Jadi berbalik lagi, anak remajalah yang bersalah.

PG : Betul, maka waktu kita bicara jangan sampai pembicaraan kita sependek itu "Saya minta maaf tapi kamu..." dan kemudian kita berbicara panjang lebar satu jam tentang kesalahan dia. Maka permntaan maaf kita tidak akan ada artinya.

Jadi kita hanya berbicara tentang kesalahan kita saja dan bukan kesalahan anak remaja kita. Dia tidak minta maaf pun tidak apa-apa, biarkan dia sendiri yang akan minta maaf kalau kita memaksa dia untuk minta maaf itu tidak ada gunanya karena tidak keluar dari hatinya. Berikutnya adalah kita mengungkapkan alasan dibelakang tindakan kita kepada dia misalkan pada umumnya ketakutanlah yang melatar belakangi perbuatan kita kepadanya maksudnya kita memarahi dia bergaul dengan teman-teman tertentu, kita kritis sekali dengan teman-temannya, karena dibelakang itu semua tersembunyi ketakutan kita, kita takut nantinya dia terseret oleh teman-temannya melakukan hal-hal yang salah sehingga akhirnya dia menghancurkan masa depan hidupnya, itu yang harus kita sampaikan, "Saya takut kamu begini, maka saya mengatakan hal-hal itu. Saya mengakui kalau bicara saya terlalu kasar. Saya memang salah bicara sekasar itu dan saya tahu itu menyakiti hatimu dan saya minta maaf. Tapi sekarang kamu tahu dibelakang itu, inilah masalahnya saya takut." Kemudian kita bawa ke point berikutnya di balik ketakutan kita, ada kasih kita yang besar kepadanya. Kita berkata, "Kamu tahu, kenapa saya takut? Saya takut kalau nantinya akan merusakkan masa depanmu, hidupmu. Kamu tahu kenapa saya takut? Sebab saya sangat mencintaimu, saya tidak mau ada apa-apa dengan hidupmu, saya mau yang terbaiklah yang nanti menimpa hidupmu dan bukan kemalangan, kasih saya yang memotivasi saya menjadi orang tua yang ketakutan dan akhirnya dalam ketakutan, saya kurang bijaksana memperlakukan kamu."
GS : Yang seringkali terbaca oleh remaja adalah bahwa orang tua tidak mempercayai dirinya sebagai anak remaja yang bisa mengatasi masalah-masalah itu?

PG : Dalam kasus seperti itu Pak Gunawan, memang kita harus introspeksi apakah kita yang terlalu berhati-hati, karena adakalanya anak remaja sudah mampu dan bisa dipercaya sehingga harusnya kit bisa melepaskan dia.

Tapi adakalanya memang kita tidak percaya sebab dia belum punya kemampuan itu dan kalau itulah duduk masalahnya, kita terus terang dan kita tidak perlu berputar-putar membuat-buat dalih dan kita katakan, "Ya, memang saya tidak percaya bahwa kamu bisa melakukan itu karena..." kita sebutkan bukti-buktinya. Sampai saya melihat perubahan dalam hidupmu, baru saya dapat percaya kembali. Disini kita menyodorkan anak akan realitas bahwa tidak ada kepercayaan gratis, kepercayaan harus dibeli dengan pembuktian, dia harus menunjukkan dalam hidupnya barulah kita bisa percaya kepadanya.
GS : Mungkin langkah lain yang bisa dilakukan apa, Pak Paul?

PG : Ungkapkanlah pengharapan kita kepadanya artinya apa yang kita inginkan darinya kita sampaikan, kita mau dia lebih fokus dengan pelajarannya, kita mau agar dia membatasi pergaulannya dan seagainya.

Tapi terus kita harus cocokkan itu dengan pengharapannya kepada kita, disinilah saatnya kita mendengarkan dia dan kita tanya, "Apa yang kamu harapkan atau apa yang kamu inginkan dari saya," kita cocokkan yang kita minta dan yang dia minta dari kita. Dan seringkali dalam proses ini dua-dua harus mengalah dan akhirnya bisa bertemu di tengah. Ada orang tua yang tidak mau mengalah dan waktu orang tua tidak mau mengalah anak juga tidak mau mengalah. Seringkali kalau orang tua berkata, "Baik saya mau mengalah, bagaimana kalau misalkan dari pada kamu pulang jam 2 atau 3 pagi, baiklah saya tunggu kamu sampai jam 12 malam. Kamu setuju atau tidak?" Misalkan si anak berkata, "Baiklah jam 10 malam tidak bisa Ma/Pa, masih banyak orang-orang, saya tidak bisa tinggalkan." Akhirnya kita ketemu di tengah. Dengan kata lain kita mau membangun sebuah sistem, dan ini yang penting, sehingga masalah yang kemudian timbul dapat diselesaikan dengan cara yang lebih sehat. Dengan kita mengajaknya berbicara seperti ini, kita sebetulnya membangun sebuah sistem sehingga lain kali anak tahu kalau ada masalah dia bisa bicara dengan kita dan dia pun tahu kita bisa bicara dengan dia. Sistem ini yang kita harus ciptakan dalam relasi dengan anak remaja.
GS : Mungkin ada hal terakhir yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Ini Pak Gunawan, kita katakan kepada anak kita bahwa, "Kita baru mengerti apa itu kasih," pada waktu pertama kali kita menggendongnya di tangan, kita katakanlah bahwa "Sampai kapan pun dandalam kondisi apa pun, kita akan terus mengasihinya," ini adalah janji yang kita buat kepada Tuhan.

GS : Jadi itu semacam komitmen yang anak harus tahu?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kita tekankan inilah kasih dan kita baru mengerti apa itu kasih sewaktu kita pertama kali menggendongnya di tangan kita, kita baru mengatakan luapan kasih yng begitu kuat dan begitu kudus pada anak.

Maka kasih inilah yang tetap kita miliki sampai sekarang dan sampai kapan pun dan dalam kondisi apa pun.
GS : Dalam hal itu apakah kita bisa meminta kepada anak remaja kita untuk juga membantu kita supaya kita tetap mengasihi dia?

PG : Boleh kita katakan, "Kamu sudah tahu isi hati saya, kamu juga tolong jaga relasi kasih ini, karena kasih perlu dijaga. Saling menghormati satu sama lain dan tolong kita saling jaga."

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa menjadi pegangan bagi orang tua?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 29:17, "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu." Kalau saja kita bisa menjahit relasi itu, membangu sebuah sistem dimana anak dan kita bisa membereskan masalah, maka kita akan memberikan ketenteraman kepada hidup kita dan memberikan kita sukacita.

Sebab anak-anak akan bisa bertumbuh besar sesuai dengan apa yang Tuhan tetapkan baginya.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menjahit Relasi dengan Remaja." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



82. Dekat Tapi Jauh


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T232A (File MP3 T232A)


Abstrak:

Sekalipun kita cukup dekat secara fisik dengan remaja kita karena masih serumah dengan kita, tapi seringkali terjadi salah mengerti dan akhirnya kita harus berteriak seolah-olah remaja kita itu memang jauh. Kita akan belajar apa itu remaja dan bagaimana menghadapi remaja?


Ringkasan:

Banyak orang tua yang mengeluhkan, kenapa anak remajanya bisa berbicara berjam-jam dengan teman-teman, tapi kalau dengan orang tua selalu bicara sepatah dua kata dan seringkali terjadi salah pengertian. Untuk itu perlu ada sesuatu yang menjembatani kesenjangan komunikasi Remaja dan Orangtua.

Kita akan melihat sedikit tentang Remaja :

  1. Masa remaja mencakup rentang usia antara 11-20 tahun. Di pengujung rentang usia ini, remaja "dituntut" untuk dapat bersikap hidup sebagai orang dewasa.
  2. Tugas terutama remaja dalam masa pertumbuhan ini adalah membentuk dan mematangkan jati dirinya. Jati diri remaja yang sehat merupakan perpaduan dari apa yang diterimanya dari orangtua dan apa yang diserapnya dari lingkungan.
  3. Di dalam lingkungan pergaulan itulah diri remaja mengalami KONFIRMASI dan UJIAN. Konfirmasi MENEGUHKAN, sedangkan ujian MENGGUGAT apa yang diyakini sebagai dirinya.
  4. Sebaliknya, di dalam keluarga, remaja pun mengalami hal yang sama yakni KONFIRMASI dan UJIAN terhadap siapa dirinya. Konflik muncul tatkala KONFIRMASI dan UJIAN dalam keluarga berbeda dari ujian dan konfirmasi dalam lingkungan.
  5. Di dalam kesenjangan inilah remaja biasanya hidup dan berkomunikasi dengan orangtua. Tidak bisa tidak, komunikasi dengan orangtua terpengaruh oleh KESENJANGAN ini.

Komunikasi dengan Remaja :

  1. Di dalam kesenjangan, remaja MENUTUP, MEMBATASI, MENDISTORSI, atau MEMBUKA alur komunikasi dengan orangtua. Keputusan ini bergantung pada apa yang diyakini remaja sebagai diri yang DIINGINKANNYA.
  2. Sebaik apa pun komunikasi remaja dengan orangtua di masa kanak-kanak, pada masa remaja, PERUBAHAN tetap terjadi. Akan ada masa di mana ia MENUTUP, MEMBATASI, atau MENDISTORSI komunikasi.
  3. Sebaik apa pun relasi orangtua dengan remaja, pada masa ini remaja cenderung memprioritaskan komunikasi dengan LINGKUNGAN PERGAULAN. Penemuan-penemuan baru dari lingkungan membuatnya BERGAIRAH berkomunikasi dengan teman.
  4. Kemajuan teknologi informasi membuat remaja makin CEPAT dan AKRAB dalam menjalin komunikasi dengan teman. Sedekat apa pun orangtua dan remaja, tetap akan jauh lebih dekat "tombol dan layar kecil" di tangannya (HP,Internet dan sebagainya).

Firman Tuhan :
"Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik. orang yang bijak lebih berwibawa dari pada orang kuat, juga orang yang berpengetahuan dari pada orang yang tegap kuat." (Amsal 24:3-5)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dekat Tapi Jauh". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, perbincangan kita kali ini tentang komunikasi dengan remaja. Memang betul, sekali pun kita dekat secara fisik dengan remaja kita karena masih serumah dengan kita, setiap hari kita berkumpul tapi seringkali terjadi salah mengerti dan sebagainya sehingga diperlukan kata-kata yang keras, apakah ini menjadi problem umum dari banyak orang tua?

PG : Memang ini adalah problem yang umum dialami orang tua, jadi saya ingin kita sebagai orang tua menerima hal ini bukan merupakan sesuatu yang luar biasa karena banyak orang tua yang juga hars mengalami problem yang serupa.

Ada orang tua yang mengeluhkan kenapa anak remajanya bisa berbicara berjam-jam dengan teman-teman, bisa berkomunikasi dengan asyik dengan mereka tapi kalau dengan orang tua selalu bicaranya sepatah dua kata dan seringkali terjadi salah pengertian. Orang tua bermaksud baik mengatakan sesuatu tapi anak salah paham dan anak seringkali bereaksi marah, dan kalau sudah marah selalu memberikan sikap tidak mau berbicara dengan orang tua. Ini adalah salah satu yang harus diterima oleh para orang tua dan yang penting adalah kita bisa terus menjaga supaya komunikasi tetap terjalin, hal ini yang kita akan angkat pada kesempatan ini Pak Gunawan.
GS : Dan kita mencoba menyamakan persepsi kita dulu tentang remaja ini siapa?

PG : Remaja adalah anak-anak yang rentang usianya itu kira-kira antara 11-20 tahun. Jadi remaja awal antara 11-13 tahun, remaja tengah antara 14-18 tahun sedangkan 19-20 tahun kita dapat kategoikan sebagai fase akhir dari masa remaja.

GS : Bagaimana dengan remaja akhir yang Pak Paul katakan, mungkin tanda-tandanya atau tanggung jawabnya?

PG : Biasanya seperti ini Pak Gunawan. Anak-anak itu sebetulnya mengawali masa remaja dalam kondisi kanak-kanak sekitar 10 tahun. Dalam rentang 10 tahun itu, anak-anak tidak boleh lagi menjadi nak-anak tapi mereka diharapkan setelah bertambah dewasa menjadi matang sehingga di akhir masa remaja, mereka akan dituntut untuk menjadi orang dewasa.

Mereka diharapkan dapat bertindak, berpikir, mengambil keputusan sama seperti orang dewasa. Jadi memang ini adalah sebuah tugas yang lumayan berat. Waktu anak-anak kecil, mulai mereka lahir sampai sekitar 10 tahunan tidak diharapkan untuk menjadi apa-apa, tetap diharapkan menjadi anak-anak. Sedangkan begitu masuk ke fase remaja, nantinya mereka diharapkan telah menjadi orang yang berbeda yaitu orang yang dewasa, tuntutan masyarakat pun terhadap mereka sudah berbeda. Ini adalah sebuah tugas yang diemban oleh remaja, kita sebagai orang tua memang seharusnya menolong mereka memasuki fase ini namun untuk bisa menolong mereka diperlukan komunikasi yang lancar, tanpa adanya komunikasi kita tidak mungkin bisa mengambil bagian dalam kehidupan dan pergumulan mereka.
GS : Tapi seringkali para remaja dibingungkan oleh ulah orang tuanya, di satu sisi orang tua menganggap mereka sudah besar karena sudah memasuki usia 13 tahunan ke atas, tapi di sisi lain orang tua masih menyebutnya anak-anak?

PG : Betul, Pak Gunawan. Dalam masa-masa ini seringkali ada kerancuan, di satu pihak orang tua mengharapkan mereka dewasa, lebih matang, lebih bertanggung jawab namun di pihak lain mereka juga asih disebut anak-anak jika meminta ini dan itu tidak boleh.

Tapi itulah bagian dari perkembangan remaja akan ada kerancuan-kerancuan seperti itu sebab mereka masih dalam transisi. Di satu pihak mulai menginjak remaja dan mendekati usia dewasa, di pihak lain mereka juga masih belum sepenuhnya dewasa, mereka belum mempunyai hak yang sama dengan orang-orang dewasa. Itu sebabnya orang tua masih bergegas mengawasi anak remaja dan harus membatasi ruang gerak mereka, melarang mereka untuk pergi dan sebagainya. Ini adalah salah satu dinamika pertumbuhan remaja, jadi selalu ada ketegangan-ketegangan. Disamping itu semua Pak Gunawan ada satu tugas yang harus diselesaikan oleh remaja yaitu mereka itu harus menjadi seseorang, mereka harus membentuk diri mereka. Jadi ini adalah tahap pembentukan jati diri, sehingga waktu remaja keluar dari usia itu, dia dapat berkata "Inilah saya," ini adalah produk akhir yang memang seyogianya dihasilkan oleh remaja. Kalau di usia remaja dia masih tidak tahu siapa dirinya, masih tidak bisa berperan dalam hidup, di dalam situasi yang berbeda mereka tidak bisa berperan dan dapat kita simpulkan dia memang akan mengalami masalah. Sebab diri yang nantinya akan terbentuk dalam remaja adalah diri yang di satu pihak kuat permanen, jelas, dia tahu kemampuannya, dan dia tahu kelemahannya, dia tahu dia mau apa dan dia tahu dia tidak mau apa, dia tahu dia suka apa dan dia tahu dia tidak suka apa, dia tahu kedepannya dia ingin menjadi apa dan sebagainya. Itulah bagian dari diri remaja yang permanen yang seyogianya nanti bertumbuh dalam diri si remaja setelah dia melewati fase itu. Namun di pihak lain diri yang permanen diperlukan untuk nantinya dia masuk kedalam berbagai lingkup pergaulan. Misalkan dalam teman-teman sebayanya di sekolah dia akan berperan sebagai orang tertentu, kemudian di gereja dia akan berperan lagi sebagai orang yang tertentu, waktu teman-temannya sedang bersedih dia tahu bagaimana berperan, teman-temannya sedang senang melakukan kegiatan bersama dia juga tahu bagaimana dia berperan. Jadi seyogianya diri yang telah dibentuk haruslah diri yang fleksibel yang tahu menempatkan perannya di dalam lingkup kehidupan yang memang dihadapi remaja. Kalau remaja tidak berhasil memainkan perannya dengan benar, nantinya dia akan mengalami benturan-benturan, misalkan di dalam pergaulan saat orang bersedih dia tertawa, orang sedang bersenang-senang tapi dia serius inginnya marah-marah, sehingga tidak bisa memerankan perannya dengan tepat. Diri inilah yang nanti seharusnya dihasilkan oleh seorang remaja. Jadi di tengah-tengah semua ini hiduplah si remaja, dia harus membangun sebuah diri yang belum matang, di pihak lain adanya kerancuan dengan orang tua yang kadang-kadang memperlakukan dia sebagai seorang anak, kadang-kadang menuntut dia menjadi orang dewasa. Di tengah begitu banyak kerancuan dan ketegangan, remaja itu bertumbuh dan berkomunikasi dengan kita.
GS : Berarti kalau remaja itu mempunyai jati diri yang sehat ada beberapa faktor yang mempengaruhi di dalam dirinya?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi remaja memang seyogianya untuk bisa membangun diri yang sehat, dia harus melewati yang saya sebut ujian dan konfirmasi. Ujian dan konfirmasi adalah, konfirmai adalah peneguhan tentang siapa dia.

Jadi di luar, anak-anak bergaul dengan teman-teman dan teman-teman mengatakan, "Memang kamu ini orangnya seperti ini, memang kamu orangnya ramah, memang kamu orangnya tidak suka kalau ada orang suka tidak bicara terus terang, kamu orangnya ingin berbicara terus terang dan sebagainya." Dia juga mendapatkan konfirmasi dari dalam rumahnya. Dia berpikir dia adalah orang yang tidak suka kalau orang tidak berterus terang, di rumah orang tua juga mengatakan hal serupa, ini adalah hal-hal yang saya sebut dengan konfirmasi. Ada juga yang namanya ujian, misalkan teman-teman di luar menggugat mengenai siapa dia. Artinya dia berpikir bahwa dirinya itu suka berterus terang tapi kemudian teman-temannya memberikan komentar, "Kamu ini orangnya tidak berterus terang, kalau kamu marah tidak kamu tunjukkan dan kamu itu diam dan kamu simpan sendiri," apa yang dia pikir sekarang digugat. Ini artinya ujian, dia diuji apakah hal itu benar tidak seperti yang dia pikir. Di rumah pun dia mendapatkan hal yang sama, hal-hal yang dia pikir dan tentang siapa dia kadang-kadang orang tuanya menyanggah "Tidak! Kamu tidak seperti itu, kamu bilang kamu orangnya terbuka kalau salah kamu minta maaf tapi buktinya dengan Papa dan Mama kamu tidak pernah minta maaf dan kalau kamu salah kamu diam saja, tapi kalau orang lain yang salah kamu menuntut untuk minta maaf." Jadi remaja secara konstan terus menerus menerima baik konfirmasi maupun ujian, inilah yang nantinya membentuk diri si remaja. Masalahnya biasanya timbul karena apa yang dikatakan oleh lingkungannya baik itu konfirmasi maupun ujian tidak sama dengan apa yang orang tuanya katakan baik konfirmasi maupun ujian. Bisa jadi orang tua mengkonfirmasi siapa dia dan teman-temannya justru menguji dan menggugat, "Kamu tidak seperti itu," berarti tabrakan, dia harus memutuskan siapa dia. Inilah proses pertumbuhan pembangunan sebuah jati diri memang tidak mulus dan seringkali bertabrakan, itu sebabnya tidak bisa tidak dia pun kadang-kadang bingung, tegang, dan dalam suasana hati yang seperti inilah dia berkomunikasi dengan orang tuanya.
GS : Di dalam hal konfirmasi bisa saja ada sifat-sifat positif yang tadi Pak Paul sudah sampaikan, tetapi bagaimana dengan sifat-sifat yang negatif, apakah itu juga akan dikonfirmasi oleh lingkungan atau oleh orang tuanya?

PG : Orang tua seharusnya mengatakan apa adanya, "Kamu tidak bisa mengatasi emosi kamu, kalau ada sedikit hal yang terjadi yang tidak sesuai dengan kehendak kamu, kamu sudah langsung marah." It adalah konfirmasi hal yang kurang positif tentang diri si anak dan kita juga perlu mencerminkan hal itu, dan mungkin sekali teman-teman juga bisa mengatakan hal yang sama atau justru kebalikannya.

Misalkan lingkungan justru seolah-olah bertepuk tangan kalau dia marah sebab di dalam lingkungannya anak yang seperti itulah yang dianggap jagoan, berani, bisa memarahi orang dengan sembarangan. Kalau itu yang terjadi si anak akhirnya akan lebih sering mengalami kebingungan, dia tidak akan lagi menemukan kecocokan dalam dirinya, sebab di dalam rumah berkata ini dan di luar rumah berkata lain. Maka orang tua juga harus memonitor pergaulan si remaja sehingga terlihat jelas apakah yang sebetulnya lingkungannya katakan kepada anak kita.
GS : Jadi sebenarnya disini dibutuhkan orang-orang yang jujur mengenai siapa remaja ini, kalau tidak seperti itu maka dia akan menyulitkan dan bukan membangun si remaja ini?

PG : Betul, jadi yang utama diperlukan lingkungan atau orang tua yang jujur yang mengenal diri si remaja tapi di pihak lain sebenarnya sedapatnya lingkungan si remaja itu tidak berbeda dari orag tua.

Kalau si anak itu bergaul dengan teman-teman yang sama sekali bertolak belakang dari si orang tua hampir banyak dipastikan konflik dalam rumah tangga itu akan semakin berkobar dan itu sudah pasti. Itu sebabnya Pak Gunawan, kita sekarang bisa melihat kaitannya antara anak-anak yang di dalam rumah dan anak-anak yang di luar rumah, mirip dengan teman-temannya atau orang tua. Dan di luar rumah mempunyai dua pergaulan yang berbeda, yang mempunyai pergaulan yang berbeda itu akan lebih rentan mengalami konflik dengan orang tua sebab lingkungannya tidak sama, berarti apa yang dikonfirmasi oleh teman-teman tidak sama dengan apa yang akan dikonfirmasi oleh orang tua, apa yang akan digugat atau diuji oleh teman-teman tidak sama dengan apa yang akan digugat atau diuji oleh orang tua. Misalnya merokok, ada anak-anak yang di lingkungannya semua perokok, misalkan anak-anak SMP/SMA. Orang tua keduanya tidak merokok tapi si anak bergaul dengan teman-teman yang merokok, konfirmasi yang akan dia dapatkan ialah kalau merokok justru baik menjadi bagian dari mereka, kalau orang tuanya berkata, "Ini tidak baik, jangan kamu melakukannya." Dia akan terjepit di tengah kemungkinan besar dia nanti akan mendahulukan pandangan teman-temannya dan dia akan melawan orang tua. Saya tadi sudah singgung, penting orang tua itu mengenal lingkup pergaulan anak-anaknya, semakin berbeda dengan kita, semakin besar kemungkinan si anak nantinya juga akan bertentangan pendapat dengan kita.
GS : Apakah itu tidak bisa diantisipasi sejak awal, jadi sebelum anak ini mendapat konfirmasi dari teman-temannya orang tua sudah terlebih dahulu memberikan konfirmasinya?

PG : Sudah tentu kalau itu yang sudah terjadi Pak Gunawan, si anak sebetulnya akan lebih dipersiapkan, jadi seharusnyalah begitu. Sebab seharusnya waktu anak-anak mendapatkan konfirmasi siapa dri dia, itu harus terus dia dengar dari orang tua dan dia terima dengan baik dan dia tidak persoalkan atau gugat, dia terima dengan baik, ini sebetulnya nantinya akan cukup menentukan lingkup pergaulan apakah yang akan dipilihnya.

Kalau misalkan orang tuanya sering mengatakan kamu ini orangnya rohani, kamu orangnya senang membaca firman Tuhan, kamu ini orangnya senang melayani Tuhan. Konfirmasi-konfirmasi dari orang tua itu akan nantinya menentukan lingkup pergaulan seperti apakah yang akan dipilihnya karena dia melihat dirinya sebagai orang yang rohani. Misalkan dia bertemu dengan teman yang tidak rohani, yang tidak pusing tentang Tuhan dan tidak mau ke gereja dan sebagainya, maka dia secara otomatis akan berkata, "Saya tidak nyaman dengan teman-teman ini, hari Minggu saya mau ke gereja tapi mereka maunya main-main." Berdasarkan apa yang telah dia terima dari orang tua, saya adalah orang yang rohani, saya adalah orang yang cinta Tuhan, saya tidak mau melalaikan kewajiban saya berbakti kepada Tuhan dan dia akan berkata, "Saya tidak mau mempunyai teman-teman yang seperti ini," dan dia akan memilih teman-teman yang sesuai dengan dia. Ini duduk masalah dalam banyak kasus Pak Gunawan, karena banyak orang tua Kristen yang kurang berkomunikasi dengan anak-anak, kurang mengenal anak-anak, kurang memberikan peneguhan atau konfirmasi atau ujian-ujian kepada anak. Mungkin karena malam baru pulang, bertemu dengan anak hanya sebentar, mulai dari anak kecil tidak terlalu bergaul dengan anak. Modal dari orang tua berarti sedikit, bahan-bahan yang diterima dari orang tua berarti sedikit sekali. Begitu dia keluar dan bergaul, apa yang teman-temannya konfirmasikan tentang siapa dia itulah nanti yang akan dia terima. Begitu dia menerima dan semakin banyak yang diterimanya, mulai muncul warna aslinya di rumah, saat orang tuanya berkata sesuatu dia melawan dan orang tuanya kaget dan marah, "Kenapa anak saya menjadi seperti ini," orang tua luput melihat. Awalnya karena saya kurang memberi bahan kepada anak saya maka dalam kekosongan bahan si anak menerima bulat-bulat bahan-bahan dari teman. Orang tua sayangnya dalam kasus seperti ini kadang-kadang menyangkal tanggung jawabnya dan sering menyalahkan teman, "Lihat teman-temannya itu, mempengaruhi anak saya dan sebagainya." Mereka lupa bahwa awalnya mereka tidak cukup memberikan bahan kepada si anak itu.
GS : Kalau sampai terjadi seperti itu, anak cenderung tidak berani melawan orang tuanya, dia merasa masih tergantung pada orang tuanya walaupun dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh teman-temannya mengenai konfirmasi mengenai dia. Tapi sekarang bagaimana dia harus menghadapi orang tua ini, biasanya reaksinya apa, Pak Paul?

PG : Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang anak-anak suka lakukan, tapi intinya adalah dia akan memainkan komunikasi dengan orang tuanya sebab segala sesuatu muncul dari komunikasi, seperti oran tua marah, orang tua tahu, orang tua curiga, itu semua dari komunikasi, arus informasilah yang dia harus mainkan sekarang.

Misalkan dia akan membatasi arus informasi kepada orang tua, ada hal-hal yang terjadi misalkan temannya ulang tahun dan sebagainya, dia tidak menceritakan kepada orang tuanya, dia akan pilihkan informasi lain yang orang tuanya bisa terima. Atau selain dibatasi ada yang akhirnya mendistorsi Pak Gunawan. Artinya mendistorsi justru diputar balikkan atau berbohong kepada orang tua, ingin pergi bermain dengan teman ke internet tapi izinnya mau belajar ke rumah teman. Jadi anak mulai mendistorsi informasi. Atau yang ketiga, anak-anak itu menutup informasi. Ada anak-anak yang tidak mau bicara dengan orang tua, jika orang tua bertanya sesuatu dia tidak mau menjawab, kalau menjawab hanya sepatah dua patah. Yang penting dia tutup pintu informasi sehingga informasi tidak bisa keluar dan orang tua tidak punya jalur komunikasi dengan si anak. Itu adalah bentuk-bentuk reaksi anak terhadap kesenjangan yang tadi kita bahas dimana di dalam rumah dan di luar rumah sudah tidak sama, si anak akan memainkan jalur komunikasi ini.
GS : Dan itu akan lebih parah ketika orang tua semakin jauh dengan remajanya karena sejak awal sudah tidak punya kedekatan dengan mereka, sehingga ketika para remaja ini melakukan hal-hal seperti itu orang tua pun tidak mengerti bahwa dia diperlakukan seperti itu?

PG : Ada orang tua yang benar-benar memang buta terhadap semua hal ini, mereka terus melakukan dan mereka berpikir tidak ada masalah karena memang dari awalnya tidak begitu mengenal anak-anakny, orang tua tidak tahu tentang masalah anak-anaknya akhirnya dia berpikir baik-baik saja dan tenang-tenang saja sampai akhirnya ledakan masalah terjadi.

Kemudian baru orang tua melek mata, terburu-buru mencari pertolongan dan sebagainya. Jadi sekali lagi penting anak-anak itu dirawat, diawasi sejak kecil sehingga kita bisa mengikuti perkembangannya.
GS : Tetapi ada masalah lain yang dihadapi orang tua yaitu pola komunikasi terhadap anak ketika anaknya menjadi remaja, orang tua masih tetap memperlakukan sebagai anak-anak kecil sehingga ini menimbulkan kesenjangan diantara orang tua dan remaja?

PG : Ini poin yang benar dan baik sekali, adakalanya kita memang tidak begitu peka memperlakukan anak sesuai usia, kita masih dibayang-bayangi oleh gambar dia yang masih kecil, akhirnya kita meperlakukannya, mengajaknya bicara seperti kita mengajak seorang anak kecil, sudah tentu berbicara dalam konteks bergurau menunjukkan kemesraan kepada anak itu tidak masalah.

Namun terutama dalam hal-hal yang penting akhirnya orang tua itu tidak peka tetap saja memperlakukan anak dengan cara-cara yang sama. Misalnya memberikan instruksi kepada anak dan anak harus mengikuti, kalau anak tidak mengikuti instruksinya, dia tidak suka. Jadi benar-benar masih searah, begitu menginjak remaja orang tua lebih sering-seringlah harus bertanya, "Menurut kamu bagaimana? Mama mau mendengar pendapat kamu, Papa ingin tahu pikiran kamu? Bagaimana menurut kamu?" Jadi lebih seringlah melakukan pembicaraan seperti itu.
GS : Tetapi seringkali sekalipun orang tua itu sudah cukup baik berkomunikasi dengan remajanya, tapi ada saja remaja yang menutup diri?

PG : Kita tidak bisa hindari Pak Gunawan, sebaik apa pun relasi kita dengan si anak tatkala dia kecil, waktu dia memasuki usia remaja pada umumnya akan terjadi perubahan dan kita harus terima hl ini.

Dia akan mulai menjauh dan akan ada hal-hal yang dia tidak ingin katakan kepada kita. Ini adalah bagian yang alamiah yang memang dapat terjadi pada setiap rumah tangga. Dan juga sebaik apa pun relasi kita dengan dia, sebenarnya dia tetap ingin sedikit banyak berkomunikasi lebih akrab dengan teman-temannya sehingga komunikasi dengan teman menjadi sangat penting dan ditambah dengan kesamaan dunia, mereka menghadapi masalah yang sama dalam hidup, mereka akan lebih banyak bahan pembicaraan sehingga berbincang-bincang dengan teman benar-benar menjadi percakapan yang asyik. Orang tua harus mencoba bersikap baik, bisa terbuka dengan anak dan sebagainya, sebab tidak mungkin orang tua berkompetisi dengan teman-temannya. Apalagi di zaman sekarang, untuk mengalahkan sangat sulit karena komunikasi dengan teman-temannya bisa menggunakan dengan misalnya HP, email, chatting, anak-anak hanya tinggal melihat kemudian tangannya hanya tinggal klik klik sudah berkomunikasi dengan teman. Dan orang tua tidak mungkin berkomunikasi secepat itu dengan dia. Tapi tidak menjadi masalah, janganlah kita ingin bersaing dengan anak, memaksa si anak harus memilih kita, melarang mendahulukan teman dan sebagainya. Sebaiknya kita biarkan dan yang penting kita tetap menjalin komunikasi dengan dia meskipun sekarang dia sudah berbeda.
GS : Selama kita sebagai orang tua masih bisa tahu siapa temannya yang diajak berkomunikasi, sebenarnya kita merasa aman. Masalahnya adalah kadang-kadang kita sebagai orang tua sudah kehilangan jejak, siapa yang harus dihubungi, Pak Paul?

PG : Maka dalam kehidupan si anak, dari awal kita sudah harus dekat dengan dia sehingga dia merasa aman bercerita dengan kita tentang teman-temannya, atau kita membuka pintu rumah memberikan izn kepada dia membawa teman-temannya bermain di rumah sehingga kita tahu siapa mereka, ini akan menolong kita juga untuk percaya kepada anak, "Baiklah kamu bisa pergi dengan ini karena Mama/Papa kenal dia dan sebagainya."

Intinya kita memang harus bisa tahu memonitor sebagian besar teman-temannya sehingga kita pun bisa dengan lega, dengan tentram membiarkan dia meneruskan pergaulan dengan mereka.
GS : Jadi di dalam komunikasi ini dibutuhkan kedekatan fisik, bukan hanya orang bilang "Saya dekat," padahal kenyataanya tidak cukup dekat?

PG : Betul sekali Pak Gunawan ini poin yang sangat baik, orang tua tidak bisa berkata "Kami terbuka, dalam berkata berani terbuka dan apa adanya," tapi jarang bertemu. Kita memang secara fisik uga harus dekat, kita harus tahu apa yang terjadi dengan hidup dia.

GS : Dalam hal ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 24:3-5, "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berhara dan menarik.

orang yang bijak lebih berwibawa dari pada orang kuat, juga orang yang berpengetahuan dari pada orang yang tegap kuat." Disini ditekankan sekali pentingnya hikmat, kita bisa membangun rumah yang megah-megah bisa mengisinya dengan perabotan yang bagus dan mewah, tapi keluarga didirikan di atas hikmat bukan di atas kemewahan. Hikmat diperoleh tatkala orang tua mengerti siapa si anak, kita bisa mengarahkannya dengan benar.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan kali ini yang tentu sangat bermanfaat khususnya bagi para orang tua yang memiliki anak-anak remaja. Dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dekat Tapi Jauh" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



83. Berkomunikasi Dengan Remaja


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T232B (File MP3 T232B)


Abstrak:

Berkomunikasi dengan remaja ternyata menjadi masalah bagi banyak orang tua. Ada beberapa masalah yang akan diperbincangkan dan hal-hal yang harus dilakukan oleh orang tua mengenai masalah ini!


Ringkasan:

Masalah komunikasi bukan hanya masalah orang tua terhadap remajanya tapi juga masalah remaja terhadap orang tuanya. Dan orang tua sangat besar peranannya untuk bisa menjalin komunikasi dengan remajanya

Memelihara Komunikasi dengan remaja ialah sebagai berikut:

  1. HINDARI TUNTUTAN! Kebutuhan remaja akan orangtua jauh berkurang dibanding masa kanak-kanak; jadi, jangan menuntut tanggapan yang sama. Tuntutan menimbulkan KEENGGANAN dan RASA BERSALAH-yang akan memperburuk relasi.
  2. Menutup keran komunikasi dengan teman hanyalah akan menutup keran komunikasi dengan ORANGTUA. Sasaran orangtua bukanlah menutup komunikasi dengan teman melainkan MENJAGA komunikasi dengan orangtua agar tetap terjalin.
  3. Ketakutan utama remaja berkomunikasi dengan orangtua adalah takut DIHAKIMI atau DISALAHKAN. Jadi, perhatikanlah reaksi kita terhadap remaja agar tidak berlebihan. Bedakan masalah POKOK dan masalah SAMPINGAN.
  4. Ketakutan berikut adalah takut DISALAHPAHAMI, yang berbuntut pada pelarangan. Disalahpahami kerap muncul dari keterbatasan pengetahuan orangtua akan dunia remaja.
  5. Ketidaksukaan remaja berkomunikasi dengan orangtua adalah "tidak dianggap serius atau disepelekan." Apa yang PENTING bagi remaja malah disederhanakan atau dibuat bahan lelucon.
  6. Ketidaksukaan remaja dalam berkomunikasi dengan orangtua adalah "dibocorkan keluar." Apa yang dianggap sangat PRIBADI malah disebarkan keluar tanpa rasa bersalah sedikit pun.
  7. Faktor KESAMAAN merupakan faktor penting dalam berkomunikasi. Jadi, makin banyak kesamaan antara remaja dan orangtua, makin akrab komunikasi. Bangunlah kesamaan dan hormatilah perbedaan!

Pembicaraan yang Membangun:
Efesus 4:25 :
Buanglah dusta dan berkatalah benar! Remaja menghargai orangtua yang bersikap jujur dan tidak menutup-nutupi. Remaja bereaksi keras terhadap KEMUNAFIKAN! Efesus 4:26 :

Efesus 4:29 :
Efesus 4:32 :

Firman Tuhan:
"Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa." (Efesus 4:26)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berkomunikasi dengan Remaja". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, komunikasi dengan remaja rupanya menjadi banyak masalah dari orang tua. Masalah-masalah apa yang biasanya muncul dan bagaimana nanti mengatasinya?

PG : Salah satu keluhan orang tua tentang remaja adalah kita tidak bisa lagi memprediksi reaksi anak remaja. Jadi kita bermaksud baik, bicara baik-baik tapi tiba-tiba reaksi remaja itu negatif,marah-marah tersinggung.

Itulah hal-hal yang sering dialami oleh orang tua, itu sebabnya kita perlu memahami sebetulnya apa yang tengah terjadi pada si remaja dan setelah itu kita juga akan belajar bagaimana caranya membangun sebuah jalur komunikasi yang positif dengan remaja. Yang pertama yang akan sedikit saya uraikan adalah tentang memahami remaja, pada dasarnya remaja harus membangun sebuah diri, diakhir usia remaja seharusnyalah dia bisa menghasilkan sebuah diri yang utuh. Diri remaja itu dibangun di atas dua komponen yakni ujian-ujian dan konfirmasi. Konfirmasi adalah respons atau komentar dari lingkungan, dari orang tua yang membenarkan tentang siapa dia, dia ramah, orangnya suka berterus terang dan sebagainya. Ujian/menggugat adalah respons dari lingkungan atau orang tua yang mengatakan "Kamu tidak seperti itu." Di tengah-tengah antara orang tua dan lingkungan, disitulah remaja berdiri. Kadang-kadang ujian dari teman-teman muncul, "Kamu orangnya tidak berterus terang, kamu orangnya tidak rohani dan sebagainya," tapi orang di rumah mengatakan "Dia orangnya rohani dan sebagainya." Dengan kata lain adakalanya apa yang orang tua katakan dan teman-teman katakan berbeda dan dalam kondisi seperti ini, remaja bertumbuh sendirian. Dia akhirnya seringkali merasa terjepit ditengah-tengah, dalam keadaan terjepit dia harus mengikuti yang mana. Tidak heran dalam kondisi seperti ini remaja mudah tidak stabil, kadang-kadang reaksinya tidak bisa kita antisipasi, "Kenapa dia bisa marah, tersinggung walaupun sebetulnya kita berniat baik."
GS : Sebetulnya masalah komunikasi ini bukan hanya masalah orang tua terhadap remajanya tetapi juga masalah remaja terhadap orang tuanya, Pak Paul. Di sini peran orang tua sangat dibutuhkan oleh remaja, apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh orang tua, Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang akan saya bagikan dalam menjalin komunikasi dengan remaja, orang tua itu harus berusaha keras menghindar dari tuntutan karena kadang-kadang orang tua menginginkan kedekatn komunikasi dengan anak remaja akhirnya orang tua itu meminta dengan paksa dan marah, "Kenapa kamu dengan teman-teman seperti ini dan dengan kami tidak."

Jadi menuntut agar anak-anak itu lebih perhatian, lebih terbuka lebih sering bicara dengan orang tua dan sebagainya. Sudah tentu secara terbuka mengatakan kepada anak-anak, "Kenapa kamu jarang bicara dengan kami dan sebagainya," itu tidak apa-apa, tapi kalau dijadikan sebuah tuntutan yang keras, saya takut ada masalah yang mungkin timbul. Remaja menjadi enggan berbicara, dari pada dia berbicara, nanti menjadi ribut maka dia malas untuk berbicara dan dia tidak suka berbicara karena dipaksa. Atau ada juga ekstrem kedua yaitu ada anak-anak yang langsung ditindih oleh rasa bersalah, "Benar, kenapa saya tidak berbicara dengan Papa dan Mama," jadi dia merasa bersalah, harus bicara padahalnya dia tidak ingin bicara dan sebagainya. Ini yang tadi saya katakan sebaiknya orang tua menghindar dari tuntutan-tuntutan, kita mau menjalin komunikasi dengan dia tapi jangan menuntutnya untuk berkomunikasi dengan kita. Semakin kita menuntut, kita takut hasilnya semakin buruk.
GS : Memang sebaiknya daripada menuntut lebih baik kita membangun jembatan untuk berkomunikasi dengan remaja. Jadi kita yang harus berinisiatif memberi pokok-pokok pembicaraan yang bisa memancing adanya komunikasi itu?

PG : Betul dan ini nanti yang akan dilihat oleh remaja bahwa orang tuanya berusaha untuk mau dekat dengan dia, berkomunikasi dengan dia dan ini menjadi nilai tambah bagi si anak, jangan sampai rang tua melakukan hal yang satunya lagi yaitu orang tua mencoba menutup keran komunikasi antara dia dan teman-temannya.

Melarang, tidak boleh lagi berhubungan, tidak boleh lagi telepon dan sebagainya. Saya justru melihat upaya menutup keran komunikasi dengan teman-temannya itu tidak efektif, hampir dapat dipastikan orang tua yang menutup keran komunikasi anak dengan teman-temannya akhirnya menutup keran komunikasi antara dia dan anaknya. Anaknya tidak mau berkomunikasi dengan orang tuanya, justru kalau kita bisa membiarkan dia berkomunikasi dan membuka jalur komunikasi dengan kita itu yang lebih sehat. Saya hanya anjurkan untuk orang tua bersikap sangat tegas, kalau kita tahu jelas temannya memang orang-orang yang sangat bermasalah dan akan merusakkan anak kita, dalam kondisi seperti itu orang tua seharusnya bertindak lebih proaktif melarang dia berbicara dengan teman-temannya itu. Tapi kalau tidak, sebaiknya jangan karena kita sebetulnya hanya akan menutup komunikasi dengan anak kita sendiri, akhirnya dia tidak mau berbicara dengan kita.
GS : Jadi pelarangan untuk berkomunikasi dengan teman itu sebatas perlindungan kita terhadap remaja kita Pak Paul, bukan karena kita takut bersaing dengan teman-temannya, karena kita hanya berdua suami istri dan teman-temannya bisa puluhan atau ratusan, jadi tidak mungkin untuk bersaing dengan mereka?

PG : Betul sekali, jadi orang tua disini perlu berhikmat. Kadang-kadang karena terlalu bergebu-gebu untuk marah, emosi, mencoba melarang menutup komunikasi dengan teman-temannya akhirnya si ana tidak mau berkomunikasi dengan kita.

Lebih baik kita menyadari, sesungguhnya apa yang membuat anak tidak mau berkomunikasi dengan kita. Misalkan salah satunya yang umum adalah anak-anak cenderung mempunyai persepsi dan kita akhirnya menyalahkan dia, menghakimi dia, dia mau berbicara terbuka tapi nanti dia dimarahi, disalah-salahkan, dihakimi dinilai anak itu anak yang tidak baik, dinilai anak itu sudah rusak dan sebagainya. Atau dia menceritakan tentang teman-temannya, dia mau bercerita apa adanya kepada orang tua tapi kita menjadi marah, "Lihat teman-teman kamu begini, nanti kamu juga akan seperti itu juga, lihat teman-teman kamu nakal dan sebagainya." Ini sebetulnya reaksi-reaksi yang orang tua terlalu mudah cetuskan sejak anak kecil, Pak Gunawan. Saya berikan contoh, berapa seringnya orang tua jalan-jalan dengan anaknya, misalkan yang masih berumur lima tahun dan anak itu kemudian tersandung sehingga jatuh, mungkin lebih dari separuh orang tua akan marah, "Kamu berjalan tidak melihat jalanan, makanya Mama bilang apa jangan melihat ke mana-mana dan mata lihat ke bawah," anak dimarahi! Jadi mudah sekali orang tua memberi respons menghakimi, memarahi menyalahkan anak untuk sesuatu yang sebetulnya manusiawi atau alamiah dan tidak bisa dicegah. Bagi anak-anak, nanti hal itu akan terbawa sampai usia remaja. Akhirnya anak baru bercerita tentang temannya misalnya seperti tadi temannya ketahuan nyontek dan sebagainya, orang tua tidak berbicara bahwa temannya memang bisa 'nyontek' dan sebagainya. Tapi kita sudah langsung berkata kepada si anak "Kamu juga jangan ikut-ikutan, makanya Mama bilang apa? Jangan bermain dengan dia. Papa sudah bilang kamu jangan bergaul dengan si anak, lihat si anak itu 'menyontek' dan sebagainya." Memang kita itu takut ada apa-apa dengan si anak tapi terlalu akhirnya keluar perkataan yang menghakimi, menyalahkan si anak, itu akhirnya membuat si anak tidak mau lagi berkomunikasi dengan kita.
GS : Jadi selain waktu untuk berkomunikasi itu sangat pendek, waktu yang pendek itu juga dipakai untuk menghakimi dan menyalahkan, jadi anak semakin enggan, Pak Paul?

PG : Betul, akhirnya dari pada nanti disalahkan, dimarahi, dihakimi maka dia tidak mau berbicara. Yang tidak separah itu tapi juga lumayan buruk adalah kita tidak paham dengan dunia anak, akhirya kita sering salah paham dengan anak.

Misalnya ada orang yang kadang-kadang bicara "Anak-anak jangan di ijinkan untuk menonton film ini atau nonton sinetron ini atau jangan dengarkan lagu-lagu ini dari band ini, karena band-band itu sebetulnya rusak dan sebagainya." Orang tua tidak tahu tentang band, tidak pernah mendengar lagunya tapi langsung melarang anak, "Tidak boleh kamu menonton yang seperti ini," atau lagu ini tidak rohani dan kamu harus mendengarkan yang seperti ini. Padahal titik masalahnya adalah orang tua tidak paham dengan yang sebetulnya anak lakukan, tapi karena orang tua tidak paham maka langsung salah paham, anak akhirnya malas berkomunikasi. Contoh yang lebih mudah adalah misalnya sekarang ini anak-anak suka memakai anting sebagai asesoris dan ada orang tua yang langsung berkata "Tidak boleh, anting itu artinya apa?" akhirnya karena orang tua tidak paham maka tidak bisa. Contoh yang lain lagi misalnya adalah ada orang tua yang melarang anaknya untuk menonton atau memakai simbol-simbol tertentu dari tim-tim sepak bola dan sebagainya yang kadang-kadang memang nama-namanya menyeramkan tapi sebetulnya hanya nama, tapi akhirnya orang tua marah, tidak suka, melarang dan sebagainya. Ini sering terjadi karena orang tua kurang paham akan dunia remaja akhirnya membuat orang tua mudah salah paham dan anak merasa "Baiklah kalau begitu, semakin sedikit orang tua tahu maka semakin baik."
GS : Memang sering kali lebih mudah kita menuntun remaja untuk memahami kita dari pada kita sebagai orang tua memahami remaja sehingga seringkali disana timbul benturan-benturan?

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Memang ada kepentingan kita misalkan kita tidak mau orang salah sangka tentang anak kita, "Kenapa anak kita seperti ini," sehingga kita melarang anak-anak kita. engan kata lain kita menuntut anak-anak masuk ke dunia kita dan memahami dunia kita, tapi di saat yang bersamaan kita itu gagal untuk masuk ke dunia dia dan memahami dunia dia bahwa dalam dunia dia, dia juga perlu penerimaan dan pengakuan dari teman-temannya.

Ini salah satu hal yang harus dipahami oleh orang tua. Hal lain lagi yang juga perlu kita pahami sebagai orang tua yang sering kali mencederai komunikasi kita dengan anak adalah anak-anak akhirnya malas berbicara dengan kita karena dia merasa kita terlalu cepat menyepelekan dia. Hal yang dianggap penting olehnya dia ceritakan kepada kita, kita anggap remeh, dia cerita dengan susah payah tapi akhirnya kita berkata "Baik, bagus hati-hati dan sebagainya," komentar kita pendek-pendek, padahalnya dia mau bicara tentang hal yang sangat penting bagi hidupnya, tapi kita menjawabnya semau kita, sekehendak kita. Kita sedang repot, kita sedang melakukan sesuatu akhirnya si anak berkata, "Untuk apa cerita pada Papa/Mama, percuma. Saya bicara hal yang saya anggap penting dijawab dengan begitu ringan dan sepele," akhirnya dia malas. Sedangkan kalau dia berbicara dengan temannya mengenai cerita yang sama, temannya akan menanggapinya dengan serius. Kenapa begitu? Ada apa? Kenapa bisa begini, dan sebagainya, makanya dia berkesimpulan lebih baik berbicara dengan teman dan ditanggapi serius sedangkan dengan orang tua tidak ditanggapi dengan serius.
GS : Memang itu keterbatasan orang tua, mungkin kita bukan tidak mau menanggapinya secara serius tapi saat itu kita sedang lelah atau kita sedang sibuk, waktunya saja yang tidak tepat, Pak Paul.

PG : Seringkali itu memang sering terjadi, namun saya sarankan begini. Kalau sampai anak remaja mau bercerita kepada kita, kita harus benar-benar berusaha sekuat tenaga mendengarkannya sengan srius sebab itu sebuah kemewahan, sesuatu yang memang bagus dan luar biasa karena kalau tidak akan tertutup komunikasi dan lebih banyak komunikasi dengan remaja yang tersumbat.

Jadi kalau anak kita mau cerita sedapatnyalah kita prioritaskan meskipun kita letih tapi kita mencoba mendengarkan, kalaupun kita tidak bisa dengarkan, kita bisa katakan "Hari ini Papa sangat letih sekali, besok kita bicarakan Papa mau dengarkan lagi." Dan besoknya kita tanya dia, kita ingatkan dia dan kita katakan sekarang Papa siap dengarkan.
GS : Tapi kadang-kadang remaja berkata, "Kurang seru, serunya itu sekarang."

PG : Kalau sampai terjadi, saya berharap para orang tua untuk bisa berkorban dan dengarkan dia dan berikan tanggapan-tanggapan yang serius. Yang berkaitan juga dengan hal ini adalah kalau remaj mau menceritakan hal yang pribadi meskipun dia tidak berkata "Jangan ceritakan kepada orang lain," itu sudah pasti ada dalam tuntutannya "Jangan ceritakan kepada orang lain."

Kadang-kadang orang tua itu tidak menyadari dan akhirnya mencetuskannya keluar. Misalnya si anak bercerita bahwa dia tidak suka dengan beberapa temannya dan kemudian kita dalam pertemuan ada teman-temannya lalu kita ajak bercanda dan kita berkata, "Mana mungkin anak saya tidak suka dengan kalian padahal kalian ini anak-anak baik," maka anak itu langsung kaget dia akan berkata "Mama/Papa berkata kepada teman-teman apa yang telah saya sampaikan," atau mungkin kita menjawab, "Ya, tapi itu adalah yang kamu bicarakan kepada saya," seolah-olah kita tidak bersalah. Kalau seperti itu maka si anak akan berjanji, dia tidak akan berbicara lagi dengan kita.
GS : Ini masalah kepercayaan yang diberikan remaja kepada kita, memang seharusnya kita jaga dengan baik, itu merupakan hak pribadi dia. Tapi akan lebih jelas bagi kita sebagai orang tua kalau dia mengatakan, "Hal itu jangan diceritakan," kita memilah-milahnya agak sulit antara mana yang boleh di teruskan dan tidak, Pak Paul?

PG : Dan kalau itu yang terjadi memang kita kurang jelas, maka kita bisa langsung tanyakan kepada dia apakah hal ini mau kamu rahasiakan atau kamu mau saya bicarakan nanti dengan orangnya. Misakan dia berkata, "Tidak apa-apa," maka kita bisa bicara.

Kalau misalkan dia berkata, "Jangan" maka kita jangan katakan kepada orang lain. Jadi kalau kita tidak yakin lebih baik jangan katakan, kita hanya katakan kalau kita yakin dia tidak apa-apa. Di atas yang semua tadi sudah saya katakan yang "jangan" "jangan" itu, saya mau tambahkan sesuatu yang positif yaitu untuk bisa menjalin komunikasi dengan anak orang tua harus membangun komunikasi dari kesamaan. Sebab itulah caranya relasi dibangun sewaktu orang bisa berbagi kesamaan dan membicarakan kesamaan. Orang tua harus jeli melihat hal-hal yang sama antara dirinya dan anak-anaknya dan melakukan kegiatan bersama, membicarakan hal-hal yang sama karena sudah pasti itu akan sangat mendekatkan. Sebagai contoh misalnya anak saya yang pertama dan yang ketiga kebetulan mempunyai minat terhadap masalah-masalah relasi, psikologis dan sebagainya. Jadi mereka cukup sering bertanya kepada saya berbicara masalah-masalah seperti ini. Sebaliknya anak saya yang kedua memang dia mendalami musik maka dia sering berbicara dengan istri saya yang juga mendalami musik, mereka sering berbicara dan kadang-kadang saya melihat mereka berdua mendengarkan musik tertentu berdua. Sekali lagi ini semua dibangun diatas kesamaan, orang tua harus jeli melihat apa kesamaan dia dengan anak dan berbagilah di dalam aktifitas dan pembicaraan dengan si anak.
GS : Bagaimana kalau saat itu tidak ada yang sama antara minat anak terhadap orang tuanya?

PG : Kalau memang sampai tidak ada yang sama maka kita bisa mencari topik yang si anak sukai dan senangi dan kita banyak bertanya, mau tahu, mempelajari. Saya ingat misalkan dulu sewaktu anak-aak mulai suka lagu band-band remaja, saya tidak tahu band-band yang baru, maka saya dengarkan bersama dia.

Misalkan lagu-lagunya "westlife" atau lagu-lagu yang lainnya. Jadi saya mencoba mendengarkan bersama mereka, ini lagunya, ini nama bandnya sehingga saya bisa berbicara dengan dia tentang hal-hal yang sama itu.
GS : Jadi tetap perlu dicari kesamaan pokok pembicaraan terutama yang menarik untuk remaja itu?

PG : Betul sekali.

GS: Apakah ada pembicaraan yang bisa membangun, jadi komunikasi yang bisa membangun itu yang menjadi tujuan Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Ini ada beberapa masukan yang akan saya petik dari firman Tuhan mudah-mudahan ini bisa membantu kita membangun komunikasi dengan anak-anak sehingga pembicaraan kta bukan pembicaraan yang menukik, menyerang anak, menegatifkan apa yang anak-anak katakan tapi justru mengeluarkan hal-hal yang positif sehingga bisa membangun si anak.

Saya akan ambil dari Efesus 4, saya akan bahas misalkan ayat 25 "Buanglah dusta dan berkatalah benar." Orang tua harus menerapkan ini, remaja menghargai orang tua yang bersikap jujur dan tidak menutup-nutupi. Justru kalau kita mencoba menutup-nutupi, remaja bereaksi keras sebab remaja itu idealistik. Mereka cenderung langsung berpikir ekstrem, orang yang menutupi berarti orang yang munafik. Kita mengerti bahwa kadang kita menutupi sesuatu dan itu tidak berarti kita itu munafik, kita belum siap saja berbicara dan sebagainya, tapi remaja belum bisa berpikir seperti itu jadi cenderung menarik kesimpulan yang ekstrem, "Mama/Papa saya berarti munafik karena berbicara hal yang ini dan tidak berbicara hal yang itu." Maka saya rasa keterbukaan, kejujuran ini penting sekali untuk remaja lihat pada diri kita. Apa pun yang kita rasakan, alami kalau juga pernah kita lakukan atau kita mempunyai kelemahan di situ, beranilah untuk bercerita, beranilah untuk berkata "Saya pun bergumul hal yang sama dan sebagainya." Remaja justru sangat menghargai sikap kejujuran dari orang tua.
GS : Disamping kejujuran juga keterbukaan, hal-hal yang dikatakan negatif misalnya orang tuanya sudah tidak lagi bekerja. Apakah bisa dibicarakan secara langsung kepada para remaja ini?

PG : Bisa. Dari pada menyalahkan anak, misalkan orang tua sedang mempunyai masalah keuangan dan kemudian anak meminta uang, orang tua langsung marah dan menyalahkan si anak dan sebagainya. Daripada menyalahkan anak dan memarahi anak, kita berkata terus terang saja, "Saya tidak bisa memberikan uang itu karena saya tidak punya uang, kamu tahu kalau kami sedang kesulitan keuangan.

Jadi tolong kita sabar, sementara ini kita tidak perlu membeli ini dan itu." Keterbukaan seperti itu dihargai oleh remaja, justru kalau kita memarahi dia, dia akhirnya semakin tidak mau dekat dengan kita. Ingat kita sedang membicarakan percakapan yang membangun. Percakapan yang membangun adalah percakapan yang jujur yang terbuka bukannya justru menyalahkan orang lain.
GS : Termasuk juga kita tidak boleh mendustai walaupun dalam rangka untuk kebaikan si remaja, Pak?

PG : Betul sekali. Jadi kita memang jangan sampai akhirnya berkata-kata hal yang tidak benar kepada anak kita, itu akan membuat anak-anak tidak percaya kepada kita dan tidak bisa terlibat percaapan yang membangun dengan kita.

GS : Yang berikutnya apa Pak Paul?

PG : Firman Tuhan di Efesus 4:26 berkata, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa." Jadi artinya ada waktunya marah, ada waktunya tidak marah. Kita orang tua bisa marah itu tidk apa-apa, ini yang penting, sewaktu marah jangan menyakiti hati anak dengan cara menolak atau menghinanya.

Adakalanya kita sedang marah, kita benar-benar menghina si anak atau menolak keberadaan atau kehadiran dia, "Menyesal saya punya anak kamu kalau tahu seperti ini lebih baik kamu tidak lahir dan sebagainya, lihat anak orang lain seperti ini," perkataan-perkataan seperti itu akan menjatuhkan si anak dan membuat dia akhirnya merasa "Saya sudah tidak artinya, saya sudah tidak ada harganya di mata atau di hati Mama dan Papa." Dan setelah kita marah berdamailah kembali dan ajaklah anak berbicara, jangan berdiam diri, itu merupakan situasi yang sangat canggung dan tidak enak. Jadi berdamailah kembali, jangan justru kita menunggu si anak dulu yang berbicara dengan kita tapi kitalah yang harus memberi contoh. Kadang-kadang orang tua berpikir kebalikannya, "Dia adalah anak, dia yang harus meminta maaf terlebih dahulu." Kalau kita seperti itu berarti kita menempatkan diri kita sederajat dengan si anak, seperti anak kecil dengan anak kecil yang bermusuhan, kita orang tua justru harus memberikan contoh kepada si anak. Kalau orang bertengkar ada permusuhan maka orang harus berbaikan kembali, ini contohnya kami menghampiri kamu kami mengajak kamu berbicara kembali.
GS : Kalau orang tua mempunyai kesulitan di dalam hal memulai, apakah pasangannya bisa membantu? Misalnya antara ayah dan anak remajanya yang terjadi konflik, apakah ibu atau Istrinya bisa membantu, Pak Paul?

PG : Kalau sampai ada konflik dan istri bisa membantu untuk berbicara dengan si anak, silakan. Tapi yang penting adalah si istri itu tidak menempatkan diri sebagai misalkan sekutu anak-anaknya elawan si ayah.

Tapi ada kasus-kasus yang memang sangat parah misalkan jelas-jelas si ayah itu bermasalah memukuli anak seenaknya dan sebagainya. Dalam kondisi seperti itu, si ibu saya kira tidak apa-apa harus membela anak-anak, harus bersekutu dengan anak-anak, menunjukkan pengertiannya atas derita yang mereka alami itu, tidak apa-apa dalam kasus yang ekstrem seperti itu. Kalau tidak seburuk itu maka tidak apa-apa, Ibu bisa menjadi pendengar melihat duduk masalah kemudian mencoba mendamaikan antara ayah dan anak-anaknya.
GS : Mungkin ada hal terakhir yang ingin Pak Paul usulkan untuk pembicaraan yang membangun ini?

PG : Di Efesus 4:29 firman Tuhan berkata, "Jangan ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun." Artinya kita membangun lewat perkataan yang baik bukan lewat perkataan yang kasar atau kotor.

Jadi penting sekali kita menyoroti sisi baik dari si anak, saat berbicara dengan dia cobalah cari hal-hal yang baik tentang anak-anak kita dan sering-seringlah mengangkat itu, jangan takut anak menjadi sombong. Kalau dia sombong maka kita tegur, kita memberikan tanggapan tapi kalau misalkan tidak maka silakan, sebab waktu dia mendengar hal-hal yang baik dari kita, dia akan lebih mau nantinya untuk berbuat seperti itu lagi. Jadi kita membangun orang lewat hal-hal yang positif bukan dengan cara menyoroti hal-hal yang negatif. Di akhir semuanya itu Efesus 4:32 berkata, "Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni." Ini pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada setiap kita orang tua, bercermin dan bertanyalah apakah sikap kita terhadap anak ramah, penuh kasih mesra dan pengampun? Jangan sampai anak melihat kita kebalikannya, tidak ramah, tidak ada kasih mesra dan tidak berpengampunan.
GS : Pak Paul, kalau masalah itu belum terselesaikan sampai remaja ini menjadi dewasa, apakah masalah itu juga akan terbawa?

PG : Biasanya begitu, Pak Gunawan. Biasanya anak-anak akan menjaga jarak dengan orang tuanya karena mereka sudah berkesimpulan mereka tidak mungkin dekat dengan orang tua dan bukankah kalau ituterjadi itu patut disayangkan orang tua pun akhirnya harus kehilangan si anak bukan untuk waktu yang sementara, tapi untuk waktu yang sangat panjang.

GS : Karena itu ada remaja yang lebih senang keluar dari rumah, Pak Paul?

PG : Ada sebagian yang akhirnya terburu-buru, kalau bisa keluar dari rumah karena tidak mau hidup terlalu dekat dengan orang tuanya.

GS : Atau sebaliknya orang tua yang setengahnya agak mengusir?

PG : Ada juga yang seperti itu.

GS : Ini sesuatu masalah yang tidak mudah, tapi bisa dilakukan komunikasi yang baik antara orang tua dan remaja sehingga saling membangun, Pak Paul.

PG : Tepat, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berkomunikasi dengan Remaja" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



84. Tegas Pada Tempatnya


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T235A (File MP3 T235A)


Abstrak:

Anak memerlukan disiplin sebab tanpa disiplin anak tidak akan mengalami pertumbuhan yang utuh. Tanpa disiplin anak cenderung hidup berdasarkan suasana hati dan hasrat belaka, tidak memiliki energi untuk memotivasi diri guna mencapai target. Tapi masalahnya adalah kadang kita bersikap tegas tidak pada tempatnya. Alhasil bukan disiplin yang terbentuk melainkan pemberontakan.


Ringkasan:

Anak memerlukan disiplin sebab tanpa disiplin anak tidak akan mengalami pertumbuhan yang utuh. Tanpa disiplin anak cenderung hidup berdasarkan suasana hati dan hasrat belaka, tidak memiliki energi untuk memotivasi diri guna mencapai target. Sikap tegas diperlukan untuk menerapkan disiplin sebab tanpa sikap tegas disiplin akan kehilangan roh kekonsistenannya. Masalahnya adalah kadang kita bersikap tegas tidak pada tempatnya. Alhasil bukan disiplin yang terbentuk melainkan pemberontakan.

Apa artinya bersikap tegas kepada anak?

Bersikap tegas adalah tidak menuruti kehendak atau permintaan anak. Ingat: anak selalu meminta sesuatu pada kita; tugas kita adalah menentukan kapan menuruti keinginannya dan kapan tidak menuruti keinginannya.

Kadang kita keliru menyamakan sikap tegas dengan tindakan berikut ini:

Suara yang keras. Sikap tegas tidak selalu harus ditunjukkan lewat suara atau teriakan yang keras.

Disiplin yang keras. Sikap tegas juga tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk pemukulan.

Aturan yang keras. Sikap tegas juga tidak sama dengan aturan yang keras.

Tuntutan yang tinggi. Sikap tegas tidak identik dengan tuntutan yang kaku dan tidak mengenal kompromi.

Jadi, bagaimanakah caranya kita dapat bersikap tegas dengan tepat? Pada dasarnya untuk dapat bersikap tegas dengan tepat kita harus mengenal anak dengan baik. Ingat: kita bersikap tegas demi dia, bukan untuk kita (dilihat tegas). Jadi, karena ini untuk kepentingannya, maka kita pun harus memahami kebutuhannya dan apa yang penting baginya. Makin kita mengenalnya, makin tepat sasaran sikap tegas kita. Untuk membedakan untuk siapakah kita bersikap tegas, bertanyalah, "Apakah alasan sesungguhnya saya tidak menuruti keinginannya?" Jika kita jelas tahu bahwa sikap tegas ini bukanlah untuk diri kita, silakan gunakanlah panduan berikut ini.

Kita perlu bersikap tegas bila kita tahu bahwa keinginannya akan berakibat buruk baginya.

Kita perlu bersikap tegas bila keinginannya akan merugikan atau melukai orang lain.

Kita perlu bersikap tegas bila keinginannya akan memberinya keuntungan tetapi melibatkan dosa.

Kita perlu bersikap tegas bila keinginannya akan membuatnya memandang dirinya secara negatif.

Bila panduan di atas ini tidak berlaku baginya, silakan ikuti keinginannya. Anak pasti menghargai orangtua yang menuruti keinginannya secara bijak.

Firman Tuhan:

"Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah sepertibuah apel emas di pinggan perak." (Amsal 25:11)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tegas Pada Tempatnya". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita mau coba terapkan ketegasan kepada anak-anak kita sedini mungkin tetapi orang tua merasa serba salah, kadang-kadang ditegasi anak menjadi penakut tapi dilepaskan anak jadi kurang ajar, ini sebenarnya bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi memang kita harus tahu Pak Gunawan, kapan itu waktunya tegas dan kapan kita justru tidak perlu tegas. Untuk bisa mengetahui kapannya ini, memang diperlukan sebuah hikmat Pak Gunawan. adi Pak Gunawan sudah singgung kalau kita kebablasan tegas dalam segala hal akhirnya berakibat buruk, anak semakin ciut atau kalau anak itu keras pada akhirnya dia akan semakin memberontak atau kalau kita tidak bersikap tegas, sedangkan anak itu perlu ditegasi, jadi akhirnya apa yang terjadi? Anak itu jadinya tidak bisa mendengar perintah atau instruksi dan tidak menghormati orang, kehendaknyalah yang harus terjadi.

Inilah yang harus dipahami orang tua bahwa kita memang harus bersikap tegas tapi ada waktu-waktunya tidak bersikap tegas kepada anak. Ini yang akan kita pelajari namun sebelum kita melanjutkan, ada satu yang juga saya ingin uraikan yaitu apa yang saya maksud dengan bersikap tegas. Bersikap tegas adalah tidak menuruti keinginan atau permintaan anak, itu definisinya yang akan saya gunakan dalam bahasan pada hari ini. Tidak mengikuti keinginan atau permintaan anak, saya kira dari definisi ini kita sudah bisa mulai membayangkan apa yang akan saya uraikan. Sebab sekali lagi ada waktunya tidak menuruti keinginan anak tapi ada waktunya menuruti keinginan anak, jangan sampai kita menjadi orang tua yang kata pertama keluar dari mulut sewaktu anak meminta sesuatu adalah "Tidak". Jadi itulah yang juga kita harus pahami.
GS : Jadi ini semacam disiplin terhadap anak, Pak Paul?

PG : Betul, ini adalah bagian dari disiplin anak.

GS : Memang kesulitannya bukan hanya kapan kita bertindak tegas, tetapi bentuk ketegasan sendiri itu seperti apa, seringkali menjadi masalah bagi orang tua Pak Paul?

PG : Ini pertanyaan yang baik, Pak Gunawan. Jadi kita mesti mengetahui bahwa ada hal-hal yang kita lakukan kemudian kita anggap itu bersikap tegas padahal itu belum tentu menandakan sebuah sika tegas.

Misalnya ada orang yang beranggapan kalau saya berteriak menggunakan suara keras berarti saya telah bersikap tegas, belum tentu! Ada orang tua yang berteriak-teriak histeris tapi justru tidak konsisten sama sekali. Jadi akhirnya ketegasan itu hilang. Atau yang lainnya lagi adalah ada orang tua yang menggunakan disiplin yang keras, yang penting anak salah langsung dipukul dengan luar biasa kerasnya. Apakah ini sama dengan sikap tegas, tidak! Ini adalah sebuah disiplin yang keras yang justru berdampak buruk pada anak. Jadi kita maksudkan dengan tegas bukanlah keras dengan menggunakan pukulan. Atau yang lainnya lagi adalah ada orang tua yang mempunyai aturan yang keras di rumahnya, harus pulang jam berapa? Telepon harus berapa lama? Makan harus seperti apa? Semua di atur dengan aturan-aturan yang begitu ketat dan keras. Apakah ini sama dengan sikap tegas, tidak! Dan yang terakhir yang juga sering disalah artikan dengan sikap tegas adalah tuntutan yang tinggi, harus mendapatkan nilai yang terbaik, harus menjadi juara, jadi tuntutan-tuntutan itu sangat-sangat tidak realistik, sangat-sangat kaku sehingga anak tidak mendapatkan kesempatan untuk berdialog dengan kita karena peraturan dan tuntutan kita yang terlalu keras dan tinggi. Ini semua adalah sikap-sikap yang keras dan melampaui ketegasan. Jadi itu bukanlah yang seharusnya kita lakukan.
GS : Ada orang tua yang mencoba bersikap tegas bukan bersuara keras, karena memang dia tidak bisa bersuara keras tetapi tidak mau diajak bergurau dan sebagainya, dia selalu bermuka serius di hadapan anak.

PG : Betul, jadi ada orang tua yang memang akhirnya memberikan kesan kepada si anak, pintu tertutup, anak tidak bisa masuk untuk bisa bersantai dan bergurau dengannya. Akhirnya hubungan antara rang tua dan anak merenggang dan makin jauh.

Bukan itu juga yang kita maksudkan dengan sikap tegas sebab sikap tegas berarti harus ada relasi atau komunikasi dengan anak sehingga anak juga bisa mengemukakan pendapatnya kepada orang tua.
GS : Jadi bagaimana sebaiknya kita bisa mengaplikasikan sikap tegas ini kepada pendidikan anak?

PG : Pada intinya Pak Gunawan, untuk kita bisa bersikap tegas kita mesti mengenal anak dengan baik. Maksudnya begini Pak Gunawan, kita bersikap tegas tujuannya adalah untuk kepentingan anak. Tuuannya bukan supaya kita itu dilihat oleh anak sebagai orang tua yang tegas, sebagai orang tua yang berwibawa.

Kalau anak itu melihat kita seperti itu juga baik, tapi tujuan kita bersikap tegas bukanlah untuk dilihat baik oleh anak, tapi tujuannya adalah untuk kebaikan anak itu sendiri. Kalau kita sudah berprinsip bahwa sikap tegas ini demi kepentingan anak maka kita harus mengenal anak dengan baik karena kalau kita mengenal anak dengan baik maka barulah kita bisa melakukan hal-hal yang memang baik untuk dia. Kalau kita tidak tahu anak kita, bagaimana mungkin kita bisa melakukan hal-hal baik untuk dia, misalnya sebagai contoh ada anak yang memang penurut sekali apapun yang orang tua katakan dia akan ikuti. Anak begitu penurut tetapi orang tua tetap saja melarang ke sana, melarang ke sini, harus begini, harus begitu, si anak meminta sedikit saja hal yang memang sangat wajar "Tidak boleh, harus begini dan begitu". Inilah contoh orang tua yang tidak mengenal anak dengan baik sehingga akhirnya bersikap tegas tidak tepat sasaran. Si anak ini akhirnya makin penurut, makin penurut akhirnya ciut sehingga akhirnya anak itu tidak bisa berinisiatif. Justru sebagai orang tua kita seharusnya lebih berhati-hati, lebih berhemat dalam memberikan ketegasan kepada anak yang seperti ini. Seharusnya justru kita membatasi sikap tegas kita agar si anak belajar berinisiatif meskipun sedikit keliru tetapi kalau ini menumbuhkan inisiatifnya kita justru biarkan. Jadi inilah yang penting sebagai landasannya Pak Gunawan, kalau kita mau bersikap tegas, kita harus ingat bahwa ini untuk kepentingan siapa? Untuk kepentingan saya atau untuk kepentingan dia. Kadang untuk kepentingan kita karena kita sedang repot, kita tidak mau dibuat repot sehingga langsung jawaban yang keluar adalah "Tidak, Tidak" supaya kita tidak perlu repot, tapi merugikan si anak. Jadi kita harus selalu bertanya untuk siapakah kita bersikap tegas? Dan jawabannya adalah seharusnya untuk anak. Untuk bisa tegas pada anak, syaratnya kita harus mengenal anak dengan baik, sehingga akhirnya kita bisa bersikap tegas yang pada tempatnya.
GS : Tapi itu butuh suatu kejujuran bagi orang tua itu Pak Paul, karena setiap kali di tanya biasanya orang tua berkata ini demi kepentingan anak "Saya dulu juga diperlakukan seperti itu oleh orang tua saya untuk kepentingan saya."

PG : Belum lama ini, saya berbicara dengan seseorang yang cerita bahwa dia pada masa kecil menerima ganjaran fisik yang luar biasa dari ayahnya. Jadi ayahnya itu luar biasa pemarah dan kalau maah memukul anak dan kalau memukul tidak kira-kira.

Sekarang orang ini sudah dewasa, tapi sebetulnya dia sangat menderita di tangan orang tuanya yang begitu keras. Namun saat berbicara dengan saya dia berkata, "Sebetulnya ini adalah hal yang baik buat saya karena saya menjadi orang yang berdisiplin dan sebagainya", saya hanya mendengarkan saja uraiannya itu. Tapi sebetulnya bukankah kalau orang tua bisa menanamkan disiplin tanpa harus menginjak-injak si anak, itu akan lebih baik, sebetulnya idealnya begitu. Jadi memang orang tua itu harus akhirnya mengevaluasi apakah yang telah saya terima dari orang tua saya sungguh-sungguh baik, apakah ada jalan lain yang lebih baik dan mencapai sasaran yang sama tanpa harus menghancurkan jiwa saya, bukankah itu yang lebih baik. Jadi kita memang harus terbuka melihat apa yang telah kita terima. Kalau pun perlakukan orang tua kita tidak sepatutnya dan tidak sehat buat kita maka kita akui dan kalau memang baik sepatutnya kita juga akui. Yang memang tidak baik sebisanyalah kita tidak mengulangi untuk anak-anak kita. Jangan kita teruskan dan kita katakan itu baik, padahalnya kita sebetulnya, kalau jujur harus mengakui bahwa bertahun-tahun kita hidup dalam uraian air mata dan hati yang terlalu sakit karena perlakuan orang tua yang seperti itu. Janganlah kita mengulangnya dan menerapkannya kepada anak-anak kita.
GS : Agar penilaian kita itu lebih objektif biasanya peran pasangan itu besar sekali Pak Paul, jadi kita bisa bicarakan dengan pasangan, sebetulnya ini untuk kepentingan siapa?

PG : Itu betul sekali Pak Gunawan. Kadang kita memang harus akui kita itu subjektif maka kita memerlukan masukan pasangan kita, dialah nanti yang bisa berkata "Rasanya engkau itu terlalu jauh, asanya ini tidak lagi efektif, ini rasanya bukan untuk kepentingan si anak tapi untuk kepentinganmu sendiri".

Waktu suami atau istri kita memberikan tanggapan, seyogianyalah kita mendengarkan tanggapan mereka itu.
GS : Katakan kita itu sudah menemukan bahwa ini untuk kepentingan anak sudah sepakat, dan apa yang kita bisa lakukan untuk kepentingan anak, Pak Paul?

PG : Ada beberapa panduan yang ingin saya bagikan Pak Gunawan, yang pertama adalah kita ini perlu bersikap tegas bila kita tahu bahwa keinginan si anak itu akan berakibat buruk baginya. Jadi kaau kita tahu ini akan berakibat buruk, bersikaplah tegas melarangnya, tidak menuruti permintaannya.

Misalnya si anak itu berkata atau meminta izin agar dia itu diberikan kesempatan untuk pergi dengan teman-temannya, kemana? Ke luar kota dan sebagainya selama dua minggu, dan kita tanya dengan siapa engkau akan pergi? Dia sebut teman-temannya. Masalahnya adalah kita sudah tahu dan dia pun pernah mengakui bahwa teman-temannya itu adalah anak-anak yang seringkali melakukan hal-hal yang buruk. Misalkan teman-temannya itu adalah orang-orang yang sering pergi ke tempat pelacuran, dan anak kita itu juga cerita bahwa teman-temannya suka mengajak dia ke tempat pelacuran tapi dia tidak mau, namun sekarang teman-teman yang sama ini mengajak dia pergi ke luar kota selama dua minggu. Kita harus menolong anak kita mengerti bahwa dia mungkin kuat hari ini di dalam kota dimana kita bersama dengan dia tapi dia mungkin tidak akan sekuat ini kalau dia berada di luar kota bersama dengan teman-temannya selama berminggu-minggu, jadi meskipun anak kita berkata "Tidak apa-apa, saya bisa dan sebagainya", tapi kita tahu bahwa ini akan berakibat buruk, resikonya itu terlalu besar, dan disinilah, dan pada tempatnyalah kita bersikap tegas. Jadi prinsip atau panduan pertama, kalau kita tahu ini akan berakibat buruk baginya kita perlu bersikap tegas.
GS : Di dalam hal ini memang perlu memberikan penjelasan supaya anak itu bisa memahami, seandainya dia tetap tidak bisa memahami jadi artinya dia masih tetap condong ikut teman-temannya. Tindakan apa yang bisa kita lakukan Pak Paul?

PG : Pada akhirnya kalau sampai tidak ada titik temu Pak Gunawan, dalam kasus seperti ini kita memang harus tetap bergeming, kita tidak boleh goyang, kita harus tetap berkata "Tidak bisa", dia ungkin marah, dia tidak akan terima, tapi kita tetap bergeming katakan kepadanya kita tetap tidak bisa.

Kalau anak memang melihat kita jarang-jarang bersikap seperti ini, dia akan terima meskipun dari sikapnya, mulutnya menunjukkan sikap tidak menerima. Sudah tentu karena yang dia inginkan tidak didapatkannya. Tapi kalau dia tahu kita ini tidak mudah berkata "Tidak", kepadanya dan di masa lampau kita juga memikirkan kepentingannya, kita tidak seenaknya bersikap merugikan dia. Kalau si anak tahu kita seperti itu, meskipun dia tidak senang dengan keputusan kita, dia akan lebih bisa menerimanya. Tapi kalau di masa lalu kita tegas tidak pada tempatnya, sedikit-sedikit berkata "Tidak", ditambah dengan hal ini si anak kemungkinan besar akan meledak, dia akan semakin memberontak, sebab ini akan menjadi tumpukkan dari perbuatan-perbuatan di masa lampau di mana kita selalu mengekangnya, mengatakan tidak boleh untuk segala hal.
GS : Tetapi ada orang tua yang berkata "Mungkin ini akibatnya tidak terlalu serius seperti tadi ke pelacuran, tapi misalnya bisa tersesat", lalu orang tuanya itu berkata "Tidak apa-apa kamu boleh pergi", tetapi ada sesuatu kekhawatiran juga, hanya orang tua ini berkata "Kalau pun itu terjadi itu untuk kebaikan anak artinya untuk pelajaran bagi dia".

PG : Kalau kita mau mengambil keputusan seperti itu, kita memang mesti memikirkan bahwa dampak terburuknya masih bisa ditangani oleh si anak itu atau oleh kita pada akhirnya. Saya berikan conto, suatu kali anak saya main dengan temannya di Seminari dimana saya mengajar.

Dia bermain-main diajak oleh kawannya sehingga masuk dan rupanya mereka mengaduk-aduk ruangan di atas, saya memang sudah beritahukan kepada dia "Jangan ikut kalau temannya itu mengajak ke sana", dia tetap melakukan. Begitu saya dengar dia melakukan itu lagi, saat dia sudah masuk ke mobil mau pulang, satu temannya ikut dengan dia. Temannya ini mengerti rute angkot di kota Malang ini, anak saya tidak mengerti, anak saya saat itu berumur kira-kira sekitar 10 tahun. Saya sudah beritahu dia dan dia melanggarnya, saya tahu saya harus memberinya sanksi, sanksinya apa? Saya meminta dia dan temannya untuk turun dan naik angkot pulang. Kemudian saya jalan, saya pulang, sebetulnya dari titik saya mengendarai mobil sampai saya tiba di rumah hati saya cemas luar biasa. Saya takut dan saya terus berdoa tapi saya tahu temannya itu tahu angkot di Malang. Jadi saya tahu dia akan baik, maka saya ambil resiko itu dan benar dia pulang ke rumah. Dia tidak tahu hati saya yang benar-benar ketakutan dan sangat sedih, takut dan segala macam. Tapi akhirnya saya berikan sanksi itu Pak Gunawan dan tujuannya adalah supaya dia tidak mengulang perbuatannya itu. Jadi kita mesti memikirkan bahwa dampaknya itu masih bisa tertangani, jangan sampai karena emosi kita bersikap tegas dalam memberikan hukuman kepada anak, mengakibatkan sesuatu yang si anak dan kita pun tidak bisa tangani, itu yang berbahaya.
GS : Apakah ada hal lain dimana kita perlu bersikap tegas, Pak Paul?

PG : Kita harus bersikap tegas bila keinginan si anak akan merugikan atau melukai orang lain, karena adakalanya anak tidak menyadari bahwa hal-hal apa yang dia lakukan nantinya bisa melukai ata merugikan orang lain.

Contohnya dia belum bisa naik motor baru belajar, kemudian mengajak adiknya untuk naik motor bersamanya kemudian meminta kepada kita maka kita harus katakan "Tidak", karena kalau sampai ada apa-apa dampaknya itu terlalu buruk untuk si anak dan adiknya, juga merugikan orang, melukai orang dan sebagainya. Atau misalkan contoh yang lain, anak kita itu baru belajar berkendaraan mobil belum begitu bisa tapi kita sembarangan saja memberi dia izin naik mobil dan sebagainya, tanpa pembimbingan dan itu juga salah. Misalkan si anak sampai minta pun kita juga harus katakan "Tidak", karena kalau kamu sampai menabrak orang kerugiannya terlalu besar. Jadi bersikaplah tegas kalau tindakannya akan melukai atau merugikan orang seperti itu. Dan yang lain adalah kita perlu bersikap tegas bila keinginannya itu akan memberinya keuntungan tapi melibatkan dosa. Misalkan dia akan pergi tapi dia harus bolos sekolah, dia mau berbohong kepada gurunya, memang keuntungannya akan diperoleh, dia bisa pergi tapi itu melibatkan dosa yaitu berbohong. Meskipun ada keuntungan tapi kalau itu adalah dosa kita perlu bersikap tegas dan berkata "Tidak boleh, kamu harus bersikap jujur. Kamu harus katakan apa adanya kepada guru bahwa kamu memang mau pergi ke sana, atau kamu tidak pergi sama sekali, supaya kamu tidak berbohong". Kita perlu bersikap tegas dalam hal seperti ini, Pak Gunawan.
GS : Memang perlu diajarkan kepada anak untuk bersikap jujur seperti ini jadi ketegasan ini juga menuntut kejujuran?

PG : Betul, jadi jangan sampai akhirnya kita menjerumuskan anak dan biasanya orang tua menjerumuskan anak secara bertahap awalnya tidak begitu ketara tapi akhirnya si anak makin kendor dan maki kendor akhirnya makin sering melakukan hal-hal yang salah, lalu orang tua baru bersikap tegas setelah si anak itu melakukan hal yang terlalu berat yang terlalu besar baru kita marah dan sebagainya.

Kita lupa bahwa semua itu diawali dari hal-hal kecil misalnya tadi itu contoh yang saya berikan, si anak mau bolos sekolah mau pergi tapi kemudian berbohong dan kita biarkan. Meskipun kita berkata, "Saya tidak setuju", tapi waktu kita biarkan kita mengkomunikasikan kepada anak kita bahwa kita setuju. Akhirnya dari bohong kecil tidak masuk sekolah menjadi bohong yang lebih besar dan masuk akhirnya ke wilayah lain, berbuat hal-hal yang lebih salah lagi. Biasanya orang tua baru sadar setelah perbuatan anak itu sudah menjadi sangat buruk.
GS : Tapi seperti tadi contoh yang Pak Paul katakan mengenai mengendarai mobil, kita tahu bahwa anak kita belum terampil lalu kita katakan "Jangan, jangan dulu mengendarai kamu mesti didampingi dan sebagainya", tapi dia memaksa karena dia percaya kalau pun menabrak, orang tuanya masih bisa membiayai untuk memperbaiki mobil itu Pak Paul?

PG : Memang ada anak yang beranggapan seperti itu dan kita akan katakan kepada anak "Kalau soal rusak, kami bisa tanggung. Tapi kalau sampai nyawa orang yang hilang kamu dan kami tidak akan bis menanggungnya, kalau orang yang gara-gara kamu itu akhirnya cacat tidak bisa lagi berjalan dan sebagainya, sampai kapan pun kita tidak bisa lagi mengembalikan tubuhnya itu".

Jadi kita bersikap tegas karena kita tahu tindakannya ini akan merugikan atau melukai orang. Jadi apa pun reaksinya, kita harus tetap tegas. Dan yang terakhir adalah kita perlu bersikap tegas kalau keinginan si anak itu justru akan membuatnya memandang dirinya dengan lebih negatif Pak Gunawan. Jadi misalkan si anak sekolahnya malas kemudian dia mau pindah ke sekolah yang lain yang lebih mudah dan kita izinkan, bukankah sikap kita itu justru makin membuat si anak melihat dirinya dengan lebih negatif bahwa dia itu orang yang tidak bisa tahan uji, tidak bisa berjuang, tidak mau susah dan tidak mempunyai kemampuan dan akhirnya cari jalan pintas dan jalan mudah dan kita selalu bukakan jalan pintas dan jalan-jalan mudah itu. Justru jalan kita itu makin menjerumuskan si anak dalam hal seperti inilah kita mesti bersikap tegas, sebab kita tidak mau si anak akhirnya memandang dirinya buruk atau rendah bahwa saya orang yang tidak mampu, saya orang yang memang tidak punya daya juang, saya akhirnya adalah orang yang gagal. Jadi disinilah kita perlu bersikap tegas pula.
GS : Kadang-kadang sikap tegas ini menimbulkan konflik dengan anak, itu bisa terjadi dan bagaimana bisa mengatasinya?

PG : Tidak bisa diapa-apakan, memang dia akan marah tapi kita hanya bisa jelaskan sekali lagi. Kita bisa katakan kepadanya "Kalau saya biarkan kamu pindah seperti ini, kami ini akan dirugikan, amu akan melihat diri kamu tidak dengan mata penuh respek lagi, kamu akan melihat diri kamu sebagai orang yang lemah yang hanya mau ambil jalan pintas dan itu akan merugikan diri kamu.

Sewaktu nanti tantangan yang lebih besar datang, nomor satu yang kamu akan lakukan adalah melarikan diri dan makin sering kamu melarikan diri makin rendahlah kamu melihat diri kamu. Saya tidak mau kamu melihat diri kamu serendah itu, saya mau kamu melihat diri kamu dengan penuh respek, maka saya tetap tidak mengizinkan kamu pindah". Dia pasti tidak senang marah dan sebagainya, biarkan! Yang penting kita sudah jelaskan. Dan selama beberapa waktu setelah itu kita akan coba lagi berbicara dengan dia.
GS : Pak Paul, memang ini harus dilakukan sedini mungkin. Tapi sedini apa disiplin atau bersikap tegas seperti ini bisa diterapkan?

PG : Sekali lagi kita hanya akan bersikap tegas dalam kategori yang tadi telah kita sebut Pak Gunawan. Jadi dalam konteks seperti itu biasanya ini mulai kita harus terapkan setelah anak berusiasembilan tahunan dan menginjak remaja.

Sebelum-sebelumnya kita justru lebih ringan, lebih kendor pada masa anak-anak kecil apalagi anak-anak belum bisa mengerti, memang harus lebih banyak instruksi yang searah, kita batasi dia supaya dia tidak jauh dan sebagainya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 25:11 yaitu "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak", firman Tuhan indah sekali. Perkataan yang diucapkan tepatpada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak artinya ucapkanlah hal yang memang perlu diucapkan dan tepat sasaran maka hasilnya itu akan efektif justru akan membangunkan si anak.

Kalau kita tegas tidak pada tempatnya justru makin meruntuhkan si anak, bukan membangunnya.
GS : Disanalah kita membutuhkan hikmat dari Tuhan untuk tahu ini saat yang tepat?

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tegas Pada Tempatnya" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



85. Kepercayaan Pada Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T235B (File MP3 T235B)


Abstrak:

Setiap orang pasti senang menerima hadiah, termasuk anak. Salah satu hadiah yang anak dambakan adalah kepercayaan. Untuk dapat memberi kepercayaan dengan tepat, di sini ada beberapa panduannya.


Ringkasan:

Setiap orang pasti senang menerima hadiah, termasuk anak. Hadiah atau imbalan positif merupakan cara yang efektif untuk membuat anak terus mengulang perbuatan baiknya. Salah satu hadiah yang anak dambakan adalah kepercayaan. Anak menyambut dengan gembira kepercayaan yang diberikan orangtua. Kepercayaan dapat berbentuk tugas dan kewajiban, seperti pekerjaan sekolah atau tugas di rumah; kepercayaan juga bisa berbentuk memberi anak kesempatan untuk menepati janji atau hidup benar, misalnya pergi keluar dengan teman, dan sebagainya. Untuk dapat memberi kepercayaan dengan tepat, berikut adalah beberapa panduannya.

• Kepercayaan dimulai dengan hal kecil. Jadi, mulailah memberi kepercayaan kepada anak sewaktu ia kecil dengan hal-hal kecil. Bila kita tidak memulainya pada masa ia belia, pastilah kita sulit memberinya kepercayaan sewaktu ia besar dengan hal-hal besar.

• Kepercayaan yang kita berikan anak menciptakan warna positif pada relasi kita dengannya. Juga, kepercayaan ini akan membuatnya memandang diri secara positif pula. Ingat: orang yang merasa dipercaya akan berupaya keras untuk tidak mengecewakan orang yang mempercayainya. Sebaliknya, kekurangpercayaan akan membuat anak patah arang dan tidak bersemangat menyenangkan hati kita. Ia cenderung berkata, "Buat apa mengerjakan dengan sebaik-baiknya; toh, nanti akan selalu ada saja yang dilihat salah!" Juga, ketidak percayaan membuatnya merasa tidak berharga-apalagi bila ia melihat kakaknya justru mendapat kepercayaan.

• Kepercayaan bukan saja membuatnya bertumbuh, kita pun akan turut bertumbuh. Ini hanya akan terjadi bila kita memberanikan diri untuk memberinya kepercayaan untuk melakukan hal-hal yang belum tentu bisa dilakukannya namun-ini yang penting-ia ingin mencobanya. Selama itu tidak membahayakannya, berilah kepercayaan dan izinkanlah ia melakukannya. Jadi, mulailah dengan memberinya kepecayaan untuk melakukan hal-hal yang dapat dilakukannya, kemudian beranjaklah kepada hal-hal yang belum pernah dilakukannya.

• Kepercayaan yang diberikan haruslah sesuai dengan koridor perbuatan yang diperkenankan Allah. Kita tidak boleh memberi anak kepercayaan untuk berbuat dosa. Sebagai contoh, kita boleh menyuruh anak untuk berbohong ke pihak sekolah bahwa ia sakit kemarin padahal sesungguhnya kita pergi bertamasya.

Apa yang harus kita lakukan bila anak mengecewakan kita?

• Beri kesempatan kepadanya untuk menceritakan persoalan itu dari sisinya terlebih dahulu.

• Tentukanlah apakah kegagalan ini merupakan akibat dari situasi yang memang berada di luar jangkauannya atau tidak.

• Pastikanlah apakah ia tengah memanipulasi atau menguji kesungguhan hati kita.

• Lihatlah apakah memang ia sengaja melawan atau memberontak terhadap perintah kita. Jika memang ada unsur kesengajaan untuk melawan, periksalah apakah memang kita memiliki andil di dalamnya. Kadang kita memberinya aturan yang tidak realistik dan inilah yang menjadi penyebabnya. Bila tidak, berilah hukuman kepadanya.

Firman Tuhan:

"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu". (Amsal 22:6)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kepercayaan kepada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, seringkali orang tua mengatakan tidak bisa percaya kepada anaknya atau anaknya itu tidak bisa dipercaya. Tetapi seharusnya orang tua menaruh percaya kepada anaknya supaya anaknya bisa bertumbuh kembang yang baik dan batasannya bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebetulnya Pak Gunawan, kalau anak sejak kecil kita limpahkan kasih sayang yang cukup kemudian kita terapkan disiplin yang baik, seyogianya sesuai dengan perkembangan usianya anak akan sia untuk dipercaya.

Sekarang tinggal orang tua, apakah bisa mempercayakan anak atau tidak. Jadi asumsinya atau pada prinsipnya yang ingin saya tekankan adalah kalau kita sudah melakukan tugas sebagai orang tua dengan baik maka seyogianya tidak ada alasan untuk kita menahan kepercayaan kepada anak. Memang kita perlu hikmat untuk akhirnya tahu hal-hal apa yang akan kita percayakan, sehingga kita tidak memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada anak di usia dimana dia memang belum sanggup untuk menanggung kepercayaan yang sebesar itu. Tapi kalau kita sudah bisa memiliki hikmat itu, saya mau mendorong orang tua justru untuk lebih berani memberikan kepercayaan kepada anak. Kepercayaan ini sebetulnya adalah sebuah hadiah atau imbalan positif, Pak Gunawan. Jadi ini adalah suatu cara memuji anak, mendorong anak secara positif namun sebenarnya dengan cara yang sangat murah tidak mengeluarkan biaya tapi sangat efektif. Kadang-kadang kita memikirkan hadiah dalam bentuk uang atau barang, namun ada hadiah yang dapat kita berikan kepada anak-anak dengan biaya yang sangat-sangat murah, tidak perlu bayar tapi justru sangat efektif yaitu memberinya kepercayaan. Ini yang akan kita ulas supaya orang tua bisa belajar bagaimana memberikan kepercayaan kepada anak.
GS : Yang dikhawatirkan sebagai orang tua, kadang-kadang setelah kepercayaan itu kita berikan, kita tidak bisa menarik lagi. Jadi kalau kepercayaan ditarik lagi, maka hormat anak kepada kita menjadi berkurang, apalagi tadi Pak Paul katakan ini semacam hadiah. Jadi tidak layak kita sudah berikan lalu kita cabut suatu saat, maka itu menjadi suatu kesan yang buruk?

PG : Sudah tentu kalau itu dilakukan cukup sering, saya setuju efeknya akan buruk karena anak akan melihat bahwa orang tua tidak konsisten dan akhirnya anak belajar untuk percaya dan juga untuktidak percaya, maksudnya anak-anak akan berkata "Apapun yang orang tua katakan, jangan dihiraukan karena nanti akan berubah pikiran, apa pun yang dia katakan yang dia sudah berikan akan ditarik kembali", dan itu tidak sehat! Namun kalau kita memberikan kepercayaan dengan hati-hati dan dengan tepat, kemungkinannya untuk kita tarik kembali itu kecil.

Jadi kalau pun kita tarik kembali karena perbuatannya yang salah atau menyimpang, itu terjadinya jarang dan tidak menimbulkan dampak buruk seperti yang kita bayangkan.
GS : Ada juga kekhawatiran begini Pak Paul, memberikan kepercayaan disertai syarat-syarat lalu anak berkata, "Kalau ada syarat-syarat seperti ini namanya orang tua tidak percaya kepada saya, kalau begitu tidak perlu dipercaya saja?"

PG : Memang kalau kita mau memberikan kepercayaan, sebaiknya kita berikan tanpa syarat-syarat karena dengan adanya syarat-syarat yang mengikat itu sama juga dengan tidak percaya. Jadi misalkan ita berikan kepada anak kita kepercayaan untuk main video games, "Kamu bisa main video games selama satu jam", dan berikan kepercayaan itu.

Jangan sewaktu kita sudah katakan seperti itu lalu kita sering-sering ingatkan dia, "Jangan lupa setengah jam lagi kamu harus belajar, jangan lupa, jangan lupa". Jadi apa artinya kepercayaan itu, hilang semuanya! Sebaiknya kalau kita sudah memberikan kepercayaan maka kita berikan, kalau kita belum bisa memberikan kepercayaan sama sekali dan kita selalu memberikan peringatan seperti itu terus-menerus, maka lebih baik jangan memberikan kepercayaan dulu.
GS : Oleh sebab itu justru hal itu yang sering kali yang menjadi kesulitan atau masalah bagi orang tua. Kapan kita bisa memberikan kepercayaan kepada anak, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah prinsipnya kita itu memberikan kepercayaan kepada anak sesuai dengan usianya dan sedini mungkin. Jadi pada masa anak kecil, kita sudah mulai memberikan kepercayaan untu hal-hal yang kecil.

Dengan bertambahnya usia, kita akan memberinya kepercayaan dengan hal-hal yang lebih besar namun sekali lagi kita harus mulai sejak kecil, karena anak yang dari kecil tidak diberikan kepercayaan, nanti setelah dia besar kemungkinan dia akan menyalahgunakannya atau dengan kata lain, dia tidak tahu bagaimana melakukannya atau bertanggung jawab atas kepercayaan yang telah diberikannya itu. Biasanya apa yang kita lakukan? Kita biasanya langsung berkata, "Benar 'kan kamu memang tidak bisa dipercaya, saya tarik kembali semuanya". Akhirnya anak itu tidak pernah belajar untuk diberikan kepercayaan, dan apa yang terjadi? Akhirnya kebanyakan anak-anak yang tidak diberikan kepercayaan bisa mempunyai dua reaksi yang buruk, Pak Gunawan. Reaksi yang pertama adalah dia menciut, saat ada kepercayaan yang ingin diberikan kepadanya, dia akan lari. Disuruh sesuatu, dipercayakan sesuatu tidak mau, "Kamu bisa memimpin, coba kamu yang pimpin". Tidak mau! "Kamu bisa memimpin organisasi ini". Tidak mau, tidak bisa. Dia takut sekali dengan kepercayaan, karena takut tidak bisa memenuhinya. Karena apa? Karena di rumah kita tidak membiasakannya. Yang kedua yang bisa membuat reaksi buruk adalah anak yang tidak bisa memberikan kepercayaan takutnya nanti menjadi maling maksudnya adalah sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan yang dia ingin lakukan. Memperoleh yang dia inginkan tapi semuanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena dia tahu tidak ada lagi kepercayaan orang tua kepadanya sehingga dia akhirnya harus bersembunyi menjadi pencuri. Dan itulah yang kita mau hindari, Pak Gunawan.
GS : Kadang-kadang karena anak tidak diberi kepercayaan, lalu tidak punya rasa tanggung jawab, dia merasa tanggung jawabnya tetap pada orang tuanya. Jadi setiap kali mau diberikan kepercayaan dia menolak karena ingin menghindar dari tanggung jawab. Dia sadar dengan diberikan kepercayaan ini tanggung jawab menyertainya sekaligus, dan dia tidak mau itu?

PG : Betul. Dan kalau pun misalkan dia akhirnya berbuat kesalahan, kecenderungannya adalah menyalahkan, dia akan salahkan semua orang di seluruh dunia ini, dia akan salahkan situasi. Kenapa? Da memang tidak mau memikul tanggung jawab itu.

Jadi kita harus tekankan sekali lagi betapa pentingnya memberikan kepercayaan kepada anak sejak kecil dengan hal-hal kecil. Makin anak besar barulah kita berikan kepercayaan untuk hal-hal yang lebih besar. Contohnya hal-hal kecil yang bisa kita berikan kepada anak misalkan pada waktu dia masih kecil, kita bisa meminta dia untuk menjaga adiknya sebentar saja, "Mama mau ambil ini, tolong kamu lihat adik", sudah tentu kita tidak meminta dia melakukan hal yang tidak bisa dia lakukan, hanya duduk sebentar saja, lalu kita kembali dan kita katakan, "Terima kasih, kamu bisa jaga adik dengan baik." Atau misalnya kita sedang mengotak-atik barang elektronik kita dan kita meminta tolong ambilkan peralatan atau "Tolong pegangkan lampu senter dan lain-lain". Semua itu adalah kepercayaan-kepercayaan yang kita berikan kepada anak, dan makin dia besar kepercayaan itu juga makin berubah bentuknya Pak Gunawan, dari hal-hal tadi yang sudah saya berikan contohnya, lebih pada kepercayaan perkataannya. Misalkan dia berkata, "Pa atau Ma saya mau pergi dengan teman-teman", dan kita tanya "Pulang jam berapa?" dan dia menjawab "Pulang jam segini", orang tuanya menjawab, "Baik saya percaya kamu akan pulang jam segitu, silakan pergi". Dia pergi lagi dengan temannya, maka kita bertanya, "Kamu pergi dengan siapa", dan dia sebut nama-namanya, "Baik, saya percaya kamu akan pergi dengan mereka". Itu adalah kepercayaan dan sudah tentu pada masa anak kecil dan pada masa anak besar, sudah lain bentuknya tapi intinya sama yaitu kita mempercayakan sesuatu kepada si anak itu.
GS : Itu menimbulkan rasa percaya diri pada anak atau kebanggaan pada anak itu?

PG : Ini membawa kita kepada point berikutnya bahwa kepercayaan yang kita berikan kepada anak itu akhirnya memang akan membuat si anak percaya diri, melihat dirinya dengan lebih positif. Waktu ia melihat dirinya dengan lebih positif dia akan berbuat hal-hal yang positif sesuai dengan kepercayaan yang kita berikan kepadanya dan karena yang dia katakan kita pun percaya akhirnya relasi kita dengan dia makin positif.

Bayangkan kebalikannya Pak Gunawan, si anak bicara sesuatu dan pertama-tama kita sudah tidak percaya, kita sudah curiga, kita tanyakan lagi dan tanyakan lagi, mau periksa ini dan itu akhirnya si anak semakin jengkel bila berbicara dengan kita dan anak akan berkata, "Buat apa menjelaskan, tetap tidak dipercaya". Itu berarti warna relasi kita dengan anak akan menjadi negatif dan yang lebih buruk lagi adalah si anak pun pada akhirnya akan melihat dirinya dengan negatif pula sebab dia akan melihat, "Saya tidak dipercaya, saya selalu dianggap berbohong, saya selalu dianggap anak yang tidak bisa dipercaya", akhirnya dia pun melihat dirinya seperti itu. Kekhawatiran saya kalau seperti itu, nanti si anak pergi kemana-mana, dia akan melakukan hal-hal yang lebih buruk karena dia melihat, "Saya memang anak yang brengsek, saya orang yang tidak bisa dipercaya". Dia akan hidup sesuai dengan pandangan terhadap dirinya itu.
GS : Jadi sebenarnya menaruh kepercayaan kepada anak atau memberikan kepercayaan kepada anak, bukan hanya untuk kepentingan anak, tapi juga untuk kepentingan orang tua?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sebab pada akhirnya memang kitalah yang diuntungkan oleh si anak karena si anak yang dipercaya itu nantinya akan mau berusaha keras tidak mengecewakan kita karenadia tahu dia dipercaya.

Jadi makin dia dipercaya dia makin mau menjaga kepercayaan ini. Ini adalah sebuah naluri yang alamiah pada jiwa manusia. Dia makin mau menjaganya berarti dia akan berusaha keras menyenangkan hati kita karena dia tidak mau kepercayaan itu rusak, berarti kita yang lebih diuntungkan pada akhirnya. Jadi berusahalah dari kecil memberikan kepercayaan seperti ini. Saya melihat cukup banyak Pak Gunawan, contoh dimana orang tua berangkat dari titik negatif yaitu dari titik tidak percaya pada anak, anak bertanya sesuatu kemudian langsung ditanyai kanan kiri, diinterogasi, semua yang dikatakan oleh anak itu dianggapnya ada yang ditutupi atau ada yang disembunyikan dan harus dibongkar oleh orang tua. Akhirnya si anak dengan orang tua mengembangkan relasi yang negatif, sayang sekali sebetulnya kalau kita telah melakukan tugas dengan baik seyogianya anak itu bisa dipercaya. Dia adalah anak kita sendiri dan bukan anak yang tidak kita kenal. Jadi sayang, begitu banyak relasi menjadi buruk karena masalah ini.
GS : Sering orang tua juga berdalih bahwa orang tua bukan tidak percaya pada anaknya tapi ini untuk kepentingan anak itu sendiri. Jadi merupakan suatu perlindungan atau merupakan suatu penghindaran dari kecelakaan dan sebagainya. Jadi itu selalu menjadi dalih orang tua.

PG : Sudah tentu kalau yakin hal itu akan berdampak seburuk itu dan memang ini bukan pemikiran sendiri tapi ada buktinya, sudah seharusnyalah kita bersikap tegas melarangnya. Namun kalau memangtidak, saya mau mengajak kita ke point berikutnya yaitu mari kita bertumbuh juga.

Memang memberikan kepercayaan itu mengusik rasa aman kita Pak Gunawan. Saya masih ingat waktu anak saya yang paling besar meminta izin untuk ke Dieng Plaza (Mall), dari rumah kami ke Dieng Plaza itu mungkin hanya sekitar 10 menit naik becak, berarti jalan kaki hanya 15 menit paling lama, dekat! Waktu itu dia berusia 10 atau 11 tahun, mau pergi dengan temannya. Saya masih ingat saya dan istri saya mula-mula agak bingung memberikan izin atau tidak, tapi akhirnya kami beranikan diri dan berkata, "Silakan pergi dengan temanmu" dia pergi kemudian kembali dan kami tenang. Akhirnya sudah tentu bertumbuhlah rasa percaya ini, bahwa dia bisa dilepaskan dan dia bisa pulang dan dia bertanggung jawab pergi dengan siapa dan sebagainya. Tapi yang saya ingin tegaskan adalah awalnya memang ini tidak mudah karena mengusik rasa aman kita, tapi inilah yang perlu kita lakukan dengan bertambahnya usia si anak, biarkan ambil resiko itu, sehingga kita bertumbuh dan si anak pun bertumbuh. Kalau semua kita lindungi karena kita takut si anak ada apa-apa, kita tidak pernah bertumbuh tapi yang lebih celaka adalah si anak tidak pernah bertumbuh sampai nantinya yang tadi Pak Gunawan katakan si anak itu akhirnya menciut sekali, akhirnya menyalahkan orang dan tidak bertanggung jawab kerena memang tidak pernah menerima kepercayaan dari orang tua.
GS : Bagaimana kalau orang tua memberikan kepercayaan tapi juga mengawasinya dari jarak jauh, tadi seperti yang Pak Paul katakan; anak Pak Paul pergi ke suatu mall yang tidak terlalu jauh. Saya pernah mengalami dengan anak saya yang pulang sekolah minta naik angkutan umum. Dia berkata, "Tidak perlu di jemput, saya ini sudah besar", dia malu dijemput dia bisa pulang dengan angkutan umum tetapi ada kekhawatiran dalam diri saya sehingga pada waktu jam pulang saya mengawasi dia dari jauh. Hanya kekhawatirannya adalah kalau pada saat itu anak saya tahu bahwa saya sedang mengawasi dia, maka dia akan kembali merasa tidak dipercaya, Pak Paul?

PG : Sudah tentu ini memang sebuah keputusan yang harus dipertimbangkan masak-masak. Kalau kita takut dan ketakutan itu berdasar misalkan dia nanti di angkutan umum dia akan bingung atau mungki dia tersesat dan sebagainya, itu tidak apa-apa! Tapi sebaiknya kita beritahu dia dari awalnya dan kita katakan, "Bisa tidak kita kerjasama, Papa mau mempercayakan kamu tapi Papa masih takut", jadi kita bicara terus terang.

"Bisa tidak kamu tolong Papa yaitu untuk dua kali ini waktu kamu pulang naik angkot Papa akan ikuti dari belakang, setelah dua kali dan Papa tahu kamu bisa maka akan Papa lepaskan. Tolong Papa, sebab Papa masih takut melepaskan kamu jadi kita tidak menempatkan problem pada pundak si anak, seolah-olah si anak itu tidak bisa naik angkot, tidak mengerti jalan dan sebagainya, tidak! Kita tempatkan problem pada posisi yang sebenarnya yaitu diri kita sendiri yaitu diri kitalah yang takut. Kita berkata, "Papa yang takut jadi tolonglah supaya Papa menjadi tenang, Papa ikuti dari belakang", seperti itu, Pak Gunawan.
GS : Rupanya yang pada waktu itu tidak saya lakukan tapi memang tidak ketahuan. Tapi itu ada suatu kekhawatiran di dalam diri orang tua.

PG : Pasti ada makanya memang kita juga harus keluar dari zona aman kita itu.

GS : Apakah ada hal yang lain, Pak Paul?

PG : Ada satu lagi yaitu kita memberikan kepercayaan-kepercayaan kepada anak sesuai koridor kehendak Tuhan, jangan sampai kita memberikan kepercayaan kepada anak untuk melakukan sesuatu yang saah, yang berdosa.

Sebagai contoh yang mudah adalah anak-anak mau pergi dengan teman-temannya dan dia harus tidak masuk sekolah, kemudian si anak akhirnya berbohong kepada pihak sekolah dan kita memberikannya izin untuk melakukan hal-hal seperti itu dan itu salah! Jadi apa pun yang kita lakukan cobalah kita ingat apakah ini perbuatan yang memperkenankan Tuhan atau tidak, kalau tidak memperkenankan Tuhan maka jangan, jangan kita izinkan untuk melakukannya. Sekarang kita sudah melihat semua yang perlu kita lakukan, saya kira pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kalau si anak memang tidak bisa dipercaya, dia gagal memenuhi kepercayaan kita. Dan ini terjadi, Pak Gunawan, saya kira semua orang tua pernah mengalami hal seperti ini. Saya kira ini wajar dan ini yang pertama yang ingin saya katakan wajar, jangan menganggap anak itu kriminal, sekali saja mengecewakan kita selamanya tidak bisa dipercaya, kriminal, jangan! Saya berikan beberapa masukan yang pertama adalah kalau memang dia tidak bisa dipercaya dia gagal, coba kita ajak bicara minta dia bercerita kenapa sampai dia tidak melakukannya, kenapa sampai dia tidak menepati janjinya, dia bilang mau pulang jam segini tapi pulangnya jauh lebih larut. Sebelum kita marah atau menghukumnya dan sebagainya, kita minta dia menjelaskannya terlebih dahulu apa yang terjadi dan itu langkah yang pertama. Setelah itu kita harus mengevaluasi apakah kegagalan ini akibat situasi yang di luar kendalinya ataukah memang dalam kendalinya. Misalnya memang di luar kendalinya karena dia pulang diantar oleh temannya dan temannya belum mau pulang, dalam kondisi seperti itu dia memang tidak bisa memaksa pulang, jadi seharusnya kita terima kalau itu yang terjadi. Tapi misalkan setiap kali dia pergi dan alasan itu yang dia gunakan, kita tahu ini rasanya dia berbohong. Kalau kita tahu rasanya dia berbohong maka kita akan katakan kepada dia, "Kalau kamu mau pergi lagi dan mau pulang jam segini, saya minta kamu pulang jam segini. Kalau kamu akan pulang dengan teman kamu dan kamu tidak bisa mengendalikan kapan kamu pulang, jangan! Tapi saya minta kamu pulang jam segini, kalau kamu tidak berhasil pulang jam segini selama sebulan kamu tidak keluar rumah, kamu tidak boleh lagi keluar malam-malam". Jadi kita dengan tegas mengatakan seperti itu, dan jangan kita menuduh dia berbohong secara langsung karena kita tidak mempunyai bukti. Tapi kita berikan keputusan yang tegas seperti itu kepada dia.
GS : Dan biasanya kalau pun kita mau berdebat dengan anak, biasanya kita kalah. Dia punya alasan yang jauh lebih banyak dari kita, jadi diperlukan sikap yang tadi Pak Paul katakan.

PG : Betul, sekaligus kita juga tidak mengatakan dia anak yang tidak bisa dipercaya dengan kita berkata bahwa pokoknya saya minta kamu pulang jam segini, kalau sampai kamu gagal lagi berarti saksinya, selama sebulan kamu tidak lagi bisa keluar malam.

GS : Di sana, perlu jelas kepada anak, apa sanksinya kalau dia gagal lagi?

PG : Betul, sehingga dia tahu apa yang akan terjadi kalau sampai dia tidak bisa memenuhi permintaan kita.

GS : Apa ada hal lain yang bisa kita lakukan Pak Paul, kalau ada anak yang mengecewakan kita karena kita sudah memberikan kepercayaan kepadanya?

PG : Kita juga harus melihat apakah si anak ini tengah menguji kita. Anak itu memang kecenderungannya adalah menguji batas supaya dia bisa lebih luas, lebih ada peluang supaya dia bisa melakuka apa yang dia ingin lakukan.

Sudah tentu ini tidak selalu salah tapi kalau misalkan kita tahu dia memang sengaja memanipulasi supaya dia mendapatkan apa yang dia inginkan dan kita tahu ini tidak benar, kita memang perlu tegas kepada dia dan sekali lagi memberikan dia sanksi. Kalau tetap mengulanginya, lain kali ini sanksinya. Jadi waktu kita tahu kita sedang diuji oleh dia, maka kita harus bisa tegas kepada dia, kita katakan kepada dia, "Ini yang telah kami tetapkan, kamu pun sudah setuju maka ikuti". Bagaimana kalau memang si anak itu terus sengaja melawan, memberontak? Sekali lagi kita perlu introspeksi apakah permintaan kita atau peraturan kita itu berlebihan, kalau memang berlebihan kita mesti konsekuen untuk merubahnya sehingga si anak bisa menepati janjinya. Kalau memang kita rasa dan kita sudah bicarakan dengan orang lain juga tentang peraturan kita kepada anak bahwa ini masih manusiawi dan selayaknya dan sebagainya, kita harus komunikasikan kepada dia terus terang. Saya tahu sebetulnya kamu melakukan ini dengan sengaja karena kamu tidak bisa menerima, tapi ini yang saya berikan dan saya juga bisa bicara dengan orang lain, saya minta pendapat ternyata ini memang masih dianggap manusiawi, jadi saya tidak bisa mundur. Dan sekarang pilihan kamu hanyalah dua, yang pertama adalah kamu ikuti permintaan saya dan kamu masih bisa pergi dan kalau kamu tidak bisa ikuti sama sekali kamu tidak bisa pergi lagi. Jadi disitu akhirnya kita mesti bersikap tegas. Ini semua yang kita bicarakan dalam koridor memberikan kepercayaan kepada anak, Pak Gunawan, sudah tentu ada batasnya. Dan ini batasnya jadi jangan sampai kita juga berkata, "Baiklah yang penting percaya kepada anak", tidak! Tetap orang tua mesti memantau dan ada waktunya orang tua memang memberi pagar kepada anak, karena kadang-kadang anak memang akan melompat pagar dan itu tidak sehat untuk si anak.
GS : Seringkali juga pelanggaran terhadap kepercayaan itu bukan sengaja dilakukan, Pak Paul, tetapi sifat remaja atau anak-anak ini yang ceroboh. Jadi karena mereka bergurau sampai larut malam dan tidak sadar bahwa batas waktu itu sudah lewat misalkan seperti itu. Atau dipercaya membawa kunci dan kuncinya dihilangkan. Jadi tidak ada kesengajaan untuk mengecewakan kita tapi karena sifat kecerobohannya yang memang belum bisa hilang.

PG : Kalau kita memang mengakui ini adalah sifat kecerobohannya kita ajak dia bekerja sama dengan kita misalnya kalau dia berkata, "Saya tidak sadar jam berapa", kita menjawab, "Baik sekarang sya tanya untuk hari ini, kamu mau pulang sendiri tepati waktu atau saya telepon kamu setengah jam sebelumnya", kemudian dia berkata, "Tidak perlu telepon", orang tuanya berkata "Baik tapi kamu janji, kalau kamu gagal memenuhi janji, berarti lain kali jika kamu pergi, saya tidak mau lagi terima penjelasan kamu dan saya akan langsung telepon kamu.

Sekarang dua pilihan itu saya berikan kepada kamu". Jadi kita ajak dia untuk bekerja sama dengan kita kalau memang itu ceroboh, jadi bukannya dia sengaja mengecewakan kita.
GS : Jadi memang dibutuhkan keputusan dari pihak anak, sehingga dia tidak merasa ini dari pihak kita saja?

PG : Betul. Jadi kita melibatkan dia dalam keputusan bersama ini.

GS : Dan didalam hal ini bertumbuhnya rasa tanggung jawab ini seberapa besar?

PG : Ini akan sangat positif sekali Pak Gunawan, kalau anak merasa memang dia dipercaya, semakin hari dia akan semakin menumbuhkan tanggung jawab dalam dirinya. Jadi orang tua yang ingin meliha anaknya mengembangkan sikap tanggung jawab harus memberinya kepercayaan, kalau tidak dia tidak akan memiliki tanggung jawab nantinya.

GS : Dan bagaimana kalau anak itu menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari pada yang kita telah berikan kepadanya?

PG : Kita harus bisa melihat apakah dia sanggup, kalau rasanya dia belum sanggup, kita juga harus berhati-hati jangan melimpahkan tanggung jawab yang akhirnya dia memang tidak bisa memenuhinya.Jadi kita mesti mengenal anak kita dengan sebaik-baiknya.

GS : Seringkali kalau kita berikan penjelasan, mereka sukar menerimanya. Karena mereka merasa, "Saya bisa diberi tanggung jawab itu", tapi kita orang tua merasa belum.

PG : Kalau akibatnya lokal dan bisa ditangani, saya akan ambil resiko itu tapi kalau akibatnya itu bisa berdampak luas, saya akan jauh berhati-hati dalam hal seperti itu.

GS : Pak Paul, dalam hal ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 22:6, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu". Firman Tuhan ini baik sekali, alau pada waktu anak-anak kecil mendidiknya dengan tepat, ini akan dibawanya sampai tua.

Dari kecil dari muda kita berikan kepercayaan sehingga dia mengembangkan tanggung jawab, setelah dewasa dia menjadi orang yang bertanggung jawab. Ini semua memang kembali kepada bagaimanakah kita mendidiknya sewaktu dia masih kecil.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kepercayaan kepada Anak" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



86. Dikasari Susah Dihalusi Susah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T237A (File MP3 T237A)


Abstrak:

Kita tahu bahwa masa remaja adalah masa yang penuh pergolakan. Pada saat inilah orangtua acap harus berhadapan dengan sisi anaknya yang berbeda dan tak diharapkan. Salah satu sumber frustrasi orangtua adalah, tampaknya apa pun yang dilakukan tidak membawa hasil. Dimarahi, anak tetap berbuat hal yang dilarang; dilembuti anak tidak sadar-sadar. Apakah yang dapat orangtua lakukan bila menghadapi anak remaja yang seperti ini?


Ringkasan:

Kita tahu bahwa masa remaja adalah masa yang penuh pergolakan. Pada saat inilah orangtua acap harus berhadapan dengan sisi anaknya yang berbeda dan tak diharapkan. Sebagai contoh di masa inilah orangtua untuk pertama kalinya dibohongi oleh anaknya. Salah satu sumber frustrasi orangtua adalah, tampaknya apa pun yang dilakukan tidak membawa hasil. Dimarahi, anak tetap berbuat hal yang dilarang; dilembuti anak tidak sadar-sadar. Apakah yang dapat orangtua lakukan bila menghadapi anak remaja yang seperti ini?

Pertama, orangtua mesti mengecek pengaruh teman. Dengan berpindahnya sekolah dari SD ke SMP kemudian ke SMA, berganti pulalah teman anak. Adakalanya anak berjumpa dengan teman yang berlatar belakang buruk dan terbiasa melakukan hal-hal yang tidak diperkenan Tuhan. Jangan beranggapan bahwa anak tidak akan mau melakukan dosa yang "besar" sebab sejak kecil kita telah membimbingnya dalam Tuhan.

Kedua, orangtua perlu memperhatikan secara spesifik dampak buruk teman pada diri anak dan memperlihatkan hal itu kepada anak. Sebagai contoh, sejak kecil ia tidak pernah berbohong namun sekarang ia mulai berbohong sejak bergaul dengan temannya itu. Tunjukkanlah hal ini kepadanya agar ia menyadari pengaruh buruk tersebut. Atau sebelumnya ia selalu santun, tetapi sekarang bersikap kasar baik kepada kita maupun adiknya. Perlihatkanlah perbuatannya itu kepadanya supaya ia menyadari bahwa pengaruh itu telah ada pada dirinya.

Ketiga, orangtua harus menyatakan kasih yang besar kepada anak yang tengah bergolak. Kebanyakan kita terpancing amarah sehingga hari lepas hari kemarahanlah yang menjadi menu interaksi kita dengan anak. Kita mesti berhati-hati agar hal ini tidak terjadi. Kita justru harus menunjukkan kasih kepadanya.

Keempat, orangtua harus menegakkan aturan yang realistik di rumah. Kita harus menciptakan aturan yang realistik, dalam pengertian aturan ini dapat ditaati oleh anak karena memang memungkinkan. Berhati-hatilah untuk tidak membuat peraturan yang terlalu mengikat sehingga anak tidak bisa bergerak dan akhirnya terpaksa melanggarnya. Jika perlu, silakan bernegosiasi dengan anak dan dengarkanlah permintaannya sehingga kita dapat membuat peraturan bersama. Dan terapkanlah konsekuensi bila anak gagal memenuhi tanggung jawabnya.

Kelima, periksalah diri sendiri. Kadang perkataan kita cenderung tajam dan mudah melukai hati anak. Bukannya mendidik, kita malah menghancurkan diri anak. Jika itu telah terjadi, jangan ragu untuk meminta maaf. Kedewasaan kita meminta maaf akan menyadarkan anak bahwa kita bersedia berubah demi dia.

Keenam, bukalah jalur komunikasi dengannya. Betapa banyaknya remaja yang merasa putus asa berbicara dengan orangtua karena tidak ditanggapi atau didengarkan. Inilah hal-hal yang memutuskan komunikasi dengan remaja. Oleh sebab itu kita harus adil dan bersedia mendengarkannya pula. Bukan hanya didengarkan, remaja pun rindu agar pendapat atau penjelasannya dipertimbangkan.

Ketujuh, bangunlah tali persekutuan rohani dengan remaja. Bagikanlah pengalaman rohani dengannya, tentang bagaimana Tuhan mendengarkan doa kita. Ceritakanlah perbuatan baik Tuhan menolong kita atau dirinya dulu. Berdoalah bersamanya dan secara berkala, bacalah Firman Tuhan untuknya. Jangan menguliahinya dan jangan gunakan kesempatan ini untuk memarahinya dengan mengatasnamakan Tuhan. Justru belajarlah terbuka dengannya; bagikanlah pergumulan rohani kita sebab besar kemungkinan ia pun tengah bergumul dengan iman kepercayaannya.

Firman Tuhan: "Akhir kata dari segala yang didengar adalah: Takutlah akan Tuhan dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik entah itu jahat." (Pengkhotbah 12:13-14)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dikasari Susah Dihalusi Susah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, banyak orang tua yang mengeluh melihat perkembangan anaknya yang mulai berani melawan dia. Orang tuanya kaget ketika anaknya berani menentang apa yang dikatakan atau seorang ibu kaget ketika anak remaja putrinya berani mencela tentang penampilannya dan sebagainya, ini sebenarnya gejala apa Pak Paul?

PG : Ini adalah sesuatu yang wajar dalam pengertian sering terjadi pada masa remaja. Jadi orang tua seringkali terkaget-kaget melihat sisi anak yang tadinya sembunyi atau tak pernah terlihat da akhirnya muncul sikap-sikap yang begitu kurang ajar dan ini seringkali menimbulkan ketakutan yang besar pada diri orang tua "Kenapa anak saya berubah seperti ini".

Kita mesti menyadari pada masa remaja adalah masa yang penuh pergolakan. Jadi kita harus siap menghadapi pergolakan ini, tapi saya juga mau menempatkan diri di pihak orang tua, betapa susahnya menghadapi hal ini. Dan seringkali salah satu sumber frustrasi orang tua adalah tampaknya apa pun yang dilakukan tidak membawa hasil, anak dimarahi tetap melakukan hal yang dilarang, dilembuti tetap saja tidak sadar-sadar. Jadi pertanyaan yang harus kita angkat pada saat ini adalah, apakah yang dapat orang tua lakukan bila anak remajanya seperti ini?
GS : Itu adalah suatu pertanyaan besar yang banyak dimiliki oleh orang tua yang memiliki anak-anak remaja, dan apa yang Pak Paul sarankan?

PG : Ada beberapa yang akan saya sarankan, yang pertama adalah orang tua perlu mengecek pengaruh teman. Dengan berpindahnya sekolah anak dari SD ke SMP kemudian SMA bergantipulalah teman anak, dakalanya anak berjumpa dengan teman yang berlatar belakang buruk dan terbiasa melakukan hal-hal yang tidak diperkenankan Tuhan.

Sekuat-kuatnya anak kita berdiri, ia tetap seorang remaja yang berdosa, ini berarti dorongan untuk berbuat dosa tetap ada pada dirinya dan sebagai orang tua jangan kita beranggapan anak kita tidak akan melakukan dosa "Besar" sebab sejak kecil kita telah membimbingnya dalam Tuhan. Kita mesti mengingat banyak kebiasaan buruk justru dimulai pada masa remaja akibat pengaruh teman. Jadi perhatikanlah pengaruh teman, jika memang berbahaya jangan ragu untuk melarang anak kita bergaul dengan temannya itu. Kalau perlu kita panggil temannya dan kita langsung katakan kepadanya kalau kita tidak mengizinkanya untuk berteman dengan anak kita lagi.
GS : Padahal seorang remaja mempunyai teman banyak sekali Pak Paul, bukan hanya di sekolah tapi lewat pergaulan di sekitar tempat tinggalnya dan belum lagi di komunitas-komunitas yang lain di olah raga atau di gereja. Dan kadang-kadang orang tua kesusahan bagaimana memonitor teman-teman dari anak remajanya ini?

PG : Memang pada masa remaja mereka mempunyai kepentingan untuk mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya. Jadi pada masa remaja yang menjadi fokus perhatiannya adalah bukanlah kwalitas teman tapi emaja itu lebih mementingkan kwantitas/jumlah teman.

Makin banyak teman dia merasa semakin senang semakin berharga, semakin dia dikenal oleh teman di sini, disana, temannya punya teman kemudian kenal dia dan sebagainya. Rasanya dirinya semakin berharga, maka fokus perhatiannya bukan pada kwalitas tapi pada kwantitas alias jumlah teman maka adakalanya mereka gegabah dalam memilih teman, yang penting siapa pun yang mau menjadi temannya yang mau mengajaknya pergi maka akan langsung disambut. Dan tugas kitalah orang tua memantau, jangan sampai akhirnya anak kita mulai diajak-ajak dan bermain dengan teman-teman yang kita tahu memang bermasalah. Disinilah peranan kita diperlukan, maka sudah tentu kita mesti hadir dalam kehidupannya, dengan kiga berada dirumah kita bisa dengan jelas melihat perkembangan pertemanannya itu.
GS : Kadang-kadang bukan temannya yang kita ketahui tapi gejalanya yang nampak lebih dahulu Pak Paul?

PG : Seringkali itulah yang menjadi pembuka mata kita Pak Gunawan. Kita melihat dampak temannya itu pada diri anak kita, sebelumnya dia tidak pernah berbohong dan sekarang sudah mulai berbohong sebelumnya tidak pernah mengatakan kata-kata kasar atau kurang ajar/ kata-kata kotor tapi sekarang sudah mulai mengatakan kata-kata kotor dan kasar.

Dampak-dampak seperti itulah yang mesti kita pantau sebab inilah yang nanti kita akan tunjukkan kepadanya agar dia menyadari pengaruh buruk tersebut. Kita mesti memperlihatkan perbuatannya supaya dia menyadari bahwa pengaruh itu telah ada pada dirinya. Seringkali anak berdalih "Betul teman saya seperti itu tapi itu tidak mempengaruhi saya, saya masih seperti dulu dan sabagainya". Justru kita hendak memperlihatkan kepadanya bahwa "Lihat perbuatan-perbuatanmu ini sekarang sudah berubah, engkau sudah dipengaruhi olehnya", dalam hal ini saya juga harus mengaitkannya dengan hal-hal yang bersifat rohani Pak Gunawan. Kita harus menyadari bahwa kita semua termasuk anak terlibat dalam peperangan rohani kita mesti mahfuz bahwa iblis akan berusaha keras merusakkan anak kita melalui berbagai cara dan ini salah satunya dan ini yang terampuh adalah lewat teman. Itu sebabnya kadang saya melihat bahwa pengaruh buruk itu melebihi sekedar pengaruh manusia, pengaruh buruk itu kadang-kadang lebih merupakan pengaruh iblis pada dirinya, tidak bisa tidak kita harus mendoakan agar anak kita itu terlindung dari serangan iblis.
GS : Padahal pada masa remaja biasanya anak sangat membela temannya. Kalau kita menyalahkan temannya "Gara-gara temanmu, kamu seperti ini", dia menjadi marah Pak Paul, tidak mau menerima.

PG : Seringkali Iya. Dengan kata lain dia akan berusaha memprotect temannya, maka cara kita menyampaikannya juga penting Pak Gunawan. Kalau kita melakukan cara konfrontasi untuk menyadarkannya,hampir dapat dipastikan akan mental kembali.

Maka cara yang lebih tepat adalah mengajaknya berbicara dengan lembut dari hati ke hati. Misalnya dengan suara lemah lembut kita menunjukkan kepadanya begini "Kamu dulu tidak pernah berbohong sekarang kamu mulai berbohong, tidak bisa tidak Mama atau Papa mulai memikirkan kenapa kamu sekarang mulai berbohong. Kamu dulu santun selalu hormat kepada kami sekarang kamu begitu kasar, apa yang kami lakukan sehingga kamu begitu marah kepada kami sehingga harus mengasari kami seperti itu". Dengan kita bicara lemah-lembut seperti itu anak akan lebih bisa mendengarkannya dan kemudian kita bisa munculkan pengaruh temannya misalkan kita berkata "Mama atau Papa memikirkan kemungkinannya kenapa kamu begitu, apakah mungkin ini disebabkan oleh pengaruh temanmu, dia terbiasa mengumpat, dia terbiasa berbohong dan tanpa kamu sadari pengaruh itu mulai meresap ke dalam dirimu sehingga kamu akhirnya mulai mengadopsi cara-caranya yang salah itu, kalau kamu anggap kamu tidak seperti itu maka terserah kamu tapi ini yang hendak kami sampaikan kepadamu, mohon kamu pikirkan baik-baik". Dengan cara seperti itu anak tidak terlalu disudutkan Pak Gunawan, mudah-mudahan dia akan lebih mendengarkan masukkan itu.
GS : Kalau diingatkan tentang pendidikan moral atau agama yang pernah diberikan oleh orang tuanya ketika dia masih kecil dulu apakah bisa menolong?

PG : Sangat menolong Pak Gunawan, mengingatkan dia tentang apa yang Tuhan Yesus ajarkan tentang orang lain. Bagiamana memperlakukan orang apalagi yang lebih tua, apa yang firman Tuhan ajarkan tntang menghormati orang tua, tentang tunduk kepada perintah Tuhan untuk hidup dengan benar jangan berdosa dan sebagainya.

Itu hal-hal yang boleh kita angkat kembali tapi sebaiknya kita angkat juga dengan nada yang tidak menuduhnya atau menghakiminya, kita hanya ingatkan saja sebab kalau kita gunakan untuk menghakiminya dia akan bertambah defensif.
GS : Bahkan lari dari persekutuan Pak Paul, tidak mau lagi ikut persekutuan di rumah dan ke gereja juga tidak mau dan bisa terjadi seperti itu?

PG : Bisa begitu. Sebab dia merasa saya sudah dihakimi saya sudah berdosa, saya sudah dianggap murtad kalau begitu saya tidak perlu lagi ikut berbakti ke gereja atau ke persekutuan remaja dan sbagainya.

GS : Tapi kadang-kadang juga karena pengaruh apa yang dilihat, seperti lewat media televisi ataupun yang dibaca lewat buku-buku, itu juga bisa berpengaruh Pak paul?

PG : Betul sekali, ini point yang baik Pak Gunawan. Jadi memang sebagai orang tua kita juga seharusnya memantau apa yang masuk ke dalam dirinya lewat media massa. Betul sekali apa yang ditontonya, apa yang dibacanya dapat mempengaruhi cara pikirnya dan ini juga penting nilai-nilai moralnya.

Kita lihat dia mulai terbawa arus maka sekali lagi kita tunjukkan, tanyakan pertama-tama "Saya melihat perubahan seperti ini-seperti ini, apa yang terjadi dengan dirimu kenapa engkau begitu berbeda. Dulu engkau seperti ini, sekarang engkau seperti ini apa yang menjadi penyebabnya". Jadi kita tanyakan dulu, biarkan dia memberi respons kepada kita setelah itu kalau dia tidak memberikan respons, baru kita memunculkan kemungkinan-kemungkinan penyebabnya misalkan teman, misalkan juga masukan-masukan yang diterimanya lewat media massa.
GS : Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan, pada masa remaja yang tengah bergolak ini penting kita sebagai orang tua menyatakan kasih yang besar kepada anak. Kebanyakan kita terpancing amarah, sehingga hari lepas hari kemarahanlah yang menjadi menu interaksi kita dengan anak. Kita melihat perilaku anak yang tidak kita sukai. Kita terpancing, kita marah, kita memberinya wejangan, bukannya mendengarkan malah membantah atau ini yang sering terjadi bukan hanya membantah malah menyerang kita kembali, itulah yang kadang-kadang dilakukan remaja, kita akhirnya marah dan itu menjadi menu sehari-hari inilah yang menjadi topik pembicaraan setiap hari. Kita memberi wejangan, dia membantah dia menyerang balik, kita marah. Maka kita mesti berhati-hati agar hal ini tidak terjadi. Kita justru harus menunjukkan kasih kepadanya. Kita mesti menyampaikan kepadanya bahwa kita mengasihinya dan kita tidak ingin hal-hal buruk menimpanya. Belailah anak kita, peluklah anak kita agar dia merasakan secara langsung wujud kasih kita kepadanya. Anak-anak saya sudah besar sekarang yang paling kecil sudah SMA kelas 3 yang dua sudah kuliah namun sampai sekarang baik istri saya maupun saya tetap memeluk anak, kami tetap mencium anak bahkan dengan anak laki saya yang sudah menjadi dewasa yang sudah kuliah di perguruan tinggi tetap saya peluk, tetap saya tunjukkan kasih sayang kepadanya bukan karena dia sekarang sudah besar kemudian dia tidak lagi membutuhkan pelukan dan belaian. Dia manusia sama seperti kita, kita masih-masing tetap memerlukan semua itu. Jadi tunjukkan kasih pada masa remaja ini, kenapa sebab si anak meskipun dia marah, dia merasa tidak dimengerti dan sebagainya, sewaktu orang tua berbicara lemah lembut kepadanya memeluknya membelainya, itu benar-benar akan mencairkan hatinya dan itu merupakan wujud lagsung dan nyata bahwa Papa atau Mama tetap mencintainya. Ini yang kadang kita lupa untuk dilakukan dan mesti kita lakukan di dalam rumah.
GS : Sering kali bukannya kita tidak melakukannya hanya caranya melakukan yang belum pas. Ada orang tua yang mengatakan "Saya mengasihi anak ini makanya saya mencukupi semua kebutuhannya, apa pun yang dia minta akan saya penuhi sebisa saya", tapi itu justru tidak membuat anak merasa orangtuanya mengasihi dia Pak Paul?

PG : Sebab secara manusia kodrat kita bukan hanya terdiri dari aspek jasmaniah, kita juga manusia emosional, manusia memerlukan gizi-gizi emosional. Jadi kita memerlukan sentuhan, belaian, peluan sama seperti kita membutuhkan kecukupan jasmaniah.

Orang tua mesti mengingat hal ini, bukankah kita yang sudah menikah menyadari hal itu, kalau suami kita hanya memberikan kebutuhan jasmaniah kita dan tidak mengajak kita bicara, apakah kita bisa berkata bahwa suami kita mempedulikan kita, itu tidak bisa! Apakah kita juga bisa mengatakan suami saya menyayangi saya kalau tidak pernah membelai kita sama sekali, itu tidak mungkinkan! Jadi kita adalah manusia yang juga membutuhkan sentuhan emosional. Anak juga sama, mereka juga memerlukan sentuhan-sentuhan emosional.
GS : Tapi ada para remaja yang merasa risih kalau di rangkul, kalau di cium apalagi kalau di depan umum Pak Paul?

PG : Itu betul sekali, maka lakukanlah jangan di depan umum. Kita peluk dia, kita belai dia tapi tidak di depan umum dan sudah tentu memang frekuensinya akan berkurang, waktu dia masih kecil kia lakukan dan waktu dia sudah remaja masih kita lakukan tapi frekuensinya akan berkurang.

Namun kuncinya disini adalah kita mesti sudah melakukannya sejak si anak kecil, kalau tidak si anak hampir banyak dipastikan akan menolak sebab dia tidak terbiasa, sekarang sudah umur 16 tahun tiba-tiba Papa mau peluk, Mama mau membelainya, dia tidak suka! Jadi kita mesti mulai membelai, memeluknya sejak dia kecil.
GS : Mungkin perlu dalam hal ini orang tua memposisikan dirinya sebagai teman bagi anak Pak Paul?

PG : Itu tepat sekali, sebab memang kebutuhan remaja adalah dimengerti. Dia memohon agar orang tua melihat masalah atau melihat sesuatu dari kacamatanya saja. Salah satu keluhan remaja adalah oang tua tidak mengertinya, itu sebabnya mereka jauh lebih sering berbicara dengan temannya dan kalau ditanya kenapa? Sebab mereka berkata "Teman itu nyambung bicara dengan saya, orang tua tidak nyambung".

Kenapa? Penyebab pertama adalah orang tua memang adakalanya sukar menempatkan diri diposisi anak meneropong masalah lewat kacamata anak. Dan yang kedua orang tua itu sepertinya langsung menempatkan diri sebagai guru yang harus memberikan arahan intruksi, wejangan kepada anak. Sehingga anak tidak merasa enak bila berbicara dengan orang tua, sebab belum apa-apa wejangan-wejanganlah yang langsung dilontarkan oleh orang tua. jadi mesti orang tua pada awalnya menempatkan diri sebagai teman, bicara, tanya sebagainya dan setelah itu kalau perlu memberikan masukan atau wejangan baru memberikannya tapi dengan cara yang pas juga sehingga anak tidak merasa dihakimi juga.
GS : Bagaimana dengan aturan-aturan yang pernah kita berikan sejak masa kecilnya Pak Paul?

PG : Kita harus menciptakan aturan yang realistis Pak Gunawan dalam pengertian aturan ini dapat ditaati oleh anak karena memang memungkinkan. Berhati-hatilah untuk tidak membuat peraturan yang erlalu mengikat sehingga anak tidak bisa bergerak dan akhirnya terpaksa melanggarnya.

Jika perlu silakan bernegosiasi dengan anak dan dengarkanlah permintaannya sehingga kita dapat membuat peraturan bersama. Kita mesti mengingat bahwa peraturan yang dibuat dan disepakati bersama akan mengikat anak dengan lebih kuat sebab dia merasa sedikit banyak bertanggung jawab atas peraturan yang turut di buatnya itu. Setelah itu kita mesti menerapkan peraturan dengan lebih konsisten jangan sampai tidak konsisten dan terapkanlah konsekuensi bila anak gagal memenuhi tanggung jawabnya.
GS : Itu berarti kalau selama ini kita membuat peraturan secara sepihak, sekarang kita harus berdiskusi dulu dengan anak Pak Paul?

PG : Betul, sudah tentu tidak semua hal. Ada waktu-waktu anak tidak bisa menerima maka kita terapkan aturan itu namun sedapatnya memang bernegosiasi, berdiskusilah. Sebagai contoh, pergi ke pesa ulang tahun diundang oleh temannya dan anak kita berumur misalkan 17 tahun.

Masalahnya adalah si anak meminta untuk diizinkan pulang jam 12 malam, kita berkata "Tidak boleh, pulanglah jam 9 malam". Ini seringkali menimbulkan ketegangan dan si anak akan berkata "Pa pesta ini baru benar-benar mulai jam 9, taman-taman baru datang jam 9, kalau saya langsung pulang maka saya akan jadi bahan tertawaan", orang tua mesti menimbang masukan anak ini dan bersedia bernegosiasi dan akhirnya kita katakan "Baiklah pulanglah misalkan jam 11" atau kalau kita izinkan pulang jam 12 dan kita takut dia diantar temannya atau sendirian maka kita berkata "Kamu boleh pulang jam 12 tapi saya jemput". Jadi cobalah bernegosiasi dengan anak sehingga pada akhirnya anak akan berkata bahwa saya bisa berbicara dengan orang tua sebab apa yang saya bicarakan atau katakan akan dipertimbangkan oleh orang tua dan ini yang perlu diketahui oleh anak. Sekali lagi kita menciptakan aturan yang relalistis, masalah yang sering terjadi pada orang tua dengan remaja adalah orang tua tetap memberikan / menerapkan aturan yang tidak lagi realistis. Orang tua menerapkan aturan yang dulu diterimanya dari orang tuanya, yang tidak lagi bisa diterapkan sekarang.
GS : Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh orang tua?

PG : Yang kelima adalah kita mesti memeriksa diri sendiri, sebagai orang tua kadang perkataan kita tajam mudah melukai hati anak atau ucapan kita mungkin merendahkannya sehingga dia sakit hati.Introspeksi diri merupakan keniscayaan dalam menghadapi remaja sebab sebagai manusia kita pun lepas kendali, bukannya mendidik malah menghancurkan harga diri anak, jika itu telah terjadi saya minta kepada orang tua jangan ragu meminta maaf, kedewasaan kita meminta maaf akan menyadarkan anak bahwa kita bersedia berubah demi dia pula.

GS : Saya merasa bahwa kalau putra putri kita sudah mulai remaja berati kita mesti belajar berkomunikasi lagi dengan mereka Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Memang seolah-olah anak itu ada dua fase komunikasi, waktu dia kecil dan waktu remaja. Waktu remaja kita benar-benar memulai sesuatu yang baru. Kita mau melihat dri sudut remaja di sini, betapa banyaknya remaja yang putus asa berbicara dengan orang tua karena tidak ditanggapi / didengarkan.

Betapa banyaknya remaja yang akhirnya enggan berkomunikasi dengan orang tua karena bagi anak remaja orang tua selalu menganggap diri benar, ini keluhan yang saya sering dengar. Inilah hal yang memutuskan komunikasi dengan remaja. Oleh sebab itu kita harus adil, kita harus bersedia mendegarkannya pula. Dan bukan hanya di dengarkan, remaja juga rindu agar pendapat atau penjelasannya dipertimbangkan.
GS : Memang seolah-olah waktu itu sangat sempit bagi orang tua untuk bisa berbicara dengan ramaja, karena ini waktu bagi orang tua meniti karier Pak Paul?

PG : Apalagi pada usia-usia paro-baya, anak masih remaja dan orang tua sudah berusia empat puluh tahun ke atas. Jadi memang fokus perhatian orang tua tersedot pada yang diluar rumah yakni pekeraannya.

Maka penting di sini orang tua juga memberi waktu yang cukup untuk bersama dengan anak remajanya sehingga tali komunikasi bisa berlangsung dan satu hal lain lagi yang mesti juga dibangun adalah tali persekutuan rohani dengan anak. Kita mesti membagikan pengalaman rohani dengannya, bukan hanya mengajarkan hal-hal rohani tapi membagikan hal-hal rohani dengannya, pengalaman pribadi kita bagaimana Tuhan mendengarkan dan menjawab doa kita. Kita mesti menceritakan perbuatan baik kita, menolong diri kita atau pun dirinya dulu, ajaklah dia untuk berdoa bersama dan secara berkala baca firman Tuhan untuknya, jangan mengkuliahinya dan jangan gunakan kesempatan ini untuk memarahinya dengan mengatas namakan Tuhan. Untuk hal itu remaja peka sekali, justru belajarlah terbuka dengannya bagikan pergumulan rohani kita sebab besar kemungkinan dia pun tengah bergumul dengan iman kepercayaannya, jangan menganggap dia tidak pernah bergumul. Seringkali remaja bergumul apakah benar Tuhan seperti ini dan apakah betul Tuhan itu jalan satu-satunya dan sebagainya.
GS : Dan memang pada masa ini terjadi pergolakan di dalam kehidupannya, banyak pertanyaan yang dilontarkan dan menurut orang tua kadang-kadang pertannyaannya itu mengada-ada Pak Paul, dan bagaimana kita menyikapinya?

PG : Kadang kita terpancing untuk marah sebab ada benarnya begini Pak Gunawan, remaja tahu kalau hal-hal rohani itu penting buat kita dan karena dia ingin membalas kita maka dia menggunakan halhal rohani justru untuk menyerang kita, dengan cara dia tidak mau mendengarkan apa yang kita katakan tentang Tuhan.

Dia tahu kita akan sangat terluka, justru itu yang akan dia gunakan. Kita memang sebaiknya tetap tenang jangan bereaksi, jangan malahan berkata "Tuhan akan mengutuk kamu dan sebagainya" tidak! Jangan tanggapi kemarahannya justru kita bisa berkata "Kalau memang kamu masih belum bisa menerimanya maka tidak apa-apa, saya tetap mendoakan kamu dan saya percaya kamu tetap anak Tuhan, kamu sudah mengenal Tuhan sejak kecil dan ini tidak akan terhapus dalam hidupmu dan suatu hari kelak saya percaya, kamu akan mendengarkan suara Tuhan dalam hidupmu". Justru kalau kita bicara seperti itu, dia tidak punya alasan untuk membalas kita tapi kalau kita terpancing marah, maka tercapailah keinginannya, dia bisa saling balas dengan kita.
GS : Biasanya pada masa remaja mereka sudah berangkat ke gereja sendiri, selama ini dia berangkat bersama -sama dengan orang tua. Seringkali mereka kesiangan bangun atau mencari-cari alasan supaya tidak ke gereja dan orang tua seringkali marah Pak Paul?

PG : Dari pada marah lebih baik kita ajak dia bicara, kenapa kamu tidak bangun apakah kamu memang tidak merasa tertarik untuk ke gereja dan kita bicarakan jalan keluarnya. Sebab mungkin saja da tidak merasa diisi dengan tepat dengan baik di gerejanya, kita bisa tanyakan apakah ada pilihan lain, apakah kamu mau mencari kemungkinan bergereja di gereja lain dan sebagainya.

Jadi kita bernegosiasi dengan dia. Inilah yang memang diperlukan dalam mengarahkan remaja.
GS : Memang ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa dan mau repot, karena masa-masa ini bagi orang tua harus juga disyukuri karena anaknya berkembang menjadi remaja dan tidak menjadi anak-anak terus. Tapi konsekuensinya adalah mau repot atau lebih sabar menghadapi anak remaja kita Pak Paul?

PG : Tapi kalau kita tidak mau repot ambil jalan pintas yang cepat-cepat justru tidak membuahkan hasil malah seringkali membuat bumerang buat kita.

GS : Dan untuk jangka panjangnya masalahnya bisa lebih rumit lagi?

PG : Betul.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan ini Pak Paul?

PG : Ini adalah firman Tuhan yang perlu didengarkan oleh remaja juga yaitu "Akhir kata dari segala yang didengar ialah; takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahnya, karena in adalah kewajiban setiap orang.

Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat" diambil dari Pengkhotbah 12:13,14 inilah ayat yang perlu kita bagikan kepada remaja bahwa Tuhan melihat dan dia juga harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Tuhan sehingga hal ini mendorong dia untuk hidup takut akan Tuhan.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dikasari Susah Dihalusi Susah". Bagi Anda yang berminat mengikuti perbincangan ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



87. Menanamkan Kebenaran Pada Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T239A (File MP3 T239A)


Abstrak:

Sebagai orang tua kita perlu mengajarkan kebenaran pada anak dan kita juga perlu mengerti kehidupan pergaulan anak zaman ini sekaligus menjadi teman bagi mereka. Dan kita akan belajar dari surat 3 Yohanes yang di tulis oleh Rasul Yohanes kepada Gayus anak rohaninya. Akan dijelaskan di sini 3 hal yang kita perlu pelajari dari surat 3 Yohanes.


Ringkasan:

Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar daripada mendengar bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran. 3 Yohanes 1:4

Surat 3 Yohanes ditulis oleh Rasul Yohanes kepada seseorang bernama, Gayus-anak rohani Rasul Yohanes. Di dalam suratnya yang singkat ini, Rasul Yohanes menyampaikan terima kasihnya kepada Gayus atas pertolongan yang telah diberikannya kepada beberapa saudara yang datang berkunjung. Rasul Yohanes memuji Gayus yang hidup di dalam kebenaran-kehidupan yang membawa sukacita besar bagi Rasul Yohanes. Dari surat yang pendek ini ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dan terapkan untuk keluarga.

Pertama, Yohanes menganggap Gayus sebagai anak dan sebagai orangtua ia memandang Gayus bukan saja sebagai anak biasa melainkan sebagai anak rohani. Tuhan mengharapkan agar kita bukan saja menjadi orangtua jasmaniah tetapi juga orangtua rohaniah bagi anak-anak kita. Kadang kita beranggapan bahwa tugas hamba Tuhanlah untuk menjadi orangtua rohani bagi anak-anak kita. Pandangan ini keliru. Orangtualah yang bertanggung jawab atas kerohanian anak-anaknya. Jika ada di antara anak kita yang meninggalkan iman atau tidak pernah memeluk iman kristiani, besar kemungkinan kita memiliki andil dalam keputusannya itu.

Dengarlah perintah Tuhan kepada orang Israel:

Tetapi kamu harus menaruh perkataanku ini dalam hatimu dan dalam jiwamu; kamu harus mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu. Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun; engkau harus menuliskannya pada tiang rumahmu dan pada pintu gerbangmu supaya panjang umurmu dan umur anak-anakmu di tanah yang dijanjikan Tuhan...

Ulangan 11:18-21

Ada dua hal yang diperintahkan Tuhan di sini. Pertama, Tuhan memerintahkan orang Israel untuk menaruh perkataan Tuhan di dalam hati dan jiwanya. Kedua, Tuhan memerintahkan mereka untuk mengajarkan perkataan Tuhan kepada anak-anak dengan membicarakannya-pada pelbagai kesempatan-dan menuliskannya-pada pelbagai tempat.

Membicarakannya pada pelbagai kesempatan berarti menjadikan Firman Tuhan bagian integral dalam percakapan keluarga. Menuliskannya pada pelbagai kesempatan merupakan upaya untuk terus mengingatkan anak akan perkataan Tuhan lewat bahasa tulisan. Dan prasyarat dari semua ini adalah kita harus menaruh perkataan Tuhan di dalam hati dan jiwa kita terlebih dahulu.

Kedua, Yohanes memuji Gayus yang telah setia kepada kebenaran dan hidup dalam kebenaran. Orangtua perlu menyadari bahwa dunia di mana anak tinggal tidaklah ramah terhadap iman kepercayaannya.

• Dunia tidak menyenangi kekudusan,

• Dunia juga tidak menyenangi keyakinannya bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan kepada Bapa

• Dunia tidak menyenangi cinta anak kepada Kristus

• Dunia pun tidak menyukai tekad anak untuk melayani Tuhan

Kita perlu mengingatkan anak akan desakan dunia dan terus mendorongnya untuk hidup dalam kebenaran. Kita harus mengingatkan anak bahwa terpenting dalam hidup adalah mematuhi perkataan Tuhan dan hidup di dalam-Nya. Jangan lupa untuk menyampaikan penghargaan kita akan komitmennya untuk hidup dalam kebenaran.

Ketiga, Yohanes berterima kasih kepada Gayus yang telah berbuat baik kepada saudara seiman. Ternyata Gayus bukan saja hidup dalam kebenaran, ia pun hidup dalam kebaikan. Perbuatan baik merupakan wujud nyata kasih kepada Tuhan dan sesama. Kita harus memberi contoh konkret kepada anak sebelum ia dapat berbuat baik kepada sesama. Anak belajar paling banyak bukan dari perkataan melainkan perbuatan kita. Kesediaan kita untuk menolong serta membagi apa yang kita miliki adalah bukti nyata kasih kepada Tuhan dan sesama.

Sewaktu anak melihat perbuatan baik, ia pun belajar meniru dan perlahan namun pasti ia akan meyakini bahwa perbuatan baik bukanlah sesuatu yang luar biasa melainkan sesuatu yang biasa dan bisa dilakukan. Akhirnya berbuat baik menjadi bagian dari hidupnya..


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menanamkan Kebenaran pada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Memang kebenaran itu tidak dengan sendirinya muncul di dalam diri seseorang Pak Paul. Jadi harus disemai sejak anak masih kecil hanya masalahnya adalah bagaimana dan kapan saat yang tepat dan ini yang akan kita perbincangkan Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Kadang-kadang saat kita melihat bayi kita, dalam hati berkata betapa "Tidak berdosanya mereka," tapi begitu mereka menginjak usia 2,3,4 tahun dan selanjutnya mulalah kita melihat bahwa mereka adalah sama seperti kita manusia berdosa, misalkan anak bisa berbohong pada kita, pada usia misalkan 4 tahun dan kita dibuat terbengong-bengong karena kita tidak pernah mengajarkan anak ini berbohong, tapi dia bisa berbohong kepada kita pada usia sekecil itu.

Perilaku-perilaku seperti ini menyadarkan kita bahwa di usia seperti itu sudah sanggup berbuat dosa, kenapa? Sebab benarlah Firman Tuhan bahwa dalam kandungan ibuku aku dikandung di dalam dosa. Itu sebabnya kita harus menanamkan kebenaran-kebenaran Tuhan secara terencana di dalam hati anak-anak kita, kita tidak boleh beranggapan bahwa dengan sendirinya anak-anak kita akan mempunyai ketertarikan-ketertarikan terhadap hal-hal rohani, terhadap kebenaran-kebenaran Tuhan, tidak! Karena anak-anak kita berdosa, jadi kertertarikan pertama dan utamanya adalah kepada dosa bukan kepada hal-hal yang bersifat kebenaran Ilahi. Justru kita sebagai orang tua harus secara terencana menanamkan benih-benih Firman Tuhan dan kebenaran, sehingga si anak akhirnya diperlengkapi dengan kekuatan dan kuasa Tuhan untuk melawan desakan-desakan untuk berbuat dosa.
GS : Jadi memang seorang anak bayi yang baru lahir mungkin berbuat dosa Pak Paul, tetapi dia punya kecenderungan untuk berdosa.

PG : Tepat sekali, jadi potensi berdosa sudah ada sejak anak lahir di dunia.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang mendukung perbincangan ini Pak Paul?

PG : Saya akan menggunakan 3 Yohanes 1:4 Firman Tuhan berkata, "Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran." Surat 3 Yohanes ini ditlis oleh rasul Yohanes kepada seseorang bernama Gayus, Gayus ini adalah anak rohani rasul Yohanes.

Di dalam suratnya yang singkat ini, rasul Yohanes mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Gayus atas pertolongan yang telah diberikannya kepada beberapa saudara yang datang berkunjung. Rasul Yohanes memuji Gayus yang hidup dalam kebenaran, kehidupan yang membawa sukacita besar bagi rasul Yohanes. Berdasarkan surat inilah dan berdasarkan surat inilah kita akan menarik atau menimba beberapa pelajaran yang dapat kita terapkan untuk keluarga agar dapat menerapkan atau menanamkan kebenaran ini di dalam hidup anak-anak.
GS : Mungkin Pak Paul bisa uraikan apa yang dimaksud dengan anak rohani, seperti apa Pak Paul?

PG : Jadi maksudnya adalah Gayus menerima Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus dan bertumbuh di dalam imannya atas pelayanan Rasul Yohanes, jadi itu yang kita maksud dengan anak rohani.

GS : Mungkin seperti Timotius dengan rasul Paulus?

PG : Tepat sekali. Jadi memang Tuhan memakai rasul Paulus untuk menumbuhkan iman Timotius meskipun dalam kasus Timotius yang memperkenalkannya kepada Tuhan adalah ibunya sendiri dan juga nenekna yang juga adalah orang yang rohani tapi Timotius bertumbuh di dalam imannya akhirnya menjadi pemimpin kristen pada saat itu atas pelayanan rasul Paulus.

GS : Dari surat yang pendek itu Pak Paul, dari 3 surat dari rasul Yohanes, apakah pelajaran yang bisa kita petik, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah Yohanes menganggap Gayus sebagai anak dan sebagai orang tua dia memandang Gayus bukan saja sebagai anak biasa melainkan sebagai anak rohani. Dalam hidup ini kadang-kadag kita menganggap anak ini anak saya, ada yang bahkan setelah dewasa diangkat anak (dalam budaya-budaya tertentu), mengangkat saudara dan sebagainya.

Rasul Yohanes memang memandang Gayus sebagai anaknya namun rasul Yohanes tidak berhenti memandangnya hanya sebagai anak tapi dia melihat Gayus sebagai anak rohaninya. Coba kita terapkan di dalam kehidupan berkeluarga, Tuhan mengharapkan agar kita bukan saja sebagai orang tua jasmaniah tetapi juga orang tua rohaniah bagi anak-anak kita. Kadang kita beranggapan bahwa tugas hamba Tuhanlah atau pengajar-pengajar di gerejalah untuk menjadi orang tua rohani bagi anak-anak kita. Saya ingin menegaskan bahwa pandangan ini keliru; orang tualah yang bertanggung jawab atas kerohanian anak-anaknya. Jadi jika ada di antara anak-anak kita yang meninggalkan iman atau tidak memeluk iman kristiani kita, besar kemungkinan kita memiliki andil di dalam keputusannya itu Pak Gunawan. Jadi tugas ini adalah tugas orang tua, kita tetap memandang anak-anak sebagai anak-anak jasmaniah yang kita harus besarkan, didik dan sebagainya tapi jangan lupa kita harus memandang anak-anak kita sebagai anak-anak rohaniah artinya lewat kitalah mereka kenal Tuhan Yesus, lewat kitalah nantinya mereka bertumbuh di dalam iman kepada Tuhan kita Yesus Kristus pula.
GS : Jadi boleh saja seorang anak mempunyai bapak rohani, tetapi paling utama adalah orang tuanya sendiri.

PG : Betul sekali. Jadi tidak ada salahnya dan sudah tentu baik jika seseorang mempunyai bapak ibu rohani yang membimbing dan memperhatikan kehidupan rohaninya tapi terpenting dan terutama adalh orang tua sendiri yang menjadi orang tua rohani bagi kita.

Ini sesuatu yang Tuhan harapkan dari kita tapi masalahnya Pak Gunawan tidak banyak orang kristen yang seperti itu, kita tidak perlu melihat orang lain, kita melihat diri kita saja. Berapa banyak di antara kita bisa berkata bahwa orang tua saya adalah orang tua rohani. Mama saya adalah Mama rohani saya, Papa saya adalah Papa rohani saya dan saya takut fakta di lapangannya adalah sedikit yang bisa berkata seperti itu padahal Firman Tuhan di Ulangan 11:18-21 dengan jelas memerintahkan orang Israel, dengan Firman Tuhan, "Tetapi kamu harus menaruh perkataanku ini di dalam hatimu dan dalam jiwamu; kamu harus mengikatnya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu. Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau bangun, engkau harus menuliskannya pada tiang rumahmu dan pada pintu gerbangmu, supaya panjang umurmu dan umur anak-anakmu di tanah yang dijanjikan Tuhan." Jadi jelas di sini Tuhan memerintahkan tugas menjadi orang tua rohani kepada kita semuanya. Jadi bukan saja kita menjadi orang tua jasmaniah tapi juga menjadi orang tua rohaniah.
GS : Sebenarnya kesukarannya apa Pak Paul, kalau orang tuanya menjadi orang tua rohani bagi anaknya.

PG : Pertama memang adanya kekeliruan atau adanya kesalahpahaman sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa ini bukan tugas saya sebab saya tidak diperlengkapi dengan kemampuan menjadi orang ua rohani bagi anak-anak saya.

Hanya pengajar-pangajarlah yang dapat berkompetensi untuk mendidik anak-anak saya di dalam Tuhan. Jadi yang pertama, saya rasa konsep yang keliru ini kita akan lihat Pak Gunawan, ternyata yang membuat anak mengenal Tuhan, mencintai Tuhan dan bertumbuh di dalam Tuhan mungkin porsi terbesar yang membuat mereka menjadi seperti itu adalah contoh nyata kehidupan orang tuanya. Jadi Tuhan tidak menuntut orang tua melakukan sesuatu yang orang tua tidak bisa melakukannya, hidupilah Firman Tuhan itu di dalam kehidupan kita. Dan secara alamiah berbicaralah kepada anak-anak dan dalam pembicaraan-pembicaraan yang informal maka anak-anak nantinya bisa mulai mendengar masukan-masukan rohaniah dari kita. Jadi sesungguhnya tidaklah susah seperti yang kita bayangkan. Nomor dua kenapa kadang-kadang susah melakukannya, karena ada orang tua yang memang menyadari hidupnya itu tidaklah seturut dengan kehendak Tuhan. Sehingga mereka melihat saya tidak layak menjadi pengajar rohaniah bagi anak-anak saya, hidup saya pun tidak karuan atau orang tua tidak harmonis. Di dalam ketidak harmonisan sering bertengkar sehingga mereka berkata, "Kami bukan panutan yang baik buat anak-anak kami." Tapi ada juga kemungkinan yang terakhir yaitu orang tua sendiri pun memang tidak mementingkan hal-hal rohani sehingga tidak merasa perlu untuk menekankan hal-hal rohani ke dalam hidup anak-anak, mereka berkata biarkan anak-anak nanti bertumbuh besar memilih sendiri apa yang dianggapnya baik, saya tidak perlu mencampuri urusan rohani anak-anak saya, ada orang tua yang bersikap seperti itu sehingga mereka berpikir praktis yang penting anak saya baik, tingkah lakunya baik jangan sampai merugikan orang, sering-seringlah berbuat baik pada orang. Itulah hal yang penting dan yang lain-lain itu tidak perlu ditekankan.
GS : Pak Paul, tadi perintah Tuhan yang Pak Paul bacakan dari kitab ulangan sebetulnya ditujukan kepada ayah atau ibu, Pak Paul?

PG : Memang tidak dibagi atau ditekankan atau ditugaskan secara spesifik. Maka kita harus menyimpulkan bahwa ini diembankan kepada kedua orang tua makanya ini adalah firman kepada orang Israel.Jadi ini adalah firman yang disampaikan oleh Musa, dia mewakili Tuhan, dia menyampaikan titah Tuhan kepada semua orang-orang Israel.

GS : Inti dari perintah itu apa Pak Paul?

PG : Ada dua hal yang Tuhan perintahkan disini. Yang pertama adalah Tuhan memerintahkan orang Israel untuk menaruh perkataan Tuhan dalam hati dan jiwanya, yang kedua Tuhan memerintahkan orang Irael untuk mengajarkan perkataan Tuhan kepada anak dengan membicarakannya dalam berbagai kesempatan dan menuliskannya pada berbagai tempat.

Kerohanian anak adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua dan tugas kita adalah mengajarkan perkataan mereka kepada Tuhan, ini jelas-jelas disampaikan Tuhan dan Tuhan menjabarkan dua cara untuk kita mengajarkan perkataan Tuhan kepada anak-anak. Yang pertama adalah dengan membicarakannya, Firman Tuhan memang menggunakan ilustrasi-ilustrasi atau contoh-contoh yaitu kamu harus mengajarkannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau berbaring, apabila engkau bangun. Jadi pada pelbagai kesempatan, kita tidak perlu terus- menerus mencekoki anak dengan hal-hal rohani. Dalam percakapan sehari-hari, didalam menghadapi situasi tertentu, waktu kita teringat Firman Tuhan maka kita bagikan kita ingatkan anak. Waktu anak menerima dan berkata sesuatu maka kita ingatkan, bukankah kita telah berdoa dan melihat Tuhan telah menjawab doa kita. Hal-hal seperti itu menjadi kesempatan untuk mengajarkan anak tentang perkataan Tuhan. Cara kedua yang Tuhan berikan adalah agar kita mengajarkan perkataan Tuhan kepada anak-anak adalah dengan menuliskannya. Disini dikatakan oleh Firman Tuhan, "Kau menuliskannya pada tiang rumahmu, pada pintu gerbangmu," artinya pada pelbagai tempat artinya membicarakannya pada pelbagai kesempatan berarti menjadikan Firman Tuhan bagian integral dalam percakapan keluarga. Menuliskannya pada pelbagai kesempatan merupakan upaya untuk terus mengingatkan anak-anak akan perkataan Tuhan lewat bahasa tulisan. Jadi selain menuliskannya secara langsung, kita pun juga dapat mendorong anak untuk membaca buku kristiani. Istri saya sangat baik dalam hal-hal seperti ini, istri saya kadang-kadang mengirimkan SMS Firman Tuhan kepada saya, kepada anak-anak kami, kadang-kadang istri saya juga menitipkan guntingan kertas kecil dengan Firman Tuhan tertera disitu. Atau mengirimkan kartu kepada saya atau anak-anak dan di dalamnya tertera lagi firman Tuhan. Orang perlu belajar lewat pendengaran tapi orang perlu belajar juga lewat penglihatan apa yang dibacanya, apa yang dilihatnya. Maka Firman Tuhan memang meminta orang tua membicarakannya dan menuliskannya. Jadi sekarang sudah banyak buku-buku rohani, ajaklah, doronglah juga anak untuk membaca buku-buku rohani itu. Namun terpenting dan prasyarat dari semuanya ini adalah kita harus menaruh perkataan Tuhan dalam hati dan jiwa kita terlebih dahulu. Maka Firman Tuhan pertama-tama jelas berkata, "Tetapi kamu harus menaruh perkataanKu ini dalam hatimu dan dalam jiwamu." Berarti kita sebagai orang dewasa, sebagai orang tua mesti diserapi oleh Firman Tuhan lalu pada akhirnya kita bertugas untuk membagikannya kepada anak-anak. Kalau kita sendiri tidak diserap oleh Firman Tuhan, bagaimanakah kita nanti secara alamiah memancarkan Firman Tuhan dari mulut kita.
GS : Memang di dalam menanamkan kebenaran, akan mudah dimengerti oleh anak-anak kalau kita menunjukkan sikap yang konkret yang nyata yang mereka bisa lihat, mereka bisa rasakan, mereka bisa alami di dalam kehidupan sehari-hari itu Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, misalnya kita sering menekankan kepada anak-anak bahwa sebagai anak Tuhan mereka perlu belajar mengalah dan kita tekankan kamu harus mengalah kepada kakakmu, kamuharus mengalah kepada adikmu dan sebagainya tapi kita malah bertengkar dengan pasangan kita dan anak-anak melihat.

Kita tidak mau mengalah, pasangan kita tidak mau mengalah terus memperpanjang konflik, marah bertengkar dan saling manyalahkan. Apa yang anak-anak lihat? Papa dan Mama tidak mengalah. Apa yang diajarkan sebelumnya akhirnya tidak mendapatkan bukti di dalam rumah sebab akhirnya yang mereka lihat adalah Papa Mama kalau marah satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Jadi nanti yang mereka simpan di dalam hati bukan kebenaran Tuhan tapi justru perilaku orang tualah yang nanti mereka simpan di hati mereka.
GS : Pak Paul, selain pelajaran yang kita bisa tarik dari bacaan pendek tadi bahwa Gayus itu selain sebagai anak juga dianggap oleh rasul Yohanes sebagai anak rohaninya, apakah ada pelajaran yang lain Pak Paul?

PG : Yang lain adalah Yohanes memuji Gayus yang telah setia kepada kebenaran dan hidup dalam kebenaran. Orang tua perlu menyadari bahwa dunia dimana anak kita tinggal sebetulnya tidak ramah teradap iman kepercayaannya.

Misalnya dunia tidak menyenangi kekudusan itu sebabnya tersedia berlaksa-laksa pencobaan untuk menjauhkan anak kita dari kekudusan. Mulai dari ajakan-ajakan teman melihat barang-barang porno sampai nanti di internet-internet, di komputer-komputer mereka, sampai juga di handphone mereka dan sebagainya, dunia tidak menyenangi kekudusan. Contoh lain dunia juga tidak menyenangi keyakinannya bahwa Kristus adalah satu-satunya kepada Allah Bapa. Itu sebabnya dunia senantiasa mencoba menggeser keyakinannya sehingga menjadi terbuka terhadap segala jalan dan segala kemungkinan. Kematian dan penebusan Kristus bukanlah solusi dosa menurut yang diajarkan oleh dunia, tapi dunia malah mengajarkan tentang kebaikan manusia merupakan jawaban terhadap masalah dosa dan anak-anak akhirnya tergoda untuk melihat keselamatan dari kacamata ini. Contoh lainnya dunia tidak mencintai kalau anak-anak cinta kepada Kristus. Itu sebabnya dunia berusaha menghadirkan berbagai objek untuk dikasihi dan diutamakan dan lama-kelamaan kasihnya kepada Kristus akan luntur. Waktu kecil di gereja ikut kegiatan menghafal ayat, cinta Tuhan, dari sekolah minggu ke remaja, ke pemuda akhirnya makin luntur-makin luntur lebih mementingkan kekasihnya, lebih mementingkan pekerjaannya, olah raganya, kegiatan sosialnya, clubnya dan sebagainya. Contoh lain lagi, dunia pun tidak menyukai tekad anak untuk melayani Tuhan, itu sebabnya dunia selalu menyodorkan aktifitas lain yang menarik agar dapat mengalihkan anak dari pelayanan kepada Kristus. Jadi Pak Gunawan kita perlu menyadarkan, mengingatkan anak akan desakan dunia yang memang tidak ramah terhadap pertumbuhan iman kepercayaannya. Kita terus harus mendorongnya untuk hidup dalam kebenaran.
GS : Pak Paul, kalau berbicara tentang dunia, ini dalam pengertian orang-orang yang masih dikuasai oleh nafsu duniawi.

PG : betul sekali, ini yang kita maksud dengan dunia adalah memang nilai-nilai yang dianut oleh orang-orang yang tidak mementingkan Tuhan, yang hanya mementingkan dirinya, yang menomor tiga ata empatkan Tuhan dan menomor satu, dua, tigakan hal yang lain.

GS : Dan bagaimana atau apa yang orang tua bisa lakukan terhadap anaknya?

PG : Selain dari membagikan perkataan Tuhan, mengajarkannya kepada anak-anak, sekali lagi saya tekankan, kita bisa berbagi kesaksian dengan anak akan pergumulan dan kemenangan kita melawan pencbaan untuk jatuh dari kebenaran.

Kita perlu mengkomunikasikan kepada anak bahwa kita memahami betapa sulitnya untuk tetap hidup dalam kebenaran dan betapa tidak populernya keputusan hidup dalam kebenaran. Jadi kita berempati dengan situasi mereka, kita menyadari betapa susahnya hidup kudus. Kadang-kadang saya juga berkata bahwa untuk hidup kudus misalkan dari dosa-dosa seksual dewasa ini, jauh lebih sulit dibandingkan sewaktu saya masih muda seumur mereka. Jadi saya tidak cepat-cepat menuding-nuding tapi saya justru menempatkan diri di posisi mereka, bahwa memang sukar melawan godaan pencobaan itu dan bahwa kalau kita tidak hati-hati, memang kita mudah sekali terpeleset, namun kita harus mengingatkan anak bahwa terpenting dalam hidup adalah mematuhi perkataan Tuhan dan hidup didalamnya dan ini yang kita harus terus mengingatkan anak-anak, dan jangan lupa menyampaikan penghargaan kita akan komitmennya untuk hidup dalam kebenaran. Jangan diamkan anak-anak itu terus ke gereja melayani Tuhan, sering-seringlah dorong dan puji, katakanlah kalau kita sangat senang, kita sangat menghargai upaya mereka untuk tetap hidup di dalam Tuhan. Meskipun seringkali sudah ke gereja, godaan untuk meninggalkan pelayanan begitu banyak dan besar tapi mereka tetap setia. Waktu kita melihat hal-hal itu dilakukan oleh anak-anak, kita sampaikan pujian-pujian kita sehingga mereka makin dikuatkan.
GS : Jadi sebenarnya kita juga tidak perlu menutup-nutupi tatkala kita jatuh di dalam dosa dan sebagainya di hadapan anak, Pak Paul. Ini sebagai contoh konkret betapa sulitnya hidup didalam kebenaran itu.

PG : Tepat sekali misalkan ada di antara kita yang mempunyai masa lampau yang kelam. Kadang-kadang kita takut untuk membagikannya kepada anak-anak sebab kita tidak mau anak-anak kita justru menikuti langkah-langkah buruk kita.

Semua tergantung dari bagaimanakah kita hidup sekarang dan bagaimanakah kita membagikan kesaksian itu. Kalau kita membagikan tentang masa kelam kita dengan senyum sumringah rasa bangga, anak-anak nantinya akan berpikir Papa atau Mama bukannya malu dengan masa lalu itu tapi malah bangga, dan ini yang nanti anak-anak tangkap dan ini yang nanti mereka tiru. Justru waktu kita membagikan masa kelam kita yang lampau, kita mambagikannya dengan rasa malu dan penyesalan. Kadang-kadang pembicaraan dengan anak-anak di rumah, saya juga berbagi pengalaman saya dulu terlibat pornografi, saya pun dulu juga melihat gambar-gambar yang tidak diperkenankan Tuhan namun saya tekankan, saya bertobat, saya meninggalkan semua itu sebab itu adalah hal-hal yang mengotori pikiran saya namun karena saya belajar terbuka dengan kelemahan kami, mereka akhirnya berani belajar terbuka dengan kelemahan mereka.
GS : Ada pelajaran lain Pak Paul yang bisa kita petik?

PG : Yang terakhir adalah Yohanes berterima kasih kepada Gayus yang telah berbuat baik kepada saudara seiman. Ternyata Gayus bukan saja hidup dalam kebenaran, dia pun hidup dalam kebaikan. Inga bahwa perbuatan baik merupakan wujud nyata kasih kepada Tuhan dan sesama.

Jadi kita harus memberi contoh konkret kepada anak sebelum dia dapat berbuat baik kepada sesama. Anak belajar paling banyak bukan dari perkataan melainkan dari perbuatan kita, kesediaan menolong serta membagi apa yang kita miliki adalah bukti nyata kasih kepada Tuhan dan sesama. Sewaktu anak melihat perbuatan baik, dia pun belajar meniru dan perlahan namun pasti dia akan meyakini bahwa perbuatan baik bukanlah sesuatu yang luar biasa melainkan sesuatu yang biasa dan bisa dilakukan. Akhirnya berbuat baik menjadi bagian dalam hidupnya, sebaliknya jika anak jarang melihat kita berbuat baik, dia pun juga akan meluangkan waktu yang panjang untuk bergumul dalam berbuat baik. Akhirnya bagi anak-anak yang seperti ini berbuat baik menjadi sesuatu yang tidak lazim atau tidak alamiah dan untuk mewujudkannya dituntut kesiapannya yang luar biasa besarnya. Jadi saya tekankan sekali lagi, jadikanlah berbuat baik itu sebagai sesuatu yang alamiah sehingga anak terbiasa melakukannya pula.
GS : Jadi dengan menanamkan kebenaran, sebenarnya kita bisa memetik buah yang bermacam-macam antara lain tingkah laku anak kita bertambah baik dan sebagainya. Itu membuat orang tua senang juga, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi sewaktu hal-hal ini dilakukan, orang tua pasti juga bersukacita. Saya juga minta kepada orang tua sampaikanlah sukacita itu kepada anak-anak dan waktu anak-anak diberika pujian, kesan orang tua yang penuh sukacita mereka pun akan lebih terdorong untuk melakukan perbuatan yang baik itu.

GS : Memang menanam ini sesuatu yang butuh waktu yang panjang dan usaha yang sungguh-sungguh Pak Paul, seperti petani yang menanam benih dan sebagainya itu Pak Paul.

PG : Betul sekali dan adakalanya memang ada waktu-waktu kita tidak melihat hasilnya, tapi jangan putus asa semua yang telah ditanam itu akan ada di dalam dirinya dan suatu hari kelak akan muncu ke permukaan.

GS : Dan justru untuk nilai-nilai seperti kebenaran, kebaikan membutuhkan waktu yang relatif lama.

PG : Betul sekali.

GS : Dibandingkan mengajarkan sesuatu yang buruk itu malah cepat.

PG : Betul sekali sebab di dalam diri anak-anak termasuk di dalam diri kita sudah ada benih dosa dan yang kedua lingkungan juga tidak selalu mendukung kita untuk hidup di dalam kebenaran.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menanamkan Kebenaran pada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



88. Tuntutan Tinggi Kasih Rendah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T240A (File MP3 T240A)


Abstrak:

Dewasa ini banyak orang tua yang memberi perhatian besar kepada anak. Sebagai contoh banyak orang tua yang memikirkan pendidikan dan masa depan anak.. Sayangnya sebagian besar perhatian orang tua pada anak sesungguhnya lebih berbentuk tuntutan. Tanpa disadari, pola asuh seperti ini pada akhirnya berpotensi menjerumuskan anak ke dalam masalah kepribadian yakni borderline.


Ringkasan:

Dewasa ini banyak orang tua yang memberi perhatian besar kepada anak. Sebagai contoh banyak orang tua yang memikirkan pendidikan dan masa depan anak, termasuk perilaku dan masalahnya. Sayangnya sebagian besar perhatian orang tua pada anak sesungguhnya lebih berbentuk tuntutan. Sebaliknya apa yang sesungguhnya dibutuhkan anak - kasih sayang - tidak banyak dilimpahkan. Tanpa disadari, pola asuh seperti ini pada akhirnya berpotensi menjerumuskan anak ke dalam masalah kepribadian yakni borderline. Berikut akan dipaparkan kemungkinan buruk dari pola asuh seperti ini.

• Tuntutan tinggi membuat anak fokus hanya pada aspek di luar dirinya, yaitu performa dan tugas. Alhasil, apa saja yang ada di dalam dirinya luput dari perhatian orang tua dan juga dirinya.

• Tuntutan tinggi membuat anak melihat apa yang masih kurang pada dirinya, bukan pada apa yang telah cukup. Akhirnya anak cenderung sukar menerima diri dan orang lain pula. Pandangan menjadi kritis baik terhadap dirinya maupun orang lain.

• Tuntutan tinggi juga membuat anak susah merasa puas dengan dirinya atau apa yang telah dihasilkannya. Untuk memuaskan dirinya, ia cenderung menuntut diri dan orang lain untuk makin menghasilkan sesuatu - ibarat orang yang tangah mengejar angin.

• Minimnya kasih membuat anak tidak tahu bagaimana mengasihi. Kita hanya dapat mengasihi bila kita pernah menerima kasih. Setalah besar anak-anak ini tidak terbiasa mengasihi, namun akan menuntut orang atau pasangan untuk mengasihi sebab inilah kebutuhan yang tidak terpenuhi.

• Minimnya kasih membuat anak sukar berempati pada orang. Ia cenderung menuntut tanpa belas kasihan karena susah memahami kondisi orang.

• Minimnya kasih dan tingginya tuntutan membuatnya menjadi orang yang tidak sabar dan menuntut dengan seketika. Akhirnya ia tidak bisa berkompromi atau bernegosiasi - keterampilan yang dibutuhkan dalam pernikahan.

• Pada akhirnya pola asuh ini berpotensi menciptakan generasi anak yang borderline di mana keinginannya harus dituruti sebab jika ditolak, ia menganggap kita musuhnya. Ia pun sukar memecahkan konflik sebab untuk itu diperlukan kesabaran yang panjang dan kerelaan untuk mengalah.

• Singkat kata anak ini cenderung produktif karena tingginya tuntutan, namun tidak sehat. Pernikahan mudah putus akibat rendahnya daya tahan terhadap stres.

Firman Tuhan :

"Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya." (Amsal 27:18)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tuntutan Tinggi Kasih Rendah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, perbincangan kita kali ini membahas tentang hubungan orang tua dan anaknya yang sekolah. Memang kita melihat di sekeliling kita, orang tua sering memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk sekolah di tempat yang baik dan sebagainya sampai setinggi mungkin tetapi bagi anak, kadang-kadang juga merupakan suatu tekanan sendiri. Sebab sekolah yang baik dengan tuntutan yang cukup banyak itu akan membuat dia seolah-olah kehilangan masa remajanya atau masa mudanya, Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, di satu pihak saya senang melihat begitu banyaknya orang tua yang peduli dengan anak-anaknya. Saya kira zaman kita adalah zaman dimana orang tua berusaha memberi ang terbaik untuk anak-anak, menyekolahkan di sekolah yang baik, memberikan perawatan medis yang baik, menjaga kesehatan jasmaniah, penampilannya, bajunya, mainannya, memberikan alat-alat pendidikan yang baik, melalui video games dan sebagainya.

Tapi betul sekali waktu kita akhirnya lepas kendali kehilangan perspektif, kita bukannya membuat anak bertumbuh sehat malahan justru membuat anak makin terbebani dan nantinya akan membuahkan masalah.
GS : Kesan saya, ada semacam persaingan antara orang tua yang satu dengan yang lain untuk membuat anaknya memiliki suatu prestasi tertentu, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi dewasa ini di dalam rumah saya kira di kota-kota yang agak besar ada sebuah norma yaitu tuntutan orang tua makin hari makin tinggi, mereka mengharapkan anak-anak bersekolah di ekolah yang paling baik dengan tuntutan akademik yang paling tinggi.

Saya kadang-kadang mendengar dari yayasan atau kepala sekolah atau guru di sekolah yang menceritakan bahwa sewaktu mereka mencoba untuk meragamkan segala jenis aktifitas di sekolah supaya tidak hanya akademik, orang tua mulai mengeluh, "Kenapa menjadi ringan dan tidak banyak PR dan sebagainya." Justru sekolah berniat baik namun orang tua salah paham dan banyak orang tua yang berkata, "Sekolah ini sekarang sudah gampang, mari disekolahkan di sekolah yang lebih susah." Akhirnya kita berlomba-lomba memberi tuntutan makin hari makin tinggi kepada anak-anak kita. Masalahnya adalah kita tidak mengimbangi tuntutan dengan cinta kasih, tuntutan yang tinggi sebetulnya sesuatu yang tidak sehat kepada anak-anak kita tapi kalau diikuti dengan kurangnya kasih sayang, kurangnya waktu yang diberikan kepada anak-anak, kurangnya kesempatan untuk bercengkrama, untuk memeluk, mengasihinya, mengujinya dan sebagainya kalau itu semua makin berkurang, ini semua akan membuahkan problem.
GS : Kemungkinan-kemungkinan buruk apa yang bisa terjadi kalau seandainya yang tadi Pak Paul katakan orang tua memberikan tuntutan yang tinggi tapi tidak mengimbanginya dengan kasih yang tinggi pula?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah tuntutan tinggi akan membuat anak hanyalah memfokuskan pada aspek di luar dirinya yaitu performa dan tugas. Jadi karena terbiasa dituntut, bai di rumah maupun di sekolah akhirnya anak itu yang seyogianya dalam masa pertumbuhan memberi waktu melihat dirinya, tidak sempat lagi, karena fokusnya adalah pada apa yang dituntut dan tugasnya adalah memenuhi tuntutan yang diberikan kepadanya itu.

Hasilnya adalah, apa yang ada dalam dirinya luput dari perhatian orang tua dan juga dari dirinya, itu sebabnya orang tua kadang-kadang setelah anak itu mulai besar kaget karena menemukan anaknya bisa seperti ini, bisa menjadi pemarah, kalau marah bisa meledak. Kenapa? Sebab orang tua juga luput melihat apa yang ada di dalam diri si anak yaitu pergumulannya, kesepiannya, perasaan ragu-ragu tidak percaya diri dan sebagainya, hal itu yang luput di lihat, si anak pun karena terlalu sibuk mau menyenangkan hati orang tua dan juga guru fokus pada performa dan tugas akhirnya juga tidak memperhatikan hal-hal itu sedangkan setiap anak dalam masa pertumbuhannya juga perlu menata apa yang ada di dalam dirinya dan mengelolanya, nanti bentuk nyatanya adalah ketidakmampuan mengelola misalkan emosinya, ketidakmampuan dia untuk memberikan prioritas yang tepat karena semua itu memerlukan penataan internal dan ini yang nantinya terhilang dalam kehidupan si anak.
GS : Karena perhatian anak sepenuhnya tercurah pada tugas-tugas yang diberikan kepadanya.

PG : Betul sekali. Jadi karena tugas yang difokuskan dan tujuannya adalah memenuhi tugas itu, hidup seperti roda yang berputar, seperti mesin yang berderu-deru tapi tujuannya adalah memenuhi yag ada di luar dirinya sehingga yang di dalam dirinya mau rapuh, ambruk, sedih.

GS : Dan masalahnya biasanya adalah penambahan tugas yang tidak sekaligus tapi setahap demi setahap dan orang tua sendiri tidak merasakan dampaknya secara drastis, Pak Paul.

PG : Bukan saja merasakan dampak-dampaknya secara drastis tapi orang tua pun kadang-kadang merasa ini hal yang baik, Pak Gunawan. Sebab banyak orang tua beranggapan kita tidak boleh memberikan esempatan atau waktu luang kepada anak, waktu harus selalu dipakai untuk hal-hal yang dianggapnya bersifat akademik, dileskan dan sebagainya.

Kenapa? Sebab orang tua takut kalau waktu itu luang atau senggang maka anak akan melakukan hal-hal yang salah. Dan persolannya adalah hidup si anak merupakan keseimbangan, dia memang perlu memfokuskan pada tugas dan tuntutan di luar dirinya tapi dia juga perlu waktu untuk diam untuk bisa menata dirinya, untuk tidak melakukan apa-apa, untuk main, untuk beristirahat dan sebagainya dan ada waktu-waktu dimana orang tua pun mesti bercengkrama, duduk, bicara dari hati ke hati dengan anak. Memberikan perhatian dan tanggapan pada apa yang ada di dalam hati si anak. Jadi pembicaraan dalam rumah tidak hanya yang bersifat sekolah dan akademik, mesti juga diimbangi dengan obrolan-obrolan tentang diri si anak, apa yang disukainya, apa yang tidak disukainya, apa yang dia ingin lakukan, apa yang menjadi pergumulan, hal-hal yang seperti itu yang harus juga disuburkan di dalam rumah.
GS : Jadi kalau melihat tuntutan dari sekolah sudah begitu tinggi, sebenarnya orang tua tidak perlu lagi menambahkan beban dengan menyuruh anaknya mengikuti les dan sebagainya, Pak Paul.

PG : Betul, kecuali kalau sangat diperlukan dan anak memang perlu bimbingan langsung, kalau tidak maka sebisanya tidak.

GS : Apakah ada pengaruh yang lain, Pak Paul?

PG : Tuntutan tinggi juga membuat orang melihat apa yang masih kurang di dalam dirinya, bukan apa yang telah cukup, artinya karena dituntut harus ini dan harus itu, berikan lagi yang lebih, berkan lagi yang lebih ekstra, anak akhirnya terkondisi untuk melihat apa yang kurang.

Masalahnya adalah nanti dia akan melihat dirinya juga seperti itu, apa yang kurang pada diri saya dan melihat orang lain pun seperti itu, apa yang kurang pada diri orang lain, kalau tidak hati-hati anak-anak pun akan bertumbuh besar, besar menjadi orang yang super kritis selalu melihat kekurangan dan sudah tentu akhirnya kata pujian, kata membangun untuk orang lain itu hampir tidak pernah keluar dari bibirnya sebab terhadap dirinya pun dia tidak akan melakukan hal itu, dia tidak akan memuji dirinya dan dia akan selalu melihat sesuatu yang kurang, sedangkan apa yang telah dicapainya itu tidak lagi menjadi fokus perhatiannya.
GS : Ini bisa menimbulkan perasaan yang selalu merasa bahwa dirinya selalu kurang dan cenderung membuat orang menjadi rakus, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, ini sebetulnya adalah benih-benih ketamakan tapi memang benih-benih yang terselubung karena dalam hal tuntutan yang seolah-olah tuntutan kerja dan sebagainya tapiujung-ujungnya suatu bentuk ketamakan yaitu ketidak mampuan untuk berkata telah cukup, dia tidak bisa berkata telah cukup meskipun sudah dalam kelebihan karena kita masih merasa ada yang kurang.

Nanti setelah dia menikah, dia akan mempunyai masalah yang besar dengan pasangannya, belum lagi terhadap anak-anaknya nanti, dia akan menuntut pasangannya untuk terus memberikan lebih dan lebih karena bagi dia masih ada yang kurang, karena ada saja yang dilihatnya itu kurang walaupun telah dilakukan dengan baik. Saya takut inilah siklus yang akan kita terus lestarikan dari generasi ke generasi.
GS : Jadi menjadi tanggung jawab orang tua untuk tahu bagaimana membatasi anak, sesuatu yang kritis sebenarnya hal yang baik, tapi perlu ada keseimbangan seperti yang Pak Paul katakan, supaya anak jangan terlalu kritis apa yang orang tua bisa lakukan?

PG : Sering-seringlah orang tua juga memuji apa yang telah dilakukan oleh anak, sering-seringlah orang itu juga berkata, "Sudah tidak apa-apa, cukup! Kamu tidak perlu lagi belajar sampai tengahmalam.

Kami tidak menuntut seperti itu." Jadi orang tuanya secara langsung harus berkata, "Sudah cukup, kami tidak minta lebih dari itu." Banyak orang tua yang berkata setelah anaknya dewasa atau remaja, "Anak saya belajarnya ngotot, tidak pernah bisa diam, harus lagi dan lagi sampai jam 1 pagi dan jam 6 pagi sudah bangun," pertanyaannya adalah kenapa si anak sampai seperti itu, saya menduga mungkin karena sewaktu dia kecil itulah yang orang tua terapkan kepada si anak yaitu tuntutan yang tinggi. Sekarang sudah remaja orang tua baru sadar kalau ini tidak sehat tapi masalahnya adalah roda sudah berputar dan memberhentikannya memang tidak gampang, maka orang tua harus sering-sering berkata, "Sudah tidak apa-apa sudah cukup, kamu tidak perlu memaksa seperti itu, hidup perlu seimbang, hidup juga perlu ada aspek-aspek sosial, rekreasi dan yang lainnya, bukan hanya belajar.
GS : Memang dampaknya akan terasa setelah agak besar dan sebenarnya ini adalah benih yang ditaburkan oleh orang tua sendiri, Pak Paul.

PG : Betul sekali.

GS : Apakah dampak yang lain, Pak Paul?

PG : Dampak tuntutan yang lain adalah anak susah untuk merasa puas dengan dirinya atau apa yang telah dihasilkannya. Untuk memuaskan dirinya, dia cenderung menuntut dirinya dan orang lain untukmakin menghasilkan sesuatu, ibarat orang yang tengah mengejar angin.

Jadi akhirnya anak-anak susah untuk bangga terhadap dirinya, susah bercitra positif, tidak bisa menerima dirinya, susah melihat kekurangan dirinya. Karena melihat kekurangan-kekurangan makanya dia harus dan harus berusaha, tapi di balik itu dia tidak menerima kekurangannya, makanya proyeknya adalah terus menerus menambal kekurangan, tidak benar-benar bisa menerima kekurangan itu sendiri. Sedangkan kita tahu bahwa dalam hidup, kita harus menerima diri sepenuhnya apa adanya. Ada yang masih bisa kita tumbuhkan dan ada yang tidak bisa kita tumbuhkan, ada yang masih bisa kita dongkrak, ada yang harus kita terima. Dan anak-anak akhirnya tidak mengenal kata, "Menerima," akhirnya dia tidak bisa berkata "Baiklah saya terima kekurangan saya ini." Dalam relasi inilah yang akan terjadi, dia tidak bisa terima kelemahan orang, dia akan berkata "Kamu ini hanya berdalih, kamu harus paksa diri kamu, buktinya saya bisa." Dan akhirnya orang yang hidup dengan kita akan sangat letih dan sengsara karena seperti dicambuki dan hidup merupakan suatu upaya mengejar-ngejar angin yang tidak akan pernah bisa tertangkap.
GS : Karena targetnya akan terus meningkat dan dia tidak akan pernah terpuaskan.

PG : Betul, jadi target yang terus ada dan tidak pernah tercapai sekaligus tidak bisa menerima kekurangannya. Ini adalah hal yang nantinya akan menjadi racun dalam membina keluarga karena dalampernikahan kita mesti bisa menerima kekurangan pasangan, orang-orang seperti ini akan susah sabar dan sangat susah untuk toleran dengan kekurangan pasangan, dia akan terus-menerus menyoroti kekurangan dan dia akan berusaha merubah yang kurang itu.

GS : Tapi seperti tadi yang Pak Paul katakan sebenarnya orang tua punya peran besar di sana dalam pembentukan jati diri anak, dengan menerima anak apa adanya. Jadi kalau kemampuannya sampai disitu, maka kita tidak perlu paksa-paksakan seperti anaknya orang lain.

PG : Itulah kuncinya sebenarnya, jadi kita mesti dengan saksama jeli melihat apakah yang menjadi kekuatan anak kita dan apa yang menjadi kelemahannya. Kita coba kembangkan kekuatannya dan kita erima kelemahannya, jangan justru kebalikannya, kita paksa-paksa dia untuk terus mendongkrak kelemahannya sehingga semua usaha, kita curahkan kepada kelemahannya dan akhirnya apa yang anak akan terima dari orang tua yaitu sebuah pesan yang jelas, yaitu orang tua tidak menerima kelemahannya.

Nanti dia akan beranggapan orang lain pun tidak akan menerima kelemahannya. Akhirnya fokusnya adalah selalu pada memecuti diri, tidak bisa puas, tidak bisa mempunyai image yang positif tentang diri, dan terhadap orang lain pun akan berlaku sama.
GS : Tapi kalau dia mulai menyadari bahwa dia tidak mungkin mengembangkan dirinya lebih jauh dari itu, dia juga akan frustrasi, Pak Paul.

PG : Betul, karena dia tidak bisa terima dan dia merasa ini sesuatau yang salah, tidak harus saya terima, makanya saya harus terus koreksi. Jadi hidupnya akan berputar-putar di dalam kubangan lmpur.

GS : Selain tuntutan-tuntutan yang tinggi, tadi Pak Paul katakan kalau diimbangi dengan kasih yang tinggi, juga merupakan penyeimbang tapi yang terjadi sebaliknya yaitu tuntutan yang tinggi tidak dibarengi dengan kasih yang tinggi tapi malah kasihnya rendah dan ini pengaruhnya bagaimana?

PG : Pak Gunawan, kita sekarang hidup di sebuah abad yang sibuk, kebanyakan suami istri sibuk, pulang sore atau malam sehingga sudah letih dan akibatnya waktu yang bisa diberikan kepada anak mejadi sangat terbatas, sehingga pernyataan kasih kepada anak juga tidak bisa dirasakan dengan langsung oleh anak.

Kalau tuntutan begitu tinggi dan kasih begitu minim, akan ada akibatnya misalkan yang pertama adalah minimnya kasih akan membuat anak tidak tahu bagaimana mengasihi. Kenapa? Sebab kita sebetulnya hanya mengerti mengasihi orang, bagaimana caranya mengasihi orang tatkala kita pernah menerima kasih sayang itu, kita akhirnya mencontoh waktu Papa ajak saya bicara, ajak saya berdoa, Mama sayang dan memeluk saya, waktu Papa sayang mendukung saya, waktu Mama sayang bisa mengelus saya. Semua itu adalah sentuhan-sentuhan kasih yang dialami oleh si anak, sewaktu dia nanti harus memberikan kasih maka dia sudah mengerti bagaimana caranya. Sudah tentu orang pertama yang menjadi objek kasihnya adalah orang tua itu sendiri, dia hanya perlu meniru yang orang tua telah berikan kepadanya, dan dia berikan kembali kepada orang tua sehingga lama-lama dia berikan kepada orang lain. Dalam rumah dimana kasih itu minim, pernyataan kemesraan juga sangat sedikit, si anak tidak pernah tahu bagaimana mengasihi orang lain karena itulah dia akan menuntut orang untuk mengasihinya, tapi dia sendiri tidak bisa mengasihi orang. Dia haus kasih karena dia kurang kasih, tapi dia tidak pernah tahu bagaimana mengasihi namun kebutuhan dikasihinya besar, jadi tidak bisa memberi namun hanya bisa menuntut, orang harus bisa sabar dan mengasihinya.
GS : Padahal kalau kita tanyakan pada orang tuanya, pasti orang tuanya akan berkata kalau mereka mengasihi anaknya, Pak Paul. Tapi biasanya kasih dicurahkan ketika anak masih sangat kecil mungkin baru lahir sampai usia satu tahun tapi lama-lama kasih ini mengendor sehingga saat anak sangat membutuhkan kasih, kasih itu sudah tidak lagi diberikan, Pak Paul.

PG : Betul sekali, sayang sebenarnya Pak Gunawan sebab saat anak-anak sudah lewat balita, mereka justru butuh sekali melihat dan mengalami sentuhan-sentuhan kasih itu.

GS : Pak Paul, selain tidak bagaimana caranya mengasihi, hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Minimnya kasih juga membuat orang berempati kepada orang dan ini yang membuat akhirnya susah berbelas kasihan, Pak Gunawan. Jadi anak-anak yang dibesarkan dengan tuntutan tinggi dan kasih ang kurang cenderung susah sekali menempatkan diri di posisi orang lain, makanya dia susah mengerti dan nanti berbuah negatif di dalam pernikahan karena boleh dikata kunci awal dari pernikahan adalah kemampuan untuk mengerti.

Kalau tidak ada kunci itu, maka kita tidak bisa mengembangkan keterampilan lainnya yang diperlukan dalam pernikahan. Maka perlu untuk bisa mengerti dan orang-orang seperti ini susah karena untuk mengerti diperlukan kemampuan berempati yaitu menghayati perasaan orang, memahami posisi orang, melihatnya dari kacamata orang dan hal itu yang susah. Dia melihat dari kacamatanya sendiri akhirnya berakibat suatu relasi akan susah untuk berumur panjang karena dia tidak bisa tenggang rasa dengan orang dan orang akhirnya akan berkata ini semua berputar pada dirinya saja, orang butuh apa, mau apa, dia tidak memperhatikan.
GS : Rasanya dampak seperti itu sudah kita rasakan saat ini dimana orang-orang tidak peduli dengan masalah orang lain dan yang dia harapkan adalah orang lain yang justru harus memperhatikan dia.

PG : Betul yang sudah kita bahas, tuntutan tinggi fokusnya pada performa dan tugas, memang akhirnya mata itu hanya tertuju pada tugas, pada penilaian, pada performa sedangkan yang diperlukan jutru adalah orang-orang disekitarnya dan itu yang tidak dia lakukan.

GS : Mungkin ada hal lain tentang ini?

PG : Yang lain adalah minimnya kasih dan tingginya tuntutan membuat orang menjadi tidak sabar dan dengan seketika semua harus diberikan. Makanya pada akhirnya orang-orang ini susah sekali berkopromi atau bernegosiasi karena dua-duanya memerlukan kesabaran, tidak bisa seketika, orang tidak berubah dengan sekejap mata, orang perlu waktu.

Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang tuntutan tinggi dan kasih yang minim, maka susah untuk memberi waktu kepada orang untuk bertumbuh atau berubah dan keinginannya juga harus dituruti detik ini juga kalau tidak dituruti dia cepat marah, dia akan menuduh orang tidak perhatian kepada dia dan dia akan berkata saya sudah memberi sepenuhnya tapi kamu tidak memberikan sepenuhnya. Jadi hal-hal seperti inilah yang akan menjadi menu keseharian di dalam hari-hari pernikahan anak-anak ini kelak.
GS : Memang itu sudah terlihat sejak bayi sebenarnya, Pak Paul. Anak selalu menuntut diberikan seketika, misalnya minta minum dan sebagainya kalau tidak maka anak akan teriak-teriak, tergantung orang tuanya bagaimana mendisiplin anak ini, Pak Paul.

PG : Betul, tadi kita sudah bicara tuntutan yang tinggi. Orang tua yang menuntut-menuntut dan harus mendapatkannya dengan seketika dari anak, tanpa disadari sedang mentransfer sikap-sikap ini kpada anak dan nanti anak pun begitu, dia maunya sekarang.

Kalau dia menuntut sesuatu maka orang harus berikan sebab itulah yang diterimanya dari orang tua, kalau harus dapat nilai 10 maka harus dapat nilai 10, harus lebih bagus lagi dan harus lebih bagus lagi. Jadi nanti dia seperti itu juga. Dia susah sekali sabar, dia susah sekali bernegosiasi, mundur ke negosiasi, mengalah, berkompromi itu hal-hal yang dia tidak bisa kuasai. Setelah menikah bayangkan kalau tidak punya kemampuan bernegosiasi seperti ini, tidak mempunyai kemampuan untuk berkata, "Baik saya harus sabar memberi waktu," tidak mempunyai kemampuan seperti itu, maka rumah tangganya akan mudah sekali ambruk.
GS : Dan hal itu diperkuat oleh sistem pendidikan dimana guru-gurunya juga menuntut hal yang sama seperti orang tua itu. Jadi kesan anak memang anak harus dipacu seperti itu, Pak Paul.

PG : Jadi bukan saja dalam rumah, tapi di luar rumah pun dia cenderung mendapatkan tekanan yang sama, perlakuan yang sama dan akhirnya akan membentuk dia seperti itu.

GS : Mungkin ada hal yang lain yang Pak Paul ingin sampaikan?

PG : Pada akhirnya pola asuh seperti ini, berpotensi menciptakan generasi anak yang "border-line". Gangguan "border-line", suatu gangguan yang memang serius ada di dalam gangguan psikologis, cii-cirinya adalah apa yang dia inginkan dia harus dapatkan, pola pikirnya sangat kaku hitam putih dan semua orang harus menuruti dia dan dia tidak mau menuruti orang lain.

Kalau orang tidak mau mengerti dia, berarti dia bukan teman dia dan dia tidak lagi baik dengan orang itu. Jadi ciri-ciri kepribadian seperti itu yang disebut"border-line". Saya takut Pak Gunawan, tanpa kita sadari kita sedang menciptakan generasi baru yang lebih banyak "border-line"nya, sebab keinginannya harus dituruti, jika kita tidak menuruti maka kita dianggap bukan temannya, dia pun juga sukar memecahkan konflik, sebab untuk memecahkan konflik diperlukan kesabaran yang panjang. Saya takut hal-hal ini makin menjamur di generasi yang akan datang.
GS : Memang sekarang banyak para remaja yang sukar sekali bersosialisasi karena dia menuntut lingkungannya menuruti apa yang dia mau.

PG : Betul, jadi dia selalu meminta orang untuk mengerti dia. Kenapa orang yang selalu harus mengerti dia dan dia tidak bisa mengerti orang lain, memang dia tidak bisa dan dia juga tidak mau. Iilah produk yang saya takut akan dihasilkan.

Memang kalau dalam soal kerja, anak-anak seperti ini bisa jadi sangat tegang karena dituntut tinggi, dari kecil memang sudah dituntut untuk berprestasi, mungkin di dalam hal-hal produktifitas dia tidak ada masalah tapi dalam relasi kerja dia akan banyak masalah, nanti setelah menikah juga akan banyak masalah. Jadi akhirnya kita akan bertanya buat apa semua ini, buat apa meningkatkan produktivitas kalau kita juga makin membuat problem tambah produktif.
GS : Dan hasil dari produktivitas itu tidak bisa dia gunakan untuk mengatasi kehidupan ini dan itu masalahnya, Pak Paul?

PG : Dia sendiri memang tidak bisa atasi tapi karena dia tidak tahu cara lain Pak Gunawan, bagi dia pelipur lara adalah produktivitas. Karena dia juga tidak bisa membangun relasi untuk menikmat kebersamaan, jadi dia makin terlilit di dalam pekerjaan-pekerjaan produktif dan semua akan dia korbankan karena dia juga tidak bisa menikmatinya.

Memang kasihan karena pada masa tuanya dia akan menjadi orang yang kesepian.
GS : Mungkin itu penyebab awal dari orang yang kecanduan kerja dan sebagainya itu, Pak Paul?

PG : Ya, Pak Gunawan.

GS : Pak Paul, mungkin ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk menyimpulkan perbincangan kita ini?

PG : Saya akan bacakan Amsal 27:18. Firman Tuhan yang singkat tapi sangat-sangat luar biasa berbicara kepada kita semua, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya," sederhana sekali. Kit harus memperingatkan diri kita, apa yang kita sedang tanam sekarang? Pohon seperti apa yang akan kita hasilkan? Kalau pohon ara kita tahu, pohon yang manis yang akan menghasilkan buah dan buahnya enak manis dan kecut.

Kalau kita pelihara pohon ara hasilnya adalah buah-buah yang manis kalau kita tidak memelihara pohon yang bisa menghasilkan buah maka kita juga tidak bisa memetik buahnya. Saya takut kalau kita tidak hati-hati, kita bukannya sedang menanam pohon ara tapi kita justru menanam racun-racun yang nanti bisa merusakkan satu generasi.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuntutan Tinggi Kasih Rendah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



89. Kekerasan Dan Tuntutan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T240B (File MP3 T240B)


Abstrak:

Ada anak yang harus hidup dengan kekerasan hari lepas hari, baik itu kekerasan akibat konflik orang tua ataupun kekerasan yang dialami anak dari orang tua. Bila kekerasan dalam rumah tidak diimbangi dengan kasih sayang, anak berpotensi untuk bertumbuh besar dengan masalah kepribadian antisosial. Di sini akan dipaparkan pola asuh seperti ini pada perkembangan anak.


Ringkasan:

Ada anak yang harus hidup dengan kekerasan hari lepas hari, baik itu kekerasan akibat konflik orang tua ataupun kekerasan yang dialami anak dari orang tua. Bila kekerasan dalam rumah tidak diimbangi dengan kasih sayang, anak berpotensi untuk bertumbuh besar dengan masalah kepribadian antisosial. Berikut akan dipaparkan pola asuh ini pada perkembangan anak.

Kekerasan yang bertubi-tubi pada akhirnya membuat anak hancur atau sebaliknya, membuatnya keras seperti batu sehingga mematikan semua perasaan halus dan lembut pada akhirnya. Sebagai akibatnya, dia tidak mudah merasakan apa-apa termasuk belas kasihan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

Kekerasan yang diterima dari orang tua sebagai bentuk hukuman membuatnya penuh dengan kemarahan dan kebencian. Pada akhirnya kebencian ini luber keluar kepada orang di sekitarnya; reaksi pertama dan utamanya terhadap segala hal yang tidak menyenangkannya adalah kemarahan.

Kekerasan acap datang sebagai tuntutan yang tidak terpenuhi. Hal ini membuat anak tertekan dengan tuntutan sehingga ia pun akhirnya membebankan tuntutan tinggi kepada orang lain. Bila orang tidak dapat memenuhinya, maka responsnya adalah kemarahan dan kekerasan pula.

Tuntutan tinggi apabila jika disertai kekerasan akan membuatnya sarat dengan keinginan untuk memberontak - melawan otoritas yang dianggapnya menekan atau menuntutnya.

Sebaliknya minimnya kasih membuat anak sukar mengasihi orang lain. Ia tidak tahu bagaimana mengasihi orang sebab ia tidak merasakan kasih itu.

Namuin karena ia haus kasih, ia akan menuntut pasangan untuk mengasihinya tanpa syarat. Sedikit beban atau tuntutan cukup membuatnya marah.

Minimnya kasih juga membuatnya sukar mengasihi diri sebab ia cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Ini akan terus menambah api kebencian, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Akhinya kekerasan maupun kurangnya kasih membuatnya mudah menyakiti orang. Ia seakan mendapat kepuasan tersendiri ketika melihat orang menderita kesakitan. Ia cepat merasa tidak senang dengan orang yang bahagia dan sering terdorong untuk menghancurkan kebahagiaan orang sebab ia sendiri tidak pernah dan mungkin tidak akan mencicipi kebahagiaan.

Firman Tuhan

"Kebencian menimbukan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segalah pelanggaran."

Amsal 10:12


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan dan Tuntutan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Kalau melihat keadaan saat ini Pak Paul, anak diperlihatkan di tengah-tengah suasana kekerasan tiap-tiap hari, baik melalui media elektronik dan bahkan melihat secara nyata kehidupan di dalam rumah tangga mereka, orang tuanya yang bertengkar atau kakaknya, seberapa besar pengaruhnya terhadap diri anak ini?

PG : Sangat-sangat besar, Pak Gunawan. Dalam praktek konseling, saya menjumpai sebuah kisah tragis yang benar-benar membuat hati orang trenyuh mendengarnya. Sebab hampir semua kita menemukan bawa orang yang menjadi tragis memukuli istri atau anaknya atau kebalikannya memukuli suami, adalah anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan di dalam rumahnya.

Jadi menu kekerasan itu sesuatu yang dicicipinya setiap hari dari para orang tua atau yang diterimanya dari orang tua atau kakak dengan adiknya atau lingkungannya, saling pukul, berkelahi dan sebagainya. Hal-hal ini akhirnya membentuk si anak menjadi anak yang mudah sekali keras. Kalau di dalam rumah itu masih ada kasih sayang, kemesraan maka dampak buruknya masih dinetralisir. Kalau dalam rumah tidak ada kasih sayang atau kalau hubungan orang tua buruk sering ribut, sering bertengkar, saling pukul dan sebagainya biasanya tidak bisa tidak perhatian terhadap anak akhirnya tersita, si anak akhirnya bertumbuh besar tanpa kecukupan kasih sayang itu. Kombinasi dua hal ini yaitu kekerasan dan minimnya kasih sayang yang harus dihadapi oleh seorang anak, mudah sekali membuat si anak menjadi seorang yang berkepribadian anti sosial.
GS : Jadi kekerasan dalam rumah tangga, bukan hanya berdampak pada pihak orang tua yang saling menyakiti tapi juga sangat besar dampaknya terhadap anak yang melihat.

PG : Betul, jadi efeknya memang efek yang berlipat ganda dari satu orang menjadi dua orang. Dua orang masuk kepada anak-anak misalkan menjadi lima orang dan nanti mereka menikah akan mempengarui pasangan mereka lagi dan akan mempengaruhi mereka lagi.

Jadi itu benar-benar menjadi sebuah pohon, yang akan bercabang, berbuah, berdaun begitu lebat mempengaruhi begitu banyak orang karena satu orang bermasalah.
GS : Tadi Pak Paul katakan, kalau orang tua kurang memberikan kasih sayangnya kepada anak, biasanya hanya satu pihak saja. Jadi misalnya suami istri bertengkar, mungkin pihak si istri yang mencurahkan kasihnya kepada anak apakah itu juga menolong?

PG : Sangat menolong Pak Gunawan, namun kadang-kadang terjadi tapi kadang-kadang tidak. Sebab yang namanya mencurahkan kasih sebetulnya kita mau menolong anak, kita berada di sini untuk menolon anak dalam rumah tangga yang bermasalah tapi acapkali kebalikannyalah yang terjadi.

Misalkan si ibu yang menjadi korban kekerasan dari si suami, maka si anaklah yang harus menolong si ibu, bukan si ibu untuk si anak, karena si ibu tidak lagi berfungsi dengan baik, dia sudah penuh dengan sengsara, dipukul, ditakuti, diancam. Jadi akhirnya di dalam dirinya tidak banyak yang bisa dibagikan kepada si anak justru si anak yang harus menjadi pendukung, penghibur bagi si ibu. Jadi meskipun tidak ada pemukulan dari si ibu kepada si anak, namun yang menjadi cinta kasih menjadi sangat minim, Pak Gunawan. Karena si anak memang tidak banyak menerimanya justru si anak harus banyak memberi.
GS : Pak Paul, kira-kira dampak apa yang terjadi kalau ada kekerasan di dalam rumah tangga seperti itu?

PG : Kekerasan yang bertubi-tubi akhirnya membuat anak hancur atau sebaliknya membuatnya keras seperti batu, sehingga mematikan semua perasaan halus dan lembut pada dirinya. Ada anak yang hancu dan jiwanya tidak terlalu kuat dan berdampak si anak akan depresi berat, mengurung diri, tidak punya kepercayaan diri.

Tapi kalau si anak bisa bertahan kebanyakan memiliki sifat yang membatu dan hatinya luar biasa keras, perasaannya hampir tidak ada lagi, akhirnya dia tidak bisa merasakan apa-apa, rasa sakit, rasa sedih, rasa kecewa itu semua sudah terselimuti oleh kekerasan dan dia tidak bisa lagi merasakan. Dan akhirnya yang paling berbahaya adalah dia juga kehilangan belas kasihan, dia tidak bisa mengasihani dirinya atau pun orang lain dan ini bahaya karena kalau tidak hati-hati si anak bisa berkembang menjadi gangguan anti sosial atau istilah yang lebih umumnya kita katakan psikopat atau sociopat. Jadi orang-orang yang berkemampuan besar menjadi sadis, menginjak, menyakiti orang untuk kesenangannya tanpa ada suatu rasa sakit.
GS : Mungkin yang dilihat anak sangat sederhana, kalau kedua orang tuanya saja tidak memiliki kasih, apalagi orang-orang di luar rumahnya, Pak Paul.

PG : Seringkali itu memang disimpulkan oleh si anak yaitu tidak ada kasih, apa yang namanya kasih sudah tidak ada, di rumah seperti ini dan akhirnya dia memperlakukan orang di luar seperti oran tuanya memperlakukan dia dan persis seperti itu.

GS : Kalau kedua orang tua seringkali bertengkar, untuk melindungi anak ini supaya hatinya tidak keras atau tidak hancur seperti yang Pak Paul katakan, apa yang bisa diperbuat oleh kedua orang tua atau salah satu dari keduanya?

PG : Memang mereka harus bicara baik-baik dan berkata, "Kalau pun kita harus hancur berdua, biarkanlah kita berdua yang hancur jangan kita menyeret anak -anak kita." Jadi dua-dua harus dewasa bcara seperti itu dan berkata, "Kalau kita memang harus ribut, maka kita harus ribut dimana mereka tidak ada di sini atau dalam kamar supaya mereka tidak bisa mendengar," sudah tentu yang ideal adalah mereka mencari bantuan untuk bisa ditolong karena jelas-jelas orang seperti ini memang perlu ditolong namun celakanya kita tahu, faktanya banyak yang tidak mau ditolong, banyak yang menganggap dirinya benar.

Saya memukul istri saya karena dia memang perlu dipukul, dia perlu diajar-ajar jadi kenapa saya harus mencari pertolongan, kenapa saya yang menjadi di salahkan sekarang. Mentalitas seperti itu justru lebih banyak dari pada yang sadar dan berkata, "Saya sadar dan saya perlu pertolongan."
GS : Tapi sekali pun anak tidak melihat saat orang tua bertengkar, tapi karena hubungan tidak baik biasanya anak bisa merasakan Pak Paul bahwa ada yang tidak benar diantara orang tuanya ini.

PG : Seringkali anak-anak tahu, mereka mungkin tidak bicara dengan kita karena sungkan atau takut. Tapi hampir dipastikan anak-anak tahu kalau ada masalah diantara kita berdua.

GS : Dan sebenarnya itu menimbulkan ketakutan yang luar biasa di dalam diri si anak, Pak Paul.

PG : Setiap hari kalau kita sering bertengkar maka anak akan hidup dibayang-bayangi oleh ketakutan meledak lagi dan meledak lagi. Dan ada orang tua yang meledaknya tidak tahu kapan, jadi si ana selalu was-was atau si anak menantikan kepulangan ayahnya sebab setelah itulah akan terjadi pertengkaran lagi.

Jadi anak ini senantiasa hidup dibayang-bayangi oleh ketakutan.
GS : Ada sebagian orang tua kalau mendisiplin anak sangat keras entah itu dipukul di kepalanya atau ada benda-benda yang dipecahkan dekat anaknya dan dampak apa yang ditimbulkan terhadap anak, Pak Paul?

PG : Waktu orang tua memukul anak dengan kekerasan, sudah tentu yang terpancarkan dari sinar mata dan dari suara, penampakan wajah adalah kebencian, kemarahan. Bahkan lebih dari kemarahan dan kbencian adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan.

Nanti kalau si anak sudah terbiasa menerima kebencian yang seperti ini akhirnya dia sendiri akan menjadi orang yang penuh dengan kebencian, sebab kebencian-kebencian itu akhirnya masuk menggenangi hatinya, menjadi bagian dirinya, dia pun lama-kelamaan penuh dengan kebencian. Karena waktu kita melihat orang itu memandang kita memperlakukan kita dengan penuh kebencian, respon yang paling alamiah adalah balas membencinya. Akhirnya si anak penuh dengan kebencian dan akhirnya luber keluar. Kalau ada orang yang bicara tidak benar di mata dia atau di telinga dia maka dia langsung memukul, kalau ada situasi yang tidak sesuai dengan kehendak dia maka dia langsung meledak. Jadi apa pun yang terjadi kalau tidak sesuai dengan dirinya maka reaksinya yang pertama adalah langsung marah. Jadi benar-benar dia dibesarkan oleh macan akhirnya bertumbuh besar menjadi macan.
GS : Karena tiap hari atau seringkali dia melihat seperti itu baik dari orang tuanya atau pun kakak-kakaknya.

PG : Betul sekali.

GS : Ada hal lain, Pak Paul tentang kekerasan ini?

PG : Kekerasan juga acapkali datang sebagai tuntutan yang tidak terpenuhi. Misalkan anak dituntut ulangannya harus bagus, anak dituntut tidur harus pagi, atau dituntut pulang tidak boleh malamdan waktu gagal, dia dipukul, dimarahi dan sebagainya.

Sudah tentu si anak ini merasa tertekan, bukan saja dengan kemarahan-kemarahan atau pukulan-pukulan tapi juga dengan tuntutan-tuntutan itu sendiri sebab baginya tuntutan ini tidak realistis, terlalu menekannya. Anak yang terbiasa dibebani dengan tuntutan demi tuntutan dan tidak banyak dengan kasih sayang, cenderung akhirnya menyerap sikap seperti itu, pola seperti itu dan dia terapkan kepada orang lain, dia pun menuntut orang lain harus seperti ini dan itu, kalau orang tidak bisa memenuhinya maka dia juga akan marah dan tidak jarang juga akan melakukan kekerasan. Jadi akhirnya tuntutan-tuntutan itu diserap mungkin bukan tuntutan yang sama tapi pola menuntutnya itu yang diserap oleh si anak. Setelah dia mulai besar, dia akan menuntut sekelilingnya dan kalau orang tidak bisa memberikan yang dia inginkan, dia juga akan marah.
GS : Jadi anak ini menjadi seseorang yang keras sekali untuk menuntut orang lain memenuhi kebutuhannya, mengetahui apa yang dia inginkan. Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Tuntutan yang begitu tinggi apalagi jika disertai kekerasan akan membuatnya sarat dengan keinginan untuk memberontak. Inilah sebabnya anak-anak ini pada akhirnya mengembangkan perilaku memangkang, perilaku destruktif karena mereka menjadi anak-anak yang tidak tahan dengan larangan dengan perkataan tidak boleh, dengan perkataan harus, mereka tidak bisa menerima kata-kata seperti ini.

Jadi kalau ada otoritas, bawaannya justru mau menghancurkan otoritas tersebut, itu sebabnya dia susah sekali untuk bisa berprestasi di sekolah dan mendapatkan reputasi yang baik di sekolah atau di kalangan teman-temannya karena dia memang tidak bisa menerima ketegasan, begitu ada nada-nada tegas, maka bawaannya mau melawan saja. Jadi akhirnya saat ada yang perlu dipelajari, dia tidak pelajari, dia perlu menimba pelajaran dari peristiwa tertentu juga dia tidak pelajari. Kenapa, karena sifat mau belajar, tunduk pada yang di atasnya atau pada orang lain itu sangat kecil.
GS : Jadi kalau kita tidak tahu caranya dan tidak tahu porsinya dalam memberikan disiplin kepada anak, itu akan malah merusak anak dan bukan malah membentuk anak, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, makanya kita mesti berhati-hati. Tadi saya sudah singgung, kekerasan seperti itu memang bisa menciptakan macan yang baru di rumah kita dan kalau tidak hati-hati mka akan menghancurkan anak.

Jadi ada kebalikan dari anak-anak yang karena terlalu dikerasi, dihajar, dipukul dan sebagainya, dan kalau jiwanya tidak kuat maka dia akan depresi, mungkin dia bisa lumpuh tidak bisa bersekolah tapi kita bisa lihat penampilannya, penampakannya, wajahnya selalu layu, murung tidak ada semangat, hatinya penuh dengan kecemasan, banyak ketakutan, keragu-raguan. Ini yang menjadi ciri-cirinya yaitu bimbang, tidak berani ambil keputusan, takut salah dan itulah yang akhirnya menjadi ciri-ciri hidupnya. Itu semua terpulang dari kekerasan, cara-cara orang tua mengekspresikan kemarahan baik satu sama lain maupun kepada anak-anak kita.
GS : Anak-anak seperti ini biasanya haus akan kasih sayang, dan biasanya anak-anak seperti ini mudah sekali terjebak dalam dosa yang lain, misalnya jatuh kepada orang yang tidak bertanggung jawab, apalagi kalau ini putri.

PG : Ini cerita yang sangat-sangat tragis, Pak Gunawan. Ini sering terjadi pada anak-anak yaitu dalam usia yang relatif muda sudah mencari pacar. Mencari pacar karena haus akan kasih sayang da mau mendapatkan tempat berteduh.

Maka dia akan mencari pasangan yang seakan-akan kebalikan dari ayahnya tapi kalau dia tidak hati-hati karena dia masih muda belum dewasa, dia mudah sekali terpedaya. Dia mulai jatuh ke dalam tangan orang yang juga bermasalah misalkan orang-orang atau pria-pria yang dibesarkan dalam kekerasan juga. Namun berusaha untuk tidak keras makanya menggunakan tutur kata yang lebih lembut dan sebagainya namun tatkala marah, barulah kelihatan bahwa dia sama persis seperti orang tuanya juga, dia dipukuli habis-habisan dan sekarang dia sudah besar maka dia memukuli orang juga dan sekarang siapa yang kena? yaitu pacarnya. Itu cerita klasik yang sering kita dengar Pak Gunawan dan saya semakin hari semakin sering mendengar cerita-cerita yang seperti ini, ini memang membuktikan cukup banyak orang tua yang tidak terlalu mengerti bagaimana membesarkan anak tapi menuntut anak dengan kekerasan. Relasi yang penuh dengan konflik dan kekerasan dan tidak ada lagi percikan kasih kepada anak, sehingga anak-anak ini keluar menjadi anak yang haus akan kasih sayang. Kalau dia laki-laki maka dia akan memangsa perempuan, dia akan taklukkan, dia akan cengkeram, dia akan gunakan sangkar menaruh perempuan itu di dalam sangkarnya supaya tidak bisa kemana-mana. Kalau dia perempuan, dia akan mencari pria yang bisa melindunginya, tapi seringkali mereka tidak bijaksana, akhirnya pria yang melindungi juga akan menginjak-injak dan menyiksanya.
GS : Bagaimana kalau seorang anak ini dibesarkan dalam kasih yang kurang kepadanya, Pak Paul?

PG : Yang biasanya terjadi adalah dia akan sukar mengasihi orang karena kita tahu, orang yang bisa mengasihi adalah orang yang pernah dikasihi, kalau kita tidak mempunyai pengalaman dikasihi mka kita susah untuk mengasihi orang karena kita tidak mengerti caranya mengasihi, kita mesti melihat dan mengalami sentuhan-sentuhan kasih dari orang tua.

Itu yang nanti kita terapkan, kita kembalikan kepada orang tua yang juga mengasihi dia dengan cara yang sama. Dan akhirnya kita membagikan kasih itu kepada orang lain juga. Anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan dan minimnya kasih akhirnya tidak tahu bagaimana mengasihi orang, dia benar-benar sangat berpusat pada dirinya sendiri, dia akan terus menuntut pasangannya untuk bisa mengerti dia tapi dia sendiri tidak mau mengerti pasangannya. Kebutuhan pasangannya apa? Dia tidak peduli dan yang penting adalah kebutuhannya dulu yang didahulukan makanya kalau keinginannya dihalangi oleh pasangannya biasanya dia akan marah sekali, tidak boleh orang menghalangi keinginannya makanya dia bisa marah dan dia akan gunakan kekerasan.
GS : Bukan hanya tidak boleh seperti yang Pak Paul katakan, tapi juga ada pasangan yang menuntut pasangannya untuk dalam hidupnya mengasihi dia secara total tanpa syarat, apakah memang seperti itu, Pak Paul?

PG : Itu sering terjadi, mereka menjadi orang yang super posesif, bahwa dunia itu hanya boleh berputar di sekitar dia dan tidak boleh di sekitar orang lain. Jadi kalau pasangannya memperhatikanorang lain, memperhatikan keluarganya, ibunya, ayahnya, maka dia akan marah karena semua harus untuk dia, jadi semua harus berpulang kepada dirinya.

Ini sebuah relasi yang sangat menyengsarakan orang.
GS : Ia menjadi orang yang pencemburu tapi buta.

PG : Betul sekali, mungkin sekali dia akan menggunakan dalih-dalih bahwa ini tidak seharusnya, seharusnya kamu harus mendahulukan saya dan tidak boleh mendahulukan orang lain.

GS : Jadi sebenarnya alasannya kelihatan rasional, tapi penuh dengan emosi.

PG : Betul sekali dan yang membuat relasi tidak seimbang adalah dia menuntut kasih tapi dia sendiri tidak bisa memberikan kasih, dia menuntut orang selalu harus sabar tapi dia sendiri boleh untk tidak sabar.

GS : Pak Paul, ada kemungkinan pasangan suami istri ini dua-duanya adalah orang yang haus kasih dan apa yang terjadi kalau seperti itu?

PG : Maka akan saling menuntut, tidak ada yang bisa toleransi tidak ada yang bisa sabar, dua-duanya bisa saling menuntut, kamu harus lebih mendahulukan saya. Dan saya takut di masa mendatang ha ini semakin banyak maka nanti akan lebih banyak perceraian, kalau memang pribadi-pribadi yang menikah seperti ini, memang tidak ada yang bisa memberikan kasih dan hanya bisa menuntut kasih.

Bentuk konkret dari kasih adalah mengutamakan, mendahulukan, jadi kita akan banyak melihat orang-orang yang luar biasa "self-centered", "selfish" sekali, pokoknya kepentingan dirinya yang harus di dahulukan.
GS : Dan sebenarnya itu bisa diselesaikan sebelum mereka menikah, Pak Paul.

PG : Memang bisa Pak Gunawan, tapi tidak bisa cepat. Sebenarnya dia hidup dalam sebuah komunitas yang baru dimana dia mendapat ketegasan disiplin sekaligus mendapatkan kasih sayang tanpa kekeraan didisiplin, dan diberikan juga kasih sayang dan itu adalah komunitas yang diperlukannya.

Kalau dia bisa mencicipi kehidupan yang seperti itu, untuk satu jangka waktu yang sedikit panjang maka akan menetralisir pengalaman buruk yang dialaminya dulu.
GS : Apakah kekerasan yang dia lihat pada masa anak-anak akan berpengaruh pada citra dirinya ketika dia menjadi dewasa, Pak Paul?

PG : Sangat berpengaruh, Pak Gunawan. Jadi kebanyakan mereka akan sukar mengasihi diri sebab yang dilihat bukan kasih tapi yang dilihat adalah kemarahan kebencian yang dia harus alami, berarti idak ada yang baik pada dirinya, tidak ada yang patut dipuji pada dirinya, tidak ada yang layak dibanggakan pada dirinya makanya orang tua memperlakukan dirinya dengan begitu penuh kekerasan akhirnya dia pun berkesimpulan bahwa dia adalah orang yang tidak punya lagi sesuatu yang baik, tidak ada lagi sesuatu yang positif pada dirinya dan semuanya sudah sangat buruk.

Akhirnya akan menambah api kebencian baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain yaitu apa yang keluar dari dirinya seperti api dan jarang sekali sesuatu yang sejuk.
GS : Biasanya orang-orang yang mengalami hal-hal seperti itu, bisa dikatakan produk dari suatu keluarga yang seringkali bertengkar, memperlihatkan kekerasan dan sebagainya. Apakah yang bersangkutan ini bisa menyadari bahwa dirinya adalah korban, Pak Paul?

PG : Ada yang menyadari, tapi ada juga yang tidak. Jadi ada yang menyadari, tapi tidak berkutik sehingga setelah dia marah, dia pukul istrinya atau anaknya, dia menyesal. Tapi kalau peristiwa yng serupa terjadi lagi, ada orang yang membuat dia marah, dia tidak bisa mengendalikan diri dan dia menjadi ganas maka dia meminta maaf lagi.

Jadi sebetulnya dia menyadari namun dia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan ini, tapi ada juga orang yang tidak menyadari. Ada orang yang justru beranggapan bahwa saya dipihak yang benar seharusnya kamu yang mengalah dan seharusnya kamu mendahulukan saya, dia tidak bisa melihat bahwa dia pun harus mendahulukan pasangannya. Dia tidak bisa melihat seperti itu, dia pun harus mengalah demi pasangannya. Kadang-kadang itu yang terjadi.
GS : Untuk bisa sadar Pak Paul, faktor apa yang menolong sehingga dia bisa menyadari sedangkan yang lain tidak bisa menyadari.?

PG : Biasanya dimulai dengan dia melihat dampak perbuatannya pada orang lain. Waktu dia begitu kasar, begitu sadis, dia melihat orang itu kesakitan, dia tiba-tiba tersadar bahwa kenapa saya menadi seperti Papa saya sekarang.

Jadi waktu dia melihat bukti kekerasannya, dia diingatkan dengan Papanya kenapa saya sama dengan Papa saya. Atau hal lain juga yang membuat dia menyadari adalah dia mulai menerima kasih dan dia akhirnya mempunyai kelembutan sehingga waktu dia lepas kendali, aspek lembut kasih itu sudah mulai ada sehingga memperingatkan dia kalau kamu itu salah. Dan yang ketiga adalah sewaktu dia mengalami pertobatan rohani, dia sadar bahwa dia telah dibesarkan di dalam rumah tangga yang penuh dengan kekerasan sehingga dosa ini menjadi bagian dalam hidup dia sekarang, dan dia disadarkan akan semua hal itu.
GS : Pak Paul, biasanya kekerasan melahirkan kekerasan. Tetapi kekerasan itu terjadi di antara suami istri dan apakah hal ini akan berpengaruh kepada anak sehingga anak akan menjadi seseorang yang suka akan kekerasan, Pak Paul?

PG : Kebanyakan ya, Pak Gunawan. Kalau dia tidak hancur menjadi orang yang depresi berat, maka dia akan menjadi orang yang melestarikan pola asuh itu, kekerasan seperti ini membuatnya senang meyakiti orang lain.

Makanya ini semua dari gangguan kejiwaan, gangguan anti sosial adalah gangguan yang serius. Kebanyakan pembunuh berantai adalah orang-orang yang mengidap gangguan ini. Jadi seakan-akan dia mendapatkan kepuasan tersendiri ketika melihat orang menderita kesakitan. Kalau dia anak-anak, belum bisa menyakiti orang maka dia menyakiti hewan, dia akan tusuk-tusuk, dia akan gantung hewan misalkan kucing dan sebagainya. Jadi waktu dia melihat kesakitan penderitaan, justru dia mendapatkan kepuasan, dia akan merasa tidak senang dengan orang yang bahagia dan ini kejahatannya, kalau melihat orang bahagia justru dia terdorong ingin menghancurkan kebahagiaan orang. Pertanyaannya kenapa? Jawabannya sangat sederhana, dia sendiri tidak pernah mencicipi kebahagiaan dan dia berpikir, dia mungkin selama-lamanya tidak akan pernah mencicipi kebahagiaan itu. Jadi buat dia kalau saya tidak pernah mencicipinya kenapa orang lain harus mencicipinya, itu tidak adil. Maka dia lebih suka merusakkan kebahagiaan orang supaya sama seperti saya, semuanya tidak bahagia, semua hidup dalam kesakitan dan inilah sifat jahatnya, ini yang sangat merugikan masyarakat.
GS : Jadi sadisme itu munculnya dari latar belakang seperti itu, Pak Paul?

PG : Kebanyakan ya Pak Gunawan, betul sekali.

GS : Dalam hal ini apakah ada ayat Firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan untuk melengkapi perbincangan kita ini?

PG : Firman Tuhan di Amsal 10:12 berkata, "Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran," kalau kita menyadari kita mempunyai masalah ini, kita memang mesti datng kepada Allah yang adalah kasih, harus mengakui kesalahan dosa kita, kelemahan kita.

Kita harus memintanya mengisi kita dengan kasihNya setiap hari, setiap hari disiplinkan membaca Firman Tuhan meminta Tuhan mengisi kita dengan FirmanNya, meminta semua tindakan kita biarlah diatur oleh Tuhan. Dan dengan kondisi seperti inilah kita lebih bisa dikendalikan, Pak Gunawan. Dan setiap hari doa kita adalah meminta Tuhan untuk mengisi hati kita dengan kasih. Sehingga perlahan-lahan genangan kebencian akhirnya makin berkurang dan diisi dengan hati yang lebih bersih yaitu air kasih dari Tuhan sendiri.
GS : Memang pertengkaran sulit dihindarkan dari kehidupan rumah tangga, tetapi sebaliknya hal itu bisa kita lakukan jauh dari pandangan anak-anak. Supaya tidak memberikan dampak yang seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Dan sebisanya dijauhkan dari tontotan-tontonan yang bersifat kekerasan yang akan membentuk dirinya menjadi sangat keras seperti yang Pak Paul telah sampaikan.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kekerasan dan Tuntutan". Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



90. Persaingan Antar Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T251A (File MP3 T251A)


Abstrak:

Ada di antara kita yang tidak setuju dengan persaingan antar anak namun ada pula yang berpendapat sebaliknya. Sebenarnya, apakah persaingan antar anak harus dihindarkan ataukah tidak? Di sini akan dipaparkan beberapa hal yang mesti diketahui tentang persaingan antar anak agar orangtua paham bagaimana seharusnya menyikapi hal ini. Persaingan antar anak mengandung segi positif namun juga berdampak merusak, mengapa demikian?


Ringkasan:

Ada di antara kita yang tidak setuju dengan persaingan antar-anak namun ada pula yang berpendapat sebaliknya. Sebenarnya, apakah persaingan antar-anak harus dihindarkan ataukah tidak? Berikut ini akan dipaparkan beberapa hal yang mesti diketahui tentang persaingan antar-anak agar orangtua paham bagaimana seharusnya menyikapi hal ini.

Pertama akan diuraikan segi positif dari persaingan itu sendiri. Kendati persaingan antar-anak dapat menjadi pendorong yang positif, namun orangtua mesti menyadari beberapa hal yang berpotensi merusak pertumbuhan karakter dan jiwa anak.

Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Persaingan Antar Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Punya beberapa anak memang mengasyikkan, Pak Paul dan kita bersyukur kepada Tuhan tapi sebagai orang tua harapannya adalah anak-anak itu bisa hidup rukun dan bekerjasama dengan baik, bermain bersama, tapi kenyataan yang dihadapi sebagian besar orang tua adalah sulit sekali mengendalikan anak, anak yang satu tidak cocok dengan anak yang lain, ini sebenarnya bagaimana Pak Paul?

PG : Memang banyak sekali dinamika yang terlihat di antara kakak adik di dalam satu keluarga, misalkan adik dan kakak ada kecenderungan ingin merebut perhatian dari orang tua. Jadi secara alamih kita sebagai manusia memang ingin menjadi yang terutama dan mengharapkan bahwa semua perhatian dan kasih sayang tertumpah pada diri kita.

Dengan kata lain secara alamiah anak-anak akan berusaha merebut kasih sayang, itu sebabnya diantara anak seringkali terjadi pertengkaran karena merasa orang tua tidak adil, "Kenapa selalu membela adik, selalu mengutamakan adik? Kenapa saya yang harus selalu mengalah?" Hal-hal seperti itu adalah dinamika berkakak-adik dalam keluarga dan dalam hal ini orang tua mesti mewaspadai, sehingga pada akhirnya jangan sampai ada anak yang disisihkan, dinomorduakan walaupun sebetulnya orang tua tidak sama sekali berniat seperti itu.
GS : Kadang-kadang dalam hal memberikan mainan Pak Paul, karena ada perbedaan usia antara kakak dan adik sudah tentu orang tua memikirkan mainan apa yang cocok untuk kakaknya atau adiknya jadi tidak mungkin sama. Ini bisa membentuk suatu pertengkaran di antara mereka, Pak Paul?

PG : Betul sekali sebab yang satu akan berkata, "Kenapa saya tidak mendapatkan yang itu?" dia beranggapan bahwa orang tua itu lebih mengasihi adiknya, sehingga adiknya mendapatkan mainan yang tu.

Dia tidak bisa melihat bahwa orang tua memilihkan mainan yang sesuai dan terbaik untuk dia, memang ada kecenderungan bagi anak-anak kecil untuk mulai membanding-bandingkan diri dan akhirnya mulai masuk dalam persaingan di antara mereka.
GS : Itu seringkali yang terjadi pada anak-anak yang sejenis atau berlawanan jenis?

PG : Sebetulnya secara umum gejala ini bisa kita lihat pada semua anak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun saya perhatikan kalau ini adalah anak perempuan dan usianya tidak terpaut begitu auh misalkan dalam hitungan 2 atau 3 tahun, pada umumnya persaingan itu akan lebih terasa, sebab pada umumnya yang pertama anak perempuan akan lebih perasa sehingga akan lebih melibatkan emosi.

Itu sebabnya lebih mudah merasakan tidak dikasihi, kurang diperhatikan dan anak perempuan mempunyai kecenderungan untuk merasakan sesuatu dengan lebih kuat. Kedua, memang tidak bisa kita sangkali bahwa anak perempuan lebih menitik beratkan pada penampilan fisik. Jadi kalau dia merasa dia tidaklah secantik kakak atau adiknya, ini akan membuat dia merasa belum apa-apa dia tidak berharga, seolah-olah orang tua pun nantinya tidak akan menghargai dia. Itulah sebabnya matanya cepat sekali menangkap tindakan-tindakan orang tua yang dianggapnya menomorduakan dirinya dan lebih menomorsatukan misalnya kakaknya yang dianggapnya lebih cantik. Jadi biasanya persaingan antar anak akan lebih terasa pada anak-anak perempuan yang usianya lebih berdekatan.
GS : Pak Paul, kita sebagai orang tua tentu berharap hal-hal seperti itu tidak terjadi atau kita bisa bersikap lebih adil lagi terhadap anak-anak kita. Dalam hal ini hal-hal apa yang perlu kita perhatikan, Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang kita mesti perhatikan, Pak Gunawan, yang kita mau soroti masalah persaingan antar anak ini dengan lebih menyeluruh, kita akan mempertimbangkan sisi baiknya, sisi positifna dan sisi buruknya.

Ada sisi positif dalam persaingan antar anak, jadi tidaklah tepat kalau kita mengatakan bahwa semua jenis persaingan antar anak pastilah buruk. Misalnya segi positif yang bisa saya lihat adalah dalam batas tertentu sebenarnya persaingan itu berupaya untuk menumbuhkan daya saing, dengan kata lain, dengan dia mau bersaing berarti dia mau bertahan, artinya dia mau pertahankan yang dia miliki, mempertahankan prestasi yang telah dicapainya, mempertahankan kwalitas yang telah dia lakukan. Itu adalah dorongan-dorongan untuk mempertahankan sesuatu dan sekaligus persaingan juga akan mendorong anak untuk meningkatkan prestasinya. Sehingga dia bisa berkata, "Baik saya akan coba lebih lagi." Misalkan si kakak mendapatkan nilai yang bagus dan tiba-tiba dia berkata, "Baik, saya harus mendapatkan nilai sebagus itu." Dalam arti atau dari segi ini saya justru bisa simpulkan persaingan memang ada segi positifnya, lewat persaingan kita bertahan untuk tidak mudah menyerah dan lewat persaingan kita juga dipacu untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Jadi sewaktu anak berada pada suatu kancah persaingan, sebenarnya dia akan berkesempatan mengembangkan ketahanan sekaligus potensi dirinya.
GS : Peran orang tua supaya anak memiliki persepsi bahwa saya ini bersaing secara positif dengan saudara-saudara saya, apa yang orang tua bisa lakukan, Pak Paul?

PG : Berawal pada saat anak-anak yang masih kecil, memang kita tidak bisa terlalu menjelaskan hal ini karena memang mereka belum terlalu memahaminya tentang konsep-konsep. Yang kita bicarakan blum bisa kita bagikan kepada anak-anak namun ada hal-hal yang kita akan bahas tentang apa yang harus kita lakukan agar jangan sampai persaingan ini bisa menjadi sesuatu yang sangat negatif atau sangat buruk.

Sekali lagi kita akan menjaga, jangan sampai persaingan menjadi suatu pengaruh buruk tapi kita juga tidak mau dengan sengaja membuang persaingan, karena anak yang sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk bersaing, mereka berkemungkinan tidak mengembangkan daya juang yang tinggi bahkan justru mengambil jalan pintas yang mudah. Jadi misalnya dia cenderung mudah menyerah dan cepat putus asa dengan apa yang dihasilkannya, sebetulnya kemampuannya jauh di atas apa yang telah dihasilkan, tapi karena tidak ada semangat juang tersebut akhirnya dia cepat puas. Dalam hal ini persaingan mempunyai sisi positif. Menjawab apa yang Pak Gunawan tanyakan, apa yang orang tua mesti lakukan agar jangan sampai akhirnya anak makin terseret ke aspek negatif yang buruk tapi tetap bisa mengembangkan sisi positif dari persaingan itu, misalnya yang pertama kita ini sebagai orang tua jangan sampai mengobarkan semangat juang anak dengan cara membandingkan dia dengan kakak atau adiknya. Tindakan orang tua yang menyemangati anak lewat pertandingan malah akan mengadu domba anak. Pada akhirnya anak akan sulit dekat dengan kakak atau adiknya, dia melihat mereka sebagai pesaing bukan sebagai teman apalagi sebagai saudara.
GS : Sebagai orang tua sangat mudah untuk mencari pembanding lewat saudaranya. Atau kita mau mencari orang lain, maka siapa yang bisa digunakan sebagai pembanding. Atau ada cara lain, Pak Paul?

PG : Sebaiknya kita tidak menggunakan pembanding, kadang-kadang orang tua beranggapan, "Saya tidak akan menggunakan anak sendiri sebagai pembanding tapi saya akan gunakan anak orang lain" atau rang tua akan gunakan saudara sepupunya dan sebagainya, tetapi tetap efek pembanding itu akan membuat anak merasa bahwa Papa atau Mama lebih menghargai orang lain, lebih meninggikan anak orang lain dari pada anak sendiri.

Jadi dengan kata lain, yang mesti orang tua lakukan adalah membandingkan anak dengan dirinya sendiri yaitu melihat kemampuan anak kemudian mengatakan, "Kamu memang bisa seperti ini, kenapa kamu tidak mencoba dengan keras? Kenapa kamu hanya sampai disini saja?" Dengan catatan orang tua sungguh-sungguh tahu kemampuan anaknya kalau memang dia lebih dari itu. Kadang-kadang orang tua tidak tahu kalau kemampuan anaknya tapi terus memaksa anak "Kamu harusnya lebih bisa, kamu kok hanya segini." Bagaimana cara agar orang tua tahu dengan tepat? Maka orang tua harus mengajak bicara dan cari tahu apa yang menjadi kesulitannya. Kenapa nilainya hanya segini? Apa yang telah dia lakukan? Belajarnya seperti apa? Waktu orang tua mengetahui anaknya seperti ini maka orang tua harus sadar, "Anak saya ini telah benar-benar melakukan semaksimal mungkin, tapi inilah kemampuannya atau memang karunianya yakni bukan di bidang ini, tapi di bidang lain." Waktu orang tua mengetahui dengan jelas itu semua maka dorongan atau pacuan orang tua akan lebih tepat. Tapi sekali lagi saya tekankan kalau mau membandingkan, maka bandingkanlah dengan kemampuannya sendiri, jangan bandingkan dengan kakak atau adiknya, karena ujung-ujungnya kalau membanding-bandingkan dengan kakak atau adiknya, si orang tua itu sebetulnya menciptakan jurang di antara anak-anaknya. Si anak melihat kakak-kakaknya sebagai pesaing bahkan kadang-kadang sebagai musuh, bukan lagi sebagai kakak, apalagi sebagai sahabat. Ini yang mesti dijaga oleh orang tua.
GS : Seringkali orang tua memiliki ambisi supaya anak mereka lebih pandai dari anak temannya atau anak saudaranya dan ini sulit untuk dihindari, Pak Paul.

PG : Orang tua ingin sekali melihat anaknya maju, memang ada 2 motivasinya yang pertama adalah agar si anak bisa berkembang dan yang menjadi harapan kita adalah masa depan dia menjadi lebih baik. Dan yang juga tidak bisa disangkal sebagai orang tua, kita punya motivasi yaitu bukankah kalau anak kita bisa cemerlang, kita juga nanti beroleh nama baik yaitu seolah-olah kita yang telah berjasa besar membesarkan anak-anak yang mampu untuk bersaing, mampu berprestasi dengan baik.

GS : Mungkin di rumah kita tidak membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain Pak Paul, tapi di sekolah seringkali para pengajar, guru-guru "Kamu tidak seperti ini," atau lewat nilai yang diperoleh, maka anak akan langsung tahu membandingkan dirinya dengan teman-temannya dan ini tidak bisa dihindari, Pak Paul.

PG : Betul, dalam kasus seperti itu memang anak akan menghadapi realitas dan ini bukan sesuatu yang buruk karena dia tidak sebaik temannya, angkanya tidak setinggi temannya. Itu sesuatu yang bak karena dia bisa misalnya berkata, "Saya memang tidak memberikan yang terbaik, saya tidak belajar dengan baik maka akhirnya seperti inilah hasilnya," tapi bisa juga dia berkata, "Saya telah mencoba semaksimal mungkin dan memang harus saya akui bahwa anak ini lebih baik dari pada saya."

Ini adalah sebuah sikap yang baik, sikap mau mengakui kemampuan, kapasitas, keterbatasan pribadi dan sikap bisa menghargai kemenangan orang, mengakui keunggulan orang. Hal-hal seperti inilah yang seyogianya terjadi. Sikap-sikap seperti ini dimulainya di rumah, anak yang susah menerima keunggulan temannya besar kemungkinan mereka tidak pernah belajar di rumah, dan kenapa dia tidak pernah belajar? Bisa jadi karena cara-cara orang tua yang keliru seperti terlalu meninggikan anak, mengagung-agungkan bahwa dia yang paling cerdas, paling pintar, paling bisa, dan orang tua yang selalu mengadu domba anak dengan cara membanding-bandingkan anak akhirnya anak susah sekali menerima kekalahannya dan mengakui kekuatan orang lain.
GS : Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan pada orang tua?

PG : Yang lain adalah tindakan orang tua yang membandingkan anak, akan membuat anak merasa bahwa orang tua hanya akan mengasihinya kalau ia berprestasi di atas kakak atau adiknya. Kadang-kadangorang tua tidak sadar bahwa membanding-bandingkan dengan si kakak atau si adik yang angka di sekolahnya bagus kemudian memuji-muji, dan kalau si adik yang dapat prestasi bagus dipuji-puji akhirnya si anak merasa bahwa Papa atau Mama hanya akan mengasihi saya dan saya hanya akan bernilai di mata Papa dan Mama kalau saya berhasil dalam prestasi di atas kakak atau adik saya.

Karena atmosfir di dalam rumah adalah atmosfir perbandingan, ini sesuatu yang sangat tidak sehat, karena sekali lagi akhirnya tumpuan harga diri anak menjadi rapuh, bukanlah bertumpu pada kasih sayang orang tua yang apa adanya, tanpa syarat kepada dirinya, melainkan bertumpu pada perbandingan bahwa dia harus lebih dari orang lain maka barulah dia bernilai. Jadi kita sebagai orang tua tidak boleh menyuruh anak bersaing dengan kakak atau adiknya, biarlah persaingan ini bertumbuh secara alamiah di antara mereka. Kalau memang mereka ingin memacu diri mereka, maka jangan orang tua yang memacu atau membanding-bandingkan diri mereka, tapi biarkan dari mereka sendiri dan bukan dari orang tua yang seolah memacu ana,k membanding-bandingkan, ini justru yang tidak sehat.
GS : Lalu apa yang orang tua bisa lakukan Pak Paul?

PG : Orang tua harus menekankan bahwa yang terpenting adalah anak melakukan sedapatnya atau sebaiknya. Hal ini yang perlu ditekankan pada diri seorang anak. Orang tua penting menekankan anak unuk tidak memaksakan diri dengan cara mengorbankan hal penting lainnya.

Jadi dengan kata lain orang tua harus mengajarkan kepada anak akan keterbatasan dirinya. Jika anak sampai kehilangan keseimbangan hidup dan mulai menampakkan masalah akibat menuntut diri berlebihan maka orang tua mesti cepat tanggap dan meminta anak untuk mengurangi tuntutan itu. Ada anak yang misalnya cepat marah karena hidupnya tidak lagi seimbang, ada lagi anak yang mengembangkan sikap tidak bersahabat dan egois akibat persaingan. Jika ini yang dilihat orang tua, maka orang tua mesti bertindak untuk menghentikan persaingan ini.
GS : Jadi orang tua bersikap seperti wasit, Pak Paul, di dalam pertarungan ini.

PG : Betul sekali sebagai wasit, pembuat garis, sebagai pendiri pagar, jangan sampai berlebihan. Ada anak karena ingin bersaing, ingin jadi yang nomor satu maka akan mengorbankan hal lain dalamhidupnya, menjadikan kestabilan emosinya tidak sehat, cepat marah, cepat memusuhi orang, maka orang tua harus melihat hal-hal seperti itu dan berusaha untuk mengendalikan, mengajarkan kepada anak "Yang penting adalah engkau melakukan sedapatnya, sebaiknya dan sesudah itu serahkan kepada Tuhan, jangan memaksakan harus mendapatkan yang kita inginkan kalau tidak dapat juga tidak apa, tapi yang terpenting adalah sebaiknya itu adalah tanggung jawab kita di hadapan Tuhan."

GS : Mungkin anak akan merasa aman atau tidak terlalu merasa harus bersaing, kalau kita sebagai orang tua menyatakan kasih kita kepada anak-anak kita, Pak Paul.

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Jadi orang tua harus sering-sering mengkomunikasikan kasih kepada anak di luar prestasinya. Dengan cara ini anak terus diingatkan bahwa dia dikasihi bukan oleh krena prestasinya, tapi karena orang tuanya.

Jadi lewat kasih dan penerimaan anak pun diajar untuk mengasihi saudara-saudaranya apa adanya. Dengan kata lain anak diajak untuk melihat persaingan sebagai sarana belaka untuk memacu diri bukan sebagai tujuan.
GS : Memang agak sulit menjelaskan hal ini kepada anak-anak karena mereka lebih mudah melihat hal-hal yang nyata, seperti angka-angka atau prestasi mereka tetapi dengan pendekatan yang terus-menerus dengan mengungkapkan kasih yang nyata, saya rasa mereka juga bisa mengerti, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi secara spontan orang tua sebaiknya memeluk anak, mencium anak mengatakan, "Saya bangga dengan kamu, saya sayang kepada kamu," tanpa ada alasan, tanpa ada prestasi yang dilihat tau diakui oleh orang tua.

Jadi benar-benar tidak ada angin tidak ada hujan, orang tua sering mengungkapkan kasih sayang dan penerimaan kepada anak. Tunjukkan karakter-karakter kepada anak, "Kamu ini sayang dengan adikmu, kamu orangnya siap membantu kakakmu," hal-hal seperti itu yang sering kita komunikasikan. Sudah tentu waktu dia memberikan prestasi yang baik kita juga mengasihi, waktu dia tidak memberikan prestasi yang baik, kita juga jangan cepat marah, kita hanya perlu tanyakan, "Kenapa? Apa yang terjadi? Apakah kamu telah belajar dengan sebaik mungkin?" Kalau memang si anak sudah mengakuinya, "Sudah" maka kita berkata, "Baik saya terima itu". Kalau dia berkata, "Sudah" tapi kita tahu kemarin dia banyak bermain video games, kita katakan, "Rasanya tidak seperti itu. Kemarin Papa melihat kamu banyak bermain video games sampai berjam-jam, itu sudah tidak benar, makanya sekarang hasilnya seperti ini. Saya minta kamu perbaiki, kurangi main video games, saya minta sekarang kamu lebih fokuskan pada pelajaranmu." Jadi hal seperti ini bisa dilakukan disamping terus mengkomunikasikan kasih dan penerimaan kepadanya.
GS : Dan itu harus dilakukan oleh kedua orang tuanya, Pak Paul. Jadi misalnya hanya ibunya yang mengatakan kasih dan ayahnya justru menerapkan persaingan, seringkali anak juga bingung.

PG : Betul sekali. Jadi akhirnya kalau itu yang terjadi si anak nantinya mempunyai keberpihakan, dia harus menjauhi diri dari si ayah yang menuntut dan dia akan mendekat dengan si ibu yang bisamenerima dia.

GS : Hal lain apa Pak Paul yang bisa dilakukan oleh orang tua?

PG : Anak didasarkan pada konsep dirinya atas kemenangan belaka, konsep seperti ini merupakan benih keangkuhan. Jadi hati-hati kalau si anak mulai membangun konsep diri atas dasar kemenangan, kberhasilan, dan ini yang kita mesti jaga karena ini merupakan benih keangkuhan.

Dan lebih buruk lagi konsep seperti ini ibarat rumah yang dibangun di atas pasir, dia hanya berharga bila berhasil mengalahkan orang lain, ini tidak sehat dan juga tidak kuat. Berarti nanti kalau ada orang lain yang mengalahkan dia maka penghargaan dirinya langsung runtuh, dia bisa patah semangat tidak mau berusaha lagi, tidak bisa menghindar dari kekalahan sebab dia selalu mencari kemenangan. Jadi kalau dia antisipasi dia akan kalah, maka dia tidak mau melakukannya sehingga benar-benar kepercayaan dirinya makin hari makin rapuh.
GS : Dan bagaimana orang tua bisa membantu untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada diri anak?

PG : Pertama orang tua harus terus melimpahkan kasih dan penerimaan di luar prestasinya dan ini modal yang paling besar. Yang berikut adalah orang tua mengajarkan kepada anak apa yang menjadi kkuatan dan yang menjadi keterbatasannya.

Waktu anak bisa melihat hal ini anak mulai bisa menerima dirinya dan kita terus dorong dia untuk mengembangkan kekuatannya.
GS : Mungkin ada hal lain Pak Paul, yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Satu lagi yang terakhir adalah anak harus terus diajarkan bahwa anak tidak boleh menjadikan persaingan sebagai pemotivasi dirinya. Dia pun harus melihat sebagai konsekuensi dan efek sampinan bukan sebagai pencipta prestasi.

Anak yang menjadikan persaingan sebagai satu-satunya pemotivasi diri akan cepat kehilangan semangat jika tidak menemukan pesaing dan ini yang lebih serius. Sesungguhnya dia akan kehilangan arah hidup sebab semua yang dilakukannya bukan keluar dari dirinya sendiri melainkan dari luar dirinya, dia tidak tahu apa yang disukai atau tidak disukainya sebab dia tidak pernah melihat ke dalam dirinya, semua dilakukannya hanya untuk menang.
GS : Banyak orang tua yang mengatakan, "Persaingan itu terjadi di dunia orang dewasa, sehingga tidak apa-apa kalau anak saya ini saya latih supaya siap memasuki kancah persaingan dunia ini" dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Segala persiapan memang harus dilakukan secara bertahap, pada masa anak-anak muda persiapan itu mesti dilakukan sedikit mungkin, seminimal mungkin. Ketika dia jelas mengetahui kekuatan danketerbatasannya maka persaingan akan lebih mudah untuk dilakukan.

Kalau dia tahu dia terbatas di bidang ini, dan dia mengakui keunggulan orang, itu hal yang baik karena dengan dia mengakui keunggulan orang maka dia akan lebih memusatkan perhatiannya dan kekuatannya pada bidang itu. Dengan cara ini, nantinya dia akan lebih siap bersaing, orang yang siap bersaing adalah orang yang siap kalah bersaing, Pak Gunawan. Dan ini yang mesti orang tua sadari dan tanamkan pada anak, tidak ada yang namanya siap bersaing dengan pengertian hanya siap menerima kemenangan.
GS : Seringkali kita jumpai anak yang cepat putus asa, sebenarnya penyebabnya apa Pak Paul?

PG : Karena pada waktu dia kalah, harga dirinya runtuh dan hidupnya itu akan bersemangat kalau ada saingan. Begitu tidak ada saingan dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan ini yang lebihparah, dia tidak tahu sebetulnya apa yang dia ingin lakukan, apa yang menjadi tujuan hidupnya, apa yang menjadi cita-citanya.

Dia tidak tahu semua itu sebab selama ini dia seperti boneka yang tangan dan kakinya diikat dan digerakkan oleh saingan-saingan itu, begitu tidak ada tali-tali yang mengikat dirinya maka semuanya jatuh lunglai.
GS : Tapi ada juga anak yang menjadi angkuh kalau dia mencapai suatu prestasi tertentu, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau memang dia terus menjadi angkuh, itulah saatnya orang tua mengingatkan kepada si anak kamu sekarang sudah masuk ke dalam dosa. Kamu selalu meninggikan dirimu, kamu mulai merendahkan rang lain, ini tidak berkehendak di hadapan Tuhan, kamu harus takut kepada Tuhan sebab apa yang kamu miliki adalah pemberian Tuhan dan bukan kamu yang menciptakannya tapi ini dari Tuhan, jadi kamu tetap harus takut kepada Tuhan dan menghargai orang lain sebagaimana Tuhan menghargai mereka.

GS : Jadi disamping kita memberikan penghargaan kepada dia karena berprestasi, tapi juga semacam peringatan agar dia tidak menjadi sombong atau merendahkan teman-temannya atau bahkan saudaranya sendiri, Pak Paul.

PG : Betul, jadi memang harus ada dua pagar ini, agar anak-anak bisa berjalan dengan seimbang.

GS : Ada Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Di Amsal 16:8 Firman Tuhan berkata, "Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, dari pada penghasilan banyak tanpa keadilan," ini yang penting yang anak-anak harus sadari, lebih bak penghasilan sedikit disertai kebenaran daripada penghasilan banyak tanpa keadilan.

Anak yang terikat dengan persaingan berpotensi menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan, ini yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Persaingan Antar Anak." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



91. Membangun Saling Tolong Antar Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T251B (File MP3 T251B)


Abstrak:

Anak tidak lahir ke dalam dunia dengan keinginan dan kerelaan menolong; sebaliknya, anak lahir ke dalam dunia dengan keinginan untuk tidak harus bersusah payah melakukan sesuatu bagi orang lain. Keluarga adalah tempat di mana anak menerima didikan agar bisa memiliki keinginan dan kerelaan menolong sesama, dan semua itu dimulai dengan menolong kakak dan adiknya. Ada beberapa masukan untuk menumbuhkan sifat saling tolong pada anak.


Ringkasan:

Anak tidak lahir ke dalam dunia dengan keinginan dan kerelaan menolong; sebaliknya, anak lahir ke dalam dunia dengan keinginan untuk tidak harus bersusah payah melakukan sesuatu bagi orang lain. Keluarga adalah tempat di mana anak menerima didikan agar bisa memiliki keinginan dan kerelaan menolong sesama, dan semua itu dimulai dengan menolong kakak dan adiknya. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk menumbuhkan sifat saling tolong pada anak.


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menumbuhkan Saling Tolong Pada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Sebagai anak yang dilahirkan di dalam keluarga artinya ada beberapa anak lagi, sifat saling tolong ini apakah tidak secara otomatis akan timbul di dalam diri anak-anak, Pak Paul?

PG : Sebetulnya ini tidak akan timbul secara alamiah, Pak Gunawan, karena pada dasarnya kita sebagai manusia tidak ingin disusahkan, waktu kita menolong orang itu berarti kita sedang disusahkandan kodrat awal kita adalah kita tidak mau disusahkan justru kita mau orang lainlah yang akan menolong kita kalau kita mengalami kesusahan.

Dengan kata lain, kalau kita ingin melihat anak-anak kita mengembangkan sikap saling tolong, kita harus menanamkannya di rumah, kalau kita mau anak-anak kita setelah dewasa dapat saling tolong di luar rumah dengan orang lain, maka sikap saling tolong ini harus diawali di rumah, kalau di rumah hal itu tidak terjadi maka lebih kecil kemungkinannya ini akan terjadi di luar.
GS : Hal itu bisa ditumbuh kembangkan pada diri anak itu sejak usia berapa, Pak Paul?

PG : Memang harus kita awali sejak kecil pada waktu misalnya anak sudah bisa berjalan, sudah bisa mulai mengambil barang. Jadi kita bisa mulai terlebih dahulu antara kita dan dia, misalkan dia erumur 3 tahun, "Tolong ambilkan sendok Mama perlu sendok, tolong ambilkan kain, Mama perlu kain."

Hal-hal kecil seperti itu mulai ditanamkan sejak anak berusia kecil sehingga akhirnya anak dapat mengembangkan sikap saling tolong ini. Orang tua tidak bisa beranggapan bahwa, "Pastilah anak nanti dengan sendirinya mengembangkan sikap ini" dan menunggu-nunggu kapan sikap saling tolong ini muncul dalam diri si anak, itu tidak akan terjadi! Karena orang tua tidak menanamkannya dari awal. Akan ada pergumulan, maksudnya tidak selalu waktu orang tua meminta sesuatu kepada anak, anak akan bersedia melakukannya. Apalagi kalau kita minta si anak menolong kakak atau adiknya, belum tentu dia akan siap, dia mungkin akan melawan. Adakalanya dari awal orang tua mesti memaksakan, sekali lagi kita mesti berasumsi bahwa sikap saling tolong ini tidak mesti ada dalam diri si anak dan kita harus menanamkannya dan kadang harus menanamkannya dengan paksaan supaya perlahan-lahan si anak mulai terbiasa untuk melakukannya dan karena terbiasa maka perlahan-lahan kebiasaan itu akan menjadi bagian dari karakternya.
GS : Jadi apa yang harus dilakukan oleh orang tua, Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang orang tua perlu lakukan, yang pertama misalnya kita menekankan pada aspek saling yaitu saling tolong. "Saling" artinya bergantian melakukan sesuatu yang bermanfaat kepad satu sama lain.

Jadi kita mau anak-anak itu secara bergantian, secara bergiliran menolong kakak atau adiknya. Sekarang misalkan kita berkata kepada si adik, "Kamu yang tolong kakakmu nanti kakak bisa tolong kamu," atau kita berkata kepada kakaknya "Kamu sekarang tolong adikmu nanti adik juga bisa tolong kamu," memang dalam tahap ini saling tolong lebih merupakan transaksi jual beli yaitu melakukan sesuatu dengan pengharapan bahwa suatu hari kelak akan ada imbalan yang sepadan. Dan biasanya anak akan menagih imbalan itu dan orang tua mesti memastikan bahwa imbalan itu diberikan kepada kakak atau adiknya. Pada tahap ini perlu adanya kekonsistenan bahwa imbalan akan diberikan sebab jika tidak, semangat saling tolong ini cepat pudar. Jadi penting adanya kekonsistenan memberi dan menerima sebab ini adalah dasar keadilan dan kepatutan. Dan anak yang tidak memahami hal ini pada akhirnya akan mengalami kesulitan pada pergaulan, ia hanya tahu meminta namun tidak tahu memberi.
GS : Ada anak yang mau menolong tapi ketika ditolong oleh saudaranya dia menolak karena dia merasa bisa melakukan sendiri.

PG : Sudah tentu kita akan meminta agar si adik misalnya memberi pertolongan kepada si kakak, memang untuk hal-hal yang dia perlukan, pada awalnya akan susah sekali memberikan atau meminta si kkak untuk mengizinkan si adik menolongnya karena dia memang tidak perlu, kalau dia tidak perlu kenapa dia harus meminta tolong.

Memang ada benarnya, sehingga kita mesti carikan dimana si adik bisa menolong si kakak, dalam hal si kakak memang perlukan itu. Jadi jeli-jelilah melihat hal kecil itu, misalkan si kakak sedang mandi kemudian minta tolong kepada kita, "Ma, tolong ambilkan handuk," kemudian kita berkata kepada si adik, "Tolong ambilkan handuk buat kakakmu," atau kita bisa berkata, "Mama sedang repot di dapur, coba tolong panggil adikmu, minta ambilkan handuk itu", jadi kita alihkan kepada si adik yang mengambilkannya untuk si kakak. Sekali lagi dalam tahap ini Pak Gunawan, pada saat usia anak-anak masih lebih kecil, memang aspek "saling" yang kita tekankan bahwa kalau kamu menolong nanti kamu akan mendapatkan imbalannya atau pertolongan juga. Jadi motivasinya memang motivasi keadilan, motivasi adanya imbalan tapi sekali lagi ini bukan sesuatu yang buruk karena inilah hidup dalam dunia. Kita termotivasi melakukan sesuatu karena adanya imbalan dan konsep ini pun akhirnya kita terapkan atau tanamkan kepada anak yang kecil ini sebelum akhirnya nantinya dia akan mengembangkan sikap saling tolong yang lebih murni yang keluar dari dirinya tanpa imbalan sama sekali.
GS : Seringkali ini tidak bisa seimbang, biasanya justru yang kakak memberikan pertolongan dengan jumlah yang lebih banyak dari pada dia menerima pertolongan dari adiknya, Pak Paul.

PG : Seringkali itu yang terjadi karena si kakak memang lebih bisa dan lebih besar sehingga lebih mampu melakukan banyak hal bagi si adik. Di sini orang tua juga mesti berhati-hati, Pak Gunawan kadang-kadang orang tua beranggapan "Kamu adalah kakak jadi seharunya kamu mengalah," atau "Kamu adalah kakak jadi kamu harus memberi lebih lagi kepada adikmu."

Konsep ini mesti dijaga, perlakuan ini mesti diwaspadai karena nantinya si kakak itu akan cepat merasakan ketidak adilan "Kenapa saya saja" dan efeknya adalah si kakak akan merasa Papa atau Mama hanya sayang kepada si adik dan si adiklah yang terus-menerus mendapatkan kemudahan dan keuntungan, dan saya yang harus terus-menerus menyuplai keuntungan buat si adik, ini tidak sehat buat si anak. Jadi sekali-kali si anak perlu meminta si adik melakukan atau memberikan sesuatu kepada kakaknya, dengan cara ini si kakak akan melihat bahwa hal ini adil. Sudah tentu yang Pak Gunawan bicarakan tadi betul, misalkan si kakak melakukan 10 hal buat di adik dan si adik mungkin hanya melakukan 5 hal, tapi tetap kalau hal itu dilakukan oleh si adik meskipun tidak sebanyak si kakak, rasanya keadilan itu masih ada dan si kakak tetap bisa melihat masih ada keadilan dan bahwa si adik berbuat sesuatu untuk dia dan ini yang perlu dilihatnya.
GS : Baik juga ditekankan kepada anak-anak ini sebagai saudara bahwa mereka ini menolong dan ditolong, ini wujud dari mereka saling mengasihi.

PG : Betul sekali. Jadi pada akhirnya kita akan mulai mau mengaitkan dan menolong dengan mengasihi artinya menolong adalah bukti mengasihi. Sekali lagi pada saat itu anak belum bisa memahami kosep mengasihi.

Jadi yang kita tekankan awalnya adalah tindakan-tindakan konkret seperti menolong dan perlahan-lahan barulah kita kaitkan "Kamu tolong kakakmu sebab kamu sayang kepada kakak. Kamu menolong adik karena kamu sayang kepada adik." Perlahan-lahan si anak barulah membangun sebuah keterkaitan, sebuah definisi, "Mengasihi itu berarti menolong, menolong artinya mengasihi". Nantinya waktu mereka merasa mengasihi maka dia akan lebih terdorong untuk menolong kakak atau adiknya.
GS : Berarti kalau anak-anak ini lebih besar mungkin sekitar 6 atau 7 tahun, pola ini juga harus ada perubahan, Pak Paul?

PG : Pada usia 6 atau 7 tahun orang tua memang mesti meminta anak melakukan sesuatu untuk kakak atau adiknya dengan imbalan yang berasal dari orang tua bukan dari kakak atau adiknya. Dari awal aya sudah katakan, kita beritahu si adik, "Kamu nanti ditolong oleh kakak atau mendapatkan imbalan dari kakak."

Setelah anak mulai berusia 7 tahun, 8 tahun kita mulai mau mengalihkan imbalan tersebut dari si kakak atau si adik kepada kita orang tua dengan kata lain kita mau anak-anak belajar untuk tidak menuntut imbalan dari orang yang ditolongnya tapi tetap mendapatkan imbalan, namun bukan dari pihak yang bersangkutan yang baru saja ditolongnya. Ini perlu kita tanamkan kepada anak supaya pada akhirnya dia bisa dan bersedia menolong tanpa iming-iming imbalan, misalkan yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah orang tua memberikan pujian sebagai pengganti imbalan yang seharusnya diberikan kakak atau adiknya. Sewaktu dia melakukan sesuatu buat kakaknya maka kita puji, waktu si kakak berbuat sesuatu buak adiknya maka kita puji. Itulah imbalannya dan kita tidak lagi berkata, "Nanti kakak akan berikan lagi kepadamu, nanti adik akan berbuat ini kepadamu," itu tidak lagi dilakukan, perlahan-lahan kita akan berikan imbalan dari diri kita dan imbalan dari kita yang kita buat adalah pujian-pujian kepada anak.
GS : Apakah itu tidak membingungkan anak, Pak Paul, dia menolong kepada kakaknya tapi kenapa bukan kakaknya yang mengucapkan terima kasih.

PG : Sudah tentu nanti kita memuji tapi si kakak atau si adik yang menerima pertolongan harus tetap mengucapkan kata-kata terima kasih. Terima kasih itu sendiri sebetulnya sudah merupakan imbaln, namun dulu imbalan itu disertai dengan sebuah bentuk konkret, sesuatu yang bisa diterima oleh orang yang menolong atau oleh saudara yang menolong.

Sekarang memang tidak ada lagi perbuatan atau barang tersebut dan hanya terimakasih, namun disusul oleh pujian dari orang tua kepadanya.
GS : Seringkali imbalan itu tidak bisa diterima langsung, ada yang beberapa hari kemudian barulah mengucapkan terima kasih, dan anak merasa bahwa waktunya itu lama sekali, tidak ada ucapan terima kasih sehingga menjadi menunggu-nunggu.

PG : Itu sebabnya perlu sekali orang tua menyuruh anak yang menerima pertolongan untuk segera berterima kasih. Pak Gunawan memang tadi mengangkat isu yang sering terjadi adalah anak-anak mempunai keangkuhannya, ada gengsinya sehingga sengaja tidak mengucapkan terima kasih sebab dia merasa nanti saya berhutang kepadamu, nanti saya harus berbuat kepadamu.

Itulah justru penting bagi orang tua untuk mulai menghilangkan imbalan tersebut dan mulai menggantinya dengan imbalan yang berasal dari orang tua yaitu pujian. Sehingga waktu si kakak menerima bantuan dari adiknya, maka dia akan lebih mudah mengucapkan terima kasih sebab dia tahu nantinya dia tidak akan berbuat sesuatu kepada si adik, dia tidak harus membayarnya. Adakalanya dia tidak mau mengucapkan terima kasih sebab terima kasih merupakan pengakuan saya telah menerima sesuatu dan itu sebuah kontrak atau janji saya harus berbuat sesuatu kembali untukmu dan ini adalah hal-hal yang kita mau mulai cairkan atau hilangkan, sehingga akhirnya dua-dua mulai berbuat baik atau menolong satu sama lain tanpa lagi mengharapkan imbalan.
GS : Bagaimana kalau anak ini sudah semakin besar Pak Paul, jadi bukan hanya 6 atau 7 tahun tapi 8 sampai 10 tahun dan itu bagaimana?

PG : Misalkan anak-anak sudah mulai besar, orang tua mulai harus mengajak anak melihat aspek kebutuhan, kebutuhan yang sedang dirasakan oleh kakak atau adiknya. Dengan kata lain waktu anak-anakberusia 8 atau 10 tahun kita mau agar mereka mulai mengembangkan empati, rasa belas kasihan yang nantinya akan mendorong dia untuk menolong saudaranya.

Bukankah pada akhirnya inilah yang seharusnya mendorong kita untuk menolong sesama yaitu kita melihat kebutuhan. Kenapa di usia 8 atau 9 tahun dan tidak sebelumnya, karena pada usia-usia kecil, anak-anak masih sulit menempatkan diri pada posisi orang lain atau melihat sesuatu dari kacamata orang lain. Itu sebabnya bagi si anak untuk mengerti adanya kebutuhan pada diri kakak atau adiknya itu susah karena dia belum bisa keluar dari dirinya, masuk ke dalam diri kakaknya dan merasakan kebutuhan seperti yang dirasakan kakaknya. Dengan adanya perkembangan kognitif pada usia 8 atau 9 tahun, anak akan lebih mampu melihat dari kacamata kakaknya dan berempati merasakan dari perasaan kakaknya. Karena dia sudah mampu merasakan apa yang dirasakan kakaknya berarti dia juga mampu melihat kebutuhan yang dimiliki oleh kakaknya, disinilah kita mendorong anak untuk melakukan sesuatu dengan kata-kata misalnya, "Kamu tolong, bantu kakakmu, kasihan dia, dia lelah sekali setelah belajar dari pagi sampai sekarang. Tolong sekarang kamu yang bereskan mainan, tolong bereskan supaya kakak nanti tidak membereskan mainan karena dia sudah lelah sekali. Coba lihat kakak, lelah atau tidak? Lelah 'kan! Jadi tolong bereskan mainan buat kakak." Hal-hal seperti itu kita coba tanamkan pada anak sehingga anak akhirnya nanti dengan lebih alamiah akan lebih bisa melihat kebutuhan dan waktu melihat kebutuhan, terdoronglah keinginan untuk menolong yang membutuhkan itu.
GS : Ada anak yang punya perjanjian dengan saudara-saudaranya, "Yang butuh atau yang memerlukan bantuan itu yang harus bicara, kalau tidak bicara maka tidak akan dibantu," dan itu bagaimana mengatasinya, Pak Paul?

PG : Ini tidak selalu buruk, Pak Gunawan, memang bagi anak yang memerlukan kebutuhan, bicara memang sesuatu yang baik sehingga dia tidak menyimpan semua, mencoba menyelesaikan semua, dia juga brusaha menyediakan hati untuk meminta pertolongan dari pihak lain, ini sesuatu yang baik untuk anak lakukan.

Jadi anak-anak itu perlu didorong dengan arti yang pertama dapat mengenali kebutuhannya dan yang kedua adalah meminta pertolongan agar kebutuhannya bisa dipenuhi oleh kakak atau adiknya. Jadi kita lihat dia memiliki kebutuhan, dia sudah lelah dan sebagainya dan mainannya belum dia bereskan, kita bisa tanya kepada dia, "Kamu lelah ya?" kemudian dia berkata "Iya." Dia belajar mengenali kebutuhannya. Kemudian kita tanya yang kedua, "Mainan itu masih banyak yang belum dibereskan, apakah kamu sanggup untuk mengerjakan itu, mau tidak meminta pertolongan adikmu saja untuk membereskan mainan itu." Kemudian misalkan dia berkata, "Tidak, tidak perlu," kemudian kita berkata lagi, "Coba kamu pikir lagi, kamu tampaknya lelah, minta tolong adikmu saja supaya nanti dia bisa bereskan," kemudian dia berkata "Terserah Mama," kemudian kita berkata, "Baik kalau begitu saya akan panggilkan adikmu, dan nanti kamu bilang kepada adikmu untuk memintanya membereskan mainanmu karena kamu sedang lelah, itu saja." Kita panggil adiknya dan meminta si kakak mengungkapkan kepada si adik. Ini ada baiknya sehingga nantinya si adik itu bisa belajar melakukan hal yang sama kalau dia punya kebutuhan, dia juga nanti bisa mengutarakannya sehingga orang lain tahu apa yang dibutuhkannya. Di pihak lain Pak Gunawan, kita tetap juga harus menanamkan kepada si anak adalah bahwa kalau pun kakakmu tidak meminta dan kamu melihat dia punya kebutuhan maka coba kamu tawarkan bantuanmu, misalkan tanya saja, "Kak, apakah kamu perlu bantuanku untuk bereskan mainan." Jadi mengajak si anak ini berinisiatif dan tidak menunggu sampai dimintai tolong baru melakukan sesuatu. Jadi waktu dia melihat ada kebutuhan dia terdorong berinisiatif menawarkan bantuan dan ini sesuatu yang bisa kita ajarkan kepada anak.
GS : Ada anak yang tidak mau meminta tolong kepada saudaranya, karena ketika saudaranya menolong dia, bukan justru pertolongan yang dia dapat melainkan malah mengacaukan atau merusakkan. Si penolong ini merasa, "Saya bisanya menolong ya seperti ini," dan orang tua biasanya kesulitan.

PG : Kalau kita tahu pertolongan yang dia berikan itu tidak akan sempurna malah bisa mengacaukan, ada baiknya orang tua terlibat, turut menolong sehingga meskipun si adik tidak benar membereska mainannya dan dengan adanya si ibu atau si ayah nanti mainan itu akan lebih beres, sebab yang penting di sini adalah bukan kwalitasnya tapi tindakan itu sendiri yang keluar dari hati untuk berbuat sesuatu, untuk menolong kakaknya atau adiknya.

Jadi ini yang penting dari pada hasilnya, untuk menolong supaya hasilnya bisa lebih baik, tidak ada salahnya orang tua terlibat membantu sehingga nanti yang tadinya itu butuh pertolongan akan senang melihat bahwa benar-benar ditolong dengan baik.
GS : Ada keluarga yang mencoba mengaplikasikan saling tolong ini dengan mengajak anak-anak mereka menolong orang tuanya lebih dulu, Pak Paul.

PG : Biasanya kita mengawali dengan hal itu dulu, Pak Gunawan. Jadi saling tolong itu dimulai dari anak dengan orang tua, orang tua dan anak. Kalau ini sudah bisa terjalin barulah nanti dipindakan dari anak ke sesama anak.

GS : Dan makin anak itu berkembang, rupanya kalau tidak terbiasa sejak kecil maka makin besar akan makin sulit untuk bisa saling tolong.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Sikap atau sifat saling tolong ini mesti dipupuk sejak kecil. Kalau sudah berumur 17 tahun kemudian barulah kita mau mengajarkan sikap saling tolong memang masihbisa karena manusia masih bisa berubah, tapi hal itu akan sulit sekali karena gaya hidupnya sudah terbentuk, egonya sudah terbentuk sehingga dia tidak mudah untuk menyusahkan diri menolong orang lain.

Atau ada yang tidak terbiasa meminta tolong karena ada rasa gengsi dan ini semua sudah mengkristal, sehingga untuk mengubahnya di usia yang lebih besar jauh lebih sulit. Maka tadi di awal percakapan, kita sudah membahas bahwa kita memulai ini sejak anak-anak kecil, meminta tolong kepada anak mengambilkan sesuatu dan sebagainya maka lama-lama kita juruskan ini kepada sesama anak sehingga mereka bisa saling tolong.
GS : Masalahnya Pak Paul, ada keluhan orang tua yang mengatakan kalau dimintai tolong temannya dia rajin membantu tapi kalau saudaranya yang meminta tolong dia tidak mau membantu dengan baik.

PG : Memang bisa jadi ada beberapa penyebabnya, Pak Gunawan. Misalnya dia merasa di rumah dia tidak diperlakukan dengan benar, dia selalu dimanfaatkan. Jadi pada akhirnya dia tidak suka memberian pertolongan kepada kakak atau adiknya yang misalnya memanfaatkan dia atau memusuhi dia sedangkan di sekolah dia lebih diterima, dihargai dan otomatis dia akhirnya akan lebih sering melakukan saling tolong itu di luar rumah.

Ini pentingnya orang tua melihat dan mengawasi hal seperti ini di rumah, supaya orang tua bisa bertindak kalau orang tua melihatnya. Misalkan orang tua tanya kepada si anak, "Kamu tadi tidak mau menolong adikmu yang meminta tolong," kemudian si kakak berkata, "Karena sekali saya tolong dia, dia sengaja suka menyuruh saya lagi sehingga saya yang harus terus mengerjakan, kalau saya tidak mau mengerjakan dia marah dia tidak mau main dengan saya, saya tidak suka menolong dia. Di luar di sekolah saya suka sama teman-teman, mereka semua baik-baik kalau misalkan saya minta tolong mereka bersedia menolong dan mereka tidak memanfaatkan saya." Kalau orang tua mulai mendengar hal-hal seperti ini, maka orang tua harus turun tangan mulai menengahi dan waktu melihat si adik mulai seperti itu, orang tua mesti lebih tegas untuk menegurnya atau memberi tahu dia, "Kenapa kamu seperti ini, kakakmu sudah menolongmu kenapa sikap kamu seperti ini. Kalau kamu bisa kerjakan hal ini, jangan sengaja menyuruh kakakmu mengerjakannya, itu namanya memanfaatkan." Kita meminta tolong kalau kita memang punya kebutuhan, kamu tidak punya kebutuhan kamu hanya ingin supaya ada orang yang mengerjakan tugasmu, ini tidak benar, kamu harus kerjakan. Dan misalkan dalam rumah si kakak itu memang baik sehingga tetap mau kerjakan, adakalanya orang tua harus melarang dan berkata, "Kamu jangan kerjakan meskipun kamu mau, Papa atau Mama minta adik yang mengerjakan karena ini tugasnya." Jadi orang tua memang mesti terlibat dalam kasus-kasus seperti itu.
GS : Sekaligus mempersiapkan anak ini untuk jangan sampai disalahgunakan oleh orang pihak luar, Pak Paul, sehingga kebaikannya mau menolong ini dimanfaatkan oleh orang lain yang merugikan dia bahkan keluarga itu.

PG : Tepat sekali dan sekali lagi ini diawali di rumah, di rumahlah dalam keluargalah orang tua melengkapi anak dengan bekal-bekal seperti ini supaya nanti si anak waktu keluar, dia lebih siap enghadapi tekanan-tekanan dari luar, teman-temannya dan sebagainya yang di antaranya memang mau memanfaatkan dia.

GS : Berarti anak juga harus dipersiapkan untuk membedakan mana yang perlu ditolong dan mana yang mesti ditolak permintaan itu.

PG : Betul sekali. Maka tadi pada tahap akhir yang perlu orang tua lakukan adalah melatih anak agar menolong atas dasar kebutuhan. Jadi anak memang sebaiknya melihat kebutuhan apakah ada kebutuan, kalau memang tidak ada kebutuhan dan orang memang membuat-buat adanya kebutuhan, maka si anak dapat berkata, "Tidak! Saya tidak mau melakukannya karena memang kamu tidak membutuhkan dan kamu hanya ingin memanfaatkan saya."

GS : Berarti kita mengarahkan anak untuk melihat bahwa menolong itu sifat Tuhan yang menolong manusia dan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Kita memang harus selalu mengaitkan sifat saling tolong ini adalah sifat yang berasal dari Tuhan, Tuhan selalu bersedia menolong kita. Oleh sebab Allah adalah penasih, dia mau agar kita anak-anaknya menjadi seperti diriNya pula yaitu mengasihi sesama dan menunjukkannya secara konkret dalam bentuk pertolongan.

Saya akan akhiri dengan Firman Tuhan di Matius 6:3-4 Firman Tuhan mengingatkan, "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." Jadi inilah yang kita ingin tekankan waktu engkau menolong, engkau melakukannya pada Tuhan dan untuk Tuhan bukan untuk manusia, kepada manusia tapi kepada Tuhan dan untuk Tuhan. Biarlah ini yang terus dilihat oleh anak sehingga terus memotivasi dia untuk mewujudkan cinta kasih secara nyata.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menumbuhkan Saling Tolong Pada Anak." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



92. Tanggung Jawab Anak kepada Orang Tua


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T262A (File MP3 T262A)


Abstrak:

Salah satu dari Sepuluh Hukum Tuhan adalah "Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu" (Keluaran 20:12). Sebenarnya apakah makna "hormat" di sini? Kita juga harus memahami batas hormat anak kepada orangtua, sebab perintah ini diberikan bukan tanpa batas. Sehingga kita pun bisa bertindak benar dalam menghormati orangtua kita


Ringkasan:

Salah satu dari Sepuluh Hukum Tuhan adalah "Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu" (Keluaran 20:12). Sebenarnya apakah makna "hormat" di sini?

  1. Hormat berarti bersikap santun dan patuh terhadap orangtua. Di dalam hukum Taurat tertera perintah yang mengharuskan orang Israel untuk menjatuhkan sanksi berat-kematian-kepada anak yang mengutuki orangtuanya, "Apabila ada seseorang yang mengutuki ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati; ia telah mengutuki ayahnya atau ibunya, maka darahnya tertimpa kepadanya sendiri" (Imamat 20:9).
  2. Hormat berarti bertanggung jawab memelihara kelangsungan hidup orangtua. Tuhan Yesus menegur orang Yahudi yang menyelewengkan perintah Tuhan akan persembahan atas dasar ketidakrelaan memenuhi kebutuhan orangtua (Matius 15:3-6). Juga, sebelum Tuhan Yesus mati di kayu salib, Ia meminta Yohanes untuk memelihara Maria, ibu-Nya (Yohanes 19:26-27). Semua ini memperlihatkan bahwa Tuhan menginginkan kita untuk bertanggung jawab memelihara kelangsungan hidup orangtua kita.
Namun kita juga harus memahami batas hormat kepada orangtua sebab perintah ini diberikan bukan tanpa batas.
  1. Kendati kita harus patuh kepada orangtua namun kepatuhan kita tidak boleh melebihi kepatuhan kepada Tuhan sendiri. Firman Tuhan mengingatkan, "Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku..." (Matius 10:37).
  2. Walaupun keluarga jasmaniah adalah penting namun bagi Tuhan terpenting adalah keluarga rohaniah. Pada waktu Tuhan tengah mengajar, ibu dan saudara Tuhan Yesus datang mengunjungi-Nya. Tuhan menegaskan, "Siapakah ibu-Ku dan siapakah saudara-saudara-Ku?... Sebab siapa pun yang melakukan kehendak bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku... dialah ibu-Ku" (Matius 12:46-50).
  3. Tanggung jawab kepada orangtua lebih bersifat fisik ketimbang emosional. Anak berkewajiban memelihara kelangsungan hidup orangtua di masa orangtua tidak lagi dapat memenuhi kebutuhannya. Namun anak tidak berkewajiban membuat orangtua senang secara membabi buta; menyenangkan orangtua mempunyai batasnya. Firman Tuhan mencatat, "Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya berkata kepada-Nya, 'Tuhan, izinkanlah aku pergi terlebih dahulu menguburkan ayahku.' Tetapi Yesus berkata kepadanya, 'Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka' " (Matius 8:21-22).
  4. Setelah kita menikah, kita harus mengutamakan keluarga sendiri tanpa harus melepaskan tanggung jawab kita sebagai anak kepada orangtua. Itu sebabnya Tuhan berfirman, "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:24). Harus ada sebuah tindak pemisahan dan prioritas sehingga keluarga yang baru dapat berdiri dengan mandiri.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tanggung Jawab Anak kepada Orang Tua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Kalau kita ada di dunia ini Pak Paul, tentu kita masing-masing memiliki orang tua, entah itu masih ada atau sudah meninggal, entah kita kenal atau pun tidak kita kenal dan pastilah ada yang melahirkan kita, ada orang tua kita. Ini sejauh mana Tuhan Allah melalui firman-Nya, memberikan arahan kepada kita sebagai anak bertanggung jawab kepada orang tuanya, Pak Paul.

PG : Saya kira ini adalah salah satu hal yang kadang-kadang disalah dimengerti oleh kita. Jadi ada orang yang terlalu ekstrem yang berkata bahwa setelah kita besar, kita tidak lagi harus bertangung jawab kepada orang tua.

Tapi ada yang kebalikannya, meskipun sudah berusia tapi kalau ingin mengambil keputusan harus konsultasi dengan orang tua sehingga tidak memiliki kemandirian. Jadinya kita mau kembali kepada firman Tuhan agar dapat memiliki pemahaman yang tepat tentang apa itu maksud tanggung jawab anak kepada orang tua. Kita tahu di firman Tuhan di kitab Keluaran 20:12 Tuhan berkata, "Hormatilah ayahmu dan Ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu." Perkataan hormatilah ayahmu dan ibumu, inilah yang saya kira mesti jelas jangan sampai keliru untuk menafsirnya. Sekurang-kurangnya ada 2 makna yang bisa saya tarik dari kata hormat. Hormat berarti bersikap santun dan patuh terhadap orang tua, dalam Hukum Taurat tertera perintah yang bahkan mengharuskan orang Israel menjatuhkan sangsi berat yaitu kematian kepada anak yang mengutuki orang tuanya. Di Imamat 20:9 tertera, "Apabila ada seseorang yang mengutuki ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati; ia telah mengutuki ayahnya atau ibunya, maka darahnya tertimpa kepadanya sendiri." Jadi makna hormat yang pertama sudah tentu berarti tidak kurang ajar, harus bersikap santun kepada mereka dan kita diminta Tuhan untuk patuh kepada orang tua sebab kepatuhan kepada Tuhan harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanakah kita patuh kepada Tuhan tapi kita sulit patuh kepada orang tua kita sendiri dan yang kelihatan kasat mata, yang kita ajak bicara. Kalau kita susah patuh kepada orang tua yang kasat mata, sudah tentu jauh lebih susah untuk kita patuh kepada Tuhan yang tidak kasat mata. Maka Tuhan memang menetapkan suatu hierarki di sini, yaitu bahwa seorang anak harus mematuhi orang tuanya.
GS : Dan saya rasa pengertian orang tua di sini bukan selalu dalam pengertian biologis, termasuk juga orang tua angkat kita yang membesarkan kita dan seterusnya, apakah seperti itu, Pak Paul?

PG : Saya bisa simpulkan seperti itu, sebab di firman Tuhan pun, misalkan di Perjanjian Baru juga ditekankan bahwa kita harus mendengarkan apa yang diajarkan oleh pemuka rohani kita. Misalkan Than Yesus berkata, "Meskipun kamu tidak bisa mencontoh kehidupan orang Farisi tetapi apa yang mereka ajarkan, dengarkan, karena mereka duduk di kursi Musa."

Jadi memang Tuhan menekankan sekali kepatuhan kepada otoritas. Maka di kitab Roma pun Tuhan menekankan kepada kita, kita juga harus patuh kepada pemerintah karena Tuhan menunjuk pemerintah untuk juga mengatur kita di dunia ini. Jadi konsep kepatuhan atau keteraturan, ketertiban, itu adalah konsep yang penting di dalam iman kita. Maka Tuhan meminta kita melakukan hal yang sama dan dalam hal ini kita mulai dengan orang tua sendiri. Kalau tidak bisa patuh kepada orang tua sendiri maka akan susah patuh kepada orang lain.
GS : Kalau kaitannya dengan tanggung jawab, itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Kalau kita berkata kita menghormati orang tua namun kita ini masa bodoh kepada orang tua, tidak mau peduli dengan kehidupannya, saya kira itu kata-kata hormat yang kosong, yang tidak ada lgi makna di dalamnya.

Maka hormat juga harus berarti bertanggung jawab memelihara kelangsungan hidup orang tua, akan ada suatu saat orang tua itu tidak bisa lagi bekerja, tidak lagi kuat dan sehat, di saat itulah orang tua akan membutuhkan kita. Maka sebagai anak, kita juga harus memenuhi tanggung jawab kita untuk merawat mereka, memelihara kelangsungan hidup mereka. Di kitab Matius 15:3-6 tercatat dialog Tuhan Yesus dengan orang Farisi dan Tuhan menegur orang Farisi karena mereka mengajarkan sebuah doktrin, doktrinnya adalah seperti ini, kalau orang Israel memutuskan untuk mengesampingkan sebagian dari penghasilan mereka yang tadinya dipakai untuk merawat orang tua tapi mereka berkata, "Tidaklah, saya mau berikan saja kepada Tuhan." Seolah-olah ini adalah sesuatu yang indah yang rohani yaitu mereka tidak jadi memberikan kepada orang tua dan kemudian memberikannya kepada Tuhan. Tapi Tuhan melihat di belakang itu ternyata ada niat-niat jahat tertentu, rupanya ada orang-orang yang tidak mau peduli dengan orang tua, tidak mau memelihara orang tua namun dari pada dicap jelek tidak mau memberikan uang kepada orang tua, maka mereka kemudian mengatakan, "Ini adalah untuk persembahan, ini untuk Tuhan jadi uang ini tidak perlu diberikan kepada orang tua." Dan Tuhan marah, Tuhan menegur mereka bahwa mereka itu telah menyelewengkan firman Tuhan. Jadi di sini kita melihat bahwa kita tidak boleh tidak menghiraukan orang tua, keluarga dan yang penting semua untuk Tuhan. Orang yang seperti itu adalah orang yang salah mengerti apa yang Tuhan maksudkan di sini.
GS : Dalam hal menghormati orang tua, Tuhan Yesus juga meninggalkan suatu teladan yang nyata kepada para rasul dan kepada kita sekalian pada saat ini.

PG : Betul sekali. Sewaktu Tuhan di kayu salib dan sebelum menghembuskan nafas terakhir, di sana ada ibunya yaitu Maria dan ada juga murid yang dekat denganNya yaitu Yohanes. Dan Tuhan Yesus meihat kepada keduanya dan meminta Yohanes untuk memelihara ibuNya, bahkan dia berkata, "Inilah ibumu," dan kepada ibuNya Dia berkata, "Inilah anakmu."

Dan Tuhan mencatat bahwa setelah itu ibu Yesus rupanya tinggal bersama dengan Yohanes dan memang dari situ dapat diduga atau disimpulkan bahwa besar kemungkinan ayahNya yaitu Yusuf sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dunia, maka mesti ada yang merawat dan mungkin sekali saat itu adik-adik Tuhan belum berkemampuan untuk bisa mencukupi keluarganya atau ibunya, maka Tuhan meminta Yohanes dan mungkin sekali Yohanes memang dari keluarga yang lebih berkemampuan sehingga bisa menolong ibu Yesus. Di sini Tuhan memberikan contoh, pada detik akhir sebelum Dia meninggalkan dunia, Dia memikirkan ibuNya. Jadi di sini kita bisa menarik sedikit kesimpulan yang memang tidak ada di Alkitab dan saya akui itu, bahwa kalau Tuhan Yesus meminta kepada Yohanes mulai dari saat ini untuk memelihara ibuNya maka besar kemungkinan setelah ayahNya meninggal dunia, yang memelihara ibuNya adalah Tuhan Yesus sendiri, besar kemungkinan Dia juga meneruskan pekerjaan atau juga Dia mendapatkan pemberian atau pertolongan dan itulah juga yang Dia sisihkan untuk ibuNya. Jadi hormat berarti memikirkan dan memelihara kelangsungan hidup orang tua kita di hari tua mereka.
GS : Dan itu bukan hanya dalam bentuk finansial, tapi juga menjaga keamanan dan kenyamanan orang tua di dalam memasuki masa tuanya.

PG : Betul sekali, sebab mereka makin tua makin memiliki keterbatasan, apa yang bisa kita lakukan untuk menolongnya, itulah yang kita coba untuk mengupayakan.

GS : Pak Paul, sejauh mana batasnya kita menghormati orang tua, apakah kita menghormati tanpa batas atau ada batasannya?

PG : Saya kira kita harus jelas dengan batas-batasnya, karena kalau tidak untuk segi menghormati orang tua yaitu santun, patuh serta bertanggung jawab atas kelangsungan hidup mereka itu adalah alah satu yang harus kita lakukan tanpa ada batas sama sekali, dan ternyata ada pagar-pagar yang mesti kita juga perhatikan.

Ada beberapa dan yang pertama misalkan, saya ambil dari Matius 10:37 firman Tuhan berkata, "Barang siapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagiKu." Artinya kendati kita harus patuh kepada orang tua, namun kepatuhan kita tidak boleh melebihi kepatuhan kepada Tuhan sendiri. Bukankah kasih itu ditunjukkan lewat kepatuhan, melakukan apa yang diperintahkan yaitu yang Tuhan katakan, "Kalau kau mengasihiKu, lakukanlah perintah-perintahKu." Melakukan atau menaati tidak boleh menjadi sesuatu yang melebihi kepatuhan kita kepada Tuhan sendiri. Maka kalau orang tua kita memaksa kita untuk melakukan hal yang kita tahu itu salah, itu berdosa, kita tetap harus mengatakan tidak. Kalau orang tua kita memaksa untuk mengikuti kehendak mereka, yang kita tahu juga itu salah dan berdosa, kita harus berkata tidak kepada mereka. Nah mungkin sekali orang tua akan mengutip firman Tuhan, "Kamu tidak menghormati ayahmu dan ibumu, kamu tidak mematuhi orang tuamu, bukankah ini juga kehendak Tuhan." Dan kita juga harus berkata, kepatuhan kita mempunyai batas dan batasnya adalah kalau itu melanggar kehendak Tuhan. Sewaktu kita harus berada di persimpangan antara mematuhi orang tua dan mematuhi Tuhan, dan batasnya adalah dosa, tentu kita harus memilih mematuhi Tuhan.
GS : Memang dalam hal ini, khususnya orang tua yang belum percaya kepada Tuhan, akan melarang anaknya untuk beribadah, untuk memberikan persembahan dan sebagainya, apakah itu bisa terjadi Pak Paul?

PG : Bisa. Jadi akan ada orang yang berkata, "Uang itu adalah untukmu dan tidak boleh untuk kamu persembahkan," memang itu adalah uang yang kita hasilkan tapi kalau itu adalah uang mereka maka asalahnya lain.

Tapi uang ini adalah uang yang kita cari sendiri, dan orang tua meminta kita untuk tidak memberikannya kepada Tuhan, maka kita bisa berkata, "Itu tidak benar" ada contoh-contoh lain lagi yang sering kali terjadi Pak Gunawan yaitu orang tua memaksa anak untuk menikah dengan orang yang tidak seiman, orang tua mengatakan, "Tidak apa-apa, silakan" tapi si anak akan berkata, "Tidak, ini bukan yang Tuhan kehendaki". Tidak apa-apa si anak mengatakan seperti itu dan seharusnyalah berkata tidak kepada orang tua. Ada kasus-kasus seperti ini Pak Gunawan, ada orang yang sudah berpacaran dan memang benar-benar ini adalah suatu relasi yang sehat dan keduanya cinta Tuhan tapi memang ada satu atau dua hal yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua dan kehendak orang tua sama sekali sebetulnya tidak beralasan. Jadi saya mau berhati-hati di sini jangan sampai kalau kita berbeda pandang dengan orang tua soal jodoh maka kita tidak mau menghiraukan perkataan orang tua kita, bukan itu! Kita harus perhatikan yang orang tua katakan pula tapi kalau itu memang sudah melewati batas yang benar maka di saat itu kita juga harus mengambil tindakan atau keputusan yang harus mandiri, sebab kita tahu kita harus benar-benar menjalankan yang Tuhan kehendaki, yang orang tua lakukan adalah yang justru Tuhan tidak kehendaki, dan saat itu terjadi, di saat itulah kita juga harus berkata tidak kepada orang tua.
GS : Namun di dalam mengungkapkan ketidaksetujuan kita sebagai anak kepada orang tua, itu memang perlu diperhatikan juga aturannya, sopan santunnya supaya orang tua kita juga tidak tersinggung atau merasa dilecehkan, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi kata-kata hormat itu harus tetap mengalir dalam setiap perkataan dan tindakan kita meskipun kita tidak setuju dengan orang tua, jangan kurang ajar sebab itu benar-benar melawanperintah Tuhan, "Hormatilah ayahmu dan ibumu."

Betul kita harus sampaikan, maka sampaikanlah dengan santun.
GS : Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan dalam bagian ini?

PG : Matius 12:46-50 juga memuat sebuah kisah yaitu pada waktu Tuhan Yesus sedang mengajar, ibu dan saudara-saudaraNya datang mengunjungiNya dan orang-orang datang langsung dan seolah-olah memita orang yang mendengarkannya itu untuk memberi jalan mengutamakan ibu dan saudara-saudaraNya untuk bisa masuk ke tengah-tengah kerumunan mereka.

Jadi mereka berkata, "Saudara dan IbuMu datang" tapi Tuhan langsung menggunakan kesempatan itu untuk mengajarkan satu kebenaran yaitu bahwa yang terpenting adalah melakukan kehendak Bapa. Makanya Tuhan berkata, "Siapa ibu-Ku? dan siapa saudara-saudara-Ku, sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku, dialah ibu-Ku." Tuhan di sini menekankan suatu prinsip bahwa keluarga rohaniah lebih penting dari pada keluarga jasmaniah. Mungkin ini sedikit menggelitik sebagian kita yang terlalu mengagungkan keluarga jasmaniah kita sendiri, tidak ada yang boleh melebihi Tuhan. Jadi keluarga Tuhan, keluarga rohaniah tetap lebih penting dari pada keluarga jasmaniah. Bahwa orang yang menaati perintah Tuhan, itu adalah saudara kita. Meskipun dia saudara sedaging kita, kalau dia tidak menaati perintah Tuhan, sebetulnya dia menjadi orang yang jauh dari kita. Jadi kita diminta Tuhan untuk benar-benar mengutamakan keluarga Tuhan. Jadi kita juga mesti pahami sehingga kita tidak terlalu membabi buta mengutamakan keluarga sendiri.
GS : Dengan ini sebenarnya relasi anak dengan orang tua menjadi lebih luas bukan hanya pada yang melahirkan atau orang tua kandung atau orang tua angkat tapi di sini juga hubungan persekutuan di dalam Tuhan, dengan orang-orang yang lebih senior dari kita.

PG : Betul sekali. Jadi di sini kita pertama-tama dianugerahkan Tuhan sebuah keluarga baru, keluarga besar yaitu keluarga rohani bahwa kita sesungguhnya adalah saudara di dalam Tuhan, kita tida lagi terbatasi oleh keluarga kecil kita sekarang dan selain dari itu, Pak Gunawan, yang bisa kita simpulkan dari ayat ini adalah bahwa kita harus berdiri di atas kebenaran.

Maka menaati Tuhan menjadi yang terutama dan itu di atas dari ikatan keluarga jasmaniah kita. Implikasinya adalah kalau orang tua kita melakukan sebuah kesalahan, Tuhan justru menginginkan kita tidak membela yang salah, Tuhan justru menginginkan kita berdiri di atas yang benar dan kalau perlu kita mengoreksi dengan memberikan teguran kepada orang tua kita, asalkan sekali lagi disampaikan dengan cara yang santun sehingga kita tidak melanggar firman Tuhan yang meminta kita menghormati orang tua, tapi tetap yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Ini harus tetap di atas dari ikatan jasmaniah kita sebagai anak kepada orang tua. Jadi memang firman Tuhan sangat jelas mengatakan, "siapakah ibu-Ku, siapakah saudara-saudara-Ku, siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga dialah saudara-Ku, dialah ibu-Ku." Jadi inilah yang harus terutama dari ikatan saudara atau ikatan orang tua anak dan yang lainnya tunduk di bawahnya.
GS : Memang agak sulit Pak Paul, orang tua sering berkata, "Saya yang melahirkan kamu dan saya yang membesarkan kamu." Itu yang menjadi alasan, jadi harus patuh kepada orang tua sampai sejauh itu.

PG : Betul. Jadi kadang-kadang tidak mudah untuk kita menyampaikan teguran kepada orang tua. Tapi memang harus, kalau memang salah. Misalkan ada kasus-kasus dimana si ayah akhirnya berselingkuhmempunyai istri yang lain dan sebagainya, tidak apa-apa anak menegur orang tua yang salah itu.

Atau ada ibu yang memang juga selalu menceritakan kejelekan si ayah ke mana-mana, tidak apa-apa bagi si ayah untuk menegur si ibu bahwa itu tindakan yang salah. Jadi kita tetap harus berdiri di atas kebenaran dan kita harus melampaui ikatan persaudaraan sendiri.
GS : Dalam ikatan rangkaian membicarakan tanggung jawab anak kepada orang tua ini, apakah ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Tanggung jawab kepada orang tua itu sebetulnya pada akhirnya lebih bersifat fisik dari pada emosional. Maksud saya adalah anak berkewajiban memelihara kelangsungan hidup orang tua di masa rang tua tidak lagi dapat memenuhi kebutuhannya, namun anak tidak berkewajiban membuat orang tua senang secara membabi buta.

Menyenangkan orang tua mempunyai batasnya, firman Tuhan berkata, "Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya berkata kepada-Nya yaitu kepada Tuhan Yesus, 'Tuhan, izinkanlah aku pergi terlebih dahulu menguburkan ayahku'. Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka," di Matius 8:21-22. Sekilas perkataan ini tampaknya kejam tapi sebetulnya di sini ada satu pengertian yang harus kita timba yaitu pertama-tama Tuhan bukannya kejam, tidak memperbolehkan muridNya merawat orang tuanya. Kalau itu yang terjadi, berarti itu bertentangan dengan yang telah kita bahas tadi sebelumnya. Yang Tuhan inginkan adalah orang ini benar-benar fokus pada menyenangkan hati Tuhan. Jadi perkataan menguburkan, itu bukan berarti orang tuanya sedang sekarat dan harus ditunggui, sebab sebentar lagi akan meninggal dunia dan harus dikuburkan. Bukan itu! Perkataan menguburkan di sana lebih mempunyai arti bahwa saya ingin menemani orang tua saya, menyenangkan hatinya sampai nanti dia tua dan mati. Tidak! Menyenangkan hati orang tua tetap harus tunduk pada menyenangkan hati Tuhan, menyenangkan hati Tuhan itu yang terutama. Maka sekali lagi saya harus ingatkan bahwa tanggung jawab kita sudah tentu harus ada menyenangkan hati orang tua, mematuhinya tapi ada batasnya, tidak boleh melebihi tindakan menyenangkan hati Tuhan.
GS : Memang ada orang tua yang ingin mendapat perhatian lebih, bahkan dikatakan sampai mati pun, dia masih mengharapkan anak-anaknya menghormati dia.

PG : Walaupun pada faktanya setelah dia mati pun, dia tidak tahu apa-apa yang terjadi. Jadi memang selama hiduplah kita seyogianya menyenangkan dan memperhatikan orang tua kita. Tapi sekali lag saya harus memperingatkan bahwa ada batasnya.

Menyenangkan hati orang tua tidak boleh membabi buta, tidak boleh menyenangkan dalam hal yang salah, tidak! Mesti ada batasnya. Kita bertanggung jawab pertama dan terutama kepada Tuhan, kalau menyenangkan orang tua membabi buta, malah menyuburkan yang salah itu berarti kita ambil bagian dalam hal yang salah.
GS : Bagaimana kalau seorang anak itu sudah menikah. Apakah dia terbebas atau sudah tidak perlu lagi menghormati orang tua?

PG : Setelah kita menikah, kita sudah tentu harus mengutamakan keluarga sendiri tanpa harus melepaskan tanggung jawab kita sebagai anak kepada orang tua. Artinya meskipun kita sudah menikah, kia juga mempunyai tanggung jawab memelihara kelangsungan hidup orang tua kita.

Namun sekali lagi harus ada perbedaannya, sebelum dan sesudah menikah. Kita tidak bisa, kalau sewaktu-waktu orang tua memanggil kita harus datang dan tidak memedulikan keluarga yang membutuhkan sesuatu, yang penting kita utamakan orang tua dulu, itu salah! Mesti ada perbedaan, dimana tanggung jawab kita yang pertama sekarang adalah kepada pasangan dan anak-anak kita, sebab Tuhan memang memberikan mereka kepada kita untuk kita mengurus dan bertanggung jawab atasnya. Orang tua memang tetap harus kita perhatikan tapi sekarang menempati urutan kedua. Kalau tidak ada perbedaan, nantinya akan merusakkan relasi kita sendiri di dalam keluarga kita.
GS : Untuk dijadikan nomor dua, kadang-kadang tidak semua orang tua bersedia. Yang tadinya sudah menempati nomor satu, tapi sekarang menjadi nomor dua.

PG : Adakalanya itu terjadi, Pak Gunawan. Terutama di dalam kasus di mana si ayah meninggal di usia muda, ibu yang harus membesarkan anak sendirian, kepatuhan anak kepada si ibu itu menjadi begtu besar terlebih besar dari yang seharusnya.

Atau memang ayah tetap ada, tapi si ayah itu bermasalah sekali sehingga anak harus bersama dengan ibu, bersama-sama saling mendukung dalam ketertekanan di tangan si ayah. Seringkali hubungan seperti itu berlanjut sampai setelah menikah. Meskipun susah tapi tetap kita harus membedakan, kita harus mengutamakan keluarga kita sendiri, tapi dalam prakteknya sudah tentu ini harus dilakukan dengan bijak, jangan sampai si ibu kaget, setelah menikah semua berubah, dan nanti yang akan disalahkan adalah menantunya. Jadi hubungan menantu dan mertua menjadi rusak dan yang menderita pun si anak. Jadi si menantu atau si istri misalkan di sini dituntut untuk mengerti perlahan-lahan jangan terburu-buru, harus mengutamakan keluarga sendiri karena itu nantinya juga bisa berdampak buruk.
GS : Memang dalam hal ini dukungan pasangan, baik suami maupun istri sangat besar, Pak Paul, kalau mereka justru menjadi penghalang agar pasangannya tetap menghormati orang tuanya, itu akan lebih mempersulit.

PG : Seringkali seperti itu. Jadi dibutuhkan sekali pengertian di sini, tapi sekali lagi saya ingatkan yang firman Tuhan sudah mengatakannya di Kejadian 2:24, "Sebab itu seorang laki-laki akanmeninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging."

Ini jelas memang menekankan kepada si laki-laki, sebab ada kecenderungan anak laki-laki nantinya bertanggung jawab atas orang tua, jadi saya kira firman Tuhan dengan sengaja mencantumkan laki-laki dan bukan istri yang meninggalkan orang tua karena memang kecenderungannya terjepit di tengah antara menyenangkan orang tua dan juga istri. Tapi Tuhan menginginkan ada perbedaan.
GS : Pak Paul, memang dalam hal ini, menghormati orang tua harus ada timbal balik, anak harus menghormati orang tua tapi orang tua pun harus layak untuk dihormati. Kadang-kadang orang tua karena tindakannya sendiri, sehingga anak menjadi enggan menghormati orang tua.

PG : Seringkali kita mempunyai konsep, dengan bertambahnya usia maka makin harus bertambahlah kemudahan-kemudahan, penghormatan-penghormatan dan sebagainya. Ini semua bergantung pula pada bagaianakah kita hidup apakah kita ini memang orang yang layak dihormati dan itu juga yang harus kita perhatikan, tidak ada yang gratis dan kita juga harus berbuat hal-hal yang baik yang menunjukkan pengertian kita kepada anak dan menantu, barulah nanti hubungan ini menjadi baik dan timbal balik.

GS : Dan kalau kita tetap menghormati orang tua setelah kita menikah bahkan setelah kita punya anak, ini menjadi teladan yang baik yang bisa dicontoh oleh anak tentang bagaimana nantinya mereka bersikap kepada kita, Pak Paul.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan. Jadi benar-benar di sini kita melihat tidak ada yang salah dengan menaati Tuhan, kalau Tuhan sudah perintahkan seperti itu sudah pasti untuk kebaikan, kalau kita enghormati orang tua, anak pun melihat dan nanti di hari tua kita pun akan menerima penghormatan yang sama dari anak kita.

Sebetulnya seperti itulah yang dikehendaki Tuhan.
GS : Dan sebaliknya kalau kita kurang hormat kepada orang tua, kita pun akan kesulitan mendidik anak-anak untuk bisa menghormati kita sebenarnya.

PG : Dan di sana kita bisa melihat berlakunya prinsip tebar dan tuai, apa yang kita tanam atau tebar nantinya kita akan tuai, kalau kita tidak hormat kepada orang tua, besar kemungkinan anak-ank pun akan bersikap sama kepada kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tanggung Jawab Anak kepada Orang Tua." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



93. Mengasihi Anak Lebih Dari Tuhan


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T282B (File MP3 T282B)


Abstrak:

Pernahkah kita sebagai orang tua mengasihi anak kita melebihi dari kita mengasihi Tuhan? Kebanyakan kita sebagai orang tua pasti pernah mengalaminya. Sebenarnya kita tahu kalau hal itu salah karena kita menomor duakan Tuhan. Satu contoh dari Alkitab yaitu Imam Eli, Imam Eli mengasihi anaknya melebihi Tuhan sehingga yang didapatnya adalah hukuman. Mari kita belajar dari Imam Eli, agar ini menjadi lampu kuning bagi kita sebagai orang tua dalam mengasihi anak-anak kita.


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu dan kali ini kami akan memerbincangkan tentang "Mengasihi Anak Lebih Dari Tuhan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah memerbincangkan tentang bagaimana Tuhan di tengah-tengah keluarga Kristen. Pak Paul sudah memberikan banyak contoh dan khususnya ada satu contoh dari Alkitab yaitu Imam Eli, kita mau melanjutkan perbincangan kita tentang Imam Eli dan keluarganya ini. Namun agar para pendengar kita bisa mengikutinya secara lengkap mungkin Pak Paul bisa menguraikan perbincangan kita secara singkat perbincangan kita yang lampau.

PG : Tuhan menciptakan kita agar kita merefleksikan kemuliaan Tuhan di bumi ini, Pak Gunawan, dan kita seyogianya memakai keluarga kita sebagai sarana untuk merefleksikan kemuliaan Tuhan pula. ntuk dapat menjadikan keluarga kita refleksi dari kemuliaan Tuhan sudah tentu kita harus menjadikan Tuhan itu TUHAN dalam keluarga kita, ego atau kehendak diri harus tunduk pada kehendak Tuhan sehingga bukan hanya mengikuti kehendakku tapi mengikuti kehendak Tuhan.

Dalam keluarga yang seperti itu maka kita akan melihat sebuah dampak rohani yang berkepanjangan dan indah. Kita sudah melihat beberapa contoh dari orang-orang modern yang kita kenal, misalkan seperti keluarga dari Dr. James Dobson di Amerika Serikat yang Tuhan pakai dan keluarga Pdt. Jonathan Edwards yang dari generasi ke generasi, semuanya tetap dalam pelayanan, itu adalah akibat dari hidup orang tua yang saleh, hidup orang tua yang meletakkan kehendak pribadi mereka di kaki Tuhan. Sebaliknya Pak Gunawan, kita juga melihat kalau orang tua tidak melakukan hal itu, maka dia akan melihat masalah dan masalah itu akan berkelanjutan pada anak-anak dan pada nantinya cucunya juga, dan itulah yang nanti kita akan lihat pada keluarga Imam Eli.
GS : Dalam keluarga Imam Eli seperti apa, Pak Paul?

PG : Imam Eli itu sebetulnya awalnya memulai masalah dengan dirinya sendiri yaitu dia tidak bisa mengendalikan hasratnya atau keinginannya atau kemauannya untuk memuaskan diri dengan makanan, da tidak bisa menghargai bahwa Tuhan sudah tetapkan inilah bagian-bagian dari hewan yang dipersembahkan kepada Tuhan, dan inilah bagian-bagian untukmu.

Tapi rupanya Imam Eli itu tidak tahan, jadi dia cenderung memasukkan makanan-makanan itu untuk dirinya dan tidak lagi mengindahkan kekudusan Tuhan sehingga korban persembahan yang seharusnya dipandang dengan kudus, karena itu merupakan sebuah simbol permintaan ampun manusia kepada Tuhan, sekarang justru dipakai sebagai sarana untuk memuaskan nafsu makannya belaka.
GS : Dalam hal seperti itu Pak Paul, itu memberikan teladan yang tidak baik terhadap anak-anaknya khususnya. Apa yang terjadi pada anak-anak Imam Eli?

PG : Kita lihat di dalam 1 Samuel 2:29 dan Tuhan berkata "... dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih daripada-Ku sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian terbaik dari setiap koban sajian umat-Ku Israel" tampaknya seperti ini Pak Gunawan, rasa sayang Imam Eli kepada anak-anaknya begitu besar sehingga sejak mereka kecil, Eli senantiasa memberikan apa yang diminta mereka termasuk makanan persembahan.

Besar kemungkinan Imam Eli pulalah yang memperkenalkan anak-anaknya kepada bagian-bagian daging yang lezat dari hewan persembahan. Dengan kata lain tanpa disadari Imam Eli, ia jugalah yang mengajarkan anak-anaknya untuk tidak menghormati mezbah Tuhan. Jadi kita melihat di sini bahwa peran Imam Eli memang besar didalam kerusakan pada diri anak-anaknya, anak-anaknya melihat papa makan seperti itu, papa mengambil bagian-bagian dari hewan seperti itu karena mungkin papanya juga berkata bahwa "Yang ini enak," dengan tidak mengindahkan bahwa bagian-bagian itu sebetulnya untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Inilah yang rupanya ditransmisikan oleh Imam Eli kepada anak-anaknya sehingga anak-anaknya terus melihat, karena Imam Eli seperti itu maka mereka menjadi anak-anak yang liar dan anak yang tidak kenal disiplin. Maka dari sini kita belajar, Pak Gunawan, bahwa disiplin pada anak harus dimulai sejak anak-anak itu kecil, apa yang dipelajari anak sejak kecil cenderung bertahan sampai usia dewasa, sebaliknya apa yang tidak dipelajari anak pada masa kecil akan sulit dipelajarinya pada masa dewasa. Itu sebabnya waktu Imam Eli mencoba menegurnya setelah mereka usia dewasa, nasehat itu masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, tidak dihiraukan oleh anak-anaknya.
GS : Padahal anak-anak Imam Eli ini sebenarnya dipersiapkan untuk menggantikan Iman Eli, Pak Paul?

PG : Betul sekali, bukan hanya dipersiapkan tapi sebetulnya pada masa Imam Eli tua mereka sudah berfungsi sebagai imam. Jadi mereka bukanlah anak imam, pada masa-masa dewasa mereka itu adalah iam itu sendiri sebab pada masa Imam Eli itu tidak lagi kuat, matanya sudah rabun, tubuhnya juga sudah mulai susah bergerak, jadi yang melayani mezbah adalah anak-anak Imam Eli sebab mereka sudah menjadi imam juga.

Jadi memang kita melihat suatu rasa tidak hormat kepada Tuhan yang begitu besar yang diperlihatkan oleh anak-anak Imam Eli ini.
GS : Memang sulit untuk Imam Eli mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya kalau dia sendiri tidak disiplin didalam hal persembahan kepada Tuhan ini.

PG : Betul, Pak Gunawan. Di dalam Firman Tuhan di Imamat 7:30-34, kita tahu bahwa Tuhan sudah menetapkan bahwa bagian imam adalah dada dan paha hewan dan hanya itu, selebihnya adalah milik Tuha dan harus dipersembahkan kepada Tuhan sebagai korban bakaran, namun anak-anak Imam Eli tidak pedulli.

Kita tahu dari Firman Tuhan di 1 Samuel 2:12-17, "Segala yang ditarik dengan garpu itu ke atas, diambil imam itu untuk dirinya sendiri." Jadi anak-anak Imam Eli itu akan masuk sendiri ke dalam kemah pertemuan atau ke dalam Bait Allah, kalau nanti ada orang-orang membawa hewan-hewan yang sedang direbus atau dibakar maka dia akan mencucukkan garpunya dan mengambil semuanya, benar-benar tidak lagi peduli dengan kekudusan Tuhan. Apa yang menjadi bagian mereka, bagi mereka itu kurang, paha dan dada hewan, lembu atau kambing tidak cukup dan harus mengambil bagian yang lainnya juga. Di sini kita melihat kelobaan Imam Eli akhirnya diteruskan kepada anak-anaknya.
GS : Karena itulah yang dilihat tiap-tiap hari dan rupanya tidak ada akibat yang fatal yang mereka lihat langsung terhadap diri Imam Eli ini, Pak Paul.

PG : Memang sejak kecil mereka diperbolehkan oleh Imam Eli maka sampai besar mereka merasa bahwa mereka punya hak itu juga, apalagi ayah mereka saat itu adalah orang yang berkuasa di Israel mak mereka menganggap tidak ada yang dapat menghentikan langkah mereka.

Jadi benar-benar anak yang tidak mengenal disiplin bertumbuh besar menjadi anak yang liar, Pak Gunawan. Maka sebagai orang tua Tuhan mengharuskan kita mendisiplin anak. Ini bukan pilihan, "kapan-kapan mau mendisiplin boleh, tapi kalau tidak mau juga tidak apa-apa" tidak seperti ini! Ini adalah sebuah kewajiban dan sebagai bentuk pertanggung jawaban kita kepada Tuhan bahwa anak-anak yang Tuhan serahkan kepada kita, mesti kita didik dan kita disiplin. Kalau ada perilaku yang kurang baik mestinya dikikis supaya anak ini nanti bisa hidup menjadi anak-anak Tuhan.
GS : Biasanya karena kita terlalu memanjakan anak, kita selalu berdalih bahwa saya mengasihi anak ini. Jadi apa pun yang dia minta kita selalu memberikan karena saya mampu untuk memberikannya. Mungkin itu juga yang terbersit pada pemikiran Imam Eli.

PG : Betul, Pak Gunawan. Sehingga Tuhan berkata kepada Imam Eli, "Engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku." Jadi kita bisa menyimpulkan bahwa dia lebih mengasihi anak-anaknya dari pad Tuhan maka Imam Eli akhirnya tidak lagi menghiraukan kehendak dan kepentingan Tuhan dan lebih mementingkan kepentingan anak-anaknya.

Maka tidak bisa tidak ini semua memancing reaksi Tuhan yang keras. Di 1 Samuel 3:12-13, Tuhan berkata "Sebab telah Kuberitahukan kepadanya, bahwa Aku akan menghukum keluarganya untuk selamanya karena dosa yang telah diketahuinya, yakni bahwa anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka." Di sini kita melihat bahwa Tuhan menuntut pertanggungjawaban Imam Eli, sebab Imam Eli dapat berbuat lebih dari apa yang telah dilakukannya, memang dia pernah menegur anak-anaknya, namun dia tidak menjatuhkan sangsi atas mereka sebagai seorang imam, misalnya dia seharusnya memecat anak-anaknya dari jabatan imam namun itu tidak dilakukannya. Kadang sebagai orang tua, Pak Gunawan, kita harus memberi sangsi yang berat kepada anak-anak yang telah memilih jalan yang salah, sayangnya kita ini tidak selalu siap menempuh jalan itu. Ketidaksiapan kitalah yang malah memerpanjang masalah dalam keluarga.
GS : Jadi sebenarnya Imam Eli itu sadar bahwa apa yang dilakukannya itu tidak diperkenankan oleh Tuhan begitu, Pak Paul?

PG : Saya percaya dia sadar, Pak Gunawan, tapi dia susah melawan hasrat dirinya, dia memang mau makan makanan itu, dia tahu Tuhan melarang, dia tahu bahwa dia hanya boleh maka paha dan dada dar hewan persembahan tapi dia tidak bisa menguasai dirinya, itu sebabnya waktu dia perkenalkan itu kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya juga sama menjadi seperti dia.

GS : Tapi kalau sampai dia memecat anak-anaknya, belum tentu dia bisa menemukan imam lain yang lebih baik dari anak-anaknya.

PG : Kalau pun Imam Eli tidak punya anak lain dan hanya dua itu saja, tidak mengapa, sebab saya percaya akan ada jalan Tuhan meskipun Dia akan kehilangan dua imamnya dan itu tidak menjadi masalh, sebab itulah yang terjadi pada keluarga Imam Eli, akhirnya kedua anak Imam Eli mati dalam peperangan sebagai hukuman Tuhan atas mereka dan akhirnya Imam Eli juga mati secara mendadak setelah mendengar berita anaknya meninggal dunia.

Dan siapakah yang menggantikan? Yang menggantikan adalah Samuel. Jadi jauh sebelumnya Tuhan sudah memikirkan hal ini dan Tuhan sudah memersiapkan Samuel, si anak kecil itu. Tuhan sudah memersiapkan ada seorang ibu yang menderita karena tidak bisa hamil dan memunyai anak akhirnya bernazar, "Kalau Tuhan memberikan anak kepadaku maka anak itu menjadi milik Tuhan." Maka Hana, si ibu itu, mendapatkan seorang anak bernama Samuel dan dia pegang nazar dan dia serahkan Samuel kepada Imam Eli. Tuhan sudah memikirkan dan mempersiapkannya. Jadi kalau pun Imam Eli tegas menghukum anak-anaknya dan mengeluarkannya dari keimamatan, itu tidak masalah dan Tuhan akan menggantikan dan inilah yang terjadi yaitu Tuhan memakai Samuel menggantikan Imam Eli walaupun Samuel bukan dari keluarga imam, Samuel bukanlah orang Lewi, dia adalah seorang Efraim tapi Tuhan tidak berkata, "Tidak ada imam sekarang karena bukan lagi dari orang Lewi," tidak! Tuhan tidak akan disusahkan oleh hal ini dan Tuhan bisa mengangkat seseorang dari suku yang lain, tapi kalau dia mau melayani Tuhan, itu tidak menjadi masalah dan tetap Tuhan pakai.
GS : Sesuatu yang menarik bagi saya, Samuel itu mengikut Imam Eli sejak kecil tetapi mengapa Samuel tidak terpengaruh oleh sifat kurang baiknya Imam Eli, padahal kedua anak Imam Eli terpengaruh sekali.

PG : Memang kita tidak ketahui secara pasti apa alasannya, tapi kita hanya bisa menduga-duga sebab pada saat itu Samuel itu memang hanya bertugas seperti pembantu, dia bukanlah anak Imam Eli da dia tidak memunyai kuasa apa-apa dan dia adalah anak yang hanya disuruh ke sini dan ke situ.

Jadi dia tidak mendapatkan hak penuh seperti anak-anak Imam Eli yang lainnya. Dan kita juga harus ingat bahwa mamanya yaitu Hana tetap ada kontak dengan Samuel, sehingga kita tahu mamanya membuatkan baju dan pakaian untuknya. Jadi kita bisa bayangkan bahwa selama bertahun-tahun itu mamanya atau juga dengan papanya akan datang mengunjungi dia dan pengaruh dari orang-orang saleh ini rupanya jauh lebih kuat ditanamkan dalam diri Samuel.
GS : Tentunya kita bisa belajar banyak dari kehidupan keluarga Imam Eli ini, Pak Paul, walaupun tidak persis sama tapi kita bisa ambil prinsipnya untuk kita terapkan di dalam kehidupan keluarga kita masing-masing. Pelajaran apa yang bisa kita tarik dari kesalahan Imam Eli ini?

PG : Yang pertama, kelemahan pribadi ternyata dapat diturunkan kepada anak-anak, dalam hal kelobaan Imam Eli terhadap makanan telah diwariskan kepada anak-anaknya, mereka pun meniru Imam Eli da begitu terpaku pada makanan sehingga mengabaikan mezbah Tuhan yang kudus.

Karena Imam Eli tidak menghormati kekudusan mezbah Tuhan, maka anak-anaknya pun tidak menghormati kekudusan Tuhan. Jadi pesan untuk kita sekalian adalah berhati-hatilah dengan kelemahan pribadi, sebab seringkali anak melihat dan akhirnya mencontoh perilaku yang merupakan kelemahan pribadi kita.
GS : Jadi diturunkan ini dalam arti kata karena anak-anak ini melihat, lalu apa yang bisa kita lakukan kalau ini merupakan suatu bagian dari kelemahan kita? Misalnya saja kalau kita marah, kita suka marah yang berkelebihan dan anak-anak terus melihat kita, mungkin cara kita marah, sangat mungkin saja anak akan mewarisi sikap kurang baik kita itu, Pak Paul.

PG : Yang anak-anak perlu lihat dari diri kita adalah bukanlah kesempurnaan. Karena pada akhirnya semua harus mengerti bahwa tidak ada yang sempurna tapi yang mesti anak-anak lihat adalah kesunguhan untuk bergumul dengan kelemahan.

Artinya anak-anak melihat bahwa kita tidak menikmati, tidak puas diri dan tidak hanya berkata bahwa, "Inilah diri saya apa adanya" tidak seperti itu tapi anak-anak melihat bahwa kita ini berusaha keras untuk bisa lepas dari kelemahan pribadi. Misalkan dalam contoh kemarahan, kalau inilah kelemahan kita dan kita terlalu mudah marah, yang pertama setelah kita lepas kendali dan marah tindakan kita haruslah meminta maaf dan kita menyesali lagi dan kita katakan, "Saya gagal lagi, saya minta maaf dan saya akan berusaha untuk tidak lagi marah." Waktu anak-anak melihat hal ini dua sampai tiga kali yaitu untuk menahan kemarahan, ini yang nanti akan dicatat oleh anak, sudah tentu akan ada yang dilihat atau direkam oleh anak tentang kemarahan kita, namun yang juga akan dilihat dan direkam oleh anak adalah usaha keras kita menahannya dan penyesalan kita tatkala melakukannya. Ini menolong anak mengerti bahwa ini adalah sebuah kelemahan yang kurang baik yang tidak diinginkan, makanya dicoba untuk dihilangkan pula. Sehingga anak-anak nanti juga akan berkata, "Kalau saya punya kecenderungan yang sama, saya juga seharusnya bereaksi sama dengan orang tua saya." Saya seharusnya menyesali, saya seharusnya meminta maaf dan saya seharusnya bekerja lebih keras lagi untuk menahan ledakan emosi saya.
GS : Pelajaran yang lain yang bisa kita peroleh apa, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah disiplin harus dimulai dari awal kehidupan, bukan di tengah apalagi di akhir kehidupan. Imam Eli membiarkan anak-anaknya berdosa tanpa konsekuensi yang keras dan ini maki menjerumuskan mereka ke dalam dosa.

Kehidupan tanpa disiplin orang tua menciptakan anak tanpa nurani dan rasa bersalah. Anak dapat melakukan dosa apa pun tanpa sedikit pun merasa bersalah, singkat kata nurani perlu dihidupkan sejak kecil dan dibiasakan untuk bereaksi terhadap ketidakbenaran. Nurani yang tidak terlatih untuk membedakan dan merasakan salah dan benar, akhirnya mati dan tidak lagi berfungsi. Ini yang kita lihat pada diri anak-anaknya Imam Eli, Pak Gunawan. Waktu orang berkata, "Ini bukan bagianmu," kemudian dia marah dan dia paksa dan tidak lagi peduli kalau Tuhan tidak menyukai, karena anak-anak Imam Eli kehilangan hati nurani, kenapa kehilangan nurani? Karena sejak kecil tidak didisiplin, tidak ditegur, tidak diberitahukan bahwa mereka itu salah. Dan akhirnya mereka tidak pernah mengenal kata salah dalam diri mereka dan tidak mengenal rasa bersalah dalam diri mereka. Kalau tidak ada rasa bersalah, bagaimana mungkin akan bertobat, benar-benar mereka menjadi orang yang sulit untuk bertobat, karena rasa salah sudah tidak ada lagi dalam nurani mereka.
GS : Jadi sebenarnya sejak kecil Pak Paul, kalau kita berkata mengasihi anak atau anak-anak kita, kita tidak bisa lepas dari kedisiplinan. Jadi antara disiplin dan kasih ini bukan untuk dipertentangkan, seolah-olah kalau kita mendisiplin anak maka kita tidak mengasihi anak, tapi justru disinergikan supaya menjadi sesuatu yang baik buat anak-anak kita.

PG : Betul dan ini yang harus sering kita komunikasikan kepada anak-anak bahwa disiplin kami sebagai orang tua keluar dari hati mengasihi kalian, karena kami tidak ingin kalian akhirnya harus mnjalani kehidupan yang rusak, yang nanti akan menjadi kerugian besar bagi kalian.

Maka sebagai orang tua kami mau mendisiplinkan kalian. Jadi sekali-sekali atau secara berkala kita mesti ungkapkan kepada anak-anak supaya mereka mengerti bahwa tujuan kita adalah untuk kebaikan mereka. Justru orang tua yang gagal mendisiplin anak-anak sewaktu mereka salah, sedang menyebabkan kerugian besar dalam diri anak-anaknya.
GS : Pelajaran yang lain apa, Pak Paul?

PG : Ketidak konsistenan melemahkan sendi otoritas, oleh karena Imam Eli sendiri berbuat yang sama sehingga kewibawaannya pudar di hadapan anak-anaknya. Tidak heran mereka tidak menggubris perigatan ayah mereka.

Sekali lagi kita diingatkan bahwa anak tunduk kepada orang tua yang berintegritas, sebaliknya kepada orang tua yang tidak berintegritas, anak membangkang. Justru kalau ada orang tua yang tidak berintegritas ingin menerapkan disiplin, menegur dan sebagainya, itu akan memancing kemarahan anak sebab anak akan berkata, "Kamu ini begitu munafik tidak melakukan apa yang kamu katakan tapi malah memaksa kami untuk melakukannya." Jadi sekali lagi kalau tidak ada kekonsistenan hidup maka tidak ada lagi otoritas di dalam diri kita. Imam Eli kehilangan otoritas itu dan saya berharap para pendengar kita juga bisa belajar agar tidak kehilangan otoritas, sebab tanpa otoritas maka kita tidak bisa menahkodai keluarga kita.
GS : Ketidak konsistenan Imam Eli sebenarnya dalam hal apa, Pak Paul?

PG : Dia sendiri memang melakukannya dan dia sendiri itu loba dan sekarang anak-anaknya itu makin hari makin menjauh dari Tuhan dan barulah dia menegur. Tetapi awalnya dia sendiri yang memerkealkan dosa-dosa itu kepada anak-anaknya, sekarang setelah dia memerkenalkan kemudian dia menegur-negur anaknya dan kita juga tahu Pak Gunawan, Imam Eli itu baru mulai menegur setelah ditegur Tuhan.

Dengan kata lan, kalau Tuhan tidak menegur Imam Eli, maka Imam Eli pura-pura tuli dan pura-pura buta tidak mau mendengar dan melihat apa-apa, gara-gara Tuhan tegur Imam Eli maka barulah Imam Eli menegur anak-anaknya. Kita melihat sebuah teguran yang setengah hati atau separuh hati, yang tidak sungguh-sungguh serius.
GS : Tapi hal itu juga sering dilakukan oleh banyak orang tua pada saat ini yang mengatakan, "Kamu jangan mencontoh perbuatan saya, tapi dengarkan nasehat-nasehat saya." Dan seringkali ini justru bertentangan, Pak Paul?

PG : Dan justru anak-anak tidak akan respek dan tidak akan menaati perintah orang tuanya sebab bagi mereka, "Engkau tidak punya hak untuk menyuruh aku, engkau tidak punya hak untuk memerintahka aku."

Jadi memang penting sekali hidup kita berintegritas.
GS : Mungkin masih ada pelajaran yang lain, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah dosa berkembang dari ringan ke berat dan bukan sebaliknya. Imam Eli memulai dengan sikap hati yang loba terhadap makanan dan anak-anaknya meneruskan dosa itu, dari kelbaan kepada pemaksaan dan perampokan milik orang dan milik Tuhan.

Pada akhirnya pun kita tahu bahwa anak-anak Imam Eli berzinah dengan para wanita yang melayani di depan pintu kemah pertemuan. Dosa tidak pernah berhenti, inilah sifat dasar dosa, Pak Gunawan. Dosa senantiasa berjalan menuju puncak dan berkembang dari ringan ke berat.
GS : Kalau kita tidak menyadari dosa yang kita lakukan atau yang dilakukan oleh anak-anak kita, memang kondisinya tambah lama bukan tambah baik tapi tambah buruk dan pengaruhnya luar biasa besarnya, bukan hanya pada keluarga inti kita tapi juga bisa menyebar kemana-mana, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Tadi kita sudah bahas bahwa dari keluarga yang saleh memancarlah berkat yang begitu besar, tapi juga dari keluarga yang tidak ikut kehendak Tuhan akan juga memancar masalah yng berkepanjangan pula.

GS : Pak Paul, dari kehidupan Imam Eli yang kita perbincangkan ini, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan kepada para pendengar kita?

PG : Besar kemungkinan, Pak Gunawan, Imam Eli itu tidak pernah berniat untuk melecehkan Tuhan namun ia hanyalah tidak menghormati Tuhan, yaitu tidak menunjukkan usaha keras menegakkan kehormata Tuhan di keluarga dan pelayanannya.

Mungkin kita pun tidak berniat melecehkan Tuhan, sungguh pun demikian kegagalan kita menghormati Tuhan, sama dengan melecehkan Tuhan. Dengan Imam Eli tidak menegakkan kehormatan Tuhan, mendisiplin anak-anaknya, dia sudah melecehkan Tuhan. Jadi kita tidak harus menghujat Tuhan secara langsung, waktu kita gagal menegakkan kehormatan Tuhan, itu sudah sama dengan melecehkan Tuhan.
GS : Dan Tuhan tidak akan membiarkan diri-Nya dilecehkan oleh manusia,Pak Paul?

PG : Betul sekali. Pada akhirnya datangnya hukuman Tuhan yang begitu keras kepada keluarga Imam Eli.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengasihi Anak Lebih dari Tuhan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



94. Tuntutan Yang Menghimpit Anak I


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr.Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T286A (File MP3 T286A)


Abstrak:

Ibarat tanaman, anak pun membutuhkan ruang untuk bertumbuh. Tugas orang tua adalah mengawasi dan merawat pertumbuhan anak agar sesuai dengan arah yang diinginkan orang tua. Masalah timbul bila selain dari mengawasi dan merawat, orang tua pun membebani anak dengan tanggung jawab yang melebihi usia dan kemampuannya. Ibarat tanaman yang terhimpit beban, pertumbuhan anak akhirnya tersendat dan melenceng dari jalur semula. 5 beban yang kadang keliru diembankan pada anak yaitu tuntutan sebagai anak sulung, tuntutan sebagai anak perempuan, tuntutan sebagai anak kesayangan, tuntutan sebagai anak terpandai dan tuntutan sebagai anak rohani.


Ringkasan:

Ibarat tanaman, anak pun membutuhkan ruang untuk bertumbuh. Tugas orang tua adalah mengawasi dan merawat pertumbuhan anak agar sesuai dengan arah yang diinginkan orang tua. Masalah timbul bila selain dari mengawasi dan merawat, orang tua pun membebani anak dengan tanggung jawab yang melebihi usia dan kemampuannya. Ibarat tanaman yang terhimpit beban, pertumbuhan anak akhirnya tersendat dan melenceng dari jalur semula. Berikut akan dipaparkan beban yang kadang keliru diembankan pada anak.

  1. Tuntutan sebagai anak sulung. Cukup banyak orang tua yang menuntut anak tertua untuk memikul tanggung jawab besar. Misalnya, ada orang tua yang melimpahkan anak sulung untuk menjaga dan mengurus adik-adiknya pada usia yang relatif muda. Memang adakalanya orang tua terlalu sibuk atau memunyai anak terlalu banyak sehingga tidak lagi dapat memberi pengawasan dan perhatian kepada semua anak. Terpaksa orang tua menuntut anak sulung untuk menolong orang tua.
    Masalahnya adalah, bila hal ini dilakukan di kala anak sulung masih berusia belia, tuntutan ini akan membebaninya secara berlebihan. Tugas mengawasi serta mengurus adik sudah tentu akan menyita waktunya sendiri. Ketika ia ingin bermain-sebagaimana layaknya anak seusianya-ia terpaksa menjaga dan mengurus adiknya. Alhasil ia cenderung kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya menjadi miliknya. Sebagaimana kita ketahui kehilangan masa kanak-kanak berakibat negatif pada pertumbuhan anak. Ia cenderung matang terlalu dini dalam hal tanggung jawab namun miskin pemenuhan kebutuhan emosionalnya.
  2. Tuntutan sebagai anak perempuan. Masih banyak orang tua yang memerlakukan anak perempuan sebagai setengah pembantu rumah tangga. Misalkan sehabis makan, anak laki-laki dibiarkan pergi tetapi anak perempuan diwajibkan untuk membawa piring ke dapur dan mencucinya. Ketika anak laki bermain di luar, anak perempuan disuruh untuk membantu ibu memasak. Tatkala anak laki pergi bersama teman untuk menonton, anak perempuan diminta orang tua untuk menjaga rumah.
    Semua perlakuan ini keluar dari pandangan bahwa tempat bagi anak perempuan adalah di dalam rumah. Itu sebabnya anak perempuan dianggap tidak perlu pergi bermain keluar. Terpenting adalah menyiapkan anak perempuan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang cakap. Sudah tentu ada waktu dan tempat bagi anak perempuan belajar keterampilan mengurus rumah. Namun, ada pula waktu dan tempat bagi anak laki untuk belajar keterampilan mengurus rumah. Tuntutan yang berlebih pada anak perempuan berpotensi memasungnya menjadi anak yang tidak berinisiatif dan sukar menikmati hidup. Ia pun cenderung bermasalah dengan rasa bersalah yang tidak pada tempatnya.
  3. Tuntutan sebagai anak kesayangan. Sebagai anak kesayangan, seorang anak dituntut untuk senantiasa mengerti perasaan orang tua. Ia pun dituntut untuk menjadi anak yang bersikap dan berbuat baik kepada orang tua. Jika ada pertentangan antara orang tua dan anak lainnya, anak kesayangan merasa berkewajiban untuk membela orang tua-tidak peduli siapa yang salah. Singkat kata, anak kesayangan menerima beban untuk mengasihi orang tua lebih daripada anak-anak lainnya.
    Ia pun dituntut untuk mengabaikan kelemahan orang tua dan hanya memfokuskan pada kelebihan. Akibatnya anak kesayangan sering kali susah mengembangkan obyektivitas dalam hidupnya. Kesetiaannya bukan terletak pada APA yang benar tetapi pada SIAPA yang dianggapnya benar. Dengan kata lain, benar atau salah menjadi relatif serta bergantung pada siapa yang disukainya.
    Dampak lainnya adalah anak kesayangan tidak mempunyai kebebasan untuk menjadi diri apa adanya. Ia harus menjadi anak sesuai kehendak orang tua walaupun itu bertentangan dengan karunia dan isi hati yang sesungguhnya.
  4. Tuntutan sebagai anak terpandai. Kadang kita berpikir bahwa beban terberat dipikul oleh anak yang paling tidak pandai. Pada kenyataannya anak terpandai dalam keluarga tidak kalah menderita tekanan. Sebagai anak terpandai pada dasarnya ia diharapkan untuk tidak pernah gagal. Hasil yang dicapainya mesti senantiasa selaras dengan tuntutan orang tua.
    Bila orang tua tidak fleksibel, anak yang terpandai merasa lebih merupakan sapi perahan. Ia cenderung merasa bahwa ia hanya berharga bila ia dapat memuaskan harapan orang tuanya. Jika tidak, ia pun tidak merasa dirinya bernilai. Singkat kata, oleh karena itulah tuntutan dan perlakuan yang diterimanya, pada akhirnya ia pun memerlakukan dirinya sama dengan perlakuan orang tua terhadap dirinya. Ia hanya merasa bernilai bila ia sanggup mencapai tuntutan dirinya sendiri. Kegagalan dihapus dari kamus hidupnya, keberhasilan menjadi dewa yang disembahnya.
  5. Tuntutan sebagai anak rohani. Orang tua tentu senang melihat anak bertumbuh secara rohani. Misalnya anak gemar membaca Firman Tuhan dan rajin ke gereja. Masalah muncul tatkala orangtua menuntut anak untuk selalu bersikap dan berperilaku rohani, dalam pengertian tidak boleh marah atau merasa kecewa dan sebagainya. Sudah tentu tuntutan ini tidak realistik. Kendati ia rohani sebagai anak yang manusiawi ia pun dapat melakukan kesalahanl. Tugas orang tua seyogianya adalah menuntun anak untuk dapat menghadapi kegagalannya melakukan sesuatu seturut kehendak Tuhan. Orang tua mesti mengajarnya untuk datang meminta pengampunan dari Tuhan dan memberi pengampunan pada diri sendiri. Kesalahan orang tua adalah kadang orang tua malah memperalat kerohanian anak untuk kepentingan orang tua. Misalnya melarang anak untuk pergi studi ke kota lain dengan alasan sebagai anak yang berbakti kepada Tuhan tidak seharusnya ia pergi meninggalkan keluarga.

Dampak Keseluruhan

Kesimpulan
Pada waktu Tuhan Yesus berusia 12 tahun, dalam kunjungan ke Yerusalem, Ia pergi meninggalkan orangtuanya dan masuk ke Bait Allah untuk mendengarkan dan berdialog dengan kaum alim ulama. Sewaktu Yusuf dan Maria menegur-Nya, Tuhan menjawab, "Mengapakah kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (Lukas 2:49)
Kendati ayat ini membicarakan tentang Yesus sebagai Tuhan dan bukan sebagai seorang anak manusia saja, tetapi pelajaran yang dapat ditarik juga relevan untuk pembahasan kita. Kendati anak adalah keturunan kita, misi utamanya adalah ia bertumbuh sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama anak adalah menjadi seperti yang dikehendaki Tuhan, bukan kita. Jadi, besarkanlah anak untuk bertumbuh berdasarkan arah yang ditetapkan Tuhan.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tuntutan Yang Menghimpit Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Saya yakin sekali kalau setiap orang tua tidak bermaksud untuk membebani anak dengan tuntutan, tetapi fakta membuktikan bahwa banyak anak yang menderita karena tuntutan dari orang tuanya yang berlebihan dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya setuju bahwa pada umumnya orang tua itu tidaklah berniat untuk memberikan beban yang berkelebihan kepada anaknya sebab saya percaya bahwa pada umumnya orang tua itu mengasihi anak, namun karena kurang mengerti maka orang tuanya itu memberikan beban atau tuntutan yang berlebihan kepada anak. Saya mengumpamakan anak itu seperti pohon dan pohon itu memerlukan ruang untuk bisa bertumbuh dengan bebas sehingga dapat menjadi pohon yang sesungguhnya. Kalau pada masa pertumbuhan, pohon dihimpit dan tidak diberikan ruang untuk bertumbuh pada akhirnya pertumbuhan itu akan melenceng ke kiri atau ke kanan sehingga tidak bisa bertumbuh semestinya, dan anak pun juga seperti itu. Kita mesti memunyai pengertian tentang bagaimana membesarkan anak, kita itu perlu mengawasi anak dan itu sangat perlu, kalau dia berjalan di jalan yang salah, dia tidak tahu mana yang baik dan mana yang benar, seharusnyalah kita memberitahu tapi di pihak lain kita juga harus mengawasi dan mengarahkannya dengan bijaksana sehingga kita tidak terlalu memberikan tuntutan-tuntutan yang berlebih kepadanya yang justru akan menghimpit pertumbuhannya.

GS : Memang maksud orang tua mengarahkan anak-anaknya sesuai pola pikirnya orang tuanya Pak Paul, jadi apa pun yang dikehendaki oleh orang tua. Seperti yang Pak Paul katakan mereka diumpamakan tanaman. Pasti orang itu menghendaki tumbuhan tanaman itu berbentuk seperti yang dia bayangkan, jadi kalau itu sebuah bonsai maka dia menginginkan sebuah bonsai yang ada di pikirannya.

PG : Betul. Makanya kita sebagai orang tua perlu waspada dengan nilai-nilai hidup kita, tuntutan hidup kita. Sudah tentu kita mesti mengarahkan anak sehingga nanti bisa menjadi seperti yang kita kehendaki dalam pengertian yang positif itu, tapi caranya juga harus tepat. Dan kita juga harus menyadari ada beberapa hal yang cukup umum, yang orang tua sering lakukan seringkali mengakibatkan anak itu justru terhimpit atau tertekan.

GS : Misalnya apa saja, Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang bisa saya bagikan, yang pertama adalah tuntutan sebagai anak sulung. Cukup banyak orang tua yang menuntut anak tertuanya untuk memikul tanggung-jawab yang besar. Misalnya ada orang tua yang melimpahkan anak sulung dengan tanggung-jawab menjaga serta mengurus adik-adiknya pada usia yang relatif muda. Memang adakalanya orang tua terlalu sibuk atau memunyai anak yang terlalu banyak sehingga tidak lagi memberi pengawasan dan perhatian kepada semua anak. Jadi terpaksa orang tua menuntut si anak sulung untuk menolong orang tua. Ini adalah hal yang umum terjadi dan sering dikomunikasikan kepada si anak sulung, "Kamu anak yang paling besar, kamu seharusnya tahu, kamu seharusnya bantu orang tua, kamu seharusnya lebih bertanggung-jawab." Jadi lahir sebagai anak pertama diberikan beban tuntutan yang ganda dari anak-anak lainnya, seharusnya tidak seperti itu. Tidak ada aturan karena kita lahir terlebih dahulu maka beban tanggung-jawab kita itu dua kali lebih besar, tidak seperti itu karena masing-masing anak itu harus belajar bertanggung-jawab. Jadi orang tua yang memunyai konsep anak sulung, dia harus melakukan lebih lagi, menolong orang tua untuk bertanggung-jawab mengurus adik-adiknya, maka sikap seperti ini perlu dikoreksi.

GS : Tuntutan anak sulung ini muncul setelah anak pertama ini memunyai adik-adik dan tidak akan ada tuntutan seperti itu ketika dia menjadi anak tunggal.

PG : Seringkali seperti itu, barulah fungsi anak sulung menjadi sangat penting tatkala dia punya adik, sewaktu dia hanyalah seorang anak tunggal maka tidak akan ada beban-beban khusus yang diembankan kepadanya. Tapi begitu ada adik kedua dan ketiga dan sebagainya, tiba-tiba tuntutan itu menjadi berlipat kali ganda.

GS : Padahal anak sulung itu sendiri sudah merasa tertekan ketika adiknya lahir, Pak Paul. Jadi ini merupakan beban yang cukup berat bagi anak ini.

PG : Betul. Pada umumnya ini alamiah, anak-anak itu seringkali merasa tersisihkan sewaktu adiknya lahir, dia ter biasa hidup sendirian, kecuali kalau adiknya lahir di usia dimana dia relatif berusia masih kecil sehingga mereka itu bertumbuh bersama. Tapi misalkan jarak usianya 3 sampai 4 atau 5 tahun, berarti dia terbiasa hidup sendiri dan menerima semua perhatian sampai usia 4 atau 5 tahun. Sekarang tiba-tiba ada adik maka tidak bisa tidak perhatian orang tua terbagi dan begitu terbagi maka dia merasakan kehilangan tersebut dan seringkali memunculkan perilaku-perilaku yang kekanak-kanakkan supaya kembali diperhatikan oleh orang tuanya. Jadi kata Pak Gunawan memang betul, waktu adiknya lahir sebetulnya dia sudah cukup menderita apalagi kemudian dibebankan tuntutan harus seperti ini dan seperti itu, "Kamu harus tahu diri dan memberi contoh, kamu harus mengurus dan menjaga adikmu", kalau adiknya yang berbuat salah maka dia yang dimarahi, adiknya yang memang nakal tapi dia juga yang dimarahi. Jadi dia akhirnya berpikir, "Saya salah apa? Kenapa seperti ini? Dan kenapa saya yang kena marah." Kalau tidak hati-hati dia bisa tertekan atau malahan memberontak.

GS : Padahal maksud orang tua adalah memberikan tanggung-jawab kepada si anak sulung ini supaya ke depannya nanti dia bisa lebih mandiri lagi.

PG : Betul. Jadi ada tujuan seperti itu supaya anak ini nanti belajar bertanggung-jawab, belajar mandiri dan sebagainya. Tapi kita mesti berhati-hati dan hendaklah melakukan semua ini dengan bijaksana. Kalau kita memang perlu bantuannya untuk menolong kita dalam hal menjaga adik, maka kita bisa meminta tolong dan jangan menggunakan embel-embel, "Kamu ini anak sulung, maka kamu harus menjaga." Atau kalau adiknya yang salah, kemudian dia yang disalahkan dan kita berkata, "Kamu anak sulung seharusnya kamu bisa mencegah adikmu untuk melakukan hal itu," itu yang harus kita buang dari kosakata kita, kita mungkin hanya perlu menegurnya, "Saya tadi melihat kamu berbuat seperti itu kepada adikmu tapi kamu tidak menegurnya." Jadi jangan menyertakan embel-embel, "Kamu anak sulung maka seharusnya kamu tahu dan mencegah adikmu berbuat itu."

GS : Dampaknya terhadap si anak sulung ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Kalau hal ini dilakukan di kala anak sulung masih berusia belia, tuntutan ini akan membebaninya secara berlebihan. Jadi persis seperti orang yang berjalan tapi dibebani suatu beban, inilah yang harus dipikul oleh si anak sulung. Jadi jalannya lamban secara mental karena bebannya itu berlebihan. Sudah tentu tugas mengawasi serta mengurus adik sudah menyita waktunya juga. Jadi misalkan ketika ia ingin bermain sebagaimana layaknya anak seusianya, itu tidak bisa dilakukannya karena dia harus menjaga adiknya, mengurus adiknya. Jadi dampak yang pertama adalah dia cenderung kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya menjadi miliknya, itu berarti pertumbuhannya sudah mulai ada gangguan karena masa kanak-kanak yang seharusnya menjadi bagian dari pertumbuhannya itu sudah lenyap, sepertinya dia harus bertugas sebagai orang tua.

GS : Apakah itu tidak dimungkinkan jika orang tua ini menyuruh anak dalam rangka bermain. Jadi kalau menjaga adiknya maka dia akan menjaga adiknya untuk bermain dan sebagainya tapi bukan menjaga dari kecelakaan, apakah ini memungkinkan, Pak Paul?

PG : Memungkinkan. Jadi misalkan si kakak bisa diajak untuk bermain dengan adiknya sehingga adiknya itu bisa terawasi dan waktunya pun terisi dan tidak mengganggu orang tuanya, sudah tentu baik. Namun kita juga mesti peka karena adakalanya si sulung juga tidak ingin bermain dengan adiknya, jadi kita harus terima itu dan jangan kita memarahi dia. Dengan kata lain, harus ada kepekaan dan tidak bisa terus menerus menuntutnya untuk melakukan yang kita minta dan membebankan kepada dia karena dia adalah anak sulung. Itu yang harus kita hindari sebab kita tidak mau hal-hal ini menjadi sesuatu yang berakibat negatif pada pertumbuhannya. Contoh yang paling jelas adalah kalau sejak kecil dia dibebankan dengan tanggung-jawab yang berlebihan, dia menjadi terlalu matang pada usia dini. Jadi dalam hal tanggung-jawab dia mengalami kematangan dan mengerti sekali tanggung-jawab namun dia akan miskin dalam pemenuhan kebutuhan emosionalnya, dia mau tetap bisa tertawa, bisa bermain, bisa berbuat salah, tapi sekarang tidak bisa karena dicemooh dan dimarahi. Kalau berbuat kenakalan tertentu maka label ini yang kemudian dikeluarkan, "Kamu ini anak sulung tapi kenapa kamu ini masih seperti kanak-kanak, kamu anak sulung tapi kenapa tidak memberi contoh yang baik kepada adik-adikmu." Jadi semua itu dilabelkan karena dia adalah anak sulung. Dia bisa menjadi sangat bertanggung-jawab tapi kebutuhan emosionalnya menjadi sangat miskin.

GS : Kalau dia sebagai anak sulung punya beban seperti itu Pak Paul, sebenarnya apakah ada bedanya kalau anak sulung ini laki-laki atau perempuan. Sebab seringkali kalau anak itu perempuan, melakukan hal-hal seperti itu bisa dengan senang hati, Pak Paul.

PG : Saya kira secara alamiah anak perempuan memang lebih memiliki insting keibuan, sehingga tanpa disuruh keinginan untuk mengasuh adiknya itu lebih ada. Namun kalau orang tua membebankannya dan melabelkan anak sulung harus melakukan semua itu maka lama-lama dia mungkin bisa berontak dan tidak suka. Justru kalau tidak dilabelkan sebagai anak sulung dan dia harus mengasuh adik-adiknya maka dia akan lebih spontan melakukannya dengan senang hati dan dia tidak akan merasa beban yang berlebihan pada dirinya. Kalau anak laki-laki pada umumnya tidak secara alamiah memunyai insting untuk mengasuh dan menjaga adik-adiknya, itu sebabnya orang tua harus lebih keras menyuruhnya. Tapi sekali lagi yang saya mau katakan adalah, bukannya saya mau berkata, "Jangan memberikan tanggung-jawab kepada anak sulung," tapi saya mengakui kalau anak sulung pun juga perlu diberikan tanggung-jawab, namun berhati-hatilah jangan sampai berlebihan sebab sekali lagi jangan sampai hal-hal yang perlu dialaminya sebagai seorang anak kecil justru terhilang dan harus dilepaskannya, justru dia masih perlu bimbingan dan arahan. Tapi kalau kita terlalu membebankan tanggung-jawab itu kepada dia, dan kita jarang memberikan bimbingan atau arahan dan kita hanya bisa memarahi dia kalau dia tidak melakukan yang kita inginkan. Akhirnya anak-anak yang seperti ini sangat terikat dengan tanggung-jawab, tidak dapat menikmati hidup, hidupnya tidak bebas, tidak merdeka dan akhirnya setelah mereka mulai remaja, mereka berontak dan mereka tidak mau lagi menerima tanggung-jawab ini dan akhirnya orang tua pun kewalahan, karena justru anak pertamanya menyusahkan sekali.

GS : Dan jika makin banyak adik-adiknya maka makin berat beban yang harus ditanggung oleh anak sulung itu tadi.

PG : Betul, kalau mengurus satu adik masih lebih baik, tapi kalau mengurus sampai 4 atau 5 adik maka itu akan menjadi tanggung-jawab yang besar.

GS : Dan itu akan terbawa sampai mereka dewasa atau tidak, Pak Paul?

PG : Kalau dia terpaksa memikul beban itu dan dia tidak bisa lari lagi, karena memang jiwanya bukan pemberontak maka dia akan membawa hal itu sampai usia dewasa. Jadi nanti setelah tua pun kalau ada apa-apa dengan adiknya maka dia yang akan paling kalang-kabut dan kalau ada apa-apa dengan adiknya maka dialah yang paling merasa bersalah, "Kenapa saya tidak menolongnya." Bahkan dalam kasus-kasus tertentu jika hidup adiknya tidak karuan dan tidak bertanggung-jawab maka tetap si kakak sulunglah yang menolongnya, melepaskannya dari konsekuensi yang harus ditanggung oleh si adik sehingga menjadi tidak sehat juga. Jadi kalau tidak hati-hati pola tidak sehat ini akan terus berlanjut sampai usia dewasa.

GS : Bahkan sampai ada yang rela tidak berkeluarga, dia sendiri tidak menikah, demi melindungi adik-adiknya itu, Pak Paul.

PG : Betul, dan saya pernah menemuinya. Jadi anak-anak sulung ini benar-benar mengorbankan hidupnya demi adik-adiknya tapi saya juga tahu ada kasus-kasus dimana si sulung yang mengorbankan hidupnya demikian besar, nantinya juga selain sayang dengan si adik, namun nanti juga bisa menjadi galak dengan si adik. Jadi karena mereka sudah mengorbankan hidup sedemikian besarnya, kemudian mereka juga menuntut sedemikian besar dari adik-adiknya untuk menyayangi dan menghormati mereka, sehingga kalau itu tidak terjadi maka mereka menjadi marah. Jadi benar-benar si sulung ini menjadi pengganti orang tua tapi pengganti yang bahkan lebih galak daripada orang tuanya.

GS : Tuntutan yang lain yang bisa menghimpit anak ini apa, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah tuntutan sebagai anak perempuan, masih banyak orang tua yang memerlakukan anak-anak perempuan sebagai setengah pembantu rumah tangga. Misalkan sehabis makan anak laki-laki dibiarkan pergi, tapi anak perempuan diwajibkan untuk membawa piring ke dapur dan mencucinya. Contoh lain, ketika anak laki-laki berada di luar, anak perempuan disuruh membantu ibu memasak, membersihkan rumah dan sebagainya. Contoh lain lagi tatkala anak laki-laki pergi bersama teman untuk menonton, tapi anak perempuan disuruh untuk menjaga rumah. Hal ini masih sering terjadi dan masih ada di dalam zaman kita. Jadi orang tua membedakan tuntutannya dan tuntutan sebagai anak perempuan jauh lebih besar dibandingkan pada anak laki-laki.

GS : Tapi hal seperti itu dilakukan oleh orang tua dengan tujuan agar anak ini mengetahui naturnya sebagai wanita yaitu kelak harus seperti ini. Sama dengan anak laki-laki, kalau mereka ingin menangis mereka akan dimarahi oleh orang tuanya, kalau menangis hanya boleh dilakukan oleh anak perempuan. Beban seperti ini juga hampir sama, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi inilah tuntutan-tuntutan yang kita harus waspadai. Misalkan tadi Pak Gunawan mengangkat contoh anak laki-laki tidak boleh menangis. Sudah tentu hal ini tidak sehat. Orang tua harus menyadari anak laki-laki pun boleh menangis, karena Tuhan memberikan air mata untuk dapat kita tangiskan dan efeknya itu sangat "therapeutik" yaitu menyembuhkan luka-luka kita karena kesedihan kita bisa diekspresikan lewat tangisan. Jadi orang tua mesti waspada dengan nilai-nilai tuntutan yang sebetulnya tidak perlu. Anak perempuan dalam hal lain harus kita akui bahwa mereka akan menerima begitu banyak tuntutan, tidak boleh keluar malam, kalau diajak teman-temannya pergi dia tidak boleh pergi tapi kalau anak laki-laki pulang sampai malam tidak mengapa. Misalkan lagi mulai dari hal yang sederhana yaitu tertawa, kalau anak laki-laki boleh tertawa terbahak-bahak tapi kalau anak perempuan langsung dimarahi dan dikatakan "Tidak pantas tertawa seperti itu." Jadi akhirnya begitu banyak hal-hal yang dibebankan kepada anak perempuan dan ini bisa menjadi tekanan dalam hidupnya yang berlebihan.

GS : Di sini ada perbedaan masalah hak, yang satu boleh berada di luar rumah dan yang satu harus di dalam rumah. Apakah ini juga akan berpengaruh terhadap perkembangan diri anak ini?

PG : Ada, Pak Gunawan. Jadi saya meyakini bahwa perbedaan perempuan ini keluar dari pendangan bahwa tempat bagi anak perempuan adalah di dalam rumah. Sedangkan secara tersirat orang tua beranggapan tempat bagi anak laki-laki itu di luar rumah, makanya mereka lebih diizinkan keluar rumah dan anak perempuan tidak diizinkan. Maka anak perempuan dianggap tidak perlu pergi bermain di luar dan seringkali disuruh untuk diam di rumah. Terpenting bagi orang tua adalah anak perempuan itu menjadi seorang ibu rumah tangga yang cakap. Jadi seolah-olah dari kecil orang tua terutama ibunya sudah menyiapkan si anak perempuan untuk menjadi seorang mama. Saya mengakui bahwa ada waktu dan tempat bagi anak perempuan untuk belajar keterampilan mengurus rumah dan ini baik karena tidak ada salahnya dengan membersihkan rumah dan belajar memasak. Tapi saya juga harus berkata, ada pula waktu dan tempat bagi anak laki-laki untuk belajar keterampilan mengurus rumah. Tidak ada salahnya anak laki-laki belajar untuk membersihkan kamarnya, untuk membersihkan kamar mandinya dan itu tidak ada salahnya. Bagi saya tuntutan yang berlebih bagi anak perempuan berpotensi memasungnya dan justru membuat anak tidak berinisiatif dan akhirnya sukar menikmati hidup, dan akhirnya anak perempuan menjadi lebih rentan dan cenderung bermasalah dengan rasa bersalah yang tidak pada tempatnya.

GS : Di beberapa etnis tertentu, tuntutan sebagai anak perempuan ini bisa lebih besar dari pada tuntutan kepada anak laki-laki, karena mereka disiapkan untuk menjadi ibu rumah tangga yang bukan hanya mencukupi kebutuhan keluarganya, tapi juga bisa mencukupi keluarga besarnya.

PG : Betul. Jadi benar-benar dia diharapkan untuk menjadi "superwoman", bisa segalanya dan kuat menanggung beban sebesar apapun. Seolah-olah mengurus rumah dan mengurus makanan dan sebagainya adalah hal yang mudah padahalnya itu adalah sebuah pekerjaan yang berat dan meletihkan sekali. Bagi kita yang bekerja di luar, kalau malam pulang maka kita berhenti bekerja tapi bagi ibu rumah tangga tidak ada yang dinamakan berhenti bekerja, dari pagi dia bangun sampai malam dia tidur, akan ada pekerjaan yang harus dilakukannya mulai dari rumahnya, anaknya, suaminya, belum lagi kalau dia dituntut untuk mengurus sanak saudara yang lain-lainnya. Jadi kita melihat beban ini terlalu besar, itu sebabnya tidak heran secara positif anak perempuan cenderung lebih bertanggung-jawab dan lebih mau mengatur, mengurus kehidupannya dan kehidupan orang-orang lain di sekitarnya. Tapi yang kasihan adalah cukup banyak di antara mereka lebih banyak yang dirundung rasa bersalah, lebih mudah dirundung kecemasan, takut kalau nanti ada yang tidak beres. Sebab makin besar tanggung-jawab maka makin besar kecemasan kalau sampai ada yang tidak beres.

GS : Tuntutan yang menghimpit anak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah tuntutan sebagai anak kesayangan, seolah-olah ini adalah kontradiksi sebab mana mungkin anak kesayangan ada tuntutannya, tapi sebetulnya ada. Sebagai anak kesayangan biasanya seorang anak dituntut untuk senantiasa mengerti perasaan orang tuanya. Waktu orang tuanya merasa sesuatu, karena dia adalah anak kesayangan maka seolah-olah anak itu diwajibkan untuk mendekati orang tua, menghibur orang tua dan satu lagi karena dia dianggap anak kesayangan maka papa dan mamanya sering berkata, "Kamu ini anak kesayangan, kamu ini anak yang paling baik dan sebagainya." Akhirnya dia pun dituntut menjadi anak yang selalu bersikap dan berbuat baik kepada orang tua. Misalnya jika ada pertentangan antara orang tua dan anak lainnya, anak kesayangan merasa berkewajiban untuk membela orang tua dan tidak memedulikan siapa yang salah, misalkan si adik berkata, "Mama tadi seperti ini, papa tadi seperti ini. Kamu itu tahu kalau ini tidak benar." Anak kesayangan tidak bisa berkata, "Memang mama tidak benar, memang papa tidak benar," tapi dia terpanggil untuk membela orang tuanya. Jadi singkat kata anak kesayangan akhirnya menerima beban untuk mengasihi orang tua lebih dari anak-anak lainnya, dalam kategori mengasihi secara membabi buta tapi tidak realistis.

GS : Jadi memanjakan anak terlalu berlebihan ini ternyata menimbulkan beban tersendiri bagi anak tersebut, Pak Paul?

PG : Betul. Memang disatu pihak anak itu menikmati faedahnya disayangi, apa yang diinginkannya dia dapat peroleh, apa yang diminta diberikan kepadanya, tapi dia harus bayar harga. Justru kadang-kadang anak yang tidak terlalu disayangi seperti itu, hidupnya lebih merdeka, lebih bebas, tidak ada yang menuntut dan dia tidak merasa dituntut, perkembangannya justru lebih sehat. Jadi anak-anak kesayangan bayar harganya cukup mahal.

GS : Jadi orang tua menuntut anaknya ini supaya anaknya bisa melihat orang tua ini sebagai seorang yang sempurna, yang tanpa salah, begitu Pak Paul?

PG : Seringkali demikian, jadi seolah-olah dia dituntut mengabaikan kelemahan orang tua dan hanya memfokuskan pada kelebihannya. Akibatnya anak kesayangan ini setelah dewasa seringkali susah mengembangkan objektifitas dalam hidupnya sebab kesetiaannya bukan terletak pada apa yang benar, tetapi pada siapa yang dianggapnya benar. Jadi dengan kata lain benar atau salah menjadi relatif, serta bergantung pada siapa yang disukainya sebab itulah yang dipelajari sejak kecil yaitu dia harus membela orang tuanya benar atau salah. Dan satu lagi yaitu dampak buruknya anak kesayangan tidak memunyai kebebasan untuk menjadi diri apa adanya karena dia menjadi anak yang sesuai dengan kehendak orang tua walaupun itu bertentangan dengan kebisaannya, karunianya dan isi hati yang sesungguhnya.

GS : Belum lagi, kalau dia anak kesayangan orang tua lalu saudara-saudaranya atau adik-adiknya atau bahkan kakaknya juga bisa memusuhi dia, Pak Paul.

PG : Betul dan kita bisa jumpai pada kasusnya Yusuf, itu sangat fatal sekali sampai akhirnya dia mau dibunuh dan dibuang, dijual sebagai seorang budak karena Yakub memang tidak bijaksana menyayangi Yusuf. Jadi benar-benar bagi anak kesayangan, di satu pihak menerima keuntungan tertentu tapi kerugiannya lumayan besar.

GS : Jadi sebenarnya kita sebagai orang tua itu maunya menyayangi anak, tapi rupanya sayang ini juga ada batasannya, Pak Paul?

PG : Betul. Sebab rasa sayang yang kita ungkapkan kepada anak secara tidak bijaksana malahan merugikan anak-anak itu sendiri.

GS : Pak Paul, apakah dalam hal ini ada Firman Tuhan yang mendukung?

PG : Saya bacakan dari Mazmur 127:4-5, "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semua itu." Memang ini adalah sebuah ilustrasi seorang prajurit, waktu dia pergi membawa tabung anak panah beserta panahnya bukan saja menunjukkan sebuah kegagahan tapi itu juga menunjukkan sebuah persiapan kelengkapan hidupnya sebagai tentara yang komplet dengan anak-anak panahnya. Jadi dari Firman Tuhan ini, kita bisa belajar bahwa yang pertama adalah Tuhan yang memberikan kepada kita anak-anak panah ini. Maka ketika dikatakan sesungguhnya anak laki-laki adalah milik pusaka dari Tuhan dan buah kandungan adalah suatu upah. Jadi itu adalah pemberian Tuhan, karena pemberian Tuhan maka kita harus merawatnya dengan baik dan bijaksana. Jangan sembarangan dan malahan melakukan hal-hal yang merugikan mereka.

GS : Apalagi pada zaman sekarang dengan banyaknya anak cukup membuat orang tua punya tanggung-jawab yang jauh lebih besar.

PG : Betul sekali. Jadi sekarang ini makin banyak anak maka tuntutannya juga makin berat, jadi kita juga harus bijaksana tentang berapa jumlah anak yang kita inginkan dan kita sanggup pelihara dengan baik.

GS : Karena baik anak sulung maupun anak bungsu, juga anak tengah-tengah ini juga memunyai beban masing-masing yang tidak ringan yang harus mereka tanggung.

PG : Betul. Jadi semua harus kembali kepada orang tua, bagaimana memerlakukan anak-anak dengan bijaksana.

GS : Pembicaraan ini saya rasa belum selesai Pak Paul, karena saya rasa masih ada beberapa tanggung-jawab atau tuntutan dari orang tua yang bisa menghimpit anak, namun kita akan bicarakan pada kesempatan yang akan datang dan tentunya kita berharap para pendengar setia program Telaga ini bisa mengikutinya pada program yang akan datang. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuntutan Yang Menghimpit Anak" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



95. Tuntutan Yang Menghimpit Anak II


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr.Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T286B (File MP3 T286B)


Abstrak:

Ibarat tanaman, anak pun membutuhkan ruang untuk bertumbuh. Tugas orang tua adalah mengawasi dan merawat pertumbuhan anak agar sesuai dengan arah yang diinginkan orang tua. Masalah timbul bila selain dari mengawasi dan merawat, orang tua pun membebani anak dengan tanggung jawab yang melebihi usia dan kemampuannya. Ibarat tanaman yang terhimpit beban, pertumbuhan anak akhirnya tersendat dan melenceng dari jalur semula. 5 beban yang kadang keliru diembankan pada anak yaitu tuntutan sebagai anak sulung, tuntutan sebagai anak perempuan, tuntutan sebagai anak kesayangan, tuntutan sebagai anak terpandai dan tuntutan sebagai anak rohani.


Ringkasan:

Ibarat tanaman, anak pun membutuhkan ruang untuk bertumbuh. Tugas orang tua adalah mengawasi dan merawat pertumbuhan anak agar sesuai dengan arah yang diinginkan orang tua. Masalah timbul bila selain dari mengawasi dan merawat, orang tua pun membebani anak dengan tanggung jawab yang melebihi usia dan kemampuannya. Ibarat tanaman yang terhimpit beban, pertumbuhan anak akhirnya tersendat dan melenceng dari jalur semula. Berikut akan dipaparkan beban yang kadang keliru diembankan pada anak.

  1. Tuntutan sebagai anak sulung. Cukup banyak orang tua yang menuntut anak tertua untuk memikul tanggung jawab besar. Misalnya, ada orang tua yang melimpahkan anak sulung untuk menjaga dan mengurus adik-adiknya pada usia yang relatif muda. Memang adakalanya orang tua terlalu sibuk atau memunyai anak terlalu banyak sehingga tidak lagi dapat memberi pengawasan dan perhatian kepada semua anak. Terpaksa orang tua menuntut anak sulung untuk menolong orang tua.
    Masalahnya adalah, bila hal ini dilakukan di kala anak sulung masih berusia belia, tuntutan ini akan membebaninya secara berlebihan. Tugas mengawasi serta mengurus adik sudah tentu akan menyita waktunya sendiri. Ketika ia ingin bermain-sebagaimana layaknya anak seusianya-ia terpaksa menjaga dan mengurus adiknya. Alhasil ia cenderung kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya menjadi miliknya. Sebagaimana kita ketahui kehilangan masa kanak-kanak berakibat negatif pada pertumbuhan anak. Ia cenderung matang terlalu dini dalam hal tanggung jawab namun miskin pemenuhan kebutuhan emosionalnya.
  2. Tuntutan sebagai anak perempuan. Masih banyak orang tua yang memerlakukan anak perempuan sebagai setengah pembantu rumah tangga. Misalkan sehabis makan, anak laki-laki dibiarkan pergi tetapi anak perempuan diwajibkan untuk membawa piring ke dapur dan mencucinya. Ketika anak laki bermain di luar, anak perempuan disuruh untuk membantu ibu memasak. Tatkala anak laki pergi bersama teman untuk menonton, anak perempuan diminta orang tua untuk menjaga rumah.
    Semua perlakuan ini keluar dari pandangan bahwa tempat bagi anak perempuan adalah di dalam rumah. Itu sebabnya anak perempuan dianggap tidak perlu pergi bermain keluar. Terpenting adalah menyiapkan anak perempuan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang cakap. Sudah tentu ada waktu dan tempat bagi anak perempuan belajar keterampilan mengurus rumah. Namun, ada pula waktu dan tempat bagi anak laki untuk belajar keterampilan mengurus rumah. Tuntutan yang berlebih pada anak perempuan berpotensi memasungnya menjadi anak yang tidak berinisiatif dan sukar menikmati hidup. Ia pun cenderung bermasalah dengan rasa bersalah yang tidak pada tempatnya.
  3. Tuntutan sebagai anak kesayangan. Sebagai anak kesayangan, seorang anak dituntut untuk senantiasa mengerti perasaan orang tua. Ia pun dituntut untuk menjadi anak yang bersikap dan berbuat baik kepada orang tua. Jika ada pertentangan antara orang tua dan anak lainnya, anak kesayangan merasa berkewajiban untuk membela orang tua-tidak peduli siapa yang salah. Singkat kata, anak kesayangan menerima beban untuk mengasihi orang tua lebih daripada anak-anak lainnya.
    Ia pun dituntut untuk mengabaikan kelemahan orang tua dan hanya memfokuskan pada kelebihan. Akibatnya anak kesayangan sering kali susah mengembangkan obyektivitas dalam hidupnya. Kesetiaannya bukan terletak pada APA yang benar tetapi pada SIAPA yang dianggapnya benar. Dengan kata lain, benar atau salah menjadi relatif serta bergantung pada siapa yang disukainya.
    Dampak lainnya adalah anak kesayangan tidak mempunyai kebebasan untuk menjadi diri apa adanya. Ia harus menjadi anak sesuai kehendak orang tua walaupun itu bertentangan dengan karunia dan isi hati yang sesungguhnya.
  4. Tuntutan sebagai anak terpandai. Kadang kita berpikir bahwa beban terberat dipikul oleh anak yang paling tidak pandai. Pada kenyataannya anak terpandai dalam keluarga tidak kalah menderita tekanan. Sebagai anak terpandai pada dasarnya ia diharapkan untuk tidak pernah gagal. Hasil yang dicapainya mesti senantiasa selaras dengan tuntutan orang tua.
    Bila orang tua tidak fleksibel, anak yang terpandai merasa lebih merupakan sapi perahan. Ia cenderung merasa bahwa ia hanya berharga bila ia dapat memuaskan harapan orang tuanya. Jika tidak, ia pun tidak merasa dirinya bernilai. Singkat kata, oleh karena itulah tuntutan dan perlakuan yang diterimanya, pada akhirnya ia pun memerlakukan dirinya sama dengan perlakuan orang tua terhadap dirinya. Ia hanya merasa bernilai bila ia sanggup mencapai tuntutan dirinya sendiri. Kegagalan dihapus dari kamus hidupnya, keberhasilan menjadi dewa yang disembahnya.
  5. Tuntutan sebagai anak rohani. Orang tua tentu senang melihat anak bertumbuh secara rohani. Misalnya anak gemar membaca Firman Tuhan dan rajin ke gereja. Masalah muncul tatkala orangtua menuntut anak untuk selalu bersikap dan berperilaku rohani, dalam pengertian tidak boleh marah atau merasa kecewa dan sebagainya. Sudah tentu tuntutan ini tidak realistik. Kendati ia rohani sebagai anak yang manusiawi ia pun dapat melakukan kesalahanl. Tugas orang tua seyogianya adalah menuntun anak untuk dapat menghadapi kegagalannya melakukan sesuatu seturut kehendak Tuhan. Orang tua mesti mengajarnya untuk datang meminta pengampunan dari Tuhan dan memberi pengampunan pada diri sendiri. Kesalahan orang tua adalah kadang orang tua malah memperalat kerohanian anak untuk kepentingan orang tua. Misalnya melarang anak untuk pergi studi ke kota lain dengan alasan sebagai anak yang berbakti kepada Tuhan tidak seharusnya ia pergi meninggalkan keluarga.

Dampak Keseluruhan

Kesimpulan
Pada waktu Tuhan Yesus berusia 12 tahun, dalam kunjungan ke Yerusalem, Ia pergi meninggalkan orangtuanya dan masuk ke Bait Allah untuk mendengarkan dan berdialog dengan kaum alim ulama. Sewaktu Yusuf dan Maria menegur-Nya, Tuhan menjawab, "Mengapakah kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (Lukas 2:49)
Kendati ayat ini membicarakan tentang Yesus sebagai Tuhan dan bukan sebagai seorang anak manusia saja, tetapi pelajaran yang dapat ditarik juga relevan untuk pembahasan kita. Kendati anak adalah keturunan kita, misi utamanya adalah ia bertumbuh sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama anak adalah menjadi seperti yang dikehendaki Tuhan, bukan kita. Jadi, besarkanlah anak untuk bertumbuh berdasarkan arah yang ditetapkan Tuhan.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Tuntutan Yang Menghimpit Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang beberapa atau tepatnya tiga tuntutan yang menghimpit anak. Tetapi rupanya belum cukup kalau hanya tiga itu dan ada beberapa hal lain lagi yang masih akan kita perbincangkan. Supaya para pendengar kita bisa mengingat kembali atau bahkan mengetahui apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu, mungkin Pak Paul bisa mengupas secara singkat.

PG : Kadang kita sebagai orang tua membebankan tuntutan kepada anak kita yang berlebihan dan tugas kitalah sebagai orang tua untuk menyadari supaya jangan sampai kita memberikan beban yang terlalu berlebihan kepada anak-anak. Ada beberapa yang telah saya ungkapkan. Misalnya ada anak yang beranggapan karena anak ini adalah anak yang paling besar, anak yang sulung maka seharusnyalah dia yang paling bertanggung-jawab mengurus adik-adiknya sehingga kita memberikan beban kepada si anak sulung itu untuk selalu menjaga adiknya, kalau ada masalah yang terjadi kepada adik-adiknya maka dia yang dimarahi, dia yang dituntut, kalau dia minta tolong maka kita katakan "Kamu anak yang paling sulung, seharusnya kamu sudah tahu dan tidak perlu meminta tolong lagi." Jadi dengan kata lain kita mendorong anak sulung itu untuk memikul tanggung-jawab yang terlalu besar pada usia yang relatif dini dan juga pada akhirnya kita menuntut anak sulung itu seolah-olah untuk mandiri terlalu cepat sehingga tidak boleh meminta bantuan atau arahan. Kalau kita anggap melakukan hal yang terlalu kekanak-kanakan, dia yang dimarahi lagi sebab kita katakan, "Kamu anak sulung tidak seharusnya berbuat seperti ini," padahal dia juga masih anak-anak, dan dia juga masih bisa melakukan kesalahan-kesalahan sebagai anak-anak. Jadi pada akhirnya anak-anak sulung itu kehilangan masa-masa kecilnya dan ini akan berdampak buruk pada pertumbuhannya kelak. Yang berikut adalah kalau anak itu menjadi anak-anak perempuan, dia juga akan menjadi sasaran tanggung-jawab dan orang tuanya akan meminta dia untuk mengurus adik-adik, berbuat ini dan itu karena dia adalah anak perempuan, kakaknya yang laki-laki boleh pergi keluar tapi dia disuruh diam di rumah dan membantu mama untuk masak dan sebagainya. Saya bukannya melarang untuk menyiapkan anak perempuan dengan tugas-tugas rumah tangga itu, tapi kita mesti sensitif bahwa bukan saja anak perempuan yang harus belajar mengurus rumah, tapi anak laki-laki pun juga baik kalau diberikan tanggung-jawab untuk membersihkan kamarnya, membersihkan kamar mandi. Jadi kita mesti memberikan beban yang sama antara anak laki dan anak perempuan, anak perempuan itu perlu bertumbuh karena kalau kita terlalu banyak menuntutnya maka dia akan merasa seperti dipasung dan dia tidak akan lagi bertumbuh dengan bebas, seolah-olah dia tidak bisa berinisiatif dan susah menikmati hidup dan hidupnya terisi oleh kewajiban-kewajiban dan belum lagi dia menjadi mudah cemas dan mudah merasa bersalah, kalau ada yang tidak beres entah dengan adiknya, maka dia merasa bahwa dia yang harus bertanggung-jawab sehingga mudah sekali cemas memikirkan orang lain. Dan yang ketiga kita juga melihat orang tua kadang-kadang memunyai anak favorit yaitu anak yang disayang. Anak yang disayang ini di satu pihak menerima keuntungan-keuntungan, apa yang diminta akan diberikan oleh orang tua. Tapi dia juga harus bayar mahal yaitu dia dituntut untuk selalu bersikap baik, untuk selalu menurut, baik setuju maupun tidak setuju kepada orang tua tapi diharapkan agar dia setuju. Sebagai contoh kadang kita melihat kakaknya dimarahi oleh orang tua dan dia tahu sebetulnya yang salah adalah orang tuanya, karena tidak seharusnya mengatakan hal-hal seperti itu kepada si kakak. Tapi berhubung dia anak kesayangan maka dia tidak bisa membela si kakak dan dia terpaksa membela si orang tua. Jadi pada akhirnya anak-anak yang manja, yang disayangi ini mudah sekali kehilangan objektivitas dalam hidup, tidak lagi mementingkan apa yang benar dan hanya mementingkan siapa yang benar, itu yang nanti akan dibelanya.

GS : Selain ketiga tuntutan itu tadi, selanjutnya Pak Paul, tuntutan apa lagi yang sering menghimpit anak?

PG : Yang berikut adalah tuntutan sebagai anak terpandai, sekali lagi di satu pihak kita melihat betapa beruntungnya anak yang terpandai ini, mereka akan mendapatkan pengakuan, pujian dan sebagainya namun ada juga bebannya. Kita kadang berpikir bahwa beban terberat dipikul oleh anak yang kurang pandai di rumah, memang ada benarnya bahwa anak kurang pandai memiliki beban tersendiri untuk dipikulnya tapi kenyataannya anak terpandai dalam keluarga tidak kalah menderita tekanan. Sebagai anak terpandai pada dasarnya dia diharapkan untuk tidak pernah gagal, hasil yang dicapainya mesti selaras dengan tuntutan orang tua. Dengan kata lain, sejak dia kecil karena dia sudah menunjukkan kepandaiannya maka ada tuntutan dari orang tua, dia selalu harus berprestasi, dia tidak boleh mengecewakan orang tua dengan prestasi yang tidak maksimal.

GS : Beban ini akan semakin berat kalau orang tua suka memamerkan anak terpandainya kepada teman-temannya atau kepada keluarga besarnya, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi tekanan itu berlipat kali ganda sebab bukan saja datang dari keluarganya sendiri tapi juga dari orang-orang lain. Jadi begitu dia dikenalkan sebagai anak yang paling pandai kepada misalkan pamannya, berarti dia merasa banyak orang yang menuntutnya untuk menjadi sepandai itu. Orang yang sudah dewasa kalau dituntut seperti itu meskipun berat tapi mungkin masih bisa menanganinya. Dia terbiasa dan dia lebih kuat. Tapi bagi anak-anak untuk memikul beban seperti itu saya kira dia akan merasa terhimpit. Jadi kalau tidak hati-hati, orang tua yang menuntut anak seperti itu nanti akan membuat si anak merasa lebih seperti sapi perahan dan ia cenderung merasa berharga bila ia bisa memuaskan harapan orang tuanya. Jika tidak, ia pun merasa bahwa dirinya tidak lagi bernilai. Singkat kata karena itulah tuntutan yang diterimanya pada akhirnya dia pun memerlakukan dirinya sama dengan perlakukan orang tua terhadap dirinya. Jadi misalnya kalau orang tua terlalu menekankan prestasi pada dirinya menjadi anak terpandai, dia pun nanti hanya terpaku pada soal prestasi. Jadi kalau dia menatap dirinya, maka yang dipikirkannya hanya prestasi. Jadi apa yang diterimanya dari orang tua, itu nanti yang juga akan digunakannya untuk memandang dirinya. Dia pun akhirnya memerlakukan dirinya sebagai sapi perahan, dia pun tidak bisa melihat bagian-bagian lain dari dirinya sebab semuanya hanya terfokus pada satu hal yaitu prestasinya, kalau tidak berhasil mencapai prestasi itu maka dia merasa tidak lagi bernilai. Pada akhirnya, Pak Gunawan, orang-orang ini akan menghapus kata kegagalan dari kamus hidupnya dan keberhasilan menjadi dewa yang disembahnya.

GS : Tapi ada sebagian anak yang sudah disanjung-sanjung sebagai anak terpandai dan pada suatu saat nilai-nilainya merosot semua. Apakah itu salah satu bentuk pemberontakan di dalam dirinya bahwa dia tidak mau disebut-sebut seperti itu lagi, Pak Paul?

PG : Saya rasa itu adalah salah satu penyebabnya, jadi ada anak-anak yang berkata, "Sudah cukup" dan tidak mau lagi hidup di dalam beban seperti itu, jadi dia berontak dan dia benar-benar mematahkan belenggu yang telah merantainya itu, dia mau bebas dengan cara memerosotkan nilai prestasinya. Sehingga nanti tidak ada orang yang menuntutnya sebab memang tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.

GS : Tapi dia tidak bisa mengatakan hal itu terus-terang kepada orang tuanya dan ini menjadi beban tersendiri bagi dia.

PG : Sebab kalau dia mengatakan secara langsung, dia akan merasa percuma karena dia merasa orang tuanya tidak akan mengerti sebab orang tuanya akan terus berkata, "Kamu ini memang pandai, jadi seharusnya kamu bisa." Saya juga meminta kepada orang tua untuk mengerti, saya bukannya berkata kalau anak itu pandai tidak perlu dipacu, tapi kita harus memang menyadari bahwa anak itu perlu pacuan, perlu dorongan namun yang saya minta adalah kita fleksibel dan jangan terlalu menekankan aspek itu dalam diri si anak. Sebab anak itu tidak hanya terdiri dari satu aspek yaitu prestasi akademiknya, tapi anak itu terdiri dari berbagai macam elemen-elemen dirinya dan orang tua juga harus melihat yang lain, misalnya kesukaannya pada binatang, kesukaannya pada menggambar, kesabarannya menunggu, kebaikannya untuk menolong, jadi kekurangan-kekurangnnya juga harus kita mengerti dan menerima. Jadi kadang-kadang ada orang tua yang seperti ini, karena anak itu tidak pernah memuaskan atau memenuhi tuntutannya, nanti yang diangkat justru prestasi akademiknya, misalnya orang tua berkata seperti ini, "Kamu percuma, sekolah pandai padahalnya dalam urusan yang sepele seperti ini kamu tidak bisa," yang keluar justru perkataan yang seperti itu. Jadi dengan kata lain, orang tua tidak bisa menerima kelemahan sama sekali, seolah-olah karena dia pandai di sekolah, dalam semua aspek kehidupannya dia selalu harus tahu, selalu harus bisa, selalu harus menunjukkan level pengertian yang paling top. Jadi akhirnya anak itu benar-benar hidup di dalam tuntutan yang begitu meluas.

GS : Belum lagi beban yang harus dipikul oleh anak yang dianggap terpandai ini, Pak Paul, mereka dituntut untuk menggantikan posisi orang tuanya pada suatu saat nanti. Atau paling tidak mewujudkan impian orang tuanya yang dulu tidak terwujud.

PG : Itu seringkali terjadi. Jadi banyak orang tua yang berpikir, anak saya pandai maka anak ini nantinya harus menggantikan saya, kalau tidak hati-hati anak ini justru akan patah di tengah jalan, justru tidak meneruskan usaha orang tua, tidak menjadi seperti yang diharapkan oleh orang tua, karena di tengah jalan dia berkata, "Cukup, dan saya tidak lagi memikul tanggung-jawab ini, tuntutan ini jadi lebih baik saya patah saja." Cara dia patah adalah dengan cara melakukan kebalikan dari yang dituntut oleh orang tuanya, justru menjadi orang yang tidak lagi dihargai atau dibanggakan oleh orang tuanya. Sayangnya untuk menjadi anak yang seperti itu seringkali yang dimaksud adalah dia melakukan perilaku yang negatif.

GS : Itu betul sekali Pak Paul, saya mengenal ada sebuah keluarga yang anaknya bercita-cita menjadi musisi dan mau sekolah musik tapi dilarang oleh orang tuanya, sekarang dia menjadi pemulung. Jadi rumahnya penuh dengan barang-barang bekas dan sebagainya yang memang dia jual lagi dan memang dia tinggal di rumah orang tuanya, jadi rumahnya penuh dengan barang-barang bekas, dia disuruh menikah namun dia menolak malahan menjadi pemulung. Jadi dia keliling kota hanya untuk mengumpulkan barang-barang bekas, itu bisa menjadi suatu bentuk pemberontakan, Pak Paul?

PG : Bentuk pemberontakan secara halus tapi yang paling besar adalah rasa frustrasinya dalam hidup. Dia tidak bisa menjadi seperti yang diidamkannya yang sesuai dengan kebisaannya atau kemampuannya, karena dia tidak bisa menjadi seperti yang diinginkan maka kemudian dia berpikir dia tidak ingin menjadi apa-apa. Jadi seolah-olah, "Lebih baik seperti ini, jadi keinginan antara saya dan orang tua tidak terwujud," dengan dia menjadi seperti ini maka apa yang orang tua harapkan dan dia harapkan semuanya tidak terwujud. Jadi sepertinya dia membuang hidupnya, itu sangat disayangkan karena sepertinya dia membuang sesuatu yang sangat berharga dan akhirnya dibuang menjadi sampah.

GS : Tapi sekarang akhirnya orang tua menjadi sangat malu memunyai anak seperti itu sehingga orang tua juga sering meninggalkan rumah, pergi atau tinggal di rumah anaknya yang lain. Jadi rumah itu dikuasai oleh anak ini yang sebenarnya bisa menjadi musisi yang cukup bagus karena prestasinya sudah kelihatan dan menghasilkan uang tapi sekarang rumahnya menjadi seperti itu.

PG : Sayang sekali, ini adalah contoh kalau kita tidak berhati-hati dalam menuntut anak secara berlebihan.

GS : Hal lain yang bisa membuat tekanan atau himpitan kepada anak apa, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah tuntutan sebagai anak rohani, ini juga sering terjadi pada anak-anak Kristen, anak-anak yang rajin ke gereja, yang rajin membaca Firman Tuhan. Tentu orang tua senang melihat anak bertumbuh secara rohani, misalkan gemar membaca Firman dan rajin ke gereja, namun masalah muncul tatkala orang tua menuntut anak untuk selalu bersikap dan berperilaku rohani dalam pengertian tidak boleh marah, tidak boleh kecewa, tidak boleh ragu, tidak boleh berkecil hati, tidak boleh putus asa. Kemudian yang langsung dicetuskan adalah, "Kamu ini adalah anak Tuhan, kamu ini adalah anak yang disayangi Tuhan," jadi semua dibangkit-bangkitkan. Sudah tentu tuntutan ini tidak realistis. Kendati dia adalah anak yang rohani, tapi sebagai manusia ia pun dapat melakukan kesalahan. Dan kita pun harus menyadari meskipun dia rohani tapi tidak selalu dia berbuat sesuai dengan ajaran Firman Tuhan, sebab dia manusia biasa. Jadi adakalanya dia pun akan berdosa dan tugas orang tua adalah menyikapinya dengan tepat dan jangan sampai waktu anak menunjukkan ketidak sempurnaannya sebagai anak Tuhan, kemudian kita marah, kita tuntut dia dan kita berusaha mengingatkan dia sebagai anak-anak Tuhan. Meskipun maksud kita baik tapi saya kira perkataan-perkataan itu makin membuat si anak terpuruk dan terhimpit, "Sekarang saya menjadi anak yang rohani, saya harus menjadi seolah-olah seperti malaikat." Tidak heran akhirnya di antara mereka berhenti menjadi anak-anak yang rohani, melepaskan semuanya, "Saya tidak mau lagi menjadi anak-anak yang rohani, karena menjadi anak-anak yang rohani dengan membaca Firman, menaati Tuhan, rajin ke gereja, beribadah kepada Tuhan akhirnya saya dituntut menjadi orang-orang kudus yang sama sekali tidak boleh berbuat dosa," justru karena hal itu akhirnya dia tidak tahan. Konsekuensinya sangatlah buruk di luar pengharapan orang tuanya.

GS : Tuntutan ini menjadi semakin berat di kalangan anak-anak dari mereka yang berjabatan gerejawi atau bahkan menjadi pendeta atau penginjil, atau semacam itu. Jadi dianggapnya agar anak-anaknya harus menjadi seperti orang tuanya dan masyarakat melihat seperti itu, jadi tidak boleh salah sedikit pun, begitu, Pak Paul?

PG : Betul. Maka ada sebagian dari mereka yang tidak tahan lagi dan benar-benar melakukan yang kebalikannya, sehingga orang tua menjadi kecewa, orang tua kecewa dan semua kecewa, tapi dia merasa bahwa dirinya itu bebas dan tidak lagi hidup di dalam tuntutan yang begitu tinggi. Jadi justru sebagai orang tua, tugas kita adalah menuntun anak untuk bisa menghadapi kegagalan melakukan sesuatu seturut kehendak Tuhan. Kita jangan memarahinya dan membangkitkannya tentang dia adalah anak Tuhan, harus seperti ini dan dan seperti itu, kita harus memahaminya bahwa dia adalah manusia jadi bisa melakukan kesalahan dan sama seperti kita juga yang pernah salah dan akan salah. Jadi kita mesti menuntunnya agar dapat menghadapi kegagalannya hidup seturut dengan kehendak Tuhan. Misalnya dengan mengajar anak untuk meminta pengampunan dari Tuhan dan yang juga penting adalah untuk bisa memberi pengampunan kepada dirinya sendiri, sebab kalau tidak hati-hati ada anak yang rohani dan dituntut sedemikian tinggi, akhirnya sulit mengampuni dirinya sendiri, dia tidak bisa menerima bahwa dirinya gagal, dia tidak seperti yang diharapkannya. Jadi jangan sampai orang tua itu justru memperalat kerohanian anak untuk kepentingan orang tua.

GS : Kalau orang tua itu memunyai beberapa anak, apakah hal itu terjadi hanya pada sebagian anak atau kepada semua anak, dituntut seperti itu?

PG : Memang yang biasanya dituntut adalah anak yang sudah menunjukkan minat rohani. Justru anak-anak yang tidak menunjukkan minat rohani tidak terlalu dituntut tapi yang menunjukkan minat rohani itulah yang nantinya dituntut kamu harus hidup seperti ini. Jadi kadangkala orang tua setelah anak-anak itu mulai dewasa kadang-kadang memanfaatkan hal ini untuk kepentingan mereka. Misalkan ada orang tua yang melarang anaknya untuk studi ke kota lain kemudian memperalat mereka dengan perkataan, "Karena kamu adalah anak yang berbakti kepada Tuhan, harus berbakti kepada keluarga, kamu harus sayang dengan orang tua, jadi jangan tinggalkan kami." Jadi sebenarnya anak itu bisa pergi mengembangkan dirinya dan sebenarnya orang tuanya juga tidak mempermasalahkannya, tapi anak ini tidak bisa pergi karena perasaannya atau rasa bersalahnya dimainkan oleh orang tuanya sehingga tetap tinggal di rumah dan mengorbankan hidupnya.

GS : Hal itu juga sering dialami oleh anak bungsu dimana kakak-kakaknya itu memunyai kesempatan studi di luar kota dan yang bungsu ini seolah-olah ditahan oleh orang tua, "Kamu jangan tinggalkan kami, di sini hanya tinggal kamu masakan kamu juga akan meninggalkan kami." Itu juga menghambat masa depan anak, Pak Paul?

PG : Betul sekali, anak bungsu ini cukup kasihan dan dia yang benar-benar harus berkorban. Semua bisa mencicipi pendidikan yang lebih baik tapi dia tidak bisa. Jadi sebagai orang tua kita mesti berhati-hati. Khusus tentang anak yang rohani ini, kita mesti berhati-hati sebab jangan sampai kita ini merancukan pengertian anak akan sesuatu yang rohani sebab kalau tidak hati-hati, maka kerohanian itu akhirnya ditukar dengan keinginan dan selera orang tua. Selama kita melakukan keinginan dan selera yang sesuai dengan orang tua berarti rohani, padahalnya belum tentu. Jadi jangan sampai anak-anak itu cepat sekali menimbun rasa bersalah dan berdosa padahalnya dia tidak berdosa, sesungguhnya dia tidak melakukan apa yang diharapkan oleh orang tuanya saja dan itu belum tentu dosa. Tapi orang tua yang mencampur adukkan keduanya, akhirnya membuat anak jauh lebih cepat merasa berdosa.

GS : Apalagi kalau nasihat-nasihat itu dikatakan dengan mengutip ayat-ayat Kitab Suci yang sesuai dengan selera orang tuanya Pak Paul, hal itu kadang membuat anak menjadi muak dan tidak lagi mau untuk membaca Kitab Suci.

PG : Betul, kalau tidak hati-hati maka itu yang akan menjadi reaksi anak, bukan malah mendekat namun menjadi menjauh dari Tuhan.

GS : Kalau Pak Paul sudah menguraikan sebegitu banyak tentang tuntutan-tuntutan yang bisa menghimpit anak, dampak secara keseluruhan itu apa, Pak Paul?

PG : Sekurang-kurangnya ada empat yang bisa saya paparkan, Pak Gunawan. Yang pertama adalah kaku. Ada sebagian anak yang bertumbuh dengan kepribadian yang kaku, ia sukar melihat interaksi, dia hanya bisa melihat aksi reaksi, dia cepat marah, dia tidak suka dengan ketidak konsistenan, tidak mudah mengerti kenapa orang berbeda dari dirinya. Dia menjadi anak yang kaku karena tuntutan cenderung membuat kepribadian menjadi kaku. Jadi tuntutan itu harus fleksibel, tuntutan yang kaku juga akan menciptakan kepribadian anak yang kaku. Yang kedua yang sering kita lihat adalah perfeksionis artinya dia menuntut kesempurnaan di atas segalanya, dia tidak menoleransi kegagalan baik pada dirinya atau orang lain. Standart hidup dan karyanya sukar diturunkan karena ia tidak mudah berkompromi sebab adanya tuntutan yang berlebihan sehingga akhirnya dia sangat meninggikan bahwa segala sesuatu harus sempurna, harus sebaik-baiknya, harus berprestasi sehingga tidak menoleransi kegagalan atau ketidak sempurnaan dalam dirinya atau diri orang lain. Dampak yang ketiga yang bisa kita lihat pada anak-anak yang dituntut berlebihan ialah menjadi sering menyalahkan, mudah sekali menyalahkan karena dia besar oleh tanggung-jawab jadi jika ada kesalahan, orang tua kerap untuk menyalahkannya. Untuk menghindar dari disalahkan, ia pun menghindar sebisa mungkin untuk bertanggung-jawab sebaik-baiknya. Masalahnya adalah makin bertanggung-jawab, maka makin sering dan makin mudah ia menyalahkan orang yang dianggapnya tidak bertanggung-jawab sebagaimana dirinya. Inilah proses yang melestarikan pola menyalahkan, maka dia akan mudah sekali menyalahkan dan menyalahkan orang lain kalau tidak bisa memenuhi tanggung-jawab yang diharapkannya. Dan dampak yang terakhir adalah anak-anak ini mudah cemas, pada umumnya mudah tegang sebab hidup tidaklah bebas karena dari kecil sering dituntut dan akhirnya tidak memiliki kebebasan dan seringkali tegang. Baginya hidup adalah bekerja sepenuhnya dan tidak ada ruang untuk beristirahat dan santai, semua mata memandangnya sehingga dia harus selalu memperlihatkan perilaku dan diri yang terbaik. Jika ada kekurangan dan kesalahan dia cepat menyalahkan diri, merasa takut dihukum, pada masa remaja dan dewasa hukuman terberat baginya adalah penolakan, dia takut ditolak kalau dia tidak bisa menyenangkan orang, membuat orang terkesan dengan dia. Itu sebabnya dia didesak oleh dirinya sendiri untuk selalu berprestasi.

GS : Intinya, hal ini akan menjadikan dia sangat egois, Pak Paul, menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian dari semua orang, dia menuntut agar orang mengerti dia tapi dia tidak mau mengerti orang lain.

PG : Betul. Jadi banyak sekali kontradiksinya. Jadi di satu pihak dia egois, hidup itu berpusat pada dirinya sendiri tapi di pihak lain sebenarnya dia juga kehilangan hidup. Itu yang menjadi ironinya, dia benar-benar tidak pernah mencicipi apa arti hidup ini, susah untuk hidup senang, jarang ada moment-moment seperti itu.

GS : Karena tujuan mula-mula dari orang tua itu adalah tujuan yang positif, bagaimana orang tua memantau dan segera sadar kalau dia sudah terlalu melampaui batas dan memberikan himpitan pada anak?

PG : Biasanya kita melihat reaksi anak, kalau anak mulai bereaksi tertekan, menangis, sering cemas, takut, mudah marah, meledak. Jadi ada sesuatu bahwa kita ini terlalu banyak menuntutnya dan mungkin kita harus mundur kalau anak mulai frustrasi bicara dengan kita, merasa kalau kita tidak mendengarkan mereka maka kita juga harus mulai mengubah standart kita atau tuntutan kita.

GS : Kesimpulan dari semuanya ini apa, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan Firman Tuhan, waktu Tuhan berkunjung ke Yerusalem di usia 12 tahun, dia pergi meninggalkan orang tuanya masuk ke bait Allah, mendengarkan dan berdialog dengan kaum alim ulama. Waktu Yusuf dan Maria menegurnya, maka Tuhan menjawab, "Mengapakah kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" di Lukas 2:49. Kendati ayat ini membicarakan bahwa Yesus adalah Tuhan dan bukan sebagai anak manusia biasa tapi pelajaran Firman Tuhan juga bisa ditarik secara relevan untuk pembahasan kita. Kendati anak adalah keturunan kita, misi utamanya adalah dia bertumbuh sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama seorang anak adalah menjadi seperti yang dikehendaki Tuhan dan bukan kita, jadi besarkanlah anak untuk bertumbuh berdasarkan arah yang ditetapkan Tuhan.

GS : Ini menjadi tanggung-jawab dan kewajiban orang tua untuk mengarahkan anak sesuai dengan kehendak Tuhan, Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Jadi apa yang diberikan atau karuniakan kepada kita memang harus dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan karena saya yakin Tuhan pun juga meminta pertanggung-jawaban kita sebagai orang tua. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuntutan Yang Menghimpit Anak" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



96. Konflik Orang Tua dan Pemberontakan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T295A (File MP3 T295A)


Abstrak:

Kebutuhan mendasar anak dalam masa pertumbuhannya adalah ketenteraman. Hilangnya ketenteraman niscaya menciptakan gangguan pada pertumbuhan anak. Namun selain dari gangguan, anak pun lebih rentan untuk memberontak terhadap otoritas orang tua bila harus hidup tanpa ketenteraman. Pertanyaannya adalah mengapa anak menjadi lebih mudah jatuh dalam perilaku memberontak dalam situasi seperti ini? Bagaimana menanganinya?


Ringkasan:

Kebutuhan mendasar anak dalam masa pertumbuhannya adalah ketenteraman. Hilangnya ketenteraman niscaya menciptakan gangguan pada pertumbuhan anak. Namun selain dari gangguan, anak pun lebih rentan untuk memberontak terhadap otoritas orang tua bila harus hidup tanpa ketenteraman. Pertanyaannya adalah mengapakah anak menjadi lebih mudah jatuh dalam perilaku memberontak dalam situasi seperti ini? Anak menjadi jauh lebih rentan memberontak sebab pada dasarnya relasi orang tua yang bermasalah membuatnya labil.

Pada umumnya relasi orang tua yang bermasalah menciptakan konflik. Tidak bisa tidak, relasi orang tua yang sarat konflik akan menciptakan suasana rumah yang tidak nyaman. Alhasil anak harus hidup dalam ketegangan secara terus menerus. Setidaknya ada dua dampak langsung dari ketegangan pada pertumbuhan anak.

Nah, akibat langsung dari tidak utuhnya atau tidak berimbangnya respons kita terhadap apa yang terjadi dalam hidup membuat kita mudah mengambil keputusan yang tidak bijak atau melakukan perbuatan yang salah. Pada umumnya respons orang tua terhadap anak yang kerap melakukan kesalahan adalah memarahinya. Di mata orang tua kemarahan seperti ini memang beralasan sebab bukankah memang anak melakukan kesalahan. Masalahnya adalah, sesungguhnya penyebab awal semua ini berpulang pada relasi orang tua sendiri.

Makin sering dimarahi makin banyak kemarahan tersimpan di dalam diri anak. Ditambah dengan kemarahan terhadap orang tua yang sering konflik, pada akhirnya anak bertumbuh besar membawa bobot kemarahan yang tinggi.

Cara Penanganan

Transkrip:

"Konflik Orang Tua dan Pemberontakan Anak"

Lengkap

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Konflik Orang Tua dan Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kalau kita berbicara mengenai pemberontakan, biasanya pemberontakan itu terjadi di dalam suatu negara yakni ada pergolakan. Tapi kalau hubungan antara anak dan orang tua, kenapa dipakai istilah pemberontakan, Pak Paul?

PG : Sebab ada waktu-waktu kita melihat anak-anak itu dengan sengaja memberontak terhadap otoritas orang tua pada dirinya. Jadi apa yang diminta akan dilawan, apa yang diharapkan justru malah tdak dilakukan dan kebalikannyalah yang justru dilakukan oleh anak-anak, itu untuk menunjukkan bahwa mereka tidak bersedia tunduk kepada otoritas orang tua.

GS : Apakah hal itu terjadinya semasa anak masih di bawah penguasaan orang tua, Pak Paul?

PG : Betul. Itu biasanya terjadi pada saat anak masih dalam usia remaja. Namun nanti kita akan melihat seringkali benih-benih itu sudah tampak pada masa anak-anak kecil.

GS : Seperti di Alkitab kita baca mengenai Absalom memberontak terhadap Daud, yang mestinya juga mulai kecil sudah terjadi.

PG : Besar kemungkinan ya, jadi ada yang menjadi ganjalan dalam hati si anak namun karena dia masih kecil, dia masih belum bisa mengungkapkan atau mengekspresikannya. Jadi biasanya keluar pada asa anak-anak itu remaja.

GS : Itu terjadinya karena konflik yang tidak terselesaikan atau konflik yang berkepanjangan atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi biasanya anak-anak itu memberontak sebagai akibat dari relasi orang tua yang bermasalah. Ada hubungan yang erat antara perkembangan jiwa dan perilaku anak dan relasi orang tua. Pertanaannya adalah, kenapa anak itu memberontak sewaktu harus hidup dalam relasi orang tua yang bermasalah, sebab kebutuhan mendasar anak dalam masa pertumbuhannya adalah ketentraman.

Karena orang tua tidak bisa hidup harmonis, rukun dan karena sering konflik sehingga akhirnya ketentraman di dalam rumah tangga itu hilang. Begitu ketentraman terhilang dalam keluarga, itu akan menimbulkan gangguan pada anak. Sebab anak-anak yang tidak ada ketentraman dalam keluarganya menjadi mudah jatuh dalam perilaku memberontak, sebab pada dasarnya relasi orang tua yang bermasalah membuatnya labil. Jadi ibarat air yang bergolak akibat tiupan angin, demikianlah dengan jiwa yang harus menghadapi ketegangan di antara orang tuanya. Jadi benar-benar anak-anak itu menjadi anak-anak yang labil, tidak bisa lagi mengendalikan diri atau keinginannya atau perasaannya.
GS : Jadi konflik itu tidak harus langsung antara orang tua kepada anaknya atau antara orang tua dengan saudaranya, yang penting adalah menimbulkan ketegangan itu tadi, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi tidak harus anak-anak ini menjadi korban kemarahan orang tuanya tapi ini adalah kasus dimana si anak ini melihat dan mengalami pertengkaran antara orang tuaya.

GS : Memang sulit menyembunyikan pertengkaran orang tua di hadapan anak, tapi apa yang didengar dan dilihat oleh anak itu membuat mereka semacam trauma atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Benar, Pak Gunawan. Jadi waktu anak-anak itu harus mendengarkan orang tuanya berkelahi, saling caci-mencaci akhirnya menimbulkan keresahan dalam dirinya. Karena apa? Maka kita akan meliha beberapa urutannya agar kita bisa mengerti.

Konflik yang berkelanjutan dalam keluarga memang merupakan pertanda bahwa pernikahan itu bermasalah. Sudah tentu kita tahu bahwa konflik itu sendiri merupakan luapan emosi kesal dan frustrasi bahwa orang tua itu kesal terhadap satu sama lain sehingga akhirnya saling menegur dan marah. Tidak bisa tidak akhirnya relasi orang tua yang sarat konflik akan menciptakan suasana rumah yang tidak nyaman. Ketegangan menjadi sangat terasa ketika kedua belah pihak berada dalam rumah sebab sewaktu-waktu pertengkaran dapat meledak, sebagai akibatnya anak-anak akan hidup dalam ketegangan secara terus-menerus sebab anak-anak ini tidak tahu kapan orang tua ini nanti akan berkelahi. Jadi karena tidak tahu maka anak-anak harus mengantisipasi. Masalahnya, ini tidak hanya terjadi sekali seminggu, ini terjadi untuk waktu yang berkepanjangan dan cukup sering. Jadi misalkan orang tua konflik tiga kali atau dua kali seminggu dan meledaknya itu kapan saja. Tapi kalau seminggu terjadi dua atau tiga kali konflik maka si anak itu tidak bisa tidak akan mengantisipasi bahwa kalau tidak pagi hari ini maka akan terjadi besok, kalau tidak terjadi besok maka hari ini. Jadi setiap hari dia akan terus berjaga-jaga. Berarti si anak harus hidup dengan ketegangan 24 jam. Dan ini suatu kondisi yang tidak baik buat pertumbuhan jiwa si anak yang nantinya membuat jiwanya labil.
GS : Yang dikuatirkan anak ini, suara keras dari pertengkaran itu atau kekuatiran bahwa mereka itu akan berpisah, Pak Paul?

PG : Biasanya dua-duanya. Jadi anak-anak apalagi kalau sudah mulai besar, mereka itu sudah mulai mengerti bahwa konflik yang berkelanjutan biasanya berakhir dengan perceraian dan itu adalah sesatu yang tidak diinginkan oleh si anak.

Jadi itu sendiri menimbulkan kecemasan. Waktu orang tua sedang berkelahi sudah tentu suara keras atau apalagi bila ada tindakan-tindakan yang menggunakan kekerasan memukul barang dan sebagainya, itu lebih memberikan perasaan-perasaan yang melumpuhkan. Maka ada sebagian anak yang hidup dalam keluarga seperti ini maka akan bertumbuh menjadi anak-anak yang pasif, takut, tegang, tidak bisa berinisiatif karena hidup dalam ketegangan dan akhirnya melumpuhkan dia. Dalam ketegangan akhirnya ada anak-anak yang tidak bisa lagi berfungsi optimal karena harus berjaga-jaga jangan sampai ada lagi masalah. Sebagai akibatnya ketegangan membuat anak-anak ini menyikapi hidup dengan tegang, sehingga sesuatu yang relatif kecil menjadi besar, sesuatu yang sederhana menjadi rumit tatkala dia dalam kondisi tegang. Jadi anak-anak ini karena hidup dalam ketegangan, ketegangan berpotensi menciptakan sebuah sikap atau cara yang tidak utuh dan berimbang dalam menghadapi persoalan hidup. Bagaimana kita bisa menyikapi hidup dengan tenang, jernih, bersikap dengan tepat? Tidak bisa karena hidup kita itu sudah dikuasai oleh ketegangan. Waktu kita tidak bisa lagi menyikapi hidup dengan tepat dan dengan jernih, maka akibatnya adalah kita mudah mengambil keputusan yang tidak bijak, melakukan kesalahan-kesalahan. Itu sebabnya sebagian anak-anak yang hidup dalam ketegangan akibat konflik yang melanda orang tua, rentan melakukan kesalahan dan mengambil keputusan yang keliru. Jadi efeknya itu seperti domino yaitu berguguran satu demi satu. Jadi ujung-ujungnya karena anak-anak ini hidup dalam ketegangan maka sering mereka membuat kesalahan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak tepat yang menimbulkan kekacauan.
GS : Kalau dia anak tunggal, saya rasa dampaknya lebih berat dibanding kalau ada anak-anak yang merupakan suatu kelompok tersendiri. Jadi misalkan saudara yang beda usianya tidak terlalu jauh maka mereka bisa merasakan semua ini bersama-sama dari pada kalau dia sebagai anak tunggal.

PG : Sudah tentu kalau ada anak-anak lain dalam keluarga sudah tentu akan memberikan kekuatan karena si anak tidak sendirian. Tapi kalau dia memang sendirian, maka efeknya itu sangat berat karea dia tidak memiliki siapa-siapa yang bisa diajaknya untuk berbicara atau menuangkan ketakutannya.

GS : Tapi dampaknya kepada anak-anak tidak sama, ada anak-anak yang kuat menghadapi hal itu, ada anak lain yang lebih rentan menghadapi hal seperti itu.

PG : Betul, karena kita lahir tidak memunyai peralatan atau ketahanan yang sama dalam menghadapi stres, itu sebabnya ada anak-anak yang bahkan menjadi lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa, pasif, iam, takut tapi ada anak-anak yang justru malah banyak berbuat, banyak melakukan hal-hal yang bermasalah yang cenderung melakukan tindakan-tindakan yang tidak tepat dan akhirnya apa yang terjadi kalau anak-anak ini terus melakukan tindakan-tindakan yang tidak tepat baik di sekolah maupun di rumah, akhirnya anak-anak ini menjadi anak-anak yang sering dimarahi, dijadikan objek hukuman, di sekolah dihukum, di rumah dihukum, di rumah dimarahi, di sekolah dimarahi.

Susahnya orang tua atau sekolah akan berkata, "Kami memiliki alasannya untuk memarahi dia sebab anak ini berbuat seperti ini dan seperti itu." Memang betul ada alasannya anak-anak ini berbuat seperti itu, melakukan hal-hal yang tidak tepat, penilaiannya memang keliru. Tapi masalahnya adalah sesungguhnya penyebab awal semua ini berpulang pada relasi orang tua sendiri. Kenapa dia menjadi anak yang tidak bisa bersikap tepat, bertindak baik dan tepat? Karena pertimbangan-pertimbangannya itu sudah mulai "error", sudah mulai tidak tepat. Kenapa tidak tepat? Karena terlalu banyak ketegangan dalam dirinya. Jadi orang hanya melihat ujungnya, kenapa anak ini begini, dimarahi dan dimarahi. Ini nanti yang akan kita lihat yang menjadi benih-benih pemberontakan sebab dia selalu menerima kemarahan-kemarahan. Padahal awalnya dia menjadi begitu karena kemarahan yang harus diserapnya dari dalam keluarga sendiri.
GS : Tapi kalau dia menjadi takut dan menjadi kurang percaya diri, sebenarnya itu dikarenakan dia kesulitan untuk berani berontak karena dia sendiri takut dan dia tidak yakin dengan dirinya sendiri. Bagaimana dia mau melakukan pemberontakan, Pak Paul?

PG : Makanya seringkali kita melihat, pemberontakan anak-anak ini memang bukan pemberontakan yang terarah. Jadi benar-benar suatu luapan emosi, ini yang seringkali membuat sekolah tambah geregean karena anak-anak ini akan melawan dan membantah kita atau otoritas kita tapi bantahannya sebetulnya tidak tepat dan tidak ada alurnya.

Memang betul bahwa mereka sendiri sebetulnya tidak memunyai arah, tidak memunyai kejelasan harus bagaimana, kepercayaan dirinya juga rapuh tapi luapan emosinya tinggi, sebab dia sendiri harus menyimpan banyak ketegangan. Akhirnya ketegangan-ketegangan dalam hidup dia membuat dia tidak bijaksana dalam bersikap sehingga menerima banyak cercaan hukuman kemarahan-kemarahan, itu yang membuat dia meledak, lepas kendali. Memang ini biasanya terjadi di usia-usia remaja, setelah bahan-bahan kemarahan dan ketegangan itu berkumpul dalam dirinya dalam jumlah atau tenaga yang besar.
GS : Jadi sebenarnya pemberontakan itu bukan berawal ketika remaja tapi ketika masa kecil pun sebetulnya ada pemberontakan, tapi dia tidak memunyai kekuatan atau kemampuan untuk itu.

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi memang masalah ini sebetulnya diawali pada masa anak-anak itu kecil. Sebab kalau kita perhatikan, waktu anak-anak ini kecil, dia akan berusaha menggunakan setiap ksempatan untuk berontak sebetulnya, namun karena masih kecil jadi kita masih bisa mengatasi tingkah lakunya.

Dan waktu dia berusia remaja, pemberontakan menjadi nyata oleh karena kita juga sudah sulit untuk mengatasinya.
GS : Tapi kalau kita melihat di sini, ada dua macam pemberontakan yang karena alasan-alasan yang tadi kita bicarakan, tapi ada juga anak yang memang pada dasarnya suka memberontak. Dan membedakannya ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Tetap nanti kita akan perhatikan karena nanti kita akan menjadikan ini sebuah seri, ternyata pemberontakan itu punya alasannya. Jadi hampir tidak ada pemberontakan yang berlangsung tanpa aasan dan saya harus hati-hati mengatakan ini karena saya tidak mau menyalahkan orang tua.

Karena adakalanya kita tidak sengaja, sungguh-sungguh kita tidak tahu kalau nanti akan berakibat seperti ini, tapi sekali lagi di mata anak inilah alasannya. Jadi memang ini yang nanti harus kita bahas.
GS : Namun sebelum itu bagaimana cara penanganan anak yang berontak akibat orang tua yang sering bertengkar seperti ini?

PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Yang pertama adalah untuk mencegah pemberontakan akibat konflik, sudah tentu relasi yang bermasalah mesti dibereskan terlebih dahulu, masalah yang telah menahun enandakan ketidak mampuan kita untuk mengatasinya, itu berarti kita perlu meminta bantuan pihak ketiga yakni konselor keluarga atau hamba Tuhan, jangan ragu dan jangan sungkan untuk meminta pertolongan.

Kesediaan kita meminta pertolongan, berdampak positif kepada anak karena hal itu menunjukkan kesediaan kita berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah, sedikit banyak tindakan ini akan menumbuhkan rasa hormat anak kepada orang tua, mungkin dia sendiri tidak mau datang tapi meskipun dia berkata, "Papa dan Mama saja yang pergi karena saya tidak ada masalah". Tapi setidak-tidaknya dia melihat orang tua berusaha untuk memerbaiki situasi ini, sedikit banyak itu akan menanamkan rasa hormat kepada orang tuanya kembali.
GS : Pertengkaran ini atau konflik di antara orang tua yang dilihat anak ini memang kadang-kadang membuat anak merasa bahwa dia tidak terlibat, seperti yang Pak Paul katakan, tapi masalahnya adalah orang tua yang memiliki konflik ini justru biasanya memiliki banyak anaknya sehingga lebih menimbulkan problem baru lagi, dan anak pun menjadi heran, "Orang tua sering konflik tapi terus memunyai anak". Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang itu seringkali menjadi beban kemarahan tambahan bagi si anak. "Sering ribut tapi kenapa terus memunyai anak dan anak," memang tidak bisa tidak kita bisa simpulkan bahwa kadang-kadan kita ini sebagai manusia tidak selalu bijaksana, seharusnya mengerti kalau rumah tangga kita seperti ini seharusnya dibatasi dan jangan sampai anak terus lahir sebab bukankah makin banyak anak, maka makin banyak yang menjadi korban dan dirugikan karena masalah kita dengan pasangan.

GS : Jadi sebaiknya apakah anak diikut sertakan dalam konseling tadi, Pak Paul?

PG : Ya, jadi dalam konseling itu dia bisa mencetuskan perasaan-perasaannya. Seringkali dalam konseling seperti itu anak-anak akan mencetuskan hal-hal yang orang tua tidak tahu, dia akan merasalebih aman karena ada konselor yang nanti juga bisa menolongnya, maka dia akan lebih terbuka.

Ini menjadi saat yang berharga bagi orang tua, belajar mengerti bahwa apa yang anak katakan, ini ternyata yang terkandung di dalam hatinya. Hal-hal seperti ini akan dapat menolong mereka untuk kembali rujuk.
GS : Biasanya anak akan dibina tersendiri atau bersama-sama dengan orang tuanya, Pak Paul?

PG : Biasanya dalam satu pertemuan dan tidak dipisah-pisahkan, sudah tentu sewaktu-waktu kalau konselor ingin bicara pribadi dengan si anak maka dia bisa melakukannya. Tapi kebanyakan mereka diumpulkan dalam satu ruang dan diajak untuk berbicara sama-sama.

GS : Cara pencegahan yang lain apa, Pak Paul?

PG : Jangan ragu untuk meminta maaf kepada anak atas permasalahan yang terjadi di antara kita suami istri, akuilah di hadapan anak bahwa konflik di antara kita telah memberikan sumbangsih negatf terhadap perkembangannya, akui pula bahwa pemberontakannya sedikit banyak merupakan dampak dari konflik yang selama ini di antara kita.

Dengan kita mengakui pemberontakannya itu sedikit banyak bersumber dari masalah kita. Si anak akan merasa lega dan senang sebab dia memang butuh orang tua yang mengakui bahwa ini semua terkait dengan relasi orang tua yang bermasalah, kenapa dia menjadi begitu bermasalah? Karena ada sumber-sumbernya dan sumbernya memang berawal dari relasi orang tua yang bermasalah. Kenapa dia mau mendengar itu sebab sekali lagi seumur-umur dia selalu menjadi objek yang disalahkan, dihukum dan selalu menjadi kambing hitamnya. Dan waktu orang tua berkata, "Kamu sebetulnya bukan penyebab tapi kami penyebab, tapi kamu yang disalahkan, jadi kami minta maaf." Dengan permintaan maaf itu anak akhirnya merasa "Baiklah, untuk pertama kalinya orang bisa mengerti saya, untuk pertama kali saya itu dibela dan dibenarkan." Itu menjadi hal positif yang berguna bagi dia.
GS : Tapi meminta maaf yang dilakukan orang tua kepada anak itu adalah sesuatu yang sulit dan jarang ada orang tua yang mau terbuka seperti itu. Katakan ibunya yang meminta maaf, maka anak ini makin dekat dengan ibunya dan makin jauh dengan ayahnya. Ini menjadi sumber konflik yang baru lagi?

PG : Bisa, jadi kalau ada satu pihak yang menolak untuk rujuk, masih memertahankan kekerasan hati dan sebagainya, tidak bisa tidak orang tua tersebut akan terisolasi, dan dia akan keluar dari knteks keluarganya.

Dia tidak lagi terlibat ambil bagian dari keluarganya. Tapi itu pilihan dia dan sudah tentu konselor keluarga yang akan menarik kembali orang tua itu supaya dia juga bersedia merendahkan hati, merendahkan dirinya untuk meminta maaf juga.
GS : Penanggulangan yang lain mungkin masih ada, Pak Paul?

PG : Ada, Pak Gunawan. Yang terakhir adalah bicarakanlah tuntutan dan harapan masing-masing yakni apa yang menjadi harapan kita. Dan apa yang menjadi harapan kita terhadapnya. Jadi apa yang diaharapkan kepada kita, dan apa yang kita harapkan kepada dia dan coba masing-masing kita mengemukakannya.

Dan yang penting, coba dengarkan alasan di belakang permintaannya dan jangan cepat bereaksi terhadap tuntutannya dan yang ingin saya garis bawahi sebab adakalanya kita sebagai orang tua terlalu cepat bereaksi ketika anak meminta sesuatu dari kita. Misalnya, dia itu meminta agar dia diberikan kebebasan, kita bertanya, "Maksud kamu apa?" Misalnya dia menjawab, "Kalau saya pulang malam, tolong saya jangan ditelepon-telepon." Sebelum kita bereaksi dengan marah misalkan, "Kamu ini anak yang tidak bisa diatur, kamu ingin bebas apakah kamu yang punya rumah?" jangan kita seperti itu. Lebih baik kita tanya dulu, "Kenapa kamu merasa lebih baik seperti itu, kenapa kamu keberatan kalau saya telepon." Misalkan si anak berkata, "Saya malu dengan teman-teman sebab belum apa-apa telepon sudah berbunyi, menanyakan saya di mana dan pulang jam berapa, tentu saya malu sebab teman-teman semua mengejek saya kalau saya ini seperti anak kecil dan sebagainya." Kita jawab, "Jadi yang menjadi masalah terbesar adalah kamu merasa dipermalukan oleh kami waktu menelepon kamu." Dia jawab, "Ya". Kita katakan lagi, "Tapi kami juga kuatir kepada kamu, kamu pulang jam berapa dan di mana. Kalau begitu coba kita cari jalan keluarnya." Dengan kita mengungkapkan masalah seperti itu, maka anak akan berpikir, "Baiklah, orang tua mau mencari solusi," dan kita pun dapat mengambil sikap dengan lebih tepat terhadap masalah yang sesungguhnya, sebab ternyata masalah sesungguhnya bukan soal waktu tapi pada soal dia merasa dipermalukan. Jadi kita bisa berkata, "Baik kalau begitu kita buat kesepakatan, supaya kami tidak perlu sering menelepon, bagaimana kalau kamu yang menelepon kami. Sekali saja kamu memberitahu kami kalau kamu di mana dan beritahu kami kamu pulang jam berapa. Dan mohon setelah kamu memberitahu kami jam berapa kamu pulang, maka tolong kamu tepat waktu supaya kami tidak perlu kuatir lagi." Dengan cara itu yakni kesediaan orang tua mendengarkan, bukankah nanti pengharapan atau permintaan masing-masing dapat dikomunikasikan dan diterima dengan lebih baik.
GS : Tapi masalah sebenarnya adalah anak itu tidak mau ditelepon atau ingin pulang malam, itu karena dia berontak terhadap orang tua, jadi itu akar masalah sebenarnya.

PG : Betul. Jadi dalam pertemuan keluarga seperti itu dan anak melihat kalau orang tua juga berusaha untuk rujuk, untuk mengerti dia. Biasanya derajat atau intensitas pemberontakan mulai meredasehingga nanti keinginan dia untuk menunjukkan dirinya atau sikapnya yang marah itu juga mulai menurun.

Makanya penting waktu kita berdialog, kita meminta masing-masing pihak untuk mengutarakan apa yang diharapkan dan sekali lagi saya ingatkan jangan terburu-buru bereaksi dengan kemarahan, cobalah dengarkan dulu apa yang sebetulnya dia harapkan dari kita.
GS : Kesulitan orang tua pertama adalah memberikan waktu, mendengarkan anak menceritakan kesulitannya atau alasannya, itu yang sulit bagi orang tua.

PG : Kita sebagai orang tua, memang tidak bisa disangkal, kita ini lebih tahu banyak dari anak-anak kita, kita lebih bisa melihat ke depan dan sebagainya. Jadi seringkali kita merasa kalau kitasudah tahu langkah-langkah ke depannya dia akan bicara apa dan akan meminta apa seringkali kita sudah tahu dan akhirnya kita merasa tidak perlu lagi mendengarkan awal-awalnya itu, namun itulah yang memutuskan komunikasi.

Jadi anak itu perlu melihat dengan nyata bahwa orang tua itu bersedia mendengarkan dan untuk mencari jalan tengah sebab yang membuat anak-anak akhirnya tidak mau lagi untuk bicara dengan kita adalah dia merasa percuma sebab kita sudah tidak mau mendengarkan dan tidak mau lagi mengubah posisi kita.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan hal ini?

PG : Ada, Pak Gunawan di Amsal 18:19, Firman Tuhan berkata, "Saudara yang dikhianati lebih sulit dihampiri dari pada kota yang kuat, dan pertengkaran adalah seperti palang gapura sebuah puri." ak Gunawan, konflik orang tua yang berlarut, dapat diibaratkan seperti pengkhianatan kepada anak.

Kenapa saya katakan seperti itu? Karena anak lahir ke dalam dunia menantikan keluarga yang tenteram dan hangat kasih, jika kenyataannya bukanlah demikian, apalagi bila terjadi tindakan-tindakan yang menyakiti hati anak maka anak akan merasa dikhianati oleh orang tua. Firman Tuhan juga berkata, "Pertengkaran seperti palang gapura," ini benar karena pertengkaran memisahkan kita dan membuat kita enggan berdekatan kembali, benar-benar mirip seperti palang gapura yang memang memisahkan kita. Tidak heran kalau relasi orang tua sarat pertengkaran, bukan saja antara orang tua akhirnya terpisah tapi anak pun cenderung memisahkan diri. Jadi meskipun orang tua tidak bertengkar dengan anak tapi pertengkaran akan seperti palang gapura, di antara suami istri ada palang dan di antara orang tua dan anak juga ada palang. Sebagai orang tua kita harus mengangkat palang itu, membuka kembali relasi dengan anak, akui bagian kita dan kesalahan kita dan ajak dia untuk memulai lagi dan mencari titik tengah sekarang untuk semuanya.
GS : Itu sebabnya di dalam pertengkaran biasanya orang berkata dengan suara keras dan menggunakan bahasa-bahasa yang keras, itu karena ada suatu palang atau penghalang yang tidak bisa menyambung antara suami dan istri, orang tua dan anak, seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul. Dan kalau ini sudah berlangsung cukup lama berarti dalam satu rumah terdapat banyak palang yang memisahkan antara anggota keluarga.

GS : Jadi terkotak-kotak di dalam suatu rumah tangga dan penyelesaiannya ialah membuka palang-palang tadi.

PG : Betul.

GS : Mungkin itu yang akan kita bahas pada kesempatan yang akan datang dan terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Konflik Orang Tua dan Pemberontakan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



97. Ketidakadilan dan Pemberontakan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T295B (File MP3 T295B)


Abstrak:

Orang tua adalah manusia dan sebagai manusia tidak selalu kita bersikap adil. Adakalanya kita memberi perhatian kepada yang satu dan tidak memerhatikan yang lainnya. Kendati kita tidak bermaksud memerlakukannya secara berbeda, ia telanjur sudah merasa demikian. Ia menganggap kita telah bersikap tidak adil. Dan, semua itu berpotensi menciptakan pemberontakan kelak. Bagaimana kita menangani masalah ini, sehingga kita bisa berlaku adil kepada semua anak kita?


Ringkasan:

Orang tua adalah manusia dan sebagai manusia tidak selalu kita bersikap adil. Adakalanya kita bersikap tidak adil secara sengaja kepada anak oleh karena preferensi kita terhadapnya. Misalnya anak memunyai kemampuan atau karakteristik tertentu yang kita dambakan sedangkan anak yang satunya tidak. Sebagai akibatnya kita pun memperlakukan anak secara berbeda, membuat yang satu merasa spesial namun membuat yang satunya merasa tak berharga.

Namun kadang kita bersikap tidak adil secara tidak disengaja. Saya kira ini lebih sering terjadi dibanding dengan yang sengaja. Kita mesti menyadari bahwa anak lahir ke dalam dunia membawa keunikannya masing-masing. Dengan kata lain, ada yang dimilikinya namun ada yang tidak dimilikinya. Sewaktu anak melihat bahwa apa yang tidak dimilikinya justru ada pada diri adiknya, ia mudah merasa bahwa hidup ini tidak adil.

Adakalanya kita memberi perhatian khusus pada sesuatu yang ada pada diri adiknya. Kendati kita tidak bermaksud memperlakukannya secara berbeda, ia telanjur sudah merasa demikian. Ia menganggap kita telah bersikap tidak adil. Dan, semua itu berpotensi menciptakan pemberontakan kelak.

Namun ada satu hal lagi yang berkaitan dengan ketidakadilan. Bilamana relasi kita sarat konflik, ada kecenderungan anak akan memihak pada ayah atau ibunya. Pada umumnya ia akan memihak kepada orang tua yang dianggapnya berada di pihak yang lemah dan diperlakukan tidak adil. Ini akan menambah kemarahan di hati dan suatu saat kelak, kemarahan ini akan meletup dalam bentuk pemberontakan.

Cara Penanganan

Transkrip:

"Ketidakadilan dan Pemberontakan Anak"

Lengkap

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ketidakadilan dan Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kalau beberapa waktu yang lalu kita berbicara tentang konflik orang tua yang menyebabkan pemberontakan anak. Rupanya sikap ketidakadilan dari orang tua, sekali pun mereka tidak berkonflik tapi kalau mereka bersikap tidak adil, itu bisa memicu pemberontakan pada anak. Itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan. Untuk sekadar menyegarkan ingatan kita mengenai pertemuan yang lampau, kita mulai membahas tentang apa yang menjadi penyebab-penyebabnya pemberontakan anak. Telah kita ahas seringkali anak-anak itu memberontak karena awalnya orang tua itu hidup dalam konflik dan akhirnya masalah dengan orang tua membuat anak-anak hidup dalam ketegangan dan cenderung mengambil keputusan yang keliru mengundang hukuman dan kemarahan.

Jadi anak-anak menjadi target hukuman dan kemarahan dari orang lain atau dari orang tuanya yang akhirnya meledak menjadi pemberontakan. Kali ini kita akan melihat ada lagi penyebab yang berikut yaitu memang adakalanya anak-anak itu memberontak karena dia harus menyaksikan dan mengalami ketidakadilan di dalam keluarganya. Kita harus mengakui bahwa kita adalah manusia dan sebagai manusia tidak selalu bisa bersikap adil. Adakalanya kita bersikap tidak adil secara sengaja kepada anak, misalnya oleh karena preferensi kita terhadapnya. Misalnya ada anak memunyai kemampuan atau karakteristik tertentu yang kita dambakan sedangkan yang satunya tidak, dan sebagai akibatnya kita pun memerlakukan anak yang satu berbeda dengan yang satunya, membuat yang satu merasa spesial namun membuat yang satunya merasa tidak berharga. Kepada anak yang favorit kita sering berkata, "Boleh," tapi kepada anak yang tidak favorit kita lebih sering berkata, "Tidak", kepada anak yang favorit kita sering memberi pujian, sedang kepada anak yang kurang favorit kita lebih sering memberinya kritikan. Akhirnya kesengajaan karena preferensi itu menanamkan kesan kepada anak bahwa kita sebagai orang tua tidak adil, hal ini nanti menjadi bahan yang meledak menjadi pemberontakan.
GS : Seperti konflik yang lalu telah kita bicarakan, kalau suami istri konflik maka anaknya merasa terancam dan bisa berontak. Mengenai ketidakadilan, Pak Paul, kalau anak melihat salah satu dari orang tua mereka misalkan ibunya berlaku tidak adil kepada ayahnya, misalkan ibunya mau pergi seenaknya saja pulang malam dan sebagainya tapi bila ayahnya yang mau pergi selalu dilarang. Apakah kalau anak melihat hal itu, dia akan merasa bahwa suatu saat dia juga akan diperlakukan tidak adil, Pak Paul?

PG : Bisa saja dia memiliki firasat, "Lain kali saya akan menjadi korban juga" kalau pun dia tidak berpikir seperti itu ketika melihat ketidakadilan sudah cukup membuatnya marah, karena reaksi anusiawi kita terhadap ketidakadilan adalah kemarahan.

Memang Tuhan telah melengkapi kita manusia dengan reaksi terhadap hal-hal yang tidak adil. Jadi jarang orang melihat ketidakadilan malah bersukacita. Biasanya tidak suka dan marah. Jadi anak-anak ini waktu melihat dirinya diperlakukan tidak adil, itu membuat dia marah. Melihat mama diperlakukan tidak adil oleh papa, dia marah. Melihat papa diperlakukan tidak adil oleh mama, dia pun marah. Belum lagi seperti yang Pak Gunawan katakan tadi, dia mungkin mulai berpikir, "Nanti saya juga akan menjadi korban ketidakadilan, sebab orang tua bertindak semaunya saja dan nanti saya akan menjadi korban berikutnya". Itu yang nantinya akan membuat dia marah.
GS : Kalau ketidakadilan seperti yang Pak Paul singgung dan berikan contoh. Kalau sekarang si anak yang diuntungkan. Apakah itu akan menimbulkan benih pemberontakan dalam diri anak?

PG : Tidak. Jadi kalau anak merasa orang tua begitu menyayangi dia memberikan ijin, bukannya melarang tapi memberikannya pujian dan bukan kritikan, cenderungnya dia akan merasa kalau ini bukan etidakadilan tapi dia merasa baik-baik saja.

Namun kalau agak keterlaluan, anak itu bisa jadi memiliki perasaan kasihan dengan adik-adiknya, "Kenapa adik tidak mendapatkan perlakuan yang seperti itu," namun dia sendiri sebagai anak yang menerima keuntungan dari orang tua, tidak akan memunyai kemarahan terhadap orang tua. Justru yang lebih sering terjadi dia akan menjadi seolah-olah pembela orang tuanya di hadapan si adik, "Kamu jangan marah kepada Papa dan Mama, Papa dan Mama sayang kepada kamu." Kemudian adiknya marah, "Kamu bicara sembarangan, saya melihat sendiri perlakuan Papa dan Mama seperti ini tidak sama baiknya, kalau dengan kamu boleh tapi kalau kepada saya tidak boleh." Dia menjawab,"Tidak, sebetulnya Papa dan Mama itu sayang kepada kamu dan dia hanya khawatir." Seringkali si anak yang mendapatkan keuntungan akan berpihak pada orang tua. Ini menambahkan rasa tidak adil kepada adiknya.
GS : Sebagai orang tua yang memiliki anak lebih dari satu, untuk memerlakukan adil seadil-adilnya itu adalah hal yang sulit dan hampir mustahil. Ada hal-hal yang membuat kita senang dengan hal-hal tertentu dan kurang senang (bukannya benci) terhadap pihak yang lain. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Itu yang memang terjadi. Jadi kadang-kadang kita bersikap tidak adil secara tidak disengaja dan kita bukannya sengaja. Inilah yang lebih sering terjadi dibanding dengan kasus yang sengaja.Jadinya kita sebagai orang tua mesti menyadari bahwa anak lahir ke dalam dunia membawa keunikannya masing-masing.

Dengan kata lain, ada yang dimilikinya namun ada yang tidak dimilikinya. Sewaktu anak melihat bahwa apa yang tidak dimilikinya justru ada pada diri adiknya, dia mudah merasa bahwa hidup ini tidak adil. Jadi kita harus peka dan jeli melihat hal ini sebab itulah manusia dan anak-anak kita adalah manusia yang tidak sempurna. Jadi waktu anak-anak kita melihat, "Kenapa saya tidak bisa dan adik bisa" misalnya adik kalau dengar satu lagu bisa bernyanyi dengan begitu cepatnya sedangkan saya tidak bisa-bisa menyanyi. Sebagai orang tua seringkali waktu melihat hal seperti itu, spontan memuji si adik, "Kamu ini pintar sekali menyanyi, dengar satu kali saja sudah langsung bisa menyanyi." Maka si kakak yang mendengar semuanya itu rasanya langsung ambruk seperti terpukul di ulu hati. Dan kebanyakan akan berkata, "Saya tidak mau menyanyi lagi" dan yang kedua menyimpan perasaan bahwa "Papa dan Mama tidak adil." Jadi kadangkala kita memberi perhatian khusus pada apa yang ada di dalam diri adiknya, kendati kita tidak bermaksud memerlakukan dia secara berbeda, tapi dia terlanjur sudah merasa demikian dan dia sudah terlanjur menganggap kita tidak adil. Akhirnya mulailah dia merasa kalau Papa dan Mama lebih sayang kepada adik daripada kepada saya.
GS : Pak Paul, kalau suami istri itu sering konflik apakah itu juga menjadi sumber ketidakadilan bagi anak?

PG : Kalau memang orang tua sering konflik, dia bisa merasa tidak adil karena berbagai sebab, Pak Gunawan. Misalnya apa yang seharusnya dia terima dan nikmati di dalam rumah tapi sekarang dia tdak bisa menikmatinya karena orang tuanya terus ribut.

Jadi dia kesal karena di dalam hatinya, dia merasa seharusnya dia menerima rumah yang tenteram. Jadi waktu orang tua ribut, mulailah muncul perkataan-perkataan dalam hatinya, "Ribut terus, ribut terus, seolah-olah mereka tidak memikirkan kami, mengapakah orang tua tidak peduli dengan kami, kenapa sibuknya hanya mengurusi satu dengan yang lain sehingga terus ribut. Akhirnya itu juga membuat si anak merasa tidak adil, Pak Gunawan.
GS : Perhatian dan waktu yang mestinya diberikan kepada anak malah diberikan untuk bertengkar oleh orang tua dan anak merasa diperlakukan tidak adil, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Kalau kita berbicara tentang ketidakadilan dan pemberontakan anak, tentu kita tidak ingin hal itu terjadi di dalam keluarga kita. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua?

PG : Yang pertama adalah kita sebagai orang tua mesti jeli melihat keunikan anak dan menerimanya. Jadi kita sebagai orang tua harus kenal anak dengan baik dan bukan hanya kenal, tapi juga berseia menerima apa pun keunikan anak kita.

Jangan membanding-bandingkannya, sebab membanding-bandingkan anak makin membuat kesan bahwa kita tidak menerimanya dan bahwa kita tidak puas dengan dirinya. Kita boleh tidak puas terhadap karyanya, bila kita tahu bahwa ini adalah sesuatu yang dapat dikerjakannya. Namun di sini yang dibutuhkan bukan saja kejelian, tapi juga kebesaran hati untuk menerima anak dan keterbatasannya. Kadang-kadang ini yang terjadi, kita bersikeras bahwa anak kita itu sebetulnya bisa tapi dia hanya malas, tapi kita perlu menyadari bahwa acapkali penyebab utama kemalasan adalah ketidakbisaan. Sudah tentu bila kita tahu dia malas atau tidak bertanggung jawab, maka kita harus menegurnya namun jangan cepat-cepat berkata, "Dia sebetulnya bisa dan dia hanya malas," kadang-kadang dia memang tidak bisa karena tidak bisa makanya dia menjadi malas. Maka kita harus terima apa yang dia tidak bisa dan jangan membanding-bandingkan, ini hal yang seringkali terjadi di dalam rumah tangga, anak dibandingkan dengan adik atau kakak, adalagi yang dibandingkan dengan orang tua, "Waktu saya kecil, saya seperti ini dan seperti itu," atau dibandingkan dengan saudara sepupunya, tetangganya dan teman-temannya. Biasanya itu tidak membangun malah menjatuhkan anak.
GS : Kecuali dia dibandingkan dengan lebih positif daripada orang-orang itu tadi, Pak Paul.

PG : Dan itu jarang terjadi, Pak Gunawan. Jadi kalau orang tua membandingkan, seringkali mereka berpikir supaya dia termotivasi artinya belajar dari yang baik. Namun seringkali kalau dibanding-andingkan, si anak ini merasa orang tua tidak adil karena dia tidak bisa mengerjakan tugas-tugasnya, sedangkan kalau dia memang bisa mengerjakannya, itu justru tidak masalah.

GS : Kalau begitu penting sekali bagi orang tua sekali-sekali membandingkan dengan hal yang lebih positif, "Dulu Papa tidak bisa melakukan ini tapi sekarang kamu bisa." Hal ini akan mendorong dia dan bisa memotivasi juga, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Justru kalau kita menggunakan pembandingan yang positif, yakni dia menjadi pihak yang dipuji dan dikuatkan justru itu akan membangun dia dan memberi tambahan motivasi sehingg dia makin hari makin berprestasi.

Saya ingat sekali waktu saya masih kelas 6 SD, saya memunyai seorang guru yang sangat baik, memotivasi siswa. Jadi begitu si anak bisa menjawab pertanyaan maka dia langsung memuji. Saya masih ingat sebelumnya saya membaca koran hanya sekadar membaca saja, tapi memang banyak pengetahuan dari surat kabar yang saya baca. Jadi kalau ditanya oleh guru saya, saya angkat tangan dan saya bisa menjawabnya kemudian dia memuji saya. Saya masih ingat, setelah itu pulang sekolah saya langsung belajar, selama saya sekolah hanya waktu saya di kelas 6 SD, saya paling rajin sekolah, karena si guru itu tahu bagaimana cara memotivasi dengan cara menyoroti yang positif dalam diri kita.
GS : Mungkin ada cara penanggulangan yang lain, Pak Paul?

PG : Kita juga mesti peka, Pak Gunawan dengan pemberian pujian dan pemberian ijin. Jadi maksudnya adalah sedapatnya berilah pujian pada usahanya bukan pada kebisaannya, dengan perkataan lain, kta tidak perlu lagi memersoalkan kebisaannya.

Sepanjang dia telah mengeluarkan usaha, kita akan menerimanya dengan lapang dada, dengan cara ini si anak tidak akan merasa dibandingkan secara tidak adil. Demikianlah dengan pemberian ijin, kita harus memberikan ijin secara adil, sewaktu kita tidak memberinya ijin maka kita harus menyadari mengapa kita tidak memberinya ijin, demikian pula ketika kita memberinya ijin kita pun harus menyadari mengapa kita memberinya ijin, makin spesifik, makin beralasan, makin mudah anak menerimanya. Sebaliknya, makin tidak jelas, makin tidak beralasan maka makin besar kemungkinan anak akan melihatnya sebagai suatu ketidakadilan.
GS : Tapi tidak semua alasan dapat kita kemukakan kepada anak, Pak Paul, dengan anggapan belum tentu dia mengerti, belum tentu dia tahu perasaan saya. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu ada hal-hal yang tidak bisa kita jelaskan kepada anak, atau ada hal-hal yang kapan pun kita jelaskan dia tidak mengerti karena itu melanggar hal yang dia inginkan. Jadi misalka, anak itu tetap ingin diizinkan boleh bermain dengan teman-temannya sepulang sekolah di hari biasa dan kita mau menegakkan peraturan bahwa di hari biasa harus diam di rumah.

Memang di hari sekolah dia harus memersiapkan untuk besok. Sudah tentu awal-awalnya, waktu teman-temannya berkumpul dan dia tidak boleh ikut sedangkan teman-temannya diizinkan oleh orang tuanya, maka dia marah dan merasa kalau ini tidak adil. Dalam kasus seperti itu seberapa baiknya dijelaskan maka dia tidak akan menerima sebab dia hanya berpikir satu, "Kenapa teman-teman saya boleh tapi saya tidak boleh." Kita jelaskan sebaik apa pun, hal itu susah untuk diterimanya. Jadi dalam kasus seperti itu sudah tentu kita tidak lagi berusaha membuatnya menerima penjelasan kita, dan kita hanya bisa menjelaskan sebatas kita bahwa, "Kalau kamu pergi berarti waktu kamu pulang dari bermain berarti sudah sore, waktu belajar kamu akan berkurang dan kamu akan lebih letih sehingga nanti kurang bisa konsentrasi belajar. Kalau kamu ingin bermain, silakan membuat janji di akhir pekan dan kami tidak akan melarang dan justru kami akan senang kalau kamu bermain dengan teman-temanmu." Sudah tentu awalnya dia tidak bisa menerima, dia akan marah dan memberontak namun kalau kita konsisten maka lama-lama dia akan terima dan apalagi kalau dia melihat dalam hal-hal yang lain kita itu adil. Jadi dengan kata lain, anak pun pada usia yang relatif muda sebetulnya mulai melihat kita secara keseluruhan. Jadi jangan takut karena satu hal maka anak akan mengatakan kita selalu tidak adil, tidak seperi itu. Kalau dia melihat dalam hal-hal lain orang tua itu bisa adil, atau anak itu mendengar kita itu berkata maaf kepada dia waktu kita berbuat kesalahan, maka dia akan merasa bahwa orang tua saya tidak seperti yang saya pikir, orang tua saya cukup adil sehingga meminta maaf pun bersedia. Ini yang nantinya akan dilihat oleh anak sehingga tidak menimbulkan pemberontakan dalam dirinya.
GS : Jadi memberikan pujian ini porsinya juga harus pas, tidak boleh terlalu banyak atau pun terlalu kikir kita memberikan pujian dan ijin itu.

PG : Jadi dengan kata lain, memang terhadap pujian kita harus menggunakan prinsip jangan kita terlalu hemat tapi juga jangan boros dengan pujian. Artinya kalau memang harus diberikan pujian mak berilah pujian dan jangan takut untuk memberi pujian karena ada orang tua yang berpikir, "Kalau dia diberikan pujian nanti dia menjadi malas, makin tidak ada motivasi," itu terbalik.

Justru makin dipuji maka anak-anak itu makin bersemangat. Jadi jangan hemat dengan pujian, tapi juga jangan terlalu boros artinya mesti ada alasannya dan alasan yang bisa dan baik adalah usahanya. Selama dia telah berusaha maka kita berikan pujian terhadap usahanya itu. Jadi jangan hemat, tapi juga jangan boros, tepat ada alasannya sehingga anak tahu dia dipuji karena apa. Nanti dia perlahan-lahan akan menyimpan itu bahwa kalau dia berusaha, dia tahu kalau inilah yang akan dipuji oleh orang tuanya dan dia akan menjadikan itu sebagai falsafah kehidupannya kelak, yang penting adalah saya berusaha. Waktu dia tekankan pada usaha maka dia itu akan keluar dari jeratan konsep adil atau tidak adil. Kalau pada prestasi-prestasi dia terus mengukur-ukur diri maka dia mudah terjerat ke dalam ketidakadilan. Kalau dia berusaha dan dia mendapatkan pujian atas usahanya maka dia akan melihat kalau ini adil dan dia menerima itu.
GS : Memang yang sulit adalah melihat usahanya, kita lebih mudah melihat hasilnya, melihat usaha ini kita juga bisa terkecoh.

PG : Itu sebabnya banyak orang cepat mengeluh bahwa hidup itu tidak adil, orang tidak adil, atasan tidak adil karena memang kita hidup di dalam lingkungan atau keluarga yang terlalu menekankan ada hasil akhir atau prestasi akhir, bukan pada usaha itu sendiri.

Makin menekankan pada prestasi akhir atau pada hasil akhir, maka makin mudah kita masuk ke dalam jeratan pola berpikir, ini tidak adil dan sebagainya. Tapi kalau kita terbiasa mendapatkan komentar atau tanggapan, "Ini positif karena kita berusaha maka kita sendiri pun nanti akan memerlakukan diri kita seperti itu." Kita akan berkata, "Selama kita berusaha, maka tidak mengapa" dan kita tidak terlalu melihat orang lain dan membanding-bandingkan, dan akhirnya tidak terlalu cepat mengeluh hidup ini tidak adil.
GS : Usaha yang lain atau cara yang lain apa, Pak Paul?

PG : Berkaitan dengan keadilan dan ketidakadilan sebagai akibat relasi yang tidak harmonis. Sudah tentu kita harus siap mengoreksinya. Jadi selama ini mungkin kita telah bersikap egois, mungkinkita tidak bersedia mendengarkan keluhan pasangan dan bertindak demi kepentingannya, mungkin terhadap anak kita pun telah berbuat yang sama, kita tidak mementingkan keinginannya dan semua yang dilakukan adalah untuk memenuhi kepentingan sendiri.

Jadi mungkin semua ini harus berubah supaya anak kembali bisa mencicipi keadilan di dalam keluarga. Dari hal-hal yang kecil anak bisa melihat kita ini adil atau tidak adil, egois atau tidak egois. Misalkan ada anak yang berkata, "Misalkan kalau kita pergi keluar makan, pasti kita akan pergi ke tempat di mana Papa atau Mama suka." Jadi dengan kata lain, anak itu sudah memunyai konsep bahwa orang tua itu tidak adil karena egois, kalau pun pergi pasti itu untuk kepentingannya, tidak pernah pergi untuk kepentingan kami, tidak pernah murni untuk orang lain. Jadi ini akan menanamkan benih ketidakadilan dalam diri si anak yang nantinya akan menjadi benih pemberontakan.
GS : Itu juga terjadi, kalau orang tua mengejar agar anak berprestasi baik di sekolah semata-mata itu hanya agar orang tua dipuji oleh teman-temannya, itu menimbulkan kebencian dalam diri anak sehingga membuat dia berontak, Pak Paul?

PG : Bisa. Betul sekali, Pak Gunawan. Kadang-kadang berontaknya adalah dengan cara dia benar-benar menghancurkan nilai-nilai prestasinya, dia sengaja.

GS : Jadi di sini di dalam hal ketidakadilan, rupanya ada banyak sisi di dalam kehidupan kita yang bisa membuat anak ini tidak adil. Kalau dia bisa mengkomunikasikan hal ini kepada kita, maka akan lebih mudah. Tapi masalahnya adalah si anak tidak mau mengkomunikasikan kepada kita, dia hanya menyimpannya kemudian berontak, padahal orang tua tidak secara sengaja melakukan itu. Hal seperti ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Betul. Makanya orang tua itu mesti peka. Misalnya anak ini sudah mulai remaja, tiba-tiba bicaranya itu sudah mulai tidak enak dan sengaja menusuk hati kita, secara halus seolah-olah mau meampar kita.

Maka orang tua harus peka, dalam pengertian jangan menyambuti dengan kemarahan, "Kamu kenapa bicara seperti itu kepada saya," kita harus diam dan menyimpannya dulu dan kemudian mencari waktu yang tepat dan mengajak dia bicara, duduk dengan dia dan berkata, "Tadi Papa bicara seperi ini, kamu menjawabnya seperti ini, Papa merasa di dalam perkataan kamu itu, kamu menyimpan kemarahan. Papa mau dengar apa yang membuat kamu marah dan Papa minta kamu terbuka, coba kamu bicara." Mungkin si anak karena didesak seperti itu barulah dia akan bicara. Karena dia bicara barulah kita mengerti apa yang telah kita lakukan yang kita tidak sadari yang telah menanamkan rasa ketidakadilan dalam diri anak yang membuatnya ingin marah dan memberontak terhadap kita.
GS : Kadang ada anak-anak yang pandai berkelit, pandai membuat kita tidak tahu persis apa alasannya dia marah kepada kita.

PG : Kalau kita dilihat anak sebagai orang tua yang bersedia mendengarkan, bersedia berubah maka besar kemungkinan anak itu akan terbuka. Tapi kalau si anak itu melihat bahwa percuma berbicara engan kita, maka dia tidak akan bicara lagi.

Maka kalau belum pernah kita lakukan hal seperti ini, kemudian kita lakukan maka kita harus berjanji bahwa kita sungguh-sungguh mendengarkan dan benar-benar berusaha untuk mengoreksinya karena anak itu biasanya tidak memberikan kepada kita dua kali kesempatan, biasanya sekali. Sekali dia mencoba dan melihat orang tuanya tidak mendengarkan dan tidak berusaha berubah, itu sudah kali terakhir dan dia tidak akan mencoba kalau pun lain kali kita bertanya-tanya lagi tentang sesuatu, dia tidak akan menjawab pertanyaan kita dan dia pasti akan mengalihkan apa yang kita tanya itu.
GS : Seringkali hal itu yang justru terjadi, sehingga komunikasi antara orang tua dan anak menjadi sulit untuk diselesaikan, Pak Paul. Dalam hal ini Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Di Amsal 20:10, Firman Tuhan berkata, "Dua macam batu timbangan, dua macam takaran, kedua-duanya adalah kekejian bagi TUHAN." Kita tahu dua macam batu timbangan dan dua macam takaran melamangkan dua perlakuan yang berbeda.

Misalnya penjual barang, dia menggunakan takaran yang palsu dan bukan takaran yang asli supaya dia dapat meraup keuntungan yang besar. Jadi dua perlakuan yang tidak sama, sudah tentu timbangan yang satu, untuk kepentingan orang lain, sedangkan yang satunya untuk kepentingan pribadi kita dan yang menguntungkan kita. Ketidakadilan adalah penggunaan dua macam takaran, satu untuk orang lain dan yang satu untuk kita, dan Tuhan tidak menyukai sikap hidup yang seperti itu dan anak pun tidak menyukainya sehingga tidak heran pada akhirnya dia memberontak untuk mencoba menegakkan keadilan itu kembali. Jadi kita sebagai orang tua harus hati-hati, jangan secara sengaja atau tidak sengaja menggunakan dua macam batu timbangan dan dua macam takaran, memerlakukan anak harus dengan berbeda.
GS : Ini sesuatu yang perlu dilatih untuk hal-hal yang kecil sekali pun, bagaimana kita membuat ukuran yang sama dan tidak membuat ukuran yang berbeda apalagi untuk yang menguntungkan diri kita sendiri.

PG : Betul.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketidakadilan dan Pemberontakan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



98. Putusnya Komunikasi dan Pemberontakan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T296A (File MP3 T296A)


Abstrak:

Dalam keluarga, komunikasi merupakan suatu keniscayaan. Bukan saja komunikasi berperan penting dalam pembangunan dan penyatuan keluarga, komunikasi juga merupakan pengisi kebutuhan anak yang hakiki akan interaksi. Tanpa komunikasi anak akan bertumbuh dalam kehampaan. Tidak ada yang mengajaknya bicara dan tidak ada yang menstimulasi dirinya. Tanpa kita sadari hal itu bisa membuat anak menjadi mudah memberontak. Bagaimana mengenai hal ini dan apa yang bisa kita lakukan?


Ringkasan:

Dalam keluarga, komunikasi merupakan suatu keniscayaan. Bukan saja komunikasi berperan penting dalam pembangunan dan penyatuan keluarga, komunikasi juga merupakan pengisi kebutuhan anak yang hakiki akan interaksi. Tanpa komunikasi anak akan bertumbuh dalam kehampaan. Tidak ada yang mengajaknya bicara dan tidak ada yang menstimulasi dirinya. Setidaknya ada dua hal yang terjadi yang dapat mengakibatkan timbulnya pemberontakan.

Cara Penanganan

Transkrip:

"Putusnya Komunikasi dan Pemberontakan Anak"

Lengkap

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Putusnya Komunikasi dan Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Kita semua menyadari bahwa di dalam keluarga, komunikasi memang penting. Tetapi kadang-kadang yang namanya berkomunikasi juga bisa mengalami kesalahan, sehingga timbul masalah yang besar termasuk terhadap anak-anak kita. Bagaimana terjadinya dan mengatasinya, Pak Paul?

PG : Memang betul, Pak Gunawan, bahwa di dalam keluarga kadang terjadi masalah antara kita dan anak akibat komunikasi yang tidak lancar dan sudah tentu akibatnya adalah biasanya menimbulkan pemerontakan pada anak.

Kenapa bisa sampai seperti itu, karena ada beberapa unsur yang membuat komunikasi itu begitu penting. Misalnya, komunikasi merupakan pengisi kebutuhan anak yang hakiki. Jadi tanpa komunikasi anak akan bertumbuh dalam kehampaan dan orang yang besar dalam keluarga di mana banyak orang yang tidak mengajaknya bicara dan tidak ada yang menstimulasinya, sedikit banyak akan membuat si anak misalnya kesepian atau merasa dirinya kosong atau bermasalah dalam mengambil inisiatif, sehingga dia menjadi anak yang relatif pasif. Semua itu adalah hal-hal yang bisa terjadi dalam keluarga di mana ada masalah komunikasi. Hanya sekarang kita mau menyoroti yaitu kaitannya dengan pemberontakan anak. Mengapakah kalau sampai dalam keluarga ada masalah di mana antara orang tua dan anak tidak bisa berkomunikasi dengan baik, kenapa sampai bisa menimbulkan pemberontakan? Ada sekurang-kurangnya dua hal yang bisa kita soroti. Yang pertama adalah hilangnya komunikasi berpotensi membuat anak merasa tidak didengarkan. Jadi apa yang disampaikan berlalu begitu saja atau malah lebih buruk lagi, ia tidak mau mengatakan apa-apa lagi sebab dia merasa percuma. Jadi karena dia merasa apa yang disampaikan juga tidak disambut dan tidak ditanggapi, maka lain kali tidak perlu bicara lagi karena tidak akan didengarkan. Rasa tidak didengarkan adalah bahan yang membuat anak memberontak, karena dia merasa seperti berhadapan dengan tembok sehingga untuk menembusnya dia harus menabrak dan menghancurkan tembok itu. Inilah salah satu bentuk pemberontakan. Jadi kita bisa melihat misalnya dari yang sederhana dulu, waktu berbicara dengan kita, dia akan beremosi, dia akan berteriak, itu adalah wujud dari pemberontakan yang menyatakan keinginan dia untuk bisa menghancurkan tembok itu karena dia merasa bicara perlahan tapi tidak didengarkan, tidak dituruti yang dia inginkan, tidak dipertimbangkan usulannya. Sehingga dia mesti meninggikan suara dengan emosi yang lebih kuat, seolah-olah semua itu adalah bentuk-bentuk usaha untuk menghancur-kan tembok tersebut. Ini yang awalnya biasa terjadi.
GS : Tapi itu tidak terjadi dengan seketika, Pak Paul, artinya buruknya suatu komunikasi merupakan suatu proses yang memang dari awal kita sudah bermasalah dengan anak ini.

PG : Biasanya seperti ini. Kalau dalam keluarga kita katakan tidak ada masalah sepertinya tidak mungkin, sebab di setiap keluarga ada masalahnya, namun ada perbedaan antara satu keluarga dengankeluarga yang lain dalam hal komunikasi.

Jadi kalau dalam keluarga ada komunikasi, artinya anak itu terbiasa mengutarakan pendapat secara terbuka kepada orang tua, demikian juga orang tua kepada anak, kalau pun ada masalah maka kita akan melihat bahwa kedua belah pihak masih dapat berbicara. Dua-duanya mungkin masih tetap jengkel, masih tetap tidak suka, tidak setuju dan sebagainya tapi dua-duanya masih bisa berkomunikasi. Kuncinya adalah yang sudah saya sebut tadi yaitu anak merasa kalau dia didengarkan. Jadi selama kita bisa menanamkan ini sejak kecil bahwa ia didengarkan dan pendapatnya cukup layak untuk dipertimbangkan maka kalau nanti di masa-masa remaja, anak-anak itu mulai memberontak setidak-tidaknya jalur komunikasi itu masih ada. Kenapa ada kasus-kasus di mana anak itu memberontak terlalu parah? Itu dikarenakan tali komunikasi sudah putus, sehingga seolah-olah anak itu harus menggedor-gedor pintu rumah orang tuanya agar didengarkan, agar pendapatnya itu dianggap penting.
GS : Didengarkan atau dipertimbangkan, itu tidak berarti bahwa kita harus menuruti permintaan anak ini. Kadang-kadang putusnya ini karena permintaannya tidak kita turuti.

PG : Kadang-kadang memang ada reaksi keras dari anak karena apa yang dia minta tidak kita berikan. Namun saya kira kuncinya yaitu dia melihat bahwa kita tidak menuruti bukan karena kita tidak au direpotkan, kita tidak mau berpikir panjang lebar, kita tidak mau menurunkan wibawa, tidak mau mengorbankan ego tapi yang mesti anak lihat bahwa kita tidak mau atau tidak setuju dengan pendapatnya, karena alasan yang hakiki sekali.

Jangan sampai anak berkesimpulan bahwa kita tidak mau karena tidak mau repot. Ada orang yang tidak mau repot dan akhirnya berkata, "Ya" kemudian mengikuti pendapat anak tapi ada juga yang tidak mau mengikuti pendapat anak dengan berkata, "Tidak, tidak." Atau dia merasa kalau dia mengikuti anak maka dia gengsi karena egonya akan dikorbankan, dari pada ego dikorbankan maka lebih baik berkata "tidak dan tidak untuk menuruti kehendak anak." Jadi yang penting adalah anak tidak memunyai persepsi bahwa kita seperti itu. Kalau dia sudah memunyai kesimpulan bahwa kita seperti itu, yaitu kita itu tidak tulus dan benar-benar tidak mau memertimbangkan pendapatnya, maka sudah tentu komunikasi akan terputus. Jadi selama anak melihat, "Papa atau Mama bukan orang yang seperti itu, Papa dan Mama adalah orang yang benar-benar bersedia mendengarkan saya. Namun untuk yang satu ini Papa dan Mama bergeming, Papa dan Mama tidak mau mengubah pendapatnya." Sudah tentu dalam kondisi itu relasi akan terhambat karena adanya ketegangan, namun saya kira dalam kondisi seperti itu pun orang tua tetap bisa berbicara meskipun tidak memiliki titik temu tapi setidaknya masih memiliki komunikasi, masih ada usaha-usaha untuk menjelaskan diri dan siapa tahu di kemudian hari akan ada titik temu.
GS : Memang mengutarakan isi hati kita atau kita mendengarkan orang lain berbicara atau anak berbicara untuk berkomunikasi, membutuhkan latihan dan keterampilan tertentu. Ada keluarga-keluarga yang kurang sering berkomunikasi. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang komunikasi itu adalah sesuatu yang penting dan akan kita wariskan kepada anak kita, Pak Gunawan. Jadi kalau kita ini tidak bisa berkomunikasi dengan baik antara suami dan istri, ituah yang akan kita wariskan kepada anak-anak kita.

Atau karena hubungan kita dengan anak tidak baik sehingga jarang adanya komunikasi, akibatnya anak harus bertumbuh besar dalam rumah di mana dia akan kehilangan kesempatan belajar untuk berkomunikasi. Saya berikan contoh, waktu dia melihat orang bersitegang dan tidak sependapat tapi dia melihat orang tua itu berbicara. Maka tanpa kita sadari sebetulnya dia tengah belajar bagaimana berkomunikasi dan menyelesaikan perbedaan pendapat. Lain kali ketika dia sudah besar apalagi waktu dia berkeluarga, dia menghadapi persoalan yang serupa, tanpa disadari apa yang dia lihat dan alami dulu sudah mengendap di dalam dirinya sehingga itu yang nanti bisa dia gunakan, dia melihat misalkan orang tuanya malam ini tidak bisa mencapai titik temu, tapi kemudian esok hari mulai berbicara lagi sehingga akhirnya nanti di hari ketiga barulah mencapai titik temu. Sedikit banyak ini menjadi pelajaran baginya, kalau nanti tidak mendapat titik tengah maka akan dicoba lagi, mungkin hari pertama tidak berhasil maka coba lagi di hari kedua dan hari ketiga. Bandingkan dengan kalau orang tua dengan anak tidak bisa berkomunikasi dengan baik, ribut, bertengkar dan kemudian berhenti sampai di situ, maka anak akan berkata, "Jadi caranya seperti itu, maka lain kali saya juga akan seperti itu dengan suami atau istri saya, kalau berbicara dan tidak ada titik temunya maka saya akan berhenti dan tidak meneruskan, mendiamkan saja." Jadi sekali lagi waktu anak harus hidup di dalam keluarga yang miskin komunikasi, ia pun harus kehilangan pembelajaran penting yaitu bagaimana berkomunikasi dengan benar. Dan inilah yang akan kita coba cegah.
GS : Pak Paul, kadang-kadang di dalam berkomunikasi seperti yang tadi Pak Paul utarakan, ada anak yang meledak-ledak, berbicara keras dan menyatakan ketidakpuasannya. Tapi justru ada anak remaja yang malah menutup komunikasi dengan cara tidak berbicara, mengurung diri dan sebagainya. Ini bagaimana, Pak Paul? Apakah memang ada sikap yang seperti itu?

PG : Sudah tentu ada anak yang lebih ekstrovert dan ada anak yang lebih introvert, sudah tentu anak yang ekstrovert akan lebih mudah diajak berkomunikasi. Anak yang introvert akan lebih cepat mnyerah.

Jadi kalau dia merasa sudah tidak ada lagi gunanya maka dia akan berhenti dan tidak mau lagi meneruskannya. Namun meskipun anak itu berbeda tapi kuncinya adalah apakah dari awal kita bersedia mendengarkan dia. Yang membunuh komunikasi antara kita dan anak dan akhirnya mendorong dia untuk memberontak terhadap kita adalah karena kita mendapati tembok di rumah, dan dia merasakan apa yang dia katakan seperti memantul kembali, tidak bisa masuk ke dalam diri kita, kita tidak mengambil waktu untuk memikirkan pendapatnya. Jadi misalkan anak itu berbeda dengan kita, kecenderungan kita adalah marah, kenapa kamu memunyai pikiran seperti itu atau dia diam dan kita tidak mau menjawabnya atau menanggapinya. Hal-hal seperti ini akhirnya akan membuat anak berpikir percuma. Dan suatu kali ada waktu di mana dia tidak tahan lagi dan mengeluarkan emosinya, berontak dan meledak. Jadi yang penting, mulai anak kecil kita menjalin percakapan untuk terbuka. Kalau pun kita tidak setuju, sedapatnya jangan terburu-buru dengan cepat melarang dengan berkata, "Tidak, jangan" dan sebagainya. Kalau pun pemikirannya aneh dan sebagainya maka kita mencoba untuk mengatakan, "Mari kita pikirkan terlebih dahulu" atau berilah jawaban-jawaban yang rasional, apalagi sikap-sikap yang merendahkannya atau menertawakannya, "Kenapa bisa memiliki sikap seperti itu" dan sebagainya, itu akan membuat anak terhina dan akhirnya dia berkesimpulan, "Untuk apa saya berbicara, tidak perlu lagi." Ini yang ingin saya tekankan, begitu komunikasi terputus antara kita dan anak maka tinggal tunggu waktu maka anak akan memberontak.
GS : Biasanya anak yang sukar untuk mengutarakan pendapatnya justru digunakan oleh orang tua untuk mengindoktrinasi anak ini, memberikan masukan yang begitu banyak sehingga anak ini merasa tertekan dan itu yang membuat dia tidak mau berbicara lagi.

PG : Betul. Kalau anak merasa bahwa percakapan itu searah bahwa orang tua itu hanya tertarik untuk didengarkan dan menanamkan pandangannya pada diri si anak, maka pada akhirnya dia akan merasa ewalahan, terbenamlah dia di dalam semua pendapat orang tuanya dan dia tidak lagi bersemangat untuk menanggapi atau berdialog.

Jadi betul, kita sebagai orang tua mesti berhati-hati dan kita jangan merasa diri lebih tahu dan merasa benar, sehingga harus selalu didengarkan dan akhirnya kita luput untuk mendengarkan anak.
GS : Tapi suatu saat dia juga akan berontak, Pak Paul, ujung-ujungnya sama yaitu dia akan berontak meninggalkan orang tua itu.

PG : Bisa, sebab dia merasa percuma saya datang dan berbicara dengan orang tua karena saya hanya dibebani, diberikan masukan-masukan terus. Maka lebih baik lain kali tidak perlu lagi dan akhirna karena mereka tidak memilki keterampilan berkomunikasi atau berdialog, waktu dia merasa tidak suka maka yang keluar adalah emosi, ledakan-ledakannya, kemarahan-kemarahan dan kadang-kadang akan muncul pemberontakan yaitu ketika diminta orang tua maka dia akan melawan, meskipun dia sendiri sebetulnya belum tentu sungguh-sungguh mau atau tidak setuju dengan orang tuanya.

Tapi demi untuk menunjukkan bahwa dia tidak suka, maka dia justru akan melawan atau memberontak.
GS : Jadi cara penanganannya bagaimana, Pak Paul?

PG : Yang pertama tidak bisa tidak sebagai orang tua kita harus bersedia memerbaiki komunikasi. Jadi jika tidak berhasil, maka kita harus segera mencari pertolongan pihak ketiga yakni seorang knselor keluarga.

Jadi kita jangan berpikir untuk mendiamkannya, "Siapa tahu lain kali akan membaik dengan sendirinya," tidak seperti itu tapi kita harus berusaha. Kalau kita sudah berusaha dan berusaha, tapi tetap tidak menemukan jalan keluarnya maka jangan ragu untuk meminta bantuan. Jadi sekali lagi yang saya harapkan ialah kita terus berusaha dan berusaha. Saya mengerti sebagai orang tua yang mengusahakan percakapan, mengajak anak untuk berbicara lagi atau bertanya kepadanya, kadang-kadang mengalami kendala karena kita merasa, "Kenapa inisiatif dari kita saja, kenapa dari pihak dia tidak," kalau kita tidak mengajak bicara dan memunculkan percakapan maka tidak akan terjadi percakapan yang penting atau mendalam, percakapannya seringkali hanya biasa-biasa saja, "Tapi mengapa harus selalu dari kita." Namun kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa ini adalah tugas kita, kalau bukan tugas kita maka siapa. Memang kita harus merendahkan diri dan mengorbankan harga diri kita, tapi tidak mengapa sebab sekali lagi kalau bukan dari kita kemudian mau siapa. Ini adalah anak kita maka sedapatnya dengan pertolongan Tuhan, kita harus terus menjangkaunya, menariknya dan mengajaknya berbicara. Tekankan bahwa kita ingin memerbaiki komunikasi, kita mau memerbaiki relasi kita ini. Jadi terus kita komunikasikan hal itu kepadanya.
GS : Yang sulit adalah kita sudah berusaha untuk membuka komunikasi lagi, tanggapannya kadang-kadang sepotong-sepotong seperti yang Pak Paul tadi katakan tapi kadang-kadang itu juga berujung dengan pertengkaran baru lagi sehingga saya berpikir, "Kalau nanti berbicara lagi maka nanti salah lagi."

PG : Betul sekali. Jadi sudah tentu kita mesti berhikmat dalam pengertian ada waktu-waktu kita mendiamkan, namun ada waktu yang kadang-kadang muncul atau kesempatan emas untuk berbicara itu datng.

Misalkan dia sedang diam atau sedang makan kemudian kita duduk di sebelahnya dan ngobrol, tanya-tanya. Tapi setelah itu kita bisa berkata seperti ini, "Ada sesuatu yang Papa atau Mama ingin bicarakan dan mungkin ini sedikit serius tapi boleh tidak kalau Papa atau Mama bertanya." Jadi kita bisa memulai inisiatif seperti itu "Boleh tidak saya bertanya." Jadi kita tidak tiba-tiba masuk ke topik percakapan yang hangat atau panas itu. Jadi kita tanya dulu, "Mau tidak, boleh tidak saya bertanya sesuatu mengenai ini dan sebagainya," umumnya kalau kita masuk ke dalam topik percakapan itu dengan nada yang merendah, "Boleh tidak saya tanya dan sebagainya" kemungkinan anak akan bersedia. Misalnya di akhir percakapan terjadi pertengkaran seperti yang tadi dikatakan oleh Pak Gunawan, maka kita bisa berkata, "Maaf ya, kalau kita harus ribut tapi saya harap kamu tidak patah hati atau patah arang, dan mungkin nanti kita bisa lanjutkan lagi." Jadi kita tekankan bahwa pada akhirnya ini tidak enak tapi ini bukan akhir dari segalanya bahwa kita masih terus mau mencoba untuk mendapatkan titik temu.
GS : Cara yang lain apa, Pak Paul?

PG : Kadang-kadang masalah muncul sebetulnya dari kita, kita yang memiliki masalah komunikasi dengan satu sama lain artinya suami dengan istri atau istri dengan suami. Itulah yang akhirnya diliat oleh anak dan menjadi masalah, akhirnya anak tidak mau bicara dengan kita dan sebagainya.

Yang saya mau tekankan adalah jangan menunggu komunikasi di antara kita membaik, jadi jangan sampai kita menunggu situasi membaik kemudian kita bicara. Coba langkah pertama adalah mengajak dia berbicara dari hati ke hati dan kalau perlu meminta maaf kepadanya akan kurangnya komunikasi yang terjadi selama ini, mungkin ada masalah antara kita dengan pasangan yang akhirnya membuat dia tidak semangat berbicara dengan kita, maka kita akui dan kita katakan, "Selama ini Papa dan Mama tidak begitu baik berkomunikasi, mungkin kamu kesal juga, atau karena kami ini banyak masalah sehingga kami tidak selalu terbuka, kami kadang-kadang tidak mendengarkan kamu." Dan kita akui juga, "Karena semua itu maka besar kemungkinan kamu juga sudah enggan berbicara dengan kami." Jadi kita akui semua itu, kemudian kita juga mesti menerima artinya kadang-kadang kita juga harus menerima keputusan untuk tidak berkomunikasi dan menunggunya hingga siap, adakalanya anak akan berkata, "Jangan nanti kita akan ribut lagi" maka kita jawab, "Baiklah kalau begitu di waktu lain kita lanjutkan perbincangan ini dan tidak harus hari ini." Sudah sampai di situ saja dan kita jangan sakit hati dan berkata, "Lihat anak ini, mau diajak bicara tapi tidak mau diajak bicara." Akhirnya dia semakin tidak mau berbicara dengan kita. Jadi lebih baik waktu anak belum siap, kita jangan berbicara lagi, nanti kita ribut lagi. Jadi kita katakan, "Baiklah saya mengerti mungkin hari ini bukanlah hari yang baik untuk kita bicara kalau begitu lain kali saja." Jadi tidak mengapa seperti itu, jadi jangan memaksanya, kalau kita paksa maka makin mengkonfirmasi kepada dia bahwa kita bukan orang yang cocok untuk berbicara dengan dia. Tapi kita juga bisa menyampaikan kepadanya, bahwa walaupun dia tidak berminat untuk berbicara dengan kita tapi kita tetap mau belajar dari kesalahan masa lampau. Jadi setelah kita akui kalau kita ini kurang di sini dan di sana, kita katakan bahwa kita tetap mau belajar dari kesalahan di masa lampau atau kita bisa bertanya lagi apa yang telah dilihatnya dan apa yang dialaminya selama ini yang tidak mengenakkannya, sehingga kita mengetahuinya dan memerbaiki diri. Maka kita mencoba tanyakan kepadanya semua itu.
GS : Bagaimana kalau kita sebagai orang tua berkatakan kepada anak, "Kalau kamu sudah siap bicara nanti kamu saja yang berbicara kepada Papa atau Mama, dan nanti kita bahas lagi," tapi nyatanya dia tidak mau berbicara.

PG : Memang benar. Tidak akan mungkin mereka berbicara. Jadi lebih baik jangan berbicara seperti itu, jangan berkata, "Pokoknya kamu siap maka kamu katakan kepada Papa atau Mama," hal itu tidakakan terjadi.

Jadi lebih baik kita katakan "Mungkin hari ini kamu tidak siap dan Papa Mama mengerti, mungkin lain kali saja." Beri waktu beberapa hari, kemudian saat dia sedang santai kemudian kita tanya lagi, "Apakah sekarang kamu sudah lebih siap untuk berbicara, mungkin kita bisa mencoba-coba berbicara sebetulnya Papa hanya ingin tanya satu saja, atau Mama ingin tanya satu saja." Jadi kita bisa mulai dengan pertanyaan dan janjikan hanya satu pertanyaan sebagai pembuka, karena mungkin dia lebih siap kalau saya ingin tanyakan ini saja, maka dia akan berkata, "Baiklah silakan." Maka kita tanya, pertanyaan yang lebih tulus dan kemudian kita coba membuka dialog dan mendengarkannya, waktu dia berbicara dan kita mendengarkan, "Baiklah kalau itu yang kamu rasakan dan kamu pikirkan," dan coba terus seperti itu.
GS : Kadang-kadang kalau kita menemukan hal seperti itu, biasanya tidak hanya satu pertanyaan tapi bisa dua atau tiga pertanyaan karena kita merasa mumpung dia mau diajak bicara tapi dampaknya memang negatif.

PG : Kalau kita sudah bicara satu hal, itu sudah cukup dan responsnya baik maka kita katakan, "Baiklah Papa dan Mama sudah jelas maka nanti lain kali kita sambung lagi." Kecuali kalau dia masihingin berbicara maka kita ladeni.

Tapi kalau tidak maka lebih baik berhenti dulu. Jangan kita bersikeras untuk menyelesaikan hari ini karena kadang-kadang tidak akan selesai mungkin perlu waktu satu atau dua bulan atau mungkin setahun. Jadi sabar sedikit demi sedikit saja.
GS : Ada cara lain tentang cara penanganannya, Pak Paul?

PG : Ini cara terakhir yaitu kita harus menunjukkan usaha memerbaiki keadaan, jangan sampai dia merasa bahwa apa yang telah disampaikan hanya berlalu begitu saja karena nantinya dia tidak akan ersedia kembali menjalin komunikasi.

Tapi jika dia melihat usaha kita menanggapi masukannya, mencoba untuk mendengarkannya, berbuat sesuai yang dia inginkan, besar kemungkinan suatu hari kelak dia akan membuka pintu komunikasi dengan kita. Jadi kuncinya adalah dia melihat kesungguhan kita bahwa kita membuka pintu komunikasi bukan untuk menguasainya, tapi justru untuk memerbaiki relasi dengan dia.
GS : Ini akan sulit kalau anak tinggal berjauhan dengan orang tua, Pak Paul, karena itu membutuhkan waktu yang lebih lama karena dia tidak melihat secara langsung usaha kita yang sungguh-sungguh untuk memerbaiki komunikasi.

PG : Betul kalau tidak serumah biasanya memang lebih berat lagi, tapi mungkin dengan SMS atau telepon, kita mencoba mengajak dia berbicara sekali-sekali.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Firman Tuhan memberikan kepada kita pedoman untuk berkomunikasi di Yakobus 1:19 "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lmbat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah."

Lambat berkata-kata sudah tentu tidak berarti menghilangkan komunikasi tapi di sini lambat untuk berkata-kata dan lambat untuk marah disebut dengan konteks perbandingan untuk mendengar. Jadi perbandingan antara mendengarkan dan berkata-kata serta marah haruslah berkebalikan seperti cepat dan lambat. Jadi itu memang dikontraskan. Komunikasi yang sehat dibangun atas upaya mendengarkan secara optimal dan ini kuncinya. Makanya Firman Tuhan menyuruh kita untuk sangat cepat mendengarkan. Sebab inilah kunci membangun komunikasi dan inilah resep Tuhan untuk kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, saya percaya ini akan menjadi berkat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Putusnya Komunikasi dan Pemberontakan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



99. Hidup yang Rohani dan Pemberontakan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T296B (File MP3 T296B)


Abstrak:

Meski kita tertarik pada hal-hal yang bersifat rohani namun belum tentu kita berminat untuk hidup secara rohani. Alasannya sederhana: Hidup secara rohani mengharuskan kita untuk menanggalkan hidup dari kendali di tangan kita. Salah satu masalah yang kerap muncul di tengah keluarga dewasa ini adalah pemberontakan anak terhadap kehidupan rohani yang dituntut darinya. Untuk itu sebagai orang tua kita harus berhati-hati dalam menangani masalah pemberontakan anak mengenai masalah kerohanian. Hal apa saja yang bisa kita perbuat?


Ringkasan:

Meski kita tertarik pada hal-hal yang bersifat rohani namun belum tentu kita berminat untuk hidup secara rohani. Alasannya sederhana: Hidup secara rohani mengharuskan kita untuk menanggalkan hidup dari kendali di tangan kita. Salah satu masalah yang kerap muncul di tengah keluarga dewasa ini adalah pemberontakan anak terhadap kehidupan rohani yang dituntut darinya.

Kerap kali orang tua bertanya-tanya, mengapakah anak yang tadinya rajin ke gereja dan membaca Firman Tuhan serta giat terlibat dalam kegiatan pelayanan tiba-tiba sekarang tidak lagi menunjukkan minat yang sama. Sedikitnya ada dua penjelasan tentang fenomena ini.

Sekarang secara lebih mendalam marilah kita melihat mengapakah anak memberontak terhadap kehidupan rohani.

Pertama, anak memberontak sebab ia tidak siap untuk hidup rohani-sesuai tuntutan Tuhan sebagaimana tertera di dalam Firman-Nya. Usia belia adalah tanah subur untuk tumbuhnya Firman; jadi, sudah seyogianya anak diajak untuk mengenal Tuhan lewat cerita serta mulai mempraktekkan disiplin rohani seperti berdoa dan membaca Firman Tuhan.

Memasuki usia remaja dan akhirnya dewasa awal, anak barulah menghadapi lebih banyak tantangan dan godaan. Pada saat itu Firman Tuhan mulailah bertabrakan dengan keinginan-keinginan yang muncul dari dalam daging dan pada titik ini anak harus mengambil keputusan-menuruti kehendak sendiri atau mengikuti kehendak Tuhan.

Cara Penanganan

Kedua, anak memberontak sebab ia tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan. Pada usia remaja anak pun sudah memiliki kemampuan berpikir yang hampir mencapai bentuk finalnya. Sebagai akibatnya anak mulai memertanyakan apa yang diketahui dan diterimanya. Makin canggih dan ilmiah corak pemikirannya, makin berat tantangan yang harus dihadapinya untuk menerima bagian dari Firman Tuhan yang sulit dicerna nalar.

Cara Penanganan

Ketiga, anak memberontak sebab ia melihat kehidupan kita yang tidak rohani namun menuntutnya untuk hidup rohani. Pada umumnya anak bereaksi keras terhadap kemunafikan. Jadi, bila kita sendiri tidak hidup rohani akan sulit buat kita memintanya untuk hidup rohani. Cara penanganan masalah ini jelas: Kita sendiri harus memerlihatkan upaya untuk hidup rohani.


Transkrip:

"Hidup yang Rohani dan Pemberontakan Anak"

Lengkap

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup yang Rohani dan Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Banyak orang berpendapat kalau keluarganya hidup secara rohani, rajin ke gereja, rajin membaca Kitab Suci maka tidak akan terjadi pemberontakan di dalam rumahnya terutama yang dilakukan oleh anak-anak mereka Pak Paul, tapi kenyataan berbicara lain. Dan ini bagaimana?

PG : Setuju, Pak Gunawan. Memang tidak mesti karena kita hidup rohani dan menaati Tuhan maka anak-anak kita akan mengikuti jejak kita, malahan tidak akan ada garansi kalau mulai dari anak-anak ecil kita ajarkan firman Tuhan dan berusaha keras mendekatkannya dengan Tuhan pada akhirnya akan menjadi anak-anak yang seperti kita inginkan yaitu hidup yang takut akan Tuhan.

Jadi pada masa pertumbuhan anak, ada begitu banyak faktor, ada begitu banyak situasi yang nanti akan masuk ke dalam kehidupannya yang nantinya bisa memberikan kepadanya angin baru atau haluan yang baru dalam hidup yang tidak kita setujui.
GS : Padahal ada janji Tuhan di dalam firman Tuhan yang mengatakan kalau kita sungguh-sungguh taat kepada Tuhan maka anak-anak kita akan diberkati oleh Tuhan, Pak Paul.

PG : Sudah tentu Tuhan tidak akan ingkar janji, itulah yang menjadi kehendak-Nya dan itulah keinginan-Nya. Namun di pihak lain kita juga harus mengerti bahwa Tuhan tidak memaksakan orang untuk enerima-Nya atau mengakui-Nya.

Tuhan mau agar anak-anak-Nya mengasihi Dia secara sukarela. Itu sebabnya ada anak-anak yang meskipun dibesarkan di dalam keluarga Kristen, mengenal Tuhan Yesus tapi pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Dia dan memang Tuhan tidak memaksa orang untuk menerima-Nya.
GS : Alasannya itu apa, Pak Paul?

PG : Karena cinta kepada Tuhan harus diberikan secara sukarela, kalau kita diprogram oleh Tuhan mengasihi Dia maka sudah tentu kita akan kehilangan makna kasih yang sesungguhnya. Itu sebabnya Than memberikan kepada kita kebebasan itu.

GS : Jadi kalau kita mau hidup secara rohani, maka kita harus bagaimana, Pak Paul?

PG : Seringkali yang kita harus sadari ialah meskipun kita tertarik pada hal-hal yang bersifat rohani namun belum tentu kita berminat untuk hidup secara rohani, ini adalah tema yang akan saya agkat.

Kenapa? Alasannya sangat sederhana karena hidup secara rohani mengharuskan kita menanggalkan hidup dari kendali di tangan kita. Jadi artinya kita berminat atau ingin tahu dengan hal-hal yang rohani, tidak sama dengan hidup secara rohani. Kadang-kadang saya tahu orang tua bertanya-tanya, "Kenapa anak saya yang tadinya rajin ke gereja, rajin membaca firman Tuhan atau giat terlibat di dalam pelayanan tapi sekarang tidak lagi menunjukkan minat yang sama bahkan ada di antara mereka yang memutar haluan dan menolak untuk pergi ke gereja." Sedikitnya ada dua penjelasan, yang pertama memang waktu anak-anak kecil mereka tidak memberontak tapi tidak berarti bahwa mereka sudah menerima tantangan untuk hidup secara rohani, sesungguhnya ia tidak memberontak sebab pada masa kecil dia belum memiliki pemikiran yang canggih untuk memutuskan apakah ini adalah sesuatu yang ingin atau yang tidak ingin dilakukannya, karena pada masa kanak-kanak secara kognitif kemampuannya untuk berpikir belumlah terlalu tinggi sehingga dia hanya mengikut saja. Dan pada masa dewasalah dia baru bisa berpikir dengan lebih kritis, lengkap dan sempurna sehingga belum tentu dia mau menerima. Bukankah pada masa anak kecil, dia harus mengikuti kehendak orang tua dan kemungkinan sudah ada pemberontakan dalam dirinya namun pada masa itu pemberontakan masih bisa dipadamkan dengan relatif mudah. Itu sebabnya anak mengikuti kehendak orang tua tanpa banyak protes, tatkala sudah besar barulah dia memberontak dan tidak mau mengikuti apa yang kita ajarkan kepadanya.
GS : Jadi semasa kecil anak memang penuh ketergantungan kepada orang tua dan ketika dia merasa sudah mandiri, dia boleh mengambil keputusan sendiri, dia boleh mengambil sikap sendiri. Apakah itu bentuk pemberontakannya?

PG : Betul sekali. Sebab sekarang dia tidak lagi harus bergantung dan di saat itulah dia akan menggunakan kebebasannya untuk benar-benar menentukan kehendaknya.

GS : Itu tentu karena pengaruh lingkungan atau yang dia dapatkan dari media-media lain jadi semacam menumbuhkan kesadaran bahwa, "Kamu harus memutuskan sendiri dan tidak harus menuruti orang tuamu," itu juga bisa menjadi suatu pemicu, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi karena tekanan yang mengatakan, "Tidak mengapa kamu harus memilih ini dan sebagainya" seperti halnya memilih memakai baju akhirnya anak-anak kita juga berpikir, "Tidak aa-apa" tapi kita harus tekankan bukan masalah pakai baju warna kuning atau warna biru, tapi ini masalah keyakinan kita dan hubungan kita dengan Tuhan yang akan berdampak sampai pada kekekalan.

GS : Mungkin ini juga bisa dikatakan sebagai dampak negatif dari pengenalan hak asasi manusia, karena banyak orang yang mengatakan, "Ini hak asasiku untuk aku memilih apa yang aku mau, tidak harus menuruti Papa dan Mama."

PG : Saya kira ada dampak atau pengaruh itu juga, meskipun di pihak yang lain kita juga justru harus bisa berkata, "Dengan adanya kesadaran bahwa mereka itu sekarang bisa dan boleh memilih sekeendak hati maka dengan kata lain kalau mereka sungguh-sungguh memilih Kristus, mereka memilih atas dasar pilihannya bukan karena ikut-ikutan atau pengaruh lingkungan".

Dengan perkataan lain, menguatnya konsep hak asasi manusia sedikit banyak memurnikan hal-hal untuk mengikut Tuhan, dari yang ikut-ikutan menjadi yang sungguh-sungguh ikut. Maksudnya orang yang ikut-ikutan akhirnya akan gugur. Mungkin dulu kita bersenang hati ketika melihat banyak yang ikut tapi sebetulnya banyak yang ikut-ikutan. Bukankah kita tahu bahwa Tuhan lebih mementingkan pengikut yang sungguh-sungguh mau mengikut Dia?
GS : Pak Paul, bagaimana mengenai pemberontakan terhadap kehidupan rohani ini sebenarnya?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, kita akan melihat mengenai penyebab anak memberontak terhadap kehidupan rohani. Yang pertama adalah anak memberontak sebab ia tidak siap untuk hidup rohani artiny hidup sesuai dengan tuntutan Tuhan sebagaimana tertera dalam Firman-Nya.

Pada masa kecil kerohanian pada dasarnya lebih merupakan masukan yang bersifat pengetahuan belaka. Sudah tentu tidak ada salahnya dengan hal ini, usia belia adalah tanah yang subur untuk bertumbuhnya firman. Jadi seyogianyalah ada anak yang diajak untuk mengenal Tuhan melalui cerita serta mulai mempraktekkan disiplin rohani seperti berdoa dan membaca firman Tuhan. Namun bagaimana pun juga pada usia-usia kecil ini penerapan firman dalam kehidupannya relatif terbatas dan tidak semuanya relevan untuk anak-anak pada usia belia. Misalnya godaan dosa cenderung terbatas pula sesuai perkembangan tubuh dan jiwa si anak. Memasuki usia remaja dan akhirnya dewasa awal anak barulah memasuki lebih banyak tantangan dan godaan. Pada saat itu firman Tuhan mulailah bertabrakan dengan keinginan-keinginan yang muncul dari dalam daging dan pada titik ini anak harus mengambil keputusan menuruti kehendak sendiri atau mengikuti kehendak Tuhan.
GS : Kalau anak sampai tidak siap atau belum siap menghadapi kenyataan kehidupan rohani yang seperti itu, suatu saat akan terjadi benturan antara apa yang dia ketahui dan dia imani dengan kenyataan dan kebenaran firman Tuhan. Apakah itu wujud dari kelalaian orang tua memersiapkan anak atau karena ketidaktahuan orang tua bahwa anak akan mengalami hal itu?

PG : Sudah tentu ada bagian yang harus kita akui yaitu seringkali pada masa anak-anak kecil yaitu tidak berpikir sejauh itu, menganggap yang penting anak-anak ke Sekolah Minggu semuanya akan bees dan nanti semuanya akan beres dan lurus.

Tapi saya kira kebanyakan orang tua juga tidak memikirkan sejauh itu dan orang tua tidak mengerti akhirnya mereka kurang memersiapkan anak. Tapi di pihak lain kita juga harus mengerti bahwa pada masa kanak-kanak mereka hanya bisa menerapkan firman Tuhan sejauh itu, sebab tantangan-tantangan dan godaan memanglah belum terlalu relevan dalam hidupnya. Misalnya pada masa anak-anak berumur 9 tahun dimana hormon-hormon seksual belum mencapai bentuk optimalnya, sudah tentu godaan seksual tidak terlalu relevan untuk anak-anak yang berumur 8 atau 9 tahun. Mungkin godaan yang lebih relevan untuk anak-anak seperti itu adalah godaan berbohong atau mencuri. Jadi minum-minuman keras, mabuk-mabukan hal itu memang belum relevan dalam hidupnya. Dengan kata lain dalam usia seperti itu, tugas orang tua atau tugas gereja harus memberikan panduan-panduan, pedoman-pedoman karena itulah yang memang bisa diterimanya. Kita berharap bahwa dalam penyampaian-penyampaian itu kita juga mulai memersiapkannya bahwa kelak dia mungkin akan menghadapi ini dan itu dan kemudian kita memersiapkan mereka, bagaimana nanti dia bisa mengatasinya. Tapi sudah tentu pengetahuan secara rasional, tidak sama dan berbeda dengan ketika dia menghadapi godaan itu. Jadi waktu dia sudah dewasa, dia benar-benar menghadapi godaan itu di depan matanya, untuk berkata "tidak" itu menjadi sangat susah.
GS : Jadi sekali pun dia tahu tapi belum tentu dia mampu mengatasi godaan dosa itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Waktu seseorang itu menjadi dewasa, maka makin banyak godaan yang harus dia hadapi, itu berarti kemungkinan besar dia makin jatuh di dalam dosa, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi semakin sering dia jatuh ke dalam dosa maka ini yang menjadi masalahnya maka semakin besar pula godaan untuk meninggalkan Tuhan. Memang ada yang akan dengan terbuka mengkui kegagalannya dan memohon dukungan doa atau meminta agar teman-temannya itu memberikan dukungan dan kekuatan.

Tapi ada pula yang tidak bersedia mengakui kegagalannya dan malah menyalahkan perintah Tuhan sendiri. Anak yang tidak bersedia mengakui kegagalannya adalah anak yang pada akhirnya memberontak. Dengan kata lain pemberontakan merupakan wujud pergumulannya menaati Tuhan.
GS : Tapi memberontak ini, memberontak kepada Tuhan atau kepada orang tuanya Pak Paul?

PG : Sebetulnya pada dasarnya memberontak kepada Tuhan karena dia tidak sanggup, tidak bisa menaati Tuhan. Sudah tentu orang tua yang menjadi wakil Tuhan di rumah, yang mencoba mengingatkan ana, ia menjadi sasaran pemberontakan dia tapi sesungguhnya pemberontakan itu sebetulnya ditujukan kepada Tuhan, dia merasa tidak sanggup dan dia merasa kalau perintah ini tidak realistis, berlebihan, dia disalahkan, dihukum karena tidak bisa menaati firman Tuhan, dia tidak suka dan memberontak.

GS : Apakah itu dalam wujud anak ini tidak mau lagi ke gereja, tidak mau lagi membaca Kitab Suci, tidak mau lagi diajak berdoa. Apakah seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi banyak anak-anak di masa remaja atau dewasa yang akhirnya meninggalkan Tuhan, sebetulnya kalau mau jujur, mereka itu bergumul dengan kelemahannya, dengan dosa-dosa yang arus dihadapinya namun tidak mau mengakuinya dan daripada mengakui dan malah menyalahkan Tuhan, maka cara yang ditempuhnya adalah memutuskan hubungan dengan gereja dan dengan Tuhan supaya tidak perlu lagi diganggu oleh rasa bersalah.

GS : Kalau sudah seperti itu apakah ada cara penanganannya, Pak Paul?

PG : Sebagai orang tua kita harus mendampingi anak dengan kasih dan mengedepankan penerimaan, bukan penghakiman, katakan kepadanya kalau kita pun pernah mengalami pergumulan yang sama dan kita un bergumul dengan dosa.

Kendati kita sekarang ini belum bergumul dengan dosa yang sama. Tatkala kita membuka diri, pada umumnya anak akan merasa dirangkul dan inilah yang dibutuhkan oleh si anak.
GS : Masalahnya adalah kalau kita membandingkan seperti itu, kadang-kadang anak juga tidak mau dibandingkan, Pak Paul. "Papa dulu bisa mengatasi dan sebagainya dan sekarang saya menghadapi masalahnya yang lebih serius daripada yang Papa alami", hal ini justru memutuskan hubungan komunikasi antara orang tua dengan anak, Pak Paul.

PG : Dan memang saya kira untuk hal-hal tertentu kita harus akui bahwa godaan dan tantangan yang dihadapi anak sekarang jauh lebih besar. Contohnya sekarang adalah dalam hal godaan seksual, jau berbeda dengan godaan yang kita hadapi 30 tahun yang lalu karena sekarang bisa mendapatkan apa pun dengan begitu mudahnya.

Jadi dengan kata lain, pergumulan mereka jauh lebih berat dan inilah yang harus kita katakan kepadanya, "Kamu benar, dalam hal ini pencobaan yang kamu hadapi berlipat ganda dan lebih besar daripada yang Papa atau Mama hadapi dulu." Jadi kita tidak membutakan mata terhadap fakta bahwa memang untuk dosa-dosa tertentu, hal ini memang berat untuk mereka hadapi. Dengan kita berkata seperti itu, sekali lagi kita mengkomunikasikan penerimaan, pengertian kepada anak.
GS : Mungkin ada cara lain penangganannya, Pak Paul?

PG : Kita bisa mengajak anak untuk melanjutkan pergumulan anak dan bukan menghentikan pergumulan. Jadi ajaklah anak untuk datang kepada Tuhan kendati kita belum dapat membawa persembahan yang kdus, berilah pengertian juga kepadanya bahwa kadang kita pun juga harus datang kepada Tuhan membawa persembahan kudus.

Maksudnya hidup kita kudus tapi adakalanya kita datang kepada Tuhan membawa persembahan ampun, artinya kita mengakui bahwa kita tengah berdosa dan kita memohon pengampunan-Nya. Kita mesti mengingatkan dia akan janji Tuhan yang tertera di 1 Yohanes 1:8-10, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam diri kita."
GS : Menghadapkan anak dengan firman Tuhan di dalam kondisi seperti itu, apakah tidak akan membuat dia semakin menjauh dari Tuhan, Pak Paul?

PG : Justru dikatakan kalau firman Tuhan ini mengundang dan bukan menghalau kita, firman Tuhan justru mengakui bahwa semua yang datang kepada Tuhan ialah orang berdosa. Jadi tidak ada seorang pn yang dapat berkata, "Saya tidak berdosa" jadi firman Tuhan justru mengundang dia dan ini yang akan kita tekankan kepadanya.

GS : Mungkin ada sebab yang lain kenapa anak memberontak kepada kita ketika kita mengharapkan untuk dia hidup dengan rohani.

PG : Yang kedua adalah anak memberontak sebab dia tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh firman Tuhan. Pada usia remaja anak sudah memiliki kemampuan berpikir yang hampir mencapai bntuk finalnya.

Sebagai akibatnya anak mulai memertanyakan apa yang diketahui dan diterimanya, ada yang masuk di akalnya namun ada yang tidak masuk di akalnya. Makin canggih dan makin ilmiah corak pemikirannya maka makin berat tantangan yang harus dihadapinya untuk menerima bagian dari firman Tuhan yang memang sulit dicerna oleh nalar. Ada anak-anak yang akan mencari masukan tambahan untuk menambah pemahamannya akan firman Tuhan, tapi ada pula anak yang tidak, pada umumnya anak yang tidak mencari kebenaran akhirnya memutuskan bahwa dia tidak dapat lagi memercayai firman Tuhan, dia cenderung mencari kesimpulan sendiri dan membentuk pemahaman spiritual yang paling sesuai dengan pengertiannya.
GS : Kelihatannya memang ada anak-anak yang cenderung rohani, jadi memang senang dengan hal-hal yang bersifat rohani tetapi ada juga sebagian anak yang memang sejak kecil sudah kurang minat terhadap hal-hal yang rohani. Apakah hal itu benar, Pak Paul?

PG : Saya kira ya, memang tidak semua sama. Misalnya kita tidak memfokuskan pada anak-anak dan orang dewasa, secara statistik lebih banyak perempuan yang tertarik dengan hal-hal yang bersifat rhani dibandingkan laki-laki.

Kenapa seperti itu? Karena memang cara berpikir pria yang lebih rasional dan lebih konkret, itu memang akan lebih menyulitkan dia untuk membayangkan relasi dengan Tuhan yang memang abstrak. Jadi agak susah bagi laki-laki untuk menumbuhkan minat rohani. Jadi dengan kata lain, kita dengan anak laki-laki lebih harus berdialog dengan lebih intelektual, karena itulah yang lebih bisa diterimanya.
GS : Jadi cara penanganannya ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Kita harus mengajak anak untuk terus terlibat dalam dialog yang terbuka. Akan timbul godaan dengan kita untuk memadamkan perdebatan, seringkali kita marah atau kita katakan bahwa anak kitakurang ajar dengan Tuhan namun kita harus melawan godaan ini, kita harus dengan sabar mencoba menjawab pertanyaannya yang kadangkala bersifat menantang.

Kita juga sedapatnya mengembalikannya kepada firman Tuhan. Memang ada kecenderungan di pihak dia untuk mendasari argumennya atas nara sumber di luar Alkitab, coba dengarkan dan jangan kita langsung memutuskan, "Itu tidak benar dan sebagainya" tapi dengarkan dan ajaklah dia untuk melihat firman Tuhan. Jadi setelah mendengarkan argumennya yang dipaparkan sana-sini, kemudian ajak dia kembali kepada firman Tuhan. Dan yang juga penting adalah kita harus terbuka dengan pemikirannya pula. Mungkin kita juga perlu menerima masukannya sebab kita juga harus mengakui bahwa kita juga tidak mengetahui semuanya. Jadi ada hal-hal yang dia katakan dan masuk akal juga dan mungkin juga kita tidak bisa menerima sepenuhnya tapi kita katakan, "Baiklah itu juga masuk akal dan saya akan pertimbangkan, berilah saya waktu untuk memikirkannya." Dengan kita berkata seperti itu, maka kita mengkomunikasikan bahwa kita pun juga berniat mencari kebenaran bukan membela kebenaran kita saja. Dan itulah yang perlu dilihat oleh anak dari kita.
GS : Jadi sebenarnya ini juga memotivasi orang tua untuk belajar kebenaran firman Tuhan, Pak Paul, karena makin banyak anak yang kritis dan bertanya kepada orang tuanya. Saya rasa ini tidak bisa dengan mudah dilepas, "Tanya saja kepada pendetamu, pada guru agamamu dan sebagainya," tapi sebetulnya ini adalah tanggung jawab orang tua.

PG : Betul. Semakin kita itu tidak tahu apa-apa tapi kita memaksa anak untuk ikut dengan kita maka sebenarnya itu akan memancing pemberontakan anak, Pak Gunawan. Sebab mereka akan berpikir, "Paa dan Mama sendiri tidak tahu apa-apa tapi menyuruh kita, kita bertanya tapi mereka tidak bisa menjawab."

Itu membuat mereka makin menggelitik dan membuat mereka makin tergoda untuk berkata, "Tidak perlulah, karena Papa dan Mama sendiri tidak tahu apa yang mereka percaya tapi mengapa kita harus ikut-ikutan mereka." Jadi kita sendiri harus mendalami firman Tuhan, sehingga anak pun tahu bahwa kita ini sungguh-sungguh mengerti firman Tuhan.
GS : Tapi kalau pun itu terjawab, kadang-kadang yang namanya anak remaja seringkali ingin tahu hal yang lebih banyak. Maka mereka akan bertanya kepada orang yang justru tidak seiman dengan kita, yang mendukung argumen-argumennya dia.

PG : Sudah tentu. Jadi memang tidak bisa mengisolasi dia dari lingkungan. Jadi waktu kita dengar dia berkata ini dan itu berdasarkan sumber-sumber lainnya maka sekali lagi kita mencoba mendengakan dan jangan langsung mengecap atau melabelkan semuanya seperti ini dan itu, lebih baik jangan seperti itu.

Sebab semakin cepat kita melabelkan orang lain maka makin kita terlihat kalau kita hanya berpikiran sempit, tidak mau terbuka dengan pandangan-pandangan yang lain. Jadi silakan kita dengarkan dan berdialog namun tetap kembalikan dia ke firman Tuhan.
GS : Mungkin masih ada alasan yang lain, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah anak memberontak sebab mereka melihat kehidupan kita yang tidak rohani namun menuntutnya hidup rohani. Kita harus menyadari hal ini bahwa pada umumnya anak itu bereaks keras terhadap kemunafikan.

Jadi bila kita sendiri tidak hidup rohani akan sulit bagi kita memintanya untuk hidup rohani. Jadi cara penanganannya sangat jelas, yaitu kita sendiri harus memperlihatkan upaya untuk hidup rohani, mungkin kita tidak selalu berhasil namun akuilah kegagalan dan bangkitlah untuk mencoba kembali. Inilah yang diharapkan anak dan inilah cara terbaik menghadapi pemberontakan anak terhadap kehidupan rohani yaitu kita sendiri mencoba untuk hidup rohani.
GS : Bukan maksudnya orang tua itu hidup munafik tetapi di dalam segala keterbatasannya, orang tua seringkali gagal di dalam menjalankan kebenaran firman Tuhan, kalau sudah seperti itu dan anak melihat maka bagaimana meyakinkan anak kalau kita itu bukan munafik dan kali ini kita gagal.

PG : Kalau kita terlalu sering gagal, tidak bisa tidak lama-lama anak akan berkata "Percuma", yang pertama membuat dia merasa kalau kita itu hanya bisa bicara tapi tidak bisa melakukan, yang keua anak lama-lama juga akan berpikir "Kalau begitu Tuhan yang Mama dan Papa percaya tidak memiliki kekuasaan yang penuh, sehingga Papa dan Mama hanya bisa bicara tapi kemudian jatuh lagi ke dalam dosa."

Jadi sekali lagi di pihak kita, kita juga jangan mudah menoleransi dosa di dalam diri kita dan kita harus menunjukkan tekad kuat untuk hidup rohani, hidup benar di hadapan Tuhan.
GS : Kalau Pak Paul katakan, penanganannya adalah dengan mengakui kelemahan kita di hadapan anak, apakah itu tidak menurunkan wibawa orang tua terhadap anak?

PG : Saya kira kalau kita itu mengakui bahwa kita gagal tapi kita bangkit kembali maka kita akan tetap bisa memertahankan otoritas rohani kita, tapi kalau kita terus menerus bicara bahwa kita ggal dan kita gagal, maka saya rasa wibawa rohani kita akan langsung merosot.

GS : Jadi ini membutuhkan suatu usaha yang sungguh-sungguh dan terbuka di hadapan anak bahwa kita memang mau memerbaiki diri dan tidak ada salahnya jika kita meminta anak itu untuk mendukung kita, supaya kita bisa melakukan kebenaran firman Tuhan itu. Apakah seperti itu?

PG : Betul. Itu jauh lebih baik dari pada kita mencoba menutup-nutupinya, apalagi anak sudah besar kita juga memintanya mendukung dalam doa, menguatkan kita, saling mengingatkan dan sebagainya.

GS : Jadi kehidupan rohani yang akan kita bangun di dalam keluarga kita, itu bukan tanggung-jawab satu atau dua orang tetapi menjadi tanggung-jawab bersama orang tua, anak, suami-istri. Apakah seperti itu?

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hidup yang Rohani dan Pemberontakan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



100. Membesarkan Anak I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T314A (File MP3 T314A)


Abstrak:

Salah satu sumber penyesalan di masa tua berkaitan dengan hal membesarkan anak, meskipun ada banyak penyebabnya namun dapat dipastikan bahwa pada dasarnya kita TERLALU SIBUK DENGAN DIRI SENDIRI. Dalam bagian ini akan dipaparkan beberapa hal yang berhubungan dengan membesarkan anak yang kerap menjadi penyesalan di kemudian hari antara lain tidak cukup waktu, terlalu keras, terlalu lunak, terlalu menyetir anak, terlalu bergantung pada anak. Untuk itu sebelum menyesal di kemudian hari, cara apa yang harus kita lakukan untuk mendidik anak sejak usia dini?


Ringkasan:

Ada peribahasa yang berbunyi, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga." Kebanyakan kita berusaha untuk hidup sebaik mungkin supaya hidup tidak menyisakan penyesalan di hari tua. Namun pada kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat melewati hidup tanpa penyesalan. Seperti tupai yang terjatuh, kita pun tersandung dalam satu dua hal sehingga mesti menanggung penyesalan di hari tua. Berikut akan dipaparkan pelbagai ruang dalam kehidupan yang kerap menyisakan penyesalan. Mudah-mudahan melalui refleksi ini kita dapat menghindar dari kesalahan serupa sehingga kita tidak harus menyisakan penyesalan dalam hidup.

Salah satu sumber penyesalan di masa tua berkaitan dengan hal membesarkan anak. Meskipun ada banyak penyebabnya namun dapat dipastikan bahwa pada dasarnya kita TERLALU SIBUK DENGAN DIRI SENDIRI.

Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang berhubungan dengan membesarkan anak yang kerap menjadi penyesalan di kemudian hari.
  1. TIDAK CUKUP WAKTU.
    Ada kecenderungan tatkala muda kita bersemangat mengejar impian hidup dan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga akhirnya kita menjadi terlalu sibuk. Di dalam kesibukan biasanya kita mengurangi waktu kebersamaan dengan anak sebab anak masih kecil dan belum bisa protes. Sebagai akibatnya anak bertumbuh terlepas dari tali ikatan emosional dengan kita, orang tuanya. Tatkala besar mungkin sekali ia akan lebih banyak menyerap dari lingkungan pertemanan ketimbang kita.
  2. TERLALU KERAS.
    Oleh karena kita takut anak bertumbuh besar tanpa disiplin, kita memilih untuk menerapkan disiplin yang keras kepada anak. Padahal tidak selalu disiplin keras menghasilkan buah yang diharapkan. Kadang justru sebaliknya, makin keras kita mendisiplin anak, makin besar kemungkinan ia akan mengembangkan perilaku bermasalah. Sudah tentu di hadapan kita ia akan berlaku sebaik mungkin namun di belakang kita, ia menjadi seperti kuda liar yang terlepas dari kandang. Oleh sebab ia takut kepada kita, ia pun tidak berani untuk membagikan pergumulannya. Akhirnya semua hal dipikirkan sendiri dan diputuskan tanpa sepengetahuan orang tua.
  3. TERLALU LUNAK.
    Mungkin kita adalah korban kekerasan orang tua, itu sebabnya kita tidak bersedia mendisiplin anak, seburuk apa pun perbuatannya. Kita berjanji bahwa kita tidak ingin anak kita mengalami perlakuan seperti yang telah kita terima dari orang tua sendiri. Atau, mungkin kita begitu menyayangi anak sehingga tidak tega untuk menghukumnya kendati salah. Masalahnya adalah, anak memerlukan disiplin sama seperti ia membutuhkan kasih sayang. Jika kita menolak untuk mendisiplinnya, ia pun tidak pernah belajar untuk menghormati otoritas di atasnya.
  4. TERLALU MENYETIR ANAK.
    Adakalanya kita terlalu sibuk dengan impian kita sehingga kita menyetir kehidupannya seakan-akan hidupnya hanyalah perpanjangan dari hidup kita sendiri. Apa yang kita anggap baik kita wajibkan dia untuk melakukannya pula. Bila memang ia memiliki bakat dan kemampuan seperti kita, ia akan dapat melakukan yang kita harapkan. Namun, jika bakal dan kemampuannya berbeda dari kemampuan kita, maka memaksanya melakukan apa yang kita tetapkan hanyalah akan melemahkan jiwanya. Besar kemungkinan ia tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan, malah akhirnya tertekan dan malu.
  5. TERLALU BERGANTUNG PADA ANAK.
    Kadang kita terlalu sayang pada anak, kadang kita terlalu bangga dengan anak. Alhasil kita menggantungkan penghargaan diri dan kebahagian hidup pada anak. Sewaktu ia naik, kita turut naik. Sebaliknya, ketika ia merosot turun, kita pun ikut turun.

Terlalu bergantung pada anak membuatnya menjadi kuat dan tidak lagi takut kepada kita.
Firman Tuhan kepada kaum bapak adalah, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4)
Orang tua yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri pastilah membangkitkan amarah anak. Orang tua yang memberi dirinya kepada anak sepenuhnya dan menerapkan disiplin yang tepat, ia akan menerima kasih dan hormat anak.

Berikut akan dipaparkan hal apakah yang mesti kita utamakan dalam membesarkan anak agar kita tidak menuai penyesalan di hari tua.
  1. KONSEP YANG BENAR.
    Pertama kita harus memunyai pemahaman yang benar terhadap anak. Kita harus melihat anak sebagai seorang manusia yang diciptakan Tuhan melalui darah dan daging kita untuk bertumbuh besar menjadi seorang yang mandiri dan terpisah dari kita. Kita mesti membesarkannya untuk menjadi seseorang sebagaimana diinginkan Tuhan. Dengan kata lain, tugas kita sebagai orang tua adalah menyiapkannya agar ia menjadi seorang manusia yang utuh dan siap berelasi serta dipakai Tuhan. Berangkat dari pemahaman ini, kita pun seyogianya mendoakan anak agar rencana Tuhan—bukan rencana kita--digenapi di dalam dan melalui hidupnya. Juga, berangkat dari konsep ini, kita pun mengerti bahwa kita tidak memunyai hak milik atas diri anak-anak kita, Tuhanlah yang memunyai hak milik atas dirinya.
  2. RELASI YANG BENAR.
    Kita harus menjalin relasi yang benar dengan anak dan relasi yang benar dengan anak adalah sebuah relasi yang membangun. Ibarat bangunan, anak sedang dibangun untuk menjadi sebuah manusia yang utuh dan kokoh. Bahan bangunan yang diperlukan untuk membangun anak adalah kasih dan disiplin. Limpahkan kasih kepada anak supaya anak tahu dengan pasti bahwa ia dikasihi dan berharga di mata kita—tanpa ia harus menyumbangsihkan suatu prestasi pun. Jangan sampai anak baru merasa dikasihi dan dihargai bila ia berhasil menyumbangsihkan sesuatu yang memberi kita kebanggaan. Dasar kasih kepada anak adalah dirinya sendiri—apa adanya. Kita mengasihinya sebab ia anak kita. Titik. Kita pun perlu memberinya disiplin yang sesuai sebab tanpa disiplin anak cenderung bertumbuh liar tanpa arah dan motivasi. Disiplin tidak harus berbuntut pemukulan sebab yang terpenting dalam penerapan disiplin adalah kejelasan dan ketegasan. Dan satu hal lagi, disiplin harus dibungkus dengan kasih. Sebagai orang tua kita harus memastikan bahwa anak mengerti dengan jelas apa yang baik dan apa yang buruk.
  3. HIDUP YANG BENAR.
    Membangun anak menjadi pribadi yang utuh juga mengharuskan kita untuk menuntunnya untuk hidup benar, dalam pengertian hidup berkenan kepada Tuhan. Kadang kita berprinsip, bahwa kita harus membiarkan anak memilih jalan hidupnya sendiri tanpa mengarahkannya sama sekali. Bahkan ada di antara kita yang enggan untuk memberitahukan jalan keselamatan yang benar di dalam Kristus lewat penebusan-Nya. Anak mesti diperingatkan bahwa hidup merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan dan bahwa kita tidak bisa hidup semaunya. Anak perlu mendapat arahan dan perlu mendengar berita pengampunan dosa dalam Kristus. Jangan sampai ia menolak Kristus karena ia sama sekali tidak mengenal-Nya. Tugas kitalah menunjukkan kepadanya jalan dan kebenaran dan hidup di dalam Kristus.
  4. PASANGAN YANG BENAR.
    Kita harus mengawal anak dalam proses pemilihan pasangan hidup dan proses ini bermula bukan pada saat ia menyukai seseorang. Pada kenyataannya anak belajar memilih pasangan hidup lewat apa yang dilihatnya di rumah. Dari relasi kita sebagai suami-istri anak belajar untuk menjadi suami dan istri sekaligus belajar, suami dan istri seperti apakah yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya. Kita pun mesti mengarahkan anak kepada Firman Tuhan supaya ia memilih seorang pendamping yang seiman agar mereka berdua dapat menyembah dan melayani Yesus Tuhan kita. Kita harus menekankan kepadanya bahwa pasangan hidup yang keliru akan memengaruhi hidupnya secara mendalam.
KESIMPULAN:
"Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya kerajaan Allah." (Markus 10:14) Tugas kita sebagai orang tua adalah membesarkan anak dan membawanya datang kepada Kristus. Jangan sampai kita malah menghalanginya datang kepada Tuhan karena kehidupan kita. Sadarlah bahwa anak hanya bertumbuh sekali. Ia tidak akan mengulang proses pertumbuhannya. Jadi, jangan sia-siakan waktu bersamanya. Kasihi anak dan nikmatilah kebersamaan dengannya.

Transkrip:
Lengkap

Hidup Tanpa Penyesalan -"Membesarkan Anak"

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan seri dari Hidup Tanpa Penyesalan dan kali ini kami akan membicarakan tentang"Membesarkan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Rupanya kalau kita keliru di dalam hal membesarkan anak, itu bisa menimbulkan penyesalan di hari tua, Pak Paul?

PG : Seringkali itu yang terjadi, Pak Gunawan. Sebab di hari tua waktu kita melihat anak-anak kita menjadi seperti ini, hubungan kita dengan anak menjadi begitu, kita menjadi berangan-angan,"kaau saja saya bisa memutar jarum jam sehingga bisa memerbaiki relasi, atau saya bisa berbuat atau berkata itu kepada anak saya", tapi faktanya kita tidak bisa memutar jarum jam.

GS : Yang seringkali pada prinsipnya secara ringkas, sebenarnya hal-hal apa yang membuat kita keliru di dalam mendidik anak, Pak Paul?

PG : Sudah tentu akan kita bahas nanti, ada banyak penyebabnya tapi saya kira satu tema utama kenapa seringkali kita membuat kesalahan dalam membesarkan anak adalah karena kita terlalu sibuk degan diri sendiri.

Sebab pada akhirnya membesarkan anak menyita atau menuntut waktu, tenaga, perhatian dari pihak kita, sehingga apa yang kita akan kerjakan untuk sementara mesti dikesampingkan, agar kita bisa memberi waktu kepada anak kita. Jadi seringkali kita tidak bisa atau tidak rela memberi waktu kepada anak, karena kita sibuk dengan kepentingan sendiri akhirnya anak-anak dikorbankan.
GS : Tapi kalau ditanyakan kepada para orang tua ini, ketika anak-anak ini masih kecil, masih balita dan sebagainya, itulah waktu untuk orang tua membangun karier dan mereka tidak mengatakan,"Ini bukan untuk kepentingan saya pribadi tapi ini untuk kepentingan keluarga secara keseluruhan", akibatnya anak terabaikan.

PG : Betul. Sudah tentu saya mengerti bahwa kita sebagai manusia punya aspirasi, kita diberikan kemampuan oleh Tuhan sehingga kita mau merealisasikan kemampuan itu, karier adalah wujud nyata atu cara atau jalan kita mewujudkan potensi dan keinginan kita itu.

Namun sekali lagi hidup itu menuntut keseimbangan karena kita bukan saja berperan sebagai seorang pekerja atau seorang pengusaha, tapi kita juga seorang suami atau seorang istri, berarti dalam tugas sebagai istri atau suami, kita harus memberikan waktu untuk kepentingan tersebut. Jika Tuhan memang memberikan anak kepada kita berarti kita adalah ayah atau ibu, jadi kita harus menyediakan waktu untuk tugas kita itu.
GS : Jadi kesibukanlah yang seringkali membuat orang mengabaikan perhatian terhadap anaknya, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi akhirnya waktu kita dihadapkan dengan pilihan antara melakukan keinginan, kepentingan kita atau memberikan waktu untuk anak kecenderungan kita adalah mendahulukan kepentngan sendiri.

GS : Jadi di sini faktor waktu yang bisa menyebabkan kita kehilangan kesempatan atau kehilangan saat bersama-sama dengan anak.

PG : Betul. Jadi satu penyebab yang umum kenapa kita tidak membesarkan anak-anak dengan baik adalah karena kita tidak cukup waktu dengan anak-anak kita. Kita terlalu bersemangat mengejar impianatau mencari uang dan dalam kesibukan akhirnya kita mengurangi waktu kebersamaan dengan anak dan karena anak masih kecil dan masih belum bisa protes, anak diam saja sehingga kita beranggapan kalau anak diam saja atau tidak protes itu berarti anak baik-baik saja, tapi faktanya tidak demikian.

Masalahnya begitu kita mengurangi waktu dengan anak, kita pun mengurangi kesempatan untuk anak menyerap dari diri kita. Menyerap apa? Menyerap nilai-nilai hidup kita yang membentuk karakter kita dan sebagai akibatnya anak bertumbuh terlepas dari tali ikatan emosional dengan kita orang tuanya dan tidak lagi menyerap banyak dari kita. Dengan kata lain modal yang diterimanya untuk dia menumbuhkan dirinya terlalu sedikit. Akhirnya waktu dia agak besar atau sudah sekolah maka dia akan lebih banyak menyerap dari lingkungan dan bukan dari kita.
GS : Dampaknya itu baru terlihat kemudian, pada saat anak ini masih kecil seperti yang Pak Paul katakan yaitu diam saja. Bagi orang tua merasa tidak apa-apa dengan kesibukan itu, tapi setelah anak ini menjadi dewasa timbul masalah baru.

PG : Betul sekali. Karena tidak adanya atau kurangnya ikatan emosional antara anak dan orang tua, misalnya waktu dia sudah remaja dia ingin melawan orang tuanya atau menyakiti hati orang tuanya dia akan lebih sanggup melakukannya karena ikatan emosional itu tidak ada.

Kalau ada ikatan emosional, dia sayang dan tidak tega kepada mama atau papanya, dia tahu dia akan membuat papa atau mamanya menderita maka dia akan berusaha sekeras mungkin tidak mengeluarkan kata-kata yang menyerang atau menusuk hati orang tuanya, atau dia juga berusaha sekeras mungkin tidak melakukan hal-hal yang dia tahu akan sangat mendukakan hati orang tuanya.
GS : Tapi untuk membangun ikatan emosional itu butuh waktu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu, makanya kadang kita sebagai orang tua karena anak-anak masih kecil belum bisa bicara dan tukar pikiran dengan kita, maka kita anggap kalau mereka tidak perlu kita padahal yangdia perlukan adalah kebersamaan dengan kita, hidup sama-sama dan bermain di ruangan yang sama dan benar-benar bisa berinteraksi dengan anak, sehingga anak nanti bisa datang kepada kita duduk di pangkuan kita, tertawa atau menari di hadapan kita atau nanti bermain bersama kita.

Hal-hal kecil seperti itu yang membuat kita mungkin tidak penting, ternyata itu penting sebab itu bahan yang diperlukan seorang anak dan waktu dia menerimanya dari kita, dia menerima bahan-bahan dari kita sekaligus itu menjadi bahan perekat antara kita dengan anak kita.
GS : Kesulitan lain yang dihadapi orang tua adalah kecocokan waktu, Pak Paul. Kadang-kadang orang tua punya waktu pada malam hari, tapi anak sudah tidur karena kelelahan. Pada saat anak membutuhkan kita, kita sedang sibuk-sibuknya.

PG : Seringkali begitu. Jadi karena kita sekarang semakin sibuk dan anak-anak juga makin sibuk di sekolah akhirnya waktu sudah malam kalau anak yang sudah tidur atau kita yang sudah kelelahan shingga tidak bisa lagi memberi waktu kebersamaan dengan anak-anak kita.

Maka singkat kata ujung-ujungnya mesti ada prioritas atau suatu rencana bahwa demi keluarga atau demi anak-anak maka ini yang akan saya coba korbankan dan tidak lakukan meskipun tawaran ini atau undangan ini sesuatu yang baik. Jadi memang harus ada perencanaan dan ketetapan hati seperti itu.
GS : Bagaimana tanggapan Pak Paul bila ada orang tua yang mengatakan,"Yang penting bukan lamanya waktu saya bertemu dengan anak, tapi kwalitas waktu berkumpul dengan anak".

PG : Saya berikan contoh untuk menjawab pertanyaan itu. Waktu anak-anak misalnya masih di bawah usia setahun, anak-anak itu masih belum bisa bicara. Jadi sebetulnya kita juga tidak bisa terlaluberinteraksi dengan anak, tapi waktu kita pergi dari hadapannya maka anak itu akan menangis.

Jadi dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa anak itu membutuhkan kita, bukan membutuhkan pembicaraan dengan kita pada usia kecil, tapi dia butuh melihat kita dan butuh melihat keberadaan kita dan keberadaan kita di dalam diri anak memberi sebuah rasa aman serta memberi dia sebuah kestabilan, ada sebuah fondasi. Itu yang dibutuhkan oleh anak yaitu kehadiran. Maka sudah tentu pada waktu anak-anak masih kecil keberadaan kita sangat dibutuhkan dan sedapat-dapatnya kita setiap hari bersama-sama dengan dia. Nanti setelah semakin besar sudah tentu semakin banyak dilakukan interaksi lewat pembicaraan atau diskusi. Tapi memang waktu tetap harus diberikan dan kita tidak bisa mengukurnya dengan hitungan menit atau hitungan jam.
GS : Ada hal lain yang membuat hubungan kita dengan anak yang menyebabkan kita menyesal di hari tua, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah kita terlalu keras kepada anak. Adakalanya karena kita takut anak bertumbuh besar tanpa disiplin akhirnya kita memilih menerapkan disiplin yang keras kepada anak, padahl tidak selalu disiplin yang keras menghasilkan buah yang diharapkan.

Kadang justru sebaliknya makin keras kita mendisiplin anak maka makin besar kemungkinan dia akan mengembangkan perilaku bermasalah. Sudah tentu di hadapan kita dia akan berlaku sebaik mungkin, namun di belakang kita dia menjadi seperti kuda liar yang terlepas dari kandang, oleh karena dia takut kepada kita dia pun tidak berani untuk membagikan pergumulannya. Jadi pada akhirnya semua hal dipikirkan dan diputuskan sendiri tanpa sepengetahuan orang tuanya. Jadi singkat kata kalau kita terlalu keras kepada anak, kita sebetulnya sedang membangun tembok yang memisahkan kita dan anak-anak kita.
GS : Dalam hal ini memang seringkali karena kekurangtahuan atau kurangnya pengalaman orang tua makanya anak yang pertama yang seringkali menjadi korban kekerasan orang tua karena khawatir jangan-jangan ini terlalu lunak saya mendidik anak. Tapi nantinya kalau anak ini menjadi liar kita pun menjadi menyesal makanya dilakukan pengetatan yang luar biasa.

PG : Ada kecenderungan kita itu terlalu keras kepada anak pertama, karena kita memang cenderung lebih berhati-hati. Setelah lewat masanya anak kedua dan ketiga muncul kita akhirnya lebih santaikarena kita tahu tidak seperti itu dan kita tidak perlu sekeras itu.

Memang kita harus menyadari bahwa kalau kita terlalu keras kepada anak, ini akan berbuah buruk pada jiwa dan perilaku anak. Memang ada anak yang tampaknya baik-baik saja, namun sebetulnya jiwa dalam dirinya tidak bertumbuh dengan bebas dan dia akan penuh dengan ketakutan akan hukuman atau sarat dengan rasa bersalah, atau sebaliknya dia malah memberontak tatkala cukup banyak otot untuk melawan kita. Biasanya setelah dia mengembangkan masalah maka barulah kita sadar,"Kita terlalu keras kepadanya" dan kita juga menyesalinya tapi seringkali semua itu sudah terlambat.
GS : Ini juga merupakan kelanjutan dari pola orang tua kita mendidik kita, dulu kita menganggap bahwa orang tua kita mendidik kita dengan begitu keras dan saya tidak apa-apa, hubungan saya dengan orang tua baik-baik saja. Kemudian kita terapkan hal itu kepada anak-anak kita, Pak Paul.

PG : Seringkali begitu. Jadi memang kita menjadi penerus pola asuh dari orang tua kita, kita memang harus memilah apa yang kita anggap kurang tepat meskipun niat orang tua baik, tapi pola itu krang tepat maka kita ubah dan jangan kita teruskan.

Jangan kita membanggakan diri,"Karena saya dulu diperlakukan sekeras itu oleh orang tua saya, maka sekarang saya bisa menjadi maju, maka sekarang saya akan memerlakukan yang sama kepada anak-anak saya". Masalahnya adalah anak tidak selalu sama, ada anak yang diperlakukan keras dan memang bisa saja jadinya baik, tapi ada anak yang malah hancur di dalamnya. Kita memang harus mencoba metode yang lain. Tapi yang lebih saya tekankan, kalaupun kita nantinya tidak mempermasalahkan kekerasan orang tua, namun kekerasan itu membuat kita tidak bisa dekat dengan orang tua dan tidak bisa terbuka dengan dia; kecenderungan kita adalah kalau bisa kita mau melawannya dan itulah yang tidak kita ingin lihat pada diri anak-anak kita sekarang.
GS : Ketika orang tua menyadari kekeliruan ini dan masih pada tahap-tahap awal, apakah perlu orang tua meminta maaf kepada anak dan apakah akan menolong anak ini untuk kehidupan selanjutnya lebih baik, Pak Paul?

PG : Permintaan maaf selalu menolong untuk menyembuhkan hati yang luka, saya kira kita sebagai orang tua, kita harus memberi contoh yang baik yaitu kalau kita sadar bahwa kita telah berbuat salh maka kita meminta maaf,"Kalau dulu papa atau mama terlalu keras karena tidak mengerti dan takut karena kamu nanti tidak ada disiplin dan sebagainya, tapi papa atau mama sekarang sadar kalau kami salah, jadi saya minta maaf karena salah dan telah menimbulkan banyak luka di hatimu".

Saya kira permintaan maaf itu akan seperti obat merah di luka yang sedang berdarah.
GS : Tapi sebaliknya ada orang tua yang menyesal di hari tuanya karena dia merasa dulu waktu anaknya masih kecil, dia terlalu longgar terhadap anaknya, terlalu lunak, terlalu sabar sehingga anaknya sekarang menjadi kurang ajar kepada orang tuanya. Dia menyesali pada masa tuanya.

PG : Ada yang seperti itu, Pak Gunawan. Jadi seperti yang Pak Gunawan katakan, memang ada orang tua yang terlalu lembek dengan anak, kenapa? Mungkin dia dulu adalah korban kekerasan orang tuana.

Jadi dia bertekad dia tidak mau menerapkan pola yang salah kepada anak-anaknya tapi kebablasan. Dia tidak berani dan tidak mau mendisiplin anak, seburuk apa pun perbuatan anaknya, dia hanya mengajak bicara karena yang penting kita berjanji anak kita mengalami perlakuan buruk seperti yang kita alami. Tapi ada orang tua yang terlalu sayang kepada anak sepertinya anaknya itu terbuat dari kaca, gelas sehingga takut pecah disayangi seperti itu, dan tidak mau menghukumnya walaupun anak itu melanggar, kurang ajar dan salah. Masalahnya adalah anak memerlukan disiplin sama seperti dia membutuhkan kasih sayang, bukannya lebih sedikit tapi persis sama. Jadi kalau kita menolak mendisiplin anak maka dia akhirnya tidak pernah belajar untuk menghormati otoritas di atasnya. Maksudnya anak ini bertumbuh besar tidak takut siapa pun, jadi dia menganggap dirinya sebagai pusat kehidupan di mana dia mengharapkan semua orang tunduk kepadanya. Apa yang dia minta, apa yang dia inginkan dan apa yang menjadi hasratnya, dia akan lakukan dan dia mau mendapatkannya dan dia tidak bisa mengekang dirinya. Jadi apapun yang diinginkan harus dia turuti. Dan waktu dia mulai besar, orang tua kewalahan dan dia akan menuntut ini dan itu, dia memaksa orang tuanya untuk memberikan ini dan itu, ketika orang tuanya tidak memberi, dia marah, dia tidak mau bekerja dan sebagainya. Akhirnya orang tua benar-benar dibuat susah dan memang ada kasus-kasus seperti ini.
GS : Ada orang tua memang mengatakan dia berbuat seperti itu terhadap anaknya karena anaknya suka sakit-sakitan, mulai kecil sering sakit. Kalau dia bertindak keras atau terlalu ketat mendisiplin anaknya dia tidak tega. Atau anak ini adalah anak yang sangat lama dinantikan, jadi orang tua ini lama tidak punya anak dan kemudian lahir seorang anak, sehingga anak itu diperlakukan seolah-olah seperti bola kaca.

PG : Betul sekali. Dan seringkali itu yang terjadi akhirnya dalam usaha menyayangi anak kita merugikan anak. Tidak bisa memerlakukan anak terlalu lunak, tapi kita tetap harus menegakkan disipli bukan untuk kepentingan kita tapi justru untuk kepentingan si anak itu sendiri.

Kalau tidak akhirnya seperti yang saya sudah katakan, anak itu akan merasa berhak mendapatkan apa pun dan dia susah sekali tunduk kepada orang lain.
GS : Mungkin masih ada hal lain, Pak Paul, yang membuat orang tua menyesal karena sikapnya terhadap anak?

PG : Salah satu hal yang lain adalah ada orang tua yang terlalu menyetir anak dan terlalu menguasai, mengendalikan anak, sebab adakalanya kita ini terlalu sibuk dengan impian kita sehingga kitamau mengendalikan kehidupannya seakan-akan hidupnya hanyalah perpanjangan dari hidup kita sendiri.

Jadi kita mau kalau anak kita menjadi apa, maka dia harus menjadi apa. Kita tidak pernah menjadi apa maka kita kompensasi dia menjadi apa, maka dia harus jadi apa. Jadi benar-benar perpanjangan dari hidup kita. Bila memang dia memiliki bakat dan kemampuan seperti yang kita miliki, mungkin tidak apa-apa, dia akan bisa menjadi seperti yang kita harapkan. Tapi jika misalnya bakat dan kemampuannya ternyata berbeda dari kemampuan kita maka memaksanya melakukan apa yang kita harapkan justru hanya akan melemahkan jiwanya dan dia justru merasa tidak diterima oleh kita dan mungkin sering merasa gagal karena dia tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan orang tua, sehingga akhirnya anak ini membawa rasa malu dan rasa tertekan, karena dia tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan orang tuanya.
GS : Dalam hal ini orang tua yang mengarahkan anaknya, dia berpendapat anak ini tidak mengerti kalau tidak diarahkan dan dia sulit untuk membuat pilihan, kalau pun membuat pilihan selalu keliru. Jadi terpaksa diarahkan dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Awal-awalnya anak itu perlu pengarahan kita dan sudah tentu ada perbedaan karakter pada setiap anak, ada anak-anak yang memang lebih mandiri, lebih tidak mau minta bantuan orang tua, ada aak-anak yang lebih bergantung pada orang tua, kalau pun anak-anak lebih bergantung atau butuh pengakuan dorongan dari kita, tapi tetap kita secara bertahap mengajaknya atau memintanya memutuskan sendiri dan kita bisa tanyakan,"Sebetulnya yang kamu inginkan apa? Coba beritahu mama pilihan apa yang tersedia, tolong beritahu papa baik atau buruknya dari setiap pilihan itu apa, sekarang sudah tahu baik dan buruknya maka sekarang kamu pilih mana yang baik".

Jadi kita ajarkan dia proses pengambilan keputusan sehingga dia memiliki keterampilan itu dan kita memupuk keberanian sehingga dia berani mengambil resiko.
GS : Tapi itu lebih merepotkan orang tua, karena harus memberikan pilihan-pilihan, harus membimbing, mengarahkan, hal itu lebih mudah bagi orang tua kalau orang tua hanya mengarahkan saja,"Kita sudah tahu arahnya ke sini dan pasti sudah betul maka kamu sebagai anak mengikuti saya saja sebagai orang tua".

PG : Sudah tentu akan ada hal-hal yang kita putuskan bagi anak-anak, tapi meskipun kita harus memberi waktu lebih banyak, namun itu sebetulnya di awalnya saja karena nantinya setelah kita sudahmembekali dia dengan kemampuan mengambil keputusan yang baik maka dia akan bisa mengambil keputusan sendiri dan tidak perlu lagi bantuan kita.

Bukankah kita nantinya diuntungkan?
GS : Apakah ada orang tua yang menyesal di hari tuanya karena dia dulu terlalu memberikan kebebasan kepada anaknya?

PG : Ada. Kadang-kadang kita salah terlalu banyak memberi kebebasan kepada anak sehingga anak benar-benar akhirnya mengambil keputusan semaunya dan banyak yang salah yang diperbuatnya, maka kit harus mengimbangi antara memberdayakan anak sekaligus mengarahkan anak.

GS : Hal yang lain lagi yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Satu lagi, Pak Gunawan. Yang sering menjadi bahan penyesalan kita yaitu kita terlalu bergantung pada anak. Adakalanya kita terlalu sayang kepada anak atau kadang kita terlalu bangga dengananak akhirnya kita menggantungkan penghargaan diri kita dan kebahagiaan hidup kita pada anak, waktu dia naik kita turut naik dan sebaliknya ketika dia merosot turun, kita pun ikut turun.

Bila kita terlalu bergantung pada anak, maka kita akan kehilangan otoritas untuk mendisiplinnya dan sekaligus untuk mengarahkan hidupnya. Semua yang diperbuatnya kita anggap baik dan kita memberinya ijin melakukan apa pun yang dikehendakinya. Masalahnya adalah dengan perlakuan seperti itu, ego anak akhirnya makin hari makin besar. Begitu besarnya sehingga anak itu akhirnya sulit dibendung. Apa yang diinginkannya akan didapatkannya sebab sekali lagi orang tua terlalu lemah dan terlalu bergantung kepada dia, jadi karena kita lemah maka dia menjadi semakin kuat. Kalau misalnya satu hari anak kita memang tidak lagi bisa mengontrol dirinya kemudian dia menghadapi masalah yang besar dan dia tidak bisa menghadapinya, biasanya dia akan lari dari masalah. Anak-anak yang egonya besar akhirnya seringkali tidak bisa menghadapi tekanan hidup atau tantangan hidup kemudian lari dan larinya ke hal-hal yang salah, ada yang lari ke penipuan, narkoba dan sebagainya. Atau ada anak yang justru mengembangkan perilaku bermasalah karena sekali lagi egonya terlalu besar dan orang tua terlalu membanggakan dirinya. Akhirnya dia mengembangkan masalah di dalam hidupnya.
GS : Kalau ada orang tua yang memperlakukan anak seperti itu lalu dia berkata,"Keluarga kami adalah keluarga yang demokratis" jadi anak sekecil apa pun berhak bersuara. Misalkan keluarga ini mau bepergian dan ketika anak ini berkata,"Tidak perlu bepergian kali ini" maka semua keluarga mengikuti anak ini. Apakah ini salah satu bentuk ketergantungan orang tua kepada anak?

PG : Betul. Ada orang tua yang menganggap anak begitu pintar, dewasa, dipuja-puja sehingga si anak misalnya berkata,"Tidak mau makan di sini tapi makan di sana saja" kemudian semua ikut, orang ua berkata,"Kita ikut saja, kakak yang minta kita ikut saja".

Akhirnya anak itu terlalu besar egonya, anak yang terlalu besar egonya seringkali tidak punya daya tahan menghadapi tekanan hidup dan cenderungnya dia ambruk dan lari tidak mau menghadapi atau mengembangkan perilaku bermasalah nantinya. Jadi jangan sampai kita terlalu bergantung kepada anak atau mendewakan anak.
GS : Pak Paul, apakah itu bukan merupakan perlindungan yang berlebihan terhadap anak?

PG : Kadang-kadang kita seperti itu karena kita mau melindungi anak maka kita menjaga dia dan membatasi dia, menjauhkan dia dari masalah-masalah. Itu pun juga tidak sehat kalau kita terlalu memroteksi dia, sehingga dia terpisah dari hidup yang nyata.

Sekali-sekali biarkan dia menghadapi kegagalan dan kita mendorongnya untuk berani menghadapi kegagalan dan sekaligus menolongnya bagaimana sekarang memulai sesuatu yang baru dari kegagalan itu. Jadi sekali lagi biarkan anak itu mencicipi pahit dan manisnya hidup.
GS : Ternyata banyak sekali faktor-faktor yang membuat kita menyesal karena kita salah jalan. Tapi kita selalu mengatakan,"Kami orang tua penuh kekurangan dan tidak punya pengalaman" namun kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan dalam perbincangan ini?

PG : Jadi sekali lagi saya ingin tekankan kebanyakan dasar permasalahan kenapa kita tidak membesarkan anak dengan tepat, ialah karena kita terlalu sibuk dengan diri dan kepentingan kita. Jadi kta harus memberikan diri kita, waktu kita kepada anak.

Firman Tuhan di Efesus 6:4 mengingatkan kepada kaum bapak,"Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan". Orang tua yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri pasti membangkitkan amarah anak, orang tua yang memberikan dirinya kepada anak sepenuhnya dan menerapkan disiplin yang tepat justru menerima kasih dan hormat anak. Inilah yang nanti kita mau pelajari.

GS : Kita baru memperbincangkan tentang beberapa sikap yang keliru terhadap anak, tapi kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang untuk memperbincangkan sebaiknya bagaimana. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar kami mengucapkan banyak terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Hidup Tanpa Penyesalan dalam hal"Membesarkan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



101. Membesarkan Anak II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T314B (File MP3 T314B)


Abstrak:

Salah satu sumber penyesalan di masa tua berkaitan dengan hal membesarkan anak, meskipun ada banyak penyebabnya namun dapat dipastikan bahwa pada dasarnya kita TERLALU SIBUK DENGAN DIRI SENDIRI. Dalam bagian ini akan dipaparkan beberapa hal yang berhubungan dengan membesarkan anak yang kerap menjadi penyesalan di kemudian hari antara lain tidak cukup waktu, terlalu keras, terlalu lunak, terlalu menyetir anak, terlalu bergantung pada anak. Untuk itu sebelum menyesal di kemudian hari, cara apa yang harus kita lakukan untuk mendidik anak sejak usia dini?


Ringkasan:

Ada peribahasa yang berbunyi, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga." Kebanyakan kita berusaha untuk hidup sebaik mungkin supaya hidup tidak menyisakan penyesalan di hari tua. Namun pada kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat melewati hidup tanpa penyesalan. Seperti tupai yang terjatuh, kita pun tersandung dalam satu dua hal sehingga mesti menanggung penyesalan di hari tua. Berikut akan dipaparkan pelbagai ruang dalam kehidupan yang kerap menyisakan penyesalan. Mudah-mudahan melalui refleksi ini kita dapat menghindar dari kesalahan serupa sehingga kita tidak harus menyisakan penyesalan dalam hidup.

Salah satu sumber penyesalan di masa tua berkaitan dengan hal membesarkan anak. Meskipun ada banyak penyebabnya namun dapat dipastikan bahwa pada dasarnya kita TERLALU SIBUK DENGAN DIRI SENDIRI.

Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang berhubungan dengan membesarkan anak yang kerap menjadi penyesalan di kemudian hari.
  1. TIDAK CUKUP WAKTU.
    Ada kecenderungan tatkala muda kita bersemangat mengejar impian hidup dan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga akhirnya kita menjadi terlalu sibuk. Di dalam kesibukan biasanya kita mengurangi waktu kebersamaan dengan anak sebab anak masih kecil dan belum bisa protes. Sebagai akibatnya anak bertumbuh terlepas dari tali ikatan emosional dengan kita, orang tuanya. Tatkala besar mungkin sekali ia akan lebih banyak menyerap dari lingkungan pertemanan ketimbang kita.
  2. TERLALU KERAS.
    Oleh karena kita takut anak bertumbuh besar tanpa disiplin, kita memilih untuk menerapkan disiplin yang keras kepada anak. Padahal tidak selalu disiplin keras menghasilkan buah yang diharapkan. Kadang justru sebaliknya, makin keras kita mendisiplin anak, makin besar kemungkinan ia akan mengembangkan perilaku bermasalah. Sudah tentu di hadapan kita ia akan berlaku sebaik mungkin namun di belakang kita, ia menjadi seperti kuda liar yang terlepas dari kandang. Oleh sebab ia takut kepada kita, ia pun tidak berani untuk membagikan pergumulannya. Akhirnya semua hal dipikirkan sendiri dan diputuskan tanpa sepengetahuan orang tua.
  3. TERLALU LUNAK.
    Mungkin kita adalah korban kekerasan orang tua, itu sebabnya kita tidak bersedia mendisiplin anak, seburuk apa pun perbuatannya. Kita berjanji bahwa kita tidak ingin anak kita mengalami perlakuan seperti yang telah kita terima dari orang tua sendiri. Atau, mungkin kita begitu menyayangi anak sehingga tidak tega untuk menghukumnya kendati salah. Masalahnya adalah, anak memerlukan disiplin sama seperti ia membutuhkan kasih sayang. Jika kita menolak untuk mendisiplinnya, ia pun tidak pernah belajar untuk menghormati otoritas di atasnya.
  4. TERLALU MENYETIR ANAK.
    Adakalanya kita terlalu sibuk dengan impian kita sehingga kita menyetir kehidupannya seakan-akan hidupnya hanyalah perpanjangan dari hidup kita sendiri. Apa yang kita anggap baik kita wajibkan dia untuk melakukannya pula. Bila memang ia memiliki bakat dan kemampuan seperti kita, ia akan dapat melakukan yang kita harapkan. Namun, jika bakal dan kemampuannya berbeda dari kemampuan kita, maka memaksanya melakukan apa yang kita tetapkan hanyalah akan melemahkan jiwanya. Besar kemungkinan ia tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan, malah akhirnya tertekan dan malu.
  5. TERLALU BERGANTUNG PADA ANAK.
    Kadang kita terlalu sayang pada anak, kadang kita terlalu bangga dengan anak. Alhasil kita menggantungkan penghargaan diri dan kebahagian hidup pada anak. Sewaktu ia naik, kita turut naik. Sebaliknya, ketika ia merosot turun, kita pun ikut turun.

Terlalu bergantung pada anak membuatnya menjadi kuat dan tidak lagi takut kepada kita.
Firman Tuhan kepada kaum bapak adalah, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4)
Orang tua yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri pastilah membangkitkan amarah anak. Orang tua yang memberi dirinya kepada anak sepenuhnya dan menerapkan disiplin yang tepat, ia akan menerima kasih dan hormat anak.

Berikut akan dipaparkan hal apakah yang mesti kita utamakan dalam membesarkan anak agar kita tidak menuai penyesalan di hari tua.
  1. KONSEP YANG BENAR.
    Pertama kita harus memunyai pemahaman yang benar terhadap anak. Kita harus melihat anak sebagai seorang manusia yang diciptakan Tuhan melalui darah dan daging kita untuk bertumbuh besar menjadi seorang yang mandiri dan terpisah dari kita. Kita mesti membesarkannya untuk menjadi seseorang sebagaimana diinginkan Tuhan. Dengan kata lain, tugas kita sebagai orang tua adalah menyiapkannya agar ia menjadi seorang manusia yang utuh dan siap berelasi serta dipakai Tuhan. Berangkat dari pemahaman ini, kita pun seyogianya mendoakan anak agar rencana Tuhan—bukan rencana kita--digenapi di dalam dan melalui hidupnya. Juga, berangkat dari konsep ini, kita pun mengerti bahwa kita tidak memunyai hak milik atas diri anak-anak kita, Tuhanlah yang memunyai hak milik atas dirinya.
  2. RELASI YANG BENAR.
    Kita harus menjalin relasi yang benar dengan anak dan relasi yang benar dengan anak adalah sebuah relasi yang membangun. Ibarat bangunan, anak sedang dibangun untuk menjadi sebuah manusia yang utuh dan kokoh. Bahan bangunan yang diperlukan untuk membangun anak adalah kasih dan disiplin. Limpahkan kasih kepada anak supaya anak tahu dengan pasti bahwa ia dikasihi dan berharga di mata kita—tanpa ia harus menyumbangsihkan suatu prestasi pun. Jangan sampai anak baru merasa dikasihi dan dihargai bila ia berhasil menyumbangsihkan sesuatu yang memberi kita kebanggaan. Dasar kasih kepada anak adalah dirinya sendiri—apa adanya. Kita mengasihinya sebab ia anak kita. Titik. Kita pun perlu memberinya disiplin yang sesuai sebab tanpa disiplin anak cenderung bertumbuh liar tanpa arah dan motivasi. Disiplin tidak harus berbuntut pemukulan sebab yang terpenting dalam penerapan disiplin adalah kejelasan dan ketegasan. Dan satu hal lagi, disiplin harus dibungkus dengan kasih. Sebagai orang tua kita harus memastikan bahwa anak mengerti dengan jelas apa yang baik dan apa yang buruk.
  3. HIDUP YANG BENAR.
    Membangun anak menjadi pribadi yang utuh juga mengharuskan kita untuk menuntunnya untuk hidup benar, dalam pengertian hidup berkenan kepada Tuhan. Kadang kita berprinsip, bahwa kita harus membiarkan anak memilih jalan hidupnya sendiri tanpa mengarahkannya sama sekali. Bahkan ada di antara kita yang enggan untuk memberitahukan jalan keselamatan yang benar di dalam Kristus lewat penebusan-Nya. Anak mesti diperingatkan bahwa hidup merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan dan bahwa kita tidak bisa hidup semaunya. Anak perlu mendapat arahan dan perlu mendengar berita pengampunan dosa dalam Kristus. Jangan sampai ia menolak Kristus karena ia sama sekali tidak mengenal-Nya. Tugas kitalah menunjukkan kepadanya jalan dan kebenaran dan hidup di dalam Kristus.
  4. PASANGAN YANG BENAR.
    Kita harus mengawal anak dalam proses pemilihan pasangan hidup dan proses ini bermula bukan pada saat ia menyukai seseorang. Pada kenyataannya anak belajar memilih pasangan hidup lewat apa yang dilihatnya di rumah. Dari relasi kita sebagai suami-istri anak belajar untuk menjadi suami dan istri sekaligus belajar, suami dan istri seperti apakah yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya. Kita pun mesti mengarahkan anak kepada Firman Tuhan supaya ia memilih seorang pendamping yang seiman agar mereka berdua dapat menyembah dan melayani Yesus Tuhan kita. Kita harus menekankan kepadanya bahwa pasangan hidup yang keliru akan memengaruhi hidupnya secara mendalam.
KESIMPULAN:
"Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya kerajaan Allah." (Markus 10:14) Tugas kita sebagai orang tua adalah membesarkan anak dan membawanya datang kepada Kristus. Jangan sampai kita malah menghalanginya datang kepada Tuhan karena kehidupan kita. Sadarlah bahwa anak hanya bertumbuh sekali. Ia tidak akan mengulang proses pertumbuhannya. Jadi, jangan sia-siakan waktu bersamanya. Kasihi anak dan nikmatilah kebersamaan dengannya.

Transkrip:
Lengkap

Hidup Tanpa Penyesalan -"Membesarkan Anak" (II) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu dalam seri Hidup Tanpa Penyesalan dan kami sampai pada suatu pokok pembicaraan tentang"Membesarkan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pada kesempatan ini kita akan berbincang-bincang tentang beberapa cara supaya jangan kita menyesal di hari tua karena salah langkah di dalam kita membesarkan anak. Namun supaya para pendengar kita kali ini juga bisa mengingat kembali perbincangan kita yang lalu, atau mungkin pada waktu yang lalu tidak sempat mendengarkan ini, bisa mengikuti perbincangan kita dengan baik. Mohon Pak Paul mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu, Pak Paul?

PG : Kita sedang membahas topik yang berseri yaitu Hidup Tanpa Penyesalan. Salah satu hal yang seringkali menjadi bahan penyesalan yaitu kita salah mendidik anak. Kenapa kita bisa sampai kelirumembesarkan anak-anak kita? Saya sudah menggaris bawahi bahwa umumnya penyebab utamanya adalah kita terlalu sibuk dengan diri kita dan kepentingan kita sehingga tidak cukup waktu yang kita berikan kepada anak.

Atau kita terlalu keras kepada anak karena kita mau agar anak seperti yang kita inginkan dan jangan sampai anak kita bermasalah. Atau justru kebalikannya terlalu sayang kepada anak dan kita tidak tega sehingga terlalu lunak pada anak, setelah anak-anak besar mereka kurang ajar kepada kita dan tidak hormat. Atau ada di antara kita yang juga menyetir anak-anak karena kita ingin dia menjadi perpanjangan dan kebanggaan hidup kita, akhirnya dia tidak mampu dan justru menimbulkan masalah dalam hidupnya, dia malu dan tertekan. Atau satu lagi yaitu anak-anak menjadi pujaan kita dan kita mendewa-dewakan anak, bergantung pada anak sehingga nantinya anak-anak menguasai kita dan kita ketakutan pada anak. Jadi kita belajar jangan sampai kita salah dalam hal membesarkan anak-anak kita supaya di hari tua kita tidak hidup dengan penyesalan.
GS : Diakhir perbincangan kita waktu itu Pak Paul mengutip dari Efesus 6:4 yang mengatakan,"Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu", memang seringkali di dalam Alkitab, perintah-perintah seperti ini ditujukan kepada bapak-bapak seperti di Ulangan 6 dan seterusnya. Padahal kenyataannya di lingkungan kita ini yang mendidik anak adalah ibu-ibu.

PG : Jadi memang kita harus menyadari bahwa kita ini laki-laki sebagai ayah memang kurang memberikan waktu untuk anak-anak kita, sehingga istri kita yang terlibat atau lebih aktif lagi dalam mebesarkan mereka namun justru Tuhan mengingatkan kita para bapak, jangan lalaikan tanggung jawab kita, kita harus berandil dan kita harus mendidik anak-anak kita serta kita harus terlibat dalam proses membesarkan mereka.

Sebagai ayah hati-hati dengan kekasaran kita sebab kita adalah laki-laki memunyai sifat dasar yang kasar dan kadang-kadang dalam kondisi emosi, kekasaran itu bisa keluar. Jadi Tuhan meminta kita berhati-hati dan jangan sampai berlebihan membesarkan atau mendisiplin anak, sehingga justru akhirnya membuat dia marah dan benci kepada kita.
GS : Pada masa tua kita, ketika kita menyesali,"Kenapa dulu saya tidak memerhatikan pendidikan anak dengan baik" itu juga kadang-kadang kita menyalahkan istri kita bahwa istri kita tidak mampu mendidik anak dengan baik sehingga akibatnya seperti sekarang ini.

PG : Sudah tentu saya tidak akan berkata bahwa semua istri atau semua perempuan cakap, tahu, bijaksana dalam hal membesarkan anak, tidak semua. Sama seperti tidak semua bapak tahu dengan bijaksna bagaimana membesarkan anak, masing-masing perlu belajar dan perlu mengoreksi diri.

Tapi kadang-kadang memang bisa jadi ada kasus di mana si ayah mengerti bagaimana mendidik anak, tapi istrinya tidak mengerti. Jadi akhirnya memanjakan anak, membolehkan anak, melindungi anak, terlalu menoleransi anak, sehingga terjadi ketegangan di antara mereka dan anaknya makin besar makin kurang ajar dengan papa dan mama tapi si mama terus membela si anak. Bisa jadi seperti itu dan di hari tua si suami marah, menyesal,"Kenapa kamu kepada anak bertindak seperti itu, jadi sekarang anak kita seperti ini, jadi gara-gara kamu". Itu pun bisa terjadi tapi terpenting bukannya mengoreksi siapa yang salah tapi yang lebih penting adalah mencari apa yang bisa kita lakukan sekarang.
GS : Tujuan utama dari perbincangan ini tentu mencegah lebih baik dan para pendengar kita yang mungkin masih punya anak kecil, tentu perlu bimbingan dan pengarahan atau kiat-kiat khusus, apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh orang tua di dalam membesarkan anak supaya kita sebagai orang tua nanti pada masa tua tidak menyesal.

PG : Ada beberapa yang ingin saya bagikan, yang pertama adalah kita harus memiliki konsep yang benar. Apa yang saya maksud dengan konsep yang benar terhadap anak? Kita harus melihat anak sebagi seorang manusia yang diciptakan Tuhan melalui darah dan daging kita untuk bertumbuh besar menjadi seorang yang mandiri dan terpisah dari kita.

Dengan kata lain, anak bukanlah kepanjangan diri kita semata untuk menjadi seperti yang kita inginkan, kita jadinya harus membesarkan anak untuk menjadi seseorang sebagaimana diinginkan Tuhan, kita harus melihat karunia yang Tuhan berikan kepadanya, bakat dan kemampuannya, dan kalau kita melihat sifat-sifatnya seperti apa maka kita harus cocokkan semua itu dengan apa yang Tuhan inginkan dari seorang anak-Nya. Misalnya dia terlalu egois maka sifat itu yang harus kita kikis, misalnya dia terlalu lemah sehingga tidak berani tegas maka sifat itu yang harus kita tumbuhkan, misalnya dia kurang pemurah maka kita harus mendidik dia untuk lebih bisa bermurah hati. Inilah tugas kita sebagai orang tua menyiapkannya agar dia menjadi seorang manusia yang utuh dan siap berelasi serta dipakai Tuhan. Berangkat dari pemahaman ini, kita pun seyogianyalah mendoakan anak agar rencana Tuhan dan bukan rencana kita digenapi di dalam dan melalui hidupnya. Inilah yang kita harus camkan baik-baik. Jadi akhirnya saya mau tambahkan satu lagi berangkat dari konsep ini kita pun mengerti bahwa kita ini akhirnya tidak memiliki hak milik penuh atas diri anak-anak kita, Tuhanlah yang memiliki hak penuh atas dirinya, sehingga Dialah yang nanti menentukan apa yang paling baik untuk anak-anak kita dan kita hanyalah sarana di tangan Tuhan.
GS : Pemahaman yang benar ini yang perlu dibangun dan banyak orang merasa ini memang perlu tapi kadang-kadang tidak tahu caranya bagaimana memeroleh pemahaman yang benar ini. Anak dianggap sebagai miliknya 100% karena dia yang melahirkan dan membesarkan, maka anak ini adalah anak saya dan semau saya mendidik anak ini.

PG : Dulu saya bekerja sebagai Children's Social Worker, pengurus anak-anak yang dianiaya oleh orang tuanya di Amerika Serikat. Dari training yang harus saya lalui saya belajar hal yang menarikyaitu ternyata negara Amerika sendiri baru memberlakukan hukum melindungi anak tahun 1950 atau 1960, jadi belum terlalu lama dan yang menarik adalah hukum itu berangkat atau dibangun di atas hukum yang melindungi hewan dari kekejaman manusia.

Saya masih ingat latar belakangnya adalah ada seorang anak yang dianiaya oleh orang tuanya di sebuah tempat di sana. Tetangga melaporkan tapi polisi tidak bisa masuk karena tidak ada hukumnya. Jadi tidak bisa masuk ke dalam rumah si orang tua dan meminta si anak itu dilindungi oleh negara dan sebagainya, polisi tidak memiliki peranan hukum dan tidak bisa masuk ke rumah tapi tetangga terus mengeluhkan,"Kasihan anak ini diperlakukan tidak baik, kejam oleh orang tuanya". Akhirnya karena polisi mau berbuat sesuatu untuk si anak akhirnya mereka masuk mengambil si anak, keluar dari rumah orang tuanya dan menggunakan hukum melindungi hewan dari kekejaman, jadi"cruelty against animals". Dengan kata lain, kalau hewan itu dilindungi maka anak dianggap perlu dilindungi juga. Menarik sekali jadi karena itu akhirnya si anak bisa keluar dari rumah dan dilindungi, pengacara di pengadilan yang membela si anak mewakili negara berkata bahwa negara berhak melindungi si anak sebab hewan pun perlu dilindungi. Dari kasus ini akhirnya berkembang menjadi sebuah perangkat hukum yang melindungi anak dari kekejaman. Jadi memang betul sekali bahwa bagi kebanyakan kita, kita tidak memiliki konsep yang tepat sehingga cukup banyak orang yang menganggap anak adalah 100% hak milik kita sepenuhnya. Justru kita sekarang belajar bahwa Tuhan menciptakan manusia ini lewat manusia, dulu awalnya secara mujizat atau ajaib Tuhan menciptakan kita yang pertama, tapi setelah itu lewat manusia Tuhan menciptakan manusia. Dan untuk setiap manusia yang diciptakan-Nya, Tuhan memiliki rencana atas hidupnya. Kita hanyalah alat di tangan Tuhan dan kita sendiri tidak punya hak milik penuh atas anak-anak kita, Tuhan yang punya hidup.
GS : Pemahaman itu juga seringkali membuat orang tua mengeksploitasi anak-anaknya, menyuruhnya bekerja dan sebagainya, karena dianggap anak ini lahir di tengah keluarga kita, harus bisa membantu kita.

PG : Betul. Dan sudah tentu boleh meminta anak membantu orang tua sehingga anak belajar untuk bertanggung jawab atau misalkan waktu kita dalam kesusahan boleh meminta anak untuk membantu juga. api alasannya bukan untuk mengeksploitasi anak, sedapatnya kita membiarkan anak bertumbuh sebagai anak-anak dan jangan membebankan dia dengan tanggung jawab orang dewasa.

GS : Selain konsep yang benar, apalagi yang harus benar, Pak Paul?

PG : Relasi yang benar. Jadi orang tua harus menjalin relasi yang benar dengan anak. Relasi yang benar dengan anak adalah relasi yang membangun. Jadi kita harus selalu menguji apakah relasi kit dengan anak adalah relasi yang membangun atau relasi yang menghancurkan atau relasi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan anak, itu jadinya bukan relasi.

Ibarat bangunan, anak itu sedang dibangun untuk menjadi seorang manusia yang utuh dan kokoh. Bahan untuk membangun anak adalah kasih dan disiplin, dua hal itu dan saya memang di sini sangat percaya apa yang dikatakan oleh Dr. James Dobson. Dalam mendidik anak-anak, dia sangat menekankan dua hal, yaitu kasih dan disiplin. Jadi limpahkan kasih kepada anak, sehingga anak tahu dengan pasti kalau dia dikasihi dan berharga di mata kita, tanpa dia harus menyumbangsihkan suatu prestasi pun. Cukup banyak anak yang tidak tahu dia dikasihi apa adanya, sebab papa dan mama baru memujinya kalau dia berhasil menyumbangsihkan prestasi, kalau tidak ada prestasi orang tua tidak melimpahkan kasih atau pujian kepadanya. Dasar kasih kepada anak adalah dirinya, apa adanya dan kita mengasihinya sebab dia anak kita.
GS : Relasi yang benar ini apakah suatu relasi yang saling menguntungkan atau relasi yang bagaimana, Pak Paul?

PG : Relasi yang benar sekali lagi kita berusaha membangun anak. Jadi polanya, temanya, ciri khasnya adalah kita memikirkan bagaimana anak ini bisa dibangun dan apa yang harus kita lakukan yait mengasihi dan memberinya disiplin, sebab sekali lagi tanpa disiplin anak cenderung bertumbuh liar tanpa arah.

Sudah tentu kita harus camkan bahwa disiplin tidak harus berbuntut pemukulan sebab terpenting dalam penerapan disiplin adalah kejelasan dan ketegasan. Sebagai orang tua kita harus memastikan bahwa anak mengerti dengan jelas apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuatnya dan anak harus tahu dengan jelas. Kita juga harus berani bersikap tegas pada anak, sewaktu anak melanggar larangan yang kita berikan kepadanya. Sudah tentu ketegasan harus disesuaikan dengan usia anak dan jangan sampai kita menghukumnya secara berlebihan. Dan satu hal lagi disiplin harus dibungkus dengan kasih artinya setelah kita memberinya disiplin, kita harus merangkulnya, mengajaknya bicara dan harus mengingatkannya bahwa dia adalah anak yang kita kasihi dan berharga di mata kita. Inilah yang saya maksud dengan relasi yang membangun dan di atas kasih dan disiplin akhirnya anak bertumbuh menjadi seorang manusia yang utuh.
GS : Apakah kita bisa tahu sudahkah relasi kita dengan anak itu benar atau salah?

PG : Saya kira kita bisa melihatnya dari reaksi anak misalnya dia susah tunduk pada disiplin kita dan akhirnya relasi kita dengan dia lebih diwarnai oleh kemarahan dan konflik, pertengkaran-perengkaran.

Sedikit banyak kita bisa simpulkan kalau ini tidak tepat dan tidak membangun dan lebih banyak bertengkarnya. Kita harus duduk diam merenungkan dan bicara dengan pasangan kita, coba evaluasi, kalau belum ada titik simpulnya maka cobalah bicara dengan teman-teman yang lain atau carilah seorang konselor atau hamba Tuhan yang menguasai bidang keluarga dan tanya apa yang tidak pas dalam keluarga saya sehingga anak saya seperti ini terus. Kadang-kadang kita perlu masukan dari orang lain yang lebih objektif dan kita lebih tahu duduk masalahnya.
GS : Ada anak yang sangat baik berelasi dengan ibunya, tapi dengan ayahnya dia sulit berelasi. Ini kenapa, Pak Paul?

PG : Kadangkala karena kita sebagai ayah tidak terlalu sering di rumah, tidak banyak memberikan waktu bercakap-cakap dengan anak atau kita hanya berelasi dengan anak tatkala sedang mendisiplinna, menegurnya, memarahinya sehingga anak akhirnya melihat,"Kalau bicara dengan papa hanya waktu dimarahi atau ditegur tapi selain itu tidak ada omongan yang lain, bertanya kepada saya dan sebagainya" akhirnya anak merasa tidak dekat dengan si ayah.

Maka saya kira kita harus menyadari inilah bagian dari diri kita sebagai laki-laki, kita memang kurang berinteraksi dengan anak tapi kita harus lebih memerhatikan hal ini.
GS : Kalau relasi itu hanya satu pihak, jadi dari orang tuanya sudah berusaha dengan baik tapi anak ini tidak memberikan tanggapan yang positif, maka apa yang harus orang tua ini lakukan, Pak Paul?

PG : Saya kira sebaiknya seperti maju beberapa langkah dan berhenti tidak langsung maju, kemudian maju lagi dan berhenti lagi. Artinya kita mencoba mengajaknya bicara dan lihat tanggapannya kalu dia kelihatannya tidak mau bicara maka diamkan dan jangan kita paksa dia bicara.

Kadang-kadang yang terpancing dalam diri kita adalah rasa marah, tersinggung dan sebagainya,"Saya sudah bicara dengan kamu tapi perlakuanmu seperti ini", jangan seperti itu. Kita tahu bahwa kita bisa sejauh apa dengan dia, setelah itu kita berhenti dan lain kali kita bicara dan lihat reaksinya kalau reaksinya sudah tidak terlalu enak maka kita berhenti. Maka kita batasi sampai seperti itu. Sampai kapan? Seringkali sampai dia nanti memunyai anak, waktu dia sendiri punya anak dan dia menerima sedikit banyak kelakuan yang sama dari anaknya maka baru dia ingat,"Dulu saya seperti itu kepada mama dan papa, saya salah dan sekarang baru mengerti rasanya seperti apa". Jadi ada hal-hal yang tidak bisa kita ajarkan sampai pengalaman itu sendiri mengajarkan kita.
GS : Ada hal lain tentang hal ini yang perlu dibahas, Pak Paul?

PG : Kita sedang bicara tentang hidup tanpa penyesalan. Jadi kita mau belajar membesarkan anak dengan benar, selain dari relasi yang benar dan konsep yang benar. Maka yang ketiga adalah kita jua harus mengerti bahwa hidup mengajarkan hidup yang benar.

Membangun anak menjadi pribadi yang utuh mengharuskan kita menuntunnya hidup benar. Dalam pengertian hidup berkenan kepada Tuhan, kadang kita berprinsip bahwa kita membiarkan anak memilih jalan hidupnya sendiri dan kita tidak harus mengarahkannya dan bahkan ada di antara kita yang malas untuk memberitahukan jalan keselamatan yang benar di dalam Kristus lewat penebusan-Nya. Jadi anak perlu mendapat arahan dan perlu mendengar berita pengampunan dosa dalam Kristus. Anak harus diingatkan bahwa hidup merupakan bentuk pertanggungjawabannya kepada Tuhan dan bahwa kita tidak bisa hidup semaunya. Memang kadang kita tidak dapat memastikan bahwa anak akan menuruti apa yang disampaikan kepadanya, tapi setidaknya kita harus menanamkan hal ini dalam sanubarinya dan anak harus tahu bahwa misalnya keputusan salah akan berimbas luas di dalam hidupnya. Dan itu sebabnya dia harus hidup berhati-hati dan berhikmat, jadi jangan sampai anak bertumbuh besar memilih jalan yang salah karena dia sama sekali tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar. Dan terpenting adalah jangan sampai dia menolak Kristus karena dia sama sekali tidak mengenal-Nya, karena kita tidak pernah menunjukkan kepadanya Jalan dan Kebenaran dan Hidup di dalam Kristus. Jadi perlu mengajarkan anak akan hidup yang benar.
GS : Sebenarnya sejak kecil ada banyak anak di keluarga Kristen yang dibimbing oleh orang tuanya untuk mengenal Kristus, tapi sampai usia tertentu atau usia remaja lalu dia memilih jalannya sendiri. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Yang penting pada akhirnya kita melakukan bagian kita karena kita harus sadari anak ini akan menjadi seorang manusia yang terpisah dari kita dan waktu dia menjadi seorang manusia yang terpsah dari kita, kita tidak bisa mengendalikan pilihannya.

Jadi kita lakukan tugas kita dan jangan sampai kita lalai dan tidak pernah mengajarkan akan hidup yang benar di hadapan Tuhan, tidak pernah mengajarkan apa yang salah dan benar, apa yang baik dan apa yang buruk. Kalau kita tidak pernah mengajarkan itu semua berarti kitalah yang tidak melakukan tanggung jawab kita. Tapi kalau kita sudah melakukannya dan anak tetap memilih jalan yang salah, itu adalah di luar kemampuan kita.
GS : Tapi itu juga menimbulkan penyesalan di hari tua. Kita berpikir-pikir apa yang salah sehingga anak saya bisa seperti itu.

PG : Sudah tentu bagi setiap orang tua saya yakin kalau melihat anak akhirnya memilih hidup yang salah, meskipun si orang tua tahu dia telah melakukan tugasnya tapi tetap dia akan menengok ke blakang dan mencoba mencari tahu bahwa dia salah di mana.

Itu adalah reaksi normal sebab bagaimana pun kita sebagai orang tua, kita menyayangi anak dan kita bertanggung jawab atas kehidupan anak. Jadi kita tidak mau anak kita nanti hidup salah. Waktu anak-anak itu hidup salah kita rasanya bertanggung jawab dan kita menyesali,"Mungkin saya kurang ini dan itu". Sudah tentu kita akan selalu menemukan kesalahan sebab kita tidak sempurna namun cobalah kita melihat perspektif yang lebih objektif apakah memang kesalahan kitalah yang membuat dia seperti itu. Kalau ya maka kita harus akui dan minta maaf kepada anak kita, tapi kalau tidak, maka kita serahkan kepada Tuhan sebab Tuhan belum selesai dengan dirinya.
GS : Tapi katakan kita sudah minta maaf, anak ini berkata,"Saya ini memilih sendiri dan papa mama tidak salah, ini adalah jalan yang saya pilih".

PG : Dan dalam kasus seperti itu, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita hanya bisa mengingatkan dia akan konsekuensinya dan setelah itu lepaskan dia.

GS : Dan itu tetap menimbulkan penyesalan di hari tua?

PG : Biasanya ya. Tapi tetap kita harus menghibur diri kita bahwa kita sudah melakukan tugas kita. Sesalnya dalam pengertian,"kenapa dia begitu", tapi bukan menyesali,"kenapa saya begitu dulu" idak seperti itu.

Jadi saya kira berbeda.
GS : Pak Paul, selain tentang konsep yang benar, relasi yang benar, hidup yang benar yang Pak Paul sampaikan, apakah masih ada lagi yang benar yang harus kita lakukan?

PG : Terakhir Pak Gunawan, yang kadang-kadang menjadi penyesalan orang tua yaitu kita mesti mengawal anak agar dapat memilih pasangan yang benar dan ini penting, jangan sampai kita gagal atau llai mengawal anak dalam proses pemilihan pasangan hidup.

Kita harus sadar proses ini bermula bukan pada saat dia menyukai seseorang, tapi dimulai saat dia kecil sebab pada kenyataannya anak belajar memilih pasangan hidup lewat apa yang dilihatnya di rumah, dari relasi kita sebagai suami istri anak belajar menjadi suami dan istri, sekaligus belajar menjadi suami istri yang seperti apa yang menjadi pendamping hidupnya. Kita pun harus mengarahkan anak kepada firman Tuhan supaya dia memilih seorang pendamping yang seiman, agar mereka berdua dapat menyembah dan melayani Yesus Tuhan kita. Kita harus menekankan kepadanya bahwa pasangan hidup yang keliru akan memengaruhi hidupnya secara mendalam.
GS : Dalam hal pemilihan pasangan hidup bagi anak, banyak orang tua yang memilih pasif dalam pengertian tidak mau mendesak anaknya untuk mencari pasangan hidup, tapi tidak mau terlalu mencampuri hanya memberikan semacam pedoman saja. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Bagi saya kalau kita melihat anak kita benar-benar melakukan hal yang salah, maka bagi saya kita harus bersikap setegas mungkin dan kita tidak mau membiarkan dia jatuh ke jurang. Jadi kitamau menghalangi dia jatuh ke jurang.

Kalau akhirnya dia tetap memilih jalan itu maka kita tidak bisa mencegahnya maka sedapatnya kita menghalangi dia dan jangan sampai dia mengambil keputusan yang salah.
GS : Yang dikhawatirkan orang tua adalah dia konflik dengan anaknya kalau memang anaknya sudah memilih jalan seperti itu, maka orang tua tidak terlalu banyak bisa berperan.

PG : Betul. Dan kadangkala konflik itu harus terjadi dan bagi saya itu adalah konflik yang seharusnya, sebab benar-benar ini akan memengaruhi hidupnya untuk waktu yang berkepanjangan.

GS : Pak Paul, kita sudah sampai pada akhir perbincangan kita tentang membesarkan anak artinya supaya kita tidak menyesal pada hari tua karena keliru membesarkan anak, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Sewaktu anak-anak kecil datang mendekat kepada Tuhan Yesus, para murid berusaha menghalangi kemudian Tuhan berkata, "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi merek, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah", di Markus 10:14.

Jadi tugas kita sebagai orang tua adalah membesarkan anak, membawanya datang kepada Kristus dan jangan sampai kita malah menghalanginya datang kepada Tuhan karena kelakuan kita, karena kehidupan kita. Untuk apa memiliki segalanya namun harus melihat anak hidup di dalam kemalangan dan keterpisahan dari kasih karunia Tuhan. Juga sadarlah bahwa anak hanya bertumbuh sekali dan tidak akan mengulang proses pertumbuhannya. Jadi jangan sia-siakan waktu bersamanya, kasihi anak dan nikmatilah kebersamaan dengan dia sekarang.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Membesarkan Anak" bagian yang kedua, dalam seri Hidup Tanpa Penyesalan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



102. Iri Terhadap Saudara Sendiri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T322A (File MP3 T322A)


Abstrak:

Seyogianya kita tidak merasa iri dengan saudara sendiri namun pada kenyataannya, kadang kita merasa iri. Ada beberapa penyebab mengapa adakalanya kita merasa iri kepada saudara sendiri, antara lain : Kita dibanding-bandingkan oleh orang tua, sanak saudara, guru atau teman. Kita membanding-bandingkan diri karena menginginkan sesuatu yang dimiliki oleh saudara sendiri. Kita dapat merasa iri kepada saudara sendiri bila apa yang tadinya kita punyai kemudian dialihkan kepada orang lain. Kalau itu yang terjadi apa yang akan dilakukan oleh orang tua dalam menghadapi anak yang iri seperti ini?


Ringkasan:

Seyogianya kita tidak merasa iri dengan saudara sendiri namun pada kenyataannya, kadang kita merasa iri.
Ada beberapa penyebab mengapa adakalanya kita merasa iri kepada saudara sendiri.

  1. Pertama, kita dibanding-bandingkan oleh orangtua, sanak saudara, guru, atau teman. Sudah tentu kita dibandingkan secara negatif, dalam pengertian kita dinilai kurang. Misalnya, kita berkulit gelap sedang kakak berkulit terang. Di dalam kasus ini, sebenarnya rasa iri keluar dari kemarahan. Kita marah karena merasa ditolak oleh seseorang yang penting bagi diri kita. Sebagai pelampiasan, kita pun menujukan kemarahan dalam bentuk iri hati kepada seseorang yang digunakan sebagai perbandingan untuk menolak kita.
    Kain dan Habil adalah contohnya. Firman Tuhan (Kejadian 4:4-5) menjelaskan, "... maka Tuhan mengindahkan Habil dan korban persembahannya itu, tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya." Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kain marah kemudian membunuh adik kandungnya sendiri.
  2. Kedua, kita membanding-bandingkan diri karena menginginkan sesuatu yang dimiliki oleh saudara sendiri. Kita melihat "keberuntungannya" memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Misalnya, adik sangat pandai bergaul dan selalu dikelilingi teman sedang kita tidak memunyai teman. Oleh karenanya kita iri kepada adik karena keterampilannya bergaul membuatnya populer, sedangkan kita tidak dapat menikmati perkawanan yang luas. Di dalam Alkitab, Yusuf adalah contoh korban iri hati kakak-kakaknya. Kejadian 37:3-4 mencatat, "Israel lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia. Setelah dilihat saudara-saudaranya bahwa ayahnya lebih mengasihi Yusuf dari semua saudaranya, maka bencilah mereka itu kepadanya dan tidak mau menyapanya dengan ramah."
    Kita mengetahui apa yang terjadi setelah itu. Mereka menangkap Yusuf dan hampir membunuhnya. Mereka akhirnya menjual Yusuf sebagai seorang budak—yang sebenarnya sama dengan melenyapkannya. Mengapa mereka begitu iri kepada Yusuf? Oleh karena Yusuf mendapatkan sesuatu yang tidak mereka dapatkan yakni perhatian dan kasih sayang serta hadiah yang mahal dari ayah mereka, Yakub.
  3. Ketiga, kita dapat merasa iri kepada saudara sendiri bila apa yang tadinya kita punyai kemudian dialihkan kepada orang lain. Kisah Esau dan Yakub menceritakan tentang hal ini. Oleh karena semangkuk kacang merah, Esau dengan gampangnya menyerahkan hak kesulungannya kepada adiknya Yakub (Kejadian 25:34). Pada akhirnya Yakub pun memperdaya ayahnya Ishak dan berhasil memperoleh berkat anak sulung—hak yang memang telah dijual oleh Esau. Sebagaimana kita ketahui, Esau marah dan berjanji untuk membunuh Yakub setelah ayahnya meninggal dunia. Tidak bisa tidak, ada rasa iri di hati Esau karena apa yang tadinya menjadi miliknya, sekarang telah menjadi milik adiknya—kendati pada awalnya itu adalah akibat ulahnya sendiri.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik dari ketiga cerita ini tentang iri hati. Firman Tuhan, "Ada yang menyebar harta tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa namun selalu berkekurangan." (Amsal 11:24)

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Iri Terhadap Saudara Sendiri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, punya banyak saudara tentu sesuatu yang membahagiakan kita, tetapi disela-sela kebahagiaan itu sangat sering terjadi bahwa antar saudara bisa merasa iri bahkan sejak kecil dalam hal mereka bermain dan sebagainya itu merasa iri. Ada anak yang mengungkapkan hal itu, tapi ada pula yang tidak mengungkapkannya, namun dari tingkah lakunya kelihatan sekali bahwa dia iri terhadap saudaranya. Apa saja alasan-alasan yang membuat seseorang itu iri terhadap saudaranya bahkan terhadap saudara kandungnya sendiri?

PG : Ada beberapa penyebabnya, Pak Gunawan. Yang pertama adalah kita dibanding-bandingkan oleh orang tua atau guru atau oleh teman. Sudah tentu kita dibanding-bandingkannya secara negatif dalam pengertian kita dinilai kurang, misalnya kita ini berkulit gelap sedangkan kakak kita berkulit terang akhirnya muncul komentar-komentar, bahkan dari orang tua sendiri kadang-kadang muncul; kamu ini anak siapa? Kenapa kamu kulitnya gelap? Kakakmu kulitnya terang dan kami semua kulitnya terang dan sebagainya. Jadi adakalanya kalimat-kalimat yang dilontarkan baik oleh orang tua atau oleh sanak saudara atau oleh guru yang membanding-bandingkan kita membuat kita merasa ada yang kurang dalam diri kita. Jadi dengan kata lain, akhirnya muncullah iri hati karena saya dibandingkan dan saya dibandingkan kurang dan kakak atau adik saya dianggap lebih dan kita tidak mau dianggap kurang tapi kita mau dianggap lebih.

GS : Sebenarnya sejak usia berapa, Pak Paul, seseorang itu atau seorang anak menyadari atau mulai tumbuh rasa iri hatinya?

PG : Sudah tentu sejak usia anak-anak kecil berumur tiga atau empat tahun sudah mulai memunyai rasa ingin memiliki, makanya apa yang dilihatnya akan dia ambil, kakaknya sedang main sesuatu dia akan ambil sebab apa yang dia inginkan maka dia ingin langsung miliki. Tapi benar-benar rasa iri itu timbul ada pada usia sekitar 7 atau 8 tahun, jadi kira-kira di usia 8 tahun itulah anak-anak itu mulai bisa melihat dirinya dari luar. Artinya dia mulai bisa dengan objektif melihat apa yang dia miliki, apa yang tidak dia miliki dan bagaimana dia membandingkan dirinya dengan orang lain. Anak-anak kecil memang tidak bisa membandingkan diri dengan orang lain karena dia masih belum bisa keluar dari darinya dan membandingkan dirinya dengan orang lain. Kira-kira anak berusia 8 atau 9 tahunan, anak-anak sudah mulai bisa membandingkan dirinya. Dan waktu anak-anak itu mulai bisa secara objektif keluar dari dirinya dan kemudian memandang kembali dirinya dan membandingkannya dengan orang lain maka barulah dia bisa mengatakan, "Kenapa saya tidak punya ini dan dia punya ini ya, dan ternyata ini lebih baik daripada yang saya punya". Di saat-saat seperti itulah iri hati yang sesungguhnya seperti yang kita kenal, barulah muncul.

GS : Jadi sebenarnya walaupun tidak ada orang yang membanding-bandingkan dia, dia sendiri akan membandingkan dirinya dengan orang lain, begitu, Pak Paul?

PG : Seringkali itulah yang terjadi. Jadi karena dia sering dibanding-bandingkan dan dia tidak suka maka nanti lama-lama tanpa dibanding-bandingkannya pun dia juga mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Sebetulnya dalam kasus ini, misalnya dalam kasus yang pertama yang baru kita bahas, rasa iri keluar dari kemarahan. Sebetulnya sudah ada unsur marah karena kita merasa ditolak oleh orang yang penting bagi kita, misalkan dalam hal ini orang tua. Kadang-kadang orang tua menganggap bergurau, misalkan tadi yang saya singgung, "Kamu ini kulitnya gelap dan kakakmu kulitnya putih" walaupun bergurau tapi karena itu dikatakan oleh orang tua sendiri maka kita merasa adanya penolakan, kita menjadi marah. Biasanya sebagai pelampiasan kita menunjukkan kemarahan dalam bentuk iri hati kepada seseorang yang digunakan sebagai perbandingan untuk menolak kita. Mungkin kita sudah marah kepada orang tua kita, tapi yang dijadikan sasaran kemarahan adalah misalkan kakak kita itu, sebab dia yang dibandingkan dan dia yang punya lebih dan kita yang tidak punya. Jadi kita marah kepada orang yang dibandingkan dengan kita itu.

GS : Tapi seringkali walaupun marah seorang yang marah itupun kadang-kadang masih menutup-nutupi kemarahannya atau dia tidak mengakui dengan jujur bahwa dia marah karena iri.

PG : Memang itu bukan perasaan yang nyaman bahkan anak kecil sekalipun, kalau kita tanyakan, "Kamu marah karena kamu iri ya?" jawabannya pastilah, "Tidak" sebab secara alamiah rasa iri menempatkan kita di bawah orang lain. Itu sebabnya sulit bagi kita mengakui bahwa saya iri, sebab kita tidak mau ditempatkan di bawah orang lain. Itu sebabnya kita bisa melihat contoh di dalam Alkitab Kain dan Habel, iri hati bisa berbuahkan sebuah tindakan yang sangat kejam. Misalkan di Kejadian 4:4-5 ditulis, "Maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya". Kita tahu kisah selanjutnya bahwa Kain marah kemudian membunuh adik kandungnya sendiri. Jadi begitu kuatnya perasaan iri karena marah, "Saya dianggap kurang, ditolak oleh figur penting dalam hidup saya, maka dilampiaskanlah kemarahan itu kepada orang yang dibandingkannya dengan kita".

GS : Jadi sebenarnya dari pihak Tuhan, tidak mau memperbandingkan antara Habel dan Kain. Itu hanya perasaan Habel terhadap Kain.

PG : Jadi yang terjadi adalah Tuhan sedang mengur Kain sebab pada intinya kenapa Tuhan tidak menerima persembahannya? Karena persembahan hanya mau Tuhan terima jika dipersembahkan dengan hati tulus. Memang ada orang yang menginterpretasi mungkin karena Kain tidak memersembahkan hewan tapi memersembahkan tumbuh-tumbuhan. Saya rasa bukan! Tuhan itu tidak memusingkan apa yang dipersembahkan tapi Tuhan jauh lebih memedulikan hati yang memersembahkan. Jadi rupanya hatinya, makanya Tuhan memeringatkan kepada Kain, "Hati-hati setan sedang mau menggodamu, mau masuk ke dalam dirimu jangan sampai kamu jatuh ke dalam pencobaan" tapi tetap tidak didengarkannya malah tambah marah dan memutuskan membunuh saingannya itu, yang adalah saudaranya sendiri.

GS : Jadi artinya kalau kita sudah memunyai rasa iri terhadap orang lain, ditegur pun kita malah mengeraskan hati dan malah melakukan hal-hal yang tidak terpuji lagi, Pak Paul.

PG : Rupanya dalam kasus Kain, dia tambah marah waktu Tuhan tegur dia. Tuhan menolak persembahannya sebab Tuhan ingin mendidik dia untuk memberi persembahan dengan hati yang tulus, sungguh-sungguh bersyukur atas karunia Tuhan kepadanya. Itu yang tidak dimilikinya tapi dia malahan tambah marah, malahan iri dan bukan melihat dirinya bahwa dia memang tidak memiliki ketulusan memberikan persembahan, tapi justru membuahkan keirian di dalam kemarahan yang begitu besar.

GS : Selain karena kita dibandingkan apakah ada alasan lain, Pak Paul, sehingga timbul iri hati?

PG : Biasanya kita juga membanding-bandingkan diri karena menginginkan sesuatu yang dimiliki oleh saudara kita. Misalnya kita melihat "keberuntungannya" memiliki sesuatu yang tidak kita miliki misalnya adik kita sangat pandai bergaul selalu dikelilingi teman, sedangkan kita tidak memiliki teman sebanyak adik kita. Oleh karenanya kita iri kepada adik kita karena keterampilan bergaulnya membuatnya populer, sedangkan kita tidak dapat menikmati perkawanan yang luas. Jadi kenapa kamu beruntung? Gara-gara kamu mudah bergaul jadinya kamu memiliki sesuatu yang saya tidak punya dan saya dambakan. Pada akhirnya membuahkan iri hati, Pak Gunawan.

GS : Jadi masalahnya di sini banyak orang atau kita sendiri juga tidak bisa menerima kelebihan seseorang.

PG : Bahkan saudara kita sendiri, sebab bagaimana pun kita melihat kelebihannya itu membawa keberuntungan atau membawa sesuatu yang positif baginya. Jadi sebetulnya apa yang kita inginkan belum tentu misalnya keterampilan bergaulnya itu. Tapi yang kita inginkan adalah dalam kasus tadi yaitu banyaknya teman, menjadi orang yang populer, menjadi orang yang disenangi oleh orang. Itu yang membuat kita tidak senang karena saya tidak punya dan dia punya. Jadi kita akhirnya memberontak dan iri sekali dengan saudara sendiri.

GS : Padahal di dalam satu keluarga, ada saudara kandung yang pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

PG : Tepat sekali. Dan selama kelebihannya itu tidak mengundang terlalu banyak komentar-komentar yang positif memuji dia maka masih OK, tapi begitu kelebihan saudara kita itu mengundang hal-hal yang begitu positif maka dia benar-benar mendapatkan keberuntungan gara-gara kelebihannya itu, pada umumnya saudara-saudara yang lain tidak bisa terima. Itu sebabnya kalau ada orang yang bertanya kepada saya, "Anak saya ada dua, satu sangat cerdas dan adiknya kurang cerdas maka sebaiknya bagaimana? Di sekolahkan yang sama atau tidak?" Saya sering katakan, "Tidak, sekolahkan mereka di tempat yang berbeda" sebab yang kasihan adalah si adik kalau tidak sepandai si kakak atau kebalikannya sebab yang pandai itu akan menerima begitu banyak keberuntungan atau keuntungan, dan yang tidak punya hanya akan gigit jari melihat dan itu akan sangat mengusik perasaannya.

GS : Kalau tadi Pak Paul, memberikan contoh tentang Kain dan Habel. Dalam hal ini apakah Alkitab punya contoh yang jelas?

PG : Ada yaitu tentang Yusuf, kita tahu dia adalah contoh korban iri hati kakak-kakaknya. Kejadian 37:3-4 ditulis, "Israel lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya; dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia. Setelah dilihat oleh saudara-saudaranya, bahwa ayahnya lebih mengasihi Yusuf dari semua saudaranya, maka bencilah mereka itu kepadanya dan tidak mau menyapanya dengan ramah". Kita tahu apa yang terjadi setelah itu bahwa mereka menangkap Yusuf dan hampir membunuhnya dan akhirnya mereka menjual Yusuf menjadi seorang budak yang sebetulnya sama dengan melenyapkannya karena Yusuf dengan dijual maka selama-lamanya hilang dan tidak bisa lagi pulang, kalau bukan karena keajaiban Tuhan. Pertanyaannya mengapakah mereka itu begitu iri kepada Yusuf? Oleh karena Yusuf mendapatkan sesuatu yang tidak mereka dapatkan yaitu kasih sayang dan perhatian serta hadiah yang mahal dari ayah mereka, Yakub. Jadi sekali lagi saudara-saudara itu melihat gara-gara Yusuf disayangi, diperhatikan, dia anak dari mama yang disayangi oleh Yakub, mereka tidak suka jadi akhirnya berusaha melenyapkan Yusuf.

GS : Kasus seperti ini, bukan tidak mungkin terjadi pada abad sekarang ini di kehidupan kita ini. Bagaimana sebenarnya sikap yang seharusnya dilakukan oleh orang tua kalau anaknya banyak seperti Yakub ini, dia memang menyayangi anaknya yang paling bungsu.

PG : Sudah tentu Yakub seharusnya sensitif dan jangan sampai membedakan Yusuf sebegitu spesialnya, sebab tidak bisa tidak kakak-kakaknya akan melihat dan marah, "Kenapa kami tidak mengalami perhatian seperti ini? Kenapa kami tidak pernah dibelikan baju atau jubah yang bagus?" Bisa jadi juga kakak-kakaknya juga merasa, "Kami yang bekerja keras" sebab Yusuf masih kecil, dan kita tahu yang sudah bekerja adalah kakaknya semua sebab kita tahu Rahel memunyai anak di akhir-akhir sebab untuk waktu yang lama Rahel tidak bisa memiliki anak. Jadi memang beda usia itu agak jauh. Jadi waktu Yusuf mulai besar, kakak-kakaknya sudah membantu bekerja untuk papanya tapi tidak pernah dapat jubah sebagus itu dan tiba-tiba melihat si Yusuf lahir disambut, disayangi kemudian diberikan jubah baju, mereka tidak bisa terima. Kalau kita memunyai beberapa anak dan anak kita punya kelebihan tertentu maka sebaiknya jangan muncul-munculkan itu di depan anak-anak yang lain dan jangan puja dan puji dia di depan adik-adiknya atau kakaknya, jangan dibelikan barang yang bagus-bagus dan mahal-mahal sedangkan yang lainnya tidak. Jadi sedapatnya memang perlakukan anak dengan sama, misalnya kalau kita mau memuji maka pujilah ketiganya atau kedua-duanya, "Kamu kelebihannya di sini, kamu kelebihannya di situ, kamu kelebihannya ini". Jadi kita sama rata memberitahukan kelebihan mereka dan tunjukkan bahwa kita sayang kepada mereka sama, kita mengagumi kelebihan mereka masing-masing dan selalu tekankan bahwa Tuhan yang memberikan karunia-karunia ini. Jadi bukan karena kita, bukan karena kita lebih rajin, lebih cerdas dan sebagainya tapi ini benar-benar anugerah Tuhan semata. Yang penting kita gunakan untuk nanti kepentingan Tuhan pula. Jadi dengan cara ini anak-anak tidak merasa terusik dengan perhatian dan kasih sayang atau hadiah-hadiah yang dilimpahkan hanya pada salah satu anak.

GS : Tapi yang juga membuat saudara-saudara Yusuf ini iri kepada Yusuf adalah mimpi-mimpi Yusuf yang diceritakan oleh Yusuf, kemudian kakak-kakaknya ini merasa, "Mana mungkin kami harus menyembah kamu atau mengikuti kamu?".

PG : Sudah tentu selain iri mendengar mimpi Yusuf, mereka marah dan tambah marah sebab bagi mereka Yusuf adalah anak yang terlalu dimanja, gara-gara dimanja seperti itu makanya sampai mimpi pun harus mimpi seperti itu, menjadi atasan mereka. Jadi hal-hal seperti itu malah membuat mereka bertambah benci kepada Yusuf.

GS : Jadi sebenarnya iri semacam ini bukan berasal dari diri Yusuf itu sendiri, tapi dari lingkungan yang membuat dia atau mendorong dia menimbulkan iri hati saudara-saudaranya terhadap Yusuf.

PG : Betul. Jadi dalam kasus ini sebetulnya yang terjadi adalah gara-gara Yakub memberikan perhatiannya yang begitu besar kepada anaknya Yusuf, sehingga akhirnya Yusuf menjadi korban dari perbuatan orang tuanya yang kurang bijaksana ini.

GS : Ada orang tua yang menyayangi salah satu anaknya karena anaknya ini sering sakit-sakitan. Sehingga orang tua ini memberikan perhatian ekstra kepada anak yang sering sakit ini. Apakah hal itu juga bisa menimbulkan iri dari saudara-saudaranya yang lain, Pak Paul?

PG : Kalau dalam kondisi sakit maka mungkin sekali tidak seperti itu karena adik-adiknya atau kakak-kakaknya bisa melihat bahwa dia sakit dan dia memerlukan perhatian, tapi sekali lagi kalau berlebihan maka kemungkinan besar akan tetap mengganggu maka sedapat-dapatnya orang tua tidak membeda-bedakan anak, perlakukan semua dengan sama rata.

GS : Pak Paul, apakah ada alasan yang lain?

PG : Yang berikut adalah kita bisa merasa iri kepada saudara sendiri bila apa yang tadinya kita punya kemudian dialihkan kepada orang lain dalam hal ini kepada saudara kita. Misalnya saya langsung petik saja cerita tentang Esau dan Yakub di Alkitab, karena semangkuk kacang merah Esau dengan mudahnya menyerahkan hak kesulungannya kepada adiknya Yakub. Ini ditulis di Kejadian 5:34. pada akhirnya Yakub pun memperdaya ayahnya Ishak dan berhasil memeroleh berkat anak sulung, hak yang telah dijual oleh Esau yang harganya sebetulnya sangat murah yaitu semangkuk kacang merah. Sebagaimana kita tahu Esau marah dan berjanji untuk membunuh Yakub sendiri setelah ayahnya meninggal dunia. Tidak bisa tidak ada rasa iri di hati Esau karena apa yang tadinya menjadi miliknya yaitu hak kesulungan sekarang telah menjadi milik adiknya kendati pada awalnya itu adalah akibat ulahnya sendiri. Kadang-kadang ini dilakukan oleh orang tua. Misalnya, "Ulangan kamu nilainya kurang bagus maka sekarang papa ambil mainanmu" dan kemudian diberikan adiknya, kadang-kadang itu yang orang tua lakukan dan tidak menyadari bahwa apa yang tadinya milik si kakak sekarang diberikan kepada si adik, itu menimbulkan rasa iri yang sangat kuat. Atau ini yang sering terjadi yaitu waktu adiknya lahir, si anak terbiasa hidup sendiri selama 5 tahun tidak punya adik dan sekarang adik lahir dan mama papa memberi perhatian kepada adik. Si kakak yang berumur 5 tahun menunjukkan sikap tidak suka karena yang tadinya milik dia, perhatian dari orang tua sepenuhnya untuk dia sekarang diberikan kepada adiknya, biasanya itu menimbulkan rasa iri, sehingga si kakak seringkali membuat ulah dan sebagainya karena tidak bisa terima, "Dulu yang adalah milik saya sekarang menjadi milik adik saya ".

GS : Hal ini juga seringkali terjadi di antara keluarga ketika membagi warisan, apabila orang tua itu tidak cukup bijaksana di dalam membagi warisan maka itu seringkali terjadi pertengkaran antara saudara-saudara kandung itu sendiri.

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Memang kita tidak berubah banyak. Memang sejak kecil kita akan marah kalau mainan kita diberikan kepada adik kita dan ketika sudah besar kita marah kalau warisan kita diberikan kepada adik kita.

GS : Dari ketiga kisah tadi yang Pak Paul sampaikan baik mengenai Kain dan Habel, Yusuf, dan yang terakhir mengenai Esau dan Yakub. Kesimpulan apa, Pak Paul, yang dapat kita pelajari dari hal-hal itu?

PG : Ada beberapa. Yang pertama adalah hampir dapat dipastikan bahwa isi sesungguhnya dari iri hati adalah kemarahan. Kita mungkin tidak begitu nyaman mau mengakui bahwa sebetulnya saya marah dan itu adalah muatan terbesar dari iri hati saya, marah. Apapun kondisinya jadi dengan kata lain kemarahan merupakan muatan tersembunyi dari iri hati. Itu sebabnya dalam menghadapi iri hati kita harus mawas diri dengan kemarahan dan kita harus memeriksa dan mengakui penyebab kemarahan kita. Jangan ragu untuk mengakui kemarahan itu sendiri. Jadi benar-benar kita harus membereskan masalah sesungguhnya yaitu kita marah. Apa yang membuat kita marah? Itu yang harus kita ungkapkan atau bicarakan kepada orang yang memang membuat kita marah.

GS : Tetapi karena ini menyangkut saudara kandung kita sendiri atau orang yang dekat dengan kita sendiri, maka agak sulit untuk mendeteksi atau mengakui bahwa saya marah karena saya iri.

PG : Sekali lagi kenapa kita malu mengakui bahwa kita iri adalah sebab kita jelaskan iri itu membuat kita berada di bawah orang lain dan kita tidak mau berada di bawah orang lain.

GS : Dan kita merasa tidak pantas dipandang orang lain, apalagi terhadap saudara kandung yang lebih muda dari kita. Dan kita terbiasa sejak kecil diberitahu yang lebih tua harus mengalah dengan yang lebih muda. Tapi mau tidak mau ada unsur itu yaitu iri hati itu, Pak Paul.

PG : Dan bukankah sebetulnya waktu kita merasa iri, hal itu memang lebih membuktikan bahwa kita tidak punya yang kita inginkan itu. Jadi lebih berat lagi untuk kita mengakui kalau kita iri hati, misalnya "Saya iri hati karena saya tidak setampan adik saya" maka sebetulnya kita itu sedang membuka aib bahwa sebetulnya kita tidak suka dengan wajah kita, sebelumnya mungkin tidak diketahui seperti itu.

GS : Hal lain apa yang mungkin bisa kita tarik pelajaran dari sini, Pak Paul?

PG : Hampir dapat dipastikan bahwa kemarahan dalam iri hati disebabkan oleh rasa ketidakadilan. Artinya kita merasa dirugikan, diperlakukan tidak adil, itu sebabnya kita ingin menuntut balas dan ini membuat kita dalam kondisi iri hati berbuat hal-hal yang tidak baik. Jika kita merasa tidak sanggup untuk menyatakan rasa marah akibat diperlakukan tidak adil kepada orang yang bersangkutan maka kita pun cenderung melampiaskannya kepada sasaran yang lebih empuk dan lemah. Dalam contoh misalnya saudara-saudara Yusuf tidak berani menghadapi Yakub, papa mereka maka Yusuf yang kena batunya. Dalam kasus Habel dan Kain sama, Kain tidak mungkin melawan Tuhan maka Habellah yang dihabiskan. Jadi benar-benar kalau kita marah karena iri hati maka kita mencari sasaran yang kita anggap lemah dan empuk. Kalau kita merasa diperlakukan tidak adil maka yang pertama adalah kita harus memeriksa diri sendiri, apakah memang beralasan tindak ketidakadilan itu sebab kadang kitalah penyebab terjadinya ketimpangan perlakuan itu. Artinya kenapa orang membedakan kita dengan saudara kita sebab memang kitanyalah yang membuat masalah. Jadi kita harus menyadari orang lebih membedakan dan lebih menyukai adik kita karena memang adik kita jauh lebih baik dari pada kita dan kita harus dengan terbuka mengatakan, "Iya, mungkin memang saya tidak sebaik dia" jadi periksalah diri dan koreksi kekurangan kita itu.

GS : Untuk mencari sasaran yang lebih lemah atau empuk. Itu bukan sesuatu hal yang mudah kadang-kadang sehingga orang mudah mengambil jalan pintas dengan memutuskan hubungan. Jadi tidak lagi mau berhubungan, baik dengan orang tua atau pun saudara-saudara kandungnya dan dia merasa aman di situ.

PG : Itu sering terjadi. Jadi dari pada ketemu dan rasa sakit hati dihidupkan, iri hati kembali dikobarkan, lebih baik tidak mau ketemu, daripada saya harus mengalami perlakuan tidak adil dan sebagainya, itu sering dilakukan daripada menghadapinya dan membereskannya.

GS : Tapi itu sebenarnya tidak menyelesaikan masalah iri hatinya sendiri?

PG : Sama sekali tidak.

GS : Masih adakah hal lain yang bisa kita pelajari dari bagian ini?

PG : Yang berikut adalah yang terakhir hampir dapat dipastikan bahwa iri hati membuat kita ingin merebut kembali sesuatu yang kita anggap adalah milik kita. Dalam contoh misalkan Esau kehilangan hak kesulungannya dan dia berusaha mendapatkannya kembali. Sesungguhnya kita harus memeriksa diri, mungkin ada dosa yang tersembunyi yang harus diakui terlebih dahulu. Jadi sadarilah hal yang telah kita perbuat yang membuat orang tua mengalihkan "berkat kepada saudara kita yang lain". Jadi sekali lagi periksa diri kita, akuilah apa yang menjadi kekurangan kita.

GS : Sebenarnya untuk memeriksa diri dan kita akhirnya mengetahui bahwa kitalah yang menjadi sumbernya, itu bisa dilakukan Pak Paul. Hanya masalah berikutnya adalah mengakuinya itu di depan orang lain, sehingga kita masih tetap memendam perasaan iri bahkan dengki terhadap orang-orang itu sekalipun itu saudara kandung kita sendiri.

PG : Betul.

GS : Dan itu yang sulit bagi kita melepaskan diri dari rasa iri, jadi sepertinya iri hati ini setiap saat bisa menguasai seseorang karena ada banyak alasan kita bisa iri terhadap orang lain.

PG : Bisa. Mungkin selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kita tidak pernah iri dan tiba-tiba kita menjadi iri.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan berhubungan dengan perbincangan ini?

PG : Di Amsal 11:24 firman Tuhan berkata, "Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan". Jadi Tuhan meminta kita fokus pada jadilah orang yang murah hati, orang yang mau memberi, justru orang ini yang diberkati Tuhan. Bagaimana menghadapi iri hati? Caranya mudah sekali yaitu bagikan berkat, jangan pusingkan, "Dia punya ini dan saya tidak" dan yang kita miliki kita gunakan dengan bijaksana, berkatilah orang lain dengan apa yang kita miliki dan itu yang harus menjadi fokus kita. Sebab Tuhan sudah berkata, "Orang yang justru menyebar atau membagi-bagikan hartanya tambah kaya, orang yang justru menghemat, justru berkekurangan". Jadi orang yang murah hati, yang fokus pada memberi pada orang lain justru akan Tuhan tambahkan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Iri Terhadap saudara sendiri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



103. Rayakan Kesetiaan I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T324A (File MP3 T324A)


Abstrak:

Di dunia ada dua jenis pelayanan, yaitu pelayanan yang nyaring, hasilnya terlihat jelas dan cepat, dan pelayanan sunyi yaitu hasilnya tidak terlihat jelas dan lama. Membesarkan anak termasuk pelayanan yang sunyi. Kita tidak bisa melihat hasilnya dengan segera, bahkan adakalanya justru hasilnya mengecewakan hati. Kunci untuk tetap bertahan adalah kesabaran dan kesetiaan. Dua hal ini dapat diwujudkan dalam komitmen, disiplin dan mendemonstrasikan kasih Bapa yang tidak terbatas pada anak. Sebagai orang tua biarlah pedoman yang diuraikan di sini bisa menghasilkan kesabaran dan kesetiaan, sehingga buahnya bisa kita lihat dan kita nikmati.


Ringkasan:

Di gereja yang sekarang saya layani ada banyak orang lanjut usia dimana sebagian besar tinggal dengan anak-anak mereka. Saya kagum melihat betapa besar pengabdian anak-anak mereka merawat orangtua mereka yang sekarang sudah sepuh. Pengamatan ini membuat saya berpikir bahwa di dalam dunia ada dua jenis pelayanan:

Saya memasukkan pelayanan terhadap orang lanjut usia ke dalam kategori pelayanan yang sunyi. Tidak ada penghargaan dan tepuk tangan, hanya pengabdian. Membesarkan anak juga adalah pelayanan yang sunyi. Kita tidak bisa melihat hasilnya dengan segera, bahkan adakalanya justru hasilnya mengecewakan hati. Namun inilah pelayanan yang Tuhan berikan kepada kita, orang tua.

Kunci untuk Terus Bertahan

Sudah tentu ada masanya kita tergoda untuk angkat tangan dan menyerah tatkala melihat anak-anak tidak bertumbuh besar seperti yang diharapkan. Namun kita tidak boleh menyerah. Kita mesti bertahan—apa pun kondisinya. Dua sikap atau karakterisktik yang diperlukan agar kita dapat bertahan dalam membesarkan anak ialah: KOMITMEN
Kesabaran dan kesetiaan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah komitmen. Sebagai orang tua kita harus mempunyai komitmen untuk: DISIPLIN
Kesabaran dan kesetiaan juga dapat diperlihatkan dalam bentuk disiplin. Mengapa sebagai orang tua kita perlu mendisiplin anak? Kurangnya Disiplin
Kesabaran dan kesetiaan ditunjukkan dalam disiplin yang diberikan kepada anak. Orang tua yang tidak mendisiplin anak sesungguhnya adalah orang tua yang tidak memiliki kesabaran dan kesetiaan kepada anaknya. Berikut adalah contoh kurang atau tidak adanya disiplin dalam keluarga: Sebaliknya disiplin yang tepat mengajarkan kepadanya:
Mendemonstrasikan Kasih Bapa yang Tak Terbatas kepada Anak
Nasihat Firman Tuhan
Yohanes 12:24 berkata, "Aku berkata kepadamu, 'Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.' " Kita harus rela mengorbankan diri dan berlaku setia kepada anak walaupun untuk itu harga yang mesti dibayar adalah tinggi. Biji gandum harus terlebih dahulu mati sebelum ia dapat menghasilkan banyak buah.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Rayakan Kesetiaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Saya yakin banyak pendengar kita tentu bertanya-tanya, apa maksud dari perbincangan kita kali ini dengan memberikan judul "rayakan kesetiaan" ini, Pak Paul?

PG : Jadi yang saya maksud dengan rayakan kesetiaan adalah rayakan kesetiaan kita sebagai orang tua kepada anak-anak kita. Jadi bukan saja kita harus setia kepada istri dan suami kita, tapi kita pun juga harus setia kepada anak-anak kita. Mereka sangat bergantung kepada kita dan Tuhan telah menitipkan mereka kepada kita maka sudah seyogianyalah kita berlaku setia kepada mereka.

GS : Apakah memang ada indikasi bahwa akhir-akhir ini banyak orang tua yang kurang setia terhadap anaknya?

PG : Saya kira demikian karena hidup ini sekarang menawarkan begitu banyak pilihan untuk kita bisa mengembangkan diri, sehingga cukup banyak orang tua yang akhirnya tersedot kepada pilihan-pilihan untuk mengembangkan dirinya sehingga melupakan tanggung jawabnya kepada anak-anak, sebab anak-anak pada usia kecil tidak bisa melawan, tidak bisa mengeluh, jadi anak-anak itu akan diam dan menerima, akhirnya kita mendahulukan yang lain-lainnya. Waktu kita mendahulukan yang lain-lainnya dan akhirnya meninggalkan atau mengabaikan anak-anak, berarti kita tidak lagi berlaku setia pada anak-anak kita.

GS : Kalau terhadap istri, kita sudah mengikrarkan hal itu pada waktu pernikahan diberkati di gereja dan sebagainya. Namun bagaimana komitmen kita dengan anak, sampai sejauh mana, Pak Paul?

PG : Memang dengan anak sudah tentu tidak ada upacara dimana kita mengucapkan janji untuk setia kepada anak-anak kita. Tapi sebetulnya ini adalah sebuah kesiapan untuk mendampingi anak sampai anak-anak itu sanggup untuk berdiri sendiri. Saya sekarang melayani di gereja di mana ada banyak sekali orang tua di gereja kami, dan mereka itu tinggal dekat anak atau tinggal dengan anak-anak. Saya melihat teman-teman atau rekan-rekan jemaat setiap minggu datang bersama dengan orang tua mereka yang sudah lanjut usia, saya melihat sebetulnya ini adalah sebuah pelayanan, pelayanan yang memang saya kategorikan sunyi, karena mungkin orang tidak melihat ini sebagai sebuah pelayanan, tapi sebetulnya sebuah pelayanan yang sangat penting, sebab orang-orang tua ini kalau tidak dijaga oleh anak-anak atau tidak dirawat oleh anak-anak maka mereka akan sangat kesulitan untuk hidup sendiri. Jadi benar-benar apa yang anak-anak perbuat bagi mereka, itu adalah hal-hal yang memang teramat penting bagi orang tua ini. Bagi saya ini adalah sebuah pelayanan juga, tapi saya kategorikan dalam kategori pelayanan yang sunyi. Yang gegap gempita dan pelayanan yang lebih berisik adalah misalkan kita berkhotbah atau menyanyi dan sebagainya, itu adalah sesuatu yang orang lain bisa lihat bahwa kita bisa berbuat sesuatu untuk Tuhan. Tapi menjaga orang tua adalah sebuah pelayanan. Saya mengkategorikan membesarkan anak, bersikap setia kepada anak adalah bagian dari pelayanan dan ini saya masukkan dalam kategori pelayanan yang sunyi, tidak dilihat orang-orang tapi sebetulnya sangat penting sebab anak-anak bergantung kepada kita. Jadi kitalah yang harus dengan setia melayani dan bersama dengan mereka.

GS : Di dalam budaya Timur biasanya kalau anak berbakti kepada orang tuanya seperti tadi mau menampung orang tuanya misalnya tadi setelah lanjut usia atau mau membiarkan orang tuanya tinggal dekat di rumahnya, ini dikategorikan sebagai kewajiban anak kepada orang tua.

PG : Betul. Memang ada yang melakukan sebagai kewajiban belaka, tapi ada yang melakukannya karena ini sebuah pelayanan, mereka itu menyayangi orang tua dan mereka sadar bahwa sekarang orang tua bergantung sepenuhnya kepada mereka. Jadi inilah yang saya juga inginkan dari kita semua waktu kita merawat anak-anak kita, lakukanlah bukan karena terpaksa, bukan karena terlanjur mereka menjadi anak kita, tapi karena kita melihat ini sebagai sebuah pelayanan dan kita mau setia kepada anak-anak kita.

GS : Biasanya ketika anak-anak itu masih kecil, masih lucu-lucu maka orang tua memang senang dekat dengan anak itu, tapi makin anak itu menjadi dewasa apalagi sudah menjelang remaja bahkan pemuda, tiba-tiba ada semacam jarak antara orang tua dan anak.

PG : Memang tidak bisa dihindari bahwa akan ada jarak sebab secara alamiah anak-anak itu akan bertumbuh dewasa, mereka akan mengepakkan sayap, mungkin akan meninggalkan rumah dan mereka tidak akan terlalu bergantung lagi kepada kita. Itulah tugas kita, tugas kita memang mengawal anak, mendampingi anak sampai anak sanggup untuk berjalan sendiri. Di saat itulah kita harus melepaskan anak. Jadi jangan sampai juga kita tidak mau melepaskan anak, di usia dan kondisi dimana anak sudah bisa mandiri kita tetap mau memaksa anak berada di bawah kepak sayap kita, itu juga tidak benar. Jadi berlaku setia berarti berlaku setia sampai anak-anak sanggup untuk berjalan sendiri, bisa hidup dengan mandiri maka kita lepaskan kalau kita tahu mereka baik-baik saja menghadapi tantangan hidup ini.

GS : Tetapi sementara kita melepaskan anak, kita berharap bahwa nanti suatu saat kita juga akan kembali kepada anak seperti yang tadi Pak Paul katakan.

PG : Benar. Tidak bisa tidak saya kira kalau kita sekarang berlaku setia kepada anak-anak kita, pada hari tua mereka pun dengan sukacita akan mau menampung kita, merawat kita, memerhatikan kita. Memang kita tidak bisa sejak anak-anak kecil mengingat-ingatkan anak, "Nanti kami tua, kamu tanggung jawab merawat papa dan mama" jangan seperti itu. Sebab ini adalah sesuatu yang harus keluar dari hati yang mengasihi kita. Sama seperti mereka pun juga tidak akan suka kalau mereka mendengar kita berkata kepada anak kita, "Papa mama berkorban untuk kamu, kamu jangan sampai lupa pengorbanan papa dan mama". Jadi anak-anak akan berkata, "Papa dan mama ini mengasihi kami terpaksa atau tidak, karena mengeluh begitu", biarlah segala sesuatu dilakukan atas dasar kasih.

GS : Tapi memang kalau ada beberapa anak, memang ada anak-anak tertentu yang dekat dengan orang tuanya sampai nanti orang tuanya lanjut usia tapi ada anak yang berjarak dengan orang tuanya ini, sejak kecil sudah terasa sehingga setelah dia dewasa dan orang tuanya menjadi lanjut usia, hubungan mereka juga kurang akrab.

PG : Tidak bisa disangkal memang anak memiliki keunikannya masing-masing. Ada anak yang misalkan sejak lahir kita bisa melihat jiwanya halus, lembut dan memunyai jiwa yang begitu memerhatikan kita. Maka akhirnya setelah mereka besar pun, merekalah yang lebih memerhatikan kita, ada anak yang karena keras kurang begitu dekat, kurang begitu mau membuka dirinya dengan kita akhirnya jaraknya tidak sedekat itu, maka kita terima apa adanya sebab sekali lagi anak-anak itu memiliki keunikannya. Pada yang memang tidak mau begitu dekat dengan kita maka kita tidak bisa memaksanya dan kita diamkan saja, tapi bagi anak yang memang lebih dekat maka kepada dialah kita juga bisa lebih dekat juga.

GS : Tapi mungkin Pak Paul bisa memberikan pedoman atau semacam kunci, apa yang membuat supaya orang tua bisa setia kepada anak-anaknya?

PG : Ada dua yang akan saya gabung menjadi satu kalimat yaitu kita perlu kesabaran dan kesetiaan. Sudah tentu ada masa kita tergoda untuk angkat tangan dan menyerah tatkala melihat anak tidak bertumbuh besar seperti yang diharapkan, namun kita tidak boleh menyerah. Kita harus bertahan apapun kondisinya dan dua karakteristik atau sikap yang diperlukan agar kita dapat bertahan dalam membesarkan anak adalah kesabaran dan kesetiaan. Dua hal ini diwujudkan dalam bentuk sebuah komitmen. Jadi kita harus sabar, kita harus setia, diwujudkannya dalam bentuk komitmen dan nanti kita juga akan bahas dalam bentuk disiplin. Dalam bentuk komitmen artinya kita akan selalu berada disampingnya sampai ia bertumbuh dewasa dan matang. Jadi kita tidak mudah-mudah meninggalkan anak, angkat tangan kepada anak, tapi kita akan terus mendampinginya sampai benar-benar dia sanggup untuk bisa hidup sendiri.

GS : Memang ada kejadian dimana hubungan orang tua dengan anaknya sangat buruk sehingga orang tua ini sampai terucap, "Saya tidak berhubungan lagi dengan anak ini" artinya anak ini dianggapnya hilang, dan dia juga tidak berharap bahwa nanti kalau sudah lanjut usia akan ikut di rumah dari anak itu karena hubungannya sudah buruk.

PG : Kadang memang karena keadaannya buruk, maka anak itu dengan orang tua tidak bisa lagi dekat tapi ada kalanya ini bagian dari disiplin. Kadang-kadang kalau anak terlalu memberontak, tidak bisa lagi diatur malahan mau seperti lintah menghisap semua dari kita dan sebagainya, dan kita tahu ini sangat tidak sehat, maka saat itulah kita harus bersikap lebih tegas pada anak-anak kita. Namun sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah segi aspek komitmen ini, jangan gampang-gampang, jangan sedikit-sedikit berkata, "Saya tidak mau tahu lagi". Jangan seperti itu sebab kadang-kadang ini yang saya dengar, ada orang yang sangat mudah sekali berkata seperti itu. Begitu kecewa sedikit dengan anaknya, dia sudah marah seperti anak kecil, "Saya ini kecewa kepada kamu, kamu ini sebagai anak tidak berbakti dan sebagainya" padahalnya hubungannya relatif sangat sepele. Jadi kita harus hati-hati sebagai orang tua jangan cepat-cepat mengangkat tangan dan menyerah.

GS : Seringkali orang tua itu merasa sakit hati, disakiti hatinya oleh anaknya sehingga dia merasa kesetiaannya kepada anak dikhianati.

PG : Saya kira itu yang terjadi. Jadi akhirnya orang tua tidak mau lagi merawat atau memerhatikan anaknya karena terlalu terluka. Tapi sekali lagi saya berharap kita tidak mudah-mudah mengatakan, "Setop, saya tidak lagi mau pusing", justru kita harus berusaha lagi meskipun respon anak tidak seperti yang kita harapkan.

GS : Jadi bentuk konkretnya untuk kita komit terhadap kesetiaan ini apa, Pak Paul?

PG : Yang pertama jangan mendelegasikan tugas membesarkan anak kepada orang lain. Memang kita perlu bantuan misalkan perawat atau pembantu rumah tangga, tapi jangan sampai kita mendelegasikan itu kepada orang lain. Anak-anak adalah tanggungjawab kita, jangan sampai kita begitu gampangnya melepaskan tanggungjawab kita itu. Saya tahu ada orang tua yang anaknya di usia SD sudah dikirim ke luar untuk sekolah di luar dan dirawat oleh orang lain. Buat saya ini adalah tindakan yang tidak tepat, sebab Tuhan memberikan mereka kepada kita. Jadi kita tidak boleh mendelegasikannya kepada orang lain dan pada akhirnya bukankah Tuhan menuntut pertanggungjawaban itu dari kita, apa yang telah kita perbuat untuk anak-anak kita. Kalau kita tidak mengurusnya sama sekali maka nanti kita harus menjawabnya kepada Tuhan bahwa, "Tuhan bukan saya yang mengurus anak saya, tapi mama saya dan sebagainya", jangan sampai seperti itu.

GS : Memang secara sering diungkapkan bahwa tekanan ekonomilah yang membuat orang tua harus berpisah dengan anaknya, terutama pada pagi, siang bahkan sampai sore hari, Pak Paul.

PG : Adakalanya memang karena ada tekanan ekonomi maka kita terpaksa harus melepaskan tanggungjawab pada orang lain. Tapi kalau itu harus terjadi maka jangan sampai kita sama sekali tidak berhubungan dengan anak itu. Saya mengerti kadang-kadang itu yang harus kita lakukan dengan berat hati. Tapi sedapatnya kalau itu pun yang harus kita lakukan maka tetap peliharalah hubungan dengan anak-anak kita. Saya pernah berbicara dengan anak-anak yang sekarang sudah besar yang harus diserahkan kepada orang lain pada masa kecilnya. Waktu kita mendengar cerita-cerita mereka, maka tidak bisa tidak hati kita sangat tersentuh sebab mereka itu luar biasa terpengaruh, terpukul, tertusuk hatinya, ada orang yang berkata, "Setiap hari, setiap malam saya menangis" karena dia dikirim dikeluarkan dari rumah, ditempatkan di suatu tempat waktu usia masih kecil. Jadi cukup banyak mereka yang dipisah dengan paksa seperti itu, pada akhirnya akan mengalami kesedihan yang mendalam sekali. Dan ada sebagian di antara mereka yang sampai dewasa pun akhirnya tetap membawa rasa sedih yang kuat itu di dalam hati mereka.

GS : Selain kita sebagai orang tua tidak patut mendelegasikan kepada orang lain, apakah ada alasan yang lain, Pak Paul?

PG : Bentuk komitmen yang lain adalah jangan setengah-setengah, artinya kadang-kadang badai memang menerpa, kadang-kadang anak kita bermasalah dan sekali lagi tadi saya sudah katakan ada waktu-waktu tertentu sangat kritis sekali dan anak-anak sudah terlalu rusak sekali dan benar-benar bisa merusak keluarga kita. Dalam kasus seperti itu kalau anak-anak sudah dewasa maka kita bisa katakan, "Baiklah setop kita berpisah di sini" kita harus melindungi keluarga kita juga. Tapi jangan sampai kita melakukan itu dengan mudah, jadikan itu sebagai pilihan terakhir. Jadi penekanan saya pada peganglah tangan anak kita dan jangan cepat-cepat menyerah di tengah jalan dan berkata, "Kamu sekarang urus dirimu sendiri" jangan seperti itu, tapi sedapatnya pegang tangan anak kita meskipun adakalanya badai menerpa dia akan melepaskan tangannya dari kita.

GS : Ada orang tua yang sampai tega mengusir anaknya, dan ini bagaimana?

PG : Ada orang yang seperti itu. Ada orang yang saya kenal secara pribadi, tatkala mereka bertobat menjadi orang Kristen akhirnya mereka diusir oleh orang tuanya dan harus tinggal di luar. Saya mengerti kekecewaan orang tua karena anaknya meninggalkan iman kepercayaan mereka dan memeluk iman Kristiani, akhirnya mereka sangat kecewa terpukul dan akhirnya mengusir. Ada juga orang yang saya tahu, memutuskan hubungan dengan anaknya ingin menjadi seorang pendeta, waktu anaknya mau masuk sekolah seminari, orang tuanya tidak terima dan berkata, "Kita putus hubungan dan kamu jangan lagi berhubungan dengan saya" sekali lagi saya mengerti kekecewaan itu, tapi kita harus melihat melampaui hal-hal itu. Kalau anak-anak kita ingin melakukan hal-hal yang jahat itu lain perkara, tapi anak kita mau melakukan hal-hal yang mulia bukankah seharusnya kita mendukungnya? Tapi kalau anak kita sudah keterlaluan dan benar-benar merusakkan kehidupan keluarga kita dan mungkin merusakkan anak-anak kita yang lain, di saat seperti itu mungkin pilihan terakhir adalah benar-benar melepaskan si anak dan akhirnya dia bisa belajar dari pengalaman hidupnya sendiri.

GS : Memang kadang-kadang sebagai orang tua kita cepat kehilangan kesabaran menghadapi anak-anak yang seolah-olah mau jalan menurut pikiran mereka sendiri dan kehendak mereka sendiri sehingga kita berkata, "Kalau itu yang mau kamu tempuh maka silakan, tapi saya sudah mengingatkan" dan kemudian ini bagaimana?

PG : Waktu anak-anak saya mulai besar, saya memang takut sekali mereka nanti akan meninggalkan iman Kristiani yang telah kami tanamkan sejak kecil. Jadi akhirnya saya menekankan kepada mereka bahwa ini hal yang sangat penting dan jangan sampai kamu lepaskan. Waktu saya melihat salah satu anak saya mulai menunjukkan sikap mau melawan atau memberontak kepada saya, saya kembali mau menegaskan hal itu kepadanya. Ternyata itu sangat memukulnya, waktu saya berkata kepada anak-anak saya, "Kalau sampai kamu nanti mau memilih hidup sendiri, memberontak dan tidak lagi mau menganut nilai-nilai yang kami anut, saya tidak mau lagi bertemu dengan kalian" dan mereka itu berontak sekali terutama anak saya yang satu ini sebab dia merasa bahwa dia tidak diberikan hak pilih, bukankah setiap orang diberikan hak pilih, apa yang dipercayanya. Akhirnya saya disadarkan oleh seseorang bahwa keselamatan dari Allah untuk kita sebagai sebuah hadiah, kasih karunia dan bukan karena kita berhasil meyakinkan Allah untuk memberikan kepada kita pengampunan dan keselamatan-Nya, itu adalah pemberian Allah semata yang mengirimkan putra-Nya Yesus untuk mati bagi kita, jadi benar-benar ini adalah kasih karunia. Jadi waktu saya disadarkan akan hal itu, saya akhirnya sadar bahwa saya telah berusaha terlalu keras seolah-olah ingin membelikan tiket untuk ke sorga bagi anak-anak saya. Akhirnya saya tahu saya keliru dan saya berkata kepada anak-anak saya, "Saya salah, mulai sekarang saya tidak akan mengatakan hal itu lagi dan apa pun pilihanmu saya tetap akan menjadi ayah yang mendampingi kalian". Rupanya hal itu sangat mencairkan dan tiba-tiba mereka merasa bahwa mereka memunyai hak pilih dan ternyata setelah hak pilih itu diberikan kepada mereka terutama anak ini, dia tetap memilih hal yang sama, jadi tetap berbakti kepada Tuhan Yesus, dia tetap menaati Kristus dalam hidupnya. Jadi yang saya takutkan memang tidak terjadi, dia tidak memberontak dan membuang semua nilai-nilai Kristiani yang kami tanamkan dalam hidupnya. Jadi kita harus berhati-hati dengan tindakan-tindakan seperti mau putus hubungan, mau dia minta keluar dan sebagainya, itu yang pernah saya lakukan dan justru lebih merusakkan relasi kami.

GS : Komitmen dalam hal kesabaran dan kesetiaan ini harus dilihat oleh anak sebagai suatu teladan yang kita tanamkan kepada mereka, begitu Pak Paul?

PG : Betul, sebab pada akhirnya mereka nantinya belajar untuk setia kepada keluarga mereka lewat teladan yang kita tunjukkan, berapa orang yang tidak melihat itu di dalam kehidupan orang tuanya karena orang tuanya tidak begitu setia, atau bertanggungjawab kepada mereka akhirnya setelah mereka menjadi orang tua mereka mengulang kesalahan orang tuanya, mereka pun mengabaikan anak-anak mereka.

GS : Selain komitmen, bentuk lain apa yang perlu kita tanamkan kepada anak-anak kita?

PG : Kita tadi sudah bicara bahwa kita harus punya komitmen mendampingi sampai anak-anak dewasa dan kita pun juga harus memunyai kemungkinan untuk mendisiplin anak-anak, karena ternyata itu adalah hal yang sangat penting. Jadi waktu kita mendisiplin anak kita, kita itu menunjukkan kesabaran dan kesetiaan kita kepada anak-anak. Kita jangan sampai melalaikan tanggungjawab kita untuk mendisiplin anak-anak.

GS : Apakah buah dari disiplin itu sendiri, Pak Paul?

PG : Pertama disiplin itu diperlukan untuk memberikan anak ketahanan menghadapi tantangan hidup. Tanpa disiplin anak tidak akan mengembangkan kekuatan untuk menghadapi tekanan hidup. Jadi anak itu akan cepat berlari, cepat mudah lepas tangan, sebaliknya dengan disiplin yang kuat, dia menjadi tangguh dan sanggup mengatasi pukulan kehidupan.

GS : Sebagai orang tua kadang-kadang kita tidak tega melihat anak kita mengalami tantangan kehidupan yang berat, sehingga kita mau ikut campur tangan di sana, padahal itu tidak menolong dia?

PG : Tidak selalu. Jadi adakalanya kita harus membiarkan anak kita menghadapi kesusahan, biarkan dia hadapi. Kalau nanti sudah sangat perlu maka barulah kita ulurkan tangan dan menolongnya. Disiplin diperlukan sebab anak-anak yang menerima disiplin akan mengembangkan 'tulang punggung' kuat sehingga akhirnya dapat menghadapi pukulan kehidupan ini. Anak yang tidak didisiplin akhirnya lemah, mudah sekali ambruk, sedikit-sedikit minta orang tua menolongnya dan nanti setelah menikah orang yang seperti inilah yang membuat masalah dalam pernikahan sebab kalau ada apa-apa lari ke orang tua, nanti pasangannya beri nasehat tidak didengarkan, orang tua memberi nasehat langsung dilakukan. Jadi sekali lagi penting orang tua mengimbangi kasih sayang dan disiplin, jangan sampai akhirnya berat sebelah.

GS : Tapi ada sebagian orang tua justru menikmati kalau anak-anaknya ini datang kepadanya minta tolong dan dia bisa menolong, itu ada suatu kebanggaan tersendiri.

PG : Betul. Karena kita mengasihi anak jadi kita senang kalau bisa membantu anak tapi jangan sampai lupa bahwa tujuan akhirnya bukan supaya kita bisa terus menolongnya tapi supaya nanti dia bisa menolong dirinya sendiri, sebab untuk apa kita menyediakan diri untuk terus menolongnya kalau dia tidak bisa menolong dirinya sendiri? Bukankah kita merugikan dirinya. Jadi disiplin perlu, artinya anak perlu didorong, perlu diberikan tanggungjawab kalau melakukan kesalahan, melanggar apa yang kita inginkan, harus diberikan konsekuensi, kalau dia berhasil melakukannya maka kita berikan dia penguatan atau pujian. Hal-hal inilah yang juga diperlukan oleh anak dan kitalah yang harus melakukannya kepada mereka.

GS : Hasilnya dari disiplin ini apa, Pak Paul?

PG : Disiplin juga diperlukan untuk melatih anak mengatur dan mengarahkan hidupnya sendiri. Maksud saya adalah saya berikan contoh semua anak dapat bermimpi namun tidak semua anak dapat mewujudkan impiannya. Anak yang dapat merealisasikan impiannya biasanya adalah anak yang menerima disiplin dari orang tua, oleh karena disiplin yang diterimanya, dia belajar untuk menetapkan target dan mencapainya, dia tidak mudah putus asa dan sanggup berjuang keras untuk menggapai tujuan hidupnya. Sebaliknya anak yang tidak menerima disiplin dari orang tua hanya dapat bermimpi, ia hanya dapat meminta orang lain untuk memberikan kepadanya impiannya itu.

GS : Jadi dalam hal mengatur, mengarahkan hidupnya, anak juga butuh sebuah contoh konkret dari orang tuanya, bagaimana orang tuanya juga mengatur dan mengarahkan kehidupan mereka, kalau hanya mendisiplin saja itu tidak akan menolong banyak.

PG : Betul sekali. Jadi misalkan anak-anak melihat bahwa kita ini juga berdisiplin diri untuk bekerja. Kalau anak-anak melihat kita bangun sembarangan, kerja sembarangan dan kita diberhentikan akhirnya anak-anak tidak akan melihat suri tauladan dari kita untuk berdisiplin. Misalkan anak-anak itu melihat kalau kita berjanji kita tepati, kita berusaha menepati dan tidak mudah-mudah kita melanggar janji. Misalkan tahu kita perlu belajar sesuatu tambahkan ilmu dan pengetahuan, kita disiplin diri belajar dan tambahkan pengetahuan, inilah contoh-contoh nyata yang anak-anak juga perlu lihat dari orang tua sehingga waktu orang tua menekankan disiplin kepada anak harus ini dan itu maka anak bisa menerimanya karena dia melihat bahwa orang tua juga melakukan hal yang sama.

GS : Demikian pula ketika kita bersikap kepada orang tua kita, anak-anak akan tetap melihat kita bagaimana kita memerlakukan orang tua kita dan itulah kira-kira yang akan dilakukan oleh anak kepada kita ketika kita nanti memasuki usia lanjut.

PG : Tepat sekali. Jadi bagaimana kita memerlakukan papa dan mama yang sudah renta yang membutuhkan kita, itu akan direkam oleh anak. Waktu mereka melihat kita sayang dan tanggungjawab pada orang tua kita, maka mereka nanti akan mendapatkan contoh bahwa inilah yang nanti akan mereka lakukan juga untuk kita.

GS : Perbincangan ini tentu masih panjang lagi dan kita akan melanjutkannya pada perbincangan yang akan datang namun sebelum kita mengakhiri perbincangan kali ini mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Amsal 29:17 firman Tuhan berkata, "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu". Ayat ini adalah ayat yang indah. Jadi kita harus setia mendampingi anak, mendidik anak, maka dia akan memberi ketentraman kepada kita dan mendatangkan sukacita kepada kita. Kalau kita tidak berlaku setia, tidak mendampingi anak, tidak mendidik anak maka dia tidak akan memberi ketentraman malah memberikan kegelisahan. Sudah tentu dia tidak akan mendatangkan sukacita malah akan mendatangkan dukacita kepada kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rayakan Kesetiaan" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan kami pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



104. Rayakan Kesetiaan II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T324B (File MP3 T324B)


Abstrak:

Di dunia ada dua jenis pelayanan, yaitu pelayanan yang nyaring, hasilnya terlihat jelas dan cepat, dan pelayanan sunyi yaitu hasilnya tidak terlihat jelas dan lama. Membesarkan anak termasuk pelayanan yang sunyi. Kita tidak bisa melihat hasilnya dengan segera, bahkan adakalanya justru hasilnya mengecewakan hati. Kunci untuk tetap bertahan adalah kesabaran dan kesetiaan. Dua hal ini dapat diwujudkan dalam komitmen, disiplin dan mendemonstrasikan kasih Bapa yang tidak terbatas pada anak. Sebagai orang tua biarlah pedoman yang diuraikan di sini bisa menghasilkan kesabaran dan kesetiaan, sehingga buahnya bisa kita lihat dan kita nikmati.


Ringkasan:

Di gereja yang sekarang saya layani ada banyak orang lanjut usia dimana sebagian besar tinggal dengan anak-anak mereka. Saya kagum melihat betapa besar pengabdian anak-anak mereka merawat orangtua mereka yang sekarang sudah sepuh. Pengamatan ini membuat saya berpikir bahwa di dalam dunia ada dua jenis pelayanan:

Saya memasukkan pelayanan terhadap orang lanjut usia ke dalam kategori pelayanan yang sunyi. Tidak ada penghargaan dan tepuk tangan, hanya pengabdian. Membesarkan anak juga adalah pelayanan yang sunyi. Kita tidak bisa melihat hasilnya dengan segera, bahkan adakalanya justru hasilnya mengecewakan hati. Namun inilah pelayanan yang Tuhan berikan kepada kita, orang tua.

Kunci untuk Terus Bertahan

Sudah tentu ada masanya kita tergoda untuk angkat tangan dan menyerah tatkala melihat anak-anak tidak bertumbuh besar seperti yang diharapkan. Namun kita tidak boleh menyerah. Kita mesti bertahan—apa pun kondisinya. Dua sikap atau karakterisktik yang diperlukan agar kita dapat bertahan dalam membesarkan anak ialah: KOMITMEN
Kesabaran dan kesetiaan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah komitmen. Sebagai orang tua kita harus mempunyai komitmen untuk: DISIPLIN
Kesabaran dan kesetiaan juga dapat diperlihatkan dalam bentuk disiplin. Mengapa sebagai orang tua kita perlu mendisiplin anak? Kurangnya Disiplin
Kesabaran dan kesetiaan ditunjukkan dalam disiplin yang diberikan kepada anak. Orang tua yang tidak mendisiplin anak sesungguhnya adalah orang tua yang tidak memiliki kesabaran dan kesetiaan kepada anaknya. Berikut adalah contoh kurang atau tidak adanya disiplin dalam keluarga: Sebaliknya disiplin yang tepat mengajarkan kepadanya:
Mendemonstrasikan Kasih Bapa yang Tak Terbatas kepada Anak
Nasihat Firman Tuhan
Yohanes 12:24 berkata, "Aku berkata kepadamu, 'Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.' " Kita harus rela mengorbankan diri dan berlaku setia kepada anak walaupun untuk itu harga yang mesti dibayar adalah tinggi. Biji gandum harus terlebih dahulu mati sebelum ia dapat menghasilkan banyak buah.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Rayakan Kesetiaan" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pada kesempatan yang lalu kita berbicara tentang rayakan kesetiaan, dan kita akan melanjutkan perbincangan ini namun mungkin Pak Paul bisa memberikan gambaran secara singkat, mengulas secara singkat apa saja yang kita sudah bicarakan pada kesempatan yang lalu?

PG : Biasanya sewaktu kita mendengar kata kesetiaan yang muncul dalam benak kita adalah setia kepada suami dan istri kita, namun saya menggunakan istilah setia bukan saja dalam konteks hubungan suami istri tapi juga dalam hubungan orang tua dan anak. Kita harus berlaku setia kepada anak-anak kita, kita harus memiliki komitmen untuk mendampingi anak-anak kita dan jangan setengah-setengah, jangan mudah-mudah angkat tangan waktu kita merasa frustrasi dengan mereka, tapi kita harus bersama dengan mereka dan juga jangan mendelegasikan tugas membesarkan mereka kepada orang lain, Tuhan sudah memberikannya kepada kita maka kitalah yang harus bertanggungjawab untuk membesarkan mereka. Kita juga membahas bahwa yang namanya sabar dan setia kepada anak juga bukan dalam hal mendampinginya saja, tapi juga dalam hal mendisiplin anak, perlu kita setia mendisiplin anak karena anak memerlukan disiplin sama seperti anak memerlukan kasih sayang. Dengan adanya disiplin anak akan menjadi anak yang tangguh yang bisa menghadapi pukulan dan tekanan hidup dan dengan adanya disiplin, anak juga akhirnya mampu untuk mengatur hidupnya dan hidupnya tidak kacau karena dia bisa mengelolanya dengan baik. Ini semua adalah buah-buah dari disiplin dan inilah yang orang tua harus lakukan di dalam membesarkan anak-anak.

GS : Seringkali orang tua bukannya tidak memberikan disiplin hanya saja kurang pas memberikan disiplin, jadi mungkin dia terlalu lunak, terlalu sabar terhadap anaknya tetapi batasannya agak sulit, abstrak, agak relatif, kalau seandainya ada orang tua yang kurang memberikan disiplin kepada anak-anak mereka, itu akibatnya apa, Pak Paul?

PG : Ada anak-anak yang kurang mendapatkan disiplin dalam pengertian, orang tua memberikan semua yang diinginkan anak, perlakuan seperti ini hanya akan membuat anak berpikir bahwa ia layak menerima semua yang diinginkannya, dengan kata lain si anak ini beranggapan bahwa dia itu cukup bagus, cukup baik sehingga apa pun yang diinginkannya seharusnyalah orang memberikan itu kepadanya. Dengan kata lain, tanpa disiplin dan terus memberi semua yang diinginkan oleh anak akan membuatnya beranggapan bahwa dia itu layak diperlakukan sekhusus itu, sehingga seharusnya orang selalu memberikan dan menuruti apa yang diinginkannya. Ini adalah salah satu dampak dari orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan benar. Jadi benar-benar kita membuat si anak itu memunyai sifat atau karakter yang sangat tidak cocok untuk hidup di dalam lingkungan atau bermasyarakat karena tidak ada orang yang mau menerima sikap yang seperti itu, tidak ada orang yang bisa tahan dengan orang yang seperti itu juga, yang beranggapan apa yang diinginkannya harus didapatkannya sebab orang harus memberikan apa yang diinginkannya itu.

GS : Kita seringkali menyebut orang tua memanjakan anak, tetapi ketika kita konfirmasikan kepada orang tua yang bersangkutan maka jawabnya, "Ini adalah anakku satu-satunya, kalau bukan saya yang memanjakan dia lalu siapa yang memanjakan dia".

PG : Kita memang memanjakan dalam pengertian kita ingin membagi kasih sayang kita kepada anak dan itu adalah hal yang wajar, hal yang seharusnya kita perbuat namun jangan lupa kasih sayang yang kita berikan kepada anak perlu diberikan seimbang dengan disiplin, sebab kalau tidak nanti anak akan justru mengembangkan masalah dan kalau itu terjadi bukankah kita malah merusak si anak. Bukannya membuat si anak itu siap untuk hidup bermasyarakat dengan orang tapi malah merusaknya, sehingga kita itu membuatnya menjadi orang yang tidak bisa hidup dengan orang lain dan membuat dia menjadi seperti penyakit sampar sehingga orang takut dekat-dekat dengan dia karena dia hanya menuntut orang untuk selalu memberikan yang diinginkannya kalau orang tidak memberikannya maka dia marah dan sebagainya, bukankah kita kalau mengasihi anak begitu besar sehingga memanjakannya dan gagal memberinya disiplin, bukankah kita malah merugikannya justru lebih besar karena dia akan menjadi seperti itu seumur hidupnya?

GS : Tapi bagi orang tua yang bersangkutan, itu semacam kesempatan untuk menebus dosanya seperti beberapa waktu yang lalu Pak Paul katakan, "Jangan anak itu diserahkan kepada orang lain" karena suami istri harus bekerja, maka anak ini diserahkan kepada kakek atau neneknya, tapi orang tua ini punya perasaan bersalah sehingga ketika anak itu meminta sesuatu dan orang tua ini mampu untuk memberikan, maka itu yang dilakukan oleh orang tua.

PG : Jadi adakalanya orang tua karena ingin menebus kesalahannya, ingin membuat anak itu supaya sayang dan dekat kepadanya, akhirnya semua dituruti dan semua yang diinginkan diberikannya. Orang tua harus berpikir begini, "Saya telah salah". Jadi langkah pertama adalah bagaimana mengurangi kesalahan itu dan bukan hanya menebusnya dengan memanjakan anak, tapi bagaimana bisa menguranginya. Misalnya jangan pergi, jangan bekerja terlalu lama dan berilah waktu untuk anak-anak di rumah. Jadi lakukanlah langkah pertama dan berikutnya adalah orang tua senantiasa harus berpikir jernih yaitu bukankah kalau saya memerlakukan anak seperti ini, memanjakannya, memberikan semua yang diinginkannya, bukankah sebetulnya saya merugikan si anak dan jangan sampai kita menjadi orang tua yang 'selfish' atau egois, gara-gara kita tidak mau kehilangan kasih sayang anak dan kita mau dia tetap mengasihi kita maka kita berikan semua yang diinginkannya, itu sebetulnya egois karena kita sebetulnya sedang membeli kasih anak dengan barang-barang atau menuruti semua kemauannya padahal akibatnya adalah sangat berjangka panjang dan anak ini menjadi anak yang bermasalah seumur hidupnya, berpuluhan tahun bahkan setelah kita meninggal dunia, anak ini akan terus menciptakan masalah bagi orang lain.

GS : Selain memberikan pemberian yang tidak patut kepada anak, hal lain apalagi, Pak Paul?

PG : Kita akhirnya membolehkan anak melakukan semua yang ingin dilakukannya, ini adalah salah satu ciri atau tanda kurangnya disiplin atau tidak tepatnya pemberian disiplin, kenapa jangan sampai kita membiarkan anak berbuat semaunya? Karena bila kita membiarkan anak berbuat semua yang diinginkannya maka itu sama dengan mengajarkan kepadanya bahwa relasi dan hidup tidak memunyai batas, maksudnya adalah dia berpikir bahwa dia berhak untuk masuk ke dalam kehidupan orang dan memerintahnya atau mengharuskannya berbuat sesuai kata hatinya, karena pada akhirnya dia tidak melihat adanya batas antara dirinya dan orang lain, orang tuanya selalu membiarkan dirinya mau melakukan apa saja, mau mengganggu adiknya, memukul adiknya, memecahkan barang, memarahi pembantu, memaki-maki temannya dan sebagainya. Orang tuanya selalu membela dia dan membiarkan dia semaunya. Dan si anak akhirnya berpikir bahwa dia sepertinya orang yang tangannya sepanjang belalai dan dia boleh berbuat semaunya dan tangannya boleh kemana-mana dan orang harus tunduk kepada dia. Jadi dengan orang yang seperti ini, maka orang akan takut dekat dengan dia, orang justru ingin lari dari dia sebab dia tidak kenal dengan yang namanya batas dan dia tidak bisa menghargai orang bahwa orang punya kehendaknya dan kadang-kadang orang juga tidak punya waktu untuk dia, dia tidak bisa terima. Yang penting dia ingin berbuat apa maka orang harus bisa memaklumi dan orang harus bisa menerima, berbuat semau-maunya. Jadi ini adalah salah satu bentuk tidak adanya disiplin, yang pertama tadi yaitu anak minta apa maka diberikan dan memang dalam bentuk materi. Yang kedua dan yang umum dilakukan oleh orang tua yang gagal mendisiplin anaknya adalah membiarkannya berbuat apa saja dan ini terjadi, jadi ada orang tua yang membiarkan anaknya memarahi pembantunya, memerintah-merintah pembantunya padahal anaknya masih berumur lima atau enam tahun. Jadi anak ini akhirnya berpikir bahwa dia seperti raja dan boleh berbuat apa pun kepada orang dan orang itu tidak boleh mengeluh dan harus selalu menerima perbuatannya itu.

GS : Memang kadang-kadang ada orang tua yang merasa kewalahan dengan sikap anak itu, karena itu tumbuhnya tidak sekaligus tapi secara bertahap karena dia diijinkan ini dan itu dan makin lama makin banyak dan dia menjadi raja kecil di dalam rumah itu.

PG : Betul sekali. Jadi memang mesti kita mulai memberi disiplin kepada anak sejak anak usia kecil sebab kalau tidak sejak anak usia kecil akhirnya mengembangkan sikap dia sebagai raja yang ingin berbuat semaunya, dan ada orang tua yang bersikap seperti itu kepada satu anak dan kepada anak yang lainnya tidak. Jadi misalnya si kakak karena dia anggap paling tampan dan sebagainya maka ketika adiknya sedang bermain, mainannya dia ambil dan sebagainya dan orang tuanya hanya diam dan malahan ada yang menyuruh menyuruh adiknya untuk memberi, "Tidak apa-apa kalau kakakmu yang minta, berikan" padahal kalau adiknya yang minta dan kakaknya tidak memberi, papa mamanya berkata, "Adik tidak boleh minta, ini kakak yang punya". Jadi akhirnya si anak itu hidup tanpa disiplin dan dia sungguh-sungguh berpikir dia bebas berbuat apa saja dan dia bebas memerlakukan orang seenaknya.

GS : Memang kelemahan kita sebagai orang tua, kita terjerumus kepada kurang memberikan disiplin atau berlebihan-lebihan memberikan disiplin, tadi Pak Paul sudah utarakan kalau kita kurang memberikan disiplin. Kalau ada orang tua yang terlalu berlebihan mendisiplin anaknya maka akibatnya apa, Pak Paul?

PG : Akibatnya kita menghancurkan jiwa si anak, jadi ada orang-orang yang akhirnya setelah besar, misalnya sudah punya kepercayaan diri karena sejak kecil sering dimarahi sehingga hanya tahu satu hal yaitu, "apa yang tidak benar dengan diri saya, apa yang salah dalam diri saya" karena tidak pernah diberitahukan tentang apa yang baik dan benar tentang dirinya dan hanya tahu apa yang salah tentang dirinya, atau dicaci maki sehingga anak itu berpikiran buruk terhadap dirinya dan tidak punya kepercayaan diri sama sekali atau anak ini ketakutan sekali berbuat salah, tidak berani melangkah atau mengambil resiko, takut nanti kalau salah nanti di rumah dipukuli. Atau ada anak yang diisi dengan kebencian yang sangat besar sehingga tujuan hidupnya hanya satu yaitu bagaimana memberontak keluar dari rumah. Akhirnya anak yang seperti ini juga mengembangkan masalah dalam kehidupannya pula, mungkin dia tidak bisa mencapai targetnya, tidak punya dorongan untuk berbuat lebih dari yang dilakukannya sekarang, atau anak ini adalah anak yang terlalu mudah menyalahkan orang-orang lain atau orang ini menjadi anak-anak yang bergantung sekali kepada orang. Jadi sekali lagi kelebihan disiplin juga tidak baik atau berdampak buruk pada anak.

GS : Tentunya kita sebagai orang tua berharap bisa memberikan disiplin yang pas bagi anak-anak kita. Apa bentuk disiplin yang tepat itu, Pak Paul?

PG : Saya sekali lagi mau mengingatkan bahwa kita sekarang sedang membicarakan tentang kita harus setia kepada anak dan setia kepada anak dibuktikan dalam komitmen kita kepada anak untuk mendampinginya sampai dia besar dan juga memberinya disiplin kepada si anak sampai dia besar. Apa disiplin yang tepat? Apa efeknya pada dirinya? Dengan disiplin yang tepat kita mengajarkan kepada anak bahwa hidup adalah anugerah. Artinya anugerah adalah pemberian Tuhan, benar-benar bukan karena kita yang mengusahakan untuk dapat hidup di dunia ini kita tidak pernah membeli tiket sebelum hadir di dunia ini dan berkata kepada Tuhan, "Tuhan saya mau hadir ke dunia, ini harganya saya bayar dan tempatkan saya di sini atau di sana" tidak seorang manusia pun yang pernah membeli tiket untuk meminta Tuhan menitipkannya atau menempatkannya di bumi ini. Kita benar-benar ada di dunia ini karena ini adalah anugerah Tuhan. Jadi jangan sampai kita akhirnya memunyai konsep kebalikannya karena kita tidak didisiplin dengan tepat, kita beranggapan kita adalah segala-galanya dan bahwa kita layak menerima semuanya, itu tidak! tapi hidup benar-benar adalah anugerah Tuhan dan jangan beranggapan bahwa semua ada di tangan kita, tapi ada di tangan Tuhan.

GS : Berarti kita sebagai orang tua harus menyadari hal itu bahwa hidup adalah anugerah dan bagaimana itu diteruskan kepada anak atau anak-anak kita.

PG : Betul sekali. Kita sebagai orang tua jika tidak hidup di dalam anugerah justru bergantung kepada semua kekuatan kita seolah-olah semua ini bergantung kepada kita dan bukan kepada Tuhan, anak akhirnya juga akan menerima transfer nilai ini bahwa hidup adalah seperti ini dan kitalah yang telah mengusahakannya dan bukan pemberian Tuhan. Orang kalau sudah beranggapan bahwa hidup dalam genggamannya akhirnya akan membesarkan diri dan tidak akan menghargai Tuhan dan akan mau berbuat semuanya dengan hidup sebab bukankah hidup punya saya dan saya telah mengusahakan, jadi saya bebas berbuat semuanya dengan hidup saya, tidak! Dengan adanya disiplin yang tepat dari orang tua anak-anak diajarkan untuk menghargai hidup bahwa dia tidak bisa berbuat sekehendak hati dengan hidup ini.

GS : Hal yang kedua apa, Pak Paul?

PG : Bahwa manusia untuk dihargai dan barang untuk dipakai, anak yang tidak mengenal disiplin akan beranggapan sebaliknya bahwa manusia untuk dipakai dan barang untuk dihargai. Jadi karena semua yang diinginkannya diperolehnya, dia boleh berbuat semaunya akhirnya dia benar-benar akan memakai manusia untuk mendapatkan apa yang diinginkannya supaya barang-barang yang dia inginkan bisa dia peroleh. Benar-benar dia akhirnya menghargai meninggikan barang atau materi dan manusia adalah untuk dipakainya supaya mendapatkan apa yang diinginkannya ini.

GS : Jadi ini pola pikir yang terbalik yang seharusnya subyek jadi obyek dan yang obyek menjadi subyek, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Dan ini bisa terlihat pada anak sedini mungkin atau ketika anak itu sudah besar, Pak Paul?

PG : Kita bisa mulai melihatnya ketika anak-anak itu mulai SD. Anak-anak yang terlalu dimanja, semua yang diinginkannya itu diberikan, dia bebas berbuat apa saja dibiarkan dan dibela tidak ada disiplin. Anak ini akhirnya kelihatan pada masa kecil memakai orang untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan tidak peduli dengan orang dan yang penting adalah dirinya sendiri. Jadi itu prinsipnya, orang untuk dipakai dan barang untuk dihargai.

GS : Pola pikir itu akan terbawa terus selama dia belum memiliki pengertian yang benar, Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Apakah ada hal lain sehubungan dengan disiplin yang tepat itu, Pak Paul?

PG : Bahwa ia hanya dapat bergerak bila dia berjalan dan bahwa tidak seorang pun yang dapat membuatnya berjalan kecuali dirinya sendiri. Dengan kata lain, kalau kita mendisiplin anak dengan tepat, kita mengajarkannya bahwa dia adalah satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas pilihan dalam hidupnya, kalau kita tidak mendisiplin anak dengan tepat, kita membuatnya bergantung, menyalahkan orang, semua harus melakukan apa yang diinginkannya, kalau ada yang kurang benar dengan dirinya berarti kesalahan orang lain. Dengan disiplin yang tepat kita mendidik anak untuk bertanggungjawab atas tindakannya atas pilihannya sehingga dia tidak mudah-mudah menyalahkan orang dan kalau sampai dia gagal maka orang pertama yang akan dilihatnya adalah dirinya sendiri, "apa yang belum dia lakukan dan apa yang harus dilakukannya sehingga target boleh dicapai". Anak yang seperti inilah yang memang kita inginkan.

GS : Tapi sementara anak-anak masih kecil kita sebagai orang tua perlu mendampingi mereka ketika mereka mengambil keputusan, karena tidak bisa dibiarkan anak itu mengambil keputusan sendiri tanpa bimbingan kita.

PG : Sudah tentu. Jadi akan ada saat-saat kita mendampingi anak dalam pengambilan keputusan, mengajarkannya mereka untuk menetapkan prioritas, mengumpulkan data dan sebagainya sehingga anak kita sanggup mengambil keputusan dengan bijaksana. Tugas kita adalah untuk mendampingi anak supaya dapat mengambil keputusan dengan baik.

GS : Hal mengambil keputusan dan sebagainya ini, tentunya harus diberikan suatu teladan oleh orang tua kepada anak, bagaimana kita mengajarkan hal itu kepada anak-anak kita, Pak Paul?

PG : Misalkan waktu kita mengambil keputusan, kita ini memberikan anak kesempatan untuk mendengar prosesnya, apa yang kita pikirkan, apa yang kita lakukan. Misalnya kita tidak langsung berbuat, kita pikirkan baik-baik, kita pertimbangkan faktor-faktor yang lain dan misalkan kita tanya orang dan kita tidak memikirkan sendiri, tapi kita terbuka terhadap masukan orang lain dan yang terpenting adalah kita bawakan di dalam doa, kita minta Tuhan menuntun dan memberikan petunjuk yang jelas kepada kita. Waktu anak melihat inilah cara kita mengambil keputusan, maka anak akan belajar mengambil keputusan dengan cara yang sama.

GS : Didalam hubungan orang tua dan anak landasannya adalah kasih, kita melakukan itu semua karena kita mengasihi anak kita dan kita berharap anak ini juga bisa mengasihi kita sehingga pada masa tua kita pun nanti kita bisa tetap berhubungan dengan mereka secara baik. Bagaimana kita mendemonstrasikan kasih itu, Pak Paul?

PG : Kita mendemonstrasikan kasih kepada anak dalam pengertian kita menunjukkan bahwa kasih kita kepadanya tidak terbatas. Jadi inilah yang kita pelajari dari kasih Allah kepada kita yaitu tak terbatas, sehingga kita menjadi penerus kasih Allah kepada anak yakni tidak terbatas, karena akan ada saat di mana kasih kita itu mendapat ujian terbesar, ada hal-hal yang akan anak lakukan yang benar-benar memukul kita dan akhirnya kita rasanya tidak sanggup lagi untuk hidup dan tergoda untuk melepaskan anak kita. Dalam saat seperti ini kita harus mengingat bahwa kasih Bapa tidak berkesudahan dan Tuhan tidak menyerah dan akan terus berusaha membawa kita anak-anak-Nya kembali kepada Dia, maka kita pun harus terus berdoa dan berharap sebab kita tidak bisa dengan cepat membatasi kasih itu, tidak menghiraukan anak kita, tidak bisa seperti itu, tapi kita harus ingat kasih Bapa yang tidak berkesudahan.

GS : Memang makin kita mencoba mengasihi anak maka timbul masalah-masalah yang membuat kita meragukan apa perlu saya terus mengasihi, saya ini dijadikan semacam obyek oleh anak, nanti malah keliru.

PG : Sehingga kalau anak-anak sudah mulai besar kita harus bijaksana melihat apakah anak-anak kita memanipulasi kita, memanfaatkan kita sehingga mereka sendiri akhirnya tidak belajar bertanggungjawab. Jadi dengan kata lain, jangan sampai kita berat sebelah. Maka kita harus tekankan bahwa kasih itu harus ada dan penting sekali dan kita pun harus menyeimbangkan kasih dengan disiplin supaya anak kita bisa bertumbuh menjadi anak yang utuh.

GS : Hal lain yang perlu didemonstrasikan apa, Pak Paul?

PG : Untuk kita terus bertahan memberikan kasih tak berkesudahan kepada anak, saya membagikan dua masukan, yang pertama adalah jangan pikirkan ketidakadilan, kadang-kadang inilah yang kita pikirkan kepada anak kita, "Saya sudah berbuat ini tapi kamu tidak menghargai, saya telah berkorban tapi kamu tidak mengingatnya dan kamu hanya ingat hal buruk. Begitu hal baik yang saya lakukan, tapi kamu tidak melakukan dan kamu tidak mengingatnya" dan kita merasa ini tidak adil. Justru saya mau katakan jangan pikirkan ketidakadilan, kita ditempatkan Tuhan dalam hidup anak-anak kita untuk memberi dan memberi, memang adakalanya anak itu tidak adil, bukankah kadang-kadang karena anak tidak mengerti sebagai orang tua akhirnya berbuat seenaknya dan baru nanti setelah mereka besar dan memunyai anak barulah mengerti apa yang kita maksudkan. Jadi jangan sampai kita terpukul dan merasa tidak adil tapi justru kita harus terus mengasihi dan kita harus maju dan memberi terus dan jangan pusingkan ketidakadilan.

GS : Bagaimana kalau itu dilakukan oleh seorang anak yang sudah cukup dewasa bahkan sudah menikah, sehingga orang tua ini merasa sangat sakit hati kepada anaknya karena diperlakukan tidak adil.

PG : Kalau anak sudah besar dan bisa hidup sendiri dan berlaku seperti itu kepada kita maka itu menandakan adanya sebuah sikap yang kurang baik pada anak kita, kalau dalam kasus seperti itu maka saya akan berkata kepada orang tua batasi diri, lindungi diri, tidak harus kita selalu memberi karena dia sekarang sudah dewasa dan kita sekarang melihat adanya faktor karakter yang tidak baik. Jadi kita tidak apa-apa melindungi diri.

GS : Tapi orang tua itu juga merasa bersalah dan berkata, "Mungkin saya dulu mendidiknya keliru".

PG : Sudah tentu bisa jadi karena kita tidak sempurna bisa salah didik dan sebagainya. Tapi kita harus melihat yang sekarang bahwa anak ini hidup sekarang dan kalau kita terus memberikan dan memberikan yang diinginkannya dan dia sudah berkeluarga berarti kita justru merugikan dia, kita mendidiknya untuk tidak bertanggungjawab, jadi kita harus memberanikan diri dan menegaskan hati untuk berkata, "Tidak, saya tidak mau lagi menjadi sapi perahan bagimu".

GS : Mungkin selain tidak memikirkan ketidakadilan, mungkin ada hal lain yang perlu kita lakukan, Pak Paul?

PG : Jangan pikirkan reputasi, ini nasehat saya yang kedua tentang mendemonstrasikan kasih Bapa yang tak terbatas kepada anak, mengasuh anak pada saat anak bermasalah memang dapat menghancurkan reputasi kita namun itulah yang harus kita kedepankan, kita harus rela mengorbankan reputasi kita dan terus mendampingi anak kendati kita harus kehilangan reputasi kita di tangan masyarakat. Mungkin orang akan mengkritik dan mengecam kita gagal dan sebagainya, tidak apa-apa tapi kita mau memberikan kasih sayang kepada anak dan kita korbankan gengsi kita dan sebagainya. Orang mungkin melihat kita begini dan begitu, tidak apa-apa, orang memandang kita kurang positif juga tidak mengapa sebab kita harus menanggung semua ini untuk menolong anak kita.

GS : Berarti kita tidak memedulikan omongan orang demi kita menunjukkan kasih kepada anak, tapi suara orang di sekeliling kita juga membingungkan kita.

PG : Jadi adakalanya kita juga harus mendengarkan apa yang orang lain katakan, apa yang baik tapi poin saya adalah waktu kita mengetahui ini mungkin bagian kita sebagai orang tua kita harus mendampingi anak maka kita jangan memikirkan gengsi. Ada misalnya orang yang terhormat, orang-orang yang melayani Tuhan dan kemudian anak-anaknya mengalami masalah maka dia harus sedikit banyak berhenti dari tugas-tugasnya sehari-hari supaya bisa fokus kepada anak dan nanti mungkin orang akan bicara ini dan itu, tapi tidak apa-apa dan jangan pikirkan gengsi. Dengan cara itulah kita akan bisa memberikan kasih sayang tak terbatas kepada anak.

GS : Tapi apakah itu tidak ada suatu batas waktu tertentu artinya usaha kita sampai pada suatu titik tertentu, sehingga kita bisa melihat apakah ini sia-sia atau tidak saya melakukan hal ini untuk anak kita.

PG : Selama kita masih bisa memberikan kasih itu dan selama kita masih bisa mendidik anak kita untuk bertanggungjawab saya kira kita terus doakan, terus tunjukkan kasih sayang kepadanya. Sekali lagi asal kita tahu kita tidak sedang merusakkannya. Kalau kita tahu kita merusakkannya maka kita hentikan.

GS : Pak Paul, sehubungan dengan perbincangan ini baik yang terhadulu maupun yang saat ini, mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Yohanes 12:24 Tuhan Yesus berkata, "Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah". Ini perumpamaan yang indah yang bisa kita terapkan bagi kita sebagai orang tua, kita harus rela mengorbankan diri dan berlaku setia kepada anak walaupun untuk itu harga yang harus dibayar adalah tinggi, biji gandum harus terlebih dahulu mati sebelum ia dapat menghasilkan banyak buah. Jadi kita orang tua memang harus berani berkorban supaya nanti akhirnya anak-anak kita bisa bertumbuh dan berbuah.

GS : Akhirnya itu kadang-kadang setelah kita meninggal, baru anak itu menyadari kebaikan hati orang tuanya, Pak Paul.

PG : Betul. Kadang-kadang perlu waktu selama itu untuk menyadarkan anak.

GS : Tapi tidak ada hal yang sia-sia tentunya karena anak ini berubah menjadi baik.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rayakan Kesetiaan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



105. Dampak Kudus pada Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T331B (File MP3 T331B)


Abstrak:

Kita semua mafhum bahwa kekudusan adalah karakteristik yang penting. Kita pun menghendaki agar anak kita memiliki karakteristik tersebut. Pertanyaannya adalah, darimanakah anak belajar untuk hidup kudus dan tulus? Nah, jika anak belajar berjalan dan makan dari orang tua, tentulah anak belajar hidup kudus dari orang tua pula. Singkat kata, anak belajar kekudusan dari kekudusan kita, orang tuanya. Pembahasan ini menjelaskan dampak kehidupan yang kudus pada anak.


Ringkasan:

Kita semua mafhum bahwa kekudusan adalah karakteristik yang penting. Kita pun menghendaki agar anak kita memiliki karakteristik tersebut. Pertanyaannya adalah, darimanakah anak belajar untuk hidup kudus dan tulus?

Nah, jika anak belajar berjalan dan makan dari orang tua, tentulah anak belajar hidup kudus dari orang tua pula. Singkat kata, anak belajar kekudusan dari kekudusan kita, orang tuanya. Berikut akan dipaparkan dampak kehidupan yang kudus pada anak.

Setidaknya ada tiga dampak kekudusan orang tua pada anak.

PERTAMA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK DIINGATKAN BAHWA DI TENGAH DUNIA YANG KOTOR, MASIH ADA ORANG YANG HIDUP KUDUS. Oleh karena kita dilahirkan dalam dosa, maka dorongan alamiah pada diri kita adalah untuk berdosa. Dan, oleh karena kita hidup di dalam dunia yang telah tercemar oleh dosa, maka arah hidup kebanyakan orang di dunia adalah menuju dosa pula.

Itu sebabnya makin anak bertumbuh dewasa, makin ia harus bersentuhan dengan dosa. Makin ia bertumbuh dewasa, makin sering ia berhadapan dengan pilihan menaati Tuhan atau berdosa. Nah, di titik genting ini, penting bagi anak untuk diingatkan bahwa di dunia masih ada orang yang hidup kudus yaitu kita, orangtuanya. Jika anak tidak dapat melihat kita sebagai orang yang hidup kudus, maka makin melemah pulalah dorongan dan tekadnya untuk hidup kudus.

KEDUA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK PUN BERKESEMPATAN UNTUK BELAJAR BAGAIMANA HIDUP KUDUS. Makin anak dewasa dan bertemu dengan beragam manusia, makin besar godaan untuk menyamaratakan semua orang sebagai orang berdosa. Masalahnya adalah, manakala kita menyimpulkan bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna, maka makin besarlah godaan untuk mengatakan bahwa tidak mungkin kita dapat hidup kudus.

Anak perlu tahu bahwa bukan saja masih ada orang yang hidup kudus, tetapi juga bahwa ia pun dapat hidup kudus. Nah, untuk itu ia perlu belajar bagaimana hidup kudus dari kita. Sudah tentu pelajaran pertama hidup kudus adalah melihat contoh konkret hidup kudus. Sewaktu anak melihat kesetiaan kita kepada Kristus dan keluarga, ia melihat hidup kudus. Sewaktu ia melihat kesungguhan kita melayani Tuhan, ia melihat kekudusan. Sewaktu ia melihat kejujuran kita, ia pun melihat kekudusan.

Selain dari melihat, anak pun perlu mendengar bagaimanakah kita menghadapi pencobaan. Kita semua adalah manusia yang terbuat dari darah dan daging yang telah tercemar oleh dosa, itu sebabnya kita dapat dicobai dan mungkin sekali, kita pun pernah jatuh ke dalam dosa. Nah, sesuai dengan usia dan kondisi kehidupan anak, bagikanlah pengalaman hidup bergumul dengan dosa. Ceritakanlah kekalahan dan kemenangan kita agar anak mengerti dengan realistik bagaimanakah ia pun dapat mengatasi pencobaan.

Tatkala anak mendengar pengalaman kita bergumul dan menghadapi pencobaan dosa, bukan saja ia akan dikuatkan untuk bertahan, ia pun mungkin akan dapat menemukan jalan keluar yang dibutuhkannya. Ia pun diingatkan bahwa ia pun manusia sama seperti kita dan bahwa kenyataan ia tergoda, tidak berarti bahwa ia terlebih buruk dari kebanyakan orang. Sebab ternyata, pergumulannya tidak jauh berbeda dengan kita semua.

KETIGA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK MELIHAT INDAHNYA DAN SUKACITANYA HIDUP DALAM KEKUDUSAN. Kadang orang beranggapan bahwa hidup kudus adalah hidup yang menyedihkan. Anggapan ini amatlah keliru ! Hidup kudus adalah hidup yang membahagiakan karena hanya di dalam kekudusan terdapat sejahtera.

Hidup dalam kekudusan membuat kita jauh dari kecemasan. Kita tidak perlu menyembunyikan diri dan kita bisa hidup dengan merdeka. Hidup dalam kekudusan membuat kita sejahtera sebab tidak ada konsekuensi dosa yang tengah menanti. Hidup dalam kekudusan membawa kebahagiaan bagi Tuhan dan ini membuat hati bersukacita. Sewaktu anak melihat "manfaat" hidup kudus, ia pun lebih terdorong untuk mengikuti jejak kita hidup kudus.

Firman Tuhan

Mazmur 84:12 berkata, "Sebab Tuhan adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Inilah janji Tuhan kepada kita yang hidup kudus—hidup tidak bercela. Ia akan melimpahkan kita dengan kebaikan, kasih dan kemuliaan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dampak Kudus Pada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, saya ingin bertanya, bagaimana dampak kudus pada anak dalam keluarga kristiani sebab banyak orang tua berdoa untuk kekudusan bagi anaknya bahkan bertahun-tahun tapi seakan-akan belum dijawab bahkan ada juga permusuhan antar saudara dalam keluarga Kristen ini. Padahal itu keluarga hamba Tuhan.

PG : Begini, Ibu Dientje, kekudusan itu memang merupakan ciri utama dari kehidupan Kristiani. Kita tidak bisa berkata, "Saya orang Kristen dan saya ini adalah anak Allah, pengikut Kristus" kemudian hidup kita penuh dengan dosa, itu tidak bisa! Memang tidak bisa disatukan dosa dan Tuhan karena Tuhan itu kudus. Jadi anak-anak perlu sekali melihat hal ini pada kehidupan kita, sebab kalau tidak, maka nantinya anak-anak itu hampir dapat dipastikan akan kehilangan kesempatan untuk sungguh-sungguh mengenal Tuhan, apa yang dilihatnya dalam diri kita yang hidup tidak benar, itu benar-benar akan memadamkan keinginannya untuk mengenal Tuhan dan seringkali akhirnya mereka malahan meninggalkan Tuhan.

GS : Yang seringkali kita tidak tahu apakah yang kita lakukan, hidup kudus yang kita sudah peragakan itu berdampak atau tidak pada anak kita, Pak Paul? Kita sulit mengukurnya apalagi kalau anak-anak ini masih kecil, kita sudah berupaya tapi apakah itu terserap oleh mereka atau tidak, kita tidak mengetahuinya?

PG : Saya berikan sebuah kasus nyata dan ini memang saya dapati di Amerika. Jadi seorang ibu bercerita tentang anaknya, dari tiga anaknya, dua sudah meninggalkan Tuhan. Jadi ibu itu bercerita dengan sedih sebab dia berkata, "Kami sudah mencoba sekuat tenaga mengarahkan anak untuk hidup benar dalam Tuhan, anak-anaknya akhirnya rajin ke gereja dan terlibat dalam remaja dan sebagainya, tapi setelah dewasa meninggalkan Tuhan". Waktu saya mendengar itu sudah tentu merasa iba dan kasihan, "Kasihan sekali si ibu ini" tapi belakangan saya itu berkesempatan bertemu dengan si suami dan suaminya bercerita tentang istrinya, intinya adalah si suami menceritakan problem yang memang dimiliki oleh si istri dan waktu si suami bercerita seperti itu maka saya kira-kira baru mengerti kenapa anak-anak akhirnya sampai meninggalkan Tuhan. Sebab apa yang terjadi memang mungkin sekali si ibu benar bahwa mereka mencoba menanamkan nilai-nilai rohani, tapi hubungannya dengan suami tidak baik. Jadi banyak masalah di antara mereka, akhirnya buat anak-anak, buat apa bicara tentang Tuhan, tapi hidup papa dan mama tidak karuan. Jadi akhirnya mereka benar-benar melepaskan semua yang namanya dengan kerohanian, iman Kristiani karena orang tua hidupnya tidak karuan, bertengkar dan sebagainya. Jadi kita seringkali baru tahu efeknya itu setelah anak-anak mulai besar. Pada masa kecil anak tidak punya pilihan, yang penting dibawa ke gereja dan anak-anak mengikuti saja, tapi setelah besar barulah nanti anak-anak itu berkesempatan untuk berkata, "Tidak mau" dan kita tidak bisa berbuat apa-apa, baru saat itu kita sadar bahwa ada dampaknya.

GS : Pak Paul, apa dampak kekudusan suatu keluarga khususnya orang tua terhadap anak atau anak-anak mereka?

PG : Yang pertama adalah kalau sewaktu kita hidup kudus, anak jadinya berkesempatan untuk belajar bagaimana hidup kudus. Kita sering berkata pada anak-anak, "Hidup yang benar, jangan sampai berdosa dan sebagainya" tapi kita juga tidak mencontohkan secara langsung bagaimana caranya hidup seperti itu. Kalau kita hidup kudus maka anak akan belajar dari kita. Masalahnya adalah anak-anak itu nanti biasanya berpikir, "Tidak ada yang sempurna di dunia ini, semuanya juga tidak benar" akhirnya mereka berkata, "Buat apa hidup kudus, lebih baik kita hidup sembarangan karena semua orang di dunia juga seperti itu". Anak-anak perlu tahu bahwa masih ada orang yang hidup kudus yaitu orang tuanya, tapi dia juga perlu belajar bagaimana untuk hidup kudus dan dia pelajari dari kita. Contohnya sudah tentu haruslah datang dari kita sendiri, sewaktu anak melihat kesetiaan kita kepada Kristus dan keluarga, dia melihat hidup yang kudus, sewaktu mereka melihat kesungguhan kita melayani Tuhan dia melihat yang kudus, waktu dia melihat kejujuran kita ia pun melihat kekudusan. Jadi anak-anak itu perlu melihat langsung sehingga bisa nantinya belajar dari kita bagaimana untuk hidup kudus.

GS : Kadang-kadang ada yang salah mengerti tentang kekudusan, seolah-olah orang yang kudus itu tidak boleh berdosa lagi dan hidupnya seperti malaikat. Hal seperti ini juga menyesatkan anak, "Bagaimana mungkin saya seperti malaikat" daripada seperti itu maka langsung saja melakukan dosa.

PG : Maka anak-anak perlu melihat kita terbuka kepada anak dengan kelemahan kita juga. Misalkan ada hal-hal yang pernah kita gumuli, biarkan anak-anak juga mendengar dan terutama bagaimana kita mengatasinya. Jadi saya misalnya bicara dengan anak-anak saya tentang saya dulu terlibat pornografi, dengan cara itulah anak-anak tahu bahwa saya bukanlah orang yang sempurna tapi dengan anugerah Tuhan saya bisa mengatasinya, sehingga waktu anak saya mengalami pergumulan yang sama, maka mereka bisa mencari saya dan bicara dengan saya. Sekali lagi jadinya lewat hal-hal seperti itu anak belajar bagaimana hidup kudus karena kita mengalaminya, sekali lagi saya tidak mengatakan biarlah anak-anak melihat betapa sempurnanya kita, tidak seperti itu. Karena kita juga manusia biasa yang kadang-kadang juga dicobai dan bisa jatuh juga. Dalam hal inilah kita perlu terbuka mengakui keterbatasan kita.

GS : Bukan hanya diri kita, tapi lingkungan kita pun juga orang-orang yang berdosa yang penuh dengan kecemaran, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi bagikanlah hal-hal yang praktis yang dilakukan oleh orang-orang dan kita memang bisa mengomentari tapi kita juga harus berhati-hati dan jangan sampai kita terlalu memberikan penghakiman dan kita juga harus mengerti bahwa orang itu juga punya kelemahan. Tapi sekali lagi dengan cara itu kita mau mengatakan pada anak-anak kita bahwa inilah dunia, memang penuh dengan orang-orang yang tidak kudus, tapi kita mau mencoba belajar hidup kudus dan anak-anak melihat bahwa kita mencoba untuk hidup benar dan kudus di hadapan Tuhan.

GS : Jadi sebenarnya yang dituntut atau yang dibutuhkan oleh anak-anak itu bukan tuntutan untuk hidup kudus, tapi tuntunan bagaimana mereka bisa hidup kudus sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.

DL : Teladan juga.

PG : Tepat sekali. Lewat teladan kita memberikan tuntunan kepada anak-anak. Ini bagus sekali, Pak Gunawan mengangkat hal itu, seringkali di rumah kita melakukan hal itu, kita memberikan tuntutan harus seperti ini dan begitu, tapi kita sendiri tidak menyediakan tuntunan itu. Jadi waktu anak-anak mengerti kalau inilah caranya, akhirnya anak-anak belajar bagaimana dia belajar hidup benar di hadapan Tuhan.

GS : Jadi sebenarnya kekudusan itu dilatihkan di dalam diri anak itu, begitu Pak Paul?

PG : Bisa dilatihkan atau dengan kata lain bisa diajarkan lewat apa yang kita katakan dan sudah tentu lewat kehidupan kita sendiri.

DL : Tapi ada juga saya melihat ada keluarga hamba Tuhan, anaknya saling bermusuhan dan juga ada yang tidak ke gereja karena sudah memunyai akar pahit, sudah disatukan, sudah ditolong supaya mereka mengerti bahwa itu tidak baik, tapi kelihatannya sulit terhadap keluarga ini. Itu kenapa, Pak Paul?

PG : Mungkin sekali akarnya bukan masalah rohani, tapi akarnya besar kemungkinan itu masalah keluarga.

DL : Akumulasi dari yang lama.

PG : Betul. Mungkin sekali terlalu banyak kemarahan dan kepahitan kepada keluarga sendiri sehingga akhirnya anak-anak itu memutuskan untuk terlepas sejauh-jauhnya dan tidak mau lagi tahu tentang kakak dan adiknya karena mungkin sekali sudah terlalu banyak kepahitan.

DL : Dan mungkin itu bisa diatasi hanya dengan doa?

PG : Sudah tentu harus berdoa, tapi kalau orang itu menyadari hal ini maka orang tua memang bisa memulai dengan keterbukaan, kenyataan bahwa mereka tidak sempurna dan harus diakui dan mencoba memerbaikinya. Anak-anak maunya melihat perubahan dan anak tidak perlu lagi mendengar orang tua mengaku salah tapi tidak berbuat apa-apa, mereka maunya mereka mengaku tapi tunjukkanlah perubahan dan benar-benar berbeda. Saya yakin anak-anak kalau melihat orang tua berubah maka mereka akan cepat mengampuni.

DL : Tapi ada juga anak hamba Tuhan, hamba Tuhan itu dipakai Tuhan luar biasa tapi anaknya itu seakan-akan minder, tidak bisa percaya diri sehingga dia tidak bisa maju, itu kenapa, Pak Paul?

PG : Akhirnya banyak penyebabnya, seringkali karena banyak keluarga dimana orang tua sibuk dan tidak bisa tidak kadang-kadang anaknya agak terlantar sehingga kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan dibangunkan serta diarahkan sehingga akhirnya anak-anak itu tercecer di belakang. Ini memang bukan saja saya kira masalah dalam keluarga hamba Tuhan, tapi dalam semua keluarga yang memang kesibukannya sangat tinggi dan biasanya anak-anak akhirnya tercecer.

GS : Tidak banyak saya rasa orang tua yang berani mengungkapkan masa lalunya yang kelam, kelemahan dan dosa-dosanya dengan alasan anak saya belum siap untuk mendengar itu, nanti kalau saya ceritakan malah pandangan dia terhadap saya menjadi jelek. Bagaimana mengatasinya, Pak Paul?

PG : Sudah tentu anak-anak itu pada masa-masa kecil sekali tidak harus mendengar kelemahan kita, tapi waktu kita mulai melihat bahwa mereka sudah di usia dimana kita juga bergumul dengan hal-hal tersebut, maka ada baiknya orang tua mengakui apa adanya. Jadi dalam pengertian menyadari kesalahan dan mencoba memerbaikinya dan jangan menyesali pernikahan kita atau pasangan kita. Kadang-kadang orang tua seperti itu, yaitu salah memilih pasangan misalnya anggapannya saya keliru memilih suami saya, kemudian itu yang terus dikomunikasikan kepada anak-anak, "Salah saya memilih papa, seharusnya saya tidak memilih papamu". Jadi menyesali menikah dengan si papa. Anak-anak menjadi bukannya tambah terbangunkan tapi malah terpuruk, jadi kalau bisa janganlah menyesal-nyesalkan pilihan kita tentang pasangan kita tapi biarlah kalau kita mau cerita tentang hal-hal lain yang memang kita perbuat dulu yang kita tahu itu salah dan sekarang kita sadari dan sekarang kita sudah berubah. Lewat hal-hal itu anak-anak akhirnya bisa lebih mengerti.

GS : Bagaimana supaya tidak ada kekuatiran bahwa anaknya akan mengulang dosa yang dilakukan oleh si ayah, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kita tidak bisa memastikan bahwa anak tidak akan mengulang, tapi kita dengan hidup kudus, dengan hidup benar itu menjadi sebuah daya tarik, Pak Gunawan. Sebab anak-anak mengerti bahwa dunia ini kotor banyak sekali orang-orang yang berdosa dalam hidup ini, waktu kita hidup benar, waktu kita hidup kudus, maka anak akan nanti diingatkan bahwa di tengah-tengah dunia yang kotor ini masih ada orang yang hidupnya bersih. Dulu saya pernah memunyai teman, dia itu cerita bahwa papanya adalah orang yang sangat jujur, begitu jujurnya waktu dia bekerja sebagai salesman disuruh untuk membohongi pelanggan tentang produknya, dia menolak. Karena dia menolak maka diberhentikan dan disuruh pulang langsung. Dia cerita kepada saya bahwa papanya itu sejujur itu hidupnya dan memang pada masa pertumbuhannya hidup mereka sangat pas-pasan namun setelah anak-anak dewasa Tuhan berkati dengan berlimpah. Namun ini yang selalu anaknya katakan, "Papa saya adalah orang yang paling jujur di dunia" jadi ini teladan yang bagus, karena si anak setelah dewasa dia pasti melihat di dunia itu banyak orang yang tidak jujur tapi dia masih bisa berkata, "masih ada yang jujur" berarti kalau orang berkata, "Hiduplah jujur" dan bisa hidup jujur, maka dia akan berkata, "Masih dimungkinkan". Kalau orang berkata, "Mana mungkin hidup jujur" dia masih bisa berkata, "Papa saya hidup jujur meskipun kami dulu hidup pas-pasan tapi kami masih hidup dan sekarang hidup kami sangat baik sekali" jadi sekali lagi waktu dia melihat adanya yang jujur di rumahnya itu menjadi sebuah pilar, sebuah kekuatan bagi dia untuk hidup jujur karena ternyata bisa hidup jujur dan dia melihat Tuhan memberkati orang yang hidupnya jujur.

GS : Tapi ada anak yang justru menyesali kenapa orang tuanya begitu jujur sampai mereka tidak bisa hidup yang layak, begitu Pak Paul.

PG : Memang kadang-kadang anak-anak itu karena tidak mengerti merasa begitu terutama pada masa kecil, mau beli mainan tidak bisa, mau beli ini tidak bisa. Maka orang tua juga mesti bisa mengutarakan kondisi dan jangan misalnya anak mau membeli barang kemudian dikatakan, "papa orang miskin karena papa ini orang yang mau mengikut Tuhan" jadi jangan terlalu berbicara seperti itu, tapi biarkan perbuatan kita yang berbicara, sehingga anak-anak melihat bahwa inilah papa saya dan inilah mama saya. Hidupnya jujur dan saleh. Meskipun dia berontak karena dia tidak bisa membeli barang ini dan itu, tapi setelah dia mulai besar umumnya mereka akan menghargai. Saya sudah melihat ini dari orang yang saya juga kenal, masih kecilnya memang mengeluh tapi setelah besar selalu membicarakan tentang ayahnya dengan hormat meskipun pada waktu masih kecil menderita, tapi setelah besar selalu membicarakan tentang ayahnya yang jujur itu dengan rasa hormat.

GS : Memang seseorang akan melakukan apa yang diminta oleh orang tuanya ketika mereka bisa melihat hasil positif dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya.

PG : Jadi dia melihat bahwa benar ya Tuhan menyertai dan Tuhan memberkati. Memang untuk sementara hidupnya agak susah, tapi akhirnya dia melihat betapa mulianya kehidupan yang seperti itu. Namun yang terutama adalah waktu kita hidup jujur, kita itu benar-benar mengkomunikasikan kepada anak-anak kita bahwa di dunia masih ada orang yang jujur dan hidupnya kudus dan kitalah orangnya. Jadi mereka berkesempatan bukan saja mengenal tapi hidup bersama dengan orang yang hidup kudus, ini menjadi sebuah pelajaran dan kekuatan bagi anak untuk nantinya hidup kudus.

DL : Apa perbedaan antara jujur dan polos ? Karena ada anak yang karena jujurnya dia terlalu polos berkata kepada tempat yang mau melamar, "Baik, saya akan terima tapi tunggu dulu karena saya masih melamar di dua tempat" akhirnya dia tidak jadi diterima karena terlalu polos, kemudian dia bilang, "Saya 'kan harus jujur" kemudian saya katakan "Itu salah".

PG : Jadi dengan kata lain kita jujur, tapi juga harus bijaksana.

GS : Hal apa, Pak Paul, yang diperoleh seorang anak ketika kita itu hidup kudus?

PG : Saya tadi sudah singgung tentang memberikan mereka kekuatan untuk hidup kudus, satu hal lagi yang juga penting adalah waktu mereka itu mengalami pencobaan dan pergumulan, mereka itu lebih dimotivasi untuk kudus, sebagai contoh kalau saya tidak menyalahkan semua orang yang bercerai karena setiap kasus lain-lain, banyak kasus justru orang itu tidak mau bercerai tapi menjadi korban dari perceraian itu. Tapi ini yang saya mau katakan, kalau orang tua kita tidak bercerai, misalkan dalam pernikahan kita mengalami problem maka sudah tentu godaan angkat tangan itu besar, namun kalau orang tua kita itu tidak bercerai maka kita mau angkat tangan pun, mau menyerah, mau bercerai masih berpikir dua kali; tapi kalau orang tua bercerai maka kita tidak akan berpikir dua kali, sebab orang tua kita pun tidak akan bisa bicara apa-apa, tidak bisa melarang kita kalau pun mereka mau menegur kita, kita sudah bisa berkata, "papa mama sendiri bercerai". Jadi dengan kata lain, orang yang bisa hidup kudus akan memberikan amunisi atau kekuatan kepada anaknya untuk lebih bertahan di dalam pencobaan sehingga tidak cepat menyerah dan angkat tangan.

DL : Tapi ada anak karena dia melihat orang tuanya, kehidupan rumah tangganya sering bertengkar, dia mengatakan bagini, "Besok jika saya sudah dewasa, saya tidak mau menikah".

PG : Betul, banyak yang begitu karena menjadi pengalaman yang pahit buat dia, buat apa saya menikah kalau nanti akhirnya harus hidup seperti papa mama saya, terus bertengkar.

GS : Tapi ada sebaliknya yang ketika melihat orang tuanya tidak bercerai tapi hidupnya susah karena mereka mencoba menjalankan kebenaran firman Tuhan dengan kekudusan dan sebagainya, anak ini pun berkata, "Saya pun tidak akan menikah kalau hidupnya akhirnya seperti itu". Sebenarnya orang tuanya memberikan contoh, tapi dia melihat pernikahan ini tidak cocok buat saya.

DL : Berarti dia mengambil sisi negatifnya.

PG : Kalau kita mau hidup kudus, kita juga mesti hidup dengan sukacita, Pak Gunawan. Memang sulit, tapi penting jangan sampai anak berkata, "Buat apa hidup kudus, buat apa hidup berkenan pada Tuhan tapi seperti itu tidak ada sukacita, menderita terus". Hal itu juga membuat anak berpikir, "Buat apa?" Sebagai contoh yang saya akan bagikan adalah contoh dari Penginjil John Sung yang kita tahu dipakai Tuhan di Asia Tenggara dan juga di Tiongkok pada tahun 1930-an. Waktu dia mau menjadi hamba Tuhan, dia menolak mati-matian karena dia memunyai ambisi ingin menjadi apa, tapi Tuhan panggil dia. Salah satu alasan sebetulnya adalah karena memang papanya pendeta dan hidupnya susah. Rupanya mereka menaruh harapan yang besar pada John Sung, nanti setelah selesai studi di Amerika pulang ke Tiongkok, dia bisa mengangkat bukan saja harkat keluarga tapi juga perekonomian keluarga. Pada waktu dia pulang dan mengatakan ingin menjadi hamba Tuhan, orang tuanya kecewa luar biasa. Tapi bisa dimengerti karena orang tua itu hidup susah, sebagai seorang hamba Tuhan, jadi anak mengembangkan pikiran tidak mau menjadi hamba Tuhan. Mungkin juga orang tuanya kadang-kadang menyesali nasibnya, maka kalau kita mau hidup kudus, benarlah hidupnya, dengan sukacita jangan sampai terus mengeluh. "Karena saya ikut Tuhan, hidup saya seperti ini dan sebagainya", akhirnya anak-anak berkata, "Tidak mau hidup kudus, karena papa mama hidupnya bertambah susah". Jadi justru harus ada sukacita meskipun hidup kita pas-pasan, ada sukacita karena kita melihat Tuhan tetap memelihara, tetap bersyukur, sehingga anak-anak akan menangkap itu yang penting, hidup benar di hadapan Tuhan dan bisa tetap hidup sukacita untuk Tuhan.

GS : Memang seringkali yang kita jumpai, banyak anak tidak mau melanjutkan profesi dari orang tuanya karena dia melihat kehidupan yang seperti itu susah, bukan hanya dalam segi menjadi pendeta atau penginjil, tapi dalam pekerjaan-pekerjaan yang lain seperti misalnya menjadi polisi, misalnya menjadi pegawai. Orang tuanya ada yang menganjurkan, kamu kalau besar jangan seperti papa. Dia memunyai gambaran bahwa kehidupan itu bila dijalani dengan jujur, dengan tulus akan menimbulkan kesukaran dalam hidupnya.

PG : Nah ini ajaran yang sudah tentu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, sebab Tuhan menghendaki kita hidup berkenan kepada-Nya dan terima konsekwensinya, mungkin kita tidak bisa naik pangkat, tidak bisa mengumpulkan kekayaan, ya tidak apa-apa. Tapi waktu anak melihat orang tuanya hidup dengan sukacita, melayani Tuhan, hidup buat Tuhan. Itu menjadi kekuatan yang besar buat anak-anak ini. Contoh kehidupan dari Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen di Amerika Serikat. Dia bercerita papa mamanya hidupnya pas-pasan, karena di tahun-tahun itu papa mamanya bergantung pada pemberian jemaat, pemberian gereja pada waktu papa menjadi seorang penginjil keliling berkhotbah, kadang-kadang ya kurang, tapi yang dilihat oleh Dr. James Dobson sebagai anak, papa mamanya selalu bersyukur! Dalam salah satu autobiografinya ditulis, dia kadang-kadang melihat papanya pulang dari pelayanan, mengobrol dengan mamanya tentang apa yang Tuhan kerjakan lewat dia waktu mengunjungi suatu tempat. Di akhir pembicaraannya dia berkata, "Uangnya saya berikan pada keluarga hamba Tuhan itu karena mereka susah sekali" dan mamanya berkata, "Ya tidak apa-apa kalau memang Tuhan menggerakkan kamu begitu". Dr. James Dobson melihat papa mamanya hidup dengan penuh sukacita, penuh syukur dan rukun, itu menjadi bekal rohani yang luar biasa buat dia, sehingga waktu dia besar dia menjadi tokoh yang Tuhan pakai.

DL : Berarti seorang anak, dia bisa melihat bagaimana kehidupan rohani orang tuanya, kudus, sukacita. Kadang-kadang saya melihat anak ini dari kecil ikut ibadah, tapi setelah besar dia jauh dari itu semua, karena mungkin ia melihat perbuatan orang tuanya.

PG : Mungkin, mungkin mereka berkata, "Percumalah, papa mama suruh renungan bersama tapi kehidupannya seperti itu, tidak harmonis, buat apa?" Jadi mereka menjadi tawar hati, Bu Dientje. Maka sekali lagi penting sekali itu kekudusan, kita tidak bisa menjadi saksi Kristus di rumah kalau kekudusan sudah tidak ada lagi.

GS : Memang Tuhan selalu memerintahkan kepada umat-Nya untuk mendidik anak-anak mereka hidup kudus di hadapan Tuhan, tapi yang paling sulit adalah memberikan teladan kepada mereka bagaimana hidup kudus itu sendiri, Pak Paul. Untuk menyimpulkan perbincangan kita pada saat ini, mungkin ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Di Mazmur 84:12, firman Tuhan berkata, "Sebab Tuhan adalah matahari dan perisai, kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela". Inilah janji Tuhan kepada kita yang hidup kudus, hidup tidak bercela, Ia akan melimpahkan kita dengan kebaikan, kasih dan kemuliaan.

GS : Jadi kita memang hidup berdasarkan kebenaran firman Tuhan itu. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dampak Kudus pada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



106. Pemberontakan Anak I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T333A (File MP3 T333A)


Abstrak:

Salah satu misteri dalam membesarkan anak adalah, tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan, dapat diterima anak dengan BAIK dan TEPAT. Mungkin kita tidak menyampaikannya secara tepat sehingga anak tidak dapat menerima-nya dengan baik. Namun acap kali anak memang sulit untuk menerimanya oleh karena ia sudah memiliki keinginan yang berbeda. Kalau tak terjembatani, tidak bisa tidak, timbullah pemberontakan. Namun ada banyak alasan lain lagi mengapa anak memberontak. Dan pemberontakan anak bisa dilihat dalam beberapa hal, kemudian bagaimana kita sebagai orang tua menghadapi pemberontakan anak?


Ringkasan:

Salah satu misteri dalam membesarkan anak adalah, tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan, dapat diterima anak dengan BAIK dan TEPAT. Mungkin kita tidak menyampaikannya secara tepat sehingga anak tidak dapat menerimanya dengan baik. Namun acap kali anak memang sulit untuk menerimanya oleh karena ia sudah memiliki keinginan yang berbeda. Kalau tak terjembatani, tidak bisa tidak, timbullah pemberontakan. Namun ada banyak alasan lain lagi mengapa anak memberontak.

Beberapa di antaranya adalah:

         PERTENGKARAN ORANG TUA
adalah salah satu penyebab paling umum munculnya pemberontakan. Oleh karena pertengkaran yang tak berkesudahan, anak terpaksa hidup dalam ketegangan dan kemarahan. Inilah benih yang melahirkan pemberontakan.

         ANAK DIJADIKAN TARGET PELAMPIASAN
adalah penyebab lain terjadinya pemberontakan. Mungkin orang tua frustrasi dengan pernikahannya atau mungkin ia terjepit dalam pekerjaannya. Nah, dalam kondisi tertekan, betapa mudahnya orang tua melampiaskan semua kekesalannya pada anak. Sudah tentu bukan saja anak merasa tersiksa, ia pun merasa marah karena harus menjadi korban ketidakadilan. Pemberontakan pun menjadi jalan keluarnya.

         ANAK DIJADIKAN TROFI DALAM KONFLIK
adalah penyebab timbulnya pemberontakan dalam keluarga yang tidak harmonis. Akibat keretakan relasi baik ayah maupun ibu berusaha "memenangkan" hati anak agar berpihak padanya. Sudah tentu kondisi ini membuat anak serba salah dan tidak jarang, pemberontakan menjadi jalan untuk membebaskan diri dari himpitan ini.

         TUNTUTAN BERLEBIHAN
adalah penyebab lain timbulnya pemberontakan. Mungkin orang tua bermaksud baik yaitu mendorong anak untuk mengoptimalkan potensinya namun pada akhirnya anak merasa tersiksa sebab hidup menjadi mirip dengan kerja rodi. Alhasil anak memberontak agar terlepas dari tuntutan yang terlalu menindihnya.

         KONFLIK ORANG TUA - ANAK
adalah penyebab yang kerap menjadi penyebab munculnya pemberontakan. Sudah tentu ada banyak faktor yang dapat mencuatkan konflik di antara orangtua-anak namun bila konflik tidak terselesaikan, besar kemungkinan pada akhirnya anak memberontak.

 

Sesungguhnya apakah pemberontakan itu? Pemberontakan adalah:

       Pertanda anak TIDAK TAHAN lagi dengan tekanan yang dihadapinya. Bertahun-tahun hidup dalam tekanan membuat daya tahan anak untuk menghadapi stres berkurang. Ia menjadi mudah marah dan cepat melampiaskan kemarahannya pada orang di sekitarnya. Juga, akibat tekanan yang dialaminya ia tidak sempat membangun sistem pertahanan yang kuat sehingga ia menjadi mudah runtuh. Di dalam keruntuhan ia mudah meledak dan tidak cakap mengelola kecamuk di hati. Itu sebabnya reaksi termudah adalah MENOLAK TUNTUTAN apa pun dan inilah yang menjadi tema pemberontakannya.

       Pertanda anak ingin MENGUBAH kondisi keluarganya yang tidak sehat. Tanpa dijelaskan sekali pun, anak tahu bahwa keluarganya tengah bermasalah. Mungkin ia melihat hambarnya komunikasi di antara orang tua. Mungkin ia melihat pertengkaran. Mungkin ia melihat kedekatan orang tua dengan teman di luar pernikahan. Semua ini adalah kondisi yang tidak sehat dan anak merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu. Akhirnya ia mencoba memberitahukan orang tua, mengingatkan orang tua, menasihati orang tua tetapi semua tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya ia tidak tahan lagi dan letih menasihati. Ia membuang semua itu dan melawan orang tua. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini pemberontakan merupakan upaya anak MENYADARKAN ORANG TUA.

       Pertanda anak ingin membangun kehidupan yang TERPISAH dari kita. Kadang anak memberontak oleh karena ia ingin mulai mengembangkan kemandiriannya. Ia menganggap diri sudah dewasa dan sudah selayaknya ia memeroleh kebebasan untuk memilih. Pada umumnya ada tiga isu utama yang kerap menjadi pemicu pemberontakan anak: iman kepercayaan, pasangan hidup dan gaya hidup.

       Namun adakalanya, pemberontakan merupakan ekspresi PENYIMPANGAN anak dalam pertumbuhannya. Pada umumnya anak yang bertumbuh besar dalam keluarga yang tidak harmonis mengembangkan perilaku memberontak sebagai akibat ketidakstabilan jiwanya. Pemberontakan menjadi gaya hidup atau caranya menghadapi hidup. Ia tidak tahu dan mungkin, tidak sanggup mengatasi kekompleksan hidup beserta tuntutannya. Akhirnya satu-satunya cara yang digunakan adalah memberontak. Singkat kata, pemberon-takan merupakan wujud nyata dari ketimpangan dan ketidakberdayaannya menghadapi hidup dengan cara yang sehat.

 

Pemberontakan anak dihadapi lewat:

       KERENDAHAN HATI untuk mengakui kondisi keluarga dan kekurangan pribadi. Kita mesti menyikapi pemberontakan anak dengan penuh kerendahan hati. Kita harus menyadari bahwa seringkali pemberon-takan anak merupakan akibat langsung dari masalah yang tersimpan dalam pernikahan kita atau kegagalan kita membendung masalahnya pada tahap yang dini.

       KASIH untuk menyatakan penerimaan kepada anak. Sedapatnya kendati marah, kita harus membedakan antara perbuatan anak dan diri anak. Di satu pihak kita mesti bersikap tegas terhadap sikap dan perbuatan-nya yang memberontak. Di pihak lain kita harus mengkomunikasikan penerimaan kepada dirinya, yaitu bahwa ia tetap adalah anak yang kita kasihi.

       KETEGASAN untuk menyampaikan batas yang jelas kepada anak. Dalam menghadapi pemberontakan anak, kita harus membedakan pelbagai jenis pemberontakan dan memberi reaksi yang sesuai. Ada kecenderungan tatkala marah, kita menyamaratakan semua perilakunya sebagai pemberontakan besar. Kenyataannya adalah, akan ada pemberontakan yang sesungguhnya tidak bernilai besar. Nah, sedapatnya kita hanya memberi reaksi terhadap pemberontakan besarnya. Sewaktu ia melihat bahwa kita tidak selalu memberi reaksi yang sama terhadap semua tindakannya, ia pun tidak dapat menunjukkan pemberontakan terhadap kita setiap waktu. Jika ini terjadi, akan tercipta momen di mana kita dan dia dapat berinteraksi secara lebih positif sebab tidak semua interaksi menjadi interaksi negatif—dia memberontak dan kita marah. Juga, tatkala kita tidak bereaksi terhadap semua pemberontakannya, ia pun akan dapat melihat sikap kita yang dewasa serta niat baik kita untuk berhubungan kembali dengannya. Hal ini berpotensi melunakkan hatinya dan menurunkan suhu kemarahan dan pemberontakannya.

       Kunci meredam pemberontakan: INTEGRITAS DAN STABILITAS. Sebelum kita menanam sesuatu kita mesti terlebih dahulu menggemburkan tanahnya. Demikian pula dengan usaha menanam sesuatu yang baik pada anak terutama saat terjadi pemberontakan. Kita perlu menggemburkan tanah alias memersiap-kan relasi agar sewaktu terjadi pemberontakan, dampaknya tidak berlarut dan memburuk. Ini berarti kita harus menjaga relasi yang baik dengannya di masa sebelum pemberontakan terjadi.

Selain dari itu, kita pun mesti mempertahankan kehidupan yang berintegritas dan jiwa yang stabil. Jika kita hidup dalam kemunafikan, hampir dapat dipastikan pemberontakan anak akan makin berkobar. Juga, bila anak melihat bahwa kita bukanlah pribadi yang stabil, ia pun cenderung menunjukkan pemberontakan yang lebih besar, sebab diperlukan jiwa yang stabil untuk membendung pemberontakan anak.

Ketika anak melihat ketidakstabilan jiwa kita, ia melihat peluang untuk memberontak. Jadi, penting sekali bagi kita untuk memulai keluarga dalam integritas dan stabilitas. Tanpa kedua karakter ini, pemberontakan hampir menjadi keniscayaan.

       Dan jangan lupa BERDOA untuk anak tanpa henti! Tuhan mendengar doa yang kita panjatkan, jadi, jangan berhenti berdoa meskipun perubahan yang kita nantikan tidak kunjung datang. Terpenting adalah kita pun menyadari kelemahan diri dan bersedia untuk berubah pula.

Doa tanpa perubahan sikap pada diri kita tidak akan membuahkan hasil. Ingat: Tuhan bekerja lewat ketaatan kita, bukan ketidaktaatan kita. Di dalam doa, mintalah hikmat dan kesabaran tanpa batas! Kita memerlukan kedua hal ini. Kita tidak selalu tahu bagaimana memberi respons yang tepat kepada anak. Itu sebabnya kita mesti sering berdoa.

Kita pun tidak selalu memiliki kesabaran atas perilakunya. Jadi, kita harus meminta Tuhan memberi kita kesabaran untuk menghadapinya. Tuhan bekerja melalui doa dan kesediaan kita untuk berubah.

 

Firman Tuhan di Yesaya 57:15 berkata, "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk."

 

Tuhan tahu kita tidak sempurna, namun yang terpenting bagi-Nya adalah pertobatan atau perubahan. Untuk itu diperlukan kerendahan hati untuk mengakui kekurangan kita. Tuhan bersama dengan kita yang remuk hati dan rendah hati. Ia mendengarkan doa kita.

 

 


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, ada satu hal yang terkadang sebagai orang tua kita sulit menghadapi masalah pemberontakan anak, padahal kita sudah mendidik mereka untuk tujuan yang baik tapi mengapa mereka sampai memberontak?

PG : Memang ada banyak faktor yang terlibat, Bu Dientje, mengapa pada akhirnya anak itu memberontak. Sebelum saya menguraikan beberapa di antaranya, saya ingin mengakui sebuah fakta dalam kehidupan yaitu tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan pada anak-anak kita dapat diterima oleh anak dengan baik dan tepat. Maksud saya begini, kita mungkin berniat baik, mau mengajarkan sesuatu pada anak kita tapi dia menerimanya lain, justru akhirnya ia memberontak, bukannya ia menerima apa yang kita harapkan, kita coba ajarkan. Dia tidak mendengarkan, malah dia lari dari itu, kadang-kadang saya melihat kita bertugas sebagai orang tua seperti sebuah misteri sebab saya juga akui adakalanya orang mengatakan, "Lihat itu si ini, orang tuanya biasa-biasa saja tapi anak-anaknya bisa begitu baik. Lihat si itu, dia giat dalam pelayanan mengajarkan anak-anak tentang Tuhan, tapi anak-anaknya malah begitu". Demikian banyak faktor dalam proses membesarkan anak yang tidak selalu bisa kita pastikan efeknya pada anak-anak.

GS : Semua orang tua pasti bertujuan supaya anak-anaknya baik, Pak Paul, hanya caranya mungkin yang tidak bisa diterima oleh anak-anak itu.

PG : Itu pasti benar bahwa memang kita harus memastikan cara yang bisa diterima oleh anak, sehingga apa yang kita ingin sampaikan bisa didengarkannya, namun saya juga harus mengakui bahwa tidak selalu yang menjadi masalah adalah caranya. Kadang-kadang kita sudah berusaha sebaik-baiknya, tetap saja anak bisa keliru menafsir maksud baik kita itu.

GS : Kalau begitu apa alasan-alasan yang seringkali membuat anak memberontak, Pak Paul?

PG : Yang pertama, yang umum adalah pertengkaran orang tua. Karena orang tua terus bertengkar, maka anak-anak terpaksa hidup dalam ketegangan dan ketegangan ditambah lagi dengan kemarahan karena tidak suka melihat orang tua bertengkar. Akhirnya hati anak, jiwa anak terisi oleh kemarahan-kemarahan karena orang tua yang tidak bisa hidup rukun.

DL : Apakah anak itu menjadi pelampiasan, begitu?

PG : Mungkin sebelum menjadi pelampiasan, maksudnya karena orang tua sering bertengkar mereka menciptakan suasana yang tidak kondusif, tidak lagi damai sejahtera sehingga hati anak terisi oleh kemarahan-kemarahan dan akhirnya meletuslah pemberontakan, karena seolah-olah ia mau berkata, "Sudahlah berhenti jangan bertengkar terus, saya sudah lelah tidak mau lagi mendengar orang tua bertengkar".

GS : Tapi biasanya 'kan pertengkaran orang tua bukan dilakukan di hadapan anak. Kita berusaha menyembunyikan hal itu di mata anak, Pak Paul.

PG : Nah, kalau memang kita berhasil menjaga batas, kita tidak bertengkar di hadapan anak-anak, itu jauh lebih baik, sehingga anak-anak tidak harus mendengarkan konflik antara orang tuanya. Tapi bukankah yang sering terjadi, kalau hubungan sudah begitu buruk, langsung keluar tidak bisa menahan lagi. Akhirnya anak-anak mendengar dan kadang-kadang orang tua yang sudah ketahuan tidak rukun, sering bertengkar, mereka makin bebas bertengkar di hadapan anak-anak. Bukan mengerem malah mereka tidak peduli, dalam hati mereka mengatakan, "Anak-anak sudah tahu, mengapa harus saya tahan-tahan lagi?"

GS : Biasanya anak tetap bisa merasakan bahwa orang tuanya sedang bertengkar, walaupun tidak di depannya tapi ada kecanggungan-kecanggungan tertentu dimana anak bisa merasakan, "Ini papa mama pasti sedang bertengkar".

PG : Betul meskipun tidak mendengar langsung tapi bisa melihat dari gerak-geriknya dingin, tidak saling menyapa, kalau bicara agak pedas. Anak-anak sudah tahu kalau mereka sedang bertengkar. Hal itu tidak membuat anak senang, tapi mereka sangat tidak menyukai suasana rumah yang seperti ini akhirnya dorongan untuk memberontak, melawan menjadi begitu besar.

GS : Saya rasa bukan hanya tidak senang, Pak Paul, tapi ada kekuatiran bahwa melalui pertengkaran itu orang tua bisa bercerai dan anak merasa kehilangan perlindungan kalau sampai orang tuanya bercerai.

PG : Betul, memang ada dua jenis, jenis yang umum yang pertama adalah anak-anak tidak mau kalau sampai orang tuanya bercerai. Namun kalau anak melihat orang tua bertengkar terlalu hebat, ada anak-anak yang memang akhirnya memberitahukan agar orang tuanya lebih baik cerai. Daripada mereka tidak tahan mendengarkan orang tuanya bertengkar seperti itu, mereka berkata, "Sudahlah, lebih baik cerai, jangan lagi bersama-sama".

DL : Ada, Pak Paul, suami istri menikah, istrinya tidak pernah melihat ayah dan ibunya bertengkar. Mereka bertengkar di kamar, mereka selalu hidup rukun, tapi dia mendapat suami yang ayah ibunya sampai tua pun bertengkar sehingga itu terbawa dalam pernikahan dan itu yang mengakibatkan anak-anak memberontak.

PG : Betul memang tidak bisa disangkal, latar belakang kita berpengaruh pada hidup pernikahan kita. Kalau orang tua kita sering bertengkar, besar kemungkinan kita terpengaruh kalau ada sesuatu maunya bertengkar, meledak.

GS : Selain pertengkaran, apa lagi yang bisa menjadi alasan anak memberontak, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah kalau anak dijadikan target pelampiasan. Misalnya, orang tuanya sudah frustrasi dengan pernikahannya atau mungkin tidak bahagia dalam pekerjaannya, tertekan. Dalam kondisi seperti ini, mudah sekali orang tua melampiaskan kekesalannya kepada anak. Mengapa anak kena batunya?

DL : Paling lemah.

PG : Memang anak paling lemah, tidak bisa melawan jadi anak terpaksa mendengarkan dan tidak bisa tidak anak-anak sudah pasti akan menjengkelkan hati orang tua. Anak-anak akan melakukan hal-hal yang membuat orang tua akhirnya bisa marah, itu normal. Tapi pointnya adalah waktu anak-anak melakukan hal-hal itu yang bersifat normal sebagai anak-anak, orang tua yang sudah menimbun kekesalan biasanya menumpahkan semuanya kepada anak. Akhirnya anak berontak, ia merasa tidak adil. Saya hanya berkata begini, hanya berbuat begini, harus dipukul seperti ini, harus dimarahi seperti ini, akhirnya mereka balas marah karena merasa tidak adil. Salah saya menjadi begini besarnya, meskipun sebenarnya kecil! Anak-anak semakin besar mengetahui sebetulnya orang tua marah kepada satu dengan yang lain atau kepada orang di luar, mengapa saya yang kena? Makin marah lagi, mula-mula anak tidak mengerti tapi ketika mereka sudah mengerti, sebetulnya orang tuanya marah kepada yang lain, tapi dia yang terkena pelampiasannya, jadi bertambah mengamuk!

DL : Apakah ada lagi, Pak Paul, selain anak menjadi target pelampiasan?

PG : Yang berikut anak dijadikan trofi dalam konflik, jadi artinya orang tua sudah tidak rukun, tidak harmonis sehingga akhirnya masing-masing berusaha memenangkan anak menjadi sekutunya. Menarik anak ke sisinya supaya nanti dia tidak sendirian, pro dia melawan pasangannya. Anak-anak sebetulnya tidak ada yang suka dijadikan trofi, tidak suka berpihak pada ayah atau ibu; anak-anak lebih suka orang tua keduanya rukun, mereka tidak terjepit di tengah-tengah, tapi kalau orang tuanya begitu terhadap mereka maka mereka tidak enak untuk menolak. Mamanya menangis bercerita dengan dia, papanya merasa kesal dan berbicara dengan dia, dia harus mendengarkan. Anak kecil tabungnya masih kecil, belum besar untuk menampung semua itu, jadi akhirnya daripada dia dijadikan trofi, dia buang trofinya, dia berbuat kebalikannya, dia tidak mau peduli lagi dengan keluarganya.

GS : Tapi kenapa orang tua justru memilih anak untuk menjadi pelampiasan seperti itu, Pak Paul?

PG : Karena memang anak-anak tidak bisa berbuat apa-apa, jadi sasaran yang paling empuk dan orang tua kalau marah atau kesal, harus dikeluarkan. Memang kita tidak bisa hidup menyimpan kemarahan, harus kita bocorkan keluar, nah dengan siapa kita bocorkan? Sebetulnya saya yakin orang tua tidak sengaja mau melampiaskannya pada anak-anak, tapi anak-anak pastilah melakukan hal-hal yang menjengkelkan orang tua, itu sudah lazim tidak mengherankan. Waktu ada perbuatan anak yang menjengkelkan orang tua, karena sudah besar tekanan dalam diri orang tua, meledaklah!

GS : Kalau orang tua dikaruniai beberapa orang anak, biasanya anak yang mana yang menjadi sasaran?

PG : Nah ini pertanyaan yang bagus sekali. Anak yang paling susah diam, yang aktif, yang lebih berani menjawab, yang punya kemauan yang lebih keras, tidak begitu menurut, tidak begitu mudah belajar, pasti kena batunya. Yang kasihan anak ini sebetulnya keunikan-keunikannya yang masih bisa diarahkan dengan baik sehingga tidak harus menjadi masalah besar, tapi karena orang tua sudah menyimpan terlalu banyak kemarahan waktu meledakkannya kepada si anak, dia berontak dan memang anak itu keras kepala, susah mendengar jadi cocok untuk menjadi pemberontak.

GS : Alasan yang lain lagi apa, Pak Paul ?

PG : Nah ini juga umum, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, yaitu tuntutan berlebihan. Jaman kita ini dunia menjadi begitu kompetitif, kita tidak puas anak kita masuk ke sekolah yang biasa, harus masuk sekolah unggulan, tuntutan belajar begitu tinggi dibebankan kepada anak. Anak tidak sanggup dileskan, sekolah saja sudah menjadi beban, dileskan menjadi beban tambahan kepada anak. Mungkin saja kita menganggap orang tua bermaksud baik, mengoptimalkan kemampuan anak, tapi akhirnya kalau anak tidak sanggup memenuhi tuntutan orang tua, dia tersiksa dan kemudian berontak. Dia mau melepaskan dari semuanya itu dengan dia berbuat kebalikannya, dia membuat ulangannya buruk, dia tidak belajar, orang tuanya marah tapi karena dia terus ulangannya jelek, orang tuanya berhenti menuntut, sehingga dia bebas.

DL : Selain tentang tuntutan itu, apalagi, Pak Paul?

PG : Selain itu yang juga umum adalah konflik orang tua — anak, artinya mula-mula orang tua konflik, sekarang antara orang tua dan anak. Mungkin gaya hidup si anak yang tidurnya malam tidak bisa tidur lebih siang, akhirnya ribut dengan orang tuanya. Atau misalnya memakai uang, orang tua sudah memberitahukan agar hati-hati jangan sembarangan membeli barang ini tidak perlu, tapi anak tetap memakainya tidak peduli. Atau umur baru 14 tahun sudah berpacaran dengan anak lain, orang tua tidak suka, apalagi berpacaran dengan orang usia 20 tahun, orang tua coba melarang, konflik! Kadang-kadang akibat konflik berkepanjangan antara orang tua dan anak, akhirnya anak melawan orang tua dan memberontak.

GS : Pak Paul, seringkali konflik itu merupakan konflik yang terbuka atau kadang-kadang anak melawan dengan cara yang diam-diam?

PG : Ini point yang bagus, ternyata memang tidak selalu terbuka, kadang-kadang anak memberontak secara diam-diam, mensabotase orang tuanya dengan perilaku-perilaku yang merugikan dirinya. Sebagai contoh, salah satu masalah yang mungkin akan makin banyak yaitu masalah gangguan makan, yaitu anak-anak yang melaparkan diri, tidak mau makan anggapannya dia terlalu gemuk padahal sudah terlalu kurus atau kalau pun dia makan dia tidak bisa tahan lagi kemudian makanan itu akan dimuntahkan. Ini sebetulnya merupakan pemberontakan tersembunyi, dia tidak bisa terima lagi tuntutan dari orang tuanya. Dia tidak bisa lagi mendengarkan atau menoleransi pertengkaran orang tuanya, jadi "makan ke dalam" menjadikan dirinya bermasalah seperti itu. Ini merupakan bentuk-bentuk pemberontakan yang tidak begitu nampak.

GS : Sebenarnya bagi orang tua ini juga sulit membedakan antara anak ini sudah jenuh dengan kegiatan-kegiatan dan tugas-tugasnya atau memang malas. Orang tua menghindari jangan anak ini menjadi malas lalu diberi pekerjaan atau kegiatan yang begitu banyak nanti akhirnya menjadi beban untuk anak.

PG : Coba saya soroti hal ini dengan lebih menyeluruh, Pak Gunawan. Kita kadang-kadang mengeluh anak-anak kita mainannya hanya 'games' saja, tidak mau belajar. Kita sebenarnya mesti menyadari bahwa sebetulnya anak-anak sekarang mendapatkan tuntutan yang jauh lebih besar dibandingkan kita dulu sewaktu anak-anak. Fakta ini harus kita terima, jadi tuntutan akademik sekarang jauh lebih besar dibandingkan pada waktu kita masih kecil. Dorongan untuk santai, dorongan untuk main lepas dari tekanan itu sangat besar, maka kita mesti menyadari kemampuan anak kita seperti apa. Kalau memang kira-kira anak kita tidak bisa, lebih baik masukkan dia ke sekolah yang lebih sesuai dengan kemampuannya sehingga nanti kebutuhannya untuk main-main juga akhirnya mengecil.

GS : Pak Paul, mungkin masih ada beberapa hal lagi yang menyebabkan anak berontak, tapi sebenarnya apa wujud pemberontakan anak itu?

DL : Bentuknya bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebetulnya pemberontakan merupakan pertanda bahwa anak tidak lagi tahan dengan tekanan yang dihadapinya. Ini wujud pertamanya, maksudnya begini, bertahun-tahun anak hidup dalam tekanan akhirnya membuat daya tahan dia menghadapi stres berkurang. Sudah lama menanggung stres, menanggung beban akibatnya ia menjadi mudah marah, karena mudah marah cepat melampiaskan kemarahannya pada orang di sekitarnya. Juga akibat tekanan yang dialaminya dia tidak sempat membangun sistem pertahanan yang kuat, sehingga ia menjadi mudah runtuh. Dari kecil mendapat tuntutan beban-beban sehingga ia tidak sempat membangun jiwa yang lebih kuat untuk menahan, menangkal tekanan-tekanan itu. Karena tekanannya terlalu berat dan dia tidak sanggup, dari kecil sistem pertahanannya sudah melemah sekali akhirnya dia mudah runtuh dalam keruntuhan dia mudah meledak dan tidak cakap mengelola kecamuk di hatinya. Oleh sebab itu reaksi termudahnya sekarang tidak sanggup menerima tekanan yaitu menolak tuntutan dan ini yang menjadi tema pemberontakannya bahkan tuntutan yang sederhana sekali pun misalnya kita meminta anak kita untuk ke gereja, dia tidak mau, dia berontak, padahal dia dulu senang ke gereja, banyak temannya di kegiatan-kegiatan dia mengikutinya. Sekarang menjadi begini, mungkin pemberontakannya bukan terhadap gereja, dia bukan tidak mau ke gereja, tapi dia tidak tahan lagi dengan tuntutan dalam segala jenis dan bentuk. Jadi waktu orang tua berkata, "Mengapa kamu tidak ke gereja", nah itu tuntutan, semua dia buang tidak ada lagi yang dia sisakan.

GS : Daya tahan seorang anak terhadap tuntutan, Pak Paul, berbeda-beda. Ada anak yang tidak apa-apa dituntut begitu banyak, tapi ada anak yang dituntut sedikit saja sudah melakukan pemberontakan.

PG : Seharusnya kita peka terhadap kapasitas anak menerima tuntutan, jadi sesuaikanlah tuntutan itu dengan kemampuan anak-anak kita. Kalau kita memang bisa memerlakukan anak secara unik masing-masing tidak sama seyogianya anak-anak tidak sampai terbebani sebegitu beratnya sehingga tidak perlu memberontak. Namun ada kalanya anak bukan karena masalah tekanan tapi karena dia tidak menyukai yang kita minta jadi akhirnya dia bisa memberontak. Kalau soal tekanan cobalah kita melihat kapasitasnya kalau memang dia tidak sanggup ya sudahlah kita turunkan supaya dia tidak harus memberontak.

GS : Jenis yang lain dari pemberontakan ini apa, Pak Paul?

PG : Pemberontakan sebetulnya pertanda anak ingin mengubah kondisi keluarganya yang tidak sehat. Dia tidak suka melihat orang tuanya hidup dalam ketidakharmonisan, tidak suka! Ada yang misalnya melihat sejak dia masih lebih kecil, mamanya bergaul erat dengan pria lain, papanya tidak berkutik. Atau kebalikannya papanya bergaul erat dengan perempuan lain, tapi mamanya tidak berkutik. Jadi dia sudah tidak tahan lagi melihat keluarga bisa begini rusak! Akhirnya waktu dia melihat semua ini, dia mencoba mengubahnya, dia tidak mau lagi melihat orang tuanya hidup dalam ketidakharmonisan seperti itu. Pemberontakan seolah-olah dia sedang berusaha menyatukan kembali orang tuanya agar berhenti hidup seperti itu.

GS : Itu 'kan ketika anak sudah mulai bisa membandingkan antara keluarganya dengan keluarga lain, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi waktu dia misalkan berkunjung ke rumah temannya dia melihat orang tuanya baik sekali hidupnya, penuh kasih, berbicara juga enak satu dengan yang lain. Muncul keinginan ingin melihat keluarganya seperti itu juga. Dia pulang ke rumah bertambah kesal, karena melihat orang tuanya tidak seperti itu, karena itu dia berontak dia mau mengubah agar orang tuanya hidup lebih beres.

DL : Supaya orang tuanya sadar.

PG : Betul, menyadarkan orang tuanya meskipun kita tahu tidak efektif, malah orang tuanya mau memindahkan problemnya kepada si anak. Si anaklah yang sekarang bermasalah.

GS : Pemberontakan anak juga merupakan pertanda apa lagi, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah mungkin sedikit lebih mendingan yaitu pertanda dia ingin membangun kehidupan yang terpisah dari kita, artinya dia ingin mandiri. Dia tidak mau lagi dianggap seperti anak kecil, tidak mau lagi dianggap bergantung, dia ingin bisa memunyai kebebasan untuk memilih. Saya ingin menyoroti 3 hal yang seringkali menjadi keinginan anak untuk mandiri. Yang pertama adalah iman kepercayaan walaupun kita membesarkan dia untuk mengenal Tuhan kita Yesus Kristus, tapi ada titik-titik di mana dia ingin berkata saya memilih bukan karena saya harus memilih, tapi saya memilih karena memang saya mau memilih. Itu adalah masa yang akan terjadi dalam keluarga, ia mungkin akan tidak mau ke gereja, mulai menolak apa yang kita katakan. Saat-saat itu adalah saat yang penting untuk kita, sering-seringlah berdialog dengan dia. Hal kedua yang juga sering menjadi tanda keinginannya untuk mandiri adalah pasangan hidup. Kadang-kadang sudah kita harapkan jangan sampailah dia memilih pasangan yang seperti ini, dia sengaja pilih yang seperti itu. Kadang-kadang ada anak yang memilih benar-benar tidak bijaksana, kebalikan dari yang sepatutnya. Yang terakhir adalah gaya hidup, ini juga merupakan cetusan kemandiriannya. Misalnya, "Saya mau bekerja, tidak mau sekolah lagi", sudah kuliah setengah jalan lalu berhenti, orang tua mengatakan jangan, tapi dia tidak mau. Dia merasa sudah dewasa, bisa bekerja. Jadi ada 3 hal yang seringkali menjadi wujud keinginan anak untuk mandiri dari orang tuanya.

GS : Memang ini suatu hal yang sangat sulit dihadapi oleh orang tua, tetapi Pak Paul apakah mungkin pemberontakan itu merupakan tanda bahwa anak kita ini sedang mengalami penyimpangan atau kelainan dibandingkan dengan yang lain?

PG : Saya kira mungkin sekali, Pak Gunawan, karena dia juga manusia biasa yang bisa dipengaruhi baik oleh yang dari dalam rumah tangga kita atau oleh lingkungannya. Misalnya, anak yang bertumbuh besar dalam keluarga yang tidak harmonis cenderung memberontak sebagai akibat ketidakstabilan jiwanya, jiwanya penuh konflik, penuh kemarahan, penuh ketidakpercayaan diri sehingga labil sekali. Jiwa yang labil mudah sekali memunculkan pemberontakan. Pemberontakan akhirnya menjadi caranya menghadapi hidup daripada dia tidak bisa menghadapi, dilawan saja! Dengan kata lain, ini merupakan wujud nyata dari ketimpangan dan ketidakberdayaannya menghadapi hidup dengan cara yang sehat. Dia tidak memunyai pilihan yang sehat itu.

DL : Pak Paul, bisakah anak tidak memberontak kepada orang tua tapi mereka melakukan pemberontakan lain, misalnya pada waktu mereka menikah, mereka menekan istri, menekan anak mereka. Atau mereka tidak mau menikah, kalau menghadapi anak-anak seperti ini, bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira masuk akal, tadi Pak Gunawan sudah memunculkan pertanyaan apakah mungkin anak memunculkan pemberontakan dengan cara yang berbeda, saya kira itu bisa terjadi, Bu Dientje, lewat hal-hal yang Ibu katakan. Misalnya nanti ia setelah menikah ia memilih pasangan yang kebalikan dari orang tuanya harapkan, atau ia justru melampiaskan kemarahan terhadap pasangannya atau menekan pasangannya atau justru dia berkata, "Buat apa saya menikah? Orang tua saya menikah seperti begini, ya saya tidak mau menikah".

DL : Bagaimana supaya mengembalikan mereka kepada yang benar?

PG : Nomor satu kita mesti membereskan relasi kita dulu, kalau kita masih belum beres akan sukar. Kita bicara apa pun kepada anak, anak akan berkata, "Papa mama sendiri seperti itu, menyuruh saya kawin, coba lihat perkawinan papa mama seperti itu, lebih baik saya tidak menikah". Akhirnya kitalah yang harus membereskan.

GS : Dan seringkali pemberontakan itu terjadi pada masa-masa remaja, Pak Paul?

PG : Betul sekali dan akan dibawa terus sampai masa dewasa.

GS : Yang menjadi penyebab utama kalau tadi kita memerhatikan perbincangan ini, yang menjadi penyebab utama justru orang tua, bukan berasal dari anak, Pak Paul.

PG : Seringkali itu, benar sekali.

GS : Pak Paul, sehubungan dengan perbincangan ini walaupun perbincangan ini belum selesai dan akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang mungkin Pak Paul ingin menyampaikan firman Tuhan yang sesuai dengan perbincangan ini.

PG : Saya bacakan dari Efesus 6 : 4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan". Ini firman Tuhan memang ditujukan secara khusus kepada para bapa karena kita mengakui kita sebagai bapa kadang kasar berbicara kepada anak sehingga membangkitkan amarah dalam hati anak-anak, coba kita camkan perintah Tuhan, "Didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan", ini bukanlah suatu imbauan tetapi perintah Tuhan. Tuhan mengembankan perintah ini kepada kita untuk mendidik anak-anak dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Memang tadi saya sudah singgung di awal pembahasan ini, kita tidak bisa menjamin apa pun, itu betul tapi setidaknya kita bisa berkata kepada Tuhan, "Kami sudah mencoba mendidik anak-anak dalam ajaran dan nasihat dari Engkau".

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pemberontakan Anak" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



107. Pemberontakan Anak II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T333B (File MP3 T333B)


Abstrak:

Salah satu misteri dalam membesarkan anak adalah, tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan, dapat diterima anak dengan BAIK dan TEPAT. Mungkin kita tidak menyampaikannya secara tepat sehingga anak tidak dapat menerima-nya dengan baik. Namun acap kali anak memang sulit untuk menerimanya oleh karena ia sudah memiliki keinginan yang berbeda. Kalau tak terjembatani, tidak bisa tidak, timbullah pemberontakan. Namun ada banyak alasan lain lagi mengapa anak memberontak. Dan pemberontakan anak bisa dilihat dalam beberapa hal, kemudian bagaimana kita sebagai orang tua menghadapi pemberontakan anak?


Ringkasan:

Salah satu misteri dalam membesarkan anak adalah, tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan, dapat diterima anak dengan BAIK dan TEPAT. Mungkin kita tidak menyampaikannya secara tepat sehingga anak tidak dapat menerimanya dengan baik. Namun acap kali anak memang sulit untuk menerimanya oleh karena ia sudah memiliki keinginan yang berbeda. Kalau tak terjembatani, tidak bisa tidak, timbullah pemberontakan. Namun ada banyak alasan lain lagi mengapa anak memberontak.

Beberapa di antaranya adalah:

         PERTENGKARAN ORANG TUA
adalah salah satu penyebab paling umum munculnya pemberontakan. Oleh karena pertengkaran yang tak berkesudahan, anak terpaksa hidup dalam ketegangan dan kemarahan. Inilah benih yang melahirkan pemberontakan.

         ANAK DIJADIKAN TARGET PELAMPIASAN
adalah penyebab lain terjadinya pemberontakan. Mungkin orang tua frustrasi dengan pernikahannya atau mungkin ia terjepit dalam pekerjaannya. Nah, dalam kondisi tertekan, betapa mudahnya orang tua melampiaskan semua kekesalannya pada anak. Sudah tentu bukan saja anak merasa tersiksa, ia pun merasa marah karena harus menjadi korban ketidakadilan. Pemberontakan pun menjadi jalan keluarnya.

         ANAK DIJADIKAN TROFI DALAM KONFLIK
adalah penyebab timbulnya pemberontakan dalam keluarga yang tidak harmonis. Akibat keretakan relasi baik ayah maupun ibu berusaha "memenangkan" hati anak agar berpihak padanya. Sudah tentu kondisi ini membuat anak serba salah dan tidak jarang, pemberontakan menjadi jalan untuk membebaskan diri dari himpitan ini.

         TUNTUTAN BERLEBIHAN
adalah penyebab lain timbulnya pemberontakan. Mungkin orang tua bermaksud baik yaitu mendorong anak untuk mengoptimalkan potensinya namun pada akhirnya anak merasa tersiksa sebab hidup menjadi mirip dengan kerja rodi. Alhasil anak memberontak agar terlepas dari tuntutan yang terlalu menindihnya.

         KONFLIK ORANG TUA - ANAK
adalah penyebab yang kerap menjadi penyebab munculnya pemberontakan. Sudah tentu ada banyak faktor yang dapat mencuatkan konflik di antara orangtua-anak namun bila konflik tidak terselesaikan, besar kemungkinan pada akhirnya anak memberontak.

 

Sesungguhnya apakah pemberontakan itu? Pemberontakan adalah:

       Pertanda anak TIDAK TAHAN lagi dengan tekanan yang dihadapinya. Bertahun-tahun hidup dalam tekanan membuat daya tahan anak untuk menghadapi stres berkurang. Ia menjadi mudah marah dan cepat melampiaskan kemarahannya pada orang di sekitarnya. Juga, akibat tekanan yang dialaminya ia tidak sempat membangun sistem pertahanan yang kuat sehingga ia menjadi mudah runtuh. Di dalam keruntuhan ia mudah meledak dan tidak cakap mengelola kecamuk di hati. Itu sebabnya reaksi termudah adalah MENOLAK TUNTUTAN apa pun dan inilah yang menjadi tema pemberontakannya.

       Pertanda anak ingin MENGUBAH kondisi keluarganya yang tidak sehat. Tanpa dijelaskan sekali pun, anak tahu bahwa keluarganya tengah bermasalah. Mungkin ia melihat hambarnya komunikasi di antara orang tua. Mungkin ia melihat pertengkaran. Mungkin ia melihat kedekatan orang tua dengan teman di luar pernikahan. Semua ini adalah kondisi yang tidak sehat dan anak merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu. Akhirnya ia mencoba memberitahukan orang tua, mengingatkan orang tua, menasihati orang tua tetapi semua tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya ia tidak tahan lagi dan letih menasihati. Ia membuang semua itu dan melawan orang tua. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini pemberontakan merupakan upaya anak MENYADARKAN ORANG TUA.

       Pertanda anak ingin membangun kehidupan yang TERPISAH dari kita. Kadang anak memberontak oleh karena ia ingin mulai mengembangkan kemandiriannya. Ia menganggap diri sudah dewasa dan sudah selayaknya ia memeroleh kebebasan untuk memilih. Pada umumnya ada tiga isu utama yang kerap menjadi pemicu pemberontakan anak: iman kepercayaan, pasangan hidup dan gaya hidup.

       Namun adakalanya, pemberontakan merupakan ekspresi PENYIMPANGAN anak dalam pertumbuhannya. Pada umumnya anak yang bertumbuh besar dalam keluarga yang tidak harmonis mengembangkan perilaku memberontak sebagai akibat ketidakstabilan jiwanya. Pemberontakan menjadi gaya hidup atau caranya menghadapi hidup. Ia tidak tahu dan mungkin, tidak sanggup mengatasi kekompleksan hidup beserta tuntutannya. Akhirnya satu-satunya cara yang digunakan adalah memberontak. Singkat kata, pemberon-takan merupakan wujud nyata dari ketimpangan dan ketidakberdayaannya menghadapi hidup dengan cara yang sehat.

 

Pemberontakan anak dihadapi lewat:

       KERENDAHAN HATI untuk mengakui kondisi keluarga dan kekurangan pribadi. Kita mesti menyikapi pemberontakan anak dengan penuh kerendahan hati. Kita harus menyadari bahwa seringkali pemberon-takan anak merupakan akibat langsung dari masalah yang tersimpan dalam pernikahan kita atau kegagalan kita membendung masalahnya pada tahap yang dini.

       KASIH untuk menyatakan penerimaan kepada anak. Sedapatnya kendati marah, kita harus membedakan antara perbuatan anak dan diri anak. Di satu pihak kita mesti bersikap tegas terhadap sikap dan perbuatan-nya yang memberontak. Di pihak lain kita harus mengkomunikasikan penerimaan kepada dirinya, yaitu bahwa ia tetap adalah anak yang kita kasihi.

       KETEGASAN untuk menyampaikan batas yang jelas kepada anak. Dalam menghadapi pemberontakan anak, kita harus membedakan pelbagai jenis pemberontakan dan memberi reaksi yang sesuai. Ada kecenderungan tatkala marah, kita menyamaratakan semua perilakunya sebagai pemberontakan besar. Kenyataannya adalah, akan ada pemberontakan yang sesungguhnya tidak bernilai besar. Nah, sedapatnya kita hanya memberi reaksi terhadap pemberontakan besarnya. Sewaktu ia melihat bahwa kita tidak selalu memberi reaksi yang sama terhadap semua tindakannya, ia pun tidak dapat menunjukkan pemberontakan terhadap kita setiap waktu. Jika ini terjadi, akan tercipta momen di mana kita dan dia dapat berinteraksi secara lebih positif sebab tidak semua interaksi menjadi interaksi negatif—dia memberontak dan kita marah. Juga, tatkala kita tidak bereaksi terhadap semua pemberontakannya, ia pun akan dapat melihat sikap kita yang dewasa serta niat baik kita untuk berhubungan kembali dengannya. Hal ini berpotensi melunakkan hatinya dan menurunkan suhu kemarahan dan pemberontakannya.

       Kunci meredam pemberontakan: INTEGRITAS DAN STABILITAS. Sebelum kita menanam sesuatu kita mesti terlebih dahulu menggemburkan tanahnya. Demikian pula dengan usaha menanam sesuatu yang baik pada anak terutama saat terjadi pemberontakan. Kita perlu menggemburkan tanah alias memersiap-kan relasi agar sewaktu terjadi pemberontakan, dampaknya tidak berlarut dan memburuk. Ini berarti kita harus menjaga relasi yang baik dengannya di masa sebelum pemberontakan terjadi.

Selain dari itu, kita pun mesti mempertahankan kehidupan yang berintegritas dan jiwa yang stabil. Jika kita hidup dalam kemunafikan, hampir dapat dipastikan pemberontakan anak akan makin berkobar. Juga, bila anak melihat bahwa kita bukanlah pribadi yang stabil, ia pun cenderung menunjukkan pemberontakan yang lebih besar, sebab diperlukan jiwa yang stabil untuk membendung pemberontakan anak.

Ketika anak melihat ketidakstabilan jiwa kita, ia melihat peluang untuk memberontak. Jadi, penting sekali bagi kita untuk memulai keluarga dalam integritas dan stabilitas. Tanpa kedua karakter ini, pemberontakan hampir menjadi keniscayaan.

       Dan jangan lupa BERDOA untuk anak tanpa henti! Tuhan mendengar doa yang kita panjatkan, jadi, jangan berhenti berdoa meskipun perubahan yang kita nantikan tidak kunjung datang. Terpenting adalah kita pun menyadari kelemahan diri dan bersedia untuk berubah pula.

Doa tanpa perubahan sikap pada diri kita tidak akan membuahkan hasil. Ingat: Tuhan bekerja lewat ketaatan kita, bukan ketidaktaatan kita. Di dalam doa, mintalah hikmat dan kesabaran tanpa batas! Kita memerlukan kedua hal ini. Kita tidak selalu tahu bagaimana memberi respons yang tepat kepada anak. Itu sebabnya kita mesti sering berdoa.

Kita pun tidak selalu memiliki kesabaran atas perilakunya. Jadi, kita harus meminta Tuhan memberi kita kesabaran untuk menghadapinya. Tuhan bekerja melalui doa dan kesediaan kita untuk berubah.

 

Firman Tuhan di Yesaya 57:15 berkata, "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk."

 

Tuhan tahu kita tidak sempurna, namun yang terpenting bagi-Nya adalah pertobatan atau perubahan. Untuk itu diperlukan kerendahan hati untuk mengakui kekurangan kita. Tuhan bersama dengan kita yang remuk hati dan rendah hati. Ia mendengarkan doa kita.

 

 


Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, perbincangan kali ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan yang lampau jadi supaya para pendengar kita bisa mengikutinya secara utuh mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara singkat apa yang dahulu kita bicarakan tentang pemberontakan anak.

PG : Kita pertama-tama menyoroti beberapa penyebab pemberontakan anak, Pak Gunawan, yaitu misalnya pertengkaran orang tua akhirnya anak tidak tahan lagi mendengarkan orang tua bertengkar, menyimpan banyak kemarahan akhirnya dia ledakkan dalam pemberontakan. Ada juga anak-anak yang memberontak karena mereka dijadikan target pelampiasan orang tua, mungkin karena orang tua merasa kesal hidup dengan pasangannya atau mengalami masalah di tempat pekerjaannya atau di antara teman-temannya dan anaklah yang dijadikan target karena anak-anak di pihak yang lemah, tidak bisa melawan dan nanti waktu mereka sudah besar mereka melawan akhirnya memberontak. Yang berikut adalah kalau anak dijadikan trofi dalam konflik karena orang tua ingin merebut anak masing-masing ke pihaknya akhirnya anak tidak tahan dijadikan seperti trofi, nanti ke kiri nanti ke kanan, nanti membela papa dan kemudian membela mama, dia buang semuanya, tidak mau tahu urusan orang tuanya. Ada juga anak yang memberontak karena tuntutan berlebih yang dialami oleh si anak terus-menerus, dia tidak sanggup lagi memenuhi tuntutan orang tua akhirnya dia berontak supaya orang tua tidak bisa lagi mengembankan tuntutan yang sama itu kepada anak-anak. Yang terakhir kita juga bahas kadang-kadang anak memberontak akibat konflik berkepanjangan antara orang tua dan anak itu sendiri. Bermacam-macam penyebabnya misalnya karena gaya hidup anak, karena pilihan-pilihan anak yang dianggap tidak tepat oleh orang tua sehingga orang tua kerap memarahi anak sehingga relasi orang tua dan anak menjadi relasi yang negatif, akhirnya anak marah dan berontak, melepaskan semuanya. Kita simpulkan bahwa pemberontakan anak merupakan pertanda anak tidak lagi tahan dengan kondisi kehidupan yang dihadapi itu, daripada ia terus-menerus tertindih, ia menolak segala jenis tuntutan dan caranya adalah dengan memberontak. Kita juga melihat bahwa pemberontakan merupakan pertanda anak ingin mengubah kondisi keluarganya yang tidak sehat. Sekarang ia sudah besar jadi bisa melihat keluarga-keluarga temannya yang lebih baik, orang tuanya seperti ini dia sudah tidak bisa menerima lagi, dia mau coba mengubahnya supaya keluarganya menjadi lebih baik lagi. Dia berontak, dia marah kepada orang tuanya dan yang berikut adalah anak memang berontak karena mau terpisah hidup dari kita. Mungkin kita juga agak susah memberi mereka kebebasan akhirnya terjadilah ketegangan dan anak-anak cenderung merasa terlalu diikat dia mau lepas dan berontak juga. Yang terakhir pemberontakan anak bisa juga merupakan pertanda bahwa dalam diri anak telah terjadi penyimpangan atau masalah dalam jiwanya, anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan konflik akhirnya cenderung mengembangkan jiwa yang labil, tidak sehat sehingga dia tidak mengerti bagaimana mengatasi hidup. Yang diketahuinya adalah dengan cara melawan, berontak, melawan, berontak akhirnya cara inilah yang menjadi karakternya dalam menghadapi hidup.

DL : Lalu bagaimana sebagai orang tua kita mengatasi anak dalam pemberontakan terhadap dirinya itu, Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang bisa kita lakukan. Yang pertama, kita mesti rendah hati, mengakui kondisi keluarga dan kekurangan pribadi. Artinya, jangan menyangkal, terlalu sering kita melihat orang tua tidak mau terima, jadi menyangkali fakta bahwa anak-anaknya sudah begitu jauh dalam pemberontakannya, sudah begitu bermasalah, ditutup-tutupi tidak mau dibicarakan karena tidak ada kerendahan hati untuk mengakui bahwa inilah masalah anak dan inilah masalah keluarga kami. Sebab apa? Malu, sebab besar kemungkinan orang akan berpikir dan mereka pun tahu bahwa "ini 'kan berkaitan dengan pernikahannya yang tidak lagi harmonis".

GS : Kerendahan hati ini harus ditunjukkan kepada anak yang berontak atau terhadap orang luar atau terhadap seluruh keluarga atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Kepada orang kita harus berani mengakui kalau ada masalah dan kita tidak usah menutup-tutupi karena ini merupakan pertanda bahwa kita mengakui kita memunyai andil dan tidak melimpahkan penyebabnya itu kepada orang di luar rumah. Yang juga sangat penting adalah kepada anak, kita harus mengakui dengan rendah hati bahwa "Oke, saya ini ada masalah dengan ayahmu" atau "Oke, saya ada masalah dengan ibumu", "Kami tidak menjadi orang tua yang memerhatikan kalian". Jadi berapa sering saya mendengar, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, anak yang sekarang sudah besar yang menceritakan betapa hatinya terhibur waktu orang tua berani berkata, "Maaf karena kami dulu, kami tidak memberikan perhatian yang sepatutnya kepada kamu sehingga kamu harus mengalami ini dan itu". Meskipun hal itu tidak mengubah apa pun karena sudah telanjur, tapi kata-kata "maaf karena kami kamu menjadi begini" dan seterusnya, itu memberikan kesegaran atau kesejukan dalam hati si anak.

GS : Biasanya orang tua bukan mengakui malah menyalahkan pasangannya, "ini semua karena kamu", suami berkata kepada istrinya atau istri menuduh suaminya dan hal ini membingungkan anak juga, Pak Paul.

PG : Sebetulnya kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena anak mengetahui siapa yang salah, siapa yang harus bertanggungjawab dan sebagainya. Justru kalau kita menyalahkan pasangan, meskipun anak mengetahui bahwa yang salah adalah pasangan kita, tetap anak tidak suka. Anak selalu tidak menyukai orang tua saling menyalahkan, meskipun dia mengetahui siapa yang menjadi sumber permasalahan. Jadi jangan salahkan siapa-siapa, akui saja bahwa ada masalah di antara papa dan mama dan kamu menjadi korban, minta maaf. Kerendahan hati untuk mengakui andil kita dalam masalah si anak sekarang.

DL : Tapi kerendahan hati itu hanya kepada anak, Pak Paul?

PG : Maksud saya bukan sengaja cerita, tapi misalnya sampai orang mengetahuinya dan orang membicarakannya, kita jangan sampai menutupi sebab saya mengetahui ada orang yang sengaja memberikan kesan yang berbeda di luar, bahwa keluarga saya sebenarnya bagus, sempurna. Atau ada apa-apa menyalahkan orang-orang lain, sama sekali tidak mau memikul tanggungjawab itu jangan dilakukan sebab anak pada waktu mendengar orang tuanya bicaranya begitu, tambah merasa marah karena mereka melihat orang tuanya berbohong, munafik, menutup-nutupi. Justru dorongan memberontak bukan melemah malah makin membesar.

GS : Selain kerendahan hati, hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul?

PG : Kita mesti memberikan kasih untuk menyatakan penerimaan kita kepada anak, maksudnya begini, sedapatnya walaupun kita marah, kita harus membedakan antara perbuatan dan diri si anak itu. Di satu pihak kita mesti bersikap tegas terhadap sikap dan perbuatannya yang memberontak, di pihak lain kita harus mengkomunikasikan penerimaan kepada dirinya bahwa dia tetap adalah anak yang kita kasihi. Kita tidak mengubah fakta itu, kamu tetap anak, kamu tetap dalam hati kami, kamu tetap adalah orang yang kami doakan. Itu tidak berubah tapi pada perbuatannya yang jelas-jelas salah kita katakan, "Itu salah, itu tidak benar, kamu menipu temanmu, kamu memakai uang kami tanpa memberitahukan kami, itu juga salah". Kita mesti berani menegur tindakannya jangan sampai kita juga membungkamkan diri.

DL : Tegas itu penting tapi anak kalau kita tegasi tidak boleh disertai emosi karena ada orang tua yang mengatakan begini kepada anak, "Sekarang pilih kamu mau di sini tenang di dalam rumah atau keluar dari sini karena papa tidak mau melihat anak pemberontak di rumah ini". Saya kira kata-kata seperti itu tidak pantas dikeluarkan oleh seorang ayah kepada anaknya. Orang tua itu harus tegas tetapi harus ada kasih, sehingga anak bisa mengetahui bahwa ia salah.

PG : Betul ya ibu Dientje, kita tidak boleh gampang-gampang berkata kepada anak, "Sudahlah kamu keluar dari rumah ini, saya tidak bisa lagi terima kamu, sudahlah kamu keluar", ada orang tua yang karena emosi mengatakan seperti itu. Kalau kita sadar sudahlah setop jangan berbuat yang sama lagi. Namun saya juga mau mengakui satu hal adakalanya keputusan yang terbaik adalah meminta anak keluar yaitu dalam kasus di mana dengan jelas kita melihat anak ini sebetulnya akan lebih baik keluar daripada di dalam rumah, contoh : ada anak yang berusia sudah agak lanjut tidak mau bekerja, hanya menuntut orang tua menyediakan kebutuhannya, kalau orang tua tidak bersedia dia akan marah, dia akan mengancam orang tuanya. Ada anak-anak yang seperti itu yang merugikan orang tuanya luar biasa dahsyatnya, nah anak-anak ini memang akan sengaja seperti lintah mau menempel dan mengisap orang tuanya, semua yang dimiliki oleh orang tuanya. Dalam kondisi seperti itu akan jauh lebih sehat jika orang tua bersikap tegas meminta anak keluar dari rumah sehingga anak belajar untuk hidup mandiri, tidak lagi memanfaatkan dan bergantung pada orang tuanya.

GS : Ketika Absalom memberontak kepada Daud, ayahnya dan Daud mengampuni Absalom sehingga ketika Absalom dibunuh Daud pun menangis dan seterusnya. Apakah itu wujud kasih seorang ayah terhadap anaknya yang memberontak?

PG : Jelas ya meskipun di pihak yang lain ini juga memang menimbulkan kekacauan dalam keluarganya dan tugas kepemimpinannya karena akhirnya Daud tidak lagi berimbang. Seolah-olah benar kata Yoab, kalau semua serdadumu mati tidak apa-apa asalkan Absalom hidup padahal kami memertaruhkan nyawa demi kamu, membela kamu jangan sampai dibunuh oleh Absalom. Jadi memang Daud mengasihi Absalom tapi sebagai papa kita mesti mengakui dia tidak tegas. Contoh misalnya dimulai ketika anaknya memerkosa adiknya sendiri, jadi akhirnya kakaknya marah yaitu Absalom membunuh adik yang memerkosa Tamar, adik perempuannya. Daud memang tidak berbuat apa-apa, Daud hanya diam-diam saja. Anaknya demikian jahat memerkosa adiknya, tidak ada sanksi, Absalom akhirnya bertindak. Jadi mesti ada keseimbangan antara kasih dan ketegasan. Kita mesti menyampaikan batas yang jelas kepada anak, dalam menghadapi pemberontakan kita mesti membedakan pelbagai jenis pemberontakan dan memberi reaksi yang sesuai. Jangan sampai juga tidak ada konsekwensi, namun harus hati-hati jangan menyamaratakan semua pelanggaran. Ada kecenderungan tatkala marah kita menyamaratakan semua perilaku si anak sebagai pemberontakan besar. Kenyataannya ada pemberontakan yang sesungguhnya tidak besar, sedapatnya kita hanya memberi reaksi terhadap pemberontakan yang besar. Saya masih ingat sekali, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, nasihat dari Dr. James Dobson, dia selalu menekankan bahwa kesalahan yang diperbuat oleh anak sesuai usianya bukanlah sesuatu yang harus diberikan konsekwensi atau ganjaran. Yang mesti diberikan konsekwensi atau ganjaran, anak itu sengaja membangkang, melawan kita. Kalau anak memang sengaja memberikan reaksi seperti itu, menantang kita, menurut Dr. James Dobson, kita mesti tegas, tidak boleh kita biarkan anak menantang seperti itu dan kita diam. Begitu kita diamkan berarti posisinya telah beralih, dia yang menjadi kepala, kita yang menjadi anak di rumah. Pasti nanti akan menuai badai kekacauan di rumah.

GS : Biasanya bukan tantangan, Pak Paul, tetapi pemaksaan kehendak anak terhadap orang tuanya dan anak paling pandai untuk memanipulasi keadaan supaya orang tuanya memenuhi permintaan anak ini. Orang tua biasanya tidak bereaksi keras.

PG : Jadi ini sekali lagi kembali kepada ketegasan, memang perlu. Saya berikan contoh, ini sesuatu yang sering terjadi. Anak seperti yang Pak Gunawan gambarkan, manipulatif, memanfaatkan orang tuanya. Orang tuanya diam malah diberi, nah adik dan kakaknya si anak melihat kemudian marah kepada orang tua sebab mereka melihat orang tua tidak adil. Sepertinya memanjakan, membiarkan padahal anak ini merugikan keluarga sedemikian besarnya. Apa yang dilihat oleh anak-anak yang lain, ketidakadilan, ketidaktegasan. Sama seperti tadi kasusnya Absalom, dia melihat ayahnya tidak adil, tidak tegas. Anak yang memerkosa adiknya mengapa didiamkan saja? Akhirnya Absalom mengambil tindakan sendiri, membunuh adiknya sendiri. Setelah Absalom ketahuan berbuat begitu, Daud marah, Absalom akhirnya melarikan diri ke rumah kakek-neneknya, kemudian dipanggil pulang oleh Yoab, Daud diam saja. Daud tidak konsisten, anak yang jahat memerkosa adiknya didiamkan. Absalom seolah-olah dihukum, inilah yang akhirnya menimbulkan kepahitan sebab Absalom melihat Daud kurang adil. Masalah berkembang besar hampir rumah tangga Daud kocar-kacir.

GS : Tapi pemberontakan ini karena masih kecil, anak tidak berani melakukan pemberontakan terhadap orang tuanya dan baru terjadi setelah anak dewasa, sudah keluar dari rumah tapi dia tetap menolak orang tuanya.

PG : Itu sering terjadi, Pak Gunawan, apalagi kalau anak melihat, sebetulnya anak ini bukan berjiwa pemberontak tapi dia melihat percuma berbicara dengan orang tua. Ada orang tua yang tidak terbuka menerima masukan dari anak, akhirnya anak berkata, "Sudahlah tidak usah bicara, percuma, sudah, diamkan saja". Tapi begitu kesempatan datang, ia bisa lepas dari orang tua, benar-benar ia kepakkan sayapnya dia terbang tinggi, dia lepaskan orang tuanya, tidak mau tahu lagi. Itu sering terjadi.

GS : Kalau sudah seperti itu, orang tua tidak lagi bisa bersikap tegas, Pak Paul, berarti ada cara yang lain didalam kita mencegah supaya anak-anak kita jangan memberontak kepada kita.

PG : Kuncinya adalah ini, Pak Gunawan. Integritas dan stabilitas, saya jelaskan. Sebelum kita menanam sesuatu, kita harus menggemburkan tanahnya. Demikian pula dengan usaha menanam sesuatu yang baik pada anak terutama saat terjadi pemberontakan, kita perlu menggemburkan tanah alias mempersiapkan relasi agar sewaktu terjadi pemberontakan, dampaknya tidak berlarut dan memburuk. Berarti kita harus menjaga relasi yang baik dengannya di masa sebelum pemberontakan terjadi. Kita tidak boleh berasumsi bahwa anak kita pasti menurut, tidak akan memberontak, belum tentu sebab kebanyakan anak-anak pada waktu melewati masa remaja, adalah pemberontakan. Karena itu kita mesti mempersiapkan relasi kita sewaktu pemberontakan terjadi kita lebih bisa menghadapinya dengan baik. Apa yang harus kita lakukan? Kita mesti mempertahankan kehidupan yang berintegritas dan jiwa yang stabil. Jika kita hidup dalam kemunafikan, tidak ada integritas hampir dapat dipastikan pemberontakan anak akan makin berkobar, juga bila anak melihat bahwa kita bukanlah pribadi yang stabil. Terombang-ambing, berubah-ubah, dia cenderung menunjukkan pemberontakan yang lebih besar. Sebab diperlukan jiwa yang stabil untuk membendung pemberontakan anak. Pada waktu anak melihat ketidakstabilan jiwa kita, dia melihat peluang untuk memberontak. Jadi penting bagi kita memulai keluarga dalam integritas dan stabilitas. Tanpa kedua karakter ini pemberontakan hampir dapat dipastikan akan terjadi.

GS : Integritas dan stabilitas kalau kita hubungkan dengan relasi kita terhadap anak supaya anak bisa merasakan, mengalami bahwa kita adalah pribadi yang berintegritas dan yang stabil, itu bagaimana caranya, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kita bukan saja mengajarkan apa yang baik, kita harus menghidupi apa yang baik itu, Pak Gunawan. Saya cukup sering mendengar anak yang sekarang sudah besar, yang bercerita tentang orang tua yang memang memperlihatkan tidak adanya integritas, sebagai contoh : misalnya ada orang tua yang menyebarkan cerita meskipun secara halus bahwa ia tidak memunyai uang. Padahal anaknya mengetahui punya uang tapi memberikan kesan kurang uangnya sehingga mengundang simpatik orang di luar, akhirnya memberikan uang kepadanya. Anak itu sudah merasa sangat kesal, merasa malu akhirnya merasa benar-benar orang tuanya munafik. Jadi integritas itu tidak ada lagi, belum lagi merasa malu karena akhirnya menjadi objek belas kasihan orang. Anak-anak yang melihat orang tua seperti itu tidak bisa tidak mereka ingin memberontak. Kalau orang tuanya berbicara memberikan peringatan kepadanya, pasti tidak didengar. Masuk telinga kiri keluar dari telinga kanan, untuk apa mendengarkan orang tua seperti itu! Stabilitas juga penting, karena kalau anak melihat orang tuanya tidak stabil, berubah-ubah, emosi naik turun, maka anak tidak bisa hormat, tidak bisa lagi respek kepada orang tua karena orang tua seperti anak-anak. Mungkin mengemis perhatian, akhirnya anak merasa sebal karena melihat orang tua seperti itu, tidak ada respek, biasanya tinggal setahap lagi berontak, bicara bisa kasar terhadap orang tuanya. Kalau orang tua menyuruh apa, bukan dituruti tapi malah dibalas dengan kemarahan.

GS : Jadi stabilitas ini sangat erat kaitannya dengan konsistensi orang tua terhadap anak, Pak Paul? Supaya anak tidak merasa bingung dan merasa terkejut karena orang tuanya berubah-ubah terus.

PG : Betul sekali, kalau orang tua bisa konsisten mengajarkan sesuatu yang benar dan menunjukkan lewat kehidupannya apa yang benar. Itu menjadi seperti rel dan anak-anak seperti gerbong kereta yang akan berjalan di rel itu.

GS : Hal lain yang perlu dilakukan apa, Pak Paul?

PG : Mesti jangan lupa berdoa, Pak Gunawan, ini penting untuk terus kita lakukan. Tuhan mendengar doa, jadi jangan berhenti berdoa meskipun perubahan yang kita nantikan tidak kunjung datang. Saya ingin mengingatkan lagi, kita mesti menyadari kelemahan diri kita dan bersedia berubah. Kalau kita mau menuntut anak kita berubah, kita juga mesti berubah. Ingat bahwa doa tanpa perubahan sikap atau perubahan perilaku tidak akan membuahkan hasil. Tuhan bekerja lewat ketaatan kita, bukan ketidaktaatan kita. Kita mesti melihat bagian hidup kita yang perlu diselaraskan lagi dengan kehendak Tuhan. Dalam doa kita mesti minta hikmat Tuhan, minta kesabaran tanpa batas. Kedua hal ini sangat perlu, hikmat dan kesabaran, supaya kita mengerti bagaimana menghadapi anak-anak kita, tidak sampai akhirnya kita meledak dan memutuskan hubungan. Kita juga mesti sabar atas perilakunya yang menjengkelkan dan saya percaya pada akhirnya Tuhan akan bekerja melalui doa dan juga kesediaan kita untuk berubah.

GS : Justru biasanya kadang-kadang lewat doa itu anak berontak karena anak merasa dijadikan objek dalam doanya, selalu dalam doa bersama dalam keluarga lalu orang tua, ayah atau ibunya, selalu memunculkan kekurangan-kekurangan atau hal-hal yang menjengkelkan. Anak merasa kalau begitu untuk apa saya ikut persekutuan doa atau ibadah keluarga?

PG : Karena itu penting kita tidak mendoakan dia di depannya dan menyebut-nyebut namanya sebagai orang yang bermasalah. Kita juga jangan menyebarkan berita di gereja, "Tolong doakan anak saya yang bermasalah ini", mesti bijaksana, kalau kita mau bercerita kepada seseorang yang kita dekat dan bisa menjadi pembimbing kita, dapat mendoakan kita, ya tidak apa-apa tapi jangan sembarangan berbicara karena hal itu membuat anak makin tidak mau lagi dekat dengan kita.

DL : Pak Paul, firman Tuhan di Yakobus 5:16 mengatakan, "Doa orang yang benar bila dengan yakin didoakan besar kuasanya". Apakah sebagai orang tua kita perlu mengajak anak yang memberontak ini berdoa bersama padahal ia sudah pesimis dengan doa.

PG : Kalau memang kita mengajak dan dia tidak mau, kita bisa berkata begini, "Ya tidak apa-apa, mama mengerti kamu tidak mau berdoa, tidak apa-apa, tapi bolehkah ijinkan mama untuk berdoa untuk kamu di sini?" Kalau dia diam saja dan mengatakan, "Terserah". Kita pegang tangannya dan kita berdoa tapi tidak menyebut-nyebut, "Tuhan, sadarkan anak saya supaya ia bertobat". Jangan, tapi kita doakan supaya Tuhan menuntun hidupnya, supaya Tuhan menolong dirinya dan Tuhan juga menolong kita mengerti anak kita, Tuhan mengubahkan bagian hidup kita yang perlu diubahkan. Kita doakan untuk diri kita yang memang perlu diubah dan kita doakan supaya Tuhan menuntun hidupnya. Itu saja kalau dia bersedia kita berdoa baginya.

GS : Pak Paul, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Di Yesaya 57:15 firman Tuhan berkata, "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga besama-sama orang yang remuk dan rendah hati untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk". Tuhan tahu bahwa kita tidak sempurna namun yang terpenting bagi Tuhan adalah pertobatan atau perubahan kita dan untuk itu diperlukan kerendahan hati untuk mengakui kekurangan kita. Kita yakinlah bahwa Tuhan bersama dengan kita yang remuk hati dan rendah hati, Dia pasti mendengarkan doa kita.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pemberontakan Anak" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



108. Kepahitan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T350A (File MP3 T350A)


Abstrak:

Kadang tanpa disadari perlakuan kita kepada anak menimbulkan kepahitan. Akhirnya sampai besar anak terus menyimpan kepahitan dan tidak lagi bisa dekat dengan kita. Ada tiga tindakan orang tua yang dapat menimbulkan kepahitan mendalam pada diri anak dan ketiganya sebetulnya mempunyai akar yang sama yaitu penolakan.


Ringkasan:

Kadang tanpa disadari perlakuan kita kepada anak menimbulkan kepahitan. Akhirnya sampai besar anak terus menyimpan kepahitan dan tidak lagi bisa dekat dengan kita. Ada tiga tindakan orangtua yang dapat menimbulkan kepahitan mendalam pada diri anak dan ketiganya sebetulnya mempunyai akar yang sama yaitu penolakan.

  1. Pertama adalah pembandingan dan perlakuan tidak sama, terutama dengan saudara sendiri. Mungkin karena ingin memacu semangat anak, kita membandingkannya dengan kakak atau adiknya. Kadang kita pun membandingkan anak dengan kakak atau adiknya bukan karena kita ingin memacu semangatnya melainkan untuk melampiaskan kekecewaan kita terhadapnya. Tidak bisa tidak, pesan yang diterima anak adalah bahwa ia tidak sebaik kakak atau adiknya dan bahwa ia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membanggakan orangtuanya seperti yang dimiliki kakak atau adiknya. Sebagai orangtua kita harus memperlakukan anak sebagai pribadi yang unik. Sesungguhnya sebelum kita membandingkan anak, ia sendiri sudah terlebih dahulu melakukannya. Ia akan menilik apa yang menjadi kelebihan kakak atau adiknya dan membandingkannya dengan dirinya sendiri. Apabila ia melihat bahwa ia tidak memiliki kelebihan kakak atau adiknya, sebenarnya ia sudah mulai merasa diri "kurang." Ia pun telah melihat bahwa ia "lain" dari kakak dan adiknya. Sudah tentu perasaan ini bukanlah sesuatu yang mudah diterimanya. Itu sebabnya sewaktu orangtua membanding-bandingkannya apalagi memperlakukannya berbeda dari kakak dan adiknya ia merasa sangat disakiti. Yang dibutuhkannya adalah penerimaan dan penguatan; yang didapat malah dibandingkan dan dibedakan. Tidak heran pada akhirnya ia menyimpan kepahitan dan berupaya untuk hidup berlawanan dari apa yang diharapkan orangtua.
  2. Kedua, kepahitan dapat ditimbulkan oleh penolakan orang tua untuk memberi pertolongan kepada anak sewaktu anak dalam keadaan butuh. Pada saat anak mulai dewasa anak mulai memikirkan hal-hal yang ingin dilakukannya. Tidak jarang anak berpaling kepada orangtua untuk memberinya bantuan. Nah, pada saat itu bila orangtua menolak permintaannya, besar kemungkinan hal ini akan menimbulkan kepahitan. Bila jelas terlihat bahwa anak bukan memanipulasi kita dan bahwa ia memang memerlukan bantuan, misalnya untuk merintis usahanya, dan kita memang sanggup menolongnya, sebaiknya berilah pertolongan. Biarlah kita berbagian dalam usahanya mengembangkan diri dan merintis kehidupannya. Ketidakrelaan kita menolongnya membuatnya berpikir bahwa kita tidak ingin melihat ia berhasil dalam hidup dan bahwa kita adalah kejam.
    Amsal 25:21-22 berkata, "Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga berilah dia air minum. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya dan Tuhan akan membalas itu kepadamu." Orang yang tengah butuh adalah orang yang menyimpan bara api di kepalanya alias panas. Sewaktu kita menolak untuk membantunya, ia akan menyimpan kepahitan yang dalam. Sebaliknya jika kita menolongnya, ia akan merasakan kelegaan yang dalam. Jadi, jika anak sedang membutuhkan pertolongan, berilah. Kalau tidak bisa memberi semua, berilah sebagian. Tunjukkanlah bahwa kita mengasihinya, bukan hanya dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan. Anak yang menerima pertolongan dalam kesusahan, akan selalu tahu dan mengingat bahwa orangtuanya sungguh mengasihinya.
  3. Ketiga, kepahitan pada anak muncul ketika ia bersalah dan memerlukan pengampunan, kita tidak bersedia mengampuninya. Amsal 16:6 berkata, "Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni." Anak adalah manusia biasa, yang dapat melakukan kesalahan. Adakalanya anak melakukan kesalahan yang besar, yang mungkin sangat melukai hati kita. Nah, dalam situasi seperti ini anak memerlukan pengampunan. Sewaktu anak menerima pengampunan, ia pun akan melihat kasih dan kesetiaan kita kepadanya. Bukti kasih terbesar adalah sewaktu kesalahan terjadi dan pengampunan dibutuhkan. Anak akan sungguh-sungguh tahu bahwa kita mengasihinya pada waktu kita mengampuni kesalahan yang diperbuatnya. Anak pun baru akan tahu bahwa kita setia kepadanya dan tidak akan meninggalkannya pada saat ia melakukan perbuatan yang mengecewakan dan kita tetap menerimanya. Sebaliknya bila kita cepat mengubah sikap dan malah tidak bersedia mengampuninya, ia pun tahu bahwa kita tidak benar-benar mengasihinya dan bahwa kita tidak setia kepadanya. Ia pun cepat menyimpulkan bahwa ia hanya berharga dan dikasihi jikalau ia dapat membuat kita orangtuanya senang dan bangga atas pencapaiannya. Inilah hal yang berpotensi menimbulkan kepahitan pada diri anak: bahwa ia hanya berharga bila ia dapat melakukan hal-hal yang membanggakan orangtua."Dengan kasih dan kesetiaan kesalahan diampuni." Inilah yang diharapkan anak dari orangtuanya.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kepahitan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, di dalam sebuah keluarga tentunya baik orang tua atau anak berharap agar kehidupan rumah tangga itu harmonis, manis, akrab dan sebagainya. Tetapi kadang-kadang di tengah perjalanan ketika anak-anak sudah besar timbul ketegangan-ketegangan antara anak dan orang tua bahkan bukan hanya sekadar ketegangan, kalau anak ini ditanya ada rasa dendam walaupun itu sulit untuk diungkapkan tapi dia menyadari bahwa ini adalah rasa dendam terhadap orang tuanya, ini seperti apa, Pak Paul?
PG : Memang ada beda antara konflik dan kepahitan atau dendam. Jadi saya melihat ada anak-anak yang konflik dengan orang tua kadang bisa ribut, tapi saya juga melihat ada anak-anak yang bisa menyimpan kepahitan, benar-benar dendam dan keluar kata-kata dari si anak yang mengatakan, "Saya akan menghancurkan orang tua saya" atau lewat tindakan-tindakannya dia benar-benar sengaja berusaha untuk membalas menyakiti orang tuanya. Pertanyaannya adalah kenapa bisa seperti itu dan kenapa ada anak-anak yang akhirnya menyimpan kepahitan seperti itu.
GS : Seringkali orang tua tidak menyadari kalau anaknya menyimpan kepahitan karena sang anak juga sulit mengatakan hal itu kepada orang tuanya.
PG : Bisa jadi anak-anak ini akan diam dan disimpan dalam hati sehingga orang tua tidak menyadarinya. Tapi pada akhirnya muncullah hal-hal yang dilakukan oleh si anak yang dengan jelas memberikan kepada si orang tua sebuah berita atau pesan yaitu bahwa "Saya pahit kepada engkau, saya dendam kepadamu dan saya ingin membalas dendam".
GS : Tentunya ada banyak hal yang membuat anak dendam pada orang tua, merasa pahit dalam hubungan dengan orang tua. Tapi pada umumnya hal-hal apa yang membuat anak itu memunyai kepahitan di dalam hidupnya?
PG : Ada tiga yang kita akan coba angkat. Yang pertama adalah pembandingan dan perlakuan yang tidak sama, terutama dengan saudara sendiri. Jadi misalnya orang tua membanding-bandingkan anak, itu adalah hal yang bisa sangat menyakiti dan menimbulkan kepahitan dalam diri anak, misalnya karena kita ingin memacu semangat anak kita membandingkannya dengan kakak atau adiknya, atau kadang kita membandingkan dengan kakak atau adiknya bukan karena kita ingin memacu semangatnya melainkan untuk melampiaskan kekecewaan kita terhadapnya. Mungkin kita kecewa kenapa dia begini dan tidak seperti yang kita harapkan dan kemudian kita membandingkan dengan kakak adik atau saudaranya. Tidak bisa tidak, pesan yang diterima anak adalah dia tidak sebaik kakak atau adiknya dan bahwa ia tidak memunyai sesuatu yang dapat membanggakan orang tuanya seperti yang dimiliki kakak atau adiknya itu.
GS : Dalam hal ini orang tua kadang secara tidak sengaja menyakiti hati anak, tapi orang tua tidak menyadari hal itu, Pak Paul.
PG : Seringkali orang tua tidak menyadari apalagi kalau yang bertujuan hanya untuk menyemangati anak, tapi saya sudah sering bertemu dengan orang-orang yang pada masa kecil dibandingkan oleh orang tua ternyata menimbulkan kepahitan dalam diri anak, sebab yang ditangkap oleh si anak bukanlah orang tua ingin memberinya semangat supaya lebih termotivasi belajar dan sebagainya, tapi pada dasarnya si anak akan merasa bahwa dia tidak sebaik kakaknya atau adiknya. Jadi akhirnya dia akan menyimpan kepahitan sebab dia akan bertanya, "Kenapa papa dan mama tidak bisa bangga dan sayang kepada saya?"
GS : Atau anak ini menuntut perhatian yang lebih dari orang tuanya?
PG : Kadang ada anak yang seperti itu yaitu anak ini memiliki masalah tertentu sehingga memerlukan perhatian yang lebih besar dan orang tuanya menjadi kesal karena melihat anaknya seperti ini dan harapan orang tuanya adalah anak-anaknya tidak perlu diberi perhatian khusus, belajarnya bisa berjalan sendiri, tapi yang ini harus diperhatikan. Jadi saya mengerti orang tua kadang-kadang dalam kasus seperti ini melemparkan, melampiaskan kekecewaannya "Kamu ini seperti ini, bodoh sekali dan sebagainya". Ini yang membuat si anak merasa bahwa "Benar ya saya ini ditolak dan saya ini tidak sama, kenapa saya dibandingkan dengan orang-orang lain" akhirnya inilah yang disimpan oleh anak dalam hatinya.
GS : Sebenarnya anak ini sadar atau tidak kalau dia dibandingkan karena memang faktanya seperti itu.
PG : Kebanyakan dia sadar. Jadi waktu anak melihat bahwa orang tua bukan saja membandingkan dirinya dengan kakak atau adiknya tapi juga memerlihatkan sikap atau kelakuan yang berbeda, dia akan terluka dan menyimpan kepahitan. Biasanya waktu orang tua memberikan sikap-sikap yang berbeda seperti itu, anak akan merasa bahwa, "papa dan mama tidak menyayangi saya" dan akhirnya dia akan merasa bahwa, "Hilanglah kasih papa dan mama kepada saya". Jadi ini yang dibawa, meskipun dia menyadari dia memang berbeda, meskipun dia menyadari dia tidak sama dengan kakak atau adiknya tapi yang akan dia bawa dalam hatinya adalah "Benar orang tua memang tidak mengasihi saya".
GS : Tapi walaupun orang tua itu mengatakan,"Kamu tidak seperti ini dan itu" tapi orang tua tetap menunjukkan kasihnya kepada anak itu, saya rasa luka batinnya tidak terlalu parah daripada kalau tindakan orang tua juga membuktikan bahwa mereka tidak mengasihi anak itu.
PG : Betul. Sayangnya yang seringkali terjadi karena interaksi dengan si anak akhirnya interaksi yang negatif dan jarang ada saat-saat orang tua bersama-sama dengan anak, ngobrol dengan anak, berbaik-baikkan dengan anak, itu jarang! Yang terjadi akhirnya kalau ada apa-apa, orang tuanya marah, kesal melampiaskan kekecewaannya. Jadi akhirnya interaksi dengan orang tua diisi oleh hal-hal seperti ini, yang positif yang penuh kelembutan hampir tidak ada. Itu sebabnya si anak akhirnya menyimpulkan bahwa papa dan mama tidak mengasihi saya.
GS : Tapi kasih itu bisa diperoleh bukan dari orang tuanya, misalnya dari neneknya kakeknya, apakah itu tidak mengurangi kadar luka batinnya?
PG : Kalau dia dapatkan dari yang lain sudah tentu akan ada dampaknya tapi tidak beda banyak sebab tetap dari orang tua dia tidak mendapatkannya. Jadi dia akan terus menyimpan kepahitan itu kepada orang tuanya sendiri. Biasanya waktu anak mulai merasa bahwa orang tua tidak mengasihinya, reaksi pertama adalah dia akan memisahkan diri dan dia akan beranggapan bahwa tidak ada tempat baginya dalam keluarga ini. Itu sebabnya tidak jarang dia akan melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan apa yang telah menjadi ciri khas keluarga ini. Saya berikan contoh misalnya bila orang tua menekankan kecerdasan dan pencapaian akademik, maka si anak akan gagal studi dan melakukan hal-hal yang dipandang bodoh oleh orang tuanya, atau jika orang tua menekankan kerajinan dan tidak boleh membuang waktu maka si anak akan berubah malas dan tidak ingin melakukan apa-apa, atau bila orang tua menekankan kerohanian maka ia pun akan meninggalkan hidup rohani. Singkat kata, oleh karena dia merasa tidak lagi menjadi bagian dari keluarganya maka dia akan mencari jati diri atau identitas diri yang baru dan cara termudah mendapatkan jati diri yang baru adalah menjadi kebalikan dari keluarganya. Jadi apa pun yang orang tuanya tekankan, ia tidak bisa masuk ke situ dan dia tidak bisa menjadi bagian dari keluarga itu, dia akan menciptakan sebuah diri yang baru, dan diri yang baru adalah kebalikan dari apa yang diagungkan atau yang dianut oleh keluarganya.
GS : Apakah tujuannya itu bukan untuk menyakiti hati orang tuanya, Pak Paul?
PG : Kalau si anak merasa bahwa orang tua memerlakukan dengan cara yang beda, tidak sama dengan yang lain, membanding-bandingkannya, maka apa yang dilakukannya adalah untuk menyakiti hati orang tuanya.
GS : Dalam hal ini kalau anak dibandingkan dengan saudara-saudaranya apakah dia juga menaruh benci atau dendam kepada saudaranya yang menjadi bandingannya itu.
PG : Kalau dia tidak menaruh benci yang mendalam, sudah tentu dia tidak akan terlalu dekat dengan si kakak atau si adiknya, sebab dia akan merasa bahwa gara-gara kamu saya diperlakukan seperti ini oleh papa dan mama. Sudah tentu kemarahan yang terdalamnya kepada orang tuanya, tapi dengan si kakak atau si adik hubungannya tidak akan terlalu dekat, apalagi kalau si kakak atau si adik yang menjadikan bahan perbandingan memerlakukannya tidak baik, misalnya menghinanya dan sebagainya, maka anak ini makin membenci si kakak atau si adik itu.
GS : Jadi apa yang harus dilakukan oleh orang tua, Pak Paul?
PG : Kita harus memerlakukan anak sebagai pribadi yang unik, sesungguhnya sebelum kita membandingkan anak dia sendiri sudah terlebih dahulu melakukannya. Ia akan menilik apa yang menjadi kelebihan kakak atau adiknya dan membandingkannya dengan dirinya sendiri, apabila dia melihat bahwa dia tidak punya kelebihan yang dimiliki kakak atau adiknya sebetulnya ia sendiri sudah merasa dirinya kurang dan ia pun melihat bahwa dia lain dari kakak atau adiknya. Sudah tentu ini bukan perasaan yang nyaman yang mudah diterima. Itu sebabnya waktu orang tua membanding-bandingkannya apalagi memerlakukannya berbeda dari kakak atau adiknya, dia merasa disakiti karena yang dibutuhkannya sebenarnya adalah penerimaan, penguatan tapi yang didapat malah dibanding-bandingkan, tidak heran anak ini pada akhirnya menyimpan kepahitan dan berupaya untuk hidup berlawanan dari apa yang diharapkan oleh orang tuanya.
GS : Sebagai pribadi yang unik sebenarnya anak ini juga punya kelebihan dalam bidang tertentu, kalau seandainya oleh orang tua juga diungkapkan terhadap kakak-kakaknya apakah itu bisa mengurangi luka batinnya, Pak Paul?
PG : Bisa. Kalau orang tua bisa melihat keunikan si anak bahwa memang inilah yang bisa dilakukan dengan baik dan orang tua bukan saja mengkomunikasikan sikap menerima, tapi juga sikap membanggakan senang dengan kelebihan si anak sudah tentu akan menetralisir, tapi yang sering saya lihat adalah karena orang tua terpaku pada satu aspek saja misalnya aspek akademik, dan waktu anak tidak bisa mencapainya seolah-olah anak tidak punya lagi hal-hal lain dalam dirinya sebab yang bisa dilihat hanya aspek akademik yang terus jadi sorotan orang tuanya. Akhirnya si anak tidak menemukan keunikan dirinya dan tidak menemukan hal-hal lain tentang dirinya yang sebetulnya baik karena tidak berkesempatan, sebab yang disoroti selalu hal yang bersikap akademik yang ditekankan oleh orang tuanya itu.
GS : Tetapi ada beberapa anak yang pada dasarnya punya masalah dengan rendah diri, jadi walaupun tidak diungkapkan kelemahannya, dia sangat peka sekali dan merasa tersinggung dengan perkataan orang tuanya.
PG : Sebetulnya kalau dari kecil kita sebagai orang tua melihat kemampuan anak kita tidak sama dengan kakaknya dan kita lebih sensitif dan tidak memerlakukan sama dengan kakaknya, menuntutnya sama seperti kakaknya seharusnya anak itu bisa menerima dirinya dengan lebih baik. Yang menjadikan dia sulit menerima dirinya dan menjadi minder adalah karena kita terus membanding-bandingkan dengan kakaknya. Dan jelas-jelas kita memerlakukannya berbeda dengan kakaknya itu.
GS : Hal lain mengenai ini, apa Pak Paul yang membuat anak ini memunyai rasa sakit hati?
PG : Kedua adalah kepahitan dapat ditimbulkan oleh penolakan orang tua untuk memberi pertolongan kepada anak sewaktu anak dalam keadaan butuh. Pada saat anak mulai dewasa anak mulai memikirkan hal-hal yang ingin dilakukannya. Tidak jarang anak berpaling pada orang tua untuk memberikannya bantuan, pada saat itu bila orang tua menolak untuk membantunya besar kemungkinan hal ini akan menimbulkan kepahitan sebab dalam keadaan butuh kita cenderung berpaling kepada orang tua untuk menolong kita. Masalahnya adalah ada orang tua yang memang tidak peduli dengan anak sehingga tidak rela memberikan bantuan dan ada juga orang tua yang berpandangan bahwa anak harus dibuat susah terlebih dahulu dan tidak selayaknya menerima pertolongan, alhasil pertolongan tidak diberikan sedangkan si anak sedang butuh, ini seringkali menjadi bibit yang membuat si anak pahit terhadap orang tuanya.
GS : Kalau si anak meminta pertolongan dan ditolak maka bisa seperti itu, tapi kalau anak ini tidak meminta dan orang tuanya tidak tahu kalau anaknya sedang butuh pertolongan, apakah itu bisa menimbulkan kepahitan?
PG : Bisa ya dan tidak. Ada anak yang memang tidak mau meminta sebab dia merasa sungkan, tapi dalam hatinya berharap bahwa seharusnya orang tua mengerti bahwa dia sekarang dalam keadaan butuh misalnya dia mau merintis usahanya, maka seharusnya orang tua tahu tapi orang tua diam-diam saja, efeknya bisa sama yaitu si anak bisa merasa pahit, "Kenapa papa dan mama tahu kalau saya butuh tapi tidak pernah menawarkan apa-apa, kenapa tega mendiamkan seperti itu?" Ini yang akan membawa anak ke dalam lembah kepahitan.
GS : Jadi seharusnya terjadi komunikasi yang baik antara anak dan orang tua, kalau dia butuh dia menyatakan kebutuhannya sehingga orang tua tahu, kalau menebak-nebak nanti malah mencampuri urusannya. Ini menjadi sulit sebagai orang tua.
PG : Dalam kasus ini sebaiknya orang tua melihat kalau anaknya perlu sebaiknya tawarkan, "Apakah ada yang bisa saya bantu, papa mama bisa bantu dan sedapat-dapatnya mau bantu jadi jangan sungkan kalau ada apa-apa bicara". Orang tua yang menawarkan jasa seperti itu membukakan pintu kepada anak untuk masuk. Sudah tentu saya mengerti adakalanya orang tua harus jeli, memang ada anak yang memanipulasi kita supaya kita menggelontorkan bantuan kepadanya tanpa henti karena memang anak itu malas dan tidak mau apa-apa. Ada pula anak yang senang bermimpi dalam hidup, sehingga tidak hidup dalam alam realitas. Itu sebabnya ia senantiasa berkeinginan untuk menjadi besar dengan cepat tanpa memikirkan konsekuensinya, dalam kasus seperti ini saya kira sepatutnya kalau orang tua menolak karena kita tidak mau anak kita menjadi anak yang egois dan hanya memikirkan diri sendiri, menuntut orang tua untuk terus membantunya atau hidup dalam alam fantasi (inginnya cepat) orang tua harus bantu supaya dia bisa cepat besar dan sebagainya. Dalam kasus seperti itu silakan orang tua bersikap tegas sehingga kita tidak sampai terjebak ke dalam tangan si anak. Tapi kalau jelas terlihat memang dia tidak memanipulasi kita dan dia memang perlu bantuan kita untuk merintis usahanya dan kita sanggup menolongnya maka berilah pertolongan, anak akan melihat sebenarnya Papa dan Mama bisa atau tidak, kalau memang tidak bisa menolong dia juga tahu dan tidak apa-apa. Tapi yang menimbulkan kepahitan adalah kalau anak itu lihat bahwa orang tua sebenarnya sanggup tapi tidak mau dan itu yang membuat si anak akhirnya menaruh dendam kepada orang tuanya.
GS : Disini terjadi perbedaan pandangan antara orang tua dan anak, anak merasa butuh tapi orang tua melihat ini memanipulasi, sehingga tidak terjadi pertolongan dari orang tua kepada anak.
PG : Itu bisa. Si anak memang benar-benar butuh, tapi orang tua melihat kalau anak ini sedang memanipulasi. Jadi kalau orang tua melihat anak itu memanipulasi dan tidak sungguh-sungguh butuh dan memang malas, maka silakan tidak memberikan kepada si anak. Tapi kalau anak itu butuh maka berikanlah, saya ingat ada firman Tuhan di Amsal 25:21-22 berkata, "Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu". Jadi orang yang tengah butuh adalah orang yang menyimpan bara api di kepalanya alias panas, waktu kita menolak untuk membantunya ia akan menyimpan kepahitan yang dalam. Sebaliknya kalau kita menolongnya maka dia akan merasakan kelegaan yang dalam. Jadi jika anak sedang butuh pertolongan berilah, kalau tidak bisa memberi semua, beri sebagian. Tunjukkanlah kalau kita mengasihinya bukan hanya dengan perkataan, tapi juga dengan perbuatan. Anak yang menerima pertolongan dalam kesusahan akan selalu tahu dan ingat bahwa orang tuanya sungguh mengasihinya.
GS : Selain dua faktor tadi apakah masih ada faktor lain yang membuat anak itu bisa dendam pada orang tuanya?
PG : Yang ketiga, kepahitan pada anak muncul ketika dia bersalah dan membutuhkan pengampunan dan kita tidak bersedia memberinya pengampunan. Ini yang seringkali membuat si anak pahit kepada orang tuanya. Saya kutip dari Amsal 16:6 firman Tuhan berkata, "Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni". Anak adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan, adakalanya anak melakukan kesalahan yang besar yang mungkin sangat melukai hati kita, dalam situasi seperti itu anak memerlukan pengampunan sebab sewaktu anak menerima pengampunan atas kesalahannya dia akan melihat kasih dan kesetiaan kita kepadanya, sebab bukankah bukti kasih terbesar adalah sewaktu kesalahan terjadi dan pengampunan dibutuhkan, itu benar-benar bukti kasih terbesar. Anak akan sungguh-sungguh tahu kita mengasihinya bukan pada waktu semua berjalan baik-baik, tapi justru pada waktu kita mengampuni kesalahan yang diperbuatnya. Jadi benar-benar dia berlaku salah melakukan perbuatan yang tidak benar, tapi kita mengampuni dan barulah si anak melihat bahwa kita sungguh-sungguh setia padanya dan tidak akan meninggalkannya pada saat dia melakukan perbuatan yang mengecewakannya.
GS : Seringkali yang terjadi bukan orang tua tidak mau mengampuni pada saat anak berbuat kesalahan tapi anak juga belum mau mengampuni kesalahan orang tuanya. Jadi mungkin orang tuanya pernah berbuat salah dan sudah menyatakan kesalahan itu, tapi anak ini tidak mengampuni, bagaimana orang tua akan mengampuni anaknya ketika anak itu berbuat kesalahan.
PG : Memang sudah tentu kita ini adalah manusia, waktu anak menyimpan kepahitan kepada kita, buat kita mengampuninya juga berat. Tapi mungkin lebih baik kita yang berinisiatif memulai, "Baik, engkau pahit kepada saya dan tidak apa-apa, saya tetap beri pengampunan" jadi kita memberikan contoh bahwa kita tidak mau memelihara dendam dan tidak mau menyuburkan kepahitan, usaha kita adalah untuk justru menghilangkan kepahitan dengan cara memberikan pengampunan. Jadi kalau anak berbuat kesalahan sedapatnya mintalah pertolongan Tuhan memampukan kita untuk mengampuninya sebab ini yang dia perlukan dan ini yang akan menjadi bukti terbesar bahwa kita sungguh mengasihi dia.
GS : Kalau dia sendiri belum menyadari kalau apa yang dilakukan belum merupakan suatu kesalahan yang membutuhkan pengampunan dari orang tua, bagaimana kita bisa melakukan itu?
PG : Otomatis kalau dia tidak merasa salah dan dia tidak minta ampun maka kita tidak bisa membuatnya menyadari. Kita hanya bisa memberitahukan, tapi membuat dia sungguh-sungguh mengerti kalau dia salah dan mau meminta ampun kepada kita, saya kira tidak selalu kita bisa melakukannya. Jadi kalau tidak bisa maka kita biarkan sampai akhirnya dia bisa menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan yang besar itu.
GS : Memang ada upaya kita sebagai orang tua yang pada pada batas tertentu kita tidak bisa lagi melakukan apa-apa.
PG : Betul. Tugas kita mengingatkan apa yang benar, apa yang juga menjadi kehendak Tuhan, tapi apakah si anak menerima atau tidak itu diluar jangkauan kita.
GS : Kalau dikatakan dengan kasih dan kesetiaan, ini bentuknya seperti apa?
PG : Misalnya kita tidak mengungkit-ungkit atau menyalah-nyalahkan dan berkata, "Engkau memang salah" dan kita minta dia datang kepada Tuhan dan memohon pertolongan Tuhan dan kita bisa langsung berkata, "Tuhan mengampuni kamu, maka saya pun akan mengampuni kamu". Dan bukan hanya itu kita pun mengatakan bahwa, "Kita juga sama-sama manusia dan kita juga melakukan banyak kesalahan dan kita pun diampuni oleh Tuhan jadi kita mau menjadi saluran pengampunan Tuhan kepada dia juga".
GS : Tapi dari kasus seperti itu kalau ketika kita sudah mengampuni, apakah anak itu akan belajar sesuatu dari pengalaman ini?
PG : Makanya kita harus melihat apa memang anak kita sudah bertobat atau belum, kalau dia tidak merasa salah sama sekali maka kita tidak perlu mengobral-obral pengampunan karena dia juga tidak akan menghargainya. Jadi kita perlu melihat apakah dia sudah menyadari bahwa dia salah dan dia sungguh menyesali kalau dia mau berubah. Kepada anak yang seperti itulah kita memberikan pengampuan, kepada anak yang tidak merasa dirinya salah dan masa bodoh dengan kita dan tidak peduli dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan, apa gunanya memberikan pengampunan kalau dia sendiri tidak meminta dan tidak melihat dirinya bersalah.
GS : Karena ada sebagian orang tua yang merasa, kalau saya harus memberikan pengampunan atau mendahului berbaik-baik dengan dia nanti orang tua ini kehilangan wibawanya, begitu Pak Paul.
PG : Mungkin itu adalah ketakutan kita semua dan jangan sampai kita tidak dihormati oleh anak kita, atau kita merendahkan diri seperti itu. Tapi bagi saya yang penting adalah kita sungguh melihat anak kita menyadari kesalahannya dan dia minta ampun, saya kira respon yang harus kita berikan adalah, "Nak, aku ampuni, aku juga orang berdosa dan Tuhan mengampuni semua dosaku dan aku juga mau menjadi saluran pengampunan Tuhan kepadamu".
GS : Jadi kepahitan ini sebenarnya bisa diatasi, tapi harus secara bersama baik dari pihak orang tua maupun dari pihak anak itu sendiri.
PG : Betul sekali. Jadi kita benar-benar harus terbuka dan belajar merendahkan diri tapi di pihak lain anak harus merendahkan diri dan belajar untuk mengakui kesalahan dan juga belajar untuk berkata, "Saya salah dan minta ampun kepada papa mama".
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kepahitan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


109. Ketika Anak Terlibat Masalah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T350B (File MP3 T350B)


Abstrak:

Salah satu hal yang menakutkan adalah mendengar berita bahwa anak kita terlibat masalah. Ada anak yang terlibat masalah narkoba, ada yang terlibat masalah pencurian, ada yang terlibat hubungan seks bebas sehingga menghamili pacarnya atau dihamili pacarnya. Sewaktu kita mendengar berita ini, tidak bisa tidak, kita merasa bahwa dunia telah runtuh. Kita akan memelajari apa saja reaksi orang tua dan apa yang akan dilakukan oleh orang tua ketika menghadapi anak yang terlibat masalah.


Ringkasan:

Salah satu hal yang menakutkan adalah mendengar berita bahwa anak kita terlibat masalah. Ada anak yang terlibat masalah narkoba, ada yang terlibat masalah pencurian, ada yang terlibat hubungan seks bebas sehingga menghamili pacarnya atau dihamili pacarnya. Sewaktu kita mendengar berita ini, tidak bisa tidak, kita merasa bahwa dunia telah runtuh. Setidaknya ada beberapa reaksi yang umum dialami oleh orangtua yang berada dalam situasi seperti ini:

  • Biasanya reaksi pertama adalah marah karena perbuatan anak yang buruk ini menimbulkan kesan buruk pada kita orangtuanya. Kita merasa dipermalukan dan harga diri kita diinjak-injak oleh anak lewat perilaku bermasalahnya.
  • Reaksi berikut adalah kita berusaha menutupinya apabila masih memungkinkan. Kita akan berusaha mengurangi dampak kerusakan supaya tidak menyebar dan tidak diketahui oleh banyak orang. Misalkan, jika anak kita kedapatan hamil, kita mungkin berusaha mengaborsi bayi dalam kandungannya atau mengungsikannya keluar untuk sementara.
  • Namun, sebagian masalah tidak dapat disembunyikan. Kita terpaksa harus menghadapinya sebab jika tidak, masalah akan makin mengakar dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah.
  • Pada akhirnya kita bersikap pasrah. Kita tidak lagi peduli dengan pandangan orang dan menerima kondisi keluarga apa adanya.

Sayangnya tidak semua orangtua menghadapi masalah anak dengan baik. Beberapa sikap yang tidak sehat dapat muncul dan malah memperburuk masalah anak. Berikut akan dipaparkan beberapa di antaranya:
  • Tidak mau mengakui masalah. Dengan kata lain menyangkal bahwa masalah telah terjadi dan terus bersikap bahwa semua baik-baik saja. Biasanya kita mengatakan bahwa tidak mungkin hal ini terjadi pada dirinya; pastilah berita tersebut tidak berdasar.
  • Menyalahkan pihak lain. Sudah tentu adakalanya memang benar bahwa salah satu penyebab masalah bisa jadi adalah pasangan kita sendiri tetapi kita harus melangkah maju dan berupaya mencari jalan keluarnya. Kita menolak untuk melihat bahwa anak kita berandil dalam masalah ini. Misalkan dalam kasus kehamilan, kita akan terus menyalahkan pacarnya sebagai penyebab tunggal.
  • Menyalahkan anak. Ada orangtua yang terus melimpahkan kesalahan kepada anak. Apa pun penjelasan yang diberikan, tidak digubris. Pada umumnya penyebab utamanya adalah orangtua terlalu bergantung pada anak untuk memasok kebahagiaannya.
Jika demikian sikap seperti apakah yang mesti kita perlihatkan sewaktu anak terlibat masalah?
  • Perhatian pertama yang mesti kita berikan adalah kepada anak itu sendiri. Ia tengah dirundung masalah dan kita harus menolongnya. Kita mesti mengesampingkan diri dan pandangan orang terhadap kita. Berikanlah komitmen kepadanya bahwa apa pun yang terjadi kita akan mendampinginya dan tidak akan membuangnya.
  • Kita mesti menyelesaikan masalah secara sehat dan sesuai dengan jalan Tuhan. Jadi, janganlah melakukan tindakan yang berdosa untuk menyelesaikan masalah. Menyelesaikan masalah secara sehat berarti menyelesaikannya sampai ke akarnya. Jangan kelabui diri bahwa sekarang semua baik-baik saja padahal kita tahu bahwa akar masalah masih ada. Jika memang akar masalah ada pada diri kita, akuilah.
  • Lihatlah ke depan, bukan ke samping atau ke belakang. Maksudnya, jangan mengungkit masa lalu dan jangan terus menyalahkan
  • Kita harus bersikap realistik. Kadang keputusan terbaik jauh dari ideal, namun tetap itulah keputusan terbaik. Misalkan, oleh karena narkoba anak akhirnya harus tinggalkan bangku sekolah untuk beberapa bulan sehingga tidak naik kelas. Kita mesti menerima pilihan ini ketimbang memaksakannya untuk menyelesaikan sekolah.
  • Terakhir kita mesti bersabar dan beriman. Kita harus bersabar sebab problem yang besar sering kali memerlukan waktu yang panjang dan usaha yang besar. Kita pun mesti beriman sebab sandaran kita bukanlah manusia melainkan Tuhan. Di dalam Markus 11:22-24 dikatakan, "Percayalah kepada Allah! Sesungguhnya barang siapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! Asal tidak bimbang hatinya tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya maka hal itu akan diberikan kepadamu."

Transkrip:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ketika Anak Terlibat Masalah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, bagaimana pun juga anak adalah anggota dari keluarga kita, dari kesatuan persekutuan di dalam keluarga ini, sehingga kalau anak kita bermasalah dan masalahnya cukup besar dan diketahui oleh khalayak ramai, kadang kita sebagai orang tua kehilangan pegangan, bagaimana kita harus bersikap? Apa yang bisa kita perbincangkan dalam kesempatan ini?
PG : Tadi sudah dikatakan bahwa salah satu hal yang menakutkan adalah mendengar berita bahwa anak kita terlibat masalah, macam-macam misalnya ada anak yang terlibat narkoba, ada yang terlibat pencurian, ada yang terlibat hubungan seks bebas sehingga menghamili pacarnya atau dihamili pacarnya, atau yang ketahuan memakai jasa seorang pelacur dan sebagainya. Waktu kita mendengar berita seperti ini, tidak bisa tidak, kita merasa dunia kita telah runtuh. Kita mau melihat reaksi yang kadang kita munculkan sewaktu kita mendengar berita seperti ini, yang pertama adalah reaksi marah karena perbuatan anak yang buruk ini menimbulkan kesan yang buruk pada kita orang tuanya, kita merasa dipermalukan dan harga diri diinjak-injak oleh anak lewat perbuatannya. Jadi itu adalah reaksi pertama yang biasanya kita tunjukkan, kita langsung memarahi anak itu karena sekali lagi kita terluka dan malu karena semua orang tahu ada masalah seperti ini, maka kita lampiaskan kemarahan kita pada anak.
GS : Tapi kemarahan juga seringkali ditunjukkan pada dirinya sendiri atau pasangannya, Pak Paul.
PG : Kadang kita tidak bisa mengendalikan kemarahan kita. Kita bisa memarahi pasangan dan menyalahkan sana-sini dan sebagainya karena kemarahan itu sudah terlalu besar.
GS : Tapi kita tidak bisa marah terus menerus karena orang marah ada batasnya, setelah kemarahan itu mulai mereda atau kita sudah mulai kehabisan kata-kata untuk marah, apa yang biasanya terjadi, Pak Paul?
PG : Reaksi berikut adalah kita berusaha menutupinya apabila masih memungkinkan, misalnya anak kita kedapatan hamil maka kita berusaha untuk memintanya mengaborsi bayi dalam kandungannya, yang sudah tentu adalah hal yang salah atau kita berusaha mengungsikannya keluar untuk sementara. Jadi dengan kata lain, kita berusaha mengurangi dampak kerusakan agar tidak menyebar dan tidak diketahui oleh banyak orang. Itu reaksi kedua yaitu kita mau menutupinya supaya orang tidak tahu.
GS : Sebenarnya itu adalah usaha penyelamatan diri orang tua itu sendiri demi nama baik keluarga, demi supaya tetap dihargai masyarakat.
PG : Kadang-kadang juga demi anak itu sendiri, misalnya anak kita terlibat selingkuh dan anak kita masih muda, selingkuh dengan suami orang. Ketika kita tahu hal itu kita menjadi serba salah, sedang kita tidak mau namanya nanti rusak karena telah menjadi istri simpanan si pria ini. Jadi kita memutuskan hubungan itu dan kita menyembunyikan dia, tapi yang kita lakukan berikutnya adalah kita berusaha menutupi fakta tersebut supaya anak kita nantinya punya kesempatan untuk berkenalan dengan pria lain yang bisa mengasihinya.
GS : Tapi kalau itu sudah terungkap keluar, biasanya si orang tua malah tidak melindungi anak dan menyerahkan hal itu kepada yang berwajib.
PG : Kadang-kadang kalau terlalu besar masalahnya dan orang tua tidak sanggup lagi bagaimana mengatasinya, apalagi kalau ada kaitannya dengan tindak kejahatan biasanya orang tua melepaskan dan membiarkan nanti polisi yang menangani. Jadi dengan kata lain, kita berusaha menutupinya tapi kalau pada akhirnya kita tidak bisa menutupi, maka terpaksa kita menghadapinya, sebab kalau tidak masalah itu akan makin mengakar. Misalnya kalau anak kita terlibat narkoba maka kita harus dapatkan perawatan supaya kebergantungannya pada narkoba bisa dilenyapkan. Sudah tentu kita harus menyadari bahwa proses mencari pertolongan atau menjalani perawatan merupakan proses yang memalukan sekaligus menyakitkan karena orang akan tahu kita sekarang ke tempat ini bawa anak kita ke tempat panti narkoba, malu sekali.
GS : Kalau sudah diserahkan kepada yang berwajib dan mencari pertolongan orang lain maka akan ada resiko bahwa orang tua akan dikecam oleh banyak pihak. Bagaimana sikap orang tua, Pak Paul?
PG : Untuk yang tidak terima maka dia akan menyangkali, tapi akhirnya yang banyak berkata, "Pasrah, apapun yang orang katakan karena mau apalagi memang sudah begitu" tapi tidak lagi punya muka dan mungkin dia berusaha menarik diri serta tidak mau bertemu teman-teman dan tidak mau bertemu dengan orang yang bisa mengetahui hal ini. Jadi berusaha memisahkan diri dari lingkungannya.
GS : Kalau hal ini kita kaitkan dengan pembicaraan yang lampau tentang anak yang dendam pada orang tuanya, pada waktu itu Pak Paul katakan pada saat anak butuh pertolongan, orang tua harus menolong. Tapi dalam kasus seperti ini orang tua sudah tidak bisa lagi menolong. Apakah akan timbul dendam dalam diri anak pada orang tuanya, Pak Paul?
PG : Kalau anak melihat bahwa orang tua berusaha menolongnya walaupun tidak sampai tuntas itu juga baik dan itu bisa membuat si anak tahu kalau dia dikasihi. Atau yang sederhana sekali kalau si anak mendapatkan pengampunan orang tuanya, kalau orang tua berkata, "Nak, kamu tetap anak, kamu tetap orang yang kami kasihi dan kami mengampunimu". Itu saja sudah sangat besar dampaknya pada si anak dan dia akan tahu bahwa dia dikasihi, jadi meskipun orang tua tidak bisa menolongnya sampai tuntas, tapi tetap apa yang dikatakan oleh orang tua atau apa yang dilakukan oleh orang tua membuat si anak tahu kalau dia dikasihi.
GS : Tapi tidak banyak orang tua yang bisa bersikap seperti itu, ada hal-hal yang dilakukan oleh orang tua bukannya menolong anak tapi malahan memperburuk keadaan anak itu sendiri.
PG : Betul sekali. Misalnya ada orang yang tidak mau mengakui masalah, dengan kata lain, ada orang tua yang menyangkal bahwa masalah telah terjadi dan terus bersikap bahwa semua baik-baik saja. Jadi misalnya anak ini sudah berapa kali bermasalah dengan sekolah, dengan narkoba, tapi orang tua tetap saja tutup mata dan tidak mau mengakui kalau hal itu telah terjadi misalnya berkata bahwa "Ini normal, anak memang seperti ini" atau "Berita ini tidak benar dilebih-lebihkan orang". Jadi ada orang tua yang tidak siap dan hampir terus menyangkali masalah, hal ini sudah tentu tidak menolong si anak dan malah makin menjerumuskan anak.
GS : Tapi bagaimana kalau si anak itu sendiri yang mengatakan bahwa dia sedang bermasalah, Pak Paul?
PG : Ada orang tua yang bisa mengatakan, "Baik, kamu memang bersalah berbuat ini dan memang itu adalah hal yang salah, tapi mari kita bereskan". Tapi ada orang tua yang tidak mau menerima bahwa anaknya telah bersalah, justru menyalahkan orang lain, jadinya yang disalahkan adalah teman-temannya, menyalahkan pasangan kita, bukannya mencari jalan keluar malahan menyalahkan kanan kiri. Artinya sebetulnya kita itu menolak melihat bahwa kita berandil dalam masalah ini. Atau misalnya dalam kasus kehamilan kita akan terus menyalahkan pacarnya sebagai penyebab kenapa anak kita hamil atau menghamili dia, tapi sebetulnya yang seharusnya dilakukan orang tua adalah mengatakan, "Yang salah adalah dua-duanya, ini bukan tindak perkosaan, jadi dua-duanya salah". Tapi ada orang tua yang tidak bisa menerima kalau anaknya salah dan menyalahkan orang lain terus.
GS : Karena seringkali sebagai ayah merasa bahwa pendidikan anak harus diurusi oleh istrinya, sehingga kalau terjadi apa-apa dalam diri anak paling mudah mencari kambing hitam, istrinya yang dituding.
PG : Banyak, saya mengakui memang pria bersikap seperti itu, kalau ada masalah dengan anak sudah pasti yang salah adalah istrinya, padahal kalau ada masalah dengan tempat pekerjaannya maka kita juga harus berkata, "Saya juga salah" tapi tidak seperti itu tapi malah menyalahkan pekerjaan. Memang ada orang yang tidak bisa mengakui kesalahan, jadi gampangnya menyalahkan orang terus. Yang lainnya adalah bukannya menyalahkan orang lain, tapi ada orang tua yang menyalahkan anak dan dia terus melimpahkan kesalahan pada anak, apapun penjelasan yang diberikan oleh anak tidak dihiraukan. Kenapa begitu? Ada orang tua yang terus menyalahkan anak, mungkin saja anak itu sering berbuat salah sehingga orang tua langsung menyalahkan anak, tapi ada juga karena orang tua terlalu bergantung kepada anak untuk memasok kebahagiaannya, itu sebabnya waktu anak terlibat masalah maka kecewanya dalam sekali sehingga si orang tua tidak bisa berhenti menyalahkan si anak.
GS : Tetapi kesalahan itu juga harus dilihat secara wajar, proporsional, kalau memang kesalahan dalam diri anak sudah tentu anak itu harus disalahkan.
PG : Sudah tentu kalau anak salah maka kita tidak mau menghapusnya, justru kita mau dia melihatnya. Yang kita inginkan bukan mau mengelakkan dia dari tanggung jawab, tapi kita mau dia memikul tanggung jawab tapi kita mau dia tahu bahwa kita bersamanya dan kita tidak meninggalkan dia.
GS : Dalam hal ini sebaiknya kita memberitahukan kesalahan anak, walau sebenarnya anak juga mengerti suatu kesalahan, dan kalau itu diberitahukan lagi tentu ini menjadi beban tersendiri bagi anak itu.
PG : Yang penting adalah jangan kita mengulang-ulangnya, kita tahu anak kita telah berbuat salah dan dia menyesalinya, maka kita hanya perlu ingatkan sekali saja dan kita tidak perlu mengulang-ulangi menyalahkannya lagi karena itu tidak menyelesaikan masalah sama sekali.
GS : Jadi yang terpenting ketika kita tahu anak itu sudah bermasalah adalah bagaimana seharusnya sikap kita. Apa yang seharusnya kita lakukan, Pak Paul?
PG : Perhatian pertama yang harus kita berikan adalah kepada anak itu sendiri, dia tengah dirundung masalah dan kita harus menolongnya, kita harus mengesampingkan kepentingan diri dan kita harus mengesampingkan penilaian orang kepada diri kita, jangan pusingkan orang nanti melihat kita baik atau tidak, kita terima dan jangan sampai akhirnya fokusnya beralih bukannya pada si anak tapi pada diri kita dan reputasi kita, sekarang bukan waktunya memikirkan reputasi sendiri, inilah waktunya untuk sepenuhnya memberi pertolongan kepada anak kita. Jadi dengan kata lain, kita harus memberikan komitmen kepada anak bahwa apapun yang terjadi kita akan mendampinginya dan kita tidak akan membuangnya.
GS : Justru seringkali orang tua kembali menimpakan kesalahan pada anak dan mengatakan, "Lihat posisiku sekarang terancam dan sebagainya gara-gara kesalahan yang kamu buat".
PG : Sebaiknya jangan kita berkata seperti itu, lebih baik kita berkata, "Akibat perbuatanmu akhirnya ada hal-hal yang harus terjadi, saya juga harus terima akibatnya"; kita cukup bicara sekali saja dan jangan kita bangkitkan terus, kalau kita bangkitkan terus artinya kita menyalahkan dia. Dia sebenarnya tahu dia salah dan cukup sekali saja bicara dan jangan diulang lagi.
GS : Artinya kesalahan yang dibuat anak, kita harus ikut menanggungnya.
PG : Betul sekali. Sebab bukankah sedikit banyak kita bertanggungjawab atas hidup dia, dia adalah anak kita maka sedapatnya kita bantu dan tanggung meskipun akibat perbuatannya bisa cukup menyusahkan kita.
GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul?
PG : Kita harus menyelesaikan masalah secara sehat dan sesuai dengan jalan Tuhan. Jadi jangan melakukan tindakan yang berdosa untuk menyelesaikan masalah, misalnya kita menyuruh anak kita untuk aborsi gara-gara dia hamil di luar nikah, jangan seperti itu meskipun itu penyelesaian yang pintas, orang tidak tahu tapi Tuhan tahu dan kita bertanggungjawab pada Tuhan. Dan bagi si anak sendiri, dia merasa dia sudah punya anak dan telah mengaborsi anak itu, besar kemungkinan dia akan membawa hal ini ke dalam hidupnya sampai usia tua nantinya dan dia akan selalu ingat bahwa dia telah berbuat salah. Jadi saya menekankan jangan sampai menggunakan cara yang salah untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Yang saya maksud dengan menyelesaikan masalah secara sehat adalah menyelesaikan sampai ke akar-akarnya, jangan kelabui diri bahwa sekarang semua baik-baik saja padahal kita tahu bahwa akar masalah masih ada, jika kita tahu akar masalah ada pada diri kita maka kita juga harus akui, misalnya si anak tidak bisa tinggal di rumah dan sewaktu dia kabur dia berbuat hal yang salah di luar, kita harus melihat kenapa dia tidak betah di rumah, misalkan di rumah kita berkelahi dan tidak pernah ada damai sejahtera akhirnya anak merasa tidak betah di rumah. Maka kita harus mengakui kalau kita memunyai andil terhadap masalah si anak dan kita harus mengakui masalah ini yang harus dibereskan, kalau akarnya tidak dibereskan maka sampai kapan pun anak akan menjadi seperti ini.
GS : Tapi yang terutama yang punya masalah adalah anak itu sehingga menimbulkan peristiwa yang mengenai kita sebagai orang tuanya, maka anak itulah yang kita harapkan bisa menyelesaikan sampai ke akar masalah itu.
PG : Seringkali kita hanya fokus pada si anak itu sendiri, sudah tentu si anak itu perlu menjadi fokus perhatian, masalahnya harus dibereskan sampai ke akar-akarnya. Tapi kita juga harus terbuka dengan kemungkinan bahwa mungkin ada andil dalam diri kita terhadap masalahnya. Contoh misalnya, si anak karena minder akhirnya berbuat hal-hal yang salah, mencontek, mencuri dan sebagainya, maka kita harus membahas masalah sampai ke akar-akarnya maksudnya bukan hanya menghentikan dia dari tindakan salah itu. Ke akar-akarnya artinya melihat kenapa si anak bisa sampai seperti itu, mau mencuri dan sebagainya. Akhirnya kita simpulkan memang dia minder dan dia mau diakui oleh teman-temannya, dia mau dilihat orang yang kaya terpandang sehingga mencuri barang orang lain. Akarnya memang adalah keminderan, kita harus membahasnya kenapa dia seperti itu. Bisa jadi dia minder karena memang kita terlalu irit, kita sama sekali tidak memberi dia uang, kita tidak mencukupi kebutuhannya, atau dia minder karena kita tidak pernah memuji dia dan kita selalu memandang dia sebagai anak yang tidak bisa apa-apa. Jadi kita harus melihat ke akar-akarnya bukan pada diri si anak, tapi juga pada diri kita.
GS : Kalau yang diperbuat si anak ini untuk yang kedua atau ketiga kalinya sebetulnya apa yang bisa kita perbuat, Pak Paul?
PG : Kalau si anak melakukan hal sama maka kita harus melihat penyebabnya, kenapa dia terus berbuat hal yang sama. Kadangkala dia tidak punya lagi tempat dan dia tidak punya lagi lingkungan dan ini adalah lingkungan yang dikenalnya dan teman seperti ini yang menjadi lingkungannya atau kelompoknya, berarti kita harus pisahkan dia dari kelompoknya itu, mungkin dia harus membawanya ke kota lain sehingga dia tidak punya kontak dengan teman-temannya itu atau dipersulit supaya dia tidak bisa berteman dengan mereka itu. Jadi kita harus melihat hal-hal yang membuat anak kita akhirnya berbuat kesalahan seperti itu. Contoh yang lain misalnya anak kita hamil di luar nikah, kenapa hamil di luar nikah? Sejarahnya anak ini berpacaran terus, dari umur 14 tahun anak ini sudah ganti-ganti pacar. Dan pertanyaannya adalah kenapa anak yang berumur 14 tahun sudah ganti-ganti pacar? Bisa jadi memang akarnya adalah anak ini tidak memunyai konsep diri yang positif, dia butuh pengakuan dari lawan jenisnya sehingga apapun dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari lawan jenisnya itu. Kenapa dia bisa minder seperti itu, bisa jadi karena wajahnya kurang menarik dan bisa jadi kita kurang memberikan pujian kepadanya untuk hal-hal yang sebetulnya baik pada dirinya tapi kita tidak pernah memunculkannya, sehingga si anak hanya melihat dirinya sebagai diri yang kurang.
GS : Mungkin ada hal lain lagi yang bisa kita lakukan, Pak Paul?
PG : Kita harus melihat ke depan bukan ke samping atau ke belakang maksudnya jangan mengungkit-ungkit masa lalu dan jangan menyalahkannya. Fokus utama kita harus pada apa yang baik pada anak ini dan masa depannya. Jadi jangan sampai terjebak dalam lingkaran mengangkat-angkat masa lalu. Ini yang sering dilakukan, jadi orang tua marah kecewa malu anaknya berbuat seperti ini dan terus mengungkit-ungkit masa lalu, "Dari dulu kamu begini", tidak seperti itu tapi fokusnya adalah ke depan, apa yang kita lakukan adalah agar dia tidak berbuat yang sama lagi dan kita mau mengajaknya melihat ke depan dan kita tidak mau dia terus berpikir bahwa dia adalah produk dari masa lalunya dan dia tidak akan bisa berubah lagi, kita mau agar dia melihat masa depan bahwa dia masih bisa berubah.
GS : Sebetulnya kita sebagai orang tua sudah mencoba anak ini agar tidak mengingat-ingat masa lampaunya, tapi karena peristiwa itu terlalu besar dampaknya, dia sendiri yang tidak bisa melupakan itu, bagaimana?
PG : Adakalanya memang ada hal-hal yang dia lakukan yang salah dan dia terus dihantui oleh rasa bersalah itu, misalnya gara-gara dia mabuk naik mobil dan menabrak orang sehingga orang itu meninggal dunia. Memang ini adalah peristiwa yang traumatis sekali, yang dia lakukan adalah dia membawa penyesalan ini sampai bertahun-tahun dan dia tidak bisa lepas dari jerat kesalahan bahwa dia telah membunuh orang, sehingga terus menyalahkan dirinya. Tugas kita menolong anak kita dan berkata, "Ini telah terjadi, memang engkau berbuat salah dan memang tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk membayar hal itu, nyawa orang telah hilang gara-gara perbuatanmu itu, sekarang kamu harus memilih tenggelam dalam masa lalu atau mulai bangkit dan menapaki masa depan, yang penting bukankah masa depan sebab kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi tentang masa lalu, namun kita bisa berbuat sesuatu tentang masa depan kita".
GS : Jadi orang tua yang harus memberikan bantuan supaya anak ini semakin lama semakin melupakan yang lalu.
PG : Betul sekali.
GS : Jadi yang penting adalah pendampingan orang tua.
PG : Sangat-sangat diperlukan.
GS : Lalu hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul?
PG : Kita harus bersikap realistik. Maksudnya kadang keputusan yang terbaik memang jauh dari ideal namun tetap itu adalah keputusan yang terbaik. Sebagai contoh oleh karena narkoba, anak akhirnya harus meninggalkan bangku sekolah untuk beberapa bulan sehingga tidak naik kelas, sehingga kita harus menerima pilihan ini ketimbang memaksakannya menyelesaikan sekolah. Kadang yang saya lihat pada orang tua, tidak mau bersikap realistik daripada mengakui tidak bisa dengan setop sekolah dulu kemudian membereskan narkoba, tapi tetap sekolah karena malu karena takut nanti orang bertanya-tanya, padahalnya itu tidak realistik. Kita harus menerima fakta dan harus mencari solusi yang sesuai dengan realitasnya.
GS : Kadang-kadang kalau kita membiarkan anak ini sekolah atau membiarkan anak ini tidak sekolah, membuat orang bertanya-tanya, itu yang mengganggu kita dan dapat memengaruhi anak itu sendiri. Sehingga diusahakan supaya dia seperti normal tapi kenyataannya tidak normal.
PG : Memang benar-benar tidak normal dan perlu penanganan, kita harus prioritaskan itu. Jadi kita harus melihat duduk masalahnya dan kita selesaikan itu. Hal-hal lain harus berani kita korbankan.
GS : Tapi ini bisa berpengaruh pada saudara-saudara anak yang bermasalah ini. Kita terlalu memberikan perhatian pada anak yang bermasalah, anak-anak yang tidak bermasalah lalu menjadi bermasalah.
PG : Ini betul sekali. Jadi kita sebagai orang tua harus berhati-hati jangan sampai gara-gara ulah satu anak akhirnya kita tidak lagi bisa ingat bahwa kita masih punya anak yang lain dan juga memerlukan perhatian kita. Jadi sedapatnya imbangi, jadilah orang tua yang juga memikirkan anak-anak yang lain. Kadang-kadang yang terjadi adalah si anak yang negatif atau bermasalah justru mendapatkan banyak perhatian dan si anak yang baik dan tidak membuat masalah akhirnya tidak mendapat perhatian orang tuanya.
GS : Karena tidak mendapat perhatian akhirnya timbul masalah baru.
PG : Betul. Jadi kita harus berhati-hati jangan sampai akhirnya kita kehilangan keseimbangan.
GS : Mungkin masih ada hal lain yang bisa kita lakukan?
PG : Yang terakhir kita harus bersabar dan beriman. Kita harus bersabar sebab problem yang besar seringkali memerlukan waktu yang panjang dan usaha yang besar. Jadi kita harus bersabar dan masalah tidak mudah selesai apalagi kalau masalah itu besar. Kita harus beriman sebab sandaran kita bukanlah manusia melainkan Tuhan. Di dalam Markus 11:23-24 Tuhan Yesus bersabda, "Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu". Jadi kita harus beriman, meskipun anak kita terlibat masalah Tuhan lebih besar daripada masalah anak kita dan Tuhan sanggup untuk menolongnya dan kita tidak boleh melepas iman ini.
GS : Sambil kita terus menjaga supaya anak yang bermasalah itu juga tetap beriman atau kembali beriman kepada Tuhan.
PG : Betul sekali.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketika Anak Terlibat Masalah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



110. Peran Orang Tua dalam Keselamatan Anak 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T357A (File MP3 T357A)


Abstrak:

Mengenalkan Tuhan kepada anak adalah pekerjaan yang gampang-gampang-susah. Biasanya kita mengenalkan Tuhan kepada anak lewat PENGETAHUAN dan juga lewat PENGALAMAN. Walau kita sudah mengenalkan Tuhan lewat dua hal tersebut, ternyata banyak kendala yang kita jumpai di lapangan, apa saja kendala itu? Dan bagaimana untuk bisa menghadapi kendala tersebut?


Ringkasan:

Firman Tuhan di Efesus 6:4 berkata, "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. " Dari Firman Tuhan ini kita dapat melihat bahwa membesarkan anak di dalam Tuhan bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah PERINTAH. Mengapakah demikian? Tuhan ingin agar semua manusia mengenal-Nya dan mempunyai relasi yang akrab dan sehat dengan-Nya. Terlebih dari itu, Tuhan ingin agar manusia kembali menjadi umat-Nya—hidup dalam rahmat dan kehendak-Nya yang sempurna. Nah, di dalam bingkai inilah baru kita dapat mengerti mengapa Tuhan memberi perintah itu kepada kita, para orangtua. Ia rindu anak-anak kita mengenal-Nya dan mempunyai relasi dengan-Nya, serta menjadi umat-Nya.

Apakah artinya membesarkan anak di dalam Tuhan?
Setidaknya ada dua hal yang terlibat di dalam membesarkan anak di dalam Tuhan yaitu
ASPEK PENGETAHUAN (tentang Tuhan) dan
ASPEK PENGALAMAN (hidup bersama Tuhan).

  • Aspek pengetahuan: Mengajarkan kepada anak tentang Tuhan
    • Siapakah Dia?
      Tuhan adalah Allah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk kita manusia. Ia ada dalam bentuk roh, sudah ada sejak dulu kala dan akan ada sampai selamanya. Ia adalah Allah yang berkuasa penuh atas segala yang terjadi di dalam hidup ini serta sanggup melakukan segalanya. Singkat kata kekuasaan-Nya tidak terbatas.
    • Apakah yang telah diperbuat-Nya di dalam hidup ini?
      Oleh karena Allah adalah pencipta, Ia mempunyai hak penuh untuk menuntut kita, manusia, hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi, Ia menghendaki kita melakukannya bukan karena keterpaksaan melainkan karena KETAATAN, yang lahir dari KASIH dan PERCAYA kepada-Nya.
    • Apakah yang telah diperbuat-Nya di dalam hidup kita?
      Pertama, secara pribadi Ia menyelamatkan kita dari hukuman dosa. Kedua, Ia terus membentuk kita supaya kita dapat melakukan kehendak-Nya. Makin taat dan makin melakukan kehendak-Nya, makin kita mengembangkan karakter seperti yang dimiliki Allah sendiri. Ketiga, Ia memberi kita pertolongan dalam melewati jalan kehidupan. Oleh karena dunia tercemar oleh dosa, banyak masalah timbul dan tidak selalu kita dapat menghadapinya. Ia selalu bersama kita untuk menguatkan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dan terakhir, Ia memakai kita untuk menjadi duta-Nya di dunia—mencerminkan dan membagikan kasih-Nya kepada sesama supaya mereka pun dapat mengenal-Nya serta menerima pengampunan dosa dari-Nya.
  • Aspek pengalaman: Memerlihatkan kepada anak bagaimanakah hidup di dalam Tuhan
    • Melibatkan Tuhan di dalam kehidupannya.
      Akan ada banyak kesempatan yang muncul di dalam hidupnya dimana kita dapat melibatkan Tuhan di dalamnya. Misalnya, ketika ia sakit, kita dapat berdoa baginya. Sewaktu ia sedih, kita dapat mengajaknya berdoa. Sewaktu kita sebagai keluarga menghadapi kesulitan, kita dapat memintanya berdoa pula. Ia perlu tahu bahwa kapan pun dan di mana pun Ia dapat datang kepada Tuhan.
    • Kesaksian hidup kita.
      Ada banyak perbuatan Tuhan di dalam hidup kita yang dapat kita bagikan kepada anak, baik secara langsung atau tidak langsung. Seringkali Tuhan menolong kita secara ajaib dan membukakan pintu yang tertutup rapat. Semua ini dapat kita saksikan kepadanya. Ada banyak kegagalan yang telah kita jalani pula. Maka bagikanlah perjalanan kegagalan kita supaya anak melihat hidup secara realistik dan tahu dengan pasti bahwa kasih karunia Tuhan melampaui kegagalan kita.
Kendala Dalam Membesarkan Anak di dalam Tuhan
  • Kegagalan hidup konsisten.
    Pada kenyataannya iman dan perbuatan kita tidak selalu sama. Kita tahu apa yang harus diperbuat tetapi kita tidak melakukannya. Kita tahu apa yang tidak boleh diperbuat, namun kita tetap melakukannya. Pada kadar dan frekuensi tertentu ketidakkonsistenan tidak mengganggu anak, tetapi jika berlebihan, ketidakkonsistenan akan dapat menghalangi anak untuk percaya kepada Tuhan. Akhirnya anak menyimpulkan bahwa kita adalah orang yang munafik dan sayangnya, ia lalu mengaitkan kekristenan dengan kemunafikan.
  • Pola pikir yang intelektual.
    Kecerdasan yang tinggi cenderung membuat anak berpikir kritis dan logis. Tuhan tidak selalu bertindak di dalam alam logika dan tidak selalu kita bisa memahami rencana-Nya. Itu sebabnya anak yang berpola pikir kritis dan logis adakalanya mengalami kesulitan menerima kebenaran Firman Tuhan. Tidak jarang mereka malah menolaknya.

Sebagai contoh, untuk membangun sebuah rumah, dibutuhkan sejumlah orang dan peralatan. Untuk membangun sebuah gedung, diperlukan lebih banyak orang dan peralatan. Bayangkan, berapa banyak tenaga dan peralatan diperlukan untuk membangun sebuah dunia? Dan, bayangkan berapa banyak tenaga dan peralatan dibutuhkan untuk membangun alam semesta yang memuat triliunan planet dan bintang, yang jauh lebih besar daripada planet bumi? Tidak bisa tidak, seorang anak yang berpikir kritis dan logis dapat memertanyakan, bagaimanakah mungkin Allah, yang tidak dapat kita lihat, membangun semuanya itu? Memang kita harus mengakui pemikiran bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah melampui akal manusia.

Namun sebaliknya, jika kita tidak mengakui fakta ini, kita hanya memunyai satu pilihan lain yaitu menyimpulkan bahwa semua ini terjadi lewat proses alamiah—dari "tidak ada" berubah secara perlahan menjadi "ada." Masalahnya dengan alternatif ini adalah, bagaimanakah semua yang hidup berasal dari sesuatu yang tidak ada? Kita tahu bahwa sesuatu yang mati—yang "tidak ada"—tidak berubah menjadi hidup. Singkat kata pergerakan yang kita kenal adalah dari "ada" (hidup) menjadi "tidak ada" (mati), bukan sebaliknya. Ini adalah sekadar contoh bagaimana kita dapat memberi jawab kepada anak yang berpikir kritis dan logis sewaktu menjelaskan kebenaran Alkitab secara kritis dan logis pula.

  • Kekecewaan terhadap Tuhan.
    Anak dapat mengalami kekecewaan yang dalam kepada Tuhan dan tidak jarang, kekecewaan ini membuatnya undur dari iman. Mungkin ia pernah berdoa meminta kesembuhan kakaknya yang sakit tetapi Tuhan tidak mengabulkan doanya. Si kakak akhirnya meninggal dunia. Nah, peristiwa ini dapat menorehkan kekecewaan dan membuatnya tawar hati terhadap Tuhan.
  • Kehidupan moral teman yang baik, kendati tidak seiman.
    Sejak pada masa remaja, anak mulai mengenal teman dengan lebih mendalam, bukan saja sebatas hobi tetapi juga iman kepercayaan. Ada yang seiman, ada yang berlainan iman, dan kadang malah ada yang tidak beriman sama sekali. Nah, pada saat inilah anak mulai mengajukan pertanyaan tentang teman-temannya. Yohanes 14:6 berkata, "Kata Yesus kepadanya, 'Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.' " Pada masa ini adakalanya anak mengalami kebingungan sebab berdasarkan perkataan Yesus, hanya Dialah jalan kepada Allah Bapa. Anak bingung sebab ia mendasarkan penerimaan Tuhan atas kebaikan (perbuatan) manusia, bukan pada pengampunan Tuhan atas dosa manusia. Kita mesti menjelaskan kepada anak bahwa kalau ada jalan lain supaya manusia bisa terbebas dari dosa, Tuhan pasti sudah menggunakan jalan lain itu, sebab jalan yang dipilih-Nya adalah jalan yang paling sukar yakni jalan penderitaan dan kematian. Jika kalau lewat perbuatan baik kita semua dapat masuk ke surga, Tuhan hanya perlu mengadakan kontes kebaikan. Namun kita tahu, tidak ada jalan lain. Pengampunan Tuhan atas dosa manusia didasarkan bukan atas kebaikan manusia melainkan atas anugerah Allah yang diwujudkan dalam kematian Yesus, Putra Allah. Kita tidak perlu dan tidak boleh menghakimi orang lain; tugas kita hanyalah memberitakan Kabar Baik bahwa pengampunan dosa tersedia lewat kematian Yesus Kristus.
  • Pengenalan akan kepercayaan lain.
    Adakalanya anak bersinggungan dengan keyakinan iman lain dan memutuskan untuk meninggalkan imannya pada Kristus. Jika ini terjadi, kendati terluka kita tetap harus mengasihinya. Kita harus terus berdoa untuknya dan tidak boleh membencinya. Hanya Tuhan sendiri yang dapat menyatakan diri-Nya dan kebenaran-Nya kepada kita manusia.
Kesimpulan :

Keselamatan adalah sebuah misteri. Bagaimanakah sampai seseorang percaya kepada Yesus Kristus adalah suatu misteri yang tak mudah dicerna. Pada akhirnya kita harus bertanya, "Apakah kita MEMILIH Tuhan atau DIPILIH Tuhan?" Mungkin kita tidak akan menemukan jawabannya secara mutlak namun kita mesti mengakui bahwa keselamatan adalah anugerah Tuhan. Peran kita, orang tua, dalam pemberian anugerah keselamatan ini adalah mengenalkan anak kepada Kristus SEBAIK-BAIKNYA dan SETEPAT-TEPATNYA.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Kami akan memperbincangkan tentang "Peran Orang Tua Dalam Keselamatan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kalau Tuhan memercayakan kepada kita anak bahkan anak-anak di dalam keluarga kita, tentu ada tanggungjawab yang besar di dalam diri orang tua untuk membimbing anak-anaknya supaya mengenal secara pribadi Tuhan Yesus dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadinya. Namun ini bukan sesuatu yang mudah, kita melihat faktanya ada banyak keluarga kristen yang baik tapi anaknya akhirnya menjauh dari Tuhan. Sebenarnya hal-hal apa saja yang kita akan perbincangkan dalam kesempatan ini, Pak Paul?

PG : Yang pertama saya akan mengutip di Efesus 6:4 firman Tuhan berkata "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan". Dari firman Tuhan ini kita dapat melihat bahwa membesarkan anak di dalam Tuhan bukanlah sebuah pilihan melainkan sebuah perintah. Jadi kita harus pertama-tama memahami dengan jelas ini adalah perintah. Jadi bukannya pilihan boleh dilakukan tidak apa-apa, kalau tidak dilakukan juga tidak apa-apa, tidak seperti itu. Pertanyaannya kenapa Tuhan memerintahkan kita sebagai orang tua untuk bertanggungjawab mengajarkan anak-anak kita tentang diri-Nya sebab Tuhan ingin agar kita semua manusia mengenal-Nya dan memunyai relasi yang akrab dan sehat dengan-Nya. Terlebih dari itu Tuhan ingin agar manusia kembali menjadi umat-Nya dalam pengertian hidup dalam rahmat dan kehendak-Nya yang sempurna. Di dalam bingkai ini barulah kita dapat mengerti kenapa Tuhan memberi perintah itu kepada kita para orang tua. Dia rindu anak-anak-Nya mengenal-Nya dan punya relasi dengan-Nya serta menjadi umat-Nya. Jadi Tuhan memakai kita orang tua untuk mengenalkan siapakah diri-Nya kepada anak-anak kita supaya mereka pun pada akhirnya berkesempatan untuk juga menjadi umat Tuhan.

GS : Yang menarik di sini, perintah ini ditujukan kepada bapak-bapak dikatakan di Alkitab, "Dan Kamu bapa bapa...", di lingkungan kita seringkali pendidikan rohani dilakukan oleh ibu atau bahkan ada orang tua yang menyerahkan pendidikan rohani kepada guru Sekolah Minggu atau pengasuh remaja atau guru agama di sekolah, ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira kita tidak bisa menyangkal fakta ini bahwa kebanyakan kita para bapak menganggap bahwa urusan anak adalah urusan istri kita di rumah, sedangkan tugas kita adalah tugas untuk mencari uang di luar, tapi ini bukanlah sebuah sikap yang betul sebab jelas tadi Pak Gunawan katakan firman Tuhan meminta bapak-bapak untuk melakukan tugas mendidik anak di dalam Tuhan ini. Kenapa bukannya kepada para ibu? Saya hanya bisa simpulkan karena Tuhan menginginkan bapak-bapak terlibat di dalam proses mendidik anak-anaknya, kenapa tidak disebut para ibu karena kebanyakan ibu sudah melakukannya secara alamiah, ibu cenderung dekat dengan anak dan mengajarkan anak, sedangkan bapak-bapaklah yang kurang. Dan di dalam ayat-ayat ini firman Tuhan langsung pertama-tama menegur para bapak yang cenderung dengan perkataan atau perbuatannya menyakitkan hati anak dan akhirnya membuat anak menyimpan kepahitan terhadap dirinya. Jadi Tuhan meminta jangan melakukan itu lagi dan yang seharusnya kamu lakukan adalah membesarkan anak-anakmu di dalam nasehat Tuhan. Jadi seolah-olah Tuhan mengatakan, "Berhenti melakukan yang negatif, lakukanlah hal yang baik yang Tuhan kehendaki" dan inilah yang Tuhan kehendaki.

GS : Sebenarnya hal-hal apa saja yang bisa diajarkan kepada anak sedini mungkin, Pak Paul?

PG : Ada dua yang bisa kita lakukan yaitu mengajar anak dalam pengertian menginformasikan tentang Tuhan. Ini aspek pengetahuan didalam mendidik anak. Yang kedua kita juga harus membagikan aspek pengalaman yakni hidup bersama Tuhan. Coba saya mulai dengan aspek yang pertama yaitu aspek pengetahuan yakni mengajarkan pada anak tentang Tuhan, ada beberapa hal yang bisa kita ajarkan kepada anak, yang pertama yaitu kita harus mengajarkan kepada anak tentang siapakah Tuhan yang kita percaya sebagaimana di wahyukan di dalam Alkitab. Tuhan adalah Allah yang menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk kita manusia, Dia ada dalam bentuk Roh dan ada sejak dahulu kala dan akan ada sampai selama-lamanya. Dengan kata lain, Dia adalah Allah yang kekal, Dia juga adalah Allah yang berkuasa penuh atas segala yang terjadi dalam hidup ini serta sanggup melakukan segalanya. Singkat kata, kekuasaan-Nya tidak terbatas. Ini adalah beberapa hal yang secara berkala kita ajarkan kepada anak-anak, sehingga mereka mengerti siapakah Allah yang mereka sembah itu.

GS : Kalau kita menceritakan Allah kepada anak, itu adalah sesuatu yang abstrak, bagi kita mungkin jelas tapi bagi anak-anak ini adalah sesuatu yang sulit dipahami dan mereka tidak melihat dan mereka tidak pernah ketemu dan tidak pernah diperlihatkan gambarnya dan sebagainya, bagaimana kita sebagai orang tua menghadapi hal ini, Pak Paul?

PG : Biasanya pada masa anak kecil saya menggunakan objek tertentu seolah-olah mengingatkan anak akan adanya Allah, misalnya waktu anak saya masih kecil malam-malam kami melihat bulan dan saya sering berkata, "Itu adalah mata Tuhan untuk memandang dan mengawasi kita sebab Tuhan melihat dan menjaga kita, inilah mata Tuhan". Sudah tentu waktu anak sedikit lebih besar mereka mulai bertanya, anak saya pernah bertanya kepada istri saya waktu menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat di dalam hatinya, dia bertanya, "Sekarang di mana Tuhan, saya tidak melihat" disuruh masuk ke hati, maka kami katakan, "Kamu tidak bisa melihatnya tapi Dia ada dan Dia sudah masuk ke dalam hatimu. Jadi hal-hal seperti itu akan ditanyakan oleh anak-anak dan kita akan mencoba menjawabnya pada tingkat pengertian dia.

GS : Kadang pertanyaan-pertanyaan anak seperti ini menyudutkan orang tua dan orang tua kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan anak yang cukup kritis itu, Pak Paul.

PG : Nanti kita akan membahas hal ini juga secara spesifik, namun secara sekilas yang bisa saya katakan adalah pada masa anak kecil kita teruskan saja dalam hal menceritakan kepada anak tentang siapakah Allah itu, nanti dia akan bertanya dan kita jawab seperti yang tadi sudah saya berikan contoh, mudah-mudahan mereka nantinya mengerti bahwa ada Allah meskipun mereka sendiri tidak bisa menjabarkannya secara konkret.

GS : Selain kita memperkenalkan Tuhan kepada anak ini sejak mereka masih kecil, hal apa lagi yang perlu kita sampaikan, Pak Paul?

PG : Kita juga harus mengajarkan kepada anak apa yang telah diperbuat Tuhan dalam hidup ini. Jadi bukan saja tentang siapakah Tuhan tapi juga apa yang telah diperbuat-Nya dalam hidup ini. Misalnya kita bisa menceritakan kepada anak oleh karena Allah adalah Pencipta dan Dia memunyai hak penuh untuk menuntut kita manusia hidup sesuai kehendak-Nya tetapi Dia menghendaki kita melakukannya bukan karena keterpaksaan melainkan karena ketaatan yang lahir dari kasih dan percaya kepada-Nya. Namun kita katakan kepada anak-anak, dari awal hingga hari ini kita manusia menolak untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya, begitu kita menolaknya pada dasarnya kita tengah memisahkan diri dari-Nya, sumber kehidupan. Alhasil begitu terpisah dari kehidupan kita pun masuk ke dalam kematian, inilah konsekuensi penolakan kita yang disebut dosa. Kita jelaskan apa yang disebut dosa, oleh karena kasih Tuhan Dia tidak ingin kita selamanya terpisah dari-Nya, itu sebabnya Ia memutuskan turun ke dunia hidup sebagai manusia supaya Ia dapat mati bagi hukuman dosa yaitu kematian itu sendiri, dalam wujud Yesus, putra Allah Dia menjadi Pembela dan Juruselamat kita di hadapan Allah Bapa, sang Hakim Agung. Saya kira gambaran itu yang kita berikan kepada anak supaya anak mengerti apa yang Allah telah perbuat dalam hidup ini secara keseluruhan.

GS : Didalam menyampaikan hal-hal seperti itu, Pak Paul, apakah kita harus mengajak anak dalam situasi yang formal artinya anak didudukkan, kita di sebelahnya bercerita. Atau secara tidak formal mungkin jalan-jalan, ketika duduk di luar waktu melihat bulan dan sebagainya. Atau bagaimana?

PG : Sudah tentu ada waktu kita melakukannya secara formal, misalnya pada waktu anak-anak masih kecil kami secara berkala mengadakan mezbah keluarga, jadi kami kumpulkan anak-anak, kami bernyanyi bersama, membaca firman Tuhan dan saya menjelaskan sesuatu dari firman Tuhan itu. Pada waktu anak-anak mulai besar, ini juga harus kita sesuaikan, lebih banyak melalui percakapan-percakapan. Memang Pak Gunawan tadi sudah singgung betul sekali, tidak hanya dalam konteks formal seperti itulah kita menceritakan siapa Tuhan tapi juga dalam konteks yang lebih informal atau seperti berjalan-jalan atau melihat sesuatu. Saya ingat waktu anak kami masih kecil kami bawa ke taman dan melihat bunga dan saya sering katakan, "Ini adalah ciptaan Tuhan, ini Tuhan yang ciptakan, Tuhan yang buat". Meskipun dia belum punya konsep siapa Tuhan tapi dia sudah ada pengertian bahwa bunga-bunga ini buatan Tuhan. Jadi gunakanlah setiap kesempatan yang bisa kita gunakan untuk menceritakan tentang siapakah Tuhan dan juga tentang apakah yang Tuhan telah perbuat dalam hidup ini.

GS : Sebenarnya sekarang ini sudah cukup banyak alat peraga yang bisa digunakan orang tua untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang siapa Tuhan dan apa yang telah diperbuat oleh Tuhan di tengah-tengah dunia ini khususnya di keluarga itu sendiri. Hanya masalahnya banyak orang tua yang tidak tahu caranya bagaimana menyampaikan itu. Tadi Pak Paul katakan karena Pak Paul adalah seorang Pendeta yang biasa melakukan seperti itu. Tapi untuk jemaat awam biasanya agak kaku melakukan itu.

PG : Memang sekarang banyak buku yang bisa digunakan, misalkan ada yang tidak tahu bagaimana caranya, saya anjurkan untuk bertanya kepada pendeta di gereja, saya yakin mereka bisa memberikan rujukan, atau ke Toko Buku Kristen pasti disana tersedia materi yang bisa digunakan untuk mengajarkan kepada anak tentang Tuhan Yesus ini.

GS : Adakah cara misalnya memberi warna, menempel atau melipat? Ini semua sebenarnya cara-cara yang bisa kita manfaatkan hanya masalahnya kita mau atau tidak?

PG : Benar, salah satu hal yang penting yang harus kita perhatikan adalah kita harus mengulang-ulangnya, sebab sesuatu yang kita hanya dengar sekali-sekali cenderung memang akhirnya lenyap dalam pikiran kita. Maka nanti kita juga akan perhatikan dari kitab Ulangan, Tuhan meminta kita untuk terus menerus mengajarkannya kepada anak-anak kita karena Tuhan tahu hanya dengan cara pengulanganlah sesuatu itu akhirnya akan terus diingat, kalau kita tidak mengulang-ulangnya akhirnya bisa lupa, sebagai contoh kita yang sudah berumur, kita banyak menghafal sewaktu masih kecil entah itu perkalian atau pembagian dan bukankah sampai kita tua kita bisa menghitung dengan relatif cepat karena kita pernah menghafalnya, itu yang juga Tuhan inginkan kita lakukan.

GS : Kalau kita hanya bicara tentang karya Tuhan terhadap alam semesta dan sebagainya, itu agak kurang bersinggungan dengan kehidupan kita, bagaimana caranya agar Tuhan menjadi sesuatu yang nyata dalam hidup ini, Pak Paul?

PG : Ada beberapa hal yang bisa saya usulkan, kita membicarakan lebih spesifik lagi tentang apa yang Tuhan telah perbuat dalam hidup kita, misalnya kita berkata bahwa secara pribadi Tuhan telah menyelamatkan kita dari hukuman dosa, kita bukan saja berbicara secara umum, tapi kita bicara secara lebih pribadi bahwa "Saya, papa adalah orang berdosa karena saya pernah melanggar kehendak Tuhan atau perintah Tuhan; saya, papa juga pernah melakukan hal-hal yang mengecewakan Tuhan." Itu adalah hal yang harus kita perbuat dan Tuhan menyelamatkan kita dari hukuman dosa itu. Kemudian kita juga bisa bercerita bahwa Tuhan terus membentuk kita supaya kita dapat melakukan kehendak-Nya, makin taat dan makin melakukan kehendak Tuhan maka makin kita mengembangkan karakter seperti yang dimiliki Allah sendiri. Kita bisa berikan contoh bahwa, "Saya, papa memunyai kelemahan dalam hal ini dan itu, Tuhan terus membentuk papa sehingga papa belajar untuk menjadi seperti Tuhan, lebih memaafkan, lebih mengampuni, mengasihi dan sebagainya". Yang ketiga yang kita bisa katakan kepada anak adalah bahwa Tuhan memberi kita pertolongan dalam melewati jalan kehidupan, misalkan tahu dunia tercemar oleh dosa sehingga banyak masalah timbul dan tidak selalu kita sanggup menghadapinya, namun kita katakan kepada anak, "Tuhan selalu bersama kita untuk menguatkan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi". Kita berikan contoh waktu misalnya,"Papa masih muda dan papa menghadapi masalah ini dan papa akhirnya berseru minta Tuhan menolong dan Tuhan membukakan jalan". Kita bagikan kepada anak, apa yang telah Tuhan lakukan untuk menolong kita. Yang terakhir kita bisa berkata kepada anak, "Tuhan itu memakai kita untuk menjadi duta-Nya di dunia yaitu mencerminkan dan membagikan kasih-Nya kepada sesama kita manusia supaya mereka pun dapat mengenal-Nya serta menerima pengampunan dosa dari-Nya". Jadi kita bisa berikan contoh apa yang Tuhan telah perbuat kepada kita dan kita itu tergerak dan mau mengetahui kenapa orang itu begitu baik mengasihi kita dan akhirnya kita tahu orang itu melakukannya karena dia orang Kristen yang mengasihi Tuhan, kita tersentuh dan berkata, "Saya juga mau mengenal siapa Tuhanmu itu". Jadi kita katakan kepada anak, "Inilah yang Tuhan sudah lakukan dalam hidup kita, keluarga papa dan mama". Lewat contoh yang konkret seperti itu mereka lebih mengenal Tuhan dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya yang secara nyata itu.

GS : Untuk aspek pengetahuan ini seringkali memang kurang diperhatikan oleh orang tua, orang tua lebih memerhatikan pelajaran anak di mata pelajaran yang lain ketimbang memerhatikan pengetahuan akan Allah, dan hal ini seringkali terasa agak timpang, jarang orang tua yang mau memerhatikan misalnya nilai agama atau pengetahuan anaknya tentang Tuhan dengan sempat balik menanyakan kembali, itupun jarang dilakukan. Sehingga dari segi pengetahuan ini kurang, dan seringkali ini disebabkan karena kita sebagai orang tua kurang pengetahuan tentang Allah.

PG : Sudah tentu ini adalah sebuah dorongan bagi kita sebagai ayah ibu, kita itu mesti memunyai keinginan untuk memerdalam pengetahuan kita tentang Alkitab dan Tuhan supaya kita bisa menyampaikannya kepada anak-anak kita. Namun kita tetap terus ingat bahwa kita harus menyampaikannya sejelas dan sekonkret mungkin karena anak-anak mungkin sekali tidak bisa mengerti istilah rohani atau yang terlalu berbau teknis.

GS : Sebenarnya memberikan Alkitab untuk anak dalam rangka ulang tahun, itu juga bisa menjadi cara yang bisa menolong kita untuk menjelaskan dari aspek pengetahuan tentang Tuhan kepada anak.

PG : Kita bisa berikan Alkitab atau kita bisa berikan buku yang berisikan cerita tentang Tuhan atau buku rohani yang lainnya.

GS : Tapi kalau kita hanya mementingkan dari segi pengetahuan saja, apakah itu cukup berdampak dalam diri anak, Pak Paul?

PG : Aspek pengetahuan penting agar anak-anak secara rasional atau intelektual bisa mengenal siapakah Tuhan itu, karena data tersebut akan tersimpan dalam memorinya, namun itu tidak cukup, kita juga harus memerhatikan aspek pengalaman yaitu memerlihatkan bagaimanakah hidup di dalam Tuhan. Setidaknya ada dua hal yang bisa kita lakukan, yang pertama adalah melibatkan Tuhan dalam kehidupannya, ada banyak kesempatan yang muncul dalam hidupnya dimana kita dapat melibatkan Tuhan di dalamnya misalnya ketika dia sakit kita bisa berdoa baginya, sewaktu dia sedih kita bisa mengajaknya berdoa, sewaktu kita sebagai keluarga menghadapi kesulitan kita pun dapat memintanya berdoa. Dia perlu tahu bahwa kapan pun dan dimana pun dia dapat datang kepada Tuhan dan itu dipelajarinya lewat pengalaman langsung, dia melihat dan bersama-sama dengan kita untuk berdoa. Jadi akhirnya lama-kelamaan dia pun terbiasa untuk berdoa dimana pun dan kapan pun.

GS : Sebenarnya aspek membagikan pengalaman juga tidak mudah, seringkali kita tidak punya cukup bahan untuk membagikan aspek pengalaman kita terhadap anak-anak sehingga kita lebih menempuh cara pengetahuan saja, secara pengetahuan kita isi terus otaknya tetapi tidak memberikan dampak yang cukup signifikan.

PG : Jadi kadang-kadang kita tidak bisa membagikan pengalaman hidup dengan Tuhan sebab kita sendiri mungkin tidak memunyai banyak pengalaman seperti itu. Misalkan saya baru saja berkunjung ke sebuah gereja dan saya diantar oleh seorang pengurus gereja tersebut. Di dalam perjalanan di mobil dia selalu bercerita tentang apa yang Tuhan perbuat baginya. Sudah tentu dia bukanlah seorang pendeta, dia adalah seorang awam tapi dia punya pengalaman hidup dengan Tuhan yang sangat kaya sehingga sedikit-sedikit bisa melihat Tuhan berkarya. Jadi matanya jeli karena dia selalu berdoa dalam situasi kehidupannya sehingga dia cepat melihat tangan Tuhan bekerja menolongnya dan itulah yang dia terus saksikan kepada kami.

GS : Selain kita memberikan kesaksian tentang kehidupan kita, untuk aspek pengalaman ini mungkin ada cara yang lain, Pak Paul?

PG : Ada banyak perbuatan Tuhan di dalam hidup kita yang dapat kita bagikan kepada anak baik secara langsung atau tidak langsung, seringkali Tuhan menolong kita secara ajaib dan membukakan pintu yang tertutup rapat sehingga kita bisa saksikan kepadanya. Ada banyak kegagalan yang telah kita jalani, tidak selalu kita dapat melakukan kehendak Tuhan, kita harus datang dan datang lagi memohon pengampunan Tuhan. Bagikanlah pengalaman kegagalan ini supaya anak melihat hidup secara realistik dan tahu dengan pasti bahwa kasih karunia Tuhan melampaui kegagalan kita. Jadi biasakan untuk terbuka. Saya juga secara pribadi cerita kepada anak misalnya karena latar belakang saya dulu SMP atau SMA terlibat pada pornografi, saya ceritakan kepada anak-anak tentang masalah ini dan ternyata efeknya positif, karena waktu mereka bergumul saat remaja dengan hal seksual mereka berani bercerita secara terbuka kepada kami, itu dimulai karena kami berani untuk terbuka dengan pergumulan kami. Jadi anak-anak melihat jelas bahwa hidup sebagai orang Kristen bukanlah hidup yang mulus dan lancar, tidak seperti itu tapi hidup yang realistik adalah hidup yang juga kadang harus bersentuhan dengan problem dan kita melibatkan Tuhan didalam problem kita, inilah yang perlu dibagikan kepada anak.

GS : Kenapa kita lebih mudah bersaksi kepada orang lain yang bukan anggota keluarga kita daripada kita bersaksi kepada anak-anak kita sendiri, Pak Paul?

PG : Mungkin yang pertama kalau kita harus bercerita tentang hal-hal yang pribadi maka kita ada rasa segan, takut nanti anak tidak menghormati kita lagi, saya kira sebagai ayah dan ibu kita ingin menjadi suri tauladan bagi anak-anak kita sehingga kita takut kalau kita bercerita hal-hal yang bersifat memalukan atau kegagalan kita, kita takut nanti kita tidak lagi bisa menjadi suri tauladan bagi anak-anak kita. Mungkin sekali hal seperti itu menyulitkan kita untuk berani terbuka apa adanya di hadapan anak dan menyaksikan kasih karunia Tuhan yang besar itu dalam hidup kita yang terus menerima dan mengampuni kita meski telah jatuh dan gagal.

GS : Meskipun perintah di Efesus itu ditujukan kepada bapak-bapak tetapi saya yakin sekali peran ibu juga cukup besar di sini, sebenarnya sejauh mana peran ibu dalam mendukung, kalau bapaknya sudah mau membagikan tentang aspek pengetahuan dan pengalamannya, peran ibu seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya kira ibu bisa terus melengkapi apa yang bapak sudah lakukan, yang suaminya bisa lakukan membagikan aspek pengetahuan dan aspek pengalaman itu, ibu bisa bercerita tentang apa yang Tuhan perbuat dalam hidupnya, bagaimana Tuhan menolongnya dan apa yang pernah dialaminya waktu mengalami persoalan. Jadi ibu juga bisa membagikan pengalaman yang sama kepada anak-anak. Karena pada umumnya ibu lebih dekat dengan anak-anak maka sudah tentu ibu berkesempatan untuk lebih sering mengajak anak berdoa atau misalnya menceritakan hal tertentu tentang Tuhan kepada anak-anak, jadi gunakanlah semua kesempatan itu.

GS : Menanyakan kembali apa yang diterima oleh anak ketika anak menghadiri Sekolah Minggu atau Kebaktian Remaja, itu juga bisa menjadi sesuatu bisa menjadi pintu masuk untuk mengawali hal ini, Pak Paul.

PG : Ini ide yang bagus, setelah anak pulang kita bisa tanya, "Tadi apa yang kamu dengar, apa pesan firman Tuhan yang telah kamu terima" kita bisa menanyakan meskipun kita tidak harus menanyakan setiap kali anak pergi ke gereja, jadi dia tidak merasa seolah-olah mau mengecek dia mendengarkan khotbah atau tidak tapi secara berkala, saya kira baik sekali kalau kita menanyakan hal itu.

GS : Itu salah satu cara. Rupanya ada banyak hal yang harus kita bicarakan tentang peran orang tua dalam keselamatan anak ini, banyaknya kendala yang harus dihadapi tapi karena waktu kita harus mengakhiri dulu bagian yang pertama dan terima kasih untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Peran Orang Tua dalam Keselamatan Anak" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



111. Peran Orang Tua dalam Keselamatan Anak 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T357B (File MP3 T357B)


Abstrak:

Mengenalkan Tuhan kepada anak adalah pekerjaan yang gampang-gampang-susah. Biasanya kita mengenalkan Tuhan kepada anak lewat PENGETAHUAN dan juga lewat PENGALAMAN. Walau kita sudah mengenalkan Tuhan lewat dua hal tersebut, ternyata banyak kendala yang kita jumpai di lapangan, apa saja kendala itu? Dan bagaimana untuk bisa menghadapi kendala tersebut?


Ringkasan:

Firman Tuhan di Efesus 6:4 berkata, "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. " Dari Firman Tuhan ini kita dapat melihat bahwa membesarkan anak di dalam Tuhan bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah PERINTAH. Mengapakah demikian? Tuhan ingin agar semua manusia mengenal-Nya dan mempunyai relasi yang akrab dan sehat dengan-Nya. Terlebih dari itu, Tuhan ingin agar manusia kembali menjadi umat-Nya—hidup dalam rahmat dan kehendak-Nya yang sempurna. Nah, di dalam bingkai inilah baru kita dapat mengerti mengapa Tuhan memberi perintah itu kepada kita, para orangtua. Ia rindu anak-anak kita mengenal-Nya dan mempunyai relasi dengan-Nya, serta menjadi umat-Nya.

Apakah artinya membesarkan anak di dalam Tuhan?
Setidaknya ada dua hal yang terlibat di dalam membesarkan anak di dalam Tuhan yaitu
ASPEK PENGETAHUAN (tentang Tuhan) dan
ASPEK PENGALAMAN (hidup bersama Tuhan).

  • Aspek pengetahuan: Mengajarkan kepada anak tentang Tuhan
    • Siapakah Dia?
      Tuhan adalah Allah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk kita manusia. Ia ada dalam bentuk roh, sudah ada sejak dulu kala dan akan ada sampai selamanya. Ia adalah Allah yang berkuasa penuh atas segala yang terjadi di dalam hidup ini serta sanggup melakukan segalanya. Singkat kata kekuasaan-Nya tidak terbatas.
    • Apakah yang telah diperbuat-Nya di dalam hidup ini?
      Oleh karena Allah adalah pencipta, Ia mempunyai hak penuh untuk menuntut kita, manusia, hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi, Ia menghendaki kita melakukannya bukan karena keterpaksaan melainkan karena KETAATAN, yang lahir dari KASIH dan PERCAYA kepada-Nya.
    • Apakah yang telah diperbuat-Nya di dalam hidup kita?
      Pertama, secara pribadi Ia menyelamatkan kita dari hukuman dosa. Kedua, Ia terus membentuk kita supaya kita dapat melakukan kehendak-Nya. Makin taat dan makin melakukan kehendak-Nya, makin kita mengembangkan karakter seperti yang dimiliki Allah sendiri. Ketiga, Ia memberi kita pertolongan dalam melewati jalan kehidupan. Oleh karena dunia tercemar oleh dosa, banyak masalah timbul dan tidak selalu kita dapat menghadapinya. Ia selalu bersama kita untuk menguatkan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dan terakhir, Ia memakai kita untuk menjadi duta-Nya di dunia—mencerminkan dan membagikan kasih-Nya kepada sesama supaya mereka pun dapat mengenal-Nya serta menerima pengampunan dosa dari-Nya.
  • Aspek pengalaman: Memerlihatkan kepada anak bagaimanakah hidup di dalam Tuhan
    • Melibatkan Tuhan di dalam kehidupannya.
      Akan ada banyak kesempatan yang muncul di dalam hidupnya dimana kita dapat melibatkan Tuhan di dalamnya. Misalnya, ketika ia sakit, kita dapat berdoa baginya. Sewaktu ia sedih, kita dapat mengajaknya berdoa. Sewaktu kita sebagai keluarga menghadapi kesulitan, kita dapat memintanya berdoa pula. Ia perlu tahu bahwa kapan pun dan di mana pun Ia dapat datang kepada Tuhan.
    • Kesaksian hidup kita.
      Ada banyak perbuatan Tuhan di dalam hidup kita yang dapat kita bagikan kepada anak, baik secara langsung atau tidak langsung. Seringkali Tuhan menolong kita secara ajaib dan membukakan pintu yang tertutup rapat. Semua ini dapat kita saksikan kepadanya. Ada banyak kegagalan yang telah kita jalani pula. Maka bagikanlah perjalanan kegagalan kita supaya anak melihat hidup secara realistik dan tahu dengan pasti bahwa kasih karunia Tuhan melampaui kegagalan kita.
Kendala Dalam Membesarkan Anak di dalam Tuhan
  • Kegagalan hidup konsisten.
    Pada kenyataannya iman dan perbuatan kita tidak selalu sama. Kita tahu apa yang harus diperbuat tetapi kita tidak melakukannya. Kita tahu apa yang tidak boleh diperbuat, namun kita tetap melakukannya. Pada kadar dan frekuensi tertentu ketidakkonsistenan tidak mengganggu anak, tetapi jika berlebihan, ketidakkonsistenan akan dapat menghalangi anak untuk percaya kepada Tuhan. Akhirnya anak menyimpulkan bahwa kita adalah orang yang munafik dan sayangnya, ia lalu mengaitkan kekristenan dengan kemunafikan.
  • Pola pikir yang intelektual.
    Kecerdasan yang tinggi cenderung membuat anak berpikir kritis dan logis. Tuhan tidak selalu bertindak di dalam alam logika dan tidak selalu kita bisa memahami rencana-Nya. Itu sebabnya anak yang berpola pikir kritis dan logis adakalanya mengalami kesulitan menerima kebenaran Firman Tuhan. Tidak jarang mereka malah menolaknya.

Sebagai contoh, untuk membangun sebuah rumah, dibutuhkan sejumlah orang dan peralatan. Untuk membangun sebuah gedung, diperlukan lebih banyak orang dan peralatan. Bayangkan, berapa banyak tenaga dan peralatan diperlukan untuk membangun sebuah dunia? Dan, bayangkan berapa banyak tenaga dan peralatan dibutuhkan untuk membangun alam semesta yang memuat triliunan planet dan bintang, yang jauh lebih besar daripada planet bumi? Tidak bisa tidak, seorang anak yang berpikir kritis dan logis dapat memertanyakan, bagaimanakah mungkin Allah, yang tidak dapat kita lihat, membangun semuanya itu? Memang kita harus mengakui pemikiran bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah melampui akal manusia.

Namun sebaliknya, jika kita tidak mengakui fakta ini, kita hanya memunyai satu pilihan lain yaitu menyimpulkan bahwa semua ini terjadi lewat proses alamiah—dari "tidak ada" berubah secara perlahan menjadi "ada." Masalahnya dengan alternatif ini adalah, bagaimanakah semua yang hidup berasal dari sesuatu yang tidak ada? Kita tahu bahwa sesuatu yang mati—yang "tidak ada"—tidak berubah menjadi hidup. Singkat kata pergerakan yang kita kenal adalah dari "ada" (hidup) menjadi "tidak ada" (mati), bukan sebaliknya. Ini adalah sekadar contoh bagaimana kita dapat memberi jawab kepada anak yang berpikir kritis dan logis sewaktu menjelaskan kebenaran Alkitab secara kritis dan logis pula.

  • Kekecewaan terhadap Tuhan.
    Anak dapat mengalami kekecewaan yang dalam kepada Tuhan dan tidak jarang, kekecewaan ini membuatnya undur dari iman. Mungkin ia pernah berdoa meminta kesembuhan kakaknya yang sakit tetapi Tuhan tidak mengabulkan doanya. Si kakak akhirnya meninggal dunia. Nah, peristiwa ini dapat menorehkan kekecewaan dan membuatnya tawar hati terhadap Tuhan.
  • Kehidupan moral teman yang baik, kendati tidak seiman.
    Sejak pada masa remaja, anak mulai mengenal teman dengan lebih mendalam, bukan saja sebatas hobi tetapi juga iman kepercayaan. Ada yang seiman, ada yang berlainan iman, dan kadang malah ada yang tidak beriman sama sekali. Nah, pada saat inilah anak mulai mengajukan pertanyaan tentang teman-temannya. Yohanes 14:6 berkata, "Kata Yesus kepadanya, 'Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.' " Pada masa ini adakalanya anak mengalami kebingungan sebab berdasarkan perkataan Yesus, hanya Dialah jalan kepada Allah Bapa. Anak bingung sebab ia mendasarkan penerimaan Tuhan atas kebaikan (perbuatan) manusia, bukan pada pengampunan Tuhan atas dosa manusia. Kita mesti menjelaskan kepada anak bahwa kalau ada jalan lain supaya manusia bisa terbebas dari dosa, Tuhan pasti sudah menggunakan jalan lain itu, sebab jalan yang dipilih-Nya adalah jalan yang paling sukar yakni jalan penderitaan dan kematian. Jika kalau lewat perbuatan baik kita semua dapat masuk ke surga, Tuhan hanya perlu mengadakan kontes kebaikan. Namun kita tahu, tidak ada jalan lain. Pengampunan Tuhan atas dosa manusia didasarkan bukan atas kebaikan manusia melainkan atas anugerah Allah yang diwujudkan dalam kematian Yesus, Putra Allah. Kita tidak perlu dan tidak boleh menghakimi orang lain; tugas kita hanyalah memberitakan Kabar Baik bahwa pengampunan dosa tersedia lewat kematian Yesus Kristus.
  • Pengenalan akan kepercayaan lain.
    Adakalanya anak bersinggungan dengan keyakinan iman lain dan memutuskan untuk meninggalkan imannya pada Kristus. Jika ini terjadi, kendati terluka kita tetap harus mengasihinya. Kita harus terus berdoa untuknya dan tidak boleh membencinya. Hanya Tuhan sendiri yang dapat menyatakan diri-Nya dan kebenaran-Nya kepada kita manusia.
Kesimpulan :

Keselamatan adalah sebuah misteri. Bagaimanakah sampai seseorang percaya kepada Yesus Kristus adalah suatu misteri yang tak mudah dicerna. Pada akhirnya kita harus bertanya, "Apakah kita MEMILIH Tuhan atau DIPILIH Tuhan?" Mungkin kita tidak akan menemukan jawabannya secara mutlak namun kita mesti mengakui bahwa keselamatan adalah anugerah Tuhan. Peran kita, orang tua, dalam pemberian anugerah keselamatan ini adalah mengenalkan anak kepada Kristus SEBAIK-BAIKNYA dan SETEPAT-TEPATNYA.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Peran Orang Tua Dalam Keselamatan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita sudah membicarakan beberapa hal tentang peran orang tua didalam keselamatan anak, dalam hal ini tentu keselamatan secara rohani. Kita akan melanjutkan perbincangan yang sempat terputus pada kesempatan yang lalu, namun agar para pendengar dapat mengikuti perbincangan ini secara lebih lengkap mungkin Pak Paul secara ringkas bisa mengulang apa yang pernah kita bicarakan pada kesempatan yang lampau.

PG : Kita mendasari pembahasan kita ini atas firman Tuhan yang dicatat di Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan". Jadi kita tahu bahwa inilah perintah Tuhan dan ini bukanlah sebuah pilihan, boleh kita lakukan atau boleh tidak kita lakukan, tidak seperti itu. Kenapa Tuhan meminta kita orang tua untuk mendidik anak-anak di dalam firman Tuhan, sebab Tuhan ingin anak kita mengenal-Nya dan Dia menggunakan kita sebagai alat untuk memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak kita supaya anak-anak kita pada akhirnya bisa mengenal-Nya dan menjadi anak-anak Tuhan pula. Kemudian saya memberikan masukan tentang hal apa sajakah yang perlu kita lakukan. Yang pertama, kita harus membagikan tentang Tuhan kepada anak-anak secara pengetahuan, supaya anak-anak mengerti dengan jelas tentang siapakah Tuhan itu, apa yang telah Dia perbuat dalam hidup ini dan dalam hidup kita secara spesifik. Kemudian kita juga mengenalkan anak tentang aspek pengalaman. Jadi bukan saja dia mengetahui tentang Tuhan secara intelektual tapi dia juga belajar mengalami hidup dalam Tuhan lewat kesaksian hidup kita, apa apa yang kita bagikan kepadanya, kita bisa juga mengajak dia untuk berdoa, untuk melibatkan Tuhan dalam setiap persoalan hidupnya. Lewat semua itu anak-anak diajar untuk bagaimana hidup di dalam Tuhan, kira-kira itu yang telah kita bahas pada kesempatan yang lampau.

GS : Banyak orang tua yang sudah memulai, baik untuk mengadakan mezbah keluarga atau pun mengajarkan anak tentang Tuhan dari sisi pengetahuan, dari sisi pengalamannya tapi lama-lama mereka berhenti, katakan repot, katakan susah. Sebenarnya apa kendala yang sering dihadapi oleh orang tua, Pak Paul?

PG : Sudah tentu dari pihak orang tua, kendala-kendala kesibukan seringkali menjadi masalah dan juga kadang-kadang orang tua beranggapan anak saya tidak begitu tertarik, di gereja juga sudah diajarkan sehingga tidak perlu lagi. Jadi kadang-kadang di pihak orang tua kendala-kendala lebih bersikap keletihan, kesibukan dan anggapan anak-anak sudah mengerti sendiri dari gereja dan sebagainya. Juga yang harus kita ketahui ternyata ada kendala dari pihak anak juga, misalnya yang pertama adalah kalau anak-anak melihat kita sebagai orang Kristen tidak hidup konsisten, sebab kita harus mengakui tidak selalu iman dan perbuatan kita itu sama. Jadi kita tahu apa yang harus diperbuat tapi kenyataannya kita tidak selalu melakukannya, kita juga tahu apa yang tidak boleh diperbuat namun kita tetap melakukannya. Sudah tentu pada kadar dan frekuensi tertentu ketidakkonsistenan ini tidak begitu mengganggu anak, tapi jika berlebihan ketidakkonsistenan ini dapat menghalangi anak percaya kepada Tuhan, akhirnya anak menyimpulkan kalau kita orang yang munafik dan sayangnya ia lalu mengaitkan kekristenan dengan kemunafikan. Sebagai contoh yang mudah adalah kita berkata kepada anak-anak, "Allah itu kasih, Allah itu pengampun dan sebagainya" kemudian anak melihat kita kalau cerita tentang siapa yang melukai hati kita, maka keluarlah kata-kata seperti ini, "Saya tidak akan memaafkan dia, saya tidak akan melupakan kesalahannya kepada saya". Anak-anak nanti berpikir, "Papa atau mama bicara, kita harus ingat Allah pengampun dan penyayang maka kita harus menjadi anak Tuhan yang pengampun dan penyayang", tapi kemudian dia mendengar kita berkata seperti itu, itu tidak konsisten. Kalau anak-anak sering mendengar atau melihat hal seperti ini dia akhirnya menyimpulkan, "Tidak perlu mendengarkan apa yang papa dan mama ajarkan sebab papa dan mama juga tidak melakukannya, ternyata semua ini hanya kemunafikan".

GS : Pak Paul, hal seperti ini sangat mungkin terjadi dalam suatu keluarga dilakukan baik oleh ayah atau ibunya. Kalau sampai hal itu terjadi, apa yang sebaiknya orang tua lakukan terhadap anak supaya anak tidak memikirkan kalau kita ini munafik?

PG : Kita perlu menyadari kalau kita telah melakukan hal itu dan berkata kepada anak misalnya, "Saya minta maaf, saya mengeluarkan kata-kata seperti itu, tidak semestinya saya mengeluarkan kata-kata seperti itu" atau kita bisa berkata, "Saya tahu ini bukanlah hal yang berkenan, Tuhan tidak meminta dan membolehkan saya untuk menyimpan kemarahan tapi saya masih belum bisa melepaskan kemarahan saya terhadap orang yang telah menyakiti saya, saya masih bergumul". Waktu anak mendengar pengakuan seperti itu dari mulut kita, anak-anak akan mengerti bahwa ini adalah bagian dari pergumulan melakukan kehendak Tuhan. Tapi sekali lagi saya sudah tekankan pada kadar dan frekuensi tertentu anak-anak bisa menerimanya. Tapi kalau kebanyakan dan kita terus menerus berkata, "Saya gagal lagi, dan memang tidak bisa menjadi orang yang pengampun dan saya masih marah dan sebagainya" anak-anak akhirnya berkesimpulan, "Kalau begitu, kehidupan Kristen sebuah kehidupan yang tidak bisa dilakukan oleh siapa pun". Jadi takutnya dia nanti terdorong melakukan jejak ayah dan ibunya untuk tidak perlu susah-susah melakukan kehendak Tuhan.

GS : Selain kegagalan hidup konsisten, apa lagi yang menjadi kendala, Pak Paul?

PG : Di pihak anak sendiri yaitu ada anak yang berpola pikir intelektual, kecerdasan yang tinggi cenderung membuat anak berpikir kritis dan logis, Tuhan tidak selalu bertindak di dalam alam logika dan tidak selalu kita bisa memahami rencana Tuhan, itu sebabnya anak yang berpola pikir kritis dan logis adakalanya mengalami kesulitan menerima kebenaran firman Tuhan. Malah tidak jarang mereka menolaknya juga. Sebagai contoh, saya berikan sebuah contoh yang mudah untuk membangun sebuah rumah dibutuhkan sejumlah orang dan peralatan; untuk membangun sebuah gedung diperlukan lebih banyak orang dan peralatan. Bayangkan seberapa banyak tenaga dan peralatan yang diperlukan untuk membangun sebuah dunia dan bayangkan berapa banyak tenaga dan peralatan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah alam semesta yang memuat triliunan planet dan bintang yang jauh lebih besar daripada planet bumi. Tidak bisa tidak seorang anak yang berpikir kritis dan logis dapat memertanyakan, "Bagaimanakah mungkin Allah yang tidak dapat kita lihat membangun semua ini?" Memang kita harus mengakui pemikiran bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah melampaui akal manusia, jadi anak mungkin tidak bisa menerima hal itu sebab dalam pemikiran dia dalam masa remaja itulah yang bisa disimpulkannya, untuk membangun sesuatu makin besar makin banyak tenaga dan usaha serta peralatan yang dibutuhkan. Bagaimana alam semesta dibangun oleh seseorang yang tidak bisa dilihatnya? Inilah yang bisa kita lakukan waktu anak misalnya berkata seperti itu, kita bisa berkata kepada anak seperti ini, "Kalau kita tidak mengakui fakta ini bahwa Tuhan menciptakan semua ini, kita hanya memunyai satu pilihan lain yaitu menyimpulkan bahwa semua ini terjadi lewat proses alamiah, dari tidak ada berubah secara perlahan menjadi ada". Ini yang biasanya dikatakan oleh anak-anak kepada kita, "Saya sudah belajar dan membaca buku dan inilah yang saya temukan, semua ini terjadi lewat proses natural dari tidak ada menjadi ada, lewat waktu misalnya triliunan tahun dan sebagainya." Masalahnya dengan alternatif ini adalah bagaimanakah semua yang hidup berasal dari sesuatu yang tidak ada. Kita tahu sesuatu yang telah mati alias yang sudah tidak ada lagi tidak akan berubah menjadi hidup, binatang atau apa pun yang telah mati tetap akan mati. Dengan kata lain, kita melihat yang mati yang sudah tidak ada tidak berubah menjadi ada atau hidup lagi, tidak seperti itu. Jadi sebetulnya logika bahwa semua ini ada dan sebelumnya tidak ada, tapi secara alamiah berkembang menjadi ada, itu suatu pemikiran yang tidak logis. Singkat kata pergerakan yang kita kenal adalah dari hidup menjadi mati, bukan sebaliknya dari mati ke hidup. Ini adalah sekadar contoh bagaimana kita dapat memberi jawaban kepada anak yang berpikir kritis dan logis sewaktu menjelaskan kebenaran Alkitab secara kritis dan logis pula.

GS : Kadang kita bangga punya anak yang kritis dan logis, tetapi tidak semua hal bisa dipecahkan lewat kekritisan atau kelogisan ini tadi. Sehingga katakan kita berdebat dengan anak dan kita menang dalam perdebatan itu, itu pun tidak memuaskan anak sehingga sia-sia pembicaraan itu.

PG : Tentu ada saat-saat kita tidak bisa meyakinkan anak sebab pada akhirnya anak-anak harus bisa mencernanya sendiri. Jadi ada waktu kita merasa seperti bicara dengan tembok. Namun yang ingin saya tekankan adalah kadang kita punya kesalahpahaman dan kita berkata bahwa masalah ini adalah masalah iman, bukanlah masalah rasio, tidak bisa dijelaskan secara rasional dan sebagainya. Saya kira ini kesalahpahaman sebab kita justru sebetulnya bisa menjelaskan tentang Tuhan, tentang Alkitab secara sangat rasional. Jadi apa yang kita percayai bukanlah sesuatu yang irasional, memang kita tidak mudah mengertinya tapi tidak berarti tidak bisa dijelaskan. Saya berikan contoh penciptaan alam semesta ini. Kalau kita membangun suatu gedung perlu beberapa banyak orang, membangun suatu kota perlu banyak orang, kemudian kita berkata, "Dunia ini diciptakan Tuhan, bagaimana mungkin karena perlu banyak orang lagi", maka kita terima argumennya kemudian kita membalikkan argumen itu dan berkata, "Kalau bukan Tuhan maka siapa yang akan membuat semua ini ada? Jadi harus ada yang terjadi sebelumnya sehingga kita ada" maka mereka akan berkata, "Lewat proses alamiah atau evolusi". Kita katakan, "Asumsi dari semua itu adalah bahwa sesuatu itu tidak ada, kemudian menjadi ada lewat proses perkembangan evolusi misalnya dari satu partikel berkembang dan berkembang, dari satu sel ke satu sel lainnya hingga menjadi sebuah organisme yang kecil". Kita katakan, "Bukankah yang terjadi adalah kebalikannya, "Yang kita lihat sekarang ini bukankah kebalikannya yang hidup-ada, tapi setelah mati-habis" jadi tidak pernah proses itu dibalik. Bagaimanakah kita bisa memercayainya? Jadi sama-sama sulit memercayainya. Pilihan kita hanya dua, lebih baik atau logis memercayai ada Tuhan yang selalu ada dan menciptakan semua ini, dan bukankah juga kalau kita melihat dari segi keteraturan semua diciptakan dengan begitu teratur dan rapi, kalau semua terjadi secara acak maka tidak akan serapi itu. Misalnya yang terjadi adalah tulang rusuk kita, memang ada orang yang cacat dari lahir sehingga tulang rusuknya tidak lengkap tapi hampir semua manusia lahir di dunia dengan tulang rusuk yang persis sama hitungannya dan diletakkan di tempat yang sama juga, kalau itu semua terjadi secara acak maka tidak akan sama. Jadi kita bisa menjelaskan iman kita dengan rasional, sehingga anak-anak bisa menerimanya pula.

GS : Tapi masih ada kendala yang lain tentunya, Pak Paul?

PG : Ini yang lebih pribadi dan lebih susah yaitu kekecewaan terhadap Tuhan. Anak dapat mengalami kekecewaan terhadap Tuhan dan tidak jarang ini membuatnya undur dari iman misalnya mungkin ia pernah berdoa meminta kesembuhan kakaknya yang sakit, tapi Tuhan tidak mengabulkan doanya, si kakak akhirnya meninggal dunia. Peristiwa ini dapat menorehkan kekecewaan dan membuatnya tawar hati terhadap Tuhan. Ini agak susah bagi kita menjelaskan sebab kita tidak bisa tidak, kita akan mengakui bahwa doanya tidak dijawab, kakaknya meninggal dunia dan kita sama-sama kecewa meskipun kita bisa berkata bahwa Tuhan tidak menjawab sebab Tuhan memunyai rencana yang lain maka tetap sulit diterima anak, "Mengapa Tuhan tidak menjawab doa saya?" Ini bisa menjadi salah satu hal yang menjadi kendala membuat anak akhirnya undur dari iman.

GS : Di sini sebenarnya orang tua bisa menjadi pendamping bagi anak yang kecewa itu tadi karena kita sama-sama kecewa, tapi kalau masalah itu adalah masalah pribadi anak maka agak sulit kita menempatkan diri pada posisi anak itu.

PG : Dan kita tahu anak-anak kita makin hari makin besar jadi ada hal-hal yang dia minta dan gumulkan, waktu dia tidak mendapatkannya mungkin sekali dia bisa kecewa dan kita bisa membagikan pengalaman kita dan kita tidak mau berpura-pura bahwa kita tidak pernah kecewa tapi kita bisa bagikan bahwa "Waktu Tuhan tidak menjawab doa saya, saat itu ternyata ada hal lain yang lebih penting, belakangan baru saya ketahui alasan kenapa Allah tidak menjawab doa saya kala itu sebab ini rencana Tuhan". Jadi kita bisa bagikan pengalaman pribadi itu untuk menyadarkan kepada anak bahwa kita tidak memunyai kemampuan memahami rencana Tuhan secara utuh dan final, kita perlu memercayai-Nya lewat iman bahwa maksud-Nya baik meskipun kita tidak selalu mengerti cara-Nya.

GS : Di dalam pergaulan, bersosialisasi, anak-anak kadang tidak harus berteman dengan orang seiman dengan dia, ini seringkali juga menjadi pergumulan tersendiri bagi anak itu dengan dia mulai membandingkan imannya dan iman dari temannya, Pak Paul.

PG : Yang biasanya dibandingkan oleh anak adalah perbuatannya atau kelakuan teman-temannya yang baik. Misalnya pada masa remaja teman-temannya tidak semuanya seiman dan teman-temannya juga tidak semua memerlihatkan perilaku yang baik, pada saat-saat seperti ini anak mulai mengajukan pertanyaan tentang teman-temannya. Misalnya di Yohanes 14:6 firman Tuhan berkata, "Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." Pada masa ini adakalanya anak mengalami kebingungan sebab berdasarkan perkataan Yesus hanya Dialah jalan kepada Allah Bapa, dia bingung sebab dia mendasarkan penerimaan Tuhan atas kebaikan atau perbuatan manusia bukan pada pengampunan Tuhan atas dosa manusia. Itu sebabnya kita harus menjelaskan kepada anak bahwa "Kalau ada jalan lain supaya manusia bisa terbebas dari dosa, Tuhan pasti sudah menggunakan jalan itu, sebab jalan yang dipilih-Nya adalah jalan yang paling sukar yakni jalan penderitaan dan kematian". Kita tahu waktu Tuhan menjadi manusia Dia mati di kayu salib karena penderitaan yang begitu besar. Kalau lewat perbuatan baik kita semua dapat masuk ke surga maka Tuhan hanya perlu mengadakan kontes kebaikan saja, siapa yang paling baik Tuhan terima, jadi Dia tidak perlu mengorbankan nyawa-Nya mati untuk dosa-dosa kita, namun kita tahu tidak ada jalan lain dan tidak ada kontes kebaikan, pengampunan Tuhan atas dosa manusia didasarkan bukan atas kebaikan manusia melainkan atas anugerah Allah yang diwujudkan dalam kematian Yesus Putra Allah, jadi kita tidak perlu dan tidak boleh menghakimi orang lain, kita bisa tekankan kepada anak kita, tugas kita hanya mengabarkan Kabar Baik bahwa pengampunan dosa tersedia lewat kematian Yesus Kristus.

GS : Ini sebenarnya juga menjadi tantangan bagi kita yang menjadi orang tua ini. Kenapa kita sebagai orang Kristen tidak punya moral yang cukup baik sehingga tidak dibandingkan dengan orang lain?

PG : Kita bisa mengajarkan anak untuk bercermin bahwa bukankah Tuhan sudah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita hidup dan seharusnya kita menaati Tuhan dan hidup seperti yang dikehendaki-Nya. Jadi mudah-mudahan waktu teman-temannya memerlihatkan kelakuan yang mulia dan baik, itu menjadi dorongan bagi anak-anak untuk menaati Tuhan dan memunyai kehidupan yang juga baik.

GS : Karena keselamatan yang Tuhan sudah berikan bagi kita sudah mahal harganya, kenapa kita tidak bisa taat padahal orang lain yang tidak mengalami hal itu bisa melakukan hal-hal yang cukup baik?

PG : Kita justru bisa menggunakan apa yang terjadi waktu dia berkata, "Teman-teman saya baik-baik" kita bisa katakan, "Inilah yang juga kita harus lakukan, kita sudah menerima kemurahan Tuhan dan kita sudah menerima pengampunan Tuhan, seyogianyalah kita hidup sesuai dengan kehendak-Nya, jadi kita harus menuruti firman Tuhan dan hidup sesuai dengan karakter Tuhan".

GS : Kendala yang lain lagi apa, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah pada masa remaja anak-anak akan mulai bersinggungan dengan keyakinan iman yang lain dan adakalanya anak-anak kita memutuskan untuk meninggalkan imannya pada Kristus, ini sudah tentu hal yang sangat menyedihkan hati kita kalau itu harus terjadi pada anak-anak kita. Tapi kadang-kadang kita tidak bisa mencegahnya sebab dia akan bergaul dengan semua orang dan akan ada orang-orang yang tidak seiman dan adakalanya dia terekspos dan mendengar serta mengetahui tentang kepercayaan yang lainnya, dan setelah dia mendalaminya dia berkata, "Saya sepertinya lebih cocok dengan kepercayaan yang itu" maka ketika kita mendengarnya, kita sedih tapi dalam hal ini kita tidak bisa terlalu berbuat banyak kecuali kita mendoakannya dan terus mengasihinya. Kita tidak boleh membencinya dan kita harus ingat dia dalam doa, dan terus mengasihinya sebab kita harus berkeyakinan bahwa hanya Tuhan sendiri yang dapat menyatakan diri-Nya dan kebenaran-Nya kepada kita manusia, kita memang tidak bisa menyelamatkan siapa pun, hanya Tuhan yang bisa melakukan hal itu.

GS : Sebagai orang tua kadang kita berusaha merebut kembali anak itu supaya percaya kepada Tuhan Yesus, secara naluri orang tua untuk melindungi anaknya. Kalau kita membiarkan tentu saja tidak pantas, jadi bagaimana caranya, Pak Paul?

PG : Kita tidak bisa memberikan kuliah kepada anak-anak tentang hal ini karena begitu kita mulai menguliahkan anak-anak maka bukannya anak makin mendengarkan kita tapi kebalikannya, anak-anak itu justru makin menjauh sebab terutama adalah apa yang kita katakan dia sudah tahu, sebab dia sudah hidup dalam iman kita dan sudah mengerti apa yang telah kita percayai. Jadi waktu kita terus menyodorkan apa yang kita percayai dan sebagainya umumnya reaksinya adalah bukan mendengarkan tapi menjauh dan ini justru makin memperlebar jurang di antara kita. Maka yang harus kita lakukan adalah kita mendoakan dan kita terus mengasihinya. Dalam waktu tak tertentu saat-saat tertentu, waktu Tuhan bukakan kesempatan untuk kita bicara sedikit kepadanya kita lontarkan dan tanyakan sesuatu dan kita ingatkan dia atau misalnya kita bisa titipkan selembar kertas kecil dengan firman Tuhan di dalamnya untuk mengingatkan dia akan kasih Tuhan kepadanya. Jadi hal-hal kecil seperti itulah yang kita lakukan untuk tetap mengingatkan dia akan Tuhan Yesus yang telah mati baginya.

GS : Saya rasa itu pergumulan yang cukup berat bagi orang tua, namun sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul mau memberikan kesimpulan dan ada ayat firman Tuhan?

PG : Pak Gunawan, saya harus simpulkan bahwa keselamatan adalah sebuah misteri bagaimanakah sampai seseorang percaya kepada Yesus Kristus adalah suatu misteri yang tak mudah dicerna. Pada akhirnya kita harus bertanya, "Apakah kita memilih Tuhan atau dipilih Tuhan?" Mungkin kita tidak mendapatkan jawabannya secara mutlak namun kita harus mengakui bahwa keselamatan adalah anugerah Tuhan. Peran kita orang tua dalam pemberian anugerah keselamatan ini adalah mengenalkan anak kepada Kristus sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya. Firman Tuhan di Ulangan 6:6-7 berkata, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun". Dengan kata lain, Tuhan meminta kita dengan sadar menyampaikan tentang siapakah Dia dan apakah yang Tuhan telah lakukan dalam hidup kita kepada anak-anak kita dan mereka pun mengenal siapakah Tuhan yang kita percayai itu.

GS : Baik, Pak Paul terima kasih untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja menyelesaikan perbincangan tentang "Peran Orang Tua dalam Keselamatan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



112. Pengaruh Ibu Pada Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T360A (File MP3 T360A)


Abstrak:

Alasan kenapa orang-orang yang terkenal seperti John Wesley, Hudson Taylor bisa menjadi berkat bagi banyak orang adalah karena tak lepas dari peran ibu di dalam kehidupan mereka. Ibu punya peran yang cukup besar didalam pembentukan seorang anak, jika ibu berfungsi dengan baik maka akan menghasilkan pertumbuhan anak yang juga baik, namun kebalikannya jika ibu kurang berperan maka anak pun kerap tumbuh kurang baik pula. Disini akan dijelaskan peran apa saja yang diberikan oleh seorang ibu dan dampak buruk jika ibu tidak menjalankan perannya dengan baik.


Ringkasan:

Salah satu hal menarik yang dapat kita tarik dari sejarah adalah betapa banyaknya orang yang dipakai Tuhan berkat doa dan pengaruh ibu dalam hidup mereka. Sebagai contoh, John Wesley adalah buah doa dan pelayanan ibunya, Susanna. Agustinus, salah seorang tokoh yang memengaruhi pemikiran Kristiani, adalah buah doa dan pelayanan ibunya, Monica. Hudson Taylor, seorang misionaris ke China, juga adalah orang yang dekat dengan ibunya. Kepada ibunyalah ia kerap menulis surat membagikan pergumulan hidup dan pelayanannya. Singkat kata peran ibu dalam pembentukan diri anak sungguhlah besar.

Berikut akan kita melihat peran ibu dalam pembentukan diri anak :
  • PERAN PERTAMA ADALAH PENGASUH.
    Sejak anak lahir hingga anak mencapai usia remaja, ibu berperan sebagai pengasuh, dalam pengertian ia memerhatikan dan memenuhi kebutuhan anak. Tanpa asuhan, anak tidak dapat bertumbuh secara sehat. Pada masa ini ibu berfungsi mencukupi kebutuhan anak dan melindunginya dari bahaya, sekecil apa pun.
  • PERAN KEDUA ADALAH PENYEDIA KESTABILAN.
    Kehadiran ibu dalam hidup anak dan petunjuk serta bentukan yang diberikannya kepada anak hari lepas hari menyediakan sebuah ruang yang pasti dan aman bagi diri anak. Anak perlu tahu bahwa ibu selalu berada di sampingnya dan bahwa ibu akan memberikan apa yang dibutuhkannya. Figur yang sama dan perlakuan yang relatif sama akan memberi rasa kestabilan pada anak.
  • PERAN KETIGA ADALAH PEREKAT.
    Tidak bisa disangkal ibu berfungsi sebagai perekat antara anak dan ayah serta anak dan saudara-saudaranya. Tidak heran, setelah ibu tiada, tali perekat cenderung mengendor atau bahkan malah menghilang. Singkat kata, ibu berperan menyatukan keluarga sehingga anak merasakan bahwa ia adalah bagian dari keluarga dan bertanggung jawab atas satu sama lain.
  • PERAN KEEMPAT ADALAH MENJADI PERLAMBANGAN DAN PERPANJANGAN KASIH KARUNIA ALLAH.
    Kendati ibu dapat marah, namun satu hal yang diketahui anak adalah bahwa ibu tidak akan menolaknya. Ibu selalu menerima dan mengampuni; ibu senantiasa mempercayai dan memberi kesempatan kembali kepada anak. Singkat kata, lewat kasih ibu, anak mengerti apa yang dimaksud dengan kasih karunia Tuhan.
Berikut kita akan melihat dampak buruk yang dapat timbul pada anak bila ibu tidak berfungsi seharusnya pada anak.
  • Pertama, jika anak tidak menerima kasih ibu secara cukup, anak bertumbuh besar TANPA DIRI YANG KOKOH. Ia cenderung gamang dan tidak memiliki penghargaan diri yang kuat. Tampaknya kasih dan penerimaan ibu kepada anak berpengaruh lebih besar daripada kasih dan penerimaan ayah kepada anak. Tanpa kasih ibu yang cukup, anak mengembangkan keraguan pada dirinya dan mencari-cari kasih dan figur pengasuh dalam hidupnya.
  • Kedua, jika anak tidak mengalami kasih ibu yang tanpa kondisi, IA PUN BERTUMBUH DENGAN SIKAP KRITIS DAN TIDAK MENERIMA DIRI APA ADANYA. Singkat kata, ia tidak melihat apa yang ada di dalam dirinya melainkan apa yang tidak ada. Bukannya melihat apa yang dapat dilakukannya, ia malah menyoroti apa yang tidak dapat dilakukannya. Dan, kalaupun ia dapat melakukannya, ia merasa tidak dapat melakukannya dengan baik. Singkat kata ia senantiasa melihat kekurangan pada dirinya.
  • Ketiga, jika ia tidak mengalami kestabilan dalam keluarga akibat tidak hadirnya ibu atau tidak berperannya ibu secara konsisten, maka ia pun akan mengembangkan RASA TIDAK AMAN. Ia senantiasa penuh kecemasan dan ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik. Ia pun berusaha mencari figur pelindung yang dapat memberikannya rasa aman.
Kesimpulan :

Peran ibu dalam pertumbuhan anak sangatlah penting, bahkan jauh lebih penting daripada peran ayah itu sendiri. Amsal 31:28 mengatakan, "Anak-anaknya bangun dan menyebutnya bahagia, pula suaminya memuji dia." Baik anak maupun suami, keduanya menghormati sosok ibu yang begitu berperan besar dalam keluarga. Pujian ini memang selayaknya diberikan kepada ibu.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini saya bersama penginjil Sindunata Kurniawan M.K., beliau adalah konselor keluarga, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pengaruh Ibu Pada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

PG : Begini, saya mengamati bahwa ternyata ada tokoh-tokoh yang dipakai Tuhan di dalam dunia ini yang sebetulnya benar-benar berhutang hampir 100% hidup dan sumbangsihnya pada ibu mereka, karena ibu mereka yang menjadi motor, pendoa dan pendorong bagi hidup mereka. Misalnya John Wesley adalah seorang pendiri gereja Methodist dan gereja Wesleyan, dia adalah orang yang menerima banyak dorongan dari ibunya, Susanna dan kita tahu John Wesley memunyai seorang kakak atau adik yang bernama Charles Wesley yang menjadi penulis banyak sekali lagu-lagu rohani, dia juga adalah buah dari pelayanan ibunya sendiri. Yang lain adalah Agustinus seorang bapak gereja yang dipakai Tuhan untuk memengaruhi pemikiran Kristiani, beliau adalah buah doa dan pelayanan ibunya Monica. Dan kita tahu Hudson Taylor seorang hamba Tuhan dari Inggris yang dipakai Tuhan di Tiongkok, dia juga adalah orang yang dekat dengan ibunya dan waktu dia melayani di sana, dia kerap menulis surat membagikan pergumulan hidup dan pelayanan kepada ibunya. Jadi bisa kita simpulkan bahwa peran ibu dalam pembentukan diri anak sungguhlah besar.

SK : Melihat begitu besarnya peranan ibu bagi anak, menurut Pak Paul apa saja peran-peran ibu bagi pembentukan diri anak?

PG : Ada beberapa Pak Sindu, yang pertama adalah peran sebagai pengasuh. Sejak anak lahir sampai anak berusia remaja, ibu berperan sebagai pengasuh dalam pengertian dia memerhatikan dan memenuhi kebutuhan anak. Tanpa asuhan, anak tidak dapat bertumbuh secara sehat. Jadi pada masa ini terutama pada masa anak-anak kecil, ibu berfungsi untuk mencukupi kebutuhan anak dan melindunginya dari bahaya sekecil apa pun. Itu sebabnya ibulah yang akan berkata, "Jangan main di sana, jangan main dengan api" jadi benar-benar peranan ibu sebagai pengasuh yang melindungi dan mencukupi kebutuhan anak sangatlah besar.

SK : Kalau sebagai pengasuh melindungi tapi satu sisi bukankah mungkin ada batasan. Kadang kita mendengar bahwa seorang ibu bisa menjadi terlalu melindungi anak, jadi justru malah bukan mengembangkan anak.

PG : Saya kira ini memang ekses yang kadang terjadi yaitu ada ibu-ibu yang karena cemas, karena sayang pada anak akhirnya terlalu melindungi anak. Maka saya kira sebagai ibu kita harus bijaksana dalam melindungi anak. Jangan sampai akhirnya menjauhkan anak dari tantangan hidup dan bahwa adakalanya kita hanya perlu memonitor dari jauh dan membiarkan dia untuk sedikit banyak mengambil resiko dalam hidup ini, meskipun ada resiko mungkin dia jatuh dan sebagainya tapi dari pada kita selalu melindunginya sehingga tidak pernah mengalami sedikitpun masalah maka lebih baik kita memberikan ruangan pada anak untuk bereksperimen.

GS : Seringkali Pak Paul, peran pengasuh ini terkendala oleh sibuknya ibu. Kita tahu banyak ibu yang harus berkarier di luar rumah sehingga peran pengasuhan ini tidak bisa ditangani sendiri dan diserahkan kepada yang memang betul-betul pengasuh, ada yang profesional atau hanya sekadar saja atau diserahkan kepada orang tuanya, jadi nenek atau kakek anak ini. Itu bagaimana pengaruhnya, Pak Paul?

PG : Saya secara pribadi berpendapat sedapat-dapatnya ibulah yang mengasuh anak, tapi saya juga mengerti bahwa adakalanya hal ini tidak dimungkinkan misalnya ada ibu yang harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya juga. Atau ada ibu yang lebih baik bekerja daripada diam di rumah sepanjang hari karena dia tidak merasakan itulah panggilannya atau dia benar-benar menjadi seorang ibu yang tidak sabar dan cepat marah di rumah, dia lebih menikmati untuk bekerja. Dalam kondisi yang khusus seperti itu, saya pribadi akan berkata, "Baiklah dibuatkanlah pengaturan sehingga si ibu bisa tetap bekerja di luar namun ketika ibu kembali di rumah dia harus memberikan waktu sebanyak-banyaknya kepada anak, supaya relasi antara ibu dan anak tetap bisa terjalin.

SK : Kalau demikian adakah peran lain yang ibu bisa berikan bagi pembentukan diri anak?

PG : Yang kedua adalah sebagai penyedia kestabilan, kehadiran ibu dalam hidup anak dan petunjuk serta bentukan yang diberikannya kepada anak hari lepas hari menyediakan sebuah ruang yang pasti dan aman bagi anak. Jadi anak perlu tahu bahwa ibu selalu berada disampingnya dan ibu akan memberikan apa yang dibutuhkannya, figur yang sama dan perlakuan yang relatif sama akan memberi rasa kestabilan pada anak bahkan saya berikan contoh yang lebih ekstrem meskipun ibunya sedikit bawel, tapi itu adalah figur yang konstan, figur yang ada di rumah yang dia kenal dan itu adalah figur yang sama besok, kemarin dan hari-hari mendatang. Jadi anak perlu mendapatkan kepastian bahwa ada mama di rumah yang akan selalu mendampinginya, ini akan sangat penting di dalam pertumbuhan jiwa anak, kestabilan ini. Bandingkan kalau misalnya tidak ada ibunya atau ibunya kadang-kadang pergi tidak pulang, atau rumah tangganya sarat dengan konflik sehingga kadang-kadang ibu kabur tidak mau di rumah. Bayangkan kalau ini terjadi, kestabilan dalam jiwa anak itu juga terganggu.

SK : Saya jadi lebih memahami, itulah mengapa rata-rata anak TK atau SD kalau pulang merasa aman dan nyaman kalau bisa ketemu mamanya ada di rumah.

PG : Betul. Karena inilah simbol kepermanenan, simbol kestabilan bahwa ia pulang menjumpai mama di rumah. Jadi benar-benar ini memberikan rasa aman dan stabil pada anak.

GS : Ini tentu terkait dengan pola pengasuh, kalau ibu tidak punya waktu untuk mengasuh anaknya, otomatis dia tidak bisa menjadi penyedia kestabilan.

PG : Misalnya dia harus bekerja dan mewakilkan kepada orang tua atau pengasuh yang lain maka sudah tentu akan terkurangi kedekatannya dengan anak. Namun dia masih bisa menyediakan kestabilan itu kalau dia pulang ke rumah dari bekerja, dia benar-benar memberi waktunya sepenuhnya kepada anak, bisa dia misalnya masak bagi anak, bisa misalnya mengajarkan PR anaknya atau bicara dengan anak, bermain dengan anak. Itu menjadi kestabilan yang dinantikan oleh anak setiap malam ketika ibunya pulang. Jadi sekali lagi penyedia kestabilan ini adalah hal yang penting didalam pertumbuhan jiwa anak.

GS : Kestabilan itu juga diperoleh bahwa ibu itu berkata-kata secara konsisten.

PG : Betul, misalnya anak ini nakal dan ibunya akan menegur. Jadi hal-hal seperti itulah yang diperlukan oleh anak. Misalnya kata-kata, "Jangan lupa minum susu, jangan lupa gosok gigi". Ini adalah hal-hal yang tidak biasa dilakukan oleh bapak karena bapak tidak terlibat dalam hal-hal yang seperti itu di rumah. Siapa yang melakukan? Ibu. Itu yang diperlukan oleh anak yang mengatakan, "Jangan lupa mandi, jangan lupa pakai piyama, sudah kerjakan PR belum?" Hal yang didengar oleh anak hari lepas hari yang mungkin anak juga tidak suka karena dia merasa mamanya bawel, tapi ini yang diperlukan oleh anak yaitu kestabilan yang sama hari lepas hari.

GS : Saya rasa ibu perlu menyediakan waktu untuk mendengar keluhan anak, biasanya setelah ditinggal sekian lama, anak banyak sekali keluhannya.

PG : Betul sekali dan dimulainya bukan dengan keluhan. Misalnya waktu anak di rumah dengan ibunya, ibu bercengkrama, bertanya, ngobrol tentang apa yang terjadi di sekolah, hal-hal yang menyenangkan dan sebagainya. Kalau itu sudah terjalin nanti sewaktu anak mengalami masalah barulah anak akan bercerita kepada ibunya. Jadi kalau kita balik situasinya, ibu tidak memberikan waktu itu kepada anak untuk bercengkerama, ngobrol, untuk bertanya bagaimana di sekolah dan sebagainya, tidak ada hal seperti itu maka waktu anak mengalami masalah di sekolah apa yang dia ingin sampaikan kepada ibunya, dia tidak berani sampaikan karena tidak ada wadah seperti itu sebelumnya. Jadi penting ibu menyediakan wadah bercengkerama kepada anak sehingga nantinya kalau anak mengalami masalah di sekolah atau pergaulan maka dia akan berani untuk menyampaikan kepada ibunya.

SK : Adakah peran yang lain, Pak Paul, untuk menunjukkan bahwa ibu punya peran penting dalam pembentukan diri anak?

PG : Yang ketiga adalah ibu berperan sebagai perekat. Tidak bisa diangkal ibu berfungsi sebagai perekat antara anak dan ayah, serta anak dan saudara-saudaranya. Tidak heran setelah ibu tiada misalnya ibu sudah meninggal, tali perekat cenderung mengendor atau bahkan malah menghilang. Jadi singkat kata, ibu berperan menyatukan keluarga sehingga anak merasakan bahwa ia adalah bagian dari keluarga dan bertanggungjawab atas satu sama lain. Mungkin Pak Sindu dan Pak Gunawan bisa ingat-ingat keluarga sewaktu ibunya masih ada sering berkumpul setahun sekali dan sebagainya, ngobrol sama-sama, tapi setelah ibunya tidak ada tercerai berai. Kita bisa melihat dalam banyak keluarga ibu berfungsi sebagai perekat keluarga.

GS : Memang itu terasa ketika anak-anak sudah dewasa, semua sudah keluar rumah tapi ketika mereka masih kecil peran perekat itu nampak di mana, Pak Paul?

PG : Misalnya anak marah kepada papa, biasanya mama yang akan bicara dengan si anak, "Kamu jangan seperti itu dengan papamu, papamu sayang kepadamu" atau si papa kesal dengan si anak dan bicara sedikit kasar, biasanya si mama yang akan berkata "Pa, jangan bicara seperti itu kepada anak, dia itu terluka, dia masih kecil" atau si adik berkelahi dengan si kakak, mama yang berkata, "Kamu jangan berkelahi, kamu harus saling memaafkan" atau masing-masing memertahankan pendapat atau mainannya tidak mau dibagi atau dipinjamkan, maka mamalah yang akan berkata, "Kamu harus pinjamkan". Jadi dalam banyak hal secara tidak sadar sebenarnya ibu berfungsi sebagai perekat keluarga, dialah yang menyatukan semuanya. Misalnya bukankah yang lebih sering mengusulkan, "Mari kita pergi ke sana, mari kita bersaat teduh bersama, mari adakan mezbah keluarga" kebanyakan adalah ibu. Waktu ibu melihat anak ke sana, bapak ke sana, yang merasa khawatir atau terpanggil untuk mengumpulkan kembali adalah si ibu. Jadi kita melihat peranan si ibu yang sentral sebagai perekat keluarga.

SK : Energi apa Pak Paul, sehingga ibu punya daya rekat, daya pemersatu, daya pendamai, daya mengakrabkan. Kenapa ibu bisa memunyai keistimewaan itu dari pada ayah?

PG : Saya bisa berkata mungkin karena Tuhan memberikan karunia itu kepada ibu karena secara alamiah Tuhan memberikan insting keibuan kepada perempuan sehingga insting keibuan yang memang mau menyatukan, mengayomi, membawa semuanya berkumpul bersama dan bukan tercerai berai. Saya kira itu jauh lebih kuat ada pada diri seorang wanita.

GS : Kalau kita lihat dalam kehidupan ayam, yang biasa mengumpulkan anak ayam itu adalah induknya dan bukan jagonya. Mungkin nalurinya sudah begitu, yaitu naluri keibuan.

PG : Kita lihat juga anjing waktu melahirkan, si induklah yang akan mengambil atau mengangkat anak-anak anjing untuk berderetan bisa diberikan susu.

GS : Sebenarnya langkah-langkah apa yang bisa dilakukan ibu untuk merekatkan keluarganya, Pak Paul?

PG : Saya kira ibu harus mendoakan keluarganya supaya akur, rukun, rekat satu dengan yang lain, secara konkretnya ibu harus dekat baik dengan ayah atau dengan anak-anak sehingga nanti kalau ada apa-apa ibulah yang bisa mendamaikan mereka kembali. Ibu bisa menjadi pendengar bagi suami dan anak-anaknya sehingga kalau ada keluhan-keluhan yang bisa nantinya dibereskan maka ibulah yang nanti membereskannya pula.

GS : Jadi harus bersikap netral dan tidak memihak kepada salah satunya, kalau memihak maka kita bisa melihat contoh di Alkitab dimana saudaranya saling bertengkar.

PG : Betul. Kalau bisa ibu menjaga kenetralannya sehingga dia bisa berdekatan dengan semuanya dan merekatkan semuanya.

SK : Adakah peranan yang lain lagi, Pak Paul?

PG : Yang keempat adalah ibu menjadi perlambangan dan perpanjangan kasih karunia Allah. Kendati ibu itu bisa marah namun satu hal yang diketahui oleh anak adalah bahwa ibu tidak akan menolaknya. Jadi jarang ada ibu yang menolak anak, ibu selalu menerima dan mengampuni, ibu senantiasa memercayai dan memberi kesempatan kembali kepada anak. Ini yang sering kita lihat kalau ada apa-apa ayah mungkin sudah kesal dan berkata, "Saya tidak mau tahu lagi" tapi siapa yang akan berkata, "Jangan seperti itu, kita dengan anak harus tetap membuka pintu, kita harus mengampuni dia, jangan sampai anak tersingkir dari keluarga kita". Siapa yang juga akan berkata, "Iya nak, saya ampuni kamu dan jangan berbuat lagi". Siapa juga yang sering mendapat kritikan, "Kamu ini terlalu lembek, kamu ini tidak tegas" semuanya ibu. Tanpa ibu sadari sebetulnya ibu menjadi perlambangan dan perpanjangan kasih karunia Allah yaitu penuh dengan anugerah, dan lewat kasih sayang ibu akhirnya anak mengerti apa yang dimaksud dengan kasih karunia atau anugerah Tuhan.

GS : Memang lewat ibu biasanya anak bisa memahami karakter Tuhan.

PG : Benar. Saya kira ini yang lebih kuat dibandingkan dengan ayah sebab kita pria tidak sesabar ibu dan kita bisa marah dan kadang-kadang kata-kata kita bisa menyakitkan, tapi kalau ibu biasanya kalau pun dia marah hanya sejenak dan dia akan membaik kembali, seperti apa pun anaknya, sebesar apa pun pelanggaran yang dilakukan oleh anak pada akhirnya dia akan berkata, "Saya ampuni, jangan ke mana-mana".

GS : Kalau sampai ibu tidak bisa berperan seperti yang kita harapkan seperti tadi, tentu akan membawa dampak yang buruk bagi anak atau anak-anaknya, kira-kira dampak apa yang terjadi kalau seorang ibu tidak melakukan perannya sebagai ibu yang baik, Pak Paul?

PG : Yang pertama kalau anak tidak menerima kasih ibu secara cukup, anak bertumbuh besar tanpa diri yang kokoh. Apa ciri-cirinya? Dia cenderung gamang dan tidak memiliki penghargaan diri yang kuat, jadi tampaknya kasih dan penerimaan ibu kepada anak berpengaruh lebih besar daripada kasih dan penerimaan ayah kepada anak. Tanpa kasih ibu yang cukup anak mengembangkan keraguan dalam dirinya dan mencari-cari kasih dan figur pengasuh dalam hidupnya.

SK : Tentang keraguan pada diri, mencari kasih dan figur pengasuh itu seperti apa wujudnya, Pak Paul?

PG : Karena anak tidak menerima kasih sayang ibu secara cukup maka seringkali dia merasakan dirinya ada yang tidak benar dan ada yang kurang. Ada yang perlu ditambal. Jadi dia tidak keluar dari rumah, masuk ke sekolah dengan sebuah penerimaan bahwa dirinya itu baik. Jadi karena dia merasa ada yang tidak benar dengan dirinya maka dia selalu membutuhkan orang untuk mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Itu yang saya maksud dengan dia selalu mencari-cari penerimaan dari luar terhadap dirinya. Saya melihat ada orang yang dibesarkan oleh ayah ibu dimana ayahnya tidak begitu berfungsi tapi ibunya berfungsi. Sehingga meskipun ayahnya sering keluar tidak bertanggungjawab, tapi ibu terus mengayomi anak, dekat dengan anak, memberikan kasih sayang kepada anak maka anak-anak akan bertumbuh besar relatif dirinya kuat. Tapi meskipun misalnya seolah-olah keluarga itu baik namun si ibu tidak bisa berelasi dengan anak dan jauh dengan anak, maka saya lihat si anak tidak kuat, selalu mencari-cari penerimaan dari luar. Jadi saya tidak berkata, ayah tidak berperan dan peran ayah tidak penting, tidak seperti itu. Tapi saya harus akui dibandingkan dengan si ayah, peranan ibu memang jauh lebih penting terutama dalam hal ini yaitu membangun sebuah diri yang kokoh dan aman.

GS : Selain hal itu apakah ada dampak negatif yang lain, Pak Paul?

PG : Jika anak tidak mengalami kasih ibu yang tanpa kondisi, artinya si ibu mungkin saja mengasihi tapi menuntut anak harus seperti ini dan seperti itu, kalau tidak dimarahi. Maka kasih sayang ibu menjadi kasih sayang yang berkondisi dan bukan kasih sayang seperti anugerah yang telah kita bicarakan. Anak cenderung bertumbuh dengan sikap kritis dan tidak menerima diri apa adanya, artinya dia tidak melihat apa yang ada di dalam dirinya, melainkan apa yang tidak ada. Bukannya melihat apa yang dapat dilakukannya tapi ia malah menyoroti apa yang tidak dapat dilakukannya dan kalau pun ia dapat melakukannya ia merasa tidak dapat melakukannya dengan baik. Jadi singkat kata, dia akhirnya terus melihat kekurangan pada dirinya dan melihat orang lain punya ini dan ada ini, tapi saya tidak bisa, terus menyoroti hanya kekurangan dirinya dan biasanya ini akibat dari tidak cukupnya penerimaan ibu kepada anak dan kasih sayang yang diberikan terlalu terkait dengan kondisi.

SK : Berarti anak demikian ini rentan dengan rasa minder, rasa iri, rasa yang terus tidak pernah puas, Pak Paul.

PG : Saya kira demikian. Akhirnya dia selalu melirik kanan kiri dan mendambakan kapan dia bisa menjadi seperti orang lain karena penerimaan. Jadi kalau ibu berfungsi menjadi perpanjangan kasih karunia kepada anak, menerima diri anak apa adanya, itu akan menciptakan sebuah diri yang nyaman untuk berdamai dengan dirinya dan menerima kekurangannya. Tapi kalau ibu tidak bisa menerima anak, "Kamu harus seperti ini" tidak bisa melihat apa yang anak sudah miliki dan kerjakan, si anak juga akan menjadi seperti itu nantinya tidak bisa menerima diri, sangat kritis dan menjadi hakim yang paling kejam terhadap dirinya sendiri.

GS : Dalam hal ini kalau anak dipaksa melakukan sesuatu yang dia sendiri sebenarnya tidak suka untuk melakukannya, misalnya diikutkan les menari padahal dia tidak suka dengan les menari, apakah bisa berdampak seperti itu juga, Pak Paul?

PG : Bisa tapi sudah tentu harus melihat porsinya misalnya bukan hanya dalam hal menari saja tapi dalam hal-hal lain si ibu misalkan tidak begitu, sudah tentu dampaknya tidak besar, tapi kalau memang ini menjadi pola si ibu menuntut anak harus begini dan harus begitu, boleh dikata merata dalam segala hal, kalau tidak mencapainya dia akan marah dan misalnya mencela si anak, terbentuklah sebuah anggapan dalam diri si anak bahwa memang dirinya tidak cukup baik untuk bisa diterima oleh orang.

SK : Adakah dampak buruk yang ketiga kalau si ibu tidak berfungsi seharusnya?

PG : Yang ketiga kalau ia tidak mengalami kestabilan dalam keluarga akibat tidak berperannya ibu secara konsisten maka dia cenderung mengembangkan rasa tidak aman artinya dia penuh kecemasan dan ingin memastikan bahwa semuanya berjalan baik. Jadi dia berusaha mencari figur pelindung yang dapat memberikannya rasa aman, karena rasa aman bahwa sesuatu akan berjalan dengan tidak benar akan terjadi masalah, akan ada ancaman, menjadi sangat besar sekali.

SK : Apakah hal seperti ini menjelaskan tentang beberapa peristiwa dimana ada pria-pria yang memilih menikah dengan wanita yang sebenarnya secara usia seusia dengan ibunya, apakah ada hubungannya, Pak Paul?

PG : Maksudnya?

SK : Si wanita usianya jauh lebih tua dibandingkan dengan si pria. Jadi si pria ini usianya muda sementara selisihnya mungkin 10 tahun ke atas dengan si wanita. Apakah merupakan cerminan dari situasi seperti ini?

PG : Bisa saja, dia merasa tidak aman dan dia merasa pria ini bisa melindungi dia meskipun beda usia terlalu jauh dan tidak dilihat lagi, yang dilihat dia bisa menyediakan kebutuhannya akan rasa aman, sangat mungkin sekali, Pak Sindu.

SK : Maksudnya wanita yang usianya lebih tua itu dianggap bisa menjadi figur pelindung bagi si pria yang muda ini, Pak Paul?

PG : Iya bisa jadi. Jadi anak ini karena dia merasa dirinya tidak aman dan dia memerlukan seorang pengasuh yang bisa memberikan kepadanya rasa aman, karena dari rumahnya itulah yang tidak didapatkannya.

GS : Jadi sebenarnya hal terpenting apa yang harus dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya, Pak Paul?

PG : Saya membacakan dari Amsal 31:28, "Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia". Jadi kita melihat peranan ibu yang begitu penting dalam kehidupan anak yaitu benar-benar menjadi tiang dalam keluarga, menjadi penyatu, fondasi dalam keluarga. Hasilnya adalah anak-anaknya akan bisa bangun, tumbuh menjadi anak yang kuat dan tidak bisa tidak, suaminya akan memuji dia sebagai orang yang bijaksana dan telah benar-benar berperan sangat besar dalam keluarganya. Kenapa dikatakan suaminya memuji dia, karena memang si suami tahu dia tidak bisa melakukannya tanpa si ibu dan sebetulnya rumah menjadi begini gara-gara si ibu.

GS : Jadi memang panggilan atau tugas seorang ibu ini tidak mudah namun mulia, besar sekali pengaruhnya pada generasi penerus dan ini yang perlu kita terus sampaikan kepada para pendengar dan untuk diri kita sendiri untuk menghormati ibu yang sudah begitu susah payah membesarkan kita.

PG : Benar.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pengaruh Ibu Pada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



113. Berpisah Tidur Dengan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T368A (File MP3 T368A)


Abstrak:

Salah satu tugas yang mesti dijalankan orang tua adalah MEMPERSIAPKAN ANAK UNTUK HIDUP MANDIRI. Pada akhirnya anak akan harus hidup sebagai seorang dewasa yang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Ia tidak lagi dapat terus bergantung pada kita sebagai orang tuanya. Nah, dalam kerangka menyiapkan anak untuk mandiri, kita pun perlu untuk mulai memisahkan anak dari kita—salah satunya adalah, TIDAK LAGI TIDUR DENGAN KITA.


Ringkasan:

Membesarkan anak dapat diibaratkan seperti menyiapkan masakan—sangat unik! Meski bahannya sama, namun citarasa masakan belum tentu sama—bergantung pada siapa yang memasaknya. Begitu pula dengan membesarkan anak. Kita boleh menggunakan metode yang sama namun hasil akhir belum tentu sama. Setiap anak unik dan mesti diperlakukan secara khusus, sesuai dengan kondisinya.

Salah satu tugas yang mesti dijalankan orang tua adalah MEMPERSIAPKAN ANAK UNTUK HIDUP MANDIRI. Pada akhirnya anak akan harus hidup sebagai seorang dewasa yang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Ia tidak lagi dapat terus bergantung pada kita sebagai orang tuanya. Nah, dalam kerangka menyiapkan anak untuk mandiri, kita pun perlu untuk mulai memisahkan anak dari kita—salah satunya adalah, TIDAK LAGI TIDUR DENGAN KITA.

Mungkin salah satu pertanyaan yang muncul berkaitan dengan hal ini adalah, pada umur berapakah anak semestinya dipisahkan untuk tidur sendiri. Sebetulnya tidak ada patokan yang jelas, pada usia berapakah seharusnya anak tidur sendiri? Sama seperti kita tidak dapat mematok pada usia berapakah anak seharusnya makan sendiri, kita pun TIDAK bisa secara kaku memastikan pada usia berapakah anak seharusnya tidur sendiri.

Justru yang lebih dapat kita pastikan adalah PADA MASA AWAL SEHARUSNYALAH ANAK TIDUR DENGAN ORANG TUA—setidaknya dan sebaiknya dengan ibu. Tidur bersama orang tua memberikan rasa tenteram pada diri anak sebab pada usia awal ini, anak bergantung sepenuhnya pada kita, orang tuanya, untuk menyusui dan merawatnya. Jadi, makin dekat kehadiran orang tua, makin tenteram hati si anak. Sebaliknya, makin jauh kehadiran orang tua—makin susah dan makin lama orang tua hadir ketika dibutuhkan anak—makin bertambah kecemasan pada diri anak. Nah, di dalam rasa aman ini, secara perlahan anak akan makin siap untuk ditinggal oleh orang tua untuk tidur sendiri. Jadi, tidak benar bila kita berpendapat bahwa seharusnyalah sejak kecil anak sudah harus tidur terpisah dari orang tua supaya ia terbiasa tidur sendiri. Sekali lagi saya tekankan, ANAK MEMERLUKAN KEHADIRAN ORANG TUA SECARA DEKAT SUPAYA TERCIPTA RASA AMAN PADA DIRINYA.

Oleh karena setiap anak unik, maka tingkat kecemasan yang dibawa anak juga tidak sama. Ada anak yang mengembangkan rasa aman secara cepat tetapi ada pula anak yang lambat mengembangkan rasa aman. Itu sebab ada anak yang mudah dipisah, namun ada pula anak yang susah dipisah. Begitu kita beranjak pergi, ia pun menangis dan baru berhenti menangis setelah kita kembali berada di sisinya.Adakalanya karena letih, kita pun hilang sabar dan memarahinya serta memaksanya untuk tidur sendiri. Memang pada akhirnya anak akan tidur sendiri karena terpaksa namun sesungguhnya, untuk suatu masa, ia akan harus hidup dalam KETEGANGAN. Jadi, yang seharusnya dilakukan adalah, BUKAN memarahinya tetapi justru menenangkannya dan menidurkannya kembali. Setelah ia tertidur barulah kita meninggalkannya. Memang besar kemungkinan pada awalnya ia akan bangun dan menangis lagi begitu menyadari bahwa kita tidak berada di sampingnya. Tidak apa. Yang perlu dilakukan adalah kembali menemaninya sampai ia tertidur lagi. Perlahan tetapi pasti ia akan mengembangkan rasa aman yang tidak lagi bertumpu pada kehadiran kita terus menerus, melainkan pada kepastian bahwa kita akan hadir tatkala dipanggilnya.

Kembali kepada pertanyaan, pada umur berapakah anak seharusnya memulai proses untuk tidur terpisah, sebagai pedoman, ukuran yang dapat kita gunakan adalah KESIAPANNYA UNTUK DILEPAS SENDIRI. Bila ia mulai dapat dilepas untuk bermain sendiri, itu berarti sudah tiba saatnya buat kita untuk memulai proses pemisahan tidur.

Kadang proses pemisahan tidur terhambat oleh masalah lain. Misalnya, konflik suami-istri atau suasana lingkungan yang mencekam dapat menambah rasa cemas anak. Bila ini terjadi, kita harus fleksibel dan bersabar untuk mendampinginya namun tetap dengan cara yang sama, bukan dengan tidur dengannya terus menerus. Adakalanya kita pun mempunyai masalah meninggalkan anak sendirian karena ingin terus menyayangi dan melindunginya. Akhirnya ia makin bergantung dan tidak berkesempatan mengembangkan kemandirian. Sudah tentu ini tidak sehat. Bukannya menolongnya, kita malah merugikannya sebab ia terus bergantung pada kita.

Alkitab sarat dengan gambar Allah sebagai Bapa yang mengasihi kita anak-anak-Nya. Sudah tentu kita mesti mengasihi anak namun kita pun mesti mendisiplin anak. Amsal 22:6 menegaskan pentingnya disiplin dalam pertumbuhan anak, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Memisahkan anak pada waktu tidur malam adalah bagian dari mendisiplin anak. Tetapi, kita mesti melakukannya dengan penuh kasih serta pengertian akan kondisi anak.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Berpisah Tidur Dengan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, ada banyak orang tua yang memunyai persoalan mengenai anaknya tidak mau pisah dalam hal tidur sendiri, tidur di kamar padahal usianya sudah relatif cukup besar umur 10 tahun tapi anak ini lebih nyaman tidur dengan orang tuanya terus, namun orang tuanya berusaha untuk memisahkan anak ini, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Setiap anak memang berbeda-beda. Kita juga harus memerhatikan kondisi anak masing-masing sehingga kita akhirnya tidak terlalu menerima tekanan bahwa pada usia tertentu anak harus bisa tidur sendiri dan sebagainya, namun kita juga harus menyadari bahwa tugas kita sebagai orang tua adalah memersiapkan anak untuk hidup mandiri. Jadi tujuan akhir bukanlah untuk membuat anak bergantung pada kita, tapi justru menolongnya memersiapkannya hidup sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab. Jadi dengan kata lain, dalam kerangka menyiapkan anak untuk mandiri ini, kita juga perlu memisahkan anak dari kita, salah satunya adalah dengan tidak lagi tidur dengan kita.

GS : Karena orang tua juga merasa tidak sehat kalau anaknya terus kumpul dengan dia, hubungan suami istrinya menjadi terganggu, itu yang dirasakan oleh orang tua.

PG : Betul. Jadi salah satu pertanyaan yang muncul berkaitan dengan hal ini adalah, pada umur berapakah anak semestinya dipisahkan untuk tidur sendiri, ini yang kita tanyakan. Sekali lagi saya ulang, sebetulnya tidak ada patokan pada usia berapakah seharusnya anak tidur sendiri. Sama seperti kita tidak bisa mematok pada usia berapakah anak seharusnya makan sendiri, ada anak yang makan sendiri pada usia 2 tahun, ada anak yang baru 3 tahun dan sebagainya. Jadi kita pun tidak bisa secara kaku memastikan pada usia berapakah anak seharusnya tidur sendiri. Justru yang lebih dapat kita pastikan adalah pada masa awal seharusnya anak tidur dengan orang tua, setidaknya dengan ibu atau saya berkata sebaiknyalah dengan ibu. Tidur bersama orang tua memberikan rasa tentram pada diri anak, sebab pada usia awal ini anak bergantung sepenuhnya pada kita, orang tuanya, untuk menyusui dan merawatnya. Makin dekat kehadiran orang tua, makin tentram hati si anak, sebaliknya makin jauh kehadiran orang tua, makin susah dan makin lama orang tua hadir ketika dibutuhkan anak maka akan makin bertambah kecemasan pada diri anak.

GS : Dan ini pun jadi masalah dengan ibu-ibu muda, yang pertama mungkin karena ASI-nya tidak keluar sehingga dia tidak menyusui, yang kedua karena kesibukannya, banyak ibu-ibu muda yang pada malam hari masih sibuk dengan kegiatan macam-macam atau pergi dengan suaminya sehingga anak ini diasuh oleh 'baby-sitter' akhirnya tidur dengan 'baby-sitter'.

PG : Saya menekankan bahwa kehadiran orang tua yang dekat dengan anak adalah sebuah keniscayaan, jadi anak sepenuhnya bergantung pada orang tua sehingga seharusnyalah kita menyediakan kesempatan untuk bersamanya secara dekat termasuk sewaktu tidur. Ketika anak tahu orang tua berada di sampingnya dia merasa tentram dan dia akan tidur dengan lelap, dan misalnya suara atau sentuhan orang tua memberinya kepastian bahwa ia tidak sendirian dan bahwa ia diperhatikan. Inilah saat dimana 'bonding' atau kedekatan dengan orang tua terbentuk. Kalau misalnya si anak menghabiskan banyak waktu dengan pengasuhnya, tidur juga dengan pengasuhnya maka tidak bisa tidak kedekatan itu akan terbentuk dengan pengasuhnya dan bukan dengan orang tuanya.

GS : Sebagian mula-mula orang tua menikmati dengan cara itu, jadi dia merasa tidak disibukkan dengan anaknya, tapi pada suatu saat tertentu dia merasa hubungannya jauh dengan anaknya, jadi ini serba salah, begitu Pak Paul.

PG : Justru menurut saya awalnya kita memang harus dekat dengan anak dan sebaiknya kita tidur dengan anak pada masa awal itu, sebab di dalam rasa aman inilah secara perlahan anak justru akan makin siap untuk ditinggal oleh orang tua untuk tidur sendiri. Jadi saya kira tidak benar kalau kita berpendapat seharusnya sejak kecil anak harus tidur terpisah dari orang tua supaya terbiasa tidur sendiri. Saya kira anak memerlukan kehadiran orang tua secara dekat supaya tercipta rasa aman pada dirinya. Yang saya mau tekankan di sini adalah keunikan anak yaitu oleh karena setiap anak itu unik, maka tingkat kecemasan yang dibawa anak memang juga tidak akan sama; ada anak yang mengembangkan rasa aman secara cepat, tapi ada pula anak yang lambat mengembangkan rasa aman, kita harus terima bahwa semua anak tidak sama. Itu sebabnya ada anak yang mudah dipisah namun ada pula anak yang susah dipisah, begitu kita beranjak pergi dia pun menangis dan baru berhenti menangis ketika kita kembali dan berada di sisinya. Sudah tentu kalau kita sedang letih maka kita mudah hilang kesabaran dan kita memarahinya serta memaksanya untuk tidur sendiri dan mungkin anak akan tidur sendiri karena terpaksa, namun sesungguhnya untuk suatu masa dia harus hidup dengan ketegangan, setiap malam sebelum tidur dia tegang karena ketakutan, namun karena takut dimarahi maka dia terpaksa berdiam diri. Pada akhirnya dia memang akan tertidur namun kecemasan sudah terlanjur bersarang di hatinya.

GS : Seringkali anak bisa bermimpi buruk, bisa seperti itu, Pak Paul?

PG : Bisa sekali. Jadi dia sebetulnya menyimpan ketakutan sebelum tidur tapi karena terpaksa harus tidur sendiri kalau tidak nanti dimarahi, maka itu yang memunculkan mimpi-mimpi buruk itu. Jadi yang seharusnya dilakukan adalah bukan memarahinya, tetapi justru menenangkannya dan menidurkannya kembali, setelah ia tertidur barulah kita meninggalkannya. Memang besar kemungkinan pada awalnya dia akan bangun dan menangis lagi begitu menyadari bahwa kita tidak berada disampingnya, tidak apa-apa, yang perlu dilakukan adalah kembali menemaninya sampai dia tertidur lagi. Sudah tentu proses ini akan berlangsung selama beberapa hari dan akan melelahkan orang tua, tapi pada akhirnya anak akan terbiasa untuk tidur sendiri. Yang penting selama dia tahu bahwa sewaktu dia bangun dan memanggil kita dan kita akan segera dating, lama kelamaan dia akan mengerti bahwa sesungguhnya kita masih berada di dekatnya.

GS : Ada anak yang memang memunyai barang-barang tertentu untuk mendampingi dia tidur dan itu membuat dia merasa aman misalnya saja, boneka kesayangan dia atau guling atau bahkan bantal kecil dan sebagainya, ini bisa menolong, Pak Paul?

PG : Bisa. Sebetulnya boneka atau guling dan sebagainya, itu pada akhirnya merupakan representasi atau simbol kehadiran kita. Jadi kalau dia tidur tanpa ada satu barang pun di dekatnya, maka dia benar-benar merasa kesendirian, kita menemaninya itu menjadi adanya pendamping disampingnya, waktu kita tidak disana namun ada bantal guling di sampingnya, maka secara tidak langsung menjadi perwakilan atau simbol kehadiran kita, sehingga dia tidak sendirian. Jadi secara psikologis dia merasa tidak sendirian, ada yang dipegang atau dipeluknya.

GS : Tapi nanti untuk melepaskannya sulit sekali, Pak Paul?

PG : Biasanya memang memakan waktu, ada orang tua yang karena panik melihat anaknya sudah umur 6 tahun tapi masih terus memegangi boneka, masalahnya anak ini anak laki, kalau anak perempuan mungkin masih bisa diterima. Orang tua mungkin panik dan melarang anak untuk tidur dengan bonekanya. Menurut saya ini tidak begitu tepat, kalau pun kita mau memisahkan dia dengan bonekanya saya kira kita menggantikan boneka itu dengan yang lain, sehingga lama kelamaan misalnya dari boneka kita berikan barang yang lain sehingga dia tidak bergantung pada boneka, tapi pada yang lain. Berarti ketergantungannya pada satu objek itu berkurang, sehingga pada waktu dipindahkan kebergantungannya pada objek yang lain biasanya kadarnya tidak sebesar itu. Atau cara yang lain adalah dibiarkan, kenapa dibiarkan? Sebab pada akhirnya kalau ketentraman itu sudah muncul dalam dirinya pada akhirnya dia tidak terlalu membutuhkan sehingga kita akan melihat nanti, sebelum dia tidur mungkin dia peluk gulingnya, tapi dalam waktu yang relatif singkat akhirnya kita lihat dia tidak lagi pegang dan dia akan membiarkannya saja, kita tidak perlu mengambilnya, lama-kelamaan guling itu hanya akan ada tergolek di sampingnya, tapi tidak terlalu dia butuhkan. Ada hal-hal yang saya mengerti kadang-kadang kita orang tua khawatir anak kita menjadi begini bergantung pada guling dan sebagainya. Sebetulnya biarkan saja sebab pada akhirnya dia akan melepaskan itu kalau keamanan dalam dirinya sudah muncul.

GS : Apakah kalau ada saudara yang mendampingi, jadi misalkan adiknya apakah si sulung ini bisa lebih cepat pisah tidur dengan ibunya, Pak Paul?

PG : Bisa. Karena nanti adiknya sudah mulai besar dan bisa diajak main itu menjadi pendamping bagi dia sehingga dia tidak sendirian, sebab pada akhirnya yang memang mencekam bagi si anak adalah kesendiriannya, maka yang penting dalam masa awal itu kita konsisten datang menemaninya tatkala dia membutuhkan kehadiran kita. Jadi waktu kita datang, waktu dipanggilnya entah tengah malam dia tahu bahwa kita memerhatikannya. Perlahan tapi pasti dia akan mengembangkan rasa aman yang tidak lagi bertumbuh pada kehadiran kita terus-menerus, melainkan pada kepastian bahwa kita akan hadir tatkala dipanggilnya. Jadi kita mau transisi ke arah itu, awalnya kepastian kita bersamanya, tapi lama-lama kita mau mengubahnya sehingga menjadi kepastian bahwa kita akan bersamanya sewaktu dia membutuhkan kita. Jadi kita mau beralih ke situ. Kalau setiap kali dia panggil dan kita datang, kita temani dia tidur dan kemudian kita pergi lagi, mungkin akan makan waktu satu atau dua minggu, tapi lama kelamaan dia akan tahu bahwa kalau dia panggil mamanya pasti datang dan lama-lama dia akan tahu juga, bahwa mamanya dipanggil dan kalau dia sudah tidur mamanya akan pergi lagi, tapi dia lama-lama akan merasa tenang sebab dia tahu kalau dia butuh dia bisa panggil, sehingga akhirnya dia mulai terbiasa dan bisa tidur sendiri.

GS : Kadang-kadang anak juga dipengaruhi oleh lampunya, ada yang tidak bisa tidur kalau lampunya gelap. Padahal orang tua ingin kalau anaknya tidur maka lampunya gelap seperti orang tuanya. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebaiknya memang tidak, karena anak-anak sewaktu dia terbangun dia akan buka mata dan dia akan mencari atau melihat mamanya ada atau tidak, sewaktu dia tidak bisa melihat maka dia akan merasa takut sekali. Kita tahu anak bukanlah orang dewasa, kita bisa mengerti bahwa gelap bukan sesuatu yang permanen, gelap itu sementara dan kalau kita menyalakan lampu maka akan terang lagi dan anak kecil tidak mengerti itu, dia tidak tahu gelap ini sementara. Jadi waktu dia bangun dan lampunya gelap dia akan sangat kaget. Jadi lebih baik ada lampu kecil dan bukan lampu besar sehingga kalau dia bangun dia masih bisa melihat ruangannya dan misalnya ada barang-barang yang dia kenali, itu penting bagi dia.

GS : Jadi usia tidak menentukan seorang anak itu kapan bisa lepas dari orang tuanya kalau tidur, Pak Paul?

PG : Memang patokannya bukanlah usia, jadi yang kita mau gunakan adalah kesiapannya untuk dilepas sendiri. Ada anak yang memang belum siap dilepas sendiri didalam waktu sehari-harinya, misalnya di siang hari atau di sore hari anak terus menempel dengan orang tuanya. Kita tahu kalau anak yang seperti itu maka anak belum siap dilepas tidur sendiri, tidak mungkin. Jadi kita berusaha untuk melepaskan dia terlebih dahulu sebelum dia tidur, biar dia main sendiri dan biar dia bisa mungkin dengan teman-temannya. Anak yang mulai berani untuk dilepas bermain sendiri dan sebagainya biasanya di malam hari juga lebih berani untuk dibiarkan sendiri. Jadi ukurannya itu, namun memang kadang-kadang proses ini terhambat oleh problem dan tidak bisa disangkal kadang-kadang konflik suami istri atau suasana lingkungan yang mencekam bisa menambah rasa cemas anak sehingga anak sulit tidur, tidak ada rasa aman dan terus meminta orang tua menemaninya. Jika ini yang terjadi maka kita harus fleksibel, bersabar mendampinginya, namun tetap dengan cara yang sama yaitu bukan tidur dengannya terus-menerus.

GS : Dalam hal ini, Pak Paul, apakah kadang-kadang orang tuanya yang tergantung dengan anak. Jadi kalau dia tidak tidur dengan anak maka dia merasa ada sesuatu yang kurang dan membuat dia gelisah, akhirnya ibu kembali ke kamar anaknya dan tidur dengan anaknya.

PG : Kadang ada ibu-ibu yang memunyai insting keibuan yang sangat kuat yang ingin melindungi anak, sehingga rasanya tidak tega kalau anak tidur sendirin dan maunya menemani. Atau misalkan ada konflik atau masalah dengan suaminya dan dia tidak merasa nyaman tidur dengan suaminya dan merasa nyaman dengan anaknya. Jadi kadang masalahnya ada pada si ibu itu sendiri. Kalau kita tidak hati-hati si anak akan makin bergantung dan tidak berkesempatan mengembangkan kemandirian, secara emosional akhirnya dia akan baru tenang jika kita hadir dalam hidupnya, sudah tentu ini tidak sehat bukan malah menolongnya, tapi malah merugikannya karena dia bergantung pada kita. Misalkan dia sudah umur 15,17,18 tahun meskipun bisa jadi saat itu kita tidak lagi tidur dengan kita, tapi kebergantungannya terus bertahan. Yang kita mau perhatikan nantinya bukan hanya tidurnya yang bersama-sama kita, sehingga kita mungkin bisa melepaskan tidurnya dia, tapi kalau dia bergantung terus dan baru merasa aman kalau bicara dengan kita, selalu butuh kita untuk memberikan arahan, itu justru tidak sehat.

GS : Untuk ibu yang punya masalah dengan suaminya lalu tidur dengan anaknya, anak itu sendiri sebenarnya kurang nyaman tidur dengan ibunya, karena dia seringkali ada temannya di situ dan sebagainya dan tidak mungkin temannya itu tidur bersama-sama dengan ibu anak ini. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Dalam kasus seperti itu yang mesti disadarkan adalah ibunya, tapi kalau anaknya memang kebetulan sudah cukup besar dan mendengarkan siaran kita ini mungkin si anak yang harus berkata kepada ibunya, "Mama sudah temani saya selama ini, saya senang dan terima kasih, tapi saya mau belajar tidur sendiri sebab kalau saya tidur terus sama mama, kapan saya bisa mandiri?" Mungkin si anak yang harus berinisiatif meminta ibunya melepaskannya.

GS : Dalam kasus ini sampai anak itu akhirnya lulus SMA dan masuk Perguruan Tinggi akhirnya anak ini memilih untuk studi di luar kota dan kost di sana, tapi ibunya pada hari-hari tertentu misalnya Sabtu dan Minggu langsung ke tempat kostnya dan tidur dengan anaknya lagi.

PG : Jelas dalam kasus seperti itu yang membutuhkan si anak adalah si ibu dan dia tidak bisa melepaskan karena dia merasa kalau dia melepaskannya maka dia kehilangan dirinya dan anaknya adalah buah hatinya. Memang kenyataan dia bisa lepaskan tinggal di luar kota adalah sebuah kemajuan. Jadi kalau kita kenal orang tua itu kita bisa memberitahukan bahwa, "Saya senang sudah ada kemajuan bisa melepaskan anak ini sekolah di luar kota sehingga anak ini bisa hidup mandiri" namun kita bisa berkata kepada orang ini, "Waktu nanti kamu ke sana tengok dia, kalau tidak peru menginap sebaiknya kamu tidak perlu tidur dengan dia". Atau tanya kepada anak itu sebetulnya dia itu nyaman atau tidak tidur dengan kita. Sebab sebetulnya anak setelah besar, dia sudah tidak begitu nyaman tidur dengan kita, jadi akan lebih baik kalau dia tidur sendiri.

GS : Pak Paul, dalam hal tidur sendiri, bagaimana kita tahu kalau anak memang sudah siap untuk tidur sendiri?

PG : Pada akhirnya memang waktu kita tidak lagi memaksa, waktu kita biarkan secara alamiah dan dia bisa tidur sendiri waktu dia mengantuk pada akhirnya kita bisa katakan dia sudah siap. Memang kita melakukannya secara bertahap, awalnya dia tidur di kamar kita dan tahap kedua adalah kita tidurkan dia di kamarnya atau di ranjangnya sendiri, tapi bersama kita dan kita temani dia dan lama kelamaan yang tadi kita bicarakan yaitu orang tua meninggalkan dan baru datang waktu dipanggil oleh dia. Sehingga dia tahu kapan dia terbangun dia bisa panggil dan orang tua pasti datang, tapi misalnya kalau dia panggil dan orang tua tidak datang maka itu menambah kecemasannya. Jadi pada awal itu harus ada kekonsistenan kalau dipanggil kita datang dan jangan akhirnya kita dari kamar sebelah berkata, "Kamu tidur dan jangan ganggu" dan sebagainya. Itu membuat dia sangat ketakutan, maka waktu dia panggil kita maka kita datang dan kita temani dan kita ngobrol sebentar dan doakan dia, kemudian temani sebentar sambil dia tidur lagi dan baru kita jalan lagi.

GS : Repotnya kadang orang tua melihat bahwa anaknya sudah siap. Ada suatu peristiwa yang saya tahu persis, anak ini ditanya mau ikut neneknya atau tidak, karena neneknya kebetulan di luar kota dan dia mau, senang tidur dengan neneknya karena sudah sering tidur dengan neneknya, tapi setelah sampai di rumah neneknya waktu malam tiba, anak ini menangis karena ibunya jauh di luar kota, anak ini menangis. Ini yang sulit jadinya neneknya.

PG : Tapi saya kira karena dia itu di rumah neneknya dan dia terpaksa harus ada di sana karena tidak bisa langsung pulang, sebetulnya sedikit banyak itu hal yang baik juga karena dia sudah kenal neneknya dan dia bisa menemani dia. Perlahan-lahan dia mulai mengalihkan kebergantungannya dari hanya kepada ibunya, sekarang kepada neneknya juga. Itu hal yang positif.

GS : Tapi itu sulit, Pak Paul. Setelah dia mengalami hal itu lain kali dia tidak mau lagi diajak untuk tidur di rumah neneknya, semacam ada trauma terhadap peristiwa itu.

PG : Karena keterpisahan dengan ibunya itu. Memang kalau sampai begitu maka kita tidak paksakan dia. Kita memang melakukan seperti yang tadi kita bicarakan, temani dia tapi tidak lagi kita terus-menerus di kamarnya, kalau dia memanggil baru kita datang dan terus seperti itu.

GS : Dan tidak perlu terus-menerus diingatkan untuk tidur di rumah neneknya.

PG : Biarkan saja sampai nanti mungkin dia sudah siap untuk pergi dengan teman dan tidur dengan teman-temannya, maka di saat itu besar kemungkinan dia tidak ada masalah lagi tidur dengan neneknya.

GS : Tapi pasti ada kesempatan seperti itu. Jadi anak ini nanti suatu saat memisahkan diri dengan orang tuanya, begitu Pak Paul?

PG : Jadi yang alamiah sebetulnya iya, namun tadi saya sudah singgung kalau ada problem khusus maka itu bisa menghambat, problem khusus bisa dari diri si anak itu sendiri yang memang ketakutan, tapi bisa jadi juga dari orang tua yang terlalu protektif, itu bisa menghambat prosesnya. Tapi kalau sebetulnya tidak seperti itu, seharusnya anak akan menuju ke arah mandiri sebab pada akhirnya dia akan merasa nyaman tidur sendiri tanpa orang tuanya.

GS; Ada suatu keluarga yang keluarga besar jadi ada beberapa keluarga yang berkumpul di dalam satu rumah, biasanya anak-anaknya disediakan satu kamar dan itu campur di situ semua, hanya anak-anak saja dari beberapa orang tua, dan mereka bermain-main di sana dan itu lebih cepat proses berpisahnya.

PG : Setuju, karena ada teman-teman, mereka tidak sendirian dan mereka tidak takut, itu jauh lebih cepat.

GS : Dan kalau tidak mau tidur dengan mereka, itu malah menjadi bahan ejekan dari saudara-saudara yang lain.

PG : Sudah tentu itu baik sekali, tapi sekali lagi saya tekankan pada masa awal anak baru lahir paling tidak beberapa bulan pertama atau kalau memungkinkan hampir setahun pertama anak tidur dengan orang tua, itu sangat penting membangun kedekatan itu.

GS : Apakah Alkitab memberikan gambaran atau panduan kepada kita, Pak Paul?

PG : Alkitab sarat dengan gambar Allah yang mengasihi kita anak-anak-Nya. Jadi sudah tentu kita mesti mengasihi anak pula namun kita pun mesti mendisiplin anak. Saya bacakan dari Amsal 22:6, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu". Memisahkan anak pada waktu tidur malam adalah bagian dari mendisiplin anak, tapi kita harus melakukannya dengan penuh kasih serta pengertian akan kondisi anak, biarkan ini bergulir secara alamiah dan jangan kita paksa-paksakan.

GS : Seringkali anak juga suka dibacakan cerita sebelum tidur dan setelah dibacakan cerita anaknya tidur, itu bisa ditinggal?

PG : Kalau dia sudah terbiasa dengar cerita kita dan kita katakan sebentar lagi papa atau mama pergi. Biasanya dia bisa antisipasi itu atau kadang-kadang karena ceritanya panjang maka dia sendiri yang tertidur.

GS : Atau walaupun dia sudah tinggal di kamarnya sendiri, kalau suatu malam tiba-tiba listriknya padam atau ada suara petir dan sebagainya, dia mencoba lari ke kamar orang tuanya, maka itu harus diterima.

PG : Betul. Bukan saja kita menerimanya, tapi kalau perlu kita yang ke sana karena sudah pasti dia takut.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berpisah Tidur Dengan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



114. Mematahkan Sayap Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T368B (File MP3 T368B)


Abstrak:

Salah satu sukacita terbesar dalam hidup adalah sukacita memunyai anak. Secara alamiah kasih ingin terus mengalir keluar dan masuk ke dalam diri anak. Seiring dengan bertumbuhnya kasih, ada satu lagi hasrat yang turut bertumbuh yaitu keinginan untuk memberi yang terbaik kepada anak. Sayangnya, kadang kita melangkah terlalu jauh dan malah merugikan anak—bukan saja ia makin bergantung pada kita, ia pun tidak memunyai keyakinan diri dan kesanggupan menghadapi tantangan hidup. Disini akan dipaparkan beberapa tindakan yang kerap diperbuat orang tua "demi kebaikan anak," namun akhirnya malah mematahkan sayap anak.


Ringkasan:

Salah satu sukacita terbesar dalam hidup adalah sukacita memunyai anak. Secara alamiah kasih ingin terus mengalir keluar dan masuk ke dalam diri anak. Seiring dengan bertumbuhnya kasih, ada satu lagi hasrat yang turut bertumbuh yaitu keinginan untuk memberi yang terbaik kepada anak. Sayangnya, kadang kita melangkah terlalu jauh dan malah merugikan anak—bukan saja ia makin bergantung pada kita, ia pun tidak memunyai keyakinan diri dan kesanggupan menghadapi tantangan hidup. Berikut akan dipaparkan beberapa tindakan yang kerap diperbuat orang tua atas nama "demi kebaikan anak," yang akhirnya malah mematahkan sayap anak.

Pertama adalah MELARANG ANAK UNTUK BERMAIN DENGAN TEMAN. Biasanya kekhawatiran yang mendasari larangan ini adalah kita takut teman-teman ini akan memengaruhi anak kita secara negatif. Sudah tentu kita mesti mengawasi pertemanan anak dan melindunginya dari pengaruh buruk. Namun kita pun harus berhati-hati untuk tidak bersikap berlebihan.

Adakalanya alasan sesungguhnya mengapa kita melarang anak bermain dengan teman-temannya adalah karena kita merasa cemas bila anak tidak berada di depan mata. Kita perlu menyadari bahwa bermain dengan teman adalah kebutuhan pokok bagi anak yang penting untuk perkembangan jiwanya.

Kedua adalah MELARANG ANAK BERBAGIAN DI DALAM KEGIATAN YANG TIDAK KITA SUKAI. Ini bisa berkaitan dengan olahraga, musik, atau kesukaan lainnya. Pada umumnya kita beralasan bahwa aktivitas atau minat tersebut bukanlah sesuatu yang baik. Namun alasan sesungguhnya mengapa kita melarangnya adalah karena memang kita tidak menyukai pilihannya.

Sebagai contoh, bila kita menyukai piano, mungkin saja kita melarang anak untuk belajar menabuh drum. Nah, larangan seperti ini sebetulnya memasung anak untuk mengembangkan minatnya dan ini tidak baik. Kita mesti menyadari bahwa anak bukanlah kita dan bahwa perbedaan minat bukanlah sesuatu yang salah.

Ketiga adalah MENGAMBILKAN KEPUTUSAN BUAT ANAK. Sudah tentu pada masa anak kecil, kita harus mengambilkan keputusan buat anak namun seiring dengan pertumbuhannya, kita mesti memberikannya lebih banyak kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Biasanya alasan mengapa kita terus mengambilkan keputusan baginya adalah karena kita khawatir ia akan memilih yang keliru.

Daripada melindunginya dari keputusan yang salah, lebih baik bila kita mengajarkannya bagaimana seharusnya mengambil keputusan. Dengan kata lain, mengajarkannya untuk memerhatikan faktor yang mesti dipertimbangkan dalam pengambilan sebuah keputusan. Dan, kita dapat memulai dari hal yang kecil seperti memilih mainan atau baju. Pada akhirnya anak akan melakukan kesalahan, sebagaimana kita pun kadang salah memilih. Ini tidak dapat dihindarkan sebab ini adalah bagian dari kehidupan yang nyata. Namun selama ia tahu bagaimana seharusnya mengambil keputusan yang baik, kita harus belajar membiarkannya mengambil keputusan sendiri.

Keempat adalah MENAKUT-NAKUTINYA DENGAN SELALU MEMBAYANGKAN KEMUNGKINAN TERBURUK. Memang benar bahwa kita hidup di dalam dunia yang tidak selalu aman dan bahwa orang di sekitar tidaklah semua baik. Namun kita mesti berhati-hati agar tidak menanamkan pada diri anak sebuah gambar dunia yang kelam. Kita harus menyajikan kepada anak kondisi dunia yang riil—ada keburukan namun ada pula kebaikannya. Jadi,bukan saja kita berkata bahwa di dalam dunia tidak semua orang baik, kita pun mesti berkata bahwa di dalam dunia tidak semua orang jahat. Melalui penjelasan seperti ini barulah anak dapat membangun sebuah perspektif yang berimbang terhadap kehidupan.

Sebuah gambar tentang kehidupan yang gelap dan menakutkan akan membuat anak hidup dalam kecemasan. Ia akan membangun sebuah zona aman dan selalu takut untuk keluar dari zona aman ini. Pada akhirnya ia hanya akan memercayai segelintir orang yang dianggapnya layak dipercaya. Ia pun akan memangkas pertumbuhan jiwanya karena ia tidak berani mengeksplorasi dan mengembangkan minatnya.

Mazmur 135:5-6 mengingatkan kita akan kuasa Tuhan yang tak terbatas, "Sesungguhnya aku tahu bahwa Tuhan itu maha besar dan Tuhan kita itu melebihi segala allah. Tuhan melakukan apa yang dikehendaki-Nya, di langit dan di bumi, di laut dan di segenap samudera raya." Jadi, serahkanlah anak kepada pemeliharaan Tuhan. Tidak ada tempat yang lebih aman selain dari hidup dalam pemeliharaan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mematahkan Sayap Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, apa yang dimaksudkan dengan mematahkan sayap anak, anak tidak bersayap seperti burung?

PG : Memang saya menggunakan ini sebagai gaya lukisan, ini yang saya maksud adalah membuat anak tidak bisa hidup mandiri. Jadi kadang-kadang kita sebagai orang tua bukannya menolong anak mandiri, tapi malah menjerumuskan anak menjadi bergantung kepada kita.

GS : Jadi memang kemandirian anak diharapkan orang tua padahal orang tua sendiri yang menghambat anak untuk mandiri, tetapi ada sebagian orang yang memaksakan kemandirian anak sehingga orang yang disekitarnya melihat anak masih kecil, tapi sudah disuruh seperti itu misalnya yang pernah kita bahas tentang tidur bersama, umurnya kurang dari 1 tahun tapi sudah disuruh tidur sendiri, dan ini bisa menjadikan masalah kedepannya.

PG : Kita memang perlu menyeimbangkan, saya mengerti dalam soal anak salah satu sukacita terbesar dalam hidup adalah memunyai anak, secara alamiah kasih sayang itu terus ingin diberikan kepada anak dan seiring dengan bertumbuhnya kasih, ada satu lagi hasrat yang sering bertumbuh yaitu ingin memberikan yang terbaik kepada anak. Sayangnya kadang kita melangkah terlalu jauh dan malah merugikan anak, bukan saja dia makin bergantung kepada kita, dia pun tidak memunyai lagi keyakinan diri dan kesanggupan menghadapi tantangan hidup. Jadi kita harus berhati-hati dengan yang kita sebut demi kebaikan anak, kadang-kadang justru demi kebaikan anak itu malah mematahkan sayap anak untuk bisa mandiri.

GS : Hal-hal apa yang bisa dilakukan orang tua sehingga menyebabkan anak itu tidak bisa mandiri, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah melarang anak untuk bermain dengan teman. Biasanya kekhawatiran yang mendasari larangan ini adalah kita takut teman-teman ini akan memengaruhi anak-anak secara negatif. Sudah tentu kita harus mengawasi pertemanan anak dan melindunginya dari pengaruh buruk namun kita pun harus berhati-hati untuk tidak bersikap berlebihan adakalanya alasan sesungguhnya mengapa kita melarang anak bermain dengan teman-temannya adalah karena kita merasa cemas bila anak tidak berada di depan mata, kita perlu menyadari bahwa bermain dengan teman adalah kebutuhan pokok bagi anak yang penting bagi perkembangan jiwanya.

GS : Ini tergantung dari usia anak itu, kalau anak masih terlalu kecil memang kita tidak tega membiarkan anak ini bermain misalnya di tetangga atau di jalan, tentu saja kita membiarkan atau meminta anak itu tetap tinggal di dalam rumah.

PG : Pada masa anak-anak kecil kita masih mengawasinya karena anak-anak itu tidak selalu mengerti bahaya, jadi kita harus menjaganya. Namun setelah anak mulai besar dan ada saudara datang mengajaknya atau ada teman di sebelah rumah dan kita percaya kepada orang tuanya, seharusnya kita juga membiarkan sehingga anak terbiasa juga untuk main di luar rumah, di rumah tetangga atau saudaranya sehingga tidak selalu bersama-sama dengan kita di dalam rumah. Ini memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukannya, karena sekali lagi secara alamiah kita baru merasa tenang kalau kita melihat anak kita, baik itu di rumah kita atau pun dimana kita harus melihat dia ada. Tapi sekali lagi pertemanan anak itu penting, dia harus bisa bermain-main dengan teman-temannya dan karena di sekolah sudah ada tapi sebetulnya tidak cukup, kalau bisa ditambah dengan di luar dia bermain dengan saudara sepupunya atau siapa, itu juga sangat baik bagi anak. Secara fisik dia akan banyak bergerak dan juga secara mental dia akan belajar untuk bagaimana bekerjasama dengan orang lain.

GS : Belajar bersosialisasi dengan lingkungannya, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali. Saya perhatikan ada anak-anak yang waktu kecilnya tidak boleh keluar dan terus dilindungi seperti itu sampai besar akhirnya anak seperti itu yang tidak terbiasa bermain dengan orang lain hanya ke sekolah dan bermain sebentar dengan teman-teman dan pulang dan kemudian terus di rumah, hari Sabtu Minggu juga terus di rumah akhirnya itu dibawa sampai usia remaja karena orang tuanya tetap melarang dan anak-anak itu karena sudah terbiasa hidup dalam rumah, dia takut keluar rumah dan rasanya juga tidak bisa bagaimana caranya bermain dan berinisiatif, menjalin relasi dengan teman akhirnya sendirian dan terisolasi. Pada waktu usia sudah mulai dewasa baru orang tua sadar kalau anak saya diam di rumah saja, dan baru disuruh keluar serta baru disuruh bergaul, tapi masalahnya adalah dia tidak mengerti bagaimana caranya bergaul. Bagi kita yang sudah terbiasa bergaul, kita tidak lagi berpikir mau bicara apa setelah mengucapkan perkataan ini. Tapi bagi anak yang tidak bisa bersosialisasi setiap kalimat menjadi pergumulan dia, karena dia benar-benar tidak mengerti harus berbicara apa. Pada waktu temannya mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu atau misalnya bercanda dan sebagainya, dia benar-benar tidak mengerti bagaimana menjawabnya. Otomatis buat dia akhirnya bersama dengan kerumunan orang, itu hal yang tidak nyaman sehingga dia makin menutup diri. Dan sekali lagi ini dimulai dari awal yaitu masa kecil.

GS : Tapi memang ada anak sejak kecil sulit untuk bergaul sehingga dia walaupun didorong atau dimotivasi, tetap dia memilih main di rumah apalagi sekarang banyak permainan untuk anak yang bisa dikerjakan sendiri di rumah, Pak Paul.

PG : Jadi kita harus mengerti kondisi anak kita masing-masing, misalkan anak saya ada tiga, satu dari anak saya mirip seperti itu. Memang dia senang dengan bidang-bidang 'science', eksakta dan akhirnya studinya bagian 'science' dan dia memang tidak begitu bisa bergaul, apa yang kami lakukan? Kami memang meminta temannya mengajak dia tinggal di rumah temannya atau kami mengundang temannya untuk menginap di rumah kami, karena kami kenal dengan orang tuanya. Sewaktu kecil ketika saya lihat memang lucu sebab dia dan temannya dua-duanya mirip yaitu susah bergaul dan temannya juga sama, senangnya juga sama yaitu main video games, yang lucu adalah mereka misalkan menginap di rumah dan berdua-dua bisa bersama-sama dalam satu ruangan tapi tidak ada pembicaraan karena dua-duanya bermain, tapi tetap itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Itu yang kami lakukan terus sampai dia mulai besar dan karena dia sudah mulai besar, kami sering bicara dengan dia dan memberikan dia masukan-masukan tentang apa yang perlu dia tambahkan dalam hidupnya. Dan karena dia tambah besar jadi dia bicara dan akhirnya dia mulai mengakui, "Memang saya ini lemah dalam bidang pertemanan" jadi dia secara terencana berusaha memerbaiki kelemahannya itu meskipun tetap saya akui sampai sekarang keterampilannya bergaul masih tetap tidak sama dengan teman-temannya dan dia memang tetap harus bergumul dalam hal bergaul. Ini adalah keunikan dari anak tertentu yang kuat dalam bidang-bidang tertentu.

GS : Kalau dicarikan teman yang ramah, yang suka bicara dan suka cerita, apakah itu berpengaruh pada anak Bapak dalam hal ini?

PG : Kebetulan temannya yang dia bisa cocok adalah yang sehobi dengan dia. Jadi kalau temannya itu lebih berani dan lebih banyak bicara dan sebagainya, tapi hobinya sama maka bisa. Contohnya adalah waktu dia kuliah dan dia mendapat teman sekamar yang lebih bisa bergaul, tapi sebenarnya banyak miripnya dengan dia dalam bidang studi, sehingga dia bisa berelasi dengan temannya ini dan temannya banyak sekali menolong dia, sehingga dia akhirnya mulai bisa bergaul dengan teman-temannya yang lain. Jadi kalau temannya yang bisa bergaul bersama dengan dia maka dia bisa tertolong.

GS : Selain melarang anak bermain, itu yang Pak Paul katakan bisa mematahkan sayap anak, hal lain yang bisa terjadi apa, Pak Paul?

PG : Melarang anak berbagian di dalam kegiatan yang tidak kita sukai itu adalah cara kita mematahkan sayap anak. Ini bisa berkaitan dengan olah raga, musik atau kesukaan lainnya. Pada umumnya kita beralasan bahwa aktifitas atau minat tersebut bukanlah sesuatu yang baik, namun alasan sesungguhnya mengapa kita melarangnya adalah karena kita tidak menyukai pilihannya. Sebagai contoh misalnya kita menyukai piano, mungkin saja kita melarang anak belajar menabuh drum, larangan seperti ini sebetulnya memasung anak untuk mengembangkan minatnya dan ini tidak baik, kita harus menyadari bahwa anak bukanlah kita dan bahwa perbedaan minat bukanlah sesuatu yang salah. Jadi untuk tidak mematahkan anak, ijinkan anak berbagian atau melakukan kegiatan yang dia sukai, meskipun kita sendiri tidak terlalu menyukainya atau kita anggap itu bukanlah suatu kegiatan yang terlalu penting dan sebagainya, tapi biarkan supaya dia bisa mengembangkan dirinya.

GS : Tapi biasanya anak itu mencontoh orang tuanya misalnya orang tua senang main piano dan dia lebih cepat untuk menyukai piano daripada menyukai drum.

PG : Biasanya pada masa anak-anak kecil, iya. Biasanya pada masa kecil mereka akan mengikuti apa yang orang tuanya main dan sebagainya, olah raga apa dan sebagainya tapi begitu dia mulai besar di sekolah ada banyak kegiatan lainnya dan teman-temannya memunyai kebisaan yang lainnya, dia mungkin sekali mengembangkan minat mau mencoba yang lain-lainnya yang juga dilakukan oleh temannya di sekolah. Dalam hal ini orang tua memang penting untuk bisa fleksibel, contohnya anak kami tiga, ketiganya diajar piano oleh istri saya, tapi pada akhirnya yang benar-benar main piano dan terus main piano hanya satu dan dua lagi tidak, mereka tetap bisa main piano tapi tidak terlalu sering main piano. Yang dua malahan akhirnya pindah haluan, lebih banyak bermain gitar dan istri saya terima tidak mengapa mereka mau main yang lainnya. Jadi penting sebagai orang tua kita tidak mengikat anak harus persis sama sesuai dengan keinginan kita.

GS : Tapi kalau itu sesuatu yang menurut kita bisa membahayakan anak, misalnya saja balapan sepeda motor dan sebagainya, anak-anak suka itu tapi kita melihat bahaya yang bisa ditimbulkan karena kesukaannya atau hobinya.

PG : Tidak bisa tidak, waktu anak masih kecil apalagi dia masih belia atau remaja kita harus lebih berani, lebih berinisiatif untuk mengatakan, "Jangan ini bahaya buat kamu" sebab dia mungkin saja tidak menyadari bahayanya itu. Kalau dia sudah besar dan merupakan pilihan dia, tetap kita masih bisa dan boleh memberikan saran, "Apakah kamu sungguh-sungguh mau melakukan ini, bukankah ini berbahaya buat kamu?" tapi kalau dia berkata, "Saya sudah pelajari dan saya bisa akhirnya kita juga harus terpaksa melepaskan sekalipun kita takut ada apa-apa dengan dia.

GS : Karena semua kegiatan seperti itu biasanya membutuhkan dana yang tidak sedikit dan orang tua juga memikirkan hal itu.

PG : Kadang-kadang kita harus bilang kepada anak kita, "Maaf memang kami tidak punya uang untuk membelikan apa yang kamu sukai itu". Jadi anak juga harus menerimanya.

GS : Itu bukan hal yang Pak Paul katakan sebagai mematahkan sayap anak?

PG : Tidak. Kalau memang kita tidak punya maka kita bicara terus terang kepada anak, saya kira anak akan bisa melihat dan bisa mengakui bahwa memang tidak bisa orang tua tidak mampu dan biasanya mereka akan menerima itu.

GS : Seringkali banyak cita-cita anak yang tidak kesampaian karena memang ketidakmampuan orang tua, dan bahkan memilihkan tempat sekolah atau tempat dia tinggal karena anak harus mengikuti orang tua padahal kemampuan orang tua sangat terbatas.

PG : Memang sudah tentu akan ada hal-hal yang ingin anak lakukan, tapi tidak bisa karena tidak punya kemampuan untuk itu, ini sedikit berbeda topiknya tapi saya mau munculkan juga yaitu orang tua harus bijaksana menempatkan anak di sekolah atau lingkungan yang sesuai dengan taraf kehidupan kita, kalau kita karena bersemangat sekali ingin anak kita memunyai prestasi yang lebih tinggi dan sebagainya dan kita tempatkan dia di sekolah yang baik, tapi juga kalangan atas sedangkan kita bukan di kalangan atas, ini nantinya juga bisa menjadi boomerang karena si anak akan merasa tertekan sekolah di situ, teman-temannya jauh lebih mampu dari dia secara ekonomi, main ini, ikut itu sedangkan dia tidak bisa dan itu menjadi tekanan bagi dia.

GS : Hal lain yang bisa mematahkan sayap anak apa, Pak Paul?

PG : Yaitu kita mengambilkan keputusan bagi anak. Sudah tentu pada masa anak kecil kita harus mengambilkan keputusan buat anak, namun seiring dengan pertumbuhannya kita harus memberikannya lebih banyak kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Biasanya alasan mengapa kita terus mengambilkan keputusan baginya adalah karena kita khawatir ia akan memilih yang keliru. Menurut saya daripada melindunginya dari keputusan yang salah lebih baik bila kita mengajarkannya bagaimana mengambil keputusan. Dengan kata lain, kita mengajarkannya untuk memerhatikan faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan kita dapat memulai dari hal yang kecil seperti memilih mainan atau baju. Pada akhirnya anak akan melakukan kesalahan sebagaimana kita pun kadang salah memilih dan ini tidak mengapa, sebab ini adalah bagian dari kehidupan yang nyata, namun selama ia tahu bagaimana seharusnya mengambil keputusan yang baik, kita harus belajar membiarkannya mengambil keputusan sendiri.

GS : Yang seringkali terjadi bagi orang tua adalah tidak sabar menunggu anak itu mengambil keputusan, karena kita tahu mana yang seharusnya diputuskan, tapi proses pengambilan keputusan bagi anak itu perlu waktu yang lebih lama dari pada kita.

PG : Jadi kita kadang-kadang berpikir kita lebih tahu dan tidak memakan waktu jadi bisa lebih cepat dan kita ambilkan saja. Ada waktu-waktu tidak mengapa kita ambilkan mungkin memang waktunya terdesak dan sebagainya, tapi kalau ada waktunya berikan kesempatan kepada anak. Sebagai contoh adalah ini yang terjadi pada anak saya. Anak saya sekarang mengajar di sekolah yang memang banyak sekali anak-anak yang bermasalah, karena waktu kuliah dulu dia mendapatkan tunjangan sehingga dia sekarang harus mengajar di sekolah yang memang bermasalah. Sebetulnya sebelum dia masuk ke program ini saya sudah beritahukan dia, "Lebih baik pikir baik-baik lagi, mungkin kamu harus melihat dulu anak-anak seperti apa yang nanti akan kamu ajar sebelum kamu iyakan". Tapi dia tetap memilih program ini karena secara ekonomis lebih tidak memberatkan kami sebagai orang tua dan memang sekarang dia kesulitan sekali. Kami tetap membantu dia, mendukung dia dalam masa kesulitannya ini, pernah sekali dua kali saya munculkan dan saya katakan kepada dia, "Ini yang membuat saya atau papa dulu meminta kamu untuk benar-benar memertimbangkan secara serius karena ini yang papa lihat, kamu akan kesulitan mengajar anak-anak yang seperti ini". Jadi kita tidak perlu terus-menerus berbicara seperti itu, saya hanya bicara sekali atau dua kali paling banyak, selebihnya adalah memberikan dorongan kepadanya. Jadi sekali lagi walaupun saat itu saya tahu kira-kira anak saya akan kesulitan karena tidak mudah menghadapi anak-anak yang bermasalah seperti itu, tapi karena dia sudah putuskan seperti itu maka tidak mengapa. Keinginan kita untuk melindungi anak dari semua yang buruk-buruk, tapi kadang-kadang kita harus membiarkan karena itulah cara dia itu bertumbuh.

GS : Biasanya anak itu kesulitan di dalam hal memilih sekolah atau teman hidup dan kita sebagai orang tua tidak bisa terlalu jauh mencampuri urusan seperti itu, Pak Paul?

PG : Sekali lagi kita harus ingat tugas kita adalah memberitahukan, mengarahkan, mengingatkan, tapi akhirnya keputusan itu ada di tangan dia dan kita tidak bisa membuatkan untuk dia. Waktu dia masih kecil kita harus buatkan bagi dia karena dia belum mampu mengambilnya maka tugas kita adalah mengajarkan sebagai orang tua sebetulnya apa prosedur atau cara mengambil keputusan yang baik atau yang sehat dan setelah itu kita harus biarkan dia dan prosesnya akan lewat jatuh bangun. Ada orang tua yang tidak mau melihat anaknya jatuh bangun jadi semua diputuskan dan masalahnya adalah anak ini sampai kapan pun tidak pernah belajar mengambil keputusan, itu yang justru mematahkan sayap si anak.

GS : Biasanya hal-hal apa yang kita mau sampaikan supaya dia memunyai pegangan untuk mengambil keputusan itu, Pak Paul?

PG : Misalkan kita selalu meminta dia sebelum mengambil keputusan untuk benar-benar mengerti apa kondisi yang harus dihadapinya dan jangan hanya melihat satu sisi tapi lihatlah segala sisi. Tugas kita sebagai orang tua mungkin memunculkan sisi-sisi itu. Contohnya anak saya itu, mungkin dia melihatnya dari segi tidak memberatkan orang tua secara ekonomi dan program ini program yang baik kenapa tidak mengambilnya, tapi saya memunculkan sisi yang lainnya, "Kamu nanti akan mengajar anak yang sulit dididik, karena dia berasal dari keluarga yang bermasalah dan sebagainya", itu tugas kita yaitu menjelaskan kondisi sejelas mungkin kepada dia. Kedua, kita memang harus menyadarkan kemampuannya, kesanggupannya. Jadi apapun yang diputuskan harus didasari atas pemahaman siapakah dirinya, kesanggupannya apa, jangan sampai dia mengambil keputusan yang dia sendiri tidak bisa lakukan. Salah satu contoh lain yaitu kita ingin mendapatkan pandangan dari orang lain, sebaiknya dalam pengambilan keputusan tidak hanya pandangan kita yang kita dengarkan, tapi juga pandangan orang lain sehingga kita bisa membandingkannya. Saya pikir itu adalah tiga faktor utama dalam pengambilan keputusan.

GS : Apakah mungkin ada hal lain dari tindakan orang tua yang bisa mematahkan sayap anak, Pak Paul?

PG : Yang keempat dan terakhir adalah menakut-nakutinya dengan selalu membayangkan dengan kemungkinan terburuk, memang benar bahwa kita hidup dalam dunia yang tidak selalu aman dan bahwa orang di sekitar kita tidaklah semua baik dan itu betul. Namun kita harus berhati-hati agar tidak menanamkan pada diri anak sebuah gambar dunia yang kelam, kita harus menyajikan kepada anak kondisi dunia yang nyata, yaitu ada keburukan namun ada pula kebaikannya. Jadi bukan saja kita berkata bahwa di dalam dunia tidak semua orang baik, tapi kita pun harus berkata bahwa di dalam dunia tidak semua orang jahat, melalui penjelasan seperti ini barulah anak dapat membangun sebuah perspektif yang berimbang terhadap kehidupan. Jadi sebuah gambar tentang kehidupan yang gelap dan menakutkan tidak bisa tidak akan membuat anak hidup dalam kecemasan dan dia akhirnya membuat zona aman dan selalu takut untuk keluar dari zona aman ini, pada akhirnya ia hanya akan memercayai segelintir orang yang dianggapnya layak dipercaya. Dia pun akhirnya akan memangkas pertumbuhan jiwanya karena dia tidak berani mengeksplorasi dan mengembangkan minatnya. Jadi hati-hati dengan omongan kita yang mengingatkan anak harus berhati-hati, tapi akhirnya kita menyajikan sebuah dunia yang terlalu menakutkan bagi anak.

GS : Rupanya hal ini juga disadari oleh banyak orang tua, sehingga ada orang tua yang mengatakan, "Saya tidak menakut-nakuti kamu, tapi........." Dan kata 'tapi' itu ceritanya menakut-nakuti, dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Orang tua yang biasanya menakut-nakuti anak biasanya memang orang tua yang penuh ketakutan, jadi dia menularkan ketakutannya itu pada orang di sekitarnya dalam hal ini anaknya, maka kita harus sadarkan diri kita bahwa kitalah yang punya masalah dengan ketakutan itu, kita sebaiknya tidak menularkannya sebab kita sendiri tahu bahwa akhirnya kita ini tidak bisa hidup optimal karena kita dirundung ketakutan dan tidak berani melakukan ini dan itu, apakah kita mau anak kita seperti kita? Kalau kita berkata, "Tidak mau, kita mau anak kita lain dari kita" sebaiknya kita juga menjaga dan jangan terlalu sering-sering memberikan komentar negatif tentang hidup ini.

GS : Sebaliknya kalau kita tidak mau mengingatkan, anak ini kurang waspada, itu yang dikhawatirkan oleh banyak orang tua, Pak Paul.

PG : Maka penting kita mengerti anak kita, ada anak yang memang sembarangan dan tidak memikirkan resiko. Untuk anak-anak seperti itu orang tua harus sering-sering mengingatkan, tapi ada anak yang tidak begitu dan dia berpikir panjang, dia sudah berhati-hati. Kepada anak yang seperti ini kita tidak perlu sering-sering memberikan peringatan kepadanya, selama kita tahu anak kita seperti apa dan bisa menyesuaikannya, saya kira itu baik.

GS : Jadi bagaimana kalau kita mau mengingatkan anak kita supaya dia lebih berhati-hati dan waspada terhadap lingkungannya, Pak Paul?

PG : Kita selalu katakan 2 sisi yang tadi bahwa ada yang jahat tapi ada yang baik. Ada orang yang menipu kita, tapi ada orang yang begitu layak dipercaya dan benar-benar dia tidak akan berbuat curang dan kita bisa berikan contoh-contoh kepada anak kita. Kalau kita bisa memberikan tanda-tanda yang lebih spesifik sampaikanlah, misalnya kita berkata, "Kamu perlu berhati-hati dengan orang yang belum apa-apa sudah menjanjikan keuntungan-keuntungan sebab biasanya kalau orang yang belum apa-apa sudah menjanjikan keuntungan-keuntungan, tujuannya adalah ingin mendapatkan sesuatu dari kamu. Tapi kalau orang itu bicara apa adanya dan tidak menjanjikan apa-apa lebih realistik, itu yang harus kamu perdengarkan". Jadi bagikanlah apa-apa yang telah kita pelajari dalam hidup, hikmat-hikmat dalam hidup supaya anak mengerti bagaimana menghadapi hidup, tapi dengan gambar yang lebih realistik dan tidak sampai terlalu buruk.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mengingatkan kita tentang hal ini?

PG : Mazmur 135:5-6 mengingatkan kita akan kuasa Tuhan yang tak terbatas, "Sesungguhnya aku tahu, bahwa TUHAN itu maha besar dan Tuhan kita itu melebihi segala allah. TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya, di langit dan di bumi, di laut dan di segenap samudera raya". Jadi kita serahkan anak kita kepada pemeliharaan Tuhan, tidak ada tempat yang lebih aman selain daripada hidup dalam pemeliharaan Tuhan.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan firman Tuhan ini pasti sangat menguatkan kita semua. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mematahkan Sayap Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



115. Trauma Masa Kecil


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T370A (File MP3 T370A)


Abstrak:

Sebagaimana kita ketahui istilah trauma mengacu kepada peristiwa atau kejadian yang mengguncangkan kalbu secara dahsyat. Begitu banyak orang yang mengalami trauma di masa kecil dan harus terus hidup di bawah bayang-bayang trauma sampai di usia dewasa. Itu sebabnya penting bagi kita untuk memahami trauma secara lebih saksama dan mengetahui cara untuk mengatasinya.


Ringkasan:

Sebagaimana kita ketahui istilah trauma mengacu kepada peristiwa atau kejadian yang mengguncangkan kalbu secara dahsyat. Begitu banyak orang yang mengalami trauma di masa kecil dan harus terus hidup di bawah bayang-bayang trauma sampai di usia dewasa. Itu sebabnya penting bagi kita untuk memahami trauma secara lebih saksama dan mengetahui cara untuk mengatasinya.

HAL PERTAMA yang perlu kita ketahui tentang trauma adalah, MAKIN BELIA USIA SEWAKTU MENGALAMI TRAUMA, MAKIN BESAR DAMPAK TRAUMA PADA PERTUMBUHAN JIWA. Pada usia belia, kita belum mempunyai sistem pertahanan yang kuat untuk menahan hantaman trauma. Itu sebabnya trauma langsung masuk dan menohok jiwa tanpa hambatan. Pada usia dewasa kita telah memiliki sistem pertahanan yang lebih kuat sehingga laju hantaman trauma lebih dapat diperlambat.

Misalkan kita hidup bersama orang tua yang tidak harmonis yang kerap bertengkar dengan keras. Tidak bisa tidak, kita harus hidup dalam ketegangan sebab pertengkaran telah menjadi trauma buat kita. Apabila kita sudah berusia remaja atau dewasa, kita akan dapat pergi keluar untuk menghindar dari pertengkaran, atau kalaupun kita tidak bisa pergi keluar, kita mungkin dapat menyetel musik atau menelepon teman. Dan, jika kita merasa tertekan, kita dapat bercerita dengan teman atau berasionalisasi bahwa ini bukan urusan kita. Sebaliknya, seorang anak kecil memiliki keterbatasan untuk melakukan semua itu. Alhasil ia terpaksa menelan semua ketegangan itu tanpa daya. Itu sebabnya dampak trauma akan lebih besar pada anak kecil dibanding orang dewasa.

HAL KEDUA tentang trauma yang perlu kita ketahui adalah, TRAUMA YANG TERJADI PADA MASA KECIL BERPOTENSI BESAR MERUSAK PEMBANGUNAN SISTEM PERTAHANAN DALAM DIRI. Salah satu ciri khas anak adalah kepolosannya. Sebenarnya kepoloson berasal dari ketidakadaan sistem pertahanan. Pada masa kanak-kanak kita belum dapat memisahkan diri dari situasi yang dihadapi. Kita belum memiliki kemampuan berpikir secara abstrak dan menganalisis masalah dari pelbagai sudut. Dan, kita pun belum dapat menyembunyikan perasaan atau pikiran. Itu sebab tatkala kecil anak kerap menangis sewaktu tertangkap basah melakukan kesalahan. Namun setelah remaja, ia dapat bersilat lidah untuk membela diri.

Nah, makin kita dewasa, makin canggih sistem pertahanan dan makin sanggup kita melindungi diri. Namun apabila pada masa kecil kita telah mengalami trauma—apalagi berkelanjutan—maka proses pembentukan sistem pertahanan ini akan mengalami gangguan. Mungkin kita terlalu cepat mematikan perasaan atau sebaliknya, kita tidak sanggup mengesampingkan perasaan sama sekali—semua langsung dirasakan. Mungkin kita akan terlalu sering merasionalisasi sehingga tidak mendayagunakan perasaan sama sekali atau sebaliknya, kita kurang bisa merasionalisasi sehingga menjadi terlalu emosional dan cepat meledak.

HAL KETIGA yang perlu kita ketahui adalah, pada akhirnya trauma masa kecil membuat kita KEHILANGAN RASA AMAN, BUKAN SAJA TERHADAP SITUASI TERTENTU, TETAPI JUGA TERHADAP HAL LAINNYA. Kembali pada contoh tadi, mungkin pada awalnya kita hanya takut pada pertengkaran atau konflik. Mungkin kita menjadi peka terhadap konflik dan berusaha menjauh. Namun perlahan tetapi pasti kita pun berusaha menghindar dari segala ketegangan. Kita berupaya untuk memastikan segalanya sebab kita tidak bisa menoleransi ketidakpastian. Pada akhirnya kita menjadi orang yang selalu harus memastikan bahwa semua akan berjalan dengan baik. Kita juga berusaha menghilangkan risiko sebab bagi kita, risiko sama dengan bencana.

Singkat kata, akibat trauma kita cenderung mengembangkan perilaku MENGHINDAR dan MEMASTIKAN. Kita menghindar dengan cara MELARIKAN DIRI dari tantangan dan bahaya. Dan, kita memastikan dengan cara MENGENDALIKAN KONDISI ATAU ORANG di sekitar kita. Sudah tentu perilaku ini bukan saja akan memengaruhi kehidupan kita; pada akhirnya perilaku ini memengaruhi orang di sekitar kita pula. Oleh karena takut, kita cenderung menanamkan rasa takut pada orang di sekitar, terutama anak-anak kita. Oleh karena takut, kita pun cenderung mengendalikan orang di sekitar, supaya hidup seperti yang kita harapkan.

Pada kesempatan berikut kita akan membahas bagaimana menolong orang yang hidup di bawah trauma masa kecil, namun untuk mengakhiri, saya akan membacakan Firman Tuhan yang terambil dari Mazmur 27: 14, "Nantikanlah Tuhan! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah Tuhan!" Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus menantikan Tuhan. Kita mesti datang kepada Tuhan membawa trauma yang kita alami dan ketakutan yang kita bawa sampai sekarang. Kita tidak bisa terus melarikan diri dan berusaha untuk terus mengendalikan orang atau situasi. "Nantikanlah Tuhan" adalah perintah untuk menyerahkan semua dan melepaskan semua kepada Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Trauma Masa Kecil". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Berbicara tentang trauma, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara singkat apa itu trauma?

PG : Trauma mengacu kepada peristiwa atau kejadian yang mengguncangkan kalbu secara dahsyat, jadi ini bukan saja kita merasa kaget atau merasa sedih atau kadang-kadang merasa takut tapi ini benar-benar suatu peristiwa atau kejadian yang sangat-sangat mengguncangkan kalbu. Banyak orang mengalami trauma di masa kecil, akhirnya harus hidup di bawah bayang-bayang trauma sampai usia dewasa. Itu sebabnya penting bagi kita untuk memahami trauma secara lebih seksama dan mengetahui cara untuk mengatasinya.

GS : Kalau itu terjadi pada masa kecil, tapi masa dewasa pun orang masih tetap bisa trauma?

PG : Bisa sekali, memang trauma itu bisa datang kapan saja dan kalau datang di masa dewasa namun dengan intensitas yang juga sangat besar, sudah tentu itu juga bisa meninggalkan bekas yang mendalam.

GS : Ciri-cirinya orang trauma itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Yang umum adalah kita akhirnya mengembangkan rasa takut yang sangat kuat terhadap hal tersebut ataupun akhirnya kita bawa ke hal-hal lainnya pula. Jadi akhirnya kita cenderung untuk menghindar dan jangan sampai kita berhadapan dengan hal-hal yang kita takuti itu.

GS : Kalau begitu hal-hal apa saja yang perlu kita pelajari atau kita perlu amati tentang trauma?

PG : Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang trauma, Pak Gunawan, yang pertama adalah makin muda atau belia usia sewaktu mengalami trauma maka makin besar dampak trauma pada pertumbuhan jiwa. Kenapa demikian? Sebab pada usia belia atau usia muda kita belum memunyai sistem pertahanan yang kuat untuk menahan hantaman trauma. Itu sebabnya trauma langsung masuk dan menohok jiwa tanpa hambatan, sedang pada usia dewasa kita telah memiliki sistem pertahanan yang lebih kuat sehingga laju hantaman trauma lebih dapat diperlambat. Saya berikan contoh, misalkan kita hidup dengan orang tua yang tidak harmonis dan kerap bertengkar dengan keras, tidak bisa tidak, kita harus hidup dengan ketegangan sebab pertengkaran telah menjadi trauma bagi kita. Apabila kita sudah berusia remaja atau dewasa kita akan dapat pergi ke luar untuk menghindar dari pertengkaran atau kalau pun kita tidak bisa pergi keluar, kita mungkin dapat menyetel musik atau menelepon teman, dan jika kita merasa tertekan kita dapat bercerita dengan teman atau merasionalisasi bahwa ini bukan urusan saya. Singkat kata, ada sejumlah tindakan yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak trauma konflik orang tua pada diri kita. Sebaliknya seorang anak kecil memiliki keterbatasan untuk melakukan semua itu, anak kecil tidak bisa pergi ke luar rumah, tidak bisa berasionalisasi dan sebagainya, akhirnya dia terpaksa menelan semua ketegangan itu tanpa daya, itu sebabnya dampak trauma akan lebih besar pada anak kecil dibanding pada orang dewasa.

GS : Padahal banyak orang dewasa yang mengira bahwa anak kecil ini tidak tahu apa-apa jadi tidak mungkin trauma, karena bagaimana kita tahu bahwa anak itu trauma akibat yang kita lakukan?

PG : Jadi kadang-kadang orang tua memang beranggapan anak belum mengerti apa-apa dan tidak akan merasa apa-apa, betul anak memang belum mengerti secara kognitif atau rasional apa yang terjadi, tapi anak sudah memunyai perasaan. Trauma itu sebetulnya masuk lewat pintu perasaan, bukan lewat pintu pemikiran. Itu sebabnya akibat dari trauma si anak akhirnya mengembangkan ketegangan dan rasa takut yang amat besar. Kadang-kadang di dalam kasus tertentu anak-anak ini setelah besar diserang oleh kecemasan yang sangat tinggi. Jadi mudah sekali dia cemas dan mudah sekali tiba-tiba tegang, untuk hal-hal yang relatif kecil atau dia sendiri tidak menyadari ada apa, namun tiba-tiba dia merasa sangat tegang sekali, itu bisa jadi buah-buah dari trauma yang dialaminya semasa kecil.

GS : Kalau ini anak perempuan, apakah resiko trauma itu lebih besar daripada anak laki-laki?

PG : Secara umum memang benar karena anak-anak perempuan memunyai kepekaan perasaan yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki, tapi sudah tentu anak laki-laki juga memunyai perasaan dan sebagian dari anak laki memunyai perasaan yang peka pula, sehingga juga dapat mengembangkan reaksi yang begitu kuat terhadap trauma.

GS : Biasanya yang lebih menimbulkan trauma lebih berat, dari perkataan orang tua atau dari perbuatan orang tua, Pak Paul?

PG : Ternyata kita tidak bisa memastikan, misalnya dalam pengalaman konseling saya ada yang begitu takut, begitu tercekam oleh rasa takut melihat sorot mata karena waktu dia kecil, waktu dia melihat salah satu orang tuanya itu sedang mengamuk yang dia paling takuti adalah melihat mata si orang tua tersebut. Namun ada orang yang takut sekali melihat misalnya sewaktu orang tuanya sudah mulai meninggikan suara, saling mencaci maki karena tidak lama kemudian terjadilah pertengkaran secara fisik alias pukul-memukul. Namun ada juga yang sudah merasa takut hanya mendengar suara-suara orang tua yang sudah tidak terlalu simpatik dan dia sudah langsung tegang. Jadi ini bisa campuran dari semuanya atau salah satu dari semuanya, yang akhirnya memicu rasa ketakutan yang besar itu.

GS : Kalau begitu hal apalagi yang perlu kita ketahui dari trauma itu, Pak Paul?

PG : Hal kedua yang perlu kita ketahui tentang trauma adalah trauma yang terjadi pada masa kecil berpotensi besar merusak pembangunan sistem pertahanan dalam diri. Coba saya jelaskan, salah satu ciri khas anak adalah kepolosannya, sebenarnya kepolosan berasal dari ketidakadaan sistim pertahanan. Pada masa kanak-kanak kita belum dapat memisahkan diri dari situasi yang kita hadapi dan kita belum memunyai kemampuan berpikir secara abstrak dan menganalisis masalah dari berbagai sudut dan kita pun belum dapat menyembunyikan perasaan atau pikiran. Itu sebabnya tatkala anak kecil tertangkap basah melakukan kesalahan reaksinya adalah menangis karena dia memang tidak punya lagi cara lain untuk menutupi perasaan takutnya karena tertangkap basah melakukan kesalahan, namun setelah anak itu remaja bukankah dia dapat misalnya bersilat lidah untuk membela diri, dengan kata lain pada masa kecil apa pun yang terjadi akan langsung mengena di perasaannya sebab dia belum sanggup melindungi dirinya. Makin kita dewasa makin canggih sistim pertahanan dan makin sanggup kita melindungi diri namun apabila pada masa kecil kita telah mengalami trauma, apalagi yang berkelanjutan maka proses pembentukan sistim pertahanan ini akan mengalami gangguan, misalnya kita mungkin terlalu cepat mematikan perasaan, pokoknya kita merasa sesuatu, tegang, maka kita langsung mematikan perasaan atau sebaliknya, kita tidak sanggup mengesampingkan perasaan sama sekali artinya semua perasaan langsung dirasakan. Atau mungkin kita akan terlalu sering merasionalisasi sehingga tidak mendayagunakan perasaan sama sekali. Atau sebaliknya kita kurang bisa merasionalisasi sehingga menjadi terlalu emosional dan cepat meledak. Itu adalah gejala tidak berfungsinya sistem pertahanan atau perlindungan yang sehat.

GS : Tetapi trauma itu tidak bisa hanya karena satu peristiwa, jadi harus peristiwa yang berulang-ulang.

PG : Umumnya berulang-ulang kali kecuali si anak mengalami suatu trauma yang terlalu menakutkannya walaupun hanya sekali, itu juga bisa.

GS : Kalau misalnya anak kecil yang mengalami rumahnya terbakar, apakah itu bisa menimbulkan trauma?

PG : Ini memang sedikit misteri, ada anak yang misalkan mengalami kehilangan karena rumahnya terbakar tapi tidak mengalami trauma, tapi ada anak yang bisa mengalami trauma akibat melihat rumahnya terbakar. Jadi kenapa bagi yang satu ada efek traumanya dan yang satu tidak ada efek traumanya bergantung pada beberapa faktor misalnya faktor bagaimana dia melihatnya saat peristiwa tersebut terjadi. Misalnya dia melihat api itu begitu menjilat-jilat sehingga dia begitu ketakutan waktu melihat api itu, tapi bisa jadi adiknya atau kakaknya tidak memerhatikan api yang menjilat-jilat itu sebab yang dia pikirkan adalah bagaimana dia bisa secepat mungkin keluar dari rumah. Jadi dengan kata lain, kenapa ada satu anak memberi respons seperti itu, begitu ketakutan sedang anak yang lain tidak, memang tidak bisa dipastikan bergantung sekali pada apa yang dilihatnya saat itu.

GS : Sehingga banyak orang tua yang coba menghindarkan anaknya dari trauma lalu mengajak anaknya untuk tidak melihat sesuatu yang dahsyat seperti itu misalnya tadi kebakaran.

PG : Kadang-kadang itu yang harus kita lakukan sebab dampak melihat seringkali sangat mengerikan dan pada masa kecil pikiran kita masih benar-benar sangat rentan, sehingga sepertinya peristiwa itu akan langsung mencetak kita yang sangat mengerikan itu.

GS : Kalau anak itu masih belum bisa menggunakan kognitifnya atau akalnya secara baik, apakah juga akan menimbulkan trauma, Pak Paul?

PG : Iya karena tetap perasaannya itu bisa menangkap bahwa ini adalah sesuatu yang mengerikan apalagi kalau dia melihat dan mendengar reaksi orang tuanya yang juga sangat ketakutan, itu bisa menimbulkan trauma. Saya tahu ada sebuah kasus dimana seorang ibu yang saat itu hamil kemudian rumahnya dirampok dan karena dia sangat ketakutan dia harus mengunci diri di dalam kamar mandi, untuk mencari perhatian dia berteriak-teriak untuk memohon bantuan dari orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Hal itu rupanya keluar dari ketakutan yang luar biasa karena rumahnya dirampok saat itu. Dan setelah itu dia dimasukkan ke Rumah Sakit karena anaknya keguguran, jadi kita bisa melihat bahwa orang tua yang begitu dicekam oleh ketakutan rupanya sangat mengganggu janin bayi dalam tubuhnya sehingga anaknya akhirnya gugur.

GS : Tapi kita tidak bisa sebutkan kalau janin/bayi itu trauma, gugurnya dikarenakan trauma, karena itu masih dalam kandungan.

PG : Hampir dapat dipastikan begitu sebab sebelumnya bayi itu sehat-sehat saja. Jadi sebelumnya janin itu tidak ada masalah, diperiksa dengan baik oleh dokter, dirawat dengan baik oleh ibunya dalam kandungan, sehingga janin itu bertumbuh dengan sehat. Jadi sampai detik-detik sebelum rumah itu dirampok dan sebelum dia berteriak-teriak karena ketakutan, bayi itu masih hidup tapi begitu selesai dia ketakutan, rupanya dia merasakan ada yang tidak benar dengan bayinya, jadi dia langsung periksakan ke dokter dan saya kurang tahu apakah di hari itu juga atau keesokan harinya, tapi kemudian bayinya meninggal dunia.

GS : Jadi cukup hebat akibat dari trauma itu sendiri, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Apakah ada hal lain yang harus kita perhatikan tentang trauma ini?

PG : Hal ketiga yang perlu kita ketahui adalah pada akhirnya trauma masa kecil membuat kita kehilangan rasa aman, bukan saja terhadap situasi tertentu tetapi juga terhadap hal lainnya, kembali kepada contoh tadi, mungkin pada awalnya kita hanya takut kepada pertengkaran atau konflik dan mungkin kita menjadi peka terhadap konflik dan berusaha menjauh namun perlahan tapi pasti kita pun berusaha menghindar dari segala ketegangan, kita berupaya memastikan segalanya sebab kita tidak bisa menoleransi ketidakpastian. Jadi bagi kita ketidakpastian itu terlalu menegangkan. Pada akhirnya kita menjadi orang yang selalu harus memastikan bahwa semua akan berjalan dengan baik, kita juga berusaha menghilangkan resiko sebab bagi kita resiko itu sama dengan bencana. Singkat kata, akibat trauma kita ini cenderung mengambangkan perilaku, pertama menghindar dan yang kedua adalah memastikan. Kita menghindar dengan cara melarikan diri dari tantangan dan bahaya dan kita memastikan dengan cara mengendalikan kondisi atau orang di sekitar kita. Jadi orang-orang yang akhirnya seperti ini memunculkan dua sikap yang umum. Sudah tentu perilaku ini bukan saja memengaruhi kehidupan kita, pada akhirnya perilaku ini juga memengaruhi orang di sekitar kita pula. Oleh karena takut kita cenderung menanamkan rasa takut pada orang di sekitar kita terutama anak-anak kita. Oleh karena takut kita pun cenderung mengendalikan orang di sekitar kita supaya hidup seperti yang kita harapkan. Jadi benar-benar perilaku menghindar dan mencoba memastikan, itu menjadi ciri khas orang yang memang pernah dihantam oleh trauma.

GS : Bagaimana kalau kedua-duanya tidak bisa dia lakukan, jadi dia tidak bisa menghindar dari situasi itu, tapi dia juga tidak bisa mengendalikan situasi itu?

PG : Dia akan hidup dalam ketegangan, dia hidupnya tidak lagi bebas, tidak santai karena dirundung oleh ketegangan terus-menerus. Jadi dia selalu bertanya-tanya, "apa yang akan terjadi". Biasanya kalau dia tidak berhasil, tidak berarti dia berhenti mencoba, dia akan terus berusaha menghindar, melarikan diri dari situasi yang dianggapnya bisa mengancamnya dan dia terus memastikan supaya yang buruk tidak terjadi dan memastikan semua berjalan sesuai dengan rencananya dan dia akan memastikan orang di sekitarnya ikut pada apa yang dikehendakinya. Sebab waktu orang berbuat sesuatu yang di luar kehendak dia itu membuat dia tegang.

GS : Jadi sebenarnya orang tahu kalau dia sedang trauma terhadap sesuatu, Pak Paul?

PG : Masalahnya seringkali tidak, dia justru berkata kepada kita, "Saya mau peduli dan saya sayang kepada anak atau istri dan sebagainya, jadi saya begini" yang dia lihat adalah dia memunyai alasan untuk bersikap mengendalikan atau mengontrol, atau dia harus lari dan dia harus menghindar dari semua yang menegangkan dirinya. Dia bisa saja berkata, "Saya menghindar dari ketegangan sebab misalnya siapa yang tahan hidup dalam ketegangan seperti ini. Biasanya mereka tidak mengaitkan dengan apa yang terjadi di masa lampaunya, sebab sebetulnya itu yang terjadi. Dua sikap ini yang menjadi ciri khasnya dan tadi yang sudah saya singgung juga adalah pengendalian terhadap perasaan itu ekstrem kiri atau kanan. Ekstrem yang satu adalah meledak-ledak, tidak bisa menahan emosi, kalau sedang marah emosi benar-benar keluar dan tidak bisa berhenti. Atau ada orang yang kebalikannya tidak punya emosi, benar-benar emosinya tidak jalan dan sepertinya dia dengan emosi ada jarak yang jauh, kenapa? Sebab dia harus mematikan perasaannya karena dia tidak harus hidup dicekam oleh rasa takut dan tegang.

GS : Mungkin yang paling banyak dilakukan adalah menghindar, karena itu lebih mudah dibandingkan dengan mengendalikan orang lain atau mengendalikan situasi, tapi masalahnya kalau dia terus menghindar maka traumanya itu tidak akan bisa diatasi, Pak Paul.

PG : Jadi selama orang-orang ini tidak menyadari bahwa ada sebabnya yang harus dibahas dan dibereskan. Dia akan selalu melihat yang sekarang ini bahwa sekarang ini dia sedang menghadapi sesuatu dan dia sedang ketakutan dan tidak bisa dihadapi dan dia ingin menghindar dan menghindar, memang untuk menolongnya kita harus mengajaknya melihat asal muasal semua ini dan akhirnya dia sendiri juga harus berkata, "Iya saya menjadi seperti ini gara-gara ini" waktu dia sudah mengakuinya inilah sebetulnya yang terjadi waktu saya mengalami masalah ini, maka baru perlahan-lahan dia bisa menghadapinya dengan lebih baik, misalnya ia bisa mulai bercerita kepada kita mengeluarkan isi hati kita dan apa yang ditakutinya, itu yang mungkin sebagai langkah awal bisa dilakukannya.

GS : Tapi kalau itu terjadinya di masa lampau, ada satu kasus orang pernah kehilangan kendaraan bermotornya, ini menjadi trauma bagi dia artinya dia seringkali bermimpi bahwa dia kehilangan kendaraan, dia menyadari bahwa itu adalah akibat dulu dia hanya punya satu-satunya kendaraan dan kendaraannya hilang. Dan itu selalu muncul dalam mimpi-mimpinya.

PG : Kalau saya mendengar kasus seperti itu maka saya mau mencari lebih banyak lagi informasi tentang masa lalunya. Sebab kehilangan sepeda motor bisa jadi itu hal yang besar bagi dia karena dia tidak pernah punya apa-apa dan akhirnya bisa punya sepeda motor yang dia sangat sayangi dan waktu hilang dia sangat terpukul sekali. Tapi bisa jadi ada informasi tambahan, dia sangat takut kepada orang tuanya sewaktu kehilangan sepeda motor itu. Jadi yang dia takuti memang ada rasa kehilangan yang besar karena sepeda motor yang dia sayangi, tapi yang membuat dia sangat takut adalah akibatnya, konsekuensinya. Jadi saya juga mau tahu lebih banyak sebetulnya apa yang dia takuti sewaktu sepeda motornya hilang.

GS : Padahal orang tuanya sudah meninggal sekarang, tapi waktu itu orang tuanya tidak memarahi dia, katakan sudah hilang ya sudah. Tapi sebelumnya dia pernah bukan hanya kehilangan sepeda motor, ada hal-hal lain yang dia pernah merasa kehilangan.

PG : Kalau begitu yang Pak Gunawan katakan, memang masuk akal kenapa kehilangan sepeda motor bisa menjadi sangat berat bagi dia karena seolah-olah itu melengkapi kehilangan-kehilangan sebelumnya, dia sudah mengalami kehilangan-kehilangan yang dia anggap berharga bagi dirinya.

GS : Padahal dia mengakui bahwa trauma ini karena masalah sepeda motornya hilang dan dia sudah merelakan, tapi itu terus muncul di dalam mimpinya.

PG : Saya kira bukan hanya sekadar sepeda motornya saja yang hilang tapi karena adanya kehilangan-kehilangan yang lain, dan yang terakhir hanyalah sepeda motor maka akhirnya yang terus diingat hanyalah sepeda motor itu, tapi kenapa reaksinya begitu kuat terhadap kehilangan tersebut karena dia sudah mengalami banyak kehilangan.

GS : Jadi yang terakhir itu hanya semacam pemicu saja?

PG : Betul.

GS : Nah, orang yang mengalami trauma seperti itu yang terjadinya bukan pada masa kecil, tapi sudah cukup besar karena dia sudah bisa mengendarai sepeda motor, apakah orang-orang yang di sekelilingnya cukup berperan untuk menolong dia?

PG : Saya kira ya, kalau orang di sekitarnya menghakimi, memarahi, menyalahkan dia sudah tentu efeknya lebih berat lagi, tapi kenyataan kalau misalnya orang di sekitarnya itu menerimanya dan mendukungnya serta tidak memarahinya itu akan menolong dia, dan misalkan penjelasan yang lebih bersifat rohani seperti, "Tidak apa-apa kamu kehilangan sepeda motor ini sebab kita tahu bahwa nanti akan ada waktunya Tuhan bisa menggantikan dan sebagainya." Nasihat seperti itu juga bisa menolong orang tersebut melewati masa kehilangannya itu.

GS : Memang penghiburan yang sangat berarti buat orang itu adalah melalui firman Tuhan. Dengan berkali-kali dia mendengar firman Tuhan dan sebagainya, dia mulai bisa merelakan apa yang terjadi, akhirnya sekarang dia sudah memunyai yang lebih bagus dari yang dulu hilang. Tetapi tetap itu juga tidak menghilangkan sama sekali rasa trauma itu, dan dia masih sering bercerita tadi malam dia bermimpi itu lagi, lain kali bermimpi lagi tentang kehilangan.

PG : Saya cenderung melihatnya, kehilangan sepeda motor itu menjadi simbol atau menjadi perwakilan dari kehilangan-kehilangan yang lain. Jadi yang memang terjadi adalah dia harus mengalami banyak kehilangan tapi karena itu yang terakhir, itu yang terus muncul, namun itu sebetulnya hanya perwakilan saja.

GS : Kalau kita mau memberikan firman Tuhan, bagian mana dari Alkitab yang bisa bermanfaat bagi orang yang mengalami trauma ini, Pak Paul?

PG : Saya ambil dari Mazmur 27:14, "Nantikan TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!" Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus menantikan Tuhan, kita harus datang kepada Tuhan membawa trauma yang kita alami dan ketakutan yang kita bawa sampai sekarang, kita tidak bisa terus melarikan diri dan berusaha untuk terus mengendalikan orang atau situasi. Jadi nantikanlah Tuhan adalah sebuah perintah untuk menyerahkan semua dan melepaskan semua kepada Tuhan. Ini adalah kuncinya, waktu kita harus menghadapi trauma itu, benar-benar kuncinya adalah menyerahkan semua dan melepaskan semua kepada Tuhan.

GS : Artinya harus hidup pasrah, berserah dan taat kepada pimpinan Tuhan.

PG : Pada akhirnya itu.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Trauma Masa Kecil". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



116. Mengatasi Trauma


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T370B (File MP3 T370B)


Abstrak:

Sebagaimana gangguan lainnya, makin parah atau besar trauma yang pernah dialami, maka makin lama dan sukar penyelesaiannya. Didalam psikologi, gangguan ini dikenal dengan nama Post-Traumatic Stress Disorder, disingkat PTSD. Ketakutan yang mencekam akibat trauma dapat membuat kita sulit tidur, atau kalau pun dapat tidur, kita sering diganggu oleh mimpi buruk yang menyeramkan. Untuk mengatasi dampak trauma yang tidak separah PTSD, ada beberapa saran yang dapat diberikan. Pada prinsipnya oleh karena roh, jiwa, dan raga terkait erat, tidak bisa tidak untuk mengatasi trauma diperlukan penanganan terpadu.


Ringkasan:

Sebagaimana gangguan lainnya, makin parah atau besar trauma yang pernah dialami, maka makin lama dan sukar penyelesaiannya. Stres atau tekanan jiwa begitu kuat sehingga kita sulit melanjutkan hidup secara bebas. Didalam psikologi, gangguan ini dikenal dengan nama, Post-Traumatic Stress Disorder, disingkat PTSD. Ketakutan yang mencekam akibat trauma dapat membuat kita sulit tidur, atau kalau pun dapat tidur, kita sering diganggu oleh mimpi buruk yang menyeramkan. Gejala lainnya adalah kita acap diganggu oleh serangan kepanikan, dimana selama beberapa saat jantung berdegup bukan saja dengan cepat, tetapi juga dengan keras. Kita seperti kehilangan tenaga, tiba-tiba menjadi lemas dan terus mengeluarkan keringat dingin. Sudah tentu gangguan PTSD memerlukan penanganan yang lebih intensif dan tidak jarang, juga obat untuk membantu memberikan ketenangan yang dibutuhkan.

Untuk mengatasi dampak trauma yang tidak separah PTSD, ada beberapa saran yang dapat saya berikan. Pada prinsipnya oleh karena roh, jiwa dan raga terkait erat, tidak bisa tidak untuk mengatasi trauma diperlukan penanganan terpadu.

SECARA JASMANIAH, kita mesti menjaga kehidupan yang berimbang dan sehat. Kita mesti makan sehat dan teratur serta tidur cukup dan konsisten—hampir pada jam yang sama. Kita pun harus menjaga keseimbangan antara kerja dan istirahat sebab tubuh yang letih lebih memberi peluang besar munculnya serangan kecemasan. Kita juga mesti berolahraga secara teratur karena jantung yang sehat akan lebih kuat menahan gempuran ketakutan.

SECARA JIWANI, kita harus menjalankan kehidupan mental yang positif dan terbuka. Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan.

  • Jika kita belum pernah membicarakan trauma yang kita alami secara terbuka dan mendalam, kita harus memulainya. Dan, bila perasaan itu meluap, izinkanlah untuk keluar secara alamiah. Misalkan kita ingin menangis, izinkan diri untuk menangis. Bila kita ingin marah, izinkan diri untuk merasakan kembali kemarahan.
  • Berikut, selain dari ketakutan yang mencekam kita pun mesti dapat melihat dan mengakui dampak yang lain dari peristiwa traumatik itu pada diri kita. Misalkan, oleh karena ayah dan ibu sering bertengkar hebat, akhirnya bukan saja relasi mereka sebagai suami-istri memburuk, relasi mereka dan kita pun turut retak.
  • Kita perlu menyadari dampak lain ini, sebab sering kali dampak lain ini memengaruhi kehidupan kita secara menyeluruh. Sebagai contoh, oleh karena kehilangan orang tua inilah, maka akhirnya kita sekarang menjadi orang tua yang takut kehilangan anak. Kita berusaha memayungi mereka dari segala risiko kehidupan karena tanpa disadari, ada selalu desakan dalam diri kita untuk selalu hadir dalam kehidupan anak. Seakan-akan kita terus berupaya agar jangan sampai anak mengalami kehilangan orang tua seperti yang pernah kita alami.

SECARA ROHANIAH kita harus menjalankan kehidupan yang beriman dan bersyukur. Sesungguhnya beriman mengandung dua langkah: (a) berserah dan (b) berharap. Di dalam Kitab Daniel 6 dicatat tentang Daniel yang dimasukkan ke dalam gua singa. Pada masa pemerintahan Raja Darius di Persia, Daniel menjadi salah satu dari tiga pejabat tinggi negara yang membawahi 120 wakil raja—dan pengangkatan ini menimbulkan iri hati sebab Daniel sendiri bukanlah orang Persia melainkan orang Israel yang menjadi jajahan Persia. Oleh karena tidak dapat menemukan kesalahan Daniel, akhirnya mereka bermufakat membuat hukum agar semua insan di Kerajaan Persia selama 30 hari tidak boleh menyampaikan doa permohonan kepada dewa atau manusia lain, kecuali kepada raja. Sayangnya raja memenuhi saran dan hukum itu pun ditetapkan. Begitu mendengar penetapan hukum itu, Daniel pergilah ke rumahnya dan "berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya." (6:11) Sebagai akibat dari ketidaktaatannya kepada titah raja, Daniel pun dilempar ke gua singa namun singa tidak menerkamnya. Coba dengarkan apa yang dikatakannya kepada raja sewaktu ia dikeluarkan dari gua singa, "Allahku telah mengutus malaikat-Nya untuk mengatupkan mulut singa-singa itu sehingga mereka tidak mengapa-apakan aku, karena ternyata aku tidak bersalah di hadapan-Nya...." (6:22)

Disini kita dapat melihat bahwa Daniel beriman, dalam pengertian ia berserah penuh kepada Tuhan akan apa pun yang menimpanya. Selain dari beriman, kita pun mesti menjalani kehidupan rohaniah yang bersyukur. Sikap bersyukur dimulai dengan sebuah pemahaman bahwa Tuhan adalah Bapa yang baik dan mengasihi kita. Oleh karena Ia baik dan mengasihi kita, Ia pun memberikan kepada kita karunia demi karunia. Singkat kata, bersyukur berarti terus berterima kasih kepada Tuhan atas segala pemberian-Nya—kecil atau pun besar. Ya, beriman dan bersyukur adalah resep mengatasi trauma.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengatasi Trauma". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita memperbincangkan tentang trauma masa kecil dan sekarang kita membicarakan tentang mengatasi trauma. Mungkin ada para pendengar kita yang tidak mengikuti pada kesempatan yang lalu, supaya para pendengar kita bisa mengikuti acara ini dengan baik, boleh Pak Paul mengulang sejenak apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu?

PG : Boleh. Jadi trauma itu mengacu pada sebuah peristiwa atau kejadian yang benar-benar menggoncangkan kalbu secara dahsyat. Jadi kita tidak membicarakan tentang rasa takut biasa, kita terkejut karena apa, bukan. Jadi kita menyaksikan sesuatu yang memang mengerikan kita, akibatnya dampak ketakutan itu terus berbekas. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang trauma, yang pertama adalah makin muda kita mengalaminya makin berat efeknya, sebab kita ini makin dewasa dan makin memunyai kemampuan untuk bisa menahan trauma, bisa melihatnya dari kacamata yang berbeda, bisa merasionalisasi atau menolak untuk merasakan perasaan tertentu. Kalau anak kecil tidak bisa, jadi apa yang dialaminya itu langsung menohok dirinya. Jadi gempurannya itu lebih hebat. Dan yang berikut tentang trauma yang harus kita ketahui adalah kalau kita di masa kecil harus mengalami trauma apalagi yang berat berkali-kali maka sistem pertahanan jiwa kita terganggu misalnya kita menjadi orang yang rapuh, yang mudah sekali tegang, yang menghindar dari ketegangan atau kebalikannya kita mematikan perasaan, kita tidak lagi memunyai kepekaan sebab kita tidak mau dekat-dekat dengan perasaan. Itu adalah efeknya, jadi sistem pertahanan emosional kita terganggu sehingga kita tidak bisa hidup dengan perasaan kita secara bebas. Hal ketiga yang harus kita ketahui tentang trauma adalah kita akhirnya mengembangkan rasa takut terhadap banyak hal dan bukan hanya terhadap trauma tersebut. Jadi misalnya awalnya kita takut dengan suara yang keras, karena itu mengingatkan kita dengan orang tua yang bertengkar, tapi lama-lama kita tidak bisa melihat rasanya tidak harmonis, begitu melihat teman kerja kita tidak akur dengan temannya sedikit saja, kita sudah tegang sekali dan kita merasa seolah-olah nanti akan menjadi keributan yang besar. Jadi itulah tiga ciri trauma yang kita telah bahas. Sekarang kita akan mulai melihat bagaimana cara mengatasi trauma tersebut.

GS : Walaupun trauma itu sesuatu yang berat dan dimulai sejak kecil sebenarnya bisa diatasi, Pak Paul?

PG : Memang ada orang yang tidak bisa mengatasinya secara tuntas karena memang trauma itu terlalu berat tapi dengan pertolongan Tuhan kebanyakan bisa diatasi.

GS : Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Trauma yang kadarnya besar sekali dan memang efeknya bisa melumpuhkan hidup kita sehingga kita tidak bisa lagi hidup bebas. Ada satu lagi gangguan akibat trauma yang memang sering kita dengar yaitu PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), jadi ketakutan yang mencekam akibat trauma dapat membuat kita sulit tidur ataupun kalau dapat tidur kita sering diganggu oleh mimpi buruk yang menyeramkan. Gejala lainnya adalah kita acap diganggu oleh serangan kepanikan dimana selama beberapa saat jantung kita berdegup bukan saja dengan cepat tapi juga dengan keras, kita seperti kehilangan tenaga tiba-tiba menjadi lemas dan terus mengeluarkan keringat dingin. Sudah tentu gangguan PTSD memerlukan penanganan yang lebih intensif dan tidak jarang juga obat untuk membantu memberikan ketenangan yang diberikan. Untuk mengatasi dampak trauma yang tidak separah PTSD ada beberapa saran yang dapat saya berikan, prinsipnya oleh karena roh, jiwa dan raga itu terkait, tidak bisa tidak, untuk mengatasi trauma diperlukan sebuah penanganan terpadu yang menyangkut roh, jiwa dan raga.

GS : Jadi orang yang mengalami trauma itu akan nampak di dalam kehidupan jasmaninya. Yang tadi Pak Paul katakan, lemas lalu berkeringat dingin, kelihatan sekali.

PG : Itu adalah gejala yang kita sebut dari serangan kepanikan. Jadi adakalanya datang mendadak, seringnya ini datangnya di pagi hari. Kenapa begitu? Sebab pada malam hari waktu tidur kita tidak bisa mengendalikan apa yang kita akan mimpikan, biasanya pada waktu tidur yang akan muncul dari alam bawah sadar kita adalah hal-hal yang menakutkan sehingga waktu kita bangun, kita masih dibawah pengaruh hal-hal yang menakutkan itu, hal-hal yang traumatis itu. Itu sebabnya waktu kita bangun pagi hari, tidak ada angin tidak ada hujan datanglah serangan kepanikan tersebut kita tiba-tiba lemas, jantung kita tidak bisa berhenti berdegup dengan keras dan dengan cepat. Pikiran kita tiba-tiba sangat kalut dan kita merasa seakan-akan kita akan meninggal dunia, sepertinya serangan jantung tapi sebetulnya bukan, nafas kita pun bisa tersengal-sengal seolah-olah kita baru saja lari 10 km padahalnya kita baru bangun dari tidur, itu adalah gejala serangan kepanikan. Gejala PTSD yang lain adalah kita mimpi buruk, seringkali kita memimpikan perkara yang buruk dan yang mengerikan itu. Orang yang memang misalnya mengalami trauma yang berat itu seringkali harus dibayang-bayangi oleh ketakutan mimpi itu, maka sebagian dari mereka akhirnya susah tidur karena sebelum tidur sudah berantisipasi bahwa saya bakal mimpi buruk jadi ketakutan, ini seperti sebuah siklus, makin dia tidak tidur makin dia lemah, makin dia lemah makin mudah terserang oleh serangan kepanikan dan tubuhnya makin melemah berarti dia tidak bisa mengendalikan pikirannya dan tidurnya juga semakin terganggu.

GS : Kalau kita mulai saja dengan bagaimana cara mengatasinya secara jasmani dulu bagaimana, Pak Paul?

PG : Secara jasmaniah kita harus menjaga kehidupan yang berimbang dan sehat. Kita harus makan sehat dan teratur serta tidur cukup dan konsisten artinya hampir pada waktu yang sama setiap hari, kita pun harus menjaga keseimbangan antara bekerja dan beristirahat sebab tubuh yang letih lebih memberi peluang munculnya serangan kecemasan. Kita juga harus berolahraga secara teratur, karena jantung yang sehat akan lebih kuat menahan gempuran ketakutan. Jadi langkah pertama adalah kalau kita mau memulainya dari aspek jasmaniah, benar-benar perhatikan tidur kita, makan kita dan keseimbangan antara bekerja dan juga beristirahat.

GS : Padahal trauma ini sangat erat kaitannya dengan perasaan seseorang. Ini terkait langsungnya dengan tubuh ini bagaimana?

PG : Begini, sebab kalau tubuh kita sehat maka kita lebih bisa nanti misalnya melawan serangan kecemasan karena serangan kecemasan meskipun itu emosional langsung bermanifestasi di dalam degup jantung yang begitu keras dan kuat. Kalau jantung kita sehat, tubuh kita sehat berarti degupan itu lebih bisa dilawan secara otomatis oleh jantung kita. Tapi misalkan tubuh kita kurang sehat dan kita kurang tidur, tubuh kita sering letih atau sakit-sakitan dan jantung kita lebih melemah. Waktu kita diserang oleh serangan kepanikan jantung kita benar-benar tidak bisa lagi dikuasai dan benar-benar langsung berdegup keras sekali dan cepat sekali untuk memompa darah itu. Tapi kalau jantung kita sehat maka dia lebih bisa secara otomatis melawannya pula.

GS : Jadi harus diupayakan orang itu dalam kondisi yang sehat terus jasmaninya.

PG : Tidak bisa kita sangkal dalam tubuh yang sehat nanti ada sikap jiwani yang lebih positif; tidak bisa kita sangkal orang yang benar-benar tubuhnya fit cenderung berpikir lebih positif, sedangkan orang yang cenderung sakit cenderung untuk dikuasai oleh pikiran negatif dan itu berdampak buruk.

GS : Bagaimana mengatasinya secara jiwani ini, Pak Paul?

PG : Secara jiwani kita harus menjalankan kehidupan mental yang positif dan terbuka. Coba saya paparkan apa yang harus kita lakukan. Yang pertama, jika kita belum pernah membicarakan trauma yang kita alami secara terbuka dan mendalam maka kita harus memulainya. Pada dasarnya kita harus kembali kepada peristiwa yang justru membuat dia trauma, oleh karena upaya melupakan tidak membawa hasil maka tidaklah efektif kalau kita terus berkutat pada usaha yang tidak membawa hasil ini. Jadi beranikanlah diri untuk membicarakannya secara terbuka dan mendalam. Didalam bercerita kenalilah perasaan yang dialami pada saat trauma itu berlangsung dan bila perasaan itu meluap, ijinkanlah untuk keluar secara alamiah. Misalnya kita ingin menangis, ijinkan diri untuk menangis, kita ingin marah maka ijinkan diri untuk merasakan marah. Proses mengingat dan menyalurkan keluar ini dapat berlangsung beberapa hari tapi juga dapat lebih lama. Coba saya berikan contoh misalnya, kita ini membicarakan tentang pertengkaran orang tua kita, kita mesti membicarakannya secara mendetail dengan seorang pembimbing atau konselor bahwa orang tua kita ini marahnya seperti begini dan biasanya orang tua kita akan berbuat ini dan mengatakan ini. Jadi benar-benar kita harus menceritakan sedetail mungkin dan pada saat itu kita menempatkan diri kembali pada peristiwa tersebut dan menanyakan apa yang kita rasakan. Apapun perasaan yang muncul, kita bukan saja keluarkan lewat perkataan, kalau memungkinkan langsung kita nyatakan secara emosional misalkan kemarahan, kesedihan, ketakutan, itu yang langsung kita rasakan dan ijinkan diri kita untuk merasakan itu semua. Jadi inilah langkah pertamanya, secara jiwani kita harus secara terbuka mengangkat kembali trauma tersebut dan membicarakannya. Ini susah justru, tadi kita sudah singgung, karena kita berusaha melupakannya tapi poin saya adalah kita tidak berhasil melupakannya dan ini terus mengikuti kita dan lebih baik dihadapi.

GS : Seringkali orang yang trauma terhadap sikap seperti itu, setiap kali dia bercerita maka setiap kali pula dia menangis. Seolah-olah kadar traumanya itu tidak berkurang.

PG : Memang tadi sudah saya singgung ini bisa berhari-hari atau berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Jadi harus sering-sering dibicarakan, sampai akhirnya efek itu mulai berkurang. Yang tadinya emosi bisa sangat kuat mencekam keluar dengan begitu kerasnya, lama-kelamaan keluar sedikit dan tidak banyak lagi dan lama-kelamaan dia hanya menceritakan, tapi tidak sampai menangis, hanya menampakkan raut wajah yang sedih atau nada suara yang kecewa dan sebagainya. Jadi itulah yang kita harapkan sampai akhirnya.

GS : Karena lama maka yang bersangkutan menjadi enggan untuk bercerita karena dia tahu setiap kali dia bercerita maka pasti dia bakal menangis. Jadi dia menghindar jangan dibicarakan tentang itu, tapi itu tidak menyembuhkan diri.

PG : Betul sekali. Karena mungkin dia lelah sebab menangis itu lelah sekali dan benar-benar waktu dia harus menceritakan peristiwa itu tenaganya terkuras habis maka kecenderungannya adalah dia tidak mau cerita lagi. Dalam pembimbingan kita tidak meminta dia bercerita setiap hari, kalau kita tahu dia begitu kita minta dia untuk bercerita misalkan minggu depan bahkan dalam konseling kadang-kadang kita bisa berkata kepada klien kita misalkan dia minggu lalu sudah menceritakan seperti itu maka minggu ini tidak, jadi seperti istirahat sejenak dan minggu depannya baru melihat lagi peritiwa tersebut. Jadi kita harus mengerti bahwa untuk orang bisa menceritakan semua ini diperlukan suatu ketahanan emosional yang juga kuat.

GS : Kalau tidak harus bercerita hanya untuk dipikirkan saja dan akhirnya dia menangis juga karena memikirkan itu.

PG : Kenapa? Sebab sekali lagi apa yang terjadi itu memang sangat berdampak pada dirinya sendiri. Jadi poin berikut yang saya mau angkat selain dari ketakutan yang mencekam, kita pun mesti dapat melihat dan mengakui dampak yang lain dari peristiwa traumatik itu pada diri kita. Misalnya oleh karena ayah dan ibu sering bertengkar hebat, akhirnya bukan saja relasi mereka sebagai suami istri memburuk, relasi mereka dan kita pun turut retak dan kita tidak lagi dapat bercengkerama dengan mereka secara bebas dan tidak bisa lagi menikmati sukacita bersama mereka dengan bebas. Singkat kata, kita kehilangan orang tua. Inilah dampak lain dari trauma tersebut yang harus dilihat dan diakui. Maka tadi Pak Gunawan cerita ada orang yang baru mengingat saja dia sudah sedih, sebab memang akhirnya trauma itu bukan saja memberikan dampak ketakutan, tapi juga merenggut hal-hal lain dalam dirinya dan hidupnya. Itu sebabnya bisa jadi kesedihan yang muncul itu keluar dari rasa kehilangan, kehilangan masa kecil, kehilangan orang tua, kehilangan kebahagiaan, kehilangan kehangatan dan sebagainya, itu yang dibawanya sampai usia dewasa sehingga waktu dia membicarakan perasaan yang keluar bukan hanya ketakutan. Maka penting dalam pembimbingan kita mau mengekplorasi perasaan-perasaan lainnya, karena dampak dari peristiwa yang menjadi trauma itu seringkali bukan hanya membuat kita tegang atau takut seringkali dampaknya meluas dan lebih dalam lagi.

GS : Selain itu dampak lain yang perlu kita hadapi apa, Pak Paul?

PG : Begini, jadinya kita perlu menyadari dampak lain sebab dampak lain inilah yang memengaruhi kehidupan kita secara menyeluruh jadi bukan hanya ketakutannya itu. Misalnya karena kehilangan orang tua maka akhirnya kita sekarang menjadi orang tua yang takut kehilangan anak, kita tahu ada orang tua yang sangat protektif terhadap anaknya, bisa jadi karena masa kecil kita terhilang, orang tua kita tidak ada disamping kita misalnya terlalu ribut, hubungannya terlalu buruk sehingga tidak bisa bersama dengan kita. Jadi akhirnya setelah kita menjadi orang tua, kita sangat takut kehilangan anak dan kita berusaha memayungi mereka dari segala resiko kehidupan, karena tanpa disadari ada desakan dalam diri kita untuk selalu hadir dalam kehidupan anak, seakan-akan kita terus berupaya agar jangan sampai anak mengalami kehilangan orang tua seperti yang pernah kita alami. Inilah yang membuahkan bukan saja sikap protektif terhadap anak, tapi juga sikap mencemaskan anak. Ini salah satu dampaknya oleh karena trauma yang kita alami itu.

GS : Dan itu biasanya bagi anak juga tidak sehat karena terlalu dilindungi oleh ibunya atau ayahnya yang sebenarnya trauma, begitu Pak Paul.

PG : Betul. Jadi akhirnya kita mematahkan sayap si anak, anak itu jadinya tidak bisa mengembangkan dirinya dan tidak bisa mengembangkan kemandiriannya dan kepercayaan dirinya juga terganggu karena kita yang terlalu mencemaskan dia.

GS : Kadang-kadang orang tua juga tidak mau mengakui hal itu sebenarnya ini akibat dari traumanya. Dia hanya mengatakan, "Saya berhak untuk sayang terhadap anak saya".

PG : Jadi kadang-kadang untuk menyadarkan hal ini tidak mudah, sebab tadi sudah saya singgung kalau kita mengalami hal-hal yang buruk di masa kecil kita sedapat-dapatnya mau melupakannya. Akhirnya kita tidak melihat kaitan apa yang kita alami dulu itu dengan sikap kita sekarang terhadap anak dan kita tidak melihat itu, bahkan kalau disadarkan pun oleh pasangan kita mungkin kita marah dan kita berkata, "Tidak, saya sudah tidak ingat-ingat lagi masa kecil saya, memang dulu tidak enak dan sebagainya, tapi sekarang sudah tidak saya ingat lagi", tapi dia tidak sadari kalau itu adalah penyebabnya. Oleh karena dia kehilangan masa kecil maka dia tidak pernah benar-benar merasakan ada orang tua dalam hidupnya, sehingga sekarang dia menjadi orang yang terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya.

GS : Kalau orang yang tidak menyadari akan masalahnya ini maka sulit untuk dibantu. Dia akan selalu menolak dan mengatakan, "Bukan itu masalahnya".

PG : Benar. Jadi kalau orang tidak siap untuk melihatnya maka kita tidak bisa memaksakan itu dan kita hanya berkata, "Kalau bukan itu memang tidak apa-apa". Mudah-mudahan saja satu kali misalkan sedang suasana enak bicara tentang masa kecil dan sebagainya dan kemudian kita tanya-tanya tentang peristiwa yang dialaminya itu dan kita bisa memunculkan pertanyaan-pertanyaan untuk mencari tahu perasaan apa yang dialami saat itu, misalnya dalam percakapan yang santai itu dia mengatakan, "Saya akhirnya merasa saya kehilangan masa kecil saya dan saya sepertinya hidup tanpa orang tua meskipun saya punya orang tua", kalau dia bicara seperti itu maka kita bisa berkata begini, "Saya bisa mengerti kenapa kamu sangat mau menjadi orang tua yang paling baik bagi anak-anak". Kita jangan langsung tangkap itu dan kemudian menembak dia dan berkata, "Itu yang saya bilang, sekarang kamu menjadi seperti ini, terlalu mencemaskan anak, terlalu protektif dengan anak karena dulu kamu begitu". Jangan seperti itu, kita jangan serang dia dan justru kita harus berikan pengertian kita dan berkata, "Saya sekarang mengerti kenapa kamu berusaha sekeras mungkin menjadi orang tua yang paling baik bagi anak-anakmu dan kamu tidak mau sampai anak-anak kehilangan orang tua". Pelan-pelan berbicara seperti itu bisa jadi nanti dia menyadari, "Ternyata itu yang membuat saya sangat takut kehilangan anak, sehingga saya selalu mau ikut campur dan hadir dalam kehidupan anak-anak saya".

GS : Kalau secara rohani bagaimana, Pak Paul?

PG : Secara rohaniah kita harus menjalankan kehidupan yang beriman dan bersyukur. Ini dua kuncinya beriman dan bersyukur. Coba kita lihat dulu yang beriman, sesungguhnya beriman mengandung dua langkah, yang pertama kita berserah dan yang kedua berharap. Di dalam kitab Daniel 6 dicatat tentang Daniel yang dimasukkan ke dalam gua singa, pada zaman pemerintahan Raja Darius di Persia, Daniel ini menjadi salah seorang dari 3 pejabat tinggi negara yang membawahi 120 wakil raja. Pengangkatan ini menimbulkan iri hati sebab Daniel sendiri bukanlah orang Persia, melainkan orang Israel yang menjadi jajahan Persia. Oleh karena tidak dapat menemukan kesalahan Daniel akhirnya para wakil raja yang lain bermufakat membuat hukum agar semua insan di kerajaan Persia selama 30 hari tidak boleh menyampaikan doa permohonan kepada dewa atau manusia lain kecuali kepada raja. Dengan kata lain, mereka mengajukan sebuah hukum kepada raja seolah-olah raja itu adalah dewa yang mesti disembah. Sayangnya Raja Darius memenuhi saran dan hukum itu ditetapkan, begitu mendengar penetapan hukum itu di pasal 6 ayat 11 dikatakan Daniel pergi ke rumahnya dan berdoa serta memuji Allahnya seperti yang biasa dilakukannya. Sebagai akibat ketidaktaatannya kepada titah raja, Daniel kemudian dilempar ke gua singa namun singa tidak menerkamnya, coba dengarkan apa yang dikatakan kepada raja sewaktu ia dikeluarkan dari gua singa di Daniel 6:22 ditulis, "Allahku telah mengutus malaikat-Nya untuk mengatupkan mulut singa-singa itu, sehingga mereka tidak mengapa-apakan aku, karena ternyata aku tak bersalah di hadapan-Nya". Disini kita bisa melihat bahwa Daniel beriman dalam pengertian dia berserah penuh kepada Tuhan akan apa pun yang menimpanya, ia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan bukan saja untuk menerima apa yang baik, tapi juga untuk menerima apa yang buruk demi nama Tuhan maka kita tahu Daniel terus berdoa meskipun ada hukum yang melarangnya berdoa. Namun Daniel pun berharap entah bagaimana Tuhan akan melepaskannya dari mulut singa. Inilah bagian kedua dari iman. Jadi iman itu mengandung unsur berserah dan juga berharap, namun selain dari beriman kita pun juga harus menjalani kehidupan rohaniah yang bersyukur, sikap bersyukur dimulai dengan pemahaman bahwa Tuhan adalah Bapak yang baik dan mengasihi kita oleh karena ia baik dan mengasihi kita ia pun memberikan kepada kita karunia demi karunia. Singkat kata bersyukur berarti terus berterima kasih kepada Tuhan atas segala pemberian-Nya, baik kecil maupun besar. Jadi sekali lagi kuncinya adalah kehidupan yang beriman dan yang bersyukur, ini adalah resep untuk mengatasi trauma.

GS : Seringkali dimulai dari sini, pengobatan atau pemulihan orang itu dari trauma justru diperbaiki dari segi rohaniahnya orang itu.

PG : Memang idealnya kalau kita bisa langsung berikan ini dan dia langsung menerimanya dan dia bisa berubah, puji Tuhan, itu yang kita harapkan. Namun kadangkala tidak bisa, sebab sumbatan-sumbatan emosional itu sudah begitu parah di dalam jiwanya, itu sebabnya tidak bisa tidak kita harus meminta dia mengeluarkan dulu dan benar-benar semua sumbatan emosional harus dibukakan sehingga tekanan emosional bisa keluar dari dalam dirinya.

GS : Apalagi kalau traumanya itu diakibatkan karena ada kaitannya dengan sisi rohani, misalnya masa kecil dia dipaksa harus ke Sekolah Minggu dan itu menimbulkan hal yang tidak enak setiap kali masuk ke gereja, itu sulit melalui rohaniah lebih dulu.

PG : Betul. Jadi saya meyakini sebaiknya kita memberikan kesempatan untuk dia mengeluarkan perasaan-perasaannya dulu dan kita dengarkan dengan penuh empati baru kita bawa kepada tahapan yang terakhir yaitu mulailah hidup yang beriman dan yang beryukur, berserah kepada Tuhan apa adanya dan bersyukur apa yang Tuhan berikan kita terima. Jadi hidup yang lebih bebas dan kita tidak lagi akhirnya dikuasai oleh trauma tersebut.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini, saya percaya akan menolong banyak orang yang hidup di dalam trauma. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengatasi Trauma". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org dan kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



117. Kekerasan Terhadap Anak 1


Info:

Nara Sumber: Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T373A (File MP3 T373A)


Abstrak:

Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.


Ringkasan:

Satu sisi kita juga perlu menyadari benar: Jumlah anak di Indonesia sangat besar, sekitar 34% atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.

Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik terhadap Anak
    Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
  2. Kekerasan secara Psikis terhadap Anak
    Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
  3. Kekerasan secara Seksual terhadap Anak
    Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
  4. Kekerasan secara Sosial terhadap Anak
    Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
Amsal 16:29,"Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik" Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak, ada 3 faktor yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor Orangtua dan Keluarga
    1. Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.
      30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
    2. Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.
      Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
    3. Pecandu minuman keras dan obat-obatan.
      Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
    4. Gangguan jiwa
      Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
    5. Asumsi orang tua keliru tentang anak
      Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
    6. Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak
      Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
    7. Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat
      Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
    8. Stres lain:
      akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.

  2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
    1. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.
      Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
    2. Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.
      Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
    3. Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.
      Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
    4. Status wanita yang dipandang rendah.
      Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15, "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.

  3. Faktor Anak itu Sendiri
    Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
    Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.

    Akibat Kekerasan terhadap Anak
    1. Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.
      Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
    2. Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.
      Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.

    Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.

    Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.

    Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.

    Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.

    Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.

    Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

    Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.

    Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.

    Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.

    Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.

Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.

Berkenaan diri sendiri, misalnya :

  • Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
  • Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
  • Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
  • Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
Berkenaan orang lain:
  • Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
  • Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.

Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.

Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".

Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak. Solusi kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
  2. Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.

Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.

Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.

Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.

Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.

Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.

Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.

Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.

Matius 25:21, "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".

Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, kenapa topik "Kekerasan Terhadap Anak" penting untuk diangkat?

SK : Topik ini penting, pertama mengingat jumlah anak di Indonesia sangatlah besar yakni sekitar 34% atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa. Ini berarti penduduk Indonesia yang dalam usia anak-anak itu sekitar lebih dari 80 juta jiwa. Ini angka yang sangat besar yang perlu kita beri perhatian secara khusus, usia anak-anak di negeri kita ini.

H : Jadi sepertiga masyarakat Indonesia itu adalah anak-anak ya, Pak?

SK : Betul. Dan jangan lupa, berbicara anak, itu berarti dalam 10 — 20 tahun ke depan mereka inilah yang akan menjadi penentu bagi kehidupan negeri kita. mereka akan menjadi angkatan muda, menjadi pemimpin-pemimpin muda yang akan mempengaruhi kualitas bangsa kita ke depan.

H : Apakah Bapak memiliki data-data mengenai kekerasan terhadap anak di Indonesia, Pak?

SK : Ya. Jadi data-datanya bisa saya ambil dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang kemudian berubah nama menjadi Komnas PA atau Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dimana pada tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Setahun kemudian jumlah dari 481 ini menjadi 547 kasus. Dan 8 tahun kemudian, tahun 2012, melonjak menjadi 2637 kasus kekerasan terhadap anak. Jadi dalam 8 tahun melonjak sampai 5 kali lipat kasus kekerasan terhadap anak. Kemudian pada bulan Januari hingga Juli, satu semester 2013, tercatat 1824 kasus. Jadi kita lihat kalau tahun 2012 ada 2637 kasus, tahun berikutnya baru setengah tahun itu sudah mencapai 1824. Berarti jumlahnya bertambah sekitar 70% dari tahun sebelumnya hanya dalam enam bulan! Jadi kita bisa melihat bahwa memang ada kecenderungan grafik yang naik dari tahun ke tahun dalam hal kekerasan terhadap anak.

H : Belum lagi kasus yang tidak tercatat atau tidak terlaporkan, ya Pak?

SK : Betul. Jadi memang berbicara tentang angka-angka ini, ini bukanlah angka baku atau angka yang bersifat eksakta. Tapi ini merupakan angka sebuah puncak dari gunung es di lautan. Jadi yang muncul di atas permukaan air laut itu hanya secuil puncak dari gunung es. Tapi bagian yang paling besar ada di bawah permukaan air laut. Jadi kalau angkanya misalnya 1824 itu angka sesungguhnya bisa jadi 3 — 5 kali lipat dari angka yang terlaporkan. Karena begini, tidak semua orang akan melaporkan kasus kekerasan terhadap anak. Ada yang karena malu, takut dan kemudian ada berbagai sebab yang akhirnya tidak terdeteksi, tidak diketahui atau dilaporkan kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak.

H : Ini angka yang sangat mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan, ya Pak Sindu. Definisi dari kekerasan terhadap anak itu sendiri sebenarnya apa, Pak?

SK : Kekerasan terhadap anak bisa kita mengerti sebagai semua perlakuan berulang terhadap anak baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang berakibat pada kondisi yang membahayakan atau menimbulkan kerusakan pada diri anak, baik dari segi fisiknya maupun dari segi perkembangan dan kesehatan emosional sang anak. Dan biasanya kekerasan terhadap anak ini dilakukan oleh orang tua atau orang-orang lain yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak.

H : Oh, jadi kekerasan terhadap anak ini tidak melulu terbatas pada kekerasan fisik, ya Pak?

SK : Ya, jadi memang bukan hanya fisik tapi juga menyentuh segi emosional anak. Tadi saya jelaskan, perlakuan berulang terhadap anak yang membahayakan atau menimbulkan kerusakan ini bukan semata-mata tindakan aktif, Pak Hendra, tapi juga termasuk perlakuan pengabaian terhadap anak. Pengabaian disini mencakup dari segi kegagalan orang tua di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab pengasuhan mereka. Baik itu berupa penolakan orang tua secara sengaja terhadap tugasnya maupun bisa jadi karena orang tua tidak mampu untuk menjalankan tugas pengasuhannya. Mungkin karena dia mengalami keterbatasan fisik, keterbatasan emosional atau orang tua terpaksa harus meninggalkan anaknya untuk bekerja di tempat yang jauh, ini termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak.

H : Kalau boleh disimpulkan, sebenarnya ada berapa banyak kategori kekerasan kepada anak atau "Child Abuse" ini?

SK : Kekerasan terhadap anak atau child abuse itu ada 4 kategori, Pak Hendra. Yang pertama, kekerasan secara fisik terhadap anak. Yang kedua, kekerasan secara psikis. Yang ketiga, kekerasan secara seksual. Yang keempat, kekerasan secara sosial terhadap anak.

H : Tadi Bapak sempat menyinggung tentang kekerasan secara fisik. Tapi untuk mendalami supaya kita semua bisa tahu kekerasan terhadap anak secara fisik itu seperti apa saja, bisakah dijelaskan lebih mendalam?

SK : Kekerasan secara fisik terhadap anak itu bisa berupa penyiksaan, pemukulan, penganiayaan terhadap anak, baik dengan menggunakan benda-benda tertentu ataupun tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang akibatnya menimbulkan luka-luka fisik ataupun kematian pada anak.

H : Kematian pada anak, seperti apa yang bisa diakibatkan dari kekerasan terhadap anak secara fisik? Apakah orang tua bisa sampai hati seperti itu?

SK : Ya. Memang bisa jadi awalnya orangtua tidak berniat untuk membunuh sang anak. Tetapi karena tindakan yang tidak terkendali, hajaran-hajaran secara fisik bertubi-tubi, bahkan biasanya berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, akhirnya berujung pada kematian sang anak. Karena kondisi anak juga punya keterbatasan. Pukulan dan hajaran yang dilakukan orang tua itu 'kan kuat dan berupa hantaman yang keras bagi anak, sehingga bisa jadi bagi orang dewasa tidak apa-apa atau tidak terlalu parah. Tapi bagi anak, dengan daya tahan tubuh yang terbatas, akhirnya itu mengenai organ-organ dalam tubuhnya. Fungsi-fungsi vital dalam tubuhnya seperti pernafasan atau organ paru-paru, pencernaan, ginjal dan sebagainya mengalami hambatan sehingga akhirnya berujung pada kematian anak.

H : Padahal awalnya maksud orang tua adalah mungkin hanya untuk mendisiplin, tapi jadi lepas kendali, seperti itu Pak?

SK : Betul. Saya tambahkan, tadi saya menyinggung bahwa hajaran, penganiayaan, penyiksaan secara fisik itu 'kan menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Tentu luka itu macam-macam. Bisa berupa lecet yang ringan, memar pada bagian tertentu akibat kekerasan benda tumpul, baik itu berupa bekas gigitan, cubitan ataupun hajaran dengan ikat pinggang sehingga membekas ada bilur-bilurnya, ataupun bilur karena hajaran rotan dan hantaman benda-benda lainnya. Selain itu, luka bisa berupa karena benda tajam. Seperti sayatan akibat silet, pisau, parang, sampai bercucuran darah. Juga bisa berupa luka bakar, akibat siraman minyak panas, air panas sampai melempuh, air keras, ataupun akibat sundutan rokok dan seterika. Itupun lokasi lukanya bisa di berbagai bagian. Biasanya beberapa orang dewasa yang melakukan kekerasan secara fisik berusaha melakukan di bagian-bagian tubuh yang tidak terlalu nampak ketika sang anak berpakaian. Misalnya bekasnya ada di bagian paha, lengan, punggung, perut, pantat. Memang ada kalanya orang tua tidak terencana atau berniat menutup-nutupi, jadi secara spontan, akhirnya lukanya ada di bagian kepala. Baik itu mulut, pipi, di bagian sekitar mata, jadi bisa kelihatan

H : Mengerikan sekali. Tapi itu sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Terjadinya kekerasan terhadap ini dipicu oleh apa, Pak, sampai-sampai orang tua bisa beringas seperti itu?

SK : Kalau kita kaji, pemicunya umumnya adalah hal-hal yang sebenarnya sepele. Misalnya ada beberapa perilaku anak yang semestinya wajar untuk anak-anak, seperti rewel, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel tidak mau ke sekolah atau mungkin ke gereja. Atau bisa juga ketika anak menangis terus, tidak mau berhenti karena mengekspresikan marahnya atau karena anak merengek minta jajan atau minum susu atau ketika anak misalnya buang air kecil, buang air besar atau muntah, tapi sayangnya di tempat yang tidak dikehendaki oleh pengasuhnya atau orang tuanya. Jadi buang di sembarang tempat atau anak tanpa sengaja memecahkan barang berharga. Hal-hal demikian yang bisa memicu amarah dari orang tua atau sang pengasuh anak.

H : Amarah yang tidak terkendali akhirnya dilampiaskan dalam bentuk kekerasan fisik. Selain kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikis itu seperti apa?

SK : Kekerasan secara psikis itu meliputi hardikan, maksudnya berupa lontaran kata-kata yang keras, yang menghardik, yang memang bermaksud memarahi sang anak. Kekerasan secara psikis juga bisa berupa penyampaian kata-kata yang kasar, sumpah serapah dan kata-kata yang kotor. Dalam hal ini lewat hardikan, lewat lontaran kata-kata yang kasar dan kotor itu, sebenarnya jiwa atau psikis anak mengalami teror, guncangan dan tekanan. Sehingga ini dikategorikan sebagai kekerasan secara psikis. Bisa juga berupa ketika anak dipaparkan atau dipertontonkan, baik itu gambar-gambar, sebuah film atau sejumlah buku, yang berkaitan dengan produk pornografi. Jadi itu juga termasuk kekerasan secara psikis karena semestinya secara kejiwaan anak seharusnya terlindungi dari paparan pornografi, tapi kemudian dipertunjukkan sehingga psikis anak pun mengalami goncangan menyaksikan hal seperti itu. Apalagi jika berkali-kali, itu menggedor jiwanya sehingga ini termasuk kekerasan secara psikis terhadap anak.

H : Kalau tadi yang disakiti adalah fisik, sekarang yang disakiti adalah jiwa anak itu.

SK : Ya, kejiwaan atau kita bisa sebut sebagai segi emosional atau perasaan sang anak.

H : Kalau kekerasan terhadap anak secara seksual itu bentuknya seperti apa?

SK : Kalau boleh saya tambahkan, berkenaan dengan kekerasan secara psikis memang menimbulkan beberapa dampak. Jadi ada perilaku yang 'maladaptive' atau perilaku yang menunjukkan sang anak kurang dapat menyesuaikan diri atau anak mengalami rasa kurang nyaman dengan lingkungan dimana dia berada. Perilaku yang disebut 'maladaptive' atau kurang dapat menyesuaikan diri ini dapat diperlihatkan dengan perilaku menarik diri, tidak mau bertemu orang, menghindar dari orang-orang lain, mengasingkan diri, mengunci diri, atau kalau bersama orang tua dia tidak mau bersama orang lain, dia hanya bersama 1 -2 orang yang dia rasa paling aman. Bisa juga perilaku yang kurang dapat menyesuaikan diri sebagai akibat kekerasan psikis, anak menjadi pemalu, menarik diri, menangis kalau didekati, takut keluar rumah, takut bertemu dengan orang lain. Jadi kalau kita melihat gejala-gejala tersebut, kita mungkin bisa mulai mempertanyakan, apakah mungkin anak ini mengalami kekerasan secara psikis. Tentunya itu bisa jadi salah satu kemungkinannya, bukan jadi satu-satunya kemungkinan.

H : Jadi kalau kekerasan fisik bisa terlihat dari luka-luka di tubuhnya. Kalau kekerasan psikis karena tidak terlalu tampak bentuk-bentuk lukanya, tapi kita bisa melihat gejala-gejala yang Bapak sampaikan tadi?

SK : Betul, Pak Hendra.

H : Kembali ke pertanyaan tadi, kekerasan secara seksual itu seperti apa bentuknya?

SK : Kekerasan secara seksual terhadap anak bisa berwujud dua hal. Yang pertama, perlakuan yang mengarah kontak seksual secara tidak langsung. Jadi biasanya dilakukan oleh orang yang usianya lebih tua, baik itu melalui kata-kata, sentuhan, gambar visual ataupun tindakan exhibitionist. Exhibitionist artinya tindakan yang mempertontonkan alat vital kepada anak-anak. Selain perlakuan yang mengarah kepada kontak seksual tidak langsung tadi, bisa juga kekerasan secara seksual itu berupa perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak. Misalnya hubungan sedarah (inses/incest) dimana orang tua kandung melakukan hubungan seks dengan anak kandungnya sendiri. Bisa juga berupa tindak pemerkosaan atau eksploitasi seksual atau dengan kata lain pemanfaatan secara seksual dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Inilah beberapa bentuk kekerasan secara seksual terhadap anak.

H : Ini tidak kalah mengerikannya dengan kekerasan fisik dan psikis tadi, ya Pak. Kalau yang terakhir, kekerasan secara sosial terhadap anak itu seperti apa Pak?

SK : Dari kata sosial itu kita bisa mengerti ini berkaitan dengan bagaimana relasi sang anak dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam hal ini, bentuknya ada dua hal, yaitu penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak atau pengabaian anak yaitu dimana anak tidak diberi perhatian yang layak oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Sehingga mengganggu proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak tidak diberi makan dan minum sesuai dengan kebutuhan nutrisinya. Sengaja diabaikan atau tanpa sengaja, tapi itu terjadi berulang-ulang. Bisa juga diabaikan kebutuhannya untuk berkembang lewat dunia pendidikan, mestinya disekolahkan tapi diabaikan kebutuhannya untuk belajar dalam pendidikan formal. Atau bisa juga perawatan kesehatan yang tidak layak, seperti tidak dimandikan atau dimandikan dengan air yang kotor secara sengaja, kalau sakit korengan, batuk, dibiarkan dan tidak diobati padahal orang tua masih bisa mengobati anaknya. Bentuknya juga bisa berupa eksploitasi anak. Dimana anak diperlakukan sewenang-wenang baik oleh keluarga atau masyarakat.

H : Kalau yang tadi lebih dalam konteks dikenai perbuatan secara aktif, kalau ini bisa dikatakan dalam bentuk pasif? Seperti yang Bapak katakan di awal.

SK : Kekerasan secara sosial bisa sifatnya diabaikan, sepertinya pasif tidak diberi perlakuan apa-apa, atau yang kedua yaitu diberi perlakuan yang buruk seperti eksploitasi anak. Jadi eksploitasi ini misalnya anak dipaksa melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi. Dipaksa bekerja. Ada yang melakukan sesuatu demi kepentingan sosial atau politik, misalnya diajak kampanye politik. Padahal mestinya anak tidak perlu dan tidak boleh hadir dalam kerumunan masa demonstrasi, masa kampanye politik, tapi oleh orang tua dibawa ke tempat-tempat itu, yang sifatnya bisa menimbulkan kegoncangan bagi jiwa anak.

H : Nah, eksploitasi yang Bapak sampaikan ini yang banyak terjadi, yaitu anak-anak dijadikan pekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

SK : Benar. Tanpa sadar kita menganggap lumrah bila anak bekerja. Baik berupa sebagai pekerja rumah tangga, atau bekerja di industri rumah tangga, di sebuah pabrik dan lingkungan industri lainnya. Tapi ini bisa termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak. Jadi memang ada batasan yang pemerintah berikan kepada kita, bagaimana supaya kita tidak memperlakukan anak dengan buruk di dunia kerja.

H : Berapa batasan usia anak untuk bekerja, Pak?

SK : Pertama, anak yang berusia 13 — 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Dalam hal ini usia 13 -15 tahun, atau usia SMP, anak boleh bekerja dengan batas waktu maksimum 3 jam dan itu pun ada ijin tertulis dari orang tua atau wali dan ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali. Dan pekerjaan itu dikerjakan pada siang hari sehingga tidak mengganggu waktu sekolah, kesehatan dan keselamatan kerja sang anak dijamin. Ini menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Untuk usia yang minimal untuk 14 tahun, pekerjaan yang dalam rangka kurikulum pendidikan atau pelatihan. Biasanya bagi anak SMK, pendidikan kejuruan. Jadi anak-anak usia minimal 14 tahun boleh bekerja tapi dalam konteks diklat untuk mengembangkan sang anak. Ada lagi yang berkaitan dengan pekerjaan yang asal untuk mengembangkan bakat, minat yang memang sesuai dengan kemauan sang anak, itu pun dalam batas-batas yang aman secara fisik, mental, dan sosial anak.

H : Berarti ada kategori pekerjaan yang tidak aman bagi anak-anak itu ya, Pak?

SK : Betul. Yang tidak aman bagi anak yaitu ketika berkaitan dengan pornografi, minuman keras, narkotika, membahayakan secara fisik misalnya kerja di pabrik alat berat atau berkaitan dengan mesin-mesin berat ataupun yang menimbulkan kontaminasi bahaya kimia atau biologis. Selain itu berbahaya dari segi moral anak, misalnya diskotik, bar, tempat bilyard, bioskop, panti pijat, lokasi prostistusi, lokasi berkaitan dengan seksualitas, minuman keras atau rokok. Ini merupakan jenis-jenis pekerjaan atau lingkungan pekerjaan yang memang tidak memperbolehkan anak bekerja di sana.

H : Artinya bukan hanya memperhatikan batasan usia, tetapi juga harus melihat dengan jeli tempat kerja yang seperti apa, jenis pekerjaannya seperti apa. Baik dari pihak anak, terutama dari pihak orang tua.

SK : Betul. Mari, kita perlu memperhatikan hal ini supaya kesejahteraan mental emosional dan fisik anak, termasuk anak usia remaja, bisa berkembang optimal dengan kita memperhatikan rambu-rambu ini.

H : Terima kasih, Pak Sindu. Apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan di akhir perbincangan sesi pertama ini?

SK : Saya bacakan dari Amsal 16:29, "Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik." Firman Tuhan ini menegaskan bahwa kekerasan itu hanya menimbulkan dampak yang negatif buat hubungan kita dengan orang lain, buat orang lain yang dikenai kekerasan itu dan membawa kepada hasil kehidupan yang benar-benar buruk. Firman Tuhan saja sudah mengingatkan kita apalagi paparan tadi sepatutnya semakin meneguhkan kita: jauhilah jalan kekerasan. Termasuk kekerasan terhadap anak-anak kita.

H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topic "Kekerasan Terhadap Anak" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



118. Kekerasan Terhadap Anak 2


Info:

Nara Sumber: Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T373B (File MP3 T373B)


Abstrak:

Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.


Ringkasan:

Satusisikitajugaperlumenyadaribenar: Jumlahanak di Indonesiasangatbesar, sekitar 34%atausepertigadarijumlahpenduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.

Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik terhadap Anak
    Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
  2. Kekerasan secara Psikis terhadap Anak
    Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
  3. Kekerasan secara Seksual terhadap Anak
    Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
  4. Kekerasan secara Sosial terhadap Anak
    Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
Amsal 16:29,"Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik" Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak, ada 3 faktor yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor Orangtua dan Keluarga
    1. Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.
      30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
    2. Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.
      Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
    3. Pecandu minuman keras dan obat-obatan.
      Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
    4. Gangguan jiwa
      Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
    5. Asumsi orang tua keliru tentang anak
      Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
    6. Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak
      Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
    7. Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat
      Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
    8. Stres lain:
      akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.

  2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
    1. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.
      Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
    2. Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.
      Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
    3. Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.
      Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
    4. Status wanita yang dipandang rendah.
      Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15, "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.

  3. Faktor Anak itu Sendiri
    Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
    Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.

    Akibat Kekerasan terhadap Anak
    1. Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.
      Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
    2. Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.
      Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.

    Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.

    Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.

    Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.

    Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.

    Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.

    Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

    Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.

    Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.

    Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.

    Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.

Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.

Berkenaan diri sendiri, misalnya :

  • Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
  • Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
  • Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
  • Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
Berkenaan orang lain:
  • Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
  • Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.

Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.

Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".

Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak. Solusi kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
  2. Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.

Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.

Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.

Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.

Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.

Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.

Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.

Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.

Matius 25:21, "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".

Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, melanjutkan percakapan kita sebelumnya, apa faktor penyebab kekerasan terhadap anak?

SK : Ada tiga faktor yang menimbulkan kekerasan terhadap anak. Yang pertama, faktor dari orang tua dan keluarga. Yang kedua yaitu faktor lingkungan sosial atau komunitas. Yang ketiga, faktor dari anak itu sendiri.

H : Jadi kalau faktor pertama yang berkaitan dengan orang tua dan keluarga, penjabarannya seperti apa, Pak?

SK : Yang pertama, ketika orang tua tumbuh dengan kekerasan dimana terjadi pewarisan kekerasan antar generasi. Jadi orang tuanya juga merupakan korban dari kekerasan orang tua di waktu kecil. Karena dia tumbuh sebagai anak korban kekerasan maka menciptakan sebuah potensi bagi dirinya, ketika menjadi orang tua bagi anak-anaknya, diapun akan melakukan proses peniruan, proses pengulangan dari kekerasan yang dulu dia terima, sekarang dialah yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.

H : Yang tadinya dia korban, sekarang menjadi pelaku.

SK : Benar. Jadi bagi anak-anak yang tumbuh dalam pola kekerasan orang tuanya dan kemudian dia meyakini bahwa cara kekerasan itu adalah cara yang terbaik, maka dia akan punya potensi yang lebih besar untuk menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anaknya. Apalagi misalnya pola tersebut akhirnya membentuk semacam iman atau keyakinan, "Kalau aku dulu diperlakukan dengan keras, itu ternyata baik. Kekerasan terhadap anak adalah kunci untuk menghasilkan anak yang sukses!" Jadi karena dia yakin suksesnya hari ini di masa dewasa karena perlakuan keras dari orang tuanya di masa kecilnya, maka itu membentuk iman keyakinan, dan dia akan ulangi pola asuh itu kepada anaknya sendiri dan memang, data survei membuktikan bahwa 30% dari anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya. Jadi ada 30%, angka yang memang tidak terlalu besar, tapi lumayan. Kurang lebih kurang dari sepertiga anak korban kekerasan, dia akan menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadpa anaknya. Sementara yang 70%, mereka mungkin tidak melakukan pengulangan kekerasan itu karena dia mendapati bahwa kekerasan yang dulu dia terima itu tidak baik dan menimbulkan dampak yang buruk bagi dirinya. Maka ketika dia menjadi orang tua, dia pun menghentikan pola kekerasan yang dulu dilakukan oleh generasi di atasnya.

H : Artinya bukan mustahil iman keyakinan ini bisa dikoreksi. Tujuh puluh persen itu berhasil dikoreksi, begitu?

SK : Ya. Malah bukan hanya dikoreksi malah tidak membentuk iman keyakinan itu. Dia malah membentuk keyakinan yang lain, "Karena aku diperlakukan dengan keras, baik secara fisik dan psikis atau dalam bentuk yang lain, itu ternyata berdampak buruk bagi diriku." Jadi dia muncul keyakinan, kekerasan terhadap anak adalah kunci menghasilkan anak-anak yang terhambat sehingga dia pun tidak mau melakukan kekerasan atau berusaha mencari cara supaya kekerasan itu tidak muncul dari dirinya terhadap anak-anaknya.

H : Selain faktor pewarisan antar generasi, faktor apa lagi yang bisa melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap anak?

SK : Faktor orang tua dan keluarga ini bisa berupa dimana sang orang tua sebenarnya belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial untuk memiliki anak, khususnya ketika orang tua menikah dini atau sudah mempunyai anak sebelum mereka berusia 20 tahun. Memang menikah itu membagi hidup. Berarti dia sendiri butuh mempunyai diri yang memang sudah cukup mantap untuk kemudian dibagikan kepada pasangannya. Bahkan dibagi juga kepada anaknya ketika sudah anak bayi. Jadi dia membagi hidupnya dengan dua orang. Jadi itu membutuhkan kematangan fisik dan terutama emosi dan sosial, sehingga dia menjadi orang tua yang siap dan tidak melakukan kekerasan terhadap pasangannya terlebih kepada anaknya.

H : Sesungguhnya pada usia sebelum 20 tahun itu, fase perkembangan fisik, emosi, dan sosial seperti apa yang sedang dialami oleh pasangan yang sudah memutuskan melakukan pernikahan dini sehingga mereka tidak berfungsi sebagaimana seharusnya orang tua yang sudah matang.

SK : Kalau menikah di usia 18 tahun memang secara fisik sudah memadai. Tapi kalau menikah di usia 15 tahun, memang secara fisik belum matang. Dia sedang memasuki masa pubertas. Bahkan ketika seorang wanita melahirkan di usia belasan tahun, di bawah 18 tahun, itu sebenarnya mempengaruhi kualitas sang ibu dan kualitas sang janin. Itu membahayakan secara perkembangan fisiknya. Tetapi kalaupun menikah di usia 17-18 tahun, fisiknya sudah oke, sudah melewati masa pubertas, khususnya bagi wanita. Tetapi secara psikis belum siap. Masih ingin main-main, ingin kumpul dengan teman sebaya, pelesir kesana kemari, enggan bekerja, bekerja pun untuk senang-senang bukan untuk menafkahi. Sementara sudah ada bayi atau anak. Akhirnya sang ibu muda atau ayah muda itu lebih memberikan sebuah persepsi bahwa anak adalah beban atau kutuk bukan berkat. Anak bukan lagi kado atau hadiah tapi anak menjadi sesuatu yang merugikan dirinya, merebut kebahagiaannya sebagai orang muda sehingga dia lampiaskan kemarahan kepada anaknya dalam bentuk tindak kekerasan ataupun dalam bentuk mengabaikan menelantarkan sang anaknya yang masih balita. Itu karena belum siap secara psikis, emosional, mental, dan sosial untuk mengasuh anak.

H : Selain 2 poin ini, poin apalagi yang berkaitan dengan faktor orang tua atau keluarga, Pak?

SK : yang menjadi faktor kekerasan kepada anak yaitu ketika orang tua adalah pecandu minuman keras atau obat-obatan. Memang orang yang suka minum minuman keras atau beralkohol atau obat-obatan terlarang yang tergabung dalam kelompok psikotropika, itu justru memperbesar ketertekanan jiwa dan merangsang perilaku kekerasan bagi orang tua tersebut yang adalah pecandu. Dalam hal ini, semakin orang mengalami keterikatan dengan minuman keras dan obat-obatan psikotropika itu emosinya labil dan kata-kata serta tindakannya tidak terkendali. Dirinya saja tidak bisa dia urus dengan baik, apalagi harus mengurus pasangannya, apalagi mengurus anaknya yang masih kecil belum bisa mandiri dan butuh banyak perhatian dan bantuan. Malahan sang anak yang masih kecil itu dan pasangannya kemudian dieksploitasi oleh kecanduannya.

H : Saya rasa hal ini tidak hanya terjadi untuk para pecandu untuk orang tua yang mengalami gangguan jiwa atau mental juga bisa begitu, Pak?

SK : Orang tua yang punya gangguan jiwa juga berpotensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan secara psikis dan fisik kepada anaknya. Misalnya orang tuanya mengalami gangguan depresif secara klinis. Murung terus, berputus asa dan anak hidup dengan orang tua yang demikian, itu berarti orang tuanya mengabaikan anak. Orang tua akan menangis terus dan anak akan tercekam dengan emosi negatif tersebut karena hidup bersama orang yang berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun hidup dengan emosi yang negatif terus. Akhirnya anak menyerap dan meniru pola yang demikian dan anak mengalami kekerasan secara psikis. Atau dalam bentuk lain ada gangguan bipolar, manik depresif, ada saatnya begitu sedih, putus asa, lunglai, lemas, tidak berdaya, tapi dalam beberapa saat kemudian mengalami kondisi euphoria, senang-senang, jingkrak-jingkrak, bicaranya seperti kereta api yang tidak berhenti, bahkan kata-katanya begitu menyakitkan karena terstimulasi dengan kemarahan yang meledak-ledak tapi tiba-tiba muncul kesedihan. Anak bingung. Itu kekerasan secara psikis. Atau dalam kondisi manik, anak dipukul, orang tua tidak sabar, terjadilah kekerasan secara fisik. Demikian juga kalau terjadi gangguan skizofrenia atau halusinasi, orang tua mengalami kondisi gangguan yang berkaitan dengan obsesif kompulsif, paranoid, curiga tanpa alasan, anak dalam kondisi yang tidak sehat dan minimal menjadi korban kekerasan secara psikis. Yang kedua bisa juga kekerasan secara fisik.

H : Mengerikan sekali kalau menjadi anak dari orang tua yang mengalami gangguan seperti itu. Padahal orang tua itu mungkin tidak menyadari keadaannya bahwa mereka sedang mengalami gangguan dan membutuhkan pertolongan.

SK : Ya. Bisa jadi tidak menyadarinya. Tapi ada kalanya beberapa orang tua menyadari. Memang ada berbagai jenis gangguan jiwa. Ada gangguan yang benar-benar dikategorikan sebagai psikotik atau terputus dari alam kenyataan atau alam realitas, tapi ada juga ganguan yang bukan psikotik dan pada saat-saat tertentu dia masih bisa berpikir dan masih bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya.

H : Contohnya?

SK : Ya itu tadi. Gangguan psikotis juga bukan berarti semuanya putus kontak dengan realitas. Tapi saat-saat tertentu dia bisa tampil stabil dan dia bisa melihat anak, bisa berlaku baik dan normal. Gangguan manik depresif itu juga tidak selalu kondisinya labil terus. Ada fase tertentu kondisinya seperti orang normal dan stabil. Tapi hanya di saat-saat tertentu. Semakin berat gangguan jiwanya, tentunya saat-saat normalnya itu semakin pendek.

H : Itu masalah atau faktor yang terkait dengan keadaan orang tua atau pengasuh. Apakah ada kemungkinan misalnya orang tuanya dalam keadaan baik tapi dia mempunyai asumsi yang keliru tentang anak?

SK : Bisa. Jadi bisa ada kemungkinan orang tua berpikir bahwa anak seharusnya memberi dukungan kepada orang tua yang bekerja untuk anak-anak. Anak semestinya mengerti orang tua dan memberi perhatian kepada orang tuanya. Tetapi kemudian ketika orang tua mendapati anaknya tidak memberi perhatian dan dukungan kepadanya, maka bangkitlah kemarahan dan kejengkelan orang tua kemudian melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis. Jadi ada pembalikan peran. Asumsi keliru terhadap anak memang memberi sumbangsih untuk terjadinya kekerasan terhadap anak.

H : Asumsi yang keliru ini juga bisa diikuti dengan ketidakmengertian tentang kebutuhan perkembangan anak, ya Pak?

SK : Ya. Memang dalam bentuk yang lain, ketika orang tua tidak memahami kebutuhan perkembangan anak, maka orang tua salah mengira, akhirnya salah perlakuan. Misalnya, saya miris dengan fenomena anak yang sudah ikut Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau ikut Taman Kanak-Kanak. Tren sekarang ini anak balita dipaksa harus sudah bisa membaca, menulis bahkan menghitung. Sementara gurunya sendiri itu mengajar untuk kelas yang berisi 40an anak balita jadi dia tidak bisa memberi bantuan secara optimal. Dan dia melakukannya dengan cara yang sifatnya instruksional, serba memberi perintah, seperti kalau dia mengajar anak SD. Tapi ini 'kan anak TK atau PAUD. Maka mereka memberi tugas kepada orang tua, anak harus bisa baca, bisa nulis, bisa berhitung, kalau tidak, tidak boleh naik kelas. Orang tua frustrasi. Akhirnya memaksa anak harus bisa dan harus belajar, sedangkan anak maunya bermain. Anak dipaksa, dipukul, dihajar, dimarahi, dikunci di kamar, saking jengkelnya. Kalau orang tua mengerti tahap perkembangan anak, orang tua akan memaklumi bahwa memang belum waktunya bagi anak untuk hal itu. Kalaupun belajar, harus belajar dengan cara yang menyenangkan. Jadi tidak perlu dipaksa, ada cara-cara yang kreatif. Memang pemahaman tentang tahap perkembangan anak, tentang tipe perkembangan anak, apa kebutuhan anak, itu penting supaya orang tua lebih terjauhkan dari kekerasan terhadap anak.

H : Selain itu, faktor apalagi, Pak?

SK : Tentang kualitas relasi pernikahan. Kalau orang tua memiliki relasi pernikahan yang buruk atau kurang memuaskan, anak akan bisa menjadi korban kekerasan. Misalnya sang istri merasa marah kepada suami yang meninggalkan dia bahkan berselingkuh dengan wanita lain. Misalkan satu-satunya anak laki-lakinya berwajah mirip dengan suaminya. Karena dia tidak bisa marah kepada suaminya yang tidak ada di rumah, akhirnya anak laki-laki itu dijadikan pelampiasan amarah. Jadi kualitas pernikahan itu bisa mempengaruhi apakah bisa terjadi tindak kekerasan atau tidak. Sebaliknya, struktur keluarga yang sehat akan memberi sumbangsih minimnya tindak kekerasan terhadap anak. Keluarga yang kurang sehat misalnya orang tua tunggal, membesarkan anak sendirian tanpa pasangan. Tekanan dalam membesarkan anak yang semestinya dibagi berdua antara suami dan istri, jadinya ditanggung seorang diri. Ini membuat sang ayah atau ibu itu mengalami kondisi tertekan akhirnya anaklah yang jadi tempat pelampiasan rasa lelah dan frustrasinya dengan kata-kata bahkan tindakan fisik yang sebenarnya sudah merupakan tindak kekerasan terhadap anak.

H : Tekanan ini tidak hanya karena faktor kualitas relasi tapi bisa juga karena faktor lain?

SK : Betul. Misalnya tekanan ekonomi. Kelahiran bayi yang baru sementara anak yang lain masih kecil-kecil. Ada keluarga yang masuk Rumah Sakit dengan penyakit menahun dan butuh biaya yang tinggi. Mengalami musibah mendadak seperti kecelakaan. Atau masuk penjara karena masalah pidana atau kasus kriminal. Kondisi stres mendadak itu 'kan hantaman yang begitu besar karena dia tidak bisa menanggulangi, sementara anak membutuhkan perhatian, akhirnya anak diabaikan selama berhari-hari atau berminggu-minggu, anak juga bisa menjadi sasaran pelampiasan kekesalan berupa fisik maupun psikis. Jadi betul. Sumber tekanan lain bisa turut bersumbangsih dimana orang tua melakukan kekerasan terhadap anak.

H : Selain faktor orang tua atau faktor keluarga, faktor lingkungan sosial atau komunitas itu seperti apa, Pak?

SK : Jadi dalam hal ini ada segi tentang faktor kemiskinan dalam masyarakat, itu bisa bersumbangsih bagi timbulnya kekerasan terhadap anak. Ketika kondisi masyarakat itu miskin, maka keluarga-keluarga dalam masyarakat tersebut akan lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan materi semata. Sebab itu kebutuhan pokok, sehingga kebutuhan psikis dan emosi sang anak diabaikan. Atau mungkin juga karena kondisi miskin itu, kebutuhan fisik pun susah terpenuhi. Kebutuhan pangan dan kesehatan, sehingga anak mengalami penelantaran dan itu juga bagian dari kekerasan terhadap anak. Atau misalnya kondisi kemiskinan itu menyebabkan orang tua dan anak hanya tinggal dalam satu kamar yang sama. Itu 'kan kurang sehat. Anak melihat relasi orang tua misalnya ketika orang tuanya melakukan kontak seksual. Hubungan seksual yang sebenarnya sehat karena dilakukan oleh suami dan istri, tapi karena dilakukan dalam kamar yang sama dengan anak, tanpa disadari orang tua, anak bisa melihat. Paparan tersebut juga termasuk bentuk kekerasan seksual bagi sang anak. Termasuk ketika ada beberapa kamar tapi dalam satu rumah itu tinggal sebuah keluarga besar dan banyak anggotanya. Kondisi rumah yang kurang sehat atau kurang proposional ini menimbulkan ketertekanan tersendiri secara psikis dan itu membuat orang-orang dewasa di dalamnya berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak yang ada di dalam rumah tersebut. Bicara tentang kemiskinan ini, itu bukan hanya untuk orang miskin, tapi sejalan dengan faktor materi, ketika keluarga yang tidak miskin tapi memiliki penekanan yang kuat pada hal materialistik. "Sukses itu harus kaya raya. Sukses itu merupakan pengejaran, punya ini dan punya itu." Akibatnya karena pengejaran materi yang tidak ada hentinya, akhirnya kebutuhan anak secara psikis juga diabaikan oleh orang tuanya. Sebenarnya itu juga kekerasan terhadap anak yang bukan hanya terjadi pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, tapi juga bisa terjadi pada keluarga yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi.

H : Itu akhirnya membuat pola pikir masyarakat tersebut hanya menitikberatkan pada nilai materialistik sehingga anak-anak juga diberdayakan untuk bekerja?

SK : Kekerasan secara sosial terhadap anak. Ini pada anak-anak dari keluarga yang miskin, anak-anak yang belum dalam usia kerja, misalnya usia 7-8 tahun, dipekerjakan. Padahal mestinya menurut Undang-Undang Negara kita, bekerja itu minimal untuk usia 13 tahun. Itu pun bekerja hanya untuk 3 jam. Ternyata anak usia 7-8 tahun dipekerjakan jadi pengemis, jadi anak jalanan, pekerja di sektor informal selama 7-8 jam, disini terjadi kekerasan secara sosial.

H : Selain masalah kemiskinan, masalah apa lagi yang dapat menjadi faktor penyebab dalam lingkungan sosial atau komunitas ini?

SK : Yaitu tentang keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri. itu bersumbangsih kepada timbulnya kekerasan terhadap anak. Ketika anak dipandang sebagai milik orang tua sendiri, sepertinya sebuah pembenaran kalau anak diperlakukan sesuka orang tua. Orang-orang sekitar akan merasa sungkan beritndak ketika mendapati anak mengalami kekerasan dari orang tuanya sendiri. Orang-orang sekitar akan berpikir, "Itu 'kan orang tuanya sendiri, nanti kalau kita bicara ke orang tuanya tentang tindak kekerasan itu, jangan-jangan kita dianggap bersalah karena mencampuri urusan keluarga orang lain."

H : Jadi ini pemahaman masyarakat yang keliru ya, Pak, bahwa masalah orang tua dan anak adalah masalah mereka sendiri, orang luar jangan ikut campur, Pak?

SK : Sebenarnya memang berpikirnya anak itu bukan milik orang tua sendiri, tapi anak adalah milik kita bersama.

H : Dalam arti kita juga memperhatikan. Kita tidak boleh lepas tangan kalau melihat ada yang tidak beres tentang anak itu.

SK : Ya. Jadi kita pun melihat anak itu sebagai pribadi yang perlu dihormati, dilindungi, bukan hanya oleh orang tuanya sendiri tetapi oleh orang lain juga termasuk dalam hal ini orang lain perlu menjaga supaya anak-anak orang yang lain pun diperlakukan dengan baik sekalipun oleh orang tuanya, maka orang yang lain pun perlu menjaga supaya orangtuanya tidak berlaku semena-mena terhadap anaknya. Karena ini juga telah diatur oleh Undang-Undang negara kita, Undang-Undang perlindungan anak.

H : Selain keyakinan yang keliru masyarakat tentang anak, bisa jadi masyarakat sekarang ini cenderung individualistik. Mereka tidak terlalu mau ikut campur. Jadi bukan salah persepsi, tapi karena budayanya sudah individual. Bagaimana menurut Bapak?

SK : Kondisi sekarang ini sejalan dengan globalisasi, perkembangan kota yang semakin padat dan desa juga menjadi kota, akhirnya kehidupan masyarakat kita bagaikan seperti pulau-pulau pribadi secara sosial yang tumbuh diantara keluarga-keluarga dalam masyarakat kita. Ada keterpisahan. "Loe loe, gua, gua" (Kamu kamu, aku aku). Kita kira jargon itu hanya untuk orang Jakarta, ternyata tidak. Di berbagai kota-kota lain di pulau lain itu sudah mulai menggejala jargon atau motto seperti itu. Kita tidak perlu sibuk dengan urusan orang lain, sibuklah dengan urusan sendiri, buat apa mengurus orang lain. Tetapi sebenarnya memang kalau kita masih bisa mengembangkan nilai masyarakat yang komunal, yang saling peduli satu sama lain, sebenarnya ini akan meminimalkan kekerasan terhadap anak. Karena selagi tanggung jawab perawatan dan pengasuhan anak menjadi tanggung jawab bersama, menjadi tanggung jawab masyarakat. Kalau itu terjadi, maka tetangga, kerabat, teman-teman, bisa membantu saat orang tua mengalami hambatan dalam mengasuh anak. Karena semangatnya semangat gotong royong, semangat komunal, maka yang terjadi saat orang tua mengalami hambatan dan tak berdaya, orang-orang lain bersedia turut serta sepenanggungan membantu pengasuhan sang anak tersebut, paling tidak sampai orang tua itu sudah dapat memadai mengasuh anaknya sendiri. Nilai masyarakat yang individualistik ini memang sebuah pertanda buruk untuk semakin suburnya perlakuan kekerasan terhadap anak-anak kita.

H : Khususnya dalam bentuk pengabaian? Karena individualistik, jadi diabaikan, dan tidak mau peduli kepada anak-anak yang lain.

SK : Ya, pembiaran tindak kekerasan orang tua terhadap anaknya oleh masyarakat di sekitarnya karena nilai-nilai yang terlalu individualistik itu.

H : Kalau masalah perbedaan gender dalam masyarakat apakah bisa menjadi pengaruh juga, Pak?

SK : Ya, memang status wanita sampai sekarang pada umumnya masih dipandang rendah. Akibatnya anak perempuan menjadi lebih rentan dan rawan menjadi sasaran kekerasan. Secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Anak perempuan seringkali menjadi korban terutama dari orang tuanya sendiri atau mungkin dari keluarga besarnya, karena dianggap, "Ah, anak perempuan. Toh nanti kembali ke dapur. Sudahlah tidak usah sekolah tinggi-tinggi, disuruh kerja saja." Anak perempuan dibatasi kesempatannya untuk berkembang dan belajar ini dan itu. Atau dia diperlakukan dengan buruk secara seksual karena dipandang menggoda secara seksual. Kalau pun anak menjadi korban kekerasan seksual, bisa jadi orang tua menyalahkan anak, "Kamu sendiri yang genit! Kamu yang tidak bisa menempatkan diri dalam berpakaian dan berperilaku, sehingga menggoda laki-laki." Sudah jatuh tertimpa tangga! Itu karena perempuan dipandang lebih rendah sehingga hal ini semakin menyuburkan kekerasan terhadap anak khususnya terhadap anak perempuan.

H : Karena keterbatasan waktu, kita akan lanjutkan perbincangan kita di sesi mendatang. Apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?

SK : Saya bacakan dalam Matius 19:13-15, "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ." Cerita nyata yang terjadi dalam kehidupan Tuhan Yesus ternyata memperlihatkan betapa Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak. Anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga dan perlu dihormati oleh orang-orang dewasa sebagaimana orang dewasa juga dihormati oleh orang dewasa lainnya. Marilah kita menjadi orang-orang yang menghormati anak-anak kita dan anak-anak orang lain sebagaimana Yesus menghormati anak-anak. Dengan demikian, kalau kita punya rasa hormat yang baik yang tinggi, kita pun akan memperlakukan mereka secara terhormat, bukan memperlakukan anak-anak kita dan anak-anak pada umumnya secara buruk.

H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



119. Kekerasan Terhadap Anak 3


Info:

Nara Sumber: Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T373C (File MP3 T373C)


Abstrak:

Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.


Ringkasan:

Satu sisi kita juga perlu menyadari benar: Jumlah anak di Indonesia sangat besar, sekitar 34% atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.

Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik terhadap Anak
    Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
  2. Kekerasan secara Psikis terhadap Anak
    Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
  3. Kekerasan secara Seksual terhadap Anak
    Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
  4. Kekerasan secara Sosial terhadap Anak
    Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
Amsal 16:29,"Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik" Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak, ada 3 faktor yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor Orangtua dan Keluarga
    1. Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.
      30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
    2. Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.
      Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
    3. Pecandu minuman keras dan obat-obatan.
      Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
    4. Gangguan jiwa
      Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
    5. Asumsi orang tua keliru tentang anak
      Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
    6. Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak
      Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
    7. Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat
      Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
    8. Stres lain:
      akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.

  2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
    1. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.
      Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
    2. Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.
      Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
    3. Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.
      Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
    4. Status wanita yang dipandang rendah.
      Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15, "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.

  3. Faktor Anak itu Sendiri
    Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
    Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.

    Akibat Kekerasan terhadap Anak
    1. Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.
      Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
    2. Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.
      Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.

    Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.

    Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.

    Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.

    Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.

    Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.

    Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

    Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.

    Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.

    Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.

    Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.

Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.

Berkenaan diri sendiri, misalnya :

  • Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
  • Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
  • Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
  • Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
Berkenaan orang lain:
  • Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
  • Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.

Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.

Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".

Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak. Solusi kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
  2. Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.

Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.

Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.

Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.

Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.

Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.

Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.

Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.

Matius 25:21, "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".

Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, kita sudah membahas mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Kalau terkait dengan faktor yang berasal dari anak itu sendiri, itu seperti apa Pak?

SK : Anak sendiri memang bisa menjadi pemicu bagi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh anak itu. Di antaranya seperti karena keterbatasan fisik anak tersebut. Jadi anak tersebut lahir dalam kondisi kekurangan secara fisik atau mengalami cacat fisik. Dan itu mungkin membangkitkan rasa tidak suka, rasa merendahkan anak itu, ada penolakan terhadap anak itu. Dan itu menjadi sumber tersendiri. Misalnya orang tua merasa kecewa, tidak bangga, bahkan merasa malu misalnya dengan kondisi mata telinga yang tidak utuh, kondisi noktah hitam di wajah atau tangan dan kaki yang tidak sempurna atau bahkan ketika anak mengalami keterbelakangan mental (retardasi mental). Atau mengalami kondisi kebutuhan khusus, misalnya autis ADHD dan kondisi-kondisi khusus lainnya. Ini membangkitkan rasa malu, rasa terbebani, sehingga sedikit-sedikit memicu amarah dan akhirnya orang tua terjerumus kepada perilaku kekerasan terhadap anak.

H : Jadi pemicunya dari anak itu sendiri tetapi akhirnya membuat orang tua bereaksi memberikan kekerasan terhadap anak itu ya, Pak?

SK : Betul. Memang dalam hal ini faktornya akhirnya juga menjadi faktor orang tua dimana orang tua kurang bisa menerima sang anak. Seandainya orang tua tetap bisa menerima anak itu sebagai hadiah dari Tuhan, menerima itu sebagai karunia dari Tuhan, ada penerimaan yang bahkan boleh dikatakan penerimaan tidak bersyarat, maka sebenarnya orang tua masih bisa menanggulangi dari faktor anak itu. Memang anak itu cacat, kurang sempurna dalam ukuran umum atau mengalami kebutuhan khusus, tapi kalau orang tua bisa mengelola hati perasaannya, konsep dirinya, penghargaan dirinya dengan baik, itu masih bisa diatasi.

H : Terkait dengan akibat kekerasan terhadap anak, seperti apa, Pak?

SK : Ada beberapa akibat. Yang pertama yang paling mudah dikenali pada umumnya adalah akibat secara fisik. Dalam hal ini anak mengalami luka secara fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, luka sayatan, cacat tubuh secara permanen karena kekerasan bertubi-tubi, hingga kerusakan otak. Dalam hal ini kita perlu menyadari betapa tubuh anak itu sangat ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Kita mengenali tulang anak adalah tulang rawan yang rentan terhadap keretakan. Jadi perlakuan buruk secara fisik, dalam bentuk hajaran, aniaya fisik oleh orang dewasa memang sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam anak dan menimbulkan keretakan dan patah tulang.

H : Sepertinya itu adalah dampak dari perlakuan kategori kekerasan secara fisik ya, Pak?

SK : Bahkan yang ironis, kasus-kasus kekerasan secara fisik ini beberapa berakhir dengan kematian anak. Sebagaimana saya ingat kasus di tahun 1986-an, muncul ke permukaan ke media nasional yaitu meninggalnya Ari Hanggara karena aniaya kedua orang tuanya, bahkan akhirnya menjadi heboh, gerakan massa memprotes, sampai akhirnya difilmkan menjadi film nasional Ari Hanggara. Dan itu bukan satu-satunya kasus di masa-masa sekarang pun kita bisa membaca dengan mudah, dengan sungguh menyedihkan, kasus bayi/ balita yang sengaja ditenggelamkan di bak mandi oleh ibunya, kasus anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.

H : Kasus-kasus ini yang tragis, Pak. Selain dampak terhadap fisik anak, kami percaya juga ada dampak terhadap emosi anak, ya Pak?

SK : Betul. Memang inilah yang kadang saya melihat kebanyakan orang tidak menyadari bahwa kekerasan pada anak bisa berakibat pada kerusakan emosional anak. Jadi orang lebih melihat apa yang di depan mata, yaitu fisik. Okelah lukanya sudah sembuh, boroknya sudah pulih kembali, patah tulangnya sudah digips, sudah dipen, sudah normal. Oke itu satu hal. Tetapi luka emosional itu kadang bersifat jangka panjang, merusak sedemikian dalam bahkan nyaris menetap. Ini yang perlu kita perhitungkan.

H : Apakah ini bisa dikategorikan sebagai sebuah trauma, Pak?

SK : Betul, memang kekerasan pada anak itu menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang dalam hal ini anak. Begitu kerasnya hajaran fisik, apalagi yang berulang-ulang, apalagi dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata yang dikeluarkan oleh orang tua atau si penganiaya, dan begitu kerasnya bentakan yang diterima, itu membuat anak mengalami trauma.

H : Trauma-trauma yang bisa langsung dilihat oleh orang tua itu yang seperti apa, Pak?

SK : Di antaranya, anak menjadi sulit tidur. Kalau pun bisa tidur tapi mudah terbangun, oleh mimpi-mimpi buruk, menjerit di tengah malam. Apa yang dialami itu begitu merasuk dalam jiwanya. Dan ketika orang sedang tidur, alam bawah sadarnya dalam posisi yang lebih merdeka. Sehingga apa yang terpendam itu keluar menjadi mimi-mimpi buruk bagi sang anak. Kemudian kecemasan dan rasa takut anak bisa menjalar ke tubuhnya menjadi psikosomatis.

H : Apa itu, Pak?

SK : Psikosomatis adalah keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Jadi karena jiwa yang tertekan itu kemudian mengganggu metabolisme tubuh. Muncul dalam keluhan-keluhan fisik khususnya di bagian anggota tubuh atau organ tubuh yang paling lemah bagi orang tersebut. Contohnya anak bisa mengalami sembelit, susah buang air besar atau sebaliknya anak menjadi sulit menahan buang air, baik mengompol atau bahkan buang air besar. Dan itu bisa bergulir meningkatkan kembali amarah dan kekerasan terhadap anak. Ini seperti sebuah eskalasi peningkatan-peningkatan kekerasan. Karena anak yang memang sudah tidak bisa menerima tindak kekerasan ini. Dalam bentuk yang lain, anak bisa mengalami sakit maag, karena stres yang tinggi membuat asam lambung mudah meningkat sehingga menimbulkan iritasi dan sakit maag. Atau bahkan bisa menyerang fungsi pernafasan. Ada anak-anak tertentu yang mengalami asma, sebenarnya bukan faktor keturunan tapi sebenarnya manifestasi faktor tekanan jiwa yang diterima karena kekerasan yang terjadi pada anak tersebut.

H : Trauma-trauma seperti ini pasti juga akan mempengaruhi pertumbuhan karakternya ya, Pak?

SK : Betul, memang akhirnya membentuk karakter dan kepribadian anak. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresi, dan mudah frustrasi. Artinya anka cenderung melihat sekitar lebih banyak dari sudut rasa tidak aman, "oversensitive", mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabaran dan mudah terpicu oleh ledakan amarah dan tindakan yang menyerang (reaktif) impulsif, spontan dan tak terkendali. Disini anak tumbuh menjadi pribadi yang minim dengan penguasaan diri.

H : Saya teringat di sesi sebelumnya Bapak menyebutkan peniruan secara alamiah. Apakah ini termasuk kategori itu, Pak?

SK : Benar, Pak Hendra. Memang orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak secara bertubi-tubi itu menggambarkan pribadi yang tidak sabar, mudah frustrasi dan agresif. Maka anak sebagai korban mengalami proses peniruan model perasaan, pengelolaan diri, khususnya bisa terjadi pada anak laki-laki, menjadi pribadi yang negatif, agresif dan mudah frustrasi. Tidak menutup kemungkinan anak perempuan juga bisa menjadi pribadi yang demikian.

H : Maksudnya, anak laki-laki ini hanya akan meniru perilaku ayahnya yang sejenis kelamin, atau bagaimana Pak?

SK : Seperti yang Pak Hendra tengarai tadi, saya sejutu bahwa peniruan itu lebih mudah terjadi pada relasi yang sejenis. Anak laki-laki akan meniru ayah, anak perempuan akan lebih meniru ibunya. Jadi peniruan secara gender. Di satu sisi yang lain adalah tentang pembenaran. 'Kan laki-laki lebih dibenarkan untuk mengekspresikan secara agresif. "Anak laki-laki memang begitu kok." Nah, anak perempuan lebih sering dibatasi budaya dan sosial. "Eh, anak perempuan tidak boleh marah-marah begitu. Tidak boleh main pukul!" sehingga pada diri anak perempuan lebih minim, sekalipun juga kita bisa melihat faktor anak perempuan secara alami dia lebih bagus dalam kemampuan verbalnya. Agresifitasnya lebih kepada kata-kata, omelan dan sebagainya. Anak laki-laki karena perkembangan otak laki-laki mengalami keterbatasan secara verbal tapi akhirnya terlampiaskan melalui ekspresi fisik termasuk kekerasan secara fisik. Disinilah proses peniruan diantaranya faktor gender ini menjadi faktor yang memberi sumbangsih.

H : Kalau anak laki-laki akhirnya meniru perilaku agresif ayah, bagaimana dengan anak perempuan yang mendapat kekerasan dari sang ayah? Dampak seriusnya seperti apa, Pak?

SK : Pada anak perempuan, khususnya kalau ayah adalah pelaku kekerasan dan ibunya turut menjadi korban kekerasan sang ayah, maka anak perempuan ini bisa tumbuh menjadi gadis yang serba menerima perlakuan laki-laki. Dan anak perempuan ini tumbuh menjadi pribadi yang akhirnya mempercayai sebuah kekeliruan bahwa harkat dan martabatnya itu di bawah laki-laki. Maka ketika kelak dia menikah, tanpa sadar anak perempuan ini tumbuh dewasa dan akan memilih pria yang potensial menjadi pelaku kekerasan sebagai suaminya. Memang ada tindakan yang bersifat instingtif, tindakan naluriah yang tidak dia sadari membuat dia seperti tidak berminat dan bahkan menghindari pria yang baik yang bukan calon pelaku kekerasan. Dia secara naluriah lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang akan menghajar dan menganiaya dia kelak.

H : Kenapa, Pak?

SK : Ada sebuah proses tercipta sebuah pola pikir seperti benci tapi rindu. Dia terbiasa dalam kondisi yang tidak sehat, kondisi yang disfungsional. Ini mencetak jiwanya. Tanpa sadar. Dia tahu, "Aku tidak suka dengan kekerasan ayahku. Apalagi ibuku jadi korban. Aku sebagai anak juga jadi korban dan melihat 'tayangan langsung' dari hari ke hari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun. Aku tidak suka." Tapi sisi lain, itu menjadi model yang jadi satu-satunya model kehidupan rumah tangga atau kehidupan relasi gender yang seperti itu. Jangan lupa, relasi orang tua itu kuasanya besar daripada anak menonton relasi orang lain yang bukan orang tuanya, apalagi dia hidup satu rumah, jadi gemanya lebih kuat. Ini membentuk alam bawah sadar anak. Seperti ada kode-kode yang tidak nampak, membuat "antenna"nya secara naluriah, dia akan mencari pria yang bakat melakukan kekerasan. Karena dia seperti sebuah mata rantai kekerasan yang tidak bisa dia hentikan, ada kuasa.

H : Jadi dia tidak sadar?

SK : Tidak sadar! Jadi kuasa ini bukan dalam arti kuasa okultisme roh atau kerasukan. Kuasa ini adalah pola psikologis, kejiwaan, emosional, sehingga akhirnya ini sungguh menyedihkan, bahwa anak itu akhirnya berpacaran dengan pria yang berpotensi melakukan kekerasan. Mungkin waktu berpacaran dia pernah ditampar, dipukul, dijambak, dijotos sampai babak belur, tapi mungkin tercipta pola pikir di dalam dirinya, "Ah, itu 'kan salahku. Aku yang tidak sabar. Aku yang memaksa cowokku ini 'kan lagi capek, aku yang perlu mengerti. Ini 'kan hanya sesekali. Nanti pasti akan berubah. Apalagi kalau kami menikah, pasti dia akan menjadi pria yang lemah lembut." Jadi dia menciptakan harapan-harapan yang bagaikan pepesan kosong, mimpi di siang bolong.

H : Jangan-jangan cara berpikir seperti itu sudah dia mulai sejak dia kanak-kanak dan dia menjadi korban kekerasan ayahnya.

SK : Ya, karena begini, itu mungkin disumbang oleh ibunya. "Nak, ya itulah yang namanya berumah tangga. Namanya kekerasan, pertengkaran seperti itu lumrah. Nenekmu juga begitu." Itu sebuah doktrin! Terjadi indoktrinasi terhadap anak perempuan ini. "Oh, rumah tangga itu seperti ini. Laki-laki memang identik dengan kekerasan dan wanita identik dengan korban kekerasan." Jadi membentuk sebuah iman yang tidak sehat dan keliru.

H : Jadi terlihat jelas ada keterkaitan antara perlakuan orang tua pada anak itu membentuk pola bagaimana anak merasa mengembangkan emosi dan tumbuh dalam karakter.

SK : Betul. Pada anak laki-laki yang ayahnya adalah pelaku kekerasan akan tercipta pola sebaliknya. "Oh, laki-laki boleh melakukan kekerasan. Laki-laki itu boleh menampar istrinya. Laki-laki itu boleh menganiaya anaknya. Apalagi anak laki-laki atau anak yang membangkang." Maka ketika dia punya adik perempuan, dia menampar adik perempuannya. Kenapa? "Papa menampar mama. Ya aku boleh menampar adik. Namanya laki-laki ya pelaku kekerasan. Namanya perempuan ya harus menurut dan tunduk. Kalau tidak menurut tidak tunduk, laki-laki berhak mendisiplin, menegakkan otoritas sekali pun dengan kekerasan fisik".

H : Ini kesesatan berpikirnya anak laki-laki ya, Pak?

SK : Ya, memang seperti yang Pak Hendra sampaikan, jadi pengasuhan, perlakuan orangtua itu membentuk pola perasaan, pola keyakinan, sekali pun itu keyakinan yang sesat dan keliru. Pola interpretasi atau menafsirkan peristiwa secara sesat dan keliru juga, bahkan membentuk pola atau gambar diri anak. Ini sesuatu yang seringkali kita orang dewasa kurang menyadarinya. Kita menganggap sepele kekerasan terhadap anak. "Ah, itu hanya berdampak fisik!" TIDAK! Ini dampak emosional, psikis, bahkan hidup masa depan anak itu sedang kita gariskan lewat model perlakuan yang kita lakukan ketika anak itu masih kecil.

H : Tadi kita sudah membahas dampak-dampak yang kelihatannya memang termasuk kategori dampak jangka panjang karena berhubungan dengan masa depannya dan sebagainya. Kalau misalnya anak itu langsung mendapat perlakuan kekerasan dari orang tuanya, pada umumnya responsnya saat itu seperti apa, Pak?

SK : Umumnya anak itu akan lebih menerima. Anak kecil khususnya usia 10 tahun ke bawah, dia melawan malah bisa dipukul atau lebih dianiaya. Akhirnya dia menjadi korban, penonton, yang bersifat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima saja.

H : Tapi 'kan ada anak-anak yang berusaha mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung, Pak?

SK : Ya, ada anak-anak yang tumbuh terbiasa agresif secara aktif, tapi ada anak yang tumbuh agresif secara pasif. Maksudnya karena anak ini begitu melawan langsung ditebas oleh orang tuanya, maka ada kemarahan yang terserap dalam diri anak. Dia tidak berani mengekspresikannya secara terbuka. Maka anak itu mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung.

H : Secara pasif?

SK : Ya.

H : Contohnya seperti apa, Pak?

SK : Misalnya ada istilah dalam bahasa Jawa 'inggih-inggih ning mboten kepanggih' yang artinya mengiyakan tapi tidak mengerjakan. Mungkin sengaja terlambat, "Biar. Aku 'kan sengaja terlambat." "Memang sengaja aku tunda-tunda, sengaja aku buat jelek atau sengaja aku rusak." Jadi dia main belakang. Menjadi pribadi bunglon. Tampil di depan baik, simpatik, bersahabat. Tapi di belakangnya main intrik, bermain licik, menggigit dari belakang. Jadi kalau dikonfrontasi, ditanya, dia tidak akan mau mengakui, sekalipun bukti sudah nyata. Malah itu akan menimbulkan amarah yang semakin besar dan dia siap melakukan sabotase yang lebih besar lagi, bahkan kalau perlu "Ayo mati bersama! Lebih baik aku kalah kamu kalah juga, daripada kamu menang aku kalah." Memang benar-benar keras hati, keras kepala. Mungkin orang yang agresif pasif ini kalau kenal diluarnya tidak nampak. Nampaknya manis, baik, simpatik. Tapi semakin kenal, barulah kita tahu dan terkena kesulitan-kesulitan berhadapan dengan pribadi yang demikian.

H : Bisa dikatakan seperti air tenang yang menghanyutkan, Pak?

SK : Bukan hanya menghanyutkan, Pak Hendra, tapi menenggelamkan!

H : Karena keterbatasan waktu apakah ada pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?

SK : Ayat firman Tuhan yang saya bacakan dari Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke laut." Firman Tuhan ini merupakan kutipan langsung dari perkataan Tuhan Yesus, bahwa anak-anak yang datang percaya kepada-Nya, menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, itu benar-benar perlu dijaga dan dilindungi. Yang menyesatkan dan yang mengalihkan anak itu dari iman yang benar, lebih baik dia dihilangkan. Itu kata-kata yang keras karena Tuhan menghargai anak sebagaimana Tuhan menghargai orang dewasa. Saya perluas pengertian teks ini dalam konteks kita ini, perlakuan orang tua, perlakuan orang dewasa itu bisa membawa anak itu semakin mendekat pada pribadi Yesus, mengenal, mempercayai dan mengasihi Yesus. Atau sebaliknya perlakuan kekerasan itu menjauhkan anak dari Tuhan, menjauhkan anak dari hidup yang Tuhan inginkan, menyesatkan anak. Dalam hal ini, kalau kita menjadi orang dewasa atau orang tua yang menyesatkan anak-anak kita dengan perlakuan kekerasan kita terhadap anak, ingat, bukan sekadar anak yang kita hadapi, bukan sekadar hukum negara ini, jauh lebih lagi, Tuhan yang empunya anak-anak kita. Dialah yang menjadi Hakim yang adil, yang minta pertanggungjawaban kita sebagai orang tua ataupun orang dewasa yang telah menganiaya anak yang Tuhan percayakan kepada kita.

H : Di akhir sesi ini, saya tergerak untuk meminta Bapak berdoa bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Mungkin di antara pendengar kita, ada yang pernah mengalami kekerasan di masa kecil dari perilaku orang tuanya, mungkin selama ini tidak paham dengan perilaku kekerasan ini.apa boleh Pak?

SK : Mari kita berdoa. Bapa yang di Surga, siapakah kami ini? Sebagian di antara kami adalah pribadi-pribadi yang tumbuh tanpa disadari telah menjadi korban kekerasan dari orang tua kami, korban kekerasan dari orang-orang dewasa yang seharusnya mengasihi, melindungi, dan mengarahkan kami. Maka dalam nama Yesus, kami minta jamahan Tuhan, menolong di tengah keterlukaan dan pengalaman buruk yang pernah kami alami ini. Supaya kami tidak mendiamkannya tetapi mengijinkan memprosesnya bersama dengan Tuhan, rekan-rekan hamba Tuhan, atau bersama konselor yang Tuhan perlengkapi, supaya sampah muatan negatif yang kami serap tidak tinggal diam dalam diri kami. Tetapi lewat proses yang sehat, kami bisa mengakui kepada Tuhan dan sesama kami, dan kami bisa serahkan kepada Tuhan untuk Tuhan cabut dan Tuhan hadirkan kasih-Mu, damai-Mu, pemulihan-Mu, dan penyembuhan-Mu dalam diri kami. Hamba-Mu juga berdoa bagi anak-anak yang ada di bebagai rumah tangga di negeri ini, termasuk rumah tangga Kristen, anak-anak-Mu yang menjadi korban kekerasan. Mari di dalam nama Yesus, jadilah pembela bagi anak-anak yang sedang disesatkan ini ya, Bapa. Orang tua-orang tua dan orang-orang dewasa pelaku kekerasan, di dalam nama Yesus Tuhan bekerja mendatangkan pengakuan bersalah, mendatangkan penyesalan, mendatangkan tekad untuk mau ditolong, dan menjalani proses pertobatan. Selamatkanlah anak-anak-Mu, Bapa, di sudut-sudut rumah, di sudut-sudut sekolah, di sudut-sudut ruangan, atau pun di luar ruangan, yang menjadi korban kekerasan, belalah mereka ya, Bapa. Selamatkan jiwa mereka, selamatkan hidup mereka. Dan jadikan kami orang-orang dewasa yang peka terhadap situasi ini, mau menjadi penolong dan penyelamat bagi anak-anak kami dan sekitar kami yang telah menjadi korban. Berkati kami, bawakan damai sejahtera-Mu bagi anak-anak kami, anak-anak Indonesia. Di dalam nama Tuhan Yesus, amin!

H : Terima kasih Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



120. Kekerasan Terhadap Anak 4


Info:

Nara Sumber: Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T373D (File MP3 T373D)


Abstrak:

Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.


Ringkasan:

Satu sisi kita juga perlu menyadari benar: Jumlah anak di Indonesia sangat besar, sekitar 34% atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.

Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik terhadap Anak
    Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
  2. Kekerasan secara Psikis terhadap Anak
    Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
  3. Kekerasan secara Seksual terhadap Anak
    Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
  4. Kekerasan secara Sosial terhadap Anak
    Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
Amsal 16:29,"Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik" Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak, ada 3 faktor yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor Orangtua dan Keluarga
    1. Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.
      30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
    2. Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.
      Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
    3. Pecandu minuman keras dan obat-obatan.
      Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
    4. Gangguan jiwa
      Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
    5. Asumsi orang tua keliru tentang anak
      Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
    6. Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak
      Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
    7. Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat
      Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
    8. Stres lain:
      akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.

  2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
    1. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.
      Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
    2. Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.
      Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
    3. Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.
      Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
    4. Status wanita yang dipandang rendah.
      Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15, "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.

  3. Faktor Anak itu Sendiri
    Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
    Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.

    Akibat Kekerasan terhadap Anak
    1. Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.
      Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
    2. Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.
      Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.

    Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.

    Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.

    Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.

    Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.

    Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.

    Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

    Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.

    Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.

    Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.

    Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.

Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.

Berkenaan diri sendiri, misalnya :

  • Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
  • Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
  • Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
  • Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
Berkenaan orang lain:
  • Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
  • Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.

Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.

Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".

Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak. Solusi kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
  2. Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.

Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.

Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.

Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.

Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.

Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.

Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.

Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.

Matius 25:21, "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".

Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, dalam pembahasan kita yang terakhir, Bapak sempat menjelaskan sedikit tentang agresif pasif. Kenapa bisa terjadi fenomena agresif pasif seperti itu?

SK : Anak yang menjadi korban kekerasan, ketika berada di dalam rumah, dia menjadi pribadi yang selalu kalah. Maka ketika di luar rumah, ada keinginan kuat, "Aku harus menang!" sedikit pun tidak boleh ada ruang untuk kalah. Menang atau mati. Mungkin itulah semboyan anak korban dari kekerasan. Kemudian dia bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, itulah mekanismenya agar dia bisa bertahan hidup (survive, eksis) di tengah kekerasan dan penindasan orang tua. Jadi dia berusaha untuk 'survive' dan dia mendapati cara itu ampuh, maka terus-menerus diulangi, jadi kebiasaan, jadi pola hidup, jadi mekanisme hidup, jadi karakter dan jadi kepribadian. Disini kita bisa melihat rentetan yang sedemikian panjang dan sedemikian mencetak. Perlakuan orang tua memang mencetak anak kelak akan seperti apa, apakah anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau sebaliknya, menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

H : Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, Bapak banyak menjabarkan dampak kepada anak yang akhirnya menjadi agresif. Tapi pasti ada juga anak yang tidak agresif. Bagaimana dampaknya bagi anak yang tidak agresif?

SK : Memang ada bentuk yang lain. Ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun agresif pasif. Dalam hal ini konteksnya, sang anak ini semua yang ada pada dirinya direbut habis-habisan lewat kekerasan yang dia terima. Apa yang dia miliki termasuk apa yang perlu dimiliki untuk menjadi pribadi yang sehat seperti sudah dirampas lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka anak ini tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan yang paling parah, dia memiliki rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Tak heran anak ini menjadi anak yang pasif dan apatis terhadap kehidupan.

H : Kenapa dia bisa merasa sangat benci kepada dirinya sendiri?

SK : Karena dia tidak punya sesuatu yang bisa dia banggakan. Bukan hanya itu, yang dia mengerti tentang dirinya adalah, "Aku ini sampah. Aku ini kuburan yang penuh dengan tulang belulang. Aku penuh dengan hal yang busuk." Kenapa? Karena perlakuan fisik yang sedemikian mendera, membuat anak melihat dirinya sebagai sansak hidup, yang buruk. Bahkan ditambah dengan kata-kata orang tuanya, "Tahu tidak, Kamu itu anak yang tidak pernah diharapkan di rumah ini! Kelahiranmu itu sebuah kecelakaan. Kamu lahir membawa malapetaka. Gara-gara kamu lahir, keluarga kami miskin. Coba lihat kakakmu sudah banyak. Kamu itu anak yang kelima, kamu lahir membuat beban kami bertambah banyak!" itu pun ditambah dengan, "Kamu tidak berprestasi." dan lain-lain. Kata-kata caci maki dan penolakan yang aktif ini membuat lama kelamaan anak akan meyakininya. "Oh iya ya, aku ini memang jelek. Aku memang sampah dan tidak berguna." Ingat! Kata-kata orang tua itu ibaratnya seperti kata-kata Tuhan. Jadi kalau Tuhan bilang, "Jadilah terang!", maka terang itu jadi. Demikian, orang tua sebagai wakil Tuhan, diberi otoritas Tuhan, kuasa penciptaan. Dan yang diciptakan itu adalah pribadi anak. Maka tidak heran kalau orang tua disebut sebagai wakil Tuhan, itu berarti sebagian kuasa penciptaan dimiliki oleh orang tua. Maka lewat kata-kata itu, itu kata-kata nubuatan dan punya kuasa. Anak selalu akan menjadikan orang tua khususnya di masa tumbuh kembangnya, sebagai poros. Kata-kata orang tua adalah kata-kata yang sangat berkuasa dan anak-anak dapat sangat mempercayainya. Sehingga kata-kata sampah yang menghancurkan harga diri anak itu akhirnya juga akan menghancurkan anak tersebut. Dan akhirnya sebagaimana orang tua membenci anak itu, jadilah anak itu membenci dirinya sendiri. Ini berakibat hidupnya sekadar menggelinding, hidup sekadar hidup, hanya sekadar memenuhi harapan orang tuanya, sekalipun dia tidak akan bisa memenuhinya.

H : Kalau dia sedemikian membenci dirinya, bagaimana relasinya dengan orang lain, Pak?

SK : Akhirnya relasinya dengan orang lain pun diwarnai dengan kebencian dan penolakan. Bukankah Tuhan Yesus pernah mengatakan yaitu dalam hukum kedua yang setara dengan hukum pertama, yaitu, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Jadi sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri, disitulah kita mempunyai modal kesanggupan untuk mengasihi orang lain. Sebaliknya ketika kita membenci diri kita sendiri, maka kita pun punya modal untuk menolak dan membenci orang lain. Memang orang yang membenci dirinya sendiri, dia juga tidak menyukai orang lain! Ataupun ketika dia merasa sebenarnya butuh orang lain karena dia makhluk sosial, tapi karena dia membenci dirinya sendiri, tidak ada sesuatu yang menarik orang lain untuk mendekat bahkan berteman dengan dia. Kata-katanya negatif, wajahnya murung, hidupnya tidak ada terang yang ada kesuraman belaka, orang-orang pun secara alami enggan berteman dengan orang yang hidupnya suram, kata-katanya negatif dan tidak punya semangat hidup. Akhirnya ia akan merasa kesepian dan terasing. Demikian, Pak Hendra.

H : Apakah sikap membenci diri ini dapat menjerumuskannya kepada hal-hal yang mengarah pada perusakan diri atau kematian?

SK : Iya, ini sebuah mata rantai yang tidak terputuskan. Karena dia membenci dirinya, tanpa sadar dia melakukan berbagai perilaku atau mengembangkan gaya hidup yang merusak dirinya. Dalam hal ini bisa berupa dia jatuh kepada kerentanan untuk merokok. Merokok itu 'kan merusak diri, memasukkan berbagai jenis racun kimiawi, diantaranya nikotin, untuk menghancurkan paru-paru dan tubuhnya. Rentan dengan minuman beralkohol, penyalahgunaan obat-obatan, men-tatoo atau menindik tubuhnya di sana-sini. Jadi merajah tubuh bukan sekadar seni. Tatoo itu sebuah seni, iya! Tapi di sisi lain, tattoo itu bisa menjadi bentuk pelarian, mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batin seseorang. Semakin banyak rajahan, sayatan, tindikan, tusukan pada tubuhnya, itu seperti membuat anak yang terluka ini lega. Kenapa? Karena bisa menyalurkan kebencian yang amat sangat dalam hatinya. Bahkan beberapa anak tumbuh menjadi pribadi yang suka menyulutkan rokok, membakar kulitnya dengan rokok yang menyala. Sakit, panas, luka bakar. Kemudian sengaja menyayat tubuhnya dengan silet, menghisap darah yang mengalir dari sayatan itu. Itu dilakukan karena dia sangat membenci dirinya dan dengan dia dia melukai dan meminum darahnya sendiri, itu seperti memberikan kelegaan sesaat.

H : Mengerikan sekali! Tapi ini sulit dimengerti, bagaimana dia bisa merasa lega padahal dia sedang menyakiti dirinya? Jadi dia lega tapi sakit. Bagaimana, Pak?

SK : Ini memang kontradiktif tapi nyata. Karena dia tidak bisa mengekspresikan dengan baik, jadi ibaratnya dalam bahasa simbolik, seperti ada bola api yang panas dalam dirinya dan dia kepanasan, dia terbakar. Bagaimana agar dia tidak merasa panas? Yang perlu dia lakukan bukankah mengeluarkan bola api panas itu. Karena dia tidak mengerti cara yang sehat untuk mengeluarkan bola api yang membakar tubuhnya, maka dia membuat luka-luka sayatan. Itu salah satu bentuk ekspresi yang tidak sehat dan sifatnya palsu untuk mengeluarkan panas api itu. Jadi dinamikanya bisa kita pahami demikian. Dia mencoba mengeluarkan panas bola api dalam tubuhnya itu, tapi karena tidak tahu cara yang sehat, maka dia menyayat-nyayat tubuhnya. Dengan adanya luka, bagian tubuh yang menganga dan darah yang keluar, itu seperti menyalurkan panas yang menyiksa tubuhnya.

H : Jadi rasa sakit yang dia ciptakan sebenarnya tidak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang terkurung di dalam dirinya?

SK : Tepat, jadi sebenarnya dia sedang mengorek-ngorek lubang dalam dirinya lewat tubuhnya yang disayat dan dilukai itu supaya apa yang menyiksa di dalam tubuhnya itu dikeluarkan.

H : Apakah ini juga termasuk orang-orang yang suka melakukan kegiatan ekstrem yang menantang maut, ya Pak?

SK : Ya. Memang beberapa anak korban kekerasan itu menjadi orang yang rawan untuk melakukan kekerasan. Di jalanan, kekerasan di luar, tanpa sadar salah satu itu bersifat ganda. Di satu sisi mengeluarkan energi kekerasan di dalam dirinya, dia lampiaskan kepada pihak luar. Tapi di sisi yang lain sebenarnya dia sedang menantang maut. Sedang membuka jalan yang lebih besar untuk menuju kematian. Karena bagi dirinya mati adalah keuntungan. Sayangnya bukan seperti Rasul Paulus yang "Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan", disini konteks mati adalah keuntungan karena dia begitu menderita oleh karena kekerasan yang bertahun-tahun dia terima. Maka dia menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar, itu sebagai ekspresi dia menantang maut dan dia ingin cepat mati.

H : Jadi konsepnya hidup bukan hidup bagi Kristus, tapi hidup adalah penderitaan dan mati adalah keuntungan?

SK : Ya.

H : Apakah ada dampak dalam kehidupan seksualnya?

SK : Ya, bagi anak korban kekerasan maka dia rawan menjadi budak seks. Baik itu seks yang bersifat normal maupun yang abnormal. Disini seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya yang membuat dia putus sementara dari rasa sakitnya. Memang sebenarnya seks dalam rancangan Tuhan bukanlah sebagai mekanisme atau alat pelarian, bukan juga obat sakit hati. Tetapi anak yang menjadi korban kekerasan itu bisa jadi tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk ke dalam kehidupan seks yang liar tak terkendali dan menjijikkan.

H : Tadi Bapak menyebutkan ada budak seks, baik seks normal maupun seks abnormal. Bedanya seperti apa, Pak?

SK : Seks yang normal itu dilakukan dengan lawan jenis. Tapi yang tidak normal, dilakukan oleh sejenis, atau maaf, dilakukan dengan binatang. Ada seks yang tidak normal dalam konteks dilakukan dengan tindak kekerasan. Karena dia membenci dirinya dan suka melukai dirinya, maka ketika dia berhubungan seks, dia lebih suka berhubungan seks sambil disiksa dan disakiti sampai berdarah-darah. Jadi seks yang masochis. Atau sebaliknya, dia melampiaskan energi kekerasan yang ada dalam dirinya ini, dia menjadi pelaku kekerasan, maka ketika dia berhubungan seksual, dia berhubungan seksual dengan menyiksa rekan seksnya. Lahirlah seks sadisme. Atau sebaliknya, dia menjadi pelacur. Bukan hanya wanita, pria pun bisa menjadi pelacur, berhubungan seks liar dan bebas. Dan ini terus berekskalasi meningkat-meningkat yang sesungguhnya adalah sekadar "mencari kepuasan palsu" yang tidak ada ujungnya dan ujungnya itu hanyalah kehancuran, kematian yang sia-sia.

H : Dikatakan dia menjadi budak seks karena dia menjadi kecanduan dengan seks ini dan seks ini menjadi alat pelariannya, ya Pak?

SK : Betul, memang mekanisme pelarian. Seks sebenarnya dirancang Tuhan bukan sebagai solusi bagi orang yang menjadi korban kekerasan, tetapi oleh lewat proses hidup yang keliru dia mengerti seks dengan keliru juga dan menikmati seks dengan model yang keliru. Sebenarnya dia menjadi semakin terjerat dalam mata rantai kekerasan juga.

H : Jadi selain masalah seksual, penyalahgunaan obat-obatan, narkoba, alkohol, dan lain sebagainya ini bisa masuk dalam kategori mekanisme pelarian, Pak?

SK : Ya, mekanisme pelarian ini juga bisa berupa mencari kekuatan diri yang palsu. Misalnya belajar bela diri, tenaga dalam, bermain dengan kuasa kegelapan atau okultisme. Dalam hal ini untuk memperkuat diri yang lemah dan bertahun-tahun telah menjadi korban kekerasan. Disini saya ingin menegaskan, belajar bela diri bukan serta merta keliru. Tetapi ketika orang mempelajari bela diri sebagai mekanisme pelarian karena korban kekerasan, inilah yang menjadi ruang yang keliru.

H : Tapi 'kan ada sebagian korban kekerasan yang menjadikan pencarian kekuatan fisik dan supranatural ini akhirnya menjadi rentan mengejar maskulinitas yang palsu.

SK : Iya, memang yang dicari, khususnya bagi anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan, akhirnya jatuh menjadi maskulin yang palsu. Dia merasa, "Ini lho pria sejati. Tubuhku atletis. Aku jago bela diri. Ini tatoo-ku, mana tatoo-mu?" atau seorang perokok, "Pria punya selera." Atau peminum, "Ini lho, aku bisa minum "Johnny Walker", aku bisa minum beberapa krat sekaligus." "Ini lho aku jadi pemimpin gang yang ditakuti." "Ini lho, ada banyak wanita yang sudah aku tiduri." Tapi itu seakan-akan seperti sebuah teriakan bahwa, "Aku ini lho laki-laki sejati. Aku bukan pecundang. Jangan sekali-kali meremehkan aku! Jangan menginjak-injak aku lagi seperti dulu aku pernah mengalaminya!" Semua itu saya katakan sebagai kepriaan yang palsu, maskulinitas yang bohong.

H : Maskulinitas yang asli seperti apa, Pak?

SK : Maskulinitas yang asli itu seperti Tuhan Yesus. Dia itu pria sejati yang asli, yang sesungguh-sungguhnya. Jadi Dialah sosok yang sehat. Pria yang sejati tidak perlu menunjukkan dengan dada yang membusung atau dengan bulu dada yang sedemikian rupa. Tapi dia tunjukkan dengan sikap yang tegas, sikap yang mengayomi, sikap yang berani membela kebenaran dan keadilan, sikap yang berani berterus-terang dalam kasih, sikap yang rela berkorban seperti Kristus membela yang benar, rela berkorban, mati untuk sebuah kebenaran, dan melindungi yang lemah apalagi wanita dan anak-anak. Itulah pria sejati.

H : Tanpa perlu atribut-atribut seperti gang motor dan sebagainya ya?

SK : Ya, pria sejati juga pria yang tunduk kepada Allah. tunduk kepada otoritas dan menghargai otoritas, bukan pria yang memberontak.

H : Selain mekanisme pelarian diri, dalam ilmu psikologi juga dikenal mekanisme pertahanan diri. Apakah ini juga terjadi pada korban kekerasan ini?

SK : Memang korban kekerasan mau tidak mau secara alami kental dengan mekanisme pertahanan diri. Jadi sebuah bentuk karena dia cemas, tegang, takut, akhirnya lahir cara-cara melindungi diri yang sebenarnya kurang sehat, apalagi kalau dilakukan berulang-ulang. Jadi anak-anak korban kekerasan rawan untuk menjadikan model penyangkalan sebagai cara hidupnya. "Tidak kok, dia yang salah!" mengkambinghitamkan orang lain. "Ayah dan ibuku yang membuatku seperti ini. Aku luka batin. Aku ini korban kekerasan, jadi wajar kalau begini." Jadi dia memakai pengetahuan-pengetahuan tentang luka batin, kepahitan, itu hanya untuk membenarkan diri sendiri, bukan untuk mencari pertolongan untuk bagaimana dia ditolong dan dipulihkan dilepaskan dari jerat kekerasan ini. Malah dia membenarkan dan mengkambinghitamkan. Ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan diri. Merasionalisasi, mencari alasan-alasan yang logis, termasuk berbohong, itu termasuk mekanisme pertahanan diri, Pak Hendra.

H : Pak, semua mekanisme ini adalah cara yang salah. Pastinya dengan cara yang salah akan menghasilkan keyakinan-keyakinan yang salah?

SK : Benar, Pak Hendra. Keyakinan yang salah pada anak-anak korban kekerasan bisa dalam bentuk tiga rupa. Itu sebenarnya konteksnya bukan hanya pada anak korban kekerasan, tapi bisa pada siapa pun kita, orang-orang yang berdosa juga bisa mempunyai keyakinan-keyakinan yang keliru. Tapi khusus untuk anak korban kekerasan, saya bisa soroti dalam tiga bentuk. Pertama, keyakinan yang keliru berkenaan dengan diri sendiri. misalnya bagi anak laki-laki mungkin berpikir demikian, "Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan itu bikin lembek. Tidak boleh merasa. Menangis itu cewek, untuk banci. Aku laki-laki sejati tidak boleh menangis, tidak boleh ikut merasa." Itu penipuan, kebohongan, keyakinan yang keliru tentang diri. Bagi anak perempuan bisa jadi berpikir begini, "Wanita itu memang diciptakan untuk dijajah pria. Wanita itu memang kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar." Maka tidak heran wanita-wanita ini mempunyai konsep diri yang negatif, benci dengan kewanitaannya, bahkan ada beberapa yang mempersembahkan diri untuk diinjak-injak laki-laki. Keyakinan diri yang keliru juga bisa dalam bentuk, "Aku ini tidak berharga, sampah, pecundang. Apapun yang kulakukan memang salah dan gagal." Atau dia berpikir, "Hanya satu jalan hidup sukses, yaitu kuat, hebat dan berkuasa! Harus jadi orang yang kaya raya! Harus jadi orang yang punya reputasi biar korupsi tidak apa-apa, yang penting kaya raya dan sukses. Dan itu membuat aku tidak akan pernah jadi korban kekerasan, tidak akan pernah ditindas orang lain. Maka pilihan hidupku hanya satu: menindas atau ditindas. Menang atau sama sekali jadi orang yang diinjak."

H : Mengerikan sekali, dengan keyakinan yang keliru ini otomatis jalan hidupnya menjadi tersesat, Pak?

SK : Iya.

H : Kalau berkenaan dengan orang lain, keyakinan yang keliru itu seperti apa?

SK : Keyakinan yang keliru bisa jadi anak laki-laki berpikir, "Oh, memang yang namanya wanita itu hak miliknya perempuan. Wanita itu layak dipukul, direndahkan." Maka ketika dia bertemu wanita, misalnya waktu dia mengendarai sepeda motor, "Hahaha, apa ini wanita naik motor? Serempet aja, permainkan saja. Apalagi dia wanita pakai mobil". Dengan gampang dia lecehkan dengan pandangan matanya, dengan menderu-derukan kendaraannya untuk menakut-nakuti wanita. Jadi memandang wanita secara rendah. Ini termasuk keyakinan yang keliru tentang orang lain. Atau sebaliknya bagi anak perempuan berpikir, "Semua anak laki-laki itu cuma satu shio (menurut cara pikir orang Tionghoa), yaitu shio buaya atau shio serigala. Semua laki-laki cuma mau seks, hanyalah pelaku kekerasan. Hanya satu yang perlu dilakukan, laki-laki harus dilawan!" Tuduhan-tuduhan seperti itu bisa muncul.

H : Kalau terhadap Tuhan, Pak?

SK : Terhadap Tuhan, dia berpikir, "Tuhan memang ada tapi Dia jauh tak terjangkau. Tuhan memang penuh kasih. Sayangnya tidak mengasihi diriku. Bohong kalau Tuhan Mahakasih." Jadi hal-hal seperti ini bisa sedemikian mendalam. Mungkin orang belajar Alkitab, belajar teologi di Sekolah Teologi, pendeta pun bisa berkhotbah sesuai firman, tapi kalau dicek hidupnya, apa yang dia khotbahkan mungkin bukan keyakinannya. Kenapa? Karena lukanya begitu dalam. Emosi yang gelap itu memelintir keyakinan-keyakinannya. Sehingga ada keyakinan yang hanya bersifat akademis untuk diajarkan ke orang lain, tapi tanpa sadar ada keyakinan yang lain yang dia yakini sampai mati-matian sulit untuk dilepaskan.

H : Juga ada keyakinan bahwa Tuhan itu tidak adil ya, Pak?

SK : Ya, dalam hal ini termasuk mempengaruhi luka ini, pola pandang terhadap Tuhan. Ini yang begitu dalam sekali. Akhirnya pandangan ayah yang buruk, ayah pelaku kekerasan itu terpantulkan bahwa Bapa di surga adalah Bapa yang buruk dan pelaku kekerasan. Dia bisa menjadi pemimpin pujian dan menyanyikan "Allah itu Baik, Bapa itu Baik". Dalam hatinya, "Iya, Bapa baik untuk kamu, tidak untuk saya." Jadi muncul rasa tidak aman, pandangan rohaninya tentang Bapa di Surga itu keliru. Kalau dalam bentuk yang lain karena pandangan rohani yang keliru itu, membuat dia bisa bersifat anti-Kristen, anti iman terhadap Kristus. Apalagi kalau papanya aktivis gereja atau hamba Tuhan. Maka dia akan berpikir, "Aku sengaja tidak menjadi Kristen untuk melawan iman orang tuaku." Atau sebaliknya, dia menjadi Kristen tapi Kristen yang legalis. Tekankan teologi kebenaran, teologi iman, sayangnya miskin kasih karunia, miskin anugerah, miskin pengampunan. Dalam hal ini terjadi kesesatan dalam dia menghayati hidup teologi karena dia korban kekerasan yang belum disembuhkan.

H : Selain semua dampak yang telah Bapak jabarkan, apakah masih ada dampak-dampak yang lain?

SK : Dampak yang terakhir adalah mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi. Dampak kekerasan orang tua pada anak bukan berhenti pada anak. Tapi juga bisa berdampak pada cucunya, cicitnya, canggahnya dan generasi berikutnya. Begitu jauh akibat buruk dari dosa kekerasan terhadap anak ini, Pak Hendra.

H : Di akhir sesi ini, pesan firman Tuhan apa yang ingin Bapak sampaikan?

SK : Saya bacakan dari Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Dalam hal ini kita para orang tua, baik sebagai ayah atau ibu, mari kita dengar firman Tuhan ini, mendidik anak-anak kita di dalam kuasa Tuhan. Bukan mendidik di dalam hal yang membangkitkan amarah, kebencian dan kepahitan bagi anak kita, maka mari kita menjadi orang tua yang tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Mari kita berdoa, "Bapa yang di surga, berikanlah kami kuasa untuk mengasihi. Otoritas yang melindungi dan mengasihi sebagai orangtua bagi anak-anak kami. Dengan demikian biarlah kami menghentikan mata rantai kekerasan yang mungkin dulu pernah kami terima. Kami sudahi cukup pada kami. Anak kami mengalami proses pendidikan yang berbeda. Kami juga berdoa bagi gereja-gereja di Indonesia secara khusus, supaya lebih menaruh perhatian terhadap isu kekerasan terhadap anak agar gereja tidak menutup mata, tapi gereja membela anak-anak yang terjajah dan teraniaya ini. Muncul program terobosan yang mendampingi orang tua untuk mendidik dalam kasih dan disiplin yang benar. Berkati pula Komnas Perlindungan Anak, berkati LSM yang bergerak dalam perlindungan anak. Supaya dalam berkat Tuhan, karya mereka semakin nyata, melindungi, membela dan mengangkat anak-anak untuk menerima apa yang layak sebagai anak, tumbuh menjadi anak-anak Indonesia yang sehat, kuat, dan diberkati oleh Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, amin. "

H : Terima kasih Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian keempat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



121. Kekerasan Terhadap Anak 5


Info:

Nara Sumber: Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Kategori: Orangtua-Anak
Kode MP3: T373E (File MP3 T373E)


Abstrak:

Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.


Ringkasan:

Satu sisi kita juga perlu menyadari benar: Jumlah anak di Indonesia sangat besar, sekitar 34% atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.

Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik terhadap Anak
    Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
  2. Kekerasan secara Psikis terhadap Anak
    Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
  3. Kekerasan secara Seksual terhadap Anak
    Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
  4. Kekerasan secara Sosial terhadap Anak
    Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
Amsal 16:29,"Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik" Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak, ada 3 faktor yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor Orangtua dan Keluarga
    1. Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.
      30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
    2. Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.
      Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
    3. Pecandu minuman keras dan obat-obatan.
      Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
    4. Gangguan jiwa
      Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
    5. Asumsi orang tua keliru tentang anak
      Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
    6. Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak
      Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
    7. Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat
      Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
    8. Stres lain:
      akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.

  2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
    1. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.
      Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
    2. Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.
      Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
    3. Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.
      Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
    4. Status wanita yang dipandang rendah.
      Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15, "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.

  3. Faktor Anak itu Sendiri
    Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
    Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.

    Akibat Kekerasan terhadap Anak
    1. Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.
      Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
    2. Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.
      Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.

    Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.

    Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.

    Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.

    Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.

    Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.

    Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

    Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.

    Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.

    Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.

    Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.

Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.

Berkenaan diri sendiri, misalnya :

  • Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
  • Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
  • Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
  • Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
Berkenaan orang lain:
  • Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
  • Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.

Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.

Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".

Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak. Solusi kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
  2. Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.

Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.

Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.

Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.

Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.

Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.

Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.

Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.

Matius 25:21, "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".

Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kelima. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, kita sudah membahas banyak hal tentang topik kekerasan terhadap anak. Solusinya seperti apa, Pak?

SK : Yang pertama, sebagaimana pembahasan yang lalu, salah satu sumbangsih bagi pelaku kekerasan terhadap anak adalah karena ketika dia di masa kecil, dia diperlakukan demikian juga oleh orang tuanya atau oleh pengasuhnya. Maka dalam hal ini, kalau mau menghentikan mata rantai kekerasan, orang itu sendiri perlu bersedia untuk mengakui bahwa pola yang dulu dia terima adalah sebuah kesalahan. Dia menyadari hal itu, mengakui itu salah. Yang kedua, dia bersedia untuk mengenali di titik-titik mana dia terluka. Di titik-titik mana dia masih menyimpan amarah dan kesedihan dan silakan itu dibereskan. Mungkin dalam hal ini dia membutuhkan seorang konselor atau rekan hamba Tuhan yang mengerti tentang pelayanan ini. Maka langkah yang nanti akan didampingi adalah bagaimana dia mengakui luka-luka itu, menghadirkan kembali situasi-situasi yang membangkitkan rasa trauma, kesedihan, amarah, ketakutan, diakui kemudian diserahkan kepada Tuhan, pengalaman-pengalaman negatif itu dipisahkan dari dirinya, muatan emosinya dilepaskan dan dikuduskan oleh Tuhan, kemudian mengundang Tuhan hadir untuk mengisi ruang-ruang yang kosong itu, membersihkan luka-lukanya dan membasuhnya dengan darah Kristus dan dengan demikian memorinya dikuduskan kembali. Jadi tandanya yaitu bahwa dia bisa mengingat peristiwa-peristiwa itu, bukan melupakannya. Dia bisa mengingat tetapi gema negatifnya, gema amarah, gema ketakutan itu berangsur-angsur lenyap. Dan itu tanda dia pulih.

H : Termasuk keyakinan yang kelirunya, Pak?

SK : Ya. Dalam hal ini, itu hal lain lagi. Keyakinan yang keliru itu terselubung. Maka kita perlu mengenalinya. Mungkin kita mengenalinya waktu melakukan kekerasan terhadap anak, kenapa kok bisa terulang? Nah, kenali di balik perilaku kekerasan itu. Misalnya memukul atau kata-kata yang tajam. Kenapa? Apakah masih ada luka secara emosi? Kalau ada luka, mati berproses untuk mengakuinya dan menyerahkannya kepada Tuhan. Yang kedua, mungkin ada keyakinan yang keliru. "Anak itu hak milik. Aku sebagai orang tua harus dihormati seperti ini. Kalau tidak seperti ini, aku harus tindas anak itu." Itu 'kan pola pikir kekerasan. Bukan berarti mendisiplin itu identik dengan melecehkan anak. Kembali, perlu reedukasi. Dalam hal ini, orang tua perlu menyadari apa saja asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan yang keliru tentang anak dan tentang edukasi atau pendidikan terhadap anak. Lalu dikoreksi. Sisi yang lain orang tua perlu punya kesediaan untuk masuk sekolah sebagai orang tua. Memang tidak ada sekolah formal untuk menjadi orang tua, jadi mari kita ciptakan. Salah satunya mari membaca buku, artikel majalah tentang 'parenting', pengasuhan anak, buku-buku tertentu, mendengarkan rekaman termasuk rekaman TELAGA kan sudah banyak membahas tentang pengasuhan anak. Mari jadikan ajang pembelajaran, seminar-seminar. Supaya kita ada perbandingan. Memang sepertinya baik, tapi ternyata mungkin ada yang keliru dari pola asuh yang kita terima. Nah, ini mengoreksi keyakinan yang keliru tadi, Pak Hendra.

H : Artinya perlu ada keterbukan untuk dipulihkan dan keterbukaan untuk dipulihkan?

SK : Tepat. Orang tua yang mau menjadi orang tua juga perlu belajar, Pak Hendra.

H : Kalau mengenai orang tua yang menikah sebelum usia yang seharusnya, bagaimana, Pak?

SK : Dalam hal ini, sedapatnya, kalau dalam kaitannya mencegah, mari bagi rekan-rekan yang belum menikah, rencanakan pernikahanmu. Jangan menikah mendadak, jangan menikah karena sekadar atas nama cinta. Oke, cinta itu penting. Tapi ingat, cinta itu perlu dikonkretkan dengan bentuk persiapan. Jadi secara usia, sebaiknya di atas 20 tahun, secara umum sudah punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Tidak harus kaya melimpah, tapi bagian dari usaha mencukupi keluarga yang sehat seperti apa dia sudah bisa lakukan. Punya tempat tinggal yang baik. Mungkin awalnya dengan 1 kamar kost atau kontrakan. Tapi kalau sudah mau punya anak, sudah harus siap minimal 2 kamar. Jadi sudah dirancang, kapan menikah, kapan punya anak. Kalau belum siap punya anak, tidak apa-apa ditunda 1-2 tahun supaya ada kesiapan secara mental, emosional dan spiritual.

H : Itu 'kan dalam tahapan pencegahan. Kalau dalam tahap mengatasi, karena sudah terlanjur menikah pada usia yang belum mencukupi. Bagaimana, Pak?

SK : Kalau sudah terlanjur menikah muda, misalnya belum punya anak ya, maka sebaiknya menunda punya anak. Jadi jalanilah bimbingan pasca-nikah. Selama ini kita akrab dengan bimbingan pra-nikah. Saya usul dan mendorong kalangan muda, jangan jalani bimbingan pra-nikah sebagai sebuah legalitas, asal dijalani agar dapat berkat dari pendeta. Itu tidak cukup! Jadikan bimbingan pra-nikah sebagai hal yang serius, sebagai saran kita dibantu, disukseskan, dipersiapkan pernikahan kita. Jadi jalanilah dengan benar, termasuk bimbingan konselingnya. Itu penting! Kalau menunya kurang ada di gereja kita, mari cari menu tambahan. Cari konselor, hamba Tuhan yang mengerti tentang bimbingan pra-nikah yang baik. Jalanilah! Bimbingan pra-nikah yang baik itu tidak cukup 2-3 pertemuan! Mungkin bisa 5-6 kali pertemuan. Tidak apa-apa! Itu lebih baik. Jadi secara formal di gereja kita, tapi ada menu tambahan dari orang tua atau konselor yang bisa memperlengkapi kita. Yang kedua, setelah menikah, ada baiknya kita mengikuti bimbingan pasca-nikah. Ada konflik, ada ketidakmengertian, ada hal-hal yang masih jadi kebimbangan atau kekeliruan, bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti itu sebagai sarana koreksi. Ikutilah atau bentuklah kelompok pasutri, kelompok kecil pasutri yang sama-sama belajar, bertumbuh bersama, belajar firman dan belajar lewat isu-isu topik aktual tentang pernikahan dan keluarga. Supaya kita memiliki dukungan sosial. Bagaimana bagi yang sudah punya anak? Bagi yang punya anak, beri jarak kelahiran yang cukup untuk anak berikutnya. Jangan terlalu pendek. Rancang dengan baik, supaya kita siap secara mental, spiritual, termasuk secara ekonomi.

H : Artinya orang tua harus punya sikap kerendahan hati untuk mau dibimbing. Kadang-kadang setelah menjadi orang tua, kita gengsi mencari bimbingan dari orang lain.

SK : Iya. Kadang begitu, ada asumsi, "Nanti kalau aku cari bimbingan, aku dianggap orang edan. Aku orang yang gangguan jiwa." Itu juga keyakinan yang keliru, mari kita koreksi. Justru orang yang sehat, pasangan yang sehat, keluarga yang sehat, itu yang mengantisipasi masalah. Kalaupun ada masalah, cari solusi. Jadi tidak jaga image! Itu yang sehat. Justru yang tidak sehat itulah yang ketika ada masalah, masalah itu dibiarkan, diperam, sampai kian besar. Atau mau ada masalah dibiarkan saja.

H : Ada masalah lain, Pak. Misalnya orang tua itu termasuk pecandu minuman keras atau obat-obatan, cara mengatasinya bagaimana, Pak?

SK : Dalam hal ini perlu pertolongan. Dia sendiri perlu mengakui, "Ini masalahku. Aku orang sakit. Aku orang bermasalah." Kalau orang mengaku diri sakit dan bermasalah, maka dia akan terbuka untuk mendapatkan pertolongan. Bukankah kata Tuhan Yesus hanya orang yang sakitlah yang mengaku dia sakit yang akan mencari tabib dan menerima kehadiran tabib itu. Mari kita akui. Kita akui bahwa kita tidak berdaya. Kita bisa cari konselor, hamba Tuhan yang mengerti untuk mendampingi. Yang kedua, libatkan keluarga untuk membantu. Yang ketiga, mungkin suatu kali kita perlu dirawat inap di tempat rehab. Baik di Rumah Sakit pemerintah maupun di Rumah Sakit pelayanan yang didirikan oleh Lembaga Kristen yang tersebar di berbagai daerah atau pulau. Mari jalani proses rawat itu sebagai cara untuk menstabilkan hidup kita, menyehatkan hidup kita, termasuk menyehatkan hidup emosi dan spiritual kita.

H : Termasuk orang tua dan pengasuh yang menderita gangguan jiwa, Pak?

SK : Ya. Kalau orang tua atau pengasuh anak yang sudah mengarah kepada ketidakstabilan emosi sesaat atau nyaris permanen, mari akui bahwa itu ada masalah. Bagi keluarganya yang mengerti, carilah pertolongan. Saya sendiri pernah mengalami situasi-situasi dimana kadang si orang tua atau salah satu orang tua itu pelaku kekerasan dan emosi dan jiwanya sudah tidak stabil, tidak mau mengakuinya, "Aku masih sehat, aku masih bisa melakukan tugasku." Padahal dia sudah melakukan berbagai tindak pengrusakan dan kekerasan, maka anggota keluarga yang lain mengontak salah satu tempat rehabilitasi untuk menjemput paksa dan itu dimungkinkan. Lebih baik dipisahkan daripada anak yang masih lembut dan dalam masa keemasan pembentukan, tanpa sadar dirusak oleh orang tuanya yang mengalami gangguan jiwa ini.

H : Misalnya orang tua tersebut sudah banyak membaca dan mendengar bahkan dia juga sudah mencari bimbingan, tapi ada satu tahap, dia masih tetap memiliki asumsi yang keliru tentang anak atau tidak mengerti akan kebutuhan perkembangan anak. Artinya proses belajar dan mencari tahu itu tidak serta merta membuatnya mengerti. Apa ada kiat-kiat khusus untuk menghadapinya, Pak?

SK : Memang mau tidak mau perlu belajar. Baik untuk orang tua, saya sarankan berani punya anak, berani jadi orang tua. Sebagian dari kita sebenarnya tidak berani menjadi orang tua. Statusnya orang tua, tapi maaf, sesungguhnya tidak berani menjadi orang tua. Artinya apa? Menjadi orang tua itu berani bayar harga, berani pikul salib sebagai orang tua, termasuk di antaranya mau belajar. Jadi kita tidak akan pernah bisa menjadi orang tua yang seperti Tuhan mau, atau menjadi orang tua yang bisa memberkati anak-anak kita, jika kita tidak mau belajar. Kalau kita hanya mengacu pada pola tradisi waktu kita dibesarkan, sebagian saya yakin ada kelirunya.

H : Misalkan orang tua itu belum tahu banyak, minimal dia tahu bahwa kekerasan terhadap anak itu salah ya, Pak?

SK : Ya.

H : Jadi minimal dia tidak lagi menggunakan pola kekerasan dalam mendisiplin anaknya. Dia putuskan mata rantai kekerasan itu. Dan hal-hal yang tidak dia pahami, dia bisa mencari tahu dan belajar lebih jauh?

SK : Ya dan satu hal yang baik adalah belajar tentang tahap-tahap perkembangan anak. Mungkin bisa mencari di program TELAGA ini ya, tentunya sudah ada pembahasan yang lalu tentang anak, carilah di situs www.telaga.org, cari pembahasan tentang anak dalam bentuk transkrip ataupun audio. Cari, kenali, resapi dan jadikan semacam kompas dalam menghadapi anak-anak kita sesuai dengan tahap usia perkembangannya. Sehingga tidak terjadi pola push parenting atau pola pengasuhan yang memaksa kepada anak yang akhirnya berujung pada rasa frustrasi kita, rasa frustrasi anak, atau berujung pada tindak kekerasan kepada anak.

H : Itu 'kan dalam konteks relasi orang tua terhadap anak. Kalau dalam konteks relasi pernikahan yang tidak memuaskan atau struktur keluarga yang tidak sehat, bagaimana cara mengatasinya?

SK : Dalam hal ini pernikahan yang sehat itu menjadi satu landasan yang penting untuk membangun relasi dengan anak yang sehat. Jadi tidak bisa kita pisahkan sama sekali. Mari kita membangun pernikahan, berani menikah berani jadi suami, berani menikah berani menjadi istri. Artinya tanpa sadar mungkin pernikahan kita melahirkan pola dimana istri kita menjadi janda secara emosional atau spiritual, atau dalam sisi yang lain kita menikah tapi tanpa sadar suami kita menjadi duda secara emosional ataupun secara spiritual. Artinya kebutuhan secara emosi dan spiritualnya tidak kita penuhi. Mungkin kita bekerja menyerahkan uang kepada pasangan kita, mungkin istri bekerja, merawat anak-anak, menyediakan makanan bagi suaminya, tapi makanan emosional dan spiritual tidak diberikan sehingga relasi pernikahannya kering bagaikan roda tanpa minyak akhirnya menimbulkan bunyi berderit, kerusakan relasi pernikahan dan berakibat juga terhadap relasi antara orang tua dan anak. Memang relasi pernikahan itu bukan sekadar dipertahankan, bukan sekadar survive, tapi perlu bertumbuh. Dalam hal ini, mari pasangan suami istri bisa mencari pertolongan. Baik di gereja coba kembangkan, mari buat komunitas kecil 2-3 pasutri, mungkin sebulan 2 kali bertemu, belajar firman Tuhan, mendiskusikan, sesekali memanggil orang lain sebagai narasumber. Atau juga bisa mencari topik tertentu di www.telaga.org, kemudian di print-out dan didiskusikan. Tidak selalu harus bergantung, cari pendeta, pembicara khusus itu bisa, mungkin sebulan sekali di gerejanya, tapi kembali kalau pun itu daerah yang cukup jauh dari kota besar, dengan fasilitas internet dan situs TELAGA yang mudah diakses, manfaatkanlah sebagai sumber belajar dan pertumbuhan. Intinya ada kerendahan hati, ada hati yang sedia, setia dan senang untuk diajar.

H : Pak, itu 'kan secara komunitas atau kolektif. Kalau misalnya dalam konteks mereka secara personal, memberikan asupan emosional dan spiritual itu konkretnya seperti apa, Pak?

SK : Konkretnya memang baik dalam seminggu sekali paling tidak ada kesempatan berdua bersama suami istri tanpa dibebani dengan keributan anak. Mungkin waktu anak sudah tidur, atau mungkin anak masih kecil bisa dititipkan selama 2-3 jam kepada orang yang kita percaya sebagai pengasuh, suami dan istri pergi berdua. Makan berdua, santai, menikmati suasana seperti masa pacaran dulu, suasana itu dibangkitkan lagi, walau tentu saja situasi dan settingnya berbeda tapi bisa diciptakan lagi, kemudian suasana itu untuk mengobrol dengan enak, suatu waktu bisa berdoa bersama, memutuskan masalah dengan kepala dingin. Ketika ada masalah tertentu, lebih baik ditunda jika sedang panas hati, sedang tidak siap hati, time-out, ditunda, dijanjikan waktu tertentu dimana kita siap secara fisik tidak terlalu capek, bersama meninggalkan rumah, mendiskusikan dan mendoakan bersama. Kembali, pernikahan itu perlu disuburkan, perlu ditumbuhkan secara sadar dan sengaja.

H : Kalau disuburkan pasti berdampak ya, Pak? Mereka akan jauh dari kekerasan.

SK : Oh iya, kalau ini disuburkan, nanti akan menjadi energi. Karena energi cinta antara suami istri ini begitu semerbak merona, ini akan menjadi energi kepada anak-anaknya. Dan jangan lupa, anak-anak itu melihat, anak-anak itu peka. "Papa lagi benci sama mama. Mama lagi marahan sama papa." Atau papa mama sedang saling cinta, anak itu peka melihat. Dan kalau anak melihat orang tua begitu mesra dan saling mengasihi, anak pun akan merasa aman yang sehat. Dia tidak akan merasa terintimidasi, tidak akan merasa tidak aman, tapi dia tumbuh dengan sehat. Ini penting sekali.

H : Bagaimana dengan orang tua tunggal?

SK : Memang tidak mudah. Orang tua tunggal perlu menyadari dan mengakui keterbatasannya dan dia bisa mencoba cari pertolongan. Dia mengasuh anak, di saat yang lain dia bisa menitipkan anak kepada orang tertentu. Misalnya, orang tua tunggal ini seorang ibu dengan anak laki-laki. Anaknya ini perlu figur seorang laki-laki dewasa. Cobalah kenali, doakan dan jajaki, sharingkan ke pendeta, sharingkan ke teman-teman lain, cari figur mana, mungkin dalam hari tertentu dititipkan sejam dua jam bertemu dengan orang itu. Ada kalanya dia time-out sebagaimana halnya kencan bagi pasutri yang masih lengkap. Jangan sampai burn-out atau kelelahan. Akhirnya marah-marah, uring-uringan, lalu memukul anak, tahu batas. Ketika tahu batas, coba cari waktu untuk time-out. Saya yakin tidak selalu mudah tapi doakan, minta kepada Tuhan. Itulah cara Tuhan mengasihi kita dengan bahasa yang kita butuhkan. Tuhan pasti akan berikan.

H : Kalau boleh saya simpulkan, pada bagian ini adalah kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi kepada anak-anak kita, Pak?

SK : Iya, betul.

H : Berarti termasuk faktor-faktor dari stres yang lain, Pak? Itu juga harus diselesaikan, misalnya faktor ekonomi dan sebagainya.

SK : Iya, perlu mengenali batas. Ketika kita sadar kita tidak sanggup, carilah pertolongan. Sekali lagi itu tidak mudah, tapi doakan. Sharingkan pada rekan-rekan gereja, pada pendeta untuk menengahi dan mencari jalan yang membangun seperti apa.

H : Kalau dalam konteks faktor lingkungan sosial atau komunitas. Salah satu yang kita bahas adalah kemiskinan, Pak. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik ternyata juga memicu banyak kekerasan terhadap anak. Bagaimana solusinya, Pak?

SK : Dalam hal ini, misalnya orang tua terlanjur banyak anak, apalagi tinggal dalam rumah yang sangat kecil cuma dua kamar padahal anaknya 5-7 orang, atau mungkin tinggal dalam satu kamar saja. Dalam hal ini orang tua perlu sadari ini kondisi yang kurang sehat secara lingkungan fisik termasuk akan memicu ketidaksehatan secara emosional. Mungkin salah satu orang tua bisa mendoakan, "Tuhan, kami perlu rumah yang sehat dan lebih lapang. Saya berdoa dalam nama Yesus, dalam nama Yesus, minta anugerah Tuhan, berkati. Kami tidak tahu harus minta kepada siapa. Tapi kami tahu satu hal, minta kepada Engkau Bapa yang baik, Bapa yang sempurna. Berikan." Jadikan doa syafaat bagi pasutri, ajak anak-anak berdoa, supaya pertolongan Tuhan terjadi. Mungkin melampaui dari apa yang dapat kita pikirkan atau bayangkan. Bukankah itu namanya doa dan kuasa iman dan kasih Tuhan. Yang kedua, mungkin pertimbangan yang lain, anak-anak di usia yang agak dewasa bisa dititipkan kepada saudara yang masih sedia menampung atau kalau perlu dititipkan kepada panti asuhan tertentu. Sudah tentu dititipkan kepada saudara atau panti asuhan itu bukan berarti meniadakan hubungan kasih sayang dan perhatian. Ini pilihan yang kurang baik, tapi ini pilihan yang lebih baik daripada dipaksakan tinggal dalam satu rumah yang sangat minim ruang geraknya secara sehat. Coba doakan, dipertimbangkan, dijajaki. Kemudian tekanan materialistik, mari nilai ini penting. Ingatlah kita orang tua dan orang dewasa, sukses itu tidak identik dengan kaya raya. Banyak materi itu belum tentu bahagia kita dan anak-anak kita. Anak akan lebih bahagia kalau kita kaya dalam kasih dan perhatian, dari pada kaya dalam materi tapi miskin dalam kasih. Maka bertobatlah, kalau kita punya nilai-nilai yang bersifat materialistik. Itu bukan nilai Tuhan, itu nilai duniawi. Bukan rancangan Tuhan untuk kita manusia. Tuhan rancang kita sebagai makhluk yang relasional bukan makhluk yang berpijak pada materi semata. Maka berani batasi, berani mencukupkan diri secara materi tapi kita melimpah secara emosi, kasih sayang, relasi dan secara spiritual dalam keluarga kita.

H : Artinya orang yang kaya belum tentu terbebas dari isu kekerasan ini ya, Pak?

SK : Ya, jadi mari batasi diri. Lebih baik rapatkan barisan, konsolidasikan relasi yang sehat, kasih sayang antara orang tua dan anak, antara suami dan istri, termasuk relasi dengan Tuhan. Itu jauh lebih sehat.

H : Kalau menghadapi nilai-nilai masyarakat seperti anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individulalistik dan kian terpisah, bahkan ada juga nilai masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Ini bagaimana, Pak?

SK : Ya, ini merupakan keyakinan-keyakinan yang keliru, Pak Hendra. Dan kita perlu bertobat, mengoreksi. Dalam hal ini, mari kita akui. Belajar firman itu penting. Mengerti konsep firman tentang anak itu apa, anak itu milik Allah, anak itu titipan Allah kepada orang tua dan nantinya kita dimintai pertanggungjawaban, itu konsep Alkitab. Bahwa wanita itu setara dengan pria, sama-sama dihargai oleh Allah dan barangsiapa menindas sesamanya, termasuk menindas wanita, itu berarti menghina pencipta-Nya. Itu yang dikatakan Amsal. Firman Tuhan juga mengajarkan supaya kita peduli kepada orang lain. Karena orang yang kita anggap terhina, terbuang, tersisih, Tuhan hadir dalam diri orang itu. Ketika kita menyisihkan orang itu berarti kita sedang menyisihkan Tuhan. Nah, ini nilai-nilai firman Tuhan. Mari kenali. Jangan biarkan kita sibuk dengan sinetron, bacaan-bacaan dan percakapan-percakapan yang sekuler. Pergaulan penting! Tapi jangan lupa pergaulan dengan firman Tuhan amat sangat penting. Sehingga nilai-nilai kita adalah nilai-nilai yang Alkitabiah dan sesuai dengan apa yang Allah pikirkan. Jadi apa yang Allah pikirkan, biarlah itu menjadi pikiran dan nilai kita.

H : Pak, itu 'kan terhadap kita secara pribadi. Keyakinan dan asumsi kita yang sudah terbangun di masyarakat akhirnya dipulihkan melalui kebenaran firman. Tapi kalau menghadapi tekanan, Pak. Misalnya kita tinggal dalam masyarakat yang semuanya memiliki nilai seperti itu. Nah kita sendiri yang sudah dikoreksi lewat kebenaran firman Tuhan. Menghadapi tekanan masyarakat dengan nilai yang mayoritas seperti itu bagaimana?

SK : Tentunya kita perlu memperkuat diri. Mari sesama saudara seiman berkonsolidasi. Bukankah kita masing-masing bagian dari gereja lokal. Mari, gereja lokal bukan hanya menjadi tempat ibadah Minggu, tetapi tempat berkomunitas. Karena esensi gereja adalah komunitas orang percaya. Orang-orang yang ditebus dari dosa, orang-orang yang pesakitan menjadi komunitas yang sehat. Mari di dalam gereja, kembangkan komunitas-komunitas kecil yang bertemu, belajar firman bersama, sharing dan saling mendoakan, saling memberi dukungan sosial. Kalau satu sakit, siapa yang akan membantu menjaganya, siapa yang bisa mendampingi orang tuanya. Jadi ada bantuan sosialnya. Ini penting, gereja mengkonsolidasi. Pendeta, mari gerakkan bukan hanya sekadar kunjungan individual, mari kembangkan jemaat untuk saling memperhatikan, gotong royong, saling mendukung secara konkret satu sama lain. Karena itulah panggilan gereja dan gereja demikian itu yang Tuhan inginkan dan gereja yang hidup.

H : Baik, Pak. terima kasih. Di akhir dari seluruh pembahasan mengenai topik kekerasan terhadap anak ini, apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?

SK : Saya bacakan dari Matius 25:21, "Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." Pendengar yang dikasihi Tuhan, disini Tuhan ingin hidup kita adalah hidup yang siap dipertanggungjawabkan. Apa yang Tuhan berikan, dalam ilustrasi ini adalah talenta — bisa 1, 3 atau 5 talenta, Tuhan akan minta balik. Apakah dikembangkan dan dioptimalkan. Jangan lupa, talenta-talenta itu juga berarti anak-anak yang Tuhan karuniakan kepada kita. Jadi berapa pun anak yang Tuhan percayakan kepada kita, Tuhan akan tanyai pertanggungjawaban kita. Apakah kita telah mengasuhnya dengan baik, apakah justru kita telah melakukan kekerasan dan aniaya pada anak-anak kita, atau kita mengembangkan potensi positif dan menggumuli anak itu untuk memenuhi panggilan yang Tuhan telah berikan kepada masing-masing anak kita. mari jadikan anak-anak kita sebagai titik perjuangan kita. Sebagaimana kita serius dalam pengejaran karier dan pekerjaan atau bisnis kita, mari kita juga serius pada masing-masing anak kita. Jadikan itu sebagai bentuk pergumulan dalam doa. Pergumulan dalam belajar, pergumulan dalam memberikan yang terbaik bagi Tuhan lewat apa yang kita berikan, yang terbaik untuk masing-masing anak kita yang berbeda-beda itu. Dengan cara demikian, ketika kita mengakhiri hidup kita kelak, Tuhan akan berkata, "Engkau adalah papa yang sukses. Mari engkau yang sudah setia membesarkan anakmu yang Aku percayakan kepadamu, mari masuklah ke dalam kebahagiaan Tuhanmu dan Aku akan percayakan perkara-perkara yang lebih besar, memerintah dalam Kerajaan Surga." Bukankah itulah sukses hidup kita? Ingat, anak adalah batu ujian kesetiaan dan kinerja kita di hadapan Tuhan. Mari doakan dan sungguh-sungguh asuh dengan baik. Mari kita berdoa, "Bapa berkatilah kami para orang tua supaya kami tidak lalai bahwa anak adalah titipan Tuhan. Maka berkati, teguhkan kami untuk belajar, mencari pertolongan, mendoakan masing-masing anak kami, bisa mengakhiri pertandingan iman kami dengan baik, dan anak-anak kami menjadi suatu wujud persembahan kinerja kami yang terbaik untuk kemuliaan nama Tuhan. Bahkan memberkati dunia ini lewat anak-anak kami yang bertumbuh dengan sehat dan memenuhi panggilan Tuhan memberkati dunia ini. Berkatilah masing-masing pendengar kami di dalam pergulatannya. Pertolongan Tuhan terjadi, dalam nama Tuhan Yesus, amin!"

H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kelima. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



END_OF_FILE <<Prev Next>> Kembali ke atas