DVD Konseling Kristen TELAGA

TELAGA -- Suami-Istri


Anda dapat mendengarkan dan menyimak transkrip artikel pembahasan seputar suami dan istri, komunikasi dalam pernikahan, konflik dalam rumah tangga, dan sejenisnya di kategori Suami Istri. Terdapat 103 topik pembahasan yang menarik untuk Anda simak. (Total Durasi: 52 Jam)<<Lihat Direktori>>

No.JudulFile MP3
1Konflik dalam Keluarga 1T002B
2Konflik dalam Keluarga 2T003A
3Konflik dalam Keluarga 3T003B
4Saling KetergantunganT009B
5Menghargai dan Menerima Pasangan KitaT012B
6Pria dalam Karier dan Wanita dalam RelasiT013A
7Komunikasi Suami dan IstriT016A
8Masalah-Masalah dan Penyelesaiannya dalam Hubungan Suami IstriT019A
9Pengampunan dalam Hubungan Suami IstriT019B
10Pribadi yang DisatukanT021B
11Kecemburuan dalam Hubungan Suami IstriT033A
12Menolong Pasanganku yang PencemburuT033B
13Menghidupkan Cinta Yang MatiT051B
14Bagaimana Membangun Keintiman Hubungan Suami IstriT053B
15Cinta yang Hilang setelah PernikahanT060A
16Menabur Penghargaan Menuai CintaT060B
17Mengatasi Konflik dalam Rumah TanggaT068A
18Hidup dengan Pasangan yang Tidak SeimanT068B
19Menjadi Sahabat Buat SuamiT074A
20Menjadi Sahabat Buat IstriT074B
21Pria dan RomansT112A
22Ketakutan dan CintaT112B
23Belajar untuk MengasihiT115A
24Belajar TundukT115B
25Tatkala Cinta LayuT116B
26Terlepas tapi Tidak TerputusT129A
27Membangun KeintimanT129B
28Mempertahankan RomansT140A
29Makna DitemaniT144A
30Kebutuhan yang Tak TerpenuhiT144B
31Mengapa Kurang SabarT146A
32Menyesal dan MengasihiT151A
33Makna Tunduk Istri Kepada SuamiT152A
34Makna Mengasihi Suami Kepada IstriT152B
35Kontak Setelah KonflikT159A
36Memenangkan PernikahanT159B
37Cemburu 1T169A
38Cemburu 2T169B
39Memulihkan KepercayaanT172A
40Terus MencintaiT172B
41Kemesraan Diusia SenjaT174B
42Pubertas 2 Mitos atau Realitas 1T178A
43Pubertas 2 Mitos atau Realitas 2T178B
44Berlayar dengan ArahT179A
45Pernikahan dan KeselamatanT179B
46Problem Seksual dalam PernikahanT188B
47Gaya Komunikasi Pria dan WanitaT200B
48Siapa yang Harus Berubah 1T201A
49Siapa yang Harus Berubah 2T201B
50Tangga Ke Rumah 1T222A
51Tangga Ke Rumah 2T222B
52Tangga Ke Rumah 3T223A
53Mencabut Duri PernikahanT223B
54Membangun Dari Reruntuhan 1T228A
55Membangun Dari Reruntuhan 2T228B
56Mengembalikan Keintiman Yang Hilang 1T229A
57Mengembalikan Keintiman Yang Hilang 2T229B
58Dua Sumber KonflikT233A
59Konflik Dan PertumbuhannyaT233B
60Memaafkan Dalam PernikahanT236A
61Mengasihi Dan MenuntutT236B
62Mengajar Pasangan Bersikap JujurT239B
63Tidak Lagi MenyatuT244A
64Jangan Mengabaikan KasihT244B
65Kudus dan SetiaT246A
66Pergaulan Sesudah PernikahanT246B
67Suami yang tidak Mau BekerjaT254A
68Istri tidak Mau Mengurus RumahT254B
69Sayang tapi BenciT255A
70Relasi yang tidak SeimbangT255B
71Meminta Maaf Saja Tidak Cukup (I)T257A
72Meminta Maaf Saja Tidak Cukup (II)T257B
73Kedewasaan dalan Pernikahan IT264A
74Kedewasaan dalan Pernikahan IIT264B
75Sayang dan Berharga IT270A
76Sayang dan Berharga IIT270B
77Konflik Akibat AnakT287B
78Hilangnya RespekT298A
79Hormat pada IstriT299A
80Kerikil dalam Mengasihi IstriT299B
81Mengapa Istri Dominan?T309A
82Ketundukan SejatiT309B
83Suami KasarT310A
84Mengasihi Secara KonsistenT310B
85Hidup dengan Pasangan IT313A
86Hidup dengan Pasangan IIT313B
87Dampak Keberhasilan Suami pada IstriT318A
88Dampak Keberhasilan Istri pada SuamiT318B
89Suami yang Memimpin dan Istri yang Menolong IT320A
90Suami yang Memimpin dan Istri yang Menolong IIT320B
91Menolong adalah Mengingatkan IT321A
92Menolong adalah Mengingatkan IIT321B
93Tidak Mau MengalahT322B
94Waktu Bersama PasanganT327A
95Mengisi Waktu BersamaT327B
96Kendala Dalam Menghabiskan Waktu BersamaT328A
97Menebus Waktu yang TerhilangT328B
98Kesalahan dalam Membangun Relasi IT345A
99Kesalahan dalam Membangun Relasi IIT345B
100Bisakah Mengubah Pasangan?T371A
101Sikap Hidup ReaktifT371B
102Suami Yang Berkenan Di Hati Allah 1T382A
103Suami Yang Berkenan Di Hati Allah 2T382B


1. Konflik dalam Keluarga 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T002B (File MP3 T002B)


Abstrak:

Dua pribadi yang berbeda yaitu antara suami dan istri, masing-masing memiliki cara hidup yang berbeda. Yang satu sama lain untuk bisa beradaptasi. Hal sekecil apapun bisa menjadi konflik kalau masing-masing tidak bisa menyesuaikan diri.


Ringkasan:

Faktor penyebab timbulnya pertengkaran di dalam keluarga yaitu:
Faktor terumum adalah kesulitan beradaptasi dengan perbedaan. Kita memiliki cara hidup atau gaya hidup yang tertentu. Nah sewaktu hidup serumah dengan pasangan kita, berarti kita harus siap untuk beradaptasi. Adaptasi artinya adalah berani untuk memerika diri, introspeksi kelemahan masing-masing dan akhirnya berani untuk mengubah diri. Kecenderungan banyak pasangan nikah yang tidak mencari bantuan terhadap masalahnya sampai masalah itu berkembang begitu seriusnya. Bahkan dikatakan dalam bukunya Marcia Lasswell yaitu No Fault Marriage mengatakan bahwa rata-rata pasangan nikah datang mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami persoalan pernikahan kira-kira sekitar 7 tahun. Problem itu ditumpuk selama 7 tahun dan akhirnya tak bisa dikendalikan lagi dan barulah dibawa ke orang lain untuk mendapatkan bantuan.

Penyebab kenapa orang tidak segera mencari bantuan terhadap masalahnya adalah:

  1. Budaya, budaya kita adalah budaya yang dipenuhi dengan rasa malu. Kita cenderung menutup diri, kita mempunyai anggapan tidak baik membicarakan masalah rumah tangga dengan orang lain.

  2. Adanya anggapan, bahwa menceritakan kejelekan pasangan kita itu berarti memberitakan kejelekan kita sendiri.

  3. Kita berpikir kalau kita ini menceritakan masalah pasangan kita, kita ini sedang berkhianat.

  4. Dan alasan yang paling mendasar, kita adalah orang yang tidak begitu menyukai perubahan.

Ada beberapa pandangan bagaimana cara penyelesaian masalah yaitu:

  1. Menguasai / mendominasi? mendominasi atau menguasai secara paksa akan membuat suasana pernikahan "tenteram". Dan tenteram ini bersifat semu atau sementara. (cara ini tidak dianjurkan).

  2. Menghindar? cara ini tidak sehat sebab kita hanya menunda membicarakan dan menyelesaikan masalah dan kita mengalihkan perhatian kepada hal-hal lain.

  3. Menurut/mengikuti kemauan pasangan kita? ini pun tidak sehat sebab waktu kita menuruti atau mengikuti kemauan pasangan kita itu berarti kita harus menguasai atau mengekang keinginan kita.

  4. Kompromi? kita dan pasangan kita masing-masing mengurangi tindakan kita atau tuntutan kita supaya akhirnya dapat mencapai titik temu. Cara inilah yang boleh kita gunakan dalam situasi konflik yang sudah rumit sekali.

  5. Bekerja sama, yaitu kedua belah pihak berusaha memenuhi kebutuhan masing-masing/memikirkan solusinya.

Untuk bisa bekerja sama ada yang perlu dilakukan yaitu:

  1. Harus mengakui adanya konflik

  2. Mengkomunikasikan dan mengakui kebutuhan atau keinginan kita masing-masing, apa yang diinginkan itu yang perlu disampaikan.

  3. Memikirkan alternatif penyelesaian dan dampak terhadap masing-masing pihak.

  4. Mulai memilih alternatif yang memenuhi keinginan masing-masing pihak.

  5. Melaksanakannya.

Mazmur 18:21,22,23 berkata: "Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku, Ia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku tetap mengikuti jalan Tuhan dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku. Sebab segala hukum-Nya kuperhatikan, dan ketetapan-Nya tidaklah kujauhkan dari padaku." Kita bisa selalu menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, namun intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan. Sewaktu kita mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan memberikan yang kita minta.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Konflik Pasutri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, biasanya kalau masa bulan madu pasangan baru itu sudah habis, setelah itu mulai ada timbulnya konflik-konflik di dalam kehidupan rumah tangga mereka yang masih baru ini. Nah, itu sebenarnya bagaimana Pak Paul, yang tadinya begitu harmonis, indah, kemudian muncul konflik-konflik itu?

PG : Sering saya katakan kepada pasangan yang sedang menjalani konseling pranikah, bahwa perbedaan mereka pada masa berpacaran merupakan daya tarik, tapi pada masa pernikahan merupakan duri.Jadi justru perbedaan yang membuat mereka tertarik kepada pasangannya itulah yang nanti akan mengganggu mereka.

Misalkan pada masa berpacaran dia melihat wanita ini begitu penurut, begitu baik, begitu sabar, nah akhirnya setelah menikah dia mulai menyadari bahwa istrinya tidak berinisiatif dan segala hal bertanya kepadanya. Nah, awal-awalnya waktu masih pacaran ya dia tidak berkeberatan ditanya oleh pacarnya sekarang setelah menikah kalau istrinya bertanya dia marah. Dan dia akan berkata: "Mengapa Kamu tidak bisa berpikir sendiri dan memutuskan sendiri?" Nah, dengan kata lain sebetulnya si istri itu tidak mengembangkan sebuah perilaku yang baru, sebuah karakter atau sifat yang baru, sama sekali tidak tetap yang sama. Tapi memang satu karakter selalu mempunyai dua sisi seperti koin selalu ada dua sisinya. Sisi yang memang kita sebut menyenangkan dan ada sisi yang mengganggu. Nah, setelah menikah sisi yang mengganggu itulah yang kita harus lihat. Pada akhirnya yang harus kita lakukan adalah beradaptasi dengan perbedaan itu.
WL : Tapi Pak Paul, ada pasangan tertentu yang agak kaku, hanya menuntut pasangannya yang berubah, kalau dirinya sendiri dia selalu bilang saya dari dulu memang begini, kamu itu yang bermasalah.

PG : Saya kira secara alamiah kita memang seperti itu Ibu Wulan, jadi kita cenderung berharap pasangan kita yang berubah. Kita beranggapan bahwa kita seperti ini bukan saja kita dari dulu seerti ini, tetapi sebetulnya tidak apa-apa kita seperti ini.

Dan langsung yang kita sodorkan sebagai bukti adalah kita akan berkata kepada pasangan kita: "Saya sudah bekerja bertahun-tahun dan teman-teman saya tidak ada yang pernah mengeluhkan tentang saya, saya di rumah bisa bergaul dan diterima dengan baik oleh orang tua saya maupun oleh adik, kakak saya, tidak ada yang mengeluh tentang saya. Setelah menikah kok baru engkau yang mengeluh." Dengan kata lain si orang ini akan berkata: "Ya, semua data menunjukkan saya di pihak yang benar, jadi pasti di pihak yang salah sekarang adalah engkau bukannya saya lagi," nah itu yang membuat orang akhirnya sukar untuk berubah.
GS : Pak Paul, kalau dua-duanya saling mempertahankan bahwa dirinyalah yang benar, bukankah konflik itu pasti terjadi dan sulit diatasi. Nah, dalam kondisi seperti ini apakah pasutri, pasangan suami-istri yang baru itu perlu mendapat bimbingan dari pihak yang ketiga?

PG : Sangat perlu Pak Gunawan, sebaiknya tatkala masalah mulai muncul dua-dua memang harus waspada. Ayo mencoba introspeksi, ayo mencoba melihat diri di mana kekurangan saya, di mana saya kuang bisa memahaminya, jadi mencoba introspeksi melihat diri sendiri.

Nah tapi kalau sudah dilakukaan, masih belum bisa bertemu juga di tengah, masih terus berbenturan, kemungkinan memang kita memerlukan pertolongan dari seorang konselor yang bisa menolong kita beradaptasi dengan lebih baik. Nah, masalahnya adalah kebanyakan pasangan tidak mencari pertolongan tepat waktu. Nah, ada seorang penulis yang bernama Marcia Lasswell yang menulis sebuah buku berjudul No Fault Marriage memang mengatakan hal ini bahwa rata-rata pasangan nikah datang mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami persoalan pernikahan ± 7 tahun. Jadi bukannya tahun pertama, bukannya tahun kedua tapi setelah 7 tahun bergulat dengan masalah, tidak bisa menghadapinya lagi baru datang kepada seorang konselor. Nah, 7 tahun bukan waktu yang singkat, berarti masalah telah terakumulasi dan menyebar ke semua lini kehidupan. Itu sebabnya waktu mereka datang mereka kebingungan juga, mau membereskan yang mana sebab terlalu banyak problem.
GS : Menurut pengalaman Pak Paul, mengapa atau apa yang menghalang-halangi mereka tidak mau datang kepada seorang konselor pada awal-awalnya?

PG : Ada beberapa penyebabnya Pak Gunawan, yang pertama adalah budaya. Budaya kita ini budaya malu, jadi kita cenderung menutup diri karena kita beranggapan tidak baik membicarakan masalah rmah tangga dengan orang lain apalagi dengan orang yang tidak kita kenal.

Akhirnya budaya malu itu menghalangi kita mencari pertolongan. Atau yang kedua, adanya anggapan bahwa menceritakan kejelekan pasangan berarti menceritakan kejelekan kita sendiri. Jadi akhirnya ada orang yang beranggapan buat apa cerita kejelekan pasangan kita, sebab kita pun juga akan menceritakan kejelekan kita. Ada lagi penyebab yang lain yaitu kalau kita menceritakan masalah pasangan kita wah....kita ini orang jahat sekali, kita sedang berkhianat kita kok menjelekkan pasangan kita, jadi akhirnya kita menahan diri tidak mau mencari pertolongan. Atau yang terakhir yang paling mendasar kenapa kita tidak mencari pertolongan, karena kita tidak terlalu menyukai perubahan, karena pada ujung-ujungnya memang kita ini juga harus berubah. Nah, ada orang yang datang mencari pertolongan beranggapan bahwa yang bermasalah adalah pasangannya jadi yang harus berubah adalah pasangannya saya tidak perlu berubah. Begitu menyadari konselornya meminta dia juga harus berubah, dia tidak mau.
WL : Pak Paul, ada pengaruh atau tidak konsep tentang kesatuan dalam pernikahan, karena waktu sudah menikah itu sama-sama satu jadi kalau kita melukai pasangan dengan menceritakan itu seperti kita sedang menusuk diri kita sendiri, belahan jiwa kita.

PG : Ada sekali Bu Wulan, makanya tadi saya menggunakan istilah menjelekkan itu memang saya kira cerminan anggapan di masyarakat, kalau menceritakan masalah rumah tangga itu menceritakan kejlekan jadi menusuk diri kita juga dan sebagainya.

Tapi sesungguhnya tidak ada niat kita untuk menjelek-jelekkan pasangan kita, tapi memang kita mau membicarakan problem yang muncul di antara kita, janganlah kita menyebut itu jelek atau menjelekkan. Kita mau menyelesaikan problem ini bukan mau menjelekkan pasangan kita, jadi tidak apa-apa mencari pertolongan.
GS : Apa indikasinya bahwa konflik dalam pasutri itu sudah sedemikian rawan atau berbahaya bagi kelangsungan pasangan itu, Pak Paul?

PG : Biasanya tanda yang bisa kita tangkap adalah mereka tidak lagi bisa berkomunikasi dengan baik. Jadi pada awalnya tatkala ada konflik barulah mereka bertengkar, tidak bisa bertemu di tenah, tapi lama-kelamaan meskipun tidak dalam suasana hati yang buruk, dalam suasana hati yang relatif baik pun mereka tidak bisa berkomunikasi, mereka akan bertengkar.

Jadi mohon dimengerti bahwa dalam keluarga yang sudah bermasalah, komunikasi tidak lagi berjalan dan sudah langsung berhenti dan menjadi ajang pertengkaran.
WL : Pak Paul, bagaimana dengan pasangan yang memang dari awalnya tidak mempunyai komunikasi yang cukup sehat kalau ditinjau dari segi psikologis, misalnya orang yang dijodohkan bukankah mereka tidak mengenal sekali. Komunikasi sebatas saya antar kamu, saya jemput kamu, hal yang umum sekali, memang dari awalnya komunikasinya hanya sebatas itu, Pak Paul?

PG : Kalau memang itulah kondisi mereka dan mereka bisa menyelesaikan problem mereka mungkin tidak apa-apa juga. Jadi ada rumah tangga-rumah tangga yang seperti itu, komunikasinya relatif dagkal tapi dua-duanya juga memang tidak mempunyai kebutuhan yang lain dan tidak menganggap itu sesuatu yang salah.

Jadi mungkin saja mereka bisa menjalani pernikahan mereka seperti itu. Nah, sudah tentu sebaiknya atau idealnya mereka bisa menggali lebih dalam lagi sehingga bisa membagi hidup mereka dengan lebih penuh bukan hanya yang ada di permukaan.
GS : Konflik yang mengancam itu Pak Paul, yang kadang-kadang dari luar tidak kelihatan jadi yang mengetahui hanya mereka saja tapi tiba-tiba kita mendengar bahwa mereka berpisah dan sebagainya. Tadi Pak Paul katakan biasanya mereka datangnya terlambat sampai 7 tahun dan sebagainya, tapi sementara itu mereka masih tetap bisa mempunyai anak itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Karena biasanya mereka mencoba mengisolasi problem mereka bahwa mereka mempunyai problem dalam hal-hal ini, nah mereka mencoba mengisolasinya. Namun di samping itu mereka sebenarnya jug berusaha menyelesaikan, cara-cara penyelesaian itulah yang sering kali kurang tepat dan malah menciptakan problem yang baru.

Mungkin ada baiknya saya uraikan Pak Gunawan, yang pertama biasanya kalau mulai muncul problem ada orang yang menggunakan metode mendominasi. Pokoknya dia menguasai secara paksa sehingga sedikit banyak rumah tangga mereka tenteram kembali, sebab yang satu ini misalkan si suami menggunakan kekerasan, menggunakan teriakan, menggunakan ancaman, tidak memberikan kesempatan kepada pasangannya berbicara akhirnya memang tidak lagi terjadi pertengkaran. Karena apa, yang satu takut untuk memulai apa-apa karena takut nanti kena pukulannya atau takut teriakannyalah. Memang ada ketenteraman tapi ini ketenteraman yang bersifat semu biasanya tidak berlangsung untuk waktu yang lama dan mungkin sekali suatu hari kelak bisa meledak lagi.
GS : Ya memang itu bisa meledak misalnya setelah anak-anak dewasa dan si suami pensiun akhirnya timbul masalah.

PG : Betul, sewaktu si suami yang tadinya kuat dan dominan sekarang menempati posisi yang lebih lemah.

WL : Pak Paul, bisa tolong dijelaskan tentang prinsip yang pertama yaitu mendominasi dengan yang diajarkan oleh Alkitab tentang submissive istri. Karena saya pikir banyak orang juga salah mengartikan prinsip "submissive" yang ada di dalam Alkitab.

PG : Alkitab memberikan sebuah tugas kepada suami untuk memimpin keluarga, maka itulah dia disebut kepala. Tapi bukan dalam konotasi atau pengertian dia itu menjajah si istri, sehingga si isri kehilangan dirinya sama sekali, bukan.

Pernikahan adalah sebuah peleburan dua pribadi bukan sebuah akuisisi, akuisisi yang satu mengambil alih yang satunya, tidak, pernikahan adalah peleburan bukannya akusisi jadi dua-dua memang harus meleburkan diri baik si pria maupun si wanita. Nah Tuhan meminta pria menjadi kepala dalam pengertian tugasnyalah memimpin, tapi Tuhan juga memberikan spesifikasi yang sangat jelas engkau harus mengasihi istrimu seperti Tuhan Yesus mengasihi jemaat, mengorbankan diriNya dan sebagainya. Jadi adanya suatu kerelaan untuk berkorban, mau menjelaskan, mau mendengarkan si istri, mau memberikan yang paling baik untuk si istri, nah dengan kasih seperti itulah suami memimpin. Kalau dominasi seperti yang saya singgung memang unsur kasihnya itu sangat tipis karena unsur yang lebih penting adalah aku tidak mau diganggu gugat oleh engkau dan engkau harus tunduk 100% kepada kata-kataku.
GS : Pak Paul, ada pasutri yang mencoba menghindari pertengkaran atau konflik itu dengan memisahkan diri, artinya tidak mau sering ketemu, nanti kalau ketemu bertengkar lagi atau geger lagi, nah itu bagaimanan Pak Paul?

PG : Dalam kasus-kasus tertentu menghindar boleh dilakukan Pak Gunawan, bukannya tidak boleh sama sekali. Karena memang adakalanya kalau dibicarakan sekarang pasti bertengkar jadi ada baikny kita menunda.

Yang tidak boleh dilakukan adalah terus-menerus menunda dan untuk segala hal kita menunda, itu yang tidak boleh. Tapi kalau sekali-sekali kita menunda itu namanya berhikmat, kita memilih waktu dan tempat yang lebih cocok untuk berbicara dengan pasangan kita. Tapi kalau terus-menerus menunda, terus-menerus tidak mau membicarakan masalah, saya kira itu tidak sehat. Karena apa, karena yang kita simpan itu tidak menghilang dan masih ada tertinggal di dalam diri kita. Suatu hari kelak dalam kasus yang lain, yang tersisa itu bisa bocor atau keluarnya bisa menjadi suatu ledakan yang besar.
WL : Pak Paul, kalau salah satu pasangan mempunyai pola menyelesaikan masalah itu dengan menarik diri, bagaimana dengan ajaran Pak Paul tentang menghindar ini?

PG : Saya kira adakalanya kita melakukan hal itu, kita menarik diri, mengalah, mengatakan: "Ya sudah tidak apa-apa kita ikuti saja kemauan kamu." Saya kira adakalanya ini yang memang diperluan, kalau dua-dua selalu berkata: "Tidak, saya yang benar kamu harus ikuti," repot juga.

Jadi sekali-sekali seseorang harus berkata: "Ya, saya ikuti."
GS : Berarti itu suatu kompromi, Pak Paul?

PG : Ya, jadi itu sebuah kompromi. Jadi adakalanya kalau sesuatu itu terlalu runcing, seseorang harus berkompromi, harus mengalah, harus menuruti. Namun kalau ini menjadi pola yang terjadi trus-menerus itupun tidak sehat, karena yang terus-menerus mengikuti kehendak pasangannya (biasanya ini dalam kasus yang satu terlalu dominan), nah akhirnya yang terlalu mengikuti akan kehilangan dirinya dan suatu hari dia mungkin terbangun dan berkata: "Di manakah diri saya yang sebenarnya, selama ini saya hanya hidup untuk pasangan saya, semua tidak ada lagi untuk saya, nah di manakah saya, untuk apakah saya hidup, nah itu bisa jadi disadarinya di kemudian hari, dia terbangun dan dia memberontak tidak mau lagi mengikuti kehendak pasangannya.

GS : Dan itu membuat pasanganya terkejut luar biasa, Pak Paul?

PG : Sangat terkejut, kenapa kok dulu ikut sekarang tidak dan justru berontak.

GS : Berarti pola itu sebenarnya kurang tepat.

PG : Ya, kalau terus-menerus seperti itu tidak tepat Pak Gunawan, karena sekali lagi tidak benar yang satu kehilangan diri, yang satu menambah diri. Tuhan menghendaki peleburan dari dua pribdi itu.

WL : Saya pernah menemukan beberapa pasangan yang salah satu pasangan itu pada dasarnya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pasangannya. Dia lebih pintar, dia mau maju, mau baca dan sebagainya jadi dia merasa lebih benar, lebih tahu banyak jadi kalau ada masalah dia bisa menjelaskan begini, begini. Jadi dia selalu menuntut pasangannya untuk beradaptasi dengan dia.

PG : Dalam kasus seperti ini saya harus berkata, kalau yang satu memang secara umum standar hidupnya lebih baik, pengetahuannya lebih baik, kesabarannya lebih baik, kedewasaan rohaninya lebi baik, ya memang dia lebih baik.

Dalam pengertian itu bisa jadi banyak hal yang dia lakukan benar dan pasangannyalah yang memang seharusnya lebih menyesuaikan diri dengan yang benar ini. Jadi saya ini tidak setuju dengan pandangan yang berkata bahwa kalau orang bertengkar pasti dua-duanya salah, tidak. Saya menjumpai banyak pasangan nikah dan cukup sering menemukan yang salah itu satu bukan dua-dua. Yang satunya mungkin memberikan reaksi yang juga keliru itu juga ada, tapi cukup banyak kasus yang saya jumpai jelas-jelas yang bersalah, yang membuat masalah, yang tidak dewasa, yang tidak bertanggung jawab, itu adalah satu individu bukan dua-dua. Jadi yang satunya memang lebih benar, memang lebih baik, lebih dewasa, lebih matang dan sebagainya. Tapi yang satunya tidak mau ikut, tidak mau mendengarkan. Maka kalau kita tahu memang kita lebih dewasa kita menggunakan prinsip rohani juga. Tuhan pernah meminta kepada kita yang lebih rohani, sewaktu kita menegur orang yang salah tegurlah dengan lemah lembut. Tapi Tuhan juga mengatakan boleh, tidak apa-apa menegur tapi dengan lemah lembut, ini saya kira yang harus dilakukan oleh pihak yang menganggap dirinya lebih baik daripada pasangannya.
GS : Kalau begitu daripada menempuh cara-cara seperti tadi, ada sutu cara untuk masing-masing bekerja bersama-sama atau berusaha bersama-sama untuk meningkatkan mutu pernikahan mereka.

PG : Nah idealnya memang seperti itu Pak Gunawan, jadi pola-pola yang tadi telah kita bicarakan adalah pola-pola yang tidak apa-apa kita gunakan sekali-sekali tapi tidak boleh terus-menerus,karena terus-menerus tidak sehat lagi.

Yang harus lebih kita utamakan adalah pola bekerja sama, berkooperasi yaitu kita berusaha memenuhi kebutuhan pasangan kita. Misalnya ada beberapa langkah, yang pertama adalah kita berdua harus mengakui adanya masalah, tidak bisa kalau hanya satu pihak saja yang berkata kita punya masalah sementara yang satunya tidak mengakui adanya masalah dan berkata ya ini masalahmu. Nah kadang-kadang saya menemukan kasus-kasus seperti ini, orang datang atau si suami datang yang satu tidak mau masuk hanya satu yang disuruh masuk ketemu saya. Saya tanya ini masalah apa? "Masalah suami-istri." Saya akan panggil dua-duanya. Sebab itu yang sering kali terjadi, yang satu berkata ini bukan problem saya, engkau yang merasakan semua ini jadi sekarang engkaulah yang berubah. O....tidak, jadi dua-dua harus mengakui kita mempunyai masalah. Dan yang kedua adalah dua-dua harus belajar mengkomunikasikan kebutuhan atau keinginannya, apa yang diharapkan. Dan kalau sudah tahu apa yang diharapkan, mintalah. Ini yang sering kali saya temui Pak Gunawan dan Ibu Wulan, orang kalau setelah menikah susah meminta hanya bisanya menyuruh dan menuntut, nah kalau bisa kita pertahankan meminta. Wah.....itu pernikahan kita akan banyak tertolong, tapi sering kali dari meminta akhirnya berubah menjadi menyuruh atau menuntut. Atau yang lainnya lagi kita mulai memikirkan alternatif, kalau yang ini belum bisa kita lakukan sekarang, kita belum bisa ketemu, OK-lah kita cari alternatif yang lain, ayo kita pikirkan cara yang lain. Kadang-kadang dua-dua mengutarakan pendapat dan dua-dua tidak bisa ketemu, akhirnya dua-dua harus berkata OK kita stop dulu, caraku, caramu coba kita hentikan, kita bekukan, ayo kita pikirkan cara yang lain, ada atau tidak cara yang lain yang bukannya aku katakan dan bukannya kamu katakan? Coba pikirkan cara yang lain. Nah, sering kali pasangan memang akan terjebak dalam tadi saya sudah bilang begini yang artinya juga berkata begitu, tadi saya bilang begini juga. Nah tidak ketemu, mungkin dua-dua harus berkata OK, bekukan pandanganmu, bekukakan pandanganku, cari solusi yang ketiga. Nah sering kali waktu kita mencari solusi yang ketiga kita mulai bekerja sama dan mulai menanggalkan diri, kita tidak lagi mempertahankan pandangan kita sekarang. Nah, di situlah biasanya kita mulai bisa menemukan kerja sama itu.
GS : Kalau kita amati sejauh ini yang tadi Pak Paul sampaikan, itu karena masing-masing mempertahankan gaya hidup lamanya sebelum mereka menikah.

PG : Sering kali begitu dan kita memang tidak mungkin memotong diri kita yang dulu dan sekarang ini, tidak bisa. Jadi yang dulu akan menjadi bagian dari kehidupan kita yang sekarang. Kalau mmang kita tahu cara kita itu tidak benar, kita memang harus konsekuen dan berkata cara saya tidak benar, ini saya sadari.

Nah, kalau ada satu orang saja berani berkata begitu itu sudah sangat menolong pernikahan itu. Sering kali kita berkata: "Memang tidak benar, tapi ini adalah saya," tidak, kalau tahu tidak benar konsekuen harus buang, harus kita tinggalkan.
WL : Pak Paul, tadi waktu menjelaskan pentingnya mengkomunikasikan kebutuhan, saya terpikir begini permasalahannya banyak di antara orang-orang pada umumnya tidak mengerti apa sebenarnya kebutuhannya, pokoknya dilihat pasangannya tiap hari menyebalkan, yang dilakukan salah terus. Bagaimana bisa mengkomunikasikan kebutuhan kalau dia saja tidak mengerti kebutuhannya itu sebenarnya apa.

PG : Kita bisa menolong diri kita sendiri yaitu kita bertanya kalau dia berubah apa itu yang saya rasakan, kalau sekarang dia itu tidak lagi melakukan hal itu, saya akan merasakan apa. Nah, ebanyakan perasaan itulah yang sebetulnya merupakan kebutuhannya.

Misalkan kalau dia lagi marah tapi tidak berteriak-teriak lagi kepada saya, saya akan senang. Jadi apa yang saya butuhkan, dia tidak berteriak-teriak dan itu akan membuat saya senang. Artinya apa, saya butuh ketenangan, saya tidak bisa berkonflik dengan teriakan, saya butuh ketenangan, nah itu yang dia katakan. "Suamiku atau istriku aku tidak berkeberatan berkonflik, tapi aku membutuhkan ketenangan itu. Bisa atau tidak engkau kalau lagi berkonflik denganku tidak berteriak, sebab teriakanmu itu membuatku takut atau membuatku tambah tegang sehingga akhirnya tidak bisa memikirkan masalah dengan baik.
GS : Sehubungan dengan konflik pasutri ini, apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan Mazmur 18:21-23, "Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku, Ia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku tetap mengikuti jalan Tuha dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku.

Sebab segala hukumNya kuperhatikan, dan ketetapanNya tidaklah kujauhkan daripadaku." Kita bisa menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, tapi intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan, apakah cara yang kita gunakan adalah cara yang diperkenankan oleh Tuhan, intinya adalah ini. Jadi sewaktu kita mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan memberikan yang kita minta itu, jadi dalam bertengkar, dalam konflik selalu bertanya apakah itu cara Tuhan. Apa yang Tuhan minta dariku sekarang, Tuhan meminta kita untuk meminta maaf dulu; minta maaf, Tuhan meminta kita berbicara dulu; ya berbicara jangan keraskan hati. Nanti bagaimana, nanti Tuhan bekerja, Tuhan akan bereskan yang selebihnya, jadi yang penting menjalani dulu yang Tuhan minta, selebihnya Tuhan akan atur.

GS : Terima kasih Pak Paul dan Bu Wulan untuk perbicnangan ini, para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Konflik Pasutri." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan perkenankan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



2. Konflik dalam Keluarga 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T003A (File MP3 T003A)


Abstrak:

Pertengkaran itu terjadi karena adanya perbedaan gaya hidup. Gaya hidup sendiri tidak selalu berarti benar atau salah, baik atau buruk. Sewaktu hidup dalam satu keluarga pasangan ini harus bisa menyesuaikan diri.


Ringkasan:

Konflik sering kali muncul karena perbedaan gaya hidup. Gaya hidup adalah kebiasaan-kebiasaan tentang bagaimanakah kita mengatur hidup kita, menjalankan hidup kita, memenuhi keperluan-keperluan kita, cara-cara yang kita gunakan untuk mendapatkan yang kita inginkan.

Penyebab kita tidak mudah untuk mengubah gaya hidup yaitu:

  1. Karena gaya hidup sudah melekat pada diri kita selama bertahun-tahun.

  2. Karena kita sebetulnya mempunyai keangkuhan, keangkuhan kitalah yang melarang kita untuk menyesuaikan diri dengan pasangan kita.

Sementara kita tidak bersedia untuk dituduh memiliki gaya hidup yang salah atau yang tidak sehat, nah kedua hal inilah yang sering kali menjadi kendala terbesar bagi kita untuk berubah menyesuaikan diri dengan pasangan kita.

Hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam penyelesaian konflik:

  1. Dialog, artinya tidak mendiamkan pasangan kita. Tanpa adanya dialog mustahil bagi kita untuk dapat menyelesaikan konflik. Dengan adanya dialog setidak-tidaknya kemungkinan terjadinya penyelesaian akan lebih besar dibandingkan dengan kalau tidak ada dialog sama sekali.

    Beberapa kondisi yang memperbolehkan untuk kita berdiam diri yaitu:

    1. Tatkala memang kita harus mendengarkan apa yang pasangan kita sedang katakan. Amsal 18:13, "Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar itulah kebodohan dan kecelaannya, betapa tepatnya hikmat sorgawi itu." Berdiam diri memang diperlukan supaya kita dapat mendengar dengan baik namun tidak berarti terus berdiam diri tanpa memberi jawaban apapun.

    2. Diperlukan pada saat pasangan kita sangat emosional. Hal ini dilakukan agar kita bisa mendengarkan pasangan kita dengan penuh perhatian. Kita juga mesti menyadari bahwa jawaban kita hanyalah akan mengobarkan api kemarahannya. Amsal 15:1,"Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman." Nah berdiam diri di sini sifatnya hanyalah sementara, semata-mata hanya untuk meredakan kegeramannya. Setelah emosi mereka menurun sangatlah penting bagi kita mendekati mereka dan dengan lemah lembut mengajak mereka berbicara serta menanggapi mereka.

    3. Mutlak diperlukan apabila kita telah berbuat kesalahan dan telah melukai hati pasangan kita. Setelah menceritakan dan mengakui kesalahan kita serta meminta maaf selayaknyalah kita berdiam diri dan tidak memberi dalih atau membela diri. Membela diri tidak akan membantu pasangan kita memaafkan kita, karena tindakan ini memberi kesan bahwa kita belum sungguh-sungguh menyesali perbuatan kita.

  2. Hal kedua yang dapat dilakukan adalah tidak seenaknya menuangkan perasaan kita kepada pasangan kita. Artinya kita boleh mengeluarkan unek-unek dan menciptakan dialog bukan berarti menimbuni pasangan kita dengan omelan, kemarahan. Ibaratnya kita mengambil tong sampah lalu menuangkan isi tong sampah di atas kepala pasangan kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mencegah Konflik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kali ini kita berbicara tentang mencegah konflik khususnya konflik yang terjadi di antara pasangan suami-istri. Karena bagaimanapun baiknya kita berhubungan tetapi ternyata konflik itu terjadi juga, namun saya berpikir kita itu lebih baik mencegahnya daripada menyelesaikan suatu konflik. Tetapi sering kali yang terjadi seperti pada beberapa waktu yang lalu kita perbincangkan bahwa konflik itu sering muncul karena perbedaan gaya hidup. Nah sebenarnya gaya hidup itu apa Pak Paul?

PG : Gaya hidup sebenarnya adalah kebiasaan-kebiasaan, bagaimanakah kita ini mengatur hidup kita, menjalankan hidup kita, memenuhi keperluan-keperluan kita, cara-cara yang kita gunakan untukmendapatkan yang kita inginkan, semua itu masuk dalam kategori gaya hidup.

Jadi betul sekali yang tadi Pak Gunawan katakan bahwa sering kali pertengkaran muncul karena perbedaan gaya hidup. Sudah tentu ada sebagian pertengkaran yang timbul karena masalah lebih serius yaitu masalah karakter. Memang ada pribadi-pribadi yang memang bermasalah, senang menjajah, senang menyakiti orang lain dan sebagainya atau tidak mau bertanggung jawab. Nah pada saat ini kita tidak membicarakan kasus-kasus yang lebih serius seperti itu, kita lebih membicarakan mengenai kasus-kasus perselisihan yang acap kali muncul dalam rumah tangga kita. Dan yang ingin kita angkat adalah penyebab utamanya atau umumnya yaitu perbedaan gaya hidup.
GS : Itu sebenarnya bisa disesuaikan antara suami dan istri yang mempunyai latar belakang berbeda, Pak Paul?

PG : Sesungguhnya bisa Pak Gunawan tapi memang memerlukan waktu dan memerlukan usaha yang lumayan keras dari kedua belah pihak. Memang tidak begitu mudah untuk bisa mengubah gaya hidup, seba yang pertama adalah kita ini sudah terbiasa dengan gaya hidup kita.

Misalkan kita terbiasa dengan cara makan kita, misalkan kita makan sedikit-sedikit namun sering 5, 6 kali sehari. Kenapa, sebab di rumah kita dulu itulah cara makannya, tidak ada yang namanya jam makan bersama, siapa ingin makan ya silakan mengambil sendiri dan misalkan kapasitas makan kita tidak terlalu besar sehingga kita makannya mencicil sedikit demi sedikit namun bisa 5, 6 kali per-hari. Misalkan kita menikah dengan seseorang yang tumbuh besar di keluarga yang teratur, makan tiga kali sehari dan makannya bergizi. Nah apa yang terjadi kemudian setelah menikah, tidak bisa tidak akan muncul percekcokkan karena dua gaya hidup yang berbeda ini. Nah kalau kita sudah terbiasa dengan gaya hidup kita itu, untuk mengubahnya ya susah, perut kita tidak bisa kita perintahkan dengan mudah makan 3 kali sehari jangan 5, 6 kali sehari. Tidak bisa kita begitu mudah mengubah gaya hidup karena sudah melekat menjadi bagian dari diri kita dan kita menganggap itulah kita, identitas diri kita. Ini membawa kita kepada penyebab kedua kenapa susah mengubah gaya hidup ini. Yang kedua adalah karena kita ini sebetulnya mempunyai keangkuhan, keangkuhan kitalah yang melarang kita untuk menyesuaikan diri dengan pasangan kita. Sebab apa, sebab pada waktu terjadi pertengkaran sudah tentu ujung-ujungnya adalah kita menuduh bahwa kebiasaan hidup pasangan kitalah yang salah dan kita yang benar. Dan dia di pihaknya juga melakukan yang sama, dia akan berkata makan 3 kali sehari sebab di mana-mana orang makan tiga kali sehari, nah yang satu berkata apa salahnya saya makan 5, 6 kali sehari. Nah biasanya dalam pertengkaran itu muncul pelabelan bahwa ini perilaku yang salah, ini kebiasaan yang tidak sehat dan sebagainya. Akhirnya karena kita itu tidak mau disalahkan, ya kita tidak mau berubah. Sebab kalau kita berubah mengikuti pasangan kita itu sama dengan mengakui bahwa kita yang salah. Nah kita sebagai manusia yang telah tercemar oleh dosa memang tidak mudah mengakui kesalahan kita walaupun memang itu sebetulnya bukan kesalahan. Jadi karena sudah diidentikkan dengan kesalahan ya akhirnya kita menolak untuk mengubah.
WL : Ya, gaya hidup memang bukan sesuatu yang absolut, jadi wajar kalau kita sulit mengatakan dia yang benar dan kita yang salah, padahal tidak ada gaya hidup yang absolut yang mana yang harus dimiliki.

PG : Dan pemahaman inilah Bu Wulan, yang mesti dipegang oleh setiap orang yang menikah bahwa banyak kali masalah dalam pernikahan bukanlah masalah benar atau salah tapi memang masalah perbedan.

Saya ingat lagi seorang penulis buku Marcia Lasswell yang menulis buku No Fault Marriage itulah penekanannya dia bahwa sebetulnya ini bukan masalah salah atau benar, tapi akibat terlalu berlarut-larut masalah ini tidak bisa diselesaikan yang kita munculkan akhirnya adalah ini salah dan kamu harus berubah. Sudah tentu ada yang salah misalkan orang yang berjudi, menghabiskan uang itu adalah kesalahan, tapi yang lebih umum memang bukan masalah salah atau benar tapi masalah perbedaan saja.
GS : Kalau begitu bagaimana Pak Paul, supaya masalah pasangan itu bisa lebih bisa mengurangi konflik yang mungkin saja bisa timbul karena perbedaan gaya hidup ini, Pak Paul?

PG : Satu kata kunci Pak Gunawan, berdialog, terus-meneruslah berdialog. Nah dialog ini seyogyanya tidak baru dilaksanakan setelah menikah, sering kali yang terjadi seperti ini. Kita terlanjr mencintai dan karena terlanjur mencintai kita takut kehilangan pasangan kita, karena kita takut kehilangan pasangan kita, kita mencoba meredam perbedaan karena kita menyadari perbedaan kalau diangkat berpotensi menimbulkan perselisihan atau konflik.

Kalau konflik terjadi lama-kelamaan pasangan kita itu bisa-bisa putus dengan kita dan kita tidak mau itu terjadi. Nah kecenderungan orang yang berpacaran adalah menghalau konflik, meredam perbedaan, menutup mata, seolah-olah semua baik-baik saja, mencoba meyakinkan diri bahwa nanti akan berubah dengan sendirinya, nanti kami akan bisa menyesuaikan diri dan sebagainya, itu adalah harapan-harapan kosong. Ternyata setelah menikah tidak ada perbedaan maka kata kuncinya adalah dialog. Dari awal berpacaran, sewaktu kita melihat adanya perbedaan kita mesti memunculkannya, kita mesti mengatakan kepada pasangan kita ini yang sebetulnya saya inginkan, ini sebetulnya yang saya tidak inginkan. Nah itu semua harus dikomunikasikan, kenapa engkau begini, kenapa engkau melakukan hal-hal seperti itu, nah hal-hal itu terus harus dibicarakan mulai dari masa berpacaran. Dan pada masa berpacaranlah kita akhirnya melakukan uji coba, kita gunakan cara ini, cara itu, nah apakah bisa selesai. Kalau terus-menerus malah menumpuk problem, setidak-tidaknya kita diyakinkan bahwa ini bukan pasangan yang tepat karena setelah 2, 3 tahun problem bukan berkurang malah makin bertambah. Jadi kata kuncinya adalah dialog. Bagi kita yang sudah menikah kalau kita menjumpai perbedaan-perbedaan ini jangan tutup mata, jangan tutup mulut, munculkan, cobalah komunikasikan apa yang kita harapkan dari pasangan kita.
WL : Pak Paul, ada beberapa pasangan yang mencoba seperti yang tadi Pak Paul usulkan yaitu berdialog untuk mengatasi masalah perbedaan dan sebagainya, tapi yang terjadi justru salah satu pasangan itu sangat dominan, mendominasi pembicaraan. Akhirnya dialog pun juga sepertinya sia-sia, Pak Paul?

PG : Ini memang kembali kepada masalah karakter Ibu Wulan, Norman Wright seorang pakar pernikahan di Amerika Serikat menekankan bahwa untuk pernikahan bisa sukses, diperlukan karakter-karaktr tertentu.

Salah satu yang sering kali saya tekankan dan yang saya peroleh dari sini adalah fleksibel, orang yang hendak menikah harus fleksibel, kalau karakternya kaku menganggap diri selalu benar tidak akan tercipta pernikahan, yang terjadi adalah penjajahan bukan lagi pernikahan. Maka dalam kasus seperti itu yang satu dominan dan tidak bersedia untuk memeriksa dirinya, ya memang pasangannya akan sangat menderita. Sebab pilihannya hanya dua yaitu dia yang dominan menyadari bahwa dia dominan sehingga akhirnya berubah atau yang satunya itu terus-menerus mengalah.
GS : Dialog yang terjadi dari contoh yang baru saja Pak Paul sampaikan kalau yang satu mau mendangarkan, kalau dua-duanya suka berbicara itu juga akan menjadi konflik, Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, maka saya mengatakan dialog bukan berarti tidak ada tempat untuk berdiam diri. Sebab berdiam diri juga merupakan bagian yang penting dalam relasi nikah, namun saya inin memunculkan beberapa kondisi di mana berdiam diri itu diperbolehkan dan bahkan wajib.

Yang pertama saya ingin menekankan, berdiam diri itu tidak sama dengan mendiamkan pasangan. Mendiamkan pasangan sudah tentu akan membuat pasangan sangat marah. Nah, berdiam diri memang diperlukan tatkala kita harus mendengarkan apa yang pasangan kita katakan. Jangan sampai yang satu bicara, yang satu ikut bicara. Nah kadang-kadang ini yang terjadi, si suami berbicara, si istri ikut bicara; si istri belum selesai bicara, suami sudah potong dan ikut-ikut bicara, tidak bisa. Kita harus terapkan apa yang kita pelajari sejak taman-taman kanak-kanak. Bukankah sejak taman kanak-kanak guru berkata kalau bicara satu-satu, juga begitulah dalam pernikahan kalau bicara satu-satu, yang satu bicara yang satu mendengarkan, nah ini prinsip kanak-kanak yang sering kali setelah dewasa kita lupakan. Saya kutib dari Amsal 18:13, "Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya." Betapa tepatnya hikmat sorgawi itu, betul sekali karena orang yang memberi jawab sebelum mendengar adalah orang yang bodoh, orang yang tidak memiliki hikmat.
GS : Pak Paul, mendengar itu sendiri suatu seni yang harus kita pelajari karena seperti tadi yang Pak Paul katakan bahwa kita mempunyai kecenderungan kalau orang lain berbicara kita berpikir saya harus menjawab apa, saya harus ngomong apa lagi dan itu spontan terjadi di dalam diri kita.

PG : Maka adakalanya setelah kita masing-masing mengeluarkan argumen kita, ada baiknya memang diberikan waktu jedah sebentar, karena di dalam adu argumen suhu semakin meningkat sehingga padaakhirnya kita makin repot membela diri, membenarkan diri.

Kita tidak lagi mendengarkan, tidak lagi mau memahami apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh pasangan kita. Jedah berguna sekali, karena pertama jedah menurunkan suhu, kita tidak lagi terlibat seperti bola pimpong yang dipukul kiri, pukul kanan, ini sudah mulai berhenti berarti suhu mulai menurun. Kedua, jedah memberikan kesempatan untuk berpikir, sering kali ini yang terjadi pada diri saya dan istri saya. Pada waktu kami berargumen, saya dan istri mencoba membela diri akhirnya kami diam. Waktu kami diam saya termenung, dia merenung juga, karena suhu sudah mulai turun kemauan membela diri juga mulai melemah, nah mulailah saya memikirkan dari sisi istri saya. Sebetulnya kok begini ya, kenapa dia bertindak begini, apa sebetulnya yang dia rasakan, nah sering kali sewaktu saya merenung saya akhirnya lebih bisa mengerti dia, lebih bisa memahami dia. Namun jujur saya juga harus akui kadang-kadang saya tidak mau merenung sebab akhirnya saya sadari satu hal, setiap kali saya merenung dia jadi betul dan saya menjadi salah.
GS : Jadi membuat kita tidak melakukan itu, karena tidak menguntungkan kita.

PG : Karena tidak menguntungkan, ujung-ujungnya kita terpaksa mengatakan dia ada benarnya juga, karena dia ada benarnya berarti saya harus mengatakan itu kepada dia, "Kamu ada benarnya juga,berarti saya tidak sepenuhnya benar," nah ego saya juga harus saya korbankan.

Nah hampir setiap kali kami adu argumen, ini yang saya harus kalahkan dan celakanya harus saya akui setelah hampir 20 tahun menikah hal seperti ini tidak bertambah mudah, sama susahnya seperti tahun pertama. Sebab apapun yang berkaitan dengan ego kita ternyata susah untuk kita tundukkan. Jadi itu yang perlu kita lakukan yaitu jedah untuk kita merenungkan apa yang terjadi.
GS : Apa ada kondisi yang lain untuk kapan kita harus berdiam diri, Pak Paul?

PG : Sangat diperlukan kita berdiam diri tatkala pasangan kita sedang emosional, kalau pasangan kita itu memang tipe pemarah, bersuhu tinggi, temperamennya memang meledak-ledak, kalau marah angsung meledak, sebaiknya jangan tanggapi dengan kemarahan pula.

Kalau mau menjawab, jawab dengan suara yang lembut. Kalau tahu kita menjawab bisa meledak juga lebih baik jangan menjawab, diam. Diam tapi berarti tidak mendiamkan, tidak melengos, tidak membuang muka. Diam berarti berada di tempat yang sama namun tidak berkata apa-apa, sebab kalau kita meninggalkan tempat itu, nah itu ditafsir kita menghina dia, tidak menghargai dia, meremehkan dia nah itu makin memancing kemarahannya. Jadi adakalanya kalau pasangan kita terlalu emosional, yang bijaksana adalah kita berdiam diri saja. Ada satu ayat firman Tuhan yang indah sekali di Amsal 15:1, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman..." maka sebisanya kita diam, setelah dia lebih tenang kita jawab dan jawabnya dengan lemah lembut. Jangan terlalu cepat bicara, menjawabnya dengan ritme yang lebih perlahan sedangkan volume suara dikecilkan, nah hal seperti ini menolong. Menolong dia juga untuk memperlambat ritmenya, yang tadinya dia berbicara dengan sangat cepat dalam kemarahan, volume suara begitu tinggi, nah kita menjawab volume suara kita kecilkan, ritmenya kita perlambat nah itu bisa membawa dia atau mempengaruhi dia untuk mengutarakan perasaannya seperti kita.
WL : Mungkin memerlukan latihan itu Pak, tarik nafas beberapa kali untuk menahan terus minum air dingin.

PG : Itu saya kira cara-cara praktis yang boleh dilakukan kalau itu memang membantu kita, sebab air dingin meneduhkan. Dan nafas yang diambil dengan perlahan dan dikeluarkan dengan perlahan,itu mengatur kembali denyut jantung kita.

Sebab waktu kita marah, emosional tinggi, maka denyut jantung kita juga berdebar dengan lebih cepat, waktu kita berdenyut dengan lebih perlahan berarti kita lebih bisa mengatur emosi dan perkataan kita.
GS : Tapi kadang-kadang di pihak yang marah itu sebenarnya memerlukan tanggapan dari pasangan yang kita marahi itu, sehingga kadang-kadang kita berkata: "Kamu jangan diam saja, ngomong gitu!" Jadi seolah-olah menantang.

PG : Betul, sebaiknya memang kita menjawab tapi jawaban kita lebih pendek-pendek dan bukan jawaban-jawaban yang memberikan penjelasan. Sebab biasanya kalau kita memberikan penjelasan, penjelsan itu juga akan dipatahkan oleh dia.

Jadi yang tadi Pak Gunawan katakan betul, orang yang sedang beremosi tinggi memang ingin melampiaskan kemarahannya berarti dia membutuhkan wadahnya, kalau pasangannya tidak menanggapi dengan kemarahan memang ada rasa frustrasi juga, seolah-olah tidak dianggap. Tapi sesungguhnya kalau ditanggapi dengan kemarahan makin meledak, jadi lebih baik memang tetap ditanggapi dengan kata-kata yang lemah lembut atau bahkan hanya berdiam, dan kita hanya melihat dia atau menundukkan kepala. Nah setelah dia agak tenang baru kita jawab, "Bisa kita jawab sekarang?" misalkan kita bertanya seperti itu. Atau kita berkata: "Saya akan menjawab, tapi saya tidak mau engkau memarahi saya seperti ini, kalau engkau begini bagaimana saya bisa menjawab. Jadi kalau mau engkau mendengarkan jawaban saya ayo duduk sama-sama dan saya mohon tolong tenang dulu." Jadi dengan cara-cara seperti itu pasangan kita lama-kelamaan akhirnya terbiasa untuk mengutarakan kemarahannya dengan lebih baik.
GS : Kondisi yang lain apa, Pak Paul?

PG : Kadang kala kita memang mengakui, kita sadar bahwa kita salah. Nah setelah kita mengakui kesalahan kita sebaiknya diam, jangan terus ngomong. Kalau orang sudah salah tapi terus ngomong tu menghapus bersih permntaan maaf tadi.

Kalau kita sudah mengaku salah ya sudah diam, dalam kasus atau dalam kondisi ini saya kira berdiam diri justru baik, berdiam diri justru menunjukkan bahwa kita ini sungguh-sungguh menyesali perbuatan kita. Kalau kita terus bicara-bicara, permintaan maaf kita yang telah kita ucapkan meskipun itu tulus akhirnya terhapus bersih dan tidak tidak terlihat lagi oleh pasangan kita.
WL : Bukannya perlu Pak Paul, setelah meminta maaf kita menjelaskan kepada pasangan alasan tadi sampai kita bebuat seperti itu supaya dia mengerti situasinya dengan lebih baik, Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu perlu, jadi kalau misalkan persoalannya belum jelas, kita harus jelaskan. Kalau memang persoalannya sudah sangat jelas, sudah dibicarakan tadi dan sekarang tinggal pengauannya ya kita berikan pengakuan itu kemudian kita berdiam diri.

Kita hanya diam dan berikan kesempatan kepada pasangan kita mungkin untuk mengeluarkan emosinya dan juga marah dan kita hanya mendengarkannya. Sebab kita salah dan yang salah sebaiknya berdiam diri.
GS : Tapi penjelasan itu ditanggapi sebagai pembelaan diri, Pak Paul?

PG : Betul, maka memberi penjelasan juga harus hati-hati, sebab kadang-kadang dalam memberikan penjelasan kita menyalahkan pasangan kita lagi. Nah tadi kataknya sudah minta maaf, tadi katany mengaku salah kok sekarang dalam memberikan penjelasan menyalahkan lagi.

"Gara-gara kamu, kalau kamu tidak begini saya 'kan tidak......", akhirnya pasangannya berpikir apa artinya minta maaf, itu namanya basa-basi.
GS : Mungkin penjelasan itu bisa diberikan beberapa waktu lagi kalau sudah betul-betul reda, Pak Paul?

PG : Kadang-kadang itu yang bisa kita lakukan, jadi tidak langsung kita berikan penjelasan kita sampaikan saja secukupnya kemudian kita katakan: "Besok saya akan ceritakan semuanya, sekarangkita terlalu bermosi sebaiknya kita menenangkan diri dulu, besok saya jelaskan, saya janji saya akan menceritakan semuanya."

Hal seperti itu juga menolong.
GS : Pak Paul di dalam mengatasi konflik ini, apakah ada point yang lain Pak Paul?

PG : Salah satunya adalah ini Pak Gunawan yang sangat sederhana, konflik itu sebetulnya seperti daun kering yang akhirnya mudah terbakar. Jadi daun atau tanah tidak boleh kering, karena kala kering akan mudah sekali tersulut dan terbakar, akhirnya satu hutan bisa terbakar habis.

Maka untuk menjaga, mencegah jangan sampai konflik itu mudah muncul di keluarga kita relasi kita tidak boleh kering, itu kuncinya. Relasi kita itu harus kita basahi sehingga relasi kita itu menjadi relasi yang sulit untuk konflik, kalaupun konflik sulit untuk konflik berlarut-larut karena ikatan cintanya kuat. Maka yang diperlukan adalah pemupukan, pemeliharaan relasi yang baik ini, sering-seringlah pergi, sering-seringlah menyentuh, sering-seringlah mengutarakan hal-hal yang positif, sering-seringlah melakukan yang diminta oleh pasangan kita. Relasi harus dijaga seperti ini, kalau tidak dijaga seperti ini lama-kelamaan akan kering kerontang, dan relasi yang kering-kerontang adalah lahan yang mudah sekali terlalap oleh api konflik.
GS : Pak Paul, ada orang yang suka mengeluarkan isi hatinya dengan seenaknya sendiri dan dia senang melakukan itu?

PG : Itu juga ada Pak Gunawan, dan itu adalah sikap yang makin membakar api konflik. Dalam dialog penting untuk kita sadari tidak berarti boleh bicara semaunya, berdialog penting tapi tidak erarti mengumbar-umbar perasaan kita, kemarahan kita, pikiran kita seenaknya, selalu ada tempatnya untuk kita memagari diri.

Menyampaikan boleh tapi dengan bijak, memikirkan perasaan kita kalau dia mendengar perkataan kita ini, jadi jangan sampai seenaknya sehingga dialog kita akhirnya hancur.
GS : Dia cuma berkata, "Masa begitu saja dipikir, saya ngomong memang begini, apa adanya." Itu gaya hidup juga, Pak Paul?

PG : Betul, ada orang yang memang seperti itu.

GS : Jadi terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mencegah Konflik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan perkenankan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



3. Konflik dalam Keluarga 3


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T003B (File MP3 T003B)


Abstrak:

Lanjutan dari T03A yang diantaranya terdapat 10 hal untuk mengatasi konflik.


Ringkasan:

10 nasihat atau prinsip yang diberikan Norman Wright untuk penyelesaian masalah antara suami dan istri, yaitu:

  1. Jangan mendiamkan pasangan kita, kita senantiasa berupaya untuk menciptakan dialog dalam pertengkaran dengan pasangan kita. (Sudah disinggung pada judul sebelumnya).

  2. Jangan menyimpan perasaan atau menimbun perasaan terus-menerus. Jangan menimbun perasaan bukan berarti bahwa setiap hal harus dibicarakan dengan serius. Dr James Dobson seorang psikolog kristen dari Amerika Serikat mengatakan: "Ada waktunya kita tidak mempersalahkan setiap masalah kecil yang timbul," dengan kata lain memang mustahil meminta pasangan kita untuk duduk membicarakan setiap hal yang menimbulkan ketidaksenangan kita.

  3. Jangan menumpahkan semua perasaan pada pasangan kita. Misalnya mencaci maki, memarahi pasangan kita sampai kita merasa lega itu tidak benar. Prinsip ke-2 dan ke-3 seolah-olah bertentangan, akan tetapi keduanya sangat perlu dilakukan dengan penuh keseimbangan, perlu jujur, perlu terbuka jadi tidak bisa kita itu ekstrim yang satu dan ekstrim yang satunya lagi.

  4. Seranglah masalahnya bukan orangnya. Berselisih yang sehat berarti membatasi diri atau membatasi pertengkaran hanya pada masalahnya saja dan menahan diri tidak menyerang pribadi seseorang.

  5. Jangan lari dari pokok pembicaraan.

  6. Jangan mengatakan "Engkau tak pernah...." Perkataan ini bukanlah perkataan yang baik untuk dilontarkan karena jarang sekali ada orang yang tidak pernah misalnya mengasihi, mempedulikan, menyenangkan hati pasangan. Perkataan ini acapkali hanya membuat pasangan kita patah semangat, tidak bermotivasi untuk berubah, sebab dalam benak mereka berpikir, "percuma saya sudah berusaha mengubah diri saya, tapi engkau tak menghargainya."

  7. Jangan menggunakan kritikan sebagai lelucon. Alasannya sederhana sekali yakni kritikan yang berjubah lelucon, memberi kesan penghinaan.

  8. Siapkan suasana, tempat, waktu untuk menyatakan ketidaksepakatan Anda.

  9. Sediakan jalan pemecahan bagi setiap kritikan yang Anda lontarkan. Maksudnya waktu kita ini memberikan pandangan atau tidak setuju dengan sesuatu, kita juga perlu memikirkan jalan keluarnya.

  10. Kalau salah akuilah, apabila benar diamlah. Kecenderungan kita kalau salah ya susah ngaku salah, kalau benar kita berkoar-koar meyakinkan pasangan kita bahwa kita benar. Nah hal ini tidak efektif, karena akan membuat pasangan kita merasa seperti diinajk-injak, dia sudah salah terus kita tekan dengan mengatakan bahwa dia itu memang salah.

Efesus 4:29-32, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia. Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan. Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pedoman Menyelesaikan Konflik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada beberapa waktu ini kita memang membicarakan tentang konflik, sesuatu yang memang terjadi di dalam kehidupan keluarga kita sehari-hari. Kita sudah mencoba menghindari, tetapi tetap terjadi juga. Sekarang masalahnya kalau sampai konflik itu terjadi mau tidak mau kita harus menyelesaikannya. Apakah ada pedoman atau pegangan untuk pasangan suami-istri ini tentang bagaimana kalau konflik itu timbul di dalam keluarga?

PG : Ada Pak Gunawan, ini ada masukan dari seorang pakar keluarga Norman Wright, dia memberikan 10 nasihat bagaimana bisa menyelesaikan konflik. Sepuluh nasihat ini sebetulnya lebih merupakan auran main, jadi yang ingin ditekankan oleh beliau adalah pernikahan itu akan selalu bisa dilanda oleh konflik, kita tidak pernah kehabisan materi konflik.

Nah yang penting adalah aturan main penyelesaian konflik itu. Dengan kita semua menaati aturan main itu kemungkinan lebih besar untuk kita menyelesaikan konflik, kalau kita berdua tidak lagi menaati aturan mainnya akan lebih sulit menyelesaikan konflik. Yang pertama adalah janganlah kita ini mendiamkan pasangan kita, sebab orang yang didiamkan itu biasanya merasa dihina, tidak dianggap, seolah-olah keberadaannya tidak penting sama sekali, maka sebisanya kita memberikan jawaban. Kita berdialog kecuali dalam kondisi pasangan kita itu emosinya terlalu tinggi, kita harus meredakannya ya kita tidak menjawab terlalu cepat. Tapi pada umumnya waktu kita berkonflik kita berbicara. Ini masalah saya dulu, dulu saya kalau berkonflik dengan istri saya, saya cenderung diam. Sebetulnya saya tidak mendiamkan dia, tapi memang saya tidak terbiasa untuk mengungkapkan perasaan, jadi kalau lagi marah atau lagi apa saya biasanya malahan menutup diri saya. Nah, akhirnya saya temukan istri saya makin marah karena waktu dia mencoba berbicara dengan saya, saya memang benar-benar diam. Saya tidak mau melihat dia, saya diamkan dia, nah itu makin memancing amarahnya, yang saya coba lakukan setelah itu adalah berdialog, coba paksa diri saya untuk berdialog, tidak mudah bagi saya karena secara alamiah saya lebih mudah berdiam diri. Akhirnya yang saya temukan, waktu saya berdialog saya mencoba mengekspresikan pikiran saya lebih mudah selesai karena lebih mudah ketemu, dia berbicara saya menjelaskan akhirnya ketemu. Kalau satu diam satu bicara ya susah sekali ketemu.
WL : Pak Paul, ada orang-orang tertentu mungkin banyak mengalami seperti yang Pak Paul alami, tidak bermaksud mendiamkan tetapi memang tidak terlatih dari keluarga asal. Jadi cenderung menunggu dari pasangannya duluan yang mengajak ngomong, walaupun sudah duluan kadang kita masih sulit, itu ada hubungannya dengan assertif itu ya Pak?

PG : Ya, ada Ibu Wulan, jadi memang ada orang-orang yang lebih terlatih untuk mengutarakan pikiran dan perasaannya, tapi ada orang yang tidak. Seperti saya memang kalau merasakan sesuatu yang kat saya cenderung mengontrolnya, meredamnya.

Nah setelah tenang, setelah turun baru mulut saya bisa jalan lagi sebab tidak bisa langsung menggabungkan antara mulut dan perasaan menjadi satu susah. Akhirnya saya mencoba kalau dulu saya coba keluarkan perasaan dan mulut saya sekaligus cenderungnya justru agak keras jadi seperti meledak. Saya tidak suka dengan kemarahan atau meledak jadi akhirnya saya redam, waktu saya redam mulut dan perasaan saya tidak lagi berjalan bersama-sama. Sekali lagi ini bukan sesuatu yang natural buat saya dan mungkin buat kebanyakan dari orang yang mendengarkan acara kita. Sebab orang yang didiamkan itu makin marah akhirnya tidak ketemua jalan keluar. Dan dalam kediaman bagaimanakah kita menemukan solusinya.
GS : Tapi memang waktu pasangan kita marah, kita memang cenderung tertarik atau terpengaruh, jadi suara kita itu keras lagi jadi menimbulkan konflik baru.

PG : Setuju sekali Pak Gunawan, jadi suara keras cenderung mengobarkan api amarah kita pula, emosi kita turut terbangunkan. Maka sekali lagi kata-kata lembut seperti yang firman Tuhan minta kit lakukan itu yang mesti selalu kita usahakan, meskipun kita marah coba kita kontrol volume suara kita, itu yang kita lakukan pertama-tama.

GS : Ada pasangan yang menyuruh pasangannya yang sedang marah itu untuk diam, sudah tidak ngomong dulu, Pak Paul.

PG : Betul, nah kadang-kadang kalau itu yang diminta ada baiknya memang diam dulu, sebab kalau tidak diam akhirnya si orang ini berkata: "Kamu malah membangkang perintahku, permintaanku, jadi masalah keributannya belum selesai, sekarang dia ribut masalah yang kedua, kamu tidak tunduk kepadaku.

Jadi masalah makin membesar. Yang kedua, Norman Wright meminta juga agar kita ini jangan menyimpan perasaan atau menimbun perasaan terus-menerus. Menimbun perasaan itu bukannya berarti selalu salah, adakalanya kita membiarkan hal-hal kecil terjadi. Saya ingat nasihat dari seorang Psikolog Kristen yang bernama Dr. James Dobson yang berkata dalam pernikahan kadang kala kita harus membiarkan menutup mata hal-hal kecil terjadi. Kalau setiap hal kita permasalahkan benar-benar rumah itu tidak pernah sepi, maka kadang-kadang kita biarkan. Tapi saya kira nasihat Norman Wright juga betul, jangan menimbun perasaan, menimbun perasaan. Sebab menimbun perasaan itu suatu hari kelak meledak, waktu meledak, meledaknya itu tidak terkira-kira jadi akhirnya merembet ke mana-mana, bawa-bawa mertualah dan sebagainya. Akhirnya ributnya itu tidak lagi bisa difokuskan pada materinya karena tiba-tiba masalahnya sudah begitu banyak.
GS : Tapi mungkin atau tidak Pak Paul orang itu memendam perasaannya terhadap pasangannya atau istrinya kemudian dilampiaskan ke tempat lain, Pak Paul?

PG : Bisa, yang paling sering adalah kepada anak. Kalau kita mempunyai anak kemudian waktu kita marah kepada pasangan kita dan anak kita melakukan sedikit kesalahan itu benar-benar menjadi peraihan kemarahan.

Kita tumpahkan marah kita itu kepada anak kita dan anak kita itu akan bingung, terkaget-kaget kami salah apa kok dimarahi seperti ini, akhirnya kita sadari sebetulnya bukan marah kepada anak tapi terhadap pasangan kita sendiri.
WL : Ada yang sebaliknya Pak Paul, sedikit-sedikit masalah kecil dipermasalahkan. Banyak suami yang mengeluh istri-istrinya cerewet begitu, sampai semua harus sempurna, gelas tidak boleh ada air berceceran di atas meja, harus bersih, harus ini, harus itu, semua harus sempurna.

PG : Betul, ada orang yang memang seperti itu sehingga segala hal menjadi suatu keributan. Nah ini bertalian dengan nasihat Norman Wright yang ketiga yaitu jangan menumpahkan semua perasaan kepda pasangan kita.

Ada orang yang seperti itu, kalau marah semua dikeluarkan, uneg-unegnya dan tidak ada batas, tidak ada pagar, tidak ada rem, benar-benar itu seperti rudal yang dilontarkan tidak bisa ditarik kembali, nah itu tidak benar. Ada orang yang berprinsip: "O.....saya orangnya hanya marah pada saat itu saja, setelahnya saya tidak marah lagi." Nah saya juga mau mengoreksi sikap seperti ini, karena ada orang yang beranggapan marah seperti itu tidak apa-apa sebab waktu kita marah kita semaunya marah, kita seperti menuangkan tong sampah ke kepala pasangan kita. Terus kita berkata nah sekarang tong sampah saya sudah bersih, ya betul tong sampah kita sudah bersih tapi kepala siapa yang sekarang penuh sampah, nah bukankah pasangan kita. Nah, orang tidak bisa terus-menerus menjadi tong sampah yang baru, maka meskipun kita boleh mengutarakan perasaan kita, kemarahan kita tapi jangan semua hal jadi bahan keributan dan kalau mau ribut benar-benar seenaknya, seenak perutnya. Otak mau mengatakan apa, dikatakan; suara mau sekeras apa, dikeraskan; tangan mau sejauh apa menampar atau memukul, dibiarkan; nah itu memang benar-benar sudah sangat keliru.
WL : Pak Paul, ada orang tertentu yang kalau belum dikeluarkan semua itu belum lega, apakah maksudnya sisa-sisa dari yang kita keluarkan ini kita keluarkan ke teman dekat atau bagaimana solusinya Pak Paul?

PG : Memang ada anggapan kalau marah, emosi harus dikeluarkan, itu ada betulnya. Ada orang yang seperti itu, tapi teori itu tidak sepenuhnya benar karena apa, karena semua kemarahan melewati prses waktu akan pudar dengan sendirinya.

Kita adalah manusia yang tidak didisain oleh Tuhan untuk marah 24 jam sehari dan 365 hari, tidak, kita hanya mampu marah maksimal 1 jam. Setelah 1 jam itu secara alamiah memang tubuh kita, emosi kita, saraf kita itu akan mengalami penurunan, pengendoran dengan sendirinya. Tanpa berbuat apa-apa amarah kita akan turun sekali lagi kita memang tidak didisain dengan kapasitas untuk marah secara intens 24 jam, tidak, kita marah 1 jam maksimal 2 jam setelah itu secara alamiah akan menurun. Jadi apa yang bisa kita lakukan sewaktu kita marah sekali, nomor satu memang kalau kita tahu tabiat kita, kita ini pemarah dan susah sekali mengontrol amarah maka jangan keluarkan perkataan apapun. Karena apa, kalau tabiat kita pemarah dan suka meledak, satu perkataan keluar dari mulut kita itu seperti senapan mesin tidak bisa berhenti sampai benar-benar puas. Maka kalau kita tahu diri kita seperti itu kalau bisa tenangkan diri, kita berkata kepada pasangan kita: "Waktu saya terlalu marah, kamu diam, saya juga akan diam, sebab kalau kamu bicara saya terpancing bicara kita akan ribut besar dan saya takut nanti saya bisa melukai kamu, jadi kamu diam, kalau kamu melihat saya sudah begitu marah kamu diam. Nah saya akan keluar rumah sebentar, saya akan keluar ruangan sebentar, saya akan ke pekarangan sebentar, saya akan masuk kamar sebentar, kamu jangan kejar saya. (Ada pasangan itu yang benar-benar seperti kucing mau melawan tikus, tikus itu mau dikejar-kejar, jangan.) Kalau pasangan berkata jangan ikuti saya, kamu diam di situ saya masuk ke kamar, beri saya waktu 1 jam atau 2 jam, saya sudah tenang baru saya bisa berbicara kembali." Nah, jadi itu yang bisa dilakukan, jadi sebetulnya tidak harus kita melampiaskan kemarahan baru reda. Tidak, kemarahan dengan sendirinya akan reda asal tidak dirangsang lagi untuk marah.
GS : Tapi ada pasangan dalam hal ini suami yang marah dengan hebat sekali sehingga istrinya menangis, tapi kemarahan itu belum semuanya tersampaikan karena melihat istrinya menangis, langsung luruh, marahnya langsung selesai.

PG : Ada baiknya dalam kasus seperti itu biarkan luluh, setelah luluh, setelah dua-duanya tenang, dua-dua harus berdialog. Pada kesempatan yang lampau kita membicarakan mengenai cara menghindar konflik salah satu kuncinya adalah dialog.

Ini yang diperlukan tetap harus berdialog meskipun amarah sudah reda. Nah kadang-kadang yang terjadi seperti ini Pak Gunawan, orang-orang yang seperti ini karena istrinya menangis, dia diam, sudah tidak dibicarakan lagi seperti seolah-olah problemnya lenyap dengan sendirinya. O.....tidak, kalau memang masih ada problem sebaiknya dibicarakan di kesempatan yang berbeda.
GS : Mungkin dikhawatirkan nanti kalau berbicara itu lagi mengakibatkan marah lagi atau nangis lagi.

PG : Kalau sudah beda waktunya kemungkinan besar reaksinya tidak sama karena suasana sudah berbeda, suhu, emosi sudah menurun. Nah yang berikutnya adalah nasihat Norman Wright yang keempat seraglah masalahnya bukan orangnya.

Kalau kita sedang berkonflik lama-kelamaan kita mengalihkan sasaran konflik kita. Awalnya objeknya atau sasarannya adalah materi, persoalan itu sendiri tapi lama-kelamaan kita marah kita menyerang orangnya. Muncul perkataan-perkataan seperti kamu begini, kami begitu, kamu tolol, belum lagi kata-kata kebon binatang yang lainnya. Kalau itu yang terjadi berarti kita tidak lagi membahas masalah, kita sedang mencoba menghancurkan diri pasangan kita. Maka nasihat Norman wright sangat baik, jangan serang orang seranglah masalahnya itu sendiri.
GS : Mungkin yang lebih konkret itu memang orangnya Pak Paul, masalahnya ini yang kita mesti berusaha mengkonkretkan masalah itu tadi.

PG : Tepat sekali, jadi kita memang mesti mempunyai bukti yang jelas sehingga argumen kita berlandaskan fakta tidak hanya menduga-duga. Jadi mengkonkretkan itu penting sekali.

WL : Pak Paul, ada orang yang memang misalnya kita tidak bermaksud menyerang dia, kita sedang membahas masalah tapi dia merasa dirinya yang diserang. Reaksinya ya memang saya jelek, gini, gini, jadi masalah semakin rumit Pak Paul?

PG : Kasus seperti itu sebaiknya setelah kemarahan itu mulai meledak, kita baik-baik bertanya kepadanya apakah yang saya katakan tadi itu memancing reaksimu, seolah-olah kamu diserang misalnya ia bilang ya.

Kata-kata yang mana membuat kamu merasa diserang oleh saya, sebab saya tidak berniat seperti itu nah biarkan dia menjelaskan. Sering kali ada kata atau istilah yang kita gunakan yang baginya disalahartikan olehnya sebagai penyerangan sehingga membuat dia defensif. Namun saya harus akui ini Ibu Wulan, ada orang yang super sensitif, peka sekali tidak boleh menerima kritikan secuil pun, ada orang yang seperti itu juga. Jadi begitu dia diberikan sedikit kritikan atau apa wah dia merasa seolah-olah dia sudah diserang habis-habisan. Nah kalau itu yang terjadi kita mesti berbicara dengan dia di kesempatan yang berbeda, jangan pada saat itu juga. Kalau saat itu juga problemnya itu makin melebar. Dalam kesempatan yang berbeda kita bicara-bicara dengan dia kita katakan saya agak sulit mengutarakan keluhan saya atau apa karena reaksimu begini, padahal niat saya tidak begitu. Bisa atau tidak kalau kamu dengarkan dulu, setelah kamu dengarkan, pikirkan baru kamu jawab. Sebab pada waktu kamu jawab dengan tergesa-gesa sebetulnya itu mencerminkan niat kamu yang hendak membenarkan diri, tidak bisa menerima atau mendengarkan masukan saya sama sekali. Nah yang kelima adalah jangan lari dari pokok pembicaraan, ini berkaitan dengan yang telah kita bicarakan tadi. Kalau kita sudah mulai terdesak, kita merasa mulai kalah kita munculkan materi yang baru. Kamu juga berbuat begitu dulu, kamu juga pernah berbuat begini dulu, akhirnya yang sekarang sedang dibahas tidak selesai karena sudah memunculkan lagi problem yang lain, nah itu biasanya yang kita lakukan. Bahkan Norman Wright berkata fokus pada satu yang satu, yang lain nanti jangan munculkan yang lain untuk membela diri, membenarkan tindakan kita, jangan. Yang satu dulu itu dibereskan jangan lari dari pokok pembicaraan.
WL : Mungkin karena banyak masalah yang dulu tidak selesai-selesai seperti yang Pak Gunawan cerita tadi.

PG : Betul.

GS : Atau kita tidak mau membicarakan masalah itu Pak Paul, saya anggap itu juga melarikan diri dari persoalan.

PG : Ya, itu sama, itu salah satu bentuk dari melarikan diri. Kita menutup diri dengan berbagai cara. Ada orang yang berteriak keras sehingga pasangannya tidak mau membicarakan itu lagi. Yang kenam, jangan mengatakan engkau tak pernah.

Norman Wright saya kira memberikan nasihat yang sangat baik di sini, sering kali dalam kemarahan kita berkata kamu tidak pernah mencintai saya, kamu tidak pernah memikirkan saya dan sebagainya. Nah perkataan tidak pernah itu sering kali tidak akurat, siapakah orang di dunia ini yang tidak pernah sama sekali, ya jarang. Ya mungkin dia lupa tapi apakah selalu lupa, juga tidak. Jadi kata selalu, tidak pernah, sedapatnya ditiadakan atau dihilangkan dalam konflik sebab kalau kita masukkan kosa kata tidak pernah, selalu begini, itu membuat pasangan kita merasa saya sudah mencoba, saya pernah melakukannya, tapi kok tidak diperhitungkan, buat apa saya melakukannya lagi lebih baik tidak kita lakukan sama sekali. Nah akhirnya kita mematahkan semangat orang untuk memperbaiki dirinya atau memperbaiki relasi dengan kita. Jadi jangan menggunakan kata-kata kamu selalu begini atau kamu tidak pernah begini, itu kita buang dari kosa kata kita.
GS : Bagaimana Pak Paul, kalau kita itu ingin menyampaikan satu kritikan terhadap pasangan kita?

PG : Norman Wright memberikan masukan yang bagus yaitu yang ketujuh, jangan menggunakan kritikan sebagai lelucon. Adakalanya orang itu menggabungkan keduanya, jadi waktu mau mengkritik kemudianmenggunakan guyonan.

Orang sering kali kalau diguyonkan dalam bentuk kritikan itu merasa dihina sekali, lebih baik kalau kritik ya sampaikan kritik. Ada hal yang mengganjal saya ingin katakan kepadamu, jangan kita sedang mengatakannya kita guyonkan sehingga kita ketawa-ketawa, benar-benar itu bisa ditanggapi sebagai penghinaan.
WL : Sindiran juga ya Pak Paul?

PG : Atau sindiran betul sekali, meskipun kita tidak marah tapi sindiran itu bisa benar-benar menusuk hati orang dan membuat orang menjadi marah. Waktu pasangan kita marah kita tercengang dan brkata kok kamu marah, ya pasti orang disindir siapa yang tidak marah.

WL : Kadang-kadang waktu ada tamu pas lagi kena pembicaraan ini langsung si suami menyindir dengan satu kalimat yang benar-benar membuat muka istrinya merah.

PG : Betul, kebiasaan seperti ini ada bahayanya, misalnya lain kali kita memang sungguh-sungguh ingin guyonan, ingin lelucon menggunakan humor disalahartikan oleh pasangan kita. Dianggap kamu lgi menertawakan saya, kenapa sampai pasangan kita keliru menafsir karena di masa lampau kita mencampuradukkan keduanya itu.

Jadi sebisanya keduanya dipisahkan, guyon ya guyon, bercanda ya bercanda, kritik ya kritik.
GS : Atau disampaikan dengan kata-kata yang baik bukankah itu bisa diterima, Pak Paul?

PG : Betul, kritikan kita mencoba menggunakan kata-kata saya, saya melihat ini sepertinya saya kurang bisa menerima hal ini, sebisanya hindarkan kata-kata engkau, engkau, kamu sih, kamu sih. Orng dikatakan kamu sih, kamu sih ya akan defensif karena merasa diserang jadi hindarkan kata-kata itu.

GS : Tapi tadi Bu Wulan menampilkan sesuatu yang baik yaitu pada saat ada banyak tamu, berarti situasi pada saat itu atau kondisi pada saat itu sangat menentukan bagaimana kita menyampaikan sesuatu kepada pasangan kita, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, maka Norman Wright memberikan nasihat berikutnya yaitu siapkan suasana, tempat dan waktu untuk menyatakan ketidaksetujuan kita. Jadi orang yang tidak bijaksana adlah orang yang marah kapan saja dia mau marah, orang yang bijaksana bisa membedakan, melihat cocok atau tidak waktunya ini, tepat atau tidak, kalau kurang ya kita pilihkan waktu yang lebih cocok.

Misalkan dalam rumah tangga saya, saya dengan istri kebanyakan membicarakan (kalau ada hal-hal yang perlu kami bicarakan dengan lebih serius) pada malam hari. Kenapa pada malam hari, karena pada malam hari saya dan istri dalam kondisi yang memang sudah mulai lemah, ingin tidur dan sebagainya, letih kami sudah mulai kami tinggalkan, kami siap untuk tidur, kami tidak terlalu tegang lagi. Nah biasanya waktu seperti itulah yang paling pas untuk kami, untuk berbicara hal-hal yang lebih serius. Ada orang yang sengaja berbicara sewaktu anak-anaknya keluar dari rumah, sebab memang betul kalau kita sedang membicarakan hal-hal yang serius yang menegangkan kita, yang membuat kita jengkel, anak di luar teriak sini, teriak sana, banting ini, banting itu, aduh.....tambah jengkel.
GS : Pak Paul, ada orang kalau marah dengan pasangannya di kamar, tetapi anak-anak langsung tahu kalau di kamar itu pasti marah.

PG : Maksudnya kalau di kamar pasti lagi bertengkar, ada konflik ya.

GS : Ya pasti bertengkar.

PG : Tapi kalau dalam batas masih wajar tidak banting-membanting memecahkan barang, saya kira itu adalah justru hal yang sehat untuk dilihat oleh anak bahwa ayah-ibu bisa bertengkar dan ternyat pertengkaran itu terbatasi di dalam kamar saja, keluar kamar mereka sudah biasa lagi.

Yang kesembilan adalah sediakan jalan pemecahan bagi setiap kritikan yang kita lontarkan, nah ini nasihat yang baik. Orang lebih cenderung mendengarkan kritikan kita kalau kita juga menyisipkan solusi, masukan, jalan keluarnya. Nah ini memberikan kesan kepada pasangan bahwa kita berniat membangun relasi kita, kalau kita hanya melontarkan kritikan seolah-olah ditanggapi oleh pasangan kita, kita ini hanya tertarik untuk melukai dia, menyakiti hati dia. Dengan kita memberikan jalan keluar, memikirkan solusinya dia akan menangkap konsep kebersamaan bahwa kita mau membangun relasi ini. Dan yang terakhir adalah kalau salah akuilah, apabila benar diamlah. Kalau salah ya akui tapi kalau kita benar jangan kita bangkit-bangkitkan, "'Kan saya bilang apa, 'kan saya bilang apa," lama-lama orang yang tadinya mau mengakui "memang saya keliru", karena ditekan-tekan seperti itu malah makin dia marah dan tidak terima.
GS : Itu merasa diungkit-ungkit kesalahannya itu Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Dalam hal menangani konflik ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang dijadikan pegangan?

PG : Saya akan bacarakan dari Efesus 4:29-32, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, (dalam konflik jangan gunakan perkataan kotor) tetapi pakailah perkataan yang baik(kita pilih kata-kata kita) untuk membangun, (dalam konflik tujuannya bukan menghancurkan tapi membangun) di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia (jadi dalam konflik pun tujuan kita membangun, agar pasangan kita memperoleh kasih karunia).

Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan, segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Jadi pada akhirnya Tuhan meminta kita mengampuni, Tuhan pun berkata kalau kita tidak bisa mengampuni sesama kita, saudara kita, Allah Bapa juga tidak mengampuni kita. Sebab mengampuni adalah suatu karakter Allah yang paling utama, jadi kalau kita mengaku kita anak Allah kita pun harus bisa mengampuni orang.

GS : Ya memang kita sangat sulit untuk menghindari terjadinya konflik dalam suatu keluarga, tetapi masalahnya bagaimana kita menangani konflik itu dan menyelesaikannya dengan baik sesuai dengan kebenaran firman Tuhan ini. Terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk kesempatan perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pedoman Menyelesaikan Konflik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



4. Saling Ketergantungan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T009B (File MP3 T009B)


Abstrak:

Topik ini membahas tentang saling ketergantungan antara suami dan istri. Dan dalam hal ini suami lebih senang kalau dia disandari istrinya. Ketika dia merasa istri tidak begitu bergantung kepadanya dia akan panik.


Ringkasan:

Pada masa dulu wanita atau istri cenderung bergantung pada suami khususnya bergantung pada penyediaan finansial dari suami. Dan tidak bisa disangkali, siapa yang memegang uang itulah yang berkuasa, ini hukum yang pada saat itu berlaku dalam keluarga. Karena itulah mengapa ada kasus di mana suami merasa kurang aman sewaktu istrinya mempunyai penghasilan yang lebih besar darinya. Meski istri tidak mengancam atau merendahkan suami, namun secara psikologis suami sudah merasa tidaklah terlalu berharga. Karena apa karena suami tidak merasa istri bergantung padanya. Sewaktu istri tak terlalu bersandar padanya, suami akan merasa panik karena tiba-tiba dia merasa kehilangan peran, kehilangan sumbang sih dalam hubungan suami-istri.

Suatu istilah di dalam ilmu konseling keluarga yang disebut co-dependence yang diterjemahkan seolah-olah saling bergantung namun istilah ini justru sarat dengan muatan yang berbau negatif. Maksudnya istilah ini sebetulnya merujuk pada keadaan di mana sepasang suami-istri gagal untuk melihat realitas secara gamblang apa adanya. Dan malah mencoba menutup-nutupi realitas tertentu atau aspek tertentu agar tidak menjadi problem dalam hubungan mereka. Contoh : si suami yang diminta datang ke pesta ulang tahun anaknya tidak datang, misalnya mabuk tetapi istri berkata pada orang-orang, suami saya berhalangan ada urusan kerja lembur dan sebagainya. Jadi di sini si istri justru menutupi problem si suami sehingga orang di luar tidak bisa masuk dan menolong rumah tangganya yang sebetulnya sedang dilanda problem yang serius itu.

Yang seharusnya dilakukan istri adalah:

  1. Meminta bantuan dari luar, jadi harus mengatakan bahwa rumah tangganya sedang ada problem.

Kenapa sedikit orang yang bisa berani keluar dan mengatakan kami butuh bantuan, sebab pernikahan kami sedang dilanda problem. Ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sbk:

Faktor-faktor yang sehat adalah:

  1. Karena faktor malu
  2. Faktor putus asa
  3. Faktor gengsi
  4. Faktor ingin membenarkan diri

Faktor lain yang tidak sehat, istilah teknisnya dalam ilmu konseling pernikahan disebut enabling yang adalah memungkinkan, memampukan pasangan untuk terus bertindak hal yang tidak benar dengan menutupi tindakan pasangannya atau tidak sungguh-sungguh mengambil tindakan yang tegas memberitahu orang di luar meminta bantuan ke orang ketiga. Karena istri pun mempunyai kebutuhan tertentu, di sinilah hubungan tersebut di sebut co-dependence, saling tergantung untuk memenuhi kebutuhan masing-masing yang terselubung, di mana kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang tidak sehat.

Ketergantungan menurut Efesus 5 dengan jelas Tuhan meminta istri untuk tunduk kepada suami dan suami berfungsi sebagai seorang kepala. Memang ada ketergantungan tapi yang memang seharusnya, karena sebagai kepala, suami diminta bukan memerintah tapi justru yang lebih penting adalah suami bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarganya.

Langkah yang dapat dilakukan pasangan suami-istri dalam membina hubungan yang sehat adalah sbb:

  1. Berani melihat kekurangan dalam hubungan nikah atau hubungan pacaran kita.

Antara orang tua dan anak pun bisa terjadi ketergantungan yang tidak sehat contohnya Daud dan Absalom.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen selama ± 30 menit akan menemani saudara dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Telah hadir bersama saya Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling yang kini aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Juga telah hadir bersama kami Ibu Idajanti Raharjo salah seorang pengurus di LBKK. Ikutilah perbincangan kami, karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.

Lengkap
GS : Pak Paul kali ini saya ingin mengemukakan sebuah perbincangan tentang ketergantungan antara suami dan istri. Kita tahu bahwa beberapa puluh tahun yang lalu mungkin ibu saya misalnya atau nenek saya itu sebagai seorang wanita sangat-sangat tergantung pada suaminya, lalu keadaannya sekarang rupanya tidak seperti itu lagi dengan majunya pendidikan dan sebagainya, rasa-rasanya istri tidak terlalu bergantung pada suaminya dia bisa mandiri tanpa suami sekalipun, dan suami sebagai pria itu juga kadang-kadang tidak merasa terlalu tergantung dengan istri. Jadi sebenarnya bagaimana Pak Paul mengenai saling ketergantungan antara suami dan istri dalam hal ini?

PG : Memang pada masa yang dulu Pak Gunawan wanita atau istri cenderung bergantung pada suami karena mereka sangat bergantung pada penyediaan finansial dari suami. Dan tidak bisa disangkal bahw siapa yang memegang uang itulah yang berkuasa, jadi itupun atau hukum ini pun berlaku dalam keluarga.

Itulah salah satu sebabnya mengapa ada kasus di mana suami merasa kurang aman Pak Gunawan sewaktu istrinya mempunyai penghasilan yang lebih besar darinya. Meskipun si istri sendiri tidak mengancam atau merendahkan si suami, namun secara psikologis si suami sudah merasa dia itu tidaklah terlalu berharga. Karena apa karena dia tidak merasa si istri itu bergantung padanya, jadi merasa sedikit minder Pak Gunawan, sebab suami itu ingin sekali menjadi orang yang digantungi, disandari. Sewaktu istri itu tak terlalu bersandar padanya suami bisa merasa panik karena tiba-tiba dia merasa kehilangan peran, kehilangan sumbang sih dalam hubungan suami-istri ini.
(1) GS : Di dalam hal ini sebenarnya bagaimana hubungan yang sehat antara suami dan istri Pak Paul?

PG : OK! Istilah saling bergantung itu bisa menjadi istilah yang tidak sehat Pak Gunawan. Memang istilah saling bergantung adalah suatu istilah yang baik ya yang serasi, yang seharusnya. Namun isa menjadi sesuatu yang tidak sehat, sebetulnya sekarang ada suatu istilah di dalam ilmu konseling keluarga, istilah itu disebut co-dependence.

Co-dependence memang dapat diterjemahkan seolah-olah saling bergantung, namun co-dependence dalam ilmu konseling keluarga justru adalah istilah yang sarat dengan muatan yang berbau negatif. Maksudnya begini, istilah itu sebetulnya merujuk pada keadaan di mana sepasang suami-istri gagal untuk melihat realitas, secara gamblang apa adanya. Dan malah mencoba menutup-nutupi realitas tertentu atau aspek tertentu agar tidak menjadi problem dalam hubungan mereka itu. Namun sesungguhnya dengan menutup-nutupinya itu sudah menjadi problem yang bisa lebih serius, misalkan ini Pak Gunawan, saya mengingat waktu dulu saya bekerja di sebuah Rumah sakit jiwa, ada bagian yang merawat orang-orang yang bergantung pada obat-obatan terlarang dan juga alkohol atau minuman keras. Nah itu sangat nampak sekali kasus-kasus di mana terjadi kesalingbergantungan yang tidak sehat atau co-dependence yang tidak baik. Di mana misalkan si suami yang mengidap masalah dengan alkoholisme, bergantung pada minuman keras dia itu akhirnya mempunyai istri yang juga bekerja sama dengan dia sehingga problemnya itu dilestarikan. Contoh konkretnya begini Pak Gunawan dan Ibu Ida, si suami itu kalau diminta datang ke pesta ulang tahun anaknya atau istrinya tidak mau datang atau tidak bisa datang. Karena misalnya mabuk habis minum, nah si istri akan berkata kepada orang-orang di luar o......suami saya berhalangan, karena ada urusan kerja, lembur dan sebagainya atau misalkan ditanya oleh temannya kok suamimu itu nampaknya minum dan tidak begitu sehat, tidak begitu betul tindakannya. Nah si istri misalkan justru menutupi dengan berkata o....suami saya tidak apa-apa, nah jadi hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa si istri tanpa direncanakan dan tanpa dia sadari sebetulnya sedang bekerja sama dengan si suami untuk menutupi problem si suami dan akhirnya malah melestarikan problem si suami itu. Sehingga orang luar tidak bisa masuk dan menolong rumah tangganya yang sebetulnya sedang dilanda problem yang serius begitu.
IR : Nah sebenarnya langkah apa yang harus diambil oleh si istri untuk menolongnya?

PG : Yang paling umum dilakukan oleh istri biasanya adalah seperti yang tadi saya gambarkan Ibu Ida. Pada awalnya si istri ini akan mencoba menutupi, dalam usahanya menutupi dia memang mencoba engoreksi, menolong si suami agar jangan bergantung pada minuman keras misalnya.

Tapi si suami tetap saja melanjutkan kebiasaannya, nah akhirnya si istri ini seharusnya meminta bantuan ke luar, jadi harus mengatakan bahwa dalam rumah tangga saya ada problem, problemnya terletak pada suami saya yang minum seperti ini. Nah pertanyaannya adalah kenapa kok sedikit sekali orang yang bisa berani ke luar dan mengatakan kami membutuhkan bantuan, sebab pernikahan kami sedang dilanda problem. Banyak faktor Bu Ida, misalkan ada faktor malu, faktor nanti orang melecehkan kami, menghina kami atau faktor putus asa buat apa cerita sama orang lain, mereka pun tidak bisa membantu, akhirnya hanya jadi bahan percakapan masyarakat saja. Dan juga adakalanya gengsi, harga diri, nanti jadi terhina gara-gara menceritakan problem kami, jadi akhirnya gengsi juga. Misalkan faktor lain yang bisa juga muncul adalah faktor ingin membetulkan diri sebab adakalanya pernikahan ini tidak disetujui oleh keluarganya kemudian dia tetap keras menikah dengan pria ini akhirnya setelah menikah baru benar-benar menyadari suaminya itu bermasalah besar. Nah akhirnya yang terjadi adalah si istri menutupi supaya apa, supaya keluarganya tidak tahu bahwa dia sedang mempunyai problem. Sebab kalau diketahui oleh keluarganya, keluarganya bisa mungkin berkata: 'Kan dari dulu kami sudah beritahu kamu jangan menikah dengan dia." Nah daripada di salahkan dan mengakui bahwa dia salah pilih ya sudah dia tutup-tutupi. Semua yang saya paparkan tadi adalah alasan-alasan yang relatif sehat, ada satu alasan lain yang tidak sehat nah istilah teknisnya dalam ilmu konseling pernikahan disebut enabling. Enabling itu kalau saya terjemahkan langsung adalah memungkinkan, memampukan, artinya ada kasus di mana misalkan si istri, si istri ini juga membutuhkan sesuatu dari si suami yaitu dia butuh sekali dihargai, dibutuhkan bantuannya, sumbangsihnya. Nah sewaktu si suami ini mabuk, tidak bisa berfungsi dengan baik nah sedikit banyak si suami ini sebetulnya bergantung pada dia, pada si istri. Nah akhirnya si istri tanpa disadari melakukan hal-hal yang memampukan si suami untuk melanjutkan perbuatannya itu yang tidak benar yaitu terus minum. Memampukannya dengan cara apa, misalkan tadi itu menutupi atau tidak sungguh-sungguh mengambil tindakan yang tegas memberitahu orang di luar, meminta bantuan ke orang ketiga dan sebagainya. Sebab kalau benar-benar merasa ini tidak benar harus diselesaikan 'kan lebih masuk akal adalah dia akan ke luar, memberitahu orang di luar, meminta bantuan pihak ketiga tapi toh itu tidak dilakukannya. Nah bisa jadi karena faktor itu, faktor bahwa si istri sendiri mempunyai kebutuhan tertentu, maka di sinilah hubungan ini disebut hubungan yang co-dependen saling tergantung untuk memenuhi kebutuhan masing-masing yang terselubung, di mana kebutuhan itu kebutuhan yang tidak sehat.
GS : Tapi kebutuhan antara suami dan istri itu beda ya Pak, jadi yang suami memang butuh perlindungan istrinya tapi istri itu punya kebutuhan untuk melindungi suaminya itu.

PG : Betul, jadi si istri ini mendapatkan atau menemukan fungsinya dengan menutupi kesalahan si suami atau lebih bisa berfungsi sebagai seorang istri karena suaminya tidak begitu berfungsi secaa maksimal, nah dia merasa lebih berfungsi, lebih berguna dan peranan itu menjadi peranan yang sangat berharga bagi dia.

GS : Gejala seperti itu justru nampak pada akhir-akhir ini Pak Paul, pada abad-abad yang modern. Karena pernikahan-pernikahan yang tradisional yang lama itu justru tidak menampakkan gejala-gejala seperti itu Pak Paul.

PG : Betul, karena memang dapat dikatakan pernikahan-pernikahan yang tradisional yang dulu-dulu itu relatif jauh lebih kokoh dibandingkan dengan sekarang ini. Jadi banyak faktor yang sebetulnyabisa kita bahas yang mempengaruhi keadaan atau kekuatan pernikahan sekarang ini.

(2) GS : Nah sekarang kalau kita kembali kepada Alkitab, kepada Kitab Suci sebenarnya bagaimana Tuhan itu merancang suatu pernikahan supaya ketergantungan itu sehat Pak Paul?

PG : Di Firman Tuhan di kitab Efesus 5 itu tercantum dengan sangat jelas disain Tuhan akan pernikahan Pak Gunawan. Dan di sana Tuhan memang meminta istri untuk tunduk kepada suami dan suami it berfungsi sebagai seorang kepala.

Jadi sekali lagi memang ada ketergantungan, tapi ketergantungan yang memang seharusnya karena sebagai kepala suami ini diminta bukan saja memerintah keluarga, tidak sama sekali tapi justru penekanannya yang lebih penting di situ adalah bahwa suami itu bertanggung jawab terhadap atas kesejahteraan keluarganya. Nah adakalanya memang kita melihat ayat-ayat tersebut dari sudut wah suami itu harus memerintah, harus mempunyai kuasa tertinggi di rumah tangga. Sebetulnya memang ada dan memang itu betul harus ada yang mengambil keputusan terakhir dan harus ada yang dihormati sebagai seorang kepala, namun termaktub dalam peran tersebut adalah tanggung jawab bahwa suami diminta Tuhan untuk bertanggung jawab atas istrinya. Sebab itulah diminta oleh Tuhan agar suami itu mengikuti contoh Tuhan Yesus, di mana Tuhan Yesus itu mempersembahkan gerejanya sebagai suatu pengantin perempuan yang tanpa cacat, yang indah, benar-benar cantik. Dalam pengertian itulah tugas kita sebagai suami memang menjaga istri kita agar menjadi seorang anak Tuhan yang utuh, yang bertumbuh dan yang matang.
(3) GS : Tapi untuk menuju ke sana Pak Paul, tentunya harus ada langkah-langkah yang konkret yang bisa dimulai sejak awal pernikahan Pak Paul. Nah mungkin yang kami butuhkan itu mungkin Pak Paul bisa memberikan sedikit uraian bagaimana suami-istri muda khususnya itu bisa membina ke arah itu Pak Paul?

PG : OK! Saya kira langkah pertama yang paling penting adalah kita mesti berani melihat kekurangan dalam hubungan kita, dalam hubungan nikah kita atau pacaran kita. Ada kecenderungan Pak Gunawa dan Ibu Ida kita ini menutup-nutupi problem dalam masa berpacaran, karena jelas sekali alasannya kita menginginkan kita bisa bersama dengan pacar kita, jadi semakin mengakui problem semakin kita ini sebetulnya menghalangi diri untuk bersama dengan dia.

Jadi kecenderungan yang natural adalah menutup mata, tapi yang penting justru adalah kebalikannya, kita mesti mengakui siapa kita, siapa pacar kita dan bagaimana hubungan kita ini sebetulnya. Saya bisa memberikan suatu contoh yang sering terjadi Pak Gunawan, misalkan seorang istri pada awal pernikahan atau pada masa berpacaran disenangi sekali oleh suami karena pendiam, penurut, dan mengikuti petunjuk si suami. Tapi setelah 10 tahun menikah si suami tidak lagi mempunyai rasa senang dengan sifat si istri yang terus-menerus diam dan menantikan petunjuk darinya. Sebab apa, sebab ada harapan dalam diri si suami agar si istri ini mandiri, bisa mengambil keputusan sendiri, tidak terlalu bergantung pada si suami dan tidak bertanya kepada si suami atas segala problem dalam hidup ini. Tapi bisa jadi si istri tidak mau begitu sebab dia terbiasa dengan perannya yang bergantung pada si suami. Nah sering kali hal ini sebetulnya sudah nampak dari awalnya tapi tidak mau diakui sebagai problem meskipun adakalanya mengganggu tapi diabaikan. Jadi langkah pertama kita mesti berani melihat realitas Pak Gunawan.
GS : Mungkin harapannya adalah nanti kalau sesudah menikah itu bisa berubah begitu Pak Paul?

PG : Betul itu harapan yang sering kali kita miliki, namun belum tentu kesampaian Pak Gunawan. Kalau kesampaian ya bagus, jadi saya kira bagi pasangan nikah yang sekarang mendengar kita, saya hnya mengimbau agar siapapun yang mendengar mulai melakukan tindakan yang konkret yaitu kalau ada problem akui problem itu jangan ditutup-tutupi, jangan tidak mau mengakui keberadaannya.

Adakalanya si suami tidak mau ngomong langsung dengan si istri meskipun ini mengganggu dia, karena diapun mendapatkan manfaat dari ketergantungan si istri Pak Gunawan dan Ibu Ida yaitu dia merasa saya ini tetap menjadi raja, saya ini tetap menjadi penguasa di rumah tangga saya. Saya bisa memerintah istri saya kiri, kanan dan sebagainya dan istri saya tidak bisa membantah saya. Nah justru adakalanya ada kecenderungan dari si suami juga mempertahankan status quo, status yang sama ini agar keinginannya juga terpenuhi begitu. Dan hal ini tidak sehat juga sebetulnya, jadi saling menguntungkan dalam hal yang justru tidak sehat.
GS : Di dalam hal saling ketergantungan ini, yang Pak Paul tadi sebut dengan co-dependence itu mungkin tidak hanya terjadi antara suami dan istri, kemungkinan juga terjadi antara orang tua dan anak, apa mungkin itu Pak Paul?

PG : Mungkin sekali Pak Gunawan, jadi co-dependence ini bisa terjalin dalam hubungan orang tua-anak. Orang tua yang bergantung pada anak misalnya ada orang tua yang meskipun sudah tua tapi (maa ya saya menggunakan kata/istilah kekanak-kanakan) ada itu, yakni segala sesuatu salah orang lain, segala sesuatu tanggung jawab orang lain.

Nah sekarang segala sesuatu tanggung jawab si anak, kalau misalnya si anak mulai memberikan sikap yang lebih tegas, nanti si orang tua yang istilahnya ngambek, terluka dan sedih dan sebagainya. Sehingga si anak serba susah tidak bisa menyatakan sikapnya, dengan kata lain sebetulnya si orang tua waktu mengambek itu dia sebetulnya sedang mengontrol si anak agar si anak tetap menjadi si anak, tapi karena dia tahu dia tidak bisa dengan level dewasa dengan level yang matang meminta si anak mengerti posisinya atau melakukan kehendaknya, jadi akhirnya menggunakan siasat atau cara yang kekanak-kanakan. Yaitu membuat anaknya merasa bersalah dan akibatnya si anak merasa tidak berkutik, ada orang tua yang seperti itu juga, jadi tidak juga menghadapi kenyataan. Ada anak yang begitu terhadap orang tuanya, segala sesuatu salah orang tua karena akhirnya anak ini tidak pernah dewasa juga. Jadi kalau orang tuanya melarang dia atau anak misalnya berkata: "Nanti kalau ada apa-apa salah mama, kalau ada apa-apa salah papa. Nah si orang tua takut sekali untuk mengambil tanggung jawab atau mengambil resiko itu, akhirnya si orang tua menuruti kehendak si anak. Akhirnya yang terjadi adalah hubungan yang co-dependence itu yang tidak sehat. Memang masalah-masalah ini Pak Gunawan dan Ibu Ida masalah yang komplek dan mungkin bagi sebagian orang istilah-istilah ini asing Pak Gunawan.
GS : Tapi kenyataannya memang seperti itu Pak Paul ada juga orang tua itu yang sekalipun tahu bahwa anaknya misalnya nakal sekali atau suka mencuri, tapi di mata atau di hadapan ibunya anak itu baik terus, jadi walaupun salah tetap dibela.
IR : Ya itu bagaimana Pak Paul, kalau dibiarkan terus si ibu yang tidak sadar ini 'kan tambah berantakan Pak Paul ya.

PG : Saya kira dalam kasus seperti ini kalau suami yang bicara susah didengar juga oleh si ibu, jadi kalau bisa panggillah orang ketiga yang bisa disegani dan nasihatnya bisa didengar. Sehinggasi ibu bisa disadarkan bahwa sebetulnya sudah terjadi suatu hubungan yang tidak sehat di sini karena engkau membuat si anak ini tetap jadi anak-anak, tak pernah dewasa begitu.

GS : Tapi apa kira-kira ibu itu bisa mengerti Pak Paul bahwa anaknya memang kondisinya sudah sejelek itu?

PG : Adakalanya ada yang tidak mengerti Pak Gunawan. Sebab terus terang Pak Gunawan dan Ibu Ida, realitas itu adakalanya terlalu pahit, jadi lebih baik kita tidak hidup dalam realitas daripada enelan realitas.

Realitas pahit sebab akhirnya akan menohok harga diri kita, bahwa kita telah melakukan hal yang keliru dan sebagai orang tua kita enggan sekali mengakui hal itu. Sebab ya kita orang tua sehingga kita sadar bahwa kita juga berusaha menjadi orang tua yang baik, dan tatkala telah mencoba menjadi orang tua yang baik selama berbelasan tahun akhirnya sadar kita keliru, susah untuk mengakuinya.
GS : Tapi itu harus diakui ya Pak Paul sebagai bagian dari pertumbuhan itu sendiri?

PG : Betul harus diakui, kalau tidak ada pengakuan, tidak ada perubahan Pak Gunawan, akhirnya terus dilestarikan sampai tua dan ini bisa terjadi memang dan mungkin terjadi juga.

IR : Nah Pak Paul kalau sudah diakui tapi karena konsep itu sudah terbentuk Pak Paul, bagaimana orang tua ini bisa meluruskan atau memperbaiki anak yang misalnya tadi nakal itu Pak Paul?

PG : Bisa terjadi anak itu sendiri yang akan meluruskannya dalam pengertian di dalam kenakalannya si anak itu akan menjadi semakin nakal sehingga tidak bisa tidak dunia luar akan melihat, semuaorang akan tahu dan akhirnya realitas itu tidak bisa lagi dihindari sehingga si orang tua terpaksa mengakui bahwa inilah yang sedang terjadi, bahwa dialah atau merekalah yang telah keliru.

Tapi bisa juga yang kedua adalah kesadaran ini muncul dari diri si orang tua dengan sendirinya. Pada waktu dia menyadari bahwa ya yang kami lakukan itu justru tidak berhasil malah membuat anak ini semakin terlibat dalam hal-hal yang tidak betul. Dan adakalanya ini yang terjadi Bu Ida dan Pak Gunawan, saya sudah melihat juga memang akhirnya ada orang tua yang sadar bahwa ini salah mereka tapi masalahnya adalah pada waktu mereka menyadari itu sudah terlambat. Anak itu sudah susah sekali untuk dikoreksi.
GS : Tapi katanya tidak ada kata yang terlambat Pak Paul, kalau memang mau sungguh-sungguh diperbaiki apalagi di dalam Tuhan, kuasaNya yang luar biasa itu akan memulihkan hubungan, baik hubungan suami-istri maupun orang tua dan anak itu Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, memang dalam kasus-kasus seperti ini nasihat yang kita semua bisa berikan kepada orang tua yang mengalami problem adalah kembalikan semuanya kepada Tuhan di dalamdoa kita.

Jadi ini juga berlaku untuk pasangan-pasangan yang co-dependence Pak Gunawan dan Ibu Ida, pasangan yang bergantung secara tidak sehat. Jadi mereka juga harus melihat problem, mengakui problem itu, memunculkan problem itu ke permukaan dan mencoba mencari bantuan agar bisa meluruskan kembali hubungan yang tidak sehat ini dan harus bayar harga, harus bayar harga dalam pengertian kita akan berkorban karena yang dulu kita bisa nikmati, keuntungan-keuntungan terselubung yang kita bisa petik sekarang harus kita lepaskan. Tapi itulah memang bagian dari pertumbuhan, Tuhan pun memang meminta agar kita ini tidak menjadi anak-anak terus-menerus.
GS : Saya ingat akan suatu kisah yang dicatat di Perjanjian Lama tentang Absalom anak Daud, Daud selalu berusaha menutupi kesalahan dari Absalom apakah itu salah satu bentuk konkret dari co-dependence itu Pak Paul?

PG : Saya sendiri tidak pernah terpikir ke situ Pak Gunawan, tapi itu adalah contoh yang sangat-sangat tepat Pak Gunawan itulah contoh co-dependence kebergantungan yang tidak sehat antara orangtua dan anak.

Betul sekali, Absalom selalu dilindungi, ditutupi kesalahannya oleh Daud dan akhirnya sangat fatal bahkan sampai Absalom mati pun Daud tetap menangisi Absalom dan tidak membela rakyatnya.
GS : Kelihatannya memang sulit untuk dipisahkan antara kasih yang membangun dan kasih yang merusak ini Pak Paul?

PG : Betul, dan saya menduga Daud melakukan itu karena rasa bersalahnya juga, memang Daud tidak menjadi seorang ayah yang baik.

GS : Jadi memang kita tetap saling membutuhkan, anak membutuhkan orang tua, orang tua membutuhkan anak, suami membutuhkan istri, istri membutuhkan suami tapi dalam batas-batas yang wajar begitu Pak Paul ya.

PG : Dengan catatan kita membutuhkan tanpa mengabaikan realitas.

GS : Realitas jadi kalau ada problem harus diakui itu sebagai problem, baik Pak Paul dan Ibu Ida saya rasa kita harus berhenti dahulu dengan perbincangan kita pada kali ini. Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi telah kami persembahkan ke hadapan anda sebuah perbincangan seputar keluarga khususnya masalah saling ketergantungan. Dan apabila anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang Jawa Timur. Saran-saran, pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan, terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



5. Menghargai dan Menerima Pasangan Kita


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T012B (File MP3 T012B)


Abstrak:

Rasa penghargaan terhadap pasangan kita itu sangat penting dalam hidup suami istri. Namun kadangkala hal ini bias merosot ketika waktu berjalan yang biasanya disebabkan karena kekaguman yang tipis terhadap pasangan.


Ringkasan:

Dr. James Dobson mengatakan bahwa hampir semua masalah rumah tangga diawali oleh mulai merosotnya respek terhadap pasangan kita. Respek itu sangat berkaitan dengan masalah-masalah lainnya dan bisa menjadi awal merosotnya hubungan kita dengan pasangan kita.

Respek itu sebetulnya harus dipupuk dari yang lebih sederhana yaitu kekaguman, menikahlah dengan orang yang kita kagumi.

Kekaguman menjadi modal tumbuhnya respek, namun kalau tidak ada kekaguman yang sungguh-sungguh kagum, itu tidak akan bertumbuh menjadi respek.

Menghargai atau respek pada pasangan kita harus muncul atau harus didasari atas satu faktor yaitu PENERIMAAN, kita mesti menerima pasangan kita apa adanya, baik kekurangan maupun kelebihannya. Setelah menikah kalau kekurangannya itu berubah makin hari makin baik yaitu bonus, kalau tidak berubah tetap terima. Dengan kata lain sewaktu kita mau menikah yang baik adalah kita justru tidak menitikberatkan pada pengharapan pasangan kita akan berubah.

Jadi faktor penerimaan diri pasangan itu adalah prasyarat munculnya respek, selama kita belum bisa menerima pasangan kita apa adanya tidak mungkin kita akan respek kepada pasangan kita.

Kebanyakan kita mempunyai satu pengharapan bahwa pernikahan kita akan membawa kebahagiaan, dalam pengertian membuat hidup kita lebih bahagia. Tidak, itu tidak tepat, Alkitab tidak pernah berkata bahwa pernikahan dimaksudkan untuk membawa kebahagiaan kepada 2 anak manusia. Sebab mencocokkan diri dan menyesuaikan diri dan hidup dengan orang yang berbeda tidak selalu membawa kita kepada kebahagiaan tapi yang sudah pasti adalah tatkala kita bisa bekerja sama dan meluruskan garis-garis yang bengkok, kita akan bertambah dewasa.

Dan sekali lagi yang Tuhan minta adalah seseorang bisa mengasihi istri atau suaminya sedemikian rupa seperti dia mengasihi dirinya sendiri.

Hal yang sangat perlu kita perhatikan agar kita dapat menghargai dan menerima pasangan kita adalah kita mesti kembali memikirkan dengan teliti dan mengingat kembali hal-hal apa yang kita sukai tentang pasangan kita. Dan kita juga mesti menyadari dan menerima bahwa seringkali dibalik faktor kekuatan terdapat faktor kelemahan. Misalnya kita menyukai seseorang karena orangnya tegar, tidak pantang menyerah. Setelah menikah baru kita sadari dibalik kekuatan tersebut terdapat sikap yang bebal, tidak mudah mendengarkan masukan, keras kepala, tidak bisa menghargai komentar atau saran dari kita.

Nah memang kita mesti menyadari bahwa ini semua dalam paket yang sama, jadi waktu kita menghargai itu berarti kita menghargai sisi yang kuatnya. Dan menerima berarti kita menerima sisi yang satunya yang tidak kita sukai.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghargai dan Menerima Pasangan Kita", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, hal-hal apa yang membuat seseorang itu bisa merosot rasa hormatnya terhadap pasangannya?

PG : Biasanya yang membuat kita akhirnya kehilangan respek kepada pasangan kita adalah kita melihat perbuatan-perbuatan pasangan kita yang benar-benar di bawah standar yang kita miliki. Sebeulnya kita itu memasuki pernikahan membawa nilai-nilai atau standar-standar sesuatu itu harus dilakukan seperti ini dengan cara ini.

Kita hidup harus seperti ini jangan seperti itu dan sebagainya. Sewaktu kita melihat pasangan kita melakukan berbagai hal dengan cara yang di bawah standar kita atau melakukan hal-hal yang kita anggap itu tidak boleh dilakukan, hilanglah respek kita kepadanya. Dan respek ini adalah hal yang penting dalam pernikahan. Saya teringat perkataan dr. James Dobson yang berkata bahwa hampir dapat dipastikan di dalam setiap rumah tangga yang bermasalah, terdapat masalah hilangnya respek. Dan menurut James Dobson problem muncul tatkala respek itu sudah mulai hilang, jadi dengan kata lain hilangnya respek mengawali munculnya masalah yang lebih besar dalam keluarga itu.
GS : Tetapi bukankah kalau ada hal-hal yang kurang berkenan di hati kita atas pasangan kita, kita bisa memberitahu dia?

PG : Biasanya itulah yang kita lakukan, kita mencoba mengkomunikasikan apa yang menjadi harapan kita, namun sudah tentu apa yang kita harapkan itu kadang-kadang tidak terlalu mudah untuk dipnuhi oleh pasangan kita, sebab bisa jadi dia sudah memiliki standar atau cara yang dia anggap benar.

Dan akhirnya karena tidak ketemu di tengah standar dia dan standar kita mulailah terjadi ketegangan. Waktu pasangan kita tidak berubah seperti yang kita harapkan, maka yang muncul adalah perasaan mengapa sampai begini, pasangan kita tidak mau menuruti yang kita inginkan, mengapa dia masih melakukan hal seperti itu, nah mulailah merosot respek kita kepadanya.
WL : Pak Paul tadi mengatakan bahwa setiap kita mempunyai satu set standar. Saya mengasumsikannya setiap kita sebaiknya menikah dengan orang yang memang dari awalnya respek atau kita kagumi, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, respek itu sebetulnya adalah buah dari atau kepanjangan dari kekaguman. Maka saya sering berkata kepada pasangan yang mau menikah atau remaja-pemuda, pilihlah pasangan hidp yang engkau respek, yang engkau hormati yaitu yang engkau kagumi.

Kalau dari awalnya engkau tidak memiliki kekaguman terhadapnya, setelah menikah engkau akan mengalami kesulitan mempertahankan respek terhadapnya, karena respek keluar atau kepanjangan dari kekaguman itu. Kekaguman terhadap apa, yaitu terhadap hal-hal atau karakteristik pada dirinya yang memang mulia, yang memang baik, yang memang membuat kita salut. Misalkan dia memiliki kesabaran yang begitu tinggi, nah itulah bahan kekaguman kita; dia memiliki sifat keibuan yang begitu kuat, itulah bahan kekaguman kita; dia mudah memaafkan, inilah bahan kekaguman kita; dia bisa tegas, ini bahan kekaguman kita; sebaiknya kekaguman kita memang tidak terbatas pada kekaguman fisik, karena kalau itu dasar kita maka kita akan mengalami bahaya juga. Sebab kekaguman fisik itu lama-lama bisa berkurang, tapi kekaguman terhadap karakter atau sifat-sifat orang itu biasanya memang tidak tererosi oleh usia maupun waktu.
GS : Apakah ada gejala-gejala atau tanda-tanda awal Pak Paul, ketika pasangan kita mulai tidak respek terhadap diri kita?

PG : Biasanya tanda yang paling jelas adalah sewaktu marah, kemarahan kita itu makin kasar, kalau kemarahan kita makin kasar biasanya itu pertanda respek sudah mulai berkurang.

WL : Pak Paul ada atau tidak perbedaan antara kebutuhan pria dan wanita untuk lebih dihargai. Saya pernah mendengar seorang pendeta mengatakan kalau laki-laki itu butuh dihargai, dihormati tapi kalau wanita itu butuh dikasih, ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul?

PG : Saya kira ada, sebetulnya wanita sudah tentu sama seperti pria ingin dihargai, priapun sama seperti wanita ingin dikasihi. Namun memang kebutuhan pokoknya, wanita itu ingin dikasihi, seab itulah yang menyentuh hatinya.

Wanita sewaktu dikasihi dia akan melihat dan merasakan sentuhan langsung dari si suami kepada hatinya, waktu suami dihargai itu juga memang menyentuh hatinya yaitu bahwa dia itu seseorang yang berharga. Jadi dengan kata lain sewaktu seorang wanita menerima kasih sayang, yang terjadi adalah dia merasa dirinya berharga, bernilai. Sewaktu seorang pria mendapatkan pengakuan dari pasangannya, dia juga akan merasakan dirinya berharga. Maka seorang psikolog bernama Larry Crabb mengatakan bahwa manusia mempunyai kebutuhan dasar, yang pertama rasa aman dan yang kedua rasa berharga. Saya kira itu betul jadi dua-duanya baik wanita maupun pria akhirnya memiliki kebutuhan yang sama itu untuk melihat dirinya berharga, namun sarana untuk memenuhinya kebetulan berbeda. Wanita melalui sarana dikasihi sedangkan pria melalui sarana diakui.
WL : Pak Paul, kalau berbicara tentang respek berarti tadi berbicara tentang kelebihan, adanya kelebihan-kelebihan apa yang kita kagumi. Tapi setelah sekian waktu berlalu tiba-tiba kita ketemu dengan orang lain yang lebih kita kagumi, ada kelebihan-kelebihan lain yang tidak ada pada pasangan kita, terus muncul respek terhadap orang itu. Nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : OK! Pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa hal itu wajar, hal itu wajar sebab kita menikah dengan manusia yang tidak sempurna, memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau nanti dalam perjalann nikah kita akhirnya kita bertemu dengan orang yang lebih dari pasangan kita, ya jangan kaget dan jangan berkata (ini yang sering orang katakan) saya keliru menikah, o....tidak.

Sebab misalnya kita tidak menikah dengan pasangan kita dan menikah dengan orang tersebut, itu tidak berarti orang tersebut tidak memiliki kelemahan. Jadi jangan berkata o.... saya salah menikah, saya salah pilih, o....belum tentu, sebab masing-masing orang memiliki kelemahannya juga. Kalau tadi kita membicarakan mengenai menghargai, respek dan sudah tentu itu muncul dari hal-hal yang kita kagumi, hal-hal yang muncul dari kekuatan kita, sudah tentu harus ada sisi satunya yakni kita terpaksa dan harus melihat serta menerima kelemahan pasangan kita, hal-hal yang tidak kita sukai pada pasangan kita. Untuk ini yang diperlukan adalah menerima, kalau pertama tadi lebih gampang, kita melihat hal yang kita sukai reaksi alamiah atau otomatis adalah kekaguman, respek. Nah yang kedua ini tidaklah alamiah, tidaklah otomatis, menerima berarti memang melihat jelas apa itu kelemahan pasangan kita dan kita memilih untuk berkata ini bagian dari hidup kami berdua.
WL : Dari penjelasan Pak Paul yang terakhir ini, membuat saya semakin kagum kepada Tuhan, kalau ke manusia tadi Pak Paul jelaskan ada bagian-bagian yang kita kagumi, kita respek, tapi mau tidak mau ada bagian yang harus kita akui ada kelemahan dia yang sudah menjadi satu paket dan kita tidak bisa menolaknya. Sedangkan kepada Tuhan, kita kagum tapi tidak ada setitik pun yang memang kelemahan Tuhan yang membuat kita benar-benar harus kagum.

PG : Seharusnyalah respek kita terhadap Tuhan memang respek puncak karena Tuhan adalah Allah yang sempurna, tidak ada kelemahan pada diriNya.

GS : Pak Paul, kalau di dalam hal penerimaan, bukankah kita menikah dengan seseorang, apakah itu tidak berarti bahwa kita menerima dia?

PG : Ini memang secara teoritis itulah yang terjadi Pak Gunawan, bukankah janji nikah juga kita akan bersama pasangan kita melewati suka dan duka dan sebagainya. Tapi janji itu memang janji ang harus kita penuhi dan harus diuji, diuji melewati apa yaitu pengalaman-pengalaman itu sendiri.

Sudah tentu saya tidak ingin menggampangkan masalah, saya menyadari ada para pendengar kita yang berpasangan dengan suami atau istri yang memiliki kelemahan moral yang sangat parah. Yang memukuli pasangannya, yang membohongi pasangannya seperti minum air, kata-kata bohong itu keluar dari mulutnya itu dengan begitu mudah, atau ada orang yang menyumpah serapah semaunya, ada orang yang berzinah semaunya juga, berselingkuh seenaknya dan pasangannya harus menerima dia, otomatis saya tidak berniat untuk menggampangkan masalah. Ada hal-hal yang sangat sulit untuk menerima dan dalam kasus-kasus yang begitu parah saya mengerti kalau kita memilih atau mengalami kesukaran menerima hal-hal yang seperti itu. Sebab itu terlalu menjijikkan dan terlalu berat untuk ditanggung. Nah saya mencoba untuk hanya membicarakan yang di bawah, yang di bawah dari masalah-masalah tadi, yang saya maksud adalah hal-hal yang lebih bersifat perbedaan-perbedaan antara kita dan pasangan kita. Misalkan dalam hal kebersihan, dalam hal kerapian, dalam hal disiplin, dalam hal membesarkan anak, dalam hal waktu, dan sebagainya. Nah ini memang sering kali ada perbedaaan, dalam hal penghasilan uang ada yang lebih tinggi, ada yang lebih rendah, dalam hal kecepatan berpikir, dalam hal kemampuan mengingat, nah hal seperti inilah yang sedang saya bicarakan. Kalau memang kita menemukan ya....dia berbeda dengan kita, jangan terlalu cepat untuk berkata itu adalah sesuatu yang salah atau sesuatu yang merupakan kelemahannya, jangan terlalu cepat. Sebab bisa jadi ini memang suatu perbedaan tidak harus selalu kita katakan kelemahan. Contoh saya menyukai makanan yang mempunyai cita rasa yang kuat, istri saya lebih menyukai makanan yang lebih hambar, tidak terlalu mempunyai cita rasa yang kuat. Nah dalam kami menikmati makanan, ya ada perbedaan, dia suka makanan yang lebih kebaratan, saya suka makanan yang ketimuran. Tapi saya tidak berhak mengatakan bahwa cita rasa saya itu adalah cita rasa yang baik dan cita rasanya cita rasa yang buruk, tidak bisa. Jadi prinsip pertama jangan cepat-cepat melabelkan (waktu berbeda antara selera kita dan selera pasangan kita) seleranya itu salah, rusak, tidak benar atau lemah.
WL : Pak Paul, saya tertarik dengan penjelasan Pak Paul tentang kasus-kasus tadi, permasalahan-permasalahan yang berat-berat itu. Justru ada ekstrim lain lagi Pak Paul, kalau kita telusuri dari kasus-kasus itu sebenarnya dari masa awal pacaran itu "sudah ketahuan" tapi secara ekstrim mungkin wanitanya yang lebih banyak, memerima dengan membabi buta, walaupun orang tua pihak gereja atau lingkungan teman-teman sudah memberikan isyarat-isyarat: "Pacarmu ini agak sering-sering bohong begitu ya kepada kami pu," tetapi porsi menerima apa adanya ini sangat ekstrim, sangat besar. Jadi ya sudah menikah dan akhirnya begitu, Pak Paul?

PG : Saya sering menekankan ini kepada pasangan muda sebelum mereka menikah yaitu carilah pasangan yang paling baik. Kalau menggunakan istilah James Dobson, dia berkata nikahilah orang yang angat kamu cintai dan benar-benar itu adalah orang yang terbaik untuk kamu.

Dan saya setuju, kita menikah bukan seperti membeli mobil, kalau 10 tahun kemudian tidak menyenangkan hati, kita bisa menjualnya dan menggantinya dengan yang baru. Tidak, pernikahan adalah suatu yang permanen dan kita jalani seumur hidup, jadi kita mesti memiliki dengan berhati-hati, pilihlah yang paling baik. Adakalanya dalam budaya kita yang lebih menekankan pernikahan akhirnya ada orang-orang yang terjebak, tertekan oleh harapan-harapan ini, akhirnya menikah dengan sembarangan dan sudah melihat kekurangan atau kelemahan pasangannya namun dia berkata ya tidak apa-apa nanti juga akan beres, padahalnya tidak pernah beres. Ini hal yang sering saya saksikan dalam konseling-konseling saya juga, waktu saya mendapatkan kasus-kasus yang berat seperti itu saya bertanya kepada pasangannya, kapankah dia melakukan hal itu? Dan sering kali jawabannya adalah sejak masih berpacaran. Tadi Ibu Wulan sudah katakan sejak mulai berpacaran sudah mulai berbohong, sudah mulai tidak setia, sudah mulai berjudi, sudah mulai minum-minum dan mabuk-mabukan, sudah mulai memukuli, tapi tetap dianggap tidak apa-apa. Karena apa, penerimaan yang terlalu membabi buta. Jadi penerimaan di sini memang sesuatu yang perlu berimbang, kita perlu mempunyai standar, kita memilih yang terbaik namun setelah itu kita lakukan waktu kita menemukan hal-hal yang tidak kita senangi, yang di bawah standar kita berusahalah untuk menerimanya.
GS : Tetapi menerima dengan resiko respeknya berkurang.

PG : Saya kira itu adalah bagian dari pertumbuhan kita Pak Gunawan, dan itulah yang saya kira ada dalam rencana Tuhan. Tuhan tidak merencanakan agar kita menikah dalam kesempurnaan, Tuhan daam rencananya memang mengijinkan kita dan seolah-olah mewajibkan kita menikah di dalam ketidaksempurnaan.

Sebab di dalam ketidaksempurnaanlah karakter kita disempurnakan Tuhan, waktu kita harus bersama dengan orang yang memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, hal-hal yang tidak kita sukai, tidak bisa tidak yang akan nanti mengalami perubahan paling drastis adalah diri kita. Kita dipaksa Tuhan untuk lebih sabar kepadanya dan sebagainya.
GS : Berarti respek itu sebenarnya bisa ditumbuhkan, Pak Paul? Katakan kita awalnya tidak terlalu respek, apakah kita bisa menumbuhkan respek terhadap pasangan?

PG : Saya kira bisa Pak Gunawan, respek itu memang tumbuh sebagai produk, produk dari yang kita lihat dan kita sukai. Nah pertanyaannya, kalau memang ini kelemahan pasangan kita bagaimana kia bisa menyukainya, sehingga bisa menumbuhkan respek? Tadi saya sudah katakan prinsip pertama adalah kita jangan cepat-cepat menuduh atau melabelkan perbedaan itu sebagai kelemahan pasangan kita.

Sesuatu yang berbeda panggillah berbeda jangan buru-buru mengatakan dia yang lemah, yang salah, yang buruk, saya yang benar dan baik. Kedua, kalau kita menyadari memang itu hal yang merupakan kelemahannya, kita harus melihatnya sebagai kelemahan. Jangan kita menyangkal dan berkata, itu bukan kelemahannya sebab kalau kita menyangkal itu berarti kita tetap menuntutnya untuk memiliki kwalitas itu. Misalkan kita melihat pasangan kita itu sering lupa, nah kalau kita masih berkata kamu sebetulnya tidak pelupa, kamu ingat ini, kamu bisa ingat itu, kenapa ini bisa lupa. Semua orang yang namanya pelupa, itu tidak melupakan semua hal sudah tentu hanya sebagian hal dan tidak bisa dirumuskan untuk hal apa kita bisa lupa, dan untuk hal apa kita tidak lupa, lupa itu tidak bisa dipatok atau dirumuskan. Nah yang lebih sehat adalah mengakui dan menerima fakta bahwa pasangan kita memiliki kelemahan ini. Jadi yang pertama tadi jangan buru-buru memanggil kelemahan, jadi kita tidak cepat-cepat menghakimi orang. Namun kalau memang kita melihat ini memang kelemahan, sebaiknya kita akui sebagai kelemahan. Karena kalau kita masih belum memanggilnya kelemahan berarti kita masih menuntutnya harus berbeda dari apa adanya, dia seharusnya tidak lupa berarti itulah awal dari konflik. Waktu kita memanggilnya kelemahan, ini membawa kita masuk ke langkah yang ketiga. Setelah kita panggil itu, kita akui itu sebagai kelemahan, langkah berikutnya adalah apa yang akan kita perbuat dengan kelemahan pasangan kita itu. Yang saya kira sehat untuk kita lakukan adalah kita mencoba melengkapi kelemahannya itu. Kalau kita tahu dia akan mudah lupa, waktu kita melihat dia menaruh kunci, kita lihat kuncinya ditaruh di mana sebab kita sudah tahu kemungkinan besar dia akan lupa akan kunci ini. Namun yang sering kali kita lakukan, bukannya kita sengaja ingatkan kita diamkan, kita mau melihat lupa atau tidak ini, waktu dia lupa kita marah kita katakan kamu mesti lupa menaruh barang sembarangan, akhirnya terjadi pertengkaran. Betapa mudahnya dan harmonisnya relasi kita kalau kita langsung melengkapi kelemahannya, kita melihat dia menaruh kunci di mana kita ingatkan dia ini kuncinya jangan sampai lupa nanti, sudah beres tidak ada pertengkaran.
WL : Pak Paul, mungkin agak sulit menyeimbangkan antara melengkapi dengan berusaha juga menjadi berkat yang mengubah dia. Kalau kita melengkapi terus dia akan terus lupa karena dia pikir nanti istri saya atau suami saya juga pasti ingatkan kuncinya ada di mana, bagaimana Pak Paul?

PG : Sudah tentu dalam hal-hal seperti ini, awal-awalnya saya kira kita tidak langsung ke sana, awal-awalnya kita ribut-ribut dengannya karena kita menuntut dia harus ingat. Nah sesuatu yangkita ributkan misalkan selama 5 tahun, saya kira cukuplah untuk menyadarkan kita bahwa inilah kelemahan pasangan kita, dan terima.

Jadi kita belajar hidup dengan kelemahan pasangan kita. Sering kali yang kita inginkan adalah kita hidup di luar atau tanpa kelemahan pasangan kita, bagaimana menghapusnya, menghilangkannya dan menggantikannya selalu dengan hal-hal yang kita senangi. Tidak, akan ada hal-hal yang tidak kita senangi itu, nah bagaimanakah kita hidup dengan kelemahan ini, nah memang kita mencoba melengkapi. Awal-awalnya mungkin 5 tahun pertama kita tidak menerima, kita terus-menerus menegur dia, marah sama dia karena lupa terus, tapi setelah 5 tahun akhirnya kita terbangun dan berkata itulah kelemahan pasangan kita.
WL : Pak Paul, saya pernah mendengar teori yang mengatakan bagaimana mengharapkan orang menghargai atau respek kepada kita itu bergantung juga pada bagaimana sikap kita terhadap diri kita sendiri. Nah kalau kita menghadapi pasangan yang dia sendiri tidak respek pada dirinya sendiri, tidak mungkin juga kita belajar atau memaksakan diri respek kepada dia, Pak Paul.

PG : Betul, sudah tentu orang itu sendiri berpengaruh atau berperan terhadap apa yang orang lain akan lakukan terhadapnya. Kalau dia sendiri tidak merespek dirinya, menghina dirinya terus-meerus, ya orang akan mudah akhirnya menghina dia, dan tidak merespek kepadanya.

Jadi betul, perlakuan kita terhadap diri sendiri itu mempengaruhi perlakuan orang terhadap diri kita.
GS : Tetapi di dalam semua ini memang peran kasih itu luar biasa, Pak Paul?

PG : Betul, peran kasih sangat penting, sebab firman Tuhan di I Petrus berkata kasih itu menutupi pelanggaran yang begitu banyak atau kita boleh gunakan kelemahan-kelemahan sebanyak apapun, alau kasih itu ada kasih memang bisa menutupinya.

Tapi saya juga mau ingatkan lagi bahwa saya mengerti ada sebagian dari pendengar kita yang hidup di dalam suasana yang terlalu berat sehingga kasih itu lama-lama menjadi pudar.
GS : Ada seorang istri itu yang sering kali merendahkan suaminya itu di depan orang lain, memperbincangkan kelemahannya, kekurangannya dan sebagainya. Itu bagaimana Pak Paul?

PG : Itu tidak akan menolong malah makin merusakkan relasi nikah itu. Karena si suami akan melihat bahwa istrinya memang bukan saja tidak respek kepadanya tetapi memohon atau mengundang oran lain untuk tidak respek kepada suaminya.

Akhirnya biasanya reaksi suami hanya dua, yang pertama dia marah atau yang kedua dia makin mencuekkan atau memasabodohkan istrinya itu. Sebaiknya memang istrinya berbicara dengan suami minta apa yang dia harapkan dan si suami juga berusaha untuk memenuhi apa yang diminta oleh istrinya itu. Sebab baik yang berusaha menerima atau pun yang berusaha memperbaiki diri, dua-duanya mengalami pertumbuhan. Pernikahan di dalam pengertian kita tentang rencana Tuhan, pernikahan adalah ajang pertumbuhan yang Tuhan gunakan, dengan kata lain di dalam pernikahanlah anak-anak Tuhan itu digembleng supaya bertumbuh lebih dewasa. Sekali lagi saya tekankan, yang berusaha menerima kelemahan pasangannya dia akan bertumbuh, karakter kesabarannya, karakter penguasaan dirinya, karakter kasihnya akan diperkuat. Tapi yang berusaha memperbaiki diri dalam kelemahannya itu pun akan mengalami pertumbuhan. Jadi kalau kita melihat dari kacamata Tuhan, dua-duanya memang dituntut untuk mencoba bertumbuh.
GS : Di dalam hal menghormati pasangan ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang mau Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari 1 Korintus 12:23, "Dan kepada anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita berikan penghormatan khusus. Dan terhadap angota-anggota kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus."

Nah kenapa Tuhan meminta kita melakukan hal-hal ini yaitu kepada yang kurang terhormat kita berikan penghormatan khusus, kepada yang tidak elok kita berikan perhatian khusus. Di 1 Korintus 12:22 dikatakan, "Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan." Saya akan tutup dengan sebuah contoh, beberapa waktu yang lalu istri saya masak mie goreng, saya suka mie goreng. Eh....mie itu lembek sekali, saya kesal sekali akhirnya saya tidak bisa makan banyak, dalam hati saya mengomel tapi tidak tega menyampaikannya akhirnya tidak makan. Tapi istri saya sangat murah hati, dia berkata tidak apa-apa dia simpan mie gorengnya. Nah beberapa hari kemudian, dua atau tiga hari kemudian saya mau membuat mie ayam, saya sudah membuat mie ayam mungkin ratusan atau ribuan kali, tapi hari itu saya buat, saya taruh air kebanyakan sehingga mie ayam itu lembek. Anak saya, saya ajak makan, dengan bermurah hati anak saya makan meskipun mienya begitu lembek, saya hanya bisa makan sedikit karena tidak enak. Supaya tidak nempel-nempel saya pakaikan minyak tambah saya mual, akhirnya setelah makan anak saya sakit perut, saya pun sakit perut. Tiba-tiba saya dengar Tuhan berkata kepada saya Pak Guawan: "Paul, waktu istrimu masak tidak enak, kamu begitu kritisnya, sekarang kamu masak tidak enak anakmu makan dengan diam-diam." Saya merasa sangat bersalah Pak Gunawan, saya minta maaf kepada istri saya dan saya berkata Tuhan membela kamu karena kamu orang yang lemah. Nah apa yang saya pelajari Pak Gunawan, yang lemah kita butuhkan, kelemahan kita butuhkan sebab di dalam menghadapi kelemahanlah kita bertumbuh dan pertumbuhan itulah yang kita butuhkan. Dan Tuhan sediakan itu dalam pernikahan kita.

GS : Ya terima kasih Pak Paul untuk kisah yang menarik di akhir perbincangan ini, tetapi secara keseluruhan saya rasa perbincangan ini memang sangat penting sekali bagaimana kita menghargai dan menerima pasangan kita yang Tuhan sudah karuniakan kepada kita. Terima kasih juga Ibu Wulan untuk bersama kami di dalam perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghargai dan Menerima Pasangan Kita." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



6. Pria dalam Karier dan Wanita dalam Relasi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T013A (File MP3 T013A)


Abstrak:

Pria cenderung melihat harga dirinya atas kariernya atau kemampuannya. Sementara wanita mendasari harga dirinya dengan relasi yaitu suatu hubungan yang baik dengan orang yang dikasihinya. Ini hanya salah satu perbedaan saja antara pria dan wanita.


Ringkasan:

Dr. Larry Crabb seorang psikolog kristen di Amerika Serikat mempunyai teori yang berkata bahwa manusia mempunyai 2 kebutuhan pokok.
  1. Kebutuhan akan rasa aman.

  2. Kebutuhan akan rasa bermakna, rasa berharga, rasa bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah kehidupan yang sia-sia.

Pria dan wanita mempunyai pandangan yang berbeda tentang apa yang membuat hidup mereka bermakna.

Pria cenderung mendasari harga dirinya atas karyanya, atas hal yang telah dicapainya, atas kesuksesannya. Dengan kata lain pria cenderung melihat harga dirinya berdasarkan kemampuannya, apa yang telah dihasilkan dalam hidup ini. Jadi kalau pria tidak bisa melihat hasil karyanya, tidak ada yang dia banggakan dari kerjanya dia juga tidak akan bisa memiliki rasa bermakna atau rasa berharga yang baik. Malah kecenderungannya adalah dia akan memandang rendah dirinya, sebab benar-benar pria itu mengukur tinggi rendahnya atau besar atau kecil dirinya itu dari sudut karyanya atau hasilnya.

Wanita kecenderungannya adalah mendasari harga dirinya itu pada relasi, yaitu pada hubungannya dengan orang yang dekat dengan dia. Dengan kata lain wanita itu melihat makna hidupnya dan melihat bahwa hidupnya itu berharga kalau dia memang memiliki suatu hubungan yang baik dengan orang yang dikasihinya dan dekat dengannya.

Kalau seorang pria mendapatkan kesuksesan namun kehidupan keluarganya tidak bahagia dia masih bisa secara relatif menemukan kepuasan hidupnya. Tetapi sebaliknya dengan wanita, kalau hubungannya dengan orang yang dicintainya misalnya suaminya tidak harmonis itu akan sangat mengganggu dia meskipun dia adalah seorang yang sukses dalam kariernya.

Perbedaan-perbedaan di atas juga akan menimbulkan ketakutan-ketakutan, baik dalam diri pria maupun dalam diri wanita.

  1. Ketakutan seorang pria yang utama adalah dia akan kehilangan kepercayaan diri bahwa dia mampu melakukan sesuatu. Dengan kata lain pria itu pada dasarnya takut sekali untuk merasa tidak mampu, tidak bisa menguasai keadaan lagi. Pria dikondisi untuk selalu mampu memenuhi tuntutan yang diembankan padanya, sebab ketidakmampuannya memenuhi tuntutan disamakan dengan kelemahan dan pria takut sekali lemah.

  2. Ketakutan seorang wanita adalah dia kehilangan kontak, terputusnya hubungan dia dengan orang yang dikasihinya atau orang yang dekat dengannya.

Hal ini juga dipengaruhi oleh kecenderungan mereka di mana pria cenderung menggunakan rasionya sementara wanita lebih melibatkan emosinya dibandingkan dengan pria.

Upaya yang harus dilakukan seorang pria dan wanita agar dapat menemukan harga dirinya yang sepadan, yang sesuai dengan kebutuhannya:

  1. Pria hendaknya mulai mencabangkan diri yaitu jangan menumpukan segenap dirinya pada satu hal saja yakni kariernya. Penting sekali bagi seorang pria untuk bisa membagi diri sehingga ia menemukan kepuasan melalui hal-hal yang lain.

  2. Wanita hendaknya juga membagi dirinya, karena kalau tidak hati-hati wanita akan cenderung terikat individu-individu tertentu yang dianggapnya dekat dengan dia.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang perbedaan pria dan wanita dalam satu sisi yang khusus yaitu pria dalam kariernya dan wanita dalam relasinya. Kami percaya anda pasti tertarik dengan acara ini dan acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul memang kita tahu bahwa secara biologis pria dan wanita itu berbeda, tetapi ternyata masih banyak perbedaan-perbedaan yang lain yang cukup mendasar yang Tuhan anugerahkan baik kepada pria maupun kepada wanita. Misalnya saja dalam hal harga diri, sebenarnya apa perbedaan yang konkret itu Pak Paul?

PG : Sebelum saya uraikan Pak Gunawan saya ingin juga menyebut nama seseorang yaitu Dr. Larry Crabb. Crabb ini adalah seorang psikolog Kristen di Amerika Serikat, beliau mempunyai suatu teori yng berkata bahwa manusia mempunyai 2 kebutuhan pokok.

Kebutuhan pokok yang pertama adalah rasa aman karena manusia tak dapat hidup dalam perasaan tidak aman atau terancam, itu adalah kebutuhan pokoknya yang penting. Yang kedua adalah rasa bermakna, rasa berharga, rasa bahwa kehidupan kita di dunia ini bukanlah kehidupan yang sia-sia. Berangkat dari teori tersebut kita bisa mengembangkan suatu penyelidikan atau studi tentang sebetulnya apa itu harga diri dan apakah pria dan wanita memiliki konsep yang sama tentang harga diri itu. Dan ternyata seperti Pak Gunawan sudah singgung memang ada perbedaan.
GS : Kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan akan rasa bermakna itu tentu bukan kebutuhan yang mendasar dalam kehidupan seseorang. Karena ada juga teori yang mengatakan kebutuhan dasar seseorang itu makan, tempat tinggal dan sebagainya itu Pak Paul?

PG : Betul, yang tadi Pak Gunawan sebut adalah bagian dari teori hirarki kebutuhan menurut Abraham Naslow. Nah menurut Naslow kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan fisik yaitu makan dn minum dan sebagainya.

Nah Crabb memang tidak menjabarkan teorinya dengan mendetail namun dalam kategori rasa aman itu sebetulnya juga termaktub kebutuhan akan makan dan minum kita terpenuhi. Sebab kalau kita tidak tahu besok makan apa kita tidak merasa aman, kita akan merasa sedikit banyak terancam.
GS : Kembali lagi ke yang tadi Pak Paul katakan mengenai harga diri, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Jadi begini Pak Gunawan, pria dan wanita ternyata mempunyai pandangan yang berbeda tentang apa itu yang membuat hidup mereka bermakna. Nah sudah pasti yang akan saya uraikan ini merupakan paya penggeneralisasian, penyamarataan.

Sudah tentu akan ada perkecualian dalam masing-masing kategori ini. Namun pada umumnya pria cenderung mendasari harga dirinya itu atas karyanya, atas hal yang telah dicapainya, atas kesuksesannya. Dengan kata lain pria cenderung melihat harga dirinya itu berdasarkan kemampuannya, apa itu yang telah dia hasilkan dalam hidup ini. Jadi kalau kita balik, kalau pria tidak bisa melihat hasil karyanya, tidak ada yang dapat dia banggakan dari kerjanya dia juga tidak akan bisa memiliki rasa bermakna atau rasa berharga yang baik. Justru kecenderungannya adalah dia akan memandang rendah dirinya, sebab benar-benar pria itu mengukur tinggi rendahnya, besar atau kecil dirinya itu dari sudut karyanya atau hasilnya.
(2) IR : Bagaimana kalau zaman sekarang ini karya-karya atau kesuksesan dari kaum pria itu sering di bawah dari kesuksesan kaum wanita Pak Paul?

PG : Nah itu pertanyaan yang bagus Bu Ida sebab adakalanya itu yang terjadi, jadi mungkin suami yang merasa inferior merasa tidak berharga karena suami tersebut menghasilkan income atau pendapaan di bawah istrinya.

Nah meskipun misalkan si suami itu mempunyai pekerjaan yang baik namun kalau uang yang di bawanya ke rumah itu di bawah dari apa yang dibawa oleh istrinya kemungkinan dia akan merasa inferior, dia merasa tidak seberharga bagaimana semestinya. Dan mungkin sekali ini bisa berpotensi menjadi gangguan atau duri dalam hubungan mereka. Sebab si pria dapat menjadi orang yang cukup peka dengan hal-hal yang berkaitan dengan uang, sebab itu adalah harga dirinya.
GS : Kalau pria mendasarkan harga dirinya pada kariernya, bagaimana dengan wanita Pak Paul?

PG : Kalau wanita kecenderungannya adalah mendasari harga dirinya itu pada relasi Pak Gunawan, yaitu pada hubungannya dengan orang yang dekat dengan dia. Dengan kata lain wanita itu melihat maka hidupnya dan melihat bahwa hidupnya itu berharga kalau dia memang memiliki suatu hubungan yang baik dengan orang yang dikasihinya dan dekat dengannya.

Kita bisa memberikan suatu perbandingan yang lebih jelas, seorang pria tidak akan terlalu membanggakan istrinya sebanyak dia membanggakan pekerjaannya, itu sebetulnya adalah suatu kenyataan. Sebaliknya ada kecenderungan wanita membanggakan suaminya daripada pekerjaannya, nah ini mungkin bisa berubah pada zaman sekarang di mana banyak sekali kaum wanita yang telah menempuh karier yang tinggi atau yang baik. Namun tetap yang membuat si individu itu bahagia dan merasa dirinya bermakna sebetulnya tidak sama. Meskipun pria dan wanita mempunyai jenjang karier yang tinggi dan baik, saya dapat berkata bahwa si pria merasa bahagia dalam hidupnya itu karena dia telah mencapai jenjang yang tinggi di dalam kehidupannya. Meskipun hubungan dengan istrinya tidak baik, tapi bagi dia tidak masalah sebab yang penting adalah dia telah meraih kesuksesan itu. Sebaliknya kalau wanita mempunyai hubungan dengan keluarga yang tidak harmonis, hubungan dengan suaminya berantakan, meskipun kedudukannya baik dia tidak akan terlalu bahagia. Dia tidak akan bisa melepaskan dirinya dari hubungannya dengan si suami sedangkan pria lebih mampu melepaskan dirinya dari hubungannya dengan istrinya.
IR : Apa yang melatarbelakangi seorang pria itu untuk berkarier, mungkin ada contoh-contoh Pak Paul?

PG : Memang pria itu dikondisikan untuk meletakkan harga dirinya pada karier, pada kesuksesannya. Dari mana asalnya, ya dari perlakuan keluarga dan perlakuan masyarakat. Contohnya kalau anak peempuan menangis itu ditoleransi, tapi kalau anak laki menangis kita tidak terlalu menoleransi.

Kita secara tidak sadar mengharapkan anak laki kita itu sukar menangis sebetulnya, kalau anak wanita kita menangis kita memakluminya sebagai bagian dari dirinya yang mengekspresikan kesedihan itu. Tapi kita secara tak sadar tidak mengharapkan hal yang sama pada anak laki kita, sebab kita justru mengharapkan anak laki kita itu berperasaan kuat, mampu mengendalikan perasaannya dan tidak mudah menunjukkan kesedihannya. Sebab tanpa kita sadari pula kita sudah mempunyai suatu definisi bahwa menunjukkan kesedihan sama dengan menunjukkan kelemahan. Jadi waktu anak pria menangis menurut kita dia itu sedang menunjukkan kelemahannya dan anak pria tidak seyogyanya lemah, jadi benar-benar pria itu sangat dikaitkan dengan kekuatan. Sehingga dari kecil anak pria dikondisi untuk kuat, untuk bisa, untuk mampu begitu.
GS : Jadi kalau begitu apakah perbedaan itu memang perbedaan yang sifatnya natural Pak Paul, jadi artinya sejak lahir atau karena pembentukan lingkungannya?

PG : Ini pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, sebab apakah ini memang natural dari sudut biologis, ataukah murni bentukan lingkungan. Nah menurut pandangan saya Pak Gunawan, ini memang beraitan dengan natur fisik pria dan wanita yang memang berbeda.

Jadi pria secara fisik memang mempunyai kekuatan, secara fisik tampak kokoh sedangkan wanita secara fisik tidak tampak kokoh, lemah lembut, gemulai. Memang ide atau konsep ini tidak bisa dibalik secara universal saya kira tidak bisa dibalik. Kalau misalnya kita melihat wanita berotot dan kokoh, berkekuatan seperti baja saya kira dalam diri kita ada perasaan kurang begitu nyaman melihat figur wanita yang seperti itu. Tapi kalau melihat figur pria yang seperti itu justru kita merasa pas, jadi memang ada pengaruh biologisnya yaitu memang pria mempunyai fisik yang kuat sedangkan wanita cenderung lebih lemah gemulai. Maka akhirnya lebih mengundang perlakuan yang seperti itu pula dari lingkungan, masyarakat atau keluarga mengharapkan pria justru menjadi orang yang kuat. Dan misalkan kalau kita melihat dari sejarahnya pada masa masyarakat yang kita sebut masyarakat berburu yang pergi berburu pria, yang di rumah yang bercocok tanam misalnya atau menjaga anak-anak adalah wanita. Jadi memang pria diharapkan menjadi orang-orang yang kuat begitu Pak Gunawan.
GS : Tapi sementara ini Pak Paul, karena perkembangan zaman mungkin sering kali terjadi harus wanita, mungkin karena latar belakang pendidikannya dan sebagainya, dia berkarier dan tadi juga sudah disinggung sedikit sukses di dalam kariernya Pak Paul. Apakah kesuksesan di dalam karier itu tidak terlalu banyak memberikan kebahagiaan bagi si wanita ini?

PG : Sudah tentu akan memberikan kepuasan, sebab bagaimanapun kesuksesan dalam karier itu adalah sesuatu yang dapat dibanggakan. Namun yang saya ingin tegaskan adalah bahwa kalau pria mendapatkn kesuksesan namun kehidupan keluarganya tidak bahagia dia masih bisa secara relatif menemukan kepuasan hidupnya itu.

Tapi sebaliknya dengan wanita kalau hubungannya dengan orang yang dicintainya misalnya suaminya itu tidak harmonis itu akan sangat mengganggu dia meskipun dia adalah seorang wanita yang sukses dalam kariernya.
GS : Kalau begitu perbedaan itu pasti menimbulkan ketakutan-ketakutan tertentu Pak Paul baik dalam diri si pria maupun dalam diri si wanita. Pak Paul mungkin bisa menjelaskan lebih jauh mengenai hal ini?

PG : Bagi seorang pria ketakutan utamanya adalah kehilangan kepercayaan diri bahwa dia mampu melakukan sesuatu. Dengan kata lain pria itu pada dasarnya takut sekali untuk merasa tidak mampu, tiak bisa menguasai keadaan lagi.

Misalkan waktu dia tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, itu adalah suatu hal yang menakutkan, menakutkan kenapa, sebab dia tidak lagi mampu menyediakan sesuai dengan yang dituntut. Pria dikondisi untuk selalu mampu memenuhi tuntutan yang diembankan padanya, sebab ketidakmampuannya memenuhi tuntutan disamakan dengan kelemahan dan pria takut sekali lemah. Sebaliknya wanita ketakutannya lain lagi, jadi wanita ketakutannya adalah dia kehilangan kontak, terputusnya hubungan dengan orang yang dikasihinya atau orang yang dekat dengannya. Jadi itu menjadi hal yang sangat menakutkan, ini bisa kita kembangkan dalam konteks berumah tangga dengan anak-anak.
GS : Apakah itu dipengaruhi juga karena kaum pria lebih banyak menggunakan pikirannya dari pada emosinya, sedang wanita itu lebih banyak menggunakan emosinya Pak Paul?

PG : Saya kira ada pengaruhnya Pak Gunawan, jadi pria dengan rasionya yang kuat, saya sama sekali tidak berkata bahwa perempuan kurang rasional atau wanita itu kurang intelektual bukan ya. Kit tidak membicarakan masalah IQ pria dan wanita, ada yang sama-sama pandai ada yang sama-sama kurang pandainya.

Tapi memang secara operasional pria cenderung menggunakan rasionya dan wanita lebih melibatkan emosinya dibandingkan pria, jadi ada pengaruh besar. Karena kehilangan orang yang dikasihi itu adalah hal yang sangat menyangkut emosi seseorang waktu dia dekat dengan seseorang, dia mengasihi orang itu, itu semuanya menyentuh perasaannya. Jadi sewaktu perasaannya itu tidak mendapatkan kepenuhan dia ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya itu otomatis sangat memukul dia.
IR : Bagaimana kalau kaum pria pada usia produktif yang memang sukses Pak Paul, tapi suatu ketika usianya itu sudah lanjut kemudian dia tidak bisa bekerja apakah ketakutan juga ada?

PG : Sering kali ada Ibu Ida, itu baik sekali pertanyaannya sebab memang pria pada umumnya mengalami kesulitan memisahkan dirinya dari karier, pekerjaannya. Makanya sekarang ini seperti yang saa juga ketahui di Amerika Serikat dulu kala pria itu atau yang wanita juga sama usia pensiunnya adalah 65 tahun.

Namun sekarang makin banyak perusahaan yang mengizinkan para pekerjanya bekerja atau meneruskan pekerjaan mereka setelah melewati usia pensiun tersebut di atas 65, selama masih mampu, selama masih produktif silakan terus. Karena apa, karena akhirnya diteliti bahwa usia pensiun dan memaksakan orang pensiun pada usia tertentu adakalanya justru tidak produktif, tidak sehat bagi orang tersebut. Malah membuat orang itu depresi, kehilangan pegangan hidup dan kehilangan makna dalam hidup ini, jadi betul sekali ada kecenderungan kalau seseorang belum siap untuk pensiun meskipun usianya sudah 65 namun diwajibkan pensiun, itu memang bisa menimbulkan depresi dalam dirinya.
IR : Sekalipun waktu dia masih usia produktif itu hasilnya bisa menjamin, tapi tetap dia mempunyai ketakutan ya Pak Paul?

PG : Betul, kehilangan pekerjaan bagi dia kehilangan diri, jadi bukan saja o....saya pensiun, saya tak ada lagi pekerjaan tapi saya kehilangan diri, saya tidak tahu apa yang saya harus kerjakandengan diri saya ini.

Sebab pekerjaan atau karier telah begitu lekat dengan dirinya sehingga menjadi satu.
GS : Mungkin memang suatu pukulan yang cukup keras bagi pria kalau istrinya itu berkata bahwa hasil karyanya atau hasl karya dari suaminya itu kurang memuaskan Pak Paul sehingga dia merasa susah sekali dan merasa gagal menjadi seorang suami. Dan sebaliknya mungkin istri itu juga merasa gagal kalau dia tidak bisa membenahi rumah tangganya atau menyediakan makan buat suami atau anak-anaknya.

PG : Atau dia merasa tidak dicintai oleh suaminya, tidak diterima oleh anak-anaknya itu hal yang sangat berat bagi dia.

(3) GS : Jadi bagaimana Pak Paul seorang suami dan seorang istri atau pria dan wanita ini membangun dirinya supaya dia bisa menemukan harga diri yang sepadan yang sesuai dengan kebutuhannya, jadi upaya-upaya apa yang seharusnya dia lakukan?

PG : Saya menganjurkan bagi para pria untuk mulai mencabangkan diri yaitu jangan menumpukan segenap dirinya pada karier atau pada satu hal saja yakni kariernya itu. Penting sekali bagi seorang ria untuk bisa membagi diri sehingga dia menemukan kepuasan melalui hal-hal yang lain.

Misalnya kita-kita ini yang memang adalah anak Tuhan, melayani di gereja kita akan menemukan juga kepuasan dan makna hidup melalui pelayanan Kristen. Waktu kita ikut dalam tim pembesukan atau tim diakonia atau menolong orang yang dalam kesusahan atau melayani dalam kebaktian dan sebagainya, hal-hal itu menjadi masukan yang berharga bagi kita Pak Gunawan, jadi orang yang sehat orang yang bisa membagi dirinya dalam beberapa ruangan. Orang yang hanya mempunyai satu ruangan dalam hidupnya, saya takut sekali pada waktu ruangan itu dikunci dia akan kehilangan arah.
GS : Kalau yang wanita Pak Paul?

PG : Nah walau bagi wanita sebetulnya mirip dengan pria, dia juga seyogyanya membagi dirinya karena kalau tidak hati-hati wanita juga akan cenderung terikat oleh individu-individu tertentu yangdianggapnya dekat dengan dia.

Nah biasanya selain suami atau adakalanya (jujur Pak Gunawan di atas suami ya) wanita itu sering kali lebih dekat dengan anak daripada dengan suami sebetulnya. Kalau tidak hati-hati wanita juga akan menumpukan siapa dirinya itu pada anak, kalau anak baik dia senang, anak sukses dia senang, anak dekat dengan dia; dia senang, anak mencintai dia; dia senang, anak mulai berubah sedikit dia goyang, anak mulai tidak menghubungi dia, tidak menelpon dia, tidak bercerita dengan dia; dia panik, nah ada baiknya wanita juga membagi ruangan-ruangan hidupnya itu, jangan hanya satu saja yaitu pada si anak.
(4) IR : Nah bagi istri Pak Paul, kira-kira Pak Paul bisa memberikan saran, persiapan apa bagi si istri itu untuk bisa mendampingi di saat suami itu tidak berkarier lagi?

PG : Saya kira yang paling penting adalah kepekaan, pertama-tama dalam perkataan, jangan sampai terlontar kata-kata yang membandingkan si suami dengan orang lain, yang lebih mampu darinya atau angan mengeluarkan kata-kata yang memojokkan ketidakmampuan si suami.

Engkau memang tidak mampu begini engkau memang sok bisanya hanya pamer pada halnya tidak ada apa-apanya, nah kata-kata seperti itu sangat mematikan bagi seorang pria, jadi dari sudut jangan, ya jangan mengeluarkan kata-kata yang akan membuat si suami merasa rendah sekali. Dari sudut yang positif apa yang bisa dilakukan oleh si istri kepada si suami, saya kira nomor 1 suami itu sebetulnya dalam keadaan terpukul karena kehilangan identitas diri pekrjaannya, dia sebetulnya membutuhkan penerimaan yang bulat, yang penuh yaitu aku menerima engkau apa adanya, bahwa aku tetap percaya pada engkau, bahwa engkau itu memiliki kemampuan, namun sekarang kesempatan memang sedang tidak ada di sisi engkau, tapi aku percaya pada kemampuanmu. Nah jadi perkataan-perkataan seperti itu akan membuat si suami lebih bergairah bahwa si istri tidak kehilangan kepercayaan, bahwa persoalan yang sedang dihadapi ini bukanlah karena kemampuan si suami yang kurang tapi karena masalah kesempatan yang sedang tidak ada di pihak kita ini, begitu kira-kira Bu Ida.
IR : Juga kalau mungkin diajak pelayanan itu juga sesuatu yang baik ya Pak Paul?

PG : Sangat baik sekali, memang idealnya Bu Ida sebelum si suami ini mengalami pukulan yang berat, seharusnya dia sudah harus mencabangkan dirinya dalam hidup yaitu dengan terlibat dalam pelayaan dan sebagainya.

Kalau sudah jatuh dia baru disuruh ikut pelayanan itu pun susah sebab gengsinya tinggi, dia akan merasa saya akan ditertawai oleh orang lain, saya akan dinilai o....sudah bangkrut baru sekarang datang gereja pelayanan. Jadi bagi dia itu tekanan mental lagi, jadi memang kalau sudah jatuh baru disuruh ke gereja dan terlibat dalam pelayanan sering kali sukar, jadi seyogyanya sebelum itu terjadi.
GS : Jadi ini suatu keunikan yang Tuhan ciptakan untuk kita sebagai pria dan wanita yang dipersatukan dalam suatu pernikahan di mana kita bisa saling melengkapi satu dengan yang lain.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi di dalam Tuhan Yesus Kristus, kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar keluarga khususnya perbedaan pria dan wanita, pria dalam karier dan wanita dalam relasinya. Kami berbincang-bincang tadi dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



7. Komunikasi Suami dan Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T016A (File MP3 T016A)


Abstrak:

Prinsip komunikasi adalah satu yaitu kejelasan, apakah berhasil berkomunikasi atau tidak diukur dari apa didengar, dipahami dengan jelas.


Ringkasan:

Prinsip komunikasi yang paling penting adalah kejelasan. Jadi apakah kita berhasil berkomunikasi atau tidak diukur dari satu yaitu apakah yang kita katakan didengar dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicara kita.

Komunikasi bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau dikaitkan dengan konteks rumah tangga suami-istri. Salah satu ciri keluarga yang bermasalah adalah rusaknya komunikasi di antara suami dan istri.

Komunikasi saat masih berpacaran dan setelah menikah, berbeda hal ini disebabkan:

  1. Sewaktu pacaran kita ini berbicara pada level yang relatif dangkal. Kedalaman komunikasi biasanya memang harus melewati proses waktu dan pengenalan, tanpa pengenalan yang dalam, tanpa waktu yang panjang dan tanpa kesempatan mengarungi hidup bersama komunikasi kita tidak akan dalam.

  2. Pada masa pacaran komunikasi kita adalah komunikasi yang sesuai dengan kehendak atau kenyamanan kita. Artinya kita akan bicara pada waktu kita ingin bicara. Dengan kata lain pertemuan kita atau kontak kita dengan pacar kita dilakukan pada waktu-waktu yang lumayan cocok dengan jadwal kita. Sementara setelah menikah kita harus bertemu dengan pasangan kita di waktu dimana adakalanya kita tidak ingin bertemu dengan siapapun. Jadi benar-benar dua konteks kehidupan yang berbeda, saat kita tidak ingin bicara terus diajak bicara dan harus bicara di situlah komunikasi bisa terganggu.

Prinsip dalam berkomunikasi / faktor yang perlu kita pertimbangkan dalam berkomunikasi:

  1. Perlu bijaksana apa yang perlu kita sampaikan saat ini. Sebab tidak semua hal cocok disampaikan saat ini.

  2. Tidak boleh berbohong, untuk menutupi suatu hal yang memang telah terjadi. Jadi jangan kita ini menggunakan kebohongan untuk melindungi diri atau untuk menyelamatkan diri atau untuk memecahkan problem kita.

Tidak menyampaikan yang kita alami atau rasakan atau pikirkan secara keseluruhan kepada pasangan kita saat ini artinya adalah kita selalu menimbang apakah memang inilah waktu yang cocok untuk kita bicarakan hal ini. Apakah memang dia siap mendengar yang kita ingin katakan, apakah ini hanya untuk memuaskan hasrat kita saja dan kita tidak peduli dampaknya pada pasangan kita. Jadi faktor-faktor ini sangat perlu kita mempertimbangkan dalam berkomunikasi.

Berapa banyak dan dalamnya kita berkomunikasi dengan pasangan kita dipengaruhi oleh:

  1. Berapa dekatnya hubungan itu. Hubungan yang sangat akrab akan juga memperluas topik percakapan sehingga banyak hal yang bisa dibicarakan.

  2. Berapa seringnya sepasang suami-istri berbagi pengalaman hidup bersama.

Hal-hal kecil di dalam rumah tangga seringkali justru malah menjadi pemicu timbulnya masalah, biasanya hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:

  1. Sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi, sebelum terjadinya kontak komunikasi. Misal: sedang mengalami tekanan-tekanan di tempat kerja.

  2. Kehadiran orang lain, bisa berpengaruh negatif maupun positif.

Hal-hal yang bisa diupayakan agar komunikasi bertambah baik:

  1. Komunikasi dipengaruhi oleh rasa percaya kita pada pasangan, apakah kita bisa percaya bahwa waktu pasangan kita bilang A memang A-lah yang dia ingin sampaikan.

  2. Komunikasi dipengaruhi juga oleh pandangan kita tentang orang lain.

Efesus 4:15 berkata: "Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran dalam kasih kita bertumbuh didalam segala hal ke arah Dia Kristus yang adalah kepala." Kita bertumbuh ke arah Kristus tapi syaratnya adalah bicaralah hal yang benar di dalam Kristus dan dalam kasih.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan juga seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang komunikasi suami dan istri. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita memang menyadari bahwa salah satu bagian di dalam kehidupan suami-istri atau hubungan pernikahan adalah komunikasi. Tetapi juga disadari bahwa itu bukan sesuatu hal yang mudah, karena itu sering kali terjadi benturan-benturan di dalam komunikasi dengan pasangan kita. Nah pada kesempatan ini mungkin yang bisa kami bahas adalah bagaimana sebenarnya suami-istri itu harus membangun komunikasinya sedemikian rupa sehingga betul-betul menumbuhkan kehidupan mereka sebagai suami dan istri, jadi komunikasi itu yang sebenarnya apa Pak Paul?

PG : Pak Gunawan, sebetulnya prinsip komunikasi adalah satu atau satu yang paling penting yaitu kejelasan. Jadi apakah saya berhasil berkomunikasi atau tidak, diukur dari satu yaitu apakah yng saya katakan didengar dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicara saya.

Meskipun saya ini pandai berorasi namun kalau yang saya ingin sampaikan tidak diterima persis sama dengan yang saya kehendaki saya telah gagal berkomunikasi. Nah ternyata hal komunikasi bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau dikaitkan dalam konteks rumah tangga, suami-istri. Ternyata salah satu ciri keluarga yang bermasalah adalah rusaknya komunikasi di antara suami dan istri. Ada lagi yang malah lebih jauh yakni rusaknya komunikasi antara suami-istri atau orang tua dan anak-anak mereka.
GS : Tapi menurut pengalaman kita, pada waktu pacaran Pak Paul itu 'kan sudah banyak yang kita bicarakan bahkan kita bisa berbicara berjam-jam dengan pacar kita yang sekarang menjadi pasangan hidup kita. Tetapi kenapa tiba-tiba setelah menikah justru menjadi hambatan padahal dulu waktu pacaran ini menjadi sesuatu yang didambakan. Senang mendengar suaranya, bisa berbicara dengan dia.

PG : Ya kita mesti melihat beberapa hal di sini Pak Gunawan, yang pertama adalah sewaktu berpacaran kita ini berbicara pada level yang relatif dangkal, jadi kedalaman komunikasi itu biasanyamemang harus melewati proses waktu dan pengenalan.

Tanpa pengenalan yang dalam, tanpa waktu yang panjang dan tanpa kesempatan mengarungi hidup bersama-sama, komunikasi kita tidak akan bisa dalam. Nah pada masa berpacaran komunikasi memang tidak bisa dalam karena kita belum mengarungi hidup bersama-sama, kita belum melewati proses waktu yang panjang. Dan kita belum berkenalan dan mengenal pasangan kita dengan benar-benar intim, sehingga akhirnya komunikasi kita relatif berkisar pada hal-hal yang cethek atau yang dangkal. Dan yang berikutnya lagi adalah, pada masa berpacaran komunikasi itu memang komunikasi yang saya boleh gunakan istilah sesuai dengan kehendak atau kenyamanan kita yang 'convenient' artinya kita akan berbicara pada waktu kita ingin berbicara, kita menelepon dia tatkala memang berhasrat menelepon dia, kita pergi dengan dia tatkala memang kita berkunjung ke rumah dia ingin bertemu dengan dia. Dengan perkataan lain, atau kontak kita dengan pacar kita dilakukan pada umumnya pada waktu-waktu yang lumayan cocok dengan jadwal kita. Setelah kita menikah, hal itu tidak lagi dikuasai oleh kita, kita harus bertemu dengan pasangan kita di waktu di mana adakalanya kita tidak ingin bertemu dengan siapapun, kita harus berbicara dengan pasangan kita di waktu kita sebetulnya lagi tidak ingin berbicara dengan siapapun. Jadi benar-benar 2 konteks kehidupan yang berbeda, nah pada saat kita tidak ingin bicara, terus diajak bicara dan harus bicara di situlah komunikasi bisa terganggu. Jadi kita cenderung bisa berbicara dengan baik kalau memang kita lagi mau berbicara saat itu dan memang hati kita lagi senang, namun kita tahu setelah menikah hal itu tidak lagi bisa kita miliki.
(2) IR : Jadi jelas Pak Paul bahwa komunikasi itu sangat dipengaruhi dengan emosi, dengan pikiran. Tapi mungkin ada contoh gaya-gaya komunikasi yang mungkin Pak Paul bisa berikan, karena setiap orang itu 'kan belum tentu mengerti cara berkomunikasi dengan gaya-gaya yang positif, mungkin Pak Paul bisa memberi contoh?

PG : Dan sudah pasti gaya komunikasi kita ini akhirnya mempengaruhi komunikasi kita dengan pasangan kita. Nah ada yang mudah memahami gaya komunikasi kita, ada yang kesulitan sebab biasanya aya komunikasi dua orang itu tidak sama.

GS : Walaupun mereka suami-istri Pak Paul?

PG : Walaupun mereka suami-istri.

GS : Itu justru yang menarik.

PG : Ya, salah satu gaya yang umum dan ini biasanya dimiliki oleh pria, yakni gaya yang boleh saya gunakan sebutan si asumsi atau si anggap, si menganggap. Artinya orang ini menganggap bahwaseharusnya engkau sudah tahu apa yang ingin saya katakan, jadi sebelum saya katakan ya engkau sudah mengerti, dan intinya adalah saya tidak usah katakan lagi.

Nah ini salah satu gaya komunikasi yang tidak sehat karena akhirnya lawan bicara akan bingung, apa yang sedang kita pikirkan dia tidak tahu sebab kita tidak mengungkapkan. Tatkala dia tidak memberikan jawaban atau melakukan yang kita harapkan, kita marah dan akhirnya kita merasa orang ini tidak mengerti kita.
GS : Sebaliknya ada juga orang yang mengatakan sesuatu itu berputar dulu tidak to the point tapi penuh dengan kata-kata yang bersayap sehingga kita itu sulit memahaminya.

PG : Betul sekali, dan ini biasanya dipengaruhi oleh budaya Pak Gunawan, jadi memang ini gaya bicara yang bisa kita sebut gaya bicara putar-putar. Yakni sebelum menyampaikan atau tiba pada ssarannya, dia harus keliling kota dulu baru ke sasarannya.

Nah ini memang tidak salah, tergantung budaya tersebut dan apakah pasangan kita bisa memahami gaya bicara kita.
GS : Faktor waktu Pak Paul, saya rasa itu juga menentukan, kadang-kadang kami sebagai suami kalau sedang lelah, lalu diajak bicara padahal istri itu banyak sekali yang dibicarakan mulai pagi sampai sore apa yang dialami dia mau sampaikan itu sering kali dan kami tidak bisa menanggapi dengan sungguh-sungguh begitu, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, saya masih ingat waktu kami belum lama menikah, saya mengalami gangguan juga dalam hal komunikasi dengan istri saya. Sejak saat itu saya masih ingat istri sayacenderung bicara tentang problem tentang apa yang terjadi di rumah tatkala saya baru pulang, waktu saya makan malam.

Nah saya ini orang yang menikmati makan Pak Gunawan, Pak Gunawan mungkin bisa melihat dari tubuh saya, saya kalau makan ingin menikmati makanan yang saya makan itu, saya orangnya begitu. Nonton televisi ya saya ingin nonton televisi, saya tidak bisa nonton televisi sekaligus berdiskusi tentang isi film itu saya tidak bisa, jadi saya satu ya satu begitu. Nah lagi makan ya saya makan, saya tidak suka lagi makan itu ngobrol tentang hal-hal yang serius, nah yang terjadi adalah istri saya suka cerita tentang masalah yang terjadi hari itu, nah saya tidak bisa mendengar. Dia memang senang menemani saya duduk di meja makan tapi akhirnya menjadi waktu yang tidak saya nikmati, maka saya katakan kepada dia: "Lain kali ya jangan ngomong setelah atau lagi saya makan." Jadi akhirnya kami memutuskan waktu yang paling cocok untuk kami bicara hal yang serius adalah malam hari, setelah semua tidur. Dan saya berikan persiapan yaitu istri saya beritahu saya, "Nanti malam ada waktu tidak, saya mau bicara sesuatu yang penting," saya bilang ada. Nah jadi saya sudah bisa antisipasi kalau saya sudah bilang ada dan saya bersedia, saya harus pegang janji itu, jangan setelah malam saya langsung tidur, nah itu tidak baik ya, tidak etis. Jadi siapkan waktu untuk bicara hal yang serius sebab waktu itu akan menjadi lebih produktif kita gunakan.
GS : Tapi bagaimana kalau hal-hal itu yaitu masalah-masalah yang memang serius itu rutin Pak Paul dari hari ke sehari, masalah-masalah yang dibicarakan di dalam rumah tangga itu sama, mirip yaitu masalah anak-anak, masalah harga barang itu 'kan tidak terlalu membutuhkan banyak pemikiran Pak Paul, nah kalau itu dibicarakan pada jam-jam makan, apakah itu juga mengganggu?

PG : Tergantung orangnya, bagi saya cukup mengganggu, sebab bagi saya kalau saya sedang makan saya ingin menikmati yang saya makan, tidak bisa dicampur dengan memikirkan problem Pak Gunawan.Nah saya percaya ada orang-orang yang saya rasa tidak apa-apa dan dia bisa menikmati makan sembari ngobrol dengan hal-hal yang serius, yang mengganggu, ya sudah tidak apa-apa, jadi tergantung.

IR : Apakah perlu Pak Paul, seseorang itu mengkomunikasikan secara utuh apa yang ada di dalam hatinya?

PG : Maksudnya apakah perlu keterbukaan total begitu?

IR : Ya total.

PG : Apapun yang dia pikirkan dia katakan. Saya kira tidak, jadi kita perlu bijaksana apa yang perlu kita sampaikan saat ini, nah itu saya gunakan. Saya garis bawahi kata saat ini, sebab tidk semua hal cocok disampaikan saat ini, itu satu prinsipnya.

Prinsip kedua adalah kita tidak boleh berbohong untuk menutupi suatu hal yang memang telah terjadi, jadi jangan kita ini menggunakan kebohongan untuk melindungi diri atau untuk menyelamatkan diri atau untuk memecahkan problem kita, jadi itu prinsip yang kedua. Jadi yang saya maksud kalaupun kita tidak menceritakan, itu bukan berarti kita sedang mencoba menutupi suatu fakta dari pasangan kita atau sedang mencoba menyelamatkan diri atau kita berpikir dengan berbohong kita akan memecahkan problem ini. Itu tidak boleh, sebab memang Tuhan melarang kita untuk berbohong. Nah kita tidak menyampaikan yang kita alami atau rasakan atau pikirkan semuanya kepada pasangan kita saat ini artinya adalah kita selalu menimbang apakah memang inilah waktu yang cocok untuk kita membicarakan hal ini. Apakah memang dia ini siap mendengar yang saya ingin katakan, apakah ini hanya untuk memuaskan hasrat saya saja dan saya tidak peduli dampaknya pada pasangan saya. Jadi dalam komunikasi kita perlu mempertimbangkan semua faktor-faktor itu, sebab sekali lagi kita tidak hidup untuk diri kita, jadi Tuhan pun meminta kita selalu menimbang orang lain pula.
IR : Jadi bertahap Pak Paul ya?

PG : Ya jadi bisa bertahap juga tapi ini bukannya kasus di mana misalnya terjadi perselingkuhan dan misalkan seorang istri bertanya meminta pertanggungjawaban suami yang telah berselingkuh. ah di sini sudah pasti yang dituntut dan yang seharusnya dilakukan adalah keterbukaan total.

Jadi tidak boleh si suami berkata saya akan ceritakan satu bagian, mungkin 3 bulan lagi bagian yang lainnya, tidak bisa. Jadi untuk merestorasi atau memulihkan hubungan yang telah putus atau telah retak karena perselingkuhan si suami harus terbuka dengan total apa yang telah dia lakukan dan apa yang istri ingin tanyakan dia mesti ceritakan, sehingga si istri bisa mulai membangun rasa percayanya kembali.
GS : Sebenarnya pokok-pokok pembicaraan apa yang bisa membangun kehidupan pernikahan kita Pak Paul, 'kan ada pembicaraan itu yang sekadar istilahnya basa-basi saja, sambil lalu. Tetapi apakah ada pokok-pokok pembicaraan itu yang memang perlu untuk dibicarakan oleh suami-istri?

PG : Saya kira tidak ada hukumnya atau aturannya, berapa banyak atau hal-hal apa saja yang bisa dibicarakan, saya kira berapa dalam dan berapa luasnya percakapan itu akan dipengaruhi sekali leh berapa dekatnya hubungan itu.

Karena hubungan yang sangat akrab akan juga memperluas topik percakapan, sehingga banyak hal yang bisa dibicarakan. Dan juga pengalaman hidup bersama, itu juga penting dalam pembicaraan kalau si istri terputus dari si suami dalam pengalaman hidupnya sebab suami bekerja dari pagi sampai malam, jarang cerita tentang pekerjaannya dengan si istri, nah si istri tidak membagi hidup dengan si suami, akibatnya tidak bisa berbicara secara luas juga. Jadi berapa banyak yang bisa dibicarakan dan berapa dalam tergantung pula pada dua hal itu, yaitu berapa dekatnya hubungan suami-istri dan berapa seringnya mereka berbagi pengalaman hidup ini.
IR : Nah ini ada contoh Pak Paul seorang suami dan istri itu memang dekat, cuma si suami ini sangat labil emosinya, kemudian si istri itu di dalam mengkomunikasikan suatu masalah tidak semuanya begitu. Apakah sisanya itu dianggap kebohongan Pak Paul?

PG : Tidak, itu hikmat ya Bu Ida, jadi kita tahu berapa banyak yang bisa diserap oleh si suami tanpa dia harus akhirnya goyang, kalau dia memang beremosi tinggi, kita tahu kalau kita berikan10 kilo dia pasti akan marah, meledak dan sebagainya.

Nah jadi kita akan sampaikan 1 kilo, 1 kilo dan 1 kilo, perlahan-lahan. Dan mungkin juga itu adalah hal yang ideal dan diharapkan oleh si suami secara tidak langsung, karena kalau dia serap semuanya diapun akan menderita, diapun tidak bisa menguasai dirinya. Dan mungkin dia akan menyesali juga kenapa tadi saya bereaksi begitu keras, jadi saya kira itu adalah aspek yang baik, itu adalah suatu kebijaksanaan dalam berkomunikasi, jadi saya pikir itu baik, bukannya berbohong.
IR : Soalnya istri itu kadang-kadang mempunyai perasaan aduh....ada sebagian yang saya rahasiakan, dia itu punya kebohongan, tapi pada akhirnya nanti disampaikan karena kalau proses masalahnya itu sudah lama dia bisa menerima begitu Pak Paul, tapi kalau pada waktu itu dia pasti akan marah.

PG : Betul, tapi sekali lagi saya ingin garis bawahi, mungkin ada pendengar yang baru langsung mendengar percakapan ini, jadi jangan sampai salah sangka. Tidak diberitahukan dalam pengertianbukannya sedang menutupi fakta tentang diri kita.

Misalkan kita telah berselingkuh, kita telah melakukan hal yang salah dan kita tidak mau memberitahu pasangan kita, bukan itu sama sekali. Jadi ini adalah pembicaraan tentang hal-hal lain misalnya soal urusan bisnis atau urusan anak dan sebagainya nah kita tidak sampaikan dalam pengertian kita mau melihat waktunya kapan, kesiapan pasangan kita begitu.
GS : Ya sering kali yang menjadi masalah di dalam komunikasi atau salah pengertian itu sebenarnya kadang-kadang justru hal-hal yang sepele Pak Paul, bukan hal-hal yang prinsip. Nah itu kenapa, kalau sudah terjadi lalu kita pikir, sebenarnya itu tadi 'kan sesuatu yang bisa dibicarakan atau diselesaikan dengan baik, cuma hal yang sepele misalnya saja makanan yang terlalu asin atau terjatuh di tanah waktu makan dan sebagainya itu 'kan sepele, tapi itu menjadi masalah besar. Sedangkan hal-hal yang sebenarnya prinsip tidak pernah muncul ke permukaan.

PG : Betul, saya juga katakan bahwa kita jarang bertengkar mempeributkan siapa yang menjadi kepala negara Yugoslavia, kita jarang memikirkan soal-soal itu. Komunikasi kita ini dipengaruhi olh beberapa faktor; yang pertama adalah sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi, sebelum terjalinnya kontak komunikasi itu.

Misalnya saya ini baru saja mengalami tekanan-tekanan di tempat kerja misalnya karena ide-ide saya tidak disambut, saya kesal sekali kemudian saya pulang, terus saya bercerita tentang hal lain kepada istri saya dan saya mengusulkan misalnya bagaimana kita ini merenovasi rumah, sebab rasanya makin kecil rumah ini dengan bertambahnya usia anak-anak. Istri misalnya berkata bagaimana kalau kita tunggu dulu, nanti kita lihat lagi beberapa bulan apakah memang perlu dibuat kamar ini atau apa. Nah tiba-tiba saya marah, kenapa saya marah? Sebab saya ini langsung menggolongkan istri saya sama dengan orang-orang tadi di tempat kerja yang menghalangi saya, saya ini merasa terhalang tadi, diri saya tadi merasa tergunting karena yang saya usulkan tidak diterima, sekarang saya mengusulkan hal lain tidak berkaitan dengan pekerjaan saya, tapi istri saya meminta saya menangguhkan terlebih dahulu, saya marah sekali. Nah di situ kita melihat bahwa komunikasi tergantung atau dipengaruhi oleh apa yang terjadi sebelumnya sebab kita cenderung mengategorikan atau menggolongkan orang berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya, meskipun kasusnya tidak sama. Jadi itulah salah satu contoh kenapa kita adakalanya meledak atas hal-hal yang kecil Pak Gunawan.
GS : Apakah pihak ketiga itu bisa mempengaruhi komunikasi suami-istri, maksud saya misalnya di sana ada mertua atau orang lain, saudara, komunikasi kita sering kali tidak sebebas kalau kita waktu berdua Pak Paul.

PG : Tepat sekali, sangat dipengaruhi Pak Gunawan. Jadi hal kedua yang bisa mempengaruhi komunikasi kita adalah kehadiran orang lain. Bisa positif, bisa negatif, bisa misalnya gara-gara ada ertua kita tidak berani berbicara kasar atau kebalikannya Pak Gunawan, gara-gara ada mertua kita sebetulnya ingin mengekspresikan kedongkolan kita kepada mertua, tidak bisa.

Nah akhirnya yang kita jadikan sasaran adalah pasangan kita, kita marah pada pasangan kita dengan harapan si mertua juga ikut marah, si orang tua juga ikut tertembak, begitu. Jadi sering kali kehadiran orang ketiga memang mempengaruhi komunikasi kita, betul itu.
GS : Apakah ada hal-hal lain Pak Paul, yang bisa diupayakan oleh suami-istri supaya komunikasi itu bertambah baik dari hari ke sehari itu?

PG : Ada Pak Gunawan, jadi komunikasi juga sangat dipengaruhi oleh rasa percaya kita pada pasangan, apakah kita bisa bicara bahwa waktu pasangan kita mengatakan A memang A-lah yang dia inginsampaikan.

Kalau sudah ada kecurigaan "Engkau bicara A karena engkau ingin mendapatkan B," nah itu berarti masalahnya bukan lagi komunikasi, namun sudah menyangkut masalah kepercayaan dan ini adalah hal yang lebih serius. Berarti kita tidak lagi bisa percaya pada kemurnian, kejujuran atau motivasi pasangan kita, kalau ini terjadi, memang kita harus kembali kepada hal-hal yang lebih mendasar. Apa yang telah terjadi dalam hubungan kita sehingga kita tidak lagi bisa percaya pada pasangan kita ini, apakah kita pernah merasa tertipu. Adakalanya kita akhirnya sangat berjaga-jaga sewaktu pasangan kita berkata-kata karena kita takut terjebak, kita takut mengeluarkan janji sebab janji kita itu bisa dipegang atau kita takut menceritakan kelemahan kita kalau ini adalah kelemahan. Sebabnya adalah kelemahan ini bisa dipegangnya untuk menyerang kita kembali, jadi komunikasi sangat dipengaruhi oleh rasa percaya. Berbahagialah pernikahan yang memiliki rasa percaya yang kuat, kalau itu tidak ada, biasanya hal berikutnya yang akan rontok adalah komunikasi antara dua orang itu.
GS : Saya ingat bahwa firman Tuhan selalu mengingatkan kita agar kita itu kalau berbicara yang lemah lembut Pak Paul ya, menahan amarah dan sebagainya. Itu berkaitan dengan kehidupan kerohanian kita Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sebab orang cenderung lebih bisa mendengar perkataan lemah lembut daripada perkataan kasar. Perkataan kasar meskipun dikatakan saya jujur bebrbicara apa adanyatapi kalau kasar, tetap akan mengurangi keefektifan komunikasi itu.

GS : Ya jadi dalam hal ini bukan isinya, isinya tetap penting tapi gaya dia menyampaikan itu juga penting, Pak Paul.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan juga komunikasi sangat dipengaruhi oleh pandangan kita tentang orang lain. Jadi kita sebetulnya berkomunikasi sesuai dengan gambar dalam kepala kita, siapaorang itu.

Misalkan, kita berbicara dengan orang yang kita anggap kasar, nah kita tiba-tiba sudah mulai mengubah pola pikir kita. Kita harus berbicara dengan kasar juga kepada dia sebab dengan cara itulah baru dia mengerti. Kalau kita berbicara dengan orang yang kita anggap halus sekali, nah tiba-tiba kita mengubah gaya bicara kita dengan lebih halus agar dia jangan sampai tersinggung. Jadi tergantung pada persepsi atau pandangan atau penilaian kita terhadap lawan bicara itu. Nah dalam konteks suami-istri, siapa istri atau suami kita menurut kita itu akan mempengaruhi bagaimana kita berkomunikasi dengan dia. Salah satu unsurnya adalah yang kita sering bicarakan yaitu respek. Kalau kita menilai dia dengan penuh respek, otomatis komunikasi kita juga akan lebih berhati-hati, kita tidak sembarangan bicara, kita tidak sembarangan mengeluarkan perasaan kita karena kita mau mengindahkan perasaannya. Tapi kalau respek itu sudah hilang otomatis penilaian kita terhadap orang tersebut negatif, nah sewaktu penilaian kita negatif komunikasi kita akan diisi dengan hal-hal negatif pula.
GS : Jadi sesuatu hal yang memang tidak mudah, tetapi saya rasa kita perlu terus-menerus belajar Pak Paul dalam hal berkomunikasi. Apakah ada bagian dalam Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan ambil dari Efesus 4:15,"Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia Kristus yang adalah kepala." ah ini terjemahan bahasa Inggrisnya lebih bagus yaitu "Speak the Truth in love" kita bertumbuh ke arah Kristus, tapi syaratnya adalah bicaralah hal yang benar di dalam Kristus dan dalam kasih.

GS : Ya terima kasih Pak Paul, dan demikianlah tadi telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar komunikasi suami-istri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



8. Masalah-Masalah dan Penyelesaiannya dalam Hubungan Suami Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T019A (File MP3 T019A)


Abstrak:

Masalah-masalah yang sama seringkali muncul dalam hubungan suami istri. Namun cara apa atau bagaimana kita mengatasinya? Materi ini akan memberikan jawaban buat kita semua.


Ringkasan:

Dalam hubungan suami istri tidak luput dari permasalahan-permasalahan. Dan itu tidak hanya terjadi satu atau dua kali tetapi berulang-ulang dan dalam permasalahan yang sama. Yang seringkali menjadi persoalan adalah apa yang dulu pernah dipeributkan pada saat sebelum menikah itu akan muncul kembali pada saat sudah menikah. Hal ini disebabkan kemungkinan belum adanya penyelesaian dengan sungguh-sungguh atau tuntas terhadap permasalahan tersebut. Hal tersebut juga bisa disebabkan oleh karakter seseorang yang berbeda satu dengan yang lain.

Karakter berunsur/bersumber dari beberapa faktor yaitu:

  1. Fisik
  2. Tipe kepribadian
  3. Pengaruh lingkungan

Dan semua itu menjadi satu dalam hidup kita dan begitu menyatu dengan kita sehingga untuk kita mengubah diri atau cara itu tidaklah terlalu mudah. Yang seharusnya dilakukan untuk tidak terjadi hal seperti ini adalah secara teoritis atau idealisnya keduanya atau suami-istri itu saling menyesuaikan diri. Mayoritas problem antara kita dan pasangan kita bukanlah masalah benar salah tapi masalah perbedaan, perbedaan cara hidup, cara pikir, itu yang harus disesuaikan. Kecenderungan kita adalah berpikir bahwa kita betul dan untuk kita mengubah diri berarti kita melakukan yang salah. Kita perlu juga membatasi problem seperti apa yang kita izinkan untuk timbul lagi misalnya ada problem yang memang kita tidak boleh toleransi untuk timbul kembali. Misalkan kasus perselingkuhan atau hubungan dengan orang ketiga di luar pernikahan, di situ kita harus tegas bahwa, "Tidak, tidak akan saya toleransi, engkau tidak boleh melanjutkan hubungan dengan dia." Atau misalnya lagi pemukulan, penyiksaan, penganiayaan terhadap pasangan hidup atau anak-anak, itu juga tidak boleh ditoleransi.

Namun dalam kasus yang lain, yang masih bisa ditoleransi yang harus kita lakukan adalah:

  1. Kita mesti siap menerima kenyataan bahwa problem ini kemungkinan besar akan muncul lagi.

  2. Kita mesti menunjukkan usaha, kalau kita tahu bahwa pasangan kita telah berusaha, kita lebih bisa menerima meski dia tidak berhasil melakukan yang kita inginkan. Di sini diperlukan kesamaan visi atau kesamaan pandangan barulah di sini mulai ada perubahan.

Ada kasus suami yang ringan tangan terhadap istrinya, artinya suka memukul istrinya. Meski dia menyesal dan berjanji tidak melakukannya lagi tapi pada kesempatan berikutnya dia tetap melakukan pemukulan terhadap istri. Dalam kasus seperti ini diperlukan pihak ketiga untuk menolongnya di mana dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Kita ini manusia, kalau kita tahu bahwa tindakan kita akan membuahkan konsekuensi yang berat kita cenderung memikir ulang sebelum bertindak. Tapi kalau kita tahu bahwa tindakan kita ini tidak akan membuahkan konsekuensi/tidak ada akibatnya kita cenderung semena-mena. Nah dianjurkan mereka berdua harus bertemu dengan orang ketiga misalnya pendeta atau seorang konselor di mana istri bisa berkata: "Kalau saya dipukul saya akan beritahu pendeta saya," sehingga akhirnya suami berpikir ulang sebelum melakukan tindakan yang sama.

Mazmur 103:13, "Seperti Bapa sayang kepada anak-anakNya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia." Salah satu kunci penyelesaian konflik dalam urusan rumah tangga adalah rasa takut akan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara di kota Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Masalah-masalah dan Penyelesaiannya di dalam hubungan Suami-Istri khususnya. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sebagai suami-istri tentu kita tidak luput dari permasalahan-permasalahan yang ada di dalam kehidupan ini, dan sering kali ada anggapan bahwa suatu masalah yang pernah diselesaikan sebaiknya atau bahkan seharusnya tidak muncul lagi, karena sudah diselesaikan. Tapi kenyataannya di dalam hubungan suami-istri yang saya alami, masalah yang sama itu bisa muncul berkali-kali Pak Paul, sampai kadang-kadang saya sendiri jengkel dan bosan menghadapinya kok itu lagi, itu lagi. Nah, pandangan ini mana yang betul apakah saya yang salah atau pandangannya yang mungkin perlu diluruskan?

PG : Sebelum saya menjawab Pak Gunawan, saya ingin tanya ibu Ida, apakah Ibu Ida juga mempunyai pengalaman yang serupa?

IR : Ya, apakah itu merupakan suatu kebiasaan, jadi rasanya masalah itu selalu diulang-ulang.

PG : Saya pun soalnya juga mengalami masalah yang sama, rupanya itu adalah hal yang wajar Pak Gunawan dan Ibu Ida, bahwa dalam pernikahan kita akan mempeributkan hal yang sama dan rasanya kia juga bisa bosan.

Tapi akhirnya hal yang sama itu yang muncul, saya ingat dulu yang kami tengkarkan maksud saya istri dan saya, sebelum kami menikah ternyata juga adalah hal yang kami tengkarkan setelah kami menikah. Dan seolah-olah itu menjadi duri dalam hubungan kami, dan itu juga memakan waktu bertahun-tahun. Jadi anggapan bahwa sekali kita bereskan untuk selama-lamanya masalah ini tidak akan muncul lagi, saya kira itu lebih seperti mitos yang tidak tepat. Sebab dalam kenyataannya seperti tadi Pak Gunawan sudah singgung hal yang sama sering kali muncul lagi.
GS : Nah, apakah itu berarti bahwa penyelesaian masalah itu belum tuntas Pak Paul?

PG : Bisa, jadi ada kemungkinan memang belum diselesaikan dengan sungguh-sungguh atau dengan tuntas, tapi juga sebetulnya bisa tuntas untuk saat itu. Namun masalahnya atau tema masalah itu mncul kembali sebab kita senantiasa menghadapi peristiwa-peristiwa yang berbeda-beda dalam hidup, tapi karena tema yang sama itu atau cara kita menghadapi masalah yang sama akhirnya problem muncul lagi, jadi adakalanya kita memang sudah selesaikan dan benar-benar ada kedamaian dalam hati kita, saling memaafkan dan ada saling pengertian,tapi kita ini adalah produk dari bentukan dan didikan sehingga cara kita hidup dan sebagainya itu sudah mendarah daging dengan kehidupan kita Pak Gunawan.

Artinya apa, misalnya kemungkinan minggu depan kita menghadapi situasi yang lain, kita menggunakan metode yang sama untuk menyelesaikannya. Dan metode itu kebetulan tidak disukai oleh pasangan kita, akhirnya kita bentrok lagi untuk hal yang persis sama.
IR : Jadi itu terkait juga dengan karakter seseorang Pak Paul, jadi sulit untuk berubah sehingga masalah itu selalu terulang-ulang.

PG : Ya, sebab karakter itu memang berunsur dari beberapa faktor Bu Ida, karakter itu berunsur atau bersumber dari fisik kita, karakter juga bersumber dari tipe kepribadian kita dan juga penaruh lingkungan, apa yang telah kita terima dari lingkungan kita.

Dan akhirnya semua itu menjadi satu dalam hidup kita dan begitu menyatu dengan kita, sehingga untuk kita bisa mengubah diri atau cara yang sama itu akhirnya tidaklah terlalu mudah. Saya misalkan memikirkan tentang diri saya pribadi, saya makin hari makin menyadari bahwa saya tidak sesabar yang saya pikir, itu hal yang tidak begitu enak saya sadari, tapi itulah yang menjadi kenyataan. Dan kenapa saya itu tidak sesabar seperti yang saya pikir, akhirnya saya juga menemukan bahwa saya adalah orang yang menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan benar, dengan efisien, dengan efektif. Nah, saya itu ternyata memang orang yang sangat tergila-gila (kalau boleh saya gunakan istilah tergila-gila) dengan konsep efektif-efisien, sehingga segala sesuatu yang menurut saya tidak efisien, saya dibuat jengkel olehnya. Nah, saya mengerti sekarang bahwa saya tidak bisa memaksakan standar ini pada istri saya atau anak-anak saya, namun terus terang pengertian itu tidak terlalu menolong juga. Sebab tatkala sesuatu dilakukan tidak efisien, mudah sekali kejengkelan saya itu timbul, dan saya harus mengakui adakalanya saya merasa menyesal kenapa tadi saya harus begitu jengkel, kenapa saya harus marah kepada anak saya, saya tahu itu tidak betul tapi akhirnya saya juga marah. Dan kenapa saya begitu atau kenapa saya bereaksi secara negatif, rupanya saya sukar sekali melepaskan diri dari konsep efisien itu.
GS : Jadi kalau kita menghadapi masalah seperti itu dan banyak contoh-contoh yang lain Pak Paul, kita tahu bahwa itu sesuatu yang baik dan benar, efisien, efektif dan sebagainya tapi kenyataannya kita tidak bisa mempengaruhi atau merubah baik istri maupun anak. Dan orang berpendapat kalau mereka tidak bisa berubah, kamu saja yang berubah, tapi kita berprinsip saya benar, sehingga di sana timbul konflik lagi Pak Paul, permasalahannya itu tidak selesai, keluar lagi begitu dan seharusnya yang mesti berubah ini siapa, saya atau orang lain yang ada di sekeliling saya?

PG : Jadi secara teoritis atau idealisnya keduanya itu saling menyesuaikan diri Pak Gunawan, jadi sekali lagi masalahnya bukan siapa salah, siapa benar. Kecenderungan kita adalah seperti tad Pak Gunawan sudah singgung kita cenderung berpikir bahwa kita betul dan untuk kita mengubah diri berarti kita melakukan yang salah, nah masalahnya kalau kita melihat hidup dari sudut salah-benar atau maksud saya dalam kasus pernikahan salah-benar saya rasa kita akan pusing sekali.

Karena mayoritas dari problem antara kita dan pasangan kita bukanlah masalah benar-salah, tapi masalah perbedaan, perbedaan cara hidup, cara pikir, itu yang akhirnya harus kita sesuaikan. Jadi dalam kasus seperti saya tadi misalnya saya tetap harus nomor satu belajar mengontrol emosi saya, sehingga saya tidak terlalu mudah digerakkan oleh emosi, misalkan saya melihat sesuatu yang tidak efisien. Di pihak lain, istri dan anak saya perlu belajar menyesuaikan diri dengan saya yakni belajar untuk lebih efisien, tidak sembarangan misalnya dalam mengerjakan sesuatu, jadi dalam hal itu keduanya saling menyesuaikan diri Pak Gunawan.
GS : Setelah masing-masing menyadari akan kebutuhan yang lebih tinggi dari itu Pak Paul, keutuhan kehidupan rumah tangga itu lebih terjaga.

PG : Betul, dan tema pertengkaran kami ini Pak Gunawan dan Ibu Ida, muncul cukup sering dan saya masih ingat pada suatu ketika di mana istri saya kadang-kadang suka berkata: "Saya tidak bisasempurna seperti yang engkau inginkan," begitu dia mengeluh kepada saya kok kamu menginginkan saya ini sempurna, saya berkata saya sebetulnya tidak menginginkan dia sempurna namun waktu saya pikir-pikir waktu saya menginginkan dia itu efisien, tidak buang-buang tenaga dan mengerjakan sesuatu dengan perencanaan yang baik, saya akhirnya sadari, ya saya memang sedikit banyak mengharapkan dia sempurna.

Tapi di pihak lain saya juga sadar bahwa saya mempunyai sumbang sih yang baik dalam hal itu, jadi diapun juga terpaksa menyesuaikan diri dengan saya untuk kebaikannya juga. Namun di pihak lain saya juga mencoba untuk lebih fleksibel, lebih kendor.
IR : Jadi saling mengisi Pak Paul, saling menolong satu dengan yang lain begitu?
GS : Tetapi kalau masalah itu terulang dan frekwensinya agak sering Pak Paul, itu juga pasti mengganggu dan itu seolah-olah kita tidak sungguh-sungguh menyelesaikan masalah itu. Dan yang diserang bukan masalahnya tapi pribadinya dengan mengatakan: "Kamu ini memang tidak bisa berubah atau kamu ini tidak niat untuk berubah," jadi bergeser.

PG : Betul, jadi akhirnya seperti tadi Pak Gunawan sudah katakan fokusnya beralih mula-mula dalam pertengkaran kita memang percaya bahwa pasangan kita tidak bisa, jadi saya garis bawahi katatidak bisa berubah.

Namun setelah bertengkar untuk satu jangka waktu tertentu terjadilah pergeseran, kita tidak lagi berkata engkau tidak bisa, engkau tidak niat sekarang, engkau memang tidak mau berubah. Nah sewaktu kita sudah melabelkan bahwa pasangan kita itu tidak mau berubah itu adalah suatu serangan yang sangat pribadi akhirnya. Sebab kita langsung mengasumsikan bahwa dia tidak mau berubah dalam kaitannya dengan saya yaitu dia tidak mau menyenangkan hati saya, nah itu bisa kita tarik lagi, lama-lama kita bisa berkata: "Engkau tidak mau berubah karena engkau tidak mau menyenangkan hati saya dan karena engkau tidak mencintai saya atau akhirnya engkau tidak peduli dengan saya, tidak mau berkorban demi saya, kalau engkau cinta saya kenapa tidak mau berkorban."
GS : Dan kalau begitu Pak Paul, ini sesuatu yang sangat serius di dalam hubungan suami-istri, nah bagaimana kita mencoba menangkal masalah itu, kita tahu bahwa itu sudah timbul 2 kali misalnya kita bisa memperkirakan bahwa masalah ini pasti akan timbul lagi. Nah, apa yang bisa kita lakukan baik suami maupun istri?

PG : Saya perlu juga membatasi problem seperti apa yang kita izinkan untuk timbul lagi Pak Gunawan, misalkan ada problem yang memang kita tidak boleh toleransi untuk timbul kembali. Misalkankasus perselingkuhan atau hubungan dengan orang ketiga di luar pernikahan, nah kita harus tegas di situ bahwa: "Tidak! tidak akan saya toleransi, engkau tidak boleh lagi melanjutkan hubungan dengan dia."

Jadi dalam kasus seperti itu tidak boleh ditoleransi atau dalam kasus misalnya pemukulan, penyiksaan, penganiayaan terhadap pasangan hidup atau anak-anak, nah itu tidak boleh ditoleransi. Namun dalam kasus-kasus yang lain saya kira langkah pertama adalah kita mesti siap untuk menerima kenyataan bahwa problem ini kemungkinan besar akan muncul lagi. Jadi saya kira harapan yang realistik itu menolong Pak Gunawan, kadang kala kita ini dibuat kecewa karena kita mempunyai harapan yang tidak realistik. Maka tadi saya sebut itu sebagai mitos jadi nomor satu sadari mungkin timbul kembali, dan nomor 2 saya kira yang penting adalah kita mesti menunjukkan usaha, sebab memang kalau kita tahu bahwa pasangan kita telah berusaha kita lebih bisa menerima meski dia tidak berhasil melakukan yang kita inginkan. Jadi tetap usaha itu penting sekali, adakalanya memang pasangan kita tidak melihat usaha kita, nah di sini yang diperlukan adalah kesamaan visi dalam pengertian, ada orang yang berkata misalnya dalam masalah, seorang istri berkata: "Aku tidak dicintai olehmu, engkau tidak menunjukkan cintamu kepadaku." Nah si suami berkata: "Aku mencintaimu," si istri berkata: "Dari mana aku tahu engkau mencintaiku?" Nah suami misalnya berkata: "Ya aku tidak pernah ada orang lain, aku selalu setia di rumah, aku pulang jam 06.00 sore, tidak pergi-pergi, aku seorang pekerja yang baik." Bagi si suami itu adalah demonstrasi bahwa saya mencintai dia, namun bagi si istri tidak cukup. Jadi si suami perlu bertanya: "Seperti apakah engkau itu menginginkan aku mencintaimu?" Nah biarkan si istri memberikan petunjuknya, yang dia inginkan apa sehingga akhirnya si suami tahu bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut. Jadi mesti ada kesamaan visi atau pandangan, nah setelah itu saya kira baru mulai ada perubahan. Kalau misalnya si istri itu melihat si suami dan mencoba misalkan dengan berkata: "Ya aku minta misalnya engkau tidak hanya duduk di dalam rumah, membaca koran, nonton televisi tapi aku minta engkau sekurang-kurangnya bisa berbincang-bincang dengan kami. Nah, mereka berdua harus tetapkan waktu misalnya setiap malam selama ½ jam sebelum tidur keluarga kumpul duduk bersama-sama, matikan televisi agar bisa bicara, berbincang bersama-sama, meskipun dia tidak bisa banyak bicara dia mungkin hanya diam-diam, tapi setidak-tidaknya usaha itu nampak. Jadi kalau sudah ada kesepakatan perilaku seperti apakah yang diinginkan, usahanya baru bisa lebih nampak. Saya kira sering kali masalah muncul karena tidak ada kesepakatan perilaku seperti apakah yang diinginkan, sehingga sewaktu usaha untuk memperbaiki itu ditunjukkan pihak yang satunya tidak melihat.
GS : Dan saya rasa ada satu hal juga yang penting Pak Paul dari pembicaraan ini, yaitu penghargaan terhadap pasangan yang sudah berupaya keras untuk berubah itu Pak Paul jadi semacam reward, apakah itu memang besar pengaruhnya Pak Paul?

PG : Besar sekali Pak Gunawan, jadi kita memang cenderung akan mengulangi perbuatan yang diberikan imbalan, itu prinsipnya. Kalau kita melakukan A terus diberikan imbalan yang positif karenamelakukan A kita cenderung melakukan lagi perbuatan tersebut.

Jadi saya setuju sekali kita perlu mengkomunikasikan, jadi bukan saja dalam hati berkata: "O...saya senang, saya menghargai," tapi perlu menyuarakannya supaya didengar oleh pasangan kita.
GS : Pak Paul tadi memberikan contoh tentang (biasanya suami yang suka memukul istrinya) Pak Paul mengatakan tidak bisa ditolerier, hanya sekali itu sudah harus diselesaikan. Tapi pada faktanya, ada suami yang memang ringan tangan dalam arti kata suka memukul istrinya, dia menyesal setelah memukul, dia berjanji untuk tidak melakukan lagi tapi pada kesempatan berikutnya dia tetap melakukan pemukulan terhadap istri, nah itu bagaimana Pak Paul? Mau tidak ditolerier bisa runyam.

PG : Dalam kasus seperti ini jelas si suami itu membutuhkan pihak ketiga untuk menolongnya. Sebab dia tidak bisa menguasai diri, nah kalau dia memang mengakui dia tidak bisa menguasai diri da memerlukan pihak ketiga dimana dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya.

Sebab kita ini manusia kalau kita tahu bahwa tindakan kita akan membuahkan konsekuensi yang berat kita cenderung memikir ulang sebelum bertindak. Tapi kalau kita tahu bahwa tindakan kita ini tidak akan membuahkan konsekuensi, tidak ada akibatnya kita cenderung semena-mena. Jadi saya tahu ada suami yang mengalami problem ini, dia tahu ini salah tidak boleh memukul istri tapi dia tidak bisa menguasai diri, setiap kali dia marah dia akan pukul istrinya. Nah, saya anjurkan mereka berdua harus bertemu dengan orang ketiga yaitu misalnya pendeta atau seorang konselor di mana si istri bisa berkata, kalau saya dipukul saya akan beritahu pendeta saya, sehingga akhirnya si suami berpikir ulang sebelum melakukan tindakan yang sama. Atau tindakan yang lebih drastis yang saya rasa ini juga baik adalah si istri berkata: "Sekali lagi kamu pukul saya, saya akan laporkan kamu ke polisi." Nah, sering kali itu juga berkhasiat, sebab si suami itu kalau melihat istrinya berani untuk mengambil tindakan yang tegas dia akan berpikir ulang untuk memukulnya. Tapi sering kali yang terjadi adalah si suami ini melihat si istri begitu lemah, sehingga waktu dia marah dia akan pukul, karena dia tahu tidak ada konsekuensi.
GS : Mungkin istri juga malu Pak Paul untuk melaporkan ke polisi.

PG : Betul, jadi memang ada harga yang harus dibayar, namun kalau tidak dihentikan yang sering terjadi adalah terus berkelanjutan.

IR : Pak Paul, apakah semua konflik itu harus diselesaikan pada hari yang sama?

PG : Idealnya begitu Bu Ida dan kita pun tahu bahwa firman Tuhan di Efesus 4 meminta kita untuk membereskan problem, jangan sampai kita menyimpan dendam, jangan biarkan amarahmusampai matahari terbenam.

GS : Tapi untuk kasus-kasus seperti tadi tidak bisa Pak Paul?

PG : Betul, jadi saya kira secara realistik kita mesti secara kognitif, secara rasional berkata kepada Tuhan, "Tuhan, saya mengampuni dia, saya tidak mau marah kepada dia," jadi kita tidak bleh dengan sengaja berkata: "Saya mau menyimpan dendam," tidak boleh.

Jadi kita dalam hubungan dengan Tuhan mesti berniat dan berusaha keras untuk mengampuni dan melupakannya. Namun setelah kita berkata demikian, tidak berarti bahwa tiba-tiba kita akan melupakan semua yang telah terjadi, otomatis kita masih bisa marah, kita masih bisa sedih lagi jadi terima itu sebagai bagian dari penyembuhan. Tapi yang penting adalah niat kita, secara rasional kita memang tidak mau menyimpan dendam, saya kira itu yang Tuhan maksud. Jadi untuk menjawab tadi yang Ibu tanyakan memang tidak semua problem bisa selesai dalam 1 hari jadi ada problem yang akan menyertai kita selama bertahun-tahun dan menjadi duri dalam hubungan kita. Kita mencoba selesaikan, tapi tidak bisa selesai-selesai adakalanya itu yang terjadi.
IR : Jadi harus melalui proses ya Pak Paul?

PG : Ya dan prosesnya sering kali panjang.

GS : Tapi kita harus tahu persis bahwa kita sedang berada dalam proses itu Pak Paul, sering kali yang terjadi orang menyangka dia berada dalam proses itu padahal sebenarnya tidak begitu. Jadi semua harus sampai pada penyelesaiannya, jika tidak diselesaikan dengan betul masalahnya malah bertambah-tambah, tapi dia merasa dia sedang dalam proses bisa begitu Pak Paul?

PG : Bisa, itu point yang bagus sekali Pak Gunawan sebab adakalanya kita ini memang membutakan diri, kita lebih senang melihat kedamaian sementara atau semu daripada menjalani proses.

GS : Mengalihkan persoalan lagi justru bertambah masalahnya Pak Paul.

PG : Betul, sebab masalah aslinya akan muncul lagi nanti.

GS : Apakah dalam hal ini firman Tuhan bisa membantu kita atau mungkin ada bagian firman Tuhan yang bisa Pak Paul bacakan untuk melengkapi pembicaraan kita pada kesempatan ini.

PG : Firman Tuhan yang saya ambil adalah dari Mazmur 103:13, "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia." Saya mau gais bawahi kata orang-orang yang takut akan Dia, saya kira salah satu kunci penyelesaian konflik dalam urusan rumah tangga adalah ada rasa takut kepada Tuhan.

Yang paling berbahaya adalah jikalau salah satu atau sepasang suami-istri itu tidak lagi ada rasa takut kepada Tuhan. Menakutkan, karena mereka bisa berbuat apa saja, jadi tidak ada lagi batasnya, tapi kalau kita takut akan Tuhan kita tahu bahwa kita tidak boleh semena-mena, tidak boleh sesukanya dalam mengekspresikan kejengkelan kita atau kemarahan kita. Meskipun problem kita ini berkepanjangan kalau kita takut akan Tuhan kita akan terus berusaha menyelesaikannya. Kalau kita sudah kehilangan takut kepada Tuhan kita mungkin melakukan hal yang lebih destruktif. Misalnya, kita berkata percuma tidak ada lagi jalan keluar, saya akan memasabodohkan hubungan ini, jadi itu salah satu hal yang sering dilakukan. Atau yang lainnya lagi adalah kita tertarik atau menjalin hubungan dengan orang yang lain, dengan orang ketiga akibatnya adalah kita bukannya menyelesaikan tapi malah meruncingkan masalah. Jadi saya mau garis bawahi kata takut akan Tuhan itu.
GS : Tapi sering kali orang menginterpretasikan takut, ketakutan itu seperti sesuatu yang mencekam Pak Paul. Saya lebih menginterpretasikan takut sebagai rasa hormat kepada Tuhan, jadi bukan ketakutan kita seperti kepada sesuatu bencana atau apa itu Pak Paul.

PG : Tepat seperti yang Pak Gunawan katakan, memang dalam Alikitab kata takut itu mempunyai dua makna, makna yang tadi Pak Gunawan katakan adalah makna hormat, jadi kita takut kepada Tuhan dlam pengertian kita hormat, respek kepadaNya sehingga tidak mau melakukan hal yang mendukakan hatiNya.

Maka di Mazmur 103 tadi diilustrasikan Allah sebagai bapak kita yang menyayangi kita dan kita ini adalah orang yang takut kepadaNya dalam pengertian hormat kepadaNya. Namun dalam Alkitab rasa takut itu juga mengandung makna takut akan murka Allah itu juga ada, dan kita bisa berkata atau kita pun telah menyaksikan murka Allah itu memang dasyat sekali.
GS : Dan kedua pengertian itu harus menyatu Pak Paul?

PG : Betul, sebab manusia punya kecenderungan kurang ajar Pak gunawan.

IR : Takut dan taat itu juga terkait Pak Paul?

PG : Betul, sebagai bukti kita takut ya kita taat.

GS : Salomo sendiri di dalam Amsalnya mengatakan bahwa takut akan Tuhan itu permulaan dari hikmat, jadi mungkin hikmat itu yang kita butuhkan untuk menyelesaikan masalah-masalah dan itu diawali dengan takut akan Tuhan itu tadi. Tapi masalahnya bagaimana kita memupuk rasa takut itu terus-menerus terhadap Tuhan Pak Paul?

PG : Kita memang mesti hidup di dalam Tuhan, dalam pengertian dekat dengan firmanNya, sebab sewaktu kita jauh dari firmanNya kita juga tidak begitu peduli dengan Tuhan. Nomor dua adalah memiih untuk taat, memilih itu saya garis bawahi karena adakalanya kita tidak mau begitu, tidak mau taat.

Kita marah, kita kesal, kita kecewa, kita merasa sudah buat apa pernikahan ini dipertahankan, tapi memilih untuk taat berarti secara rasional kita berkata: "Tuhan, saya mau tetap mengikuti jalanMu".
GS : Karena itu firman Tuhan itu sangat penting di dalam kehidupan kita berkeluarga Pak Paul, itu menjadi semacam pedoman bagi kita untuk menyelesaikan masalah-masalah. Karena kalau tidak, kita tidak akan ketemu dan kita ketemu justru di dalam firman Tuhan itu.

PG : Konflik itu menyakitkan Pak Gunawan, jadi dalam konflik kita cenderung mau mendapatkan kelegaan, nah kelegaan adakalanya melalui jalan yang salah. Jadi takut akan Tuhan penting sekali mnjaga kita dalam batas yang betul.

IR : Jadi selalu berpaling kepada Tuhan, dalam setiap kesempatan.

PG : Betul.

GS : Sungguh ini suatu perbincangan yang menarik sekali karena suatu masalah sering kali muncul di dalam kehidupan rumah tangga bahkan masalah-masalah yang sama tetapi kita sudah dibekali melalui perbincangan ini untuk bagaimana bisa menyelesaikannya. Dan demikianlah tadi para pendengar sekalian yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan apabila Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami pada kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih untuk sura-surat yang ditujukan kepada kami dan juga saran-saran. Namun kami masih tetap mengharapkan saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



9. Pengampunan dalam Hubungan Suami Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T019B (File MP3 T019B)


Abstrak:

Dalam hubungan suami istri kadangkala kita sukar melihat kenyataan bahwa pasangan benar-benar minta maaf. Sebab kita sudah mengenal pasangan kita begitu dekatnya. Namun dalam hal ini ada langkah atau tindakan yang perlu untuk kita lakukan.


Ringkasan:

Pertobatan berarti berbalik arah, jadi berbalik arah itu tidak bisa terjadi tanpa dilihat orang. Waktu kita berbalik arah orang akan melihat bahwa arah kita itu sudah memang berubah. Dalam kaitannya dengan urusan suami-istri yang diminta adalah pertobatan. Kalau memang dia sungguh-sungguh menyesali apa yang telah dilakukannya, jadi yang perlu ditunjukkan kalau tidak ada proses berbalik arah, pasangan kita sulit untuk percaya bahwa kita memang sungguh-sungguh telah bertobat.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kita sulit untuk berubah:

  1. Karena adanya hubungan yang buruk, tidak sehat, tidak menyenangkannya, tidak lagi memenuhi kebutuhan atau harapannya. Sehingga bagi dia berubah berarti masuk ke dalam hubungan yang tidak menyenangkan itu, jadi daripada memasuki kembali hubungan yang tidak menyenangkan itu lebih baik tetap hidup di dalam masalahnya.

  2. Tidak mau berubah karena takut, ketakutannya adalah kalau saya berubah nanti pasangan saya bisa memanfaatkan saya, menguasai saya. Sekarang karena bermasalah, saya menjadi lebih kuat.

  3. Ada unsur melindungi misalnya istri melindungi suami, sebab kecenderungan terutama bagi para wanita suami itu sudah benar-benar menjadi bagian dalam hidupnya dan wanita akan terpukul sekali kalau terjadi apa-apa dengan suaminya. Sebab biasanya memang harga diri, rasa bermakna itu ditemukan dalam diri suami atau dalam hubungannya dengan suaminya.

Dampak perlakuan suami yang terlalu sering menghakimi istri terhadap anak-anak adalah:

  1. Anak-anak hidup dalam ketegangan.Tegang dalam pengertian takut berbuat salah karena melihat ayah begitu keras dan penuh emosi berarti kami tidak boleh berbuat kesalahan yang sama. Ibu saja mendapatkan amarah dari ayah apalagi kami.

  2. Mungkin sekali anak-anak tidak hormat kepada si ayah karena melihat si ayah semena-mena terhadap si ibu.

  3. Kebalikannya anak-anak justru tidak hormat kepada ibu karena melihat ibu tidak dihormati oleh ayah.

  4. Anak-anak mulai lepas kendali dalam pengertian tidak lagi tunduk pada orangtua karena mereka pun menyadari orangtua itu banyak masalah.

Jadi sewaktu hubungan orang tua atau hubungan suami-istri itu bermasalah, tanpa disadari masalah itu memperlemah posisi mereka di hadapan anak. Anak makin berani makanya tidak jarang terjadi dalam keluarga yang bermasalah, anak-anak itu bermasalah jadi badung, berani, nakal misalnya sebab itu problem antara orang tua memperlemah hubungan mereka dengan anak atau wibawa mereka di hadapan anak.

Pengampunan yang diberikan Tuhan kepada kita adalah suatu pengampunan yang sungguh dan kalau dikaitkan dengan hubungan suami-istri pengampunan itu kita berikan lagi dan lagi dan lagi. Golden McDonald seorang pendeta dengan istrinya menulis sebuah buku "Restoring Your Broken World" merestorasi duniamu yang sudah hancur. Jadi dalam buku tersebut beliau menekankan bahwa pengampunan itu kita berikan terus-menerus, karena mengampuni secara rasional kita di hadapan Tuhan berkata: "Saya tidak mau menyimpan dendam Tuhan, saya akan mengampuni dia." Tapi setelah kita berkata demikian besok mungkin kita marah lagi sewaktu kita mengingat apa yang telah diperbuatnya. Di saat itulah kita marah, silakan marah tapi setelah marah mengampuni lagi dan ini akan terus berjalan mungkin untuk waktu yang lumayan panjang. Jadi mengampuni, marah, mengampuni lagi marah lagi, mengampuni lagi berlalu mungkin untuk berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun dalam kasus yang lebih berat.

Mazmur 103 : 14, "Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu." Jadi inilah Firman Tuhan untuk kita semua bahwa Tuhan itu tahu siapa kita apa adanya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pengampunan khususnya pengampunan antara pasangan suami-istri. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, berbicara tentang mengampuni pasangan, sering kali yang kami hadapi adalah saya itu sebenarnya sudah memberikan pengampunan terhadap pasangan saya, istri saya atau sebaliknya kalau saya minta maaf dan dia mengatakan ya sudah diampuni. Tetapi yang sering kali timbul adalah kesalahan seperti beberapa waktu yang lalu yang pernah kita bahas itu terulang lagi seakan-akan tidak bisa selesai sekaligus. Kemudian timbul pertanyaan, apakah saya ini sungguh-sungguh mencintai dia atau tidak, dan kalau pengampunan sudah diberikan, apakah pengampunan itu berlaku untuk seterusnya, artinya kalau dia salah ya kita katakan dulu sudah diampuni/sudah dimaafkan kok berbuat salah lagi. Tetapi ada juga suatu masalah yang lain, ada orang yang sebenarnya merasakan pengampunan itu secara berlebihan, dalam arti kata sebenarnya pasangannya itu tidak sungguh-sungguh mau memberikan itikad yang baik, jadi dia melakukan hal-hal yang menyakiti hati pasangannya, hanya dia menutupi itu lewat kata-kata permintaan maaf bahkan sampai minta ampun Pak Paul, bagaimana kita bisa membedakan hal itu antara orang yang memang sungguh-sungguh menyesali akan kesalahannya dan yang sekadar ucapan-ucapan kosong belaka itu?

PG : Biasanya kita menuntut bukti Pak Gunawan, jadi kalau memang orang itu benar-benar menyesali perbuatannya kita mau melihat buah pertobatannya. Jadi di sinilah kita menggunakan konsep Alkita, pertobatan berarti berbalik arah, jadi berbalik arah itu tidak bisa terjadi tanpa dilihat orang.

Waktu kita berbalik arah orang akan melihat bahwa arah kita itu memang sudah berubah. Dalam kaitannya dengan urusan suami-istri, yang diminta adalah pertobatan yaitu orang itu berbalik arah. Kalau memang dia sungguh-sungguh menyesali apa yang telah dilakukannya, jadi saya kira itu yang perlu ditunjukkan kalau tidak ada proses berbalik arah itu saya kira pasangan kita sulit untuk percaya bahwa kita memang sungguh-sungguh telah bertobat.
GS : Tetapi memang betul Pak Paul, jadi setelah dia meminta ampun kelihatannya ada berbalikan arah, tapi mungkin karena dia labil atau bagaimana dia melakukan kesalahan yang sama dan dalam hal ini kalau kita sebagai orang luar melihat, memang dia tidak ada kesungguhan, tapi si pasangannya melihat itu "dia sungguh-sungguh", dia sungguh-sungguh sudah minta ampun kepada saya sampai nangis-nangis bahkan sampai nyembah-nyembah Pak Paul. Sehingga pasangannya ini tergerak atau tertipu. Kalau saya melihat sebenarnya dia tertipu, tapi di pihak lain dia merasa tidak, ini sudah sungguh-sungguh.

PG : Adakalanya kita ini memang sukar melihat kenyataan Pak Gunawan, apalagi dalam relasi suami-istri sebab kita sudah mengenal pasangan kita dengan begitu dekatnya. Kita melihat hal yang baik ada dirinya dan kita pun telah menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun dan mungkin sebagian dari waktu yang telah kita habiskan itu merupakan memori yang menyenangkan buat kita.

Jadi untuk kita bisa menuduh atau melabelkan bahwa engkau tidak tulus bahwa engkau meminta ampun hanya untuk memanipulasiku, kadang-kadang agak sukar, agak sukar karena adanya ikatan-ikatan batiniah yang telah kita lalui bersama. Jadi adakalanya kesukaran itu memang menutupi penilaian kita yang lebih objektif, sehingga yang tadi Pak Gunawan katakan orang-orang di luar atau yang dekat dengan kita berkata: "Tidak, pasanganmu itu memang mempermainkan engkau," tapi kita tidak bisa melihat itu, karena adanya ikatan batiniah yang sudah merekat itu.
(2) GS : Kalau kita merasa kasihan Pak Paul melihat hal itu kita yang orang luar saja bisa melihat tapi pasangannya ini tidak bisa melihat, tapi mungkin Pak Paul sudah singgung karena ada banyak pengalaman-pengalaman yang romantis, yang indah sehingga itu agak "membutakan" dia. Lalu upaya apa yang bisa kita lakukan Pak Paul, karena dia 'kan menjadi korban terus?

PG : Yang pertama adalah menyadarkan dia bahwa mungkin sekali pasangannya itu melukai dia dengan sengaja Pak Gunawan. Jadi sering kali kita ini menghibur diri dengan berkata bahwa: "O......asangan saya tidak dengan sengaja melakukan hal itu," namun dalam contoh yang tadi Pak Gunawan munculkan jelas bahwa pasangannya itu sengaja sebab ada unsur kesengajaan, unsur memang melakukan hal yang sama tanpa ada pertobatan.

Jadi kalau kita pikir-pikir kenapa dia begitu ya memang ada unsur seperti ini, kita yang harus menyadarkan pihak yang dirugikan itu bahwa itulah yang dilakukan oleh pasanganmu bahwa engkau memang menjadi korban kesengajaannya. Bukan lagi ini khilaf, bukan lagi ini dilakukan tanpa disengaja namun sengaja dan dia sudah tahu bahwa kalau dia melakukan itu dia akan melukai hatimu, namun dia tetap melakukannya. Berarti apa? Berarti memang dia melukai hatimu, jadi step pertama atau langkah pertama adalah menyadarkan orang tersebut bahwa pasangannya memang sedang melukainya.
IR : Nah ini ada kasus Pak Paul, seorang istri yang selalu dilukai oleh suaminya tapi karena dia itu terlalu cinta dan karena itu pilihan dia waktu itu, jadi ada faktor permulaan waktu dia memilih suaminya ini sebetulnya tidak disetujui oleh keluarganya. Jadi apapun yang dilakukan suaminya itu akhirnya diterima walaupun dia itu tersiksa Pak Paul, apakah itu juga faktor Pak Paul karena terlalu cinta dan karena dia itu sudah salah memilih jadi apapun yang dilakukan suaminya itu harus dia terima begitu?

PG : Betul, jadi memang kita mempunyai kecenderungan tidak mau salah jadi tindakan-tindakan kita pada akhirnya merupakan upaya untuk membenarkan diri. Jadi mungkin sekali yang tadi Ibu katakan erjadi dalam kasus tersebut, si istri tidak mau mengakui fakta karena mengakui fakta berarti harus mengakui kesalahannya, bahwa dia telah memilih orang yang keliru dalam hidupnya.

Dan daripada dia mengakui dia salah lebih baik dia tanggung deritanya sendirian, memang menyedihkan sekali kalau itu yang terjadi. Seharusnya dia berani berkata: "Saya salah" dan mengakui itu di hadapan keluarganya, namun di pihak lain keluarganya pun pada saat ini seharusnya tidak boleh lagi menuduh dia atau malah membangkit-bangkitkan kesalahannya sebab dia sudah cukup menderita, jadi yang seharusnya dilakukan oleh keluarganya adalah justru menyambutnya dengan tangan terbuka dan tidak lagi mengingat-ingatkan kesalahannya dulu itu.
IR : Tapi begitu sulitnya si suami itu untuk berubah Pak Paul, itu bagaimana cara mengatasinya. Padahal dia juga seorang yang bisa dikatakan hamba Tuhan, juga sering melayani.

PG : Ya, saya tidak tahu masalahnya dengan jelas tapi secara umum Bu Ida, harus saya akui memang adakalanya ini mungkin terjadi, adakalanya seseorang itu tidak mau berubah karena hubungan denga pasangannya itu buruk, tidak sehat, tidak menyenangkannya, tidak lagi memenuhi kebutuhan atau harapannya.

Sehingga bagi dia berubah berarti masuk kembali ke dalam hubungan yang tidak menyenangkan itu dan dia tidak mau. Jadi daripada memasuki kembali hubungan yang tidak menyenangkan itu dia tetap hidup di dalam masalahnya itu, supaya apa? Ya supaya dia tetap lepas dari hal yang tidak menyenangkan. Ada juga kasus misalnya ada yang tidak mau berubah karena takut, jika saya berubah nanti ketakutannya adalah pasangan saya bisa memanfaatkan saya, menguasai saya seperti dulu dan sebagainya. Sekarang karena saya bermasalah saya menjadi lebih kuat, saya lebih berkuasa dalam rumah saya, justru pasangan saya yang takut kepada saya, nah akibatnya dia tidak begitu rela berubah karena ada rasa takut kalau saya berubah nanti semuanya kembali lagi seperti dulu saya berada di bawah kuasanya lagi dan sebagainya. Jadi ada banyak faktor yang membuat kita akhirnya susah berubah, kalau ada orang ketiga itu kompleks lagi Bu Ida, berarti kita sudah terlanjur suka dengan orang lain dan pasangan kita tidak lagi menarik buat kita.
GS : Nah, itu yang membingungkan saya Pak Paul, dari pihak wanita tadi yang bu Ida ungkapkan itu sebenarnya dia melindungi dirinya sendiri atau melindungi suami atau pasangannya, sebenarnya yang dilindungi siapa? Pak Paul katakan ada unsur pertahanan diri, dia tidak mau berubah dan sebagainya tapi juga dia bisa melihat dari sisi lainnya, itu suatu perlindungan terhadap suaminya yang sudah menyakiti hatinya berkali-kali.

PG : Betul ada unsur itu Pak Gunawan, jadi memang ada unsur melindungi si suami. Sebab ada kecenderungan terutama bagi para wanita, suami itu sudah benar-benar menjadi bagian dalam hidupnya danwanita akan terpukul sekali kalau terjadi apa-apa dengan suaminya.

Sebab memang rasa harga diri, rasa makna hidup itu ditemukan biasanya dalam diri suami atau dalam hubungan dengan suaminya, jadi sewaktu dia harus membicarakan hal yang negatif mengenai suaminya itu sungguh menyakitkan hatinya.
(3) IR : Nah, Pak Paul kalau seorang suami yang seperti tadi yang dikatakan terlalu keras, sering menghakimi istrinya, selalu menyakiti hatinya, itu dampaknya untuk anak-anaknya bagaimana Pak Paul?

PG : Ada beberapa dampak yang tidak harus sama, pertama misalnya yang paling pasti adalah anak-anak itu hidup dalam ketegangan. Tegang dalam pengertian takut berbuat salah karena melihat ayah bgitu keras dan penuh emosi berarti kami tidak boleh berbuat kesalahan yang sama.

Sebab ibu saja mendapatkan amarah dari ayah apalagi kami, dan mungkin sekali mereka juga menerima kemarahan yang sama. Jadi akhirnya membuat mereka hidup dalam ketegangan, nah ini dampak yang paling utama. Dampak yang lainnya lagi adalah mungkin sekali anak-anak tidak hormat kepada si ayah karena melihat kok si ayah semena-mena terhadap si ibu. Dampak yang ketiga yang mungkin terjadi adalah kebalikannya anak-anak justru tidak hormat kepada ibu karena melihat ibu itu tidak dihormati oleh ayah. Jadi akhirnya mereka juga mengikuti jejak ayah tidak menghormati ibu, malah seolah-olah makin hari makin berani kepada ibunya. Dan yang nomor 4 yang terakhir adalah dampak yang umum adalah anak-anak sebetulnya mulai lepas kendali, dalam pengertian tidak lagi tunduk pada rumah pada orang tua karena mereka pun menyadari orang tua itu banyak masalah. Jadi sewaktu hubungan orang tua atau hubungan suami-istri itu bermasalah, tanpa disadari masalah itu memperlemah posisi mereka di hadapan anak, itu dampaknya langsung begitu. Jadi kita sering kali tidak menyadari hal itu namun tatkala kita sedang bermasalah dengan pasangan kita posisi kita di hadapan anak sebetulnya makin lemah. Anak makin berani maka tidak jarang terjadi dalam keluarga yang bermasalah suami-istri bermasalah, anak-anak itu bermasalah menjadi badung, berani, nakal, sebab problem antara orang tua memperlemah hubungan mereka dengan anak atau wibawa mereka di hadapan anak.
GS : Kalau dampaknya sudah begitu serius Pak Paul khususnya terhadap anak tapi juga di dalam hubungan suami-istri, kalau kita tahu dan tidak menyadarkan kasihan si istri atau mungkin juga bisa terbalik suaminya yang diperlakukan seperti itu. Kalau kita tahu hal itu dan kita tidak menyadarkan memang kasihan, tetapi kalau kita menyadarkan khususnya saya itu misalnya mau mengingatkan itu juga ada rasa bersalah Pak Paul. Mungkin pengertian ini keliru bukankah dia sendiri masih merasa dikasihi kebetulan ada seorang istri merasa ditempeleng suaminya itu berarti suaminya masih perhatian dengan dia, masih mencintai dia padahal sudah terang-terangan ditempeleng. Nah dia sendiri merasa suaminya masih perhatian sama dia, kalau saya masuk ke sana kemudian mengatakan sebenarnya suamimu itu sengaja menyakiti kamu, itu 'kan menimbulkan suatu masalah baru Pak Paul?

PG : Dan sebetulnya tidak perlu lagi kita lakukan itu sebab sesungguhnya di dalam diri dia sudah ada konflik, dia sudah tahu bahwa ditempeleng itu bukanlah pernyataan cinta, namun dia harus menistorsi fakta tersebut agar tetap bisa diterimanya, agar dia bisa hidup dengan kenyataan bahwa dia itu ditempeleng.

Sebab kalau dia benar-benar ingin menerima kenyataan apa adanya dia mungkin akan diperhadapkan dengan pilihan yang dia tidak siap untuk mengambilnya. Misalnya pilihan untuk menegur, memarahi si suami, pilihan untuk berkata kepada si suami engkau tidak boleh menamparku lagi, pilihan untuk berkata sekali lagi kau tampar aku tidak mau lagi hidup serumah denganmu dan sebagainya. Tapi dia tidak siap untuk menghadapi pilihan-pilihan tersebut, jadi dia harus menerima fakta bahwa dia ditempeleng, nah penerimaan itu akan lebih mudah dilakukannya kalau dia bisa membubuhkan atau menambahkan makna dalam proses penempelengan itu bahwa memang suami saya mencintai saya, memperhatikan saya maka dia masih bisa menempeleng saya. Jadi dalam kasus seperti itu Pak Gunawan, sering kali usaha orang luar untuk menyadarkan si istri ini, biasanya menemui jalan buntu. (GS : Karena dia sendiri merasa tidak dirugikan Pak Paul), namun sebetulnya dia dalam hati tahu ini tidak betul. Tapi kalau kita yang berbicara dari luar, dia akan menangkal, dia akan berkata: "Tidak, engkau yang salah suami saya mencintai saya." Ini yang sering saya ungkapkan waktu saya bekerja di rumah sakit jiwa dulu, saya masih ingat ada seorang ibu datang matanya biru legam bekas dipukul suaminya. Dan sewaktu ditanya: "Apa yang membuat ibu datang ke sini?" Dia menjawab: "Saya masih ingat suami saya mencintai saya, anak-anak saya baik-baik, kami semua satu keluarga harmonis", tapi matanya biru hitam bekas dipukul oleh si suami. Jadi itu memang sering kali terjadi Pak Gunawan dan sering kali itu menimpa orang yang memang mempunyai penghargaan diri yang sangat minim, mempunyai ketakutan untuk hidup sendiri, jadi hidupnya itu memang bergantung pada orang lain, jadi dia haus sekali akan cinta akan rasa aman yang bisa disediakan oleh si suami. Jadi akhirnya harga apapun yang harus dibayarnya akan dia bayar. Saya masih ingat dulu seorang psikiater di tempat saya bekerja di rumah sakit jiwa, pernah mengutarakan suatu kalimat yang bagus sekali. Beliau berkata: ""Bagi banyak orang bad relationship masih lebih baik daripada no relationship at all." Hubungan yang buruk tetap lebih baik daripada tidak ada hubungan sama sekali. Jadi makanya kita melihat pola yang sama terjadi, ada banyak orang yang memilih untuk hidup di dalam hubungan yang sangat tidak sehat. Sebab kenapa, hidup sendiri tanpa ada hubungan apapun dengan orang, jauh lebih menakutkan baginya.
GS : Tapi pengampunan yang diberikan oleh pihak yang menjadi korban itu sesuatu yang semu Pak Paul?

PG : Ya meskipun dalam pengertian dia mungkin percaya itu sudah terjadi tapi memang kita dari luar melihat bahwa pengampunan itu bukanlah pengampunan yang benar-benar berakar ke dalam, hanya dipermukaan saja.

Karena pengampunan yang sesungguhnya atau yang tuntas harus melihat kenyataan dengan tuntas pula. Selama kita membutakan mata tidak mau melihat kenyataan kita belum bisa mengampuni dengan tuntas. Tuhan mengampuni kita karena Tuhan melihat kita dengan tuntas, dengan jelas apa dosa yang telah kita lakukan dan Dia tetap mengampuni.
GS : Sekalipun kita berkali-kali datang kepada Tuhan untuk minta ampun, Tuhan tetap memberikan pengampunan yang betul-betul pengampunan itu Pak Paul, dan kalau kita kaitkan dalam hubungan suami-istri yang seringkali kita memberikan pengampunan itu tidak bisa hanya sekali untuk itu, kemudian kita katakan lain kali tidak ada pengampunan buat kamu.

PG : Betul, akhirnya pengampunan kita berikan lagi, dan lagi dan lagi. Saya masih ingat komentar Golden McDonald seorang pendeta dengan istrinya menulis satu buku, banyak buku yang dia tulis tai salah satunya yang dia tulis dengan istrinya adalah "Restoring Your Broken world" merestorasi duniamu yang telah hancur.

Jadi dalam buku tersebut beliau menekankan bahwa pengampunan itu kita berikan terus-menerus, karena maksudnya begini, kita mengampuni secara rasional, kita dihadapan Tuhan berkata: "Saya tidak mau menyimpan dendam Tuhan, saya akan mengampuni dia." Tapi setelah kita berkata demikian besok kita mungkin marah lagi sewaktu kita mengingat apa yang telah diperbuatnya, nah di saat itulah kita marah "silakan marah," kata dia. Tapi setelah marah mengampuni lagi dan ini akan terus berjalan, mungkin untuk waktu yang lumayan panjang. Jadi mengampuni, marah, mengampuni lagi, marah lagi, mengampuni lagi terus berlalu mungkin untuk berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun dalam kasus yang lebih berat.
GS : Saya teringat akan pertanyaan yang diajukan kepada Tuhan Yesus yang ditanyakan sampai berapa kali kami harus mengampuni dan Tuhan Yesus mengatakan tujuh puluh kali tujuh Pak Paul, apakah itu juga pas untuk diterapkan di dalam hubungan rumah tangga?

PG : Betul, saya kira itu pas sekali, namun selalu dengan catatan yang tadi telah kita singgung Pak Gunawan yaitu pengampunan yang tuntas didasari atas melihat kenyataan dengan tuntas pula. Nahini yang saya takut sering kali disalahgunakan oleh orang, o....

saya mengampuni, saya mengampuni tapi sebetulnya motivasi utamanya adalah tidak mau menerima kenyataan. Jadi buru-buru membungkus problem dengan pengampunan, intinya sebetulnya tidak sanggup melihat kenyataan begitu.
IR : Tapi ada Pak Paul di teman ya mengampuni ya ndak mengingat-ingat lagi tapi persoalannya tidak diselesaikan, itu yang tidak tuntas ya Pak Paul ya.

PG : Ya, jadi masalahnya memang harus dibereskan sebisanya, meskipun saya juga harus menggarisbawahi bahwa adakalanya masalah itu memerlukan waktu yang panjang untuk bisa dibereskan, nggak mudah. Sakit yang berat memerlukan waktu yang jauh lebih lama untuk dibereskan.

IR : Tapi sering kali dibereskan tapi sering kali justru tidak beres Pak Paul, malah parah. Sering kali misalnya mereka membuat fitnah kemudian yang difitnah ini ingin menanyakan tapi malah parah, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Mungkin pada saat-saat masih panas atau masih rawan kalau ingin mengkonfrontasikan sesuatu jangan berdua, jadi lebih baik di hadapan orang ketiga, pendeta atau konselornya sehingga mereka ebih bisa dikendalikan tatkala emosi meninggi.

Sebab memang harus diakui setelah terjadi pengkhianatan atau sesuatu yang menyakitkan, hati itu sedang berdarah dari kedua belah pihak. Dan hati yang berdarah itu kalau belum kering mudah sekali untuk berdarah kembali. Jadi sebaiknya memang ada orang ketiga pendeta atau konselor yang bisa menengahi atau bisa mengurangi dampaknya tatkala ada hal-hal yang harus memang diungkapkan kembali kepada pasangannya.
GS : Saya rasa itu suatu contoh yang konkret untuk menghayati makna pengampunan yang kita terima dari Tuhan Pak Paul, bahwa itu bukan sesuatu yang mudah dan murah tetapi sesuatu yang sangat berharga sekali dan tidak mudah untuk dilakukan seperti Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Apa Pak Paul akan menutup perbincangan ini dengan sebuah ayat kitab suci yang disiapkan.

PG : Saya akan kutib lagi dari Mazmur 103:14, "Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu," jadi inilah firman Tuhan untuk kita semua bahwa Tuhan itu tau siapa kita apa adanya.

Kita ini memang sangatlah lemah, sangatlah fana dan sangatlah berdosa, jadi nasihat saya adalah kita datang kepada Tuhan apa adanya, dalam masalah-masalah keluarga seperti ini kita jangan takut untuk datang kepada Tuhan. Dia tidak akan menolak kita dan dia akan mengampuni kita, dan kalau kita sudah berhasil menerima pengampunan Tuhan kita mesti juga berani mengakui perbuatan kita di hadapan pasangan kita dengan tuntas dan memohon pengampunannya.
GS : Dan sebaliknya kalau kita menjadi pihak yang dirugikan atau yang disakiti kita juga bisa menerima itu sebagai suatu kenyataan tak perlu menutup-nutupinya dengan mengatakan yang tidak sebenarnya, sehingga kalaupun ada pengampunan, pengampunan itu betul-betul tuntas.

PG : Betul.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



10. Pribadi yang Disatukan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T021B (File MP3 T021B)


Abstrak:

Dalam pengertian tetap mempertahankan pribadi masing-masing atau diri masing-masing tapi dia akan belajar hidup dengan yang lainnya. Dan dalam hal ini tidak bisa tidak harus ada perubahan gaya hidup, tingkah laku, tutur kata dan lain sebagainya.


Ringkasan:

Ada anggapan bahwa setelah kita menikah maka dua kepribadian yaitu suami-istri itu menjadi satu, dalam pengertian masing-masing kehilangan pribadinya atau dirinya. Sesungguhnya yang terjadi adalah bukannya dua orang itu membentuk suatu pribadi yang baru, tetapi dua orang itu tetap mempertahankan pribadi masing-masing atau diri masing-masing tapi dia akan belajar hidup bersama dengan yang lainnya. Jadi dalam hubungan ini tidak bisa tidak harus ada yang namanya prubahan, perubahan gaya hidup, perubahan tutur kata dan juga harus ada unsur penahanan diri. Kepribadian adalah sesuatu yang unik tentang diri kita, misalkan orang yang bersifat sanguin atau yang lebih bersifat melankolik. Keunikan tidak harus diubah sewaktu kita menikah dengan pasangan kita, yang tidak sehat justru adalah gara-gara kita menikah kita ini harus mengubah kepribadian kita.

Penyesuaian kepribadian dengan pasangan kita memerlukan proses yang berlangsung seumur hidup, namun yang paling berat adalah

  1. Lima tahun pertama dan tiga tahun pertama setelah kita menikah. Ini adalah tahap penyesuaian, karena dua orang berkumpul dalam satu rumah dan harus menyesuaikan diri.

  2. Tahap kedua adalah kira-kira usia sekitar 45 hingga 55 atau usia setengah baya, pada usia ini kita kehilangan peran sebagai orangtua, anak-anak sudah mulai besar, anak-anak sudah ada yang menikah. Kita kehilangan peran sebagai seorang ayah atau ibu, sebagai suami dan istri dan kita harus kembali menyesuaikan diri sebagai orang yang tiba-tiba kehilangan peran, dan menyesuaikan diri, hidup lagi dengan istri atau suami kita.

Yang dimaksud dengan pribadi adalah diri, sedangkan kepribadian adalah ciri yang khas atau sifat-sifat yang khas, yang terkandung dalam diri kita itu. Istilah karakter dan kepribadian secara bergantian digunakan orang. Namun di sini karakter itu secara rohani dan kepribadian itu secara psikologis. Karakter rohani termaktub dalam Galatia 5:22,23, "Buah Roh Kudus ialah kasih, sukacita, kemurahan, penguasaan diri, kesetiaan.... nah setiap orang kristen seharusnya memiliki karakter kristiani.

Dalam pernikahan kita harus menghargai kepribadian pasangan kita yang memang tidak sama. Untuk bisa menyatukan kepribadian itu dalam satu wadah pernikahan, yang diperlukan adalah karakter kristiani kita. Jadi tidak peduli kita ini sanguin, plegmatik, melankolik, atau kolerik yang paling penting adalah apakah kita bisa menumbuhkembangkan buah Roh Kudus, apakah kita bisa menjadi suami yang sabar, apakah kita bisa menjadi istri yang bisa menguasai diri, apakah kita bisa menjadi pasangan yang murah hati, apakah kita bisa menjadi suami-istri yang setia terhadap satu sama lain. Jadi akhirnya yang paling penting adalah karakter kristiani, yang perlu kita tumbuhkembangkan, kita tidak usah berupaya mengubah kepribadian pasangan kita.

Roma 13:8, "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia dia sudah memenuhi hukum taurat." Untuk memadukan dua pribadi dalam satu pernikahan tidak bisa tidak harus punya kekuatan Tuhan untuk bisa mengasihi dan akhirnya kita baru bisa menerima dan buah-buah Roh Kudus lainnya bisa tumbuh dengan bebas.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pada kesempatan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang dua pribadi yang disatukan. Kami percaya bahwa acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, berbicara tentang pernikahan, pernikahan itu adalah dua pribadi yang disatukan. Maksudnya saya sadar bahwa saya pribadi, istri saya juga sadar bahwa dia pun seorang pribadi. Kadang-kadang kesadaran itu justru bisa menimbulkan ketegangan di antara hubungan suami-istri. Bagaimana sebenarnya prosesnya pribadi itu sendiri Pak Paul?

PG : Ada anggapan Pak Gunawan, bahwa setelah kita menikah maka dua pribadi atau dua orang itu menjadi satu, dalam pengertian masing-masing kehilangan pribadinya atau dirinya. Sesungguhnya yang erjadi adalah bukannya dua orang itu membentuk suatu pribadi yang baru, tapi yang terjadi adalah dua orang itu tetap mempertahankan pribadi masing-masing atau diri masing-masing.Tapi

dia akan belajar untuk hidup bersama dengan yang lainnya. Jadi dalam hubungan ini tidak bisa tidak, harus ada yang namanya perubahan, perubahan gaya hidup, tutur kata dan juga harus ada unsur penahanan diri. Misalkan mau berbuat sesuatu istri tidak mau ya harus mengalah tidak langsung melakukannya dan sebagainya, jadi dua unsur itu harus ada.
GS : Tapi pribadi masing-masing masih tetap bertahan dengan keunikannya Pak Paul? Jadi itu lebih bersifat penyesuaiannya begitu ya Pak Paul? Ada suatu masa di dalam pernikahan itu di mana kita masing-masing menyesuaikan supaya bisa rukun di dalam kehidupan ini.

PG : Betul, jadi bukannya kepribadian kita atau keunikan kita itu lenyap karena kita sudah menikah dengan pasangan kita. Justru yang sehat adalah kita ini mempertahankan kepribadian kita. Nah, i dalam siaran yang lalu kita juga telah membicarakan mengenai kepribadian.

Jadi itu adalah hal yang unik tentang diri kita, misalkan orang yang lebih bersifat sanguin atau yang lebih bersifat melankolik, itulah keunikan kita. Dan keunikan itu tidak harus diubah sewaktu kita menikah dengan pasangan kita, yang tidak sehat justru adalah karena kita menikah. Kita seolah-olah harus mengubah kepribadian kita. Misalkan kita orang yang senang untuk cerita, mengobrol, senang tertawa misalnya kita kuat di sanguin-nya tapi karena kita menikah dengan suami yang sangat plegmatik dan dia tidak suka misalnya kita tertawa dan senang, akhirnya kita harus tutup mulut, tidak bisa menjadi diri kita lagi. Nah, justru itu tidak baik karena akhirnya kita akan menderita, kita tidak bisa. Akhirnya kita hidup dengan kepribadian yang lain. Tuhan sudah memberikan kita keunikan dan kita sebaiknya hidup secara natural dengan yang Tuhan telah berikan itu. Kalau kita mencoba mengubah-ubah untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh pasangan kita, akhirnya kita tidak akan bisa bertahan lama dalam kerangka atau peran tersebut.
(2) GS : Ya tapi kita memang mempunyai kecenderungan Pak Paul, mau menjadikan orang lain itu seperti diri kita, dengan harapan supaya lebih mudah komunikasinya. Sebenarnya kita sudah mencoba untuk merusakkan apa yang Tuhan berikan atau keunikan yang Tuhan berikan kepada pasangan kita. Tapi menurut pengalaman Pak Paul dibutuhkan waktu yang panjang atau tidak terlalu lama orang itu bisa menyesuaikan pribadinya itu Pak Paul?

PG : Sebetulnya bisa cukup lama Pak Gunawan, jadi sebetulnya proses penyesuaian diri itu berlangsung seumur hidup, namun bisa kita katakan yang paling berat adalah 5 tahun pertama setelah kita enikah.

Oleh sebab itulah menurut statistik yang pernah dipublikasikan di Amerika Serikat tapi sudah lama, sekarang saya tidak tahu lagi, namun pernah dikatakan bahwa usia yang paling rawan untuk terjadinya perceraian adalah 5 tahun pertama setelah pernikahan atau malah ada yang mengkategorikan 3 tahun pertama setelah pernikahan. Dan tahapan kedua adalah kira-kira usia sekitar 45-55 tahun atau usia ½ baya, itu juga adalah kelompok usia yang rawan terhadap perceraian. Yang pertama, sebetulnya penyesuaian itu karena ada dua orang berkumpul dalam satu rumah dan harus menyesuaikan diri. Jadi 3 atau 5 tahun pertama memang masa tersulit, tapi sebetulnya tahapan kedua yakni usia ½ baya sekitar 45-55 tahun masalah utamanya sama yaitu penyesuaian. Karena apa? Pada usia ½ baya itu kita kehilangan peran sebagai orang tua, anak-anak sudah mulai besar, anak-anak sudah ada yang menikah misalnya, ada yang sudah usia 20 tahun ke atas akhirnya kita pun kehilangan peran sebagai seorang ayah atau ibu, suami atau istri, dan kita ini harus kembali menyesuaikan diri sebagai orang yang tiba-tiba kehilangan peran itu. Dan menyesuaikan diri hidup lagi dengan istri atau suami kita tanpa ada komitmen untuk merawat, memberi makan anak kita. Nah biasanya itu adalah masa yang rawan untuk terjadinya perceraian.
GS : Jadi pribadi-pribadi yang disatukan oleh Tuhan dalam sebuah pernikahan itu menjadi satu kesatuan yang unik juga Pak Paul, karena masing-masing keunikan yang Pak Paul katakan tadi tentu ini suatu pasangan atau suatu bentukan yang unik lagi dari Tuhan.

PG : Betul, meskipun tadi kita sudah singgung bahwa kita tidak kehilangan kepribadian kita, sebelumnya saya berkata lebih lanjut saya mau memperjelas bahwa yang kita maksud dengan pribadi adala diri, sedangkan kepribadian adalah ciri atau sifat-sifat yang khas yang terkait dalam diri kita atau watak.

Yang tadi saya mau singgung adalah bahwa kepribadian kita meskipun tidak hilang sewaktu disatukan dalam pernikahan. Tapi pada akhirnya dalam penyesuaian hidup, kita seolah-olah memang akan membentuk suatu kepribadian yang netral antara kita berdua. Dan itu adalah proses yang alamiah, jadi dua orang yang menikah dan akhirnya berhasil mencocokkan atau menyesuaikan diri akhirnya memang sedikit banyak akan lebih mendekati karakteristik atau kepribadian pasangannya. Sebab apa? Sebab lama-kelamaan dia akan menyerap juga sifat-sifat pasangannya itu. Misalkan orang yang dasarnya sangat plegmatik karena dia menikah dengan si kolerik misalnya yang benar-benar disiplinnya tinggi, lama-kelamaan dia akan lebih kolerik dibandingkan dulu sebelum dia menikah sehingga akhirnya keduanya itu seolah-olah berhasil menciptakan suatu kepribadian yang baru untuk masing-masing.
IR : Dengan penyesuaian itu sebenarnya tidak ada alasan untuk bercerai Pak Paul karena sudah ada penyesuaian?

PG : Betul, kalau terjadi, masalahnya memang adakalanya tidak terjadi, mereka berusaha menyesuaikan tapi tidak berhasil. Adakalanya juga yang cukup sering terjadi pihak yang satu berniat menyesaikan, yang satunya tidak berniat.

Yang satunya berkata: "Saya mau belajar, tolong saya untuk memahami kamu," yang satunya berkata: "Saya tidak peduli dan masa bodoh mau dimengerti atau tidak dimengerti tidak jadi masalah," adakalanya itu terjadi juga Bu Ida. Nah pada akhirnya ada satu orang yang pasti tidak tahan hidup dalam suasana seperti itu.
GS : Dalam hal itu Pak Paul, apakah itu yang menentukan kematangan kepribadian seseorang?

PG : Kepribadian yang ada tidak bisa kita katakan matang atau tidak matang, itu sudah ada tipenya, kolerik ya kolerik, tidak ada kolerik yang matang atau tidak matang.

(3)GS : Ya tadi Pak Paul menyinggung tentang suatu istilah karakteristik, sebenarnya karakter itu apa Pak Paul?

PG : Ada orang yang memang menggunakan istilah karakter dan kepribadian secara silih berganti/sama, tapi saya pribadi ingin membedakannya jadi ini masalah semantik saja sebetulnya. Saya memberian definisi karakter itu secara rohani sedangkan kepribadian itu secara psikologis.

Jadi waktu saya berkata karakter, saya membicarakan karakter rohani yang termaktub di dalam Galatia 5:22-23, yaitu buah Roh Kudus ialah kasih, sukacita, kemurahan, penguasaan diri, kesetiaan,dll. Nah itu yang saya maksud dengan karakter. Setiap orang Kristen seharusnya memiliki karakter Kristiani ini, meskipun mereka berasal dari kepribadian yang berbeda-beda.
GS : Lalu kalau tadi Pak Paul singgung dengan Galatia pasal 5 itu 'kan buah Roh Kudus Pak Paul, apakah orang yang katakan tidak Kristen itu tidak punya karakter Pak Paul?

PG : Punya, pertanyaan itu bagus sekali. Nah, karakter seperti kesabaran, kesetiaan, penguasaan diri, itu juga bisa dimiliki oleh orang lain meskipun mereka juga bukan orang Kristen. Jadi apa bdanya karakter Kristiani dan yang lain, sebetulnya dalam hal karakter itu sendiri kalau orang lain pun memiliki karakter seperti itu memang persis sama dengan yang digambarkan di dalam Alkitab, kita bisa katakan memang itulah karakter Kristiani.

Karakter yang seharusnya dimiliki oleh seorang Kristen tapi juga bisa dimiliki oleh orang lain. Jadi ada orang yang sabar, murah hati, ada orang yang bisa menguasai diri.
GS : Mungkin itu yang menjadi citra Allah di dalam diri seseorang secara umum.

PG : Betul.

GS : Tetapi bagi kita orang-orang Kristen, itu merupakan buah dari Roh Kudus, jadi bukan diusahakan tetapi merupakan buah karena Roh Kudus tinggal di dalam diri kita dan Dia berkarya Pak Paul.

PG : Dan kita berjalan dalam pimpinan Roh Kudus, jadi memang harus ada juga usaha kita untuk tunduk pada kehendak Tuhan, untuk bisa menguasai diri, dan menaatiNya. Nah, sewaktu kita mencoba hidp sesuai dengan kehendak Tuhan secara otomatis buah Roh Kudus itu muncul dengan sendirinya.

IR : Jadi itu lewat proses ya Pak Paul?

PG : Betul sekali Ibu Ida. Biasanya itu yang memakan waktu lama dan sering kali yang terjadi adalah ada aspek tertentu dari buah Roh Kudus yang lebih susah muncul dari dalam diri kita. Ada oran yang misalnya memang bawaannya sabar, jadi sebelum dia kenal Tuhan Yesus dia memang sudah menjadi orang yang sabar.

Tapi misalkan dalam hal kemurahan hati dia kurang sekali, sangat egois misalnya. Nah, dalam hal itulah Tuhan akan terus menggosok dia agar bisa berubah seperti yang Tuhan kehendaki.
IR : Tapi kemungkinan pasti bisa sempurna seperti yang tertera dalam ayat 22 secara keseluruhan, mungkin apa tidak Pak Paul?

PG : Mungkin, sebab Tuhan sendiri pernah berkata di Matius pasal 6 "Hendaklah engkau sempurna seperti Bapamu di sorga sempurna." Jadi Tuhan tidak akan memberikan kita perintah yang tiak bisa kita jalankan.

(4)GS : Nah di dalam pernikahan Pak Paul, dua pribadi yang disatukan oleh Tuhan itu apakah terus-menerus mesti dibina supaya pribadi itu berkembang terus dengan buah-buah Roh Kudus yang ada di dalam dirinya. Nah bagaimana caranya kita membina pribadi itu Pak Paul?

PG : Maksudnya agar bisa bertemu di tengah ya?

GS : Ya, kita tentu mengharapkan gesekan-gesekan itu makin lama makin berkurang, kita bisa lebih saling mengasihi itu Pak Paul.

PG : Tadi saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Pdt. Charles Swindoll yang berjudul The Grace Awakening, kebangunan anugerah. Dalam buku itu memang beliau menekankan bahwa kita sebagai orag Kristen haruslah hidup bebas di dalam anugerah Allah, tidak lagi diikat oleh tuntutan hukum Taurat.

Nah salah satu ayat yang dia gunakan supaya kita bisa hidup lebih bebas dengan orang lain adalah Roma 14:1 yang berbunyi: "Terimalah orang yang lemah imannya, tanpa mempercakapkan pendapatnya." Jadi dengan kata lain, waktu bergaul dengan orang kita akan menemukan bahwa orang ini tidak seperti saya, dia lemah dalam hal ini saya lebih baik dari dia. Nah kecenderungan kita adalah kita tidak mau menerimanya. Tetapi firman Tuhan meminta kita untuk menerima orang lain meskipun kita menganggap orang itu lebih lemah dari kita. Nah dalam konteks pernikahan adakalanya itu yang terjadi, bukankah sewaktu kita melihat bahwa istri kita berbeda dari kita, kita bukan berkata dia berbeda tapi dia lebih lemah dari kita, sering kali begitu. (GS : Cenderung merendahkan Pak Paul?) betul dengan kata lain, perbedaan akhirnya diisi oleh bobot penilaian atau penghakiman. "Kamu memang lemah dalam hal ini, kamu memang kurang kuat dalam hal ini, kamu memang kurang bisa dalam hal ini." Nah saya menyadari ada hal-hal yang memang kita kurang mampu lakukan dan kurang bisa lakukan itu juga ada, tapi saya kira cukup sering kita akhirnya menggunakan pelabelan itu. Nah jadi untuk menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan saya kira prinsip atau langkah pertama adalah berusaha menerima kelemahan-kelemahannya. Bagus sekali firman Tuhan berkata tanpa mempercakapkan pendapatnya, jadi kita tidak usah membangkit-bangkitkan, terus membicarakannya ya sudah kita terimalah (GS : Sebagai anugerah dari Tuhan) betul. Dengan cara itu kita bisa hidup lebih bebas kata Charles Swindoll itu.
IR : Dan itu terkait dengan kasih ya Pak Paul, dengan kasih kita akan bisa menerima apa adanya, seperti Kristus menerima kita.

PG : Tepat sekali jadi memang kita hanya bisa menerima kalau kita mengasihi Ibu Ida, tanpa kasih susah sekali kita bisa menerima.

GS : Nah kalau dikatakan bahwa kita merupakan satu pribadi Pak Paul, Tuhan Yesus itu juga satu pribadi yang nyata. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah pribadi-pribadi ini seperti saya, berbeda dengan pribadi Tuhan Yesus, bagaimana Pak Paul? Maksud saya Tuhan Yesus itu diakui sebagai manusia dan juga sebagai Allah, kalau kita manusia saja Pak Paul. Berarti ada suatu misteri tertentu di dalam diri pribadi Tuhan Yesus itu, Pak Paul.

PG : Karena dalam diriNya ada dua pribadi Allah dan manusia, dan Pak Gunawan menanyakan kepada saya bagaimana menjelaskan (GS : Ya bagaimana menjelaskan itu). Sangat sulit sekali menjelaskannyaPak Gunawan, karena sewaktu kita menjelaskan sesuatu kita harus mempunyai tolak ukur atau standar acuan untuk menjelaskannya, tanpa adanya standar acuan itu kita akan kesulitan menjelaskannya.

Nah, dalam hal ini memang sulit sekali menjelaskan tentang perpaduan yang sempurna antara pribadi Allah dan manusia dalam satu pribadi itu. karena tidak ada acuan sebelumnya. Yang dapat kita katakan adalah waktu Dia manusia, Dia juga adalah Allah yang menjadi manusia. Jadi dalam diriNya ada unsur-unsur itu yang lengkap dan sempurna.
GS : Tetapi sebagai pribadi kita sering melihat Tuhan Yesus seperti kita bisa lapar, sedih, punya rasa belas kasihan Pak Paul?

PG : Dia memang manusia yang sempurna dalam pengertian Dia manusia yang sama 100% dengan kita. Bedanya hanyalah dalam kemanusiaanNya, Dia tidak berbuat dosa dan tidak dicemari oleh dosa. KarenaDia lahir bukan dari hubungan antara pria dan wanita, Dia lahir oleh Roh Tuhan sendiri.

GS : Tapi kalau kita mempunyai karakter yang serupa dengan Tuhan Yesus, dalam hal ini tadi yang disebutkan sebagai buah-buah Roh Kudus itu makin kita bisa menerima sesama kita Pak Paul, seperti Tuhan Yesus bisa menerima orang-orang yang datang kepadaNya.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi dalam pernikahan kita harus menghargai kepribadian yang memang tidak sama. Untuk bisa menyatukan kepribadian manusia itu, satu wadah pernikahan diperlukan adlah karakter Kristiani dengan kepedulian kita itu sanguin, plegmatik, melankolik atau kolerik yang paling penting adalah apakah kita bisa menumbuhkembangkan buah Roh Kudus itu, apakah kita bisa menjadi suami yang sabar, apakah kita bisa menjadi istri yang menguasai diri, seperti itu.

Apakah kita bisa menjadi pasangan yang murah hati, apakah kita bisa menjadi suami-istri yang setia terhadap satu sama lain. Nah jadi akhirnya yang paling penting adalah karakter Kristiani itu yang perlu kita tumbuh kembangkan, kita tidak usah berupaya mengubah kepribadian pasangan kita.
GS : Jadi kepribadiannya tidak diubah tetapi karakter itu bersama-sama dibentuk (PG: Tepat sekali Pak Gunawan) karena saya akan merasa sangat tertolong sekali di dalam pembentukan karakter itu kalau pasangan saya/istri saya itu memberikan dorongan, memberikan motivasi supaya kita bersama-sama mewujudkan karakter Kristiani itu tadi Pak Paul?

PG : Betul, saya teringat ada yang pernah bertanya Pak Gunawan dan Ibu Ida, yaitu pertanyaannya seperti ini kira-kira. Apa yang harus saya lakukan untuk menyenangkan si suami/istri saya dan say percaya ini keluar dari hati yang tulus karena ingin mempunyai pernikahan yang langgeng.

Nah sebagai seorang hamba Tuhan, nasihat saya adalah tidak terlalu pusinglah kita ini bagaimana menyenangkan hati pasangan kita. Tapi sebagai seorang anak Tuhan yang kita perlu fokuskan adalah bagaimana kita lebih bisa menumbuhkembangkan karakter Kristiani itu, lebih bisa menghasilkan buah Roh Kudus dalam hati kita. Sebab semua suami akan senang dengan istri yang sabar, penuh kasih, lemah lembut, bisa menguasai diri dan semua istri akan senang mempunyai suami yang bisa menguasai diri, setia, murah hati, penuh kasih, lemah lembut dan sebagainya.
IR : Jadi mungkin lebih berhasil kalau kita itu menyenangkan hati Tuhan daripada kita menyenangkan hati suami/istri. Soalnya kalau kita menyenangkan hati Tuhan pasti pasangan kita pun akan senang ya Pak Paul?

PG : Secara tidak langsung dia akan menerima berkatNya.

GS : Memang itu suatu usaha yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, karena saya percaya itulah panggilan Tuhan kepada kita untuk menjadi garam dan terang di dunia ini.

PG : Betul sekali.

GS : Jadi saya rasa kita akhiri pembicaraan kita kali ini tentang bagaimana Tuhan mempersatukan pribadi-pribadi yang berbeda tetapi menjadi satu pasangan yang harmonis.

PG : Sebelum kita akhiri Pak Gunawan, boleh saya garis bawahi dengan firman Tuhan?

GS : Ya Pak Paul.

PG : Ini tadi Ibu Ida juga sudah menyinggung tentang kasih, penting sekali dalam keluarga. Saya ingin bacakan dari Roma 13:8 berkata: "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepad siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi.

Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia dia sudah memenuhi hukum Taurat." Jadi saya senang sekali dengan ayat ini, janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Saya kira untuk memadukan 2 pribadi dalam satu pernikahan tidak bisa tidak, harus punya kekuatan Tuhan untuk bisa mengasihi dan setelah kita mengasihi akhirnya baru kita bisa menerima dan buah-buah Roh Kudus lainnya bisa tumbuh dengan lebih bebas. Orang yang tidak mengasihi susah sekali sabar, susah sekali sukacita, susah sekali setia, susah sekali dia menguasai dirinya dan sebagainya.
GS : Karena pada dasarnya kita tidak dilahirkan sebagai orang yang seperti itu Pak Paul.
IR : Kasih agape itu Pak Paul, pengorbanan itu yang nomor satu.

PG : Betul, itu prasyaratnya, mutlak harus ada, baru buah Roh Kudus. Kalau tidak ada kasih, tidak bisa ada kesabaran.

GS : Jadi terima kasih sekali Pak Paul bahwa pembicaraan ini bisa digarisbawahi dengan sebuah ayat yang begitu indah yang tentu akan kita kenang senantiasa.

Dan para pendengar sekalian demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Kepada segenap pendengar dan pencinta acara TELAGA ini kami sampaikan sampai jumpa dan kita berjumpa kembali pada acara TELAGA yang akan datang.



11. Kecemburuan dalam Hubungan Suami Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T033A (File MP3 T033A)


Abstrak:

Kecemburuan sering terjadi pada pasangan suami istri maupun pasangan yang masih dalam pacaran, yang bersumber dari perasaan takut kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup kita.


Ringkasan:

Cemburu didefinisikan sebagai suatu perasaan terancam atau takut akan kehilangan seseorang yang kita kasihi karena kehadiran orang lain. Jadi bukan saja kehilangan orang yang kita kasihi namun ada faktor karena campur tangan pihak ketiga atau orang lain. Pada dasarnya kecemburuan bersumber dari rasa takut akan kehilangan orang yang berharga buat kita.

Kecemburuan memiliki 2 posisi yang ekstrim, yang saling berseberangan.

  1. Ada yang beranggapan bahwa cinta harus diikuti atau disertai oleh kecemburuan, kalau tidak ada kecemburuan berarti tidak ada cinta atau kadar cintanya kurang. Jadi adakalanya cemburu diidentikkan dengan cinta.

  2. Ada pandangan yang mengatakan, cinta itu seharusnya tidak memiliki kecemburuan sama sekali.

Ciri-ciri orang cemburu:

  1. Rasa takut kehilangan, sehingga ada perasaan marah terhadap pasangan kita ataupun orang lain yang terlibat karena kita tidak suka kehilangan yang kita senangi atau hargai. Biasanya yang menjadi obyek kemarahan adalah pasangan kita dan juga pada orang lain yang akrab itu

  2. Bisa juga timbul rasa panik, karena tiba-tiba kemungkinan pasangan kita meninggalkan kita menjadi begitu nyata.

  3. Merasa tersisihkan, seakan-akan kita tidak penting lagi. Kita yang dulu berpikir menjadi nomor satu dan yang terutama dalam hidup pasangan kita, kok tiba-tiba menempati posisi seperti itu. Sebab rasanya pasangan kita memberikan perhatian yang lumayan besar terhadap orang lain.

Beberapa akar atau penyebab kecemburuan:

  1. Latar belakang pengalaman kita sendiri, yang mungkin dulu pernah pacaran lalu putus dengan pasangan kita, karena ada pihak lain yang mengganggu. Pengalaman ditinggal atau dikhianati pada masa berpacaran.

  2. Berkaitan dengan latar belakang keluarga, misalkan kalau kita melihat ayah meninggalkan ibu kita dan akhirnya ibu dilukai karena si ayah mengkhianatinya.

Si pencemburu biasanya akan melakukan beberapa respons:

  1. Biasanya yang pertama dia lakukan pada waktu merasa pasangannya mulai memperhatikan orang ialah, ingin menguasai keadaan yaitu menguasai pacar, suami atau isterinya.

  2. Respons kedua yang biasa dilakukan adalah dia ingin menyingkirkan ancaman dari luar, yaitu menyingkirkan orang lain itu. Jadi dia berkata kepada pihak ketiga, jangan ganggu pacar saya, meskipun mungkin orang itu tidak mengganggu pacarnya. Namun karena ketakutannya dia menghampiri orang itu dan meminta agar jangan mendekati pasangannya.

Cemburu buta ialah cemburu yang tak ada dasar obyektifnya. Menuduh tanpa alasan, tanpa ada bukti, tanpa ada hal-hal yang terjadi, namun isi hatinya amat dipenuhi dengan ketakutan bahwa si pacar, suami atau istri ini akan meninggalkannya. Bisa kita simpulkan bahwa cemburu buta seperti itu sangatlah tidak sehat.

Sebetulnya tidak harus ada cemburu diantara suami dan isteri. Dalam pengertian:

  1. Seharusnya kedua-duanya itu memang memasuki hubungan pacaran dan hubungan nikah dalam keadaan matang. Artinya mereka sudah menyadari kebutuhan masing-masing, dan mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa dibantu oleh pasangannya.

  2. Dua-duanya seharusnya bisa menjaga perasaan dengan baik. Dua-duanya mengerti batas-batas yang boleh dan harus mereka taati dan yang tidak boleh mereka langgar.

Dengan demikian, dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi rasa cemburu. Jadi hubungan yang sehat dan kuat seharusnya tidak lagi melahirkan rasa cemburu.

Amsal 11:25-26, "Siapa banyak memberi berkat diberi kelimpahan, siapa memberi minum dia sendiri akan diberi minum. Siapa yang menahan gandum ia dikutuki orang, tetapi berkat turun di atas orang yang menjual gandum."

Prinsip yang dikatakan firman Tuhan ini adalah bahwa Tuhan memberkati orang yang murah hati atau orang yang besar hati. Cinta yang sehat adalah cinta yang menghuni hati yang besar atau luas, hati yang dewasa atau hati yang besar akan berkata kalau engkau mencintaiku, aku akan tahu itu dan kamu akan terus setia kepadaku. Tapi kalau memangnya kamu tidak mencintaiku akupun tahu dan harus siap menerima fakta itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang kecemburuan, tentunya dalam hubungan suami istri dan kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita seringkali mendengar bahkan mungkin juga mengalami, kadang-kadang di dalam hubungan kita sebagai pasangan suami istri Kristen ada yang namanya rasa cemburu. Memang biasanya yang sering terjadi itu dari pihak istri Pak Paul, tapi kadang-kadang si suami juga pernah merasa cemburu kalau istri kita bicara terlalu intim dengan rekan prianya dsb, timbul perasaan yang tidak enak. Tapi sebenarnya apa yang disebut cemburu?

PG : Saya mendefinisikan rasa cemburu sebagai suatu perasaan terancam akan kehilangan seseorang yang kita kasihi karena kehadiran orang lain. Jadi bukan saja kehilangan orang yang kita kasih, namun ada faktor karena campur tangan pihak ketiga atau orang lain.

GS : Tapi kecemburuan itu bisa muncul juga walaupun baru sekali saja kita melihat, lalu kita merasa akrab sekali bicaranya, ya Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, sebab kecemburuan itu pada dasarnya bersumber dari rasa takut akan kehilangan. Kehilangan orang yang berharga buat kita. Dan pada waktu kita melihat kehadiran rang ketiga tersebut dan bisa begitu akrab dengan pasangan kita, tiba-tiba terbersit suatu ketakutan bahwa orang itu bisa mengambil yang kita hargai dan kita kasihi.

GS : Kalau begitu sebenarnya positif ya Pak Paul? Tapi seringkali kecemburuan itu dinilai negatif.

PG : Ya, ada dua posisi yang ekstrim, yang saling berseberangan mengenai masalah kecemburuan ini. Ada yang beranggapan bahwa cinta harus diikuti atau disertai oleh kecemburuan, kalau tidak aa kecemburuan berarti tidak ada cinta.

GS : Kadarnya kurang, tidak betul-betul mencintai begitu Pak Paul?

PG : Betul, dan adakalanya ini yang dicari-cari, apalagi oleh para pemuda-pemudi yang masih dalam tahap berpacaran. Dia mencari reaksi pacarnya yang dia inginkan untuk cemburu, waktu dia temkan bahwa pacarnya tenang-tenang tidak pernah cemburu, dia mulai meragukan apakah si pacar mencintai dia.

Jadi adakalanya cemburu diidentikkan dengan cinta. Tapi ada lagi pandangan yang berseberangan dari yang mengatakan bahwa cinta itu seharusnya tidak memiliki kecemburuan sama sekali. Jadi kalau menjawab apa yang tadi Pak Gunawan tanyakan, cemburu saya kira memang ada tempatnya, tapi juga bisa menjadi sesuatu yang sangat merusakkan hubungan suami istri.
(2) IR : Kira-kira orang yang cemburu itu memiliki perasaan-perasaan apa dan ciri-ciri orang cemburu itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Tadi saya sudah singgung cemburu itu sebetulnya adalah rasa takut kehilangan, bisa ada perasaan marah. Marah baik kepada pasangan kita ataupun orang yang lainnya itu. Kita merasa marah arena kita ini tidak suka kehilangan yang kita senangi dan kita hargai, bisa juga timbul perasaan panik.

Panik karena tiba-tiba kemungkinan pasangan kita itu meninggalkan kita rasanya begitu riil, begitu nyata sehingga menimbulkan rasa panik dalam diri kita. Dan yang ketiga adalah kita merasa tersisihkan, kita tidak penting lagi, kita yang dulu berpikir kita nomor satu dan yang terutama dalam hidup pasangan kita, tiba-tiba tidak menempati posisi seperti itu. Sebab pasangan kita rasanya memberikan perhatian yang cukup besar terhadap orang lain. Jadi kita merasa tersisihkan, tidak lagi yang paling utama dalam hidupnya.
GS : Kalau Pak Paul tadi katakan, ada perasaan marah yang timbul, tapi kadang-kadang saya sulit membedakan apakah saya sedang marah terhadap pasangan saya atau pada orang lain yang akrab itu. Sebenarnya kemarahan itu ditujukan ke mana, Pak Paul?

PG : Biasanya dua-duanya.

GS : Dua-duanya jadi obyek kemarahan kita?

PG : Biasanya begitu, meskipun ada yang tidak mengakui dia marah terhadap orang yang lainnya, dia hanya memarahi pasangannya dan dia berkata kenapa engkau tadi harus meladeni dia, menanggapidia, jadi yang menjadi obyek kemarahan kita adalah pasangan kita.

Tapi sebetulnya terbersit juga kemarahan terhadap orang lain itu, kenapa orang lain itu mengganggu atau mau mencampuri hubungan kita ini. Ada yang lainnya lagi, ia hanya memarahi orang lain tidak memarahi pasangannya. Saya kira sebetulnya dia juga memarahi pasangannya sebab pasangan kita memberikan tanggapan misalnya. Jadi seringkali kemarahan itu biasanya ditujukan kepada dua belah pihak.
GS : Tapi mungkin kepada pasangan karena dia merasa berhak begitu Pak Paul, memarahi pasangannya daripada orang lain atau tidak berani kepada orang lain itu. Tapi terkadang kecemburuan itu juga karena latar belakang kita sendiri. Mungkin dulu pernah pacaran lalu putus, karena ada pihak lain yang mengganggu dan kita tidak terlalu melindungi. Sehingga akibatnya pada waktu sudah menikah kita merasa was-was begitu melihat pasangan kita berbicara atau pergi dengan orang lain, kecurigaan itu muncul Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi pengalaman ditinggal atau dikhianati karena adanya orang ketiga pada masa berpacaran bisa menghantui kita sehingga kita selalu berpikir jangan-jangan peritiwa yang sama terulang kembali, itu bisa terjadi.

Yang lainnya lagi adalah yang berkaitan dengan latar belakang keluarga kita, misalkan kalau kita melihat ayah kita meninggalkan ibu kita dan akhirnya dilukai karena si ayah mengkhianatinya. Saya kira ketakutan bahwa ini terulang pada kita cukup besar sehingga waktu kita berpacaran kita sangat was-was sekali dengan orang ketiga, jangan-jangan pacar saya nanti diambil oleh orang lain sama seperti mama dulu kehilangan papa. Kadang kala terjadi begitu, jadi kecemburuan memang mempunyai banyak akar, salah satunya memang yang berasal dari masa kecil itu.
IR : Kemudian kira-kira respon apa yang dilakukan oleh si pencemburu itu, Pak Paul?

PG : Ada beberapa respon Bu Ida, biasanya yang kita lakukan. Pertama, waktu kita merasa pasangan kita ini mulai memperhatikan orang atau kita merasa cemburu, kita ingin menguasai keadaan yaiu kita mau menguasai pacar kita atau suami kita atau istri kita.

Kita mau melarang dia bergaul, mengobrol dengan orang lain. Jadi kita benar-benar ingin membelenggu pasangan kita agar dia tidak berkesempatan menjalin hubungan dengan orang lain atau terbuka terhadap orang lain. Respon yang kedua, yang biasa kita lakukan juga adalah kita ingin menyingkirkan ancaman dari luar itu, yaitu kita mau menyingkirkan orang lain itu. Kita berkata kepada dia jangan mengganggu pacar saya atau apa, meskipun mungkin dia tidak mengganggu pacar kita. Namun karena ketakutan, kita menghampiri dia dan meminta dia jangan mendekati pasangan kita.
GS : Ada yang mengatakan kecemburuan itu suatu wujud dari egoisme seseorang.

PG : Itu adalah kasus memang, dia tidak bisa mempunyai cinta yang matang, Pak Gunawan. Jadi adakalanya cinta itu tidak terlepas atau tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan. Cinta memang biasana mengandung kebutuhan artinya kita mencintai seseorang karena orang itu memenuhi kebutuhan kita, itu cinta manusiawi.

Saya kira cinta Tuhan, cinta agape adalah cinta yang memberi tanpa pamrih sedikitpun. Tapi cinta manusia, selalu ada unsur pemenuhan kebutuhan. Cinta yang sehat adalah cinta di mana kebutuhannya tidak terlalu besar, sedangkan kerelaan, keinginan untuk memberi jauh lebih besar. Cinta yang tidak sehat adalah kebalikannya, kebutuhannya yang menggunung sedangkan kesediaan dan kemampuan untuk memberi sangat sedikit. Sehingga akhirnya karena dia sangat membutuhkan orang itu untuk memenuhi semua keinginannya atau kebutuhannya, dia sangat takut sekali kehilangan orang itu, jadi yang dia lakukan adalah memang benar-benar seperti burung, dia akan menggunting bulunya, supaya burung itu tidak bisa dan tidak akan pernah terbang.
(3) IR : Jadi juga ada ya Pak Paul, tingkatan, level rasa cemburu itu. Kadang-kadang disebut cemburu biasa, ada pula yang dikatakan cemburu buta itu apa, Pak Paul?

PG : Saya kategorikan cemburu buta sebagai kecemburuan yang tidak ada dasar obyektifnya. Jadi benar-benar menuduh tanpa ada alasan, tanpa ada bukti, tanpa ada hal-hal yang terjadi, namun isihatinya sangat dipenuhi dengan ketakutan bahwa si pacar atau si istri atau si suami ini akan meninggalkannya.

Jadi dia harus mengikuti, dia harus memastikan si pasangan ini tidak melihat orang lain, tidak berbicara dengan orang lain, itu yang saya kategorikan cemburu buta. Otomatis kita bisa simpulkan cemburu buta seperti itu sangatlah tidak sehat, pada masa berpacaran mungkin sekali, orang itu akan tunduk pada kontrol atau kendali si pencemburu. Mungkin adakalanya membuahkan kesenangan pada awal-awalnya, saya sangat dicintai, pacarku itu baik memperhatikan aku, melarangku bergaul dengan orang, dan cemburu mula-mulanya menyenangkan. Saya kira rasa dicemburui menyenamgkan, tapi lama-lama memuakkan, lalu biasanya kita akan berusaha menghindarkan diri dari orang seperti itu dan kalau sudah menikah akibatnya fatal. Akhirnya mencari kesempatan-kesempatan, sembunyi-sembunyi untuk bisa ketemu orang lain.
IR : Apakah orang yang cemburu buta dapat digolongkan sebagai orang yang paranoid?

PG : Mungkin tidak sampai paranoid yang secara klinis, tapi saya bisa katakan kalau misalnya cemburu buta seperti itu ada gangguan dalam masa pertumbuhannya sehingga jiwanya menjadi tidak stbil.

Jiwa yang butuh sekali tongkat atau pegangan agar dia bisa berjalan dengan tegap, dengan lurus. Sebab kalau pasangannya tidak ada, tidak ada lagi yang bisa memenuhi kebutuhannya dan dia akan menjadi hilang keseimbangan. Jadi saya simpulkan memang dia kurang stabil.
(4) GS : Saya pernah melihat kasus yang nyata, seorang istri itu mencemburui suaminya terhadap anaknya yang perempuan, Pak Paul. Itu bisa terjadi, dan saya tidak bisa mengerti hanya karena anak itu begitu akrab dengan ayahnya, maka si istri itu marah-marah terhadap suaminya.

PG : Bagus sekali yang Pak Gunawan tanyakan, karena cemburu itu memang bisa sehat tapi bisa juga tidak sehat. Tapi cemburu dalam kasus di mana misalkan, istri kita itu normal-normal saja tidk cemburuan pada masa sebelumnya, juga tidak mencemburui kita dengan wanita lain dan sekarang tiba-tiba mencemburui kita dengan anak kita sendiri, otomatis cemburu di sini bukan cemburu romantis seperti dengan gadis lain.

Tapi apa yang terjadi sekarang si istri tiba-tiba mencemburui si suami yang seolah-olah lebih memberikan waktu dan perhatian kepada si anak putri. Kesimpulannya adalah si suami bagi si istri tidak lagi cukup memberikan rasa perhatian, rasa mengasihi, rasa mengagumi, rasa melindungi. Karena dia merasa kekurangan maka waktu melihat si suami memberikannya pada orang lain, tidak peduli orang lain itu anaknya sendiri, dia merasa tersinggung dan marah. Sebab ia merasa ini adalah hak saya, saya seharusnyalah yang menerima porsi terbesar dari perhatianmu. Namun sekarang anakku yang menerima porsi terbesar, sehingga bisa timbul rasa cemburu di situ. Si suami di sini, saya duga tidak mau menerima dan marah, kenapa engkau cemburu buta, aku mengasihi anakku, aku memperlakukan dia dengan spesial kenapa engkau yang marah, engkau tidak waras lagi dsb. Jadi saya minta si suami tidak tergesa-gesa melabelkan istrinya itu tidak waras atau apa, sebab butuh perhatian yang besar kepada si istri, dengan catatan memang sebelumnya si istri itu bukanlah seorang pencemburu buta.
GS : Tapi kalau istri itu diberitahu, bahwa dia itu cemburu, dia juga tidak mau mengakui Pak, dia cuma mengatakan tidak pantas masa begitu, anaknya sudah mulai remaja, sudah mulai besar, dia tidak mengaku bahwa dia sedang mencemburui. Dan faktanya seperti itu.

PG : Betul, jadi tindakan yang bijaksana dari si suami sebetulnya adalah tidak mendebatkan persepsi si istri, namun melimpahkan si istri dengan cinta kasih dan perhatian. Sebab dugaan saya dlam kasus di mana si istri bukan pencemburu buta, kalau dia dikasihi dan dia menerima kelimpahan perhatian dari si suami, ia tidak akan cemburu pada anaknya.

IR : Ada seseorang yang mempunyai anak angkat, Pak Paul, dan si istri kadang tidak sadar melayani anak angkat yang masih kecil ya, apakah itu bisa menimbulkan cemburu untuk anaknya sendiri dan untuk suaminya?

PG : Bisa, kalau memang adanya perbedaan perlakuan dulu dan sekarang, karena kehadiran si anak angkat itu. Dalam hal ini diperlukan pengertian dari kedua belah pihak, dari pihak si suami dananak-anak yang lain perlu mengerti bahwa kehadiran anak angkat ini bisa mengurangi waktu yang biasanya diberikan kepada mereka.

Di pihak lain, ibu ini harus peka dengan hal ini dan mungkin perlu berbicara langsung kepada anak-anak lain dan juga suaminya, mengatakan bahwa "aku tetap mencintaimu seperti biasa, kalian tetap adalah orang-orang yang terutama dalam hati saya tapi sekarang kita punya anak angkat, kita semua adalah sebetulnya saudara dan orang tua angkatnya." Jadi ini beban dan tanggung jawab kita bersama untuk mengayominya. Saya kira dengan komunikasi yang terbuka seperti itu mereka bisa memahami.
GS : Ya memang kadang-kadang sulit untuk mengukur bahwa kecemburuan itu positif atau negatif, Pak Paul? Kecemburuan itu pasti ada, kalau kita memang betul-betul mengasihi. Tetapi bagaimana kita membuat supaya jangan terjadi cemburu yang berlebihan, sehingga tidak mengekang kebebasan seseorang yang kita kasihi, sebenarnya sikap apa yang perlu kita lakukan?

PG : Ini memang masalah yang pelik, Pak Gunawan, sebab orang yang dalam keadaan cemburu tidak bisa menerima dikatakan dia cemburu. Dia tidak bisa menerima masukan itu dan dia akan berdalih bhwa seharusnyalah dia cemburu, sebab ada hal-hal yang dia lihat, yang merupakan bukti bahwa pasangannya mulai tidak setia dan lain sebagainya.

Dalam kasus di mana memang pencemburu buta tidak ada, sebab tidak ada masalah tapi terus mencemburui pasangannya. Saya kira si pencemburu itu yang harus mendapatkan bantuan, harus mendapatkan bantuan dari pihak ketiga. Seorang konselor profesional, agar dia lebih memahami dirinya dan kebutuhannya. Si suami tidak bisa diberitahu kamu sudah memperhatikan istri misalnya istri yang pencemburu ya. Biarkan dia itu merasa spesial sebab tidak akan ada habisnya, si pencemburu itu akan terus menuntut perhatian yang eksklusif, jadi tidak realistik dan tidak akan sehat. Jadi saya kira dalam kasus seperti itu perlu adanya orang ketiga yang bisa mengkonseling mereka dengan penuh kasih sayang dan pengertian. Kalau tidak, akhirnya bisa bertambah rusak.
(5) IR : Pak Paul apakah cemburu itu memang seharusnya ada?

PG : Pertanyaan yang bagus ya Bu Ida, saya rasa sebetulnya tidak harus ada, dalam pengertian seharusnya dua-dua itu memang memasuki hubungan pacaran dan hubungan nikah dalam keadaan matang, rtinya mereka sudah menyadari kebutuhan mereka dan mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tanpa dibantu oleh pasangannya.

Jadi orang yang matang tidak membebankan kebutuhannya pada pasangannya, dia bisa mencukupinya sendiri. Kedua tidak harus, dalam pengertian dua-duanya seharusnya bisa menjaga perasaan dengan baik dan dua-dua mengerti batas-batas yang boleh, yang harus mereka taati dan tidak boleh mereka lewati. Akibatnya dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi rasa cemburu. Jadi memang hubungan yang sehat dan kuat seharusnya tidak lagi melahirkan rasa cemburu.
GS : Ada orang yang memang pencemburu, mencoba membela dirinya dan mengatakan : "Tuhan Allah itu sendiri pencemburu" Dia katakan, Dia cemburu kalau melihat umatNya itu menyembah berhala dan sebagainya. Dan terang-terangan Allah itu mengatakan : Aku itu cemburu, ada tercantum di dalam Alkitab, itu penjelasannya bagaimana Pak Paul?

PG : Tuhan Allah itu sebetulnya pencemburu atau cemburu dalam pengertian Dia menuntut apa yang menjadi hak Dia dan bukannya mengada-ada. Orang Israel bukannya dalam keadaan baik dengan Tuhan menyembah Tuhan lalu Allah itu cemburu, tidak.

Allah itu hanya mencemburui orang Israel karena orang Israel telah berkhianat pada Dia. Hubungan antara umat Israel dengan Tuhan adalah hubungan seperti antara suami dengan istri, seperti raja dengan umatnya, jadi memang Tuhan meminta suatu pengabdian yang total dan eksklusif. Lalu orang-orang Israel berkhianat, menyembah dewa-dewa lain sehingga Tuhan marah. Jadi bagi saya reaksi Tuhan memang reaksi yang seharusnya, karena sudah ada tindakan yang jelas dari orang Israel. Kalau Tuhan melihat orang Israel menyembah dewa lain dan kemudian berkata : "Aku tidak apa-apa, engkau menyembah mereka boleh, menyembahKu ya boleh", saya rasa sungguh aneh jika Tuhan berkata seperti itu. Jadi reaksi marahnya beralasan. Sama dengan hubungan suami istri pula kalau memang si suami misalnya main mata dengan orang lain, seharusnyalah si istri marah dan itulah cemburu yang memang pada tempatnya. Meskipun secara sekaligus kita bisa berkata itu hubungan yang tidak terlalu sehat karena si suami main mata dengan orang lain.
GS : Mungkin Pak Paul mau memberikan nasihat sehubungan dengan firman Tuhan dalam pembicaraan tentang kecemburuan ini.

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 11 : 25-26. "Siapa banyak memberi berkat diberi kelimpahan, siapa memberi minum dia sendiri akan diberi minum. Siapa yang menahan gandum ia diktuki orang, tetapi berkat turun di atas orang yang menjual gandum."

Prinsip yang dikatakan oleh firman Tuhan ini adalah bahwa Tuhan memberkati orang yang murah hati, orang yang besar hati. Maka di sini dikatakan orang yang rela memberikan minum, orang yang rela untuk menjual gandumnya, orang yang berbesar hati, orang yang tidak sempit hatinya. Cinta yang sehat adalah cinta yang menghuni hati yang besar, hati yang luas. Ini bukan berarti saya mengatakan siapapun boleh kau cintai, kita ya mencintai, tapi engkau boleh mencintai orang lain, bukan itu yang saya maksud. Tapi hati yang dewasa, hati yang besar, akan berkata kalau engkau mencintaiku, aku akan tahu itu dan kamu akan terus setia kepadaku. Kalau memang kamu tidak mencintaiku, akupun tahu dan aku harus siap menerima fakta itu. Kita bukanlah polisi yang memata-matai pasangan kita, itu tidak sehat, jadi biarkan cinta berkembang dengan natural tanpa paksaan atau manipulasi. Saya sudah melihat kasus di mana suami atau pria yang luar biasa cemburunya, benar-benar memperbudak si pacar atau si istri. Tapi saya juga melihat kasus yang sebaliknya, itu sangatlah tidak sehat.
GS : Jadi memang rasa cemburu itu yang ada pada diri kita, kita harus tahu dan bisa mengendalikannya ya Pak Paul?

PG : Dan tahu sumbernya juga.

GS : Tahu sumbernya, mengapa timbul kecemburuan itu?

PG : Tepat sekali, memang bisa merupakan pertanda akan hubungan kita yang memang kurang sehat lagi.

GS : Tentunya kita semua berharap, hubungan suami istri kita masing-masing itu makin hari makin bertambah sehat khususnya setelah mengikuti program dari TELAGA ini Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar masalah kecemburuan suami istri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

PERTANYAAN KASET T 33 A

  1. Apakah yang dimaksud dengan cemburu?
  2. Apakah ciri-ciri orang yang cemburu?
  3. Apa yang dimaksud dengan cemburu buta itu?
  4. Apa penyebab seorang istri cemburu terhadap anak perempuannya?
  5. Apakah cemburu itu harus ada?


12. Menolong Pasanganku yang Pencemburu


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T033B (File MP3 T033B)


Abstrak:

Pencemburu ada kemungkinan besar dapat ditolong, dan sudah seharusnya bagi pasangan suami istri untuk menciptakan kehidupan pernikahan tanpa adanya suatu alasan bagi pasangan untuk cemburu.


Ringkasan:

Ada beberapa pasangan yang mengalami, salah satu pihak dari mereka itu tidak normal cemburunya. Tentunya sebagai suami atau isteri yang dicemburui, kita tidak bisa diam saja. Kita tentu dituntut bagaimana bisa menolong pasangannya yang pencemburu itu. Dan untuk bisa memastikan atau mengira-ngira berapa besar kemungkinan orang itu berubah, kita harus melihat dulu permasalahan apa yang membuat dia cemburu.

Ada dua situasi atau faktor yang berkemungkinan membuat orang menjadi pencemburu:

  1. Adanya hubungan yang tidak seimbang di mana satu pihak lebih mencintai pihak yang lainnya. Untuk menolong pacar yang cemburu, kita harus berusaha tegas berkata: "Saya mencintaimu tetapi inilah saya. Aku mengerti yang kau inginkan tapi saya memang tidak akan mencari-cari kamu jika ada problem, kamu bukannya satu-satunya orang yang menjadi tempat aku cerita. Sebab puluhan tahun aku hidup, jiwaku bebas dan aku banyak teman, sehingga aku tidak merasakan suatu keharusan mencari engkau sebagai orang yang pertama. Jadi kita harus berikan waktu agar hubungan ini bertumbuh sehingga lama-kelamaan aku juga makin dekat denganmu dan aku mungkin bisa lebih banyak cerita kepadamu."
    Sikap yang jelas harus diperlihatkan oleh si pasangan:
    " Jangan mengorbankan diri dan membuang teman-teman demi pacarnya yang memang tidak bisa menerima orang lain. Dia harus tegas berkata bahwa saya akan tetap ke gereja, tetap aktif dalam persekutuan pemuda, tetap terlibat dalam pelayanan sekolah Minggu.
    " Jangan mengkompromikan hal-hal yang memang penting yang adalah bagian jiwa kita. Biarkan dia melihat realitanya, meskipun pasangannya terlibat dalam kegiatan, dia tetap mendahulukan si pacar, dan mencoba mengajak dia bersama-sama bergaul, semua itu dilakukan tanpa kompromi.

  2. Orang yang mempunyai kepribadian tidak sehat, sehingga butuh sekali rasa aman. Mungkin ada latar belakang tertentu dalam hidupnya yang membuat dia merasa begitu takut ditinggalkan.
    Kalau hubungan sudah meningkat ke pernikahan, dan sifat asli pasangan kita sebagai pencemburu baru keluar, karena dia merasa hubungan sudah permanen. Maka untuk menghadapi keadaan ini, kita harus melakukan dua hal secara seimbang, jangan sampai yang satu lebih berat dari yang lainnya.
    " Yang pertama adalah memberikan keyakinan bahwa dengan kita dia aman. Yang saya maksudkan adalah memberikan rasa aman bahwa saya setia denganmu dan engkau satu-satunya yang kucintai, aku tidak akan meninggalkan engkau. Itu perlu kita komunikasikan kepadanya, dan perlu mengatakannya setiap hari.
    " Yang kedua adalah saya tetap menjadi diri saya. Maksudnya adalah, kita tetap melakukan apa yang menjadi bagian dari jiwa kita, misalnya: senang bergaul dan bercanda, ikut terlibat dalam kegiatan di gereja, dan lain sebagainya. Meskipun dia marah, jangan mundur dan kita tetap pulang ke rumah.
    Kalau kita tidak meyakinkan dia akan cinta kita kepadanya, dia akan makin cemburu. Tapi kalau kita hanya menuruti kemauannya, kita akan tersiksa karena tidak lagi bisa mengikuti kegiatan lain dan tidak menjadi diri kita yang sebenarnya. Ini tidak realistis karena suatu hari kita juga bisa retak dan juga tidak mendewasakan dia.

I Korintus 13:4 "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong."
Tuhan menghendaki, agar dalam hidup ini kita memiliki kasih yang tidak cemburu. Dalam pengertian kasih yang bisa berserah, bisa membebaskan orang untuk menjadi dirinya. Namun di pihak lain, janganlah kita mencari gara-gara supaya orang cemburu pada kita. Jadi ciptakanlah situasi dalam hubungan nikah kita, dimana pasangan kita tidak akan menemukan alasan untuk cemburu kepada kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana menolong pasangan kita yang pencemburu. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada beberapa pasangan yang salah satu dari mereka itu pencemburu artinya tidak normal kecemburuannya. Tentunya sebagai pasangan yang dicemburui ini, tidak bisa diam saja, tentu dia dituntut juga bagaimana dia bisa menolong suaminya atau istrinya yang pencemburu itu, Pak Paul. Sebenarnya orang yang pencemburu itu masih bisa ditolong atau tidak, Pak Paul?

PG : Itu pertanyaan yang baik Pak Gunawan, jadi untuk kita bisa memastikan ya atau tidak, kalau tidak bisa memastikan, mengira-ngira berapa besar kemungkinannya orang itu berubah, kita harusmelihat dulu permasalahannya yang membuat dia cemburu.

Nah, bila dikategorikan ada tiga situasi atau faktor yang memang memungkinkan membuat orang menjadi pencemburu. Yang pertama adalah adanya hubungan yang tidak seimbang, di mana satu pihak lebih mencintai pihak yang lainnya, dibandingkan yang satunya mencintai kita misalnya. Seringkali dalam hubungan yang tidak seimbang seperti itu muncullah kecemburuan, karena apa? Karena otomatis yang mencintai lebih besar, lebih berkepentingan kalau dia kehilangan orang itu. Ia akan merasakan lebih takut. Seperti telah kita bahas pada siaran yang lalu, Pak Gunawan, bahwa kecemburuan itu sekurang-kurangnya mengandung 3 unsur, adanya unsur takut, takut akan apa? Takut kehilangan orang yang kita kasihi itu, adanya ancaman dari luar bahwa yang kita kasihi itu mungkin meninggalkan kita dan yang ketiga memang adanya orang lain. Kalau kita memang mencintai pasangan kita luar biasa besarnya sedangkan dia tidak mencintai kita sebesar itu, maka rasa takut kita akan kehilangan dia lebih besar. Dalam kasus seperti ini, kemungkinannya orang itu berubah cukup besar Pak Gunawan, syaratnya bagaimana? Syaratnya orang itu harus diyakinkan bahwa pasangannyapun mencintai dia sama besarnya dengan cintanya kepada pasangannya itu. Ini adalah kasus yang ringan, yang memang bisa berubah setelah dia mengetahui dengan pasti bahwa pasangannya itu sangat mencintai dia juga dan sepenuhnya.
GS : Jadi selama dia tidak bisa diyakinkan bahwa pasangannya betul-betul mengasihi dia, dia akan tetap cemburu?

PG : Betul, sebab selama dia merasa cintanya melebihi cinta pasangannya, selalu ada ketakutan. Jadi kita merasa investasi kita lebih besar. Ini sama seperti kemitraan di dalam membangun usah bisnis.

Orang yang mempunyai saham lebih besar, lebih berkepentingan memikirkan perusahaannya. Jangan-jangan perusahaan ini bisa hancur atau rusak, maka investasinya akan hilang.
GS : Tapi apakah selama mereka berpacaran, apakah itu tidak cukup untuk meyakinkan pasangannya itu bahwa dia memang betul mengasihi sehingga dia mau menikah dengan pasangannya?

PG : Dalam catatan memang orang ini tidak ada masalah lain Pak Gunawan, memang soal cinta saja. Kenyataannya adalah kita ini memang tidak selalu mempunyai kadar cinta yang sama besar dengan asangan kita.

Ada yang begitu Pak Gunawan, jadi ada orang-orang tertentu yang pergaulannya luas, ada orang-orang yang pergaulannya sempit. Yang pergaulannya luas otomatis jiwanya lebih luas dan mencintai seseorang itu tidak seperti obsesi, tergila-gila karena jiwanya luas, dia memberikan perhatian hidupnya pada banyak hal dalam hidup ini. Orang yang pergaulannya sempit tidak bisa tidak sewaktu mencintai seseorang ia terobsesi, semuanya akan dia curahkan pada orang tersebut. Karena apa, memang tidak ada outlet, tidak ada obyek lain, tidak ada penyaluran yang lain, jadi semua tertumpah pada orang yang satu itu. Makanya cintanya kita katakan sangat besar.
GS : Tapi biasanya pada masa pacaran, pasangan kita mengharapkan sudah jangan memikirkan yang lain, memikirkan saya saja.

PG : Kita tidak memikirkan yang lain lagi, tapi kalau kita mempunyai pergaulan yang luas, otomatis pikiran kita tidak tersedot oleh satu orang itu. Karena kita memikirkan hal- hal yang lain alam hidup ini.

Tapi orang yang tidak ada variasi dalam hidupnya, yang hidupnya itu kita gambarkan seperti satu warna, inilah satu-satunya variasi dalam hidup, satu-satunya gairah yang memang membuat dia itu hidup, merasakan senang luar biasa, jadi itulah yang akan dia pegang terus-menerus. Sedangkan pasangannya mempunyai banyak hobby, banyak minat, banyak teman. Otomatis kalau dia mempunyai masalah dia tidak merasakan keharusan tergesa-gesa menceritakan kepada si pacar, dia mempunyai banyak teman lain yang bisa dia hubungi, dia bisa tertawa dan menangis bersamanya, sedangkan si pacarnya tidak ada orang lain dalam hidupnya, kalau ada masalah hanya datang kepada kita misalnya.
(2) IR :Nah, untuk menolong pacar yang cemburu ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira, saya harus mengatakan sebisanya, sebisanya dalam pengertian kita harus tegas, kita harus berkata : "saya mencintaimu tetapi inilah saya. Saya memang tidak akan mencari-cari amu jika aku ada problem, engkau bukanlah satu-satunya orang yang bisa aku ceritakan.

Sebab berpuluhan tahun aku hidup memang jiwaku bebas, aku banyak teman, aku tidak merasakan suatu keharusan harus mencari engkau sebagai orang yang pertama, ya aku mengerti itu yang kau inginkan tapi memang tidak demikian. Jadi apa? Berikan waktu agar hubungan ini bertumbuh sehingga lama-kelamaan aku juga makin dekat denganmu dan aku mungkin lebih banyak bercerita kepadamu." Jadi jangan dipaksakan begitu, adakalanya kesalahan yang diperbuat adalah orang ini memaksakan. Kalau begitu saya harus memutuskan hubungan, tidak boleh bergaul lagi dengan orang lain demi engkau. Saya rasa itu juga salah, karena itu akan benar-benar mengubah dirinya dengan drastis; itu tidak cocok, tidak sesuai lagi dengan dirinya.
IR : Juga mungkin dari pasangan yang luas pergaulannya nanti melibatkan pacar ini untuk juga terlibat.

PG : Betul sekali, jadi bukanlah kita ini yang tiba-tiba sekarang masuk ke bawah meja, hidup dalam kurungan, kita yang justru harus mengeluarkan dia dari kurungan meja, dari bawah meja agar ia bisa melihat orang dan bergaul dengan orang, itu sendiri akan menolong dia.

Tapi saya kira sikap yang harus jelas kita perlihatkan, jangan mengorbankan diri, membuang teman demi pacar kita yang memang tidak bisa menerima orang lain, kita harus tegas berkata bahwa saya akan tetap ke gereja, saya akan tetap aktif dalam persekutuan pemuda, saya akan tetap terlibat dalam pelayanan Sekolah Minggu. Jadi kita jangan mengkompromikan hal-hal yang memang penting dan adalah jiwa kita itu. Biarkan dia melihat realitanya, meskipun kita terlibat dalam kegiatan, kita tidak memberikan cinta kita pada orang lain, kita tetap mendahulukan dia. Kita coba untuk mengajak dia sama-sama bergaul, kita lakukan itu semua tanpa kompromi.
GS : Jadi pada masa pacaran itu penting saya rasa melihat pasangan kita, sejauh mana dia memiliki kecemburuan. Kalau sudah parah bagaimana Pak Paul, kalau memang orang itu sudah diberitahu dan sebagainya tapi masih tetap cemburu.

PG : Untuk kasus seperti itu saya kategorikan ke dalam ciri yang berikutnya Pak Gunawan, yaitu orang ini memang mempunyai kepribadian tidak sehat sehingga dia butuh sekali keamanan, mungkin empunyai latar belakang dimana dia melihat ayahnya mengkhianati ibunya dan sebagainya, sehingga dia butuh sekali rasa aman.

Rasa aman itu, hanya bisa dia peroleh kalau dia bisa memastikan kekasihnya hanya memandangi dia saja, tidak bisa dia itu melihat kekasihnya mempunyai minat terhadap hal-hal lain dalam hidup ini, dia menuntut suatu pengabdian penuh dan total serta eksklusif sehingga kekasihnya hanya harus mengagumi dia, dan dia hanyalah satu-satunya hobby dan minat yang hanya boleh dimiliki oleh kekasihnya. Ini memang sangat tidak sehat dan seringkali susah untuk diberitahu, Pak Gunawan. Orang lain memberitahu, dia akan selalu bisa untuk memberikan alasan saya cemburu karena memang pacar saya dan dia akan selalu bisa temukan alasannya. Nah ini benar-benar merepotkan karena tidak bisa diberitahu, kalau memang menyangkut ke arah yang berkaitan dengan kepribadian dan jiwa yang akhirnya tidak stabil, kurang sehat, sulit sekali untuk ditolong.
GS : Kalau sudah demikian jauh ya Pak Paul, apakah bijaksana kalau kita menyarankan kepada pasangan itu untuk menunda pernikahan mereka dan mulai memikir-mikir ulang?

PG : Saya sangat setuju sekali, dan sebisanya si kekasih berkata kepada yang cemburu itu, aku mau menantikan engkau, aku mau mempertimbangkan hubungan ini, aku tidak mau melarikan diri, tapiaku mau memberikan saran yaitu agar engkau mendapatkan bantuan.

Jadi biarkan yang cemburu ini melalui masa konseling atau apa agar dia bisa menyadari kebutuhan-kebutuhan, luka-luka batinnya yang mungkin belum disembuhkan dalam hidupnya. Agar dia menyelesaikan itu, baru memikirkan tentang pernikahan, kalau tidak rasanya akan repot.
GS : Malah mempersulit mereka di dalam pernikahan, Pak Paul?

PG : Sangat mempersulit, karena akhirnya yang cemburu itu sebetulnya sedang menciptakan suasana di mana si pasangannya akan mencuri-curi, sebab orang hanya bisa hidup dalam keterikatan untuksuatu jangka waktu tertentu.

Setelah melewati jangka waktu itu, dia akan tidak tahan, dia mau pergi dengan temannya. Mungkin sekali awal-awalnya dia hanya akan pergi dengan sesama jenisnya, karena dia ingin menikmati hidup pula sebab dalam rumah tangga dia seperti dikurung. Mula-mula dia pergi dengan kawan sejenis, tapi lama-kelamaan mungkin kawan-kawannya yang tidak sejenis juga akan ikut, mulailah dia menikmati yang memang dia rindukan. Tapi karena dia sudah kehausan, terikat luar biasa selama bertahun-tahun, waktu mendapatkan kesempatan bergaul dengan lawan jenis tidak bisa menjaga batas, malahan menubruk, dan terlibat dalam perselingkuhan. Jadi sangat tidak sehat, karena sebetulnya hanyalah menciptakan kondisi di mana pasangannya itu akan mencuri-curi kesempatan untuk bergaul dengan orang lain. Dan itu akan membakar api cemburu, sebab si pencemburu akan berkata engkau berbohong, engkau tidak bisa dipercaya. Makin cemburu, maka pihak yang dicemburui akan semakin mencuri-curi.
GS : Jadi suatu lingkaran setan yang makin lama makin parah.
IR : Tapi kalau waktu pacaran ya Pak Paul, ada salah satu partnernya misalnya mulai melirik orang lain atau kadang-kadang janjinya mulai tidak tepat, dan diketahui memang kadang-kadang pergi dengan orang lain, apakah tidak sepantasnya kita jadi pencemburu?

PG : Sangat, sangat sepantasnya dan kalau memang itulah faktanya saya kira harus dipertimbangkan, apakah ini memang pasangan yang cocok atau tidak. Saya kira dalam masa berpacaran kita masihbisa terima kalau sekali atau seseorang dalam masa berpacaran tiba-tiba tertarik dengan orang lain tapi akhirnya kembali lagi.

Hanya sekali, saya kira manusia bisa lemah, apalagi dalam usia yang muda seperti itu. Tapi kalau merupakan suatu pola yang terus-menerus, jangan diteruskan, ini sangat bahaya berarti orang ini memang sedang mencari-cari dan belum bertemu.
(3) GS : Kalau hubungan kita sudah meningkat ke pernikahan, Pak Paul? Yang tadinya pada masa pacaran kita tidak tahu bahwa pasangan kita itu pencemburu, lalu karena dia merasa hubungannya sudah lebih permanen keluar sifat aslinya. Pasangan ini mulai diketahui sebagai orang yang pencemburu. Apa yang bisa dilakukan oleh pasangan yang satunya?

PG : Kita harus melakukan dua hal secara seimbang. Yang pertama adalah memberikan keyakinan bahwa dia aman dengan kita, namun yang kedua adalah saya tetap menjadi diri saya. Dua hal ini yangharus diseimbangkan, jangan sampai yang satu lebih berat daripada yang lainnya.

Yang saya maksud adalah memberikan rasa aman bahwa saya setia denganmu dan engkau satu-satunya yang kucintai, aku tidak akan meninggalkan engkau. Perlu kita komunikasikan kepadanya, kita perlu mengatakannya setiap hari, aku mencintaimu, kita perlu memperlakukan dia dengan spesial, kita tidak memperlakukan orang lain dengan spesial, kita tidak memberikan bunga kepada yang lain, kita hanya berikan kepada dia, kita hanya mencium dia, kita tidak lagi memegang-megang orang atau mencium orang lain, apalagi seperti itu. Jadi benar-benar kita perlakukan dia spesial, kita pergi dan kita tahu dia di rumah mungkin agak khawatir karena kita agak terlambat, kita menelepon dia, menghubungi dia. Dengan kata lain, kita tidak memberikan dia kesempatan atau alasan untuk khawatirkan atau mencemburui kita. Berikan dia keyakinan seperti itu, namun di pihak yang lain kita harus tetap menjadi diri kita. Yang saya maksud dengan diri kita adalah kalau dalam bergaul kita bercanda, kita tertawa, kita ikut terlibat dalam kegiatan di gereja dengan teman-teman dan lain sebagainya, itu tetap kita lakukan. Meskipun dia marah, kita pulang ke rumah dia marah tetap kita lakukan itu, kita tidak mundur. Saya mau menjadi majelis, saya tetap mau jadi majelis, namun di pihak yang lain tetap kita lakukan yang pertama tadi.
GS : Meyakinkan dia bahwa kita mengasihi.

PG : Betul, akan memakan waktu tapi hasilnya akan ada, kalau kita tidak melakukan yang pertama tadi, meyakinkan dia akan cinta kita kepadanya dia akan makin cemburu. Tapi kalau kita menurutikemauannya, kita benar-benar tidak lagi mengikuti kegiatan yang lain karena dia.

Nomor satu itu tidak realistis dan suatu hari kita juga akan bisa retak. Nomor dua tidak mendewasakan dia.
GS : Tapi ini Pak Paul, ada bentuk kecemburuan menurut saya yang sifatnya pasif. Dia sebetulnya cemburu tetapi itu tidak dikemukakan, tidak diekspresikan tapi dia diam, diam-diam dia merasa misalnya saja ya diri saya ini tidak secantik orang lain yang sedang didekati oleh suaminya, dia terus menyalahkan dirinya. Apakah itu bentuk kecemburuan, Pak?

PG : Itu juga kecemburuan sebetulnya, memang kecemburuan yang tidak dinampakkan karena mungkin dia sudah menyalahkan dirinya dulu. Seolah-olah tidak selayaknyalah saya mendapatkan suami sayasebab saya ini tidak secantik orang lain.

Otomatis itu tidak sehat. Nomor satu, kita perlu meyakinkan dia akan cinta dan kesetiaan kita kepadanya, memperlakukan dia dengan khusus, tapi di pihak yang lain kita ini tetap menjadi diri kita. Pendekatannya saya kira harus sama.
GS : Tapi apakah pasangan itu bisa tanggap, bahwa pasangannya ini lagi cemburu. Kalau yang pencemburu ini justru pencemburu yang pasif, yang diam tapi diam-diam dia cemburu bagaimana Pak Paul?

PG : Biasanya harus tahu, kalau kita cukup peka karena kita akan melihat perbedaan dalam perlakuannya terhadap kita.

IR : Bagaimana mengatasinya Pak Paul, ini ada kasus yang seorang istri dapat dikatakan itu cemburu buta, karena suaminya ramah, juga karena pelayanannya luas, dan dengan siapapun dia itu baik, kata-katanya lemah lembut. Sehingga istrinya cemburu kepada orang tertentu. Kalau sedang berbincang-bincang dengan suaminya, dia langsung tulis surat kepada si teman ini yang berisi ancaman. Kalau dalam pertemuan ia memuji-muji pelayanan suaminya, langsung diberi surat mengapa kamu menyebut nama suami saya, dan kamu puji-puji. Sampai dihitung waktu menyebut nama suaminya itu, berapa kali kamu menyebut nama suami saya. Itu digolongkan orang yang bagaimana, Pak Paul?

PG : Pertama-tama saya ingin melihat perlakuan si suami terhadap si istri, apakah termasuk dalam kasus di mana suami itu memang membuat si istri gersang. Gersang terhadap kasih dan cinta, tdak diberikan, setengah cukup, kalau itu masalahnya ya si suami perlu menambahkan perlakuan yang positif dan penuh cinta kasih kepada si istri itu.

Karena bisa muncul dari kasus seperti itu, tindakan-tindakan yang tadi Ibu Ida sudah paparkan. Meskipun harus saya akui biasanya tidak begitu, kalau sudah sampai ke taraf seperti itu memang tidak lagi wajar, sudah mengacu atau menuju pada gangguan jiwa yang lebih serius. Sepertinya ada masalah kejiwaan yang perlu diprihatinkan.
IR : Bahkan dicerita-ceritakan orang, tidak terbukti bahwa suaminya ini berselingkuh. Tapi dia mengatakan kepada orang lain bahwa suaminya itu sedang dikejar sama seseorang. Jadi akhirnya teman-teman mengkategorikan bahwa orang ini paranoid. Apakah bisa digolongkan seperti itu?

PG : Ya, mulai ke situ. Ada satu hal yang mulai ironis Ibu Ida, kita ini takut kehilangan pasangan kita, maka kita cemburu. Tapi kenapa kita cemburu, cemburu sebetulnya ya merupakan dua respns.

Pertama cemburu adalah karena takut kehilangan maka kita ingin merebutnya kembali. Tapi sebetulnya cemburu itu tanpa disadari merupakan suatu persiapan untuk kita menghadapi kehilangan itu, dengan kata cemburu kita seperti yang tadi Ibu Ida katakan menghitung-hitung berapa kali orang memuji suami kita dan lain sebagainya. Tanpa disadari kita sedang meyakinkan diri, bahwa kita akan kehilangan suami kita. Kenapa kita perlu berbuat seperti itu? Meyakinkan diri tujuannya adalah kalau itu terjadi, kita tidak terlalu terluka. Makanya dalam kasus di mana orang itu cemburu seperti itu, kemungkinan adalah kasus kepribadian yang tidak sehat. Tadi seperti yang telah kita singgung yaitu memang ada latar belakang tertentu dalam hidupnya yang membuat dia merasa begitu takut, takut untuk ditinggalkan. Kemungkinan memang ada kasus-kasus dalam hidupnya dahulu di mana orang yang dia kasihi meninggalkannya. Karena begitu takutnya, dia harus menciptakan suatu persiapan. Persiapannya dengan mencemburui pasangannya, seolah-olah dia meyakinkan diri bahwa diapun akan kehilangan, supaya waktu dia benar-benar kehilangan pasangannya, hatinya tidak terluka.
IR : Dan orang ini hatinya pasti selalu was-was dan tersiksa ya, Pak Paul?

PG : Sangat, hidupnya sebetulnya sangat menderita, karena dia tidak pernah bisa hidup damai, tenteram, menikmati hidup ini, dia selalu was-was. Jadi was-was jangan sampai saya kehilangan, it intinya, jangan sampai saya percaya, terlelap, terlena, tiba-tiba engkau mengkhianati saya.

Saya akan benar-benar rusak, saya benar-benar luka parah. Jadi supaya saya tidak luka parah, saya tidak boleh terlena, saya harus terus mencurigai kamu. Sebetulnya itulah mekanisme yang sedang terjadi, yang sudah dilakukannya.
IR : Apalagi kalau profesi suaminya ini seorang dokter atau seorang yang suka bergaul dengan orang luar, ini menyiksa sekali ya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, karena setiap hari dia hidup dalam ancaman, dan dalam kasus seperti ini orang tersebut seharusnya memang mencari bantuan dari luar, konsultasi dengan orang lain. Sebab apaun yang diperbuat si suami tidak akan cukup untuk menenangkan dia, dia akan selalu mendirikan radar-radar itu.

GS : Pak Paul, dengan kemajuan seperti ini ada beberapa profesi yang menuntut kita banyak berhubungan dengan sesama, mungkin berlainan jenis dan lain sebagainya. Dan itu bisa membuat pasangan cemburu, Pak Paul?

PG : Jadi memang intinya kepribadian yang sehat. Itu saya lihat penting sekali sebab dalam kepribadian yang sehat kita dapat hidup sendiri, cemburu yang besar biasanya dalam kepribadian yangtidak sehat.

Didasari atas ketakutan saya tidak dapat hidup sendiri itu intinya sebetulnya. Saya selalu menekankan pada orang yang mau menikah harus sehat dulu, harus bisa hidup sendiri dulu baru hidup berdua. Celaka benar-benar orang yang tidak bisa hidup sendiri, lalu tergesa-gesa hidup berdua, karena hidup sebenarnya hanyalah hidup yang bergantung pada pasangannya, dia seperti lintah. Lintah tidak akan rela melepaskan tubuh kita karena itulah sumber makanannya, darah kita. Jadi orang yang mau menikah harus bisa hidup sendiri dulu.
GS : Jadi ungkapan sepasang pemuda-pemudi yang berkata, "aku tidak bisa hidup tanpa kamu", itu tidak sepenuhnya betul.

PG : Betul, itu justru sangat keliru. Aku bisa hidup sendiri tanpa kamu, tapi saya senang ada kamu.

GS : Apakah ada nasehat firman Tuhan Pak Paul, bagaimana bisa menolong kita, agar kita bisa membantu orang lain yang pencemburu?

PG : 1 Korintus 13:4, berkata : "Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu."

Jadi memang kasih yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita, kasih yang tidak cemburu. Dalam pengertian kasih yang bisa berserah, bisa membebaskan orang untuk menjadi dirinya. Namun di pihak lain saya perlu tambahkan karena kasih Tuhan dimaksudkan supaya jangan kita cemburu, itu betul. Namun janganlah kita mencari gara-gara supaya orang cemburu pada kita. Jadi ciptakanlah situasi dalam hubungan nikah kita, di mana pasangan kita tidak akan menemukan alasan untuk cemburu kepada kita. Kalau kita tidak mau dicemburui, jangan menciptakan suasana di mana dia akhirnya memikirkan bahwa disamping kita, ada orang lain.

GS : Kita perlu meyakinkan pasangan itu bahwa kita sungguh-sungguh mencintai dia dan mengharapkan hubungan yang sehat di dalam kehidupan suami istri itu, Pak Paul.

PG : Betul, belum lama ini saya bicara dengan Dr. Robert Coleman, dia seorang dosen Teologia dari sebuah sekolah di AS. Kebetulan beliau teman dekat dari Pdt. Billy Graham dan dia bercerita epada saya, bahwa dalam pelayanan Pdt.

Billy Graham di organisasinya mereka memiliki standar moral yang begitu keras sehingga mereka sudah menetapkan peraturan, kalau salah satu staf mereka, hamba Tuhan itu ditemukan berada dalam satu kamar di hotel dengan wanita lain, langsung diberhentikan. Kenapa begitu, karena ia mau mencegah terjadinya hal-hal yang buruk.
GS : Sekaligus memberikan teladan ya Pak Paul?

PG : Betul, jadi jangan memberikan kesempatan pasangan kita untuk cemburu kepada kita, biarkan dia terus percaya kepada kita dengan tingkah laku yang benar.

GS : Kadang-kadang kita itu lupa, kalau kita sudah menikah sehingga dalam pergaulan dan lain sebagainya leluconnya keterlaluan, itu bisa juga membuat pasangan kita cemburu Pak Paul?

PG : Bisa, betul.

GS : Jadi kita harus bersama-sama mempunyai tekad untuk membangun hubungan suami istri yang sehat.

PG : Betul.

GS : Terimakasih, jadi demikian tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang bagaimana menolong pasangan kita yang pencemburu bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

PERTANYAAN KASET T 33 B

  1. Apakah orang pencemburu dapat ditolong?
  2. Langkah apa yang dilakukan untuk menolong pacar yang cemburu?
  3. Apa yang dapat dilakukan setelah mengetahui bahwa pasangannya ternyata seorang yang pencemburu?


13. Menghidupkan Cinta Yang Mati


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T051B (File MP3 T051B)


Abstrak:

Memelihara cinta lebih baik daripada menghidupkan cinta yang mati, karena itu suatu pekerjaan yang tidak mudah. Memerlukan pergumulan dan proses atau tahapan-tahapan yang perlu dilakukan, dan memerlukan komitmen yang luar biasa tingginya, tanpa komitmen yang tinggi, maka akan ambruk di tengah jalan.


Ringkasan:

Rupanya cinta itu seperti tumbuhan, namun ada pula yang mengatakan bahwa cinta itu seperti bara api, yang suatu saat kelihatan berkembang, tumbuh dengan baik tetapi ada waktunya juga itu padam atau bahkan tidak ada gairah lagi untuk mencintai suami atau istri, itu menjadi suatu fakta kehidupan yang harus kita akui.

Tanda bahwa cinta kasih itu sudah mati:

  1. Inilah yang coba kita pikirkan pada kesempatan ini.Tidak ada lagi perasaan mempedulika, memprihatinkan, mau bersama dengan orang yang dulu kita kasihi itu.

Inilah yang coba kita pikirkan pada kesempatan ini. Kalau boleh saya mengibaratkan cinta itu sebagai sebuah pohon, jadi yang akan mematikan cinta itu adalah dua hal.
  1. Yang pertama pohon tersebut kekurangan pupuk, karena kekurangan pupuk maka akhirnya lama-lama dia kering ya tidak akan bertumbuh dengan sehat. Yang diibaratkan dengan kekurangan pupuk itu, di dalam kehidupan sehari-hari nyatanya seperti begini: misalkan kita benar-benar menganggap pasangan kita itu bisa sibuk dengan sendirinya, sehingga kita tidak lagi berkewajiban melakukan hal-hal yang diinginkannya yang menyenangkan hatinya, yang menggairahkan hatinya.

  2. Yang kedua pohon tersebut diserang oleh hama, oleh hal-hal yang merusakkan pohon tersebut, jadi cinta kasih akhirnya bisa mati karenanya. Ada perlakuan yang merusakkan hubungan cinta itu. Faktor-faktor yang bisa mematikan cinta adalah perlakuan yang menyakitkan hati, perlakuan yang menusuk perasaan pasangan kita.

Kita bisa lihat, dalam hubungan yang sehat tidak berarti bebas dari konflik atau bebas dari hal-hal yang akan menjengkelkan hati, itu selalu akan ada. Namun dalam hubungan yang sehat cinta kasih kuat, cinta kasih itu benar-benar berpengaruh untuk mengusir pergi kejengkelan-kejengkelan itu. Penulis buku konseling pernikahan yang bernama Dellast dan Ruby Vricent mengakui proses merestorisasi hubungan kasih yang sudah mati itu melewati waktu yang panjang. Dalam perkiraan mereka bahkan dengan terapi keluarga yang intensif itu memerlukan waktu sekitar setahun, jadi waktu yang tidak main-main. Ada beberapa tahapan yang akan dan harus dilalui oleh pasangan. Pertama-tama mereka memberikan penjelasan kepada para pasangan yang sedang bermasalah, bahwa sebetulnya perasaan cinta mereka itu sangat bergantung pada persepsi. Apakah pasangan kita itu sungguh-sungguh ingin dan mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional kita. Atau kalau saya terjemahkan dengan lebih bebas, apakah pasangan kita itu mampu dan ingin berubah, perasaan cinta bergantung pada persepsi atau pandangan tersebut.

Ada tahapan yang harus mereka lalui sewaktu mereka berkeinginan untuk memperbaiki pernikahan tersebut.

  1. Tahapan yang pertama adalah yang disebut oleh Nyonya dan Tuan Vricent ini yaitu keragu-raguan akan ketulusan. Jadi sewaktu suami kita mulai berubah reaksi pertama kita adalah kita bertanya apakah dia sungguh ingin berubah, jadi kita mempertanyakan motivasinya apakah sungguh-sungguh dia ingin berubah.

  2. Tahapan yang kedua yang akan menghadang dia adalah dia bertanya atau dia meragukan apakah engkau sanggup berubah.

  3. Tahapan yang ketiga si istri menuntut bukti yang lebih banyak, ini yang seringkali membuat pasangannya atau suaminya frustasi.

Matius 22:39, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kaitannya dengan peristiwa-peristiwa cinta kasih yang telah mati ini, Tuhan meminta dan memerintahkan kita untuk mengasihi. Tolok ukurnya adalah seperti kita mengasihi diri sendiri. Bukankah kita orang yang lumayan sabar dalam mengasihi diri kita sendiri, kita adalah orang yang cenderung menoleransi kelemahan diri kita dan akhirnya tetap menyayangi diri. Gunakanlah tolok ukur ini untuk mengasihi orang lain, sabarlah, toleransilah terhadap kelemahannya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang sebuah tema "Menghidupkan Cinta yang Mati". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Rupanya cinta itu seperti tumbuhan, ada yang mengatakan seperti bara api, yang suatu saat kelihatan berkembang dan tumbuh dengan baik tetapi ada waktunya juga layu atau bahkan tidak ada gairah lagi untuk mencintai suami atau istri, itu menjadi suatu fakta kehidupan bukan begitu, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, saya teringat dengan suatu peribahasa bahasa Inggris yang berbunyi easy comes easy goes, jadi sesuatu yang datang dengan begitu mudah cenderung mudah juga untu pergi atau menghilang dengan cepat.

Jadi cinta kasih juga seperti itu, kita beranggapan bahwa cinta kasih itu sepertinya sebagai suatu perasaan yang menghinggapi kita tanpa kita ketahui kapan dia datang. Nah, cinta kasih yang seperti itu cinta kasih yang mudah sekali untuk hilang lenyap, justru cinta kasih itu benar-benar harus dirawat. Sebagaimana yang telah kita bahas pada siaran yang lampau cinta kasih itu memerlukan kondisi-kondisi dalam bentuk perbuatan yang nyata, nah yang kita sebut love nurturing behaviors jadi perilaku yang menumbuhsuburkan cinta kasih itu. Jadi kalau tidak ada hal-hal tersebut memang cinta kasih itu akan hilang lenyap, Pak Gunawan.
(1) GS : Tandanya apa Pak Paul, bahwa cinta kasih itu sudah mati?

PG : Nomor satu memang tidak ada lagi perasaan mempedulikan, memprihatinkan, mau bersama dengan orang yang dulu kita kasihi itu. Jadi cinta kasih yang lenyap itu tidak harus dinyatakan denga adanya kebencian, kemarahan.

Jadi sesuatu yang tidak ada lagi, yang sudah hampa sehingga pasangan kita menjadi seorang yang asing buat kita dan dia mengalami peristiwa yang buruk seperti apapun juga tidak akan memancing perasaan iba atau kasihan dari diri kita, benar-benar memasabodohkan orang. Saya kira yang terjadi pada saat itu adalah cinta kasih telah mati.
IR : Itu sama saja dengan cinta yang hambar?

PG : Ya jadi istilah cinta yang hambar seolah-olah masih tetap berkonotasi adanya cinta tapi sesungguhnya kalau sudah ke titik hambar sesungguhnya tidak ada lagi cinta.

GS : Karena hakekat cinta itu tidak hambar Pak Paul, manis ada gerakan, ada gairah begitu ya?

PG : Tepat sekali, ada gerakan dalam diri kita kepada orang yang kita cintai tersebut.

(2) GS : Tapi kematian, dalam hal ini kematian cinta bukankah tidak seperti seseorang yang tiba-tiba bisa mati Pak Paul, tentu ada tahapan-tahapannya atau penyebabnya terutama yang coba kita pikirkan pada kesempatan ini. Apakah penyebabnya cinta itu sampai bisa mati, Pak Paul?

PG : Kalau saya boleh mengibaratkan cinta itu dengan sebuah pohon, jadi yang akan mematikan cinta itu adalah dua hal. Yang pertama pohon tersebut kekurangan pupuk, karena kekurangan pupuk maa akhirnya lama-lama dia kering tidak akan bertumbuh dengan sehat.

Dan yang kedua adalah pohon tersebut diserang oleh hama, oleh hal-hal yang merusakkan pohon tersebut, nah jadi cinta kasih akhirnya bisa mati karena faktor yang kedua. Ada perlakuan yang merusakkan hubungan cinta itu.
GS : Yang tadi Pak Paul ibaratkan dengan kekurangan pupuk itu di dalam kehidupan sehari-hari itu seperti apa?

PG : Misalkan begini kita benar-benar menganggap pasangan kita itu bisa sibuk dengan sendirinya, sehingga kita tidak lagi berkewajiban melakukan hal-hal yang diinginkannya yang menyenangkan atinya, yang menggairahkan hatinya.

Nah kita beranggapan bahwa inilah roda kehidupan dan masing-masing harus menjalaninya seperti itu. Nah saya melihat dalam banyak pernikahan, ini yang terjadi Pak Gunawan. Jadi mereka memang serumah tapi kalau benar-benar mereka menjawab dengan jujur apakah sebetulnya masih ada rasa cinta dalam hati mereka. Kemungkinan pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang sangat asing dan aneh, kemungkinan kita akan mendapatkan jawaban: "Ya sudah umur segini tidak bicarakan cinta-cintalah, itu untuk orang-orang muda." Sebetulnya ungkapan itu bukanlah ungkapan yang jujur, sebab pada intinya jawaban yang terjujur adalah tidak mempunyai perasaan apapun. Jadi orang di sebelah kita itu hanyalah orang yang di sebelah kita yang kebetulan ayah dari anak-anak kita, ibu dari anak-anak kita, tidak lagi apa-apa di situ. Nah apakah pernikahan harusnya begitu saya kira ya tidak, pernikahan seharusnya memang tetap melibatkan adanya unsur cinta kasih. Nah sewaktu seseorang mendiamkan, menganggap pasangannya bisa hidup sendiri tanpa pemberian cinta kasih dari pihaknya, saya kira akan berpotensi besar menghilangkan cinta kasih dari pihak pasangannya terhadap dirinya.
GS : Yang Pak Paul mau katakan cinta kasih harus dipupuk dengan cinta kasih pula, begitu Pak Paul?

PG : Perbuatan-perbuatan kasih, perbuatan-perbuatan yang bernuansa kasih itu ya love nurturing behaviors itu.

GS : Kalau contoh atau penyebab kedua yang tadi Pak Paul katakan diserang hama, faktor-faktor apa yang bisa mematikan cinta?

PG : Itu adalah perlakuan yang menyakitkan hati, perlakuan yang menusuk perasaan pasangan kita. Misalkan kita sudah tahu dia itu tidak suka kita ini pergi dengan teman-teman sembarangan, pulng malam, tetap kita lakukan itu.

Nah pengulangan perbuatan yang menyakitkan hati diibaratkan seperti hama yang akan merusakkan hubungan kasih kita. Sama misalkan kita sudah berkata kepada istri kita, jangan memukul anak begitu keras, engkau memukuli anak begitu keras engkau itu sama menyakiti hatiku, tetap diulang, tetap dilakukan. Nah perbuatan itu seperti hama, akhirnya akan membasmi atau menghilangkan cinta kasih dalam hati kita. Waktu kita melihat anak kita dipukuli seperti itu, kita marah, dia tambah marah akhirnya apa yang terjadi kita diamkan, karena kita tidak berkutik. Nah waktu kita diamkan yang sebetulnya terjadi dalam hati kita adalah kita tidak lagi mempedulikan dia. Kita berkata masa bodoh, tidak bisa ditegur, tidak bisa diberitahu, nah pada saat itu sebetulnya cinta sudah mengalami kematian.
IR : Kalau sudah mengalami kematian, arahnya bisa menimbulkan kebencian, Pak?

PG : Bisa, tepat sekali Ibu Ida, waktu cinta habis, kebencian mudah tumbuh, waktu cinta kuat sesuatu terjadi yang menjengkelkan kita, justru mudah untuk menghilangkan kejengkelan tersebut. Nh kita bisa melihat dalam hubungan yang sehat, hubungan yang sehat tidak berarti bebas dari konflik, bebas dari hal-hal yang akan menjengkelkan hati, selalu akan ada.

Namun dalam hubungan yang sehat cinta kasih kuat, nah cinta kasih itu benar-benar berpengaruh untuk mengusir pergi kejengkelan-kejengkelan itu. Sehingga meskipun kita marah terhadap pasangan kita itu hanya berlangsung untuk waktu yang singkat, sebab dengan segera cinta kita akan benar-benar menetralisir kemarahan kita. Dan kita merasa kok enak berjarak jauh dengan dia, saling mendiamkan, ah ingin dekat lagi, ingin bicara lagi, tapi kebalikannya kalau cinta kasih sudah hampir habis, kejengkelan-kejengkelan terjadi benar-benar bisa menyulut api yang besar.
GS : Tadi yang sudah dikemukakan adalah faktor-faktor eksternal ya Pak Paul, jadi seperti kekurangan pupuk, lalu diserang hama. Kalau dari faktor internal ada tidak Pak Paul, jadi dari dalam diri orang itu sendiri mungkin tiba-tiba saja dulu tidak sungguh-sungguh mencintai?

PG : Bisa, jadi cinta itu memang perlu diuji melalui waktu, orang yang menikah terlalu cepat dengan pengertian wah saya sudah sangat tergila-gila dengan dia, tiga bulan kemudian menikahinya.Saya kira orang itu tidak memberi waktu yang cukup kepada cinta itu untuk bertahan.

Kalau memang cinta yang kuat akan bertahan melewati kurun waktu yang panjang, tiga bulan dua bulan sama sekali tidak cukup. Apalagi setelah tiga bulan berkata saya mau menikahimu, mari kita rencanakan menikah tiga bulan kemudian. Ya mungkin cinta itu masih bisa bertahan setelah tiga bulan karena apa, repot mempersiapkan pernikahan. Namun setelah keramaian itu berakhir saya takutnya cinta itu juga akan berakhir. Sebab cinta itu sering kali didahului oleh perasaan suka, namun cinta tidak identik dengan perasaan suka. Perasaan suka itu memang muncul kalau kita melihat sesuatu yang kita senangi pada diri seseorang atau kita melihat kesamaan interest, kesamaan dirinya dengan diri kita itu tidak bisa tidak akan memunculkan perasaan suka, namun itu tidak identik dengan cinta, sering kali itu pendahuluan kepada cinta namun tidak sama dengan cinta. Kalau tidak ada waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan rasa suka itu benar-benar berkembang menjadi cinta, langsung menikah, nah kemungkinan yang terjadi di tengah jalan rasa suka itu menipis dan cinta itu memang tidak ada.
GS : Jadi katakan dalam kondisi yang sangat kritis pasangan suami-istri yang mungkin sudah mengambil keputusan untuk bercerai, sebenarnya kalau memang itu ada cinta yang sejati dalam diri mereka itu masih bisa ditolong, Pak Paul ya?

PG : Masih bisa asal hama itu belum terlalu hebat merusak cinta dan pupuk itu masih sedikit banyak ada. Kalau memang sudah sangat lama tidak mendapatkan pupuk, sama sekali cintanya benar-benr sudah kering malah dihantam oleh hama serangan-serangan yang menyakitkan, susah ya saya kira.

GS : Tadi kita mengambil contoh tanaman, kalau tanaman itu akarnya masih hidup jadi masih ada, mungkin masih bisa ditolong. Bisa bertunas kembali demikian mungkin dengan cinta bisa bersemi kembali Pak Paul?

PG : Asal masih ada akarnya, ya.

GS : Akar yang hidup bukan sekadar akar, tetapi hidup itu.
IR : Akarnya dimakan rayap.
GS : Habis juga, jadi kita tidak bisa terlalu cepat untuk memutuskan cerai saja.

PG : Betul, nah untuk membangkitkan harapan memang tidak mudah. Saya mau mengutip beberapa pokok pikiran yang dikemukakan oleh sepasang suami-istri penulis buku konseling pernikahan yang berama Dellast dan Ruby Vricent mereka memang mengakui proses merestorisasi hubungan kasih yang sudah mati itu melewati waktu yang panjang.

Nah dalam perkiraan mereka bahkan dengan terapi keluarga yang intensif memerlukan waktu sekitar setahun, jadi waktu yang tidak main-main. Nah yang akan harus dilalui oleh pasangan adalah beberapa tahapan dan inilah yang mereka selalu berikan pada para pasangan yang memang mengalami problem yang berat. Pertama-tama mereka memberikan penjelasan kepada para pasangan yang sedang bermasalah, bahwa sebetulnya perasaan cinta mereka itu sangat bergantung pada persepsi. Apakah pasangan kita itu sungguh-sungguh ingin dan mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional kita. Atau kalau saya terjemahkan dengan lebih bebas, apakah pasangan kita itu mampu dan ingin berubah, nah perasaan cinta bergantung pada persepsi atau pandangan tersebut. Dengan kata lain, kalau kita sudah menganggap pasangan kita memang melakukan hal-hal tersebut, jadi sekali lagi cinta itu harus melihat bukti ya perlakuan yang nyata, perbuatan yang riil. Nah, masalahnya adalah kalau pernikahan itu akhirnya sudah hampa perbuatan-perbuatan yang baik tersebut, sehingga akhirnya suami melihat istri tidak ada itikad baik, istri melihat suami tidak ada lagi itikad baik. Nah pada saat itulah pernikahan tersebut menjadi sangat bermasalah. Akan ada tahapan yang harus mereka lalui sewaktu mereka berkeinginan untuk memperbaiki pernikahan tersebut. Tahapan yang pertama adalah yang disebut oleh Nyonya dan Tuan Vricent ini yaitu keragu-raguan akan ketulusan. Jadi sewaktu suami kita mulai berubah reaksi pertama kita adalah kita bertanya apakah dia sungguh ingin berubah, jadi kita mempertanyakan motivasinya apakah sungguh-sungguh dia ingin berubah. Kenapa sampai terjadi seperti itu, sebab kita sudah kehilangan rasa percaya, kita beranggapan bahwa dia itu memang sudah berniat dan telah menunjukkan niatnya menyakiti hati saya, dia terus melakukan hal-hal yang tidak saya senangi. Kesimpulan saya apa, memang dia beritikad jahat kepada saya. Nah waktu si suami mulai berubah si istri akan mempertanyakan motivasinya. Jadi keraguan yang pertama langsung muncul yaitu keraguan atas ketulusan hati si suami tersebut.
GS : Kalau suami diperlakukan seperti itu, sudah berusaha baik, tapi malah tidak dipercayai atau kurang dipercayailah atau diragukan bagaimana sikap Pak Paul?

PG : Sudah tentu reaksi yang alamiah kembali ingin melakukan yang jahat, sebab saya sudah melakukan yang baik, toh dipertanyakan, buat apa. Nah inilah pentingnya penjelasan baik kepada suamimaupun istri dari pihak si terapis keluarga, bahwa prosesnya akan seperti ini jadi jangan berkecil hati.

Sebab dalam kenyataannya menurut pengalaman suami-istri Vricent ini, meskipun perubahan telah terjadi di pihak pasangan, perasaan cinta itu tetap, tidak naik-naik, tetap seolah-olah mati. Dengan kata lain, sewaktu cinta sudah mati cinta itu memerlukan waktu yang sangat panjang dan perbuatan-perbuatan yang luar biasa berubahnya untuk bisa menaikkan kadar cinta itu kembali. Jadi kalau seseorang mudah menyerah pada tahap awal, tidak akan ada perubahan dan ini yang sering kali terjadi juga yang saya harus akui dalam konseling pernikahan yang sering saya tangani. Akhirnya yang satu berkata buat apa berubah, toh tetap tidak dipercaya, nah yang diperlukan adalah terus berubah meskipun tidak ada penghargaan yang diinginkan.
IR : Tapi mereka sering kali putus asa ya, Pak Paul?

PG : Seringnya begitu, Bu Ida.

IR : Jadi harus tahan uji dan harus selalu mengulang-ulang dan mengulang.

PG : Betul, dan ini yang sering saya tekankan pada pasangan nikah. Lakukanlah bukan karena istrimu atau suamimu menginginkannya. Tapi lakukanlah yang benar sebab itulah yang Tuhan kehendaki,jadi lakukanlah untuk Tuhan, meskipun pada tahap-tahap awal ini motivasi engkau dicurigai terus-menerus.

Ya maklumilah, itu akan selalu ada karena mungkin sekali engkau telah menyakiti hatinya, jadi motivasi sekarang yang harus ada adalah lakukanlah untuk Tuhan.
GS : Katakanlah seseorang bisa melalui tahapan yang demikian sulit Pak Paul ya, tahapan apa lagi yang menghadang dia?

PG : Nah kadang ini yang lebih serius lagi, misalkan dalam contoh ini si istri berhasil percaya OK-lah engkau tulus mau berubah. Yang kedua yang akan menghadang dia adalah dia bertanya atau ia meragukan apakah engkau sanggup berubah.

Sebab akhirnya inilah kecenderungan manusia waktu orang melakukan hal yang sama terus-menerus, kita menyimpulkan memang sudah karakternyalah dia begitu. Memang orangnya begitu, kita ubah pasti tidak sanggup berubah, kemampuan untuk berubah tidak ada lagi. Jadi dengan kata lain yang terjadi di sini adalah kita tidak mempercayai kemampuannya sebab kita sudah melabelkan dia adalah orang yang seperti itu. Memang saya harus akui satu hal, sesuatu yang telah menjadi bagian karakter kita, tidak mudah kita ubah, saya makin tua, makin menyadari sedikit sebetulnya yang saya lakukan untuk mengubah orang. Dan dalam banyak hal kita ini tidak berubah banyak, sebenarnya kita masih menyimpan diri yang lama, karakter-karakter yang lama. Perubahan itu benar-benar makan waktu yang panjang. Nah apalagi kalau si istri sudah menerima perlakuan yang buruk bertahun-tahun dan si suami terus begitu. Nah untuk membuat si istri percaya bahwa si suami ini mampu berubah tidak mudah. Itu sebabnya perasaan cinta tetap datar meskipun si suami sudah mulai berubah, sebab si istri akan terus mempertanyakan, sebetulnya bisa tidak engkau berubah. Apakah ini hanyalah teknik-teknik saja yang engkau pelajari sementara waktu, engkau akan kembali kepada karakter dasarnya.
GS : Sampai sejauh itu Pak Paul, cinta itu masih tetap mati?

PG : Masih tetap mati.

GS : Lalu apa yang harus dilakukan itu?

PG : Sekali lagi kita harus memberikan penjelasan kepada pasangan tersebut, bahwa memang prosesnyalah seperti ini harus tetap bersabar, yang berubah harus tetap menunjukkan perubahan, janganputus asa.

Nah hadangan yang ketiga misalkan si istri bisa melewati fase yang kedua ini, OK-lah dia mulai percaya suaminya sanggup berubah, atau mempertahankan perubahannya. Nah dengan kata lain, di sini si istri menuntut bukti yang lebih banyak, nah ini yang sering kali membuat pasangannya atau suaminya frustrasi. Apakah saya harus potong kepala saya, baru kau percaya misalnya seperti itu. Nah si suami tidak boleh putus asa harus terus melakukan perubahan itu, terus-menerus, meskipun tidak mendapatkan tanggapan yang diinginkannya. Sehingga suatu saat nanti perlahan-lahan cinta kasih itu mulai menggeliat dan mulai bangkit kembali. Nah makanya tadi saya sudah menyinggung pengamatan yang dipaparkan oleh Dr. Dellast dan Dr. Ruby Vricent bahwa memang sekurang-kurangnya dalam kasus yang mereka tangani itu memakan waktu setahun, dengan terapi intensif yang mereka lakukan.
GS : Memang kalau mendengar pembicaraan ini mungkin banyak orang yang ragu-ragu untuk memulai lagi tetapi Tuhan memanggil kita untuk setia pada pasangan kita. Jadi saya percaya kuasa Roh Kudus itu akan menolong seseorang yang memang sungguh-sungguh mau menghidupkan kembali cinta kasih yang ada dalam diri mereka, bukan begitu Pak Paul?

PG : Jadi keduanya memang dalam hal ini mesti mempunyai komitmen yang luar biasa tingginya, tanpa komitmen yang begitu tinggi, ambruk di tengah jalan. Sebab di pihak si suami yang sekarang mncoba berubah, akhirnya mudah frustrasi dan putus asa, sebaliknya di pihak istri yang telah dilukai dan sudah kehilangan rasa percaya, dia tidak mau tertipu kedua kalinya atau kedua ratus kalinya mungkin.

Sebab dia telah menyaksikan misalnya si suami berjanji untuk berubah atau pernah berubah untuk sekejap, kembali lagi pada sifat yang lamanya; jadi akhirnya si istri akan berkata, saya sudah mengalaminya, yang sekarang saya lihat ini sudah pernah saya lihat dan bukan hanya sekali, berkali-kali. Nah apa yang harus membuat saya percaya bahwa sekarang ini berbeda dari dulu, jadi benar-benar hadangannya luar biasa besarnya. Kalau dua-dua tidak mempunyai komitmen bahwa pernikahan ini harus diselamatkan, kebanyakan ambruk di tengah jalan.
(3) GS : Nah dalam hal ini Pak Paul ya, apa yang firman Tuhan berikan kepada kita?

PG : Saya akan kutipkan dari satu ayat yang kita sudah kenal yaitu di Matius 22:39, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kaitannya apa dengan peristiwa-peristiwacinta kasih yang telah mati ini, Tuhan meminta, Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi dan tolok ukurnya adalah seperti kita mengasihi diri sendiri.

Nah bukankah kita orang yang lumayan sabar dalam mengasihi diri kita sendiri, kita adalah orang yang cenderung menoleransi kelemahan diri kita dan akhirnya tetap menyayangi diri. Nah gunakanlah tolok ukur ini untuk mengasihi orang lain, sabarlah, toleransilah kelemahannya. Memang ini memerlukan waktu yang panjang tapi memang keduanya sangat membutuhkan cinta seperti yang Tuhan minta, yaitu cinta yang menoleransi kelemahan. Saya mengerti tidak mudah, saya cukup sering bertemu dengan pasangan yang sudah mengalami sakit hati, yang benar-benar istilahnya itu sudah bonyok, sudah babak belur. Nah bagaimana mungkin mengasihi orang yang menyebabkan dia babak belur? Sangat sulit sekali tetapi mungkin kita kembali mengingat firman Tuhan, kalau kita panjang sabar terhadap diri kita, menoleransi kelemahan kita, gunakanlah tolok ukur yang sama dalam mengasihi orang lain.
GS : Jadi pasti lebih baik kalau cinta kasih itu kita pelihara sebelum mati Pak Paul ya, jadi dengan diberikan pupuk, diciptakan kondisi di mana cinta itu bisa bertumbuh dengan baik, tetapi juga menghindari serangan hama-hama tadi yang Pak Paul sudah singgung.

PG : Betul, kalau sudah kadung mati, membangkitkannya sangat sulit.

GS : Tapi tetap ada harapan Pak Paul.

PG : Tetap ada harapan, asal dua-dua berkomitmen tinggi.

IR : Punya rasa takut kepada Tuhan mungkin juga itu harapan, bahwa kita harus mengampuni orang yang bersalah sebagaimana Tuhan sudah mengampuni kita.

PG : Tepat sekali.

GS : Mungkin kedua belah pihak perlu menyadari hal itu bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna, jadi pasti punya kesalahan, itu pasti terjadi pada dua belah pihak Pak Paul ya.

PG : Tidak harus Pak Gunawan, kadang kala memang kesalahan dibuat oleh sepihak.

GS : Sehingga mematikan cinta di antara mereka.

PG : Betul.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan dengan tema menghidupkan cinta yang mati. Bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami masih akan membahas lebih lanjut tema ini pada sesi berikutnya, dan kami mengharapkan Anda bisa mengikutinya pada acara TELAGA yang akan datang. Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 51 B

  1. Apakah yang menandai bahwa cinta itu mati....?
  2. Apa yang menyebabkan cinta itu mati...?
  3. Bagaimana persoalan cinta ini menurut firman Tuhan....?


14. Bagaimana Membangun Keintiman Hubungan Suami Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T053B (File MP3 T053B)


Abstrak:

Melakukan hal yang bukan membahagiakan diri kita sendiri tetapi membahagiakan pasangan kita. Meski itu hal-hal yang sederhana yang memang disukai oleh pasangan kita yang akan menambah kemesraan dan keintiman.


Ringkasan:

Hubungan suami-istri khususnya dalam kedekatan dan keintiman sering kali berubah-ubah, kadang-kadang terasa intim, kadang-kadang terasa jauh sekali. Ini sedikit banyak dipengaruhi oleh perasaan dan juga oleh kesibukan kita.

Keintiman itu :

  1. Pertama-tama meminta kita untuk melakukan sesuatu yang memang membahagiakan pasangan kita. Jadi intinya bukan yang membahagiakan saya, tapi yang membahagiakan pasangan kita.

  2. Yang kedua, untuk melakukan hal-hal yang bersifat intim perlu unsur kreatifitas atau kejutan. Kita harus lakukan hal-hal kecil yang bisa menambah keintiman. Hal-hal menggugah emosi juga perlu dilakukan, misalkan kalau memang bisa kita menulis surat, mengirimkan kartu, atau menelepon. Atau mengucapkan kata-kata seperti "Aku rindu kepadamu".

Keintiman juga bisa terbangun dengan melakukan hal yang kedua-duanya suka. Kalau memang ada hal-hal yang kedua-duanya suka itu akan sangat mengintimkan. Keintiman pada dasarnya adalah suatu kedekatan, berarti keduanya itu memang harus bersama. Jadi mustahil membangun keintiman dalam jarak jauh atau mustahil membangun keintiman dalam dua situasi yang berbeda.

Syaratnya:

  1. Kedekatan secara fisik, hidup bersama
  2. Kedekatan secara emosional

I Korintus 13, "Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku."

Kata "kasih" di sini saya gunakan dengan istilah keintiman, itu memang menjadi suatu substansi yang tidak bisa digantikan oleh hal-hal yang bersifat lahiriah. Aku bisa membagi-bagikan semua yang ada padaku, menyerahkan tubuhku untuk dibakar tapi itu sama sekali tidak pasti merefleksikan adanya cinta kasih. Sekali lagi yang dipentingkan ialah adanya substansi atau cinta kasih itu sendiri, jika itu sudah ada maka perbuatan-perbuatan kita benar-benar akan menambah keintiman. Cinta yang keluar dari hati memang harus dipupuk melalui hubungan nikah yang kuat, di mana perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati pasangan kita harus sering kita lakukan. Tapi kalau justru yang kita lakukan yang menyakiti hatinya, kita tidak akan bisa menikmati hubungan cinta yang intim.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana membangun keintiman hubungan suami istri. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, hubungan suami-istri khususnya dalam kedekatan, keintiman sering kali berubah-ubah, kadang-kadang terasa intim sekali tapi kadang-kadang terasa jauh sekali. Sebenarnya bagaimana Pak Paul terjadinya?

PG : Saya kira memang keintiman itu sedikit banyak dipengaruhi oleh perasaan kita dan yang kedua oleh kesibukan kita. Jadi adakalanya perasaan kita itu akan mencapai suatu titik yang antikliaks, dalam pengertian ada tahap-tahap di mana perasaan itu memuncak, biasanya pada waktu berpacaran dan pada waktu awal-awal pernikahan.

Setelah mencapai puncaknya ada kecenderungan perasaan itu mulai turun kembali jadi antiklimaks. Yang ideal adalah setelah dia mulai turun nanti dia akan merata akan seperti garis horizontal yang permanen, yang celaka adalah benar-benar turun tak terkendali. Nah itu yang berbahaya, itu berarti cinta yang belum teruji, teruji oleh lamanya hubungan atau waktu dan juga belum teruji oleh kedalaman hubungan itu sendiri. Tapi cinta yang telah teruji oleh lamanya waktu serta kedalaman hubungan itu sendiri cenderung waktu mencapai titik antiklimaks dia akan bertahan cukup di atas, lumayan di atas tidak turun ke bawah. Kedua saya kira keintiman itu adakalanya memang akan turun naik karena kita ini adalah orang-orang yang melewati fase-fase di dalam kehidupan, tidak sama dalam setiap fase itu. Pada awal-awal pernikahan usia 20 hingga 40 tahun ada kecenderungan terutama bagi suami untuk lumayan sibuk di luar memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan kariernya. Akibatnya pikirannya akan lumayan tersedot keluar nah tidak bisa tidak, kita ini hanya punya satu pikiran, jadi kalau yang satu itu sudah mulai tersedot di luar berarti akan sedikit yang tertinggal di dalam untuk pasangan kita. Jadi keintiman itu akhirnya mengalami kerenggangan alias kurang intim, jadi itulah kira-kira turun naiknya atau dinamikanya keintiman.
GS : Tapi bukankah memang ada saat-saat tertentu Pak Paul, di mana kita berdua itu memang bisa merasakan intim sekali, katakanlah kalau ada kesusahan datang atau kesukaran atau masalah yang menimpa keluarga walaupun masih muda jadinya kompak dan bersama-sama menghadapi masalahnya?

PG : Betul, jadi ada beberapa situasi dalam kehidupan yang memang cenderung memperkaya keintiman kita, salah satunya adalah menderita bersama atau melihat pasangan kita menderita. Saya masihingat waktu anak kami yang pertama lahir, setelah anak kami itu lahir, istri saya pulang ke rumah mungkin hanya sempat tidur di rumah 2 hari atau 3 hari kemudian mengalami panas yang tidak turun-turun kemudian diberikan obat antibiotik ternyata tubuhnya tidak bisa terima sehingga terus muntah.

Akhirnya dia harus dibawa kembali ke rumah sakit. Nah saya masih ingat sekali saat itu dia didudukkan di kursi roda setelah saya sampai di receptionist rumah sakit dan di dorong untuk masuk ke kamarnya; saya masih ingat sekali saat itu, waktu istri saya di dorong suster ke kamarnya dengan wajah yang sangat letih, hati saya sangat sedih sekali dan saya menangis di situ. Dan saya merasakan suatu kedekatan yang amat sangat pada saat-saat seperti itu dan memang ada beberapa kali istri saya mengalami gangguan sakit yang lumayan serius dan saya masih ingat di moment-moment seperti itulah saya merasakan suatu kedekatan yang luar biasa.
GS : Dan hal itu kemungkinan besar saya rasa akan dirasakan oleh pasangan, dalam hal ini istrinya Pak Paul merasakan betapa Pak Paul menaruh perhatian yang besar kepadanya.

PG : Ya saya kira demikian, waktu kita harus menghadapi penderitaan itu bersama ya, itu luar biasa akan mempererat kedekatan kita. Waktu kami pertama pulang ke Malang tahun '91 dia itu cukupsering mengalami gangguan jantungnya, nah waktu dulu kami tinggal di Amerika Serikat kami sedikit banyak tergantung pada fasilitas yang sudah tersedia di sana.

Karena dalam waktu kurang 3 menit ambulance datang kalau kita telepon, jadi tidak sampai 5 menit ambulance sudah langsung datang ke tempat kita. Jadi saya merasa lebih aman waktu saya di sana, nah waktu kami kembali ke sini dalam perjalanan pesawatpun saya sudah khawatir, jangan sampai ada gangguan tapi puji Tuhan tidak ada. Namun waktu kami di Malang saya masih ingat tiba-tiba jantungnya mendapatkan gangguan, nah pada saat itu saya tidak bisa membawa dia ke mana, saya hanya bisa bersama dia duduk di lantai memegangi tangannya dan berdoa bersama dia. Saya takut, saya sedih, saya bingung tapi saya tahu saya hanya bisa bergantung pada Tuhan saat itu, dan diapun hanya bisa bergantung pada Tuhan. Jadi kami hanya bisa berdoa dengan hati yang hancur meminta Tuhan mengasihani kami, nah dalam detik seperti itulah keintiman itu sangat-sangat diperkaya.
IR : Jadi takut dipengaruhi oleh perasaan, takut kehilangan begitu Pak?

PG : Betul, saat-saat seperti itu memang mengingatkan kepada kita bahwa pasangan kita adalah orang yang berharga dalam hidup kita, sebab pada waktu ancaman datang, bahwa dia mungkin akan dirnggut dari sisi kita, di saat itulah kita merasakan betapa berharganya.

IR : Cinta kita rasanya tercurah pada pasangan kita ya?

PG : Betul sekali, apakah Pak Gunawan juga pernah merasakan seperti itu?

(2) GS : Ya, merasakan seperti itu. Tapi kalau kesukaran Pak Paul, bukankah itu sesuatu yang tidak kita harapkan dan datangnya pun tidak terencanakan, tetapi bisakah kita itu merencanakan sesuatu untuk meningkatkan keintiman kita itu, Pak Paul?

PG : Sebetulnya bisa Pak Gunawan, dan sesungguhnya hal yang bisa kita lakukan itu hal yang sangat mudah dan murah serta meriah. Adakalanya orang memikirkan wah...kemesraan itu harus dibangundengan harga yang mahal, sebetulnya tidak.

Kita ini cukup terpengaruh oleh film-film, yang namanya kemesraan dan keintiman adalah makan malam di bawah sinar bulan yang remang-remang, di restoran, di pinggir pantai, makannya mahal-mahal, sama sekali sebetulnya tidak benar. Jadi hal-hal sederhana yang memang disukai oleh pasangan kita itu akan sangat menambah kemesraan dan keintiman, jadi saya kira keintiman itu pertama-tama meminta kita untuk melakukan sesuatu yang memang membahagiakan pasangan kita. Jadi intinya bukan yang membahagiakan saya tapi yang membahagiakan pasangan kita. Misalnya, ini yang keliru seorang pria suka anjing kebetulan saya suka anjing dan istri saya juga suka anjing, ini dua-dua suka anjing. Tapi misalnya istrinya tidak suka anjing, suaminya suka anjing, pada hari ulang tahun si istri si suami mengadakan suatu kejutan membawa anak Anjing untuk si istri, nah ini untuk si istri atau si suami sebab yang suka anjing memang si suami. Tapi diatasnamakan untuk menyenangkan si istri, kejutan untuk ulang tahunmu, nah hal itu memang tidak menambah keintiman, sudah untung tidak menambah kejengkelan, tapi yang sering kali terjadi adalah itu, kita memikirkan apa yang kira-kira baik untuk kita. Jadi untuk menambah keintiman memang harus dipikirkan apa yang menyenangkan pasangan kita itu.
GS : Dalam hal ini sepasang suami-istri bisa terbuka Pak Paul, menanyakan apa sebenarnya yang dia sukai untuk saya lakukan.

PG : Baik sekali ide itu Pak Gunawan, jadi kalau memang adanya keterbukaan, si suami atau si istri bisa membuka diri hal-hal apa yang dia senangi. Nah yang kedua adalah untuk melakukan hal-hl yang bersifat intim ini memang perlu unsur kreatifitas atau kejutan.

Sesuatu yang rutin dan yang sama dilakukan terus-menerus, lama-lama akan kehilangan khasiatnya, jadi memang harus kita lakukan hal-hal kecil, tapi kadang-kadang tidak ada. Misalnya seperti apa untuk bisa menambah keintiman, misalkan kita tahu pasangan kita itu senang sekali untuk dicium sebelum kita pergi atau sebelum kita ke luar rumah, nah lakukanlah hal seperti itu. Hal yang memang sangat mudah dan tidak harus kita bayar mahal, hal kecil seperti itu atau hal kecil yang lain adalah misalkan pasangan kita itu suka dibelai atau disentuh. Nah kita sentuh secara ringan, itu sudah sangat membahagiakan dia, nah bukankah tangan kita hanya bergerak sedikit saja menyentuh tubuhnya secara ringan atau mungkin lehernya atau mungkin kepalanya, nah hal-hal itu sudah sangat menyenangkan hati pasangan kita. Nah sering kali yang justru menambah keintiman adalah hal-hal kecil seperti itu, justru hal-hal besar yang kita buat misalnya suatu pesta kejutan atau apa itu tidak terlalu menambah keintiman. Tapi justru hal-hal kecil seperti sentuhan itu sangat menyenangkan pasangan kita.
GS : Terutama hal-hal yang menggugah emosinya, Pak Paul.

PG : Itu juga betul, misalkan kalau bisa kita menulis surat atau mengirimkan kartu atau menelepon, atau kata-kata seperti misalnya, "aku rindu kepadamu," mungkin itu kata yang sudah mulai usng buat kita yang sudah menikah belasan atau puluhan tahun, itu kata-kata yang kita ucapkan hampir setiap hari waktu kita berpacaran, namun sekarang tidak lagi.

Jadi untuk kita misalkan kebetulan berpisah agak jauh, kemudian kita berkata saya merindukan engkau, nah itu hal yang sangat menyenangkan hati.
IR : Biasanya itu pihak wanita Pak Paul yang mengharapkan belaian atau kata-kata yang indah, tapi sering kali suami itu sulit untuk mengekspresikan hal-hal seperti itu.

PG : Betul, sebetulnya sulit dalam pengertian karena memang pria tidak terlalu memikirkan hal-hal itu tapi bukannya berarti tidak bisa dilakukan. Sebab pernah dilakukan pada waktu masih berpcaran.

GS : Saya rasa yang kita butuhkan itu sebagai pria, tapi yang pasti saya itu kalau direspons dengan positif itu cenderung untuk saya ulangi tapi tidak, lalu acuh saja misalnya dibelai lalu diam saja dan sebagainya, dipuji tanggapanya juga tidak positif itu tidak akan diulangi lagi, kesan saya dia tidak menyukai itu.

PG : Jadi sebaiknya memang kalau itu sudah dilakukan oleh suami kita, dan kita memang menyenanginya, kita harus memberitahukan suami kita bahwa hal itu sangat menyenangkan saya dan saya sangt mengharapkan itu bisa kau lakukan lagi.

Jadi memang si pemberi perlakuan tersebut perlu menerima tanggapan, supaya dia tahu ini memang mengenai sasarannya.
GS : Atau memang ungkapan kasih itu harus dinyatakan secara verbal?

PG : Saya kira memang harus begitu, saya menemukan adakalanya pria itu tidak begitu nyaman mengutarakan perasaannya secara verbal. Betul saya kira, pria tidak terlalu natural untuk mengungkakan perasaannya secara verbal.

Tapi bukan berarti sekali lagi tidak bisa dilakukan, sangat bisa, jadi dalam menambah keintiman ini sekali lagi intinya adalah kita melakukan hal yang memang menyenangkan pasangan kita. Belum tentu itu hal yang sangat kita senangi, belum tentu itu hal yang kita gemari lakukan, tapi kita tahu itu hal yang menyenangkan hatinya dia. Contoh yang lain, kadang-kadang istri saya melakukannya buat saya, saya ini memang seseorang yang sangat menyenangi bakmi, nah istri saya tahu itu. Jadi kadang kala untuk hari-hari tertentu saya akan pulang agak terlambat dan istri saya tahu saya akan capek, dia akan mempersiapkan bakmi buat saya, dia akan masak bakmi. Nah hal kecil seperti itu akan sangat menyenangkan saya, sebab saya tahu dia memang memperhatikan apa yang saya inginkan, nah hal kecil, sebetulnya tidak terlalu susah.
IR : Memang harus disertai pengorbanan Pak Paul, sekalipun itu tidak suka dilakukan untuk menyenangkan, itu akan mendatangkan sukacita sendiri buat si pemberi itu.

PG : Karena melihat apa yang kita lakukan itu menyenangkan hati dia, dan makin terdorong kita mengulangi.

IR : Saya pernah mengamati suatu keluarga yang suaminya itu suka sekali sepak bola, istrinya tidak suka tapi dia menemani setiap nonton, dia sayang sama suaminya, akhirnya dia ikut menikmati juga, akhirnya si istri juga suka melihat sepak bola, jadi di situlah keintiman itu selalu bisa dibangun, Pak Paul?

PG : Betul, jadi dengan kata lain Bu Ida memang diperlukan juga suatu kerelaan untuk berkorban, karena kalau tidak ada kerelaan untuk berkorban, tidak akan ada usaha untuk menyenangkan pasanan kita.

Nah sekali lagi memang intinya adalah melakukan yang dibutuhkan dan disenangi pasangan kita, tidak selalu harus berkaitan atau berkepentingan dengan kesenangan kita. Kesukaran kita adalah kita cenderung melakukan hal-hal yang kita juga senangi.
GS : Tapi bisa juga keintiman itu terbangun dengan melakukan hal yang kedua-duanya suka Pak Paul.

PG : Betul, kalau memang ada hal-hal yang kedua-duanya suka itu akan sangat mengintimkan, betul sekali itu. saya masih ingat Norman Wright pernah berkata, adakalanya orang berprinsip menikahah dengan orang yang berbeda darinya karena saling melengkapi.

Tapi kenyataannya adalah yang merekatkan hubungan nikah bukan perbedaan, tapi persamaan, makin banyak kesamaan makin banyak potensi keduanya untuk makin dekat.
GS : Kalau pemikiran menikah dengan orang yang berbeda tadi, sebenarnya konsep pola berpikirnya bagaimana itu?

PG : Biasanya ada anggapan bahwa perbedaan itu akan saling melengkapi, dan memang untuk hal-hal tertentu perbedaan dua orang itu akan bisa melengkapi. Tapi kita selalu harus ingat satu hal bhwa perbedaan mempunyai 2 potensi, yang pertama melengkapi kalau bisa disatukan, tapi kalau gagal disatukan perbedaan itu akan jadi tombak yang saling menusuk, itu menjadi duri yang benar-benar menusuk satu sama lain.

GS : Mungkin yang saling melengkapi itu memang sudah didesain oleh Tuhan untuk memang berbeda Pak Paul?

PG : Ya, dan kenyataannya memang akan banyak perbedaan Pak Gunawan, jadi kalau kita mencari yang persis sama ya tidak mungkin. Tapi dalam proses mencari sebaiknya kita mencari yang lebih banak kesamaan, sekali lagi kembali pada yang tadi Pak Gunawan sudah katakan persamaan akan merekatkan, akan menambah keintiman.

Misalkan kalau kita berdua senang musik yang sama, otomatis kita berdua akan menikmati musik yang sama itu. Kalau kita yang satunya senang musik apa yang satunya senang musik apa, otomatis akan lebih sedikit hal yang kita bisa lakukan bersama.
GS : Tapi tadi yang Ibu Ida katakan walaupun mulainya tidak suka tetapi dengan pengorbanan awal itu, akhirnya pasangan suami-istri itu sama-sama menyukai sepak bola.

PG : Kalau bisa terjadi seperti itu indah sekali, Pak Gunawan.

GS : Ada juga yang dengan memberi, menolong orang lain dan sebagainya itu dia malah merasa intim itu.

PG : Jadi mengerjakan sesuatu secara bersama-sama.

GS : Untuk menolong orang lain dan sebagainya, keintiman seperti itu seberapa kuat Pak Paul?

PG : Sebetulnya keintiman itu memang seperti kita itu membangun rumah Pak Gunawan. Kita tidak membangun rumah dengan satu dinding yang besar atau ditempel dengan dinding yang besar. Satu bat demi satu bata, jadi keintiman itu juga dibangun satu bata demi satu bata.

Artinya harus banyak, tidak bisa sedikit tidak bisa kita terus-menerus menggantungkan diri pada modal waktu tahun pertama menikah, tidak bisa. Tindakan-tindakan itu tadi yang saya sebut sederhana itu harus dilakukan terus-menerus, tidak pernah cukup. Jadi misalkan istri kita atau suami kita sangat menyenangi kita berkata saya mencintaimu, nah katakan itu setiap hari, misalkan suami kita senang kalau istri yang memasak, nah lakukan itu sebisanya, sebanyak-banyaknya juga, karena sekali lagi hal itu juga yang akan menambah keintiman, kemesraan. Sebetulnya kalau kita pikir-pikir apakah keintiman itu; keintiman sebetulnya pada dasarnya suatu kedekatan, kedekatan berarti keduanya itu memang harus bersama. Jadi mustahil membangun keintiman dalam jarak jauh atau mustahil membangun keintiman dalam dua situasi yang berbeda, yang satu bekerja di A, yang satu bekerja di B dan dua-dua pulang jam 10 malam, tidak akan ada keintiman di situ. Jadi keintiman memang pada dasarnya adalah suatu kedekatan, kedekatan yang meminta nomor satu syaratnya kedekatan secara fisik hidup bersama. Dan yang kedua keintiman adalah kedekatan secara emosional, jadi yang satu merasakan bahwa pasangannya itu mengerti jiwanya dan yang satunya juga merasakan hal yang sama. Nah itulah sebetulnya yang menjadi bahan-bahan yang menumbuhkan keintiman.
GS : Kadang kala itu terjadi setelah pertengkaran yang besar, kemudian timbul keintiman.

PG : Betul, kenapa timbul keintiman setelah pertengkaran, nomor satu hubungan itu memang harus dilandasi oleh cinta, sebab kalau tidak ada cinta atau cinta itu sudah benar-benar kurang, pertngkaran sebetulnya tidak akan memunculkan keintiman.

Pertengkaran makin memperlebar jarak, nah jadi kalau sampai ada rasa intim setelah pertengkaran, asumsinya adalah memang sudah ada rasa cinta yang kuat, maka setelah pertengkaran muncul keintiman. Pertanyaannya kenapa muncul keintiman setelah pertengkaran, nah sekali lagi dilatarbelakangi oleh cinta yang kuat, pertengkaran itu untuk sejenak merenggut keintiman. Kita merasakan kehilangan, nah waktu setelah bertengkar tiba-tiba kita disadarkan kita kehilangan dia, nah waktu kita mendekat kembali karena tadi kita merasakan kehilangan, kita akan lebih ditarik benar-benar menyatu dengannya. Karena kita merasakan betapa susahnya tadi, betapa butuhnya saya, waktu saya kehilangan engkau dan sekarang saya boleh bertemu bersama lagi dengan engkau, kita benar-benar menghargai moment itu.
GS : Tapi itu tidak berarti boleh bertengkar terus untuk menambah keintiman, nah di dalam hal ini Pak Paul, apa yang Alkitab katakan?

PG : Saya akan membacakan dari 1 Korintus 13 yang kita semua sudah kenal yaitu ayat-ayat tentang cinta kasih; yang saya ingin bacakan adalah ini. "Dan sekalipun aku membagi-bagian segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku."

Nah kasih di sini kalau saya boleh gunakan istilah keintiman memang menjadi suatu substansi yang tidak bisa digantikan oleh hal-hal yang bersifat lahiriah. Jadi aku bisa membagi-bagikan semua yang ada padaku, menyerahkan tubuhku untuk dibakar jadi itu sama sekali tidak merefleksikan pasti adanya cinta kasih. Jadi yang sekali lagi dipentingkan adanya cinta kasih, substansi itu sendiri, nah waktu itu sudah ada perbuatan-perbuatan kita benar-benar akan menambah keintiman. Kalau pasangan kita tidak merasa kita mencintai dia, perbuatan-perbuatan yang kita lakukan tidak menambah keintiman Pak Gunawan, jadi mesti adanya rasa dicintai yang kuat itu dan dia tahu dia disayangi. Maka waktu kita melakukan tindakan-tindakan yang tadi saya sebut itu, nah barulah tindakan itu akan sangat menguatkan hubungan kita itu.
GS : Memang keintiman di dalam pernikahan itu tidak bisa dibangun di dalam waktu pendek Pak Paul?
IR : Melalui proses ya.

PG : Betul dan itu memang harus ditransmisikan, disampaikan dari hati ke hati, itu sebabnya adakalanya saya dengar ini dari suami atau istri. Saya sudah berbuat ini atau berbuat itu atau yan klasik yang sering dikatakan suami, saya bekerja untuk dia juga tapi tetap si istri merasakan tidak disayangi.

Sebab sekali lagi perbuatan-perbuatan tersebut tidak bisa menggantikan cinta kasih, nah Alkitab ingin tegaskan kepada kita bahwa, bahkan perbuatan yang sepertinya sangat ekstrim membiarkan diri dibakar, itu tidak bisa menggantikan cinta kasih yang dari hati, nah itu yang harus kita keluarkan. Dan sering kali cinta yang keluar dari hati memang harus dipupuk melalui hubungan nikah yang kuat, di mana perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati pasangan kita mesti sering kita lakukan. Tapi kalau justru yang kita lakukan yang menyakiti hatinya tidak akan bisa kita menikmati hubungan cinta yang intim.
GS : Tapi tentunya para pendengar dan kita semua itu akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membangun hubungan yang intim khususnya dengan pasangan kita.

Nah, demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan ke hadapan Anda tentang bagaimana membangun keintiman hubungan suami istri. Dan pembicaraan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 53 B

  1. Mengapa keintiman dalam pernikahan itu seringkali berubah-ubah....?
  2. Bisakah kita merencanakan sesuatu untuk meningkatkan keintiman...?


15. Cinta yang Hilang setelah Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T060A (File MP3 T060A)


Abstrak:

Apa yang terjadi setelah pernikahan, bara cinta tiba-tiba menjadi dingin seolah-olah tiada lagi api yang dapat dilihat di antara kedua orang yang tadinya sangat mencintai. Dalam materi ini kita akan melihat beberapa hal yang menyebabkan cinta itu sampai menghilang atau menjadi hambar setelah menikah.


Ringkasan:

Sekurang-kurangnya ada 3 penyebab hilangnya cinta sehingga tidak dirasakan lagi setelah menikah:

  1. Yang pertama adalah secara manusiawi sesuatu yang menjadi biasa memang akan kehilangan daya tarik semula.

  2. Yang kedua adalah pertengkaran. Pertengkaran yang tidak diselesaikan akan membunuh cinta kasih.

  3. Yang ketiga adalah faktor konsep pemikiran kita. Sering kali memang kita ini secara tidak sadar beranggapan bahwa cinta itu memang miliknya orang yang berpacaran. Setelah menikah cinta itu boleh ada, boleh tidak ada, karena setelah menikah yang penting adalah memikirkan pekerjaan, memikirkan masa depan anak, memikirkan tugas merawat anak, memikirkan tentang bagaimana kita harus mengembangkan karier kita 4 tahun di depan dsb. Sehingga akhirnya memang cinta tidak lagi mendapatkan tempat dalam pernikahan.

Ada beberapa hal atau upaya yang dapat dilakukan untuk menemukan cinta kembali, yaitu:

  1. Pertama-tama dua orang suami maupun istri itu harus menyadari bahwa mereka sudah kehilangan cinta. Jadi kita memang harus memeriksa apakah cinta kita telah kehilangan aspek emosional dan biologisnya. Apakah yang tertinggal sekarang adalah aspek kognitif, aspek pikiran semata dan aspek rohani semata. Kalau memang kita akui itulah yang terhilang, sekarang bagaimana saya dan dia bisa memperbaikinya.

  2. Langkah kedua adalah kita melihat duduk masalahnya di mana. Adakalanya duduk masalahnya pada beberapa penyebab:

    1. Yang pertama, yaitu kita kehilangan cinta karena terbiasa.

    2. Atau yang kedua yang lebih serius karena adanya pertengkaran-pertengkaran. Kalau memang itu duduk masalahnya pertengkarannya memang harus dibahas dan harus diselesaikan.

    3. Yang ketiga kalau misalnya hanya konsep pemahaman yang keliru kita masih bisa perbaiki.

  3. Langkah ketiga yang harus kita perbuat, yakni harus sering-sering mengungkapkan betapa berterima kasihnya kita atas kehadiran pasangan kita. Bahwa dia pemberian Tuhan untuk kita, kita harus pintar-pintar melihat yang positif dalam dirinya meskipun mengakui yang tidak kita terima dalam dirinya atau sulit diterima dalam dirinya. Kalau kita memulai dengan berterima kasih kita akan menerima kasih.

Matius 22:39, ayat yang dikenal dengan baik yaitu Tuhan meminta kita untuk mengasihi atau mencintai sesama kita seperti diri kita. Jadi prinsipnya adalah suami dan istri harus mengasihi satu sama lain seperti dia mengasihi diri sendiri. Perintah ini sering kali getol kita laksanakan dengan orang lain, lupa di rumah ada istri, ada suami. Jadi memang Tuhan sudah menetapkan aturan main dengan jelas di sini. Dan kita pun percaya tentunya Tuhan pun menghendaki agar cinta yang sudah tumbuh dalam rumah tangga akan tetap terpelihara.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Hilangnya Cinta setelah Pernikahan". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, semua orang berharap sebenarnya cinta yang mereka rasakan atau nikmati pada saat berpacaran itu akan tumbuh berkembang dengan lebih membara lagi. Tapi faktanya yang ada kita sering kali mendengar atau melihat bahkan juga mengalami suatu kenyataan bahwa cinta yang mula-mula itu seolah-olah hilang Pak Paul, kita mengutip dalam kitab Wahyu itu kehilangan kasih yang mula-mula. Itu juga sering kali dirasakan dalam hidup pernikahan. Nah mungkin kami akan menanyakan bagaimana prosesnya kenapa sampai bisa seperti itu?

PG : Sebelum saya menjawab Pak Gunawan, saya ingin memberikan pengamatan saya, adakalanya misalnya saya makan di rumah makan, saya melihat atau memperhatikan pasangan nikah, suami-istri makan brsama.

Nah sering kali yang saya lihat jarang sekali suami dan istri itu saling berbicara, misalkan ada anak-anak kebanyakan yang saya perhatikan adalah si suami akan berbicara dengan anak-anak, si istri akan berbicara dengan anak-anak, tapi suami dan istri jarang sekali berbicara. Bahkan adakalanya saya amati si suami menatap yang lain-lain tapi tidak kepada istrinya, sebaliknya si istri juga menatap yang lain-lain tapi tidak menatap suaminya. Nah tadi yang Pak Gunawan munculkan adalah pertanyaan yang sangat-sangat absah yaitu apa yang terjadi setelah menikah. Kenapa bara cinta itu tiba-tiba menjadi dingin seolah-olah tidak ada lagi api yang dapat kita lihat di antara kedua orang yang tadinya sangat mencintai itu. Saya kira sekurang-kurangnya ada 3 penyebab kenapa sampai cinta itu sampai menghilang atau hambar atau tidak dirasakan lagi setelah menikah. Yang pertama adalah secara manusiawi memang sesuatu yang menjadi biasa akan kehilangan daya tarik yang tadinya ada. Jadi sesuatu itu cenderung mempunyai daya tarik yang sangat kuat sewaktu masih baru, setelah bersama dengan kita untuk waktu yang agak lama biasanya tidak peduli seberapa indahnya dan menariknya hal itu lama-kelamaan tidak mempunyai daya tarik yang sama pada kita. Dan cinta kita memang cinta yang sangat dipengaruhi oleh ketertarikan fisik, oleh kekaguman yang kita saksikan atau kita lihat. Sehingga akibatnya setelah menikah, yang tadinya kita sangat kagumi menjadi biasa, yang tadinya sangat menarik hati kita menjadi biasa. Nah dua unsur tadi kekaguman dan ketertarikan sering kali memang menjadi pengisi cinta kasih pada pasangan kita. Otomatis waktu dua hal itu mulai memudar, perasaan cintapun seolah-olah turut menjadi dingin, nah itu saya kira yang pertama yang dialami oleh banyak pasangan. Jadi mendinginnya rasa ketertarikan atau kekaguman terhadap pasangannya sehingga menjadi biasa dan yang biasa itu tidak lagi begitu menggairahkan untuk dicintai.
GS : Memang harus diakui bahwa kita mempunyai sifat pembosan, bosan dengan sesuatu, kalau sudah agak lama kita mencari. Berarti di dalam hubungan pernikahan baik suami atau istri harus mencoba menemukan sesuatu di dalam pasangan kita itu?

PG : Menemukan yang baru dalam pengertian kita melihatnya dengan penghargaan yang baru atau dengan mata yang baru. Sebab memang kita bisa pungkiri bahwa yang bersama dengan kita itu secara fisi akan menjadi lama, akan menjadi biasa dampaknya buat kita.

Jadi landasan cinta kasih kita memang tidak boleh terlalu berat pada yang bersifat fisik. Namun harus lebih berat pada yang bersifat rohani atau emosional, sehingga akhirnya bantuan, karakteristik yang indah kita saksikan, merasa sangat dibantu oleh kehadiran pasangan itu kita menjadi terus-menerus menghargai dan mengagumi.
GS : Tetapi kadang-kadang memang situasinya seperti tadi Pak Paul amati dalam rumah makan, situasinya memang juga tidak mendukung. Biasanya rumah makan itu ada TV yang dilihat atau musiknya terlalu keras sehingga pasangan ini sulit mau berbicara. Bisa berbicara di rumah 'kan tidak harus di rumah makan?

PG : Yang saya khawatirkan Pak Gunawan, di rumahpun mereka jarang bicara kalau lagi makan, jadi saya kira yang terjadi di rumah makan cukup merefleksikan yang terjadi di rumah sendiri. Kadang kla memang ada televisi, kadang kala ada destruksi-destruksi yang tadi Pak Gunawan sebut.

Tetapi bukankah cukup banyak rumah makan yang tidak ada televisi, yang tidak ada hal-hal lainnya selain dari makanan itu. Namun toh tetap mata mereka tidak memandang pasangan mereka.
GS : Atau memang tidak terbiasa melakukan itu Pak Paul, jadi artinya mereka sejak berpacaran tidak melakukan hal-hal seperti itu.

PG : Nah kalau itu yang terjadi lain perkara memang, jadi adakalanya dua orang itu memang tidak terbiasa. Sejak masa berpacaran tidak terbiasa untuk saling melihat, saling menyentuh, nah itu meeka bawa sampai ke pernikahan, nah saya kira itu biasa, itu tidak apa-apa.

Nah, tapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya pada masa berpacaran si suami dan si istri bisa saling menatap, saling menyentuh, bicara dengan begitu asyik, bisa ngobrol berjam-jam, kok tiba-tiba sekarang tidak bisa lagi.
GS : Nah, Pak Paul tadi kalau Pak Paul katakan baik secara rohani maupun emosional bisa ditemukan itu contoh konkretnya seperti apa, Pak Paul?

PG : Kita setelah menikah makin menyadari bahwa dia pasangan yang paling tepat untuk kita, kita makin melihat sifat-sifatnya yang baik, kita makin melihat pengorbanannya, kita makin mengagumi krakteristik kepahlawanannya dan kekagumannya.

Nah semua itu makin menyadarkan kita bahwa kita menikah dengan orang yang baik, dengan orang yang tepat, orang yang bisa mengerti kita. Dan terutama kebutuhan-kebutuhan kita dipenuhi olehnya, nah ini makin mengkonfirmasikan dan menguatkan kita bahwa kita telah menikah dengan orang yang sangat berharga, nah itu penting sekali.
GS : Jadi kalau kebutuhan kita dipenuhi Pak Paul, itu 'kan berarti harus ada semacam ungkapan terima kasih kepadanya, kepada pasangan kita.

PG : Betul, jadi seolah-olah kita makin berhutang kepada dia, kita makin melihat betapa bernilainya dia dalam hidup kita. Karena dialah yang telah mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita, nah ini akn menyegarkan cinta di dalam pernikahan.

IR : Jadi selalu Pak Paul diungkapkan rasa penghargaannya pada pasangannya.

PG : Tepat sekali, jadi hal-hal itu meskipun kecil kita utarakan dan itu akan menyemarakkan cinta di kedua orang ini.

GS : Kadang-kadang kami memang berpikir itu, bahwa pasangan kita tahu kita itu menghargai apa yang dia kerjakan walaupun tidak terucapkan. Nah masalahnya di situ kita tidak terbiasa untuk mengucapkan terima kasih atau rasa kasih kita itu dengan kata-kata atau dengan sentuhan dan sebagainya, Pak Paul.

PG : Betul, apalagi budaya kita budaya Asia, cenderung memang tidak begitu ekspresif sehingga kita jarang mengatakan hal-hal yang seperti itu, menghargai, berterima kasih atas kehadirannya karea itulah kita mesti belajar mengutarakannya.

Dan kita harus mengakui bahwa kita sendiri sebetulnya menyenangi kata-kata atau komentar yang menghargai kita. Jadi kalau kita menyenanginya, pasangan kita pun pasti akan menyenanginya pula. Masalah mungkin akan menjadi lebih rumit Pak Gunawan, kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi. Nah tadi saya berkata kira-kira ada 3 penyebab yang membuat cinta itu bisa menguap dari pernikahan. Selain dari menjadi biasanya hubungan cinta itu, yang kedua adalah pertengkaran. Nah pertengkaran yang tidak diselesaikan akan membunuh cinta kasih. Pertengkaran itu perasaan negatif sedangkan cinta perasaan positif. Nah dua-duanya tidak bisa hadir bersamaan, maksud saya begini, kalau yang satu banyak, yang satu akan sedikit. Kalau cinta banyak pertengkaran akan cenderung lebih positif, kalau pertengkaran banyak cinta akan cenderung makin berkurang. Nah ada banyak hal yang membuat kita bertengkar misalnya gaya hidup kita yang tidak sama, itu akan membuat kita bertengkar, gaya komunikasi kita yang tidak sama bisa menimbulkan kesalahpahaman dan kita bisa bertengkar. Dan yang ketiga, yang penting adalah sewaktu kebutuhan kita tidak terpenuhi, atau sewaktu yang kita harapkan dari pasangan kita tidak kita lihat, nah itu yang cenderung menimbulkan api pertengkaran adalah perbedaan gaya hidup, perbedaan gaya komunikasi dan tidak terpenuhinya kebutuhan dan harapan kita. Nah biasanya yang ketiga ini kalau tidak terpenuhi dampaknya jauh lebih serius daripada perbedaan gaya komunikasi, gaya hidup, yang ketiga ini atau runtuhnya harapan kita itu biasanya berdampak sangat fatal. Itu yang cenderung membuat kita sangat pahit dan melibatkan kita dalam pertengkaran yang tidak terselesaikan.
IR : Perbedaan karakter apakah juga bisa, Pak Paul?

PG : Bisa, jadi karakter yang berbeda itu akan membuat kita berinteraksi dengan cara yang berbeda, berelasi dengan cara yang berbeda, berkomunikasi dengan cara yang berbeda. Misalnya orang yangcenderung pendiam, menyimpan semuanya ke dalam, tidak ekspresif, menikah dengan orang yang semuanya dilontarkan ke luar, kurang bisa misalnya menahan emosi.

Nah kedua karakter yang akhirnya disatukan dalam rumah tangga ini tidak bisa tidak, pada awal-awalnya akan bentrok, akan mengalami benturan. Karena apa, gaya hidupnya akan berbeda; yang blak-blakan misalnya cenderung akan menganggap orang yang tidak blak-blakan itu tidak jujur misalnya. Jadi dia cenderung menuntut orang itu untuk terbuka, sebab orang yang tidak terbuka dikategorikan menyimpan rahasia, tidak percaya padanya, akhirnya juga dia merasa dia itu tidak dihargai oleh pasangannya. Atau juga akhirnya membuat cara komunikasi berbeda yang satu akan merasa kenapa engkau terlalu menyerang saya, kenapa engkau berbicara tanpa tedeng aling-aling, kenapa engkau tidak memperhatikan saya. Yang satu berkata itulah namanya terbuka dan jujur saya tidak mau menyimpan, nah gaya-gaya komunikasi dan gaya hidup yang berbeda ini pasti akan menimbulkan benturan.
GS : Hal-hal seperti itu tidak dirasakan atau dialami pada saat mereka pacaran, Pak Paul?

PG : Biasanya sudah mulai terasakan namun dalam kadar yang jauh lebih kecil, karena tidak tinggal bersama dan kita tidak harus mengambil keputusan secara bersama-sama. Jadi prinsipnya adalah orng bisa mengambil keputusan dengan baik sendirian, belum tentu bisa mengambil keputusan bersama, itu dua hal berbeda.

Nah waktu dia serumah dengan pasangannya terpaksa harus mengambil keputusan bersama, harus berdiskusi dan akan banyak melihat hal-hal yang menjengkelkannya, yang tidak disetujuinya. Nah akhirnya ini bisa membuat kemarahan lebih muncul sehingga kedua orang ini bertengkar.
GS : Ya kalau terjadi pertengkaran atau kebosanan seperti tadi apakah langsung kita bisa mengatakan cinta itu hilang dalam pasangan itu, 'kan belum tentu Pak Paul?

PG : Nah sekarang kita memang mau jelas dengan apa itu definisi cinta di sini, bagi saya cinta itu mengandung aspek perasaan, jadi cinta harus ada perasaan cintanya yang dirasakan secara emosioal.

Cinta juga memang harus mengandung unsur biologisnya, artinya kita tertarik secara fisik dengan pasangan kita. Jadi kita waktu melihat pasangan kita, bukan saja memandang dia sebagai seorang perempuan atau seorang pria tapi kita merasakan ketertarikan terhadap dia. Jadi cinta bagi saya mengandung unsur biologisnya pula, cinta juga harus mengandung unsur kognitif unsur rasionalnya. Artinya kita memilih untuk setia, untuk terus bersama dengan pasangan kita, kita memang tidak bisa diombang-ambingkan oleh aspek emosionalnya, tapi memang aspek emosional tetap penting namun di samping itu harus ada aspek kognitif yaitu kita memilih bersama dengan dia. Selain itu harus ada aspek rohani, itu benar-benar keinginan untuk mengosongkan diri demi pasangan kita, mengorbankan diri demi pasangan kita, jadi cinta seperti itu memang cinta yang lengkap. Jadi kalau ada seorang berkata saya mencintai dia, tapi sebetulnya tidak terjadi perasaan apa-apa, saya kira cinta itu tidak lagi utuh, mungkin saja mesti ada aspek kognitifnya dan sebagainya, tapi kekurangan suatu aspek yang penting dan ketertarikan biologisnya.
GS : Berarti selama unsur-unsur yang lain masih ada itu masih bisa diharapkan cinta itu kembali dalam pasangan itu.

PG : Betul jadi selama yang lain masih ada, cinta itu bisa dikobarkan dan kadang kala pada waktu tertentu dikobarkan kembali aspek emosionalnya. Namun kalau faktor kedua tadi ada yakni pertengkran-pertengkaran yang tak terselesaikan, nah saya khawatirkan kesempatan muncul itu makin mengecil, makin berkurang sehingga akhirnya perasaan aspek emosional tadi dan ketertarikan bisa terganggu sekali.

Saya takut yang ada hanya aspek kognitif, saya sudah menikah dengan dia, saya memilih dengan dia atau aspek rohani saya anak Tuhan, saya mau hidup dengan pasangan saya apapun yang terjadi akhirnya yang ketinggalan hanya dua itu. Sebab kenapa sudah diisi perasaan-perasaan yang negatif yaitu pertengkaran itu, sehingga perasaan yang positif, perasaan cinta itu akhirnya menghilang.
IR : Kalau sudah menjurus ke situ akhirnya apa, apakah hubungan itu tambah menjauh Pak Paul?

PG : Biasanya demikian Ibu Ida, jadi kalau cinta mulai kehilangan aspek emosional dan biologisnya meskipun aspek kognitifnya kuat, dan aspek rohaninya tetap ada saya kira akan terasa sekali kehmbaran dalam hubungan suami-istri itu.

Akan terasa sekali bahwa hubungan ini hubungan yang rutin, yang tidak ada bedanya dengan kemitraan yang ada dalam hidup ini. Sehingga biasanya ada gap, ada jarak antara 2 orang itu, meskipun mungkin sekali gap itu bisa diperkecil dengan adanya anak misalnya. Adanya kesibukan bersama sehingga diperkecil lagi, namun yang penting adalah yang tadi yang kedua itu. Selama pertengkaran-pertengkaran itu bisa diselesaikan dengan baik, biasanya cinta itu masih bisa dipertahankan karena akan tetap muncul api-api cinta itu. Namun kalau terlalu banyak diisi pertengkaran yang tidak terselesaikan sulit, sebab bagi saya pertengkaran itu tadi sudah singgung biasanya muncul dari perbedaan gaya hidup, dari perbedaan gaya komunikasi. Nah kalau yang munculnya karena kebutuhan kita tidak terpenuhi atau harapan kita tak jadi kenyataan, dia menjadi suami yang seperti ini, dia menjadi istri yang seperti ini, kenapa orangnya begini nah ini menimbulkan kekecewaan. Nah kekecewaan seperti itu berbahaya, itu yang akan benar-benar membasmi cinta kasih dalam hubungan rumah tangga.
GS : Ya memang kadang-kadang tuntutan setelah menikah itu lebih besar daripada pada waktu berpacaran Pak Paul, karena ada unsur pekerjaan, ada anak dan sebagainya itu yang membuat kita kadang-kadang kurang menaruh perhatian pada pasangan kita, jadi bukan sengaja tidak mencintai dia tetapi memang karena hal-hal yang tadi itu terjadi.

PG : Yang akhirnya memang menyita perhatian kita Pak Gunawan, nah ini membawa kita ke point yang ketiga, Pak Gunawan. Ya tadi saya sudah singgung bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor penyebab ang saya lihat menguap dari pernikahan.

Nah yang ketiga adalah faktor konsep pemikiran kita, sering kali memang kita ini beranggapan secara tak sadar bahwa cinta itu memang miliknya orang yang berpacaran. Setelah menikah cinta itu boleh ada, boleh tidak ada, karena ya setelah menikah yang penting adalah memikirkan pekerjaan, memikirkan masa depan anak, memikirkan tugas merawat anak, memikirkan tentang bagaimana kita harus mengembangkan karier kita 4 tahun di depan dan sebagainya. Sehingga akhirnya memang cinta tidak lagi mendapatkan tempat dalam pernikahan. Bukankah kita pernah mendengar ungkapan seperti ini, kalau seseorang katanya mau mesra, pasangannya bisa berkata malu ah....sudah menikah masih begitu atau kamu sudah berumur berapa. Jadi seolah-olah orang berumur 45 tahun tidak layak lagi meminta kemesraan dan untuk menjadi mesra atau misalnya orang umur 50 tahun, tidak boleh lagi mendambakan cinta, kita katakan kekanak-kanakanlah, bukan waktunya lagilah atau kita harus pikirkan hal-hal yang serius, bukan begitu pikirannya sekarang. Jadi akhirnya kita dikondisi untuk merasa malu, tatkala merindukan cinta, nah saya kira konsep ini tanpa disadari telah menggerogoti cinta dan menolak keberadaan cinta dalam pernikahan. Sudah masuk ke pernikahan, ya persiapan atau pemanasan itu tidak diperlukan lagi.
(2) GS : Kalau sampai terjadi Pak Paul, pasangan yang kehilangan cinta itu, bagaimana mereka mengupayakan atau bisa ditemukan kembali?

PG : Pertama-tama dua orang suami maupun istri itu harus menyadari bahwa memang sudah kehilangan cinta itu. Nah kenapa saya katakan dua-duanya harus mengakui, karena sering kali kita menyangkal itu, sering kali kita berargumen o.....saya

mencintai dia dengan cara yang lain, saya mengurus anaknya itu berarti cinta, saya masak untuk dia itu namanya cinta, saya melayani dia itu namanya cinta. Atau suami berkata ya saya bekerja, saya tidak mau bermain perempuan lain, tidak berjudi itu semua cinta artinya. Itu yang dibicarakan adalah kewajiban rumah tangga, sebagai suami atau istri memang sudah sewajarnyalah suami itu bekerja mencukupi kebutuhan keluarganya, istri menyediakan kebutuhan misalnya menyediakan makanan di rumah, menjaga rumahnya. Memang kewajiban, pembagian tugas yang telah disepakati bersama, nah itu tidak boleh digunakan sebagai alasan itu cinta, saya kira itu 2 hal berbeda. Nah jadi pertama-tama memang kita harus memeriksa apakah cinta kita telah kehilangan aspek emosional dan biologisnya. Apakah yang tertinggal sekarang adalah aspek kognitif, aspek pikiran semata dan aspek rohani semata. Nah kalau memang kita akui itulah yang terhilang, sekarang bagaimana saya dan dia bisa memperbaikinya. Jadi langkah kedua adalah kita memang melihat duduk masalahnya di mana, adakalanya duduk masalahnya atau penyebab yang pertama yaitu memang kita kehilangan cinta karena terbiasa. Atau yang kedua ini yang lebih serius karena adanya pertengkaran-pertengkaran; kalau memang itu duduk masalahnya pertengkarannya memang harus dibahas, harus diselesaikan. Yang ketiga kalau misalnya hanya konsep pemahaman yang keliru yaitu kita masih bisa perbaikilah. Cinta memiliki tempatnya yang khusus dan spesial dalam pernikahan, harus ada, nah kita harus mengadakannya sekarang. Jadi langkah kedua, kita harus mencari tahu penyebabnya, kenapa cinta dalam rumah tangga ini sudah menguap, baru langkah-langkah lainnya.
IR : Yang saya tanyakan juga itu Pak, contoh konkretnya bagaimana untuk menyemarakkan cinta itu bisa kembali?

PG : Sekarang kita masuk point yang ketiga, jadi langkah apakah yang harus kita perbuat, nah saya kira waktu kita tidak cukup untuk membahas sampai selesai, saya akan ambil yang pertama dulu yani kita harus sering-sering mengungkapkan betapa berterima kasihnya kita atas kehadiran pasangan kita.

Bahwa dia pemberian Tuhan untuk kita, kita harus pintar-pintar melihat yang positif dalam dirinya meskipun mengakui yang tidak kita terima dalam dirinya atau sulit diterima dalam dirinya. Mungkin kita panggil itu kelemahannya, tapi kita benar-benar menyoroti yang baik dan sering-seringlah kita mengutarakan betapa berterima kasihnya kita atas kehadirannya dalam hidup kita. Prinsipnya adalah yang saya gunakan kalau kita memulai dengan berterima kasih kita akan menerima kasih. Sebaliknya kalau kita memulai dengan tidak tahu berterima kasih kita akan mengakhirinya dengan tanpa kasih. Jadi kata-kata terima kasih, kata-kata pengucapan syukur engkau adalah suamiku, engkau adalah istriku, kalau sering-sering kita lontarkan akan menyemarakkan cinta. Sebab pada intinya menurut saya cinta itu diwujudkan dalam penghargaan, nah ini bentuk penghargaan yang riil dan mengutarakan rasa terima kasih kita. Kadang-kadang kalau kita menengok ke belakang justru kita kesulitan untuk mengingat kapan terakhir kali berkata terima kasih pada suami atau istri kita, nah itu saja langkah yang sederhana, tapi kalau kita lakukan dengan konsisten, saya yakin akan membawa perubahan dalam hubungan suami-istri.
GS : Tapi yang memberikan petunjuk yang paling jelas pasti kita temukan di dalam Alkitab Pak Paul ya, nah dalam hal ini apa yang Alkitab itu katakan.

PG : Saya akan mengutip dari Matius 22:39, ayat yang kita kenal dengan baik yaitu, Tuhan meminta kita untuk mengasihi atau mencintai sesama kita seperti diri kita. Jadi prinsipnya dalah suami dan istri harus mengasihi satu sama lain seperti dia mengasihi diri sendiri.

Nah perintah ini sering kali getol kita laksanakan dengan orang lain, lupa di rumah ada istri, ada suami. Yang kita juga harus cintai sebesar-besarnya sama dengan mencintai diri kita. Jadi memang Tuhan sudah menetapkan aturan main dengan jelas di sini.
GS : Dan kitapun percaya tentunya Tuhan pun menghendaki agar cinta yang sudah tumbuh dalam rumah tangga akan tetap terpelihara Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Cinta yang Hilang setelah Pernikahan". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 60 A

  1. Apa yang terjadi dengan cinta setelah pernikahan...?
  2. Bagaimana menemukan kembali, cinta yang hilang dalam pernikahan...?


16. Menabur Penghargaan Menuai Cinta


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T060B (File MP3 T060B)


Abstrak:

Cinta itu jauh lebih luas daripada penghargaan namun penghargaan itu dapat menjadi wujud nyata dari cinta kasih. Dan semakin besar penghargaan yang kita berikan makin besar kemungkinan cinta kasih itu tetap berjalan.


Ringkasan:

Beberapa upaya yang harus dilakukan oleh pasangan suami-istri untuk tetap membina hubungan cinta mereka:

  1. Satu konsep yang menjadi dasar cinta kasih dapat kita wujudkan dalam bentuk penghargaan. Penghargaan dapat menjadi wujud nyata dari cinta kasih, makin banyak penghargaan makin besar kemungkinan cinta kasih itu tetap berjalan. Cinta kasih yang kehilangan aspek penghargaan, lama-lama akan kehilangan cinta itu sendiri.

  2. Cara kita memperlakukan orang akan mempengaruhi penilaian kita terhadap orang itu. Maksudnya adalah kalau kita memperlakukan seseorang dengan penuh hormat, dengan halus, dengan lemah lembut, kita cenderung menilai dia bagus, positif dan tinggi, ini prinsip yang harus kita sadari.

  3. Prinsip ketiga cinta terlihat jelas dalam perbandingan. Maksudnya cinta terlihat jelas dalam perbandingan dalam pengertian sewaktu dibandingkan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Misalnya, saya bisa berkata pada istri saya, saya sangat mencintaimu, saya tidak dapat hidup tanpa engkau. Tapi kalau orang lain minta saya pergi, orang lain mengundang saya, nomor satu saya akan mendahulukan orang lain dan saya akan dengan mudah sekali mengesampingkan istri saya. Tentu dia tidak akan melihat cinta saya, semua yang saya ucapkan kepada dia waktu kami berduaan tidak berdampak. Karena waktu dibandingkan dengan bagaimana saya memperlakukan orang lain ternyata dia donomorduakan. Jadi prinsip ketiga ini adalah mengorbankan kepentingan sendiri itu cinta, mengorbankan kepentingan pasangan itu berarti menomorduakannya.

Efesus 5:28,29, "Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri, sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat."

Yang menarik di sini adalah Tuhan berkata siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Ini sebetulnya konsep kesatuan antara suami dan istri, jadi boleh juga kita balik siapa mengasihi suaminya mengasihi diri sendiri pula. Sebab memang suami dan istri dalam konsep Alkitab bersatu dan menjadi satu, ibarat sirup dan air yang sudah larut dan tak dapat lagi dipisahkan. Barangsiapa mengasihi pasangannya, pasangannya yang sudah menyatu dengan dia adalah dirinya, jadi dia mengasihi dirinya.

Alkitab menjelaskan orang yang mengasihi pasangannya dia akan mengasuh dan merawatinya:

  1. Pertama kita memupuknya, yaitu dengan cara cukup memberikan kasih sayang pada pasangan kita.

  2. Yang kedua kita merawatnya, merawat sebetulnya berasal dari satu kata memperlakukan dengan penuh kelembutan. Jadi merawat benar-benar memperhatikan, menjaganya dengan penuh kelembutan. Orang yang memperlakukan pasangannya dengan penuh kelembutan itulah tanda-tanda orang yang mengasihi pasangannya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Menabur Penghargaan Menuai Cinta". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, banyak pasangan itu merasakan cinta mereka setelah menikah dan sebelum menikah itu mempunyai perbedaan yang besar, kalau waktu berpacaran mereka begitu menggebu-nggebu, jadi hidupnya diwarnai dengan bunga-bunga cinta. Lalu setelah menikah bunga-bunga cinta itu rasanya hilang, nah sebenarnya apa yang harus dilakukan oleh pasangan suami-istri itu untuk tetap membina hubungan cinta mereka?

PG : Yang Pak Gunawan katakan tepat, jadi itu pengamatan yang juga sering saya lihat Pak Gunawan, di mana banyak pasangan nikah setelah menikah seolah-olah kehilangan cinta kasihnya. Seolah-lah memang cinta itu hanyalah mempunyai tempat pada masa berpacaran dan setelah menikah cinta itu kehilangan tempatnya.

Saya akan memberikan satu konsep yang menjadi dasar dari apa yang saya sarankan nanti yaitu cinta kasih dapat kita wujudkan dalam bentuk penghargaan. Saya memahami bahwa cinta itu jauh lebih luas daripada penghargaan, namun penghargaan itu dapat menjadi wujud nyata dari cinta kasih. Dan ini point kedua yang mau saya tekankan, makin banyak penghargaan makin besar kemungkinan cinta kasih itu tetap berjalan. Jadi cinta kasih yang kehilangan aspek penghargaan lama-lama akan kehilangan cinta itu sendiri, jadi waktu penghargaan diberikan dengan berlimpahnya cinta akan juga terus bertahan. Yang pertama adalah saya meminta agar kita ini yang sudah menikah untuk sering-sering mengungkapkan rasa terima kasih kita pada pasangan kita. Sering-sering mengungkapkan bahwa kita ini bersyukur, dia adalah suami atau istri kita. Mungkin di antara saudara yang mendengarkan akan berkata, tapi bagaimana suami saya sikapnya seperti itu, bagaimana kalau memang istri saya sifatnya seperti itu. Nah sudah tentu menjadi problem yang harus kita selesaikan terlebih dahulu, sebab pertengkaran yang tidak terselesaikan niscaya akan membunuh cinta kasih kita. Nah kalau sudah selesai kita harus buru-buru mengisi hubungan nikah kita itu dengan ungkapan-ungkapan terima kasih, hal yang sederhana misalnya, kita mengucapkan terima kasih sewaktu hari ini suami kita membukakan pintu untuk kita. Atau waktu istri kita memasak biasa saja bukan luar biasa untuk kita, waktu kita melihat misalnya suami kita memberikan perhatian kepada anak kita, waktu kita melihat istri kita begitu telitinya dengan anak-anak. Hal-hal kecil seperti itu saya harap tidak luput dari perhatian kita dan cepat-cepatlah kita memberikan ungkapan terima kasih itu.
GS : Kalau ungkapan terima kasih itu diungkapkan secara langsung, nah apakah pihak yang menerima ucapan terima kasih itu juga meresponsnya dengan baik, kadang-kadang itu dianggap seolah-olah mengada-ada, Pak Paul?

PG : Awal-awalnya saya kira akan muncul reaksi seperti itu, reaksi tidak percaya atau reaksi canggung. Namun coba kita tanya pada diri kita sendiri bukankah kita akan senang jikalau orang meangkap perbuatan kita dan mengucapkan rasa terima kasih atas tindakan kita itu.

Bukankah waktu orang mengucapkan terima kasih karena kita misalnya membukakan pintu buat dia, nah itu akan membuat kita merasa bahwa o....tindakan kita ternyata tidak luput dari perhatiannya. Dia melihat tindakan kita itu yang membukakan pintu, dan dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa atau yang sederhana tapi dia menganggapnya sebagai sesuatu yang cukup bernilai untuk diberikan rasa terima kasih. Jadi saya kira kalau lama-lama kita lakukan seperti itu kita akan senang, mungkin ada yang berkata lama-lama menjadi biasa, tidak tetap hal yang positif kita lakukan berulangkali memang menjadi biasa tapi tetap tidak kehilangan kadar positifnya. Nah yang saya mau tekankan di sini adalah bukankah hidup itu rutin dan dalam kerutinan akan mudah sekali muncul perasaan hambar, tidak ada apa-apanya, biasa-biasa saja. Dan perasaan yang biasa saja itu perasaan yang tidak ada apa-apanya, sebetulnya adalah ladang atau tanah atau medan untuk memunculkan pertengkaran. Jadi ladang yang sangat potensial sekali untuk menjadi tempat perkelahian, tapi kalau kita menyediakan ladang yang penuh kasih, perasaan-perasaan positif yang penuh di situ, akhirnya pertengkaran pun akan susah muncul. Karena perasaan yang mengaliri hidup kita ini adalah perasaan yang positif.
IR : Pak Paul, saya percaya itu kalau itu merupakan kebiasaan dan itu yang positif, itu malah suatu hal yang selalu diharapkan, kalau hal itu dilupakan malah orang ini menagih, kenapa bukan terima kasih yang saya lihat itu, dan hal ini juga akan menjadi contoh buat anaknya Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Ida, waktu mulai melakukan awalnya memang tidak biasa, lama-lama menjadi hal yang biasa dan kalau tidak dilakukan lagi justru kita merasakan ada yang hilang. Dan kita akn meminta supaya diberikan lagi, karena itu adalah sesuatu yang positif.

Kita harus mengingat hidup ini sebetulnya memang hidup yang cenderung rutin dan hidup yang cenderung juga mengisi hati kita dengan kejengkelan atau dengan stres. Apalagi yang tinggal di kota besar seperti misalnya kota Jakarta atau mungkin sebagian di Surabaya, yang kadang kala harus bertemu dengan kemacetan lalu lintas dengan orang yang memotong sembarangan dan sebagainya. Atau di tempat pekerjaan hal yang menjengkelkan kita terjadi. Jadi hidup memang cenderung menyerap hal-hal yang negatif, di rumah juga sama, anak kita menjengkelkan tidak bertanggung jawab, belajarnya seperti inilah dan sebagainya. Jadi akan ada banyak hal yang berpotensi mengisi hati kita, dengan perasaan yang negatif, oleh karena itulah pintar-pintarlah kita ini mengisi hati kita dengan perasaan-perasaan yang positif. Nah kita kadang kala tidak menyadari hal ini, kita menganggap seolah-olah yang positif akan muncul dengan sendirinya, tidak. Kita yang bertanggungjawab menumbuhkan serta memelihara, perasaan yang positif itu tidak muncul dengan tiba-tiba dan sudah tentu tidak akan bertahan terus-menerus tanpa upaya dari pihak kita untuk terus-menerus mengadakannya. Jadi kadang kala orang yang sudah menikah tidak terlalu memikirkan hal ini, tapi yang sering dirasakan adalah mudah jengkel dengan pasangannya, mudah meledak dengan pasangannya, mudah sekali melihat pada pasangannya, sulit sekali sabar, hal yang tidak kita sukai pada diri pasangan kita. Nah itu yang tiba-tiba kita lihat buah-buahnya, nah kalau kita mau membereskan memang kita harus mundur ke belakang, dengan cara apa, kita menyadari bahwa hidup cenderung menyerap yang negatif dan yang positif tidak dengan sendirinya ada dalam pernikahan kita atau dalam hidup kita. Jadi tanggung jawab kitalah untuk menumbuhkannya dan memeliharanya agar supaya ada terus-menerus.
GS : Itu tadi salah satu bentuk yang Pak Paul katakan menabur. Mungkin sedikit demi sedikit tetapi bisa diharapkan ada hasilnya Pak Paul, dan tentunya ucapan terima kasih harus betul-betul tulus, bukan sekadar diucapkan, tanpa ada suatu keluhan. Langkah berikutnya apa Pak Paul yang bisa kita tabur, benih-benih yang bisa kita tabur supaya ada sesuatu hasil yang positif?

PG : Saya ingin memberikan penjelasan tentang suatu prinsip yang penting Pak Gunawan, yakni bagaimana kita memperlakukan orang akan mempengaruhi penilaian kita terhadap orang itu. Maksud say begini kalau kita memperlakukan seseorang dengan penuh hormat, dengan halus, dengan lemah lembut, kita cenderung menilai dia bagus, positif dan tinggi, jadi ini prinsip yang harus kita sadari.

Sering kali yang kita pikirkan adalah penilaian kita akan mempengaruhi bagaimana kita memperlakukannya. Maksudnya kalau kita menilai dia rendah, kalau kita menilai orang itu memang seharusnya menerima yang jelek-jelek, dimarahi dan sebagainya, kita akan memperlakukannya dengan rendah pula. Kita akan memarahinya, menghinanya, memperlakukan dia seenaknya, nah itu betul penilaian mempengaruhi perlakuan kita terhadap orang itu betul. Namun kebalikannya pun juga betul, bagaimana kita memperlakukan orang itu akan mempengaruhi penilaian kita terhadapnya, nah inilah prinsip yang kedua, Pak Gunawan. Jadi saya memberikan prinsip yaitu semakin halus kita memperlakukan pasangan kita, semakin bernilai dia di hadapan kita. Semakin kasar kita memperlakukannya, semakin rendah dia di mata kita, jadi yang saya ingin anjurkan adalah kita mengungkapkan penghargaan kita pada pasangan dengan cara memperlakukan dia dengan penuh kelembutan, dengan penuh penghargaan, kita tidak kasar kepadanya. Kalau hari ini kita kasar kepada pasangan kita, yakinlah satu hal suatu hari kita akan mengasari dia, pasti itu terjadi. Meskipun kita menyesalinya tapi sekali kita memperlakukan dia dengan kasar, kecenderungannya kita akan memperlakukan dia dengan kasar di kemudian hari.
IR : Juga kalau seorang suami misalnya menampar sekali akan berlanjut berkali-kali.

PG : Tepat sekali, nah ini sudah saya saksikan, jadi suami atau istri yang mulai memukul satu sama lain atau mendorong satu sama lain dalam kemarahan atau memaki dengan kasar, cenderung menglang perbuatannya dan ini yang lebih fatal.

Orang tersebut akan menjadi sangat rendah di matanya, kalau dia pernah memaki suaminya misalnya dengan begitu kasar, yang menjadi masalah adalah selebihnya atau seterusnya dia sebetulnya sudah memandang suaminya dengan rendah. Sebaliknya juga antara suami dengan istri pasti sama, jadi makanya dalam pertengkaran kita harus menjaga batas-batas, ini harus kita hormati, baik suami maupun istri harus menghormati batas-batas itu. Misalnya batas yang tidak boleh kita langgar adalah memukul istri atau suami kita, mendorongnya dengan kasar, tidak boleh kita lakukan. Atau kita tidak boleh memaki-maki dia, karena waktu kita mulai memaki-maki suami atau istri kita, kita sebetulnya sudah memandang dia rendah dan kita akan cenderung mengulang perbuatan kita di kemudian hari.
IR : Dan si pelaku itu juga nilainya rendah, Pak Paul?

PG : Betul, jadi yang satunya juga akan melihat kita dengan mata yang rendah, karena kita telah memperlakukan dia dengan rendah.

GS : Tapi biasanya seseorang itu diperlakukan kasar dan sebagainya itu ada alasannya Pak Paul, tidak tiba-tiba kita itu memperlakukan pasangan kita kasar dan sebagainya. Ada yang mengatakan kalau tidak diperlakukan seperti itu dia malah nanti kurang ajar, Pak Paul.

PG : Cenderungnya memang kita lagi marah, kita ini mau menyakiti pasangan kita, oleh karena itu yang penting dalam pernikahan adalah aturan main yang kita sepakati. Saya kira hampir semua mausia dalam kemarahan, mempunyai keinginan menyakiti pasangannya, supaya apa, sama-sama sakit.

Waktu kita disakiti luar biasa respons natural kita adalah membalas menyakiti pasangan kita agar dia tahu rasanya sakit seperti apa. Itu saya kira alamiah, manusiawi dalam pengertian itulah sifat dosa yang sudah bersarang dalam daging kita ini. Oleh karena itu penting sekali suami-istri itu menetapkan aturan main yang dua-duanya harus taati, jadi yang pertama, jangan sampai memukul. Yang kedua, jangan sampai mencaci maki, boleh marah tapi jangan sampai mencaci maki. Kalau mulai ada yang mencaci maki itu langsung harus diberikan bendera, engkau telah melewati batas, dan kalau engkau serius mau mempertahankan pernikahan ini, jangan ulangi lagi, stop lakukan itu. Nah jadi dua orang suami-istri itu harus benar-benar serius mau menegakkan aturan main itu. Kecenderungan kita, saya setuju Pak Gunawan kita ingin menyakiti pasangan kita dan kita pasti punya alasan kenapa dia harus disakiti, tetapi aturan main tetap ditegakkan sehingga akhirnya respek itu tidak dicemari, sebab begitu kita langgar respek langsung hilang. Kita tidak respek pada pasangan kita jadi dengan kata lain kita tidak akan respek dengan orang yang kita caci maki.
GS : Justru itu Pak Paul, bagaimana menimbulkan perasaan dalam diri kita dengan kesungguhan tentunya, kesadaran bahwa memang pasangan ini sesuatu yang berharga, yang patut diperlakukan dengan sangat istimewa.

PG : Nah prinsip yang kedua tadi Pak Gunawan memang tidak dengan otomatis menumbuhkan penghargaan, prinsip yang pertama tadi lebih dengan langsung menumbuhkan penghargaan yaitu mencari yang ositif dan memberikan terima kasih atas sumbangsihnya, atas apa yang dia perbuat untuk kita.

Yang kedua sebetulnya memang dengan langsung tidak menumbuhkan penghargaan, tapi prinsip yang kedua ini justru memelihara atau melindungi penghargaan. Sebab penghargaan bukan saja ditumbuhkan, tapi juga harus dilindungi, harus dijaga jangan sampai akhirnya tersapu bersih oleh tindakan kasar itu.
IR : Jadi penguasaan diri itu juga penting Pak Paul?

PG : Penting sekali, kita boleh marah prinsipnya jangan memarah-marahi, itu hal yang berbeda. Boleh marah, kadang kala kita memang ada kemarahan yang patut kita cetuskan, silakan katakan, tai prinsipnya jangan memarah-marahi.

GS : Selain rasa terima kasih dan penghargaan, apakah ada hal lain yang bisa dilakukan?

PG : Prinsip ketiga adalah saya akan berikan latar belakangnya dulu yaitu cinta terlihat jelas dalam perbandingan. Saya akan jelaskan yang saya maksud, cinta terlihat jelas dalam perbandinga, dalam pengertian sewaktu dibandingkan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Saya misalnya bisa berkata pada istri saya, saya sangat mencintaimu, saya tidak dapat hidup tanpa engkau, tapi kalau orang lain minta saya pergi, orang lain mengundang saya, nomor satu saya akan mendahulukan orang lain dan saya akan dengan mudah sekali mengesampingkan istri saya. Dia tidak akan melihat cinta saya, semua yang saya ucapkan kepada dia waktu kami berduaan tidak berdampak. Karena waktu dibandingkan dengan bagaimana saya memperlakukan orang lain ternyata dia dinomorduakan. Nah dengan pendahuluan itu saya memberikan prinsip ketiga, yakni mengorbankan kepentingan sendiri itu cinta, mengorbankan kepentingan pasangan kita itu menomorduakannya. Nah, sering kali ini yang kita lakukan, misalkan ada orang yang meminta sesuatu, kita menuruti permintaan orang, baik itu saudara kita, orang tua kita atau siapapun, pasangan kita di rumah akan kita tuntut untuk mengerti. Nah ini bukannya tidak boleh sama sekali, kadang kala itulah yang harus kita lakukan dan pasangan kita seyogyanya mengertilah. Namun kalau terus-menerus itu yang terjadi kita lebih mudah memberikan yang diminta orang lain akhirnya pasangan kita akan merasa dia dinomorduakan. Nah, kita bisa berkata saya sebetulnya menuruti kemauan orang saja, saya bukan menomorduakan engkau. Nah sebetulnya yang terjadi adalah waktu kita menuruti kemauan orang atau permintaan orang sebetulnya kita sedang memenuhi kebutuhan kita sendiri, kepentingan kita sendiri. Yang kita korbankan kepentingan pasangan kita walaupun kita tidak melihatnya demikian, o.....saya hanya melakukannya demi orang lain, tapi supaya orang lain apa, supaya orang lain senang dengan kita, tetap menyukai kita. Jadi akhirnya kita memang menomorsatukan kepentingan kita, maka saya tegaskan mengorbankan kepentingan sendiri itulah cinta. Waktu orang lain misalnya tidak suka dengan kita karena kita mendahulukan pasangan kita, itu baru mengorbankan kepentingan sendiri. Yang sering kali kita lakukan kebalikannya kita justru menomorduakan atau mengorbankan kepentingan pasangan kita, supaya nama baik kita tetap terjaga.
GS : Mungkin dalam hal itu memang ada suatu perasaan, kalau pasangan kita lebih gampang mengerti kita daripada orang lain mengerti kita, itu Pak Paul?

PG : Betul sekali, itulah memang yang akhirnya menjadi dasar bagi kita menomorduakan kepentingan dia, karena toh mengerti. Namun ini masalahnya waktu itu kita lakukan cukup sering, itu akan engikis cinta kasih karena cinta sekali lagi akan terlihat dan muncul dengan jelas dalam wadah perbandingan.

Jika tidak ada perbandingan cinta itu benar-benar suram, kabur tidak nampak warnanya, namun waktu dibandingkan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain cinta itu terhadap pasangan kita baru muncul dengan begitu jelas.
IR : Itu mendatangkan kecemburuan ya Pak Paul?

PG : Bisa, bisa kecemburuan dari pasangan kita.

GS : Tapi saya rasa itu bukan hanya menyangkut orang lain Pak Paul, hobby kita pun bisa menggeser posisi pasangan kita.

PG : Bagus sekali contoh itu Pak Gunawan, bukankah itu yang sering terjadi hobby kita menjadi berhala, atau misalnya pekerjaan juga bisa.

GS : Berhala dalam hal ini istri kita yang terkalahkan. Tapi ini Pak Paul yang terjadi, sekalipun sudah porsinya kita katakan menurut ukuran si suami atau si istri dia sudah memberikan perhatiannya pada pasangannya tapi 'kan tidak mungkin 100%. Dia 'kan tetap pasangannya juga, harus tetap menyadari bahwa ada hal-hal lain di mana dia istilahnya harus dikalahkan. Nah dalam hal ini bagaimana Pak Paul mengkomunikasikannya?

PG : Jadi prinsipnya begini, kalau hubungan itu sudah kuat dan pasangan kita tahu bahwa kita mencintai dia karena wujud nyatanya sudah ada, dia tidak akan terus-menerus menuntut pembuktian iu, itu yang sering saya lihat.

Kalau terus menuntut pembuktian ini menunjukkan kekurangdewasaan pasangan kita, lama-lama memang kita harus batasi, kita harus sadarkan pasangan kita. Namun dalam pasangan yang memang sudah dewasa, seharusnyalah kalau dia sudah tahu kita mencintai dia dalam wujud nyata tadi bukan dengan kata-kata, dia tidak akan begitu kaku menuntutnya. Itu yang saya lihat juga hubungan saya dengan istri saya, kalau kami kuat dia tahu saya mencintai dia, dia tahu saya mendahulukan dia, adakalanya saya harus pergi sampai malam, adakalanya saya harus batalkan janji dengan dia gara-gara ada kepentingan yang lain, tidak pernah satu kalipun dia mengeluh. Namun kalau hubungan kami kurang baik sebab dia merasa saya mendahulukan yang lain atas dia, gangguan sekecil apapun yang seharusnya tidak mengganggu dia, mengganggu dia dengan besar, mengganggu dia dengan amat sangat. Sehingga dia tidak mau terima, waktu saya harus berkata maaf saya tidak bisa tepati janji saya atau maaf saya harus ke sana dulu, itu sangat mengganggu dia. Namun kalau tahu dia dinomorsatukan, sebetulnya pembuktian itu menjadi sangat tidak perlu untuk setiap kali kita lakukan, kadang kala saja begitu.
GS : Jadi segala sesuatu yang ditaburkan dengan cara-cara seperti itu tadi Pak Paul, jadi lewat ucapan terima kasih, penghargaan dalam bentuk perlakuan dan sebagainya. Nah itu sebenarnya hasilnya apa Pak Paul?

PG : Hasilnya adalah cinta kasih Pak Gunawan. Saya akan mendasarkan dan mengakhiri ini semua dengan pembacaan firman Tuhan, diambil dari Efesus 5:28 dan 29, "Siapa yang mengasihi istrinya megasihi dirinya sendiri, sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat."

Yang menarik di sini adalah Tuhan berkata siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Nah ini sebetulnya konsep kesatuan antara suami dan istri, jadi boleh juga kita balik siapa mengasihi suaminya mengasihi diri sendiri pula. Sebab memang suami dan istri dalam konsep Alkitab bersatu dan menjadi satu, ibarat sirup dan air yang sudah larut dan tak dapat lagi dipisahkan. Jadi barangsiapa mengasihi pasangannya, pasangannya yang sudah menyatu dengan dia adalah dirinya, jadi dia mengasihi dirinya. Nah Alkitab menjelaskan orang yang mengasihi pasangannya dalam hal ini menjadi dirinya sendiri dia akan mengasuh dan merawatnya. Kata mengasuh berasal dari arti kata memberikan makan, mencukupi gizi kebutuhan sehingga dapat bertumbuh sampai dewasa. Jadi memupuk, dengan cara apakah kita memupuknya, dengan cukup memberikan kasih sayang pada pasangan kita. Yang kedua merawati, merawati sebetulnya berasal dari satu kata memperlakukan dengan penuh kelembutan, jadi merawati benar-benar memperhatikan, menjaganya dengan penuh kelembutan. Nah ini tadi saya singgung memperlakukan pasangan kita dengan penuh kelembutan. Nah kata Tuhan dalam Alkitab orang yang mencukupi kebutuhan gizi cinta kasih pasangannya, orang yang memperlakukan pasangannya dengan penuh kelembutan itulah tanda-tanda orang yang mengasihi pasangannya. Dan saya setuju sekali kalau saya boleh tarik kalimat awalnya, siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri atau siapa yang mengasihi suaminya mengasihi dirinya sendiri. Sebab bukankah waktu kita mengasihi pasangan kita dan dia tahu dia dikasihi, yang diuntungkan siapa, kita sendiri. Kita makin dilimpahkan kasih sayang olehnya, makin dilayani, makin diperhatikan jadi benar-benar sebetulnya kembali lagi kepada kita, kita makin merasa dicintai oleh dia juga.
GS : Jadi memang sesuatu yang perlu ditaburkan di dalam hubungan suami-istri ini, supaya saatnya kita akan menuai sukacita. Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menabur Penghargaan Menuai Cinta. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 60 B

  1. Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri untuk membina hubungan cinta mereka...?


17. Mengatasi Konflik dalam Rumah Tangga


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T068A (File MP3 T068A)


Abstrak:

Konflik sudah menjadi suatu pengalaman bagi setiap keluarga, namun topik ini diangkat bagi kita pasangan Kristen untuk lebih dapat menghadapi atau mengatasi konflik itu sendiri. Baik penyebabnya apa dan penanggulangannya bagaimana.


Ringkasan:

Hampir kebanyakan konflik mempunyai satu tema yang serupa, yaitu bahwa kita merasa pasangan kita tidak lagi seperti yang kita harapkan atau dengan kata lain kalau saya gunakan satu kalimat kita berkta: "Engkau tidak hidup seperti yang aku harapkan."

Yang seharusnya dikomunikasikan untuk mengurangi tingkat konflik:

  1. Seyogyanya sebelum menikah, suami dan istri mulai membicarakan apa-apa yang diharapkan, sehingga harapan-harapan itu dikomunikasikan dan mulai untuk dicoba dipenuhi, kalau tidak bisa dipenuhi ya akan dicoba disesuaikan atau dikompromikan.

Ada dua jenis harapan :
  1. Harapan muncul dari yang disebut idealisme. Kita membawa harapan yang bersumber dari hal-hal yang kita memang semestinya kita dapati atau temukan dalam pernikahan. Contoh idealisme:

    1. Kita berkata seharusnya seorang suami berlaku seperti ini atau kita berkata seharusnya seorang istri bersikap seperti ini, ini adalah idealisme kita tentang apa yang seharusnya menjadi perilaku perbuatan atau sikap seorang suami atau istri.

    2. Konflik seharusnya diselesaikan malam ini juga

    3. Atau seharusnya anak-anak kita jadi anak yang membuahkan harapan.

  2. Kebutuhan, kebutuhan-kebutuhan emosional yang kita miliki sebetulnya memerlukan pemenuhan. Kita ingin dikasihi, ingin merasa dihargai atau kita ingin merasa penting, bisa melakukan atau memberikan sumbangsih kepada pasangan kita. Nah semua ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang kita bawa, jadi misalnya munculnya dalam bentuk kata-kata seperti misalnya seharusnyalah engkau tidak melukaiku.

Untuk mengatasi konflik yang sudah benar-benar muncul dalam hubungan suami-istri adalah sbb:

  1. Kita mesti menyadari bahwa konflik terjadi tatkala harapan berubah menjadi tuntutan. Maksud saya kita mesti mempelajari atau menyadari anatomi konflik itu sendiri. Yang jadi metode penyelesaiannya adalah Galatia 6:1, "Saudara-saudara kalaupun seorang kedapatan melakukan pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh yang lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan."
    Saya mau menerapkan konsep ini ke dalam keluarga, jadi maksud saya adalah pasangan kita atau anak kita bisa jatuh, bisa gagal memenuhi tuntutan kita. Nah apa yang perlu kita lakukan sewaktu kita menemukan pasangan atau anak kita bisa jatuh:

    1. Tuhan meminta kita harus memimpin orang itu ke jalan yang benar, istilah medisnya merestorasi, memulihkan atau mengembalikan ke keadaan semula. Tuhan meminta kita untuk meluruskan orang yang gagal hidupnya sesuatu dengan harapan yang kita minta darinya.

    2. Tuhan memberikan syaratnya, siapa yang boleh memimpin orang ke jalan yang benar. Tuhan berkata orang yang rohani, Galatia 5:22,23 yaitu orang yang mempunyai buah Roh misalnya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri serta ay. 25 "Jika kita hidup oleh Roh baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." Jadi orang yang rohani adalah orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mengatasi konflik dalam rumah tangga. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, namanya kehidupan bersama dalam rumah tangga dengan latar belakang yang berbeda, antara suami istri tentu terjadi konflik. Kadang-kadang muncul dan rasanya lebih mudah memunculkan konflik daripada mengatasinya. Kita mau berbincang-bincang pada kesempatan ini bagaimana mengatasi konflik karena hampir menjadi pengalaman bagi setiap keluarga. Namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu, apa sumber-sumber konflik atau penyebab konflik itu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kalau kita membicarakan sumber konflik, kita dapat menemukan daftar yang sangat panjang sekali. Tapi saya kira hampir atau kebanyakan konflik mempunyai satu tema yang serupa yaitu bahwa kita merasa pasangan kita tidak lagi seperti yang kita harapkan atau dengan kata lain kalau saya gunakan satu kalimat kita berkata "Engkau tidak hidup seperti yang aku harapkan".

Bentuknya, wujudnya bisa berbeda-beda, tapi saya kira salah satu akarnya adalah ini.
GS : Karena itu orang sering mengatakan berbeda pandangan atau berbeda pendapat Pak Paul, jadi berbeda pandangan dengan pasangan kita, pasangan kita memandang kita berbeda.

PG : Betul, nah itu kalau tentang perbedaan pandangan, saya kira lebih merupakan buahnya atau lebih merupakan wahananya, kendaraannya, tapi ujung-ujungnya selalu adalah engkau tidak seperti ang aku harapkan.

Misalkan kita berbeda pandang mau membeli rumah yang seperti apa misalnya kita berbeda pendapat, berdebat akhirnya bertengkar. Nah, saya kira di dalam perdebatan tersebut ada satu tema yang tersembunyi yaitu engkau tidak seperti yang aku harapkan, kalau engkau seperti yang aku harapkan maka engkau akan...., misalnya engkau akan bisa mengerti masalah ini seperti aku mengertinya. Engkau akan mempunyai nilai seperti nilai aku dan sebagainya.
GS : Tapi biasanya bukan hal yang sangat prinsip, tapi kenapa bisa menimbulkan konflik yang berkepanjangan?

PG : Nah, biasanya kalau kita ini berbeda pandang sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit. Lama-lama kita akan membangun suatu persepsi bahwa pasangan kita itu tidak bisa bertemu dengan kit, memahami kita dan mulailah kita merasa frustrasi sewaktu belum berbicara dengan dia.

Jadi jangankan sudah berbicara, sebelum berbicara pun kita sudah membangun sikap atau reaksi bahwa percakapan ini akan berujung pada pertengkaran, akhirnya benar-benar terjadi pertengkaran karena sikap kita sudah mulai berjaga-jaga atau bersiap-siap untuk terlibat percekcokan, kita harus menjaga diri jangan sampai kita diserang olehnya.
GS : Atau mungkin harapan kita terhadap pasangan ini yang terlalu tinggi atau tidak pernah kita komunikasikan kepadanya.

PG : Nah, Pak Gunawan di sini memunculkan satu kata kunci yaitu harapan, jadi saya percaya setiap kita sewaktu menikah sebenarnya membawa suatu kantong yang berisi harapan. Harapan-harapan yng akhirnya kita embankan pada pasangan kita untuk dipenuhi olehnya.

Kita boleh menyadarinya, boleh tidak menyadarinya tapi yang pasti kita masuk ke pernikahan membawa harapan-harapan ini.
GS : Pasangan kita pun sama, Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Tapi apakah itu seharusnya dikomunikasikan untuk mengurangi tingkat konflik itu, Pak Paul?

PG : Seyogyanya sebelum menikah, suami dan istri itu mulai membicarakan apa-apa yang diharapkan, sehingga harapan-harapan itu dikomunikasikan dan mulai dicoba untuk dipenuhi, kalau tidak bis dipenuhi akan dicoba disesuaikan atau dikompromikan.

Memang kita tidak bisa membicarakan harapan dengan tuntas, tapi setidak-tidaknya harus ada sebagian besar atau garis besar harapan yang telah terungkapkan. Yang berbahaya kalau harapan-harapan ini tidak pernah dibicarakan, karena ada anggapan tidak penting atau akan beres dengan sendirinya, nah terus melangsungkan pernikahan. Setelah menikah barulah muncul, karena harapan-harapan tersebut ternyata memang ada dan ternyata waktu tidak dipenuhi, kita merasa sangat jengkel.
IR : Kira-kira contoh konkretnya itu apa, Pak Paul?

PG : Saya membagi dua jenis harapan, Bu Ida, yang pertama adalah harapan itu muncul dari yang saya sebut idealisme. Kita membawa harapan yang bersumber dari hal-hal yang seharusnya memang kia dapati atau temukan dalam pernikahan yang disebut idealisme.

Contohnya apa, misalkan kita berkata seharusnyalah seorang suami berlaku seperti ini atau kita berkata seharusnyalah seorang istri bersikap seperti ini, nah itu adalah idealisme kita tentang apa yang seharusnya menjadi perbuatan atau sikap seorang suami atau istri. Yang lainnya lagi adalah konflik seharusnya diselesaikan malam itu juga, nah bagi kita yang sudah menikah bahwa hal itu tidak selalu bisa terwujud untuk membereskan konflik pada malam yang sama atau kita misalkan mempunyai idealisme terhadap anak-anak kita. Seharusnyalah anak-anak kita menjadi anak-anak yang membuahkan harapan dan ini yang kita bawa ke dalam pernikahan kita.
(2) GS : Yang melatarbelakangi timbulnya harapan seperti itu apa sebenarnya?

PG : Kalau idealisme itu bisa muncul sebagai sumber, yang jelas adalah dari idealisme orang tua kita sendiri misalnya. Maksudnya kita melihat inilah cara orang tua kita hidup misalnya Papa sngat 'knowing' Mama, kalau pulang selalu mengecup pipi Mama, kalau terlambat selalu menghubungi Mama melewati telepon.

Mama begitu sopan, hormat kepada Papa, kalau Papa sedang marah Mama tidak pernah menjawab, nah itu yang membentuk idealisme kita. Seharusnyalah Mama seperti ini, Papa seperti ini, nah itu kita bawa ke dalam pernikahan kita. Sumber lainnya lagi misalnya adalah tayangan-tayangan televisi atau film, tanpa disadari kita pun sangat dipengaruhi. Jadi seharusnyalah seperti ini, misalnya kita melihat dalam film tersebut si pria sangat dominan, semua tunduk pada kata-kata si ayah atau si suami. Nah waktu kita menikah, kita pun mempunyai anggapan seharusnya saya diperlakukan seperti itu pula. Nah kita juga mengharapkan hal tersebut terjadi dalam pernikahan kita, seharusnyalah suami istri bersaat teduh bersama di malam hari, kita juga mengharapkan hal itu terjadi dalam pernikahan kita. Jadi itulah kira-kira sumber-sumber yang membentuk idealisme kita.
GS : Selain idealisme, Pak Paul, apalagi sumber dari harapan itu?

PG : Yang lainnya lagi adalah kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan emosional yang kita miliki sebetulnya memerlukan pemenuhan, yang kita bawa dalam pernikahan kita sesungguhnya adalah kebutuhan.Kita ini ingin dikasihi, ingin merasa dihargai atau kita ingin merasa penting, bisa melakukan atau memberikan sumbangsih kepada pasangan kita.

Semua ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang kita bawa, jadi misalnya munculnya dalam bentuk kata-kata seperti misalnya "seharusnyalah engkau tidak melukaiku". Nah, sewaktu misalnya istri kita mengatakan hal yang melukai hati kita, kita bereaksi keras sekali, sebab apa, kita selalu mempunyai harapan tanpa kita sadari, istri kita itu seharusnyalah membangun kita, menguatkan kita. Kita ini lemah ada kekurangan dalam hal ini misalnya, seharusnyalah istri kita membangun, bukannya malah mengolok atau melukai kita. Waktu istri kita melukai hati kita, kita tidak terima, salah satu penyebabnya adalah karena ada harapan yang muncul dari kebutuhan itu, kebutuhan untuk dibangun, dikuatkan, bukan untuk dilukai. Nah, kira-kira kebutuhan-kebutuhan inilah yang seringkali muncul dalam pernikahan. Kalau kita berasal dari rumah tangga yang lebih berantakan atau lebih buruk, maka kita akan lebih mempunyai kebutuhan yang besar, kita kurang dikasihi, dianggap anak buangan, kita memasuki pernikahan dengan kebutuhan yang besar untuk dikasihi. Kalau kita dianggap anak buangan, kita juga menuntut agar pasangan kita menghargai kita, kata-kata yang sedikit menyinggung, kita anggap itu adalah kata-kata penghinaan, meskipun pasangan kita berkata saya tidak ada maksud menghina kamu, tetapi kita berkata kamu memang bermaksud menghina saya. Atau kita dibesarkan dalam keluarga yang susah sekali dan seringkali menjadi objek pelecehan, dianggap tidak ada apa-apanya, nah kebutuhan kita untuk dianggap orang penting juga sangat kuat. Jadi sewaktu pasangan kita melakukan hal-hal yang seolah-olah meremehkan kita, menganggap kita tidak penting, kita bereaksi dengan sangat kuat sekali. Itu harapan yang kita bawa, jadi semakin buruk masa lalu kita, biasanya harapan yang bersumber dari kebutuhan ini akan semakin besar pula.
GS : Kalau seandainya salah satu dari pasangan menekan baik idealismenya maupun kebutuhannya, tidak mungkin akan terjadi konflik, ya Pak Paul?

PG : Kalau bisa ditekan, saya kira akan sulit sekali untuk menekannya, karena kita ini orang yang butuh hidup mendekat idealisme. Kalau kita hidup kenyataannya sangat di bawah idealisme kita biasanya kita akan merasa sangat frustrasi.

Contoh yang mudah sekali, kita mengharapkan bahwa setelah menikah, kehidupan kita akan lebih baik daripada sebelum menikah secara ekonomi. Kemudian kita membangun keluarga, mulailah kita bisa membeli rumah, membeli kendaraan dan sebagainya. Kemudian ketika kita membangun kita mengalami kejatuhan, kita harus menjual mobil dan akhirnya harus menjual rumah dan mengontrak rumah, nah kalau kita terlalu jauh dari yang kita harapkan bisa sangat memukul kita. Kita hidup seperti ilusi, seperti mengalami kekecewaan yang berat sekali, jadi memang idealnya kita harus menerima fakta tersebut. Tapi bukankah sulit menelan kepahitan seperti itu, jadi sampai titik tertentu kita masih bisa mentoleransi, kalau idealisme itu tidak terwujud. Kalau terlalu jauh dari idealisme kita biasanya bergolak, melawan, memberontak karena tidak mau melawan fakta tersebut.
GS : Mungkin bentuk konfliknya yang beda Pak Paul, bukan konflik dengan pasangannya, tapi konflik dengan dirinya sendiri.

PG : Kalau hanya itu lebih lumayan, Pak Gunawan, tapi seringnya konflik dengan pasangan. Karena ketidakpuasan itu, tidak bisa tidak, akan kita lampiaskan pada pasangan kita. Dan adakalanya mmang pasangan kita juga mempunyai andil yang besar, contoh kasus yang tadi saya gambarkan, misalnya kejatuhan tersebut dikaitkan dengan keputusan bisnis suami kita yang kita anggap kurang bijaksana, kita misalkan tidak begitu menyetujuinya tapi tetap dia laksanakan, hasil akhirnya adalah kebangkrutan.

Nah, cenderungnya dalam kasus seperti itu kita menyalahkan pasangan kita dan tidak bisa tidak itu akan menimbulkan kemarahan yang tanpa putus-putus.
(3) GS : Lalu mengatasinya bagaimana, Pak Paul, kalau konflik itu memang betul-betul muncul di dalam hubungan suami istri?

PG : Yang pertama adalah kita harus menyadari bahwa konflik terjadi tatkala harapan berubah menjadi tuntutan. Jadi maksud kita harus mempelajari atau menyadari anatomi konflik itu sendiri. Knflik mulai muncul tatkala harapan berubah menjadi tuntutan.

Saya berikan kata-kata misalnya kita sebelumnya berkata engkau seharusnya, itu harapan, engkau seyogyanyalah begini, itu harapan, lama-lama kalau harapan itu tidak terpenuhi, yang muncul bukan lagi engkau seharusnya, yang muncul adalah engkau harus. Engkau seharusnyalah menelpon kalau kau pulangnya lebih malam, lama-lama kalau tidak ditelepon-telepon engkau harus menelepon saya. Kalau tidak telepon berarti engkau tidak peduli dengan saya, nah seperti itu. Jadi yang muncul setelah harapan adalah penekanan tuntutan tersebut, kita akan menekan pasangan kita atau kita menuntut pasangan kita untuk memberikan yang kita minta. Jadi biasanya anatominya yang pertama adalah ini dulu, perubahan harapan menjadi tuntutan. Setelah itu pasangan kita bereaksi, bereaksinya begini kita menuntut, waktu kita menuntut pasangan kita merasa kita tidak mengerti dia, jadi dari pihak dia, dia akan berkata engkau tidak mengerti aku. Misalnya dalam soal pulang terlambat, aku lupa, orang lupa mohon dimaklumi misalnya, nah engkau tidak mau mengerti aku maka meskipun aku sudah menjelaskan engkau masih memarahi aku, berarti engkau tidak mau mengertiku. Rasa tidak mengerti ini biasanya melahirkan kemarahan, jadi pasangan kita marah karena merasa kita kurang mengerti situasi dia, terlalu menuntut dia. Dia marah kita balas marah, karena kita menuntut dia tidak memberikan malah marah, dia marah karena merasa kita tidak mengerti situasi dia, terus menuntut, marah dibalas marah akhirnya terjadilah pertengkaran.
GS : Lalu bagaimana, Pak Paul, kalau sudah sama-sama marah, katakan seperti orang yang dikendalikan emosinya?

PG : Betul, pada waktu marah yang penting adalah kita menyadari bahwa sebetulnya kita marah akibat kita menganggap pasangan kita gagal memenuhi tuntutan kita dan yang satunya akan berkata kia gagal untuk mengerti dia.

Dan akhirnya kita menganggap kegagalan memenuhi tuntutan dan kegagalan mengerti sebagai suatu pelanggaran. Kita akan masuk ke Firman Tuhan, Pak Gunawan untuk melihat metode penyelesaiannya. Saya akan membuka Galatia 6:1, "Saudara-saudara kalaupun seorang kedapatan melakukan pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh yang lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan." Kata pelanggaran yang digunakan di sini sebetulnya berarti jatuh atau langkah yang salah, memang dalam konteks Galatia 6 ini yang sedang dibicarakan Paulus adalah kejatuhan ke dalam dosa. Namun saya mau menerapkan konsep ini ke dalam keluarga pula, jadi maksud saya adalah pasangan kita atau anak kita bisa jatuh, bisa gagal memenuhi tuntutan kita. Nah apa yang kita lakukan sewaktu kita menemukan pasangan atau anak kita jatuh, gagal memenuhi tuntutan atau harapan kita. Yang pertama adalah Tuhan tidak memerintahkan kepada kita untuk memarah-marahi pasangan kita atau anak kita. Firman Tuhan meminta kita harus memimpin orang itu ke jalan yang benar. Kata memimpin ke jalan yang benar sebetulnya berasal dari istilah medis dalam bahasa aslinya, istilah medis yang dapat diterjemahkan adalah merestorasi, memulihkan, atau mengembalikan ke keadaan semula. Istilah medis sesungguhnya meluruskan tulang yang patah, jadi Tuhan meminta kita untuk meluruskan tulang yang patah itu atau orang yang gagal hidup sesuai dengan harapan yang kita minta darinya, jadi inilah langkah yang Tuhan minta. Berikutnya adalah Tuhan memberikan syaratnya, siapa yang boleh memimpin orang ke jalan yang benar. Tuhan berkata orang yang rohani, nah saya mengambil definisi orang yang rohani dari Galatia 5:22-23 yang kita juga sudah kenal, yaitu orang yang mempunyai buah Roh misalnya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri serta Galatia 5:25 "jika kita hidup oleh Roh baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." Jadi maksud orang yang rohani, orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh.
IR : Jadi sangat sulit ya Pak Paul, dan tidak mungkin dilakukan oleh orang yang belum mengenal Tuhan.

PG : Betul, orang yang belum mengenal Tuhan saya kira akan kesulitan untuk mempunyai kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus.

GS : Dan itu kalau tadi Pak Paul singgung buah-buah Roh, di sana ada kelemahlembutan. Biasanya memang di dalam pertengkaran kalau ada salah satu yang mulai bersikap lemah lembut, konflik itu akan cepat diredakan, daripada berdua sama-sama keras.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi Tuhan menambahkan syarat perawatannya yang dilakukan dalam roh lemah lembut, bukankah tulang yang retak kalau kita perlakukan dengan kasar malah patah. Jai orang yang dalam keadaan gagal atau jatuh kita marah-marahi atau perlakukan dengan kasar, biasanya makin patah.

Termasuk pasangan atau bahkan anak-anak kita sama, waktu mereka jatuh kalau kita kasari makin patah. Kenapa Tuhan meminta lemah lembut, karena kita harus menyadari kita pun sama-sama rawannya, jadi Tuhan berkata jangan sampai. Jadi sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan. Ada satu contoh yang bagus sekali, Pak Gunawan dan Ibu Ida, beberapa waktu yang lalu saya mencari-cari apa saya lupa barang saya ketinggalan, saya tanya anak saya, istri saya, tidak ada yang tahu. Saya punya anggapan kalau sampai barang saya hilang, pasti lupa menaruh di situ lagi sebab saya orangnya hati-hati dengan barang saya. Saya tanya-tanya tidak ada yang melihat, tapi dalam hati saya langsung menuduh pasti mereka ada yang memakai, tiba-tiba saya pegang kantong saya ternyata barang yang saya cari ada di situ.
GS : Kalau kita terburu untuk marah, yang lain pun akan marah, ya Pak Paul?

PG : Yang lainnya pun menjadi marah karena tidak merasa melakukan itu, tapi dituduh melakukan itu. Jadi di situ saya diingatkan Tuhan, kamu harus berhati-hati menuduh orang sebab kamu pun tiak luput dari kesalahan yang sama.

Saya kadang-kadang memang sedikit jengkel karena istri saya kalau menaruh barang suka lupa. Jadi kalau dia bertanya mana ini saya, dulu saya ikut jengkel karena saya ikut-ikutan mencari lama-lama akhirnya saya tidak ikut mencari sebab sudah terlalu biasa barangnya hilang berikan waktu beberapa menit nanti dia akan temukan lagi, jadi saya tahu saya orangnya berhati-hati, tidak mungkin hilang. Jadi waktu ada yang hilang saya menuduh orang lain yang menghilangkan, padahal saya sendiri yang salah menaruhnya.
GS : Memang sesuai dengan tadi yang dibacakan Pak Paul dari Alkitab bagaimana memperagakan kelemahlembutan dalam kehidupan keluarga untuk mengurangi pertengkaran dalam hubungan suami istri.

PG : Betul, Pak Gunawan, dan memang Tuhan meminta orang yang rohani, maksudnya orang yang lebih baik. Kalau kita ditegur oleh orang yang sama-sama banyak salahnya atau sering kali juga melakkan kesalahan yang serupa, kita tidak terima.

Justru kalau kita mempunyai kehidupan yang saleh, yang rohani, pasangan kita juga akhirnya lebih bisa mendengar teguran atau masukan, sehingga pertengkaran lebih bisa dihindarkan.
GS : Jadi memang pertengkaran boleh saja terjadi, kalau tidak bisa itu bukan berarti harus berlarut-larut dibiarkan, karena Tuhan sudah memberikan kemampuan kepada kita melalui Roh-Nya yang Kudus untuk bersikap lemah lembut pada pasangan kita.

Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang mengatasi konflik dalam rumah tangga. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



18. Hidup dengan Pasangan yang Tidak Seiman


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T068B (File MP3 T068B)


Abstrak:

Ada banyak contoh konflik yang terjadi di dalam pasangan yang tidak seiman, namun di sini juga diuraikan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap pasangan yang belum seiman, sesuai dengan firman Tuhan.


Ringkasan:

Menikah dengan pasangan yang tidak seiman memang seringkali menjadi dilema dan tidak jarang malahan menimbulkan konflik dalam rumah tangga. I Petrus 3:1-7 memberikan kita petunjuk bagaimana harus bersikap pada pasangan kita yang tidak seiman, di sini memang yang dibicarakan adalah tentang suami yang tidak beriman dan istrinya yang beriman. Yang dinasihatkan rasul Petrus adalah

  1. "Demikian juga kamu hai istri-istri tunduklah kepada suamimu." Ayat 7 dikatakan "Juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia." Dengan kata lain tunaikan kewajibanmu baik sebagai istri maupun sebagai suami. Kalau engkau suami, istrimu misalkan adalah bukan orang yang percaya pada Tuhan Yesus, Tuhan meminta si suami tetap menghormati si istri. Efesus 5, kasihilah istrimu, hormatilah suamimu, ini yang Tuhan minta.

  2. Prinsip kedua adalah hematlah dengan kata-kata. Alkitab berkata tanpa satu kata pun engkau bisa memenangkan suamimu, dengan cara apa? Jangan melalui kata-kata. Bukankah kata-kata lebih sering memancing perdebatan. Firman Tuhan berkata: "Jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada firman Tuhan mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya."

  3. Hiduplah dengan saleh.
    Ada hal yang saya tekankan :

    1. Pertama, adalah bahwa kehidupan kita harus lebih baik dari pada kehidupannya. Orang yang dikuasai roh Tuhan sewaktu bertengkar pun dia tidak kasar, atau dia akan lebih cepat meminta maaf atau dia akan lebih dulu berdamai.

    2. Kedua, pasal 3 : 4, "Tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah." Bagi istri nasihat Tuhan adalah pertahankanlah atau perlihatkanlah roh lemah lembut roh yang tidak kasar dan tenteram adalah roh yang tidak argumentatif. Bahasa Inggrisnya 'quiet spirit' yaitu jiwa yang tenang, yang tidak mau marah-marah, berdebat-debat, berdalih-dalih, bersitegang, bersilat lidah. Saya kira sebagai seorang wanita kalau dia bisa menjaga emosi dan lidahnya seperti ini itu menjadi suatu ciri kesalehan yang mengundang rasa kagum dan hormat dari suaminya.

Kalau suami orang yang beriman sementara istrinya tidak, firman Tuhan di ayat 7 mengatakan: "Demikian juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu sebagai kaum yang lebih lemah." Hidup dengan bijaksana dapat diterjemahkan hiduplah dengan penuh pengertian kepada istri sebagai kaum yang lebih lemah. Tuhan meminta agar suami memahami, mengerti istri, mengerti bahwa dia adalah kaum yang lemah. Wanita diibaratkan sebagai bejana yang mudah pecah, artinya mudah bereaksi secara emosional tatkala stres menimpanya. Cukup banyak wanita yang memang mengalami kesulitan dengan stress yang menekannya, kalau ada stres dia mungkin perlu marah, perlu menangis, dia perlu cetuskan. Stres masuk menggoyangkan dia dan goncangan itu terlihat dengan jelas, inilah yang dimaksud sebagai bejana yang mudah pecah, yang mudah retak. Jadi pria diminta Tuhan untuk mengerti, jangan dimarahi, jangan dibentak, jangan dihina-hina, justru suami perlu mengertinya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Hidup dengan Pasangan Yang Tidak Seiman. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada beberapa surat yang merupakan tanggapan dan sekaligus pertanyaan dari beberapa pendengar setia kita yang menanyakan, bagaimana kalau kami sudah terlanjur menikah dengan pasangan yang tidak seiman?

PG : Memang sering kali ini menjadi dilema dan tidak jarang menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Ada kasus-kasus yang seperti ini, Pak Gunawan dan Ibu Ida, yang satu Kristen sungguh-sungguh ahu apa yang menjadi kehendak Tuhan, yaitu Tuhan tidak menginginkan menikah dengan yang tidak seiman.

Tapi terlanjur cinta, lalu memudahkan masalah dan memilih tidak mentaati Tuhan, akhirnya menikah. Setelah menikah muncullah rasa bersalah karena dulu kenapa menikah dengan yang tidak seiman, karena adanya rasa bersalah kemudian yang percaya mulailah membujuk supaya yang tidak percaya ikut ke gereja, ikut berbakti dan sebagainya. Tapi masalahnya mereka berdua menikah dengan suatu kesepakatan dan pengertian memang mereka berdua tidak memiliki iman yang sama. Nah otomatis pihak yang satunya, yang tidak seiman merasa jengkel karena hal ini tidak pernah engkau persoalkan sebelumnya, engkau menerima aku apa adanya maka engkau bersedia menikahiku, sekarang sesudah menikah engkau malah memaksa aku untuk ikut ke gereja dan lain sebagainya. Tidak jarang ini membuahkan pertengkaran, nah waktu mulai bertengkar yang percaya makin frustrasi dan malah menuduh pasangannya tidak mau beriman kepada Tuhan dan sebagainya. Pihak yang satunya makin marah, akhirnya terjadilah pertengkaran atau yang satu kurang begitu mementingkan ibadah kepada Tuhan. Misalkan hari Minggu dia tidak merasa harus membawa anak-anaknya ke gereja, yang satunya merasa anak-anak harus dibawa ke Sekolah Minggu dan sebagainya karena mereka berdua berasal dari iman yang berbeda.
IR : Itu sangat kompleks sekali, Pak Paul, misalnya dalam perpuluhan juga mungkin menimbulkan pertengkaran. Di dalam kebiasaan mungkin yang satu sering PA, yang satunya tidak.

PG : Tepat sekali sebab bagi orang yang tidak percaya pada Tuhan Yesus, tidak masuk akal memberi 10% penghasilannya kepada Tuhan melalui gereja. Sebab yang ia lihat, uang itu diberikan kepada greja dan gereja memberikan uang itu kepada Pendeta, meskipun tidak semuanya kepada Pendeta.

Jadi orang ini bisa berkata buat apa diberikan orang, saya yang bekerja. Karena tidak mengerti konsep tentang persembahan ini atau tentang PA yang Ibu Ida katakan atau pelayanan sering kali memunculkan konflik. Sebab yang satunya bisa berkata engkau pelayanan membuang uang, membuang tenaga untuk menolong orang, untuk apa engkau tidak dapat apa-apa, tidak ada faedahnya sama sekali selain dari pengeluaran. Nah tidak bisa dimengerti oleh pasangannya, sehingga muncul konflik lagi dalam hal-hal seperti ini.
(1) GS : Katakan kondisinya sudah seperti itu Pak Paul, di pihak yang beriman apa yang harus dia lakukan?

PG : 1 Petrus 3:1-7 memberikan kita petunjuk bagaimana harus bersikap pada pasangan kita yang tidak seiman, di sini memang yang dibicarakan adalah tentang suami yang tidak beriman an istrinya yang beriman.

Rupanya inilah keadaan waktu Petrus menulis suratnya yaitu banyak istri yang mempunyai suami yang tidak beriman, para istri ini bertobat setelah menikah. Waktu mereka menikah dua-duanya bukan orang Kristen, tetapi dalam perjalanan pernikahan si istri itu akhirnya bertobat. Apa yang dinasehatkan oleh Rasul Petrus? Yang pertama dikatakan oleh Firman Tuhan,"Demikian juga kamu hai istri-istri tunduklah kepada suamimu". Di ayat yang ke-7 dikatakan,"Juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia". Dengan kata lain, saya menyimpulkan yang harus dilakukan adalah tunaikan kewajibanmu baik sebagai istri maupun sebagai suami. Kalau engkau suami, misalkan istrimu bukan orang yang percaya pada Tuhan Yesus, Tuhan meminta si suami tetap menghormati si istri. Atau tugas lain yang bisa kita baca di Efesus 5 kasihilah istrimu, itu tugas suami, otomatis Tuhan juga minta hormatilah suamimu. Jadi tunaikan kewajiban sebagai seorang istri, tunduk kepada suami, jangan sampai kita berkata "Oh..... suami saya bukan orang percaya, saya tidak harus lagi mencintainya atau menghormatinya". Tuhan tidak menginginkan hal itu, Tuhan menginginkan agar kita tetap menunaikan kewajiban kita sebagai istri maupun suami.
GS : Selanjutnya apa lagi yang disampaikan oleh Firman Tuhan, Pak Paul?

PG : Selanjutnya Firman Tuhan berkata jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman Tuhan, mereka tanpa perkataan juga dimenangkan oleh kelakuan istrinya jika mereka melihat bagaimanamurni dan salehnya hidup istri mereka itu.

Prinsip kedua, hematlah dengan kata-kata, Alkitab berkata atau berbunyi tanpa satu kata pun itu sebetulnya arti harafiahnya, tanpa satu katapun engkau bisa memenangkan suamimu dengan cara jangan melalui kata-kata. Dan bukankah kata-kata juga lebih sering memancing perdebatan. Misalnya saya kira begini-begini, pasangan kita berkata o..... tidak saya kira begini-begini, jadi akhirnya terjadilah perdebatan, dan perdebatan jarang sekali membawa orang mengenal Tuhan yang benar, sebab sifat kita manusia dalam perdebatan kita mau menang, kita tidak siap untuk melihat di mana kekurangan kita, kita ingin menang apapun caranya. Makanya Firman Tuhan berkata supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya, dan juga bisa kita tempatkan di sini, suaminya.
GS : Mungkin ada salah persepsi tentang memberitakan Injil, Pak Paul, jadi yang dikatakan dia tidak memarah-marahi suaminya tapi sedang memberitakan Injil itu yang dia gunakan?

PG : Kalau orang didengung-dengungkan Injil di rumah terus-menerus, justru saya kira reaksi yang akan diberikan jauh lebih negatif. Karena dia merasa dikuliahi, digurui, jadi orang itu tidak sua digurui atau dikuliahi, apalagi dikuliahi oleh pasangannya sendiri, oleh suaminya atau istrinya, makin susah dia mau menerima.

Jadi akibatnya justru menjadi bumerang, kata-kata itu tidak ada efeknya sama sekali, malah dipakai untuk menyerang kembali pasangannya.
IR : Mungkin ada nasihat lain, Pak Paul?

PG : Yang lainnya lagi, saya akan menggunakan ayat-ayat yang sama, jika mereka melihat bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu atau suami mereka itu. Dengan perkataan lain, yang ingn Tuhan tekankan adalah hiduplah dengan saleh, jadi yang pertama tunaikan kewajiban kita sebagai istri atau suami, yang kedua hemat dengan kata-kata, yang ketiga hiduplah dengan saleh.

Tentang hiduplah dengan saleh, yang saya ingin tekankan adalah bahwa kehidupan kita harus lebih baik daripada kehidupannya. Saya melihat berkali-kali, Pak Gunawan dan Ibu Ida, yang menamakan dirinya rohani, orang Kristen, kalau marah tidak bisa menahan diri misalnya, kalau marah mengumbar-umbar kemarahannya. Nah pasangannya yang tidak seiman akan sangat sulit sekali menerima berita Injil dari pasangan, dari istrinya misalnya karena dia melihat dia sering dimarahi. Dia melihat istrinya kalau marah kepada anak seperti ini, kalau marah kepada dia juga kasar, akhirnya dia makin tidak bisa terima. Jadi orang yang mau memberitakan Injil kepada pasangannya, hidupnya harus lebih baik dari orang yang tidak seiman itu, kalau tidak maka yang tidak seiman akan sulit menerima perkataan kita.
GS : Mungkin itulah sulitnya memberitakan Injil dalam rumah, Pak Paul, di mana pasangan kita itu melihat secara terus menerus kehidupan kita. Kalau kepada orang luar mungkin kita bisa berbicara yang baik-baik dan mereka belum tentu tahu pola tingkah laku kita di rumah atau di tempat lain.

PG : Betul sekali dan kita harus akui bahwa dalam rumah sering kali masalah itu bukanlah apa yang salah atau apa yang benar. Bukankah pertengkaran bisa muncul karena kesalahpahaman, perbedaan pndapat, jadi kita mengalami kesulitan untuk hidup 100% murni tidak bereaksi dengan marah pada pasangan kita, adakalanya tetap akan terjadi pertengkaran.

Namun saya kira, orang yang dewasa dalam Tuhan bisa menyelesaikan perselisihan dengan cara Tuhan. Ini berkaitan dengan yang tadi telah kita bahas yaitu bukankah Tuhan meminta kita untuk memimpin orang ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, jadi orang yang dikuasai oleh roh Tuhan ketika bertengkar dia tidak kasar. Pasangannya mungkin kasar, juga mungkin membela diri, tapi dia tidak kasar. Atau yang lainnya lagi dia akan lebih cepat meminta maaf atau dia akan lebih dahulu untuk berdamai. Sedangkan yang satunya lebih susah karena mempertahankan keangkuhannya, jadi secara realistik saya tidak berkata orang yang seperti ini tidak boleh marah sama sekali terhadap suaminya yang belum percaya, sudah tentu itu kadangkala terjadi. Tapi hiduplah dipimpin oleh roh misalkan marah cepat bereskan, tidak menyimpan dendam dan kalau marah tidak menggunakan kata-kata yang kasar. Hal-hal itu yang nanti akan dilihat oleh pasangannya dan itu yang lebih berbicara daripada perkataan-perkataannya.
GS : Bentuk atau wujud kehidupan saleh yang lain itu riilnya seperti apa, Pak Paul, supaya kita hidup lebih baik?

PG : Firman Tuhan menyambung di dalam pasal 3 ayat 4, "Tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut an tenteram, yang sangat berharga di mata Allah."

Bagi istri nasihat Tuhan adalah pertahankanlah atau perlihatkanlah roh lemah lembut dan tenteram. Artinya roh yang lemah lembut, roh yang tidak kasar dan yang kedua, roh yang tenteram berarti adalah roh yang tidak argumentatif. Bahasa Inggrisnya 'quiet spirit' yaitu jiwa yang tenang, tidak mau marah-marah, berdebat-debat, berdalih-dalih, bersitegang, bersilat lidah. Saya kira sebagai seorang wanita kalau dia bisa menjaga emosi dan lidahnya dapat menjadi suatu ciri kesalehan yang mengundang rasa kagum dan hormat dari suaminya. Saya kira kita ini sebagai pria, Pak Gunawan, bisa mengiakan bahwa bukankah membuat kita frustrasi kalau kita berbicara sesuatu kemudian istri kita memotong kemudian membalikkan, kemudian mengatakan kita tidak benar dengan begitu cepatnya. Saya kira sifat argumentatif ini perlu dikendalikan, dikurangi sehingga roh yang keluar adalah roh lemah lembut, roh yang diam, roh yang tenang, roh yang bersih. Saya kira inilah sifat saleh seorang wanita yang sangat berharga, baik di mata Tuhan maupun di mata suaminya.
GS : Bagaimana kalau terjadi yang sebaliknya, Pak Paul, yang suami orang yang beriman, istrinya tidak, tadi Pak Paul kutipkan ayat yang isinya untuk istri. Tapi kalau sekarang suaminya yang beriman?

PG : Nah Tuhan meminta kepada suami di ayat yang ke 7 ini "Demikian juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu sebagai kaum yang lebih lemah." Kata bijaksana sebetulny juga dapat diartikan pengertian, jadi hiduplah dengan bijaksana dapat diterjemahkan hiduplah dengan penuh pengertian kepada istri sebagai kaum yang lebih lemah.

Tuhan meminta agar suami memahami, mengerti istri bahwa dia adalah kaum yang lemah. Sebetulnya terjemahan aslinya adalah bejana, kalau kita ingat bejana, kita tahu bejana itu mudah pecah, tapi ada bejana yang kuat yang tidak mudah pecah, dan juga ada bejana yang mudah pecah. Di sini diibaratkan wanita adalah bejana yang mudah pecah, saya kira kebanyakan atau cukup banyak pria waktu melihat istrinya itu mudah pecah bukannya dia melindungi atau merawat malah dia dihina. Mudah pecah saya kira artinya mudah bereaksi secara emosional tatkala stres menimpanya. Cukup banyak wanita yang memang mengalami kesulitan dengan stres yang menekannya, kalau ada stres dia mungkin perlu marah, dia mungkin perlu menangis, dia perlu cetuskan. Sedangkan pria tidak begitu, pria menghadapi stress dia tekan, dia akan coba kendalikan dirinya supaya dia tidak terganggu oleh stress yang sedang menerpanya. Stres masuk menggoyangkan dia dan goncangan itu terlihat dengan jelas, nah inilah yang dimaksud sebagai bejana yang mudah pecah, yang mudah retak. Jadi pria diminta Tuhan untuk mengerti, yang saya khawatirkan kita-kita ini yang pria bukannya mengerti malah menghina, seolah-olah kita menganggap engkau begitu lemah, nah bukankah ini keluhan yang sering dilontarkan kepada istri. Kamu begitu lemah, yang Tuhan minta adalah justru memahami, mengerti bahwa memang dia wanita, dia adalah bejana yang mudah retak. Artinya dia memang mudah bereaksi seperti itu dengan emosional, jangan dimarahi, jangan dibentak, jangan dihina-hina, justru engkau perlu mengertinya seperti itu.
IR : Jadi kehidupan yang salah itu sangat memungkinkan untuk meruntuhkan rumah tangga?

PG : Betul, bukan sesuatu yang sepertinya di luar jangkauan kita, ya Bu Ida, dan bisa dilakukan. Bukankah suami bisa menjaga lidahnya untuk tidak ketus dalam membentak dan menghina si istri. Na waktu si suami bersikap seperti itu, si istri akan melihat kesalehan si suami, dia mengayomi, melindungi bukan malah menghina si istri karena kelemahannya.

GS : Ada pasangan yang mengambil sikap kalau memang mereka berbeda iman, maka mereka tidak membicarakan hal-hal yang menyentuh iman mereka. Bagaimana hal ini kalau menurut Pak Paul?

PG : Saya kira perbuatan itu mempunyai satu tujuan yaitu tidak memicu pertengkaran. Masalahnya adalah bukankah iman adalah sesuatu yang menempati bagian yang besar dalam kehidupan kita. Sebab kputusan, pikiran, reaksi itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai moral kita.

Dengan perkataan lain, orang yang hidup dengan kesadaran bahwa dia harus mempertanggungjawabkan, baik perkataan maupun perbuatan di hadapan Tuhan untuk hidup lebih berhati-hati. Orang yang berpikiran saya tidak harus mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan akan hidup dengan lebih sembarangan. Dengan perkataan lain, iman kepercayaan kita berpengaruh sangat besar sekali dalam kehidupan kita. Waktu kita mau menggunting bagian iman itu, yang saya khawatirkan dan sayangkan adalah kita akan menggunting suatu porsi kehidupan yang besar dari kehidupan kita. Dan kita akan kehilangan hidup kita yang begitu bermakna bagi kita.
GS : Tapi memang sulit, Pak Paul, kehidupan yang tidak seiman ini memang menjadi problem tersendiri di dalam rumah tangga, itu harus diakui, tidak perlu ditutup-tutupi ya?

PG : Betul, ini menjadi duri yang mereka harus senantiasa rasakan sakitnya karena tertusuk oleh duri itu. Jadi hal-hal lain yang mereka harus kerjakan tetap ada, tapi di samping itu sudah terseia duri ini.

Memang ada yang seperti Pak Gunawan katakan, ada yang akhirnya bersikap menoleransi dalam pengertian tidak membicarakannya lagi. Sebab kalau dibicarakan akan mengundang perasaan-perasaan yang mungkin akan menggetarkan, menggoncangkan kita kembali.
IR : Nah seseorang yang imannya belum dewasa mungkin mudah untuk mencari pasangan yang tidak seiman, Pak Paul?

PG : Biasanya begitu Bu Ida, jadi kalau kita memang tidak begitu mantap, tidak begitu berakar dalam iman Kristiani kita, kita cenderung menggampangkan masalah ini dengan berkata: "Dalam sema hal kami cocok, hanya soal iman dan kepercayaan tidak sama tapi buat apa kami persoalkan, nanti bisa selesai dengan sendirinya dan tidak mengganggu, sekarang saja tidak mengganggu".

Bagi saya tetap pada prinsip pertama yaitu kita perlu menaati Tuhan. Ini perintah bukan dicetuskan oleh manusia, bukan diminta oleh gereja atau pendeta, tertulis di dalam Firman Tuhan. Jadi kita lakukan atau tidak, itu bergantung pada kita mau menaati Firman Tuhan atau tidak.
IR : Biasanya terikut ya Pak Paul, kalau sudah menikah biasanya imannya lemah juga.

PG : Sering kali begitu, karena kita akhirnya dituntut untuk menyesuaikan diri, akhirnya tidak begitu berani untuk melakukan kegiatan-kegiatan rohani atau agamawi kita. Takut nanti menyinggung asangan kita, jadi akhirnya masalah rohani menjadi masalah yang kita pendam, yang kita kesampingkan dari kehidupan kita, sebetulnya itu sayang sekali.

Betapa indahnya kita bisa berdoa bersama, hal seperti itu merupakan harta karun. Kita sebagai orang Kristen tapi hal itu tidak bisa dilakukan. Jadi bagi saya merugikan diri sendiri, belum lagi kita ini tidak mentaati Tuhan.
(2) IR : Pak Paul, kalau pasangan Kristen dengan Katolik apa dapat dikatakan seiman?

PG : Bagi saya yang terpenting adalah keduanya sudah lahir baru, sungguh-sungguh sudah mencintai Tuhan, hidup untuk Tuhan Yesus dan mengerti bahwa mereka diselamatkan oleh anugerah Tuhan Yesus.Dan bagi saya kalau keduanya mempunyai kesamaan iman yang seperti itu, lahir baru, saya anggap mereka adalah anak-anak Tuhan Yesus.

Sebab saya tahu ada orang yang memang ke gereja Protestan, tapi hidupnya juga sangat tidak karuan.
GS : Memang bagi yang belum terlanjur tentu kita menganjurkan supaya mentaati Firman Tuhan yang tadi Pak Paul katakan tentang menikah dengan yang seiman, tetapi yang sudah terlanjur apapun alasannya Firman Tuhan dari surat 1 Petrus 3 itu merupakan pedoman bagi kita dan kita melihat bahwa contoh konkret perbuatan itu berbicara jauh lebih banyak dan jauh lebih kuat daripada kata-kata, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Jadi kita tentu perlu banyak berdoa untuk pasangan yang tidak seiman dan apapun yang terjadi di dalam kehidupan ini kita percaya bahwa Tuhan akan menolong kita. Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang suatu tema yang banyak dipertanyakan yaitu hidup dengan pasangan yang tidak seiman. Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



19. Menjadi Sahabat Buat Suami


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T074A (File MP3 T074A)


Abstrak:

Menjadi sahabat buat suami berarti siap mendampingi dan siap menjadi seorang yang melengkapi. Dan ada hal-hal yang sangat perlu untuk diperhatikan bagi seorang istri untuk dapat menjadi sahabat buat suami.


Ringkasan:

Pengertian sahabat adalah :

  1. Seseorang yang pertama-tama akan mendampingi.

  2. Seseorang yang akan melengkapi

Hal-hal yang dapat dilakukan seorang istri untuk bisa menjadi seorang sahabat buat suami, yaitu:

  1. Seorang istri harus mengerti suaminya, mengerti karena memang seorang suami pada umumnya memiliki keunikan-keunikan yang membedakan dia dari seorang wanita. Seorang istri perlu mengerti bahwa pria menghormati wanita yang stabil emosinya. Sebab di dunia pria seseorang yang terlalu dikuasai oleh emosi cenderung dijauhi dan tidak ditoleransi oleh sesama pria, bahkan bagi banyak pria seseorang yang menunjukkan emosi yang terlalu kuat menjadi seseorang yang menakutkan. Memang emosional sudah menjadi pembawaan bagi wanita, tapi wanita bisa melakukan hal:

    1. Wanita mengupayakan mengontrol emosinya sewaktu berbicara.

    2. Seorang wanita harus menyampaikan permintaannya dengan bahasa yang tepat. Pria peka terhadap tuntutan, jadi wanita minta dengan cara yang halus, sopan, dengan lemah lembut.

    3. Menyatakan dengan konkret

  2. Seorang istri perlu mengerti bahwa pria tidak siap dan tidak menyukai kejutan. Kejutan di sini adalah perubahan mendadak dari sesuatu yang sudah rutin pada umumnya. Pada umumnya pria menyukai hal-hal yang sudah bisa diantisipasi, hal-hal yang memang sudah terencana.

  3. Wanita perlu mengerti bahwa pria tidak menyukai problem dalam rumah. Ada dua alasan:

    1. Pria cenderung menganggap atau mengharapkan rumah sebagai tempat dia berteduh, tempat dia bisa keluar dari tempat pekerjaan, tempat di mana dia harus menghadapi problem.

    2. Pria adakalanya kurang begitu mahir menghadapi problem di rumah karena problem membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya.

    Dalam hal ini wanita harus bisa pandai-pandai bersikap tatkala ada problem dalam rumah, yang bisa dilakukannya adalah:

    1. Mengungkapkan masalah atau ketidakpuasannya dalam kemasan nada positif. Artinya dari pada kita berkata kamu begini, gara-gara inilah kamu begini lebih baik adalah saya kira ini perlu kita perbaiki agar hubungan kita bisa makin baik, msalnya.

    2. Hindarkan kata-kata tuduhan

    3. Fokuskan dampak persoalan pada diri kita bukan apa yang keliru atau yang salah dilakukannya.

  4. Wanita perlu mengerti bahwa pria mengharapkan istrinya menjadi sahabat dan itu berarti dia tidak meragukan pertimbangannya. Jadi maksudnya waktu berbeda pendapat jangan menyerang secara frontal. Dalam hal ini kalau misalnya istri tidak sependapat, istri bisa mengajukan beberapa pilihan untuk dipertimbangkan. Tentang sahabat, itu berarti istri membantunya untuk berhasil dalam usahanya, pria berharap si istri ini menolong dia tidak menghambat dia dalam kariernya. Pria juga mengharapkan istri menghormatinya di hadapan orang lain.

  5. Wanita harus mengerti bahwa pria menikmati seks sebagai kepuasan fisik dan menggunakan seks sebagai wadah penyataan kemesraannya. Memang pria sangat bahagia kalau si istri bisa berpartisipasi dalam hubungan seksual dengannya. Terimalah kemesraan seksualnya sebagai kemesraan romantis. Dan yang terakhir sedapatnya jangan menolak kebutuhan seksualnya, sebab penolakan atau ketidaksenangan ditafsirkan sebagai penghinaan bagi seorang pria.

Efesus 5:22, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Jadi intinya kalau mau jadi sahabat buat seorang suami yang terpenting benar-benar mencoba menghormati dia, pikirannya, permintaannya, keinginannya. Dan sewaktu si istri mulai mengedepankan keinginan si suami biasanya itu akan direspon secara positif oleh si suami.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Menjadi Sahabat Buat Suami. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Menjadi sahabat buat suami, tentunya kita akan mengarahkan pembicaraan kita terutama kepada ibu-ibu, ya Pak Paul. Sering kali ibu-ibu juga dituntut jadi sahabat buat anak, tetapi pengertian menjadi sahabat buat suami secara umum terlebih dahulu apa itu, Pak Paul?

PG : Sahabat adalah seseorang yang pertama-tama akan mendampingi dan yang kedua sahabat adalah seorang yang akan bisa melengkapi. Jadi kira-kira kita akan melihat dua hal ini dalam kelima hal yng bisa dilakukan seorang istri buat suaminya.

GS : Apakah itu tidak sama dengan salah satu peran yang dipercayakan oleh Tuhan kepada istri terhadap suaminya.

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan, jadi Tuhan memang memberikan peranan khusus kepada istri yaitu yang kita bisa lihat di kitab Kejadian bahwa istri itu akan menjadi seorang penolong yang sepadan agi suaminya.

Memang di Alkitab tidak dijabarkan apa maksudnya penolong, tapi saya kira melalui realita sehari-hari kita bisa menimba dan menyimpulkan beberapa hal yang bermanfaat bagi para istri untuk mendengarnya.
GS : Untuk bisa menolong, bisa menjadi sahabat, apa yang paling dituntut dari seorang istri itu, Pak Paul?

PG : Yang mendasari kelima hal yang akan kita bahas pada hari ini. Pertama-tama seorang istri harus mengerti suaminya, mengerti karena memang seorang suami pada umumnya memiliki keunikan-keunikn yang membedakan dia dari seorang wanita.

Nah, yang pertama adalah seorang istri perlu mengerti bahwa pria menghormati wanita yang stabil emosinya. Bagi pria ketidakstabilan emosi diidentikkan dengan kelemahan kepribadian. Pria ini berfungsi dalam dunia yang menuntut kestabilan emosi, menuntut rasionalitas, menuntut subjektifitas, yang menuntut seorang pria mengedepankan rasionya dan mengebelakangkan emosinya. Sebab di dunia pria, seseorang yang terlalu dikuasai oleh emosi, cenderung dijauhi dan tidak ditoleransi oleh sesama pria, bahkan bagi banyak pria seseorang yang menunjukkan emosi yang terlalu kuat menjadi seseorang yang menakutkan, sehingga reaksi pria pada umumnya adalah tidak mau dekat-dekat dengan sesama pria yang beremosi terlalu kuat. Saya kira persepsi ini atau standar ini dibawa oleh pria ke dalam rumah tangganya, sehingga pada umumnya pria akan berkeberatan kalau istrinya terlalu beremosi.
GS : Padahal sudah pembawaannya seorang wanita bahwa wanita itu emosional, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi memang akan ada usaha dari kedua belah pihak untuk menyesuaikan diri. Nah, wanita tidak bisa juga menyangkal kodratnya, tapi di pihak lain akan ada hal-hal yng bisa dilakukan oleh wanita, misalkan yang pertama adalah wanita perlu berupaya untuk mengontrol emosinya sewaktu berbicara.

Nah ini tidak berarti wanita sama sekali tidak boleh menunjukkan perasaannya atau emosinya yang kuat, tidak apa-apa. Namun yang lebih penting adalah kalau bisa pada waktu menunjukkan emosi, si istri juga mengemukakan alasan-alasannya yang seharusnya bersifat logis atau bersifat rasional. Jadi ucapan-ucapan seperti "pokoknya aku merasa begini", itu suatu pernyataan yang sukar diterima oleh seorang pria. Aku melihatnya begini, itu adalah suatu pernyataan yang susah dilihat oleh pria. Jadi sewaktu wanita mengemukakan argumennya, dia perlu mengemukakannya dengan rasional dan sebisanya mengontrol emosi sehingga tidak terlalu meledak-ledak atau meluap-luap, sebab pada umumnya pria akan menjauhi wanita yang beremosi tinggi. Yang kedua lagi adalah waktu seorang wanita ingin menyampaikan permintaannya, dia harus membahasakannya dengan tepat. Pria peka dengan yang namanya tuntutan, jadi sebaiknya waktu wanita minta sesuatu dia memintanya dengan cara yang halus, yang sopan karena pria cenderung bereaksi terhadap yang namanya tuntutan. Sampaikan permintaan itu dengan lemah lembut dan berikutnya adalah harus konkret, ada hal-hal yang bagi wanita sangat mudah dicerna contohnya adalah kasih. Wanita bisa meminta kepada pria tolong kasihi aku, tapi bagi pria kata kasihi aku, kata yang sangat abstrak, pria kurang mengerti hal yang seperti itu. Misalnya aku membutuhkan engkau di rumah, nah bagi seorang pria membutuhkan engkau di rumah artinya diam di rumah. Tapi bisa jadi yang diminta oleh wanita bukan secara fisik berada di situ, tapi yang dibutuhkan oleh si istri misalnya membantunya untuk menangani pelajaran anak-anak, membantunya dalam memasak atau bersama-sama berbicara, berbincang-bincang dan sebagainya. Nah itu yang dimaksud oleh wanita dengan aku meminta engkau untuk sering di rumah. Hal seperti ini perlu dikonkretkan, pria tidak begitu bisa memahami isi hati wanita yang bagi pria abstrak, oleh karena itu penting bagi seorang pria mendapatkan penjelasan-penjelasan yang konkret seperti ini.
IR : Tapi kenyataannya Pak Paul, kalau si istri itu terlalu emosional, si pria sering kali menjauhi, rasanya tidak suka dengan istri yang emosi.

PG : Sering kali pria menjauhi wanita yang beremosi tinggi. Pada masa berpacaran wanita mungkin berpikir o...pacarku tidak berkeberatan, kenyataannya adalah dia berkeberatan. Namun karena frekwnsi pertemuan itu tidak intensif, tidak ketemu setiap jam pada masa berpacaran, si pria tidak terlalu merasakan dampaknya.

Namun setelah dia serumah dan dia mulai melihat emosi si wanita yang turun naik, kecenderungannya adalah pria itu akan melarikan diri. Dia tidak sanggup menghadapi emosi yang begitu kuat, jadi daripada dia menghadapinya dan kewalahan, kecenderungan pria adalah menghindar. Ini yang sering kali menjadi pola, Pak Gunawan dan Ibu Ida, pola yang sering kali saya lihat dalam masalah-masalah pernikahan di mana si pria akhirnya menghindar dan si wanita mengejar. Mengejar agar si pria itu menemani dia, sabar menunggu dan menghadapi emosinya, si pria tidak bersedia, kebanyakan pria itu akan melarikan diri.
GS : Selain dari hal emosi, hal apa lagi yang perlu diperhatikan, Pak Paul?

PG : Seorang istri perlu mengerti bahwa pria tidak siap dan tidak menyukai kejutan, apa yang dimaksud dengan kejutan di sini. Kejutan adalah perubahan mendadak dari sesuatu yang sudah rutin, paa umumnya tidak semua pria seperti ini.

Pada umumnya pria menyukai hal-hal yang sudah bisa diantisipasi, hal-hal yang memang sudah terencana. Waktu si wanita misalnya dengan tiba-tiba berkata ada satu hal yang mengganggu saya, saya ingin bicara dengan kamu, bagi seorang pria pembicaraan itu sudah mengejutkan dia. Dia pulang ke rumah mengharapkan situasi rumah seperti kemarin, tiba-tiba si istri marah atau tiba-tiba si istri menangis, sedih. Nah sekali lagi itu adalah perubahan yang tidak diantisipasinya, bagi pria hal seperti ini membuat dia sangat-sangat tidak nyaman. Dalam ketidaknyamanan, pria cenderung mengkerut atau kalau boleh menggunakan istilah seperti keong, pria itu akan memasukkan kepalanya ke dalam rumah keong itu. Dengan perkataan lain, si pria tiba-tiba mematikan reaksinya, tidak mau meladeni si istri, malah bisa-bisa dalam kasus-kasus yang lebih ekstrim si pria ini akan bereaksi dengan kemarahan. Ia malah memaksa si wanita untuk tidak menceritakan atau tidak bicara lagi dan memaksanya untuk diam. Nah, kenapa pria cenderung berbuat seperti itu karena sekali lagi dia tidak begitu biasa, dia tidak begitu nyaman dengan perubahan mendadak. Pria mempunyai suatu kebutuhan yaitu kebutuhan untuk menguasai keadaan, mengontrol situasi. Sewaktu si istri tiba-tiba marah atau karena pelajaran anak tiba-tiba si istri mulai berteriak-teriak. Hal itu membuat suasana tidak terkontrol, pria tidak suka dengan yang namanya tidak terkendali. Dia berusaha menciptakan suasana yang terkendali. Jadi kalau saya boleh memberi masukan bagi para ibu di sini, jika ada masalah rencanakan waktu untuk berbicara dengannya, artinya jangan secara tiba-tiba langsung melontarkan problem itu di muka si pria dan memaksa dia untuk langsung menghadapi atau menjawabnya, jangan! Saran saya adalah katakan pada suami, "ada yang ingin saya bicarakan nanti malam apakah boleh." Atau kalau misalnya malam ini kurang begitu cocok kapan kita bisa berbicara. Saya membagikan pengalaman saya sendiri, Pak Gunawan dan Ibu Ida, istri saya mencoba memahami saya dalam hal ini tapi sekarang pun kalau istri saya berkata ada yang ingin dibicarakan nanti malam, saya sudah langsung memberikan reaksi menutup diri, jantung saya sudah mulai berdebar-debar dengan lebih cepat dan saya sudah membayangkan bahwa nanti malam akan ada pembicaraan yang serius, dan saya sudah takut, karena apa? Pembicaraan yang serius berarti, kemungkinan emosi akan keluar, kemungkinan ada pertengkaran atau perselisihan. Jadi meskipun istri saya sudah mencoba menghaluskan bahasanya dengan berkata "ada yang ingin saya bicarakan" dan dia tidak langsung mengutarakannya, tetap saya sudah bereaksi begitu. Nah, saya masih ingat sekali dulu ketika istri saya langsung mengeluarkan unek-uneknya tanpa saya siap untuk menghadapinya, kecenderungan saya adalah saya mengkerut, saya mendiamkan dia, saya tidak meladeni dia. Itu membuat dia tambah panas, tambah marah, akhirnya menjadi bertengkar. Kami menemukan cara yang lebih cocok untuk kami dan mudah-mudahan ini juga bisa diterima oleh para pendengar.
GS : Mungkin juga ada kekhawatiran dari kaum suami yaitu kalau menyadari adanya masalah secara tiba-tiba dan tidak siap dengan jawabannya, Pak Paul, itu cukup memalukan padahal kita menghindar untuk dipermalukan dengan cara seperti itu.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, pria ingin dilihat mampu atau sanggup, jadi sewaktu diperhadapkan dengan sesuatu yang tidak bisa dikuasainya dia menjadi sangat kewalahan. Dan dalam kewalahan ituia kurang bisa rasional, malah misalnya memaksa si wanita untuk diam atau malah menegaskan posisinya sebagai seorang suami.

Jadi si istri harus tunduk kepadanya.
IR : Pak Paul, memang kenyataannya seorang laki-laki itu demikian keras, bagaimana sikap seorang istri jikalau suaminya pada waktu ada masalah menghadapinya dengan marah. Apakah si istri itu bijaksana kalau masalahnya diatasi sendiri?

PG : Kalau ada hal-hal yang bisa diatasi sendiri dan memang tidak berkaitan langsung dengan si suami, saya kira tidak apa-apa. Jadi suami memang mempunyai batas-batas sampai seberapa jauh dia bsa mengatasi stres, kalau seorang istri menyadari bahwa inilah batas si suami.

Malam itu waktu suami pulang wajahnya sangat tegang, dia sangat letih atau istri mengetahui topik ini bisa langsung memicu kemarahan si suami. Saya kira si istri berhikmat kalau akhirnya memutuskan lebih baik tidak saya sampaikan dulu sekarang, mungkin nanti setelah beberapa hari situasi sudah reda dan waktunya sudah cocok baru saya sampaikan, saya kira itu hal yang baik, itu adalah hikmat. Karena apa? Karena satu hal yang perlu kita sadari yaitu suami tidak merasa berkewajiban mengetahui semua hal. Kadangkala ada satu kesalahfahaman di pihak kita yaitu saya harus memberitahukan semuanya, tidak. Sebab cukup umum bila pria berpikiran bahwa hal-hal rumah tangga itu adalah wewenang istri, hal-hal di luar yang berkaitan dengan pekerjaan dan sebagainya adalah wewenang saya atau tanggung jawab saya. Kalau misalkan si istri memutuskan biarlah untuk urusan ini atau urusan anak atau apa tidak perlu langsung memberitahukan kepada si suami, saya kira itu tidak apa-apa, bisa ditoleransi asalkan memang bukan dengan motivasi menutupi atau membohongi dan sebagainya. Jadi dalam pengertian memang mencari waktu yang lebih tepat dan ini memang bukan waktunya, saya kira itu bijaksana.
IR : Tidak apa-apa ya Pak Paul, jadi kalau masalah itu sudah selesai, sudah beres baru diceritakan.

PG : Boleh-boleh saja dan kebanyakan tidak keberatan, kecuali saat itu setelah kita ceritakan suami itu berkata: "Saya keberatan lain kali saya lebih mau diberitahukan dari awalnya". api kita atau saudara-saudara yang wanita bisa berkata: "Saya ini takut kalau saya bicarakan langsung reaksimu akan begitu keras, jadi bagaimana jalan keluarnya?" Nah kita meminta masukan dari dia supaya kita bisa menyampaikan kepada nya tanpa membuat dia misalnya lepas kendali, jadi kita bisa bicarakan.

Kalau dia berkata: "Ya tidak apa-apa, engkau beritahukan aku setelah semuanya ini selesai," ya berarti tidak apa-apa untuk lain kali pun kita bisa menggunakan metode yang sama.
GS : Jadi memang erat kaitannya, Pak Paul, bagaimana istri menjadi sahabat suami ini dalam arti memecahkan masalah dalam keluarga?

PG : Ya Pak Gunawan, jadi penting sekali si istri menjadi bagian dari pemecahan masalahnya. Ini berkaitan dengan point yang ketiga Pak Gunawan, yaitu wanita perlu mengerti bahwa pria tidak menykai problem dalam rumah.

Saya menggarisbawahi kata dalam rumah, sebab biasanya pria tidak berkeberatan dengan problem di luar rumah, di tempat pekerjaan dia akan menghadapi problem. Tapi waktu di rumah kecenderungannya adalah dia tidak begitu siap menghadapinya. Ada sekurang-kurangnya 2 alasan, pertama pria cenderung menganggap atau mengharapkan rumah sebagai tempat dia berteduh, rumah adalah tempat dia bisa keluar dari tempat pekerjaan, di mana dia harus menghadapi problem dan masuk ke tempat di mana dia tidak menghadapi problem. Jadi waktu dia harus menghadapi problem di rumah, cenderungnya pria itu kurang begitu mahir untuk memecahkannya. Dan yang kedua adalah kenapa pria adakalanya kurang begitu mahir menghadapi problem di rumah, karena problem membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Waktu si istri memunculkan masalah dengan dia, mengkritiknya, meminta dia bahwa dia kurang berlaku ini, dia kurang berbuat ini, si suami akan merasa bahwa ada yang kurang pada dirinya, ada yang perlu diperbaiki. Nah pria tidak suka dengan hal itu, pria cenderung menginginkan dirinya dilihat sanggup, mampu mengatur dan mengatasi semuanya. Sewaktu dia mendengar komentar-komentar seperti itu cenderungnya dia bersifat defensif atau membela diri.
GS : Bagaimana secara konkret, Pak Paul, wanita atau istri harus bersikap terhadap suaminya tatkala problem itu memang betul-betul ada?

PG : Yang pertama adalah dia bisa mengungkapkan masalah atau ketidakpuasannya dalam kemasan positif. Artinya daripada berkata kamu perlu begini, kamu begini memang, karena inilah kamu begini, nh itu kemasan negatif.

Kemasan positif adalah saya kira ini perlu kita perbaiki agar hubungan kita bisa makin baik, saya kira kita perlu melakukan ini agar...., nah jadi kita kemas dalam nada yang positif. Yang berikutnya hindarkan kata-kata tuduhan yang tadi sudah saya singgung, mengatakan bahwa suami itu begini, suami itu begitu, kamu memang begini, kamu seharusnya begitu, jadi kata-kata tuduhan cenderung memancing reaksi membela diri. Dan yang ketiga adalah fokuskan dampak persoalan itu pada diri saudara, bukan apa yang keliru atau yang salah dilakukannya. Jadi maksudnya daripada berkata engkau tidak melakukan ini, engkau begini-begini, nah lebih baik si istri berkata waktu engkau begini aku merasa begini. Contohnya waktu engkau pulang malam tidak menelponku dan aku sudah memintamu untuk menelponku, aku takut ada apa-apa denganmu dan membuatku khawatir, aku tidak bisa konsentrasi, aku tidak bisa mengajar anak-anak, aku tidak bisa memberi diriku pada anak-anak karena terus tegang memikirkan kamu, jadi tolong bantu aku dengan menelpon aku. Dengan perkataan lain, dia mencoba untuk tidak memfokuskan atau menyerang si suami, namun memfokuskan pada dampak perlakuan si suami terhadap dirinya.
GS : Saya rasa itu sulit buat istri atau wanita, kalau si suami yang menjadi sumber problem, Pak Paul?

PG : Kalau memang suaminya yang menjadi sumber problem, saya kira ceritanya akan sangat berbeda Pak Gunawan, jadi yang kita bicarakan adalah dalam pengertian ada niat baik dari kedua belah piha dan ada rasa kepedulian, cinta kasih yang tinggi antara dua belah pihak.

Kalau suaminya sudah menjadi problem misalnya disengaja ada perempuan lain, dia berjudi dan sebagainya, dia tidak bertanggung jawab main dengan teman-temannya, malam pulang dengan semaunya, saya kira dalam konteks seperti itu yang kita bicarakan tidak efektif.
GS : Memang di dalam persahabatan harus ada rasa timbal balik, baru terjalin persahabatan.

PG : Betul sekali.

IR : Bagaimana sikap istri untuk mendampingi suami, misalnya di dalam usaha atau di dalam pergaulan?

PG : Yang keempat, Bu Ida, wanita perlu mengerti bahwa pria mengharapkan istrinya menjadi sahabat dan sahabat berarti dia tidak meragukan pertimbangannya, jadi maksudnya apa? Waktu berbeda pendpat jangan menyerangnya secara frontal.

Kalau kita menyerangnya dengan frontal, kita seolah-olah tidak lagi percaya pada pertimbangannya. Kalau misalnya tidak setuju, saya anjurkan si istri misalnya mengajukan beberapa pilihan untuk dipertimbangkan, bagaimana kalau begini, bagaimana menurutmu kalau begini. Jadi berikan 2 atau 3 pilihan sehingga si suami bisa memikirkannya. Yang berikutnya tentang sahabat, sahabat berarti si istri membantunya untuk berhasil dalam usahanya, pria berharap si istri menolong dia, tidak menghambat dia dalam kariernya. Jadi misalkan untuk urusan pekerjaan jika tidak setuju saya sarankan si istri untuk meminta izin, boleh tidak istri memberikan pendapat dan tekankan bahwa ini untuk kepentingan dia bukan untuk kepentingan si istri. Jadi suami itu memang cenderung tidak suka kalau si istri seolah-olah mencampuri urusan pekerjaannya dan mengatur dia di tempat pekerjaan. Jadi ditanya boleh tidak istri memberikan pendapat dan tekankan ini untuk kebaikannya dan kebaikan usahanya setelah itu diam. Jangan memaksa si suami untuk menuruti pandangannya, sekali, dua kali mungkin si suami itu tidak menghiraukan. Mungkin dia percaya pandangannya lebih baik tapi setelah misalnya satu, dua kali ternyata si istri yang betul, kemungkinan besar untuk lain kali waktu si istri memberikan pandangan dia lebih bersedia untuk menerimanya. Pria cenderung berpikir dunia pekerjaan adalah dunianya, jadi dia yang mengerti. Dan yang terakhir tentang pekerjaan, sebagai sahabat buat si suami, istri diharapkan menghormatinya di hadapan orang lain. Nah ini penting, tadi Pak Gunawan sudah menyinggung bahwa pria peka dengan dipermalukan apalagi di depan orang lain. Jadi saya menghimbau kepada para istri jangan berselisih pendapat dengan suami di muka umum, itu memalukan si suami, kenapa? Sebab dia merasa dia kepala, waktu si istri seolah-olah di depan orang berselisih, tidak setuju dan mengatakan suami salah, itu memalukan dia sekali. Dan itu akan menghancurkan harga dirinya dan sering kali akhirnya membuahkan pembalasan dalam bentuk yang lain.
IR : Juga sebaliknya ya, Pak Paul?

PG : Jangan berbuat hal yang sama kepada si istri.

GS : Bagaimana dengan hubungan seks, Pak Paul, antara suami dan istri, juga berperan sebagai sahabat di sana?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi yang kelima adalah wanita harus mengerti bahwa pria menikmati seks sebagai kepuasan fisiknya dan menggunakan seks sebagai wadah penyataan kemesraannya. Jadi iarkan suami menikmati tubuh saudara dan ini tidak identik dengan memanfaatkan diri saudara, memang pria sangat bahagia kalau si istri bisa berpartisipasi dalam hubungan seksual dengannya.

Terimalah kemesraan seksualnya sebagai kemesraan romantis. Ada istri yang salah sangka, mengatakan, "Engkau hanya memakaiku sebab kalau tidak berhubungan engkau tidak begitu mesra". Pria kurang mampu menunjukkan kemesraan dan sering kali hanya bisa menunjukkan kemesraan dalam hubungan seksual, jadi terima sebagai kemesraan romantisnya. Dan yang terakhir sedapatnya jangan menolak kebutuhan seksualnya, sebab penolakan atau ketidaksenangan ditafsirkan sebagai penghinaan bagi seorang pria. Jadi kalau memang sungguh-sungguh tidak bisa, ya katakan apa adanya, namun sebisanya coba layani dia karena itulah yang membuat dia senang.
IR : Dalam hal ini perlukah si istri menawarkan diri terlebih dahulu?

PG : Saya kira memang kalau misalkan sudah ada jadwal tertentu ya beberapa hari sekali, nah si istri bisa bertanya apakah ini yang perlu dilakukan malam nanti. Saya kira sekali sekali hal itu embuat si suami merasa si istri juga membutuhkan, si istri juga menyenanginya sehingga bukan hanya dia sendiri yang meminta.

Itu akan membuat si suami merasa jauh lebih baik dan lebih senang.
GS : Itu merupakan suatu pengorbanan buat si istri untuk menjadi sahabat. Nah kita mau dengar apa yang firman Tuhan katakan.

PG : Saya akan bacakan dari Efesus 5:22, "Hai istri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.&uot; Jadi pada intinya kalau mau jadi sahabat buat seorang suami, yang terpenting benar-benar mencoba menghormati dia, pikirannya, permintaannya, keinginannya.

Dan sewaktu si istri mulai mengedepankan keinginan si suami, biasanya akan ditanggapi secara positif oleh si suami. Jadi mulailah mengedepankan dan menundukkan diri di hadapan suami.

GS : Jadi itulah pesan firman Tuhan yang tentunya sangat berguna bagi kita sekalian. Demikianlah tadi saudara-saudara pendengar Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Menjadi Sahabat Buat Suami, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami sampaikan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



20. Menjadi Sahabat Buat Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T074B (File MP3 T074B)


Abstrak:

Sebagaimana istri ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk dapat menjadi sahabat buat suami demikian juga suami. Untuk menjadi sahabat buat istri suami pun harus mengetahui beberapa hal sifat, karakter dan mengenai hal-hal apa yang dibutuhkan oleh seorang istri.


Ringkasan:

Hal-hal yang harus diketahui oleh seorang suami untuk bisa menjadi sahabat buat istri, yaitu:

  1. Seorang suami perlu mengerti bahwa wanita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan gejolak hormonalnya.
    Suasana hati, wanita dipengaruhi secara emosional, jadi apa yang terjadi di luar akan menggugah emosinya dan emosi itu akan berperan sangat besar dalam pertimbangannya, persepsinya, dalam bagaimana dia bereaksi terhadap apa yang sedang terjadi. Gejolak hormonalnya, setiap bulan wanita harus melewati menstruasi atau datangnya haid. Pada masa ini akan terjadi perubahan hormonal dan akan membawa perubahan dalam emosinya. Nah kadang kala pria salah sangka dan menganggap wanita memang tidak stabil, sebetulnya bukan tidak stabil dalam pengertian adanya kelemahan tapi memang wanita sangat dipengaruhi oleh suasana hatinya dan gejolak hormonalnya. Jadi yang harus dilakukan sebagai seorang pria adalah perlu memperhatikan bahasa tubuh istri artinya perhatikan gerak-geriknya, wajahnya, sikapnya apakah mulai berubah. Kalau kita melihat ada perubahan, kita harus menyesuaikan tindakan atau sikap atau kata-kata kita.

  2. Suami perlu mengerti bahwa wanita atau istri membutuhkan sentuhan fisik untuk membuatnya merasa dikasihi. Sentuhan yang lembut, yang sederhana tapi mengkomunikasikan perasaan cinta suami kepada istri.

  3. Pria perlu mengerti bahwa wanita senang diajak bicara karena hal ini membuatnya merasa penting dalam hidup si pria. Jadi bagi wanita tidak penting dia dilihat orang seperti apa tetapi dia ingin kepastian bahwa bagi suaminya dia adalah orang yang penting. Waktu dia merasa dia tidak penting bagi hidup si suami itu hal yang mencemaskan dan sangat menakutkannya.

  4. Suami perlu mengerti bahwa wanita sangat dipengaruhi oleh emosi sesaat dan mudah kehilangan keseimbangan rasional. Kadangkala istri akan mencetuskan kata-kata aku tidak suka denganmu, hati-hati agar kita sebagai pria tidak menginterpretasikan kata-kata itu secara kaku. Waktu wanita berkata demikian itu umumnya adalah emosi sesaat dan kita perlu ketahui bahwa cetusan emosi tidak sama dengan isi hati.

  5. Pria perlu mengerti bahwa pada umumnya waktu wanita bertanya ingin bicara dan kalau tidak hanya ingin bicara biasanya memang sungguh-sungguh ingin mendapatkan penjelasan dari si pria bukan berarti ia ingin menguasainya, mengatur hidupnya atau mempertanyakan keputusannya. Jadi saran saya adalah jangan mudah merasa defensif, marah, tersinggung karena istri bertanya, jawab seadanya.

  6. Pria perlu mengerti bahwa wanita melihat dunianya secara personal atau pribadi dan wanita ingin dinilai baik. Maksudnya jangan mengkritik wanita secara langsung apalagi kasar, karena wanita memang bersifat pribadi, mudah sekali sesuatu ditafsir sebagai serangan terhadap dirinya bahwa ada yang tidak baik tentang dirinya, bahwa dia bukan orang yang baik. Tidak layak, ada yang cacat itu sangat mudah melukai hati wanita.

Efesus 5:28, "Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri. Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri." Firman Tuhan dengan jelas meminta suami untuk mengasihi istrinya dan siapa yang mengasihi istri dia sahabat si istri.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Menjadi Sahabat Buat Istri. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita pernah memperbincangkan tentang suatu tema yaitu bagaimana menjadi sahabat buat suami. Nah tentunya persahabatan tidak bisa sepihak, walaupun istrinya mau bersahabat kalau suaminya menolak maka tidak terjadi persahabatan. Tetapi sebenarnya juga banyak para suami yang sungguh-sungguh mau menjadi sahabat buat istrinya, namun masih belum tahu apa yang harus dia lakukan. Jadi saya rasa pembicaraan ini pasti akan jadi berkat bagi kita sekalian, khususnya juga para pendengar. Menurut Pak Paul, apa sebenarnya yang harus diketahui seorang suami supaya dia bisa jadi sahabat buat istrinya?

PG : Sedikit memberikan tanggapan terhadap apa yang tadi Pak Gunawan katakan, sering kali wanita maupun pria melihat satu sama lain sebagai makhluk yang asing, makhluk yang tidak bisa dipahami,seharusnya masing-masing bisa memahami pasangannya.

Tapi untuk waktu-waktu yang lain suami misalnya menganggap cara berpikir si istri begitu lain, begitu aneh. Kebalikannya juga si wanita berprasangka si suami itu berpikiran begitu anehnya, kenapa dia sampai bisa berpikir seperti itu. Jadi saya setuju dengan komentar Pak Gunawan, bahwa ada orang-orang, suami ataupun istri yang sebetulnya dengan tulus berupaya untuk mengerti pasangannya tapi mengalami kesulitan. Mudah-mudahan ada 6 prinsip yang akan kita bagikan hari ini bisa menjadi berkat bagi rumah tangga kita semuanya. Yang pertama adalah seorang suami perlu mengerti bahwa wanita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan gejolak hormonalnya. Wanita memang mudah dipengaruhi secara emosional, apa yang terjadi di luar akan menggugah emosinya dan waktu emosi itu sudah tergugah akan berperan sangat besar dalam pertimbangannya, persepsinya, dalam bagaimana dia bereaksi terhadap apa yang sedang terjadi. Nah berikutnya wanita juga dipengaruhi oleh gejolak hormonalnya, setiap bulan wanita harus melewati yang kita sebut menstruasi atau datangnya haid. Pada masa ini akan terjadi perubahan hormonal dan akan membawa perubahan dalam emosinya. Pria tidak harus mengalami gejolak hormonal seperti ini, setiap bulan pria melewati hari-harinya dengan sama. Sedangkan wanita tidak sama, akan ada hal-hal yang membuat dia mudah terpancing dengan amarah, mudah bereaksi dengan kesedihan. Kadangkala pria salah sangka dan menganggap wanita tidak stabil. Sebetulnya bukan tidak stabil dalam pengertian adanya kelemahan, tapi memang wanita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan gejolak hormonalnya. Jadi yang harus kita lakukan sebagai seorang pria adalah perlu memperhatikan bahasa tubuh istri kita, artinya perhatikan gerak-geriknya, wajahnya, sikapnya, apakah mulai berubah. Sebab seharusnya terlihat dengan jelas, waktu pria melihat bahwa istri kita mulai berubah berarti ada yang mengganggunya. Kita harus menyesuaikan tindakan atau sikap atau kata-kata kita, jangan sampai kita seperti orang yang tidak bijaksana. Apapun perubahan yang terjadi pada diri istri tetap kita tabrak, tetap kita katakan yang mau kita katakan, tanpa harus memilih waktunya atau memilih kata-katanya. Jadi suami yang bijaksana, suami yang bisa melihat gerak-gerik istrinya dan mengetahui bahwa si istri dalam perasaan tertentu atau suasana hati tertentu.
GS : Dalam kondisi emosi yang tidak stabil atau susah, sebenarnya hal apa yang dibutuhkan oleh si wanita atau istri itu tadi, Pak Paul?

PG : Saya kira pada saat-saat seperti itu yang paling penting adalah si suami tidak membalasnya. Kalau si istri mulai beremosi, si suami membalasnya dengan emosi maka akan memperburuk keadaan aau jangan mendiamkannya.

Ada suami yang akhirnya karena takut lalu mendiamkan, justru tidak mau mengajak si istri berbicara itupun juga salah. Jadi yang harus dilakukannya adalah tetap berbicara seperti biasa, tapi lebih peka, suara jangan terlalu dinaikkan, gunakan kata-kata yang lebih lembut. Dengan perkataan lain, coba mengontrol suasana di luar agar kondusif, agar suasana di luar itu bisa lebih reda. Misalkan ada yang harus dicuci, piring-piring masih menumpuk dan si suami melihat, si istri mulai tegang, tawarkan diri untuk mencuci piring-piring tersebut. Atau si anak perlu perhatian tapi si istri mulai rasanya tegang, si suami bisa berkata apa bisa saya bantu, saya saja yang mengajaknya malam ini. Saya kira gerakan atau upaya si suami untuk menolong si istri akan menciptakan suasana yang teduh, yang bisa membawa si istri untuk lebih tenang.
GS : Ada yang mungkin tidak bisa diucapkan dengan kata-kata karena tadi Pak Paul katakan, emosi kalau dibahas dengan emosi akan terbakar sehingga jadi tidak baik. Apa kehadiran si suami secara fisik itu penting buat istri pada saat-saat seperti itu?

PG : Betul Pak Gunawan, ini adalah hal yang kedua yang perlu dipahami oleh seorang suami, bahwa istri atau wanita membutuhkan sentuhan fisik untuk membuatnya merasa dikasihi. Saya tahu ada wania yang tidak terlalu membutuhkan, tapi pada umumnya wanita membutuhkan sentuhan fisik.

Sentuhan bukan berarti dipegang-pegang, tetapi sentuhan yang lembut, yang sangat sederhana tapi mengkomunikasikan perasaan cinta si suami kepada si istri. Jadi saran saya misalnya jangan hanya menyentuh si istri tatkala waktu berhubungan seksual, kalau kita hanya menyentuh istri pada waktu hubungan seksual, tidak bisa tidak si istri akan merasa dipakai. Jangan sampai kita melakukan hanya pada saat itu saja, kita sentuh dia dalam suasana yang jauh lebih santai. Misalnya mau pergi, sedang lewat, sedang berpapasan, kita pegang tangannya atau sedikit memegang tubuhnya. Hal ini membuat si istri merasa bahwa kita bersama dengan dia dan tidak sendiri. Buat seorang wanita perasaan bersama atau kebersamaan adalah perasaan yang penting, waktu berjalan si suami tidak berjalan sendirian tapi berusaha memegangnya atau menyentuhnya. Ini membuat dia merasa adanya kontak yang membuat dia merasa dikasihi dan bersama-sama, hal-hal ini kecil bagi pria memang tidak ada artinya, tapi berarti besar bagi seorang wanita.
IR : Itu bukan berarti si istri manja ya, Pak Paul?

PG : Sama sekali bukan Bu Ida, jadi perempuan menghargai sentuhan-sentuhan kecil seperti itu dan sama sekali saya kira tidak berarti kekanak-kanakan atau manja.

GS : Kenapa kadang-kadang pria merasa canggung justru setelah dia menjadi suami yang sekarang jadi istrinya. Waktu berpacaran rasanya tidak ada kecanggungan, memegang pundaknya, memegang tangannya ketika berjalan. Tapi setelah jadi suami istri sekian tahun, pria itu menjadi canggung.

PG : Saya kira ada beberapa penyebabnya Pak Gunawan, yang pertama adalah pada masa berpacaran tidak bisa tidak sentuhan adalah sesuatu yang juga dinikmati oleh si pria, karena merupakan sesuatuyang baru dan biasanya memang menyenangkan.

Lama kelamaan dia terbiasa, waktu sudah terbiasa si pria tidak lagi merasakan gunanya. Sentuhan bagi seorang pria kebanyakan hanya bermakna sentuhan fisik, tapi bagi seorang wanita sentuhan berarti suatu pengkomunikasian cinta. Jadi sangat bersifat dalam dan emosional. Dengan perkataan lain, bagi pria yang sudah berkali-kali menyentuhnya ya sudahlah, hilanglah daya tariknya atau maknanya tapi tidak demikian dengan wanita. Yang juga umum kenapa pria akhirnya setelah menikah tidak langsung menyentuh si istri, pria biasanya berorientasi pada target. Dan dia tahu bahwa wanita senang dipegang, disentuh, dipeluk, pada masa berpacaran dia seperti sedang mencoba untuk mendapatkan targetnya, setelah dia mendapatkan dia merasa tidak perlu lagi mengeluarkan banyak energi untuk menyentuhnya seperti itu, karena sudah mendapatkan targetnya.
IR : Jadi harus dipelihara ya, Pak Paul?

PG : Betul Bu Ida, jadi jangan sampai pria melupakan bahwa setelah didapat ya sudah, boleh disia-siakan.

GS : Bagaimana halnya dengan komunikasi suami istri Pak Paul, supaya suami bisa menjadi sahabat bagi istrinya?

PG : Si pria perlu mengerti bahwa wanita senang diajak bicara karena hal ini membuatnya merasa penting dalam hidup si pria. Jadi bagi wanita tidak penting dia dilihat orang seperti apa, tetapi ia ingin kepastian bahwa bagi suaminya dia adalah orang yang penting.

Waktu dia merasa dia tidak penting bagi hidup si suami, hal itu yang mencemaskan dan sangat menakutkannya. Jadi saran saya, misalnya pilih waktu yang santai sekurangnya seminggu sekali untuk berbincang-bincang dengan cukup panjang, kalau bisa lebih banyak. Tapi misalnya kalau sibuk sekali sediakan waktu seminggu sekali untuk bisa pergi berdua dan bisa bercakap-cakap dengan bebas tanpa anak, tanpa orang lain. Atau misalkan seorang suami berkata o... saya tidak pandai bicara, bagaimana ini, saya sarankan kalau tidak bisa berbicara banyak, ajukan pertanyaan. Tanyakan tentang kegiatannya hari itu, tentang anak-anak hari ini dan hal-hal rutin lainnya. Saya berikan contoh yang sedikit memalukan saya, Pak Gunawan dan Ibu Ida. Beberapa waktu yang lalu saya mulai bertanya kepada istri saya, "Apa kabar kamu hari ini", waktu saya bertanya itu saya kaget ternyata bertahun-tahun saya tidak pernah bertanya itu. Saya menganggap sudah mengetahui bagaimana keadaannya setiap hari, ya sudah tidak perlu ditanya lagi, tapi waktu saya bertanya saya diingatkan ini adalah pertanyaan yang menyenangkan dia. Nah, biasanya waktu saya tanyakan itu, dia bercerita tadi begini, tadi begitu, tadi si anak begini, tadi si itu begitu, nah yang dibutuhkan sekali lagi oleh istri adalah jalinan kontak. Waktu dia bisa berbicara dengan suaminya, dia merasa dia tidak tertinggal, tidak dikeluarkan dari kehidupan suaminya, dia tetap bersama suaminya sehingga ada kontak-kontak emosional itu. Nah, wanita sangat mendambakan jalinan atau kontak-kontak emosional seperti ini.
IR : Itu bisa diluangkan waktu pagi hari, kalau jalan pagi atau sore sesudah makan, di halaman atau di ruang tamu berbincang-bincang, itu memang harapan setiap istri, Pak Paul.

PG : Tepat sekali, Bu Ida dan ternyata tidak terlalu susah, jalan pagi sama-sama atau berduaan sore-sore, atau berdua bercakap-cakap tidak terlalu susah kalau mau dilakukan.

IR : Akhirnya bisa jadi kebiasaan ya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, dan saya lihat akhirnya waktu si suami bisa memberikan meskipun tidak banyak seperti itu ya, hasilnya yang akan dia petik justru sangat besar. Si istri merasa disayangi dan aan membalas dengan lebih banyak cinta kasih kepada si suami.

GS : Ada hal lain Pak Paul yang perlu dipahami oleh suami?

PG : Seorang suami perlu mengerti bahwa wanita sangat dipengaruhi oleh emosi sesaat dan mudah kehilangan keseimbangan rasional. Kadangkala si istri akan mencetuskan kata-kata "aku tidak sua denganmu", hati-hati agar kita sebagai pria tidak menginterpretasi kata-kata ini secara kaku.

Waktu wanita berkata demikian, pada umumnya itu adalah emosinya yang sesaat dan kita perlu ketahui bahwa cetusan emosi tidak sama dengan isi hati. Pria berbeda, pada umumnya pria baru mengeluarkan kata-kata yang negatif atau menyakitkan setelah dia merasakan itu untuk waktu yang lama, kalau wanita tidak. Jadi sebaliknya saya juga meminta kepada para wanita sebisanya hati-hati dengan kata-kata itu, sebab pria cenderung menafsir kata-kata itu secara permanen, selama-lamanya engkau tidak suka denganku. Misalnya contoh dengan hubungan seksual, waktu si istri tidak bersedia mungkin engkau tidak suka dan kalau engkau tidak suka berarti selama-lamanya engkau tidak suka. Nah pria perlu menyadari wanita dipengaruhi oleh emosi sesaat, dan yang sesaat tidak berarti selama-lamanya. Yang lainnya lagi yang harus dilakukan oleh si pria adalah menoleransi ketidakkonsistenan dan subjektifitas istrinya. Memang si istri mungkin akan berkata begini hari ini dan besok lain lagi, atau dia berpandangan cukup subjektif dan kurang melihat secara objektif. Saya sarankan kepada suami jangan permasalahkan hal itu, jangan misalkan menyerang si istri dan berkata "Engkau tidak konsisten, engkau terlalu subjektif", tidak perlu, hadapi saja dan beritahukan apa yang menurut si pria ini seharusnya dipikirkan atau dilakukan. Saran saya yang lainnya lagi adalah jika misalnya ada konflik, berikan penjelasan setelah emosi si wanita reda, namun sewaktu emosinya belum mereda tidak berarti si pria harus meninggalkan si istri, itu lebih memancing kemarahan. Biarkan duduk bersama-sama, dengarkan dulu sampai dia sudah tenang nanti disambung lagi. Atau si pria bisa berkata saya rasa tidak bisa kita teruskan sekarang, kita tunda dulu nanti kita lanjutkan. Nanti setelah dia tenang, si suami akan bisa bicara dengan lebih logis, jadi intinya jangan membalas emosi dengan emosi karena emosi mudah tersulut oleh emosi yang lainnya.
GS : Selain dalam hal emosi pria dituntut memahami tentang wanita dalam hal apa lagi, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah tentang bertanya, nah ini sering kali mengganggu pria. Wanita suka bertanya dan dianggap oleh pria, wanita ini ingin menguasainya, mengatur hidupnya atau mempertanyaan keputusannya.

Si pria perlu mengerti bahwa pada umumnya waktu wanita bertanya dia ingin bicara dan kalau tidak hanya ingin bicara biasanya adalah dia memang sungguh-sungguh tidak begitu mengerti dan dia ingin mendapatkan penjelasan dari si pria. Jadi jarang wanita yang sungguh-sungguh berminat atau berambisi untuk menguasai suaminya, kebanyakan hanya untuk bertanya karena tidak tahu atau hanya untuk bicara, jadi bisa terjadi percakapan karena itu dia bertanya-tanya. Saran saya adalah jangan mudah merasa defensif, marah, tersinggung kalau si istri bertanya, jawablah seadanya. Dan kalau kita tidak sempat menjawab kita bisa menjanjikan kesempatan yang lain, kita bisa berkata "sekarang aku lagi sibuk, sekarang aku lagi mengerjakan ini, bagaimana kalau nanti kuberikan jawabannya". Jadi janjikan kesempatan yang lain dan penuhi janji itu.
GS : Atau mungkin pertanyaan itu merupakan satu kebutuhan dari istri untuk memberikan rasa aman pada dirinya, cintanya berkali-kali ditanyakan, "kamu cinta saya?" Padahal dia mengetahui kalau masih dikasihi atau tetap dikasihi.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, tadi kita sudah singgung bahwa wanita bersikap sangat subjektif dan dipengaruhi oleh emosi sesaat, sesuatu itu tidak langsung dianggap permanen. Jadi bagi seorangwanita hari ini dia mengetahui kalau dikasihi, besok dia ingin diberikan jaminan lagi bahwa dia dikasihi.

Kalau pria tidak perlu, dia tahu si istri mencintai dia dan itu berlaku untuk selamanya, sedangkan wanita memerlukan peneguhan ulang. Sebab apa? Wanita dipengaruhi oleh emosi sesaat. Waktu dia melihat suaminya sedikit repot dan tidak begitu banyak bicara hari ini, itu sudah membuat si wanita merasa berbeda, ada yang tidak sama kemarin dan sekarang. Berarti saya harus tahu, apakah perasaan suamiku sama atau tidak, atau ada apa-apa dengan dia, aku harus memastikan, lalu bertanyalah si istri.
IR : Atau mungkin si istri dipengaruhi oleh kebiasaan laki-laki yang suka menyeleweng, Pak Paul?

PG : Saya kira itu betul Bu Ida, karena ini sering terjadi. Tapi saya kira ketakutan ini mempengaruhi hampir semua istri, jadi untuk berjaga-jaga jangan sampai tidak diketahui, akhirnya istri brtanya-tanya.

GS : Tapi kadang-kadang juga bukan pertanyaan Pak Paul, yang sering kali terjadi adalah menceritakan suatu hal yang sama itu berulang-ulang.

PG : Betul, jadi sekali lagi bagi wanita berbicara adalah hal yang memang merupakan kebutuhannya. Jadi berapa rasionalnya, berapa pentingnya itu memang nomor dua. Yang penting terjadilah percakpan karena itulah tujuan akhirnya.

Kalau pria berbicara biasanya untuk tujuan tertentu, untuk mencapai target. Sekali lagi kalau wanita tidak, bicara itu sendiri targetnya.
GS : Mungkin ada hal lain Pak Paul, yang masih perlu dipahami oleh pria?

PG : Yang terakhir Pak Gunawan dan Ibu Ida, pria perlu mengerti bahwa wanita melihat dunianya secara personal atau pribadi dan wanita ingin dinilai baik. Kalau tadi atau pada waktu yang lalu kia berdiskusi bahwa pria ingin dinilai sanggup, mampu, sedangkan wanita ingin dinilai baik.

Maksudnya jangan mengkritik wanita secara langsung apalagi kasar, karena wanita memang bersifat pribadi, mudah sekali sesuatu itu ditafsir sebagai serangan terhadap dirinya, bahwa ada yang tidak baik tentang dirinya, bahwa dia bukan orang yang baik. Tidak layak, ada yang cacat, itu sangat mudah melukai hati wanita. Jadi kritiklah dengan sangat hati-hati, kalau langsung menghujamkan kritikan dampaknya kebanyakan negatif. Berikutnya jangan membandingkan istri dengan orang lain, biasanya memancing kemarahan, karena sekali lagi bersifat pribadi berorientasi secara personal. Jadi waktu dia dibanding-bandingkan dia merasa dirinya jelek, ada orang yang lebih bagus maka dia merasa dipermalukan, karena orang lain dibandingkan lebih bagus daripadanya. Jadi hati-hati membandingkan istri dengan ibu atau saudara sendiri. Dan yang terakhir kalau kita ada ketidakpuasan, ungkapkan ketidakpuasan dengan lemah lembut dan yakinkan bahwa ini demi kebaikan relasi kita berdua. Kalau pria perlu diyakinkan untuk kebaikan si pria, wanita tidak. Wanita lebih peduli kalau kita katakan untuk kebaikan relasi kita berdua, sebab sekali lagi bagi wanita kebersamaan itu sangatlah penting. Jadi waktu dia tahu untuk kebaikan suami istri, dia akan lebih peka waktu mendengarkannya.
GS : Kalau kita pernah membicarakan pada waktu yang lalu mengenai menjadi sahabat buat suami, peran seks itu ada di sana, tetapi di sini tidak mengungkapkan sedikit tentang seks, sebenarnya apakah ada pengaruhnya atau tidak, Pak Paul?

PG : Sebetulnya tetap ada, suami yang menginginkan seks pada si istri biasanya tetap membuat si istri penting, menarik, tetap bergairah atau menggairahkan. Waktu suami tidak mau lagi berhubunga dan tidak lagi meminta, cenderung membuat si istri merasa dia sudah tidak lagi menggairahkan suaminya dan ini bisa menjadi kerikil.

Namun kalau si suami bisa memberikan hubungan seksual itu dengan teratur, meskipun tidak terlalu sering biasanya itu sangat memuaskan bagi si istri sebab kebutuhan seksual pria dan wanita tidak sama. Bagi wanita kebutuhan emosional berada di atas kebutuhan seksual, bagi pria pada umumnya kebutuhan seksual berada di atas kebutuhan emosionalnya.
GS : Sejauh ini Pak Paul, tentang hubungan atau topik di mana bisa menjadi sahabat buat istri, Firman Tuhan mengatakan apa?

PG : Saya akan bacakan dari Efesus 5:28, "Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri. Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri.&uot; Nah firman Tuhan dengan jelas meminta suami untuk mengasihi istrinya dan siapa yang mengasihi istri dia sahabat si istri.

Tadi yang telah kita bahas 6 hal tersebut merupakan contoh-contoh konkret bagaimana suami bisa mengasihi istrinya, misalkan tadi dengan sentuhan, kata-kata yang lembut, mengerti bahwa dia memang cenderung subjektif dan sebagainya. Itu adalah wujud cinta kasih dan waktu suami memberikan semua itu, istri melihat bahwa suami mengasihinya dan dia menganggap si suami sebagai sahabat ada di pihaknya.
IR : Dan itu menjadi contoh buat anak-anaknya, Pak Paul, anak-anaknya juga mencintai ibunya, misalnya kalau suami itu suka menyentuh, merangkul. Anaknya juga akan seperti itu pada ibunya.

PG : Saya setuju Ibu Ida, jadi anak-anak akan belajar banyak dari perilaku kita, waktu dia melihat hal-hal yang baik, dia juga akan mengikutinya. Dan itu adalah suatu investasi yang bagus bagi i anak, karena nanti dia akan memberikan itu kepada istrinya pula.

GS : Mungkin hanya dengan persahabatan yang kokoh, di mana Tuhan menjadi pemersatu keluarga yang sedang bertahan di tengah-tengah gempuran pencobaan dan sebagainya. Saya percaya sekali bahwa pembicaraan ini sangat bermanfaat bagi para pendengar kita.

Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Menjadi Sahabat Buat Istri, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami sampaikan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



21. Pria dan Romans


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T112A (File MP3 T112A)


Abstrak:

Romans adalah suatu peristiwa atau suatu tindakan yang memang mengandung unsur romantis yang membuat seseorang merasa diri itu sangat spesial dan dikasihi. Romans bagi wanita identik dengan seks bagi pria, jadi pria membutuhkan seks seperti wanita membutuhkan romans.


Ringkasan:

Roman adalah suatu peristiwa atau suatu tindakan yang memang mengandung unsur romantis yang membuat seseorang merasa diri itu sangat spesial dan dikasihi. Dalam hal ini istri kita merasa bahwa mereka itu sangat-sangat diperhatikan oleh kita dan sungguh-sungguh spesial di hati kita.

Apa itu roman, apa itu romantis, dan apa yang harus saya lakukan untuk menjadi romantis? Untuk memudahkannya saya akan memberikan pengibaratan. Yaitu roman bagi wanita identik dengan seks bagi pria. Jadi pria membutuhkan seks seperti wanita membutuhkan romans.

Romans dalam pernikahan sebenarnya bukanlah tonggak yang menyanggah berdirinya pernikahan. Yang menyanggah pernikahan kita adalah

  1. Iman kita pada Tuhan,
  2. Kasih kita pada pasangan kita
  3. Kepercayaan kita pada pasangan kita
  4. Respek kita pada dia

Roman diumpamakan seperti dekorasi yang membuat pernikahan itu indah, yang membuat rumah tangga itu menjadi sebuah rumah yang nyaman untuk kita huni.

Ada 3 saran khususnya bagi suami-suami adalah:

  1. Pria perlu memahami sebagaimana dia membutuhkan seks demikian pulalah istrinya membutuhkan roman dalam pernikahannya.

  2. Pria perlu menyadari bahwa seperti seks roman tidak harus diberikan terus-menerus namun harus diberikan secara tetap dan berkala. Yang diminta oleh wanita adalah secara berkala pria itu melakukan sesuatu yang romantis dan itu tidak harus setiap hari. Sama seperti seks bagi banyak pria, satu, dua tiga kali paling banyak dalam seminggu yang dibutuhkan oleh pria dan begitu pula dengan roman, wanita mungkin membutuhkan seminggu sekali atau dua kali yang penting teratur secara berkala.

  3. Penolakan atau sikap suami yang mengabaikan istri itu luar biasa dampaknya, itu akan membuat istri merasa tidak berharga.

Roman memang tidak penting bagi pria harus kita akui itu, tetapi kita mesti sadari itu penting dan bukankah istri kita bersedia melayani secara seksual, meskipun bagi istri hal itu tidaklah sepenting seperti untuk kita. Jadi memang itulah pernikahan masing-masing mengerjakan atau melakukan hal yang tidak terlalu penting bagi dirinya tapi penting untuk pasangannya.

Yang perlu dilakukan oleh seorang suami adalah:

  1. Pria harus melihat romans sebagai suatu tindakan tertentu yang dilakukan untuk istri, bukan sebagai sikap yang selalu ada pada setiap saat.

  2. Berikanlah pujian tentang keindahan istri kita dan bukan hanya karakternya. Misalkan matanya, rambutnya alisnya, waktu engkau pakai baju itu engkau tampak cantik, waktu engkau memakai perhiasan ini engkau tampak sangat cantik jadi tetap berikan pujian tentang keindahan istri kita secara jasmaniah pula.

Roman tidak hanya terdiri dari kata-kata yang mesra dan puitis, bisa dengan kata-kata : saya senang bisa berjalan denganmu, saya senang malam ini kita bisa berdua, hal seperti itu atau pelukan di pundak kemudian membisikkan sesuatu yaitu saya sayang padamu, tidak usah kata-kata yang terlalu muluk.

Roman manfaatnya sangat besar: yaitu hati yang terpenuhi menjadi hati yang tidak mudah menuntut dan tidak mudah tersulut, hati yang tidak terpenuhi menjadi hati yang mudah menuntut dan mudah tersulut. Maka dalam keluarga atau pernikahan yang terpenuhi, maka emosi tidak mudah tersulut, tuntutan lebih realistik.

Kidung Agung 4:1, "Lihatlah, cantik engkau manisku, sungguh cantik engkau bagaikan merpati matamu dibalik telekungmu." Tuhan mengizinkan bagian ini dicatat dalam Alkitab untuk juga mengemukakan sesuatu yang sangat manusiawi bahwa wanita membutuhkan roman.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bicang tentang "Pria dan Roman". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan topik yang saat ini akan kita bicarakan adalah pria dan roman, sebelum membicarakan hal ini saya juga harus mengadakan sebuah pengakuan bahwa ini adalah topik yang dimunculkan leh istri saya.

Dimunculkan karena istri saya berkata bahwa baru akhir-akhir ini saya yaitu suaminya ini, mulai sedikit mengerti tentang roman. Jadi kami terlibat dalam perbincangan mengenai hal ini, memang susah buat pria itu menjadi romantik dan sebagainya. Jadi saya kira topik ini mungkin bukan saja dialami oleh saya tapi juga oleh bagian besar pria, dan dalam konseling pun saya mendengar banyak masukan dari kaum istri yaitu suami mereka kurang romantis, sedangkan ini adalah hal yang dirindukan oleh para istri.
(1) GS : Tapi supaya lebih jelas Pak Paul, yang dimaksud dengan roman di sini apa Pak Paul?

PG : Nah, ini nanti yang akan kita bicarakan dengan lebih spesifik Pak Gunawan, sebab ada perbedaan antara yang dimaksud bersikap atau bersifat romantis dan memberikan roman. Untuk sekilas sajasaya akan memberikan definisi, roman itu adalah suatu peristiwa atau suatu tindakan yang memang mengandung unsur romantis yang membuat seseorang merasa diri sangat spesial dan dikasihi.

Jadi tindakan atau peristiwa yang membuat seseorang dalam hal ini istri kita, merasa bahwa mereka itu atau dia itu sangat diperhatikan oleh kita dan sungguh-sungguh spesial di hati kita.
GS : Bukankah di situ yang paling banyak terlibat adalah perasaan kita Pak Paul?

PG : Betul, jadi sudah tentu respons dari istri kita tatkala menerima perbuatan kita yang romantis ini ialah merasakan spesial, merasakan diri begitu berharga dan sudah tentu ini sangat membuatdia bersenang hati.

GS : Biasanya dalam pernikahan, memang hal-hal yang romantis itu agak kurang mendapatkan perhatian karena hal ini sudah dicurahkan pada waktu berpacaran dulu Pak Paul.

PG : Sering kali ini keluhan para ibu Pak Gunawan, yaitu mengapakah suami saya bisa romantis sebelum menikah, sedangkan setelah menikah suami saya berhenti romantis. Jawaban saya sebetulnya sedrhana sekali, yaitu bukankah pria itu romantis sewaktu berkunjung, sewaktu datang, pergi bersama dengan si istri.

Nah, masalahnya adalah setelah menikah suami tidak lagi berkunjung tapi tinggal serumah dengan si istri. Dengan kata lain si istri baru menyadari bahwa di luar satu atau dua jam itu si suami bukanlah seseorang yang seromantis di dalam kurun dua jam itu. Jadi memang pria bisa romantis untuk jangka waktu tertentu, kalau bersikap romantis secara terus-menerus itu yang rasanya tidak biasa atau tidak begitu mudah dilakukan oleh pria.
GS : Sering kali juga tindakan romantis ini dihubungkan dengan tindakan seksual, hubungan seks Pak?

PG : Nah, ini untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada kaum pria. Pria kebanyakan kesulitan memahami roman. Apa itu roman, apa itu romantis, apa yang harus saya lakukan untuk menjadi omantis.

Nah untuk memudahkan, saya akan memberikan pengibaratan dan ini merupakan keyakinan saya juga. Yaitu roman bagi wanita identik dengan seks bagi pria. Jadi pria membutuhkan seks seperti wanita membutuhkan roman. Roman tidak melulu seks dan memang terpisah dari seks, tindakan atau peristiwa yang dialami itu bisa saja tidak mengandung unsur seks sama sekali. Sedangkan seks juga bisa sangat terpisah dari roman, seks juga bisa hampa roman, seks bisa hampa tindakan-tindakan yang romantis jadi keduanya memang sering dikaitkan tapi padahal dua-duanya ini tidak harus bertalian.
(2) GS : Sebenarnya apakah fungsi roman di dalam pernikahan itu?

PG : Roman dalam pernikahan bukanlah tonggak yang menyanggah berdirinya pernikahan itu. Yang menyanggah pernikahan kita adalah nomor satu iman kita pada Tuhan, kasih kita pada pasangan kita, keercayaan kita pada pasangan kita, respek kita pada dia, itu adalah tiang-tiang penyangga.

Roman kalau boleh saya umpamakan seperti dekorasi yang membuat pernikahan itu indah, yang membuat rumah tangga itu menjadi sebuah rumah yang nyaman untuk kita huni. Dan saya juga ingin tekankan bahwa roman itu adalah sesuatu yang sangat penting dan sebetulnya satu-satunya relasi yang bisa dihuni oleh roman adalah relasi nikah. Sama seperti seks, seharusnya seks juga hanya boleh dilakukan dalam mahligai pernikahan, itu adalah suatu hak eksklusif dari orang yang telah menikah. Nah, saya kira roman juga sebetulnya sesuatu yang eksklusif dimiliki oleh orang yang menikah dan seharusnyalah itu selalu ada dalam pernikahan pula.
GS : Kalau tadi Pak Paul katakan bahwa roman itu adalah dekorasi dari suatu pernikahan, namun sering kali orang tidak terlalu memperhatikan pentingnya suatu dekorasi dianggap itu tidak harus ada, nah itu pula yang memang dikaitkan dalam kehidupan pernikahannya Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, tapi bukankah kita bisa mengakui bahwa rumah tanpa dekorasi luar biasa datar, tawar, hambar, benar-benar tidak ada selera untuk berdiam dalam rumah yang tidak ada dekorai.

Begitu pulalah dengan pernikahan yang hampa roman, pria akan mengalami kesulitan berada dalam pernikahan yang hampa seks dia akan merasa ini kok sangat-sangat datar, sangat hambar. Nah demikian pulalah bagi wanita, jikalau harus berdiam dalam pernikahan yang tanpa roman, dia akan merasakan pernikahan itu begitu hambar dan sama seperti pria dalam hal seks dan ini akan membuka peluang pada si istri untuk akhirnya tertarik kepada pria lain. Apalagi kalau dia bertemu dengan pria yang setidak-tidaknya pada permukaan bisa memberikan roman kepadanya. Kebutuhan untuk diromantiskan itu bisa dipenuhi oleh si pria tersebut. Jadi sekali lagi kehambaran itu suatu kondisi yang tidak sehat karena membuka peluang masuknya orang ketiga dalam pernikahan itu.
GS : Kalau begitu apakah Pak Paul punya saran untuk para suami yang mungkin kurang romantis sampai saat ini?

PG : Saya memikirkan ada 3 saran yang ingin saya berikan, yang pertama adalah pria perlu memahami sebagaimana dia membutuhkan seks demikian pulalah istrinya membutuhkan roman dalam pernikahannya. Nah ini benar-benar mesti dicamkan bahwa roman itu bukanlah sesuatu yang berupa pilihan, roman adalah kebutuhan bagi si istri sama seperti pria tidak bisa berkata bahwa seks itu adalah sebuah pilihan, kapan dia inginkan istrinya bisa berikan. Kalau istrinya tidak mau memberikan sampai 5, 6 tahun ya tidak apa-apa. Saya kira sebagian besar pria akan menolak hal seperti itu, jadi pria pertama-tama harus benar-benar mengakui dia membutuhkan seks dan istrinya membutuhkan roman sama pentingnya seks bagi dia dan roman bagi istrinya.

GS : Ya, katakan si suami ini memang tahu istrinya membutuhkan itu, tapi ada pula istri yang kurang suka Pak Paul dipeluk atau diperhatikan secara berlebihan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Tidak semua istri menyukai sentuhan-sentuhan, tapi nanti kita akan melihat bahwa roman bukan hanya terdiri dari sentuhan-sentuhan. Roman bisa berbentuk yang lain dan mungkin saja itulah yag diinginkan oleh istrinya.

GS : Ya mungkin ada kiat yang lain, yang Pak Paul ingin sampaikan?

PG : Yang kedua adalah pria perlu menyadari bahwa seperti seks, roman tidak harus diberikan terus-menerus namun harus diberikan secara tetap dan berkala. Nah, ini yang ingin saya garis bawahi Pk Gunawan, kita yang pria ini cenderung bingung dan takut dengan kata romantis.

Sebab kita tidak begitu tahu artinya romantis, bagaimana romantis dan kalau kita menganggap kita diharapkan untuk romantis terus-menerus saya kira itu menyulitkan sekali. Kita rasanya tidak mampu untuk romantis terus-menerus. Saya kira para bintang film di televisi atau di bioskop hanya melakonkan dalam lakon-lakon itu, saya menduga kemungkinan dalam kehidupan sehari-hari merekapun tidak seperti itu. Jadi marilah kita melihat secara realistik bahwa pria tidak mungkin atau sulit sekali bersikap romantis terus-menerus dan inilah yang harus disadari juga oleh wanita dan ternyata ini yang tidak diminta oleh wanita. Yang diminta oleh wanita adalah secara berkala pria itu melakukan sesuatu yang romantis dan ini tidak harus setiap hari. Sama seperti seks bagi kebanyakan pria satu, dua, tiga kali paling banyak dalam seminggu yang dibutuhkan oleh pria dan begitu pulalah dengan roman, wanita mungkin membutuhkannya seminggu sekali atau seminggu dua kali yang penting teratur secara berkala. Tidak harus terus-menerus, tidak harus si pria itu harus bersikap lemah lembut, romantis seperti di film dan itu memang tidak realistik.
GS : Kalau si istri itu sudah memberikan tanda-tanda bahwa dia ingin suaminya melakukan sesuatu yang romantis itu, lalu si suami masih tetap dengan kesibukannya, tidak menganggap kebutuhan istrinya itu, apa yang terjadi Pak Paul?

PG : Ini membawa kita ke prinsip yang ketiga atau saran yang ketiga bagaimana suami bisa romantis kepada istrinya. Ternyata penolakan atau sikap suami yang mengabaikan si istri itu luar biasa dmpaknya, itu akan membuat istrinya merasa tidak berharga.

Saya akan memberikan suatu perumpamaan, bagaimanakah perasaan kita yang pria tatkala kita ingin berhubungan seks dengan istri kita, tapi istri kita misalkan menolak bukankah kita yang pria akan merasa terhina, tidak berharga. Nah kira-kira itu jugalah yang dialami istri sewaktu dia meminta kita untuk memberikan roman kepadanya dan kita tidak mempedulikannya dia akan merasa tidak berharga.
GS : Kalau begitu tindakan konkret apa Pak Paul yang bisa dilakukan oleh seorang suami?

PG : Yang pertama adalah pria harus melihat roman sebagai suatu tindakan tertentu yang dilakukan untuk istri, bukan sebagai sikap yang selalu ada pada setiap saat. Jadi pikirkanlah roman sebaga suatu tindakan tertentu bukanlah sebagai sikap terus-menerus yang harus ada pada diri kita para pria ini.

Misalnya kita makan berdua, pilihlah makan di tengah suasana yang romantis. Nah suasana yang romantis itu memberikan nuansa roman atau jalan berdua, nah daripada jalan berdua di tempat-tempat yang terlalu ramai jalanlah berdua di tempat yang lebih sepi dan berpegangan tangan, nah itu suasana yang romantis. Yang lainnya lagi misalkan kita membelikan hadiah yang melambangkan sesuatu yang romantis pula, sesuatu yang sangat diinginkan oleh istri kita misalkan kalung atau pun giwang yang berbentuk hati atau apa, sesuatu yang memang melambangkan cinta. Sekali-sekali kita berikan itu, itu akan menampakkan kasih atau misalkan istri saya pernah berkata: "Pa, waktu kamu datang engkau mengajak saya duduk, engkau memegang tangan saya dan sebagainya, bagi saya itu menunjukkan sikap romantismu kepada saya." Nah, hal yang sangat sederhana seperti itu ternyata bisa mengkomunikasikan roman. Dan ini saran saya jika sampai kita kehabisan ide jangan sungkan dan malu untuk bertanya kepada istri kita, hal apa yang engkau inginkan yang bisa saya lakukan untukmu? Istri saya dan saya sekarang mencoba untuk pergi keluar makan siang sekurang-kurangnya satu minggu satu kali dan kami memilih tempat yang sedikit sepi agar kami bisa duduk berdua dalam suasana yang relatif romantis. Jadi tindakan itulah yang harus kita tekankan.
GS : Dalam hal ini memang kadang-kadang pria lebih banyak memainkan otaknya atau lebih menonjolkan pikirannya, sehingga merasa hal-hal seperti itu tidak usah terlalu sering dilakukan Pak Paul.

PG : Tidak penting bagi pria harus kita akui, tapi ya kita mesti sadari itu penting dan bukankah istri kita pun bersedia melayani kita secara seksual, meskipun bagi istri kita hal itu tidaklah epenting sepertinya untuk kita.

Jadi ya memang itulah pernikahan masing-masing mengerjakan atau melakukan hal yang tidak terlalu penting bagi dirinya tapi penting untuk pasanganya.
GS : Atau ada pria yang memang kaku dari sananya, jadi orang yang terlalu formal yang sulit untuk melakukan hal-hal seperti itu Pak Paul.

PG : Nah, justru ini yang saya ingin tekankan bahwa meskipun sedikit pria atau tidak banyak pria yang mampu untuk roman terus-menerus, tapi hampir semua pria saya yakin bisa memberikan roman keada istrinya, ini yang ingin saya tekankan.

Misalkan tadi saya sudah sarankan kita berjalan berdua, hal lain yang kita juga harus cermati ialah waktu kita bersama istri kita berilah perhatian penuh kepadanya. Artinya waktu kita duduk bersama dia makan kita lihat wajahnya, jangan kita hanya melihat piring makanan kita, atau melihat jendela atau orang lain lihatlah dia. Misalkan kita bertanya tentang idenya, pendapatnya, ceritakan sesuatu dan tanya apa yang dia pikirkan tentang hal itu, tanya apa yang dia ingin lakukan minggu depan atau apakah ada rencana, jadi benar-benar waktu kita berdua dengan istri kita, kita memberikan perhatian sepenuhnya. Nah, tidak harus seseorang menjadi romantis baru bisa melakukan semua itu, dalam keterbatasan atau ada yang lebih kaku, tetap bisa memberikan perhatian seperti itu, tetap kita bisa mengeluarkan pertanyaan tentang keadaan istri kita.
GS : Kuncinya mungkin pada perhatian itu Pak Paul, yang harus kita berikan dan itu sering kali kita kurang memberikan.

PG : Saya kira kita sebagai pria cenderung berpusat pada tugas atau proyek. Jadi waktu berbicara juga mau membicarakan persoalan yang bisa kita pecahkan, kita ingin tanya pendapat dia supaya kia menemukan jalan keluarnya.

Jadi memang inilah pria dan ini harus kita kesampingkan sewaktu kita mau memberikan roman itu kepada istri kita. Dan sekali lagi saya tegaskan ini tidak harus dilakukan terus-menerus.
GS : Mungkin ada yang lain Pak Paul?

PG : Bagi yang sedikit lebih mahir dalam mengamati ini saya berikanlah pujian tentang keindahan istri kita dan bukan hanya karakternya, sudah tentu karakter itu baik dan sudah tentu itulah yangseharusnya paling indah dalam diri seseorang.

Tapi wanita juga tetap senang menerima pujian tentang keindahannya, matanya, rambutnya, alisnya sekali-sekali kita katakan, meskipun kita sudah katakan itu mungkin 100 kali dalam 20 tahun pernikahan kita, tetap kita katakan : "Alismu kok bagus ya, bibirmu kok bagus ya" jadi tetap katakan. Waktu engkau memakai baju itu engkau tampak cantik, waktu engkau memakai perhiasan ini, engkau tampak sangat cantik jadi tetap berikan pujian tentang keindahan istri kita secara jasmaniah pula.
GS : Nah, itu memulainya bagaimana Pak Paul, jadi kalau ada seorang suami yang selama ini kurang bersifat romantis kemudian sadar akan kebutuhan itu, kalau dia memulai itu kadang-kadang istrinya kaget Pak Paul, malah ini dianggap main-main atau apa. Supaya bisa berlangsung dengan baik bagaimana Pak?

PG : Bisa langsung diakui bahwa saya tidak terbiasa berbuat ini dan saya akan mengeluarkan kata-kata yang mungkin terdengar lucu bagimu, tapi saya mau memulainya dari pada terlambat. Yang inginsaya katakan adalah "Engkau tampak cantik hari ini," mungkin si istri akan tertawa atau berkata: "Ah....seperti

anak muda saja dan sebagainya, si suami bisa dengan serius berkata: "Inilah kesalahan saya selama ini, hampir tidak pernah mengomentari penampilan fisikmu, tapi mulai saat ini saya ingin melakukan itu untuk mengatakan hal seperti ini, sebab memang benar saya kagum dengan kecantikanmu ini."
GS : Mungkin keterbatasan waktu atau keterbatasan kata-kata itu membuat orang sulit untuk menjadi romantis Pak Paul?

PG : Betul, dan saya kira memang ada derajatnya orang romantis, namun tidak perlu berkecil hati bahwa kalau kita tidak mempunyai kata-kata yang terlalu puitis maka kita tidak bisa memberikan roan.

Sekali lagi roman itu tidak hanya terdiri dari kata-kata yang mesra dan puitis, bisa dengan kata-kata saya senang bisa berjalan denganmu, saya senang malam ini kita bisa berdua, hal seperti itu atau pelukan di pundak kemudian membisikkan sesuatu yaitu saya sayang padamu, tidak usah kata-kata terlalu muluk. Dan setelah kita berikan itu ya sudah kita hidup seperti biasa lagi dan mungkin beberapa hari kemudian atau minggu depan kita berikan roman itu kembali, jadi lakukan sebagai sesuatu yang teratur sebab itu yang dibutuhkan oleh istri kita.
GS : Mungkin juga saat-saat yang penting yang bisa diingat bersama-sama itu bisa menjadi awal dari tindakan-tindakan yang romantis terhadap pasangan kita Pak Paul. Misalnya ulang tahun pernikahan, atau ulang tahunnya dia, ulang tahunnya anak, itu sebagai awal Pak Paul.

PG : Betul, misalnya ulang tahun kita memberikan kartu dengan kata-kata yang manis, yang baik, kita sendiri mungkin tidak bisa menulisnya, pilihkan kartu yang seperti itu. Jadi banyak cara yangkreatif asalkan kita mau, saya kira ini penting untuk dilakukan.

GS : Jadi itu tidak harus menjadi suatu surprise untuk istri Pak Paul?

PG : Tidak, jadi lakukan secara teratur misalkan tentukan seminggu sekali kita akan makan berdua, tanpa anak-anak nah itu lakukan seperti biasa, kita yang memilih tempat-tempat tertentu untuk itri kita.

Dan ini manfaatnya sangat besar Pak Gunawan, hati yang terpenuhi menjadi hati yang tidak mudah menuntut dan tidak mudah tersulut, hati yang tidak terpenuhi menjadi hati yang mudah menuntut dan mudah tersulut. Maka dalam keluarga atau pernikahan yang terpenuhi, emosi tidak mudah tersulut, tuntutan lebih realistik. Nah, sering kali kita gagal melihat apa itu dasarnya.
GS : Kalau kita membaca kitab Kidung Agung di Perjanjian Lama itu memang sangat romantis dan puitis sekali, mungkin ada bagian yang sangat menarik di sana yang bisa dibagikan oleh Pak Paul.

PG : Kidung Agung 4:1, "Lihatlah, cantik engkau manisku, sungguh cantik engkau bagaikan merpati matamu dibalik telekungmu." Ini adalah kata-kata Salomo kepada istrinya, jad saya kira memang Tuhan mengizinkan bagian ini dicatat dalam Alkitab untuk mengemukakan sesuatu yang sangat manusiawi bahwa wanita membutuhkan roman.

Dan tidak apa-apa sebagai seorang pria kita memberikan roman kepada istri kita.
GS : Sering kali dikatakan memang Salomo itu perayu yang luar biasa, apakah itu memang benar begitu atau bagaimana Pak Paul?

PG : Ya setidak-tidaknya dari Kidung Agung kita melihat banyaknya ungkapan-ungkapan puitis dan romantis yang dikeluarkan olehnya untuk istri yang dikasihinya. Tidak ada salahnya kita para suamibelaja dari Salomo.

GS : Untuk kebahagiaan istri dan untuk kebahagiaan kita juga. Terima kasih Pak Paul. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pria dan Roman". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



22. Ketakutan dan Cinta


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T112B (File MP3 T112B)


Abstrak:

Yohanes 4:18, memberikan kepada kita suatu pengajaran bahwa waktu kita mengasihi orang apa adanya, sepenuhnya, maka dalam kasih tidak ada lagi ruang untuk ketakutan sebab kasih yang begitu besar akan mengusir segala jenis ketakutan.


Ringkasan:

1 Yohanes 4:18, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan, kasih yang sempurna melemyapkan ketakutan. Sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut ia tidak sempurna di dalam kasih."

Ayat ini mempunyai makna:

  1. Tuhan mengingatkan kita bahwa Dia mengasihi kita. Dan di dalam kasih-Nya yang begitu besar dan sempurna tidak ada dan tidaklah seharusnya ada ketakutan dalam diri kita sewaktu menghadap Dia.

  2. Memberikan kita suatu pengajaran bahwa terhadap sesama kita pun bisa juga mencontoh Tuhan yakni waktu kita mengasihi orang apa adanya, sepenuhnya, maka dalam kasih yang begitu besar ternyata tidak ada lagi ruang untuk ketakutan sebab kasih yang begitu besar akan mengusir pergi segala jenis ketakutan.

Ada dua hal yang menghalau ketakutan yakni:

  1. Kemarahan, yang cenderung ingin melukai dan menghancurkan orang.

  2. Kasih bertujuan membangun orang.

Namun yang Tuhan minta kita lakukan untuk menghalau ketakutan bukanlah dengan kemarahan tapi dengan kasih. Ketakutan itu berfokus pada diri sendiri karena waktu kita takut tujuan kita hanyalah ingin menyelamatkan diri. Sebaliknya kemarahan dan kasih berfokus pada orang lain.

Penyebab umum munculnya ketakutan dalam pernikahan adalah:

  1. Rasa malu, kita memiliki rasa malu akan sesuatu tentang diri kita dan kita berpikir kalau sesuatu itu diketahui pasangan kita, maka kita akan ditolaknya, dihinanya dsb. Orang yang malu dan menyimpan aib supaya jangan sampai diketahui pasangannya sebetulnya tanpa disadari kasihnya itu sudah mulai berkurang karena adanya rasa malu yang disembunyikan yang membuatnya ketakutan itu.

  2. Kesalahan, ada orang yang telah melakukan kesalahan tapi istri atau suaminya tidak tahu, nah biasanya yang kita lakukan adalah menutupi kesalahan itu. Orang yang ketakutan karena dia telah berbuat salah, susah mengasihi pasangannya dengan segenap hati.

  3. Ketergantungan kita pada pasangan, biasanya kalau kita mempunyai ketergantungan yang begitu besar, kita mencoba untuk menguasai pasangan kita agar dia juga bergantung pada kita.

Pelajaran dari ayat 1 Yohanes 4:18 adalah

  1. Kasih menerima yang tidak sempurna dan memalukan. Pelajaran buat kita suami-istri adalah biarlah kita juga belajar mengasihi pasangan kita, mengasihi dia yang tidak sempurna, dan memalukan mungkin. Jangan sampai pasangan kita mempunyai prasangka bahwa dia hanya berharga di mata kita kalau dia melakukan hal-hal yang luar biasa mulianya dan hebatnya dan mengagumkannya.

  2. Kasih mengampuni kesalahan, sebab tema sentral 1 Yohanes adalah kasih Allah kepada kita. Jadi kasih Allah kasih yang mengampuni kesalahan, kasih kita kepada pasangan haruslah kasih yang mengampuni kesalahan. Yang saya maksud di sini adalah kesalahan-kesalahan yang bukan bersifat moral yang kadang-kadang kita sebagai suami-istri itu lakukan, jangan sampai kita terlalu memfokuskan pada kesalahan. Orang yang terlalu disoroti akan kesalahan-kesalahan kecil justru akan hidup dalam ketakutan dan akan cenderung melakukan hal yang sama. Tapi kalau kita bisa abaikan, kita lupakan, kita ampuni dan kita coba menolong dia untuk tidak melakukannya justru dia akan lebih dikuatkan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Ketakutan dan Cinta". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam Alkitab khususnya surat pertama dari Yohanes 4 : 18, di sana saya membaca, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan, kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan. Sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut ia tidak sempurna di dalam kasih." Nah, sebenarnya apa makna dari ayat ini Pak Paul?

PG : Makna ayat ini kalau kita melihat konteksnya adalah pertama Tuhan mengingatkan kita bahwa Dia mengasihi kita. Dan di dalam kasih-Nya yang begitu besar dan sempurna tidak akan ada dan tiaklah seharusnya ada ketakutan dalam diri kita sewaktu menghadap Dia.

Maka di ayat yang sebelumnya dikatakan kita memiliki keberanian untuk datang kepada-Nya, jadi rasa dikasihi, pengetahuan yang jelas bahwa kita dikasihi oleh Tuhan dengan begitu sempurnanya akan membuat kita merasakan kedamaian, ketenangan untuk berani datang kepada-Nya apa adanya. Namun ayat ini juga memberikan kita suatu pengajaran bahwa terhadap sesama, kita pun bisa juga mencontoh Tuhan yakni waktu kita mengasihi orang apa adanya dan sepenuhnya, maka dalam kasih yang begitu besar ternyata tidak ada lagi ruang untuk ketakutan sebab kasih yang begitu besar akan mengusir pergi segala jenis ketakutan.
GS : Tapi itu masih sering terdengar bahwa istri yang takut kepada suaminya, tapi ada juga suami yang takut kepada istrinya, itu bagaimana Pak?

PG : Betul Pak Gunawan, jadi ternyata dalam pernikahan di mana seharusnya tidak ada ketakutan justru banyak ketakutan. Kekuatan yang dapat menghalau ketakutan adalah kemarahan dan kasih, karna waktu kita takut tujuan kita hanyalah ingin menyelamatkan diri, maka saya katakan ketakutan berfokus pada diri sendiri.

Sebaliknya kemarahan dan kasih berfokus pada orang lain, saya kembali lagi pada tadi yang saya katakan bahwa dua hal yang bisa menghalaui ketakutan ialah kemarahan dan kasih. Bukankah waktu kita marah kita tidak merasa takut, namun Alkitab mengatakan bahwa waktu kita mengasihi kita pun tidak merasakan takut. Jadi ada dua hal yang bisa menghalau ketakutan, namun kedua hal ini tidak sama, ada perbedaan yang besar antara kemarahan dan kasih. Kemarahan itu ingin melukai atau menghancurkan orang, sebaliknya kasih bertujuan membangun orang. Nah, yang Tuhan minta kita lakukan untuk menghalau ketakutan bukanlah dengan kemarahan tapi dengan kasih. Yang sering kali terjadi dalam pernikahan kita adalah kita menghalau ketakutan dengan kemarahan. Kita memarahi pasangan kita, dan dengan cara itulah kita menghalau ketakutan kita, takut kehilangan dia, takut tidak dihargai oleh dia, daripada mengakui ketakutan itu dan membereskannya kita mengeluarkan respons marah.
GS : Tetapi orang yang dimarahi itu 'kan layak untuk takut Pak Paul?

PG : Orang yang dimarahi memang layak untuk takut, karena misalkan ada hal-hal yang dia telah perbuat. Tapi kalau ini yang menjadi ciri utama relasi kita, berarti hampalah relasi kita itu dai kasih.

Maka kita bisa simpulkan dari firman Tuhan yang telah kita bahas bahwa ternyata kasih dan ketakutan berbanding terbalik, artinya kalau yang satu banyak, yang satu itu sedikit, kalau yang satu tinggi, yang satu akan rendah. Kalau kasih besar, ketakutan kecil; kalau ketakutan besar, kasih akan kecil.
GS : Nah, tentunya kita mau khususnya di dalam pernikahan kita atau di dalam rumah tangga kita kasih itulah yang menjadi besar. Tetapi bagaimana itu diwujudnyatakan di dalam rumah tangga?

(1) PG : Saya kira yang pertama kita mesti menyadari penyebab umum munculnya ketakutan dalam pernikahan. Yang pertama rasa malu Pak Gunawan, jadi kalau kita memiliki rasa malu akan seuatu tentang diri kita dan kita ini berpikir kalau sesuatu itu diketahui pasangan kita, maka kita akan ditolaknya, dihinanya maka yang kita lakukan adalah kita mulai bersembunyi di belakang topeng.

Kita sengaja memamerkan atau menonjolkan sisi tentang diri kita yang sebetulnya bukan diri kita, dan kita berusaha menutupi aib itu. Nah, rasa malu itu sering kali adalah penyebab ketakutan dalam pernikahan.
GS : Ya tetapi apakah ada alasan yang lain selain merasa malu itu Pak Paul?

PG : Selain rasa malu yang menimbulkan ketakutan ialah kesalahan. Ada orang yang telah melakukan kesalahan tapi istrinya atau suaminya tidak tahu, biasanya respons kita adalah kita menutupi esalahan itu.

Atau kalau misalkan diketahui dan mulai dikonfrontasikan oleh pasangan kita, kita menyangkal. Nah, sekali lagi kesalahan yang kita lakukan membuat kita takut.
GS : Dan itu biasanya berkaitan erat Pak Paul, kalau kita melakukan kesalahan dan ketahuan kita akan malu.

PG : Betul, jadi rasa malu dan kesalahan memang sangat berkaitan meskipun yang malu belum tentu salah. Jadi memang keduanya itu memunculkan ketakutan dan sekali lagi yang ingin saya tekankan waktu ketakutan itu muncul, kasih merosot turun.

Jadi orang yang ketakutan karena dia telah berbuat salah, susah mengasihi pasangannya dengan segenap hati. Orang yang malu dan menyimpan aib, dan berpikir jangan sampai diketahui pasangannya, sebetulnya tanpa disadari kasihnya itu sudah mulai berkurang karena adanya rasa malu yang dia sembunyikan yang membuatnya ketakutan.
GS : Juga kekhawatiran bahwa pasangannya nanti akan meninggalkan dia Pak Paul.

PG : Ya, jadi hal ketiga yang menjadi penyebab adalah ketergantungan kita kepada pasangan, yang tidak sehat adalah yang terlalu bergantung. Kita tidak bisa hidup tanpa dia, jadi harus ada di dalam hidup kita.

Biasanya kalau kita mempunyai ketergantungan yang begitu besar, kita mencoba untuk menguasai pasangan kita agar dia juga bergantung pada kita. Sebab dengan dia bergantung pada kita, kita merasa aman, kita tidak akan kehilangan dia. Atau kalau kita gagal membuat dia bergantung pada kita, kita akan kuasai dia dengan keras supaya dia tunduk kepada kita. Nah, waktu dia tunduk kepada kita dia tidak akan ke mana-mana dan kita tetap bisa bergantung kepada dia. Ini kadang-kadang yang dilakukan oleh misalkan istri, luar biasa galaknya si suami, istri ketakutan tidak bisa ke mana-mana, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, semua diatur oleh si suami. Nah, dengan cara seperti itu suami bisa bergantung kepada istri untuk tetap di rumah, untuk tetap menjaga anak-anak, untuk tetap menghormati dia jadi dengan kata lain memenuhi kebutuhan dia. Dan sebetulnya dia takut sekali kehilangan si istri, dia tidak bisa bayangkan kalau istri meninggalkan dia, tapi dia mendapatkan si istri itu dengan cara yang salah. Dia memanipulasi, dia memaksa si istri untuk tunduk kepada dia yang sebetulnya semua dimunculkan oleh ketakutan.
GS : Tapi juga ada seorang Pak Paul, sebetulnya dia bisa mandiri karena dia bekerja dan bisa mendapatkan penghasilan, tapi dia sangat takut kalau suaminya meninggalkan dia sehingga ke mana-mana istri ini selalu mengikuti dan bahkan ada rasa curiga terus kalau si suami berbincang-bincang atau bergurau dengan lawan jenisnya, itu bagaimana sebenarnya Pak Paul?

PG : Sebebenarnya ketakutan itu benar-benar sudah menghalau pergi cinta, kalau saya boleh gunakan firman Tuhan lagi. Jadi orang yang menguasai pasangannya sedemikian rupa sehingga pasanganny itu tidak lagi bisa berkutik, sebetulnya yang memotivasi bukan lagi cinta tapi ketakutan.

Ketakutan akan kehilangan pasangannya, pasangannya mungkin akan menoleh kepada orang lain, jadi dia harus kuasai nah firman Tuhan katakan tidak ada lagi kasih. Sebab ketakutan itu akan benar-benar menghalau cinta kasih.
GS : Si suami ini karena merasa diperlakukan seperti itu dia malah kasar dan berbuat lebih ekstrim lagi.

PG : Sering terjadi, justru kalau terlalu dikontrol dan semua dibatasi akan membuat si orang ini, misalnya si suami ini mencari lubang, dia mencari celah bagaimana dia bisa menyelinap keluardan pasti akan ketemu celah itu.

Jadi tinggal menunggu waktu sajalah sebelum si suami itu akhirnya menyelinap keluar dan mendapatkan orang yang dia inginkan.
GS : Tapi sebenarnya ketakutan menurut si istri itu positif. Dia tidak mau pernikahannya itu hancur Pak Paul.

PG : Jadi ketakutan itu boleh ada tapi jangan sampai menguasai seseorang, ketakutan bahwa suatu hari mungkin saja pasangannya akan meninggalkan dia. Perasaan seperti itu saya kira masih waja, tapi kalau menjadi begitu besar menguasai dirinya itu sangat tidak sehat karena dia tidak lagi bisa mempercayai pasangannya.

Dia membatasi pasangannya seolah-olah dia akan mematahkan sayap pasangannya supaya pasangannya tetap berada di samping dia. Nah, itu tidak akan berhasil, mungkin secara fisik dia akan kuasai tapi secara hati tidak, dan sebetunya tidak akan ada lagi kasih antara mereka berdua.
(2) GS : Berdasarkan ayat dalam firman Tuhan tadi Pak Paul, hal-hal apa yang bisa kita pelajari di sana?

PG : Yang pertama adalah langsung saya terapkan tentang penyebab ketakutan, yang pertama yaitu rasa malu. Ternyata kasih menerima yang tidak sempurna dan yang memalukan. Saat Yohanes mempunyi tema sentral yaitu kasih, kasih Allah kepada manusia yang begitu besar, dan yang kedua temanya adalah karena kita adalah anak Allah jadi kita harus mencontoh Bapa kita yang di Sorga yaitu mengasihi orang juga dengan sepenuh hati.

Nah, kasih Allah kepada kita kasih yang menerima kita apa adanya meskipun kita mempunyai aib, meskipun ada hal-hal yang memalukan yang pernah kita lakukan, tapi Allah tetap menerima kita, kasih-Nya tidak terhalangi oleh aib yang telah kita lakukan. Oleh hal yang memalukan yang telah kita perbuat, jadi kita belajar yang pertama adalah kasih menerima yang tidak sempurna bahkan yang memalukan. Nah, pelajaran buat kita sebagai suami dan istri adalah biarlah kita juga belajar mengasihi pasangan kita, mengasihi dia yang tidak sempurna, dan memalukan mungkin. Jangan sampai pasangan kita mempunyai akhirnya prasangka bahwa dia hanya berharga di mata kita kalau dia melakukan hal-hal yang luar biasa mulianya dan hebatnya dan mengagumkannya, tidak. Saya kira keamanan, ketenteraman, kesejahteraan dalam hati hanya ada jika pasangan kita tahu bahwa apapun, siapapun dia, selemah apapun dia kita tetap menerimanya.
GS : Mungkin kalau kekurangan atau bahkan cacat atau memalukan, orang masih bisa tetap mengasihi Pak Paul. Sering kali yang terjadi di dalam hubungan suami-istri kalau salah satunya melakukan kesalahan yang cukup fatal.

PG : Nah, ini kita kembali ke point berikutnya yaitu tentang kesalahan yang kita perbuat. Kesalahan membuat kita takut dan di mana ada takut, kasih itu akhirnya akan sirna, apa yang bisa kit lakukan.

Hal kedua yang kita bisa petik dari firman Tuhan ialah kasih mengampuni kesalahan sebab sekali lagi tema sentral I Yohanes adalah kasih Allah kepada kita. Dan kita tahu di pasal 1 dikatakan kalau kita berdosa, jangan ragu datang kepada Tuhan mengakui dosa kita, Dia akan mengampuni segala dosa kita. Jadi kasih Allah kasih yang mengampuni kesalahan, kasih kita pun kepada pasangan haruslah kasih yang mengampuni kesalahan. Ada orang yang tidak bisa hidup dengan tenteram dalam pernikahannya takut sekali berbuat kesalahan, karena apa? Karena pasangannya tidak bisa mengampuni kesalahan, satu kesalahan yang kecil habis dimarahi, dimaki-maki, bahkan ada yang dipukul. Nah, bagaimanakah bisa ada kasih dalam keluarga itu sebab tidak ada pengampunan atas kesalahan, dan sering kali kesalahan itu bukannya yang besar, bukan bersifat moral, mungkin sebuah kelupaan atau apa, tapi tanpa adanya pengampunan akan adanya kesalahan, kasih tidak mungkin bertunas dalam pernikahan itu.
GS : Adakalanya pengampunan itu sudah diberikan Pak Paul, tetapi dia melakukan hal yang salah itu lagi, hal yang sama yang salah di mata pasangannya.

PG : Sudah tentu kita harus melihat jenis kesalahannya misalkan kelupaan-kelupaan yang kecil, saya kira itu tidak bisa disamakan dengan berselingkuh dan tidak pernah menyadari dan bertobat aan kesalahan itu.

Saya kira untuk jenis kesalahan yang bersifat moral yang besar, harus ada ketegasan tidak! Sekali sudah lebih dari cukup. Engkau sudah berselingkuh, sekarang engkau mau berselingkuh lagi saya tidak akan toleransi itu. Jadi saya kira untuk hal-hal yang bersifat moral dan yang besar seperti itu diperlukan ketegasan. Pengampunan dosa atau pengampunan kita bisa kita berikan, namun untuk menyelamatkan pernikahan ini diperlukan tindakan yang lebih tegas tidak bisa hanya kita berkata sudah terserah, sudah saya diamkan, orang itu tidak akan belajar dan dia akan tetap mengulang kesalahan yang sama. Yang saya maksud di sini adalah kesalahan-kesalahan yang bukan bersifat moral yang kadang-kadang kita sebagai suami istri lakukan, jangan sampai kita terlalu memfokuskan pada kesalahan. Orang yang terlalu disoroti akan kesalahan-kesalahan kecilnya, justru akan hidup dalam ketakutan dan akan cenderung melakukan hal yang sama. Tapi kalau kita bisa abaikan atau kita lupakan, kita ampuni dan kita mencoba menolong dia untuk tidak melakukannya justru dia akan lebih dikuatkan.
GS : Mungkin ini Pak Paul ada suami lupa mengunci pintu luar kalau malam. Sekali, dua kali memang istrinya itu masih mau mengingatkan dia dan masih mau mengampuni atau memaafkan kesalahannya, tetapi itu berulang-ulang kali sehingga setiap malam di keluarga ini ada ketegangan terus. Si istri tidak percaya lagi pada suaminya bahwa dia sudah mengunci pintu, kemudian menuduh si suami, jadi malam itu suasananya sudah tidak enak lagi Pak Paul.

PG : Dalam hal seperti itu memang kita harus melakukan beberapa kiat, kiat pertama kita memang meminta suami kita untuk turun mengunci pintu lagi, misalkan dia bilang sudah, tolong dicek sekli lagi.

Sebab bukankah sering kali engkau berpikir sudah, namun ternyata belum. Kalau tetap bilang sudah, OK.......mari turun berdua kita lihat, apakah sudah atau belum. Nah, itu langkah pertama, jadi dengan cara itulah kita membuat si suami itu lebih sadar waktu mengunci pintu atau waktu belum mengunci pintu. Yang kedua adalah ini kadang-kadang harus dilakukan oleh para suami-istri yakni berpikir bahwa apakah selayaknya kita meributkan hal ini sampai sedemikian besarnya. Daripada mengingatkan dan akhirnya terlibat dalam pertengkaran, dia sendiri yang mengecek pintu itu dan menguncinya kalau belum dikunci habis perkara. Jadi akan ada toleransi untuk hal-hal yang seperti itu juga.
GS : Yang di situ itu yang agak sulit Pak Paul, biasanya pasangannya itu yang tidak mau mengalah, sekali itu tugasnya ya harus diselesaikan dengan baik jadi ada semacam tanggung jawab yang diberikan.

PG : Betul, dan memang perlu waktu dan kesabaran untuk akhirnya menyepakati hal apakah yang bisa dilakukan oleh pasangan kita dan hal apakah yang bisa kita lakukan sendiri. tidak semua orangsetelah menikah langsung bisa menemukan hal-hal seperti itu dan kadang-kadang perlu waktu yang agak panjang.

Nah kalau kita sudah menyadari bahwa OK-lah memang dia lemah dalam hal itu, ya sudah kita pun tidak menuntut dia lagi, sedangkan hal-hal yang bisa dia lakukan itulah yang kita minta dia lakukan, dan kita tidak mempersoalkannya lagi.
GS : Ada juga pasangan yang selalu mengawasi pasangannya Pak Paul, di kantor di telepon, sore terlambat setengah jam sudah ribut, ini sebenarnya apa Pak?

PG : Itu adalah kasih yang seolah-olah kasih, tapi yang menguasai. Dan sekali lagi firman Tuhan berkata: yang menguasai seperti itu sebetulnya bukan kasih lagi tapi ketakutan. Sebab justru ksih itu lebih membebaskan, memerdekakan.

Contoh yang paling jelas adalah Tuhan sendiri, Tuhan begitu mengasihi dunia, begitu mengasihi manusia tapi meskipun Dia tahu manusia akan menolak Dia dan akan memilih untuk berdosa tetap itu tidak mengubah rencana Tuhan untuk menciptakan manusia, Dia tetap menciptakan manusia. Dan benar seperti yang Dia sudah tahu karena Dia adalah Tuhan, manusia berdosa, memilih dosa dan tidak memilih Dia. Tapi kasih membebaskan, kasih tidak membuat seseorang itu tunduk sepenuhnya tanpa mempunyai hak untuk memilih. Nah, saya kira dalam pernikahan ini juga harus ada, sudah tentu masing-masing pihak harus tahu diri. Namun setelah itu atau yang lebih penting ialah kasih memberikan kebebasan karena kebebasan itulah dasar dari atau wujud nyata dari kepercayaan. Nah, kasih baru bisa bertumbuh dalam suasana yang bebas seperti itu. Kalau kita diawasi, harus diketahui kita ke mana, kita ke mana setiap detik harus bisa diperhitungkan dan dipertanggungjawabkan. Yang akan mematikan kasih yang muncul dengan subur adalah ketakutan. Jadi sekali lagi firman Tuhan sudah sangat jelas berkata kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan, sebab ketakutan mengandung hukuman, jadi orang yang ketakutan itu sudah berpikir dia akan dihukum, tapi kasih yang sempurna justru mengatakan: "Tidak, saya ampuni engkau, saya tidak akan menghukum engkau."
GS : Ya tentunya setiap kita menginginkan kehidupan tanpa ketakutan, tapi memang hal-hal itu terus terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita Pak Paul.

PG : Dan fokusnya bukan bagaimana mengenyahkan ketakutan, tapi bagaimana menambahkan kasih karena dalam kasih kata firman Tuhan tidak ada ketakutan. Nah, kasih seperti apakah yang harus kitatambahkan dalam pernikahan kita, kasih yang menerima, menerima yang tidak sempurna bukan hanya kita mau menerima yang sempurna, yang terbai, tidak.

Kita menerima yang tidak sempurna dan kasih yang mengampuni kesalahan, jangan terus menyimpan dendam, menyoroti kesalahan-kesalahan dan yang terakhir kasih yang melepaskan dan yang memerdekakan bukan kasih yang menguasai. Dengan adanya kasih yang seperti ini, ketakutan itu akan dihalau pergi.
GS : Dan kita hadir di dalam keluarga itu sebagai pembawa kasih, sumber kasih yang bisa dinikmati oleh pasangan kita dan orang-orang lain di sekeliling kita.

PG : Betul, dan dengan kita memberikan kasih, pasangan kita akan bertumbuh, bertunas menjadi orang yang sepenuhnya sebagaimana Tuhan kehendaki.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini.

Dan Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara "Ketakutan dan Cinta. Kami percaya tema ini akan sangat bermanfaat bagi Anda sekalian. Namun bagi Anda yang masih ingin tahu lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



23. Belajar untuk Mengasihi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T115A (File MP3 T115A)


Abstrak:

Mengasihi adalah hal yang sangat perlu untuk dipelajari, dan di dalam pernikahanlah kita dapat belajar, di mana kita dapat saling belajar dan mengajar. Tatkala aspek belajar mengajar ini berhenti, pernikahan itu sendiri pun berhenti bertumbuh dan pernikahan yang berhenti bertumbuh sebetulnya adalah pernikahan yang sudah mengalami stagnasi.


Ringkasan:

Pernikahan merupakan ajang belajar-mengajar di mana kitalah murid dan gurunya; tujuan belajar adalah menjadi serupa dengan Kristus dan berbuahkan buah roh; sedangkan kurikulumnya adalah penyesuaian hidup bersama pasangan.

Rintangan untuk belajar ialah kekakuan-tidak rela belajar dan menganggap diri benar. Belajar hanya dapat terjadi jika kita rela belajar-rendah hati.

Hal-hal yang telah saya pelajari dari pernikahan:

  1. Saya belajar mengasihi dengan benar. Ada perbedaan antara mempunyai kasih terhadap seseorang dan memperlakukannya dengan kasih. Kadang yang muncul bukannya perlakuan yang penuh kasih malah perlakuan yang kasar.

  2. Saya belajar mengasihi dengan bahasa kasih istri. Kita tidak mengungkapkan kaasih dengan cara yang sama, bergantung pada kepribadian dan latar belakang masing-masing. Kita belajar menyatakan kasih dengan bahasa yang dapat dimengerti pasangan kita. Adakalanya kita frustrasi karena merasa tidak dihargai; masalahnya mungkin adalah karena kita telah menyampaikan kasih dengan cara yang tidak diterima pasangan kita.

  3. Saya belajar mengasihi dengan membatasi kasih kepada yang lain. Kasih hanya terlihat dengan jelas dalam perbandingan yaitu bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Kasih yang sama rata tidak menunjukkan keistimewaan dan perlakuan seperti ini niscaya membuat pasangan kita merasa tidak berbeda dari orang lain.

"Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela." Efesus 5:26-27


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Belajar Untuk Mengasihi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kalau kita mendengar kata belajar, asosiasi kita atau pikiran kita itu langsung ke ruang-ruang kelas, tempat belajar seperti itu. Belajar untuk mengasihi ini tempatnya di mana Pak Paul?

PG : Tempatnya adalah di dalam pernikahan Pak Gunawan, jadi salah satu cara untuk melihat pernikahan adalah dengan cara melihatnya sebagai ruang kelas. Di mana kita ini saling belajar dan salin mengajar.

Dapat saya katakan bahwa tatkala aspek belajar mengajar ini berhenti, pernikahan itu sendiri pun berhenti bertumbuh dan pernikahan yang berhenti bertumbuh sebetulnya adalah pernikahan yang sudah mengalami stagnasi dan tinggal tunggu waktu akhirnya rentan dan rapuh.
GS : Nah apakah dengan perjalanan waktu itu kasih dengan tidak sendirinya bertumbuh di dalam diri pasangan suami-istri itu?

PG : Ternyata tidak demikian Pak Gunawan, ternyata kasih itu perlu untuk dipelajari. Nah acapkali kita memang terbius oleh konsep-konsep yang beredar di sekeliling kita. Apalagi kita yang serin menonton film atau sinetron kita mendapatkan suguhan bahwa kasih itu muncul dengan tiba-tiba dan akan berkembang terus tanpa akhirnya.

Nah kenyataan membuktikan tidaklah demikian, kita mesti belajar untuk mengasihi dan ruang kelas untuk kita mempraktekkan dan mempelajarinya adalah pernikahan itu sendiri.
GS : Pak Paul, kalau kita memang mau belajar sesuatu apapun itu, kita 'kan menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita terlibat dalam proses itu, dan ada semacam kurikulum atau ada semacam panduan supaya kita belajarnya secara sistematis dan sebagainya. Nah apakah ini juga di dalam hal belajar untuk mengasihi itu juga seperti itu Pak?

PG : Ya Pak Gunawan, jadi saya ini menggunakan konsep pengudusan untuk meneropong dan melihat tentang pernikahan itu. Saya jelaskan yang saya maksud, kita adalah orang yang Tuhan selamatkan, naun setelah Tuhan selamatkan kita dari hukuman dosa Tuhan membentuk kita.

Nah dalam istilah Theologisnya dikatakan kita ini dikuduskan Tuhan artinya kita diminta Tuhan, dibentuk Tuhan untuk menjadi lebih serupa dengan Kristus Tuhan kita. Nah Tuhan menggunakan berbagai cara untuk membentuk kita atau untuk menguduskan kita, salah satunya adalah melalui pernikahan. Jadi bagi orang Kristen pernikahan bukanlah semata sebagai tempat untuk membagi rasa, memikul beban bersama atau meneruskan keturunan, pernikahan juga adalah ajang yang Tuhan gunakan atau alat yang Tuhan gunakan untuk membentuk kita atau menguduskan kita. Nah itu sebabnya tujuan belajar di dalam pernikahan adalah menjadi seperti Tuhan kita Yesus Kristus. Artinya apa? Dalam bahasa yang lebih awam kita ini berbuahkan buah Roh sebagaimana tertulis di Galatia 5:22-23 yaitu berbuahkan kasih, berbuahkan kesabaran, penguasaan diri, kemurahan hati dan sebagainya. Jadi orang yang menikah seharusnya makin hari makin mengembangkan buah Roh tersebut, artinya makin menjadi serupa dengan Kristus. Jangan sampai semakin lama menikah yang muncul bukannya buah Roh, tapi buah kedagingan yaitu kemarahan, kebencian, iri hati dan sebagainya, itu kira-kira tujuannya. Sedangkan kurikulumnya atau isi materi pelajarannya adalah sebetulnya penyesuaian diri kita dengan pasangan kita, kita akan terus-menerus menyesuaikan diri dengan pasangan kita. Nah salah satunya yang paling penting adalah bagaimana belajar mengasihi pasangan kita.
GS : Pak Paul, saya percaya sekali ada banyak orang yang mau belajar, yang mau bertumbuh dalam pernikahannya. Tetapi di dalam proses belajar, seperti belajar apapun juga kadang-kadang kita itu droup-out, jadi tidak selesai dengan tujuan belajar itu, tidak sampai ke sana. Nah di dalam belajar mengasihi ini, apa sajakah hambatan-hambatan yang akan muncul, Pak Paul?

PG : Hambatan yang paling besar itu adalah diri kita sendiri yang merasa kita tidak perlu lagi belajar alias kekakuan kita. Lawan dari kekakuan adalah fleksibel, saya melihat satu karakteristikyang seharusnya dimiliki oleh semua orang yang hendak menikah adalah karakter fleksibel.

Sikap fleksibel artinya bukannya tidak mempunyai pendirian tapi bisa menyesuaikan diri. Artinya orang yang fleksibel itu orang yang memilih hal-hal yang tertentu dan hakiki sebagai pendiriannya dan menjadikan hal-hal yang lain hal-hal yang sekunder. Kebalikannya dengan orang yang fleksibel adalah orang yang kaku, orang yang kaku menjadikan semua hal pendiriannya bahkan hal-hal yang sangat sepele. Sehingga dia itu tidak mudah untuk berubah, untuk menyesuaikan diri, untuk mengalah karena bagi dia ini adalah masalah prinsip, tidak ada satu hal pun yang bukan masalah prinsip nah inilah orang yang kaku. Nah orang yang seperti ini sangat sulit sekali belajar karena tidak ada kerelaan atau kesediaan untuk belajar.
GS : Nah Pak Paul, terus-terang saja saya dan juga para pendengar ini pasti ingin tahu sebenarnya apakah Pak Paul juga terlibat di dalam proses belajar untuk mengasihi ini, pengalaman apakah yang Bapak alami?

PG : Saya terlibat dan masih sampai sekarang dalam proses belajar, inilah yang ingin saya bagikan kepada para pendengar sekalian. Saya ingin agar kita semua menjadikan mengasihi sebagai sasaranbelajar kita terutama para suami sebab memang firman Tuhan meminta suami untuk mengasihi istrinya.

Jadi biarlah saya membagikannya dari kacamata seorang suami. Ada 3 hal yang saya belajar selama saya menikah, yang pertama adalah saya belajar untuk mengasihi dengan benar. Nah begitu kita mendengar kata benar kita langsung akan berpikir pasti ada yang salah. Mengasihi dengan salah apakah itu? Begini, saya menemukan bahwa ada perbedaan antara memiliki kasih dan memperlakukan istri saya dengan penuh kasih. Saya bisa bermegah dan berkata bahwa saya mempunyai kasih, saya mengasihi istri saya tapi ternyata perasaan saya yang mempunyai kasih terhadap istri tidak serta merta berubah menjadi perlakuan yang penuh kasih terhadapnya. Nah yang penting dalam pernikahan bukanlah kita ini mengklaim diri mempunyai kasih terhadap istri kita, yang penting adalah kita memperlakukan istri kita dengan penuh kasih. Sekali lagi saya ingin tegaskan bahwa ternyata ada perbedaan antara keduanya dan saya berharap kita tidak puas diri tatkala kita memeriksa hati dan berkata o...ya....ya saya mempunyai kasih terhadap istri saya. Waktu saya pergi jauh meninggalkan dia saya teringat akan dia, waktu saya sedang di kantor saya memikirkan dia, waktu saya sedang melamun saya mengingat-ingat tentang masa indah kita berdua, nah itu semua adalah hal-hal yang bersifat perasaan internal tapi itu tidak cukup. Yang penting adalah dalam kenyataannya, dalam hidup sehari-hari bagaimanakah kita memperlakukan istri kita. Nah saya belajar bahwa saya harus mengasihi dia dengan benar, dan yang benar adalah memperlakukan dia dengan penuh kasih.
(2) GS : Nah untuk bisa memperlakukan istri kita dengan penuh kasih itu Pak Paul, bukankah itu membutuhkan suatu keterampilan atau latihan-latihan tertentu, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Salah satu yang penting adalah kesanggupan untuk menguasai lidah kita. Sebagai pria ada kecenderungan kita berlaku kasar kepada istri kita. Kita adalah makhluk yang mudah kasar dibandingka wanita, itu sebabnya kita mesti menjaga mulut kita.

Kita mungkin bisa berkata-kata kasar kepada sesama pria dan dianggap sebagai hal yang wajar tapi tidak bisa kita menerapkan hal yang sama dengan istri kita. Jadi salah satu hal yang harus kita lakukan ialah menjaga lidah kita, adakalanya lidah kita itu begitu tajam merobek-robek istri kita, nah hal yang sering kali muncul adalah kita ini menganggap perbedaan dengan istri kita sebagai keunggulan kita dan kelemahan dia. Kenapa dia sebagai wanita tidak bisa berpikir seperti kita, mengapakah dia sebagai wanita tidak bisa menguasai emosinya seperti kita, mengapakah dia sebagai wanita tidak berani untuk menghadapi fakta itu seperti kita, nah kecenderungan kita melihat semua itu dengan meremehkan istri kita dan menganggapnya sebagai orang yang lemah dan kita tidak lagi respek atau menghargainya. Makanya yang ke luar sebagai cetusan isi hati kita adalah omelan yang merendahkan dia, nah sebagai pria kita mesti menjaga bibir kita ini agar jangan sampai merendahkan apalagi merobek-robek harga diri istri kita.
GS : Ada suami itu yang sering mengatakan kepada istrinya saya ini mengasihi kamu, saya ini mencintai kamu sungguh-sungguh tetapi istri itu tidak bisa memahami atau merasakan atau meyakini kata-kata suaminya itu, kenapa Pak Paul?

PG : Untuk menegaskan contoh Pak Gunawan, ada kasus di mana suami itu kalau marah memukuli istrinya. Tapi waktu dia tidak marah dia akan berkata dia sangat mencintai istrinya, nah saya yakin disini ada suatu gab, ada suatu jurang antara pengakuan di mulut dan perlakuan.

Yang istri akan lihat sudah tentu adalah perlakuan. Pertanyaannya kenapa sampai seperti itu, saya kira salah satu hal yang langsung sudah hilang pada suami yang berlaku kasar kepada istrinya adalah respek, dia tidak lagi respek kepada istrinya. Atau ada pria yang terbiasa semua harus tunduk kepadanya, tidak boleh sesuatu itu berjalan di luar kehendaknya atau ada pria yang terlalu terbiasa untuk diagungkan sehingga sewaktu istrinya tidak terlalu mendengarkan pandangannya atau menghormati dia seperti yang dia minta, dia akan marah dan langsung mencaci-maki atau memukul istrinya. Nah saya kira itu semua adalah penyebab yang membuat pria akhirnya hanya bisa mengaku melalui mulut dia mengasihi istri tapi tidak bisa memperlakukan istrinya dengan penuh kasih.
GS : Jadi selain Pak Paul belajar mengasihi dengan benar, hal lain apa yang Pak Paul pelajari?

PG : Yang kedua adalah saya belajar untuk mengasihi istri saya dengan bahasa kasih istri saya sendiri. Saya kira, saya dan semua orang mempunyai cara sendiri-sendiri untuk mengungkapkan kasih. an kita kadang kala akan merasa frustrasi karena kita sudah berusaha menunjukkan kasih kepada istri kita, tapi istri kita tidak menanggapi atau tidak merasa dikasihi oleh kita.

Nah saya kira duduk masalahnya adalah kita mengungkapkan kasih dengan cara kita, dengan bahasa kita, bukan dengan bahasa kasih istri kita. Jadi penting sekali kita sebagai suami sebagaimana yang Tuhan perintahkan, kita mesti mengasihi istri kita tapi kasihilah dia dengan bahasa cintanya yang dapat dipahaminya. Misalkan jawaban yang klasik yang sering saya dengar kalau saya bertanya: Apakah Bapak mengasihi istri Bapak? Ya tentu saya mengasihi istri saya. Nah saya akan bertanya: Apa bukti konkret Bapak mengasihi istri Bapak? Jawabannya sangat sederhana dan klasik adalah ya saya bekerja untuk siapa. Nah pertanyaannya adalah apakah orang yang bekerja itu sudah pasti mengasihi, apakah pembantu rumah tangga yang bekerja untuk tuannya sudah pasti mengasihi tuannya, apakah pasti orang yang bekerja untuk perusahaannya mengasihi pemilik perusahaan itu. Nah saya kira jawabannya sudah tentu adalah belum tentu, demikian jugalah kita yang berkata kita bekerja sebagai tanda cinta kasih kita kepada keluarga, belum tentu itu dilihat sebagai kasih. Nah jadi kita mesti belajar dari istri kita bahasa kasihnya dan mencoba untuk menunjukkan bahasa kasih itu kepada dia sehingga dia dapat mengerti bahwa kita sungguh-sungguh mengasihinya.
GS : Nah di dalam proses belajar itu Pak Paul, karena kita harus belajar dari orang lain, dari istri kita dalam hal ini. Apakah patut kita itu menanyakan: Sebenarnya dengan tindakan apakah saya ini harus lakukan supaya kamu itu percaya bahwa saya ini mengasihi kamu?

PG : Saya kira istri bisa berperan lebih aktif di sini Pak Gunawan, saya berikan contoh, seminggu sekali istri saya dan saya keluar untuk berkencan, kami biasanya pergi makan siang bersama. Nahistri sayalah yang mengajak saya untuk atau meminta saya untuk memikirkan tempat ke mana kami akan pergi makan siang bersama.

Saya kira yang menjadi kebanggaannya adalah atau kesenangannya adalah melihat saya memikirkan nanti makan di mana, nanti berkencan di mana. Nah buat dia melihat saya memikirkan, pergi ke tempat tertentu dan sebagainya itu adalah ungkapan kasih saya kepada dia. Yang lainnya ada sebagian istri yang sangat senang sekali jikalau menerima sentuhan di pundak, pelukan, di tangan dsb hal-hal kecil seperti itu merupakan bahasa cintanya. Ada juga memang para istri yang senang untuk menerima bunga, menerima kartu dan sebagainya. Atau kalau suaminya pergi pulang terlambat tolong menelepon memberitahukan, tidak bisa makan malam menelepon memberitahukan, atau pergi ke mana mengajak istrinya. Ada begitu banyak bahasa kasih yang memang kita mesti pelajari dan setiap orang tidak sama.
GS : Ya memang sulitnya di situ, biasanya kadang-kadang justru yang diminta itu sesuatu yang sulit kita lakukan Pak Paul, kadang-kadang permintaannya misalnya saja mencoba membuat surpriselah pada hari ulang tahun saya misalnya begitu. Nah kita sebagai suami berpikirnya sulit sekali untuk membuat surprise, surprise apa begitu Pak Paul. Kita lalu melakukan sesuatu menurut fersi kita.

PG : Betul, adakalanya kesulitan itu mematahkan semangat kita sehingga kita akhirnya sudah tidak usah. Saya kira ada hal yang kita akan katakan tidak bisa kita lakukan, susah sekali tapi ya say juga berharap kita tidak menyerah dengan begitu mudah.

Jadi berusahalah semaksimal mungkin melakukan yang memang itu diminta oleh istri kita.
GS : Nah tadi Pak Paul katakan ada tiga hal, Pak Paul baru sebutkan dua, yang ketiga apa Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah saya belajar mengasihi istri saya dengan membatasi kasih kepada yang lain. Ini sering saya tekankan Pak Gunawan, kasih hanya terlihat jelas dalam perbandingan, dengan ata lain kasih saya kepada istri saya hanya muncul dengan sangat jelas dalam perbandingan dengan bagaimanakah saya memperlakukan orang lain.

Saya kira ini salah satu masalah yang sering terjadi dalam keluarga, suami berkata kepada istrinya saya mengasihi kamu, tapi si istri melihat si suami memperlakukan dia sangat berbeda dengan si suami memperlakukan mamanya ibunya sendiri. Atau si suami memperlakukan istri berbeda dengan bagaimana si suami memperlakukan adik perempuannya misalnya atau lebih bahaya lagi si suami memperlakukan istri lebih buruk dari pada dia memperlakukan teman-teman kantornya. Nah orang hanya akan merasa dikasihi kalau dia melihat dia diperlakukan spesial melebihi orang-orang lain. Inilah pelajaran yang saya timba dari pernikahan saya sendiri, dulu saya beranggapan saya hanya perlu memperlakukan istri saya sama tidak lebih rendah dari saya memperlakukan orang lain, itu keliru. Istri harus menempati tempat yang paling utama dalam hidup kita, maka kita perlu memperlakukan dia lebih istimewa daripada orang lain.
GS : Ya, tetapi bukankah itu sesuatu yang relatif Pak Paul, misalnya kita sudah memperlakukan dia lebih, tetapi lebihnya memang juga tidak banyak-banyak tapi kita tahu bahwa itu sebenarnya lebih dengan kita memperhatikan orang tua, adik dan sebagainya. Tetapi dia sendiri belum tentu merasa bahwa dia diperlakukan lebih?

PG : Saya kira kita kembali lagi sekarang pada point yang kedua tadi yakni mengasihi istri dengan bahasa cintanya. Kalau kita melakukan yang memang dia harapkan yaitu mengasihi dia dengan bahas cintanya, saya kira dia akan merasakan bahwa dia itu istimewa, sehingga waktu kita memperlakukan mama kita dengan baik dia tidak terlalu berkeberatan.

Saya melihat hampir semua kasus yang saya temui dalam soal ini bersumber bukan dari kecemburuan istri yang berlebihan atau yang melewati batas, tapi waktu istri itu cemburu sering kali itu disebabkan oleh karena dia tidak merasakan dia diperlakukan khusus oleh pasangannya. Bahwa suaminya lebih mengutamakan yang lain, nah kalau memang dia atau si suami sudah memperlakukan istri dengan khusus seperti yang diminta oleh bahasa kasihnya tapi si istri terus begitu ya mungkin sekali memang ada masalah pada si istri. Yang bersumber dari dirinya sendiri, dia merasa tidak aman, dia selalu menuntut suaminya untuk membuat dia merasa aman, dia tidak bisa melihat orang sama sekali dalam hidup meski dialah yang terutama, nah kalau itu memang masalah kepribadian yang lebih parah jadi memang kita perlu menghadapi masalah seperti itu dengan lebih khusus.
GS : Mungkin tuntutannya justru dirasa aman itu Pak Paul?

PG : Betul, dan ada orang yang memang seolah-olah tidak pernah puas-puas merasa aman dan dia menuntut suaminya terus-menerus membuat dia merasa aman. Nah kalau sampai seperti itu saya kira dudu masalahnya terletak pada si istri itu sendiri.

GS : Pak Paul, di dalam hal belajar untuk mengasihi ini apakah ada firman Tuhan yang tepat untuk disampaikan kepada kita semua?

PG : Saya akan bacakan Efesus 5:25-27, "Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, seudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela."

Tuhan memberikan perintah yang spesifik kepada suami untuk mengasihi istri. Jadi tugas suami yang akan terus-menerus dikerjakan sampai akhir hayatnya adalah mengasihi istrinya, seperti apakah? Tuhan memberikan contoh dan syarat di sini dengan sangat jelas mengasihi dia, membuat dia itu cemerlang, tanpa cacat, tanpa kerut seolah-olah dengan kasih kita itu kita membuat istri kita bercahaya atau bersinar. Begitu berbahagianya dia sehingga seolah-olah dia menjadi orang yang paling mulia.
GS : Kalau di sini digambarkan suami itu mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat, bukankah itu betul-betul suatu pengorbanan, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi suami akan harus berkorban dan pengorbanan yang terbesar adalah menanggalkan egonya, maka firman Tuhan berkata Tuhan mengasihi kita, Dia mengorbankan diri-Nya. Dia tidakmenganggap kesetaraan dengan Tuhan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan tapi Dia mengosongkan diri-Nya menjadi manusia.

Jadi itu contoh yang Tuhan berikan, jadi dengan cara apakah suami mengasihi istri dengan cara melepaskan egonya.
GS : Dan proses belajar ini akan terus berlangsung sampai kita meninggal dunia Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan saya percaya ini sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Para pendengar yang kami hormati dan kami kasihi terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar Untuk Mengasihi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



24. Belajar Tunduk


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T115B (File MP3 T115B)


Abstrak:

Dewasa ini emansipasi wanita sudah berjalan dan hak untuk wanita maupun pria cenderung disetarakan. Perintah untuk tunduk kepada suami menjadi perintah yang tampaknya atau kedengarannya tidak terlalu relevan. Tapi melalui topik ini kita akan belajar dan menggali konsep tunduk dengan lebih dalam.


Ringkasan:

"Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Efesus 5:22-23

Adakalanya tunduk dikaitkan dengan "lemah, tidak bisa apa-apa, tidak berdaya, dikuasai atau di bawah" suami. Itu sebabnya kata tunduk kurang mendapat tempat dalam hati banyak wanita modern dewasa ini.

Hal-hal yang istri saya pelajari untuk tunduk:

  1. Arahkan mata kepada Tuhan: tunduk kepada Tuhan yang memerintahkan istri untuk tunduk kepada suami. Dengan kata lain, tunduk kepada suami merupakan hasil kepatuhan kepada Firman Tuhan.

  2. Tunduk kepada suami membuahkan hasil yakni bertambah harmonis dan buah inilah yang makin memacu istri untuk tunduk kepada suami.

  3. Tunduk tidak berarti tidak berpendirian atau dikuasai; tunduk lebih sering berarti bijaksana dalam penyampaian.

Kebanyakan suami menginginkan istri yang dapat membantunya, bukan yang sama sekali diam. Jalan terbaik bagi istri adalah mengarahkan dan bukan mengkonfrontasi suami.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Belajar Untuk Tunduk". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

(1) PG : Ada satu perintah yang Tuhan berikan dan perintah ini adalah perintah yang kurang populer pada zaman ini. Secara spesifik perintah ini diberikan kepada para istri yaitu Hai istri, tundklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.

Ini saya ambil dari Efesus 5:22,23. Pak Gunawan, pada zaman kita ini di mana emansipasi sudah berjalan dan hak untuk wanita maupun pria cenderung disetarakan. Perintah untuk tunduk kepada seseorang apalagi kepada suami menjadi perintah yang tampaknya atau kedengarannya tidak terlalu relevan. Nah untuk itulah pada kesempatan ini kita akan mencoba untuk menggali konsep tunduk ini dengan lebih dalam.
GS : Ya pada umumnya kalau kita mendengar kata tunduk, itu kata yang mempunyai arti menurut saja Pak Paul. Kata yang tadi Pak Paul sudah katakan lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa menyerah saja, apakah itu pengertian tunduk secara umum Pak Paul. Tetapi apakah ada pengertian yang khas di dalam perintah ini?

PG : Di dalam firman Tuhan sebelum perintah ini diberikan di ayat 22, di ayat 21-nya Tuhan memberikan perintah secara umum kepada semua orang dan kata yang digunakan juga persis sama yaitu tundklah satu kepada yang lain.

Jadi memang Tuhan itu bukannya dengan sengaja mendeskriminasi wanita bahwa wanita itu haruslah tunduk dan pria itu adalah orang yang tidak perlu tunduk kepada siapapun. Sebab di ayat sebelumnya Tuhan sudah memberikan perintah ini kepada semua, kepada semua umat-Nya, anak-anak-Nya agar saling tunduk, saling menghormati satu sama yang lain. Namun dalam organisasi keluarga memang harus ada yang tunduk sebab di dalam semua organisasi perlu ada yang namanya kepemimpinan, kalau tidak adanya kepemimpinan yang akan terjadi adalah kekacauan. Nah kepemimpinan itu tidak bisa tidak hanya akan berdiri di atas kepatuhan orang yang dipimpin, kalau tidak ada kepatuhan orang yang dipimpin dapat dikatakan tidak ada lagi pemimpin atau kepemimpinan. Jadi keluarga sebagai unit organisasi yang kecil juga menuntut adanya kepemimpinan agar bisa berjalan dengan tertata dan rapi, kalau tidak akan terjadilah kekacauan. Dalam disain Tuhan, Tuhan menempatkan si suami sebagai pemimpinnya dan si istri sebagai anggota yang mematuhi kepemimpinan si suami itu. Tetapi sekali lagi saya ingin menggarisbawahi apa yang telah saya katakan, bukan berarti suami itu adalah orang yang dibebaskan dari kepatuhan,. Tuhan sudah tegaskan tunduklah satu kepada yang lain, jadi memang suami juga harus memiliki kepatuhan itu. Yang kedua adalah kepatuhan itu juga merupakan kepatuhan bersyarat Pak Gunawan, sebab dikaitkan juga dengan firman Tuhan dalam bagian yang sama yaitu Hai suami, kasihilah istrimu dan bahkan Tuhan menegaskan kasihilah seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya. Jadi sekali lagi kepatuhan ini kepatuhan yang juga menuntut syarat, syarat bahwa si istri juga dikasihi begitu besarnya oleh si suami.
GS : Tapi di ayat tadi yang Pak Paul bacakan agar istri tunduk kepada suaminya seperti kepada Tuhan itu Pak.

PG : Betul, jadi memang perumpamaan yang digunakan adalah Tuhan dan jemaat-Nya, Tuhan mengasihi jemaat, suami yang seperti itulah mengasihi istrinya. Jemaat patuh kepada Tuhan, seperti itulah itri patuh kepada suaminya jadi perumpamaan Tuhan dan jemaat-Nya yang digunakan untuk menggambarkan relasi suami dan istri.

Saya mau ulas sedikit di sini, kalau orang bertanya kepada saya berapa patuhnya saya seharusnya kepada suami saya? Jawaban saya adalah berapa besarnya kasih suamimu kepada dirimu. Jadi kepatuhan itu diukur sejajar dengan besarnya kasih, dengan kata lain semakin besar kasih suami kepada istri semakin besar kepatuhan. Jadi dapat kita simpulkan pula, istri yang mendapatkan sedikit kasih dari suaminya kecenderungannya adalah akan juga memberikan sedikit kepatuhan kepada suaminya. Maka perintah Tuhan itu tidak bisa dipatahkan sendiri nah kadang-kadang ini yang terjadi dalam masalah keluarga, suami menuntut kepatuhan buta dari si istri tapi dia gagal untuk melihat bahwa dia tidak mengasihi istrinya, seperti yang telah kita bahas pada kesempatan yang lalu.
GS : Nah apakah dalam hal ini kalau si suami itu tidak sungguh-sungguh mengasihi istrinya atau istrinya tidak bisa merasakan bahwa suaminya mengasihi dia, menjadi suatu alasan bagi dia untuk tidak tunduk kepada suaminya?

PG : Alasan yang mungkin sekali Pak Gunawan, muncul secara alamiah dengan kata lain bukannya si istri sengaja untuk mencari alasan itu tapi bukankah kita sendiri pun susah untuk patuh kepada orng yang kita tahu tidak lagi berniat baik kepada kita, tidak mempunyai kasih kepada kita.

Nah kalaupun kita patuh dalam kasus seperti itu, kepatuhan kita itu lebih merupakan keterpaksaan, keharusan karena mungkin kita mengharapkan sesuatu darinya atau kita takut konsekuensinya kalau kita tidak patuh kepada dia. Nah makanya digunakan pengibaratan Tuhan dan Jemaat-Nya. Jemaat patuh kepada Tuhan sebab jemaat mengetahui Tuhan mengasihi jemaat, kita tahu Tuhan mengasihi kita itu sebabnya kita ingin mematuhi Dia. Nah sebaiknya itu yang terjadi dalam keluarga, istri patuh kepada suami karena dia tahu suami mengasihi dia.
GS : Nah Pak Paul, supaya apa yang kita perbincangkan ini menjadi jelas, kalau Pak Paul tidak keberatan apakah yang Pak Paul perhatikan terhadap istri Pak Paul dalam hal belajar tunduk ini?

PG : Saya bertanya kepada istri saya sebab saya ini ingin mendapatkan responsnya, apa yang dia pelajari dari kepatuhan kepada saya. Dan dia memberikan saya beberapa jawabannya, yang pertama adaah dia patuh kepada saya sebab dia selalu mengingat ini adalah perintah Tuhan, dengan kata lain istri saya atau sebaiknya para istri memandang Tuhan sebagai pemberi perintah ini.

Bahwa ini bukanlah sesuatu yang diminta oleh manusia, oleh sesamanya, oleh guru, oleh suaminya atau oleh keluarganya, ini sesuatu yang diminta Tuhan. Dengan kata lain kita ini tunduk kepada Tuhan yang memerintahkan kita untuk tunduk kepada suami. Tunduk kepada suami merupakan hasil kepatuhan kita kepada firman Tuhan, saya mau tegaskan ini sebab saya kira sebagaimana kita ini pria juga ya kita tidak selalu secara alamiah dan mudah menundukkan diri pada orang lain. Nah kita juga perlu memaklumi bahwa istri kita juga tidak secara alamiah dan mudah tunduk kepada kita apalagi tadi kita telah awali dengan perbincangan bahwa di zaman yang modern ini kita cenderung berpikir yang namanya patuh itu bodo, tidak mempunyai pendirian, lemah, penurut saja seperti kerbau ditusuk hidung dan sebagainya. Nah jadi saya mengerti pada zaman ini tantangan wanita untuk patuh kepada suaminya lebih besar dibandingkan dengan generasi orang tua kita atau kakek-nenek kita. Jadi saya kira perempuan memang harus berjuang lebih keras nah perjuangan ini hendaklah dilakukan dengan cara menatap Tuhan sebab Dialah yang memberi kita perintah, kita patuh kepada suami sebab itu permintaan Dia. Dapat kita begini, kepatuhan kita kepada suami merupakan bukti kepatuhan kita pada Tuhan sendiri sebab ini firman Dia, ini permintaan Dia, jadi sekali lagi waktu dia patuh kepada suaminya yang dia langsung harus pikirkan adalah saya ini mematuhi Tuhan. Mungkin saya melihat kekurangan pada suami saya, mungkin saya melihat ketidakcocokan, ketidaksetujuan saya tapi saya mempunyai kesediaan untuk patuh sebab inilah yang Tuhan minta.
GS : Ya memang di situ Pak Paul kadang-kadang istri kalau kepada Tuhan saya bisa patuh sebab Tuhan tidak pernah keliru, tetapi kalau terhadap suami, suami ini sering kali keliru baik kata-katanya maupun tindakanny, begitu Pak Paul?

PG : Nah nanti kita akan membahas pada point yang berikutnya bagaimana mengatasi ketidakcocokan pandangan yang mungkin sekali disebabkan oleh kekeliruan si suami. Yang saya mau tekankan adalah ada dasarnya kita sudah harus memiliki sikap kesediaan untuk tunduk kepada suami, itu sudah harus ada karena ini yang Tuhan perintahkan.

Sebab kalau pada dasarnya para wanita memasuki pernikahan dengan prinsip saya mau melihat dulu bagaimana kamu kepada saya, apakah kamu bisa memimpin saya, apakah kamu layak menerima kepatuhan atau hormat saya, baru saya patuh. Nah saya kira mereka telah memasuki pernikahan dengan titik berangkat yang keliru. Titik berangkat yang Tuhan inginkan adalah saya ingin patuh karena itu yang Tuhan minta.
GS : Katakan dasarnya sudah betul, jadi kita atau istri ini memandang bahwa kepatuhannya itu adalah kepatuhan kepada Tuhan, apakah itu akan ada hasilnya, Pak Paul?

PG : Nah saya bertanya kepada istri saya, apa yang membuat kamu bisa patuh terus kepada saya. Nah sekali lagi saya mau tegaskan di sini bahwa istri saya bukanlah seperti kerbau yang ditusuk hidng semua ikut o....tidak,

kadang kala kami juga bertengkar karena tidak adanya kesesuian pendapat dan sebagainya. Jadi sekali lagi saya bukanlah sebagai pemimpin yang seperti ditaktor. Istri saya berkata dia tetap mematuhi saya sebab dia melihat hasilnya. Ini point kedua, melihat hasil bahwa kepatuhan dia itu membawa sesuatu yang baik ke dalam hubungan kami berdua. Kami menjadi lebih mesra, saya lebih sayang kepada dia, dengan kata lain buah atau hasilnya sangat-sangat positif terhadap pernikahan ini yang makin memacu dia untuk patuh.
GS : Ya, jadi itu memang suatu hasil yang konkret yang bisa dia rasakan, dia bisa menikmati sehingga dia makin patuh kepada Pak Paul itu?

PG : Betul, sebab kalau belum apa-apa seseorang sudah mempunyai pikiran wah.....kamu salah saya harus benarkan, tidak akan ada hubungan kepatuhan lagi sedangkan yang Tuhan minta dari sebuah perikahan adalah dua jenis relasi, relasi kasih dan relasi kepatuhan.

Suami kepada istri mengasihi, istri kepada suami mematuhi, jadi harus ada dua unsur atau dua karakteristik atau dua corak dalam setiap relasi nikah yaitu relasi kasih dan relasi patuh. Jadi sekali lagi di sini dibutuhkan kerendahan hati dari pihak istri untuk lebih sedia patuh, tunduk kepada suaminya dan tidak memasuki pernikahan dengan sikap saya sejajar dengan kamu dalam hal pendapat dan sebagainya, maka saya tidak akan sejengkal pun mengalah kalau saya tidak mau mengalah kepadamu. Nah sikap seperti itu niscaya akan memecahbelahkan keluarga sebab dalam semua organisasi kepemimpinan memang harus ada dan yang dipimpin harus menyediakan dirinya itu dipimpin oleh yang memimpin, tanpa itu tidak ada lagi organisasi yang utuh.
GS : Ada seorang istri yang memang betul tunduk kepada suaminya, nah setelah dia menuruti kata-kata suaminya ternyata hasilnya merugikan keluarga itu sehingga si istri ini berkata saya sudah menurut kepada kamu ternyata seperti ini, menjadi berantakan, jadi menimbulkan kerugian bagi keluarga itu nah itu bagaimana Pak paul?

PG : Nah ini membawa kita ke point yang ketiga Pak Gunawan, tunduk tidak berarti tidak berpendirian atau dikuasai, tunduk lebih sering berarti bijaksana dalam penyampaian. Saya mau tegaskan inisebab memang adakalanya kita menemukan istri yang lebih bijaksana dari pada suaminya atau dalam kasus yang lebih umum kadang kala dalam hal tertentu suaminya lebih bijaksana yang lain istrinya lebih bijaksana.

Atau dalam hal tertentu suami lebih berpengetahuan dalam hal lainnya istri lebih berpengetahuan. Dengan kata lain seharusnyalah seorang suami itu menerima masukan dari istrinya dan sebetulnya kebanyakan pria senang menerima masukan dari istrinya tapi suami tidak senang diperintah oleh istrinya. Sebab memang fungsinyalah di dalam keluarga sebagai pemimpin, dia bukannya superior maka dia dijadikan pemimpin o....tidak. Tuhan mengatakan pria dan perempuan itu sama di mata Tuhan tidak lebih tinggi, tidak lebih rendah. Jadi tugas memimpin bukan didasari atas kesuperioritas pria terhadap wanita, sama tinggi, sama rendah tapi itulah fungsi yang Tuhan sudah berikan. Nah oleh sebab itu dalam pengambilan keputusan seharusnya dia terbuka dan memohon masukan dari istrinya. Yang penting di sini adalah penyampaian si istri, bijaksana, hati-hati, sensitif, tidak menggurui, merintangi atau memerintah si suami. Yang sering kali membuat suami bereaksi adalah bukan isi penyampaian itu tapi cara penyampaiannya yang lebih bernada seolah-olah menggurui, mematahkan semangat atau mengatakan bahwa "Engkau itu tidak bisa berpikir dengan benar, masa' begini saja bisa salah" dan sebagainya. Nah hal-hal itu akhirnya membuat suami pada lain kesempatan tidak meminta pendapat si istri, dia langsung putuskan sendiri. Jadi saya mau tekankan mungkinkah suami keliru? Mungkin. Mungkin atau tidak suami itu membuat keputusan yang tidak bijaksana? Mungkin. Itu sebabnya Tuhan melengkapi si suami dengan si istri maka Tuhan berkata: "Aku menciptakan seorang penolong bagimu," kepada si suami ini. Penolong yang berarti bisa memberikan masukan agar kekurangan si suami itu bisa dilengkapi oleh si istri, namun yang penting adalah si istri harus bijaksana dalam penyampaian pendapatnya ini.
GS : Ya si istri itu sudah berusaha menyampaikan pendapatnya Pak Paul, tetapi karena biasanya kalah kalau diajak argumentasi dan lain sebagainya akhirnya dia menyerah ya sudahlah saya mengikuti kamu, tetapi dia sebenarnya sudah tahu bahwa hasilnya akan negatif Pak Paul?

PG : Dalam kasus tertentu kalau masih bisa ditunda, tundalah. Jadi si istri bisa berkata kepada si suami: "Boleh atau tidak tunda dulu," jadi itu salah satu kebijaksanaan yang diambiloleh si istri.

Kebijaksanaan yang kedua adalah misalnya si istri berkata: "Bersedia tidak, kalau kita berbicara dengan orang lain, minta pendapat orang lain yang mungkin lebih tahu dari pada kita, 'kan tidak ada salahnya." Jadi itu adalah cara bijaksana kedua untuk menunda dan sekaligus mendapatkan masukan dari pihak yang lebih mengerti tentang keputusan kita itu. Misalkan setelah melakukan dua hal itu si suami tetap bersikeras melakukan kehendaknya. Nah saya berprinsip begini, selama itu tidak berkaitan dengan dosa, misalkan si suami itu mau mengambil keputusan bisnislah dan sebagainya harus menanamkan uang atau apa, nah selama memang tidak berkaitan dengan dosa, sementara si suami tidak bisa lagi diberitahukan ya biarkan. Biarkan sampai memang dia harus menemukan sendiri jawaban yang benar itu, mungkin melalui kegagalannya.
GS : Ada istri itu yang nampaknya memang dari luar itu tunduk terhadap suaminya, tapi diam-diam dia selalu mempengaruhi suaminya, memberikan arahan dan sebagainya sehingga akhirnya kelihatan bahwa sebenarnya yang dominan di situ adalah istri bukan suami.

PG : Saya kira selama istri itu berperan secara sehat, memberikan arahan secara bijaksana dan diam-diam, itu baik. Jadi sekali lagi ketergantungan suami dan istri ini seharusnyalah menjadi ketegantungan yang berimbang.

Suami sebagai pemimpin bergantung kepada istri yang berfungsi sebagai penolong, si istri sebagai penolong bergantung kepada suami yang berfungsi sebagai pemimpin. Jadi seyogyanyalah suami dan istri dalam pengambilan keputusan saling mengisi dan istri yang bisa memberikan masukan dan arahan kepada si suami dengan cara yang halus dan tidak merendahkannya akan mempunyai banyak pengaruh dan bisa memberikan masukan yang berharga kepada si suami.
GS : Ya, juga kadang-kadang istri tidak tahan dengan cemoohan dari teman-temannya Pak Paul, atau mungkin dari saudara-saudaranya atau kerabat dekatnya. Katakan kenapa kamu mau saja tunduk-tunduk kepada suamimu, sekarang tidak zamannya lagi, seperti itu Pak Paul?

PG : Saya kira kita mesti melihat tunduk dalam arti apa, misalkan tunduk dalam arti melayani suami, saya kira tidak ada salahnya dan kalau memang ini disepakati juga oleh si istri. Misalkan pag dia bangun menyiapkan makan pagi, malam dia menyiapkan juga makan malam atau siang dan sebagainya.

Melayani seperti itu hal yang indah tapi juga seharusnya dilakukan oleh suami kepada istri, bukan hanya istri kepada suami. Dalam hal-hal yang lain suamilah yang melayani si istri, misalnya mengantar istri ke pasar atau membeli barang, mengantarkan anak-anak untuk pergi ke mana misalnya. Nah dengan caranya si suami sendiri dia pun melayani si istri. Jadi seyogyanyalah dalam keluarga kita melihat sikap saling melayani seperti ini bukan hanya istri yang menjadi pembantu rumah tangga kedua dalam rumah itu.
GS : Tapi kalau memang dia prinsipnya sudah benar bahwa yang tadi Pak Paul katakan itu dia tunduk ini seperti tunduk kepada Tuhan, artinya dasarnya adalah firman Tuhan, saya rasa orang berbicara apapun dia akan tetap melakukan Pak Paul?

PG : Betul, dan dia melihat hasilnya kalau suaminya hidup akan Tuhan dan mengasihi dia dan dia tunduk kepada suaminya, mereka berdualah yang akan melihat buah dari ketaatan mereka kepada firmanTuhan.

Bahwa hubungan mereka makin kuat dan berkat Tuhan makin melimpah atas mereka dan mereka tahu bahwa di jalan Tuhan yang benar, di situlah mereka akan mendapatkan kedamaian dan juga tahu bahwa di situlah Tuhan akan memberkati dan memimpin mereka
GS : Jadi dalam hal ini bukan soal ada yang menang atau yang kalah tetapi semuanya merasakan kebahagiaan itu Pak Paul?

PG : Betul sekali, dalam rumah tangga yang sehat, yang enak tidak ada lagi yang merasa bahwa dia itu diperintah dan tidak ada lagi yang merasa bahwa dia memerintah. Karena semua akan berjalan scara sangat alamiah tidak adanya keterpaksaan.

Jadi waktu si suami itu dilihat sebagai pemimpin, dia sendiri tidak merasakan dirinya itu sudah memimpin-mimpin, dia tidak harus mengeluarkan energi otoritasnya untuk menguasai si istri dan sebaliknya juga dengan si istri kepada si suami.

GS : Jadi saya percaya sekali Pak Paul ada banyak para pendengar kita dan tentunya kita semua ingin belajar untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia sesuai dengan ketentuan yang Tuhan sudah berikan. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian yang kami kasihi, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar Untuk Tunduk". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



25. Tatkala Cinta Layu


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T116B (File MP3 T116B)


Abstrak:

Cinta memerlukan kehangatan sinar, yaitu sinar perlakuan, hal-hal yang kita lakukan kepada satu sama lain sehingga akhirnya cinta itu bisa tetap bertumbuh dan segar.


Ringkasan:

Perasaan memang dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, faktor-faktor yang ada di luar diri kita. Jadi adakalanya kita tidak merasakan cinta itu sekuat misalnya pada waktu-waktu tertentu. Tapi yang penting adalah kita mengasihi dia, kita tahu dia adalah orang yang berharga buat kita dan kita ingin memberikan yang terbaik untuk dia. Kita tidak ingin melukainya, menyusahkannya, kita justru ingin membuat dia makin hari makin baik, makin bahagia, ini adalah indikator bahwa kita mengasihi pasangan kita.

Cinta memerlukan kehangatan sinar, yaitu sinar perlakuan, hal-hal yang kita lakukan kepada satu sama lain sehingga akhirnya cinta itu bisa tetap bertumbuh dan segar.

Yang perlu kita lakukan waktu kita melihat cinta pasangan kita mulai menurun yaitu:

  1. Jika ada perlakuan yang dingin maksudnya kurang memperhatikan atau perlakuan yang melukai atau yang kasar yang sudah kita perbuat kepada pasangan kita, ini semua harus kita hentikan. Perlakuan yang dingin, tidak memperhatikan menjadikan pasangan kita itu tidak nyaman untuk menumbuhkan cintanya, apalagi kalau kita bersikap kasar kepada dia dan melukai hatinya.

  2. Kita menantikan dengan sabar munculnya tunas-tunas cinta, jangan memaksakan kehendak. Segala yang layu akan memerlukan waktu yang lama untuk bertunas kembali, jadi dengan kata lain menumbuhkan sesuatu itu lebih cepat dari pada menghidupkan sesuatu.

  3. Jangan menyangkali fakta, terimalah kenyataan bahwa layunya cinta ini akibat perlakukan kita dulu. Adakalanya kita tidak mau mengakui fakta itu jadi kita menyangkali bahwa kita berbuat. Tanpa pengakuan, pasangan kita akan menganggap bahwa kita tidak serius atau dia akan merasa tidak dimengerti oleh kita, keberadaan perasaannya tidak lagi kita akui.

  4. Lakukan tindakan-tindakan yang menghangatkan hatinya, jadi perlu adanya tindakan positif, kalau tidak ada tindakan yang positif benar-benar cinta itu akan layu dengan sangat cepat. Cinta memerlukan pupuk dan pupuknya adalah tindakan-tindakan yang menghangatkan hati orang bukan malah merobek atau mendinginkan hati orang.

Kwalitas atau karakteristik penting dalam pernikahan adalah:

  1. Fleksibel tidak kaku dan dia mau untuk berubah

  2. Teachable, orang yang mau belajar, rendah hati.

Pernikahan memerlukan sekali kwalitas seperti ini orang yang fleksibel dan teachable barulah akhirnya bisa saling membangun, bisa saling memperbaiki masalah.

Perubahan yang paling nampak pada saat cinta mulai layu adalah :

  1. Tidak adanya lagi sinar, tidak ada lagi kehangatan dalam diri pasangan kita. Jadi sesuatunya itu hanyalah aktifitas, tidak ada lagi jiwa dalam perbuatan atau tindakannya.

  2. Kecenderungan untuk marah, untuk mengeluh, untuk mengkritik, untuk merasakan tidak puas.

Kolose 3:12, "Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semua itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan."

Firman Tuhan menjabarkan beberapa tindakan-tinddakan yang sangat-sangat akan menghangatkan cinta yaitu belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran itu luar biasa, itu akan menghangatkan cinta. Jadi sekali lagi Tuhan meminta kita melakukan yang merupakan ciri Tuhan yang paling utama yaitu Tuhan adalah kasih, karena Dia adalah kasih dan kita juga diminta Tuhan mengasihi. Orang pertama yang Tuhan minta untuk kita kasihi adalah yang di depan mata kita sendiri yaitu suami atau istri kita.


Transkrip:

Saudara-daudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Cinta Layu", kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, hubungan cinta antara kita dengan pasangan kita itu kadang-kadang terasa seperti kalau di grafik itu gambarnya bisa naik-turun, itu sebenarnya kenapa Pak Paul kok tidak bisa stabil atau tidak naik terus?

PG : Memang perasaan itu dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, faktor-faktor di luar diri kita, jadi adakalanya kita tidak merasakan cinta itu sekuat misalnya pada waktu-waktu tertentu lainya.

Tapi yang penting adalah bahwa kita mengasihi dia, kita tahu dia adalah orang yang berharga buat kita dan kita ingin memberikan yang terbaik untuk dia, kita tidak ingin melukainya, menyusahkannya, kita justru ingin membuat dia makin hari makin baik makin bahagia nah itu adalah indikator bahwa kita mengasihi pasangan kita.
GS : Berarti itu harus tetap dipelihara terus Pak Paul perasaan mencintai pasangan kita itu?

PG : Betul, saya tidak mengharapkan kita ini bisa seperti film-film di mana mereka sangat romantis sekali, bukan itu yang saya ingin katakan, tapi saya kira mesti ada keinginan-keinginan sepert tadi telah saya utarakan.

Keinginan untuk melihat pasangan kita itu senang, memberikan yang terbaik kepada dia, memperlakukan dia sebagai orang yang bernilai dalam hidup kita. Saya ini senang dengan tanaman Pak Gunawan, dan saya makin hari makin menyadari betapa pentingnya matahari buat tanaman, tanpa matahari tanaman pada umumnya tidak akan bisa bertumbuh kecenderungannya justru adalah malah layu. Nah cinta juga memerlukan kehangatan sinar bukannya matahari tapi cinta memerlukan kehangatan sinar perlakuan, hal-hal yang kita lakukan kepada satu sama lain sehingga akhirnya cinta itu bisa tetap bertumbuh dan segar.
GS : Tetapi memang harus diberikan dalam kadar yang tepat Pak Paul, seperti tadi Pak Paul umpamakan sinar matahari kalau waktu siang panas terik bisa layu Pak Paul?

PG : Betul, jadi perlakuan yang terlalu meninabubukkan, terlalu membuat pasangan kita itu terlena, itu juga tidak. Karena masing-masing harus mempunyai tanggung jawab dalam memelihara hubungan ni, kalau hanya satu orang saja yang melimpahkan tanpa timbal balik lama-lama juga akan terjadi ketimpangan.

(2) GS : Seandainya kita di pihak yang tahu bahwa pasangan kita ini perasaan cintanya kepada kita ini sedang menurun, lalu apa yang harus kita lakukan Pak Paul?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah jika ada perlakuan yang dingin maksudnya dingin adalah kurang memperhatikan atau perlakuan yang melukai atau yang kasar yang kita sudah perbua kepada pasangan kita, ini semua harus kita hentikan.

Kenapa, sebab cinta itu bertumbuh dalam suasana yang positif, yang enak, yang menyenangkan, yang nyaman. Cinta susah bertumbuh dalam situasi yang tidak enak, yang menekan, yang menyusahkan. Nah perlakuan yang dingin, tidak memperhatikan itu menjadikan pasangan kita tidak nyaman untuk menumbuhkan cintanya, apalagi kalau kita bersikap kasar kepada dia dan melukai hatinya. Tidak realistik buat kita berharap dia tetap mencintai kita seperti sediakala. Sebab hatinya sudah terobek-robek, tercabik-cabik oleh perkataan kita dan bahkan misalkan ada yang sampai memukul atau membanting-banting barang. Nah hati sudah tercabik-cabik bagaimanakah bisa seperti sediakala lagi ya tidak mungkin, nah mengatakan berulang-ulang kali bahwa kita mencintainya, sekali lagi tidak akan menghangatkan hatinya, kita perlu menghentikan perlakuan yang dingin dan melukai itu, barulah kita bisa menumbuhkan cinta yang telah layu.
GS : Nah itu caranya bagaimana Pak Paul, kalau kita mau memecah kebekuan itu. Bukankah kalau dibiarkan tambah dingin, tapi bagaimana kita memecahkan kedinginan ini atau kebekuan ini?

PG : Kita mesti mencari penyebabnya kenapa kita juga bersikap dingin kepada pasangan kita, mungkin ada hal-hal yang dia lakukan yang membuat kita akhirnya dingin. Nah itu yang kita harus munculan, jadi ada kesediaan dari kedua belah pihak untuk duduk bersama dan membicarakan pokok masalah itu.

Kadang kala pasangan kita tidak tahu kenapa kita dingin, kenapa kita tidak lagi memperhatikan dia. Sebab kita juga mungkin tidak menyampaikannya kepada dia dengan jelas. Tapi adakalanya bisa jadi kita sudah menyampaikan namun kurang diperhatikan olehnya akhirnya kita menjadi dingin. Nah kalau kita sadari itu yang terjadi kita bisa mengajak dia untuk duduk bersama dan kita sampaikan kepadanya bahwa hal ini penting bagi saya, begitu pentingnya sehingga waktu engkau tidak mendengarkanku aku berubah, aku menjadi dingin kepadamu, aku kurang lagi mempunyai kehangatan kepadamu. Jadi pokok masalahnya memang harus diungkap dan dibereskan, namun kalau kita sendiri memang tidak lagi memperhatikan dia tanpa alasan yang jelas, nah itu yang harus berubah. Sebab kedinginan kita itu akan berdampak langsung pada pasangan kita, tidak bisa tidak dia akan merasa tidak dikasihi oleh kita, tidak lagi merasa diperhatikan, tidak lagi merasa berharga buat kita, nah lama-lama cintanya dia pun terhadap kita akhirnya layu.
GS : Apakah ada hal lain Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah ini, kita menantikan dengan sabar munculnya tunas-tunas cinta, jangan memaksakan kehendak. Adakalanya memang kita tidak sabar karena kita telah menghentikanlah perbuatan-erbuatan yang buruk itu yang misalnya dulu kita banyak berbuat salah, hal-hal yang kita lakukan itu sekarang kita sudah hentikan.

Tapi kita tidak melihat imbalannya, kok dia masih tetap tidak bisa mengampuni, tidak bisa mengasihi kita. Nah yang saya ingin ingatkan adalah segalanya yang layu akan memerlukan waktu yang lama untuk bertunas kembali, jadi dengan kata lain menumbuhkan sesuatu itu lebih cepat dari pada menghidupkan sesuatu. Menumbuhkan secara alamiah itu lebih mudah, cinta yang mulanya belum ada akhirnya menjadi ada dan bertumbuh kuat dan besar daripada cinta sudah pernah ada kemudian dibuat mati, dibuat layu. Nah menghidupkan yang telah layu atau mati itu lebih sukar dan memerlukan waktu lebih panjang. Jadi kalau kita sadar bahwa itu yang kita telah perbuat kepadanya kita harus sabar, jangan memaksakan kehendak kita.
GS : Ya tetapi sering kali masalah-masalah itu yang membuat matinya cinta atau layunya cinta dan itu juga terus diungkit-ungkit lagi Pak Paul, kemudian kapan selesainya?

PG : Ini adalah keluhan banyak orang yaitu kenapa diungkit lagi. Tapi memang adakalanya harus ada keseimbangan, keseimbangan antara membiarkan pasangan kita untuk mengungkit tapi juga tidak sellu membiarkan itu terjadi.

Ada masanya memang orang yang terluka hendak memunculkan kembali kemarahannya dan dia menginginkan agar kita menoleransi, membiarkannya, membiarkan dia marah. Sebab memang kadang kala kemarahan itu memerlukan waktu untuk benar-benar bisa turun dan akhirnya hilang. Tapi di pihak lain juga jangan sampai kita ini dengan sengaja memuaskan diri untuk mengungkit-ungkit, untuk menyerang-nyerang kembali, jadi perlu ada keseimbangan antara keduanya. Tapi sekali lagi di pihak kita, karena kita memang sudah berlaku salah kepada pasangan kita dan mematikan cintanya, kita harus sabar. Kadang kala yang kita lakukan memang kita tidak sabar, kita marah, menuntut dia untuk memberikan respons yang baik. Kemarahan kita atau pemaksaan kehendak seperti itu hanyalah akan mematikan benih yang mungkin sudah mulai ada.
GS : Nah katakan itu tunas-tunas yang baru kelihatan atau baru muncul sedikit lalu pupus lagi, bukankah lama-lama cinta itu bisa mati?

PG : Betul, tapi di pihak lain memang pasangan kita memerlukan kepercayaan, bahwa kita ini akan berubah dengan sepenuhnya bukan hanya untuk sementara. Jadi sekali lagi ini tidak bisa dipaksakan tugas kita hanyalah melakukan kewajiban kita, kita menghentikan perbuatan-perbuatan kita yang salah itu dan membiarkan tunas itu bertumbuh secara alamiah.

Mungkin ada yang berkata wah.......sudah lama kok tidak tumbuh-tumbuh, memang adakalanya lebih susah dan memang saya akui ada orang yang memang bermasalah. Sehingga sekali kepercayaan itu dirobek, tidak mungkin lagi dia ciptakan yang baru itu, ada juga yang seperti itu. Namun dalam kasus seperti itu respons kita adalah yang terbaik, tidak memaksakan, kita hanya menjalani, kita membuktikan diri kita bahwa kita tidak lagi melakukan yang salah itu, tapi selebihnya kita kembalikan kepada pasangan kita, jangan kita memaksakan dia untuk bersikap dengan cepat berbeda pada kita.
GS : Ya mungkin dibutuhkan suatu pengharapan bahwa pasangan kita itu pasti akan berubah juga, Pak Paul?

PG : Ya kalau pasangan kita ini lumayan peka, dia mungkin bisa dengan jujur berkata: "Saya ini memang belum bisa mengasihi kamu seperti dulu lagi, tapi sudah mulai ada perasaan-perasaan saa yang terhilang sekarang sudah mulai kembali, saya makin menghargai kamu dan melihat kamu sudah berubah," nah itu akan menguatkan kita untuk terus mempertahankan diri kita dengan baik.

GS : Apakah ada hal yang lain lagi Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah jangan menyangkali fakta, terimalah kenyataan bahwa layunya cinta ini akibat perlakuan kita dulu. Adakalanya kita memang tidak mau mengakui fakta itu Pak Gunawan, jadi kta menyangkali tidaklah, kita tidak berbuat itu atau pasangan kita tidak kehilangan cintalah dan sebagainya, tidak.

Tanpa pengakuan ini pasangan kita akan menganggap bahwa kita hanyalah bersandiwara, tidak serius atau dia akan merasa tidak dimengerti oleh kita, keberadaan perasaannya tidak lagi kita akui. Jadi kita perlu turun ke dataran di mana dia berada dan mengakui masalah sampai seburuk ini bahwa cintanya kepada kita sudah terkuras, mungkin masih ada sisa sedikit tapi mungkin juga tidak ada lagi sisanya. Kita harus mengakui ini, keengganan kita mengakui dan menganggap atau bersikap seolah-olah sama seperti dulu makin membuat pasangan kita itu padam tidak lagi bisa mengasihi kita. Sebab dia akan berkata: "Engkau tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga ini, engkau tidak mau menyadari bahwa tindakanmu itu telah membuatku seperti ini, dampaknya separah ini, tapi untuk itu saja engkau tidak bisa melihatnya bagaimana engkau mau memperbaiki." Jadi penting buat kita mengakui fakta bahwa kondisi sudah seburuk ini.
GS : Nah pengakuan itu bukankah harus diterima oleh kedua belah pihak Pak Paul, tida bisa cuma di satu sisi saja, jadi kedua-duanya harus mengakui fakta itu?

PG : Betul, sering kali tidak rela mengakui Pak Gunawan, yang memang mempunyai kepentingan di situ. Jadi daripada dia mengakui dia lebih baik menyangkal, kepentingan apa misalnya dengan dia tidk mengakui dia tetap seolah-olah bisa berbuat semau-maunya, dia menganggap pasangannya tetap sama seperti dulu, dan dia boleh semau-maunya, sebab pasangannya akan tetap mengasihi dia, nah itu kepentingan dia.

Atau kita tidak mau mengakui bahwa pasangan kita sudah tidak lagi mengasihi kita, sebab kita memang takut kehilangan dia, takut sekali kehilangan dia, jadi kita terus hidup dengan anggapan bahwa dia tetap mengasihi kita walaupun sebetulnya tidak. Nah sekali lagi saya mau tekankan di sini Pak Gunawan, tujuannya kita membicarakan ini bukanlah supaya OK-lah kita akui pasangan kita tidak mengasihi kita lagi dan sudah kita bubar, kita cerai, bukan. Tapi pengakuan melihat dengan realistik masalahnya apa adalah langkah pertama, prasyarat untuk memperbaikinya. Kalau tidak ada keinginan mengakui melihat masalah apa adanya nanti kita tidak mungkin bisa membereskan masalahnya, tidak bisa melihat penyebabnya lagi.
GS : Tetapi kalau di dalam melihat masalah itu masing-masing mengatakan bahwa pendapatnya benar atau sikapnya benar bukankah itu sulit, Pak Paul?

PG : Sering kali itu yang terjadi kita tidak dengan mudah mengakui kesalahan kita, makanya dalam rekaman yang baru lewat kita berkata bahwa penting dalam berkomunikasi kita meng-iakan hal yang a, jangan mudah berkelit, membela diri, menggunakan perisai, tidak.

Yang 'ia' ya 'ia' yang salah ya salah, nah kita akhirnya bisa bertemu ya dalam perbedaan ini.
GS : Apakah ada perbedaan positif lainnya Pak Paul, untuk mencairkan kebekuan dalam hubungan suami-istri?

PG : Yang terakhir adalah ini Pak Gunawan, lakukan tindakan-tindakan yang menghangatkan hatinya, jadi perlu adanya tindakan positif, kalau tidak ada tindakan yang positif benar-benar cinta itu kan layu dengan sangat cepat.

Sering kali saya ingatkan kepada pasangan nikah bahwa cinta itu bisa mati, jangan kita ini beranggapan cinta pasangan kita akan selalu hidup dan subur, dan cinta kita kepada dia juga akan selalu hidup dan subur. Cinta memerlukan pupuk dan pupuknya adalah tindakan-tindakan yang menghangatkan hati orang bukan malah merobek atau mendinginkan hati orang. Jadi lakukanlah hal yang menyenangkah dia, carilah tahu hal apa yang menyenangkan dia, orang yang mencintai memang harus belajar mengerti apa yang disenangi oleh pasangannya. Dia tidak mau peduli apa yang disenangi pasangannya, dia tidak akan bisa menghangatkan hati pasangannya, akhirnya hati pasangannya beku tidak hangat lagi.
GS : Ya tapi apakah masalahnya pasangan itu mau menerima tindakan-tindakan hangat itu sementara kalau masalahnya itu dia masih merasa tidak puas dengan kita atau marah dengan kita?

PG : Mungkin ada penolakan karena dia merasa buat apa kamu melakukan semua ini, kamu telah melukai saya. Tapi sekali lagi diperlukan kesabaran, nah waktu dengan sabar dan konsisten kita melakukn hal-hal yang positif itu, lama-kelamaan akan berbicara kepada dia, akan mengetuk pintu hatinya dan mengingatkan dia bahwa kita memang sungguh-sungguh bukannya hanya berpura-pura.

GS : Pak Paul, sering kali kelayuan cinta ini atau redupnya cinta ini disebabkan oleh hadirnya orang lain di tengah-tengah pernikahan mereka itu.

PG : Sering kali begitu dan tidak harus selalu bahwa orang tertarik kepada pasangan atau kepada orang lain gara-gara pernikahannya itu sudah buruk, tidak mesti. Adakalanya hubungan nikah lumaya baik tapi akhirnya tertarik dengan orang lain.

Namun pada banyak kasus yang pernah saya temui, sering kali sebelum orang tertarik kepada orang lain memang hubungan mereka itu sudah mulai bermasalah, tapi tidak dilihat atau diakui dengan jujur. Nah sekali lagi mungkin ada satu yang kurang terpenuhi, ada satu yang merasa dia tidak dimengerti, yang satunya menganggap semuanya baik-baik saja berjalan seperti biasanya. Maka tadi kita tekankan penting untuk keduanya melihat masalah apa adanya bahkan hal yang menyakitkan bahkan misalnya pasangan kita sudah mulai berubah, perasaannya tidak lagi sama, nah cari penyebabnya bereskan. Meskipun itu hal yang menyakitkan daripada menutup mata, tidak mau melihat masalah nah akhirnya masalah berkembang menjadi lebih buruk, pasangan kita misalkan tertarik kepada orang lain.
GS : Memang biasanya seperti tadi Pak Paul di awal perbincangan kita mengumpamakan ini dengan bunga, bunga itu tidak layu secara tiba-tiba begitu Pak Paul, bukankah ada suatu proses untuk menjadi layu, nah apakah cinta juga begitu Pak?

PG : Betul, jadi cinta tidak mati dalam sekejap sama seperti cinta itu tidak bertumbuh dalam sekejap, perlu waktu. Matinya cinta juga perlu waktu maka kita harus jeli melihat perubahan-perubaha ini dan memunculkannya dalam relasi kita apa yang kita perbuat yang membuat cinta ini atau cintanya berubah menjadi layu, nah itu harus kita sadari.

Maka Pak Gunawan kalau orang bertanya kepada saya: "Apakah kwalitas atau karakteristik yang penting dalam pernikahan?" Saya selalu katakan flexsible dan teachable. Orang yang flexsible adalah tidak kaku dan dia mau untuk berubah, dan orang yang teachable adalah orang yang mau belajar rendah hati. Nah pernikahan itu memerlukan sekali kwalitas seperti orang ini yang flexsible dan teachable barulah akhirnya bisa saling membangun, bisa saling memperbaiki masalah. Kalau yang satu sudah tidak lagi teachable maunya sembarangan pernikahan itu akan runtuh.
(3) GS : Pak Paul, apakah tanda-tanda awal bahwa cinta kita itu mulai layu?

PG : Biasanya perubahan yang paling-paling nampak adalah memang tidak ada lagi sinar tidak ada lagi kehangatan dalam diri pasangan kita itu. Jadi sesuatunya itu hanyalah akitifitas tidak ada lgi nyawa jiwa di dalam perbuatan atau tindakannya.

Dan sebetulnya kalau mau peka kita akan bisa melihat itu. Semua masih dilakukan dengan sama, pulang tetap jam berapa, pergi tetap jam berapa, pergi ke gereja juga masih sama-sama misalkan, tapi ada yang hilang. Yang hilang itu adalah cahayanya, sinarnya jiwanya, nah itu biasanya yang pertama-tama akan mulai luntur dalam relasi di mana cinta itu sudah layu.
GS : Ya tetapi itu biasanya sulit untuk disadari Pak Paul, mungkin yang bersangkutan menyadari tetapi pasangannya 'kan belum tentu bisa menyadari hal itu.

PG : Ya bisa-bisa memang tidak disadari atau mungkin yang kedua adalah ini yang lebih bisa dilihat adalah kecenderungan untuk marah, untuk mengeluhkan, untuk mengkritik, untuk merasakan tidak pas dengan ini dengan itu.

Nah itu salah satu indikasi juga, sekarang kok mengeluh terus, mengeluarkan unek-unek, hal-hal yang kita lakukan menjadi salah di mata dia, dia selalu mengatakan kita kurang ini dan kurang itu, nah ini suatu indikasi juga bahwa cinta pasangan kita sudah mulai berubah, sudah mulai layu.
GS : Di dalam hal kelayuan ini Pak Paul, apakah mungkin itu kedua-duanya langsung diserang kelayuan atau biasanya satu pihak saja?

PG : Biasanya yang satu dulu. Nah yang satunya yang belum layu kalau sudah menyadari pada umumnya berusaha keras, untuk memperbaiki, untuk mengikat kembali menambahkan pupuk dalam pernikahan ini. Tapi kalau usaha ini tidak berhasil, sebab pasangannya kok tidak memberikan tanggapan yang diharapkan lama-kelamaan dia juga lelah, karena lelah percuma berbuat semua ini akhirnya dia juga mulai layu. Waktu dua-dua sudah layu memang itu sudah sangat parah. Waktu satu masih mempunyai tenaga yang satu sudah mulai layu itu masih lebih mudah.

GS : Jadi memang lebih baik mencegah kelayuan itu sendiri Pak Paul, dengan memelihara bara cinta itu supaya tetap ada di dalam hidup pernikahan.

PG : Betul, dan sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah yang menghangatkan cinta adalah perbuatan yang memang positif, menyenangkan, kita suka itu hal yang baik buat kita. Tapi sebaliknya yng akan mematikan cinta adalah perbuatan-perbuatan yang menyakitkan hati kita, jadi tidak susah untuk menghangatkan cinta itu, lakukanlah hal yang menyenangkan hati pasangan kita.

GS : Tapi sebenarnya yang terjadi apa Pak Paul, karena kita mencintai seseorang lalu kita melakukan perbuatan-perbuatan cinta atau karakter kita melakukan perbuatan-perbuatan cinta itu sehingga cinta itu tumbuh?

PG : Pada awalnya memang adalah ketertarikan, kesukaan kepada pasangan kita barulah kita melakukan hal-hal yang menyenangkan dia. Tapi setelah proses ini bergulir sebetulnya tidak bisa lagi kit ini mengatakan yang mana yang lebih dulu sebab dua-duanya itu adalah sesuatu yang berputar dengan begitu alamiahnya.

GS : Dan meningkat terus kwalitasnya ya Pak Paul?

PG : Betul, terus meningkat dan terus meningkat. Itu sebabnya dalam hubungan cinta yang baik, cinta yang sehat dalam pernikahan yang kuat, waktu pasangan kita itu tidak ada itu sangat mempengarhi yang ditinggalkan dengan sangat-sangat fatal.

Jadi adakalanya membuat yang ditinggalkan itu bisa mengalami depresi berat, karena sekali lagi hubungan itu begitu indah sehingga kehilangan pasangan terlalu menyakitkan.
GS : Seolah-olah kehilangan objek di mana dia bisa menyalurkan cintanya.

PG : Dan juga menerima cinta itu juga.

GS : Nah Pak Paul dalam kaitan ini apakah yang firman Tuhan katakan?

PG : Saya akan bacakan Kolose 3:12, "Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, keleahlembutan dan kesabaran.

Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semua itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." Firman Tuhan menjabarkan beberapa tindakan-tindakan yang sangat akan menghangatkan cinta Pak Gunawan. Belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran itu luar biasa Pak Gunawan, itu akan menghangatkan cinta. Sabar mengampuni itu menghangatkan cinta, tapi Tuhan katakan di atas semuanya kenakanlah kasih sebab kasih itu adalah pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Jadi sekali lagi Tuhan meminta kita melakukan yang merupakan ciri Tuhan yang paling utama yaitu Tuhan adalah kasih, karena Dia adalah kasih kita juga diminta Tuhan mengasihi dan orang pertama yang Tuhan minta untuk kita kasihi adalah yang di depan mata kita sendiri suami atau istri kita.

GS : Jadi saya percaya sekali pembicaraan ini sangat bermanfaat bagi kita sekalian di dalam membina cinta kita dan pasangan kita dengan melakukan apa yang firman Tuhan sudah sampaikan kepada kita. Terima kasih Pak Paul untuk kesempatan para pendengar sekalian yang kami kasihi kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Cinta Layu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



26. Terlepas tapi Tidak Terputus


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T129A (File MP3 T129A)


Abstrak:

Dalam materi ini kita akan belajar lebih dalam lagi tentang pernikahan. Di mana pernikahan dikategorikan dalam tiga golongan yaitu pernikahan yang terputus, pernikahan yang terlepas dan pernikahan yang terikat.


Ringkasan:

Pernikahan dikategorikan dalam tiga golongan yaitu:

  1. Pernikahan yang terputus, dalam pengertian pernikahan itu sudah berada di jurang perceraian.

  2. Pernikahan yang terlepas, artinya pernikahan itu sudah mengalami problem di dalam hubungan suami-istri.

  3. Pernikahan yang terikat, artinya hubungan suami-istri baik dan suami-istri menikmati keakraban.

Tujuan dan tugas utama pernikahan: Penyatuan
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Kejadian 2:24

Penyatuan dicapai melalui: Keintiman
Mereka keduanya telanjang, manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu. Kejadian 2:25

Hambatan terhadap penyatuan: Keterpisahan
Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu bahwa mereka telanjang, lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.Kejadian 3:7

Keterpisahan menimbulkan: Ketakutan
Ketika aku mendengar bahwa Engkau ada di taman ini aku menjadi takut karena aku telanjang sebab itu aku bersembunyi. Kejadian 3:8

Ketakutan yang paling mendasar adalah: Ketakutan untuk Bergantung
Penikahan yang Terlepas adalah pernikahan yang telah kehilangan Keintiman. Jika kita ingin mengetahui berapa intimnya atau tidak hubungan kita dengan pasangan kita, salah satu kriterianya adalah dengan melihat berapa besar rasa percaya kita pada pasangan kita.

Membangun keintiman melalui kepercayaan dapat dilakukan dengan:

  1. Membuktikan diri melalui perbuatan-perbuatan kita, bahwa kita layak dipercaya.
    Dengan cara: Memegang janji, artinya kita tidak berbohong.

  2. Menjalani kehidupan yang benar, artinya tidak berdosa.

  3. Memikirkan kepentingan pasangan kita dan keluarga.
    Percaya begitu penting untuk membangun keintiman, bangunlah kepercayaan, ini prasyarat adanya keintiman dan keintiman harus ada sebelum kita bisa menyatu dengan pasangan kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Terlepas tetapi tidak Terputus". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, suatu judul yang menarik sekali memang, "Terlepas tetapi tidak Terputus", namun saya ingin mendapat sedikit penjelasan dari Pak Paul, apa yang terkandung dibalik judul yang begitu indah ini?

PG : Saya mengkategorikan pernikahan itu dalam tiga golongan Pak, yang pertama adalah pernikahan yang terputus, terputus dalam pengertian pernikahan itu sudah berada di jurang perceraian. Yang edua adalah terlepas, terlepas artinya pernikahan itu sudah mengalami problem, sebab ada masalah di dalamnya dan hubungan suami-istri sudah tidak terlalu dekat lagi.

Yang ketiga adalah yang terikat, dengan kata lain hubungan suami-istri baik dan suami-istri menikmati keakraban. Nah, kalau Pak Gunawan tanya saya, dari ketiga ini kira-kira mana yang paling banyak. Saya kira yang paling banyak adalah di antara tipe terikat dan terlepas, jadi cukup banyak pernikahan berada di antara terikat dan terlepas. Atau supaya gampang kita katakan, mayoritas pernikahan sebetulnya berada pada kondisi terlepas. Mereka belum terputus, belum cerai tapi mereka juga tidak menikmati kedekatan. Nah, tujuan kita membahas topik ini adalah untuk membawa orang yang terlepas jangan sampai terseret hingga akhirnya terputus, kita mau mengajak mereka yang berada dalam kondisi terlepas ini untuk meningkatkan relasi pernikahan mereka sehingga mereka dapat terikat kembali.
GS : Pak Paul, sebelum kita membicarakan lebih lanjut mungkin Pak Paul bisa menjelaskan tentang keterikatan di dalam pernikahan. Karena ada banyak orang yang sudah menikah mengatakan saya tidak mau terikat baik dengan suami ataupun dengan istri, nah itu sebenarnya bagaimana Pak?

PG : Kita harus kembali ke desain asli atau desain original yang Tuhan buat tentang pernikahan ini. Di Kejadian 2:24 firman Tuhan berkata: "Sebab itu seorang laki-laki akan meinggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging."

Dengan kata lain pernikahan seharusnya menyatukan kedua individu, dan inilah tujuan serta tugas utama pernikahan. Jadi kalau kita ingin mengevaluasi apakah kita telah mencapai sasaran pernikahan ini, salah satu kriterianya adalah atau saya kira kriteria yang tepat adalah kita kembali ke firman Tuhan ini dan bertanya apakah kita dan pasangan kita telah menyatu, kita bukan lagi dua orang tapi kita adalah satu orang. Nah satu berarti saya sangat bergantung pada pasangan saya, pasangan saya pun juga bergantung pada saya, saya mempertimbangkan pendapatnya dalam memutuskan keputusan yang harus saya ambil, demikian pula dengan pasangan saya. Sehingga kita tidak lagi berjalan sendiri kita selalu berjalan berdua, dalam pengertian segala tindakan, keputusan yang kita buat, kita buat dalam rangka kita bersama-sama dengan pasangan kita.
WL : Pak Paul, tadi mengutip ayat Alkitab yang mengatakan bahwa kalau orang menikah seharusnya bersatu, nah pertanyaan saya apakah itu otomatis Pak Paul, waktu orang menikah itu otomatis dia bersatu atau ada sesuatu yang harus diusahakan oleh kedua pasangan ini?

PG : Malangnya sebagian orang beranggapan begitu menikah otomatis mereka menjadi satu. Nah ada yang mempunyai cara yang keliru Ibu Wulan yaitu mereka mencaplok pasangannya, mendominasi pasanganya sehingga pasangannya kehilangan otonomi kebebasan dan harus tunduk 100% pada suaminya.

Nah saya sering menegaskan bahwa pernikahan menjadi satu atau kedua individu menjadi satu dalam pernikahan bukan melalui proses akuisisi (kita menggunakan istilah bank ya, kita ingat beberapa tahun yang lalu ada bank-bank yang diakuisisi). Kita bukannya mencaplok atau mengambil alih, kita menyatu dalam pengertian kita berdua harus saling menyesuaikan, harus saling tenggang rasa, mendengarkan dari yang satunya, mencocokkan dengan kita dan sebaliknya sehingga pada akhirnya kita menjadi lebih akrab dan lebih akrab, menjadi satu. Nah kalau Ibu Wulan tanya saya jadi metodenya apa kalau bukan akuisisi, metodenya adalah keintiman, Ibu Wulan. Jadi firman Tuhan di Kejadian 2:25 menegaskan bahwa mereka keduanya telanjang, (mereka di sini adalah Adam dan Hawa) manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu. Di taman Firdauslah satu-satunya tempat sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, di mana manusia bisa begitu menikmati keintiman sehingga mereka bisa tidak berbusana tapi merasa sangat nyaman dengan satu sama lain. Nah kita tahu bahwa setelah mereka jatuh ke dalam dosa hal itu tidak bisa lagi mereka nikmati, jadi keintiman sejati hanya terjadi satu kali yaitu di taman Firdaus, sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Namun maksud Tuhan sekarang adalah untuk kita yang telah menikah, kita menggunakan jalan atau metode keintiman inilah untuk mencapai sasaran pernikahan yaitu persatuan.
GS : Berarti pada saat pemberkatan nikah misalnya Pak Paul, atau pada saat pernikahan itu dilangsungkan keduanya masih belum saling menyatu, Pak Paul?

PG : Belum, jadi pada waktu pernikahan status mereka bersatu namun kondisi riil mereka belum bersatu, dan akan memakan waktu serta usaha keras agar mereka berdua bisa menjadi satu. Dan sekali lgi saya tekankan jalannya adalah jalan keintiman bukan jalan mendominasi atau jalan menjajah atau mengakuisisi pasangan kita.

GS : Nah itu sering kali terjadi Pak Paul, sebelum pernikahan orang itu bisa intim luar biasa, tetapi justru setelah pernikahan mereka malah menjauh, semakin menjauh. Jadi keintiman itu rupanya gagal mereka bangun atau bagaimana Pak?

PG : Yang terjadi adalah setelah kedua orang itu menikah, mereka mulai menyadari pasangannya lebih daripada sebelum mereka menikah. Mereka melihat dengan lebih jelas, nah sering kali yang muncu adalah memang bukannya penyatuan atau keintiman tapi keterpisahan.

Keterpisahan muncul karena perbedaan, itu memang suatu tantangan yang harus kita lewati. Kita cenderung tidak begitu merasa nyaman untuk dekat, untuk bergantung pada orang yang berbeda sekali dengan kita. Kita cenderung akan merasa lebih nyaman dengan orang yang kita anggap serupa dengan kita, tapi kedua orang yang menikah sedikit demi sedikit, perlahan-lahan akan melihat fakta o......tidak mereka sangat berbeda. Nah langsung yang muncul dalam pikiran kita adalah tidak mungkin pasangan kita mengerti kita, makanya muncullah konflik, dan konflik akhirnya membuat kita terpisah. Nah ini adalah hambatan terhadap penyatuan, jadi pernikahan memang sudah menyimpan potensi untuk kita terpisah, kalau kita gagal atau tidak berhasil mengalahkan keterpisahan atau perbedaan itu.
WL : Pak Paul, kalau Pak Paul tadi mengatakan sudah menyimpan "benih keterpisahan" apakah itu boleh saya katakan, sebenarnya jauh sebelumnya waktu pacaran memang sudah begitu. Kalau yang sehat mestinya sudah lebih saling mengenal, jadi waktu menikah kaget-kagetnya itu tidak sampai parah akan keperbedaan-perbedaan itu, bisa begitu atau tidak Pak Paul?

PG : Betul, jadi kalau dalam masa berpacaran kedua orang itu telah bekerja cukup keras maka seharusnya perbedaan yang akan muncul atau akan dilihat tidak terlalu mengejutkan dan sedikit banyak ereka telah lebih siap untuk menyesuaikan diri atau mengatasi perbedaan mereka.

Yang celaka adalah kalau dalam masa berpacaran kedua individu tersebut tidak bekerja terlalu keras, terlalu menggampangkan, waktu berpacaran terlalu singkat atau misalkan terlalu banyak unsur seks yang Tuhan tidak izinkan sehingga hal-hal yang perlu dibahas, yang perlu dimunculkan tidak dimunculkan, karena yang mendominasi adalah nafsu atau seks itu sendiri. Pada akhirnya setelah mereka menikah barulah mata mereka terbuka melihat begitu banyak perbedaan dan di situ mereka baru harus bekerja keras mencocokkan diri, kalau tidak berhasil memang yang akan muncul adalah keterpisahan. Nah waktu kita merasa kok saya berbeda, kok konflik, tidak bisa tidak kita makin menjauh. Firman Tuhan mencatat Kejadian 3:7, setelah manusia jatuh ke dalam dosa terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. Artinya setelah manusia akhirnya menyadari dirinya siapa, diri pasangannya siapa kecenderungannya adalah manusia mulai membentuk atau membangun benteng perlindungan-perlindungan agar mereka lebih aman di dalam perlindungan itu. Nah ini adalah awal dari tembok pemisah lagi.
GS : Nah, setelah seseorang menyadari bahwa di antara mereka itu memang ada keterpisahan Pak Paul, selanjutnya apa yang terjadi pada mereka?

PG : Biasanya ketakutan Pak Gunawan, jadi keterpisahan dan ketakutan itu satu paket. Kita terpisah atau memisahkan diri karena kita juga sebetulnya mempunyai rasa takut. Rasa takut memaksa kitauntuk lebih memisahkan diri, jadi keduanya satu paket dan saling mendorong satu sama lain.

Misalnya kita melihat di Alkitab Kejadian 3:8 (harusnya ayat 10) Adam berkata: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau (yaitu Allah) ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi." Jadi kita melihat pada awalnya setelah manusia jatuh ke dalam dosa, dosalah yang menimbulkan keterpisahan antara manusia dan Tuhan. Dan reaksi manusia yang pertama adalah takut, takut langsung. Nah jadi itulah yang dialami juga dalam keluarga, dalam hubungan suami-istri keterpisahan menimbulkan ketakutan. Nah pertanyaan berikutnya adalah sebetulnya apa yang ditakuti, kenapa kita masuk ke dalam pernikahan juga membawa ketakutan. Nah inilah natur paradoks dari pernikahan yaitu kita menikah karena kita ingin dekat, namun setelah dekat kita takut dekat. Kenapa kita takut dekat, takut bergantung, jadi itulah penyebab utama mengapa kita yang ingin dekat, maka akhirnya kita menikah menjauh dari pasangan kita karena apa, karena takut dekat, takut bergantung kepada pasangan kita.
GS : Di dalam suratnya Yohanes mengatakan di dalam kasih itu tidak ada ketakutan Pak Paul, apakah itu indikasi bahwa mereka tidak saling mengasihi atau bagaimana?

PG : Awalnya saya kira kasih itu ada, namun memang manusia sudah membawa benih ketakutan untuk bergantung itu. Kenapa manusia sudah membawa benih ketakutan untuk bergantung, saya kira jawabanny adalah manusia takut untuk percaya, sebab percaya berarti menyandarkan diri sepenuhnya pada orang lain.

Dan kita rasanya tidak berani begitu, kenapa kita tidak berani begitu memang banyak penyebabnya salah satunya adalah sebagian dari kita dan mungkin sebagian besar dari kita bertumbuh kembang dalam lingkungan hidup atau keluarga di mana kita belajar justru hidup jangan tergantung pada orang nanti kita kecewa, dilukai dan sebagainya. Jadi kita sudah membawa ketakutan tersebut, jadi kita bersikap was-was jangan terlalu bergantung pada pasangan kita.
WL : Pak Paul, saya mau bertanya istilah bergantung tadi, katanya sulit untuk bergantung. Nah kalau tipe-tipe orang yang dibesarkan pada keluarga yang orang tuanya overprotective, melindungi sangat nah dia akan bertumbuh besar menjadi orang yang sangat bergantung sekali, dependent. Nah apakah pengertiannya sama, orang yang seperti ini berarti orang yang bergantung, berarti waktu menikah tidak ada masalah karena yang dibutuhkan sebetulnya bergantung, apakah sama atau berbeda maksudnya bagaimana Pak Paul?

PG : Berbeda Bu Wulan, jadi mereka yang dari latar belakang terlalu dilindungi atau mereka memiliki perasaan yang inferior, tidak merasa aman dengan diri, melihat diri banyak kekurangan, memangakan mudah bergantung sebab memang mereka tidak punya pilihan lain, pilihannya hanya satu yaitu bergantung.

Namun ini yang kita harus perhatikan, mereka bergantung bukan karena percaya tetapi karena tidak percaya maka relasi bergantung mereka bukan relasi yang enak, yang digantungi itu merasa sengsara sebab selama digantungi juga dicurigai. Yang bergantung itu, yang merasa dirinya kurang, yang merasa dirinya inferior dan menuntut dilindungi, dia akan meminta sangat banyak dari yang digantungi itu. Dan bukan saja meminta tapi seolah-olah tidak pernah cukup, terus-menerus dituntut dan dituntut. Jadi intinya adalah kebergantungan yang sehat kebergantungan yang keluar dari rasa percaya. Nah dalam keluarga-keluarga yang seperti ini memang kita melihat kebergantungannya di luarnya, tapi yang memotivasi kebergantungan itu berkebalikan dari yang sehat yaitu rasa tidak percaya.
GS : Pak Paul, berarti kalau di dalam hubungan suami-istri tidak ada lagi atau sedikit sekali unsur keintiman, itu yang kita sebut sebagai hubungan yang terlepas itu?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi unsur keintiman penting sekali untuk mengikat pernikahan, tanpa keintiman pernikahan itu terlepas.

GS : Tapi bukankah kita sulit mengukur tingkat keintiman itu, Pak Paul?

PG : Salah satunya adalah kita mengukurnya melalui percaya tadi itu Pak Gunawan, jadi kalau kita sendiri merasa tidak bisa mempercayai sepenuhnya pasangan kita, sebetulnya yang terjadi adalah mmang kita tidak terlalu intim dengan pasangan kita.

Jadi kalau kita ingin tahu berapa intimnya atau tidak, salah satu kriterianya adalah dengan melihat berapa besar rasa percaya kita pada pasangan kita.
GS : Pak Paul, bisa memberikan contoh konkret, pasangan yang mempercayai pasangannya itu bagaimana?

PG : Misalnya kita berani untuk menjadi diri sendiri, seolah-olah hal yang sangat sederhana, tapi tidak semua orang berani menjadi dirinya apa adanya di hadapan pasangannya. Kenapa? Pertama adaorang yang takut ditolak kalau ketahuan siapa dia sebenarnya jadi dia harus menampilkan sisi atau diri yang berbeda atau yang paling baik supaya diterima oleh pasangannya.

Adakalanya orang bukannya tidak berani menampilkan dirinya tapi orang takut menampilkan dirinya bukan takut ditolak, sebab pasangannya itu mempunyai standar atau tuntutan yang sangat berbeda dan kalau dia tampilkan dirinya apa adanya, nah celaka akhirnya. Bisa dimarahi, bisa dimusuhi, atau bahkan bisa dipukul atau apa, jadi akhirnya tidak pernah bisa menjadi diri sendiri. Nah waktu tidak bisa menjadi diri sendiri lagi sebetulnya tidak ada lagi percaya di situ, ini contoh konkret. Contoh konkret yang lain adalah kita percaya kita tidak bisa melepaskan pasangan kita, percaya itu diwujudkan dari berapa mampunya kita melepaskan pasangan kita, ada yang tidak bisa, terus-menerus harus dipantau, diikat, dimonitor dan sebagainya. Tidak bisa membiarkan pasangannya lepas dari matanya, harus ada yang mengatur, harus ada yang melihat, kalau pun tidak terlihat nanti pas pulang harus ditanyai sangat mendetail sekali, nah itu salah satu wujud kekurangpercayaan.
GS : Jadi ada suatu korelasi yang jelas sekali antara keintiman dan kepercayaan itu Pak Paul, dan bagaimana caranya kita membangun keintiman itu yang sangat dibutuhkan, dalam hal ini melalui kepercayaan itu tadi.

PG : Pada dasarnya kita membangun kepercayaan dengan cara membuktikan diri melalui perbuatan-perbuatan kita, bahwa kita ini layak dipercaya. Jadi dari pihak kitanya yang ingin dipercaya kita haus melakukan pembuktian diri.

Nah secara praktisnya saya akan memberikan tiga saran, yang pertama adalah kita perlu memegang janji, nah artinya apa, artinya adalah kita tidak berbohong. Ada satu gejala yang sering saya temukan Pak Gunawan dan Bu Wulan dalam pernikahan, orang sering berbohong dalam pernikahan. Mungkin kita beranggapan kita tidak begitu tapi sebetulnya cukup banyak pernikahan yang diisi oleh kebohongan-kebohongan meskipun kecil. Nah bagaimanakah pasangan kita bisa mempercayai kita kalau kita sudah memulai dengan kebohongan-kebohongan kecil. Contoh yang sangat simpel sekali pasangan kita tanya: "Ke mana kok tadi lama pulang?" Kita bilang: "O....tadi saya pulang terlambat karena jalannya macet." Padahalnya yang terjadi adalah bukannya jalannya macet, kita tadi memang agak lama pulang karena masih tetap bercengkerama dengan teman-teman kita dan tidak langsung pulang. Namun kita tidak berani langsung berkata begitu, nah misalkan dua minggu kemudian pasangan kita ketemu dengan teman-teman kita ngobrol-ngobrol dan tercetuslah ungkapan, ketahuan misalnya. Pasangan kita itu sebetulnya pulangnya memang terlambat, tidak macet dan sebagainya. Apa yang akan muncul dalam pikiran kita, kenapa dia berbohong? Nah begitu pertanyaan kenapa dia berbohong muncul di benak kita tabungan percaya merosot, langsung begitu tidak bisa tidak.
GS : Tapi pada awalnya ada yang begini Pak Paul, sekali dia mengatakan yang sebenarnya misalnya tadi itu dia bercengkerama jadi dia tidak langsung pulang, terlambat, istrinya marah sama dia. Nah yang berikutnya dia mencari akal daripada nanti dia ngomong apa adanya dimarahi, yaitu tadi dia katakan jalanan macet.

PG : Nah ini adalah perangkap yang sering kali menjebak pasangan nikah, itu akhirnya yang membuat orang meneruskan kebohongan tersebut dan akhirnya makin membesar dan makin banyak item-item kebhongan karena takut reaksi pasangan kita.

Yang lebih sehat adalah kita mengatakan yang sebenarnya meskipun nantinya harus misalnya bertengkar daripada kita memulai kebiasaan berbohong itu. Sebab pada akhirnya kalau ketangkap atau ketahuan, percaya itu langsung terkuras.
WL : Jadi kaitannya erat sekali dengan penjelasan Pak Paul, tadi yang sebelumnya antara bohong dengan sebenarnya dia tidak berani menampilkan diri apa adanya.

PG : Betul, kehilangan dirinya sendiri karena tidak berani, jadi kebohongan itulah yang dipakai.

GS : Pak Paul, selain tidak berbohong atau kita menepati janji, apakah ada hal lain yang bisa membangun kepercayaan, saling mempercayai ini?

PG : Kita membangun kepercayaan melalui menjalani kehidupan yang benar, artinya apa, tidak berdosa. Bukannya kita ini sempurna tidak berdosa, tapi jalanilah kehidupan yang baik, yang benar. Karna kalau kita menjalani kehidupan yang kotor sulit untuk pasangan kita percaya kepada kita.

Misalkan kita pulang pergi, pulang pergi berbohong sama orang, kita pulang pergi, pulang pergi dengan orang lain tidak mengatakan hal yang benar atau kita terlibat di dalam perbuatan dosa, kita tidak setia dan sebagainya. Hal-hal seperti itu akan menguras tabungan percaya pada pasangan kita, dia susah percaya kepada kita. Sebab kita saja bertanya pada diri sendiri, apakah kita bisa mempercayai orang yang hidupnya tidak benar? Sulit, kita akan mempercayai orang yang kita tahu hidupnya benar.
WL : Pak Paul, kalau dua-duanya seperti itu bagaimana, ada beberapa kali saya melihat di film, pasangan yang memang dua-duanya tidak benar. Suaminya menipu-nipu orang, istrinya juga enjoy di situ, nah itu bisa atau tidak di antara mereka ada kepercayaan atau sebenarnya mereka tutupi?

PG : Saya kira kepercayaan yang ada dalam kondisi seperti itu kepercayaan yang sangat diikat oleh konsep kemitraan sajalah, seolah-olah kita bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama ini. Tai saya meragukan adanya kepercayaan yang mendalam sekali dan kemungkinan besar tidak akan ada keintiman yang sungguh-sungguh.

Misalkan kita membuktikan dari mana misalkan, kalau kita sungguh-sungguh percaya pada pasangan kita misalkan ada data yang kurang lengkap kita akan tetap mempercayai. Nah dalam kasus seperti yang tadi Ibu Wulan munculkan saya menduga kalau misalnya si suami mendapatkan atau menemukan data yang kurang klop tentang istrinya, istri bilang ke mana, temannya bilang ke mana nah karena dia tahu istrinya hidupnya tidak benar, saya kira dia akan langsung berpikir kamu berbohong begitu. Jadi sekali lagi prasangka kita akan berperan besar di sini, kalau prasangka kita positif, kita tahu pasangan kita hidupnya benar meskipun ada data yang kurang cocok, misalkan ada yang kontradiksi dengan data lain kita akan lebih mempercayai pasangan kita karena mempunyai rasa aman. Dan kita tahu dia tidak akan berniat menjahati kita dengan kata-kata atau hidup yang tidak benar itu.
GS : Pak Paul, apakah mungkin masih ada hal lain Pak Paul upaya membangun kepercayaan ini?

PG : Yang terakhir adalah kita memikirkan kepentingan pasangan kita dan keluarga, kalau kita ingin dipercayai oleh pasangan kita, kita mesti memikirkan kepentingannya dan keluarga kita artinya ita tidak egois.

Susah pasangan kita untuk percaya kepada kita kalau dia melihat kita egois, hanya memikirkan diri sendiri, nah akhirnya dia berpikir kamu pasti bertindak ini atau berkata ini hanya untuk kepentinganmu bukan untuk kepentingan kami semua. Nah kepercayaan itu akhirnya mulai terkuras, tapi seorang anggota keluarga atau ayah atau ibu yang bertindak memikirkan kepentingan semuanya akan lebih dipercaya. Sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah percaya begitu penting untuk membangun keintiman, bangunlah kepercayaan, ini prasyarat adanya keintiman dan keintiman harus ada sebelum kita bisa menyatu dengan pasangan kita,itulah kira-kira tahapannya Pak Gunawan.
GS : Berarti suatu hubungan yang terlepas itu masih bisa disatukan kembali Pak Paul?

PG : Masih, asal kita melewati langkah-langkah tadi itu dan memang tidak gampang, mulai dengan hal-hal yang sederhana, pegang janji, jangan bohong, hidup benar, jangan berdosa, dan kita juga akirnya bisa membangun keintiman perlahan-lahan baru bisa menyatu dengan pasangan kita.

Panjang tapi masih bisa.
GS : Kalau hubungan yang terlepas itu tadi tidak diperbaiki, tidak dibangun kembali, itu akan membawa hubungan itu terputus Pak Paul?

PG : Saya kira itu yang terjadi, banyak pernikahan sebetulnya benar-benar sudah berada di ambang perceraian karena dia sudah terputus kita tarik kembalilah, kita bawa bukannya ke arah terputus api ke arah terikat.

Kita intimkan kembali, kita bangun kembali kepercayaan di antara kita.

GS : Terima kasih Pak Paul juga Ibu Wulan untuk kesempatan perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami berterima kasih Anda tetap setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Terlepas tetapi tidak Terputus". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



27. Membangun Keintiman


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T129B (File MP3 T129B)


Abstrak:

Ada hal-hal yang sangat perlu dilakukan oleh pasangan suami-istri dalam rangka membangun keintiman. Diantaranya adalah dengan pemenuhan harapan atau tuntutan dari pasangan kita. Materi ini akan memberikan penjelasan dengan lebih detail lagi terutama tentang bagaimana yang dimaksud dengan pemenuhan harapan atau tuntutan.


Ringkasan:

Kebergantungan merupakan prasyarat terciptanya: Keintiman (Penyatuan).
Pertanyaannya: Mengapakah kita takut untuk bergantung? Jawabannya adalah karena kita tidak merasa aman dan kurang percaya pada pasangan kita. Seyogyanyalah rasa percaya bertumbuh secara alamiah melalui pembuktian. Tidaklah realistik mengharapkan pasangan kita mempercayai kita secara membabi buta; kita perlu membuktikan bahwa memang kita layak dipercaya.

Membangun Kepercayaan melalui:

  1. Memegang janji-tidak berbohong.
  2. Menjalani kehidupan yang benar-tidak berdosa.
  3. Memikirkan kepentingan pasangan dan keluarga-tidak egois.

Membangun Keintiman melalui Harapan dan Tuntutan

Keintiman melahirkan Harapan dan Tuntutan yang akan menambahkan keterpisahan, jika tidak terpenuhi. Harapan dan Tuntutan menambahkan keintiman, jika terpenuhi.

Memenuhi Tuntutan dan Harapan dengan cara:

  1. Tuntutan dan Harapan akan lebih mudah terpenuhi jika realistik-sesuai dengan kepribadiannya.

  2. Tuntutan dan Harapan akan lebih mudah terpenuhi bila jelas-disampaikan secara konkret.

  3. Tuntutan dan Harapan akan lebih mudah terpenuhi jika positif-bukan dalam bentuk ancaman namun permintaan tolong.

  4. Tuntutan dan Harapan akan lebih mudah terpenuhi bila berhadiah-membuahkan hasil yang dihargai.

Membangun Keintiman melalui Komunikasi

  1. Selain melalui pemenuhan Harapan dan Tuntutan, Keintiman dicapai melalui Komunikasi

  2. Komunikasi berasal dari akar kata yang sama dengan Komunitas yaitu Koinonia atau Persekutuan

  3. Tujuan berkomunikasi adalah Keintiman

  4. Ada tiga jenis komunikasi yang menambah keintiman:
    1. Pertama, komunikasi yang membagikan hidup (sharing): Menceritakan hidup sehari-hari

    2. Kedua, komunikasi yang membangun (edifying): Memfokuskan pada yang positif, bukan yang negatif

    3. Ketiga, komunikasi yang penuh kasih (loving): Memperhatikan kepentingan pasangan dan memandang masalah dari perspektifnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama dengan Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Membangun Keintiman". Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membahas tentang membangun keintiman itu bisa lewat kepercayaan yang ditumbuhkan. Nah tetapi apakah hanya kepercayaan itu yang bisa membangun suatu keintiman, apakah ada hal-hal lain?

PG : Salah satu hal adalah melalui pemenuhan harapan atau tuntutan dari pasangan kita. Kalau kita berhasil memenuhi yang diharapkan oleh pasangan kita, kemungkinan kita intim akan jauh lebih bear dibandingkan kalau kita tidak berhasil memenuhi harapannya demikian pula kebalikannya.

Kalau pasangan kita bisa memenuhi kebutuhan kita atau harapan kita maka kemungkinan yang lebih besar adalah kita akan juga merasakan kedekatan dengan dia. Jadi dengan kata lain memenuhi harapan dan tuntutan pasangan merupakan salah satu cara untuk membangun keintiman itu. Tapi (ini saya juga ingin menjelaskan satu konsep yang lain) ternyata keintiman itu sendiri juga melahirkan harapan dan tuntutan yang lain. Nah jadi tidak semua orang yang berkata saya mendambakan keintiman, siap dengan keintiman, itu kesimpulannya. Mengapa? Sebab keintiman menuntut harga, harganya adalah semakin intim semakin lebih banyaklah harapan dan tuntutan yang diembankan pada pasangannya. Saya berikan contoh di sini Pak Gunawan, waktu kita belum menikah, baru berkenalan dengan kekasih kita, baru berkenalan sehari, dua hari dan sebagainya kita tidak menelepon tidak akan menjadi masalah, malam minggu kita tidak datang, tidak akan menjadi masalah, namun begitu kita menyatakan kasih kepadanya dan dia pun juga menyatakan kasih kepada kita maka dibuatlah sebuah komitmen untuk menjelajahi atau untuk mengeksplorasi relasi ini lebih dalam lagi. Nah begitu kita tidak telepon dia marah, begitu pasangan kita juga berbicaranya agak kasar kita marah: "Kenapa kamu tidak mempertimbangkan perasaan saya." Apa yang terjadi? Keintiman telah terbentuk, dan tatkala keintiman terbentuk maka harapan dan tuntutan juga akan keluar. Jadi itu sesuatu yang manusiawi, justru yang tidak manusiawi atau tidak alamiah adalah sudah menikah (jadi berarti seharusnya sudah mulai dekat) namun tidak bisa atau tidak boleh mengeluarkan isi hatinya, meminta atau mengharapkan apa-apa dari pasangannya, nah itu yang tidak alamiah dan itu yang kadang-kadang terjadi dalam pernikahan. Jadi pernikahan yang sehat memang akan banyak tuntutan dan harapan tapi karena mereka intim, mereka memenuhinya juga dengan sukses dengan baik dan tidak merasakan itu sebagai beban lagi, nah itulah ciri-ciri pernikahan yang sehat.
WL : Tapi Pak Paul, harus diakui pada sisi yang lainnya banyak juga pasangan-pasangan yang kita lihat tuntutannya sering kali "berlebihan", sampai pasangannya juga merasa kewalahan. Nah menurut Pak Paul, kira-kira ada atau tidak faktor yang bisa menyebabkan tuntutan dan harapan ini kira-kira bisa terpenuhi?

PG : Ada beberapa Ibu Wulan, yang pertama adalah saya kira kita harus mempelajari prinsip-prinsip ini. Pertama, tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi jika realistik. Artinya apa realitik, sesuai dengan kepribadian pasangan kita.

Nah ini saya jelaskan, adakalanya kita menuntut sesuatu yang sangat berlawanan dengan kepribadian pasangan kita. Nah ini tidak berarti tidak boleh sama sekali, tentu boleh dan akan ada penyesuaian tapi karena kita sadar ini terlalu berbeda dari kepribadiannya maka akan memakan waktu lebih panjang dan kita harus realistik lebih sabar. Sebagai contoh, kalau pasangan kita memang orangnya berantakan, sebelum menikah kita tahu dia berantakan, tidak bisa rapi sama sekali, nah setelah kita menikah dengan dia sekejap kita mengharapkan dia menaruh barang di tempatnya kembali, misalnya menaruh handuk, menaruh sepatu, menaruh sikat gigi dan sebagainya di tempatnya seperti semula dan kita marah-marah, itu akan menjadi masalah. Kenapa menjadi masalah? Sebab kita mengharapkan itu terjadi dengan cepat, dia berubah dia menjadi orang yang lebih rapi. Jadi ingat baik-baik, yang pertama adalah kalau menuntut, lihat baik-baik apakah sesuai dengan kepribadiannya atau tidak, kalau tidak sesuai masih boleh nuntut namun lebih bersabar, yang lebih bisa dipenuhi pasangan kita kalau itu sesuai dengan kepribadiannya.
GS : Mungkin lebih tepat berharap saja Pak Paul, jangan menuntut supaya kita itu tidak terlalu kecewa, cuma berharap saja 'kan tidak apa-apa. Tetapi kalau pengharapan itu berkali-kali tidak terpenuhi lama-lama juga bisa menjadi tuntutan, Pak?

PG : Betul, sebab pengharapan yang dikomunikasikan tidak bisa tidak memang telah menjadi tuntutan. Namun maksudnya pak Gunawan saya pahami yaitu jangan kita ini memaksakan karena semakin memakskan akan semakin kecewa.

Jadi sesuatu yang berlawanan dengan kepribadian lebih sulit untuk dipenuhi itu prinsipnya.
GS : Nah Pak Paul, sehubungan dengan harapan ini kadang-kadang orang takut untuk berharap karena dikira nanti mementingkan dirinya sendiri saja, nah itu kaitannya bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira itu ketakutan yang memang kadang-kadang muncul tapi seharusnya kita memaafkan diri kita dengan berkata inilah pernikahan, inilah relasi yang intim dan di dalam relasi yang intim ita mempunyai harapan-harapan.

Kita misalkan berharap pasangan kita tidak lagi pergi pulang jam 02.00 malam karena dia sudah menjadi bagian hidup kita dan dia seharusnyalah pulang lebih pagi jangan sampai jam 02.00 malam seperti itu.
GS : Pak Paul, di dalam memenuhi tuntutan itu apakah ada cara-caranya, Pak?

PG : Yang lainnya lagi adalah ini Pak Gunawan, tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi bila jelas. Maksudnya apa, disampaikan secara konkret. Adakalanya kita tapi tidak jelas, tidak konret sehingga tidak bisa dipenuhi oleh pasangan kita.

Contoh yang paling klasik, permintaan istri misalnya kepada suami: "Berilah perhatianmu yang lebih besar kepada keluarga." Nah kadang-kadang si suami itu akan garuk-garuk kepala, dan bertanya, apa artinya memberi perhatian yang lebih besar kepada keluarga. Si istri harus memberikan contoh yang lebih konkret, apa misalkan si suami berkata: "Saya minta engkau lebih menghormati saya." Nah suami juga harus beritahu apa itu menghormati dengan lebih jelas. Misalkan, "waktu saya bicara di depan orang, kamu jangan memotong saya. Memotong saya yang sedang bicara itu membuat saya merasa tidak dihormati olehmu." Atau "waktu marah, matamu jangan melotot kepadaku, sebab waktu engkau melotot engkau menantang saya, engkau artinya tidak hormat kepada saya." Jadi tuntutan atau harapan itu perlu dikomunikasikan secara jelas, semakin jelas semakin lebih besar kemungkinan dipenuhi oleh pasangan kita.
WL : Kalau tidak jelas bisa berbeda konsep Pak Paul ya, jadi si suami berpikir o.....saya sudah memberi perhatian cukup atau tadi contoh menghormati, mungkin dari latar belakang keluarga dia menghormati A, B, C, D sedangkan bagi istri ngomong dengan mata melotot juga memang biasa di keluarganya bukan berarti saya tidak menghormati begitu, jadi bisa terjadi konflik kalau tidak dijelaskan.

PG : Betul, dengan adanya penjelasan barulah misalkan si suami mengerti, OK....waktu istri saya melotot tidak berarti dia sedang tidak hormat kepada saya. Si istri mengerti sekarang, melotot it memicu kemarahannya yang lebih besar, OK...lain

kali kalau marah dia mencoba mengontrol besar kecilnya matanya itu.
GS : Atau sebaliknya pasangan bisa menanyakan kalau itu sesuatu yang tidak jelas, sesuatu tuntutan yang tidak jelas, dia bisa menanyakan kembali kepada pihak pasangannya sebenarnya apa, yang dimaksudkan apa, yang mau diminta apa.

PG : Yang Pak Gunawan katakan sebetulnya sangat sederhana, yaitu bertanya kalau tidak jelas. Tapi ternyata Pak Gunawan, ini salah satu hal sulit yang dilakukan oleh banyak orang, tidak mau bertnya.

GS : Atau malah kadang-kadang kita berpikir wah.......malah kebetulan ini, bukankah ini ada permintaan yang tidak jelas jadi kita tidak wajib untuk memenuhi. Kalau misalnya nanti suatu saat dia marah kita berkata permintaanmu sendiri mungkin kamu sendiri saja tidak tahu apa yang kamu minta.

PG : Jadi kita akhirnya memanfaatkan celah itu.

WL : Kadang-kadang juga pasangan kita waktu kita bertanya mungkin menjawabnya tidak enak, mestinya kamu sudah mengerti saya dong, sudah sekian tahun menikah masa kamu belum kenal saya. Jadi pasangannya tidak berani lagi bertanya untuk kemudian hari.

PG : Betul, itu yang terjadi, Bu Wulan.

GS : Hal yang lainnya apa Pak Paul?

PG : Tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi jika positif, yang artinya apa, bukan dalam bentuk ancaman tapi dalam bentuk permintaan tolong. Permintaan tolong ini menjadi kata-kata yangsulit diucapkan oleh banyak orang, Pak Gunawan dan Ibu Wulan.

Nah ternyata kalau kita bungkus tuntutan kita dalam bentuk yang positif yaitu permintaan tolong, pasangan kita lebih mau mendengarkan dan mencoba memenuhinya. Dia akan lebih sengaja tidak mau melakukan jika kita membungkusnya dengan ancaman, kasar misalnya, jadi tolong perhatikan bungkusannya itu apa.
GS : Itu cara mengomunikasikannya Pak Paul.

PG : Betul sekali, jadi dalam bentuk yang positif yaitu permintaan tolong. Gunakanlah kata tolong lebih sering, tolong ini, tolong dong ini saya butuh bantuanmu untuk ini tolong saya, lebih sernglah begitu.

GS : Ada pasangan yang mengatakan: "Karena kami itu sudah intim, sudah akrab buat apa mesti minta tolong, cuma sekaligus ngomong, to the point saja begitu Pak Paul.

PG : Masalahnya kalau tidak dibungkus dalam permintaan tolong, sering kali keluarnya dalam bentuk instruksi. Nah kebanyakan tidak suka orang itu mendengar instruksi dari pasangannya, kalau dariatasannya ya dia terima di tempat pekerjaan.

Dari pasangannya ya kurang begitu suka bentuk-bentuk instruksi itu apalagi kalau disertai ancaman-ancaman, makin tidak suka.
WL : Tapi kenapa Pak Paul, kalau kita dalam pergaulan dengan orang lain bukan konteks keluarga, biasanya kita sangat menjaga etiket, lebih halus, please, thank you itu selalu begitu. Sedangkan kepada orang yang paling dekat dengan kita itu rasanya tiba-tiba hilang kata-kata itu.

PG : Betul, itu sering kali yang kita lakukan karena kita menganggap dia sudah menjadi bagian hidup kita, jadi kita tidak usah lagi berbasa-basi. Tapi justru tidak ya, justru hal-hal kecil sepeti itu tetap berfaedah untuk menjaga relasi dengan pasangan kita.

WL : Rasanya kita dihargai begitu ya.
GS : Tapi saya kenal ada satu pasangan itu Pak Paul, yang mencoba mungkin pernah mendengar saran seperti ini, dia mengatakan kepada istrinya tolong kamu begini.....begini...ya, tapi tanggapan istrinya: "lho sekarang kalau saya tidak mau tolong kamu, mau apa kamu." Jadi dia menanggapinya seperti itu.

PG : Di situ kita langsung harus berkata kepada istrinya kalau kita menjadi suaminya kita berkata kepada istri kita: "Kenapa engkau mengatakan hal seperti itu, apakah engkau sungguh-sunggu berkeberatan melakukannya, kalau berkeberatan kenapa berkeberatan."

Jadi kita mengajak istri kita untuk jujur menyatakan apa masalahnya, keberatannya apa. Kalau dia bilang: "Tidak, saya tidak keberatan, saya hanya ngomong begitu saja supaya kamu tidak sembarangan sama saya." Ya kita bisa berkata: "Tolong, ngomongnya jangan begitu, sebab ngomong seperti itu benar-benar mencoreng muka saya, membuat saya hilang muka." Jadi kita bisa minta begitu langsung.
GS : Nah apakah ada cara lain di dalam memenuhi harapan-harapan, tuntutan-tuntutan ini?

PG : Yang lainnya lagi adalah ini, tuntutan dan harapan akan lebih terpenuhi bila berhadiah. Maksudnya berhadiah itu apa sih, membuahkan hasil yang dihargai, jadi kalau kita mendapatkan pujiankarena kita memenuhi apa yang diharapkan oleh pasangan kita, hasilnya positif yaitu dihargai olehnya, kita makin ingin melakukannya lagi.

Nah sering kali yang terjadi, waktu pasangan kita melakukan hal yang salah, kita bereaksi dengan marah, teguran atau apa, waktu pasangan kita melakukan hal yang benar, kita tidak bereaksi, kita diam saja nah itu yang sering kali menandai relasi kita sebagai suami-istri, ini yang harus kita ubah. Waktu pasangan kita melakukan hal-hal yang baik, cobalah tangkap tidak setiap hari, tidak setiap kali, tapi cukup seringlah kita mengatakan terima kasih, atau sesuatu yang dia coba lakukan tapi tidak sempurna, kita tetap memberi penghargaan pada usahanya, dia telah berusaha. Misalnya pasangan kita membawakan kue ulang tahun, tapi akhirnya kita agak sedikit kesal karena kue yang dia bawa itu bukan kue yang kita suka, nah misalkan seperti itu. Jangan kita marah-marah, justru kita katakan meskipun kuenya tidak sama seperti yang saya harapkan tapi saya menghargai usahamu. Nah sekali lagi pujian seperti itu akan lebih membuat kita ingin melakukan lagi, mengulang lagi dan memenuhi lagi harapan pasangan kita.
GS : Mungkin di situ ada pengertian bahwa seharusnya memang seperti ini, ya sudah ini yang dia harap-harapkan jadi dia tidak mengucapkan terima kasih Pak Paul. Tapi dia mengungkapkan keheranannya itu justru kepada temannya. Katakan istrinya itu biasanya tidak perhatian tapi hari itu sangat perhatian, lalu dia cerita sama teman-temannya, "Aku heran lho, istriku hari ini perhatian sekali sama saya," tapi terhadap istrinya dia tidak berbicara apa-apa.

PG : Itu menandakan memang ya kata-kata pujian itu sangat langka rupanya dalam keluarga tersebut ya. Memang kita harus memulailah, memulai dan waktu pasangan kita bingung kita kok begitu manis ita katakan: "Saya ingin memulai yang baru dan yang baik dalam rumah tangga kita yaitu memberikan pujian, menghargai apa yang telah engkau lakukan," begitu.

WL : Pak Paul, menarik yang Pak Gunawan baru saja ceritakan, saya pernah kenal pasangan yang memang pada sehari-harinya jarang melakukan hal seperti itu, jadi begitu si istri misalkan suatu hari berbuat baik malah suami menjadi curiga, pasti ada maunya dibalik ini, pasti dia minta dibelikan sesuatu yang mahal atau apa begitu, nah itu sering kali terjadi Pak Paul?

PG : Dan tidak apa-apa kalaupun itu terjadi, si istri hanya perlu berkata: "Tidak ada apa-apa dibalik ini semua," dan memang benar-benar dia tidak meminta apa-apa. Nah sekali dua kalisi suaminya masih tidak terbiasa, tapi saya kira tiga empat kali suaminya akan terbiasa.

OK...istrinya memang melakukan ini dengan tulus, tidak apa-apa di belakang ini.
GS : Kadang-kadang kita sebagai suami itu bersyukur atau mengucapkan terima kasih hanya tidak disampaikan secara verbal Pak Paul. Bersyukur istri saya atau apa menjadi lebih baik, tapi tidak diungkapkan secara nyata, karena tidak terbiasa.
WL : Ya, apalagi budaya Timur Pak Paul?

PG : Betul, betul sekali budaya Timur memang seolah-olah dengan pasangan sendiri tidak usah, dengan orang lain saja.

GS : Pak Paul, bukankah membangun keintiman ini sangat penting, apakah ada aspek lain yang bisa membantu pasangan-pasangan suami-istri untuk membangun keintimannya Pak?

PG : Selain dari memenuhi harapan, yang lainnya lagi adalah melalui komunikasi. Komunikasi itu benar-benar alat atau sarana yang penting sekali untuk bisa membawa keintiman ke dalam relasi kita Pak Gunawan, kata komunikasi itu berasal dari akar kata yang sama dengan komunitas, jadi dalam bahasa Yunaninya itu adalah koinonia.

Koinonia itu kita tahu berarti persekutuan. Jadi dengan kata lain tujuan berkomunikasi dapat kita simpulkan adalah keintiman, persekutuan. Memang istilah komunikasi sudah begitu berkembang sehingga sekarang kita memikirkan komunikasi sebagai penyampaian berita. Tapi sebetulnya dari kata koinonia, bersekutu kita bisa menangkap maknanya, kita menyampaikan sesuatu agar kita dekat dengan orang tersebut. Kita bukannya menyampaikan sesuatu agar kita terpisah dari orang tersebut, tidak ya tapi keintiman. Nah justru inilah yang menjadi hal terhilang dalam banyak rumah tangga, maka saya mau mengusulkan sekurang-kurangnya tiga hal yang bisa kita lakukan. Yang pertama adalah kita mesti sering-sering melakukan komunikasi, sharing. Artinya apa sharing yaitu membagi hidup, menceritakan apa yang terjadi. Jadi mulailah dengan menceritakan aktifitas, hal-hal yang telah terjadi, yang sedang kita pikirkan, apa yang tadi kita saksikan, jumpai, temui, nah bicaralah hal-hal seperti itu. Nah keintiman dibangun di atas pembicaraan-pembicaraan yang seperti ini, jangan kita berkata o...itu tetek bengek, tidak usah ngomong. Keintiman dibangun di atas pembicaraan-pembicaraan tetek bengek seperti ini.
WL : Pak Paul, kalau usulan Pak Paul ini mungkin lebih mudah dilakukan oleh perempuan-perempuan, istri-istri karena memang lebih mudah bercerita, sedangkan bagi suami mungkin apalagi yang pendiam disuruh cerita-cerita seperti itu, aduh......rasanya susah. Terus ada juga suami yang menganggap kok kamu mesti bertanya sampai detail-detail seluruh kehidupan saya, memang kamu tidak percaya saya melakukan ini dan itu.

PG : Ya, kadang-kadang suami berkeberatan kalau istri bertanya-tanya terlalu mendetail dan sebagainya, tapi suami harus ingat bahwa istri itu hanya mengajak berbicara supaya terjadilah dialog, omunikasi dan si istri akhirnya merasa intim.

Nah saya perhatikan suami atau pria agak sukar untuk cerita-cerita hal-hal yang kita anggap sepele itu, tapi suami atau pria bisa berbicara tentang problem. Karena pria itu cenderung cukup bebas mengeluarkan opininya, jadi tidak setuju, tidak suka dan sebagainya itu lebih mudah keluar dari pikiran-pikiran pria. Nah kalau pria tidak bisa cerita tetek bengek yang lainnya, ceritakanlah masalah, ceritakanlah problem jadi itu pun menjadi bagian dari ceritanya, begitu. Dan inilah yang akhirnya mendekatkan kedua orang itu, yang penting waktu istri cerita-cerita, suami dengarkan, waktu suami cerita tentang problemnya, istri juga dengarkan.
GS : Cuma dalam hal ini Pak Paul, di dalam hal menceritakan saya merasakan memang ada suatu perbedaan yang mendasar. Tadi Ibu Wulan katakan kalau perempuan itu, istri-istri itu ceritanya detail sekali, kita itu bukan cuma tidak bisa cerita, mendengar saja kadang-kadang kesulitan karena panjang sekali, karena detailnya. Kita merasa kok begitu saja diceritakan, nah padahal kita kalau pun bercerita tentang masalah itu hanya garis besarnya saja, lalu ditanggapinya dalam komunikasi ini keliru Pak Paul. Kenapa kamu cerita cuma besar-besarnya saja, saya masak mengerti dia bilang begitu.

PG : Di sini memang dituntut pengertian akan keunikan masing-masing jadi kalau si istri berkeberatan karena suaminya hanya menceritakan outline, si istri bisa bertanya lebih jelas lagi dan suam ya jangan terlalu cepat bersikap defensif kalau ditanya.

Jadi pintar-pintarlah istri untuk menggali dan si suami misalkan mendengarkan istrinya bercerita dan agak panjang dan sebagainya, silakan menyimpulkan atau silakan memberikan out line, memberikan garis besarnya, rangkumannya sehingga mungkin si istri jadinya tidak terlalu sampai panjang atau bertele-tele. Tapi memang perlu adanya pemahaman akan keunikan ini, tidak terbiasa karena kita memang berbeda, tapi silakan tidak apa-apa.
GS : Ya apakah cuma sampai pada tahap itu, cerita-cerita yang tadi kita sebutkan sehari-hari apa bisa ditingkatkan lebih lanjut Pak?

PG : Yang berikutnya adalah lakukanlah komunikasi 'edifying'. Edifying itu berarti membangun, membangun artinya apa, memfokuskan pada yang positif bukan pada yang negatif. Mudah sekali kalau kia sudah berumah tangga untuk melihat dan memfokuskan yang negatifnya.

Kita melihat dia kalau ngomong, misalnya tadi itu kepanjangan misalnya begitu, kita gagal melihat bahwa o.....dia itu ingin dekat dengan kita. Dan misalkan suami kita orangnya terlalu pendiam, kita fokuskan pada dia tidak memperhatikan saya ini sampai begitu dinginnya. Kita gagal untuk melihat segi positifnya bahwa o....ya.....ya tidak, dia orang yang memang stabil, orang yang sangat rasional dan kita perlu bertanya dia baru akan menjawab, jadi silakan bertanya. Nah titik berangkat kita ini yang harus penting, kita mencoba melihat positifnya, berikan tanggapan yang positif, puji pada kwalitas-kwalitas yang baiknya. Dan di atas yang positiflah relasi dibangun, relasi tidak dibangun di atas yang negatif. Kita hanya akan bisa bertumbuh kalau yang positif itu kita tangkap, kita berikan pujian dan kita bangun ke atas. Yang menyoroti kelemahan, kekurangan terus akan berjalan di tempat, tapi pasangan yang bisa melihat positif terus mengatakannya terima kasih, saya senang dengan ini, terus berikan tanggapan yang baik kepada hal positif, itu justru akan makin kuat, makin bertumbuh, dan yang negatif itu perlahan-lahan bisa lebih keluar.
WL : Pak Paul, itu bisa dilatih atau tidak, kalau misalnya baik suami atau istri terlahir di keluarga yang memang tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Apakah itu bisa dilatih pelan-pelan atau tidak atau itu hanya untuk orang-orang yang memang dibesarkan di keluarga-keluarga yang memang seperti itu keluarganya?

PG : Akan lebih sulit memang bagi orang-orang tertentu yang dibesarkan di keluarga yang misalnya terlalu banyak negatifnya, jadi dia harus bekerja lebih keras. Tapi saya kira ini bukannya sesuau yang mustahil dilakukan, bisa, masih ada harapan.

Langkah pertama selalu adalah coba tutup mulut sebelum misalnya memarahi atau mengkritik kekurangan pasangan kita. Coba tahan dulu, coba kunci mulut itu sehingga tidak mengeluarkan kata apa-apa, mulai dari situ dulu dan waktu melihat yang baik, berikan tanggapan yang positif. Mulai dari situ dulu, nah komunikasi yang edifying, yang membangun, yang akan benar-benar menumbuhkan pernikahan ini.
GS : Jenis komunikasi yang lain Pak Paul, yang dibutuhkan di dalam pernikahan itu?

PG : Yang ketiga adalah komunikasi yang penuh kasih atau loving, komunikasi yang loving, yaitu apa? Memperhatikan kepentingan pasangan dan memandang masalah dari perspektifnya. Jadi dalam berkounikasi kita tidak hanya tertarik menyampaikan pikiran kita, isi hati kita kepada pasangan kita, tetapi waktu kita berkomunikasi kita lebih tertarik mengetahui apa pikirannya dia, apa perasaannya, apa yang menjadi kerinduannya sekarang ini.

Jadi kita lebih memikirkan dia, nah ini saya kira adalah tahap yang memang paling puncak tapi waktu pasangan bisa berbuat seperti itu memikirkan apa yang diinginkan pasangannya, kenapa dia berpikir begitu, kenapa dia marah, o....berarti begini, OK-lah saya coba untuk memenuhi seperti ini. Itu komunikasi yang penuh cinta, penuh kasih benar-benar akan mengintimkan pasangan. Namun saya harus ulangi lagi bahwa, kita tidak mungkin sampai ke puncak tadi kalau kita tidak melewati jalan yang paling bawah yaitu mulai dengan komunikasi tetek bengek, sharing, cerita apapun begitu. Yang kedua adalah yang edifying, yang membangun, kata-kata yang positif. Kalau kita menyoroti yang negatif tidak mungkin sampai ke atas, kita tidak merasa dikasihi oleh dia, kalau terus dicela-cela.
GS : Pak Paul, memang ini sesuatu yang penting, apakah ada bagian dari firman Tuhan yang menguatkan perbincangan kita ini?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 14:23, "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan, tetapi kata-kata belaka mendatangkan kekurangan saja." Firman Tuhan mengajak kita berjeri payah dan menjanjikan bahwa dalam jerih payah ada keuntungan.

Tetapi orang yang hanya bisanya bicara, menuntut kanan-kiri tidak akan memetik apapun, jadi dimulailah dengan jerih payah.

GS : Baik terima kasih sekali Pak Paul juga Ibu Wulan, terima kasih untuk berbincang-bincang pada saat ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Keintiman". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



28. Mempertahankan Romans


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T140A (File MP3 T140A)


Abstrak:

Romans adalah perasaan cinta yang kuat. Sering kali kita mendengar bahwa dengan berjalannya waktu, cinta yang kuat ini bisa menipis dan akhirnya hilang. Romans mempunyai 2 fungsi yang dapat kita katakan 2 sisi dari 1 koin yang sama. Banyak orang menganggap bahwa romans ini tidak perlu dibangun seperti dulu waktu pacaran, tetapi akhirnya malah menghancurkan pernikahan mereka.


Ringkasan:

Pentingnya Romans

Romans mempunyai dua fungsi utama dalam pernikahan:

  1. Pertama, sebagai perekat yakni menghadirkan pasangan di hati kita dan memfokuskan pada kebaikannya.

  2. Kedua, sebagai penghapus yakni menghapus kesalahan pasangan dari hati kita.

"Kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain sebab kasih menutupi banyak sekali dosa." 1 Petrus 4:8

Kesalahpahaman Mengenai Romans:

  1. Keintiman dibangun di atas sejumlah faktor atau hal-hal kecil yang kita lakukan bersama di dalam pernikahan. Misalnya, pergi berdua, berjalan berdua, belanja berdua, menonton televisi berdua, bernyanyi berdua, berhubungan badan, dan lainnya. Romans merupakan hasil atau akibat dari semua hal-hal kecil yang kita lakukan bersama itu. Sering kali kita berpikir bahwa romanslah yang membuat kita ingin melakukan semua hal-hal itu. Ini pandangan yang keliru. Romans bukan penyebab; romans adalah akibat.

  2. Romans berkaitan erat dengan faktor "bagaimana": Bagaimana kita memperlakukan pasangan kita tatkala kita bersamanya? Secara spesifik romans berhubungan erat dengan kelembutan. Dengan kata lain, semakin lembut kita memperlakukan pasangan kita, semakin besar kemungkinannya kita mengalami romans. Sekali lagi kita melihat di sini, romans bukanlah penyebab, romans adalah akibat. Pengamatan membuktikan bahwa pasangan yang sampai tua berhasil mempertahankan romans adalah pasangan yang menunjukkan kelembutan kepada satu sama lain.

Saran Mempertahankan Romans:

  1. Habiskan waktu bersama untuk melakukan hal-hal yang kita berdua nikmati. Jangan memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak kita sukai, hal ini hanya akan merusak suasana dan meninggalkan kesan yang buruk.

  2. Jika ada masalah, bicarakan dan selesaikanlah! Jangan sampai kejengkelan menghentikan kita melakukan kegiatan bersama.

  3. Rencanakanlah kegiatan bersama; kekonsistenan adalah kunci romans.

Kesimpulan:
Ingat, pernikahan dibangun di atas fakta. Satu aktivitas yang riil lebih baik daripada seribu impian.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judu "Mempertahankan Roman", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul karena judul perbincangan kali ini adalah mempertahankan roman, sebenarnya pengertian roman itu sendiri apa Pak Paul?

PG : Roman adalah perasaan cinta yang kuat Pak Gunawan, dan ini adalah bagian yang penting dalam pernikahan. Memang adakalanya kita ini sebagai orang Kristen menekankan pentingnya kasih agape, kasih agape adalah kasih tanpa syarat menerima pasangan kita apa adanya dan kasih agape itu selalu diasosiasikan dengan kasih yang muncul dari pilihan secara rasional, tidak terpengaruh oleh perasaan. Nah sudah tentu saya setuju ini adalah landasan untuk pernikahan, namun sebaliknya saya juga ingin menekankan bahwa perasaan cinta yang kuat itu juga sangat penting dalam pernikahan. Bukankah yang membawa kita dekat dan akhirnya menikah dengan pasangan kita adalah perasaan cinta yang kuat itu, yang sering kali kita dengar adalah dengan berjalannya waktu akhirnya cinta yang kuat ini mulai menipis dan akhirnya hilang. Oleh karena itulah saya kira penting bagi kita menyadari bahwa unsur roman ini perlu ada dan kita perlu belajar bagaimana mempertahankan api roman ini agar akhirnya tidak padam.

GS : Apakah itu juga yang banyak orang mengatakan sebagai birahi Pak Paul?

PG : Birahi lebih ke arah seks, nafsu Pak Gunawan, sudah tentu keduanya memang ada faktor tumpang tindih tapi saya kira roman lebih luas daripada birahi kalau birahi itu terfokus pada relasi sesual, roman itu lebih luas dalam pengertian ini adalah suatu perasaan cinta yang sangat kuat yang benar-benar meliputi semua aspek dalam kehidupan kita bersama.

GS : Atau mungkin yang orang sebut dengan kemesraan Pak Paul?

PG : Saya kira kita dapat terjemahkan roman dengan kemesraan yaitu perasaan cinta yang kuat.

GS : Sebenarnya kenapa harus dipertahankan, lama-lama kemesraan atau roman itu 'kan bisa berkurang Pak Paul, apakah ada faktor-faktor yang menyebabkan roman itu bisa berkurang?

PG : Ada Pak Gunawan, biasanya yang pertama yang paling alamiah adalah karena kita sudah terbiasa dengan pasangan kita, maka tidak ada lagi elemen kejutan dalam relasi kita dan biasanya kalau kta sudah hidup bersama dengan seseorang untuk waktu yang cukup lama maka unsur-unsur yang kuat yang menarik kita padanya secara alamiah makin berkurang, oleh sebab itu saya tadi tekankan bahwa kita harus mempertahankannya.

Jadi asumsinya di sini adalah tanpa usaha dari pihak suami dan istri secara terencana, secara sengaja memang pada akhirnya roman atau cinta yang kuat itu makin hari bisa makin kecil apinya.
GS : Apakah peran atau fungsi roman dalam hubungan suami-istri atau pernikahan itu Pak Paul?

PG : Sekurang-kurangnya ada dua Pak Gunawan, yang pertama adalah roman itu sebagai perekat pernikahan artinya apa, artinya dengan adanya rasa cinta yang kuat itu kita sebetulnya menghadirkan paangan di dalam hati kita dan kita lebih memfokuskan pada kebaikannya.

Dalam pernikahan saya kira perlu roman karena roman memang mengakrabkan atau merekatkan, dan sekali lagi saya ingin tekankan cinta yang kuat itu sebetulnya menghadirkan pasangan kita dalam hati kita. Bukankah kita dapat melihat contoh seperti ini Pak Gunawan, kalau cinta sudah pudar maka pasangan kita tidak hadir lagi di hati kita. Tidak hadir artinya kita mulai melupakannya, ulang tahunnya mulai tidak kita ingat, hal-hal yang penting baginya tidak kita perdulikan, hal-hal yang dia sukai tidak kita ketahui, nah kalau sudah sampai kasus atau tahap yang sangat buruk kita akhirnya melakukan hal-hal yang kita tahu salah dan mungkin saja hal-hal yang sangat buruk bagi pernikahan kita, namun kita tetap melakukan. Nah pertanyaannya, kenapa kita tetap melakukan karena pasangan kita tidak hadir di hati kita maka kita bisa melakukan hal-hal yang buruk itu, misalkan berselingkuh.
GS : Fungsi yang lain apa Pak Paul?

PG : Fungsi yang lain adalah sebagai penghapus maksudnya menghapus kesalahan-kesalahan pasangan kita dari hati kita, nah tanpa roman kesalahan pasangan itu melekat di hati tapi dengan adanya cita yang kuat maka kesalahan pasangan kita akan luntur atau tidak menempel pada hati kita.

Saya akan kembali ke Firman Tuhan di sini 1 Petrus 4:8 berkata: "Kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa." Kasihilah sungguh-sungguh jadi kalau saya boleh gunakan istilah kita di sini mesralah, cintailah, dengan sangat kuat cintailah dengan rasa roman yang kuat sebab cinta yang kuat itu akan menutupi banyak sekali dosa, artinya apa kita memilih untuk tidak mengingat, kita bisa tidak mengingat, kenapa bisa tidak mengingat kesalahan pasangan kita sebab cinta yang kuat itulah yang akan melunturkan kesalahan pasangan kita dari hati itu maka saya panggil atau saya sebut roman itu adalah penghapus seperti kita menghapus tulisan yang salah nah demikianlah roman menghapus kesalahan-kesalahan pasangan dari hati kita.
GS : Jadi fungsi itu walaupun tadi Pak Paul sebutkan dua tapi sebenarnya kan saling mengisi Pak Paul, artinya merupakan satu kesatuan yang sebenarnya sulit dipisahkan.

PG : Betul sekali jadi roman memang mempunyai dua fungsi yang dapat kita katakan dua sisi dari satu koin yang sama, yang pertama adalah merekatkan dua hati artinya kita menghadirkan pasangan daam hidup kita, dalam hati kita sedangkan yang kedua adalah penghapus kita mentidakhadirkan atau menghilangkan kesalahan pasangan dari hati kita.

GS : Mungkin banyak orang yang kurang memperhatikan hal ini Pak Paul, itu karena dia sendiri kurang mengerti atau bahkan mungkin salah paham terhadap kemesraan atau roman itu, dia merasa kalau sudah menikah tidak perlu lagi seperti dulu waktu pacaran atau tidak perlu lagi ditumbuhkembangkan Pak Paul?

PG : Saya kira itu tepat Pak Gunawan banyak kesalahpahaman di seputar topik roman ini, yang ingin saya tekankan adalah keintiman dibangun di atas sejumlah faktor atau hal-hal kecil yang kita laukan bersama di dalam pernikahan kita.

Misalnya kita pergi berdua, kita berjalan berdua, belanja berdua, menonton TV berdua, bernyanyi berdua, berhubungan badan dengan pasangan kita, nah semua itu adalah hal-hal kecil tapi kita melakukan terus-menerus berdua dengan pasangan. Yang ingin saya tekankan adalah roman sebetulnya merupakan hasil atau akibat dari semua hal-hal kecil yang kita lakukan bersama itu, sering kali kita berpikir bahwa romanlah yang membuat kita ingin melakukan semua hal-hal itu, orang kadang-kadang berkata saya tidak kepingin, tidak mau pergi dengan pasangan saya, kenapa tidak ada rasa cinta lagi, tidak ada lagi roman, tidak ada lagi api itu, tidak mau saya pergi nonton berdua dengan pasangan, tidak mau lagi bernyanyi berdua, tidak mau lagi berjalan berdua nah sedangkan yang menjadi alasannya adalah tidak ada roman, tidak ada perasaan cinta yang kuat maka tidak ingin melakukan semua itu saya kira inilah salah satu letak kesalahpahamannya. Justru roman muncul karena kita melakukan hal-hal kecil itu terus-menerus dari awal pernikahan kita, memang kalau kita pernah menghentikan melakukan ini untuk waktu yang sangat lama, untuk menumbuhkannya lagi sangat sulit itu betul saya akui, tapi kalau kita dari awal pernikahan dengan penuh disiplin kita melakukan semua hal itu bersama-sama dengan pasangan kita perlahan-lahan kita akan melihat hasilnya yaitu roman akan terus bertunas justru roman terus bertunas gara-gara kita melakukan semua hal-hal itu.
GS : Apakah itu berarti sekalipun hati kita itu kurang suka melakukan misalnya jalan-jalan atau berhubungan badan tetapi harus dipaksakan Pak Paul?

PG : Saya setuju, jadi hal-hal kecil ini atau aktivitas bersama ini memang perlu dilakukan dengan penuh disiplin sehingga kita tetap, bisa memberikan wadah roman itu bertunas, kalau wadahnya suah kita buang bagaimanakah bisa bertunas dengan kata lain kita hanya bisa menanam benih kalau ada tanah dan ada potnya tidak ada tanah, tidak ada potnya bagaimana bisa menumbuhkan tanaman di situ, maka aktivitas bersama dapat saya identikkan dengan pot dan tanah dalam pot itu barulah akhirnya roman bisa terus bertunas.

GS : Ya itu kadang-kadang yang menjadi masalah itu Pak Paul, si suami berminat atau tetap melakukan istrinya tidak, tetapi pada saat yang lain yang sebaliknya terjadi istrinya berminat suaminya tidak, sehingga itu membuat makin lama aktivitas itu makin jarang mereka lakukan.

PG : Kalau itu yang mulai terjadi memang pasangan ini harus berbicara, masing-masing harus saling mengingatkan, kita sudah lama misalnya tidak berhubungan badan setiap kali aku yang mengambil iisiatif engkau kok tidak mengambil inisiatif nah sekali-sekali cobalah engkau yang juga berinisiatif, sekali-sekali engkaulah yang juga membicarakan dan menginginkannya atau kita pergi bersama, makan bersama setiap minggu kemudian selama misalkan dua atau tiga minggu tidak pergi karena ada yang sakitlah atau apalah tapi yang satu seolah-olah kok tenang-tenang saja, tidak melontarkan ide untuk pergi bersama lagi, nah saya kira itulah waktunya bagi pasangan yang satunya untuk mengingatkan.

"Kita tidak pergi selama tiga minggu ini dan saya kira kita mesti pergi lagi," jadi siapa yang melihat dan merasakan mengingatkan nah kuncinya di sini adalah kerendahan hati Pak Gunawan. Kalau kita mempertahankan gengsi tidak mungkin kita bersedia mengingatkan pasangan kita, nanti kita rasanya kok terhina nah mesti memang rendah hati untuk berani mengungkapkan keinginan tersebut.
GS : Selain kesalahpahaman itu Pak Paul apakah ada kesalahpahaman yang lain?

PG : Roman itu berkaitan erat dengan faktor bagaimanakah kita memperlakukan pasangan kita tatkala kita bersamanya. Secara spesifik roman berhubungan erat dengan kelembutan dengan kata lain semain lembut kita memperlakukan pasangan kita semakin besar kemungkinannya kita mengalami roman.

Sekali lagi kita melihat di sini bahwa roman bukanlah penyebab, roman adalah akibat, gara-gara kita memperlakukan pasangan kita dengan lemah lembut, dengan penuh kasih sayang, nah roman muncul. Perasaan cinta yang kuat itu makin hari makin bertunas, pengamatan membuktikan (ini yang saya amati Pak Gunawan) bahwa pasangan yang sampai tua berhasil mempertahankan roman adalah pasangan yang menunjukkan kelembutan kepada satu sama lain. Saya mau memberikan catatan Pak Gunawan ada orang yang masih bisa berhubungan seksual tapi tidak mempunyai kelembutan nah apa yang terjadi, kelembutan adalah prasyarat munculnya cinta atau roman tapi nafsu atau birahi tetap bisa ada di tengah-tengah hampanya roman, di tengah-tengah relasi yang tidak baik sekalipun jadi dalam situasi yang tidak baik karena dorongan-dorongan biologis memang masih bisa ada hubungan badan, antara suami-istri tapi itu adalah 100% birahi, tapi kalau roman lain lagi roman hanya bisa bertunas jika ada kelembutan nah bagaimana kita memperlakukan pasangan kita itu.
GS : Berarti yang kedua ini menurut saya lebih sukar daripada yang pertama tadi, yang pertama mungkin kita masih bisa penuhi melakukan itu, tetapi masalahnya bagaimana itu tadi. Nah kalau sudah sampai ke bagaimana Pak Paul, ini sebenarnya apa yang harus kita lakukan kalau memang seperti tadi sudah agak dipaksakan pergi berdua atau makan keluar sehingga bagaimananya itu tadi mutunya rendah sekali Pak Paul tidak ada kelembutan mungkin dilakukan dengan marah-marah atau dipaksakan seperti yang Pak Paul tadi katakan itu.

PG : Inilah yang membuat sebagian orang akhirnya berkata saya tidak mau pergi dengan dia buat apa saya pergi dengan dia karena nanti dia akan marah atau apa jadi dua-dua mesti memegang komitmenbahwa waktu kita pergi bersama kita harus menjaga emosi kita jangan meledak atau apa barulah waktu itu menjadi waktu yang berharga.

GS : Pak Paul apakah ada saran yang praktis yang bisa kita sampaikan kepada para pendengar kita Pak Paul?

PG : Ada tiga yang bisa saya berikan Pak Gunawan, yang pertama adalah habiskan waktu bersama untuk melakukan hal-hal yang kita berdua nikmati, adakalanya pasangan berpikir pokoknya lakukanlah sya tidak nikmati ya kamu nikmati ya sudah.

Dalam hubungan yang kuat hal itu tidak menjadi soal, dalam hubungan nikah yang rapuh hal itu pasti menjadi masalah, karena yang satu akan berkata saya hanya pergi menemani engkau, engkau yang menikmati, aku tidak menikmati. Dalam kondisi seperti itu masih rapuh kemudian melakukan hal yang satu senang, yang satu tidak senang saya kira roman tidak mungkin bertunas jadi daripada kondisi yang rapuh itu memaksakan melakukan sesuatu yang satunya tidak bisa nikmati saya kira lebih baik pilihlah satu hal yang dua-dua nikmati, pilihlah satu hal itu misalkan berjalan bersama kalau 1 jam kelamaan buatlah setengah jam, menonton film yang dua-duanya bisa sama-sama menikmati misalkan mendengarkan lagu yang dua-dua bisa nikmati, nah akhirnya apa yang terjadi kalau bisa duduk bersama atau melakukan satu hal bersama yang dua-dua nikmati kecenderungan yang lebih besar adalah roman bisa muncul, jadi roman muncul dari perasaan yang positif menikmati sesuatu bersama.
GS : Tetapi dalam hal itupun saya rasa kalau salah satu itu hanya memaksakan keinginannya itu tidak akan tercapai juga Pak Paul agak sulit menemukan hal yang bisa dikerjakan bersama-sama jadi ada unsur agak mengalahnya itu.

PG : Mesti ada unsur mengalahnya tetapi sekaligus mesti berusaha keras mencari satu dua aktivitas yang bisa dilakukan bersama, nah saya percaya seburuk-buruknya relasi nikah antara dua orang metilah ada hal-hal yang mereka bisa lakukan bersama dan menikmatinya bersama, tidak mungkin tidak ada sama sekali jadi ya mesti benar-benar jeli memilih satu, dua hal dan mencoba lakukan bersama.

Jadi salah satu prinsip mempertahankan roman di sini yang bisa kita petik adalah roman muncul dari kenikmatan bersama kalau tidak menikmati justru akan menimbulkan kesan buruk.
GS : Ya dan itupun menurut pengalaman saya sekalipun pada mulanya kita tidak menikmati itu, dengan berjalannya waktu kita melakukan itu lama-lama menikmati juga Pak Paul?

PG : Betul dan memang Pak Gunawan dalam relasi yang kuat akhirnya makin sedikitlah hal-hal yang kita merasa berkeberatan untuk melakukannya sebab hubungan kita begitu kuat sehingga kita lebih rla melakukan hal-hal bersama pasangan kita meski tidak terlalu kita nikmati tapi hubungan yang sangat rapuh wah tidak bisa ini mereka akan sangat-sangat mudah bertentangan kalau melakukan sesuatu yang dua-duanya tidak nikmati.

GS : Apakah ada saran yang lain Pak Paul?

PG : Salah satu pembunuh roman adalah problem, pertengkaran, masalah, nah makanya perlu dua-dua berani untuk membicarakan problem, tidak menyimpannya terus-menerus, berani menyelesaikannya, menambil inisiatif berbicara kalau perlu pergi ke seorang hamba Tuhan, seorang konselor untuk meminta bantuannya menyelesaikan problem kita artinya apa gini jangan sampai kejengkelan menghentikan kita melakukan kegiatan bersama sebab kejengkelanlah akan membuat kita berkata engkau pergi sendiri saya tidak mau nah itu yang harus kita bereskan.

GS : Mungkin selain kejengkelan itu ada rasa jera atau kapok Pak Paul?

PG : Ya sering kali.

GS : Melakukan sesuatu kapok, sudah lain kali tidak lagi.

PG : Betul, buat apa melakukan ini lagi kalau ini hasilnya.

GS : Nah itu sebenarnya kalau kita bisa menemukan alternatif yang lain meninggalkan kegiatan itu, tapi menemukan kegiatan yang lain saya rasa tidak apa-apa.

PG : Betul bisa kita lakukan itu.

GS : Bagaimana dengan saran yang lain Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah rencanakanlah kegiatan bersama jadi saya mau tekankan ini kekonsistenan adalah kunci roman. Roman tidak dibangun di atas kejutan-kejutan, surprise-surprise terus-meners lama-lama kita kehabisan surprise, kehabisan kejutan jadi rencanakan kegiatan untuk kita lakukan bersama-sama, makin konsisten makin kuat roman itu untuk bisa bertahan.

GS : Dari seluruh pembicaraan ini Pak Paul mungkin Pak Paul bisa menyimpulkan agar para pendengar bisa lebih jelas lagi.

PG : Kadang kala kita memikirkan roman sebagai sesuatu yang bersifat magis datang dari luar tiba-tiba muncul di hati kita, jangan berpikir seperti itu lagi. Saya mau tekankan bahwa pernikahan dbangun di atas fakta.

Fakta artinya aktivitas-aktivitas yang riil yang kita lakukan, roman dibangun di atas aktivitas-aktivitas yang nyata yang riil, jadi pesan saya adalah satu aktivitas yang riil kita lakukan bersama lebih baik daripada seribu impian kalau saja saya punya roman dan sebagainya itu tidak akan menghasilkan apa-apa tapi aktivitas yang nyata yang kita lakukan bersama adalah awal dari munculnya roman setaraf pernikahan kita.
GS : Tetapi memimpikan sesuatu secara bersama-sama Pak Paul apakah itu juga bukan salah satu bentuk aktivitas yang bisa meningkatkan roman kita?

PG : Bisa kalau memang kita berdua ya bisa membicarakannya, hal-hal yang kita ingin lakukan bersama itu boleh, yang saya maksudkan tadi adalah impian-impian kapan roman itu datang, kapan cinta aya bisa kembali lagi, tidak bisa muncul dengan hanya memikirkan, hanya bisa muncul dengan cara melakukan hal-hal atau kegiatan bersama-sama.

GS : Jadi walaupun pada awalnya itu suatu tindakan yang sederhana kita bisa menganjurkan kepada para pendengar untuk mulai melangkah, mulai mencoba untuk melakukan itu Pak Paul.

PG : Betul dan mulai dengan hal-hal yang sederhana, pernah dengan satu pasangan saya bertanya: "Apa yang bisa kalian lakukan bersama?" Seseorang berkata: "Oh pasangan saya suka masak, oke bagaiana kalian berdua mulai masak minggu ini satu hari saja, satu makanan saja untuk satu minggu satu hari memilih masak bersama jadi hal yang simple yang mungkin kok rasanya tidak begitu bermakna namun justru bermakna.

GS : Apakah itu membutuhkan waktu yang lama Pak Paul untuk membangun roman ini?

PG : Saya kira kalau kita sudah awali dari awal pernikahan itu kita masih bisa melangsungkannya terus, memang kalau kita terhenti untuk memulainya perlu waktu jadi bersabarlah.

GS : Jadi ini butuh suatu ketekunan kedisiplinan untuk tetap mempertahankan roman ini.

PG : Tepat sekali.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mempertahankan roman". Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluargga kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mngucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



29. Makna Ditemani


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T144A (File MP3 T144A)


Abstrak:

Ada perbedaan antara makna ditemani pada pria dan wanita. Dan inilah yang sering kali menimbulkan kesalahpahaman dan masalah dalam pernikahan. Dan melalui materi ini kita akan mengetahui perbedaan-perbedaan tesebut.


Ringkasan:

Makna ditemani bagi wanita:

  1. Aku ingin dikenal (dikenal dengan mendalam), wanita ingin suaminya mengenal dia, sehingga apa yang ada dalam pikirannya sudah bisa terbaca oleh si suami.

  2. Aku ingin dikasihi, pasangan kita memperlakukan kita berbeda daripada dia memperlakukan orang lain. Menempatkan kita secara spesial, membuat kita merasakan jelas bahwa kita yang paling utama baginya.

  3. Aku ingin diperhatikan, wanita menginginkan suaminya memperhatikan secara fisik atau jasmaniah.

Dampak:
Apabila wanita tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhannya ini, yang terjadi adalah dia akan merasa kosong, artinya dia seolah-olah kehilangan pegangan dalam hidupnya.

Makna ditemani atau didampingi bagi Pria:

  1. Pria menginginkan istrinya di rumah.
  2. Pria mengharapkan istri bisa memahami pikirannya.

Dampak:
Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, pria akan merasa kesepian. Ini kadang-kadang kita temukan dalam keluarga. Ada ayah atau suami yang di rumahnya sendiri merasa sebagai orang asing. Karena dia merasa istrinya tidak mau mengerti dia.

Firman Tuhan: "Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan, ia memperdengarkan suaranya."

Ini diambil dari kitab Amsal 1-2. Kita perlu hikmat, hikmat tidak memfokuskan pada yang besar-besar tapi pada yang kecil, namun berarti. Dan Tuhan memberikan hikmat itu asal kita juga mencarinya dan bertanya kepada Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Ditemani", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan, yang akan kita bahas pada saat ini adalah materi yang pernah saya bawakan dalam ceramah yang berjudul "Aku Hanya Minta Ditemani". Dan pada dasarnya yang akan kita bahas adaah perbedaan makna ditemani pada pria dan wanita, sebab yang akan kita ungkapkan adalah meskipun sama, tapi artinya tidak sama, nah ini yang sering kali menimbulkan kesalahpahaman antara suami dan istri dan menimbulkan masalah juga dalam pernikahan.

GS : Mungkin yang banyak kita pikirkan itu suatu masalah yang sepele Pak Paul, hanya minta ditemani, didampingi dan sebagainya. Apakah itu mempunyai makna tersendiri baik bagi pria maupun wanita?

PG : Sebetulnya memang ada perbedaan makna antara wanita dan pria. Yang saya akan jabarkan sekurang-kurangnya ada tiga Pak Gunawan, yang pertama adalah bagi wanita. Waktu wanita berkata aku ngin ditemani, sebetulnya yang dimaksud olehnya adalah aku ingin dikenal.

Wanita ingin suaminya mengenal dia, sehingga apa yang ada dalam pikirannya sudah bisa terbaca oleh si suami, sebelum dia mengatakannya sudah bisa direka oleh si suami, terjadi perubahan pada wajahnya diketahui oleh si suami. Nah, pengenalan yang dalam seperti itu membuat wanita merasa didampingi, dia bersama suaminya. Jadi kalau kita putar situasinya kalau si suami tidak memberikan komentar yang menunjukkan bahwa dia mengetahui, dia mengenal kondisi istrinya, itu membuat si istri merasa suaminya itu jauh darinya, tidak bersama dengannya, tidak berdampingan dengannya. Jadi makna pertama bagi wanita ditemani atau didampingi berarti dikenal dengan mendalam.
GS : Jadi perbincangan ini kita fokuskan pada hubungan suami-istri Pak Paul?

PG : Betul, secara khusus memang kita akan fokuskan pada hubungan suami-istri.

GS : Tetapi pengenalan itu 'kan membutuhkan waktu lama, artinya si suami ini dituntut lebih banyak menemani atau mendampingi istrinya.

PG : Ya memang pada saat-saat suami di rumah atau suami itu bersama dengan si istri, sudah tentu harus ada waktu yang diberikan kepada si istri agar si suami bisa mengenal istrinya.

GS : Tetapi apakah cukup dengan mengenal itu saja Pak Paul?

PG : Saya kira ada yang lainnya lagi Pak Gunawan. Makna berikutnya lagi adalah dikasihi, waktu wanita berkata aku ingin didampingi, aku ingin ditemani, itu juga berarti aku ingin dikasihi. Nh, sebagaimana pernah saya ungkapkan sebelumnya, ternyata dikasihi itu tidaklah berdiri sendiri dalam kevakuman atau kekosongan, kita itu tahu dikasihi kalau kita melihat bahwa pasangan kita memperlakukan kita berbeda daripada dia memperlakukan orang lain.

Dia menempatkan kita secara khusus, secara spesial, dia membuat kita merasakan jelas bahwa kita itu yang paling utama baginya. Nah, jadi waktu wanita berkata kepada suaminya aku ingin ditemani, aku ingin didampingi olehmu, itu berarti aku ingin dikasihi. Dikasihi sedemikian spesialnya, sehingga dia merasakan tidak ada lagi di dalam hati suami orang lain yang sepenting dan seindah dia.
GS : Tetapi apakah itu tidak membutuhkan ungkapan melalui kata-kata Pak Paul?

PG : Saya kira tindakan-tindakan langsung melalui kata-kata sudah tentu harus, jadi ini yang kadang-kadang menjadi masalah Pak Gunawan. Sebagian pria berkata saya sudah mengasihi istri saya alam hati saya dan tidak perlu saya ungkapkan, saya bekerja, saya bertanggung jawab sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah itu sudah cukup.

Saya kira itu baik, namun betapa lebih indahnya kalau kasih itu juga dinyatakan melalui kata-kata, seperti aku mengasihimu, engkau adalah orang yang penting sekali bagiku, tidak ada orang lain dalam hidupku selain engkau dan sebagainya. Kalau diungkapkan secara berkala hal itu akan berdampak besar pada kehidupan seorang wanita.
GS : Selain dikenali dan dikasihi, apakah mungkin ada tuntutan lain di dalam diri si istri dengan minta ditemani itu Pak Paul?

PG : Yang lainnya lagi adalah aku ingin ditemani itu berarti aku ingin diperhatikan. Wanita menginginkan suaminya memperhatikannya secara fisik atau jasmaniah. Misalkan dia memakai baju yangbaru, dia akan sangat mengharapkan suaminya bisa melihat bahwa dia memakai baju yang baru.

Bahwa waktu dia mengubah gaya rambutnya, model rambutnya, suaminya bisa memberikan komentar juga kepadanya. Nah, perubahan sedikit pada penampilannya kemudian bisa dilihat oleh si suami, itu menandakan dia diperhatikan, dia bukanlah seperti patung di rumah, seperti pajangan di rumah, yang setelah berada di rumah kita beberapa waktu kita tidak lagi memberikan perhatian kepadanya. Nah, istri ingin sekali mendapatkan perhatian seperti itu dari suami, kadang-kadang saya juga mengakui kita kaum pria-pria ini suka hal-hal lain. Kita menganggap biasa-biasa saja, buat apa saya komentari tapi hal-hal itu penting bagi wanita, dia senang mendengar kata-kata si suami yang menunjukkan bahwa si suami itu memperhatikan dirinya, sehingga perubahan-perubahan sekecil apapun bisa diketahui oleh si suaminya.
GS : Memang kadang-kadang kalau istri baru potong rambut segala macam kadang-kadang tidak terlihat Pak Paul?

PG : Kadang-kadang pria itu memang melihat dengan global, sehingga kurang melihat secara mendetail, akhirnya si istri lama-lama beranggapan saya ini seperti pajangan di rumah, kok tidak diliat lagi, sampai berdebu dan sebagainya.

Nah, penting sekali si suami itu memberikan tanggapan-tanggapan kepada istri.
GS : Bagaimana dengan perlindungan, apakah dengan minta didampingi berarti istri minta dilindungi?

PG : Saya kira itu juga termaktub Pak Gunawan, jadi wanita menghendaki suami mengayominya, memberikan rasa aman untuknya. Itu sudah tentu termaktub dalam makna aku ingin didampingi atau diteani.

GS : Kalau kebutuhan-kebutuhan seperti itu, (seperti Pak Paul katakan, kita ini para pria kurang bisa memberikan hal itu) apakah ada dampak yang negatif kalau hal itu sampai tidak terpenuhi?

PG : Biasanya kalau wanita tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhannya, dia akan merasa kosong artinya dia seolah-olah kehilangan pegangan dalam hidupnya, maka kita bisa melihat Pak Gunawan, waita atau istri yang tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhannya ini.

Dia tidak merasakan dia itu dikenal oleh suami, dia tidak merasakan bahwa suaminya mengasihinya, dia tidak merasakan suaminya memperhatikannya atau diayomi oleh suaminya, nah dia akan merasa kosong. Jadi kita melihat kekosongan pada hidupnya, kita akan melihat seorang wanita yang seolah-olah hanya menjalani hidup hari lepas hari tapi tidak mempunyai bobot yang membuatnya berjalan menapaki hidup ini, benar-benar kosong, tidak ada lagi arahan dalam hidupnya.
GS : Tadi Pak Paul sudah menyampaikan kebutuhan-kebutuhan seorang istri ditemani suaminya, Apakah seorang suami juga memiliki kebutuhan seperti itu Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan ternyata tidak sama maknanya bagi para suami ini. Yang pertama, bagi seorang suami minta ditemani atau didampingi itu berarti dia menginginkan istrinya di umah.

Ini mungkin kedengaran konvensional atau kuno, tapi kebanyakan suami menghendaki istrinya di rumah, terutama pada waktu dia pulang kerja. Memang ada yang harus kerja, pulangnya harus lebih terlambat dan sebagainya karena tuntutan ekonomi. Kalau tidak ada tuntutan ekonomi, saya kira kebanyakan pria lebih senang kalau istrinya di rumah sewaktu dia pulang dari kerja, sebab bagi dia penting, ada orang di rumah, ada istrinya di rumah. Dia tidak begitu nyaman menjumpai rumah yang kosong, dan dia harus di rumah satu jam, dua jam sebelum akhirnya istrinya pulang. Nah, itu hal yang memang tidak menyenangkan, maka ada sebagian suami karena dia harus berdiam sendirian di rumah satu jam, dua jam sebelum istrinya pulang akhirnya diapun memutuskan akan pergi, meskipun seharusnya sudah bisa pulang, tapi daripada di rumah tanpa istri lebih baik keluyuran dan sebagainya. Jadi sekali lagi makna didampingi atau ditemani bagi pria, secara harafiah berarti ada orang di rumah.
GS : Itu mungkin menimbulkan kenyamanan tersendiri karena dia memang ingin berjumpa dengan istrinya Pak Paul?

PG : Betul, dalam pengertian memang relasi mereka baik, sudah tentu kalau relasinya buruk dia akan juga susah kalau sering-sering bertengkar di rumah. Tapi meskipun hubungannya tidak terlalubaik pun, sesungguhnya tetap sama, pria kalau pulang ke rumah dia menginginkan ada istrinya.

Atau misalkan pada hari Minggu, waktunya dia di rumah, tidak bekerja dia akan senang sekali kalau istrinya juga di rumah. Nah, kadang-kadang yang terjadi adalah si istri repot, ada kegiatan di sini, di sana dan harus pergi meninggalkan rumah, mungkin sekali suami tidak berkata apa-apa. Dia berkata tidak apa-apa, untuk kamu supaya bisa terlibat dalam kegiatan sosial atau gerejawi, namun tetap di lubuk hatinya dia mengharapkan sebetulnya istrinya itu di rumah.
GS : Apakah itu suatu kebutuhan bahwa nanti kalau istrinya di rumah bisa melayani dia, artinya menyiapkan bajunya, menyiapkan air mandinya, atau apa Pak Paul?

PG : Sebagian pria masih mengharapkan hal-hal yang mendetail seperti itu, tapi saya kira kebanyakan pria pada masa kini tidak lagi terlalu mengharapkan istri yang menyiapkan baju dan sebagaiya.

Sudah tentu sebagian besar pria masih mengharapkan istrinya memasak dan sebagainya, tapi pada umumnya selain dari memasak ya suami-suami itu cukup puas kalau istrinya di rumah, bisa ada pembicaraan, ngobrol, nonton televisi bersama dan sebagainya tapi setidak-tidaknya ada istri di rumah. Salah satu kebutuhan suami sebetulnya berkaitan juga dengan soal anak. Karena suami atau ayah biasanya kewalahan mengurus anak tanpa ada ibu atau istri di rumah, jadi salah satu motivasi kenapa dia menginginkan istrinya di rumah adalah untuk bisa menangani anak-anak.
GS : Tapi ada juga suami yang mengharapkan istrinya itu yang membukakan pintu rumahnya Pak Paul?

PG : Ada juga yang seperti itu, meng-klakson dari luar, istrinya membukakan pintu, saya kira hal-hal seperti itu tidak perlu, kalau dia sendiri bisa membuka pintu, kenapa bukan dia sendiri yng membuka pintu.

Orang di rumah mungkin ada kesibukan lain, harus tergopoh-gopoh keluar, jadi saya kira jangan sampai suami menjadikan istri itu seperti pelayannya.
GS : Apakah ada kebutuhan yang lain Pak Paul dengan si suami ini minta ditemani istrinya?

PG : Yang lainnya lagi adalah suami itu mengharapkan istri bisa memahami pikirannya, nah ini salah satu ha yang penting Pak Gunawan. Saya sering mendengar komentar dari pria yang berkata : sya tidak bisa berbicara dengan istri saya sebab tidak nyambung, nah daripada tidak nyambung, nanti akhirnya saya harus menjelaskan lebih baik tidak usah berbicara.

Jadi waktu suami berkata aku ingin didampingi, aku ingin ditemani, itu juga berarti aku ingin engkau juga bisa memahami bahasanya, terminologinya, konteks pembicaraannya, lapangan kerja dan sebagainya itu menolong sekali. Maka sebisanya istri sedikit banyak juga mengikuti perkembangan di luar atau perkembangan pekerjaan suaminya, sehingga waktu suaminya berbicara dia bisa mengerti. Kalau misalkan di pembicaraan sampai dia tidak mengerti apa yang dibicarakan suami, saran saya daripada langsung dipotong-potong, ditanya, ini apa artinya, ini aku tidak mengerti, ini kok bisa begini, nah ini bisa membuat jengkel si suami berbicara dengan istrinya. Jadi saran saya biarkan suami bercerita dulu, dengarkan saja, sebab biasanya yang diminta si suami itu istrinya mendengarkan (mungkin dia sedang menceritakan problemnya), nah nanti kalau sudah dia selesai berbicara, sudah lebih lega barulah si istri bisa bertanya: "Tadi engkau mengatakan ini, ini, ini, saya kurang mengerti, bisa tidak jelaskan ini?" Jadi setelah dia selesai baru sering-sering bertanya kalau ada yang kurang jelas.
GS : Dalam hal ini ada suatu perbedaan dengan istri yang minta dikenali secara fisik Pak Paul?

PG : Ya, sebetulnya dikenali itu mendalam, mengerti perasaannya. Bagi wanita memang yang lebih penting adalah perasaannya itu dikenali oleh si suami.

GS : Kalau suami tadi pikirannya, ide-idenya?

PG : Betul, terminologinya-lah, kenapa dia bepikir begini, kalau bagi wanita yang lebih penting dikenali adalah perasaannya. Dia lagi kesal, dia lagi capek, dia lagi tidak mood berbicara dansebagainya nah itu penting sekali suami bisa mengerti, mengenali perasaan-perasaan tersebut.

GS : Tapi kalau si suami itu bukan seseorang yang suka bicara, apakah si istri itu bisa mengerti arah pikiran atau pola pikiran dari suaminya.

PG : Kadang-kadang itu masalah dalam keluarga Pak Gunawan, sudah tentu kita tidak bisa membuat si suami yang tiba-tiba bawel kalau memang dasarnya pendiam. Jadi sebaiknya istri yang menemuka waktu yang tepat untuk suami bisa berbicara, kemudian langsung dengan metode bertanya: bagaimana ini, apa yang terjadi atau apa dan sebagainya, nanti si suami tolong yang menjawab dengan baik-baik, jangan sampai menjawab dengan jengkel.

GS : Tapi ada suami yang justru kalau ditanya-tanya seperti itu justru tidak senang Pak Paul?

PG : Kalau begitu istri bisa bertanya kepada suaminya bagaimanakah supaya bisa terjadi dialog di antara kita, mungkin cara aku bertanya kurang tepat, seperti apakah cara yang tepat supaya enkau bisa menyambut pertanyaanku dan sebagainya.

Jadi itu salah satu cara untuk menjembatani masalah ini. Namun memang salah satu kebutuhan pria yang juga berkaitan dengan ditemani ini adalah pria itu tidak suka diganggu Pak Gunawan, karena itulah kalau memang wanita cara bertanyanya, dan kurang tepat waktunya itu pria merasa terganggu. Dia ingin bisa menyortir dulu pemikiran-pemikirannya, kalau wanita bisa langsung mengeluarkan pikirannya meskipun belum terolah dan belum menjadi sesuatu yang rapi, kalau pria susah untuk langsung mengeluarkan pikirannya, perasaannya secara langsung tanpa mengolahnya. Jadi kebanyakan pria kalau ada masalah, dia ingin berdiam diri sejenak. Berdiam diri sudah tentu tidak mendiamkan istrinya, jadi bisa juga si suami berkata: "Mohon untuk saat ini saya minta jangan ditanya dulu, saya sedang memikirkan sesuatu, nanti saya akan memberitahukan kamu apa yang sedang saya pikirkan." Dengan cara seperti itu si istri mendapat jaminan bahwa sekarang ini suaminya tidak berbicara, tapi nanti dia akan berbicara sehingga ada komunikasi, dan sekaligus si suamipun tidak merasa didorong, dipaksa, diganggu, untuk berbicara sekarang juga.
GS : Tapi itu juga tergantung masalahnya juga, kalau yang mengganggu pikiran kita sebagai suami yang kita tahu bahwa itu salah kita, saya khususnya tidak senang kalau istri mengejar terus kok bisa sampai salah, apa yang menyebabkan salah, itu tidak senang. Saya hanya mau stop, saya tahu ini salah akibatnya seperti ini sudah, begitu.

PG : Saya kira bukan hanya Pak Gunawan, tapi saya dan sebagian besar pria memang mempunyai reaksi yang sama bahwa kita memang berpikir praktis. Kita ini para pria berpikirnya ya ini telah tejadi ya sudah, saya sudah mengetahui apa duduk masalahnya, saya pelajari bagaimana mencegah supaya jangan sampai terulang kembali kita tutup buku, begitu.

Sebab itulah pola pikir pria pada umumnya, praktis sekali dan memang bersifat global. Wanita lebih berorientasi pada detail, dia ingin tahu lebih banyak, apa yang menjadi masalah dan sebagainya dan itu yang membuat pria akhirnya merasa dipersalahkan dan dikorek-korek lagi untuk hal yang memang tidak menyenangkan kita. Saran saya kita sebagai pria berkata kepada istri kita: "Bisa tidak saya jelaskan nanti, saya sekarang tidak lagi mau berbicara soal itu, tapi saya akan jelaskan mungkin nanti malam atau besok saya akan jelaskan semuanya kepadamu." Nanti pada hari yang telah kita janjikan itu kita berbicara baik-baik, kita bisa memberitahukan dia: "Mohon kamu dengarkan dulu ya, saya tidak mau kamu di tengah percakapan saya memotong saya, bertanya kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu, mohon dengarkan dulu saya akan mencoba menjelaskan." Nah, kita jelaskan semuanya setelah itu selesai baru kita bertanya apa yang ingin kamu ketahui sekarang. Jadi dengan kata lain kita menstruktur percakapan itu, sebab ini penting buat pria, sehingga kita tidak merasa tercerai-berai, tidak mempunyai kendali lagi atas percakapan ini karena langsung dipojokkan kiri-kanan.
GS : Ada banyak pria (teman-teman saya) yang sering kali berkata : istri saya tidak mengerti saya, maksudnya apa Pak Paul, apakah istrinya itu tidak mengerti pikirannya, sikapnya atau apa Pak Paul?

PG : Sering kali kalau pria berkata begitu memang pikirannya, misalkan dia bermaksud baik sebetulnya tapi si istri tidak melihat maksudnya, tapi justru melihat kok kamu berbicara dengan oran itu misalkan, karena ternyata istri melihat sisi yang berbeda, aspek yang sama sekali tidak menjadi penting bagi si pria, ternyata itu yang dilihat oleh istri.

Misalkan dia menolong seseorang, si suami menolong seseorang, nah bagi si suami yang penting adalah orang itu susah dan saya harus menolong. Nah, bisa jadi si istri tidak melihat hal itu tentang si suami berniat baik menolong orang itu, si istri hanya menyoroti aspek, "kamu memberi dia uang, itu berarti nanti dia pikir kamu kaya," nah hal yang sama sekali tidak dipikirkan oleh si suami, tapi itu yang dilihat oleh si istri. Nah dalam kasus seperti inilah si suami akan berkata: "Kamu tidak mengerti saya." Jadi penting sekali bagi istri di sini adalah menangkap motivasi si suami, o.....dia memberikan karena dia kasihan, nah itu yang mula-mula disoroti. Istri bisa berkata kepada si suami: "Tindakanmu terpuji, kamu kok baik mempunyai kepedulian terhadap orang, mau membantu teman." Si istri berikan pujian seperti itu, akui perbuatan baiknya. Nah setelah semuanya selesai, kalau ada keprihatinan si istri barulah dia ungkapkan, si istri bisa berkata: "Ya, tapi dari pihak saya, selain dari semuanya itu yang baik saya hanya terpikir satu saja, apakah dia nanti mengira kamu itu banyak uang, sehingga dia nanti akan meminjam-minjam terus uang dari kamu." Nah setelah berbicara begitu, suami bisa menjelaskan: "OK! Usulan yang baik, nanti saya akan jaga supaya dia tidak terus-menerus meminjam uang dari saya."
GS : Pak Paul, kalau pihak istri tadi kebutuhan untuk ditemani itu tidak terpenuhi dan dia merasa kosong, bagaimana sebaliknya terhadap suami atau pria ini?

PG : Biasanya pria itu akan merasa kesepian, sendirian, dan ini kadang-kadang kita temukan dalam keluarga. Ada ayah atau suami yang di rumahnya sendiri dia adalah orang asing, dia merasa istinya tidak mau mengerti dia, anak-anak juga masih lebih kecil mungkin tidak mengerti dia, sehingga dia merasa orang asing-lah di rumahnya sendiri.

Nah maka ini kebutuhan yang penting sekali untuk dipenuhi oleh si istri, jangan sampai karena dia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri akhirnya dia mencari orang lain untuk bisa mengisi kesendiriannya itu.
GS : Pak Paul, itu masing-masing baik istri maupun suami mempunyai kebutuhan yang tadi Pak Paul sudah ungkapkan. Apakah kebutuhaan-kebutuhan ini bisa terpadu dalam hubungan suami-istri?

PG : Saya kira masing-masing harus bekerja, masing-masing harus berusaha memenuhi kebutuhan ini semuanya, sehingga pada akhirnya karena masing-masing dipuaskan akhirnya masing-masing lebih bsa memberikan, memenuhi kebutuhan pasangannya.

Kalau satu orang merasa saya tidak dipenuhi, itu akan menghalangi dia memenuhi kebutuhan pasangannya. Simple sekali yang bisa kita lakukan sebagai suami, kepada istri kita misalkan kita bisa melakukan tindakan-tindakan kecil yang menunjukkan kasih kita kepadanya, kita tahu yang dibutuhkan istri kita adalah kedekatan emosional, dia butuh koneksi, keterkaitan, maka perlu suami itu memberitahukan kepada istri dia ke mana, pulang jam berapa, sering-sering dia beritahukan perhatiannya dan sebagainya. Nah hal-hal seperti itu menjadikan si istri mempunyai identitas diri, dia tahu siapa dirinya karena dia tahu dia itu bagian dari hidup suaminya, dengan kata lain dia aman, diayomi, menjadi bagian dari si suami. Kalau suami kebalikannya, dia memang membutuhkan istri yang bisa bersama dengan dia secara fisik, maka secara langsung saya berbicara, salah satu hal yang diinginkan oleh pria atau suami adalah sentuhan-sentuhan seksual dari istrinya, sehingga dia bisa merasakan dia bisa menikmati istrinya, pergi bersama secara spontan. Hal-hal itu yang memang penting buat pria, kadang-kadang istri banyak pertimbangannya tidak mau ke sini, tidak mau ke sana sehingga si suami berkata kok saya tidak bisa menikmati hidup dengan engkau, akhirnya dia merasa percuma mengajak ke sini, ke sana ya karena istrinya tidak akan mau. Jadi sekali lagi yang penting bagi si suami adalah kebersamaan yang membawa kerilekan, kelegaan, kenikmatan. Nah hal-hal seperti itulah yang dibutuhkan oleh si suami. Makanya bisa kita simpulkan; tanpa wanita, pria itu tidak tahu berbuat apa dia kebingungan, kalau ada istri yang menyayanginya dan disayanginya dia seolah-olah menemukan tambatan hidup, dia tertancap mempunyai jangkar, dia tidak lagi lari ke sana - ke sini.
GS : Sebenarnya banyak orang memikirkan akan memberikan yang besar-besar, yang spektakuler kepada pasangannya, tetapi lewat perbincangan ini menjadi lebih jelas bahwa sebenarnya ada banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk menyenangkan pasangan kita Pak Paul. Tetapi apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung ini semua.

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal yang berkata: "Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan, ia memperdengarkan suaranya. Kemudian firman Tuhan menyambung karena Tuhanah yang memberikan hikmat.

Ini saya ambil dari Amsal 1-2. Perlu hikmat, hikmat tidak memfokuskan pada yang besar-besar tapi pada yang kecil namun berarti dan Tuhan memberikan hikmat itu asal kita juga mencarinya dari Tuhan. Bertanya Tuhan, beri saya hikmat sehingga saya bisa mengenal, mengerti pasangan saya.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Ditemani". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



30. Kebutuhan yang Tak Terpenuhi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T144B (File MP3 T144B)


Abstrak:

Banyak suami-istri merasa kebutuhannya tak terpenuhi, akhirnya bertengkar bahkan berselingkuh dan bercerai, karena mereka tidak tahu yang dibutuhkan oleh pasangannya itu sebetulnya apa dan bagaimana cara memelihara kehadiran pasangannya di dalam hidup ini.


Ringkasan:

Jikalau kebutuhan-kebutuhan tidak dipenuhi, yang terjadi adalah marah. Artinya kita merasa terluka, kecewa. Yang sering kali muncul setelah kebutuhan-kebutuhan itu disampaikan tapi tidak dipenuhi adalah menuntut. Suami tidak lagi meminta istri untuk memahami pikirannya, dia akan menuntut; istri tidak lagi meminta suaminya mengenali perasaan-perasaannya, dia akan menuntut suaminya itu bisa tahu perasaannya. Nah ini salah satu pertanda bahwa relasi nikah sudah mengalami masalah. Kemudian tindakan selanjutnya adalah menyerang.

Apa yang bisa dilakukan untuk merekatkan kembali relasi suami-istri ini?

  1. Memperbaiki cara komunikasinya, tetapi yang paling mendasar adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tak terpenuhi.

  2. Mengenali kebutuhan-kebutuhan yang ada dan mencoba memenuhinya.

Pengertian pernikahan
Pernikahan adalah sebuah relasi, relasi adalah suatu hubungan antara dua orang yaitu suami dan istri. Relasi juga didefinisikan kehadiran seseorang di dalam hidup kita.

Kesimpulan
"Jika tidak ada kehadiran, tidak ada relasi; jika tidak ada relasi, tidak ada pernikahan."

Bagaimana memelihara kehadiran pasangan kita di dalam diri kita:

  1. Prinsip persahabatan, yakni jika mengasihi lakukanlah. "Jika seseorang mengasihi Aku, dia akan menuruti firmanKu dan BapaKu akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia."

  2. Prinsip pokok anggur yaitu tinggallah maka berbuahlah.(Yohanes 15:4), artinya investasikan hidup kita ini pada keluarga kita sendiri, jadikan keluarga kita itu sebagai pot di mana kita sebagai tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

  3. Prinsip pembaharuan, yakni jika bersalah akuilah dan yang kedua ampunilah jika ia meminta pengampunan. ( Yohanes 1:9)


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kebutuhan yang tak Terpenuhi", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Bagi Anda pendengar acara Telaga, perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi tentang "Makna Ditemani." Dan sebelum kita lanjutkan perbincangan tersebut, Pak Paul Gunadi akan menjelaskan secara singkat apa yang pernah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Ternyata pria dan wanita mempunyai harapan yang berbeda atau kebutuhan yang berbeda tentang didampingi atau ditemani. Bagi wanita, yang penting adalah didampingi atau ditemani itu dikenl, didekatkan secara emosioanal, sehingga dia merasa aman, terayomi oleh suaminya.

Sedangkan bagi pria ditemani itu lebih ke arah si istri bisa memahami pikiran-pikirannya, gagasannya secara rasional dan bisa mendampingi dia melakukan hal-hal yang membawa kenikmatan dan kesenangan. Jadi si suami mengharapkan istri yang lebih spontan, lebih bersedia untuk berani menikmati hidup ini. Apa yang akan terjadi jikalau kebutuhan-kebutuhan ini tidak dipenuhi, ternyata memang akan muncul masalah. Salah satunya adalah pada akhirnya marah karena yang kita butuhkan tidak kita dapatkan, artinya kita merasa terluka, kita merasa kecewa, kenapa dia begini kepada kita, kenapa dia tidak memperhatikan kita, kenapa kalau kita berbicara dengannya dia bisa salah mengerti justru menyalahkan atau menyudutkan saya. Akhirnya marah, marah itu menjadi salah satu ciri dalam komunikasi suami-istri.
GS : Tetapi itu sering kali terjadi karena kebutuhannya tidak disampaikan dengan baik kepada pasangannya Pak Paul?

PG : Sering kali itu duduk masalahnya Pak Gunawan, sebetulnya masing-masing mempunyai kebutuhan namun tidak bisa menguraikan kebutuhan itu dengan jelas. Akhirnya karena tidak ada pengertian an sebagainya tidak dipenuhilah kebutuhan tersebut.

Oleh karena itu yang sering kali muncul setelah kebutuhan-kebutuhan itu sudah disampaikan tapi tidak dipenuhi adalah menuntut. Suami tidak lagi meminta istrinya untuk memahami pikirannya, dia akan menuntut; istri tidak lagi meminta, suaminya bisa mengenali perasaan-perasaannya dia akan menuntut suaminya itu bisa tahu perasaannya. Nah, itu salah satu pertanda bahwa relasi nikah sudah mengalami masalah, di mana dua orang itu tidak lagi saling meminta bisanya hanya menuntut.
GS : Itu setingkat lebih tinggi daripada kemarahan tadi Pak Paul?

PG : Ya, karena mulai marah akhirnya yang keluar dari mulut bukan lagi permintaan tapi tuntutan langsung.

GS : Ini biasanya dari pihak istri, kalau berkali-kali dia sudah marah, sudah menuntut juga tidak ada tanggapan akhirnya dia menjadi orang yang apatis, "Ya sudah terserahlah, terserah maumu apa."

PG : Tapi sebetulnya Pak Gunawan, sebelum sampai ke titik terserah, masa bodoh biasanya orang akan menggunakan satu tindakan yaitu menyerang. Dia tidak mendapatkan yang dia tuntut, akhirnya ia serang.

Dia serang artinya dia akan menunggu adanya kesempatan untuk balas dendam, seolah-olah dia ingin mengatakan kepada pasangannya kamu harus tahulah sakitnya seperti apa tidak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan ini, jadi dia balas, dan dia balas supaya pasangannya juga merasa disakiti.
GS : Tapi kadang-kadang serangan itu tidak dalam bentuk yang frontal, tapi semacam digerilya, tapi tetap ada serangan.

PG : Betul, ada suami yang sengaja mendiamkan istrinya, karena dia tahu istrinya tidak tahan didiamkan, nah dia akan diamkan, dia akan tutup mulut. Istrinya bertanya, istrinya marah dia diaman sama sekali atau ada istri yang melakukan hal yang sama, ada yang bisa berdiam diri berhari-hari atau salah satu hal yang sering digunakan oleh para istri ialah menolak melayani suaminya di tempat tidur secara seksual, jadi itu adalah tindakan-tindakan memukul balik pasangannya supaya pasangannya tersakiti, jangan sampai dia saja yang merasa sakit.

GS : Adakalanya penyerangan kalau diserang balik, terjadi suatu percekcokan yang terbuka Pak Paul?

PG : Nah, dalam rumah tangga yang sudah bermasalah seperti itu memang tidak ada lagi komunikasi, yang ada adalah pertengkaran. Dengan kata lain, setiap kali mereka berbicara itu akan berakhi dengan pertengkaran dan tidak perlu waktu lama untuk bertengkar, hanya perlu mungkin dua, tiga kali berkata-kata, saling menjawab dan itu langsung bisa berubah menjadi pertengkaran.

Yang satu menyerang, yang satu merasa diserang, difensif, yang satu menuntut, yang satu tidak lagi bisa memberikan yang dituntut, bertengkar terus-menerus. Dalam kondisi seperti itu rumah tangga memang sudah retak Pak Gunawan, sungguh-sungguh retak sebab tidak ada lagi kesatuan, yang ada adalah dua orang yang sedang bermusuhan dan mencari kesempatan bisa menghancurkan yang satunya.
GS : Sebenarnya kalau sudah sampai pada tahap itu, yang mesti diselesaikan itu masalah komunikasi di antara mereka berdua, atau masalah kebutuhan yang minta ditemani tadi Pak Paul?

PG : Pada akhirnya memang kebutuhannya yang harus dibereskan. Sudah tentu perlu memperbaiki cara komunikasinya tapi yang paling mendasar adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tak terpenuh itu.

Kita juga sudah berbicara bahwa yang menjadi kebutuhan atau yang dibutuhkan adalah didampingi, ternyata kebutuhannya sangat sederhana. Tapi kenapa kebutuhan ini akhirnya menjadi masalah, sebab dua orang ini, suami dan istri ini tidak tahu yang dibutuhkan sebetulnya apa. Waktu istri berkata: "Aku hanya ingin kamu itu mendampingi aku, bersama dengan aku." Artinya apa, kita sudah membahas bahwa bagi seorang istri artinya adalah dia ingin dikenal isi hatinya, perasaannya, dia ingin dikasihi, dia melihat dia yang paling penting di antara orang-orang lain, dia ingin diperhatikan sehingga apapun yang dia lakukan suaminya juga bisa mengetahui. Waktu suami juga berkata: "Aku ingin kamu itu dipihakku, bersamaku, jangan justru tidak membela suami sendiri." Maksudnya apa, dia ingin istrinya ada di rumah, menjaga anak-anaknya, menjaga rumahnya, dia juga ingin pikirannya dipahami, sehingga tidak disalahmengerti terus-menerus, istrinya tidak hanya menyoroti hal-hal yang lain yang sama sekali dia tidak pikirkan dan dia juga tidak ingin diganggu. Dia ingin diberikan kesempatan untuk bisa merenung, berdiam diri dan sebagainya, tidak terus-menerus disatroni. Nah, karena adanya kebutuhan yang berbeda ini akhirnya tidak dipahami dan muncullah pertengkaran-pertengkaran, jadi langkah berikutnya adalah memang harus mengenali kebutuhan-kebutuhan yang ada dan mencoba memenuhinya, dicoba dan dicoba, nah itulah awal dari upaya untuk merekatkan rumah tangga yang sudah retak itu.
GS : Apakah keretakan itu bisa mengancam pernikahan mereka sampai ke jenjang perceraian Pak Paul?

PG : Bisa jadi Pak Gunawan, sebab pada akhirnya hubungan ini memang sudah begitu parah rusaknya, sehingga bagi mereka itu seolah-olah lebih baik berpisah. Tapi sebelum kita masuk lebih dalamlagi ke masalah-masalah ini, saya ingin mengingatkan kepada para pendengar kita, sebenarnya apa itu pernikahan Pak Gunawan.

Kita ingin mempertahankan pernikahan kita, tapi sebetulnya apa artinya. Pernikahan sebetulnya adalah sebuah relasi, relasi adalah suatu hubungan antara dua orang yaitu suami dan istri, namun kalau kita defenisikan lebih tajam lagi sebetulnya apa itu relasi. Saya mendefinisikan relasi adalah kehadiran seseorang di dalam hidup kita, artinya kalau orang itu mempunyai relasi dengan kita orang itu hadir dalam benak kita, dalam hidup kita, meskipun dia tidak tinggal dengan kita, dia tinggal di kota yang berbeda bahkan tinggal di negara yang berbeda, kalau ada relasi orang itu tetap hidup dalam benak kita. Kebalikannya kalau kita tidak senang dengan seseorang, meskipun dia tinggal di sebelah kita, orang itu kita keluarkan dari dalam hidup kita, kita tidak ijinkan dia ada dalam benak kita. Jadi relasi adalah sebenarnya sebuah kehadiran, jadi boleh saya simpulkan "jika tidak ada kehadiran, tidak ada relasi; jika tidak ada relasi, tidak ada pernikahan." Jadi sekarang yang akan kita fokuskan adalah bagaimana menghidupkan kehadiran pasangan hidup kita itu dalam diri kita, sebab intinya adalah itu menyatukan kembali, kita harus menghadirkan dia di dalam hidup kita. Nah, cukup banyak relasi suami-istri yang sudah begitu parah, sehingga si suami waktu di luar tidak pernah ingat-ingat si istri dan sebisanya tidak mau ingat si istri. Atau kebalikannya si istri juga tidak mau ingat si suami karena hubungannya sudah terlalu pahit.
GS : Celakanya Pak Paul, dalam kondisi yang sangat rawan seperti itu si suami tidak mau mengingat-ingat istrinya itu justru hadir orang ketiga dan mereka membuat suatu relasi tanpa pernikahan.

PG : Nah, itu yang sering terjadi Pak Gunawan, memang itu keadaan yang rawan, keadaan yang memang terbuka untuk dimasuki orang yang ketiga. Dia ingin mengeluarkan pasangannya dari benaknya, khirnya benaknya kosong dan mudah sekali untuk dimasuki oleh orang ketiga.

GS : Berarti di sana bisa terjalin suatu relasi tanpa pernikahan Pak Paul?

PG : Betul, jadi akhirnya orang ketiga itu yang masuk ke dalam hidupnya dan terjalinlah sebuah relasi yang baru dan akhirnya melangkah menuju perselingkuhan.

GS : Padahal kita tadi mengharapkan adanya suatu kehadiran yang harus dipelihara terus-menerus supaya jangan terjadi kondisi seperti itu. Nah, masalahnya bagaimana memelihara kehadiran pasangan kita itu di dalam diri kita sendiri Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang bisa kita lakukan Pak Gunawan, yang pertama adalah saya ambil dari firman Tuhan. Tuhan Yesus menjawab: "Jika seseorang mengasihi Aku, dia akan menuruti firmanKu dan BaaKu akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia."

Nah, Tuhan Yesus sendiri menegaskan bahwa jikalau kita umatNya menuruti firman Tuhan maka Dia akan hidup di dalam kita. Jadi ini membuahkan satu prinsip yang saya sebut prinsip persahabatan yakni jika mengasihi lakukanlah, Tuhan meminta kepada kita kalau kita mengasihi Tuhan, lakukanlah firman Tuhan, lakukanlah kehendak Tuhan dan Ia akan bersama-sama dengan kita. Kalau saya boleh terapkan dalam hubungan suami-istri seperti ini Pak Gunawan, kalau kita mengasihi pasangan kita, lakukanlah yang dia inginkan, cobalah senangkan hatinya, kita penuhi kebutuhannya. Karena apa, karena kita baru bisa tinggal bersama menjadi satu kembali jikalau kita melakukan yang dimintanya. Dan kadang-kadang yang diminta itu sebetulnya tidak terlalu banyak, kalau kita bisa minta dengan jelas. Misalkan pergi seminggu sekali berdua, ini sering kali harus saya minta-minta orang untuk melakukan karena sudah menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Padahalnya sangat mudah untuk dilakukan berduaan pergi, hal yang sangat sederhana seperti itu saja tidak bisa dilakukan, nah bagiamanakah kita bisa mengharapkan kedua orang ini menjadi satu. Jadi pertama adalah yang saya sebut prinsip persahabatan, jika mengasihi lakukanlah yang kita tahu bisa menyenangkan hati pasangan kita.
GS : Memang banyak dari permintaan itu tidak aneh-aneh dan sebenarnya bisa kita lakukan. Tetapi kita para suami biasanya enggan untuk melakukan itu Pak Paul?

PG : Ada kesan bagi si suami, kalau kita melakukan hal-hal itu untuk istri kita, seolah-olah kita itu di bawah istri kita, jadi kita takut kita nanti di bawahnya, dikendalikannya. Saya kira idak perlu takut, karena wibawa kita bisa tetap terpelihara justru waktu istri melihat kita suami yang baik, dia makin sungkan dan makin mengasihi kita, makin mau mendengarkan kita.

Tapi kalau dia makin melihat kita tidak peduli dengannya, tidak melakukan yang dikehendakinya, dia lama-lama juga akan bersifat sama, dia pun tidak akan mempedulikan yang kita inginkan.
GS : Apakah ada cara lain Pak Paul, untuk memelihara kehadiran pasangan di dalam hidup kita itu?

PG : Saya akan ambil dari Yohanes 15:4, "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pad pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku."

Ini sekali lagi prinsip dari firman Tuhan, Tuhan ingin menegaskan bahwa umatNya tidak bisa berbuah kalau kita tidak tinggal pada Tuhan. Memang Tuhanlah yang membuat kita ini bisa berbuah. Nah, saya terapkan ini dalam hubungan suami-istri, saya menyebutnya prinsip pokok anggur yaitu tinggallah maka berbuahlah. Artinya apa, artinya investasikan hidup kita ini pada keluarga kita sendiri, jadikan keluarga kita itu sebagai pot di mana kita sebagai tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah. Pot tidak bisa membuahkan apa-apa kalau tidak ada tanaman, sebaliknya tanaman tidak bisa tumbuh kalau tidak ada pot dan tanahnya, maka kita membutuhkan pot dan tanah. Nah, jadikanlah rumah kita atau keluarga kita ini sebagai pot dan tanah, di mana kita bisa keluar dan bertumbuh. Saya sudah melihat orang yang Tuhan pakai Pak Gunawan, dan keluarganya kuat, bahagia, sehat. Dan saya melihat kehidupan dan pelayanannya pun juga baik karena dukungan keluarga itu pun begitu kuat, tapi sebaliknya saya sudah melihat orang yang melayani Tuhan tapi keluarganya tidak sehat. Saya melihat mereka seperti tanaman yang kering sekali, ya masih bisalah berkhotbah dan sebagainya tapi sudah sangat kehilangan sarinya, karena memang kering sekali, tidak ada dukungan lagi dari keluarganya.
GS : Jadi sebenarnya kasus seperti itu, dia harus menyelesaikan lebih dahulu hubungan dengan pasangannya?

PG : Betul sekali, jadi mereka harus membereskan masalah rumah tangganya, kalau masalah rumah tangga tidak dibereskan ya susah buat mereka bisa berbuah di luar. Mungkin berdaun saja tapi tidk berbuah lagi.

GS : Tetapi itu merupakan saling ketergantungan Pak Paul, bukan suami yang tergantung pada istri dan sebaliknya tapi masing-masing harus saling tergantung.

PG : Betul, jadi intinya dua-dua suami dan istri harus berkata: "Saya mau menginvestasikan hidup saya pada keluarga saya," hal-hal apa yang baik untuk keluarga hendaknya kita lakukan bersama Misalkan merencanakan liburan, bukan merencanakannya kemarin baru kita pikirkan dan hari ini mau pergi ke mana, kalau bisa jauh-jauh hari kita sudah berkata kepada anak-anak, kepada keluarga: "Nanti pada liburan ini kita ke sana, kita ke sini atau pada hari Sabtu nanti ayo kita pergi bersama-sama, kita pergi makan atau apa."

Jadi kita benar-benar merencanakan sesuatu, kita menganggap ini hal yang penting buat keluarga kita, maka kita mau investasikan hidup kita. Nah, sudah tentu perlu keberanian untuk mengutamakan keluarga di atas yang lainnya yang ada di luar. Keberanian untuk memprioritaskan, menolak permintaan yang di luar yang memang kita bisa menolaknya, karena apa, karena kita mau investasikan waktu pada keluarga kita.
GS : Apakah ada hal yang lain untuk memelihara kehadiran ini Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah saya bacakan dari 1 Yohanes 1:9, "Jika kita mengaku dosa kita maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan ita dari segala kejahatan."

Ini adalah janji Tuhan kepada kita, kalau kita berdosa kita hanya perlu mengakui dosa kita itu, maka Tuhan akan mengampuni kita karena Dia setia dan adil. Nah, saya mau petik prinsip ini dan saya mau terapkan dalam hubungan suami-istri yaitu saya sebut prinsip pembaharuan yakni jika bersalah, akuilah dan yang kedua ampunilah, jika ia meminta pengampunan. Jadi kalau kita tahu kita salah, kita harus benar-benar berani mengorbankan ego dan berkata kepada pasangan kita saya salah dan saya minta ampun, saya minta maaf. Nah, pihak yang satunya kalau kita sudah minta maaf, ya berikan pengampunan. Dalam pengertian kalau kita memang berkata kita salah dan kita minta pengampunan, kita mesti menunjukkan buah pertobatan itu, jangan kita mengulangi lagi. Nah, ini kadang-kadang kasus yang sering kali terjadi, sudah diberitahukan misalnya jangan mabuk-mabukan tetap mabuk-mabukan, jangan main judi tetap main judi lagi, jangan main perempuan tetap main perempuan, jangan berbohong tetap berbohong, dan sebagainya itu yang akhirnya menguras kepercayaan pasangan dan membuat pasangan akhirnya tidak mau lagi berharap pada kita. Jadi prinsip ini memang prinsip yang penting, yaitu pembaharuan, pembaharuan hanya bisa terjadi kalau ada yang mengakui kesalahan dan ada yang memberikan pengampunan.
GS : Mungkin ada banyak orang yang mengatakan lebih gampang minta ampun kepada Tuhan daripada kepada pasangan, Pak Paul?

PG : Ada yang berkata begitu, karena seolah-olah gengsi itu tidak terinjak ya kalau mengaku kepada Tuhan, tapi kalau mengaku kepada pasangan sendiri gengsi itu rasanya terinjak, nah itu yangkita tidak rela terjadi.

GS : Itu memang tergantung pada respons dari pasangan kita kalau kita mengaku salah atau meminta maaf kepadanya. Kalau reaksinya negatif, lain kali kita malas atau enggan untuk meminta maaf lagi atau mengakui kesalahan lagi lebih baik berbohong.

PG : Atau kalau kita sudah mengakui kesalahan kita, terus itu dipakai sebagai alat untuk menyerang kita di kemudian hari, itu yang membuat kita jera/kapok untuk mengakui kesalahan. Makanya phak yang satunya harus bijaksana, jangan sengaja menggunakan kelemahan pasangan kita itu untuk menyerangnya kembali.

Kalau dia benar-benar tidak berbuat lagi, kasus itu kita tutup kecuali memang dia mengulang lagi itu lain perkara.
GS : Untuk mengampuni Pak Paul, sebatas mana kita bisa mengampuni pasangan kita dengan baik supaya relasi ini tetap terjaga?

PG : Mengampuni memang bergantung sekali pada seberapa besar atau kecilnya perbuatan salah yang dilakukan orang kepada kita. Sudah tentu hal yang kita anggap kecil, lebih mudah kita ampuni; al yang kita anggap besar, lebih susah kita ampuni.

Nah, pengampunan juga sangat bergantung pada berapa besarnya luka atau sakit hati yang ditimbulkan. Ada sesuatu mungkin sekali besar tapi tidak menyakitkan hati kita, tapi ada hal yang kecil namun menyakiti hati kita. Misalkan istri kita membicarakan tentang kita kepada teman-temannya, nah kebetulan yang dia bicarakan sesuatu hal yang memang memalukan kita. Nah, itu menjadi hal yang sangat menyakitkan hati kita, meskipun sebetulnya hal itu kalau dibandingkan dengan istri berzinah kadarnya berada jauh di bawah, tapi itu menyakitkan hati sekali. Nah, sudah tentu hal yang menyakitkan akan lebih susah untuk kita ampuni. Jadi yang pertama dalam proses pengampunan itu kita mesti jujur bertanya sebetulnya apa yang dilakukan pasangan kita yang telah sangat mengganggu kita, apa itu yang menyakitkan hati kita, nah itu yang harus kita sampaikan kepada pasangan kita bahwa yang menyakiti hati saya adalah ini. Nah, kemudian pasangan kita meminta ampun atas perbuatannya yang spesifik itu, jadi pengampunan perlu spesifik, pengakuan salahnya juga perlu spesifik. Setelah itu yang kedua adalah kita menyadari bahwa pengampunan memang memerlukan waktu. Karena apa, marah dan pengampunan itu menjadi satu paket, kita marah terus kita katakan ya sudah kita ampuni lagi, besoknya kita bisa marah lagi dan terus kita ampuni lagi. Itu merupakan pergumulan yang memang berlangsung untuk waktu yang agak lama.
GS : Pak Paul, katakan memang pada saat-saat ini memang tidak ada masalah hubungan pasangan kita baik suami maupun istri, tapi kita mau meningkatkan hubungan ini dengan menyadari kehadirannya, menyenangkan hatinya, apakah itu ada hal-hal praktis yang bisa kita lakukan?

PG : Pada intinya adalah prinsip persahabatan tadi, yakni lakukanlah. Jika kita memang mengatakan dia penting buat kita, lakukanlah hal-hal yang baik, yang menyenangkannya, investasikanlah wktu kita, tenaga kita pada orang di rumah bukan pada orang yang di luar rumah.

Investasikanlah hidup kita, diri kita pada mereka, pikirkanlah hal yang baik untuk mereka yang bisa kita lakukan. Nah, hal-hal kecil itu akan sangat menyenangkannya.

GS : Ya terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini dan ini sangat berguna bagi kita khususnya di dalam membina hubungan suami-istri. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda juga telahdengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kebutuhan yang tak Terpenuhi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



31. Mengapa Kurang Sabar


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T146A (File MP3 T146A)


Abstrak:

Banyak hal yang dapat membuat kita kurang sabar. Kita perlu menghindari hal-hal tersebut, karena kesabaran merupakan salah satu aspek yang penting untuk memperkuat pernikahan kita.


Ringkasan:

Kesabaran adalah sesuatu yang sangat penting dalam pernikahan, karena tanpa adanya kesabaran ikatan nikah itu mudah longgar dan mudah putus.

Dimensi dalam kesabaran adalah :

  1. Kesabaran itu sangat berkaitan dengan siapa kita secara fisik. Ada orang-orang tertentu yang lebih mudah sabar, tapi ada orang tertentu yang lebih sukar sabar karena memang secara fisik strukturnya tidak sama.

  2. Tipe kepribadian. Orang yang bertipe sanguin dan kolerik, dua tipe yang mempunyai banyak energi mereka lebih sukar mengontrol ledakan emosi-emosi mereka. Sedangkan melankolik tipe yang khusus, kalau suasana lagi mudah, enak, menyenangkan dia akan menjadi orang yang sangat sabar. Tapi kalau ada sesuatu yang terjadi emosinya mudah sekali turun-naik.

  3. Kesabaran juga berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pasangan kita yang tidak menyenangkan hati kita. Semakin sering pasangan mengulangi perbuatan yang tidak menyenangkan hati kita, dia semakin menipiskan cadangan kesabaran kita.

  4. Kesabaran juga dipengaruhi oleh kemampuan kita mengungkapkan perasaan hati kita secara sehat.

  5. Kerohanian juga berperan besar dalam hal kesabaran. Galatia 5:22-23. kesabaran adalah buah Roh Kudus. Buah itu yang harus muncul akibat permulan kita berjalan dengan Tuhan. Yaitu berapa sanggupnya kita mempercayakan hidup kepada Tuhan. Sebab kesabaran berkaitan dengan hal mempercayakan hidup kita kepada Tuhan.

  6. Kesabaran juga dipengaruhi oleh materi atau kwalitas relasi kita dengan pasangan kita. Kalau kita menaruh respek yang tinggi kepadanya kita akan lebih mudah sabar. Kalau kita mengasihi orang itu kita juga akan lebih mudah sabar. Jadi respek dan kasih, dua hal yang berperan besar menyeimbangkan kesabaran kita.

1 Samuel 24:7. Daud berkata: "Dijauhkan Tuhanlah kiranya daripadaku untuk menjamah dia. Sebab dialah orang yang diurapi Tuhan."

Daud mengaitkan segala aspek kehidupannya dengan Tuhan. Bahkan ketika dia memliki kesempatan untuk membunuh Saul yang mengejar-ngejarnya, dia tidak melakukannya, sebab Daud mengaitkan detik itu dengan Tuhan bahwa Saul tetap orang yang Tuhan urapi. Teruslah dikuasai terus-menerus oleh Tuhan, sewaktu kita mengingat Tuhan kita cenderung lebih sabar, pada kalanya kita lupa Tuhan kita cenderung lebih mudah marah.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Kurang Sabar", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, berbicara tentang sabar ini memang mudah bicaranya daripada menjalankannya di dalam kehidupan. Memang sulit sekali kalau ditanya mengapa tiba-tiba menjadi tidak sabar, mengapa kadang-kadang kita kelihatan sabar dan kadang-kadang kita menjadi meledak-ledak menakutkan orang, sebenarnya apa yang terjadi Pak Paul?

PG : Memang topik kesabaran ini topik yang kompleks Pak Gunawan. Karena multidimensional, ada banyak sisi terhadap kesabaran ini dan memerlukan kerja keras untuk bisa mempertahankan kesabaran. Tidak ada orang yang menjadi sabar dengan hanya menamakan dirinya Pak Sabar. Tidak bisa kita mengubah diri dari luarnya saja, jadi perlu sesuatu yang muncul dari dalam. Kesabaran ini bersisi banyak Pak Gunawan. Kita akan membahas satu-persatu agar kita lebih bisa memahaminya. Namun sebelumnya saya ingin menekankan bahwa kesabaran ini sesuatu yang sangat penting dalam pernikahan. Karena tanpa adanya kesabaran ikatan nikah itu mudah longgar dan mudah putus. Karena lawan dari kesabaran adalah ketidaksabaran atau kejengkelan, kemarahan, tuntutan, dan sebagainya. Hal itu kadang-kadang terjadi dan tidak apa-apa. Namun kalau terjadi terlalu sering itu seperti hama yang akan merusakan pohon atau tanaman pernikahan kita. Jadi sekali lagi saya ingin menggarisbawahi kesabaran ini perlu dimiliki oleh setiap suami dan istri. Kadang-kadang karena kita terlalu banyak memikirkan hal-hal lain yang kita anggap penting kita mengabaikan aspek kesabaran ini. Tapi sebetulnya ini aspek yang sangat penting sekali untuk bisa memperkuat pernikahan kita.

WL : Pak Paul, kesabaran itu ada kaitannya atau tidak dengan kondisi-kondisi jasmaniah kita?

PG : Sangat ada Ibu Wulan. Jadi salah satu dimensi dalam kesabaran adalah kesabaran itu sangat berkaitan dengan siapa kita secara fisik. Ada orang-orang tertentu yang lebih mudah sabar yang arus saya akui.

Ada orang tertentu yang lebih sukar sabar karena memang secara fisik struktur ini tidak sama. Dan ada orang-orang yang bermetabolisme lebih cepat dan sebagainya tenaganya banyak, energinya kuat. Itu kadang-kadang lebih sulit untuk bisa menguasai kesabarannya atau bisa menguasai emosinya.
WL : Berarti kalau orang yang kerjanya atau bidang kariernya menuntut dia agak kurang tidurnya, jadi itu memang secara wajar dia lebih mudah marah jadi pasangannya harus lebih mengerti begitu ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Wulan. Jadi ada kondisi-kondisi fisik tertentu yang lebih menambah kerawanan kita untuk bisa menguasai kesabaran. Kalau misalkan kita dalam kondisi letih umumnya daya cegkeram kita untuk menguasai emosi melemah.

Itu biasanya yang terjadi. Karena itulah pada masa letih mudah sekali muncul pertengkaran. Salah satu cara untuk melihat ritme kehidupan kita adalah dengan mengamati kira-kira di waktu kapankah kita paling sering bertengkar dengan pasangan kita.
WL : Seperti cepat tersinggung.

PG : Cepat tersinggung dan sebagainya. Nah, salah satu masa atau waktu di mana kita itu lebih mudah bertengkar dengan pasangan kita adalah masa pulang kerja. Jadi satu jam setelah kita pulan kerja itu masa yang cukup kritis itu.

Karena sering kali orang bertengkar pada waktu-waktu itu. Sebab apa, sebab sebetulnya dua-dua mencapai puncak keletihannya. Baik si istri maupun si suami. Kalau si istri bekerja di luar sudah tentu dia mencapai puncak keletihannya pula. Kalaupun dia tidak bekerja dia di rumah kan di rumah dia tidak ongkang-ongkang kaki (santai-santai) dia juga bekerja mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Jadi sekitar jam 6 jam 7 sebetulnya itu puncak keletihannya. Nah, si suami juga demikian. Kalau dua-dua tidak mawas diri nah sedikit saja salah bicara maka bisa memercikkan api pertengkaran.
GS : Ada yang mengatakan orang yang mengidap hipertensi penyakit darah tinggi itu mudah marah begitu Pak Paul, tetapi apakah bisa digeneralisasikan seperti itu?

PG : Sebetulnya tidak. Justru karena kita marahlah kita menaikkan tensi darah kita.

GS : Selain kondisi fisik Pak Paul, apakah ada hal lain yang bisa mempengaruhi kesabaran kita?

PG : Yang kedua adalah tipe kepribadian Pak Gunawan, sebab tidak sama ya ada orang-orang yang bertipe sanguin dan kolerik, itu dua tipe yang mempunyai banyak energi. Karena energi begitu tingi mereka itu juga agaknya lebih sukar mengontrol ledakan emosi-emosi mereka.

Yang flegmatik kebalikannya. Karena mereka cenderung lebih cuek, tidak peduli dengan lingkungan dan sebagainya. Akhirnya tidak terlalu mudah tergugah oleh apa yang terjadi di luar dirinya. Oleh karena itulah orang-orang yang flegmatik cenderung lebih sabar. Orang yang melankolik memang ini tipe yang khusus karena dia itu sebetulnya sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi di luarnya. Kalau suasana lagi mudah, lagi enak, lagi menyenangkan dia akan menjadi orang yang sangat sabar. Tapi kalau ada sesuatu terjadi wah dia bisa mudah sekali untuk naik turun emosinya. Jadi tipe-tipe kepribadian ternyata juga berperan dalam hal kesabaran ini.
WL : Pak Paul, saya punya teman pasangan suami-istri yang kondisi pernikahannya lagi parah, jadi saya pernah tanya kepada si suaminya lho kenapa kamu pilih dia begitu kalau keadaannya seperti ini banyak kekecewaan, lalu satu hal yang mengejutkan dia bilang justru saya dulu tertarik sama dia karena dia itu di antara teman semua wanita yang saya kenal dia paling sabar sekali. Tapi waktu sekarang waduh, nah itu bagaimana Pak kaitannya dengan tipe kepribadian ini apa dulu dia tutup-tutupi sedemikian rupa karena belum dapat pasangan untuk menarik pria atau bagaimana kalau dijelaskan dengan tipe kepribadian ini Pak Paul?

PG : Begini Bu Wulan kesabaran itu memang bergantung sekali kepada kondisi. Jadi kita bisa menjadi orang yang sangat sabar kalau kita semua yang mengatur sendiri tapi kita bisa sangat-sangatmudah meledak kalau kita harus mengatur sesuatu berdua dengan orang.

Itu menjadikan sabar memang saya tadi katakan sesuatu yang kompleks. Sebab ada orang-orang tertentu sewaktu masih sendirian dia tentukan, dia pikir, dia bertindak dan itu dia lakukan semua sendiri. Dia akan sabar sesuatu tidak terjadi. Dia mengharapkan apa tapi tidak terjadi, dia bisa tahan dia sabar. Namun tatkala ada orang di sebelahnya dan misalkan orang itu terus bertanya apa atau apa dia bisa tiba-tiba marah. Nah jadi ini sekali lagi ada orang yang bisa melalui hidup sendiri dengan sabar waktu berduaan tidak bisa. Jadi dia perlu belajar lagi sebetulnya untuk sabar tinggal dengan seseorang yang berbeda dengannya. Jadi kesabarannya itu tetap benar tapi kesabaran yang memang khusus untuk situasi dia yaitu hidup sendiri. Begitu hidup berdua dia perlu belajar lagi ilmu kesabaran yang baru.
WL : Berarti penting pada masa single kita harus belajar bersosialisasi atau berorganisasi. Jadi kesabaran kita sudah diasah dan digunakan sebagai persiapan untuk menikah.

PG : Itu penemuan yang baik Bu Wulan. Semakin banyak kita bergaul dan semakin juga akrab dan terlibat dalam banyak hal yang harus kita putuskan bersama itu memang akan sangat melatih kita swaktu memasuki pernikahan.

Supaya bisa lebih sabar dengan orang lain dalam pengambilan keputusan dan sebagainya.
GS : Ya, kadang-kadang kita sudah sabar dengan seseorang yaitu dengan pasangan kita atau apa, tapi karena dia terus mengulang-ngulang hal yang menjengkelkan kita, maka kesabaran kita itu kita bilang ada batasnya. Lalu kita menjadi tidak sabar, untuk kasus seperti itu bagaimana Pak Paul?

PG : Ya, betul Pak Gunawan. Jadi kesabaran juga berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pasangan kita yang tidak menyenangkan hati kita. Semakin sering dia mengulangi perbuatan yang tdak menyenangkan hati kita dia makin menipiskan cadangan kesabaran kita.

Sebab sebetulnya dalam hati kita mempunyai ambang batas, berapa banyak orang boleh mengulangi perbuatannya yang tidak menyenangkan hati kita. Kalau sampai titik tertentu dia tetap melakukannya kita tiba-tiba menjadi orang yang sangat tidak sabar. Maksud saya begini misalkan ambang batas kita tiga kali meskipun kita tidak pernah merencanakan itu. Merancang 3 kali. Tapi sudah ritme itu dalam hidup kita, ambang batas itu. Kita sampai ketiga kalinya masih sabar, kita tidak bereaksi kita hanya baik-baik bicara, kita hanya diam-diam saja. Tetapi begitu dia melewati ambang batas dari ketiga keempat tiba-tiba reaksi kita berubahnya 180 derajat.
GS : Itu yang membingungkan pasangan begitu Pak Paul, yang dikatakan dulu kamu begini tidak apa-apa, sekarang jadi marah-marah.

PG : Tepat, biasanya karena kita sudah melewati ambang batas yang kita sudah tentukan untuk diri kita sendiri itu. Jadi dari satu ke dua, dua ke tiga, perbedaannya sedikit sekali. Kita relatf hanya bicara sedikit saja tidak lebih keras atau apa, tapi dari 4 ke 5 waduh......tiba-tiba

kita bisa marahnya keras sekali. Ini juga bergantung pada kesalahan atau perbuatan apa yang dilakukan. Sebab ada hal-hal tertentu yang memang sangat-sangat menyakitkan kita. Jadi kalau itu dilakukan pasangan kita apalagi lebih dari sekali sudah tentu akan memancing reaksi marah kita yang sangat besar.
WL : Bisa tidak Pak Paul, kalau kita menganggapnya memang dia sengaja kalau sampai diulang-ulang sudah diberi tahu sengaja begitu, itu yang membuat kita tidak tahan begitu?

PG : Ini kesimpulan yang sangat logis sebab yang menjadi pemikiran kita adalah kalau sudah tahu mengapa melakukannya lagi. Kesimpulan kita tentu engkau memang sengaja meskipun kita harus menakui kalau kita sendiri mengulang perbuatan kita yang kita tahu salah kadang-kadang memang tidak terpikirkan sebelumnya.

Kita tidak sengaja.
GS : Itu kadang-kadang begini Pak Paul, bukan diulang tapi ada orang lain yang menambah masalah itu. Jadi kita sudah tidak senang dengan tindakan istri kita, lalu anak kita melakukan sesuatu yang menjengkelkan kita, kita jadi meledak marah itu Pak Paul.

PG : Itu point yang bagus, contoh yang bagus. Jadi dalam kehidupan berumah tangga memang akan selalu tersedia faktor-faktor tambahan yang lain yang bisa benar-benar memecahkan balon kesabara kita.

Kita sudah bersabar-sabar dengan suami kita. Ternyata anak kita misalkan tidak mau membuat PR. Nah meledaklah kita. Tadinya sudah sabar tidak apa-apa atau kebalikannya. Dengan anak kita, kita sudah sabar-sabar disuruh mandi lima kali tidak mau masuk kamar mandi. Nah, kita sudah sabar akhirnya kelima kali dia mandi sudah begitu kita tanya suami kita mau makan atau tidak. Dia menjawab kita dengan membaca surat kabar. Kita meledak dan marah, nah itu kadang-kadang terjadi. Jadi memang bisa sekali dipicu oleh hal-hal yang lainnya itu.
GS : Pak Paul, apakah ada hal yang lain?

PG : Yang saya akan bahas adalah kesabaran juga dipengaruhi oleh kemampuan kita mengungkapkan perasaan hati kita secara sehat. Ada orang yang memang sulit berkomunikasi dan sulit mengungkapkn perasaannya.

Dia rasa apa, dia rasa apa dia tidak tahu. Ada yang tahu tapi tidak bisa mengungkapkan. Ada yang memang tidak tahu merasa apa. Kalau ditanya dia hanya menjawab rasanya tidak enak saja. Dia tidak suka saja, tapi dibalik yang tidak suka itu apa yang dia rasakannya dia tidak begitu mengenalnya. Semakin sulit kita mengkomunikasikan perasaan kita biasanya memang kita lebih mudah untuk meledak. Tidak bisa menjaga kesabaran kita.
WL : Pak Paul, kalau orang dengan tipe seperti ini yang sulit mengungkapkan apa yang terjadi di dalam hatinya atau memang dia tidak mengerti terus saya kaitkan dengan tipe kepribadian yang tadi Pak Paul jelaskan yaitu flegmatik, flegmatik 'kan agak lamban bereaksi. Itu lebih menolong atau tidak Pak Paul?

PG : Flegmatik memang lebih lamban bereaksi tetapi tidak mesti mereka itu tidak bisa mengenali perasaannya dan mengkomunikasikannya. Memang lebih lambat saja memberikan reaksinya. Tetapi bis jadi setelah mereka tahu mereka merasa apa mereka akan ngomong tetapi karena mereka flegmatik otomatis mereka bicara pun cenderung reaksinya itu tidak berapi-api, tidak mempunyai intensitas yang tinggi.

Tapi kalau orang bertipe yang lain seperti sanguin atau kolerik memang waktu mereka menyampaikannya pun apinya itu sudah terlihat. Apalagi waktu mereka sedikit marah makanya apinya lebih terlihat dengan besar.
GS : Berarti kita mesti belajar untuk bagaimana mengkomunikasikan isi hati ini kepada pasangan atau kepada orang lain Pak Paul?

PG : Betul, belajar untuk meminta salah satunya Pak Gunawan. Ini adalah keterampilan yang harus kita pupuk. Ini sering kali kita abaikan. Meminta, kita akhirnya tidak nyaman meminta dan lebi sering menyuruh, menuntut.

Nah ini yang memancing reaksi marah dari pasangan kita atau reaksi tidak senang. Nah karena pasangan kita tidak senang kita berbalik marah. Karena kita berpikir kita meminta. Kamu menanggapinya kok secara itu. Tapi yang ditangkap oleh pasangan kita bukannya kita meminta, tetapi kita menyuruh atau menuntut dia.
GS : Ya, bagaimana tentang kondisi kerohanian seseorang dikaitkan dengan kesabaran ini Pak?

PG : Saya kira ada pengaruhnya Pak Gunawan meskipun tadi kita sudah bahas panjang lebar bahwa kesabaran itu kompleks berkaitan dengan banyak unsur. Tapi tetap saya percaya bahwa kerohanian brperan besar dalam hal berapa sabarnya kita.

Di Galatia 5:22-23 dipaparkan berbagai jenis buah Roh Kudus. Nah, salah satunya kesabaran. Kesabaran itu buah Roh Kudus tapi bukannya sesuatu yang datang dari langit turun ke atas kita. Itu buah yang harus muncul akibat pergumulan kita berjalan dengan Tuhan. Nah, salah satunya adalah berapa sanggup atau mampunya kita mempercayakan hidup kepada Tuhan. Sebab kesabaran berkaitan dengan hal mempercayakan hidup kita kepada Tuhan. Kalau kita bisa mempercayakan hidup kepada Tuhan kita cenderung lebih bisa menahan diri. Karena kita tahu masih ada Tuhan yang akan menolong kita. Sebagai contoh kita harus pergi melakukan interview kerja, terus di tengah jalan kita terjebak dengan kemacetan dan kita tahu kita akan terlambat. Karena ini interview pekerjaan kita takut sekali nanti dinilai negatif dan sebagainya. Nah, ada dua pilihan yang kita akan hadapi pada saat itu, pilihan pertama kita bisa marah-marah, memaki-maki lalu lintas yang macet ini dan sebagainya. Dan sudah langsung mengutuki diri bahwa kita pasti tidak akan mendapatkan pekerjaan itu. Atau pilihan kedua kita berdoa dan berkata: "Tuhan, Engkau yang mengatur hidup saya dengan sempurna bahkan kemacetan ini pun dalam kendali Engkau. Jadi kalau memang saya tidak harus mendapatkan pekerjaan itu saya tidak akan mendapatkannya meskipun saya datang 1 jam lebih pagi. Tapi kalau memang Tuhan sudah menyediakan pekerjaan itu untuk saya, saya datang terlambat pun pekerjaan itu tetap akan diberikan kepada saya." Nah iman seperti itu yang bisa meredam kemarahan dan menumbuhkan kesabaran kita pula.
WL : Pak Paul, ada kelompok Kristen yang ekstrim, peristiwa apapun sudah selalu berkata sabar, sabar kalau orang sabar itu disayang Tuhan. Jadi peristiwa apapun yang benar-benar sampai orang lain itu bisa berlaku seenaknya kepada kita, oleh karena dengan memakai label itu, itu sehat tidak Pak Paul?

PG : Saya kira ada waktunya memang kita harus menunjukkan sikap. Orang yang sabar tidak berarti tidak marah. Tuhan sabar, Tuhan puncak kesabaran, tapi Tuhan bisa marah. Mengapa? Sebab kalau uhan melihat hal yang tidak benar dan harus Dia koreksi Dia akan juga menunjukkan kemarahanNya atau koreksiNya atau hukumanNya itu kepada manusia.

Nah, kita pun sebagai anak Tuhan adakalanya dipanggil Tuhan untuk menegur yang salah dan untuk bereaksi dengan marah terhadap yang salah. Kalau kita melihat kekejian, ketidakadilan, kekotoran berlangsung di tengah-tengah kita dan kita tidak merasa terganggu sama sekali, tidak merasa marah dengan semua itu justru saya kira itu reaksi yang tidak sehat. Jadi yang lebih sehat adalah memang merasakan ketergangguan kita itu akibat ketidakadilan atau kebobrokan yang kita saksikan. Namun dalam kita merancang tindakan kita, kita bisa merancangnya juga dengan berhati-hati, sabar, dan sebagainya.
GS : Pak Paul, kadang-kadang kita tidak bisa sabar terhadap seseorang yang hubungannya relasi kerja atau tetangga kita. Tetapi kepada istri kita, kita itu bisa bersikap lain, jangan-jangan itu kasusnya mungkin sama Pak Paul? Berarti ada sesuatu yang membuat kita itu menjadi tidak marah terhadap pasangan kita Pak?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Karena kesabaran juga dipengaruhi oleh materi atau kualitas relasi kita dengan orang tersebut. Kalau kita menaruh respek yang tinggi kepadanya kita lebih mudahsabar.

Kalau kita mengasihi orang itu kita juga akan lebih mudah sabar. Jadi respek dan kasih, itu dua hal yang benar-benar berperan besar menyeimbangkan kesabaran kita. Jadi kalau saya balik kalau kita mulai tidak respek dengan pasangan kita kesabaran kita makin menipis pula. Kalau kasih kita mulai pudar terhadap pasangan kita, maka kesabaran kita pun juga akan makin berkurang.
GS : Jadi banyak pertengkaran di situ Pak?

PG : Jadi banyak pertengkaran, karena respek dan kasih sayang sudah mulai goyah.

WL : Bisa juga, jadi sebaliknya seperti yang Pak Gunawan katakan biasanya saya sering melihat, orang kalau di kantor dengan bosnya 'kan tidak berani marah-marah ya tahan-tahan, sabar tapi kalau di rumah bisa seenaknya sama istri. Kalau saya kaitkan dengan Tuhan, Tuhan begitu sabar dengan kita, kita berjuta-juta kali mungkin menyakitkan hati Dia. Tadi kalau dibahas juga tentang batas ambang kesabaran kita, kita mungkin 3 kali atau 4 kali bisa mengamuk kalau diulang terus. Nah kita di hadapan Tuhan berulang-ulang tetapi Tuhan tetap sabar. Justru kebalikannya harusnya kita yang respek sama Tuhan, berarti Tuhan sabar sama kita berarti Tuhan respek sama kita luar biasa dihargai. Sebenarnya terbalik kita yang harus respek kepada Tuhan.

PG : Itu point yang benar sekali dan baik ya Ibu Wulan. Tuhan memang mengatakan kita itu biji mataNya, Dia menghargai kita sebagai ciptaan yang spesial yang diciptakan menurut gambarNya sendri.

Dan memang Dia sangat mengasihi kita. Maka Dia rela mati untuk kita. Kasih yang besar itulah yang selalu juga menahan kesabaran Tuhan, menahan kemarahan Tuhan. Ada beberapa kali di dalam Alkitab kita bisa membaca Tuhan mau menghukum manusia lebih berat lagi contohnya kepada orang Israel. Musa berkali-kali meminta Tuhan jangan hukum seberat itu. Dan Tuhan memang mengurungkan niatnya. Mengapa, kasih sayangNya kepada manusia?
GS : Ya, berarti ada firman Tuhan yang sangat dibutuhkan oleh kita semua untuk memantapkan bagaimana kita melakukan kesabaran kita, mendemonstrasikan kesabaran kita baik terhadap pasangan kita maupun terhadap orang yang kita jumpai tiap-tiap hari Pak Paul?

PG : Saya akan kutip dari I Samuel 24:7 ini adalah juga doa Daud tatkala dia berhadapan dengan Saul yang sedang terlena tidur dan dia bisa membalas Saul, membunuh Saul tetapi di menolak melakukannya.

Daud berkata: "Dijauhkan Tuhanlah kiranya daripadaku untuk menjamah dia. Sebab dialah orang yang diurapi Tuhan." Daud mengaitkan hidupnya dengan Tuhan segala aspek kehidupannya. Bahkan dalam hal ini Saul yang mengejar-ngejar untuk membunuhnya tapi dia tidak membalas dengan niat membunuh Saul. Sebab dia mengaitkan detik itu dengan Tuhan bahwa Saul tetap orang yang Tuhan urapi. Jadi dia tidak boleh membunuh Saul meskipun dia berkesempatan. Nah saya kira ini kesabaran, kesabaran dalam pengertian melihat Tuhan bekerja dalam kehidupan kita. Nah, saya kira bagi kita yang memang sulit sabar karena banyak faktor-faktor itu ya teruslah dekat dengan Tuhan. Teruslah dikuasai terus-menerus oleh Tuhan, sehingga kita bisa mengaitkan segala hal yang terjadi dengan Tuhan. Dan sewaktu kita mengingat Tuhan kita cenderung lebih sabar. Pada kalanya kita lupa Tuhan kita cenderung lebih mudah marah.
GS : Ya, saya melihat kesabaran Daud di sini menantikan waktu Tuhan untuk dia menjadi raja yang penuh begitu Pak Paul. Padahal waktu itu dia 'kan sudah diurapi.

PG : Betul sekali. Dan sebetulnya dia bisa berkata ya seperti anak buahnya berkata ini memang waktu Tuhan menghabisi nyawa Saul dan dia akan bebas dari pengejaran Saul dan dia akan menjadi sorang raja.

Tapi dia lebih rela dikejar-kejar terus oleh Saul tanpa ada kepastian kapan dia menjadi raja daripada dia melakukan hal yang salah. Jadi kesabaran yang muncul karena mengaitkan Tuhan dalam segenap aspek kehidupannya.

GS : Ya, terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini juga Ibu Wulan terima kasih bersama kami dalam perbincangan pada kesempatan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pendeta Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Kurang Sabar". Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan anda sekalian sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



32. Menyesal dan Mengasihi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T151A (File MP3 T151A)


Abstrak:

Di antara kita yang sudah menjalani pernikahan selama bertahun-tahun, kadang-kadang muncul penyesalan dalam hati mereka. Tapi kita harus ingat satu hal bahwa kita tidak sempurna, jadi pernikahan pun juga tidak ada yang sempurna. Dalam materi ini diberikan contoh dan saran yang harus kita ketahui agar pernikahan kita dapat berjalan sebagaimana mestinya.


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menyesal dan Mengasihi", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, memang sulit diduga perjalanan pernikahan suami-istri, kadang-kadang begitu baik, kadang-kadang juga banyak masalah di dalamnya. Tetapi bagaimana sebenarnya Pak Paul dinamika pernikahan ini?

PG : Pak Gunawan, ada di antara kita yang sudah menjalani pernikahan selama bertahun-tahun dan mungkin sekali kadang-kadang muncul penyesalan dalam hati mereka. Mengapa pernikahan saya seperi ini, mengapa saya harus hidup dengan orang yang seperti ini juga, nah yang muncul adalah keputusasaan.

Saya tidak berkata bahwa ya gampang menyelesaikan masalah, tetapi saya berharap melalui siaran pada kesempatan ini kita bisa sedikit banyak menyoroti dari segi yang berbeda, segi yang positifnya sehingga mudah-mudahan kita bisa melewati masa-masa yang sulit ini. Ada beberapa hal yang bisa saya bagikan Pak Gunawan, yang pertama adalah kita selalu harus mengingatkan diri kita bahwa pernikahan kita tidak sempurna. Ini sering kali kita sudah ketahui dari awalnya, namun sebetulnya tetap ada harapan bahwa pernikahan kita itu sempurna. Kenapa tidak sempurna, karena memang kita menikah dengan seseorang yang tidak sempurna pula, jadi dia tidak selalu mengingat kita.
GS : Kita sendiri juga tidak sempurna. Jadi ini tidak sempurna kumpul dengan yang tidak sempurna menghasilkan yang tidak sempurnah pula, tapi itu sebetulnya sudah bisa diduga, Pak Paul?

PG : Betul, namun waktu kita menghadapinya tetap biasanya itu menggelitik, tidak mudah kita terima. Kenapa dia tidak ingat, kenapa saya masih harus beritahukan, kok penghasilannya hanya sediit, kenapa tidak bisa membawa uang yang lebih banyak, kenapa dia tidak mengerti perasaan saya, dia kok tidak bisa mengerti sebetulnya apa itu yang saya inginkan.

Atau kita berkata kok dia tidak bisa menguasai emosinya, kenapa harus selalu meledak. Nah, itu adalah hal-hal yang mengingatkan kita bahwa pasangan kita tidak sempurna sama seperti kita tidak sempurna. Dan ini adalah bagian dari kehidupan yang memang harus dilewati oleh semua orang, tapi saya menyadari kalau kita melihat ini pada diri pasangan kita ya memang sukar untuk kita menerimanya karena hal-hal yang tidak mengenakkan.
WL : Pak Paul tadi mengatakan bahwa walaupun memang kita sadar tidak sempurna, tapi biar bagaimanapun tetap ada harapan pada masing-masing pasangan. Saya cuma berpikir apakah ada pengaruhnya antara harapan yang mungkin lebih sering kita ucapkan dibandingkan dengan yang kita simpan saja dalam hati dan pasangan tidak tahu. Dan itu semakin membuat masalah menjadi lebih besar ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Wulan, jadi kita memang masuk ke dalam pernikahan membawa harapan-harapan. Nah, sudah tentu ada harapan yang lebih realistik dan ada harapan yang terlalu idealis. Nah, klau kita dibesarkan di rumah yang kebetulan sangat baik misalkan orang tua kita tidak pernah bertengkar, bicara dengan nada lembut, kemudian kita menikah dengan pasangan kita yang kalau marah langsung mengeluarkan emosinya wah....itu

cukup mengagetkan kita, dan kita melihat ini sebagai sesuatu yang keliru, tidak seharusnya begitu. Tapi ada sebagian kita yang membawa pengharapan yang tidak realistik Ibu Wulan. Misalkan kita dibesarkan dalam keluarga yang relatif bermasalah jadi kita berharap akan menikah dan menikmati pernikahan yang baik, sehingga kita peka sekali terhadap suara yang agak tinggi sehingga waktu pasangan kita menunjukkan kemarahan, kita benar-benar sudah sangat alergi dan bereaksi keras terhadap ketidaksempurnaannya itu.
GS : Ketidaksempurnaan kita itu bukankah dilatarbelakangi oleh dosa yang ada di dalam diri kita masing-masing, Pak Paul?

PG : Itu bagiannya juga Pak Gunawan, jadi kita ini adalah manusia yang sudah tercemar oleh dosa. Karena dua-dua tercemar oleh dosa, maka relasi nikah kita pun ditunggangi oleh dosa. Kadang-kdang itulah yang menyelinap masuk, misalkan kita juga harus menerima fakta bahwa pasangan kita tidak selalu rendah hati, kadang-kadang dia akan angkuh, tidak selalu bersedia minta maaf, kita mengharapkan dia bisa berani meminta maaf karena dia tahu dia salah, tapi tidak, dia orang berdosa.

Kita mengharapkan pasangan kita senantiasa jujur, jangan memutarbalikkan faktalah atau memutar-mutar kebenaran, tidak selalu, kadang-kadang pasangan kita juga tidak jujur, kenapa, sebab memang dia tidak sempurna, dia orang berdosa. Jadi inilah bagian dari kehidupan pula yang kita sebagai suami-istri harus terima, pasangan kita orang berdosa dan karena dia berdosa dia akan melakukan perbuatan dosa juga. Nah, ini yang harus juga kita siapkan hati kita untuk menerimanya.
WL : Penjelasan Pak Paul ini meliputi semua orang baik itu majelis, hamba Tuhan yang sudah lahir baru begitu Pak Paul?

PG : Sama, tidak ada bedanya. Jadi memang dosa sudah mempengaruhi kita dan membuat kita itu tergoda untuk cenderung melakukan hal-hal yang salah, yang berdosa.

GS : Tapi kita sebagai suami-istri itu mencoba berusaha untuk mengatasi masalah-masalah itu, apalagi kalau kita sudah sejak awal sudah tahu resiko-resiko seperti ini. Apakah usaha itu tidak membawa dampak apa-apa, Pak Paul?

PG : Pasti berdampak Pak Gunawan, namun kita harus menyadari bahwa sekeras apapun kita berusaha untuk memperbaiki relasi nikah kita, pernikahan kita tetap tidak akan mencapai kondisi sebaik ang kita harapkan.

Dalam kasus tertentu, waktu dua orang suami dan istri itu benar-benar bermotivasi mengubah, memperbaiki masalah, memiliki keterbukaan untuk bisa melihat diri dan belajar dari pasangannya, nah dalam kasus-kasus tertentu itu ya mereka akan mencicipi pernikahan yang sangat-sangat indah. Tapi saya juga ingin realistis mengatakan bahwa yang seperti itu tidak banyak, itu memang perkecualian. Yang lebih banyak adalah pernikahan yang biasa-biasa, yang banyak pergumulannya dan pernikahan itu tidaklah seperti yang diharapkan, meskipun sudah ada usaha-usaha untuk memperbaikinya tetap ada kekecewaan, ada hal-hal yang masih tetap terulang lagi, nah itu juga adalah hal yang kita harus terima.
GS : Nah, kalau penyesalan atau kekecewaan itu berlarut-larut Pak Paul, kita bisa menjadi orang yang apatis?

PG : Ya, saya kira kalau kita sudah mengharapkan, sudah mengkomunikasikannya kepada pasangan kita tetap tidak respons lama-lama bisa apatis. Nah, dalam kondisi ini apa yang bisa kita lakukan Yang ingin saya tekankan adalah kita bisa melakukan perubahan-perubahan kecil, kita mungkin tidak bisa mengubah pasangan kita tetapi kita bisa melakukan perubahan-perubahan kecil, dan perubahan kecil cenderung mengakibatkan munculnya perubahan-perubahan pada diri pasangan kita pula.

Sebagai contohnya misalnya pasangan kita cepat beremosi, nah kita akhirnya terpancing emosi pula dan lama-lama kita bisa seperti pasangan kita pula, sebelumnya memang tidak. Apa yang bisa kita lakukan? Yaitu perubahan kecil, waktu dia marah; kita diam tapi kita dengarkan dia. Nah, setelah dia tenang baru kita berkata: "Apakah bisa saya sekarang yang mengutarakan pendapat saya," misalkan begitu. Atau satu hal lain yang kecil juga yang kadang-kadang saya sampaikan kepada orang yang datang kepada saya membawa problemnya. Misalkan problemnya adalah si suami tidak bisa mendengar masukan dari istrinya, nah saya bertanya: "Apa yang biasanya kamu lakukan?" Katanya si istri misalkan: "Ya saya beritahu dia, apa yang saya kira dia harus dengarkan dan apa yang benar yang dia harus perhatikan ya saya akan beritahukan dia." "OK, bagaimana sambutan suamimu?" "Suami saya tidak mau dengarkan, malah dia membuang muka tidak mau mendengarkan saya." Saya katakan: "Bagaimana kalau lain kali Ibu ingin mengatakan sesuatu kepada suami Ibu, Ibu memulai dengan satu pertanyaan: Bolehkah saya memberikan pendapat, bolehkah saya mengeluarkan pikiran saya yang mungkin berbeda, apakah waktunya tepat untuk saya berbicara sekarang?" Jadi mengadakan perubahan dengan kata yang sangat-sangat sederhana yaitu memulai dengan kata bolehkah. Nah, ternyata saya mendapatkan tanggapan, ketika hal itu mulai dipraktekkan akhirnya membawa perbedaan dalam relasi mereka, sebab tiba-tiba si suami mendengar istrinya berkata: bolehkah saya memberikan pendapat saya. Hal yang selama bertahun-tahun tidak pernah dilakukan oleh istrinya, nah saya tidak berkata si suami tidak mempunyai problem dengan emosinya, ada tapi sekali lagi waktu si istri melakukan perubahan kecil seperti itu ternyata perubahan kecil seperti itu bisa mengakibatkan perubahan yang lumayan besar dalam relasi mereka.
WL : Ya, senang sekali ya Pak Paul, kalau ada suami-istri yang akhirnya bisa berubah lewat cara-cara seperti itu. Tetapi banyak juga yang justru semakin parah keadaannya, itu kira-kira karena apa, karena memang mereka sangat bermasalah atau karena apa?

PG : Bisa jadi karena problem sudah menumpuk, sudah menahun. Nah, sudah tentu yang tadi saya sarankan adalah cara yang sederhana dan belum tentu akan dapat mencabut akar-akar kepahitan dalamhidup mereka.

Namun yang ingin saya tekankan adalah relasi yang buruk itu dengan adanya perubahan yang kecil menjadi tidak seburuk kemarin. Nah, dengan tidak seburuk kemarin, kita itu seperti sedang menanam benih yang lebih baik, kalau sebelumnya selalu diisi dengan benih kepahitan, kebencian karena seringnya terjadi pertengkaran. Nah, hari ini tiba-tiba tidak terjadi pertengkaran sebab apa, sebab si istri menggunakan satu format percakapan yang berbeda dengan menanyakan boleh atau tidak. Nah, akhirnya terjadilah perubahan yang membawa dampak positif, sehingga tanah yang tadinya penuh dengan kebencian mulai berkurang.
GS : Itu berarti perubahan kecil yang tadi Pak Paul sarankan itu dari kita sendiri yang memulai, bukan dari pasangan kita?

PG : Tepat sekali, jadi kita bertanya pada diri kita apa itu yang bisa kita lakukan, hal kecil apa yang bisa kita lakukan. Kadang-kadang memang tidak terpikir. Seperti tadi contoh yang saya erikan yaitu mengajukan pertanyaan, hal yang sebetulnya masuk akal kalau sudah diberitahukan o...ya

gampang sekali, tapi tidak terpikir. Nah mungkin masalahnya adalah itu yaitu tidak terpikir, maka saya akan meminta para pendengar kita untuk memikirkan hal-ha kecil seperti itu. Misalnya kalau dia lagi marah matanya melotot kepada kita, dan mungkin sekali karena kita tidak takut dan ikut marah kita memelototi dia kembali. Mungkin hal kecil yang bisa kita lakukan adalah waktu dia marah, kita mencoba untuk mengontrol mata kita, jangan balas memelototinya, buang sedikit mata kita arahkan ke tempat yang berbeda atau hal kecil nada suara kita turunkan, nah hal-hal kecil itu juga akan membawa perbedaan.
GS : Nah, kalau kita sudah merenungkan apa yang harus kita lakukan, apakah ada saran lain dari Pak Paul?

PG : Nah, ini satu lagi yang juga sederhana Pak Gunawan, yaitu kita mesti mengingat cinta pertama, awalnya apa yang membuat kita tertarik kepada pasangan kita. Nah, menariknya adalah apa ituyang membuat kita tertarik kepadanya, setelah menikah itu menjadi hal yang cukup mengganggu kita.

Jadi saya mau tekankan bahwa yang tidak kita sukai sekarang sebetulnya adalah bagian dari yang kita suka tentang dia pada awalnya. Saya berikan contoh, ia tetap baik, orangnya memang baik, sabar dan tidak mudah mengambil keputusan karena dia memikirkan segala pihak sehingga ragu-ragu tidak bisa mengambil keputusan. Tapi itu bukan dua hal yang terpisah dalam dirinya, itu satu paket, kebaikan hatinya membuat dia menjadi orang yang selalu memikirkan kepentingan orang lain. Dan karena terlalu memikirkan kepentingan orang lain akhirnya tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat. Atau karena terlalu memikirkan kepentingan orang lain akhirnya kurang memperhatikan kepentingan pasangannya sendiri, tapi dua hal ini sekali lagi satu paket yang sama. Nah, kalau kita menikah dengan orang yang cepat mengambil keputusan ya mungkin sekali dia cepat mengambil keputusan karena dia tidak peduli dengan orang. Nah, mungkin kita harus tanggung juga bagian lainnya yang tidak kita sukai dengan orang yang seperti ini yaitu tidak peka dengan kita, semaunya kalau ngomong, dia memang tegas tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan tapi dia juga tidak sabar, kalau ngomong menyakiti hati, seperti itu.
WL : Jadi tidak bisa hanya menerima satu sisi saja Pak, yang positifnya saja kemudian yang negatifnya tidak mau.

PG : Betul, karena memang selalu ada eksesnya. Kenapa ada eksesnya, saya kira inilah yang tadi saya sudah singgung bagian dari ketidaksempurnaan kita sebagai manusia dan memang kita sudah tecemar oleh dosa.

GS : Cuma biasanya yang negatif-negatif ini munculnya setelah kita menikah, Pak Paul?

PG : Biasanya begitu, karena kita tidak disatukan dalam satu ruang yang penuh dengan intensitas. Pernikahan itu ruangan sempit penuh intensitas, berpacaran ruangannya lebih luas dan tidak bayak intensitasnya.

GS : Jadi sebenarnya sekalipun kita itu menyesal karena pernikahan itu banyak masalah dan sebagainya, kita masih tetap bisa mengasihi pasangan kita ya Pak Paul?

PG : Saya kira begitu Pak Gunawan, waktu kita mulai melihat apa itu yang membuat kita mencintainya, meskipun sekarang ada eksesnya yang membuat kita jengkel tapi yang pertama itu tetap benar tetap ada.

Nah, yang sering kali kita lakukan adalah kita menganggap yang pertama itu sudah hilang, hal-hal positif tentang dia sekarang tidak ada lagi. Tidak, sering kali tetap ada, misalnya laki-laki ini dominan sekali dan begitu dominannya sehingga sering kali kasar, menginjak-injak perasaan si istri. Tapi kenapa si istri bisa tertarik dengan pria yang seperti ini, kemungkinan sekali karena si pria ini waktu masih berpacaran adalah orang yang memberi perhatian besar pada istrinya. Segala hal dia mau tahu atau peduli, dia mengatur banyak hal, membuat si istri merasa senang dekat dengan si pacar yang penuh dengan perhatian. Nah, nanti setelah menikah memang muncul bagian yang lainnya atau eksesnya itu yakni mendominasi dia, tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk mengembangkan diri atau pikirannya, nah itu memang eksesnya. Tapi kenapa dia mencintai si pria ini pada awalnya karena sifat-sifat yang mau melindungi itu, meskipun lama-lama tidak hanya melindungi tapi juga mengekang.
WL : Pak Paul, ada pengaruhnya atau tidak kalau dari sisi yang wanita terutama seperti yang diajarkan di Alkitab, para wanita itu berperan sebagai pasangan yang melengkapi, menjadi berkat buat pasangannya. Jadi salah satunya adalah memiliki sisi-sisi negatif ini, nah mungkin makin jengkel aspek yang negatifnya ini bertahun-tahun tidak berubah, memang mau menerima yang positif tapi ingin juga yang negatif itu semakin hari semakin dikikis.

PG : Akhirnya ini yang saya perhatikan Bu Wulan, kalau kita memfokuskan pada yang negatif dan mencoba untuk mengubahnya, sering kali efeknya itu lebih buruk. Capai hati, kita pun mudah emosi dia pun juga tidak bisa karena dia merasa sisi buruknya terus yang difokuskan.

Jadi melalui kesempatan ini saya ingin mengajak para pendengar kita untuk mengalihkan mata, tidak lagi menyoroti sisi buruknya tapi melihat sisi positifnya dan terus berikan tanggapan pada sisi positif itu dan adakan perubahan-perubahan kecil seperti itu. Lama-kelamaan ya meskipun kita mulai menyesali pernikahan kita tapi waktu kita fokus pada yang positif, lama-lama kasih itu bisa muncul kembali. Nah, waktu kasih itu muncul kembali itu akan dirasakan oleh pasangan kita.
GS : Sebenarnya mungkin akan lebih mudah kalau kita sejak awal pernikahan membina yang positif-positif itu, Pak Paul?

PG : Ya, tapi memang inilah yang terjadi Pak Gunawan, setelah kita memasuki pernikahan kita akan diperhadapkan dengan yang tidak kita sukai, nah itu yang mengganggu dan itu yang di depan mat yang langsung menohok kita dan kita rasanya buru-buru ingin bereskan, akhirnya kita terjebak dalam perilaku mengoreksi keburukan pasangan.

Sedangkan yang positif yang tadinya mengikat kita, kita tidak lagi perhatikan, seolah-olah tidak ada lagi. Sebetulnya tetap masih ada.
GS : Sehubungan dengan hal ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang berbicara tentang kita melihat kesalahan orang lain ini?

PG : Saya akan bacakan Matius 7:5, "Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu." Ini adalahnasihat Tuhan kepada kita yaitu jangan cepat menghakimi, jangan cepat menjatuhkan vonis kepada orang.

Sebab apa, Tuhan pun menggunakan perumpamaan, balok berarti kayu yang besar, selumbar itu serat kayu. Jadi kalau kita misalnya lagi menyerut kayu ada yang jatuh tipi-tipis nah itu namanya selumbar. Nah, Tuhan berkata kita ini melihat orang seolah-olah orang itu kesalahannya besar-besar, kita lupa bahwa kita pun punya kesalahan. Jadi Tuhan berkata sebelum melihat kesalahan orang, lihat diri dulu, keluarkan dulu balok dari mata kita, maka kita baru bisa melihat selumbar yang kecil itu pada diri orang lain.
GS : Kesulitannya justru mengeluarkan baloknya sendiri ini, Pak Paul ya. Kita mengharapkan orang lain melihat kita dari sisi positif kita pada hal kita menilai orang selalu dari yang negatif.

PG : Betul, masalahnya kalau orang memberitahu kita eh.......kamu punya masalah ini, mempunyai balok, kita tidak terima itu susahnya. Jadi memang Tuhan memberikan nasihat yang sangat baik, sbelum mengurus problem orang, sebelum melihat kekurangan orang, lihat dulu diri sendiri apakah ada kekurangan, bereskan itu.

Nah, Tuhan mempunyai maksud yang indah di sini Pak Gunawan, yaitu yang pertama adalah sering kali orang kalau melihat kita ini terbuka dengan diri, kita ini mau belajar tahu kapan kita salah, kita diberitahukan; kita mau berubah. Nah, pasangan kita itu nanti juga akan bisa melihat o....ya...ya dia orangnya mau mendengar, kalau saya katakan apa dia mau menerima, nah lama-lama ini juga akan menolong pasangan kita untuk bersikap sama tapi kalau kebalikannya yang terjadi dia melihat kita ini susah sekali mendengar, defensif sekali, membenarkan diri dan sebagainya, nah akhirnya dia juga enggan untuk mendengarkan masukan dari kita.
GS : Apakah dimungkinkan kalau memang pasangan suami-istri menyadari pentingnya hal ini, memang menyediakan waktu untuk introspeksi masing-masing. Jadi ada atau tidak adanya masalah, sebelum masalah itu muncul dilakukan introspeksi, bisa atau tidak?

PG : Itu baik sekali Pak Gunawan, saya ingat salah satu penulis Kristen seorang psikiater bernama Scott Peck dia membicarakan tentang dalam hidup ini kita tidak perlu memadatkan hari-hari kia dengan banyak aktifitas, tapi bagaimana kita bisa memikirkan dan melakukan hanya beberapa hal tapi yang sangat bermakna dalam dalam hidup kita.

Nah, itu namanya efektif, orang yang efektif adalah orang yang bisa melakukan hanya beberapa hal dalam hidupnya namun sangat bermakna. Nah, dia berkata bagaimana bisa begitu, salah satu hal yang dia katakan adalah kita hanya bisa berbuat seperti itu kalau kita menyediakan diri misalnya berdoa salah satunya, namun yang lainnya lagi adalah tidak berbuat apa-apa hanya merenung. Nah, itu memang penting, tadi Pak Gunawan sudah munculkan yaitu kemampuan untuk berdiam diri dan merenung, melihat diri kita, apa yang kita lakukan, mungkinkah saya mengatakan begini dan ini yang memancing orang untuk berpikiran seperti ini. Nah, kemampuan untuk bisa melihat diri seperti itu rupanya itulah yang Tuhan minta dari kita, keluarkan dulu balok dari mata kita baru kita bisa mengeluarkan selumbar dari mata saudara kita.
WL : Pak Paul, kalau kita sudah introspeksi diri, tapi kadang-kadang ada hal-hal yang kita tidak sadari tapi ditangkap negatif oleh pasangan. Baik atau tidak kalau ada tip praktis misalnya sebelum tidur sambil berdoa kemudian kita mendengarkan apa yang tidak enak di dalam hati kamu sepanjang hari ini yang telah saya lakukan?

PG : Itu ide yang baik Bu Wulan, kalau dua orang itu bisa berdua ngomong baik-baik, apa yang tadi kamu lakukan wah......itu indah sekali. Sebab nadanya itu nada mau belajar, tidak lagi ada nda defensif dan itu kondusif untuk orang yang berani membuka diri.

GS : Dan sekaligus itu tindakan preventif saja Pak Paul, supaya jangan terjadi masalah yang berat. Terima kasih sekali Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menyesal dan Mengasihi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



33. Makna Tunduk Istri Kepada Suami


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T152A (File MP3 T152A)


Abstrak:

Di dalam materi ini kita akan mengerti satu hal kenapa Tuhan memilih seorang pria menjadi kepala dan menghendaki istri tunduk kepadanya dan sejauh manakah istri itu harus tunduk kepada suami?


Ringkasan:

"Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat."Efesus 5:22-23

Latar belakang

Di sini Tuhan memberikan pedoman hidup bersama menurut cara Allah. Jika kita menaatinya, kita akan menikmati relasi yang rukun, sebaliknya, bila kita melanggarnya, kita akan mencicipi relasi yang penuh konflik.

Beberapa pertanyaan yang muncul tatkala membaca ayat ini adalah:

  1. Mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan suami sebagai kepala sehingga istri harus tunduk kepadanya?

  2. Apakah artinya "tunduk" di sini? Sejauh manakah kita akan tunduk kepada suami?

Kepemimpinan Suami

  1. Keluarga adalah sebuah unit organisasi dan semua organisasi harus memiliki pimpinannya. Tanpa kepemimpinan, organisasi akan mengalami kekacauan.

  2. Penunjukan pria sebagai pemimpin berkaitan erat dengan konsep Kristus sebagai kepala jemaat. Kristus, yang adalah Allah, mengambil identitas pria sebagai jasad ragawinya dan tidaklah masuk akal jika Tuhan menetapkan istri sebagai kepala rumah tangga dan menyamakannya dengan Kristus, kepala jemaat. Dalam hal ini, jauh lebih konsisten bila suami yang diidentikkan dengan Kristus.

  3. Kepemimpinan menuntut adanya kuasa dan kuasa seorang suami Kristen adalah kuasa yang lahir dari pengorbanan, bukan pemaksaan.

Ketundukan Istri

  1. Tunduk adalah syarat keanggotaan dalam suatu organisasi atau ikatan. Tanpa ketundukan, mustahil tercipta kerukunan.

  2. Tunduk adalah pedoman yang Tuhan berikan kepada istri agar dapat melanggengkan hidup bersama, bukan perintah yang Tuhan sampaikan kepada wanita karena seolah-olah ini adalah masalah atau kelemahan wanita. Tanpa kecuali, kita semua sulit untuk tunduk.

  3. Tunduk dibatasi oleh Tuhan sendiri, dalam pengertian, istri tidak boleh melanggar kehendak Tuhan gara-gara ingin tunduk kepada suami. Namun, berhati-hatilah untuk melabelkan segala sesuatunya, "kehendak Tuhan." Bahkan kepada suami yang "tidak taat kepada Firman," Tuhan memerintahkan istri untuk "tunduk" (1 Petrus 3:1).

  4. Tunduk tidak berarti tidak berpendapat atau kehilangan keunikan diri; ingat, pernikahan adalah sebuah penyatuan bukan akuisisi. Dengan kata lain, sebagai penolong, istri boleh dan seharusnyalah menyumbangkan saran dan pendapat namun setelah itu, ia menyerahkan keputusan akhir kepada suami.

  5. Tunduk bukan saja pada keputusan yang tepat tetapi juga pada keputusan yang keliru. Di sinilah ketundukan mendapatkan ujiannya dan di sinilah iman berperan-bahwa masih ada Tuhan yang memelihara kehidupan kita kendati suami telah mengambil keputusan yang keliru.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Tunduk Istri kepada Suami", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
WL : Pak Paul, di dalam Efesus 5:22-23 disebutkan bahwa "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Pak Paul, ini merupakan ayat yang sangat penting bagi setiap rumah tangga Kristen. Cuma sering kali ayat ini menimbulkan salah paham atau salah dimengerti oleh banyak anak Tuhan. Apakah Pak Paul mungkin bisa menjelaskan mengenai ayat ini, supaya menjadi berkat dan menolong keluarga-keluarga Kristen?

PG : Untuk kita bisa lebih tepat membahasnya, saya akan mengarahkan kita semua ini pada dua pertanyaan. Yang pertama adalah mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan suami sebagai kepala shingga istri harus tunduk kepadanya.

Dengan kata lain apa alasannya pria yang dipilih Tuhan. Kedua apakah artinya tunduk di sini, nah pertanyaan berikutnya adalah sejauh manakah kita tunduk kepada suami. Saya kira ayat ini dapat kita soroti dari dua pertanyaan yang baru saja saya angkat. Nah untuk menjawab saya akan memulai dulu dengan konsep kepemimpinan suami, dengan kata lain ini untuk menjawab pertanyaan pertama mengapakah suami yang Tuhan tetapkan sebagai kepala keluarga. Kita harus melihat keluarga sebagai sebuah unit organisasi, dan semua organisasi harus memiliki pimpinan. Dan tanpa kepemimpinan, organisasi akan mengalami kekacauan. Jadi dengan kata lain keluarga memang harus memiliki seorang pemimpin, jadi kalau ada orang yang berkata: "O......tidak perlu ada pemimpin dalam keluarga." Saya kira itu konsep yang keliru, sebab semua unit organisasi memerlukan pimpinan, tanpa pimpinan maka kita akan melihat kekacauan, jadi demikian pulalah dengan keluarga.
WL : Bagaimana Pak Paul dengan banyak istri yang justru mempunyai kelebihan-kelebihan yang lebih dibandingkan dengan suami, yang maksudnya kepemimpinannya justru lemah?

PG : Nah, dalam kasus seperti itu saya kira tetap akan ada tempat bagi suami untuk menjadi kepala, namun sudah tentu karena istri lebih berbakat, lebih berkarunia, istri akan memegang perana yang lebih besar dibandingkan istri-istri lain yang tidak memiliki bakat atau kemampuan sebesar orang tersebut.

Jadi otomatis memang yang namanya memimpin, berapa memimpinnya, berapa dominan kepemimpinannya itu juga sangat tergantung pada kwalitas si pria itu dan berapa berperan atau tidak berperannya si istri ya juga bergantung pada kemampuan si istri itu pula. Semakin dia mempunyai banyak karunia yang bisa disumbangsihkan sudah tentu semakin berperan dia dalam keluarga tersebut.
GS : Saya setuju dengan yang Pak Paul katakan setiap organisasi pasti ada pemimpin, cuma masalahnya di dalam rumah tangga mengapa suami yang harus ditunjuk sebagai pemimpin dan bukan yang lain?

PG : OK! Coba sekarang kita melihat, penunjukkan pria sebagai pemimpin sebetulnya berkaitan erat dengan konsep Kristus sebagai kepala jemaat. Nah Kristus yang adalah Allah mengambil identita pria sebagai jasad ragawiNya.

Jadi saya kira tidaklah masuk akal jika Tuhan menetapkan istri sebagai kepala rumah tangga dan menyamakannya dengan Kristus, si kepala jemaat. Karena Kristus adalah seorang laki-laki dan itulah yang diidentikkan dengan kepemimpinan rumah tangga. Jadi dalam hal ini jauh lebih konsisten kalau suami yang diidentikkan dengan Kristus, nah ini saya kira alasan yang paling kuat, yang Alkitab juga tuturkan. Yakni kita yang pria diminta menjadi kepala sebab memang kita diidentikkan dengan Kristus yang adalah dalam jasad ragawiNya seorang pria, jadi saya kira pengidentikan dengan Kristus sebagai seorang pria ini adalah salah satu alasannya. Nah berikutnya lagi adalah ini Pak Gunawan, saya kira secara budaya (ini memang tidak ada di Alkitab, ini adalah pandangan pribadi saya) secara budaya pada umumnya, pria menempati posisi sebagai kepala. Ada budaya yang menempatkan wanita sebagai pimpinan atau kepala, tapi lebih banyak budaya yang menempatkan pria sebagai pimpinan. Karena dari segi fisik, pria memang mempunyai kekuatan kasar yang jauh lebih besar daripada wanita. Jadi dalam hal-hal misalkan berperang pada zaman-zaman primitif dahulu, yang harus pergi berperang adalah pria, yang harus melindungi tempat kediaman mereka dari serangan musuh juga adalah pria. Dengan kata lain secara budaya dari awalnya apalagi dalam masa-masa dulu di mana sering kali terjadi perang antar suku dan sebagainya, pria memang berfungsi sebagai pelindung, sebagai panglima perang, sebagai serdadu, sebagai penjaga, sudah tentu dia harus bisa memimpin, dia harus bisa mengatur karena itulah fungsi yang dieembankan kepadanya. Nah saya kira Tuhan juga menetapkan pria sebagai pimpinan karena memang secara budaya itulah yang memang diterima oleh kebanyakan budaya di dunia ini.
WL : Pak Paul, tapi tidak bisa disangkal ada beberapa budaya yang menganut budaya maternalistik bukan paternalistik. Wanita lebih banyak dominan, bahkan pria kalau menikah pun seolah-olah wanita yang memberikan banyak pemberian ke pihak pria, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Saya kira itu ada, dan memang budaya tersebut diterima oleh kelompok tersebut dan tidak apa-apa, ya berjalan dengan baik. Nah, apakah budaya tersebut akan harus mengubah budayanya jikalu mereka menjadi orang Kristen.

Saya kira tidak serta-merta harus berubah dengan langsung, secara radikal. Yang penting memang pada akhirnya adalah sebuah kepemimpinan dan adanya sebuah keharmonisan dalam rumah tangga tersebut. Kalau itu tercapai dan memang itulah cara yang diterima oleh budaya setempat, saya kira lebih baik dipertahankan seperti itu dulu, biarkan secara alamiah kalau memang budaya itu harus berubah biarlah budaya itu berubah. Sebab sekali lagi kita harus melihat yang lebih jelas lagi tentang kepemimpinan pria, ini yang sering kali disalahpahami. Pria diberikan kuasa bukan untuk menundukkan, bukan untuk menguasai, dan kuasa tersebut diperoleh bukan dari pemaksaan karena dia lebih bertenaga, dia lebih mempunyai uang, sama sekali bukan. Tapi kuasa yang lahir dari pengorbanan, nah itulah yang memang Tuhan inginkan, kuasa yang lahir dari pengorbanan. Dan karena dia berani mengorbankan dirinya, dia lebih mempunyai kuasa dalam rumah tangganya. Jadi saya kira untuk menjawab pertanyaan Ibu Wulan tadi, kalau kelanggengan bisa dipelihara dengan cara tersebut misalkan wanitanya yang kebetulan secara budaya diterima untuk menjadi pemimpin, saya kira tidak apa-apa.
WL : Menyambung penjelasan Pak Paul tadi tentang kekuasaan pria yang idealnya lahir dari pengorbanan, tapi pada realita di dunia ini kita sering melihat tidak sedikit pria-pria itu yang justru "menjajah", menekan wanita, memukul, sehingga pada akhirnya muncul gerakan feminisme. Walaupun saya pun tidak setuju dengan gerakan itu, tapi bisa dimaklumi karena itu muncul dari tekanan yang memang sering kali juga berlebihan. Dari pria menginjak-injak wanita, Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu konsep yang sangat salah. Jadi kadang kala sebagian kita pria dengan senang hati mengadopsi ayat ini, istri tunduklah kepada suamimu. Itu seolah-olah membenarkan segala indakannya yang ingin menjajah wanita, sangat salah.

Sebab sekali lagi tugas yang nanti akan kita bahas dalam pertemuan kita berikutnya adalah tentang suami harus mengasihi istri, nah ini adalah sebuah perintah yang terkait bukan terlepas dari perintah hai istri tunduklah kepada suamimu. Jadi sekali lagi pengorbananlah yang menjadi dasar kepemimpinan seorang suami dalam rumah tangganya bukan pemaksaan atau penjajahan.
GS : Kalau begitu Pak Paul, ayat yang tadi Bu Wulan bacakan tentang istri yang diminta tunduk kepada suaminya, pengertian tunduk itu bagaimana, Pak Paul?

PG : OK! Saya akan memberikan sedikit latar belakang, tunduk adalah syarat keanggotaan dalam suatu organisasi atau ikatan, tanpa ketundukan mustahil tercipta kerukunan. Kalau seorang mempunyi pendiriannya dan tidak harus tunduk kepada seorang pimpinan pasti tidak akan ada kerukunan, yang lebih sering terjadi pasti gontok-gontokan.

Nah, tunduk adalah pedoman yang Tuhan berikan kepada istri agar dapat melanggengkan hidup bersama. Bukan perintah yang Tuhan sampaikan kepada wanita karena seolah-olah ini adalah masalah atau kelemahan wanita. Sebab menurut saya, tanpa kecuali kita semua sulit untuk tunduk, secara kodrati kita bukanlah makhluk yang mudah tunduk kepada orang. Nah, waktu Tuhan menyampaikan itu kepada wanita, bukan karena wanita mempunyai problem yang terlebih besar dengan hal kepatuhan, saya kira tidak. Baik pria maupun wanita sama-sama pada dasarnya sulit untuk tunduk pada kemauan orang lain. Jadi waktu Tuhan berikan kepada wanita, sekali lagi saya ingin tekankan bukan karena wanita mempunyai problem dalam hal kepatuhan, sama sekali bukan. Justru yang kita lihat pada umumnya wanita jauh lebih mudah patuh dibandingkan dengan pria. Jadi tujuannya adalah dalam konteks kelanggengan, kerukunan, sebab tanpa ada yang tunduk tidak mungkin tercapai ketundukan itu sendiri. Tapi sekarang kita mau melihat dengan lebih jelas lagi, seberapa jauhnyakah istri itu tunduk kepada suami. Tunduk dibatasi oleh Tuhan sendiri, dalam pengertian istri tidak boleh melanggar kehendak Tuhan gara-gara ingin tunduk kepada suami. Jadi kalau misalkan si istri diminta untuk berbuat sesuatu yang berdosa, karena suaminya meminta dengan dasar ini kita tidak boleh tunduk kepada manusia melebih tunduk kepada Allah. Jadi kalau gara-gara kita tunduk kepada manusia, harus berdosa kepada Allah, kita akan tidak tunduk kepada manusia demi tunduk kepada perintah Allah. Nah, ini batasnya tunduk dalam rumah tangga. Jadi sejauh manakah tunduk? Sejauh tidak bersinggungan dengan dosa.
GS : Di dalam hal ini Pak Paul, tunduknya itu kadang-kadang karena terpaksa. Kalau tadi kita umpamakan rumah tangga sebagai organisasi, biasanya kepemimpinan organisasi memang dipilih atas kesepakatan, nah ini berdasarkan penunjukkan. Tuhan itu langsung menunjuk suami yang menjadi kepala, mau tidak mau si istri merasa terpaksa tunduk, Pak Paul?

PG : Saya kira secara alamiah kita akan merasa begitu, sebab kalau kita putar situasinya misalkan kitalah pria yang tiba-tiba diminta Tuhan tunduk kepada istri, saya kira secara manusiawi kia juga akan berontak, kita tidak mudah untuk tunduk begitu saja.

Nah, apalagi kalau misalkan ada keputusan yang dibuat oleh suami kita yang tidak kita setujui atau keliru. Nah sudah tentu tunduk dalam pengertian yang alkitabiah, tunduk yang mau memahami kehendak si istri, menghargai masukan dari si istri dan mempertimbangkan kepentingan si istri (bukan saja si istri tapi juga satu keluarga). Jadi seperti itulah diharapkan si pria itu memimpin bukan mementingkan dirinya tapi mementingkan keluarganya istri dan anak-anaknya. Dan segala hal yang diputuskannya harus melibatkan istri dan anak-anaknya. Nah, tapi apakah terbuka kemungkinan misalkan dua-dua baik istri maupun suami berpikir ini demi kepentingan bersama, nah waktu dua-dua berkata ini demi kepentingan bersama tapi dua-duanya tidak setuju, tidak sama, tidak sehati. Misalkan si istri akhirnya berkata saya lebih benar, tapi suami berkata saya lebih benar, tapi setelah mereka kumpulkan memang tidak bisa ada titik temu, salah satu harus tunduk. Nah yang tunduk di sini menurut saya adalah si istri, karena inilah perintah Tuhan; istri tunduklah kepada suamimu. Tapi mungkin pertanyaan yang langsung muncul adalah bagaimana kalau keliru, bukankah terbuka kemungkinan si suami mengambil keputusan yang keliru. Nah, menurut saya begini, selama kita sudah memberikan masukan kepada suami, tetapi suami tetap melakukan suatu keputusan yang keliru, biarkan. Jadi bahkan kita akan tunduk pada keputusan yang akhirnya kita tahu keliru, meskipun kita tidak setuju tapi memang ketundukan itu diperlukan. Namun sekali lagi saya tekankan di sini bukan berarti suami bisa bertindak semena-mena, pokoknya saya pikirkan apa, saya inginkan apa, itu yang harus terjadi. Kalau suami masih berpikir seperti itu berarti dia belum mempunyai pikiran Kristus, sebab yang Kristus maksudkan adalah dia sebagai suami memikirkan kepentingan istri dan anak-anaknya. Maka di Filipi 2:5-11, dituliskan bahwa Kristus itu sebagai Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, rela mengosongkan diriNya (diri diterjemahkan ego), rela mengosongkan egoNya menjadi seorang hamba. Jadi benar-benar Kristus rela mengosongkan diri demi jemaat yang dikasihiNya, nah suami dituntut sama rela mengosongkan dirinya, egonya, demi istrinya dan demi anak-anaknya. Jadi dalam pemahaman kristiani yang seperti ini, sesungguhnya tidak ada tempat bagi kesemena-menaan, sehingga kalaupun terjadi kekeliruan, ini pun kekeliruan yang jujur, yang mungkin sekali manusiawi. Dan tetap istri di sini di minta untuk tunduk.
WL : Pak Paul, saya mau bertanya kekeliruan yang katakanlah memang bukan bermaksud jahat, bagi dia, menurut pemikiran dia keputusan ini memang yang terbaik, tapi bagi istri tetap itu keliru. Nah waktu dijelaskan ini saya teringat suatu kisah nyata yang saya pernah baca di suatu majalah, seorang penyanyi yang prianya atau suami memberikan kebebasan kepada anak ketika anak lulus dari SD dia katakan kepada bapaknya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, OK diberikan kebebasan dengan pemikiran bahwa kelak engkau yang menuai apa yang engkau tabur ini. Lalu istri tidak setuju, sangat tidak setuju karena memang usia masih sangat dini. Lalu kalau tidak salah setahun atau dua tahun kemudian, ditemukan meninggal dengan bibirnya berbusa karena over dosis, kena narkoba dari teman-teman sepergaulannya. Nah dari awal sudah jelas di sini, kalau kita mau menengok lagi ke belakang jelas konsepsi istri yang lebih benar, tetapi karena dia tunduk kepada suaminya karena suaminya adalah pemimpin rumah tangga ya itu yang terjadi, bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Hal-hal seperti itu memang terjadi, dan apakah bisa langsung kita katakan ini bisa dicegah. Kadang-kadang ada hal yang bisa dicegah, ada hal yang tidak bisa dicegah karena tidak diketahi dengan pasti apa yang akan terjadi nantinya.

Misalkan contoh yang mungkin lebih sering terjadi dalam kehidupan kita. Anak sudah berumur 16 tahun ingin keluar rumah malam-malam, si ayah memberikan izin, istrinya tidak memberikan izin. Misalkan hari agak gelap, baru saja hujan, si istri berkata: "Kamu diam di rumah, jangan pergi ke mana-mana." Nah si anak tetap mau pergi, misalkan dia mengendarai motor, akhirnya si ayah berkata tidak apa-apalah asal hati-hati. Si anak akhirnya benar-benar pergi naik motor dan tertabrak, dan misalkan sampai harus di rumah sakit, perawatannya sangat mahal. Nah, mudah sekali memang istri akan berkata: "Kamu sih yang kasih." Tapi dalam hal ini sebetulnya tidak mungkin seseorang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi, sebab 50% kemungkinan yang satunya lagi adalah anak itu pulang dengan tubuh sehat tanpa ada apa-apa. Jadi ada hal-hal yang memang tidak bisa diketahui dengan pasti dan si istri juga harus bisa menerima kemungkinan tersebut. Tapi yang penting adalah memang di dalam rumah tangga, suami memberi ruang bagi istri untuk memberikan pendapatnya, untuk berbeda pendapat dengan dia, dan juga untuk mengajukan masukan-masukan yang berharga. Di sinilah si istri berperan sebagai seorang penolong, tapi setelah memberikan masukan itu hendaklah nantinya suami yang mengambil keputusan, sudah tentu konsultasikan dengan istri. Bahkan nanti anak-anak sudah mulai besar harus juga melibatkan anak-anak, karena keputusan si suami misalkan pindah kota atau apa, itu juga akan berkaitan dan berimbas pada anak-anak. Jadi si suami pun diminta untuk bisa mengutarakan ini kepada anak-anak dan meminta pendapat mereka. Namun tetap setelah itu dilakukan, saya kira keputusan akhir tetap diberikan kepada suami. Kenapa harus begini? Karena sekali lagi saya ingin mengingatkan bahwa konteksnya, latar belakangnya kenapa Tuhan memberikan ayat-ayat ini adalah Tuhan sudah memberikan resep kepada kita bagaimana hidup harmonis. Harmonis itu tidak selalu dibuktikan dengan keputusan yang tepat, tapi yang Tuhan minta adalah keharmonisan. Dan untuk menjaga keharmonisan memang harus ada yang menjadi pemimpin dan harus ada yang menjadi anggota, dan itu saya kira mutlak harus ada. Bukankah kita pun kalau kita bekerja di luar, tidak selalu setuju dengan atasan kita. Dan meskipun atasan kita melakukan kekeliruan tetap kita memang harus mengikutinya, karena kalau tidak, tidak akan ada lagi suatu keharmonisan dalam suasana kerja kita, jadi mesti harus ada itu.
WL : Mungkin lebih sulit Pak kalau dibandingkan dengan suasana kerja ya. Suasana kerja OK-lah kita tunduk-tunduk menerima karena memang menerima gaji. Kalau tidak suka, batas pertahanan kita tidak bisa ya sudah berhenti, pindah kerja. Kalau dengan suami tidak bisa begitu Pak.

PG : Betul, pressure-nya jauh lebih besar, lebih intens, betul sekali itu.

GS : Tapi sering kali begini Pak Paul, istri pada awal pernikahan memang tunduk tapi lama-lama menanduk. Jadi kadang-kadang suami tidak merasakan perubahan itu. Nah dalam hal ini sebenarnya ada banyak dalam kasus-kasus keluarga, istri secara formal memang tunduk, dia tetap mengakui suaminya sebagai kepala keluarga. Tetapi dia katakan: "Kamu boleh kepala, tetapi saya lehernya." Jadi tetap dia yang memagang peranan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Yang penting adalah bukan pengakuan tapi perbuatan, bahwa dalam perbedaan pendapat, setelah dia mengutarakan pendapatnya memang sebaiknya dia serahkan kembali kepada suami. Juga ada sat cara lagi, istri tetap bisa berpengaruh, tetap bersumbang sih, namun dengan cara yang dapat diterima oleh suami.

Hampir semua suami bersedia mendengarkan masukan istri, namun adakalanya disampaikan dengan cara yang tidak disukai oleh si suami. Nah cara itulah yang bisa dipelajari oleh istri, cara-cara yang mungkin lebih bijak. Salah satu cara yang bisa saya sarankan adalah memberikan pilihan. Kadang-kadang kalau kita berkata langsung kamu salah, harusnya begini, itu susah untuk orang berbelok arah dan mengakui saya salah dan harus ke jalan yang disarankan oleh istri sendiri. Nah, lebih baik bagaimana kalau kita sarankan, ini bisa tapi ada pilihan-pilihan yang lainnya, pilihan yang A ini, ini kerugian dan keuntungannya, pilihan B ini, ini kekurangan dan kelebihannya, menurut kamu bagaimana. Atau kita bisa berkata: "Saya ada pendapat, boleh atau tidak saya berikan, ada masukan mau atau tidak kamu dengarkan." Nah setelah kita sampaikan kita katakan kepada suami: "Ya terserah kamu apa yang baik, saya hanya memberikan masukan saja." Nah dengan cara-cara seperti itu saya kira istri bisa mengefektifkan pemberian, sumbang sih atau masukan kepada suaminnya sehingga akhirnya bisa diterima.
WL : Pak Paul, saya ada satu pertanyaan tentang konsepnya tunduk ini, itu sebetulnya dipengaruhi atau tidak dari kepribadian si wanita. Misalnya ada wanita yang memang dependen, bergantung, ya dia memang sudah terbiasa begitu jadi lebih mudah atau bahkan menikmati suaminya mengatur segala sesuatu.

PG : Pengamatan yang baik Bu Wulan, jadi memang ada perbedaan. Kepribadian yang lebih mudah nurut ya lebih gampang untuk menyesuaikan diri dengan konteks kehidupan seperti ini, jadi betul seali itu.

GS : Dalam pembicaraan ini kita baru bisa berbicara dari sisi istri yang diminta untuk tunduk, tetapi firman Tuhan itu memang akan berkelanjutan di pihak suami dan ini akan kita bahas pada kesempatan yang akan datang bersama Pak Paul. Kami mengucapkan banyak terima kasih Pak Paul bisa berbincang-bincang bersama kami dan juga Ibu Wulan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Tunduk Istri kepada Suami". Kami menyarankan Anda untuk mengikuti kelanjutan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Namun bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



34. Makna Mengasihi Suami Kepada Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T152B (File MP3 T152B)


Abstrak:

Mengapa Tuhan menetapkan istri sebagai penerima kasih, dan seakan-akan pria tidak membutuhkannya. Sejauh manakah suami itu harus mengasihi istrinya?


Ringkasan:

"Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya..." (Efesus 5:25)

Latar belakang

Di sini Tuhan memberikan pedoman hidup bersama menurut cara Allah. Jika kita menaatinya, kita akan menikmati relasi yang rukun, sebaliknya, bila kita melanggarnya, kita akan mencicipi relasi yang penuh konflik.

Beberapa pertanyaan yang muncul tatkala membaca ayat ini adalah:

  1. Mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan istri sebagai penerima kasih, seakan-akan pria tidak membutuhkannya?

  2. Apakah artinya "kasihilah" di sini? Sejauh manakah suami mengasihi istrinya?

Kasih Suami
Sama seperti istri, suami pun membutuhkan kasih. Jadi, perintah ini diberikan bukan karena kasih merupakan kebutuhan istri dan bukan kebutuhan suami. Perintah ini juga diberikan bukan karena suami lemah dalam hal mengasihi istrinya. Alasan utama mengapa perintah ini diberikan ialah karena relasi kepemimpinan yang kristiani adalah relasi yang dilandasi oleh kasih. Itu sebabnya kasih suami kepada istri diidentikkan dengan kasih Kristus yang begitu besar kepada jemaat sehingga Ia rela menyerahkan diri-Nya. Dengan kata lain, kepemimpinan suami dan ketundukan istri muncul dari dan dipertahankan oleh kasih.

Makna Mengasihi

  1. Mengasihi berarti menyerahkan diri bagi istri, jadi, bersedia mengorbankan kepentingan pribadi demi istri, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, mengasihi berarti melakukan apa yang paling baik bagi istri.

  2. Mengasihi berarti menguduskan istri menjadi tanpa cacat cela, dalam pengertian, istri bertumbuh menjadi diri terbaiknya. Suami diminta untuk merawat istri, bukan merusak istri, sehingga kebutuhannya-baik emosional maupun jasmaniah-terpenuhi dan hidupnya tenteram.

  3. Mengasihi berarti menerima kondisi istri yang tidak selalu seturut dengan kehendak suami. Ada waktunya melengkapi kekurangan istri, ada waktunya menerima kekurangannya. Pada akhirnya kasih harus berdiri di atas ketertarikan batiniah, bukan jasmaniah yang sudah tentu tidak kekal. Kasih yang kuat adalah kasih yang berakar ke dalam, bukan ke luar.

  4. Mengasihi tidak berarti mengikuti kehendak istri secara sembarangan; mengasihi berarti memberi arah dan batas.

  5. Mengasihi tidak berarti bergantung pada istri sehingga kebergantungan suami kepadanya melebihi kebergantungannya pada Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Mengasihi Suami kepada Istri", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada beberapa waktu yang lalu kita sudah memperbincangkan tentang perintah Tuhan yang meminta si istri tunduk kepada suaminya. Kita akan melanjutkan perbincangan ini pada sisi suami, tapi sebelum itu mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara garis besar tentang makna ketundukan istri kepada suami ini?

PG : Yang pertama adalah Tuhan memberikan perintah kepada istri untuk tunduk kepada suami, bukan karena perempuan mempunyai masalah dengan ketundukan dan pria tidak mempunyai masalah dengan etundukan.

Ketundukan adalah masalah semua manusia, jadi Tuhan memberikan itu bukan karena ada masalah dengan wanita dalam hal ketundukan. Ketundukan kepada seorang suami memang dikaitkan dengan ketundukan jemaat kepada Kristus, jadi perlambangannya seperti itu. Dengan kata lain Tuhan meminta wanita tunduk sepenuhnya, sama seperti jemaat juga harus tunduk sepenuhnya kepada Tuhan. Nah, pertanyaannya mengapakah Tuhan menetapkan pria yang menjadi kepala, sebab Tuhan Yesus adalah seorang pria sewaktu Dia mengambil jasad sebagai seorang manusia. Jadi pengidentikkan dengan Kristus, saya kira jauh lebih masuk akal jikalau prialah yang diidentikkan dengan Kristus sebagai kepala. Dan kepemimpinan pria tidak didasari atas paksaan atau penjajahan atau kekuatan, tapi atas pengorbanan. Jadi atas dasar pengorbananlah suami menobatkan dirinya itu sebagai seorang kepala dalam keluarganya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, suami itu langsung diberitahukan supaya mengasihi istrinya itu seperti Kristus mengasihi jemaat, yang telah menyerahkan diriNya untuk jemaat itu. Dan ini pengertiannya seperti apa Pak Paul?

PG : OK! Untuk menolong kita mengupas ayat ini, saya akan mengangkat dua pertanyaan. Yaitu yang pertama mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan istri sebagai penerima kasih, seakan-akan ria tidak membutuhkannya.

Yang kedua adalah apakah artinya kasihilah, sejauh manakah suami itu mengasihi istrinya. Coba kita akan melihat pertanyaan yang pertama terlebih dahulu, mengapa Tuhan secara spesifik menetapkan istri sebagai penerima kasih, apakah pria tidak membutuhkan kasih. Saya kira tidak demikian, sama seperti istri, suami pun membutuhkan kasih. Jadi perintah ini diberikan bukan karena kasih merupakan kebutuhan istri dan bukan kebutuhan suami. Saya kira bukan itu, sebab sama-sama kita ini pria juga membutuhkan kasih. Perintah ini juga diberikan bukan karena suami lemah dalam hal mengasihi istrinya. Ada orang yang berkata ya Tuhan memberikan perintah kepada suami, sebab memang suami sering lemah dalam mengasihi istri. Itu memang sering terjadi, banyak perselingkuhan yang dilakukan oleh pria yang tidak lagi mengasihi istrinya, tapi saya kira bukan atas dasar ini perintah itu diberikan. Alasan utama mengapa perintah ini diberikan ialah karena relasi kepemimpinan yang kristiani adalah relasi yang dilandasi oleh kasih. Saya kira itu dasar utamanya. Itu sebabnya kasih suami kepada istri diidentikkan dengan kasih Kristus yang begitu besar kepada jemaat, sehingga ia rela menyerahkan diriNya. Dengan kata lain kepemimpinan suami dan ketundukan istri muncul dari dan dipertahankan oleh kasih. Jadi kita melihat secara keseluruhan, konteks utuhnya. Konteks utuhnya adalah ayat-ayat ini sedang membicarakan juga tentang kepemimpinan Kristus atas jemaatnya, suami atas keluarga atau istrinya. Nah, bagaimanakah Kristus memimpin dengan kasih, bagaimanakah suami memimpin juga dengan kasih. Jadi dengan kata lain tugas mengasihi, bukan karena suami mempunyai masalah dalam hal mengasihi atau istri membutuhkan kasih. Tapi karena kepemimpinan itu rodanya adalah kasih, itu yang Tuhan tekankan.
WL : Pak Paul, ada pertanyaan menggelitik yang berkaitan dengan tuntutan dari Tuhan, apakah ada pengaruh atau tidak, bukankah wanita lebih diwarnai oleh perasaan, emosi, itu sebabnya seolah-olah Tuhan lebih mengetahui ini kebutuhan si wanita untuk dikasihi, kalau pria lebih dituntut untuk leadershipnya butuh dihormati, dihargai begitu?

PG : Saya kira kalau kita mau tarik bahwa ada kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan emosional, bisa ya. Dan apakah berlaku untuk banyak pria dan wanita, saya kira ya juga. Namun kalau kita jaikan patokan saya kira kurang tepat, karena sebetulnya pada kenyataannya kita pun yang pria senang dikasihi.

Memang kita itu senang dihormati atau apa, direspek, namun saya kira semua pria itu senang dikasihi oleh istrinya. Dan istri apakah karena sudah dipenuhi kebutuhan dikasihinya kemudian tidak usah direspek atau dihormati oleh suaminya, saya kira ya sama istri membutuhkan juga. Istri itu menerima penghormatan dan respek dari suaminya, tapi secara umum boleh kita kaitkan dengan kebutuhan emosional itu. Tapi kalau kita kembali kepada firman Tuhan, yang Tuhan sedang bicarakan bukanlah kebutuhan emosionalnya pria dan wanita melainkan Tuhan sedang membicarakan bagaimanakah keluarga itu bisa berdiri dalam kondisi harmonis. Bagaimanakah keluarga itu mengatur dirinya, aturan-aturan atau pedoman-pedoman apakah yang bisa dijalankan oleh suami dan istri. Paulus kemudian memberikan rumusnya, rumusnya adalah relasi Kristus dan jemaat yaitu relasi kepemimpinan. Namun roda kepemimpinan itu dijalankan dengan kasih, maka Paulus berkata suami mengasihi sebab kalau engkau tidak mengasihi istrimu roda kepemimpinanmu macet.
GS : Tapi sering kali suami itu yang pertama-tama sulit mengungkapkan kasihnya. Kalau ditanya, dia mengasihi istrinya cuma mengekspresikan kasihnya kepada istrinya itu kaku, mengalami kesulitan. Sehingga istrinya juga merasa bahwa suaminya tidak mengasihi dia. Lalu ada lagi kasus yang baru saja diceritakan oleh teman saya, istrinya itu menggunakan senjata kasih itu tadi. Suaminya ditanya: "Kamu mengasihi aku atau tidak?" Dia mengasihi (ini pengantin baru) lalu istrinya itu minta tabungan suaminya itu dibalik nama menjadi nama istrinya. Nah di situ suami merasa diperalat, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Dalam hal ini saya kira suami perlu menjadi pemimpin yang berhikmat, yang bijaksana. Yaitu pertama-tama yang dia ingin tanyakan kepada istri: "Mengapakah tabungan ini harus diserahkan aas namamu?" Masalahnya bukan si suami tidak rela, pertanyaannya mengapa si istri menuntut itu.

Saya kira tuntutan si istri mudah-mudahan tidak lebih buruk dari ini, bisa jadi memang dia mempunyai motif tertentu yaitu ingin menguasai harta si suami. Memang dalam pernikahan, harta suami dan istri menjadi harta bersama, namun kalau sampai seseorang menuntut bahwa ini harus menjadi hak, itu cukup mendebarkan jantung, membuat saya juga berpikir apa artinya di belakang ini kok sampai menuntut seperti itu. Jadi sebaiknya apa yang dilakukan dalam kasus seperti ini? Si suami harus bertanya kepada istrinya. "Apakah kalau saya membagikan harta, ini adalah pertanda saya mengasihi kamu?" Kalau dia berkata ya, wah memang dia telah salah memilih istri. Sebab dalam kasus ini si istri mengukur cinta dari segi harta atau materi. Jadi saya kira harus disoroti dari segi itu juga, meskipun setelah itu seorang suami juga harus menciptakan rasa aman buat istrinya bahwa hartaku, hartamu. Dan engkau boleh memakai uang kalau memang itu perlu dan itu baik, engkau boleh pakai meskipun itu atas namaku. Jadi apakah perlu langsung atas nama dua orang? Memang tidak terlalu perlu, sebab yang penting bukan atas nama dua orang, yang penting kedua hati itu sudah menjadi satu sehingga milik bersamalah yang menjadi konsep dalam pernikahan itu. Yang satu mempunyai akses terhadap harta yang satunya, namun kalau sudah mulai memunculkan tuntutan, ini harus namaku, saya memang agak ragu-ragu ya motivasi di belakang itu tampaknya tidak lagi murni.
GS : Jadi pertanyaan si suami adalah bagaimana saya itu bisa mengekspresikan kasih saya, tanpa dimanipulir oleh istrinya.

PG : Dalam kasus seperti itu saya kira si suami harus menegaskan bahwa dalam masalah uang ini, masalahnya bukan saya tidak mau memberikan, masalahnya adalah engkau menuntut. Jadi saya akan blik begitu, masalahnya bukan saya tidak memberikan tapi masalahnya engkau menuntut, ini yang membuat saya tidak nyaman.

Nah, kalau tentang kasih sayang, ayo kita berkomunikasi, berdialog, apa hal-hal yang bisa saya perbuat untuk membuat engkau merasakan kasih sayangku kepadamu. Kalau dia berkata ya hartamu itu, wah....memang pria itu salah pilih, sungguh-sungguh salah pilih istri.
WL : Ada kemungkinan atau tidak Pak Paul, dalam kasus tadi si istri mungkin melihat dari pengalaman buruk di lingkungan, entah orang tua, teman dekat atau saudara yang kasusnya misalnya si istri tiba-tiba ditinggal pergi lalu si pria menikahi wanita lain dan sebagainya, lalu hidup si istri menjadi morat-marit. Dia sangat khawatir, jadi dia berjaga-jaga jauh-jauh hari, kalau terjadi apa-apa dengan diriku, nah saya masih mempunyai entah deposito atau apa untuk menjamin hari depan saya. Jadi makna kasih bagi si istri harus ada jaga-jaga ini dan itu, begitu Pak Paul.

PG : Inilah yang menyedihkan, tapi ini memang fakta Bu Wulan, bahwa yang terjadi adalah kita terlalu sering melihat pria tidak bertanggung jawab dan jahat, jadi menyia-nyiakan istri. Sehingg istri akhirnya sulit mengembangkan cinta yang murni, akhirnya cinta itu merupakan transaksi yaitu aku berikan, engkau memberikan; aku mendapatkan, bukan saja engkau mendapatkan.

Jadinya suatu transaksi, artinya adalah penurunan kadar kasih seperti yang Tuhan inginkan. Maka sekali lagi intinya adalah sebelum menikah pilihlah dengan benar, dengan baik-baik. Kalau kita menikah dengan kecurigaan-kecurigaan seperti itu, bagi saya buat apa menikah lebih baik tidak ada pernikahan, jangan menikah dengan orang tersebut. Jadi kita memilih dengan baik, sehingga waktu kita menyatu memang siap untuk menyerahkan, untuk berbagi, untuk percaya, karena kita tahu kita akan diayomi. Nah dengan pria yang seperti itulah kita menikah jangan sampai salah memilih.
GS : Bagaimana Pak Paul dengan pengertian bahwa kami sebagai suami harus mengasihi istri seperti Kristus yang menyerahkan diriNya bagi jemaatNya?

PG : Mengasihi berarti menyerahkan diri bagi istri, ini firman Tuhan karena disamakan dengan Kristus yang menyerahkan diri bagi jemaat. Artinya apa? Bersedia mengorbankan kepentingan pribadidemi istri.

Jadi kalau orang berkata enak menjadi suami, itu konsep duniawi. Sebab kalau kita memahami firman Tuhan o.......si suami dituntut oleh Tuhan sangat besar, dia harus berani mengorbankan kepentingan pribadi demi istri bukan sebaliknya. Dengan kata lain mengasihi berarti melakukan apa yang baik bagi istri, seperti itu arti mengasihi dan menyerahkan diri. Firman Tuhan juga di dalam sambungannya di Efesus pasal 5 tadi membahas tentang mengasihi yaitu menguduskan istri menjadi tanpa cacat cela. Dalam pengertian apa? Saya kira sama yaitu menumbuhkan istri menjadi diri yang terbaik. Jadi dalam relasi dengan kita sebagai suami, istri kita itu bertumbuh menjadi diri terbaiknya. Di sini suami diminta untuk merawat istri, jelas Alkitab berkata menguduskannya menjadi suatu persembahan yang tanpa cacat cela. Jadi diminta untuk merawat istri bukan untuk merusak istri, sehingga kebutuhannya baik emosional maupun jasmaniah terpenuhi dan si istri bisa hidup dengan tenteram. Dalam pertemuan saya dengan klien yang membutuhkan bantuan konseling, saya memang sering kali harus bertemu dengan istri secara alegoris, secara perumpamaan saya katakan penuh dengan kerut-kerut, penuh dengan cacat. Maksudnya adalah mereka penuh dengan tekanan hidup, mengapa? Sebab suami tidak merawat mereka, tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, malahan yang sering terjadi ya disia-siakan, dikhianati. Jadi mereka bukan menjadi persembahan yang kudus tanpa cacat justru menjadi penuh dengan kerut-kerut, penuh dengan tekanan-tekanan. Jadi sekali lagi keindahan itu akhirnya dirusakkan oleh si suami. Ini adalah justru yang Tuhan larang. Maka Tuhan katakan engkau harus mengasihi istri, merawatnya, menjadikannya persembahan yang tanpa cacat.
GS : Secara konkret Pak Paul, penyerahan diri suami kepada istri itu seperti apa?

PG : Misalnya di dalam pengambilan keputusan, si suami harus selalu juga memikirkan kepentingan istri. Sering kali kita ini sebagai pria dalam mengambil keputusan kita jalan sendiri, kita megabaikan apa yang baik bagi istri kita pula.

Nah yang Tuhan minta adalah sebagai pemimpin yang baik, yang kristiani, kita memikirkan kepentingan istri kita pula. Misalkan gara-gara mendapatkan promosi kerja kita harus pindah, tapi kalau kita pindah kita itu tahu bahwa istri kita itu akan sangat sengsara, karena dia harus kehilangan keluarganya atau apa. Nah kita harus memberikan kesempatan kepada istri kita untuk menggumuli, tidak langsung kita menetapkan akan pindah kamu ikut saya, karena kamu istri kamu harus tunduk, tidak. Pemimpin yang dimaksud oleh Tuhan adalah pemimpin yang memikirkan kepentingan istrinya, jadi dia harus bertanya bagaimana pendapatmu tentang ini? saya tidak setuju, nah biarkanlah dia bergumul dalam ketidaksetujuannya. Kalau sampai istri bersedia pindah, baru pindah; tapi kalau memang tidak bersedia, saya kira harus ada suatu pengorbanan. Kalau kita putar situasi juga sama, misalkan istri kita yang ingin pindah, kita yang tidak ingin pindah; nah kita mau atau tidak yang dipaksa pindah? Kita pun mungkin juga berat. Nah maka berikan waktu, berdialog terus, lihat pilihan-pilihan di sana dan sebagainya baru mengambil keputusan bersama.
WL : Pak Paul, kalau kembali ke penjelasan tadi tentang merawat atau memenuhi kebutuhan istri, kenapa kalau saya perhatikan lebih banyak pria mengkaitkan masalah ini dengan mencukupkan kebutuhan secara materi saja, kebutuhan emosi itu justru seolah-olah terabaikan. Terlebih lagi bagi masyarakat Chinese yang totok begitu?

PG : Kebanyakan pria memiliki keterbatasan memahami alam perasaan dan alam pikiran, jadi hal-hal yang berkaitan dengan perasaan itu sesuatu yang asing buat pria, itu saya kira memang keterbaasan pria.

Oleh karena itu waktu istri berbahasa emosi, si suami itu tiba-tiba kelu tidak bisa menanggapi dengan bahasa emosi yang sama. Inilah memang gap yang ada antara suami dan istri, jadi si istri bisa menolong si suami mengajarkan inilah yang saya butuhkan. Kalau saya merasakan begini, ya yang saya rindukan darimu adalah ucapan-ucapan seperti ini, atau sentuhan-sentuhan seperti inilah yang sebetulnya aku dambakan darimu. Jadi istri memang perlu memberikan pengajaran-pengajaran seperti ini agar suaminya akhirnya bisa lebih peka dengan apa itu yang menjadi kebutuhan si istri.
GS : Memang buat si suami itu sebenarnya lebih gampang memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiilnya daripada memenuhi kebutuhan emosionalnya, Pak Paul.

PG : Betul, karena sekali lagi memang dunia emosi buat kebanyakan pria adalah dunia yang asing, jadi daripada memasuki dunia yang asing, pria kebanyakan tidak lagi memasukinya.

GS : Tapi belajar untuk memberikan itu, saya memahaminya sebagai suatu pengorbanan, Pak Paul.

PG : Itu pun pengorbanan betul, berarti dia harus berani mendengarkan permintaan istrinya yang dia tahu dia belum bisa lakukan. Kadang-kadang karena dia tidak bisa lakukan dan diminta dia maah, pria kadang-kadang begitu daripada mengakui bahwa ya saya kesulitan.

Nah lebih baik pria atau suami berbicara terus-terang kepada istrinya, saya kesulitan, saya tidak memahami tentang perasaan jadi tolonglah saya. Kalau itu dikomunikasikan seperti itu saya kira istri pun dalam hal ini juga lebih rela memberikan bimbingan kepada suami.
GS : Pak Paul, dalam hal mengorbankan dirinya untuk istri, itu bagaimana terhadap hubungan suami dengan anak-anak, jadi sebagai seorang ayah. Yang dilihat anak, seolah-olah ayahnya ini orang yang lemah, Pak Paul?
GS : Otomatis waktu suami mengasihi tidak mengasihi dengan membabi buta sehingga kehilangan prinsipnya pada kebenaran. Jangan! Kalau salah, salah; benar, benar. Bahkan kalau dalam keluarga anak-anak sudah mulai besar, dan jelas istri salah, suami kadang-kadang dituntut untuk bisa berkata mama salah, daripada membela mama di depan anak-anak, bahwa mama tidak salah dan sebagainya. Saya kira anak-anak akan bertambah kecewa dengan papanya malah membela yang salah. Jadi ada waktunya seorang suami akan berkata salah, dan ini adalah wujud dari kepemimpinanannya dia. Tuhan menunjuknya juga sebagai imam di rumah, imam yang bisa menunjukkan arah. Jadi sekali lagi mengasihi bukan berarti membabi buta, mengikuti seperti kambing dicocok hidungnya atau kerbau dicocok hidungnya, tidak, justru adakalanya suami memberikan arah dan harus seperti ini. Dan saya kira dalam kasih, istri pun menghargai suami yang bisa memberikan arah. Kadang-kadang dalam konseling, inilah yang saya dengar dari wanita tentang suami mereka yaitu karena suami itu tidak begitu memperhatikan tentang keluarga mereka, suami itu jarang memberikan arah harusnya begini dan sebagainya dan istri seolah-olah kehilangan panduan, dia membutuhkan suami yang menjadi kepala. Nah kadang-kadang justru suami-suami ini sama sekali tidak berfungsi sebagai kepala, maunya jadi jempol ikut-ikutan saja, kaki ke mana ikut ke situ.
GS : Ya, ketergantungan memang muncul dari pihak suami, kalau memang istrinya itu biasa mengarahkan Pak Paul, jadi dia seolah-olah tidak berinisiatif.

PG : Jadi sebisanya suami memberikan pendapat, jangan akhirnya semua bergantung pada istri. O.....tidak, karena respek istri itu dibangun di atas inisiatif si suami, namun walaupun suami ituharus mendengarkan juga masukan istri sekali lagi kita harus ingatkan, jangan sampai kebergantungan suami kepada istri itu melebihi kebergantungan suami kepada Tuhan.

Pokoknya istri yang bisa mengatur yang penting beres, Tuhan menjadi nomor dua. Seolah-olah tidak perlu ada Tuhan yang penting ada istri saya yang bisa mengatur, semuanya pasti beres. Nah, itu kalau sampai seperti itu saya kira salah.
WL : Pak Paul, konteks ini sepertinya cocok dengan yang sering kali muncul slogan-slogan yang mengatakan ada kelompok pria-pria atau suami yang takut istri. Sebenarnya batasannya sampai di mana Pak, karena bagi kelompok yang lain mereka menganggap: "Tidak, ini wujud saya mengasihi istri, saya bukan takut kepada istri." Tetapi bagi pria yang lain: "Lho.....kamu itu tidak jantan, kamu takut istri, mengambil keputusan saja kamu harus tanya istri dulu, telepon dulu, begini, begini."

PG : Memang itu adalah buah dari budaya yang keliru, bahwa suami itu seperti raja dan raja itu tidak perlu dibisiki oleh siapapun. Tapi kita tahu raja yang tidak menerima masukan dari tangankanan, tangan kirinya atau penasihatnya adalah raja yang bodoh.

Justru suami yang bijaksana adalah suami yang bersedia menerima masukan dari istrinya dan bahkan kalau anak-anaknya sudah mulai besar, dari anak-anaknya sekalipun. Sebab mungkin mereka melihat dari sisi mereka yang kita luput untuk melihatnya. Jadi sebagai seorang suami, saya ingin menghimbau kepada para suami yang lain jangan takut untuk mendengarkan masukan istri, berikan kesempatan karena itulah yang dirindukan oleh istri juga, mereka berbagian dalam kehidupan keluarga ini. Namun kita juga harus berfungsi sebagai kepala, kita juga harus menetapkan arah, kita harus berani mengambil keputusan, dan jangan takut kita itu berargumen dengan istri kita. Adakalanya yang dikatakan takut istri adalah takut berargumen dengan istri, nanti ribut lagi. Tidak, kalau untuk hal yang benar bagi saya ribut ya ribut dengan istri, tidak apa-apa. Tapi justru dengan kita berani ribut, kita menunjukkan bahwa kita kepala dan kita tidak dengan begitu saja akan mengikuti pendapat istri, kalau kita yakin ini benar kita akan bela juga.
GS : Pak Paul, kalau pada kesempatan yang lalu itu ada batasan istri tunduk kepada suami asal tidak melanggar perintah Tuhan. Kalau suami mengasihi istri, batasannya seperti apa Pak?

PG : Sama Pak Gunawan, yaitu jangan sampai suami mengasihi istri melebihi kasihnya kepada Tuhan. Mengasihi itu artinya mendahulukan, mendahulukan kepentingan tapi jangan sampai kita mendahulkan kepentingan istri di atas Tuhan.

Jangan sampai istri meminta kita melakukan hal-hal yang salah, kita lakukan demi cinta kepadanya padahal itu melanggar kehendak Tuhan. Suami yang seperti itu tidak berjalan di rel yang Tuhan kehendaki.
GS : Dengan kata lain keharmonisan keluarga itu tercapai, apabila suami-istri ini tunduk kepada Tuhan.

PG : Pada akhirnya itu, dua-dua memang harus tunduk kepada Tuhan itulah dasar utamanya.

GS : Baik ketaatan maupun mengasihi. Terima kasih sekali Pak Paul untuk kesempatan perbincangan kita kali ini juga Ibu Wulan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Mengasihi Suami kepada Istri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami persilakan Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



35. Kontak Setelah Konflik


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T159A (File MP3 T159A)


Abstrak:

Salah satu situasi yang tidak nyaman dalam keluarga adalah saat setelah konflik terjadi. Kita tidak tahu harus berbuat apa dan merasa risih berdekatan kembali dengan lawan konflik kita. Apa yang harus kita lakukan?


Ringkasan:

Salah satu situasi yang tidak nyaman dalam keluarga adalah saat setelah konflik terjadi. Kita tidak tahu harus berbuat apa dan merasa risih berdekatan kembali dengan lawan konflik kita.

Apa yang harus kita lakukan?

  1. Konflik merobek jalinan relasi. Sesungguhnya konflik tidak mendekatkan atau menambahkan kemesraan, sebagaimana diyakini oleh sebagian orang. Penyelesaian konflik atau perdamaianlah yang sebenarnya mengencangkan ikatan relasi. Jadi, setelah konflik, penting bagi kita untuk berdiam diri sejenak untuk membiarkan luka kering dan pendarahan berhenti.

  2. Berdiam diri setelah konflik juga diperlukan agar kita berkesempatan merenung atau mengkilas balik apa yang telah terjadi. Ada orang yang melewati konflik tanpa memperoleh tambahan pemahaman apa pun. Ia adalah orang yang tidak berhikmat, yang bisanya hanyalah berkelahi. Orang yang bijak akan mempelajari sesuatu dari konflik yang terjadi dan ini akan bermanfaat untuk mencegah timbulnya konflik selanjutnya.

  3. Kendati kita perlu berdiam diri, jangan berdiam diri terlalu lama. Jauh hari sebelumnya, sepakatilah batas waktu yang dibutuhkan untuk merenung atau mengeringkan luka. Berdiam diri berpotensi membuat pasangan merasa didiamkan dan ini dapat memicu konflik baru.

  4. Mulailah dengan menyapa atau mengatakan hal-hal yang ringan. Langsung membicarakan hal-hal yang berat dapat memunculkan kesan tidak peka dengan apa yang telah terjadi, seolah-olah apa yang baru terjadi tidaklah berarti banyak.

  5. Ada hal-hal yang perlu ditinjau kembali setelah konflik berlangsung namun adakalanya justru tindakan terbaik adalah tidak membicarakannya lagi. Kadang memaksakan diri untuk membicarakannya malah membangkitkan kemarahan yang belum sepenuhnya padam.

  6. Bila diperlukan dan memang waktunya tepat, kita bisa melihat kembali apa yang telah terjadi dan sampaikanlah permintaan atau harapan kita secara positif, bukan dengan nada menyerang.

  7. Permintaan maaf tidak harus diukur dengan perbuatan salah; kadang kita dapat meminta maaf karena nada suara yang terlalu keras atau karena kita tidak memberinya kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya. Jadi, mulailah dengan meminta maaf; sekecil apa pun, permintaan maaf tetaplah berfaedah.

Firman Tuhan: "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." Matius 6:14-15


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kontak Setelah Konflik", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, yang namanya kehidupan suami-istri meski kadang-kadang kita sudah mencegahnya tapi masih timbul konflik, pertengkaran, salah pengertian dan sebagainya. Nah, katakan kita sudah saling memaafkan, kita sudah mencoba berbaikan kembali, tapi rasanya ada suasana atau perasaan kurang nyaman itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira ini dialami oleh hampir semua kita Pak Gunawan, setelah konflik dan kita berdamai atau sudah bisa tenang kembali rasanya ada moment-moment yang tidak nyaman. Kita risi, kita cangung, kita harus berbuat apa, berkata apa, nah ini bisa terjadi antara kita dan pasangan kita, tapi bisa juga terjadi antara orang tua dan anak atau anak terhadap orang tuanya.

Nah, hal inilah yang saya kira kita perlu soroti agar kita bukan saja bisa mendamaikan konflik tapi kita juga bisa membangun sesuatu yang lebih baik setelah konflik terjadi.
GS : Nah, kira-kira langkah-langkah apa yang bisa dilakukan terutama dari pihak kita, supaya kita bisa proaktif, Pak Paul?

PG : Yang pertama, kita perlu memahami bahwa konflik merobek jalinan relasi. Memang ada orang berkata konflik itu menambah kemesraan, sebetulnya tidak; konflik itu sendiri tidak menambah kemesran, tidak mendekatkan kita dengan satu sama lain.

Yang sebetulnya mengencangkan ikatan relasi adalah penyelesaian konflik atau perdamaiannya. Jadi setelah konflik, penting bagi kita untuk berdiam diri sejenak, untuk membiarkan luka kering dan pendarahan berhenti. Jangan setelah konflik kita langsung mau ngomong dan sebagainya, apalagi kalau ini konflik yang berat. Sebaiknya berdiam diri, masing-masing ambil waktu; jangan terlalu banyak berbicara.
GS : Sampai seberapa lama Pak Paul, masa diam itu bisa ditolerir, kalau terlalu lama 'kan tidak enak?

PG : Betul, dan terlalu lama bisa membuat pasangan kita merasa didiamkan dan ini bisa memicu pertikaian yang baru. Maka saran saya, biasanya sebelum kita berkonflik kita mempunyai kesepakatan trlebih dahulu.

"Kalau sampai konflik, berapa lamakah waktu yang kita butuhkan untuk mengeringkan luka atau mengeringkan darah yang telah mengalir dari hati kita?" Ada orang yang langsung bisa sembuh, bisa langsung menjalin relasi kembali, tapi ada orang yang memerlukan waktu yang lebih panjang. Nah sebaiknya suami maupun istri duduk bersama dan masing-masing membagikan berapa waktu yang dibutuhkannya untuk mengeringkan luka. Jadi sekali lagi intinya bukanlah mendiamkan pasangan tapi berdiam diri dengan tujuan mengeringkan luka. Bagaimana pun saya tekankan, konflik itu merobek hati kita; kita biasanya terluka setelah konflik, kita tidak merasa disayangi lebih dekat lagi. Kalau kita berhasil menyelesaikannya, pada akhirnya kita akan merasa lebih kuat dan lebih dekat. Tapi tetap untuk mencapai sasaran itu kita harus melewati jalan yang cukup berat yaitu jalan berdarah, yaitu hati yang telah terluka. Maka perlulah kita berdiam diri agar luka kita kering terlebih dahulu.
GS : Tetapi lamanya berdiam diri itu juga ditentukan oleh seberapa berat masalah yang menyebabkan konflik itu tadi Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, sudah tentu kalau konflik itu ringan misalnya tentang kesalahpengertian yang sangat sepele, saya kira tidak perlu lama-lama berdiam diri. Mungkin ¼ jam kita bisa tenang ebentar, ya kita bisa berbicara lagi seperti dahulu kala.

Tapi kalau ini memang konflik yang sangat berat, misalkan pengkhianatan atau seseorang merasa dilecehkan atau diperdaya, otomatis orang itu memerlukan waktu yang lebih panjang untuk bisa akhirnya berkomunikasi kembali.
GS : Biasanya, waktu berdiam diri itu justru digunakan untuk mencari kesalahan pasangan, Pak Paul. Kita merêka-rêka, "Ya...Ya... memang saya ini betul disakiti," jadi setelah berdiam diri lalu timbul lagi masalah baru.

PG : Betul, maka pada masa berdiam diri, yang saya sarankan adalah: "Ayo.....kita berkilas balik, kita coba lihat apa yang telah terjadi, kita renungkan kembali." Nah, ada orang yang melewati knflik tanpa memperoleh tambahan pemahaman apapun.

Dia adalah orang yang tidak berhikmat, yang bisanya hanya berkelahi. Orang yang bijak, akan mempelajari sesuatu dari konflik yang telah terjadi, dan ini akan bermanfaat untuk mencegah timbulnya konflik selanjutnya. Jadi waktu berdiam diri bukanlah waktu untuk mencari kesalahan pasangan atau anak atau orang tua kita, tapi waktu untuk mengintrospeksi diri. Benar-benar terbuka dan melihat apa yang telah kita lakukan dan kalau memang kita sadari ada kesalahan yang kita buat, ada andil kita dalam masalah ini, jangan ragu untuk meminta maaf atau mengatakan apa yang telah kita pelajari dari peristiwa yang telah terjadi itu.
GS : Tapi biasanya kita memang melihat orang lain Pak Paul, bahwa dia yang menyebabkan saya marah, dia yang menyebabkan konflik ini terjadi. Pada saat terdiam itu, keluar semua pikiran-pikiran ini.

PG : Biasanya begitu, sebab sering kali pada waktu kita berdiam diri memang kita itu makin merasakan luka yang kita sudah alami. Jadi waktu kita merasakan luka, kita ada kecenderungan melihat 'iapa yang bersalah yang menimbulkan luka itu dan apa yang bisa kita perbuat untuk membalas,' supaya tindakannya yang melukai kita itu bisa terbayarkan.

Sering kali itu yang kita lakukan, kita berdiam diri jadinya untuk mengumpulkan amunisi. Makanya tadi saya tekankan, kita perlu berdiam diri. Kenapa? Sebab bisa jadi awalnya kita akan memikir-mikir apa yang telah terjadi, kenapa dia begitu dan apa yang bisa kita lakukan untuk membalasnya dan sebagainya. Tapi saya duga setelah kita melewati fase itu, emosi kita mulai turun, kita akhirnya mulai tenang, reda, kita mulai berpikir dengan lebih jernih. Nah, harapan saya pada fase kedua inilah kita bisa berpikir dengan lebih jernih, kita mulai melihat diri kita, apa itu yang telah kita lakukan atau tidak seharusnya kita lakukan, nah itu nantinya yang bisa kita pelajari sebagai hikmah dan mudah-mudahan kita bisa bagikan kepada pasangan kita. Bahwa, "Inilah yang telah aku lakukan yang keliru, inilah yang tidak aku lakukan yang seharusnya aku lakukan, nah aku minta maaf atas kesalahanku itu," ini yang bisa langsung kita katakan pada pasangan kita.
GS : Biasanya ada orang yang mengatakan saya ini tidak enak kalau tidak ngomong, karena itulah yang menjadi masalah. Memang mau dibicarakan, begitu dibicarakan, pasangannya atau orang yang kepada siapa dia berkonflik merasa bahwa tadi diam itu dipikir sudah selesai, tapi ini malah muncul lagi. Jadi timbul problem lagi.

PG : Nah, kalau sampai masalah itu rasanya belum selesai sehingga harus timbul lagi pertikaian, mungkin sekali memang harus kita hadapi dulu. Berarti tadi itu memang belum selesai, itu tadi hanalah jeda, kalau begitu silakan kita masuk ke babak berikutnya kita coba lagi bereskan, kita coba lagi bicarakan masalah itu agar sampai pada titik temu.

Namun kalau memang sudah selesai tapi bisa memancing kemarahan dari pasangan kita, mungkin kita langsung membicarakan hal-hal yang berat. Dan hal-hal yang berat ini kita bicarakan dan pada akhirnya memunculkan kesan bahwa kita tidak peka dengan apa yang telah terjadi. Bahkan seolah-olah kita ini memberikan kesan kepada pasangan kita bahwa yang baru terjadi itu, konflik yang baru saja meledak itu tidaklah berarti banyak. Karena apa? Ya karena setelah konflik itu selesai, kita enak-enak saja membicarakan hal-hal yang berat, meminta pertimbangan atau keputusan yang berat. Pasangan kita akan berkata: "Kok engkau tidak terpengaruhi sama sekali oleh konflik tadi, aku babak belur, aku luka-luka parah, engkau enak-enak saja seperti ini." Maka saya sarankan, setelah konflik dan setelah kita berdiam diri, mulailah berbicara hal-hal yang ringan. Sapalah dia, tanyalah mau makan atau tidak, misalkan kita tanya nanti makan apa atau apa, jadi benar-benar menanyakan hal-hal yang ringan, hal-hal yang tidak membuka peluang munculnya konflik yang baru. Nah, ini saya kira suatu permulaan yang baik, setelah kita berdiam diri 'ayo kita ngomong' tapi mulailah dari hal-hal yang ringan terlebih dahulu.
GS : Nah, itu biasanya kita enggan atau ragu untuk memulainya, masing-masing itu akan bertahan menunggu pihak yang lain memulai terlebih dahulu.

PG : Sering kali setelah konflik kita itu benar-benar seperti burung elang; saling melihat, melihat, siapa yang akan mulai berbicara terlebih dahulu. Kenapa begitu? Sebab kita ini mempunyai angapan, dan ini anggapan yang memang tidak tepat.

Kalau orang itu memulai berbicara terlebih dahulu, berarti dia mengakui kesalahannya. Jadi kita mengharapkan bahwa pasangan kitalah yang akan menyapa terlebih dahulu, dengan dia menyapa seakan-akan kita dibenarkan. "Betul 'kan, dia yang salah, maka dia itu merasa perlu untuk mulai berbicara terlebih dahulu." Jadi intinya adalah kita masih membawa ketidakdewasaan atau kekanak-kanakan kita itu, dan akhirnya menambah panjang masalah yang seharusnya telah bisa selesai saat itu. Dengan kita menahan-nahan diri, tidak mau berbicara, menunggu-nunggu pasangan kita terlebih dahulu memulai, seharusnya yang sudah selesai menjadi tidak selesai. Bahkan bisa jadi karena dia pun berpikiran yang serupa dengan kita, masing-masing saling tunggu dan masing-masing tidak mau menyapa atau mengatakan hal-hal yang ringan, akhirnya dua-dua marah. Dua-dua merasa, "Engkau kok tidak mau menyapa terlebih dahulu," akhirnya malah meledak. Maka dewasalah, benar-benar kedewasaan kita itu teruji dalam konflik terutama setelah konflik. Apakah kita cukup dewasa untuk memulai terlebih dahulu ataukah kita terlalu kekanak-kanakan untuk mulai terlebih dahulu.
GS : Keadaan itu lebih sulit lagi kalau pada saat malam mau tidur Pak Paul, ini menjadi sulit. Kadang-kadang salah satu lari dulu ke kamar untuk cepat-cepat tidur (entah tidur atau tidak) hanya untuk menghindari komunikasi.

PG : Betul sekali, entah mengapa kita mempunyai suatu pikiran yang sedikit magis, bahwa kalau dia tidur dan kita tidur besok paginya akan menyapa lebih gampang. Memang ada benarnya, besok pagi ood kita telah berubah lebih ringan dan sebagainya sehingga kita lebih mudah menyapa.

Seolah-olah yang kemarin itu lembaran yang bisa kita lupakan. Tapi sebaiknya kita memulai terlebih dahulu, sebaiknya siapapun yang mulai merasakan itu mulailah. Karena apa? Karena kalau ada salah satu pihak yang tidak mau memulai terlebih dahulu, pihak itu nantinya akan dirugikan. Kenapa? Sebab kita yang melihat pasangan kita yang dari dulu kalau ada konflik tidak pernah memulai berbicara terlebih dahulu, akhirnya kita akan menyimpan kemarahan buat dia. Dan kita akan menganggap, "Kamu kok kekanak-kanakan ya, setiap kali konflik saya yang harus mulai terlebih dahulu, setiap kali saya harus mulai terlebih dahulu; kamu selalu menunggu untuk membuktikan dirimu benar, dirimu tinggi." Jadi akhirnya kita tambah marah kepada dia. Nah kalau itu yang terjadi, saya kira kita harus duduk baik-baik dan berbicara dengan pasangan kita. "Setiap kali kita konflik, saya yang terlebih dahulu harus berbicara," misalkan dia berkata: "Kapan engkau ingat bahwa engkau berbicara terlebih dahulu?" Nah, mungkin dia akan gelagapan sebab memang tidak pernah memulai untuk berbicara terlebih dahulu. Dan kita katakan kepada dia: "Selama ini saya telah memulai terlebih dahulu, namun kalau engkau terus-terusan seperti ini, tidak mau mulai terlebih dahulu engkau sedang meresikokan hubungan kita ini. Bahwa suatu hari kelak aku pun akan seperti engkau dan kalau kita dua-dua seperti engkau, berarti relasi ini akan retak untuk selamanya. Apakah itu yang engkau inginkan." Ini adalah sikap tegas, jadi saya juga ingin mengajarkan kepada kita semua untuk kadang-kadang bersikap tegas. Tidak bijaksana terus-menerus untuk bersikap lembek dan lunak; relasi dibangun di atas respek bukan saja di atas kasih tapi di atas respek. Dan respek itu baru bisa bertunas kalau kita melihat pasangan kita tegas untuk hal yang benar.
GS : Memang itu resikonya bisa menimbulkan konflik baru Pak Paul, tetapi kita akan mencoba untuk mengevaluasi kenapa timbul konflik itu. Nah, bagaimana caranya berbicara supaya tidak menimbulkan konflik baru?

PG : Saya ingin menggarisbawahi tentang mengevaluasi ini Pak Gunawan. Memang betul kita perlu mengevaluasi, tapi saya sudah singgung introspeksilah, lihatlah diri sendiri; apa bagian kita dan aa yang perlu kita sampaikan.

Mungkin ini suatu permintaan maaf atau apa, namun saya ingin juga menegaskan bahwa adakalanya justru tindakan terbaik adalah tidak membicarakannya. Kadang memaksakan diri untuk membicarakannya malah membangkitkan kemarahan yang belum sepenuhnya padam, jadi adakalanya biarkan dulu lewat. Memang sebaiknya kita bisa menyelesaikan dengan lebih segera, tapi adakalanya segera itu bukan berarti lebih baik, malahan bisa lebih memperlebar masalah, lebih merusakkan masalah. Jadi adakalanya biarkan saja, lain kali mungkin lain hari waktu suasananya tepat barulah kita munculkan. Kalau kita munculkan dalam kurun yang tidak terlalu terpaut jauh dari pertengkaran itu, kekhawatiran saya adalah kita hanyalah menambahkan minyak pada api yang belum tuntas padam.
GS : Pak Paul, sebenarnya mana yang lebih cepat selesai, konflik antara suami-istri dan konflik antara orang tua dengan anak yang tentunya sudah menjelang dewasa?

PG : Menurut saya umumnya konflik lebih bisa cepat diselesaikan antara anak dan orang tua. Karena apa? Dari pihak anak sendiri umumnya kalau anak-anak yang relatif sehat, baik-baik saja yang meang bukan bermasalah; umumnya mereka masih menghormati kita sehingga mereka itu tahu saya salah kalau mendiamkan Papa atau Mama sampai selama ini.

Atau kalau kita di pihak orang tua, kita masih tetap bisa berkata kepada diri kita: "Ya, ini anak, memang dia belum dewasa dan tugas sayalah sebagai orang tua untuk mendidiknya. Ya sudahlah saya mengalah, ya sudahlah saya memulai terlebih dahulu." Tapi kita kurang bisa menerapkan prinsip yang sama terhadap pasangan kita. Kita akan berkata saya dan engkau sama, kita sama-sama orang dewasa, jadi kita lebih sulit untuk mengalah karena anggapannya adalah kita setara.
GS : Memang kadang-kadang yang agak sulit itu hubungan orang tua dan anak yang kalau tidak serumah itu akan lebih sulit lagi untuk menyelesaikan konflik ini.

PG : Ya betul sekali, kalau sudah tidak serumah masalah bisa berbeda. Karena apa? Karena si anak sudah di luar dan dia lebih bisa mengelak, menghindar dari orang tuanya dan mendiamkan orang tuaya.

Maka perlu sekali, kalau kita berhasil berbicara kembali dengan anak kita atau pasangan kita, kita perlu juga di hari atau waktu yang cocok mengutarakan harapan atau permintaan kita. Misalkan, salah satunya tadi yang Pak Gunawan munculkan yaitu kita berkata bahwa: "Saya sangat khawatir dan ingin sekali mendengar suaramu dan saya mencoba meneleponmu setelah konflik yang terjadi pada hari apa itu, namun engkau tidak pernah ada di rumah atau tidak mau menjawab telepon dan itu sangat mengganggu saya. Nah, saya meminta lain kali kalau pun engkau belum siap berbicara, tolong angkat telepon dan beritahu saya; saya belum siap ngomong Pak, saya belum siap ngomong Ma; Ok! Tidak apa-apa, saya akan biarkan engkau untuk tenang, untuk teduh, untuk bisa mengeringkan luka yang ada di hatimu. Sebab mungkin saja saya telah melukai kamu." Jadi pada waktu suasananya memang pas, jangan ragu dan sebaiknyalah kita melontarkan atau menyampaikan harapan kita. Apa yang telah terjadi, di mana kita salah kita perlu minta maaf, kita minta maaf. Tapi kalau ada hal-hal yang memang kita perlu meminta kita inginkan dia perbuat, di situlah kita menyampaikannya kepada dia.
GS : Memang konflik ini lebih cepat mencair kalau ada pihak yang mau meminta maaf, tetapi masalahnya kita masing-masing gengsi untuk memulai meminta maaf. Kita merasa saya tidak salah maka saya menunggu dia untuk meminta maaf dulu.

PG : Mungkin sekali memang kita tidak salah, dalam pengertian masalah itu bukan disebabkan oleh tindakan kita, bisa jadi ditimbulkan oleh pasangan kita atau anak kita. Tapi saya kira hampir pad setiap konflik, kita mungkin sekali telah mengatakan kata-kata yang terlalu keras, suara kita terlalu keras atau sikap kita yang tadi terlalu acuh tak acuh kepadanya dan sebagainya.

Nah untuk hal di luar masalah itu, saya kira kita masih bisa meminta maaf; kita masih bisa berkata: "Maaf ya tadi aku memang melihatmu dengan mata yang membelalak, dengan kata-kata yang keras, saya minta maaf." Jadi ada hal-hal yang bisa kita petik dari perbuatan kita waktu konflik yang bisa kita katakan saya minta maaf, saya keliru. Nah, apa gunanya? Gunanya adalah sewaktu seseorang bisa meminta maaf untuk hal-hal yang kecil seperti itu, itu akan mendorong pasangannya atau si anak, si orang tua untuk melakukan hal yang sama. Sebab kita cenderung lebih berani meminta maaf kalau kita melihat bahwa pasangan kita pun telah mundur selangkah dan meminta maaf. Jadi lihatlah hal-hal kecil seperti itu yang bisa kita ingat dan kita tahu tidak seharusnyalah kita melakukannya, itulah yang kita katakan saya minta maaf.
GS : Ada pasangan atau hubungan orang tua-anak itu yang di dalam konfliknya dia tidak mau meminta maaf. Tapi dia menunjukkannya dalam perbuatan misalnya mau mengantarkan kembali, mau mendampingi pada saat belajar atau apa, tapi tidak ada permintaan maaf. Tetapi ada orang lain yang memang menuntut, bahkan sampai katakan lawannya harus meminta maaf. Nah, dia merasa saya ini sudah meminta maaf dengan tindakan saya.

PG : Sebetulnya memang ada dua tahapan dalam menyampaikan permintaan maaf atau menunjukkan penyesalan itu. Pertama, melalui perbuatan dan kedua melalui pengakuan. Dan menurut saya dua-duanya pelu, pengakuan juga perlu demikian pula perbuatan.

Nah, kalau dua-dua diperlukan dan kita pun sebetulnya ingin melihat dua-duanya dari orang lain, mengapa kita tidak memberikan dua-duanya kepada orang lain.
GS : Sebenarnya memberi maaf atau meminta maaf ini sangat dianjurkan oleh firman Tuhan. Apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul mau sampaikan?

PG : Saya bacakan dari Matius 6:14-15, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, apamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."

Kenapa Tuhan begitu tegas tentang hal pengampunan ini? Sebab Tuhan itu sudah mengadopsi kita sebagai anak-anak-Nya, jadi Tuhan menginginkan kita mewarisi sifat-sifat-Nya. Dan salah satu sifat Tuhan yang hakiki, yang sangat-sangat lekat dengan siapa diri-Nya adalah sifat mengampuni. Jadi kalau kita mengklaim kita anak Tuhan, namun susah sekali mengampuni, saya kira kita itu sudah keluar jalur, kita tidak mewarisi sifat Allah. Sifat Allah yang pengampun itu haruslah juga kita cerminkan, kita bagikan, ampuni. Dan sebagai manusia kalau Tuhan tidak pernah bersalah, Tuhan tidak perlu meminta maaf. Kalau kita sebagai manusia, kita perlu minta maaf. Dan ini adalah sifat yang kedua yaitu sifat rendah hati, dan ini juga dikatakan oleh Tuhan Yesus. Turutilah contoh-Ku atau teladan-Ku, karena Aku ini lemah lembut dan rendah hati. Tuhan rendah hati, kita juga perlu rendah hati karena kita mewarisi sifat Tuhan yang rendah hati itu. Minta maaf kalau memang kita salah. Jadi mengampuni dan rendah hati, itu dua syaratnya.
GS : Ada orang itu yang sampai bertahun-tahun tidak bisa mengampuni, bahkan saudara kandungnya sendiri atau orang tuanya. Karena lukanya yang terlalu dalam.

PG : Orang yang tidak mau mengampuni, orang yang hidup dalam belenggu dan dia tidak mencicipi kemerdekaan lagi.

GS Hanya pada saat-saat dia mengingat itu, kalau tidak dan dia lupa sudah tidak apa-apa. Tapi begitu diingatkan tentang hal itu, rasa dendamnya atau marahnya itu timbul lagi.

PG : Kalau hanya sebatas marah, saya kira itu wajar. Karena mungkin sekali peristiwa itu begitu menyakitkan, sehingga tatkala teringat kembali maka seolah-olah hati itu berdarah kembali. Maka mrah adalah manifestasinya atau wujud nyatanya, saya kira sampai batas itu, itu masih batas yang wajar.

Kita itu manusia dan kalau sakit, kita teringat kita bisa marah. Tapi jangan kita menyuburkan dendam, apalagi merancang-rancang cara untuk membalasnya, itu yang Tuhan tidak kehendaki.

GS : Ya, itu mungkin bagian yang sulit Pak Paul, tetapi kita percaya dengan pertolongan Roh Kudus kita akan bisa mengampuni orang lain karena kita sudah memperoleh pengampunan dari Tuhan sendiri. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kontak Setelah Konflik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



36. Memenangkan Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T159B (File MP3 T159B)


Abstrak:

Pernikahan adalah sebuah kondisi yang begitu kompleks dan dapat sangat menyulitkan. Jika kita berhasil memenangkannya, tidak bisa tidak, kita akan menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Sebaliknya, bila tidak, maka kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih buruk daripada sebelumnya.


Ringkasan:

Pernikahan adalah sebuah kondisi yang begitu kompleks dan dapat sangat menyulitkan. Ibarat pertempuran, pernikahan menyuguhkan begitu banyak tantangan. Jika kita berhasil memenangkannya, tidak bisa tidak, kita akan menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Sebaliknya, bila tidak, maka kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih buruk daripada sebelumnya.

Di bawah ini dipaparkan langkah-langkah untuk memenangkan pernikahan.

  1. Di dalam setiap perbedaan pendapat, terbukalah terhadap kemungkinan bahwa kitalah yang keliru.

  2. Kenalilah pasangan kita dan keterbatasannya; hiduplah di dalam-bukan di luar-keterbatasannya. Jangan kita hidup di atas "andaikan," hiduplah di atas "bukan"-dia "bukan" seperti yang kita bayangkan sebelumnya.

  3. Bila kita dapat menolongnya, lakukanlah dan jangan permasalahkan mengapa ia tidak bisa melakukannya.

  4. Bersiaplah untuk tidak menjadi diri kita seperti sediakala. Mungkin kita harus lebih berani bersikap tegas, karena itulah yang diperlukan. Mungkin kita mesti lebih langsung dalam menyampaikan kemarahan kita. Mungkin kita mesti lebih sering menyentuh dan disentuh, kendati kita tidak merasa nyaman.

  5. Percaya atau tidak, tetapi canda dan gurau adalah obat mujarab penambah energi pernikahan.

  6. Tidak ada cara lain untuk memperlihatkan betapa pentingnya dia bagi kita selain daripada memperlakukannya sebagai VIP.

  7. Lindungilah pernikahan dari diri kita sendiri dan dari orang lain. Kita dapat menghancurkan pernikahan melalui kata-kata kasar yang kita lontarkan atau perbuatan dosa yang kita lakukan. Orang lain-termasuk pekerjaan kita-dapat pula menghancurkan pernikahan melalui campur tangannya yang malah merusakkan atau menjauhkan kita dari pasangan.

  8. Kesusahan untuk sehari cukuplah untuk sehari. Sering kali kita dikalahkan oleh kekhawatiran akan hari esok; kita menumpukkan kekhawatiran 10 tahun mendatang di atas 10 menit hari ini. Pasangan yang menang adalah pasangan yang mampu memilah-milah kekhawatiran (mana yang perlu dan tidak perlu dikhawatirkan), menjaga batas antara hari esok dan hari ini, dan menyerahkan hari esok kepada Tuhan.

Firman Tuhan: "Siapa yang mengacaukan rumah tangganya akan menangkap angin..." Amsal 11:29.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Memenangkan Pernikahan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada orang sebelum menikah dan setelah menikah itu kelihatan ada suatu perubahan yang agak menyolok. Tapi anehnya ada orang yang berubah menjadi lebih baik; di dalam berprestasi, berkarier, hidupnya lebih tertata. Tapi ada juga orang yang setelah menikah hidupnya malah tidak karu-karuan. Nah, mengapa bisa terjadi seperti ini Pak Paul?

PG : Memang Pak Gunawan, akhirnya saya yakini bahwa pernikahan itu sesuatu yang kompleks dan penuh tantangan. Kalau kita berhasil melewatinya, itu berarti kita berhasil melewati sesuatu yang kopleks dan penuh tantangan.

Nah, kalau kita berhasil melaluinya dengan sungguh-sungguh baik, tidak bisa tidak kita itu seperti emas yang dimurnikan dan kita menjadi manusia versi yang lebih baik daripada sebelum kita menikah. Sebaliknya kalau kita itu gagal melewati pernikahan dengan baik, mungkin saja kita tetap bisa menikah tapi kita otoriter, memaksa, kehendak kita yang harus terjadi, peduli amat dengan pasangan kita dan sebagainya. Bisa jadi kita lewati sampai 50 tahun menikah dan akhirnya kita mati, tapi kita itu menjadi manusia yang lebih buruk daripada sebelum kita menikah. Karena apa? Karena kita melewati sesuatu yang merupakan pengujian yang penuh tantangan dan memang kompleks sekali, namun kita tidak berhasil melewati dengan baik. Akhirnya yang kita timbun, yang kita bawa adalah kebencian, kepahitan, tipu muslihat, sifat atau karakter yang buruk-buruk itu makin keluar, dan hasil akhirnya adalah kita menjadi manusia dengan versi yang lebih buruk.
GS : Yang Pak Paul katakan dengan melewati perkawinan ini seperti apa Pak Paul, karena kalau kita sudah melewati pernikahan berarti saat kita meninggal nanti atau ada tenggang waktu tertentu?

PG : Saya kira setelah bertahun-tahun kita menikah, misalnya setelah 5 tahun ke atas, seharusnya kita bisa mengevaluasi, kilas balik dan lihat. Apakah saya menjadi manusia yang lebih baik setelh menikah ataukah saya menjadi orang yang lebih buruk.

Nah, biasanya kalau kita berkata saya menjadi orang yang lebih buruk, itu dapat kita katakan pernikahan kita memang buruk, kita tidak mencicipi pernikahan yang baik, tidak adanya saling mengasihi dan sebagainya. Pak Gunawan, saya bertemu dengan orang-orang yang melewati pernikahan dengan baik dan saya beruntung bisa bertemu dengan orang-orang seperti ini. Dan saya sungguh-sungguh melihat mereka menjadi orang-orang yang matang, orang yang bijak, sangat berhikmat. Dan hidup mereka itu benar-benar hidup yang bersinar, berkilauan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Dan orang pun senang berada dengan orang-orang seperti ini. Tapi saya juga melihat orang-orang yang telah menikah mungkin di atas 10 tahun, 20 tahunan, tapi makin tua itu makin pedas, makin pahit, makin tajam mulutnya, makin angkuh, makin manipulatif, makin tidak puas dan sebagainya dan sebagainya. Akhirnya saya menyimpulkan, ya tidak bisa tidak pernikahannya itu kemungkinan besar bukanlah pernikahan yang baik. Mereka tidak berhasil membangun pernikahan yang sungguh-sungguh baik, maka akhirnya mereka menjalani hidup pada masa pernikahan dengan menjadi manusia versi yang lebih buruk.
GS : Pak Paul, di dalam menjalani hidup pernikahan ini, tentunya kita berharap kita menjadi lebih baik, karena itu harapan/maksud Tuhan juga dengan pernikahan ini, tapi langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan supaya kita melewati pernikahan ini dan kita menjadi orang yang lebih baik?

PG : Ada delapan yang ingin saya bagikan pada saat ini. Yang pertama adalah, di dalam setiap perbedaan pendapat terbukalah terhadap kemungkinan bahwa kitalah yang keliru. Ini adalah salah satu iat untuk bisa melewati pernikahan dengan lebih baik.

Waktu terjadi perbedaan pendapat, lihatlah diri, introspeksilah, terbukalah terhadap kemungkinan bahwa kitalah yang keliru; jangan sampai kita menutup kemungkinan itu. Nah orang yang menutup kemungkinan itu, saya tidak keliru, tidak pernah dan tidak akan keliru, dia sebetulnya sedang berjalan menuju kehancuran dalam pernikahannya.
GS : Ada orang yang berpikir memang saya bisa keliru dan pasangan kita juga bisa keliru. Dan kali ini, selalu dikatakan kali ini pasangan saya yang keliru.

PG : Betul, sudah tentu kita bisa dan seharusnya melihat juga apa yang tidak tepat yang dilakukan oleh pasangan kita. Namun sekali lagi dalam perbedaan pendapat, nomor satu yang mesti kita tata adalah diri sendiri, jangan terlalu tergesa-gesa menatap diri orang lain.

Apa itu yang diri kita kurang lakukan, itulah yang kita munculkan dan kita akui di hadapan pasangan kita. Harapan saya adalah tatkala kita memulainya, pasangan kita akan tertular. Dia pun lama-lama akan mengikuti jejak kita yaitu melihat dirinya dan mengakui bagiannya. Nah, bukankah ini nantinya akan mempermudah kita menyelesaikan perbedaan pendapat.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah kenalilah pasangan kita dan keterbatasannya; hiduplah di dalam bukan di luar keterbatasannya. Maksud saya adalah jangan kita hidup di atas 'andaikan', hiduplah di ats 'bukan', maksudnya dia bukan seperti yang kita bayangkan sebelumnya.

Jangan kita berandai-andai kalau saja dia tidak seperti ini, kalau saja dia lebih sabar, kalau saja dia lebih mengerti saya, kalau saja dia itu lebih mempunyai pemikiran yang lebih luas dan sebagainya. Kenyataannya apakah pasangan kita seperti itu? Tidak. Memang dia orangnya tidak semurah hati yang aku pikirkan, nah kita terima fakta itu bahwa dia tidak semurah hati yang kita pikirkan sebelumnya. Sama uang dia sangat-sangat ketat sekali, kalau sudah dalam genggamannya susah sekali dilepaskan dan dia berikan pada orang lain. Berarti apa, hiduplah dalam keterbatasannya itu bukan di luarnya. Kita terus-menerus ribut dengan dia mempersoalkan tentang betapa ketatnya dia memegang uang. Maksud saya hidup di atas, bahwa dia bukan seperti yang kita bayangkan dan dia punya keterbatasan soal uang ini. Berarti kita melihatnya dan kita mau membereskannya, mau mencoba menolongnya. Lain kali misalkan kita lagi ada keperluan, kita katakan kepada dia, "Saya ada keperluan ini nih, tapi mungkin kamu pikirkan dulu berapa yang akan kamu berikan, mungkin besok saya bisa tanya lagi kepadamu berapa. Tapi yang diperlukan adalah ini, ini, ini dan orang itu memang butuh sekali atau bagaimana." Dengan kata lain kita fokuskan ke situ, terus kita fokuskan. Kalau kita terus berandai-andai, dia mudah-mudahanlah tidak pelit dan dia lebih bisa memberikan uang, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalahnya.
GS : Berarti dalam hal ini kita mau membuat dia menyadari akan kesalahannya, Pak Paul?

PG : Pada akhirnya ya, namun saya kira penekanan yang berbeda akan juga membuahkan hasil yang berbeda. Kalau kita mengandaikannya bahwa dia itu tidak seperti adanya sekarang, saya kira semakin auh dari hasilnya.

Saya berikan contoh, waktu dulu dalam awal pelayanan saya, saya beranggapan bahwa seyogyanyalah istri saya itu bisa membebaskan saya untuk berbuat sekehendak saya dalam hal pelayanan. Saya mau pergi, saya repot dan sebagainya, seyogyanyalah istri saya mengerti saya. Saya luput melihat bahwa pada saat itu dia masih bersama tiga anak yang masih kecil-kecil. Memang ada contoh-contoh lain, hamba Tuhan lain yang istrinya kok bisa membiarkan suaminya pergi dan tidak apa-apa untuk waktu yang sangat lama. Dan saya pernah katakan itu kepada istri saya dan dia berkata: "Paul, saya bukan mereka," mungkin saja mereka bisa tapi mungkin juga kondisi kehidupan mereka tidak sama dengan kondisi kehidupan kami saat itu, mungkin saja ada orang lain atau mamanya yang bisa mendampingi sehingga mereka bisa menjaga anak-anak tanpa kehadiran suami mereka. Istri saya memang dalam kondisi yang unik saat itu, dia sendirian di sini, tidak ada saudara dan kerabat di sini dan sebagainya. Jadi memang berat buat dia membesarkan ketiga anak tanpa saya di sampingnya terus-menerus. Maka akhirnya saya harus belajar menerima inilah kondisi istri saya, dan saya tidak bisa berandai istri saya seperti istri orang lain. Saya harus terima, jadi saya harus menyesuaikan hidup saya. Ternyata apa yang terjadi waktu saya menyesuaikan diri? Istri saya akhirnya makin bisa mempercayai saya, dan akhirnya saya makin diberikan kesempatan untuk bisa pergi dan sebagainya.
GS : Bukan cuma terhadap partner Pak Paul, terhadap diri kita sendiri sering kali kita mau mempertahankan identitas kita sebelum kita menikah dulu.

PG : Ini saya kira alamiah, kita itu ingin sebisanya melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Kalau kita tidak pernah melakukan sesuatu kita juga tidak mau melakukannya setelah menikah. Tapi etelah menikah kita tidak bisa lagi bersikap seperti itu, kita harus terima bahwa kita itu tidak akan seperti sedia kala.

Mungkin kita harus lebih berani bersikap tegas, karena itulah yang diperlukan; dulu kita orang yang lembek sekali. Atau mungkin kita bisa lebih langsung menyampaikan kemarahan kita, dulu kita simpan berminggu-minggu baru bicara. Mungkin kita mesti lebih sering menyentuh pasangan kita dan disentuh olehnya kendati kita tidak merasa nyaman. Sekali lagi, kalau mau pernikahan kita ini berjalan dengan baik, bersiaplah untuk tidak menjadi diri kita seperti sedia kala dan itu tidak apa-apa.
GS : Tetapi sulit Pak Paul untuk merubah itu, jadi membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dan sebagainya. Tetapi kita pun mempunyai harapan supaya pasangan kita juga melakukan hal yang sama.

PG : Sudah tentu, kita memang mau melakukannya tapi kita juga berharap pasangan kita melakukannya pula. Jadi dengan kata lain saling mendorong, agar masing-masing bisa berubah, itu betul sekali.

GS : Pak Paul, dalam pernikahan untuk memberi warna pada komunikasi kita, sering kali kita melakukan senda gurau, tapi ini bisa disalahartikan oleh pasangan kita.

PG : Saya kira kita harus melihat konteksnya, kapan kita bersenda gurau dan sebagainya. Tapi pada prinsipnya, ini adalah salah satu kiatnya untuk bisa menjalani pernikahan yang baik. Yaitu percya atau tidak tetapi canda dan gurau adalah obat mujarab penambah energi pernikahan.

Pernikahan yang diisi dengan senda gurau akan lebih berpeluang menjadi pernikahan yang sehat, dibanding dengan pernikahan yang begitu jarang bersenda gurau. Kadang-kadang ini yang kita jumpai, kita berjumpa dengan pasangan nikah yang benar-benar mukanya itu kecut, masam sekali, tidak ada senyum, canda gurau dan sebagainya. Ya......bagaimana nanti bisa menyelesaikan masalah, kalau ada masalah pasti lebih berat di hati. Karena memang pembawaannya serius, tegang. Sering-seringlah bersenda gurau, sering-seringlah kita guyon; jangan hanya kita berguyon dengan orang di luar rumah, tapi sering-seringlah bercanda dengan pasangan kita, itu obat mujarab.
GS : Tapi pengalaman ini perlu dipelajari, seni untuk bersenda gurau untuk bisa membangun hubungan suami-istri. Karena kalau tidak bisa disalah mengerti dan menimbulkan problem dalam keluarga itu sendiri.

PG : Betul, memang adakalanya pasangan kita itu tidak memahami senda gurau kita, dan kita perlu jelaskan. "Waktu saya begini, saya tidak mengatakan ini, saya tidak sedang merendahkan engkau, saa hanya bercanda saja."

Tapi kalau dia berkata: "Saya tidak suka dengan cara bercandamu yang itu." OK, mungkin yang itu nanti akan kita ubah supaya dia lebih bisa menerimanya. Tapi sekali lagi orang yang tidak bisa bersenda gurau, memang susah untuk hidup dengan orang lain, itu harus saya akui. Dan ada orang-orang yang memang tidak bisa bersenda gurau, memang akan menyulitkan orang yang ada di sampingnya.
GS : Ada pasangan itu yang mungkin kurang terlatih untuk bersenda gurau. Yang dibicarakan adalah guyonan-guyonan yang sebenarnya tidak layak atau tidak pantas, misalnya guyonan-guyonan yang porno sehingga pasangannya merasa tidak nyaman.

PG : Betul, jadi selalu prinsipnya adalah silakan bersenda gurau namun jangan berdosa. Jangan kita itu menggunakan contoh-contoh porno dan sebagainya, nah itu mungkin saja membuat pasangan kitatertawa, tapi membuat Tuhan berduka karena kita telah berdosa kepada-Nya.

GS : Apakah kiat-kiat yang lainnya yang Pak Paul bisa sampaikan?

PG : Kiat yang lainnya adalah bila kita dapat menolongnya, lakukanlah dan jangan permasalahkan mengapa ia tidak bisa melakukannya. Ada hal-hal yang sepele-sepele, kecil-kecil tentang rumah tanga dan sebagainya.

Dan pasangan kita itu tidak bisa melakukannya dengan baik, silakan kita tolong dia dan jangan permasalahkan. Saya berikan contoh yang sangat ringan sekali yang terjadi pada keluarga kami sendiri. Misalkan, saya memang yang sering membawa handuk yang telah kami pakai dari kamar mandi kami keluar untuk dijemur. Nah, itu memang saya sudah lakukan dan pernah terlintas bahwa istri saya jarang melakukannya. Ya...tidak apa-apa (saya memang yang sering kali mengeluarkannya), tapi di pihak lain saya itu juga orang yang sulit untuk (misalkan dalam hal kamar mandi) mengambil tisu atau apa, membersihkan lantainya dan sebagainya. Nah, istri saya kadang-kadang berkata kepada saya: "Paul, tolong dong habis mandi mungkin agak sedikit kotor atau apa, kamu yang sekali-sekali bersihkan." Saya bilang: "Ya". Kadang-kadang saya ingat, tapi sering kali saya tidak mengingat. Tapi jujur bukannya hanya tidak mengingat tapi memang saya agak enggan untuk melakukannya. Jadi istri saya mengatakan itu sudah dua kali, akhirnya dia tidak mengatakan lagi dan langsung melakukannya buat saya. Jadi sekali-sekali untuk hal-hal kecil seperti itu kalau kita bisa melakukannya lakukanlah dan jangan permasalahkan.
GS : Memang melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak sukai, itu agak berat.

PG : Betul, dan memang kita berharap pasangan kita bisa melakukannya. Dan memang kalau itu tidak terlalu berat atau apa, silakan saling melakukan asal dua-duanya itu juga saling melakukan sesuau yang saling membantu.

GS : Dan sering kali yang dibantu itu juga merasa bahwa kita ini tidak mengerjakannya dengan sepenuh hati, sehingga dia berkata ya sudah saya saja yang mengerjakan, kamu mengerjakan yang lain. Toh nanti jadinya tidak seperti yang dia inginkan.

PG : Betul, dan sekali lagi, sampai batas tertentu hal-hal seperti itu seharusnyalah dilakukan tanpa keluhan, silakan lakukan.

GS : Mungkin ada yang lain Pak Paul?

PG : Berikutnya lagi adalah tidak ada cara lain untuk memperlihatkan betapa pentingnya dia bagi kita, selain daripada memperlakukannya sebagai VIP (Very Important Person). Artinya kalau kita inin mengkomunikasikan kepada pasangan kita bahwa dia penting, tidak ada jalan lain, perlakukanlah dia sebagai orang penting.

Artinya apa, pertimbangkan pendapatnya, pikirkan keinginannya, katakanlah hal-hal yang ingin kita katakan kepada dia dengan penuh respek. Jadi kalau kita mau mengatakan: "engkau penting bagiku." Ya perlakukanlah dia sebagai orang yang penting. Jangan sampai kita itu hanya mulut saja berkata dia penting tapi kita tidak memperlakukannya dia penting, pasangan kita tidak akan pernah merasa bahwa dia penting.
GS : Nah, itu tidak berarti kita memanjakan pasangan kita Pak Paul?

PG : Saya kira bukan, karena dua-dua melakukannya baik kita maupun pasangan kita saling memperlakukan satu sama lain dengan penting atau dengan hormat.

GS : Yang lain Pak Paul?

PG : Yang lain adalah lindungilah pernikahan dari diri kita sendiri dan dari orang lain. Kita dapat menghancurkan pernikahan melalui kata-kata kasar yang kita lontarkan atau perbuatan dosa yangkita lakukan, misalnya berzinah dan sebagainya.

Jangan hancurkan pernikahan dengan perbuatan kita sendiri. Tapi orang lain termasuk pekerjaan kita, dapat pula menghancurkan pernikahan melalui campur tangannya yang malah merusakkan atau menjauhkan kita dari pasangan. Jadi bila pekerjaan kita menjauhkan kita dari pasangan, teman kita menjauhkan kita dari pasangan, nah berhati-hatilah jangan biarkan pihak luar menjauhkan kita dari pasangan kita atau malah merusakkan relasi pernikahan kita.
GS : Itu juga dalam segi misalnya orang yang mengatakan pelayanan Pak Paul, tetapi bisa juga menjauhkan dengan pasangan?

PG : Betul sekali, mesti ada keseimbangan. Sudah tentu memang kita mesti melayani, tapi melayani ini tidak harus secara formal, kita tetap bisa melayani secara tidak formal dalam kehidupan kitasehari-hari.

GS : Dan saya melihat ada banyak bentuk pelayanan yang bisa dilakukan bersama-sama. Yang lainnya Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah ini yang terakhir, kesusahan untuk sehari cukuplah untuk sehari. Sering kali kita dikalahkan oleh kekhawatiran akan hari esok, kita menumpukkan kekhawatiran sepuluh tahn mendatang di atas 10 menit hari ini.

Pasangan yang menang dalam pernikahan adalah pasangan yang mampu memilah-milah kekhawatiran. Artinya kita mampu membedakan mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dikhawatirkan. Yang berikutnya, pasangan yang menang adalah pasangan yang dapat menjaga batas antara hari esok dan hari ini. Ya sudah, hari esok itu Tuhan akan jaga dan Tuhan akan pelihara, nah kita serahkan kepada Tuhan. Kadang-kadang pasangan ribut, meributkan apa? Hal yang belum terjadi, karena sudah mengkhawatirkannya sekarang. Jangan, pasangan yang bisa bersama-sama bisa melewati pernikahan dengan baik dan penuh kemenangan adalah pasangan yang bisa memilah hari esok dan hari ini, dan menyerahkan hari esoknya kepada Tuhan.
GS : Padahal sebagian besar yang kita khawatirkan itu tidak mewujud dalam kenyataan, Pak Paul?

PG : Betul sekali, belum tentu seperti yang kita bayangkan, kenapa kok kita harus meributkan sesuatu yang belum tentu akan terjadi.

GS : Alasan yang sering kali dikemukakan adalah untuk berjaga-jaga, untuk mempersiapkan diri, Pak Paul.

PG : Betul, sudah tentu kita memang perlu bersiap-siap, tapi selalu berilah ruang untuk Tuhan bekerja. Kadang-kadang kita mempersiapkan diri seolah-olah tidak ada Tuhan dalam hidup ini. Jangan upa masih ada Tuhan dan Tuhan itu masih bekerja, jadi berilah ruang gerak kepada Tuhan untuk melakukan karyanya dalam hidup kita.

GS : Memang ada orang itu yang dulu sebelum menikah, kelihatannya dia berserah sekali kepada Tuhan; lalu setelah menikah malah kekhawatirannya luar biasa dan itu dia ungkapkan. Dia katakan dulu kalau saya sendirian yang menanggung saya sendiri, sekarang ini saya sudah menikah, saya harus pikirkan istri, anak, dan sebagainya.

PG : Saya menghargai sikap itu, sikap yang bertanggung jawab, memang itu diperlukan di dalam pernikahan. Namun bertanggung jawab itu ada batasnya, batasnya adalah jangan sampai sikap bertanggun jawab itu mengeluarkan Tuhan dari hidup ini.

Dan yang kedua jangan sampai sikap bertanggung jawab itu malah mengganggu pernikahan kita. Kita terlalu mengkhawatirkan, nanti ini begini bagaimana, akhirnya dia ribut dengan pasangan kita. Nah kenapa harus meributkan sesuatu yang belum terjadi. Jadi saran saya, jangan sampai kekhawatiran untuk 10 tahun mendatang diributkan 10 menit sekarang ini.
GS : Nah, Pak Paul sebelum kita merampungkan perbincangan kita, mungkin Pak Paul bisa memberikan contoh atau ciri-ciri orang yang menang di dalam pernikahan?

PG : Ciri-ciri orang yang menang dalam pernikahan adalah, orang itu pertama-tama orang yang puas, damai dengan dirinya, dengan Tuhan, dengan hidup. Dia tenang, dia puas, dia tidak lagi mencari-ari di luar, sebab di dalam sudah terpenuhi dengan cukup.

Dia benar-benar menjadi orang yang bukannya mencari untuk mendapatkan tapi dia menjadi orang yang memberikan, yang memang membagikan berkat. Sebab dia terpenuhi dengan sangat berlimpah, sehingga dia selalu bisa membagikannya kepada orang lain. Nah kita bisa melihat kebalikannya pada pasangan yang memang tidak memiliki pernikahan yang kuat, senantiasa mencari-cari untuk memenuhi kebutuhannya, mencari-cari perhatian, mencari-cari dukungan, mencari-cari kesempatan untuk bisa berharga dan sebagainya. Kenapa? Kemungkinan di dalam memang tidak terpenuhi dengan baik; jadi cirinya orang yang pernikahannya baik dan sehat saya kira dapat saya intisarikan satu saja yaitu orang yang tidak lagi mencari tapi dia menjadi orang yang memberi.
GS : Ya, dan firman Tuhan yang mau Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan Amsal 11:29, "Siapa yang mengacaukan rumah tangganya akan menangkap angin." Artinya siapa yang memang tidak memelihara rumah tangganya, menyia-nyiakannya akan menngkap angin.

Artinya apa? Tidak akan mencapai sasaran, hidupnya itu akan selalu mencari-cari; hidupnya itu selalu di dalam kebingungan, ketidakpuasan, kegagalan dan kefrustrasian. Jadi kalau kita mau hidup tidak frustrasi, jangan kacaukan rumah tangga sendiri. Kita orang yang paling bodoh kalau kita mengacaukan rumah tangga sendiri.

GS : Terima kasih Pak Paul, ini sangat memotivasi dan menginspirasikan kita semua untuk menjadi pemenang-pemenang di dalam hidup pernikahannya. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memenangkan Pernikahan." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



37. Cemburu 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T169A (File MP3 T169A)


Abstrak:

Cemburu adalah campuran perasaan marah dan takut yang bersumber dari adanya ancaman akan kehilangan orang yang dikasihi. Kedua perasaan ini, marah dan takut, merupakan perasaan yang kuat. Tidak heran cemburu membuahkan reaksi yang keras pula.


Ringkasan:

Cemburu adalah campuran perasaan marah dan takut yang bersumber dari adanya ancaman akan kehilangan orang yang dikasihi. Kedua perasaan ini-marah dan takut----merupakan perasaan yang kuat. Tidak heran cemburu membuahkan reaksi yang keras pula. Tidak jarang cemburu berakhir dengan pertengkaran hebat yang merusakkan sendi pernikahan.

Penyebab Cemburu

  1. Masalah kepribadian yang posesif:

    • Harus mengontrol pasangan karena merasa tidak aman.
    • Dihantui oleh kecemasan bahwa pasangannya akan mengkhianatinya.
    • Penuh kecurigaan.
    • Mungkin mempunyai latar belakang pengkhianatan.

    Penanganan:

    • Harus menetapkan batas-sampai seberapa jauh ia dapat mengontrol pasangan.
    • Setiap tuduhan harus dibuktikan secara konkret.
    • Melimpahkan kasih.
    • Hidup transparan-menutupi satu perbuatan dapat berakibat fatal.

  2. Masalah kepribadian narsisistik:

    • Mengangggap diri sebagai pusat perhatian pasangan.
    • Menuntut pasangan selalu memberi perhatian tak terbagi kepadanya.
    • Penuh kecurigaan.
    • Mungkin mempunyai latar belakang haus akan kasih atau kebalikannya, sangat dimanja.

    Penanganan:

    • Menolak untuk terus memberi perhatian tak terbagi dari awal relasi.
    • Sejak mula, biasakan untuk memberi perhatian kepada pihak lain pula, jangan membiarkan diri masuk ke dalam belenggu tuntutan yang tidak realistik ini.
    • Hidup transparan-menutupi satu perbuatan dapat berakibat fatal.

  3. Mempunyai pasangan yang terlalu bebas bergaul dengan teman lawan jenis:

    • Kedekatan dengan lawan jenis biasanya membangkitkan ketakutan kalau-kalau relasi ini berlanjut.

    Penanganan:

    • Menetapkan batas dalam relasi dengan lawan jenis.
    • Jangan menggunakan dalih: Tidak ada apa-apa.

    Firman Tuhan:
    Siapa bersih kelakuannya aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui. (Amsal 10:9)

  4. Akibat pengkhianatan:

    • Ini adalah kecumburuan berdasar karena telah terjadi pengkhianatan.

    Penanganan

    • Pihak yang bersalah harus meminta maaf-bukan sekali, tetapi berkali-kali.
    • Pihak yang bersalah harus mengizinkan dan menerima kemarahan pasangan yang tengah terluka.
    • Pihak yang bersalah harus memutuskan semua tali relasi dengan rekan selingkuh.
    • Pihak yang bersalah harus hidup transparan dan siap mempertanggungjawabkan setiap keberadaan dan perbuatannya.

    • Pihak yang dilukai harus memberi maaf-bukan sekali, melainkan berkali-kali.
    • Dalam mengekspresikan kemarahan, pihak yang dilukai harus tetap menjaga batas.
    • Pihak yang dilukai harus kembali kepada fakta dan bukan perasaan belaka dalam menilai kejujuran pasangannya.
    • Keduanya seyogyanya mencari bantuan konselor untuk menolong mereka melalui masa yang terjal ini. Kadang mereka tidak dapat lagi berkomunkasi karena komunikasi akhirnya menjadi ajang peluapan emosi. Di sini diperlukan kehadiran pihak konselor untuk menjembatani merekaa sehingga komunikasi tidak terputus.
    • Keduanya harus menyelesaikan masalah akarnya. Tidak jarang perselingkuhan berhulu dari relasi yang buruk; ini perlu dibereskan dengan tuntas.
    • Keduanya harus berkomitmen untuk tetap bersama betapapun sulit perjalanan yang akan dilalui.
    • Keduanya mesti kembali kepada Tuhan. Dengarlah suara-Nya dan taatilah kehendak-Nya. Jangan turuti keinginan daging seperti membalas selingkuh dengan selingkuh atau berupaya menyakiti pasangan. Ingat, pembalasan adalah hak Tuhan. Masa yang sulit ini tidak dapat dilalui tanpa kuasa Tuhan yang ajaib.
    • Cemburu digantikan bukan dengan masa bodoh melainkan dengan iman kepada Tuhan yang berkuasa. Ia mengawasi dan akan mengejar dosa yang tersembunyi.

Firman Tuhan:

Karena segala jalan orang terbuka di depan mata Tuhan, dan segala langkah orang diawasinya (Amsal 5:21)

Demikian juga orang yang menghampiri istri sesamanya; tiada seorang pun yang menjamahnya luput dari hukuman. (Amsal 6:29)

Karena cemburu adalah geram seorang laki-laki, ia tidak kenal belas kasihan pada hari pembalasan dendam. (Amsal 6:34)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bersama Ibu Esther Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Cemburu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, banyak kali kita mendengar orang cemburu dan khususnya wanita yang banyak dijadikan sasaran walaupun adakalanya pria juga. Sebenarnya perasaan cemburu itu, perasaan seperti apa Pak Paul?

PG : Awalnya cemburu itu berasal dari cinta, jadi asumsinya adalah kalau tidak mencintai ya tidak akan cemburu. Tapi pada akhirnya cemburu itu merupakan ungkapan dua perasaan yang sangat kua yakni perasaan takut dan perasaan marah.

Takut bersumber dari ketakutan bahwa orang yang kita kasihi itu mungkin akan meninggalkan kita. Jadi ancaman bahwa pasangan kita akan meninggalkan kita itu akan membangkitkan rasa takut yang sangat kuat sekali. Marah berasal dari perasaan pengkhianatan, jadi saya dikhianati, saya dicampakkan, saya dibuang; kenapa ada orang lain yang dianggap lebih baik dan lebih penting, lebih layak dikasihi daripada saya. Nah itu membuahkan perasaan marah, jadi rasa dikhianati, dicampakkan sedangkan orang lain diagungkan, dikasihi, diutamakan lebih daripada diri kita. Campuran dari dua perasaan ini; marah dan takut yang memunculkan perasaan cemburu.
GS : Timbulnya kecemburuan di dalam diri seseorang itu bukan hanya karena hubungan pernikahan Pak Paul, jadi kemungkinan juga orangtua cemburu terhadap anaknya atau sebaliknya Pak Paul?

PG : Itu pengamatan yang baik Pak Gunawan, kadang kala orangtua bisa cemburu terhadap anaknya pula, karena unsur yang terlibat sama. Si orangtua merasa bahwa dia akan dicampakkan, dia akan tdak lagi berperan, tidak lagi berguna, tidak lagi berfungsi di dalam kehidupan anaknya, sebab sekarang anaknya sudah mempunyai keluarga sendiri, sudah mempunyai istri yang dikasihinya.

Atau dia merasa bahwa dia sekarang dia ditinggalkan. Nah ancaman bahwa dia ditinggalkan, dia akan sendirian, itu akan menimbulkan ketakutan baginya. Dan dua perasaan ini bercampur aduk memunculkan rasa cemburu. Nah waktu kita cemburu reaksi yang biasanya muncul adalah reaksi ingin merebut kembali orang yang kita kasihi yang kita anggap mulai meninggalkan kita itu. Kita akan berusaha merangsek masuk menarik dia kembali untuk berada di samping kita lagi. Ini biasanya yang akhirnya menimbulkan pertengkaran-pertengkaran dalam keluarga.

ET : Jadi kalau ada ungkapan cinta itu buta, cemburu juga bisa buta Pak? Orang akan melakukan apapun untuk mempertahankan itu.

PG : Betul, cemburu juga bisa buta. Jadi memang seperti induk macan yang terluka melindungi anak macan, dia akan melakukan apa saja untuk mempertahankan anak macan itu.

GS : Tapi biasanya orang yang sedang cemburu, kalau ditanya apakah dia cemburu, dia tidak mengaku, Pak Paul?

PG : Jadi pertanyaannya, mengapa orang itu tidak terlalu mudah mengakui bahwa saya cemburu. Jawabannya saya kira sangat mudah ditebak, yaitu kita takut dilihat lemah. Sebab cemburu itu bagi ita menunjukkan sebuah kelemahan diri, karakter bahwa kita tidak kuat untuk menahan diri kita kok sampai harus membutuhkan orang sedemikian besarnya.

Itu sebabnya kebanyakan orang tatkala ditanya, "Apakah kamu cemburu?" selalu jawabannya ´tidak´. Biasanya jawabannya tidak, tapi yang menjadi keyakinan saya adalah kamunya, saya tidak ada apa-apa kok dengan orang lain itu, saya hanya marah terhadap kamu, kenapa kamu itu begini, begitu. Jadi perhatian ditujukan kepada pasangan, padahalnya memang dia yang cemburu.
GS : Apa yang menimbulkan kecemburuan itu Pak Paul?
GS : Nah ini pertanyaan baik Pak Gunawan, sebab memang kita harus melihat dengan spesifik apa itu penyebab cemburu, karena kita tidak bisa menyamaratakan semua cemburu dengan satu kategori penyebab saja. Sekurang-kurangnya ada empat, dan pada kesempatan ini kita akan membahas tiga di antaranya. Yang pertama adalah (ini yang memang berkaitan dengan kepribadian seseorang) penyebab cemburu adalah kita itu mempunyai kepribadian yang posesif, kepribadian yang memang ingin memiliki pasangan kita sepenuhnya. Benar-benar kita tidak puas hanya mendapatkan sebagian dari dirinya, tidak puas hanya merasa dicintai, tapi kita mau menuntut sangat dicintai, sangat diutamakan dan bisa memiliki kendali atas kehidupannya. Kenapa kok bisa muncul perasaan posesif ini, sudah tentu akarnya adalah rasa tidak aman; kita sendirian, kita tidak mau sendirian, kita takut sendirian, kita tidak aman, kita perlu seseorang untuk membuat kita tidak sepi dan membuat diri kita terisi dan terpenuhi, tidak lagi kosong atau hampa. Itu sebabnya muncullah dorongan yang kuat dari dalam diri kita untuk mengontrol, menguasai pasangan kita sepenuhnya.

ET : Berarti memang kunci dari kepribadian ini adalah rasa tidak aman, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Ibu Esther, jadi perasaan seolah-olah dia itu hidup di dalam ketimpangan, ketidakseimbangan, kehampaan. Dan waktu bertemu dengan pasangan ini, hidupnya terpenuhi, kuat kemali, berharga, bernilai, bermakna, ada arah dan tujuannya.

Benar-benar pasangannya itu sebagai sesuatu yang terbaik yang pernah hinggap dalam hidupnya.

ET : Jadi seolah-olah yang begitu didapatkan itu harus dipegang erat-erat.

PG : Betul, karena terlalu berharga. Meskipun dia melihat pasangannya itu tidak berbuat apa-apa, namun tetap dihantui oleh rasa takut bahwa pasangannya itu akan meninggalkan dia. Saya kira ii reaksi yang bisa kita mengerti, kalau kita sangat-sangat membutuhkan sesuatu dan kita menemukannya, kita akan menjaganya dengan sangat berhati-hati, sebab kita sangat membutuhkan.

Kalau kita kehilangan wah..........hidup kita akan kembali sengsara. Jadi orang ini selalu dihantui kecemasan bahwa pacarnya atau pasangannya atau suami atau istrinya itu akan meninggalkannya.
GS : Tapi adapula orang yang memang khawatir karena melihat tingkah laku pasangannya atau partnernya itu yang mencurigakan, sehingga timbul suatu kekhawatiran di dalam dirinya.

PG : Nah, kalau memang pasangannya itu memberikan kesan bahwa dia itu tidak bisa dipercaya, terlalu mudah bergaul dengan lawan jenis, saya kira itu masuk akal. Namun adakalanya memang penyeab cemburu bukan itu, tidak ada buktinya, sama sekali tidak ada buktinya.

Namun dia sendirilah yang dihantui oleh ketakutan bahwa pasangannya akan meninggalkannya. Itu sebabnya untuk menjaga jangan sampai dia kecolongan, ditinggal atau dikhianati oleh pasangannya; dia senantiasa curiga atau dia mengembangkan sikap curiga; harus selalu mengecek, jangan 100% percaya pada pasangan, supaya nanti kalau ada apa-apa dia tidak kecolongan, dia tidak harus ketakutan, dia tidak harus terluka. Jadi selalu sikap curiga yang muncul dari dalam dirinya.

ET : Karena ini sifatnya seperti yang tadi Pak Paul katakan sebagai masalah kepribadian, sebaiknya bagaimana kita membantunya Pak Paul?

PG : Saya kira pasangannya itu harus menetapkan batas, harus bicara dengan tegas dan berkata: "Saya tidak bisa hidup seperti ini, saya tidak bisa hidup seperti kuman di bawah mikroskop ang kamu amati seperti itu.

Saya akan merasa terbatasi, terkungkung, dan ini membuat saya marah." Jadi benar-benar harus berbicara dengan tegas. Idealnya pembicaraan ini tidak terjadi pada masa pernikahan, idealnya pembicaraan ini terjadi jauh sebelum mereka memutuskan untuk menikah pada masa berpacaran. Dengan kata lain kita mengakui bahwa setelah menikah, masing-masing harus memiliki kontrol, kendali atas pasangannya. Maka firman Tuhan pun berkata bahwa istri, tubuhmu bukan milikmu lagi tapi milik suamimu. Suami, tubuhmu bukan milikmu lagi tapi milik istrimu. Betul itu, Alkitab menegaskan bahwa setelah kita menikah, kita menjadi satu sehingga kita saling memiliki. Tapi saling memiliki tidak berarti merantai pasangan kita seperti itu, jadi kalau pasangannya sudah mulai mencium adanya gejala-gejala ke sana dia harus bicara dari awalnya. Saya tidak mau diperlakukan seperti ini, saya meminta ruang untuk saya juga bisa bernafas. Selain itu dia juga mesti langsung mengajukan bukti sebelum menuduh apapun dia harus memberikan bukti, apa buktinya. Kalau misalnya dia bilang o.......buktinya adalah saya melihat dari senyummu, senyummu berbeda. Nah masakan senyum dijadikan alasan atau bukti, "Kamu kok senyumnya lain sama orang itu, terhadap orang lain senyummu tidak begitu, nah itu bukan bukti jadi harus memberikan bukti yang konkret. Kalau tidak ada bukti yang konkret dia tidak boleh menuduh sembarangan, jadi peraturan itu harus ditaati dalam relasi ini.

ET : Masalahnya kadang-kadang kalau dalam masa pacaran rasanya perilaku pacar yang mengontrol itu tidak dilihat sebagai mengontrol, tapi dilihat sebagai suatu hal yang memanjakan; diantar, djemput; nanti setelah memasuki pernikahan baru merasa itu sebenarnya kontrol yang terlalu ketat.

PG : Betul sekali, pada masa berpacaran dia berkata saya sangat dimanja, setelah menikah dia akan berkata saya sangat dijajah, dia dirantai. Ini mungkin baik sekali didengarkan oleh mereka yng belum menikah, jangan terbuai atau tersanjung oleh pasangan yang mengontrol dirimu seperti itu.

Itu nanti benar-benar akan merantai dan menyengsarakan setelah menikah. Jadi batas-batas itu dari awal berpacaran memang harus sudah disesuaikan dan disetujui, kalau memang tidak bisa ya jangan. Tapi saya juga harus meminta kepada pasangan, untuk tetap melimpahkan kasih sebab tadi kita sudah singgung dasarnya adalah dia sangat tidak aman, dia haus akan kasih sayang dan si pasangan itu hal terbaik yang pernah terjadi di dalam dirinya, dia takut kehilangan. Maka si pasangan memang harus memastikan cinta kasihnya itu konstan, jangan sampai biasanya itu memberikan bunga sekarang tidak lagi memberikan bunga. Biasa ulang tahun mengingat, mengajak pergi makan sekarang tidak lagi, nah itu memang menakutkan bagi orang yang tidak aman. Dia mesti tetap konstan, apa yang biasanya dia lakukan tetap dilakukan. Dan yang terakhir adalah mesti hidup transparan, jangan sampai pasangan ini menutup-nutupi perbuatan, meskipun perbuatannya tidak ada kaitan dengan pengkhianatan, ketidaksetiaan atau perselingkuhan. Tapi tetap dia mesti transparan, karena orang yang memang tidak aman ini penuh kecurigaan. Kalau saja dia menemukan satu saja bukti bahwa pasangannya itu tidak jujur, dia langsung mengaitkan kalau kamu tidak jujur dalam hal ini, kamu juga bisa tidak jujur dalam hal kesetiaanmu kepada saya, langsung ke situ.
GS : Selain masalah kepribadian yang posesif tadi, apakah ada masalah yang lain?

PG : Ada Pak Gunawan, yang kedua adalah yang kita sebut kepribadian nartisistik artinya sangat mementingkan diri sendiri. Orang ini menganggap dirinya itu sebagai pusat kehidupan bahkan pusa kehidupan pasangannya juga.

Dengan kata lain pasangannya itu senantiasa harus melayaninya, mendahulukannya, mengutamakannya, seolah-olah mendewakannya. Dan sedikit saja ada perubahan dalam perhatian, pelayanan pasangannya wah......dia akan marah. Dia akan menuntut, "Kamu harus tetap memberikan perhatian yang besar ini kepada saya, sebab saya ini orang yang paling penting dalam hidupmu." Jadi benar-benar dia akan menyengsarakan orang yang tinggal dengan dia, dia menuntut perhatian tak terbagi, perhatian penuh untuk dirinya sendiri. Sedangkan dia sendiri tidak pedulu, tidak memusingkan orang lain. nah ini tipe kepribadian nartisistik adalah tipe kepribadian yang mudah sekali cemburu; sedikit-sedikit akan marah, tapi dia berbeda dengan yang posesif. Kalau yang posesif itu memang tidak aman dan merasakan ini adalah hal yang terbaik yang pernah terjadi di dalam hidupnya yaitu menemukan pasangannya ini. Kalau yang nartisistik tidak fokuskan pada orang lain tapi dirinya sendiri. Dia pokoknya harus mendapatkan semua yang dia inginkan, kebutuhannya harus dipenuhi dan pasangannya itulah yang harus memenuhi semua kebutuhannya tanpa perkecualian dan tidak boleh gagal sekalipun.

ET : Jadi justru ketida dia merasa tidak dinomorsatukan, kecurigaannya itu muncul seakan-akan itu saingannya begitu Pak Paul?

PG : Tepat sekali, standarnya dia sangat tinggi yaitu dia harus nomor satu, tidak boleh sedikit pun berkurang.

GS : Dan itu apakah bukan karena pengalaman masa lalunya?

PG : Sering kali ya Pak Gunawan, jadi orang yang nartisistik itu bisa muncul dari dua latar belakang yang berkebalikan. Yang pertama adalah latar belakang anak yang haus akan kasih sayang, dia sangat haus sehingga waktu dia besar dan dia mendapatkannya dia sangat rakus. Dia harus dipenuhi terus-menerus, meskipun sebelumnya tidak pernah yang ada memberikan kasih sayang itu kepadanya. Begitu dia mendapatkan, dia menuntut terus-menerus harus dipenuhi. Yang kedua justru kebalikannya, dia berasal dari latar belakang di mana dia dimanjakan, diutamakan, disanjung-sanjung, bahwa dia itu yang paling baik, paling hebat, paling cakep, paling pandai dan sebagainya, dia bintang keluarganya. Setelah dia menikah dia menuntut perlakuan yang sama dari pasangannya, "Kamu juga harus mengagumiku, mendewa-dewakanku, mementingkanku," karena itulah yang dilakukan orang lain (dalam rumahnya) berikan kepadanya, jadi dia meminta yang sama dari pasangannya.

GS : Orang yang mengalami masalah kepribadian seperti itu, bagaimana menolongnya?

PG : Wah.......... ini memang tidak mudah Pak Gunawan, kepribadian nartisistik ini menurut saya lebih sulit untuk berubah dibandingkan dengan yang posesif. Posesif, dengan batas-batas yang ktat, tegas, bisa mengalami perubahan apalagi kalau dia terus menerima cinta kasih yang cukup dari pasangannya lama-lama dia bisa melepaskan genggamannya.

Kalau nartisistik memang agak susah, jadi apa yang harus kita lakukan, kita mesti menolak untuk terus memberikan perhatian penuh seperti itu kepada dia. Dan sekali lagi ini saya tekankan harus dilakukan jauh sebelum mereka menikah. Kalau dilakukannya setelah menikah ya susah, jadi mesti dilakukan waktu awal-awal relasi. Jadi kalau kita mencium pasangan kita itu nartisistik, memang kita harus berhati-hati, tapi kalau kita lihat masih ada hal-hal yang baik padanya, kita masih mau teruskan; dari awal kita memang harus berkata tidak. Artinya, sejak semula biasakan untuk memberikan perhatian kepada orang lain juga, dia boleh marah atau apa, kita katakan tidak, hidup saya tidak hanya berkisar di seputar kamu, ada orang lain yang harus saya perhatikan juga. Ada mama saya, ada papa saya, ada adik saya, ada orang lain juga yang memerlukan perhatian saya. Dengan kata lain dia harus menjaga dirinya agar jangan sampai terperangkap dalam belenggu tuntutan yang tidak realistik ini. Sekali terperangkap dia akan susah keluar.

ET : Kira-kira apakah mungkin misalnya ada seseorang yang mempunyai kepribadian seperti ini kemudian mendapatkan pertolongan, jadi pasangannya sudah melakukan hal-hal yang tadi Pak Paul kataan.

Tetapi ketika punya anak, seperti muncul lagi hal itu benar-benar untuk anak menjadikan dia nomor satu. Mungkin dari istri atau suami tidak apa-apa, tapi begitu ada generasi berikutnya seperti muncul lagi.

PG : Sangat bisa Ibu Esther, jadi kebutuhan untuk menjadi yang terutama, untuk yang paling penting dalam kehidupan orang lain, itu menjadi dorongan yang tidak bisa dipuaskan, maka tadi saya atakan memang agak susah, bisa jadi seperti itu dia akhirnya tidka bisa berbuat apa-apa karena pasangannya tegas kepada dia.

Nanti waktu dia punya anak, dia akan tuntut itu dari anaknya. "Kamu harus perlakukan mama atau papa secara khusus, saya paling penting dalam hidupmu." Anak itu tidak boleh memberikan perhatian kepada orang lain, dia akan cemburu, dia akan marah jadi butuh sekali penggemar-penggemar untuk bisa terus-menerus bertepuk tangan untuk dia, seolah-olah dia yang paling hebat di dunia ini.
GS : Kalau tadi Pak Paul katakan, sebaiknya sebelum pernikahan. Kalau dua orang yang punya masalah itu bertemu, jadi dua-dua mempunyai masalah kepribadian ini; apakah mereka bisa membina rumah tangganya nanti?

PG : Anehnya mereka kalau bertemu biasanya tidak menjadi satu. Yang nartisistik mencarinya selalu yang berkepribadian lemah, bukan mencari yang sama-sama nartisistiknya, mementingkan dirinya tidak.

Dia akan mencari pelayan, saya gunakan kata pengibaratan yaitu pelayan; seseorang yang bersedia melayani. Dengan kata lain dia akan mencari seseorang yang mempunyai penghargaan diri yang kurang atau yang negatif, yang seolah-olah memerlukan seseorang untuk bisa memberikan makna kepadanya. Dengan kata lain ada kemungkinan besar yang posesif ini bertemunya ini dengan yang nartisistik, sebab yang posesif itu memang butuh, takut sendirian nah dia bertemu dengan nartisistik yang menguasai dia seperti itu, senang, berharga untuk waktu tertentu. Setelah waktu tertentu lewat, setelah menikah dua-duanya akan seperti kucing dan anjing, saling mencakar.
GS : Dalam hal kecemburuan ini Pak Paul, sebenarnya yang menjadi korban itu siapa? Orang yang cemburu atau orang yang dicemburui?

PG : Sebetulnya yang menjadi korban terbesar adalah orang yang dicemburui, kalau alasan cemburunya seperti yang telah kita bahas sekarang ini. Sebab nantinya ada cemburu yang berdasar dan nanti akan kita bahas. Kalau kecemburuan muncul dari masalah dalam kepribadian kita wah pasangan kita yang kita cemburui itu menderita sekali, dia korban yang paling besar.

GS : Jadi sebenarnya kalau pasangannya merasa dirugikan seperti itu dia bisa mengajak suami atau istrinya yang suka cemburu ini untuk minta tolong kepada konselor, Pak Paul?

PG : Kalau bisa Pak Gunawan, sebab saya harus akui kemungkinan dia mau kecil karena tadi Pak Gunawan sudah angkat isu itu yakni tidak mengakui. Dia akan selalu melimpahkan kesalahan pada pasngannya.

Kamu yang membuat saya cemburu, kamu yang tidak bertanggung jawab, kamu yang begini - begini; dia tidak mau menerima fakta bahwa dia cemburu. Dia selalu meyakinkan dirinya saya melakukan hal yang benar, saya menjaga pernikahan saya, saya harus melindungi pernikahan saya nah itu memang terdengarnya baik tapi dalam kenyataannya itu hanyalah dalih.
GS : Kalau itu dilakukan pada masa pacaran, bukankah sulit untuk kita mengetahuinya. Pada saat pacaran dia tidak mau mengakui bahwa dia sedang cemburu atau mempunyai masalah kepribadian ini.

PG : Saya kira sebetulnya kalau masa berpacarannya itu lewat setahun dan tinggal di kota yang sama dengan frekwensi pertemuan yang lumayan sering seharusnya karakter ini terlihat, tidak bisadisembunyikan.

Misalkan tentang posesif, dia akan bisa mencium bahwa pasangannya itu mau tahu saja dia ke mana, mau mengontrolnya dan kebergantungannya sangat tinggi, benar-benar sangat tergantung, harus dipenuhi, dijaga, perasaannya harus selalu diperhatikan jangan sampai menyinggung, melukainya, jadi terus begitu. Dengan yang nartisistik bisa juga kita deteksi yaitu orang ini sebetulnya tidak memikirkan kita, meskipun seolah-olah dia memikirkan kita, akhirnya kita sadar tidak bahwa ini semua kembali untuk dia, selalu untuk dia. Dia tidak pernah bisa berempati, memahami kebutuhan dan perasaan saya hanya memikirkan dia terus. Nah untuk orang-orang seperti ini akhirnya dia bisa simpulkan dia nartisistik, hidup di seputar dia.
GS : Masalahnya pada masa pacaran memang tadi Ibu Esther katakan ini sulit membedakan apakah ini cinta atau cemburu, Pak Paul?

PG : Betul, jadi sering-seringlah berbicara, bertukar pikiran dengan orang, dengan orangtua, dengan konselor, dengan pembimbing dan berdoalah sebab suara Tuhan itu akan membisiki kita; ini tidak tepat untukmu, ini relasi yang bermasalah, nah dengar jangan melawan. Kadang-kadang kita itu sudah mendengar suara Tuhan dalam hati tapi kita melawannya.

GS : Pak Paul, tadi katakan ada empat alasan, kita baru berbicara dua saja dan yang dua lainnya akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Tapi sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, mungkin ada ayat firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan.

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 10:9, "Siapa bersih kelakuannya aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya akan diketahui." Kita ini adalah objek yang Tuhan prhatikan, jadi kita harus berjalan lurus, bersih sebab itulah jalan yang aman.

Nah orang yang mulai berliku-liku itu nanti akan dilihat dan diketahui oleh Tuhan. Tapi bagi saya ayat ini bukan hanya untuk orang yang berpotensi melakukan pengkhianatan tapi saya kira ayat ini bisa juga kita terapkan untuk yang mempunyai masalah seperti ini. Dia harus lurus, dia harus bersih, artinya dia mengakui saya punya masalah jangan dia berliku-liku menyalahkan pasangannya, dia harus bersih berkata saya yang punya masalah dan dia akui di hadapan pasangannya, dan berkata tolong saya. Nah saya kira kalau orang berkata seperti itu, pasangannya akan lebih bersedia menolongnya dan memberikan bantuan yang dibutuhkan.

GS : Terima kasih Pak Paul dan Ibu Esther, ini perbincangan yang sangat menarik, karenanya kami mengharapkan para pendengar setia kita bisa bergabung lagi pada kesempatan yang akan datang untuk melanjutkan perbincangan ini dengan dua alasan yang lain tentang timbulnya kecemburuan di dalam diri seseorang. Sekali lagi terima kasih, dan saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.PDt.Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "CEMBURU I". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk menghubungi situs kami di www.telaga.org saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda.



38. Cemburu 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T169B (File MP3 T169B)


Abstrak:

Lanjutan dari T169A


Ringkasan:

Cemburu adalah campuran perasaan marah dan takut yang bersumber dari adanya ancaman akan kehilangan orang yang dikasihi. Kedua perasaan ini-marah dan takut----merupakan perasaan yang kuat. Tidak heran cemburu membuahkan reaksi yang keras pula. Tidak jarang cemburu berakhir dengan pertengkaran hebat yang merusakkan sendi pernikahan.

Penyebab Cemburu

  1. Masalah kepribadian yang posesif:

    • Harus mengontrol pasangan karena merasa tidak aman.
    • Dihantui oleh kecemasan bahwa pasangannya akan mengkhianatinya.
    • Penuh kecurigaan.
    • Mungkin mempunyai latar belakang pengkhianatan.

    Penanganan:

    • Harus menetapkan batas-sampai seberapa jauh ia dapat mengontrol pasangan.
    • Setiap tuduhan harus dibuktikan secara konkret.
    • Melimpahkan kasih.
    • Hidup transparan-menutupi satu perbuatan dapat berakibat fatal.

  2. Masalah kepribadian narsisistik:

    • Mengangggap diri sebagai pusat perhatian pasangan.
    • Menuntut pasangan selalu memberi perhatian tak terbagi kepadanya.
    • Penuh kecurigaan.
    • Mungkin mempunyai latar belakang haus akan kasih atau kebalikannya, sangat dimanja.

    Penanganan:

    • Menolak