DVD Konseling Kristen TELAGA

TELAGA -- Dewasa


Dalam kategori ini, terdapat 51 judul artikel terkait dengan pergumulan orang-orang dewasa, baik pria maupun wanita, dan bagaimana menghadapi orang-orang lanjut usia dan pergumulannya pada masa tua. (Total Durasi: 26 Jam)<<Lihat Direktori>>

No.JudulFile MP3
1Memahami PriaT008A
2Wanita dan DepresiT008B
3Masalah Paro BayaT017A
4Memahami Para Lanjut UsiaT032A
5Mempersiapkan Diri Memasuki Masa Lanjut UsiaT032B
6Masalah Wanita Paro BayaT044A
7Tantangan yang Dihadapi Wanita Paro BayaT044B
8Hidup Sendiri LagiT058A
9Tetap Bermakna dalam KesendirianT058B
10Seks Ditengah KitaT061A
11Kehidupan Lajang dari Perspektif WanitaT069A
12Abigail Potret Wanita BijakT077A
13Yonatan Potret Pria BijakT077B
14AmbisiT086A
15Post Power SindromeT086B
16Gaya Hidup yang Dikuasai TargetT087B
17Mengapa Susah MengalahT099A
18Perasaan BersalahT099B
19Memulihkan RelasiT107A
20Kelemahan Manusia dan Anugerah AllahT107B
21Membina RelasiT111A
22Menegur dengan KasihT111B
23Kendala dalam BerkomunikasiT116A
24Percaya Pada TuhanT124A
25Jawaban DoaT124B
26Dicari Pria yang SetiaT149A
27Mencari Wanita yang Sayang AnakT149B
28Sendiri Namun ProduktifT151B
29Menjadi TuaT177A
30Kakek Nenek dan CucuT177B
31Sampai Hari TuakuT196A
32Relasi Orangtua dan Anak Dihari TuaT196B
33Tatkala Orangtua Menikah KembaliT198A
34Mengapa Orang Tua Seperti Kanak KanakT198B
35Keunikan Laki-LakiT285A
36Laki-Laki Idaman AllahT285B
37Sepi di Hari Tua IT289A
38Sepi di Hari Tua IIT289B
39PerjudianT316A
40PerjinahanT316B
41Memahami Orangtua LansiaT341A
42Makin Tua, Makin CurigaT341B
43Topeng Laki-laki 1T351A
44Topeng Laki-laki 2T351B
45Topeng Perempuan 1T353A
46Topeng Perempuan 2T353B
47Wanita Tanpa PasanganT359A
48Pria Tanpa PasanganT359B
49Laki-laki dan AmbisiT360B
50Masa Tua Tidak Selalu Indah 1T386A
51Masa Tua Tidak Selalu Indah 2T386B


1. Memahami Pria


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T008A (File MP3 T008A)


Abstrak:

Pria mudah jatuh dalam keangkuhan karena pengkondisian sejak awal untuk memegang peranan pelindung, pemimpin, penanggung jawab. Pria juga mempunyai ketakutan kalau dianggap takut kepada istri. Seorang suami harus membangun wibawa rohani yaitu meneladani Kristus Yesus di dalam hidupnya.


Ringkasan:

Menyatukan dua kepribadian yang sangat berbeda bukanlah perkara yang mudah. Sudah pasti akan memakan waktu dan terlebih penting dalam penyesuaian, akan ada bagian dari dalam diri kita yang harus direlakan pergi, dikesampingkan, kalau tidak, dua tidak dapat menjadi satu. Hal ini yang menjadi salah satu penyebabnya adalah kekurangpahaman kita tentang siapa suami kita dan siapa istri kita. Yang dimaksud adalah kekurangmengertian terhadap hal-hal unik seorang pria dan seorang wanita.

Ciri umum pria adalah sebagai berikut:

  1. Kecenderungan pria mudah angkuh daripada wanita. Perempuan sejak kecil dikondisikan untuk lebih rendah hati, melayani. Sedang pria sejak kecil justru dikondisikan untuk memegang peranan, pelindung, pemimpin, penanggung jawab. Nah dalam peranan itulah pria harus justru mempertahankan kewibawaannya, harus menjaga jangan sampai dia kelihatan tidak konsisten.

  2. Kesulitan pria untuk mengatakan saya salah. Karena ketakutan pria/suami adalah tatkala mengatakan saya salah wibawanya sebagai kepala rumah tangga akan merosot. Dan ada satu ketakutan yang dimiliki hampir oleh semua pria adalah takut sekali dianggap takut kepada istri. Ini adalah hal yang tidak dialami oleh seorang istri/wanita. Tentunya hal ini sangat tidak boleh dipertahankan, intinya seorang suami harus membangun wibawa rohani. Artinya adalah seorang pria atau seorang suami meneladani Yesus Kristus di dalam hidupnya, jadi waktu dia salah ya minta maaf, waktu dia benar, dengan penuh pengertian menerima istrinya yang mungkin keliru. Waktu istri perlu dukungan dia bisa memberikan dorongan tidak malah menghinanya. Justru di situlah wibawa seorang suami akan muncul.

  3. Pria alergi sekali dipimpin oleh istri. Jadi meski pria sadar bahwa dia salah, namun kalau dia harus memberikan dirinya dipimpin oleh si istri lebih baik dia tetap tidak mengakui kesalahannya.

Dan seharusnya cara yang terbaik yang dilakukan istri adalah:

  1. Bicara dengan lemah lembut
  2. Isi pembicaraan jangan menyudutkan suami.

Matius 7:12 sering disebut sebagai hukum emas berkata: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka, itulah isi seluruh hukum taurat dan kitab para nabi."

Jadi memang Tuhan meminta masing-masing kita untuk proaktif mengambil inisiatif melakukan hal yang kita tahu kita akan hargai kalau orang lain berbuat itu kepada kita, nah kita perbuatlah ini kepada orang lain termasuk kepada suami dan istri kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen selama ± 30 menit akan menemani anda dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Sebagaimana biasa telah hadir bersama kami, Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling yang kini juga aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Juga telah hadir bersama kami Ibu Idayanti Raharjo salah seorang pengurus di LBKK. Ikutilah perbincangan kami karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.

Lengkap
IR : Pak Paul, ini pengakuan dari ibu-ibu muda, sekalipun Firman Tuhan itu mengatakan dengan jelas bahwa di dalam dan melalui pernikahan pria dan wanita itu akan menjadi satu daging seperti dalam Kejadian 2:24 , namun pada kenyataannya untuk menjadi satu itu tidak mudah Pak Paul?

PG : Ya sangat betul Ibu Ida, sebab menjadikan satu dari dua kepribadian yang sangat berbeda bukanlah perkara yang mudah. Jadi sudah pasti akan memakan waktu dan terlebih penting daripada meakan waktu dalam penyesuaian, akan ada bagian dari dalam diri kita yang harus direlakan termakan atau harus direlakan pergi, dikesampingkan, kalau tidak dua tidak bisa menjadi satu.

GS : Ada orang yang mengatakan, bahwa pernikahan itu seperti dua helai kertas yang direkatkan jadi satu, tetapi nyatanya pernikahan tidak semudah itu Pak Paul karena kita ini bukan kertas yang bisa ditempelkan begitu saja. Apa komentar Pak Paul dengan perumpamaan atau kiasan seperti itu?

PG : Saya sebetulnya sangat suka sekali Pak Gunawan dengan perumpamaan itu sebab memang kalau bisa, andaikan semua orang bisa dilekatkan seperti kertas Pak Gunawan, sudah tentu problem rumahtangga bisa dihilangkan.

Namun kenyataannya seperti tadi disinggung oleh Pak Gunawan tidaklah demikian, dua orang tidak bisa dengan mudah menjadi satu dan saya kira salah satu penyebabnya adalah kekurangpahaman kita tentang siapa suami kita dan siapa istri kita.
GS : Yang dimaksud tidak paham bagaimana? Selama masa pacaran 'kan sudah cukup kami mencoba saling memahami satu dengan yang lain, Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, memang dalam setiap pribadi ada hal-hal yang unik, namun sebetulnya pria dan wanita secara umum memiliki keunikan. Saya kira kita bisa belajar banyak kalau kita bisatahu apa yang menjadi ciri-ciri umum misalnya kaum pria dan kaum wanita.

Nah waktu kita memahami bahwa o.....pada umumnya pria seperti ini, o....pada umumnya wanita seperti ini, nah itu menolong kita akhirnya dalam tahap penyesuaian. Saya kadang-kadang berpikir misalnya, jujur istri saya kok begini, aneh sekali istri saya atau istri saya juga mempunyai pandangan yang sama suami saya kok aneh. Misalkan waktu dia merasa saya ini kok tidak sensitif, saya ini kok tidak bisa ngomong dengan terbuka, apa yang saya rasakan. Nah mula-mula istri saya menganggap sayalah satu-satunya yang bermasalah seperti ini, tapi tatkala dia mulai menyadari bahwa bukan saja saya yang bermasalah seperti ini dan sebetulnya hampir kebanyakan pria sulit untuk mengungkapkan perasaan. Nah dia akhirnya lebih menyadari bahwa ini bukanlah masalah, tapi ini adalah ciri atau keunikan yang dimiliki oleh kaum pria.
(1) IR : Pak Paul, pada dasarnya pria itu adalah makhluk yang angkuh, bagaimana pengaruh keangkuhan itu dalam aspek kehidupannya Pak Paul?

PG : Saya pikir ada kecenderungan pria itu lebih mudah untuk angkuh daripada wanita, karena ada latar belakangnya juga Ibu Ida. Perempuan itu sejak kecil dikondisi untuk lebih rendah hati, prempuan sejak kecil dikondisi untuk melayani, jadi peran melayani adalah peran yang sangat dilekatkan dengan keibuan, kewanitaan sedangkan pria sejak kecil justru dikondisi untuk memegang peranan pelindung, pemimpin, penanggung jawab.

Nah dalam peranan-peranan yang bersifat memimpin itu dia justru harus mempertahankan wibawanya, harus menjaga jangan sampai dia kelihatan tidak konsisten. Jadi saya melihat memang pria pada akhirnya mudah sekali jatuh ke dalam jerat keangkuhan ini. Karena apa? Karena ya pengkondisian sejak awal itu.
GS : Kalau sudah menikah Pak Paul, itu akan nampak dalam sisi-sisi kehidupan yang bagaimana di dalam diri pria itu?

PG : Yang mungkin biasa terjadi Pak Gunawan, kesulitan pria untuk mengatakan saya salah, karena ketakutan pria atau ketakutan suami adalah tatkala mengatakan saya salah wibawanya sebagai kepla rumah tangga akan merosot dan ada satu ketakutan yang dimiliki oleh hampir semua suami, yakni kita-kita ini yang pria takut sekali dianggap takut kepada istri.

Nah ini adalah hal yang tidak dialami oleh para istri atau para wanita. Wanita misalnya dikatakan o....engkau adalah istri yang takut kepada suami, itu suatu pujian, itu justru sesuatu yang akan membuat si wanita merasa pas dan berhasil dalam perannya sebagai seorang istri. Kebalikannya dengan pria kalau pria dikatakan o......engkau adalah suami yang takut kepada istri itu benar-benar suatu ejekan, jadi pria takut sekali dikatakan itu. Nah oleh karena ketakutannya itu pria cenderung lebih kaku dalam misalnya mengambil inisiatif, meminta maaf karena takut permintaan maaf itu menunjukkan ketidakkonsistenan dia dan akhirnya wibawanya akan merosot di mata istri. Jadi saya bisa bayangkan ada di antara kita yaitu suami-suami yang lebih tega atau rela meskipun tahu salah, bersikap salah, mempertahankan kesalahan daripada harus mengakui bahwa dia itu keliru dan harus meminta maaf kepada istrinya.
GS : Itu 'kan sebenarnya ketakutan suami dan itu tidak terlalu beralasan Pak Paul. Apakah sikap seperti itu perlu dipertahankan Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu tidak boleh dipertahankan, jadi intinya adalah seorang suami harus membangun wibawa rohani; nah itu adalah wibawa yang muncul, wibawa yang ditanamkan bukan dari hal-hal eperti tidak mau meminta maaf, mempertahankan gengsi dan sebagainya.

Yang saya maksud dengan wibawa rohani adalah seorang pria atau seorang suami meneladani Yesus Kristus di dalam hidupnya. Jadi sewaktu dia salah ya dia minta maaf, sewaktu dia benar dia juga bisa penuh pengertian menerima istrinya yang mungkin keliru. Sewaktu istrinya perlu dukungan, dia bisa memberikan dorongan tidak malah menghinanya, nah dari semua inilah seharusnya suami akan menerima penghormatan dari si istri, karena si istri akan melihat bahwa suamiku adalah seorang suami yang rohani dan di situlah wibawanya baru akan muncul. Namun saya akui Pak Gunawan, bahwa ini tidaklah selalu bisa kita lakukan, meskipun kita tahu mana yang rohani dan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai anak Tuhan, tapi adakalanya kita susah sekali lepas dari ego kita sebagai seorang pria. Apakah Ibu Ida juga melihat hal itu?
IR : Ya itu bagaimana Pak Paul, kadang-kadang seorang suami tidak mengakui kelemahannya sehingga dia itu tetap angkuh dan dalam kerohanianpun kadang-kadang juga mereka itu tidak mau untuk dipimpin oleh seorang istri untuk menjadi rohani.

(2) PG : Ya, Ibu Ida memang mengatakan satu hal yang penting sekali, yakni pria itu memang alergi sekali dipimpin oleh istri. Jadi meski pria itu sadar dia salah, namun kalau dia harus mmberikan dirinya dipimpin oleh si istri lebih baik dia tidak mau mengakui kesalahannya.

Jadi mungkin timbul pertanyaan apa itu yang harus istri-istri lakukan, nah ini bukannya menuntut istri untuk lebih berkorban. Terus terang saya kadang-kadang suka tidak tega memberikan lagi permintaan, menyampaikan himbauan lagi kepada istri sebab saya sadar bahwa banyak istri yang sudah berkorban, Bu Ida. Jadi yang saya akan sampaikan bukan lagi suatu tekanan kepada istri, namun anggap sajalah sebagai suatu penjelasan bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan tepat kepada suami kita. Nah kalau misalkan ada yang harus istri sampaikan kepada si suami, si suami memang merasa terpojok, kalau diberi instruksi lagi atau nasihat lagi, si suami kemungkinan akan bereaksi dengan keras atau tidak menerima nasihat istri. Yang saya sarankan adalah kita sebagai wanita atau para ibu ini tidak boleh menghampiri si suami dengan suatu sikap, "Engkau salah!" dan menuntut si suami itu langsung meminta maaf. Ini adalah suatu taktik, suatu strategi jadi istri bukannya di sini dianjurkan atau saya menganjurkan istri untuk menoleransi hal yang keliru dari si suami, bukan! Tapi ada strateginya berbicara dengan pria. Pria itu sangat alergi dengan tantangan sebab waktu suami atau pria itu ditantang oleh si istri dia akan berbalik melawan kepada si istri dan tidak peduli dia salah atau tidak salah dia pasti akan lawan balik. Jadi anjuran saya jangan menciptakan atau menyudutkan suami sehingga dia merasa tertantang oleh si istri dan dia harus membuktikan dirinya sebagai seorang kepala keluarga, tatkala dia merasa terpojok dan dia merasa harus membuktikan diri sebagai kepala keluarga, biasanya suami langsung akan menunjukkan kuasanya meskipun dia tahu caranya salah. Jadi cara yang terbaik bagi si istri untuk nomor 1 adalah berbicara dengan lembut, dan nomor 2 isi pembicaraan itu janganlah menyudutkan si suami, supaya si suami itu harus bertekuk lutut dan mengakui kesalahannya. Lebih baik misalkan si istri berkata: "Saya melihat bahwa yang tadi terjadi (misalkan si suami itu bicara kepada seorang temannya secara tidak sopan atau kasar) nah si istri mau memberikan teguran, si istri bisa berkata: "Saya tadi melihat yang kau lakukan kepada temanmu. Saya bisa menyelami perasaanmu, mungkin tadi engkau agak tersinggung dengan temanmu itu, makanya engkau mengatakan hal-hal yang keras seperti tadi." Terus sudah diam biarkan suami yang berbicara, biarkan dia berkata: "Ya saya memang tersinggung dengan dia, karena dia gini, gini, gini." Nah setelah si suami cerita kenapa dia marah, kenapa dia tersinggung, si istri bisa dengan hikmat berkata kepada suaminya: "Saya hanya mau memberikan masukan kalau engkau tidak keberatan untuk mendengarnya. Adakalanya memang dalam keadaan beremosi kita mengeluarkan kata-kata yang keras, tapi setelah kejadian kita langsung memikir ulang dan menyadari bahwa kata-kata keras itu tidaklah pada tempatnya dan tidak harus saya katakan, nah ini masukan saya saja dari yang saya tadi amati, mungkin engkau bisa memikir ulang lagi apakah ada hal-hal yang lain yang bisa engkau katakan, ada kata-kata yang lain yang bisa engkau sampaikan dan tidak usah engkau menggunakan kata-kata yang keras itu, nah ini hanya masukan saya saja kepada engkau." Nah kalau Ibu Ida perhatikan dalam contoh ini si istri tidak memojokkan si suami jadi hanya memberikan masukan dan menghormati si suami dalam pengertian engkau boleh menerima masukan saya tapi juga boleh tidak, ini terserahmu. Nah kebanyakan suami jika mendapatkan masukan seperti ini dari istri, dia akan cenderung diam dan mendengarkannya, atau mungkin dia tidak langsung menerima namun perlahan-lahan dia mulai berpikir akan masukan dari si istri itu.
GS : Pak Paul sudah memberikan uraian yang panjang lebar tentang peran istri didalam membantu suami untuk mengatasi keperbedaannya dengan istrinya. Saya yakin sekali bahwa perbedaan antara suami dan istri sifatnya itu juga dari Tuhan, tapi setelah perbincangan ini saya justru merasa bahwa itu merupakan sesuatu yang menjebak diri saya sebagai seorang pria atau saya merasa terjebak tapi juga ingin keluar Pak Paul dari kondisi seperti itu. Itu 'kan sifat bawaan seorang pria (PG : Maksudnya terjebak?) kesombongan dan sebagainya itu 'kan sudah terbawa ya bahwa pria itu seperti itu. Tadi Pak Paul sudah uraikan bahwa peran istri itu besar sekali, dengan lemah lembut bisa memberitahu, saya percaya bahwa itu menolong sekali. Tapi sekarang dari pihak si suami atau saya sebagai seorang laki-laki bagaimana bisa keluar dari kondisi seperti ini Pak Paul?

PG : Dan jangan bersukacita dalam kelemahan kita Pak Gunawan?

GS : Ya betul.

PG : Jangan sampai kita berdalih memang saya sudah begini Jadi sudah pasti Pak Gunawan ya, seorang anak Tuhan tidak boleh dan tidak diperkenankan Tuhan untuk tinggal di dalam dosa terus-meneus.

Memang ini bawaan atau bentukan dari lingkungan, tapi kita tahu juga bahwa keangkuhan, misalkan tidak mau mengakui kesalahan itu adalah dosa. Jadi tetap suami yang rohani harus bisa mengatakan keangkuhan saya itu dosa, dan dia tidak boleh berkata kepada istrinya ya memang ini saya dan seharusnyalah engkau memahami saya. Nah yang tadi saya sarankan kepada istri adalah strategi supaya istri bisa berkomunikasi dengan tepat kepada si suami, namun si suami tidak boleh berkata bahwa saya tidak bisa berubah karena memang inilah saya. Jadi saya setuju sekali dengan komentar Pak Gunawan bahwa suami tidak boleh terjebak di dalam sifat keberdosaannya itu dan dia harus keluar, dan dia harus melawannya. Dengan cara apa dia melawannya, dengan cara meminta maaf, dengan cara mengakui bahwa saya salah tadi dan tidak segan-segan untuk meminta maaf, dan jangan takut bahwa wibawanya akan hilang gara-gara meminta maaf. Sebab dugaan saya mungkin Ibu Ida bisa koreksi saya, justru akan lebih terkesan dengan sifat suami yang 'gentleman', yang berani mengakui kesalahannya, betul Ibu Ida ya?
IR : Ya saya setuju sekali, tapi itu juga kembali lagi pada Firman Tuhan bahwa kalau suami itu mau rendah hati, mau mengakui, bahwa kalau Roh Kudus itu sudah memimpin kelemahlembutan hatinya dia akan berubah Pak Paul, dia akan bisa minta maaf. Dan permintaan maaf itu membanggakan seorang istri.

PG : Ya, dan si istri saya yakin akan merasa sangat dihargai Bu Ida, bahwa suaminya begitu rela meminta maaf.

IR : Ya saya juga mengalami Pak Paul.

PG : Begitu, ya.

GS : Jadi maksudnya begini Pak Paul, seorang pria yang berkata maaf/minta maaf kepada istrinya tatkala dia salah atau mengakui keunggulan-keunggulan istrinya, itu tidak berarti bahwa si suami ini atau si pria ini menjadi kalah di hadapan istrinya, tetapi ada juga pria-pria atau suami-suami yang memang betul-betul dikalahkan oleh istrinya Pak Paul, jadi bukan sekadar tidak angkuh tetapi sudah memang kalah dalam semua hal, itu bagaimana Pak Paul sikap seperti itu?

PG : Ini kadang-kadang memang terjadi Pak Gunawan, kenapa saya tadi sedikit tersenyum karena memang pernikahan itu tidak selalu ideal Pak Gunawan. Seharusnya memang suami itu memimpin tapi aakalanya ada istri yang justru memimpin suami, karena kemampuan si istri lebih tinggi daripada si suami dalam pengambilan keputusan nah ini saya pikir kuncinya yaitu pengambilan keputusan, si istri lebih memiliki hikmat.

Dalam kasus seperti ini saya tetap akan berkata kepada para istri berdasarkan Firman Tuhan bahwa suami itu adalah kepala keluarga, si istri tetap berperan sebagai pemberi masukan. Dia memberikan sumbangsih, nasihat dan gagasan, jalan keluar, anjuran dan sebagainya, namun dia tidak memaksakan dan membiarkan si suami untuk akhirnya mengambil keputusan. Saya juga mau berkata pada para pendengar bahwa yang saya katakan ini sedikit ideal. Sebab adakalanya saya juga bisa menyelami perasaan para istri yang jelas-jelas mau mencoba menolong si suami dan jelas-jelas si suaminya mengambil keputusan yang keliru, tapi si suami tidak mau mendengarkan masukan si istri. Dalam kasus seperti ini bagaimana, nah memang ya tidak bisa saya katakan pasti harus kiri atau pasti harus kanan, namun pada prinsipnya tetap istri itu berperan sebagai pemberi masukan dan berdoa agar Tuhanlah yang mengatur semuanya. Sebab Tuhan tetap bisa mengatur langkah yang keliru yang diambil oleh suami kita, dan membuat itu justru kebaikan, jadi kita percayakan rumah tangga kita ini pada kuasa Tuhan.
IR : Saya setuju sekali Pak Paul kita itu harus berdoa minta hikmat dari Tuhan karena istri-istri itu juga banyak kelemahannya Pak Paul, dan kalau kita juga mau menuntut suami berubah si istri harus berubah dulu supaya suami mau berubah.

PG : Ya sudah tentu memang keduanya harus berubah Bu Ida ya, saya teringat akan Firman Tuhan yang diambil dari Matius 7:12 yang sering disebut sebagai hukum emas ya (Golden Rule, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka itulah isi seluruh hukum taurat dan kitab para nabi."

Jadi memang Tuhan meminta masing-masing kita untuk proaktif ya mengambil inisiatif melakukan hal yang kita tahu kita akan hargai kalau orang lain berbuat itu kepada kita, nah kita perbuatlah ini kepada orang lain termasuk kepada suami dan istri kita. Kalau kita senang pasangan kita meminta maaf waktu dia salah ya kita juga begitu, kita juga minta maaf dan jangan kita terlalu berpikiran o.....saya laki-laki, o....saya wanita, o....saya kepala keluarga atau saya apa tidak ya. Jadi anjuran saya kepada para suami adalah jangan terlalu pikirkan peranan saya ini kepala keluarga, saya harus menjaga wibawa saya, tidak usah, tujukan mata kita hanya pada Kristus yaitu saya ingin menjadi anak Tuhan yang betul, itu yang paling penting.
GS : Memang membutuhkan suatu tekad yang kuat untuk mewujudkan kesatuan suami-istri itu, tetapi harus mulai dilatih dari hal-hal yang kecil yang tadi Pak Paul katakan. Yang agak sulit memang kadang-kadang kita hidup di suatu lingkungan yang tidak mendukung untuk kita mengupayakan kesatuan itu, maksud saya di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat kita selalu menonjolkan diri bahwa pria itu yang menguasai segala sesuatunya itu Pak Paul.

PG : Dan ini memang sangat bertalian erat dengan identitas diri pria, bahwa pria itu diharapkan tahu semuanya, bisa semuanya dan tidak boleh kelihatan bingung atau kelihatan tidak tahu apa-aa.

Jadi akhirnya kita-kita ini terjebak oleh peran yang diembankan oleh masyarakat, oleh kita juga sebetulnya dan akhirnya kita mengorbankan kebenaran demi menegakkan peranan itu sendiri. Dan jadi langkahnya lebih keliru lagi.
GS : Tapi memang ada perbedaan yang esensial sekali Pak Paul antara peran pria dan wanita.

PG : Betul, sebab Alkitab sendiri pun membedakan akan peranan pria dan wanita, Pak Gunawan.

GS : Jadi semua itu kita terima sebagai anugerah Tuhan, bahwa Tuhan itu membedakan yang pria dan yang wanita untuk bisa saling mengasihi dan saling menolong, begitu Pak Paul ya.

Baiklah para pendengar sekalian, tadi telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi juga bersama Ibu Idajanti Raharjo. Apabila Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami melalui surat. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan Anda sangat kami nantikan, maka alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



2. Wanita dan Depresi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T008B (File MP3 T008B)


Abstrak:

Wanita lebih rawan merasa cemas atau khawatir, maka dia lebih mudah dirundung depresi wanita cenderung melihat apa yang dialaminya dari segi detail, atau dia melihat jauh ke depan.


Ringkasan:

Matius 6:25 , "Karena itu Aku berkata kepadamu, janganlah khawatir akan hidupmu. Akan apa yang hendak kamu makan atau minum dan janganlah khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian." Meskipun Tuhan sudah memberikan firmanNya kepada semua manusia, tapi dapat disimpulkan bahwa ternyata wanita itu lebih rawan terhadap kekhawatiran. Dan juga perempuan lebih mudah menderita depresi daripada pria.

Hal ini disebabkan wanita lebih mudah khawatir dibandingkan pria, dan kecemasan/emosi adalah faktor yang benar-benar membawa seseorang masuk ke lembah depresi. Jadi kecemasan/incity sangat dikaitkan dengan gangguan depresi, karena wanita lebih rawan merasa cemas, otomatis wanita juga lebih mudah dirundung oleh depresi. Tetapi kerawanan wanita bukan saja dipengaruhi oleh faktor emosi tetapi juga wanita secara kognitif cara berpikirnya itu memang memiliki keunikan dan berlainan dengan pria. Wanita cenderung melihat hidup atau peristiwa atau apa yang dialaminya dari segi detail, akhirnya memang wanita cenderung melihat lebih banyak sedangkan pria cara berpikirnya cenderung global, tidak detail. Faktor yang lain adalah pengaruh genetik, jadi waktu seorang ibu depresi sedang mengandung rupanya pengaruh itu juga dibawa kepada si anak, sehingga waktu anak besar entah mengapa dia juga lebih rawan terhadap kecemasan, kesedihan dan akhirnya juga keputusasaan atau depresi.

Yang perlu dilakukan oleh seorang suami adalah

  1. Jangan mengkategorikan istri lemah dalam imannya.

  2. Pelu memahami wanita bahwa wanita cenderung berpikir ke depan, sementara kalau pria berorientasi pada masa sekarang.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang istri yang mengalami depresi, sbk:

  1. Istri mesti mendapatkan kesempatan bicara. Jadi suami perlu menyediakan telinga dan waktu untuk menerima keluhan-keluhan dari istri. Waktu kita mengeluarkan uneg-uneg, ketegangan yang dirasakan sebelumnya akan menurun dan itu akhirnya menolong wanita untuk berpikir lebih jernih.

  2. "Carilah dahulu kerajaan sorga dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkannya kepadamu." Dengan kata lain wanita tidak boleh juga bersukacita dalam kelemahannya dengan mengatakan memang saya begini, tetapi harus menyerahkan semuanya di dalam doa, lebih menyerahkan bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang perkasa dan bisa membantu kita.

Dampak depresi ini adalah:

  1. Bagi keluarga?
    Menjadi keluarga yang murung, tidak ada lagi cahaya sinar kehidupan di dalam keluarganya. Anak/suami akan merasa canggung bicara dengannya dan suami pun bisa merasa frustrasi. Dan salah satu ciri depresi adalah mudah tersinggung.
  2. Dirinya sendiri?
    Semakin dia merasa terkucil karena orang di rumahnya tidak lagi bisa berkomunikasi dengannya, dia makin merasa bahwa tidak ada yang bisa memahami dia, tidak ada yang bisa mengerti isi hatinya, nah itu justru akan menambah depresinya.

Apa yang bisa kita lakukan :

  1. Mesti bisa bicara dengan orang lain
  2. setelah itu dengan bantuan orang lain, suami-istri mencoba mencari tahu duduk masalahnya, nah ini pasti bergantung pada problem apa yang sedang dihadapi. Bisa jadi problem itu bersumber dari suami atau dari anak-anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen selama ± 30 menit akan menemani anda dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Sebagaimana biasa telah hadir bersama saya Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling yang kini juga aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Juga telah hadir bersama kami Ibu Idajanti Raharjo salah seorang pengurus di LBKK; ikutilah perbincangan kami karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, pada perbincangan kali ini saya ingin menanyakan sikap atau keadaan dari seorang istri atau wanita pada umumnya, tapi karena ini perbincangan keluarga mungkin lebih baik saya memfokuskan pada kehidupan istri. Yang kadang-kadang sukar saya mengerti, di saat-saat yang tidak terduga seorang istri itu bisa murung bahkan bisa uring-uringan, seolah-olah ada sesuatu yang menekan kehidupannya, tapi kalau ditanyakan dia sulit menerangkan itu. Sebenarnya itu gejala apa Pak Paul?

PG : OK! Sebelum saya jawab mungkin saya bisa langsung bertanya kepada Ibu Ida, apakah betul begitu Ibu Ida?

IR : Ya benar, kadang-kadang tidak tahu alasannya kenapa kita itu tidak enak, rasanya serba salah, melihat situasi itu serba salah sehingga mau tidak mau kita itu jadi murung, Pak Paul.

PG : Begitu ya, OK! Saya teringat satu ayat Pak Gunawan yang kita semua sudah kenal, diambil dari Matius 6:25 , "Karena itu Aku berkata kepadamu, janganlah khawatir akan hidupm, akan apa yang hendak kamu makan atau minum dan janganlah khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai.

Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian." Pak Gunawan dan Ibu Ida, ternyata memang meskipun Tuhan memberikan ayat ini atau FirmanNya kepada semua manusia, tapi ternyata dapat disimpulkan wanita itu lebih rawan terhadap kekhawatiran. Jadi dikatakan bahwa misalkan kalau kita bicara mengenai kemurungan atau depresi secara klinisnya dipanggil depresi, ternyata perempuan lebih mudah menderita depresi dibandingkan pria dan bahkan angka perbandingannya itu 2 : 1. Jadi cukup banyak ya kenapa perempuan itu lebih mudah terkena depresi, sebab begini Pak Gunawan dan Ibu Ida, wanita itu lebih mudah khawatir dibandingkan dengan pria, kecemasan adalah faktor yang benar-benar membawa seseorang akhirnya masuk ke lembah depresi. Jadi kecemasan atau dalam bahasa Inggrisnya "anxiety" itu sangat dikaitkan dengan gangguan depresi, karena wanita itu lebih rawan merasa cemas, otomatis wanita juga lebih mudah dirundung oleh depresi itu sendiri.
GS : Jadi depresi itu semacam gejala kejiwaan begitu?

PG : Ya jadi memang dari hasil studi yang dilakukan, yang saya pernah baca juga di Amerika Serikat, ternyata memang wanita itu lebih banyak menderita depresi dibandingkan dengan pria. Dan tadi aya sudah sebut 2 : 1.

IR : Atau karena ciri seorang wanita main perasaan Pak Paul?

PG : Saya kira itu berpengaruh besar sekali Ibu Ida, bahwa tidak bisa tidak kecemasan itu berkaitan sekali dengan perasaan, unsur cemas memang adalah unsur emosi jadi karena wanita lebih peka dngan emosinya, wanita juga akhirnya lebih peka terhadap perasaan-perasaan cemasnya.

Tapi sebetulnya perbedaan ini atau kerawanan wanita terhadap depresi bukan saja dipengaruhi oleh faktor emosi. Wanita secara kognitif atau cara berpikirnya memang memiliki keunikan dan berlainan dengan pria. Jadi wanita itu memang cenderung melihat hidup atau peristiwa atau apa yang dialaminya dari segi detail, wanita akhirnya cenderung melihat lebih banyak, sedangkan pria kita katakan cara berpikirnya cenderung global tidak detail. Jadi misalkan kalau saya gunakan perumpamaan, pria itu akan melihat kebun sedangkan wanita akan melihat pohon mangga, akan melihat ada bunga mawar, ada bunga anggrek tapi kalau pria memang cenderung melihat secara keseluruhan. Nah otomatis kita bisa simpulkan bahwa orang yang melihat lebih detail, dalam-dalamnya, isi-isinya akan juga lebih mudah dirundung oleh kekhawatiran karena informasi yang dia miliki lebih banyak dan itu akhirnya bisa benar-benar menekan perasaan dia. Sedangkan pria kurang begitu peka terhadap yang kecil-kecil itu tadi.
GS : Apakah ada pengaruh luar atau pun pengaruh dari dalam dirinya sendiri yang membuat seorang wanita atau istri itu tiba-tiba bisa depresi Pak Paul?

PG : Biasanya tidak, meskipun saya pernah membaca ada suatu riset yang mengatakan bahwa anak yang dikandung oleh ibu yang sedang depresi, anak itu cenderung lebih rawan terhadap depresi sewaktudia sudah dewasa.

Dengan kata lain, memang rupanya ada pengaruh yang cukup kuat, pengaruh genetik waktu ibu depresi dan mengandung si anak, rupanya pengaruh itu juga dibawa kepada si anak, sehingga waktu si anak besar entah mengapa dia juga lebih rawan terhadap kecemasan, kesedihan dan akhirnya juga keputusasaan atau depresi. Jadi ada pengaruh dalamnya, juga ada pengaruh genetiknya, namun saya kira pada umumnya pengaruh genetik ini tidaklah berpengaruh terlalu besar, tidaklah berperan terlalu besar. Yang lebih berpengaruh besar adalah yang tadi saya sudah sebut yaitu wanita memang mudah melihat hal-hal yang detail, yang kecil sehingga hal-hal yang kecil itu lebih mudah untuk menghimpitnya, dia lebih mudah khawatir karena lebih tahu dan lebih melihat banyak. Sehingga kalau kita katakan pria itu tidak khawatir bukannya karena dia tidak khawatir sebab dia beriman besar, belum tentu, tapi karena memang dia tidak melihat, bagaimana dia khawatir.
(2) GS : Kalau begitu apa peran kita sebagai suami untuk menolong agar istri bisa cepat menyelesaikan depresinya itu Pak Paul. Karena itu akan mengganggu sekali hubungan suami-istri kalau si istri sedang depresi dan sebagainya.

PG : Ya saya kira nomor satu kita sebagai suami jangan mengkategorikan istri kita kurang beriman, tadi memang saya sengaja menggunakan istilah beriman. Karena kalau tidak hati-hati kita akan bia cepat menuduh istri kita "Kok engkau yang rajin ke gereja, engkau yang rajin berdoa kok yang lebih mudah khawatir," nah seolah-olah kita-kita ini yang pria lebih memiliki iman yang kuat, belum tentu! Kita bukannya beriman kuat, mungkin sekali karena kita tidak melihat dengan detail, jadi tidak dicemaskan oleh banyak hal.

Jadi jangan terlalu cepat menuduh wanita itu lemah dalam imannya, saya kira itu tidak tepat. Berikutnya adalah kita memang perlu memahami wanita; salah satu yang juga membedakan wanita dan pria adalah wanita itu cenderung melihat jauh ke depan, pria lebih berorientasi pada masa sekarang, kalau wanita itu berpikir tentang masa depan. Itu sebabnya cukup banyak wanita yang menyimpan uang, takut ada apa-apa nanti di masa depan, sedangkan yang misalkan lebih mudah menghamburkan uang adalah kaum pria. Nah, di sini kadang kala timbul cekcok Pak Gunawan dan Ibu Ida karena si suami merasa istri terlalu pelit (GS :Menahan uangnya) menahan uangnya gitu, kok sepertinya tidak bisa royal sedikit. Nah ini dikarenakan wanita memang cenderung melihat jauh ke depan sedangkan pria lebih hanya melihat masa sekarang. Apakah Ibu Ida juga merasakan yang sama?
(3) IR : Ya, kemudian bagaimana Pak Paul, langkah-langkah apa sebenarnya yang harus kita ambil kalau seorang istri mengalami depresi?

PG : Saya menganjurkan istri itu mesti mendapatkan kesempatan bicara, jadi si suami perlu menyediakan telinga dan waktu untuk menerima keluhan-keluhan dari si istri. Nah ini kadang kala sukar utuk dilakukan oleh si suami sebab suami akan berkata: "Kenapa hal kecil seperti ini engkau pikirkan, kenapa engkau risaukan hal yang tidak ada artinya ini, nah salahmu sendiri."

Jadi seolah-olah si suami secara tidak langsung berkata: "Ini akibat ulahmu sendiri, engkau ini depresi." Nah saya kira suami perlu memahami bahwa memang inilah komposisi wanita secara jasmani, secara kognitif, secara pikiran, wanita itu memang akan lebih dimudahkan menderita gangguan depresi. Nah yang paling tepat dan yang paling penting adalah langkah pertama, si istri harus bisa bicara, harus bisa mengeluarkan. Mungkin Ibu akan bertanya: "Bagaimana kalau suaminya tidak mau mendengarkan?" Ya kalau si suami tidak bersedia mendengarkan dan kalau berbicara dengan suami akhirnya memicu pertengkaran yang lebih hebat, saya sarankan istri berbicara dengan teman wanita yang lainnya, jangan bicara dengan teman pria tapi bicaralah dengan teman wanita yang lain atau dengan hamba Tuhan di gereja kita. Ceritakan, sebab waktu kita mengeluarkan uneg-uneg itu, sangat besar sekali dampaknya bagi kita, bagi yang sedang mengalami himpitan. Tegangan yang dirasakan sebelumnya akan menurun dan itu akhirnya akan menolong wanita untuk berpikir lebih jernih, sewaktu perasaannya dihimpit oleh kekhawatiran, ketegangan dan tidak bisa diungkapkan keluar dia makin panik, sebab dia tidak dapat melihat dengan jernih apa masalah yang dihadapinya dan akibatnya adalah cara pikirnya makin tidak rasional. Nah penting sekali bagi wanita untuk dapat mengeluarkan perasaannya, sewaktu perasaannya keluar, dia merasa lebih lega. Dan sewaktu dia merasa lebih lega dia akan lebih tenang dan hasilnya adalah dia bisa melihat juga dengan lebih jernih.
IR : Atau mungkin juga cara yang lain Pak Paul, misalnya bersekutu dengan Tuhan, membaca Firman Tuhan, apakah itu juga baik Pak Paul?

PG : Sangat-sangat baik Bu Ida, jadi Tuhan sendiripun sudah berkata: "Carilah dahulu kerajaan sorga dan kebenaranNya maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." Dengan kata lain wanta tidak boleh juga bersukacita di dalam kelemahannya dengan mengatakan: "Memang saya begini, memang saya wanita mudah cemas, 'kan kamu sebagai suami juga sudah mengerti bahwa wanita ini memang rawan terhadap kecemasan karena lebih melihat yang detail dan lebih memandang yang jauh, nah seharusnya kamu mengerti saya dong!" Ya betul suami harus mengerti tapi di pihak lain jangan juga terjebak di dalam kelemahan ini, wanita juga harus mengalahkannya dengan cara tadi Ibu sudah mengatakan, lebih menyerahkan semuanya di dalam doa, lebih menyerahkan bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang perkasa dan bisa membantu kita.

IR : Saya pun juga mengalami Pak Paul, sering kali kalau mencari teman saya masih khawatir, takut kalau tidak bisa menyimpan rahasia, kalau bersekutu dengan Tuhan, membaca Firman, sering Tuhan itu memberikan ayat Firman Tuhan yang pas, sehingga itu menguatkan.

PG : Betul sekali jadi sewaktu kita bisa benar-benar mencurahkan perasaan kita dalam doa saya yakin sekali jamahan Tuhan juga akan lebih nyata Bu Ida.

GS : Memang ada banyak istri-istri, yang tidak semudah itu bisa keluar dari depresinya Pak Paul, nah yang ingin saya tanyakan kalau itu berlarut-larut, apakah dampaknya terhadap istri itu sendiri dan terutama terhadap hubungan sebagai suami-istri?

PG : Sudah tentu Pak Gunawan orang yang dirundung kesedihan akan juga mempengaruhi lingkungannya, sehingga keluarga itu akan menjadi keluarga yang murung, tidak ada lagi cahaya sinar kehidupan i dalam keluarga itu.

Anak-anak juga akan terpengaruh sehingga anak-anak juga suami akan merasa canggung bicara dengannya, tidak tahu harus bicara apa karena salah satu ciri depresi adalah mudah tersinggung. Jadi memang susah sekali berkomunikasi dengan orang yang sedang depresi, nah di sini suami bisa merasa frustrasi akhirnya: "Kok saya hanya begini engkau marah, kok saya bicara begitu engkau tersinggung, sedangkan saya tidak bermaksud melukai hatimu." Nah, akhirnya komunikasi makin putus, si suami bisa berkata: "Ya saya tidak mau banyak ngomong denganmu," dan si anak pun bisa mengatakan hal yang serupa; "Jangan bicara dengan mama karena mama sedikit-sedikit marah." Jadi akhirnya si istri atau si ibu ini makin terkucil, masalahnya adalah semakin terkucil semakin bertambah depresinya, itu dampak yang diakibatkan kepada orang lain Pak Gunawan; pada dirinya sendiri apa? Pada dirinya sendiri adalah semakin dia merasa terkucil karena orang di rumahnya tidak lagi bisa berkomunikasi dengannya, dia makin merasa bahwa tidak ada yang bisa memahami dia, tidak ada yang bisa mengerti isi hatinya, itu akan menambah depresinya lagi. Jadi memang dampaknya bisa seperti lingkaran setan yang makin hari makin ke dalam. Nah apa yang bisa kita lakukan Pak Guawan? Nomor satu, saya minta mesti bicara, kalau tidak bisa berkomunikasi dengan suami carilah orang lain misalnya hamba Tuhan atau teman wanita yang lain. Tadi Ibu Ida berkata hal yang penting ya, Ibu Ida berkata bahwa kadang kala Ibu juga susah untuk bicara dengan orang lain karena khawatir orang lain tidak bisa memegang rahasia atau apa. Saya kira kekhawatiran ini memang lebih banyak dimiliki oleh para wanita, pria itu lebih bisa terbuka tentang masalahnya, keluarganya atau apa, wanita agak sungkan bicara dengan temannya. Nah, saya kira jangan sampai wanita juga terbelenggu oleh perasaan ah....nanti orang lain juga akan cerita kepada siapa lagi, nanti rahasia rumah tangga saya ketahuan, tidak ya. Kalau kita mulai dirundung depresi dan kita sadari ini tidak benar, harus mulai mencari bantuan, harus bicara dengan orang lain, itu saya pikir langkah yang paling penting yang harus dilakukan. Nah setelah itu dengan bantuan orang lain si istri dan suami mencoba mencari tahu duduk masalahnya, nah ini pasti bergantung pada problem apa yang sedang dihadapi sebab bisa jadi problem itu berasal dari si suami atau dari si anak-anak dan sebagainya.
GS : Ya ada beberapa istri atau wanita yang saat-saat menjelang haid dia mengalami depresi Pak Paul, tapi setelah itu dia bisa mengatasinya, apakah memang ada kaitannya Pak Paul, antara masa haid seorang wanita dan rasa depresi yang dia alami?

PG : Ada Pak Gunawan, jadi ada kecenderungan sebelum masa haid emosi wanita itu lebih labil, jadi ada istri yang berani terbuka dan berkata: "Saya sedang labil karena hampir mendekati masamenstruasi."

Jadi di titik itu si suami lebih peka dan lebih mencoba memahami si istri. Namun di sini juga istri tetap dituntut untuk belajar mengalahkan perasaannya itu, meskipun labil, meskipun mudah marah tapi dia harus belajar untuk mengontrolnya.
GS : Karena sebenarnya kalau memang dia tahu dan itu siklusnya tiap-tiap bulan Pak Paul, sebenarnya dia lebih siap, dan tidak dijadikan semacam alasan untuk membuat atau menarik perhatian Pak Paul..

PG : Ya, saya setuju Pak Gunawan jadi ada tempatnya bagi wanita untuk mengalahkan kelemahan-kelemahannya ini. Tapi saya juga harus berkata, mengalahkan semuanya ini tidaklah terlalu mudah juga ak Gunawan.

Misalkan ada sebagian wanita yang menderita yang disebut PMS (Pre-menstrual Syndrome), nah ini memang bisa dirawat dengan perawatan hormonal yaitu ditambahkan hormon. Wanita-wanita yang memang terganggu oleh gangguan PMS ini akan lebih sukar sekali Pak Gunawan untuk bisa mengalahkan emosinya yang turun naik ini. Sebab saya berikan contoh, kalau kita harus berdiam diri, tenang sewaktu misalnya perut kita sakit, saya kira itu bukanlah hal yang mudah, kita cenderung akan mudah jengkel, akan mudah tidak sabar, mudah marah karena di satu pihak kita ingin menahan diri jangan sampai sakit tapi di pihak lain kita ingin mencetuskannya, nah itu mungkin gambarannya seperti itu Pak Gunawan. Jadi wanita itu sewaktu mendekati mens apalagi yang memang menderita PMS dari dalam tubuhnya itu terjadi pergolakan, terjadilah ketidaktenangan, ketidakserasian, ketidakseimbangan sehingga waktu ada peristiwa yang terjadi di luar, lebih mudah memancing emosi marahnya. Kita-kita yang pria ini kalau lagi capek, terus waktu kita pulang anak kita berteriak sedikit mungkin kita akan marah karena kita sedang lelah sekali, nah kira-kira seperti itulah yang dialami oleh wanita, Pak Gunawan.
GS : Ada lagi yang ini Pak Paul setelah melahirkan, jadi setelah melahirkan itu dia merasa murung. Tidak semua mungkin, istri saya juga tidak mengalami hal itu setelah melahirkan tapi saya mendengar itu ada yang mengalami.

PG : Ada ya itu istilah medisnya disebut atau istilah resminya disebut "Post Partum Depression", jadi depresi pasca kelahiran Pak Gunawan. Itu memang diakui ada Pak Gunawan, ada sebagan wanita yang entah mengapa saya juga tidak tahu pasti secara fisiknya, namun mereka itu rawan terhadap depresi setelah melahirkan anak dan itu bisa berlangsung beberapa bulan.

Saya masih ingat ada suatu kasus di Amerika Serikat di mana si ibu ini akhirnya menabrakkan anaknya sampai mati, itu beberapa tahun yang lalu terjadi dan dia membela dirinya dan dibela juga oleh para dokter yang merawatnya bahwa dia menderita "Post Partum Depression", jadi seolah-olah dia dalam keadaan yang sangat terganggu pada waktu dia membunuh anak-anaknya itu. Jadi bukannya para wanita silakan berbuat hal yang melewati batas pada waktu habis melahirkan, sama sekali bukan itu maksud saya, tapi untuk mengakui memang adanya gangguan yang disebut "Post Partum Depression".
GS : Ya jadi memang disadari bahwa itu sesuatu yang sangat serius tentang depresi itu Pak Paul ya, karena akibatnya bisa kompleks sekali.
IR : Bagaimana Pak Paul kalau seorang ibu mengalami depresi, kemudian untuk keluar dari depresi itu dia melayani apakah itu sebagai pelarian atau bagaimana Pak Paul?

PG : Saya tidak terlalu berkeberatan ya dengan para ibu yang melayani karena mempunyai masalah misalnya di rumah tangga, kenapa sebab tetap pelarian itu adalah pelarian yang sehat. Saya menyadai ada kaum wanita yang sangat menderita di rumah tangganya, hubungan dengan suami yang sangat buruk atau suami yang memang mempunyai masalah yang serius, anak-anak yang juga tidak menghormati dia dan masalah yang besar sekali.

nah saya berpikir ya tidak apa-apa daripada dia tambah tertekan dan akhirnya jatuh, biarkan dia melayani, biarkan dia keluar, dia mendapatkan juga outlet ya. Asal yang penting dia tidak melarikan diri dari problem itu, dia menyadari problem yang ada dan dia berusaha menyelesaikannya, jangan sampai dia menyangkali problem itu. Jadi saya membedakan orang yang keluar menghirup udara segar dan orang yang menyangkali bahwa dia ada masalah, jadi saya tidak apa-apa kalau ada orang yang harus keluar pelayanan karena di rumah begitu sumpek, asalkan dia hadapi problem itu.
GS : Ya memang Firman Tuhan yang tadi Pak Paul bacakan tentang jaminan Tuhan kalau kita terlebih dahulu mencari kerajaan Allah dan kebenaranNya itu memang sangat penting untuk dihayati dan kita lakukan. Cuma masalah terbesarnya adalah bagaimana kita itu menyerahkan kekhawatiran kita itu, kita mempunyai kecenderungan justru memegang erat-erat kekhawatiran itu sebagai bagian dari kehidupan ini.

PG : Dan ini memang lebih dikaitkan dengan sifat kewanitaan, Pak Gunawan. Sifat kewanitaan adalah merawat, memastikan semuanya sejahtera dan baik. Jadi wanita kalau tidak hati-hati dia akan menambil tempat Allah di situ, dia harus menjaga diri jangan sampai melewati batas, bahwa masih ada Allah yang sanggup merawat dan menyelesaikan segalanya.

Wanita kadang-kadang merasa peranannya adalah sebagai "care-taker", perawat semua harus senang dan sejahtera karena apa yang dia sumbangsihkan, ya tidak bisa selalu begitu, ada Tuhan dan dia harus berikan ruangan itu untuk Tuhan.
GS : Mengambil kekhawatiran itu yang sebenarnya tidak perlu, yang sebenarnya sudah Tuhan minta dari kita, tetapi belajar itu tidak ada putus-putusnya jadi bagaimana kita harus menyerahkan kekhawatiran karena kekhawatiran itu tiap-tiap hari ada begitu Pak Paul. Terutama pergumulan di dalam kehidupan kita khususnya untuk ibu-ibu atau istri yang sering kali mengalami depresi. Mungkin ada sesuatu hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan sebelum kita mengakhiri perbincangan kita Pak Paul?

PG : Saya hanya menyarankan kepada para istri yang memang mengalami masalah dalam rumah tangganya dan hal ini mengkhawatirkan diri saudara, saya sarankan jangan tinggalkan persekutuan, jangan tnggalkan anak-anak Tuhan yang lainnya.

Terus bersekutu, terus mendapatkan kekuatan dari persekutuan dengan sesama anak Tuhan. Adakalanya dalam depresi kita tidak mau bersekutu, tidak mau bertemu dengan orang, menyendiri saja di rumah jangan sampai begitu, terus paksakan diri keluar karena melalui persekutuanlah Tuhan akan bersabda kepada kita semua.

GS : Terima kasih Pak Paul, demikianlah tadi kami telah persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga masa kini, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Idajanti Raharjo. Apabila Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) di Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



3. Masalah Paro Baya


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T017A (File MP3 T017A)


Abstrak:

Pria paro baya bisa disebut dengan dewasa akhir ini, berada pada suatu posisi persimpangan jalan. Yang dimaksud adalah pilihan terhadap karier. Dan di usia inilah mereka mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi.


Ringkasan:

Usia dewasa dapat dibagi dalam 3 bagian besar yaitu:

  1. Usia dewasa awal, adalah tahap pertama yang meliputi usia sekitar 20 tahun - usia 30 tahun.
  2. Dewasa tengah atau menengah, mencakup usia 30 tahun - sekitar 45 tahun
  3. Dewasa akhir yaitu usia antara 45 - 60 tahun dan usia inilah yang disebut usia paro-baya. Di atas usia ini biasanya kita sebut masa tua atau usia lanjut.

Usia dewasa awal seseorang kalau digunakan istilah jalan atau perjalanan seseorang itu berada pada titik berangkat dalam perjalanan hidupnya. Jadi pada dewasa awal seseorang biasanya memasuki perguruang tinggi mengambil bidang yang kiharapkan bisa menghantarkan ke jenjang karier yang diidamkannya.
Usia dewasa tengah ciri utamanya adalah kalau tadi berada atau memulai perjalanan, sekarang usia 30 tahun dikatakan mulai berada di dalam perjalanan. Mereka ini sudah berada pada karier mereka
Usia dewasa akhir, yaitu pada usia 45 tahun dikatakan berada di persimpangan jalan. Persimpangan jalan adalah terbukanya banyak pilihan. Salah satunya,

  1. Pilihan karier.
    Pada masa inilah biasanya mereka menjadi pria yang mantap, stabil secara emosi, dan secara finansial pada umumnya mereka telah mencapai kestabilan yang baik. Dan hal-hal tersebut di atas juga yang membuat pria paro baya memiliki daya tarik. Dalam hal ini atau peristiwa ini berlaku berbeda bagi seorang pria dan seorang wanita.

    Pria Wanita
    Pada usia dewasa
    - Titik beratnya pada dunia luar yaitu pekerjaannya. bersifat domestik rumah tangganya sendiri
    - Pekerjaan tujuan sendiri sebagai sarana

  2. Mulai meragukan pilihan hidupnya, apakah istri yang sekarang ada benar-benar yang menjadi keinginannya. Usia paro baya adalah usia yang juga rawan terhadap perceraian, mengapa?

    1. Menginjak usia paro-baya, masa ini mereka mulai meragukan apakah istrinya sekarang adalah seorang istri yang sesungguhnya dia inginkan.

    2. Munculnyap problem yang dulu pernah ada di awal pernikahan, yang selama ini tertutupi oleh kehadiran anak. Sehubungan dengan anak-anak yang sudah lepas entah kuliah, menikah sehingga di usia ini kembali berhadapan langsung dengan pasangannya.

  3. Keraguan hal yang bersifat rohani.
    Pada masa paro-baya kalau karier mereka bertambah baik, bisa ada 2 kemungkinan yang terjadi.

    1. Makin jauh dari Tuhan, karena merasa berhasil, kerja kerasnya untuk menghasilkan buah dengan baik makin bergantung pada diri sendiri, sehingga makin tidak perlu Tuhan.

    2. Dia makin menyadari Tuhanlah yang telah memberkati dia, jadi dia hidup dalam kebenaran Tuhan, makin hari makin dekat dengan Tuhan.

Mazmur 85:12 berkata: "Kesetiaan akan tumbuh dari bumi dan keadilan akan menjenguk dari langit." Bagi para pria paro-baya perlu adanya kesetiaan, Tuhanlah yang memeliharanya telah bersama dengannya melalui begitu banyak peristiwa. Biarlah kita yang di bumi ini memperhatikan kesetiaan kita kepada Tuhan, dan dari sorga Tuhanlah yang akan memberikan dan memberkati dengan keadilannya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso kali ini bersama Ibu Melany yang juga sekretaris dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang masalah-masalah sehubungan dengan usia pria setengah baya. Dan kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, di dalam kehidupan ini masa remaja itu sering kali disebut suatu masa yang cukup sulit karena menentukan identitas diri dan sebagainya. Rupanya orang tidak habis-habisnya mengalami banyak masalah khususnya ketika memasuki usia paro-baya atau usia setengah baya yang sering kali timbul gejolak-gejolak tertentu di dalam dirinya. Saya sendiri juga mulai memasuki bagian itu jadi saya merasa perlu sekali, sangat berkepentingan untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut. Nah pertama-tama Pak Paul yang ingin kami ketahui adalah pembagian usia seseorang itu mulai meninggalkan masa pemudanya dan memasuki masa dewasanya.

PG : Kalau Pak Gunawan tidak berkeberatan, sebelum saya mulai menjawab saya ingin bertanya dulu, apakah Pak Gunawan sendiri merasakan setelah memasuki usia paro-baya ada perubahan dalam diri Pak Gunawan?

GS : Terus terang ya Pak Paul, jadi pada saat ini saya sedang berusia 49 tahun dan rasanya memang yang memisahkan masa pemuda saya itu pada saat saya menikah di usia 30 tahun itu Pak Paul, itu memang mulai terasa ada perubahan-perubahan.

PG : OK! Ibu Melany sendiri bagaimana Bu?

ME : E......maksudnya?

PG : Apakah secara kejiwaan merasa ada perbedaan usia sekarang ini, ibu juga sudah di atas 45 mungkin ya, apakah berbeda dengan dulu-dulu?

ME : Ya, yang saya rasakan setelah berusia 40 itu memang makin terasa waktu atau kesempatan ini makin sempit, jadi rasanya waktu ini harus digunakan seefektif mungkin, itu yang ada pada diri saya.

PG : Ya, rupanya itu yang dialami oleh banyak orang Pak Gunawan dan Ibu Melany, yakni tatkala memasuki usia paro-baya mereka mengalami adanya gejolak-gejolak atau suatu perasaan-perasaan yan sebelumnya tidak dirasakan yang nanti akan kita bahas.

Namun sebelum kita masuk ke situ untuk menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan, usia dewasa awal adalah tahap pertama yang kira-kira meliputi usia sekitar 20 tahun hingga usia 30 tahun. Kemudian dewasa tengah atau menengah itu mencakup usia 30 tahun hingga sekitar 45 tahun dan akhirnya dewasa akhir yaitu usia antara 45-60 tahun, dan usia inilah yang disebut usia paro-baya. Di atas usia ini kita biasanya menyebut bukan lagi masa dewasa tapi mulailah disebut masa tua (GS: Usia lanjut itu ya Pak?) usia lanjut betul.
GS : Tadi Pak Paul mengkategorikan dalam 3 yaitu dewasa awal, dewasa tengah dan dewasa akhir, sebenarnya apa yang menandai masa-masa itu Pak Paul?

PG : Pada masa dewasa awal, seseorang itu kalau saya gunakan istilah jalan atau perjalanan seseorang pada usia dewasa awal berada pada titik berangkat dalam perjalanan hidupnya. Jadi pada deasa awal itu seseorang biasanya memasuki perguruan tinggi mengambil bidang yang dikiranya atau diharapkannya bisa menghantarnya ke jenjang karier yang diidamkannya.

Jadi dia sudah mulai memasuki jalan hidupnya, di bawah usia 20 itu masih kita sebut masa kanak-kanak atau masa remaja dan masa remaja pun sebetulnya bisa dibagi dalam tiga. Namun masa remaja itu kami belum masukkan dalam kategori usia, di mana mereka sudah memasuki perjalanan hidup untuk menentukan karier dan sebagainya. Pada usia 20-30 tahun biasanya kita-kita ini mulailah merintis karier kita, merintis kehidupan kita baik itu dalam tindakan-tindakan yang berbentuk persiapan kita sekolah, kita kursus dan sebagainya atau memulai kerja. Jadi kita memulai suatu bidang yang kita rasakan itu adalah keahlian kita dan kia mulai membangun karier kita di situ. Setelah usia 30 tahun kita memasuki dewasa tengah, ciri utamanya di situ adalah kalau tadi memulai perjalanan, mengawali perjalanan sekarang usia 30 tahun kita bisa katakan pria ini mulailah berada di dalam perjalanan. Mereka ini benar-benar sudah biasanya berada pada karier mereka, jadi memang kalau seseorang yang sudah usia 34, 35 masih terus mencari-cari kerjaan apa yang cocok baginya, bidang apa yang cocok baginya ini memang terlambat. Dan akhirnya akan membuat orang itu frustrasi, jadi memang dalam hidup itu ada fase-fase atau bagian-bagian atau tahapan-tahapan dan masing-masing tahapan itu memiliki tugasnya masing-masing. Kalau tugas atau kewajiban atau tuntutan tersebut gagal kita penuhi akan ada dampak-dampak negatifnya Pak Gunawan, jadi misalkan seseorang yang pada usia 20-an itu tidak mempersiapkan dirinya dengan baik untuk mengawali kehidupannya atau kariernya, dia tidak sekolah yang betul, dia tidak memilih jurusan yang tepat dan sebagainya, akhirnya akan berdampak sekali pada tahap berikutnya. Nah tahap yang berikutnya tadi adalah masa perjalanan itu sendiri, setelah itu barulah pada usia 45 tahun dia itu kita katakan berada di persimpangan jalan yang nanti juga akan saya jelaskan.
GS : Hal-hal itu berlaku umum untuk yang pria maupun yang wanita Pak Paul?

PG : Rupanya tidak Pak Gunawan, sebetulnya juga ada perbedaan.

GS : Bedanya Pak Paul?

PG : Begini, pria sudah tentu pada usia-usia dewasa ini banyak memberikan perhatian pada dunia luar yaitu dunia kariernya sedangkan wanita meskipun mereka juga misalnya terlibat dalam dunia arier di luar rumah, namun sering kali perhatian mereka itu tetap tersedot untuk hal-hal yang bersifat domestik yaitu hal-hal yang bersifat rumah tangganya sendiri, jadi memang ada perbedaan yang besar di situ.

Misalkan wanita pada usia 20-30 tahun dia memang sedang memulai juga perjalanannya, di awal perjalanan bukan meniti karier pada umumnya tapi untuk membangun rumah tangganya. Jadi sekali lagi secara sepintas pria dan wanita nampaknya sama, dua-dua bekerja dan dua-dua mempunyai karier, namun titik beratnya tidak bersamaan atau tidak sama. Pria tekanannya pada dunia luar, pada pekerjaannya, wanita tekanannya biasanya pada rumah tangganya. Jadi dia berusaha keras untuk membesarkan anak-anak untuk mencukupi anak-anak, merawat anak-anak dan sebagainya, pekerjaan biasanya hanyalah menjadi sarana saja bukan tujuan akhir. Sedangkan bagi pria, pekerjaan atau karier merupakan tujuan akhirnya atau gol yang ingin dia capai.
(2) ME : Pak Paul, kalau saya mendengar istilah paro-baya saya kemudian teringat kadang-kadang ada masalah remaja ke-II. Sering kali kita mendengar ada permasalahan atau ada gejolak pada waktu pria itu usia setengah baya yang kita katakan masa remaja ke-II (PG: Masa puber ke-II) ya.

PG : Betul sekali Ibu Melany, memang periode ini acapkali mempunyai konotasi yang sedikit negatif, karena dianggap pada masa inilah pria itu terlibat dalam perselingkuhan misalnya terlibat dngan wanita lain.

Memang ada kebenarannya, dalam pengertian pada masa ini pria sebenarnya mengalami banyak sekali perubahan-perubahan internal yang perlu dia sadari. Nah, tadi saya sudah menyinggung bahwa pada usia paro-baya ini atau dewasa akhir ini pria itu sebenarnya berada di persimpangan jalan, dewasa awal memulai perjalanan, dewasa tengah di dalam perjalanan tiba-tiba sekarang di dewasa akhir pria itu berada di persimpangan jalan, dia bisa lurus, dia bisa belok ke kiri, ke kanan dan juga bisa mundur juga sebetulnya. Nah, apa yang dimaksud dengan persimpangan jalan ini, salah satu hal yang termaktub di dalam konsep persimpangan jalan adalah terbukannya banyak pilihan, pilihan apa? Salah satunya pilihan karier. Nah pilihan karier ini kalau memang dia meniti karier dengan baik pada masa sebelumnya akan membuat dia menjadi orang yang berkesempatan untuk naik jenjang untuk menjadi seorang direktur atau manager dan sebagainya. Akhirnya dia memiliki rasa kepercayaan diri yang jauh lebih kuat, nah rasa kepercayaan diri yang lebih kuat inilah yang acapkali membuat dia lebih berani untuk mendekati wanita. Dan kita bisa akui pula bahwa ada sebagian wanita yang senang dengan para pria paro-baya ini, karena biasanya alasan yang dikemukakan para pria ini dianggap mantap, stabil secara emosi. Dan secara finansial pada umumnya mereka juga telah mencapai kestabilan yang baik dan yang ketiga adalah para pria ini memang adalah para bapak anak-anak remaja. Mereka yang usianya 50, 55 dan sebagainya adalah orang tua dari anak-anak yang usianya 20-an sehingga sifat kebapakannya itu kuat sekali dan ada sebagian wanita muda yang merindukan figur bapak seperti itu. Nah, saya kira ketiga hal inilah yang akhirnya memperkuat daya tarik si pria paro-baya bagi sebagian wanita dan akhirnya kesempatan itu terbuka. Jadi akhirnya yang terjadi adalah perselingkuhan, itu yang dimaksud puber kedua Ibu Melany.
GS : Ya, jadi di dalam persimpangan tadi Pak Paul memang satu godaan yang cukup besar selain dari segi seksual adalah pindah karier. Jadi sering kali terjadi orang paro-baya ini pindah ke bidang pekerjaan yang lain Pak Paul (PG: Betul sekali Pak Gunawan) alasannya yang utama sebenarnya apa di sana?

PG : Kita ini sebetulnya mempunyai aspirasi, cita-cita atau keinginan terpendam yang acapkali dalam hidup kita tidak terpenuhi. Kita misalkan ingin sekali berusaha sendiri, memulai suatu usaa wiraswasta.

Namun karena tekanan keluarga kita harus bekerja mencukupi kebutuhan mereka, anak dan istri, akhirnya kerinduan tersebut tak terwujud. Kita akhirnya merelakan diri bekerja untuk perusahaan-perusahaan yang lain. Nah, suatu ketika pada usia paro-baya ini tiba-tiba kita disadarkan bahwa waktu di depan kita tidak banyak lagi, nah ini sesuai dengan yang tadi ibu Melany sudah singgung. Bahwa saya sekarang sudah berusia 50 misalnya dan masa produktif saya kira-kira hanya tinggal 15 tahun lagi, tiba-tiba kita menyadari bahwa kita ini berada di persimpangan jalan, apa yang harus kita lakukan. Terus hidup seperti mesin yang kita pikir kita adalah mesin itu sendiri guna memproduksi hasil, mencukupi kebutuhan keluarga kita atau kita sekarang mengalihkan karier, memulai sesuatu yang benar-benar kita rindukan dari dulunya tapi tidak terlalu berani untuk melakukannya. Itulah biasanya yang terjadi pada pria usia paro-baya, maka cukup banyak yang akhirnya mengubah karier. Mengubah karier memang bisa menambah jenjang karier atau justru bisa menguranginya Pak Gunawan.
GS : Tetapi memang ada suatu kebutuhan akan ini Pak Paul, keyakinan bahwa dirinya masih kuat, misalnya dalam bidang seksual tadi para pria paro-baya ini ingin membuktikan bahwa dia itu masih mampu, dia itu masih kuat dan kesempatannya ada, sehingga ya tingkah polahnya kadang-kadang agak di luar batas kewajaran.

PG : Sebab proses penuaan sudah mulai tampak pada usia paro-baya ini, tubuh tidak lagi sekuat dulu, ini semua dirasakan oleh para pria paro-baya. Tapi di pihak lain dia belumlah terlalu tua ntuk dianggap tua dan bahkan ada yang makin tua, tubuhnya makin sedikit gemuk, misalnya dulu kurus sekarang agak gemukan sedikit.

Dan sekarang ada rambut putih membuat mereka-mereka ini tampak lebih berwibawa. Nah, tiba-tiba mereka menyadari bahwa mereka itu lebih ganteng daripada dulu misalnya, akhirnya dorongan untuk membuktikan bahwa mereka tetaplah pria yang menarik, pria yang justru disukai oleh lawan jenis, membuat mereka tergoda untuk akhirnya melangkah terlalu jauh.
(3) GS : Tapi bukankah tidak semua orang itu bisa sukses di dalam hal mengawali perjalanan maupun di dalam perjalanan, bagaimana kalau seandainya dia itu tidak sukses justru gagal, pengaruhnya apa Pak Paul?

PG : Ini memang suatu proses atau suatu keadaan yang tidak menyenangkan, biasanya pria paro-baya kalau mengalami kegagalan, kegagalan karier pada usia ini berakibatkan cukup serius Pak Gunawn, yaitu benar-benar akan menghancurkan harga dirinya.

Mereka sebagaimana para pria lainnya pada umumnya mendasari harga diri mereka pada karier, berbeda dengan wanita Pak Gunawan dan Bu Melany; wanita misalkan diberhentikan dari pekerjaan, pasti memang mengganggu perasaannya, harga dirinya, tapi biasanya dampak itu tidaklah seberat jika dialami oleh seorang pria. Nah, apa perbedaannya, pada umumnya wanita mendasari harga dirinya itu pada hubungan keluarganya. Kalau suaminya misalnya mempunyai affair atau perselingkuhan, wanita atau para istri ini tidak berani muncul di muka umum, misalkan dia biasa aktif dalam pelayanan gara-gara masalah suaminya dia bisa mundur dari pelayanan Kristen. Atau masalah dengan anaknya, yang dulu dia banggakan sekarang anaknya tiba-tiba berubah, mulai badung, membuat onar dan sebagainya. Nah si ibu ini bisa sangat enggan untuk terlibat lagi di dalam pelayanan atau muncul lagi di gereja dan sebagainya, karena apa, karena dia merasa hilanglah dirinya, hancurlah nama baiknya, hancurlah harga dirinya. Berbeda dengan pria, misalkan seorang pria itu mempunyai seorang anak yang nakal, dia tetap bisa memfokuskan hidupnya pada karier. Karena memang masalah keluarga bagi pria tidaklah terlalu memberatkan seperti pada istri, sebab harga diri pria memang sering kali terletak pada kariernya itu, jadi menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan kalau seorang pria pada usia paro-baya mengalami kegagalan dalam kariernya, biasanya berakibat cukup fatal. Bisa frustrasi, bisa malu keluar, diajak oleh istrinya bertemu dengan teman-teman tidak mau, diajak untuk ke pesta tidak mau, diajak untuk ke gereja akhirnya juga tidak mau karena apa, merasa malu, merasa malu sekali. jadi biasanya mereka menarik diri dari pergaulan sosial kira-kira itulah dampaknya Pak Gunawan.
ME : Kalau saya mendengar sejauh ini rupanya pada waktu usia paro-baya, pria itu juga seperti mengulangi lagi masa remaja Pak Paul? 'Kan masa remaja juga dikatakan orang sebagai dewasa belum, dikatakan anak-anak juga tidak mau.

PG : OK! Dari sudut itu betul bu, jadi dalam pengertian para pria paro-baya ini mulai mengalami kebingungan-kebingungan sama seperti seorang remaja yaitu seorang remaja kebingungan dalam halpembentukan siapa dirinya atau jati dirinya.

Sebab pada usia remajalah mereka mulai mengolah data-data yang masuk dari luar, pandangan/penilaian orang dari luar kemudian digabungkan dengan penilaian pribadinya tentang siapa dia akhirnya itu membentuk yang kita sebut jati diri atau identitas diri. Nah pria pada usia paro-baya memang mengalami hal yang serupa meskipun kebingungan itu bercorak lain. Pada usia remaja bingung dalam pengertian dari nol membentuk sesuatu yang baru, jadi tidak pas ke A, ke B, ke C jadi harus mencoba-coba, akhirnya setelah menginjak usia 20-an barulah seorang remaja yang menjadi dewasa itu akhirnya mempunyai konsep yang lebih jelas dan permanen tentang siapa dirinya. Pada usia paro-baya pria ini sudah memiliki konsep dirinya, namun tiba-tiba mulai meragukan apakah ini saya dan apakah saya ingin menghabiskan sisa hidup saya sesuai dengan peranan dan konsep diri yang telah dimilikinya selama ± 30 tahun. Jadi mulailah dia mempertanyakan keputusan-keputusan sebelumnya yang dia pernah ambil, keyakinannya, nilai-nilai moralnya dan sebagainya, mulailah dia ragu-ragu. Apakah memang ini jalannya dan apakah saya mau menghabiskan sisa hidup saya dengan ini semuanya atau saya mau mengubah melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh saya ingin lakukan, namun belum berhasil atau belum berkesempatan saya lakukan.
GS : Termasuk juga di dalam hubungannya dengan istrinya Pak Paul, jadi mulai meragukan apakah betul putusannya menikah dengan yang sekarang jadi istrinya itu, sehingga kerap kali terjadi perceraian pada usia-usia ini Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi perceraian sebetulnya terjadi paling sering pada dua kategori usia Pak Gunawan. Yang pertama adalah 5 tahun pertama setelah pernikahan, itu masa yang rawa karena 2 dua individu baru berkumpul menjadi satu dalam mahligai pernikahan, perlu menyesuaikan diri dan adakalanya gagal dan pernikahan itu akhirnya bercerai.

Kategori usia kedua yang rawan terhadap perceraian adalah menginjak usia paro-baya ini, sebabnya apa? Salah satunya Pak Gunawan tadi sudah menyebutkan, yakni mereka mulai meragukan apakah ini istri yang sesungguhnya saya inginkan. Dan yang menakutkan adalah jawabannya bukan, saya salah pilih, ini keliru dan seharusnya saya menikah dengan yang seperti ini yang dulu pernah saya pikirkan, tapi akhirnya mendapat yang ini. Yang kedua kenapa rawan terhadap perceraian, anak-anak sudah lepas dari rumah Pak Gunawan, kebanyakan sudah di atas SMA, sudah kuliah di perguruan tinggi, sehingga mereka tak terlalu butuh kita lagi sebagai orang tua. Problem yang dulu sudah ada pada awal pernikahan sebetulnya tertutupi dengan kehadiran anak, karena perhatian harus difokuskan pada usaha membesarkan anak. Tiba-tiba sekarang anak sudah besar tidak lagi membutuhkan kita, nah kita mulai berhadapan dengan pasangan kita. Problem yang dulu itu muncul kembali, akhirnya problem itu membesar sekali.
ME : Pak Paul, sebetulnya saya juga ingin menanyakan tentang masalah pelayanan, saya pernah melihat, pada waktu pemuda begitu menggebu-nggebu dalam pelayanan, tapi pada waktu sudah menikah, mempunyai anak, karier meningkat, seolah-olah dia itu hanya ke gereja hari minggu saja. Jadi yang dulunya pelayanannya menggebu-nggebu seperti tidak ada bekasnya lagi, bagaimana Pak Paul?

PG : Pria paro-baya mempunyai juga keragu-raguan, kekritisan terhadap bukan saja kariernya, pilihan hidupnya, namun juga hal-hal yang bersifat rohani Ibu Melany. Pada masa ini kalau karierny bertambah baik bisa ada 2 kemungkinan yang terjadi, dia makin jauh dari Tuhan karena merasa usaha kerja kerasnya berhasil untuk membuahkan hasil yang baik, maka makin bergantung pada diri sendiri, sehingga makin tidak perlu Tuhan.

Atau yang kedua dia makin menyadari Tuhanlah yang telah memberkati dia, jadi dia yang hidup dalam kebenaran Tuhan akhirnya makin hari makin dekat dengan Tuhan. Tapi memang cukup banyak karena keberhasilan karier itu membuat diri merasa tidak perlu Tuhan lagi. Yang kedua adalah dalam kaitannya dengan mempertanyakan banyak hal, cukup banyak pria paro-baya yang juga mempertanyakan aktifitas rohaninya. Saya dulu rajin, saya dulu melayani ini, itu; ini, itu. Betulkah saya ini menyembah Tuhan yang adil, yang benar dan sebagainya ataukah memang sebetulnya tidak perlu seperti itu, yang penting saya tahu ada Tuhan, ya ikut Tuhan sudah cukup. Nah pertanyaan-pertanyaan ini juga mudah muncul pada pria usia setengah baya ini, Bu Melany.
GS : Tapi kita percaya bahwa Tuhan itu mengasihi kita, pada usia berapapun juga sampai akhir hayat. Adakah firman Tuhan yang memberikan bimbingan kepada mereka atau kita-kita yang sedang memasuki usia paro-baya itu Pak Paul?

PG : Ada satu ayat dari Mazmur 85:12 , "Kesetiaan akan tumbuh dari bumi dan keadilan akan menjenguk dari langit." Bagi para pria paro-baya jangan sampai lupa perlu adanya kesetian, Tuhanlah yang memang memeliharanya, telah bersama dengannya melalui begitu banyak peristiwa jadi dia perlu setia, kesetiaan itu harus dijaganya.

Maka dikatakan di Alkitab kesetiaan tumbuh dari bumi, biarlah kita sebagai manusia yang di bumi ini memperlihatkan kesetiaan kita kepada Tuhan dan dari sorga Tuhanlah yang akan memberkati dengan keadilanNya. Nah adakalanya pria paro-baya dalam kekritisannya dan dalam kebingungannya dan dalam pertanyaan-pertanyaannya, juga meragukan keadilan Tuhan, meragukan kebaikan Tuhan, pemeliharaan Tuhan, kok saya menikah dengan yang ini, kok anak-anak saya jadi begini. Saya sudah bekerja begini keras anak saya tidak menghormati saya dan sebagainya, di mana keadilan Tuhan. Nah biarlah itu yang kita serahkan kepada Tuhan, itu hak Tuhan, Tuhan yang memberikan, tapi dari pihak kita biarlah kita memunculkan kesetiaan terus-menerus.

GS : Saya merasa itu sangat menguatkan, kita yakin itu akan sangat berguna bagi segenap pendengar yang kita kasihi. Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi telah kami persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan paro-baya khususnya pria, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Masih ada banyak aspek di dalam kita berbicara tentang kehidupan paro-baya ini, jadi kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan terima kasih bagi anda yang sudah mengirim surat kepada kami namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



4. Memahami Para Lanjut Usia


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T032A (File MP3 T032A)


Abstrak:

Dalam hal ini kita diajarkan untuk melihat usia tua itu sebagai usia yang indah, dan tentunya kita juga harus dapat menghadapinya di antaranya kita dapat menerima keterbatasan, belajar untuk hidup bergantung dll.


Ringkasan:

Mungkin banyak di antara kita yang saat ini punya orang tua yang sudah lanjut usia dan masih bersama-sama dengan kita. Kita bersyukur atau kita senang kadang-kadang bisa mendengarkan pengalaman hidup mereka. Namun harus diakui di sisi yang lain kadang-kadang kita kewalahan atau menemui banyak kendala dalam berhubungan dengan mereka.

Secara garis besar orang itu dianggap lanjut usia sesudah ia berusia sekitar 60 atau 65 tahun. Usia tua memang ditandai oleh suatu proses yang sangat nampak dan bisa dilihat dengan sangat jelas sekali. Yang paling nyata adalah secara fisik akan ada perubahan-perubahan yang menandakan menuanya diri seseorang. Misalkan, jalannya tidak secepat dulu, daya tahan tubuhnya untuk bertahan di cuaca dingin makin berkurang, tulang-tulang mereka mulai merapuh, urat-urat saraf mereka jadi kaku sehingga mereka tidak selincah orang yang masih muda.

Kehidupan manusia bisa dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu:

  1. Tahapan anak-anak yang juga dibagi-bagi lagi menjadi masa bayi, masa balita, masa kanak-kanak atau usia sekolah.

  2. Masa remaja (ini boleh juga dimasukkan dalam kelompok usia kanak-kanak dari usia sekitar 11 sampai sekitar 17, 18 tahun).

  3. Masa dewasa, sekitar usia 20 tahun memasuki masa pemuda dini atau masa dewasa awal, sampai kira-kira usia 50-an atau 60 tahun. Masa dewasa sebenarnya dibagi dalam 3 tahapan.

  4. Masa usia tua atau lanjut usia.

Kebutuhan emosional kaum lanjut usia lebih besar daripada kebutuhan jasmani mereka. Kebutuhan emosional para orang tua memang unik karena ada 2 golongan lansia, dan kebutuhannya otomatis akan sangat berbeda.
  1. Yang pertama adalah mereka yang memang siap menerima fakta bahwa ia sudah lanjut usia. Maksudnya menerima fakta adalah menerima keterbatasannya, salah satu contohnya ialah pensiun. Jadi orang ini siap menerima konsekuensi usia tuanya.

  2. Yang kedua adalah mereka yang memang belum siap memasuki usia tua, akibatnya ia tidak begitu siap untuk menanggung konsekuensi usia tua tersebut.

Ada hal-hal yang dapat kita lakukan untuk mempersiapkan diri kita memasuki usia tua.
  1. Salah satu hal penting yang harus kita persiapkan adalah pada masa usia sebelum tua, kita harus siap hidup untuk masa sekarang ini. Usia tua adalah usia dimana kita ini merefleksi ke belakang. Seorang yang bernama Eric Erickson memberikan tema pada usia tua yaitu, seseorang akan mengalami suatu pertentangan antara yang dia sebut integritas dan yang disebut keputusasaan. Maksudnya apa? Orang yang melewati usia-usia sebelum tua dengan baik, jauh lebih siap memasuki usia tua. Tapi orang yang melewati usia sebelum tua dengan tidak begitu mulus atau banyak problem, kurang siap untuk memasuki usia tuanya. Rasul Paulus dalam 2Timotius 4:7-8 , "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hariNya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatanganNya." Jadi kebutuhan emosional terpokok yang diperlukan orang tua adalah orang tua itu perlu bisa hidup tanpa penyesalan

  2. Hal kedua yang penting untuk kita camkan adalah bagaimana kita berhubungan dengan orang lanjut usia. Orang yang lanjut usia akan bisa menerima hari tuanya dengan baik karena merasa hidupnya telah bernilai.

  3. Kebutuhan emosional lainnya yang berkaitan dengan kedua hal di atas ialah mereka tetap ingin berguna.

Amsal 17:6 , "Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka." Alkitab memang menegaskan bahwa mahkota orang tua adalah anak cucu. Artinya seperti yang dikatakan Eric Erickson juga yaitu orang tua bisa melihat ke belakang dan senang dengan keadaan anak cucunya, ia tidak dihimpit oleh penyesalan dan akan menjadi orang tua yang sangat-sangat tenang pula.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana memahami kebutuhan dari orang yang sudah lanjut usia atau seringkali kita sebut para lansia. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, di satu sisi kita bersyukur bahwa punya orang tua yang sudah lanjut usia atau kita senang kadang-kadang mendengarkan pengalaman mereka, tapi harus diakui di sisi yang lain kadang-kadang kita itu kewalahan juga atau menemui banyak kendala dalam berhubungan dengan mereka. Sebenarnya mulai usia berapa seseorang itu disebut lanjut usia?

PG : Secara garis besar Pak Gunawan, orang itu dianggap lanjut usia sesudah ia berusia sekitar 60 tahun atau 65 tahun. Sebab pada umumnya itulah masa pensiun dari dinas pekerjaannya. Biasany pada usia 60 atau 65 tahun mungkin lebih tepat kalau usia 65 tahun sebetulnya.

GS : Itu baik pria atau wanita, ya Pak Paul?

PG : Keduanya sama.

GS :Tadi Pak Paul katakan kalau dia itu sudah pensiun, apakah ada tanda-tanda lahiriah yang bisa kita lihat, Pak Paul?

PG : Usia tua itu memang ditandai oleh suatu proses yang sangat nampak jelas sekali. Misalkan yang paling nyata adalah secara fisik akan ada perubahan-perubahan yang menandakan menuanya seserang itu.

Misalkan jalannya tidak secepat dulu dan daya tahan tubuhnya untuk bertahan di cuaca yang dingin makin berkurang, cepat sekali merasa dingin. Oleh sebab itulah orang-orang tua gemar memakai mantel, jaket. Yang lainnya adalah tulang-tulang mereka mulai rapuh, sehingga kalau patah pada usia tua, susah sekali untuk bisa sembuh dan menyambung kembali. Yang lainnya adalah urat-urat saraf mereka jadi kaku, itu sebabnya orang tua tidak selincah kita-kita ini yang masih lebih muda daripada mereka. Karena urat-urat saraf makin kaku, maka kalau berjalan juga agak kaku dan bukan lebih lamban saja tapi agak kaku gerakannya, tidak bisa senam-senam lagi seperti dahulu.
(2) IR :Dengan kondisi seperti itu apakah secara emosional juga ada perubahan Pak Paul?

PG : Sebetulnya ada Ibu Ida, saya akan memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang kehidupan manusia dan perkembangannya. Manusia itu dapat dibagi dalam beberapa tahapan, seperti kita ahu ada tahapan anak-anak.

Dalam tahapan anak-anak sebetulnya juga dibagi-bagi lagi masa bayi, balita, kanak-kanak atau masa usia sekolah, kemudian memasuki usia remaja, boleh juga dimasukkan dari usia sekitar 11 sampai usia 17, 18 tahun. Setelah itu memasuki masa pemuda dini atau masa dewasa awal sekitar usia 20 tahun sampai usia kira-kira 50-an, 60 tahun. Itu masa usia dewasa yang dibagi dalam 3 tahapan sebetulnya, kemudian masa usia tua. Saya ingin perlihatkan dari ketiga bagian besar tahapan perkembangan manusia ini yaitu kanak-kanak, pemuda, dewasa, kemudian lanjut usia. Tahapan yang paling enggan kita masuki adalah tahapan lansia. Kalau kita pikir-pikir itulah tahapan yang membuat orang cemas. Kanak-kanak tidak membuat kecemasan seperti itu, memasuki usia remaja yang cemas orang tua kita, kita hanya senang-senang saja, memasuki usia dewasa kebanyakan orang itu senang. Kita ini menunggu-nunggu kapan kita menjadi orang yang dewasa. Biasanya orang ini enggan dan cemas memasuki tahap lanjut usia yaitu tahap menua. Itu sebabnya kebutuhan emosional orang tua memang unik karena ada dua bagian, ada dua golongan yang lanjut usia sebetulnya, dan kebutuhannya otomatis akan sangat berbeda. Yang pertama adalah yang memang siap menerima fakta bahwa dia itu sudah lanjut usia dan maksudnya menerima fakta adalah menerima keterbatasannya. Tadi yang Pak Gunawan sudah singgung juga yaitu tentang pensiun salah satunya. Jadi ada orang tua yang siap menerima konsekuensi usia tuanya. Tapi ada orang memang yang belum siap memasuki usia tua, akibatnya tidak begitu siap untuk menanggung konsekuensi usia tua tersebut. Dari dua golongan ini, muncullah kebutuhan-kebutuhan emosional yang berbeda pula.
(3) GS : Tapi kalau Pak Paul katakan ada orang yang tidak siap memasuki masa lanjut usia, masa itu sebenarnya bisa dipersiapkan ya, Pak Paul. Sebelum seseorang memasuki usia katakan usia 65 tahun. Persiapan apa sebenarnya yang bisa kita lakukan?

PG : Bagus sekali Pak Gunawan, jadi memang sebetulnya ada hal-hal yang dapat kita lakukan untuk mempersiapkan diri kita memasuki usia tua. Salah satu hal yang penting yang harus kita persiapan adalah kita memang pada masa usia sebelum tua, kita harus siap hidup untuk masa sekarang ini, maksudnya usia tua adalah usia di mana kita ini merefleksi ke belakang.

Ada seseorang yang bernama Eric Erickson memberikan tema pada usia tua itu seseorang akan mengalami suatu pertentangan antara yang dia sebut integritas dan yang disebut keputusasaan. Orang yang melewati usianya sebelum tua dengan baik, maka jauh lebih siap memasuki usia tua. Orang yang melewati usia sebelum tuanya tidak dengan mulus, banyak problem dan kurang siap untuk memasuki usia tuanya. Jadi sebetulnya usia tua itu usia hasil akhir, berbeda dengan tahapan-tahapan sebelumnya. Tahapan-tahapan sebelumnya, seolah-olah kita masih bisa memberikan andil untuk mengelola hidup kita ini, untuk berbuat sesuatu dengan hidup kita ini. Tidak demikian dengan usia lanjut, kita ini benar-benar pasrah menerima hasil akhir dari semua yang telah kita lewati di masa-masa sebelumnya. Jadi kalau menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan, persiapan yang terbaik adalah sebelum kita tua, kita hidup sebaik-baiknya pada masa sekarang ini, sehingga sewaktu kita tua kita memetik yang lebih baik.
GS : Tapi kita tidak pernah tahu Pak Paul, tidak bisa membayangkan apa yang saya hadapi di masa tua. Mungkin secara material kita bisa lakukan itu, tetapi tadi yang Ibu Ida katakan secara emosional itu sulit.

PG : Betul jadi masa tua itu adalah masa di mana kita harus bisa berkata bahwa kita telah mencoba untuk hidup sebaik-baiknya dan kita telah hidup dengan sejujur-jujurnya, selurus-lurusnya, shingga sewaktu kita menengok ke belakang kita bisa berkata saya sudah menjalani hidup yang baik.

Ini yang dikatakan Rasul Paulus sebetulnya di I Timotius, Paulus berkata : "Aku telah berlari menyelesaikan perlombaan atau pertandingan dengan baik", itu yang ditekankan dan sekarang sedang menanti-nantikan penganugrahan mahkota atau piala atau akibat atas hasil hidupnya di dunia ini. Itu yang saya maksud. Jadi kita mempersiapkan hidup sebaik-baiknya, sehingga sewaktu kita tua kita bisa berkata : "Saya telah menjalani hidup ini dengan semaksimal mungkin, dengan sebaik-baiknya." Saya sendiri sangat terkesan dengan lagu yang ditulis oleh Pdt. Caleb Tong yang mungkin banyak di antara kita mengenalnya, yaitu "Ku Tak Mau Hidup Percuma, Tiada Hasilnya," itu menjadi suatu dorongan buat diri pribadi saya. Itu sebabnya saya melakukan yang saya lakukan sekarang ini, meskipun ada pilihan-pilihan lain dalam hidup saya yang bisa saya kerjakan. Tapi saya tetap memilih mengerjakan yang saya kerjakan sekarang ini. Tujuannya hanya satu yaitu saya mau melihat ke belakang, sehingga sewaktu saya lanjut usia saya bisa berkata kepada diri saya dan kepada Tuhan, saya telah melakukan yang memang bermakna, yang bernilai. Di saat itulah saya bisa melewati masa tua saya tanpa penyesalan. Jadi menjawab yang tadi Ibu Ida tanyakan, kebutuhan emosional apa yang diperlukan orang tua, sebetulnya yang terutama adalah orang tua itu perlu bisa hidup tanpa penyesalan. Sebabnya tidak ada lagi waktu untuk mengubah yang telah terjadi. Sewaktu kita berusia 40, kita masih bisa berkata nantilah kita selesaikan, usia 50 kita masih bisa berkata masih ada hari esok kita akan selesaikan. Kalau sudah usia 70 tahun, kita sadari bahwa waktu kita itu sudah makin sedikit, tidak ada lagi waktu untuk menyelesaikannya. Karena itu perasaan yang kuat sekali dapat menyerang kita adalah perasaan menyesal. Jadi kebutuhan emosional yang terutama adalah bagaimana kita tetap merasa bahwa hidup kita itu integral, lurus, beres, tidak ada lagi penyesalan-penyesalan.
IR : Tapi kenyataannya terkadang orang tua tersebut sering mengalami gejolak dalam hidup. Yaitu kalau apa yang dikatakan Pak Paul, apakah memang orang ini ada hubungan dekat dengan Tuhan. Tapi kalau orang tersebut mengalami gejolak hidup, lalu bagaimana menghadapinya?

PG : Saya juga akan memberikan satu penyebab gejolak hidup orang tua yang terumum. Selain yang tadi saya sebut bahwa akan ada kemungkinan orang tua itu menyesali hidup pribadinya. Penyebab kdua yang bisa membuat masa tua itu masa yang penuh kesengsaraan adalah melihat kehidupan anak mereka yang tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.

Misalnya akan ada orang tua yang harus menyaksikan anaknya itu hidup menderita karena misalnya suami si anak itu tidak benar, sehingga si anak harus bekerja keras, membanting tulang, merawat cucunya atau anak saya kenapa menderita seperti itu. Saya tidak bisa berkata bahwa orang tua yang lanjut usia harus bisa melepaskan diri 100%, tidak mungkin itu terjadi. Apa yang terjadi pada anak-anak kita akan mempengaruhi kita itu sudah pasti. Tapi saya harus berkata kepada para lanjut usia, mereka harus memisahkan diri dari anak-anak mereka atau dari cucu mereka, itu mungkin tidak terlalu mengganggu mereka. Yang lebih bisa mengganggu mereka adalah anak-anak. Ini penting sekali disadari oleh para lanjut usia, bahwa mereka itu sudah terpisah dari anak-anak, maka berkaitan dengan yang pertama yaitu tentang penyesalan. Kalau para lanjut usia ini berkata anak saya ini sekarang menderita, mungkin saya dulu kurang benar menjaganya. Di situ timbul penyesalan, yaitu rasa bersalah kenapa saya dulu tidak mendidik dengan baik, kenapa anak saya sekarang menjadi bermasalah, menyusahkan orang lain dan sebagainya. Di situlah penyesalan makin menumpuk, di samping kesengsaraan melihat ulah anaknya itu.
GS :Kalau kita baca misalnya Musa, umurnya 80 tahun baru dipanggil Tuhan untuk memimpin bangsa Israel. Apakah memang ada pergeseran kalau orang dulu yang kita lihat di Alkitab itu usianya bisa sampai ratusan tahun, Musa katanya 969 tahun, apakah memang ada semacam evolusi, Pak Paul?

PG : Sebetulnya memang ada perubahan yang sangat drastis setelah munculnya banjir Pak Gunawan. Jadi sebelum itu level ozon di ruang angkasa ini rupanya memang ada perubahan.

GS : Memungkinkan orang untuk bisa hidup lama?

PG : Jadi matahari atau sinar ultraviolet itu tidak langsung mengenai kita, tapi sekarang memang terjadi penipisan ozon di dalam ruang angkasa. Saya sendiri kurang begitu memahami teori ini ecara ilmiah, tapi katanya ya.

Saya pernah mendengar akibat dari banjir yang besar, atau air bah itu memang terjadi perubahan sistem kehidupan alam ini, di mana akhirnya kita ini lebih mendapatkan sinar matahari atau ultraviolet, itu yang pertama. Maka ada suatu perubahan usia yang sangat mencolok. Sebelumnya orang mencapai usia 960-an, 900 tahun dan sebagainya. Nuh juga masih sempat hidup panjang, tapi setelah itu kalau kita perhatikan tidak ada lagi orang yang umurnya sepanjang itu. Jadi Musa meninggal usia 120 tahun dan Musa itu sebetulnya tidak terlalu tua dibandingkan dengan orang-orang yang hidup di daerah Siberia masa sekarang ini. Masih ada orang yang sekarang usianya hampir 120, 130 tahun di daerah-daerah yang memang sangat asri, udaranya benar-benar bersih.
GS : Dan pola hidup mereka juga menentukan, makanannya, pekerjaannya.

PG : Betul.

(4) GS : Masalahnya Pak Paul, kalau tadi kita bicara tentang kebutuhan emosi para lansia, Tetapi juga ada kebutuhan fisik yang pasti mereka harapkan. Tadi Pak Paul sudah katakan mereka sering kedinginan dan sebagainya, karena kadang-kadang kita sebagai orang yang lebih muda agak sulit melayani permintaan mereka. Jadi kebutuhan-kebutuhan fisik apa yang perlu kita perhatikan untuk mereka itu?

PG : OK! Boleh tidak Pak Gunawan sebelum kita membicarakan hal fisik lagi, kita sambung sedikit tentang yang emosional?

GS : Silakan Pak Paul.

PG : Satu lagi yang saya kira penting kita camkan adalah bagaimana kita ini berhubungan dengan orang yang lanjut usia. Orang yang lanjut usia dan bisa menerima lansianya itu dengan baik karena erasa hidupnya telah bernilai ya.

Kebutuhan emosionalnya relatif sedikit tidak terlalu banyak meskipun tetap ada. Salah satunya tetap ada adalah bagaimanapun masa pensiun, masa tidak bekerja itu bisa membuahkan rasa tidak berguna. Dunia kita ini dunia yang berorientasi pada masa produktifitas dan produktifitas itu mengukur, atau menjadi cerminan nilai seseorang. Kita sudah termakan, yang muda atau yang tua sudah termakan oleh konsep seperti ini. Itulah sebabnya waktu kita memasuki usia tua kita akan terpengaruh. Kita mulai merasa tidak ada gunanya lagi, meskipun kita masih ada, mungkin sumbangsih sedikit banyak dalam kehidupan orang lain. Tapi kecenderungannya adalah kita merasa tidak berguna lagi. Akibatnya apa yang terjadi kita mudah peka, mudah tersinggung, mudah merasa kamu tidak menginginkan saya lagi, kamu memang sengaja menyingkirkan saya. Tadi sebelum acara dimulai, Ibu Ida memang memunculkan masalah tentang mertua, bagaimana menghadapi mertua dan sebagainya. Pada usia-usia yang sudah lanjut seperti ini, mertua akan peka terhadap tanggapan si menantu waktu dia berkunjung, misalnya si menantu kebetulan sedikit sibuk tidak mau keluar melayani mertua, mau di dalam kamar saja mengerjakan tugasnya. Hal kecil seperti itu berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Si orang tua bisa berpikir engkau tidak menginginkan saya datang ke rumahmu, engkau tidak lagi menghargai saya, apakah karena saya ini tidak bisa membantu kalian, saya memang sudah tua. Jadi kepekaan "engkau tidak menginginkan saya" itu kuat sekali, itu yang dirasakan oleh orang tua. Meskipun mereka relatif sehat hidupnya, apalagi kalau orang lansia tersebut mempunyai masa lalu yang tidak begitu beres, tidak begitu baik, penuh dengan penyesalan dan rasa bersalah. Dia akan lebih peka lagi dengan yang dianggap penolakan, maka ada orang-orang tua yang mengalami depresi cukup dalam. Dulu saya terlibat pelayanan di rumah jompo, jadi setiap Minggu kami mengadakan ibadah di rumah jompo. Saya harus mengakui ada dua macam orang lanjut usia di situ. Yang baik penuh dengan senyum, ramah dan yang luar biasa kasar, jahat, memaki-maki perawat, memaki-maki orang. Di situ saya melihat ada dua perbedaan yang sangat mencolok.
GS : Jadi kebutuhan emosional mereka kelihatan sekali berbeda ya Pak Paul, dalam hal ini, tidak bisa di sama ratakan.

PG : Sangat berbeda, betul.

GS : Apakah mungkin masih ada kebutuhan lain sebelum Pak Paul menjelaskan tentang kebutuhan fisik?

PG : Kebutuhan emosional lain adalah berkaitan bahwa mereka tetap ingin berguna.

GS : Ingin dianggap sebagai orang yang berarti.

PG : Betul, jadi tugas kita-kita ini yang merawat orang tua adalah bagaimana membuat mereka itu merasa berguna. Cara yang paling praktis adalah berbicara dengan mereka. Ada kecenderungan meeka karena tidak mengikuti lagi misalnya perkembangan ilmu dan teknologi, ketinggalan dan masih berpikir dengan konsep yang lama.

Kita ini karena menggebu-gebu dengan pengetahuan yang sudah baru mau mengatakan bahwa mereka keliru, nah ini harus berhati-hati sebab kecenderungannya adalah orang itu tidak mau mengakui. Ini sebabnya ada persepsi orang tua itu kaku sekali, susah berubah, tidak mau mengerti pandangan orang, maunya menang sendiri. Itu adalah salah satu dinamika kehidupan orang yang sudah lansia yakni ada kecenderungan mereka ketinggalan dalam perkembangan ilmu dan mereka mendasari penilaian hidup ini sesuai dengan yang mereka lewati. Mereka dulu berhasil menggunakan metode mereka, cara pikir mereka, jadi mereka beranggapan cara itulah yang tetap harus digunakan sekarang. Itu sebabnya orang-orang yang tua itu sukar untuk fleksibel. Waktu kita ingin mengubah mereka, mereka tidak mau berubah, mereka kaku sekali. Akhirnya terjadilah pertentangan di mana orang yang lansia cenderung merasa kalau kita menganggapnya tidak berguna lagi. Jadi penting sekali kita-kita ini bisa mengungkapkan diri, mengatakan pendapat kita dengan cara membangun yang baik.
IR : Jadi tadi Pak Paul katakan bahwa orang itu memang butuh dimengerti oleh anak-anaknya. Tapi seringkali di satu sisi misalnya menantunya itu tidak mau turut campur. Itu bagaimana Pak Paul, padahal anaknya minta pendapat pada orang tuanya, karena orang tuanya kalau dimintai pendapat merasa dibutuhkan, merasa bahagia misalnya, tapi si menantunya itu sering menentang?

PG : Mungkin si anak harus menjelaskan kepada pasangannya bahwa aku ini meminta pendapat orang tuaku, bukan berarti aku tidak menghargai engkau. Sebab saya menduga ada kemungkinan si istri mrasa tidak dihargai oleh suaminya, sebab suami lebih senang minta pendapat orang tuanya, ada apa-apa dia konsultasi dengan orang tuanya misalnya.

Mungkin itu yang membuat pasangannya atau istri ini merasa tidak dihargai. Jadi saran saya, itu perlu dicek dulu kalau memang terjadi, si suami perlu memberikan penghargaan yang lebih besar kepada si istri misalnya.
IR : Kemudian mengacu pada Kitab Kejadian Pak Paul, orang tua itu sebaiknya pisah dengan anaknya, tapi kalau sudah lanjut usia kita harus merawatnya, ya Pak Paul?

PG : Di Amerika Serikat ya Ibu Ida, sebetulnya sudah cukup lama ada model rumah jompo yang sangat menarik, yang sangat unik sekali. Rumah jompo itu ada dalam kompleks yang sangat besar dan uas sekali, dibagi dalam 3 bagian, 3 kompleks sebetulnya.

Kompleks pertama adalah untuk orang yang masih dikatakan orang tua awal, jadi usia sekitar 65 hingga 75 tahun. Mereka kebanyakan masih bisa mengendarai mobil, masih bisa pergi dan masih cukup sehat. Bagian yang kedua adalah usia 75 hingga 80 tahun, itu adalah orang-orang yang sudah mulai susah untuk bepergian sendirian tapi masih lumayan sehat, kadang-kadang masih membutuhkan obat-obat atau bantuan medis. Yang ketiga adalah orang yang memang tidak bisa lagi merawat dirinya sendiri dan harus dirawat oleh suster. Ada baiknya memang rumah seperti itu, sebab orang-orang di sana senang tinggal dengan sesama orang tua. Jadi rumah jompo tidak selalu berkonotasi negatif sebetulnya, tapi kalau anak ingin merawat orang tua itu silakan, yang mana yang baik untuk kedua belah pihak.
IR : Soalnya di Timur ini ya Pak Paul, kalau orang tua dimasukkan di rumah jompo biasanya dikatakan anaknya kurang berbakti.

PG : Sayang sekali sebetulnya, saya pernah bicara dengan orang-orang yang lanjut usia, memang ini di Amerika Serikat. Dan mereka berkata saya tidak mau tinggal di rumah anak saya, saya senan di rumah jompo.

Saya memang ingin masuk ke sini, banyak teman, kegiatan. Mereka melakukan banyak pertandingan, games, pergi piknik, mereka menikmati sekali masa tua itu bersama dengan teman-teman seusia mereka. Jadi persepsi itu yang mungkin harus mulai diubah.
GS : Mungkin memang tuntutan itu makin lama makin jelas, bahwa kita katakan kehabisan waktu Pak Paul, untuk bisa merawat orang tua. Lagi pula kita bukan seorang yang ahli pada bidang itu kalau misalnya sakit dan sebagainya. Tapi mungkin sebelum kita menyelesaikan pembicaraan ini, ada firman Tuhan yang ingin disampaikan sehubungan dengan orang tua?

PG : Yang akan saya bacakan adalah dari kitab Amsal 17:6 "Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka." Alkitab memang menegaskanbahwa mahkota orang tua adalah anak cucu artinya tadi yang dikatakan Eric Erickson juga.

Orang tua yang bisa melihat ke belakang dan senang dengan anak dan cucunya tidak dihimpit oleh penyesalan, akan menjadi orang tua yang sangat-sangat tenang pula dan anak cucu itu menjadi benar-benar mahkota mereka.
GS : Kebanggaan dan sekaligus kebahagiaan mereka, Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Jadi kalau kita mengikuti pembicaraan ini, makin jelaslah bahwa sebenarnya kebutuhan emosional mereka itu lebih besar daripada kebutuhan jasmani mereka. Apa seperti itu Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Tapi kita sebagai orang-orang yang mendapat karunia dari Tuhan bisa melihat orang tua kita sampai lanjut usia, tentu itu juga suatu berkat yang harus kita syukuri kepada Tuhan bahwa ada orang tua yang masih bersama-sama dengan kita.

PG : Dan yang penting juga adalah agar kita tidak termakan nilai hidup yang tidak Kristiani, yang mengukur kehormatan atau nilai manusia itu dari segi produktifitas.

GS : Atau dari segi material?

PG : Materi maksudnya, selama orang tua masih bisa membantu kita, kita hormat, baik kepadanya. Mereka tidak lagi bisa membantu kita, kita anggap seperti sampah, itu yang salah.

GS : Jadi terima kasih sekali untuk kesempatan perbincangan pada saat ini. Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana memahami segi emosional dari para orang yang sudah lanjut usia, bersama kami dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, yang kali ini berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dari studio kami mengucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

PERTANYAAN KASET T 32 A

  1. Mulai usia berapakah orang disebut lanjut usia?
  2. Kebutuhan emosional apakah yang dihadapi para lansia?
  3. Persiapan apakah yang bisa dilakukan untuk memasuki lanjut usia?
  4. Kebutuhan fisik apakah yang perlu diperhatikan bagi para lansia?


5. Mempersiapkan Diri Memasuki Masa Lanjut Usia


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T032B (File MP3 T032B)


Abstrak:

Lanjut usia merupakan suatu kehidupan yang sangat perlu untuk dipersiapkan, agar dapat menikmati hidup di masa tua dengan sebaik-baiknya dan lebih dari itu lanjut usia memerlukan kebutuhan emosional yang lebih besar daripada kebutuhan secara fisik.


Ringkasan:

Tentunya kita semua mempunyai harapan untuk bisa memasuki tahap akhir dari kehidupan atau masa lanjut usia dengan sebaik-baiknya. Namun sebagaimana kita ketahui untuk mewujudkan itu segala sesuatunya perlu dipersiapkan dengan baik. Sebenarnya kita bisa mempersiapkan diri sendiri agar bisa memasuki usia lanjut dengan nyaman.

  1. Yang pertama, kita harus bisa menerima keterbatasan kita.
    Keterbatasan fisik adalah sesuatu yang tidak bisa kita cegah dan harus kita terima, mau tidak mau harus kita hadapi. Hanya ada dua pilihan, menghadapinya dengan penuh penerimaan atau menghadapinya dengan berkelahi. Syarat yang paling penting adalah penerimaan. Kalau kita tidak bisa menerimanya, kita akan berkelahi terus dengan fakta-fakta itu sehingga proses menua menjadi proses yang sangat-sangat menyusahkan kita sendiri dan juga akan menyusahkan semua orang di dunia ini. Amsal 16:31 , "Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran." Firman Tuhan meminta kita untuk melihat rambut putih atau usai tua sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang tidak perlu ditakuti.

  2. Kita harus merendahkan hati dan belajar bergantung pada orang lain.
    Orang yang sombong dan orang yang angkuh akan mengalami kesulitan pada masa tuanya. Sebab salah satu hal yang juga akan berkurang pada usia tua adalah penghasilan finansial. Kita tidak suka bergantung pada anak kita, akhirnya kita cenderung mengharapkan mereka mengerti kebutuhan kita, tanpa kita minta. Tapi kalau kita menerima bantuan dari mereka, kita merasa tidak suka, karena harus minta kita merasa terhina. Ini menjadi suatu konflik yang besar sekali. Jadi salah satu persiapan untuk usia tua adalah kita mulai harus berani merendahkan diri, menerima fakta bahwa kita harus bergantung pada orang lain.

  3. Yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan diri menyambut hari tua adalah sejak usia muda kita mulai mengembangkan minat yang berbeda-beda. Yang baik adalah kita mulai mempersiapkan diri, misalkan kita terlibat pelayanan gereja, menjadi majelis, menjadi pengurus, melakukan pelawatan, atau mempunyai hobby-hobby yang lain dan yang sehat, sehingga perlahan-lahan sebetulnya kita mulai mempersiapkan diri. Dalam dunia pekerjaan setelah kita menggelutinya mungkin salama 23 tahun, kita harus mempersiapkan diri dan mengeluarkan diri dari pekerjaan itu.

Phillip Yancey pernah menulis suatu buku tentang usia tua, didalamnya dibicarakan hasil riset dan wawancara terhadap orang-orang tua yang diadakannya. Yang menarik adalah orang-orang yang sudah lanjut usia itu mengatakan bahwa mereka tidak pernah merasa diri tua, dalam pengertian mereka tidak merasakan dirinya yang di dalam itu menjadi tua. Dirinya itu tetap sama, tapi waktu mereka melihat cermin mereka menyadari bahwa secara fisik mereka berubah jadi tua. Tapi diri yang di dalam mereka katakan tetap sama dengan yang dulu. Dan kalau saya pikir-pikir ya betul, sekarang kita usianya sudah 40 ke atas dan kita pikir-pikir, bukankah diri kita itu masih sama dengan waktu kita SMP dan SMA, diri kita masih yang dulu itu. Inilah yang harus disadari oleh orang tua, bahwa yang tua hanyalah fisik dan dirinya tetap sama.

Secara mental akan ada perubahan dalam diri seseorang yang menjadi lanjut usia. Perubahan dalam pengertian kebutuhannya, kematangan berpikirnya, tapi dirinya tidak mengalami ketuaan. Semangat itulah yang perlu kita siapkan sedini mungkin, supaya sejak awal kita tidak memiliki rasa tak berguna, rasa tidak mampu melakukan apa-apa, karena kita lebih banyak/sibuk memikirkan bahwa dirinya tidak berguna.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mempersiapkan diri memasuki masa lanjut usia. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, tentunya menjadi harapan kita semua jika memasuki tahap akhir dari kehidupan ini yaitu masa usia lanjut dengan sebaik-baiknya. Namun sebagaimana kita ketahui sesuatu yang baik harus dipersiapkan dengan baik dan saya sangat yakin Tuhan juga mengharapkan itu. Hanya kenyataan yang kita lihat di sekeliling kita bahkan menimpa diri kita sendiri, ada perasaan was-was untuk memasuki masa lanjut usia misalnya karena tidak bekerja dan sebagainya. Tapi terutama juga perubahan fisik yang nyata misalnya dengan tanggalnya gigi, rambut yang putih, mata yang tidak lagi bisa membaca dengan baik. Kadang-kadang itu menimbulkan rasa malu di dalam diri kita, sehingga kita mencoba sekuat-kuatnya untuk menutupi hal itu. Bagaimana sebenarnya kita bisa mempersiapkan diri sendiri supaya kalau kita dikehendaki oleh Tuhan, bisa memasuki usia lanjut itu dengan nyaman?

PG : Yang pertama adalah kita harus bisa menerima keterbatasan kita, memang ada kecenderungan kita menganggap bahwa kita manusia yang tidak akan bisa punah, selalu mempunyai stamina yang bak, berpikir dengan jelas, bisa melihat, mendengar dengan baik.

Hal-hal ini memang harus kita ubah pada waktu kita mulai menginjak usia tua. Seringkali kita mulai mengalaminya pada usia sekitar 50-an, kita mulai merasakan perubahan fisik pada diri kita. Syaratnya yang paling penting adalah penerimaan. Kalau kita tidak bisa menerima ini, proses menua menjadi proses yang sangat menyusahkan kita sendiri dan juga orang lain. Jadi keterbatasan fisik adalah sesuatu yang tidak bisa kita cegah, harus kita terima dan harus kita hadapi. Kita hanya punya dua pilihan, menghadapinya dengan penuh penerimaan atau menghadapinya dengan berkelahi. Waktu kita mau berkelahi terus dengan fakta- fakta itu, kita akan menyusahkan semua orang di dunia ini.
GS : Saya pernah mengingat sebuah ayat di dalam kitab Amsal, ayatnya saya lupa, itu Daud atau Salomo. Saya kagumi bahwa dia bisa menerima kenyataan tubuhnya atau fisiknya, terutama rambutnya yang sudah mulai memutih dan dia bangga dengan rambut yang mulai memutih itu, Pak Paul. Mungkin Pak Paul bisa menjelaskan tentang hal itu?

PG : Hal itu tercatat di Amsal 16:31 ya Pak Gunawan. "Rambut putih adalah mahkota yang indah yang didapat pada jalan kebenaran." Jadi memang firman Tuhan meminta kita untuk meliat rambut putih atau usia tua sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang tidak perlu ditakuti.

Masalahnya adalah kita tidak terlalu bisa melihat usia tua sebagai usia yang indah, kita justru melihat usia tua sebagai usia yang secara ekstrimnya penuh dengan kutukan, seolah-olah kita tidak bisa bergerak semau kita, sebisa kita dan kita mulai harus bergantung pada orang lain. Kebanyakan kita mengalami kesulitan dalam hal itu. Kembali lagi yang tadi Pak Gunawan katakan, apa yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan diri. Salah satunya, Pak Gunawan, kita memang harus belajar bergantung, orang yang sombong, angkuh, akan mengalami kesulitan pada masa tuanya. Sebab salah satu hal yang akan berkurang juga pada usia tua adalah penghasilan finansial. Ada kecenderungan pada usia yang tua itu kita masih ingin berkuasa seperti pada waktu kita usia muda, kita tidak suka bergantung pada anak kita. Akhirnya kita cenderung mengharapkan anak kita mengerti kebutuhan kita, tanpa kita minta, tapi kalau kita menerima bantuan dari mereka, kita merasa tidak suka, kita harus minta, kita merasa terhina. Itu menjadi suatu konflik yang besar sekali. Jadi persiapan untuk usia tua salah satunya adalah kita harus mulai berani merendahkan diri, menerima fakta bahwa kita harus bergantung pada orang lain.
IR : Benar apa yang dikatakan Pak Paul, bahwa orang tua yang mempunyai sikap rendah hati dan ramah terhadap anak menantunya, itu akan membawa hubungan yang baik. Ini ada suatu kisah, ada satu keluarga di mana si mertua dengan anak menantunya itu sangat sayang. Bahkan dia tidak segan-segan kalau dia mau pergi ke luar kota, dia minta bekal uang sekalipun dia mempunyai uang. Tapi si menantu itu merasa bahwa dia itu dekat, kenapa mertua itu tidak minta ke suaminya, tapi justru pada dia. Jadi itu membuat hubungan semakin akrab dan saling menanamkan rasa cinta kasih. Kejadian itu dicontoh anak-anaknya yang juga menyayangi opa dan omanya.

PG : Betul sekali Ibu Ida, dan justru dengan cara itu si menantu makin ingin melayani dan menyenangkan hati mertuanya. Itu bijaksana sekali sebetulnya.

IR : Dan yang saya heran setiap ulang tahun, justru yang ingat itu menantunya karena anak laki-lakinya sibuk bekerja, jadi anak menantunya yang perempuan itu yang seringkali memberitahu, "ini mami papi ulang tahun, kita harus siapkan kado". Jadi menantunya ini juga sangat sayang sekali pada mertuanya, sebaliknya juga demikian. Kalau mertuanya berkunjung sering membawa masakan kesukaan menantunya, kesukaan anak cucunya, jadi indah sekali Pak Paul sebenarnya, kalau masing-masing itu saling merendahkan hati.

(2) PG : Kalau saya boleh tanya Ibu Ida menurut Ibu Ida apa yang menyebabkan si menantu itu begitu hormat kepada si mertua, apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh si mertua sehingga bisa begitu pas dengan menantunya?

IR : Karena si mertua itu selalu menanamkan kebenaran, kasih terhadap sesama juga karena si mertua ini juga suka menolong pada saudara-saudara yang tidak punya bahkan anaknya ini dimintai bantuan, ditanamkan prinsip harus membantu pada orang, pada saudara yang tidak punya. Bahkan orang-orang yang tidak punya, sekalipun dia itu tidak mempunyai penghasilan, dia memberanikan diri untuk mengasuh anak. Itu dibebankan pada anak-anaknya, tapi dia dibekali dengan firman Tuhan, dan dari kata-katanya setiap pertemuan dengan anak-anaknya itu tidak pernah terlontar kata-kata yang menyakitkan, rasanya penuh kasih. Jadi dia itu bisa mengaplikasikan firman Tuhan dalam kehidupan. Akhirnya buah/hasilnya, dia dicintai oleh anak menantunya.

PG : Bagus sekali, memang firman Tuhan berkata di sini "Rambut putih adalah mahkota yang indah yang didapat pada jalan kebenaran", jadi kuncinya memang adalah orang yang hidup pada jalan kebnaran itulah yang akan melihat rambut putih sebagai suatu mahkota.

Jadi contoh yang tadi Ibu Ida tuturkan memang sesuai dengan yang firman Tuhan katakan.
GS : Apakah kalau kita sering mendengar kasus-kasus di mana ada hubungan yang kurang harmonis antara menantu dan mertua adalah buah dari yang kita sebut mertua itu, jadi orang yang lebih tua itu yang justru menjadi 'trouble maker'nya begitu, Pak Paul. Apa harus seperti itu atau ada kemungkinan lain?

PG : Saya menyaksikan atau mengamati ada campur tangan atau kombinasi dari kedua belah pihak. Adakalanya yang menantu terlalu peka, ada menantu yang merasa kurang aman. Maksud saya dia sunggh-sungguh tidak mau dicampuri, tidak mau dicampuri dalam pengertian tidak mau orang tua misalnya datang ke rumah terus memberikan saran, ini rasanya tidak cocok, taruh bangku di sini, menurut saya lebih baik di situ.

Mendengar komentar begitu cukup membuat dia marah pada si mertua atau misalkan si mertua itu mau berkunjung ke rumah si menantu seminggu 2 kali, 3 kali dia tidak suka, dia merasa ini rumah saya kenapa engkau terus-menerus harus datang ke rumah saya. Bagi saya dalam hal itu si menantu yang agak keterlaluan, tetapi ada menantu yang seperti itu. Di pihak lain memang ada kasus di mana si mertua terlalu senang mencampuri urusan keluarga anaknya, sehingga membuat si menantu itu akhirnya tidak senang atau yang lain lagi yang cukup klasik, ialah pokoknya yang namanya anakku sudah pasti benar, yang namanya menantu sudah pasti salah. Jadi kalau ada apa-apa, yang disalahkan si menantu terus-menerus. Ada yang lebih klasik adalah membandingkan menantu yang satu dengan yang lain.
IR : Justru ini ada satu saudaranya yang agak tidak punya, kalau anaknya sekolah tidak ada kendaraan, lalu dirunding dengan penuh kasih bagaimana kalau kalian mengumpulkan uang membelikan kendaraan untuk ini, lalu diterima. Jadi saudaranya juga satu sama lain saling mencintai. Kalau misalnya ke anak menantu yang lain membawa oleh-oleh, dimintakan oleh-oleh untuk saudaranya yang lain. Jadi memang hubungan mereka itu unik sekali, penuh variasi.

PG : Saya tahu masalah ini memang peka sekali apalagi kalau misalnya menyangkut masalah uang. Memang adakalanya orang tua yang dekat dengan si anak, meminta uang pada si anak tanpa merasa pelu berbicara dengan si menantu, apalagi orang-orang Tionghoa merasa anak laki itu 'anak dalam', orang perempuan itu memang 'orang luar' setelah menikah.

Jadi anggapannya adalah kalau saya memerlukan uang, saya minta sama anak laki dan tidak ada urusannya dengan menantu saya, dan menantu saya tidak boleh menggugat urusan ini. Tapi akhirnya menjadi masalah bagi si suami istri itu, kadang-kadang itupun terjadi.
IR : Ini justru minta pada menantunya.

PG : Baik sekali itu.

IR : Sambil bersenda gurau, aku minta uang ya, padahal dia mempunyai uang juga.

PG : Baik sekali.

GS : Jadi ada persiapan finansial juga yang harus dilakukan ya Pak Paul sebelum memasuki usia lanjut. Sekalipun kita tergantung atau diharapkan ada kerendahan hati untuk bergantung pada anak, tetapi juga ada batas tertentu di mana orang itu harus mempersiapkan diri memasuki masa lanjut usia.

PG : Dan sebaiknya kalau kita memang menjadi anak, kita harus melihat orang tua kita bila tidak bisa lagi bekeja dan lain sebagainya, tidak ada uang misalkan, lalu kita mengumpulkan uang denan kakak dan adik kita untuk menyediakan per bulannya berapa yang akan diberikan.

Itu yang memudahkan si orang tua daripada dia harus meminta-minta kepada anak, sebab saya tahu ada orang tua yang tidak mau meminta kepada anaknya sama sekali, tapi sebetulnya mengharapkan anaknya memberikan tapi ia diam. Jadi sebaiknya memang anak itu yang berunding menetapkan setiap bulan mau memberi berapa dan sudah langsung berikan setiap bulan secara teratur, kalau ada keperluan ekstra baru memberi lagi.
GS : Lalu bagaimana hubungan bukan terhadap anak tetapi terhadap cucu-cucunya, Pak Paul. Sampai sejauh mana seorang yang sudah lanjut usia itu mempersiapkan diri untuk bisa berhubungan dengan cucu?

PG : Saya melihat peranan kakek, nenek begitu luar biasa besarnya, terhadap kehidupan cucu. Tapi sekali lagi, ada masalah yang timbul kalau petunjuk atau kedekatan si kakek dengan si cucu dinggap sebagai sesuatu yang negatif oleh anak dan menantunya atau dianggap orang tua ini terlalu mencampuri cara mengajar anak saya.

Jadi saya kira yang penting adalah sebagai orang tua kita mencoba melibatkan si orang tua atau ayah ibu dari cucu kita itu dalam memberikan masukan, jangan kita langsung menegur tindakan anak kita di depan cucu kita, cucu itu melihat papa dimarahi oleh kakek, nanti dia akan semakin nakal. Jadi ada baiknya tidak membela si cucu di depan orang tuanya, nanti secara pribadi baru membicarakannya dengan orang tuanya, tapi kalau orang tuanya mengatakan, saya tidak mau mengikuti, itu salah dan sebagainya. Ya si kakek mungkin bisa perlahan-lahan tidak memaksakan kehendaknya, bisa seperti itu.
GS : Pak Paul tentu sekalipun orang itu sudah lanjut usia, pasti dia punya harapan-harapan terhadap anaknya, terhadap menantunya dan sebagainya. Apakah itu perlu dikomunikasikan atau dianggap anak itu akan mengerti sendiri terhadap kebutuhannya?

PG : Sebaiknya dikomunikasikan tapi saya juga memaklumi, adakalanya orang tua itu sulit menyatakan keinginannya pada si anak. Karena sekali lagi orang tua terbiasa mandiri dan menjadi tempa bergantung bagi si anak.

Dan sekarang dia itu harus berpindah tempat, dia yang harus bergantung pada si anak, tidak semua orang tua bisa melewati transisi ini dengan mulus. Ada yang merasakan sulit sekali, jadi salah satu tambahan Pak Gunawan, yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan diri menyambut hari tua adalah sejak usia muda, kita mulai mengembangkan minat yang berbeda-beda, Pak Gunawan, itu penting sekali. Saya khawatir dengan orang yang hanya tahunya kerja, hobbynya kerja, kesenangannya kerja, menghabiskan waktunya dengan kerja. Karena itu akan berakhir, kita tidak bisa terus-menerus bekerja. Pada waktu berakhir kalau itu satu-satunya tumpuan hidup kita, kita akan "collapse", kita akan runtuh tidak akan kuat lagi. Yang baik adalah kita mulai mempersiapkan diri misalnya kita terlibat dalam pelayanan gereja, menjadi majelis, pengurus, kita melawat, mempunyai hobby-hobby yang lain, yang sehat sehingga perlahan-lahan sebetulnya kita mulai mempersiapkan diri memasuki dunia pekerjaan. Tapi setelah menggelutinya mungkin selama 23 tahun, kita harus mempersiapkan diri, mengeluarkan diri dari pekerjaan itu.
GS : Kadang-kadang yang sulit untuk disadari, karena pada saat-saat itu mereka masih terlibat dalam pekerjaan atau kita terlibat dalam pekerjaan yang sedang pada puncaknya, sehingga waktu kita habis tersita untuk pekerjaan, melupakan hal-hal yang sebenarnya perlu kita lakukan untuk menyongsong masa lanjut usia itu tadi.

PG : Betul sekali, memang hobby itu penting Pak Gunawan, mengembangkan hobby yang sehat, misalkan yang sederhana. Saya mengenal seseorang yang agak tua di gereja, yang hobby memelihara tanamn.

Dia seorang pria, tapi di rumahnya ada kebun yang dia pelihara dengan begitu teliti dan itu memang menguatkan dia sekali. Saya kadang-kadang bertanya kepadanya, "Oom sudah pensiun sekarang rasanya bagaimana, sepi tidak, atau rasanya tidak ada pekerjaan?" Lalu katanya, "Saya sekarang lebih sibuk daripada dulu dan setiap hari saya senang sekali", karena kebetulan dia harus menjemput cucunya, mengantar pulang, memberikan makanan kepada cucunya. Dia mengatakan setiap hari banyak pekerjaan, itulah orang yang memang fleksibel. Dia bisa memindahkan hidupnya dari pekerjaan ke pekerjaan yang lain, jadi pekerjaan tidak harus sama dengan yang dulu dia lakukan.
(3) GS : Sementara kita mempersiapkan diri untuk memasuki usia lanjut Pak Paul, pasangan kita pun kalau Tuhan kehendaki juga memasuki usia lanjut. Dalam hal ini apa yang perlu kita persiapkan menghadapi pasangan hidup kita itu?

PG : Sedikit rumit Pak Gunawan, karena ada pasangan-pasangan tua yang luar biasa tidak cocoknya. Seringkali orang berkata waktu masih lebih muda, papi mami tidak sering ribut, sekarang sudahpensiun, sudah tua sering ribut saja.

Memang ada pergeseran sekarang, si pria yang dulu sering di luar rumah sekarang di rumah terus, jadi cerewet, itu yang sering saya dengar dari keluhan ibu-ibu yang sudah lanjut usia. Suami saya sekarang ini jadi super cerewet, karena yang di rumah semua dia perhatikan, yang dulu tidak pernah diperhatikan. Kebalikannya si ibu yang sudah tua ini merasa sekarang si suami mengganggu teritorinya. Dulu dapur teritori saya, sekarang si suami memindahkan barang sesukanya, dan dia betulkan sesukanya, rumah mau diatur sesukanya, jadi sering ribut. Jadi adakalanya memang usia tua itu bukan membawa keharmonisan, justru membawa ketidakharmonisan.
GS : Sekali lagi yang kita bicarakan tergantung bagaimana kita mempersiapkan memasuki usia itu Pak Paul?

PG : Sebaiknya memang hal-hal ini dibicarakan Pak Gunawan, nanti selesai pensiun apa yang boleh saya kerjakan di rumah, sebab yang telah menjadi ratu si istri. Jadi kita memang harus bicara ulu kepada si istri, tidak boleh langsung menabrak masuk terus menjajah rumah ini.

Jadi kita harus bertanya apa yang bisa saya kerjakan, yang engkau tidak mau saya kerjakan beritahu saya. Jadi pembagian tugas itu saya kira menolong sekali, hal apa yang kau mau saya komentari, saya berikan saran, hal apa yang engkau tidak mau aku berikan komentar atau kalau aku harus memberikan komentar seperti apa bagaimana penyampaiannya yang engkau sukai. Jadi kita bisa mulai membagi tugas. Kedua adalah mulai mengatur jadwal hidup, karena kita sekarang mempunyai waktu yang banyak berduaan. Apa yang bisa kita kerjakan bersama, orang sering berpikir nanti sudah tua mudah bisa mengunjungi menantu. Zaman dulu bisa, sekarang memang agak susah karena orang tua agak enggan mengunjungi anak dan menantu, takut mengganggu. Nanti merepotkan, jadi akhirnya mereka di rumah berduaan. Perlu ada penjadwalan juga, mau ke mana-mana, mau terlibat dalam apa, itu juga baik saya kira.
GS : Ya, sementara itu hubungan dengan anak-anak harus tetap terpelihara, ya Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Harus ditingkatkan, misalnya mereka mengadakan pertemuan keluarga dan itu dampaknya besar sekali untuk orang tua.

PG : Setuju sekali Pak Gunawan, sebab orang tua tetap akan merasa dilibatkan dalam kehidupan anak-anak mereka. Itu betul sekali.

GS : Maksudnya ada orang tua yang mengatakan, "Jangan kalau nanti saya sudah mati baru kalian berkumpul, saya tidak dapat menikmati apa-apa, sementara hidup ini mari kita kumpul."

PG : Betul, orang tua itu ingin sekali sebetulnya tetap dianggap normal, jadi jangan sampai kita yang menjadi anak membuat mereka merasa tidak normal lagi, tidak bisa apa-apa lagi, jadi tida perlu dilibatkan.

Sebetulnya itu tindakan-tindakan yang sangat menyakiti hati mereka sebagai orang tua. Mereka takut sekali dan tidak mau diisolasi dari hidup, sebetulnya mereka ingin tetap menjadi bagian dalam kehidupan ini. Phillips Yanci pernah menulis suatu buku tentang usia tua, dia mengadakan riset di situ dan dia mewawancarai orang-orang tua. Yang menarik adalah orang-orang yang sudah lanjut usia itu mengatakan bahwa mereka tidak pernah merasa diri tua. Dalam pengertian mereka tidak merasakan dirinya yang di dalam itu menjadi tua, dirinya tetap sama tapi mereka sadari, fisik mereka berubah menjadi tua. Waktu mereka melihat diri mereka di cermin, tapi diri yang di dalam itu mereka katakan tetap sama dengan yang dulu. Dan kalau saya pikir-pikir betul, kita sekarang usianya sudah 40 ke atas semua. Dan kita pikir-pikir, diri kita sama tidak dengan yang SMA, yang SMP bukankah kalau kita pikir-pikir, masih sama dengan yang dulu itu sebetulnya. Seharusnya yang disadari oleh orang adalah yang tua hanyalah fisik sebetulnya, dirinya tetap sama yang umur 5 tahun, 10 tahun itu tetap sama sebetulnya.
GS : Tapi sebenarnya menjadi lanjut usia secara mental apakah ada perubahan dalam diri seseorang, Pak Paul?

PG : Ya berubah dalam pengertian kebutuhannya, kematangan berpikirnya, tapi dirinya itu sebetulnya tidak mengalami ketuaan.

GS : Mungkin semangat itu yang perlu kita siapkan sedini mungkin Pak Paul, supaya kita tidak merasa apa yang ada sejak awal terasa tidak berguna, tidak mampu melakukan apa-apa, sehingga dia betul, dia tidak melakukan apa-apa, karena dia lebih banyak sibuk memikirkan bahwa dirinya tidak berguna.

PG : Betul sekali.

GS : Dan sehubungan dengan ini mungkin ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan.

PG : Saya akan mengulang lagi yang tadi dikatakan oleh firman Tuhan. "Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran." Saya bukan menganjurkan "jangan beli pengeca rambut", saya bukan berkata seperti itu.

Tapi saya berpendapat orang yang bisa hidup tanpa pengecat rambut adalah orang yang memang lebih menerima fakta ketuaannya. Baik pria maupun wanita.
IR : Sekalipun tidak mendapat pujian, seringkali rambut yang putih dirasa kurang menarik. Jadi mereka seringkali mengecat rambut dengan alasan itu, supaya kelihatan segar misalnya.
GS : Penampilan walaupun sudah usia lanjut banyak orang yang mengharapkan penampilannya masih tetap prima, Pak Paul.

PG : Itu tidak apa-apa, orang-orang dulu saya masih ingat nenek saya diberi oleh kakak mama saya, baju atau kain yang warnanya terang lalu dia marah sekali. Memangnya saya masih muda, dia mearahi anaknya karena memberi kain yang agak terang, jadi harus kain yang warna gelap.

Saya kira tidak perlu begitu ya.
GS : Baiklah, jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang bagaimana mempersiapkan diri memasuki usia lanjut, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 32 B

  1. Bagaimana mempersiapkan diri sendiri dalam memasuki lanjut usia?
  2. Apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh seorang mertua sehingga dapat cocok dengan menantu?
  3. Apa yang perlu dipersiapkan jikalau kita dan pasangan kita sama-sama memasuki usia lanjut?


6. Masalah Wanita Paro Baya


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T044A (File MP3 T044A)


Abstrak:

Banyak perubahan yang dialami oleh wanita paro-baya baik perubahan hubungan dengan suami, dengan anak maupun keharusan untuk menerima fakta bahwa dia makin menua.


Ringkasan:

Yang dimaksud usia setengah baya dapat dikategorikan antara usia 45 tahun hingga usia 55 tahun. Pria dan wanita ketika memasuki usia paro-baya memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar.

Diantaranya adalah:

  1. Pria, pada usia paro-baya memasuki usia kemapanan pada umumnya.

  2. Wanita, pada usia paro-baya memasuki usia perubahan.

Banyak sekali perubahan-perubahan yang akan dilalui oleh wanita dan ini mesti dia sadari. Perubahan tersebut adalah:
  1. Perubahan fisik, jadi akan ada beda yang nyata antara wanita usia 45 tahun ke bawah dan usia 45 tahun ke atas. Misalnya kesulitan wanita untuk menjaga tubuhnya ramping, kecenderungan mudah bertambah gemuk, di leher mulai kelihatan kendor.

  2. Perubahan relasi dengan anak/perubahan hubungan dengan anak. Di mana anak tidak lagi terlalu bergantung pada orang tua, tidak bisa tidak hal ini akan menimbulkan perubahan dalam relasi antara ibu dengan anaknya. Seorang ibu kehilangan peran dan harus mengubah perannya yang semula sebagai pengasuh sekarang sebagai pengayom, pengarah, teman. Lain dengan ayah, kalau ayah perannya tetap sama mulai anak kecil hingga dewasa.

  3. Perubahan relasi dengan suaminya. Baik secara positif maupun negatif. Pada usia setengah baya biasanya suami mengalami kemapanan dan mendapatkan kepuasan yang luar biasa dalam pekerjaannya karena dia sudah menempati posisi yang lumayan terhormat, akibatnya dia tidak terlalu bergantung pada yang di rumah untuk menyediakan support/dukungan, penghargaan kepadanya sebab dia sudah dapatkan di luar. Berarti makin tidak terlalu bergantung kepada si istri.

  4. Perubahan dalam hal kenakalan anak-anak. Pada masa kecil anak-anak nakal tapi nakal kanak-kanak, waktu anak-anak sudah mulai remaja memasuki dewasa awal nakalnya mulai nakal moral misalnya berbohong, menipu orangtua, atau melakukan hal-hal yang memang dosa.

Untuk mengatasi perasaan-perasaan tidak nyaman yang timbul dalam wanita paro-baya adalah:

  1. Menggunakan waktu luang untuk lebih banyak dipakai dalam pelayanan di gereja.

  2. Wanita harus mendefinisi ulang yang namanya berharga. Biasanya wanita mendefinisikan berharga itu dilihat secara fisik apalagi yang memang secara fisik cantik. Namun pada usia paro-baya dia akan meredefinisi ulang apa yang namanya indah, apa yang namanya berharga di mata Tuhan.

Yang harus dilakukan sebelum memasuki usia paro-baya adalah sebagai berikut:

  1. Mempersiapkan diri, jadi mengantisipasi bahwa hal ini akan terjadi. Dia harus siap terima bahwa suatu waktu nanti dia tidak akan lagi cantik, tidak akan lagi menarik seperti dulu.

  2. Fungsinya di rumah juga akan berubah dia harus siapkan itu, bahwa dia tidak akan terlalu dibutuhkan lagi. Jadi dia harus menempatkan diri dalam fungsi yang lain.

  3. Suami istri harus mengantisipasinya bersama-sama. Misalkan istri harus memberitahukan suami tentang gejala-gejala fisik menopause, supaya suami mengerti bahwa inilah gejala menopause dia akan merasa panas, merasa sensitif, emosi mudah naik, mudah tersinggung, bisa marah, dalam waktu sekejap bisa menangis, nah ini memang harus disadari oleh pria.

Mazmur 73:21-24 "Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan." Saya kira ini mungkin merefleksikan sebagian perasaan setengah baya, merasa hati pahit, merasa buah pinggang itu menusuk-nusuk, merasa diri dungu tak ada harganya, tidak mengerti apa-apa. Tapi dia berkata aku tetap didekat-Mu, Engkau memegang tangan kananku, dan nasihat Tuhanlah yang menuntun aku.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang masalah wanita setengah baya. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa kesempatan yang lalu kita pernah berbincang-bincang tentang usia tengah baya pada umumnya, tapi kali ini kita mencoba membicarakan lebih spesifik tentang wanita tengah baya. Mungkin nanti bu Ida yang akan banyak bertanya karena pasti menyangkut diri bu Ida. Tapi saya ingin mengawalinya sebenarnya wanita itu memasuki usia tengah baya itu sekitar usia berapa Pak Paul?

PG : Yang kita maksud usia setengah baya dapat dikategorikan antara usia 45 tahun hingga usia sekitar 55 atau 60 tahun.

GS : Jadi hampir sama dengan pria Pak Paul?

PG : Betul sama.

GS : Tapi ketika memasuki usia itu biasanya pria lebih dahulu karena pada umumnya kita di sini berbeda Pak Paul. Atau kalau tidak serempak baik suami maupun istri itu memasuki usia yang cukup kritis ini secara bersamaan.

PG : Tadi Pak Gunawan mengatakan bahwa mungkin ibu Ida akan banyak bertanya karena berkaitan dengan ibu Ida, dalam hal usianya ibu Ida ya Pak Gunawan?

(1) GS : Tetapi sebenarnya masalahnya 'kan pasti berbeda Pak Paul pria dan wanita, ada perbedaan yang mendasar atau tidak?

PG : Ada Pak Gunawan, jadi kalau pria itu kita sebut sebagai waktu dia memasuki usia setengah baya dapat kita katakan dia pada umumnya memasuki usia kemapanan, wanita pada usia setengah bayamemasuki masa perubahan.

Jadi penekanan katanya adalah perubahan, banyak sekali perubahan-perubahan yang akan dilalui oleh wanita dan ini yang mesti dia sadari.
(2) IR : Nah, kira-kira perubahan itu apa saja Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah perubahan fisik, jadi akan ada perbedaan yang nyata, antara wanita yang berusia 45 tahun ke bawah dan yang berusia 45 tahun ke atas. Kebanyakan wanita masih bisa memertahankan penampilan fisiknya, relatif konstan atau sama bahkan sampai usia sekitar 40 tahun, 42, 43 tahun, begitu memasuki usia sekitar 45 tahun mulai nampak perbedaan-perbedaannya.

Contohnya adalah kesulitan wanita untuk menjaga tubuhnya ramping pada umumnya, kalau tidak menjaga makan, mengurangi makan. Ada kecenderungan dia akan mudah sekali untuk bertambah gemuk, sekali bertambah misalkan 2 kg, menguranginya itu akan memakan waktu misalnya 3, 4 bulan hanya untuk mengurangi 2 kg saja, jadi itu salah satu perubahannya. Perubahan yang lain juga adalah misalkan dilehernya, pada wanita otot-ototnya mulai kelihatan kendor. Jadi proses penuaan mulai nampak sekali setelah usia 45-an.
GS : Ada yang mulai juga kropos tulang mungkin Pak Paul, kelihatannya agak membungkuk?

PG : Betul, itu penyakit yang sering kali dialami oleh para wanita, namun biasanya kalau osteoporosis dialami oleh wanita yang lansia, yang lebih tua setelah usia setengah baya.

GS : Setelah masa paro baya, ada juga mereka yang mulai memasuki masa menopause Pak Paul?

PG : Masa menopause adalah masa berhentinya haid, di mana mereka tidak lagi mengalami haid setiap bulan. Nah, biasanya berhenti haid itu tidak serentak, biasanya melalui suatu proses yang betahap.

Misalkan bulan ini datang bulan depan tidak datang, tidak teratur. Nanti 2, 3 bulan tidak datang, wanita itu sudah merasa lega e.....datang lagi haidnya dan ini akan berlangsung bahkan sampai bartahun-tahun. Ada yang mengalaminya hanya untuk satu tahun atau kurang setahun, namun ada juga orang-orang yang harus mengalaminya cukup panjang lebih dari satu tahun.
IR : Dengan kondisi seperti ini sering kali ada perasaan cemas Pak Paul?

PG : Ada, jadi banyak sekali yang akhirnya akan menjadi pikiran wanita yang memasuki paro baya ini. Masa haid itu juga membawa dampak-dampak fisik yang akan mengganggu perasaan si wanita itu yang biasanya dilaporkan adalah panas, muka itu panas, berkeringat jadi suhu tubuh itu tidak bisa dengan mudah dikendalikan, seolah-olah termometernya rusak.

Jadi kadang-kadang memanas sendiri atau sensitif sekali, secara fisik sensitif dengan sentuhan rasanya tidak enak, tapi yang paling inti adalah tubuh itu tidak nyaman. Nah, ini kita kadang-kadang juga mengalami sakit, dalam masa sakit tubuh kita tidak nyaman tapi kita tahu setelah 2, 3 hari paling lama seminggu tubuh kita akan nyaman kembali. Nah, bayangkan wanita yang harus mengalami ini bukan untuk seminggu bahkan berbulan-bulan atau ada yang sampai bertahun-tahun. Nah, kadang kala juga karena fisiknya sangat terganggu, emosinya juga agak labil sehingga mudah untuk bereaksi.
GS : Nah kita semua tahu bahwa ibu-ibu, istri-istri, para wanita ini sangat menjaga penampilannya Pak Paul, tadi Pak Paul katakan pada usia seperti ini mulai timbul lemak dan sebagainya, gampang bertambah berat tubuhnya, itu hubungan dengan konsep dirinya bagaimana Pak Paul?

PG : Biasanya berpengaruh cukup besar, itu sebabnya semir rambut lebih banyak digunakan oleh wanita dibandingkan pria. Sekali lagi ini adalah salah satu akibat berbedanya pandangan masyaraka pada pria dan wanita.

Kalau pria berambut putih kita katakan dia berwibawa, wanita berambut putih kita katakan dia tua, kita tidak sebut dia berwibawa lagi. Nah, jadi rambut putih itu sudah kadung dikonotasikan negatif tidak sama dengan kecantikan, sedangkan rambut yang hitam diidentikkan dengan kecantikan. Nah itu adalah salah satu tanda menuanya seseorang. Nah, wanita itu mendapatkan penilaian berdasarkan penampilan fisiknya. Jadi waktu penampilan fisiknya berubah, tidak bisa tidak ada kecenderungan konsep dirinya pun berubah, gambar dirinya yang dulu dia hargai, yang dulu dia senangi akhirnya tidak lagi. Salah satu hal yang sering terjadi Pak Gunawan yaitu berenang, kalau kita perhatikan wanita yang sudah mempunyai anak-anak yang lumayan besar, pra remaja atau apa, enggan berenang. Jadi kebanyakan wanita itu rela berenang pada masa mereka itu masih gadis atau baru menikah atau belum punya anak. Begitu sudah mulai punya anak, mulai ragu-ragu berenang, usia 40-an jarang sekali yang mau berenang karena sebetulnya simpel alasannya mereka tidak merasa nyaman tampil.
GS : Bentuk tubuhnya 'kan kelihatan sekali kalau pakai pakaian renang?

PG : Betul, itu sebabnya. Jadi memang ada pengaruh terhadap konsep diri dan akhirnya berpengaruh juga terhadap kepercayaan diri, menjadi agak malu.

IR : Nah kira-kira ada perubahan apa lagi Pak Paul?

PG : Ya berikutnya adalah perubahan relasi dengan anak, perubahan hubungan dengan anak. Di mana anak tidak lagi terlalu bergantung pada orang tua, nah tidak bisa tidak hal ini akan menimbulkn perubahan dalam relasi antara si ibu dengan anaknya.

Dan si ibu dituntut untuk menyesuaikan perannya, di masa yang lampau dia berperan sebagai seorang pengasuh, tapi sekarang dia tidak bisa lagi berperan sebagai seorang pengasuh. Dengan kata lain dia kehilangan peran dan harus mengubah peran, misalnya sekarang sebagai pengayom, pengarah, teman, sedangkan pada pria tidak demikian. Ayah itu boleh dikata sejak anak kecil sampai anak besar peranannya sama, yaitu sebagai pengayom, sebagai pendisiplin, sebagai konselor atau penasihat. Tidak pernah ayah itu atau jarang sekali ayah itu berperan sebagai perawat atau pengasuh karena kesibukan kerja dan sebagainya. Jadi ayah tidak harus menyesuaikan perannya, tidak harus mengalami kehilangan peran, sedangkan seorang ibu harus mengalami kehilangan peran dan menciptakan peran yang lain, nah ini kadang-kadang tidaklah terlalu mudah. Maka kadang kala kita menyaksikan orang tua atau ibu yang tetap menganggap anaknya seperti anak kecil, karena apa, karena memang dia ingin tetap berperan seperti itu sebagai seorang mama yang mengasuh si anak.
IR : Merasa ingin dibutuhkan ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali, maka kalau anak pergi jauh, waktu anak pulang hal pertama yang dilakukan oleh ibu adalah memasakkan masakan yang disukai anak, memanjakan si anak.

IR : Tapi begitu tidak dimakan merasa tidak dihargai, tersinggungnya lebih besar dibanding dengan waktu masih anak-anak.

PG : Betul, kadang-kadang waktu anak-anak masih kecil mereka tidak makan yang kita sudah masak, tapi lain karena kita tahu besok dia akan makan lagi.

IR : Tapi sekarang berubah.
GS : Nah kalau relasi dengan suaminya bagaimana Pak Paul?

PG : Biasanya juga ada perubahan Pak Gunawan, nah ini perubahannya bisa positif bisa negatif. Biasanya suami pada usia setengah baya mengalami kemapanan dan mendapatkan kepuasan yang luar bisa dari pekerjaannya, karena dia sudah menempati posisi yang lumayan terhormat.

Akibatnya dia tidak terlalu bergantung pada yang di rumah untuk menyediakan support/dukungan, penghargaan kepadanya, sebab dia sudah dapatkan di luar. Berarti apa, dia makin tidak terlalu bergantung kepada si istri, nah si istri akhirnya makin kehilangan peran, makin kehilangan fungsi juga kepada suami; baik kepada suami maupun kepada anak-anaknya.
GS : Kalau rumah tangga itu terdiri dari banyak orang, jadi misalkan juga ibunya di sana, apakah itu akan membuat dia lebih dekat dengan ibunya Pak?

PG : Bisa ya, bisa tidak. Bisa ya kalau memang hubungan mereka sudah baik, kalau hubungan mereka tidak baik sudah pasti akan memperburuk masalah. Nah, tadi Pak Gunawan sebetulnya memunculkanperubahan yang lain yang harus dialami oleh seorang wanita, kita sadari sebetulnya yang lebih banyak berperan sebagai perawat orang tua adalah anak wanita, anak pria yang menyediakan biaya misalnya.

Tapi bukankah anak wanita yang berkunjung, yang membersihkan rumah, yang memanggilkan perawat atau apa, yang mengurus orang tua yang sudah lanjut usia. Jadi pada usia setengah baya ini si wanitalah dibebankan tugas untuk mengurus orang tuanya. Masalahnya adalah pada usia ini orang tuanya sudah berusia lanjut, rata-rata 75 ke atas berarti apa, sudah sakit-sakitan membutuhkan perhatian yang besar sekali. Nah, pada masa ini si wanita atau si ibu yang sudah kehilangan peran sebagai seorang mama kepada anaknya, sebagai istri juga kehilangan peran, kurang begitu dibutuhkan oleh suaminya, mengalami masa menopause, emosinya labil, sekarang dia harapkan juga untuk merawat orang tuanya yang sakit-sakitan dan merawat orang tua yang sakit-sakitan berarti beban, stres tersendiri lagi, jadi memang stres lagi-stres lagi, beban lagi-beban lagi.
GS : Jadi bukan dia menyalurkan apa kelebihan energinya atau mengalihkan tugas-tugasnya untuk merawat ibunya itu tidak bisa Pak Paul ya?

PG : Kalau memang ada waktu, ada dukungan-dukungan yang lain yang bisa dia lakukan. Tapi meskipun bisa didelegasikan kepada suster, tapi bukankah tetap yang harus memikirkan mama papanya adaah dia, makanannya terjaga atau belum, anak laki biasanya tidak begitu telaten dengan hal-hal seperti itu.

GS : Biasanya kepeduliannya yang kurang, kami yang pria ini kepeduliannya kurang sedangkan yang ibu-ibu ini, yang istri-istri mempunyai kepedulian yang cukup tinggi.

PG : Betul.

IR : Nah, dengan keadaan seperti itu emosi dari ibu ini akan labil sekali Pak Paul.

PG : Kecenderungannya begitu, sebab kalau kita dalam keadaan tertekan stres yang berlebihan biasanya kita kurang menjaga naik turunnya emosi kita. Jadi kalau ada sesuatu yang terjadi kita leih mudah bereaksi, beremosi.

Nah, ini bisa menjadi masalah tersendiri di rumah tangga misalnya anak-anak yang sudah lumayan jauh karena usia remaja atau memasuki usia dewasa awal terus melihat mamanya marah-marah di rumah misalnya, makin tidak betah di rumah makin ingin ke luar, hubungan anak dengan orang tua atau dalam hal ini mamanya bisa memburuk, si mama makin terkucil lagi. Terus dengan suaminya karena dalam keadaan tertekan seperti ini, menopause juga memberikan dampak-dampak fisik kepadanya, dia membutuhkan si suami tapi suami sedikit berbuat salah, dia bereaksinya keras benar, dia marah dan sebagainya suami makin takut mendekati dia. Nah, itulah sebabnya masa-masa menopause ini atau masa paro baya bisa merupakan titik rawan dalam pernikahan. Maka ada dua fase di mana orang itu paling mudah bercerai. Menurut data yang saya baca dulu pertama adalah 5 tahun pertama setelah menikah itu masa awal penyesuaian, kadang-kadang tidak berhasil menyesuaikan diri dan akhirnya bercerai. Fase kedua di mana orang itu mudah bercerai atau rawan terhadap perceraian adalah fase usia setengah baya, maka tidak heran yang pernah ibu Ida munculkan dalam salah satu siaran ini, bahwa ada orang yang sudah usia 60 tahun sudah menikah 20 tahun pun bercerai.
GS : Pada usia seperti ini wanita juga punya ketertarikan terhadap lawan jenisnya yang bukan suaminya juga Pak Paul?

PG : Ketertarikan selalu ada ya saya kira, semua manusia bisa mempunyai ketertarikan seperti itu. Apalagi dalam kesendiriannya itu di mana dia merasa tak dibutuhkan oleh anak-anak, merasa tiak dihiraukan lagi oleh suami, merasa berbeban berat menanggung beban keluarganya yaitu ayah ibunya.

Nah, pada saat-saat seperti ini dia juga rawan, rawan terhadap perhatian yang cukup dari seorang pria yang lain, dia rawan sekali, akhirnya membuka diri terhadap pria lain.
IR : Jadi dalam diri si ibu ini juga merasa tidak berarti ya Pak Paul?

PG : Betul, jadi perubahan-perubahan ini bisa membuat dia merasa tidak ada nilainya, tidak berharga sebab misalkan secara fisik, dulu dia bangga dengan tubuhnya dan kemungkinan besar si suampun memberikan banyak pujian tentang kecantikannya, tapi sejak dia berusia 45 ke atas, kata-kata engkau cantik, engkau menarik, dan yang lebih sensual ya engkau seksi.

GS : Tidak cocok, nanti malah dipikir menghina.

PG : Jadi serba susah.

GS : Jadi perselingkuhan bisa terjadi di masa-masa seperti itu Pak Paul?

PG : Bisa.

GS : Nah, yang juga saya amati sepintas itu kegiatan sosialnya itu meningkat Pak Paul. Entah di lingkungan rumah tangga, pelayanan di gereja meningkat.

PG : Ya sebabnya memang sudah ada waktu yang lebih luang sebetulnya, karena anak-anak sudah besar dan suami juga tidak terlalu membutuhkannya, sehingga waktu luang lebih banyak dan itu dipaki untuk pelayanan, saya kira itu sehat, itu baik.

GS : Kalau hanya sekadar kumpul-kumpul untuk bergosip nah ini yang jadi masalah atau shopping segala 'kan banyak itu hanya untuk membuang waktu Pak Paul.

PG : Betul, ya akhirnya memang mereka perlu mengisi waktunya dengan hal-hal seperti itu.

IR : Juga mungkin ada hal yang lain Pak Paul, untuk mengantisipasi perasaan-perasaan yang berkecamuk itu apa saja Pak Paul?

PG : Saya kira salah satunya yang perlu dilakukan adalah wanita harus mendefinisi ulang apa yang namanya berharga. Tidak bisa tidak saya kira setiap wanita mendefinisikan yang namanya berhara itu biasanya secara fisik, apalagi yang memang secara fisik cantik atau menarik dia akan menekankan pada sisi kecantikannya itu.

Nah, pada usia setengah baya sudah tentu dia akan meredefinisi ulang apa yang namanya indah, apa yang namanya berharga di mata Tuhan dan ini tidak lagi menjadi titik berangkatnya, tidak lagi harus ditekankan olehnya.
GS : Mungkin saya rasa bukan hanya meredefinisi Pak Paul, malah dia harus mereposisi, posisi dia apa di dalam rumah tangga, itu tadi yang kita bicarakan.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi dia juga harus belajar menempatkan diri dalam hubungan baik itu dengan anak maupun dengan suami. Tapi memang ini perlu sekali kerja sama dengan suami, peru sekali kerja sama.

GS : Sementara suaminya juga punya masalah tersendiri dengan memasuki usia setengah baya Pak Paul, jadi sebenarnya apa yang Pak Paul usulkan terhadap ibu-ibu yang memasuki usia ini?

PG : Yang harus dilakukan adalah sebetulnya sebelum memasuki usia paro baya ini.

GS : Menyiapkan dirinya, mempersiapkan diri.

PG : Mempersiapkan diri, betul jadi seseorang harus mengantisipasi bahwa hal ini akan terjadi. Kita tidak bisa hidup seakan-akan hal ini tidak akan terjadi, jadi dia harus siap menerima bahw suatu waktu nanti dia tidak akan lagi cantik, tidak akan lagi menarik seperti dulu.

Kedua, fungsinya di rumah juga akan berubah dia harus siapkan itu, secara mentah dia harus siapkan bahwa dia tidak akan terlalu dibutuhkan lagi. Jadi dia harus menempatkan diri dalam fungsi yang lain, dia akan dibutuhkan oleh anak-anak bukannya tidak dibutuhkan, dibutuhkan tapi dalam kwantitas dan kwalitas yang berbeda. Kwantitas pasti berbeda, dia tidak mungkin menemani si anak dari pagi sampai sore, tapi secara kwalitas tetap dibutuhkan. Misalnya sebagai seorang teman waktu bicara, bukan untuk menjadi seorang interogator, anak akan menjauhkan diri dari ibu yang menjadi seorang interogator. Tapi menjadi seorang teman yang bisa mengerti, mendukung, mengarahkan, memberikan teguran juga kalau perlu. Nah, jadi itulah fungsi-fungsi baru yang harus diterima oleh seorang ibu selain dari kerelaan untuk melepaskan anaknya untuk bisa pergi, untuk bisa mengembangkan dirinya pula.
GS : Tapi memang itu dibutuhkan kesungguhan untuk membagi waktu Pak Paul, karena semasa itu 'kan harus dipelajari sebelum dia memasuki usia itu, padahal pada waktu-waktu dia masih katakan muda waktunya habis tersita, Pak Paul untuk mengurusi rumah, untuk mengurusi anak dan sebagainya.

PG : Betul, yang lainnya lagi adalah suami dan istri harus mengantisipasinya bersama-sama. Misalkan istri harus memberitahukan suami tentang gejala-gejala fisik menopause itu supaya suami megerti bahwa inilah gejala fisik menopause, dia akan merasa panas, merasa sensitif, emosi mudah naik, mudah tersinggung, bisa marah dalam waktu sekejap bisa menangis, emosi bisa turun- naik benar-benar seperti jet coaster, nah itu memang harus disadari oleh pria.

Nah, dalam keadaan seperti itu apa yang dibutuhkan oleh si wanita, si wanita harus katakan kepada suaminya, sehingga jauh hari sudah ada persiapan misalkan kalau aku lagi naik emosinya engkau dengarkan saja, diam saja sebab bukan berarti aku ini sedang memarahimu tapi aku sedang tidak terlalu bisa menguasai emosiku, dengarkan saja. Waktu aku menangis ya engkau duduk saja di sebelahku, memelukku, kau pegang tanganku, membuatku merasa tenang kembali, membuatku merasa ada orang di sisiku. Nah, hal-hal seperti itu yang harus mulai dikomunikasikan, sehingga waktu nanti dia mengalami itu si suami tidak menjauhkan diri darinya. Nah ini yang sering kali terjadi, suami-suami makin membenamkan diri dalam pekerjaan supaya apa, biasanya dalih suami adalah supaya tidak usah bertengkar dengan istri. Tapi masalah makin bertambah sebab istri makin merasakan ditinggalkan, tidak dihiraukan lagi oleh suaminya.
IR : Nah, dalam hal ini kalau si ibu ini mencari kegiatan selain pelayanan di dalam rumah itu mungkin sudah punya cucu itu Pak Paul, mengasuh cucu itu mungkin dia merasa dibutuhkan seperti waktu dia masih mengasuh anaknya, itu baik atau tidak Pak Paul?

PG : Itu baik, nah tapi masalahnya memang untuk dia mempunyai cucu biasanya dia sudah mengakhiri paro-bayanya.

GS : Memasuki usia lanjut ya?

PG : Ya soalnya dia sudah biasanya hampir memasuki usia 55 tahun ke atas hampir 60 tahun. Jadi sebetulnya dia sudah hampir selesai dengan pergumulan paro bayanya.

GS : Berarti masa ini, masa paro-baya itu sekitar 10 tahun-an Pak Paul?

PG : Dan kritis karena cucu pun belum ada itu.

IR : Kalau misalnya mengambil anak angkat Pak Paul?

PG : Boleh, itu saya kira baik sekali, baik kalau ada yang memang membutuhkannya, baik sekali itu.

IR : Itu situasinya lain Pak Paul, saya sendiri mengalami itu.
GS : Jadi ada kasih sayang yang diberikan.

PG : Betul, dan memberikan kesegaran tersendiri kepada keluarga.

GS : Kalau mentalnya seperti itu jadi secara emosional berubah, secara fisik berubah apakah itu juga berpengaruh pada kerohanian Pak Paul?

PG : Saya kira ada, sebab kebutuhan emosi dan mental kita berpengaruh juga terhadap kehidupan rohani kita. Dalam emosi yang turun naik itu kadang-kadang kita ini bisa malas untuk membaca Alktab, kita merasa kok tidak ingin ke persekutuan nah itu hal-hal yang harus kita lawan.

Bahwa beribadah tetap, bahwa kita harus tetap bersekutu jangan meninggalkan persekutuan, kita tetap harus membaca firman Tuhan, nah itu kita harus terus pegang meskipun emosi kita bisa turun naik.
IR : Soalnya dalam hal itu merasa dihiburkan, Tuhan berkata kalau kita itu berharga di mata Tuhan, sekalipun rambutmu putih akan tetap digendong, itu membuat kita bersemangat kembali Pak Paul.

PG : Betul, sebab pada usia itu memang kita tidak bisa lagi berkata, meskipun rambutku putih suamiku akan menggendong, jadi kita harus berkata Tuhan yang menggendong kita. Maka indahlah di mna hubungan suami-istri masih bisa saling mencintai, tapi sekali lagi saya harus tekankan tidak akan muncul pada usia tengah baya, hubungan yang indah ini harus sudah ada sebelumnya.

GS : Tidak bisa tiba-tiba ya, memang harus dipersiapkan, tapi jauh yang lebih penting dari yang Bu Ida katakan adalah firman Tuhan itu yang terus menghiburkan, jadi mungkin sebelum kita mengakhiri pembicaraan ini Pak Paul akan membacakan sebagian dari firman Tuhan.

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 73:21-24 "Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. Ttapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku.

Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan." Saya kira ini mungkin merefleksikan sebagian perasaan setengah baya, merasa hati pahit, merasa buah pinggang itu menusuk-nusuk, merasa diri dungu tak ada harganya, tidak mengerti apa-apa. Tapi dia berkata aku tetap didekat-Mu, Engkau memegang tangan kananku, dan nasihat Tuhanlah yang menuntun aku.
GS : Ya, saya rasa itu memang satu masa yang perlu digunakan sebaik-baiknya untuk kita lebih mendekatkan diri pada Tuhan Pak Paul, sambil mempersiapkan diri juga memasuki usia lanjut. Jadi jam-jam doa yang lebih teratur karena tidak lagi disibukkan dengan kesibukan rutin pada anak, jadi ada banyak waktu sebenarnya untuk itu, tapi satu hal yang kita tahu bahwa pada fase manapun, Tuhan bisa memakai kita untuk kemuliaan nama-Nya.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah melakukan sebuah perbincangan tentang wanita tengah baya, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 44A

  1. Adakah perbedaan mendasar antara pria dan wanita paro baya.....?
  2. Perubahan apa sajakah yang terjadi pada wanita paro baya....?


7. Tantangan yang Dihadapi Wanita Paro Baya


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T044B (File MP3 T044B)


Abstrak:

Tantangan muncul ketika wanita paro-baya menghadapi kenakalan secara moral yang terjadi pada anak-anak mereka. Dan hal ini merupakan suatu pukulan yang benar-benar telak dirasakan oleh seorang ibu, suatu kegagalan yang sangat melukai hatinya.


Ringkasan:

Seorang wanita paro-baya yang menyaksikan anak yang semakin nakal, suami juga nakal karena memasuki usia paro-baya benar-benar akan membuat dia terluka. Ayah bisa merasa gagal sebagai seorang ayah tapi pukulan kegagalan tidak bisa dibandingkan dengan pukulan kegagalan seorang ibu sewaktu dia merasa gagal. Yang menarik adalah seharusnya seorang ibu bisa berasionalisasi bahwa ini bukan kegagalan saya saja, namun jarang sekali ibu bisa berkata ini adalah kegagalan kami berdua suamiku dan diriku. Kebanyakan akan berkata salahku sendiri dan tidak melibatkan si suami. Sebab memang biasanya dalam pembesaran anak yang terlibat lebih langsung adalah ibu. Dan kecenderungan bagi seorang wanita ini adalah dia mulai berandai-andai tentang dirinya, apa yang seharusnya tidak dilakukan atau dia lakukan diapun bisa berandai-andai tentang suaminya. Kalau saja engkau dulu tidak begini, kalau saja engkau dulu lebih begini dan mulailah siklus pertengkaran di situ.

Dalam depresi dan dalam kesedihannya dalam perasaan gagalnya seorang ibu pada umumnya cenderung mencari kambing hitam duduk masalahnya. Selain dari sikulus pertengkaran, yang bisa terjadi adalah dia merasa putus asa dalam hidupnya, seolah-olah masa depan tidak ada lagi, apa yang saya nantikan tentang hidup di masa depan tidak ada.

Yang perlu dilakukan dalam kondisi seperti ini adalah:

  1. Berhenti menyalahkan diri, menerima kenyataan yang sudah terjadi.

  2. Jangan kita berangan-angan lagi kalau saja saya bisa begini, kalau saja dia begini dsb.

Jadi penting sekali seorang wanita paro-baya yang mengalami masa-masa sulit seperti ini bisa berkata: "Ya sudah sekarang saya melakukan yang saya bisa lakukan, tapi hasilnya masih begini, ya sudah saya harus terima ini."

Dalam hal ini istri juga bisa berbagi peran dengan suaminya, mereka bisa berdiskusi dan saling mendelegasikan tugas apa yang bisa dilakukan. Dan sudah tentu dia secara pribadi harus mengutarakan kebutuhannya kepada si suami tentunya dengan baik bukan dengan nada menuntut. Dia bisa berkata: "Kalau bisa tolonglah berikan ini, aku butuh sekali sebab akudalam keadaan kurang stabil," ini akan menolong suami untuk mengerti dan memberikannya kepada dia. Pada usia paro-baya baik wanita maupun pria mulai menampakkan penyakit-penyakit dalam tubuhnya. Selain penyakit fisik kita tahu bahwa kerawanan kita terhadap penyakit bertambah kalau secara emosional kita merasa lemah/letih.

Pada saat-saat seperti ini ada hal-hal yang mungkin perlu untuk dilakukan:

  1. Olah raga, wanita paro-baya perlu berolah raga senam misalnya dengan teratur.

  2. Memelihara hobby

Meskipun banyak tantangan, tapi sebetulnya usia paro-baya memberikan juga kesempatan atau peluang misalnya memelihara hobby, memelihara bunga atau juga terlibat dalam pelayanan. Kita adalah manusia yang mesti merasa diri berguna, berfungsi. Sewaktu kita merasa tidak ada lagi fungsi, tidak ada lagi guna, tidak lagi berbuat apa-apa, tidak ada lagi dampak terhadap orang lain itu bisa membuat kita putus asa, depresi. Ini yang perlu dikembangkan oleh wanita paro-baya sebab Tuhan memang sedang menggiring dia pergi dari peranan yang dulu, Tuhan juga menggiring dia masuk ke dalam peranan dan tugas yang lain, ini yang harus kita tangkap. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi oleh wanita yang memasuki paro-baya ini, kata kuncinya adalah PERUBAHAN, perubahan yang memang bisa menekannya, tapi sekaligus perubahan yang bisa justru membuat dia seperti bunga yang berkembang, sebab dia bisa menangkap peluang itu dan mengisi waktunya dengan lebih positif dan produktif. Terutama berkarya dan memberikan sumbangsih yang lebih besar untuk kerajaan Tuhan.

Mikha 6:8 , "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik, dan apa yang dituntut Tuhan dari padamu. Pertama berlaku adil, kedua mencintai kesetiaan, ketiga hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Tantangan yang Dihadapi Wanita Paro-Baya. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Beberapa waktu yang lalu kita membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh wanita paro-baya, tapi selain kesulitan-kesulitan yang kita sudah bahas pasti di sela-sela itu ada tantangan kehidupan, ada peluang untuk menggunakan masa ini. Sebelum membicarakan akan hal itu tentunya agar para pendengar kita punya gambaran yang lengkap tentang ini, lebih lengkap tentang ini, mungkin Pak Paul akan bisa mengulang sedikit tentang apa itu wanita paro-baya.

PG : Wanita paro-baya adalah wanita yang memasuki usia antara 45 tahun hingga 55 tahun. Nah satu hal yang menjadi karakteristik utama yaitu perubahan, karena begitu banyak perubahan yang harus ialami oleh wanita paro-baya misalkan perubahan dalam hubungannya dengan si suami di mana ketergantungan si suami terhadapnya makin berkurang karena si suami biasanya makin sibuk di luar dan makin mendapatkan penghargaan dari luar.

Hubungan dengan anak juga akan berubah, sebab dia dulu sebagai pengasuh sekarang anak-anak sudah mulai besar tidak lagi memerlukan asuhannya seperti dulu, dia akan kehilangan peran itu dan harus menggantikan dengan peran-peran yang lain. Juga dia harus menerima fakta bahwa dia makin menua, nah ini adalah suatu hal yang tidak terlalu mudah untuk diterima oleh semua wanita, apalagi yang pada awalnya mendasari siapa dirinya atau penghargaan dirinya atas kecantikan tubuhnya. Nah, ini semua adalah perubahan-perubahan yang harus dialami oleh wanita. Salah satu perubahan yang juga sangat penting adalah perubahan dalam hal kenakalan anak-anak, yang ini juga harus disadari oleh wanita. Pada masa kecil anak-anak itu nakal tapi nakal kanak-kanak, malas belajar, terus main, nah waktu anak-anak sudah mulai remaja memasuki usia remaja atau pun dewasa awal kalau nakalnya itu mulai saya sebut nakal moral, salah satunya ialah yang sering dilakukan oleh anak-anak remaja ialah berbohong, menipu orang tua atau melakukan hal-hal yang memang berdosa. Kalau masih kanak-kanak mungkin ada unsur dosanya tapi tidak terlalu berkaitan dengan dosa, tapi pada masa remaja atau dewasa awal anak-anak bisa akhirnya terjerumus dalam kenakalan moral, kenakalan yang memang berkaitan langsung dengan dosa. Misalnya dia bisa mulai mabuk-mabukan, dia bisa mulai berjudi, dia bisa mulai nonton film-film porno, dia bisa mulai mengunjungi pelacur, nah hal-hal seperti itu yang saya sebut kenakalan moral.
GS : Dan itu semua bukankah membutuhkan dana, jadi anak itu juga bisa mencuri.

PG : Betul sekali, jadi untuk membiayai kebiasaan-kebiasaan buruknya itu.

GS : Mencuri uang orang tuanya atau orang lain Pak Paul, itu akan menimbulkan kepanikan juga untuk orang tuanya.

PG : Dan adakalanya ada yang menjual barang orang tuanya.

(1) GS : Menghadapi tantangan seperti itu Pak Paul jadi anak semakin nakal, bahkan mungkin suaminya juga nakal karena memasuki paro-baya itu juga, nah sebenarnya bagaimana itu seharusnya dia bersikap?

PG : Seharusnya dia akan terluka, jadi tidak bisa tidak dia akan terluka. Ayah bisa merasa gagal sebagai seorang ayah tapi pukulan kegagalan tidak bisa dibandingkan dengan pukulan kegagalan seoang ibu sewaktu dia merasa gagal.

Nah, yang menarik adalah seharusnya seorang ibu bisa berasionalisasi, ini bukanlah kegagalan saya saja, namun jarang sekali ibu bisa berkata ini adalah kegagalan kami berdua suamiku dan diriku; kebanyakan akan berkata salahku sendiri dan tidak melibatkan si suami. Sebab memang biasanya dalam pembesaran anak yang terlibat lebih langsung adalah ibu, jadi ibu merasa investasinya lebih besar dalam hal anak-anak ini sehingga sewaktu anak-anaknya bertumbuh besar tidak seperti yang ia inginkan malah terlibat dalam kenakalan moral yang berkaitan dengan dosa, nah tidak bisa tidak pukulan itu benar-benar telak sekali dirasakan oleh si ibu; maka kegagalan ini sangat melukai hatinya. Luar biasa melukai hatinya, ini bisa mendukakan dia sampai-sampai kita bisa heran kok engkau bisa begitu berubah, engkau kok tidak mau misalnya ikut-ikut kami piknik, rekreasi dan sebagainya ya karena memang hatinya tidak ada lagi di situ untuk pergi-pergi rekreasi atau kumpul-kumpul dengan teman sebab sangat pahit sekali.
GS : Dan pola dia dulu mendidik anaknya mungkin dengan mendisiplin, memukul dan sebagainya sudah tidak bisa diterapkan lagi Pak Paul. Jadi mungkin anaknya sudah tumbuh lebih besar dari dirinya sendiri secara fisik 'kan tidak mungkin dipukul itu.

PG : Betul, itu akan menambah frustrasi tak berdayanya, tidak lagi bisa dipukul, tidak lagi bisa ditegur apa yang harus saya lakukan sekarang benar-benar merasa tidak berdaya.

GS : Dan dalam kondisi seperti itu proses penuaan itu akan kelihatan semakin cepat.

PG : Bisa, betul sekali karena itu akan menambahkan stres pada dirinya, nah sudah tentu dalam keadaan yang seperti ini ada kecenderungan ibu itu menyalahkan dirinya dengan cara melihat ke belakng.

Seharusnya ini tidak dilakukan, seharusnyalah saya begini, kalau saja saya tidak begini, kalau saja saya begini, jadi mulai berandai-andai. Nah, salah satu hal yang kadang kala dilakukan oleh ibu adalah bukan saja dia berandai-andai tentang dirinya, apa yang seharusnya tidak dilakukan atau dia lakukan diapun bisa berandai-andai tentang suaminya. Kalau saja engkau dulu tidak begini, kalau saja engkau dulu lebih begini dan mulailah siklus pertengkaran di situ. Karena dalam depresinya dalam kesedihannya dan perasaan gagalnya kita atau ibu itu atau pada umumnya cenderung mencari kambing hitam duduk masalahnya. Kita sering berkata saya mau mencari tahu duduk masalahnya, sesungguhnya bukan saja kita ingin tahu duduk masalahnya tapi ingin tahu penyebab masalahnya siapa ini. Nah, kita sering kali begitu mencari kambing hitamnya, kalau tidak hati-hati mulailah suatu siklus salah-menyalahkan. Si suami merasa disalahkan oleh si istri, tidak terima menyalahkan lagi si istri, si istri merasa marah karena saya sudah memberikan semuanya untuk anak, engkau justru yang kurang terlibat, sekarang engkau salahkan saya dia malah menyalahkan suaminya, nah mulailah problem di sini.
GS : Tapi pada usia seperti itu 45 ke atas kondisi emosi itu sebenarnya lebih stabil Pak Paul, orang seharusnya lebih berpikir bijaksana dengan perjalanan waktu yang cukup panjang itu.

PG : Seharusnya, saya kira lebih berhikmat dan makin banyak pelajaran yang telah diterimanya. Tapi biasanya kalau sampai mengalami peristiwa seperti ini, di mana anak-anak itu nakal sekali, tidk bisa tidak hikmat itu bisa sedikit jauh dari pikiran kita karena secara emosional kita sudah sangat tertindas, tertekan sekali.

GS : Mungkin nanti setelah dia melewati masa krisis ini, memasuki usia lanjutnya dia 'kan menjadi lebih bijaksana.

PG : Sudah pasti, betul; dia akan lebih matang melihat hidup itu.

GS : Tapi kalau tidak Pak Paul, apa yang terjadi sebenarnya?

PG : Selain dari siklus pertengkaran saling salah-menyalahkan dengan suami, yang bisa terjadi adalah karena dia merasa gagal, dia bisa merasa putus asa dalam hidupnya seolah-olah masa depan tidk ada lagi, apa yang saya nantikan tentang hidup di masa depan tidak ada.

Mungkin sebelumnya dia selalu tahu apa yang harus dia lakukan dalam hidup ini, namun tiba-tiba sekarang dia merasa tersesat, bingung tidak tahu apa yang harus dia kerjakan. Haruskah saya ke kiri, haruskah saya ke kanan, haruskah saya memulai ini, haruskah saya menghentikan itu, bingung sekali. Karena memang keadaannya ini sangat gelisah dan tidak menentu.
IR : Nah kalau kondisi seperti itu, apa Pak Paul yang harus dilakukan?

PG : Nomor satu adalah kita ini berhenti menyalahkan diri, itu mesti kita lakukan.

GS : Menerima kenyataan dalam keadaan seperti itu.

PG : Betul, sebab kalau kita ingin mencari-cari kesalahan, pasti selalu ada baik pada diri kita maupun pada diri suami kita. Nah, kalau memang jelas ada kesalahan yang telah kita perbuat baik kta sendiri maupun suami kita kenyataannya sudah begitu.

Kalaupun sudah ada kesalahan yang diperbuat ya sudah, karena kita tidak bisa memperbaikinya dengan cara menyesali apa yang telah terjadi, jadi sudah terima inilah kenyataannya tapi sekarang apa yang bisa kita lakukan. Yang kedua lakukanlah yang bisa kita lakukan, janganlah kita berangan-angan lagi kalau saja saya bisa begini, kalau saja dia begini dan sebagainya, tidak bisa. Jadi kalau memang sudah kita lakukan sebisanya kita harus terima apa adanya. Jadi penting sekali seorang wanita paro-baya yang mengalami masa-masa sulit seperti ini bisa berkata ya sudah sekarang saya melakukan yang saya bisa lakukan, tapi hasilnya masih begini, ya sudah saya harus terima ini.
GS : Ya mungkin di sana dia bisa berbagi peran dengan suaminya itu, kalau memang hubungan mereka baik Pak Paul?

PG : Betul, jadi mereka bisa berdiskusi dan saling mendelegasikan tugas apa yang bisa dilakukan. Dan sudah tentu secara pribadi dia juga harus mengutarakan kebutuhannya kepada si suami, namun bkan dengan nada menuntut kau seharusnya peka denganku, kau seharusnya tahu yang aku butuhkan; nah itu semakin membuat suami takut dan tidak mau dekat dengannya.

Tapi dengan baik dia bisa berkata kalau bisa tolonglah berikan ini, aku butuh sekali sebab aku dalam keadaan kurang stabil, nah itu akan menolong suami untuk mengerti dan memberikannya kepada dia. Jadi di sini dituntut kepedulian suami kepada istri.
GS : Nah tantangan yang lain itu adalah fisiknya Pak Paul, biasanya pada usia-usia seperti itu macam-macam penyakit mulai menampakkan dirinya, kencing manislah, tekanan darah tinggi, bermacam-macam.

PG : Betul, jadi pada usia paro baya baik wanita maupun pria mulailah menampakkan penyakit-penyakit dalam tubuhnya. Nah, selain dari penyakit fisik kita tahu bahwa kerawanan kita terhadap penyait akan bertambah kalau secara emosional kita merasa lemah/letih.

Untuk wanita setengah baya yang sudah mengalami gejolak-gejolak ini merasa letih sekali, apalagi dia harus merawat mamanya, merawat papanya, kemudian anak ada masalah, suami kurang perhatian, diri merasa tak berharga karena proses penuaan. Nah, dia merasa letih sekali, lemah sekali, dalam keadaan letih dan lemah daya tahan tubuhnya akan berkurang dan itu akan membuka pintu terhadap masuknya penyakit. Belum lagi kalau perubahan gaya hidup itu terjadi, dulu dia aktif sering jalan tapi sekarang gara-gara ada semua masalah ini dia tidak mau lagi senam, karena bertemu dengan teman-teman di tempat senam, dia menghindarkan diri dari teman-teman yang biasanya pergi dengan dia akhirnya dia itu makin diam di rumah makin menimbun juga penyakit.
GS : Jadi sebenarnya pada masa-masa seperti itu, olah raga sangat dianjurkan juga Pak Paul.

PG : Sangat penting pada usia paro baya itu, wanita sebaiknya terus berolah raga dengan teratur seperti senam atau apa.

GS : Itu 'kan tidak seberat waktu masih usia remaja dan pemuda.

PG : Betul, jadi lompat tinggi itu ya dihindarkan.

IR : Juga melakukan kegiatan yang lain Pak Paul, yang dirasa bisa berguna melayani atau memelihara hobby misalnya, memelihara tanaman, itu Pak Paul yang mungkin akan mengurangi.

PG : Sangat-sangat mengurangi Bu Ida, jadi sebetulnya meskipun ada tantangan, usia paro baya ini memberikan kita juga kesempatan, peluang tadi Bu Ida sudah sebut misalnya peluang untuk memelihaa hobby, misalnya memelihara bunga atau apa atau juga terlibat dalam pelayanan, karena peluang ini sudah ada sekarang.

Jadi ya tekanan ada, tapi justru ada kesempatan, jadi gunakanlah kesempatan itu, isilah hidup kita dengan hal-hal yang memang bernilai, yang bernilai kekekalan.
IR : Jadi merasa ada keseimbangan atau ada kebahagiaan tersendiri Pak Paul.

PG : Betul, dan itu memberikan satu kepuasan Bu Ida?

IR : Satu sisi gagal, satu sisi berhasil.

PG : Betul.

GS : Tapi tadi kita sudah katakan bahwa pada usia-usia seperti itu usianya labil Pak Paul, nah di dalam pelayanan itu sering kali karena kita berhubungan dengan manusia juga sering kali terjadi gesekan, benturan, apakah itu tidak menimbulkan masalah baru buat orang-orang seusia ini.

PG : Saya kira tidak menambah persoalan, karena bagaimanapun interaksi dengan orang di luar rumah akan memberikan percikan-percikan kehidupan. Kalau itu ditiadakan meskipun potensi konflik akanjuga berkurang dengan orang luar, namun persoalan-persoalan di rumah dan dengan dirinya itu cukup berat untuk menekannya.

GS : Jadi dia sangat membutuhkan percikan dan siraman dari luar misalnya dari pelayanan, interaksi dengan teman-teman, supaya dia juga merasa tetap dibutuhkan oleh masyarakat sekarang.

PG : Betul, kita adalah manusia yang mesti merasa diri berguna, sewaktu kita merasa tidak ada lagi fungsi, tidak ada lagi guna, saya tidak lagi berbuat apa-apa, tidak ada lagi dampak terhadap oang lain itu bisa sangat membuat kita putus asa, depresi sekali.

Nah, ini yang perlu mulai dikembangkan oleh wanita paro baya, sebab Tuhan memang sedang menggiring dia pergi dari peranan yang dulu, Tuhan juga menggiring dia masuk ke dalam peranan dan tugas yang lain, ini yang harus kita tangkap.
GS : Masalahnya adalah bagaimana dia mempersiapkan diri untuk memasuki peran yang baru itu Pak Paul?

PG : Nah, saya kira dalam hal pelayanan misalnya, salah satu hal yang adakalanya menghalangi wanita paro baya untuk melayani adalah sewaktu misalkan dia melihat keluarganya. Dan dia berkata, ah... keluarga saya juga masih ada masalah dan belum bisa melayani dengan beres, saya tidak patut melayani di luar. Nah, saya kira yang paling penting adalah kita mengintrospeksi diri, kita telah melakukan semaksimal kita atau belum, dan kalau kita sadari sudah, saya sebagai manusia sudah lakukan sebisanya, ya sudah bereskan dengan Tuhan, serahkan kepada Tuhan. Jadi hidup itu tidak tergantung pada kita sepenuhnya, hidup bergantung pada Tuhan, biarkan Tuhan yang selesaikan dan selebihnya kita terjun dalam pelayanan. Sebab apa? Sebab dari apa yang telah kita alami itu bisa kita bagikan, bisa kita jadikan berkat buat orang lain pula, kita tidak melarikan diri dari tanggung jawab kita, kita tetap mencoba mengurus keluarga kita, tapi juga kita bisa terus terlibat dalam pelayanan.

IR : Masalahnya itu merasa jadi batu sandungan Pak Paul, kalau dia dalam keluarganya sendiri tidak memberikan contoh yang baik, untuk terjun ke luar dalam pelayanan mereka itu mempunyai perasaan apakah ini tidak menjadi batu sandungan itu Pak Paul?

PG : Memang di Timotius, Paulus pernah berujar seperti itu, kalau seseorang tidak bisa mengatur rumah tangganya sendiri, dia tidak bisa mengatur gereja ini, ditujukan kepada sebetulnya gembala,kepada hamba-hamba Tuhan.

Nah, tetap waktu kita menyoroti ayat ini, kita juga harus melihat fakta yaitu adakalanya anak-anak memang memberontak, memilih untuk hidup tidak sesuai dengan yang telah kita gariskan. Kita tidak bisa sepenuhnya mengatur hidup orang lain, hidup istri kita, hidup suami kita ataupun anak-anak kita. Jadi yang paling penting adalah kita telah berupaya sebisa mungkin atau tidak untuk mengatur keluarga kita, kalau memang sudah, tetapi tetap mereka memilih hidup seperti itu ya sudah kita tetap bisa melayani Tuhan. Kadang kala pertanyaan ini memang tumbuh bagaimana dengan istri, misalnya suaminya kebetulan ya ada istri lain, simpanan dan sebagainya. Apakah istri itu tidak boleh melayani Tuhan karena suaminya ada simpanan lain. Saya kira dia itu sudah jatuh ketiban tangga lagi, kasihan, bukan salah dia suami itu memilih untuk beristri lain atau main perempuan lain, maksudnya mungkin pasti ada bagian-bagian, ada tanggung jawab masing-masing tapi itu pilihan si suami. Dan jangan sampai kita ini orang Kristen malah menghukum si istri yang menjadi korban itu, dengan berkata kau tak boleh melayani. Atau dia menghukum diri sendiri dengan berkata saya tak boleh melayani karena suami saya ada orang lain ya jangan.
GS : Nah, kalau yang sekarang banyak wanita karier di masyarakat kita yang sedang memasuki usia paro baya, nah apa yang Pak Paul sarankan untuk wanita karier yang memasuki usia paro baya ini?

PG : Sudah tentu pada usia paro baya seorang wanita karier akan seperti pria yang di masa-masa paro baya pula. Yaitu apa? dia akan mendapatkan banyak kepuasan dari pekerjaannya, karena pada umunya kedudukannya sudah baik.

Dan dia akan mendapatkan penghargaan-penghargaan, ini yang tidak didapatkan oleh ibu yang di rumah, nah jadi ibu yang bekerja di luar sebagai wanita karier mendapatkan keuntungan ini, meskipun di rumah kehilangan-kehilangan seperti tadi kita telah bahas, di tempat pekerjaannya dia akan mendapatkan sedikit banyak kompensasi, nah itu menolongnya.
GS : Apakah pada usia seperti itu dia tidak lagi mengharapkan kariernya meningkat lagi Pak Paul?

PG : Tergantung orangnya, sebab memang ada juga tetap menanjak dan ingin mendapatkan kenaikan karier.

GS : Tapi ada juga yang tidak, yang merasa sudah sampai di situ kariernya. Karena toh beberapa tahun lagi dia akan memasuki usia bebas tugas.

PG : Ya ada juga yang menyiapkan untuk pensiun karena merasa tinggal 5, 6 tahun lagi saya bekerja, habis itu saya akan pensiun, bisa jadi begitu.

(2) IR : Bagaimana dengan wanita setengah baya yang tidak menikah Pak Paul, itu bagaimana sifatnya?

PG : Mungkin yang menjadi permasalahan utama bukanlah soal nikahnya tapi masalah sosialisasinya, sebab tidak bisa kita sangkal bahwa seseorang yang menikah akan mendapatkan pengalaman sosialisai yang intensif.

Kita hidup dalam satu kompleks tidak sama dengan hidup dalam satu rumah, dalam satu kompleks kita akan bersosialisasi dalam jarak jauh, waktu kita hidup serumah kita bersosialisasi dalam jarak dekat. Nah, sudah tentu bentukan-bentukan dari sosialisasi jarak dekat ini tidak akan sama dengan sosialisasi jarak jauh maka itu seseorang yang memang hidup berkeluarga apalagi sampai punya anak dan sebagainya biasanya memperoleh sosialisasi yang intensif sekali. Dia dipaksa untuk memberikan dirinya untuk mengalah, untuk mengesampingkan kehendaknya dan sebagainya, tidak bisa dia mengatur rumah seperti yang dia inginkan, menaruh barang di tempat yang selalu sama, tidak bisa. Jadi orang-orang yang menikah dipaksa untuk beradaptasi seperti itu, kalau kita tidak menikah kita tidak terlalu dipaksa untuk seperti itu, kita bisa menaruh barang sekehendak kita dan tidak ada yang kutak-katik barang itu. Akhirnya apa yang terjadi, kalau memang kita terbiasa dengan pola hidup seperti ini, sudah tentu ada kemungkinan ya tidak selalu, ada kemungkinan kita memang sedikit lebih sukar untuk mengalah, untuk memberikan diri kita, untuk ya membiarkan orang lain mengutak-atik hidup kita.
GS : Apakah karena itu lalu timbul kesan bahwa wanita yang tidak menikah atau tidak berkeluarga, memasuki usia paro baya lalu dikatakan tingkah lakunya makin aneh?

PG : Biasanya aneh dalam pengertian kita berkata mereka kurang fleksibel, mereka kurang bisa melihat dari sudut orang lain, dan mungkin itu yang terjadi, karena situasi kehidupan memang lebih mndukung mereka untuk menjadi seperti itu.

Sedangkan orang yang menikah terpaksa beradaptasi dengan kehendak orang lain.
GS : Kesannya mau sendiri begitu Pak Paul?
IR : Egois.

PG : Ya, bisa jadi.

GS : Padahal sebenarnya belum tentu egois 'kan?

PG : Ya, sebab kita ini dipengaruhi sekali oleh lingkungan hidup atau situasi hidup kita.

GS : Jadi sebenarnya banyak sekali tantangan yang harus dihadapi oleh wanita yang memasuki paro baya ini Pak Paul ya?

PG : Dan kata kuncinya adalah perubahan Pak Gunawan, perubahan yang memang bisa menekannya, tapi sekaligus perubahan yang justru bisa membuat dia seperti bunga yang berkembang, sebab dia bisa mnangkap peluang itu dan mengisi waktunya dengan lebih positif dan produktif.

Karena waktu itu sekarang sudah ada, tanggungan-tanggungan sudah mulai lepas, jadi di sinilah dia benar-benar bisa berkarya, memberikan sumbangsih yang lebih besar terutama untuk Kerajaan Tuhan.
GS : Untuk itu pasti orang ini membutuhkan bimbingan dari firman Tuhan sendiri, dan mungkin Pak Paul akan menyampaikan itu sebagian.

PG : Saya akan bacakan dari Mikha 6:8 "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik, dan apa yang dituntut Tuhan dari padamu. Pertama berlaku adil, kedua mencintai esetiaan, ketiga hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu."

Nah ini saya kira ayat yang cocok bagi wanita paro baya sebab pada masa ini kalau tidak hati-hati wanita paro baya akan mudah menyalahkan diri, menuntut diri, harusnya saya begini, kenapa saya tidak begitu, harusnya saya lebih begitu, tidak. Ingat yang Tuhan minta berlaku adil, mencintai kesetiaan, hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu. Jadi Tuhan meminta sebetulnya yang sangat-sangat sederhana, Tuhan tidak meminta yang muluk-muluk, yang penting kita lakukan yang Tuhan minta ini, sebetulnya sangat sederhana dan itu yang menyenangkan hati Tuhan.
IR : Maksudnya mencintai kesetiaan itu tidak mudah putus asa Pak Paul?

PG : Betul, jadi terus bertahan, membela yang memang kita percayai terus jalan.

GS : Ketekunan itu yang mungkin perlu ditekankan di dalam kondisi seperti ini, tapi kita percaya bahwa pasti Tuhan akan menolong ibu-ibu yang saat ini memasuki usia paro baya akan keluar sebagai pemenang Pak Paul.

PG : Ya itu harapan kita Pak Gunawan.

GS : Ya dan pasti akan menjadi lebih bijaksana lagi pengalaman kehidupannya ini.

PG : Betul

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah melakukan sebuah perbincangan tentang Tantangan Yang Dihadapi oleh Wanita Paro-Baya. Kami melakukan perbincangan ini bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 44 B

  1. Bagaimana sikap seorang istri paro baya menghadapi anak yang nakal...?
  2. Wanita paro baya yang tidak menikah bagaimana sifatnya..?


8. Hidup Sendiri Lagi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T058A (File MP3 T058A)


Abstrak:

Hidup sendiri terjadi karena ada hal yang melatarbelakanginya. Dan di dalam materi ini kita diajarkan bagaimana mempersiapkan diri dalam menghadapi hidup sendiri yang bagi sebagaian orang hal itu sangat tidak mudah.


Ringkasan:

Faktor-faktor yang paling umum menjadi penyebab orang hidup sendiri lagi:

  1. Yang pertama adalah kematian, jadi kematian pasangan kita memaksa kita untuk hidup sendiri lagi.

  2. Yang kedua adalah berpisah untuk sementara, jadi ada orang yang terpaksa hidup sendiri karena keadaan misalkan suaminya atau istrinya harus bekerja di kota yang lain.

  3. Yang berikutnya lagi juga umum adalah perceraian, suatu keadaan yang memang tidak dikehendaki oleh banyak orang tapi kadangkala itu yang menimpa pasangan-pasangan yang tidak rukun lagi.

Semua faktor di atas memang tidak bisa dielakkan, karena itu suatu realita hidup. Tapi sebenarnya kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal itu.

  1. Yang pertama adalah kita tidak bisa mempersiapkan diri sampai siap untuk menghadapinya. Dengan kata lain sesiap-siapnya kita waktu kita menghadapinya kita merasa kurang siap.

  2. Yang kedua, meskipun kita akan saling bergantung dengan pasangan hidup kita, tapi belajarlah juga untuk menjadi seseorang yang dewasa. Pada umumnya memang kita terpaksa akan membagi hidup kita dengan pasangan kita, sehingga sewaktu dia tidak lagi bersama dengan kita, kita akan mengalami goncangan atau ketidakseimbangan.

Beberapa hal yang akan dirasakan oleh orang yang terpaksa hidup sendiri lagi:

  1. Akan ada penyesalan, ini terutama dialami oleh seseorang yang kehilangan pasangan hidupnya karena kematian.
  2. Seringkali kita ini gagal untuk meletakkan tanggung jawab pada kedua belah pihak. Misalkan dalam masalah perceraian kita gagal untuk melihat bahwa dua-dua orang bermasalah atau dua-dua kurang bisa mengendalikan emosi.

Ada satu lagi yang juga sering dikaitkan dengan rasa penyesalan, yaitu kita merasa bersalah sebab kita pernah atau mungkin secara periodik berpikir dan berharap bahwa dia itu akan mati. Contoh ini sering terjadi pada orang yang harus merawat pasangan hidupnya yang sakit menahun. Dalam keletihan yang amat sangat dan tuntutan yang begitu berat yang dibebankan oleh pasangan yang sakit itu, akan terbersit suatu pikiran: "kapan sih penderitaan saya berakhir, kenapa dia tidak pergi cepat-cepat, kenapa dia tidak meninggal dengan segera." Ini perlu kita sadari dan maklumi bahwa dalam keadaan capek dan letih memikul beban yang berat, kita ingin lepas dari beban itu, bukannya kita menginginkan dia sungguh-sungguh meninggal dunia. Tapi saya mau mengatakan itu pikiran yang alamiah yang tidak menjadikan seseorang itu jahat atau buruk, jadi anggaplah ini suatu bagian kehidupannya, dalam keadaan yang sakit kita kadang-kadang berpikiran seperti itu.

Ada juga yang menyesal karena merasa salah pilih pasangan, dia merasa wah sebenarnya saya ini tidak boleh menikah dengannya. Misalnya dengan seorang salesman yang memang pekerjaannya keliling terus, atau mengatakan ini salah kawin sama pendeta, pendeta 'kan juga sering sibuk ke luar rumah. Saya kira adakalanya itu dirasakan oleh pasangan yang terus-menerus ditinggalkan, akan ada penyesalan meskipun dia sudah mengerti inilah tuntutan pekerjaan pasangannya. Hilangnya penyesalan itu bergantung kepada apakah hidupnya setelah perpisahan tersebut menjadi lebih baik atau tidak. Kalau hidupnya tidak lebih baik dia akan makin dirundung oleh penyesalan atau rasa bersalah. Tapi kalau banyak yang positif dialaminya dia akan mudah untuk mengatasi penyesalannya itu.

Yosua 1:5 , "Seperti aku menyertai Musa demikianlah Aku akan menyertai engkau, Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau." Musa sangat berpengaruh pada kehidupan Yosua, kehilangan Musa adalah kehilangan yang sangat besar bagi Yosua. Tapi Tuhan mengingatkan, jangan bergantung pada Musa, pada-Kulah engkau harus bergantung. Itulah yang dapat kita lakukan, bergantung pada Tuhan yang tidak akan meninggalkan kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang hidup sendiri lagi. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sementara kita masih belum menikah orang mengatakan bujangan artinya sendiri saja bisa hidup bebas. Tapi kemudian kita menikah hidup dengan pasangan kita dan bahkan juga punya anak-anak, tetapi realitanya setelah itu memang ada kehidupan harus seorang diri lagi. Faktor-faktor apa Pak Paul biasanya orang itu hidup sendiri lagi?

PG : Yang paling umum ialah kematian Pak Gunawan, jadi kematian pasangan kita itu tidak bisa tidak memaksa kita untuk hidup sendiri lagi. Yang kedua adalah berpisah untuk sementara, jadi ada orng yang terpaksa hidup sendiri karena keadaan misalkan suaminya atau istrinya harus bekerja di kota yang lain.

Yang berikutnya lagi juga umum adalah perceraian, suatu keadaan yang memang tidak dikehendaki oleh banyak orang tapi kadang kala itu yang menimpa pasangan-pasangan yang tidak rukun lagi. Nah ketiga penyebab umum inilah yang saya kira biasa membuat orang-orang itu hidup sendiri lagi.
(2) GS : Kematian memang tidak bisa dielakkan Pak Paul, juga faktor-faktor yang Pak Paul sebutkan memang kadang-kadang sulit sekali untuk mengelakkannya, karena itu suatu realita. Tapi bagaimana sebenarnya kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal itu?

PG : Yang pertama adalah saya harus mengatakan kita tidak bisa mempersiapkan diri sampai siap untuk menghadapinya, dengan kata lain sesiap-siapnya kita waktu kita menghadapinya kita merasa kurag siap.

Jadi misalkan yang pertama tadi faktor meninggalnya pasangan kita, tapi sewaktu dia akan meninggalkan kita, kita merasa belum siap, kita merasa belum waktunya dia meninggalkan kita. Jadi saya rasa persiapan yang bisa kita lakukan adalah dari awalnya kita memang harus senantiasa menyadari kita ini hanya dapat bergantung sepenuhnya pada Tuhan, nikmatilah yang Tuhan telah berikan pada kita, termasuk pasangan hidup kita. Sebab akan ada masa di mana dia tidak akan bersama kita lagi. Yang kedua mungkin dapat saya sarankan adalah meskipun kita akan saling bergantung dengan pasangan hidup kita, tapi belajarlah juga untuk menjadi seseorang yang dewasa. Nah, pada umumnya kita ini terpaksa memang akan membagi hidup kita dengan pasangan kita, sehingga sewaktu dia tidak lagi bersama dengan kita, kita akan mengalami goncangan atau ketidakseimbangan. Tapi dalam masa saling bergantung itupun kita tetap berusaha untuk menjadi orang yang mandiri seperti itu.
IR : Faktor siap atau tidak siapnya itu apakah tidak tergantung dari hubungan antara suami-istri. Misalnya kalau selama pasangan hidup itu bersama, mungkin salah satunya itu sudah belajar mandiri, apakah itu tidak menyebabkan mereka siap kalau ditinggal salah satu pasangannya?

PG : Kualitas hubungan suami-istri sudah tentu sangat berperan pada apakah mereka siap untuk ditinggalkan ya, otomatis kita bisa berkata bahwa orang yang mengalami kesulitan, penderitaan dalam ubungan nikahnya mungkin sekali akan siap untuk berpisah.

Dalam pengertian dia siap untuk lepas dari problemnya namun belum tentu dia siap untuk menyelesaikan problem hidupnya. Itu dua hal berbeda, jadi adakalanya ada orang yang berpikir ah....setelah saya berpisah dengan pasangan saya, saya lepas dari penderitaan, dia tidak lagi dengan saya, tidak bisa lagi menyakiti saya. Nah itu sering kali menjadi atau dianggap sebagai jalan keluar atau penyelesaian, sebetulnya ya bukan, itu hanyalah jalan untuk melepaskan diri dari ancaman atau penderitaan yang sedang menekannya. Jalan untuk mencari solusi terhadap problemnya itu adalah hal yang berbeda dan belum tentu dia miliki pada saat itu.
(3) GS : Orang yang terpaksa dalam hal ini hidup sendiri lagi Pak Paul, sebenarnya apa yang dirasakan di dalam dirinya?

PG : Yang pertama, pak Gunawan, biasanya akan ada rasa penyesalan, ini terutama dialami oleh seseorang yang kehilangan pasangan hidupnya karena kematian. Sering kali muncul penyesalan dan rasa ersalah, nah pertanyaannya kenapa bisa muncul penyesalan dan rasa bersalah setelah kematian pasangan hidupnya.

Sering kali ada rasa begini, bahwa saya sudah cukup mengetahui apa yang akan terjadi namun saya tidak cukup berbuat untuk mencegahnya. Misalnya kematian karena sakit, akan muncul rasa penyesalan dan rasa bersalah; kenapa saya tidak membawa dia ke dokter A, kenapa saya membawa dia ke pengobatan alternatif yang lainnya dan sebagainya. Atau saya seharusnya sudah mendeteksi bahwa dia kurang sehat, kenapa saya membiarkan dia tetap pergi, kenapa saya membiarkan dia tetap melakukan yang dia harus lakukan saat itu. Nah ini terutama dialami oleh orang yang mengalami kehilangan dengan mendadak misalnya serangan jantung atau kecelakaan. Nah pada pasangan yang ditinggalkan itulah muncul rasa penyesalan atau rasa bersalah, misalnya hal-hal yang sangat irrasional, Pak Gunawan. Saya sudah melihat wajahnya, sepertinya kurang begitu tenang sewaktu dia hendak pergi, kenapa saya tidak mencegah dia mengendarai mobil. Nah bukankah itu sebenarnya sudah merupakan pertanda dia kurang begitu sehat, dia merasa tidak enak kenapa saya tidak dengan lebih keras mencegahnya. Nah sering kali kita beranggapan bahwa kita seharusnya sudah mengetahui bahwa pasangan kita akan mati, nah ini tidak rasional. Siapa yang tahu bahwa pasangan kita akan meninggal dunia, namun sering kali dialami oleh pasangan yang ditinggalkan itu, seolah-olah tidak cukup berbuat untuk mencegah peristiwa tersebut sampai-sampai peristiwa itu menimpa pasangannya.
GS : Kalau kita telusuri lebih dalam kenapa bisa timbul perasaan penyesalan seperti itu Pak Paul?

PG : Sebab kita ini sering kali dihantui oleh rasa tanggung jawab, jadi kita merasa bahwa kita turut bertanggungjawab atas peristiwa itu, atas kematian itu. Dan kalau saja kita bertindak sediki lebih maka kita berhasil mencegah malapetaka atau peristiwa itu agar tidak menimpanya.

Jadi rasa bertanggungjawab itulah yang membuat kita bersalah dan membebankan diri kita dengan penyesalan.
(4) GS : Apakah itu juga dirasakan oleh mereka yang bercerai?

PG : Bagus sekali pertanyaan itu Pak Gunawan, sebab menarik sekali, cukup banyak pasangan yang bercerai juga mengalami perasaan seperti ini. Meskipun pada saat bercerainya mereka dalam keadaan anas, dalam keadaan emosi tinggi dan sangat yakin ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka berdua.

Namun tidak jarang setelah melewati masa sendirian seseorang itu akan mulai melihat ke belakang dan berkata, ya seharusnya saya lebih mengerti dia, seharusnya saya lebih berbuat ini untuk dia, ya seharusnya saya mengalah dan seharusnya saya mencegah dia untuk berbuat seperti itu, bahkan termasuk dalam kasus perselingkuhan yang memang jelas mengandung unsur pilihan bebas dari si pelaku itu untuk berselingkuh. Tidak jarang pasangannya akan berkata kenapa saya ini membiarkan dia sampai jatuh ke perselingkuhan, kenapa saya tidak mendeteksi bahwa dia itu mulai tawar dengan saya, kenapa saya tidak bisa membahagiakan dia, kalau saja saya bisa membahagiakan dia, nah tidak akan terjadi perselingkuhan itu dan tidak terjadi perceraian itu. Kalau saya bisa menguasai emosi saya sehingga tidak terlalu membakar dia 'kan tidak terjadi perceraian ini. Jadi sekali lagi sering kali kita ini menghujamkan diri kita dengan rasa penyesalan dan rasa bersalah.
IR : Tapi sebaliknya Pak Paul, kalau seandainya pasangan ini selama hidupnya membuat salah satu itu menderita karena kejahatan akan pasangannya, apa mereka lebih merelakan kalau dia meninggal?

PG : Sudah tentu unsur merelakannya lebih besar Ibu Ida, jadi lepas dari penderitaan bagaimanapun melegakan, tapi saya harus akui bahwa adakalanya bahkan dalam hubungan yang begitu rusaknya sesorang tetap akan merasakan penyesalan atau rasa bersalah.

Tetap akan berkata mungkin saya kurang berbuat ini dan itu sehingga mengakibatkan dia menjadi pemarah, sehingga membuat dia lepas kendali memukul saya atau apa. Sering kali kita ini menghujamkan diri kita dengan rasa bersalah seperti itu.
IR : Juga Pak Paul misalnya kalau yang meninggal ini karena penderitaan sakit yang terlalu lama, apa pasangannya tidak merelakan?

PG : Kebanyakan kalau memang penyakitnya berat dan membuat si penderita itu sangat-sangat sengsara akan ada rasionalisasi di pihak yang ditinggalkan. Ya, ya lebih baik dia pergi supaya penderitannya berakhir, nah rasa lega itu memang akan ada.

Jadi sering kali kematian mendadak lebih mudah buat yang meninggal duni tetapi lebih menyusahkan buat yang ditinggalkan. Kematian yang diawali oleh sakit yang menahun menyusahkan si penderitanya karena sakitnya menahun tapi sebetulnya memudahkan yang ditinggalkan. Karena dia sudah mempersiapkan diri dan bisa merasionalisasi ya lebih baik dia pergi karena di sinilah akhir penderitaannya. Namun Ibu Ida mungkin bisa terkejut kadang kala rasa bersalah itu ada, yaitu mungkin ada perasaan seperti ini kenapa saya ini waktu dia menderita kurang menemaninya, kenapa saya bisa marah waktu dia meminta saya di rumah terus 'kan seharusnya saya lebih sabar, bukankah saya seharusnya lebih mengerti dia yang sedang menderita. Jadi tetap kita ini berhasil memunculkan penyesalan dan rasa bersalah itu.
GS : Selain perasaan menyesal itu tadi, apa ada perasaan lain yang berkecamuk dalam diri orang yang ditinggalkan itu?

PG : Sering kali kita ini gagal untuk meletakkan tanggung jawab pada kedua belah pihak, jadi berkaitan dengan tadi yang telah kita bahas tapi ini sedikit berbeda. Misalkan dalam masalah perceraan kita gagal untuk melihat bahwa kedua orang itu bermasalah misalnya, kedua orang itu kurang bisa mengendalikan emosi, tapi yang sering kali terjadi adalah waktu kita menyesali diri kita seolah-olah menjadi pihak yang bertanggung jawab, pasangan kita seolah-olah tidak lagi bertanggung jawab.

Jadi semua kesalahan ada pada pundak kita, jadi seharusnyalah kita yang sudah tahu persoalannya ini dan bisa mencegahnya bisa membuat dia bahagia, bisa membuat dia tidak melakukan misalnya perselingkuhan atau yang lain-lainnya. Jadi kecenderungannya itu kita berpikir ekstrim, semua menjadi tanggung jawab kita, nah ini berbahaya. Karena kalau terus-menerus akan menghantui kita dan sangat terganggu, jadi akhirnya kita tidak bisa memaafkan diri kita. Sebab kita tidak bisa meletakkan persoalan dalam perspektif yang tepat dan berimbang.
GS : Bahkan ada orang yang marah dengan dirinya sendiri Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi ada orang yang akhirnya bukan saja tidak memaafkan diri, malah membenci dirinya itu sering kali terjadi.

GS : Tapi apakah dia juga bisa marah terhadap lingkungannya Pak Paul, selain terhadap dirinya sendiri itu?

PG : Bisa, kalau misalkan dia ini melihat bahwa pasangannya selama masa hidup kurang mendapatkan penghargaan di tempat kerjanya, dari sanak keluarganya. Nah kematian atau kepergian pasangannya tu, memunculkan rasa marah yang besar pada orang-orang yang tidak memperlakukan pasangannya dengan baik, itu bisa terjadi.

Nah ada satu lagi Pak Gunawan yang juga sering kita kaitkan dengan rasa penyesalan yaitu kita ini merasa bersalah sebab kita atau mungkin secara periodik berpikir dan berharap bahwa dia itu akan mati. Contoh ini sering terjadi pada orang yang harus merawat pasangan hidupnya yang sakit menahun, dalam keletihan yang amat sangat dan tuntutan yang begitu berat yang dibebankan oleh pasangannya yang sakit itu akan terbersit ya suatu pikiran. Ya kapan penderitaan saya berakhir, kenapa dia tidak pergi cepat-cepat, kenapa dia tidak meninggal dengan segera. Nah ini perlu kita sadari bahwa dalam keadaan capek, letih memikul beban yang berat, kita ini ingin lepas dari beban itu, bukannya kita menginginkan dia sungguh-sungguh meninggal dunia. Yang kita inginkan kita lepas dari beban itu, tapi adakalanya orang tidak bisa mengerti dan malahan merasa bersalah. Nah sekarang dia benar-benar mati, salah sayalah yang dulu mendoakan supaya dia mati, sayalah yang benar-benar mengharapkan dia pergi. Jadi rasa bersalahnya karena kenapa saya benar-benar jahat, orang sakit bukannya saya berbelaskasihan malahan saya mengharapkan dia pergi buru-buru, nah kadang kala susah sekali kita memaafkan diri kita.
GS : Nah hal-hal seperti itu yang tahu 'kan diri kita memikirkan atau mengharapkan mati dan sebagainya, nah pada saat dia menyesal seperti itu, sebenarnya apa yang harus dilakukan?

PG : Dia harus memisahkan antara menginginkan kematian yang sungguh-sungguh dan menginginkan kelegaan. Sebab yang terjadi adalah dia sekadar menginginkan, terlalu capek, jadi dalam kecapekannyaitulah dia menginginkan kelegaan, bukannya sungguh-sungguh menginginkan kematian pasangannya.

Tapi misalkan pasangannya ini memang jahat, suka memukuli dia dan sebagainya dan akhirnya meninggal dunia, sedikit banyak akan ada rasa lega dan mungkin juga ada sedikit rasa syukur dia tidak ada lagi, tidak bisa lagi memukuli dia. Nah kadang kala orang yang ditinggalkan ini juga merasa bersalah, gara-gara saya mengharap-harapkan dia itu meninggal dunia, sekarang dia benar-benar meninggal dunia. Dia harus bisa berkata bahwa dalam keadaan sakit, tertusuk, terpukul dan sebagainya, orang secara alamiah benar-benar marah dan dalam kemarahan itu adakalanya muncul pikiran-pikiran seperti itu. Biarkan engkau buru-buru pergi meninggalkan saya, meninggal dunia supaya engkau tidak lagi bisa menyengsarakan saya, nah pikiran seperti itupun manusiawi. Jadi dalam keadaan yang sangat-sangat menderita karena disakiti oleh seseorang terus-menerus, kita mungkin saja yang berpikiran seperti itu. Jadi jangan menganggap diri itu jahat dan akhirnya tidak mau memaafkan diri. Nah Pak Gunawan dan Ibu Ida, sering kali tadi Pak Gunawan sudah singgung ini dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang kehilangan pasangan hidupnya. Tapi sudah tentu tidak dibicarakan, karena dia sendiri merasa malu membicarakannya, merasa kok saya begitu jeleknya sebagai seorang suami atau istri berpikiran seperti itu. Tapi saya mau mengatakan itu pikiran yang alamiah yang tidak menjadikan seseorang itu jahat atau buruk, jadi anggaplah ini suatu bagian kehidupannya, dalam keadaan yang sakit kita kadang-kadang berpikiran seperti itu.
IR : Pak Paul, kalau seseorang itu imannya kuat, apakah juga mempunyai penyesalan-penyesalan seperti itu, tentunya semua itu Tuhan yang menghendaki. Apakah itu juga mempunyai perasaan-perasaan penyesalan, Pak Paul?

PG : Secara teoritis seyogyanya tidak Bu Ida, karena kita percaya bahwa seseorang pulang ke rumah Bapa, karena itulah waktu yang Bapa tetapkan, nah itu yang teoritis. Tapi saya juga harus mengaui adakalanya kita itu tetap dirundung oleh rasa bersalah karena memang kita hidup di tengah dunia yang tidak sempurna dan kita tidak selalu bersikap atau bertindak sempurna.

Nah dalam menghadapi kehilangan pasangan yang sering kali kita soroti dan perbesar justru adalah aspek ketidaksempurnaan itu. Kenapa saya begitu, kenapa saya bersikap seperti itu, seharusnya saya lebih apa Tapi yang ingin saya katakan adalah terimalah diri kita, terimalah diri bahwa kita orang tidak sempurna. Dan dalam ketidaksempurnaan, itu yang akan kita katakan atau yang kita perbuat dan percayalah, akuilah bahwa seseorang hanya bisa pulang ke rumah Bapa kalau Tuhan menghendakinya. Jadi jangan sampai berpikiran hidup di tangan saya, sayalah yang seharusnya mencegah o.....tidak, kalau sampai dia dipanggil Tuhan itu karena Tuhan menghendaki saat itu, dia pulang.
GS : Pak Paul, kita katakan penyebab hidup sendiri itu juga bisa karena pekerjaan atau studi yang sifatnya sementara, nah dalam hal ini penyesalan itu seberapa besar, Pak Paul?

PG : Kalau ada tujuan tertentu di mana seseorang itu berpisah, penyesalan itu akan sangat minim, tapi kadang-kadang ada. Nah misalkan begini, mungkin kita pernah merasakannya juga, waktu kita brpisah dengan pasangan hidup kita untuk waktu sementara, kadang-kadang kita lebih melihat pasangan kita itu dengan mata yang jauh lebih positif, kita rasa dia begitu baik, dia begitu bermakna bagi kita.

Dan dalam kesendirian itu kita mulai merasakan adanya rasa bersalah, ya...ya...., kok saya itu kok tidak begitu sabar pada dia, dia sebetulnya orang yang baik. Nah jadi di sini rasa penyesalan atau rasa bersalah muncul bukan karena hal-hal yang tadi saya sebut, tapi lebih karena kita dalam kesendirian makin melihat dengan perspektif yang tepat, siapakah pasangan hidup kita itu. Bahwa dia adalah orang yang jauh lebih baik dari yang kita lihat sebelumnya, karena terlalu dekat sama-sama terus-menerus kita melihat dia kok rasanya dengan negatif. Sekarang kita lihat dia dengan positif akibatnya kita melihat diri kita kenapa saya begitu, kenapa saya tidak sabar, kenapa saya malah mengacuhkan dia, jadi akhirnya muncul rasa penyesalan seperti itu. Kecuali dalam soal-soal pekerjaan misalnya kita memang merasa ada andil, gara-gara kita kurang bijaksana memakai uang sehingga kita sekarang bangkrut dan sebagai akibatnya dia harus pergi, dia harus bekerja di tempat yang jauh. Nah dalam kondisi itulah penyesalan atau rasa bersalah bisa muncul.
GS : Tapi ada juga yang menyesal karena merasa salah pilih pasangan Pak Paul, dia merasa wah sebenarnya saya ini tidak boleh menikah dengan misalnya saja seorang salesman yang memang tahu pekerjaannya keluyuran terus atau mengatakan ini salah kawin sama pendeta, pendeta 'kan juga sering keluyuran. Apakah itu bentuk penyesalan tertentu?

PG : Ya itu saya kira adakalanya dirasakan oleh pasangan yang terus-menerus ditinggalkan, jadi akan ada penyesalan meskipun dia sudah mengerti inilah tuntutan pekerjaan pasangannya. Tapi waktu ia harus benar-benar mencicipi hidup sendiri sedangkan secara status dia sudah menikah memang akan membuat dia merana.

Jadi penyesalan yang muncul karena hidupnya dibuat susah oleh absennya pasangan hidupnya itu.
GS : Tapi untuk pekerjaan itu apakah memungkinkan untuk dikompromikan atau dibicarakan, lebih dulu, Pak Paul?

PG : Ya kalau memang sudah diketahui seharusnya dibicarakan lebih dulu bahwa inilah tuntutan kita, tapi ya hidup tidak selalu lurus kadang kala hidup itu berbelok-belok dan waktu berbelok kita emang tidak siap untuk mengetahui inilah yang akan terjadi bahwa pasangan saya tiba-tiba harus alih profesi menjadi salesman dan harus sering pergi begitu.

IR Kira-kira hilangnya penyesalan itu sampai berapa lama?

PG : Bergantung kepada apakah hidupnya setelah perpisahan tersebut menjadi lebih baik atau tidak, kalau hidupnya tidak lebih baik dia akan makin dirundung oleh penyesalan atau rasa bersalah. Tai kalau banyak yang positif dialaminya dia akan mudah untuk mengatasi penyesalannya itu.

GS : Sebagai bekal dari firman Tuhan Pak Paul, untuk membekali kita supaya kita itu lebih mempersiapkan diri, karena kemungkinan untuk hidup sendiri itu akan makin lebih besar saja Pak Paul, nah itu apa yang dikatakan oleh Alkitab.

PG : Saya akan bacakan Yosua 1:5 , "seperti aku menyertai Musa demikianlah Aku akan menyertai engkau, Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau."Musa sangat berpengaruh pada kehidupan Yosua, kehilangan Musa adalah kehilangan yang sangat besar bagi Yosua, tapi Tuhan mengingatkan jangan bergantung pada Musa, pada-Kulah engkau harus bergantung.

Itulah yang dapat kita lakukan Pak Gunawan, bergantung pada Tuhan yang tidak akan meninggalkan kita.
GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang hidup sendiri lagi. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 58 A

  1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang itu hidup sendiri...?
  2. Bagaimana kita mempersiapkan diri dalam menghadapi hidup sendiri..?
  3. Apa sebenarnya yang dirasakan oleh orang yang terpaksa hidup sendiri...?
  4. Dan apakah mereka yang bercerai juga merasakannya...?


9. Tetap Bermakna dalam Kesendirian


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T058B (File MP3 T058B)


Abstrak:

Hidup dalam kesendirian memang tidak mudah, tetapi tiada sesuatupun yang terjadi tanpa sepengetahuan Allah. Ada hal-hal yang dapat kita lakukan di dalam kesendirian kita untuk tetap bermakna, jangan berpikir selama-lamanya tunas itu tidak akan pernah muncul yang baru, bersama dengan Tuhan kita dapat memunculkan tunas yang baru.


Ringkasan:

Sebagai manusia, kita cenderung mempersiapkan diri untuk hidup berdua, tapi kita kurang mempersiapkan diri untuk hidup sendiri.

Selain rasa bersalah, rasa marah ternyata juga sering muncul pada diri yang ditinggalkan. Ada beberapa sumber kemarahannya:

  1. Yang pertama adalah kalau hubungan mereka lumayan baik suami-istri itu, kemudian seseorang meninggal dunia ada kemungkinan yang ditinggalkan merasa marah karena dia berpikir mengapa engkau tega meninggalkan aku sendirian. Kemudian yang terjadi adalah menyesal atau merasa bersalah, itu berarti kita menimpakan semua tanggung jawab pada diri kita, seakan-akan kitalah yang mampu untuk mencegah peristiwa tersebut supaya nggak menimpanya.

  2. Merasa marah karena kita mempersalahkan dia sebagai penyebab penderitaan kita. Ini sedikit berbeda dari yang pertama.

  3. Yang lainnya lagi, kemarahan itu seringkali muncul pada diri orang yang sewaktu masih bersama pasangannya telah menjadi korban, menjadi sasaran, amuk amarah si pasangannya sekarang sudah meninggalkannya. Kalau tidak berhati-hati, dia bisa bersikap pahit dan bersikap sangat apatis dalam hidup ini. Bisa merasa tidak ada lagi tujuan hidup justru kehilangan makna.

Beberapa saran yang dapat saya berikan adalah sebagai berikut:

  1. Pertama, sebagai orang yang sendiri lagi kita harus mengubah sikap mental, kita harus mengerti bahwa kita tetap manusia yang utuh bahkan tanpa kehadiran pasangan kita sekalipun.

  2. Kita harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan emosional. Yang kita harus lakukan adalah mencoba mengisinya dengan cara yang lain, misalnya kita bisa giatkan diri kita dalam persekutuan dengan Tuhan, di gereja dengan anak-anak lain kita terlibat dalam pelayanan. Jangan biarkan diri kita terbenam di rumah.

Pemulihan terhadap diri orang itu, sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Kalau lingkungannya menerima dia apa adanya dia bisa lebih cepat pulih. Kita harus selalu ingat, orang yang baru sendirian seringkali lebih peka. Kita justru harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik mereka kembali ke dalam persekutuan kita. Kalau kita diamkan kecenderungannya adalah mereka bisa hilang.

Dalam bagian firman Tuhan di Yosua 1 ada nasihat Tuhan kepada Yosua; "Hanya kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati, sesuai dengan seluruh hukum yang diperintahkan kepadamu oleh hambaku Musa, janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri supaya engkau beruntung kemanapun engkau pergi". Dan pada akhir nasihatnya Tuhan berkata : "Janganlah kecut dan tawar hati sebab Tuhan Allahmu menyertai engkau ke mana pun engkau pergi."

Nasihat Tuhan sangat jelas, Tuhan akan menyertai kita waktu kita harus sendiri lagi sebagaimana Tuhan menyertai Yosua setelah Musa meninggalkannya. Tapi Tuhan minta satu syarat, hidup hati-hati jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri, artinya jangan kita berbuat dosa, taati Tuhan dan Tuhan akan meluruskan jalan kita yang di depan, jangan sampai gara-gara kita sendiri kita melewati batas. Meskipun tekanan hidup lebih besar, tetaplah hati-hati jangan berdosa.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Tetap Bermakna dalam Kesendirian". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan dan Ibu Ida, kita ini cenderung mempersiapkan diri untuk berdua, itu yang dilakukan oleh para pemuda-pemudi dan memang itu adalah hal yang baik. Tapi kita kurang mempersiapkan iri untuk hidup sendiri, nah ada perbedaan yang besar antara dari dulu hidup sendiri alias lajang dan kita pernah hidup berdua dengan pasangan kita suami atau istri namun karena satu hal atau yang lainnya kita harus hidup sendiri lagi.

Nah yang hidup sendiri dari mula lajang itu tentu harus mempersiapkan hidupnya, tapi adakalanya orang yang dulu hidup berdua terpaksa hidup sendiri, adakalanya tidak siap untuk menghadapi status yang berbeda itu. Nah ternyata dalam kesendirian orang itu mengalami problem-problem yang berkecamuk dalam hidupnya. Pada siaran yang lampau kita telah membahas bahwa adakalanya orang merasakan penyesalan yang dalam atau merasa bersalah dengan kepergian pasangan hidupnya itu. Seolah-olah dia bertanggung jawab atas kematian atau malapetaka yang menimpa pasangannya. Tapi selain dari rasa bersalah yang juga akan kita fokuskan saat ini ialah rasa marah, rasa marah itu ternyata juga sering muncul pada diri yang ditinggalkan. Ada beberapa sumber kemarahannya, yang pertama adalah kalau hubungan suami-istri itu lumayan baik, kemudian seseorang meninggal dunia ada kemungkinan yang ditinggalkan merasa marah karena dia berpikir kenapa engkau tega meninggalkan aku sendirian. Nah di sini yang terjadi adalah sisi yang ekstrim dari yang pertama, kalau menyesal atau merasa bersalah itu berarti kita menimpakan semua tanggung jawab pada diri kita, seakan-akan kitalah yang mampu untuk mencegah peristiwa tersebut supaya tidak menimpanya. Di sini kita melakukan ekstrim yang satunya yaitu kita beranggapan bahwa pasangan kita itu seharusnya sudah tahu dan seharusnya bisa mencegah malapetaka itu menimpanya. Dengan kata lain, seharusnya engkau tidak mati dulu karena engkau mampu untuk mencegah kematian itu, nah ini terjadi misalkan pada pasangan hidup yang meninggal karena kematian mendadak, tidak diduga-duga. Kenapa engkau masih pergi juga, engkau tahu kamu sedang sakit, kenapa engkau masih makan sembarangan, engkau tahu 'kan engkau sakit. Nah semua itu akan dilihat sebagai engkau memang sengaja ingin meninggalkan aku, nah sudah tentu kita sekarang dalam bincang-bincang ini bisa berkata yaitu pikiran irrasional. Tepat sekali sangat irrasional dan sama irrasionalnya dengan seolah-olah semua tanggung jawab kita. Nah di sini kita bisa melihat dalam menghadapi kehilangan karena kematian terutama kita memang cenderung bersifat atau bersikap irrasional, dari satu kubu ke kubu yang lainnya.
GS : Apakah itu sebenarnya bisa dihindari, Pak Paul?

PG : Dihindari dengan cara kita benar-benar mengakui bahwa hidup ini di tangan Tuhan, jadi seseorang ini mesti berpegang teguh pada pengertian yang tepat tentang Tuhan. Tuhanlah yang berdaulat tas kehidupan manusia meskipun seolah-olah kita beranggapan peristiwa malapetaka itu dapat dihindarkan, namun sesungguhnya dalam rencana Tuhan memang itu harus terjadi.

GS : Jadi gejolak itu sifatnya sementara saja Pak Paul, tidak menetap dalam diri orang itu?

PG : Gejolak dalam pengertian penyesalan, kemarahan itu biasanya ya, biasanya hanya berlangsung beberapa bulan setahun, dua tahun setelah peristiwa itu terjadi. Tapi seperti saya singgung pada iaran yang lampau kalau hidup kita tidak membaik malahan menjadi lebih buruk, nah rasa penyesalan atau rasa marah terhadap pasangannya juga susah surut meskipun hubungan kita lumayan baik.

Sebab kita akan merasakan kenapa engkau tega meninggalkan, karena engkau tidak senang hati makanya engkau akhirnya mengalami peristiwa ini.
GS : Selain penyesalan dan kemarahan itu tadi Pak Paul, apakah ada perasaan yang lain?

PG : Yang lain adalah kita merasa marah karena kita mempersalahkan dia sebagai penyebab penderitaan kita. Nah ini sedikit berbeda dari yang pertama, kalau yang pertama kita ini menyesali dan measa marah karena kenapa dia tega, dia tidak melihat diriku, tidak memikirkanku, tega-teganya meninggalkanku sendirian, seolah-olah nasib di tangan pasangannya.

Yang berikutnya adalah kita ini terus terang akhirnya mengalami banyak kesusahan, nah ini bisa dialami baik yang kehilangan pasangan karena kematian atau karena perceraian. Nah yang biasa terjadi adalah kesusahanlah yang memancing rasa marah itu, penderitaan karena perpisahan tersebut yang membuat kita merasa susah hidup, nah sekali lagi bisa kematian, bisa juga karena perceraian. Kalau perceraian, anak-anak kita makin besar, makin melawan, memprotes kita, kita makin kesulitan mengendalikan perilaku mereka, nah ini membuat kita makin jengkel atau kita akhirnya harus bekerja banting tulang sedangkan pasangan kita kok sedang memperhatikan tanggung jawabnya, kita diamuk oleh kemarahan pasangan kita itu.
GS : Biasanya orang marah itu ada obyek yang dia marahi, nah kalau dalam kasus seperti itu kepada siapa dia harus marah Pak Paul, atau bagaimana dia itu mengekspresikan kemarahannya itu?

PG : Nah kalau dalam kasus seperti ini dan dia itu mempunyai anak Pak Gunawan, yang menjadi sasaran kemarahannya pasti anak-anaknya. Kalau dia harus tinggal bersama orang tuanya kembali kemungknan besar yang menjadi amuk amarahnya adalah orang tuanya.

Jadi dalam hal ini siapa saja yang ada di dekatnya itu bisa menjadi target kemarahannya, itu sebabnya ini yang terjadi pada orang yang harus membesarkan anak-anaknya sendiri, baik akibat perceraian atau akibat kematian. Dia harus bekerja keras, sehingga waktu dia pulang ke rumah, dia sudah sangat letih, misalnya anak belajarnya kurang serius atau apa, kenakalan yang sebetulnya wajar. Tapi karena hidup si ibu atau si bapak itu begitu tertekan karena harus menanggung hidup sendiri, dia akan melampiaskan kemarahannya pada si anak. Sehingga si anak justru merasakan orang tuanya itu lebih ganas atau lebih buruk daripada sebelumnya, nah ini kadang kala sering terjadi. Yang lainnya lagi Bu Ida dan Pak Gunawan, kemarahan itu sering kali muncul pada diri orang yang sewaktu masih bersama pasangannya menjadi korban, menjadi sasaran, amuk amarah si pasangannya sekarang sudah meninggalkannya. Dulu waktu dia masih tinggal serumah, dia tidak berkuasa untuk mengekspresikan kemarahannya, mungkin karena takut, karena terlalu tertekan, karena dia marah, kalau dia marah makin dipukuli misalnya, atau makin dicaci maki oleh pasangannya. Jadi dia harus menyimpan kemarahannya itu dalam hatinya, sekarang dia tidak lagi tinggal serumah dengan pasangannya, baik karena kematian atau perceraian. Tiba-tiba kemarahan yang dulu terpendam akibat menjadi sasaran, amuk amarah pasangannya muncul, muncul sehingga dia menjadi seorang yang pemarah sekali. Nah sekali lagi kalau menjawab pertanyaan Pak Gunawan siapa yang menjadi sasaran amarahnya ya orang yang dekat dengan dia baik anak-anak atau siapa saja. Sebab apa, sebab kebenciannya itu tiba-tiba dibolehkan muncul, dulu tidak dibolehkan muncul karena tidak dimungkinkan pasangannya yang lebih bertenaga nah sekarang dibolehkan. Jadi mulailah muncul kemarahan itu satu persatu dan mungkin sekali dia melihat betapa bodohnya saya dulu, betapa jahatnya orang itu memperlakukan saya seperti itu. Tapi kenapa saya terima, kenapa saya tidak berbuat apa-apa, nah perasaan-perasaan benar-benar muncul dengan begitu besarnya dan begitu seringnya sehingga bisa membuat dia membenci pasangannya itu dengan lebih-lebih lagi, tapi juga bisa membenci dirinya apalagi kalau dia merasa berbelasan tahun dia telah membuang hidupnya, dia bisa makin marah dengan pasangannya atau dengan dirinya sendiri. Nah kalau dengan dirinya sendiri yang saya khawatirkan adalah dia bisa menderita depresi, dia merasa hidup saya sia-sia, yang telah saya lewati berbelasan tahun itu semua sudah terlambat. Nah akhirnya penyesalan, kemarahan menumpuk menjadi satu.
IR : Nah Pak Paul akibat dari itu semua menimbulkan sikap seseorang itu berubah Pak Paul, kira-kira perubahan apalagi yang timbul dalam penderitaan itu?

PG : Kalau tidak hati-hati Bu Ida, dia bisa bersikap pahit, dia bisa bersikap sangat apatis dalam hidup ini, bisa merasa tidak ada lagi tujuan hidup, justru kehilangan makna. Karena dia merasa ang telah dia lewati itu tidak bisa dikembalikan, jarum jam tidak bisa diputar.

Dia benar-benar merasa dia telah menghancurkan hidupnya atau pasangannya, itulah yang telah menghancurkan hidupnya dan tidak ada kesempatan bagi dia memperbaikinya. Nah ini yang membuat dia sangat pahit dengan hidup, nah malanglah orang yang hidup di dekat dia, anak-anaknya akan menjadi sasaran kepahitannya itu.
GS : Padahal sebenarnya apakah orang yang memang hidup sendiri seperti itu, memang betul-betul tidak berguna lagi, kalau saya rasa tidak Pak Paul..

PG : Betul Pak Gunawan, justru saat inilah yang kita pergunakan untuk justru membangkitkan semangat bagi anak-anak Tuhan yang ditinggalkan sendiri. Dan mengalami peristiwa-peristiwa yang mungki sekali menyakitkan hidupnya.

Ada beberapa saran yang dapat kita berikan, yang pertama adalah kita mesti mengubah sikap mental kita, kita harus mengerti bahwa kita tetap manusia yang utuh bahkan tanpa kehadiran pasangan kita sekalipun. Waktu dia pergi itu tidak berarti kita telah menjadi orang yang cacat, memang kalau hubungan kita baik dan akrab kepergiannya akan benar-benar seolah-olah membelah hidup kita, ada sebagian jantung hati kita yang dibawanya pergi. Sehingga kita merasa kita tidak lagi lengkap, nah sudah tentu ini akan terjadi karena keduanya sudah menjadi satu dan sewaktu dia tidak ada kita akan merasakan ada yang kosong. Namun kita harus ingat bahwa hidup kita tetap utuh meskipun tanpa dia; dengan kata lain, kita tetap bisa menjalankan hidup ini kembali meskipun tanpa dia. Kita pernah hidup tanpa dia dan sekarangpun kita hidup tanpa dia, keutuhan hidup kita tetap bisa dimunculkan kembali, jadi dengan kata lain seolah-olah tunas itu akan bisa muncul lagi jangan berpikir selama-lamanya tidak akan pernah muncul tunas yang baru. Dengan Tuhan di samping kita, kita bisa memunculkan tunas yang baru.
(1) IR : Jadi langkah-langkah apa Pak Paul yang kira-kira bisa ditempuh oleh orang tersebut sehingga orang itu mempunyai arti hidup lagi?

PG : Yang pertama ialah saya kira harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan emosional kita. Sering kali apalagi dalam kasus kematian, yang akan hampa dalam hidup kita adalah rongga-rongga emosiona kita, sebab pasangan kita itu telah mengisi ruangan atau rongga emosional, kita dicintai, dihargai, dibuat penting, diperhatikan, diamati, adanya teman bisa bicara itu semua adalah kebutuhan-kebutuhan emosional kita.

Yang pertama-tama kita harus lakukan adalah mencoba mengisinya dengan cara yang lain misalnya kita bisa giatkan diri kita dalam persekutuan dengan Tuhan, di gereja dengan anak-anak lain kita terlibat dalam pelayanan. Jadi jangan biarkan diri kita terbenam di rumah, nah kecenderungannya adalah benar-benar membenamkan diri kita di rumah, merasa orang pasti tidak menerima saya lagi karena saya sendiri dan sebagainya. Justru tidak boleh, justru kita harus mengeluarkan diri kita dari rumah, adakalanya kita merasa saya tidak lagi bisa ke depan karena saya sendirian, dulu berdua ke gereja atau berdua ke pesta, tidak apa-apa. Kita sendiripun pergi ke pesta tidak apa-apa, tidak harus berdua karena justru kita bertemu dengan orang-orang dan terlibat dalam kehidupan orang, kita akan mendapatkan isian. Waktu kita membesuk orang, menjenguk, mendoakan orang, kita mendapatkan isian, masukan-masukan kembali dari orang-orang lain itu, dengan cara itulah kebutuhan emosional kita terpenuhi kembali.
GS : Tetapi sebenarnya ada sebagian orang yang memang tidak siap Pak Paul, kembali ke masyarakat normal karena masyarakat sendiri juga memperlakukan dia seolah-olah memang tidak normal, nah itu bagaimana Pak Paul dia menghadapi itu?

PG : Ini terutama ditujukan pada orang yang bercerai Pak Gunawan, sering kali itulah stikma masyarakat dan kita harus mengerti perceraian akan menimbulkan luka baik di pihak yang mengalaminya aau di pihak orang-orang yang peduli dengan mereka.

Perceraian sesuatu yang akan menusuk hati orang, tapi kita juga harus mempunyai sikap seperti Tuhan Yesus. Tuhan tidak menghakimi perempuan yang sudah berzinah, Tuhan hanya berkata pergilah dan jangan berbuat dosa lagi, Aku tidak menghakimimu. Nah sebagai orang Kristen apapun yang kita tetap berusaha menerima, menerima dalam pengertian memang orang itu orang yang juga luka. Dan lain perkara kalau dia memang sengaja menceraikan istrinya karena mendapatkan wanita yang lebih muda, nah itu kasus yang lain, itu adalah kasus seseorang yang jelas-jelas berdosa dan tidak mau melihat dosanya, nah untuk orang seperti itu kita tidak harus mengeluarkan tangan menjangkau dia. Tapi untuk kasus orang yang memang berjuang untuk mempertahankan pernikahannya dan akhirnya harus bercerai nah kita jangan memberikan sikap yang negatif kepada mereka, kita harus tetap menyambut mereka ke dalam persekutuan kita. Ada kecenderungannya seperti ini Pak Gunawan, orang yang ditinggalkan karena kematian suami atau istri atau karena perceraian merasa tidak layak bertemu dengan teman-teman lamanya, itu yang sering terjadi. Tidak layak lagi ke gereja, tidak layak lagi untuk pergi dengan teman-teman dulu, sebab beranggapan bahwa gara-gara ini mereka sekarang tidak lagi menerima saya. Atau mungkin timbul pemikiran o....dulu kalian baik karena ada suami atau ada istri saya mungkin sekarang kalian tidak terlalu baik dengan saya. Jadi meragukan penerimaan orang, ini acapkali dialami orang yang hidup sendiri, apakah temanku masih menerimaku, apakah mereka tulus sungguh-sungguh menerimaku atau belas kasihan saja karena aku sekarang sendirian, sesungguhnya mereka tidak lagi mau berteman denganku karena dulu mereka lebih mau berteman dengan pasanganku suami atau istri. Nah meragukan penerimaan orang kadang kala muncul dalam hati orang yang ditinggalkan, ini yang harus ditepis, kita harus berani, benar-benar berani keluar untuk berteman lagi dengan teman-teman lama kita.
IR : Tapi ada suatu kasus Pak Paul, istri yang ditinggalkan mati suaminya, dia selalu menghindar pada teman-teman yang masih berpasangan, itu kenapa Pak Paul?

PG : Dia merasa menjadi gangguan karena dia sendiri dan teman-temannya berpasangan, nanti kalau saya pergi dengan mereka, menjadi canggung karena mereka berpasangan, saya sendiri. Nanti berbicaanya bagaimana tidak ada suami saya atau istri saya rasanya tidak pas, jadi sering kali orang yang ditinggalkan itu membuat banyak peraturan-peraturan pada dirinya.

Nah yang juga kasihan adalah kalau orang itu masih muda baik itu wanita muda atau pria muda karena kematian misalnya atau karena perceraian. Ada kecenderungan orang suka mengaitkan perginya dia dengan orang lain sebagai hal-hal yang bisa berkembang ke arah yang tidak sehat, jadi ada kecenderungan dia sendiripun menjadi orang yang tahu diri. Dan bisa-bisa tahu dirinya berlebihan dengan cara apa, ya dia tidak mau pergi dengan teman-teman yang berpasangan, apa sebabnya ya dia berpikir nanti kalau saya pergi, nanti saya disangka saya mau dekat dengan istrinya atau mau dekat dengan suaminya. Nah nanti timbul masalah di antara mereka gara-gara saya, nah pemikiran-pemikiran itu akhirnya membuat yang ditinggalkan lebih mau sendirian. Atau dia akhirnya berubah, dia mencari teman orang-orang yang sejenis dengan dia, yang juga ditinggalkan karena perceraian atau yang janda karena kematian ya dia mencari orang yang janda seperti dia pula.
GS : Jadi sebenarnya pemulihan terhadap diri orang itu, sangat juga dipengaruhi oleh lingkungannya Pak Paul, kalau lingkungannya menerima dia apa adanya dia bisa lebih cepat pulih?

PG : Betul, kalau kita di gereja sebaiknya kalau kita tahu ada beberapa yang seperti itu dikumpulkan dalam suatu wadah sehingga mereka merasakan adanya wadah yang bisa mengerti mereka dan merek merasa diterima di situ dan dari sinilah dia bisa kembali untuk berani keluar dan bisa menceritakan apa yang mereka gumulkan itu.

Tepat sekali kalau lingkungan tidak menerima atau mulai menjauhkan diri dari mereka, ini makin mengucilkan mereka. Dan kita harus selalu ingat orang yang baru sendirian sering kali peka jadi kita justru harus mengeluarkan tenaga ekstra menarik mereka kembali ke dalam persekutuan kita. Kalau kita diamkan kecenderungannya adalah sudah hilang.
GS : Padahal ketabahan mereka menghadapi kematian pasangan, atau diceraikan dan sebagainya itu sebenarnya menjadi suatu kesaksian yang bagus Pak Paul ya?

PG : Betul, betul sekali, dan yang seharusnya kita ingat tapi karena saya juga maklum kita ini orang yang sibuk dengan kehidupan rutin kita, akhirnya setelah lewat kematian itu kita tidak lagi emberikan waktu dan perhatian kepada dia, seolah-olah hidupnya akan beres setelah ini.

Ternyata ya tidak, justru banyak pergumulan yang harus dilewatinya, setelah dia hidup sendiri, salah satunya yaitu perubahan peran. Dia misalkan masih punya anak-anak yang masih kecil, dia harus menjadi seorang ayah, seorang ibu sekaligus nah ini menimbulkan tekanan yang berat karena dia perlu lagi orang yang menolong anak-anaknya, beban itu menjadi dobel atau ganda pada pundaknya dan sering kali kita tidak siap dengan perubahan peran seperti itu. Nah perlu sekali bantuan orang yang bisa memberikan wejangan, bagaimana mengasuh anak, bagaimana mengatakan ini kepada anak, karena itu sangat diperlukannya. Kadang kala dan ini sering kali terjadi pada wanita kalau pria masih ada kesempatan untuk menikah kembali atau maksud saya kesempatan itu lebih terbuka lebar. Kalau bagi wanita biasanya kesempatan ini jauh lebih sempit setelah hidup sendiri, berarti dia harus menjadi mama dan papa sekaligus, bukan tugas yang mudah.
GS : Tetapi memang sering kali ekspresi penyesalan atau kasih, kemarahan itu tadi yang Pak Paul katakan dicurahkan pada orang yang terdekat. Berarti kalau mereka mempunyai anak, nah anak ini bisa menjadi korban dari curahan perasaan orang tuanya itu, Pak Paul?

PG : Korban negatif, tepat sekali. Dan si anak bisa-bisa makin memunculkan masalah karena merasa ibunya tidak lagi dekat, tidak lagi perhatian malah sering marah jadi makin menjauhkan si ibu, dn dia makin sendirian lagi di rumah.

Jadi kita bisa melihat memang kehidupan orang yang harus hidup sendiri lagi butuh sekali topangan, jadi di sinilah kita sebagai anak-anak Tuhan bisa berperan setelah menyadari masalah ini. Gereja bisa membentuk persekutuan khusus untuk mereka sehingga ada topangan yang mereka dapatkan mungkin kalau mengharapkan jemaat umum ya bisa terlupakan, dan adanya wadah ini mereka tidak terlupakan.
GS : Tapi dalam wadah yang Pak Paul sarankan itu 'kan sebaiknya yang janda sendiri, yang duda sendiri Pak Paul, tidak mungkin dicampurkan atau mungkin dicampurkan?
IR : Bisa jadi jodoh.
GS : Bukan maksud saya itu beban perasaan mereka, beban persoalan mereka 'kan beda-beda.

PG : Tapi dicampurkan tidak apa-apa karena begini, karena mereka juga bisa melihat dari sisi yang satunya sebab dudapun mempunyai pergumulannya, yang jandapun mempunyai pergumulannya. Dan bagi aya kalau mereka nanti harus saling tertarik dan bisa membangun rumah tangga bagi saya tidakapa-apa.

GS : Tapi yang pasti kehidupan sendiri lagi itu masih mempunyai makna baik di hadapan Tuhan maupun sesama itu.

PG : Tepat sekali.

(2) GS : Untuk itu firman Tuhan yang mendukung hal itu di mana Pak?

PG : Saya akan sekali lagi bacakan Yosua 1 ini nasihat Tuhan kepada Yosua; "Hanya kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati, sesuai dengan eluruh hukum yang diperintahkan kepadamu oleh hambaku Musa, janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri supaya engkau beruntung kemanapun engkau pergi".

Dan pada akhir nasihatnya Tuhan berkata : "Janganlah kecut dan tawar hati sebab Tuhan Allahmu menyertai engkau kemanapun engkau pergi." Jadi nasihat Tuhan sangat jelas Tuhan akan menyertai kita waktu kita harus sendiri lagi sebagaimana Tuhan menyertai Yosua setelah Musa meninggalkannya. Tapi Tuhan minta satu syarat, hidup hati-hati jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri, artinya jangan kita berbuat dosa, taati Tuhan dan Tuhan akan meluruskan jalan kita yang di depan ini, nah jangan sampai gara-gara kita sendiri kita melewati batas. Tadi kita sudah bicara meskipun tekanan besar hati-hati jangan berdosa, kita akhirnya memaki-maki anak sembarangan, kita terlalu menekan orang di rumah terlalu sembarangan, karena kita dalam keadaan stres. Jangan sampai kita akhirnya merugikan atau merusakkan orang lain atau karena kita butuh kebutuhan emosional kita dipenuhi, kita mengambil jalan yang salah. Dekat dengan orang terlalu cepat memilih orang sembarangan, akhirnya jatuh ke dalam dosa yang lebih besar lagi. Jadi jangan sampai kita ini menyimpang ke kiri ke kanan meskipun kita dalam keadaan susah.
GS : Baik Pak Paul untuk perbincangan kita yang menarik kali ini. Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang bermakna dalam hidup kesendirian. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 58 B

  1. Langkah-langkah apa yang ditempuh bagi orang yang sudah ditinggalkan itu untuk tetap mempunyai arti hidup ini...?
  2. Apa yang dikatakan firman Tuhan, mengenai hidup tetap bermakna dalam kesendirian...?


10. Seks Ditengah Kita


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T061A (File MP3 T061A)


Abstrak:

Seks adalah dari Tuhan, tidak salah kebutuhan seks diciptakan Tuhan, namun penggunaan atau penerapannya harus diberikan kembali kepada Tuhan karena wewenang Tuhan yang akan mengaturnya.


Ringkasan:

Kondisi sekarang ini cukup memprihatinkan, jadi perilaku seksual, baik itu di kalangan anak-anak remaja maupun orang-orang dewasa sebetulnya sangatlah bebas. Apalagi sekarang penggunaan obat-obat terlarang makin semarak, dan kita tahu berkali-kali ini dimuat di surat kabar, atau majalah. Polisi misalnya menangkap basah para pemuda yang sedang berpesta. Pesta itu biasanya mengandung dua hal yaitu menggunakan obat baik itu ekstasi atau sabu-sabu, juga melakukan hubungan seks.

Saya kira terjadinya semua itu ada pengaruh yang kuat sekali dari faktor budaya kita sekarang ini.

  1. Pertama, dahulu kala budaya kita ini cenderung mengekang, namun sekarang menjadi budaya yang tidak lagi mengekang. Sehingga memberikan toleransi yang cukup besar terhadap perilaku seksual di kalangan anak-anak muda.

  2. Yang kedua adalah anak-anak remaja dan pemuda perlu melihat contoh yang baik, sedangkan sekarang ini anak-anak remaja bisa mendapatkan begitu banyak contoh perselingkuhan bahkan orang tua tidak lagi mampu menghentikan perilaku anak karena mereka sendiri tidak lagi memberikan contoh yang baik kepada anak-anak mereka.

  3. Yang ketiga, hubungan orang tua sudah begitu merenggang, sehingga pengawasan terhadap anak juga terganggu.

  4. Yang keempat, kita melihat film-film yang beredar sekarang, adegan seksualnya sudah begitu menjamur.

  5. Yang kelima, pengaruh dari lingkungan pergaulan dan kerja.

Ada 2 macam pemahaman seks yang keliru yaitu:

  1. Yang pertama adalah pemahaman yang represif. Yang dimaksud pemahaman represif adalah pemahaman seks sebagai sesuatu yang menjijikkan, yang negatif, yang buruk. Seks itu bukannya sesuatu yang harus dan boleh dinikmati, tapi seks adalah suatu kewajiban. Budaya seksual yang represif benar-benar menguburkan seks sebagai sesuatu yang tidak boleh dipikirkan, tidak boleh dinikmati sama sekali.

  2. Yang kedua adalah pemahaman yang obsesif. Pemahaman obsesif ini membuat seks menjadi sesuatu yang harus dikejar, yang harus dilakukan seolah-olah menjadi suatu obsesi bagi seseorang.

I Korintus 6:13,20 , "Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh. Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar, karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu."

Pemahaman seks yang benar mempunyai beberapa aspek:

  1. Seks adalah dari Tuhan. Oleh karena itu pemakaiannya, penggunaannya, penerapannya, juga harus sesuai dengan yang Tuhan telah gariskan.

  2. Tuhan ciptakan seks untuk menyatukan.

Alkitab menyatakan Tuhan menyediakan seks sebagai wadah kenikmatan, sebagai puncak keintiman, yang kita tahu juga sebagai wadah atau sarana untuk prokreasi untuk perkembangbiakan atau untuk mempunyai keturunan, oleh karena itulah kita harus berhati-hati dengan seks.

1Korintus 6 dikatakan, "Tidakkah engkau tahu bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus." Kemudian disambung lagi di ayat 17, "Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan menjadi satu Roh dengan dia, setiap dosa lain yang dilakukan manusia terjadi di luar dirinya tapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri." Dengan kata lain, dosa seksual adalah suatu dosa yang langsung berkaitan dengan tubuh kita, dan Tuhan menghendaki agar kita menjadi satu Roh dengan Tuhan, bukan menyatukan diri kita dengan orang-orang yang bukanlah istri atau suami kita, jangan sampai kita diperhamba oleh kebutuhan seksual kita ini.

Nasihat atau saran saya agar kita tidak menjadi hamba seks:

  1. Isilah hidup kita dengan Tuhan, isilah hidup kita dengan hal-hal yang memang baik, yang memang membuat kita merasa bahwa hidup ini bermakna.

  2. Kita harus mempunyai kehidupan yang berimbang

  3. Kita harus takut kepada Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang seks di tengah kita. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, membicarakan tentang seks rasanya tidak ada habis-habisnya karena begitu banyak segi yang bisa kita bicarakan, dan kali ini kita akan membicarakan tentang realitanya saja Pak Paul, seks di tengah-tengah kita. Menurut Pak Paul kondisi saat ini seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya kira memang kondisi sekarang ini cukup memprihatinkan, Pak Gunawan, jadi perilaku seksual baik itu di kalangan anak-anak remaja maupun orang-orang dewasa sebetulnya sangatlah bebas. Klau dahulu kala biasanya perilaku remaja itu kalau berkaitan dengan seks biasanya dilakukan dengan wanita nakal atau pelacur, namun saya kira perkembangan akhir-akhir ini hubungan seksual dilakukan bukan saja dengan pelacur namun yang lebih banyak adalah dengan sesama teman, baik itu dalam konteks berpacaran ataupun hanya kencan-kencan biasa.

Nah, apalagi sekarang semaraknya penggunaan obat-obat terlarang dan kita tahu berkali-kali ini dimuat di surat kabar, atau majalah, polisi misalnya menangkap basah para pemuda yang sedang berpesta. Nah pestanya adalah biasanya dua hal, menggunakan obat baik itu ekstasi, sabu-sabu, atau pun melakukan hubungan seks. Jadi biasanya dua hal itu, penggunaan obat seperti sabu-sabu dan juga ekstasi dan seks itu jadi satu paket.
(1) GS : Nah, faktor penyebabnya biasanya apa Pak Paul, kok orang begitu menggampangkan soal seks itu?

PG : Saya kira ada pengaruh yang kuat sekali dari faktor budaya kita sekarang ini. Memang dahulu kala budaya kita ini cenderung budaya yang mengekang, namun sekarang budaya kita menjadi budaya ang tidak lagi mengekang, sehingga memberikan toleransi yang cukup besar terhadap perilaku seksual di kalangan anak-anak muda, nah itu yang pertama.

Yang kedua adalah saya kira anak-anak remaja, pemuda perlu melihat contoh yang baik, sedangkan sekarang ini anak-anak remaja bisa mendapatkan begitu banyak contoh perselingkuhan di kalangan siapa, di kalangan orang-orang yang tidak lagi terlalu muda yakni misalnya orang tua mereka. Nah, kita tahu yang berselingkuh itu bukanlah anak-anak remaja, remaja belum menikah, yang berselingkuh adalah orang-orang yang sudah menikah dan tidak jarang mereka itu orang-orang yang bahkan sudah berusia paro baya, 40-an ke atas. Dan anak-anak ini melihat bahwa orang tua mereka pun melakukan hubungan seksual di luar nikah, dengan kata lain orang tua tidak lagi mampu atau menghentikan perilaku anak karena mereka sendiri tidak lagi memberikan contoh yang baik kepada anak-anak mereka. Atau yang lainnya lagi adalah hubungan orang tua sudah begitu merenggang, sehingga pengawasan terhadap anak juga terganggu. Orang tua yang mempunyai banyak masalah, tidak bisa tidak, akan mencurahkan lebih banyak energinya membereskan masalah pernikahan mereka sendiri, sehingga pengawasan yang seharusnya mereka berikan kepada anak juga akan berkurang. Dan kita juga tahu bahwa dalam rumah tangga yang bermasalah, anak-anak cenderung lebih berani, sebab rasa hormat pada orang tua sudah jauh berkurang pula. Itu sebabnya mereka lebih bisa melakukan hal-hal yang dilarang oleh orang tua mereka. Jadi meskipun kita mencoba menanamkan nilai-nilai moral yang baik, apa yang kita ajarkan di Gereja, kita coba tanamkan pada anak-anak kita, namun fakta-fakta kehidupan seperti itu akhirnya juga sangat mempengaruhi mereka. Belum lagi faktor-faktor teman-teman yang bercerita misalnya saya sudah meniduri wanita ini, saya sudah berhubungan dengan pria ini, nah akhirnya membuat mereka merasa bahwa ini adalah hal yang bisa dilakukan sebab teman mereka saja melakukannya, kenapa mereka tidak. Nah, belum lagi kita melihat film-film, film di mana sekarang adegan seksual sudah begitu menjamur, istri saya dan saya sebenarnya menikmati film drama yang bagus yang mempunyai alur cerita yang kuat tapi terus terang kadangkala kami dikecewakan karena kami tidak bisa menyaksikan film yang bersih itu, selalu ada saja atau hampir selalu tidak semuanya, hampir selalu ada saja adegan seksualnya. Seolah-olah film itu harus dibumbui adegan seksual baru bisa dijual, padahalnya tidak demikian, contoh seperti film "Titanic" yang memang bagus sekali, dibuat dengan begitu indah tapi sangat saya sayangkan dalam film yang begitu bagus harus ada adegan seksualnya dan bagi saya adegan itu sama sekali tidak menambah bobot film, malah mengurangi bobot film. Tapi itulah yang disaksikan oleh kita semua, baik anak-anak remaja maupun orang tua. Di kalangan orang-orang dewasa di tempat kerja mereka, di kantor mereka, teman mereka berselingkuh baik dengan teman sekerja atau pun dengan orang yang di luar tempat pekerjaan. Nah akhirnya budaya selingkuh juga mulai menyerap ke dalam diri orang-orang dewasa yang bekerja di luar. Ibu-ibu rumah tangga yang di rumah juga berkumpul dengan ibu-ibu rumah tangga yang lain, membicarakan tentang pria, belum lagi yang tidak ada pekerjaan menonton film-film blue, film-film seksual bersama ibu rumah tangga yang lainnya, akhirnya lebih mendorong mereka untuk berselingkuh. Jadi saya kira memang ada suatu pergeseran nilai moral yang sangat kuat sekali di masyarakat kita, dan jangan kita menyalahkannya kepada budaya Barat, soalnya memang kita orang berdosa. Jadi sebab itulah kita senang melakukan hal-hal yang seturut atau sesuai dengan sifat dosa ini, bukan karena budaya Baratnya, kita pun lebih canggih menciptakan masalah.
(2) IR : Nah menurut Pak Paul, pemahaman seks yang keliru itu bagaimana, Pak?

PG : Yang sering sekali kita dengar ada dua macam ya Ibu Ida, yang pertama adalah pemahaman yang represif, yang kedua adalah pemahaman yang obsesif. Yang saya maksud pemahaman yang represif adaah pemahaman seks sebagai sesuatu yang menjijikkan, yang negatif, yang buruk.

Nah seks itu bukannya sesuatu yang harus dan boleh dinikmati, tapi seks adalah suatu kewajiban dan biasanya ini dilihat sebagai kewajiban seorang wanita terhadap seorang pria. Seks bukanlah sesuatu yang seyogyanya dinikmati oleh wanita, sebab ini adalah kepuasan kaum pria, tugas wanita hanyalah memberikan atau menyediakan kepuasan itu kepada suami atau pria dalam hidupnya. Nah, itu adalah budaya seksual yang represif ya, yang benar-benar menguburkan seks sebagai sesuatu yang tidak boleh dipikirkan, tidak boleh dinikmati sama sekali. Kebalikan dari itu adalah budaya yang obsesif, pemahaman yang obsesif ini jadinya membuat seks menjadi sesuatu yang harus dikejar, yang harus dilakukan seolah-olah menjadi suatu obsesi bagi seseorang. Nah, kalau tidak dilakukan rasanya ada yang kurang, untuk mengurangi ketegangan, seks adalah obatnya, untuk mencapai kepuasan hidup seks juga yang menjadi targetnya. Jadi segalanya itu sangat-sangat dikuasai oleh seks, nah saya kira dua ekstrim ini merupakan contoh pemahaman seks yang keliru.
GS : Nah, kita semua tahu bahwa seks itu juga merupakan pemberian dari Tuhan Allah sendiri Pak Paul, dan pasti kalau kita baca di dalam Kitab Suci, Tuhan Allah memberikan pedoman-pedoman buat kita, bagaimana kita menggunakan seks itu. Itu suatu kebutuhan yang Tuhan berikan kepada setiap manusia.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, seks adalah bagian dari kebutuhan biologis. Jadi kita adalah makhluk seksual oleh karena itulah kita mempunyai nafsu seksual, kita mempunyai keinginan untuk berhuungan seksual.

Namun demikian nafsu itu meskipun bagian dari kebutuhan jasmani kita, tidaklah berarti kita boleh mengumbarnya sembarangan, nah oleh karena itulah Alkitab memberikan panduan, aturan. Di sini kita bisa melihat bahwa kebutuhan hakiki manusia sekalipun tidaklah memberikan izin kepadanya untuk mengumbarnya atau memuaskannya seenaknya. Sama seperti misalkan makan, apakah makan salah, tentu tidak, makan untuk memuaskan kebutuhan fisik kita, namun kalau kita pagi, siang, malam hanya pikirnya makanan dan setiap dua jam kita makan, maunya makan terus sudah tentu itu akan merusakkan tubuh kita. Jadi kebutuhan tidak dapat kita anggap sebagai suatu alasan yang membolehkan kita memuaskan kebutuhan itu semau kita. Nah, seks juga begitu, seks adalah bagian kebutuhan jasmani manusia tapi orang yang terlalu memikirkan seks dan hanya mau melakukan seks, saya kira akan menyalahi aturan yang Tuhan berikan pula. Oleh sebab itulah Tuhan memberikan aturannya, sama seperti makan tadi saya berikan contohnya, semua orang mempunyai keinginan untuk makan, tapi misalnya dia ke restoran dia mencuri makanan itu menjadi salah. Jadi makan sendiri tidak salah, lapar itu bagian dari kebutuhan manusia, namun bagaimana kita memuaskannya ada aturan etikanya, nah demikian pula dengan seks. Kebutuhan seksual sendiri adalah bagian yang normal, yang alamiah dari semua manusia, bagaimana kita memuaskan hasrat seksual, nah itu diatur oleh etika, diatur oleh Firman Tuhan. Yang akan saya bahas adalah bagian dari 1 Korintus 6:13 , "Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan melainkan untuk Tuhan dan Tuhan untuk tubuh." Kemudian ayat ke 20, "sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar, karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu." Nah pemahaman seks yang benar mempunyai beberapa aspek, yang pertama adalah yang kita ambil dari Firman Tuhan tadi, seks adalah dari Tuhan, oleh karena itu pemakaiannya, penggunaannya, penerapannya, juga harus sesuai dengan yang Tuhan telah gariskan. Kalau saya boleh singkat, dari Tuhan untuk Tuhan, jadi harus sesuai dengan yang Tuhan telah tentukan. Nah, Tuhan berkata begini, tubuh bukan untuk percabulan melainkan untuk Tuhan, nah di sini yang dimaksud memang adalah dalam konteks hubungan seksual. Jadi tubuh kita itu dengan kebutuhan-kebutuhan seksualnya bukanlah untuk diberikan ke dalam percabulan, percabulan adalah hubungan seksual di antara dua orang yang tidak diikat dalam pernikahan. Nah, Tuhan berkata tubuh dan kebutuhan-kebutuhan biologis bukan untuk dipuaskan dengan bebas dan dengan cara semau-maunya itu, tapi untuk Tuhan maka inilah muliakan Tuhan dengan tubuhmu. Jadi prinsip yang pertama seks dari Tuhan, tidak salah kebutuhan seks itu diciptakan Tuhan, keinginan kita berhubungan seksual dengan lawan jenis kita itu adalah dari Tuhan, tidak salah namun penggunaan atau penerapannya harus diberikan kembali kepada Tuhan, karena menjadi wewenang Tuhan yang akan mengaturnya.
GS : Jadi hanya orang yang bisa menghargai seks itu akan memuliakan Tuhan, juga pada saat kebutuhan seksualnya terpuaskan, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, waktu kita melakukannya dengan istri atau suami kita, bukan saja kita akan memperoleh kenikmatan tapi kita tahu bahwa kita melakukan sesuatu yang memang Tuhan kehendaki dan yng Tuhan kehendaki sudah pasti baik, bukannya untuk yang tidak baik.

Nah, jadi kenikmatan seksual dalam wadah pernikahan merupakan kenikmatan yang sempurna, yang lengkap, tidak ada rasa takut bersalah, tidak ada rasa takut/was-was nanti ketahuan oleh siapa tidak, ini adalah hubungan yang dilegalkan yang diberikan oleh Tuhan sendiri dan tujuannya adalah untuk kebaikan suami dan istri. Jadi pada akhirnya memang kita akan bisa menghargai seks sebagai pemberian Tuhan yang begitu indah, melalui hubungan seksual dalam rumah tangga kita sendiri.
IR : Kalau seseorang itu melakukan seks yang berkelebihan Pak Paul apakah itu bukan suatu penyakit, bagaimana kalau dia menderita sakit padahal dia itu seorang anak Tuhan?

PG : Jadi ini adalah satu gangguan yang seringkali secara awam disebutnya hiperseks begitu ya, Bu Ida. Saya percaya memang ada gangguan-gangguan seksual seperti itu, jadi ada orang-orang yang trlalu terobsesi dengan seks.

Nah, saya hanya bisa simpulkan satu hal yaitu orang yang terobsesi dengan seks adalah orang yang tidak mempunyai arah hidup atau orang yang tersesat dalam hidupnya, terombang-ambing oleh hidup ini sehingga tidak mempunyai pegangan yang jelas. Kehidupannya itu kosong dan dalam kekosongannya dia menderita kecemasan, kegelisahan, ketegangan yang semuanya akan bisa dikurangi dengan hubungan seks. Jadi seks itu menjadi sesuatu yang dicarinya terus-menerus, karena seks menjadi pemuasan akan ketegangannya, seks membawa kenikmatan dan kelegaan untuk kekosongan hidupnya yang sedang dirasakannya. Jadi saya akan mengutip perkataan C.S. Lewis, seorang pengarang Kristen dari Inggris, dia berkata tidak heran ada orang-orang yang begitu tergila-gila dengan seks karena hidup mereka begitu kosong. Tapi kalau kekosongan itu dipenuhi, dipuaskan dengan hal-hal yang rohani, keinginan untuk melakukan hubungan seksual juga akan lebih bisa terkendali, karena hidupnya telah diisi. Maka kata C.S. Lewis, orang yang hidupnya kosong kebanyakan akan mudah sekali tergila-gila dengan seks untuk mengisi hidupnya sendiri. Nah, kita harus mengisi hidup kita dengan hal-hal yang baik, dengan yang Tuhan kehendaki terutama dengan Tuhan sendiri.
GS : Selain prinsip seks dari Tuhan untuk Tuhan, apakah ada hal lain yang disampaikan oleh Alkitab?

PG : Seks sudah tentu Tuhan ciptakan untuk kenikmatan, kalau tidak seks tidak membawa kenikmatan. Jadi kita mengetahui dari organ-organ seksual yang kita miliki dan juga dari sensasi yang dialai dalam berhubungan seksual itu semua membawa kenikmatan.

Nah karena itulah kita bisa yakin bahwa memang Tuhan mendesain seks untuk menambahkan kenikmatan dalam kehidupan manusia. Selain dari itu seks Tuhan ciptakan untuk menyatukan, maka itulah di Kejadian pasal 2 dikatakan bahwa keduanya akan menjadi satu, menjadi satu daging, meskipun ini merupakan perlambangan penyatuan dua individu secara penuh, bukan saja secara fisik tapi memang mengandung unsur fisiknya pula. Jadi keduanya menjadi satu itu adalah keintiman puncak, keintiman yang tidak bisa lagi ditingkatkan, itu sudah paling puncak. Nah artinya apa, jadi seks itu merupakan puncak keintiman, masalahnya adalah kalau orang tidak memiliki pemahaman yang benar, orang akan menggunakan seks menambah keintiman. Tidak, keintiman dulu baru seks, kalau seks digunakan untuk menambah keintiman tidak akan bisa berhasil, hanya berlangsung untuk waktu yang sangat singkat saja. Setelah itu akan terhilang aspek keintimannya. Namun kebalikannya, kalau dua orang suami istri hubungannya intim sekali mereka kemudian mengadakan hubungan seksual, hubungan seksual itu menjadi puncak, menjadi bunga yang paling lengkap dari keintimannya.
(3) IR : Nah, bagaimana Pak Paul kalau pasangan itu sudah tua ya, yang istrinya sudah menopause itu bagaimana, apakah bisa juga menikmati keintiman?

PG : Masih bisa, meskipun sudah tentu harus ada hal-hal yang dilakukan oleh kedua orang yang sudah mulai berusia lanjut. Sudah tentu kelancaran akan dipengaruhi pula oleh usia yang sudah tua, bgi seorang pria juga dia tidak bisa bereaksi secepat tatkala dia masih lebih muda.

Karena itu sudah tentu harus ada persiapan-persiapan yang lebih matang, lebih perlahan, lebih memakan waktu, dan bisa juga dibeli obat-obat pelumas yang dapat menolong dalam hubungan suami istri yang sudah berusia agak lanjut. Dan sudah tentu pula makin lanjut usia, frekuensi hubungan seksual juga makin berkurang, karena otomatis dorongan-dorongan itu tidak lagi sekuat pada waktu dia masih berusia lebih muda. Jadi memang Alkitab menyediakan seks sebagai wadah kenikmatan sebagai puncak keintiman, yang kita juga tahu sebagai wadah atau sarana untuk prokreasi, untuk perkembangbiakan, untuk mempunyai keturunan. Oleh karena itulah kita mesti berhati-hati dengan seks. Tuhan memang tidak pernah menciptakan seks seperti kita mau menggaruk badan kita yang gatal, kapan saja gatal kita langsung garuk, tidak pernah. Seks menjadi sarana yang Tuhan tetapkan untuk melahirkan anak, dengan kata lain, itu adalah hal yang super-super penting. Dari hubungan yang begitu intim dan mulia akan muncul satu anak, nah anak ini benar-benar suatu keajaiban dari sel telur dan sperma yang tidak bisa kita lihat berkembang selama 9 bulan menjadi seorang bayi. Dan dari seorang bayi yang begitu kecil berkembang menjadi seorang anak, dari seorang anak akhirnya menjadi seorang dewasa seperti kita semua. Kita melihat adanya suatu keajaiban yang Tuhan telah tetapkan melalui hubungan seksual ini. Dari dua orang yang menyatakan cinta dalam pernikahan, Tuhan akan berikan kesempatan untuk mereka mempunyai keturunan. Jadi itu yang Tuhan tekankan, oleh karena itulah saya berkesimpulan bahwa seks bukan untuk perhambaan, Firman Tuhan di 1 Korintus 6 tadi dikatakan bahwa "Tidakkah engkau tahu bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus." Kemudian disambung lagi di ayat 17 "Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan menjadi satu Roh dengan dia, setiap dosa lain yang dilakukan manusia terjadi di luar dirinya tapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri." Dengan kata lain, seks memang adalah suatu dosa yang langsung berkaitan dengan tubuh kita, dan Tuhan menghendaki agar kita menjadi satu Roh dengan Tuhan, bukan menyatukan diri kita dengan orang-orang yang bukanlah istri atau suami kita, jangan sampai kita diperhamba oleh kebutuhan seksual kita ini.
GS : Tetapi seringkali orang itu tidak sadar, Pak Paul, secara bertahap dia diperhamba oleh seks, oleh kebutuhan seksualnya. Nah, bagaimana dia bisa mencegah sendiri supaya dia tidak menjadi hamba dari seks atau menjadi apa, hanya mementingkan seks dalam kehidupannya sehari-hari?

PG : Saya akan menggunakan argumentasi yang dipaparkan oleh C.S. Lewis, pada intinya hidup kita harus kita isi terlebih dahulu, orang yang diperhamba oleh seks adalah orang yang tidak diperhamb oleh Tuhan.

Dengan kata lain hidup kita kosong, hidup kita tidak lagi diisi oleh hal-hal yang Tuhan kehendaki, dalam kekosongan kita merasa sangat gelisah, sangat tidak tenang, sangat tidak puas, dan kita ingin adanya kelegaan dan seks memang membawa kenikmatan serta kelegaan. Jadi itulah yang akan kita gunakan, nasihat saya atau saran saya yang pertama adalah isilah hidup kita dengan Tuhan, isilah hidup kita dengan hal-hal yang memang baik, yang memang membuat kita merasa bahwa hidup ini bermakna, semakin hidup kita tidak ada maknanya semakin kita bisa tersedot masuk ke dalam seks, jadi itu langkah pertama kita. Langkah kedua adalah kita memang harus juga mempunyai kehidupan yang berimbang, maksud saya begini kalau kita hidup selalu penuh tekanan, kesibukan kita benar-benar membuat tubuh kita letih sekali, pikiran kita lelah sekali, dan kita memerlukan istirahat; nah hati-hati sebab kalau tidak hati-hati, kita akan masuk ke dalam seks, kita misalkan ke panti pijat dan sebagainya, membayar orang untuk memuaskan hasrat seksual kita. Sebetulnya yang kita butuhkan bukanlah pemuasan hasrat seksual, yang kita butuhkan adalah kelegaan, kesegaran karena tubuh kita, pikiran kita terlalu letih, terlalu banyak tugas-tugas kita. Nah haruslah hidup kita berimbang. Hidup yang tidak berimbang akan lebih mendorong kita untuk terobsesi oleh seks dan yang ketiga, tidak bisa tidak, kita harus takut kepada Tuhan. Firman Tuhan sudah berkata jangan kita mencabulkan tubuh kita, jangan kita berhubungan seksual dengan orang yang bukan suami atau istri kita, itulah makna dari percabulan. Apa artinya takut kepada Tuhan? Meskipun kita merasa tidak ada yang melihat, tidak apa-apa, tapi kita harus selalu mengingat bahwaTuhan melihat dan mata Tuhan ada dimana-mana serta bisa memberikan hukuman atas dosa kita. Alkitab sudah mengatakan dosa yang lain diperbuat di luar tubuh manusia, tapi seks adalah dosa yang langsung dilakukan oleh tubuh manusia.
GS : Artinya dalam hal itu ada suatu kaitan yang erat, Pak Paul, antara apa yang dilakukan secara fisik tadi dengan yang terjadi dalam diri seseorang?

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan, jadi Tuhan mau menegaskan satu prinsip di sini bahwa kehidupan jasmani kita tidak lepas dari kehidupan rohani kita. Bahwa apa yang kita perbuat dengan tubuh kita mempunyai pengaruh atau dampak langsung terhadap hubungan kita dengan Tuhan.

Apa yang kita lakukan antara kita dengan orang yang lain juga akan mempengaruhi hubungan kita dengan Tuhan. Nah manusia tidak bisa berkata "ini untuk kenikmatan saya, sama-sama mau apa urusannya dengan Tuhan?" Ada urusannya dengan Tuhan sebab seks pemberian Tuhan, Tuhan mau agar seks dipakai sesuai kehendakNya. Seks bukan ciptaan manusia, siapa yang menciptakan organ-organ seksual dalam tubuh manusia, siapa yang menciptakan hormon-hormon seksual dalam tubuh manusia, semua Tuhan; oleh karena Tuhan yang memberi, maka Tuhan menuntut pemakaiannya sesuai dengan kehendakNya juga. Jadi memang apa yang kita perbuat secara fisik sangat berdampak pada hubungan kita dengan Tuhan atau kerohanian kita.
GS : Jadi Pak Paul, kita terpanggil untuk betul-betul cermat atau waspada sekali terhadap gangguan-gangguan, dosa-dosa seksual yang begitu sering terjadi di sekeliling kita itu.

PG : Betul.

GS : Dan saya rasa pembicaraan ini sangat perlu sekali bagi kita semua dan khususnya para pendengar untuk membekali diri menghadapi pergolakan seksual yang makin lama makin kita rasakan juga di negara kita, Pak Paul.

PG : Betul sekali.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang seks di tengah kita. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



11. Kehidupan Lajang dari Perspektif Wanita


Info:

Nara Sumber: Esther Tjahja, S.Psi. & Pdt.Dr. Netty Lintang
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T069A (File MP3 T069A)


Abstrak:

Kehidupan lajang adalah bagian hidup yang Tuhan berikan, porsi yang Tuhan telah tetapkan, yang di dalamnya mempunyai minus dan plusnya.


Ringkasan:

Yang menjadi alasan bagi wanita untuk memilih kehidupan lajang :

  1. Karena mereka tidak mendapatkan jodoh yang cocok, tidak sesuai dengan selera atau standar, level yang mereka tentukan.

  2. Bisa juga karena kekurangan pria yang memiliki kerohanian yang baik, wanita menginginkan seperti yang Alkitab pun mengajarkan prialah yang menjadi kepala keluarga, yang memimpin, sebagai imam di rumah tangga jadi mereka menginginkan sekali mereka menikah dengan seorang pria yang sungguh-sungguh bisa memimpin mereka dalam hal kerohanian.

  3. Lebih mementingkan karier.

  4. Kemungkinan juga karena ada yang memang merasa terpanggil untuk melajang.

  5. Ada juga karena akibat dari pengalaman pahit (hubungan yang berakhir) dan akhirnya memutuskan untuk tidak menikah.

  6. Ada juga dikarenakan kakanya yang paling tua belum menikah.

Sikap yang biasanya muncul pada diri wanita lajang ketika harus menghadapi sikap masyarakat atau keluarga, memang bermacam-macam.

  1. Ada sebagian orang yang happy-happy saja, dia bisa begitu menikmati dengan status lajangnya karena rasanya tidak perlu pusing dalam pengambilan keputusan dia mau melakukan apa, bekerja di bidang apa, mau pergi ke mana itu rasanya tidak perlu banyak urusan dibanding orang-orang yang sudah menikah.

  2. Cukup banyak juga yang akhirnya memang stres dengan tuntutan orangtua atau keluarga yang akhirnya berakibat pada seringnya menghindari pertemuan-pertemuan keluarga.

Memang untuk menghadapi tanggapan-tanggapan dari keluarga atau masyarakat yang mungkin juga kadang-kadang membuat kita merasa tidak enak adalah kita siap mental, jangan sampai kita menunjukkan bahwa kita melihat diri kita ada yang salah. Kalau kita memperlakukan diri kita seolah-olah ada yang salah kemungkinan besar orang akan memperlakukan seperti itu pula bahwa ada yang tidak benar. Tapi kalau kita bisa berhadapan dengan orang, dengan perasaan yang nyaman dengan diri kita tidak ada yang salah bahwa kita tidak menikah ya tidak apa-apa, orangpun juga akan respek kepada kita, dan tidak sinis atau apa.

Yang bisa dilakukan untuk mengisi kebutuhan emosionalnya adalah

  1. Tetap menjalin relasi dengan orang-orang lain, misalnya tetap terlibat di dalam kehidupan sosial, mungkin pelayanan, persekutuan. Hal-hal yang memang bisa membuat dia bisa mengaktualisasikan dirinya dan menjalin kehidupan sosialnya, jangan justru malah menyendiri takut diomongin orang atau takut dipandang remeh.

  2. Bagi yang punya keponakan, sayangilah mereka, ajak mereka pergi supaya bisa menikmati hidup kekeluargaan, di samping memberikan kehangatan kepada orang dari sisi yang lain dia juga mendapatkan kehangatan dari orang lain pula.

Filipi 4:11-12 , "Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan, aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan, dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku." Ayat 13, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku."

Jadi kita perlu menerima keadaan kita :
Yang pertama, jangan sampai kita merasa ada masalah dengan status lajang kita, tidak apa-apa lajang ini adalah bagian hidup yang Tuhan berikan kepada kita sampai saat ini, inilah porsi yang Tuhan telah tetapkan terimalah tanpa harus ada merasa bersalah.
Yang kedua, adalah kita mesti belajar mencukupi, sebab memang kehidupan lajang mempunyai minus dan plusnya, tidak bersungut-sungut menyalahkan siapa-siapa, atau menyalahkan Tuhan tapi belajarlah mencukupi yang kurang itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Kehidupan lajang dari perspektif wanita. Hadir bersama kami pada saat ini Ibu Esther Tjahja Sarjana Psikologi dari Universitas Gajah Mada, yang kini sebagai staf psikologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang dan juga hadir bersama kami Ibu Pdt. Dr. Netty Lintang seorang gembala sidang Santapan Rohani Indonesia dan juga dosen STT Iman Jakarta. Kami percaya acara kali ini yang berjudul kehidupan lajang dari prespektif wanita akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

(1) PG : Selamat datang kepada Ibu Esther dan Ibu Netty dan memang sekarang ini adalah saat yang tepat untuk membicarakan mengenai wanita lajang. Saya tidak tahu bagaimana kesan atau anggapan para ibu, tapi waktu saya misalkan ke kota di pulau Jawa maupun di pulau-pulau lain, mengunjungi gereja-gereja saya cukup prihatin melihat banyaknya wanita yang lajang terutama di gereja.

Hal-hal ini saya kira adalah hal yang perlu diperhatikan oleh gereja, sebab bagaimanapun mereka adalah bagian dari gereja yang mempunyai kebutuhan tersendiri pula. Nah, mungkin pada hari ini kita bisa membicarakan topik ini dengan lebih tuntas. Yang pertama yang saya ingin tanyakan kepada Ibu Netty maupun Ibu Esther adalah kira-kira apa alasannya wanita itu hidup lajang?

NL : Ya ada sebagian karena mereka tidak mendapatkan jodoh yang cocok, tidak sesuai dengan selera mereka, standar level yang mereka sudah tentukan. Ada juga karena kekurangan pria terutama yng berkerohanian baik, karena pada umumnya wanita menginginkan seperti Alkitab mengajarkan, sang suamilah, prialah yang menjadi kepala rumah tangga yang memimpin, sebagai imam di dalam rumah tangga.

Jadi mereka menginginkan sekali apabila mereka menikah, mereka mendapat seorang pria yang sungguh-sungguh bisa memimpin mereka di dalam hal kerohanian.
GS : Ibu Esther mungkin?

ET : Kalau saya lihat mungkin di kota-kota besar belakangan ini kebanyakan kaum wanita sudah berpendidikan lebih tinggi, merasa sudah sekolah berkeinginan untuk diterapkan di bidang pekerjaan. Sehingga kadang-kadang memang tidak sedikit juga ada beberapa rekan saya yang begitu mementingkan karier, pekerjaan sampai akhirnya mungkin lupa sudah lewat usia tertentu baru menyadari dia sudah terlambat untuk menikah. Tapi kalau saya mau lihat lebih jauh lagi tidak menutup kemungkinan juga kalau memang ada orang yang memang merasa terpanggil, panggilan Tuhan secara spesifik dalam kehidupannya itu untuk melajang, walaupun rasanya sedikit, kadang-kadang bisa menjadi kabur ya. Karena memang ada juga wanita yang mungkin punya pengalaman pahit, sampai usia sudah cukup matang hubungannya harus berakhir dan kurang enak, akhirnya memutuskan untuk tidak menikah. Nah, jadi kadang-kadang itu bisa menjadi sebuah keputusan karena pengalaman yang tidak enak, tapi mungkin juga karena memang panggilan Tuhan secara khusus buat wanita-wanita tertentu.

GS : Tapi yang saya tahu, Ibu Esther, juga karena kakaknya yang paling tua belum menikah, lalu adik-adiknya ini tidak berani mendahului kakaknya. Pada usia si kakak ini tambah lanjut terus, nah si adik ini juga tambah lanjut terus, nah ini pengaruh apa ya?

ET : Saya rasa memang budaya, budaya yang begitu kental. Memang ada beberapa teman-teman yang saya kenal juga begitu, sudah berpacaran sampai sekian tahun, tetapi akhirnya harus berakhir begtu saja karena sang pria tidak sabar menunggu dia karena setiap kali diajak menikah saya harus tunggu kakak dulu, ada yang belum menikah dan memang secara budaya dilarang, tabu untuk melangkahi kakaknya.

(2) PG : Menurut Bu Netty dan Bu Esther, sebenarnya wanita itu merencanakan apa tidak untuk tidak menikah atau untuk hidup lajang?

NL : Kalau saya rasa yang memutuskan untuk hidup berlajang saya tidak berani bilang tidak ada, cuma tidak terlalu banyak. Pada umumnya wanita ingin menikah untuk mempunyai satu keluarga, memina keluarga yang manis, yang baik saya kira pada umumnya begitu.

GS : Ada juga faktor karena orang tuanya mungkin tinggal sendiri karena pasangannya sudah meninggal. Lalu si anak tidak berani memutuskan untuk menikah, bahkan ibunya ini yang saya tahu itu agak berusaha menghalang-halangi si anak untuk menikah, karena si ibu akan merasa kehilangan.

NL : Ya ada juga sih, tapi cuma sebagian. Ada sebagian orang tua justru menginginkan supaya anaknya bisa menikah, mendapat menantu seorang pria untuk menjaga, melindungi. Bahkan ada yang menajukan dengan satu syarat bahwa kalau mau menikah dengan anak saya kamu harus masuk rumah, tidak boleh dibawa.

PG : Kalau ada orang berkata begini, Bu Netty dan Ibu Esther, bahwa karier itu adalah musuh dari kawin, bagaimana setuju atau tidak?

ET : Tidak selalu ya, walaupun ada memang seseorang yang mungkin karena tuntutan tanggung jawab juga bisa, maksudnya karena adik-adiknya masih kecil, jadi harus dibiayai sekolahnya, orang tu sudah meninggal.

Itu karena merasa lebih bertanggung jawab akhirnya bekerja terus mementingkan kariernya sampai akhirnya memang lupa, jadi memang bermusuhan dengan kawin itu sendiri. Tetapi kalau mau diakui secara jujur saya yakin pasti keinginan yang seperti Ibu Netty katakan itu ada, walaupun dia berkarier sedemikian rupa, keinginan untuk membangun sebuah rumah tangga pasti ada di dalam hatinya.

PG : Kalau Bu Netty bagaimana sebagai hamba Tuhan?

NL : Karier saya pikir di satu sisi mungkin dikatakan "musuh dari pernikahan" ya, cuma pasti kita lihat juga karier apa. Misalnya kalau karier-karier yang biasa-biasa saja mungkin tidak terllu, tapi kalau makin seorang wanita mempunyai karier yang tinggi misalnya sudah naik sampai ke pimpinan, nah itu menurut saya semakin susah.

PG : Saya melihat, Ibu Netty dan Ibu Esther, bahwa karier kalau melekat pada wanita seringkali menjadi sesuatu yang tidak terlalu pas atau nyaman. Tidak se-pas dan senyaman kalau kita kataka pria itu berkarier, maksud saya begini, pria tidak pernah ada masalah yang kalau dia mempunyai karier yang tinggi dan sebagainya.

Tapi saya kira wanita menghadapi karier dengan suatu perasaan yang sedikit 'ambivalen', perasaan yang sedikit tidak tahu pasti maju atau mundur. Tadi yang Ibu katakan waktu dia menanjak dalam kariernya, seolah-olah dia mungkin makin menjadi jauh dari kemungkinan dijangkau oleh pria. Atau misalkan dia akhirnya menikah, kariernya juga seringkali menjadi sesuatu yang membuat dia merasa kurang pas atau sedikit bersalah kalau misalnya si suami tidak mempunyai kedudukan sebaik dia. Penghasilannya tidak sebesar dia atau nanti kalau dia mempunyai karier terus dia mempunyai anak, dia merasa dialah yang dituntut untuk berkorban, tidak pernah si suami merasa dia yang harus mengurangi kariernya, kebanyakan wanita yang diminta untuk mengurangi kariernya. Jadi saya mengamati karier itu sebagai sesuatu yang mempunyai 2 mata pedang, wanita menikmati karier tapi seolah-olah dia juga akan terjebak perasaan bersalah kalau terlalu menikmati karier.

ET : Ya itu memang dilema ya, saya bisa memahami sekali karena saya pernah juga mengalami. Maksudnya siapa yang tidak ingin bekerja seperti yang saya katakan tadi sudah sekolah, sudah punya lmu rasanya juga orang tua yang sekarang pasti berharap sudah mengeluarkan biaya untuk anak-anaknya bahkan mereka tidak rela sesudah anaknya selesai, lulus kuliah, menikah lalu tidak bekerja.

Saya banyak mendengar orang tua mengeluh,"Wah, anak saya sudah sekolah tinggi-tinggi akhirnya tidak bekerja." Jadi terlepas dari dirinya sendiri, pasti orang tua yang membiayai punya harapan untuk anak berkarier, tapi memang sampai titik tertentu itu bisa menjadi masalah.
GS : Ya mungkin masalahnya bertambah kompleks karena kita tidak hidup sendiri di tengah-tengah masyarakat, mungkin Ibu Netty bisa memberikan pandangan khususnya di dalam jemaat ya Bu, kalau ada salah seorang jemaatnya yang tidak menikah-menikah itu biasanya terjadi rumor?

NL : Kalau dulu mungkin bisa jadi rumor, tapi saya melihat sekarang sekalipun di masyarakat Indonesia sudah makin lama makin biasa, karena banyak wanita karier yang terus terang mereka sukselah.

Jadi mungkin ada, tapi tidak terlalu jadi masalah kalau saya lihat sekarang.
GS : Mungkin masalahnya justru di keluarga ya Bu, kalau masyarakat umum atau jemaat Ibu tidak melihat itu.

NL : Tidak terlalu melihat itu.

GS : Nah, bagaimana wanita itu sendiri menghadapi sikap masyarakat atau keluarga yang kadang-kadang curiga, mencemooh atau menganggap aneh, Bu Esther?

ET : Sikapnya bisa lain-lain, maksudnya ada orang-orang yang rasanya bergembira saja, dia begitu menikmati dengan status lajangnya karena rasanya tidak perlu pusing dalam pengambilan keputusn untuk mau melakukan apa saja, bekerja di bidang apa, mau pergi ke mana itu rasanya tidak perlu banyak masalah dibanding orang-orang yang sudah menikah.

Sebentar-sebentar harus telepon ke rumah mengecek apa anaknya sudah minum susu atau belum. Tetapi di kalangan lain cukup banyak yang akhirnya stress juga dengan tuntutan orang tua atau keluarga, akhirnya memang cenderung menghindari pertemuan-pertemuan keluarga karena setiap kali berkumpul ada yang menikah. Ada yang ulang tahun, keluarga pasti bertanya kapan menyusul, lalu mana calonnya, itu memang hal yang sangat membuat stress ya.

PG : Jadi sebetulnya yang keluarga harus lakukan adalah tidak terlalu mempertanyakan kapan menikah, di mana calonnya, mungkin kalau bertanya sekali-sekali ya tapi jangan terlalu sering, seba kalau terlalu sering akhirnya memberi tekanan pada si wanita itu sendiri.

ET : Tapi kadang-kadang tidak dalam bentuk pertanyaan juga, Pak Paul, kadang-kadang dalam bentuk pernyataan sepertinya empati tapi tetap menyebalkan. Misalnya kita tenang-tenang, tapi terus ereka berkata sudah jangan khawatir nanti Tuhan pasti sediakan, jadinya yang khawatir siapa, kita sendiri tidak apa-apa.

PG : Apakah Ibu Netty juga mengalami hal seperti itu dari keluarga dulu?

NL : Ya, tapi saya pikir untuk menghadapi mungkin pandangan orang kadang-kadang dari perkataan, mata, pandangan yang sinis. Saya pikir kita atau orang yang bersangkutan harus siap mental. Jai kita jangan melihat diri kita sendiri aneh-aneh atau kekurangan sesuatu, kalau kita melihat diri kita demikian, kita salah tingkah terus.

Tapi kalau kita sudah siap, tahu apa yang harus kita hadapi, apapun pandangan mereka ya tenang-tenang saja, saya pikir tergantung sikap kita bagaimana melihat kelajangan kita.

ET : Semakin kita berpikir mengapa orang lain menikah sedangkan saya tidak, itu makin dilihat, ditanyakan, pertanyaan seperti itu memang akhirnya akan lebih membuat pusing.

PG : Jadi kuncinya adalah jangan sampai kita menunjukkan bahwa kita melihat diri kita ada yang salah. Kalau kita memperlakukan diri kita seolah-olah ada yang salah, kemungkinan besar orang aan memperlakukan seperti itu pula, bahwa ada yang tidak benar.

Tapi kalau kita bisa berhadapan dengan orang, dengan perasaan yang nyaman dalam diri kita tidak ada yang salah, bahwa kita tidak menikah tidak apa-apa, orangpun juga akan menghormati kita dan tidak merasa sinis.

NL : Ya bukan saja kita jangan menunjukkan, maksud saya terimalah sebagaimana adanya. Kalau kita mempunyai sikap yang demikian otomatis kita bisa menunjukkan, bukan maksud saya ditutup-tutup, terima sebagaimana saya, inilah saya memang pimpinanNya Tuhan sampai sejauh ini begini.

PG : Saya ingin bertanya yang lebih konkret misalkan orang bertanya kepada Ibu Esther, kepada Ibu Netty berapa anaknya, di mana suaminya, bagaimana perasaan Ibu dan bagaimana untuk menjawabnya?

ET : Susah ya, kadang-kadang saya suka membalikkan lagi kalau yang bertanya itu orang yang memang tidak tahu apa-apa, misalnya teman lama kemudian kita bertemu lagi dan bertanya sudah punya nak berapa.

Kalau rasanya situasinya tidak terlalu dibuat secara jelas, saya kadang-kadang suka mengatakan, "O.... anak saya banyak di mana-mana". Karena saya banyak membimbing anak-anak atau anak-anak saya di sekolah minggu. Tapi kalau memungkinkan saya katakan memang saya belum menikah, maksudnya dia memerlukan jawaban seperti itu, bukan pertanyaan yang basa-basi. Saya katakan saja memang saya belum menikah.
GS : Bagaimana Bu Netty?

NL : Ya saya juga lihat situasi, kadang-kadang mungkin saya bisa katakan, "Suami saja belum ada bagaimana bisa punya anak," atau kadang-kadang saya katakan, "O..... belum punya", dia tanya "erapa anak", "O.....

belum punya". Kecuali kalau dia tanya terus, kalau tidak ya sampai di situ saja. Lihat-lihat keadaannya bagaimana.
GS : Saya pernah punya pengalaman dengan atasan yang kebetulan wanita lajang, kami yang menikah khususnya pria kadang-kadang melihat dia kalau memberikan suatu perintah atau permintaan agak berlebihan dibandingkan dengan yang sederajat dengan dia tapi menikah. Kesimpulan kami sementara adalah dia tidak punya anak, enak saja kerja sampai jam 07.00, jam 08.00 malam. Dia menuntutnya seperti itu ya tidak apa-apa, tapi kalau kita mempunyai keluarga. Jadi kami menganggap dia semena-mena, karena dia tidak menikah, lalu tidak memahami perasaan kami yang menikah. Nah pendapat seperti itu bagaimana, Bu Netty?

NL : Semena-mena ini saya pikir dia mungkin tidak sadar karena kalau sampai saat ini dia belum menikah itu berarti begitu fokus, begitu konsentrasi di dalam karier. Di satu sisi mungkin bagiperusahaan senang mendapat atasan yang bisa mengatur anak buahnya.

Ya mungkin ada sebagian yang semena-mena, tapi mungkin ada sebagian yang mungkin dia tidak sadar, kesemena-menaan itu tidak disadari, saya rasa ada yang bisa begitu.
GS : Ya mungkin yang kedua itu yang lebih tepat, jadi tidak menyadari bahwa orang lain mempunyai tanggung jawab yang lain. Masalahnya sekarang bagaimana wanita lajang yang punya kedudukan yang tinggi itu bersikap di tengah-tengah keluarga mereka khususnya, biasanya kalau mereka punya pendapatan yang jauh lebih baik daripada yang lain, nah bagaimana seharusnya wanita lajang ini bersikap?

ET : Saya rasa memang intinya bukan hanya wanita lajang, sama seperti semua orang perlu belajar memahami posisi orang lain. Wanita lajang inipun memang perlu untuk selalu mengingat bahwa orag lain mungkin bisa ada hambatan dalam arti tidak bisa seproduktif dia, orang lain bisa mempunyai kesulitan karena harus membagi waktu dengan keluarganya.

Jadi kalau memang punya satu sikap yang seperti itu seharusnya ia bisa menjadi orang yang menyenangkan juga.
GS : Memang ada problem juga kadang-kadang wanita lajang ini makin lama makin sulit mendekati pria yang lain. Dia merasa kedudukannya sudah tambah tinggi otomatis pendapatannya lebih baik, lalu dia sulit untuk bergaul dan sebagainya itu, nah sikap seperti ini sebenarnya bagaimana harus diatasi?

NL : Ya saya pikir dia harus menyadari status kelajangannya, jangan merasa superiorlah. Kalau semasa dia sadar saya pikir itu Ok! Ok! Kalau dia tidak sadar bisa tidak seimbang.

PG : Mungkin Bu Netty dan Bu Esther pernah mendengar aksioma atau pernyataan di luar bahwa kalau wanita atau pria sama tidak menikah itu bisa jadi aneh. Saya percaya Ibu Esther dan Ibu Nettytidak merencanakan menjadi aneh, tidak melihat keanehan sampai saat ini.

Yang ingin saya tanyakan adalah pertama-tama apakah memang merupakan kebenaran dari aksioma tersebut, yang kedua adalah apa yang harus dilakukan para wanita lajang agar jangan sampai menjadi aneh?

ET : Memang pandangan itu ada benarnya juga, maksudnya dalam arti kita mungkin cukup sering menemukan orang-orang yang akhirnya dihubung-hubungkan. Saya juga punya pengalaman guru-guru di seolah dulu, kepala sekolah yang kalau sudah menyebalkan walaupun mungkin menikah pun menyebalkan, tetapi karena dia tidak menikah akhirnya orang-orang menghubungkan, memang perawan tua atau orang yang tidak menikah seperti itu.

Jadi memang yang menyebalkan terbukti juga ada. Tapi saya rasa itu mungkin lebih kepada faktor sulit menerima keadaan, itu bisa mempengaruhinya, bahwa dia sendiri belum sebegitu siap untuk menerima kondisi kelajangannya sehingga begitu mudah untuk secara emosi mudah terusik kalau mungkin orang-orang sudah mulai menyinggung statusnya. Atau sekalipun orang tidak menyinggung statusnya secara langsung, tetapi dengan cara melihat seperti tadi yang dikatakan sudah mulai yakin pasti orang membicarakan saya, sehingga akhirnya memang secara emosi mudah untuk tersentuh dan akhirnya memang jadi tidak menyenangkan di hadapan orang-orang sekitarnya.

NL : Ya saya juga sependapat, adakalanya mungkin orang itu sendiri andaikata dia menikah juga bisa ada keanehan. Tapi memang biasanya kalau orang hidup sendiri, apa-apa dia sendiri, ambil keutusan sendiri.

Memang kesendirian ada kemungkinan membuat seseorang yang hidup lajang itu bisa sedikit aneh, mungkin kalau orang melihat terus terang saja karena dia sendiri tidak berpikir orang harus bagaimana, bisa menimbulkan hal-hal yang demikian saya pikir.

PG : Jadi mungkin Ibu Netty dan Ibu Esther ada saran bagi para wanita lajang yang mendengarkan kita di sini, apa yang bisa mereka lakukan untuk mengisi kebutuhan emosional. Sebab kesendirian itu adalah sesuatu yang menjadi bagian hidup yang sangat-sangat riil ya?

ET : Tetap menjalin relasi ya, saya pikir memang kadang-kadang sulit, kalau dulu pernah bersahabat akrab lalu teman akrabnya sudah menikah kadang-kadang mau tidak mau berubah karena dia haru mengurus suami dan keluarganya, sementara dia tetap sendiri.

Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dia tetap bisa menjalin relasi dengan orang-orang lain juga, jadi misalnya tetap terlibatlah di dalam kehidupan sosial mungkin pelayanan, persekutuan, hal-hal yang memang bisa membuat dia bisa mengaktualisasikan dirinya dan menjalin kehidupan sosialnya, jangan justru malah menyendiri takut dibicarakan orang atau takut dipandang remeh.

NL : Atau mungkin juga dia banyak keponakan, sayangilah mereka, ajak mereka pergi. Saya pikir ia bisa juga menikmati hidup kekeluargaan, ada kehangatan. Di samping dia memberikan kehangatan ada orang, dari sisi yang lain dia juga mendapatkan kehangatan dari orang.

PG : Kalau secara sosial bagaimana Bu Netty dan Ibu Esther, maksudnya yang tadi Bu Esther singgung misalnya menikah, kita datang sendirian, orang lain datang dengan suaminya. Bagaimana cara-cara atau mungkin ada kiat-kiat untuk menghadapi hal seperti itu?

ET : Kalau memang berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan saya sendiri, saya rasa sebenarnya tidak apa-apa. Datang sendiri tidak ada yang salah, sama saja seperti orang yang mungkin punyasuami tapi suaminya tidak bisa datang ke pesta.

Jadi sebenarnya situasinya sama karena saya datang sendiri.

PG : Jadi jangan justru dihindari, memang ada kemungkinan agak enggan sehingga menghindari untuk datang, kalau Bu Netty bagaimana?

NL : Ya adakalanya saya pergi seorang diri, adakalanya saya bisa ajak teman saya untuk menemani ke undangan.

ET : Tidak harus sendiri ya?

GS : Ya memang masalah ini muncul, dipertanyakan oleh salah seorang pendengar kami yang setia. Saya rasa dengan mengikuti pembicaraan ini, pasti akan sangat bermanfaat khususnya bagi ibu yang bertanya kepada kami. Namun sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul akan menyampaikan suatu kesimpulan.

PG : Saya akan bacakan dari Filipi 4:11-12 , "Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan, aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan, dalam seala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku.

Bersambung di Filipi 4:13 , "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Yang bisa saya simpulkan dari yang Ibu Esther dan Ibu Netty katakan adalah kita perlu menerima keadaan kita, itu yang pertama. Jangan sampai kita merasa ada masalah dengan status lajang kita. Tidak apa-apa lajang, ini adalah bagian hidup yang Tuhan berikan kepada kita sampai saat ini, tidak tahu nantinya bagaimana, yang penting sampai saat ini inilah porsi yang Tuhan telah tetapkan, terimalah tanpa harus ada merasa bersalah. Dan yang kedua adalah kita harus belajar mencukupi sebab memang kehidupan lajang mempunyai juga minus dan plusnya, waktu lebih banyak, tenaga lebih banyak bisa dicurahkan tapi minusnya juga ada yang kita telah bahas. Tugas kita adalah belajar untuk mencukupinya, tidak bersungut-sungut menyalahkan siapa-siapa, atau menyalahkan Tuhan tapi belajarlah mencukupi yang kurang itu. Dan yang tadi yang telah Ibu Netty dan Ibu Esther katakan, saya kira sangatlah bermanfaat untuk kita semuanya. Saya harap semua wanita lajang yang mendengarkan kita bisa menimba manfaat dan saran-saran dari Ibu Netty dan Ibu Esther. Terima kasih atas kedatangan Ibu Netty dan Ibu Esther, Tuhan memberkati!

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan dengan Ibu Esther Tjahja dan Ibu Pdt. Dr. Netty Lintang tentang kehidupan lajang dari prespektif wanita. Kalau pun Anda masih punya masalah dan pertanyaan-pertanyaan kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih.



12. Abigail Potret Wanita Bijak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T077A (File MP3 T077A)


Abstrak:

Abigail mewakili karakteristik seorang perempuan yang bijak. Perempuan yang bijak adalah perempuan yang berpikir sebelum bertindak, dia adalah orang yang objektif, berani mengatakan salah terhadap yang salah dan benar terhadap yang benar, dan juga seorang perempuan yang membawa orang atau mengarahkan mata orang kepada Tuhan.


Ringkasan:

Abigail adalah seorang wanita yang bersahaja, seorang wanita yang kemungkinan sekali berasal dari keluarga yang tidak punya, itu sebabnya dia harus menikah dengan seorang pria kaya namun bertabiat atau berperangai buruk, namanya adalah Nabal. Abigail membuktikan dirinya sebagai seorang yang bijak dalam suatu peristiwa yang sangat-sangat krusial.

I Samuel 25 mencatat sekurang-kurangnya ada 3 tindakan Abigail yang mewakili karakteristik orang yang bijak atau dalam kasus ini wanita yang bijak.

  1. Abigail berpikir sebelum bertindak

  2. Dia adalah seorang yang objektif. Pasal 25 Abigail berkata : "Aku sajalah ya tuanku yang menanggung kesalahan itu, izinkanlah hambamu ini berbicara kepadamu dan dengarkanlah perkataan hambamu ini. Janganlah kiranya tuanku mengindahkan Nabal orang yang dursila itu, sebab seperti namanya demikianlah ia Nabal namanya dan bebal orangnya. Tapi aku hambamu ini tidak melihat orang-orang yang tuanku suruh." Dengan kata lain dia adalah orang yang objektif, dia mengakui bahwa suaminya itu memang orang yang bebal, jadi dengan kata lain yang salah adalah salah buat dia, yang benar adalah benar.

    Abigail mengerti bahwa situasi saat itu sangat kritis, dia harus bertindak dan dia pikirkan masak-masak apa yang dia harus lakukan:

    1. Dia tahu dia harus berhubungan dengan Daud untuk minta maaf

    2. Dia tahu dia harus jujur kepada suaminya, maka waktu dia pulang, keesokan harinya dia beritahukan suaminya akan tindakannya itu.

    Ini juga yang harus kita miliki sebagai seorang istri atau pun suami yaitu sifat objektif, yang salah tetap salah, yang benar tetap benar, jangan kita langsung berkata ini suamiku, ini istriku salah benar pokoknya pasti benar dan saya akan bela, tidak. Yang salah tetap salah, yang benar tetap benar kita harus berdiri di atas rel kebenaran bukan di atas rel dia adalah suamiku atau istriku. Penting dalam hubungan suami-istri ada yang bisa dan sebaiknya dua-duanya bisa berfungsi sebagai pengawas, sebagai penegur, sehingga hubungan suami-istri bisa bertambah kuat, bisa menjadi lebih dewasa.

  3. Abigail mengarahkan orang kepada Tuhan, seperti yang dikatakannya kepada Daud sewaktu dia menghadap Daud. "Oleh sebab itu tuanku demi Tuhan yang hidup dan demi hidupmu yang dicegah Tuhan dari pada melakukan hutang darah dan dari pada bertindak sendiri dalam mencari keadilan. Ampunilah keceroboan hambamu ini, sebab pastilah Tuhan akan membangun bagi tuanku keturunan yang teguh karena tuanku ini melakukan peran Tuhan dan tidak ada yang jahat terdapat padamu selama hidupmu." Dari sini kita bisa melihat Abigail menggunakan kata Tuhan dengan kata lain dia mencoba mengingatkan Daud untuk tidak berdosa, untuk tidak berbuat jahat, untuk tidak mencari keadilan dengan caranya sendiri. Saya kira ini adalah potret wanita bijak yang kita juga harus miliki sekarang. Istri yang membawa, mendorong anggota keluarganya serta suaminya untuk melihat kepada Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari, bagi seorang istri yang hidup berdampingan dengan suami yang tidak seiman tetap ada yang harus dilakukannya untuk mengarahkannya kepada Tuhan.

  1. Mengarahkan suami atau keluarganya kepada Tuhan melalui perbuatannya. Seperti yang dinasihatkan dalam 1Petrus 3:1 . Perbuatan yang saleh, perbuatan yang sungguh mencerminkan kasih Kristus di dalam kehidupannya. Dengan cara itu si suami akan melihat bahwa istrinya berbeda dari wanita lain. Dan apa yang membuat istrinya berbeda karena dia adalah orang yang sudah ditebus oleh Tuhan Yesus dan hidup sesuai dengan perintah Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Abigail: Potret Wanita Bijak. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam Alkitab ada begitu banyak tokoh wanita yang baik, tetapi kali ini Pak Paul memilih satu topik atau pokok pembicaraan tentang Abigail yang mungkin bagi sebagian pendengar masih asing siapa Abigail. Mungkin Pak Paul, bisa memberikan semacam alasan, kenapa Pak Paul memilih Abigail sebagai contoh potret wanita yang bijak?

PG : Itu memang benar yang Pak Gunawan katakan, di dalam Alkitab memang banyak tokoh-tokoh wanita tapi saya memang memilih Abigail karena alasan-alasan tertentu. Sudah tentu alasan-alasan ini jga bisa diterapkan untuk tokoh-tokoh yang lain.

Abigail adalah seorang wanita yang bersahaja, seorang wanita yang kemungkinan sekali berasal dari keluarga yang tidak punya, maka dia harus menikah dengan seorang pria yang bernama Nabal yang kaya, namun bertabiat atau berperangai buruk. Sebetulnya nama aslinya bukanlah Nabal, tapi julukannya Nabal dan Nabal itu berarti bebal, orang yang tidak bisa belajar dan tidak mempunyai hikmat. Abigail membuktikan dirinya sebagai seorang yang bijak dalam suatu peristiwa yang sangat-sangat krusial dan sebetulnya satu-satunya catatan tentang Abigail dan apa yang dilakukannya hanya dicatat dalam kitab 1 Samuel 25 ini. Jadi sudah tentu banyak hal lain yang dilakukannya, namun tidak tercatat dan yang dicatat di Alkitab adalah suatu peristiwa dimana dia berhasil menyelamatkan keluarganya dari sebuah marabahaya yang sangat besar.
(1) GS : Di dalam 1 Samuel 25 itu, apakah secara jelas dilukiskan atau dituliskan tindakan-tindakan Abigail yang bijaksana itu, Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, jadi sekurang-kurangnya ada 3 tindakan Abigail yang bagi saya mewakili karakteristik orang yang bijak atau dalam kasus ini adalah wanita yang bijak. Nah yang pertama adaah waktu Abigail diberitahukan oleh pesuruhnya bahwa Daud telah datang dan meminta bantuan suaminya Nabal untuk memberikan mereka makan namun Nabal menghina mereka, mencaci maki mereka.

Abigail berpikir dengan jelas apa yang harus dilakukannya, nah setelah berpikir dia langsung membawa pesuruhnya dan membawa makanan-makanan untuk diberikan kepada Daud. Dengan perkataan lain, ciri pertama dari Abigail yang bijak itu adalah dia berpikir sebelum bertindak.
GS : Nah waktu itu Daud belum jadi raja, Pak Paul, kenapa si Nabal atau Abigail itu harus memberikan sesuatu pada Daud?

PG : Pada saat itu Daud sedang dalam pengejaran Saul, Tuhan sudah mengutus Samuel untuk mengurapinya namun karena pengurapan itulah nasib Daud berubah dengan sangat drastis. Dia sebelumnya hidu dengan tenang sebagai seorang gembala, tapi setelah diurapi Tuhan untuk menggantikan Saul, dia harus lari dari satu tempat ke tempat yang lainnya karena Saul ingin membunuhnya.

Itu sebabnya pada saat-saat itu Daud kebanyakan bersembunyi di padang-padang gurun atau di hutan-hutan. Nah, Alkitab mencatat bahwa pada saat itu dia rupanya sedang bersembunyi di suatu tempat atau di padang gurun, kebetulan di padang gurun itu hiduplah Nabal yang kaya. Alkitab mencatat dia mempunyai 3000 ekor domba dan 1000 ekor kambing. Apa yang Daud lakukan? Kalau kita tidak memahami latar belakangnya memang seolah-olah memberi kita kesan, dia adalah seorang perampok. Dia datang kepada Nabal kemudian meminta Nabal untuk membagikan sedikit hartanya untuk Daud dan para pengikutnya. Yang terjadi sebetulnya adalah begini: Israel dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang memusuhinya misalnya ada bangsa-bangsa seperti Filistin, bangsa Edom kemudian ada juga bangsa Moab, ada bangsa Amon dan di Utaranya ada bangsa Aram. Nah, kebanyakan mereka adalah bangsa-bangsa yang tidak ramah kepada Israel, misalkan kita tahu bangsa seperti Filistin sering kali menyerang Israel. Israel sebetulnya tidak menyerang Filistin tapi Filistin yang sering menyerang Israel. Bangsa Midian, bangsa Amon, bangsa Moab, bangsa-bangsa yang juga sering menyerang bangsa Israel. Salah satu objek serangan bangsa-bangsa ini adalah para pengusaha, jadi orang-orang yang tinggal agak jauh dari kota, mempunyai ternak dan sebagainya merupakan sasaran bagi suku bangsa ini untuk menjarahnya. Itu sebabnya Alkitab mencatat bahwa para pesuruh Nabal sendiri memuji Daud dan para pengikutnya, Alkitab mencatat para pesuruh Nabal ini berkata bahwa Daud dan serdadunya itu seperti tembok yang memagari mereka. Sehingga mereka merasa aman, tenteram dari gangguan bangsa-bangsa yang biasanya menjarah mereka. Dengan perkataan lain, Daud datang sebagai orang yang telah banyak berbuat jasa untuk Nabal dan hartanya, nah saat itu dikatakan Nabal baru saja menggunting bulu domba berarti dia benar-benar baru panen, baru mendapatkan banyak sekali hasil, maka dia diminta sedikit untuk diberikan kepada Daud dan para pengikutnya. Namun Nabal bersikap sangat kasar dan mencaci maki Daud, itu sebabnya Daud marah.
GS : Tetapi pada saat yang kritis seperti itu, Abigail mengatasinya dengan menjelaskan masalah dan memberikan sebagian hartanya itu ya, Pak Paul. Itu yang tadi Pak Paul katakan berpikir sebelum bertindak.

PG : Dan dikontraskan dengan suaminya yang bertindak tanpa berpikir, jadi Nabal berarti bebal, orang yang tidak bijaksana. Abigail orang yang bijaksana, orang yang bijak adalah orang yang berpiir sebelum bertindak.

Saya mengkategorikan ada 3 jenis orang Pak Gunawan, yang bijak adalah berpikir sebelum bertindak, yang kurang bijak adalah bertindak kemudian berpikir, tapi yang sangat bebal adalah yang bertindak dan tidak pernah berpikir setelah itu.
GS : Pak Paul, selain Abigail itu bijaksana karena bertindak setelah dia memikirkannya dengan masak-masak tentang akibatnya dan sebagainya, ciri lain apa Pak Paul yang ada di dalam diri Abigail sehingga Pak Paul mengkategorikan orang ini sebagai potret wanita yang bijak?

PG : Yang kita bisa lihat adalah dia seorang yang objektif, saya bacakan dari pasal 25 itu Abigail berkata: "Aku sajalah ya tuanku yang menanggung kesalahan itu, izinkanlah hambamu ini berbcara kepadamu dan dengarkanlah perkataan hambamu ini.

Janganlah kiranya tuanku mengindahkan Nabal orang yang dursila itu, sebab seperti namanya demikianlah ia Nabal namanya dan bebal orangnya. Tapi aku hambamu ini tidak melihat orang-orang yang tuanku suruh." Nah dengan perkataan lain, saya bisa menyimpulkan dia adalah orang yang objektif, dia mengakui bahwa suaminya itu memang orang yang bebal, jadi dengan perkataan lain, yang salah adalah salah buat dia, yang benar adalah benar. Apa yang dilakukan setelah ia pulang, dia memang waktu pergi tidak memberitahukan suaminya bahwa dia akan membawa makanan itu kepada Daud. Tujuannya saya kira jelas, kalau dia memberitahu suaminya pasti tidak diizinkan dan kalau tidak diizinkan Abigail tidak jadi pergi ke pada Daud. Padahal malam itu seisi keluarganya akan dibunuh oleh Daud. Jadi Abigail mengerti bahwa situasi saat itu sangat kritis, dia harus bertindak dan dia pikirkan masak-masak apa yang dia harus lakukan. Pertama dia tahu dia harus berhubungan dengan Daud, dia harus minta maaf itu langkah pertama yang dilakukannya. Yang kedua dia tahu dia harus jujur kepada suaminya, maka waktu dia pulang, keesokan harinya dia beritahukan suaminya akan tindakannya itu. Dia tidak langsung memberitahukan malam itu juga atau hari itu juga karena suami sedang berpesta pora. Nah kemungkinan besar dalam pesta pora suaminya akan mabuk-mabukan dan dalam suasana mabuk kalau diberitahu mungkin akan membahayakan nyawanya, karena itu dia memilih waktu yang tepat yaitu keesokan harinya. Tapi dari sini kita melihat bahwa dia seorang yang sangat objektif. Saya kira kita bisa jatuh kepada dua ekstrim Pak Gunawan, ekstrim yang pertama adalah kita menjelek-jelekkan suami kita, kita katakan suami kita itu bebal dan sebagainya dan Abigail mempunyai kesempatan untuk itu. Dia bisa menjelek-jelekkan suaminya dan berkata kepada Daud, "Daud....saya tidak tahan lagi hidup dengan suami seperti ini, ya silakan Daud kalau engkau ingin menghabisi dia silakan, asal selamatkan nyawaku." Tapi tidak dilakukannya, dia memang mengakui suaminya bersalah, tapi sebaliknya dia juga tidak menjelek-jelekkan suaminya, dia tetap pulang ke rumah dan keesokan harinya dengan jujur dia mengakui apa yang telah dilakukannya kepada Daud. Jadi di sini saya melihat suatu keseimbangan yang sangat indah, tidak menjelek-jelekkan suami tapi juga bisa jujur dan apa adanya kepada si suami itu.
GS : Mungkin itu suatu posisi yang sangat sulit buat seorang istri seperti Abigail ini Pak Paul, dimana dia bisa bersikap objektif seperti itu, karena kita sudah terbentuk biasanya para istri itu tunduk kepada suami sehingga enggan menegur suami apabila suami salah. Bagaimana pandangan seperti itu, Pak Paul?

PG : Saya kira akan ada beban mental untuk mengatakan bahwa suami salah tatkala suami salah. Beban mental itu adalah yang tadi Pak Gunawan katakan, bukankah saya istri dan seharusnya membela sumi, jadi kenapa saya harus menjelek-jelekkan suami.

Nah saya kira sebagai orang Kristen, kita dipanggil Tuhan untuk menyatakan yang salah sebagai yang salah, yang benar sebagai yang benar. Jadi kalau pasangan kita salah, kita bisa akui salah, namun pengakuan salah itu tidak perlu kita bumbu-bumbui, tambah-tambahi menjadi suatu ejekan atau penghinaan atau malah menambahkan kemarahan orang pada suami kita. Jadi dengan perkataan lain, Abigail di sini menceritakan suaminya salah, itu dia akui, dia tidak membela suaminya, tapi dia tetap menghormati suaminya. Dia pulang, lalu memberitahukan dengan jujur apa yang telah diperbuatnya. Saya tahu kadangkala kita ini jatuh dalam perangkap yang kiri atau yang kanan. Pada akhirnya istri akan menjelek-jelekkan suaminya atau kebalikannya ada juga istri yang membabi-buta membela suaminya, apapun yang dilakukan suaminya tetap benar meskipun salah. Nah itu pun saya kira tidak benar dan Tuhan tidak menghendaki kita seperti itu.
GS : Setelah mendengar pengakuan bahwa si istri sudah memberikan sebagian hartanya kepada Daud, kita baca di Alkitab bahwa si suami itu tiba-tiba meninggal, kenapa ya Pak Paul?

PG : Alkitab tidak mencatat apa yang terjadi secara medis karena memang Alkitab bukanlah buku kedokteran, tapi Alkitab menggambarkan apa yang dilihat yaitu tubuhnya mengeras seperti membatu, jatungnya itu berhenti dan 10 hari kemudian dia meninggal dunia.

Nah, Tuhan yang membalaskan Daud, makanya Daud berkata berkali-kali bahwa Tuhan telah membalaskan kejahatan Nabal kepadanya. Apa yang terjadi pada Nabal, ini hanya dugaan saya, karena memang Alkitab tidak menggunakan istilah medis yang tepat di situ atau tidak menggunakan istilah medis sama sekali. Dia kemungkinan besar terkena stroke, maka dikatakan tubuhnya itu seperti batu keras dan jantungnya berhenti, sehingga akhirnya 10 hari kemudian dia meninggal dunia. Dugaan saya dia kaget dan shock, memang saya di sini berspekulasi namun tindakan atau apa yang terjadi pada Nabal makin membuktikan dia orang yang berkarakter Nabal, bebal sekali yaitu luar biasa kikirnya. Dikatakan istrinya hanya menyerahkan kepada Daud lima ekor domba, kita bisa simpulkan di sini bahwa istrinya hanya memberikan sangat sedikit dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Nabal. Alkitab mencatat dia mempunyai 3000 ekor domba dan 1000 ekor kambing, jadi 5 ekor dari 4000 ekor adalah 1 dari 800 ekor, tapi ternyata waktu 1 dari 800 itu diberikan kepada orang dia langsung shock, terkena stroke dan akhirnya meninggal. Kesimpulan saya memang luar biasa kikirnya orang ini, dia menggenggam hartanya dengan luar biasa sehingga benar-benar tidak ada yang boleh keluar dari genggamannya. Nah sekali lagi ini adalah karakter yang sangat buruk yang dimiliki oleh Nabal.
GS : Apakah ada karakter lain yang atau ciri lain yang dimiliki oleh Abigail itu, sehingga dia memang pantas disebut potret wanita bijak?

PG : Yang ketiga adalah Abigail itu mengarahkan orang kepada Tuhan, saya bisa bacakan apa yang dikatakannya kepada Daud sewaktu dia menghadap Daud. "Oleh sebab itu tuanku demi Tuhan yang hiup dan demi hidupmu yang dicegah Tuhan daripada melakukan hutang darah dan daripada bertindak sendiri dalam mencari keadilan, (nah terus disambung lagi apa yang dikatakan Abigail, saya sambung di sini), ampunilah kiranya kecerobohan, hambamu ini, sebab pastilah Tuhan akan membangun bagi tuanku keturunan yang teguh karena tuanku ini melakukan peran Tuhan dan tidak ada yang jahat terdapat padamu selama hidupmu."

Dari sini kita bisa melihat berkali-kali Abigail menggunakan kata Tuhan, dengan kata lain dia mencoba mengingatkan Daud untuk tidak berdosa, tidak berbuat jahat, tidak mencari keadilan dengan caranya sendiri. Tapi menantikan Tuhan, makanya waktu Daud mendengar Nabal meninggal dunia 10 hari kemudian, Daud memuji Tuhan. Dan Daud berkata Tuhan yang telah mencegahnya dari pada membuat atau berbuat kejahatan. Jadi kita lihat ciri yang indah dari Abigail dia membawa orang atau mengarahkan mata orang kepada Tuhan, dan saya kira ini adalah potret wanita bijak yang juga harus kita miliki sekarang. Istri yang membawa, mendorong anggota keluarganya serta suaminya untuk melihat kepada Tuhan.
(2) GS : Mungkin di dalam kehidupan sehari-hari itu akan sulit memang Pak Paul, seorang istri yang hidup berdampingan dengan suami yang tidak seiman, tetapi dia harus mengarahkan si suami ini kepada Tuhan. Nah itu bagaimana secara praktisnya, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah dia mengarahkan si suami atau keluarganya kepada Tuhan melalui perbuatannya. Di 1 Petrus 3:1 dipaparkan tentang istri yang suaminya tidak percaya kepada Tuan Yesus, dan di sana disarankan untuk si istri memenangkan suaminya bukan melalui perkataan melainkan melalui perbuatan.

Perbuatan yang apa? Perbuatan yang saleh, perbuatan yang sungguh mencerminkan kasih Kristus di dalam kehidupannya. Dengan cara itu, si suami akan melihat bahwa istrinya berbeda dari wanita lain. Istrinya berbeda dari dirinya dan istrinya berbeda dari orang-orang lain yang dikenalnya, dan apa yang membuat istrinya berbeda, istrinya adalah orang yang sudah ditebus oleh Tuhan Yesus dan hidup sesuai dengan perintah Tuhan. Itu yang pertama-tama mengarahkan mata orang, termasuk suaminya kepada Tuhan.
GS : Kalau mengenai ciri bahwa seorang wanita bijak itu berpikir sebelum bertindak, di dalam aplikasi sehari-hari seperti apa misalnya, Pak Paul?

PG : Misalkan ada hal-hal yang mengganggu si istri yang memang dilakukan oleh suaminya. Daripada langsung beremosi dan memarahi si suami, sebaiknya si istri berdiam dulu dan memikirkan kenapa smpai suamiku ini berbuat seperti ini mungkin dia lupa, mungkin dia tidak memikirkannya sama seperti saya memikirkannya, mungkin maksudnya bukan untuk melukai saya.

Sewaktu si istri berpikir secara masak-masak biasanya tindakannya akan lebih baik. Berbeda dengan seorang istri yang sangat dikuasai oleh emosi, dia pasti langsung mengekspresikan kemarahannya, dia merasa dilukai dia harus membalas, tanpa mengambil waktu untuk memikirkan kenapa sampai terjadi. Sebab yang paling sering terjadi dalam rumah tangga adalah adakalanya suami itu kurang sensitif dan memang begitulah suami adalah pria kurang memiliki kepekaan dibandingkan dengan istri-istri yang memang mempunyai kepekaan yang tinggi. Adakalanya terjadilah pertengkaran karena si istri merasa dilukai oleh si suami, tapi masalahnya adalah si suami sungguh-sungguh tidak bermaksud untuk melukai si istri, tapi memang sudah terlanjur si istri merasa dilukai. Nah di sini yang perlu dilakukan adalah istri bisa berpikir sebelum bertindak, belum tentu suamiku memang sengaja melukaiku, dia mungkin memang tidak menyadari perbuatannya. Ini akan menambah kebijakan, saya kira salah satu keluhan suami yang terutama tentang istri adalah istri terlalu cepat bereaksi, istri terlalu cepat menunjukkan emosinya pada umumnya. Saya kira ada kasus-kasus yang merupakan perkecualian, tapi pada umumnya istri dianggap terlalu cepat bereaksi secara emosional dan ini membuat pria akhirnya tidak begitu nyaman. Nah pria ingin mempunyai istri yang bijak, salah satu indikasinya adalah berpikir sebelum bertindak.
GS : Tetapi ciri yang khas, justru memang tadi seperti Pak Paul katakan pada diri wanita justru lebih emosional dibandingkan dengan pria yang lebih banyak menggunakan pikirannya. Hal itu apa bisa dilatih, Pak Paul?

PG : Bisa meskipun memang tidak mudah, tapi bisa dengan cara misalnya sewaktu dia sedang marah, jangan langsung berbicara. Ada baiknya tunggu dulu, berikan jedah, berikan waktu agar dia bisa tnang kemudian baru berbicara.

Ini saya alami juga dengan istri saya, Pak Gunawan, awal-awalnya kalau istri saya ingin marah, dia langsung marah, akhirnya saya beritahu dia semakin engkau marah, semakin saya tidak berkutik untuk menjawab sebab saya tidak bisa menanggapi kalau engkau menunjukkan emosi yang terlalu tinggi. Kalau engkau bicara baik-baik, saya lebih bisa menjawabmu sehingga kita bisa mencapai solusinya. Akhirnya dia memaksa diri untuk tidak langsung berbicara. Jadi di sini suami mempunyai tugas juga untuk memberitahukan istri, misalkan yang contoh klasik juga suami pulang dari kantor, istri dari pagi sampai sore sudah di rumah, anak nakal, anak belajarnya malas dan sebagainya. Begitu lihat suami pulang yang muncul pertama kali dari mulut si istri adalah tadi anakmu begini, begini, begini, kau harus tegur dia, kau harus marahi dia begini, begini, begini. Si suami pulang ke rumah ingin mempunyai ketenteraman sejenak dan ingin mempunyai 'mood' yang bagus, tapi begitu pulang dan disambut dengan keluhan dan omelan, tidak bisa tidak si suami akan langsung mengubah perasaannya, moodnya. Bukannya menjadi tenang dan senang, tapi dia akan marah dan biasanya lalu dia memanggil anak itu, dimarahi atau dipukulnya. Akhirnya apa yang dilihat oleh si anak, papa pulang langsung marah-marah. Anak tidak mengetahui bahwa sebetulnya papa pulang tadi moodnya bagus, tapi mama langsung marah-marah memberitahukan kenakalan anak-anak, jadi sekarang papa berubah fungsi menjadi algojo yang memarahi dan memukul anak. Nah ini contoh ketidakbijaksanaan, yang lebih bijak adalah si istri tunggu dulu biarkan suami pulang supaya bisa istirahat yang santai. Ketika malam dan terlihat sudah lebih tenang, baru si istri berkata yang terjadi dengan anak-anak. Nah kalau si istri membutuhkan bantuan sampaikan saja, mintalah bantuan itu, jadi jangan sampai terlalu cepat bertindak.
GS : Saya pikir memang pada saat-saat seperti ini, di mana kondisinya makin sulit lebih banyak dibutuhkan istri-istri yang bijak di dalam kehidupan berumah tangga. Karena akan makin sulit juga bagi suami untuk mengelola rumah tangga, kalau tidak didampingi oleh istri yang bijak seperti Abigail ini. Pada kasus lain yang kita temukan di dalam Alkitab, justru seperti Izebel dengan Ahab yang saya rasa kurang bijak.

PG : Betul, kebalikannya dari objektif, Ahab dan Izebel saling melengkapi kejahatan, Izebel jahat tapi Ahab menutupinya, Ahab jahat tapi Izebel menutupinya. Jadi di sinilah diperlukan keobjektian, yang salah tetap salah, yang benar tetap benar.

Jangan kita langsung berkata ini suamiku, ini istriku pasti benar dan saya akan membelanya. Yang salah tetap salah, yang benar tetap benar, kita harus berdiri di atas rel kebenaran, bukan di atas rel dia adalah suamiku atau istriku. Nah justru suami istri yang tidak menunjuk apa yang benar, apa yang salah, menjadi hubungan suami istri yang akhirnya makin menjerumuskan mereka dalam masalah, karena tidak ada lagi yang bisa berfungsi sebagai pengawas atau penegur. Jadi memang penting dalam hubungan suami istri, ada baiknya kalau dua-duanya bisa berfungsi sebagai pengawas, penegur, sehingga hubungan suami istri tersebut bisa bertambah kuat dan bisa menjadi lebih dewasa. Saya kira ini yang dikehendaki Tuhan, bukannya kita malah menutup-nutupi kesalahan.

GS : Ya jadi saya rasa, itulah panggilan Tuhan terhadap para istri, terhadap para ibu pada zaman yang sulit seperti sekarang ini. Baiklah saudara-saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Abigail sebagai potret wanita bijak. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



13. Yonatan Potret Pria Bijak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T077B (File MP3 T077B)


Abstrak:

Yonatan mewakili karakteristik seorang pria yang bijak. Seorang pria yang bijak adalah dia bersahabat hanya dengan sesama pria, dia adalah seorang yang membela kebenaran dan dia juga adalah seorang yang lepas dari ambisi pribadi dan dia juga adalah seorang yang setia.


Ringkasan:

Ada 4 karakter yang bisa kita pelajari dari kehidupan Yonatan sebagai pria bijak yaitu:

  1. 1Samuel 18:1 , "Ketika Daud habis berbicara dengan Saul berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud dan Yonatan mengasihi dia seperi jiwanya sendiri." Yonatan adalah sahabat Daud, jadi karakteristik pertama seorang pria bijak adalah dia bersahabat dengan sesama pria. Apalagi kita yang sudah beristri, penting sekali menjunjung tinggi prinsip ini, boleh berteman dengan wanita tapi jangan dekat. Bertemanlah dekat hanya dengan sesama pria.

  2. 1Samuel 16:4,5 , "Lalu Yonatan mengatakan tentang yang baik kepada Saul ayahnya, katanya: "Janganlah raja berbuat dosa pada hambanya sebab dia tidak berbuat dosa terhadapmu. Bukankah apa yang diperbuatnya sangat baik bagimu, ia telah mempertaruhkan nyawanya dan telah mengalahkan orang Filistin itu dan Tuhan telah memberikan kemenangan yang besar kepada seluruh Israel, engkau sudah melihatnya dan bersukacita karenanya. Mengapa engkau hendak berbuat dosa terhadap darah orang yang tidak bersalah dengan membunuh Daud tanpa alasan." Karakter kedua Yonatan membela yang benar meskipun dalam hal ini dia harus melawan ayahnya sendiri. Dengan kata lain kita sebagai pria Kristen, sebagai suami Kristen kita dipanggil Tuhan untuk berdiri di atas kebenaran.

  3. 1Samuel 20:30,31 , "Lalu bangkitlah amarah Saul kepada Yonatan katanya kepadanya: "Anak sundal yang kurang ajar, bukankah aku tahu bahwa engkau telah memilih anak Isai dan itu noda bagiku kau sendiri dan bagi perut ibumu. Sebab sesungguhnya selama anak Isai itu hidup di muka bumi engkau dan kerajaanmu tidak akan kokoh dan sekarang suruhlah orang memanggil dan membawa dia kepadaku, sebab ia harus mati." Ciri ketiga atau karakteristik ketiga dari Yonatan adalah dia orang yang lepas dari ambisi pribadi. Bagi dia yang penting dia tahu Tuhan kehendaki apa dalam hidupnya, dia tahu Daud adalah orang yang Tuhan sudah urapi dan begitu dia tahu Daud adalah orang yang Tuhan urapi, dia tidak perlu lagi memperdebatkan hal itu untuk mempertanyakan keabsahan pengurapan Tuhan. Sebagai pria Kristen kita harus belajar dari Yonatan, terimalah yang Tuhan berikan, ini porsi kita, ya sudah terima, jangan kita tidak terima dan mau memperbesar-besar diri. Banyak pria yang akhirnya terjerumus dalam dosa penipuan dsb, gara-gara ingin besar terlalu cepat dan tidak menerima porsi yang Tuhan tetapkan baginya.

  4. 1Samuel 31:1,2 , "Sementara itu orang Filistin berperang melawan orang Israel, orang-orang Israel melarikan diri dari hadapan orang Filistin dan banyak yang mati terbunuh di pegunungan Gilboa. Orang Filistin terus mengejar Saul." Ciri terakhir atau karakteristik terakhir yang kita bisa petik dari kehidupan Yonatan adalah dia seorang yang setia, meskipun ayahnya mempunyai banyak kelemahan tapi waktu ayahnya berperang membela orang Israel, Yonatan berada di samping ayahnya. Kesetiaan merupakan sebuah pilihan tidak muncul dengan mendadak dan tidak kita rasakan secara perasaan. Kesetiaan adalah sebuah komitmen, sebuah tekad. Dr. James Dobson dia pernah berkata: "Saya tidak akan berzinah, memang saya tidak bisa memastikan masa depan saya, tapi saya sudah membuat tekad itu, saya tidak akan dan tidak mau mengkhianati istri saya."
    Nah saya kira itu harus menjadi tekad kita semua sebagai seorang pria dan suami Kristen, untuk bisa setia yaitu:

    1. Mempunyai tekad bahwa tidak ada kosa-kata berkhianat, tidak ada istilahnya berhubungan dengan wanita lain, tekad itu harus kita jaga.

    2. Untuk bisa setia orang harus bijaksana, caranya adalah seperti yang diungkapkan di atas bersahabat dengan sesama jenis, jangan bersahabat dengan lawan jenis. Atau kita nggak menempatkan diri kita di situasi di mana akhirnya kita mudah jatuh ke dalam pencobaan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Yonatan: potret pria bijak. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sering kali kita mengenal Yonatan hanya sebatas sahabat Daud, karena mereka berteman baik sekali dan sering kali dipakai sebagai contoh persahabatan Yonatan, anak raja Saul itu. Kalau Pak Paul mengangkat atau menempatkan Yonatan sebagai contoh atau figur pria yang bijak itu, alasannya apa Pak Paul?

PG : Pertama memang cukup banyak data tentang Yonatan, sehingga kita bisa simpulkan kehidupannya dengan cukup tepat. Kedua dapat dikatakan, dari awal hingga akhir kehidupannya tidak ada cacat stupun yang bisa ditemukan pada Yonatan.

Menarik sekali kisah tentang Yonatan ini, Pak Gunawan, karena dia mempunyai karakteristik yang begitu indah tapi hidupnya tidaklah berumur panjang, namun dari hidup yang pendek ini kita bisa belajar terutama yang berguna bagi kita sebagai pria-pria Kristen.
GS : Contohnya seperti apa Pak Paul?

PG : Ada 4 karakter yang bisa kita pelajari dari kehidupan Yonatan, yang pertama adalah di 1 Samuel 18:1 dikatakan "Ketika Daud habis berbicara dengan Saul berpadulah jiwa Yonaan dengan jiwa Daud dan Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri."

Yonatan adalah sahabat Daud, jadi karakteristik pertama tentang seorang pria yang bijak adalah dia bersahabat dengan sesama pria. Nah apalagi kita yang sudah beristri ini Pak Gunawan, penting sekali kita menjunjung tinggi prinsip ini, boleh tidak berteman dengan wanita, boleh tapi jangan dekat. Bertemanlah dekat hanya dengan sesama pria, nah kita tahu bahayanya kebanyakan perselingkuhan diawali dengan persahabatan. Jadi biasanya pria itu bercerita masalahnya kepada teman wanitanya, dimulai dengan cerita-cerita masalahnya, lama-lama dia merasakan dimengerti sepenuhnya oleh si wanita itu, akhirnya dia sangat membutuhkan si wanita itu dalam kehidupannya. Kalau ada apa-apa yang langsung terpikir, yang dicarinya adalah si wanita itu dan akhirnya mulailah keterlibatan emosional di antara mereka berdua. Jadi sebagai pria Kristen, saya kira yang lebih baik adalah kita menjadikan sesama pria sebagai sahabat kita dan jangan jadikan wanita lain sebagai sahabat kita.
GS : Biasanya begini Pak Paul, sebelum menikah kita punya sahabat-sahabat pria yang cukup dekat, namanya sahabat cukup lama dibina tetapi setelah menikah biasanya hubungan itu menjadi renggang dan tidak lagi menjadi sahabat, ya cuma sekadar pertemanan biasa saja itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang ada perubahan yang akan terjadi setelah kita menikah, karena tidak bisa tidak pernikahan itu menuntut konsentrasi dan energi kita sepenuhnya. Oleh karena itu tidak bisa tidak, akan da perbedaan dalam persahabatan namun secara berkala kita masih bisa bertemu dengan teman-teman pria kita, misalnya bermain tenis atau bermain basket, atau ngobrol-ngobrol di telepon atau nanti kita dengan istri dan teman kita dengan istrinya bisa pergi bersama.

Dengan kata lain meskipun frekwensinya berkurang, tapi kadar persahabatan itu tetap bisa dipelihara. Misalkan di gereja, kita berteman dengan satu dua orang dan kita bisa misalnya mulai pergi bersama-sama dengan pasangan kita atau secara teratur kita sekali-sekali pergi makan siang atau makan pagi dengan dia dan bisa ngobrol-ngobrol. Waktu saya di Seminari, saya masih ingat guru saya seorang psikolog bercerita setiap minggu sekali dia makan pagi bersama dengan 2 temannya. Nah salah seorang temannya seorang pengusaha, teman yang lain adalah seorang pendeta, jadi mereka bertiga akan makan pagi pada hari yang sama untuk berdoa dan juga untuk saling cerita. Nah guru saya itu cerita bahwa saya itu seorang psikolog dan adakalanya diapun bisa tertarik kepada lawan jenisnya, pada kliennya. Nah pada waktu itu terjadi, dia akan berkata pada dua temannya itu, saya mulai tertarik dengan klien saya ini, saya minta minggu depan engkau berdua menanyai saya, sebab saya harus mempertanggungjawabkan perbuatan saya kepada orang lain. Dengan perkataan lain, pria yang mempunyai tempat untuk bertanggung jawab, cenderung berhati-hati dengan tindakannya, sedangkan pria yang tidak punya teman tidak ada tempat untuk dia bertanggung jawab kepada orang lain dan bisa-bisa dia bebas dan cenderung liar dalam perbuatannya.
GS : Memang ada kekhawatiran dari pihak suami terhadap istrinya, kalau misalnya tadi itu makan pagi bersama, pergi bersama nah mengatasinya itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebetulnya kalau si istri tahu bahwa si suami itu pergi dengan teman prianya dan ini adalah teman-teman yang baik bagi suaminya, seharusnya istri tidak akan berkeberatan sebab yang istri mu adalah suaminya itu berjalan dalam rel yang benar.

Jadi seharusnya tidak ada masalah di situ.
GS : Hanya perlu komunikasi dan pengertian yang benar ya, Pak Paul. Selain sikap bersahabat dengan sesama pria dan memang kita kenal Yonatan sebagai sahabat Daud dan itu terbukti dengan tindakannya. Apakah ada ciri lain?

PG : Di 1 Samuel 16:4-5 tertulis: Lalu Yonatan mengatakan tentang yang baik kepada Saul ayahnya, katanya: "Janganlah raja berbuat dosa pada hambanya sebab dia tidak berbuat dos terhadapmu.

Bukankah apa yang diperbuatnya sangat baik bagimu, ia telah mempertaruhkan nyawanya dan telah mengalahkan orang Filistin itu dan Tuhan telah memberikan kemenangan yang besar kepada seluruh Israel, engkau sudah melihatnya dan bersukacita karenanya. Mengapa engkau hendak berbuat dosa terhadap darah orang yang tidak bersalah dengan membunuh Daud tanpa alasan." Nah di sini kita melihat karakter yang kedua adalah Yonatan membela yang benar meskipun dalam hal ini dia harus melawan ayahnya sendiri. Ayahnya seorang raja yang sangat berkuasa dan cenderung memang semena-mena, tapi Yonatan tahu jelas bahwa Daud di pihak yang benar, untuk itu dia rela membela Daud. Dan kalau kita baca lebih lanjut lagi, kita akan bisa mengetahui pula bahwa Yonatan meresikokan hidupnya sendiri. Dalam kemarahan ayahnya, Saul hampir membunuh Yonatan, jadi dengan perkataan lain sebagai pria Kristen, sebagai suami Kristen kita dipanggil Tuhan untuk membengkokkan yang benar atau menutupi yang salah, tidak. Nah ini saya kira juga dapat diterapkan dalam hubungan suami istri, kalau memang istri salah ya tetap salah, kalau benar ya benar. Jadi kita memang perlu menjaga jangan sampai melebih-lebihkan hal itu tapi kita perlu objektif, sama seperti yang lalu kita berbicara tentang Abigail sebagai wanita yang bijak.
GS : Yang sebenarnya posisi Yonatan pada waktu itu sulit juga ya Pak Paul, karena Saul adalah ayahnya yang dihormatinya dan dikasihinya, tetapi seperti tadi Pak Paul katakan objektifitas itu penting. Jadi kalau beberapa waktu yang lalu kita bicara tentang istri yang bijak, objektifitas itu penting bagi suami, juga tidak kalah pentingnya untuk bersifat objektif itu.

PG : Tepat sekali, sebab pada akhirnya ya Pak Gunawan, saya perhatikan bahwa yang kita hormati bukanlah orang yang membela kita, yang lebih kita hormati adalah orang yang membela kebenaran. Mesipun waktu kita tidak dibela pada waktu kita salah, sesungguhnya dalam hati kita angkat topi.

Karena dia membela yang benar dan dia tidak hanya membela saya karena saya istrinya atau suaminya. Nah, jadi saya kira tepatlah yang Tuhan minta dan inilah yang dilakukan oleh Yonatan, dia tetap membela yang benar, meskipun dalam hal ini, tadi Pak Gunawan katakan, dia dalam posisi yang sangat sulit. Melawan ayahnya sendiri, tapi karena sahabatnya berdiri pada pihak yang benar maka dia harus membelanya. Ini kadang-kadang terjadi dalam hubungan suami istri dengan mertua, Pak Gunawan, misalkan seorang suami berada di tengah-tengah antara istrinya dan orang tuanya. Nah mana yang harus dia bela, nasihat firman Tuhan jelas sekali dia membela yang benar, yang benar siapa pada saat itu. Kalau yang benar saat itu adalah istrinya, dia harus membela istrinya meskipun melawan orang tuanya sendiri. Tapi kalau saat itu yang benar adalah orang tuanya, dia juga harus mengatakan kepada istrinya, engkau yang salah.
GS : Meskipun ada sifat lain, karakter lain yang tadi Pak Paul katakan, cukup banyak bisa ditemui dalam diri Yonatan sehingga diangkat sebagai potret pria yang bijak?

PG : Yang berikutnya adalah saya ambil dari 1 Samuel 20:30-31 , "Lalu bangkitlah amarah Saul kepada Yonatan katanya kepadanya: "Anak sundal yang kurang ajar, bukankah aku tau bahwa engkau telah memilih anak Isai dan itu noda bagi kau sendiri dan bagi perut ibumu.

Sebab sesungguhnya selama anak Isai itu hidup di muka bumi engkau dan kerajaanmu tidak akan kokoh dan sekarang suruhlah orang memanggil dan membawa dia kepadaku, sebab ia harus mati." Di sini kita membaca kemarahan Saul kepada anaknya Yonatan, kenapa engkau membela Daud, nah di sini Saul membuka isi hatinya bukankah engkau itu putra mahkota dan sekarang mahkota ini diambil untuk diserahkan kepada Daud, kenapa engkau malah membela Daud, kenapa engkau tidak menghiraukan mahkota itu. Ciri ketiga atau karakteristik ketiga dari Yonatan yang indah adalah dia seorang yang lepas dari ambisi pribadi. Bagi dia yang penting adalah dia tahu Tuhan menghendaki apa dalam hidupnya. Dia tahu Daud adalah orang yang sudah Tuhan urapi maka sudah selesai masalahnya, dia tidak perlu lagi memperdebatkan hal itu untuk mempertanyakan keabsahan pengurapan Tuhan atau Daud, bukannya dia tidak bisa lagi dan dia tidak perlu lagi memperbesar masalah itu. Yang menarik di sini adalah, Pak Gunawan, Yonatan seorang yang baik, namun Tuhan tidak memilihnya, itu yang tidak kita mengerti meskipun dia seorang yang begitu baik memang Tuhan dalam rencananya tidak memilih Yonatan. Seharusnya memang misalkan Saul itu jahat, ya bisa digantikan oleh putranya, tapi Tuhan memilih Daud dari keturunan orang yang lain. Saya kira Tuhan memang punya rencana dan kita tahu rencana Tuhan adalah dari Daud akan muncul Juru Selamat yaitu Tuhan Yesus yang kita kenal itu. Namun sekali lagi kita kembali ke Yonatan, di sini karakteristik yang indah adalah dia seorang yang lepas dari ambisi pribadi. Ini sukar untuk ditekan di kalangan pria, Pak Gunawan, pria pada umumnya memang mudah terbakar oleh ambisi pribadinya.
GS : Apalagi di dalam situasi seperti sekarang ini, di mana orang didorong justru untuk menumbuhkan ambisi pribadinya, Pak Paul.

PG : Tepat sekali dan apalagi kalau dia merasa bisa menggapai yang diinginkan itu dengan begitu mudahnya, kenapa harus dia lepaskan. Nah Yonatan hanya satu jengkal dari tahta kerajaannya, namundia lepaskan dan tidak pernah meributkan hal itu.

Karena dia mengetahui ini bukan bagiannya, Tuhan tidak memberikan ini untuk dia dan dia menerima itu. Sebagai pria Kristen kita harus belajar dari Yonatan, terimalah yang Tuhan berikan, jangan kita tidak terima dan mau membesar-besarkan diri. Banyak pria yang akhirnya terjerumus dalam dosa penipuan dan sebagainya karena ingin besar terlalu cepat dan tidak menerima porsi yang Tuhan tetapkan baginya.
GS : Mungkin yang belum terlalu jelas buat saya, darimana Yonatan memiliki sikap-sikap yang positif seperti itu. Kalau kita lihat, orang tuanya Saul itu tidak memberikan teladan yang baik buat anaknya.

PG : Ini pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, tidak bisa diketahui secara pasti dari mana Yonatan belajar sifat-sifat yang baik itu sebab ayahnya seorang yang memang tidak baik. Tapi kalaukita baca baik di kitab 1 Samuel , 2 Samuel , 1 Tawarikh dan juga 1 Raja-raja dan 2 Raja-raja kita akan menyaksikan bahwa raja yang sangat jahat, anaknya sangat baik.

Dan ada raja yang sangat baik, anaknya sangat jahat, itu benar-benar suatu rahasia yang tidak diketahui, suatu misteri yang tidak kita ketahui. Kenapa dari raja yang baik bisa muncul anak yang jahat, dan kenapa dari raja yang jahat bisa muncul anak yang sangat baik.
GS : Mungkin ada karakter lain yang Pak Paul mau sebutkan, yang bisa ditemukan di dalam Alkitab tentang segi yang positif di dalam diri Yonatan?

PG : Saya akan bacakan dari kitab 1 Samuel 31:1-2 "Sementara itu orang Filistin berperang melawan orang Israel, orang-orang Israel melarikan diri dari hadapan orang Filistin da banyak yang mati terbunuh di pegunungan Gilboa.

Orang Filistin terus mengejar Saul dan menewaskan Yonatan, Abinadab, dan Malkisua, anak-anak Saul." Pak Gunawan, ciri terakhir, karakteristik terakhir yang kita bisa petik dari kehidupan Yonatan adalah dia seorang yang setia. Meskipun ayahnya mempunyai banyak kelemahan tapi waktu ayahnya berperang membela orang Israel, karena ini memang perang melawan bangsa Filistin yang tidak baik, yang tidak ramah terhadap Israel, Yonatan berada di samping ayahnya. Dia tidak berkata: "Engkau ayah yang tidak baik, engkau ayah yang penuh kelemahan, ya sudah sekarang engkau tanggung sendiri", o....tidak, jadi cirinya adalah setia, Pak Gunawan. Saya kira dewasa ini ciri atau karakteristik setia menjadi karakteristik yang sangat penting karena mulai langka, Pak Gunawan. Bukankah kalau kita ini sebagai suami mulai melihat ketuaan istri kita, penurunan fisiknya tidak terlalu menarik seperti dulu lagi, akhirnya kita tidak setia. Banyak dari kita mencari yang lain dan yang lebih menarik mata kita dan hati kita. Tidak demikian dengan Yonatan, meskipun ayahnya mempunyai kelemahan-kelemahan tapi tetap dia setia tidak meninggalkan ayahnya, dia mati di samping ayahnya sendiri.
GS : Ciri setia itu, saya rasa yang terus-menerus ditekankan oleh Tuhan Yesus terhadap umatNya, tetapi kita mempunyai Roh Kudus di dalam diri kita yang bisa membantu merubah kehidupan kita yang tidak setia ini menjadi setia. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kesetiaan itu bisa kita wujudkan dalam kehidupan suami istri?

PG : Kesetiaan itu sebetulnya merupakan sebuah pilihan yang tidak muncul dengan mendadak dan tidak kita rasakan secara perasaan. Kesetiaan adalah sebuah komitmen, sebuah tekad. Saya masih ingatsekali perkataan dari seorang psikolog Kristen, Dr.

James Dobson. Dia pernah berkata mungkin orang akan mengira saya ini terlalu berlebihan mengatakan hal ini, tapi saya berkata kepada saudara-saudara sekalian, saya tidak akan berzinah. Memang saya tidak bisa memastikan masa depan saya, tapi dia mengatakan, "Saya sudah membuat tekad bahwa saya tidak mau mengkhianati istri saya". Saya kira itu harus menjadi tekad kita semua sebagai seorang pria dan suami Kristen, mempunyai tekad bahwa tidak ada kosa kata berkhianat, tidak ada istilahnya berhubungan dengan wanita lain, tekad itu harus kita jaga. Jadi bukannya kita ini takabur memastikan masa depan kita, tetapi kita tahu kelemahan kita yang bisa jatuh ke dalam dosa namun kita mempunyai tekad itu. Dan yang kedua adalah untuk bisa setia orang harus bijaksana, caranya adalah yang tadi itu, kita bersahabat dengan sesama jenis, jangan bersahabat dengan lawan jenis. Atau kita tidak menempatkan diri kita di situasi di mana akhirnya kita mudah jatuh ke dalam pencobaan, jangan tinggal di hotel, atau kita bawa orang lain atau teman kita yang sesama jenis sehingga kita tidak jatuh ke dalam pencobaan. Jadi kita harus bijaksana karena kita tahu bahwa dosa ada dalam tubuh kita dan kita mudah untuk terseret kembali.
GS : Banyak orang berdalih, nanti bila saya setia, pasangan saya tidak setia, dia merasa dirugikan jadi sikap seperti itu sebenarnya bagaimana?

PG : Kalau sampai seseorang mempunyai sikap seperti itu, yang sudah terjadi dalam pernikahan itu adalah merosotnya rasa percaya. Jadi suami istri perlu mempunyai rasa percaya dan rasa percaya tdak datang dari langit, harus diberikan, harus dibuktikan oleh pasangannya.

Jadi seorang suami yang ingin dipercaya harus membuktikan dirinya sebagai orang yang layak dipercaya. Istri yang ingin dipercaya perlu membuktikan dirinya bahwa diapun patut dipercayai oleh suaminya. Jadi setelah ada rasa percaya itu barulah kita tidak akan berpikir seperti tadi, "kalau saya setia dia tidak setia, jadinya saya rugi". Nah sebetulnya kita tidak perlu berpikir seperti itu, sebab kita setia terutama kepada Tuhan, itu adalah Hakim Agung kita. Kita memang setia dalam prakteknya dengan istri namun sesungguhnya yang nomor satu yang paling penting adalah kita setia kepada Tuhan. Kita tidak mau berdosa kepada Tuhan dan rasa takut berdosa itulah seharusnya yang mendorong kita untuk lebih berhati-hati.
GS : Jadi rasa atau komitmen atau tekad untuk setia itu harus dipupuk terus-menerus di dalam kehidupan ini, karena tatkala kita lengah sedikit kita bisa dengan mudah mengkhianati kesetiaan kita sendiri.

PG : Betul, dan kalau kita tidak memelihara hubungan yang dekat dengan Tuhan kita akan lebih mudah terseret ke dalam perzinahan. Sebagai suami Kristen kita perlu menjaga hubungan yang sangat inim dengan Tuhan kita, kalau tidak maka di luar akan banyak angin yang bisa langsung menyeret kita ke dalam lembah dosa.

GS : Walaupun akibat dari kesetiaan Yonatan itu, dia harus bayar dengan nyawanya sendiri, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, tepat sekali dan yang indah adalah dia setia meskipun orang yang dibelanya itu sebetulnya orang yang begitu penuh kelemahan. Dan kalau dia berkata "saya tidak mau membela" pu, tidak akan disalahkan karena memang ayahnya itu bukan orang yang baik dan banyak kelemahan.

Namun dia tidak kehilangan obyektifitas, tadi telah kita bahas ayahnya salah ya tetap salah, Daud benar tetap benar dan dia membelanya. Namun waktu ayahnya menghadapi bahaya diserang oleh bangsa Filistin, dia membela ayahnya dan mati di samping ayahnya sendiri.
GS : Dari sisi itu kita bisa melihat gambar dari Tuhan Yesus yang sebenarnya tidak harus membela kita, tetapi justru di dalam kesetiaanNya kepada kita Dia mau mati di atas kayu salib.

Jadi saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Yonatan: potret pria bijak. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



14. Ambisi


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T086A (File MP3 T086A)


Abstrak:

Ambisi itu suatu dorongan di dalam diri kita yang membuat kita terpacu untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil yang baik dan kita mempunyai tujuan di dalam ambisi itu, kita mempunyai sasaran akan apa yang ingin kita capai.


Ringkasan:

Semua orang punya ambisi hanya kadarnya yang berbeda-beda. Ambisi itu suatu dorongan di dalam diri kita yang membuat kita terpacu untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil yang baik dan kita mempunyai tujuan di dalam ambisi itu, apa yang ingin kita capai. Sebenarnya ambisi itu sendiri bukan sesuatu yang negatif, cuma akan jadi bermasalah kalau ambisi tersebut berlebihan dan tidak sebanding dengan kekuatan atau pun potensi yang seseorang miliki. Maka orang tersebut tidak bisa melihat lagi realita dengan jelas dan tepat.

Ada berbagai gejala yang bisa dirasakan apabila ambisi terlalu besar, misalnya secara garis besar :

  1. Gejala fisik yang ditampilkan, berbagai penyakut yang diakibatkan oleh stres, seperti jantung, lambung, liver, sakit kepala yang sulit dijelaskan secara medis.

  2. Gejala kejiwaan, seperti tadi diungkapkan orang tidak bisa melihat realita dengan tepat karena sering kali orang ini hidup dalam alam yang tidak nyata, bisa juga menderita gangguan kejiwaan.

  3. Gejala perilaku, yang nampak nyata dari mereka ini misalnya ada yang suka omong besar, dalam persaingan dia takut bersaing, dia berusaha menghalangi kemajuan orang lain dan kalau perlu menyingkirkan orang lain, cepat marah, gampang tersinggung baik di pekerjaan maupun di rumah, penggunaan obat-obatan berlebihan karena ingin lari dari kenyataan, suka melamun, sulit mengendalikan diri dalam hal pengeluaran karena dia berambisi menjadi orang kaya. Bahkan misalnya banyak yang berhutang tidak bisa bayar dsb.

Ada beberapa hal yang kita harus kendalikan dari ambisi supaya bisa mempunyai dampak yang positif yaitu:
  1. Kita perlu peka terhadap batas-batas kemampuan kita sendiri.

  2. Kita perlu secara tajam menganalisa realitas dengan cara pandang yang benar, kita perlu punya suatu tujuan dan misi yang jelas.

  3. Kita belajar mencukupkan diri dengan apa yang telah diberikan kepada kita, kita bersyukur dengan pemberian Tuhan untuk kita.

  4. Kita perlu mengendalikan ambisi karena biasanya hidup kita itu didasarkan pada kedagingan kita. Dalam hal ini kita perlu menundukkan diri kita kepada hukum Roh dan bukan kepada hukum kedagingan.

Akibat ambisi tidak tercapai adalah kekecewaan dan frustrasi

Munculnya ambisi:

  1. Ada energi yang mendorong untuk berperilaku seperti itu, adakalanya energi di dalam kita itu besar dan sebetulnya perlu penyaluran yang pas.

  2. Faktor lingkungan juga cukup banyak, misalnya anak-anak yang tumbuh di dalam keluarga yang orang tuanya selalu memacu anak untuk mencapai sesuatu hal yang kadang-kadang terasa tidak mungkin.

Dampak yang akan muncul dalam diri anak akibat harus memenuhi ambisi orang tua adalah:

  1. Seperti dikemukakan di atas, dalam diri anak akan juga timbul ambisi yang besar.

  2. Anak juga kemudian memanipulasi dan melakukan banyak kebohongan.

  3. Anak-anak ini menjadi anak yang cenderung mudah patah semangat karena dia merasa tidak bisa mencapai apa yang ditargetkan oleh lingkungan kepadanya.

Ibrani 13:5 , "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu, karena Allah berfirman Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau," ini jaminan dari Tuhan.

Filipi 4:6-7 , "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur, damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahya, S.Psi. dan juga kali ini kami ditemani oleh Bapak Heman Elia seorang Magister dalam bidang Psikologi dan beliau berdua adalah pakar-pakar di bidang konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang dengan satu tema yaitu "Ambisi". Maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, terima kasih bisa bersama-sama dengan kami kembali pada saat ini, dan kita coba membahas tentang masalah ambisi. Apakah semua orang memang mempunyai ambisi, Pak?

HE : Ya semua orang punya dan seharusnya memang punya.

(1) GS : Hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Apa sebenarnya yang disebut dengan ambisi itu?

HE : Ambisi itu adalah suatu dorongan di dalam diri kita yang membuat kita terpacu untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil yang baik tentunya dan kita mempunyai tujuan biasanya di dalam ambis itu, apa yang ingin kita capai.

GS : Kalau memang seperti yang Pak Heman tadi katakan, kenapa banyak orang menafsirkan atau mengartikan bahwa ambisi itu sesuatu yang negatif?

HE : Terlanjur terbentuk suatu konotasi mungkin, untuk ambisi kalau orang misalnya menginginkan sesuatu dengan sangat misalnya kedudukan, uang lalu dikatakan bahwa dia berambisi. Nah karena tu sering kali ambisi dikaitkan dengan hal-hal yang seperti itu, terlalu berambisi.

Padahal sebetulnya saya kira ambisi yang sehat itu seharusnya kita miliki dan supaya kita bisa berprestasi dengan baik, menghasilkan karya terbaik.

ET : Mungkin tidak Pak Heman, ada orang di dunia ini yang sama sekali tidak punya ambisi apa-apa?

HE : Selama kita hidup dan tadi saya katakan yang normal, yang wajar, yang sehat itu harusnya ada ambisi. Mungkin pada orang-orang yang sungguh-sungguh cacat begitu ya, cacatnya sampai beratsekali nah itu bisa terjadi tidak punya ambisi karena dia tidak bisa berpikir dengan baik, dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik tapi selama seseorang hidup dan masih bertumbuh, masih punya keinginan dia masih punya ambisi.

ET : Dulu falsafah Jawa atau mungkin Timur juga banyak yang istilahnya 'nerimo' kira-kira ini hal yang berlawanan atau tidak dengan masalah ambisi?

HE : Saya lebih melihat falsafah 'nerimo' itu adalah dalam kaitan kita bisa menerima hal-hal buruk yang terjadi atas diri kita. Dalam arti begini, kalau misalnya kita mempunyai ambisi tetapikita tidak bisa mencapainya ya kita tidak di dalam falsafah 'nerimo' ini berarti meredam sehingga tidak terjadi akibat yang merugikan yang memukul diri kita karena ambisi yang tidak tercapai.

(2) GS : Lalu apakah ambisi dengan keinginan seseorang itu beda atau sama?

HE : Ada beberapa hal yang sama dalam arti begini, keinginan itu merupakan suatu dorongan dan dorongan itu ingin mencapai suatu tujuan tertentu. Kalau ada suatu tujuan dorongan atau energi, aka itu merupakan suatu ambisi, seperti itu.

GS : Jadi pada dasarnya sebenarnya ambisi itu sendiri bukan sesuatu yang negatif, cuma masalahnya kalau sudah ekstrim itu tadi yang Pak Heman katakan tadi. Akibatnya apa Pak, kalau seseorang itu sampai berlebihan di dalam ambisinya itu?

HE : Kalau ambisi terlalu besar dan itu tidak sebanding dengan kekuatan ataupun potensi yang seseorang miliki, maka yang akan terjadi biasanya orang tidak bisa melihat lagi realita dengan jeas dan tepat.

Akibatnya tentu bermacam-macam, ada berbagai gejala yang bisa dirasakan misalnya secara garis besar ada gejala fisik yang ditampilkan, ada gejala kejiwaan dan juga perilaku.
GS : Gejala kejiwaan itu seperti apa, Pak?

HE : Dalam gejala kejiwaan seperti tadi bahwa orang ini tidak bisa melihat realita dengan tepat karena itu di dalam gejala kejiwaan, orang ini sering kali hidup di dalam alam yang tidak nyat, yang dikaburkan atau didistorsikan, diselewengkan.

Dan kadang-kadang secara ekstrim orang-orang ini bisa menderita beberapa macam gangguan jiwa.

ET : Mungkin itu seperti ini Pak Heman, misalkan sering kita melihat mungkin film tentang rumah sakit jiwa. Orang-orang yang mungkin merasa dirinya sebagai seorang presiden atau sebagai seorang pemimpin, apakah itu juga memang dampak dari gejala kejiwaan dari ambisi yang terlalu besar itu juga, Pak Heman?

HE : Ada kemungkinan seperti itu.

ET : Lalu tentang tadi Pak Heman sempat singgung juga soal perilaku, kira-kira apa yang bisa nampak nyata dari akibat ini?

HE : Kalau dari perilaku kadang-kadang bisa terjadi seperti ini, ada yang suka omong besar karena dia tidak bisa mencapainya di dalam kenyataan lalu dia ngomong besar. Ada juga yang di dalampersaingan misalnya dia takut kalah bersaing, dia berusaha menghalangi kemajuan orang lain kalau perlu menyingkirkan orang lain.

Ada gejala-gejala mungkin cepat marah, mudah tersinggung, baik di pekerjaan maupun di rumah. Ada yang karena dia berusaha melarikan diri dari kenyataan kemudian misalnya menggunakan obat-obatan berlebihan, suka melamun atau sulit mengendalikan diri di dalam hal pengeluaran karena dia berambisi menjadi orang kaya, ingin seperti orang lain yang mampu lalu tidak bisa lagi mengontrol pengeluarannya. Bahkan misalnya banyak yang berhutang tidak bisa membayar dan sebagainya. Itu gejala-gejala perilaku di mana ambisi itu sangat besar dan tidak bisa dikontrol lagi, melampaui potensi yang kita miliki.

ET : Jadi semuanya itu sepertinya kembali lagi menggambarkan orang-orang ini tidak lagi hidup dalam dunia yang realistis ya, Pak Heman?(HE : Betul).

GS : Tapi itu sebenarnya harus ada semacam pemicunya, ambisi seseorang itu tidak tiba-tiba menjadi besar mungkin tadinya dia cuma biasa-biasa saja. Tapi apakah mungkin lingkungan sekelilingnya atau apa yang mendesak dia sampai kebablasan itu tadi?

HE : Saya kira ambisi ini karena merupakan salah satu energi yang mendorong kita berperilaku, adakalanya energi di dalam kita itu besar dan ini sebetulnya perlu penyaluran yang pas, itu kala dari dalam diri kita.

Faktor dari lingkungan juga cukup banyak, misalnya saja anak-anak yang tumbuh di dalam keluarga yang orang tuanya selalu memacu anak ini untuk mencapai sesuatu hal yang kadang-kadang terasa tidak mungkin. Tetapi karena misalnya kalau anak ini sekali waktu bisa mencapai harapan orang tuanya, orang tuanya menghadiahi berbagai macam. Lalu anak ini akan melakukan usaha-usaha misalnya. Saya kasih contoh anak yang kalau ulangan tidak bisa mencapai angka 8, 9 dan 10, tetapi karena keinginan orang tuanya dan dianggap anak ini baru berharga kalau dia mendapat ulangan yang setinggi ini, maka dia akan misalnya sampai mencontek tanpa ketahuan orang tuanya dan sebagainya. Nah dengan cara demikian anak ini dilatih, dibentuk menjadi orang yang berambisi antara lain juga misalnya dengan dia membual lalu teman-temannya menghargai dia. Dia menjadi terlatih untuk membual dan mempunyai ambisi yang berlebihan seperti itu, ditambah lagi kalau lingkungan kita sekarang ini adalah lingkungan persaingan yang sangat ketat. Dan sering kali persaingan-persaingan ini tidak didasarkan kepada hal yang baik, yang jujur. Kita lihat di mana-mana orang yang hidupnya dengan kerja keras dan sebagainya justru mereka sering kali tidak berhasil secara ekonomi dan sebagainya dan orang kurang dihargai, maka orang-orang yang berambisi untuk menjadi kaya mereka cenderung mencari jalan pintas. Lalu mereka menjadi berlebihan di dalam ambisinya ini, di dalam perilakunya.
GS : Rupanya untuk mencapai atau memuaskan ambisinya itu, dia akan menghalalkan semua cara ya?

HE : Ya kalau tidak terkontrol bisa seperti itu.

(3) ET : Masalahnya memang kadang-kadang saya tertarik yang tadi Pak Heman katakan, dari orang tua yang kadang-kadang berambisi yang begitu besar, kemudian mereka harapkan perwujudannya ada anaknya.

Jadi anak-anak dipacu sedemikian rupa untuk memenuhi ambisi orang tuanya, yang akhirnya buat si anak sepertinya yang dia kejar memang bukan buat dirinya sendiri tetapi buat orang tuanya. Akibatnya sering kali saya amati pada anak-anak yang zaman sekarang seperti mereka punya harapan, punya cita-cita yang sebenarnya jauh di atas kemampuan yang mereka miliki. Kira-kira apa dampak yang mungkin terjadi pada anak-anak yang seperti itu, Pak Heman?

HE : Selain dampak yang tadi saya sebutkan, bisa jadi anak ini kemudian memanipulasi dan kemudian melakukan banyak kebohongan. Kemungkinan lain adalah justru sebaliknya anak-anak ini menjadianak yang cenderung mudah patah semangat, karena dia merasa tidak bisa mencapai apa yang ditargetkan oleh lingkungannya kepadanya.

Jadi sebelum bertanding kalah duluan kira-kira seperti itu, mereka bahkan justru bisa menjadi orang yang apatis, yang tidak mau tahu. Kalau didorong oleh orang tua untuk belajar dan sebagainya mereka memberontak. Kalau tidak berani terang-terangan mungkin mereka kelihatannya belajar, tapi sebetulnya melamun dan sebagainya. Jadi bisa ada 2 macam ya, bisa anak ini kemudian karena dipaksa melampaui potensinya dia membual, berbuat seolah-olah dia mampu atau bertingkah laku seolah-olah dia bisa dan yang kedua sebaliknya dia menjadi apatis, menjadi tidak mau tahu.
(4) GS : Pak Heman, kalau tadi di awal Pak Heman katakan bahwa hampir semua orang itu punya ambisi, orang-orang yang tergolong normal dan sehat. Nah tentunya ambisi ini bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang positif, nah masalahnya bagaimana memanfaatkan ambisi itu untuk sesuatu yang positif?

HE : Ya ada beberapa hal yang harus kita kendalikan dari ambisi ini supaya bisa mempunyai dampak yang positif. Yang pertama kita perlu peka terhadap batas-batas kemampuan kita sendiri, meman ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.

Tetapi kita perlu melatih diri untuk bisa menilai diri, melihat diri apakah kita lebih atau kurang dari yang sebenarnya. Kalau kita terbiasa melatih, menyesuaikan ambisi kita dengan realita kehidupan kita maka kita bisa lebih wajar di dalam ambisi kita. Kita tidak perlu iri misalnya terhadap orang-orang yang di atas kita, sebaliknya kita juga tidak perlu merasa terlalu bangga kalau kita lebih dari orang lain. Yang kedua kita juga perlu secara tajam bisa menganalisa realitas dengan cara pandang yang benar, kita perlu punya suatu tujuan dan misi yang jelas. Saya beri contoh misalnya di dalam kehidupan Kristus sendiri, Dia mempunyai suatu misi untuk tidak mencari nama bagi diriNya sendiri, tetapi sebaliknya Dia datang justru untuk melayani dan memberikan nyawaNya bagi tebusan banyak orang. Nah saya kira kalau misalnya setiap orang Kristen itu mempunyai tujuan seperti ini, melayani orang lain dan kemudian berkorban bagi orang lain, mengasihi orang lain, menjunjung tinggi bukan namanya sendiri tetapi nama Tuhan, maka Allah dalam hal ini justru akan memuliakan atau meninggikan kita, bahkan Allah akan menghargai kita. Saya kira ini ambisi yang seharusnya dicapai oleh yang dimiliki oleh setiap orang Kristen. Kita lihat misalnya di Filipi 2:9 justru karena Yesus itu tidak merasa perlu mempertahankan kedudukanNya yang istimewa, maka Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama. Yang ketiga kita belajar mencukupkan diri dengan apa yang telah diberikan kepada kita. Kita bersyukur dengan pemberian Tuhan untuk kita. Dan yang keempat kita perlu mengendalikan ambisi karena biasanya hidup kita itu didasarkan pada kedagingan kita. Nah kita perlu menundukkan diri kita kepada hukum Roh dan bukan kepada hukum kedagingan. Dan kita tahu dari Alkitab bahwa hukum roh itu adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri. Kalau kita mempunyai ambisi dan kita selalu cenderung mempunyai keinginan daging, memuaskan keinginan kita sendiri maka kita harus menundukkan diri kita pada kuasa Roh Kudus, saya kira itu beberapa hal yang terpenting.
GS : Ya tadi Pak Heman memberikan contoh antara lain Tuhan Yesus, kita tahu bahwa Tuhan Yesus itu punya kuasa yang demikian hebat, besar. Tetapi mungkin yang jadi masalah bagi kita orang awam ini justru mengendalikan kekuasaan yang kita miliki, kalau sudah punya kuasa itu kecenderungannya adalah menggunakan kuasa itu untuk memenuhi ambisi kita.

HE : Ya dan itulah yang sering kali membuat orang itu saling sikut, saling bertengkar. Juga di rumah Tuhan, seperti murid-murid Tuhan Yesus yang berebut di sebelah kanan, di sebelah kiri Tuhn Yesus kalau misalnya Dia menjadi Raja dan sebagainya.

Tapi itu semua adalah pandangan-pandangan atau keinginan-keinginan kedagingan kita. Yesus memberikan suatu prinsip yang terbalik, siapa yang menjadi terbesar dia harus menjadi hamba, saya kira tidak mudah tapi ini yang harus kita tuju. Ini yang harusnya menjadi tujuan dari ambisi kita yaitu menjadi hamba yang melayani.

ET : Kalau saya tadi tertarik pada bagian pertama yang Pak Heman katakan, tentang peka terhadap batas kemampuan diri. Jadi memang idealnya kalau seseorang tahu lalu dia bisa dengan dorongan tau ambisi itu mencapai yang terbaik, lalu bagaimana halnya dengan memang orang-orang yang ternyata pengenalan terhadap batas kemampuan ini terlalu rendah, rendah diri seperti itu mungkin.

Bagaimana caranya apabila dalam keadaan seperti itu, tapi dia tetap bisa mempunyai ambisi yang sehat, Pak Heman?

HE : Orang yang rendah diri sering kali memerlukan konfirmasi dari orang lain, jadi tampaknya perlu suatu bantuan dari orang lain yang lebih dewasa untuk menilai orang itu secara pas dan wajr.

Orang yang rendah diri harus belajar menghargai dirinya sendiri, nah supaya dia bisa mempunyai ambisi yang pas sering kali orang yang rendah diri bisa jadi ambisinya itu berfluktuasi begitu. Kadang-kadang terlalu tinggi, kadang-kadang rendah, nah memang kalau di dalam keadaan dia tidak bisa memandang dirinya dengan tepat dan jelas dia perlu bantuan orang lain. Kalau perlu seorang ahli begitu yang membantu dia mengevaluasi dirinya, tapi di lain pihak juga teman-teman yang baik, teman-teman yang cukup matang kerohaniannya sering kali juga bisa membantu memberikan evaluasi dan yang penting juga teman-teman ini tidak boleh segan untuk memberikan teguran selain juga pujian.

ET : Ya, karena saya cukup sering melihat orang-orang yang sebenarnya kalau kita sebagai orang luar melihat dia bisa mencapai lebih, tapi dia merasa sudah segini saja karena dia memang mempuyai penilaian yang memang sudah puas.

Tapi bukan ukuran puas yang tepat dalam arti karena dia melihat kemampuannya serendah itu, dia merasa ambisinya pun cukup sekian sementara kalau kita lihat dia mau punya harapan yang lebih tinggi rasanya dia juga bisa mencapainya begitu.

HE : Ya, betul itu pada akhirnya satu prinsip yang harus kita semua miliki yaitu sebetulnya yang penting bukan seberapa besar potensi kita, seberapa banyak potensi kita tetapi seberapa besaratau seberapa maksimal usaha kita untuk menggali semua potensi yang ada di dalam diri kita.

Jadi artinya kadang-kadang kita tidak perlu bertanya-tanya lagi apa yang saya bisa atau apa yang saya tidak mampu, tetapi kita usahakan supaya semua potensi yang ada dalam diri kita bisa dimaksimalkan. Dalam hal ini Tuhan tidak menghargai terutama kaya atau miskin dan sebagainya, orang yang rendah diri sering kali mendasarkan ambisinya ini kepada potensi-potensi yang secara fisik itu sudah tidak bisa diubah, kaya miskin kemudian cantik kemudian IQ yang tinggi dan sebagainya. Itu sudah tidak bisa diubah, yang bisa dia usahakan adalah dia memaksimalkan supaya dia bisa menggunakan ini semua dengan semaksimal mungkin.
GS : Nah, Pak Heman apakah seseorang itu pada suatu saat bisa memiliki beberapa macam ambisi?

HE : Ya, itu sangat mungkin.

GS : Jadi ingin yang ini dan juga ingin meraih yang lain ya, Pak?

HE : Ya.

GS : Lalu bagaimana dia mengonsentrasikan dirinya?

HE : Ya, bagaimana mengonsentrasikan dirinya adalah mau tidak mau menentukan prioritas apa yang bisa paling efektif dia lakukan. Dan untuk itu kadang-kadang diperlukan juga trial and error, oba-coba begitu dan sampai pada suatu ketika setiap orang perlu memakai skala prioritas, mana yang paling efektif yang dia lakukan, mana yang paling produktif.

GS : Kalau dia sudah mencapai sesuatu, dia pasti akan terpacu lagi untuk mencapai yang lebih-lebih lagi yang dia inginkan. Bagaimana itu Pak, rasanya tidak ada habis-habisnya?

HE : Betul, dan ambisi seharusnya seperti itu. Masalahnya begini, apa yang ingin kita capai itu jangan terlalu tinggi dari apa yang saat ini kita ada. Jadi artinya begini kadang kita sampai ada tingkat 6 misalnya, ambisi kita atau tujuan kita jangan 10 atau 12 tetapi 7.

Setelah 7 tercapai otomatis kita naikkan lagi target kita sampai 8 dan seterusnya. Dan itu adalah ambisi yang lebih sehat, kalau terlalu tinggi kita akan mengalami frustasi, stres dan berbagai gejala yang tadi kita sudah bahas.
GS : Nah dalam hal ini Pak Heman, dalam hubungannya dengan ambisi yang baru saja kita bahas apakah ada firman Tuhan itu yang bisa dijadikan pegangan selain tadi contoh-contoh yang sudah sebutkan, khususnya untuk para pendengar kita dan kita semua.

HE : Ada satu ayat firman Tuhan yang saya ingin bacakan dan bagikan, ayat firman Tuhan ini terutama berbicara tentang ambisi untuk menjadi lebih dalam hal materi. Dari Ibrani 13:5, "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu, karena Allah berfirman Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau,".

Satu lagi dari Filipi 4:6-7 , "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur, damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus."

GS : Ayat-ayat ini saya rasa cukup jelas, khususnya bagi kita semua dan tentunya masalah ambisi itu bukan sesuatu yang buruk. Masalahnya adalah bagaimana mengelola ambisi itu dalam diri kita sehingga menjadi lebih bermanfaat dan bukan malah menghancurkan kita atau menghancurkan orang lain. Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M. Psi. dan juga Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilahkan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, tanggapan serta pertanyaan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



15. Post Power Sindrome


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T086B (File MP3 T086B)


Abstrak:

Gejala post power sindrome umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan dan ketika tidak menjabat lagi seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil, yang biasanya bersifat negatif.


Ringkasan:

Pengertian post power sindrome. Adalah gejala kejiwaan yang kurang stabil yang muncul tatkala seseorang turun dari kekuasaan atau jabatan tinggi yang dimilikinya sebelumnya.

Gejala Post Power Sindrome:

  1. Gejala fisik, misalnya menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan waktu dia menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, dan menjadi pemurung, sakit-sakitan, tubuhnya menjadi lemah.

  2. Gejala emosi, misalnya cepat tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dsb.

  3. Gejala perilaku, misalnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.

Ciri-ciri orang yang rentan menderita post power sindrome adalah:

  1. Orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.

  2. Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain.

  3. Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya.

Antara pria dan wanita, pria lebih rentan terhadap post power sindrome karena pada wanita umumnya lebih menghargai relasi dari pada prestise, prestise dan kekuasaan itu lebih dihargai oleh pria.

Tindakan preventif yang dapat kita lakukan untuk mencegah atau mengurangi resiko post power syndrome adalah:

  1. Kita perlu sadari bahwa segala sesuatu itu adalah dari Allah, karunia dari Allah termasuk kekuasaan, jabatan-jabatan apapun, setinggi apapun itu adalah karunia dari Allah. dan tugas kita adalah kita hanya sebagai alat untuk melakukan pekerjaan-Nya.

  2. Kita harus menyadari bahwa kekuasaan itu tidak bersifat permanen dan kita harus menyiapkan diri untuk suatu ketika kuasa itu lepas dari diri kita.

  3. Sebaiknya selama berkuasa, kita tidak memikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan tetapi kita memikirkan untuk melakukan kaderisasi.

  4. Kita perlu belajar rendah hati seperti Yohanes Pembaptis yang mengutamakan nama Kristus dari pada diri kita sendiri. Yohanes 3:30

Matius 20:25-28 , "Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: Kamu tahu bahwa pemerinta-pemerintah, bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu, barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hambamu. Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bapak Heman Elia, M.Psi. kali ini akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan, perlu Anda ketahui bahwa mereka berdua adalah para pakar di dalam bidang konseling keluarga dan saat ini jadi dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pada kesempatan yang baik kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Post Power Sindrome", istilah ini tentu sudah cukup akrab bagi Anda sekalian. Namun pembicaraan atau perbincangan kami pada kali ini pasti sangat menarik dan bermanfaat, maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, memang para pendengar kita tentu akrab dengan istilah post power sindrome, tetapi sebenarnya apa yang dimaksud dengan post power sindrome itu?

HE : Sindrome itu merupakan kumpulan gejala, jadi arti sindrome itu adalah kumpulan gejala. Power itu kita tahu kekuasaan, jadi kalau diterjemahkan adalah kira-kira sindrome paska kekuasaan. Geala ini umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan, ketika tidak menjabat lagi seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil.

Biasanya bersifat negatif, nah itu yang diartikan post power sindrome.
GS : Berkaitan dengan kekuasaan Pak, apakah semua orang akan mengalami post power sindrome?

HE : Saya melihat tidak semua orang yang mengalaminya, orang yang dengan karakteristik tertentu itu biasanya yang akan lebih jelas tampak gejala post power sindrome ini.

ET : Dan jenis kekuasaan itu kira-kira ada yang spesifik atau tidak Pak Heman, atau memang misalnya jabatan pernah menjadi ketua kelas atau hal-hal yang tampaknya kecil-kecil seperti itu apakah memungkinkan untuk membuat orang mengalami sindrome ini?

HE : Pada umumnya yang dibicarakan di sini adalah terjadi pada usia-usia yang agak lanjut, orang yang biasanya mencapai puncak kekuasaan yang dia mampu. Seumpama misalnya katakanlah ketua RT, klau dia tidak menjabat lagi bisa seperti itu kalau ketua RT itu merupakan puncak dari kariernya begitu.

ET : Jadi selama seseorang masih mungkin mempunyai peluang di saat yang lain, kemungkinan hal ini lebih kecil, Pak Heman?

HE : Bisa juga terjadi seperti itu. Tapi yang jelas misalnya untuk saat ini dia mempunyai gambaran, ini adalah puncak karier saya. Dan ketika dia "jatuh" dari karier tersebut ada rasa skit dan keluar gejala seperti itu.

GS : Tadi Pak Heman katakan bahwa sindrome itu adalah kumpulan gejala-gejala, nah sebenarnya gejala-gejala apa saja, Pak?

HE : Bisa dibagi beberapa gejala fisik misalnya, kita bisa melihat, mengamati orang-orang yang mengalami post power sindrome. Kadang kala menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibanding waktu ia menjabat.

Tiba-tiba rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, dan menjadi pemurung mungkin juga sakit-sakitan, menjadi lemah tubuhnya. Gejala emosi cepat tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dan sebagainya. Gejala perilaku malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.

ET : Jadi seperti kompensasi ya Pak Heman, tidak punya kekuasaan, kehilangan kekuasaan ini lalu seperti mencari kemungkinan buat berkuasa lagi di lahan yang lain begitu.

HE : Ya, itu dalam hal perilaku. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya masih punya kuasa, punya wibawa, masih ada orang yang takut sama dia.

ET : Jadi sepertinya memang akan lebih tampak dalam keluarga ya, gejala-gejala seperti ini.

HE : Karena keluarga itu orang yang paling mudah dikuasai.

GS : Maksud saya kekuasaan seseorang itu memang tidak ada yang abadi, tetapi kadang-kadang secara tiba-tiba tanpa disadari dia kehilangan kekuasaannya misalnya di PHK mendadak. Nah itu bagaimana Pak Heman? Apakah ada penyebab-penyebab yang lain yang menyebabkan hal-hal sindrome-sindrome itu muncul di dalam dirinya?

HE : Penyebab lainnya ya, ini sebetulnya secara umum kita bisa katakan masa krisis dan kalau digolongkan krisis ini adalah semacam krisis perkembangan. Dalam arti pada fase-fase tertentu di dalm kehidupan kita, kita bisa mengalami krisis-krisis semacam ini.

Pada gejala post power sindrome ini, khususnya adalah krisis yang menyangkut satu jabatan atau kekuasaan, terutama akan mengena orang yang mendasarkan harga dirinya pada kekuasaan. Kalau misalnya dia tidak mendasarkan dirinya pada kekuasaan, gejala ini tidak tampak menonjol.
(2) GS : Ada orang yang memang bisa bertahan, tapi ada orang lain yang rentan terhadap kehilangan kekuasaannya itu Pak, nah apakah bisa dilihat ciri-cirinya atau gejala-gejalanya atau tanda-tandanya itu?

HE : Ya, seperti daya tahan terhadap krisis yang lain juga terhadap stres. Orang yang cukup matang kepribadiannya, dia akan lebih bertahan daripada orang yang kurang matang. Nah biasanya orang ang punya ciri-ciri yang mudah atau rentan menderita post power sindrome ini mempunyai karakteristik tertentu.

Setiap orang tidak sama tapi ada orang-orang yang rentan itu karena orang-orang ini dihargai, merasakan senangnya waktu dia menjabat itu dihormati orang lain, permintaannya selalu dituruti dan suka sekali dilayani oleh orang lain. Kalau dia kehilangan rasa hormat dari orang lain terhadap dia karena dia sudah tidak menjabat lagi, paling tidak dia merasa tidak dihormati karena rasa hormatnya itu tersangkut pada jabatannya maka orang ini akan menderita. Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain, termasuk misalnya orang yang mengejar-ngejar titel dan sebagainya. Tapi khususnya tentang jabatan, orang-orang ini akan menderita kalau dia sudah tidak menjabat lagi. Kemudian juga orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kebisaan, kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Nah orang-orang ini yang istilahnya mereka menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan hal yang sangat berarti di dalam hidupnya, kalau ini ternyata hilang dari dirinya dia akan menderita post power sindrome.

ET : Berarti sepertinya memang tidak selalu jabatan yang spesifik, karena tampaknya misalnya kalau orang-orang yang mungkin bangga tidak menjadi golongan tertentu tetapi misalnya bisa menjadi ktakanlah pegawai negeri, buat kelompok masyarakat itu merupakan sangat berarti.

Jadi mungkin walaupun golongannya bukan golongan yang tinggi, tapi pegawai negeri ketika pensiun rasanya juga punya dampak kalau memang mereka dasarkan itu pada statusnya, status pegawai negerinya walaupun dari jabatan ya tidak ada sebenarnya.

HE : Dalam hal yang sedang kita bicarakan mengenai post power sindrome itu, pasti dia ada semacam tugas kepemimpinan, tapi kalau hanya status saja kita tidak namakan sebagai post power sindrome.

GS : Nah berkaitan dengan pekerjaan ya Pak, kekuasaan di dalam pekerjaan apakah ada pengaruhnya dari segi gender, yang pria dan yang wanita itu lebih rentan yang mana itu Pak?

HE : Tampaknya ada ya, saya rasa mungkin lebih rentan yang pria karena pada wanita umumnya lebih menghargai relasi daripada prestise, prestise itu lebih dihargai oleh pria juga kekuasaan.

GS : Tapi mungkin Bu Esther punya pandangan, sekarang banyak manager-manager yang wanita dan sebagainya, nah apakah akan terjadi post power sindrome di dalam diri mereka kira-kira Bu Esther?

ET : Kalau memang punya karakteristik seperti yang disebutkan Pak Heman, kemungkinannya selalu ada juga. Kalau memang yang dikatakan bahwa meletakkan harga diri pada jabatan dan kekuasaan itu kmungkinan bisa ya.

Cuma memang rasanya kalau dilihat dari naturalnya pria dan wanita memang kemungkinan besar lebih pada pria. Saya setuju dengan Pak Heman yang memang lebih ada status itu ya harga diri.
GS : Dan mungkin yang wanita memang lebih tahan terhadap hal-hal yang seperti itu. Dia bisa berlindung juga di bawah atau di samping suaminya itu ya Pak?

HE : Atau juga di bawah pria-pria yang lain (GS: O..... begitu bisa juga ya, itu tentunya tidak diharapkan) itu hanya orang-orang istimewa saja yang bisa mimpin negara atau menteri itu sangat jrang dan mereka pada umumnya mempunyai harga diri atau prestise di dalam hal lain.

Kalau pria banyak sekali punya harga diri yang didasarkan pada jabatan ini.
(3) GS : Tentunya kita semua juga senang dengan suatu jabatan, dengan suatu kekuasaan itu Pak, tapi kita sudah tahu ada resiko post power sindrome ini. Nah tentunya dengan mengetahui hal itu kita akan melakukan tindakan-tindakan preventif, menghilangkan mungkin tidak, tetapi mencegah atau mengurangi seminimal mungkin itu bagaimana Pak?

HE : Saya ingin memberikan beberapa saran di sini. Yang pertama yaitu pada saat kita melakukan sesuatu atau menjabat ataupun sebelum kita menjabat apa-apa kita perlu belajar menyadari bahwa segla sesuatu itu adalah dari Allah, karunia dari Allah termasuk kekuasaan, termasuk jabatan-jabatan apapun, setinggi apapun itu adalah karunia dari Allah.

Dan tugas kita adalah kita hanya sebagai alat dari Allah untuk melakukan pekerjaanNya. Jadi kita tidak boleh mengangkangi kuasa yang Allah telah berikan untuk menjadi sesuatu milik kita yang harus kita pertahankan mati-matian. Tetapi terutama kita sedang melakukan pekerjaan yang Allah percayakan pada kita, melalui kuasa yang dikaruniakanNya kepada kita. Dan karena itu yang kedua, kita juga harus selalu menyadari bahwa kekuasaan itu tidak bersifat permanen dan kita harus menyiapkan diri untuk suatu ketika kuasa itu lepas dari diri kita. Pada situasi krisis tiba-tiba kita kehilangan kekuasaan kalau kita mempunyai persiapan sebelumnya, maka kita akan lebih tahan menghadapinya.

ET : Tapi justru itu yang susah Pak Heman (HE : Ya itu yang susah) kadang-kadang orang begitu punya kuasa sehingga sudah enggan berpikir tentang nantinya bagaimana ya, pada saat saya punya kuas justru bagaimana saya manfaatkan seoptimal mungkin begitu.

HE : Ya memang itulah manusia yang mempunyai sifat-sifat kedagingan, tapi kalau sikap seperti itu yang dipertahankan maka orang ini akan lebih rentan terhadap post power sindrome. Saya lanjutka yang ketiga sebaiknya selama berkuasa kalau kita memperoleh kesempatan itu, kita tidak memikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan tetapi kita memikirkan untuk melakukan kaderisasi.

Justru karena dengan kita melatih, mendidik, maka nantinya kita tidak dihargai karena kekuasaan yang kita miliki tetapi kita dihargai karena kita telah melakukan suatu regenerasi dan melakukan pendidikan, tugas mendidik orang lain. Kemudian yang keempat kita perlu belajar rendah hati, seperti juga Yohanes Pembaptis yang mengutamakan nama Kristus dari pada diri kita sendiri. Ucapan Yohanes Pembabtis yang terkenal adalah demikian Ia maksudnya Kristus harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil, Yohanes 3:30 . Nah kita harus selalu menyadari bahwa nantinya itu bukan nama kita tetapi nama Tuhan. Dan yang kelima sebanyak mungkin menanamkan kebaikan selama kita berkuasa, kalau kita banyak menyakiti hati orang kita banyak menindas orang, waspadalah bahwa gejala post power sindrome ini dekat kepada kita. Tujuan kekuasaan bukan terutama agar kita dihargai orang, tetapi supaya kita berbuat banyak bagi kesejahteraan orang lain.
(4) GS : Kalau sampai seseorang itu terkena post power sindrome tanpa persiapan dan sebagainya, langkah-langkah apa yang sebaiknya harus segera dia lakukan?

HE : Pertama kali tentunya ada keterkejutan, ada shock. Tapi diharapkan bahwa kita menerima kenyataan ini dengan rendah hati bahwa kita sekarang sudah tidak berkuasa lagi. Kita harus belajar meerima kenyataan ini, kalau kita tetap bersikukuh tidak menghadapi kenyataan ini maka kita akan terus berada di dalam keadaan yang menderita.

Jadi kita harus menerima dan kemudian mengakui bahwa yang sekarang ini bukan kita lagi, tapi ada orang lain yang berkuasa yang menggantikan kita. Kita sudah tidak boleh menuntut orang lain untuk mentaati instruksi kita. Kemudian hal lain lagi adalah kita perlu mencari kegiatan lain yang mempunyai arti bagi kita, yang masih bisa kita lakukan untuk mengisi hidup kita supaya kita tidak terus meratapi kehilangan kita. Dan yang keempat kita juga mengucap syukur atas kesempatan yang pernah kita nikmati dan saat ini yang telah Tuhan sediakan juga bagi kita.

(5) ET : Masalahnya kalau misalnya mungkin di antara para pendengar itu merupakan keluarga yang di dalam anggota keluarganya punya masalah ini Pak Heman. Misalnya suami atau orang tua seperti yng Pak Heman singgung tadi mulai menunjukkan kekuasaan di rumah seperti itu, ingin berkuasa kepada seluruh anggota keluarganya.

Kira-kira Pak Heman mungkin ada saran-saran yang bisa dilakukan buat istri atau anak-anak yang menghadapi suami atau orang tua yang seperti itu, Pak Heman?

HE : Ya sebagai istri dan anak-anak kenyataan ini cukup sulit kalau misalnya melihat suami ataupun ayah yang kemudian setiap kali di rumah marah-marah begitu. Nah mungkin penjelasan-penjelasan eperti tadi bisa membawa kita pada suatu kesadaran, bisa menerima keadaan dari sang ayah atau suami ini bahwa mereka adalah orang yang menderita, orang yang sebetulnya perlu dikasihi lebih dan ditolong.

Pada mereka kita tidak bisa melakukan satu teguran ataupun kita tujukan kemarahan kita pada mereka secara terang-terangan, karena mereka justru mempunyai kebutuhan yang besar untuk diterima, untuk diakui oleh keluarganya. Yang bisa kita lakukan selain kita berdoa bagi mereka juga bagi ayah kita, bagi suami kita, juga kita bisa mengkonfirmasi mengatakan kadang-kadang secara langsung kepada orang yang kita kasihi. "Papa... saya mengasihi kamu, saya mengasihi Papa, tapi akhir-akhir ini saya melihat Papa sering marah-marah setelah Papa tidak menjabat lagi, tapi kami tetap mengasihi Papa walaupun Papa sekarang sudah tidak menjabat lagi, engkau masih Papa kami." Nah mungkin seperti bahasa-bahasa yang mengasihi, menghargai seperti itu akan menolong orang-orang yang menderita post power sindrome ini.

ET : Jadi memang penerimaan dari keluarga itu juga penting sekali artinya buat orang-orang yang bersangkutan ini ya, Pak Heman?

HE : Betul, itu adalah semacam dukungan sosial kepada orang yang menderita post power sindrome supaya dia masih merasa berarti bagi keluarganya.

ET : Namun sebaliknya kalau ternyata misalnya seperti kekuasaan kita tidak pernah tahu kapan berhentinya. Misalnya kalau ada batas waktunya turun rasanya masih ada waktu mempersiapkan diri, tap kadang-kadang yang menjadi masalah putus di tengah jalan misalnya PHK, goncangan pada perusahaan atau masalah-masalah yang tidak terduga juga yang di sisi lain memang tetap membutuhkan pekerjaan lagi, membutuhkan mata pencaharian untuk tetap menghidupi keluarga.

Rasanya bagaimana kalau di satu sisi harus menghadapi post power sindrome, sisi lain tetap harus hidup untuk memenuhi kebutuhan keluarga ini. Mungkin ada hal-hal yang sebaiknya bisa dilakukan oleh orang-orang yang dalam keadaan seperti ini, Pak Heman?

HE : Kalau Anda menderita post power sindrome dan itu misalnya karena kehilangan kekuasaan yang tiba-tiba, maka perlu ada suatu jangka waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Kaang-kadang perasaan sedih, perasaan kehilangan itu begitu mendalam tapi percayalah kepada pertolongan Tuhan.

Jadi mungkin ada suatu masa kita harus mengalami hal yang seperti itu dan kita seolah-olah tidak berpengharapan. Tetapi saudara harus bangkit dari keadaan seperti itu, jadi saudara harus menguatkan diri untuk mencoba berusaha kembali mencari pekerjaan dan seterusnya. Memang ini tidak mudah, banyak orang merasa bahwa pekerjaan itu kalau sudah tidak ada berarti kehilangan segala-galanya, tapi bukan seperti itu.
GS : Ada kesulitan yang lain memang Pak Heman, kalau tadinya dia menjadi pimpinan di tempat kerjanya itu lalu dia harus pindah ke tempat yang lain, ke pekerjaan yang lain karena mendapatkan tawaran di sana tapi tidak sebagai pimpinan, biasanya dia tetap menolak atau kurang berminat dalam hal seperti itu.

HE : Ya, dalam keadaan seperti ini orang tetap harus belajar rela menerima kenyataan dan rela untuk mulai berjuang lagi dari bawah dan seterusnya. Karena orang tidak rela untuk menerima hal-halyang semacam ini, orang itu akan menderita terus karena cukup sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih rendah tingkatannya.

Kita biasanya lebih enak kalau misalnya kita pindah, lalu kita mendapatkan sesuatu yang lebih tapi untuk penyesuaian dan prioritas. Jadi misalnya mau tidak mau kita harus hidup, harus menghidupi keluarga misalnya. Nah sementara kita mengalah sedikit, kita terima keadaan itu dan kita mengucap syukur untuk hal itu, saya kira itu akan membantu.
GS : Tapi tentunya yang terpenting bagi para pendengar kita dan dari kita sekalian adalah apa yang firman Tuhan mau katakan dalam hal ini, Pak Heman?

HE : Saya akan kutip dari Matius 20:25-28 ini perkataan Yesus "Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah, bangsa-bangsa memerintah rakyanya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.

Tidaklah demikian di antara kamu, barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hambamu. Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang."
GS : Bagian ini tentu cukup dikenal, cukup sering dibaca oleh kita sekalian, namun jiwanya atau intinya dari apa yang Tuhan Yesus katakan ini saya rasa memang sangat penting. Khususnya bagi kita yang suatu saat mungkin akan kehilangan kekuasaan dalam bentuk apapun. Supaya kita lebih tahan menghadapi gejala-gejala yang bisa merusak kita lebih jauh. Jadi banyak terima kasih Pak Heman dan juga Ibu Esther Tjahja.

Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia seorang Magister Psikologi dan Ibu Esther Tjahja, S.Psi., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Post Power Sindrome". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran serta pertanyaan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



16. Gaya Hidup yang Dikuasai Target


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T087B (File MP3 T087B)


Abstrak:

Pada awalnya pabriklah yang harus produktif menghasilkan banyak produk, tapi pada masa sekarang ini pindah ke dalam diri manusianya yang harus produktif menghasilkan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah itu yang menjadi tujuan hidup kita?


Ringkasan:

Mulai tahun 80-an sudah adanya suatu trend atau gaya hidup yang sangat dipengaruhi oleh konsep produksi yaitu produktif. Jadi yang diutamakan adalah menghasilkan sebanyak-banyaknya dengan waktu sedikit supaya hasilnya optimal. Sebelumnya pabrik yang harus produktif menghasilkan banyak produk, sekarang pindah ke dalam diri manusianya, harus produktif menghasilkan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Pertanyaannya apakah itu salah? Seolah-olah memang tidak ada salahnya. Tapi kenapa saya membawa masalah ini ke permukaan karena dampaknya yang akan menggerogoti orang itu, belum lagi nanti dampaknya pada keluarga. Tapi pada orang itu sendiri memang dia akan menemukan sukacita waktu dia berhasil, mencapai target, dia naik lagi. Tapi apakah arti hidupnya, apakah hidupnya hanyalah memenuhi target-target itu dan itukah yang membuat dia bahagia dan apakah itu hidup?

Cara menetapkan target atau mengukur bahwa target ini mampu memotivasi kita untuk produktif, tetapi tidak menjadi candu buat kita. Sekali lagi awalnya adalah kita mesti jelas dengan apa isi prioritas hidup kita ini, apa itu yang ingin kita cari dalam hidup.

Ada 3 pertanyaan yang harus kita jawab dengan baik dalam hidup ini yaitu:

  1. Siapakah yang kita sembah dalam hidup ini, harus jelas siapa yang kita sembah. Kita menyembah Tuhankah, kita menyembah manusiakah, kita menyembah uangkah, kita menyembah pekerjaan kitakah.

  2. Kita juga bertanya bagaimanakah kita hidup ini. penting sekali kita jawab, mau hidup kita seperti mesinkah, mau memanipulasi orangkah, mau tinju-tinju orang supaya dapat yang kita inginkan, mau menipu orang atau kita mau hidup jujur, kita mau hidup seperti yang Tuhan mau kehendaki.

  3. Dengan siapakah kita hidup, maksudnya dengan istri atau suami kita.

Nah jadi prioritaskanlah hidup itu dengan lebih sederhana, apa tujuannya kita hidup ini, kenapa kita ada di sini, siapa yang kita sembah dalam hidup ini, masih adakah yang kita sembah dalam hidup ini, nah itu perlu kita tanyakan dan itu akan menolong kita memprioritaskan hidup. Tuhan menghendaki kita mempunyai kehidupan yang berimbang, kita tidak mungkin menyenangkan hati Tuhan kalau hidup kita seperti itu. Kita tidak akan ada waktu untuk Tuhan akhirnya dan Tuhan sudah berkata dengan jelas yang Dia senangi dari kita bukannya korban bakaran tapi hati, hati yang taat, mau mendengarkan Dia.

Bagaimana agar secara bijaksana menetapkan target?

  1. Saya akan meminta pada mereka yang terlibat dalam kehidupan yang dikejar target untuk duduk berdiam diri dengan tenang dan bertanya, untuk apakah saya ada di sini.

  2. Saya minta dia untuk bertanya, nanti sebelum saya menutup mata, meninggalkan dunia ini, pikiran terakhir apakah yang saya akan bawa. Saya menduga bukan harta yang dia pikirkan tetapi dia akan memikirkan orang yang ada di sekitarnya, yang dekat dengannya, yang dicintainya dan mencintainya dan dia akan memikirkan Tuhan.

Matius 6:19-21 , "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga, di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada di situ juga hatimu berada."

Jadi kita mesti tetapkan bahwa harta kita bukan yang ada di dunia ini, ini sementara, ini sarana kita hidup dan Tuhan senang kita bisa hidup dengan bahagia juga.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Gaya Hidup yang dikuasai Target". Perbincangan ini tentu akan memakan waktu sekitar 30 menit dan kami mengharap Anda bisa mengikutinya dengan saksama. Maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, banyak orang mengeluh akhir-akhir ini yang sakit jantung, yang tekanan darah tinggi dan sebagainya. Yang dikeluhkan adalah dia merasa tertekan karena oleh atasannya itu ditentukan suatu target, suatu batas waktu di mana dia harus mencapainya atau harus menyelesaikan tugas. Nah pola seperti itu Pak Paul, pola ditetapkan suatu target tertentu itu kadang-kadang memang menolong, memotivasi seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. Tetapi di lain pihak itu tadi menimbulkan sakit penyakit yang akhir-akhir ini makin banyak saja. Sebenarnya bagaimana itu Pak Paul?

PG : Pak Gunawan, saya kira mulai dari tahun 80-an, mulailah suatu trend atau gaya hidup yang sangat dipengaruhi oleh konsep produksi yaitu produktif. Bukankah dalam setiap perusahaan ada suatupengharapan bahwa karyawan itu akan produktif, jadi yang diutamakan adalah menghasilkan sebanyak-banyaknya dengan waktu sedikit mungkin supaya hasilnya optimal.

Nah akhirnya berangkat dari pemikiran seperti itu yaitu menghasilkan produk masuk ke dalam benak orang secara umum, sehingga rata-rata sekarang para pekerja juga mempunyai konsep pikir seperti itu. Kalau sebelumnya pabrik yang harus produktif menghasilkan banyak produk, sekarang pindah ke dalam diri manusia, bahwa saya yang harus produktif menghasilkan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Jadi dengan kata lain, pola pikir ini memang akhirnya merasuki atau mempengaruhi pola pikir manusia secara umum. Bukan saja di sini negara kita tapi saya kira di negara-negara yang lain juga.
GS : Tapi Pak Paul, pola seperti itu sebenarnya sudah mereka kenal sejak di bangku sekolah dengan target-target tertentu bahkan mungkin di dalam keluarga, ibunya atau ayahnya juga menargetkan "kamu harus dapat nilai sekian, kamu harus selesai pada tahun sekian dan sebagainya", semacam itu Pak Paul?

PG : Betul, jadi benih-benihnya saya kira sudah mulai ditanamkan sejak dari bangku sekolah dan juga dari orang tua di rumah. Namun yang berbeda adalah skala dan penghargaannya masih jauh lebih ecil.

Kalau kita misalkan di sekolah mendapat nilai yang baik, imbalannya adalah nilai yang baik itu sendiri, sedangkan kalau kita sudah bekerja kita berhasil misalnya menjual sesuai target, kita akan dipilih misalnya menjadi 'employee of the month' ya pekerja teladan dan kita diberikan bonus bisa pergi ke mana belum lagi nanti kedudukan kita akan dipromosikan, jadi skala imbalan itu jauh lebih besar jauh lebih gegap gempita. Akibatnya orang juga makin lebih terdorong, nah ada satu istilah yang populer akhir-akhir ini yaitu gaya hidup 'driven'. Driven itu dikemudikan, jadi tadi Pak Gunawan menerjemahkannya gaya hidup orang yang dikejar-kejar target, sangat dikuasai oleh target. Bukan saja pabrik yang harus memenuhi target, manusianya sekarang juga harus memenuhi target.

(1) ET : Mungkin sebagian pendengar ada yang bertanya-tanya juga Pak Paul, apakah itu salah? Karena sepertinya orang mengkontraskan hal ini memang hidup itu harusnya begitu, karena kalau tidak esannya malas.

Tidak produktif itu kaitannya dengan kemalasan, jadi orang merasa memang inilah yang seharusnya dia lakukan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya sedikit mundur ke belakang, dulupun misalnya 30 tahun ke belakang, orang pun banyak yang bekerja, kita tahu yang ada membuka toko dari pagi sampai malam. Namun kalau kita perhatikan 3 tahun ke atas itu 30 tahun ke belakang, maksud saya itu orang tidak terlalu dikejar-kejar oleh target, mereka memang giat bekerja artinya kerja sebisanya namun targetnya hanyalah kerja, tidak ada target-target dalam bentuk numerik, dalam bentuk matematis.

Saya akan ekspansi ke sini, saya akan tambah lagi usaha saya, saya akan kembangkan ini, sedikit sekali yang mempunyai pemikiran seperti itu. Saya kira 20 tahun terakhir inilah konsep produktifitas itu lebih digalakkan, sangat digalakkan dan mulai mengena pada manusianya sendiri sehingga pikiran-pikiran bahwa saya harus lebih lagi, saya tahun depan harus begini, saya 2 minggu lagi harus begini, saya 2 tahun lagi harus begini juga mulai lebih banyak mempengaruhi pola pikir kita. Karena di dalam pekerjaan itulah yang mereka terima, dan pada diri merekalah sekarang mereka terapkan standar yang sama. Seolah-olah memang tidak ada salahnya Bu Esther, karena terbiasa sekali sebab di tempat pekerjaan itulah yang dilakukan, jadi mereka terapkan standar yang sama pada diri mereka seolah-olah sinkron saja semuanya. Kenapa saya mau membawakan masalah ini ke permukaan, karena dampaknya yang akan menggerogoti orang, belum lagi nanti kita akan bicarakan dampaknya pada keluarga. Tapi pada orang itu sendiri memang dia akan menemukan sukacita waktu dia berhasil mencapai target, dia naik lagi, dia naik lagi, dia naik lagi. Tapi apakah arti hidupnya, apakah hidupnya hanyalah memenuhi target-target itu dan itulah yang membuat dia bahagia dan apakah itu hidup, nah ini yang ingin saya pertanyakan. Yang saya harapkan adalah hal-hal yang kita bicarakan bisa mulai menggelitik sebagian pendengar kita dan mulai memikir ulang apakah tujuan hidup mereka, apakah inilah yang membuat mereka hadir di dunia, apakah mereka mesin, apakah diri mereka pabrik, itu yang harus mereka tanyakan, apakah mereka manusia, atau mereka benda atau pabrik yang bisa dimanipulasi dan dioptimalkan terus-menerus.

ET : Tapi ini rasanya memang satu pilihan yang sulit, karena saya melihat beberapa teman-teman di Jakarta khususnya yang memang terjepit. Di satu sisi mereka kadang-kadang juga mempertanyakan auh hidup ini sperti begini, tetapi di sisi lain kembali lagi masalah uang rasanya semakin produktif seorang karyawan peluangnya semakin besar buat dia dipromosikan dan membuat dia mendapatkan gaji yang lebih besar.

Jadinya antara menyadari hal ini sama juga tidak mau melepaskan peluang-peluang yang di depan itu, jadi selalu mengeluh tetapi juga tidak bisa lepas, mengeluh tapi tidak bisa lepas itu yang saya lihat, Pak Paul.

PG : Ya pilihan yang memang sangat berat, nah saya juga mau memaklumi ada sebagian orang yang terpaksa tidak mempunyai pilihan. Misalkan suatu kali saya lagi menunggu mobil dibetulkan di Jakart, saya bercakap-cakap dengan seorang sopir yang rumahnya di Bogor.

Pagi-pagi jam 04.00 dia pasti berangkat sehingga bisa tiba di Jakarta jam 06.00-an kalau tidak salah, karena dia harus naik kereta api. Sudah begitu saya tanya pulang jam berapa, pulangnya itu dari Jakartanya saja sudah malam, dia bilang jam 08.00 atau jam 09.00, jadi sampai di Bogor itu berarti sudah tengah malam. Dan pagi-pagi jam 04.00, jam 05.00 pagi dia harus berangkat lagi. Dan dia lakukan itu bukannya 5 hari seminggu, 7 hari seminggu, sebab dia bilang dia harus kerja hari Minggu juga. Nah kita langsung bertanya siapa yang menggunakan dia sampai seperti itu, ya majikannya yang bekerja seperti itu. Majikannya pagi sampai malam baru pulang jadi dia harus bekerja seperti itu pula. Malangnya dia bukan orang Jakarta dan tinggal di Bogor. Nah ada orang-orang yang tidak punya pilihan dan saya memang simpati dengan mereka, kasihan sekali, namun juga ada orang-orang yang punya pilihan. Ada orang-orang yang punya pilihan untuk melepaskan dan berkorban demi sesuatu yang lebih penting. Sudah tentu akan ada orang yang kehilangan kesempatan untuk dipromosikan karena dia tidak rela bekerja sampai jam 09.00, jam 10.00 malam. Dia akan kehilangan kesempatan mendapatkan gaji yang lebih besar, betul sekali. Tapi sekali lagi orang-orang ini harus bertanya apakah tujuan hidupnya, apakah dia mau menjadikan dirinya sebagai mesin. Apakah kebahagiaan-kebahagiaan mendapatkan uang dan kedudukan ialah yang dia cari di dalam hidup ini, apakah itu hidup, nah saya kira hanya orang-orang tersebut yang bisa menjawabnya dengan jujur, apakah dia sungguh-sungguh menikmati. Saya takutnya mereka sendiri pun sebetulnya melihat diri mereka sebagai mesin yang dipakai orang, dipakai perusahaan, mereka hanya berguna kalau produktif, sekali lagi konsep produktif di sini. Mereka tidak lagi produktif, mereka tidak ada lagi gunanya berarti harga diri mereka didefinisikan oleh itu saja, produktifitas.
GS : Memang kalau kita melihat kenyataan itu, itu adalah suatu persaingan Pak Paul. Kalau tadi Pak Paul katakan mungkin 30 tahun yang lalu tidak seperti itu karena persaingannya tidak seketat sekarang. Jadi bukan cuma tidak bisa dipromosikan mungkin dia tersingkir, kehilangan pekerjaannya karena itu. Jadi memang tadi Bu Esther katakan, serba sulit kadang-kadang Pak Paul, orang terkondisi untuk harus ditentukan dengan target-target.

PG : Betul, jadi pilihan itu selalu sulit. Kita ini bicara secara realistik, tidak mau memudahkan masalah dan perlu pengorbanan kadang-kadang untuk menolak ajakan teman, menolak ajakan bos dan erlu hikmat.

Tidak selalu kita berhasil, adakalanya terpaksa kita pergi juga, kita kerjakan juga tugas kita sampai malam dan sebagainya. Jadi memang tidak selalu hitam putih, saya kira ini harus kita pahami namun sebisanya kitanya sendiri yang terlibat sadar bahwa kalaupun saya keluar malam, kalaupun saya harus bekerja ekstra ini bukanlah tujuan saya, saya hanya lakukan karena terpaksa, kalau tidak saya tidak akan lakukan begitu.
GS : Apakah gejala seperti itu bukan hanya di dunia bisnis, juga di dalam hal-hal orang yang mengatakan ini pekerjaan rohani? Apakah Pak Paul melihat hal yang sama?

PG : Sama betul sekali pengamatan Pak Gunawan, makanya ada contoh gereja yang menargetkan jumlah anggota, nah saya kira maksudnya baik supaya para hamba Tuhan itu rajin tidak malas-malasan OK! da target untuk lebih memotivasi orang untuk bekerja keras.

Tapi bukankah itu urusan Tuhan dalam hal datangnya orang kepada Tuhan, tugas kita adalah mengerjakan jangan sampai kita melalaikan kewajiban. Tapi itu urusan Tuhan nantinya menambahkan atau tidak orang-orang yang datang kepada Dia. Jadi betul Pak Gunawan ini juga sudah mulai merasuki dunia Kristen.

ET : Dan juga mungkin itu untuk hamba Tuhannya, tapi untuk orang-orang yang mengatakan terlibat dalam pelayanan rasanya ukuran produktifitas ini mulai merasuki juga. Lebih banyak pelayanan yangsaya lakukan seolah-olah lebih diterima oleh Tuhan, begitu.

PG : Tepat sekali, saya pernah berbicara dengan seorang hamba Tuhan dan menanyakan mengapa begitu banyak program di gereja. Kapan orang-orang ini bisa ada waktu di rumah karena banyak program d gereja, nah hamba Tuhan ini berkata kalau kami tidak membuat banyak program, majelis akan mengeluh, malas kalian ini tidak banyak kerja.

Memang ini sudah menjadi suatu lingkaran setan, yang dari luar itu masuk ke dalam gereja. Nah bahayanya adalah begini ya, Pak Gunawan dan Ibu Esther, akhirnya kita ini terlibat dalam hidup yang diisi oleh target menjadi orang-orang yang susah beristirahat, susah kendur. Mungkin pernah Bu Esther sama Pak Gunawan, merasakan sudah capek karena banyak kesibukan mau istirahat, mau bisa rileks, mau bisa tidur tidak bisa tidur, karena tubuh itu seperti mesin yang masih panas begitu. Waktu kita matikan perlu waktu lama sekali untuk mendinginkan kembali mesin kita itu, nah bayangkan kalau kita lakukan terus-menerus minggu demi minggu, demi minggu, demi minggu nah akhirnya apa yang terjadi kita sangat susah beristirahat, justru waktu pingin diam beristirahat tidak bisa, akhirnya apa yang kita lakukan kerja lagi, kerja lagi. Nah tubuh kita beradaptasi itu artinya, tubuh kita beradaptasi dengan jadwal dan aktifitas tersebut seperti candu, seperti kita ini menyuntikkan heroin atau menghisap sabu-sabu, artinya kalau kita tidak terlibat dalam aktifitas yang seperti mesin itu justru tubuh kita merasa tidak enak. Kalau tidak keluar malam tidak capek, tidak repot, jadi tidak enak tubuh ini. Justru akhirnya kita mendapatkan kesenangan dari pekerjaan-pekerjaan dan kesibukan-kesibukan itu. Nah ini yang menjadi bahaya karena apa jadinya istirahat kita.

ET : Makanya mungkin ada ungkapan tidak kerja malah sakit.

PG : Tepat, tidak kerja malah sakit, sebab tubuh ini menjadi tidak enak. Nah itu yang terjadi sebetulnya, tubuh kita akhirnya beradaptasi dengan ritme kerja yang seperti itu, yang dikuasai, yan dikejar-kejar oleh target terus-menerus.

(2) GS : Jadi mungkin yang sulit itu adalah menetapkan target supaya kita jangan sampai kecanduan kerja ini. Bagaimana Pak Paul kita mengukurnya, bahwa target ini mampu memotivasi kita untuk produktif, tetapi tidak menjadi candu buat kita?

PG : Sekali lagi awalnya adalah kita harus jelas dengan apa isi prioritas hidup kita ini, apa yang ingin kita cari dalam hidup. Nah saya suka katakan ada 3 pertanyaan yang harus kita jawab dengn baik dalam hidup ini, yang pertama adalah siapakah yang kita sembah dalam hidup ini, harus jelas siapa yang kita sembah.

Kita menyembah Tuhankah, kita menyembah manusiakah, kita menyembah uangkah, kita menyembah pekerjaan kitakah, nah saya berharap kita semua menyembah Tuhan kita Yesus Kristus. Yang kedua, kita juga bertanya bagaimanakah kita hidup, ini penting sekali kita jawab, mau hidup kita seperti mesinkah, mau memanipulasi orangkah, mau tinju-tinju orang supaya mendapat yang kita inginkan, mau menipu orang atau kita mau hidup jujur, kita mau hidup seperti yang Tuhan mau kehendaki. Dan yang terakhir dengan siapakah kita hidup maksudnya dengan istri atau suami kita, kalau keliru memilih kehidupan kita akan merana seumur hidup. Nah jadi prioritaskanlah hidup itu dengan lebih sederhana, apa tujuannya kita hidup ini, kenapa kita ada di sini, siapa yang kita sembah dalam hidup ini, masih adakah yang kita sembah dalam hidup ini, nah itu perlu kita tanyakan dan itu akan menolong kita memprioritaskan hidup. Buat saya misalnya dengan siapakah saya hidup ini sangat penting juga, saya hidup dengan istri saya dengan anak-anak saya, dan saya menikmati mereka, sebab saya tahu mereka memberikan saya banyak sukacita dalam hidup ini. Yang membuat saya sukacita bukannya pekerjaan saya di luar, saya seorang konselor, saya senang bisa menolong orang dalam konseling tapi yang membawa sukacita saya terdalam adalah bersama dengan keluarga saya, jadi itu yang akhirnya akan saya prioritaskan dalam hidup ini. Kalau saya terlalu capek di luar saya akan merugikan keluarga saya, nah jadi akhirnya saya menjaga di situ juga. Dan Tuhan menghendaki kita mempunyai kehidupan yang berimbang, kita tidak mungkin menyenangkan hati Tuhan kalau hidup kita seperti itu. Kita akhirnya tidak akan ada waktu untuk Tuhan dan Tuhan sudah bicara jelas yang Dia senangi dari kita bukannya korban bakaran tapi hati, hati yang taat mau mendengarkan Dia, itu yang Dia lebih minta dari kita.

ET : Mungkin saya jadi teringat tentang Marta dan Maria tentang memilih yang terbaik di dalam kehidupan. Tapi rasanya memang kembali lagi ke implikasinya, penerapannya yang buat orang-orang munkin memang dibesarkan dengan filsafat hidup tidak ngoyo itu lebih mudah untuk bisa menerapkan hal ini, karena memang tidak terlalu banyak target.

Tetapi buat orang-orang yang memang dari kecil itu sudah dibesarkan di keluarga dengan target-target, rasanya memang harus memutuskan istilahnya mengendorkan. Saya rasa itu pilihan yang tidak mudah untuk mereka lakukan.

PG : Dan makin banyak kegiatan, Bu Esther, belum berarti makin efisien. Kita ambil contoh misalnya budaya Asia memang menekankan etos kerja yang terus dikuasai target-target, tapi kalau kita pehatikan di antara semua negara di dunia bukankah kita mengakui bahwa yang memimpin di depan itu negara Barat.

Dan kita tahu negara Barat itu negara yang paling menghargai liburan. Amerika kalau kita sudah bekerja sekitar 5 tahun, sebulan dikasih 3 minggu hari libur setelah lebih daripada berapa tahun lagi saya lupa, kita dapat sebulan hari libur, kebanyakan begitu di Amerika. Di Jerman saya diberitahu dalam setahun hari liburnya itu bisa 2, 3 bulan, lebih lama lagi, jadi saya akhirnya melihat mereka itu yang lebih banyak libur lebih efisien dan memimpin dunia ini. Kita yang lebih jarang libur kerjanya pagi sampai malam tetap di belakang, jadi saya makin melihat efisiensi itu tidak sama dengan target-target sebanyak-banyaknya. Banyak orang yang bisa mengerjakan dengan efesien, tapi menikmati hidup juga dengan lebih berimbang. Saya kebetulan dulu tinggal di Amerika, saya melihat etos kerja mereka sangat serius waktu bekerja, kerja; kerja, main; main begitu. Waktu kerja profesional sekali di sana tapi waktu harusnya pulang mereka pulang, sungguh-sungguh pulang dan tidak mau diganggu. Dan hari Sabtu, hari Minggu itu adalah hari keramat orang Amerika karena mereka ingin bisa pergi, mancing, ke pantai, olah raga, ke gunung, benar-benar menikmati. Jadi memisahkan dunia kerja dan dunia rekreasi, nah yang saya takuti kita-kita di sini ini mencampurkan keduanya rekreasi adalah kerja, kerja adalah rekreasi begitu. Nah saya takut akhirnya karena tubuh kita sudah beradaptasi dan kita tidak bisa lagi menikmati kehidupan di luar pekerjaan, akhirnya kita mengalami keletihan mental. Karena mesin itu dipakai terus-menerus tidak berhenti aus, lama-kelamaan waktu aus dia bukannya lagi berhenti diam, putus, patah, rusak, macet, nah pada saat itu apa yang terjadi? Orang kalau sudah mulai aus tidak lagi bisa menikmati hidup tapi terus terlibat dia harus kerja, kerja, kerja, lama-lama dia akan seperti daun kering yang butuh sekali hiburan tertentu, makanya ini berkaitan dengan tema kita yang sebelumnya. Makin banyak orang yang lari ke club-club malam untuk dihibur dan dihibur sebab hidup menjadi begitu tidak menyenangkan, menjenuhkan, perlu hiburan-hiburan terus-menerus. Dari situlah akhirnya muncul godaan-godaan dan karena kelegaan itu tidak lagi diperoleh dengan cara yang normal. Kelegaan itu harus diperoleh dengan cara-cara yang lebih tidak normal yaitu perselingkuhan karena seru, minum-minuman keras, pakai sabu-sabu atau berjudi. Jadi tingkat keseruan, ketegangan harus ditambah agar menambah derajat hiburannya itu. Kalau hiburannya bermain bersama anak-anak dengan keluarga, itu bukan hiburan buat mereka, nah kita melihat ini benar-benar makin merusakkan sistem kehidupan dan keluarga. Jadi saya benar-benar berharap kita berpikir baik-baik mengenai tingkah laku kita ini.
GS : Tapi ada juga yang mendapatkan ketenangan katakan itu ya, mereka mencarinya itu dalam bentuk-bentuk spiritual Pak Paul. Dalam meditasi, ya semacam itulah nah itu bagaimana Pak?

PG : Ya ada orang yang akhirnya lari ke situ, saya ini mempunyai pengamatan terhadap orang Amerika juga ya sebagian dari mereka. Saya bingung kenapa di antara mereka itu bisa masuk kelompok-kelmpok ajaran agama yang begitu menyesatkan mereka.

Yang kita pernah dengar sampai membunuh diri dan sebagainya. Karena memang haus rohani itu Pak Gunawan, kehidupan yang seperti ini kehidupan yang dikejar target, dikejar target, membuat mereka haus, benar-benar hampa hidup ini, jadi perlu variasi. Ada yang larinya ke variasinya itu ke hal-hal yang bersifat spiritual, nah kalau tidak hati-hati malahan disesatkan oleh orang, dimanfaatkan oleh orang lain, menjadi tidak benar lagi.
(3) GS : Jadi bagaimana Pak Paul, sebenarnya peran keluarga atau diri orang itu sendiri untuk secara bijaksana menetapkan targetnya?

PG : Saya akan meminta pada mereka-mereka ini yang terlibat dalam kehidupan yang dikejar target untuk duduk berdiam diri dengan tenang dan bertanya, untuk apakah saya ada di sini, untuk apakah aya ada di sini.

Berikutnya saya minta dia untuk bertanya nanti sebelum saya menutup mata, meninggalkan dunia ini, pikiran terakhir apakah yang saya akan bawa. Nah saya menduga dia tidak akan memikirkan harta sebelum dia menutup mata. Saya akan menduga dia akan memikirkan orang yang ada di sekitarnya, yang dekat dengannya, yang dicintainya dan mencintainya dan dia akan memikirkan Tuhan, karena itulah yang akan dia temui nanti setelah dia menyeberang. Nah jadi mulai dari sekarang tanyakan dulu pertanyaan itu untuk apakah saya ada di sini. Sebab kita tidak datang kebetulan, banyak orang yang ingin punya anak tidak bisa punya anak dan kita tahu dalam hubungan suami dan istri ada sekitar 100 juta sperma yang dikeluarkan dengan satu sel telur. Kenapa harus satu yang bertemu, kalau bukan Tuhan yang menentukan. Jadi kehadirannya itu dikehendaki Tuhan dan kalau Tuhan menciptakan dia untuk harus ada di sini sekarang ini, itu bukan karena Tuhan kebablasan atau kelepasan, ya nanti saya pikirkan untuk apa kamu di sini, tidak. Tuhan itu mempunyai rencana atas hidup kita, Tuhan mempunyai rencana dan tugas kitalah untuk mengetahui apa rencana Tuhan bagi hidup kita. Nah Tuhan jelas berkata kita diciptakan olehNya di sini untuk memuliakan Dia, mengenal Dia, mempunyai hubungan dengan Dia. Tuhan Yesus pernah ditanya apa hidup yang kekal itu? Dan Dia menjawab mengenal Tuhan, mengenal Allah Bapa itu adalah hidup yang kekal, nah itu yang kita bawa. Ini bukannya berarti orang tidak boleh hidup produktif, silakan sesuai dengan kemampuan. Tapi kalau sudah tidak berimbang lagi dan merugikan diri atau keluarga, itu pertanda harus berhenti, harus mengurangi karena ada yang lebih penting dari semuanya ini.
GS : Jadi firman Tuhan itulah yang akan memberikan tuntunan kepada kita semua khususnya di dalam menetapkan target, supaya kita jangan diperbudak oleh target-target itu. Nah dalam hal ini firman Tuhan apa yang Pak Paul ingin bacakan kepada kita?

PG : Saya akan bacakan Matius 6:19-21 "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya tetapi kumpulanlah bagimu harta di sorga, di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.

Karena di mana hartamu berada di situ juga hatimu berada." Ini perkataan dari Tuhan kita Yesus Kristus di mana hartamu berada di situlah hatimu berada. Jadi kita harus tetapkan bahwa harta kita bukan yang ada di dunia ini, ini sementara, hanya sarana kita hidup dan Tuhan senang kita bisa hidup dengan bahagia. Tapi ini bukan dewa kita, harta kita yang harus kita kumpulkan adalah di sorga. Kita hidup hanya beberapa puluh tahun di dunia ini setelah itu akan lama di sorga nanti. Nah itu yang kita harus selalu targetkan, bukan yang di bawah ini yang menjadi target utama kita.

GS : Jadi terima kasih sekali, Pak Paul dan juga Ibu Esther, yang sudah mengisi perbincangan kita pada kali ini. Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi, anda telah mendengarkan sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Gaya Hidup yang dikuasai Target". Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



17. Mengapa Susah Mengalah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T099A (File MP3 T099A)


Abstrak:

Sebetulnya kita secara alamiah adalah makhluk yang mementingkan diri, jadi mengalah atau mendahulukan kepentingan orang merupakan sesuatu yang melawan kodrat manusiawi kita. Hal inilah yang merupakan salah satu yang melatarbelakangi kita mengapa kita susah untuk mengalah dan masih banyak hal lain lagi.


Ringkasan:

Tiga penyebab kecenderungan kita susah untuk mengalah:

  1. Rintangan ego atau diri sendiri. Secara alamiah kita adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri. Maka untuk mengalah yakni mendahulukan kepentingan orang merupakan sesuatu yang melawan kodrat manusiawi kita.

  2. Rintangan orang lain. Kita menginginkan pengakuan dari orang dan sikap mengalah dianggap sebagai kekalahan. Jadi waktu kita mengalah kita berpikir orang melihat kita sebagai orang yang kalah. Akibatnya kita lebih susah untuk mengalah karena kita ingin mendapatkan pengakuan.

  3. Rintangan budaya. Ada budaya-budaya tertentu yang menyuburkan rasa mengalah, jadi yang mulia adalah mengalah. Yang mulia adalah mengesampingkan kepentingan pribadi. Tapi ada budaya-budaya yang justru menyuburkan sikap tidak mengalah, budaya-budaya ini akan berkata kalau mengalah berarti engkau pengecut, orang yang pengecut dikeluarkan dari budayanya. Dari pada dia menanggung malu karena dianggap pengecut akhirnya terpaksalah dia menyuburkan sikap tidak mau mengalah, agar tetap bisa diterima sebagai bagian dari budaya itu.

Pandangan terhadap sikap mengalah berpengaruh besar terhadap keputusan kita bersedia mengalah atau tidak.

Sebagai penuntun bagaimana kita harus bersikap yang sesuai dengan firman Tuhan adalah:

  1. Filipi 2:1-11 , ayat 4, "Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga."
    Yang Tuhan minta adalah kita mulai berpikir komunal, kita berpikir bahwa kita hidup dalam satu komunitas, dalam satu lingkungan masyarakat dan Tuhan meminta kita menjaga kelestarian masyarakat di mana kita tinggal. Dengan cara kita memperhatikan kepentingan bersama dan tidak hanya mementingkan kepentingan diri. Firman Tuhan sangat menekankan pola pikir komunal yaitu pikirkan orang, apa kepentingan orang mari kita lihat dan coba bantu. Jadi untuk bisa mengalah kita harus mulai mengubah pola pikir kita dari individual ke komunal.

  2. Ayat 3, "Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri."
    Ini hal yang sulit, menganggap orang lain lebih utama dari pada diri kita sendiri, tapi inilah yang Tuhan minta agar kita bersikap mandiri artinya bebas dari penilaian orang, apapun yang menjadi penilaian orang tentang diri kita karena kita mengalah jangan kita hiraukan. Bersikap mandiri dalam hidup, kalau kita perlu mengalah, kita mengalah dan meskipun itu harus mengorbankan kepentingan pribadi kalau memang ini hal yang Tuhan tuntut kita lakukan.

  3. Berikutnya adalah Tuhan mengajarkan agar kita mempunyai gaya hidup melayani, yaitu gaya hidup mendahulukan orang lain.

Untuk bisa mengalah kita benar-benar memerlukan pertolongan ilahi, pertolongan Tuhan sendiri. Maka pada Filipi 2:5-11 , Paulus mengajak orang Filipi untuk melihat kepada Tuhan Yesus, sebab Dialah contoh kita, teladan kita. "Kristus Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah Bapa! Yesuslah Tuhan, model atau contoh bagi kita. Sikap merendahkan diri telah Tuhan contohkan kepada kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam perbincangan kami kali ini kami beri judul "Mengapa Susah Mengalah". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, di dalam berinteraksi dengan rekan kita kadang-kadang memang terjadi hal-hal yang tidak enak dan sebagainya. Bagaimanapun juga kita sempat tersudut di dalam pembicaraan itu, tetapi kecenderungan terus membela diri walaupun sudah tahu misalnya salah atau kurang tepat memberikan argumentasi. Nah ini sebabnya apa Pak Paul?

PG : Ada 3 penyebabnya, Pak Gunawan, yang pertama saya sebut rintangan ego. Rintangan ego maksud saya secara alamiah kita adalah makhluk yang mementingkan diri. Waktu berkata kita adalah maklukyang mementingkan diri, itu berarti kita cenderung mendahulukan kepentingan pribadi.

Jadi mengalah yakni mendahulukan kepentingan orang merupakan sesuatu yang melawan kodrat manusiawi kita. Jadi sebetulnya secara alamiah manusia pada waktu datang ke dunia, dari bayi, kecenderungan pertamanya adalah mementingkan diri sendiri setelah itu baru kita mementingkan orang lain. Nah jadi benar-benar kita melihat rintangan ego ini cukup berperan besar, membuat kita sulit mengalah karena kita harus melawan diri kita sendiri.
GS : Jadi ada orang yang egonya katakan kuat, tetapi ada juga yang tidak terlalu menonjol ya, Pak Paul?

PG : Betul dan itu akan mempengaruhi, misalnya seseorang dibesarkan dalam keluarga di mana semua yang diinginkan dituruti. Anak seperti ini akan mempunyai ego yang menggelembung, ego yang mengglembung seperti ini akan lebih merintangi dia untuk mengalah.

Kebalikannya kalau ada seorang anak dibesarkan dalam rumah yang penuh dengan tekanan-tekanan, anak ini dipaksa untuk menuruti kehendak orang lain meskipun dia tidak setuju harus dia lakukan. Paksaan-paksaan yang berlebihan seperti ini akan mengecilkan ego, sehingga dia tidak mempunyai keberanian untuk mengatakan apa yang dia inginkan, apa yang dia sungguh-sungguh setujui, apa yang sungguh-sungguh dia sukai. Karena tidak berani maka egonya tidak merintangi dia dan cenderung dia akan mengalah terus-menerus. Namun ini adalah kasus mengalah yang tidak sehat, karena dia sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk mencetuskan keinginannya itu.
GS : Tetapi selain ego itu, apakah ada hal lain Pak Paul yang membuat orang bersikap seperti itu?

PG : Penyebab kedua kenapa kita ini susah mengalah, saya sebut rintangan orang lain. Yang saya maksud adalah begini, kita ini menginginkan pengakuan dari orang dan mengalah dianggap sebagai keklahan.

Jadi waktu kita mengalah kita berpikir orang melihat kita sebagai orang yang kalah, jarang orang akan (dalam pikiran kita ya) akan melihat kita sebagai orang yang mulia. Justru kecenderungannya adalah waktu kita ditantang kemudian kita tidak berani untuk menanggapi tantangan itu, orang akan melihat kita sebagai orang yang lemah sehingga kalah. Oleh karena orang rindu untuk mendambakan pengakuan orang, anggapan bahwa kita orang yang kuat dan sebagainya. Pengakuan itu tidak kita dapatkan kalau kita mengalah, jadi karena itulah yang kita butuhkan pengakuan-pengakuan dari orang yang akhirnya kita lebih mementingkan diri, susah mengalah supaya kita mendapatkan pengakuan orang.
GS : Ada lagi yang teman-temannya malah membakar-bakar sehingga membuat suasana menjadi lebih panas "Tidak apa-apa lawan saja" dan sebagainya. Lalu dia yang tadinya sudah siap sebetulnya untuk mengalah, malah menjadi marah lagi.

PG : Betul, ini sering terjadi dalam lingkungan teman-teman di mana memang teman-temannya itu mempunyai standar jangan sampai mengalah. Waktu dia memutuskan untuk mengalah, dia menjadi orang yag tidak populer dan akan kehilangan pengakuan dari teman-temannya.

Ini banyak terjadi terutama di kalangan para remaja misalnya, sebetulnya mereka mau mengalah tapi karena takut dinilai teman-temannya bahwa dia seorang yang lemah akhirnya dia tidak mau mengalah.
GS : Di lingkungan kita itu ada banyak etnis tertentu, kadang-kadang kelihatan dari salah satu etnis tertentu itu memang sukanya mengalah, orangnya tidak terlalu meledak-ledak dan sebagainya. Tapi di lain pihak ada juga satu golongan yang rasanya tidak mau kalah kalau sedang bicara.

PG : Point yang bagus sekali Pak Gunawan dan itu adalah butir yang ketiga penyebab kenapa kita ini susah mengalah, saya sebut rintangan budaya. Jadi ada budaya-budaya tertentu yang menyuburkan asa mengalah, itu betul sekali.

Yang mulia adalah mau mengalah dan mengesampingkan kepentingan pribadi. Tapi ada budaya-budaya lain yang justru menyuburkan sikap tidak mengalah, nah budaya-budaya tertentu itu akan berkata kalau mengalah engkau berarti pengecut, nah orang yang pengecut dikeluarkan dari budayanya. Daripada harus menanggung malu karena dianggap pengecut dan dikeluarkan dari budayanya, terpaksalah akhirnya dia menyuburkan sikap tidak mau mengalah, demi tetap bisa diterima sebagai bagian dari budaya itu.
GS : Jadi itu sifatnya anak melihat tingkah laku orang tuanya dan lingkungannya ya, Pak?

PG : Salah satu lingkungannya termasuk orang tuanya, sanak saudara, orang-orang di sekitarnya dan termasuk yang kita sebut kisah-kisah, legenda-legenda yang diteruskan dari satu generasi ke genrasi berikutnya.

Bahwa si ini, kakek kita, buyut kita dan sebagainya orang yang begini, tidak bisa diperlakukan semena-mena oleh orang bahwa keluarga kita dari dulu begini. Nah itu tradisi-tradisi atau budaya-budaya yang akhirnya diteruskan satu generasi ke berikutnya yang makin menyuburkan sikap tidak mau mengalah.
GS : Jadi sebenarnya itu masalah pandangan terhadap mengalah ya, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi pandangan terhadap sikap mengalah berpengaruh besar terhadap keputusan kita bersedia mengalah atau tidak.

(2) GS : Lalu kalau begitu bagaimana seharusnya kita itu bersikap, Pak Paul?

PG : Kita akan kembali ke firman Tuhan. Nah saya akan ambil dari Filipi 2:1-11 saya akan petik ayat 4 terlebih dahulu di sini. "Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kpentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga."

Kalau boleh saya ringkaskan yang Tuhan minta adalah kita mulai berpikir komunal, bahwa kita ini hidup dalam satu komunitas, dalam satu lingkungan masyarakat dan Tuhan meminta kita menjaga kelestarian lingkungan ini, masyarakat di mana kita tinggal. Nah untuk bisa menjaganya kita harus memperhatikan kepentingan bersama, jadi kita tidak hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Berpikir komunal adalah sesuatu yang juga tidak mudah dan tidak alamiah buat kita, Pak Gunawan. Sebab apalagi kita yang hidup di kota besar makin hari makin dikondisikan untuk tidak berpikir komunal, kita lebih dikondisikan untuk berpikir individual. Apa yang baik buat saya, apa yang penting buat saya dan saya tidak akan terlalu memikirkan orang lain, pokoknya saya dulu orang lain ya urusan orang itu. Nah firman Tuhan sangat menekankan pola pikir komunal yaitu pikirkan orang, kepentingan orang kita lihat dan mencoba membantu. Jadi untuk bisa mengalah kita harus mulai mengubah pola pikir kita dari individual ke komunal.
GS : Dalam hal memperhatikan pikiran atau pendapat orang lain pasti tetap masih punya prinsip. Jadi kita sendiri harus punya pandangan sendiri yang kalau menurut kita benar ya harus kita pertahankan ya, Pak?

PG : Betul, jadi tidak berarti karena kita berpikir komunal kita akan kehilangan jati diri kita sendiri. Apa yang kita anggap benar kita kompromikan selalu demi keutuhan ikatan persaudaraan di alangan kita, itupun tidak benar.

Jadi ada kasus-kasus, ada panggilan-panggilan tertentu di mana kita harus tegas membela apa yang benar, menegur yang salah dan sebagainya. Namun di luar soal seperti dosa benar/salah saya kira Tuhan meminta kita berpikir komunal, memikirkan kepentingan bersama
GS : Selain itu apa Pak Paul yang ada di Filipi pasal yang ke-2 itu?

PG : Saya akan bacakan ayat yang ketiga, yaitu "Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri." Nah ini hal yang sulitya, bagaimanakah kita bisa menganggap orang lain itu lebih utama daripada diri kita sendiri, tapi ini yang Tuhan minta.

Kalau kita berkata kita bukan yang utama, melainkan orang lain. Kita seolah-olah menomorduakan diri dan ini yang sulit buat kita karena kita butuh penilaian orang yang positif bahwa kita itu nomor 1, kita yang utama. Tuhan meminta kita untuk bersikap mandiri artinya bebas dari penilaian orang, apapun yang menjadi penilaian orang tentang diri kita karena kita mengalah jangan kita hiraukan. Ini memang tidak mudah, tapi ini yang Tuhan minta. Bersikaplah mandiri dalam hidup, kalau kita perlu mengalah kita harus mengalah, meskipun itu harus mengorbankan kepentingan pribadi kalau memang ini yang Tuhan tuntut kita harus lakukan.
GS : Ya di dalam hal mandiri, bagaimana kita bisa membawakan diri dalam satu komunal yang seperti itu padahal ada hal-hal yang memang sama sekali kita tidak cocok, Pak Paul? Memang sulit untuk kita, bukan dosa cuma kita sulit untuk bisa menyesuaikan diri. Karena mungkin latar belakang, perbedaan-perbedaan lain. Dalam hal seperti itu kalau kita membaur terus lalu dikatakan seperti bunglon, kita ini tidak punya pendirian dan sebagainya.

PG : Dan kalau memang kita tidak punya pendirian karena ego kita terlalu kecil, kita hanya turuti orang, saya kira itu tidak sehat. Jadi penting juga kita mengerti apa yang kita percaya, apa yag kita yakini sebagai yang benar, kita bisa juga berani untuk mengutarakan pendapat kita.

Saya kira itu sikap-sikap yang sehat, karena kalau kita hanya menuruti apa yang dikehendaki oleh lingkungan kita tidak akan mempunyai diri dan pada akhirnya orang lain pun tidak akan menghormati kita. Nah kembali lagi pada sikap mandiri yang tadi saya sebut kita ini (tadi sudah saya singgung) merindukan penilaian yang positif dari orang dan adakalanya mengalah justru dilihat negatif oleh lingkungan kita. Nah Tuhan meminta kita untuk tidak memusingkan penilaian orang, tidak takut orang menilai kita lemah atau pengecut. Karena memang penilaian kita itu tidak tergantung pada manusia tapi pada Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki kita mengalah ya kita akan mengalah. Misalkan dalam contoh suami-istri, betapa susahnya kadang-kadang sebagai suami atau istri meminta maaf atau mengajak bicara setelah pertengkaran. Entah mengapa kita mempunyai anggapan siapa yang mengajak bicara adalah pihak yang menyadari kesalahannya dan mengajak bicara adalah sinyal bahwa dia itu telah mengaku salah. Tidak tahu kenapa, siapa yang mengajarkan, tapi itu yang kadang-kadang kita lakukan dan yang kita yakini. Akhirnya kita enggan untuk memulai bicara setelah pertengkaran.
GS : Mungkin itu kebiasaan sejak kecil Pak Paul, anak-anak waktu bertengkar juga saling tidak menyapa.

PG : Dan menyapa adalah suatu sinyal bahwa saya memang salah, akhirnya dalam pertengkaran kita saling mendiamkan daripada memulai percakapan, kita lebih senang bersunyi-sunyian dengan pasangan ita.

Nah sekali lagi yang sebetulnya terjadi adalah kita tidak mau pasangan kita menganggap kita yang salah, kita inilah yang sekarang menyesali perbuatan kita, belum tentu kita yang salah tapi kenapa kita tidak mengambil inisiatif memulai pembicaraan dengan pasangan kita. Yang Tuhan minta bersikaplah mandiri, jangan terlalu diikat oleh anggapan-anggapan orang di sekitar kita, lakukanlah apa yang Tuhan panggil kita untuk lakukan.
GS : Dalam hal katakan mau menyapa dulu atau mau bicara lebih dulu seperti tadi, apa perlu didahului dengan kata-kata misalnya saya mengajak kamu bicara ini bukan berarti saya salah?

PG : Kalau memang terlalu mengganggu ya harus diawali dengan kata-kata seperti itu boleh juga, kalau bisa sebaiknya jangan. Karena kata-kata seperti itu justru akan memicu kemarahan pasangan kia, belum apa-apa kita sudah berkata: "Saya mengajak bicara kamu bukan karena saya merasa salah ya" Akhirnya pasangan kita merasa buat apa saya menanggapi lebih baik tidak.

Jadi lebih baik tidak mengatakan hal seperti itu, langsung saja mengajak bicara misalnya.
GS : Tetapi memang dalam diri sendiri itu percaya bahwa sebenarnya kita bukan yang salah, Pak Paul?

PG : Betul, kita tahu memang kita tidak salah dan sering kali Pak Gunawan dalam pernikahan memang masalahnya bukan salah atau benar, perbedaan-perbedaanlah yang menimbulkan pertengkaran dan peredaan tidak berarti siapa yang salah, siapa yang benar di situ.

GS : Jadi di situ timbul masalah bagaimana cara kita mengungkapkan sebenarnya keinginan kita atau isi hati kita kepada pasangan atau kepada orang lain. Sejauh itu mereka bisa terima, saya rasa tidak akan timbul image bahwa kita kalah.

PG : Betul, jadi kalaupun muncul image bahwa kita kalah ya tidak apa-apa. Waktu firman Tuhan berkata: "Anggaplah kepentingan orang lebih penting daripada kepentinganmu, anggaplah orang lai lebih utama daripadamu."

Ya kita 'kan rasanya secara manusiawi tidak rela orang menilai kita kok nomor 2, orang lain nomor 1, kita tidak rela, nah Tuhan mau kita membebaskan diri dari penilaian-penilaian manusia.
GS : Hal yang lain dari Filipi 2 itu apa, Pak?

PG : Yang berikutnya adalah sesuai dengan tadi yang kita baca firman Tuhan meminta kita mempunyai gaya hidup tertentu, gaya hidup melayani yaitu gaya hidup mendahulukan orang lain. Nah, sekali agi ini bukanlah hal yang mudah, kadang-kadang kita jatuh kepada satu ekstrim atau ekstrim yang satunya.

Kita mendahulukan kepentingan kita, masa bodoh dengan kepentingan orang lain atau karena kita dari kecil tertekan terus-menerus dan tidak pernah merasa OK menginginkan sesuatu, jadi akhirnya kita senantiasa mendahulukan kepentingan orang. Nah untuk menyeimbangkan keduanya memang susah, tapi yang Tuhan minta di sini adalah kita sadari apa yang kita inginkan karena firman Tuhan juga berkata jangan hanya mementingkan kepentinganmu tapi juga kepentingan orang. Tuhan tidak berkata salah kalau kita ini memikirkan kepentingan pribadi, tidak apa-apa kita memikirkan kepentingan pribadi, asal kita mementingkan kepentingan orang. Dan ini yang Tuhan minta, bagaimanakah kita bisa menolong orang lain agar merekapun bisa mendapatkan yang mereka inginkan, inilah gaya hidup melayani yang Tuhan tanamkan kepada kita.
GS : Ya memang sering kali orang jatuh kepada ekstrim yang satu atau yang lain. Jadi terlalu memperhatikan orang lain sampai dirinya sendiri tidak diurusi atau terlalu mengurusi dirinya sendiri sampai dia tidak punya waktu untuk memperhatikan orang lain, bahkan orang yang serumah dengan dia pun tidak peduli sama sekali.

PG : Betul, jadi sikap-sikap ini sekali lagi saya mau tekankan bukan sikap-sikap yang alamiah sesuai dengan kodrat manusiawi kita. Untuk bisa mengalah itu benar-benar memerlukan pertolongan ilai, pertolongan Tuhan sendiri.

Maka di dalam Filipi 2 ini pada akhirnya Paulus mengajak para penerima surat Filipi untuk melihat kepada Tuhan Yesus. Sebab Dialah contoh kita, teladan kita, nah dikatakan di sini Dia atau Tuhan Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Tuhan Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi dan segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa." Kita melihat di sini Yesuslah Tuhan kita, model atau contoh, Dia merendahkan diri dari awalnya Dia sudah datang ke dunia dengan mengosongkan diriNya, Dia Allah tapi menjadi manusia. Jadi sikap merendahkan diri adalah sikap Tuhan yang dicontohkan kepada kita. Nah saya mempunyai prinsip begini, Pak Gunawan, kalau kita ini menghadapi benturan atau dihadapkan dengan situasi di mana kita ditantang, barulah kita memikirkan saya perlu mengalah atau tidak...... Sebabnya kenapa? Sebab kita ini adalah orang yang susah untuk ditantang, kalau ditantang kita cenderung akan menanggapi tantangan itu dan melawannya. Karena waktu kita ditantang yang kita pertaruhkan adalah harga diri kita dan kebanyakan kita akan melakukan segala hal untuk mempertahankan harga diri itu. Jadi saran saya adalah sebelum terjadi apa-apa, sebelum ada situasi yang menantang kita atau apa, kita sendiri harus sudah mengambil keputusan, bahwa saya akan merendahkan diri, bahwa saya adalah anak Tuhan dan Tuhan merendahkan diri maka sebagai anak Tuhan, saya pun akan mencontoh Dia merendahkan diri. Kalau itu sudah menjadi keputusan kita dan jati diri kita, siapa diri kita itu, waktu muncul situasinya kita tidak perlu pikir 2, 3 kali, kita langsung berkata OK saya akan mengalah, bukan karena saya takut atau bukan karena saya itu tidak bisa berbuat apa-apa, tapi karena memang saya dipanggil Tuhan untuk tidak menanggapi tantangan itu, tapi untuk mengalah.
GS : Jadi di situ kita mengubah persepsi kita sendiri tentang mengalah. Yang tadinya kita semacam dibentuk sejak kecil bahwa mengalah itu kalah, lalu dengan pandangan seperti yang tadi, bahwa memang saya mau meneladani sikap Kristus yaitu merendahkan diri, itu akan merubah persepsi kita sendiri.

PG : Betul, dan waktu kita mengubah persepsi terhadap diri kita dan situasi mengalah atau sikap mengalah itu saya kira kita juga akan lebih mudah melakukannya. Tetap susah tapi akan lebih mudahsaya kira.

GS : Jadi kita tahu bahwa mengalah itu sebuah panggilan Tuhan terhadap kita.

PG : Betul, jadi mengalah sudah sangat terkait dengan sifat Kristus, waktu Tuhan ditangkap nah Dia berkata setelah melihat Petrus mengeluarkan pedang dan mencoba untuk melawan. Tuhan berkata: &uot;Apakah Aku tidak mampu memanggil bala tentara sorga, ini 'kan bukan hal yang mustahil, hal yang sangat mungkin Dia lakukan, tapi tidak Dia lakukan.

Sekali lagi Tuhan selalu mencontohkan sikap mengalah seperti itu.
GS : Dengan pernyataan seperti itu ya Pak Paul, sebenarnya seseorang itu menunjukkan kerendahan hatinya atau justru menonjolkan "Lho saya ini sebetulnya bisa ini", jadi menonjolkan kelebihan dia?

PG : Saya kira motivasi memang akan berperan besar di sini, kalau kita mengalah dengan tujuan sengaja untuk menonjolkan diri saya kira tidak tepat. Tapi sekali lagi yang mau saya tekankan adala kalau kita mengalah lakukanlah demi Tuhan.

Sering kali kita akan sulit mengalah demi orang, kita merasa buat apa saya mengalah demi dia, dia orang yang tidak layak menerima sikap mengalah saya ini. Tapi tadi Pak Gunawan sudah tekankan, Tuhan memanggil kita merendahkan diri atau mengalah. Jadi lakukanlah bukan demi manusia tapi demi Tuhan, bahwa ada Tuhan yang mencatat perbuatan kita, mungkin kita tidak akan menjadi orang yang terkenal tidak apa-apa, sebab Tuhan mencatat dalam buku kehidupanNya di surga.

GS : Jadi saya yakin kalau kita punya persepsi yang benar tentang mengalah baik dalam rumah tangga kita, bahkan negara kita ini pasti aman ya, Pak Paul? (PG :Betul sekali). Juga terhindar dari bentrokan atau kemarahan-kemarahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Jadi terima kasih sekali, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Susah Mengalah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



18. Perasaan Bersalah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T099B (File MP3 T099B)


Abstrak:

Sikap atau rasa bersalah merupakan sesuatu yang perlu dan harus ada dalam hidup manusia, karena tanpa rasa bersalah manusia itu akan menjadi liar. Namun kalau kadarnya terlalu banyak atau berlebihan maka rasa bersalah itu tidak lagi berfungsi dengan baik, malahan akan menghancurkan pribadi manusia itu.


Ringkasan:

Sikap atau rasa bersalah merupakan sesuatu yang perlu dan harus ada dalam hidup manusia, karena tanpa rasa bersalah manusia itu akan menjadi liar. Namun kalau kadarnya terlalu banyak atau berlebihan maka rasa bersalah itu tidak lagi berfungsi dengan baik, malahan akan menghancurkan si pribadi itu.

Latar belakang yang bisa membuat seseorang punya rasa bersalah berlebihan:

  1. Mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang memberikan banyak tuntutan dan larangan. Dalam pertumbuhan, si anak sangat-sangat dibatasi, dikekang, ditakut-takuti dan ditekan oleh tuntutan dan larangan. Kegagalan untuk memenuhi tuntutan dan larangan akan mengundang hukuman dari orang tua sehingga hidup anak benar-benar diperhadapkan terus-menerus dengan ancaman akan dihukum, dan dari pada dihukum si anak terus-menerus dipaksa untuk memenuhi tuntutan dan larangan.

  2. Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang mudah menyalahkan anak meski tidak memiliki aturan yang jelas. Dalam hal ini orang tua tidak mempunyai aturan-aturan yang jelas, tidak ada kesinambungan atau kekonsistenan, akibatnya anak harus berjaga-jaga supaya tidak dipersalahkan, sebab tidak ada ketentuan yang pasti tentang apa yang benar dan apa yang salah.

  3. Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang bermasalah, misalkan orang tua bertengkar terus-menerus, tidak mempunyai keharmonisan dalam rumah tangga. Anak-anak yang hidup dalam rumah tangga yang seperti ini mereka akan mudah merasa bersalah karena mereka terlalu terpaku pada target membahagiakan orang, jadi anak-anak ini dikendalikan oleh suatu keinginan yang besar untuk membahagiakan orangtuanya.

  4. Pada dasarnya rasa bersalah berlebihan mencerminkan penghargaan diri yang lemah. Rasa bersalah sebetulnya merupakan penghukuman terhadap diri sendiri, orang yang cenderung merasa bersalah, sebetulnya tidak melihat dirinya itu terlalu baik jadi perlu dihukum seberat-beratnya, karena ada rasa tidak suka terhadap diri itu. Dan rasa percaya dirinya juga rendah, tidak melihat dengan positif.

Cara untuk membantu anak agar bisa mengatasi rasa bersalah yang berlebihan adalah:

  1. Kita harus membedakan antara kesalahan dan kondisi. Jadi waktu kita menghadapi suatu peristiwa dan kita merasa bersalah kita tanya, tanyakan apakah ini kesalahan atau ini memang akibat kondisi. Belum tentu musibah itu disebabkan oleh kesalahan kita adakalanya oleh kondisi.

  2. Bedakan antara kesalahan pribadi dan kesalahan orang lain. Ini penting kita harus lihat masalahnya dengan jernih, jangan terburu-buru menyalahkan orang lain atau menyalahkan diri sendiri. Penting bagi kita untuk tenang dan melihat kalau memang ada faktor kesalahan, kalau bukan faktor kondisi, kesalahan siapa? Sayakah atau orang lainkah atau mungkin keduanya.

  3. Kita harus membedakan antara rasa bersalah dan rasa malu. Kadang kita melakukan perbuatan yang memalukan dan ini belum tentu mengandung kesalahan. Misalnya dalam suatu acara makan yang formal, dan sewaktu kita sedang makan karena asyiknya tangan kita menyenggol gelas, gelasnya tumpah. Kita menyalahkan diri, kenapa saya menyenggol gelas. Di situ yang terjadi adalah kita merasa malu karena orang melihat.

  4. Kita perlu membedakan antara kesalahan dan dosa. Kesalahan terhadap orang atau diri sendiri belum tentu merupakan dosa. Kesalahan terhadap orang lain atau pun diri sendiri kita harus bereskan, minta maaf dan ampuni diri. Tetapi kalau menyangkut dosa kita harus mohon pengampunan dari Tuhan.

I Yohanes 1:9 , "Jika kita mengaku dosa kita maka Ia adalah setia dan adil sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam perbincangan yang menarik dan sangat bermanfaat. Perbincangan kali ini kami beri judul "Perasaan Bersalah". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada beberapa orang yang saya kenal di dalam tutur katanya, pembicaraannya itu tercermin bahwa dia itu sedikit-sedikit merasa wah saya ini keliru, wah saya sudah menyakiti hati orang itu dan sebagainya. Jadi "guilty feeling"nya itu rasanya kuat sekali di dalam dirinya, sebenarnya sikap ini positif atau negatif atau bagaimana Pak Paul?

PG : Rasa bersalah itu sesuatu yang perlu ada dalam hidup manusia, karena tanpa rasa bersalah manusia akan menjadi liar. Namun kalau kadarnya terlalu banyak atau berlebihan maka rasa bersalah tdak lagi berfungsi dengan baik, malahan akan menghancurkan si pribadi itu.

Jadi yang coba kita soroti Pak Gunawan, yakni tentang rasa bersalah yang berlebihan dan bagaimanakah kita bisa menyikapinya dengan lebih tepat.
GS : Ternyata bukan cuma bicaranya saja, ternyata dia betul-betul memikirkan terus kenapa saya bisa seperti itu. Bahkan sudah agak lama diungkapkan lagi, jadi kami teman-temannya kadang-kadang berkata "Aduh begitu saja kamu pikiri terus". Sebenarnya itu merugikan dia sendiri ya, Pak Paul?

(1) PG : Orang-orang ini Pak Gunawan, bisa jadi muncul dari latar belakang tertentu yaitu mereka dibesarkan oleh orang tua yang memberikan banyak tuntutan dan larangan. Jadi dalam masa pertumbuan mereka ini sangat dibatasi, dikekang, ditakut-takuti.

Kegagalan untuk memenuhi tuntutan dan larangan akan mengundang hukuman dari orang tua. Jadi si anak benar-benar hidup diperhadapkan dengan ancaman terus menerus. Untuk melepaskan diri dari ancaman agar tidak dihukum, akhirnya si anak dipaksa untuk terus-menerus memenuhi tuntutan dan larangan. Biasanya anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti ini cenderung mengembangkan rasa bersalah yang berlebihan, sedikit-sedikit dia merasa bersalah karena dia terbiasa harus memenuhi tuntutan dan larangan orang tuanya. Kalau gagal dihukum, nah akhirnya terbawa sampai dia dewasa.
GS : Tadinya saya berpikir ini orang yang perfeksionis, orang yang mau semuanya itu serba sempurna, begitu Pak Paul?

PG : Saya kira itu bisa tercampur, Pak Gunawan, jadi ada orang-orang yang menjadi perfeksionis karena berlatar belakang seperti ini terlalu ditekan oleh tuntutan dan larangan yang sangat tinggidan kaku.

GS : Lalu latar belakang apalagi yang bisa membuat orang mempunyai rasa bersalah berlebihan seperti ini?

PG : Ada lagi anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang mudah menyalahkan anak meski tidak memiliki aturan yang jelas. Nah ini berbeda dengan kasus yang pertama tadi, kasus pertama tadi jels tuntutan dan larangannya.

Kasus yang kedua, orang tua ini sendiri tidak mempunyai aturan-aturan yang jelas. Maksudnya orang tua kalau merasa hari ini boleh ya dia bolehkan, besok dia rasa tidak boleh ya tidak boleh. Jadi tidak ada kesinambungan atau kekonsistenan, akhirnya anak harus senantiasa berjaga-jaga supaya tidak dipersalahkan, sebab tidak ada ketentuan yang pasti tentang apa yang benar dan apa yang salah. Jadi anak-anak ini kita katakan terus-menerus hidup secara waspada, harus melihat kiri kanan jangan sampai dia keliru sebab aturannya tidak jelas. Anak-anak seperti ini kalau sudah besar cenderung mengembangkan rasa bersalah yang berlebihan. Sebab sekali lagi dia tidak tahu kapan dia salah, jadi daripada nanti akhirnya bersalah karena tidak melakukan apa yang diminta oleh orang tuanya, maka dia harus terus-menerus menjaga dirinya dengan menyuburkan rasa bersalah itu.
GS : Jadi itu semacam perlindungan diri untuk dirinya sendiri, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, dengan dia terus-menerus merasa bersalah maka dia menjaga diri dengan lebih baik. Jangan sampai akhirnya dia kebablasan melakukan kesalahan, sebab sekali lagi aturannya tidakjelas kapan dia harus begini, harus begitu.

GS : Ada orang yang saya kenal supaya dia tidak disalahkan orang lebih dulu, dia cenderung mendahului dengan berkata: "Saya yang salah", Pak Paul.

PG : Betul, jadi rasa bersalah untuk menjaga diri begitu.

GS : Sikap orang tua yang lain yang bisa mempengaruhi seseorang anak itu bagaimana?

PG : Yaitu anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang bermasalah, jadi misalkan orang tua bertengkar terus-menerus, tidak mempunyai keharmonisan dalam rumah tangga. Si anak melihat misalkan i ibu menderita, dia juga menyadari si ayah menderita akibat hubungan mereka yang tidak baik.

Akan ada anak-anak tertentu yang ingin menyenangkan hati orang tua agar mereka bisa berbangga hati dan meringankan beban orang tuanya. Dengan kata lain, karena melihat orang tuanya menderita dalam hidup ini, karena masalah-masalah yang dihadapi, si anak terpanggil sekali untuk melakukan hal-hal yang bisa membuahkan rasa bangga atau bisa menghibur hati orang tuanya. Nah anak-anak seperti ini mudah merasa bersalah sebab mereka terlalu terpaku pada target membahagiakan orang. Jadi anak-anak ini dikendalikan oleh suatu keinginan yang besar untuk membahagiakan orang tuanya. Kalau ada yang tidak beres sedikit, anak-anak ini cenderung merasa dialah yang bertanggung jawab, maka orang tuanya sekarang menjadi begini atau menjadi begitu, ribut lagi atau tidak bahagia. Untuk menjaga orang tuanya tetap bisa sedikit bahagia, si anak harus bekerja keras melakukan semua yang diminta atau yang tidak diminta. Anak-anak dari keluarga seperti ini juga bisa mengembangkan sikap perfeksionis, semua harus sempurna dan kalau ada yang tidak benar berarti itu tanggung jawab saya, saya yang masih kurang melakukan ini atau itu.
GS : Dalam hal ini ya Pak Paul, pengaruh-pengaruh ini saya lihat bukan cuma karena pengaruh orang tua dalam arti kata ayah dan ibu, pengaruh guru juga besar sekali?

PG : Bisa, karena si anak akan bersama dengan guru berjam-jam setiap harinya.

GS : Jadi memang tuntutan itu kadang-kadang tidak masuk akal, bisa membuat orang atau anak seperti ini.

PG : Betul, jadi di manapun si anak berada kalau menghadapi orang-orang yang menuntutnya seperti ini, maka anak ini rawan untuk mengembangkan rasa bersalah yang berlebihan. Satu hal lagi, Pak Gnawan, yang saya ingin munculkan adalah pada dasarnya rasa bersalah yang berlebihan mencerminkan penghargaan diri yang lemah.

Ada kaitannya antara rasa bersalah berlebihan dengan penghargaan diri. Saya jelaskan rasa bersalah sebetulnya merupakan penghukuman terhadap diri sendiri, jadi kita menghukum diri dengan memunculkan rasa bersalah itu. Waktu merasa bersalah kita sedang menghukum diri sendiri, nah kaitannya adalah semakin buruk kita melihat diri, semakin besar rasa tidak suka terhadap diri, ini masuk akal. Karena kalau kita menyukai diri kita, kita cenderung memang melihat diri kita positif. Kalau kita melihat diri kita tidak bagus, rasa tidak suka terhadap diri itu biasanya makin besar. Nah semakin besar rasa tidak suka terhadap diri, semakin besar pula penghukuman yang kita berikan kepada diri kita. Artinya orang-orang yang cenderung merasa bersalah, sebetulnya tidak melihat dirinya itu terlalu baik, jadi perlu dihukum seberat-beratnya karena ada rasa tidak suka terhadap dirinya itu.
GS : Dan rasa percaya dirinya juga rendah.

PG : Betul, rasa percaya diri rendah, tidak melihat diri dengan positif dan sekali lagi ini biasanya berpulang pada masa-masa pertumbuhan si anak. Seperti apakah dia dibesarkan oleh orang tuany, nah orang tua yang lebih banyak memberikan kehangatan dan cinta kasih akan membuat si anak melihat diri mereka juga lebih positif.

Sedikitnya anak yang dimarahi, dituntut larangan ini, dituntut harus begini-begitu terus-menerus dengan kaku, dia juga akan mengembangkan sikap positif terhadap dirinya. Sebab yang ia terima adalah perlakuan-perlakuan buruk terhadap dirinya, sehingga dia pun lama-lama akan memperlakukan dirinya seperti orang lain memperlakukan dirinya.
(2) GS : Nah kalau katakan seorang anak itu sudah menjadi korban dari kesalahan orang tua yang mendidik dan sebagainya, lalu bagaimana orang yang mempunyai rasa bersalah yang berlebihan seperti itu bisa mengatasinya, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah kita harus membedakan antara kesalahan dan kondisi. Jadi waktu kita menghadapi suatu peristiwa dan kita merasa bersalah, kita bertanya misalkan apakah ini kesalahan ata ini memang akibat kondisi.

Belum tentu musibah itu dikarenakan oleh kesalahan kita, adakalanya oleh kondisi. Misalkan kita sudah merencanakan sebuah pesta, nah apa mau dikata pada hari H-nya hujan turun dengan begitu lebat, akibatnya pesta yang kita rencanakan misalkan untuk teman kita akhirnya berantakan dan sedikit yang datang. Bisa-bisa menyalahkan diri kita karena saya kurang mengundang lebih banyak, karena saya tidak menghubungi lagi, karena saya kurang mendorong dan sebagainya maka mereka tidak hadir. Kenyataannya adalah kondisi yang menyebabkan teman-teman tidak hadir. Jadi langkah pertama atau salah satu cara adalah selalu bertanya, apakah faktor kesalahan saya sendiri ataukah ini akibat kondisi yang memang di luar kendali saya.
GS : Hal yang seperti itu juga sering terjadi kalau seseorang sakit Pak Paul, lalu dia merasa saya ini dosa apa, itu juga menyalahkan diri sendiri yang sebenarnya kondisinya yang membuat dia sakit.

PG : Itu sering kali terjadi Pak Gunawan, kalau seseorang sakit apalagi orang yang kita kasihi atau sering juga terjadi waktu seseorang kehilangan anaknya, pasangannya, orang yang dia cintai. Hrus ada yang saya lakukan supaya dia tidak meninggal dunia, supaya dia tidak tertabrak atau tidak tertimpa bencana itu.

Kenyataannya adalah tidak harus begitu.
GS : Upaya lain apa, Pak Paul?

PG : Bedakan antara kesalahan pribadi dan kesalahan orang lain, ini saya kira penting. Lihatlah dengan jernih masalahnya, jangan terburu-buru menyalahkan orang lain atau diri sendiri. Karena ad orang yang tergesa-gesa menyalahkan orang lain, tapi ada orang yang tergesa-gesa menyalahkan diri sendiri.

Kita penting untuk tenang dan melihat kalau memang ada faktor kesalahan tadi, yang pertama apakah kondisi, kalau misalkan kita katakan OK-lah ada faktor kesalahan, sekarang bukannya kondisi, kesalahan siapa? Sayakah atau orang lainkah atau mungkin kedua-duanya. Kita memang mempunyai bagiannya, orang lain pun mempunyai bagiannya. Penting sekali untuk kita berani mengambil bagian kita dan sekaligus berani mengembalikan bagian orang lain, pada pundak orang lain.
GS : Jadi tidak terlalu ditanggung sendiri ya, Pak Paul?

PG : Kalau memang ada bagian orang lain begitu.

GS : Bagaimana Pak Paul, kalau kesalahan itu sebenarnya pada kita atau orang itu tidak terlibat tapi dia mau mengambil bagian kesalahan yang seharusnya jadi bebannya orang lain itu ke pundak dia. Karena jabatan dia misalnya saja dia pimpinan di situ, dia itu ketua di situ. Walaupun dia sebenarnya tidak terlibat langsung di dalam kesalahan itu, tapi karena jabatannya, lalu dia merasa karena saya ketua memang salah saya, kenapa saya tidak kontrol, itu seperti mengada-ada ya?

PG : Betul, kecuali memang ada keterkaitan langsung. Kalau memang tidak ada keterkaitan langsung, seseorang harus bisa berkata ini memang sesuatu yang dilakukan di luar perintah saya atau instrksi saya dan tidak ada kaitannya dengan saya, begitu.

Saya tahu mudah buat kita mengatakannya, bedakan antara kesalahan pribadi dan kesalahan orang lain, saya tahu susah untuk kita lakukan. Kecenderungannya kita ini kalau tidak berat ke kiri ya berat ke kanan.
GS : Ya, belum lagi ini Pak Paul, tercampurnya antara perasaan bersalah dan perasaan malu di dalam diri, saya sudah membuat kesalahan seperti itu, nah itu bisa terjadi tidak Pak Paul?

PG : Bisa sekali Pak Gunawan, jadi salah satu hal yang perlu kita lakukan adalah kita juga harus membedakan antara rasa bersalah dan rasa malu. Kadang kita melakukan perbuatan yang memalukan da ini belum tentu mengandung kesalahan.

Misalnya kita makan, karena asyiknya tangan kita itu akhirnya menyenggol gelas lalu airnya tumpah, sedangkan ini suatu acara makan yang agak formal. Kita menyalahkan diri karena kenapa bisa menyenggol gelas, kita menyalahkan diri sebetulnya apa kesalahan kita. Yang terjadi sebetulnya kita merasa malu karena orang melihat, orang mungkin berpikir orang ini makan tidak melihat gelas, tapi itu bukan kesalahan. Jadi bedakan antara rasa malu dan rasa bersalah.
GS : Itu untuk mengatasinya ya Pak Paul, jadi kita bedakan antara rasa malu dan rasa bersalah, bagaimana mengatasi rasa malu dan rasa bersalah?

PG : Kalau memang itu suatu hal yang kita lakukan dan menimbulkan rasa malu tapi tidak ada rasa bersalahnya, ya kita berkata misalnya kepada teman-teman yang melihat kita menyenggol gelas, misanya berkata "Aduh saya ini sudah besar masih saja tidak bisa melihat gelas dengan baik".

Jadi kita mengakui, ini suatu perbuatan yang mengundang tertawa dan orang akan tertawa tapi ya sudah, karena memang tidak ada kesalahannya. Kita tidak perlu memaafkan diri, memang tidak ada kesalahan. Sering kali juga begini Pak Gunawan, ada hal-hal yang seharusnya mengundang rasa malu tapi kita tidak merasa malu. Atau misalnya sesuatu hal sangat salah tapi tidak mengundang rasa malu, misalnya sekarang kalau orang menikah, 5 bulan kemudian mempunyai anak atau yang kita lihat belum lama ini Steffi Graf dan Andre Aggazi menikah dan baru menikah belum 1 bulan sudah punya anak. Mereka tidak merasa malu, nah buat kita yang tahu ini adalah hubungan di luar pernikahan dan kita tahu itu hal yang salah. Untuk hal yang salah, memang tidak selalu mengundang rasa malu, sebab budaya mungkin saja mengatakan tidak apa-apa. Di negeri Barat orang menikah dan langsung punya anak 2 bulan kemudian, tidak ada yang mempersoalkan bahkan tidak mengundang rasa malu. Tapi tidak berarti tidak ada kesalahan yang diperbuat, ini memang perlu keseimbangan antara kedua hal ini.
GS : Mungkin yang perlu digalakkan memang punya rasa malu untuk sesuatu yang memang patut untuk kita malu ya?

PG : Betul, dan kita juga harus membedakan belum tentu yang mengundang rasa malu itu memang suatu kesalahan.

GS : Hal yang lain apalagi Pak Paul untuk mengatasi rasa malu yang berlebih-lebihan ini?

PG : Yang terakhir adalah kita perlu membedakan antara kesalahan dan dosa. Kesalahan terhadap orang atau diri sendiri belum tentu merupakan dosa. Belum tentu yang namanya kesalahan itu adalah satu dosa, contoh: kita berjanji jam 05.00

sore kemudian kita lupa kita tidak datang jam 05.00 sore, kemudian kita meminta maaf. Nah jelas memang kita ini salah tidak menepati janji, tapi apakah kesalahan itu suatu dosa, tidak, jadi sekali lagi bedakan antara kesalahan dan dosa. Apa yang kita lakukan kalau memang itu suatu kesalahan, kalau menyangkut orang lain bereskan, dan kita bisa meminta pengampunan dan kalau kita merugikan orang maka kita harus ganti kerugiannya itu. Kalau menyangkut diri sendiri ya kita ampuni diri kita, misalnya interview pekerjaan baru, kita bangunnya kesiangan karena tidak pasang alarm akhirnya kita tidak datang, kita tidak mendapatkan pekerjaan itu, kesalahan siapa? Pribadi. OK kita tahu ini kesalahan kita, kita ampuni jadi kalau itu menyangkut kesalahan, OK kita ampuni diri sendiri. Kalau itu menyangkut dosa kita harus mohon pengampunan dari Tuhan, kalau misalnya kita menonjok orang, membohongi orang, nah itu tetap adalah dosa dan kita harus meminta ampunnya kepada Tuhan.
GS : Tetapi dalam hal ini apakah semua pelanggaran terhadap hukum Tuhan kita sebut dosa, Pak Paul?

PG : Semua pelanggaran terhadap hukum Tuhan kita panggil dosa itu betul, meskipun kita belum tentu merasa bersalah. (GS: Maksudnya bagaimana?) Maksudnya belum tentu, misalkan orang yang sudah brhubungan kemudian hamil, lalu menikah dan tidak merasa bersalah sama sekali, tapi tetap itu adalah sebuah dosa.

GS : Untuk bisa membedakan antara kesalahan dan dosa tentu orang harus paham betul apa itu dosa dan apa itu kesalahan ya, Pak Paul?

PG : Betul, jadi memang harus kembali lagi pada firman Tuhan dan melihat apa yang Tuhan katakan dosa.

GS : Yang sering kali kita baca di dalam Alkitab Pak Paul, pelanggaran yang dilakukan tokoh-tokohnya bahkan imam termasuk kesalahan atau dosa?

PG : Kita akhirnya kembali pada para bapak rohani kita Pak Gunawan, dan akan menemukan bahwa sejumlah besar di antara mereka adalah orang-orang yang pernah melakukan kesalahan-kesalahan yang beat, Pak Gunawan.

Abraham pernah melakukan kesalahan-kesalahan, dia memanggil istrinya itu saudaranya, dia tidak berani mengakui dan melindungi istrinya. Ishak juga pernah salah, Yakub pernah salah, Nuh pernah salah, Rahab pernah salah, Daud pernah salah, banyak sekali. Mereka orang-orang yang pernah melakukan kesalahan yang besar, tapi mereka bertobat, Tuhan mengampuni dan Tuhan memakai mereka. Jadi mereka pahlawan rohani kita tapi bukannya tanpa cacat, semua orang punya salah, jangan sampai kita mengembangkan rasa bersalah yang berlebihan. Kalau sampai berlebihan dan malah melumpuhkan kita, itu bukan dari Tuhan lagi sebab Tuhan selalu meminta kita untuk bertobat dan mengakuinya. Mungkin saya akan bacakan firman Tuhan yang saya ambil dari 1 Yohanes 1:9 "Jika kita mengaku dosa kita maka Ia adalah setia dan adil sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." Jadi yang Tuhan minta mengaku dosa, mengatakan yang kita lakukan itu memang suatu dosa dan kita akui di hadapan Tuhan. Dan Tuhan berkata Dia akan ampuni, Dia tidak akan memperpanjang itu, nah kalau sampai kita perpanjang maka kita ini sudah melangkahi Tuhan sendiri.
GS : Kalau saya melihat memang kesalahan, tidak semua kesalahan itu adalah dosa di hadapan Tuhan, tapi kalau dosa itu sudah pasti kesalahan.

PG : Betul, dosa adalah suatu kesalahan di hadapan Tuhan meskipun kita belum tentu memanggilnya sebuah kesalahan.

GS : Tetapi juga ada kecenderungan kadang-kadang memperlunak makna dosa dengan mengatakan o....itu cuma kelemahan saya, kelemahan seseorang dan sebagainya, Pak Paul.

PG : Betul, kita sebagai manusia pandai sekali memberikan label yang baru, misalnya uang sogokan kita bilang uang rokok, begitu.

GS : Padahal jiwanya tetap seperti itu, demikian juga dengan kesalahan dan dosa.

PG : Betul sekali, kita berbohong, kita mengakalinya seperti itu.

GS : Tapi memang perasaan bersalah ini perlu juga ditumbuhkan, diajarkan sebatas proporsional saja. Kalau memang salah harus diakui, kalau tidak maka tidak perlu menyalahkan diri sendiri.

Jadi terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan kali ini, dan saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Perasaan Bersalah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



19. Memulihkan Relasi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T107A (File MP3 T107A)


Abstrak:

Memulihkan relasi bukan suatu hal yang mudah, Namun seorang Yusuf berhasil memulihkan relasinya dengan saudara-saudara yang telah menyakitinya. Dalam tema ini akan dibahas bagaimana Yusuf dapat memulihkan hubungannya dengan saudara-saudaranya.


Ringkasan:

Kejadian 43:34 , "Lalu disajikan kepada mereka hidangan dari meja Yusuf, tetapi yang diterima Benyamin adalah lima kali lebih banyak dari pada setiap orang yang lain. Lalu minumlah mereka dan bersukaria bersama-sama dengan dia."

Yang menarik di sini adalah bagaimana mungkin Yusuf berhasil menerima saudara-saudaranya, mengampuni mereka dan makan minum, bersukaria bersama mereka. Saya menemukan nomor satu mengampuni hal yang sangat susah, tapi Yusuf bukan saja dia berhasil mengampuni tapi berhasil memulihkan hubungan bukan saja seperti semula, tapi lebih baik dari semula.

Ada beberapa langkah atau cara untuk memulihkan relasi yaitu:

  1. Supaya bisa terjadi sebuah pemulihan, harus ada kejelasan akan letak kesalahan. Dalam hal ini kita harus berani bertanya siapa yang bersalah dan dalam hal apakah saya atau dia bersalah. Di Indonesia mengenal satu istilah dua-dua sama-sama salah, ini bukan prinsip yang tepat. Prinsip ini hanya berguna untuk meredam munculnya konflik tapi tidak menyelesaikan masalah. Dalam hal Yusuf, Yusuf tahu siapa yang bersalah dan apa kesalahannya, Yusuf tidak pernah bingung, dia tahu dengan jelas bahwa yang bersalah adalah saudara-saudaranya.

  2. Izinkan diri untuk marah dan terluka, marah dan terluka tidak berarti membalas dendam. Contoh Yusuf tidak menghubungi keluarganya sampai 9 tahun setelah ia menjadi penguasa di Mesir. Kejadian 45:6 , "Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai." Tuhan sudah menetapkan akan ada 7 tahun masa kemakmuran dan 7 tahun masa kekurangan. Berarti kalau sudah ada 2 tahun melewati masa kekurangan sudah ada 9 tahun yang dilalui oleh Yusuf sebagai penguasa Mesir. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Yusuf tidak buru-buru menghubungi keluarganya, meski dia mempunyai kesempatan untuk itu. Kadang-kadang kita tidak bisa memaksakan penyembuhan, kadang-kadang memang luka itu harus melewati proses waktu dan nggak bisa dalam waktu sehari, dua hari kita berkata saya akan lupakan. Secara rasional kita bisa berkata saya lupakan, saya maafkan, tetapi secara emosional, perasaan kita itu tidak mudah diatur seperti pikiran kita jadi memerlukan waktu yang lebih panjang untuk sembuh.

  3. Harus ada pengakuan bersalah atau sikap penyesalan dari pihak yang bersalah.

Kejadian 42:21 , "Mereka berkata seorang kepada yang lain: "Betul-betullah kita menanggung akibat dosa kita terhadap adik kita itu: bukankah kita melihat bagaimana sesak hatinya, ketika ia memohon belas kasihan kepada kita, tetapi kita tidak mendengarkan permohonannya. Itulah sebabnya kesesakan ini menimpa kita." Ini adalah kata-kata yang diucapkan oleh saudara Yusuf, sebuah pengakuan yang tidak dibuat-buat, keluar penyesalan-penyesalan.

Ada dua sikap ektrim dalam menghadpi kemarahan yaitu:

  1. Ada orang karena tidak nyaman maka mengumbar-umbar kemarahan. Meskipun setelah kemarahan dia merasa bersalah namun rasa bersalahnya harus dia obati dengan keyakinan bahwa selayaknyalah saya marah.

  2. Karena tidak nyaman dengan perasaan marah, kita senantiasa menyangkali kemarahan itu, kalau sampai muncul juga kemarahan itu ya kita merasa sangat bersalah.

  3. Perubahan sikap atau yang kita sebut pertobatan. Kata bertobat sebetulnya mengandung arti berubah arah, berganti arah jadi ada sesuatu yang lain yang dilakukan sekarang. Apa yang saudara-saudara Yusuf lakukan, sewaktu mereka menemukan uang itu, mereka mengembalikannya dan juga waktu Yusuf berpura-pura ingin menahan Benyamin, mereka menolak dan mereka justru berkata mereka saja yang ditangkap, mereka bersedia menggantikan Benyamin. Dengan kata lain Yusuf dengan jelas melihat perubahan nyata pada saudara-saudaranya.

Selama 9 tahun Yusuf menunggu tidak mengunjungi keluarganya saya kira dia masih bisa menantikan beberapa hari atau beberapa minggu lagi itulah yang Yusuf lakukan. Dengan tujuan yang sangat jelas, waktu relasi dipulihkan memang relasi itu sudah siap untuk dipulihkan bahwa memang saudara-saudaranya telah berubah.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen yang kali ini saya bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Memulihkan Relasi". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sebenarnya apa yang akan kita bahas tentang memulihkan relasi ini?

PG : Ada satu bagian firman Tuhan Pak Gunawan yang sangat menarik bagi saya dan saya akan bacakan dulu. Saya ambil itu dari Kejadian 43:34 , "Lalu disajikan kepada mereka hidanga dari meja Yusuf, tetapi yang diterima Benyamin adalah lima kali lebih banyak daripada setiap orang yang lain.

Lalu minumlah mereka dan bersukaria bersama-sama dengan dia." Nah dia di sini merujuk pada Yusuf, yang dikatakan dalam ayat ini adalah saudara-saudara Yusuf berkumpul dan makan, minum, bersukaria bersama Yusuf. Mereka bertemu kembali setelah dipisahkan untuk waktu yang lama. Dan dipisahkan oleh kepahitan, sebab Yusuf itu dibuang, dijual bahkan pada awalnya Yusuf itu sebetulnya direncanakan untuk dibunuh oleh saudara-saudaranya. Yang menarik perhatian saya adalah bagaimana mungkin Yusuf berhasil menerima saudara-saudaranya, mengampuni mereka dan makan minum, besukaria bersama mereka. Ini menarik perhatian saya Pak Gunawan, sebab saya menemukan nomor satu mengampuni hal yang sangat susah. Nah ini bukan saja dia berhasil mengampuni tapi berhasil makan, minum dan bersukaria bersama mereka. Saya kira sebagian besar dari kita bergumul untuk mengampuni, tapi misalkan kita berhasil mengampuni bukankah langkah selanjutnya yang lebih susah adalah bersukaria bersama-sama dengan mereka yang melukai kita. Kebanyakan kita setelah mengampuni, "sudah jangan dekat saya, saya tidak mau bertemu, engkau tidak perlu bertemu dengan aku, sudah jauh-jauh." Tapi Yusuf berhasil memulihkan hubungan bukan saja seperti semula, lebih baik dari semula, itu yang sangat menarik hati saya di sini.
(2) GS : Jadi suatu kondisi hubungan yang mula-mula baik kemudian terganggu dan bagaimana kita berupaya untuk memulihkan itu lagi Pak Paul. (PG : Betul) itu yang mau kita coba bahas pada kesempatan kali ini. Nah, sebenarnya memang unik sekali dalam kasusnya Yusuf ini, tetapi yang menarik tadi yang Pak Paul katakan langkahnya akhirnya bisa, bisa malah lebih baik, nah apakah menurut Pak Paul keberhasilan Yusuf di dalam memulihkan relasi dengan saudara-saudaranya?

PG : Ada beberapa hal yang terjadi dan ini yang akan kita coba lihat Pak Gunawan. Yang pertama adalah supaya bisa terjadi sebuah pemulihan, harus ada kejelasan akan letak kesalahan. Kita di ndonesia ini mengenal satu istilah dua-dua sama-sama salah, saya kira ini bukan prinsip yang tepat.

Prinsip ini hanya berguna untuk meredam munculnya konflik. Tapi prinsip ini tidak menyelesaikan konflik, saya kira langkah pertama justru adalah adanya kejelasan akan letak kesalahan. Itu kita harus berani bertanya siapa yang bersalah dan dalam hal apakah saya atau dia bersalah. Nah, sekali lagi menyamaratakan kesalahan kedengarannya rohani semua salah, tapi tidak menyelesaikan masalah hanya menutupi masalah secara sementara. Dalam hal Yusuf, Yusuf tahu siapa yang bersalah dan apa kesalahannya. Yusuf tidak pernah bingung dan berkata saya mungkin yang salah atau apa o.....tidak, Yusuf jelas tahu bahwa yang bersalah adalah saudara-saudaranya, jadi saya kira itu prinsip dan langkah pertama.

ET : Cuma mungkin dalam budaya kita katakanlah orang yang misalkan meletakkan diri pada posisi saudara-saudaranya Yusuf Pak Paul, 'kan rasanya mungkin ada orang yang kurang terima, memang sau pihak tidak bersalah hanya satu pihak ini yang bersalah.

Jadi rasanya lebih terima kalau sama-samalah menanggungkesalahan itu.

PG : Saya kira itu betul Ibu Esther, saya ingat-ingat masih kecil waktu sekolah kalau ada pertentangan, guru cenderung berkata ya dua-dua salah atau waktu di rumah, kakak dan adik berkelahi ukankah orang tua buru-buru berkata dua-dua ada salahnya, seolah-olah memang memuaskan kedua belah pihak.

Tapi saya kira pihak yang benar akan sulit menerima itu, pihak yang salah akan merasakan sedikit senang karena o.....saya tidak sendirian salah, sebab kamu pun salah tapi pihak yang benar justru akan merasa tidak puas. Jadi saya kira kita harus kembali ke Alkitab, Alkitab tidak ragu-ragu untuk menunjuk siapa yang salah, dan apa yang salah. Jadi waktu orang Israel berdosa tidak menyembah Tuhan malah menyembah illah lain, itu dinyatakan salah. Kita membaca dari kitab Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan kita akan melihat begitu banyak aturan-aturan yang Tuhan berikan dan kalau orang melanggarnya, orang itu dinyatakan bersalah. Tuhan tidak berkata: "OK, saya salah engkau pun juga salah," tidak! yang salah ya salah. Misalkan kalau lembu kita masuk ke ladang orang, merusakkan ladang orang Tuhan berkata: "Ganti, engkau harus membuat restitusi, penggantian." Tuhan tidak berkata o.....dua-duanya ada salahnya, yang punya lembu salah, yang punya kebun juga salah. Jadi prinsip Alkitab saya kira jelas, yang salah ya salah, jadi harus jelas letak kesalahan.

ET : Dibutuhkan keberanian dalam hal ini untuk bisa mengakui ya. Itu 'kan kadang-kadang mungkin orang takut dianggap sok rendah hati, maksudnya justru sok, ingin menganggap dirinya rendah hti dengan mengakui "ya saya juga salah", padahal sebenarnya harus berani mengakui saya tidak salah, pihak lain yang salah.

PG : Betul, jadi kadang-kadang kita ini mengambil tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh orang lain. Kalau memang orang itu salah ya dia salah dan dia harus bertanggung jawab, itulah yag mendorong orang untuk dewasa.

Nah, kalau kita mengambil alih tanggung jawab itu, kita akhirnya mendidik dia untuk tidak dewasa. Jadi prinsip pertama untuk pemulihan hubungan adalah harus ada kejelasan siapa yang salah dan dalam hal apa seseorang itu bersalah.
GS : Katakan kita sudah dengan jujur berkata: yang salah bukan saya tetapi kamu, nah langkah selanjutnya apa Pak Paul?

PG : Langkah selanjutnya ialah ijinkan diri untuk marah dan terluka, marah dan terluka tidak berarti membalas dendam. Untuk marah dan terluka, kita melihat contohnya ini tentang Yusuf, Yusuftidak menghubungi keluarganya sampai 9 tahun setelah ia menjadi penguasa di Mesir.

Nah mungkin para pendengar bertanya-tanya bagaimana saya tahu, Alkitab mencatat di kitab Kejadian 45 : 6 , "Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai." Nah Tuhan sudah menetapkan akan ada 7 tahun masa kemakmuran dan 7 tahun masa kekurangan. Berarti kalau ada 2 tahun melewati masa kekurangan, sudah ada 9 tahun yang dilalui oleh Yusuf, dilalui sebagai seorang penguasa Mesir. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah sekurang-kurangnya, mengapa Yusuf tidak buru-buru menghubungi keluarganya, dia mempunyai kesempatan itu dari awalnya waktu dia di penjara dia tidak punya kesempatan itu, tapi setelah dia dibebaskan menjadi penguasa di Mesir seharusnya dia bisa menghubungi keluarganya, itu tidak dilakukannya. Nah, saya hanya menduga bahwa luka perlu waktu untuk sembuh, Yusuf sangat terluka oleh tindakan saudara-saudaranya. Dia mungkin tidak tahu bagaimanakah harus menghadapi saudara-saudaranya lagi, dia tidak tahu apakah dia akan bisa mengampuni saudara-saudaranya, apakah dia bisa bertemu muka dan berpelukan dan melupakan semua yang pernah terjadi di belakangnya. Jadi dia masih memerlukan waktu dan Tuhan mengijinkan waktu itu sampai waktu yang Tuhan tetapkan, di mana Yusuf harus berjumpa dengan saudara-saudaranya. Nah, saya kira waktu yang lama itu dibutuhkan Yusuf untuk terluka, untuk berdarah dan untuk marah. Jadi sekarang kita sampai pada suatu kenyataan yaitu kadang-kadang kita tidak bisa memaksakan penyembuhan, kadang-kadang memang luka itu harus melewati proses waktu dan tidak bisa dalam waktu sehari dua hari, kita berkata saya akan lupakan. Secara rasional kita bisa berkata saya lupakan, saya maafkan. Tapi rupanya secara emosional, perasaan kita itu tidak mudah diatur seperti pikiran kita jadi memerlukan waktu yang lebih panjang untuk sembuh.

Prinsip ketiga yang harus kita lihat adalah harus ada pengakuan bersalah atau sikap penyesalan dari pihak yang bersalah. Alkitab mencatat di Kejadian 42 : 21 , "Mereka berkata seorang kepaa yang lain: Betul-betullah kita menanggung akibat dosa kita terhadap adik kita itu: bukankah kita melihat bagaimana sesak hatinya, ketika ia memohon belas kasihan kepada kita, tetapi kita tidak mendengarkan permohonannya.

Itulah sebabnya kesesakan ini menimpa kita." Ini adalah kata-kata yang diucapkan oleh saudara Yusuf di depan Yusuf, tapi mereka tidak mengerti Yusuf itu adalah Yusuf. Jadi mereka mengira Yusuf orang Mesir tidak mengerti bahasa mereka, Yusuf langsung bisa mendengar pengakuan yang tidak dibuat-buat, yang tidak diminta, secara natural keluarlah penyesalan-penyesalan. Kenapa dulu kita ini begitu jahat kepada adik kita yakni kepada Yusuf. Jadi saya kira kita lebih mudah memulihkan hubungan kita dengan orang yang pernah melukai kita, jika orang itu mengakui kesalahannya dan menunjukkan penyesalannya.

ET : Kadang-kadang yang saya lihat, justru yang merasa bersalah ini orang yang dilukai itu Pak Paul, maksudnya berkaitan dengan tahap yang kedua tadi tentang mengijinkan diri untuk marah. Jai sejujurnya marah dan sakit hati, tetapi karena ada pengertian yang keliru tentang kemarahan, sehingga merasa bersalah kenapa saya harus marah.

PG : Kita adalah orang yang tidak begitu nyaman dengan emosi marah, hampir semua manusia sebetulnya tidak begitu nyaman dengan emosi marah. Dan karena tidak nyaman, ada dua sikap ekstrim dalm menghadapi kemarahan.

Ada orang yang karena tidak nyaman maka mengumbar-umbar kemarahan, meskipun setelah kemarahan itu dia merasa bersalah, namun rasa bersalahnya harus dia obati dengan keyakinan bahwa selayaknyalah saya marah. Jadi lain kali dia boleh marah lagi. Atau ekstrim yang satunya yakni karena kita tidak nyaman dengan perasaan marah, kita senantiasa menyangkali kemarahan itu, kalau sampai muncul juga kemarahan itu kita merasa sangat bersalah. Sebab seolah-olah saya kurang rohani kenapa kok saya marah. Tuhan pernah mengeluarkan satu perkataan yang sangat indah untuk kita yaitu diambil dari kitab Efesus pasal 4 yaitu silakan marah atau marahlah, sebetulnya dalam bahasa Inggris 'be angry' silakan marah, tapi jangan membiarkan matahari terbenam, jadi jangan menyimpan kemarahan itu menjadi dendam kesumat itu yang Tuhan tidak inginkan kita lakukan. Tapi marah saya kira suatu teriakan, suatu jeritan aduh! Saya sakit. Marah adalah suatu seruan bahwa saya telah dilukai, dan saya kesakitan akibat perbuatanmu yang melukai saya. Jadi sebetulnya itulah marah, dan Tuhan sendiri tidak berkeberatan dengan kemarahan itu sendiri, asal kita tidak menyimpannya sebagai sebuah dendam.
GS : Langkah berikutnya yang diambil oleh Yusuf selama 9 tahun, mungkin mengobati rasa pedih hatinya, apa itu yang dia lakukan?

PG : Saya kira harus ada langkah yang jelas, bahwa pengakuan bersalah atau sikap penyesalan tidak berhenti hanya pada sikap atau hanya pada perasaan. Harus ada langkah berikutnya yaitu perubhan sikap atau ini yang kita sebut pertobatan.

Kata bertobat sebetulnya mengandung arti berubah arah atau berganti arah, jadi ada sesuatu yang lain yang dilakukan sekarang. Saudara-saudara Yusuf mengembalikan uang pembelian gandum yang Yusuf taruh dalam karung mereka, jadi tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya, Yusuf memberikan uang-uang itu kembali dalam karung mereka sewaktu mereka pulang ke Kanaan. Apa yang mereka lakukan sewaktu mereka menemukan uang itu, mereka mengembalikannya. Dan juga kita melihat waktu Yusuf berpura-pura ingin menahan Benyamin, mereka menolak dan mereka justru berkata mereka saja yang ditangkap, mereka bersedia menggantikan Benyamin. Dengan kata lain Yusuf dengan jelas melihat perubahan nyata pada saudara-saudaranya. Dari orang-orang yang jahat, yang kejam, yang egois, yang hanya memikirkan diri sendiri, sekarang begitu rela berkorban untuk orang lain, begitu jujur sehingga uangnya dikembalikan lagi. Nah perubahan nyata itulah yang memudahkan Yusuf untuk mengampuni dan memulihkan relasi dengan mereka.
GS : Tapi sebenarnya mengapa atau apa tujuannya Pak, Yusuf itu kok tidak langsung menyatakan dirinya sebagai saudara, seolah-olah dia mengulur waktu dengan berbagai cara?

PG : Saya kira memang Yusuf memerlukan kayakinan demi keyakinan, bahwa saudara-saudaranya memang telah berubah. Dari kali pertama dia telah mengenal mereka tapi Yusuf tidak dengan langsung mmbuka siapa dirinya kepada mereka, karena Yusuf ingin mengetahui dengan pasti bahwa mereka orang-orang yang telah berubah.

Sebab bayangkan kalau mereka belum berubah, mereka tetap menjadi orang-orang yang egois, kejam, jahat dan sekarang menyadari bahwa adik mereka menjadi seorang penguasa, seorang raja, seorang tangan kanan raja. Dan mereka diampuni, dengan percuma, dengan gratis, dengan begitu mudahnya. Bayangkan orang-orang ini betapa lebih jahat lagi nantinya, jadi Yusuf sangat berhati-hati jangan sampai Yusuf itu terlalu dini memulai relasi dengan mereka, sebab Yusuf memang di posisi yang sangat tinggi sekarang, benar-benar kedudukan Yusuf bisa disalahgunakan oleh saudara-saudaranya.
GS : Tapi itu merupakan suatu tindakan yang sebenarnya sangat sulit untuk dilakukan, orang bersaudara yang sudah berpisah sekian lamanya kemudian berjumpa tetapi dia masih bisa menutupi identitas dirinya itu 'kan sesuatu yang sangat sulit.

PG : Sulit sekali, namun saya melihat kalau Yusuf berhasil menahan diri selama 9 tahun setelah dia lepas dari penjara, 9 tahun dia menunggu tidak mengunjungi keluarganya saya kira dia masih isa menantikan beberapa hari atau beberapa minggu lagi itulah yang Yusuf lakukan.

Dengan tujuan yang sangat jelas, waktu relasi dipulihkan memang relasi ini sudah siap untuk dipulihkan bahwa memang saudara-saudaranya telah berubah.
GS : Nah tadi kita membaca bahwa dia memberikan porsi yang lebih banyak kepada Benyamin, itu tujuannya apa sebenarnya?

PG : Saya kira itu adalah suatu reaksi spontan yang Yusuf tunjukkan kepada saudara kandungnya. Sebab kemungkinan besar waktu Yusuf ditangkap dan akhirnya dijual, Benyamin itu masih sangat-sagat kecil, bisa jadi Benyamin itu usianya masih di bawah 5 tahun.

Jadi usia yang sangat kecil dan Yusuf sangat menyayangi adiknya ini dan tiba-tiba dipisahkan dengan paksa, tidak boleh bertemu lagi dan tidak mungkin bertemu lagi. Dan Yusuf mungkin sudah menduga atau berpikir sampai mati pun dia tidak akan bertemu lagi dengan adiknya Benyamin, adik sekandungnya. Jadi saya kira itu lonjakan rasa sukacita yang muncul dengan spontan, maka dia berikan makanan yang lebih besar lagi kepada adiknya. Dan di antara semua saudaranya, satu-satunya orang yang tidak pernah melukai, mengkhianati dan kejam kepada Yusuf adalah Benyamin, 10 yang lain sudah terbukti jahat kepada dia.

ET : Dalam hal ini apakah pemulihan relasi itu harus terjadi dalam setiap relasi yang rusak pak Paul?

PG : Saya kira sebisanya ya, jadi firman Tuhan pernah dengan jelas berkata sedapat mungkin berdamailah dengan semua orang, sedapat mungkin artinya kita harus mengeluarkan usaha semaksimal mugkin untuk mendamaikan diri dengan orang yang bertikai dengan kita.

Maka pada akhirnya Tuhan memunculkan kesempatan itu kepada Yusuf. Yusuf punya dua pilihan di situ, menerima atau tidak menerima uluran tangan Tuhan untuk mengampuni saudara-saudaranya. Dia bisa berkata: saya tidak mau mengenal saudara-saudaraku, mereka tidak mengenal saya dan habis perkara. Hidup Yusuf akan terus berjalan dan tidak ada lagi saudara-saudaranya dalam hidup dia. Jadi itulah kesempatan yang Tuhan munculka, tapi Yusuf Puji Tuhan menerima kesempatan yang Tuhan munculkan itu untuk membina kembali relasi dengan saudaranya.

ET : Kalau dalam kasus ini memang dari pihak yang bersalah menunjukkan ikhtiarnya itu dengan pengakuan bersalah dan perubahan-perubahan sikap mereka. Namun adakalanya dalam kehidupan kita seari-hari sekarang ini, kita dapat melihat orang-orang yang dilukai atau terluka, sementara pihak yang melukai ini tidak pernah menyampaikan jangankan kata minta maaf, mengakui diri bersalah saja tidak mau.

Nah, dalam hal ini sejauh mana yang bisa dilakukan orang yang dilukai itu?

PG : Saya kira akhirnya tidak ada pemberian ampun dalam kasus seperti itu, dalam pengertian pemberian ampun itu diberikan karena ada yang memintanya, ada yang memohonnya. Jadi apakah artinyapemberian ampun kalau tidak ada yang meminta ampun.

Jadi ini adalah hal yang harus kita sadari dengan saksama bahwa pemberian ampun hanya bisa terjadi kalau ada yang memang meminta ampun, dalam hal ini saudara-saudara Yusuf jelas mereka meminta ampun. Bahkan kita bisa melihat pada akhirnya inilah yang dikatakan oleh saudara-saudaranya pada waktu ayah mereka sudah meninggal, mereka takut sekali Yusuf akan membalas dendam. Tapi tidak dilakukan oleh Yusuf, malahan Yusuf berkata: "Tetapi sekarang janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri karena kamu menjual aku ke sini. Sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu." Ini suatu kalimat yang indah sekali, dalam bahasa Inggrisnya dikatakan 'God sent me a head of you' Tuhan mengirim aku lebih dulu, seolah-olah begitu jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini dalam bahasa Inggrisnya 'it was not you who sent me here' bukan kamu yang mengirim aku ke sini, tetapi Allah. Nah, ini adalah perkataan dari seseorang yang sudah melihat apa rencana Tuhan, kenapa Tuhan memberikan porsi pahit itu kepada Yusuf, dulu Yusuf tidak mengerti kenapa harus meminum porsi yang pahit itu. Tapi pada akhirnya Yusuf mengerti o....porsi yang pahit itu mempunyai rencana Tuhan di belakangnya. Apa rencana Tuhan, meneruskan kehidupan bangsa Israel kalau tidak sudah punah kelaparan. Jadi Yusuf berhasil memberikan ampun karena Yusuf berhasil pertama menerima porsi pahit itu dan kedua melihat rencana Tuhan di belakang porsi pahit itu. Nah saya ingin menitipkan pesan ini kepada semua pendengar kita, yakni mungkin bagi sebagian kita, kita tidak berkesempatan melihat makna di belakang porsi yang pahit itu. Yusuf kebetulan bisa melihatnya sebelum dia menutup mata, tapi mungkin ada sebagian kita yang sampai kita menutup mata tidak melihat apa makna atau rencana Tuhan di belakang porsi pahit itu, tapi ternyata ada rencana Tuhan. Tidak ada yang terjadi lepas dari kendali Tuhan dan lepas dari rencana Tuhan. Tidak selalu kita bisa melihatnya tapi memang ada, dan itu yang terbukti dalam kisah kehidupan Yusuf ini.

GS : Dalam kondisi-kondisi seperti saat-saat ini memang perbincangan kita ini sangat relevan Pak Paul, mungkin banyak orang yang merasa dirugikan oleh orang lain, disakiti baik secara fisik maupun hatinya tapi ternyata Alkitab memberikan contoh yang konkret sekali bahwa kita bisa membina atau membangun kembali relasi yang sudah dirusakkan dengan sengaja atau pun tidak oleh pihak-pihak lain. Saya percaya bahwa kehadiran kita di tengah-tengah bangsa ini, kita dipanggil untuk membawa damai Kristus, kasih persahabatan dengan semua orang. Jadi terima kasih sekali untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memulihkan Relasi", bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



20. Kelemahan Manusia dan Anugerah Allah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T107B (File MP3 T107B)


Abstrak:

Ketakutan memang adalah sebuah reaksi terhadap ancaman yang nyata yang ada di hadapan kita. Dan untuk melindungi atau menyelamatkan diri, kita akhirnya berusaha untuk menangkisnya.


Ringkasan:

1Raja-raja 19:1-3 , "Ketika Ahab memberitahukan kepada Izebel segala yang dilakukan Elia dan perihal Elia membunuh semua nabi itu dengan pedang, maka Izebel menyuruh seorang suruhan mengatakan kepada Elia: "Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu. Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya." Elia begitu berani menghadapi 430 nabi baal beserta raja Ahab namun ketakutan menghadapi satu orang yang bernama Izebel. Ketakutan memang adalah sebuah reaksi terhadap ancaman yang nyata yang ada di hadapan kita. dan untuk melindungi atau menyelamatkan diri, kita akhirnya harus lari atau bersembunyi atau menangkisnya.

Pengaruh ketakutan dalam kehidupan kita sebagai manusia:

  1. Ketakutan membuat kita gagal berpikir dengan jernih, dalam keadaan takut yang terpikir hanyalah bagaimana kita dapat menyelamatkan diri. Elia masih mempunyai 24 jam, tapi begitu dia tahu dia tidak bisa berpikir dengan jernih, dia langsung lari.

  2. Ketakutan membuat kita gagal mengendalikan tindakan kita. Gagal mengontrol tindakan kita, sikap kita misalnya dalam ketakutan kita bisa-bisa berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan kita, dengan nilai-nilai keyakinan kita.

Yang Tuhan lakukan menghadapi anak-Nya yang ketakutan dalam hal ini Elia adalah:

  1. Tuhan tidak memarahi Elia, dalam semua interaksi Tuhan dan Elia setelah Elia lari, tidak ada satu kali pun Tuhan memarahi Elia. Jadi saya simpulkan Tuhan tidak memarahi anak-anaknya yang mengalami ketakutan. Kita sebagai orang tua mengetahui satu prinsip yaitu waktu anak ketakutan jangan dimarahi, teduhkan, tenangkan jangan dimarahi. Ini yang dilakukan Tuhan kepada Elia, Tuhan tahu yang dibutuhkan Elia bukan amarah, tapi Elia perlu dekapan, pelukan, ketenangan dan itu yang Tuhan berikan.

  2. Tuhan menyediakan jalan keluar meski sementara misalnya memberi makan dan istirahat kepada Elia. Jadi Tuhan memberikan pertolongan-pertolongan kecil yang sebetulnya sangat bermakna, waktu kita dalam keadaan ketakutan.

  3. Tuhan berdialog dan menguatkan Elia. "Kelualah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan Tuhan." Tuhan mengajak Elia melihat Tuhan. Tuhan menguatkan Elia dengan cara memperlihatkan kuasa-Nya.

  4. Tuhan menyediakan jalan keluar jangka panjang. Tuhan tidak membiarkan kita terus-menerus berada pada masalah kita.

Sering kali kita dalam ketakutan meragukan apakah akan ada pertolongan untuk kita, ini yang harus kita lawan. Sebab dalam keadaan takut kita memang bertanya-tanya apakah masih memungkinkan orang menolong kita atau Tuhan menolong kita. Keragu-raguan inilah yang seringkali digunakan iblis untuk makin memperlemah iman kita. Maka dalam keadaan takut yang kita harus lakukan ialah menatap Tuhan dan melihat Dia apa adanya bahwa Dia Allah yang berkuasa. Kalau Dia belum melakukan apa-apa ini bukan berarti Tuhan tidak berkuasaa, Tuhan sedang memang menjalankan rencana-Nya dan rencana-Nya itulah yang belum kita bisa tahu dengan jelas.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini saya bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kelemahan Manusian dan Anugerah Allah". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, banyak orang yang mengatakan kita sebagai manusia banyak kelemahannya, sebenarnya apa yang mau diungkapkan dari kata-kata seperti itu?

PG : Pada kesempatan ini Pak Gunawan, yang akan kita coba fokuskan adalah kelemahan dalam bentuk ketakutan. Kita ini manusia yang banyak memiliki ketakutan, dan ketakutan melemahkan kita. Seara khusus yang akan kita bahas adalah mengenai seseorang yang kita sangat kenal yaitu Elia.

Saya akan bacakan terlebih dahulu latar belakangnya, yang akan saya ambil dari 1 Raja-raja 19:1-3 , "Ketika Ahab memberitahukan kepada Izebel segala yang dilakukan Elia dan perihal Elia membunuh semua nabi itu dengan pedang, maka Izebel menyuruh seorang suruhan mengatakan kepada Elia: "Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi daripada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu. Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya." Kita tahu sebelum terjadi ancaman ini Elia berhasil dengan kekuatan Tuhan membunuh 430 nabi-nabi baal. Tuhan menunjukkan kuasa-Nya kepada orang-orang Israel bahwa nabi-nabi baal itu adalah nabi-nabi palsu bukan nabi yang Tuhan sudah urapi. Dan terjadilah sebuah kebangunan rohani saat itu, orang-orang Israel kembali lagi kepada Tuhan. Nah, rupanya ini membuat hati Ahab dan Izebel istrinya sebagai raja sakit hati, mereka marah sekali dan Izebel langsung mengancam membunuh Elia. Ini suatu pertanyaan yang sangat logis yaitu mengapa Elia begitu berani menghadapi 430 nabi baal beserta raja Ahab, namun ketakutan menghadapi satu orang yang bernama Izebel? Inilah hal yang akan kita bahas pada kesempatan ini.
GS : Apakah ada bermacam-macam ketakutan Pak Paul di dalam diri manusia itu?

PG : Saya kira ada banyak ketakutan, tergantung pada sumber-sumbernya. Namun saya kira dampak ketakutan itu selalu sama, secara umum dampak ketakutan itu melemahkan kita. Nah, yang mau kita ihat dan soroti adalah ini Pak Gunawan, ternyata kita tidak selalu kuat, dan ada sejumlah hamba-hamba Tuhan yang dicatat di Alkitab yang pernah mengalami kelemahan dan juga misalnya kekurangan iman, sehingga akhirnya tidak bersandar kepada Tuhan.

Misalnya Abraham dan Ishak, ayah dan anak, dua-dua pernah melakukan kesalahan yang sama yaitu dua-dua tidak mengakui bahwa istri mereka adalah istri mereka, karena takut dibunuh oleh penguasa yang sedang berada di depan mereka. Jadi manusia termasuk anak-anak Tuhan, hamba-hamba Tuhan bisa lemah, jadi itulah sebabnya Petrus menyangkali Tuhan Yesus pula, Petrus sudah tahu bahwa kalau dia mengaku mungkin dia akan ditangkap dan dibunuh, mungkin disalibkan bersama Tuhan Yesus dan dia tidak siap untuk mati bersama dengan Tuhannya. Meskipun dia telah berkata dia bersedia mati bersama Tuhannya, tapi ternyata waktu situasi itu muncul di depannya dia mundur dan ketakutan, dan menyangkali Tuhan Yesus. Ketakutan pulalah yang membuat Elia lari dari Izebel.
GS : Jadi itu semacam mekanisme pertahanan diri dari orang yang terancam seperti itu?

PG : Tepat sekali, ketakutan memang adalah sebuah reaksi terhadap ancaman yang nyata yang ada di hadapan kita. Dan untuk melindungi atau menyelamatkan diri, kita akhirnya harus lari atau berembunyi atau menangkisnya, itu semuanya adalah reaksi-reaksi takut.

ET : Tampaknya ketakutan ini memang kelemahan manusia yang agak susah juga untuk diakui Pak Paul, khususnya mungkin pria. Rasanya bolehlah mengakui mempunyai emosi, tapi jangan sampai takut arena takut ini sungguh-sungguh identik dengan pengecut dan sungguh-sungguh lemah, sehingga orang jarang mengakui rasa takut ini.

Dan mencoba sedapat mungkin untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang yang berani.

PG : Saya kira betul Bu Esther, jadi kami ini yang pria memang dikondisikan untuk tidak mengakui kelemahan kita yaitu ketakutan. Sebab ketakutan itu diidentikkan dengan kamu itu kuranglah, pia tidaklah maskulin.

Jadi pria itu memang takut dikatakan takut.
GS : Padahal itu bisa muncul setiap saat Pak.

(1) PG : Betul dan ketakutan adalah reaksi, reaksi yang alamiah terhadap ancaman. Jadi saya kira tidak ada orang yang tidak pernah takut, yang ada adalah ada sebagian orang yang berhasildiam tidak mundur dalam ketakutan.

Ada sebagian yang memang lari, tapi yang tidak lari itu tidak berarti tidak takut, mungkin takut tapi terpaksa dia diam dan dia hadapi. Jadi saya kira orang yang berani adalah bukan orang yang tak punya ketakutan, orang yang berani adalah orang yang tidak lari dalam ketakutan. Tapi tetap menghadapinya. Nah, pertanyaannya adalah apakah pengaruh ketakutan dalam kehidupan kita sebagai manusia ini. Yang pertama adalah ketakutan membuat kita gagal berpikir dengan jernih; dalam keadaan takut, yang terpikir hanyalah bagaimana kita dapat menyelamatkan diri, saya kira itu reaksi yang alamiah, dalam ketakutan yang penting kita selamat. Akhirnya kita tidak berpikir dengan jernih, itu yang terjadi.
GS : Karena keputusan itu biasanya diambil secara mendadak Pak Paul.

PG : Dan bahkan kalau tidak mendadak kita terlanjur melihat ancaman yang datang, sehingga sering kali yang terjadi adalah kita gagal berpikir dengan jernih. Elia masih mempunyai satu hari seelum dia benar-benar dikejar dan dibunuh oleh Izebel, jadi masih ada sekitar 24 jam, tapi begitu dia tahu dia tidak bisa berpikir dengan jernih, dia langsung lari.

GS : Dan kadang-kadang tindakannya, kata-katanya itu sembarangan Pak Paul, yang biasa kita lakukan kalau kita sedang ketakutan.

PG : Dengan kata lain pengaruh berikutnya adalah dalam ketakutan kita ini gagal mengendalikan tindakan kita. Gagal mengontrol tindakan kita atau sikap kita, misalnya dalam ketakutan kita bis-bisa berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan kita, dengan nilai-nilai keyakinan kita.

Misalkan kita sedang di jalan dan melihat orang terkapar, ditabrak, kita kaget dan takut sekali melihat orang berdarah-darah terkapar di jalan. Saya kira sebagian orang akan berhenti menolong, sebagian lagi akan terus berjalan, bukannya karena tidak peduli atau tidak kasihan, tapi dalam ketakutan kita tidak bisa mengontrol tindakan kita, bahwa seharusnyalah saya turun dan menolong orang itu dan mengobatinya dan sebagainya. Jadi ketakutan mengacaukan tindakan kita, sehingga kadang-kadang kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai keyakinan kita atau nilai moral kita.

ET : Karena kadang-kadang situasinya menuntut kita untuk berpikir dengan segera Pak Paul, dihadapi atau lari. Jadi memang rasanya peluang untuk berpikirnya itu sudah kecil sekali.

PG : Betul, karena benar-benar dalam ketakutan yang terpenting adalah penyelamatan diri atau perlindungan diri termasuk perlindungan dari melihat hal-hal yang terlalu mengerikan itu. Nah, kaang-kadang ini membuat orang merasa bersalah kenapa saya tidak melakukan ini atau itu dan sebagainya.

Tapi masalahnya adalah dalam ketakutan kita tidak bisa mengontrol tindakan kita dengan tepat. Dan yang lainnya lagi adalah ketakutan membuat kita terpaku pada bahaya atau ancaman dan gagal melihat Tuhan atau sumber daya pribadi kita, benar-benar mata kita itu terpaku pada ancamannya dan kita luput melihat bahwa Tuhan bersama kita dan bisa menolong kita. Saya kira ini tindakan yang manusiawi, mungkin kita yang pernah nonton film Titanic masih mengingat, pada akhirnya orang-orang itu benar-benar hanya mencari keselamatan pribadi, karena air sudah masuk dan mereka harus keluar, tidak peduli lagi dengan sesama. Jadi saya kira itu yang sering terjadi pada kita sewaktu menghadapi ketakutan. Kita tidak lagi mengingat Tuhan, kita hanya melihat bahaya yang mengancam kita dan kita harus selamatkan diri kita. Kita juga kadang-kadang gagal melihat apa yang bisa kita lakukan, tidak bisa lagi saya harus lari, itu yang dilakukan oleh Elia. Dia gagal melihat Tuhan melepaskan dia dari ratusan nabi baal dia hanya melihat satu orang Izebel itu.
GS : Mungkin juga Elia merasa usahanya selama ini menjadi sia-sia Pak Paul karena dia sudah melakukan menurut dia yang terbaik tetapi dia diancam oleh seorang wanita lagi gitu lho. Kok hal itu terjadi pada saat dia kondisinya juga lelah dan lemah mungkin Pak Paul.

PG : Betul sekali pada saat itu rupanya Elia dalam kondisi yang lemah, maka dalam kondisi lemah mendengar ancaman seperti itu dia tidak bisa berpikir jernih dan langsung lari. Meskipun Izebe wanita, tetapi rupanya saat itu dikenal oleh orang-orang Israel bahwa yang berkuasa adalah Izebel bukan Ahab suaminya dan memang kita baca di kitab Raja-raja bahwa Ahab itu tunduk sekali pada Izebel dan yang berhati sangat jahat adalah Izebel.

Maka rupanya Elia bisa melihat jelas bahwa Ahab itu pionnya, ratunya adalah Izebel.
GS : Dalam hal ini apa yang Tuhan lakukan terhadap Elia Pak?

PG : Yang menarik sekali di sini adalah Tuhan tidak memarahi Elia, dalam semua interaksi Tuhan dan Elia setelah Elia lari, tidak ada satu kali pun Tuhan memarahi Elia, tidak ada. Jadi saya bsa menyimpulkan di sini, Tuhan tidak memarahi anak-anakNya yang mengalami ketakutan.

Nah, kita yang mempunyai anak atau yang berhubungan dengan anak-anak, kita mengetahui satu prinsip yaitu waktu anak ketakutan jangan dimarahi karena apa? Jelas sekali alasannya kalau kita memarahi anak yang sedang ketakutan, dia tidak mungkin melakukan yang kita minta itu dia makin tambah ketakutan. Dia tambah bingung, dia tambah panik, dia tambah menangis, tambah tidak bisa mengerjakan yang kita minta. Jadi prinsipnya anak dalam keadaan ketakutan, teduhkan, tenangkan jangan dimarahi. Ini yang dilakukan Tuhan kepada Elia begitu indah, Tuhan tahu yang dibutuhkan Elia bukanlah amarah Tuhan, Tuhan tahu Elia perlu pelukan dekapan, ketenangan dan itu yang Tuhan berikan kepada Elia.
GS : Walaupun mungkin saat itu Elia sudah siap untuk dimarahi Tuhan. Dia putus asa sampai dikatakan Tuhan mau marah silakan, begitu Pak Paul?

PG : Dan dia memang minta supaya dia mati.

ET : Ini akan lebih baik daripada dibunuh Izebel, lebih mudah mati dengan cara yang lain.

PG : Betul, yang lainnya adalah ini Pak Gunawan dan Ibu Esther, Tuhan menyediakan jalan keluar meski sementara misalnya memberi makan dan istirahat kepada Elia. Tuhan memberikan Elia makanansetelah itu memberikan Elia waktu untuk tidur.

Jadi Tuhan memberikan pertolongan-pertolongan kecil yang sebetulnya sangat bermakna, waktu kita dalam keadaan ketakutan. Kita mungkin pada saat ini belum menemukan jawabannya atau keluar dari masalah kita yang lebih besar, tapi dalam prosesnya Tuhan tidak meninggalkan kita, Dia tetap memberikan hal-hal yang seolah-olah kecil tapi sebetulnya bermakna, untuk mengatakan kepada kita bahwa dia tetap bersama kita.

ET : Menarik bagian itu, karena di tengah Elia minta roti, diberikan roti.

PG : Betul, diberikan roti dan tidur. Orang mungkin tidak terpikir kok itu yang diberikan Tuhan, bukannya Izebel tiba-tiba kena serangan jantung dan mati atau istananya ambruk, tapi yang dibrikan kok itu pertolongan yang sangat terbatas sebetulnya.

GS : Dan memang ada tugas yang mesti harus diselesaikan oleh Elia yang belum dikerjakan.

PG : Betul, dan makanya ada lagi yang Tuhan lakukan adalah Tuhan berdialog dan menguatkan Elia. Nah, apa yang Tuhan lakukan pada Elia, "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan Tuan."

Apa yang Tuhan lakukan? Tuhan mengajak Elia melihat Tuhan. Ini menarik sekali, "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan Tuhan," apa yang Tuhan coba lakukan di sini. Saya menyimpulkan Tuhan menguatkan Elia dengan cara memperlihatkan kuasaNya. Mula-mula Tuhan memberikan angin besar, kemudian Tuhan memberikan gempa dan terakhir Tuhan memberikan api. Waktu kita melihat angin besar, gempa dan api, tidak bisa tidak kita akan diingatkan akan yang namanya kuasa dan itu semua dari Tuhan. Tapi kita tahu akhirnya Tuhan berbicara kepada Elia melalui angin yang tenang, sepoi-sepoi. Jadi Tuhan perlu menunjukkan kuasa-Nya baru bercakap-cakap dengan Elia, tapi yang penting adalah Tuhan mengajak Elia kembali melihat Tuhan, itu yang paling penting.
GS : Kalau hal ini kita sedang menolong orang yang dalam ketakutan Pak Paul, apakah hal itu juga bisa kita lakukan?

PG : Saya kira tepat sekali Pak Gunawan, jadi dalam ketakutan orang cenderung tidak melihat Tuhan karena terlalu terfokus pada bahayanya atau ancaman itu. Kita mengajak dia kembali melihat Than, "ayo menatap Tuhan kembali, ayo kita berdoa, ayo kita berseru lagi kepada Tuhan, Tuhan ada dan Tuhan berkuasa makanya kita datang lagi kepada Dia."

Jadi saya kira itulah yang bisa kita berikan kepada orang yang sedang dalam ketakutan, mengajaknya kembali melihat Tuhan.
GS : Setelah makan dan istirahat, rupanya Elia juga kuat kembali, menjadi segar kembali terutama setelah berjumpa muka dengan Tuhan sendiri dan selanjutnya apa yang dilakukan oleh Tuhan?

PG : Tuhan menyediakan jalan keluar jangka panjang, karena istirahat itu jangka pendek, Tapi Tuhan juga memberikan jalan keluar jangka panjang. Nah, kita tahu kepada Musa Tuhan menyediakan Hrun sebagai pendamping dan penyambung lidahnya untuk berbicara kepada Firaun.

Kepada Elia Tuhan menyediakan, di Alkitab dikatakan 7000 orang percaya. Elia berpikir hanya tinggal dia sendirian yang masih menyembah kepada Allah, tapi ternyata Elia tidak tahu dengan jelas, Tuhan tahu ada 7000 orang percaya. Dan kemudian Tuhan meminta Elia mengurapi Hazael sebagai raja Aram yang baru, raja Aram berarti raja bangsa asing. Tapi raja Aram Hazael inilah yang akan membersihkan Israel, kemudian Tuhan meminta Elia mengurapi Yehu seorang tentara, seorang jenderal untuk menjadi raja Israel yang baru. Jadi sekali lagi Tuhan menyediakan jalan keluar untuk jangka panjang. Tuhan tidak membiarkan kita terus-menerus berada di dalam masalah kita.
GS : Tetapi Tuhan lakukan setelah Elia benar-benar siap untuk menerima tugas-tugas itu Pak?

PG : Betul, pada akhirnya Elia memang diberikan kekuatan setelah bertemu dengan Tuhan dan Tuhan tidak membiarkan Elia untuk tetap bersembunyi di atas gunung Horeb. Tuhan berkata kepada Elia ergilah, kembalilah ke jalanmu, artinya Tuhan meminta kembali, meminta kita kembali menghadapi ketakutan itu, kita tidak bisa terus-menerus lari kita harus hadapi.

GS : Ada suatu sikap Tuhan Yesus terhadap Petrus yang takut, sehingga Petrus menyangkali Tuhan Yesus. Hanya dengan pandanganNya, pandangan Tuhan Yesus kepada Petrus, Petrus menjadi sadar.

PG : Betul, Petrus sadar dan Petrus menangis, justru satu hal lagi yang indah adalah Petrus diingatkan Tuhan bukan sewaktu Tuhan memandang saja, tapi juga waktu Petrus mendengar kokokan ayam jadi sekali lagi kita melihat Tuhan memakai kokokan ayam untuk memberikan kembali kekuatan kepada Petrus dan membawa dia ke jalur Tuhan lagi.

(2) GS : Selama seseorang itu berada dalam kondisi ketakutan Pak Paul, apakah dia tidak bisa melihat atau mengingat atau menyadari akan pertolongan Tuhan yang pasti akan datang kepadanya?

PG : Sering kali kita dalam ketakutan meragukan, meragukan apakah akan ada pertolongan untuk kita, ini yang sering kali harus kita lawan. Sebab dalam keadaan takut kita memang bertanya-tanyaapakah masih memungkinkan orang menolong kita atau Tuhan menolong kita.

Keragu-raguan inilah yang sering kali digunakan oleh iblis untuk makin memperlemah iman kita. Maka dalam keadaan takut, yang harus kita lakukan ialah menatap Tuhan dan melihat Dia apa adanya bahwa Dia Allah yang berkuasa. Kalau Dia belum melakukan apa-apa ini bukan berarti Tuhan tidak berkuasa, Tuhan memang sedang menjalankan rencananNya dan rencanaNya itulah yang belum bisa kita ketahui dengan jelas.
GS : Padahal kita sebagai manusia sewaktu-waktu bisa dikuasai oleh rasa takut itu Pak Paul?

PG : Ya dan waktu rasa takut itu terlalu besar menimpa kita sering kali membuat kita lumpuh untuk sesat. Namun yang saya ingin ingatkan lagi adalah ini Pak Gunawan, kita tidak selalu kuat, aakalanya ketakutan melemahkan kita dan melumpuhkan kita, namun yang indah adalah ternyata Tuhan tidak mencampakkan kita waktu kita lemah dan takut.

Hamba-hamba Tuhan yang kita kenal kuat-kuat, pernah lemah, pernah takut. Sebelum Abraham berhasil mempersembahkan putranya Ishak, dia pernah takut, begitu takutnya sehingga dua kali tidak mau mengakui Sara sebagai istrinya untuk menyelamatkan jiwanya. Tapi Abraham yang pernah lemah juga akhirnya bisa kuat, tapi sekali lagi Abraham tidak langsung kuat, sehingga rela mempersembahkan putranya Ishak. Ada waktu-waktu dia pernah lemah dan Tuhan bersabar dengan Abraham, jadi itulah yang dilakukan Tuhan. Petrus juga sama, waktu Tuhan bertemu dengan Petrus, Tuhan tidak sekalipun memarahi Petrus setelah menyangkaliNya. Petrus hanya mendapatkan tiga pertanyaan, kemudian tugas yang Tuhan berikan adalah gembalakanlah domba-dombaKu, hanya itu saja, dan langsung Petrus menangis lagi. Jadi sekali lagi dalam ketakutan Tuhan tidak memarahi kita, Tuhan memeluk, Tuhan menguatkan.
GS : Itu adalah bagian anugerah Allah bagi kita Pak Paul?

PG : Betul, bahwa anugerah tampak jelas dalam ketakutan dan kelemahan kita.

GS : Dan berkali-kali memang Tuhan mengatakan melalui Alkitab: "Jangan kamu takut, jangan kamu takut." Karena memang dalam ketakutan itu kita menjadi panik dan tidak tahu, bahkan kadang-kadang kita malah lari menjauh dari Tuhan. Jadi terima kasih sekali Pak Paul, perbincangan kami kali ini pasti sangat bermanfaat bagi para pendengar kita. Dan saudara-saudara pendengar dimanapun Anda berada kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebersamaan Anda di dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen mengundang Anda untuk terus mengikuti acara ini secara teratur pada radio kesayangan Anda. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



21. Membina Relasi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T111A (File MP3 T111A)


Abstrak:

Ada suatu kesalahpahaman konsep yang seringkali terjadi bahwa relasi itu bisa bertumbuh dengan sendirinya. Tapi sebenarnya tidaklah demikian, relasi sangat bergantung pada apa yang kita lakukan dengan orang itu, untuk orang itu, dan terhadap orang itu.


Ringkasan:

Faktor-faktor yang mempengaruhi relasi, yaitu:

  1. Faktor batas, ini sesuatu yang perlu kita sadari bahwa relasi justru bertumbuh jika ada kejelasan batas. Batas juga mencerminkan respek yang ada di antara dua orang yang sedang menjalin relasi. Batas atau jarak yang memisahkan kita ini perlu disepakati dan dihormati oleh kedua belah pihak. Jadi relasi bertumbuh di atas respek dan respek itu hanya ada jikalau kedua belah pihak menghormati batas masing-masing.

    Batas sekurang-kurangnya meliputi 3 area yaitu:

    1. Berapa banyak hal pribadi yang kita berikan atau kita harapkan dari rekan kita. Jadi semakin besar informasi dan personal yang kita berikan pada pasangan kita atau rekan kita berarti batas kita itu makin dekat. Berapa banyak yang kita harapkan dari rekan kita, berarti semakin besar harapan kita dan semakin dekat jarak antara kita dengan dia.

    2. Berapa bebasnya kita memperlakukan dia atau berapa bebasnya kita membiarkan dia memperlakukan kita.

    3. Batas dapat diterjemahkan dari berapa bergantungnya kita pada rekan atau berapa bergantungnya dia pada kita untuk memenuhi kebutuhannya.

  2. Faktor kebaikan, relasi membutuhkan kebaikan yaitu perbuatan yang baik yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Tanpa adanya kebaikan ditakutkan relasi itu lama-lama akan mengalami kemerosotan, kurang gizi, kurang makanan. Dan relasi yang sudah mulai hampa kebaikan atau perbuatan baik cenderung rawan terhadap kesalahpahaman.

    Wujud nyata dari kebaikan terhadap relasinya adalah :

    1. Memberikan pertolongan, kita mengasihi dia jadi kita melakukan sesuatu untuk dia, menolong dia setidak-tidaknya kita menawarkan bantuan kita waktu kita tahu teman kita membutuhkannya.

    2. Memberikan nasihat, ini wujud kebaikan, apakah nasihat itu berhasil atau tidak berhasil diterapkan setidak-tidaknya motivasi itu sudah dibaca dan itu yang penting dan itu yang akan menjadi makanan untuk relasi supaya tetap bisa bertahan dan bertumbuh.

    3. Memberikan penghiburan, penghiburan yang memang harus disesuaikan dengan orang tersebut, nggak semua orang bisa menerima penghiburan yang sama. Penghiburan harus diberikan dengan tepat dan kita pun harus lihat penghiburan apakah yang diperlukan oleh teman kita. Salah satu inti penghiburan adalah membangunkan pengharapan.

  3. Faktor komunikasi, relasi yang kuat berdiri di atas komunikasi yang akrab dan tanpa komunikasi relasi berpijak di atas kenangan. Jadi relasi itu masih bisa berjalan, tapi atas dasar kenangan artinya hal-hal yang terjadi di masa lampau sedangkan sekarang tidak ada lagi kontak.

    Ada hal yang perlu kita perhatikan dalam komunikasi, yaitu:

    1. Komunikasi menuntut adanya waktu, tanpa adanya waktu untuk diberikan, tidak ada komunikasi. Ini berlaku untuk komunikasi dengan teman maupun dengan pasangan hidup kita suami-istri atau bahkan dengan anak-anak kita.

    2. Komunikasi menuntut adanya usaha, ikhtiar. Jadi orang yang mau menjaga relasi harus berkomunikasi, dan orang yang mau berkomunikasi harus mengeluarkan usaha.

    3. Prasyarat adanya komunikasi adalah keterbukaan.

Amsal 20 : 12 , "Telinga yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh Tuhan."

Bijaksanalah dan berbahagialah orang yang memiliki mata yang dapat melihat. Orang yang mampu memelihara relasi adalah orang yang bisa mendengar dengan baik berapa jauhnya hubungan ini seharusnya dan berapa dekatnya. Jadi orang yang bijaksana, orang yang menggunakan telinganya untuk mendengar dan matanya untuk melihat dengan tepat.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bicang tentang "Memelihara Relasi". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita menjalin hubungan dengan seseorang kita merasakan itu ada pasang-surutnya, kadang-kadang itu bagus sekali hubungan kita dengan anak atau patner kita atau rekan bisnis kita tapi adakalanya juga kita merasakan hubungan kita itu jauh, hambar, itu hanya sekadar perasaan atau suatu fakta Pak?

PG : Suatu fakta Pak Gunawan, jadi salah satu kesalahpahaman konsep yang kita miliki adalah relasi itu bisa bertumbuh dengan sendirinya. Nah ini adalah hal yang tidak tepat, sebab pada kenyaaannya relasi itu sangat bergantung pada apa yang kita lakukan dengan orang itu, untuk orang itu dan terhadap orang itu.

Jadi sekali lagi saya tegaskan bahwa relasi sangat bergantung sekali pada diri kita, apakah kita ini menumbuhkan atau tidak. Sebab relasi yang tidak kita tumbuhkan, ada kecenderungan akhirnya lama-lama akan surut.
(1) GS : Berarti ada faktor-faktor tertentu yang sangat mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain?

PG : Ada Pak Gunawan, jadi yang pertama batas, nah ini sesuatu yang perlu kita sadari bahwa relasi justru bertumbuh jika ada kejelasan batas. Batas juga mencerminkan respek yang ada di antar dua orang yang sedang menjalin relasi.

Batas atau jarak yang memisahkan kita ini perlu disepakati dan dihormati oleh kedua belah pihak. Kedekatan yang terlalu dini berpotensi merusak relasi, sebaliknya menjauhkan diri pada waktu yang tidak tepat, misalkan pada waktu kita dibutuhkan juga dapat mengganggu relasi itu sendiri. Jadi yang saya mau tekankan adalah perlu sekali bagi kita menyadari bahwa relasi bertumbuh di atas batas yang jelas, ketidakadaan batas, di mana kedua orang itu galang-gulung saling memasuki daerah masing-masing tanpa tahu adanya batas justru lebih berpotensi menimbulkan masalah. Jadi ada orang yang misalnya tanpa menghiraukan batas atau daerah pasangannya atau temannya langsung saja mau mencampuri urusan temannya itu atau pasangannya. Atau karena kita anggap sudah sama-sama, sudah sangat dekat kita bercanda berlebihan, kita misalnya mengatai dia, mengejek dia nah hal-hal seperti itu akhirnya merusak, batas yang tidak jelas akhirnya justru membuat hubungan itu hancur. Dan sering kali ini yang menjadi masalahnya yaitu waktu kita berada di pihak yang dirugikan, karena orang seenak-enaknya mengobrak-abrik diri kita, yang kita rasakan adalah orang tersebut tidak lagi menghormati kita. Jadi relasi bertumbuh di atas respek dan respek itu hanya ada jikalau kedua belah pihak menghormati batas masing-masing.
GS : Tetapi masalahnya bukankah kita itu sulit mengetahui batas yang dibangun oleh orang yang menjadi relasi kita itu Pak Paul?

PG : Betul, inilah kesulitan yang memang harus dihadapi oleh kedua belah pihak, masing-masing tidak tahu berapa jauh dia bisa masuk, berapa disambutnya dia kalau dia mencampuri urusan temanna.

Jadi yang bisa dilakukan adalah misalkan bertanya apakah saya bisa mengetahui hal ini atau bolehkah saya memberikan masukan atau bolehkah saya melakukan ini dan itu, jadi kita boleh bertanya. Kalau teman kita atau rekan kita tidak merasa nyaman, seyogyanya dia juga memberitahukan kita, kita pun juga berlaku yang sama. Kalau kita menganggap rekan kita terlalu dalam masuk ke dalam diri kita dan kita belum siap, kita bisa berkata kepada dia: "Mohon maaf saya tidak siap mengatakan itu kepadamu."
GS : Ya, tapi masalahnya batas yang kita buat itu kadang-kadang sangat tergantung pada perasaan kita atau suasana hati kita, Pak Paul. Kadang-kadang kita melebarkan batas itu kadang-kadang kita juga menarik batas itu sehingga orang juga sulit untuk mengenali batas itu.

PG : Jadi masing-masing persahabatan mempunyai batas-batasnya sendiri, kadang-kadang inilah kesalahan yang kita lakukan. Misalkan kita melihat teman kita si A, A itu dekat dengan si B nah kia beranggapan, karena sekarang kita juga dekat dengan si B dan kita adalah teman si A (kalau kita ini merasa dekat dengan si A), nah sekarang kita mau dekat dengan si B otomatis kita beranggapan B akan menyambut kita seperti dia menyambut si A.

Tidak harus, kadang kala B bisa sangat terbuka dengan A dan tidak terbuka dengan kita meskipun kita sahabat baik. Jadi setiap relasi mempunyai batasnya, nah orang yang bijak adalah orang yang mengerti bahwa dengan seseorang dia bisa mempunyai kedekatan, sebab temannya itu membuka pintu. Tapi dengan temannya yang lain itu tidak terlalu membuka pintu dan tidak apa-apa. Saya kadang-kadang melihat ada orang-orang yang frustrasi seperti kambing menyrudak-nyruduk ke mana-mana, dia menganggap dia harus dekat dengan semua orang dan semua orang harus menyambutnya menjadi sahabat dekatnya, itu keliru. Jadi dengan kata lain orang yang bisa berjarak dengan kita 1 meter, ada orang yang berjarak 10 centimeter, masing-masing harus kita selidiki, harus kita jajaki sehingga kita tahu masing-masing seberapa dekat kita bisa bersahabat dengan dia.
GS : Sebenarnya apakah batas itu Pak Paul?

PG : Batas itu pada intinya jarak, jarak yang muncul dari atau diisi oleh respek, respek bahwa teman kita itu mempunyai diri, mempunyai sebuah rumah, anggap sajalah rumah yang mempunyai pint dan kita tidak bisa sembarangan membuka pintu rumah orang itu.

Kita harus mengetok pintu, kita harus meminta izin untuk memasukinya dan kalaupun masuk kita harus menunggu undangannya, apakah kita hanya berhenti di kamar tamu ataukah boleh masuk misalnya ke ruang makannya. Jadi jarak, jarak yang dikaitkan sekali dengan respek pada orang lain.
GS : Jadi batas itu dalam bentuknya sehari-hari itu seperti apa Pak Paul?

PG : Batas sekurang-kurangnya meliputi 3 area, yang pertama adalah berapa banyak hal pribadi yang kita berikan atau kita harapkan dari rekan kita. Jadi semakin besar informasi dan personal yng kita berikan pada pasangan kita atau rekan kita berarti batas kita itu makin dekat.

Berapa banyak yang kita harapkan dari rekan kita, nah berarti semakin besar harapan kita dan dia memang bisa memberikannya, berarti semakin dekat jarak antara kita dengan dia.
GS : Faktor yang lain apa Pak Paul?

PG : Yang berikutnya lagi adalah berapa bebasnya kita memperlakukan dia atau berapa bebasnya kita membiarkan dia memperlakukan kita. Jadi kita cenderung lebih berhati-hati dan formal terhada orang yang jaraknya jauh atau batasnya dengan kita jauh.

Tapi dengan orang yang kita anggap dekat, batasnya itu sangat-sangat erat kita cenderung membiarkan dia dengan bebas memperlakukan kita dan kita pun juga merasa bebas memperlakukan dia apa adanya. Jadi semakin bebas kita bergaul berarti semakin dekatlah batasan dari kita berdua.
GS : Dan hubungan itu makin akrab, kita makin mudah masuk dan dia pun mudah masuk ke kita, itu lama-lama menimbulkan perasaan di mana saya itu butuh orang itu seperti itu, atau bagaimana Pak Paul?

PG : Betul, nah ini berkaitan dengan faktor yang ketiga yaitu batas dapat diterjemahkan dari berapa bergantungnya kita pada rekan atau berapa bergantungnya dia pada kita untuk memenuhi kebuthannya.

Jadi misalkan dalam hubungan suami-istri di mana batas itu kita anggap batas yang paling dekat. Suami-istri saling bergantung untuk pemenuhan kebutuhan misalnya kebutuhan dikasihi dan sebagainya. Sedangkan untuk orang yang jaraknya jauh dari kita, batasnya juga jauh kita tidak begitu bergantung pada dia untuk memenuhi kebutuhan kita.
GS : Berarti kalau cuma salah satu pihak saja yang bergantung, kedekatan itu sebenarnya masih kurang, Pak Paul?

PG : Betul, jadi bagi yang satu dia menganggap batasnya itu dekat, bagi yang satunya tidak, dia tidak merasakan dekat. Makanya tadi saya tekankan perlu adanya kesepahaman batas seperti apaka yang diinginkan oleh kedua belah pihak bukan hanya oleh satu pihak.

Nah ini yang selalu harus diperjuangkan dengan hati-hati, sebab sekali lagi kita mungkin siap dekat dengan dia tetapi dia tidak siap dekat dengan kita.
GS : Ya, kalau terlalu akrab itu memang rasa respek atau rasa hormat itu kadang-kadang kurang Pak Paul, karena kita merasa ah... sudah teman baik.

PG : Betul, misalnya tadi kita bicara mengenai berapa bebasnya kita memperlakukan dia. Nah kadang kala karena kita menganggap dia sudah dekat dengan kita, kita terlalu bebas memperlakukannyasehingga respek itu berkurang alias batasnya kita lewati, kita langgar.

Maka kadang-kadang itu yang terjadi, kita tidak menyadari berapa besar atau berapa jarak yang dia inginkan, kita menganggap dia sudah dekat dengan kita jadi kita seenaknya saja memperlakukan dia. Dia marah, dia tersinggung, sebab dia merasa kita tidak lagi menghormatinya. Nah informasi-informasi seperti inilah batas ditetapkan, jadi kedua belah pihak harus mengkomunikasikan tuntutan dan harapannya. Bagi saya sekian, bagi dia sekian OK! Nah itu mungkin tidak dikomunikasikan secara langsung, tapi dari pergaulan waktu kita bertanya hal yang pribadi dia tidak ceritakan berarti itu batas yang diinginkan oleh teman kita, dan kita harus menghormatinya.
GS : Hal itu juga bisa diterapkan antara hubungan orang tua dengan anaknya, Pak Paul?

PG : Saya kira apalagi untuk orang tua yang mempunyai anak remaja, anak remaja ini makin peka dengan batas, inilah diri saya. Kamar, kami di rumah membiasakan diri kalau mau memasuki kamar aak, kami mengetok pintu jadi akhirnya mereka pun melakukan hal yang sama sebelum memasuki kamar kami karena mereka selalu mengetok pintu.

Jadi batas-batas seperti itulah yang mulai diterapkan dalam rumah tangga.
GS : Selain faktor batas itu sendiri Pak Paul, apakah ada faktor yang lain?

PG : Untuk memelihara relasi faktor keduanya adalah kebaikan, saya ini mengumpamakan kebaikan sebagai makanan. Semua makhluk hidup membutuhkan makanan, nah relasi pun memerlukan makanan. Apaitu makanan untuk relasi, saya kira kebaikan, perbuatan yang baik yang dilakukan untuk kepentingan orang itu, tanpa adanya kebaikan ini saya takut relasi itu lama-lama akan mengalami kemerosotan, kurang gizi, kurang makanan.

Dan relasi sudah mulai hampa kebaikan, perbuatan baik itu cenderung rawan terhadap kesalahpahaman. Itu sebabnya relasi yang sudah berjalan untuk waktu tertentu e....tiba-tiba berantakan dipecahkan oleh kesalahpahaman. Nah kenapa kesalahpahaman muncul? Nah dugaan saya karena relasi itu sudah tidak terlalu sering menerima kebaikan dari masing-masing anggotanya, karena itulah dalam hampa kebaikan mudah sekali seseorang itu akhirnya salah paham dengan motivasi atau tindakan temannya.
GS : Apakah karena kebaikan itu merupakan suatu wujud nyata dari perhatian atau kasih seseorang terhadap relasinya?

PG : Tepat sekali jadi yang biasanya dilakukan adalah dalam bentuk pertolongan, kita mengasihi dia jadi kita melakukan sesuatu untuk dia, menolong dia setidak-tidaknya kita menawarkan bantua kita waktu kita tahu teman kita membutuhkannya.

Nah itikad baik seperti mau menolong dan bantuan secara nyata itu adalah makanan yang akan memperkuat relasi.
GS : Berarti ada bentuk-bentuk konkret atau bentuk-bentuk nyata yang bisa kita wujudkan, itu seperti apa Pak Paul?

PG : Selain dari bantuan tadi yang lain adalah nasihat, kalau kita tahu teman kita sedang mengalami masalah kita menanyakan: "Boleh atau tidak saya tawarkan nasihat, ini saran saya," nah kit jelaskan.

Dan nasihat itu menunjukkan bahwa teman kita berminat, mempunyai interest terhadap diri kita dan memikirkan kita bukan hanya memikirkan dirinya. Jadi sekali lagi ini adalah wujud kebaikan, sehingga apakah nasihat itu berhasil atau tidak berhasil diterapkan setidak-tidaknya motivasi itu sudah dibaca dan itu yang penting dan itu yang akan menjadi makanan untuk relasi supaya tetap bisa bertahan dan bertumbuh.
GS : Kadang-kadang kita agak segan memberikan nasihat kepada orang lain, nanti dikira apa berlagak pandai atau berlagak sok suci dan sebagainya, jadi kalau tidak diminta itu biasanya kita tidak memberikan nasihat, Pak Paul?

PG : Kita juga takut untuk ditolak Pak Gunawan, maka kita akhirnya menutup diri untuk tidak memberikan nasihat. Sudah tentu ada waktunya kita memberikan nasihat, ada waktunya kita tidak membrikan nasihat.

Kalau kita tahu memang yang dibutuhkan olehnya bukan nasihat tapi tindakan konkret lainnya, kita mencoba berikan tindak konkret lainnya itu. Ada waktunya yang dibutuhkan adalah nasihat tapi kalau kita kurang yakin namun beritikad baik untuk menolongnya kita bisa berkata: "Boleh tidak saya memberikan masukan?" Kalau dia bilang saya tidak perlu masukan saat ini, ya sudah kita hormati dan kita tidak memaksakan.
GS : Nah sebenarnya saya juga teringat akan kasusnya Ayub Pak Paul, yang didatangi sahabat-sahabatnya, bukankah sahabat-sahabatnya banyak memberikan nasihat yang baik tetapi Ayub menolak untuk mendengarkan nasihatnya.

PG : Ayub menolak karena ada satu hal yang dilakukan oleh teman-temannya yaitu mereka menyalahkan Ayub. Jadi nasihat yang bernada menyalahkan sering kali ditolak, tapi nasihat yang memang meunjukkan niat atau ikhtiar kita untuk kebaikannya kita mau memberikan nasihat, ini sering kali diterima.

Nah ini membawa kita ke point berikutnya tentang kebaikan, selain dari bentuk memberikan nasihat saya kira kita bisa memberikan penghiburan. Penghiburan memang harus disesuaikan dengan orang tersebut, tidak semua orang bisa menerima penghiburan yang sama. Jadi jangan sampai kita menyamaratakan semua orang, misalkan kita bisa berguyon seperti ini kepada teman kita belum tentu guyonan yang sama bisa diterima oleh teman yang lainnya. Jadi penghiburan itu harus tepat jangan sampai membabi buta, orang tidak menerima kita tersinggung. Kita harus melihat juga penghiburan apakah yang diperlukan oleh teman kita itu.
GS : Ya berarti ada suatu teknik tertentu untuk menghibur orang supaya dia merasa tertolong bukan malah tertekan itu Pak?

PG : Ya salah satu intinya penghiburan adalah membangunkan pengharapan, jadi kalau orang bertanya apa itu penghiburan, sebetulnya salah satu esensi penghiburan ialah pengharapan. Mendorong oang untuk tetap berharap, nah apalagi kita sebagai orang yang beriman pada Tuhan kita Yesus Kristus, kita bisa terus katakan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan dan Dia dapat menolong kita apapun situasi yang kita alami.

Jadi kita bisa berikan pengharapan seperti itu, nah itu bisa menjadi penghiburan buat dia.
GS : Apakah ada faktor yang lain untuk memelihara relasi itu, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah komunikasi, ini hal yang saya kira umum banyak orang sudah ketahui. Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa relasi yang kuat berdiri di atas komunikasi yang akrab. an tanpa komunikasi, relasi berpijak di atas kenangan.

Jadi relasi itu masih bisa berjalan, tapi atas dasar kenangan artinya hal-hal yang terjadi di masa lampau sedangkan sekarang tidak ada lagi kontak. Ya mungkin relasi bisa tetap ada tapi saya kira relasi seperti itu sudah sangat kabur tidak lagi kuat dan nyata, nah relasi yang kuat dan nyata berdiri di atas komunikasi yang akrab dan masih berjalan.
GS : Itu mungkin sebabnya kita dulu mempunyai teman di sekolah dan sebagainya, karena jarang ketemu lalu hubungan itu menjadi jauh Pak Paul.

PG : Betul, dan waktu kita bertemu dengan dia pun kita kehabisan bahan percakapan, kita hanya bisa mempercakapkan masa lampau saja.

GS : Nah di dalam hal komunikasi ini apakah itu menuntut sesuatu dari kita?

PG : Saya kira ya, jadi yang pertama adalah komunikasi itu menuntut adanya waktu, nah ini memang menjadi masalah buat orang-orang yang repot, apalagi tugas kita menuntut, keluarga kita menunut waktu, jadi akhirnya kita susah membagi waktu.

Tapi relasi hanya bisa berdiri di atas komunikasi dan komunikasi hanya ada jikalau ada waktu, kalau tidak ada waktu untuk diberikan komunikasi pun tidak akan terwujud. Jadi ini berlaku untuk komunikasi dengan teman maupun dengan pasangan hidup kita suami-istri atau bahkan dengan anak-anak kita. Kita berkata ada relasi antara kita dengan anak-anak, tahu-tahu mereka berubah menentang kita, akhirnya kita merasa tidak ada relasi karena kita sadari memang tidak ada komunikasi. Kenapa tidak ada komunikasi karena kita tidak memberikan banyak waktu kepada mereka.
GS : Artinya kita harus berusaha untuk menyediakan waktu untuk itu Pak Paul?

PG : Tepat jadi faktor berikutnya komunikasi itu menuntut adanya usaha, ikhtiar, kalau kita berdiam-diam dengan pasif mengharapkan komunikasi tiba-tiba muncul, saya kira itu tidak tepat. Jad orang yang mau menjaga relasi harus berkomunikasi, dan orang yang mau berkomunikasi harus mengeluarkan usaha.

Tidak ada yang namanya relasi tanpa usaha, tidak ada namanya komunikasi tanpa usaha, kita harus menanyakan, kita harus mencari tahu, kita harus menunjukkan minat, mungkin kita harus mengunjunginya atau pergi dengannya. Jadi hal-hal itu menunjukkan usaha, orang yang malas berusaha tidak akan mempunyai komunikasi dan pada akhirnya tidak akan mempunyai relasi dengan siapapun.
GS : Ya katakan itu sudah diusahakan Pak Paul, kita sudah berusaha menyediakan waktu, mendekati dia tapi responsnya dingin-dingin saja Pak Paul, apakah itu berarti dia memang tidak mau menjalin suatu relasi dengan kita?

PG : Saya kira ya, jadi salah satu prasyarat adanya komunikasi ialah keterbukaan, jadi kalau kita sudah mau terbuka dan mulai terbuka sedangkan dia tidak, tidak mau terbuka sama sekali, sayakira dia memang belum siap untuk menjalin komunikasi ini.

Komunikasi yang dia harapkan mungkin komunikasi yang formal, yang dangkal sedangkan kita sudah siap memasuki daerah-daerah yang lebih personal. Berarti kita harus menunggu atau kita harus tetapkan hati dan berkata sejauh inilah dia menginginkan batas relasi kita, ya sudah berarti komunikasinya juga akan terbatasi, hanya pada level yang formal dan dangkal.
GS : Berarti memang usaha kita untuk membangun relasi dengan pihak lain itu tidak selalu disambut dengan baik ya, Pak Paul?

PG : Betul, orang yang bijaksana orang yang bisa mengerti bahwa setiap relasi itu unik dan tidak bisa menyamaratakannya, bahwa tidak semua harus menyambuti dia seperti yang dia harapkan. Seprti tadi saya tekankan ada orang yang siap memelihara jarak 10 cm, ada orang yang hanya siap memelihara jarak 1 m dengan kita dan kita harus terima.

GS : Saya melihat prinsip-prinsip ini juga cocok kalau kita terapkan pada relasi kita dengan bagaimana kita berelasi dengan Tuhan Pak Paul, apakah hal itu memang bisa diterapkan begitu Pak?

PG : Saya kira dalam hubungan dengan Tuhan, Tuhan itu membuka tangan selebar-lebarnya, membuka pintu selebar-lebarnya untuk kita memasuki hadirat-Nya. Tinggal bergantung pada kitanya yaitu brapa terbukanya kita kepada Dia, apakah kita mau mempunyai jarak yang jauh dengan Tuhan atau jarak yang dekat dengan Tuhan, apakah kita mau hubungan kita sangat dekat batasnya atau sangat jauh batasnya memang tergantung pada kita.

Tuhan sendiri dengan tangan terbuka menyambut kita dan ingin kita itu masuk ke dalam hadirat-Nya.
GS : Nah jadi tentu ada firman Tuhan yang membekali kita untuk kita membina relasi yang baik seperti itu Pak Paul.

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 20:12 , "Telinga yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh Tuhan." Saya ingin garis bawahi bagian pertama dari ayat ini, teinga yang mendengar dan mata yang melihat, saya kira dari satu anak kalimat ini terkandung begitu banyak mutiara yang indah.

Yang saya ingin tekankan di sini adalah bijaksanalah dan berbahagialah orang yang memiliki telinga yang mendengar dan berbahagialah orang yang memiliki mata yang dapat melihat. Orang yang mampu memelihara relasi adalah orang yang bisa mendengar dengan baik berapa jauhnya seharusnya hubungan ini dan berapa dekatnya seharusnya dengan orang ini. Apa kebutuhan dia, apa yang kita perlu berikan dan mata yang melihat apa yang dapat kita perbuat, berapa jauh dan dekatnya jarak. Jadi orang yang bijaksana, orang yang menggunakan telinganya untuk mendengar dan matanya untuk melihat dengan tepat.

GS : Saya baru saja membaca suatu artikel pendek yang menarik Pak paul dalam hal ini. Ada anak kecil yang mengatakan kepada ayahnya, karena ayahnya setiap kali diajak bicara itu menjawab tapi sambil membaca koran atau melihat ke TV. Lalu suatu saat anak ini berkata: "Pa, sekali-kali mendengar dengan mata Papa, jadi anak ini juga memperhatikan ayahnya yang berkali-kali diajak ngomong berkata: Papa sudah dengar, papa sudah dengar tapi tidak menoleh Pak Paul, tidak memperhatikan anaknya. Lalu anaknya berkata papa perlu juga mendengar dengan mata. Saya rasa itu suatu harapan anak untuk mendapatkan perhatian dari orang tuanya, Pak Paul. Terima kasih untuk perbincangan kali ini Pak Paul dan ini sangat membantu kita karena kita setiap hari itu berelasi dengan sesama kita jadi perbincangan kita ini pasti sangat bermanfaat. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti dengan setia perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memelihara Relasi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



22. Menegur dengan Kasih


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T111B (File MP3 T111B)


Abstrak:

Waktu teguran disampaikan walaupun dengan sesantun mungkin biasanya tetap akan melukai atau menyakiti hati orang. Karena pada dasarnya kita manusia adalah tidak suka dipersalahkan. Oleh karena itulah sebelum kita menyampaikan teguran, kita harus mengakui suatu fakta bahwa teguran itu tidak mengenakkan.


Ringkasan:

Ada tiga prinsip dalam menyampaikan teguran yaitu :

  1. Apa yang terjadi sebelum teguran disampaikan akan mempengaruhi penerimaan kita terhadap teguran itu. Dengan kata lain sebelum kita menyampaikan teguran, kita mesti menyadari apa yang sebelumnya terjadi, sebelum kita menyampaikan teguran ini. Bagaimanakah sebetulnya hubungan kita dengan dia, itu pertanyaan yang pertama. Kalau hubungan kita baik, teguran itu akan bisa jatuh ke tempat yang lebih empuk.

  2. Kita mesti menjadi contoh yang baik sebelum menegur. Kita mesti bertanya apakah kita mempercayai integritasnya, integritas orang yang menegur kita. Kalau kita mempercayai integritasnya, kita lebih mudah menerima tegurannya, jadi ini pelajaran buat kita sebelum kita menegur orang, kita harus bertanya kira-kira kita ini orang-orang yang dipercaya oleh dia tidak, kita dianggap orang yang baik, orang yang mempuyai akhlak yang mulia atau tidak.

  3. Kita harus juga merasa diterima atau dihormati oleh dia baru kita menerima tegurannya. Sekali lagi teguran baru efektif kalau adanya hormat, adanya respek, adanya penerimaan, seseorang merasa dirinya diterima baru teguran itu akan ada efeknya.

  4. Kita harus memperhatikan apa yang terjadi setelah teguran disampaikan. Sebab apa yang terjadi sesudah teguran disampaikan akan mempengaruhi penerimaan kita terhadap teguran itu.

Ada hal-hal yang harus kita lihat tentang apa yang terjadi setelah teguran disampaikan:

  1. Apakah kita tetap mempunyai hubungan yang baik.

  2. Menerima apa tidaknya kita terhadap teguran itu juga bergantung pada apakah kita dapat melihat bukti perkataan atau tegurannya itu menjadi kenyataan atau tidak.

  3. Apa yang terjadi pada saat teguran disampaikan akan mempengaruhi penerimaan kita terhadap teguran itu, jadi pada saat teguran itu. Ada beberapa saran, pertama ialah kita harus bertanya apakah teguran disampaikan dengan kemarahan. Kedua kita harus bertanya apakah teguran disampaikan untuk mempersalahkan orang lain atau dengan motivasi untuk membantunya.

Galatia 6:1 , "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan."

Jadi Tuhan memberikan beberapa prinsip di sini:

  1. Orang yang menegur, orang yang rohani artinya orang yang dapat menjadi contoh yang baik.

  2. Kenapa orang itu harus rohani, karena dia harus memimpin ke jalan yang benar dan kalau kita sendiri hidupnya tidak benar di dalam Tuhan, bagaimanakah tahu yang benar apa, bagaimanakah bisa memimpin dia ke jalan yang benar.

  3. Cara penyampaiannya dalam roh lemah lembut. Karena tanpa kelembutan orang akan merasa dihujani oleh pisau yang tajam.

  4. Tuhan juga meminta, waktu kita menegur kita menjaga diri, jangan kita terlu sombong, berbual, meninggikan diri seolah-olah kita tidak mungkin mempunyai kesalahan yang sama.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini, tentang "Menegur dengan Kasih". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sekalipun teguran itu sudah dilakukan dengan kasih tetapi bagi yang menerima teguran itu rasanya masih tidak enak. Ada sesuatu yang menyakitkan Pak Paul, apalagi kalau teguran itu disampaikan dengan kemarahan atau rasa tidak senang, rasanya membekas sekali. Nah bagaimana sebenarnya kalau kita berada di pihak yang harus menyampaikan teguran itu?

PG : Tadi yang Pak Gunawan katakan betul sekali, teguran waktu disampaikan ya walaupun disampaikan dengan sesantun mungkin tetap biasanya akan melukai atau menyakiti hati orang. Kenapa? Seba pada dasarnya kita adalah manusia yang tidak suka ditegur.

Mengapa demikian? Sebab kita manusia yang tidak suka dipersalahkan, sejak dari Adam dan Hawa kita sudah mewarisi dosa ini. Waktu Tuhan menegur Adam, Adam melimpahkan kesalahan pada Hawa, Tuhan menegur Hawa, Hawa melimpahkan kesalahan pada iblis. Jadi memang itulah sifat dasar manusia setelah jatuh ke dalam dosa, tidak mau dipersalahkan. Oleh karena itu sebelum kita menyampaikan teguran kita harus mengingat hal ini bahwa teguran itu tidak mengenakkan, jadi barangsiapa yang mau menegur hendaklah dia menyadari fakta ini terlebih dahulu.
(1) GS : Ya memang kalau itu terjadi pada orang yang tidak terlalu dekat dengan kita, kita bisa abaikan saja tetapi kalau itu terjadi di dalam keluarga kita sendiri misalnya pasangan hidup kita atau anak kita, kita tahu dia salah kalau kita tidak menegur kita ikut salah, tidak enak Pak Paul ya. Tetapi mau menegur, teguran ini pasti melukai dia, nah bagaimana sebaiknya kita harus bersikap Pak Paul?

PG : Ada tiga prinsip yang akan saya bagikan, prinsip yang pertama adalah apa yang terjadi sebelum teguran disampaikan akan mempengaruhi penerimaan kita terhadap teguran itu. Dengan kata lai sebelum kita menyampaikan teguran, kita mesti menyadari apa yang sebelumnya terjadi, sebelum kita menyampaikan teguran ini.

Bagaimanakah sebetulnya hubungan kita dengan dia, itu pertanyaan yang pertama yang kita harus tanyakan. Apakah saya dan dia mempunyai hubungan yang baik, ataukah saya dan dia mempunyai hubungan yang buruk. Kalau hubungan kita baik, teguran itu akan bisa jatuh ke tempat yang lebih empuk, tapi kalau hubungan kita dengan dia memang sedang kurang baik terus kita menyampaikan teguran, otomatis kita seolah-olah hanyalah menambahkan minyak kepada api yang sudah berkobar. Ini kadang-kadang yang kita lakukan sewaktu kita misalnya bertengkar dengan pasangan kita, dengan istri atau suami kita. Lagi kita panas-panasnya bertengkar karena masalah-masalah yang sedang terjadi kemudian kita menambahkan teguran itu. Misalnya kita mengingat peristiwa dua hari yang lalu, dan kita sampaikan teguran itu masalahnya teguran itu kita sampaikan di atas kemarahan atau di atas percekcokan yang sedang kita lewati, akibatnya kita menambahkan minyak pada kobaran api.
GS : Kalau kita tahu kondisi hubungan itu kurang baik apakah kita lalu harus menunda teguran itu Pak Paul?

PG : Saya kira lebih baik begitu, jadi sekali lagi teguran lebih efektif kalau dilandasi oleh relasi yang kuat, yang baik. Kalau relasi kita buruk teguran itu sering kali tidak mencapai sasaannya malahan teguran itu mengundang reaksi defensifnya.

Tetapi kadang-kadang saya mengerti kita berpikiran seperti ini, yang penting saya sampaikan dulu nanti sebodoh amat dia mau terima atau tidak. Ya kadang-kadang kita bisa melakukan hal seperti itu tapi jarang-jaranglah jangan terlalu sering, sebab kita mau melihat juga keefektifan teguran itu sendiri.
GS : Lalu apa ada hal lain yang perlu kita perhatikan sebelum kita menyampaikan teguran Pak Paul?

PG : Kita mesti bertanya apakah kita mempercayai integritasnya, integritas orang yang menegur kita. Kalau kita sendiri tidak mempercayai integritasnya saya kira kita sulit menerima tegurannya. Kalau kita mempercayai integritasnya kita lebih mudah menerima tegurannya, jadi ini pelajaran buat kita sebelum kita menegur orang, kita harus bertanya kira-kira kita ini orang yang dipercaya oleh dia atau tidak, kita dianggap orang yang baik, orang yang mempunyai akhlak yang mulia atau tidak. Kalau kita tidak yakin bahkan kita tahu kita dianggap olehnya bukan orang yang berakhlak mulia sukar sekali buat kita menegur orang lain.

GS : Ya itulah sebabnya kita lebih condong untuk meminta tolong orang lain untuk menegur orang yang kita mau tegur tadi Pak Paul, karena lebih dihormati atau lebih disegani.

PG : Tepat, jadi ini juga sering terjadi dalam rumah tangga, misalnya seorang suami atau seorang ayah tidak mempunyai relasi yang baik dan dia tahu dia sendiri tidak bisa memberikan contoh khidupan yang baik.

Misalnya dia sendiri perokok, nah dia mau anaknya tidak merokok pada usia 15 tahun misalnya alasannya apa, dia pusing akan mencari alasannya sebab papa sudah dewasa kamu masih kanak-kanak. Kemudian pertanyaan lainnya muncul, apakah paru-paru orang dewasa beda dengan paru-paru anak usia 15 tahun? 'Kan pasti sama. Jadi dia tidak bisa ngomong, dia menyuruh istrinya menegur anaknya jangan merokok. Kenapa dia tidak berani menegur anaknya, dia tahu kehidupannya sendiri bukanlah kehidupan yang baik. Jadi sebelum memberikan teguran ada baiknya kita memang melihat diri kita juga apakah kehidupan kita lebih baik, kalau lebih baik barulah teguran itu lebih bisa disambut oleh orang lain.
GS : Tapi dengan kita meminta tolong orang lain baik itu istri kita untuk menegur anak atau orang lain yang menegur, bukankah itu sebenarnya memperluas masalah Pak Paul. Apakah orang yang ditegur itu juga suka dengan cara itu?

PG : Saya kira mungkin dia akan berpikir bahwa ini papa yang sebetulnya mau menegur tapi papa tidak berani, nah dia seolah-olah akan berkata kalau begitu saya tetap akan lakukan sampai papa erani menegur saya.

Dan waktu papa menegur saya, saya akan serang balik begitu. Jadi memang kurang efektif, maka inilah yang sering kali kita lihat Pak Gunawan yaitu orang yang kehidupannya tidak baik juga enggan menegur orang karena dia tahu dia tidak bisa menegur orang sebab dia tidak memberikan contoh yang lebih baik dari orang lain.
GS : Tapi kadang-kadang yang digunakan adalah otoritasnya Pak, saya ini papamu, saya ini orang tuamu lalu dia menggunakan otoritas.

PG : Tapi otoritas itu sebetulnya hanya bersifat permukaan karena tidak benar-benar bisa menyentuh dan membuat orang tunduk. Saya masih ingat waktu saya masih SMP, guru saya melarang kami meokok, pada saat SMP saya merokok juga.

Nah saya masih ingat guru saya berkata kalian tidak boleh merokok tetapi dia mengatakan itu seraya mengisap rokok. Saya sama sekali tidak mendengarkan ucapan dia sebab buat saya ya tidak masuk akal, engkau melarang orang merokok engkau sendiri merokok. Prinsip yang harus kita ingat kita mesti menjadi contoh yang baik sebelum menegur orang. Yang lainnya lagi tentang yang terjadi sebelum teguran disampaikan ialah kita harus juga merasa diterima atau dihormati oleh dia baru kita menerima tegurannya. Kalau kita tidak merasa dihormati olenya, dia tidak respek kepada kita, tegurannya itu akan langsung kita buang. Atau kita tidak merasa dia menerima kita justru kita merasa dia menghina kita, tegurannya bukan membuat kita sadar justru membuat kita tambah membencinya. Jadi sekali lagi teguran baru efektif kalau adanya hormat, adanya respek, adanya penerimaan, seseorang merasa diterima baru teguran itu akan ada efeknya. Kalau teguran itu tidak diterima tidak ada efeknya.
GS : Tapi walaupun begitu Pak Paul, kita sudah berusaha untuk memenuhi ketiga faktor tadi tapi kalau seandainya itu ada yang tidak terpenuhi, lalu kita nekat saja menegur seseorang itu akibatnya apa, Pak Paul?

PG : Menusuk hati Pak Gunawan, jadi teguran yang dilontarkan tanpa adanya ketiga landasan yang baru saja kita bicarakan akan seperti pisau yang langsung menusuk ke ulu hati kita, merasa saki sekali atas teguran itu.

Nah ini yang sering kali terjadi dan yang sering kali tidak dimengerti oleh kebanyakan kita, kenapa saya menegur saja kok dia begini tersinggung dan begitu marahnya dan sebagainya? Pertanyaannya adalah apa yang terjadi sebelum teguran itu disampaikan?
GS : Tapi kadang-kadang orang yang ditegur itu memang tidak dalam kondisi yang siap untuk menerima teguran kita Pak Paul, sehingga walaupun kita sudah berusaha memenuhi semua kriteria tadi, tapi nyatanya teguran kita itu menyakitkan, sangat menyakitkan dia.

PG : Adakalanya itu terjadi sebab memang orang tersebut tidak siap atau tidak mau mendengarnya. Jadi ada orang yang menutup telinga, tidak menyediakan diri untuk menerima instruksi atau teguan.

GS : Atau kadang-kadang kita menegur pada waktu yang tidak tepat.

PG : Ya kadang kala itu juga terjadi, kurang pas timingnya.

GS : Kita tidak tahu dia lagi sedang susah hatinya, kesal hatinya, lalu kita datang dengan merasa kita sudah siap menyampaikan teguran, ternyata tidak mengena, Pak Paul.

PG : Betul, malah seperti bumerang yang menyerang kita kembali.

(2) GS : Katakan itu semua sudah siap semua Pak Paul, lalu kita menyampaikan teguran itu, nah setelah ditegur apa yang kemudian terjadi Pak Paul?

PG : Ini membawa kita pada prinsip berikutnya Pak Gunawan, yakni bukan saja kita harus memperhatikan apa yang terjadi sebelum teguran disampaikan, kita pun harus perhatikan apa yang terjadi esudah teguran disampaikan.

Sebab apa yang terjadi sesudah teguran disampaikan akan mempengaruhi penerimaan kita terhadap teguran itu. Jadi ada hal-hal yang harus kita lihat tentang apa yang terjadi sesudah teguran disampaikan. Yang pertama adalah apakah kita tetap mempunyai hubungan yang baik, ini penting sekali. Kadang kala setelah teguran disampaikan terus kita menjauhkan diri, nah orang tersebut tidak lagi bisa menerima teguran itu karena setelah teguran disampaikan kita malah menjauhkan diri dari dia. Ini yang harus disadari oleh orang tua terutama di dalam orang tua menegur anaknya. Adakalanya orang tua dalam keadaan marah, menegur, memarahi anak setelah itu stop, tidak ada pembicaraan lebih lanjut, tidak ada pendekatan lebih lanjut nah itu membuka jurang antara si orang tua dan anak. Karena sesudah teguran disampaikan seolah-olah hubungan menjadi jauh, maka dianjurkan oleh hampir semua pakar keluarga, setelah menyampaikan teguran kepada anak, berikan suatu jedah. Namun setelah melewati suatu kurun tertentu kita hampiri si anak ajak dia berbicara, jelaskan kenapa saya tadi menegur kamu, perbuatanmu yang seperti inilah yang membuat saya begini, begini dsb. Kemudian menyapa dia kembali, mengajak dia makan atau bertanya kepada dia, jadi orang tahu bahwa atau anak kita tahu bahwa setelah kita menegur dia, dia tetap adalah bagian hidup kita dan kita tidak membuangnya dan bahkan kita pun merasa yang sama kalau orang misalnya atasan kita atau rekan kerja kita menegur kita, wah.....kita susah menerima teguran itu bahkan membuat kita menjadi marah kepada dia.
GS : Memang ada banyak orang yang mengambil sikap menegur dengan keras, tapi setelah itu berbaikan kembali Pak Paul. Tetapi peristiwa peneguran itu tetap menjadi sesuatu yang menyakitkan buat yang ditegur.

PG : Betul, tapi bukankah kalau rekan yang telah menegur itu datang menyapa dan mengajak kita berbicara, bukankah tindakan itu mengobati lukanya, kalau tidak sama sekali dia lakukan seolah-oah itu luka terus menganga dan berdarah.

GS : Jadi seolah-olah habis melukai lalu ditinggal?

PG : Betul, sedangkan kalau kita tahu teguran kita melukai dia, setelah kita sampaikan ya biarkan dia berpikir setelah itu sapa dan ajak berbicara lagi. Nah saya kira itu akan mengobati lukaatau rasa sakit hati orang setelah ditegur.

GS : Apakah ada hal lain yang perlu kita perhatikan setelah kita melakukan teguran?

PG : Saya kira menerima atau tidaknya kita terhadap teguran itu, juga bergantung pada apakah kita dapat melihat bukti perkataan atau tegurannya itu menjadi kenyataan atau tidak. Misalkan seoang ibu berkata kepada anaknya: "Kamu jangan main-main dengan listrik, nanti kamu akan kontak."

Tapi dia tidak peduli, dia main-main terus akhirnya benar-benar tangannya kontak, tersetrum. Nah teguran itu akan sangat efektif karena orang melihat bahwa o.....terbukti. Jadi sekali lagi teguran yang terbukti akan lebih efektif, akan mengenai sasarannya dibandingkan dengan teguran yang tidak mempunyai buktinya atau landasannya. Itu sebabnya dalam memberikan teguran memang kita harus memberikan teguran secara spesifik, tindakannya, perbuatannya atau perkataannya sehingga dia tahu bahwa waktu itu terjadi, nah inilah akibat teguran yang diabaikan. Jangan kamu berbohong soal ini misalnya nah waktu dia akhirnya berbohong dan dia akhirnya terkena konsekuensinya dia sadar inilah akibatnya dia berbohong. Jangan kamu menyontek, nanti kamu akan ketahuan dan akhirnya kamu akan salah dan kamu tidak mengerti apa yang kamu pelajari karena kamu menyontek. Dan benar-benar setelah dia menyontek dia tidak mengerti apa yang dia pelajari sama sekali, itu menjadi kenyataan. Jadi sekali lagi teguran efektif sekali kalau akhirnya terbukti seperti itu.
GS : Padahal teguran itu disampaikan atau kita menyampaikan suatu teguran dengan harapan supaya dia jangan melakukan itu Pak Paul?

PG : Betul, harapan kita adalah jangan sampai dia melakukannya. Namun bukankah efektif sekali kalau misalkan kita bisa memberikan contoh yang telah terjadi pada orang lain misalnya dan kita atakan nah ini yang terjadi.

Bukankah ini terjadi pada dirinya dan ini bisa terjadi pada dirimu juga, jadi sekali lagi hal-hal yang mempunyai relevensinya dengan kenyataan dan terus disampaikan lebih mengena.
GS : Apakah seseorang yang kita tegur itu masih tetap menaruh hormat Pak?

PG : Biasanya kita ini setelah menerima teguran kita akan merasa sedikit banyak kurang dihormati karena teguran itu seolah-olah merupakan suatu penghinaan. Itu sebabnya kalau kita harus menympaikan teguran, adalah penting setelah kita menyampaikan teguran itu kita tetap memberikan rasa hormat yang sama kepadanya.

Kita seolah-olah tidak sedang meremehkan dia. Justru kalau kita tahu dia itu terluka kita justru sebaiknya lebih menunjukkan diri bahwa kita tetap menghormati dia, bahwa dia itu adalah tetap teman kita yang kita ingin rangkul bukannya kita ingin tinggalkan. Nah ini juga yang bisa kita terapkan dalam hubungan suami-istri, jangan sampai setelah menegur kita justru tidak mau lagi bergaul dan bicara dengan dia dan makin kasar.
GS : Itu yang sulit, mungkin sebagian orang juga merasakan, pada saat kita melakukan teguran itu Pak Paul bukan sebelum atau sesudahnya walaupun itu perlu diperhatikan tapi pada saat kita menegur itu sebenarnya sering kali terjadi kesalahan-kesalahan itu Pak Paul, bagaimana yang perlu kita perhatikan?

PG : Jadi prinsip yang ketiga seperti yang Pak Gunawan tekankan ialah apa yang terjadi pada saat teguran disampaikan akan mempengaruhi penerimaan kita terhadap teguran itu, jadi pada saat teuran itu.

Nah ini ada beberapa saran, yang pertama ialah kita harus bertanya apakah teguran disampaikan dengan kemarahan, saya kira kertas bungkus yang paling-paling merugikan, yang paling merusak adalah kertas bungkus yang namanya kemarahan kalau hendak membungkus teguran. Teguran yang disampaikan dengan kemarahan cenderung membuat orang defensif, mau membela diri. Apapun yang kita katakan sebenar apapun itu kalau disampaikan dengan kemarahan cenderung membuat orang defensif tidak mudah dia mendengarkan yang ingin kita sampaikan.
GS : Karena itu sering kali kita berkata: bukan saya tidak mau ditegur tapi caranya dia menegur itu saya tidak suka.

PG : Betul, jadi cara marah-marah sembari menyampaikan teguran benar-benar cara yang tidak pas, ini yang akan membuat teguran itu hilang maknanya dan orang hanya bereaksi terhadap kemarahan ita.

GS : Apalagi itu dilakukan di hadapan banyak orang bukankah itu akan membuat kita malu. Nah apakah ada yang lain Pak Paul yang kedua?

PG : Yang kedua ialah kita harus bertanya apakah teguran disampaikan untuk mempersalahkan orang lain atau dengan motivasi untuk membantunya. Jadi kalau kita sadar teman kita menegur dengan mtivasi untuk membantu kita, untuk kebaikan kita meskipun sakit kita cenderung mau menerimanya.

Tapi kalau kita mulai mencurigai motivasinya bahwa dia memang ingin mempersalahkan kita dan tidak berminat membantu kita sama sekali, kita cenderung tidak menerima teguran itu. Jadi saran saya tuluslah dengan diri kita, kalau memang kita ingin menolongnya silakan sampaikan teguran. Kalau kita tidak berminat menolongnya sama sekali jangan sampaikan teguran sebab tidak ada hasilnya malah akan memperkeruh hubungan kita. Jadi kalau kita memang mempunyai ketulusan mau menolongnya mohon disampaikan secara langsung sebelum kita menyampaikan teguran itu. Kita bisa berkata: "Niat saya adalah agar kamu begini, begini, maka ini harus saya sampaikan kepadamu." Jadi dengan kata lain kita pertama-tama menyampaikan dulu niat baik kita kepada dia, biar dia mengerti bahwa kita berniat baik, setelah itu baru kita sampaikan teguran kita.
GS : Ya caranya menyampaikan teguran itu seharusnya bagaimana?

PG : Harus dengan lembut Pak, tadi saya sudah singgung jangan dengan marah-marah dan cara yang paling tepat adalah dengan lembut. Lembut dalam pengertian kita bisa berkata begini: "Mohon maa ya kalau yang saya katakan akan membuat kamu mungkin tersinggung itu bukan niat saya tapi ini yang ingin saya katakan...,"

baru kita sampaikan dengan baik-baik. Jadi kelembutan benar-benar menyiapkan hati orang untuk mendengarkan dengan lebih baik dan tidak dengan defensif.
GS : Ada orang yang ditegur dengan lemah lembut akhirnya bisa sadar Pak Paul, tapi ada orang yang punya karakter kalau tidak ditegur dengan keras lalu itu dia anggap tidak sungguh-sungguh ditegur, Pak Paul.

PG : Betul, apalagi kalau kita menghadapi anak kita yang kita sadari memang tidak bisa diberitahu dengan lemah lembut. Ada baiknya memang waktu kita memberikan teguran, berikan teguran denga tegas, tegas tidak berarti harus berteriak-teriak, harus dengan suara yang lebih mantap.

Tapi sekali lagi setelah itu ada baiknya kita tetap berbicara dengan si anak, dengan lemah lembut. Karena itu juga yang akan berperan besar terhadap perubahan perilakunya atau sikapnya.
GS : Ya kita pernah membaca di kitab Injil, Tuhan Yesus menganjurkan kalau menegur seseorang itu hanya empat mata saja jadi berdua saja, itu maksudnya bagaimana?

PG : Saya kira pada awalnya selalu ya relasi pribadi itu merupakan lingkup yang paling tepat untuk peneguran, jadi berdua secara pribadi menegur itu yang paling tepat. Karena kita tidak meraa disudutkan, namun Tuhan juga berkata kalau sudah ditegur secara pribadi tidak bisa baru undang orang lain untuk menjadi saksi.

GS : Jadi itu harus ada usaha sungguh-sungguh untuk menyadarkan orang itu Pak Paul? (PG: Betul). Nah dalam hal menegur orang ini Pak Paul apakah ada firman Tuhan yang tepat dijadikan pedoman.

PG : Saya akan bacakan dari Galatia 6:1 , "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang enar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan."

Jadi Tuhan memberikan beberapa prinsip di sini sekali lagi yang telah kita bahas tadi yaitu orang yang menegur, orang yang rohani artinya orang yang dapat menjadi contoh yang baik. Kedua kenapa orang itu harus rohani, karena dia harus memimpin ke jalan yang benar dan kalau kita sendiri hidupnya tidak benar dalam Tuhan bagaimanakah tahu yang benar apa bagaimanakah bisa memimpin dia ke jalan yang benar. Dan yang berikutnya lagi adalah cara penyampaiannya dalam roh lemah lembut, karena tanpa kelembutan orang akan merasa dihujani oleh pisau yang tajam. Dan yang terakhir Tuhan juga meminta, waktu kita menegur kita menjaga diri, jangan kita terlalu sombong, berbual, meninggikan diri seolah-olah kita tidak mungkin mempunyai kesalahan yang sama, hati-hati kata Tuhan sebab kita pun mungkin bisa jatuh ke dosa yang sama.
GS : Memang dalam hal menegur, sering kali yang sulit itu adalah mencarikan jalan keluarnya. Orang yang ditegur sering kali bertanya, bertanya balik kepada kita lalu apa sekarang yang harus saya perbuat? Itu kadang-kadang kita tidak siap untuk memberikan bimbingan jalan keluar, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau kita memang tidak siap kita katakan: "Saya hendak memberikan masukannya mungkin ini tidak enak didengar dan mohon maaf saya pun belum menemukan jalan keluarnya tapi yang saya tahuadalah ini rasanya kurang pas, jadi kita sampaikan.

Nah jalan keluarnya apa terus kita bisa berkata, menurut engkau apa jalan keluarnya kita bisa diskusikan berdua atau kita berkata: Ayo.....kita tanya orang lain mungkin ada jawaban yang lebih baik lagi.
GS : Jadi satu godaan besar bagi orang yang menasihati orang lain adalah kadang-kadang memaksakan memberikan jalan keluar. Padahal itu sebenarnya bukan jalan keluar yang sebenarnya mungkin dia merasa malu atau merasa lebih rohani masuk ke dalam pencobaan itu Pak Paul.

PG : Bisa jadi akhirnya memberikan solusi yang tidak tepat, demi dilihat bahwa dia itu kok tahu segalanya misalnya.

GS : Atau karena jabatannya tadi dia pimpinan atau dia orang tua, dia suami. Jadi terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan yang sangat menarik pada kali ini. Dan saudara-saudara pendengar sekalian yang kami kasihi, terima kasih Anda telah setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menegur dengan Kasih". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



23. Kendala dalam Berkomunikasi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T116A (File MP3 T116A)


Abstrak:

Komunikasi adalah sebuah seni, sebuah keterampilan. Komunikasi bukan saja sebagai alat untuk kita menyampaikan sesuatu tetapi bagaimanakah kita bisa mendengarkan sesuatu sehingga apa yang disampaikan pasangan kita dapat kita terima dengan tepat.


Ringkasan:

Tiga kendala dalam berkomunikasi adalah:

  1. Nada suara, jadi adakalanya kita ingin menyampaikan sesuatu namun nada suara kita itu tidaklah pas, tidaklah mendukung. Dr. James Dobson mengatakan bahwa kalau saja kita bisa mengontrol nada suara kita dengan tepat sehingga mendukung apa yang kita sampaikan sebetulnya kita bisa menghindarkan banyak pertengkaran. Amsal 10 : 32, Memberikan kita nasihat yang indah, "Bibir orang benar tahu akan hal yang menyenangkan, tetapi mulut orang fasik hanya tahu tipu muslihat." Artinya :

    1. Bibir orang benar tahu hal yang pas, tahu apa yang disampaikan dengan pas. Bukan saja perkataaannya yang pas tapi juga nada suara kita, jadi samakanlah nada suara kita dengan emosi dan maksud hati kita agar kita ini bisa menyampaikan dengan tepat apa itu yang kita ingin sampaikan.

    2. Sebisanya kita mengurangi atau melembutkan nada suara kita agar berita yang kita ingin sampaikan lebih dapat diterima. Sebab pada dasarnya orang akan bereaksi dengan defensif, dengan marah terhadap emosi marah. Waktu kita berhasil menyampaikan sesuatu dengan nada yang lembut meskipun isinya tidak enak, dia dengar tapi reaksinya biasanya tidak akan keras.

  2. Meng-iakan yang memang ia. Ini hal yang mudah-mudah gampang karena kita ini cenderung lebih untuk berkata tidak dari pada berkata ya, berkata tidak dalam pengertian kita menyangkal atau menolak. Yang kita persoalkan adalah:

    1. Cara penyampaiannya, yang mungkin kurang tepat, terlalu keras atau terlalu tergesa-gesa atau juga waktunya kurang pas. Namun kita harus mengakui kebenaran perkataannya kalau memang itu benar, meskipun kita tidak suka.

    2. Kekurangtepatan kwantitas yang dituduhkannya.

  3. Memotong percakapan. Ada beberapa alasan kenapa kita cenderung memotong percakapan orang yaitu:

    1. Paling umumnya kita tidak sabar karena sudah tahu arah percakapan itu. Meskipun kita sudah tahu sebaiknya kita membiarkan orang menyelesaikan perkataannya apalagi dengan pasangan sendiri.

    2. Kita tidak ingin dia mengatakan hal-hal yang akan disampaikannya. Jadi kita sudah tahu kira-kira dia akan ke mana dan kita tidak suka.

    3. Kita ingin merendahkannya, dan kita tidak merasa harus mendengarkannya. Hal ini memang fatal, berarti memang kita sudah tidak ada respek sama dia.

    4. Kita terlalu emosional, dan ingin melampiaskan emosi kita sampai puas.

Dampak dari memotong percakapan orang adalah:

  1. Membuat orang frustasi

  2. Orang tidak akan merasa dihargai dan ini menjadi bahan untuk menambah amunisi kemarahan orang.

Amsal 10:8 , "Siapa bijak hati, memperhatikan perintah-perintah, tetapi siapa bodoh bicaranya akan jatuh."

Jadi Tuhan menekankan sekali pada apa yang keluar dari hati kita, apa yang kita ucapkan, komunikasi kita yang bijaksana justru membangun, orang yang bodoh, tidak bijaksana dalam berkomunikasi akan jatuh.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kendala Berkomunikasi," kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, setiap hari kita melakukan yang namanya komunikasi berbicara dengan orang lain dan sebagainya, tetapi berdasarkan pengalaman saya di dalam hidup pernikahan ini kita lebih sulit berkomunikasi dengan partner kita dibandingkan mungkin waktu masih pacaran atau juga dengan orang-orang lain, itu sebenarnya kenapa Pak Paul?

PG : Memang kita ini sering kali mengidentikkan berbicara dengan berkomunikasi, pada halnya dua hal ini adalah dua hal yang berbeda Pak Gunawan. Kata komunikasi dalam bahasa Inggris berasal ari kata to communited, kata to communited berasal dari satu kata yang digunakan untuk kata komunitas, communion.

Jadi kalau kita mendengar kata komunitas, to communion, kita tahu artinya adalah bersekutu. Jadi kata komunikasi itu sendiri sesungguhnya mempunyai makna yang dalam yang mempunyai makna keakraban, di mana dua orang waktu berkomunikasi sebetulnya mereka itu sedang mendekatkan diri satu dengan yang lain. Jadi sekali lagi kita adalah orang-orang yang tidak terlatih untuk berkomunikasi, kita mungkin bisa berbicara dengan baik tapi belum tentu kita ini cakap berkomunikasi. Sejak kecil kita hanya belajar berbicara, kita mungkin sekali tidak pernah mendapatkan pelajaran bagaimanakah berkomunikasi dengan efektif, nah itu sebabnya dalam pernikahan salah satu kendala yang sering kali dihadapi oleh banyak pasangan adalah bagaimanakah berkomunikasi dengan efektif.
GS : Ya jadi di dalam pengertian komunikasi yang tadi Pak Paul sampaikan itu ada unsur mendengarkan begitu Pak Paul?

PG : Tepat sekali, jadi komunikasi bukan saja kita ini menyampaikan sesuatu, tapi bagaimanakah kita bisa mendengarkan sesuatu sehingga apa yang disampaikan oleh orang lain atau pasangan kitadapat kita terima dengan tepat pula.

Nah sekali lagi ini adalah sebuah seni, sebuah keterampilan. Nah kebanyakan kita menganggap remeh, menganggap saya bisa berbicara pasti saya bisa berkomunikasi, tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Komunikasi dapat kita ibaratkan seperti darah dalam tubuh kita, tanpa adanya darah kita akhirnya akan meninggal dunia karena tidak ada oksigen yang bisa disebarkan ke seluruh tubuh kita ini, komunikasi pun seperti itu. Tanpa komunikasi pernikahan itu pada akhirnya akan mati.
(1) GS : Pak Paul, di dalam hal komunikasi itu sering kali apa yang saya utarakan atau kadang-kadang juga istri saya mengutarakan sesuatu itu, kita menangkapnya bisa berbeda dengan apa yang dimaksudkan, sebenarnya itu penyebabnya apa Pak Paul?

PG : Ada banyak atau ada beberapa penyebabnya Pak Gunawan, nah yang akan kita bahas pada kesempatan ini adalah ada 3 saja Pak Gunawan, mengapa sampai terjadi masalah dalam berkomunikasi. Yan pertama adalah nada suara, jadi adakalanya kita ingin menyampaikan sesuatu namun nada suara kita itu tidaklah pas, tidaklah mendukung.

Atau kalau saya boleh ibaratkan kita ini hendak menyampaikan sesuatu dengan kemasan yang tidak cocok, sehingga waktu disampaikan kepada pasangan kita yang dilihatnya pertama-tama adalah kemasannya sebelum melihat apa isi bungkusan itu. Nah kalau kemasannya sudah tidak menyenangkan, tidak ada lagi keinginan untuk menyimak apa yang ada dalam kemasan itu atau mendengarkan apa yang disampaikan. Jadi salah satu kendala yang besar dalam berkomunikasi adalah nada suara, ini pernah juga disampaikan oleh Dr. James Dobson yang mengatakan bahwa kalau saja kita bisa mengontrol nada suara kita dengan tepat sehingga mendukung apa itu yang kita sampaikan sebetulnya kita bisa menghindarkan banyak pertengkaran.
GS : Ya sering kali juga ini Pak Paul, memang kita itu waktu mau ngomong itu sudah kesal dulu, sedang ada masalah di luar entah itu di kantor atau apa atau di jalan sehingga penyampaiannya berbeda, Pak Paul?

PG : Betul, jadi nada suara itu memang mencerminkan emosi kita tapi di pihak lain kita juga harus mengakui bahwa nada suara kadang-kadang tidak dengan tepat mencerminkan emosi kita. Maksud sya begini, bukankah adakalanya kita jengkel tapi sebetulnya tidaklah sejengkel itu.

Namun waktu kita menyampaikan sesuatu kepada pasangan kita, yang ditangkap oleh pasangan kita adalah suatu kejengkelan yang sangat besar nah akibatnya dia bereaksi langsung kepada emosi tersebut, emosi kejengkelan. Nah kita akhirnya marah karena kok baru saja kita menyampaikan hal itu dia bereaksi begitu keras terhadap kita. Sesungguhnya yang terjadi adalah pasangan kita bereaksi keras terhadap tafsirannya akan emosi kita yang dimunculkan oleh nada suara kita. Jadi sekali lagi saya mau ulang, nada suara memang mencerminkan emosi kita, tapi nada suara tidak selalu tepat mencerminkan intensitas emosi kita itu. Nah kalau tidak tepat dan ditangkap oleh pasangan kita itu yang sering kali menjadi masalah.
GS : Sudah begitu kadang-kadang kita itu masih menekankan lagi dengan bahasa tubuh kita, sehingga pengertiannya bisa lebih kabur lagi, Pak Paul?

PG : Betul, dengan bahasa tubuh misalnya wajah yang paling umum, kita menunjukkan tidak senang, kita menunjukkan marah, atau menunjukkan rasa hendak memutuskan percakapan, nah hal-hal itulahyang juga dilihat oleh pasangan kita.

Jadi intinya Pak Gunawan, kita mesti lebih menyadari nada suara kita, jangan sampai nada suara kita itu merusakkan hal yang ingin kita sampaikan kepada pasangan kita. Kebalikannya sama betulnya Pak Gunawan, misalnya kita ingin memberikan ketegasan bahwa kita tidak suka dengan yang dilakukan oleh pasangan kita. Namun kita tidak bisa mendukung perkataan kita itu dengan nada yang tepat, misalnya kita nadanya terlalu mengambang sehingga waktu pasangan kita menanggapi dengan ringan ya...ya...ya misalnya seperti itu dan kita jengkel luar biasa dan kita berkata kepada dia: "Kenapa kamu tidak menanggapi dengan serius yang saya katakan, bukankah engkau tahu hal ini sangat serius buatku?" Nah masalahnya adalah pasangan kita tidak tahu bahwa kita sedang benar-benar serius, dengan nada suara kita yang mengambang, yang ditangkap oleh pasangan kita adalah ini percakapan asal lewat. Jadi memang bisa ada dua sisi dalam hal ini, bisa kita ini dengan nada suara memperbesar yang seharusnya tidak besar atau dengan nada suara yang kurang tepat malah memperkecil yang seharusnya besar.
GS : Nah kalau kita sadari bahwa kita memang sedang tidak siap untuk menyampaikan berita atau perintah atau apapun juga tidak siap untuk berkomunikasi dengan partner kita, apakah sebaiknya kita tidak usah berbicara pada waktu itu, Pak Paul?

PG : Saya kira ada waktunya memang kita tidak berbicara untuk menyampaikan sesuatu itu, apalagi kalau kita tahu, apa yang kita sampaikan ini hanyalah akan memancing keributan yang terlalu bear yang kita tidak mau hadapi saat itu.

Atau kita melihat memang timingnya tidak cocok dia dalam mood yang tidak begitu baik, sehingga yang kita sampaikan hanyalah akan memancing kemarahan, sehingga bukannya berkomunikasi malahan hanyalah melampiaskan kemarahan-kemarahan. Jadi memang perlu sekali kita bersikap bijaksana, nah firman Tuhan di Amsal 10:32 memberikan kita nasihat yang indah, "Bibir orang benar tahu akan hal yang menyenangkan, tetapi mulut orang-orang fasik hanya tahu tipu muslihat." Kata bibir orang benar tahu akan hal yang menyenangkan, yang menyenangkan itu dalam bahasa Inggrisnya ditulisnya 'what is fitting' artinya bibir orang benar tahu hal yang pas, tahu apa yang disampaikan dengan pas. Saya kira bukan saja perkataannya yang pas tapi juga nada suara kita, jadi samakanlah nada suara kita dengan emosi dan maksud hati kita agar kita ini bisa menyampaikan dengan tepat apa itu yang kita ingin sampaikan. Dan yang kedua adalah sebisanya kita mengurangi atau melembutkan nada suara kita agar berita yang kita ingin sampaikan lebih dapat diterima. Sebab pada dasarnya orang akan bereaksi dengan defensif, dengan marah terhadap emosi marah, nah waktu kita berhasil menyampaikan sesuatu dengan nada yang lembut meskipun isinya tidak enak dia dengar tapi reaksinya biasanya tidak akan sekeras itu.
GS : Selain kendala nada suara itu tadi Pak Paul yang tidak pas dengan isinya, apakah ada kendala yang lain?

PG : Yang kedua adalah ini Pak Gunawan, meng-iakan yang memang ya, meng-iakan yang memang ia. Nah ini hal yang mudah-mudah gampang karena kita ini cenderung lebih berkata tidak daripada berkta ya, berkata tidak dalam pengertian kita menyangkal atau menolak.

Kita ini lebih jauh mudah dah menolak atau menyangkal dari pada mengakui. Nah mengakui apa, sudah tentu mengakui yang memang benar, yang memang kita lakukan. Misalnya adakalanya pasangan kita menuduhkan hal-hal yang memang benar namun kita tidak suka mendengarnya. Nah yang kita lakukan adalah kita mencoba mengelak dengan cara mempersoalkan cara penyampaiannya atau misalnya kekurangtepatan kwantitas yang dituduhkannya. Saya akan jelaskan, cara penyampaiannya mungkin kurang tepat mungkin terlalu keras atau misalnya terlalu tergesa-gesa OK! Timingnya kurang pas OK! Namun kita harus mengakui kebenaran perkataannya kalau memang itu benar, meskipun kita tidak suka, kita terusik, kita hendak marah kembali tapi kalau memang itu benar ya benar. Misalnya kita memang terlambat, kita berjanji akan pulang jam 06.00 kita pulang jam 07.30, dan kita lalai menelepon nah pasangan kita marah ya kita akui, "maaf saya salah" nah meskipun dia marah atau kita tidak suka reaksinya, yang benar harus kita akui benar. Atau yang berikutnya tadi saya maksudkan kekurangtepatan kwantitas, artinya begini kadang-kadang misalnya dalam contoh tadi pasangan kita marah dan berkata: "Setiap kali engkau berjanji engkau selalu ingkar," nah kita langsung marah. "Bukankah saya pernah berjanji dan tidak saya ingkari," contohnya mana? Nah akhirnya yang kita ributkan soal kwantitasnya, kita mengerti bahwa yang ingin disampaikan oleh pasangan kita adalah kita itu tidak menepati janji, itu benar.
GS : Jadi dalam hal ini kita berada pada pihak yang mendengar Pak Paul, mendengar seseorang yang menyampaikan berita kepada kita, itu yang Pak Paul maksudkan untuk ini?

PG : Ya betul, jadi misalkan kita menyampaikan sesuatu dan disanggah olehnya, jangan buru-buru kita menyanggah balik, jangan buru-buru mengelak, akui yang memangbenar. Makanya saya katakan klau 'ia' ya 'ia', jangan kita akhirnya dari masalah pokok beranjak ke masalah pinggiran, masalah-masalah kecil lainnya dan mempeributkan hal-hal itu, nah itu akhirnya tidak produktif, menguras lebih banyak tenaga dan sudah pasti membuat pasangan kita frustrasi.

Akhirnya dia tidak bisa menyampaikan sesuatu itu kepada kita.
GS : Atau memang kita sudah mempersiapkan suatu jawaban Pak Paul, karena kita sudah tahu kalau kita berbicara ini pasti akan disanggah lalu kita sudah siapkan jawaban kita dan ini terjadi semacam perdebatan yang nantinya tidak ada ujung pangkalnya.

PG : Sering kali dalam perdebatan Pak Gunawan, tujuan akhirnya bukan lagi mencari kebenaran. Dalam perdebatan sering kali yang kita cari adalah kita diakui bahwa kita benar atau kita menang,jadi tidak lagi masalah kita ini dianggap caranya tepat atau tidak tepat tapi yang penting kita diakui kebenarannya.

Jadi memang perlulah berhati-hati dalam perdebatan seperti ini dan perlulah kita ini membuka telinga dengan baik serta mempunyai hati yang lapang, sehingga waktu pasangan kita berkata: Kamu 'kan memang begini ya sudah akui, memang benar ya benar. Firman Tuhan di Amsal 10:31 memberikan nasihat yang indah "Mulut orang benar mengeluarkan hikmat, tetapi lidah bercabang akan dikerat." Nah lidah bercabang artinya lidah yang tidak bisa berkata 'ia' ya 'ia', benar ya benar, salah ya salah, jadi lidah yang memang selalu berkelit nah itu Tuhan tidak suka dengan lidah seperti itu.
GS : Ya kadang-kadang pembicaraan itu pada awalnya tidak apa-apa Pak Paul, kita bisa berbicara dengan enak, tapi tiba-tiba karena suatu persoalan tertentu yang masuk dalam pembicaraan itu, pembicaraan ini menjadi memanas Pak Paul.

PG : Biasanya memang ada hal-hal yang kita dengar yang tidak kita sukai dan kita anggap ini adalah penghinaan, pemojokan, meremehkan atau penyerangan langsung kepada kita. Nah hal-hal yang kta rasakan itu yang akhirnya menciptakan perisai, perisai yang tidak lagi mau mengakui apa yang kita lakukan itu benar atau salah, pokoknya kita tangkis atau kita coba lontarkan atau lemparkan kembali serangan kita kepada pasangan kita.

Jadi akhirnya tidak ada komunikasi, tidak ada suatu komunitas, tidak ada suatu persekutuan antara kita dengan pasangan kita.
GS : Nah, Pak Paul sudah sampaikan ada 2 kendala besar yang menghambat komunikasi itu, apakah ada yang lain, Pak Paul?

PG : Yang ketiga, ini sering terjadi Pak Gunawan yaitu memotong percakapan, ini adalah salah satu hoby kita yaitu memotong percakapan. Saya kira ada beberapa alasan kenapa kita cenderung memtong percakapan orang.

Yang pertama yang paling umum adalah kita tidak sabar, karena sudah tahu arah percakapan itu. Meskipun kita sudah tahu sebaiknya kita membiarkan orang menyelesaikan perkataannya apalagi dengan pasangan sendiri. Kalau kita menginginkan terciptanya komunikasi persekutuan antara kita dengan pasangan kita, mesti ada kesediaan dari pihak kita membiarkan dia berbicara sampai selesai. Nah misalkan kita berkata sudah selesai, nah baru kita bicara atau dia sudah diam baru kita nanti menanggapi, jangan belum selesai kita langsung potong.
GS : Tapi nanti kalau kita diam saja dikira tidak merespons apa yang dia katakan Pak Paul.

PG : Maka yang penting adalah waktu pasangan kita berbicara kita memberikan wajah, mata kepada pasangan kita sehingga dia tahu kita sedang menyimak. Kalau misalkan dia berbicara terus sementra kita sibuk mengerjakan yang lain, menengok ke sana ke sini nah dia tahu apakah kita ini sedang mendengarkan dia atau tidak.

Jadi penting secara nonverbal kita menunjukkan kita bersama dia sewaktu dia sedang berbicara. Alasan lainnya adalah ini Pak Gunawan, kenapa kita memotong percakapan, yaitu kita tidak ingin dia mengatakan hal-hal yang akan disampaikannya, jadi kita sudah tahu kira-kira dia akan ke mana dan kita tidak suka. Tidak suka mungkin banyak alasan ya, kita tahu ini bisa digunakan untuk menyerang kita, nanti ujung-ujungnya kita lagi disalahkan, bermacam-macam nah akibatnya kita langsung memotong percakapan dia. Nah sekali lagi memotong percakapan orang itu mempunyai dua dampak, pertama membuat orang frustrasi, kedua ini yang paling penting orang tidak akan merasa dihargai kalau sebelum selesai berbicara dipotong-potong oleh kita. Dan tidak merasa dihargai ini menjadi bahan untuk menambah amunisi kemarahan orang.
GS : Ya kadang-kadang memang kita sebenarnya malas mendengarkan sesuatu yang tidak terkait dengan kita Pak Paul, kita ini menganggap buat apa kamu cerita ini, begitu Pak Paul?

PG : Nah kita bisa, biarkan dia selesai setelah dia menyelesaikan baru kita katakan atau bisa beritahukan apa kaitannya dengan saya. Nah dengan cara itu pasangan kita terpaksa lebih mempertaam, lebih memikirkan relevansi ucapannya itu dengan kita.

Jangan sampai dia hanya asal melempar-lempar bom kepada kita tanpa ada arahnya jadi silakan kalau memang tidak berkenaan dengan kita, kita juga boleh menyanggah, kita memang tidak harus selalu menerima yang dia katakan.
GS : Apakah ada alasan lain kenapa kita itu kadang-kadang memotong pembicaraan?

PG : Kadang kala kita sengaja memotong percakapan pasangan kita karena kita ingin merendahkannya. Dan kita tidak merasa harus mendengarkannya nah ini memang fatal, ini memang berarti kita suah tidak ada respek sama dia, waktu dia berbicara kita sengaja potong.

Kita sengaja potong karena kita memang lagi dalam misi membalas dendam misalnya begitu. Misi untuk menghancurkan dia, jadi apapun yang dia katakan kita pokoknya sudah tidak mau mendengarkan dan sengaja kita memotong supaya dia merasa terluka dan terhina. Dan ini sudah tentu hal yang memang buruk dan kalau kita memang melakukan ini saya yakin tidak akan ada hasil yang positif.
GS : Apalagi kalau itu dilakukan di depan anak atau di depan orang lain, mungkin dia akan lebih tersinggung lagi Pak?

PG : Akan lebih sangat tersinggung, sebab benar-benar dia akan merasa tidak ada harganya di hadapan kita dan ini akan menghancurkan sekali lagi persekutuan dalam rumah tangga. Komunikasi adaah sesuatu yang bertujuan mengakrabkan, dengan tindakan seperti ini kita tidak akan mengakrabkan malah akan menjauhkan diri.

GS : Alasan yang lain apa Pak Paul, kenapa kita itu memotong pembicaraan partner kita?

PG : Kita terlalu emosional, dan ingin melampiaskan emosi kita sampai puas. Jadi dia mau berbicara kita potong lagi, pokoknya marah kita sudah keluar semua, kita puas baru kita diam. Saya raa ini juga bukan hal yang produktif, bukan hal yang positif, karena sering kali saya katakan jangan perlakukan pasangan kita seperti keranjang sampah kita langsung buang sampah ke dalamnya, ke dalam diri pasangan kita nah setelah itu kita berkata nah.....saya

lega. Ya memang kita lega karena kita tidak lagi mempunyai sampah di hati kita, tapi ke mana sampah itu ya sudah kita lempar semua, kita buang ke pasangan kita. Dan orang tidak suka menjadi keranjang sampah, takutnya kalau dia bisa membalas dia akan melempar lagi keranjang sampah yang lain kepada kita atau karena dia tidak bisa membalas kita, nah sampah itu nanti dia lempar kepada anak-anak kita. Jadi akhirnya kita memperpanjang pembuangan sampah dari satu diri ke diri yang lain.
GS : Kadang-kadang memang ini Pak Paul, kita sedang sibuk-sibuknya melakukan sesuatu kemudian pasangan kita itu berbicara kepada kita.

PG : Kalau memang kita tidak bisa mendengarkan dengan baik saat itu, silakan berkata: "Boleh tidak tunda dulu, nanti setelah saya selesai ini kita berbicara," atau kita bisa langsung berkata "Boleh tidak nanti malam kita sambung lagi, anak-anak sudah tidur kita akan berbicara dengan lebih bebas."

Jadi janjikan waktu dan tepati janji itu, sebab kalau kita hanya bisa berjanji dan terus tidak ditepati akan menimbulkan kesan kepada pasangan kita memang kita sengaja menghindar. Jadi kalau sudah berjanji ya tepati. Pak Gunawan, yang kita bicarakan ini sebetulnya sangat-sangatlah sederhana, tapi justru itulah yang ingin kita sampaikan kepada para pendengar kita bahwa ternyata kita adalah orang yang tidak begitu terlatih berkomunikasi. Kita bisa saja cakap berbicara tapi belum tentu mahir berkomunikasi ya mahir untuk memainkan nada suara kita, mengontrolnya sehingga tepat bobotnya tidak berlebihan, tidak kekurangan. Kita tidak mudah meng-iakan yang memang bagian kita, kesalahan kita. Kita cenderung mau berkelit, menyangkal, nah itu adalah komunikasi yang buruk. Dan yang berikutnya adalah kita tidak terlatih untuk diam mendengarkan waktu pasangan kita berbicara, kita buru-buru memotong-motong hal-hal yang sebetulnya bisa kita kontrol. Nah hal-hal ini tadi tidak susah Pak Gunawan, kalau kita bisa lakukan sebetulnya ini sudah menambah komunikasi mungkin berapa puluh derajat dan mengurangi kemungkinan kita bertengkar berapa puluh derajat juga. Jadi hal yang sederhana tapi sebetulnya sangat-sangat penting dilakukan.
GS : Apakah nasihat firman Tuhan dalam hubungan ini Pak?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 10:8 , "Siapa bijak hati, memperhatikan perintah-perintah, tetapi siapa bodoh bicaranya akan jatuh." Jadi Tuhan menekankan sekali pada apa yang e luar dari hati kita, apa yang kita ucapkan, komunikasi kita.

Orang yang bijaksana justru bangun, orang yang bodoh tidak bijaksana dalam berkomunikasi akan jatuh. Nah jadi hendaklah kita mencamkan firman Tuhan ini dan menjadi orang yang bijaksana dalam berkomunikasi.
GS : Saya melihat komunikasi ini sebenarnya suatu keterampilan atau bahkan suatu seni yang bisa dikembangkan Pak Paul, tetapi masalahnya kita harus mau melatih diri dengan terus berkomunikasi dan kita mengharapkan partner kita, pasangan kita, bisa mengoreksi kalau kita salah.

PG : Betul, perlu kerja keras memang Pak Gunawan, kita bisa menanyakan: "Kenapa engkau marah?" nah dia harus menjelaskan "Sebab nadamu tadi begini, begini."; "Oh......nada saya begini engka tidak senang?"; "Ya, sebab rasanya engkau itu sedang menghakimi aku"; "OK! Itu bukan maksudku, aku hanya ingin mengatakan ini."

OK! Jadi perlu kesediaan untuk merendahkan diri dan berdialog.

GS : Jadi dibutuhkan kerja sama, sehingga masing-masing mempunyai keterampilan komunikasi yang baik. Dan kita percaya bahwa pembicaraan ini akan sangat menolong para pendengar kita untuk meningkatkan kemampuannya berkomunikasi khususnya dengan pasangannya itu. Terima kasih banyak Pak Paul, para pendengar sekalian yang kami kasihi kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kendala dalam Berkomunikasi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



24. Percaya Pada Tuhan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T124A (File MP3 T124A)


Abstrak:

Waktu kita berkata percaya kepada Tuhan, sebetulnya yang sedang kita lontarkan atau serukan adalah bahwa hidup ini tidak berdiri sendiri, ada Tuhan yang menciptakan dan yang mengatur alam semesta ini. Tuhan bukanlah Tuhan yang menciptakan kemudian membiarkan ciptaan-Nya hidup sendiri tanpa pengaturan-Nya dan keterlibatan-Nya.


Ringkasan:

Kita sering mengucapkan perkataan, "percaya pada Tuhan," namun sesungguhnya apa arti pernyataan ini?

  1. Kita mengakui bahwa ada Tuhan dalam hidup ini dan bahwa Dialah yang menciptakan dan mengatur alam semesta beserta kehidupannya. "Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya. Siapakah seperti Tuhan, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? ( Mazmur 24:1; 113:5-6 ) Kita bukan percaya kepada Allah yang pasif; kita percaya kepada Allah yang aktif terlibat dalam kehidupan manusia. Kita percaya bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup kita berada dalam jangkauan tangan Tuhan dan kehendak-Nya. Yusuf dijual dan dijadikan budak, akhirnya dipenjarakan akibat fitnah namun semua itu berada dalam rencana Tuhan untuk menyelamatkan Israel dari kelaparan.

  2. Kita percaya bahwa Ia melindungi kita dari bahaya. "Ia tidak takut kepada kabar celaka, hatinya tetap, penuh kepercayaan kepada Tuhan." ( Mazmur 112:7 ) Kita percaya sebesar apa pun masalah yang kita hadapi, Ia sanggup dan akan menolong dan mengeluarkan kita dari masalah itu. Daniel menolak untuk menyembah allah lain meski ia harus merisikokan nyawanya. Daud lolos dari kejaran Saul dan anaknya Absalom.

Kita tidak menggunakan cara manusia yang salah namun kita menggunakan cara Tuhan yang benar. "Aku berlaku tidak bercela di hadapan-Nya dan menjaga diri terhadap kesalahan. Karena itu Tuhan membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kesucian tanganku." ( Mazmur 18:24-25 ) Di hadapan kita kita selalu terbentang dua pilihan: cara Tuhan atau cara saya. Pilihlah cara Tuhan! Daud memperoleh kesempatan membunuh Saul namun ia menolak. Gideon bertempur hanya dengan 300 orang (dari 32,000 orang) melawan orang Midian dan Amalek.

Damai tidak bertumpu pada kondisi di sekeliling kita; damai bertumpu pada "percaya pada Tuhan." Manusia mencari damai dan manusia tidak akan menemukannya sebab damai merupakan sebuah akibat bukan penyebab. Damai lahir dari relasi dengan Tuhan yang intim. "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu..." Yohanes 14:27


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya ditemani oleh Ibu Wulan dari SAAT, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang 'Percaya Pada Tuhan', kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita berjumpa dengan seseorang dan kita tanyakan apakah dia percaya pada Tuhan itu, hampir semua jawabannya ya percaya sama Tuhan itu Pak Paul. Tetapi sebenarnya apa makna dari percaya itu sendiri Pak Paul?

PG : Sesungguhnya apakah makna pernyataan tersebut? Ada tiga yang akan kita bahas pada kesempatan ini, yang pertama adalah kita mengakui bahwa ada Tuhan dalam hidup ini, dan bahwa Dialah yang mnciptakan dan mengatur alam semesta beserta kehidupannya.

Jadi yang saya maksud adalah waktu kita berkata percaya pada Tuhan, yang pertama kita sebetulnya sedang lontarkan atau serukan adalah bahwa hidup ini tidak berdiri sendiri, ada Tuhan yang menciptakan dan yang mengatur alam semesta ini. Nah kenapa saya tekankan hal ini, sebab memang ada orang di dunia ini yang tidak mempunyai persepsi yang sama. Mereka justru beranggapan tidak ada Tuhan dalam kehidupan ini, bahwa semuanya itu terjadi melalui sebuah proses yang disebut evolusi dan manusia bebas menentukan nasibnya, pilihannya. Yang namanya pertanggungjawaban setelah meninggal dunia, tidak ada, yang namanya kehidupan setelah kita mengakhiri hidup di dunia ini pun juga tidak ada. Jadi firman Tuhan di Mazmur 24:1 berkata: "Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya." Nah waktu kita berkata kita percaya Tuhan, bukan saja kita berkata bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta isinya tapi kita juga berkata bahwa Tuhan yang mengatur kehidupan kita. Artinya ini Pak Gunawan, artinya adalah Tuhan bukanlah Tuhan yang menciptakan kemudian membiarkan ciptaan-Nya hidup sendiri tanpa pengaturan-Nya, tanpa keterlibatan-Nya. Ternyata Alkitab menceritakan bahwa Tuhan sebagai pencipta adalah Tuhan yang sangat mau terlibat di dalam kehidupan manusia. Misalkan di Mazmur 113:5-6 berkata: "Siapakah seperti Tuhan Allah kita yang diam di tempat yang tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi." Artinya meskipun Tuhan berada di tempat yang tinggi, di sorga tapi dia juga melihat ke bumi, Dia tidak saja melihat ke langit yang menandakan bahwa Dia adalah Allah yang terlibat di dalam kehidupan manusia. Nah sekali lagi ini hal yang penting sebab di dunia ada juga sebagian orang yang mempunyai pandangan yang berbeda. Mereka berkata bahwa ada Tuhan, betul namun Tuhan itu tidak terlibat di dalam kehidupan manusia, Tuhan sebagai pencipta, ya OK kami percaya tapi setelah menciptakan Tuhan membiarkan manusia dan alam ciptaan-Nya untuk hidup sendiri sesuai dengan garis yang telah ditentukan dari awal itu, tetapi Tuhan tidak terlibat sama sekali. Nah Alkitab menegaskan bahwa Tuhan terlibat di dalam kehidupan kita.
GS : Nah Pak Paul, kalau ada orang yang sebagian bisa percaya, bisa tidak lalu yang sebagian mengakui keterlibatan Tuhan yang satu tidak, itu kenapa Pak Paul kok bisa begitu?

PG : Salah satu yang memang berpengaruh besar sekali terhadap pandangan-pandangan ini ialah ilmu pengetahuan. Sebab mulai dari teori Darwin yang dicetuskan oleh Charles Darwin, manusia mulailahmeragukan bahwa sebetulnya alam semesta ini mungkin sekali tidak diciptakan oleh Tuhan.

Nah sebetulnya sebelum Darwin, hal-hal seperti ini mulai diangkat, mulai mencuat pada zaman yang disebut zaman pencerahan. Nah di zaman itulah orang-orang di Eropa mulai mempertanyakan iman Kristiani yang dipeluknya apakah memang seperti yang dikatakan oleh Alkitab. Nah pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul secara kritis ini, tentang kebenaran firman Tuhan, tentang kebenaran Kristiani akhirnya dibawa dan benar-benar menjadi sangat besar mencapai puncaknya pada waktu Darwin mengeluarkan bukunya yang sangat terkenal itu "The Original Species" dan dari situlah makin banyak orang yang berpandangan bahwa ya....ya...mungkin sekali dunia ini dengan isinya tidak diciptakan oleh Tuhan misalkan itu. Tentang pandangan yang satunya yang tadi Pak Gunawan juga angkat yaitu orang yang percaya ada Tuhan sebagai pencipta tapi Tuhan membiarkan manusia berjalan sendiri. Nah ini sebetulnya pandangan yang disebut a-gnostik. Kenapa orang bisa berpikiran begitu, sebab mereka sekali lagi sebagian sangat-sangat rasional, mungkin sangat scientific dan mereka mengharapkan bukti yang lebih nyata akan keberadaan Tuhan. Atau ada orang yang sangat skeptik, karena melihat Tuhan tidak bekerja dengan cara kasat mata, tidak bisa disaksikan, kok hidup seperti ini, mungkin sekali ada Tuhan tapi ternyata Tuhan tidak terlibat makanya terjadi ketidakadilan, kelaparan dan apa sebagainya dalam hidup ini. Nah dari hal-hal itulah muncul pandangan-pandangan yang berbeda.

Yusuf sebagai seorang remaja dijual, dan karena dijual dia akhirnya ditempatkan sebagai seorang budak, sudah bekerja baik-baik sebagai seorang budak kemudian Yusuf difitnah oleh istri Potifar majikannya dan kemudian dia dipenjarakan. Dan sebagai seorang anak yang biasa hidup di dalam kehangatan kasih ayahnya, tiba-tiba dia terlempar masuk ke sebuah tempat yang sangat asing di Mesir. Dan itu berlangsung bukan seminggu, bukan setahun itu berlangsung bertahun-tahun. Itu sebabnya waktu saudara-saudara Yusuf bertemu dengan Yusuf lagi mereka tidak mengenali Yusuf. Karena sudah sangat lama sekali. Berarti memang ada rentang waktu yang panjang, sebab kalau hanya mungkin 4, 5 tahun sampai mungkin 10 tahun kita masih bisa mengenali orang. Kemungkinan berbelasan atau mungkin berpuluhan tahun barulah kita bisa melupakan wajah seseorang karena tidak mengenalinya lagi. Jadi itu yang mungkin terjadi juga dengan Yusuf, apa yang berkecamuk dalam diri Yusuf, terus terang memang tidak kita ketahui Alkitab tidak mencatatnya. Tapi yang pasti adalah Yusuf ternyata tidak meninggalkan imannya, dia tetap percaya bahwa ada Tuhan yang terlibat di dalam kehidupan manusia. Buktinya apa? Buktinya adalah waktu dia diminta untuk menjelaskan mimpi Firaun, dia tetap bersandar kepada Tuhan jadi dia tidak mengeluarkan Tuhan dari kehidupannya. Dan dia tidak mengeluarkan Tuhan dari kehidupan manusia. Dia mempunyai seribu satu alasan untuk mengatakan Tuhan tidak ada atau mengatakan Tuhan ada tetapi Tuhan tidak terlibat dalam kehidupan manusia. Ternyata dia tidak melakukan keduanya, dia tetap percaya ada Tuhan dan dia tetap percaya Tuhan mengatur hidupnya, maka waktu dia diminta untuk menerjemahkan mimpi dia lari kepada Tuhan, meminta pertolongan Tuhan dan kita tahu sekali waktu ayahnya Yakub meninggal dunia, saudara-saudaranya datang kepada dia, memohon maaf dan sebagainya, Yusuf kembali lagi menegaskan bahwa engkau memang bermaksud jahat dengan cara menjual aku dan sebagainya, tapi Tuhan bermaksud baik. Jadi dari pernyataan Yusuf itu kita bisa simpulkan lagi, Yusuf adalah Yusuf yang sama, dia adalah Yusuf yang tetap percaya Allah terlibat dalam kehidupannya. Nah saya hanya bisa menyimpulkan dari bukti-bukti itu, namun memang saya kira itulah yang terjadi dia tetap bisa berpegang pada keyakinannya itu. Kalau Ibu Wulan bertanya kok bisa sampai dia begitu kuat tetap berpegang pada pernyataannya, kenapa bisa begitu? Pada akhirnya memang saya kira ini bergantung pada kita, apakah kita mau menyandarkan diri, percaya Tuhan terlibat dan Tuhan masih peduli ataukah memang kita akhirnya putus asa dan berkata Tuhan tidak lagi peduli, memang saya kira akhirnya terpulang pada keputusan kita masing-masing.

GS : Ya memang banyak, ada beberapa orang yang saya tahu itu yang sejak kecilnya memang sudah dipersiapkan untuk percaya, artinya diikutkan ke sekolah minggu, ke kebaktian remaja. Tetapi pada waktu dia sudah dewasa Pak Paul, karena mengalami banyak sekali kesulitan hidup akhirnya dia tidak lagi percaya kepada Tuhan, dia meninggalkan imannya, nah apa sebenarnya yang terjadi di dalam diri orang itu?

PG : Saya kira banyak orang meninggalkan imannya karena kekecewaan yang sangat dalam. Lebih mudah buat kita berkata: Ya kalaupun ada Tuhan memang Tuhan tidak terlibat dalam kehidupan manusia, mngkin kita lebih bisa menerima kemalangan yang kita terima.

Kalau kita percaya Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia terus kita harus mengalami kemalangan, tidak bisa tidak kita langsung bertanya dimanakah Tuhan, sewaktu saya mengalami kemalangan itu? Nah kalau kita tidak bisa menemukan jawabannya, saya takut pada akhirnya kita akan tergoda untuk berkata ternyata kalaupun ada Tuhan, Dia tidak terlibat dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya dia membiarkan saya mengalami musibah seperti itu. Jadi perlu iman memang tidak bisa kita melihatnya secara kasat mata, kita tidak menemukan jawabannya yang konkret tapi dalam iman kita berkata Tuhan tetap terlibat, meskipun ini terjadi Tuhan tetap terlibat. Nah kenapa Dia yang terlibat membiarkan ini terjadi? Ini jawaban yang tidak kita miliki dan mungkin hanya akan kita temukan setelah kita bertemu dengan Tuhan nanti.
GS : Ya, bukan cuma tidak terlibat, bahkan ada yang mengatakan Tuhan itu begitu kejamnya membiarkan saya harus mengalami ini semua, buat apa saya mesti percaya kepada Tuhan yang seperti itu.

PG : Saya kira itu reaksi yang alamiah dan mudah sekali ke luar dari hati yang perih dan sakit karena kemalangan yang baru dideritanya. Akhirnya mulut kita berkata: "Tuhan, Engkau kok keja ya," sebab kita berpikir kita sendiri tidak tega mengapakah Tuhan tega membiarkan itu terjadi.

GS : Seolah-olah apa yang sudah diberikan oleh ibunya atau orang tuanya itu tidak berbekas sama sekali Pak Paul.

PG : Ya kadang itu yang terjadi, sehingga kita melihat anak ini yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, dari kecil ke gereja, sekolah minggu dan sebagainya sekarang tiba-tiba hidup di luar Tuha, sama sekali tidak lagi mengingat bahwa dia pernah menjadi seorang Kristen.

GS : Pengertian percaya yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah bahwa Dia melindungi kita dari bahaya, jadi waktu kita berkata percaya pada Tuhan, sebetulnya arti dari kata-kata itu juga adalah bahwa Tuhan melindungi kita. Firman Tuhandi Mazmur 112:7 berkata : "Ia tidak takut kepada kabar celaka, hatinya tetap penuh kepercayaan kepada Tuhan."

Nah kenapa pemazmur bisa berkata bahwa orang ini hatinya tetap, meskipun ada kabar celaka dia tidak takut. Karena dia penuh kepercayaan pada Tuhan. Jadi pernyataan percaya pada Tuhan juga mengandung makna sebetulnya kita tahu Tuhan melindungi kita. Kita percaya sebesar apapun masalah yang kita hadapi, Dia akan sanggup menolong dan mengeluarkan kita dari masalah itu. Kira-kira itu arti umumnya Pak Gunawan.
WL : Maaf ini Pak Paul, saya kurang mengerti dengan penjelasan bagian kedua waktu Pak Paul katakan makna percaya pada Tuhan itu berarti juga percaya bahwa Dia melindungi kita dari bahaya. Dalam realita kehidupan sehari-hari kita juga tahu bahwa banyak sekali bukan sedikit, anak-anak Tuhan yang mengalami kecelakaan atau hal-hal yang semirip itu, rasanya tidak sinkron dengan penjelasan Pak Paul. Apakah Pak Paul, bisa memberikan penjelasan lebih lanjut?

PG : Yang saya maksud adalah begini, Alkitab penuh dengan ayat-ayat yang mengatakan Tuhan melindungi kita dan secara umum atau kita bisa berkata pada umumnya Tuhan melindungi anak-anak-Nya. Buknkah kalau kita tidak dilindungi Tuhan seharusnyalah kita ini telah mendapatkan kecelakaan atau bencana yang jauh lebih banyak.

Bukankah kita sendiri bisa berkata bahwa: "Aduh....hampir saja! Aduh hampir saja...!" Hampir saja apa? Hampir saja terjadi bencana tapi kita lolos. Jadi banyak kali sebetulnya Tuhan meloloskan kita dari bencana, nah jadi apa yang terjadi tatkala kita terkena bencana tidak bisa tidak kita harus berkata memang itulah bencana yang Tuhan izinkan terjadi pada hidup kita, memang itulah yang Tuhan tetapkan untuk kita. Nah saya memberikan contoh ini dari Alkitab yaitu Daniel, Daniel harus dibuang ke goa singa karena Daniel menolak untuk menyembah illah yang lain. Nah Tuhan melindungi Daniel dari goa singa, Tuhan melindungi juga rekan-rekan Daniel waktu dibuang ke dapur api, tapi (nah ini tapinya) Tuhan membiarkan rasul Yakobus mati di tangan Herodes. Tuhan membiarkan Stefanus juga mati dirajam, dan pada akhirnya kita tahu 11 dari 12 rasul Tuhan mati secara mengenaskan karena iman mereka kepada Yesus. Jadi apa yang bisa kita simpulkan, waktu kita berkata Tuhan melindungi kita itu benar-benar berarti bahwa 99,9% Tuhan melindungi kita dari mara bahaya yang seharusnya menimpa kita. Kalau yang 0,01% itu terjadi, itulah memang yang Tuhan izinkan terjadi karena memang Tuhan tetapkan itu yang harus terjadi pada diri kita. Nah jadi sekarang pertanyaannya untuk kita adalah iman yang manakah yang akan kita peluk? Iman yang berkata Tuhan tidak melindungi kita atau iman yang berkata Tuhan melindungi kita. Kita mau mendasari iman kita pada yang 0.01% ataukah pada yang 99.9%, saya kira yang lebih masuk akal adalah kita mendasari iman kita pada yang 99.9% itu. Bahwa pada umumnya Tuhan melindungi kita, hanya yang 0.01% itulah Tuhan mengizinkan bahaya atau bencana menimpa kita.
GS : Di dalam bahaya itu pun kita masih bisa melihat bahwa ada sisi baiknya Pak Paul, orang bilang ini dia tidak perlu lama-lama mengalami tekanan politik atau tekanan penderitaan dsb, Tuhan mengambil dia karena Tuhan mengasihi dia itu. Orang masih bisa melihat sisi itu Pak Paul.

PG : Betul, jadi saya berikan satu contoh Pak Gunawan supaya lebih jelas. Saya pribadi pernah mengalami dua kejadian yang hampir merenggut nyawa saya. Pertama adalah waktu saya mendaki gunung Slak.

Belum lama ini saya membaca tentang kematian orang di gunung Salak. Salah satunya adalah dituliskan karena tersesat di hutan di sana. Saya pernah tersesat di gunung Salak, tapi pada tengah malam itu akhirnya bisa bertemu dengan teman-teman yang masih di lereng mereka mencari kami, jadi saya tidak jadi mati. Saya ingin sekali tidur karena saya terlalu capek, teman saya yang masih kuat berkata: Jangan tidur! Kamu tidur kamu bisa mati, saya akhirnya paksakan diri tidak jadi tidur, saya ikut teman-teman terus jalan. Kedua kali saya pernah berenang di danau dan hampir tenggelam karena kram. Kenapa Tuhan menyelamatkan saya karena memang Tuhan pada umumnya melindungi anak-anak-Nya. Namun akan ada waktu mungkin di mana Tuhan mengizinkan bencana itu datang pada saya dan waktu datang memang kita harus terima itu sebagai porsi kita. Tapi itu tidak berarti Tuhan tidak melindungi kita.
WL : Pak Paul, waktu mendengar seperti itu bisa saja misalnya saya sebagai orang yang mengalami yang sebaliknya dari yang Pak Paul alami. Kalau tadi Pak Paul memberikan contoh konkret yang Pak Paul pernah alami sungguh-sungguh mengalami perlindungan dari Tuhan secara nyata. Misalnya saya mengalami justru kebalikannya, Tuhan izinkan hal yang "buruk" saya alami. Nah pada saat itu rasanya mungkin saya akan berkata wah.... kenapa seperti itu, nampaknya tidak adil, nampaknya Tuhan lebih sayang pada Pak Paul daripada saya, kasarnya seperti itu. Bagaimana mengimani Tuhan saat-saat seperti itu?

PG : Saya kira kita bisa memisahkan dua hal ini, mengimani dan berkata sakit. Kita tetap bisa mengimani bahwa Tuhan melindungi kita tapi pada saat yang sama kita bisa berkata: "Tuhan, pukuan ini terlalu menyakitkan."

Maka Ayub sewaktu dia mengalami musibah yang sangat besar, yang dia katakan sangat jelas, "Yang kutakuti telah menimpaku." Rupanya yang dia takuti adalah bencana seperti yang dialami itu yaitu semua anaknya meninggal dunia, semua hartanya habis dan semua kesehatannya habis, dan yang dia katakan seperti itu. Jadi pukulan yang sangat menyakitkan tetap menyakitkan dan tetap bisa berkata "Tuhan tetap terlibat dan Engkau melindungi pada saat-saat yang lain, saat ini Engkau tidak melindungi dan saya tidak mengerti, kenapa. Tapi pada saat-saat yang lain Engkau tetap melindungi."
GS : Wujud percaya yang lain itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Percaya pada Tuhan juga berarti bahwa kita tidak menggunakan cara manusia yang salah, namun kita menggunakan cara Tuhan yang benar. Jadi artinya waktu kita berkata percaya pada Tuhan artina adalah kita tidak memakai cara kita, kita mau memakai cara Tuhan.

Firman Tuhan di Mazmur 18:24,25 berkata: "Aku berlaku tidak bercela di hadapan-Nya, dan menjaga diri terhadap kesalahan. Karena itu Tuhan membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kesucian tanganku." Di hadapan kita selalu terbentang dua pilihan, cara Tuhan atau cara saya. Nah saya berikan contoh yang sangat riil yaitu Daud dikejar-kejar oleh Saul. Dan pada satu kesempatan dia bisa membunuh Saul, sebetulnya terjadi dua kali tapi kedua kalinya dia menolak membunuh Saul. Dan sangat jelas dia katakan: "Bagaimanakah saya membunuh orang yang Tuhan urapi." Dia tahu kalau tidak boleh, dia tahu tahta yang Tuhan janjikan akan Tuhan berikan dengan cara Tuhan bukan dengan cara dia membunuh Saul, meskipun dia bisa membela diri dan berkata: "Saya ini dikejar-kejar mau dibunuh, sekarang saya mau bunuh saja Saul." Dia mempunyai alasan yang sangat kuat dan rakyat tidak akan menyalahkan dia, namun Daud menolak untuk membunuh Saul, dia meminta agar Tuhanlah yang menurunkan Saul bukan dia. Jadi waktu kita berkata percaya pada Tuhan, artinya yang seharusnya kita lakukan adalah kita tidak lagi menggunakan cara manusia tapi kita mau bersandar dan menantikan cara Tuhan.
GS : Apakah dengan cara manusia yang manusia pada umumnya lakukan itu, Pak Paul?

PG : Maksudnya adalah cara yang salah, cara yang berdosa. Cara yang manusia pada umumnya lakukan belum tentu berdosa tapi ini yang berdosa.

GS : Pernah ada itu Gideon Pak Paul, di Perjanjian Lama yang berperang dengan jumlah tentaranya yang sedikit, kalau dipikir secara akal bukankah itu tidak masuk akal, Pak Paul?

PG : Gideon membawa 32.000 orang untuk berperang melawan bangsa Midian dan Amalek, tapi Tuhan meminta dia hanya memisahkan 300 orang. Nah kalau dia membawa 32.000 orang kita bisa bayangkan banga Midian dan Amalek itu jumlahnya puluhan ribu orang juga, makanya dia membawa pasukan yang jumlahnya kira-kira setara.

Sekarang hanya 300 melawan puluhan ribu tentara dan Tuhan memberikan kemenangan. Jadi Tuhan meminta kita memakai cara dia.
GS : Nah seorang yang percaya itu cirinya seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya kira damai Pak Gunawan, orang yang percaya pada Tuhan, yang tahu Tuhan melindungi, yang tahu Tuhan terlibat dan mengatur segalanya, yang tahu bahwa Tuhan itu memang mempunyai cara yan ajaib dia akan tenang, dia akan damai.

Nah ini yang penting Pak Gunawan, karena banyak orang mencari-cari damai, seolah-olah damai itu sesuatu yang bisa ditemukan. Damai adalah hasil dari relasi yang intim dengan Tuhan, jadi damai bukan sesuatu yang berdiri sendiri, yang kita bisa raih. Damai itu adalah hasil dari hubungan kita dengan Tuhan, hubungan yang akrab dan intim yang penuh dengan keyakinan dan percaya. Nah ini perkataan Tuhan Yesus sendiri, "damai sejahtera Kutinggalkan bagimu, damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu," jadi Tuhan yang memberikan damai, kita tidak bisa mencarinya di mana-mana.
GS : Pak Paul, sekalipun kita mempunyai damai, kalau kita tinggal di lingkungan orang-orang yang tidak damai, apakah damai kita itu terpengaruh?

PG : Seharusnya tidak, jadi apapun situasi eksternal yang mengelilingi kita, kalau kita tahu Tuhan beserta kita, Dia mengatur segalanya yang terjadi yang memang Tuhan izinkan dan Dia melindungikita dan bahwa cara-Nyalah cara yang paling ajaib, sebetulnya kita tetap bisa damai.

WL : Pak Paul, bagaimana membedakan antara damai yang sesungguhnya dengan pasrah, seperti dunia sering kali katakan: "sudah, pasrahlah memang mungkin guratan nasibmu seperti ini".

PG : Saya kira bedanya adalah kalau pasrah seperti itu kita mengasumsikan Tuhan pasif. Tapi yang saya maksud di sini adalah Tuhan aktif ya, Tuhan tetap terlibat, Tuhan tetap bekerja meskipun kia tidak melihat hasil yang kita inginkan, Dia tetap bekerja.

WL : Dan Tuhan itu sendiri yang mendatangkan damai dalam hati kita?

PG : Betul, Tuhan itulah yang memberikan damai.

GS : Terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan, suatu perbincangan yang menarik saya percaya sekali semua orang mendambakan damai pada saat ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Percaya Pada Tuhan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) JL. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



25. Jawaban Doa


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T124B (File MP3 T124B)


Abstrak:

Allah tidak pernah terlambat, Dia juga tidak pernah terlalu dini dalam menjawab doa, Tuhan menjawab doa selalu tepat waktu. Meminta melalui doa melatih penguatan otot iman kita dan memperdalam keintiman kita dengan Tuhan.


Ringkasan:

Ada orang yang berkata bahwa Tuhan selalu menjawab doa dan jawaban-Nya ialah, ya, tidak, dan tunggu. Pertanyaannya adalah, mengapa Tuhan tidak menjawab doa secepat dan setepat yang kita mohonkan.

  1. Pada umumnya Tuhan memberikan kepada kita sesuai dengan permintaan kita. Sebagai Bapa yang mengasihi anak-anak-Nya, ia ingin menyenangkan hati kita. "Adakah seorang daripadamu yang memberi batu kepada anaknya jika ia meminta roti atau memberi ular jika ia meminta ikan? Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga. Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." ( Matius 7:9-11 ) Tuhan menyembuhkan orang yang sakit dan Tuhan melepaskan Israel dari musuhnya.

  2. Adakalanya kita tidak menerima yang kita mohonkan karena ada rencana Allah yang lain yang sedang bekerja di sini. "Adapun Allah jalan-Nya sempurna." ( Mazmur 18:31 ) Kesempurnaan jalan Allah tidak sama dengan kesempurnaan dalam pemikiran kita. Kesempurnaan Allah mengikutsertakan hal-hal yang tidak sempurna, seperti penderitaan dan kegagalan. Kesempurnaan jalan Allah mempunyai satu tujuan jelas yakni rencana-Nya terjadi dan kita tidak selalu bisa mengetahui rencana-Nya. Stefanus dan Yakobus mati dibunuh; Injil makin disebarluaskan.

  3. Kadang Allah tidak memberikan sesuai permintaan kita karena kita tidak tahu bahaya yang terkandung dalam permintaan itu. "...kamu tidak menerima apa-apa karena kamu salah berdoa sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." ( Yakobus 4:3 ) Misalkan, banyak orang jatuh ke dalam dosa setelah menjadi kaya.

  4. Allah tidak pernah terlambat namun tidak pernah terlalu dini. Kepada Musa Tuhan berkata, "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir dan Aku telah mendengar seruan mereka..." ( Keluaran 3:7 ) Tuhan mempersiapkan Musa selama 40 tahun dan membuat Israel menunggu 40 tahun sebelum masuk ke Kanaan.

Pertanyaan selanjutnya ialah, jika waktu adalah waktu Tuhan, kehendak adalah kehendak Tuhan, mengapa meminta kepada-Nya? Karena meminta melatih penguatan:

  1. otot iman dan
  2. keintiman. Iman dan keintiman adalah dua hal yang menguatkan relasi dengan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya ditemani oleh Ibu Wulan, S.Th dari SAAT, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi yang adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Jawaban Doa", kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sebenarnya setiap kali kita berdoa ada pertanyaan besar, siapa yang mendengarkan, kita tahu Tuhan, tetapi bagaimana Tuhan mendengarkan. Lalu bagaimana kelanjutannya dari doa ini. Ada banyak aspek sebenarnya yang kita masih mau pertanyakan atau perbincangkan tentang doa ini, Pak Paul mungkin bisa menjelaskan sedikit?

PG : Ada orang yang berkata bahwa Tuhan selalu menjawab doa, dan jawabannya itu bisa YA, bisa TIDAK atau bisa TUNGGU. Nah itu adalah salah satu cara yang mudah untuk memahami tentang jawaban-jaaban doa.

Namun saya kira ada baiknya pada kesempatan ini kita dengan lebih teliti mengangkat masalah doa dan jawabannya. Ada beberapa hal yang bisa kita lihat, yang pertama adalah bahwa pada umumnya Tuhan memberikan kepada kita sesuai dengan doa kita. Mungkin orang bertanya apa alasannya atau apa dasarnya saya berkata begitu? Kita harus ingat bahwa Tuhan adalah bapak kita, Dia sudah mengadopsi kita menjadi anak-anak-Nya. Kita sebagai ayah atau sebagai ibu ingin memberikan kepada anak-anak, sebab kita tahu dengan kita memberi sesuatu kepada mereka, mereka senang. Jadi jangan sampai kita mempunyai konsep bahwa Tuhan itu senang sekali kalau kita tidak mendapatkan yang kita minta, terbalik. Sebagai bapak Dia justru senang kalau kita mendapatkan yang kita minta itu. Maka firman Tuhan berkata: "Adakah seseorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya jika ia meminta roti atau memberi ular jika ia meminta ikan. Jadi jika kamu yang jahat, tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu apalagi Bapamu yang di sorga, Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Ini dicatat di Matius 7:9-11 . Nah intinya adalah sekali lagi waktu kita berdoa pada umumnya, prinsip umumnya Tuhan menjawab dengan YA. Waktu kita sakit, kita berdoa, Tuhan menjawab doa kita memberikan kita kesembuhan. Mungkin ada di antara pendengar yang langsung berkata: "Bukannya obat yang menyembuhkan kita, sebab kita makan obat." Kalau memang obat yang menyembuhkan kita, seharusnya obat bisa menyembuhkan. Tapi kenyataannya adalah ada orang yang sudah memakan obat dan penyakitnya relatif dianggap sama saja, tapi ternyata tetap meninggal dunia. Selalu ada hal-hal yang di luar jangkauan pengobatan, itu menAndakan memang obat tidak selalu menyembuhkan kita, kalau menyembuhkan kita memang Tuhan mengizinkan obat itu dipakai Tuhan untuk menyembuhkan kita.
GS : Ya, tapi sebaliknya juga ada orang yang menganggap tanpa obat pun orang bisa disembuhkan oleh Tuhan, Pak Paul.

PG : Dan kadang kala memang itu yang terjadi, jadi ada kasus-kasus di mana orang-orang meminta Tuhan menyembuhkan secara supernatural dan Tuhan melakukannya pula.

GS : Pak Paul, kalau jawaban Tuhan itu memenuhi sesuai dengan yang kita minta, itu bisa kita terima dengan gampang, Pak Paul. Tadi yang kita minta sakit disembuhkan dan Tuhan menyembuhkan kita dsb. Tetapi yang tadi Pak Paul katakan kalau Tuhan bilang TUNGGU, dan Tuhan bilang TIDAK, nah orang itu tahunya dari mana Pak Paul?

PG : Sudah tentu tahunya dari tidak mendapatkan yang kita minta itu.

GS : Tapi bukankah bisa menunggu Pak Paul, lain kali mungkin dapat?

PG : Betul, dan bisa jadi kita harus menunggu untuk waktu yang sangat panjang. Jadi ini penjelasannya, adakalanya kita tidak menerima yang kita mohonkan karena ada rencana Allah yang lain yang edang bekerja di sini.

Nah firman Tuhan di Mazmur 18:31 berkata: Adapun Allah, jalan-Nya sempurna; Nah di sini kita harus berhati-hati mendefinisikan kata sempurna. Sering kali kita beranggapan sempurna artinya itu lancar, sempurna artinya itu benar-benar mulus seperti yang sudah kita bayangkan. Di dalam pengertian Tuhan, sempurna ini berarti mengikutsertakan hal-hal yang tidak sempurna. Jadi saya ulang lagi, kesempurnaan Allah mengikutsertakan hal-hal yang tidak sempurna seperti misalnya penderitaan dan kegagalan. Kenapa demikian? Sebab kesempurnaan jalan Allah mempunyai satu tujuan yang jelas yakni rencana-Nya terjadi, meskipun kita tidak selalu bisa mengetahui rencana-Nya. Sebagai contoh Pak Gunawan dan Ibu Wulan, Stefanus mati dirajam, Yakobus mati dibunuh oleh Herodes. Kapankah mereka mati? Pada awal pelanggaran mereka, bukan pada akhir, bukan pada waktu mereka berusia lanjut, pada masa itulah terjadi penganiayaan terhadap orang-orang Kristen di Yerusalem. Tapi karena penganiayaan itulah akhirnya para murid Tuhan pergi ke luar dari Yerusalem membawa Injil ke tempat yang lainnya, dengan kata lain gara-gara ada penganiayaan itulah Injil makin disebarluaskan. Nah kita tidak bisa mengerti kenapa Yakobus mati dan kenapa Stefanus mati, namun waktu kita melihat gambar yang lebih besar, kita mengerti juga bahwa setelah kematian mereka Injil disebarluaskan, tidak saja di Yerusalem tapi di tempat-tempat yang lain. Nah jadi kita mau belajar di sini bahwa adakalanya kita memang tidak menerima karena ada rencana Allah yang lain yang sedang bekerja di sini.
WL : Pak Paul, kalau penjelasan tentang tokoh-tokoh Alkitab tadi mungkin banyak di antara kita yang lumayan sudah mengerti. Tapi dalam realita sehari-hari, saya sering kali mendengar pengajaran-pengajaran yang mengatakan seperti ini, kalau kita tidak mendapatkan apa yang kita minta dari Tuhan bahkan misalnya perusahaannya bangkrut atau apa, itu sering kali dikaitkan dengan dosa begitu. Jarang mereka melihat bahwa mungkin seperti yang Pak Paul katakan ada maksud Tuhan yang lain tapi sering kali secara "kejam" orang itu dituding kamu sedang ada dosa apa, ayo kamu harus akui dan sebagainya, bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira itu karena kesalahpahaman mengerti konsep kesempurnaan Tuhan. Jadi kesempurnaan Tuhan itu diidentikkan dengan kesempurnaan di mata kita manusia. Misalkan orang tua bertahun-tahunberdoa menantikan lahirnya seorang anak, akhirnya si anak lahir, tapi cacat.

Nah mudah sekali orang berkata: "Nah, itulah hukuman dosa kamu, kamu pernah berdosa yang tersembunyi yang tidak kami ketahui, akhirnya dosa itulah sekarang menimpa anakmu." Nah itu muncul karena kita mengaitkan cacat dengan ketidaksempurnaan. Tapi waktu kita menengadah dan melihat cara Tuhan bekerja kita harus memahami bahwa di dalam Tuhan bekerja, Tuhan menggunakan yang tidak sempurna. Jadi yang namanya kesempurnaan dalam Tuhan itu benar-benar mengikutsertakan ketidaksempurnaan yang kita lihat dalam hidup kita sehari-hari. Baik itu kegagalan, baik itu penderitaan, tapi ternyata ujungnya adalah untuk kesempurnaan yaitu kesempurnaan rencana Tuhan.
WL : Bahkan kalau boleh dikatakan, Tuhan "sengaja" Pak Paul. Seperti saya pernah renungkan itu kasusnya Lazarus yang hampir meninggal waktu itu, terus Tuhan jauh-jauh sudah diberi tahu padahal semua orang juga tahu Tuhan mengasihi Lazarus dan keluarga Maria dan Martha itu. Tapi di situ di Alkitab disebutkan Tuhan sengaja menunda kepergiannya ke sana, nah orang-orang di situ tidak memahami hal itu. Orang mengertinya kenapa Tuhan berlaku seperti itu, padahal dibalik itu ada maksud Tuhan ya Pak Paul.

PG : Betul, dan sangat berbeda sekali, kalau Tuhan buru-buru datang ke Lazarus dan menyembuhkannya dari penyakitnya dengan Tuhan membangkitkan Lazarus yang sudah mati berhari-hari, itu benar-bear dua peristiwa yang sangat berbeda dalam skalanya.

Nah makanya sebelum Dia bangkitkan, Dia juga meminta agar Tuhan menyatakan kemulian-Nya. Waktu Yesus memanggil Lazarus, orang tidak bisa tidak melihat kemuliaan Tuhan yang luar biasa, karena orang yang sudah mati tiba-tiba sekarang berjalan ke luar. Tapi sekali lagi seperti Ibu Wulan tadi katakan, pada saat itu waktu Tuhan tidak datang, tidak ada yang mengerti bahkan Martha pun menangis mengatakan nanti kita akan bertemu lagi di sorga. Jadi memang kita selalu harus menyadari bahwa kita tidak mengerti semua, rencana Tuhan itu terlalu luas dan kadang-kadang memang tersembunyi dari mata kita, makanya kita tidak bisa melihat. Dan kita juga harus menyadari bahwa memang Tuhan menggunakan yang tidak sempurna itu sebagai jalan kesempurnaanNya.
WL : Reaksi kita wajar atau tidak Pak Paul, kalau kita kecewa atau sejenis itu?

PG : Sekali lagi waktu kita harus bertatapan dengan yang tidak sempurna, yang tidak sempurna itu akan memukul kita. Misalkan satu contoh, sepasang suami-istri bertahun-tahun berdoa memohon Tuha mengaruniakan anak, akhirnya anak lahir tapi cacat, apakah mereka tidak akan kecewa? Pasti kecewa berat, namun setelah berkata saya sakit, saya terluka, saya kecewa, tetap kita bisa berkata bahwa ini adalah bagian rencana Tuhan.

Menggunakan yang tidak sempurna ini untuk yang sempurna, yang sekarang kita memang belum bisa melihat apa itu.
GS : Itu memang sulitnya buat kita mempunyai pAndangan yang seperti itu Pak Paul, kalau hanya sekadar menirukan orang lain berbicara seperti itu ya bisa-bisa saja. Tetapi di dalam hal ini kita bukan sekadar meniru, kita mengalami masalah itu. Jadi bagaimana supaya kita itu mempunyai pAndangan yang jauh seperti itu bahwa yang tidak sempurna ini di dalam Tuhan itu menjadi sempurna?

PG : Bagaimanakah supaya kita itu mempunyai pAndangan yang seperti itu? Saya pikir dengan jatuh bangun Pak Gunawan. (GS: Belajar, belajar terus) Betul, kita terpukul, kita tertusuk, kita kecewa kita menangis, kita mungkin marah kepada Tuhan, tapi melalui semua itulah kita terus berkata lagi: "Tapi Tuhan, tapi Tuhan saya tetap mau percaya bahwa ada rencana-Mu yang sempurna.

Meskipun sekarang ini Engkau menggunakan yang tidak sempurna." Kenapa para murid lari sewaktu Tuhan ditangkap? Mereka kecewa berat, mereka berpikir: "Ini Mesias yang akan membawa kelepasan, kemerdekaan bagi bangsa Israel kenapa sekarang ditangkap, apalagi waktu mereka melihat Tuhan tergantung di kayu salib, mereka berpikir sudahlah pupus semuanya harapan-harapan kami akan menjadi pengikut raja yang berkuasa ini, kok akhirnya mati sekarang. Itu sebabnya mereka lari menyembunyikan diri. Nah apa yang terjadi? Tuhan memakai yang tidak sempurna, yaitu Tuhan memakai kelemahan, Tuhan memakai penangkapan, Tuhan memakai ketidakadilan dalam peradilan yang mengambil Tuhan Yesus, Tuhan memakai kekejaman manusia untuk membunuh orang dengan cara yang paling sadis yaitu dengan kayu salib. Semua yang terjadi adalah hal-hal yang tidak sempurna, mati pada usia 33 tahun dengan cara yang begitu mengenaskan hal yang tidak sempurna. Tapi Tuhan gunakan yang tidak sempurna untuk sesuatu yang sangat sempurna yaitu penebusan umat manusia yang tidak mungkin diketahui oleh manusia saat itu.
GS : Pak Paul, kalau tadi Pak Paul mengkaitkan kita dengan Tuhan sebagai anak dan bapak, kadang-kadang permintaan kita itu di luar yang kita tahu. Menurut kita itu baik dan saya sangat butuh itu tapi ternyata Tuhan juga tidak berikan.

PG : Nah ini membawa kita ke butir berikutnya Pak Gunawan dan Ibu Wulan, yaitu dalam kita menantikan jawaban doa, kadang Tuhan tidak memberikan sesuai dengan permintaan kita karena kita tidak thu bahaya yang terkandung dalam permintaan itu.

Sewaktu saya kecil, saya ingat sekali nenek saya sering memberikan atau menceritakan dongeng, biasanya dongeng-dongeng dari negeri Tiongkok. Saya ingat dia pernah menceritakan sebuah dongeng tentang seorang yang miskin tapi dia mempunyai burung yang besar. Dia selalu bermimpi dia bisa menjadi seorang yang kaya. Nah akhirnya pada suatu kali si burung berkata : "Tuan, di matahari banyak harta, mau tidak ke sana?" Si tuannya senang sekali bilang mau. "Tapi janji satu hal", "Apa?" : kata tuannya. "Sebelum matahari terbit kita harus buru-buru pergi karena kalau tidak kita bisa terbakar, hangus." "Janji" OK! Si burung menerbangkan si tuan itu ke matahari, wah..... si tuan tamak luar biasa, harta itu diambil semuanya. Matahari makin hari makin kuat mau terbit, si burung berteriak-teriak meminta agar si tuan itu buru-buru pergi, si tuannya lupa daratan, akhirnya si burung meninggalkan si tuan di matahari dan si tuan mati terbakar di matahari. Dongeng yang mempunyai pelajaran atau tamsil yang sangat indah sekali yaitu si orang ini berpikir dengan harta dia akan lebih baik, ternyata dengan harta dia menjadi orang yang tidak lebih baik, menjadi orang yang sangat-sangat tamak. Jadi kadang kala Tuhan tahu ada hal yang memang tidak baik untuk kita, dan kalau kita miliki itu akan sangat berbahaya untuk kita. Maka firman Tuhan di Yakobus 4:3 berkata: "Kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." Jadi Tuhan kadang kala karena begitu mencintai kita, Tuhan tidak memberikan yang kita minta, karena Tuhan tahu ini mengandung bahaya.
WL : Pak Paul, apakah secara sederhana kita bisa simpulkan kalau kita minta sesuatu lalu Tuhan tidak berikan o....itu berarti kita salah berdoa atau ada satu bahaya tertentu yang mungkin dihasilkan dari misalkan kalau permintaan tersebut dikabulkan. Apakah seperti itu Pak Paul?

PG : Kita bisa memikirkan itu sebagai salah satu alternatif, tapi kita tidak bisa memastikan itulah alasannya Tuhan tidak memberikan yang kita minta.

WL : Jadi tidak ada kriteria secara baku begitu ya?

PG : Tidak, tidak! Kita hanya bisa berkata bahwa mungkin tapi kita tidak bisa mengatakan ini pasti jawabannya.

GS : Ada orang yang karena merasa ragu-ragu dengan dirinya sendiri, daripada dia minta salah dia lebih baik tidak minta, terserahlah Tuhan mau memberikan saya apa saya akan terima, itu yang terbaik. Nah pAndangan seperti itu bagaimana?

PG : Kenapa kita perlu berdoa, ini nanti yang akan sebetulnya kita harus soroti. Karena doa adalah suatu percakapan, doa adalah suatu pembicaraan antara anak dengan ayahnya yang di sorga, jadi aktu anak meminta itu menAndakan si anak itu sayang kepada papanya, percaya pada papanya bahwa papanya itu mengasihi dia dan akan memberikan yang dia minta.

Anak yang sama sekali tidak meminta apa-apa dari papanya, justru menAndakan adanya masalah dalam relasinya. Jadi saya kira kalau orang berpAndangan begitu pasrahnya sehingga tidak mau meminta apa-apa lagi, saya kira itu juga menAndakan dia takut tertolak, takut kecewa, akhirnya ujung-ujungnya kurang percaya pada Tuhan bahwa Tuhan itu baik dan mau memberikan yang dia minta.
WL : Waktu tadi Pak Paul jelaskan pertanyaan Pak Gunawan, saya tiba-tiba ingat sesuatu yang hampir mirip dengan pertanyaan pak Gunawan. Beberapa teman pernah mengatakan relasi kita atau hubungan kita dengan Tuhan jangan terlalu dekat supaya apabila suatu hari kita tidak mendapatkan apa yang kita minta atau kita kecewa pada Tuhan itu tidak terlalu sakit. Kita bayangkan kalau relasi dalam dunia misalnya dengan istri, dengan suami, atau dengan anak, kalau kita dekat tapi orang itu mengkhianati terus kita kecewa, kecewanya itu sampai wah...setengah mati dibandingkan dengan yang biasa-biasa saja, kalau pun kita kecewa sedikitlah kecewanya. Bagaimana tanggapan Pak Paul?

PG : Saya kira kalau kita bersikap seperti itu untuk sementara tidak apa-apa. Kapankah sikap seperti itu bisa ditoleransi, setelah kita kecewa, kita tertusuk, kita berharap tapi tidak mendapat,aduh kecewa berat.

Dan mungkin untuk sementara kita tidak berani minta apa-apa kepada Tuhan sebab rasanya kok begini, Tuhan tidak menjawab, Tuhan berikan yang begini, tapi jangan permanen harapan saya. Kalau permanen itu menAndakan hubungan kita dengan Tuhan mulai renggang, tanpa kita sadari sebetulnya itu yang terjadi.
GS : Pak Paul, kadang-kadang orang itu sudah minta kepada Tuhan dalam doanya dan itu sudah lama sekali, seperti Abraham dan Sarai meminta anak itu 'kan sudah lama, seperti halnya Elizabeth. Nah pada akhirnya memang kita tahu Tuhan memberikan, menjawab doa itu, tapi di saat mereka itu sudah lanjut usia.

PG : Tentang jawaban doa ada lagi satu hal yang perlu kita pahami, ternyata Allah tidak pernah terlambat namun tidak pernah terlalu dini, selalu tepat waktu. Nah tepat waktunya Tuhan bisa terlabat buat kita, namun ternyata tidak pernah, Dia selalu tepat waktu.

Misalkan ini yang terjadi pada Musa, Tuhan berkata kepada Musa sewaktu Tuhan memanggilnya, "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka." Ini dicatat di Keluaran 3:7 . Nah masalahnya adalah Musa sudah melihat orang Israel ditindas oleh orang Mesir, itu sebabnya pada waktu dia berusia 40 tahun, dia tidak tahan lagi melihat bangsanya ditindas. Dia mengambil tindakan sendiri, dia membunuh orang Mesir itu namun karena Firaun tahu, Firaun marah mau membunuh Musa, Musa harus lari. Dan berapa lamakah Musa harus disingkirkan dari kancah kehidupan di Mesir? 40 tahun. 40 tahun berarti berapa lamakah orang Israel harus menderita lagi? Ya 40 tahun. Jadi kalau kita menjadi Musa mungkin kita berkata: "Tuhan, kok baru sekarang Engkau mendengar teriakan bani Israel, kesengsaraannya ini, kok baru sekarang Engkau dengar. Bukankah saya sendiri pun sudah mendengar 40 tahun yang lalu." Ternyata memang waktu Tuhan buat kita terlambat namun tetap kita harus berkata tidak terlambat buat Tuhan. Sama seperti tadi yang Ibu Wulan katakan tentang Lazarus, buat ukurannya manusia Tuhan datang terlambat 4 hari, makanya sudah meninggal dunia. Tapi untuk Tuhan itu waktu yang paling tepat. Jadi sekali lagi kita mesti mengingat jawaban doa Tuhan senantiasa tepat waktu, tidak pernah terlambat, tidak pernah terlalu dini tapi tepat waktunya Tuhan bisa tampak terlambat di mata manusia.
GS : Atau mungkin terlalu cepat buat kita Pak Paul? Sebenarnya kita tidak mengharapkan jawaban kita terima secepat itu tapi Tuhan tetap berikan.

PG : Bisa, misalkan soal anak, kita berdoa mungkin 2 tahun lagi setelah menikah baru kita mempunyai anak, e...tiba-tiba langsung punya anak, nah ini mungkin salah satu contoh doa yang dijawab Than secara cepat, lebih cepat dari yang kita harapkan, membuat kita tidak siap.

Tapi untuk Tuhan itu waktunya.
GS : Ya karena kesulitan itu Pak Paul, orang sering kali mengatakan, begini saja kita melihat apa yang terjadi di sekeliling kita. Kalau kita mendoakan sesuatu, kalau Tuhan menutup semua pintu itu artinya bukan kehendak Tuhan atau paling tidak ditunda. Nah menyimpulkan seperti itu apakah bisa dipertanggungjawabkan?

PG : Bisa, jadi kalau kita sudah berdoa, meminta Tuhan memimpin kita, kita harus percaya bahwa dari detik itu Tuhan memimpin. Dan apapun yang terjadi setelah kita meminta Tuhan memimpin kita, iu adalah dalam penetapan Tuhan untuk menolong kita mengerti pimpinan Tuhan.

Jadi salah satunya adalah memang apakah pintu terbuka atau pintu tertutup. Kalau jelas-jelas pintu tertutup dan setelah kita berdoa meminta pimpinan Tuhan kita harus mengartikannya bukan sekarang ini. Nah mungkin orang berkata tapi 'kan mungkin saja pintu tertutup supaya kita bisa gedor lebih keras lagi. Bisa jadi, tapi yang mau saya katakan adalah Tuhan mengerti keterbatasan kita bahwa kita tidak bisa mengerti hal-hal yang di luar jangkauan pemikiran kita. Jadi Tuhan tidak menjawab doa kita dengan cara yang di luar kemampuan kita untuk memahaminya. Jadi waktu Dia memimpin kita, Dia akan memimpin dengan cara-cara yang relatif sangat jelas dan kasat mata. Ini yang kadang-kadang luput dari perhatian kita. Sebab kita beranggapan waktu Tuhan menjawab, seharusnya Tuhan menjawab dengan cara yang lebih supernatural. Ternyata begini gampang, begini sederhana cara Tuhan memimpin kita sampai menemukan jawabannya. Jadi bukalah mata lihatlah baik-baik apa yang sedang terjadi dan kita terima itu sebagai pimpinan Tuhan. Kenapa? Kalau keliru mungkin kita manusia bisa keliru, tidak apa-apa sebab kenapa? Kuasa Tuhan akan jauh lebih besar daripada kekeliruan kita itu, Dia akan bisa kendalikan kita ke jalur yang seharusnya kita tempuh. Yang penting kita mempunyai hati, memang ingin melakukan yang benar di mata Tuhan.
GS : Ada orang yang minta tAnda itu Pak Paul terhadap permintaan doanya itu, dia katakan Gideon minta tAnda kepada Tuhan supaya dia yakin betul, Tuhan itu setuju atau tidak dia melakukan itu, begitu Pak Paul?

PG : Dan mintalah tAnda yang memang mustahil, yang tidak lazim. Gideon meminta tAnda yang tidak lazim, bagaimanakah mungkin bulu-bulu itu basah atau kering sementara di luarnya tidak. Jadi hal-al yang memang mustahil, yang tidak lazim.

Jangan kita meminta tAnda yang terlalu mudah untuk kita katakan ya memang kebetulan. Jadi kalau meminta tAnda dari Tuhan mintalah yang tidak lazim.
GS : Tapi kuatir nanti itu tidak terjadi Pak Paul? Kuatir tidak dijawab?

PG : Berarti kurang beriman di situ. Kita memang harus kembalikan akhirnya kepada Tuhan, contoh tadi tentang Musa, orang Israel menanti 40 tahun. Berapa lamakah orang Israel akhirnya baru bisa enempati tanah Kanaan? 40 tahun lagi, jadi 80 tahun rentang waktunya tapi buat Tuhan waktu itu adalah waktunya.

Jadi kalau kita kembali kepada pertanyaan kalau waktu adalah waktu Tuhan, kehendak adalah kehendak Tuhan, mengapa repot-repot meminta kepada Tuhan? Sebab meminta melatih penguatan otot iman dan memperdalam keintiman kita dengan Tuhan.

GS : Ya jadi berkali-kali Alkitab mengingatkan kita untuk kita tekun berdoa Pak Paul, tetap meminta dan berharap pada Tuhan bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik. Terima kasih banyak Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Jawaban Doa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) JL. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



26. Dicari Pria yang Setia


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T149A (File MP3 T149A)


Abstrak:

Sering kali kita menjumpai banyak istri yang mengeluh karena figur suaminya yang negatif. Dan ini membawa dampak yang negatif pula, baik untuk istri maupun anak-anaknya. Melalui materi ini, kita ingin mengerti bagaimanakah pria yang setia kepada Tuhan dan keluarganya.


Ringkasan:

Dewasa ini kita mengalami krisis figur pria yang layak menjadi panutan. Terlalu banyak pria yang justru menyebarkan citra negatif; akibatnya, kita kehilangan kesempatan belajar dari figur pria yang positif.

Beberapa citra negatif yang kerap merebak adalah:

  1. Tidak setia
  2. Kasar
  3. Semena-mena
  4. Mau menang sendiri
  5. Mementingkan diri dan tidak memikirkan orang
  6. Kejam
  7. Penipu, tidak jujur
  8. Berkedok kebaikan untuk mencapai maksudnya
  9. Tidak rohani
  10. Tidak bisa mengusai diri
  11. Mudah jatuh ke dalam pencobaan.

Sebenarnya, pria seperti apakah yang mencerminkan citra kristiani?

  1. "Rohani-mengutamakan Tuhan di dalam hidupnya dan takut akan Tuhan. Yusuf berkata, "Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?" ( Kejadian 39:9 )

  2. Rendah hati-bersedia mengakui dan belajar dari kesalahan, bersedia meminta maaf. Daud berkata kepada Nabi Natan, "Aku sudah berdosa kepada Tuhan." ( 2 Samuel 12:13 )

  3. Peduli dengan yang lain-tidak mementingkan diri melainkan memikirkan kepentingan orang. Doa Musa kepada Tuhan untuk umat Israel yang tengah memberontak, "Ampunilah kiranya kesalahan bangsa ini sesuai dengan kebesaran kasih setia-Mu, seperti Engkau telah mengampuni bangsa ini mulai dari Mesir sampai ke mari." ( Bilangan 14:19 )

  4. Lembut-tidak menyalahgunakan kekuatan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, bisa menguasai emosinya. Daud melarang orang-orang-Nya membunuh Saul, "Dijauhkan Tuhanlah kiranya dari padaku untuk melakukan hal demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi Tuhan..." ( 1 Samuel 24:7 )

  5. Berani-berprinsip dan rela membayar harga untuk keyakinannya. Sikap Mordekhai kepada Haman, "Pada hari itu keluarlah Haman dengan hati riang dan gembira; tetapi ketika Haman melihat Mordekhai di pintu gerbang istana raja, tidak bangkit dan tidak bergerak menghomrati dia, maka sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai." ( Ester 5:9 )

  6. Setia-kepada Tuhan dan keluarganya. "Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya: "Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati." Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa." ( Ayub 1:5 )


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th., akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang " Dicari Pria yang Setia", kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, judul perbincangan ini sangat menarik seperti iklan atau seperti orang yang lagi dicari atau wanted. Tetapi sebenarnya apa yang Pak Paul mau sampaikan atau yang akan kita perbincangkan?

PG : Topik ini keluar dari keprihatinan saya. Saya melihat terlalu banyak melihat figur pria yang negatif sedangkan kita ini sedang mempersiapkan generasi berikutnya. Apa yang akan dilihat oleh generasi berikut ini? Apakah kita telah menjadi figur-figur yang positif buat mereka, kita telah menjadi inspirasi bagi mereka? Apakah kebalikannya justru kita menjadi pengaruh buruk pada mereka?

GS : Yang dimaksud dengan pria ini apakah pria yang sudah dewasa Pak Paul?

PG : Betul, maksud saya adalah pria-pria yang sudah dewasa.

GS : Pengamatan Pak Paul sejauh mana Pak Paul lakukan terhadap lingkungan itu?

PG : Mungkin yang pertama saya ini terpengaruh oleh kasus-kasus yang saya tangani. Terlalu banyak yang saya lihat dalam konseling saya, kasus di mana masalah muncul karena ayah-ayah yang tidak elakukan tugasnya dengan baik.

Pria-pria atau suami-suami yang tidak melakukan kewajibannya dengan baik. Dan telah membawa korban yang besar baik terhadap istri mereka maupun terhadap anak mereka. Dan cukup banyak di antara anak-anak ini yang sampai dewasa harus menanggung akibat perbuatan ayah-ayah mereka.
WL : Citra negatif yang seperti apa yang Pak Paul maksudkan?

PG : Misalkan yang umum adalah tidak setia, itu salah satu yang cukup sering saya lihat atau kasar, marah, semena-mena, seenaknya, atau mau menang sendiri, susah sekali untuk mengalah dan pokokya kehendaknya yang harus dituruti.

Yang cukup sering juga saya lihat adalah mementingkan diri dan tidak memikirkan orang.
GS : Ya, itu 'kan merupakan ciri-ciri egoisme seseorang?

PG : Ya, betul sekali.

GS : Pak Paul, apakah itu bukan terbawa sejak masa muda sebelum dia menikah atau sebelum dia menjadi dewasa?

PG : Bisa jadi. Jadi ada sebagian pria dibesarkan dalam keluarga yang memang buruk, jadi mereka melihat figur ayah mereka seperti itu, kepada ibunya kepada mereka. Tapi malangnya adalah mereka ukannya belajar untuk tidak menjadi seperti ayah mereka malah mereka akhirnya mengikuti jejak ayah mereka.

Mereka menjadi orang-orang yang menjajah keluarganya. Benar-benar memakai istri untuk mencapai kehendak atau keinginannya. Menindas anak kalau anak mulai menyuarakan pendapatnya. Dan juga penyebab yang kedua adalah pria sangat-sangat rapuh dalam hal harga diri, gengsi, egonya. Tidak boleh ego atau harga dirinya tersentuh kalau tersentuh menjadi marah, tersinggung, dan menggunakan cara yang kasar untuk menunjukkan bahwa dia tetap yang berkuasa. Jadi saya kira ada faktor ego yang tidak bisa disentuh. Dan faktor ketiga adalah konsep bahwa pria itu sebagai kepala keluarga. Malangnya konsep Alkitab yang begini indah ditafsir dan dipahami secara keliru oleh para pria ini. Kepala keluarga berarti seperti raja di mana kehendaknya harus dituruti, kata-katanya ibarat titah yang harus dipatuhi oleh semuanya. Dia tidak mengerti bahwa yang Tuhan maksud dengan kepala adalah kepala yang sangat mengasihi anggota tubuhnya. Tuhan Yesus adalah kepala sedangkan kita jemaat adalah anggota tubuhnya. Dia mengorbankan hidupnya bagi kita. Itulah konsep kepala yang sebetulnya termaktub dalam konsep kepala keluarga di Alkitab. Tapi kebanyakan pria tidak mengerti, anggapannya kepala adalah seperti bos dan orang-orang di rumah harus mengikuti kehendaknya.
GS : Ya, apakah ada citra negatif yang lain Pak Paul?

PG : Yang lain lagi misalkan kejam. Sebagian pria bisa sangat kejam sekali, itu yang saya perhatikan. Bisa menyiksa anak-anaknya, menyiksa istrinya tanpa rasa belas kasihan sama sekali, ada jug yang penipu, tidak jujur, tidak bisa dipegang perkataannya karena tidak ada keterbukaan.

Yang lainnya adalah berkedok kebaikan untuk mencapai maksudnya. Kalau ada maksud tertentu bisa ke gereja, bisa sopan, bisa santun, tapi untuk maksud tertentu itu saja. Yang lainnya lagi yang saya kira cukup umum yaitu tidak rohani, maka di gereja saya lihat banyak wanita daripada pria. Pria tidak begitu tertarik dengan Tuhan atau hal-hal rohani. Yang lainnya yaitu tidak bisa menguasai diri kalau mau marah langsung meledak, hajar, pecahkan barang, tonjok, dan sebagainya. Dan yang satu ini mudah jatuh ke dalam pencobaan. Jadi pria sebetulnya diidentikkan dengan kelemahan bukan dengan kekuatan. Kekuatan pria diidentikkan dengan kekasaran, kekejaman, dan ketidakmampuannya dia menguasai diri sehingga jatuh terus-menerus ke dalam pencobaan, itu justru menambahkan label kelemahan pada pria. Inilah contoh atau citra yang beredar di sekeliling kita dan anak-anak kita harus menyaksikan model-model atau citra-citra yang negatif seperti ini.
WL : Pak Paul, dengan kriteria yang tadi Pak Paul sebutkan, saya teringat pada beberapa pengalaman "ganjil" yang saya temukan. Ada beberapa pria yang berbeda sekali waktu di rumah dengan di luar rumah atau di kantor. Ada yang di rumah memang sangat kasar terhadap istri dan anak. Tetapi di luar rumah bisa sangat baik, sangat sopan sekali. Dan saya juga pernah menemukan kalau di kantor sangat galak, dia adalah salah satu guru saya waktu saya kecil, galak sekali terhadap semua murid-murid. Tetapi saya pernah diberi tahu oleh salah seorang teman saya yang mengatakan: "Jangan salah lho, bapak ini kalau sama istrinya dia sangat baik sekali, lembut sekali. Coba sekali-sekali kamu lihat kalau dia sedang bersama istrinya berbeda sekali dengan waktu kalau di kelas." Nah itu bagaimana ya Pak kok penampakannya bisa kontras seperti itu?

PG : Kalau untuk yang kedua jawaban saya adalah kemungkinan memang si bapak guru itu melihat diharuskanlah dia berwibawa dan berwibawa di hadapan murid diidentikkan dengan galak, sehingga anak-nak takut kepadanya.

Tapi sebetulnya dia bukan orang yang keras atau kasar. Dia menggunakan perilaku galak hanya untuk melancarkan kewajibannya sebagai guru. Yang pertama yang tadi Ibu Wulan munculkan adalah mengapa ada pria yang baik kepada orang, sabar kepada orang, tetapi terhadap keluarga sendiri galak sekali. Sebagai contoh lain yang kadang-kadang yang saya temukan kepada orang lain royal sekali, berani keluarkan uang kalau sama keluarga sendiri pelit sekali. Setiap sen dihitung jadi anak-anak tidak bisa beli ini tidak bisa membeli itu. Istri juga tidak bisa membeli apa-apa. Benar-benar uang itu dipegang dengan erat. Mengapa begitu, saya menduga karena dia perlu menampilkan citra sebagai pria yang baik, yang patut dihormati dan bagi dia royal di luar adalah untuk kepentingannya. Ini memang masuk citra yang tadi saya sebut yaitu mementingkan diri sendiri. Begitu dia di rumah diri aslinya yang keluar dan diri aslinya memang adalah super pelit.
GS : Kalau begitu sebenarnya apa yang Tuhan harapkan dari kita sebagai pria-pria Kristen khususnya menghadapi kenyataan yang seperti itu Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang ingin saya bagikan. Yang pertama adalah saya kira pria Kristen haruslah pria yang rohani. Artinya mengutamakan Tuhan di dalam hidupnya dan takut akan Tuhan. Saya kira inikualitas yang makin hari makin langka, banyak pria yang tidak lagi mengutamakan Tuhan tapi mengutamakan dirinya sendiri dan terlalu banyak pria yang tidak takut akan Tuhan.

Tidak ada yang dia takuti lagi sehingga dia menjadi Tuhan dalam hidupnya. Ini yang berbahaya. Jadi rohani berarti mengutamakan Tuhan dan takut akan Tuhan. Sebagai contoh di Alkitab ada seorang anak Tuhan yang seperti itu namanya adalah Yusuf. Yusuf masih usia belia digoda, diminta untuk berhubungan seksual dengan nyonya majikannya. Tapi dia menolak dan alasannya dia menolak adalah sangat indah, sangat rohani. Yaitu dia berkata: "Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah." Ini dicatat dalam Kejadian 39:9 . Sejak usia belia Yusuf tahu Tuhan mengawasinya. Dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan, dengan kata lain dia takut akan Tuhan. Dan dia mengutamakan Tuhan kalau dia hanya mementingkan dirinya dia akan mau menuruti keinginan majikannya, bukankah itu adalah keuntungan baginya. Tapi dia takut Tuhan dan dia mau mengutamakan Tuhan dan tidak mengutamakan kepentingan dirinya. Saya kira Pak Gunawan dan Ibu Wulan kita perlu melihat lebih banyak pria-pria yang rohani yang seperti Yusuf, mengutamakan Tuhan dan takut akan Tuhan.
GS : Langkah apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pria, apakah cukup hanya dengan sering ke gereja atau terlibat dalam pelayanan atau hal apa yang lain Pak Paul?

PG : Saya kira yang penting nomor satu dia harus mengenal Tuhan. Tidak bisa hanya mengenal Tuhan berdasarkan kotbah yang didengarnya saja, dia harus bergaul secara langsung kepada Tuhan. Artiny dia membaca firman Tuhan, dia merenungkannya, dan di dalam kehidupannya dia mencoba melakukannya.

Tidak dilihat orang, mungkin tidak akan dipandang oleh orang, tidak ada yang bisa tahu dia melakukan apa, tapi di dalam kesendiriannya dia melakukan firman Tuhan itu. Ketaatan-ketaatan yang kecil itu akan melahirkan ketaatan-ketaatan yang besar. Mengutamakan Tuhan dalam hal kecil akhirnya membuat dia bisa mengutamakan Tuhan dalam hal besar. Takut akan Tuhan dalam hal kecil akhirnya membuat dia takut akan Tuhan dalam hal-hal yang besar.
GS : Sebenarnya apa Pak Paul yang membuat seseorang pria itu kebanyakan kurang tertarik dengan hal-hal yang rohani?

PG : Kebanyakan memang bagi pria, pembicaraan rohani itu tidak praktis. Nah, di sini saya kira tanggung jawab kita sebagai pelayan-pelayan Tuhan untuk menerjemahkan berita-berita Tuhan secara paktis.

Karena pria menginginkan sesuatu yang ada kaitan langsung dengan kehidupan, dengan kenyataan di lapangan. Kalau kita membicarakan sesuatu yang terlalu idealistik, tidak bersentuhan dengan tanah, nah bagi mereka ini tidak ada artinya, ini omong kosong. Jadi tugas kitalah sebagai pelayan Tuhan untuk menerjemahkan firman Tuhan keping demi keping, langkah demi langkah, sehingga si pria tahu bahwa ini sesuatu yang bisa dilakukannya.
WL : Pak Paul, tadi kriteria yang Pak Paul jelaskan dibedakan antara yang negatif dengan yang Kristiani. Apakah itu berarti kalau yang negatif melekat pada orang-orang yang bukan Kristen karena dalam realita sebenarnya kita juga melihat bahwa orang Kristen itu banyak yang semena-mena juga terhadap istrinya, yang kasar, yang tidak setia begitu Pak Paul?

PG : Saya setuju sekali Bu Wulan. Jadi citra negatif itu bisa dilabelkan juga pada sesama orang Kristen. Karena mereka bisa memanggil diri Kristen tetapi belum tentu takut akan Tuhan, belum tenu mengutamakan Tuhan.

WL : Lahir baru ya Pak Paul?

PG : Belum tentu lahir baru. Jadi memang yang penting adalah bukan label bukan pengakuan tapi perbuatannya itu.

GS : Ya, apakah ada hal yang lain Pak Paul?

PG : Yang lain adalah rendah hati. Tadi kita sudah membicarakan tentang ego, gengsi, ciri-ciri yang melekat pada pria, dan sebagainya. Pria yang dicari dewasa ini adalah pria yang rendah hati. rtinya bersedia mengakui dan belajar dari kesalahan, bersedia meminta maaf.

Mengapa? Sebab terlalu banyak saya mendengar dan melihat dan saya yakin Pak Gunawan dan Ibu Wulan juga sering menyaksikan betapa pria itu susah mengakui kesalahan. Susah berkata memang telah saya lakukan kesalahan ini. Cenderungnya pria kalau berbuat kesalahan adalah berdalih. Kemudian melemparkan tanggung jawab kepada orang lain dan kalau bisa dia akan putar balikkan sehingga dia jadi tidak salah, orang lain menjadi salah. Nah itu yang seringnya terjadi. Dan kalau minta maaf sulit sekali, lidah itu seolah-olah kaku kalau harus minta maaf. Mari kita belajar dari hamba Tuhan bernama Daud, Raja Daud seorang yang sangat populer, seorang yang sangat berkuasa tetapi dia jatuh ke dalam dosa. Dia berzinah dengan Batsyeba. Akhirnya Tuhan mengirim nabinya nabi Natan untuk menegurnya. Dan setelah Tuhan menegurnya apa yang Daud katakan. Tidak ada dalih, tidak ada rasionalisasi, tidak ada berkelit, Daud langsung berkata: "Aku sudah berdosa kepada Tuhan." Ini dicatat di 2 samuel 12:13 . Langsung setelah Natan memberitahukan inilah dosamu. Kaulah orangnya. Daud hanya berkata aku sudah berdosa kepada Tuhan. Saya kira kita mau melihat lebih banyak pria seperti ini. Pria yang bisa mengaku salah, bisa berkata saya mau belajar dari kesalahan saya dan tidak mencari kambing hitam, dan berani mengakui dan minta maaf kepada orang yang telah disalahinya.
GS : Tapi ini sangat terkait dengan yang pertama tadi yang Pak Paul katakan kerohanian seseorang itu penting. Nah di dalam hal ini kalau dia memang tingkat kerohaniannya kita katakan memang belum mencapai taraf tertentu untuk rendah hati 'kan sangat sulit Pak Paul?

PG : Bisa jadi begitu. Jadi orang yang lebih rohani seharusnya memang lebih rendah hati Pak Gunawan. Namun saya juga harus akui begini ada orang-orang yang memang berhati besar. Jadi dia lebih erani mengaku salah.

Dia mungkin tidak begitu peka dengan hal-hal rohani. Tapi memang dia berhati besar. Nah ini kita perlu keseimbangan rohani tetapi juga berhati besar sehingga berani mengaku kalau dia salah.
WL : Pak Paul ada pengaruh atau tidak dari lingkungan atau budaya kita maksudnya tidak Indonesia saja. Memang setiap anak laki dari kecil sudah dibentuk dengan konsep bahwa citra anak laki itu harus macho, harus jantan. Sedangkan kalau rendah hati identik dengan lemah. Jadi memang anak laki-laki kebanyakan memang tumbuh seperti itu ya Pak Paul. Susah sekali untuk bisa rendah hati.

PG : Betul, jadi ada pengaruh dari budaya dan tuntutan bahwa pria itu sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin dia harus memimpin yang benar. Kalau dia berbuat kesalahn terus-menerus dia akan malu jua dan kehilangan wibawanya.

Jadi memang saya kira semuanya itu terkait. Yang berikutnya yang saya ingin bagikan adalah peduli dengan orang lain. Artinya tidak mementingkan diri sendiri melainkan mementingkan kepentingan orang. Nah ini kita perlu mempunyai karakteristik seperti ini. Saya masih ingat sekali, Musa berdoa kepada Tuhan untuk umat Israel yang tengah memberontak Tuhan. Tuhan siap menghukum orang Israel tapi inilah doa Musa. Ampunilah kiranya kesalahan bangsa ini sesuai dengan kebesaran kasih setiamu. Seperti engkau telah mengampuni bangsa ini mulai dari Mesir sampai kemari Bilangan 14:19 . Kalau Musa hanya memikirkan dirinya sendiri dia akan berkata silakan Tuhan jatuhkan api dari surga musnahkan orang-orang Israel ini. Karena mereka sangat tegar tengkuk tidak mau belajar, tidak mau bertobat. Nah itulah yang mungkin sekali Musa lakukan. Tapi tidak dilakukan Musa. Dia justru berdoa setiap saat. Meminta Tuhan mengampuni orang Israel. Nah kita perlu pria yang seperti ini. Pria yang tidak mementingkan dirinya, pria yang tidak memikirkan kepentingan istrinya, anak-anaknya, dan orang di sekitarnya.
GS : Ya memang banyak juga pria yang mempunyai kepedulian terhadap orang lain tapi itu yang dipedulikan adalah orang-orang yang bisa menguntungkan dia sebenarnya Pak Paul.

PG : Seringkali itu terjadi. Betul.

GS : Sehingga dia bisa peduli dengan orang lain tapi tidak peduli dengan keluarganya sendiri.

PG : Betul.

GS : Bagaimana dengan sikap sehari-hari Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah lembut. Ini penting sekali. Pria lembut artinya tidak menyalahgunakan kekuatan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Pria lembut artinya pria yang bisa menguasai emsinya.

Saya masih ingat kisah Daud. Dia berkesempatan membunuh Saul raja yang sedang mengejarnya dan ingin membunuhnya. Tapi apa yang Daud katakan kepada perwiranya sewaktu mereka berkesempatan membunuh Daud. Dijauhkanlah kiranya Tuhan daripadaku untuk melakukan hal demikian kepada tuanku kepada orang yang diurapi Tuhan. Kita melihat sikap lembut dari Daud. Sikap yang tidak menyalahgunakan kesempatan atau kekuatan untuk mendapatkan yang diinginkannya. Terlalu banyak pria yang sekarang ini menggunakan kekuatan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan kekasarannya, dengan kemarahannya dia bisa mengancam orang sehingga dia bisa memperoleh yang diinginkannya. Tidak. Kita tidak mau pria yang seperti itu. Kita mau melihat pria yang lembut yang berani berkata jangan. Jangan kita takut akan Tuhan. Biarkan nanti Tuhan yang akan berikan kepada kita apa yang kita perlukan. Dan jangan gunakan kekuatan atau kekasaran kita itu.
GS : Ya, sebenarnya kita bisa belajar banyak kelemahlembutan ini dari Tuhan Yesus juga Pak Paul ya?

PG : Tepat sekali.

GS : Sikapnya terhadap anak-anak, terhadap wanita, dan sebagainya.

PG : Betul sekali.

GS : Ya, tetapi apakah itu tidak menimbulkan bahwa dia disebut sebagai orang yang penakut Pak Paul?

PG : Sama sekali tidak mmang kadang-kadang lembut dikaitkan dengan kelemahan seperti banci, feminin. Pria ini takut sekali dengan label-label seperti itu. Tidak justru kemampuan dia untuk bisa enguasai emosinya maka dia bisa menekan kekuatannya.

Ini menunjukkan kekuatan yang lebih besar lagi. Maka kita juga membutuhkan pria yang berani artinya pria yang berprinsip dan rela membayar harga untuk keyakinannya. Saya masih ingat cerita Mordekhai di kitab Ester dia di bawah tekanan untuk menjilat seorang perdana menteri yang bernama Haman tapi dia tidak melakukan perbuatan itu. Di Alkitab di Ester 5:9 "Pada hari itu keluarlah Haman dengan hati riang dan gembira, tetapi ketika Haman melihat Mordekhai di pintu gerbang istana raja, ia tidak bangkit, tidak bergerak menghormati dia, maka sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai." Kita mesti belajar dari Mordekhai berani, ada prinsip, dan berani membayar harga untuk keyakinannya. Nah saya kira terlalu banyak pria yang sekarang tidak punya prinsip, tidak berani bayar harga untuk keyakinannya. Ikut arus ambil jalan aman, tidak ya. Kita mau memberikan contoh positif kepada anak cucu kita.
GS : Saya justru teringat akan Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego itu yang berani menyatakan sikapnya Pak Paul.

PG : Tepat sekali.

GS : Pak Paul, perbincangan ini tadi kita beri judul dicari pria yang setia. Kesetiaan ini apa menjadi ciri juga?

PG : Sangat. Ini adalah ciri yang memang utama, artinya setia kepada Tuhan dan keluarganya. Nah ini kita mau mencari pria yang setia seperti ini. Dikatakan di Alkitab tentang Ayub, setiap kali pabila hari-hari pesta telah berlalu Ayub memanggil mereka anak-anaknya, menguduskan mereka.

Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Ayub lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian sebab pikirnya mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati. Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa. Kita butuh pria yang setia kepada Tuhan dan keluarganya. Tidak berdosa dan mendoakan keluarganya dan menguduskan keluarganya.
GS : Ya memang banyak kita jumpai sekarang ini pria yang meninggalkan keluarganya Pak Paul?

PG : Tepat sekali, tidak setia lagi. Terlalu banyak dan inilah yang saya kira menakutkan saya. Apa yang akan diingat oleh anak cucu kita. Contoh seperti apakah yang kita berikan kepada mereka. an kalau kita sudah begini buruk bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka.

Mereka mungkin sekali akan lebih buruk daripada kita.
GS : Tapi memang biasanya mereka selalu menemukan alasan untuk menjadi tidak setia.

PG : Ya, sebab memang kecenderungannya agak ke sana untuk pria seperti ini. Maka harus saya tekankan harus pertama-tama setia kepada Tuhan. Karena dia setia kepada Tuhan dia tidak tega melukai strinya.

Masa untuk kesenangan dia sendiri dia rela melihat istrinya menangis, tidak ya. Karena dia setia kepada Tuhan dia rela untuk mengorbankan kepentingannya. Supaya istrinyapun bahagia, anak-anaknya pun bahagia dia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri saja.
WL : Pak Paul, saya pernah mendengar ada gerakan di Amerika namanya promise keepers kalau tidak salah. Laki-laki yang benar-benar bertobat, diperbaharui, dan keluarganya juga diperbaharui, benar-benar mempengaruhi lingkungan secara besar-besaran. Menurut pendapat Pak Paul bagaimana kalau misalnya kita "coba-coba" seperti itu di negara kita.

PG : Sebetulnya sudah ada beberapa kali saya mendengar ada KKR atau confrens atau retreat khusus pria dan tujuannya sama seperti promise keepers. Mau mengajak pria kembali kepada Tuhan. Setia kpada Tuhan Yesus dan setia kepada keluarganya.

Saya kira itu ide yang baik. Sudah waktunya pria-pria ini kembali kepada Tuhan.
GS : Ya, mengambil keputusan itu mungkin bisa dilakukan di dalam saat itu Pak Paul tetapi untuk memelihara janji, itu yang sulit sebagai seorang pria.

PG : Betul, maka sebaiknyalah pria yang rohani yang memang takut akan Tuhan bergaul dengan pria yang rohani dan takut akan Tuhan. Sehingga saling mengingatkan, menjaga. Kalau tidak memang kita udah sekali lupa dan terbawa arus kembali.

GS : Ya, ada satu ide memang di dalam kelompok yang kecil itu di mana yang satu secara tegas bisa mengingatkan kalau temannya atau anggota persekutuannya itu mulai meninggalkan Tuhan.

PG : Ya, seperti itu.

GS : Jadi memang apa yang dicari laki-laki atau pria yang setia sebenarnya ada di dalam diri kita sendiri Pak Paul. Hanya kita harus menjadi pria yang setia baik kepada Tuhan dan juga kepada keluarga. Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan kali ini juga Ibu Wulan. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dicari Pria yang Setia". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



27. Mencari Wanita yang Sayang Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T149B (File MP3 T149B)


Abstrak:

Di zaman sekarang ini banyak suami-istri yang bekerja, sehingga hak asuh anaknya diserahkan kepada orang lain, misalnya suster. Melalui materi ini kita diberikan saran-saran agar kedua orangtua terlibat dalam mengasuh anaknya terutama ibu, karena ini akan berpengaruh terhadap proses perkembangan anak jika nanti dewasa.


Ringkasan:

Dewasa ini makin banyak perempuan yang menyerahkan tugas membesarkan anak kepada perawat. Sebagian wanita memang jauh lebih efektif sebagai ibu bila ia bekerja di luar daripada bila ia tinggal di rumah sepenuhnya. Faktanya adalah, tidak semua wanita dipanggil dan sanggup untuk diam di rumah penuh waktu; kita harus memaklumi hal ini. Masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah sebagian wanita menolak untuk menjadi ibu yang membesarkan anak; mereka hanya bersedia menjadi ibu yang melahirkan anak. Bekerja atau tidak, mereka tidak bersedia turun tangan merawat dan membesarkan anak. Mereka menyerahkan tugas itu kepada perawat yang tidur dengan anak, memandikan, memberi makan anak, dan mengajarkan pelajaran sekolah anak.

Beberapa hal yang mesti dipertimbangkan:

  1. " Rasa sayang kepada anak bergantung pada kedekatan dengan anak. Semakin jarang kita bersama anak, semakin berkurang rasa sayang kita terhadapnya.

  2. Wibawa orang tua di hadapan anak bergantung pada kedekatan dengan anak. Semakin tidak dekat, semakin tidak berwibawa kita di hadapannya. Anak menganggap kita tidak mempunyai hak mengatur hidupnya, apalagi mendisiplinnya. Ini berarti, tatkala anak besar, kita tidak mempunyai kendali atas hidupnya.

  3. Kendati kehilangan ayah berdampak pada pertumbuhan anak, namun kehilangan ibu berdampak lebih besar terhadap anak. Pada tahap awal pertumbuhan, ibu berperan sebagai pengasuh dan peran ini merupakan peran yang paling dominan dalam kehidupan anak. Biasanya peran ayah menjadi lebih besar pada tahap berikutnya. Dengan kata lain, peran ibu membangun fondasi struktur jiwani anak. Itu sebabnya tanpa ibu, anak bertumbuh rapuh.

  4. Anak menyerap terbesar pada masa kanak-kanak dan apa yang terhilang pada masa ini tidak tergantikan pada masa berikutnya. Jika kita tidak dekat dengan anak, kedekatan ini tidak bisa diciptakan lagi.

  5. "Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya... Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: 'Ibu, inilah anakmu!' Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" ( Yohanes 19:26-27 )


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang " Mencari Wanita yang Sayang Anak ", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, setahu saya bahwa wanita itu sangat dekat dengan anak, maka guru-guru TK kebanyakan adalah wanita, jarang ada seorang pria yang mau menjadi guru TK. Apakah ini masih perlu dicari lagi, Pak Paul?

PG : Masih perlu dicari lagi Pak Gunawan, sebab ini berdasarkan pengamatan saya makin banyak wanita lebih siap melahirkan anak daripada membesarkan anak, nah ini masalah. Terlalu banyak yang saa lihat sekarang yang menyerahkan tanggung jawab mengurus anak kepada pembantu rumah tangga atau suster dan ini benar-benar 24 jam.

Bukannya pulang kerja main dengan anak, bercanda, gurau dengan anak, tidak, benar-benar tidak menyentuh anak lagi. Pulang kerja sudah malam, tinggal ketemu anak mungkin ¼ jam, ½ jam bertanya ini, itu kemudian suster lagi yang mengurus, sampai-sampai tidur dengan suster, dimandikan, diberi makan oleh suster, pelajarannya pun diajarkan oleh suster, sampai seperti itu. Bahkan ini yang sering saya lihat juga, waktu pergi berdarma wisata atau pergi makan keluar, yang membawa anak juga suster, satu anak satu suster, tiga anak tiga suster, sampai seperti itu. Jadi kapankah si ibu ini menyentuh si anak, ini yang saya khawatirkan mungkin sangat-sangat sedikit sekali.
GS : Berdasarkan pengamatan Pak Paul, itu sebenarnya apa penyebab utamanya?

PG : Memang awalnya ada pengaruh dari karier, dari pekerjaan. Banyak wanita sekarang keluar rumah kemudian bekerja dan mendapatkan imbalan-imbalan juga dari pekerjaannya dan mereka menyenangi hdup seperti itu.

Tapi saya kira itu bukanlah alasan, sebab banyak wanita di jaman dahulu juga bekerja, pulang sore atau menjaga toko dan sebagainya, tapi tetap mengurus anak. Nah, sekarang ini memang tidak lagi mengurus wanita, sebab apa ya alasannya? Saya cenderung menyimpulkan alasan utamanya adalah tidak lagi mau repot dan melihat anak sebagai sumber kerepotan dan itu yang tidak lagi mereka inginkan. Jadi kalau saya boleh gunakan istilah yang sedikit lebih keras (ya saya mohon maaf, kalau ini menyinggung para pendengar kita yang wanita) yang saya harus katakan, tingkat egoisme itu makin menanjak, mementingkan diri itu menjadi fokus, sehingga tidak lagi bersedia direpotkan oleh kehadiran anak ini.
WL : Pak Paul, saya pikir selain mengejar karier, saya juga sering mendengar keluhan para wanita atau Pak Paul tadi menggunakan istilah ego semakin meningkat, apakah ego semakin meningkat atau kesadaran wanita sekarang lebih tercelik atau lebih berani mengungkapkan diri. Keluhannya seperti ini, "Saya sekolah tinggi-tinggi, kapan saya mengejar karier, OK katakanlah kesempatan sekarang ada dengan suami juga, tapi ada ketidakadilan ini. Kita sama-sama bekerja sekian jam, begitu pulang yang wanita masih mempunyai beban tugas yang begitu banyak di rumah. Mengurus rumah tangga, mengurus anak, sampai sekecil-kecilnya juga mengurus suami, suami 'kan hanya dari pagi sampai seore saja di kantor?" Itu Pak yang akhirnya menyebabkan para wanita berpikir bahwa ini benar-benar tidak adil, jadi solusinya menggunakan baby sitter.

PG : Sudah tentu saya kira pria itu harus terlibat dalam membesarkan anak, Tuhan memerintahkan bukan kepada wanita sebenarnya untuk mendisiplin anak, tapi kepada pria sebagai ayah, jadi sudah tntu ayah itu harus terlibat, tidak benar kalau ayah itu tidak terlibat sama sekali.

Jadi saya bukannya hanya ingin menyalahkan wanita, saya hanya mau mengungkap satu fenomena yaitu makin banyaknya wanita yang tidak lagi merasakan dorongan untuk dekat membesarkan anak. Sedangkan di Amerika, yang saya lihat ini, di sana rata-rata suami-istri bekerja, pulang ke rumah jam 06.00, jam 07.00 malam, namun saya perhatikan hubungan orang tua dalam hal ini mama dengan anak, jauh lebih dekat karena memang di sana jarang ada orang yang bisa mempunyai seorang suster, karena mahal sekali jadi kebanyakan diurus sendiri. Dan karena memang tidak ada suster, jadi para ibu itu juga harus bergaul dengan anaknya, nah justru itu yang saya lihat keluarga, suami-istri ke taman, membawa anak-anak bercanda, main, olah raga, naik sepeda dan sebagainya, itu pemandangan yang sangat umum. Sedangkan di Indonesia saya perhatikan itu menjadi pemandangan yang semakin langka, si mama dan papa berjalan di depan, di belakang 3 orang suster berjalan menggendong anak-anak mereka. Makan disuapi oleh suster, semua diurus oleh suster dan ini yang mengkhawatirkan saya, karena bagi saya ini memang sudah melewati batas kewajaran.
WL : Tapi kalau diperbandingkan dengan Amerika, saya mendengar juga di sana begitu menjamurnya day care sepanjang hari, itu sama juga dengan orang lain yang mengasuh, Pak Paul?

PG : Dari pagi sampai sorenya saya tidak mempermasalahkan, karena memang orang harus bekerja. Dan saya mengerti ada sebagian wanita yang lebih efektif di rumah, kalau dia bekerja di luar. Tidaksemua wanita mempunyai panggilan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, justru kalau diwajibkan diam di rumah penuh waktu dia tambah tidak efektif, dia mungkin tambah tidak bisa menguasai dirinya, tambah emosional dan sebagainya.

Justru waktu dia bekerja, dia pulang ke rumah lebih efektif. Nah yang ingin saya soroti adalah meskipun sudah pulang ke rumah, tetap tidak mau diganggu oleh anak. Dan memang anak pada masa-masa kecil, dia akan merepotkan, itu adalah kodrat yang harus kita terima, tapi inilah kodrat yang ingin ditolak oleh sebagian wanita yang saya perhatikan.
GS : Ya, pengamatan ini mungkin banyak terjadi di kota-kota besar Pak Paul, sedangkan di desa-desa atau di kampung-kampung hal ini masih belum menggejala seperti itu. Tetapi arahnya juga bisa ke sana, Pak Paul ya? (PG : Bisa.) Nah Pak Paul, sehubungan dengan kurang perhatiannya para ibu terhadap anaknya, apakah ada hal-hal yang ingin Pak Paul sarankan?

PG : Ada Pak Gunawan, yang pertama adalah rasa sayang kepada anak bergantung pada kedekatan antara ibu dengan anak, ini yang saya ingatkan kepada kaum ibu. Semakin jarang kita bersama dengan ank, semakin berkurang rasa sayang kita terhadapnya.

Jadi orang tua atau mama yang memang tidak memberikan waktu untuk anaknya, rasa sayangnya pun makin hari makin menipis. Dan makin tidak merasakan kebutuhan untuk dekat dengan anak, dan kebalikannya si anak juga sama dengan mamanya. Jadi sekali lagi rasa sayang bergantung pada kedekatan dengan si anak. Justru kita melihat orang tua yang menghabiskan waktu dengan anak, memberikan waktunya pada anak, rasa sayangnya pun berlimpah, tapi orang tua yang memang tidak menyentuh anak, rasa sayangnya pun juga sangat menipis.
WL : Pak Paul, kalau ada slogan yang mengatakan "semakin jarang ketemu, rindunya pun akan semakin membesar, makin menggunung", berarti itu kurang tepat ya Pak Paul?

PG : Kurang tepat, bukankah suami-istri yang jarang ketemu akhirnya bercerai, itu faktanya, sama juga dengan orang tua dan anak yang sama sekali jarang ketemu, bercerai secara emosional. Si ana tidak merasakan ini orang tuanya, si orang tua tidak begitu merasakan ini anaknya.

GS : Kalau begitu apa saran Pak Paul, dengan keterbatasan waktu para ibu sekarang yang kebanyakan bekerja di luar?

PG : Waktu pulang ke rumah baik suami maupun istri, dua-dua harus meluangkan waktu dengan anak. Ajak anak mengobrol, ajak anak bermain, bacalah untuk anak, nah inilah yang perlu dilakukan. Sayatidak berkata semua perempuan harus diam di rumah, oh tidak.

Saya mengerti ada sebagian perempuan yang jauh lebih cocok bekerja di luar daripada penuh waktu di rumah. Nah, ini memang hal yang harus kita terima dan tidak apa-apa, tapi begitu di rumah tolong berikan waktu, ambil alih tugas dari suster kita, kembalikan kepada kita sebagai orang tua, hari libur Sabtu dan Minggu kembalikan, alihkan fungsi itu kembali kepada kita, kita yang merawat mereka, kita yang memberikan makan kepada mereka. Jangan sampai anak kita tidak mau kita berikan makan hanya maunya suster yang memberi makan, jangan sampai anak kita tidak mau tidur dengan kita, maunya tidurnya dengan suster, jangan sampai anak kita tidak mau mendengarkan perkataan kita, hanya maunya mendengarkan perkataan suster, itu berarti kita sudah menjual anak kita dan itu bagi saya suatu tindakan yang sangat salah.
GS : Itu berarti membutuhkan pengorbanan, membutuhkan kedisiplinan dari seorang ibu Pak Paul?

PG : Tepat sekali, dan sudah tentu si ayah juga harus berperan, menolong, terlibat juga, dua-dua di sini harus terlibat.

GS : Karena ada ibu yang mengatakan kalau saya sudah lelah dari pulang kerja lalu menghadapi anak-anak yang rewel dan sebagainya, itu dia menjadi gampang marah Pak Paul?

PG : Kalau memang itu yang terjadi kemungkinan memang pekerjaan si ibu harus dikurangi, sehingga dia lebih tenang sedikit. Pulang lebih pagi satu jam saja, itu membawa perbedaan yang cukup besar.

WL : Atau bekerja paroh waktu, part time.

PG : Ya atau bekerja paroh waktu.

GS : Apakah ada hal lain yang harus dipertimbangkan, Pak?

PG : Wibawa orang tua di hadapan anak bergantung pada kedekatan orang tua dengan anak. Semakin tidak dekat, maka kita semakin tidak berwibawa di hadapan anak. Anak menganggap kita tidak mempunyi hak mengatur hidupnya, apalagi mendisiplinnya dan ini berarti tatkala anak besar, kita tidak mempunyai kendali atas hidupnya.

Nah, ini yang terjadi, banyak orang tua kewalahan setelah anaknya menginjak usia remaja, tidak bisa lagi mereka kontrol. Anak itu benar-benar mempunyai pendapat dan kepala sendiri, orang tua tidak lagi mempunyai wibawa. Kenapa? Sebab memang tidak ada kedekatan. Sebab sekali lagi kedekatan antara orang tua dengan anaklah yang sebetulnya menumbuhkan wibawa orang tua. Kalau kita tidak merasakan orang tua dekat dengan kita, kita akan merasakan: "Engkau tidak mempunyai hak mengatur saya, jangan beritahu saya engkau tidak punya hak itu." Nah, jangan sampai anak kita nantinya berpikiran seperti ini tentang kita.
GS : Nah, itu kadang-kadang orang tua menggunakan pengasuh anak itu juga untuk mendisiplin anak itu, jadi orang tuanya ini tidak secara langsung memberitahu kepada anaknya hal-hal yang boleh dan tidak boleh tetapi melalui baby sitter atau pengasuh yang lain.

PG : Masalahnya adalah anak-anak ini hanya mendengarkan suster mereka sampai usia tertentu, setelah itu dia tidak akan mendengarkan lagi. Kenapa, sebab si anak tahu bahwa dia majikan dan susteritu adalah orang yang bekerja untuknya.

Nah, ini juga yang saya takutkan, akan ada anak-anak yang benar-benar tidak mempunyai rem dalam hidupnya. Anak harus bertumbuh besar dengan mempunyai dua perlengkapan yaitu rem dan gas. Apa yang saya maksud dengan rema dan gas, gas adalah si anak mempunyai motivasi mencapai target. Nah, saya takut kalau anak-anak tidak diawasi dengan baik oleh orang tua, tidak ada motivasi mencapai target karena dia semaunya sendiri. Dan ini juga yang menakutkan saya yaitu anak-anak ini tidak mempunyai rem, artinya tidak bisa mengatakan 'tidak' kepada dirinya sendiri, semua kehendaknya harus dituruti. Dia minta apa, susternya harus memberikan; dia minta apa, pembantu rumah tangganya harus memberikan, jadi benar-benar dia bertumbuh besar tanpa rem dan ini akan menjadi masalah setelah dia menginjak usia remaja. Apa yang dia kehendaki harus dituruti oleh orang tuanya jug adan karena orang tuanya tidak pernah dekat dengan dia, orang tuanya sudah kehilangan wibawa. Si anak tidak merasakan takut atau pun hormat kepada orang tuanya, nah masalah akhirnya meledak setelah mereka menginjak usia remaja.
WL : Dan otoritas suster tidak setinggi orang tua ya Pak Paul, sehingga suster berpikir daripada anak ini rewel ya sudah beri saja yang dia mau.

PG : Dan suster berpikir, memang ini bukan anak saya dan ini bukan tanggung jawab saya. Makanya kadang-kadang kita melihat anak yang sangat tidak hormat atau kurang ajar kepada suster, karena mmang orang tuanya juga tidak ada di rumah untuk mendisiplinkan si anak itu.

GS : Pak Paul, ada keluarga yang sejak anaknya masih kecil sudah disekolahkan di luar kota bahkan di luar negeri, itu bagaimana menurut pandangan Pak Paul?

PG : Saya tidak setuju, sebaiknya anak-anak itu baru boleh dikirim ke luar setelah usia remaja. Jadi paling awal sekitar usia 15, 16 tahun, sebisanya setelah lulus SMA. Dalam kasus tertentu ana-anak ini memang sudah bisa mandiri, sudah sangat dewasa dan hubungan dengan orang tuanya sangat baik, takut akan Tuhan, nah mau disekolahkan lebih awal saya tidak berkeberatan, tapi secara umum sebaiknya memang setelah lulus SMA.

GS : Pak Paul, ada anak yang sejak kecil ditinggal oleh orang tuanya entah karena perceraian atau kematian, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira akan ada dampaknya, karena kehilangan orang tua berarti kehilangan sumbangsih masukan-masukan yang seharusnya diterima oleh si anak. Nah, saya ingin menekankan juga satu hal di sni yaitu meskipun kehilangan ayah akan berdampak pada pertumbuhan anak, namun kehilangan ibu berdampak lebih besar terhadap anak.

Kenapa, sebab pada tahap awal pertumbuhan, ibu berperan besar sebagai pengasuh, nah ini peran yang dominan sekali dalam kehidupan si anak. Biasanya peranan ayah menjadi lebih besar pada tahap berikutnya anak-anak sudah SD apalagi nanti sudah remaja. Dengan kata lain peran ibu membangun pondasi struktur jiwani anak, itu sebabnya tanpa ibu sebetulnya anak itu bertumbuh rapuh, tubuhnya besar tapi jiwanya rapuh. Sebab apa, pada awal-awal kehidupannya di mana dia seharusnya menerima kasih sayang seorang ibu tapi dia tidak menerimanya, dia benar-benar seperti anak yang kehilangan gizi untuk pertumbuhan mendasarnya itu.
WL : Pak Paul, saya pernah membaca suatu penelitian yang diadakan di Amerika terhadap bayi-bayi yang ada di panti asuhan, mereka memang tidak mempunyai orang tua. Bayi-bayi ini dibagi dalam dua kelompok, kelompok yang pertama sama sekali tidak pernah disentuh oleh perawat (perawat di sini istilahnya berstatus menggantikan ibu) jadi kalau memberikan susu, botolnya cuma ditaruh begitu saja ke mulutnya tanpa sentuhan tangan, tidak digendong dan sebagainya. Kemudian kelompok satu lagi, benar-benar ada relasi antara perawat dengan bayi. Waktu diberikan minum susu, bayi itu digendong, diajak berbicara, dirawat, dan ternyata hasil yang mencengangkan adalah untuk kelompok yang pertama bayi-bayi itu beberapa bulan kemudian meninggal, itu mengagetkan saya. Terus kalaupun ada sisa yang masih hidup, anak-anak itu pun bermasalah sekali. Kemudian disimpulkan, betapa besar peran seorang ibu walaupun itu istilahnya ibu pengganti dalam masa-masa awal pertumbuhan seorang anak.

PG : Betul sekali, itulah yang saya juga saksikan Ibu Wulan, dulu saya bekerja menangani anak-anak yang dianiaya, yang dibius. Saya sering kali berpikir, kenapa anak-anak yang dibius ini yang ahirnya masuk ke dalam sistem rumah asuh kok akhirnya setelah remaja keluar dari rumah asuh ini bermasalah.

Rata-rata yang sudah remaja itu nantinya terlibat narkoba, berkelahi, hamil di luar nikah, masih usia belasan tapi bermasalah sekali. Kenapa sampai seperti itu, bukankah mereka dikeluarkan dari rumah, diselamatkan dari orang tua yang menganiaya mereka, dan ditaruh di rumah asuh, seharusnya bisa menjadi lebih baik. Nah, ini akhirnya yang saya simpulkan, rumah asuh itu hanya boleh mengurus anak untuk jangka waktu tertentu. Jadi ada penggolongannya, misalkan umur berapa dengan umur berapa, 0 - 3 tahun ditaruh dalam satu rumah, umur 3 sampai umur berapa harus di rumah yang berikutnya. Jadi dipecah-pecah, sehingga si anak-anak itu kalau sampai umur 17, 18 tahun di rumah asuh, mereka itu mungkin sudah harus melewati sekitar 5, 6 rumah. Berarti apa, berarti tidak pernah ada kesempatan terjadinya kelekatan dengan orang tua. Nah, anak-anak yang tidak ada kelekatan, tidak menerima masukan-masukan dari orang tuanya, begitu keluar dari sistem rumah asuh ini mereka bermasalah. Jadi jangan sampai kita ini menciptakan satu generasi anak-anak yang bermasalah nantinya gara-gara kita sekarang menjadi orang yang terlalu mementingkan diri, tidak mau direpotkan oleh anak.
GS : Banyak orang tua juga yang mengatakan tidak mau terlalu memanjakan anaknya atau terlalu dekat dengan anaknya, supaya anaknya itu bisa mandiri Pak Paul?

PG : Nah, masalahnya anak akan mandiri pada usianya, anak mempunyai jadwalnya untuk mandiri dan tidak perlu dipaksakan dia akan mandiri. Nah kita sekarang, apakah masih senang disuapi, dibayar un kita tidak mau disuapi, karena memang jadwal itu sudah sampai.

Kita tidur dengan orang tua sekarang ini ya tidak nyaman, sampai usia tertentu kita merindukan tidur dengan orang tua kita, jadi anak-anak mempunyai jadwalnya sendiri untuk mandiri. Tidak perlu disuruh pun, kalau kita membesarkan anak-anak dengan baik, seharusnya dia akan bertumbuh mandiri. Jadi penting sekali ya kita memberikan yang cukup dan yang benar kepada anak.
GS : Berarti itu suatu kekhawatiran yang berlebihan?

PG : Saya kira demikian.

GS : Apakah ada hal lain lagi Pak Paul, yang harus dipertimbangkan?

PG : Yang berikutnya adalah anak menyerap terbesar pada masa kanak-kanak, dan apa yang terhilang pada masa ini, tidak tergantikan pada masa berikutnya. Jika kita tidak dekat dengan anak sekaran, kedekatan ini tidak bisa diciptakan lagi di kemudian hari, karena sudah habis waktunya.

Ada waktunya anak merindukan kehadiran kita di sampingnya, kalau waktu itu kita lewati, kita tidak hadir di sampingnya ya sudah nanti waktu dia sudah remaja kita baru mau dekat dengannya, dia tidak mau lagi membuka pintu itu. Dan kalau pun nantinya kita akan dekat, kedekatan itu tidak sama. Sebab apa, kelekatan emosional itu tidak bisa diciptakan pada usia besar. Saya berikan contoh yang lebih gampang, kita dengan teman kita, bukankah teman-teman yang akrab atau dekat dengan kita pada umumnya teman-teman yang kita sudah kenal, sudah bergaul sejak masa kecil. Berbeda dengan teman-teman yang baru kita kenal pada usia dewasa, kedekatan itu tidak sama dengan teman-teman yang sejak kecil kita merasa benar-benar menyatu, nah itu adalah teman bukannya orang tua, nah bayangkan kalau itu orang tua yang terus bersama kita, membesarkan kita, kedekatan itu tidak bisa tergantikan.
WL : Apalagi pada moment-moment penting Pak Paul, misalnya waktu anak itu sedih, waktu dia malu di sekolah, waktu pulang ada orang tua yang siap memeluk, menerima, menguatkan dibandingkan dengan yang tidak ada siapa-siapa kemudian dia harus menangis kepada siapa.

PG : Betul sekali, dan akhirnya mereka belajar menelan perasaannya, sebab pulang ke rumah, rumah kosong, mau berbicara malam-malam orang tua sudah sibuk, capek, dan tidak ada waktu buat mereka uga maunya menyendiri saja.

Akhirnya mereka dikurung sendiri di kamar dan lama-lama menelan penderitaan sendiri, nah nanti sudah besar anak-anak itu mengalami problem, orang tua baru mengeluh: "Kamu kok tidak mau cerita kepada kami?" Nah waktunya sudah lewat.
GS : Ya memang waktu ini perlu disediakan Pak Paul, saya membaca suatu cerita, ada anak itu yang berkata kepada ayahnya mau membeli waktu ayahnya, dia bertanya kepada ayahnya, ayah dibayar berapa dalam satu bulan? Kemudian dia katakan saya mau bayar.

PG : Betul, jadi yang seharusnya diberikan dengan cuma-cuma menjadi begitu mahal sekarang ini.

GS : Dan saya melihat waktu kebersamaan dengan anak itu tidak lama Pak Paul ya, mungkin hanya 10 sampai 15 tahun saja.

PG : Tepat sekali, bahkan 15 tahun pun sudah jarang sekarang ini. Kebanyakan anak-anak menginjak usia 12 tahun sudah mulai mandiri, tidak lagi mau diperlakukan seperti anak-anak, kita mau dekatdekat; dia tidak terlalu mau dekat, kita mau peluk dia; dia menjauh dari kita.

Dan itulah memang jadwalnya dia menjauh dari kita, nah jadwalnya dia dekat dengan kita itu yang harus selalu kita gunakan.
GS : Sehubungan dengan ini Pak Paul, apakah ada bagian firman Tuhan yang menguatkan pembicaraan ini?

PG : Saya akan bacakan dari Yohanes 19:25-26 , "Dan dekat salib Yesus berdiri ibuNya. Ketika Yesus melihat ibuNya dan murid yang dikasihiNya di sampingNya, berkatalah Ia kepadaibuNya: "Ibu, inilah, anakMu!" Kemudian kataNya kepada murid-muridNya: "Inilah ibumu!" Dengan kata lain pada saat Tuhan Yesus disalib, siapakah yang tetap menyertai dan mendampingi Yesus, mamaNya, itu suatu hal yang luar biasa.

Dan Tuhan langsung meminta kepada Yohanes untuk mengurus mamaNya setelah Ia pergi. Sebab apa, Dia tahu bahwa mamaNya akan kehilangan Dia dan perlu ada seorang anak yang bisa menggantikan, maka Dia meminta Yohanes untuk mendampingi ibuNya. Apa yang bisa kita lihat di sini, relasi anak dan ibu yang dekat. Jadi Maria telah menjadi mama yang baik buat Yesus, Maria telah menjadi mama yang hadir dalam kehidupan Tuhan Yesus, dia mengikut Tuhan Yesus sampai ke kayu salib. Dalam penderitaan di mana orang meninggalkan, di mana orang sudah tidak lagi berani mengikut Tuhan Yesus, mama Maria tetap menyertai Tuhan Yesus. Nah, saya berharap kedekatan seperti inilah yang tercipta antara ibu dan anaknya.
GS : Padahal di kalangan orang Yahudi, tadi Pak Paul sudah singgung bahwa yang mendidik anak itu Bapak, tapi kedekatan ini terbentuk dari apa Pak Paul?

PG : Karena memang orang tua terlibat dalam kehidupan si anak, ayah memberikan disiplin, mengarahkan si anak; ibu menyediakan kasih sayang, memberikan waktu, memberikan makanan dan gizi-gizi emsional kepada si anak.

GS : Jadi memang saat-saat ini sangat diperlukan khususnya oleh anak-anak, seorang ibu yang perhatian atau yang memberikan kasih sayangnya kepada mereka sebagai anak. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini juga Ibu Wulan. Dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Anda sekalian yang telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dicari Wanita yang Sayang Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



28. Sendiri Namun Produktif


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T151B (File MP3 T151B)


Abstrak:

Hidup ini tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan kita. Sendiri namun masih bisa produktif dalam pengertian kita tidak harus hidup untuk diri kita, kita masih bisa hidup untuk orang lain, kelompok kita dan sudah tentu untuk Tuhan. Alkitab pun menjelaskan tentang banyak tokoh yang luar biasa hidup sendiri.


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sendiri namun Produktif", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam kehidupan ini kita memang mempunyai harapan-harapan, kadang-kadang harapannya malah terlalu tinggi dan sebagainya, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Justru kadang-kadang yang tidak kita harapkan itu terjadi di dalam hidup ini. Kalau kita bicara tentang sendiri namun produktif ini bagaimana Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, tadi Pak Gunawan sudah memunculkan pengamatan bahwa hidup ini tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan kita. Kalau boleh menggunakan pengibaratan, kadang-kadang kitadipaksa untuk berbelok arah, kita tidak siap tapi tidak bisa tidak kita harus berbelok arah.

Nah, kadang-kadang yang terjadi adalah kita kehilangan orang yang dekat dengan kita, orang yang tadinya bersama dengan kita sekarang tidak ada lagi. Bisa ini orang tua, bisa anak, bisa pasangan dan bisa juga sahabat. Nah, ini adalah hal-hal yang memang memaksa kita untuk membelokkan arah hidup kita karena ketidakhadiran mereka itu. Apa yang bisa kita lakukan, biasanya memang kita harus melewati masa kehilangan itu dan itu tidak bisa kita hindari, kita harus terima, kita harus melewati masa kehilangan itu. Namun pada kesempatan ini kita juga mau mengajak para pendengar kita untuk melihat melampaui kehilangan itu sendiri, ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk melewatinya. Yang pertama adalah kita mesti berhenti berandai-andai, sering kali kita berandai aduh....kalau saja saya bertemu dengan orang ini, maka akan begini, begini, andai saja saya tidak bertemu dengan orang ini maka saya akan begini, begini. Nah, tidak bisa kita terus berandai, kadang-kadang berandai itu masih wajar tapi jangan sampai pola pikir berandai menjadi pijakan kita dalam mengambil keputusan dalam hidup ini. Karena hidup berandai bukan saja menjauhkan kita dari realitas tapi membuat kita tidak hidup sepenuhnya di masa sekarang. Nah artinya apa, artinya kita tidak bisa menghadapi hidup dengan efektif. Kadang kita sulit menerima fakta kehidupan ini karena memang pahit namun pada akhirnya kita harus hidup melampaui kepahitan itu.
WL : Pak Paul, tapi faktanya kalau di negara Indonesia atau budaya Timur, kita sering jumpai bahwa nadanya nada minor terhadap terutama wanita, kalau pria tidak terlalu dipikir tapi kalau wanita yang single baik yang belum menikah atau pun sudah menikah kemudian kehilangan pasangan. Kalau yang belum menikah, pada usia tertentu belum menikah nah itu menjadi nada-nada minor juga, terus bagi yang janda juga begitu. Mungkin itu juga menjadi tekanan bagi wanita-wanita yang hidup sendiri ini jadi akhirnya berandai-andai terus, Pak Paul?

PG : Ya, saya bisa melihat yang tadi Ibu Wulan katakan, tekanan dari luar mendorong kita untuk berharap dan berharap bahwa suatu hari kelak pasangan kita yang kita nantikan itu akan muncul di pntu rumah kita.

Tadi saya sudah katakan pemikiran yang datang secara ringan, itu saya kira normal, tidak bisa tidak kita akan mengharapkan adanya perubahan. Namun sekali lagi akhirnya kita tidak bisa dihalangi oleh pemikiran berandai ini. Kita harus melampaui andai kata tidak, andai kata akhirnya memindahkan kita dari realitas masuk ke dalam dunia khayal, nah kita harus kembali lagi ke dunia realitas bahwa memang tidak ada. Kita tidak lagi berpikir nanti kalau ada bagaimana, tidak, kalau memang kita belum mempunyai pasangan hidup ya sudah kita terima memang sekarang ini belum ada pasangan hidup. Saya teringat ada seseorang yang pernah berkata kepada saya, kebetulan dia seorang wanita, dia bertanya: "Apakah saya akan menikah, apakah saya akan mempunyai pasangan hidup nanti?" Ya saya bilang saya tidak tahu jawabannya. Terus dia bertanya lagi: "Apakah Tuhan menghendaki saya menikah nanti?" Saya berkata: "Nanti saya tidak tahu, tapi yang sekarang bisa saya tahu pasti yaitu Tuhan tidak menghendaki kamu menikah sekarang, sebab sekarang kamu tidak menikah jadi berarti sekarang ini Tuhan tidak menghendaki kamu menikah dan hiduplah dengan yang sekarang Tuhan tetapkan untuk kita, yaitu sekarang Tuhan tetapkan kamu tidak menikah ya hiduplah seperti ini."
GS : Biasanya ada semacam rasa penyesalan Pak Paul, kenapa saya melewati jalan ini, apakah saya tidak keliru melewati jalan ini. Tadi Pak Paul menggunakan ilustrasi orang yang berjalan kemudian terpaksa berbelok, jadi kadang-kadang memang di dalam perjalanan sehari-hari kita dipaksa untuk belok juga karena kecelakaan atau apa. Nah, itu bisa menimbulkan rasa keterkejutan, saya tidak merencanakan jalan ke sini, tetapi karena keadaan memaksa saya harus jalan ke sini padahal saya tidak tahu jalan itu, mungkin di luar kota dan sebagainya. Kemudian timbul penyesalan kenapa saya tadi tidak melewati jalan yang lain saja, kenapa harus lewat sini, begitu Pak Paul?

PG : Sering kali itu muncul Pak Gunawan, karena kita terus mengenang jalan yang seharusnya kita ambil, kenapa sekarang jalan ini yang harus saya tempuh. Dan contoh tadi memang tidak sempurna seab kalau kita berbelok arah waktu kita mengendarai kendaraan kita, kita tahu kita akan sampai ke tujuan semula meskipun jalannya berbeda.

Nah, sering kali ini waktu kita dipaksa berbelok arah dalam hidup memang tujuannya pun nantinya berubah. Nah, tujuannya berarti tidak seperti yang kita dambakan. Misalkan kita berharap umur 30 kita sudah berkeluarga, nah sekarang sudah umur 35 belum berkeluarga berarti ada kemungkinan saya tidak akan berkeluarga. Nah itu berarti tujuannya sudah berubah dan ini yang memang membuat kita panik karena tujuannya itu tidak sama. Nah, sekarang ini saya mau dibawa ke mana oleh Tuhan nah ini yang menakutkan tapi sekali lagi tidak bisa kita tetap berharap nanti umur 35 saya menikah karena memang tidak tahu, kita hidup apa adanya sekarang ini.
WL : Pak Paul, saya tertarik dengan istilah "maunya Tuhan" kalau kita melihat dari Alkitab pengajaran secara keseluruhan dikatakan bahwa sebenarnya keinginan Tuhan yang pertama adalah supaya kita menikah, berkeluarga. Kalau pun sendiri itu demi keefektifan pelayanan, bukan karena permasalahan kita, karena kita memang tidak mau, kalau menikah mau tidak mau harus tunduk tidak bisa egois dan sebagainya atau berbagai masalah lain semata-mata demi keefektifan pelayanan. Menurut Pak Paul sendiri bagaimana?

PG : Saya setuju dan itulah yang saya coba nanti membawa pendengar kita untuk sampai ke titik itu. Sebab untuk sampai ke titik itu tidak mudah Ibu Wulan, sebab kita ini menghadapi realitas hidu dan sukar untuk membawa pikiran ke atas, ke kacamata Tuhan.

Di kacamata kita adalah tidak ada yang mendekati saya, kenapa saya pacaran tidak berhasil, berkali-kali pacaran tapi putus dan sebagainya, jadi itu yang di depan mata kita dan sulit bagi kita untuk melihat bahwa masih ada kehendak Tuhan di atas semuanya ini.
GS : Selain menerima semua realitas kehidupan ini, sebetulnya apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Kita mesti mengisi ruang waktu yang memang kita miliki. Misalkan kita terbiasa bersama dengan pasangan kita sekarang tidak ada lagi pasangan. Nah, ruang waktu yang ditinggalkannya itu kosog dan tidak bisa tidak kita mesti mengisinya.

Misalkan tadi seperti yang saya bilang kita berandai-andai. Kadang-kadang berandai-andai sedikit banyak memenuhi kebutuhan kita, sebab waktu kita berandai seolah-olah kita sedang mengisi ruang waktu kita dengan kehadiran pasangan yang memang belum ada itu, makanya tidak bisa terus begitu. Kenyataannya memang tidak ada, ruangan ini kosong, nah karena ruangan ini kosong kita mesti mengisinya dengan hal-hal lain. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, misalnya kalau ada waktu kita bisa bersekolah kembali ya kita bersekolah, kita masih ada waktu untuk misalkan mengikuti keterampilan musik yang kita belum pernah kuasai sebelumnya, kita lakukan itu. Kita belum pernah berkunjung ke daerah-daerah wisata yang lain, sekarang kita pergi, kita isi waktu itu. Jadi memang mesti kreatif, mesti berani mengambil resiko, mesti melangkah keluar.
GS : Kalau seandainya ruangan kosong itu dibiarkan kosong, apa yang terjadi?

PG : Wah....biasanya memang kita akan makin tenggelam dalam kegelapan pikiran kita, kita benar-benar merasa aduh saya sendirian, saya tidak akan ke mana-mana, mungkin akhirnya putus asa dengan idup ini.

WL : Pak Paul, itu di hadapan Tuhan tidak apa-apa kalau misalnya seperti tadi saran Pak Paul mengisi ruang waktu itu dengan bersekolah dan sebagainya begitu. Orang sering mempertanyakan motivasi di balik itu, Pak Paul?

PG : Saya melihat Tuhan itu mudah dan mau mengerti kita, meskipun motivasi kita sekolah bukan sungguh-sungguh mau mendapatkan ilmu apa, tidak menjadi soal. Saya percaya Tuhan mudah dan mau mengrti kondisi kita, bahwa Dia mengerti kita mau mengisi ruang waktu yang kosong ini dan Dia akan ijinkan kita untuk melakukannya.

Dan Dia akan berkati, Dia akan menolong kita sehingga bisa mengisi kembali ruang waktu itu, nah ini yang saya perhatikan tentang cara Tuhan bekerja.
GS : Ya, biasanya orang malah enggan untuk melakukan hal-hal seperti itu Pak Paul, dia lebih banyak merenungi nasibnya sendiri, kesedihannya itu.

PG : Betul, tadi saya singgung bahwa pada awalnya itu wajar, kita memang akan menangisi dan meratapi kehilangan kita, tapi setelah satu titik tertentu memang kita harus melampaui kepahitan itu,sebab kalau tidak ruangan itu tetap kosong.

Semakin kosong, semakin kosong akhirnya yang kosong itu makin membesar dalam hidup kita.
GS : Untuk mengisi hal itu dengan sesuatu yang berguna bagi kehidupan ini, apa yang bisa kita lakukan?

PG : Kita harus membuat rencana Pak Gunawan, jadi dengan kata lain ini suatu usaha yang terkoordinir, yang terencana dengan penuh kesadaran. Kita tidak bisa hanya melihat saja nanti bagaimana, adi setelah kita berhasil melampaui kehilangan kita itu kita mesti mulai memikirkan rencana misalnya lima tahun mendatang kita ingin melakukan apa, nah susun dulu untuk lima tahun itu.

Setelah lima tahun lewat, susun lagi untuk lima tahun berikutnya, misalnya seperti itu. Kalau masih belum bisa menyusun untuk lima tahun, susun untuk satu tahun dulu. Kalau belum bisa untuk satu tahun, enam bulan dulu, pokoknya buat rencana dan cobalah untuk penuhi target kita itu.
GS : Pak Paul, di dalam penyusunan rencana itu sebenarnya apakah bisa dilakukan sendiri atau kita melibatkan orang lain atau membutuhkan bantuan orang lain atau bagaimana Pak Paul?

PG : Kira-kira memang perlu bantuan orang lain, karena apa, karena pada saat-saat sendiri itu kita kehilangan tenaga untuk memulai apa-apa, karena itu kita perlu uluran tangan sesama untuk bisamemberikan kita dorongan, waktu kita rasanya tidak ingin melakukan apa-apa, nah teman atau sahabat bisa berkata ayo lakukan, kamu begini yuk, dia masih memberikan perhatian.

Dan itu seolah-olah memberikan kita pinjaman kekuatan.
GS : Karena sering kali orang merasa trauma dengan masa lalunya, nanti saya rencanakan-rencanakan tidak tahunya belok lagi atau gagal lagi.

PG : Sering kali masa lampau itu memang menjadi ingatan yang menakutkan kita jadi kita tidak mau lagi jatuh atau mengalami kesedihan yang sama, tapi bangunlah persahabatan itu salah satu prinsi yang harus kita pegang.

Dan yang lebih realistik adalah bersahabat dengan sesama rekan yang juga hidup sendiri, sesama rekan yang hidup sendiri memiliki kemerdekaan yang sama dengan kita dan ini berarti akan ada banyak hal yang dapat kita kerjakan bersama. Berteman yang berkeluarga mempunyai keterbatasannya.
GS : Ini mungkin ada kaitannya juga merasa senasib Pak Paul, sehingga sama-sama menempuh kehidupan ini lagi.

PG : Meskipun waktu kita bersahabat dengan yang seperti kita sama-sama sendirian, mungkin masih ada sedikit rasa takut kalau dia nanti ada pasangan, kita akan ditinggal lagi, yang tadi seperti ak Gunawan katakan.

Jadi pengalaman ditinggal sendiri lagi itu akan muncul lagi, takut kita luka. Nah, ini kadang-kadang membuat kita merasa enggan memulai persahabatan, tapi tidak apa-apa nikmati selama masih bisa dinikmati. Kalau memang dalam rencana Tuhan teman kita itu diberikan pasangan hidup dan tidak sendiri lagi ya sudah, memang kita akan kehilangan dia tapi ya tidak apa-apa kita mesti mencari lagi yang seperti kita lagi.
GS : Memang dalam perencanaan ini kita harus melibatkan Tuhan, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, kita harus bertanya: "Tuhan, apa itu yang Engkau inginkan untuk aku lakukan?" Harus selalu kita tanyakan itu, "Tuhan, apa makna kesendirian saya ini, apa yang edang Engkau tunjukkan supaya saya dapat melihatnya dengan jelas."

WL : Pak Paul, kalau rencana-rencana ini tadi saya pikir berkaitan dengan tema kita, sendiri namun produktif. Yaitu merencanakan sesuatu supaya nantinya ada hasil, sehingga kita dalam kesendirian itu tidak menjadi sia-sia. Nah, saya ingin bertanya definisi dari produktif itu apakah kita harus menghasilkan sesuatu ataukah penting juga internal kita semakin menjadi matang, semakin dewasa, bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Itu betul sekali Ibu Wulan, jadi produktif menghasilkan sesuatu yang tidak selalu diukur dengan hal-hal yang terjadi di luar kita, tapi juga yang terjadi di dalam kita. Kita melihat diri kta bertumbuh wah....itu

memberikan kita kesenangan luar biasa atau kebahagiaan tertentu. Sekarang saya bisa begini, sekarang saya bisa begitu, dulu tidak pernah saya berpikir saya bisa kok sekarang bisa. Nah, kita merasa itu produktif, kita menghasilkan sesuatu, ada tunas baru yang keluar dari dalam diri kita.
WL : Saya melihat banyak sekali justru yang sendiri atau single itu "aneh" tapi ada juga yang kelihatan justru matang, dewasa sekali.

PG : Betul, akhirnya terpulang pada diri sendiri, kalau dia terus mengurung dirinya dan tidak bersahabat, berelasi dengan orang makin hari makin aneh itu betul sekali. Tapi kalau dia mempunyai anyak teman, bersahabat dengan bebas, itu akan memperkaya diri dia sehingga dia tidak sempat hidup untuk dirinya sendiri lagi.

GS : Tadi Pak Paul katakan bahwa berteman dengan orang yang berkeluarga itu ada keterbatasannya, keterbatasan apa Pak Paul?

PG : Kita tidak bisa misalnya mengajak dia sembarang waktu, dia harus mengurus anaknya, keluarganya, nah kalau dengan sesama single bisa. Kita bisa merencakan pergi ke mana dan dia tidak ada bean apa-apa dan dia bisa lakukan itu.

Jadi sebetulnya orang yang single mempunyai kesempatan yang tidak dimiliki oleh orang yang sudah berkeluarga. Sebab secara alamiah kita yang berkeluarga memang makin hari makin menyempitkan ruang pergaulan kita.
WL : Pak Paul, berkaitan dengan persahabatan tadi saya mau bertanya dari beberapa kali pengalaman berkenalan atau bersahabat dengan orang yang single begitu kok agak posesif, karena apa Pak Paul?

PG : Tadi yang saya katakan yaitu ada rasa takut bahwa nanti rekan kita ini akan bersanding dengan orang dan kita ditinggal. Nah, ini bersanding tidak harus dalam pengertian menikah, tapi bisa uga dalam pengertian dia mempunyai sahabat lain.

Nah, itu memang menakutkan karena kesendirian sangat menakutkan dan kita tidak mau kita mengalaminya lagi. Kalau kita sudah dekat dengan seseorang, kita tidak siap untuk melihat dia nanti meninggalkan kita sendiri lagi.
GS : Tapi ada juga kekhawatiran nanti kita dipikir cuma menggunakan kesempatan saja, jadi kita hanya mau berteman untuk menghilangkan rasa duka kita atau kesendirian kita, Pak Paul.

PG : Adakalanya begitu, sehingga kita akhirnya tidak berani memulai persahabatan, karena belum apa-apa kita sudah berpikir oh.....nanti orang mengira kita mau memanfaatkan dia saja.

GS : Nah, katakan kita sudah bisa bersahabat atau bahkan bisa masuk dalam satu kelompok, apakah yang bisa kita lakukan di sana?

PG : Saya kira kita mesti membuat suatu rencana yang jelas yaitu kita mau menginvestasikan hidup dan diri kita ini pada kelompok yang tertentu ini. Kita tidak bisa memikirkan seluruh dunia, selruh kota, seluruh dosa dan kampung kita, kita hanya bisa memfokuskan perhatian kita pada sekelompok masyarakat.

Nah, jadikan ini seperti lahan garapan kita, kita fokuskan diri kita di sana, apa yang bisa kita kerjakan untuk mereka, bantuan apa yang bisa kita berikan, sumbang sih apa yang bisa kita bagikan. Nah, itu yang akan coba kita lakukan.
GS : Tetapi itu juga ada resikonya keterbatasan kita, kalau kita sudah masuk ke sana dan menginvestasikan waktu dan sebagainya tapi tidak mendapatkan tanggapan yang positif, itu bisa mengecewakan kita lagi.

PG : Betul, kalau itu yang terjadi kita mesti mengevaluasi, apakah saya di tempat yang tepat, apakah mungkin saya harus mencari tempat yang lain, yang berbeda dan sebagainya. Misalkan, kita berecimpung di sebuah persekutuan di gereja, kemudian itu yang kita lihat kok rasanya mereka tidak begitu tertarik untuk menerima uluran tangan kita.

Nah, mungkin kita boleh memikirkan ke tempat yang berbeda. Mungkin di sanalah kita sebagai orang single lebih bisa diterima, dihargai dan dimanfaatkan untuk pelayanan, nah ini hal-hal yang kita juga harus pikirkan.
WL : Pak Paul, saya sering mendengar hamba Tuhan mengatakan, bagi orang yang menikah itu adalah orang-orang yang berani. Berani dalam pengertian karena itu sekolah seumur hidup, harus tenggang rasa dan sebagainya. Nah, kalau dibandingkan dengan orang yang sendiri, orang yang single, mereka tidak mengalami sekolah seumur hidup seperti itu. Bahkan sering dikatakan sudah kelamaan sendiri keenakan, segala sesuatu mengambil keputusan sendiri dan tidak harus tenggang rasa dengan orang lain, dan kalau terjun dalam kelompok tertentu atau kelompok yang lainnya akhirnya sering kali banyak sekali gesekan dan masalah timbul, begitu Pak Paul.

PG : Itu memang mungkin terjadi, karena kita itu tidak ditaruh dalam suatu tempat yang penuh dengan tekanan, intensitasnya tinggi, harus menyesuaikan diri, kalau kita hidup single tidak ada memng rasa terpaksa seperti itu.

Kalau kita menikah memang ada paksaan itu dan akibatnya banyak hal-hal yang tadinya tajam-tajam pada diri kita itu bisa diasah menjadi lebih lunak. Karena kita sendiri kalau tidak ada paksaan itu, yang tajam-tajam itu masih bisa mencuat dan melukai orang. Namun sekali lagi, Tuhan sangat kaya dan besar sehingga kalau kita sendiri mau belajar dan diajar oleh Tuhan Dia akan sediakan, Dia akan sediakan lingkungan dan teman yang bisa akhirnya melunakkan sisi-sisi yang tajam dari dalam diri kita itu.
GS : Sebenarnya banyak manfaat yang bisa kita ambil melalui kita bergabung dalam satu kelompok itu ya Pak Paul. Untuk ke depannya supaya kita bisa lebih melengkapi diri kita agar kalau toh kita harus mengalami hal yang dibelokkan lagi, apa yang bisa kita lakukan?

PG : Pertama, kita harus melebarkan wawasan kita yaitu kita melihat tokoh-tokoh Alkitab. Cukup banyak tokoh-tokoh Alkitab itu orang yang lajang atau sendiri, tidak dicatat mereka itu mempunyai asangan hidup.

Misalnya Elia, Elisa, Tuhan Yesus sendiri dan rasul Paulus yang jelas-jelas mengatakan dia hidup sendiri. Jadi cukup banyak tokoh-tokoh Alkitab yang dipakai Tuhan luar biasa dan mereka sendiri. Jadi yang ingin saya tekankan adalah bahwa kita meskipun sendiri masih bisa produktif dalam pengertian kita tidak harus hidup untuk diri kita, kita masih bisa hidup untuk orang lain, untuk kelompok kita dan sudah tentu untuk Tuhan.
GS : Apakah dalam hal ini Tuhan Yesus mengatakan sesuatu, Pak Paul?

PG : Saya akan menggunakan kisah orang kaya yang bodoh, mengumpulkan hartanya di lumbung. Nah, Tuhan katakan: "Hai, orang bodoh pada malam ini juga jiwamu akan diambil daripadamu, dan apa ang telah kau sediakan untuk siapakah itu nanti."

Nah, saya ingin meninggalkan pertanyaan Tuhan ini pada kita semua yang masih single yaitu untuk siapakah hidup saya ini, memang saya sendiri tapi untuk siapakah saya hidup. Nah, kita mau katakan hidup ini saya akan berikan kepada Tuhan dan kepada sesama kita jadi kita tidak hidup untuk diri sendiri.
GS : Pak Paul, contoh konkretnya di dalam kita itu menyerahkan kehidupan ini untuk Tuhan, apakah itu harus terlibat di dalam hal-hal yang rahani, Pak Paul?

PG : Tidak, terlibat di sini luas sekali, sudah tentu hal-hal rohani menjadi bagian darinya. Tapi setelah itu secara sosial, secara kultural, dalam hal seni atau apa kita bisa terlibat o....silkan.

Karena semua adalah obyek-obyek penerima berkat dari kita dan kita mau bagikan berkat itu kepada mereka.
GS : Jadi kalau kita sudah melewati masa pembelokan dan sebagainya yang tadinya kurang menyenangkan, kita juga melihat ke belakang bahwa itu sesuatu yang indah.

PG : Biasanya begitu Pak Gunawan, orang yang berhasil melihat belokan itu di ujung jalan itu dia akan berkata: "O....belokan ini juga indah."

GS : Terima kasih sekali Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sendiri namun Produkif". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untu mengunjungi situs atau website kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



29. Menjadi Tua


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T177A (File MP3 T177A)


Abstrak:

Menjadi tua adalah bagian dari kehidupan yang tak dapat kita cegah atau hindari. Untuk menangani gejolak dan kebutuhan masa tua, marilah kita lihat beberapa hal : Berusahalah untuk hidup sehat dan hidup dalam keterbatasan, kurangilah jumlah peran sesuai dengan kondisi dan keterbatasan, bentuklah lingkup sosial yang baru atau perkuatlah jalinan relasi dengan anak dan kerabat yang ada, isilah waktu yang tersedia dengan kegiatan yang "menggembirakan".


Ringkasan:

Menjadi tua adalah bagian dari kehidupan yang tak dapat kita cegah atau hindari. Ada yang berhasil menerima kodrat tuanya dengan baik namun ada pula yang tidak terlalu berhasil menerima kodrat tua dengan baik. Untuk memahami gejolak dan kebutuhan masa tua, marilah kita lihat beberapa hal di bawah ini.

Gejolak Masa Tua

Kebutuhan dan Penanganan

Firman Tuhan
"Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion." Amsal 84:8 . Ingat! Masa tua adalah masa yang makin mendekati perjumpaan dengan Tuhan; jadi, bersiap-siaplah. Jangan datang dengan tangan hampa.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini saya bersama dengan ibu Esther Tjahja kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menjadi Tua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, akhir-akhir ini ditengarai bahwa jumlah orang yang lanjut usia itu bertambah banyak dan ternyata tidak semua orang siap menjadi tua. Mereka cenderung merasa masih muda sekalipun usia dan fisiknya membuktikan bahwa dia sebenarnya sudah memasuki masa tua, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Apa yang Pak Gunawan katakan itu tepat sekali, nomor satu memang di dunia ini populasi orang yang bertambah tua itu makin bertambah dan yang kedua adalah ketidaksiapan orang memasuki hri tua itu juga adalah sesuatu yang sangat menggejala dewasa ini.

Tidak terlalu banyak lagi orang yang menyambut hari tua seperti dahulu kala. Saya kira ini memang adalah salah satu yang harus kita bicarakan agar kita bisa atau memasuki hari tua dengan lebih santai, tidak terlalu harus takut dengan hari tua.
GS : Padahal ketuaan itu sendiri tidak bisa kita ingkari dan tidak bisa dihindari juga Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, tapi itulah yang kita coba lakukan kita berusaha sekeras-kerasnya untuk menahan diri kita sehingga tidak mencapai usia tua. Misalnya dengan makan banyak vitamn, mengecat rambut, mengencangkan kulit, operasi ini itu dan sebagainya, itu semua adalah usaha-usaha yang kita gunakan untuk menahan laju ketuaan kita.

ET : Jadi sesungguhnya apakah gejolak khusus yang muncul di usia tua ini yang tentunya berbeda dari masa sebelumnya?

PG : Ada beberapa Ibu Esther, yang pertama adalah masa tua itu ditandai oleh perubahan fisik. Ini menimbulkan gejolak dalam kehidupan kita, misalnya kita makin berkerut dan kulit kita bertabah kusam.

Yang lainnya adalah tanggalnya gigi, makan tiba-tiba copot satu gigi, rontoknya rambut, berubahnya warna rambut menjadi putih, ini yang sering kali dicat supaya tidak nampak. Berkurangnya keluwesan pergerakan tubuh alias tubuh kita bertambah kaku, berkurangnya pendengaran, orang berbicara apa tidak bisa kita dengar dengan baik. Penglihatan juga makin berkurang, melemahnya daya ingat. Nah itu hal-hal yang sering kali kita lakukan, bertambah cepatnya rasa letih, dulu pergi ke mana tidak merasa letih sekarang baru pergi dua jam ingin pulang ke rumah karena rasanya sudah letih. Meski kita berupaya mengurangi perkembangan semua perubahan fisik ini namun tetap kita harus menerimanya. Sebagian dari kita tidak mudah menerimanya dan pada akhirnya mengalami konflik dengan diri sendiri. Jadi ini gejolak yang pertama yaitu perubahan fisik.
GS : Bukankah ketuaan tidak datang tiba-tiba, kenapa timbul gejolak seperti itu?

PG : Biasanya ada usia tertentu yang mengagetkan orang. Misalnya ada penggalan-penggalan usia yang mengagetkan orang. Banyak orang yang beranggapan dia tidak terlalu tua sampai misalkan diamencapai usia 60 tahun.

Sampai usia 50-an dia masih tetap beranggapan bahwa dia masih muda tapi begitu masuk 60 dan misalkan di gereja di umumkan, saudara-saudara yang berusia 60 tahun ke atas diharapkan menghadiri kebaktian komisi lansia. "Wah...........tiba-tiba saya umur 60 dan harus menghadiri kebaktian lansia". Itu suatu ide yang terlalu menakutkan bagi sebagian kita. Jadi akhirnya ada usia yang seolah-olah itu lampu merah, usia 60 sudah mulai tua. Atau ada orang yang beranggapan kalau sudah mencapai usia 65, "Wah saya sudah tua". Seolah-olah sebelum usia 65 dia belum mengalami ketuaan dan seolah-olah ketuaan baru masuk usia 65. Padahal seperti yang tadi Pak Gunawan utarakan, sesungguhnya kita telah mengalami proses penuaan hari lepas hari, tahun demi tahun.
GS : Jadi sebenarnya idealnya umur berapa orang sudah harus mulai mempersiapkan diri Pak Paul?

PG : Pada waktu kita berusia 50-an ke atas, kita sudah seharusnyalah mulai memikirkan hal-hal yang tadi kita bicarakan yaitu tentang keterbatasan. Dan belajarlah menerima keterbatasan-keteratasan yang memang harus kita terima, jangan kita tidak mau menerimanya.

Misalkan pergolakan yang lain juga yang sering kali dialami oleh orangtua, masa tua itu sering kali ditandai dengan berkurangnya produktifitas kerja. Pada usia tua kita memasuki usia pensiun dan ini membuka lembar baru dalam kehidupan. Lembar kehidupan baru tersebut adalah bahwa kita tidak sepenting dulu, dan pengaruh kita tidak sebesar dulu. Peranan kita mulai mengecil, sumbang sih kita mulai berkurang, bagi sebagian kita masa tua menjadi masa yang menakutkan karena kita tidak bisa menerima gusuran alamiah ini.

ET : Tapi banyak orang juga merasa justru tidak menurun, dengan gizi yang lebih baik, olahraga, jadi banyak orang yang merasa memasuki masa pensiun itu semakin sulit untuk menerima karena mrasa masih sama hebatnya, masih sama kuatnya dengan 5, 10 tahun yang lalu.

PG : Di dalam bidang-bidang tertentu memang hal itu tidak menjadi masalah, misalkan perusahaan sendiri, itu memang tidak ada batas pensiunnya karena kita yang punya, kita yang menentukan kaan kita akan pensiun.

Namun misalkan kalau kita bekerja sebagai pegawai negeri, sudah ada patokan-patokan misalnya usia 60. Atau kita bekerja di perusahaan tertentu, ada lagi patokan usianya, ada yang mematok 55 tahun, ada yang mematok 60 tahun. Jadi sekuat apapun atau kita merasa sesehat apapun perusahaan akan berkata: "Tidak, engkau stop di sini".

ET : Itu yang membuat shock Pak?

PG : Dan itu bisa membuat kita sangat shock sekali sebab kita berkata kita masih sehat, kita masih bisa memberikan sumbang sih tapi perusahaan akan berkata kamu sudah memasuki usia pensiun amu harus keluar karena akan ada yang menggantikan kamu.

Itu namanya regenerasi, memberi kesempatan kepada yang lebih muda, akhirnya kalau kita tidak siap kita sungguh-sungguh merasa diri kita tidak lagi penting. Dan memang sebetulnya itu yang terjadi, jadi kalau kita bertambah tua dan kita beranggapan bahwa kita ini makin penting, sebetulnyai itu adalah ilusi. Pada kenyataannya adalah makin tua makin mengecil peranan kita bukan makin membesar.
GS : Ya tapi rupanya bukan hanya peranan Pak Paul tapi lingkup sosialnya, dengan tadi orang itu dipensiun misalnya, yang tadinya begitu banyak teman di kantor dia menjadi merasa dikucilkan.

PG : Betul sekali, biasanya dia pergi ke kantor bertemu dengan teman-teman bercanda gurau dan sebagainya, sekarang tidak lagi ke kantor. Atau misalkan dia biasanya pergi dengan teman-temanna yang usianya relatif lebih muda.

Sekarang dia tidak bisa lagi pergi karena waktunya tidak lagi cocok, dia bisa tapi teman-temannya tidak bisa. Malam hari dia ajak teman-temannya keluar, teman-temannya berkata : "Wah.........tidak bisa, saya ada acara ini nih." Jadi betul kata Pak Gunawan, makin hari pada usia tua biasanya ruang lingkup kita juga makin mengecil. Atau misalkan dalam kemajelisan di gereja, kita terlibat dalam kemajelisan, nah sekarang usia kita misalnya sudah 65 tahun. Gereja berkata: "OK! Kita perlu regenerasi". Maka kita tidak lagi menjadi majelis nah teman-temannya dulu yang biasanya rapat dengan kita seminggu sekali aktif ini dan itu tiba-tiba mulai menghilang, tidak lagi bersama dengan kita. Belum lagi kalau ada yang seusia kita namun sudah meninggal dunia. Itulah saya kira hal-hal yang membuat lingkup sosial kita mengecil pula dan kalau kita tidak berhati-hati ini bisa menjadi suatu tekanan atau gejolak dan kita merasa sungguh-sungguh sendirian.
GS : Sekarang ini banyak komunitas orang-orang yang manula, jadi mungkin akan lebih baik kalau bergabung dengan kelompok-kelompok seperti itu.

PG : Betul sekali, dan ini sudah tentu diperlukan kesiapan karena sebagian orang memang tidak mau masuk ke kelompok manula, karena tidak mau diangap tua. Saya kira sebaiknyalah kita terima odrat kita dan kita masuk untuk bisa bergabung agar kita bisa akhirnya bertemu dengan mereka.

ET : Rasanya itu memang salah satu solusi karena membayangkan sudah tidak bekerja dan kalau tidak ada aktifitas pasti jauh lebih stres lagi.

PG : Betul Ibu Esther, sebab memang masa tua ditandai oleh bertambahnya waktu, benar-benar pada usia tua tiba-tiba waktu itu mulai ada, dulu rasanya tidak ada waktu, 24 jam rasanya masih kuang sekarang waktu ada.

Nah ini bisa membawa perubahan yang drastis, sebagian kita tak terbiasa dengan waktu yang berlimpah dan kebingungan mengisinya. Sebagian kita terbiasa dengan jadwal dan baru produktif dalam kerangka jadwal sementara sekarang tidak ada jadwal. Tidak harus lagi mengerjakan ini itu dalam kerangka jadwal tertentu. Bagi sebagian orang masa pensiun menjadi masa yang membingungkan karena adanya waktu dan tidak adanya jadwal yang mengurung kita seperti dulu lagi. Akhirnya benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan waktu ini sehingga pada akhirnya tidak produktif sama sekali.
GS : Jadi kalau begitu sebenarnya apa yang bisa dilakukan untuk menyongsong hari tua dan mengisi hari tua dengan hal-hal yang positif?

PG : Misalnya yang pertama, berusahalah untuk hidup sehat dan hidup dalam keterbatasan, seimbangkan keduanya. Hiduplah sehat artinya kita mencoba untuk berolahraga, makan makanan yang bergii dan janganlah takut memeriksakan kesehatan kita.

Ada sebagian kita yang tidak mau memeriksakan kesehatan, takut menemukan penyakit karena menyadari memang semakin tua semakin rapuh organ-organ tubuh kita. Tapi saya mau ingatkan bukankah pencegahan selalu lebih baik daripada perawatan. Dan daripada nanti penyakit sudah menggunung tiba-tiba menerkam kita, kita tergeletak tak bisa apa-apa bukankah lebih baik kita memeriksakan kesehatan secara teratur sehingga kalau ada penyakit bisa ditangani dengan lebih dini.
GS : Yang Pak Paul maksudkan hidup dalam keterbatasan itu apa Pak Paul?

PG : Artinya terimalah kalau kita harus menderita penyakit tertentu, kita juga harus dibatasi oleh kelemahan fisik kita, oleh mata kita yang mulai rabun, pendengaran kita yang tidak lagi telalu peka, kulit kita yang mungkin sekarang tidak begitu licin sekarang mulai berkerut, kering dan sebagainya, kita terimalah keterbatasan kita.

Kita tak bisa lagi pergi dan berolahraga sampai sore karena lekas letih, hiduplah dalam keterbatasan kita, namun hidup dalam kondisi yang prima. Meskipun kita tak bisa melakukan hal-hal yang dulu biasa kita lakukan, ya tidak apa-apa terimalah dan lakukanlah yang bisa kita lakukan itu secara optimal dan dengan hati yang bergembira.

ET : Padahal ada sebagian orang yang mengatakan lebih baik tidak tahu penyakit apa-apa supaya bisa menikmati hidup, karena beberapa tahun lagi akan meninggalkan dunia ini, jadi tidak usah pantang, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Nah masalahnya kalau nanti memang pergi dengan cepat tidak apa-apa, tapi kalau masalahnya tidak seperti itu ya repot. Misalkan gara-gara tidak menjaga akhirnya terkena stroke, harus diawat, harus merepotkan orang lain.

Nah bukankah lebih baik awalnya periksa apakah ada darah tinggi atau tidak, kalau memang darah tingginya tidak bisa turun-turun ya minum obat. Jangan berkata: "Saya sehat kok dari dulu tidak pernah minum obat darah tinggi." Ada orang-orang tua yang selalu berkata saya dulu tidak begini dan begitu, sekarang tidak terima kalau harus begini dan begitu. Dulu saya bisa jalan sendiri kenapa harus dipegang, benar-benar akhirnya jatuh terantuk dan patah tulang, akhirnya harus dirawat di rumah sakit, merepotkan lebih banyak orang. Jadi kalau bisa memeriksakan kesehatan, periksalah kesehatan secara teratur dan terimalah keterbatasan itu.
GS : Selain hal itu apa lagi, Pak Paul?

PG : Misalnya yang lain adalah kurangilah jumlah peran sesuai dengan kondisi dan keterbatasan kita. Jika ada yang lebih muda dan lebih sanggup, jangan ragu untuk mengalihkan tugas kepadanya jangan menunggu sampai orang menggusur kita.

Jangan sampai orang berkata: "Aduh.....ini orang tidak tahu diri, sudah tua, sudah lamban, tidak efektif lagi masih terus mau bercokol di sini." Jangan sampai orang berkata negatif, bukankah orang akan lebih menghormati kita kalau kita tahu diri dan berkata: "Saya kira saya tak bisa lagi memberi sumbang sih, lebih baik sekarang yang lebih muda. Saya bersedia di belakang layar memberikan panduan, masukan tapi jangan lagi saya lebih baik yang lebih muda." Nah itu akan lebih mengundang respek dari orang lain. yang lainnya lagi adalah jangan membesarkan jasa dan keberhasilan kita. Kadang-kadang orangtua itu mengenang-ngenang masa lampau dan membesar-besarkan jasa. "Wah.......ini gara-gara saya dulu, kalau bukan saya tidak bakalan menjadi seperti ini." Biarlah orang lain yang menilai keberhasilan kita, jangan memaksa orang mengingat sumbang sih kita. Ini hal-hal kecil yang orangtua bisa lakukan sehingga mengundang respek dari generasi yang lebih muda.

ET : Yang menyulitkan adalah kadang-kadang memang faktanya demikian, misalkan tadi Pak Paul sudah menyinggung tentang perusahaan keluarga jadi perusahaan itu sudah dibangun sejak dia mungki mulai umur 20, 30 tahun dan sementara sekarang sudah menjadi besar karena kerja keras dia.

Jadi kalau mau diserahkan tidak yakin kalau bisa sebesar ini atau lebih besar atau malah hancur.

PG : Ini adalah sesuatu yang harus kita siapkan, bahwa ada hal-hal yang telah kita lakukan sebaik-baiknya dan kita sudah mendidik orang untuk melanjutkannya namun tidak ada jaminan bahwa orng lain akan bisa meneruskannya sebaik kita.

Tapi itu adalah keterbatasan hidup dan kita harus menerimanya, kita hanya bisa melakukan semua ini sampai titik tertentu setelah itu kita harus lepaskan dan mempercayakan kepada orang lain untuk melanjutkannya.
GS : Tapi memang itu perlu dipersiapkan jauh-jauh hari karena yang menerima tongkat estafet kadang-kadang memang belum siap, karena memang dia tidak pernah disiapkan. Baru misalnya usia 60 seperti yang tadi Pak Paul katakan, saya sekarang sudah usia 60 dan tiba-tiba harus dilepaskan, yang mau meneruskan itu memang tidak siap Pak Paul.

PG : Betul, jadi memang perencanaan itu penting, jadi kita tidak lagi beranggapan kita akan hidup selama-lamanya. Kita tidak hidup selama-lamanya dan kita pun tidak bekerja selama-lamanya dn kita pun tidak produktif selama-lamanya.

Jadi sampai usia tertentu misalkan usia 40-an bersiap-siaplah mempersiapkan generasi baru yang dapat melanjutkan usaha-usaha kita.
GS : Di samping itu Pak Paul yang mau melanjutkan juga merasa segan dengan seniornya yang masih ada.

PG : Itu sebabnya inisiatif harus muncul dari seniornya. Memang kita hidup dalam budaya timur yang masih mentuakan orang dan rasa sungkan kita masih besar kepada yang lebih tua. Yang lebih enting lagi bagi yang lebih tua untuk mengalah, untuk membuka pintu karena dengan dia membuka pintu dan berkata: "Silakan masuk, saya akan mundur," yang lebih muda menjadi berani.

Kalau yang lebih tua tidak mau melakukan hal itu, yang muda tambah tidak berani dan akhirnya tambah kacau waktu kita meninggalkan semua ini.
GS : Memang ada jalan keluar yang diambil yaitu biasanya yang tua ini tidak langsung digusur, tidak langsung digeser tapi mungkin dijadikan penasihat yang tidak aktif seperti yang dulu.

PG : Betul, jabatan penasihat adalah suatu jabatan yang sebetulnya mengandung makna bahwa kita makin tua dan kita tak lagi dibutuhkan seperti dulu. Terimalah jabatan penasihat atau apa meskpun fungsi kita berkurang.

Ini membawa kepada masukan berikutnya yaitu alihkanlah kwantitas dengan kwalitas, makin tua makin sedikit yang dapat kita kerjakan namun untuk sebagian hal justru pengalaman yang bertambah akan sangat membantu. Jadi pilihlah satu atau dua hal yang dapat kita kerjakan dan kerjakanlah sebaik-baiknya. Salah satunya memang menjadi penasihat kita bisa memberikan masukan dan ini tak lagi menuntut energi atau keluasan gerak kita tapi kita bisa menyumbangsihkan pengalaman-pengalaman, masukan-masukan kita. Jadi benar pada masa tua kita harus mengalihkan penekanan dari kwantitas kepada kwalitas.

ET : Namun kadang kala situasi tidak selalu mendukung, mengingat usia pernikahan orang sekarang juga bergeser ke yang lebih tidak semuda dulu sehingga kemungkinan di usia 50, 60 tahun masihmembiayai anaknya di perguruan tinggi.

Jadi pensiun itu benar-benar menjadi beban karena masih ada tanggungan ekonomi. Nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Ini pendapat saya, usia pensiun sebaiknya sekitar 65. Karena kesehatan tubuh kita sekarang bertambah dengan majunya ilmu kedokteran dan kesehatan. Jadi saya kira usia 65 itu usia yang umayan pas, kita tidak lagi muda tapi kita belum terlalu tua sehingga pada usia itu kita masih sempat menikmati hidup atau melakukan hal-hal yang lain.

Jangan sampai kita baru pensiun umur 90 tahun, jalan sudah susah, mau ke mana-mana juga tidak bisa, nah apa artinya pensiun. Jadi jangan terlalu dini dipensiunkan karena saya kira itu akan membuat orang frutrasi, tidak bisa lagi mengerjakan hal yang masih sanggup dia lakukan.
GS : Tapi untuk sebuah perusahaan atau sebuah negara dalam hal ini pegawai negeri, kalau masa pensiunnya terlalu panjang seperti Pak Paul katakan, regenerasinya menjadi terlambat, sementara lapangan kerja baru tidak diciptakan.

PG : Betul sekali, ini memang kenyataan hidup dan kita hidup memang di dalam ketidaksempurnaan, karena banyaknya tenaga kerja yang ingin masuk berarti yang diatas terpaksa dipensiunkan padausia yang lebih dini.

Meskipun mereka masih sangat produktif. Mudah-mudahan karena mereka masih produktif, usia relatif muda, setelah pensiun mereka bisa memulai usaha yang lain sehingga dia tetap bisa memberikan tempatnya kepada yang lebih muda sekaligus dengan pengalamannya dan sedikit modal bisa mengembangkan usaha yang berbeda.
GS : Mungkin ada masukan yang lain dari Pak Paul?

PG : Tadi kita telah membahas sedikit tentang mengurangnya atau tambah mengecil lingkup sosial. Jadi yang bisa kita lakukan adalah bentuklah lingkup sosial yang baru atau perkuatlah jalinanrelasi dengan anak dan kerabat yang ada.

Ingat bahwa orangtua yang "muda" adalah orangtua yang mempunyai banyak teman. Maka saya kira tidak bisa kalau baru dirintis setelah kita berusia 70 tahun baru mencari teman. Tidak bisa, teman-teman harus kita bawa dari muda sampai usia tua, sehingga makin hari walaupun ada yang akan pergi berkurang tapi cukup banyak yang masih tersisa. Dan juga nasihat yang lain adalah jangan takut untuk bergaul dengan yang lebih muda. Kadang-kadang kita berkata: "Tidak lagi ah, saya sudah berumur segini, tidak mau bergaul dengan yang lebih muda." Apa sih bedanya antara umur 70 dengan 60 tahun? Sebenarnya tidak apa-apa, jadi bergaullah dengan teman-teman yang lebih muda sehingga teman-teman kita pun tidak berkurang. Ada orang-orang yang seperti ini makin tua dia makin tidak mempunyai teman, sebab teman-temannya sudah meninggal dunia, namun tidak mau mencari teman yang baru. Jadi saya sarankan silakan mencari teman yang baru.

ET : Hal itu berkaitan dengan pengisian waktu juga Pak Paul. Kadang-kadang orang merasa sudah umur segini tidak pantas melakukan ini, tidak mau lagi melakukan itu, hal ini juga akan berpengruh selain soal teman tadi.

PG : Betul, dan ini sebetulnya suatu aturan yang tidak perlu kita perlakukan pada diri sendiri. Jadi lakukanlah kalau memang masih bisa misalkan ikut club bernyanyi dan sebagainya. Dengan kta lain isilah waktu yang tersedia dengan kegiatan yang menggembirakan.

Kita terbiasa dengan istilah bermakna, kita hanya melakukan hal-hal yang bermakna namun pada masa tua tidak banyak aktifitas bermakna yang dapat kita kerjakan, itu adalah bagian dari hidup, kenyataannya seperti itu, jadi terimalah dan nikmatilah aktifitas yang menggembirakan. Ingatlah masa tua bukan lagi masa menabur, masa tua adalah masa menuai jerih payah masa muda, jadi lakukanlah hal-hal yang menggembirakan, tidak lagi harus fokus pada hal-hal yang bermakna itu.
GS : Ada banyak orang yang usianya sudah lanjut tapi masih mempunyai semangat kerja yang tinggi, kalau dia harus berhenti bekerja walaupun itu perusahaannya sendiri dia lalu menjadi sakit dan sebagainya.

PG : Dalam kondisi seperti itu saya anjurkan teruslah, kalau memang masih bisa bekerja, masih bisa bersumbang sih silakan, asalkan kita tetap memberikan tempat kepada yang lain untuk berbagan, jangan sampai kita mendominasi, ingatlah kita itu sekarang memiliki keterbatasan jadi sadarilah dan hiduplah dalam keterbatasan itu, sehingga kekurangan-kekurangan kita bisa dilengkapi oleh orang lain yang memang lebih sanggup daripada kita.

GS : Secara ekonomi, orang-orang yang lanjut usia juga mengalami masalah bahwa dia tidak ada lagi penghasilan tetap, mau menggantungkan ke anak, anaknya sendiri kesulitan di dalam keuangan.

PG : Nah itu memang kadang-kadang menjadi masalah yang berat karena memang kebutuhan masih ada tapi penghasilan berkurang karena kita sudah makin tua. Itu adalah sesuatu yang kalau mungkin ita persiapkan dari muda sehingga pada masa tua kita tahu masih ada hal-hal yang bisa kita lakukan, dan masih ada penghasilan yang nanti kita terima.

GS : Mungkin Pak Paul mau sampaikan firman Tuhan yang bisa menjadi pedoman bagi kita semua.

PG : Saya ambil dari Mazmur 84:8 , "Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion." Ini ayat yang saya mau berikan kepada para orangtua. Memang fiik makin melemah, tapi seperti Paulus katakan manusia batiniahku diperkuat.

Inilah kita orangtua, kita makin hari berjalan bukan makin lemah tapi makin kuat karena kita berjalan hendak menghadap Allah di Sion. Jadi masa tua adalah masa yang makin mendekati perjumpaan dengan Tuhan, jadi bersiap-siaplah jangan datang kepada Tuhan dengan tangan hampa.

GS : Terima kasih Pak Paul juga Ibu Esther untuk perbincangan ini, sangat menarik sekali dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menjadi Tua". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



30. Kakek Nenek dan Cucu


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T177B (File MP3 T177B)


Abstrak:

Relasi kakek-nenek dan cucu berpotensi menjadi relasi yang sehat namun bisa pula menjadi relasi yang tidak sehat. Beberapa masukan untuk kakek-nenek agar relasi mereka dengan cucu menjadi relasi yang sehat. Kasih sayang tidak boleh menjadi dalih untuk tidak mendisiplin cucu, jikalau terjadi perbedaan dalam cara membesarkan anak, kakek-nenek mesti mengonsultasikannya dengan orangtua, Hati-hatilah berbicara di hadapan anak tentang orangtuanya, dsb.


Ringkasan:

Relasi kakek-nenek dan cucu berpotensi menjadi relasi yang sehat namun bisa pula menjadi relasi yang tidak sehat. Berikut ini dipaparkan beberapa corak relasi kakek-nenek dan cucu. Setelah itu akan dibahas pula beberapa masukan untuk kakek-nenek agar relasi mereka dengan cucu menjadi relasi yang sehat.

Apa pun peran yang diemban kakek-nenek, beberapa prinsip di bawah ini perlu dicamkan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini saya bersama dengan ibu Esther Tjahja kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kakek, Nenek dan Cucu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita berbincang-bincang tentang menjadi tua dan itu hampir identik dengan menjadi seorang kakek atau seorang nenek. Bagaimana relasi antara kakek, nenek dan cucu ini Pak Paul?

PG : Menjadi tua memang sering kali satu paket dengan menjadi kakek dan nenek. Dengan kita menjadi kakek dan nenek berarti bertambahlah relasi dalam rumah kita, bukan saja berelasi dengan aak atau menantu tapi sekarang dengan cucu.

Nah bagaimana kita sekarang menyikapi relas-relasi antara kakek, nenek dan cucunya. Pertama-tama saya akan menggambarkan tiga corak relasi atau kondisi rumah tangga yang melibatkan kakek-nenek. Yang pertama, keluarga di mana kakek dan nenek tinggal bersama dengan orangtua dan anak atau cucu, namun penjagaan anak diserahkan kepada kakek dan nenek karena orangtua bekerja. Kita juga sering melihat keluarga seperti ini. Dalam kondisi ini penting bagi kakek dan nenek untuk merujuk anak kepada orangtua untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dengan kata lain jangan sampai kakek-nenek mengambil alih otoritas orangtua-anak, kadang-kadang ini yang terjadi. Kakek-nenek terlalu terlibat sehingga mengesampingkan otoritas orangtua, jangan, tetap orangtua yang memegang otoritas atas anak-anaknya, jangan sampai mengambil alih. Jadi kalau ada hal-hal yang harus diputuskan biarlah kakek-nenek berkata: "Tunggu sampai ayah dan ibumu pulang, nanti saya akan tanyakan kepada mereka."
GS : Tapi itu juga perlu ketegasan dari orangtua anak atau ayah dan ibu anak itu sendiri. Kalau mereka menyerahkan kepada orangtuanya yang sekarang berstatus kakek-nenek buat cucu itu juga menyulitkan buat kakek-nenek ini.

PG : Betul sekali, jadi memang seyogyanya orangtua tetap terlibat, tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pada kakek-nenek. Sebab tetap ini adalah anak mereka sendiri, kalau dari awalna orangtua sudah lepas tangan berarti nanti si anak bertambah besar makin tidak bisa hormat kepada orangtuanya sendiri.

ET : Tapi kadang-kadang kalau misalnya kakek-nenek tidak bisa mengambil keputusan juga akan menyulitkan, misalnya cucunya melakukan kesalahan, kemudian untuk melakukan penghukuman menunggu apa-mamanya pulang.

Apakah itu nanti justru cucu tidak hormat kepada kakek-nenek?

PG : Ini point yang baik sekali Ibu Esther, dalam kondisi seperti itu memang harus ada kesepakatan yang dibuat antara kakek-nenek dan orangtua. Bahwa kalau kakek-nenek melihat anak membuat esalahan seperti ini, silakan bisa dihukum dan hukuman itu memang akan sesuai dengan hukuman yang nanti akan orangtua berikan pula.

Jadi tidak apa-apa orangtua mendelegasikan itu kepada kakek dan nenek. Sehingga waktu misalkan si anak mengadu, "Kakek, tadi marah dan memukul saya atau nenek tadi marah, nenek juga akhirnya menjewer saya." Orangtua harus mendukung kakek dan nenek dan berkata: "Karena kenakalan kamu, inilah yang kamu dapatkan, sebab kalau tadi yang di rumah saya atau mama, kami juga akan melakukan hal yang sama, kami akan memberikan sanksi kepada kamu dengan jeweran itu juga. Jadi orangtua, kakek, nenek bersatu sehingga anak tahu bahwa mereka memang mempunyai kesamaan sehingga tidak mudah atau tidak bisa dipecah belah.
GS : Mungkin ada bentuk relasi yang yang lain, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah kakek, nenek tinggal bersama orangtua namun orangtua tidak mengurus anak dan tidak mau tahu tentang anak. Ini kadang-kadang terjadi, jadi orangtua memanfaatkan kakek-nnek, sama sekali tidak mau mengurus anaknya.

Apa yang dilakukan dalam kondisi seperti ini. Saya kira kakek-nenek sebaiknya tetap berkonsultasi dengan orangtua, pertama-tama agar keputusan yang mereka ambil sejalan dengan kehendak orangtua pula. Jadi jangan sampai nanti kalau peristiwa yang sama terjadi orangtuanya memberikan respons yang berbeda kepada anak-anaknya. Anak-anak nanti melihat o..........kakek-nenek lebih tegas, orangtua lebih lembek akhirnya menimbulkan masalah. Di depan orangtua anak-anaknya makin berulah, nanti yang repot dan kasihan adalah kakek-neneknya. Jadi sebaiknya tetap dikonsultasikan dengan orangtua. Tujuannya yang kedua adalah agar orangtua tetap dilibatkan, meskipun dia seolah-olah lepas tangan, tidak mau tahu, tapi kakek-nenek terus memberitahukan sehingga orangtua tetap digugah untuk terlibat dalam membesarkan anak-anaknya.
GS : Seorang cucu, kakek-neneknya bisa dua pasang baik dari ayah maupun ibu, itu ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul?

PG : Seharusnya tidak ada pengaruhnya siapa yang menjadi orangtua dari orangtua kita itu namun sebaiknya juga kalau memungkinkan jangan sampai dua pasangan kakek-nenek itu tinggal serumah. udah ada dua pasang, ada orangtua jadi itu benar-benar terlalu ramai dan bisa menimbulkan masalah dalam membesarkan cucu-cucu mereka.

GS : Ada orangtua yang menitipkan anaknya, dalam jangka waktu tertentu kepada orangtua dari suami, kemudian beberapa bulan lagi pindah ke orangtua dari istri. Apakah itu tidak membingungkan anak?

PG : Bisa membingungkan dan sebaiknya tidak, saya sudah pernah bertemu dengan beberapa orang yang pada masa kecil dititipkan pada kakek-neneknya. Dan saya melihat sering kali akhirnya membuhkan masalah.

Kenapa membuahkan masalah? Pertama, sering kali akhirnya anak-anak ini berkata ada senangnya tinggal dengan kakek-nenek tapi rata-rata merasa terbuang, "Kenapa saya," sebab misalkan ada empat anak, dia yang dititipkan pada kakek-nenek, kakak dan adiknya tidak. Jadi sudah langsung merasa terbuang. "Kenapa saya yang dipilih dititipkan sementara kakak dan adik tidak," akhirnya itu menimbulkan akar kepahitan di dalam sikap mereka. Dan yang berikutnya adalah kakek-nenek akhirnya yang harus bertanggung jawab karena orangtuanya misalkan tidak lagi bisa mengurus anak atau meninggal dunia sehingga kakek-nenek yang harus mengurus anak-anak. Kalau dalam kondisi seperti itu, si kakek-nenek terpaksa menjalankan peran sebagai orangtua. Benar-benar sebagai orangtua, memberikan kasih sayang dan disiplin kepada anak-anaknya, jangan sampai kakek-nenek tidak memberikan disiplin. Kalau itu yang terjadi si anak akhirnya bermasalah. Jadi tadi saya sudah singgung, saya beberapa kali bertemu dengan anak-anak yang dibesarkan di rumah oleh kakek-nenek tanpa orangtua karena dititipkan kepada mereka dan orangtua tidak mau tahu akhirnya membuahkan masalah. Salah satu masalahnya adalah cucu-cucu ini setelah besar tidak bisa menguasai dirinya, kehendaknya benar-benar seperti banteng yang harus dituruti, kalau tidak dia akan menyruduk orang. Pokoknya dia adalah pusat perhatian, sekaligus dia merasa tidak dikasihi sebab orangtua seolah-olah membuang dia, jadi menjadi problem yang komplek.

ET : Dan kadang-kadang saya melihat untuk pendisiplinan itu juga tidak mudah karena sudah berbeda generasi. Mungkin dulu kakek-neneknya dibesarkan dengan cara apa dengan anak-anak yang sekaang bukankah sudah sulit dipahami dan sulit memahami satu dengan yang lain.

PG : Sering kali itu menjadi gap Ibu Esther, karena memang generasinya terpaut terlalu jauh, sehingga untuk memahami gejolak dan kebutuhan si cucu, kakek-nenek mengalami kesulitan. Atau karna tetap ingin disayangi cucu-cucu sehingga terlalu permisif, membolehkan segala sesuatu.

Jadi sering kali ini yang saya lihat, kalau dibesarkan oleh kakek-nenek, anak-anak mengalami masalah dalam hal disiplin.
GS : Mungkin Pak Paul bisa memberikan pedoman bagi kakek-nenek sekarang ini.

PG : Ini saya berikan pada kakek-nenek yang memang harus berurusan merawat cucu-cucunya. Pertama, saya ingin mengingatkan kasih sayang tidak boleh menjadi dalih untuk tidak mendisiplin cucu Ada orang yang sudah tua berkata, "Aduh saya dulu terlalu keras dengan anak saya, sekarang saya harus lembut dengan cucu saya.

Atau o....sekarang sudah tua lebih mengerti bagaimana menjadi orangtua yang mengasihi anak, tapi anak-anak sudah besar hanya ada cucu jadi sekarang semua kasih sayang dia limpahkan kepada cucu." Tetap saya ingatkan jangan sampai melupakan disiplin, terlalu banyak anak yang akhirnya mengembangkan perilaku menyimpang akibat perlakuan kakek-nenek yang tidak mendisplin.

ET : Tapi kadang-kadang untuk pendisiplinan ini juga misalnya kakek-nenek justru termasuk yang sangat disiplin tapi papa-mama yang lebih permisif. Ada juga yang terjadi seperti itu?

PG : Ada Ibu Esther, dan intinya kalau dua pasang kakek-nenek ini tidak akur, tidak sehati tetap dampaknya buruk pada anak. Karena anak harus menghadapi ketidakkonsistenan dalam hal mendisilin dirinya.

Misalkan orangtua lebih bisa berdialog, tidak terlalu keras, kakek-nenek terlalu keras, akhirnya anak ini terbelah-belah, akhirnya dia mencoba memanipulasi atau kalau ada kakek-neneknya berpura-pura diam, nanti tidak ada kakek-neneknya mereka berulah. Jadi memang penting sekali kakek-nenek dan orangtua berkonsultasi tapi tetap sebaiknya kakek-nenek mencoba menyesuaikan dengan orangtua, kecuali memang ada masalah yang berat sekali. Kalau tidak cobalah menyesuaikan karena memang bukan anaknya, ini adalah anak-anak.
GS : Kalau pun mereka ingin mendisiplin terlalu keras, mereka juga agak khawatir kalau nanti anaknya marah.

PG : Ya sering kali begitu, akhirnya terlalu berhati-hati juga, ada yang seperti itu.

GS : Prinsip atau pedoman yang lain yang Pak paul bisa sampaikan?

PG : Perlu ada kejelasan status, ini penting. Bagaimanapun dekatnya kakek-nenek dengan cucu, tetap cucu bukanlah anak, jadi hak orangtua haruslah dikedepankan. Jangan sampai kakek-nenek lupa. Kadang-kadang kakek-nenek sayang pada cucu, terlalu sayang sehingga akhirnya melindungi cucu-cucu itu dengan berlebihan. Sehingga akhirnya anak-anaknya itu tidak mempunyai hak untuk membesarkan anak-anaknya sendiri. Apalagi menantunya, jadi sangat tertekan karena mertua yang terlalu mencampuri membesarkan anak. Ingatlah status, meskipun kakek-nenek sayang kepada cucu, ingatlah pada status bahwa ini bukan anak sendiri jadi kedepankanlah hak orangtua.

ET : Saya juga pernah ingat beberapa kasus seperti tadi Pak Paul sempat singgung tentang mertua dan menantu, karena ada perbedaan jadi akhirnya ada seperti salah satu atau kedua belah pihakitu curhat kepada anak.

Jadi akhirnya nenek katakan kepada cucunya, "Mama begini, begini...." dan sementara nanti salah satu orangtua berbicara, "Kakek atau nenek begini, begini........." nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira menjadi tidak tepat karena si anak akhirnya digiring seolah-olah berpihak pada kakek-neneknya. Kecuali dalam kasus memang adanya pengabaian, adanya pelecehan, adanya tindak kkerasan kepada anak.

Dalam kondisi seperti itu saya kira kakek-nenek seyogyanyalah mencoba untuk melindungi anak-anak, tapi kalau tidak memang harus ada batasnya. Kakek-nenek itu jangan terlalu masuk ke dalam kehidupan anak-anaknya, kemudian menggiring anak-anaknya untuk berpihak kepadanya dan seolah-olah tidak terlalu dekat dengan orangtua. Saya kira itu keliru, tetap dia harus membagi batasan yang jelas bahwa mereka hanyalah kakek-nenek dan anak-anak ini milik orangtua bukan milik mereka.
GS : Ya memang kadang-kadang anak ini menjadi pendengar yang baik, ada kakek-nenek yang terus membicarakan tentang menantunya. Tanpa disengaja mungkin, kakek nenek ini hanya berdialog saja berdua tapi ternyata ada cucunya di sana. Sehingga itu memberikan gambaran yang buruk tentang ibunya yang adalah menantu dari kakek-nenek ini.

PG : Nah itu kadang-kadang dilupakan oleh kakek-nenek sehingga akhirnya waktu mulai mengeluh tentang menantu, mengeluhnya di depan cucu dan cucu mendengar. Bisa ada dua reaksi, susu bisa megiakan kakek-nenek atau kebalikannya mereka malah tambah melawan orangtuanya atau kebalikannya mereka tambah benci kakek-nenek karena merasa kakek-nenek begitu jahat.

Saya juga tahu dalam keluarga-keluarga tertentu kakek-nenek sangat berperan besar, karena misalkan mereka tetap mempunyai keuangan; anaknya bekerja kepada mereka sehingga mereka sangat berkuasa sekali. Dan anak-anak tinggal di rumahnya karena belum bisa mempunyai rumah sendiri. Kalau tidak hati-hati ini bisa menanamkan benih kebencian dari cucu kepada kakek-nenek, karena mereka melihat bapak ibunya diperlakukan dengan sangat buruk oleh kakek-nenek seperti pegawai dan mereka tidak mempunyai hak apa-apa, kakek-neneklah yang menentukan semua sehingga cucu-cucu bisa sangat benci. Mungkin orangtua bisa menerima perlakuan kakek-nenek tapi cucu tidak bisa menerima dan ini menjadi tidak sehat. Sebab dari kecil si cucu ini sudah mempunyai kebencian terhadap kakek-neneknya, bisa jadi kebencian ini luber keluar yaitu dia tidak suka dengan orangtua karena menganggap orangtua seperti kakek-neneknya. Belum lagi kalau dampak buruknya adalah si cucu ikut-ikutan tidak respek kepada orangtuanya, malah makin kurang ajar kepada orangtuanya. Apalagi dalam soal uang, kakek-nenek yang memberikan uang, orangtuanya tidak banyak uang sehingga tidak bisa memberikan uang dan kakek-nenek yang selalu memberikan uang; beli baju, beli mainan untuk si cucu, sehingga akhirnya si cucu tambah tidak hormat kepada orangtua. Maka tetap saya tegaskan dan ulangi lagi, kedepankanlah hak orangtua, meskipun si kakek-nenek mempunyai kewenangan tahan diri bahwa ini bukan anak-anak sendiri. Kecuali dalam kondisi memang buruk, orangtua itu menganiaya anak barulah kakek-nenek ikut terlibat melindungi cucunya.

ET : Dan kadang-kadang ada yang terjadi bukan bermaksud untuk meremehkan anaknya tetapi hanya untuk menghindari konflik saja, misalnya kakek-nenek memberikan sesuatu kepada cucu atau ada atran-aturan yang sedikit dibelok-belok tapi dengan pesan jangan bilang mama.

Dia mungkin tidak dengan tujuan untuk meremehkan anaknya tapi hanya karena kasihan pada cucunya, nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau sekali-sekali tidak apa-apa, karena saya mengerti kadang-kadang kakek-nenek itu lebih lembut hati, kasihan kepada cucu, sekali-kali tidak apa-apa tapi jangan jadikan ini sebagai ola karena nanti akan mengganggu relasi orangtua-anak.

GS : Mungkin ada yang lain Pak Paul?

PG : Yang lain adalah saya ingin ingatkan bahwa pada dasarnya peran kakek-nenek adalah peran pendukung, mereka bukan pemain utama, mereka adalah pendukung. Yakni memberi dukungan kasih dan ukungan disiplin, ini yang jangan sampai dilupakan.

Artinya kalau kakek-nenek itu hidup bersama dengan cucu, berilah tambahan kasih sayang sehingga si anak atau si cucu menerima lagi kelimpahan kasih sayang dan itu adalah sesuatu yang positif, namun bukan hanya limpahkan kasih sayang tetapi juga limpahkan disiplin. Kakek-nenek bukan hanya menjadi figur yang membolehkan anak, kadang-kadang dia juga menghentikan langkah si cucu, tidak bisa bebas melakukan semua yang diinginkannya. Jadi prinsip ini harus diseimbangkan, limpahkan kasih sebagai pendukung yang orangtua sudah berikan sekaligus memberikan dukungan dalam hal disiplin yang orangtua juga berikan jangan sampai bertabrakan.
GS : Dalam hal ini biasanya memang tidak seimbang, lebih banyak kakek-nenek memberikan kasih sayangnya daripada disiplinnya.

PG : Dan atas nama kasih sayang akhirnya kakek-nenek mengubah-ubah peraturan orangtua yang tadi Ibu Esther sudah singgung. Jadi berhati-hati, kadang-kadang kakek-nenek berkata: "Ini 'kan cuu saya dan orangtuanya adalah anak saya, jadi saya bebas mengubah-ubah aturan atau larangan dalam rumah tangga anak-anak."

Jangan, kita memang orangtua dari anak-anak yang sekarang sudah mempunyai anak pula, tapi tidak berarti kita itu bisa bebuat semau-maunya kitapun mesti menghormati peraturan yang orangtua berikan. Sehingga nanti cucu melihat o..........kakek-nenek sendiri menghormati aturan orangtua dan mereka pun akhirnya didorong untuk juga menghormati aturan orangtua. Kalau kakek-nenek sendiri tidak menghormati aturan yang dibuat orangtua, si anak diajar untuk tidak menghormati aturan orangtua. Jadi akhirnya timbullah masalah.
GS : Apakah masih ada lagi?

PG : Ada lagi, misalkan hati-hatilah berbicara di hadapan anak tentang orangtuanya, jangan melebihkan atau mengurangi. Melebihkan artinya melebih-lebihkan apa saja kebaikannya, tapi juga jagan mengurangi kebaikannya, artinya kemukakanlah fakta namun perhatikanlah waktu dan kesiapan anak.

Ada hal-hal yang buruk yang terjadi pada orangtua, nah kakek-nenek mungkin sangat marah. Misalkan ini menyangkut anak atau menantunya, pasti lebih marah kalau menyangkut menantunya yang tidak bertanggung jawab misalnya. Hati-hati dalam berbicara kepada anak, meskipun orangtua itu salah anak cenderung membela orangtua. Jadi kalau kakek-nenek berbicara terlalu negatif meskipun benar, cucu bisa sangat benci kepada kakek-nenek. Jadi tetap kemukakan waktu namun perhatikanlah waktu dan kesiapan anak, artinya mulailah bicara dengan lebih jelas tentang kondisi orangtua dengan meningkatnya usia anak, jangan terlalu dini. Yang kedua, meskipun anak sudah lebih dewasa, sudah lebih besar tidak berarti siap mendengar tentang kenyataan orangtua mereka. Jadi lihatlah kesiapan anak-anak juga, jangan dari kecil si kakek-nenek sudah membicarakan tentang orangtua yang buruk-buruk, meskipun benar karena ini akan sangat berdampak buruk pada anak-anak yang tidak siap mendengar itu semua.

ET : Pasti ini lebih sulit buat kakek-nenek yang memang harus menjadi orangtua bagi cucunya. Karena anaknya tidak mau mengurus anak atau sudah meninggalkan anaknya.

PG : Betul sekali, sudah tentu akan ada kekesalan dan ini kadang-kadang akan meluap. Saya kira sekali-sekali masih bisa dimaklumi kita manusia tidak selalu bisa menahan diri tapi sebisanya enahan diri.

Biarkanlah nanti anak yang mengembangkan penilaiannya sendiri, kita tidak usah menanamkan penilaian itu kepada anak-anak kita. Biarkan mereka nanti yang akan menilai orangtuanya, jangan sampai kakek-nenek yang menanamkan itu pada si cucu. Sebab bisa menjadi bumerang, meskipun itu kenyataan bahwa orangtuanya tidak bertanggung jawab tapi kalau kakek-nenek terlalu sering membicarakannya malahan itu bisa membuat anak-anak membenci kakek-nenek. Padahal yang telah berbuat baik dan menjaga mereka adalah kakek-nenek, jadi perlu bijaksana dalam hal seperti ini.
GS : Ada kakek-nenek yang menjadikan cucunya sebagai kurir, artinya kalau kakek-nenek ini ingin menyampaikan sesuatu kepada menantunya dia menggunakan anak kecil ini.

PG : Itu memang tidak sehat karena si anak tidaklah cocok dan tidaklah seyogyanya dijadikan kurir menanggung beban yang terlalu berat yang mesti dipikulnya. Biarlah kakek-nenek berbicara lagsung dengan orangtua tanpa melalui cucu, biarkanlah cucu menjadi kanak-kanak, biarkanlah dia menjadi seseorang yang memang masih dalam tahap pertumbuhan.

Jangan sampai sejak kecil si cucu itu harus ditaruh di tengah-tengah dan dihimpit dari dua belah sudut yang berbeda, kasihan, jadi jangan libatkan cucu untuk urusan-urusan kakek-nenek dengan orangtua.
GS : Di dalam hal memberikan hadiah, bagaimana pedoman yang bisa Pak Paul sampaikan, kakek-nenek sering kali suka atau bangga bisa memberikan hadiah atau sesuatu kepada cucunya. Itu bagaimana?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah berikanlah hadiah yang tidak melebihi hadiah yang biasanya diberikan oleh orangtua. Meskipun kakek-nenek mampu tapi janganlah mencolok memerikan hadiah yang nilainya jauh di atas hadiah yang biasa diberikan oleh orangtua.

Kedua, prinsipnya adalah jangan memberikan hadiah jauh lebih sering daripada orangtuanya. Sekali-sekali justru berikan kepada orangtua, biarkan orangtua yang memberikan kepada anak-anaknya atau cucunya. Jadi jangan terlalu sering melebihi frekwensi orangtua memberikan hadiah kepada anak-anak. Dan yang ketiga adalah seperti biasanya berikan hadiah pada hari-hari yang memang khusus untuk memberikan hadiah, jangan sedikit-sedikit memberikan uang, memberikan hadiah, itu tidak mendidik. Misalnya hari ulang tahun, hari natal, jadi ada hari-hari khusus silakan berikan, tapi tidak selalu memberikan sesuatu kepada cucu.
GS : Ada beberapa kakek-nenek yang memang tidak mau direpotkan lagi dengan cucu-cucunya, jadi dia terang-terangan berkata kepada anak dan menantunya bahwa mereka tidak sanggup lagi dititipi cucu.

PG : Kalau tidak sanggup sama sekali saya kira jangan, sekurang-kurangnya secara berkala misalkan sebulan, dua bulan sekali anak-anak datang bermain-main di rumah kakek-nenek, saya kira ituhal yang positif.

Karena si anak-anak atau cucu bisa juga belajar dari kakek-nenek, ini bagian dari fungsi kakek-nenek yaitu karena waktu yang lebih senggang bisa menggunakan waktu itu untuk menjadi teman anak yang setia. Karena anak kecil membutuhkan waktu dan kakek-nenek mempunyai waktu itu. Saya mengerti kalau kakek-nenek sudah tua tidak mau terlalu direpotkan tapi jangan sampai menolak sama sekali. Cucu akhirnya mempunyai pandangan negatif terhadap kakek-nenek, "Kenapa mereka tidak sayang kepada kami, kami seolah-olah bukan cucu mereka," jadi sambutlah secara berkala, izinkanlah mereka main-main di rumah dan tidak apa-apa sekali-sekali rumah berantakan, itu saya kira selayaknyalah dilakukan oleh kakek-nenek untuk cucu mereka.
GS : Justru itu yang menjadi alasan, mereka tidak mau rumahnya berantakan karena tidak ada lagi pembantu rumah tangga dan kalau cucunya pulang mereka harus mengatur lagi, membersihkan lagi, ini yang mereka agak keberatan.

PG : Mungkin frekwensinya saja diatur, kalau keberatan seminggu sekali, mungkin dua minggu sekali atau sebulan sekali tapi tetap ada kontak. Jangan sampai setiap kali ke rumah kakek-nenek dmarahin, cucu nantinya tidak mau lagi datang ke rumah kakek nenek, jadi biarkan datang membuat sedikit banyak rumah sedikit berantakan ya tidak apa-apa.

GS : Tapi pada umumnya anak-anak mempunyai kenangan yang manis dengan kakek-neneknya.

PG : Ya umumnya begitu, sebab biasanya kakek-nenek lebih murah hati kepada cucu daripada kepada anak.

GS : Dan lebih telaten, ceritanya atau diajak jalan-jalan dan sebagainya itu tidak mudah dilupakan.

PG : Karena waktu mereka jauh lebih banyak sementara orangtua jauh lebih sedikit. Jadi ini saya kura sumbang sih kakek-nenek yang sangat besar, cucu itu membutuhkan waktu dan waktulah yang apat diberikan kakek-nenek kepada cucu mereka.

GS : Di samping itu Firman Tuhan apa yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan Mazmur 92:15, 16 , "Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar, untuk memberitakan, bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tdak ada kecurangan pada-Nya."

Kakek-nenek adalah jembatan yang efektif untuk menghubungkan cucu bukan saja dengan orangtuanya tapi terutama dengan Tuhan. Melalui pengalaman hidupnya kakek-nenek bisa bercerita, bersaksi perbuatan Tuhan yang baik, kesetiaan Tuhan yang tak pernah habis-habisnya. Dan ini menjadi sebuah hal yang indah yang bisa mereka wariskan kepada cucu-cucu mereka. Mungkin dari orangtua, anak-anak ini kurang mendapatkan masukan atau makanan rohani, tapi justru dari kakek-neneklah mereka justru menyerap makanan-makanan rohani. Dan kakek-nenek yang hidupnya benar, hidup untuk Tuhan itu benar-benar menjadi contoh, teladan yang indah bagi cucu mereka. Jadi sekali lagi banyak hal yang bisa dilakukan oleh kakek-nenek dan akan sangat berdampak positif bagi kehidupan cucu mereka.

GS : Terima kasih Pak Paul, terima kasih Ibu Esther untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kakek, Nenek dan Cucu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



31. Sampai Hari Tuaku


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T196A (File MP3 T196A)


Abstrak:

Kita melihat pernikahan bermasalah di hari tua dan kita pun bertanya, mengapa? Ada beberapa langkah yang dapat kita ambil untuk mempersiapkan diri melewati masa tua bersama pasangan: Hidup terbagi dalam beberapa fase, masa tua adalah masa mengingat dan menuai, masa tua adalah masa perubahan prioritas.


Ringkasan:

Berbeda dari pakaian atau kendaraan yang kita pakai hanya untuk sementara, pernikahan dimaksudkan Tuhan untuk berlangsung sepanjang hidup. Kadang kita melihat pernikahan bermasalah di hari tua dan kita pun bertanya, mengapa. Berikut ini akan dibahas beberapa prinsip atau langkah yang dapat kita ambil untuk mempersiapkan diri melewati masa tua bersama pasangan.

  1. Hidup terbagi dalam beberapa fase; adakalanya kita siap dan menikmati hidup bersama pasangan dalam fase tertentu, misalnya fase belum mempunyai anak, fase ketika anak-anak kecil, fase pengembangan diri. Namun belum tentu kita siap dan dapat menikmati kebersamaan melewati masa tua sebab masa tua adalah masa yang penuh dengan keterbatasan. Setidaknya kita mesti siap untuk menerima keterbatasan dalam keempat elemen berikut ini:
    1. jenis aktivitas
    2. berapa sering
    3. berapa memuaskan
    4. berapa lama
  2. Masa tua adalah masa mengingat dan menuai. Di masa tua kita tidak lagi memandang ke depan sebab secara alamiah kita tahu bahwa tidak banyak lagi waktu yang tersisa. Secara fisik pun ingatan jangka pendek kita makin memudar; yang masih melekat adalah memori jangka panjang. Itu sebabnya kita sering mengingat hal-hal yang terjadi dulu dan jika pengalaman di masa dulu penuh kepahitan, dapat diduga di hari tua kepahitanlah yang akan dirasakan terus. Oleh karena itu boleh kita simpulkan bahwa masa tua adalah masa menuai-kita menuai buah perbuatan kita. Jika kita menanam banyak pengalaman indah bersama, maka masa tua menjadi masa yang lebih indah lagi karena ingatan kita akan selalu dipenuhi oleh ingatan manis.
  3. Masa tua adalah masa perubahan prioritas. Berhubung sedikitnya waktu yang tersisa dan berkurangnya kesanggupan fisik, maka kita pun dipaksa untuk menetapkan ulang prioritas hidup. Kita harus dapat duduk bersama dan menyetujui hal-hal apa saja yang akan menjadi prioritas hidup kita.

Firman Tuhan: Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.... Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam sergala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah. (Pengkhotbah 3:11, 13)

Relasi orangtua-anak dibangun di awal kehidupan anak. Di dalam penggalan 12 tahun inilah dasar relasi terbentuk dan menentukan corak relasi selanjutnya, termasuk di hari tua. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang mesti kita pahami guna menciptakan relasi orangtua-anak yang indah di hari tua.

  1. Di hari tua anak cenderung bersikap terhadap orangtua sesuai dengan kondisi relasi itu sekarang. Mungkin tatkala anak kecil, ia tidak mempunyai banyak pilihan selain mengikuti kehendak orangtuanya. Setelah dewasa ia lebih memiliki banyak pilihan dan besar kemungkinan ia lebih bebas untuk menyatakan kemerdekaannya. Jadi, bila ia tidak setuju atau menyukai gaya hidup orangtuanya, di masa tua ia akan lebih tidak mau berdekatan dengan orangtuanya. Penting bagi anak untuk menyadari bahwa tidak banyak yang dapat ia lakukan untuk mengubah orangtuanya. Sebaiknya anak menerima orangtua apa adanya sehingga relasi tidak terus menjadi tegang. Sebaliknya, anak pun perlu menjaga batas agar relasi dengan orangtua yang tidak harmonis ini tidak mempengaruhi kehidupan pribadi atau keluarganya. Jadi, lakukanlah sedapatnya dan sebanyaknya-tanpa merusakkan relasi itu sendiri atau relasi dengan keluarga sekarang.
  2. Orangtua kembali menjadi seperti anak dalam pengertian ia sekarang dibatasi oleh kelemahan fisiknya. Seperti seorang anak, ia pun harus bergantung pada orang lain-pada kesediaan waktu dan keinginan. Jika relasinya dengan anak tidak terlalu akrab, dapat dimengerti bila di masa tua relasi ini akan menjadi canggung karena ia tidak terbiasa meminta bantuan anak. Bila inilah corak relasinya, sebaiknya orangtua berinisiatif mengakui kurangnya keterlibatannya dalam kehidupan anak di masa lampau dan ungkapkan pengertian bahwa di masa tua ini, ia harus memulai relasi yang baru dengan anak. Jika ada kesalahan yang perlu diakui, akuilah dan mintalah maaf.
  3. Kalaupun relasi orangtua-anak baik, tetap saja akan ada ketegangan yang mesti dihadapi bersama. Orangtua dapat merasa bersalah menjadi beban buat anak dan sebaliknya, anak pun merasa bersalah karena tidak dapat berbuat lebih buat orangtuanya. Ia pun sibuk dengan keluarga dan tanggung jawab pribadinya sehingga tidak dapat meluangkan lebih banyak waktu. Itu sebabnya penting bagi orangtua dan anak untuk saling terbuka dengan pengharapan masing-masing agar relasi ini tidak menjadi relasi yang sarat rasa bersalah.
  4. Dalam melayani orangtua, anak-anak perlu membagi tugas supaya tidak membebani salah seorang anak secara berlebihan atau menimbulkan iri hati. Orangtua pun akan dapat melihat bahwa semua anak mengasihi mereka tanpa kecuali.

Firman Tuhan Hormatilah ayahmu dan ibumu-ini adalah suatubperintah yang penting seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi ini. (Efesus 6:2)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sampai Hari Tuaku". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kadang-kadang kita dibuat terkejut mendengar berita atau melihat kenyataan bahwa pasangan suami-istri yang sudah menikah sekitar 30 tahun bahkan lebih, tiba-tiba bercerai, ini sebenarnya bagaimana Pak Paul?

PG : Memang kalau kita hanya melihat mereka pada usia tua itu dan tidak mengerti latar belakang mereka, kita akan terkejut. Tapi biasanya kalau sampai usia tua kedua orang itu mengalami masala sehingga akhirnya harus berpisah, dapat dipastikan bahwa masalah mereka itu sebetulnya berawal jauh lebih dini.

Jadi kemungkinan besar memang mereka sudah bermasalah, tapi puncaknya di hari tua itu.
GS : Kalau begitu pernikahan itu sebenarnya harus dipelihara sejak awal supaya tidak terjadi hal-hal seperti itu. Bagaimana kita bisa mempersiapkan diri agar pernikahan ini bisa langgeng, sampai masa tua tetap menjadi pasangan suami-istri, apakah ada hal-hal tertentu yang harus diperhatikan?

PG : Ada Pak Gunawan, jadi memang kita mesti merencanakan hari tua. Saya kira makin mantap, makin matang rencana-makin baik hari tua kita itu. Sekali lagi saya ingin tekankan hal ini yaitu kia menikah bukan untuk sementara, kita menikah untuk selamanya sampai juga nanti memasuki hari tua.

Kita ingin agar pernikahan kita di hari tua pun bisa langgeng dan baik. Ada beberapa hal yang bisa kita persiapkan, yang pertama adalah kita mesti memahami bahwa hidup ini terbagi dalam beberapa fase. Ada kalanya kita siap dan menikmati hidup bersama pasangan dalam fase tertentu. Misalnya fase belum mempunyai anak-kita bisa pergi bersama-sama, ke sana ke sini bebas dan kita sangat menikmatinya. Atau ada fase ketika anak-anak kecil, kita juga menikmatinya, kita bisa pergi bersama anak-anak, bermain bersama mereka. Atau fase anak-anak sudah remaja, sudah mulai besar, kita mempunyai kesempatan lebih banyak mengembangkan karier kita pun menikmati kebersamaan di sana. Namun belum tentu kita siap dan dapat menikmati kebersamaan melewati masa tua, sebab masa tua adalah masa yang penuh dengan keterbatasan. Jadi kita mesti menyadari hidup terbagi dalam fase-fase dan fase tua itu fase tersendiri. Kenyataan bahwa kita telah mempunyai kestabilan di fase-fase yang sudah lampau tidak 100% menjamin bahwa di fase tua ini kita tidak akan mengalami masalah, perlu penyesuaian dan ini yang perlu kita persiapkan.
GS : Tetapi seperti yang tadi Pak Paul katakan, kalau fase-fase sebelumnya kita bisa mengatasi dengan baik, sepertinya hubungan itu lebih harmonis-apakah tidak lebih mudah mengatasi fase yang berikutnya seperti fase pada masa tua itu?

PG : Betul sekali, kalau di masa lampau kita berhasil melewati kebersamaan dengan baik, dengan stabil, kita akan lebih mampu mengatasi tantangan di fase hari tua itu. Tapi yang ingin saya tekakan adalah tetap akan perlu penyesuaian diri.

Fase tua itu tidak kita masuki dan kita lewati dengan begitu saja, perlu ada hal-hal yang perlu kita lakukan untuk menyesuaikan diri.
GS : Berarti dalam tiap-tiap fase pernikahan itu ada masalahnya sendiri-sendiri, untuk fase di mana pasangan suami-istri sudah lanjut usia, masalah-masalah apa yang biasanya muncul?

PG : Biasanya kita bisa simpulkan dengan satu kata Pak Gunawan, yaitu keterbatasan. Di hari tua kita tidak lagi sesehat dulu, sehingga kesehatan kita terbatas. Saya berikan satu contoh, misalan pendengaran kita mulai berkurang, perlu penyesuaian untuk berbicara dengan pasangan dengan pendengaran yang sudah mulai berkurang itu.

Atau ingatan kita berkurang sehingga hal-hal yang baru saja kita bicarakan, nanti kita bertanya lagi atau pasangan kita bertanya lagi. Yang kebetulan memorynya lebih kuat bisa jengkel, kenapa tanya lagi padahal baru saja diberitahukan. Atau karena sering lupa jadi akhirnya merepotkan pasangan. Jadi fase tua ditandai oleh keterbatasan dan di dalam keterbatasan inilah kita sebagai suami-istri harus menghadapi tantangannya. Untuk menolong kita menghadapi tantangan ini, saya mau membedah keterbatasan itu seperti apa dalam unsur-unsur apakah kita harus belajar melihat apa itu keterbatasan. Yang pertama adalah jenis aktifitas, ada hal-hal yang biasa kita lakukan, sekarang tidak bisa lagi kita lakukan. Saya tahu Pak Gunawan bermain tenis dan senang sekali bermain tenis, sampai usia tertentu Pak Gunawan masih bisa main tenis, tapi lewat usia tertentu tidak bisa lagi main tenis. Sekarang diberikan pilihan, apakah Pak Gunawan tidak berbuat apa-apa karena tidak lagi bermain tenis atau harus mengganti jenis aktifitasnya karena Pak Gunawan tetap ingin hidup sehat. Apakah Pak Gunawan bersedia memikirkan alternatif aktifitas olahraga yang lain. Ada orang yang tidak bersedia, ada orang yang berkata, "Saya suka tenis maka saya akan terus main tenis." Akhirnya tulangnya patah, terkena serangan jantung, tidak cocok lagi sampai usia yang sudah lanjut. Atau karena tidak bersedia dengan aktifitas yang berbeda akhirnya tidak olahraga sama sekali dan di masa tua mengumpulkan penyakit-penyakit yang lain.
GS : Di dalam keterbatasan seperti itu, kadang-kadang orang tidak menyadari bahwa sebenarnya dia sudah memasuki usia di mana keterbatasan-keterbatasan itu mulai menjadi bagian hidupnya. Atau kalau pun dia menyadari pasti pasangannya itu yang tidak menyadari bahkan mendorong, "Tidak, kamu tidak seperti itu, teman-temanmu yang lain itu masih belum seperti itu". Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Ini sering kali menjadi masalah bagi pasangan yang sudah lanjut usia Pak Gunawan, kecenderungannya adalah ada salah satu pihak yang menyangkali keterbatasannya, sehingga pasangannya itu yag kesal sekali.

"Kamu sudah tua masih begini, nanti kamu kenapa-kenapa." Akhirnya terjadi percekcokan, percekcokan yang tentunya di usia muda tidak akan muncul, karena memang masalah ini tidak ada tapi di usia tua-lah ini akan muncul dan menjadi bahan percekcokan. Atau kebalikannya yang tadi Pak Gunawan katakan, ada pasangan yang tidak mau mengerti bahwa misalkan suaminya tidak sekuat dulu, selincah dulu, nah dia memaksa suaminya untuk terus pergi bersamanya jalan ke sana - ke sini. Sedangkan misalkan sudah terjadi pengapuran yang parah di lutut si suami sehingga si suami tidak lagi bisa menggunakan kakinya sebebas dulu. Tapi istrinya tidak mau mengerti tetap memaksa si suami untuk jalan terus, sebab kenapa, dia berkata: "Teman-teman masih bisa, kenapa kamu tidak bisa, kamu memanjakan diri akhirnya penyakit timbul dsb." Nah dari sini kita bisa simpulkan bahwa dua belah pihak memang mesti benar-benar memahami, menerima dan terutama memercayai masing-masing. Sehingga waktu pasangannya berkata, "Saya memang tidak lagi bisa melakukan ini." Yang satunya percaya dan tidak meragukan, atau sewaktu pasangannya berkata saya memang tidak lagi mampu untuk pergi jauh seperti ini. Nah pasangannya bisa berkata: "OK, saya menerimanya, tidak apa-apa." Jadi perlu suatu jalinan komunikasi yang baik tapi landasannya adalah saling percaya dan saling menghargai. Kalau tidak di usia tua ini muncul percekcokan dan kadang-kadang muncul penghinaan, Pak Gunawan. Yang satu menghina "Kamu kok begini, kamu kok begitu," dan masalah tambah ruwet.
GS : Selain keterbatasan, mengenai jenis aktifitas apakah ada yang lain?

PG : Yang kedua adalah tentang frekwensi. Saya kembalikan contoh misalnya kita terbiasa bermain tenis misalkan tiga kali per-minggu, makin usia lanjut mungkin tidak lagi bisa bermain tiga kaliseminggu, mungkin hanya menjadi dua kali seminggu.

Banyak aktifitas yang biasa kita lakukan beberapa kali per-hari atau beberapa kali per-minggu, dengan pertambahan usia akan harus kita kurangi. Selain dari frekwensi yang kita juga harus pertimbangkan ulang adalah berapa baik atau berapa memuaskannya kwalitasnya. Misalkan salah satu yang juga mesti kita sadari adalah relasi suami-istri atau seksual. Sering kali misalkan si suami yang semakin tua dan istri pun semakin tua hendak melakukan hubungan tapi di usia tua istri tidak lagi bisa melakukannya sebaik dulu. Tidak bisa disangkal, pada masa tua relasi seksual akan berubah, tidak lagi mempunyai kwalitas sebaik dulu. Ini bagian yang juga harus diterima, ada hal-hal yang masih bisa dilakukan tapi tidak lagi sebaik atau tidak lagi memuaskan seperti dahulu kala. Dan yang terakhir bagian yang mesti kita sadari juga adalah berapa lama durasinya. Misalkan Pak Gunawan sekarang bisa bermain tenis dua jam, dengan bertambahnya usia mungkin harus ada pengurangan dari dua jam ke satu setengah jam. Pergi-pergi, dulu bisa dari pagi sampai sore tapi sekarang tidak bisa, sampai siang saja sekarang harus sudah pulang. Ini adalah elemen-elemen yang mesti kita sadari telah berubah dan kita harus menerimanya.
GS : Karena keterbatasan ini kita harus mengurangi jenis aktifitas, apakah tidak sebaiknya dicarikan pengganti untuk itu. Misalnya unsur kepuasan, bukankah setiap orang akan mencari walaupun dia tidak bisa menikmati kepuasan seksual misalnya tetapi bukankah harus ada sesuatu yang memuaskan dirinya.

PG : Sudah tentu dia harus kreatif mencari bentuk-bentuk aktifitas yang lain yang dapat dilakukannya, namun kita sudah tahu bahwa kita harus tetap berjalan di koridor Tuhan, di koridor kehendakTuhan.

Jangan sampai kita mencari aktifitas sebagai pengganti yang terhilang itu dengan aktifitas yang melawan kehendak Tuhan atau yang berdosa kita harus berjalan di jalan yang benar. Tapi penting sekali memang harus kreatif, misalkan dulu terbiasa pergi ke mana-mana jalan jauh-jauh sekarang mungkin jalan di sekitar rumah, bersama-sama. Dulu biasa pulang malam, sekarang tidak usah pulang malam, sore pun sudah pulang karena mata tidak lagi awas untuk bisa melihat jalanan dengan baik. Dan tidak apa-apa, berarti kehidupan malam akan makin berkurang, kalau ada yang mengantar atau menjemput itu baik, kalau tidak ada berarti ya tidak pergi, malam hari di rumah. Nah pikirkanlah apa yang bisa dilakukan di rumah sehingga masih bisa melakukan kebersamaan.
GS : Memang selama pasangan itu masih lengkap, itu akan lebih mudah mengatasinya, memang akan menjadi lebih sulit kalau dia sendirian; entah janda atau duda tapi masalahnya akan lebih kompleks.

PG : Setuju sekali, memang kalau tidak ada lagi pasangan apalagi tidak ada anak atau siapa yang tinggal bersamanya, ini menjadi masalah tersendiri yang mesti dipersiapkan. Nanti kita akan bicaakan tentang peran anak-anak dalam menolong orangtua melewati masa tuanya.

GS : Selain faktor keterbatasan, apakah ada hal lain lagi Pak Paul?

PG : Masa tua ini sebenarnya masa mengingat dan menuai, di masa tua kita tidak lagi dapat memandang ke depan, sebab secara alamiah kita tahu bahwa tidak banyak lagi waktu yang tersisa. Secara isik pun ingatan jangka pendek kita makin memudar maka kita sering melupakan yang sekarang.

Tapi jangka waktu kita masih ada, kita mengingat hal-hal yang dulu pernah terjadi. Itu sebabnya kalau kita pernah mengalami kepahitan atau kekecewaan di masa lalu sering kali kalau kita belum membereskannya dulu, kita belum mengampuni orang yang melukai kita atau mengecewakan kita, kita masih memendam kemarahan dan kepahitan. Di hari tua kepahitan itu akan membesar, bukan saja kepahitan itu masih ada tapi mengganggu, membengkak, benar-benar menguasai orang itu sehingga kalau kita berkunjung ke rumah orangtua ini kita akan selalu disuguhi cerita yang sama tentang kepahitannya, kebenciannya kepada orang itu. Masalahnya adalah orang ini sudah membicarakan kemarahannya, kekecewaannya itu berkali-kali kepada setiap orang yang berkunjung kepadanya. Tapi dia terus membicarakannya, kenapa? Sebab memang itu yang terjadi, masa tua adalah masa mengingat dan menuai. Kalau dia dulu menabur benci, dendam, di hari tua dia akan menuai dendam dan benci tapi dalam skala yang lebih besar. Kalau misalkan pada masa yang lampau kita menanam banyak pengalaman indah, kita memilih untuk mengampuni, kita memilih untuk menyerahkan semua kembali kepada Tuhan, kita tidak lagi ingin menggenggam hidup kita atau kepunyaan kita, kita berani melepaskan, maka masa tua menjadi masa yang lebih indah sebab yang kita ingat yang indah. Kita tidak menyimpan dendam dan yang kita tuai juga adalah pengampunan dan keindahan. Itu sebabnya kita akan melihat sebagian orangtua indah, bersinar, benar-benar menjadi berkat tapi ada lagi sebagian orangtua yang menjadi pancaran kebencian dan kepahitan.
GS : Itu kadang-kadang juga nampak, ada orangtua yang menyesali masa lalunya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena unsur usia. Dia tidak bisa memperbaiki masa lalunya tapi yang dilakukan adalah menyesalinya terus, nah ini bagaimana Pak?

PG : Dia harus datang kepada Tuhan, dia harus berkata, "Tuhan, ini adalah kerikil dalam hidup saya, saya tahu ini tidak benar, saya harus bereskan." Nah dia harus mau membereskan, tidak ada hai yang kita katakan sudah terlambat untuk mengampuni, untuk membereskan-masih ada hari berarti masih bisa mengampuni.

Yang penting dia mau, tapi sering kali karena kebencian itu sudah mendarah daging dan sudah menjadi bagian hidupnya untuk waktu yang lama, dia tidak dengan mudah mau atau melepaskan kebencian itu. Jadi makin tua makin diisi oleh kepahitan, kalau ini yang terjadi yang kasihan adalah pasangannya, Pak Gunawan. Sebab pasangannya itu setiap hari harus mendengarkan keluhan kepahitan dari suaminya atau istrinya itu dan tidak pernah habis-habisnya. Jadi kalau kita melihat dia merugikan dirinya sendiri tapi tidak mau melepaskan maka Tuhan memberikan kepada mereka suatu pilihan, pilihan untuk datang kepada Tuhan untuk mengampuni atau pilihan tidak mau mengampuni sehingga akhirnya terus dikuasai oleh kebencian.
GS : Apakah masih ada faktor lain pada masa tua ini yang perlu diperhatikan?

PG : Satu lagi, masa tua adalah masa perubahan prioritas, maksudnya berhubung sedikitnya waktu yang tersisa dan berkurangnya kesanggupan fisik maka kita pun dipaksa menetapkan ulang prioritas hdup kita.

Kita mesti duduk bersama dan membicarakan apa sekarang yang ingin kita lakukan, kita ingin kerjakan di sisa-sisa hari kita. Jangan sampai nanti yang satu mau ke kiri, yang satu mau ke kanan. Sebab yang satu berkata "ini yang penting buat saya," dan tidak ada saling pengertian lagi. Sudah tentu di masa tua tetap diperlukan suatu kerelaan untuk mengalah, untuk berkata, "Maaf, saya sebetulnya sulit menerima ini, tapi karena saya tahu ini penting bagimu saya akan dukung kamu." Sikap seperti ini pun tetap diperlukan di hari tua, namun semua ini harus dijaga dalam koridor saling pengertian. Ada kecenderungan ini yang terjadi Pak Gunawan, di hari tua ada orang-orang yang menggunakan hari-hari itu untuk membalas dendam. Saya memahami adakalanya mereka memang terlalu pahit di masa lampau, diperlakukan buruk oleh pasangannya, jadi dimasa tualah masa pembalasan dendam. Tidak peduli, tidak mau mengurus, sebodoh amat, malahan sekarang memaki kembali sebab dulu sering dimaki. Saya sekali lagi mengatakan saya mengerti kepahitan yang telah tertanam akibat perlakuan pasangan yang buruk itu, tapi kita mesti ingat bahwa kita tetap bertanggung jawab atas tindakan kita sekarang. Tuhan memanggil kita untuk mengampuni-tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, Tuhan memanggil kita untuk mengasihi-kita bertanggung jawab untuk menunaikan perintah Tuhan ini.
GS : Sehubungan dengan itu apakah sebagai orang yang sudah usia lanjut, perlu tetap mempunyai cita-cita atau pengharapan untuk masa depannya walaupun hanya tinggal sedikit?

PG : Saya pikir itu penting sekali Pak Gunawan, jadi dua-dua duduk sama-sama membicarakan apa itu yang kita ingin kerjakan bersama setahun ini, nanti tahun depan kita kerjakan ini, ayo kalau Tuan karuniakan kesehatan kita kerjakan ini.

Jadi silakan isilah dengan rencana-rencana, sudah tentu rencana yang realistik dan dapat dilakukan.
GS : Ya itu disesuaikan dengan kondisi yang tadi Pak Paul katakan, tentang keterbatasan, keuangan dan sebagainya. Memang perubahan seperti ini kadang-kadang tidak mudah dilalui itu yang menjadi suatu krisis bagi kehidupan pasangan suami-istri yang sudah lanjut usia ini.

PG : Betul sekali tidak mudah, di sini satu sikap yang diperlukan yaitu satu sikap tidak menuntut. Kadang-kadang kita terbiasa dengan perlakuan orang yang penuh hormat, pernuh perhatian pada kta, tapi dengan berlanjutnya usia kita tidak lagi beredar, kita tidak lagi dibutuhkan di luar.

Kadang-kadang kita melampiaskannya itu di rumah, kita tetap mau dihargai, kita menuntut secara berlebihan; pasangan berbicara sedikit keras-kita marah, pasangan bukannya sengaja tidak mendengar-kita marah. Jadi yang terjadi adalah karena kita kehilangan di luar, maka kita menuntut di dalamlah kita mendapatkannya. Kalau pasangan tidak berhasil memberikannya kita mengamuk, kita marah. Jadi akhirnya hari tua itu benar-benar diisi dengan kebencian dan kemarahan. Maka prinsipnya adalah jangan menuntut. Kita tidak mendapatkannya lagi-itulah bagian alamiah kehidupan, kita tidak lagi dibutuhkan-itulah bagian alamiah kehidupan, kita tidak lagi ditanya dimintai pendapat-itulah bagian alamiah kebutuhan, jangan melampiaskannya pada orang di rumah, menuntutnya memberikan kepada kita semua pengakuan dan penghormatan, memperlakukan kita seperti kita itu seorang raja. Jadi penting sekali kita tidak memperlakukan pasangan seperti itu atau orang-orang di rumah seperti itu.
GS : Sebenarnya pada usia tua seperti ini, kita justru lebih membutuhkan daripada dibutuhkan. Kita lebih membutuhkan pasangan kita daripada kebutuhan-kebutuhan kita sendiri yang lain, minta dihormati dsb.

PG : Sesungguhnya demikian Pak Gunawan kita lebih membutuhkan, namun mintalah dengan baik-baik sebab kadang-kadang ada orangtua sadar membutuhkan tetapi tidak mengakui, namun menuntut pasanganuntuk bisa mengerti dan memberikannya.

Akhirnya kasar dan sering bertengkar, jadi kalau memang membutuhkan bantuan, mintalah baik-baik dengan penuh kerendahan hati. Sikap rendah hati benar-benar akan menjadi kunci keberhasilan dua orang tua melewati masa-masa tuanya.
GS : Jadi kalau ada pasangan yang sudah lama menikah lalu berpisah, seringkali masalahnya hanya internal saja bukan eksternal?

PG : Sering kali ya, dan masalah yang muncul adalah dari masalah-masalah yang tadi kita bahas itu.

GS : Bagaimana dengan harapan-harapan masa lalunya yang tidak menjadi kenyataan, seperti tadi Pak Paul katakan bukankah harapan-harapan itu harus ditinjau ulang, harus ditinggalkan dsb, padahal itu sesuatu yang menyakitkan untuk meninggalkan harapan-harapan yang sudah tidak mungkin tercapai?

PG : Di masa tua-lah kita mesti berdamai dengan diri kita pula. Maksudnya begini, waktu kita menengok ke belakang dan melihat bahwa ini hal-hal yang saya tidak dapatkan, kita mesti duduk dan brpikir dengan jernih, jangan langkah pertama menyalahkan orang, ini hanya akan menambahkan kepahitan.

Lihatlah apa itu bagian kita, nah kalau memang ini kesalahan orang dan orang berbuat buruk kepada kita, tugas kita di masa tua adalah meminta Tuhan menolong kita mengampuni orang itu, ini proyek kita. Sekali lagi kita tidak bisa mendelegasikan ini kepada orang, ini adalah tanggung jawab kita kepada Tuhan. Kalau memang kitalah yang berandil, yang membuat kita kehilangan kesempatan yang baik itu, kita mesti juga berdamai dengan diri kita dan berkata, "Ya sudah, ini memang kesalahan saya, memang saya tidak melakukan bagian atau tugas saya, sehingga inilah hasilnya saya tidak mendapatkannya." Terima ini juga, setelah kita melakukan semua itu datang kembali kepada Tuhan percaya bahwa meskipun kita kehilangan itu semua, tetap rencana Tuhan, anugerah Tuhan bagi kita cukup, tidak lebih-tidak kurang.
GS : Untuk mengakhiri perbincangan ini mungkin ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan Pengkhotbah 3:11 dan 13, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya...; dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itujuga adalah pemberian Allah."

Ini benar-benar konsep theologis yang dalam yaitu bahwa Tuhan menguasai segalanya, Dia Allah yang berdaulat, Dia yang memberikan keindahan pada waktunya, Dia yang membuat seseorang mampu untuk makan, minum dan menikmati hidupnya. Tuhanlah segalanya, jadi di hari tua kita kembali kepada Tuhan, bersyukur dan berserah kepada-Nya.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sampai Hari Tuaku." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



32. Relasi Orangtua dan Anak Dihari Tua


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T196B (File MP3 T196B)


Abstrak:

Beberapa prinsip yang mesti kita pahami guna menciptakan relasi orangtua-anak yang indah di hari tua, yaitu di hari tua anak cenderung bersikap terhadap orangtua sesuai dengan kondisi relasi itu sekarang. Orangtua kembali menjadi seperti anak dalam pengertian ia sekarang dibatasi oleh kelemahan fisiknya. Kalaupun relasi orangtua-anak baik, tetap saja akan ada ketegangan yang mesti dihadapi bersama.


Ringkasan:

Relasi orangtua-anak dibangun di awal kehidupan anak. Di dalam penggalan 12 tahun inilah dasar relasi terbentuk dan menentukan corak relasi selanjutnya, termasuk di hari tua. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang mesti kita pahami guna menciptakan relasi orangtua-anak yang indah di hari tua.

  1. Di hari tua anak cenderung bersikap terhadap orangtua sesuai dengan kondisi relasi itu sekarang. Mungkin tatkala anak kecil, ia tidak mempunyai banyak pilihan selain mengikuti kehendak orangtuanya. Setelah dewasa ia lebih memiliki banyak pilihan dan besar kemungkinan ia lebih bebas untuk menyatakan kemerdekaannya. Jadi, bila ia tidak setuju atau menyukai gaya hidup orangtuanya, di masa tua ia akan lebih tidak mau berdekatan dengan orangtuanya. Penting bagi anak untuk menyadari bahwa tidak banyak yang dapat ia lakukan untuk mengubah orangtuanya. Sebaiknya anak menerima orangtua apa adanya sehingga relasi tidak terus menjadi tegang. Sebaliknya, anak pun perlu menjaga batas agar relasi dengan orangtua yang tidak harmonis ini tidak mempengaruhi kehidupan pribadi atau keluarganya. Jadi, lakukanlah sedapatnya dan sebanyaknya-tanpa merusakkan relasi itu sendiri atau relasi dengan keluarga sekarang.
  2. Orangtua kembali menjadi seperti anak dalam pengertian ia sekarang dibatasi oleh kelemahan fisiknya. Seperti seorang anak, ia pun harus bergantung pada orang lain-pada kesediaan waktu dan keinginan. Jika relasinya dengan anak tidak terlalu akrab, dapat dimengerti bila di masa tua relasi ini akan menjadi canggung karena ia tidak terbiasa meminta bantuan anak. Bila inilah corak relasinya, sebaiknya orangtua berinisiatif mengakui kurangnya keterlibatannya dalam kehidupan anak di masa lampau dan ungkapkan pengertian bahwa di masa tua ini, ia harus memulai relasi yang baru dengan anak. Jika ada kesalahan yang perlu diakui, akuilah dan mintalah maaf.
  3. Kalaupun relasi orangtua-anak baik, tetap saja akan ada ketegangan yang mesti dihadapi bersama. Orangtua dapat merasa bersalah menjadi beban buat anak dan sebaliknya, anak pun merasa bersalah karena tidak dapat berbuat lebih buat orangtuanya. Ia pun sibuk dengan keluarga dan tanggung jawab pribadinya sehingga tidak dapat meluangkan lebih banyak waktu. Itu sebabnya penting bagi orangtua dan anak untuk saling terbuka dengan pengharapan masing-masing agar relasi ini tidak menjadi relasi yang sarat rasa bersalah.
  4. Dalam melayani orangtua, anak-anak perlu membagi tugas supaya tidak membebani salah seorang anak secara berlebihan atau menimbulkan iri hati. Orangtua pun akan dapat melihat bahwa semua anak mengasihi mereka tanpa kecuali.

Firman Tuhan
Hormatilah ayahmu dan ibumu-ini adalah suatubperintah yang penting seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi ini. (Efesus 6:2)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Relasi Orangtua dan Anak di Hari Tua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita perhatikan hubungan orangtua yang sudah lanjut usia dengan anaknya itu ada yang baik, harmonis dan kelihatan akrab, tapi tidak kurang juga ada yang hubungannya tidak baik, bahkan kadang-kadang bermusuhan. Bagaimana hal ini bisa terjadi Pak Paul?

PG : Hubungan orangtua-anak sudah tentu berawal sejak anak masih kecil. Jadi hubungan orangtua-anak itu dapat saya lukiskan seperti tumpukan batu bata yang nanti membentuk sebuah dinding, jadikita mesti menaruh satu batu di atas batu yang lain.

Memang terpenting adalah masa-masa kecil itu, dan kalau pada masa awalnya relasi orangtua-anak itu baik, lebih besar kemungkinan di masa selanjutnya relasi orangtua-anak juga baik. Namun tidak selalu demikian, adakalanya misalnya di hari-hari atau di masa anak-anak kecil, orangtua dan anak relasinya baik kemudian memasuki masa remaja mulai terjadi pergolakan sehingga relasi merenggang. Dalam masa pergolakan itu misalkan orangtua melakukan hal-hal yang menyakiti hati si anak, si anak akhirnya terluka dan membawa luka itu sampai agak tua. Atau memasuki usia dewasa, orangtua kecewa berat karena anak misalnya memilih pasangan yang berkebalikan dari yang diharapkan orangtua, sehingga relasi orangtua dan anak merenggang kembali. Pada akhirnya relasi tua itu sangat dipengaruhi oleh relasi sebelumnya, jadi jikalau pada masa sebelumnya orangtua memasuki masa tua relasinya dengan anak itu baik, lebih besar kemungkinan di masa tua relasinya dengan anak juga akan tetap baik. Tapi kalau masa sebelumnya itu buruk maka masa-masa tua itu dapat dipastikan relasi orangtua dengan anaknya juga akan tetap buruk.
GS : Kadang-kadang yang terjadi justru setelah pernikahan Pak Paul, banyak yang mengatakan ini faktor dari istri, kalau anaknya ini laki-laki, sehingga hubungan anak laki ini dengan orangtuanya menjadi buruk, karena pengaruh istrinya. Apakah memang betul seperti itu Pak Paul?

PG : Sudah tentu dengan hadirnya orang lain dalam keluarga kita, maka akan terjadi perubahan relasi, tidak bisa tidak, sebab si anak sekarang harus membagi dirinya kepada pasangan dan kepada orngtuanya.

Dan kita pun sekarang tidak lagi mempunyai hak atau jangkauan yang sama terhadap anak kita. Begitu mereka sudah berkeluarga mereka mempunyai kehidupan yang terpisah dari kehidupan kita, dan kita mesti menghormatinya. Adakalanya orangtua dan anak tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik pada masa-masa ini, akibatnya relasi menjadi buruk. Tetapi sering kali orangtua mengambil gampangnya yaitu dengan mudah menyalahkan menantunya. Memang sudah tentu ada kasus-kasus di mana ini disebabkan oleh menantunya yang terlalu menguasai si anak, memberi pengaruh buruk pada si anak. Tapi saya kira sebelum menyalahkan menantu kita mesti juga menyadari bahwa mungkin ini adalah bagian dari penyesuaian yang kita dan anak kita harus lakukan. Kalau kita akhirnya bisa menghormati batas masing-masing, besar kemungkinan kita akan memasuki hari tua dengan baik serta mempunyai relasi yang sehat dengan anak-anak kita.
GS : Sebagai anak sering kali mengharapkan orangtuanya itu ideal, dan biasanya ini tidak terpenuhi dan akhirnya mengganggu hubungan orangtua dan anak.

PG : Itu sebabnya di hari tua, kita sebagai anak-anak mesti menerima orangtua apa adanya. Adakalanya kita ini tidak suka, tidak bisa menerima bagian tertentu dari hidup orangtua kita. Dan kia masih terus mencoba mengubahnya, akhirnya apa yang terjadi? Pertengkaran, orangtua merasa, "O....kamu

sekarang mentang-mentang sudah dewasa, sudah jaya, kami sekarang sudah tua renta tidak mempunyai apa-apa lagi, kalian sekarang kurang ajar kepada kami." Orangtua memang peka dengan sikap-sikap anak dan di antara sikap anak atau sikap orang yang lebih muda, setiap orangtua itu paling peka terhadap sikap yang dianggap orangtua itu kurang ajar. Ini memang sering kali menimbulkan masalah sebab belum tentu si anak atau pihak yang lebih muda itu kurang ajar. Bisa jadi si anak hanyalah mengutarakan pendapat atau isi hatinya tapi orangtua langsung mengecap kurang ajar. Mengapa demikian? Karena pada masa tua kita tidak lagi merasa berguna, berharga, dibutuhkan, kita merasa sudah tersingkirkan dari kehidupan ini tapi kita masih ingin diikutsertakan di dalam kancah kehidupan. Waktu kita melihat orang yang berani kepada kita, tidak lagi sungkan, tidak lagi mempunyai sikap hormat atau berbeda terhadap kita, biasanya kalau kita sudah tua kita akan sangat peka dengan hal-hal seperti ini dan langsung melabelkannya kurang ajar. Maka kalau orangtua kita memang mempunyai sikap-sikap yang tidak lagi kita inginkan dan kita ingin mengubahnya, berhati-hati-di masa tua orangtua cenderung sensitif, daripada mencoba mengubah-ubah dan akhirnya mengobarkan api pertengkaran di antara kita, ya sudah diam saja, terima saja.
GS : Dari situ sering kali orangtua menuntut anaknya, dia merasa sudah banyak berjasa kepada anaknya dan sekarang mengharapkan anaknya itu balas jasa. Tetapi ini bukan lagi dalam bentuk permintaan tapi tuntutan.

PG : Sering kali hal itu terjadi Pak Gunawan, jadi di hari tua seolah-olah orangtua itu ingin menguji berapa besar cinta anak kepadanya, berapa besar pengorbanan anak untuknya. Jadi sering kal menuntut yang melebihi batas yang biasa dia minta sebelumnya.

Waktu anak memberikannya dia akan merasa senang, berarti anak masih sayang kepadanya. Ini mesti kita sadari sebagai anak bahwa di hari tua, orangtua memang membutuhkan lebih banyak bahasa atau ungkapan-ungkapan yang nyata bahwa anak-anak mengasihi dan tetap memperhatikan serta menghormati mereka. Kalau mereka menangkap bahwa anaknya tidak lagi seperti dulu, mereka akan peka sekali. Tapi di sini saya perlu mengingatkan satu hal, corak relasi anak-orangtua sangat ditentukan oleh corak relasi mereka di fase-fase sebelumnya. Jadi kalau di masa yang lebih muda orangtua terlalu otoriter, berbicara searah, tidak memberikan kesempatan si anak mengutarakan pendapatnya-biasanya corak ini akan dipertahankan sampai hari tua. Nah bisa jadi si anak tidak terima, dari dulu pun tidak terima tapi karena dulu dia masih lebih muda dan masih bergantung kepada orangtua dia diam saja. Sekarang di hari tua, orangtuanya bicara, otoriter, tidak memberikan kepada dia kesempatan untuk berbicara, apa yang dia akan lakukan? Dia berhenti mengunjungi orangtuanya, dia hanya akan datang mungkin setahun sekali, nah ini yang juga sering terjadi di hari tua. Maka seperti kita pernah bahas, penting sekali kita sebagai orangtua mempersiapkan, menjaga relasi di awal-awal, karena kalau tidak akan menuai buah-buah perbuatan kita di hari tua. Itu sebabnya mungkin Pak Gunawan pernah melihat orangtua yang kesepian di hari tua, tidak ada anak-anak yang mau dekat dengannya. Kenapa? Sebab corak relasi dengan anak dari dulu sudah bermasalah, di hari tua anak-anak mengambil sikap menjauh darinya.
GS : Tapi memang tuntutannya lebih banyak kalau anak itu sudah menikah khususnya, atau paling tidak sudah bekerja itu memisahkan diri atau keluar dari rumah orangtuanya. Dibandingkan kalau dulu sering kali kumpul atau paling tidak sehalaman. Ini mempengaruhi hubungan orangtua dengan anak atau tidak Pak?

PG : Seharusnya tidak, meskipun jarak berjauhan tapi kalau relasi itu baik anak akan sering-sering mengontak orangtua. Kalau misalkan bisa datang ya datang mengunjungi, jadi anak-anak pun menati-nantikan kesempatan untuk bisa bersama-sama, atau membawa cucu melihat kakek-nenek.

Namun kalau relasi itu tidak baik, meskipun tinggal dalam satu kota atau tinggal di satu daerah, tetap anak-anak tidak mau mendekati si orangtua. Maka di sini kita bisa melihat apa yang kita tabur akhirnya kita tuai. Penting sekali di masa-masa sebelum kita tua, kita mempunyai relasi yang lebih baik dengan anak-anak kita.
GS : Apakah ada faktor lain yang harus diperhatikan untuk membina relasi yang baik antara orangtua dan anak ini?

PG : Baik orangtua maupun anak mesti menyadari satu hal yang lain yaitu di hari tua, kita ini sudah tua akan cenderung menjadi seperti anak-anak. Mengapa? Karena kita sekarang ini dibatasi ole keterbatasan atau kelemahan fisik seperti seorang anak, jadi kita harus bergantung kepada orang lain.

Misalnya meminta waktu anak untuk menghantar kita pergi, meminta kesediaan menantu untuk menolong kita melakukan sesuatu. Di sini akhirnya orangtua harus bergantung pada kerelaan, bukan saja ada atau tidak ada waktu tapi kerelaan; anak dan menantunya rela atau tidak, bersedia atau tidak, ingin atau tidak membantunya. Jika relasi dengan anak tidak akrab dapat dimengerti bahwa di masa tua ini relasi orangtua-anak akan menjadi canggung. Mengapa canggung karena dia tidak terbiasa meminta bantuan anak atau di masa-masa sebelumnya dia tahu kalau meminta bantuan, anak pasti tidak mau karena relasi dengan orangtua tidak baik. Jadi inilah corak relasinya, kalau misalkan di masa sebelumnya sudah ada masalah seperti itu. Saya usulkan kalau memang ini yang terjadi, orangtua berinisiatif mengakui kesalahannya ini. Misalkan orangtua berkata, "Memang di masa lampau kami kurang memberikan perhatian kepadamu, kami bersikap begini, begitu kepadamu, kami minta maaf". Jadi sebaiknya orangtua juga berani mengakui kesalahannya, jangan orangtua berkata, "Tidak, dia yang harus berinisiatif dulu, dia yang lebih muda, dia anak." Di mata Tuhan tidak ada tua, tidak ada muda, kesempatan berbuat benar itu diwajibkan baik kepada yang muda maupun kepada yang tua. Tidak berarti kalau kita tua maka kita tidak lagi diharuskan berbuat yang benar atau melakukan perintah Tuhan, tetap sama. Kalau kita tahu bahwa kita salah, jangan ragu untuk meminta maaf pada anak-anak.
GS : Ya memang ini suatu kesombongan orangtua Pak Paul, jadi alih-alih minta maaf, tapi biasanya malah mencari orang lain untuk menolong dia. Kalau tadi Pak Paul katakan, "kalau saya minta tolong anak saya, pasti tidak ditanggapi." Karena sudah tahu tidak ditanggapi dia meminta orang lain untuk menolong dia mendapatkan tanggapan yang baik. Tapi akibatnya hubungan anak-orangtua ini menjadi lebih jelek lagi, karena anak merasa, "Saya ini masih ada, masih sekota kok tidak minta tolong saya. " Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Si anak mungkin merasa dipermalukan Pak Gunawan, "Kamu kok tidak meminta kami tapi meminta orang lain, benar-benar mencoreng wajah kami di depan orang-orang." Atau masalah yang muncul mislnya orangtua membicarakan tentang anak-anaknya di depan teman-temannya di gereja.

Atau membicarakan menantunya, maka diperlukan hikmat dari dua belah pihak-orangtua maupun anak. Jangan sampai orangtua di masa tua tidak berhikmat, akhirnya mengeluh ke sana - ke sini tentang anaknya, tentang menantunya. Akhirnya si anak bersikap benar-benar tidak mau tahu sebab daripada dibicarakan, dipermalukan, digunjingkan, "Ya, sudah kalau dianggap kami seperti ini, ya memang kami seperti ini." Akhirnya tambah runyam, jadi mesti ada hikmat di dalam mengatur relasi. Orangtua pun kalau misalkan (tadi saya sudah singgung) mengakui ada kesalahan di pihaknya di masa lampau, jangan sungkan, jangan tinggi hati untuk mengakui kesalahan itu. Sebaliknya anak juga, mengertilah bahwa memang orangtua kita tidak sempurna, memang ada hal-hal tentang dirinya yang tidak kita sukai, ada kelemahan-kelemahannya yang sukar kita toleransi tapi dia orangtua kita dan sekarang dia membutuhkan bantuan kita, ya sudah sedapatnya kita bantu. Demi Tuhan yang telah memanggil kita untuk menjadi anak-anak Tuhan yang baik, jadi lakukan tugas kita jangan pikirkan orangtua kita seperti apa, yang bisa kita lakukan ya lakukan demi Tuhan Yesus yang juga telah memberi contoh bagaimana berkorban dalam hidup ini.
GS : Kalau orangtua itu mempunyai beberapa anak memang biasanya orangtua akan dekat dengan salah satu atau dua anak daripada yang lainnya. Yang lain merasa kurang diperhatikan, padahal hubungan itu tidak selamanya sama. Hal ini berpengaruh atau tidak?

PG : Sering kali berpengaruh Pak Gunawan, di hari tua kalau orangtua itu dekat dengan satu dan tidak dekat dengan yang lainnya biasanya nanti akan menimbulkan pengkubuan dalam rumah tangga itu. Jadi nanti akan ada dua, tiga anak yang berkumpul menjadi satu, sedangkan ada satu, dua anak berkumpul menjadi satu, jadi rumah tangga itu akhirnya terbelah.

Kalau ada apa-apa kubu yang satu berkata, "Ini urusan kamu, kamu yang dekat dengan papa-mama, kamu yang urus semuanya." Ini sering kali terjadi, tapi saya juga tahu kadang-kadang ini juga terjadi yaitu di masa orangtua masih hidup, anak-anak tidak mau begitu dekat karena memang tidak suka dekat-dekat. Tapi begitu orangtua mati, ada warisan, semua langsung berkumpul dan berkata, "bagi rata." Jadi kadang-kadang memang kita ini hidup tidak sesuai dengan firman Tuhan, tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, kita lebih menuruti keinginan daging. Kita tidak suka, kita marah, tidak mau dekat-dekat, tapi begitu mau meninggal-hartanya ada kita mau hartanya, bukankah itu bukan sikap kristiani, bukan sikap yang dikehendaki dari anak-anakNya. Justru di masa orangtua masih hidup, kita masih bisa membantunya, bantulah, jangan mengingat-ingat masalah yang lampau. Dan tentang harta warisan, jangan terlalu dipusingkan juga karena memang bisa dibagi ya dibagi, kalau memang ada yang lebih butuh-berikanlah kepada yang lebih butuh. Kenapa kita mesti merebutkan hal seperti itu.
GS : Pak Paul, kalau seandainya hubungan orangtua-anak itu terbina dengan baik sejak awal, apakah pada masa orangtua ini memasuki usia lanjut, itu bisa dijamin bahwa hubungan mereka tetap tidak ada masalah?

PG : Saya kira tidak, karena kehidupan ini memang selalu dinamis, akan ada hal-hal yang baru. Misalkan relasi orangtua-anak itu sebetulnya baik. Di hari tua ada kemungkinan orangtua itu sendii karena sayang anak dan baik, tidak mau mengganggu menantunya dan sebagainya justru merasa dia telah menjadi beban buat anaknya, merasa bersalah meminta sesuatu kepada anaknya, akhirnya diam-diam tidak mau memberitahu apa-apa.

Kenapa? Karena takut membebani, merasa bersalah kalau nanti menyusahkan anak, nah di sini diperlukan dari dua belah pihak kesensitifan. Anak juga sensitif melihat kira-kira apa itu yang dibutuhkan orangtua, orangtua pun sensitif tidak sembarangan memberi beban tambahan kepada anak. Di dalam jiwa pengertian seperti ini meskipun harus ada penyesuai yang dilakukan, banyak hal yang dapat dikerjakan bersama. Orangtua jangan akhirnya merasa bersalah kalau dia harus meminta bantuan anak. Memang itulah yang terjadi, dia sudah tua, dia sudah terbatas dan dia harus meminta bantuan anak-jangan sungkan meminta bantuan anak. Kenapa? Sebab waktu orangtua berani meminta bantuan, si anak pun nanti akan lebih bebas memberikan bantuan dan tidak merasa, "Wah........begini saja papa-mama tidak mau minta, akhirnya jadi repot seperti ini." Biasakanlah terjadi sebuah keterbukaan, kalau mempunyai kebutuhan jangan sungkan untuk meminta kepada anak.
GS : Tapi mungkin memang perlu dibicarakan di antara anak-anak itu sendiri. Mereka mempunyai kesepakatan bagaimana caranya bisa menyenangkan orangtua pada usia yang lanjut itu?

PG : Idealnya begitu Pak Gunawan, sebab kalau tidak hal ini bisa terjadi yaitu muncul keirihatian, "Kamu kok tidak pernah mau membantu, selalu saya saja yang harus antar jemput orangtua ke ruma sakit, kamu sama sekali tidak mau tahu."

Nah lebih baik anak-anak duduk bersama dan membicarakan pembagian tugas, untuk menghindari keirihatian dan juga supaya orangtua melihat bahwa anak-anak semua bersama mengasihi mereka, dan ini akan sangat membahagiakan orangtua pula.
GS : Memang bukan hanya waktu mau membagi warisan mereka berkumpul, tetapi sebenarnya untuk pembagian pelayanan ini, ini penting untuk dibicarakan.

PG : Saya suka dengan istilah yang Pak Gunawan gunakan yaitu pelayanan. Memang ini sebuah pelayanan, ini pelayanan kepada orang yang memang terbatas, yang lebih lemah daripada kita. Di hari pnghakiman, Tuhan akan menanyakan kepada kita, "Kenapa kita tidak memberikan baju kepada orang yang tidak mempunyai baju, memberi makan kepada orang yang kelaparan, mengunjungi orang yang dipenjara."

Dengan kata lain, "Kenapa kita tidak menolong orang yang dalam kesusahan." Orangtua pada umumnya mengalami keterbatan dan kelemahan, mereka menjadi orang yang lebih butuh ditolong, nah waktunyalah kita sebagai anak-anak menolong mereka.
GS : Memang faktor yang agak sulit karena ada istri dari macam-macam latar belakang. Misalnya anaknya lima berarti ada lima menantu, kadang-kadang anaknya bisa sehati tetapi menantunya belum tentu bisa juga.

PG : Betul, maka dalam pembicaraan di antara anak ya masing-masing perlu terbuka dengan kondisi rumah tangganya. Ada yang bisa memberikan lebih, ada yang hanya bisa memberikan sedikit, baik it waktu, tenaga maupun bantuan keuangan.

Nah di antara anak harus ada kesepakatan, "Ya, memang kami mengerti kamu mempunyai keterbatasan, saya lebih bisa memberi," yang lebih bisa memberi, juga lebih bisa memberikan dengan sukacita.
GS : Melihat banyaknya tuntutan atau tanggung jawab anak atau menantu kita, sebenarnya orangtua bisa merancangkan segi finansialnya untuk hari tuanya jadi tidak terlalu menjadi beban buat anak-anak atau menantu mereka.

PG : Betul, jadi sedapat-dapatnya kalau memang ada uang yang bisa disisihkan sejak awal ya disisihkan. Ini akan menolong sekali di hari tua, orangtua tidak menambahkan beban terlalu besar kepaa anak-anak.

Sebab memang hidup sekarang berbeda dengan masa dulu, di masa sekarang bagi kaum muda pun untuk bisa memulai kehidupan tidak mudah. Membeli rumah dan sebagainya, harga sudah begitu tinggi, jadi kalau bisa memang orangtua merencanakan hari tuanya dengan baik sehingga tidak menjadi beban buat anak-anaknya.
GS : Yang sulit diprediksi itu kalau sakit, bagaimana orang bisa mempersiapkan diri, sakit datangnya tiba-tiba kemudian parah, berarti anak-anak harus peka terhadap kebutuhan orangtuanya.

PG : Di sini memang anak-anaklah yang dituntut untuk peka, jadi mereka justru harus berpikir, "Nanti orangtua akan sakit, kalau sakit bagaimana biayanya." Kalau memang orangtua diberkati denga kecukupan, sampai nanti pun masih bisa baik, tapi kalau tidak memang anak-anak yang harus mengambil alih tanggung jawab keuangan ini.

Maka ada baiknya mereka pun berembuk membicarakan, "Apakah perlu sisihkan uang dari sekarang, menabungkan uang dari sekarang, untuk apa? Biaya pengobatan orangtua kalau mereka jatuh sakit, itu ide yang baik sekali.
GS : Ada orangtua yang memang tidak mau merepotkan anak, memilih masuk ke panti wreda atau panti jompo, padahal anak-anaknya mampu, sehingga anak merasa tersinggung. "Kami mampu dan mau, tapi justru orangtua yang memilih masuk ke panti wreda." Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya pernah dulu melayani di sebuah panti jompo Pak Gunawan, dan di sana saya berbincang-bincang dengan para orangtua. Ternyata memang ada sebagian yang tidak mau, tapi dipaksa karena tidk ada yang merawat di rumah, namun cukup banyak yang memang memilih untuk masuk ke panti jompo.

Mengapa? Mereka berkata, "Sebab di rumah pun kami tidak ada siapa-siapa, anak-anak semua repot, di sini kami mempunyai banyak teman." Jadi justru mereka merasa bahagia, ini tempatnya, saya mempunyai banyak kawan-kawan yang senasib, bisa saling cerita, nah justru mereka bahagia di situ. Saya kira sebagai anak, kita mesti memikirkan kepentingan orangtua pula. Kalau memang orangtua ingin masuk ke panti jompo, kita mesti hormati keinginan itu sebab itu adalah hal yang baik buatnya. Tapi kalau mereka tidak mau dan kita masih bisa merawatnya, kita rawat sendiri.
GS : Ya itu tadi karena lingkungannya, orang-orang yang disekelilingnya yang menyalahkan anak. "Orangtuamu masuk panti jompo kok dibiarkan saja, padahal kamu kan bisa untuk membantu orangtuamu tinggal serumah."

PG : Kalau itu yang terjadi anak harus berkata jujur bahwa, "Ini bukan pilihan kami, ini pilihan orangtua dan kami sudah mencoba mencegahnya tapi dia bahagia sekali di sana, karena teman-temanna semua di sana, jadi yang penting itulah orangtua bahagia kami juga bisa bahagia bersama mereka."

GS : Tapi juga ada anak yang justru merasa senang orangtuanya di panti jompo, karena tidak mempunyai beban kemudian tidak pernah mengunjungi orangtuanya, sehingga hubungan itu menjadi renggang.

PG : Nah itu salah, tetap kita mesti memperhatikan mereka, kita adalah anak dan Tuhan memberikan pelayanan ini kepada kita.

GS : Sebenarnya firman Tuhan khususnya untuk anak-anak yang Pak Paul mau sampaikan dari mana?

PG : Dari Efesus 6:2, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, ini adalah suatu perintah yang penting seperti yang nyata dari janji ini, supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi ini." Tidak terllu sering firman Tuhan itu memberikan janji, berkat, setelah Tuhan memberikan perintahnya.

Tapi di sini kita bisa melihat Tuhan memberikan perintah diikuti dengan sebuah janji berkat. Kalau kamu menghormati ayahmu dan ibumu maka ini yang Tuhan akan limpahkan kepada kita. Kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi ini. Ini perintah Tuhan, menghormati orangtua bukan hanya bisa menganggukkan kepala itu Tuhan mengerti dan kita pun mengerti, menghormati orangtua artinya memperlakukan mereka dengan penuh kasih, merawat mereka, melindungi mereka terutama di hari tua di mana mereka sudah lemah dan terbatas.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Relasi Orangtua dan Anak di Hari Tua." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



33. Tatkala Orangtua Menikah Kembali


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T198A (File MP3 T198A)


Abstrak:

Setelah ayah atau ibu meninggal, orangtua kembali hidup sendiri. Selang beberapa waktu, orangtua memutuskan untuk menikah. Apakah yang seharusnya menjadi sikap kita sebagai anak tatkala orangtua memutuskan untuk menikah kembali? Anak memiliki tugas untuk mengingatkan orang tua. Apa saja harus diingatkan?


Ringkasan:

Setelah ayah atau ibu meninggal, orangtua kembali hidup sendiri. Selang beberapa waktu, orangtua memutuskan untuk menikah. Kadang tindakan ini dapat diterima namun adakalanya keputusan ini justru menimbulkan dampak yang mengguncangkan keluarga. Apakah yang seharusnya menjadi sikap kita sebagai anak tatkala orangtua memutuskan untuk menikah kembali?

Pada dasarnya kita mesti memastikan bahwa orangtua telah terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang baik. Ingat, tidak selalu kita dapat memastikan hasil akhir atau keputusannya, namun sekurangnya kita bisa memastikan bahwa kita telah menjalani langkah-langkah yang benar dalam proses pengambilan keputusan. Tugas kita sebagai anak adalah mengingatkan orangtua akan hal-hal berikut ini:

  1. Apakah alasan sesungguhnya orangtua ingin menikah kembali? Kadang keinginan untuk menikah kembali keluar dari
    1. (a) kesepian belaka,
    2. (b) kebutuhan finansial yang mendesak,
    3. (c) kebutuhan seksual,
    4. (d) kebutuhan akan rasa aman,
    5. (e) kebutuhan akan seseorang yang dapat mengurus rumah, dan
    6. (f) kebutuhan untuk dikasihi. Semua alasan ini tidak salah tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya alasan untuk menikah kembali.
    Alasan terutama kenapa kita menikah kembali adalah
    1. (a) kita saling mencintai dan menghormati,
    2. (b) kita saling mengisi kebutuhan masing-masing, dan
    3. (c) secara jelas kita melihat pimpinan Tuhan yang menuntun kita untuk bersatu dalam pernikahan.
  2. Apakah motivasi pasangannya itu menikah dengan orangtua kita? Ada orang yang sengaja menjebak orang untuk menikah dengannya karena alasan ekonomi atau alasan keliru lainnya. Kita mesti memastikan bahwa ia sungguh-sungguh mengasihi orangtua.
  3. Apakah orangtua telah memilih pasangan hidup yang tepat baginya? Apakah ia telah melewati masa berkenalan yang memadai? Apakah ada kecocokan karakter? Apakah ada kecocokan gaya hidup? Apakah ia pasangan yang seiman dalam Kristus?
  4. Apakah pasangannya itu dapat menerima kita sebagai bagian dari keluarganya? Apakah justru sebaliknya, ia berusaha memisahkan kita dari orangtua?
  5. Apakah orangtua dan pasangannya siap untuk menghabiskan masa tua bersama? Masa tua adalah masa keterbatasan fisik; makin tua makin besar kemungkinan sakit. Apakah mereka siap untuk saling merawat dan memberi dukungan?

Firman Tuhan: "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan." (Amsal 19:14) Kita harus mengingatkan orangtua agar berhati-hati dalam memilih pasangan hidup sebab jika keliru memilih, masa tua yang seyogianya dilewati dalam ketenangan malah berubah menjadi kawah yang mendidih.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Orangtua Menikah Kembali". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada anak-anak yang tidak bisa menerima bahwa orangtuanya mau menikah lagi, apa pun alasannya. Tetapi ada juga sebagian yang malah mendukung, mendorong orangtuanya untuk menikah lagi, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya bisa memahami kalau ada anak-anak yang sulit mengijinkan orangtuanya menikah kembali. Di sini kita memang tidak membicarakan anak-anak kecil, tapi kita membicarakan anak-anak yang suah besar, akil baliq.

Mungkin orangtua mereka juga sudah lanjut usia, di atas usia 50, 60 tahun. Saya bisa memahami kesulitan anak-anak untuk mengijinkan orangtua untuk menikah kembali, sebab akan ada banyak pertimbangan yang dipikirkan oleh anak-anak. Jadi inilah hal-hal yang nanti akan kita bicarakan sebab inilah yang sering kali menjadi ganjalan dalam relasi orangtua-anak. Kalau orangtua juga tidak bijak langsung mau menikah dan tidak mempedulikan komentar anak-anak, biasanya pernikahan kembali orangtua yang sudah uzur akhirnya menjadi duri dalam relasi orangtua- anak. Adakalanya anak merasa terkhianati oleh orangtua, misalkan mamanya sudah meninggal dunia kemudian papa hendak menikah kembali di usia tua. Anak-anak akan berkata, "Papa sudah menikah dengan mama berpuluhan tahun, mama mengabdi kepada papa berpuluhan tahun, kok sekarang mama sudah meninggal papa bisa melupakan mama begitu saja, kemudian papa menikah kembali." Hal-hal seperti ini yang sering kali menjadi duri dalam relasi orangtua-anak.
GS : Tetapi sebagai anak bukankah juga harus memahami kebutuhan orangtuanya, Pak Paul?

PG : Betul, memang dari kedua belah pihak saya kira perlu duduk bersama dan berbicara dari hati-ke hati agar segala masalah ini bisa kita selesaikan.

GS : Biasanya apa alasan orangtua yang pasangannya meninggal dan mau menikah kembali?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, misalnya ada orangtua yang ingin menikah kembali karena kesepian, karena tidak ada lagi pasangannya, dia hidup sendirian sementara dia tidak bisa hidup sendiri jai buru-buru mau menikah.

Atau yang lainnya lagi adalah adanya kebutuhan finansial yang mendesak. Kadang-kadang karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, harus bergantung pada orang maka menikah kembali. Ada juga yang menikah kembali karena kebutuhan seksual, misalkan ini orangtua pria meskipun sudah usia 60-an tapi tetap mempunyai kebutuhan seksual jadi memerlukan pasangan yang bisa juga memenuhi kebutuhan seksualnya itu. Ada juga yang butuh akan rasa aman, hidup sendiri menakutkan baginya tidak lagi bisa hidup dengan tenang. Terbiasa misalkan semuanya diselesaikan oleh suaminya, ada urusan apa-apa suaminya yang maju, nah sekarang dia sendiri sedangkan anak-anak jauh dari rumah, dia perlu seseorang yang bisa memberikan rasa aman kembali kepadanya. Atau ini juga yang klasik yaitu adanya kebutuhan akan seseorang yang dapat mengurus rumah, biasanya ini dialami oleh para pria tatkala istrinya meninggal dunia. Terbiasa berpuluhan tahun bergantung pada istri, mengatur rumah tangga, makanan dan sebagainya; sekarang tidak ada lagi istri tidak bisa lagi mengatur rumah tangga meskipun ada orang yang membersihkan rumah, tetap tidak bisa mengatur rumah tangga akhirnya memutuskan menikah. Atau kadang-kadang yang kita lihat adalah adanya kebutuhan kasih sayang, ada orang tertentu yang memang terbiasa hidup dalam relasi kasih sayang; mencintai dan dicintai. Sekarang tidak ada lagi pasangan akhirnya membutuhkan seseorang yang dapat mencintainya.
GS : Jenis kebutuhan ini rupanya juga banyak dipengaruhi oleh usianya Pak Paul, jadi kalau tadi Pak Paul katakan bagi mereka yang masih umur 50, 60 tahun kebanyakan memang kebutuhan seksual tapi kalau sudah lebih dari itu yang lain-lain juga banyak. Tapi bukankah alasan-alasan yang Pak Paul sampaikan kebanyakan berfokus pada dirinya sendiri, padahal sebenarnya pernikahan dasarnya bukan itu Pak Paul, ini bagaimana?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi saya tidak mengatakan semua alasan yang telah saya paparkan tadi adalah alasan yang salah. Tidak ada yang bisa mengatakan begitu, saya kira manusiawi kita ksepian, kita ingin adanya pasangan dan sebagainya.

Tapi saya percaya alasan ini tidak boleh menjadi alasan tunggal mengapa kita menikah. Tadi Pak Gunawan sudah mengatakan bahwa semua alasan ini mempunyai satu ciri yang sama yaitu semuanya berpulang pada kebutuhan pribadi. Kita tahu pernikahan bukanlah untuk memenuhi kebutuhan pribadi, pernikahan adalah sebuah relasi di mana kedua insan saling memberi, jadi kita harus kembali lagi melihat alasan kenapa kita menikah. Yang dapat kita langsung katakan adalah kita menikah karena kita saling mencintai dan menghormati, kita benar-benar mencintai dan karena kita mencintai maka kita ingin memberi kepadanya. Dan kita saling menghormati, kita menghargai pendapatnya, pandangannya, dirinya, kita hormat kepada keluarganya dan sebagainya. Alasan yang kedua adalah kita saling mengisi kebutuhan masing-masing, jangan sampai relasi nikah menjadi relasi searah. Satu orang memberikan kecukupan kebutuhan tapi yang lainnya tidak, hal ini tidak baik. Dan yang terakhir alasan kenapa kita menikah kembali adalah secara jelas kita melihat pimpinan Tuhan yang menuntun kita bersatu dalam pernikahan, jadi kita tidak main-main, kita mendoakannya, kita melihat Tuhan menuntun kita setahap demi setahap. Saya kira ketiga alasan inilah yang kita gabung menjadi sebuah alasan kenapa kita menikah.
GS : Supaya hubungan dengan anak-anak ini tetap baik, apakah dari pihak orangtua yang menyampaikan alasannya atau anak yang menanyakan kepada orangtua alasan menikah itu?

PG : Sebaiknya orangtua yang mengambil inisiatif untuk menceritakan kepada anaknya, kenapa dia merasa perlu untuk menikah kembali. Sebaiknya orangtua jangan datang dengan pasangannya kepada ank dan berkata, "Saya sudah menemukan calon istri saya atau calon suami saya dan kami akan menikah."

Nah anak-anak akan merasa kenapa papa-mama ini tidak mau cerita dulu, tidak bersedia berdiskusi, tidak membuka dialog, nah buat apa sekarang datang dan memberitahukan kami; anak-anak akan merasa tersingkirkan, jadi sebaiknya berbicara terlebih dahulu. Mungkin ada sebagian orangtua yang berpendapat begini, "Kami 'kan orangtua kenapa kami harus minta ijin kepada anak." Tapi masalahnya adalah meskipun kita adalah orangtua namun kita sudah menjadi keluarga. Anak-anak bukanlah orang lain, anak-anak adalah bagian hidup kita, jadi apa pun yang kita lakukan akan berdampak pada anak-anak. Kita tidak bisa memisahkan anak-anak dari kita sama seperti waktu anak-anak dulu ingin menikah, bukankah kita selalu tekankan kepada mereka bahwa tolong pertimbangkan kami sebagai orangtua, sebab kami adalah bagian hidupmu. Engkau tidak bisa mengambil keputusan menikah dengan siapa saja tanpa menghiraukan sama sekali pertimbangan kami, sebab kita satu keluarga. Jadi saya kira sama, kalau orangtua menghendaki untuk menikah kembali, sebaiknya sebelum dia bertemu dengan seseorang dia berbicara terlebih dahulu dengan anaknya. "Saya mulai merasakan adanya kebutuhan ini dan itu," dalam pembicaraan itu dengarkanlah masukan dari anak pula.
GS : Biasanya Pak Paul yang menjadi alasan anak untuk mencegah orangtuanya menikah kembali apa Pak Paul?

PG : Saya kira salah satunya adalah ada orang yang memang sengaja menjebak orang lain menikah dengannya karena alasan ekonomi atau alasan lainnya yang keliru. Dengan kata lain kita mesti memasikan orang yang akan menikahi orangtua kita adalah orang yang benar-benar baik dan sungguh-sungguh mengasihi orangtua kita.

Kita takut kalau orangtua kita itu dimanfaatkan sebab ini pernah terjadi, ada orang-orang yang memang mencari orang yang mapan secara keuangan apalagi dia tahu anak-anaknya sudah berhasil, kenapa tidak menikah dengan dia sebab dia paling hidup berapa tahun lagi setelah itu hartanya jatuh ke tangan saya. Jadi anak-anak biasanya khawatir dengan motivasi memanfaatkan orangtua kita.
GS : Di samping tadi Pak Paul sudah sebutkan citra ibunya atau citra ayahnya yang terdahulu masih sangat kuat dalam diri anak-anak.

PG : Betul, memang meskipun anak-anak mengerti kenapa orangtua ingin menikah kembali, tapi pada umumnya anak-anak itu sukar mengundang atau membiarkan seorang yang lain masuk dalam keluarga merka.

Misalkan mereka kehilangan ibu mereka, mereka lebih baik melihat mereka bersama-sama, saling mendukung meskipun tidak ada lagi mama, tapi papa jangan khawatir kami akan tetap di sini, kalau misalkan papa ingin menikah kembali di usia tua, anak-anak ini biasanya akan sukar menerima fakta ini. Anak-anak akan bertanya seberapa pentingnyakah mama dalam hidupmu, seberapa besarnyakah cintamu terhadap mama. Sudah tentu ini perasaan yang sah, anak-anak mempunyai perasaan seperti ini saya kira sangat wajar tapi sekaligus anak-anak juga mesti mendengarkan perasaan dan kebutuhan orangtuanya, di sinilah diperlukan dialog yang terbuka.
GS : Sebaliknya bagaimana dengan anak-anak yang mendorong orangtuanya untuk menikah lagi, bagaimana sebagai orangtua mempertimbangkan hal ini?

PG : Adakalanya anak-anak meminta orangtua menikah kembali karena beberapa alasan Pak Gunawan. Misalkan adakalanya anak-anak melihat orangtua itu secara emosi benar-benar tidak stabil setelah ematian pasangannya.

Kita sebagai anak melihat misalkan, "Kok mama sekarang sering menjadi tidak stabil, sering marah dan sebagainya." Mulailah terpikir dalam benak kita, "Apakah mungkin mama perlu seorang suami, karena kalau ada suami nantinya ada teman bicara dan mama pun tidak terlalu kesepian." Atau yang lebih buruk adalah karena tidak adanya pasangan, misalkan orangtua kita yang masih hidup itu menjadi genit, sering mencoba perhatian lawan jenis. Kita sangat terganggu akan hal ini dan kita akhirnya berpikir apakah papa membutuhkan seseorang untuk pemenuhan kebutuhan seksualnya, apakah lebih baik papa menikah saja daripada papa nanti jatuh ke dalam dosa. Ini pertimbangan-pertimbangan yang kadang-kadang anak-anak pikirkan. Tapi ada juga motivasi yang tidak tepat Pak Gunawan yaitu adakalanya anak-anak meminta orangtuanya menikah kembali sebab mereka tidak mau menanggung beban merawat orangtuanya. Daripada akhirnya harus menanggung beban tersebut ya anak-anak mendorong orangtuanya untuk menikah lagi supaya lepaslah tanggung jawab si anak untuk merawat orangtuanya.
GS : Sebagai anak-anak sebenarnya kita juga harus jujur terhadap orangtua dalam memberikan pertimbangan, Pak Paul. Menyetujui atau menyarankan tidak menikah dan sebagainya tapi pertimbangan-pertimbangan apa yang perlu kita sampaikan?

PG : Pertama kita harus benar-benar bertanya apakah orangtua telah memiliki pasangan yang tepat baginya? Maksudnya apa, misalnya apakah dia sudah melewati masa perkenalan yang memadai. Jangansampai orangtua kita ikut berdarma wisata, jalan-jalan ke luar kota, pulang seminggu kemudian berkata, "Saya mau menikah."

Kita kaget dan kita tanya, "Menikah dengan siapa?" "O..........menikah dengan seseorang yang saya temui dalam tour ini." Kita akan berkata, "Jangan!" Kadang-kadang orangtua atau kita yang pernah menikah beranggapan begini, "Saya telah menikah 40 tahun, saya tahu apa artinya pernikahan, jangan menguliahi saya lagi." Pendapat seperti itu salah, sebab meskipun kita telah menikah 40 tahun dan pasangan kita sekarang telah meninggal, itu tidak menjadikan kita pakar dalam pernikahan berikutnya. Itu tidak sama karena kita akan menikah bukan dengan orang yang sama, kita akan menikah dengan orang yang berbeda. Kita mungkin lebih berpengalaman dalam hal-hal tertentu, kita lebih bisa mengerti pasangan karena dulu terbiasa hidup dengan pasangan kita selama 40 tahun. Tapi itu tidak menjamin kita itu menjadi pakar dalam pernikahan berikutnya. Jadi dengarkan masukan anak, kalau anak berkata, "Jangan! Baru bertemu seminggu atau beberapa bulan sudah mau menikah, apakah sudah memadai waktu perkenalan tersebut?" Yang lainnya anak-anak juga mesti menolong orangtua melihat apakah benar-benar ada kecocokan di antara mereka, apakah ada kecocokan karakter, sifat-sifatnya saling melengkapi atau tidak, apakah dua-duanya sangat keras sehingga tidak mau mengalah. Bayangkan kalau mereka hidup bersama di bawah satu atap, pasti akan ada banyak pertengkaran. Anak-anak perlu melihat dan mengingatkan orangtua akan karakter pasangannya itu. Yang lainnya lagi adalah apakah ada kecocokan gaya hidup, ini penting sekali. Pada usia muda hal gaya hidup memang sudah penting dan perlu penyesuaian dan biasanya penyesuaian itu dilakukan dengan susah payah untuk menyelaraskan gaya hidup apalagi kalau sudah usia lanjut, kita terbiasa dengan hidup kita selama beberapa puluh tahun. Dan dulu misalkan pasangan kita mengerti gaya hidup kita, tidak berkeberatan dan bisa menerima, sekarang kita hendak menikah kembali apakah calon suami atau istri kita bisa menerima gaya hidup kita. Misalkan sejak usia 60 tahun kita terbiasa tidur jam 08.00 malam, sekarang pasangan kita tidak mau tidur jam 08.00 malam dia mau tidur jam 12.00 malam, dan dia merasa kita ini meninggalkannya di rumah, tidak bisa bicara dengannya, dia akan menuntut kita bangun dan temani dia bicara sampai jam 11.00, 12.00. nah gaya hidup ini penting sekali sebab pada usia lanjut gaya hidup kita itu sudah benar-benar berakar dan susah sekali kita cabut dengan begitu saja. Sudah tentu yang terakhir kita mesti memastikan apakah orangtua kita telah memilih pasangan yang seiman dengannya, apakah mereka berdua bisa beribadah bersama di dalam rumah Tuhan, apakah mereka sungguh-sungguh yakin hidup dalam Tuhan Yesus. Nah ini hal-hal yang perlu orangtua juga sadari dan jika tidak menyadarinya, anak perlu mengingatkan orangtua.
GS : Sebenarnya masa pacaran yang kedua ini seharusnya lebih teliti lagi dalam memilih pasangannya daripada dulu waktu menikah yang pertama kali, Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, sebab misalkan ini terjadi di Amerika Serikat, di sana angka perceraian tinggi. Tapi sesungguhnya angka perceraian di antara orang yang menikah kedua kalinya jauh lebihtinggi daripada perceraian di antara orang yang menikah untuk pertama kalinya.

Jadi orang mesti menyadari bahwa pernikahan kedua itu risikonya untuk ambruk jauh lebih besar daripada pernikahan pertama.
GS : Di samping kecocokan antara pasangan yang baru, tentu menyangkut anak-anak. Jadi di pihak pria juga mempunyai anak, yang wanita juga mungkin sudah mempunyai anak. Nah ini bagaimana di dalam hubungan selanjutnya?

PG : Di sini, orangtua yang hendak menikah perlu masuk di terima oleh keluarga yang satunya. Ini menjadi hal yang lebih penting dibandingkan waktu misalnya anak mau menikah karena orangtua kit sudah tua, kita ini nanti akan lebih banyak terlibat dalam kehidupan orangtua kita, hal seperti ini tidak bisa dihindari.

Berarti kita akan benar-benar harus bisa berelasi baik dengan pasangan yang baru. Jadi orangtua juga mesti melihat apakah dua keluarga ini atau anak-anak kita bisa menerima pasangan kita, jangan sampai orangtua tidak memperhatikan sama sekali masukan anak-anak. Berikutnya tentang keluarga adalah jangan sampai orangtua itu menikah dengan seseorang yang berusaha keras memisahkan kita dari orangtua kita. Ada pasangan yang seperti itu, terutama pasangan yang memang terlalu dominan, kehendaknya harus terjadi, dia menguasai orangtua kita. Kita mau ajak orangtua kita pergi, mau ajak dia makan susah sekali, mau berkunjung ke rumahnya pun menjadi sangat susah, mau ajak melihat cucu juga susah karena pasangannya menguasai sekali orangtua kita. Dia yang mengatur semuanya, ini mesti kita waspadai terhadap orang-orang yang berkarakter seperti ini. Atau yang lain lagi adalah orang-orang ini memang mempunyai motivasi yang buruk, maka dia sengaja memisahkan kita dari orangtua kita supaya dia benar-benar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan dari orangtua kita. Maka kita mesti melihat apakah orang ini orang yang sungguh-sungguh baik pada orangtua kita, cocok dengan orangtua kita, apakah motivasinya menikahi orangtua kita benar. Jangan sampai orangtua kita terjebak.
GS : Tapi memang sama seperti pernikahan yang pertama, pernikahan yang kedua ini pun sering kali masalah-masalah itu muncul setelah mereka menikah. Jadi anak baru mengetahui seperti misalnya tadi Pak Paul jelaskan sulit menghubungi orangtua dan sebagainya itu setelah mereka menikah. Kalau masalah-masalah ini muncul dan baru diketahui setelah mereka menikah sikap anak-anak bagaimana Pak Paul?

PG : Seharusnya anak-anak berbicara langsung dengan orangtua, tapi berbicara dengan baik-baik mengatakan hal seperti ini misalkan, "Kami prihatin, kami melihat kenapa tante kok seperti ini kepaa papa, kenapa tante itu menghalangi kami datang dan sebagainya.

Pa, kami tidak mau mengatur rumah tangga papa, ini papa yang mempunyai rumah tangga kami menghormati tapi kami hanya mau memberitahukan kami perihatin untuk hal-hal seperti ini, jadi mohon papa berjaga-jaga, papa waspada." Sebab kenapa kita perlu berbicara seperti itu, kalau kita terlalu memaksakan dan langsung memerintahkan papa untuk menegur istrinya, kebanyakan papa kita itu akan marah kepada kita, papa kita mungkin akan langsung membela pasangan dan berkata, "Memang dari dulu kamu sentimenlah dengan istri saya, kamu memang tidak suka dengan istri saya." Nah kita mesti berbicara dengan baik-baik kemudian kita serahkan kembali kepada papa. "Pa, silakan papa putuskan kami hanya ingin memberitahukan ini." Biarlah masukan ini papa mulai ingat sehingga dia mulai berhati-hati bahwa istrinya ternyata tidak seperti yang dia duga. Benar-benar pernikahan ini adalah untuk memenuhi agenda si istri, kalau itu yang terjadi sudah tentu si ayah ini memang harus lebih berwaspada dalam hal misalkan hartanya dan sebagainya.
GS : Biasanya pernikahan yang kedua ini dilakukan pada usia yang sudah cukup lanjut, dan itu saat-saatnya kondisi fisik ini menurun, kesehatannya menurun, sering sakit. Ini bagaimana Pak Paul, apakah hal ini perlu diungkapkan sebagai salah satu pertimbangan?

PG : Sudah tentu, ini berbeda dengan perkawinan di masa muda. Di masa muda kita relatif lebih sehat, kita benar-benar mengantisipasi hari-hari di depan kita di mana kita bisa berkarya, menikmai hidup bersama dalam tubuh yang sehat.

Menikah di usia tua tidak bisa tidak kita harus mempertimbangkan hari-hari tua kita, maka waktu memilih pasangan hidup dua-dua harus siap saling merawat bahwa ini bukan pernikahan di mana kita akan bersenang-senang. Tidak demikian, ini pernikahan di mana dua-dua akan saling bergantung untuk saling merawat. Siap atau tidak, ini yang mesti disadarkan kepada mereka berdua.
GS : Betul atau tidak, ada pengamatan bahwa biasanya yang pria lebih banyak yang menikah kembali daripada yang wanita?

PG : Saya kira itu betul, nomor satu adalah lebih banyak wanita dibandingkan pria yang berusia lanjut. Memang pada umumnya wanita berusia lebih panjang dibandingkan pria. Dengan kata lain kalupun wanita hendak menikah kembali biasanya dia akan kesulitan mendapatkan pasangan hidup.

Yang kedua, kebanyakan wanita lebih bisa hidup tanpa suami dibandingkan suami tanpa istri. Wanita terbiasa mengurus rumah tangga, keluarganya dan sebagainya sehingga waktu pasangannya tidak ada dia masih bisa mengurus semuanya, dan biasanya mama dekat dengan anak-anak dan itu menjadi dukungan yang penting baginya. Papa biasanya tidak terlalu dekat dengan anak sehingga waktu tidak ada istrinya dia akan lebih kesepian.
GS : Pak Paul, untuk merangkumkan perbincangan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 19:14, "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Kita mesti mengingatkan orangtua, berhati-hati dalam memlih pasangan hidup sebab jika keliru memilih masa tua yang seyogianya dilewati dalam ketenangan malah berubah menjadi kawah yang mendidih.

Mintalah kehendak Tuhan, mintalah pimpinan Tuhan, firman Tuhan jelas berkata, "Istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Kalau kita balik, "Suami yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Tuhan yang memberikan jadi kepadaNyalah kita meminta pimpinanNya.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Orangtua Menikah Kembali". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



34. Mengapa Orang Tua Seperti Kanak Kanak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T198B (File MP3 T198B)


Abstrak:

Kadang kita dibuat jengkel oleh sikap orangtua yang kekanak-kanakan. Mereka sukar taat dan seolah-olah ingin menguji batas kesabaran kita. Kita akan berupaya memahami alasan mengapa orangtua sering bersikap seperti itu dan belajar menghadapinya.


Ringkasan:

Pertanyaan di atas ini kerap diajukan oleh kita yang tinggal bersama orangtua yang telah sepuh. Kadang kita dibuat jengkel oleh sikap orangtua yang kekanak-kanakan. Misalnya, sudah diberitahu tidak perlu membersihkan kamar mandi tetap membersihkannya sampai akhirnya terjatuh dan memerlukan perawatan rumah sakit. Sudah diberitahukan untuk menunggu jemputan namun tidak sabar dan pulang sendiri dengan kendaraan umum. Akhirnya ia tersesat dan membuat kita kalang kabut mencarinya. Ada banyak contoh yang dapat diberikan namun semuanya mencerminkan satu tema yang sama yakni mereka bersikap seperti kanak-kanak: sukar taat dan seolah-olah ingin menguji batas kesabaran kita. Kita akan berupaya memahami alasan mengapa orangtua sering bersikap seperti itu dan belajar menghadapinya.

1. Pada dasarnya orang tua harus bergumul menerima keterbatasan fisiknya. Tidak mudah untuk menerima dan hidup dengan keterbatasan; itu sebabnya sering kali orang tua tetap berusaha melakukan hal-hal yang "membahayakan" dirinya guna membuktikan kepada dirinya dan kita bahwa ia tetap sehat dan sanggup seperti dulu.

2. Orang tua terbiasa berfungsi sebagai orang yang bertanggung jawab atas hidup kita. Merekalah yang merawat dan membesarkan kita; untuk suatu kurun yang panjang merekalah tempat kita bergantung. Sekarang peranan itu berbalik arah: kitalah yang merawat mereka dan pada kitalah mereka bergantung. Bagi sebagian orang tua, perubahan peran ini ternyata sulit diterima. Itu sebabnya mereka terus berusaha melakukan semuanya sendiri dan enggan meminta bantuan kita.

3. Orang tua kerap mengalami kekosongan hidup dan merasa kesepian. Sebagian dari mereka bahkan merasa tertolak dan tersingkirkan. Ada pula yang merasa gagal dalam hidup dan tidak lagi berguna. Kadang untuk mengobati rasa gundah, mereka tergoda melakukan hal-hal yang menarik perhatian orang. Sesungguhnya mereka tengah meminta perhatian.

Menghadapi orang tua beberapa hal berikut ini mesti kita camkan:

  1. Ketahuilah apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan orang tua, kemudian berusahalah untuk memenuhinya. Jika ia kesepian, janjikanlah kunjungan atau secara teratur ajaklah ia pergi.
  2. Secara berkala, adakanlah pertemuan keluarga. Pada hari tua, lingkup pergaulan makin menyempit sehingga keluarga menjadi satu-satunya pelipur lara.
  3. Jika tidak berkaitan dengan dosa, sedapatnya hindari koreksi sebab mereka cenderung keliru menanggapinya; mereka malah makin merasa tertolak. Sebaiknya hindari situasi yang memungkinkan mereka melakukan hal-hal yang sulit diterima.
  4. Firman Tuhan: "Mata yang mengolok-olok ayah dan enggan mendengarkan ibu akan dipatuk gagak lemah dan dimakan anak rajawali." (Amsal 31:17) Menghormati orangtua adalah perintah Tuhan; jadi, lakukanlah demi Tuhan!


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Orangtua seperti Kanak-kanak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, rasanya sekarang ini lebih banyak orang yang bisa hidup sampai usia lanjut dibandingkan yang dulu-dulu, mungkin ini faktor kemajuan di bidang kesehatan, kesadaran orang untuk menjaga kesehatan tubuhnya, bisa sampai umur 80 bahkan sampai 90 tahun. Di satu sisi kita bersyukur bisa hidup lebih lama dengan orangtua kita tetapi di sisi yang lain juga merepotkan bahkan menjengkelkan. Nah pertanyaan seperti judul tadi "Mengapa Orangtua seperti Kanak-kanak," itu menjadi sangat relevan buat kita. Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Memang kita harus menerima fakta bahwa tatkala kita itu berusia lanjut, kita akan mengalami perubahan. Biasanya orang berkata kita ini kanak-kanak dua kali, orang dewasa sekali. Mula-mul kanak-kanak, di tengah-tengah dewasa dan diakhiri dengan kanak-kanak lagi.

Apa yang biasanya terjadi kalau kita tinggal bersama orangtua atau meskipun orangtua tidak tinggal dengan kita, kita akhirnya harus berhadapan dengan masalah orangtua. Misalnya orangtua itu senang membersihkan kamar mandi, berkali-kali kita beritahukan, "Jangan, licin nanti terjatuh," tidak mau mendengarkan. Kita minta, "Sudah, jangan nanti dikerjakan oleh pembantu rumah tangga"; tetap tidak bersedia, akhirnya benar-benar terjatuh dan memerlukan perawatan. Uang yang dikeluarkan jauh lebih besar daripada uang yang kita keluarkan untuk meminta orang membersihkannya. Misalkan kita sudah katakan, "Kalau perlu apa-apa, tolong hubungi kami nanti kami antar," tetap saja jalan sendiri ke sana ke sini, akhirnya tersesat. Sampai di mana tidak tahu, menelepon kita minta dijemput. Itu hal-hal yang sering kali terjadi dengan orangtua kita. Jadi penting saya kira kita mulai membicarakan apa yang harus kita lakukan, apa yang menjadi sikap kita dalam menghadapi orangtua yang mulai uzur.
GS : Biasanya sifat-sifat kekanakan apa saja yang sering kali muncul dalam diri orang yang sudah lanjut usia?

PG : Pada dasarnya tema utama adalah orangtua menjadi sukar taat, jadi kita mengatakan sesuatu, kita meminta sesuatu tidak mau diberikannya. Dan tema kedua adalah pada usia uzur itu orangtua sakan-akan senang menguji batas kesabaran kita.

Jadi kita kadang kala merasa kenapa sengaja mau membuat kita marah, sepertinya sengaja mau menguji batas kesabaran kita. Dua sikap inilah yang kita akhirnya katakan sifat kekanak-kanakan. Senangnya melawan, senangnya membantah, tidak mau menuruti yang kita minta, dan yang kedua senangnya menguji batas kesabaran kita. Banyak hal yang dilakukan dengan dua tema ini Pak Gunawan. Contoh yang lain adalah kita sudah beritahukan lebih baik jangan lagi memasak, nanti lupa lagi api tidak dimatikan. Tapi apa yang terjadi, tetap mau masak-kita akhirnya marah. Kita marah orangtua tidak marah tapi malah menangis sedih sendirian, kita merasa bersalah. Jadi ini benar-benar menguras energi mental kita bagi kita yang hidup bersama orangtua.
GS : Saya melihat juga penyangkalan, anak-anak itu kalau kita katakan kamu masih anak-anak dia akan menyangkal. Nah sementara ini orangtua, kalau dikatakan orangtua ini sudah tua, kondisi tubuhnya menurun, ingatannya menurun, tapi dia tidak mau mengakui bahwa dia kondisinya seperti itu.

PG : Saya kira itu tepat, anak-anak susah menerima bahwa dirinya anak-anak, orangtua juga begitu. Jadi memang yang pertama yang harus kita sadari adalah orangtua sebetulnya bergumul menerima kterbatasan fisiknya.

Saya kira tidak mudah untuk menerima dan hidup dengan keterbatasan. Masyarakat kita berubah Pak Gunawan, dulu kita lebih toleran, lebih bisa menerima orang yang berusia lanjut di dalam kehidupan kita dalam masyarakat. Tapi sekarang saya kira makin kecil peranan orang yang tua di dalam kehidupan kita ini, bukankah yang lebih diglamorkan adalah orang yang muda, yang cantik, yang masih produktif, yang masih bisa bekerja dan sebagainya. Jadi kita sekarang ini memang sangat dikuasai oleh gagasan, oleh ide bahwa muda itu baik, produktif itu baik. Berarti tua itu tidak baik, tidak produktif itu tidak baik. Itu sebabnya kita akhirnya mengalami ketakutan mencapai usia tua dan menerima fakta bahwa sekarang kita tidak lagi seperti dulu, kita terbatas. Saya kira inilah yang menjadi penyebab mengapa orang yang tua tetap berusaha melakukan hal-hal yang "membahayakan" dirinya. Saya kira mereka berusaha membuktikan pada dirinya bahwa dia tetap sehat dan sanggup seperti dahulu. Contohnya kita mengatakan jangan turun tangga sendirian, bahaya nanti jatuh. Misalkan kita pergi kemudian ada tangga, kita berkata, "tunggu, nanti kami kembali mengambil sesuatu, jangan turun dulu sekarang." Begitu kita keluar benar saja sudah di bawah sana dan orangtua kita akan berkata, "Kenapa takut, memangnya saya akan jatuh, lihat bisa kok tidak jatuh." Ya mungkin saja saat itu tidak jatuh namun lain kali kemungkinan jatuh besar. Tapi kenapa orangtua bertindak seperti itu, karena dia ingin membuktikan kepada kita anak-anak dan kepada dirinya bahwa kami masih baik, kami masih bisa jalan, kami tidak perlu topangan, kami masih bisa naik-turun tangga sendirian, itu yang sering kali terjadi.
GS : Juga faktor tanggung jawab Pak Paul, kita semakin tua tanggung jawab kita makin berkurang termasuk di dalam pengasuhan terhadap anak-anak. Apakah ini juga berpengaruh lalu membuat orangtua itu kemudian bersifat kekanak-kanakan?

PG : Saya kira seperti itu Pak Gunawan, bukankah pada masa-masa kita kecil orangtualah yang bertanggung jawab atas hidup kita, merekalah yang merawat, membesarkan kita. Jadi untuk suatu kurun ang panjang kepada merekalah kita bergantung, nah sekarang peranan itu berubah dan berbalik arah, kitalah yang merawat dan kepada kitalah mereka sekarang bergantung.

Bagi sebagian orangtua perubahan peran ini susah diterima, itu sebabnya mereka terus berusaha melakukan semuanya sendiri dan enggan meminta bantuan kita. Sudah tentu kalau hubungan kita dengan orangtua tidak terlalu baik, ini menjadi masalah yang lebih besar karena mereka tambah tidak mau meminta bantuan kita. Juga karena relasinya dengan kita tidak terlalu baik, kalau dengan orangtua relasi kita baik maka orangtua akan lebih berani meminta bantuan kita dan lebih terbuka. Tapi intinya adalah memang ini merupakan pergumulan bagi orangtua, menerima peranan yang berbeda. Dulu menyediakan, dulu memberikan; sekarang disediakan, sekarang harus menerima. Jadi peranan bertanggung jawab tidak ada lagi malah sekarang merekalah yang harus bergantung pada anak-anak nah ini sering kali sangat menyusahkan mereka. Itu sebabnya mereka terus berusaha melakukan semuanya sendiri.
GS : Tapi sebenarnya itu bisa kita rintis sejak awal Pak Paul, dengan mengatakan kepada anak kita, "Kamu sering-seringlah berkonsultasi dengan papa atau dengan mama." Sebenarnya itu menjadi suatu kehormatan kalau anak mau menanyakan sesuatu atau meminta pertimbangan kita, kita akan merasa dihargai hanya dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan.

PG : Sudah tentu itu betul sekali Pak Gunawan, jadi sedapatnya kita tetap melibatkan orangtua dalam pertimbangan-pertimbangannya. Tapi kita juga harus memahami kenapa anak-anak adakalanya tida mau meminta masukan dari orangtua.

Karena kita harus mengakui bahwa tidak semua orangtua adalah orangtua yang bijaksana, jadi adakalanya memang kita tidak mau mendapatkan nasihat dari orangtua sebab kita tahu hidupnya seperti apa, kita tahu memang orangtua kita tidak memiliki hikmat itu tapi dulu begitu menguasai kita sehingga keputusannyalah yang harus kita lakukan dan berakhir dengan tragis, berakhir dengan dampak-dampak yang buruk, maka sekarang kita tidak mau lagi melibatkan orangtua. Jadi akhirnya anak-anak ini tidak mau meminta nasihat dari orangtuanya. Jadi masing-masing perlu bercermin, kalau orangtua hidup benar, baik, penuh kasih dan hikmat, takut akan Tuhan otomatis anak-anak pun akan mau dekat dengan mereka, bertanya, meminta masukannya, jadi kita perlu bercermin dalam hal ini.
GS : Memang itu suatu tindakan yang penuh risiko kalau anak-anak tidak sepakat dengan kita atau tidak menyetujui saran kita, itu menyakitkan buat orangtua. Tapi sebaliknya kalau diterima itu membanggakan atau paling tidak mengangkat harga diri kita.

PG : Ini point yang baik jadi dalam upaya kita meminta nasihat orangtua kita sebaiknya jangan basa-basi, kalau kita meminta nasihat mintalah nasihat yang kita tahu kita akan ikuti, jadi jangan ampai hanya basa-basi meminta pendapat kemudian kita tidak lakukan.

Terus kita katakan, "saya memang pernah meminta nasihat tapi yang tentukan saya," itu saya kira makin menampar orangtua, itu makin membuat orangtua merasa mereka sekarang tidak lagi berguna.
GS : Pak Paul, masalah lain yang dihadapi orangtua adalah masalah kesepian, teman-teman mungkin sudah banyak yang meninggal, jarang berhubungan, apakah hal ini juga menimbulkan sifat kekanak-kanakan?

PG : Saya kira seperti itu Pak Gunawan, karena tidak bisa disangkal pada hari tua kita cenderung merasakan hidup ini sepi, kita mulai kehilangan teman-teman apalagi kalau usia kita makin lanjut Yang kita kenal dulu sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dan sebagainya, kita makin tersingkirkan.

Ada juga yang merasa diakhir hidupnya ini mereka merasakan gagal, mereka tidak berhasil melakukan apa yang mereka harapkan, ini semua membuat orangtua hidup dalam ketersiksaan; hati mereka, jiwa mereka tertekan tidak berbahagia. Kadang-kadang untuk mengobati rasa gundah ini orangtua tergoda melakukan hal-hal yang menarik perhatian orang. Saya pernah diceritakan, misalkan waktu berkumpul dengan sanak saudara, orangtua sengaja melakukan hal-hal yang menarik perhatian sehingga membuat anak-anaknya sangat malu. Kenapa begitu karena memang dia merasa tidak lagi ada fungsi dalam hidup ini dan dia mau dikenal tetap diakui kehadirannya, jadi melontarkan kata-kata, melakukan tindakan-tindakan yang hanya untuk menarik perhatian orang. Jadi yang mesti kita lihat dan perhatikan adalah apakah memang benar ini masalahnya, apakah orangtua kita terlalu kesepian, ini yang mesti juga kita lihat.
GS : Tapi memang sikap atau tindakan-tindakan orang yang sudah lanjut usia ini sangat dipengaruhi oleh masa mudanya. Nah ini seberapa jauh pengaruhnya Pak Paul?

PG : Kalau orangtua mempunyai masa muda yang baik, tidak menimbun penyesalan-penyesalan, mereka akan memasuki hari tua dengan hati yang ringan. Kalau dari awal hidupnya dia percaya bahwa Tuhanmengatur semua yang terjadi dalam hidup ini, di hari tua dia akan menengok ke belakang dan bersyukur kepada Tuhan, melihat Tuhan telah mengatur semua dengan begitu sempurna sehingga kita hanya bisa mengucap syukur kepada Tuhan yang begitu baik kepada kita.

Tapi kebalikannya kalau dari masa muda kita senantiasa tidak puas, menuduh Tuhan itu tidak adil, di hari tua penyesalan makin bertumpuk malahan juga makin menggunung. Akhirnya yang kita bawa di hari tua adalah kepahitan, di hari tualah akhirnya umpatan, kekesalan terus-menerus akan keluar dari lidah kita. Sudah tentu ini akan mempengaruhi relasi kita dengan anak-anak dan orang lain. Anak-anak dan orang lain tidak akan suka berdekatan dengan dia, sebab dari mulutnya selalu keluar umpatan atau perasaan tidak puas, menyalahkan kanan-kiri jadi kita juga sekali lagi mesti bercermin. Seperti apakah kita? Apakah kita telah menjadi orangtua yang baik jadi kita tidak bisa menuntut saja dari anak, kita juga mesti melihat seperti apakah kita ini.
GS : Ada orangtua seperti yang tadi Pak Paul sampaikan begitu aktif terus membersihkan kamar mandi, jalan sendiri, itu memang masa mudanya seperti itu, jadi dia memang bukan orang yang suka diam tapi memang aktif sekali sehingga sampai masa usia lanjut dia sulit untuk menghentikan kebiasaannya.

PG : Betul Pak Gunawan, jadi gaya hidup yang telah kita pelihara sejak kita muda itu akhirnya memang sulit untuk kita hentikan begitu saja. Kita terbiasa mandiri, ke mana-mana pergi sendiri, nik bis atau apa tapi sekarang dilarang itu benar-benar menyengsarakan.

GS : Menghadapi orangtua yang mempunyai sifat kekanak-kanakan ini mulai keluar, apa yang harus kita perhatikan?

PG : Pertama kita mesti mengetahui sesungguhnya apakah yang menjadi kebutuhan orangtua kita, kemudian berusahalah untuk memenuhinya. Misalkan kalau kita sadari memang orangtua kita kesepian, jnjikanlah kunjungan atau secara teratur ajaklah pergi.

Berbicaralah dengan kakak atau adik kita dan tentukanlah kapan kakak datang, kapan kita datang, kapan adik datang untuk mengajak orangtua kita pergi atau hanya sekadar berkunjung, supaya orangtua tidak kesepian. Siapa yang menelepon kalau bisa setiap hari kita menelepon. Hal-hal seperti itulah kalau bisa kita koordinasikan sehingga orangtua kita tidak kesepian. Yang kedua adalah secara berkala adakanlah pertemuan keluarga, mengapa ini penting buat keluarga sebab pada hari tua lingkup pergaulan makin menyempit sehingga keluarga menjadi satu-satunya pelipur lara. Makin kita tua makin sebetulnya hidup kita itu mengecil, orang yang sebaya kita tidak banyak lagi, kita tidak tahu siapa yang muda-muda, jadi benar-benar yang kita tahu kita kenal adalah keluarga kita. Maka sebaiknya pada usia sudah lanjut, kita anak-anak berusahalah secara berkala mengadakan pertemuan misalkan setahun sekali kumpul, kalau misalnya tinggalnya berjauhan. Atau pergi bersama-sama, berjalan-jalan, nah itu akan membahagiakan orangtua. Kalau hubungan mereka baik, mereka paling senang jikalau bersama dengan anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka. Pergi dengan teman juga membuat mereka senang tapi yang membuat mereka paling bahagia kalau semua kumpul, itu sangat membawa sukacita dalam hati mereka.
GS : Tapi yang sering kali terjadi dalam pertemuan-pertemuan keluarga seperti itu anak-anak ketemu dengan anak-anak, orangtuanya terabaikan Pak Paul?

PG : Ini betul Pak Gunawan, sering kali itu yang terjadi karena akhirnya mereka asyik bicara dengan orang-orang yang saling memahami dunianya, sedangkan orangtua dunianya itu berbeda dari yang uda-muda.

Jadi ini suatu peringatan yang penting, saya kira kita mesti sensitif kalau kita sedang bersama dengan orangtua, ajaklah mereka bicara, tanyalah apa yang terjadi, bagaimana kabarnya. Ini akan sangat membuat mereka merasa dihargai, bahwa mereka sekarang tidaklah dikeluarkan dari keluarga ini.
GS : Tapi kehadiran anak-anak dan cucu-cucu itu paling tidak sudah melegakan atau setidaknya mengobati kesepian si orangtua ini, Pak Paul?

PG : Betul, itu perlu kepekaan anak-anak untuk mengadakan pertemuan-pertemuan seperti ini, karena sebagian orangtua dan terutama orangtua yang baik, justru sungkan meminta anak itu datang. Sebb mereka tahu anak juga repot, cucu ada kesibukannya tersendiri jadi kita yang mesti sensitif berpikir, "Orangtua kok sepi ayo kita datang kumpul sama-sama."

Nah sensitiflah dengan kondisi ini.
GS : Ada satu keluarga yang anaknya memang anak tunggal, jadi dia tidak mempunyai saudara kandung yang lain dan orangtuanya sudah lanjut usia, anak ini menyediakan fasilitas untuk mengumpulkan teman-teman dari orangtuanya. Jadi rumah disediakan, kendaraan juga disiapkan untuk menjemput teman-temannya supaya orangtua bisa mempunyai teman dan berkomunikasi dengan teman-temannya.

PG : Kalau itu bisa terjadi luar biasa indahnya Pak Gunawan. Saya kira ini sebuah contoh yang sangat baik. Jadi anak-anak berinisiatif untuk mengumpulkan orangtua dan sahabat-sahabatnya untukbisa secara berkala bertemu untuk melakukan aktifitas bersama, ini penting sekali.

Sebab memang waktu mereka bertemu dengan teman-teman sebayanya inilah, mereka bisa kembali menjalin relasi, berbicara tentang hal-hal yang dua-dua ketahui. Kalau mereka bertemu dengan orang yang jauh lebih muda, mereka pun mau berbicara juga agak susah karena bahan pembicaraannya sudah berbeda. Jadi betul sekali kalau mereka masih bisa berkumpul, menjalin relasi yang baik dengan teman-teman sebaya itu indah sekali sebab bahan pembicaraan mereka sama.
GS : Tetapi ada juga kasus di mana orangtua lebih mudah bicara dengan orang lain yang sebaya dengan anaknya daripada anaknya sendiri. Jadi kalau pergi-pergi dia akan mengajak orang lain yang bisa dia ajak berbicara, tapi ini menimbulkan masalah di mana anaknya merasa tidak senang. Kenapa orangtuanya mengajak orang lain bukan dia, dan orangtua ini lebih cocok dengan orang lain, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kadang orangtua memang enggan pergi dengan anaknya atau bersama-sama dengan anak-anaknya. Kenapa? Karena anak-anak kadang-kadang juga berniat baik memberikan koreksi pada orangtua tapi akirnya orangtua tidak suka bersama dengan anaknya karena sedikit-sedikit ditegur, dikoreksi.

Ada sebagian anak yang bukan hanya menegur dan mengoreksi tapi malah marah, ada anak-anak yang memarahi orangtuanya terus-menerus, orangtua salah ini atau salah itu dimarahi, jadi akhirnya orangtua tidak suka bersama-sama dengan anaknya. Mereka akan lebih suka pergi dengan orang-orang lain yang usianya sebaya dengan anak-anak mereka. Sebab dengan orang-orang inilah orangtua merasa diterima, dihargai, ditanyai pendapatnya, tidak dimarah-marahi. Jadi saya ingin memberikan sedikit masukan tentang memberikan koreksi kepada orangtua. Sebaiknya kalau tidak berkaitan dengan dosa diamkanlah dan biarkan. Ada hal-hal yang orangtua kita lakukan yang kita tidak suka dan itu mengganggu kita. Biarkanlah, pokoknya tidak berkaitan dengan dosa, orangtua kita tidak sedang melakukan dosa, ini hanya masalah gaya hidup biarkanlah meskipun tidak cocok dengan kita. Kenapa, sebab biasanya sewaktu anak memberikan teguran-teguran, orangtua tidak suka. Orangtua akan berkata, "Mentang-mentang kamu sekarang sudah jaya, saya sekarang sudah tua, kamu sekarang seenaknya menegur saya, mengoreksi saya seolah-olah saya tidak tahu apa-apa." Nah orangtua akhirnya tersinggung, bisa jadi si anak benar-benar ingin memberitahukan demi kebaikan orangtua tapi orangtua tidak bisa menerimanya. Jadi anak juga perlu peka, hati-hati dengan teguran-teguran kepada orangtua, kalau tidak perlu dan tidak berkaitan dengan dosa, ya sudah biarkanlah. Inilah kehidupannya, ini kebiasaannya, jadi jangan sampai hubungan kita makin hari makin rusak. Tapi kalau berkaitan dengan dosa, misalkan orangtua kita mulai berjudi, kita harus tegur, kita beritahukan bahwa itu tidak boleh dan tidak baik. Jadi kalau berkaitan dengan dosa kita mesti beritahukan.
GS : Memang teguran ini bukan hanya dalam bentuk kata-kata kadang-kadang dalam bentuk tindakan itu menyakiti hati orangtua. Ada orangtua yang senang mengumpulkan barang-barang bekas, jadi tas-tas bekasnya disimpan, botol-botol bekas disimpan sehingga lemarinya penuh, dan ketika anaknya datang anaknya membersihkan itu semua. Orangtua merasa tersinggung.

PG : Ya, itu contohnya Pak Gunawan, bukankah itu tidak berkaitan dengan dosa. Dia kumpulkan barang-barang bekas di lemarinya, itu tidak berkaitan dengan dosa jadi biarkan. Kadang-kadang orangtua mempunyai hobby-hobby yang berbeda dengan hobby kita, biarkan kalau itu membuat dia senang.

Mungkin dia tidak ada lagi pekerjaan lain jadi senangnya mengumpulkan barang-barang bekas itu. Tutup matalah, biarkan, memang lemarinya menjadi begitu banyak barang dan tidak rapi tapi biarkan.
GS : Sehubungan dengan pembicaraan kita ini apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 30:17, "Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali." Artinya Tuhan sangat marah kalau kita kuran ajar kepada orangtua, meledek orangtua, menghina orangtua-Tuhan marah sekali, Tuhan meminta kita menghormati orangtua kita.

Kita tahu orangtua tidak sempurna tapi tetap kita diminta Tuhan menghormati orangtua. Jadi di sini Tuhan berkata sangat keras, "Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali." Jadi lakukanlah perintah Tuhan ini, demi Tuhan yang sudah menitipkan kita kepada orangtua untuk dibesarkan oleh mereka.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan yang indah ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Orangtua seperti Kanak-kanak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



35. Keunikan Laki-Laki


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T285A (File MP3 T285A)


Abstrak:

Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, sebagaimana tercatat di Kejadian 1:27. Kenyataan Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan memunyai keunikan masing-masing. Namun secara khusus di sini dibahas mengenai keunikan yang dimiliki laki-laki yaitu bertanggung jawab, berguna, tertutup, dan mandiri namun berpotensi besar menciptakan keangkuhan.


Ringkasan:
"Keunikan Laki-laki" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Tuhan tidak menciptakan laki-laki saja atau wanita saja; Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, sebagaimana tercatat di Kejadian 1:27, "Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka." Kenyataan Tuhan menciptakan kita berbeda, itu menunjukkan bahwa kita sebagai laki-laki dan perempuan memunyai keunikan masing-masing. Berikut akan dipaparkan keunikan sekaligus karakteristik laki-laki yang tersirat di dalam Firman Tuhan.

  1. Berdasarkan urutan, laki-laki diciptakan terlebih dahulu. Oleh karena Adam sudah ada sebelum Hawa, dapatlah dipastikan bahwa Adam sudah mengenal lingkungan hidupnya terlebih dahulu pula. Kehadiran Adam sebelum kedatangan Hawa memungkinkannya untuk memersiapkan tempat buat Hawa dan menjadi penunjuk jalan bagi istrinya. Inilah karakteristik laki-laki-ia suka menjadi perintis untuk memersiapkan tempat bagi orang yang bergantung padanya. Ia menyenangi tanggung jawab dan ingin merasa berguna.
    Masalahnya adalah oleh karena laki-laki senang memikul tanggung jawab dan merasa berguna, ia cepat berubah menjadi otoriter dan memaksakan. Agar tanggung jawabnya terlaksana dan tetap berguna, ia pun tergelincir ke dalam lembah penguasaan orang, bukan penguasaan diri. Ia cepat tersinggung bila karyanya diragukan apalagi ditolak sebab itu membuatnya merasa tidak berguna.
  2. Sebelum Hawa diciptakan Adam telah hidup sendiri. Semua dipikirkan dan dilakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Inilah karakteristik lak-laki: tertutup atau privat. Pada permukaannya laki-laki terbuka namun begitu menyangkut hal pribadi, laki-laki cenderung tertutup.
    Karakteristik ini mencenderungkan laki-laki untuk menjadi penyendiri dan kesepian. Semua ditanggung sendiri sehingga akhirnya ia tertindih oleh bebannya sendiri. Memang tidak mudah bagi laki-laki untuk menceritakan masalahnya bila tidak sampai sangat terdesak. Namun ia perlu belajar untuk membagi beban; ia tidak bisa selalu memikul beban-sendirian.
  3. Pernikahan mengakibatkan laki-laki "meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya" (Kejadian 2: 24). Mohon diperhatikan bahwa Firman Tuhan tidak berkata bahwa laki-laki diperintahkan untuk meninggalkan orangtuanya. Firman Tuhan sekadar menyatakan sebuah fakta yakni laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya. Satu pengamatan lain yang menarik adalah bahwa Firman Tuhan tidak mengatakan bahwa perempuan akan meninggalkan ayahnya dan ibunya.

Pada kenyataannya itulah yang terjadi: Secara emosional perempuan akan terus terlibat dan menjadi bagian dari keluarga asalnya sedangkan laki-laki akan terlepas dari keluarga asalnya. Inilah karakteristik berikut dari pria: Mandiri! Sedapatnya laki-laki tidak mau bergantung pada orang lain. Memang dari satu pihak kita dapat mengatakan bahwa keangkuhanlah yang membuatnya tidak suka bergantung pada yang lain. Namun di pihak lain kita harus mengakui bahwa bergantung pada yang lain berlawanan dengan kodrat dasar laki-laki.

Kesimpulan:
Bertanggung jawab, berguna, tertutup, dan mandiri berpotensi besar menciptakan keangkuhan.

Itu sebabnya kita mesti mengingat Firman Tuhan, "Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati." Amsal 11:2

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keunikan Laki-laki". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Memang tiap-tiap orang memiliki keunikannya masing-masing. Jadi ada ciri khasnya. Tapi sebagai kelompok laki-laki apakah ada keunikannya tersendiri? Karena seringkali kita merasa bahwa kita ini sama saja dengan yang lain. Keunikannya terletak dimana, Pak Paul?

PG : Memang ada keunikan laki-laki dan ada keunikan perempuan, sebab memang Firman Tuhan pun di Kejadian 1:27 menegaskan, "Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka." Jadi Firman Tuhan membedakan antara laki-laki dan perempuan, Tuhan tidak menciptakan manusia yang sama jadi ada 2 jenis manusia dan bukan hanya 1 jenis. Karena ada 2 jenis maka kita harus melihat diri kita sebagai seorang pria yang unik yang berbeda dari seorang wanita.

GS : Memang kalau secara fisik perbedaan itu kelihatan jelas baik yang pria maupun yang wanita tetapi apakah perbedaannya hanya itu saja?

PG : Ternyata tidak. Jadi nanti kita akan melihat ada beberapa keunikan pria yang membedakannya dari seorang wanita.

GS : Yang pertama apa, Pak Paul?

PG : Yang pertama saya kembali lagi kepada Firman Tuhan. Berdasarkan urutan penciptaan laki-laki diciptakan terlebih dahulu. Oleh karena Adam sudah ada sebelum Hawa maka dapat dipastikan bahwa Adam sudah mengenal lingkungan hidupnya terlebih dahulu pula. Kehadiran Adam sebelum kehadiran Hawa, memungkinkan dia untuk mempersiapkan tempat bagi Hawa dan menjadi penunjuk jalan baginya. Saya simpulkan, ini adalah karakteristik laki-laki yaitu laki-laki suka menjadi perintis untuk mempersiapkan tempat bagi orang yang bergantung padanya. Jadi sifat dasar laki-laki atau keunikan laki-laki adalah ia menyenangi tanggung-jawab dan ingin merasa berguna.

GS : Tapi pada waktu Adam diciptakan pertama kali oleh Tuhan Allah sendiri, sebenarnya dia belum tahu kalau nantinya Tuhan akan menciptakan Hawa.

PG : Betul sekali. Memang saya menyorotinya, kenapa dia diciptakan Tuhan terlebih dahulu? Sebab semua ciptaan yang lain diciptakan sepasang tapi hanya manusia yang diciptakan terlebih dahulu. Jadi saya kira pengalaman Adam sudah hidup sendiri mengetahui seluk-beluk kehidupan ini dan bahkan Alkitab mencatat bahwa dia menamakan hewan-hewan yang ada itu. Jadi menunjukkan bahwa dia lebih mengenal lingkungannya dan dapat saya bayangkan bahwa sewaktu Tuhan menciptakan Hawa, maka Adamlah yang menunjukkan kepada Hawa lingkungan itu, binatang ini namanya siapa dan sebagainya. Jadi inilah yang menjadi keunikan laki-laki dan kenyataan dia diciptakan terlebih dahulu, dia mengenal kehidupannya terlebih dahulu sehingga dia bisa bertanggung-jawab kepada Hawa, kepada wanita yang Tuhan hadirkan kepadanya. Maka kodrat laki-laki yang semula yang Tuhan ciptakan seyogianya adalah kodrat yang menyenangi tanggung-jawab dan menyenangi kesempatan untuk merintis dan menyenangi kegunaan dan inilah kondrat asli yang memang Tuhan titipkan kepada seorang laki-laki.

GS : Tetapi dengan kodrat yang seperti itu tentu ada dampak negatifnya, dan dampak negatifnya apa Pak Paul?

PG : Seringkali karena laki-laki senang memikul tanggung-jawab, senang merasa berguna maka dia juga cepat berubah menjadi otoriter dan kadang terlalu memaksakan kehendaknya. Jadi agar tanggung-jawabnya terlaksana dan dia tetap berguna, laki-laki mudah tergelincir ke dalam lembah penguasaan orang, bukannya menguasai diri tapi malah menguasai orang, mendominasi orang lain. Dan karena dia ingin berguna maka ia mudah tersinggung bila karyanya atau kerjanya diragukan apalagi ditolak, sebab hal itu akan membuatnya merasa tidak berguna.

GS : Tapi fakta yang ada di taman Firdaus, justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu Adam dikuasai oleh Hawa dan dalam hal ini makan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat itu.

PG : Memang sekilas kita bisa menyimpulkan bahwa Adam dikuasai oleh Hawa sehingga dia ikut-ikutan makan buah yang Tuhan larang. Namun kita akan bahas hal ini yaitu menurut saya, bukan karena dia dikuasai oleh Hawa tapi itu adalah keputusannya sendiri. Dia sendiri sebetulnya juga mau makan buah itu, saya yakin Tuhan tahu pasti isi hati manusia. Jadi kalau memang Adam sungguh-sungguh terpaksa dikuasai oleh Hawa maka ceritanya juga pasti berbeda. Namun saya kira jelas kenapa Tuhan menghukum Adam sama beratnya dengan menghukum Hawa, sebab Tuhan tahu bahwa ini adalah kerinduan hati Adam pula. Tapi kenapa Hawa yang dicobai lebih dahulu karena iblis tahu yang lebih mudah dipengaruhi saat itu adalah Hawa. Tapi Adam sendiri juga sudah memunyai kebutuhan yang sama, dan tidak dicatat di Alkitab bahwa Adam menegur Hawa. Sekalipun tidak pernah Adam menegur Hawa, "Jangan makan buah itu!" karena Alkitab mencatat bahwa Adam memang berada di situ. Jadi waktu terjadi percakapan antara ular dan Hawa, Adam berada di situ bersama dengan Hawa, dia bisa mencegah, dia bisa menarik Hawa, dia bisa berkata, "Jangan dengarkan si iblis" tapi dia tidak melakukannya karena dia sendiri juga mau.

GS : Tapi dalam hal tanggung-jawab kalau kita melihat kembali di kisahnya Adam dan hawa, kesalahan itu dilemparkan ke Hawa oleh Adam. Dan ini masih terlihat sampai sekarang, kalau kita sebagai kaum laki-laki disalahkan, biasanya kita juga mencari kambing hitam juga.

PG : Inilah masalah pria. Jadi nanti kita akan bahas di pertemuan berikutnya bahwa karena manusia jatuh ke dalam dosa maka kodrat asli yang Tuhan ciptakan dan dititipkan kepada diri kita, kita selewengkan. Bukannya memikul tanggung-jawab tapi malah melemparkan tanggung-jawab. Bukannya berkata "Memang benar saya salah, tapi malah menyalahkan orang lain." Kira-kira itulah yang menjadi masalah pria, namun sekali lagi kita kembali karena pria itu ingin bertanggung-jawab maka kalau tidak hati-hati pria cenderung memaksakan kehendak, semua harus berjalan sesuai dengan keinginannya supaya tanggung-jawabnya terlaksana dan supaya dia tetap merasa bahwa dirinya berguna maka dia sangat membanggakan pekerjaannya, mengidentikkan dirinya dengan pekerjaannya sehingga kalau ada orang yang mencela pekerjaannya atau karyanya maka dia menjadi tersinggung karena itu berarti menyinggung dirinya pula. Inilah akibat jatuhnya manusia ke dalam dosa. Jadi pada awalnya kodrat yang Tuhan titipkan pada pria yang menjadi keunikannya adalah dia memang menyenangi kesempatan merintis dan dia juga menyenangi tanggung-jawab dan dia ingin merasa dirinya berguna.

GS : Kalau kodrat sebagai penanggung-jawab ini tidak terpenuhi maka dampaknya apa, Pak Paul?

PG : Kalau dia tidak mendapatkan kesempatan untuk bertanggung-jawab pada orang-orang yang bergantung kepadanya maka dia akan kehilangan dirinya Pak Gunawan. Pada akhirnya dia menjadi seperti uap dan tidak ada lagi dirinya karena tidak ada peran yang dilakoninya dalam hidup ini. Maka kita melihat pria-pria yang merasa tidak memiliki tanggung-jawab lagi kepada orang-orang di sekitarnya cenderung akhirnya bermasalah dan melakukan hal-hal yang salah yang tidak berkenan kepada Tuhan atau justru terpuruk, depresi berat tidak bersemangat lagi dalam hidup.

GS : Selain keunikan pria yang bertanggung-jawab dalam hal ini berinisiatif untuk bertanggung-jawab dan kadang-kadang otoriter, keunikan yang lain apa, Pak Paul?

PG : Kita lihat juga dari penciptaan. Sebelum Hawa diciptakan, Adam memang sudah hidup sendiri karena memang Adam diciptakan lebih dahulu. Artinya karena dia sudah sendiri dan tidak ada teman, sudah tentu dia harus memikirkan semuanya sendiri dan melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain, berarti juga tidak bisa bercerita kepada siapa pun. Inilah karakteristik laki-laki yaitu cenderung tertutup atau privat. Pada permukaannya laki-laki itu terlihat terbuka namun begitu menyangkut hal pribadi, laki-laki cenderung tertutup. Karakteristik seperti ini cenderung membuat laki-laki penyendiri dan akhirnya kesepian dan dia tidak mudah mengeluarkan isi hati dan tidak mudah cerita dari hati ke hati dengan orang lain.

GS : Yang menyangkut hal pribadi itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah laki-laki susah untuk cerita mengenai kegagalannya, hal yang terjadi dengan dirinya, yang tidak dapat diakuinya, tidak dapat dibanggakannya, bagi dia hal yang memalukan, hal-hal itulah yang dia akan simpan. Dan dia susah untuk percaya kepada orang, bahkan cerita kepada sesama laki-laki pun juga susah karena laki-laki pada umumnya tidak biasa untuk membuka hatinya, apalagi membukakan hal-hal yang merupakan kegagalannya.

GS : Tapi hal itu juga terkait dengan karakteristik yang pertama yang Pak Paul katakan bahwa dia yang harus berinisiatif, dia yang harus berotoriter. Kalau dia terbuka kepada orang lain dan menunjukkan kelemahannya maka akan bertentangan dengan karakternya yang pertama, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi semua ini seperti sebuah paket besar karena dia ingin bertanggung-jawab dan ingin tetap berguna maka tidak dapat menoleransi kegagalan. Maka kalau ada kegagalan, hal itu akan disimpannya dan mungkin juga dipikirkan sendiri tentang bagaimana menyelesaikannya. Jadi tidak mau dan tidak bisa membagikan hidupnya itu dengan orang lain.

GS : Di dalam kesendirian itu kita sebagai laki-laki, kita bisa menikmati kesendirian itu tanpa harus diintervensi oleh orang-orang lain.

PG : Betul. Jadi kalau kita bisa memikirkannya sendiri, seringkali kita tidak menyambut uluran tangan orang lain, kalau ditanya, "Ada apa?" jawaban kita "Tidak apa-apa." Sebab kita susah terbuka dan ini adalah bagian yang sulit diterima oleh istri-istri kita sebab bagi seorang wanita yang terpenting adanya keterbukaan dan keterbukaan itu menimbulkan sebuah koneksi, kebersamaan, penyatuan dan itulah yang menjadi kebutuhan wanita. Tapi laki-laki itu berada di seberang sana dalam hal ini, dan mereka susah sekali. Meskipun dia tahu, kalau dia bercerita akan ada jalan keluar, tapi bagi dia mengeluarkan pikiran itu sendiri itu adalah hal yang sulit. Jadi kadang-kadang kita sebagai pria disalah mengerti dan seolah-olah tidak menghargai pasangan kita karena tidak mau melibatkan mereka dalam hidup kita, tapi pada kenyataannya memang sulit untuk mengeluarkan pikiran, membeberkannya apalagi mengeluarkan perasaan, itu lebih sulit lagi. Bukannya tidak mau tapi seringkali karena tidak bisa. Jadi saya kira ini adalah natur dan titipan Tuhan. Dengan diciptakannya Adam terlebih dahulu itu menyebabkan semua hal harus dipikirkannya, tidak ada teman berbagi dan semua harus dilakukannya sendiri. Jadi terpaksa laki-laki menjadi figur yang tertutup dan privat. Maka kalau laki-laki keluar dengan laki-laki lain, mereka bisa berbincang-bincang dan bergurau sampai berjam-jam, tapi kalau kita perhatikan mereka tidak membicarakan hal-hal yang sangat pribadi atau hal-hal yang menjadi kegagalan mereka atau membuat mereka malu, tapi mereka akan membicarakan seribu satu hal di luar diri mereka seperti komentar-komentar, pengamatan-pengamatan mereka, itu yang akan menjadi bahan pembicaraan tapi bukan membicarakan tentang diri apalagi hal-hal yang memalukan tentang diri mereka.

GS : Karakteristik seseorang itu juga terbentuk saat mereka masih kecil jadi dari pola asuh orang tuanya dan sebagainya?

PG : Karena laki-laki itu cenderung dituntut untuk jangan menangis, jangan cengeng dan sebagainya akhirnya laki-laki dikondisikan untuk menyelesaikan dan melakukan semua sendiri, jangan kamu terlalu mengumbar dirimu. Itu sebabnya laki-laki hanya mahir dalam satu wilayah perasaan yakni kemarahan. Dan dalam wilayah yang lainnya mereka merasa susah, misalnya kesedihan. Laki-laki akan mengalami kesukaran untuk membagikan kesedihan itu dengan mengeluarkan air matanya. Kadang orang salah mengerti dan berkata, "Kenapa kamu menyimpan-nyimpan kesedihanmu," itu bukan karena menyimpan-nyimpan, tapi memang susah untuk mengeluarkan. Saya sendiri mengakui bahwa ada waktu-waktu di kala saya sedih, inginnya menangis dan mengeluarkan air mata sebab saya tahu dengan saya mengeluarkan air mata dan menangis maka saya akan merasa lebih lega tapi saya tidak bisa melakukannya, bukan disengaja mau menyimpan air mata, memang tidak bisa keluar dengan begitu mudah. Jadi perlu situasi tertentu yang benar-benar membuat kita sedih dan barulah dengan mudah kita bisa mengeluarkan air mata kita.

GS : Jadi kalau pada suatu batas tertentu dimana seorang pria itu tidak lagi mampu untuk memendam perasaannya dan dia membutuhkan orang untuk diajak bicara dan sebagainya. Maka siapa orang pertama yang biasanya dia datangi?

PG : Kalau hubungan dengan istrinya baik dan dia tahu kalau istrinya itu bisa mengerti dan menerima keluhannya maka dia akan bicara dengan istrinya. Pilihan kedua kalau tidak bisa berbagi dengan istrinya sudah tentu dia akan berbagi dengan saudaranya, itulah orang yang akan diajaknya berbicara. Yang ketiga sudah tentu adalah temannya atau sahabatnya. Dalam hal sahabat pun saya harus katakan ini bukan hal yang mudah. Banyak laki-laki bisa bercerita tentang problem yang dihadapinya baik itu problem pekerjaan, kehidupan atau problem rumah tangganya, mereka bisa berbicara tentang problem dan bagaimana memecahkannya. Tapi sekali lagi kalau menyangkut perasaannya tentang problem itu, hal itu adalah sesuatu yang sangat sukar untuk dicetuskan bahkan terhadap sahabatnya sekali pun.

GS : Tapi yang pasti tidak kepada yang berada di bawah otoritasnya. Jadi misalnya kepada anak atau kepada bawahan, maka itu akan sangat sulit sekali Pak Paul?

PG : Betul sekali. Meskipun dia ingin bercerita kepada anaknya tapi hal itu menjadi kendala dan dia merasa bahwa ini bukan pada tempatnya kalau saya bercerita berada di bawah otoritas saya?

GS : Karakteristik yang lain apa, Pak Paul?

PG : Saya kutip dari Kejadian 2:24 bahwa Firman Tuhan mengatakan "laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya." Dengan kata lain pernikahan mengakibatkan laki-laki meninggalkan orang tuanya. Mohon diperhatikan bahwa Firman Tuhan tidak berkata bahwa laki-laki "diperintahkan" untuk meninggalkan orang tuanya. Tidak seperti itu! Dan Alkitab sama sekali tidak mengatakan kalau Tuhan memerintahkan anak laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya. Firman Tuhan sekadar menyatakan fakta yakni, "Laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya" hanya itu saja. Dan satu pengamatan lain yang menarik adalah Firman Tuhan tidak mengatakan bahwa perempuan akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, ayat itu tidak menyinggung-nyinggung tentang perempuan namun hanya laki-laki. Pada kenyataannya memang itulah yang terjadi secara emosional, perempuan memang akan terus terlibat dan menjadi bagian dari keluarga asalnya. Sedangkan laki-laki akan terlepas dari keluarga asalnya. Jadi inilah karakteristik atau keunikan pria, Pak Gunawan, yakni mandiri. Sedapatnya laki-laki tidak mau bergantung kepada orang lain bahkan pada orang tuanya sendiri. Memang dari satu pihak kita dapat mengatakan bahwa "Laki-laki pasti angkuh makanya tidak mau bergantung bahkan pada keluarganya sendiri." Pada faktanya seringkali bukanlah keangkuhan tapi itu adalah kodrat kita sebagai pria dan tidak suka bergantung pada orang bahkan pada orang tua kita sendiri.

GS : Hal ini semacam konsekuensi logis bahwa dia mau menyatakan dirinya sebagai seorang pemimpin dan sebagai seorang kepala keluarga sehingga mau atau tidak mau dia harus meninggalkan orang tuanya, Pak Paul? Karena kalau tidak maka nanti akan terjadi dualisme di dalam rumah itu?

PG : Betul sekali. Jadi memang karena natur atau kodrat pria yang ingin bertanggung-jawab, ingin mengatur, ingin menyediakan, memelihara bagi orang-orang yang memang menjadi tanggungannya, sudah tentu kalau harus berbagi di bawah atap orang tuanya maka hal ini akan menjadi kendala dan sangat membatasinya. Itu sebabnya dia perlu keluar. Tapi hal kedua juga adalah yang ingin saya tekankan di sini, memang inilah kodratnya, dia tidak suka bergantung, bukan berarti dia sombong. Misalkan perbedaan saya dengan istri saya, misalkan kami akan pergi ke suatu tempat, kira-kira saya sudah tahu dan mendekati tempat itu kemudian saya sedikit bingung dan berkata, "Apa ini tempatnya ya?" Setelah saya sedikit bingung maka istri saya langsung mengambil HP dan berkata, "Coba saya menelepon si ini dan bertanya." Saya menjawab, "Jangan, kira-kira saya tahu tempatnya dan pasti saya temukan," namun kadang-kadang saya mendiamkan tindakan istri saya dan dia langsung menelepon teman yang sama perempuannya dan saya bingung bahwa mereka sangat senang bicara tentang rute perjalanannya, yang bagi saya itu adalah sesuatu yang asing dan aneh. Tapi itu adalah kodrat perempuan, mereka senang untuk dapat bertanya yang bagi saya bertanya untuk hal seperti ini tidak perlu, kenapa harus bergantung kepada orang untuk soal sesederhana ini, tapi bagi istri saya saat itu bertanya seperti itu tidak apa-apa, dan tidak ada orang yang berkeberatan. Di sini saya melihat perbedaan besar antara pria dan wanita. Laki-laki kalau menerima pertanyaan yang sepele seringkali juga terganggu, sebab laki-laki akan bertanya, "Kenapa untuk hal seperti ini saja harus bertanya kepada orang, harus bergantung kepada orang." Jadi saya melihat, laki-laki cenderung menerapkan hal seperti ini pada dirinya dan seolah-olah memaksa agar orang menerapkan hal yang sama kepada orang lain pula, seolah-olah kita mau mengajar semua orang untuk mandiri.

Gs : Tapi kemandirian ini juga tidak sepenuhnya, dan secara emosional seseorang belajar untuk mandiri tapi secara finansial tidak mandiri. Lalu mau tidak mau dia harus tunduk kepada orang tuanya atau bergantung kepada orang tuanya.

PG : Itu sebabnya dapat disimpulkan, laki-laki yang sehat sebetulnya tidak akan senang bergantung pada orang tuanya. Kalau pun bergantung, itu pun dengan terpaksa, dari pada anak istrinya susah karena tidak ada makanan dan tempat tinggal maka mau tidak mau dia harus bergantung pada dukungan orang tuanya, tapi itu semua merupakan keterpaksaan. Dengan kata lain, kalau ada laki-laki yang berlaku biasa-biasa saja saat bergantung pada orang tuanya, minta kebutuhannya dan dipenuhi, ini menunjukkan ada yang tidak beres dengan pria ini sebab ini melawan kodrat pria. Pria itu diciptakan dengan kerinduan atau kodrat untuk mandiri, jadi kalau mereka begitu mudah dan menikmati bergantung pada orang lain, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya.

GS : Tapi Tuhan sudah mengatakan pada Adam bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri, berarti Adam membutuhkan seseorang, itu berarti dia tergantung kepada seseorang juga, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi dalam hal ini meskipun ini adalah keunikan laki-laki tapi keunikan ini harus diimbangi, tidak bisa berdiri sendirian. Laki-laki sekuat apa pun, mereka juga manusia yang terbatas. Jadi ada waktu-waktu dia lemah dan di saat itulah dia membutuhkan bantuan. Jadi sebetulnya tidak ada yang bertentangan di sini, sebab Tuhan menginginkan agar laki-laki cenderung untuk lebih mandiri dan tidak mudah bergantung pada yang lain, namun jangan sampai nanti pada akhirnya laki-laki itu sama sekali tidak bisa memohon bantuan, karena laki-laki terbatas kadang ada waktu-waktu yang susah dimana dia harus meminta bantuan orang lain pula.

GS : Terutama bagi kami kaum laki-laki, meminta bantuan untuk hal-hal yang kecil. Misalkan kalau kita bepergian, kita akan melihat sesuatu yang sifatnya besar yang global seperti tiket dan sebagainya, tapi untuk yang kecil-kecil yang justru penting, pihak wanita yang lebih teliti Pak Paul dan sebenarnya kita memang membutuhkannya.

PG : Betul. Jadi laki-laki yang seimbang, yang sehat pada akhirnya tetap secara umum mencoba untuk mandiri tapi juga menyambut bantuan dari orang lain terutama pasangannya.

GS : Pak Paul, kesimpulan dari perbincangan ini apa?

PG : Kesimpulannya laki-laki itu bertanggung-jawab, berguna, tertutup dan mandiri namun berpotensi menciptakan keangkuhan. Tadi saya katakan tidak selalu karena keangkuhan tapi sifat-sifat ini yaitu mau bertanggung-jawab dan berguna, cenderung tertutup tapi juga mandiri, ini adalah sifat-sifat yang mudah sekali menyeberang ke wilayah keangkuhan dan kita tahu wilayah keangkuhan adalah wilayah dosa. Kita harus mengingat Firman Tuhan yang berkata di Amsal 11:2, "Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati." Sebetulnya kata cemooh berarti suatu kata yang memalukan atau kejatuhan, dapat juga diterjemahkan kalau keangkuhan tiba, tiba juga kejatuhan. Jadi kalau ini adalah masalah kita sebagai pria, kita akhirnya menyeberang ke wilayah dosa keangkuhan di hati, Tuhan sudah ingatkan tinggal tunggu waktu maka kita juga akan mengalami kejatuhan, Tuhan tidak senang dengan keangkuhan. Namun hikmat ada pada orang yang rendah hati, pria yang merendah justru akan menjadi pria yang berhikmat.

GS : Jadi menjadi tanggung-jawab kita untuk tetap mempertahankan keunikan laki-laki, mengekspresikannya tapi juga berhati-hati untuk tidak menjadi angkuh, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jangan sampai ego kita itu membengkak, tapi memang sudah saya tunjukkan, mudah sekali laki-laki itu masuk ke wilayah ego yang besar yaitu keangkuhan karena memang unsur-unsur ingin bertanggung-jawab, mandiri, ingin berguna dan tertutup, itu lebih mencenderungkan pria untuk mudah tergelincir ke dalam dosa keangkuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keunikan Laki-Laki". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



36. Laki-Laki Idaman Allah


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T285B (File MP3 T285B)


Abstrak:

Kelemahan utama laki-laki terletak pada keangkuhannya. Itu sebabnya satu karakteristik yang perlu ditumbuhkembangkan adalah kerendahan hati. Laki-laki yang rendah hati adalah laki-laki idaman Allah. Karena kerendahan hati itu sulit, maka akan dipaparkan penerapan kerendahan hati di dalam keunikan laki-laki.


Ringkasan:

Kelemahan utama laki-laki terletak pada keangkuhannya. Itu sebabnya satu karakteristik yang perlu ditumbuhkembangkan adalah kerendahan hati. Laki-laki yang rendah hati adalah laki-laki idaman Allah. Berikut akan dipaparkan penerapan kerendahan hati di dalam keunikan laki-laki.

Raja Saul adalah contoh laki-laki yang memertahankan wilayah kekuasaannya lewat paksaan dan segala cara yang salah. Sebaliknya Raja Daud adalah contoh laki-laki yang rendah hati. Ia siap melepaskan takhta dan tidak berkeberatan kehilangan segalanya. Pada akhirnya Tuhan menambahkan kepadanya; sedangkan Saul kehilangan segalanya.

Musa pada awalnya adalah seorang laki-laki yang tidak suka diatur dan ingin menentukan segalanya sendiri. Itu sebabnya ia menghabisi nyawa orang Mesir yang berkelahi dengan orang Israel. Selama 40 tahun Tuhan harus menumbuhkan sikap bergantung dan mau diatur dalam diri Musa. Lihatlah hasil akhirnya: Ia mengikuti cara Tuhan dan mengakui ketergantungannya. Dengarlah perkataan Musa yang disampaikannya kepada Tuhan, "... beritahukanlah kiranya jalan-Mu kepadaku sehingga aku mengenal Engkau.... Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini." (Keluaran 33:13-15)

Kesimpulan:
Laki-laki idaman Tuhan adalah laki-laki yang rendah hati. Di dalam kerendahan hati barulah ia dapat mendengar suara Tuhan dan mengikuti pimpinan-Nya.

Firman Tuhan berkata,
"Segala jalan orang adalah bersih menurut pandanganya sendiri tetapi Tuhanlah yang menguji hati. Arahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan maka terlaksanalah segala rencanamu." Amsal 16:2-3


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Laki-Laki Idaman Allah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Setiap orang yang menciptakan sesuatu pasti punya keinginan tertentu, idealisme tertentu, idaman tertentu. Demikian juga ketika Tuhan Allah menciptakan manusia khususnya Adam, pastinya punya idaman tertentu. Dalam hal ini sebenarnya laki-laki yang diidamkan oleh Allah itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya akan menggunakan satu kata yaitu laki-laki yang rendah hati. Jadi kerendahan hati merupakan suatu karakteristik yang sangat penting bagi pria, dan sudah tentu banyak hal-hal lain yang juga penting dalam hidup ini untuk menyenangkan hati Tuhan tapi khusus bagi pria, rendah hati adalah yang terpenting.

GS : Pada awalnya apakah Tuhan Allah itu juga memberikan modal di dalam diri Adam untuk bisa rendah hati, Pak Paul?

PG : Saya percaya "ya", Pak Gunawan, jadi Tuhan tidak akan menuntut kalau kita tidak pernah diberikan oleh Tuhan. Namun karena kita sudah jatuh ke dalam dosa, maka pada akhirnya yang seharusnya muncul itu tidak muncul dan yang seharusnya tidak muncul malah muncul. Jadi yang seharusnya adalah kerendahan hati, namun itu yang tidak muncul dan seringkali yang muncul adalah kebalikan dari kerendahan hati yaitu keangkuhan.

GS : Keangkuhan itu adalah sesuatu yang justru harus dihindari oleh kaum pria dalam segala keunikannya, seperti yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu. Dan bagaimana caranya mengatasi keangkuhan ini, Pak Paul?

PG : Kita mesti mengerti bahwa keangkuhan itu sesuatu yang mudah sekali keluar dari seorang pria sebab keangkuhan itu sangat bertalian dengan beberapa keunikan pria. Misalnya kita akan melihat satu per satu, yang pertama kita sudah membahas bahwa pria itu menyenangi tanggung-jawab dan ingin sekali merasa dirinya berguna. Namun karena dia ingin bertanggung-jawab, dia ingin berguna, kalau tidak hati-hati dia akan berjalan terlalu jauh yakni dia menjadi orang yang otoriter, orang yang memaksakan kehendak. Dan orang itu akan berusaha menguasai orang lain supaya orang tunduk kepadanya dan melakukan yang diinginkannya. Sudah tentu ini bisa baik dan bisa buruk dalam pengertian apa yang ingin dikerjakannya itu bisa baik, bisa buruk, misalkan kalau buruk sudah tentu itu jahat. Tapi kadang-kadang untuk hal-hal yang baik pun kalau tidak hati-hati laki-laki mudah jatuh ke dalam perangkap memaksakan kehendak karena dia berkata "Ini baik, ini seharusnya dilakukan," akhirnya tidak peka dan memaksakan orang untuk melakukan yang diinginkannya dan karena laki-laki itu ingin berguna maka laki-laki seringkali juga mengalami kesulitan untuk menerima teguran atau cercaan tentang karyanya, seolah-olah nanti dia tidak lagi berguna dan dia mencoba untuk mempertahankannya.

GS : Kalau laki-laki itu sudah menikah dan dia menjadi kepala keluarga bukankah hal itu yang sering dilakukan? Dan dia merasa apa yang dipikirkannya itu betul. Jadi istrinya dan anak-anaknya harus mengikut dia.

PG : Betul. Dan dalam pikiran seorang laki-laki waktu dia meminta istri dan anak-anaknya untuk ikut dia, dalam pikirannya saat itu ialah dia sedang menunaikan tanggung-jawabnya sebab dia percaya inilah yang baik. Dan kalau nanti anak-istrinya tidak mendengarkan, berarti tanggung-jawabnya akan terbengkalai dan dia menjadi orang yang kurang bertanggung-jawab. Itulah sebabnya karena laki-laki memunyai keinginan yang sangat kuat untuk bertanggung-jawab maka dia mudah untuk jatuh ke dalam perangkap memaksakan kehendaknya. Dan karena dia ingin berguna maka dia akan sering mengalami kesulitan untuk membagi kebisaan atau kemuliaannya dengan orang, yang penting dia ingin melakukan semuanya sendiri. Sekali lagi ini muncul karena keluar dari keinginan untuk berguna dan jangan sampai suatu hari kelak orang melihat dia tidak berguna, tidak ada lagi fungsinya, hal itu sunguh merupakan sesuatu yang menakutkan bagi dia.

GS : Mengenai tanggung-jawab ini, yang diinginkan kaum pria adalah dia bisa menguasai misalnya di dalam hal mencari nafkah sebagai kepala keluarga. Tapi urusan rumah tangga yang dia tidak kuasai dengan baik, maka dia berkata kepada istrinya, "Ini tanggung-jawabmu ya," jadi seolah-olah dia tidak mau campur tangan soal ini.

PG : Jadi laki-laki yang menempatkan diri sebagai kepada keluarga, sewaktu berkata kepada istri, "Ini tanggung-jawabmu," dalam pengertian ini adalah bagian tanggung-jawab dari seorang pria juga. Sehingga tidak jarang kita melihat seorang pria itu marah kalau anaknya itu kurang terurus dan sebagainya. Sebab dia beranggapan ini adalah tanggung-jawab saya juga tapi tanggung-jawab menyeluruh, tanggung-jawab yang memayungi tanggung-jawab istrinya. Jadi sekali lagi dia merasa bahwa itu adalah tanggung-jawab pribadinya untuk mengatur semua agar berjalan dengan baik. Itu sebabnya meskipun ini adalah sesuatu yang alamiah yang Tuhan titipkan terhadap pria, namun selalu harus diisi dan dipandu oleh kerendahan hati, sebab kalau tidak maka laki-laki itu cenderung kelewat batas, menjadi otoriter, "Semua harus mengikuti saya karena ini semua adalah tanggung-jawab saya." Dan karena dia ingin terus berguna dan berfungsi maka dia akan menolak tawaran orang untuk misalkan pindah atau tidak melakukan sesuatu. Jadi susah baginya untuk mendengar hal-hal yang mengancam fungsinya, dia akan mencoba untuk memertahankan fungsinya itu. Maka kita tahu cukup banyak laki-laki yang kesulitan untuk turun takhta sebab turun takhta berarti kehilangan fungsi. Dan itu sesuatu yang sangat tidak nyaman bagi seorang laki-laki.

GS : Keangkuhannya itu mungkin nampak ketika dia menuntut istrinya bertanggung-jawab kepada dia.

PG : Betul sekali. Jadi tetap, bagi dia itu adalah tanggung-jawab besarnya. Maka dia mengharapkan istrinya melapor kepadanya, mempertanggung-jawabkan pekerjaannya kepadanya supaya semuanya beres. Itu sebabnya kalau anaknya mengalami masalah dalam sekolah, yang seringkali dituntut tanggung-jawab oleh si suami adalah si istri, seolah-olah kamu ini tidak beres mengurus anak. Dalam kerendahan hati seorang suami tetap bertanggung-jawab tapi akan sensitif dan tidak memaksakan kehendak atau tidak kasar kepada istri dan anak-anak.

GS : Apakah dalam hal ini ada contoh konkret di dalam Alkitab, Pak Paul?

PG : Ada, Pak Gunawan. Itu adalah Raja Saul, ini adalah contoh laki-laki yang karena ingin bertanggung-jawab dan ingin berguna kemudian masuk ke dalam dosa keangkuhan. Apa yang dilakukannya? Dia mempertahankan wilayah kekuasaannya lewat paksaan dan segala cara yang salah. Allah sudah menetapkan Raja Daud untuk menggantikannya, dia menolak dan dia ingin tetap mempertahankan kekuasaannya dan dia ingin tetap berfungsi sebagai seorang raja dan dia menghalalkan segala cara, dengan mencoba menghabisi nyawa Daud berkali-kali. Ini adalah contoh laki-laki yang ingin tetap memegang tampuk tanggung-jawab dan ingin tetap berfungsi dan berguna namun malah jatuh ke dalam dosa keangkuhan. Kebalikannya Raja Daud adalah contoh laki-laki yang rendah hati. Misalnya kita bisa melihat dengan jelas waktu dia diurapi oleh Tuhan menjadi raja, dan Saul tidak bisa menerima dan terus mempertahankan kekuasaannya. Daud tidak pernah menggerakkan rakyat untuk memberontak dan menggulingkan Raja Saul, waktu anak buahnya berniat untuk membunuh Saul, Daud melarang dan berkata, "Ini adalah orang yang Tuhan urapi dan kita tidak boleh membunuhnya." Jadi kita melihat ini adalah laki-laki yang rendah hati dan bertanggung-jawab. Waktu akhirnya dia jatuh ke dalam dosa, dia memang mengizinkan putranya Absalom memberontak kepada dia dan dia harus lari meninggalkan kota Yerusalem, dia melepaskan Yerusalem. Waktu ditanya, "Apakah perlu membawa tabut perjanjian?" dia menjawab "Jangan, tinggalkan Yerusalem, kalau Tuhan menghendaki saya kembali maka saya akan kembali dan kalau tidak maka saya tidak akan kembali dan tidak apa-apa." Ini adalah contoh laki-laki yang Tuhan idamkan yaitu tetap mau bertanggung-jawab, tetap mau berguna tapi bisa menjaga batas, bisa melepaskan tanggung-jawab, bisa melepaskan fungsi karena menyadari ada hal yang lebih penting yaitu Tuhan dan kehendakNya.

GS : Selain pria itu rentan terhadap sikap yang angkuh, otoriter seperti itu. Apakah ada hal lain yang harus membuat kita berjaga-jaga, Pak Paul?

PG : Kita juga sudah membahas tentang keunikan pria, yaitu pria sukar untuk bercerita membagikan perasaannya, isi hatinya yang pribadi kepada orang lain, dia tertutup untuk hal-hal yang bersifat pribadi. Kalau kita tidak hati-hati terutama karena kodratnya ini yaitu yang tertutup, pria ini mudah terjebak ke dalam kondisi tertekan alias stres, masalahnya adalah dia mulai menyelesaikan problem itu sendiri pula. Bukan saja dia rentan stres tapi dia juga rentan menggunakan cara yang tidak berkenan kepada Tuhan untuk meredakan kondisi ketertekanannya. Maka kita tahu banyak laki-laki yang mengembangkan perilaku yang bermasalah, sebagai contoh kita tahu bahwa tindak kejahatan mayoritas dilakukan oleh laki-laki dan bukan oleh perempuan, kita juga tahu kalau laki-laki itu mudah terjerat pada pemakaian obat-obat terlarang, karena besar kemungkinan mereka ingin lari dari stres yang dialaminya. Laki-laki pun stres misalkan karena tidak ada uang dan sebagainya akhirnya lari menjadi seorang perampok atau mencuri dan sebagainya. Jadi dalam keadaan stres, laki-laki itu juga rentan menggunakan cara-cara yang tidak berkenan kepada Tuhan untuk meredakan kondisi ketertekanan itu.

GS : Yang menyebabkan dia stres bukan karena tanggung-jawabnya sebagai seorang kepala keluarga atau pemimpin di sebuah perusahaan, bukan seperti itu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu semua tanggung-jawab itu mengandung unsur tekanan, namun kalau dia bersedia melepaskan maka stres itu akan jauh lebih ringan, atau dia bersedia konsultasi meminta bantuan orang, maka stres itu bisa lebih berkurang. Belakangan ini saya melihat mengenai hidup saya ternyata saya sama rentannya dengan orang lain untuk jatuh ke dalam dosa, untuk meredakan ketertekanan saya. Saya juga sama rentannya untuk berdosa tapi kenapa saya tidak sampai berbuat seperti itu, sampai berbuat dosa, karena saya mencoba untuk mencari bantuan, saya bersedia untuk berbicara dengan orang untuk meminta pertolongannya atau meminta pendapatnya. Saya akhirnya melihat orang-orang yang hidupnya sangat jauh dari Tuhan padahal awalnya sangat dekat dengan Tuhan. Saya akhirnya pelajari, kenapa orang-orang ini bisa jauh dari Tuhan meskipun awalnya begitu dekat dengan Tuhan karena mereka susah sekali meminta bantuan pada orang, susah sekali cerita kalau ada masalah dan semua mau diselesaikan sendiri padahal tidak bisa. Akhirnya menggunakan cara-cara yang salah untuk bisa menyelesaikan masalah atau meredakan stresnya itu. Sebagai laki-laki meskipun ini adalah kodrat atau keunikan kita, susah bercerita, susah berbagi untuk meminta pertolongan orang, tetap kita harus berusaha untuk melakukannya, dan mulai mengundang orang masuk, memohon bantuannya. Inilah yang Tuhan inginkan dari kita.

GS : Mungkin salah satu hal yang Pak Paul katakan tentang Daud, salah satu hal yang diperbuat oleh Daud ketika mendapat tekanan itu adalah bersahabat dengan Yonathan anak dari Raja Saul. Dan dengan persahabatan itu dia bisa mencurahkan isi hatinya Pak Paul?

PG : Tepat sekali. Jadi selain dengan Yonathan tempat dia bisa bersahabat, dia pun memunyai beberapa sahabat yang lain. Kita tahu bahwa panglima-panglima Daud sangat mengasihi Daud dan mereka bersedia mati bagi Daud. Pernah Daud berkata, "Kalau saja saya bisa meminum air dari kota yang memang masih dikepungnya itu," perwiranya itu langsung mengorbankan, mengambil resiko tinggi untuk mengambil air itu bagi Raja Daud, kenapa? Sebab mereka sayang kepada Daud. Kenyataan bahwa Nabi Natan bersedia datang kepada Daud dan menegur Daud dengan begitu terbuka dan keras, sekali lagi menunjukkan adanya sebuah relasi antara Nabi Natan dan Raja Daud. Belakangan kita juga tahu Tuhan menggunakan Nabi Gad menegur Daud. Sekali lagi kita melihat kenapa orang-orang ini berani bicara kepada Daud apa adanya, sebab bisa saya duga dan simpulkan bahwa Daud terbuka dengan mereka dan Daud memang bersahabat. Jadi memang relasi inilah yang Tuhan inginkan, sebagai laki-laki meskipun ingin semua diselesaikan sendiri, dipikirkan sendiri tapi laki-laki harus tahu kemampuan dan batasnya. Kalau tidak bisa lagi, jangan ragu memohon pertolongan orang lain.

GS : Dalam hal ini laki-laki rentan memerlukan teman bicara, kalau dia bicara dengan sesama pria kadang-kadang dia bisa merasa kalau harga dirinya direndahkan atau bisa disalah mengerti, lalu dia datang kepada seorang wanita dan berbicara kepada seorang wanita akhirnya terjerumus ke dalam dosa perselingkuhan. Di sinilah sulitnya Pak Paul?

PG : Di sini bahasa laki-laki sering digunakan, sebagai contoh kalau laki-laki mendengarkan temannya bercerita kemudian merasa tidak setuju, kemudian dia berkata, "Kamu seperti ini saja tidak bisa, kamu itu seharusnya seperti ini." Hal-hal seperti inilah yang membuat laki-laki enggan untuk bercerita dengan sesama laki-laki karena laki-laki itu ingin menunjukkan bahwa dia bisa, berguna, mampu, kalau dia terlihat tidak bisa, tidak berguna dan tidak mampu maka dia malu. Itu sebabnya kalau tidak hati-hati, dia menggunakan cara yang salah yaitu berbicara dengan wanita akhirnya terjadilah relasi yang mendalam karena wanita itu tidak merendahkannya, malah mengertinya, memeluknya, akhirnya muncul perasaan-perasaan romantis di antara mereka. Itu sebabnya laki-laki kalau tidak hati-hati mudah jatuh ke dalam banyak dosa, karena satu hal saja, yaitu sukar untuk berbagi problem atau duka dengan orang.

GS : Hal lain apa tentang laki-laki idaman Allah, Pak Paul?

PG : Kita juga telah membahas bahwa laki-laki itu memunyai kodrat atau keunikan mandiri, tidak suka bergantung pada orang lain namun keunikan ini dapat dengan mudah menjerumuskannya ke dalam dosa pemberontakan yaitu laki-laki menjadi orang yang sukar diatur karena memang tidak mau diatur, ingin mengerjakan segalanya dengan caranya sendiri bahkan mudah melawan peraturan kalau dianggapnya tidak sesuai dengan keinginannya dan ingin menentukan segalanya sendiri. Bahayanya besar sekali sebab pada akhirnya laki-laki sukar bergantung pada Tuhan bahkan sukar percaya pada Tuhan. Sebagai contoh, kalau kita ke gereja maka kita akan melihat lebih banyak wanita daripada laki-laki sebab memang laki-laki tidak terlalu tertarik untuk datang kepada Tuhan, percaya kepada Tuhan, bergantung kepada Tuhan. Lebih banyak laki-laki yang jatuh ke dalam perangkap dosa keangkuhan dan berkata, "Saya bisa, kenapa meminta Tuhan untuk menolong saya. Saya yang mencari uang kenapa saya harus mengatakan kalau Tuhan yang memberi saya uang. Saya yang bekerja keras kenapa dikatakan Tuhan yang memberkati saya sehingga saya boleh menerima seperti ini." Problem itu lebih identik dengan laki-laki daripada perempuan, lebih jarang kita mendengar perempuan berkata seperti itu. Maka kita sebagai laki-laki mesti waspada, jangan sampai kemandirian kita membuat kita menjadi seorang pemberontak yang malah mengatakan kepada Tuhan "Saya tidak memerlukan Engkau."

GS : Dalam hal pemberontakan ini bukan saja terhadap Tuhan saja tapi mungkin juga terhadap keluarganya juga. Jadi kalau dia sudah merasa tersudut dan merasa tidak lagi dibutuhkan atau tidak mau tunduk kepada dia maka dia akan melakukan pemberontakan yang sama.

PG : Tepat sekali karena memang inilah sifat laki-laki yang sangat kodrati, maka kalau dia merasakan orang di rumahnya tidak menghormatinya, tidak mendengarkan, tidak lagi tunduk kepadanya, maka dia akan melepaskan semuanya dan dia tidak memedulikan mereka lagi sebab itulah yang menjadi kelemahan dia. Laki-laki secara alami memang sukar tunduk, kalau di tempat pekerjaan dia akan tunduk karena itu strukturnya, berkaitan juga dengan penghasilan dan masa depannya. Maka akhirnya dia menjadi tunduk, tapi pada dasarnya kalau dia memiliki kebebasan, dia secara alamiah akan lebih sukar tunduk.

GS : Dan bagaimana mencegah atau menghindari supaya kita sebagai kaum pria ini tidak mudah menjadi pemberontak seperti itu?

PG : Saya akan gunakan contoh langsung dari Alkitab yaitu tentang Musa. Musa pada awalnya adalah seorang laki-laki yang tidak suka diatur dan ingin menentukan segala sesuatunya sendiri, itu sebabnya Musa menghabisi nyawa orang Mesir yang berkelahi dengan orang Israel. Apa yang harus dilakukan Tuhan kepada Musa? Tuhan menempatkan Musa di padang gurun di Midian selama bukan 4 minggu, bukan 4 bulan dan bukan 4 tahun, tapi 40 tahun supaya di dalam pembentukannya itulah Musa akhirnya menumbuhkan sikap kesediaan untuk bergantung dan mau diatur oleh Tuhan. Kita lihat hasilnya, dia mengikuti cara Tuhan dan mengakui ketergantungannya kepada Tuhan. Kita juga bisa melihat di Keluaran 33:13-15, ini perkataan Musa yang disampaikan kepada Tuhan "Beritahukanlah kiranya jalan-Mu kepadaku, sehingga aku mengenal Engkau. Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini." Dari perkataan ini kita bisa simpulkan bahwa Musa telah berubah menjadi orang yang begitu bergantung kepada Tuhan, sehingga begitu bergantungnya, dia tidak bisa berjalan sendirian kalau Tuhan tidak berjalan di depannya. Apa yang harus terjadi pada Musa, sehingga ia berubah menjadi orang yang begitu bergantung. Saya kira laki-laki itu harus mengalami pengalaman gurun pasir yang artinya pengalaman kehilangan segalanya. Pengalaman kehilangan segalanya membuat laki-laki tertunduk dan di saat tertunduk itulah dia lebih mudah untuk tunduk kepada Tuhan, menyadari keterbatasannya dan mengakui kemahakuasaan-Nya. Kalau saya harus memberikan rumus secara perkataan, apa yang bisa kita katakan kepada laki-laki untuk belajar tunduk kepada Tuhan? Saya tidak memilikinya. Sebab yang saya temukan, hampir tidak ada hasilnya berbicara dengan seorang laki-laki yang sedang sukses, yang sangat bangga dengan dirinya dan mengajaknya bergantung kepada Tuhan, tidak ada kata-kata yang bisa disampaikan. Maka Tuhan harus mengulitinya, mencabuti semua bulunya, membuat dia kehilangan semua yang dibanggakan, dan di titik itulah dia lebih bersedia untuk mendengar siapa itu Tuhan dan mengakui Tuhan.

GS : Memang untuk merubah karakter seseorang yang seperti itu, Tuhan akan menggunakan segala macam cara karena Tuhan mengasihi kita. Dan sesuatu yang menarik di dalam diri Tuhan Yesus, Tuhan Yesus itu lahir sebagai laki-laki tapi Dia menunjukkan kerendahan hati-Nya yang luar biasa.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Meskipun Dia adalah Tuhan, Dia berkuasa tapi Dia tidak bergantung dan memegangi kuasa-Nya. Maka pada waktu Petrus mengeluarkan pedang, membabat telinga Malthus, sebelum Tuhan ditangkap di Getsemani, Tuhan berkata, "Jangan lakukan, apakah engkau mengira Aku tidak bisa meminta Bapaku mengirimkan berlaksa-laksa malaikat." Jadi Dia tidak menggunakan kekuasaan-Nya sama sekali, Dia melepaskan karena Dia bergantung penuh kepada Tuhan. Jadi ini adalah sikap yang Tuhan inginkan dari laki-laki yaitu bergantung penuh pada Tuhan, bukan pada dirinya sendiri. Jadi sekali lagi akarnya atau awalnya adalah sebuah sikap rendah hati dan ingin tanggung-jawab, ingin berguna, tertutup dan semua ini cenderung membuat pria untuk angkuh dan kita harus menjaganya dan mengingatkan keterbatasan kita, mengingatkan bahwa Tuhanlah yang memang harus kita sandarkan sehingga kita tetap bisa berjalan seiring dengan Tuhan.

GS : Walaupun itu menentang arus karena pendapat umum, biasanya laki-laki itu harus gagah, harus berwibawa, harus berani bertanggung-jawab, begitu Pak Paul?

PG : Betul. Amsal 16:2-3 Firman Tuhan berkata, "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati. Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu." Laki-laki kalau tidak hati-hati cenderung berkata, "Ini bagus menurut saya, bersih menurut pandangan saya," kita tidak boleh seperti itu, kita harus ingat bahwa Tuhan yang menguji, Tuhan yang tahu maka Tuhan berkata, "Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan maka terlaksanalah segala rencanamu". Kuncinya rendah hati, rendah hati membuat dia menyadari bahwa dia tidak bisa semua dan dia harus bergantung kepada Tuhan namun dia akan berusaha sedapatnya tapi selebihnya dia akan menyerahkan kepada Tuhan.

GS : Tetapi kadang-kadang seorang pria berkata, "Saya ini sudah rendah hati," tapi kenyataannya tidak seperti itu, dari sikapnya kita tahu bahwa sebenarnya tidak seperti itu makanya Amsal mengatakan, "Tuhan yang menguji hati," sebab yang menilai diri kita rendah hati itu bukanlah diri kita sendiri, tetapi Tuhan.

PG : Betul sekali. Jadi benar-benar kita berserah kepada Tuhan dan memang kalau kita rendah hati maka kita tunjukkan lewat perbuatan.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Laki-Laki Idaman Allah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



37. Sepi di Hari Tua I


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T289A (File MP3 T289A)


Abstrak:

Kehadiran anak membawa perubahan yang besar. Hari lepas hari diisi dengan pelbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak. Jika kehadiran anak membawa perubahan yang begitu besar dalam kehidupan kita, maka dapat dibayangkan bahwa kepergian anak juga membawa perubahan besar. Kendati semua perubahan ini sukar, namun tidak bisa tidak, mesti dihadapi dan dijalani. Apa yang harus kita lakukan jika hal ini sudah mulai melanda kehidupan kita?


Ringkasan:

Kehadiran anak membawa perubahan yang besar. Rumah yang tadinya sepi sekarang berubah ramai. Lantai yang tadinya mengkilap sekarang cemong oleh tumpahan makanan dan minuman. Hari lepas hari diisi dengan pelbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak-dari mengantar anak ke sekolah di pagi hari sampai meninabobokan anak di kala malam.

Jika kehadiran anak membawa perubahan yang begitu besar dalam kehidupan kita, maka dapat dibayangkan bahwa kepergian anak juga membawa perubahan besar.

Kendati semua perubahan ini sukar namun tidak bisa tidak, mesti dihadapi dan dijalani. Memang masih ada keluarga yang bersedia menampung orang tua yang uzur namun tidak semua bersedia. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan agar tidak menimbulkan dampak yang buruk pada hubungan kita dan anak. Berikut akan dipaparkan dua perubahan yang umumnya terjadi di hari tua dan cara menghadapinya.

Hilangnya Kesibukan Rutin dan Makna yang Terkandung di Dalamnya

Bagi kita yang terbiasa hidup sibuk, hari tua tanpa kegiatan akan menghadirkan rasa jenuh yang luar biasa besar. Kita mesti menyadari bahwa yang terhilang bukanlah kegiatan itu semata melainkan makna dan semua perasaan yang terkait dengan kegiatan itu. Itulah yang membuat hidup begitu kosong dan hambar. Berikut adalah beberapa saran untuk menghadapi kekosongan ini.

Firman Tuhan: Amsal 14:1 mengingatkan, "Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri." Sudah tentu ayat ini berkenaan baik dengan perempuan maupun laki-laki. Pada hari tua, kita akan memetik buah dari pohon yang kita tanam. Bila kita telah menanam relasi yang sehat dengan anak, pada hari tua kita akan menikmati buah manis dengan anak. Juga, di hari tua janganlah kita malah merusakkan hubungan dengan anak dan keluarganya. Jagalah baik-baik sebab di situlah terletak kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang sepi.

Hilangnya Rasa Berguna dan Dibutuhkan

Bagi kita yang terbiasa hidup dibutuhkan orang, melewati hari tua tanpa ada yang datang meminta bantuan sungguh menyiksa. Berikut akan dipaparkan cara untuk mengatasi rasa tidak berguna ini.

Firman Tuhan: "Apa yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari." (Pengkhotbah 1:9) Kita yang tidak ingin hidup sia-sia perlu melihat hidup dari perspektif Tuhan. Kadang kita cepat berbesar hati karena merasa telah berhasil melakukan sesuatu yang berguna. Kita ingin dapat meninggalkan sesuatu yang abadi. Hanya Tuhan yang kekal. Tidak ada yang lain. Tuhan memakai kita untuk menggenapi kehendak-Nya untuk zaman atau masa kita. Bersyukurlah untuk kesempatan yang diberikan-Nya setelah itu lepaskanlah genggaman.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sepi di Hari Tua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Memang sulit dihindari bagi teman-teman yang sudah memasuki usia lanjut, Pak Paul, mungkin pasangannya juga sudah meninggal, anak-anak sudah meninggalkan rumah, sehingga ada kesepian yang menyergap dan bagaimana mengatasinya, Pak Paul?

PG : Kita harus memahami, Pak Gunawan, bahwa kehadiran anak membawa perubahan yang besar dalam hidup kita. Saya gambarkan, rumah yang tadinya sepi sekarang berubah ramai, lantai yang tadinya mengkilap sekarang cemong karena tumpahan makanan dan minuman. Hari lepas hari diisi dengan pelbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak, dari mengantar ke sekolah di pagi hari sampai meninabobokan anak di kala malam. Nah, jika kehadiran anak membawa perubahan yang begitu besar dalam kehidupan kita, maka dapat dibayangkan bahwa kepergian anak waktu mereka sudah dewasa juga membawa perubahan besar. Rumah yang tadinya hiruk-pikuk sekarang menjadi sepi dan dingin, hari yang tadinya berlimpah ruah dengan pelbagai aktifitas tiba-tiba menjadi senggang. Waktu yang tadinya terbatas sekarang menjadi tanpa batas.

GS : Dan ketika anak-anak masih di rumah waktu kita dengan mereka juga cukup panjang, sehingga membekas dalam diri seseorang. Sudah terbiasa dengan keramaian, dan waktu dia masih belum menikah, dia berasal dari keluarga besar yang cukup ramai namun sekarang semuanya pergi satu demi satu sehingga dia harus tinggal sendirian, mungkin dengan pembantu atau dengan perawat saja dan itu membuat hidup terasa sepi.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi misalkan kita berkata bahwa seseorang menikah di usia sekitar 25 tahun, berarti 25 tahun pertama hidupnya dia dikelilingi oleh banyak orang. Dalam keluarga ada ayah, ibu, kakak, adik. Kemudian ketika dia menikah, membesarkan anak, misalkan ada beberapa anak. Berarti kalau ditotal mungkin sekitar 25 tahun berikutnya dia pun hidup dalam keramaian, diisi oleh anak-anak. Dengan kata lain, 2/3 hidup kita diisi dengan kehidupan bersama banyak orang. 1/3 sisanya, di atas usia 50-an sampai usia mungkin 70-an atau 80-an kita ini sendirian, tidak ada lagi orang yang mesti kita rawat, benar-benar kita akan menjalani kehidupan yang sepi. Memang masih ada keluarga yang bersedia menampung orang tua yang uzur, namun tidak semua bersedia. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan agar tidak menimbulkan dampak yang buruk pada hubungan kita dengan anak. Itu sebabnya dewasa ini makin banyak orang tua yang hidup mandiri, lepas dari anak. Sebagai akibatnya kesepian pun melanda masuk, terutama bila kita tidak lagi bekerja dan tidak lagi menikmati kesehatan yang prima.

GS : Biasanya dalam hal apa seseorang itu merasa kesepian di hari tuanya?

PG : Ada dua yang nanti akan kita bahas, Pak Gunawan. Jadi kita akan bahas yang pertama dulu yaitu hilangnya kesibukan rutin dan makna yang terkandung di dalamnya. Jadi bagi kita yang terbiasa hidup sibuk, hari tua tanpa kegiatan akan menghadirkan rasa jenuh yang luar biasa besar. Memang ada yang berusaha mengisi waktu dengan melakukan kegiatan lain, namun tidak bisa disangkal kita tidak selalu bisa menggantikan kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lain. Nah saya berikan contoh, misalnya kita tidak bisa mengganti kegiatan mengurus anak dengan kegiatan lain. Sebab mengurus anak sendiri memberi sukacita dan kepuasan tersendiri. Apa pun itu yang kita lakukan untuk mengisi waktu yang terhilang, tidak akan bisa memenuhi sukacita dan kehangatan di hati dalam mengurus anak. Singkat kata, Pak Gunawan, pada akhirnya kita mesti menyadari bahwa yang terhilang bukanlah kegiatan itu semata, melainkan makna dan semua perasaan yang terkait dengan kegiatan itu. Misalkan, kita terbiasa bekerja, datang ke kantor mendapatkan pengharapan, mendapatkan pengakuan, mendapatkan tugas. Itu semua memberikan kepada kita makna dan memberikan kepada kita perasaan-perasaan tertentu yang terkandung di dalamnya. Nah, sewaktu itu semua terhilang, itulah yang membuat hidup begitu kosong dan hambar.

GS : Padahal ketika masih sibuk, ketika masih banyak tugas yang dialami, seringkali juga terjadi atau keluar keluhan, "Kapan saya bisa mengakhiri semuanya dan bisa duduk santai" dan sebagainya. Kenapa pada saat waktu itu tiba, dia menjadi kesepian, Pak Paul?

PG : Sebab yang biasanya kita keluhkan adalah efek dari pekerjaan itu. Misalkan, efek dari pekerjaan itu adalah kita menjadi terlalu letih, karena tugas-tugas menumpuk atau efek dari pekerjaan itu adalah kadang-kadang kita harus bersitegang dengan pelanggan atau bahkan dengan rekan kerja atau efek dari pekerjaan itu misalkan kita mendapatkan kritikan. Jadi harus kita bedakan, efek dan makna yang terkandung dalam pekerjaan itu sendiri. Sebab pekerjaan itu sebetulnya memberi makna tersendiri kepada kita dan membuat kita merasakan perasaan-perasaan tertentu. Sewaktu itu tidak lagi kita melakukan maka terhilanglah sebuah makna yang tadinya sudah mengisi hampir segala lini kehidupan kita. Sebagai seorang ibu yang tadinya biasa mengurus anak-anak, meskipun ada kalanya dalam keletihan dia akan berkata, "Kapan anak-anak ini bisa pergi dari rumah, saya sudah capek dan sebagainya". Itu normal karena memang efeknya kadang-kadang meletihkan dan menjengkelkan, tapi di dalam mengurus anak sendiri terkandung makna yang begitu dalam, menciptakan perasaan yang begitu hangat dalam diri kita. Sekarang sewaktu tidak ada lagi, benar-benar ada sebuah rongga yang hampa dalam hati kita.

GS : Kalau begitu, Pak Paul, sebenarnya kaum pria pun akan mengalami kesepian ini juga, sama seperti wanita yang juga bekerja pada saat masih muda, lalu tiba-tiba dia harus berhenti dari pekerjaannya. Apakah dampaknya sama, Pak Paul?

PG : Sama, Pak Gunawan. Belum lama ini saya berbicara dengan seseorang yang baru saja pensiun, karena sudah mencapai batas usia pensiun. Dia baru pensiun 2 atau 3 hari sebelum berbicara dengan saya dan dia bercerita bahwa dia tetap mau ke tempat pekerjaannya di hari itu hanya untuk menyapa teman-temannya. Istrinya menegur, "Mengapa mesti ke sana padahal kamu sudah pensiun, nanti mengganggu teman-temanmu". Tapi memang itulah yang menjadi kebutuhannya, dia mesti datang karena setiap pagi selama berpuluhan tahun, tempat itulah yang dikunjunginya. Tubuhnya, pikirannya sudah seperti robot yang diprogram dan programnya adalah pagi ke sana, ke tempat pekerjaan, bertemu dengan orang-orang yang dilihatnya setiap hari selama puluhan tahun. Tiba-tiba ada satu titik di mana dia harus berkata, "Saya tidak lagi bisa ke situ". Jadi dia bertanya, "Apa yang harus saya perbuat?" Saya katakan, "Silakan datang ke tempat pekerjaan dan sudah tentu jangan terlalu lama, silakan menyapa teman-teman, setelah itu pulang". Dia menceritakan betapa susahnya untuk kembali ke rumah, dia berkata, "Apa yang harus saya lakukan? Saya mau pergi ke sana ke sini juga susah, tidak ada teman-teman sebab sebagian teman-teman masih bekerja". Memang sebuah derita yang tidak bisa tidak kita semua harus mengalaminya.

GS : Kalau begitu apa yang bisa kita lakukan atau apa saran Pak Paul supaya kekosongan seperti yang dialami oleh teman Pak Paul bisa diatasi dengan baik.

PG : Yang pertama, Pak Gunawan, ini bukan suatu tips atau solusi. Justru masukan pertama saya adalah kita harus hidup dengan kekosongan ini, tidak ada jalan lain. Kita mesti menerima kenyataan bahwa masa tua adalah masa kehilangan. Kalau kita berkata masa tua adalah masa kelimpahan, masa banyak ini dan itu, mendapatkan ini mendapatkan itu, mungkin kita sedang menghibur diri sebab pada kenyataannya itu adalah masa kehilangan, ada yang besar yang bermakna yang tadinya mengisi hidup kita dengan penuh tiba-tiba sekarang tidak ada lagi. Jadi kita mesti terima, sesuaikanlah harapan dengan kenyataan. Jangan kita menuntut, mengharapkan pada masa tua kita akan lebih apa lagi, bisa mengerjakan ini dan itu, sebab pada faktanya belum tentu. Ada orang yang tidak lama setelah pensiun, sakit, tidak bisa lagi ke mana-mana, sangat terbatas. Itu adalah bagian dari hari tua. Kita akan jauh kurang sehat dibandingkan ketika masih muda. Jadi terimalah fakta bahwa kebahagiaan kita pun akan berkurang bukan bertambah. Sewaktu kita tidak bisa lagi pergi ke tempat pekerjaan, bertemu dengan teman-teman, ketika kita tidak lagi bisa mengurus anak-anak yang telah menjadi bagian penting dalam hidup kita, yang tadinya setiap hari bertemu dengan anak-anak namun sekarang hanya seminggu sekali atau bahkan ada yang 2 minggu sekali dan ada yang sebulan sekali. Bagaimanakah kita berkata, kebahagiaan kita akan bertambah? Jadi sewaktu kita harus mendekam dalam rumah, dikelilingi tembok yang dingin, tanpa satu suara pun tidak bisa tidak kebahagiaan kita pun akan menguap.

GS : Pak Paul, hal itu mungkin tidak terlalu berat bagi seseorang jika itu terjadi secara bertahap. Namun faktanya seringkali terjadi secara mendadak, dan itu membuat suatu kejutan besar dalam kehidupan seseorang.

PG : Dan kebanyakan semuanya terjadi seketika, Pak Gunawan. Pensiun tidak ada yang dari 40 jam menjadi 35 jam per minggu. Langsung dari 40 jam kemudian langsung stop, tidak ada lagi kerja. Anak-anak begitu keluar dari rumah, maka dia pergi. Jarang yang 2 hari sekali pulang, kebanyakan pergi ya pergi. Kebanyakan perubahan yang terjadi seketika memang tetap akan mengguncangkan, membuat hidup kita kehilangan keseimbangan.

GS : Masukan yang lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Kendati tidak ada satu pun kegiatan yang dapat sepenuhnya mengganti makna yang terkandung dalam kegiatan yang lama, seperti membesarkan anak, namun isilah hari dengan kegiatan lainnya serutin mungkin. Jadi kuncinya di sini adalah rutin. Seringkali pada usia tua, kita beranggapan tidak semestinya kita mengikatkan diri dalam kegiatan yang rutin. Justru menurut saya, ini adalah anggapan yang keliru. Makna sesungguhnya dari apa yang kita kerjakan, hanya dapat bertunas dalam jadwal yang rutin. Misalnya, kita bekerja sebagai guru. Kita akan datang ke sekolah setiap hari, kita mengajar. Kita melakukan itu dengan rutin setiap hari, dan dalam kerutinan mengajar itulah kita akan memetik makna mengajar. Kita tidak bisa mendapatkan makna yang sama kalau kita mengajar misalnya sebulan 2-3 hari kemudian berhenti, nanti disambung lagi 2-3 hari. Jadi makna itu terkandung dalam kerutinan itu sendiri. Rasa sayang pada apa pun yang kita kerjakan hanyalah bisa tercicipi bila kita melakukannya sesering dan serutin mungkin. Misalkan, mengurus anak, setiap hari mengurus anak, memandikan, memberinya makan, mengajarkan tugas-tugas sekolah. Mengajaknya berbicara, menidurkannya di waktu malam; rutin hari lepas hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan hingga tahun demi tahun. Tapi bukankah makna keluar dan dicicipi dari kerutinan itu? Maka ketika kita mau menggantikannya, carilah kegiatan yang memungkinkan kita melakukan kegiatan itu secara rutin, baik itu setiap hari atau pun beberapa hari seminggu. Tiga hari seminggu pun tidak apa-apa, asalkan rutin, kegiatan yang sama yang kita lakukan. Kita sebagai manusia memang memerlukan kerutinan itu.

GS : Tapi pada masa lanjut usia, kesulitan bagi yang bersangkutan itu ialah mencari sesuatu yang rutin, Pak Paul. Kalau pun ia menemukan sesuatu yang rutin karena itu dilakukan sendirian, itu cepat membosankan bagi dia. Dia merasa hidup ini begini-begini saja. Apakah tidak ada yang lain yang bisa dikerjakan?

PG : Di Amerika Serikat, Pak Gunawan. Beberapa perusahaan memunyai program-program untuk orang-orang yang sudah berusia senja. Misalkan, hampir setiap Rumah Sakit yang pernah saya kunjungi di sana, selalu yang menjaga, yang menjadi receptionist, yang menjadi pengantar tamu, yang menjadi penunjuk jalan supaya para pengunjung mengetahui apa yang harus dilakukan, adalah orang-orang tua. Dan di sana sudah tentu mereka tidak sendirian, karena ada sejumlah orang tua yang terlibat di dalam pekerjaan itu. Saya juga melihat misalkan di beberapa rumah cepat saji. Yang bekerja ada sebagian orang-orang tua. Jadi mereka memang dipekerjakan, karena mereka mau, mungkin dengan gaji yang minim. Tapi sekali lagi itulah yang dapat memberikan kepada mereka kerutinan. Nah, menurut pendapat saya untuk orang-orang di Indonesia kita harus memikirkan hal-hal seperti itu atau kita menawarkan diri, secara proaktif kita datang ke sebuah tempat dan berkata, "Apakah ada yang bisa saya kerjakan di sini? Apakah ada yang bisa saya bantu di sini?" Segala sesuatu yang bisa kita kerjakan dengan rutin akan menolong kita. Asalkan di tempat itu juga kita bisa berinteraksi dengan orang lain.

GS : Kuncinya mungkin berinteraksi dengan orang lain, Pak Paul. Kalau mengerjakan sesuatu tanpa berinteraksi dengan orang lain, itu yang membuat seseorang cepat jenuh.

PG : Saya kira demikian. Betul sekali apalagi kita yang terbiasa bekerja, berhubungan dengan orang. Misalkan orang itu terbiasa bekerja dengan mesin, mungkin untuk dia tidak apa-apalah, dia sudah pensiun dia tetap mengotak-atik mesin, tapi kita yang terbiasa sebaiknya melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan manusia.

GS : Walaupun kita tidak dibayar atau hanya dibayar dengan gaji yang minim, seringkali orang lain menganggap kita sudah mestinya pensiun, mestinya istirahat tapi masih bekerja terus. Seringkali seperti itu Pak Paul.

PG : Memang ada saja orang yang salah menilai atau mungkin ada yang berpikiran buruk, "Wah pasti anak-anaknya kurang memerhatikan orang tua, orang tua sudah uzur tapi masih disuruh bekerja dan sebagainya". Memang pandangan-pandangan ini masih belum terbiasa, namun saya kira dengan penjelasan maka orang akan terbiasa. Dan justru memberi kepada mereka ide, "Benar juga, lain kali bila saya sudah berusia lanjut, mungkin saya bisa melakukan hal yang serupa, mengisi hari-hari saya dengan kegiatan yang rutin".

GS : Masukan yang lain, apa Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah peliharalah relasi yang baik dengan anak, jangan malah merusakkannya. Jadi kunci memelihara hubungan dengan anak pada masa tua adalah hormati batas dan bersedia menolong. Saya jelaskan, hormati batas berarti senantiasa mengingat bahwa kendati ia tetap anak kita, namun ia bukan kepunyaan kita lagi. Artinya begini, kita mesti menyadari bahwa ada tanggung jawab lain dalam hidupnya, selain kita sebagai orang tuanya. Kita tidak bisa menuntutnya untuk menyediakan waktu dan perhatian sama seperti dulu lagi. Kita pun harus menghormati pasangannya dan selalu melibatkan pasangannya tatkala kita meminta anak untuk melakukan sesuatu bagi kita. Jika hal ini dilanggar, besar kemungkinan pasangan hidupnya akan merasa tidak lagi dihargai atau dihormati oleh kita.

GS : Seringkali hubungan dengan anak sudah berjauhan, agak renggang sehingga hal-hal yang kecil pun kadang-kadang menjadi pemicu terputusnya hubungan.

PG : Itu bisa terjadi dan memang jika tidak berhati-hati justru di hari tua hubungan dengan anak bisa renggang. Pada masa anak-anak lebih kecil kita lebih mudah menoleransi apa pun, sebab bukankah pada masa anak-anak remaja ada saja pertengkaran dengan anak, tapi kita begitu cepatnya melupakan dan memaafkan anak. Kita tidak mengambil hati sama sekali, dan anak pun sama dengan kita, pada masa kecil atau masa remaja ada konflik kalau hari ini konflik besok sudah baik lagi, tapi waktu anak-anak sudah besar apalagi kalau sudah berkeluarga dan ada konflik dengan kita, biasanya itu menimbulkan ketegangan untuk waktu yang lebih lama. Memang tidak sama lagi, Pak Gunawan.

GS : Hal itu terkesan bahwa kita menjadi orang tua yang egois, kalau kita hanya memikirkan diri kita sendiri.

PG : Betul, Pak Gunawan. Kita tidak boleh menjadi orang tua yang egois yang hanya memikirkan kepentingan pribadi. Itu sebabnya saya ingin memberikan masukan dalam hal memelihara relasi yang baik dengan anak, kita perlu menawarkan bantuan kepada anak dan pasangannya dan menyediakan pertolongan yang dibutuhkan. Kadang-kadang kita lupa bahwa anak dan keluarganya juga memunyai kebutuhan, karena kita terlalu terserap dalam kebutuhan kita saja. Nah, untuk memelihara relasi yang baik, tawarkan, sediakan bantuan sedapatnya, agar hubungan kita dengan anak menjadi relasi memberi dan menerima, bukan meminta dan menerima saja.

GS : Itu pun harus atas permintaan anak atau menantu, Pak Paul? Kalau kita berinisiatif sendiri membersihkan rumahnya, dia bisa tersinggung.

PG : Betul, jadi kita selalu hanya menawarkan. Misalnya mereka hendak pergi ke mana, kita bisa berkata, "Titipkan saja anak-anak di sini, saya senang anak-anak di rumah, saya akan bisa menjaga". Jadi hanya tawarkan, jangan kita nyelonong. masuk ke rumah orang, mau beres-beres, menata-nata rumahnya, belum tentu menantu kita bahkan anak kita pun bisa menerima tindakan kita.

GS : Hal lain tentang masukan ini apa, Pak Paul?

PG : Yang keempat, berinisiatiflah untuk memelihara kontak dengan anak. Sudah tentu kita harus memelihara relasi yang baik dengan anak terlebih dahulu sebelum dapat menikmati kontak yang menyenangkan dengan anak. Bila relasi dengan anak sudah terjalin baik, berinisiatiflah menghubungi anak secara rutin dan jangan menunggunya untuk menghubungi kita. Kenyataan bahwa anak tidak menghubungi kita sesering yang kita inginkan, tidaklah berarti bahwa ia tidak ingin menjalin hubungan dengan kita. Besar kemungkinan oleh karena kesibukannya ia tidak begitu terpikir untuk menghubungi kita. Selama kita sehat dan dalam keadaan baik, ia beranggapan ia tidak harus sering-sering menghubungi kita. Jadi saran saya, teleponlah dan tanyakanlah keadaannya serta kondisi istri atau suaminya dan anak-anaknya. Secara berkala ajaklah anak untuk pergi bersama kita atau undanglah mereka datang ke rumah asalkan tidak terlalu sering, besar kemungkinan suami atau istrinya dan anak-anaknya tidak akan berkeberatan.

GS : Jadi harus inisiatif dari kita, hanya kadang-kadang kalau kita sudah berinisiatif lalu tanggapannya negative dan kita menjadi malas. Misalnya saja kita menelepon dan dia sedang sibuk kemudian mengatakan bahwa nanti dia akan menelepon kembali, tapi ditunggu-tunggu ternyata dia tidak telepon. Waktu kita telepon kembali, dia mengatakan "Wah, maaf lupa". Hal itu untuk kami yang sudah lebih tua merasa, itu berarti dia tidak memerhatikan saya. Dia tidak menganggap ini sesuatu yang penting, karena itu begitu mudah dilupakan, biasanya begitu Pak Paul.

PG : Pada faktanya memang demikian, tatkala anak-anak semakin sibuk dalam pekerjaannya dan makin beragam tanggungjawabnya, dia memunyai suami, punya istri, punya anak-anak, ada mertua, ada teman-teman, ada relasi kerja. Dengan kata lain, hal-hal lain atau orang-orang lain itu akan seringkali lebih mendesak untuk diperhatikan. Sedangkan kita selama dia tahu kita baik-baik saja, dia beranggapan kita bisa menunggu, bisa sabarlah. Dengan perkataan lain bisa dinomorduakan. Jadi pada faktanya, memang begitu Pak Gunawan, kita harus dengan hati yang sedikit terluka berkata, memang di hari tua kita tidaklah menjadi orang yang sepenting itu dalam hidupnya.

GS : Mungkin masih ada masukan lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yang kelima atau terakhir adalah doronglah anak untuk mengasihi dan mementingkan pasangan hidupnya serta anak-anaknya. Serta perhatikanlah istri, suami dan anak-anaknya pula. Makin kita mendorong anak untuk mementingkan suami, istri dan anak-anaknya dan makin pula kita memerhatikan mereka, makin besar penghargaan yang akan kita terima dari suami, istri dan anak-anaknya. Singkat kata, walaupun kita "kehilangan" anak di usia senja ini, kita mungkin akan mendapat gantinya lewat kasih sayang dan perhatian dari suami, istri dan anak-anaknya. Sebaliknya bila kita hanya memerhatikan anak sendiri, hanya menanyakan anak, kebutuhannya apa, sedangkan tidak mau menanyakan atau mau tahu tentang suami, istri atau anak-anaknya, tidak bisa tidak mereka akan merasa dirinya tidak bernilai di mata kita. Sebagai akibatnya, mereka pun tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan kita.

GS : Tapi yang seringkali kontak dengan kita biasanya anak kandung kita, Pak Paul. Dengan menantu, kuatirnya kalau nanti berbicara keliru dan sebagainya, sehingga mungkin hanya titip salam. Kalau perlu dia berbicara baru kita menjalin komunikasi, kalau tidak nanti terkesan mencampuri urusan mereka, Pak Paul.

PG : Betul, memang tidak baik kalau kita mencampuri, tapi berinisiatiflah untuk bertanya. Kadang-kadang juga bertanya apa yang dibutuhkan, apa yang kami bisa bantu. Sebab seringkali juga menantu itu mengeluh, "mertua saya tidak pernah menelepon saya dan diinterpretasi tidak suka dengan saya". Jadi memang sebaiknya kita mementingkan mereka sehingga mereka merasakan kasih sayang kita kepadanya.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung perbincangan kita ini?

PG : Amsal 14:1 mengingatkan, "Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya tapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri". Sudah tentu ayat ini berkenaan baik dengan perempuan maupun laki-laki. Pada hari tua kita akan memetik buah dari pohon yang kita tanam. Bila kita telah menanam relasi yang sehat dengan anak, pada hari tua kita akan menikmati buah manis dengan anak-anak. Juga di hari tua janganlah kita malah merusakkan hubungan dengan anak dengan keluarganya. Jagalah baik-baik, sebab di situlah terletak kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang sepi.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sepi di Hari Tua" bagian yang pertama, dimana kami fokus membicarakan hilangnya kesibukan rutin dan makna yang terkandung di dalamnya. Kami masih akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang lain. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



38. Sepi di Hari Tua II


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T289B (File MP3 T289B)


Abstrak:

Kehadiran anak membawa perubahan yang besar. Hari lepas hari diisi dengan pelbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak. Jika kehadiran anak membawa perubahan yang begitu besar dalam kehidupan kita, maka dapat dibayangkan bahwa kepergian anak juga membawa perubahan besar. Kendati semua perubahan ini sukar, namun tidak bisa tidak, mesti dihadapi dan dijalani. Apa yang harus kita lakukan jika hal ini sudah mulai melanda kehidupan kita?


Ringkasan:

Kehadiran anak membawa perubahan yang besar. Rumah yang tadinya sepi sekarang berubah ramai. Lantai yang tadinya mengkilap sekarang cemong oleh tumpahan makanan dan minuman. Hari lepas hari diisi dengan pelbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak-dari mengantar anak ke sekolah di pagi hari sampai meninabobokan anak di kala malam.

Jika kehadiran anak membawa perubahan yang begitu besar dalam kehidupan kita, maka dapat dibayangkan bahwa kepergian anak juga membawa perubahan besar.

Kendati semua perubahan ini sukar namun tidak bisa tidak, mesti dihadapi dan dijalani. Memang masih ada keluarga yang bersedia menampung orang tua yang uzur namun tidak semua bersedia. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan agar tidak menimbulkan dampak yang buruk pada hubungan kita dan anak. Berikut akan dipaparkan dua perubahan yang umumnya terjadi di hari tua dan cara menghadapinya.

Hilangnya Kesibukan Rutin dan Makna yang Terkandung di Dalamnya

Bagi kita yang terbiasa hidup sibuk, hari tua tanpa kegiatan akan menghadirkan rasa jenuh yang luar biasa besar. Kita mesti menyadari bahwa yang terhilang bukanlah kegiatan itu semata melainkan makna dan semua perasaan yang terkait dengan kegiatan itu. Itulah yang membuat hidup begitu kosong dan hambar. Berikut adalah beberapa saran untuk menghadapi kekosongan ini.

Firman Tuhan: Amsal 14:1 mengingatkan, "Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri." Sudah tentu ayat ini berkenaan baik dengan perempuan maupun laki-laki. Pada hari tua, kita akan memetik buah dari pohon yang kita tanam. Bila kita telah menanam relasi yang sehat dengan anak, pada hari tua kita akan menikmati buah manis dengan anak. Juga, di hari tua janganlah kita malah merusakkan hubungan dengan anak dan keluarganya. Jagalah baik-baik sebab di situlah terletak kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang sepi.

Hilangnya Rasa Berguna dan Dibutuhkan

Bagi kita yang terbiasa hidup dibutuhkan orang, melewati hari tua tanpa ada yang datang meminta bantuan sungguh menyiksa. Berikut akan dipaparkan cara untuk mengatasi rasa tidak berguna ini.

Firman Tuhan: "Apa yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari." (Pengkhotbah 1:9) Kita yang tidak ingin hidup sia-sia perlu melihat hidup dari perspektif Tuhan. Kadang kita cepat berbesar hati karena merasa telah berhasil melakukan sesuatu yang berguna. Kita ingin dapat meninggalkan sesuatu yang abadi. Hanya Tuhan yang kekal. Tidak ada yang lain. Tuhan memakai kita untuk menggenapi kehendak-Nya untuk zaman atau masa kita. Bersyukurlah untuk kesempatan yang diberikan-Nya setelah itu lepaskanlah genggaman.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sepi di Hari Tua" bagian yang kedua, karena perbincangan ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu mengenai hilangnya kesibukan rutin dan makna yang terkandung di dalamnya. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, sebelum kita melanjutkan perbincangan ini ke perbincangan yang berikutnya supaya para pendengar kita punya hubungan antara pembicaraan yang terdahulu dengan yang sekarang, mungkin Pak Paul bisa secara sekilas menjelaskan apa yang kita perbincangkan pada pembicaraan terdahulu, Pak Paul.

PG : Kehadiran anak dalam hidup kita membawa banyak perubahan, rumah yang tadinya sepi menjadi ramai, waktu yang tadinya agak senggang sekarang menjadi terisi oleh kegiatan anak. Waktu anak-anak pergi, itu juga membawa perubahan besar dalam kehidupan kita, sehingga yang tadinya sehari-hari itu dilalui dalam kesibukan, sekarang tiba-tiba senggang sekali. Namun selain dari hilangnya kegiatan-kegiatan itu, Pak Gunawan, yang memang membuat hari-hari itu sepi sekali setelah kita pension, anak-anak sudah meninggalkan rumah adalah hilangnya makna yang terkandung dalam semua kegiatan itu. Kita yang terbiasa bekerja, terbiasa masuk kantor, bertemu dengan teman melakukan ini dan itu semua itu memberi makna tertentu dan memberikan perasaan tertentu dalam diri kita. Seorang ibu yang mengurus anak, membesarkannya dari kecil sampai besar, sekarang tidak ada lagi anak. Nah tidak bisa tidak dia akan kehilangan juga makna yang terkandung dalam tugas membesarkan anak, jadi kita memang harus menghadapi kehilangan ini. Kita harus menerima fakta bahwa memang kehilangan ini tidak dapat dihindari dan tidak ada yang bisa mengganti makna itu sendiri, karena memang hal-hal itu terkait dalam pekerjaan-pekerjaan yang dulu kita lakukan. Tidak kita lakukan ya memang maknanya pun turut hilang. Kita harus siap menerima itu, namun saya anjurkan agar kita mencoba untuk mengisi hari-hari kita dengan kegiatan yang serutin mungkin dan juga berhubungan dengan orang sehingga kita masih bisa mengerjakan sesuatu secara berkala, secara rutin dan bertemu dengan orang. Saya pun menyarankan agar sebagai orang tua kita memelihara hubungan yang baik dengan anak-anak, jangan mencampuri jangan masuk ke dalam kehidupannya tanpa diundang, tapi tetaplah pelihara hubungan dengan cara menyediakan waktu untuk menolongnya kalau memang diperlukan, menghubunginya, menelepon, berinisiatif untuk juga memerhatikan pasangan hidupnya dan anak-anaknya supaya mereka pun tetap mengingat kita dan memelihara hubungan yang baik dengan kita pula. Itulah letak kekuatan kita menghadapi hari-hari tua yang sepi.

GS : Pak Paul, selain hilangnya kesibukan rutin dan makna yang membuat orang sepi, orang bisa menjadi sepi karena hilangnya apa lagi, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah hilangnya rasa berguna dan dibutuhkan, Pak Gunawan. Bagi kita yang terbiasa hidup dibutuhkan orang, melewati hari tua tanpa ada yang datang meminta bantuan, sungguh menyiksa. Kita terbiasa ditanya, dikonsultasikan, dimintai bantuan tiba-tiba makin hari makin berkurang dan hampir tidak ada lagi orang yang menyapa dan meminta bantuan kita. Nah semua kegiatan yang berkaitan dengan manusia berpotensi melahirkan rasa berguna, itu sebabnya kita yang tergolong pekerja kemanusiaan cenderung akan mengalami kehampaan yang lebih besar dibanding dengan orang yang pekerjaannya berhubungan dengan benda atau data. Jadi memang rasa berguna dan dibutuhkan ini tidak bisa tidak makin tua, anak-anak telah meninggalkan rumah kita juga telah pensiun itu juga makin hari akan makin berkurang.

GS : Sekali pun orang itu tadinya berhubungan dengan benda, Pak Paul, tapi mau tidak mau terkait dengan orang misalnya dia seorang montir. Dia merasa sungguh berjasa ketika mobil yang rusak dia betulkan dan bisa menyenangkan orang lain, sehingga ketika dia pension ini menjadi suatu pukulan bagi kehidupannya.

PG : Betul, saya tahu ada orang yang seperti ini Pak Gunawan. Memang ini perusahaan dia sendiri jadi dia masih bisa berbuat yang dia inginkan, tapi sesungguhnya dia tidak lagi mengelola, tidak lagi mengatur namun ia akan tetap datang setiap hari. Berpakaian serapi seperti sediakala padahal di sana dia hanya duduk beberapa jam, hanya itu saja Pak Gunawan. Setelah itu pulang dan hampir tidak ada lagi yang dikerjakannya, namun sekali lagi untuk dia datang ke tempat pekerjaan, duduk seolah-olah membuat dia merasa seolah-olah masih dibutuhkan. Setidak-tidaknya masih ada yang menyapa dia, ada yang mengajak berbicara dan mungkin yang diajak bicara masih bertanya sesuatu kepadanya, sehingga rasa dibutuhkan rasa berguna itu masih sedikit banyak terpelihara.

GS : Tapi itu buat yang melanjutkan pekerjaannya atau jabatannya, ini menjadi suatu gangguan, Pak Paul.

PG : Seringkali begitu, Pak Gunawan. Jadi kalau memang kita sadari bahwa waktunya sudah tiba mungkin secara perlahan kita harus merelakan diri, terpinggirkan dan menerima fakta. Ya sudah seharusnya begini.

GS : Ya lalu masukan dari Pak Paul, apa?

PG : Yang pertama, Pak Gunawan, menghadapi semua ini menghadapi hilangnya rasa berguna dan dibutuhkan, terimalah fakta bahwa setelah mencapai usia tertentu kita tidak bertambah bijak. Memang ada yang berkata bahwa makin tua makin kita berpengalaman dan makin berpengalaman makin kita dibutuhkan. Itu benar ya namun semua ada batasnya sampai titik tertentu mungkin kita akan tambah bijak tapi lewat fase tertentu kita tidak akan lagi menambah pengalaman. Makin tua makin sukar buat kita untuk terlibat dalam kegiatan kerja dan hal itu akan membatasi pengalaman kerja. Dengan berkurangnya jam terbang, makin berkurang pula hikmat yang dapat ditimba. Jadi ini, Pak Gunawan, singkat kata kendati sampai titik tertentu benarlah pepatah berkata, bahwa "Makin tua kita semakin seperti barang klasik, barang antik" namun lewat masa tertentu sesungguhnya yang terjadi adalah makin tua makin kita menjadi seperti barang kuno, barang yang tidak lagi terpakai. Inilah fakta kehidupan yang tak dapat kita ingkari.

GS : Ya jadi dirinya sendiri mungkin merasa masih dibutuhkan makin menjadi bijak, tapi orang lain menilai sebaliknya, Pak Paul.

PG : Betul, Pak Gunawan karena bijak atau hikmat itu keluar dari pengalaman-pengalaman. Nah dunia berubah, kemajuan teknologi dan banyak hal lainnya, otomatis kita tidak bisa menguasai semuanya lagi. Sebagai contoh banyak orang sekarang ke "facebook" ke "tualler". Terus terang Pak Gunawan, saya tidak masuk ke dua-duanya, bahkan saya pun belum pernah melihat, tidak pernah membuka-buka tualor atau facebook. Mengapa? Ya saya merasa karena kesibukan saya, interes saya, jadi memang tidak adalah minat ke sana. Saya hanya fokus pada menulis email, menjawab email dan menggunakan sarana internet, itu saja. Berarti dengan bertambahnya kemajuan dan perkembangan ilmu dan sebagainya, makin banyak yang tidak lagi saya ketahui. Ada seorang penulis yang pernah dengan terbuka berkata, seorang yang memang diberkati Tuhan dengan karunia menulis yang baik, namun dia sendiri berkata dia selalu menulis dengan tangannya. Dia tidak menulis dengan komputer, jadi meskipun menulis dengan komputer sudah begitu umum sekarang masih ada penulis yang tidak menulis dengan komputer, tetap dengan tulisan tangan. Nah waktu dia selesai menulis manuskripnya, sampai bermeter-meter panjangnya kertas tulisan itu, karena dia memang menggunakan pena dan kertas. Jadi bagaimanakah kita bisa berkata kita bertambah bijak, dalam hal-hal tertentu, untuk hal-hal tertentu memang ya kita bertambah matang, tapi dalam hal-hal lainnya kita memang akan ketinggalan dan tak mungkin lagi kita akan mendapatkan hikmat dari pengalaman yang tak pernah terjadi dalam hidup kita.

GS : Ya mungkin kita tidak perlu secara terus terang atau secara terbuka berkata bahwa tambah tua tambah bijak, nanti malah ditertawai orang. Kita sendiri mengatakan diri kita bijak, tapi orang melihat bahwa kita tidak bijak malah merepotkan. Tapi kalau orang lain yang memberikan penilaian itu, silakan saja. Kita terima dengan senang hati.

PG : Betul, jadi yang penting adalah sebuah kesadaran diri, Pak Gunawan. Jangan sampai kita makin tua makin mau mengokohkan tempat kedudukan kita dan berkata bahwa kita makin berpengalaman, makin berhikmat. Sampai titik tertentu betul ya, tapi lewat titik tertentu ya tidak lagi. Banyak penemuan yang lebih baru dan orang lebih mengetahui akan cara ini dan itu, akhirnya harus kita sadari bahwa memang kita tidak mengetahui lagi akan hal-hal itu. Waktu saya berbicara dengan seseorang yang baru lulus, membicarakan tentang ilmu-ilmu tertentu dalam psikologi, terus terang Pak Gunawan, saya tidak pernah mendengar tentang hal-hal itu. Terlalu banyak yang memang dimunculkan dan kita tidak bisa menyerap semua dengan bertambahnya usia kita makin tersingkirkan.

GS : Masukan yang lain, apa Pak Paul?

PG : Yang kedua, terimalah kenyataan bahwa pada usia tua kita tidak lagi diingat orang. Bagi kita yang biasa dibutuhkan, kondisi tidak dibutuhkan akan membuat kita merasa tidak berguna. Barang usang, kita merasa dipinggirkan. Nama kita makin jarang disebut, sumbangsih kita makin jarang diingat. Menghadapi masa tua ada orang yang berusaha tetap berguna dengan menggunakan berbagai macam cara, ada orang-orang yang berupaya keras hadir dalam kehidupan orang lain supaya rasa berguna tetap terpelihara dan mereka pun tetap diingat dan diperhitungkan orang, tapi belum tentu cara-cara itu sehat dan justru membangun orang lain. Ini adalah suatu kenyataan yang sedikit melukai, Pak Gunawan, menyedihkan. Akan ada masa dimana nama kita jarang disebut, Pak Gunawan. Ada masa dimana orang mencari, misalnya "Cari Pak Gunawan, dia bisa ini dan itu, Komisi apa perlu bantuan Pak Gunawan", sebut nama Pak Gunawan, tapi lama-kelamaan nama kita makin jarang disebut, karena sudah ada yang lain yang bisa menggantikan, yang lebih produktif, yang lebih muda, yang lebih baik dan nama kita makin jarang disebut. Berarti kita makin jarang diingat, itu faktanya, bahwa hidup mereka sudah berjalan dan kita makin jarang diingat.

GS : Ini terkait dengan pengaruh, Pak Paul ya, pengaruh pada waktu masa muda waktu kita masih jaya dan punya potensi, sekarang pengaruhnya makin kecil dan lama-lama akan hilang.

PG : Betul sekali dan itulah perputaran hidup yang mesti kita terima. Di tahun 70-an, 80-an kita juga mengetahui ada orang-orang tertentu yang berpengaruh yang sering namanya disebut, yang sering pendapatnya dikutip, tapi 20 tahun kemudian mereka jarang ditanya atau dikutip. Nama mereka pun jarang disebut di media massa dan kita pun sudah melupakan mereka. Apalagi generasi yang di bawah kita yang tidak pernah mengetahui mereka, sama sekali tidak akan mengutip mereka.

GS : Ya tapi itu mestinya masih lebih baik, Pak Paul, daripada mereka ingat kita tapi kejelekan-kejelekan kita yang diingat.

PG : Ya memang begitu juga, yang diingat adalah yang jelek-jelek saja.

GS : Masukan yang lain, apa Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah hiduplah berkenan kepada Tuhan dan jangan berdosa. Masalahnya adalah untuk memertahankan rasa berguna ada yang menggunakan cara yang sehat dan berkenan kepada Tuhan. Namun ada pula yang menggunakan cara yang licik dan tidak berkenan pada Tuhan. Kita ingat ya Pak Gunawan, kisah raja Saul yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa masa memerintahnya telah habis kendati Tuhan sudah memberikan waktu yang sangat lama lebih dari 40 tahun, bahkan lebih lama dari raja Daud tapi sayang raja Saul ini tidak bisa melepaskan takhtanya karena ia terlalu mencintai kuasa. Alhasil ia pun menggunakan cara yang salah untuk mempertahankan kedudukannya. Kita tahu dia berusaha membunuh Daud yang telah ditunjuk Tuhan untuk menggantikannya. Jadi di hari tua waktu kita ingin memertahankan rasa berguna dan dibutuhkan kita mesti terus hidup takut akan Tuhan, sehingga tidak terperosok masuk dalam perangkap dosa. Pada hari tua tatkala kita merasa tidak berguna dan tidak dibutuhkan lagi, ingatlah akan Tuhan dan hidup takut akan Dia supaya kita tetap hidup berkenan kepadaNya. Jangan membuat cara berdosa untuk membuat diri berguna.

GS : Dalam hal ini memang sering orang yang ingin mengabadikan namanya, entah dalam suatu organisasi atau apa, dia selalu ingin hadir di sana, Pak Paul dan ini membawa dampak yang buruk bagi organisasi atau kelompok orang itu termasuk juga kepada anak-anaknya. Mestinya dia sudah tidak lagi berpengaruh tapi dia memaksakan pengaruhnya di keluarga anak-anak itu. Ini bisa terjadi pada pria maupun wanita, Pak Paul?

PG : Ada orang yang misalkan mempunyai perusahaan yang ingin diwariskan kepada anaknya. Sebetulnya anak-anaknya senang menerima warisan itu, tetapi mereka menolak. Mengapa mereka menolak? Sebab si ayah tetap ingin bercokol dan yang menjadi masalah adalah tetap ingin melakukannya dengan cara yang dulu. Padahal dunia sudah berubah, manajemen sudah bertambah jadi sebaiknyalah gunakan cara-cara yang lebih efisien, tapi ada orang tua yang tidak mau, tetap menggunakan caranya. Namun ia berkata, "Ini nanti untuk kamu", entah sampai kapan yang dimaksud, tapi si orang tua tetap bercokol dan memaksakan cara dan kehendaknya. Sayang, anak-anak akhirnya melepaskan diri tidak mau lagi campur dalam urusan orang tuanya. Orang tuanya merasa sedih, "Saya sudah membangun perusahaan ini, nanti saya mau serahkan kepada anak-anak", tapi anak-anak tidak mau. Masalahnya adalah seharusnya si orang tua bercermin diri dan mengakui bahwa "anak-anak saya hidup di zaman yang berbeda, mempunyai pengetahuan yang mungkin lebih efisien. Kita pun harus mendengarkan masukan-masukan dari anak-anak kita.

GS : Kalau seorang wanita, pengaruhnya biasanya di mana, Pak Paul?

PG : Maksudnya pengaruh-pengaruh?

GS : Pria dalam pekerjaannya dia memunyai pengaruh-pengaruh yang besar lalu pada suatu saat harus dihibahkan kepada anaknya, tetapi anaknya menolak. Kalau perempuan bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira memang yang paling besar yang harus dilepaskan oleh seorang ibu adalah pengaruh atas anak-anaknya. Tidak bisa tidak, anak-anak tetap akan dengarkan tapi tidak terlalu lagi memberikan penekanan pada perkataan orang tuanya atau ibunya itu. Ini memang sebuah kenyataan yang lumayan pahit untuk diterima oleh si ibu, sebab bertahun-tahun bahkan berbelasan atau berpuluhan tahun, omongannya yang terbiasa didengarkan oleh anak-anaknya. Sekarang seperti angin berlalu, dia bicara apa, anaknya tetap saja tidak mendengarkan, jalan saja. Si ibu merasa pengaruhnya terhadap anak sudah begitu tipis hampir tidak ada sama sekali. Hati-hati sebab saya tahu kadang-kadang sebagai ibu, sebagai manusia kadang-kadang terpukul, tersakiti, kecewa berat, sehingga mengatakan, "Kalau tidak mau sama saya, ya sudah saya tidak mau menghubungi kamu, telepon-telepon kamu". Itu yang saya kira keliru. Tetaplah kita menjalin hubungan dengan anak, meskipun masukan-masukan kita belum tentu didengarkannya.

GS : Ya bahkan bertentangan bukan hanya tidak didengarkan. Kadang-kadang bertentangan dengan ide-ide yang diberikan oleh ibunya dan ibu ini merasa dia sudah tidak berguna lagi dalam kehidupan ini.

PG : Ya tidak bisa tidak, sebagai seorang ibu yang terbiasa mengurus anak, terbiasa memberi arahan kepada anak, melepaskan peranan itu berat. Tapi kalau memang itu penting, hal itu berkaitan dengan dosa atau apa, sudah seyogianya kita memberikan peringatan kepada anak.

GS : Masukan yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang keempat adalah akuilah keterbatasan dan alihkan tanggung jawab. Ada pula orang yang berusaha memertahankan kebergunaannya dengan cara terus ikut campur dalam hal yang bukan lagi menjadi kewenangan dan keahliannya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ketrampilannya tidak lagi setajam dulu. Dan bahwa pengetahuannya tidak lagi sekini atau "updated" mitra kerjanya atau bahkan bawahannya. Sebagai akibatnya ia bukan membantu melainkan merugikan banyak orang. Di hari tua kita mesti jeli dan berbesar hati melihat keterbatasan. Kita pun harus memberikan kesempatan pada yang lebih muda untuk mengambil alih bagian yang tadinya menjadi porsi kita. Orang yang jeli dan berbesar hati menerima keterbatasannya justru akan lebih dihormati, kendati ia tidak seberguna dulu, namun masukannya tetap dihargai. Sebab hikmat tetap menjadi bagian hidupnya.

GS : Itulah sebabnya biasa para senior, orang-orang yang lebih berpengalaman ditempatkan sebagai Penasehat, Pak Paul, supaya bisa memberikan masukan dan ia tetap merasa berarti di dalam organisasi itu dengan nasihat-nasihatnya.

PG : Betul ya karena memang pengalamannya menunjang sehingga nasihatnya itu diperlukan oleh mereka yang lebih muda. Namun sekali lagi kita mesti terima, diminta untuk menjadi Penasehat bukan berarti menjadi seorang yang harus dituruti segala kemauannya. Kadang-kadang kita tersinggung, sudah dimintai menjadi Penasehat kok tidak diikuti. Ya belum tentu setiap nasihat kita akan dituruti. Jadi tugas kita hanya memberikannya.

GS : Karena sebagai sosok yang lebih tua atau yang dituakan, bisa menjadi figur pemersatu yang bisa mendamaikan bila terjadi pertengkaran dan sebagainya. Di situlah perannya yang paling kuat.

PG : Betul dan dengan perkataan lain dia bisa merasa dibutuhkan dan berguna.

GS : Apakah masih ada masukan yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kelima adalah ciptakanlah kebergunaan dalam hal yang lebih sederhana. Makin tua makin terbataslah wilayah dimana kita dapat berkiprah dan menimba rasa berguna. Mungkin pada akhirnya kita hanyalah berguna dalam hal mengurus misalnya cucu atau kita berguna mengurus burung peliharaan atau tanaman di sekitar rumah. Jadi makin tua makin terbatas pilihan untuk berguna, makin sederhana pilihan yang tersedia. Sungguhpun demikian tetaplah berkiprah dalam kesederhanaan. Misalnya, kunjungilah orang yang sakit, sediakanlah waktu untuk menyediakan ruang ibadah, bantulah pelayanan anak di gereja atau pelayanan lainnya. Belajarlah menikmati dan menghargai yang sederhana, saya kira ini salah satu kuncinya, Pak Gunawan.

GS : Ya jadi bukan lagi kita menekankan pada kualitas pekerjaan atau bahkan jumlah pekerjaan yang harus ditangani, ya Pak Paul, atau ini semacam pekerjaan yang justru penting untuk kita dan bukan untuk orang yang kita layani.

PG : Betul, betul, ya jadi memang makin tua makin menyempitlah ruang lingkup kita dan makin mengecil obyek-obyek yang nanti bisa kita sentuh atau jadikan bagian dari kehidupan atau pekerjaan kita.

GS : Nah ini dibutuhkan kreatifitas yang cukup tinggi bagi seseorang itu untuk mau meluaskan ruang lingkupnya.

PG : Betul, memang perlu kreatifitas dan kerendahan hati, Pak Gunawan, untuk mengerjakan hal-hal yang mungkin tadinya tak terpikir karena terlalu sederhana.

GS : Masih ada lagi, Pak Paul, masukan lainnya?

PG : Yang terakhir yaitu peliharalah relasi yang membangun dan mendukung dengan generasi penerus. Misalnya, jangan membanding-bandingkan diri dan meninggikan kemuliaan masa lalu. Setiap masa mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Singkat kata, jangan menghancurkan jembatan antara kita dan generasi penerus, sebaliknya perkuatlah tali persahabatan. Disitulah terletak kekuatan kita.

GS : Di sini kesulitannya generasi yang melanjutkan kita juga membutuhkan juga pandangan-pandangan kita pada masa-masa yang lampau, Pak Paul. Kadang-kadang mereka menanyakan, misalnya papa dulu seperti apa? Kakek dulu seperti apa. Kadang-kadang kita bercerita kebablasan, terlalu jauh dan membanggakan diri yang akhirnya memuakkan.

PG : Betul, ya kita terlalu banyak mencela dari apa yang kita lihat sekarang dan membandingkannya dengan zaman kita dulu. Itu memang yang harus kita hindari. Kalau mau membicarakan tentang itu, bicaralah dengan sesama kita. Jangan mengatakannya kepada generasi penerus, itu sangat mengecilkan hati mereka.

GS : Tapi dalam Alkitab juga diajarkan, bahwa yang tua harus mengajarkan kepada yang muda berdasarkan pengalaman masa lampau.

PG : Betul kita harus membagikan dari pelajararan yang telah kita petik pada masa lampau, namun harus kita ingat bahwa kita pun terbatas. Pelajaran yang telah kita timba juga terbatas dan belum tentu semuanya itu dapat diterapkan pada masa sekarang, untuk situasi yang sedang dihadapi. Jadi kita harus menyadari bahwa kita bukanlah Tuhan, jadi hikmat kita pun terbatas.

GS : Nah disitu mungkin perlu diseimbangkan antara kita berbagi pengalaman masa lampau dan menanyakan atau memuji tentang kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh generasi penerus kita.

PG : Itu ide yang baik sekali ya, jadi mereka pun melihat bahwa kita pun tertarik dengan apa yang telah mereka kerjakan, kita pun masih mau belajar dari mereka. Dengan kita berinteraksi, saling bertukar ide itu 'kan sebuah sinergi yang akan menguntungkan kita semua.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang mendukung pembicaraan kita ini?

PG : Kitab Pengkhotbah 1:9 berkata, "Apa yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi. Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari". Nah kita yang tidak ingin hidup sia-sia perlu melihat hidup dari perspektif Tuhan. Kadang kita cepat berbesar hati, karena merasa telah berhasil melakukan sesuatu yang berguna. Kita ingin dapat meninggalkan sesuatu yang abadi, namun kita mesti ingat hanya Tuhan yang kekal, tidak ada yang lain. Tuhan memakai kita untuk menggenapi kehendakNya pada masa kita. Bersyukurlah untuk kesempatan yang diberikan-Nya, setelah itu lepaskanlah genggaman.

GS : Jadi sebenarnya rasa sepi di masa tua ini bisa diatasi jika kita mau membuka diri, berelasi, berinteraksi dengan orang lain, begitu Pak Paul?

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan, apalagi dengan generasi penerus. Kalau kita masih terus menjalin kontak dengan mereka, kesepian kita akan relatif dapat terobati.

GS : Tapi sebaliknya kalau kita malah mengurung diri kita akan makin bertambah sepi, apalagi kalau penyakit datang, misalnya kebutaan, tuli dan sebagainya. Ini bisa merasa benar-benar tak berguna lagi.

PG : Betul sekali, memang ada tanggungjawab dalam diri kita untuk dapat mengurangi derita ini.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sepi di Hari Tua" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



39. Perjudian


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T316A (File MP3 T316A)


Abstrak:

Ada banyak kebiasaan buruk yang dapat menyergap pria namun yang mungkin paling umum di antaranya adalah berjudi dan berzinah. Di dalam banyak kasus kedua kebiasaan buruk ini biasanya berawal di masa remaja dan malangnya, cenderung berlanjut sampai di usia tua. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan buruk sukar dihilangkan—terutama kebiasaan yang dimulai sejak usia dini. Dalam bagian ini kita akan melihat satu per satu dan memelajari sifatnya masing-masing agar kita dapat terhindar dari kebiasaan buruk ini.


Ringkasan:

Ada banyak kebiasaan buruk yang dapat menyergap pria namun yang mungkin paling umum di antaranya adalah berjudi dan berzinah. Di dalam banyak kasus kedua kebiasaan buruk ini biasanya berawal di masa remaja dan malangnya, cenderung berlanjut sampai di usia tua. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan buruk sukar dihilangkan—terutama kebiasaan yang dimulai sejak usia dini. Dalam bagian ini kita akan melihat satu per satu dan memelajari sifatnya masing-masing agar kita dapat terhindar dari kebiasaan buruk ini.


Transkrip:
Lengkap

Kebiasaan Buruk Pria -"Perjudian"

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Kebiasaan Buruk Pria" dan kali ini kami akan membicarakan tentang Perjudian. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.


GS : Pak Paul, kita akan berbicara tentang kebiasaan buruk pria dalam dua tahap, yang kali ini khusus kita akan memikirkan dan memerbincangkan tentang pria yang suka berjudi. Rupanya banyak pria yang berjudi tapi ada juga beberapa wanita yang suka berjudi. Apakah ini karena masalah gender atau memang kebiasaan atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu ada juga perempuan yang suka berjudi, tapi kalau saya lihat secara kasat mata lebih banyak pria yang akhirnya berjudi dibandingkan dengan wanita. Saya kira ada hal-hal tertentutentang judi yang lebih membuat pria akhirnya lebih mudah terperangkap ke dalam kebiasaan buruk ini.


GS : Semakin hari semakin banyak sarana yang bisa digunakan orang untuk berjudi.

PG : Betul sekali. Ini memang suatu masalah yang pelik sebab apa pun yang kita lakukan untuk melarang orang berjudi, apa pun yang kita katakan kalau orang memang sudah ingin berjudi, rasanya hapir tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikan langkahnya pergi ke tempat perjudian.


GS : Bahkan bukan hanya agama, negara pun melarang orang berjudi.

PG : Betul. Jadi apa pun yang kita lakukan dengan undang-undang, peraturan dan sebagainya baik secara moral atau hukum, tapi tetap akhirnya orang berjudi. Itu sebabnya saya kira penting bagi kia untuk mengungkap hal ini dan melihat sebetulnya hal apa tentang judi sehingga begitu kuat menguasai orang.


GS : Dan yang berjudi kadang bukan orang dewasa yang sudah punya penghasilan tapi anak-anak pun melakukan perjudian.

PG : Yang seringkali terjadi adalah kalau pada masa kanak-kanak kita sudah mulai berjudi dan kita sambung ke usia remaja, pemuda dan sebagainya maka besar kemungkinan kebiasaan buruk ini akan trus berlanjut sampai kita tua.


GS : Hal-hal apa, Pak Paul, yang perlu kita perhatikan tentang perjudian ini?

PG : Ada beberapa. Jadi yang pertama saya ingin mengakui bahwa di dalam kelompok masyarakat tertentu berjudi sudah merupakan bagian dari budaya. Jadi bukan saja diterima, namun berjudi malah dinjurkan sebagai salah satu ritual kelaki-lakian.

Dengan kata lain, jika seorang pria tidak berjudi maka ia dianggap kurang bersifat laki-laki. Sudah tentu bila kita hidup di dalam budaya seperti ini tidaklah mudah bagi kita untuk melepaskan diri dari judi, kecuali kita keluar dari lingkup budaya kita itu.


GS : Sebenarnya apa yang menyebabkan ada budaya judi ini, Pak Paul?

PG : Saya kira manusia secara dasar, berkaitan sekali dengan permainan. Jadi kalau kita mau melihat judi terlepas dari permainan maka agak susah, sebab judi sangat terkait dengan permainan dan ita tahu bahwa lebih banyak laki-laki yang lebih sering dan senang dengan permainan-permainan, baik yang bersifat olahraga atau yang lainnya.

Jadi karena judi dan permainan begitu terkait, maka seringkali judi menjadi bagian dari permainan untuk menambah minat dan intensitas permainan. Makanya seperti yang sekarang kita lihat adalah seperti judi bola, itu sebetulnya adalah dari permainan. Misalkan di negara Barat, ada orang mau menonton pertandingan tinju, itu pun diperjudikan. Akhirnya siapa yang akan menang, dia pertaruhkan. Sekali lagi kita harus mengerti keterkaitan yang erat antara perjudian dan permainan. Maka hampir dapat dipastikan di mana ada permainan maka akan muncul perjudian sebab perjudian menambah minat dan intensitas permainan. Sekali kita terbiasa maka kita tidak akan tertarik untuk terlibat di dalam permainan yang tidak mengandung unsur pertaruhan atau perjudian. Jadi benar-benar hambar kalau tidak ada unsur taruhan atau perjudiannya, akhirnya kita mengajak orang untuk bertaruh dengan kita, dan mulailah suatu bentuk perjudian.


GS : Padahal permainan itu sendiri diciptakan untuk memberikan kesenangan kepada orang yang terlibat di dalamnya.

PG : Memang kita harus akui bahwa kalau ada hal atau harga yang harus dibayar atau diterima, kalau kita menang kita mendapatkan bayaran, kalau kita kalah maka kita akan kehilangan harga atau haus mengalami kerugian, itu memang menambah intensitas dan serunya permainan.

Maka akhirnya orang terlibat di dalam perjudian karena ada unsur yang memang menambah serunya permainan itu sendiri dengan adanya judi.


GS : Ada beberapa permainan yang memang meningkatkan adrenalin kita, apakah perjudian itu juga terkait dengan itu, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi orang yang menonton suatu permainan atau games, pertandingan dan sebagainya kemudian dia memertaruhkan uangnya. Misalkan salah satu yang umum di Amerika adalah judi perlombaan uda, jadi sudah umum kalau ada pertandingan kuda maka dia akan bertaruh.

Waktu menonton, akan menjadi lebih seru karena ada uang yang dipertaruhkan di situ dan kalau menang dia mendapatkan uang itu, jadi bertambah senangnya. Jadi dengan kata lain, menambah intensitas permainan itu sehingga walaupun dia tidak main, seolah-olah dia main juga. Inilah psikologi perjudian yang kita harus pahami, tidak terlepas dari permainan. Dan kebanyakan laki-laki karena senang dengan aktivitas yang memompa adrenalin, menambah serunya permainan mudah sekali jatuh ke dalam perjudian.


GS : Tapi berjudi juga seringkali menarik perhatian orang. Orang yang tadinya tidak ikut berjudi ketika melihat sekelompok orang yang ikut berjudi, dia akhirnya ikut juga di dalam perjudian.

PG : Betul. Jadi memang dalam hal ini ada kemungkinan dia tertarik karena dia juga ingin terlibat, tapi ada juga kemungkinan karena itulah yang diharapkan oleh kelompoknya. Dalam masyarakat terentu atau lingkup tertentu itulah yang dilakukan oleh kelompok prianya sehingga mereka melakukan itu.

Tadi sudah disinggung dalam kelompok budaya tertentu sebagian wanita juga melakukan hal yang sama. Jadi pulang atau setelah beres dengan urusan rumah tangga, malam-malam kemudian mereka kumpul di rumah salah satu orang kemudian berempat, bertujuh, bersepuluh akhirnya perempuan-perempuan juga berjudi. Memang dalam budaya tertentu, itu adalah salah satu bentuk untuk sosialisasi, bentuk untuk melegakan atau meringankan atau merelakskan pikiran agar tidak terlalu tegang. Jadi sekali lagi itulah perjudian yang begitu terkait dengan banyak hal secara psikologis, sehingga untuk kita yang hidup di dalam budaya di mana judi sudah menjadi bagian, maka akan sulit bagi dia untuk melepaskan itu.


GS : Kalau perjudian sudah menjadi budaya di suatu tempat tertentu maka orang berjudi tanpa merasa bersalah, Pak Paul?

PG : Tepat sekali. Jadi dalam budaya itu memang tidak ada larangan tentang perjudian, sehingga akhirnya orang melakukannya dengan perasaan yang sama sekali tidak bersalah dan biasa saja.


GS : Kadang-kadang perjudian dilakukan ketika menunggui atau sedang ada orang yang sedang berdukacita. Jadi orang berkumpul di rumah orang yang berduka cita lalu mereka melakukan judi.

PG : Atau biasanya selain di tempat duka, bisa juga di tempat pesta, kadang-kadang dilakukan pada waktu pesta perkawinan atau ulang tahun mereka mulai berjudi. Sebab sekali lagi itu dianggap seagai bagian dari permainan yang menyemarakkan situasi atau suasana.

Waktu semuanya tertawa senang, dianggap itulah tujuannya diadakan pesta ini supaya semua bisa menikmati dan sebagainya.


GS : Bahkan seolah-olah tuan rumah memfasilitasi acara itu walaupun ada juga yang sembunyi.

PG : Betul. Jadi memang dalam budaya-budaya tertentu sekali lagi kita diharapkan akan ada hal-hal seperti itu dan memang akan ada tekanan yang besar yang diberikan kepada pria untuk berjudi. Seab ini dikaitkan dengan kemaskulinannya itu.


GS : Mungkin ada hal lain, Pak Paul, yang kita bicarakan seputar perjudian?

PG : Ada satu hal yang membuat berjudi begitu memikat yaitu berjudi mengandung unsur menang dan kalah dan menjanjikan kemungkinan untuk menang. Itu sebabnya orang berjudi selalu berpikir"positi" yaitu bahwa dia akan menang.

Dia selalu berpikir seperti itu, sesungguhnya pada faktanya dia hanya mungkin menang dan bukannya akan menang, karena tidak pasti dia akan menang. Dalam berjudi pada akhirnya kemungkinan diselewengkan menjadi kepastian dan ini yang terjadi. Jadi bukan hanya menang tapi memang menang dalam jumlah yang berlipat ganda, makanya dia begitu bernafsu dan berpikir positif bahwa dia akan menang, padahal dalam faktanya dia hanyalah mungkin menang dan tidak sama dengan dia akan. Dia lupa kalau dia kalah maka dia akan kalah berlipat kali ganda, tapi dalam berjudi tiba-tiba orang secara psikologis berpikir positif, di dalam hidup mungkin dia berpikiran sangat negatif tapi begitu duduk di depan meja judi, dia tiba-tiba berpikir positif bahwa dia akan menang dan dia akan menang berlipat kali ganda. Jadi benar-benar dia tidak akan berpikir kemungkinan dia akan kalah walaupun kemungkinan ini berlipat kali lebih besar daripada kemungkinan dia akan menang.


GS : Apakah itu bukan salah satu bentuk pengharapan, Pak Paul?

PG : Saya kira ada dua, satu memang pengharapan bahwa dia akan menang tapi yang kedua dengan dia berpikir positif dia membolehkan atau memberi ijin kepada dirinya untuk berjudi. Sebenarnya kala dia pikir secara logis, dia tahu bahwa sesungguhnya kemungkinan dia untuk menang kecil dan kemungkinan dia kalah besar.

Tapi dia ingin memberi ijin pada dirinya untuk boleh berjudi. Dan salah satu cara dia memberi ijin kepada dirinya untuk berjudi adalah dengan meyakinkan diri sendiri bahwa,"Kamu pasti menang" jadi dengan kita meyakinkan diri bahwa kita akan menang maka kita boleh main. Misalkan kita kalah lagi, muncul lagi perkataan yang sama,"Engkau akan menang" maka dia taruhan lagi. Akhirnya terus seperti itu padahal yang terjadi adalah kebalikannya justru kita akan kalah dan kalah. Itu sebabnya tempat perjudian tidak ada yang bangkrut. Semua tempat perjudian akan mengundang keuntungan, kalau bangkrut dalam pengertian hanyalah kalau tidak ada yang datang lagi, tapi selama tempat itu dikunjungi orang seberapa banyak orang main, yang paling beruntung adalah orang yang memiliki tempat perjudian itu karena dia tidak akan kalah. Sebab memang statistik memerlihatkan kemungkinan orang yang menang perjudian sangat kecil.


GS : Itu sebabnya di beberapa negara malah mengizinkan atau menyediakan tempat tertentu untuk orang berjudi, Pak Paul?

PG : Misalkan seperti di Amerika Serikat, negara yang kita tahu begitu bebas tapi sebetulnya dalam negara yang begitu bebas hanya ada dua tempat dimana orang boleh berjudi. Satu adalah negara bgian Nevada di mana ada kota Las Vegas dan juga memang ada kota lain seperti Atlantic City yang hanya sedikit, dan di negara bagian di mana ada tempat-tempat yang dihuni oleh orang-orang Indian maka disebutnya itu"Indian Reservation".

Di tempat itu memang yang berkuasa adalah suku Indian dan memang ada perjanjian khusus antara Amerika dan suku-suku Indian di sana, dan suku-suku Indian itu mendirikan tempat-tempat kasino di sana. Jadi sekarang di California banyak tempat orang bermain judi, di mana daerah-daerah itu dikuasai oleh orang Indian. Tapi di luar itu memang tidak karena negara tidak membolehkan, sebab pada akhirnya negara berkepentingan untuk menjaga ketertiban masyarakat dan kemakmuran masyarakat, kalau diizinkan dengan begitu bebas seringkali yang terjadi nantinya adalah kekacauan, karena akan banyak orang yang nanti akan kehilangan atau kerugian yang besar. Sehingga di negara yang sebebas Amerika pun, dibatasi.


GS : Orang yang berpikir bahwa judi kali ini dia akan menang dan sebagainya, itu adalah pola pikir penjudi yang baru atau yang sudah lama juga memunyai pola pikir yang seperti itu, Pak Paul?

PG : Sama. Jadi orang yang mau berjudi, mereka tiba-tiba akan berpikir positif bahwa dia akan menang. Waktu dia berpikir dia akan menang maka dia akan main. Ini juga yang membuat orang berjudi khirnya tercandu karena dia berkata,"Kalau saya menang, saya tidak mau main lagi" tapi begitu dia menang, dia mau main lagi karena dia berpikir,"Siapa tahu dia akan menang lagi, sudah beruntung sekali maka saya akan beruntung kedua kali".

Tapi kalau dia kalah maka mula-mulanya dia akan berkata,"Saya tidak akan bermain lagi kalau saya sudah kalah sekali", tapi begitu dia kalah sekali, muncul pemikiran baru,"Saya harus menebus kekalahan saya, supaya saya tidak mengalami kerugian itu. Saya akan tebus dengan cara saya main lagi kedua kali". Jadi ujung-ujungnya baik kita menang atau kalah kita akan tetap terus berjudi. Itu adalah aspek dari berjudi yang mencandu, yang membuat orang begitu terikat. Di sini kita bisa melihat ada beberapa hal tentang berjudi yang luar biasa kuat mencengkeram orang, pertama yang tadi saya sebut bagian dari budaya yaitu bagian dari permainan sangat terkait dengan permainan. Jadi kalau ada permainan selalu menambahkan dengan judi juga. Yang kedua adalah sangat memikat, kenapa begitu memikat? Karena kita tiba-tiba akan mengubah pola pikir kita menjadi"positif" bahwa kita pasti menang, padahalnya hanya mungkin menang. Yang ketiga, judi begitu kuat karena memang memunyai kemampuan untuk mengikat atau mencandu kita yaitu kalau kita menang maka kita mau mengulang kemenangan kita, kalau kita kalah maka kita mau menebus kesalahan kita. Jadi menang atau kalah kita akan terus main.


GS : Kalau berjudi, dia tidak akan bisa berjudi sendirian, dia selalu mengajak orang lain untuk berjudi, sehingga timbul kesan bahwa penjudi itu melahirkan penjudi lagi.

PG : Seringkali seperti itu. Jadi memang kalau anak yang masih lebih muda melihat ayah, pamannya berjudi dan sebagainya maka otomatis dia akan belajar dari kecil cara bermain dan nanti perlahanlahan dia akan mengikuti jejak orang tuanya.

Dan karena orang tuanya sendiri main maka orang tuanya tidak akan melarang anaknya main. Jadi seringkali judi itu diteruskan dari generasi ke generasi.


GS : Pasti itu akan membawa suatu dampak yang buruk baik bagi dirinya maupun keluarganya. Kira-kira apa saja dampak buruknya, Pak Paul?

PG : Oleh karena sifatnya yang mencandu, berjudi cenderung menguat dengan berjalannya waktu dan bukannya melemah. Akhirnya penjudi itu tidak bisa membagi pikirannya dalam hal-hal lain dalam hidpnya.

Sebab semua tersita oleh judi, apa yang dipikirkannya setiap hari adalah bagaimana dia bisa berjudi kembali dan memenangkannya. Jadi waktu dia diam, makan, bekerja maka yang ada di otaknya adalah judi, bagaimana dia bisa menang dan cara apa yang dia harus lakukan, strategi apa yang nanti dia ciptakan supaya dia menang. Itu sebabnya tidak jarang penjudi melalaikan tanggung jawab pada keluarga, pekerjaan karena terlalu banyak menghabiskan waktu di meja judi atau terlalu menghabiskan waktu memikirkan tentang judi itu.


GS : Seringkali orang yang berjudi kalau ada suatu keluarga yang berjudi, ekonomi keluarganya pasti berantakan, Pak Paul?

PG : Terlalu banyak contohnya. Jadi banyak orang yang berjudi pada akhirnya kehilangan uang dalam jumlah yang besar, yang tadinya punya usaha ini dan itu akhirnya bangkrut dalam waktu satu hari Namun seringkali penjudi tidak merasa jera, sebab dia beranggapan bahwa hari di mana dia mau berjudi adalah hari sial baginya,"Baik saya terima ini karena sekarang adalah hari sial saya" tapi dia akan berpikir bahwa pada hari esoknya,"Kalau kemarin saya kalah maka hari ini adalah hari keberuntungan saya".

Masalahnya adalah kemungkinan menang ternyata sangat kecil dan kemungkinan dia kalah sangat besar. Tidak heran penjudi kadang harus kehilangan bukan saja uang, tapi juga harta miliknya sebagai akibat ulahnya keluarga harus menderita bukan saja dalam bentuk material tapi juga menanggung rasa malu yang amat sangat.


GS : Karena dikaitkan dengan hari baik, hari sial dan hari buruk, seringkali penjudi itu berhubungan dengan paranormal, mereka ingin tahu apa yang akan terjadi atau apa tebakan mereka itu?

PG : Betul sekali. Karena dia ingin menang maka dia akan mencari kekuatan-kekuatan gaib dan kita tahu itu adalah kekuatan gelap dan Tuhan tidak mungkin membisikkan nomor judi, yang membisikkan asti bukan Tuhan.

Jadi akhirnya dia masuk ke dalam cengkeraman si jahat.


GS : Sebenarnya walaupun itu bukan sesuatu yang rasional, tetapi tetap dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran waras, Pak Paul.

PG : Betul. Seorang penjudi yang sudah tua dan kemudian bertobat pernah mengakui,"Saya tidak bisa lepas dan saya seperti dikuasai oleh setan sehingga saya tidak bisa lepas, saya ingin lepas tap tidak bisa dan keinginan itu begitu kuat dan benar-benar yang menguasai diri saya bukanlah saya".

Itu adalah pengakuan orang yang telah berjudi puluhan tahun.


GS : Pak Paul, apa yang Alkitab katakan sehubungan dengan kebiasaan buruk pria yaitu suka berjudi?

PG : Ada beberapa, Pak Gunawan, yang pertama berjudi akhirnya menguasai segenap pikiran kita sehingga kita kehilangan minat pada hal lain, termasuk hal rohani akhirnya tidak ada lagi ruang untu keluarga, teman, apalagi Tuhan di dalam benak penjudi.

Firman Tuhan mengingatkan di Kolose 3:1-3,"Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah". Jadi Tuhan meminta kita sering-sering memikirkan perkara yang di atas yaitu perkara rohani, perkara Tuhan. Seorang penjudi tidak bisa memikirkan perkara Tuhan, sebab pikirannya tersita hanya memikirkan tentang judinya.


GS : Jadi unsur yang besar di dalam perjudian ini justru pikiran manusia, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, pikiranlah yang langsung dikuasai dan tidak ada lagi ruang untuk yang lainnya. Maka kadang-kadang penjudi tidak pernah mandi, tidak pernah ganti baju, walaupun memakai baju yng robek juga tidak bermasalah.

Jadi penjudi itu benar-benar akan kehilangan akal sehat untuk bisa merawat dirinya dan menjaga penampilannya dan sebagainya.


GS : Jadi rasanya untuk memikirkan keluarga atau pekerjaan sudah sangat kurang.

PG : Betul sekali.


GS : Apakah ada ayat yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah berjudi pada akhirnya adalah ilah yang menggantikan Allah karena berjudi menjadi sesuatu yang terpenting dalam hidup kita, berjudi membuat kita hidup untuk judi dan bukanhidup untuk Tuhan.

Roma 6:11 berkata,"Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus". Tuhan memanggil kita untuk hidup bagi Allah dalam Kristus. Tapi orang yang sudah kecanduan judi, akan hidup hanya untuk judi dan bukan untuk Tuhan.


GS : Memang penjudi-penjudi seringkali tidak memikirkan hal-hal yang rohani atau melayani Tuhan dan mengikuti Tuhan, itu sudah tidak dipikirkan.

PG : Betul sekali.


GS : Tetapi pada awalnya orang berjudi karena ingin cepat kaya, dengan kerja yang ringan sambil main-main dia menjadi kaya, Pak Paul?

PG : Sebetulnya ada alasan yang lain, memang ada alasan ingin cepat kaya tapi alasan yang umum adalah untuk bermain. Jadi aspek bermain, serunya bermain, bisa menang, itu adalah sebuah daya tark dalam judi yang sama kuatnya dengan keinginan untuk cepat kaya.

Karena itu kita harus hati-hati dengan keinginan cepat kaya, karena tetap keinginan kaya ini akhirnya menimbulkan keserakahan dalam diri kita, sebab kita ingin terus menang akhirnya kita menjadi serakah. Kolose 3:5,6 berkata,"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah (atas orang-orang durhaka).


GS : Kalau orang itu menang karena perjudian sebenarnya dia sedang menikmati kemenangan di atas penderitaan orang lain, karena pasti ada yang kalah.

PG : Betul. Jadi memang dia menang atas penderitaan orang lain.


GS : Apakah masih ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Berjudi pada akhirnya membuat kita bergantung pada keberuntungan nasib dan bukan pada kekuasaan Allah, tidak heran akhirnya penjudi tidak lagi hidup beriman pada pemeliharaan Tuhan, sebalinya hidupnya bergantung sepenuhnya pada keberuntungan, dan kepandaiannya memenangkan judi.

Amsal 3:5 berkata,"Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri".


GS : Dari semua perbincangan tentang perjudian ini, mungkin Pak Paul bisa menyimpulkan sebagai akhir dari perbincangan kita ini?

PG : Berjudi menjauhkan kita dari Tuhan, Pak Gunawan, dan mendekatkan kita pada dosa dan kehancuran. Judi menjauhkan kita dari Tuhan tapi mendekatkan kita pada dosa dan kehancuran, singkat kataberjudi adalah alat iblis untuk menjatuhkannya dan menjauhkannya dari Allah.

Jadi jangan berjudi dan jangan membuat orang lain berjudi, terlalu banyak orang yang telah menjadi korban perjudian.


GS : Jadi kalau ada orang yang mengatakan,"Kalau saya menang judi maka sepersepuluhnya kita berikan untuk Tuhan atau gereja" konsep seperti ini tidak benar, Pak Paul?

PG : Betul dan sudah tentu Tuhan tidak akan senang menerimanya.

GS : Terima kasih untuk perbincangan ini yang sungguh sangat menarik dan tentu akan bermanfaat bagi banyak orang. Pada kesempatan yang akan datang kita akan membicarakan Kebiasaan Buruk Pria yang lain yaitu tentang Perzinahan. Dan para pendengar sekalian terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Kebiasaan Buruk Pria bagian yang pertama yaitu tentang"Perjudian". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



40. Perjinahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T316B (File MP3 T316B)


Abstrak:

Ada banyak kebiasaan buruk yang dapat menyergap pria namun yang mungkin paling umum di antaranya adalah berjudi dan berzinah. Di dalam banyak kasus kedua kebiasaan buruk ini biasanya berawal di masa remaja dan malangnya, cenderung berlanjut sampai di usia tua. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan buruk sukar dihilangkan—terutama kebiasaan yang dimulai sejak usia dini. Dalam bagian ini kita akan melihat satu per satu dan memelajari sifatnya masing-masing agar kita dapat terhindar dari kebiasaan buruk ini.


Ringkasan:

Ada banyak kebiasaan buruk yang dapat menyergap pria namun mungkin paling umum di antaranya adalah berjudi dan berzinah. Di dalam banyak kasus kedua kebiasaan buruk ini biasanya berawal di masa remaja dan malangnya, cenderung berlanjut sampai di usia tua. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan buruk sukar dihilangkan—terutama kebiasaan yang dimulai sejak usia dini. Marilah kita lihat keduanya satu per satu dan pelajari sifatnya masing-masing agar kita dapat terhindar darinya.

Hal-Hal Seputar Perjudian

Dampak Buruk Berjudi

Problem Berjudi Dari Sudut Rohani

Kesimpulan
Berjudi menjauhkan kita dari Tuhan dan mendekatkan kita pada dosa dan kehancuran. Singkat kata, berjudi adalah salah satu alat Iblis untuk menjatuhkan manusia dan menjauhkannya dari Allah. Jadi, janganlah berjudi dan juga, jangan membuat orang lain berjudi. Terlalu banyak orang yang telah menjadi korban perjudian.

Tentang Perzinahan

Dosa Perzinahan


Transkrip:
Lengkap

Kebiasaan Buruk Pria - "Perjinahan"

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Kebiasaan Buruk Pria" bagian yang kedua yaitu tentang Perzinahan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita berbicara tentang kebiasaan buruk pria yaitu perjudian. Dan kali ini kita mau berbicara tentang kebiasaan buruk yang lain yaitu perzinahan. Memang seringkali ada hubungan yang terjadi antara perjudian dan perzinahan. Jadi di sela-sela perjudian, orang masih sempat-sempatnya melakukan perzinahan. Sebelum kita melanjutkan perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa menyinggung sedikit tentang perjudian.

PG : Kita telah membahas bahwa perjudian adalah hal yang sulit untuk diberantas terutama dalam kelompok masyarakat tertentu di mana budayanya adalah budaya yang membolehkan dan bahkan menganjuran pria untuk berjudi.

Seolah-olah dikaitkan dengan kelaki-lakian atau kemaskulinan, jikalau tidak mau berjudi maka dianggap kurang laki-laki. Hal lain lagi adalah perjudian sangat terkait dengan permainan. Kebetulan yang sering bermain atau yang menciptakan permainan dan terlibat dalam permainan adalah laki-laki. Perjudian sangat terkait dan seringkali digunakan untuk menambah serunya permainan tersebut, sehingga waktu orang menonton pertandingan, dengan dia memasang judi, maka seolah-olah dia ikut bertanding padahal bukan dia, jadi sangat menambah intensitas serunya. Dan sudah tentu ada aspek lain yang sudah kita bahas, berjudi memunyai aspek memancing keserakahan orang karena ingin cepat menang dan ingin cepat kaya sehingga cara itu yang paling gampang. Itu sebabnya ada orang dalam kondisi terpojok yang tidak memiliki penghasilan ingin berjudi supaya bisa menang, sebab dalam angan-angannya sekali dia menang maka dia bisa menutup semua utangnya, sehingga dia mengambil resiko, padahal kemungkinan dia menang sangat kecil dan kemungkinan dia kalah sangat besar. Seorang penjudi waktu dia duduk di meja judi, tiba-tiba pikirannya berubah sangat positif dan berkata,"Saya akan menang" meskipun kenyataannya dia mungkin menang, tapi dia berpikir positif saya akan menang. Dan dia langsung bergantung pada keberuntungan,"Kemarin saya tidak beruntung, hari ini saya beruntung" akhirnya dia lebih menggantungkan diri pada keberuntungan nasib dan bukan pada pemeliharaan Tuhan. Kita sudah membahas bahwa judi merupakan alat yang dipakai iblis untuk menjatuhkan manusia dan menjauhkan manusia dari Tuhan. Jika waktu kita sudah tersedot oleh judi, kita tidak bisa memikirkan hal-hal lain apalagi tentang Tuhan, yang selalu kita pikirkan adalah"Bagaimana lain kali bisa menang, apa yang saya lakukan supaya nanti menang". Itulah yang akhirnya menjauhkan manusia dari Tuhan dan itulah yang memang diinginkan oleh iblis.
GS : Dan firman Tuhan dengan jelas menentang segala bentuk perjudian?

PG : Betul. Sebab akhirnya judi adalah sebuah bentuk penyembahan berhala atau ilah, sebab ia menjadi begitu penting dan tidak ada lagi yang kita pikirkan selain perjudian sehingga menggantikan llah.

Sudah tentu Tuhan akan marah kalau kita membuat hal-hal lain menjadi ilah kita.
GS : Dan kaitan antara perjudian dan perzinahan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Seringkali tempat-tempat perjudian menjadi tempat di mana hal-hal atau dosa-dosa yang lain ditawarkan, sehingga akhirnya menjadi satu komunitas yang sama di mana kalau ada perjudian, pastiakan disediakan perempuan.

Kenapa? Sebab para penyelenggara perjudian tahu bahwa tipe orang yang berjudi biasanya adalah tipe orang yang juga nantinya senang main perempuan. Atau satu lagi tipe orang yang berjudi adalah tipe orang yang bukan saja senang main perempuan, tapi juga senang dengan minum dan menggunakan narkoba. Walaupun tidak selalu, tapi cukup banyak orang yang terlibat perjudian akhirnya orang yang sama juga yang terlibat perzinahan dan senang untuk minum dan menggunakan narkoba. Jadi di tempat yang sama itulah semua dosa ditawarkan.
GS : Jadi yang khas atau khusus mengenai perzinahan ini apa saja, Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang ingin kita bahas, Pak Gunawan, tentang perzinahan. Yang pertama adalah pada umumnya laki-laki mudah tergoda dan jatuh ke dalam perzinahan oleh karena keterpikatannya padakecantikan lahiriah dan kenikmatan jasmaniah.

Dengan kata lain, secara alamiah laki-laki mudah terpesona oleh kecantikan wanita dan reaksi yang menyusul setelah terpikat adalah keinginan untuk menikmati tubuhnya. Jadi karena laki-laki lebih mudah tergoda dan terpikat oleh hal ini maka dia lebih mudah jatuh ke dalam dosa perzinahan.
GS : Ini bukan hanya dilakukan oleh pria yang sudah menikah, tapi untuk pria yang belum menikah pun hal ini boleh terjadi.

PG : Betul sekali. Jadi inilah perangkap bagi pria, sejak berusia remaja sampai berusia lanjut bahwa dia akan mudah terpikat, terpesona oleh kecantikan lahiriah dan begitu dia terpesona, secaralangsung dorongan yang muncul adalah dorongan untuk mau bersama dengan perempuan tersebut atau berhubungan seksual dengan perempuan tersebut.

GS : Kalau dulu Pak Paul mengaitkan antara perjudian dengan kelaki-lakian seseorang, perzinahan pun seringkali diperlakukan seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi di dalam budaya tertentu memang ada satu dorongan dari lingkungannya bahwa laki-laki melakukan hal seperti itu dan tidak apa-apa, jadi dibolehkan bahkan kalau laki-laki idak mau melakukannya maka dia akan diejek oleh teman-temannya bahwa dia kurang laki-laki atau terlalu penakut atau pengecut, akhirnya di dalam budaya tertentu perilaku zinah itu betul-betul menjadi masalah yang diturunkan dari generasi ke generasi dan susah sekali hilang.

GS : Hal lain lagi yang terkait dengan perzinahan apa, Pak Paul?

PG : Pada umumnya laki-laki mudah jatuh ke dalam dosa perzinahan oleh karena laki-laki memisahkan jiwa dan rohnya dari tubuh jasmaniahnya. Dengan kata lain, laki-laki memisahkan jiwa dan rohnyadari tubuh jasmaniahnya sehingga dia tidak terlalu merasa berdosa atau bersalah setelah berzinah, sebaliknya wanita pada umumnya tidak dapat begitu saja memisahkan jiwa dan rohnya dari tubuh jasmaniahnya.

Itu sebabnya di luar praktek pelacuran pada umumnya wanita hanya dapat memberi tubuhnya setelah dia siap memberi jiwa dan rohnya kepada laki-laki yang dikasihi dan dipercayanya. Tapi bagi laki-laki tidak, dia tidak perlu memberi jiwanya kepada seorang wanita untuk bisa berhubungan seksual dengannya sebab memang ada keterpisahan antara jiwa dan tubuh. Kalau perempuan antara jiwa dan tubuh adalah sesuatu yang menyatu.
GS : Artinya para pria tidak melibatkan emosinya di dalam melakukan perzinahan?

PG : Dan bisa bukan hanya melibatkan emosi, tapi bisa juga tidak melibatkan nuraninya sehingga tidak merasa bersalah dan sama sekali tidak merasa apa-apa sebab seolah-olah ada sekat yang memisakan jiwa dan tubuhnya.

GS : Makin hari makin banyak anak remaja yang terlibat di dalam dosa perzinahan ini, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi memang cukup banyak laki-laki yang jatuh ke dalam dosa perzinahan yang sesungguhnya telah melakukan dosa percabulan sejak usia remaja. Misalnya dalam usia 14, 15 tahun aa remaja laki-laki yang mulai mengunjungi lokasi pelacuran, biasanya karena ajakan teman.

Tapi pada akhirnya dia ketagihan dan terus melakukannya sampai usia dewasa, sudah tentu waktu dia mau menikah dia tidak akan mengakui kelemahannya ini. Jadi cukup banyak pria yang sebelum menikah sudah menjadi pecandu atau sering sekali mengunjungi tempat-tempat pelacuran. Tapi waktu dia mau menikah dia tidak akan cerita pada calon istrinya padahal ini adalah masalahnya, dan masalahnya berkembang setelah menikah, sebab setelah menikah kebiasaan ini berpotensi untuk berlanjut, karena kepuasan seksual yang diperoleh dari istri dirasakan tidak sebanding dengan kepuasan seksual yang didapatnya dari pelacur. Jadi karena dia terbiasa memakai jasa pelacur sehingga waktu dia sudah menikah dan tidak bisa lagi menggunakan jasa itu maka dia merasa ada yang kurang; dia ingin mencicipi hal yang dia pernah cicipi dulu sehingga mulailah diam-diam dia pergi ke tempat pelacuran untuk main pelacur. Jadi kita melihat kebiasaan buruk yang dimulai di usia dini akan terus berlanjut.
GS : Dan di sini hubungannya kembali erat dengan perjudian. Orang yang tidak punya uang atau tidak mendapat kesempatan untuk melakukan perzinahan dengan pelacur yang membutuhkan begitu besar dana, dia akan menggunakan uangnya untuk berjudi, kalau menang dia akan pergi ke pelacuran dan kalau kalah ya sudah.

PG : Bisa. Jadi dua dosa ini sangat berdekatan.

GS : Pak Paul, di dalam perzinahan orang diajak oleh temannya atau dipaksa oleh temannya, kenapa orang seperti ini tidak bisa berpikir logis bahwa ini dilarang oleh Tuhan?

PG : Jadi mungkin sekali dia tahu kalau ini salah, tapi pada usia remaja desakan teman itu memunyai pengaruh yang kuat dalam hidup remaja akhirnya teman-temannya berhasil meyakinkan dia,"Tidak alah, semua orang juga melakukannya".

Jadi akhirnya karena desakan teman-teman dan juga dalih-dalih yang mereka berikan akhirnya banyak anak remaja yang beranggapan bahwa berhubungan seksual dengan pelacur atau orang lain merupakan bagian normal dari kehidupan laki-laki. Jadi misalkan ada anak remaja yang tidak mau melakukannya maka besar kemungkinan teman-temannya akan melabelkan dia banci dan sebagainya. Bahkan yang sudah menikah pun kalau memunyai teman-teman yang sama seringkali mendapat ejekan temannya kalau tidak mau berhubungan dengan perempuan lain,"Kamu ini takut istri atau kurang jantan, hanya begini saja tidak mau". Jadi akhirnya untuk membuktikan rasa kesetiakawanan dan juga membuktikan bahwa dia juga laki-laki yang asli akhirnya melakukannya. Demikianlah seringkali pengaruh teman yang buruk menjerumuskan kita ke dalam dosa perzinahan.
GS : Apakah itu sudah menjadi gaya hidup seseorang atau suatu komunitas orang-orang tertentu, Pak Paul?

PG : Saya kira ya, dalam kelompok masyarakat tertentu inilah yang dilakukan oleh pria yaitu berjudi, main perempuan atau minum. Jadi itu adalah benar-benar kegiatan yang sangat dikaitkan denganlaki-laki.

Kalau tidak dilakukannya, maka kurang laki-laki.
GS : Apakah apa hal lain Pak Paul tentang perzinahan?

PG : Hampir semua laki-laki yang berzinah akan berbohong kepada istri dan ini adalah fakta yang harus kita ketahui. Sudah merupakan kesepakatan umum bahwa kalau tertangkap basah maka dia harus erbohong, sebab jika tidak maka selamanya dia harus tunduk di bawah tangan istri dan akan kehilangan kemerdekaannya.

Itu sebabnya dia akan mati-matian menyangkal perbuatannya dan membuat cerita dusta untuk menutupi ulahnya.
GS : Walaupun dia berusaha menutupi perbuatannya ini kepada istrinya tetapi kadang-kadang orang yang berzinah dengan bangganya menceritakan kepada teman-temannya, Pak Paul.

PG : Betul. Kalau dia menceritakan kepada teman-teman maka penghormatan teman-teman kepada dirinya akan bertambah, tapi kalau dia cerita kepada istri maka kebalikannya yang terjadi, pasti istriya akan marah dan terjadi percekcokan.

Dapat dipastikan kalau misalnya sampai diketahui istri maka dia akan berbohong dan hampir tidak ada yang langsung mengakui perbuatannya, kebanyakan mereka akan menceritakan kisah-kisah,"Ini bukan punya saya dan ini punya teman saja" semuanya kebanyakan berbohong.
GS : Kalau begitu kenapa orang ini berani menceritakan kepada temannya, padahal resikonya temannya bisa bercerita kepada istrinya nanti.

PG : Kebanyakan mereka tidak akan bercerita kepada istri mereka. Jadi semua yang melakukan itu kebanyakan akan menyembunyikannya dari istrinya.

GS : Jadi saling melindungi satu dengan yang lain.

PG : Betul. Jadi masing-masing sudah tahu dan tidak akan ada yang membocorkan cerita itu kepada istrinya.

GS : Yang lainnya apa, Pak Paul?

PG : Yang lainnya, hampir semua laki-laki yang tertangkap basah berbuat zinah akan bereaksi marah ketika diperhadapkan dengan tindakannya. Sesungguhnya kemarahan merupakan ungkapan keterkejutandan rasa malunya.

Dia terkejut karena tidak menyangka bahwa perbuatannya terbongkar dan sudah tentu dia malu, sebab tertangkap basah. Sebagai reaksi refleks dia marah, sebab marah menutupi keterkejutannya dan dengan bersikap marah dan bahkan lebih marah dari pada istrinya, dia berharap bahwa kasus ini akan segera ditutup. Jadi seringkali itu yang terjadi, waktu istri mengkonfrontasi,"Saya dengar seperti ini..." dia menjadi marah sejadi-jadinya karena sebetulnya marahnya itu untuk menutupi keterkejutannya, dia tidak ingin kelihatan kalau dia kaget atau dia tidak ingin kelihatan kalau dia tertangkap basah, sehingga dia marah. Harapannya dengan dia marah, maka istrinya tidak akan berani memunculkan lagi dan dia bisa bebas melakukannya lagi.
GS : Para istri kadang punya pendapat bahwa laki-laki memang seperti itu, sehingga secara tidak langsung dia"mengizinkan" suaminya melakukan perzinahan asal jangan sampai terjadi pernikahan antara dia dan pelacur itu.

PG : Jadi memang ada sebagian wanita yang berprinsip seperti itu dan ini salah karena tidak seharusnya. Tapi saya juga bisa mengerti banyak perempuan berkata,"Kalau nanti bercerai, nasib saya lbih buruk dan anak-anak saya nanti dikatakan anak yang orang tuanya bercerai dan sudah mendapat pasangan".

Jadi akhirnya banyak yang menahan derita dan tidak berani bertindak apa-apa. Dan inilah juga yang diketahui oleh pria, jadi mereka tidak begitu takut kalau sampai ketahuan karena mereka berpikir kalau istri saya tidak suka dan mau bercerai maka silakan, karena dia tahu yang lebih rugi adalah perempuan. Dan inilah kenyataan di dunia tapi saya perlu langsung ingatkan bahwa apa yang dilakukan oleh manusia dilihat oleh Tuhan dan suatu hari kelak akan ada tuntutan Tuhan untuk kita semua.
GS : Katakan istri memergoki atau tahu perbuatan suaminya yang melakukan perzinahan dan suaminya itu juga mengaku bersalah. Apakah pengakuan itu suatu pengakuan yang tulus, Pak Paul?

PG : Seringkali ini yang terjadi. Hampir semua laki-laki tatkala sudah tidak bisa mengelak hanya akan mengakui sebagian kecil dari perbuatannya, artinya dia tetap berusaha untuk menyembunyikan emua perbuatannya sebab makin banyak yang terungkap maka semakin melemahkan posisinya di hadapan istri.

Itu sebabnya dia akan mengecilkan perbuatannya dan menghilangkan data penting lainnya supaya istri tidak bisa menguasainya, tidak bisa mengontrolnya. Jadi seringkali pengakuan yang pertama mungkin hanya 20% dan di belakangnya ada 80% hal-hal lain. Ada juga yang beralasan,"Kalau saya sampai menceritakan kepada istri saya apa yang saya perbuat, mungkin selama-lamanya dia tidak akan mengampuni saya", sebab memang ada laki-laki yang benar-benar melakukan dosa seksual terlalu biadab, terlalu dalam sehingga benar-benar kalau istri sampai tahu maka dia akan muak dan tidak akan menerima suaminya. Jadi ada yang beralasan seperti itu, sehingga dia tidak mau cerita. Namun pointnya adalah bahwa kalau ketahuan kebanyakan laki-laki akan mengakui hanya sebagian kecil dari apa yang diperbuatnya.
GS : Kalau istri mengorek-ngorek masa lalu suaminya, karena telah menemukan pintu masuk untuk itu, maka suami pasti akan marah-marah dan ini yang membuat si istri kurang nyaman untuk terus bertanya-tanya tentang masa lalu dari suaminya ini.

PG : Betul. Sebab si suami tahu kalau dia menceritakan latar belakangnya, maka istrinya akan terus menerus menaruh curiga kepadanya maka dia akan mengelak dan marah supaya istrinya tidak bisa lgi bertanya kepadanya.

GS : Bagaimana sikap istrinya setelah mengetahui suaminya itu berzinah?

PG : Sudah tentu dia harus mengkonfrontasi suaminya dan dia harus meminta dengan tegas supaya perbuatan itu dihentikan. Sebagai tanda pertobatan si istri harus tahu dengan siapa si suami melakuan perzinahannya dan setelah itu dilakukan, maka langkah berikutnya adalah pertanggungjawaban, si suami harus sering-sering memberikan kabar kepada si istri tentang keberadaannya dengan siapa dia berada.

Namun pada umumnya kita tidak bisa mengontrol 100% sebab yang saya dapati adalah dalam pelayanan saya, kebanyakan laki-laki akan terus berbohong dan terus melakukan dosanya, jarang sekali yang karena tertangkap basah kemudian berhenti, kebanyakan akan terus mengulang berbohong lagi dan terus seperti itu.
GS : Padahal di hadapan istrinya dia sudah minta maaf dan berjanji bahwa dia tidak akan mengulangi dan dia katakan bahwa ini yang terakhir.

PG : Masalahnya adalah janji ini hanyalah sarana untuk mendinginkan suasana daripada ribut maka dia berjanji, apabila dia telah menjalin hubungan serius dengan seseorang maka dia tidak akan denan mudah memutuskan tali relasi dengan perempuan itu.

Atau kalau dia terbiasa menggunakan jasa pelacur maka dia pun tidak dapat dengan mudah menghentikan kebiasaan yang telah menahun. Singkat kata, hampir semua yang berjanji untuk tidak meneruskan relasi zinah akan melanggar janjinya. Ingat bahwa relasi zinah yang serius sukar putus dan kebiasaan buruk yang telah terbentuk mulai remaja susah dihentikan.
GS : Tapi itu bukan sesuatu yang mustahil untuk seseorang mengakhiri perbuatannya yang tidak benar dan saya percaya sekali bahwa kuasa Tuhan dapat menolong orang ini, Pak Paul.

PG : Betul. Dan sudah tentu yang terpenting adalah pencegahan dan jangan kita memulai kebiasaan buruk ini.

GS : Peran istri untuk menolong suami agar tidak berzinah itu cukup besar, Pak Paul.

PG : Betul dan kita tidak bisa menyalahkan si istri karena itu adalah pilihan si suami untuk berzinah, tapi betul sekali kadang-kadang relasi yang buruk dengan istri memberi pengaruh terhadap prilaku suami yang juga buruk itu.

GS : Pak Paul, apa yang Alkitab katakan tentang perzinahan ini?

PG : Ada beberapa yang bisa saya petik, Pak Gunawan. Misalnya di Ibrani 10:10 firman Tuhan berkata,"Karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembaan tubuh Yesus Kristus".

Kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Kristus. Jadi dengan pengorbanan Kristus di kayu salib, Tuhan telah menguduskan kita. Tuhan menghendaki kita hidup kudus dan kekudusan dimulai dengan menjaga kekudusan pikiran dan berakhir dengan menjaga kekudusan tubuh. Jadi kita harus memulai dengan kekudusan pikiran kemudian menerapkannya atau mewujudkannya dengan kekudusan tubuh. Perzinahan adalah dosa yang melanggar perintah kekudusan itu.
GS : Dan orang yang berzinah tidak pernah memikirkan tentang kekudusan lagi dan bahkan dia merasa,"Saya telah tercemar" kemudian dia meneruskan saja melakukan itu.

PG : Ada yang seperti itu. Karena merasa kalau dirinya sudah tercemar maka lebih baik meneruskan saja. Jadi ada orang yang terus berdosa karena berpikir sudah tanggung.

GS : Sampai suatu saat misalnya dia terkena penyakit karena perzinahannya, baru itu yang memukul dia sampai bertobat.

PG : Betul. Makanya kadang-kadang Tuhan menjatuhkan hukuman yang berat agar kita bertobat.

GS : Yang terjadi kadang-kadang bukan menimpa dirinya tapi bisa menimpa anaknya misalnya cacat dan sebagainya, lalu dia bisa menyesal seumur hidup karena melihat kondisi anaknya, dia tahu itu gara-gara perbuatannya dulu.

PG : Betul. Dan ada yang menularkan penyakit kotor kepada istrinya sehingga hampir bertahun-tahun istrinya harus menderita. Jadi dampaknya sangatlah luas.

GS : Selain dari Ibrani, apakah ada ayat firman Tuhan yang lain, Pak Paul?

PG : Kolose 3:5,6 berkata,"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembaha berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah (atas orang-orang durhaka)".

Jadi dapat disimpulkan dari sini bahwa percabulan atau perzinahan mengundang murka Allah. Barang siapa melakukannya maka dia menjadi musuh Allah dan akan menjadi sasaran murka Allah. Kita tidak mau menjadi sasaran murka Allah.
GS : Tetapi bagaimana mematikan percabulan di dalam diri kita?

PG : Pak Gunawan, karena kita sudah berdosa dan dilahirkan dalam dosa maka kita sangat memerlukan darah Kristus. Kita memerlukan kuasa Tuhan dan harus berdoa meminta pertolongan-Nya. 1 Korintus6:15 berkata,"Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak!" oleh karena kita telah dibeli dengan tunai lewat darah Kristus maka sekarang kita adalah milik Tuhan dan sewaktu kita berzinah, sebetulnya yang telah kita cabulkan atau zinahkan adalah tubuh Kristus sendiri.

Jadi kita tidak bisa mencabulkan tubuh kita karena telah dibeli dan menjadi milik Tuhan. Kita harus ingat tubuh ini bukanlah tubuh kita lagi. Alkitab berkata bahwa tubuh ini adalah bait Allah di mana Tuhan tinggal.
GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul ingin memberikan kesimpulan atau ayat firman Tuhan yang lain, Pak Paul?

PG : Di 1 Korintus 6:20 dikatakan,"Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" Jadi panggilan Allah adalah agar kita memuliakan Allahdan memuliakan Allah dimulai dengan memuliakan-Nya dengan tubuh kita.

Mustahil kita bisa memuliakan Allah jika kita mencabulkan tubuh kita, itu tidak bisa. Jadi mulai dengan menguduskan tubuh kita dan itulah cara untuk membawa kemuliaan kepada nama Tuhan.
GS : Seringkali yang dilakukan adalah menguduskan Tuhan, tapi hanya dengan mulut sedangkan bagian tubuh yang lainnya tidak ikut memuliakan nama Tuhan.

PG : Karena itu kita harus konsisten bahwa tubuh kita adalah bait di mana Allah tinggal. Jadi kita harus menjaga dan menguduskan supaya jangan sampai menjadi tempat yang tidak layak bagi Allah inggal.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Kebiasaan Buruk Pria bagian yang kedua yaitu tentang"Perzinahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



41. Memahami Orangtua Lansia


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T341A (File MP3 T341A)


Abstrak:

Merawat orang tua tidaklah semudah merawat anak kecil karena anak kecil takut kepada kita sedang orang tua tidak takut kepada kita. Dan ketika orang tua kita sudah berusia lanjut, muncul karakter-karakter baru yang seringkali membuat kita tidak nyaman dan bahkan jengkel. Untuk itu sebagai anak, apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi orang tua yang sudah lanjut ketika kita merawatnya?


Ringkasan:

Sewaktu kecil, orangtua merawat kita; setelah mereka tua, kitalah yang harus merawat mereka. Ada yang mengatakan jauh lebih mudah merawat anak kecil ketimbang merawat orangtua yang lanjut usia. Mungkin ada benarnya. Setidaknya jauh lebih mudah mengatur anak kecil daripada orangtua oleh karena anak kecil takut kepada kita sedang orangtua tidak takut kepada kita. Sebab, bukankah kita adalah anak-anak yang pernah diasuhnya dulu? Marilah kita memahami dinamika relasi kita dan orangtua yang lanjut usia.

• SESUNGGUHNYA DIRI ATAU KEPRIBADIAN ORANGTUA DI MASA SEKARANG MERUPAKAN KELANJUTAN DARI DIRINYA DI MASA LAMPAU. Jadi, bila di masa lampau ia adalah seorang yang sabar, besar kemungkinan di masa sekarang ia tetap merupakan pribadi yang sabar. Jika pada masa lampau orangtua cenderung dominan, besar kemungkinan di masa sekarang ia tetap dominan.

• SESUNGGUHNYA RELASI KITA DAN ORANGTUA SEKARANG MERUPAKAN KELANJUTAN DARI RELASI KITA DAN ORANGTUA PADA MASA LAMPAU. Dengan kata lain corak relasi cenderung bertahan melawan waktu. Bila di masa lampau relasi kita dengannya tidak dekat dan ia sulit mendengar masukan kita, besar kemungkinan di masa sekarang ia pun sulit mendengar masukan kita. Jadi, bila orangtua merasa tidak dekat dengan kita dan bahwa selama ini relasi kita dengannya cenderung penuh konflik, besar kemungkinan ia cenderung menghindar dan tidak mau terlalu dekat dengan kita.

• Berhubung pribadi dan relasi merupakan kelanjutan dari masa lampau, BAIK ATAU BURUKNYA RELASI DI MASA SEKARANG DITENTUKAN OLEH KUALITAS RELASI DI MASA LAMPAU. Bedanya antara masa lalu dan masa sekarang adalah di masa sekarang baik kita maupun orangtua biasanya tidak lagi terlalu bermotivasi untuk mengharapkan—apalagi mengadakan—perubahan. Baik kita maupun orangtua, masing-masing beranggapan bahwa tidak perlu lagi mengharapkan perubahan. Jadi, masing-masing berusaha untuk menjaga batas supaya tidak terjadi konflik.

• Berhubung orangtua sekarang dalam posisi lemah dan membutuhkan perhatian kita, biasanya ia menjadi PEKA TERHADAP SIKAP YANG DIANGGAPNYA MERENDAHKAN. Orangtua cenderung tahu apakah kita merawatnya karena terpanggil atau terpaksa, karena kerelaan atau karena kewajiban. Sikap keterpaksaan makin membuatnya merasa terhina. Ada pula orangtua beranggapan, oleh karena ia sudah tidak lagi "kaya" maka sikap kita pun berubah—tidak lagi menghargainya. Itu sebabnya penting bagi kita untuk bersikap hormat kepadanya. Kita harus mengkomunikasikan kepadanya bahwa materi tidaklah menentukan sikap dan perlakuan kita terhadapnya.

• Makin melemah kondisi orangtua, makin berkurang kemandiriannya. Ini berarti makin besar bantuan yang dibutuhkannya. Masalahnya adalah sebagian besar orangtua mengalami KESULITAN BERADAPTASI DENGAN KETERBATASAN INI. Pada umumnya ia akan terus melakukan kegiatan yang biasa dilakukannya dan inilah yang kadang menjadi sumber masalah. Ia mungkin terjatuh sehingga patah tulang dan sebagainya. Di satu pihak kita harus menjaga agar kecelakaan tidak terjadi, dan itu berarti kita harus bersikap tegas membatasi ruang geraknya. Di pihak lain kita mesti bersikap realistik pula dan memberinya kebebasan untuk memilih kehidupan yang diinginkannya. Jadi, adakalanya kita harus merelakannya melakukan apa yang diinginkannya seraya berusaha meminimalkan risikonya.

• Merawat adalah pekerjaan yang meletihkan, belum lagi ditambah dengan rasa bersalah jika terjadi sesuatu pada orangtua. TIDAK HERAN, TUGAS MERAWAT ORANGTUA YANG LANSIA SERING KALI MENIMBULKAN STRES YANG BESAR. Tidak jarang, stres besar ini mempengaruhi bukan saja diri kita, tetapi juga relasi dengan keluarga kita sendiri—pasangan dan anak-anak. Di satu pihak kita harus meminta pengertian mereka namun di pihak lain, kita harus memberi perhatian kepada keluarga sendiri. Namun tidak boleh mengorbankan keluarga sendiri dan harus memperhatikan kebutuhan mereka.

Amsal 3:27-28 mengingatkan, "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu, "Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi, "sedangkan yang diminta ada padamu." Berilah perawatan kepada orangtua apa pun relasi kita dengannya—sebab itulah yang dibutuhkannya. Namun, jagalah keseimbangan agar kita tidak menghancurkan keluarga kita sendiri.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Memahami Orang Tua Lansia". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, dari tahun ke tahun karena kondisi yang lebih baik, baik secara ekonomi maupun secara kedokteran sehingga banyak pasangan muda yang masih memunyai orang tua yang memasuki usia lanjut. Kadang-kadang ada gesekan atau kesalahmengertian antara orang tua yang kebetulan tinggal di pasangan yang muda atau yang sudah punya anak, dimana saling salah pengertian, yang muda juga tidak memahami yang sudah lansia, yang lansia juga sulit mengikuti yang muda, ini bagaimana Pak Paul?
PG : Tepat sekali yang Pak Gunawan katakan, saya juga sudah berusia 50an dan kami tinggal di rumah mertua. Jadi saya mulai lebih mengerti dinamika relasi antara orang tua dan anak di usia senja ini, sebelumnya saya bicara dengan orang yang menceritakan tentang betapa penuh tantangan hidup dengan orang tua di usia yang senja, tantangan yang tidak mudah yang harus dihadapi. Jadi betul, kita mesti baik-baik menyikapi hal ini sebab kita mau menjaga relasi dengan orang tua jangan sampai nanti di usia senja relasi kita begitu memburuk sehingga kenangan yang dibawanya pada waktu meninggalkan dunia bukanlah kenangan yang manis tentang hidupnya dengan anak-anak. Tapi di pihak lain kita juga harus memerhatikan keluarga kita, diri kita sebab kadang-kadang kalau kita tidak hati-hati kita juga bisa tersedot oleh tuntutan mereka. Jadi kita akan mencoba membahas relasi antara anak dan orang tua pada usia senja.
GS : Ada yang mengatakan bahwa orang tua itu semakin tua makin seperti anak-anak lagi. Tapi merawat orang tua jauh lebih sulit daripada memahami anak-anak yang masih kecil-kecil.
PG : Tepat sekali. Sebab pada usia tua tetap mereka adalah orang tua kita, dan bagaimana pun juga mereka melihat kita sebagai anak, jadi tidak begitu mudah memberitahu orang tua agar melakukan yang kita minta, kalau anak-anak masih bisa kita berikan ancaman, marah dan sebagainya sehingga nanti anak melakukan apa yang kita inginkan. Kalau dengan orang tua otomatis tidak bisa seperti itu. Jadi betul, untuk merawat orang tua biasanya jauh lebih repot daripada merawat anak-anak kecil.
GS : Walaupun mereka berdua atau mungkin tinggal satu masih sehat, atau pun sakit, itu sama-sama repot merawatnya.
PG : Jadi banyak yang telah mengeluarkan uneg-uneg yang saya dengar betapa tidak mudahnya merawat orang tua, tapi di pihak lain mereka merasa kasihan, mereka menyayangi orang tua, mereka tahu mereka berkewajiban membantu, menolong, merawat orang tua. Tapi di pihak lain tidak mudah, tekanan ini adalah tekanan yang lumayan besar.
GS : Yang seringkali terjadi juga terhadap yang wanita, jadi baik orang tua wanita maupun anak wanita atau menantu yang wanita, itu seringkali terjadi gesekan, tapi kalau yang pria kurang menghiraukan hal seperti itu.
PG : Betul. Karena mama biasa mengurus rumah tangga dan sekarang tinggal dengan anak walaupun anaknya juga sudah menjadi ibu rumah tangga kadang-kadang tidak begitu mengerti bahwa ini rumah bukan rumahnya, maksudnya keluarga ini adalah keluarga anaknya. Jadi dia tidak bisa terlalu mencampuri atau memaksakan kehendak. Kadang-kadang timbul gesekan, misalkan mama memasakkan masakan yang kurang disukai oleh keluarga, menantu atau cucu, tapi dia berkata, "Ini sehat" jadi mau tidak mau harus dimakan, kalau tidak dimakan tidak enak. Atau cara mengatur dapur, dia memunyai caranya dan dia beranggapan ini adalah anaknya dan dia beranggapan anaknya mengerti cara mengatur dapur jadi dia meminta anaknya mengikuti cara dia mengatur dapur dan anaknya tidak bisa terima. Jadi biasanya ada seribu satu macam hal yang memang perlu penyesuaian lagi kalau hidup dengan orang tua di usia senja.
GS : Jadi hal-hal apa yang perlu kita perhatikan, Pak Paul?
PG : Ada cukup banyak. Yang pertama sesungguhnya diri atau kepribadian orang tua di masa sekarang merupakan kelanjutan dari dirinya di masa lampau. Jadi bila di masa lampau dia adalah seorang yang sabar maka besar kemungkinan di masa sekarang dia adalah pribadi yang sabar. Sebaliknya jika di masa lampau dia adalah pribadi yang pemarah, maka besar kemungkinan dia tetap menjadi seperti itu di masa sekarang. Jika pada masa lampau orang tua cenderung dominan maka besar kemungkinan di masa sekarang dia tetap dominan dan dia akan terus menuntut tanpa memedulikan kondisi orang lain di sekitarnya. Jadi inilah yang pertama yang kita harus sadari bahwa orang tua kita sekarang ini merupakan kelanjutan atau sambungan dari kepribadian di masa lampau. Kadang-kadang kita berharap di usia tua papa atau mama berubah jangan seperti dulu lagi, misalnya dulu sering bertengkar antara papa dan mama, sering meributkan hal-hal yang kecil maka sekarang di usia senja anak berharap jangan ribut lagi, ternyata masih sering ribut. Hal-hal kecil juga dipersoalkan. Akhirnya kita melihat bahwa orang tua kita sekarang merupakan kelanjutan dari masa lampau, ada yang kikir sekali dengan uang di masa lampau, maka di usia tua bisa sama kikirnya atau bisa tambah kikir. Jadi itulah hal-hal yang biasanya dihadapi oleh anak-anak.
GS : Jadi sebenarnya kalau terhadap anaknya sendiri, anak ini sudah tahu sifat dari orang tuanya, hanya menantu yang agak kesulitan. Tapi tetap sering menjadi masalah disana, Pak Paul?
PG : Sebab bagaimana pun anak melihat ini tidak benar, dulu mungkin masih lebih kecil tidak terlalu memersoalkannya, atau beranggapan, "Saya tidak akan tinggal dengan orang tua selama-lamanya jadi biarkan". Tapi waktu kembali hidup dengan orang tua biasanya mengganggu anak apalagi kalau anak mengalami banyak perubahan, belajar banyak hal yang baik dalam hidup ini, dia itu susah terima kalau melihat orang tuanya seperti ini, sedikit-sedikit meributkan, misalnya ada orang tua yang gemar membicarakan kesalahan orang, kadang-kadang bukan kesalahan juga dikritik, dijelekkan maka si anak kesal, "Kenapa papa atau mama masih begitu" misalnya kita sudah benar-benar dalam Tuhan, kita tahu ajaran Kristus dan melihat orang tua kita sedikit-sedikit membicarakan orang seperti itu kita kesal dan berkata, "Papa dan Mama sudah menjadi orang Kristen lama tapi sikapnya sama seperti dulu, kapan bisa berubah dan bertobat". Akhirnya kita lebih peka, dulu waktu kecil karena masih bergantung pada orang tua maka kita tahan, sekarang sudah besar kita bisa mengerti apa yang lebih baik dan melihat orang tua kita masih sama seperti dulu, maka kita kadang-kadang tidak tahan lagi.
GS : Bagaimana sikap kita, kita tahu itu sesuatu yang salah dan negatif, tapi kalau kita memberitahu, dia salah mengerti.
PG : Seringkali begitu. Jadi yang penting adalah kita mesti menyadari bahwa untuk dia berubah, kemungkinannya kecil jadi kita harus menerimanya dan sedikit demi sedikit kalau misalnya waktunya cocok maka kita bicara dengan dia dan jelaskan, "Kenapa masih begini dan jangan begini" kita katakan perlahan-lahan dan jangan ditaruh di hati, kalau memang dia tidak mendengarkan kita. Kadang-kadang orang tua kita ini karena kesal akhirnya meledak dan kita marah, memarahi orang tua. Jadi akhirnya membuat dia tambah merasa kesal akhirnya merasa sepertinya tidak dihormati dan disayang lagi oleh kita, sehingga akhirnya relasi tambah buruk. Jadi penting bagi kita belajar menerima inilah dirinya dan perlahan-lahan kalau ada kesempatan kita munculkan dan berikan masukan supaya papa dan mama lebih bisa berubah.
GS : Hal lain yang perlu kita pahami apa, Pak Paul?
PG : Sesungguhnya relasi kita dengan orang tua kita sekarang merupakan kelanjutan dari relasi kita dengan orang tua pada masa lampau. Maksudnya bila di masa lampau relasi kita dengan orang tua tidak dekat dan dia sulit mendengar masukan kita, maka besar kemungkinan di masa sekarang dia pun sulit menerima masukan kita. Sebaliknya jika relasi kita dengannya erat dan dia merasa bahwa kita adalah anak yang memerhatikannya besar kemungkinan dia mau mendengarkan perkataan kita. Intinya yang ingin saya katakan adalah corak relasi cenderung bertahan melawan waktu. Jadi walaupun sudah puluhan tahun, kita sebetulnya terus membawa corak relasi yang lama sampai di masa sekarang. Jadi bila orang tua merasa tidak dekat dengan kita dan bahwa selama ini relasi kita dengannya penuh konflik maka besar kemungkinan dia cenderung menghindar dan tidak mau terlalu dekat dengan kita. Dan kita mungkin tidak terlalu senang untuk bersama dengan dia. Jadi kadang-kadang relasi itu bersambung sampai sekarang, yang dulunya baik maka tetap baik, yang dulunya tidak baik biasanya kurang baik.
GS : Tetapi ada orang tua yang ketika sudah lanjut usianya, dia mulai sadar bahwa hubungannya dengan anaknya tidak begitu baik, lalu orang tua ini berusaha mendekati si anak tapi anak yang hubungannya tidak baik malah menghindar, makin anak menghindar maka orang tua makin mendesak anak sehingga hubungan mereka malah tidak baik.
PG : Memang bisa dari dua belah pihak. Jadi ada orang tua yang akhirnya sadar "Kenapa saya dulu seperti ini dan itu pada anak, sekarang saya sadar saya salah usia sudah senja maka kapan lagi memerbaiki relasi" tapi anaknya bisa jadi tidak siap untuk membangun ulang relasi yang sudah begitu penuh dengan kepahitan. Ada anak yang akhirnya sengaja menghindar karena mungkin dulu dia terlalu sering disakiti sehingga kalau dia dekat dengan orang tuanya sekarang, luka-luka itu menganga kembali meskipun dia sudah mengampuni dan dia tidak mendendam pada orang tua tapi ingatan akan perbuatan, akan peristiwa yang dialami di masa lampau masih segar di benak sehingga akhirnya dekat dengan orang tua mulai reaksinya tidak enak. Orang tua juga tidak sempurna, kadang-kadang mungkin orang tua mengeluarkan perkataan yang biasa dikatakannya dulu kepada si anak, meskipun dalam banyak hal orang tua berubah, tapi perkataan itu sendiri bisa membangkitkan ingatan si anak, "Sekali lagi saya diperlakukan begini oleh si mama, sekali lagi papa berbuat ini kepada saya" sehingga akhirnya si anak tidak mau dekat dan rasanya seperti kapok/jera dekat-dekat, karena dulu bisa dekat tapi menjadi luka berat dan ternyata sekarang masih ada sisa dari apa yang dilakukan orang tua dulu dan masih terus berlanjut meskipun tidak terlalu sering, jadi kadang-kadang seperti itu juga. Kadang-kadang anak mencoba untuk mendekat kepada orang tua karena menyadari dia dulu salah dan dia banyak berbuat hal-hal yang tidak benar, namun orang tua belum tentu siap. Inilah yang sebetulnya dialami oleh anak dari mantan presiden Amerika Serikat yaitu Ronald Reagan, anaknya yang perempuan yang bernama Patty Davis pada masa mudanya memang banyak melakukan hal-hal yang mengecewakan papanya sehingga hubungan dengan papanya buruk sekali. Di hari-hari tua waktu Reagan mulai sakit-sakitan, Patty Davis mencoba dekat kembali dengan papanya, tapi papanya susah sekali dekat dan mengampuni dia, rupanya luka terlalu dalam akhirnya belum lama ini si anak menulis memorinya atau buku tentang pengalaman mencoba untuk dekat dengan papanya. Tapi diakui bahwa dia sudah mencoba tapi rasanya masalah ini tidak selesai ternyata luka terlalu dalam di hati orang tua. Jadi saya kira dua belah pihak kadang-kadang tidak ideal, relasi yang terlalu hancur untuk dibangun kembali tidak mudah. Kalau saja dua-duanya anak Tuhan dan dua-duanya minta kepada Tuhan untuk hati yang luka disembuhkan dan dibaharui maka barulah akan ada sebuah relasi yang baru di antara mereka.
GS : Tapi kalau ada orang tua yang berlaku seperti itu, sudah berusaha untuk mendekati anaknya tapi anaknya menghindar, bukankah anak ini tidak memberi kesempatan pada orang tua untuk berubah, begitu Pak Paul?
PG : Jadi adakalanya sudah tentu anak juga tidak sempurna dan ada yang hatinya kurang besar sehingga hati yang kurang besar itu membuat dia sangat egois, ada anak yang seperti itu jadi tidak mau sama sekali berkorban sedikit pun bagi orang tuanya, tidak mau lagi. Misalnya sebetulnya urusannya bukan dengan si anak, tapi sebetulnya si anak itu bertumbuh besar dalam keluarga yang rusak, anggap saja orang tuanya itu hubungannya buruk sekali, si papa hubungannya juga buruk sehingga si anak menderita karena rumah tangga yang begitu penuh dengan konflik dan kekacauan. Setelah besar si anak ini keluar rumah memunyai kehidupan yang lebih baik, meskipun dalam hal ini mamanya tidak bersalah dan mamanya adalah korban dari papa yang tidak baik itu, tapi si anak itu merasa kalau mamanya tinggal atau dekat dengan dia, semua ingatan yang buruk tentang tinggal di rumah dulu, kembali lagi dan ini yang akhirnya membuat dia trauma dan tidak mau dekat dengan mama meskipun dia tahu bahwa mamanya tidak bersalah apa-apa.
GS : Jadi relasi yang buruk seolah-olah berkesinambungan rasanya sampai kapan pun dan tidak ada suatu cara untuk memutus itu.
PG : Jadi kalau memang itulah duduk persoalannya tapi sekarang keduanya harus tinggal sama-sama dan tidak ada pilihan lain, maka yang harus dilakukan adalah begini, dua-dua harus bicara secara terbuka bahwa memang di antara kita ada luka-luka yang masih belum beres, tapi karena kita harus tinggal bersama maka sekarang kita mencoba bicara apa yang papa dan mama harapkan dari saya dan apa yang saya harapkan. Jadi benar-benar membuat relasi ini adalah relasi yang masih bisa berjalan. Dua-dua harus terbuka antara apa yang diharapkan dari satu sama lain cobalah untuk dipenuhi sehingga relasi ini bisa terus berjalan.
GS : Jadi apa yang harus kita perhatikan, Pak Paul?
PG : Yang lain lagi adalah berhubung pribadi dan relasi merupakan kelanjutan dari masa lampau, baik atau buruknya relasi di masa sekarang ditentukan oleh kwalitas relasi di masa lampau. Bedanya di masa lalu dan di masa sekarang adalah di masa sekarang baik kita maupun orang tua tidak lagi bermotivasi untuk mengharapkan apalagi mengadakan perubahan. Jadi baik kita maupun orang tua masing-masing beranggapan, "Tidak perlu lagi mengharapkan perubahan" jadi masing-masing berusaha menjaga batas supaya tidak terjadi konflik. Tidak ada salahnya menjaga batas supaya tidak terjadi konflik, tapi sebaiknya memang mesti ada usaha untuk menumbuhkan relasi ini sehingga bukan hanya relasi 'gencatan senjata' tapi benar-benar sebuah relasi damai. Jadi harus ada usaha untuk menuju ke arah itu dan jangan sampai kita menyerah dan berkata, "Jangan sampai ada konflik" sedapat-dapatnya kita melakukan hal-hal yang baik yang menyenangkan buat orang tua kita meskipun tanggapannya tidak seperti yang kita harapkan.
GS : Apalagi orang tua dalam hal ini memiliki posisi yang sangat lemah di dalam kondisi tubuhnya.
PG : Betul sekali. Berhubung mereka ini dalam posisi lemah, membutuhkan perhatian kita, kadang-kadang ini menjadi masalah baru yaitu mereka menjadi peka dengan sikap yang dianggapnya merendahkannya padahal mungkin sekali kita tidak ada maksud merendahkannya. Orang tua cenderung tahu apakah kita merawatnya karena terpanggil atau terpaksa, karena kerelaan atau kewajiban, sikap keterpaksaan makin membuatnya merasa terhina. Adapula orang tua yang beranggapan oleh karena dia sudah tidak lagi kaya, maka sikap kita berubah dan tidak lagi menghargainya, itulah yang kadang terpikir oleh orang tua meskipun itu belum tentu benar. Itu sebabnya penting bagi kita bersikap hormat kepadanya, mengkomunikasikan kepadanya bahwa materi tidak menentukan sikap dan perlakuan kita kepadanya, kita menghormatinya dan mengasihinya karena mereka adalah orang tua kita.
GS : Dan sebagai orang tua sangat tergantung, makin lama makin tergantung orang tua itu kepada anak-anaknya dan ini bagaimana hubungannya, Pak Paul?
PG : Dan makin bergantung karena memang keterbatasan fisik, berarti makin besar kebutuhannya. Masalahnya adalah sebagian orang tua mengalami kesulitan beradaptasi dengan keterbatasan ini. Pada umumnya orang tua meskipun sebetulnya tubuhnya, kemampuannya mulai terbatas tapi tetap mau melakukan kegiatan yang biasa dilakukannya dan inilah yang kadang menjadi sumber masalah. Misalnya dia mungkin jatuh sehingga patah tulang dan sebagainya, padahalnya sudah diberitahukan jangan jalan sendiri kalau ada apa-apa panggil nanti diambilkan, dia tidak mau dan akhirnya jatuh. Jadi apa yang harus kita lakukan? Di satu pihak kita harus menjaga agar kecelakaan tidak terjadi dan itu berarti kita harus bersikap tegas membatasi ruang geraknya, namun di pihak lain kita harus bersikap realistik dan memberinya kebebasan untuk memilih kehidupan yang diinginkannya. Memang saya tahu tidak mudah menyeimbangkan kedua hal ini, namun inilah yang harus dilakukan yaitu memaksanya untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki dan kadang berdampak buruk. Jadi adakalanya kita harus merelakan apa yang diinginkannya seraya berusaha meminimalkan resikonya.
GS : Masalahnya seringkali terjadi apa yang kita anggap baik, itu dianggap menghambat bagi dia, dua-duanya bahkan bisa memandang usaha-usaha kita hanya merepotkan mereka saja, begitu Pak Paul.
PG : Jadi memang tidak bisa ada rumus untuk setiap kasus, masing-masing kasus harus ditimbang ulang. Saya masih ingat seorang Pendeta yang melayani di gereja yang saya dulu biasa pergi sewaktu saya masih kuliah, di usia senja dia terkena penyakit dan memang dokter katakan sudah terbatas. Jadi penyakitnya sudah tidak bisa diobati, dia masih ingin terlibat dalam pelayanan dan akhirnya dia masih ingin membaptis cucunya, masalahnya adalah dia sudah susah untuk berjalan apalagi dia mau membaptis, mula-mula anaknya takut masuk ke dalam kolam, anaknya takut kalau jatuh dan sebagainya, tapi dia tidak mau dan tetap mau membaptis dan akhirnya kami dukung dan katakan, "Silakan, tidak apa-apa" waktu dia turun ke dalam kolam ada yang memegangi dari belakang dan dia akhirnya membaptis selam dan dia merasa senang sekali. Dan benar saja beberapa bulan setelah itu dia meninggal dunia.
GS : Apakah itu berarti setiap permintaan mereka yang sudah lansia ini harus dituruti oleh anak-anaknya?
PG : Tidak juga dan kita harus timbang resikonya, tapi kadang kita juga harus berkata, "Ya biarlah" daripada nanti dia sesali di usia seperti ini maka biarkanlah. Kadang-kadang kita harus lebih fleksibel juga.
GS : Tapi setiap orang punya batas kemampuan, kadang kita tidak bisa mentolerir dan kadang keluar kata-kata yang kasar dan ini dianggap semacam penghinaan oleh orang yang sudah lansia ini, Pak Paul.
PG : Karena kita ini manusia biasa jadi adakalanya kita sudah stres merawat orang tua dan kadang-kadang keluar kata-kata yang tidak enak dan akhirnya relasi kita dengan orang tua tidak baik namun kadang-kadang bukan hanya berhubungan dengan yang bersangkutan, tapi dengan suami istri dan anak-anak kita juga bisa tumpah stres itu. Kita bisa melampiaskan kemarahan pada anak, istri atau suami kita. Di satu pihak kita harus meminta pengertian pasangan dan anak-anak kita, tapi di pihak lain kita harus memberi perhatian pada keluarga sendiri. Pada akhirnya kita harus merelakan diri untuk tidak terlalu idealistik, kita tidak boleh mengorbankan keluarga sendiri dan harus memerhatikan kebutuhan mereka. Misalnya ada anak yang pokoknya kemana pun orang tuanya harus dibawa meskipun orang tuanya sudah memakai kursi roda. Sebaiknya kalau memang memungkinkan maka silakan dibawa karena orang tua juga tidak mau di rumah sendiri, tapi tidak selalu harus dibawa. Jadi kita juga harus fleksibel dan jangan seperti itu juga.
GS : Karena ada orang tua sejak anaknya masih kecil sudah diberikan pengertian bahwa orang tua dan anak itu hubungannya jauh lebih dekat dibandingkan dengan suami istri sehingga terbawa itu, Pak Paul.
PG : Rasa bersalah itu besar sekali kalau sampai tidak dibawa menjadi merasa, "Saya anak yang jahat, tidak berbakti pada orang tua", jadi kita juga harus memerhatikan keluarga kita sendiri, jangan sampai karena mengutamakan orang tua kita, keluarga kita sendiri yang akhirnya menjadi korban.
GS : Dalam hal ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan dari Amsal 3:27-28, "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: 'Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,' sedangkan yang diminta ada padamu." Jadi artinya kalau kita terapkan dalam relasi dengan orang tua berusia senja, itu berarti kita harus memberikan perawatan atau perhatian pada orang tua, apa pun atau bagaimana pun relasi kita dengannya. Sebab itulah yang dibutuhkannya, jangan sampai kita berkata, "Masa bodoh, saya tidak mau biar orang lain yang merawat" jangan seperti itu. Kita merawat bukan saja pada orang tua tapi kepada Tuhan. Tapi di pihak lain, kita harus menjaga keseimbangan agar kita tidak menghancurkan keluarga kita sendiri.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memahami Orang Tua Lansia". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


42. Makin Tua, Makin Curiga


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T341B (File MP3 T341B)


Abstrak:

Di usia lanjut kerap diperlihatkan sikap curiga yang besar, tidak hanya pada keluarga namun juga pada orang-orang lain di sekitarnya. Karena kecurigaan yang besar tersebut, mereka pun bertambah protektif—kadang posesif—terhadap apa yang dimilikinya. Mereka takut kehilangan barang kepunyaannya dan cepat menuduh orang berniat buruk terhadap mereka. Di sini akan dibahas mengapa mereka menjadi seperti itu dan apakah yang dapat kita perbuat untuk menghadapi sikap ini.


Ringkasan:

Salah satu sikap yang kerap diperlihatkan oleh orang berusia lanjut adalah sikap curiga yang besar. Sepertinya, makin tua, makin bertambah kecurigaannya terhadap orang di sekitar. Dan, sebagai reaksi terhadap kecurigaan yang besar, mereka pun bertambah protektif kadang posesif terhadap apa yang dimilikinya. Mereka takut kehilangan barang kepunyaan dan cepat menuduh orang berniat buruk terhadap mereka. Berikut akan dibahas mengapakah mereka menjadi seperti itu dan apakah yang dapat kita perbuat untuk menghadapi sikap ini.

1. Hal pertama yang mesti kita ketahui adalah tidak semua orang berusia lanjut mengembangkan kecurigaan yang besar. Ada sebagian yang bertumbuh tua tanpa mengembangkan kecurigaan. Singkat kata hampir dapat dipastikan bahwa ada penyebab atau setidaknya benang merah yang menghubungkan sikap curiga sekarang dengan diri mereka di masa lampau. Misalkan, seorang ibu yang hidup terkekang di masa lalu oleh suami, mau beli atau memiliki sesuatu harus seizin suami. Nah, pada masa tua setelah suami meninggal, si ibu menjadi orang yang begitu protektif dengan milik kepunyaannya.

2. Masa tua adalah masa hilangnya kemandirian dan kendali atas hidup. Tidak bisa tidak, makin tua kita akan makin harus bergantung pada orang untuk menolong kita. Bila pada masa muda kita tidak terbiasa bergantung pada orang, kondisi ini akan membuat kita tidak nyaman. Itu sebabnya mudah sekali timbul kecurigaan atau prasangka buruk bahwa sebenarnya orang tidak suka direpotkan oleh kita. Pada akhirnya kita menjadi perasa; kita peka dengan gerak-gerik orang oleh karena kita ingin memastikan bahwa kita tidak usah ditolak oleh orang.

3. Pada dasarnya perasaan yang mendasari kecurigaan adalah ketakutan. Untuk menghilangkan rasa takut kita berusaha memastikan bahwa segalanya berjalan baik dan sesuai harapan. Itu sebabnya bila pada dasarnya kita adalah orang yang penuh ketakutan, pada masa tua kita akan dikuasai rasa takut.

Berikut akan dibahas beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menghadapi masalah ini.

1. Kita harus menyadari bahwa penjelasan rasional tidak memberi dampak berarti. Itu sebabnya janganlah mencoba berdebat dan meyakinkan mereka bahwa kecurigaan mereka keliru. Jadi, biarkanlah.

2. Sebaiknya kita membiarkannya mengatur milik kepunyaannya sesuai seleranya dan sedapatnya hindarilah godaan untuk memindahkan atau meminjam barang kepunyaannya. Besar kemungkinan mereka akan menuduh kita mengambil barangnya sewaktu ia tidak dapat menemukannya jika memang pernah sekali waktu kita memindahkan atau meminjam barang kepunyaannya. Kita mesti menyadari bahwa pada masa tua kemandirian makin terbatas dan rasa memegang kendali berkurang. Itu sebabnya mereka menjadi peka sewaktu teritori mereka terusik.

3. Satu hal lagi yang mesti ketahui adalah pada masa tua orang tidak terlalu antusias untuk bertemu orang baru. Mereka jauh lebih nyaman bersama dengan orang yang telah dikenalnya. Salah satu penyebabnya adalah karena pada masa tua kita tidak terlalu ingin menyesuaikan diri dengan wajah baru. Orang baru membuat mereka merasa tidak aman dan defensif. Itu sebabnya bila memungkinkan kita tidak sering-sering mengganti perawat. Memang masalahnya adalah jika mereka sudah telanjur merasa nyaman dengan kita, mereka pun tidak ingin orang lain untuk ganti merawatnya. Jadi, jika memungkinkan dari awal kita merawatnya, kita sudah melibatkan beberapa orang lain untuk secara rutin terus terlibat.

4. Terakhir adalah kita sering-sering menghubungkan mereka dengan masa lalu. Artinya, silakan tanyakan tentang pengalaman masa lalu dan jangan bosan untuk mendengarkan mereka bercerita tentang masa lalu. Kita mesti menyadari bahwa ingatan tentang masa lalu adalah tali yang mengikat mereka dengan diri mereka yang sesungguhnya. Memang adakalanya kita jenuh mendengarkan cerita mereka yang sama namun biarkanlah, sebab makin mereka terkoneksi dengan masa lalu, makin mereka merasa sejahtera dan ini dapat mengurangi kecurigaan mereka yang berlebihan.

Firman Tuhan di Mazmur 102:28-29 berkata, Tetapi Engkau tetap sama dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan. Anak-anak hamba-Mu akan diam dengan tenteram dan anak cucu mereka akan tetap ada di hadapan-Mu. Betul, Tuhan tetap sama, jadi selalu kabarkanlah berita tentang Tuhan dan kasih-Nya yang sama kepada orang tua yang lanjut usia.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makin Tua, Makin Curiga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Memang siaran ini atau perbincangan ini tidak ditujukan langsung kepada mereka yang sudah lanjut usia karena mungkin mereka juga tidak tertarik untuk mendengarkannya, tapi kepada orang-orang yang sebaya dengan kita yang usianya masih pertengahan, yang bersiap-siap untuk suatu saat menjadi orang yang lanjut usia. Ini sesuatu yang bisa menggelisahkan kita, kita tentunya ingin mengakhiri kehidupan ini dengan lebih baik, tapi kecurigaan itu bisa timbul tanpa kita sadari, sebenarnya bagaimana hal itu terjadi, Pak Paul?
PG : Jadi sudah tentu apa yang kita akan bicarakan adalah untuk orang yang seperti kita, memersiapkan diri di usia tua jangan sampai mengembangkan perilaku atau sikap yang tidak sehat, tapi sekaligus saya berharap bahwa melalui diskusi ini kita bisa memetik bekal untuk bagaimana berhubungan atau berhadapan dengan orang tua kita, mudah-mudahan kita bisa belajar dari semua ini bahwa mungkin saja kita juga seperti mereka nanti. Tapi sementara belum maka kita harus menghadapi mereka, kita harus belajar bagaimana menghadapi mereka. Pertanyaannya adalah kenapa banyak orang tua makin tua makin suka curiga, tidak percaya, sedikit-sedikit menuduh kenapa seperti itu, ada yang tambah protektif, kadang posesif terhadap barang-barang miliknya, takut kehilangan barang dan cepat menuduh bahwa orang mau mengambil barangnya dan sebagainya. Jadi bagaimana cara kita menghadapi hal-hal ini, yang pertama adalah kita harus menyadari bahwa tidak semua orang berusia lanjut akan mengembangkan kecurigaan yang besar, jadi jangan sampai kita berkata, "Nanti saya akan begitu" belum tentu! Ada sebagian orang yang bertumbuh tua tanpa mengembangkan kecurigaan. Singkat kata, hampir dapat dipastikan bahwa ada penyebab atau setidaknya benang merah yang menghubungkan sikap curiga sekarang dengan diri mereka di masa lampau. Coba saya jelaskan, misalnya seorang ibu yang hidup terkekang di masa lalu oleh suaminya, mau beli apa atau mau memiliki apa harus dapat ijin dulu dari suaminya dan seringkali tidak boleh, pada masa tua setelah suaminya meninggal si ibu ini akhirnya menjadi orang yang begitu protektif dengan milik kepunyaannya, dia memegang dan menyimpan barang, ada barang yang disimpan dalam sarung bantal, ditaruh di bawah ranjang. Kenapa dia menjadi begitu? Bahkan kadang dia menuduh orang mengambil barang kepunyaannya, atau ada yang selalu berprasangka buruk terhadap niat orang. Besar kemungkinan di masa mudanya dia pun seperti itu namun oleh karena di masa muda dia masih mandiri dan dapat mengendalikan hidup dengan lebih leluasa, dia tidak begitu menampakkan prasangka buruk itu, setelah tua dan merasa makin tidak berdaya, makin keluarlah prasangka buruk. Jadi misalnya seperti tadi itu semua dikontrol oleh suaminya, "Beli ini tidak boleh, punya ini tidak boleh". Jadi apa yang dia miliki dia sayang, dia pegang jangan sampai nanti kenapa-kenapa sebab mau dapatkan yang baru susah sekali suaminya tidak memberi. Di masa tua bisa jadi dia mengembangkan sikap protektif terhadap barang-barang yang dimilikinya, walaupun sebenarnya setelah suaminya meninggal dia bebas mau beli apa sebab anaknya tahu kalau dulu mama kasihan, sedikit-sedikit dilarang sama papa dan sekarang suaminya tidak ada, si anak berkata, "Mama mau beli ini silakan dan beli itu silakan" tapi tetap sikap memegang, protektifnya, barangnya tidak boleh hilang dan barangnya disimpan itu tetap berlanjut. Itu yang tadi saya katakana, seringkali memang ada benang merahnya.
GS : Sebagai anak atau menantu tentu tidak merasa nyaman tinggal bersama dengan orang tua yang begitu curiga kepada kita, kita mau menolong orang yang sudah lanjut usia ini caranya bagaimana, Pak Paul?
PG : Memang kalau orang tua kita seperti itu, dia itu curiga terus maka yang harus kita lakukan adalah kita jangan sampai memarah-marahinya karena dia tidak akan bisa mengerti kalau kita memarahinya seperti itu. Yang harus kita lakukan adalah sering-seringlah mengingatkan kepadanya bahwa inilah barang mama dan taruh di sini dan sebagainya, saya tidak akan mengambil, kalau perlu diberinya kunci dan dia pegang kuncinya sebab nanti dia menuduh orang, nanti pembantu rumah tangga dimarahi disangka dia yang mengambil. Sehingga dia tidak bisa menuduh orang lagi.
GS : Tapi kecurigaan ini bukan hanya terkait dengan barang seperti itu, bahkan kita bicara dengan istri saja dia bisa menaruh curiga yang berlebihan, seolah-olah membicarakan dia padahal kita tidak membicarakan dia.
PG : Kalau sudah berlebihan seperti itu bisa jadi memang karena pengaruh syaraf-syaraf di otaknya yang sudah tidak lagi sehat, atau mungkin dia sudah mulai mengidap gangguan alzheimer, sehingga cara berpikirnya sudah tidak terlalu rasional lagi, mudah sekali dia itu dilusional artinya memunyai pemikiran sendiri yang tidak ada landasan realitasnya, menuduh orang dan sebagainya. Bisa jadi itu adalah bagian dari penyakit alzheimer yang mulai menimpa dirinya.
GS : Bagi orang yang bersangkutan dia merasa itu betul, anaknya atau menantunya ini selalu menelikung dia atau membuat dia tambah sengsara, begitu Pak Paul.
PG : Jadi memang kadang-kadang itulah orang tua, misalnya ada orang tua yang menuduh ada yang mengambil dompetnya, mengambil emasnya, jam tangannya padahalnya ada dan akhirnya ketemu. Kenapa begitu? Biasanya kalau orang sampai seperti itu, memang di masa mudanya ada sesuatu tapi akhirnya di masa tua keluar semuanya dan bahkan lebih tidak terkontrol.
GS : Bisa juga karena terlalu cepat mengambil kesimpulan. Jadi begitu barangnya hilang maka yang dituduh adalah pembantunya, padahal pembantunya tidak melakukan itu dan akhirnya barangnya ketemu.
PG : Dalam pengertian itu sebetulnya besar kemungkinan sejak dia muda kalau barangnya hilang dia akan menuduh pembantunya, tapi karena dia sudah tua ingatannya makin berkurang jadi lebih sering merasa barangnya hilang dan lebih sering menuduh orang. Tapi yang saya mau tekankan adalah ini tidak menimpa semua orang kecuali kita terkena penyakit. Kalau kita tidak terkena penyakit maka kita tidak harus seperti itu, kalau kita menjadi seperti itu biasanya di masa mudanya memang sudah ada hal-hal yang kita lakukan atau ada corak-corak pikir yang tidak sehat itu.
GS : Hal lain yang menyebabkan orang tua tambah curiga apa, Pak Paul?
PG : Masa tua adalah masa hilangnya kemandirian dan juga hilangnya kendali atas hidup. Tidak bisa tidak makin tua kita makin harus bergantung pada orang untuk menolong kita, bila pada masa muda kita tidak terbiasa bergantung pada orang maka kondisi ini akan membuat kita tidak nyaman, itu sebabnya mudah sekali timbul kecurigaan atau prasangka buruk bahwa sebenarnya orang tidak suka direpotkan oleh kita, pada akhirnya kita menjadi perasa dan kita peka dengan gerak-gerik orang oleh karena kita ingin memastikan bahwa kita tidak ditolak oleh orang, perlahan-lahan sikap was-was ini berkembang menjadi kecurigaan bahwa orang tidak menyukai kita dan orang ingin agar kita keluar dari rumahnya, tapi akhirnya pemikiran ini tidak terkendali. Jadi sedikit-sedikit misalnya bicara dengan anak kita, "Istrimu itu inginnya saya keluar dari rumah" saat ditanya, "Tahu dari mana?" dijawab, "Karena bicara begini..." padahalnya tidak bicara apa-apa tapi tetap saja si orang tua beranggapan seperti itu. Jadi banyak sekali memang sinyal-sinyal yang dianggapnya sinyal untuk mengenyahkan dia, sinyal untuk membuat dia keluar dari rumah karena dia mengganggu padahalnya belum tentu seperti itu, jadi kita juga harus sadar kalau kita tinggal dengan orang tua atau mertua kita, hati-hati dengan kata-kata seperti itu kecuali ini rumah dia sendiri. Kalau ini rumah kita dan mereka menumpang di rumah kita biasanya mereka peka sekali, jangan sampai akhirnya kita membuat mereka merasa ditolak.
GS : Hal itu sulit dijelaskan secara rasional, jadi kalaupun kita menjelaskan itu secara baik-baik itu juga tidak diterima, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Misalnya hal-hal yang kecil seperti lupa menawarkan makan "Kenapa tidak ditawari makan, jadi kamu tidak mau saya makan di sini dan saya menjadi beban bagi kamu" nah orang tua bisa langsung menyimpulkannya seperti itu. Atau misalnya tidak diajak pergi, "Memang sekarang saya tidak ada suami dan sudah menjadi janda dan tidak ada harganya, maka seenaknya ditinggal" cepat sekali orang tua menyimpulkan secara negatif hal-hal seperti itu, meskipun kita berkata, "Tidak seperti itu dan tidak ada maksud begitu" tetap saja cenderung berpikiran seperti itu. Karena di usia tua kemandirian sudah begitu berkurang harus bergantung, jadi memang rasanya tidak lagi dibutuhkan, jadi peka sekali untuk rasanya nanti dibuang atau tidak lagi dihormati.
GS : Apakah ada faktor yang lain, Pak Paul?
PG : Yang lain adalah pada dasarnya perasaan yang mendasari kecurigaan adalah ketakutan. Karena mereka takut maka mereka mau menghilangkan rasa takut, caranya adalah memastikan bahwa segalanya berjalan baik dan sesuai harapan. Jadi akhirnya mau mengontrol, mau memaksakan, mau menjaga, jangan sampai segalanya tidak berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Jadi orang tua yang penuh kecurigaan sebetulnya orang yang penuh ketakutan, karena penuh ketakutan mau memastikan semua berjalan dengan baik. Sebagai contoh lagi ada orang tua kalau melihat menantunya bicara dengan lawan jenis, maka bicara dengan anaknya, "Suamimu itu mau main gila sama orang lain, ada hubungan dengan perempuan lain di luar pernikahan". Suaminya sampai pusing berkata, "Sekali lagi tidak seperti itu" tapi tetap saja mertuanya menuduh seperti itu. Kenapa? Karena dia ingin memastikan semua berjalan dengan baik dan jangan sampai ada sesuatu yang terjadi dengan keluarga anaknya. Jadi ketakutan sesuatu itu akan menimpa atau yang buruk itu akan datang membuat dia sangat curiga. Itu sebabnya bila pada dasarnya sekarang ini kita adalah orang yang penuh dengan ketakutan maka pada masa tua umumnya kita juga bisa dikuasai oleh perasaan takut.
GS : Yang paling umum rasa takut terhadap apa, Pak Paul?
PG : Kebanyakan memang rasa takut menyangkut kepada keselamatan, keamanan. Jadi misalnya ada orang jahat, biasanya yang pertama sedikit-sedikit kunci pintu. Sehingga kita juga merasa kesal, "Tidak apa-apa buka saja pintunya" si ibu berkata, "Tidak, semua harus dikunci" rasa amannya mereka seringkali tipis. Yang kedua adalah biasanya ketakutan menyangkut kebutuhan jasmaniah, takut tidak ada makanan, takut jatuh miskin dan harus disimpan jangan buang-buang, harus irit. Biasanya dua hal itulah yang menjadi tema ketakutan mereka.
GS : Lalu kita yang lebih muda ini harus bertindak bagaimana untuk mengatasi hal-hal seperti ini, Pak Paul?
PG : Yang pertama kita harus menyadari bahwa penjelasan rasional tidak memberi dampak berarti, itu sebabnya jangan mencoba berdebat, meyakinkan orang tua bahwa kecurigaan mereka itu sebetulnya tidak berlandasan, memang tidak bisa. Jangan berkata, "Mama dan Papa keliru..." besar kemungkinan mereka akan terus bertahan pada pandangan semula. Jadi kadang-kadang biarkan saja dan jangan terlalu dipusingkan atau diambil hati.
GS : Tapi kadarnya makin lama makin bertambah besar kecurigaan itu, Pak Paul?
PG : Yang penting jangan diladeni. Memang ini bisa menimbulkan masalah, saya mengenal keluarga dimana si ibu mertuanya dari dulu tidak suka dengan si menantu. Di hari tua tidak sukanya menjadi-jadi sehingga akhirnya menuduh segala macam, hilang apa dan apa, menantu yang disalahkan akhirnya menantunya tidak tahan. Jadi seperti yang Pak Gunawan katakan mungkin kalau kadarnya masih rendah masih bisa ditahan, tapi kalau kadarnya tidak kurang maka berat sekali. Kalau bisa jangan diambil hati dan jangan terlalu sering-sering ketemu, kalau kita sedikit-sedikit dituduh ambil barangnya jangan sedikit-sedikit bertemu.
GS : Kalau anaknya banyak, ada beberapa anak maka masih bisa dipindahkan kesana-kesini, kalau anaknya hanya kita maka mau tidak mau kita yang menanggung semuanya.
PG : Atau anaknya banyak tapi dia sukanya tinggal dengan kita, itu juga sama repotnya. Akhirnya kadang-kadang kita harus melihat kalau misalnya pasangan kita sudah tidak tahan lagi dan kita akhirnya ribut sama orang rumah dan pasangan kita, gara-gara orang tua kita mungkin pada akhirnya harus dipikirkan jalan yang lain untuk bisa menampungnya. Tapi kalau masih bisa minta pengertian dari pasangan kita, "Sudah jangan diambil di hati, diamkan saja" itu masih lumayan. Tapi kalau sudah kena penyakit apalagi seperti alzheimer itu sudah lain, benar-benar itu sangat menyusahkan sebab dia bisa menuduh dan dia nanti bisa berteriak-teriak, maka orang bisa berpikir, "Orang tua ini diapakan, apakah disiksa?" padahalnya tidak ada yang menyiksa, dia bisa histeris dipikir menantunya akan berlaku apa sehingga dia berteriak-teriak ketakutan. Kalau ada penyakit seperti itu memang susah sekali.
GS : Kalau dia terlalu banyak minum obat penenang, apa bisa seperti itu, Pak Paul?
PG : Setahu saya alzheimer bukan disebabkan oleh obat penenang, jadi memang yang dapat dipastikan adalah banyaknya protein di otak, itu yang dapat dipastikan sebagai penyebab alzheimer, tapi kenapa protein bisa menumpuk di otak itu yang sampai sekarang tidak bisa diketahui. Jadi sampai sekarang belum ada obatnya untuk penyakit itu. Tapi salah satu cirinya itu yaitu kadang-kadang melontarkan tuduhan yang tidak rasional sama sekali.
GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul?
PG : Sebaiknya kita biarkan dia mengatur milik kepunyaannya sesuai seleranya dan hindarilah godaan untuk memindahkan atau meminjam barang kepunyaannya, besar kemungkinan mereka akan menuduh kita mengambil barangnya sewaktu dia tidak dapat menemukannya, jika memang pernah sekali waktu kita memindahkan atau meminjam barang kepunyaannya. Kita harus menyadari bahwa pada masa tua kemandirian makin terbatas, rasa memegang kendali berkurang, itu sebabnya mereka cepat peka sewaktu teritori mereka terusik. Jadi kalau tidak mendesak janganlah mengganggu gugat pribadinya, biarkan dia taruh barangnya di ranjang, kadang kita bingung dan kita taruh di lemari tapi dia tidak mau, harus di ranjang semua supaya bisa dilihatnya jangan sampai ada yang mengambil. Dari pada kita merasa kesal karena melihat baju menumpuk di ranjang maka biarkan dan jangan dipersoalkan, daripada nanti ada yang hilang dan dia marah pada kita, menuduh kita yang mengambil.
GS : Tapi ada orang-orang tertentu yang seringkali mengatakan, "Ini nanti kalau aku sudah tidak ada ini untuk kamu" tapi masih tetap disimpan di kamarnya.
PG : Diamkan saja dan bilang "Terima kasih" itu saja.
GS : Tapi kalau kita langsung mengambil barang itu maka dia akan merasa kehilangan.
PG : Bisa jadi, dia nanti bertanya-tanya, "Barang saya mana?" dan kita katakan, 'kan Papa sudah berikan pada saya dulu" kemudian orang tua kita katakan, "Tidak, saya tidak pernah berikan pada kamu, kenapa kamu ambil barang papa" jadi repot. Kalau kita melihat ingatannya sudah mulai terganggu maka kita berkata "Tidak usah papa taruh sini dulu saja" takutnya nanti dia lupa dan dia menuduh kita lagi.
GS : Tapi ada sepasang suami istri yang sudah lansia seperti itu, si suami ini merasa tidak apa-apa memberikan barang pada anaknya karena anaknya sendiri, lalu istrinya menanyakan dan ternyata barang itu sudah diberikan pada anaknya, dan si suami dipaksa untuk meminta kembali barangnya itu.
PG : Ada yang seperti itu. Tadi kita bicarakan akhirnya di usia tua luar biasa protektif dengan barang kepunyaannya dan tidak boleh berpindah kemana-mana. Bisa jadi atau lebih besar kemungkinannya, sebab sejak dia di masa muda seperti itu benar-benar sayang barang dan sudah tua makin menjadi.
GS : Hal lain lagi yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul?
PG : Satu hal lagi yang harus kita ketahui adalah pada masa tua orang tidak terlalu antusias bertemu dengan orang baru. Waktu kita masih muda senang berkenalan dengan orang baru, makin tua makin tidak suka bertemu orang baru. Mereka akhirnya jauh lebih nyaman bersama dengan orang yang telah dikenalnya, makanya orang yang sudah tua bertemu dengan teman lama dia senang, anak cucunya datang dia senang, tapi kalau bertemu dengan orang baru kurang senang. Kita kadang tidak mengerti kenapa kalau orang tua kita kenalkan dengan orang yang baru sepertinya tidak begitu ramah, memang sebagian begitu tidak terlalu suka berkenalan dengan orang baru. Salah satu penyebabnya adalah karena pada masa tua kita tidak terlalu ingin menyesuaikan diri dengan wajah baru, orang baru membuat mereka tidak aman dan defensif. Itu sebabnya bila memungkinkan kita tidak sering-sering mengganti perawat. Memang jika mereka sudah terlanjur merasa nyaman dengan kita maka mereka tidak ingin orang lain ganti merawatnya. Jika memungkinkan dari awal kita merawatnya kita telah melibatkan beberapa orang lain untuk secara rutin terus terlibat, jika tidak biasanya kita akan terbebani. Jadi dari awal waktu orang tua tinggal dengan kita, kita mulai kerepotan maka kita libatkan orang-orang lain, tapi kalau bisa orang yang sama kalau tidak, karena dia sudah terlanjur nyaman dengan kita maka yang dicari adalah kita terus, misalnya ada yang harus dibersihkan karena tidak bisa lagi pergi ke kamar kecil, tidak boleh suster yang bersihkan sehingga waktu kita pergi pun disuruh pulang untuk membersihkan.
GS : Tapi kadang-kadang kalau kita menyediakan beberapa orang perawat, dia akrabnya dengan satu atau paling banyak 2 orang saja dari perawat itu dan akhirnya dia membanding-bandingkan sehingga perawat ini merasa tidak betah tinggal di situ.
PG : Belum lagi kalau mulutnya judes kepada perawat. Kadang-kadang pikirannya yang tidak rasional itu juga bisa akhirnya diproyeksikan kepada perawat, dianggap perawatnya yang jahat yang ambil barang, dan perawat memang harus diberi pengertian bahwa inilah penyakitnya sehingga mereka mengerti dan tidak ambil hati.
GS : Tapi kalau dia sudah suka dengan seseorang itu, rasanya dia tidak boleh pergi. Padahalnya perawat ini juga mencari masa depan yang lebih baik. Itu yang sulit.
PG : Betul. Jadi sekali lagi kita harus mengerti inilah dinamika kehidupan orang tua tidak nyaman dengan wajah baru dan maunya ketemu dengan wajah lama.
GS : Seringkali itu dimanfaatkan oleh beberapa perawat yang memanfaatkan keadaan karena sudah terlalu dekat seperti itu dan menuntut gaji yang tinggi.
PG : Betul.
GS : Ada hal lain Pak Paul, yang harus kita perhatikan?
PG : Terakhir, kita ini sering-seringlah menghubungkan mereka dengan masa lalu artinya silakan tanyakan tentang pengalaman masa lalu dan jangan bosan untuk mendengarkan mereka bercerita tentang masa lalu. Kita harus menyadari bahwa ingatan mereka tentang masa lalu adalah tali yang mengikat mereka dengan diri mereka yang sesungguhnya, memang adakalanya kita jenuh mendengarkan cerita mereka yang sama, namun biarkanlah sebab makin mereka terkoneksi dengan masa lalu, makin mereka merasa sejahtera dan ini dapat mengurangi kecurigaan mereka yang berlebihan. Ingat kecurigaan adalah sikap mereka terhadap masa sekarang. Jadi masa lalunya dapat menjadi fondasi yang lebih sehat dalam hidup mereka di masa sekarang. Intinya masa lalu adalah masa kejayaannya, masa mereka kuat dan sebagainya. Biarkan mereka berbicara dan mengingat masa lalu supaya masa lalu itu menjadi kekuatan bagi mereka sebab kalau mereka hanya melihat masa sekarang, mereka begitu lemah dan terbatas maka mereka malah depresi. Jadi itu sebabnya orang tua sering bicara masa lalu karena memberikan mereka kekuatan, kadang cerita lucu geli, cerita yang sama dan kita sudah dengar 20 kali dan bagaimana bisa tertawa karena sudah tidak lucu lagi, tapi dia ketawa dan geli lagi, biarkan karena itu memberi mereka kekuatan menghadapi masa sekarang.
GS : Apakah dalam hal ini ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Mazmur 102:27-28 berkata, "Tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan. Anak hamba-hamba-Mu akan diam dengan tenteram, dan anak cucu mereka akan tetap ada di hadapan-Mu." Betul, Tuhan tetap sama jadi selalu kabarkanlah berita tentang Tuhan dan kasih-Nya yang sama kepada orang tua yang lanjut usia. Inilah satu-satunya yang dapat memegang mereka yaitu Tuhan. Tuhan di masa muda dan Tuhan di masa tua adalah Tuhan yang sama, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya. Jadi kita dorong orang tua untuk bergantung pada kasih setia Tuhan yang selama-lamanya dan tak pernah berubah.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makin Tua, Makin Curiga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


43. Topeng Laki-laki 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T351A (File MP3 T351A)


Abstrak:

Lingkungan seringkali menuntut kita yang berlebihan, kalau kita bisa menjadi seperti yang lingkungan harapkan maka kita bisa menjadi diri sendiri seutuhnya. Tapi ketika keinginan itu tidak bisa kita lakukan dalam kehidupan kita. Maka kita akan memakai topeng ketika berada di tengah-tengah lingkungan. Dan di sini kita akan mempelajari topeng apa yang akan dipakai oleh laki-laki ketika tidak bisa memenuhi keinginan dari lingkungan.


Ringkasan:

Meski kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, namun pada kenyataannya kita menjadi laki-laki-atau perempuan lewat proses pembentukan. Singkat kata kita belajar menjadi laki-laki atau perempuan, melalui pengamatan sendiri maupun pengondisian yang kita alami dari orang dan budaya di sekitar.

Ada tuntutan dan pengharapan yang kita terima dari lingkungan untuk menjadi laki-laki atau perempuan.

Pada akhirnya tuntutan dan pengharapan itu menjadi sekadar topeng yang kita pakai supaya kita tetap diterima oleh lingkungan. Sebagai akibatnya kita tidak akan hidup bebas; kita senantiasa hidup dalam ketegangan—antara menjadi diri yang sebenarnya dan menjadi diri yang diharapkan.

Topeng Pria: Kuat

Pada umumnya laki-laki dituntut untuk menjadi pribadi yang kuat, dalam pengertian:

  1. Tidak mudah dipengaruhi emosi
  2. Tidak mudah menyerah dalam kesulitan
  3. Tidak takut menghadapi bahaya
  4. Tidak lepas kendali.

  1. Sebagaimana dapat kita lihat sebenarnya keempat tuntutan ini merupakan empat karakter yang baik. Namun dalam perjalanannya, sering kali keempat karakter ini berkembang secara berkelebihan. Misalnya, "TIDAK MUDAH DIPENGARUHI EMOSI" berubah menjadi "tidak beremosi sama sekali." Kita mafhum bahwa mustahil buat kita untuk tidak beremosi, jadi yang sesungguhnya terjadi adalah kita bukannya tidak beremosi melainkan "menyangkal perasaan atau emosi yang ada." Dampak "Tidak Beremosi Sama Sekali"

    • Laki-laki mengalami kesukaran untuk bukan saja mengenali dan menghayati perasaan sendiri, tetapi juga mengenali dan menghayati perasaan orang lain.
    • Oleh karena tidak dapat mengenali dan menghayati pelbagai perasaan, sering kali semua perasaan mengerucut menjadi satu perasaan yaitu kemarahan.
    • Laki-laki cenderung menarik diri dari situasi yang bermuatan emosi. Dengan kata lain, akhirnya laki-laki menutup diri.

    Itu sebab penting bagi laki-laki untuk mengembangkan karakter "tidak mudah dipengaruhi emosi" secara benar yakni bukan menyangkal perasaan melainkan mengenali, menghayati, DAN mengelolanya. Emosi yang dikelola cenderung lebih terkendali dan justru dapat menjadi aset buat laki-laki dalam berelasi. Jadi, belajarlah mengungkapkannya sewaktu perasaan itu masih dalam kadar yang lemah, dan jangan tunggu sampai menjadi gunung emosi.
  2. "TIDAK MUDAH MENYERAH DALAM KESULITAN" juga adalah karakter yang baik namun dalam perkembangannya acap kali karakter ini berubah menjadi "tidak mudah mengakui kekalahan." Singkat kata "menyerah" dianggap kekalahan dan inilah yang coba dihindari dengan pelbagai cara. Dampak "Tidak Mudah Mengakui Kekalahan"

    • Dampak pertama adalah berkembang dan mengerasnya ego. Sebagai akibatnya makin sukar laki-laki mengakui kesalahannya. Itu sebab bagi laki-laki meminta maaf merupakan pergumulan tersendiri. Mungkin laki-laki tidak terlalu mementingkan kemenangan; laki-laki hanya sukar menerima kekalahan.
    • Dampak kedua adalah adakalanya laki-laki bersikap tidak realistik dan cenderung bersikap optimistik secara berlebihan. Kita dapat melihat ini dengan jelas terutama tatkala laki-laki tengah berusaha meng-golkan rencana usahanya. Singkat kata, dampak dari kesukarannya mengakui kekalahan adalah menyempitnya pandangan akan keterbatasan dirinya.
    • Dampak ketiga adalah adakalanya laki-laki terus mengulang kesalahan yang sama karena tidak cepat belajar dari kesalahan yang lama. Dengan kata lain, laki-laki sukar menerima teguran untuk berubah.

    Tidak mudah menyerah dalam kesulitan adalah karakter yang indah namun sering kali dalam perkembangannya karakter ini berubah bentuk menjadi negatif, yaitu tidak mudah mengakui kekalahan. Itu sebab laki-laki perlu terus mengembangkan sikap tidak menyerah sekaligus bersedia dikoreksi sejak awal. Biasakan diri untuk membuka telinga dan memeriksa diri. Biasakan untuk meminta maaf untuk kesalahan yang diperbuat. Biasakan diri untuk meminta pendapat orang, terutama pasangan sendiri, meski hal ini dapat memperlambat pengambilan keputusan.
  3. "TIDAK TAKUT MENGHADAPI BAHAYA" sebenarnya adalah karakter yang indah namun acap kali karakter ini berubah menjadi "tidak mengindahkan rambu". Seharusnya "tidak takut menghadapi bahaya" berarti memerhitungkan bahaya namun memiliki keberanian menghadapinya karena perlu. Namun sayangnya karakter ini bermorfosis menjadi "tidak mengindahkan rambu." Dampak "Tidak mengindahkan rambu"

    • Dampak pertama adalah sikap seperti ini memudahkan laki-laki jatuh ke dalam perangkap iblis. Betapa banyak dan seringnya laki-laki jatuh ke dalam dosa akibat tidak mengindahkan rambu-rambu yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Tidak heran penjara lebih banyak dihuni laki-laki dibanding perempuan.
    • Dampak kedua adalah laki-laki cenderung mengembangkan jiwa pemberontak. Sering kali secara membabi buta laki-laki mengambil keputusan keliru hanya karena ingin menunjukkan pemberontakannya.
    • Dampak ketiga adalah laki-laki rentan merugikan orang. Oleh karena tidak mengindahkan rambu maka laki-laki akhirnya melakukan perbuatan yang merugikan orang-orang di sekitarnya. Singkat kata, ada kecenderungan laki-laki untuk tidak mempedulikan orang lain demi kepentingan sendiri.

    Sesungguhnya karakter tidak takut bahaya adalah karakter yang indah selama diimbangi dengan perhitungan yang masak. Laki-laki mesti terus memperhitungkan dengan masak akibat dari perbutannya. Terutama, laki-laki mesti menempatkan diri pada posisi orang lain, bukan hanya diri sendiri, sewaktu mengambil keputusan. Terpenting, laki-laki mesti hidup takut akan Tuhan dan penghukuman-Nya.
  4. "TIDAK LEPAS KENDALI" seyogianya lahir dari rasa bertanggung jawab yang besar. Dari sinilah muncul keinginan untuk memastikan semua berjalan dengan baik. Sayangnya karakter yang baik ini sering kali berubah menjadi "keinginan menguasai segalanya." Dampak "Keinginan menguasai segalanya"
    • Dampak pertama dari "keinginan menguasai segalanya" adalah "tidak menghargai orang." Besar potensi laki-laki untuk "memakai" orang, dan tidak "memanusiakan" orang. Semua akhirnya diukur dari segi kegunaan—selama masih berguna, dipakai; begitu tidak lagi berguna, dicampakkan. Itu sebabnya besar kemungkinan buat laki-laki untuk terjerat ke dalam kehidupan yang pragmatis dan menjauh dari kehidupan yang spiritual.. Tidak heran banyak yang hanya bersemangat melayani Tuhan sewaktu merasa diberkati. Begitu tidak lagi merasa diberkati, Tuhan pun dilepaskan.
    • Dampak kedua dari "keinginan menguasai segalanya" adalah ""memaksakan kehendak dan rencana pribadi." Tidak mudah bagi laki-laki untuk melepaskan kehendak pribadi dan mengikuti kehendak orang lain. Itu sebab lebih mudah buat laki-laki untuk tunduk kepada atasan dan melepaskan kehendak pribadi daripada bernegosiasi dan melepaskan kehendak dengan pihak yang sederajat. Tidak heran, tidaklah mudah bagi laki-laki untuk beriman dan berserah kepada Tuhan. Selama kehendak Tuhan sama dengan kehendak pribadi, Tuhan disembah. Begitu kehendak Tuhan berbeda dari kehendak pribadi, Tuhan pun ditinggalkan. Itu sebabnya bagi kebanyakan laki-laki beriman dan berserah menjadi pergumulan panjang yang tak habis-habisnya.
    • Dampak ketiga dari "keinginan menguasai segalanya" adalah "mendasari penghargaan diri atas keberhasilan." Makin sering memetik keberhasilan, makin membesar "aku." Dan, makin membesar "aku," makin mengecil peran Tuhan dan orang lain. Sebaliknya, makin berkurang keberhasilan, makin mengecil penghargaan diri. Sayangnya sebagian laki-laki bukannya datang kepada Tuhan dan berserah kepada-Nya, mereka malah marah dan meninggalkan Tuhan.

Tidak bisa tidak, semua ini berdampak pula pada relasinya dengan istri. Berapa sering kita mendengar keluhan istri bahwa suami tidak menghargainya dan hanya menghargai selama ia berguna bagi suami. Berapa banyak istri yang merasa dipakai sebagai obyek ketimbang dikasihi dan dihargai sebagai seorang pribadi yang utuh? Berapa sering kita mendengar keluhan istri tentang suami yang memaksakan kehendak dan susah sekali diajak berdialog? Berapa sering kita mendengar keluhan istri tentang suami yang tidak mau berbakti kepada Tuhan—apalagi melayani-Nya—karena tidak tertarik atau tidak mau buang waktu?

Mungkin tidak ada ayat yang lebih tepat buat laki-laki selain dari Matius 6:33, "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Topeng Laki-laki". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, memang rupanya kalau kita jumpai orang-orang di sekeliling kita atau bahkan kalau kita melihat diri sendiri ada banyak hal yang menutupi keadaan diri kita sebenarnya sehingga orang sulit menebak siapa kita dan kita sulit menerka apa yang ada di dalam diri seseorang yang kita hadapi. Apakah hal-hal seperti ini memang sudah menjadi lazim, menjadi sesuatu yang memang harus seperti itu atau bagaimana?

PG : Pada dasarnya kita tidak bisa hidup terlepas dari tuntutan atau pengharapan lingkungan, jadi untuk dapat diterima, untuk dapat kita berkiprah dalam bermasyarakat maka perlu kita memelajari dan juga mencoba untuk memenuhi apa yang dituntut oleh lingkungan atau orang di sekitar kita. Ini yang seringkali menjadi masalah adalah kalau siapakah diri kita yang sebenarnya tidak sama dengan apa yang sebetulnya dituntut oleh lingkungan terhadap diri kita, bila jaraknya terlalu besar antara diri kita yang sesungguhnya dan apa yang diharapkan oleh lingkungan maka saya menggunakan istilah menggunakan topeng supaya kita bisa diterima oleh lingkungan kita. Misalnya sebagai contoh, kita sebetulnya tidak menyukai olahraga tertentu misalnya sepak bola karena kita tidak nyaman dengan sentuhan atau kontak-kontak fisik dalam permainan sepak bola, tapi misalnya kita dibesarkan dalam lingkungan dimana semua orang yang bermain sepak bola itu mengharapkan kita juga bermain sepak bola karena lingkungan kita seperti itu. Apalagi dikaitkan dengan kelaki-lakian, misalkan kita tidak bisa dan tidak menyukai sepak bola, tapi di lingkungan itu untuk menjadi seorang laki-laki itulah yang dituntut maka kita kalau mau diterima oleh lingkungan maka kita terpaksa bermain juga. Masalahnya adalah kalau kita tidak menikmatinya tapi kita terpaksa melakukannya akhirnya kita menggunakan topeng supaya bisa diterima oleh lingkungan. Kalau makin banyak topeng-topeng yang kita pakai sudah tentu nantinya membuat hidup kita merana dan kita tidak bisa lagi hidup dengan bebas menjadi diri kita apa adanya, sebab siapa diri kita dan apa yang kita tampilkan di luar sesuai dengan tuntutan, tidak sama.

GS : Tapi apakah seseorang itu harus menuruti tuntutan yang datang dari luar seperti itu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu ada hal-hal yang kita tolak dan kita katakan, "Terserah kamu terima saya seperti apa" namun sudah tentu dalam lingkungan kita seyogianyalah memenuhi kebanyakan dari tuntutan itu, kalau kita terlalu sedikit memenuhinya dan jaraknya terlalu besar, maka tidak bisa tidak lingkungan akan sukar menerima kita. Sebagai contoh kebalikannya lagi, seorang wanita yang hidup dalam lingkungan dimana yang ditekankan adalah berperilaku secara feminin tapi kebetulan si perempuan ini tidak terlalu feminin sehingga dia akhirnya menunjukkan sikap-sikap seperti tomboi, bisa jadi karena lingkungannya menuntut seorang wanita seharusnya bersikap seperti yang diharapkan mereka sangat feminin, maka pada akhirnya dia akan mendapatkan penolakan dari lingkungan, sebab dianggap dia itu tidak sama dengan yang mereka harapkan. Jadi sekali lagi sedapatnya kita memenuhi namun kalau kita tidak bisa memenuhinya maka seharusnya kita bisa menerimanya dan mengakuinya, namun kalau terlalu banyak hal yang dituntut dan kita tidak bisa memenuhi maka biasanya itu akan menjadi problem.

GS : Secara spesifik kita sebagai kaum pria, biasanya topeng apa yang kita gunakan, Pak Paul?

PG : Saya hanya akan menggunakan satu saja untuk mudahnya yaitu topeng kuat, nanti dalam topeng kuat ini kita akan melihat beberapa hal yang termaktub di dalamnya. Topeng kuat yang saya maksud di sini dapat dibagi sekurang-kurangnya dalam 4 pengertian. Yang pertama adalah tidak mudah dipengaruhi emosi dan yang kedua tidak mudah menyerah dalam kesulitan dan yang ketiga tidak takut menghadapi bahaya, yang keempat tidak lepas kendali. Jadi kita bisa melihat sebenarnya bahwa keempat tuntutan ini untuk menjadi pribadi yang kuat sebetulnya merupakan empat karakter yang baik namun nanti akan kita lihat dalam perjalanannya maka keempat karakter ini yang membangun kepribadian yang kuat yang diharapkan oleh lingkungan terhadap pria seringkali berkembang akhirnya ke arah yang tidak sehat dan justru menjadi masalah bagi kita.

GS : Bahwa pria itu dianggap kuat, itu sudah dari asalnya memang pria diciptakan lebih kuat secara fisik dibandingkan dengan wanita, tanpa kita menutupi, kaum pria itu lebih kuat dari wanita.

PG : Dalam kenyataannya sebetulnya aspek kuat secara fisik hanyalah bagian kecil dari pengharapan akan pria itu seharusnya kuat. Jadi waktu kita membayangkan pria itu kuat sebetulnya sedikit sekali kita akan asosiasikan itu dengan kekuatan fisik, biasanya kalau kita berkata pria itu seharusnya kuat, kita sebenarnya tidak terlalu membicarakan kekuatan fisik melainkan kekuatan-kekuatan yang lebih bersifat karakter atau moralnya. Jadi inilah yang perlu dibentuk dalam diri seseorang, kekuatan fisik adalah sesuatu yang dia terima sejak lahir tapi kekuatan-kekuatan dalam hal karakter yang telah saya bahas, itu memang sesuatu yang harus dibangun oleh seorang pria.

GS : Dalam hal ini apa misalnya, Pak Paul?

PG : Misalnya yang pertama tadi saya sudah singgung, pribadi yang kuat adalah pribadi yang tidak mudah dipengaruhi emosi, sudah tentu ini adalah sesuatu yang baik namun seringkali ini berubah menjadi tidak beremosi sama sekali. Seharusnya hanya tidak mudah dipengaruhi oleh emosi, tapi pada kenyataannya seringkali pria bukan hanya tidak mudah dipengaruhi emosi malahan tidak beremosi sama sekali. Kita tahu sebetulnya mustahil kita manusia tidak beremosi sama sekali. Jadi yang sesungguhnya terjadi adalah kita bukannya tidak beremosi sama sekali, melainkan kita menyangkal perasaan atau emosi yang ada. Saya kira ini yang sering dilakukan oleh laki-laki. Jadi kita ini sebetulnya punya emosi tapi karena tidak mau dipengaruhi oleh emosi dan kita tidak mau sama sekali beremosi, maka kebanyakan kita laki-laki itu menyangkal keberadaan perasaan atau emosi kita.

GS : Akibatnya apa, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah lama-kelamaan laki-laki memunyai kesukaran bukan saja mengenali dan menghayati perasaannya sendiri, tapi juga mengenali dan menghayati perasaan orang lain. Pada akhirnya laki-laki mengalami yang saya sebut ketumpulan emosional dan sulit mengerti perasaan orang lain, ini dampak yang pertamanya.

GS : Dampak yang lain?

PG : Dampak dari ketumpulan emosional adalah karena kita tidak dapat mengenali dan menghayati berbagai perasaan seringkali semua perasaan mengerucut menjadi satu perasaan yaitu kemarahan. Ini yang biasanya laki-laki kenal dan tidak heran pada umumnya laki-laki punya masalah dengan kemarahan sebab perasaan yang lain itu tidak selalu bisa disadarinya, hanya kemarahan yang lebih bisa disadari oleh laki-laki karena semua perasaan diikat menjadi satu dan semua perasaan ditumpuk menjadi gunung perasaan yaitu gunung kemarahan dan akhirnya yang sering muncul dari laki-laki adalah kemarahan saja.

GS : Mungkin karena kita tidak tahu lagi cara bagaimana mengungkapkan emosi selain kemarahan itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi karena ketumpulan emosional itu akhirnya kita tidak begitu bisa mengenali perasaan apalagi mengungkapkannya, akhirnya bertumpuk dan waktu keluar biasanya keluarnya dalam bentuk kemarahan.

GS : Apakah ada dampak yang lain, Pak Paul?

PG : Dampak yang berikut adalah sebaliknya dari yang tadi oleh karena tidak mudah mengenali dan menghayati perasaan serta tidak ingin marah karena kita sadar orang tidak suka kita marah, maka laki-laki cenderung menarik diri dari situasi yang bermuatan emosi. Dengan kata lain, akhirnya dari pada marah, dari pada mengeluarkan emosi maka laki-laki menutup diri seperti batu yang dilempar ke kolam, laki-laki cenderung tenggelam di dalam dirinya sewaktu berhadapan dengan emosi.

GS : Kalau Pak Paul katakan ini merupakan ketumpulan emosi, apakah ketumpulan ini sebenarnya bisa diperbaiki, artinya ditajamkan kembali?

PG : Saya kira bisa, makanya penting untuk kita mengembangkan karakter tidak mudah dipengaruhi emosi secara benar yaitu bukan menyangkal perasaan melainkan mengenali, menghayati dan mengelolanya. Jadi kita laki-laki perlu memaksa diri untuk mengenali apa yang kita rasakan dan kemudian membiarkan diri kita merasakannya atau menghayatinya dan kemudian belajar mengelolanya artinya belajar mengaturnya. Emosi yang dikelola justru cenderung lebih terkendali dan dapat menjadi aset bagi laki-laki dalam berelasi karena dia lebih peka baik dengan perasaannya sendiri maupun dengan perasaan orang lain. Jadi nasehat praktis saya adalah belajarlah mengungkapkan perasaan sewaktu perasaan itu masih dalam kadar yang lemah, misalnya kita takut, sedih, kecewa, belajarlah untuk mengungkapkannya pada kadar yang rendah itu. Jangan tunggu sampai menjadi gunung emosi seperti kecewa berat, marah berat, sedihnya berat jadi akhirnya tidak terkendali lagi. Jadi coba belajar untuk mulai mengenali, menghayati dan mengungkapkan serta mengelola emosi sewaktu emosi muncul dalam kadar yang rendah.

GS : Pengertian emosi juga termasuk dalam sifat misalnya bersukacita dan sebagainya, kadang-kadang kaum pria juga berusaha untuk tidak terlalu menampilkan kegembiraan hatinya, Pak Paul.

PG : Betul. Semuanya sama termasuk juga kegembiraan itu makanya kadang-kadang pria itu waktu gembira karena tidak bisa mengungkapkanya dengan tepat akhirnya mengungkapkannya dengan cara yang salah, misalnya ada kecenderungan laki-laki sewaktu gembira akhirnya melakukan hal-hal yang salah, dia mabuk-mabukan atau berjudi. Jadi banyak hal yang dilakukan sewaktu gembira justru menjerumuskan dia ke dalam dosa. Memang penting bagi pria belajar mengelola perasaan itu sejak awal.

GS : Pengertian yang lain tentang topeng kuat ini apa, Pak Paul?

PG : Selain dari tidak mudah dipengaruhi emosi tapi akhirnya terselewengkan menjadi menyangkali emosi, yang berikut adalah tidak mudah menyerah dalam kesulitan dan ini adalah pertanda kekuatan pria yaitu tidak mudah menyerah dalam kesulitan, ini adalah karakter yang baik. Namun pada perkembangannya acapkali karakter berubah menjadi tidak mudah mengakui kekalahan sebab dalam kalimat tidak mudah menyerah dalam kesulitan, kata menyerah itu sendiri dianggap sebagai kekalahan dan inilah yang dicoba untuk dihindari dengan berbagai cara.

GS : Misalnya orang menghindarinya dengan cara seperti apa, Pak Paul?

PG : Karena kita tidak mudah mengakui kekalahan maka kita ini akhirnya mengembangkan ego, ego itu menjadi keras, makin sering kita tidak bersedia mengakui kekalahan berarti makin bertumbuh dan kaku ego kita. Sebagai akibatnya makin sukar laki-laki mengakui kesalahannya, karena egonya makin keras. Alhasil laki-laki cenderung menganggap diri benar karena egonya tidak mau mengaku kalah, sehingga selalu menganggap diri benar dan merasa malu kalau dia harus mengakui salah. Itu sebabnya laki-laki atau perempuan juga punya masalah yang sama, tapi saya kira lebih umum laki-laki sukar meminta maaf, kalau mau meminta maaf maka dia harus bergumul, mungkin menurut saya sebetulnya laki-laki tidak terlalu mementingkan kemenangan dan tidak semua laki-laki itu harus menang dan sebagainya. Tapi saya kira masalah yang lebih utama adalah laki-laki sukar menerima kekalahan, "Tidak apa tidak menang asal jangan kalah", kalau kalah rasanya susah untuk ditelan oleh laki-laki karena akhirnya ego itu sendiri yaitu tidak mudah mengakui kekalahan.

GS : Memang hal ini seringkali terjadi dan menjadi pengalaman kita. Dampak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Dampak yang lain karena tidak mudah mengakui kekalahan adakalanya laki-laki bersikap tidak realistik dan cenderung bersikap optimistik secara berlebihan misalnya saya bisa bayangkan, saya ingat kita bisa melihat jelas terutama waktu laki-laki tengah berusaha meng-goalkan rencana usahanya, bukankah semua menjadi begitu mudah kalau laki-laki itu ada rencana atau usaha dan dia akan kemas semuanya dalam bingkai yang begitu positif dan optimis, "Pasti menguntungkan dan sebagainya", sangat tidak realistik kadang-kadang. Singkat kata, masalahnya adalah bukankah belum tentu ini akan terjadi seperti yang dikatakannya. Jadi dampak dari kesukaran dia mengakui kekalahan adalah menyempitnya pandangan akan keterbatasan dirinya, begitu mau meng-goalkan usahanya, keterbatasan dirinya tidak dilihat dan dia merasa sanggup akan ini dan itu, ini sebetulnya dampak sampingan dari tidak mudah mengakui kekalahan.

GS : Tetapi memang kaum pria ini lebih banyak membuat rencana artinya segala sesuatu sudah direncanakan dan dia hampir pasti bisa mencapai apa yang diinginkan.

PG : Sudah tentu kalau memang dia bisa memperhitungkan semuanya dengan masak maka tidak apa-apa, namun ada kecenderungan laki-laki itu tidak melihat atau memikirkan dengan masak. Yang penting bagi dia adalah dia bisa meng-goalkan rencananya itu, sehingga tidak lagi realistik dan terlalu optimistik secara berlebihan dan ini akhirnya bisa menjadi masalah yang berlebihan.

GS : Itu bisa dikaitkan dengan kebanggaan diri, Pak Paul?

PG : Saya kira ya, dia tidak bisa melihat dirinya kalah. Jadi sebetulnya karakter yang baik yaitu tidak mudah menyerah dalam kesulitan tapi kadang-kadang tidak realistik dan karena tidak mau menyerah dalam kesulitan serta yang penting jangan sampai kalah. Jadi apapun akan diusahakan dan misalnya tidak ada uang maka dia akan pinjam sana sini, asal dia dapat meng-goalkan usahanya padahalnya beresiko tinggi. Ini memang yang akhirnya menjadi masalah besar.

GS : Apakah ada dampak yang lain, Pak Paul?

PG : Dampak yang ketiga, adakalanya laki-laki terus mengulang kesalahan yang sama karena tidak cepat belajar dari kesalahan yang lama. Dengan kata lain, laki-laki sukar menerima teguran untuk berubah karena tidak mudah mengakui kekalahan itu. Jadi kalau harus terima teguran berarti harus mengakui bahwa dia itu salah tapi tidak mau, akhirnya terus mengulang dan terus mengulang kesalahan yang sama. Inilah yang harus kita waspadai.

GS : Memang ini sangat peka sekali apalagi kalau teguran itu dilakukan di depan umum maka dia akan merasa sangat terpukul, lebih-lebih kalau yang melakukan teguran itu adalah istri atau anaknya, itu akan menjadi pukulan yang sangat telak bagi dia.

PG : Betul. Jadi sekali lagi siapa pun yang harus menegur apalagi kalau istrinya memang istri itu harus peka dengan hal ego, hal laki-laki ini adalah egonya. Jadi kalau dia memojokkan si suami meskipun dia tahu dia salah, si suami itu akan tetap menolak untuk mendengar masukan dari istrinya.

GS : Kalau hubungan dengan anggota keluarga yang lain, ini pengaruhnya apa, Pak Paul?

PG : Pengaruhnya memang sangat luas sekali. Misalnya kita sudah bicarakan tentang karakter yang pertama itu yakni tentang tidak beremosi sama sekali menyangkal perasaan, ini sebetulnya berdampak sangat luas di dalam relasi dengan pasangan hidupnya. Misalnya tidak heran cukup banyak istri yang mengeluhkan masalah, "Kenapa saya tidak dimengerti oleh suami saya, perasaan-perasaannya tidak bisa dipahami" atau kita juga mendengar keluhan istri tentang suaminya yang bermasalah dengan kemarahan dan tidak bisa bicara hal lain dan tidak bisa mengungkapkan perasaan yang lain, hanya bisanya mengeluarkan kemarahan. Atau kita mungkin pernah mendengarkan keluhan istri terhadap suami yang menarik diri, menutup diri, karena tidak bisa berhadapan dengan situasi yang mengandung emosi. Jadi sekali lagi ini berdampak. Juga tentang tidak mudah mengakui kekalahan dalam relasi dengan istrinya sudah tentu menjadi duri, berapa banyak kita mendengar keluhan istri, "Suami saya itu tidak pernah mengakui kesalahan dan tidak pernah minta maaf" atau kita mendengar keluhan istri tentang suami yang menghabiskan banyak uang karena salah perhitungan dalam berbisnis tapi terus mengulang kesalahan yang sama, apalagi misalnya yang jatuh ke dalam dosa seksual, tidak setia, tapi jatuh lagi dan jatuh lagi. Ini bagian dari karakter yang seharusnya positif, yaitu kuat tapi akhirnya menimbulkan masalah karena memang laki-laki itu tidak mengembangkan karakter yang kuat yaitu secara positif.

GS : Tapi pengembangan karakter seperti ini sebenarnya harus dilakukan sejak anak-anak, sedini mungkin padahal seringkali orang tua justru mengarahkan anak laki-lakinya untuk memunyai sikap-sikap seperti itu misalnya untuk mengungkapkan emosi karena tidak diajarkan oleh orang tua kita atau tidak boleh kalah, sejak kecil pun kita sudah ditanamkan tidak boleh kalah.

PG : Maka terpulang pada apa yang dilihat oleh si anak pada masa kecil, misalkan si anak melihat si ayah bisa meminta maaf pada si ibu waktu dia salah, waktu dia melihat si ayah bisa meneteskan air mata sewaktu sedih, waktu si ayah bisa mengakui kesalahannya dan kekalahannya, hal-hal itu menjadi pelajaran yang sangat berguna karena anak akan melihat, "Tidak apa-apa, berarti kalau saya nanti meneteskan air mata atau menangis tidak apa-apa, waktu saya kalah saya tidak bisa menang juga tidak apa-apa". Jadi waktu dia melihat semua itu dia pun akhirnya membolehkan dirinya mengakui semua itu, ini yang lebih sehat daripada memaksakan diri untuk tidak mudah dipengaruhi emosi padahalnya ada emosi yang memang harus dihayati, daripada menyangkal dan menyangkal lebih baik diakui. "Memang saya sedang merasa seperti ini tapi saya akan coba berjalan lagi", jadi jangan sampai kita menyangkalinya dan lebih baik, kita harus akui. Kemudian tentang tidak mudah menyerah karena dituntut harus berani dan tidak menyerah, tapi akhirnya tidak realistik dan membabi buta maka lebih baik kita lihat jika tidak bisa lagi terus, maka kita harus berkata, "Baiklah setop di sini dan saya keliru". Justru kalau si anak melihat orang tuanya bisa mengakui hal itu maka dia pun akan belajar juga untuk mengakui keterbatasannya.

GS : Ada suatu peristiwa menarik beberapa hari yang lalu yang saya saksikan sendiri, ketika orang tua meneteskan air mata, saya rasa ini cucunya bukan anaknya karena jarak usia mereka terlalu jauh. Si cucu ini malah menertawakan kakeknya, "Lho kakek menangis" jadi rupanya tidak ada penjelasan dari kakeknya dan berhenti sampai di situ. Kakeknya hanya mengusap air matanya dan cucunya juga menertawakan.

PG : Jadi sebenarnya itu adalah sebuah kesempatan bagi si kakek memberikan pelajaran kepada cucunya, "Nak, waktu kita sedih kita meneteskan air mata itu adalah hal yang normal dan seharusnya, waktu kita senang kita tertawa itu juga adalah hal yang seharusnya dan yang wajar". Jadi kita mengajarkan kepada anak atau cucu kita bahwa ini yang benar, kekuatan pria justru nampak dari semua ini sebab tidak berarti waktu kita mengakui kita sedih kita itu lemah, tidak! Waktu kita meneteskan air mata tidak berarti kita lemah, waktu Tuhan Yesus harus membangkitkan Lazarus, Dia kehilangan sahabatnya, Dia sedih dan Dia juga meneteskan air mata. Jadi itu normal sehingga firman Tuhan berkata, "menangislah dengan yang menangis, bersukacitalah dengan yang bersukacita". Tuhan tidak ingin kita menyangkali keberadaan emosi kita.

GS : Jadi seringkali pengertian kita tentang pria yang kuat berbeda dengan yang sebenarnya dan dalam hal ini apa yang firman Tuhan katakan, Pak Paul?

PG : Di Amsal 24:5 firman Tuhan berkata, "Orang yang bijak lebih berwibawa dari pada orang kuat, juga orang yang berpengetahuan dari pada orang yang tegap kuat." Jadi firman Tuhan disini menegaskan kekuatan itu bukan pada kekuatan fisik, lebih pada kekuatan jiwa seseorang. Ini yang perlu kita bangun bersama dan bukan dengan jalan menyangkali perasaan dan bukan dengan jalan menjadi tidak realistik dengan keterbatasan diri, tapi berani mengakui diri apa adanya namun kita bersandar kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan dan hikmat bagaimana kita seharusnya melangkah.

GS : Tadi di awal perbincangan Pak Paul katakan ada 4 pengertian berkenaan dengan topeng laki-laki kuat ini dan kita baru membicarakan dua saja, berarti kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang dan kita berharap para pendengar kita juga bisa mengikuti perbincangan yang akan datang.

Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Topeng Laki-laki" bagian yang pertama, kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



44. Topeng Laki-laki 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T351B (File MP3 T351B)


Abstrak:

Lingkungan seringkali menuntut kita yang berlebihan, kalau kita bisa menjadi seperti yang lingkungan harapkan maka kita bisa menjadi diri sendiri seutuhnya. Tapi ketika keinginan itu tidak bisa kita lakukan dalam kehidupan kita. Maka kita akan memakai topeng ketika berada di tengah-tengah lingkungan. Dan di sini kita akan mempelajari topeng apa yang akan dipakai oleh laki-laki ketika tidak bisa memenuhi keinginan dari lingkungan.


Ringkasan:

Meski kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, namun pada kenyataannya kita menjadi laki-laki-atau perempuan lewat proses pembentukan. Singkat kata kita belajar menjadi laki-laki atau perempuan, melalui pengamatan sendiri maupun pengondisian yang kita alami dari orang dan budaya di sekitar.

Ada tuntutan dan pengharapan yang kita terima dari lingkungan untuk menjadi laki-laki atau perempuan.

Pada akhirnya tuntutan dan pengharapan itu menjadi sekadar topeng yang kita pakai supaya kita tetap diterima oleh lingkungan. Sebagai akibatnya kita tidak akan hidup bebas; kita senantiasa hidup dalam ketegangan—antara menjadi diri yang sebenarnya dan menjadi diri yang diharapkan.

Topeng Pria: Kuat

Pada umumnya laki-laki dituntut untuk menjadi pribadi yang kuat, dalam pengertian:

  1. Tidak mudah dipengaruhi emosi
  2. Tidak mudah menyerah dalam kesulitan
  3. Tidak takut menghadapi bahaya
  4. Tidak lepas kendali.

  1. Sebagaimana dapat kita lihat sebenarnya keempat tuntutan ini merupakan empat karakter yang baik. Namun dalam perjalanannya, sering kali keempat karakter ini berkembang secara berkelebihan. Misalnya, "TIDAK MUDAH DIPENGARUHI EMOSI" berubah menjadi "tidak beremosi sama sekali." Kita mafhum bahwa mustahil buat kita untuk tidak beremosi, jadi yang sesungguhnya terjadi adalah kita bukannya tidak beremosi melainkan "menyangkal perasaan atau emosi yang ada." Dampak "Tidak Beremosi Sama Sekali"

    • Laki-laki mengalami kesukaran untuk bukan saja mengenali dan menghayati perasaan sendiri, tetapi juga mengenali dan menghayati perasaan orang lain.
    • Oleh karena tidak dapat mengenali dan menghayati pelbagai perasaan, sering kali semua perasaan mengerucut menjadi satu perasaan yaitu kemarahan.
    • Laki-laki cenderung menarik diri dari situasi yang bermuatan emosi. Dengan kata lain, akhirnya laki-laki menutup diri.

    Itu sebab penting bagi laki-laki untuk mengembangkan karakter "tidak mudah dipengaruhi emosi" secara benar yakni bukan menyangkal perasaan melainkan mengenali, menghayati, DAN mengelolanya. Emosi yang dikelola cenderung lebih terkendali dan justru dapat menjadi aset buat laki-laki dalam berelasi. Jadi, belajarlah mengungkapkannya sewaktu perasaan itu masih dalam kadar yang lemah, dan jangan tunggu sampai menjadi gunung emosi.
  2. "TIDAK MUDAH MENYERAH DALAM KESULITAN" juga adalah karakter yang baik namun dalam perkembangannya acap kali karakter ini berubah menjadi "tidak mudah mengakui kekalahan." Singkat kata "menyerah" dianggap kekalahan dan inilah yang coba dihindari dengan pelbagai cara. Dampak "Tidak Mudah Mengakui Kekalahan"

    • Dampak pertama adalah berkembang dan mengerasnya ego. Sebagai akibatnya makin sukar laki-laki mengakui kesalahannya. Itu sebab bagi laki-laki meminta maaf merupakan pergumulan tersendiri. Mungkin laki-laki tidak terlalu mementingkan kemenangan; laki-laki hanya sukar menerima kekalahan.
    • Dampak kedua adalah adakalanya laki-laki bersikap tidak realistik dan cenderung bersikap optimistik secara berlebihan. Kita dapat melihat ini dengan jelas terutama tatkala laki-laki tengah berusaha meng-golkan rencana usahanya. Singkat kata, dampak dari kesukarannya mengakui kekalahan adalah menyempitnya pandangan akan keterbatasan dirinya.
    • Dampak ketiga adalah adakalanya laki-laki terus mengulang kesalahan yang sama karena tidak cepat belajar dari kesalahan yang lama. Dengan kata lain, laki-laki sukar menerima teguran untuk berubah.

    Tidak mudah menyerah dalam kesulitan adalah karakter yang indah namun sering kali dalam perkembangannya karakter ini berubah bentuk menjadi negatif, yaitu tidak mudah mengakui kekalahan. Itu sebab laki-laki perlu terus mengembangkan sikap tidak menyerah sekaligus bersedia dikoreksi sejak awal. Biasakan diri untuk membuka telinga dan memeriksa diri. Biasakan untuk meminta maaf untuk kesalahan yang diperbuat. Biasakan diri untuk meminta pendapat orang, terutama pasangan sendiri, meski hal ini dapat memperlambat pengambilan keputusan.
  3. "TIDAK TAKUT MENGHADAPI BAHAYA" sebenarnya adalah karakter yang indah namun acap kali karakter ini berubah menjadi "tidak mengindahkan rambu". Seharusnya "tidak takut menghadapi bahaya" berarti memerhitungkan bahaya namun memiliki keberanian menghadapinya karena perlu. Namun sayangnya karakter ini bermorfosis menjadi "tidak mengindahkan rambu." Dampak "Tidak mengindahkan rambu"

    • Dampak pertama adalah sikap seperti ini memudahkan laki-laki jatuh ke dalam perangkap iblis. Betapa banyak dan seringnya laki-laki jatuh ke dalam dosa akibat tidak mengindahkan rambu-rambu yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Tidak heran penjara lebih banyak dihuni laki-laki dibanding perempuan.
    • Dampak kedua adalah laki-laki cenderung mengembangkan jiwa pemberontak. Sering kali secara membabi buta laki-laki mengambil keputusan keliru hanya karena ingin menunjukkan pemberontakannya.
    • Dampak ketiga adalah laki-laki rentan merugikan orang. Oleh karena tidak mengindahkan rambu maka laki-laki akhirnya melakukan perbuatan yang merugikan orang-orang di sekitarnya. Singkat kata, ada kecenderungan laki-laki untuk tidak mempedulikan orang lain demi kepentingan sendiri.

    Sesungguhnya karakter tidak takut bahaya adalah karakter yang indah selama diimbangi dengan perhitungan yang masak. Laki-laki mesti terus memperhitungkan dengan masak akibat dari perbutannya. Terutama, laki-laki mesti menempatkan diri pada posisi orang lain, bukan hanya diri sendiri, sewaktu mengambil keputusan. Terpenting, laki-laki mesti hidup takut akan Tuhan dan penghukuman-Nya.
  4. "TIDAK LEPAS KENDALI" seyogianya lahir dari rasa bertanggung jawab yang besar. Dari sinilah muncul keinginan untuk memastikan semua berjalan dengan baik. Sayangnya karakter yang baik ini sering kali berubah menjadi "keinginan menguasai segalanya." Dampak "Keinginan menguasai segalanya"
    • Dampak pertama dari "keinginan menguasai segalanya" adalah "tidak menghargai orang." Besar potensi laki-laki untuk "memakai" orang, dan tidak "memanusiakan" orang. Semua akhirnya diukur dari segi kegunaan—selama masih berguna, dipakai; begitu tidak lagi berguna, dicampakkan. Itu sebabnya besar kemungkinan buat laki-laki untuk terjerat ke dalam kehidupan yang pragmatis dan menjauh dari kehidupan yang spiritual.. Tidak heran banyak yang hanya bersemangat melayani Tuhan sewaktu merasa diberkati. Begitu tidak lagi merasa diberkati, Tuhan pun dilepaskan.
    • Dampak kedua dari "keinginan menguasai segalanya" adalah ""memaksakan kehendak dan rencana pribadi." Tidak mudah bagi laki-laki untuk melepaskan kehendak pribadi dan mengikuti kehendak orang lain. Itu sebab lebih mudah buat laki-laki untuk tunduk kepada atasan dan melepaskan kehendak pribadi daripada bernegosiasi dan melepaskan kehendak dengan pihak yang sederajat. Tidak heran, tidaklah mudah bagi laki-laki untuk beriman dan berserah kepada Tuhan. Selama kehendak Tuhan sama dengan kehendak pribadi, Tuhan disembah. Begitu kehendak Tuhan berbeda dari kehendak pribadi, Tuhan pun ditinggalkan. Itu sebabnya bagi kebanyakan laki-laki beriman dan berserah menjadi pergumulan panjang yang tak habis-habisnya.
    • Dampak ketiga dari "keinginan menguasai segalanya" adalah "mendasari penghargaan diri atas keberhasilan." Makin sering memetik keberhasilan, makin membesar "aku." Dan, makin membesar "aku," makin mengecil peran Tuhan dan orang lain. Sebaliknya, makin berkurang keberhasilan, makin mengecil penghargaan diri. Sayangnya sebagian laki-laki bukannya datang kepada Tuhan dan berserah kepada-Nya, mereka malah marah dan meninggalkan Tuhan.

Tidak bisa tidak, semua ini berdampak pula pada relasinya dengan istri. Berapa sering kita mendengar keluhan istri bahwa suami tidak menghargainya dan hanya menghargai selama ia berguna bagi suami. Berapa banyak istri yang merasa dipakai sebagai obyek ketimbang dikasihi dan dihargai sebagai seorang pribadi yang utuh? Berapa sering kita mendengar keluhan istri tentang suami yang memaksakan kehendak dan susah sekali diajak berdialog? Berapa sering kita mendengar keluhan istri tentang suami yang tidak mau berbakti kepada Tuhan—apalagi melayani-Nya—karena tidak tertarik atau tidak mau buang waktu?

Mungkin tidak ada ayat yang lebih tepat buat laki-laki selain dari Matius 6:33, "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Topeng Laki-laki". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita telah membicarakan sebagian tentang topeng laki-laki yaitu kekuatan dan Pak Paul sudah menguraikan, sekarang kita akan lanjutkan perbincangan ini namun supaya para pendengar kita bisa mengikuti secara utuh, Pak Paul bisa mengulang secara singkat apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lampau?

PG : Pada dasarnya kita membicarakan tentang apa yang dituntut oleh lingkungan terhadap diri kita untuk menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan. Kita bahas yang pertama yaitu tentang menjadi seorang laki-laki, pada umumnya yang diharapkan oleh lingkungan terhadap kita laki-laki adalah kita memunyai sebuah kepribadian yang kuat. Saya membagi dalam beberapa aspek atau definisi, yang pertama adalah seharusnya kuat itu berarti tidak mudah dipengaruhi oleh emosi sehingga kita bisa mengambil keputusan secara tepat atau bijak. Namun karena tidak semua kita bisa mengembangkan karakter ini, akhirnya karena kita ingin tetap dilihat kuat oleh lingkungan maka kita mengembangkan sesuatu yang berbeda yaitu bukannya tidak mudah dipengaruhi oleh emosi tapi kita malah mengembangkan karakter tidak beremosi sama sekali alias kita menyangkali keberadaan emosi kita dan itu yang tidak tepat. Yang kedua adalah untuk menjadi seorang pribadi yang kuat dituntut ketangguhan untuk tidak mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan, tapi karena tidak semua kita bisa memunyai karakter seperti itu maka kita akhirnya menggunakan jalan yang keliru, justru kita menjadi orang yang tidak mudah mengakui kekalahan. Jadi kita identikkan menyerah dengan kekalahan. Jadi kita benar-benar mengharapkan kata menyerah pokoknya harus menang terus dan jalan terus, kadang-kadang akhirnya kita tidak realistik optimisnya secara berlebihan dan malah merugikan banyak orang. Jadi ini yang sedang kita bahas, pentingnya kita mengerti apa yang seharusnya kita perbuat dan apa karakter yang dibutuhkan yang menjadikan kita pribadi yang kuat.

GS : Jadi kalau kita sudah bicarakan dua hal maka poin yang ketiga apa, Pak Paul?

PG : Poin yang ketiga adalah biasanya waktu kita pikir tentang kata kuat sebagai seorang laki-laki artinya tidak takut menghadapi bahaya. Seharusnya memang dua karakter yang baik dan indah yaitu tidak takut menghadapi bahaya tapi sebagian kita tidak mampu memunyai karakter seperti ini, kita tetap ingin dilihat menjadi pribadi yang kuat tidak takut bahaya, akhirnya kita menjadi orang yang tidak mengindahkan rambu dalam hidup ini. Jadi seharusnya tidak takut menghadapi bahaya berarti kita memerhitungkan bahaya namun memiliki keberanian menghadapinya karena memang harus, dan kadang-kadang itu yang harus kita perhatikan dalam hidup ini. Kita tahu kita harus mengambil resiko dan kita sudah perhitungkan dan kita harus melakukannya, namun sayangnya seringkali karakter ini tidak bisa dicapai dan kita mengembangkan karakter yang lain yaitu tidak memedulikan bahaya sama sekali. Ini bisa kita lihat terutama pada anak laki-laki di usia muda, untuk menunjukkan kepada teman-temannya kalau dia tidak takut bahaya, bukannya bijaksana menghitung-hitung resikonya justru menunjukkan keberaniannya dengan cara tidak mengindahkan bahaya sama sekali akhirnya misalnya terjadi kecelakaan, kita akhirnya mendapatkan musibah berat dan sebagainya karena tidak lagi memedulikan rambu-rambu.

GS : Seringkali kita sebagai pria dipanas-panasi dan berkata bahwa "Kaum pria itu harus berani menghadapi tantangan" jadi ini semacam tantangan yang harus dihadapi, tapi penuh dengan bahaya.

PG : Betul. Jadi laki-laki seringkali mendapatkan tantangan dari lingkungan untuk membuktikan dirinya. Maka laki-laki yang kuat dengan cara yang benar adalah laki-laki yang seharusnya memperhitungan resikonya, dan kalau dia tidak bisa maka dia harus berkata, "Tidak bisa" atau dia bisa berkata, "Resiko terlalu besar dan saya tidak bisa ambil itu" dan itu tidak apa-apa. Tapi ada orang yang karena ingin dilihat sebagai laki-laki yang kuat, sampai berani nekat membutakan mata asal tabrak saja, tidak peduli lagi, justru ini yang seringnya terjadi.

GS : Dan itu berkaitan erat dengan yang Pak Paul katakan pada kesempatan yang terdahulu bahwa laki-laki itu tidak mau kalah.

PG : Jadi daripada nanti dikatakan pengecut, kalah dengan teman-temannya yang lain maka dia harus buktikan, dia harus berani. Sekali lagi memang laki-laki cenderung rentan terperangkap di dalam masalah ini pada usia muda, pada usia tua biasanya laki-laki lebih bijaksana, tapi pada usia lebih muda biasanya ini menjadi jeratan pada hidup laki-laki.

GS : Dampaknya apa, Pak Paul?

PG : Dampaknya yang pertama mudah jatuh ke dalam perangkap iblis. Betapa banyak dan seringnya laki-laki jatuh ke dalam dosa akibat tidak mengindahkan rambu-rambu yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Jadi misalnya secara fakta, lebih banyak laki-laki yang ditangkap dan menjadi narapidana di penjara dibandingkan perempuan. Kenapa? Karena tidak mengindahkan rambu-rambu, tidak mau tahu apakah dia salah atau tidak, yang penting ingin membuktikan diri dan tetap melakukan, menerjang saja dan yang salah dilakukan dan tidak boleh juga diperbuat. Jadi kecenderungan untuk jatuh ke dalam dosa akhirnya sangatlah besar.

GS : Apakah ada dampak yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kedua, kecenderungannya laki-laki adalah mengembangkan jiwa pemberontak karena tidak mau mengindahkan rambu-rambu, pokoknya asal tabrak saja, jadi laki-laki itu lebih rentan mengembangkan jiwa pemberontak dibandingkan perempuan. Seringkali laki-laki mengambil keputusan yang keliru hanya karena ingin menunjukkan pemberontakannya, dia tidak bisa terima dan kemudian dia langsung melakukan hal yang sebaliknya. Misalnya saya masih ingat waktu saya masih kuliah dulu, saya dengan istri saya yang saat itu masih menjadi pacar saya mengalami konflik sebab saat itu rasanya dia sedang siap-siap untuk kembali lagi kepada pacarnya yang pertama maka kira-kira saya akan putus dengan dia. Ketika saya mendengar kabar itu saya sangat terluka hati dan saya masih ingat malam itu, saya langsung mengambil keputusan saya ingin ke rumah teman saya. Masalahnya adalah saya tinggal di Los Angeles dan teman saya tinggalnya di San Fransisco, jadi harus mengendarai mobil 8 jam. Malam-malam jam 12 malam saya menyetir mobil sendirian, itu adalah sebuah kebodohan yang sebetulnya tidak perlu, bagaimana kalau saya mengantuk di jalan bisa tabrakan dan sebagainya. Sekali lagi kadang-kadang laki-laki tidak bisa terima. Jadi rambu-rambu bahaya dan sebagainya bisa langsung ditabrak karena kita laki-laki lebih mudah mengembangkan jiwa pemberontak dibandingkan perempuan.

GS : Di dalam menabrak atau melanggar rambu-rambu seringkali yang ditabrak bukanlah rambu-rambunya sendiri, tapi bisa jadi orang-orang yang di sekelilingnya yang menjadi korban.

PG : Jadi ini dampak yang ketiga adalah karena laki-laki itu tidak mudah mengindahkan rambu-rambu akhirnya rentan merugikan orang banyak, oleh karena tidak mengindahkan rambu maka akhirnya laki-laki melakukan perbuatan yang merugikan orang-orang di sekitarnya, karena kenapa? Karena mau menuruti hawa nafsunya, pokoknya apa yang dianggapnya benar dia ingin dilakukan dan tidak dipedulikan lagi, berapa banyak anak laki-laki yang menghabiskan uang orang tuanya karena perbuatannya yang konyol, misalnya tabrakan dan sebagainya, akhirnya orang tua harus keluar uang begitu besar untuk si anak. Dan berapa banyak istri dan anak-anak yang harus menderita gara-gara papa yang mengambil keputusan bisnis yang salah sehingga akhirnya semuanya harus menanggung akibatnya, atau misalnya mencoba melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum dan akhirnya ditangkap membuat aib, malu dan sebagainya. Jadi kita harus mengakui bahwa pada umumnya kita laki-laki karena tidak mengindahkan rambu-rambu akhirnya membuat masalah dan membuat orang-orang yang kita kasihi itu menderita.

GS : Tetapi kalau yang menjadi korban adalah keluarga dan keluarga mengingatkan tetap saja kaum pria punya alasan dan berkata, "Memang ini sudah resiko dan harus ditanggung bersama karena kita satu keluarga".

PG : Sudah tentu konsepnya betul bahwa kita harus menanggung derita bersama tapi seharusnya kita harus memikirkan semua dengan masak-masak terlebih dahulu. Jadi dengan kata lain, kita harus menempatkan diri pada posisi orang lain dan bukan hanya diri sendiri sewaktu mengambil keputusan. Kita tidak hidup untuk diri kita lagi, kita memunyai orang tua dan keluarga, kita memunyai istri dan anak, jadi ada banyak orang yang akan terkena kalau kita mengambil keputusan yang salah dan merugikan banyak orang. Dan kita laki-laki benar- benar harus hidup takut akan Tuhan dan takut akan hukuman-Nya. Kalau kita laki-laki tidak ada rasa takut akan Tuhan maka kita akan jauh lebih mudah jatuh ke dalam dosa, berbuat hal-hal yang salah dan kita lebih sering memberontak dan tidak peduli dampak perbuatan kita kepada orang lain dan kita akhirnya menjadi orang yang sangat egois sekali.

GS : Seringkali ada orang yang nekat di dalam keluarga dengan satu tujuan untuk menarik perhatian dari anggota keluarganya, jadi dia melakukan itu untuk menarik perhatian dari anggota keluarganya dan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Ada yang begitu, mungkin sekali dia merasa dia itu tidak dipandang, tidak terhormat, tidak dianggap, tidak punya apa-apa yang dibanggakannya akhirnya dia melakukan sesuatu yang sangat ekstrem supaya akhirnya diperhatikan meskipun dia mendapatkan perhatian yang negatif tapi setidak-tidaknya dia mendapatkan pengakuan kalau dia berani, itulah yang sering terjadi.

GS : Apakah ada dampak negatifnya, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kalau dia akhirnya berbuat hal yang salah, akhirnya justru membuat susah satu keluarga gara-gara keputusannya yang salah itu, misalnya dia ngebut-ngebutan dengan mobil, supaya menunjukkan kalau dia orang yang bisa ngebut jalan paling cepat dan teman-temannya tidak ada yang bisa mengalahkan, tapi akhirnya tabrakan semua habis, kesehatannya habis, mobilnya habis. Itu semua bisa merugikan keluarganya.

GS : Hal yang keempat mengenai kekuatan ini apa, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah kita biasanya berkata seseorang itu kuat kalau dia orang yang tidak mudah lepas kendali artinya dirinya itu sebuah diri yang terkontrol dengan baik. Dan juga dalam menyelesaikan tanggung jawab atau tugasnya dia benar-benar menjaga semua dengan baik. Inilah yang kita sebut kuat. Tapi dari karakter yang baik ini kalau kita tidak sanggup memunyainya tapi ingin diakui sebagai orang yang kuat, akhirnya kita malah lari kepada keinginan menguasai segalanya. Jadi beda antara tidak mudah lepas kendali, bertanggung jawab atas semuanya dan menguasai segalanya, itu beda. Tapi sekali lagi karena sebagian tidak sanggup untuk menjadi yang seharusnya, akhirnya memilih jalan yang salah yaitu menguasai segalanya supaya dilihat orang dia kuat, padahal sebetulnya bukan. Dampaknya yang pertama adalah dari keinginan menguasai segalanya adalah tidak menghargai orang. Disini kita harus mengakui besar potensi laki-laki untuk memanfaatkan atau memakai orang dan tidak memanusiakan orang. Jadi semua diukur dari segi kegunaan, teman, persahabatan selama masih berguna dipakai, begitu tidak lagi berguna dicampakkan. Kadang-kadang ini juga dilakukan terhadap istrinya, selama istrinya masih berguna bagi dia maka dia baik-baik, begitu istrinya tidak dianggap tidak berguna, maka dicampakkan. Jadi besar kemungkinannya bagi laki-laki terjerat masuk ke dalam kehidupan yang pragmatis dan menjauh dari kehidupan yang spiritual. Karena bagi sebagian laki-laki buang-buang waktu berbakti kepada Tuhan, bergereja, melayani Tuhan. Atau ada laki-laki yang hanya bersemangat melayani Tuhan sewaktu merasa diberkati Tuhan, jadi ada hasilnya melayani Tuhan. Begitu tidak diberkati Tuhan, maka Tuhan dilepaskan. Jadi kecenderungannya karena ingin menguasai segalanya akhirnya tidak menghargai Tuhan dan tidak menghargai orang dan maunya hanya memakai Tuhan atau orang.

GS : Ini sangat dipengaruhi karena kepala keluarga atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu tidak mesti karena kita kepala keluarga kita harus menjadi seperti itu. Jadi sekali lagi tidak mudah lepas kendali dengan pengertian bertanggung jawab dan memastikan semua baik. Ini adalah kwalitas yang baik sebagai kepala keluarga, namun ada orang yang tidak sanggup menjadi seperti itu dan akhirnya karena tetap ingin dilihat kuat sebagai kepala keluarga, justru larinya kepada menguasai anak istri, semuanya harus seperti yang dia harapkan.

GS : Jadi seolah-olah dia menjadi raja kecil di dalam rumah itu.

PG : Ya seperti itu.

GS : Dan ini bisa ditumbuh kembangkan oleh situasi keluarga itu. Kalau situasi keluarga itu mendukung, ayahnya atau suaminya untuk menguasai maka dia makin menjadi-jadi.

PG : Benar. Ada yang seperti itu akhirnya makin membuat suami itu makin menguasai segalanya.

GS : Atau karena posisinya di pekerjaan dia memunyai anak buah yang cukup banyak yang semua bisa diatur, dan dia menjadi terbawa baik di rumah atau di gereja.

PG : Ada yang seperti itu.

GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Dampak kedua dari keinginan menguasai segalanya adalah memaksakan kehendak dan rencana pribadi. Jadi tidak mudah sebagai laki-laki untuk melepaskan kehendak pribadi dan mengikuti kehendak orang lain, begitu rencana tersusun dalam benak, maka motor kehendak pun menyala dan cenderung susah dimatikan. Itu sebabnya lebih mudah bagi laki-laki untuk tunduk kepada atasan dan melepaskan kehendak pribadi daripada bernegosiasi dan melepaskan kehendak dengan pihak sederajat. Makanya kita dengar laki-laki berkata, "Saya bisa bekerjasama, saya bisa tunduk". Tunduk kepada siapa? Biasanya tunduk kepada atasan. Jadi laki-laki mudah tunduk dalam konteks hirarki, kalau dianggap dia bawahan dan ada atasan maka dia mau tunduk. Tapi kalau dianggap sederajat kemudian bernegosiasi untuk misalnya mengalah maka itu yang susah. Sehingga ada laki-laki di tempat pekerjaan bisa tunduk, tapi di rumah dengan istri tidak bisa mengalah. Jadi yang diperlukan sebetulnya adalah kemampuan untuk bisa bernegosiasi dan juga mengalah, ini yang merupakan ciri dari pada kita ini orang yang bertanggung jawab yang bisa mengatur semuanya.

GS : Sekali lagi itu terkait dengan sikap laki-laki yang mau menang terus, begitu Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Apakah ada dampak yang lain?

PG : Jadi saya sambung lagi itu sebabnya laki-laki itu sukar beriman dan berserah kepada Tuhan. Jadi selama kehendak Tuhan itu sama dengan kehendak pribadi maka Tuhan disembah, begitu kehendak Tuhan berbeda dari kehendak pribadi maka Tuhan ditinggalkan. Itu sebabnya bagi kebanyakan laki-laki, beriman dan berserah menjadi pergumulan panjang yang tak habis-habisnya. Tak gampang bagi laki-laki beriman dan berserah, karena dia ingin menguasai segalanya.

GS : Tadi Pak Paul katakan dia bisa tunduk kepada atasannya, berarti kepada Tuhan kalau dia mengakui Tuhan sebagai atasan, maka dia akan mudah mengakui hal itu.

PG : Betul sekali. Jadi kalau laki-laki bisa tunduk di hadapan Tuhan dan mengakui Tuhan adalah atasannya, barulah dia bisa menjadi laki-laki yang kuat yang dipakai Tuhan.

GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah dampak dari menguasai segalanya yaitu mendasari penghargaan diri atas keberhasilan, betapa seringnya kita tahu laki-laki mendasari penghargaan dirinya atas apa yang dikerjakannya. Makin sering dia memetik keberhasilan maka akibatnya makin membesar ego atau si aku. Dan makin membesar si aku dalam dirinya makin mengecil peran Tuhan dan juga orang lain, sebaliknya makin berkurang keberhasilan makin mengecil penghargaan diri. Jadi ini menjadi masalah bagi laki-laki. Selama dia sukses dia bisa mengerjakan ini dan itu maka penghargaan dirinya kuat, dia tidak bisa dan dia tidak sukses maka penghargaan dirinya hancur. Maka benar-benar semua bergantung pada dirinya sendiri dan dia akhirnya susah sekali datang kepada Tuhan dan berserah kepada-Nya, maka tidak jarang laki-laki waktu usahanya ambruk, marahnya nomor satu kepada Tuhan karena merasa Tuhan itu tega membiarkan dia mengalami kegagalan dalam usahanya. Jadi sekali lagi karena mau menguasai segalanya akhirnya penekanan utamanya pada si aku, "Saya bisa, saya mampu melakukan semua ini" jadi penghargaan dirinya berdasarkan pada apa yang dirinya lakukan, bukan pada penyerahannya kepada Tuhan.

GS : Apakah itu juga yang menyebabkan seorang pria itu lebih sulit mengakui keberhasilan orang lain yang sama-sama pria, Pak Paul?

PG : Saya kira sama, jadi penekanannya pada dirinya, apa yang diperbuatnya akhirnya menyulitkan dia untuk mengakui kemenangan atau keberhasilan orang lain.

GS : Dan mengakui bahwa dia memang kalah selangkah, maka sulit bagi dia kaum pria.

PG : Apalagi kalau yang memunculkan adalah istrinya, istrinya berkata, "Kenapa si ini bisa...." dia dibandingkan dengan orang lain, maka itu adalah hal yang sangat peka bagi si pria.

GS : Semua ini sangat berdampak pada kehidupan keluarga. Jadi keluarga bisa membuat kaum pria ini malah mengembangkan sifat-sifat negatifnya ataupun mengembangkan sifat-sifat yang positif dalam dirinya, ini sangat ditentukan oleh situasi keluarga juga.

PG : Kalau saja dari pihak si istri bisa mengerti dan bisa terus mendorong si suami untuk "Dari awal bergantung kepada Tuhan, jangan bergantung pada diri sendiri, lakukan sebisamu tapi setelah itu serahkan kepada Tuhan". Jadi terus dorong dan ingatkan si suami bahwa, "Apa yang kau peroleh sebenarnya adalah pemberian Tuhan dan bukan karena kemampuanmu semata". Terus harus diingatkan seperti itu dan nanti akan menolong pria itu untuk ingat kalau ini bukanlah dirinya tapi ini adalah akibat dari kemurahan Tuhan yang telah memampukannya.

GS : Juga dukungan dari anak-anak, itu juga diperlukan apalagi kalau anak-anak sudah dewasa.

PG : Jadi orang tua kalau punya relasi yang baik dengan anak, anak-anak juga bisa memberikan masukan kepada orang tua maka itu akan bisa menolong dia tidak jauh keluar dari jalan Tuhan.

GS : Sebaliknya sebagai seorang ayah juga bisa membimbing anak-anaknya laki-laki agar menumbuhkembangkan sifat-sifat yang positif dalam dirinya.

PG : Betul. Jadi sekali lagi kita akan coba merangkumkan yang namanya kuat bukan dengan cara-cara yang salah seperti itu, tapi benar-benar dengan cara yang sehat dan pada akhirnya cara yang sehat itu adalah yang menggunakan cara dan kehendak Tuhan.

GS : Sehubungan dengan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Matius 6:33 saya kira adalah ayat yang tepat bagi laki-laki, "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." Saya kira ayat ini yang harus ditempel di rumah oleh kita laki-laki supaya kita ingat bahwa kita harus cari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya maka semua akan ditambahkan kepada kita, sebab kecenderungan kita laki-laki adalah kebalikannya yaitu kita akan cari yang lainnya baru yang terakhir kita cari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, tidak seperti itu tapi carilah Tuhan dan kebenaran-Nya maka nanti selebihnya Tuhan akan tambahkan.

GS : Saya kira kita masih-masing harus lakukan apa yang Tuhan Yesus telah sabdakan lewat Matius ini.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Topeng Laki-laki" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



45. Topeng Perempuan 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T353A (File MP3 T353A)


Abstrak:

Laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan, sama-sama berharga dan sama-sama dikasihi. Ketika laki-laki dan perempuan masuk ke dalam lingkungan masyarakat, ternyata perempuan memiliki tuntutan yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Apa saja tuntutannya? Kalau perempuan kurang bisa memenuhi tuntutan itu, perempuan tersebut menjadi menggunakan topeng di dalam kesehariannya.


Ringkasan:

Meski kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, namun pada kenyataannya kita menjadi laki-laki-atau perempuan lewat proses pembentukan. Singkat kata kita belajar menjadi laki-laki atau perempuan, melalui pengamatan sendiri maupun pengondisian yang kita alami dari orang dan budaya di sekitar.

Ada tuntutan dan pengharapan yang kita terima dari lingkungan untuk menjadi laki-laki atau perempuan.

Pada akhirnya "keberhasilan" kita memenuhi tuntutan dan pengharapan sekadar topeng yang kita pakai supaya kita tetap diterima oleh lingkungan. Sebagai akibatnya kita tidak akan hidup bebas; kita senantiasa hidup dalam ketegangan—antara menjadi diri yang sebenarnya dan menjadi diri yang diharapkan.

Sebagai perempuan, mungkin salah satu tuntutan yang kerap diembankan adalah menjadi SEMPURNA, yang berarti:

  1. Selalu Tahu Membawa Diri dalam Setiap Situasi

    Salah satu ciri kesempurnaan yang dilekatkan pada perempuan adalah perempuan diharapkan "tahu membawa diri." Itu sebab ada begitu banyak aturan untuk bersikap dan berpenampilan yang diembankan pada perempuan. Dari cara duduk sampai cara makan, dari cara berbicara sampai cara berjalan, dari bercengkrama dengan teman sampai berbicara dengan kerabat, semua sudah digariskan dan hampir semuanya diembankan pada perempuan, lebih dari laki-laki. Sudah tentu, selalu tahu membawa diri dalam setiap situasi, adalah sebuah karakter yang indah. Masalahnya, oleh karena besarnya tekanan ini akhirnya banyak perempuan memilih untuk "memendam dirinya." Daripada memunculkan diri yang sebenarnya—dan bertentangan dengan tuntutan untuk membawa diri—akhirnya perempuan memilih untuk tidak berkehendak dan tidak bersuara.

    Dampak "memendam diri"
    • Sebagai akibat tidak berani menyuarakan dirinya, banyak perempuan yang hidup dalam ketertekanan. Banyak yang hidup dalam ketegangan antara menjadi seperti yang diharapkan dan menjadi apa adanya. Namun pada akhirnya banyak yang memilih untuk hidup seperti yang diharapkan. Semua dikerjakan kendati jiwa tertekan. Alhasil banyak perempuan yang hidup dalam ketidakbahagiaan.
    • Dampak berikut adalah banyak perempuan yang pada akhirnya hidup untuk menjalani peran dan tanggung jawab semata. Di satu pihak ini adalah baik, namun di pihak lain, ia kehilangan dirinya DAN kesempatan untuk memberi sumbangsih sesuai dengan karunia yang diberikan Tuhan kepadanya.
  2. Selalu Berkorban

    Ini adalah ciri kesempurnaan yang juga kerap diasosiasikan dengan perempuan. Secara tidak adil kita lebih memberikan izin kepada laki-laki untuk mementingkan diri ketimbang perempuan. Pada umumnya kita lebih sukar menerima perempuan yang egois daripada laki-laki yang egois. Kita menuntut perempuan untuk senantiasa mendahulukan orang lain. Bagi banyak orang, perempuan identik dengan orang yang memberikan dirinya atau hidupnya buat orang lain. Sudah tentu, tidak egois, memberikan diri, dan rela berkorban adalah karakter yang indah. Masalahnya adalah, sebagian perempuan pada akhirnya juga menuntut orang untuk bersedia memberikan diri sepenuhnya kepadanya dan bersedia mengorbankan apa pun demi kepentingannya. Ia menjadi begitu cepat terluka bila orang menolak untuk memberikan diri sepenuhnya kepadanya.

    Dampak "menuntut orang"
    • Di satu pihak perempuan memberikan diri dan bersedia menanggung banyak demi kepentingan orang, di pihak lain perempuan cenderung menjadi bergantung pada orang lain pula untuk memenuhi kebutuhannya. Seakan-akan ia hanya dapat hidup bila ada orang lain yang juga memberikan diri kepadanya.
    • Ada kecenderungan perempuan untuk menguasai orang untuk memberikan diri kepadanya, misalkan suami, anak, atau teman. Semua ingin diaturnya dan semua mesti berjalan sesuai kehendaknya. Kalau tidak hati-hati, sikap seperti ini malah membuat orang ingin melepaskan diri darinya.
    • Tuntutan agar orang pun memberikan diri kepadanya membuatnya tenggelam dalam relasi. Penghargaan diri dan identitas dirinya lebih ditentukan oleh relasinya dengan orang lain—misalkan, dalam relasinya dengan anak atau suami—seolah-olah di luar relasi, keberadaan dirinya tidaklah penting.
  3. Selalu Memaafkan dan Memercayai

    Betapa seringnya perempuan terluka akibat perbuatan orang yang dikasihinya. Masalahnya adalah sebagai manusia yang diharapkan sempurna, perempuan dituntut untuk selalu dapat memaafkan dan memercayai orang yang telah melukainya—baik itu kerabat, orang tua, anak, maupun suami. Memaafkan dan memercayai adalah karakter yang indah. Masalahnya adalah, sering kali perempuan melakukannya hanya untuk memertahankan relasi yang didambakan. Singkat kata, memertahankan relasi menjadi tujuan akhir dan apa pun akan dilakukannya guna mencapai tujuan tersebut.

    Dampak dari "memertahankan relasi"
    • Adakalanya perempuan memilih untuk menyangkal realitas daripada menerima fakta apa adanya. Misalnya, dengan terus melihat yang positif dan mengabaikan yang negatif. Akhirnya relasi seburuk apa pun tetap digenggam dan harga semahal apa pun tetap dibayar, daripada mengalami kehilangan.
    • Acap kali perempuan menjadi korban gara-gara ingin terus memertahankan relasi yang tidak sehat. Singkat kata, perempuan rentan menjadi korban oleh karena keinginannya memertahankan relasi. Dengan mudah perempuan diperdaya dan dimanipulasi oleh karena kuatnya keinginan memertahankan relasi.
    • Terakhir, oleh karena ingin memertahankan keutuhan relasi, akhirnya perempuan malah melestarikan sesuatu yang tidak sehat di dalam keluarga dan membuat yang lainnya terpengaruh dan menjadi korban oleh yang tidak sehat itu. Alhasil siklus ketidaksehatan terus berputar dan berlanjut dengan pemain yang baru.
  4. Selalu Rohani

    Ciri kesempurnaan lain yang kerap diidentikkan dengan perempuan adalah rohani. Pada kenyataannya memang lebih banyak perempuan yang beribadah dan terlibat dalam pelayanan di gereja dibandingkan laki-laki. Memang pada umumnya perempuan lebih peka daripada laki-laki dalam hal rohani dan cenderung berperan sebagai pendoa dan pembimbing rohani bagi keluarganya. Sudah tentu hal ini adalah indah dan baik serta menyenangkan hati Tuhan. Masalahnya adalah ada kecenderungan bagi perempuan untuk tampil rohani atau kuat, dengan cara menutupi kelemahan. Kita mafhum bahwa sesungguhnya tidak ada kehidupan rohani yang sempurna. Kadang kita kuat, kadang kita lemah. Orang yang rohani tidak selalu kuat dan hal ini bukanlah sesuatu yang mesti ditutupi.

    Dampak "menutupi kelemahan"
    • Pertumbuhan rohani yang sejati berawal dari keterbukaan. Bila kita tidak membuka diri apa adanya dan mengakui kondisi rohani kita yang sesungguhnya, maka akan sulit buat kita untuk bertumbuh.
    • Kecenderungan untuk menutupi kelemahan dapat pula berakibat pada sikap sukar memahami kelemahan orang. Alhasil sikap yang muncul adalah sikap menuntut dan menghakimi.
    • Oleh karena selalu tampil kuat secara rohani, perempuan akhirnya menjadi "tiang sandaran" keluarga dan hal ini dapat membuat yang lain kurang bertanggung jawab dalam kehidupannya.

Kesimpulan : Tuntutan agar perempuan "sempurna" adalah tidak realistik. Mungkin sekali tuntutan ini terkait dengan peran perempuan sebagai seorang ibu. (Bukankah kita menuntut ibu untuk sempurna?) Pada akhirnya peran ini lebih sering membuat perempuan terpenjara dan tidak bebas.

Tuhan Yesus berkata di Yohanes 8:32, "Kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Kendati ayat ini secara spesifik berhubungan dengan Tuhan Yesus sebagai Kebenaran Allah yang memerdekakan kita dari belenggu dosa, namun bukankah kebenaran secara umum juga memerdekakan kita dari kepalsuan hidup? Singkat kata, janganlah karena ingin tampil sempurna sesuai tuntutan, kita malah terperangkap ke dalam kepalsuan hidup.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Topeng Perempuan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita pernah berbicara tentang topeng pria, topeng laki-laki dimana seseorang dituntut oleh lingkungannya untuk melakukan sesuatu yang mungkin belum tentu sesuai dengan jati dirinya sendiri, tetapi ternyata itu bukan hanya dialami oleh kaum pria. Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang topeng perempuan. Sebenarnya apa yang terjadi, Pak Paul?

PG : Begini, Pak Gunawan, pada dasarnya meskipun kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan namun pada kenyataannya kita menjadi laki-laki atau perempuan lewat proses pembentukan. Maksud saya kita belajar menjadi laki-laki atau pun perempuan melewati pengamatan sendiri maupun pengamatan dari orang dan mungkin dari budaya di sekitar kita. Keberhasilan kita ataupun kegagalan kita memenuhi apa yang diharapkan oleh lingkungan akan menentukan penilaian lingkungan terhadap diri kita sebagai laki-laki atau perempuan. Jadi dengan kata lain, kalau kita berhasil maka tuntutan atau pengharapan akan bercampur dengan diri kita, namun jika kita tidak berhasil memenuhinya maka tuntutan dan pengharapan itu tidak menyatu dengan diri kita dan yang akan kita lakukan adalah asal memenuhi saja. Dengan kata lain, kita memakai sebuah topeng supaya kita tetap diterima oleh lingkungan sebagai akibatnya kalau kita hanya mengenakan topeng, kita tidak akan hidup bebas dan kita akan hidup dalam ketegangan antara menjadi diri yang sebenarnya dan diri yang diharapkan. Dan perempuan tidak luput dari tuntutan seperti ini pula. Kita akan mencoba membahas sebetulnya apa yang dituntut oleh lingkungan terhadap perempuan dan apa dampaknya pada perempuan terutama jikalau memang dia tidak bisa memenuhinya.

GS : Tuntutan pada awalnya ketika seseorang masih kecil, tuntutan itu datang dari keluarga dan apakah keluarga tidak mengetahui, jadi sifat-sifat atau jati diri seorang perempuan, Pak Paul?

PG : Sebenarnya tahu tapi karena itulah yang dituntut dan menjadi norma maka semua hanya mengikut saja apa yang telah digariskan oleh lingkungan. Sebagai contoh, banyak wanita di masa lampau tidak begitu menyukai kodratnya sebagai wanita, sebab tuntutan yang diembankan kepada wanita karena mereka tidak sanggup untuk memenuhinya maka menjadi wanita adalah beban yang berat yang harus mereka tanggung. Sudah tentu seorang ibu mengerti hal itu tapi tidak bisa disangkal waktu ibu itu memunyai anak dan anaknya mulai besar dan anaknya kebetulan perempuan, maka dia akan menerapkan tuntutan yang sama pada anak perempuannya. Jadi akhirnya dengan cara itu tuntutan demi tuntutan dilestarikan dari generasi ke generasi.

GS : Jadi sebenarnya sebagai seorang ibu yang tahu bahwa tuntutan itu bisa menimbulkan dia memakai topeng seumur hidupnya maka lebih baik diajarkan kepada anak perempuannya bagaimana menghadapi tantangan atau tuntutan itu, Pak Paul.

PG : Jadi idealnya hubungan ibu dengan anak perempuannya baik, sehingga si ibu bisa menjadi mentor bagi si anak perempuan, memberikan masukan bagaimana caranya memenuhi tuntutan itu dan kalau memang tidak bisa maka biarlah ibu juga mendukung si anak itu untuk mengembangkan diri yang sesungguhnya.

GS : Biasanya tuntutan apa terhadap seorang perempuan, Pak Paul?

PG : Saya akan intisarikan saja dengan satu kata yaitu saya kira pada umumnya perempuan dituntut untuk menjadi sempurna. Jadi kita akan melihat dalam setidak-tidaknya empat aspek dimana perempuan itu dituntut untuk sempurna. Yang pertama adalah selalu tahu membawa diri dan kedua selalu bersedia berkorban dan ketiga selalu memaafkan dan memercayai serta yang keempat selalu rohani. Jadi saya kira inilah empat aspek tuntutan yang semuanya mengerucut pada satu yaitu dituntut untuk sempurna.

GS : Kita akan coba perbincangkan ini satu demi satu. Mengenai tuntutan bahwa perempuan itu dituntut untuk selalu tahu membawa diri dalam semua situasi ini seperti apa, Pak Paul?

PG : Misalnya kita tahu ada begitu banyak aturan yang diembankan kepada perempuan untuk bersikap, untuk berpenampilan dari cara duduk sampai cara makan, dari cara berbicara sampai cara berjalan, dari bercengkrama dengan teman sampai berbicara dengan kerabat, itu semua telah digariskan dan hampir semuanya diembankan kepada perempuan lebih daripada laki-laki. Kita memang melihat ketidakseimbangan, sebab laki-laki itu misalkan kalau mau tertawa terbahak-bahak masih wajar, tapi kalau wanita tertawa terbahak-bahak itu tidak wajar dan mungkin akan diminta untuk mengecilkan volume suara atau diminta menutup mulutnya. Dan cara duduk juga selalu diperhatikan walaupun dua-dua sama-sama memakai celana panjang, kalau laki-laki boleh duduk semaunya tapi kalau perempuan akan ditegur, "Kamu duduknya jangan seperti itu". Jadi benar-benar perempuan memang lebih dituntut untuk dapat membawa diri di dalam setiap situasi.

GS : Tuntutan itu tidak bisa dihindarkan karena datang dari masyarakat luas yang mereka tahu itulah norma kehidupan bermasyarakat dan ini tergantung perempuan atau anak perempuan yang mendapat tuntutan itu sendiri.

PG : Betul. Jadi akan ada perempuan yang kebetulan masuk di dalam garis tuntutan itu, dan mereka akan lebih mudah mengikutinya tapi akan ada anak-anak perempuan yang tidak nyaman dengan tuntutan untuk selalu tahu membawa diri dalam setiap situasi. Inilah anak-anak yang akhirnya akan mengalami kesulitan dan akan mengalami ketegangan antara siapakah dirinya dan apakah yang dituntut oleh lingkungan terhadap dirinya.

GS : Tapi tuntutan untuk bisa selalu membawa diri dalam segala situasi itu adalah sesuatu yang baik sebenarnya, Pak Paul?

PG : Betul, memang itu sesuatu yang baik tapi karena tekanan ini besar akhirnya banyak perempuan memilih untuk memendam dirinya artinya daripada memunculkan diri yang sebenarnya dan akhirnya harus bertentangan dengan tuntutan untuk membawa diri akhirnya perempuan memilih untuk tidak berkehendak dan tidak bersuara. Misalnya dalam sebuah rapat, kita perhatikan misalkan dalam rapat kemajelisan di gereja, ada kecenderungan kalau ada majelis wanita maka kebanyakan mereka akan menunggu sampai majelis yang pria membuka suara dan mengutarakan pendapatnya dan mereka baru akan memberikan pendapat biasanya di belakang dan tidak di depan. Memang tidak semua begitu, tapi akan cukup banyak yang mengambil sikap bersuara di belakang dan tidak di depan. Ada yang justru memilih tidak bersuara sama sekali dari pada nanti dikira ini dan itu. Jadi ada kecenderungan karena wanita ingin dilihat bisa membawa diri di dalam setiap situasi, akhirnya supaya aman dan tidak ada apa-apa maka tidak menonjolkan diri atau memunculkan apa yang sebenarnya menjadi kehendak atau pemikirannya.

GS : Kadang-kadang ada pendapat dari kami kaum pria yang mencoba mengemukakan pendapat, kecenderungan adalah menilai omongannya tidak rasional, terlalu emosional dan sebagainya.

PG : Betul dan mungkin sudah ada tuduhan bahwa tidak semestinya, belum apa-apa sudah lebih dahulu mengeluarkan pendapat dan sebagainya. Atau misalkan mengeluarkan pendapat yang sedikit memaksakan. Kalau laki-laki mungkin dianggap biasa saja tapi kalau perempuan yang sedikit memaksa maka dilihatnya tidak pantas. Jadi ada sebagian wanita yang akhirnya memutuskan daripada saya disalahmengerti dan dituduh ini itu maka saya diam. Jadi ada kecenderungan sebagian wanita memendam dirinya dan ini akhirnya kita saksikan dalam lingkungan kita banyak wanita yang tidak memunculkan siapakah dirinya yang sebenarnya dan apa potensinya, malah menyembunyikan atau memendam dirinya itu.

GS : Tapi di zaman sekarang dimana emansipasi begitu digalakkan maka kecenderungan seperti itu akan jauh berkurang dibandingkan dulu ketika zamannya keluarga ningrat dimana wanita lebih banyak disuruh diam.

PG : Memang makin hari makin terbuka dan kita lebih siap menerima pandangan dari kaum perempuan dibandingkan di masa lampau.

GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Pada akhirnya cukup banyak wanita karena tidak berani menyuarakan isi hatinya, akhirnya hidup dalam ketegangan, banyak yang akhirnya tidak bahagia karena apa yang dikerjakan sebetulnya bukan sungguh-sungguh yang diharapkannya, tapi daripada nanti menimbulkan kesalahpahaman akhirnya dilakukan saja. Jadi banyak akhirnya wanita yang tidak terlalu bahagia, mungkin sekali kita tidak tahu itu karena mereka terbiasa memendam dirinya dan diam saja, tapi sebetulnya banyak yang kurang bahagia.

GS : Kalau itu terjadi di dalam rumah tangga, apakah itu tidak mengganggu anggota keluarga yang lain, misalnya suaminya atau anak-anaknya, Pak Paul?

PG : Saya kira ya, sewaktu dia tidak bahagia tidak lagi secerah dulu dan tidak bisa lagi memberikan dorongan dan kekuatan kepada keluarganya sudah tentu akan berdampak pada orang-orang di sekitarnya pula.

GS : Bagaimana kita sebagai anggota keluarga menyikapi kalau tahu ibu atau istri kita tidak bahagia karena memendam perasaannya, Pak Paul?

PG : Kita harus sering-sering memberikan tanggapan yang positif terhadap komentarnya dan memberikan juga pujian terhadap apa yang dilakukannya, sebab pada akhirnya banyak di antara wanita yang beranggapan bahwa buat apa saya itu menyuarakan isi hati saya sebab nanti disalah pahami dan tidak begitu penting, jadi daripada saya munculkan hal yang tidak penting dan tidak mendapatkan tanggapan maka tidak usah berpendapat. Jadi penting sekali bagi si suami atau anak-anak sering-sering menghargai pandangan istrinya atau mamanya supaya dia akan lebih terbuka dan lebih berani untuk menyuarakan dirinya.

GS : Faktor pendidikan disini sangat besar, kalau perempuan ini seorang yang berpendidikan tinggi mungkin lebih baik kalau dia berbicara dari pada kalau dia seorang yang berpendidikan rendah.

PG : Saya kira ya. Kita memang harus mengakui bahwa sesungguhnya Tuhan memberikan karunia sama banyaknya, sama kwalitasnya baik kepada laki-laki atau wanita, jadi jangan sampai akhirnya perempuan hidup hanya untuk menjalani peran atau tanggung jawab semata. Jadi jangan sampai akhirnya perempuan kehilangan dirinya dan kehilangan kesempatan untuk memberikan sumbangsih sesuai dengan karunia yang Tuhan berikan kepadanya. Jadi kita hargai dan kita berikan dorongan supaya para perempuan lebih berani mengeluarkan isi hatinya atau pendapatnya sebab sungguh-sungguh mereka bersumbangsih dan dapat memberikan hal-hal yang indah ke dalam kehidupan ini.

GS : Bentuk lain dari kesempurnaan yang dituntut dari seorang wanita itu apa, Pak Paul?

PG : Selain dari selalu membawa diri dalam segala situasi, bentuk kesempurnaan yang lain yang diembankan kepada perempuan adalah selalu berkorban. Ini sering diasosiasikan dengan perempuan, secara tidak adil kita lebih memberikan ijin kepada laki-laki untuk mementingkan diri ketimbang perempuan, pada umumnya kita lebih sukar menerima perempuan yang egois daripada laki-laki yang egois, sebab kita menuntut perempuan untuk senantiasa mendahulukan orang lain. Bagi banyak orang, perempuan identik dengan orang yang memberikan dirinya atau hidupnya bagi orang lain jadi kalau sedikit saja egois maka sudah menjadi sorotan, sedangkan kalau laki-laki egois dianggapnya lebih biasa.

GS : Berkorban di sini, berkorban untuk siapa, Pak Paul?

PG : Biasanya perempuan berkorban untuk orang lain, misalkan dia punya anak dia akan berkorban untuk anaknya, kalau dia punya suami maka dia akan mendahulukan suaminya, atau misalkan orang tuanya. Memang perempuan itu rela berkorban untuk orang-orang yang dekat dengan dia dan yang dikasihinya.

GS : Kalau itu sudah menjadi bagian dalam kehidupannya maka itu tidak bisa kita sebut dengan berkorban karena itu adalah jati diri sebagai seorang perempuan memberikan dirinya untuk orang yang dikasihinya.

PG : Jadi seringkali kita harus mengakui bahwa memberikan diri, mengorbankan diri adalah ciri-ciri perempuan, misalnya seorang ibu dia juga lapar tapi yang pertama-tama dia lakukan adalah menyiapkan makanan untuk keluarganya meskipun dia sendiri lapar, jadi dia berkorban di situ, setelah makanan selesai dia tidak akan langsung makan tapi dia akan menyuruh keluarganya untuk makan terlebih dahulu. Bayangkan kalau kebalikannya yang kita lihat, misalnya kita semua pulang dan lapar, kemudian si ibu menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri maka kita akan bereaksi, "Kamu egois sekali" padahalnya semua berkepentingan dan berkewajiban untuk menyiapkan makanan. Jadi dengan kata lain, kita melihat adanya tuntutan untuk mengorbankan diri. Sewaktu perempuan makan sendiri meskipun makan sendiri bukanlah tanda egois tapi pada waktu dia tidak mengorbankan kepentingannya maka sudah dituduh sebagai egois.

GS : Tapi di sisi lain, Pak Paul, berkorban untuk orang yang dikasihi sudah tentu hal yang positif.

PG : Sudah tentu itu hal yang baik, saya tidak mengatakan ini sesuatu yang harus ditinggalkan oleh wanita, tapi saya juga mau mengangkat satu masalah yang lain, perempuan akhirnya juga sering menuntut orang untuk bersedia memberikan diri sepenuhnya kepadanya dan bersedia mengorbankan apa pun demi kepentingannya, ia menjadi begitu cepat terluka bila orang menolak untuk memberikan diri sepenuhnya kepadanya. Jadi di sini tidak bisa tidak kita akan melihat adanya tuntutan yang besar dari perempuan kepada orang-orang disekitar juga. Sebagai contoh dengan jelas adalah terhadap anak, tidak bisa tidak kita harus akui seringkali ibu memunyai pengharapan yang lebih besar terhadap anaknya ketimbang ayahnya. Betapa sering seorang ayah berkata, "Tidak apa, biarkanlah, nanti dia bisa, tidak apa-apa dia tidak perhatikan kita dan sebagainya" tapi siapa yang akan sangat terluka dan tidak akan terima? Biasanya adalah si ibu dan dia akan juga menuntut anak-anaknya untuk lebih memberikan atau memerhatikannya dan sebagainya.

GS : Tapi itu lebih didasari dengan dia telah berjasa banyak kepada anaknya, sekarang dia semacam berhak untuk meminta itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Tapi yang akan saya angkat adalah ini bisa menimbulkan dampak buruk, jadi di satu pihak memang sewajarnya tapi karena dia memberikan sepenuhnya, berkorban sepenuhnya dan kalau dia meminta sepenuhnya maka seolah-olah wajar, tapi kadang-kadang ini justru menimbulkan masalah.

GS : Seandainya tuntutan itu tidak terpenuhi dan anaknya tidak berbakti dengan baik, apa akibatnya Pak Paul?

PG : Karena perempuan itu cenderung menuntut orang untuk memberikan diri dan menanggung banyak akhirnya kita juga melihat di pihak lain perempuan cenderung bergantung pada orang lain pula untuk memenuhi kebutuhannya, maksudnya di satu pihak kita melihat dia memberikan dirinya untuk orang lain tapi di pihak lain perempuan itu menjadi begitu bergantung pada orang untuk memenuhi kebutuhannya. Tadi sudah saya singgung misalnya anak berbuat sesuatu yang tidak berkenan dan sebagainya, yang seringkali bereaksi dan terluka adalah si ibu karena dia menuntut anak-anak untuk mengerti dia untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Seolah-olah di satu pihak dia mandiri dia berkorban, tapi di pihak lain dia bergantung pada orang yang dikasihinya untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sehingga kalau tidak terpenuhi biasanya nanti muncullah masalah, kemarahan, rasa ditolak dan sebagainya.

GS : Itu sebenarnya tidak menguntungkan bagi dia, di satu sisi kita sebagai suami atau sebagai anak laki-laki dan sebagainya merasa memang ini adalah kewajiban seorang ibu atau istri, tapi sekarang dia menuntut seperti ini maka itu membingungkan.

PG : Maka itu bisa membuat suami atau anak-anak mundur atau menjauh karena merasa, "Istri atau mama begitu menuntut harus begini dan begitu, harus memenuhi keinginannya, kalau tidak nanti dia marah", maka ada sebagian yang malah berusaha menjauhkan diri dari ibunya, ini saya kira sangat disayangkan.

GS : Pak Paul, tuntutan-tuntutan ini juga bisa menjurus kepada menguasai orang lain?

PG : Setuju sekali, Pak Gunawan. Jadi ada kecenderungan dan memang tidak semua, ada sebagian perempuan menguasai orang lain untuk memberikan diri kepadanya, misalkan suaminya, anaknya atau temannya. Jadi seolah-olah semua ingin diaturnya dan semua harus sesuai kehendaknya. Sudah tentu sikap ini bisa membuat orang mau melepaskan diri darinya sebab kecenderungannya adalah mengatur supaya semua berjalan sesuai keinginannya akhirnya orang merasa, "Mama atau istri ingin menguasai saya, semua harus dikomentari dan harus dilakukan seperti ini sesuai dengan kehendaknya", jadi akhirnya menimbulkan masalah.

GS : Apakah hal itu juga berlaku untuk orang perempuan misalnya saudara kandungnya atau anak perempuan, maksudnya dia menguasai suaminya anak laki-lakinya, tapi apakah dia juga akan menguasai saudara perempuannya yang sama-sama perempuan yang mempunyai kesamaan kebutuhan.

PG : Biasanya begitu. Karena dalam benak mereka, mereka memberikan dirinya dan mengorbankan dirinya untuk orang yang dikasihi, baik wanita maupun pria atau anak laki-laki atau suami. Jadi tuntutan itu memang diembankan kepada semuanya termasuk kepada adik-adiknya atau kakak perempuan atau kakak lakinya.

GS : Tetapi kalau sesama saudara perempuan maka sama-sama punya kebutuhan yaitu menguasai orang lain jadinya. Bagaimana apa mereka saling beradu kuat atau bagaimana?

PG : Biasanya akan ada yang mengalah, misalnya si adik karena ini kakaknya maka dia akan mengikuti kehendak kakaknya. Memang ada kecenderungan perempuan itu mengatur lingkungannya dan ini yang kerap menjadi masalah dengan hubungan suami istri sebab akhirnya suami keberatan, meskipun suami bisa berkata, "Saya tahu istri saya itu baik, istri saya itu orang pertama yang akan berkorban bagi kami semua, tapi saya juga tidak mau dikuasai atau diatur oleh dia".

GS : Masih ada dampak yang lain lagi apa, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah karena perempuan ingin selalu berkorban tapi sebagai akibatnya menuntut orang memenuhi kehendak atau keinginannya akhirnya saya perhatikan ada kecenderungan perempuan itu tenggelam di dalam relasi. Maksudnya penghargaan dirinya atau identitas dirinya lebih ditentukan oleh relasinya dengan orang lain misalkan dalam relasi dengan anak atau suami seolah-olah di luar relasi keberadaan dirinya tidak penting, karena sekali lagi dia selalu berusaha berkorban dan inilah panggilan dan yang diharapkan oleh lingkungan, kalau sebagai perempuan dia harus berkorban kepada orang-orang di sekitarnya yang dikasihinya. Akhirnya yang menjadi sangat penting adalah relasi itu sendiri sedangkan siapakah dirinya tidak begitu menonjol dan akhirnya tenggelam. Ini yang jadinya disayangkan, sebab dia seolah-olah tidak eksis dan baru ada dalam konteks relasi, baik itu dengan anak atau dengan suaminya atau orang lain.

GS : Apakah hal itu tidak menjadi suatu potensi terjadinya perselingkuhan, misalnya ibu atau istri yang tidak mendapat perhatian yang cukup dari suami atau anak mereka, padahal ada orang yang bersedia menjalin relasi dengan dia maka dengan mudah terjadi perselingkuhan?

PG : Bisa, jadi harus diakui ini juga bisa menimpa pria yang kerap merasakan adanya penghargaan dan baru merasakan sewaktu diberikan oleh orang tertentu. Tapi karena memang wanita mendasari penghargaan dirinya atas relasi yang memang ada dalam hidupnya jadi waktu relasi itu tidak ada atau tidak lagi sehat atau baik kebutuhannya akan relasi itu sangatlah besar sehingga kalau tidak hati-hati maka mudah sekali terjerumus ke dalam relasi dengan orang lain.

GS : Dalam hal ini mungkin perempuan lebih condong menggunakan tuntutannya kepada orang lain supaya menghargai karyanya, karena seringkali perempuan merasa tidak ada orang yang menghargai karyanya, apalagi kerja di rumah seolah-olah tidak kelihatan dan tidak ada orang yang memuji dan ini membuat dia tertekan sekali, Pak Paul.

PG : Apalagi kalau dia di rumah dan sebenarnya dia orang yang berpotensi dan banyak yang bisa dilakukannya maka kemudian dia tenggelam dalam rumah maka itu akan membuat dia sangat-sangat depresi.

GS : Kita masih punya dua hal lagi yang harus kita bahas mengenai kesempurnaan yang dituntut dari seorang wanita namun kita harus sudahi dulu perbincangan kita kali ini dan akan kita lanjutkan pada perbincangan yang akan datang. Namun sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul mau menyampaikan firman Tuhan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 14:1-2, "Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri. Siapa berjalan dengan jujur, takut akan TUHAN, tetapi orang yang sesat jalannya, menghina Dia." Ada dua hal yang ingin saya angkat disini, yang pertama adalah kebijakan, itulah yang membangun rumah. Yang kedua adalah kejujuran, orang yang berjalan dengan jujur, takut akan Tuhan. Jadi kalau saya tinggalkan pesan ini kepada perempuan yaitu perolehlah hikmat dalam hidup ini, sehingga tahu apa yang dilakukan sehingga tidak selalu kita harus menuruti apa yang dituntut oleh lingkungan, perolehlah hikmat dan yang kedua adalah hiduplah dengan jujur, hiduplah apa adanya. Ini adalah hal yang indah dan ini adalah pertanda kita takut akan Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Topeng Perempuan" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



46. Topeng Perempuan 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T353B (File MP3 T353B)


Abstrak:

Laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan, sama-sama berharga dan sama-sama dikasihi. Ketika laki-laki dan perempuan masuk ke dalam lingkungan masyarakat, ternyata perempuan memiliki tuntutan yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Apa saja tuntutannya? Kalau perempuan kurang bisa memenuhi tuntutan itu, perempuan tersebut menjadi menggunakan topeng di dalam kesehariannya.


Ringkasan:

Meski kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, namun pada kenyataannya kita menjadi laki-laki-atau perempuan lewat proses pembentukan. Singkat kata kita belajar menjadi laki-laki atau perempuan, melalui pengamatan sendiri maupun pengondisian yang kita alami dari orang dan budaya di sekitar.

Ada tuntutan dan pengharapan yang kita terima dari lingkungan untuk menjadi laki-laki atau perempuan.

Pada akhirnya "keberhasilan" kita memenuhi tuntutan dan pengharapan sekadar topeng yang kita pakai supaya kita tetap diterima oleh lingkungan. Sebagai akibatnya kita tidak akan hidup bebas; kita senantiasa hidup dalam ketegangan—antara menjadi diri yang sebenarnya dan menjadi diri yang diharapkan.

Sebagai perempuan, mungkin salah satu tuntutan yang kerap diembankan adalah menjadi SEMPURNA, yang berarti:

  1. Selalu Tahu Membawa Diri dalam Setiap Situasi

    Salah satu ciri kesempurnaan yang dilekatkan pada perempuan adalah perempuan diharapkan "tahu membawa diri." Itu sebab ada begitu banyak aturan untuk bersikap dan berpenampilan yang diembankan pada perempuan. Dari cara duduk sampai cara makan, dari cara berbicara sampai cara berjalan, dari bercengkrama dengan teman sampai berbicara dengan kerabat, semua sudah digariskan dan hampir semuanya diembankan pada perempuan, lebih dari laki-laki. Sudah tentu, selalu tahu membawa diri dalam setiap situasi, adalah sebuah karakter yang indah. Masalahnya, oleh karena besarnya tekanan ini akhirnya banyak perempuan memilih untuk "memendam dirinya." Daripada memunculkan diri yang sebenarnya—dan bertentangan dengan tuntutan untuk membawa diri—akhirnya perempuan memilih untuk tidak berkehendak dan tidak bersuara.

    Dampak "memendam diri"
    • Sebagai akibat tidak berani menyuarakan dirinya, banyak perempuan yang hidup dalam ketertekanan. Banyak yang hidup dalam ketegangan antara menjadi seperti yang diharapkan dan menjadi apa adanya. Namun pada akhirnya banyak yang memilih untuk hidup seperti yang diharapkan. Semua dikerjakan kendati jiwa tertekan. Alhasil banyak perempuan yang hidup dalam ketidakbahagiaan.
    • Dampak berikut adalah banyak perempuan yang pada akhirnya hidup untuk menjalani peran dan tanggung jawab semata. Di satu pihak ini adalah baik, namun di pihak lain, ia kehilangan dirinya DAN kesempatan untuk memberi sumbangsih sesuai dengan karunia yang diberikan Tuhan kepadanya.
  2. Selalu Berkorban

    Ini adalah ciri kesempurnaan yang juga kerap diasosiasikan dengan perempuan. Secara tidak adil kita lebih memberikan izin kepada laki-laki untuk mementingkan diri ketimbang perempuan. Pada umumnya kita lebih sukar menerima perempuan yang egois daripada laki-laki yang egois. Kita menuntut perempuan untuk senantiasa mendahulukan orang lain. Bagi banyak orang, perempuan identik dengan orang yang memberikan dirinya atau hidupnya buat orang lain. Sudah tentu, tidak egois, memberikan diri, dan rela berkorban adalah karakter yang indah. Masalahnya adalah, sebagian perempuan pada akhirnya juga menuntut orang untuk bersedia memberikan diri sepenuhnya kepadanya dan bersedia mengorbankan apa pun demi kepentingannya. Ia menjadi begitu cepat terluka bila orang menolak untuk memberikan diri sepenuhnya kepadanya.

    Dampak "menuntut orang"
    • Di satu pihak perempuan memberikan diri dan bersedia menanggung banyak demi kepentingan orang, di pihak lain perempuan cenderung menjadi bergantung pada orang lain pula untuk memenuhi kebutuhannya. Seakan-akan ia hanya dapat hidup bila ada orang lain yang juga memberikan diri kepadanya.
    • Ada kecenderungan perempuan untuk menguasai orang untuk memberikan diri kepadanya, misalkan suami, anak, atau teman. Semua ingin diaturnya dan semua mesti berjalan sesuai kehendaknya. Kalau tidak hati-hati, sikap seperti ini malah membuat orang ingin melepaskan diri darinya.
    • Tuntutan agar orang pun memberikan diri kepadanya membuatnya tenggelam dalam relasi. Penghargaan diri dan identitas dirinya lebih ditentukan oleh relasinya dengan orang lain—misalkan, dalam relasinya dengan anak atau suami—seolah-olah di luar relasi, keberadaan dirinya tidaklah penting.
  3. Selalu Memaafkan dan Memercayai

    Betapa seringnya perempuan terluka akibat perbuatan orang yang dikasihinya. Masalahnya adalah sebagai manusia yang diharapkan sempurna, perempuan dituntut untuk selalu dapat memaafkan dan memercayai orang yang telah melukainya—baik itu kerabat, orang tua, anak, maupun suami. Memaafkan dan memercayai adalah karakter yang indah. Masalahnya adalah, sering kali perempuan melakukannya hanya untuk memertahankan relasi yang didambakan. Singkat kata, memertahankan relasi menjadi tujuan akhir dan apa pun akan dilakukannya guna mencapai tujuan tersebut.

    Dampak dari "memertahankan relasi"
    • Adakalanya perempuan memilih untuk menyangkal realitas daripada menerima fakta apa adanya. Misalnya, dengan terus melihat yang positif dan mengabaikan yang negatif. Akhirnya relasi seburuk apa pun tetap digenggam dan harga semahal apa pun tetap dibayar, daripada mengalami kehilangan.
    • Acap kali perempuan menjadi korban gara-gara ingin terus memertahankan relasi yang tidak sehat. Singkat kata, perempuan rentan menjadi korban oleh karena keinginannya memertahankan relasi. Dengan mudah perempuan diperdaya dan dimanipulasi oleh karena kuatnya keinginan memertahankan relasi.
    • Terakhir, oleh karena ingin memertahankan keutuhan relasi, akhirnya perempuan malah melestarikan sesuatu yang tidak sehat di dalam keluarga dan membuat yang lainnya terpengaruh dan menjadi korban oleh yang tidak sehat itu. Alhasil siklus ketidaksehatan terus berputar dan berlanjut dengan pemain yang baru.
  4. Selalu Rohani

    Ciri kesempurnaan lain yang kerap diidentikkan dengan perempuan adalah rohani. Pada kenyataannya memang lebih banyak perempuan yang beribadah dan terlibat dalam pelayanan di gereja dibandingkan laki-laki. Memang pada umumnya perempuan lebih peka daripada laki-laki dalam hal rohani dan cenderung berperan sebagai pendoa dan pembimbing rohani bagi keluarganya. Sudah tentu hal ini adalah indah dan baik serta menyenangkan hati Tuhan. Masalahnya adalah ada kecenderungan bagi perempuan untuk tampil rohani atau kuat, dengan cara menutupi kelemahan. Kita mafhum bahwa sesungguhnya tidak ada kehidupan rohani yang sempurna. Kadang kita kuat, kadang kita lemah. Orang yang rohani tidak selalu kuat dan hal ini bukanlah sesuatu yang mesti ditutupi.

    Dampak "menutupi kelemahan"
    • Pertumbuhan rohani yang sejati berawal dari keterbukaan. Bila kita tidak membuka diri apa adanya dan mengakui kondisi rohani kita yang sesungguhnya, maka akan sulit buat kita untuk bertumbuh.
    • Kecenderungan untuk menutupi kelemahan dapat pula berakibat pada sikap sukar memahami kelemahan orang. Alhasil sikap yang muncul adalah sikap menuntut dan menghakimi.
    • Oleh karena selalu tampil kuat secara rohani, perempuan akhirnya menjadi "tiang sandaran" keluarga dan hal ini dapat membuat yang lain kurang bertanggung jawab dalam kehidupannya.

Kesimpulan : Tuntutan agar perempuan "sempurna" adalah tidak realistik. Mungkin sekali tuntutan ini terkait dengan peran perempuan sebagai seorang ibu. (Bukankah kita menuntut ibu untuk sempurna?) Pada akhirnya peran ini lebih sering membuat perempuan terpenjara dan tidak bebas.

Tuhan Yesus berkata di Yohanes 8:32, "Kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Kendati ayat ini secara spesifik berhubungan dengan Tuhan Yesus sebagai Kebenaran Allah yang memerdekakan kita dari belenggu dosa, namun bukankah kebenaran secara umum juga memerdekakan kita dari kepalsuan hidup? Singkat kata, janganlah karena ingin tampil sempurna sesuai tuntutan, kita malah terperangkap ke dalam kepalsuan hidup.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Topeng Perempuan" bagian yang kedua dan perbincangan ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita sudah membahas bahwa bukan hanya laki-laki tapi perempuan pun mendapat tuntutan yang cukup kuat dari masyarakat sekitarnya untuk menjadi yang lain dari dirinya. Pada waktu itu Pak Paul sudah membahas dua tuntutan kesempurnaan dari perempuan tapi masih ada dua lagi yang akan kita bahas pada kesempatan ini. Namun sebelum kita membahas dua yang lain bagaimana kalau Pak Paul mengulas secara singkat apa yang telah kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau?

PG : Beberapa waktu yang lalu kita pernah membicarakan tentang isu laki-laki yaitu laki-laki itu dituntut untuk menjadi kuat senantiasa. Saya perhatikan perempuan pada umumnya dituntut untuk menjadi sempurna meskipun kita tidak selalu memikirkannya dari sudut ini. Tapi sebenarnya kalau kita renungkan sebenarnya ini yang kita tuntut dari wanita yaitu sempurna, mama harus selalu tahu, berani berkorban dan sebagainya. Jadi nilai yang sekarang kita soroti, dua hal yang telah kita bahas adalah yang pertama bentuk kesempurnaan adalah perempuan diharapkan selalu tahu membawa diri dalam setiap situasi. Saya angkat isu bahwa cara duduk, cara bicara, cara tertawa, perempuan diharapkan selalu tahu membawa diri, kalau ada tamu apa yang perempuan harus lakukan. Jadi begitu banyak aturan-aturan yang diembankan. Dampak negatifnya adalah akhirnya karena perempuan takut dianggap salah, takut nanti tindakannya tidak tepat maka perempuan memendam dirinya dan tidak memunculkan potensi dalam dirinya. Yang kedua kita telah membahas bentuk kesempurnaan yang diemban perempuan adalah perempuan diharapkan harus selalu sedia berkorban, mendahulukan yang lain dan menomor duakan dirinya, kalau laki-laki egois masih bisa diterima, kalau perempuan yang egois menjadi bahan yang tidak tepat, tidak seharusnya dan sebagainya. Jadi perempuan akhirnya dituntut untuk selalu berkorban dan dampaknya adalah saya perhatikan perempuan itu menuntut orang cukup banyak, mengharuskan suaminya begini dan begitu. Jadi itu juga akhirnya menimbulkan masalah terhadap orang-orang di sekitarnya. Ada orang yang tidak nyaman merasa diatur oleh istrinya, anaknya tidak merasa nyaman karena mamanya menuntut ini dan itu kepada dirinya, ini adalah hal yang harus diperhatikan oleh perempuan.

GS : Setelah dua hal tadi yang ketiga apa, Pak Paul?

PG : Yang ketiga bentuk kesempurnaan yang diembankan kepada wanita adalah selalu memaafkan dan memercayai. Jadi kita bisa melihat betapa seringnya perempuan terluka akibat perbuatan orang yang dikasihinya. Jadi apapun yang dilakukan oleh orang yang dikasihinya, "sudahlah maafkan, sudahlah percaya dia kembali" masalahnya adalah itu tidak gampang, sangat-sangat susah. Seringkali masalahnya karena perempuan terus dituntut untuk bisa memercayai, memaafkan sebetulnya ada hal yang menjadi tujuan utamanya yaitu perempuan berusaha memertahankan relasi, dengan kata lain memertahankan relasi menjadi tujuan akhirnya dan apapun akan dilakukannya guna mencapai tujuan tersebut termasuk memaafkan dan memercayai kembali.

GS : Pak Paul, tetapi tuntutan seperti ini kadang-kadang sulit dipenuhi oleh seorang wanita malahan ada kecenderungan karena wanita lebih emosional ini tadi, kalau dia sudah dilukai maka dia akan sulit memaafkan orang itu, jadi jati diri yang sesungguhnya seperti itu yaitu dia sulit untuk memaafkan orang apalagi memercayainya. Katakan suaminya selingkuh, itu akan sulit bagi dia bisa memaafkan atau memercayai lagi suaminya dibanding si suami sudah melupakan atau tidak menghiraukan itu lagi.

PG : Kalau memang yang berbuat adalah si suami, sudah tentu si suami berusaha untuk tidak mengingat apa yang telah diperbuatnya dan waktu si istri mengungkit-ungkitnya dan dia menjadi marah, sebab dia ingin menutup kehidupan yang kelam itu. Saya setuju dengan Pak Gunawan, kalau istri kita berkhianat tentu sangat melukai hati kita dan susah bagi kita memercayai dan untuk bisa memaafkannya. Tapi saya perhatikan dibandingkan dengan laki-laki dalam soal-soal seperti ini memang perempuan memunyai kelebihan yaitu lebih sanggup memaafkan dan lebih sanggup memercayai kembali. Kalau laki-laki tahu bahwa istrinya berselingkuh maka saya kira kembali memercayai dan kembali memaafkan saya kira akan memakan waktu jauh lebih panjang dibanding perempuan. Kenapa perempuan lebih bisa begitu? Karena asumsinya sama-sama manusia dan sama-sama punya perasaan, seharusnya sama-sama terluka dan sama-sama susahnya mengampuni dan memercayai kembali. Saya kira kenapa perempuan lebih mampu karena memang perempuan memunyai kepentingan untuk memertahankan relasi, "Jangan sampai keluarga saya runtuh hancur, jangan sampai akhirnya orang tahu dan malu." Jadi karena mau memertahankan relasi supaya tetap sama akhirnya perempuan lebih diharuskan untuk memaafkan dan memercayai dan ini yang dituntut pula oleh lingkungan. Kalau misalnya seorang wanita datang kepada ibunya atau kepada sanak saudaranya berkata, "Suami saya selingkuh dan sebagainya" kebanyakan akan memberikan nasihat, "Terima saja, ampuni dan jangan pusingkan, lihat ke depan dan jangan sampai ada apa-apa". Jadi lingkungan pun menuntut perempuan untuk cepat-cepat memaafkan dan cepat-cepat memercayai suaminya kembali.

GS : Tapi hal ini justru dimanfaatkan oleh lingkungan untuk lebih memperparah keadaan si perempuan itu, Pak Paul.

PG : Saya kira ini tidak bisa dihindari dalam pelayanan saya, ini sering saya lihat yaitu akhirnya berulang-ulang suaminya mengkhianati si istri karena si istri kembali berkata, "Saya maafkan" tapi kembali diulang dan diulang.

GS : Jadi sebenarnya memertahankan relasi, menjaga supaya keluarganya tetap utuh, itu juga sesuatu yang positif, Pak Paul?

PG : Positif tapi ada hal-hal yang harus diperhatikan jangan sampai hal yang positif ini menjadi sesuatu yang kurang baik, misalnya yang pertama saya kira dampak yang kurang positifnya adalah gara-gara ingin memertahankan relasi akhirnya perempuan memilih menyangkal realitas daripada menerima fakta apa adanya. Misalnya dengan terus melihat yang positif dan mengabaikan yang negatif, itu sebetulnya salah satu bentuk tidak lagi menerima realitas apa adanya, akhirnya yang saya perhatikan adalah relasi yang seburuk apapun tetap digenggam dan harga semahal apapun tetap dibayar daripada mengalami kehilangan. Saya masih ingat waktu saya KKN ketika saya masih kuliah, seorang ibu datang bercerita bahwa si suami sudah berselingkuh bahkan pada hari pertama pernikahan dan setelah lama mereka menikah berkali-kali suaminya melakukan hal itu. Tiap kali saya mencoba memberikan dorongan dan kekuatan untuk berani bertindak kepada si suami dia tidak pernah berani, kenapa? Akhirnya saya sadari berdasarkan apa yang saya temukan dalam konseling dengan dia bahwa bagi dia kehidupannya makna hidupnya sepenuhnya adalah keluarganya, ada suami ada anak-anak. Akhirnya tidak bisa melihat realitas apa adanya seutuhnya, melihat yang positifnya dan yang negatif diabaikan akhirnya tidak melihat hidup dengan berimbang.

GS : Hal yang kedua apa, Pak Paul?

PG : Acapkali wanita menjadi korban gara-gara ingin terus memertahankan relasi yang tidak sehat. Singkat kata perempuan itu rentan menjadi korban oleh karena keinginannya memertahankan relasi. Jadi dengan mudah perempuan diperdaya dan dimanipulasi karena kuatnya keinginan memertahankan relasi. Misalkan contoh yang sama dengan perselingkuhan. Misalnya si suami yang mengancam kepada si istri, "Kalau kamu memang tidak terima dan kamu mau berpisah atau bercerai, silakan, kamu yang angkat kaki dan gugat saya, silakan". Si perempuan tidak berani karena ingin menjaga keluarganya, jangan sampai keluarganya itu berantakan. Dan karena itu dimanipulasi lagi, diperdaya lagi, dimanfaatkan lagi. Jadi akhirnya cenderungnya perempuan menjadi korban.

GS : Sebenarnya dibalik itu semua juga ada kekhawatiran dari pihak perempuan kalau dia terlepas dari relasi, dia belum tentu bisa hidup sendiri, belum lagi cap dari orang-orang di sekitar. "Janda karena cerai" itu kedengarannya lebih negatif dari pada duda. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya setuju. Jadi adakalanya itu hal-hal yang harus dipertimbangkan. Tapi ini yang kita harus lihat poin yang berikut yaitu tentang memertahan relasi yang oleh karena ingin memertahankan keutuhan relasi akhirnya perempuan malah melestarikan sesuatu yang tidak sehat di dalam keluarga dan membuat yang lainnya terpengaruh dan menjadi korban oleh yang tidak sehat itu. Alhasil siklus ketidaksehatan terus berputar dan berlanjut dengan pemain-pemain yang baru. Saya bisa temukan kasus-kasus seperti ini, karena ingin memertahankan keutuhan keluarga padahalnya sudah begitu rusak, dianiaya, anak-anak akhirnya menderita di tangan si suami, akhirnya yang lain-lain menjadi korban gara-gara keinginan untuk memertahankan keutuhan relasi itu.

GS : Jadi sebenarnya disamping ingin memertahankan relasi, dia juga harus cukup realistik melihat keadaan keluarga ini bagaimana, kalau lebih buruk maka dia harus berani melepas relasi itu, begitu Pak Paul?

PG : Betul, jadi adakalanya pemukulan antara suami dan istri, anak melihat mama dipukuli oleh si papa, itu menimbulkan trauma yang berat dalam jiwa si anak dan akan memengaruhi si anak sampai usia besar. Jadi dalam praktek saya, saya menemukan begitu banyak kasus seperti ini, anak-anak setelah besar lumpuh oleh ketakutan, tidak bisa mendengar suara keras, tidak boleh kaget sedikit kaget sekali dengan kemarahan sebab dulu seringnya melihat terjadi pertengkaran dan begitu seringnya papa marah dan memukul mama dan sebagainya. Jadi kita harus melihat dengan objektif, memertahankan relasi adalah hal yang penting dan wajib kita lakukan, tapi sebaliknya kita juga mesti melihat apa harga atau dampaknya pada orang lain di sekitar kita pula.

GS : Tapi itu juga pembentukan orang-orang di sekitar atau masyarakat yang mengatakan bahwa perempuan itu lemah, perempuan itu membutuhkan orang lain terutama orang laki sehingga cap seperti itu yang melekat dalam diri perempuan itu membuat dia berpikir berkali-kali tentang perceraian.

PG : Betul sekali. Bahwa mereka juga berpikir kalau sampai terjadi perceraian dan sebagainya nanti bisa-bisa mereka lebih susah dan lebih rentan untuk menjadi korban lagi atau dituduhkan hal-hal yang tidak-tidak, karena dia sekarang seorang janda. Jadi banyak yang memilih untuk membiarkan saja. Tapi saya mau ingatkan juga harus dilihat realitas, jangan sampai gara-gara itu semua kita mengorbankan misalkan anak-anak kita, sehingga masa depan mereka boleh dikatakan sudah rusak sebelum mereka memulainya.

GS : Tapi sebenarnya kaum wanita ini seringkali ada yang menaruh dendam terhadap lingkungan karena tidak sesuai dengan jati diri yang sebenarnya seperti tadi soal mengampuni. Beberapa kali dia melakukan pengampuan tapi kalau itu terus dilakukan, kesalahan itu dilakukan oleh suami atau anaknya maka dia bisa menjadi lebih buruk kondisinya daripada sebelumnya.

PG : Setuju, memang kita tahu tidak mudah mengampuni dan memercayai kembali. Kalau misalnya tidak bisa dan dia terus pendam kondisinya maka akan lebih buruk lagi.

GS : Hal yang keempat yang dituntut dari seorang perempuan ini biasanya apa, Pak Paul?

PG : Kita juga karena mengharapkan perempuan itu sempurna, salah satunya adalah selalu rohani dan tanpa kita sadari berharap istri atau ibu kita orang yang rohani, pada kenyataannya memang lebih banyak perempuan yang beribadah dan terlibat dalam pelayanan di gereja dibandingkan laki-laki. Memang pada umumnya wanita lebih peka daripada laki-laki dalam hal rohani dan cenderung berperan sebagai pendoa dan pembimbing rohani bagi keluarganya. Jadi ini semua hal yang indah, masalahnya adalah ada kecenderungan bagi perempuan untuk tampil rohani atau kuat dengan cara menutupi kelemahan. Kita seharusnya menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada kehidupan rohani yang sempurna. Kadang kita kuat kadang kita lemah, orang yang rohani tidak selalu kuat dan hal ini bukanlah sesuatu yang harus ditutupi tapi karena ingin tetap dilihat kuat dan rohani akhirnya sebagian perempuan memilih untuk menutupi kelemahannya tidak mau benar-benar berkata, "Sebetulnya ini yang saya hadapi, sebenarnya ini yang menjadi beban saya. Saya gagal di sini dan tidak bisa di sini". Kadang-kadang sulit bagi perempuan untuk mengakui kelemahannya.

GS : Apa bukan karena mereka tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dalam dirinya lalu menjadikan kegiatan rohani semacam pelarian atau tempat perlindungan dia, begitu Pak Paul?

PG : Sebagian saya kira begitu, ada yang memang karena terlalu tertekan, hidupnya terlalu susah jadi akhirnya melarikan diri ke aktifitas rohani supaya dia bisa menolongnya. Kalau misalkan orang tanya apakah itu salah, bagi saya tidak apa-apa dan memang motivasinya adalah agar bisa keluar dari masalahnya tapi bagi saya daripada keluar kemudian melakukan hal-hal yang salah maka lebih baik keluar dan masuk ke dalam aktifitas yang benar yaitu melayani Tuhan.

GS : Dampaknya kalau dia terus menerus menutupi kelemahan ini apa, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah pertumbuhan rohani sebetulnya berawal dari keterbukaan. Bila kita tidak membuka diri apa adanya dan mengakui kondisi rohani kita yang sesungguhnya maka akan sulit bagi kita untuk bertumbuh, singkat kata adakalanya perempuan kehilangan kesempatan untuk bertumbuh secara rohani gara-gara menyangkali keadaan dan ingin tampil kuat sehingga menutupi kelemahannya. Jadi perlu perempuan itu kalau mau bertumbuh dalam kerohaniannya belajar untuk mengakui kelemahannya dan tidak apa-apa. Itulah awal dari permulaan dia untuk dia bertumbuh.

GS : Yang harus diakui apa misalnya, Pak Paul?

PG : Misalnya dia tidak selalu mengasihi suaminya, karena dilukai, dikhianati dan sebagainya. Kadang-kadang agak sulit bagi perempuan berkata begitu dan kecenderungannya berkata, "Saya tetap mengasihi dia, dia suami saya" sebetulnya dalam hatinya tidak selalu ada kasih dan kadang-kadang justru yang muncul adalah kebencian, namun tidak berani berkata begitu dan sudah tentu tidak akan berani mengatakan itu kepada anak-anaknya, justru kalau anak-anaknya marah kepada papa, si mama akan berkata, "Kamu tidak boleh marah kepada papamu, papamu harus kamu hormati dan semua harus mengasihi dia". Seolah-olah si anak tidak diizinkan untuk marah kepada ayah yang telah menyakiti atau melukai hati mereka. Ini yang saya maksud dengan tidak mau mengakui dengan terbuka sebetulnya ini yang sedang saya alami dan yang sedang saya alami serta yang sedang saya rasakan, bukanlah sesuatu yang rohani dan tidak apa-apa mengakui itu.

GS : Memang seringkali ibu atau wanita ini menjadi tempat perlindungan buat suami atau ayah terhadap anak-anaknya atau juga untuk bisa mencairkan kembali suasana yang kaku di dalam rumah tangga, perempuan ini punya kelebihan di sana jadi harapan kita kalau ada apa-apa dengan anak atau orang lain, si istri ini bisa membawa mencairkan suasana.

PG : Betul. Selalu kita menuntut ibu atau istri itu sempurna dan kita bisa melihat ini misalkan dari kesaksian para laki-laki yang sekarang sudah bertobat, berapa seringnya mereka berkata, "Saya itu salut kepada istri saya, betapa kuatnya dia terus mengasihi saya meskipun hidup saya tidak karuan tapi dia terus menunggu saya". Jadi seolah-olah ini terus diharapkan atau diembankan kepada perempuan yaitu harus sempurna dan bisa mengasihi, mengampuni dan kembali memercayai sehingga karena itulah dorongan untuk tampil selalu rohani menjadi sangat kuat, tapi harganya yang sering saya sebut yaitu menutupi kelemahan dan tidak mau mengakui sebenarnya sudah berkali-kali, "Saya tidak mau lagi dan sudah benci kepadamu". Susah untuk diakui seperti itu.

GS : Karena seorang ibu diharapkan bisa memberikan bimbingan rohani kepada anak makanya pendidikan rohani untuk anak-anak seringkali dilimpahkan seluruhnya kepada ibu. "Ini urusanmu dan bukan urusanku".

PG : Betul sekali. Jadi ini akhirnya makin membuat beban perempuan tambah besar, yang sebetulnya bukanlah sepenuhnya milik dia. Jadi dia harus rohani, dia yang mengajarkan anak-anak mengenal Tuhan, yang laki-laki seolah tidak berkewajiban sama sekali.

GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Kecenderungan untuk menutupi kekurangan berakibat pula pada sikap sukar memahami kelemahan orang. Jadi akhirnya sikap yang muncul adalah sikap menuntut dan menghakimi. Kadang-kadang yang kita lihat ayah itu lebih bisa menerima kesalahan anaknya, kelemahan anaknya dan kadang kita melihat ibu yang susah menerima kelemahan anaknya sebab adanya tuntutan yang agak tinggi itu, sehingga susah menerima bahwa anaknya bisa begini dan begitu, kenapa begitu? Karena perempuan sudah mendapatkan tuntutan untuk selalu rohani dan dia juga menutupi kelemahannya sehingga akhirnya waktu orang yang dikasihinya itu berbuat kesalahan maka agak susah bagi dia untuk berkata, "Sudahlah kita manusia memang bisa lemah dan sebagainya." Jadi anak-anak merasa kurang diterima sepenuhnya oleh ibu karena banyaknya tuntutan yang diembankan oleh ibu kepadanya.

GS : Jadi dalam hal ini ibu menuntut anaknya supaya bisa memenuhi tuntutan?

PG : Betul sekali.

GS : Dan tuntutan ini bukan dari keluarga, dia bahkan menuntut orang lain yang bukan satu keluarga supaya melakukan perbuatan yang sempurna seperti dia.

PG : Betul sekali.

GS : Misalnya terhadap pembantu rumah tangga, maka dia meminta pembantu itu untuk sempurna seperti dia, ini 'kan sulit.

PG : Betul. Karena sekali lagi dia memberikan sepenuhnya dan dia mengorbankan sepenuhnya, jadi kadang-kadang tuntutan kepada orang lain harus berbuat yang sama kepadanya itu juga sangat tinggi, sehingga kadang-kadang anak-anak yang sudah dewasa atau remaja kadang-kadang berkata, "Kalau saya membicarakan tentang hal yang saya lakukan yang buruk, saya lebih bisa mengatakannya kepada ayah saya ketimbang kepada ibu saya, karena ayah saya lebih bisa mengerti, kalau ibu akan marah dan tidak mengerti dan sebagainya". Jadi yang saya perhatikan memang ada kecenderungan karena perempuan itu tidak mau terbuka dengan kelemahannya maka dia juga susah untuk menerima kelemahan orang lain.

GS: Dan itu dituntutkan kepada anaknya sehingga ini akan berkesinambungan tuntut menuntut seperti ini, Pak Paul.

PG : Ini akhirnya adalah sebuah siklus. Jadi kita harus selalu kuat jangan sampai ada kelemahan maka anak dituntut hal yang sama oleh ibunya.

GS : Apakah ada dampak yang lain lagi, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah tentang menutupi kelemahan supaya tampil rohani adalah perempuan akhirnya menjadi tiang sandaran keluarga dalam hal ini membuat yang lain kurang bertanggungjawab dalam kehidupannya. Ada suami yang tidak bertanggungjawab semua diembankan pada istri, anak-anak tidak bertanggungjawab, "Pokoknya nanti mama yang bereskan semua yang tidak benar", akhirnya menyuburkan kekurang pertanggungjawaban pada pihak lain. Jadi sekali lagi perempuan perlu berkata, "Ini bagianmu dan kamu tanggung apapun hasilnya saya terima dan saya tidak mau lagi membereskan semua masalah yang kau tinggalkan atau ciptakan."

GS : Tapi kadang-kadang ada yang malah senang dengan tanggungjawab seperti itu, menikmati bahwa dia seolah-olah dipercaya, dihargai, diberi kesempatan sehingga kita yang lain juga merasa, "Ya sudah kamu urusi". Kalau ada yang mengurusi lebih enak.

PG : Jadi kadang-kadang ada anak-anak yang meskipun sudah besar tidak bertanggungjawab karena selalu ada mama yang nanti akan membereskan semuanya.

GS : Pasti beres, kalau ada istri atau mama yang mengurusi, sehingga kita merasa lebih ringan dan cenderung menyerahkan, lain kali di tambah lagi.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Kita sudah membicarakan 4 tuntutan terhadap perempuan supaya tampil sempurna, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Tuntutan agar perempuan sempurna adalah tidak realistik, mungkin sekali tuntutan itu terkait dengan peran seorang ibu dan bukankah memang kita ini menuntut ibu untuk sempurna, pada akhirnya peran ini lebih sering membuat perempuan terpenjara alias tidak bebas. Tuhan Yesus berkata di Yohanes 8:32, "Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Kendati ayat ini secara spesifik berhubungan dengan Tuhan Yesus sebagai kebenaran Allah yang memerdekakan kita dari belenggu dosa namun bukankah kebenaran secara umum juga memerdekakan kita dari kepalsuan hidup. Singkat kata jangan, karena ingin tampil sempurna sesuai tuntutan kita malah terperangkap dalam kepalsuan hidup.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan tentunya sangat bermanfaat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Topeng Perempuan" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



47. Wanita Tanpa Pasangan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T359A (File MP3 T359A)


Abstrak:

Kebanyakan orang sudah beranggapan suatu saat akan menikah baik itu laki-laki atau perempuan. Namun pada kenyataan tidaklah demikian, ada wanita yang sampai usia tertentu tidak mendapatkan pasangan. Jika ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Karena tidak banyak wanita yang jatuh dalam lembah depresi dan keminderan ketika menghadapi hal ini


Ringkasan:

Salah satu hal menakutkan yang kadang harus dihadapi oleh wanita adalah hidup tanpa pasangan. Pada kenyataannya tidak semua berhasil menerima dan melalui fase ini; ada yang justru jatuh ke dalam lembah depresi dan keminderan. Berikut akan dipaparkan beberapa hal berkenaan dengan masalah ini. • Pada umumnya hampir semua wanita berharap untuk menikah. Sedikit sekali yang sejak awal meyakini bahwa Tuhan memanggil mereka untuk hidup lajang. Bahkan tidak jarang banyak di antara wanita yang sejak usia muda membayangkan pernikahan dan hidup bersama suami dan anak-anak. Singkat kata kebanyakan wanita sudah memikirkan tentang pernikahan dan membangun keluarga sejak usia yang belia. • Makin menanjak usia wanita, makin besar tekanan yang dirasakannya jika ia masih belum memunyai pacar. Tekanan ini sesungguhnya dapat dibagi dalam tiga masa. o MASA PERTAMA adalah sekitar usia remaja, sebab pada masa ini sudah banyak teman yang berpacaran. Jika pada masa ini ia belum didekati oleh seorang pun, ia akan merasa tertekan. Namun pada masa ini tekanan masih relatif ringan sebab ia masih muda dan harapan masih ada. o MASA KEDUA adalah pada masa dewasa yakni sekitar usia 25-40, masa dimana teman mulai menikah. Setiap pernikahan teman makin membuatnya tertekan dan malu. Pada masa ini harapan untuk menikah masih ada kendati makin berkurang seiring dengan bertambahnya usia. o MASA KETIGA adalah masa di atas usia 40, masa dimana ia meyakini bahwa besar kemungkinan ia tidak akan menikah. Tekanan terbesar di sini adalah perasaan bahwa ia tidak diminati. Pada masa ini jika ia tidak berhasil berdamai dengan dirinya, ia akan terus hidup dibayang-bayangi rasa malu dan tidak berharga. • Salah satu hal yang berat yang mesti dihadapi adalah pernikahan adik-adiknya. Sewaktu teman menikah, ia sudah tertekan. Ketika adik menikah, ia lebih tertekan. Baginya pernikahan adik merupakan konfirmasi bahwa memang ia tidak diminati dan perbandingan ini menjadi begitu nyata dan menyakitkan. • Walaupun setiap orang berbeda, namun setidaknya ada tiga pergumulan atau tekanan yang dirasakan. PERTAMA ADALAH RASA TIDAK BERHARGA. KEDUA ADALAH KESEPIAN. Kebanyakan wanita menikmati dan membutuhkan teman yang akrab. Sejak kecil anak perempuan cenderung membangun persahabatan yang memang menunjukkan kebutuhannya akan relasi. Hidup lajang, tidak bisa tidak, membuatnya sangat kesepian. KETIGA ADALAH KEKOSONGAN. Kebanyakan wanita ingin berkeluarga oleh karena ingin memunyai anak. • Tidak bisa tidak, ketiga pergumulan dan tekanan ini dapat mempengaruhi dirinya—baik itu suasana hati maupun relasinya. Perasaan kurang berharga bisa membuatnya bertambah peka dengan komentar orang terhadap dirinya atau apa yang dilakukannya. Perasaan kesepian dapat membuatnya jatuh ke dalam perilaku lesbian. Oleh karena senasib dan sepenanggungan, sebagian wanita akhirnya terlibat dalam relasi yang intim dengan sesamanya, baik secara emosional maupun seksual. Perasaan kekosongan tanpa anak dapat membuatnya sangat akrab dengan anak, atau malah sebaliknya, menjauh dari anak. • Dalam berelasi, ia pun bisa merasa canggung berada bersama teman-teman yang telah berkeluarga. Alhasil ia berusaha menghindar dari pertemuan seperti itu. Sudah tentu salah satu hal tersukar adalah menghadiri pernikahan teman dan juga adik atau kerabat dekat. Sorotan mata orang dapat membuatnya berpikir bahwa orang menganggapnya selain dari tidak diminati, juga bermasalah. • Jika ia sudah mempunyai karier yang jelas, ia akan dapat melewati semua ini relatif lebih baik ketimbang ia belum mempunyai karier yang mapan. Dalam kondisi tidak mapan, ia makin bingung dengan apa yang mesti diperbuatnya dalam hidup. Singkat kata, hidup tanpa pasangan memaksanya untuk banting kemudi dan merancang masa depan yang berbeda. • Terakhir ia harus berdamai dengan Tuhan bila memang ia selalu mendambakan pernikahan dan keluarga. Acap kali ia merasa dianaktirikan oleh Tuhan kendati ia telah berusaha hidup benar dan menyenangkan Tuhan. Mungkin ia pun merasa Tuhan tidak adil karena orang yang "tidak selayaknya" diberikan pasangan dan keluarga, ternyata hidupnya lebih beruntung darinya. Selain dari itu ia pun harus bergumul dengan kehendak Tuhan dalam hidupnya. Sekarang ia mesti mencari dan meyakini kehendak Tuhan baginya sebagai orang lajang. • Firman Tuhan berkata, "Sungguh Allah itu keselamatanku; aku percaya dengan tidak gemetar, sebab Tuhan Allah itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan." (Yesaya 12:2-3) Kita mungkin tidak akan menemukan jawaban dengan segera mengapa kita tidak dikaruniakan pasangan hidup namun yang pasti adalah, Tuhan adalah kekuatan dan keselamatan kita menghadapi apa pun, termasuk hidup sendirian.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini saya bersama dengan penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang konselor keluarga, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Wanita Tanpa Pasangan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Jodoh kadang-kadang sulit diprediksi dan sulit untuk direncanakan atau diperkirakan masa depannya dan cukup banyak akhir-akhir ini wanita-wanita yang harus hidup tanpa pasangan. Hal itu apa memang sudah direncanakan sejak awal atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu Tuhan tahu semuanya dan kita harus percaya bahwa kalau itu harus terjadi pada diri kita, ini adalah bagian dari rencana Tuhan. Jadi kita harus menerimanya meskipun tidak mudah bagi sebagian perempuan untuk menerimanya. Jadi perlu bagi kita pada kali ini untuk menyoroti masalah ini sebab kita harus akui cukup banyak perempuan yang akhirnya hidup sendiri tanpa adanya pasangan hidup.

GS : Hal-hal apa yang perlu kita pikirkan, Pak Paul?

PG : Kita harus mengerti bahwa pada umumnya hampir semua wanita berharap untuk menikah, saya kira sedikit sekali yang sejak awal meyakini bahwa Tuhan memanggil mereka untuk hidup lajang. Bahkan tidak jarang banyak di antara wanita yang sejak usia muda sudah membayangkan pernikahan dan membayangkan hidup bersama suami dan anak-anak. Jadi kebanyakan wanita sudah memikirkan tentang pernikahan dan membangun keluarga sejak usia yang belia. Berhubung keinginan untuk menikah dan berkeluarga begitu kuat hadir dalam dirinya, banyak wanita yang menanti-nantikan datangnya sang pacar baik pada masa remaja atau dewasa.

SK : Memang semakin menanjaknya usia wanita maka makin besar tekanan yang dirasakan kalau dia belum punya pacar. Bicara tentang tekanan ini seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya bisa membagi tekanan ini dalam tiga masa untuk kita bisa melihat tekanan ini secara lebih spesifik. Yang pertama adalah biasanya terjadi disekitar usia remaja sebab pada masa ini sudah banyak teman yang berpacaran. Jadi misalnya SMP atau SMA, sudah ada yang mulai berpacaran. Jika pada masa ini si perempuan belum didekati oleh seorang pun dia biasanya merasa resah, tertekan. Namun pada masa ini tekanan masih relatif ringan sebab dia masih muda dan harapan masih ada. Masa kedua adalah masa yang berat lagi yaitu masa dewasa sekitar usia 25 hampir 35 atau 40 tahun, masa dimana teman-teman bukan lagi mulai berpacaran tapi sudah mulai menikah, setiap pernikahan teman membuatnya makin tertekan dan malu. Pada masa ini harapan untuk menikah memang masih ada, kendati makin berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Masa ketiga adalah masa di atas usia 40an, masa dimana ia meyakini bahwa besar kemungkinan dia tidak akan menikah lagi. Tekanan terbesar di sini adalah perasaan bahwa dia itu tidak diminati, pada masa ini jika dia tidak berhasil berdamai dengan dirinya, maka dia akan terus hidup dibayangi rasa malu dan rasa tidak berharga.

SK : Saya sependapat dengan yang disampaikan Pak Paul bahwa sejalan dengan bertambahnya usia, Pak Paul membagi atas tiga masa, ternyata tekanan tambah tahun tambah besar yang dialami seorang wanita yang belum menikah.

PG : Boleh dikata mereka baru lepas dari tekanan di atas usia 50an dimana dia sudah nampak tua, jadi tidak lagi diasosiasikan dengan pernikahan. Tapi selama masih ada kemungkinan dikaitkan dengan usia pernikahan, usia 40an belum terlalu tua jadi masih dikaitkan dengan pernikahan, tapi tetap tekanan itu ada, tapi kalau dia sudah tua misalnya 55tahun ke atas atau 60an baru tidak ada lagi tekanan seperti itu.

GS : Tekanan itu datang dari dirinya sendiri atau dari luar, Pak Paul?

PG : Dua-duanya, misalnya pada masa remaja mungkin saja ada tekanan dari luar, teman-temannya misalnya berpacaran dan teman-temannya mulai mengatakan "Kamu ini tidak ada yang mau mendekati" atau dia sendiri merasa, "Saya tidak ada yang mendekati" pada masa 20 tahunan ke atas dan teman-temannya mulai menikah, mungkin orang tuanya mulai cerewet, "Kamu ini tidak menikah-menikah terlalu memilih-memilih" padahalnya tidak memilih, bukannya memilih-milih tapi tidak bisa memilih karena tidak ada siapa-siapa atau pilihannya terlalu sedikit atau kurang cocok bagi dia. Jadi akhirnya dia tidak bisa memilih. Usia 40an dan sebagainya dia harus sadari bahwa dia harus hidup sendiri. Bisa muncul dari dirinya sendiri, dia merasa "Memang saya tidak diminati" jadi ini yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Sebab pada usia 40an tekanan dari luar, orang yang misalnya bicara ini dan itu, hampir tidak ada.

GS : Jadi sebenarnya anak remaja putri ini sudah harus memersiapkan diri atau memang dia tidak mau memersiapkan diri untuk menghadapi hal ini?

PG : Hampir dapat dipastikan, hampir semua perempuan berpikir dia akan menikah. Saya jarang bertemu dengan orang yang meyakini Tuhan memanggilnya untuk hidup lajang, jadi hampir semua beranggapan, "Saya pasti menikah". Waktu usia bertambah tapi tidak ada siapa-siapa maka ini makin mendebarkan dan makin memberikan tekanan kepadanya.

GS : Hal lain yang berat yang harus dihadapi apa, Pak Paul?

PG : Pernikahan adik-adiknya, waktu adiknya berusia 25, 26, 27 dan dia sudah berusia 30 tahun misalnya, adik-adiknya sudah mulai berpacaran maka itu sudah menjadi tekanan berat. Saudara sepupunya menikah kirimkan undangan maka tidak merasa tidak enak, misalkan pergi dengan teman, yang ini sudah bawa gandengan dan dia belum, maka itu juga menjadi tekanan. Tapi yang terberat adalah waktu adik-adiknya menikah. Sewaktu adiknya menikah, dia akan merasa tertekan sebab baginya pernikahan adik merupakan konfirmasi dia tidak diminati dan perbandingan itu menjadi begitu nyata dan menyakitkan karena jelas-jelas dia dengan adiknya. Waktu dulu dia dengan teman sudah mulai menyakitkan, kalau dia tidak dipilih tapi temannya yang dipilih dan temannya yang didatangi seperti bunga dikelilingi oleh kumbang, tapi dia tidak dia sendirian di rumah. Hari Sabtu tidak ada yang datang, hari Minggu tidak ada yang datang, hari biasa tidak ada yang telepon. Itu saja sudah cukup menyiksa. Tapi kalau di rumah mengalami yang sama, adiknya yang dicari, adiknya yang dikunjungi dan dia tidak, itu tekanan yang besar. Apalagi kalau sampai harus menikah itu juga tekanan yang juga lebih besar. Tidak jarang makanya ada yang iri dan marah-marah.

SK : Pak Paul, walaupun setiap orang berbeda, apakah ada kesamaan tertentu tentang pergumulan atau tekanan yang dirasakan oleh wanita yang tanpa pasangan ini?

PG : Saya kira ada, yang pertama saya kira perasaan tidak berharga dirasakan oleh karena pada umumnya wanita mendasari siapakah dirinya pada relasi dengan pria, kondisi lajang dapat membuatnya merasa tidak berharga. Dan yang kedua adalah kesepian. Kebanyakan wanita menikmati dan membutuhkan teman yang akrab. Sejak kecil misalnya anak perempuan cenderung membangun persahabatan yang memang menunjukkan kebutuhannya akan relasi. Hidup lajang tidak bisa tidak membuatnya sangat kesepian. Dan yang ketiga adalah saya rasa adalah kekosongan, kebanyakan wanita ingin berkeluarga oleh karena ingin memunyai anak. Jadi tekanan perempuan itu bukan hanya tekanan untuk berpasangan, tapi untuk memunyai anak. Berbeda dengan laki-laki yang lajang, untuk laki-laki lajang mungkin ada kesepian karena tidak ada pasangan hidup atau mungkin rasa kurang berharga karena tidak ada yang mau dengan dia, tapi setidaknya kekosongan karena tidak punya anak tidak terlalu, tapi wanita umumnya akan merasakan kekosongan itu. Dengan kata lain, hidup lajang tidak ada pasangan dan keluarga meninggalkan ruangan yang kosong dalam hidupnya yang semestinya diisi oleh kehadiran anak. Itu yang membedakan antara perempuan dan laki-laki yang tidak menikah.

SK : Pak Paul, dengan semakin berkembangnya era globalisasi apakah bisa dianggap apa yang terjadi seperti itu hanya dialami oleh wanita-wanita dari kota-kota kecil, tapi kota-kota yang katakan besar, kosmopolitan tidak lagi mengalami situasi seperti ini?

PG : Saya kira tekanan akan lebih besar di kota kecil karena komunitasnya lebih dekat dan lebih memerhatikan satu sama lain. Tapi saya kira di kota besar juga dialami oleh hampir semuanya. Jadi kalau tidak ada pasangan misalnya temannya ada yang mengundang menikah dan dia harus datang sendirian maka itu tidak nyaman.

GS : Bagaimana cara mereka mengatasinya, Pak Paul?

PG : Sudah tentu ketiga pergumulan dan tekanan ini, merasa tidak berharga, kesepian dan kekosongan dapat memengaruhi dirinya, baik itu suasana hati atau relasinya. Misalnya perasaan kurang berharga bisa membuatnya bertambah peka dengan komentar orang terhadap dirinya atau apa yang dilakukannya, dia bisa bertambah defensif dan tidak suka menerima kritikan, itu adalah akibat dari perasaan kurang berharga. Perasaan kesepian dapat membuatnya jatuh ke dalam perilaku yang saya temukan adalah perilaku homoseksual atau lesbian oleh karena senasib sepenanggungan sebagian wanita akhirnya terlibat dalam relasi yang intim dengan sesamanya baik secara emosional maupun seksual. Yang ketiga adalah perasaan kosong tidak ada anak, ini bisa membuatnya sangat akrab dengan anak sehingga dia menjadi orang yang bisa melayani anak-anak atau sebaliknya dia menjauh dari anak sebab itulah yang dibutuhkan dan sangat menyakitkan karena dia tidak memiliki anak sehingga akhirnya daripada dia harus terluka akhirnya dia menjauh dari anak-anak.

GS : Tapi ada juga yang mengangkat anak walaupun dia tidak menikah, Pak Paul.

PG : Saya rasa itu cara yang lebih sehat, dia mengisi kekosongannya dengan dia mengasuh anak dan dia bisa membesarkannya sebagai anaknya sendiri.

SK : Pak Paul menyebutkan bahwa wanita yang tidak bisa mengatasi tekanan karena tidak berpasangan bisa punya potensi untuk jatuh ke dalam perilaku lesbian. Bisakah Pak Paul menjelaskan hal ini lebih lanjut?

PG : Kebutuhan akan teman atau sahabat memang besar dalam diri wanita, jauh lebih besar daripada diri seorang pria karena secara natural, wanita mendasari siapa dirinya atas relasi persahabatan, kedekatan dengan orang. Jadi waktu dia harus hidup sendirian, kesepian tidak ada yang dapat mendampinginya, kebutuhan itu menjadi besar sekali. Sudah tentu ini juga dialami pria, tapi karena kebutuhan akan relasi itu sangat kuat dalam diri wanita maka waktu tidak terisi kebutuhan itu menjadi kebutuhan yang sangat besar. Kalau tidak hati-hati dia bisa mendapatkannya dari sesama jenis karena lawan jenis tidak menunjukkan minat kepadanya. Misalnya ada teman sejenis yang seperti dia yang sepenanggungan juga, yang tidak ada siapa-siapa dalam hidupnya, mereka misalnya menjalin persahabatan, kalau tidak hati-hati persahabatan yang terlalu akrab karena dua-dua saling membutuhkan akhirnya melewati batas, akhirnya bercumbu, akhirnya terjadilah kontak seksual meskipun seringkali ini bukan menjadi tema atau kebutuhan utama mereka. Jadi hubungan seksual bukanlah yang dikejar-kejar, yang diutamakan adalah perhatian saling mengisi kebutuhan akan kesepiannya itu.

SK : Pak Paul, bagaimana dengan fenomena wanita karier apakah itu bisa cukup mengatasi kondisi tekanan karena tidak ada pasangan?

PG : Saya kira ya, aktifitas yang padat dan perasaan dia juga berguna, dia bisa berkarya dalam hidup ini, bisa melayani Tuhan dan sebagainya. Sudah tentu itu berperan besar untuk menepis atau mengurangi tekanan yang telah kita bicarakan itu.

GS : Tapi apakah itu menyelesaikan masalah yang dihadapi orang ini?

PG : Sudah tentu tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas, tapi setidak-tidaknya lebih menyeimbangkan hidupnya sehingga dia lebih bisa nantinya menahkodai hidupnya dengan lebih bijaksana.

GS : Tapi dalam dia bersosialisasi, dia sering merasa canggung?

PG : Ini tidak bisa dihindari dalam berelasi, dia merasa canggung bersama teman-teman yang telah berkeluarga, datang temannya dan mengajak dia, dia sendirian, yang lain dengan suami dan anak-anaknya. Jadi seringkali dia berusaha menghindar dari pertemuan seperti itu dan sudah tentu hal tersukar adalah menghadiri pernikahan teman atau adik atau kerabat dekat, sebab sorotan mata orang dapat membuat dia berpikir bahwa orang ini pasti menganggapnya selain tidak diminati juga bermasalah, makanya tidak ada yang mau mendekatinya.

GS : Adakah kiat yang bisa dilakukan oleh wanita yang tanpa pasangan supaya bisa melewati masa-masa tidak mudah itu dengan lebih baik?

PG : Saya kira misalnya dia punya karier yang jelas maka dia akan dapat melewati semua ini relatif lebih baik ketimbang dia belum memiliki karier yang mapan. Jadi dalam kondisi tidak mapan dia makin bingung dengan apa yang harus diperbuatnya dalam hidup ini, namun baik mapan atau tidak, hampir semua wanita harus memikirkan perubahan dalam hidupnya, sebab pada awalnya hidup berkeluarga selalu menjadi bagian dari rencana masa depannya. Maksud saya kebanyakan orang beranggapan, "Saya akan menikah" jadi kalau mau pindah atau kerjakan apa, seringkali tanpa disadari akan dipertimbangkan dalam konteks nanti saya akan menikah, nanti saya akan punya anak maka janganlah. Misalnya ada orang mau sekolah kedokteran, "Wah, nanti saya bisa 10 tahun harus praktek kerja dan sebagainya, lebih baik tidak karena nanti saya mau menikah, ada anak bagaimana mengurusnya?" Jadi ada hal-hal yang ingin dilakukan tapi akhirnya disesuaikan dengan anggapan bahwa saya akan menikah kelak. Jadi waktu pada akhirnya dipastikan tidak menikah pada usia tertentu itu maka tidak bisa tidak, itu akan menuntutnya untuk banting kemudi dan merancang masa depan yang berbeda. Ini yang seringkali harus dialami oleh wanita. Makanya kalau dia sama sekali belum memunyai kejelasan arah hidup, karier dan sebagainya, ini bisa mengombang-ambingkan dia.

SK : Apakah Pak Paul punya patokan pada usia berapa kira-kira wanita yang belum menikah ini atau wanita tanpa pasangan ini sudah perlu untuk merancang masa depan yang berbeda?

PG : Saya tidak bisa patok pada usia berapa. Tapi saya kira pada usia 30 tahunan, kalau belum maka harus mulai merancang, misalkan saya tidak menikah apa yang harus saya lakukan. Jadi kalau misalkan pada usia 40 tahun belum ada pasangan, maka setidak-tidaknya karena dia sudah mulai merancangnya sejak usia 30an berarti kariernya sudah ada di jalur yang benar, sehingga kalau tidak menikah dia masih bisa berkarya pada jalur kariernya tersebut.

GS : Di sini peran orang tua besar sekali, selama dia belum menikah berarti sebenarnya dia sangat tergantung pada orang tuanya dan apa yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk menolong anaknya ini?

PG : Sudah tentu yang jangan dilakukan oleh orang tua adalah menyalah-nyalahkan anak, "Kamu ini seperti ini dan sebagainya" hal itu makin menyusahkan si anak. Saya mengerti orang tua pasti ada rasa malu, ada rasa penyesalan, "Kenapa anak saya begini, dulu ada yang baik dengan dia, dia bersikap seperti itu" akhirnya ke masa lalu. Jangan bangkit-bangkitkan masa lalu, sebab kalau ada andilnya si anak bukankah yang paling menyesal juga dia, jadi jangan ditambahkan. Kedua, kita jangan sampai menunjukkan kalau kita malu sebab ini bisa menambah rasa malu si anak, dia sendiri sudah menanggung rasa malu tapi kalau orang tuanya tetap baik-baik saja dan menganggap hal itu bisa diterimanya maka ini akan menolong anak. Kalau si anak sudah merasa malu dan kemudian melihat mama atau papanya malu, ada teman-temannya datang tidak dikenalkan, kalau ada apa-apa kamu jangan ikut. Si anak akan merasakan sebetulnya papa dan mama malu, karena saya tidak punya pasangan hidup.

SK : Jadi kalau demikian sebenarnya orang tua itu bisa menjadi penambah beban bagi wanita yang tidak punya pasangan, tapi juga sebaliknya bisa membantu meringankan beban bagi anak-anak gadisnya yang tidak menikah, Pak Paul?

PG : Saya setuju. Jadi orang tua bisa mengarahkan mata anak kepada hal-hal yang dapat dikerjakan oleh si anak itu. Jadi ada hal-hal yang berada dalam kendalinya, ada hal-hal yang tidak berada dalam kendalinya. Ini adalah fakta dalam kehidupan, jodoh pasangan hidup seringkali tidak berada dalam kendali kita. Kadang kita beranggapan jodoh itu dalam kendali kita. "Pasti bisa kalau mau menikah, mana mungkin tidak ada yang mau" pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada orang-orang yang mudah langsung ketemu dan menikah, kalau kita lihat padahal dia biasa-biasa saja dan tidak lebih dari anak kita, tapi mudah mendapat pasangan, anak kita susah. Jadi benar-benar kita sadari jodoh memang tidak semudah itu. Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang menurut saya baik, baik laki-laki atau perempuan, wajahnya tubuhnya lumayan, kepribadiannya juga lumayan, tapi tidak jadi lagi dan tidak jadi lagi, tapi ada yang cepat jadi. Jadi kita harus sadari tidak semudah itu. Jangan sampai orang tua memberikan teguran kepada anak seolah-olah ini sesuatu yang berada dalam kendalimu dan kamu harus bertanggung jawab, tidak. Ada hal-hal yang memang ada di luar kendali dia, orang tua harus fokus pada apa yang bisa dilakukan si anak, yang bisa dikerjakan dalam hidupnya, kita dorong supaya anak itu bisa mengerjakannya.

SK : Pak Paul, di dalam masyarakat sepertinya ada mitos bahwa wanita yang tidak menikah sepertinya kepribadiannya itu kurang matang misalnya kaku, keras, kurang berjiwa keibuan. Apakah memang demikian dampaknya?

PG : Sudah tentu kalau itu yang dimiliki oleh wanita, maka itu akan menyulitkan dia untuk berpasangan, tapi sekali lagi tidak selalu begitu, sebab saya sudah bertemu dengan orang yang saya anggap sebetulnya siap dan layak untuk berumah tangga tapi tidak cocok, di lingkungannya kebetulan orang tertarik dengan orang lain, sehingga tidak jadi juga.

GS : Pak Paul, apakah ada pengaruhnya hubungan si gadis ini dengan Tuhan?

PG : Saya kira ada. Jadi artinya pada akhirnya dia harus berdamai dengan Tuhan, bila ia selalu mendambakan pernikahan dalam keluarga sebab ia merasa dianak tirikan oleh Tuhan, kendati ia telah berusaha hidup benar dan menyenangkan Tuhan, mungkin ia pun merasa Tuhan tidak adil sebab orang yang dianggapnya tidak selayaknya diberikan pasangan dan keluarga, tapi dia tidak. Jadi itu mengganggu, "Kenapa Tuhan tidak adil?" Selain dari itu dia harus bergumul dengan kehendak Tuhan dalam hidupnya, sekarang dia harus mencari dan meyakini kehendak Tuhan baginya sebagai orang lajang, mungkin sekali dia bertanya-tanya, "Apakah saya akan melajang, apakah ini kehendak Tuhan?" pada akhirnya dia harus berdamai dan berkata, "Tuhan ini kehendak-Mu, saat ini saya tidak punya siapa-siapa, saya terima ini adalah kehendak-Mu buat saya dan saya akan laksanakan, sebab hidup adalah untuk-Mu jadi saya persembahkan hidup ini sepenuhnya untuk-Mu".

GS : Tapi saya rasa itu melewati proses yang panjang, Pak Paul.

PG : Setuju, tidak semudah itu. Jadi harus lewat proses yang panjang dan harus melewati proses kemarahan, kekecewaan dan ada dorongan atau kecenderungan menjauh dari Tuhan. Tuhan tidak peduli dengan saya sampai akhirnya kita lewati dan berkata, "Ya sudah Tuhan saya terima ini apa adanya".

GS : Dan kadang ada kecenderungan menerima siapa saja yang mau dekat dengan dia walaupun tidak seiman, tidak sejalan dan banyak perbedaan sebenarnya.

PG : Betul sekali, daripada dia kesepian, kekosongan maka dia terima siapa saja.

SK : Bahkan yang saya dapati ada kadang menikah dengan pria-pria yang mengalami gangguan jiwa, jadi wanita ini tidak menyadari calon suaminya punya gangguan jiwa dengan cepat-cepat dijodohkan dan cepat-cepat menikah, bagi saya ini sangat kasihan.

PG : Betul. Jadi akhirnya tidak bijaksana asal terima saja yang penting statusnya menikah.

GS : Memang disini peran orang tua khususnya dan masyarakat di sekelilingnya, ini memang menambah beban bagi perempuan ini.

PG : Betul.

GS : Ini sebenarnya berbahaya sekali.

PG : Justru seharusnya mendorong, meringankan, membangun dan tidak menambahkan beban. Itu yang harus kita lakukan.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Di Yesaya 12:2-3 firman Tuhan berkata, "Sungguh, Allah itu keselamatanku; aku percaya dengan tidak gementar, sebab TUHAN ALLAH itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan". Kita mungkin tidak akan menemukan jawaban dengan segera, "Mengapa kita tidak dikaruniakan pasangan hidup" namun yang pasti adalah firman Tuhan berjanji, "Tuhan adalah kekuatan dan keselamatan kita". Jadi dalam menghadapi apapun termasuk hidup sendirian akan ada kekuatan dan pertolongan Tuhan, inilah sandaran kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Wanita Tanpa Pasangan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



48. Pria Tanpa Pasangan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T359B (File MP3 T359B)


Abstrak:

Mendapatkan jodoh tidaklah semudah yang dibayangkan, pria pun juga mengalami kesulitan di dalam mendapatkan jodoh. Apa saja yang membuat pria susah untuk mendapatkan jodoh? Dan apa yang yang harus dilakukan jika masih belum memiliki jodoh?


Ringkasan:

Salah satu misteri dalam hidup adalah perjodohan. Ada orang yang dapat menemukan pasangan hidupnya dengan mudah, tetapi ada pula yang mesti bersusah payah menemukannya, bahkan tidak jarang, pada akhirnya tidak menemukannya sama sekali. Alhasil ia harus menjalani hidup tanpa pasangan. Marilah kita melihat mengapakah bagi sebagian pria jodoh begitu susah ditemukan.

Bila demikian, apakah yang mesti dipersiapkan oleh pria sehingga ia dapat memperoleh pasangan hidupnya. Berikut adalah beberapa saran:

Kesimpulan

Kita mesti beriman bahwa Tuhan memelihara hidup kita dengan sempurna. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di luar kehendak-Nya. Jadi, bila saat ini kita masih belum mendapatkan pasangan hidup, kita pun mesti percaya bahwa semua ini berada dalam kehendak Tuhan yang bukan saja sempurna, tetapi juga baik. Ia tidak merancang sesuatu yang jahat. Dengan kata lain, tidak memunyai pasangan hidup bukanlah rancangan Tuhan yang jahat. Sebaliknya, ini adalah rancangan Tuhan yang baik.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pria Tanpa Pasangan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita membicarakan wanita tanpa pasangan dan ternyata banyak sisi yang perlu diangkat dan dibicarakan, memang lebih sulit seorang wanita yang pada awalnya bercita-cita untuk menikah, menerima kenyataan sampai usia yang cukup lanjut pun dia tidak sempat menemukan pasangannya. Apakah ada bedanya kalau hal itu terjadi pada diri seorang pria?

PG : Memang akan ada hal-hal yang sama yang akan dialami oleh seorang pria, misalkan perasaan saya kurang berharga dan sebagainya mungkin juga dialami seorang pria, tapi saya rasa seorang pria punya pengalaman yang unik yang berbeda dari apa yang dialami oleh seorang wanita kalau misalnya tidak menikah. Jadi kita ini mengangkat sebuah topik yang memang tidak gampang karena saya kira hampir semua orang berharap bahwa suatu hari kelak dia akan menikah dan memunyai jodohnya, tapi itulah fakta dalam hidup, hidup itu sebagai sebuah misteri. Ada orang yang dapat menemukan pasangan hidupnya dengan mudah, tapi ada pula yang harus bersusah payah menemukannya bahkan tidak jarang ada yang tidak menemukannya sama sekali. Jadi kita mau angkat topik ini mudah-mudahan apa yang kita bicarakan bisa membantu, mungkin ada beberapa orang yang sedang bergumul dengan masalah ini dan sedang mendengarkan kita.

GS : Sebenarnya hal-hal apa saja yang membuat seorang pria sulit menemukan jodohnya?

PG : Ada pria yang sulit menemukan jodoh karena dia memunyai standart yang tidak realistik, mungkin dia mengharapkan istri yang senantiasa mengertinya atau yang bisa segalanya, sebagai contoh misalnya dia mengharapkan istri yang mandiri sekaligus tunduk kepadanya, tanpa berani menggugat pendapatnya, ini yang susah ditemukan. Misalnya tentang orang yang mandiri, orang yang mandiri tahu apa yang diyakininya sehingga dia tidak begitu saja mengikuti pendapat orang. Jadi bila kita mengharapkan istri yang mandiri maka kita harus siap terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang dua arah dan bukan satu arah. Singkat kata kita harus memahami bahwa tidak ada seorang pun yang 100% sesuai dengan pengharapan kita. Jadi yang harus kita tanyakan adalah apakah kita dapat atau bersedia hidup bersama dengan bagian yang tidak sesuai dengan pengharapan itu.

GS : Harapan-harapan yang ada dalam diri pria itu tadi, itu muncul di dalam dirinya sendiri atau karena pengaruh dari lingkungannya khususnya dari orang tuanya, Pak Paul?

PG : Memang bisa muncul dari lingkungan karena memang itulah yang diajarkan atau ditekankan oleh keluarganya, sehingga dia selalu memunyai gambaran yang seharusnya begitulah seorang istri atau seorang yang ingin dicarinya. Tapi di pihak lain kadang ini bisa muncul dari dirinya sendiri, yaitu dia punya pandangan yang terlalu tinggi dan tidak realistik bahwa perempuan seharusnya seperti itu, seringkali yang saya temukan yang saya maksud dengan standart yang tidak realistik adalah mengharapkan orang bisa memunyai dua sisi yang berbeda sekaligus. Jadi memang susah, beberapa kali saya bertemu dengan orang yang berkata, "Saya ingin memunyai istri yang mandiri" supaya tidak merepotkan dia dan bisa berpikir sendiri, bisa memutuskan sendiri dan sebagainya. Namun di pihak lain mengharapkan istri seolah-olah tidak boleh ada pendapat, harus ikut saja kalau ada apa-apa harus mengalah. Susahnya adalah satu paket, orang yang mandiri yang bisa berpikir sendiri tidak mudah ikut orang. Jadi laki-laki juga harus menerima fakta bahwa tidak bisa memunyai semuanya.

GS : Terutama kita yang masih muda punya cita-cita yang agak muluk-muluk terhadap istri kita, harapannya bisa memenuhi segala kebutuhan kita dan sebagainya, tapi itu tidak selamanya menjadi kenyataan dan memang harus dijelaskan hal itu.

PG : Penting kita mengerti bahwa bagian yang tidak kita harapkan itu adalah sesuatu yang bisa kita hadapi misalnya kita mengharapkan istri yang penurut dan tidak memunyai pendapat sendiri, yang mau jalan sendiri, tapi kita harus terima mungkin sekali istri kita juga akan sulit mengambil keputusan dan akan sering ragu-ragu. Waktu kita berhadapan dengan sisinya yang kita tidak harapkan itu yakni ragu-ragunya, kita harus bersabar dan kita harus berkata, "Baiklah dia memang tidak bisa cepat ambil keputusan dan saya tunggu," atau saya harus sodorkan fakta lainnya sehingga dia bisa melihat dan biarkan dia mencernanya sehingga akhirnya bisa mengambil keputusan. Itu yang saya maksud dengan kita harus melihat bagian yang kita tidak harapkan itu dan tanyakan, "Bisa tidak, bersedia tidak kita hidup dengan bagian itu?" Selama kita berkata, "Baik saya bersedia" berarti kita bisa menerima orang itu.

GS : Apakah ada hal lain, Pak Paul, yang menyebabkan pria sulit menemukan jodohnya?

PG : Ada pria yang susah mendapatkan jodoh karena dia merasa minder dengan dirinya. Dengan kata lain, dia merasa tidak layak untuk diperhatikan oleh wanita. Mungkin ia memunyai penampilan yang kurang menarik atau mungkin ia berprestasi akademik yang rendah atau dia mungkin berlatar belakang sosial ekonomi yang lemah, sebagai akibatnya dia tidak berani mendekati wanita dan bersikap pasif bahkan kalau ada wanita yang mendekatinya, dia justru takut untuk menunjukkan rasa sukanya sebab dia beranggapan bahwa pastilah wanita itu tidak tertarik kepadanya. Mungkin juga dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa kalau wanita itu bersikap baik kepadanya maka itu adalah sikap si wanita kepada semua orang dan bukan kepada dia. Singkat kata, masalah utamanya adalah dia takut penolakan, dia beranggapan siapa pun yang hidup bersamanya pasti akan menemui kekecewaan sebab orang itu tidak akan memunyai apapun yang layak dihargai. Jadi akhirnya keminderan itu menghalangi dia untuk berani dekat dengan seorang wanita.

GS : Rendah diri semacam ini munculnya dari mana, Pak Paul?

PG : Banyak sumbernya, misalnya ada orang dari latar belakang sosial ekonomi lemah sepanjang hidupnya, teman-temannya bisa naik ini dan punya mobil itu tapi dia tidak bisa, teman-temannya bisa kuliah di sekolah yang baik tapi dia tidak bisa, atau dia tidak punya pekerjaan yang bisa dibanggakannya. Sehingga akhirnya dia berkata, "Saya bisa banggakan apa, apa yang bisa ditawarkan kepada istri saya" atau dia beranggapan, "Perempuan juga pasti mengharapkan kestabilan, kecukupan secara ekonomi tapi saya tidak bisa mencukupi, maka tidak jadi". Atau beranggapan, "Saya orangnya bodoh, dari mulai sekolah dulu tidak bisa berprestasi", jadi dia beranggapan, "Kalau sampai saya menikah nanti saya dihina oleh istri saya, saya dianggap bodoh dan sebagainya" atau dia punya pandangan bahwa dirinya tidak ada yang baik untuk ditawarkan jadi dia selalu punya ketakutan kalau dia menikah akhirnya si istri akan tahu kelemahan dia dan kalau tahu kelemahan dia pasti akan menolaknya, maka dia tidak berani untuk dekat-dekat.

GS : Ada sebagian orang yang menyadari bahwa penampilannya tidak menarik atau prestasi akademiknya rendah, tapi karena dia nekat maka dia dapat jodoh dengan cepat.

PG : Benar. Bergantung pada orangnya juga, ada yang berkata, "Tidak apa-apa saya punya kelemahan seperti ini, kalau orang mau maka saya terima, kalau orang tidak mau ya tidak apa-apa". Jadi memang seharusnya sikap kita seperti itu, yang penting kita jangan berpura-pura atau berbohong, kita harus apa adanya karena kita tidak punya pekerjaan yang bisa dibanggakan, katakan "Ini memang pekerjaan saya". Misalnya penghasilan kita memang terbatas maka kita katakan juga, "Memang ini penghasilan saya" jangan kita kemudian mendustai pasangan kita, ini yang salah.

GS : Yang penting orang ini berani ditolak dan berani gagal berkali-kali, Pak Paul.

PG : Mungkin saja akhirnya dia ditolak karena orang tahu dirinya seperti apa, tapi tidak apa-apa sebab lebih baik kita jujur apa adanya, jika karena itu orang menolak kita maka tidak apa-apa berarti orang itu tidak cocok dengan kita karena dia tidak bisa menerima kita. Tapi kalau ada orang yang tahu siapa diri kita apa adanya dan tetap mau berarti dia sungguh-sungguh mau karena sudah mengetahui kelemahan kita, tapi dia tetap mau dengan kita.

GS : Ada faktor yang lain, Pak Paul?

PG : Ada pria yang susah mendapatkan jodoh karena dia berkonsep keliru tentang dirinya, maksud saya dia mungkin beranggapan bahwa dia adalah seorang pria yang tampan, pria yang berkwalitas atau layak mendapatkan wanita yang cantik, yang cerdas yang baik dan sebagainya. Masalahnya adalah dia tidak seperti itu, mungkin dia tidak terlalu tampan, dia tidak terlalu berkwalitas dan sebagainya tapi dia beranggapan seperti itu. Berhubung dia beranggapan diri setinggi itu pada akhirnya dia tidak akan pernah menemukan jodoh yang dianggapnya sepadan dengan dirinya sebab dia berkata, "Ini di bawah saya, bukan level saya, saya seharusnya mendapatkan yang lebih lagi". Masalahnya adalah dia tidak seperti itu. Jadi akhirnya dia makin terpuruk, ada orang yang sudah berusia agak lanjut seharusnya terima fakta kalau dia sudah agak lanjut usia, kalau mau mencari pasangan jangan yang usianya terlalu jauh tapi terus memunyai standart meskipun dia sudah berusia lanjut penampilannya muda jadi mencari yang muda, akhirnya tidak ada yang mau dekat dengan dia.

GS : Ini "over confidence", percaya dirinya terlalu berlebihan.

PG : Dan memang ada orang seperti itu, jadi dia beranggapan dia sebagus itu dan menuntut pasangan hidupnya sebagus itu.

GS : Ini erat kaitannya dengan yang Pak Paul katakan yaitu dia punya standart yang tidak realistik.

PG : Betul sekali. Bedanya kalau yang pertama standart itu dia kenakan kepada orang lain, tapi kalau yang ini dia menganggap dirinya sehebat itu.

GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Satu lagi ada pria yang susah mendapatkan jodoh oleh karena karakternya yang tidak baik, kita harus mengakui tidak semua kita memunyai karakter yang baik, banyak yang baiknya, banyak yang kurang baiknya. Sebagai contoh misalnya dia adalah seorang pemarah sehingga tidak bisa tidak membuat wanita takut bersamanya, atau dia mungkin seorang yang kikir perhitungan dengan uang sehingga perempuan tidak suka dekat dengan dia. Atau dia seorang yang sombong cenderung merendahkan orang dan kalau bicara menghina orang dan tidak menghargai orang, akhirnya dia sulit mendapatkan jodoh. Jadi ada orang yang sulit didekati dan kita harus berkata, "Benar kalau saya harus hidup dengan dia juga tidak tahan, siapa yang mau tidak dihargai dan siapa mau mendengar dia dan membesarkan dirinya". Ada orang yang memang susah untuk hidup bersama karena sifatnya yang tidak baik itu.

GS : Pergaulan yang terbatas juga membuat orang sulit mendapatkan jodohnya, Pak Paul.

PG : Benar, makin kita bergaul luas maka kita akan mengenal orang dan dikenal orang sehingga pilihan akan lebih banyak, orang yang tidak terlalu banyak pergaulannya, teman-temannya sedikit, maka akhirnya beredarnya sama lingkungan yang sama dan terus seperti itu.

GS : Kadang ada orang yang sulit bersosialisasi meskipun tidak sampai ke tingkat asosial, tapi ada orang yang sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain.

PG : Betul. Meskipun harus kita akui kadang kala ini yang terjadi, dia sulit bergaul dan teman-temannya terbatas, tapi kebetulan dalam kelompok terbatas itu ada yang dia sukai dan menyukai dia, sehingga berjodoh. Tapi saya setuju dengan Pak Gunawan, secara prinsip umum orang yang pergaulannya terbatas biasanya kesempatannya untuk nanti bertemu dengan jodohnya juga akan lebih terbatas.

GS : Jadi setelah mengetahui hal-hal apa yang bisa menghambat seorang pria ini ketemu jodohnya, langkah apa yang bisa diambil untuk bisa menolong orang ini?

PG : Saya akan bagikan tiga, yang pertama adalah dia harus berdoa dan meminta Tuhan membentuk dirinya agar siap menikah. Jadi penekanan utamanya adalah meminta Tuhan membentuk dirinya agar siap menikah. Maksud saya sebelum dia berdoa meminta pasangan hidup, terlebih dahulu dia mesti meminta Tuhan untuk menyiapkan dirinya supaya jika kelak dia bertemu dengan orang itu, ia telah siap menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Saya berikan firman Tuhan sebagai landasannya, Galatia 5:22-23 memuat buah Roh Kudus yang dijabarkan secara terperinci dalam sembilan karakteristik yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Saya yakin kalau kita memunyai kwalitas yang disebutkan oleh firman Tuhan ini maka saya rasa kita sudah siap berumah tangga. Jadi doa kita yang pertama adalah untuk diri kita, supaya kita mengembangkan karakter seperti yang dimiliki Roh Kudus Tuhan yang penuh kasih, kemurahan, kebaikan. Dengan kita menyiapkan diri atau meminta Tuhan menyiapkan diri kita maka kita akan menjadi seseorang yang bisa dilirik orang artinya orang akan melihat orang ini baik, murah hati, bisa berdisiplin diri, orang ini tidak pemarah, penuh kasih. Ini adalah kwalitas yang memang dicari orang. Jadi kalau kita bisa memunyai semua karakter ini maka tidak bisa tidak kita akan lebih siap untuk dilihat dan akhirnya disukai oleh orang.

GS : Tapi untuk pembentukan karakter seperti itu perlu waktu dan bisa juga kita melakukan hal itu sementara kita juga berusaha menemukan jodoh itu sendiri.

PG : Setuju sekali. Jadi dengan kata lain, kita jangan bersikap pasif diam-diam saja dan tidak mau berkenalan dengan orang. Kita sendiri juga harus berinisiatif, kita misalnya mengunjungi gereja yang memunyai kelompok pemuda dan mencoba berkenalan dengan teman-teman di sana, waktu mereka beranjangsana kita ikut bersama dengan mereka. Dengan kata lain, berusahalah untuk membuka diri dan jangan belum apa-apa kita sudah menutup diri. "Dia bukan tipe saya, saya tidak suka dengan dia dan sebagainya" jangan! Jadi bergaullah, terbukalah, berinisiatiflah sebab seringkali kita benar-benar baru mengenal orang setelah kita bergaul dengan dia, siapa tahu setelah kita bergaul dengan dia kita juga mengenal sifatnya yang kita sukai.

GS : Karena seringkali yang terjadi, kita tahu buah roh tumbuh dan berkembang setelah kita berkeluarga, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi seringkali kita tidak sempurna dan penuh kasih sehingga Tuhan memakai pasangan kita untuk mengikis sifat kita yang kurang baik dan menumbuhkan karakter yang Tuhan inginkan itu.

GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul?

PG : Harus berdoa untuk meminta hikmat, jadi meminta hikmat, "Tuhan tolong beri saya hikmat" dimana dikatakan dalam Yakobus 1:5, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, — yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit —,maka hal itu akan diberikan kepadanya." Maka apa yang harus kita minta dan kenapa minta hikmat? Mintalah hikmat kepada Tuhan untuk melihat dengan jernih, ini satu hal yang saya kira penting untuk melihat dengan jernih. Kadang kita terperosok ke dalam sikap menggampangkan, sehingga mengabaikan ketidakcocokan atau kita ini terkuasai oleh nafsu sehingga hanya melihat faktor penampilan fisik. Jadi mintalah hikmat kepada Tuhan agar kita dapat melihat jauh lebih dalam daripada sekadar melihat apa yang tampak di depan mata.

GS : Memang seringkali kita cenderung untuk melihat apa yang nampak saja seperti kekayaannya, kepandaiannya, penampilan fisiknya apalagi kalau ada orang yang mendorong-dorong kita entah teman atau orang tua kita. Tapi itu semua tampak yang lahiriah saja, yang batiniah sungguh-sungguh kita tidak mengerti kalau tidak ada hikmat Tuhan.

PG : Sebab saya beberapa kali menemukan kasus dimana sudah menikah dan akhirnya menyadari pasangan saya seperti ini. Waktu saya ditanya oleh orang tersebut, "Pak, sebetulnya bagaimana saya tahu dia seperti ini dalam masa berpacaran?" Kadang-kadang ada hal-hal yang bisa kita lakukan atau perhatikan supaya kita sadar dia seperti ini, tapi ada hal-hal karakter atau sifat yang tidak muncul dalam masa berpacaran dan kita tidak bisa melihatnya. Jadi memang sangat susah dan setelah menikah diperhadapkan dengan situasi tertentu barulah terlihat. Saya rasa ini penting, semua harus minta hikmat kepada Tuhan supaya bisa melihat dengan jernih, biarlah Tuhan munculkan situasi demi situasi supaya kita bisa melihat siapakah pasangan kita yang nanti akhirnya kita bisa maju dan berpacaran dengan dia pula.

GS : Apakah masih ada hal lain yang bisa dilakukan, Pak Paul?

PG : Ada satu lagi yaitu bergaullah secara normal dengan pengertian jangan memandang setiap wanita sebagai calon istri, kadang-kadang karena usia sudah menanjak dia merasa harus tergesa-gesa mendapatkan pasangan hidup akhirnya bergaul, tapi bergaulnya dengan satu tujuan yaitu mencari istri, sehingga setiap wanita yang ditemui seolah-olah menjadi kandidat, apakah saya harus menikah dengan dia atau tidak. Jangan seperti itu tapi jadikan pertemanan dengan tujuan perkenalan, sebab relasi yang sehat diawali dengan pertemanan dan bukan pertunangan. Jadi kalau kita terlalu terobsesi dengan keinginan untuk menikah bisa jadi sikap seperti ini malah membuat wanita ingin menjauh dari kita, sebab wanita ingin diperlakukan sebagai manusia dan bukan objek yang dipilih untuk dinikahi. Wanita ingin tahu dengan pasti bahwa kita dengan tulus mengasihinya karena dirinya apa adanya dan bukan karena kita butuh kawin. Jadi dalam pergaulan jangan sampai mata kita hanya melihat siapa yang harus saya nikahi. Bergaullah apa adanya sebagai teman, dari pertemanan dan nanti bisa berkembang sehingga dia tertarik kepada kita dan kita juga tertarik kepada dia.

GS : Disitu ada sesuatu yang sulit, kadang orang tua menekan atau mendesak si anak laki-lakinya ini agar cepat menikah bahkan dikenalkan dengan orang lain. Disitu kadang-kadang kita kekurangan waktu, anak ini kekurangan waktu untuk sungguh-sungguh mengenal calonnya ini, disini seharusnya bagaimana bersikap?

PG : Saya rasa disini dia harus lebih berani untuk memberitahukan kepada orang tuanya, "Pa atau Ma memang saya mengerti Papa atau Mama sudah ingin kami menikah tapi tolong saya perlu mengenal dia, saya perlu benar-benar sampai siap hati baru saya memulai relasi ini, kalau saya tidak siap hati saya tidak mau menikah, sebab saya tidak mau nanti setelah masuk ke dalam pernikahan, saya akan terus menyesali keputusan saya".

GS : Pak Paul apakah ada tekanan psikologis seperti yang dulu pernah kita bicarakan kalau ada wanita yang usianya sampai 30 tahun ke atas belum menikah, apakah hal itu juga dialami oleh para pria yang tidak memunyai pasangan?

PG : Memang ada tapi sedikit berbeda, kalau wanita misalnya sampai usia tertentu belum menikah maka pada umumnya orang akan beranggapan seolah-olah tidak ada yang berminat kepada dia, tidak ada sesuatu yang bisa ditawarkannya, ujung-ujungnya kurang berharga, kalau pria sampai usia tertentu dia tidak menikah label yang seringkali dilekatkan kepadanya adalah dia pasti bermasalah makanya tidak ada yang mau dengan dia. Jadi seringkali ada standart yang berbeda, kalau perempuan mungkin kurang menarik dan hanya di situ saja, kalau pria sampai usia tertentu tidak menikah adakalanya justru persepsi yang muncul adalah orang ini pasti ada masalah, sifatnya dan sebagainya sehingga tidak ada yang mau dengan dia. Ada dua hal yang berbeda dan memang harus hidup dengan apa adanya natural, dan memerlihatkan kalau dia tidak seperti itu, memang dia tidak sempurna sama seperti kita semua tapi dia tidak lebih buruk dari kebanyakan orang juga.

GS : Jadi pergumulan lebih berat yang pria atau yang wanita, Pak Paul?

PG : Saya kira pada titik tertentu, kalau sampai usia tertentu tidak menikah maka pada akhirnya tekanan itu mulai berkurang, sampai usia tertentu kita relatif lebih muda tekanan itu berat sekali, tapi pada titik tertentu dua-dua tidak menikah harusnya sama saja tidak lebih berat.

GS : Apakah ada kemungkinan pria yang tidak menikah juga jatuh dalam hubungan seks sejenis, Pak Paul?

PG : Bisa saja, tapi kemungkinan ini sedikit lebih kecil karena pria itu tidak terlalu menekankan hal-hal perasaan sehingga kekosongan dalam hidupnya, kesepian dalam hidupnya biasanya juga tidak se-intens perempuan. Dan laki-laki pada umumnya juga tidak terlalu membutuhkan sentuhan seperti itu. Jadi untuk sampai tidak menikah dan terlibat dalam hubungan homoseksual, saya rasa kemungkinan itu kecil.

GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa menyimpulkan apa yang kita perbincangkan?

PG : Saya kira akhirnya kita harus berkata bahwa kita harus percaya Tuhan memberikan yang terbaik bagi kita, kita harus ingat firman Tuhan yang berkata, "Kalau anak meminta roti maka Bapa tidak akan memberikan ular". Tuhan adalah Bapa kita, kita adalah anak-anak-Nya maka kalau kita meminta roti maka Tuhan tidak akan memberikan ular, kalau sampai sekarang kita belum menikah itu bukan dikarenakan Tuhan memberikan ular kepada kita, Dia tetap memberikan roti sebab dia memunyai rencana, dan hidup kita tidak mendadak buruk gara-gara kita tidak menikah. Tuhan bisa memakai kita semua menjadi berkat bagi orang lain. Jadi ingat tujuan hidup bukan untuk menikah, tujuan hidup untuk memuliakan Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pria Tanpa Pasangan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



49. Laki-laki dan Ambisi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T360B (File MP3 T360B)


Abstrak:

Laki-laki kerap diidentikkan dengan ambisi dan banyak orang yang memandang ambisi secara negatif. Apakah yang salah dengan ambisi? Apakah memang ambisi adalah sesuatu yang selayaknya dihindarkan? Di sini akan dibahas tentang ambisi agar kita dapat menempatkan hal ini secara tepat.


Ringkasan:

Laki-laki dan ambisi dapat diibaratkan seperti sepasang sepatu yang tak terpisahkan. Sebagai orang Kristen, kadang kita memandang "ambisi" secara negatif. Apakah yang salah dengan ambisi? Apakah memang ambisi adalah sesuatu yang selayaknya dihindarkan? Berikut akan dibahas tentang ambisi agar kita dapat menempatkan masalah ini secara tepat.

1 Petrus 4:7 mengingatkan, "Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain...." Dari Firman Tuhan ini kita belajar bahwa satu-satunya cara untuk dapat melawan ambisi untuk menguasai orang adalah dengan cara mengasihi mereka. Filipi 4:11-12 mengingatkan, "Kukatakan ini bukan karena kekurangan sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan." Mungkin kita memperalatnya; mungkin kita malah menginjaknya. Singkat kata, ambisi dapat membuat kita kehilangan kekudusan sehingga pada akhirnya kita tidak lagi melihat Tuhan dan sesama kita manusia. Paulus pernah menjadi orang yang berambisi, namun setelah mengenal Kristus, ambisinya hanyalah terpusat pada satu hal sebagaimana diungkapkannya, "Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya...." (Filipi 3:10)

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Laki-laki dan Ambisi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, memang semua orang pasti punya ambisi tetapi laki-laki yang ada lebih sering berkaitan dengan ambisi ini. Hal-hal apa yang bisa kita bicarakan?

PG : Begini, saya boleh ibaratkan laki-laki dan ambisi seperti sepasang sepatu, jadi laki-laki cenderung punya ambisi. Yang saya mau angkat adalah apakah ambisi itu salah, sebab kadang-kadang kita ini beranggapan ambisi itu salah dan tidak boleh punya ambisi. Kenapa kita beranggapan ambisi salah, apakah memang ambisi yang sesuatu yang selayaknya dihindarkan? Jadi penting bagi kita melihat hal ini dengan lebih seksama sehingga kita tidak sampai jatuh ke dua ekstrem. Ekstrem yang pertama adalah kita takut untuk memunyai ambisi tapi sekaligus kita juga jangan sampai membolehkan apa saja, itu yang perlu kita lihat.

GS : Mungkin bagi kita orang Kristen seringkali dikaitkan dengan sifat rendah hati, sebagai orang Kristen harus rendah hati, pasrah. Sehingga kalau ada orang Kristen yang berambisi dianggapnya angkuh, serakah, begitu, Pak Paul?

PG : Betul. Saya kira ada pandangan seperti itu bahwa orang Kristen tidak boleh memunyai ambisi dan itu berarti memikirkan sesuatu yang terlarang seolah-olah tidak rohani kalau punya ambisi. Jadi kita harus melihat apakah memang seperti itu?

GS : Hal-hal apa yang mau kita pikirkan tentang ini, Pak Paul?

PG : Sesungguhnya ambisi hanyalah berupa keinginan untuk mencapai sesuatu. Jadi sebetulnya ambisi itu sendiri bukan sesuatu yang salah atau berdosa, sebab ambisi hanya sebuah keinginan dan ambisi dapat menjadi sesuatu yang salah atau berdosa bila objek keinginan itu adalah sesuatu yang salah atau berdosa. Atau cara kita mewujudkannya untuk mendapatkan ambisi itu adalah salah dan berdosa. Misalnya kita ingin menempati jabatan yang lebih tinggi, sudah tentu kedudukannya bukan sesuatu yang salah dengan kata lain, keinginan untuk mencapainya bukan sesuatu yang berdosa, namun apabila kita mendapatkan jabatan itu dengan cara menjelek-jelekkan orang yang sekarang menempatinya, atau kita memberikan sogokan kepada orang supaya kita memeroleh jabatan itu, maka hal itu menjadi salah.

GS : Artinya menghalalkan segala cara demi mencapai apa yang diinginkan dan ini yang kita tidak bisa terima di dalam kekristenan ini, begitu Pak Paul.

PG : Betul. Jadi keinginan itu sendiri tidak salah, yang bisa salah jadinya apa itu yang diinginkan. Kalau yang diinginkan misalnya saya ingin mengambil seseorang menjadi istri saya masalahnya dia sudah menjadi istri orang lain. Kita tidak bisa berkata, "Tidak apa-apa punya keinginan" itu salah. Isi keinginan itu atau objek keinginan itu jelas-jelas salah dan berdosa. Dan yang kedua adalah cara kita mendapatkannya, mungkin objek itu sendiri tidak salah kita ingin mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, tapi kalau cara mendapatkannya salah maka menjadi salah.

GS : Memang yang dikhawatirkan disitu. Jadi pada awalnya memang tidak ada keinginan untuk memeroleh itu secara tidak halal dengan segala cara, tetapi dengan berkembangnya waktu dan makin kita didesak oleh keinginan kita, kita bisa saja jatuh pada dosa keserakahan itu tadi.

PG : Saya kira ini banyak terjadi. Apalagi kita laki-laki mendasarkan penghargaan diri kita atas karier, kalau tidak hati-hati kita akhirnya terobsesi dan kita harus menempati jabatan yang tinggi dan kita akhirnya menghalalkan segala cara. Ambisi seperti itulah yang salah.

GS : Yang lainnya lagi apa, Pak Paul?

PG : Tentang ambisi yang lainnya adalah, meskipun ambisi itu sendiri sesuatu yang bersifat netral, ada objek ambisi yang jelas-jelas salah. Jadi saya mau membahas sekurang-kurangnya ada dua ambisi yang mesti diwaspadai terutama oleh laki-laki. Yang pertama adalah kekayaan dan uang. Firman Tuhan di 1 Timotius 6:9-10 mengingatkan, "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka". Jadi firman Tuhan jelas berkata tentang uang dan kekayaan, kita tidak bisa berkata netral. Jadi orang yang mau kaya mengejar-ngejar kekayaan, justru Tuhan berkata salah. Jadi ambisi mau kaya itu ambisi yang sudah langsung Tuhan katakan ini berbahaya dan kita juga tahu firman Tuhan jelas berkata, "Akar segala kejahatan adalah cinta akan uang", kalau ada orang berambisi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya karena dia cinta uang, jelas keinginan itu sendiri sudah salah. Tadi saya sudah singgung keinginan memang netral, tapi khusus Alkitab menyebut ada beberapa hal yang memang kalau kita inginkan itu salah.

GS : Tapi keinginan akan kekayaan dan uang itu harapan dari semua orang yang bekerja, berusaha tentu ingin mendapatkan uang, mendapatkan kekayaan, Pak Paul.

PG : Masalahnya adalah kita memikirkan untuk mencukupi diri kita ataukah kita memikirkan untuk mengumpul-ngumpulkan harta itu. Jadi yang penting adalah kita bekerja supaya dapat mencukupkan kebutuhan kita. Kalau kita dipromosikan, pekerjaan kita berhasil, usaha kita membuahkan banyak keuntungan, sehingga kita tiba-tiba menjadi lebih banyak uang, maka terimalah itu memang adalah berkat yang Tuhan berikan kepada kita. Tapi yang Tuhan mau adalah kita tidak mengejar-ngejarnya dan kita melakukan kewajiban kita, biar Tuhan yang memberkati kita dan kita jangan mengejar-ngejarnya sebab firman Tuhan berkata kalau kita mengejar kekayaan dan mencintai uang, maka kita tinggal tunggu waktu akan mengalami kehancuran.

GS : Kekayaan ini termasuk harta benda tentunya. Jadi bukan hanya uang dan kekayaan ini. Tapi apakah ada hal lain yang tadi Pak Paul katakan, ada 2 hal yang patut diwaspadai.

PG : Buat laki-laki hal yang kedua yang juga perlu diwaspadai adalah kuasa. Sesungguhnya kalau kita pikir, ambisi akan kuasa atau ambisi memiliki kuasa adalah keinginan untuk menguasai orang lain, ujung-ujungnya itu. Kenapa orang mau berkuasa karena dia ingin menguasai orang lain. Tujuan mungkin beragam, tapi pada umumnya kita menguasai orang untuk memeroleh hormat dan pengabdian dari mereka. Itu saya kira yang memang menjadi akarnya, kita mau orang itu dalam kuasa kita supaya kita dihormati mereka dan mereka mengabdi kepada kita dan mereka memberikan yang kita inginkan. Jadi kita memang harus berjaga-jaga jangan sampai kita haus kuasa, karena banyak orang yang jatuh ke dalam dosa akibat haus kuasa. Sebagai contoh yang nyata adalah hampir semua raja yang memerintah Israel di dalam Alkitab akhirnya terjeblos ke dalam dosa karena kuasa. Jadi firman Tuhan mengajarkan bahwa kita tidak boleh menguasai orang, satu-satunya orang yang perlu dikuasai adalah diri sendiri. Firman Tuhan sangat jelas dalam hal ini, orang mencari kuasa supaya bisa menguasai orang lain. Tuhan berkata tidak seperti itu tapi kita harus menguasai diri kita sendiri, itu yang paling penting. 1 Petrus 4:7 mengingatkan, "Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain" dari sini kita bisa belajar bahwa satu-satunya cara untuk dapat melawan ambisi untuk menguasai orang adalah dengan cara mengasihi orang. Inilah yang Tuhan tekankan.

GS : Disini seringkali terkait dengan yang pertama tadi yaitu kekayaan dan uang, orang menggunakan atau memanfaatkan kekayaan dan uangnya untuk menguasai orang lain.

PG : Seringkali seperti itu. Jadi ujung-ujungnya memang kita melimpahkan uang dan kekayaan kepada orang sehingga kita bisa mengaturnya atau menguasainya.

GS : Ada lagi orang yang tidak menghiraukan sama sekali, tetapi yang lebih diutamakan adalah kuasanya, dia merasa puas kalau dia bisa menguasai orang lain walaupun mungkin tidak menghasilkan uang yang cukup.

PG : Betul. Jadi dalam hal itu yang dibutuhkan adalah yang tadi saya sebut yaitu penghormatan dan juga pengabdian, ada orang-orang yang memang haus akan penghormatan. Orang harus menghormati dan pengabdian orang harus benar-benar mengabdi kepada dia. Dalam hal ini mungkin saja dia tidak mencari-cari uang mereka, tapi yang dicari adalah penghormatan dan pengabdian orang terhadapnya.

GS : Itu bisa juga terjadi dalam pekerjaan-pekerjaan yang katakan sifatnya rohani, Pak Paul.

PG : Tepat. Memang sebetulnya tidak melibatkan uang, tidak ada uang yang terlibat dan tidak ada uang yang dilibatkan, tapi karena orang itu haus pengabdian dan penghormatan orang sehingga dia sibuk menguasai orang supaya nanti orang tetap hanya melihat dia, menghormati dia, semuanya mengidolakan dia. Ada orang yang tidak bisa melepaskan kuasa karena tidak bisa membayangkan dirinya dilupakan orang, dia tidak bisa membayangkan dirinya tiba-tiba tidak ada. Jadi dia selalu ada supaya orang tetap melihat dia orang yang patut dihormati.

GS : Dan itu juga termasuk ambisi itu tadi dari laki-laki itu, Pak Paul.

PG : Saya kira dalam hal ini lebih banyak laki-laki yang bermasalah dengan ambisi seperti ini dibandingkan perempuan sebab ada bedanya, perempuan sudah tentu akan senang jika orang menghormatinya, mengabdi kepadanya, tapi yang lebih dibutuhkan adalah dikasihi dan disayangi. Jadi selama dia mendapatkan itu maka semua cukup, kalau laki-laki lebih membutuhkan penghormatan dari orang. Jadi akhirnya lebih mudah jatuh ke dalam ambisi yang salah ini.

GS : Pak Paul menganjurkan kita untuk mengasihi orang lain supaya kita tidak termakan oleh ambisi dalam hal kekuasaan, ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Obatnya bukan bagaimana membuang ambisi menguasai orang, kadang kita berpikir, "Saya mau buang dan saya tidak mau menjadi orang yang menguasai orang". Sebetulnya cara membuangnya sudah diberitahu Tuhan yaitu Tuhan berkata, "Tetapi yang terutama kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain". Jadi resepnya adalah kita mengasihi orang, kalau kita mengasihi orang maka kita tidak akan pusing bagaimana menguasai orang dan kita tidak akan pusing bagaimana membuat orang selalu memikirkan kita, mengabdi kepada kita dan menghormati kita, tidak. Karena waktu kita mengasihi orang, fokus kita bukan pada diri kita, tapi pada orang itu memikirkan apa yang paling baik buatnya.

GS : Apakah masih ada hal lain yang perlu diperhatikan, Pak Paul?

PG : Satu lagi adalah kita juga perlu mewaspadai ambisi karena ada potensi untuk membuat kita kurang berterima kasih. Jadi karena kita ini terus memikirkan keinginan ambisi kita akhirnya bukannya melihat apa yang dimiliki tapi kita malah melihat apa yang tidak dimiliki, bukannya puas dan bersyukur tapi kita malah mengeluh. Jadi kita harus berhati-hati agar jangan sampai gara-gara ambisi kita berubah menjadi orang yang tidak pernah puas. Firman Tuhan di Filipi 4:11-12 mengingatkan, "Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan". Jadi Paulus berkata, dia belajar mencukupkan diri alias dia belajar untuk berterima kasih, puas, menerima. Kalau orang memikirkannya hanyalah ambisinya, apa yang ia mau dan apa yang dia mau, ujung-ujungnya tidak bisa menghargai apa yang Tuhan telah berikan kepadanya dan terus memikirkan, "Saya harus begini sebab saya tidak punya dan saya mau mendapatkan ini karena saya tidak punya ini". Akhirnya yang dilihat yang tidak dimilikinya dan dia gagal bersyukur atas apa yang diberikan kepadanya.

GS : Ini yang membedakan dengan orang yang tidak punya gairah untuk bekerja atau untuk maju, bagaimana Pak Paul?

PG : Orang yang memusatkan perhatiannya pada berikanlah yang terbaik, persembahkanlah yang terbaik kepada Tuhan, maka dia tidak akan memikirkan tentang uangnya, hasilnya, yang penting adalah dia melakukan yang terbaik. Waktu dia melakukan yang terbaik, kemudian Tuhan menambahkan maka itulah berkat Tuhan. Tapi yang paling penting adalah dia melakukannya bukan supaya dia mendapatkan yang lebih, tapi karena dia mau bertanggung jawab, Tuhan sudah memberikan tugas dan dia kerjakan dengan sebaik-baiknya. Beda dengan orang yang malas sehingga apapun yang diberikan, kesempatan apapun yang Tuhan bukakan dia kerjakan separuh hati, asal-asalan tidak memberikan yang terbaik. Jadi sekali lagi fokus kita mestilah pada memberikan yang terbaik, hasilnya serahkan kepada Tuhan dan jangan itu yang kita kejar-kejar.

GS : Celakanya orang yang tadi Pak Paul katakan malas, seringkali berlindung dibalik perkataan, "Saya tidak berambisi untuk itu, saya pasrah kepada Tuhan" ini pasrah yang keliru saya rasa.

PG : Saya setuju. Kita dituntut Tuhan untuk menjadi juru kunci yang baik, kita menerima pemberian Tuhan, karunia dan kesempatan yang Tuhan bukakan dan manfaatkanlah, jangan sia-siakan sebab kita hidup hanya sekali dan kesempatan itu diberikan kepada Tuhan. Jadi kita harus menggunakan dengan sebaik-baiknya, jangan sampai karena malas malah mengatas namakan semua yang penting saya bersyukur.

GS : Jadi sebenarnya ambisi masih tetap kita butuhkan untuk memberikan gairah dalam hidup kita. Hanya masalahnya bagaimana kita mengelola ambisi itu.

PG : Dan menetapkan ambisi itu dengan benar. Jadi ambisi benar-benar sebuah hal yang netral yaitu keinginan saja, namun setelah kita bahas kalau ambisinya adalah untuk mencari kekayaan dan uang, Alkitab jelas katakan salah jangan kita kejar kekayaan. Kemudian yang kedua, ambisi akan kuasa, tidak boleh. Tuhan memanggil kita bukan untuk menguasai orang lain, tapi Tuhan memanggil kita untuk menguasai diri sendiri. Jadi sekali lagi fokusnya bukan menguasai orang lain tapi diri kita sendiri. Dan yang berikut telah kita bahas adalah hati-hati dengan ambisi, meskipun ambisi itu benar dan tidak salah namun hati-hati sebab kalau kita tidak hati-hati, mata kita akhirnya hanya tertuju pada apa yang kita tidak punyai dan akhirnya gagal berterima kasih atas apa yang kita punya.

GS : Hal lain yang harus diperhatikan agar ambisi itu tidak merugikan kita dan orang lain, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah kita harus berhati-hati dengan ambisi sebab ambisi dapat membuat kita melupakan Tuhan dan menginjak-injak manusia. Maksud saya begini, oleh karena terfokus pada apa yang kita inginkan kita malah mengabaikan apa yang diinginkan Tuhan misalnya kita mau mendapatkan posisi yang bagus di dalam pekerjaan kita, maka kita terus fokuskan itu, sehingga kita lupa dan mengabaikan apa yang Tuhan inginkan sebab belum tentu itulah yang Tuhan inginkan, misalnya kita mau masuk ke jurusan tertentu dalam perkuliahan, kita berambisi pasti akan ke sana, tapi kita lupa berdoa dan bertanya, "Tuhan apakah itu yang Kau inginkan?" Jadi kita harus berhati-hati dan juga hati-hati dengan ambisi karena ambisi bisa membuat kita menginjak-injak manusia, karena mata hanya tertuju pada apa yang kita kejar dan kita kurang memedulikan perasaan orang di dekat kita. Mungkin kita memeralatnya, mungkin kita malah menginjaknya. Singkat kata, ambisi dapat membuat kita kehilangan kekudusan sehingga kita tidak lagi melihat Tuhan dan sesama manusia. Ini Paulus pernah menjadi orang yang berambisi namun setelah dia mengenal Kristus, ambisinya hanyalah terpusat pada satu hal sebagaimana diungkapkannya pada Filipi 3:10, "Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya", itulah ambisinya.

GS : Demi memenuhi ambisinya, kadang keluarga bisa menjadi korban, yang Pak Paul katakan menginjak manusia, bisa jadi manusia itu adalah orang yang dekat dengan dia. Jadi bisa istri atau suami atau juga anak-anaknya.

PG : Seringkali seperti itu, kadang-kadang kita tidak ingat bahwa gara-gara saya mengejar posisi atau jabatan ini akhirnya keluarga kita menderita, mereka tidak bahagia dan mereka sengsara, tapi kita tidak pusing sebab yang penting kita mendapatkan yang kita inginkan itu dan kita hanya menuntut keluarga kita mengerti tapi kita gagal mengerti mereka. Hati-hati ambisi itu sendiri belum tentu salah, tapi jangan sampai gara-gara ambisi itu akhirnya orang-orang di sekitar kita menjadi korban kita sendiri.

GS : Seringkali orang-orang yang berambisi seperti itu sulit sekali untuk disadarkan atau diingatkan terutama kalau yang mengingatkan adalah orang-orang terdekat dia. Tapi kalau kita tidak mengingatkan, kita menjadi korbannya dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebab kita harus mengingatkan karena tugas kita mengingatkan, belum tentu orang itu mendengarkan kita, namun setidak-tidaknya kalau kita mengingatkan dia bisa diingatkan meskipun hanya berlangsung sementara, tapi setidak-tidaknya dia diingatkan. Siapa tahu waktu dia dalam proses mengejarnya kemudian dia mengalami sesuatu misalnya kegagalan maka dia ingat apa yang kita katakan dan ingatan itu bisa membuat dia sadar, "Benar, saya sudah salah, saya harus mundur" jadi tetap mengingatkan itu penting.

GS : Dan seringkali ambisi ini ada latar belakangnya. Misalnya masa kecil atau masa muda dulu dia tidak bisa mencapainya dan sekarang dia ada kesempatan maka dia akan gunakan untuk meraih apa yang dulunya tidak sempat dia raih.

PG : Betul sekali. Kadang latar belakang kita yang kurang akhirnya membuat kita terlalu bersemangat mengejar apa yang menjadi kekurangan dan dalam prosesnya kadang kita malah mengorbankan orang lain. Saya masih ingat cerita sejarah, yaitu tidak ada negara yang bisa menguasai Uni Soviet atau Rusia saat ini, karena negara itu begitu luas dan musim dingin di sana sangat parah. Kita tahu ada yang pernah mencoba yaitu Napoleon, tapi yang terjadi adalah kalah. Orang kedua yang mencoba untuk menguasai Uni Soviet saat itu adalah Hitler, dia juga berusaha dan dia kirimkan tentara ke sana, tapi akhirnya ribuan tentara Jerman mati di sana, mati bukan karena perang tapi karena kelaparan dan kedinginan di musim dingin. Ini adalah contoh orang yang tidak mau belajar dari sejarah, kenapa? Karena ambisi menguasai negara Rusia ini. Tapi dalam prosesnya dia menginjak-injak orang dan mengorbankan orang begitu banyak. Ini contoh buruk dari ambisi.

GS : Jadi banyak ambisi disertai kediktatoran dengan menguasai orang lain dan mengorbankan orang lain?

PG : Seringkali seperti itu karena kita gelap mata dan yang penting kita mendapatkan apa yang kita inginkan dan kita tidak peduli dengan orang lain. Jadi kita harus kembali kepada apa yang firman Tuhan ajarkan yaitu jangan kita kuasai orang, kuasai diri sendiri. Itu yang Tuhan inginkan.

GS : Sebenarnya Alkitab memberikan contoh yang cukup banyak untuk kita di dalam hal mengelola ambisi ini, hanya masalahnya kita mau atau tidak.

PG : Betul sekali. Kadang-kadang kita tahu apa yang benar, tapi kita gelap mata karena kita sudah begitu mendambakan apa yang kita inginkan itu.

GS : Seringkali tuntutan di sekeliling kita yang membuat kita salah didalam menggunakan ambisi karena kita melihat orang lain sukses, orang lain bisa maju. Secara tidak kita sadari lalu kita terpacu untuk itu.

PG : Tidak bisa disalahkan lingkungan itu memang berpengaruh, teman kita punya ini dan tetangga kita punya itu, maka kita akhirnya tergoda dan terbakar dan kita juga harus punya itu dan ini dan akhirnya kita jatuh ke dalam dosa.

GS : Satu-satunya kita harus kembali kepada Tuhan memohon pertolongannya dan kita terus belajar dari kebenaran firman Tuhan.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Laki-laki dan Ambisi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



50. Masa Tua Tidak Selalu Indah 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T386A (File MP3 T386A)


Abstrak:

Kita adalah manusia yang senantiasa berharap. Salah satu harapan yang sering kita impikan adalah menikmati masa tua yang indah. Masalahnya adalah tidak selalu impian menjadi kenyataan. Kadang masa tua justru menjadi masa yang lebih sarat kesusahan dibanding masa muda. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk melihat masa tua secara lebih jelas dan mengantisipasinya secara lebih realistik. Tantangan apa saja yang kadang bisa muncul di hari tua? Bagaimana cara menghadapi tantangan di usia tua?


Ringkasan:

Kita adalah manusia yang senantiasa berharap. Salah satu harapan yang sering kita impikan adalah menikmati masa tua yang indah. Masalahnya adalah tidak selalu impian menjadi kenyataan. Kadang masa tua justru menjadi masa yang lebih sarat kesusahan dibanding masa muda. Itu sebab penting bagi kita untuk melihat masa tua secara lebih jelas dan mengantisipasinya secara lebih realistik. Hal pertama yang akan kita soroti adalah tantangan apa sajakah yang kadang muncul di hari tua. Setelah itu barulah kita melihat cara untuk mengatasinya.

Nasihat Firman Tuhan untuk kita yang berusia lanjut adalah, "Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu." (Yesaya 46:4) Tuhan setia dan Ia tidak akan meninggalkan kita. Ia akan memelihara hidup kita, saat kita tidak lagi dapat memelihara hidup kita sendiri.

Menghadapi Tantangan Usia Tua

Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk menghadapi tantangan di usia tua.


Transkrip:

Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Masa Tua tidak Selalu Indah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Kalau Tuhan berkehendak, Pak Paul, tentunya kita bisa berumur panjang, mungkin sampai 80 atau 90 tahun, bahkan lebih dari itu, tetapi sekali pun itu patut disyukuri, usia yang lanjut ini membawa persoalan tersendiri, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dengan mengangkat topik "Masa Tua tidak Selalu Indah", Pak Paul, padahal itu di satu sisi diharapkan, tapi di lain sisi mesti diantisipasi. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu ini adalah impian kita bersama, ya Pak Gunawan, bahwa di hari tua kita akan bisa menikmati hidup dengan lebih baik, bahkan mungkin sekarang sudah lebih ingin beristirahat, ingin bisa mencicipi keindahan hidup. Tapi saya mau mengatakan bahwa tidak semua akan bisa mencicipi keindahan hidup di hari tua, ada yang justru harus bergumul dengan lebih berat lagi di hari tua. Inilah bagian dari kehidupan yang tidak selalu berada dalam kendali kita, Pak Gunawan. Saya kira kita perlu mengangkat topik ini supaya kita bisa mulai memikirkan dan melihat hal-hal apakah yang mungkin nanti bisa mengganggu kita kehidupan kita di hari tua.

GS : Ada sebagian orang yang memang tidak mempersiapkan masa tuanya karena dia berpikir bahwa dia tidak akan sampai berumur setua itu, tapi nyatanya ia sampai umur 80 tahun dan seterusnya.

PG : Betul, Pak Gunawan, kita memang tidak memunyai kendali atas hidup kita. Semua di tangan Tuhan. Kalau kita berkata, "Tidak usah pusing-pusing tentang masa tua, saya tidak akan mencapai usia 70 tahun, saya akan meninggal lebih muda lagi". Siapa yang mengetahui karena semua ini kehendak Tuhan. Kita harus memikirkannya dan menyiapkan diri.

GS : Pak Paul,sebenarnya masalah-masalah apa yang sering timbul pada masa kita tua?

PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Pertama, yang akan saya angkat adalah anak yang bermasalah. Ada masalah anak yang sudah timbul jauh sebelumnya, waktu anak masih muda, tapi ada pula masalah anak baru mengemuka belakangan, apabila anak sudah memunculkan masalah sejak muda dan tidak pernah berubah. Nah, besar kemungkinan problem ini akan terus berlanjut. Misalnya, ia tidak bisa bekerja sama, sebagai akibatnya terus berpindah-pindah kerja. Tidak bisa tidak besar kemungkinan pada akhirnya ia tidak bisa bekerja, itu berarti apa? Ia kehilangan mata pencahariannya, kita orang tua tidak bisa tidak harus memikirkan dan akan berusaha membantunya pula. Ada masalah-masalah seperti ini yang mesti kita hadapi. Ada juga masalah yang baru muncul pada saat kita sudah tua, misalkan anak kita menikah dengan pasangan yang tidak cocok. Sering konflik dan berakhir dengan perceraian, atau ada anak pada masa dewasa terjerumus dalam perbuatan kriminal sehingga akhirnya harus berurusan dengan hukum. Tidak bisa tidak, kita sebagai orang tua akan merasa sedih dan terganggu, Pak Gunawan.

GS : Memang serba salah orang tua itu, Pak Paul, dalam menghadapi anak. Sebagai orang tua kadang-kadang di satu sisi kita ingin anak kita menikah. Dalam perjalanan pernikahan, baru saja menikah lalu timbul masalah, mereka cekcok terus sehingga larinya ke orang tua dan ini menjadi beban pikiran orang tua. Atau ada yang mengharapkan punya cucu dari pasangan ini ternyata anak dan menantunya tidak terlalu perhatian untuk hal itu. Kami tidak mau punya anak, atau baru nanti beberapa tahun lagi. Nah, ini menjadi beban pikiran orang tua juga.

PG : Sering kali demikian, akhirnya ada yang terkena bebannya secara pasif, tapi ada yang terkena bebannya secara aktif, artinya orang tua ini harus berbuat sesuatu. Ada yang hanya harus mengurut dada, merasa kesal, kecewa tapi ada yang harus merogoh koceknya, membantu secara tidak langsung, ada yang harus membuka pintu menanggung mereka. Kadang-kadang dilakukan oleh orang tua justru di usia tuanya, bukan di usia yang lebih muda.

GS : Ada orang tua yang mau membantu anaknya, tetapi menantunya menolak karena merasa gengsi. Ini juga menjadi bahan pemikiran bagi orang tua.

PG : Sudah tentu sebagai orang tua yang bijak, kita tidak akan memaksakan anak karena kita mengetahui dari pada ia nanti susah, bertengkar dengan pasangannya, ya sudah janganlah tidak apa-apa. Tapi sebagai orang tua hati kita merasa berat, kok anak kita menikah dengan orang yang begitu terhadap kita. Atau akhirnya jaraknya jadi jauh, tidak bisa dekat lagi dengan kita, gara-gara menantunya. Ini bagian dari derita yang kadang-kadang harus kita tanggung sebagai orang yang berusia lanjut.

GS : Itu bagi orang yang memunyai anak, bagaimana dengan orang yang tidak memunyai anak, apakah ada masalah, Pak Paul?

PG : Banyak, Pak Gunawan. Misalnya, kalau orang ini tidak memunyai anak, dia sendiri mengalami konflik rumah tangga. Kadang-kadang begini, ada orang pada masa muda tidak menyelesaikan konflik dengan baik, akhirnya konflik bertumpuk-tumpuk. Di hari tua, meskipun tidak ada masalah dengan anak, tapi mereka berdua yang mengalami masalah karena konflik itu akhirnya menggunung di masa tua. Mesti dihadapi, tapi sudah sulit untuk dihadapi karena sudah terlalu banyak. Akhirnya masing-masing menjaga teritori, tidak lagi banyak berhubungan. Bukankah kalau demikian di hari tua justru hidup kita jadi menderita.

GS : Ada juga yang memunyai anak, hubungan mereka baik tapi jarang ketemu karena jarak memisahkan mereka. Entah karena tuntutan pekerjaan atau karena tugas-tugas yang lain, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Ada yang begitu juga, kadang-kadang kita merasa anak kita tidak dekat dengan kita, memang ada yang tidak dekat dengan kita karena jarak, tapi ada juga yang tidak dekat karena kurang begitu memerhatikan kita. Kita harus mengerti 1 hal, pada saat tua kita menjadi makin butuh bantuan dan kehadiran anak. Hidup tidak lagi seramai dulu, kebutuhan kita untuk bersosialisasi, bertemu dengan banyak orang juga menurun. Justru di saat tua kita lebih menikmati dan membutuhkan kehadiran dan perhatian anak. Masalahnya kadang anak-anak tinggal jauh, atau yang lebih menyakitkan ada anak yang tidak begitu memerhatikan kita, mungkin kehidupannya sudah banyak tantangan sehingga akhirnya tidak begitu mau mendengar keluh kesah kita, tidak begitu mau menanyakan kebutuhan kita apa. Tidak bisa tidak kita akan merasa sedih, anak kita tidak bisa dekat dengan kita.

GS : Repotnya pada masa tua, orang tua banyak yang enggan atau segan untuk menegur anaknya, misalnya "kamu kok jarang telepon, kamu kok jarang pulang?" Itu segan sekali orang tua mengatakan hal itu kepada anak, begitu Pak Paul.

PG : Karena kita tidak mau mengganggu anak, tidak mau menyusahkan anak. Kita mencoba mengerti bahwa anak itu sibuk, banyak urusannya, kita juga mau berhati-hati. Tapi di pihak lain, kita juga merasa sepi, kita butuh anak kita datang mengunjungi kita. Setidak-tidaknya kalau tidak datang, telepon dan bertanya, "Apa kabar, apakah ada kebutuhan tertentu". Jadi ini kadang-kadang menjadi dilema.

GS : Anak juga kadang-kadang mengatakan, "Saya tidak pernah ditelepon oleh orang tua", misalnya oleh papanya, "disuruh datang kami memunyai kesibukan sendiri, jadi tidak datang". Kami hanya setahun sekali baru datang ke rumah orang tuanya.

PG : Memang dalam hal ini, kitalah sebagai anak yang harus menelepon orang tua kita atau mengunjungi orang tua kita. Jangan kita berkata, "Papaku juga tidak telepon, mamaku tidak telepon". Kita sebagai anak yang menunjukkan hormat dan menunjukkan perhatian kepada mereka.

GS : Biasanya orang tua mengharapkan anak mengerti sendiri, tapi kenyataannya tidak dan anak mengatakan, "Kalau memang ada keperluan, papa atau mama boleh bicara". Tapi mau bicara itu tidak bisa keluar perkataannya.

PG : Betul, jadi kita seringkali bersikap pasif karena kita tidak mau nanti membuat suasana menjadi tidak enak. Kita harap anak bisa mengerti sendiri. Masalahnya ada anak yang tidak mengerti, sebab kita harus menerima fakta tidak semua anak berkarakter sangat baik. Manusia semua ada kelemahannya, ada anak yang egois hanya memikirkan dirinya, bisa rekreasi ke mana-mana, rela berkorban uang besar untuk kepentingannya, tapi begitu menyangkut keperluan orang tua, susah sekali mengeluarkan uang membantu orang tua. Ada juga yang seperti itu.

GS : Kadang-kadang kalau sudah begitu orang tua menyalahkan dirinya sendiri dan berkata, "Ini saya dulu salah mendidik anak saya", begitu Pak Paul.

PG : Kadang-kadang memang ada yang harus kita akui, kita mungkin salah, kurang mendidik anak, atau kurang dekat dengan anak sehingga anak begini terhadap kita. Sudah tentu tidak apa-apa, kita melihat mungkin kita ada andil. Kalau memang kita akui ada andil ya sudah kita terima, tapi kadang-kadang tidak demikian, bukan karena kita berbuat sesuatu terhadap anak kita. Memang anak kita yang tidak begitu perhatian atau anak kita agak egois, hanya memikirkan dirinya. Itupun akhirnya harus kita telan.

GS : Selain hubungan kita dengan anak, apa ada masalah yang timbul di hari tua kita dengan pasangan, Pak Paul?

PG : Ada, Pak Gunawan. Orang kadang-kadang berkata, "Oh, sudah tua, sudah pensiun jadi sekarang sering beradu, sebab dua-duanya ada di rumah. Sebetulnya masalahnya bukan itu, karena sudah tentu ada benarnya. Jadwal kehidupan yang berbeda, sekarang menjadi bersama-sama membuka peluang konflik yang lebih besar, namun akar masalah bukanlah karena kita sekarang terus bersama pasangan di masa pensiun. Setiap perubahan menuntut penyesuaian, kita di masa lampau kita berhasil menyesuaikan diri, besar kemungkinan di masa tua kita bisa menyesuaikan diri. Sebaliknya bila di masa lampau kita tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada, besar kemungkinan di masa tua kita pun tidak bisa menyesuaikan diri dengan pasangan. Di hari tua kita akhirnya menuai konflik bukan saja konflik yang bersumber dari perubahan jadwal kehidupan di hari tua, tapi juga konflik yang belum terselesaikan di masa lalu. Sekali lagi saya mau tekankan kuncinya adalah apakah kita memang bisa saling menyesuaikan, kalau bisa saling menyesuaikan meskipun kita seringnya berduaan, tidak apa-apa karena kalau ada masalah pun kita bisa lebih saling menyesuaikan. Kalau memang hubungan kita dari awalnya baik, justru kita akan merasa senang juga bisa terus bersama-sama dengan pasangan kita di rumah.

GS : Tapi kalau awalnya atau pada waktu masih aktif di pekerjaan sudah sulit untuk bersama-sama akan bertambah sulit lagi, Pak Paul.

PG : Biasanya begitu maka kadang-kadang kita lihat ada mama yang seringnya menginap di rumah anak, karena tidak cocok dengan papa. Ini menjadi beban tersendiri, yang ada keluarga muda yang merasa susah untuk bisa mengembangkan kehidupan mereka karena apa? Mama mertua atau papa mertua sering-sering datang, sering-sering menginap. Ia mengerti bahwa kalau di rumah tidak cocok dengan papa mertua misalnya, ia harus menginap di rumah tapi masalahnya mereka juga mungkin pasangan muda, ada tantangannya, perlu juga privasi, jadi akhirnya terganggu. Itulah situasi yang harus dihadapi oleh semua.

GS : Sebenarnya dengan banyaknya waktu mereka bersama-sama, 'kan itu lebih mudah untuk saling menyesuaikan diri, Pak Paul?

PG : Seharusnya dengan mereka lebih ada waktu, tidak dikejar-kejar oleh tugas, seharusnya bisa lebih sabar, tetapi kenyataannya kalau dari awal hubungan mereka tidak begitu bagus, di hari tua keinginan untuk menyelesaikan masalah bukannya bertambah besar tapi bertambah kecil. Muncullah pemikiran seperti, "Ah, kamu memang orangnya begini, dari dulu begini, sampai sekarang sudah berapa puluh tahun menikah tetap begini". Keinginannya bukan bertambah kuat untuk menyelesaikan, tapi sebaliknya yaitu "Sudahlah tidak mau lagi, percuma, sudah bicara tidak tahu berapa kali tetap begini sampai di hari tua". Akhirnya didiamkan artinya apa? Jaraknya makin menjauh, hubungannya juga makin renggang.

GS : Atau karena mereka memang tidak terbiasa untuk memecahkan masalah bersama-sama sehingga pada masa tua mereka lebih memilih lari masing-masing, tidak menghadapi masalah tapi mengabaikan masalah.

PG : Sudah tentu kalau kita bicara dengan mereka, saya yakin mereka akan berkata, "Sudah dicoba, dari dulu sudah diajak bicara, susah diberitahu orang itu. Kalau maunya tidak bisa lagi diberitahu". Kebanyakan itulah yang terjadi, Pak Gunawan, sehingga pada akhirnya semua sudah angkat tangan, tidak mau lagi mencoba untuk menyelesaikan masalah.

GS : Kalau masalah-masalah finansial/keuangan apakah itu juga menjadi masalah di dalam keluarga itu ketika orang menjadi tua, Pak Paul?

PG : Seringkali ya, Pak Gunawan, karena begini ya, walaupun kebutuhan sehari-hari di masa tua berkurang, kita tidak lagi perlu membeli baju atau sepatu baru sesering dulu, tapi kebutuhan uang untuk kesehatan biasanya bertambah. Kita lebih sering ke dokter, kadang-kadang justru harus dirawat di Rumah Sakit, kalau kita tidak memunyai simpanan yang memadai sudah tentu beban keuangan akan menjadi berat. Kadang-kadang ada anak yang bisa membantu, kadang-kadang anak pun bergumul sehingga tidak bisa membantu kita. Kalau itu kondisinya, akan menjadi tekanan yang besar sekali pada kita orang tua sehingga benar-benar kita merasakan di hari tua ini hidup kita sangat sengsara.

GS : Bagaimana kalau orang tua ingin menyatakan kepada anaknya bahwa mereka perlu bantuan, Pak Paul?

PG : Memang sudah tentu kalau seperti ini seharusnya anak mengerti sendiri memberikan kepada orang tuanya, tapi ada anak yang tidak begitu memerhatikan orang tua atau memang tidak mampu untuk membantu orang tuanya, akhirnya orang tuanya merasa sungkan untuk meminta. Kalau memang seperti itu, tidak bisa tidak memang harus dihadapi berobatlah sedapatnya, kalau tidak mampu terima saja.

GS : Tapi ada orang tua yang semacam mentargetkan atau menentukan anaknya harus membantu tidak peduli anaknya kesulitan, ada Pak Paul yang begitu.

PG : Saya tahu memang ada yang begitu. Sudah tentu seharusnya tidak begitu, karena kita orang tua harus juga mengerti kondisi anak, tapi memang kita tidak memunyai solusi untuk semua kasus. Di sini diperlukan saling pengertian dari kedua belah pihak, baik dari anak maupun dari orang tua, bahwa anak juga kadang-kadang bergumul tapi anak juga harus memikirkan kesehatan orang tua. Bagaimana kalau bisa menyisihkan uang untuk bisa menolong orang tua?

GS : Alasan orang tua adalah dulu dia sudah memberikan/mengeluarkan banyak uang untuk anak ini sampai dewasa, sekarang sudah dewasa sudah bekerja, seharusnya anak itu membalas dia, begitu Pak Paul.

PG : Ada yang memang mewajibkan seperti itu, kita tidak usahlah mewajibkan. Kalau anak tidak mau memberi ya kita terima, kita jangan memaksa karena alasan itu.

GS : Tapi menjadi beban untuk orang tua karena kesulitan keuangan.

PG : Betul, tapi sekali lagi kita tidak bisa memaksa orang untuk memberi kalau orang tidak rela atau tidak ikhlas, kita biarkan.

GS : Kalau pun anak itu memberi dengan terpaksa atau menimbulkan pertengkaran itu juga menjadi beban lagi untuk kita, orang tua.

PG : Betul, memang ada anak yang akhirnya menuduh orang tuanya tidak berpengertian, memaksakan kehendak, tidak peduli dengan kondisi mereka, bukankah itu juga menjadi tidak enak.

GS : Bagaimana dengan masalah kesehatan, Pak Paul?

PG : Berkaitan dengan yang tadi telah kita bicarakan, tidak bisa tidak makin tua makin bertambah penyakit yang mendera tubuh kita. Kita akan bertambah terbatas dan dalam kasus tertentu bukan saja fisik tetapi pikiran kita pun makin terganggu. Ada yang terkena dementia, alzheimer, kita harus bergantung pada orang lain, baik pada pasangan atau perawat untuk membantu kita melakukan fungsi sehari-hari. Sudah tentu ini adalah tantangan yang berat, Pak Gunawan.

GS : Dan kesehatan ini bukan hanya secara fisik, jasmani tapi seringkali kesehatan secara psikis, Pak Paul. Ini juga menimbulkan beban tersendiri, dia 'kan tidak mau sebetulnya sakit seperti itu.

PG : Yang psikis itu ada yang secara pasif, diam, depresi tapi ada yang cukup mengganggu yaitu mereka menjadi paranoid, artinya mencurigai menantunya mengambil uangnya. Mencurigai pembantu mencuri uang, akhirnya sering ribut sana sini, karena memang ada gangguan dalam pikirannya, secara mental sehingga akhirnya timbul kecurigaan yang berlebihan. Itu juga akhirnya bisa menimbulkan konflik di antara suami dan istri.

GS : Kalau masih ada pasangan mungkin pasangan itu masih bisa membantu kalau waktu sakit, tapi kalau tidak ada pasangan makin berat lagi, dia harus menghadapi sakit itu sendirian, Pak Paul.

PG : Dan dengan bertambah majunya ilmu kedokteran dan kita juga hidup lebih sehat dibandingkan dulu, usia kita akan bertambah, artinya kita bisa mencapai usia yang jauh lebih lanjut tapi masalahnya adalah memang kita usianya bertambah namun banyak penyakit yang diderita oleh orang tua, misalnya yang bisa saya sebutkan seperti dementia, alzheimer, parkinson. Itu adalah gangguan yang sangat membutuhkan perawatan khusus dan kalau kita memunyai uang bisa memanggil suster, tapi kalau tidak ada itu akan bisa sangat merepotkan orang.

GS : Ada lagi orang tua yang susah tidur, Pak Paul. Dia sendiri sebenarnya merasa sangat tidak enak tinggal di rumah, tapi dia sulit sekali tidur. Tidur hanya sebentar lalu bangun lagi, dia merasa terbeban dengan hal itu.

PG : Ya itu salah satu keluhan, kadang-kadang ada orang tua yang susah tidur dan anak-anak cukup terganggu oleh orang tua, dia sendiri juga terganggu tidak bisa tidur. Jadi ini adalah bagian-bagian kehidupan yang kadang harus dialami oleh orang tua.

GS : Apakah masih ada tantangan atau masalah lain yang dihadapi oleh orang-orang yang berusia lanjut ini, Pak Paul?

PG : Terakhir adalah hilangnya jati diri atau identitas diri. Setelah bertahun-tahun bekerja, membangun jati diri kita pada karier akhirnya kita harus melepaskannya, sewaktu kita terlepas karier kita akan terlepas dari lingkup sosial dimana kita menghabiskan banyak waktu di sana. Singkat kata, kita terlepas dari kehidupan kita, ini tidak mudah, kita seolah-olah menghilang dari kehidupan. Sebagai orang tua akhirnya kita merasa terkurung dan tidak ada lagi yang memerhatikan kita, tidak ada lagi yang menghormati kita. Ini juga sebuah pergumulan yang berat sebagai orang tua.

GS : Apalagi kalau dia di dalam pekerjaannya berhasil, artinya dia mempunyai posisi yang baik, tapi sudah waktunya dia tidak bekerja lagi akhirnya dia merasa sangat menderita.

PG : Karena makin penting, berarti ia makin dibutuhkan. Banyak orang akan mencari dia, meminta bantuannya, tiba-tiba sekarang sepi tidak ada lagi yang datang, tidak ada lagi yang mencari. Sudah tentu ini tidak mudah untuk dia menerimanya.

GS : Identitas diri yang hilang itu identitas diri seperti apa, Pak Paul?

PG : Biasanya adalah perasaan bahwa kita berharga, kita berguna, kita dibutuhkan, karena kita bisa berbuat ini dan itu. Pada hari-hari tua, biasanya makin terbataslah kita bisa berbuat ini itu untuk orang sehingga akhirnya kita merasa tidak begitu berguna. Belum lagi ketika kita melihat, sekarang kita tidak bisa jalan, tidak bisa membaca, tidak bisa ini dan itu. Makin merasa kita tidak berguna, seringkali itulah perasaan yang muncul. Kita kehilangan diri kita, kita tidak lagi berguna, perasaan yang cukup menyiksa.

GS : Biasanya orang-orang seperti itu justru tidak mau bergaul atau bersosialisasi dengan orang lain lagi. Ia menyibukkan diri dengan kegiatannya sendiri dan akibatnya ia makin terpisah saja dari kumpulan orang ini.

PG : Betul dan memang tidak bisa disangkal pada usia-usia tua, kebutuhan kita untuk bertemu dengan orang-orang, bertemu yang seumur dengan kita sebetulnya tidak begitu besar. Jadi kita kadang-kadang malas keluar, maunya di rumah saja. Makin hilang jati diri kita, makin sendirian kita.

GS : Dengan dia tidak bersosialisasi sebenarnya malah makin merugikan juga. Pak Paul, dalam kondisi yang sulit seperti itu pada masa tua menghadapi banyak tantangan, apa ada ayat Firman Tuhan yang bisa dijadikan pegangan?

PG : Yesaya 46:4 berkata, "Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu, Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus. Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu". Sekali lagi dari Yesaya 46:4 dari Firman Tuhan ini kita belajar bahwa Tuhan setia, Dia tidak akan meninggalkan kita, Dia akan memelihara hidup kita pada saat kita tidak lagi dapat memelihara hidup kita sendiri.

GS : Ini suatu janji yang Tuhan Allah sendiri sampaikan kepada kita dan apa yang dijanjikan-Nya pasti digenapi karena Dia adalah Allah yang setia pada janji-Nya.

PG : Betul.

GS : Pak Paul, sebenarnya kita mau membicarakan lebih lanjut tentang bagaimana kita menghadapi tantangan-tantangan yang tadi sudah kita bicarakan tapi karena waktu kita terbatas, kita akan perbincangkan itu pada kesempatan yang akan datang. Karenanya kami mengharapkan para pendengar kita bisa mengikuti program ini pada kesempatan yang akan datang.

Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masa Tua Tidak Selalu Indah" bagian yang pertama. Kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



51. Masa Tua Tidak Selalu Indah 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Dewasa
Kode MP3: T386B (File MP3 T386B)


Abstrak:

Kita adalah manusia yang senantiasa berharap. Salah satu harapan yang sering kita impikan adalah menikmati masa tua yang indah. Masalahnya adalah tidak selalu impian menjadi kenyataan. Kadang masa tua justru menjadi masa yang lebih sarat kesusahan dibanding masa muda. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk melihat masa tua secara lebih jelas dan mengantisipasinya secara lebih realistik. Tantangan apa saja yang kadang bisa muncul di hari tua? Bagaimana cara menghadapi tantangan di usia tua?


Ringkasan:

Kita adalah manusia yang senantiasa berharap. Salah satu harapan yang sering kita impikan adalah menikmati masa tua yang indah. Masalahnya adalah tidak selalu impian menjadi kenyataan. Kadang masa tua justru menjadi masa yang lebih sarat kesusahan dibanding masa muda. Itu sebab penting bagi kita untuk melihat masa tua secara lebih jelas dan mengantisipasinya secara lebih realistik. Hal pertama yang akan kita soroti adalah tantangan apa sajakah yang kadang muncul di hari tua. Setelah itu barulah kita melihat cara untuk mengatasinya.

Nasihat Firman Tuhan untuk kita yang berusia lanjut adalah, "Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu." (Yesaya 46:4) Tuhan setia dan Ia tidak akan meninggalkan kita. Ia akan memelihara hidup kita, saat kita tidak lagi dapat memelihara hidup kita sendiri.

Menghadapi Tantangan Usia Tua

Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk menghadapi tantangan di usia tua.


Transkrip:

Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Masa Tua Tidak Selalu Indah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita sudah berbincang-bincang tentang bermacam-macam tantangan atau masalah-masalah yang muncul ketika kita sudah lanjut usia, mungkin 80 atau 90 tahun dan itu sekarang makin banyak saja orang yang lanjut usia karena kemajuan medis dan sebagainya, tetapi kita masih belum membicarakan pada waktu itu bagaimana kita menanggapi atau menghadapi tantangan-tantangan itu. Pak Paul, sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini boleh saya minta Pak Paul mengulang atau mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.

PG : Kita mengangkat beberapa sumber masalah yang bisa datang nanti di hari tua. Yang pertama yang saya angkat adalah anak, kadang-kadang anak itu bermasalah sehingga akhirnya menyusahkan kita. Ada yang bercerai, ada yang terlibat dalam perkara kriminal, ada yang menggunakan narkoba jadi banyak masalah akhirnya kita di hari tua disibukkan oleh masalah anak. Ada juga anak yang tidak begitu dekat dengan kita, tidak begitu peduli dengan kita, tidak memerhatikan kebutuhan kita sehingga kita yang membutuhkan bantuan anak tidak menerimanya, untuk minta juga sungkan akhirnya kita berada dalam kondisi yang terjepit. Yang berikut kita juga kadang-kadang memunyai masalah hubungan dengan pasangan kita tidak begitu harmonis sejak dulu, di hari tua masalah itu biasanya akan membesar bukan mengecil, karena sudah terlalu banyak menumpuk akhirnya kita merasa tidak enak tinggal di rumah dengan pasangan kita tapi harus tinggal serumah jadi akhirnya sering bertengkar. Bisa juga kita mengalami masalah kesehatan, semakin tua semakin banyak penyakit yang akan datang ke tubuh kita jadi akhirnya kita sakit-sakitan perlu pertolongan untuk bisa berfungsi dan kadang-kadang karena masalah kesehatan kita juga mengalami masalah keuangan, tidak cukup uang untuk merawat diri kita, untuk berobat dan sebagainya. Yang terakhir adalah hilangnya jati diri kita atau identitas diri kita, kita tidak lagi dihargai, kita yang tadinya dicari, dihubungi, dimintai pendapat sekarang tidak lagi diperhatikan oleh orang. Kita bisa juga merasa depresi karena saya sekarang menjadi orang yang tidak berguna, tambahan lagi dengan kondisi fisik kita yang makin melemah. Sekarang tidak bisa ini dan itu, perlu bantuan dari pasangan atau dari anak atau dari perawat, membuat kita di hari tua menjadi depresi.

GS : Memang banyak tantangan yang harus dihadapi oleh orang yang sudah lanjut usia, namun sebagai orang yang beriman, kita mendapat janji dari Tuhan. Pada waktu itu yang Pak Paul bacakan, apa Firman Tuhannya?

PG : Dari Yesaya 46:4, yang berkata, "Sampai masa tuamu Aku tetap dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu, Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus, Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu".

GS : Pak Paul, walaupun itu Firman Tuhan, janji Tuhan yang kita yakini, kita imani pasti akan Tuhan genapi, namun sebagai manusia kita juga memunyai tanggung jawab untuk sejauh mungkin bisa mengantisipasi masalah-masalah yang akan timbul di masa tua, Pak Paul. Apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Yang pertama kita harus melakukan persiapan, kita tidak dapat mempersiapkan segalanya, itu betul tapi kita dapat menyiapkan sesuai kemampuan kita. Secara keuangan sebaiknya kita menyiapkan tabungan untuk digunakan pada masa tua atau kita dapat melakukannya lewat asuransi jiwa, asuransi kesehatan. Sedapatnya kita menyiapkan hal ini supaya kita tidak perlu bergantung pada anak untuk mencukupi kebutuhan kita. Pada faktanya kita tidak mengetahui masa depan, mungkin anak akan sanggup membantu tapi mungkin pula tidak, jadi sedapatnya persiapkanlah masa tua sebaik-baiknya.

GS : Idealnya memang seperti itu, tapi faktanya kadang-kadang di masa muda kita, kita juga banyak mengeluarkan uang dan lagi pula pendapatan kita masih belum terlalu besar untuk bisa disisihkan, ditabung, sehingga pada masa tua pun hidupnya pas-pasan terus, harapannya nanti anak-anak ini yang membantu kita tapi ternyata tidak semulus itu, Pak Paul.

PG : Kadang-kadang begini, lebih buruk lagi, bukan saja kita pas-pas-an di hari tua, ada orang tua yang harus menanggung kehidupan anak-anaknya atau cucunya karena anaknya tidak mampu, bergumul tapi juga tidak bisa mencukupi jadi orang tua meskipun sudah sangat pas-pas-an, harus membantu anak dan cucunya. Ini menjadi beban tersendiri juga.

GS : Tapi sejauh mungkin kita harus berusaha dengan keras supaya pada waktu kita berpenghasilan bisa menyisihkan sebagian dari penghasilan itu untuk masa tua kita, entah ditabung, entah diinvestasikan, entah untuk asuransi dan sebagainya. Hal lain yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi apa, Pak Paul?

PG : Kita harus menurunkan tuntutan dan pengharapan ke level yang lebih realistik, ada orang tua yang terlalu membebankan anak sehingga membuat anak terganggu akhirnya anak tertekan dan malah memilih menjauh. Kita pun harus menerima fakta, anak tidak selalu bertumbuh besar sesuai harapan, ada yang memedulikan orang tua, namun ada juga yang tidak. Ada yang menyenangkan orang tua tapi ada pula yang menyusahkan orang tua. Jadi belajarlah untuk menurunkan harapan ke level yang lebih realistik.

GS : Tuntutan yang tidak realistik dan yang realistik ini bedanya seperti apa, Pak Paul? Karena untuk seseorang ya realistik, menurut dia terutama, tapi untuk orang lain melihat itu terlalu berlebihan. Itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Pada dasarnya kita akan melihat apakah memang itulah faktanya, misalnya kita mengharapkan anak kita lebih sering membantu kita dalam hal keuangan, tapi dia tidak, misalkan dia memunyai uang dan dia memakai untuk kepentingannya. Jarang ia mau membantu kita, nah dalam kondisi seperti itu lebih baik realistik dan menerima fakta yaitu memang dia tidak begitu memerhatikan kita. Ya sudah kita terima, jadi tuntutan kita dan harapan kita bahwa di hari tua dia akan bisa menolong kita, kita turunkan. Jangan terlalu memunyai pengharapan itu, kalau dia berikan ya kita terima dengan bersyukur, tapi kalau dia tidak berikan ya tidak apa-apa. Dengan kata lain, kita harus siap untuk menurunkan harapan kita.

GS : Ada anak yang memang tidak perhatian dalam segi finansial tapi dia memberi perhatian yang cukup kepada orang tuanya dalam bentuk menelepon atau mendatangi, sering dia lakukan. Cuma untuk membantu secara finansial dia tidak perhatikan sekali pun dia mampu untuk melakukan itu, Pak Paul.

PG : Dalam kondisi seperti itu kita turunkan harapan kita, kita terimalah. Yang bisa dia lakukan adalah datang mengunjungi kita, berbincang-bincang, tapi membantu secara finansial tidak. Ya tidak apa-apa, kita turunkan harapan kita sehingga itu akhirnya tidak merusak relasi kita dengan anak. Kita terima saja.

GS : Jadi kita tidak perlu mengatakan hal itu kepada anak, "Sebenarnya saya mengharapkan kamu begini, begini", itu tidak perlu, Pak Paul?

PG : Menurut saya tidak, sudah biarkan saja, kalau dia berikan kita bersyukur tapi kalau dia tidak berikan ya tidak apa-apa. Saya kira hidup seperti itu akan jauh lebih ringan, kalau tidak tiap hari kita merasa sakit hati, memikirkan mengapa anak kita begini, mengapa tidak memberi kepada kita.

GS : Pada fase seperti itu sulit bagi orang tua untuk bisa merubah kepribadian anak itu, Pak Paul.

PG : Ini yang kadang-kadang sulit kita terima, sebab kita membesarkan anak dengan cara tertentu, nilai tertentu. Kita misalnya adalah orang yang memedulikan orang, kita rela berkorban untuk orang tapi anak kita tidak begitu. Tidak mesti anak kita mewarisi sifat kita atau nilai-nilai yang kita tanamkan kepadanya. Kalau kita sudah melakukan bagian kita, dia tetap begitu, kita harus biarkan.

GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah kita harus belajar melepaskan mulai dari pekerjaan sampai kesehatan dan terakhir diri sendiri. Pada awalnya kita harus melepaskan pekerjaan, ada yang melepaskannya secara total, ada pula yang melepaskannya lewat pendelegasian kepada anak atau orang lain. Itu juga tidak mudah, ada orang yang susah melepaskan posisinya atau pekerjaannya. Pada fase berikut, kita harus melepaskan kesehatan, kita mulai sering sakit akhirnya kita mulai terbatasi, ada hal yang biasa kita lakukan sekarang tidak bisa lagi kita lakukan. Kita memerlukan alat bantu atau bantuan seseorang untuk memenuhi keperluan kita dan pada akhirnya kita harus melepaskan diri sendiri. Artinya apa? Kita tidak lagi dikenal orang seperti dulu, kita tidak lagi dihormati dan dibutuhkan orang seperti dulu. Singkat kata, kita mulai terhilang dari peredaran, kendati sukar kita harus menerimanya. Ada masa untuk segalanya, termasuk masa untuk dilupakan.

GS : Sebenarnya secara pribadi orang itu sudah siap untuk melepaskan, misalnya melepaskan pekerjaan, tetapi dia tetap ada tuntutan yang diperhadapkan kepadanya seperti harus membiayai anak, seperti tadi Pak Paul katakan. Anak walaupun sudah dewasa belum mendapatkan pekerjaan, sehingga mau tidak mau orang tua tetap harus bekerja, tapi itu menjadi beban tersendiri untuk dia, Pak Paul.

PG : Pasti, karena di usia tua tubuh kita tidak sekuat dulu, Pak Gunawan. Memang bekerja menjadi sesuatu yang agak berat, tapi karena kita tahu anak kita perlu, kita tetap harus bekerja untuk menafkahi mereka. Dalam kondisi seperti ini kita tetap harus berkata, "Bagaimana pun dia adalah darah daging kita, dia sedang perlu". Kalau dia menyia-nyiakan hidupnya, itu lain, kita bisa mengeraskan hati, membuat dia belajar dari kepahitan hidupnya. Kalau dia juga berusaha tapi memang belum ada kesempatan untuk bisa mengembangkan kariernya, kita yang kebetulan masih bisa bekerja, ya tidak apa-apa, sampai di hari kita tidak bisa lagi membantu dia, baru kita berhenti.

GS : Kalau melepaskan dari kesehatan itu bagaimana, Pak Paul? Penyakit itu datangnya tiba-tiba dan tanpa kita minta, seolah-olah kesehatan itu direnggut oleh sakit penyakit itu, kita tidak bisa bebas lagi.

PG : Terutama untuk orang yang sangat mementingkan kesehatan, di hari tua dia mulai sakit hal ini tidak mudah diterimanya, sebab dia berbangga hati, dia sering berolah raga sehingga tubuhnya sehat sekali. Tiba-tiba cek ke dokter dan Rumah Sakit, ditemukan punya penyakit ini penyakit itu, diberitahukan harus begini harus begitu, hidupnya mulai terbatasi kadang-kadang untuk mereka yang sangat menjaga kesehatannya, ini berita yang susah diterima.

GS : Kesehatan ini juga kaitannya dengan uang, memang tadi kita bicarakan harus menabung. Itu biasanya terpakai untuk menjaga kesehatan kita.

PG : Kalau memang kita bisa sisihkan uang untuk kita gunakan nanti, itu baik. Siap-siapkanlah, memang tidak semuanya bisa, tapi sedapatnya kita coba sisihkan uang untuk hari tua.

GS : Yang lainnya lagi yang bisa dilakukan, apa Pak Paul?

PG : Yang lainnya lagi adalah kita mesti menerima kenyataan bahwa pada suatu hari kelak kita akan harus hidup sendiri, setelah ditinggal pasangan. Hal ini tidak mudah, jika hubungan pernikahan kita baik pada akhirnya bukan saja kita makin mengasihi pasangan tapi kita akan makin membutuhkannya. Namun sesungguhnya kebutuhan terdalam bukanlah kebutuhan fisik, apa yang dapat dilakukan pasangan untuk kita. Kebutuhan terdalam adalah kehadiran pasangan secara fisik, sudah tentu kita akan senang kalau pasangan masih dapat bercengkerama dengan kita, namun kalau itu tidak lagi bisa dilakukan kita tetap merasa senang bersamanya. Keberadaannya sudah cukup buat kita. Itu sebab kepergiannya akan meninggalkan lubang yang sangat dalam, yaitu lubang kesepian dan sudah tentu ini tidak dapat tergantikan. Inilah kehilangan terbesar yang harus kita hadapi. Jadi selama Tuhan masih mengaruniakan usia, gunakan sebaik-baiknya, nikmati hidup bersama pasangan, hargai serta kasihilah dia sehingga kepergiannya tidak menciptakan penyesalan. Sebaliknya kita akan ikhlas melepaskannya dan bersyukur kepada Tuhan akan waktu yang telah dikaruniakan-Nya pada kita.

GS : Itu yang sulit, Pak Paul. Makin kita mengasihi pasangan kita karena kedekatan kita setelah masa pensiun, kemudian kita ditinggalkan itu akan terasa berat sekali, Pak Paul.

PG : Benar sekali, itu seperti ada suatu bagian dari jantung kita yang dibawa pergi oleh pasangan kita dan sudah tentu hidup kita tidak akan sama. Jadi kalau ada orang mengharapkan, "Ya sudahlah jangan dipikir-pikir lagi", ya tidak bisa. Kita akan berubah, kita akan lebih sedih, hidup kita akan sepi sekali. Itu adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa kita hindari.

GS : Persiapan apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi hal itu, Pak Paul?

PG : Justru saya kira, bangunlah relasi yang harmonis, yang baik, yang penuh kasih sayang, sebab walaupun nanti kita harus kehilangan dia, tapi kalau kita telah menikmati relasi dengan dia, memori atau kenangan akan pasangan kita itu indah. Kita akan ingat sekali dan mudah-mudahan walaupun kita merasa sedih tapi juga bisa bersyukur pada Tuhan akan pasangan yang Tuhan telah berikan pada kita.

GS : Kalau kita sudah menjadi tua apakah hal-hal seperti itu tidak terlupakan dalam kehidupan ini, Pak Paul?

PG : Pada masa tua memang adakalanya kita tidak lagi memikirkan hal-hal seperti itu, tapi justru pasangan kita sudah tidak ada, kita akan kehilangan dan kita tidak akan bisa melupakan, kita akan terus mengingatnya. Tidak bisa tidak ini akan menimbulkan kesengsaraan tersendiri, tapi sekali lagi kita harus menerimanya pada akhirnya. Kita yakin Tuhan menyertai kita pada waktu kita bersama pasangan, walaupun kita harus sendirian.

GS : Di situ biasanya orang tua yang sudah tinggal sendirian, akan mendekati anak. Ini bagaimana supaya prosesnya bisa berjalan dengan baik? Itu 'kan juga perlu persiapan, 'kan tidak mungkin tiba-tiba saja. Kalau kita tidak dekat dengan anak, tidak mungkin kita mau bergabung dengan anak, tapi kalau kita sendirian di rumah kita mengkhawatirkan diri kita sendiri dan anak pun khawatir dengan kita.

PG : Kita pun harus bersikap bijaksana karena begini, Pak Gunawan. Kalau karena kita sendirian sekarang kita makin sering menyuruh-nyuruh anak datang, mengerjakan ini dan itu, bisa jadi anak kurang suka karena mereka pun sudah ada keluarga. Mereka disibukkan oleh urusan mereka, mereka akan merasa sekarang kita menjadi beban buat mereka. Sebaiknya kita coba jalani hidup kita dengan teman-teman kita, dengan gereja di mana kita berbakti sehingga kita tidak terlalu memberikan beban itu kepada anak-anak. Kalau mereka yang berinisiatif tentu kita akan terima dengan senang hati. Sebaiknya kita tidak seolah-olah sekarang lebih memaksakan mereka untuk memerhatikan kita karena papanya atau mamanya sudah tidak ada lagi.

GS : Ada yang menarik, pada waktu sama-sama tua pasangan suami istri itu, misalnya si suami yang sakit artinya dia harus dibantu dan yang membantu itu istrinya, ternyata yang meninggal lebih dulu itu istrinya. Ada beberapa kasus seperti itu, Pak Paul, nah ini bagaimana?

PG : Sudah tentu dia sengsara luar biasa karena di dalam kondisi sakit dan dia perlu pasangannya dan selama ini pasangannyalah yang telah merawatnya, tiba-tiba pasangannya sakit dan akhirnya pergi. Ini berat sekali, berat sekali, di sinilah peranan anak akan besar. Kalau anak bisa menggantikan, memerhatikan orang tuanya yang sakit itu, sedikit banyak terobatilah.

GS : Banyak orang tua yang mengatakan,"Sekarang sudah tua, tidak kuat apa-apa", dia tidak bisa melakukan pelayanan di gereja. Apakah benar, Pak Paul?

PG : Saya kira ada banyak hal yang biasa kita lakukan, tidak bisa kita lakukan lagi. Misalnya dulu kita bisa pergi ke sana ke sini, di hari tua tidak bisa lagi, tapi masih ada satu yang bisa kita lakukan yaitu berdoa. Berdoa bagi banyak hal, misalnya bagi orang di sekitar kita, bagi keluarga, bagi gereja kita, bagi pelayanan orang Kristen di mana pun juga, berdoa bagi bangsa dan negara kita. Nah, berdoa bagi dunia supaya kemuliaan Tuhan dinyatakan di dunia. Ada hal-hal yang masih bisa kita kerjakan, justru kita harus meyakini bahwa masa tua adalah masa berdoa, sebab pada masa ini kita memunyai banyak waktu untuk berdoa.

GS : Tapi itu pun harus dibiasakan sejak masih kuat dulu, kalau orang dulu tidak biasa untuk berdoa lama, menaikkan doa syafaat dan sebagainya juga akan sulit untuk dilakukan pada masa tuanya.

PG : Betul. Misalkan tidak terbiasa, nah sekarang sudah tua cobalah biasakan diri. Disiplin diri untuk berdoa, untuk mengingat orang-orang yang memerlukan doa kita, angkat mereka dalam doa sebab doa adalah sebuah dukungan kepada orang-orang yang kita kasihi.

GS : Mungkin tidak perlu terlalu panjang-panjang dan terlalu formil tapi harus berkali-kali dilakukan, ini mungkin bisa membantu.

PG : Betul sekali, biasakan misalnya kita berdoa mulai dengan pagi dan malam hari. Biasakan pagi berdoa untuk topik-topik tertentu, malam untuk topik-topik yang lainnya, nah itulah waktunya. Kita ada waktu, kita bisa berdoa lebih banyak.

GS : Orang-orang di sekelilingnya akan bisa menolong kalau misalnya doa itu dijawab lalu diberitahukan kepada yang bersangkutan, itu akan membesarkan hatinya dan dia akan lebih termotivasi lagi untuk berdoa, Pak Paul.

PG : Betul, jadi tidak ada salahnya misalkan kita yang berdoa untuk orang tertentu, kita juga rajin-rajin juga bertanya, "Bagaimana apakah Tuhan juga menjawab doamu, saya terus mendoakan kamu". Waktu kita tanya hal itu, orang itu pun akan senang karena mengetahui kita mendoakannya dan ia pun senang karena dia tahu kita tidak main-main, tapi benar-benar kita berdoa buatnya. Kita juga jangan ragu-ragu untuk menghubungi orang yang kita doakan dan menanyakan apakah Tuhan telah menjawab doa itu.

GS : Doa ini kaitannya dengan iman seseorang kepada Tuhan. Pada masa tua seseorang itu imannya bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya harus katakan di hari tua kita perlu belajar beriman kembali, Pak Gunawan. Firman Tuhan di Mazmur 34:9-11 berkata, "Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya. Takutlah akan Tuhan hai orang-orangnya yang kudus sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia! Singa-singa muda merana kelaparan tetapi orang-orang yang mencari Tuhan tidak kekurangan sesuatu pun yang baik". Tadi saya katakan di masa tua kita perlu belajar beriman kembali, sebab di masa tua kita makin tidak berdaya. Di masa tua iman akan mengalami ujian yang terberat sebab tidak banyak yang dapat kita lakukan selain berserah. Pada masa yang lebih muda kita berserah juga tapi karena masih kuat, masih bisa melakukan hal-hal tertentu, tapi di masa tua benar-benar tidak lagi bisa. Benar-benar di sini iman harus dihidupkan kembali, kita belajar kembali beriman bukan dari keberdayaan justru dari ketidakberdayaan, namun kita mesti terima janji Tuhan sebab Tuhan tidak main-main dengan perkataan-Nya. Apa yang dikatakan dan dijanjikan akan dipegang-Nya, percayalah Tuhan akan memelihara hidup kita sehingga kita tidak akan berkekurangan, pada masa tua kita akan tetap dapat mengecap kebaikan Tuhan.

GS : Pada masa tua ini kadang-kadang ada orang yang sudah sulit untuk datang ke gereja, jadi dia berada di rumah saja. Ini membuat dia merasa jarang sekali berhubungan dengan Tuhan karena biasanya seminggu sekali datang ke kebaktian tapi sekarang tidak bisa lagi meninggalkan rumahnya.

PG : Adanya radio yang menyiarkan khotbah dan puji-pujian itu membantu, jadi di rumah kita tetap bisa bersekutu dengan Tuhan, bernyanyi lewat lagu-lagu yang kita dengar, nah ini pelayanan yang sangat penting terutama untuk orang tua.

GS : Karena untuk membaca pun tidak mampu, untuk membaca sulit sekali.

PG : Betul, sekali lagi di hari tua ini kita makin memerlukan alat bantu supaya bisa tetap berdoa, membaca Firman Tuhan.

GS : Tapi kita tetap percaya bahwa iman di dalam diri orang itu tetap bertumbuh, begitu Pak Paul?

PG : Betul, jadi ini adalah seolah-olah tahap terakhir untuk kita kembali beriman, memercayakan hidup kita kepada Tuhan dalam kondisi sungguh-sungguh tidak lagi berdaya. Dulu kita masih bisa ke sana ke sini, kita serahkan hidup kita kepada Tuhan, sekarang tidak bisa lagi ke mana-mana kita harus serahkan hidup kita kepada Tuhan pula.

GS : Tapi memang kadang-kadang orang-orang seperti ini juga mengharapkan ada orang lain yang membantu dia agar imannya terus bertumbuh, misalnya dengan dikunjungi, didoakan, dibacakan Alkitab, diajak nyanyi. Tapi kalau mengharapkan orang 'kan belum tentu terjadi, sehingga yang tadi Pak Paul katakan harus menurunkan harapan itu, nyatanya tidak dikunjungi, tidak ada orang yang peduli dengan dia atau sama-sama sibuknya. Dia tetap harus berusaha sendiri, Pak Paul.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Pak Paul, saya rasa perbincangan ini sangat penting bagi kita justru ketika kita masih muda, masih kuat, artinya masih punya waktu untuk mempersiapkan diri karena masa tua kita tidak tahu, tetapi pasti akan datang. Itu sesuatu yang tidak terhindarkan seseorang itu menjadi tua. Terima kasih sekali Pak Paul, perbincangan ini sangat menolong. Saya percaya ini akan menjadi berkat bagi banyak orang. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masa Tua Tidak Selalu Indah" yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan kami terdahulu. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



END_OF_FILE <<Prev Next>> Kembali ke atas