DVD Konseling Kristen TELAGA

TELAGA -- Suami-Istri


Anda dapat mendengarkan dan menyimak transkrip artikel pembahasan seputar suami dan istri, komunikasi dalam pernikahan, konflik dalam rumah tangga, dan sejenisnya di kategori Suami Istri. Terdapat 103 topik pembahasan yang menarik untuk Anda simak. (Total Durasi: 52 Jam)<<Lihat Direktori>>

No.JudulFile MP3
1Konflik dalam Keluarga 1T002B
2Konflik dalam Keluarga 2T003A
3Konflik dalam Keluarga 3T003B
4Saling KetergantunganT009B
5Menghargai dan Menerima Pasangan KitaT012B
6Pria dalam Karier dan Wanita dalam RelasiT013A
7Komunikasi Suami dan IstriT016A
8Masalah-Masalah dan Penyelesaiannya dalam Hubungan Suami IstriT019A
9Pengampunan dalam Hubungan Suami IstriT019B
10Pribadi yang DisatukanT021B
11Kecemburuan dalam Hubungan Suami IstriT033A
12Menolong Pasanganku yang PencemburuT033B
13Menghidupkan Cinta Yang MatiT051B
14Bagaimana Membangun Keintiman Hubungan Suami IstriT053B
15Cinta yang Hilang setelah PernikahanT060A
16Menabur Penghargaan Menuai CintaT060B
17Mengatasi Konflik dalam Rumah TanggaT068A
18Hidup dengan Pasangan yang Tidak SeimanT068B
19Menjadi Sahabat Buat SuamiT074A
20Menjadi Sahabat Buat IstriT074B
21Pria dan RomansT112A
22Ketakutan dan CintaT112B
23Belajar untuk MengasihiT115A
24Belajar TundukT115B
25Tatkala Cinta LayuT116B
26Terlepas tapi Tidak TerputusT129A
27Membangun KeintimanT129B
28Mempertahankan RomansT140A
29Makna DitemaniT144A
30Kebutuhan yang Tak TerpenuhiT144B
31Mengapa Kurang SabarT146A
32Menyesal dan MengasihiT151A
33Makna Tunduk Istri Kepada SuamiT152A
34Makna Mengasihi Suami Kepada IstriT152B
35Kontak Setelah KonflikT159A
36Memenangkan PernikahanT159B
37Cemburu 1T169A
38Cemburu 2T169B
39Memulihkan KepercayaanT172A
40Terus MencintaiT172B
41Kemesraan Diusia SenjaT174B
42Pubertas 2 Mitos atau Realitas 1T178A
43Pubertas 2 Mitos atau Realitas 2T178B
44Berlayar dengan ArahT179A
45Pernikahan dan KeselamatanT179B
46Problem Seksual dalam PernikahanT188B
47Gaya Komunikasi Pria dan WanitaT200B
48Siapa yang Harus Berubah 1T201A
49Siapa yang Harus Berubah 2T201B
50Tangga Ke Rumah 1T222A
51Tangga Ke Rumah 2T222B
52Tangga Ke Rumah 3T223A
53Mencabut Duri PernikahanT223B
54Membangun Dari Reruntuhan 1T228A
55Membangun Dari Reruntuhan 2T228B
56Mengembalikan Keintiman Yang Hilang 1T229A
57Mengembalikan Keintiman Yang Hilang 2T229B
58Dua Sumber KonflikT233A
59Konflik Dan PertumbuhannyaT233B
60Memaafkan Dalam PernikahanT236A
61Mengasihi Dan MenuntutT236B
62Mengajar Pasangan Bersikap JujurT239B
63Tidak Lagi MenyatuT244A
64Jangan Mengabaikan KasihT244B
65Kudus dan SetiaT246A
66Pergaulan Sesudah PernikahanT246B
67Suami yang tidak Mau BekerjaT254A
68Istri tidak Mau Mengurus RumahT254B
69Sayang tapi BenciT255A
70Relasi yang tidak SeimbangT255B
71Meminta Maaf Saja Tidak Cukup (I)T257A
72Meminta Maaf Saja Tidak Cukup (II)T257B
73Kedewasaan dalan Pernikahan IT264A
74Kedewasaan dalan Pernikahan IIT264B
75Sayang dan Berharga IT270A
76Sayang dan Berharga IIT270B
77Konflik Akibat AnakT287B
78Hilangnya RespekT298A
79Hormat pada IstriT299A
80Kerikil dalam Mengasihi IstriT299B
81Mengapa Istri Dominan?T309A
82Ketundukan SejatiT309B
83Suami KasarT310A
84Mengasihi Secara KonsistenT310B
85Hidup dengan Pasangan IT313A
86Hidup dengan Pasangan IIT313B
87Dampak Keberhasilan Suami pada IstriT318A
88Dampak Keberhasilan Istri pada SuamiT318B
89Suami yang Memimpin dan Istri yang Menolong IT320A
90Suami yang Memimpin dan Istri yang Menolong IIT320B
91Menolong adalah Mengingatkan IT321A
92Menolong adalah Mengingatkan IIT321B
93Tidak Mau MengalahT322B
94Waktu Bersama PasanganT327A
95Mengisi Waktu BersamaT327B
96Kendala Dalam Menghabiskan Waktu BersamaT328A
97Menebus Waktu yang TerhilangT328B
98Kesalahan dalam Membangun Relasi IT345A
99Kesalahan dalam Membangun Relasi IIT345B
100Bisakah Mengubah Pasangan?T371A
101Sikap Hidup ReaktifT371B
102Suami Yang Berkenan Di Hati Allah 1T382A
103Suami Yang Berkenan Di Hati Allah 2T382B


1. Konflik dalam Keluarga 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T002B (File MP3 T002B)


Abstrak:

Dua pribadi yang berbeda yaitu antara suami dan istri, masing-masing memiliki cara hidup yang berbeda. Yang satu sama lain untuk bisa beradaptasi. Hal sekecil apapun bisa menjadi konflik kalau masing-masing tidak bisa menyesuaikan diri.


Ringkasan:

Faktor penyebab timbulnya pertengkaran di dalam keluarga yaitu:
Faktor terumum adalah kesulitan beradaptasi dengan perbedaan. Kita memiliki cara hidup atau gaya hidup yang tertentu. Nah sewaktu hidup serumah dengan pasangan kita, berarti kita harus siap untuk beradaptasi. Adaptasi artinya adalah berani untuk memerika diri, introspeksi kelemahan masing-masing dan akhirnya berani untuk mengubah diri. Kecenderungan banyak pasangan nikah yang tidak mencari bantuan terhadap masalahnya sampai masalah itu berkembang begitu seriusnya. Bahkan dikatakan dalam bukunya Marcia Lasswell yaitu No Fault Marriage mengatakan bahwa rata-rata pasangan nikah datang mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami persoalan pernikahan kira-kira sekitar 7 tahun. Problem itu ditumpuk selama 7 tahun dan akhirnya tak bisa dikendalikan lagi dan barulah dibawa ke orang lain untuk mendapatkan bantuan.

Penyebab kenapa orang tidak segera mencari bantuan terhadap masalahnya adalah:

  1. Budaya, budaya kita adalah budaya yang dipenuhi dengan rasa malu. Kita cenderung menutup diri, kita mempunyai anggapan tidak baik membicarakan masalah rumah tangga dengan orang lain.

  2. Adanya anggapan, bahwa menceritakan kejelekan pasangan kita itu berarti memberitakan kejelekan kita sendiri.

  3. Kita berpikir kalau kita ini menceritakan masalah pasangan kita, kita ini sedang berkhianat.

  4. Dan alasan yang paling mendasar, kita adalah orang yang tidak begitu menyukai perubahan.

Ada beberapa pandangan bagaimana cara penyelesaian masalah yaitu:

  1. Menguasai / mendominasi? mendominasi atau menguasai secara paksa akan membuat suasana pernikahan "tenteram". Dan tenteram ini bersifat semu atau sementara. (cara ini tidak dianjurkan).

  2. Menghindar? cara ini tidak sehat sebab kita hanya menunda membicarakan dan menyelesaikan masalah dan kita mengalihkan perhatian kepada hal-hal lain.

  3. Menurut/mengikuti kemauan pasangan kita? ini pun tidak sehat sebab waktu kita menuruti atau mengikuti kemauan pasangan kita itu berarti kita harus menguasai atau mengekang keinginan kita.

  4. Kompromi? kita dan pasangan kita masing-masing mengurangi tindakan kita atau tuntutan kita supaya akhirnya dapat mencapai titik temu. Cara inilah yang boleh kita gunakan dalam situasi konflik yang sudah rumit sekali.

  5. Bekerja sama, yaitu kedua belah pihak berusaha memenuhi kebutuhan masing-masing/memikirkan solusinya.

Untuk bisa bekerja sama ada yang perlu dilakukan yaitu:

  1. Harus mengakui adanya konflik

  2. Mengkomunikasikan dan mengakui kebutuhan atau keinginan kita masing-masing, apa yang diinginkan itu yang perlu disampaikan.

  3. Memikirkan alternatif penyelesaian dan dampak terhadap masing-masing pihak.

  4. Mulai memilih alternatif yang memenuhi keinginan masing-masing pihak.

  5. Melaksanakannya.

Mazmur 18:21,22,23 berkata: "Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku, Ia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku tetap mengikuti jalan Tuhan dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku. Sebab segala hukum-Nya kuperhatikan, dan ketetapan-Nya tidaklah kujauhkan dari padaku." Kita bisa selalu menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, namun intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan. Sewaktu kita mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan memberikan yang kita minta.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Konflik Pasutri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, biasanya kalau masa bulan madu pasangan baru itu sudah habis, setelah itu mulai ada timbulnya konflik-konflik di dalam kehidupan rumah tangga mereka yang masih baru ini. Nah, itu sebenarnya bagaimana Pak Paul, yang tadinya begitu harmonis, indah, kemudian muncul konflik-konflik itu?

PG : Sering saya katakan kepada pasangan yang sedang menjalani konseling pranikah, bahwa perbedaan mereka pada masa berpacaran merupakan daya tarik, tapi pada masa pernikahan merupakan duri.Jadi justru perbedaan yang membuat mereka tertarik kepada pasangannya itulah yang nanti akan mengganggu mereka.

Misalkan pada masa berpacaran dia melihat wanita ini begitu penurut, begitu baik, begitu sabar, nah akhirnya setelah menikah dia mulai menyadari bahwa istrinya tidak berinisiatif dan segala hal bertanya kepadanya. Nah, awal-awalnya waktu masih pacaran ya dia tidak berkeberatan ditanya oleh pacarnya sekarang setelah menikah kalau istrinya bertanya dia marah. Dan dia akan berkata: "Mengapa Kamu tidak bisa berpikir sendiri dan memutuskan sendiri?" Nah, dengan kata lain sebetulnya si istri itu tidak mengembangkan sebuah perilaku yang baru, sebuah karakter atau sifat yang baru, sama sekali tidak tetap yang sama. Tapi memang satu karakter selalu mempunyai dua sisi seperti koin selalu ada dua sisinya. Sisi yang memang kita sebut menyenangkan dan ada sisi yang mengganggu. Nah, setelah menikah sisi yang mengganggu itulah yang kita harus lihat. Pada akhirnya yang harus kita lakukan adalah beradaptasi dengan perbedaan itu.
WL : Tapi Pak Paul, ada pasangan tertentu yang agak kaku, hanya menuntut pasangannya yang berubah, kalau dirinya sendiri dia selalu bilang saya dari dulu memang begini, kamu itu yang bermasalah.

PG : Saya kira secara alamiah kita memang seperti itu Ibu Wulan, jadi kita cenderung berharap pasangan kita yang berubah. Kita beranggapan bahwa kita seperti ini bukan saja kita dari dulu seerti ini, tetapi sebetulnya tidak apa-apa kita seperti ini.

Dan langsung yang kita sodorkan sebagai bukti adalah kita akan berkata kepada pasangan kita: "Saya sudah bekerja bertahun-tahun dan teman-teman saya tidak ada yang pernah mengeluhkan tentang saya, saya di rumah bisa bergaul dan diterima dengan baik oleh orang tua saya maupun oleh adik, kakak saya, tidak ada yang mengeluh tentang saya. Setelah menikah kok baru engkau yang mengeluh." Dengan kata lain si orang ini akan berkata: "Ya, semua data menunjukkan saya di pihak yang benar, jadi pasti di pihak yang salah sekarang adalah engkau bukannya saya lagi," nah itu yang membuat orang akhirnya sukar untuk berubah.
GS : Pak Paul, kalau dua-duanya saling mempertahankan bahwa dirinyalah yang benar, bukankah konflik itu pasti terjadi dan sulit diatasi. Nah, dalam kondisi seperti ini apakah pasutri, pasangan suami-istri yang baru itu perlu mendapat bimbingan dari pihak yang ketiga?

PG : Sangat perlu Pak Gunawan, sebaiknya tatkala masalah mulai muncul dua-dua memang harus waspada. Ayo mencoba introspeksi, ayo mencoba melihat diri di mana kekurangan saya, di mana saya kuang bisa memahaminya, jadi mencoba introspeksi melihat diri sendiri.

Nah tapi kalau sudah dilakukaan, masih belum bisa bertemu juga di tengah, masih terus berbenturan, kemungkinan memang kita memerlukan pertolongan dari seorang konselor yang bisa menolong kita beradaptasi dengan lebih baik. Nah, masalahnya adalah kebanyakan pasangan tidak mencari pertolongan tepat waktu. Nah, ada seorang penulis yang bernama Marcia Lasswell yang menulis sebuah buku berjudul No Fault Marriage memang mengatakan hal ini bahwa rata-rata pasangan nikah datang mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami persoalan pernikahan ± 7 tahun. Jadi bukannya tahun pertama, bukannya tahun kedua tapi setelah 7 tahun bergulat dengan masalah, tidak bisa menghadapinya lagi baru datang kepada seorang konselor. Nah, 7 tahun bukan waktu yang singkat, berarti masalah telah terakumulasi dan menyebar ke semua lini kehidupan. Itu sebabnya waktu mereka datang mereka kebingungan juga, mau membereskan yang mana sebab terlalu banyak problem.
GS : Menurut pengalaman Pak Paul, mengapa atau apa yang menghalang-halangi mereka tidak mau datang kepada seorang konselor pada awal-awalnya?

PG : Ada beberapa penyebabnya Pak Gunawan, yang pertama adalah budaya. Budaya kita ini budaya malu, jadi kita cenderung menutup diri karena kita beranggapan tidak baik membicarakan masalah rmah tangga dengan orang lain apalagi dengan orang yang tidak kita kenal.

Akhirnya budaya malu itu menghalangi kita mencari pertolongan. Atau yang kedua, adanya anggapan bahwa menceritakan kejelekan pasangan berarti menceritakan kejelekan kita sendiri. Jadi akhirnya ada orang yang beranggapan buat apa cerita kejelekan pasangan kita, sebab kita pun juga akan menceritakan kejelekan kita. Ada lagi penyebab yang lain yaitu kalau kita menceritakan masalah pasangan kita wah....kita ini orang jahat sekali, kita sedang berkhianat kita kok menjelekkan pasangan kita, jadi akhirnya kita menahan diri tidak mau mencari pertolongan. Atau yang terakhir yang paling mendasar kenapa kita tidak mencari pertolongan, karena kita tidak terlalu menyukai perubahan, karena pada ujung-ujungnya memang kita ini juga harus berubah. Nah, ada orang yang datang mencari pertolongan beranggapan bahwa yang bermasalah adalah pasangannya jadi yang harus berubah adalah pasangannya saya tidak perlu berubah. Begitu menyadari konselornya meminta dia juga harus berubah, dia tidak mau.
WL : Pak Paul, ada pengaruh atau tidak konsep tentang kesatuan dalam pernikahan, karena waktu sudah menikah itu sama-sama satu jadi kalau kita melukai pasangan dengan menceritakan itu seperti kita sedang menusuk diri kita sendiri, belahan jiwa kita.

PG : Ada sekali Bu Wulan, makanya tadi saya menggunakan istilah menjelekkan itu memang saya kira cerminan anggapan di masyarakat, kalau menceritakan masalah rumah tangga itu menceritakan kejlekan jadi menusuk diri kita juga dan sebagainya.

Tapi sesungguhnya tidak ada niat kita untuk menjelek-jelekkan pasangan kita, tapi memang kita mau membicarakan problem yang muncul di antara kita, janganlah kita menyebut itu jelek atau menjelekkan. Kita mau menyelesaikan problem ini bukan mau menjelekkan pasangan kita, jadi tidak apa-apa mencari pertolongan.
GS : Apa indikasinya bahwa konflik dalam pasutri itu sudah sedemikian rawan atau berbahaya bagi kelangsungan pasangan itu, Pak Paul?

PG : Biasanya tanda yang bisa kita tangkap adalah mereka tidak lagi bisa berkomunikasi dengan baik. Jadi pada awalnya tatkala ada konflik barulah mereka bertengkar, tidak bisa bertemu di tenah, tapi lama-kelamaan meskipun tidak dalam suasana hati yang buruk, dalam suasana hati yang relatif baik pun mereka tidak bisa berkomunikasi, mereka akan bertengkar.

Jadi mohon dimengerti bahwa dalam keluarga yang sudah bermasalah, komunikasi tidak lagi berjalan dan sudah langsung berhenti dan menjadi ajang pertengkaran.
WL : Pak Paul, bagaimana dengan pasangan yang memang dari awalnya tidak mempunyai komunikasi yang cukup sehat kalau ditinjau dari segi psikologis, misalnya orang yang dijodohkan bukankah mereka tidak mengenal sekali. Komunikasi sebatas saya antar kamu, saya jemput kamu, hal yang umum sekali, memang dari awalnya komunikasinya hanya sebatas itu, Pak Paul?

PG : Kalau memang itulah kondisi mereka dan mereka bisa menyelesaikan problem mereka mungkin tidak apa-apa juga. Jadi ada rumah tangga-rumah tangga yang seperti itu, komunikasinya relatif dagkal tapi dua-duanya juga memang tidak mempunyai kebutuhan yang lain dan tidak menganggap itu sesuatu yang salah.

Jadi mungkin saja mereka bisa menjalani pernikahan mereka seperti itu. Nah, sudah tentu sebaiknya atau idealnya mereka bisa menggali lebih dalam lagi sehingga bisa membagi hidup mereka dengan lebih penuh bukan hanya yang ada di permukaan.
GS : Konflik yang mengancam itu Pak Paul, yang kadang-kadang dari luar tidak kelihatan jadi yang mengetahui hanya mereka saja tapi tiba-tiba kita mendengar bahwa mereka berpisah dan sebagainya. Tadi Pak Paul katakan biasanya mereka datangnya terlambat sampai 7 tahun dan sebagainya, tapi sementara itu mereka masih tetap bisa mempunyai anak itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Karena biasanya mereka mencoba mengisolasi problem mereka bahwa mereka mempunyai problem dalam hal-hal ini, nah mereka mencoba mengisolasinya. Namun di samping itu mereka sebenarnya jug berusaha menyelesaikan, cara-cara penyelesaian itulah yang sering kali kurang tepat dan malah menciptakan problem yang baru.

Mungkin ada baiknya saya uraikan Pak Gunawan, yang pertama biasanya kalau mulai muncul problem ada orang yang menggunakan metode mendominasi. Pokoknya dia menguasai secara paksa sehingga sedikit banyak rumah tangga mereka tenteram kembali, sebab yang satu ini misalkan si suami menggunakan kekerasan, menggunakan teriakan, menggunakan ancaman, tidak memberikan kesempatan kepada pasangannya berbicara akhirnya memang tidak lagi terjadi pertengkaran. Karena apa, yang satu takut untuk memulai apa-apa karena takut nanti kena pukulannya atau takut teriakannyalah. Memang ada ketenteraman tapi ini ketenteraman yang bersifat semu biasanya tidak berlangsung untuk waktu yang lama dan mungkin sekali suatu hari kelak bisa meledak lagi.
GS : Ya memang itu bisa meledak misalnya setelah anak-anak dewasa dan si suami pensiun akhirnya timbul masalah.

PG : Betul, sewaktu si suami yang tadinya kuat dan dominan sekarang menempati posisi yang lebih lemah.

WL : Pak Paul, bisa tolong dijelaskan tentang prinsip yang pertama yaitu mendominasi dengan yang diajarkan oleh Alkitab tentang submissive istri. Karena saya pikir banyak orang juga salah mengartikan prinsip "submissive" yang ada di dalam Alkitab.

PG : Alkitab memberikan sebuah tugas kepada suami untuk memimpin keluarga, maka itulah dia disebut kepala. Tapi bukan dalam konotasi atau pengertian dia itu menjajah si istri, sehingga si isri kehilangan dirinya sama sekali, bukan.

Pernikahan adalah sebuah peleburan dua pribadi bukan sebuah akuisisi, akuisisi yang satu mengambil alih yang satunya, tidak, pernikahan adalah peleburan bukannya akusisi jadi dua-dua memang harus meleburkan diri baik si pria maupun si wanita. Nah Tuhan meminta pria menjadi kepala dalam pengertian tugasnyalah memimpin, tapi Tuhan juga memberikan spesifikasi yang sangat jelas engkau harus mengasihi istrimu seperti Tuhan Yesus mengasihi jemaat, mengorbankan diriNya dan sebagainya. Jadi adanya suatu kerelaan untuk berkorban, mau menjelaskan, mau mendengarkan si istri, mau memberikan yang paling baik untuk si istri, nah dengan kasih seperti itulah suami memimpin. Kalau dominasi seperti yang saya singgung memang unsur kasihnya itu sangat tipis karena unsur yang lebih penting adalah aku tidak mau diganggu gugat oleh engkau dan engkau harus tunduk 100% kepada kata-kataku.
GS : Pak Paul, ada pasutri yang mencoba menghindari pertengkaran atau konflik itu dengan memisahkan diri, artinya tidak mau sering ketemu, nanti kalau ketemu bertengkar lagi atau geger lagi, nah itu bagaimanan Pak Paul?

PG : Dalam kasus-kasus tertentu menghindar boleh dilakukan Pak Gunawan, bukannya tidak boleh sama sekali. Karena memang adakalanya kalau dibicarakan sekarang pasti bertengkar jadi ada baikny kita menunda.

Yang tidak boleh dilakukan adalah terus-menerus menunda dan untuk segala hal kita menunda, itu yang tidak boleh. Tapi kalau sekali-sekali kita menunda itu namanya berhikmat, kita memilih waktu dan tempat yang lebih cocok untuk berbicara dengan pasangan kita. Tapi kalau terus-menerus menunda, terus-menerus tidak mau membicarakan masalah, saya kira itu tidak sehat. Karena apa, karena yang kita simpan itu tidak menghilang dan masih ada tertinggal di dalam diri kita. Suatu hari kelak dalam kasus yang lain, yang tersisa itu bisa bocor atau keluarnya bisa menjadi suatu ledakan yang besar.
WL : Pak Paul, kalau salah satu pasangan mempunyai pola menyelesaikan masalah itu dengan menarik diri, bagaimana dengan ajaran Pak Paul tentang menghindar ini?

PG : Saya kira adakalanya kita melakukan hal itu, kita menarik diri, mengalah, mengatakan: "Ya sudah tidak apa-apa kita ikuti saja kemauan kamu." Saya kira adakalanya ini yang memang diperluan, kalau dua-dua selalu berkata: "Tidak, saya yang benar kamu harus ikuti," repot juga.

Jadi sekali-sekali seseorang harus berkata: "Ya, saya ikuti."
GS : Berarti itu suatu kompromi, Pak Paul?

PG : Ya, jadi itu sebuah kompromi. Jadi adakalanya kalau sesuatu itu terlalu runcing, seseorang harus berkompromi, harus mengalah, harus menuruti. Namun kalau ini menjadi pola yang terjadi trus-menerus itupun tidak sehat, karena yang terus-menerus mengikuti kehendak pasangannya (biasanya ini dalam kasus yang satu terlalu dominan), nah akhirnya yang terlalu mengikuti akan kehilangan dirinya dan suatu hari dia mungkin terbangun dan berkata: "Di manakah diri saya yang sebenarnya, selama ini saya hanya hidup untuk pasangan saya, semua tidak ada lagi untuk saya, nah di manakah saya, untuk apakah saya hidup, nah itu bisa jadi disadarinya di kemudian hari, dia terbangun dan dia memberontak tidak mau lagi mengikuti kehendak pasangannya.

GS : Dan itu membuat pasanganya terkejut luar biasa, Pak Paul?

PG : Sangat terkejut, kenapa kok dulu ikut sekarang tidak dan justru berontak.

GS : Berarti pola itu sebenarnya kurang tepat.

PG : Ya, kalau terus-menerus seperti itu tidak tepat Pak Gunawan, karena sekali lagi tidak benar yang satu kehilangan diri, yang satu menambah diri. Tuhan menghendaki peleburan dari dua pribdi itu.

WL : Saya pernah menemukan beberapa pasangan yang salah satu pasangan itu pada dasarnya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pasangannya. Dia lebih pintar, dia mau maju, mau baca dan sebagainya jadi dia merasa lebih benar, lebih tahu banyak jadi kalau ada masalah dia bisa menjelaskan begini, begini. Jadi dia selalu menuntut pasangannya untuk beradaptasi dengan dia.

PG : Dalam kasus seperti ini saya harus berkata, kalau yang satu memang secara umum standar hidupnya lebih baik, pengetahuannya lebih baik, kesabarannya lebih baik, kedewasaan rohaninya lebi baik, ya memang dia lebih baik.

Dalam pengertian itu bisa jadi banyak hal yang dia lakukan benar dan pasangannyalah yang memang seharusnya lebih menyesuaikan diri dengan yang benar ini. Jadi saya ini tidak setuju dengan pandangan yang berkata bahwa kalau orang bertengkar pasti dua-duanya salah, tidak. Saya menjumpai banyak pasangan nikah dan cukup sering menemukan yang salah itu satu bukan dua-dua. Yang satunya mungkin memberikan reaksi yang juga keliru itu juga ada, tapi cukup banyak kasus yang saya jumpai jelas-jelas yang bersalah, yang membuat masalah, yang tidak dewasa, yang tidak bertanggung jawab, itu adalah satu individu bukan dua-dua. Jadi yang satunya memang lebih benar, memang lebih baik, lebih dewasa, lebih matang dan sebagainya. Tapi yang satunya tidak mau ikut, tidak mau mendengarkan. Maka kalau kita tahu memang kita lebih dewasa kita menggunakan prinsip rohani juga. Tuhan pernah meminta kepada kita yang lebih rohani, sewaktu kita menegur orang yang salah tegurlah dengan lemah lembut. Tapi Tuhan juga mengatakan boleh, tidak apa-apa menegur tapi dengan lemah lembut, ini saya kira yang harus dilakukan oleh pihak yang menganggap dirinya lebih baik daripada pasangannya.
GS : Kalau begitu daripada menempuh cara-cara seperti tadi, ada sutu cara untuk masing-masing bekerja bersama-sama atau berusaha bersama-sama untuk meningkatkan mutu pernikahan mereka.

PG : Nah idealnya memang seperti itu Pak Gunawan, jadi pola-pola yang tadi telah kita bicarakan adalah pola-pola yang tidak apa-apa kita gunakan sekali-sekali tapi tidak boleh terus-menerus,karena terus-menerus tidak sehat lagi.

Yang harus lebih kita utamakan adalah pola bekerja sama, berkooperasi yaitu kita berusaha memenuhi kebutuhan pasangan kita. Misalnya ada beberapa langkah, yang pertama adalah kita berdua harus mengakui adanya masalah, tidak bisa kalau hanya satu pihak saja yang berkata kita punya masalah sementara yang satunya tidak mengakui adanya masalah dan berkata ya ini masalahmu. Nah kadang-kadang saya menemukan kasus-kasus seperti ini, orang datang atau si suami datang yang satu tidak mau masuk hanya satu yang disuruh masuk ketemu saya. Saya tanya ini masalah apa? "Masalah suami-istri." Saya akan panggil dua-duanya. Sebab itu yang sering kali terjadi, yang satu berkata ini bukan problem saya, engkau yang merasakan semua ini jadi sekarang engkaulah yang berubah. O....tidak, jadi dua-dua harus mengakui kita mempunyai masalah. Dan yang kedua adalah dua-dua harus belajar mengkomunikasikan kebutuhan atau keinginannya, apa yang diharapkan. Dan kalau sudah tahu apa yang diharapkan, mintalah. Ini yang sering kali saya temui Pak Gunawan dan Ibu Wulan, orang kalau setelah menikah susah meminta hanya bisanya menyuruh dan menuntut, nah kalau bisa kita pertahankan meminta. Wah.....itu pernikahan kita akan banyak tertolong, tapi sering kali dari meminta akhirnya berubah menjadi menyuruh atau menuntut. Atau yang lainnya lagi kita mulai memikirkan alternatif, kalau yang ini belum bisa kita lakukan sekarang, kita belum bisa ketemu, OK-lah kita cari alternatif yang lain, ayo kita pikirkan cara yang lain. Kadang-kadang dua-dua mengutarakan pendapat dan dua-dua tidak bisa ketemu, akhirnya dua-dua harus berkata OK kita stop dulu, caraku, caramu coba kita hentikan, kita bekukan, ayo kita pikirkan cara yang lain, ada atau tidak cara yang lain yang bukannya aku katakan dan bukannya kamu katakan? Coba pikirkan cara yang lain. Nah, sering kali pasangan memang akan terjebak dalam tadi saya sudah bilang begini yang artinya juga berkata begitu, tadi saya bilang begini juga. Nah tidak ketemu, mungkin dua-dua harus berkata OK, bekukan pandanganmu, bekukakan pandanganku, cari solusi yang ketiga. Nah sering kali waktu kita mencari solusi yang ketiga kita mulai bekerja sama dan mulai menanggalkan diri, kita tidak lagi mempertahankan pandangan kita sekarang. Nah, di situlah biasanya kita mulai bisa menemukan kerja sama itu.
GS : Kalau kita amati sejauh ini yang tadi Pak Paul sampaikan, itu karena masing-masing mempertahankan gaya hidup lamanya sebelum mereka menikah.

PG : Sering kali begitu dan kita memang tidak mungkin memotong diri kita yang dulu dan sekarang ini, tidak bisa. Jadi yang dulu akan menjadi bagian dari kehidupan kita yang sekarang. Kalau mmang kita tahu cara kita itu tidak benar, kita memang harus konsekuen dan berkata cara saya tidak benar, ini saya sadari.

Nah, kalau ada satu orang saja berani berkata begitu itu sudah sangat menolong pernikahan itu. Sering kali kita berkata: "Memang tidak benar, tapi ini adalah saya," tidak, kalau tahu tidak benar konsekuen harus buang, harus kita tinggalkan.
WL : Pak Paul, tadi waktu menjelaskan pentingnya mengkomunikasikan kebutuhan, saya terpikir begini permasalahannya banyak di antara orang-orang pada umumnya tidak mengerti apa sebenarnya kebutuhannya, pokoknya dilihat pasangannya tiap hari menyebalkan, yang dilakukan salah terus. Bagaimana bisa mengkomunikasikan kebutuhan kalau dia saja tidak mengerti kebutuhannya itu sebenarnya apa.

PG : Kita bisa menolong diri kita sendiri yaitu kita bertanya kalau dia berubah apa itu yang saya rasakan, kalau sekarang dia itu tidak lagi melakukan hal itu, saya akan merasakan apa. Nah, ebanyakan perasaan itulah yang sebetulnya merupakan kebutuhannya.

Misalkan kalau dia lagi marah tapi tidak berteriak-teriak lagi kepada saya, saya akan senang. Jadi apa yang saya butuhkan, dia tidak berteriak-teriak dan itu akan membuat saya senang. Artinya apa, saya butuh ketenangan, saya tidak bisa berkonflik dengan teriakan, saya butuh ketenangan, nah itu yang dia katakan. "Suamiku atau istriku aku tidak berkeberatan berkonflik, tapi aku membutuhkan ketenangan itu. Bisa atau tidak engkau kalau lagi berkonflik denganku tidak berteriak, sebab teriakanmu itu membuatku takut atau membuatku tambah tegang sehingga akhirnya tidak bisa memikirkan masalah dengan baik.
GS : Sehubungan dengan konflik pasutri ini, apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan Mazmur 18:21-23, "Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku, Ia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku tetap mengikuti jalan Tuha dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku.

Sebab segala hukumNya kuperhatikan, dan ketetapanNya tidaklah kujauhkan daripadaku." Kita bisa menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, tapi intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan, apakah cara yang kita gunakan adalah cara yang diperkenankan oleh Tuhan, intinya adalah ini. Jadi sewaktu kita mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan memberikan yang kita minta itu, jadi dalam bertengkar, dalam konflik selalu bertanya apakah itu cara Tuhan. Apa yang Tuhan minta dariku sekarang, Tuhan meminta kita untuk meminta maaf dulu; minta maaf, Tuhan meminta kita berbicara dulu; ya berbicara jangan keraskan hati. Nanti bagaimana, nanti Tuhan bekerja, Tuhan akan bereskan yang selebihnya, jadi yang penting menjalani dulu yang Tuhan minta, selebihnya Tuhan akan atur.

GS : Terima kasih Pak Paul dan Bu Wulan untuk perbicnangan ini, para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Konflik Pasutri." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan perkenankan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



2. Konflik dalam Keluarga 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T003A (File MP3 T003A)


Abstrak:

Pertengkaran itu terjadi karena adanya perbedaan gaya hidup. Gaya hidup sendiri tidak selalu berarti benar atau salah, baik atau buruk. Sewaktu hidup dalam satu keluarga pasangan ini harus bisa menyesuaikan diri.


Ringkasan:

Konflik sering kali muncul karena perbedaan gaya hidup. Gaya hidup adalah kebiasaan-kebiasaan tentang bagaimanakah kita mengatur hidup kita, menjalankan hidup kita, memenuhi keperluan-keperluan kita, cara-cara yang kita gunakan untuk mendapatkan yang kita inginkan.

Penyebab kita tidak mudah untuk mengubah gaya hidup yaitu:

  1. Karena gaya hidup sudah melekat pada diri kita selama bertahun-tahun.

  2. Karena kita sebetulnya mempunyai keangkuhan, keangkuhan kitalah yang melarang kita untuk menyesuaikan diri dengan pasangan kita.

Sementara kita tidak bersedia untuk dituduh memiliki gaya hidup yang salah atau yang tidak sehat, nah kedua hal inilah yang sering kali menjadi kendala terbesar bagi kita untuk berubah menyesuaikan diri dengan pasangan kita.

Hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam penyelesaian konflik:

  1. Dialog, artinya tidak mendiamkan pasangan kita. Tanpa adanya dialog mustahil bagi kita untuk dapat menyelesaikan konflik. Dengan adanya dialog setidak-tidaknya kemungkinan terjadinya penyelesaian akan lebih besar dibandingkan dengan kalau tidak ada dialog sama sekali.

    Beberapa kondisi yang memperbolehkan untuk kita berdiam diri yaitu:

    1. Tatkala memang kita harus mendengarkan apa yang pasangan kita sedang katakan. Amsal 18:13, "Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar itulah kebodohan dan kecelaannya, betapa tepatnya hikmat sorgawi itu." Berdiam diri memang diperlukan supaya kita dapat mendengar dengan baik namun tidak berarti terus berdiam diri tanpa memberi jawaban apapun.

    2. Diperlukan pada saat pasangan kita sangat emosional. Hal ini dilakukan agar kita bisa mendengarkan pasangan kita dengan penuh perhatian. Kita juga mesti menyadari bahwa jawaban kita hanyalah akan mengobarkan api kemarahannya. Amsal 15:1,"Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman." Nah berdiam diri di sini sifatnya hanyalah sementara, semata-mata hanya untuk meredakan kegeramannya. Setelah emosi mereka menurun sangatlah penting bagi kita mendekati mereka dan dengan lemah lembut mengajak mereka berbicara serta menanggapi mereka.

    3. Mutlak diperlukan apabila kita telah berbuat kesalahan dan telah melukai hati pasangan kita. Setelah menceritakan dan mengakui kesalahan kita serta meminta maaf selayaknyalah kita berdiam diri dan tidak memberi dalih atau membela diri. Membela diri tidak akan membantu pasangan kita memaafkan kita, karena tindakan ini memberi kesan bahwa kita belum sungguh-sungguh menyesali perbuatan kita.

  2. Hal kedua yang dapat dilakukan adalah tidak seenaknya menuangkan perasaan kita kepada pasangan kita. Artinya kita boleh mengeluarkan unek-unek dan menciptakan dialog bukan berarti menimbuni pasangan kita dengan omelan, kemarahan. Ibaratnya kita mengambil tong sampah lalu menuangkan isi tong sampah di atas kepala pasangan kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mencegah Konflik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kali ini kita berbicara tentang mencegah konflik khususnya konflik yang terjadi di antara pasangan suami-istri. Karena bagaimanapun baiknya kita berhubungan tetapi ternyata konflik itu terjadi juga, namun saya berpikir kita itu lebih baik mencegahnya daripada menyelesaikan suatu konflik. Tetapi sering kali yang terjadi seperti pada beberapa waktu yang lalu kita perbincangkan bahwa konflik itu sering muncul karena perbedaan gaya hidup. Nah sebenarnya gaya hidup itu apa Pak Paul?

PG : Gaya hidup sebenarnya adalah kebiasaan-kebiasaan, bagaimanakah kita ini mengatur hidup kita, menjalankan hidup kita, memenuhi keperluan-keperluan kita, cara-cara yang kita gunakan untukmendapatkan yang kita inginkan, semua itu masuk dalam kategori gaya hidup.

Jadi betul sekali yang tadi Pak Gunawan katakan bahwa sering kali pertengkaran muncul karena perbedaan gaya hidup. Sudah tentu ada sebagian pertengkaran yang timbul karena masalah lebih serius yaitu masalah karakter. Memang ada pribadi-pribadi yang memang bermasalah, senang menjajah, senang menyakiti orang lain dan sebagainya atau tidak mau bertanggung jawab. Nah pada saat ini kita tidak membicarakan kasus-kasus yang lebih serius seperti itu, kita lebih membicarakan mengenai kasus-kasus perselisihan yang acap kali muncul dalam rumah tangga kita. Dan yang ingin kita angkat adalah penyebab utamanya atau umumnya yaitu perbedaan gaya hidup.
GS : Itu sebenarnya bisa disesuaikan antara suami dan istri yang mempunyai latar belakang berbeda, Pak Paul?

PG : Sesungguhnya bisa Pak Gunawan tapi memang memerlukan waktu dan memerlukan usaha yang lumayan keras dari kedua belah pihak. Memang tidak begitu mudah untuk bisa mengubah gaya hidup, seba yang pertama adalah kita ini sudah terbiasa dengan gaya hidup kita.

Misalkan kita terbiasa dengan cara makan kita, misalkan kita makan sedikit-sedikit namun sering 5, 6 kali sehari. Kenapa, sebab di rumah kita dulu itulah cara makannya, tidak ada yang namanya jam makan bersama, siapa ingin makan ya silakan mengambil sendiri dan misalkan kapasitas makan kita tidak terlalu besar sehingga kita makannya mencicil sedikit demi sedikit namun bisa 5, 6 kali per-hari. Misalkan kita menikah dengan seseorang yang tumbuh besar di keluarga yang teratur, makan tiga kali sehari dan makannya bergizi. Nah apa yang terjadi kemudian setelah menikah, tidak bisa tidak akan muncul percekcokkan karena dua gaya hidup yang berbeda ini. Nah kalau kita sudah terbiasa dengan gaya hidup kita itu, untuk mengubahnya ya susah, perut kita tidak bisa kita perintahkan dengan mudah makan 3 kali sehari jangan 5, 6 kali sehari. Tidak bisa kita begitu mudah mengubah gaya hidup karena sudah melekat menjadi bagian dari diri kita dan kita menganggap itulah kita, identitas diri kita. Ini membawa kita kepada penyebab kedua kenapa susah mengubah gaya hidup ini. Yang kedua adalah karena kita ini sebetulnya mempunyai keangkuhan, keangkuhan kitalah yang melarang kita untuk menyesuaikan diri dengan pasangan kita. Sebab apa, sebab pada waktu terjadi pertengkaran sudah tentu ujung-ujungnya adalah kita menuduh bahwa kebiasaan hidup pasangan kitalah yang salah dan kita yang benar. Dan dia di pihaknya juga melakukan yang sama, dia akan berkata makan 3 kali sehari sebab di mana-mana orang makan tiga kali sehari, nah yang satu berkata apa salahnya saya makan 5, 6 kali sehari. Nah biasanya dalam pertengkaran itu muncul pelabelan bahwa ini perilaku yang salah, ini kebiasaan yang tidak sehat dan sebagainya. Akhirnya karena kita itu tidak mau disalahkan, ya kita tidak mau berubah. Sebab kalau kita berubah mengikuti pasangan kita itu sama dengan mengakui bahwa kita yang salah. Nah kita sebagai manusia yang telah tercemar oleh dosa memang tidak mudah mengakui kesalahan kita walaupun memang itu sebetulnya bukan kesalahan. Jadi karena sudah diidentikkan dengan kesalahan ya akhirnya kita menolak untuk mengubah.
WL : Ya, gaya hidup memang bukan sesuatu yang absolut, jadi wajar kalau kita sulit mengatakan dia yang benar dan kita yang salah, padahal tidak ada gaya hidup yang absolut yang mana yang harus dimiliki.

PG : Dan pemahaman inilah Bu Wulan, yang mesti dipegang oleh setiap orang yang menikah bahwa banyak kali masalah dalam pernikahan bukanlah masalah benar atau salah tapi memang masalah perbedan.

Saya ingat lagi seorang penulis buku Marcia Lasswell yang menulis buku No Fault Marriage itulah penekanannya dia bahwa sebetulnya ini bukan masalah salah atau benar, tapi akibat terlalu berlarut-larut masalah ini tidak bisa diselesaikan yang kita munculkan akhirnya adalah ini salah dan kamu harus berubah. Sudah tentu ada yang salah misalkan orang yang berjudi, menghabiskan uang itu adalah kesalahan, tapi yang lebih umum memang bukan masalah salah atau benar tapi masalah perbedaan saja.
GS : Kalau begitu bagaimana Pak Paul, supaya masalah pasangan itu bisa lebih bisa mengurangi konflik yang mungkin saja bisa timbul karena perbedaan gaya hidup ini, Pak Paul?

PG : Satu kata kunci Pak Gunawan, berdialog, terus-meneruslah berdialog. Nah dialog ini seyogyanya tidak baru dilaksanakan setelah menikah, sering kali yang terjadi seperti ini. Kita terlanjr mencintai dan karena terlanjur mencintai kita takut kehilangan pasangan kita, karena kita takut kehilangan pasangan kita, kita mencoba meredam perbedaan karena kita menyadari perbedaan kalau diangkat berpotensi menimbulkan perselisihan atau konflik.

Kalau konflik terjadi lama-kelamaan pasangan kita itu bisa-bisa putus dengan kita dan kita tidak mau itu terjadi. Nah kecenderungan orang yang berpacaran adalah menghalau konflik, meredam perbedaan, menutup mata, seolah-olah semua baik-baik saja, mencoba meyakinkan diri bahwa nanti akan berubah dengan sendirinya, nanti kami akan bisa menyesuaikan diri dan sebagainya, itu adalah harapan-harapan kosong. Ternyata setelah menikah tidak ada perbedaan maka kata kuncinya adalah dialog. Dari awal berpacaran, sewaktu kita melihat adanya perbedaan kita mesti memunculkannya, kita mesti mengatakan kepada pasangan kita ini yang sebetulnya saya inginkan, ini sebetulnya yang saya tidak inginkan. Nah itu semua harus dikomunikasikan, kenapa engkau begini, kenapa engkau melakukan hal-hal seperti itu, nah hal-hal itu terus harus dibicarakan mulai dari masa berpacaran. Dan pada masa berpacaranlah kita akhirnya melakukan uji coba, kita gunakan cara ini, cara itu, nah apakah bisa selesai. Kalau terus-menerus malah menumpuk problem, setidak-tidaknya kita diyakinkan bahwa ini bukan pasangan yang tepat karena setelah 2, 3 tahun problem bukan berkurang malah makin bertambah. Jadi kata kuncinya adalah dialog. Bagi kita yang sudah menikah kalau kita menjumpai perbedaan-perbedaan ini jangan tutup mata, jangan tutup mulut, munculkan, cobalah komunikasikan apa yang kita harapkan dari pasangan kita.
WL : Pak Paul, ada beberapa pasangan yang mencoba seperti yang tadi Pak Paul usulkan yaitu berdialog untuk mengatasi masalah perbedaan dan sebagainya, tapi yang terjadi justru salah satu pasangan itu sangat dominan, mendominasi pembicaraan. Akhirnya dialog pun juga sepertinya sia-sia, Pak Paul?

PG : Ini memang kembali kepada masalah karakter Ibu Wulan, Norman Wright seorang pakar pernikahan di Amerika Serikat menekankan bahwa untuk pernikahan bisa sukses, diperlukan karakter-karaktr tertentu.

Salah satu yang sering kali saya tekankan dan yang saya peroleh dari sini adalah fleksibel, orang yang hendak menikah harus fleksibel, kalau karakternya kaku menganggap diri selalu benar tidak akan tercipta pernikahan, yang terjadi adalah penjajahan bukan lagi pernikahan. Maka dalam kasus seperti itu yang satu dominan dan tidak bersedia untuk memeriksa dirinya, ya memang pasangannya akan sangat menderita. Sebab pilihannya hanya dua yaitu dia yang dominan menyadari bahwa dia dominan sehingga akhirnya berubah atau yang satunya itu terus-menerus mengalah.
GS : Dialog yang terjadi dari contoh yang baru saja Pak Paul sampaikan kalau yang satu mau mendangarkan, kalau dua-duanya suka berbicara itu juga akan menjadi konflik, Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, maka saya mengatakan dialog bukan berarti tidak ada tempat untuk berdiam diri. Sebab berdiam diri juga merupakan bagian yang penting dalam relasi nikah, namun saya inin memunculkan beberapa kondisi di mana berdiam diri itu diperbolehkan dan bahkan wajib.

Yang pertama saya ingin menekankan, berdiam diri itu tidak sama dengan mendiamkan pasangan. Mendiamkan pasangan sudah tentu akan membuat pasangan sangat marah. Nah, berdiam diri memang diperlukan tatkala kita harus mendengarkan apa yang pasangan kita katakan. Jangan sampai yang satu bicara, yang satu ikut bicara. Nah kadang-kadang ini yang terjadi, si suami berbicara, si istri ikut bicara; si istri belum selesai bicara, suami sudah potong dan ikut-ikut bicara, tidak bisa. Kita harus terapkan apa yang kita pelajari sejak taman-taman kanak-kanak. Bukankah sejak taman kanak-kanak guru berkata kalau bicara satu-satu, juga begitulah dalam pernikahan kalau bicara satu-satu, yang satu bicara yang satu mendengarkan, nah ini prinsip kanak-kanak yang sering kali setelah dewasa kita lupakan. Saya kutib dari Amsal 18:13, "Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya." Betapa tepatnya hikmat sorgawi itu, betul sekali karena orang yang memberi jawab sebelum mendengar adalah orang yang bodoh, orang yang tidak memiliki hikmat.
GS : Pak Paul, mendengar itu sendiri suatu seni yang harus kita pelajari karena seperti tadi yang Pak Paul katakan bahwa kita mempunyai kecenderungan kalau orang lain berbicara kita berpikir saya harus menjawab apa, saya harus ngomong apa lagi dan itu spontan terjadi di dalam diri kita.

PG : Maka adakalanya setelah kita masing-masing mengeluarkan argumen kita, ada baiknya memang diberikan waktu jedah sebentar, karena di dalam adu argumen suhu semakin meningkat sehingga padaakhirnya kita makin repot membela diri, membenarkan diri.

Kita tidak lagi mendengarkan, tidak lagi mau memahami apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh pasangan kita. Jedah berguna sekali, karena pertama jedah menurunkan suhu, kita tidak lagi terlibat seperti bola pimpong yang dipukul kiri, pukul kanan, ini sudah mulai berhenti berarti suhu mulai menurun. Kedua, jedah memberikan kesempatan untuk berpikir, sering kali ini yang terjadi pada diri saya dan istri saya. Pada waktu kami berargumen, saya dan istri mencoba membela diri akhirnya kami diam. Waktu kami diam saya termenung, dia merenung juga, karena suhu sudah mulai turun kemauan membela diri juga mulai melemah, nah mulailah saya memikirkan dari sisi istri saya. Sebetulnya kok begini ya, kenapa dia bertindak begini, apa sebetulnya yang dia rasakan, nah sering kali sewaktu saya merenung saya akhirnya lebih bisa mengerti dia, lebih bisa memahami dia. Namun jujur saya juga harus akui kadang-kadang saya tidak mau merenung sebab akhirnya saya sadari satu hal, setiap kali saya merenung dia jadi betul dan saya menjadi salah.
GS : Jadi membuat kita tidak melakukan itu, karena tidak menguntungkan kita.

PG : Karena tidak menguntungkan, ujung-ujungnya kita terpaksa mengatakan dia ada benarnya juga, karena dia ada benarnya berarti saya harus mengatakan itu kepada dia, "Kamu ada benarnya juga,berarti saya tidak sepenuhnya benar," nah ego saya juga harus saya korbankan.

Nah hampir setiap kali kami adu argumen, ini yang saya harus kalahkan dan celakanya harus saya akui setelah hampir 20 tahun menikah hal seperti ini tidak bertambah mudah, sama susahnya seperti tahun pertama. Sebab apapun yang berkaitan dengan ego kita ternyata susah untuk kita tundukkan. Jadi itu yang perlu kita lakukan yaitu jedah untuk kita merenungkan apa yang terjadi.
GS : Apa ada kondisi yang lain untuk kapan kita harus berdiam diri, Pak Paul?

PG : Sangat diperlukan kita berdiam diri tatkala pasangan kita sedang emosional, kalau pasangan kita itu memang tipe pemarah, bersuhu tinggi, temperamennya memang meledak-ledak, kalau marah angsung meledak, sebaiknya jangan tanggapi dengan kemarahan pula.

Kalau mau menjawab, jawab dengan suara yang lembut. Kalau tahu kita menjawab bisa meledak juga lebih baik jangan menjawab, diam. Diam tapi berarti tidak mendiamkan, tidak melengos, tidak membuang muka. Diam berarti berada di tempat yang sama namun tidak berkata apa-apa, sebab kalau kita meninggalkan tempat itu, nah itu ditafsir kita menghina dia, tidak menghargai dia, meremehkan dia nah itu makin memancing kemarahannya. Jadi adakalanya kalau pasangan kita terlalu emosional, yang bijaksana adalah kita berdiam diri saja. Ada satu ayat firman Tuhan yang indah sekali di Amsal 15:1, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman..." maka sebisanya kita diam, setelah dia lebih tenang kita jawab dan jawabnya dengan lemah lembut. Jangan terlalu cepat bicara, menjawabnya dengan ritme yang lebih perlahan sedangkan volume suara dikecilkan, nah hal seperti ini menolong. Menolong dia juga untuk memperlambat ritmenya, yang tadinya dia berbicara dengan sangat cepat dalam kemarahan, volume suara begitu tinggi, nah kita menjawab volume suara kita kecilkan, ritmenya kita perlambat nah itu bisa membawa dia atau mempengaruhi dia untuk mengutarakan perasaannya seperti kita.
WL : Mungkin memerlukan latihan itu Pak, tarik nafas beberapa kali untuk menahan terus minum air dingin.

PG : Itu saya kira cara-cara praktis yang boleh dilakukan kalau itu memang membantu kita, sebab air dingin meneduhkan. Dan nafas yang diambil dengan perlahan dan dikeluarkan dengan perlahan,itu mengatur kembali denyut jantung kita.

Sebab waktu kita marah, emosional tinggi, maka denyut jantung kita juga berdebar dengan lebih cepat, waktu kita berdenyut dengan lebih perlahan berarti kita lebih bisa mengatur emosi dan perkataan kita.
GS : Tapi kadang-kadang di pihak yang marah itu sebenarnya memerlukan tanggapan dari pasangan yang kita marahi itu, sehingga kadang-kadang kita berkata: "Kamu jangan diam saja, ngomong gitu!" Jadi seolah-olah menantang.

PG : Betul, sebaiknya memang kita menjawab tapi jawaban kita lebih pendek-pendek dan bukan jawaban-jawaban yang memberikan penjelasan. Sebab biasanya kalau kita memberikan penjelasan, penjelsan itu juga akan dipatahkan oleh dia.

Jadi yang tadi Pak Gunawan katakan betul, orang yang sedang beremosi tinggi memang ingin melampiaskan kemarahannya berarti dia membutuhkan wadahnya, kalau pasangannya tidak menanggapi dengan kemarahan memang ada rasa frustrasi juga, seolah-olah tidak dianggap. Tapi sesungguhnya kalau ditanggapi dengan kemarahan makin meledak, jadi lebih baik memang tetap ditanggapi dengan kata-kata yang lemah lembut atau bahkan hanya berdiam, dan kita hanya melihat dia atau menundukkan kepala. Nah setelah dia agak tenang baru kita jawab, "Bisa kita jawab sekarang?" misalkan kita bertanya seperti itu. Atau kita berkata: "Saya akan menjawab, tapi saya tidak mau engkau memarahi saya seperti ini, kalau engkau begini bagaimana saya bisa menjawab. Jadi kalau mau engkau mendengarkan jawaban saya ayo duduk sama-sama dan saya mohon tolong tenang dulu." Jadi dengan cara-cara seperti itu pasangan kita lama-kelamaan akhirnya terbiasa untuk mengutarakan kemarahannya dengan lebih baik.
GS : Kondisi yang lain apa, Pak Paul?

PG : Kadang kala kita memang mengakui, kita sadar bahwa kita salah. Nah setelah kita mengakui kesalahan kita sebaiknya diam, jangan terus ngomong. Kalau orang sudah salah tapi terus ngomong tu menghapus bersih permntaan maaf tadi.

Kalau kita sudah mengaku salah ya sudah diam, dalam kasus atau dalam kondisi ini saya kira berdiam diri justru baik, berdiam diri justru menunjukkan bahwa kita ini sungguh-sungguh menyesali perbuatan kita. Kalau kita terus bicara-bicara, permintaan maaf kita yang telah kita ucapkan meskipun itu tulus akhirnya terhapus bersih dan tidak tidak terlihat lagi oleh pasangan kita.
WL : Bukannya perlu Pak Paul, setelah meminta maaf kita menjelaskan kepada pasangan alasan tadi sampai kita bebuat seperti itu supaya dia mengerti situasinya dengan lebih baik, Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu perlu, jadi kalau misalkan persoalannya belum jelas, kita harus jelaskan. Kalau memang persoalannya sudah sangat jelas, sudah dibicarakan tadi dan sekarang tinggal pengauannya ya kita berikan pengakuan itu kemudian kita berdiam diri.

Kita hanya diam dan berikan kesempatan kepada pasangan kita mungkin untuk mengeluarkan emosinya dan juga marah dan kita hanya mendengarkannya. Sebab kita salah dan yang salah sebaiknya berdiam diri.
GS : Tapi penjelasan itu ditanggapi sebagai pembelaan diri, Pak Paul?

PG : Betul, maka memberi penjelasan juga harus hati-hati, sebab kadang-kadang dalam memberikan penjelasan kita menyalahkan pasangan kita lagi. Nah tadi kataknya sudah minta maaf, tadi katany mengaku salah kok sekarang dalam memberikan penjelasan menyalahkan lagi.

"Gara-gara kamu, kalau kamu tidak begini saya 'kan tidak......", akhirnya pasangannya berpikir apa artinya minta maaf, itu namanya basa-basi.
GS : Mungkin penjelasan itu bisa diberikan beberapa waktu lagi kalau sudah betul-betul reda, Pak Paul?

PG : Kadang-kadang itu yang bisa kita lakukan, jadi tidak langsung kita berikan penjelasan kita sampaikan saja secukupnya kemudian kita katakan: "Besok saya akan ceritakan semuanya, sekarangkita terlalu bermosi sebaiknya kita menenangkan diri dulu, besok saya jelaskan, saya janji saya akan menceritakan semuanya."

Hal seperti itu juga menolong.
GS : Pak Paul di dalam mengatasi konflik ini, apakah ada point yang lain Pak Paul?

PG : Salah satunya adalah ini Pak Gunawan yang sangat sederhana, konflik itu sebetulnya seperti daun kering yang akhirnya mudah terbakar. Jadi daun atau tanah tidak boleh kering, karena kala kering akan mudah sekali tersulut dan terbakar, akhirnya satu hutan bisa terbakar habis.

Maka untuk menjaga, mencegah jangan sampai konflik itu mudah muncul di keluarga kita relasi kita tidak boleh kering, itu kuncinya. Relasi kita itu harus kita basahi sehingga relasi kita itu menjadi relasi yang sulit untuk konflik, kalaupun konflik sulit untuk konflik berlarut-larut karena ikatan cintanya kuat. Maka yang diperlukan adalah pemupukan, pemeliharaan relasi yang baik ini, sering-seringlah pergi, sering-seringlah menyentuh, sering-seringlah mengutarakan hal-hal yang positif, sering-seringlah melakukan yang diminta oleh pasangan kita. Relasi harus dijaga seperti ini, kalau tidak dijaga seperti ini lama-kelamaan akan kering kerontang, dan relasi yang kering-kerontang adalah lahan yang mudah sekali terlalap oleh api konflik.
GS : Pak Paul, ada orang yang suka mengeluarkan isi hatinya dengan seenaknya sendiri dan dia senang melakukan itu?

PG : Itu juga ada Pak Gunawan, dan itu adalah sikap yang makin membakar api konflik. Dalam dialog penting untuk kita sadari tidak berarti boleh bicara semaunya, berdialog penting tapi tidak erarti mengumbar-umbar perasaan kita, kemarahan kita, pikiran kita seenaknya, selalu ada tempatnya untuk kita memagari diri.

Menyampaikan boleh tapi dengan bijak, memikirkan perasaan kita kalau dia mendengar perkataan kita ini, jadi jangan sampai seenaknya sehingga dialog kita akhirnya hancur.
GS : Dia cuma berkata, "Masa begitu saja dipikir, saya ngomong memang begini, apa adanya." Itu gaya hidup juga, Pak Paul?

PG : Betul, ada orang yang memang seperti itu.

GS : Jadi terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mencegah Konflik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan perkenankan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



3. Konflik dalam Keluarga 3


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T003B (File MP3 T003B)


Abstrak:

Lanjutan dari T03A yang diantaranya terdapat 10 hal untuk mengatasi konflik.


Ringkasan:

10 nasihat atau prinsip yang diberikan Norman Wright untuk penyelesaian masalah antara suami dan istri, yaitu:

  1. Jangan mendiamkan pasangan kita, kita senantiasa berupaya untuk menciptakan dialog dalam pertengkaran dengan pasangan kita. (Sudah disinggung pada judul sebelumnya).

  2. Jangan menyimpan perasaan atau menimbun perasaan terus-menerus. Jangan menimbun perasaan bukan berarti bahwa setiap hal harus dibicarakan dengan serius. Dr James Dobson seorang psikolog kristen dari Amerika Serikat mengatakan: "Ada waktunya kita tidak mempersalahkan setiap masalah kecil yang timbul," dengan kata lain memang mustahil meminta pasangan kita untuk duduk membicarakan setiap hal yang menimbulkan ketidaksenangan kita.

  3. Jangan menumpahkan semua perasaan pada pasangan kita. Misalnya mencaci maki, memarahi pasangan kita sampai kita merasa lega itu tidak benar. Prinsip ke-2 dan ke-3 seolah-olah bertentangan, akan tetapi keduanya sangat perlu dilakukan dengan penuh keseimbangan, perlu jujur, perlu terbuka jadi tidak bisa kita itu ekstrim yang satu dan ekstrim yang satunya lagi.

  4. Seranglah masalahnya bukan orangnya. Berselisih yang sehat berarti membatasi diri atau membatasi pertengkaran hanya pada masalahnya saja dan menahan diri tidak menyerang pribadi seseorang.

  5. Jangan lari dari pokok pembicaraan.

  6. Jangan mengatakan "Engkau tak pernah...." Perkataan ini bukanlah perkataan yang baik untuk dilontarkan karena jarang sekali ada orang yang tidak pernah misalnya mengasihi, mempedulikan, menyenangkan hati pasangan. Perkataan ini acapkali hanya membuat pasangan kita patah semangat, tidak bermotivasi untuk berubah, sebab dalam benak mereka berpikir, "percuma saya sudah berusaha mengubah diri saya, tapi engkau tak menghargainya."

  7. Jangan menggunakan kritikan sebagai lelucon. Alasannya sederhana sekali yakni kritikan yang berjubah lelucon, memberi kesan penghinaan.

  8. Siapkan suasana, tempat, waktu untuk menyatakan ketidaksepakatan Anda.

  9. Sediakan jalan pemecahan bagi setiap kritikan yang Anda lontarkan. Maksudnya waktu kita ini memberikan pandangan atau tidak setuju dengan sesuatu, kita juga perlu memikirkan jalan keluarnya.

  10. Kalau salah akuilah, apabila benar diamlah. Kecenderungan kita kalau salah ya susah ngaku salah, kalau benar kita berkoar-koar meyakinkan pasangan kita bahwa kita benar. Nah hal ini tidak efektif, karena akan membuat pasangan kita merasa seperti diinajk-injak, dia sudah salah terus kita tekan dengan mengatakan bahwa dia itu memang salah.

Efesus 4:29-32, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia. Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan. Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pedoman Menyelesaikan Konflik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada beberapa waktu ini kita memang membicarakan tentang konflik, sesuatu yang memang terjadi di dalam kehidupan keluarga kita sehari-hari. Kita sudah mencoba menghindari, tetapi tetap terjadi juga. Sekarang masalahnya kalau sampai konflik itu terjadi mau tidak mau kita harus menyelesaikannya. Apakah ada pedoman atau pegangan untuk pasangan suami-istri ini tentang bagaimana kalau konflik itu timbul di dalam keluarga?

PG : Ada Pak Gunawan, ini ada masukan dari seorang pakar keluarga Norman Wright, dia memberikan 10 nasihat bagaimana bisa menyelesaikan konflik. Sepuluh nasihat ini sebetulnya lebih merupakan auran main, jadi yang ingin ditekankan oleh beliau adalah pernikahan itu akan selalu bisa dilanda oleh konflik, kita tidak pernah kehabisan materi konflik.

Nah yang penting adalah aturan main penyelesaian konflik itu. Dengan kita semua menaati aturan main itu kemungkinan lebih besar untuk kita menyelesaikan konflik, kalau kita berdua tidak lagi menaati aturan mainnya akan lebih sulit menyelesaikan konflik. Yang pertama adalah janganlah kita ini mendiamkan pasangan kita, sebab orang yang didiamkan itu biasanya merasa dihina, tidak dianggap, seolah-olah keberadaannya tidak penting sama sekali, maka sebisanya kita memberikan jawaban. Kita berdialog kecuali dalam kondisi pasangan kita itu emosinya terlalu tinggi, kita harus meredakannya ya kita tidak menjawab terlalu cepat. Tapi pada umumnya waktu kita berkonflik kita berbicara. Ini masalah saya dulu, dulu saya kalau berkonflik dengan istri saya, saya cenderung diam. Sebetulnya saya tidak mendiamkan dia, tapi memang saya tidak terbiasa untuk mengungkapkan perasaan, jadi kalau lagi marah atau lagi apa saya biasanya malahan menutup diri saya. Nah, akhirnya saya temukan istri saya makin marah karena waktu dia mencoba berbicara dengan saya, saya memang benar-benar diam. Saya tidak mau melihat dia, saya diamkan dia, nah itu makin memancing amarahnya, yang saya coba lakukan setelah itu adalah berdialog, coba paksa diri saya untuk berdialog, tidak mudah bagi saya karena secara alamiah saya lebih mudah berdiam diri. Akhirnya yang saya temukan, waktu saya berdialog saya mencoba mengekspresikan pikiran saya lebih mudah selesai karena lebih mudah ketemu, dia berbicara saya menjelaskan akhirnya ketemu. Kalau satu diam satu bicara ya susah sekali ketemu.
WL : Pak Paul, ada orang-orang tertentu mungkin banyak mengalami seperti yang Pak Paul alami, tidak bermaksud mendiamkan tetapi memang tidak terlatih dari keluarga asal. Jadi cenderung menunggu dari pasangannya duluan yang mengajak ngomong, walaupun sudah duluan kadang kita masih sulit, itu ada hubungannya dengan assertif itu ya Pak?

PG : Ya, ada Ibu Wulan, jadi memang ada orang-orang yang lebih terlatih untuk mengutarakan pikiran dan perasaannya, tapi ada orang yang tidak. Seperti saya memang kalau merasakan sesuatu yang kat saya cenderung mengontrolnya, meredamnya.

Nah setelah tenang, setelah turun baru mulut saya bisa jalan lagi sebab tidak bisa langsung menggabungkan antara mulut dan perasaan menjadi satu susah. Akhirnya saya mencoba kalau dulu saya coba keluarkan perasaan dan mulut saya sekaligus cenderungnya justru agak keras jadi seperti meledak. Saya tidak suka dengan kemarahan atau meledak jadi akhirnya saya redam, waktu saya redam mulut dan perasaan saya tidak lagi berjalan bersama-sama. Sekali lagi ini bukan sesuatu yang natural buat saya dan mungkin buat kebanyakan dari orang yang mendengarkan acara kita. Sebab orang yang didiamkan itu makin marah akhirnya tidak ketemua jalan keluar. Dan dalam kediaman bagaimanakah kita menemukan solusinya.
GS : Tapi memang waktu pasangan kita marah, kita memang cenderung tertarik atau terpengaruh, jadi suara kita itu keras lagi jadi menimbulkan konflik baru.

PG : Setuju sekali Pak Gunawan, jadi suara keras cenderung mengobarkan api amarah kita pula, emosi kita turut terbangunkan. Maka sekali lagi kata-kata lembut seperti yang firman Tuhan minta kit lakukan itu yang mesti selalu kita usahakan, meskipun kita marah coba kita kontrol volume suara kita, itu yang kita lakukan pertama-tama.

GS : Ada pasangan yang menyuruh pasangannya yang sedang marah itu untuk diam, sudah tidak ngomong dulu, Pak Paul.

PG : Betul, nah kadang-kadang kalau itu yang diminta ada baiknya memang diam dulu, sebab kalau tidak diam akhirnya si orang ini berkata: "Kamu malah membangkang perintahku, permintaanku, jadi masalah keributannya belum selesai, sekarang dia ribut masalah yang kedua, kamu tidak tunduk kepadaku.

Jadi masalah makin membesar. Yang kedua, Norman Wright meminta juga agar kita ini jangan menyimpan perasaan atau menimbun perasaan terus-menerus. Menimbun perasaan itu bukannya berarti selalu salah, adakalanya kita membiarkan hal-hal kecil terjadi. Saya ingat nasihat dari seorang Psikolog Kristen yang bernama Dr. James Dobson yang berkata dalam pernikahan kadang kala kita harus membiarkan menutup mata hal-hal kecil terjadi. Kalau setiap hal kita permasalahkan benar-benar rumah itu tidak pernah sepi, maka kadang-kadang kita biarkan. Tapi saya kira nasihat Norman Wright juga betul, jangan menimbun perasaan, menimbun perasaan. Sebab menimbun perasaan itu suatu hari kelak meledak, waktu meledak, meledaknya itu tidak terkira-kira jadi akhirnya merembet ke mana-mana, bawa-bawa mertualah dan sebagainya. Akhirnya ributnya itu tidak lagi bisa difokuskan pada materinya karena tiba-tiba masalahnya sudah begitu banyak.
GS : Tapi mungkin atau tidak Pak Paul orang itu memendam perasaannya terhadap pasangannya atau istrinya kemudian dilampiaskan ke tempat lain, Pak Paul?

PG : Bisa, yang paling sering adalah kepada anak. Kalau kita mempunyai anak kemudian waktu kita marah kepada pasangan kita dan anak kita melakukan sedikit kesalahan itu benar-benar menjadi peraihan kemarahan.

Kita tumpahkan marah kita itu kepada anak kita dan anak kita itu akan bingung, terkaget-kaget kami salah apa kok dimarahi seperti ini, akhirnya kita sadari sebetulnya bukan marah kepada anak tapi terhadap pasangan kita sendiri.
WL : Ada yang sebaliknya Pak Paul, sedikit-sedikit masalah kecil dipermasalahkan. Banyak suami yang mengeluh istri-istrinya cerewet begitu, sampai semua harus sempurna, gelas tidak boleh ada air berceceran di atas meja, harus bersih, harus ini, harus itu, semua harus sempurna.

PG : Betul, ada orang yang memang seperti itu sehingga segala hal menjadi suatu keributan. Nah ini bertalian dengan nasihat Norman Wright yang ketiga yaitu jangan menumpahkan semua perasaan kepda pasangan kita.

Ada orang yang seperti itu, kalau marah semua dikeluarkan, uneg-unegnya dan tidak ada batas, tidak ada pagar, tidak ada rem, benar-benar itu seperti rudal yang dilontarkan tidak bisa ditarik kembali, nah itu tidak benar. Ada orang yang berprinsip: "O.....saya orangnya hanya marah pada saat itu saja, setelahnya saya tidak marah lagi." Nah saya juga mau mengoreksi sikap seperti ini, karena ada orang yang beranggapan marah seperti itu tidak apa-apa sebab waktu kita marah kita semaunya marah, kita seperti menuangkan tong sampah ke kepala pasangan kita. Terus kita berkata nah sekarang tong sampah saya sudah bersih, ya betul tong sampah kita sudah bersih tapi kepala siapa yang sekarang penuh sampah, nah bukankah pasangan kita. Nah, orang tidak bisa terus-menerus menjadi tong sampah yang baru, maka meskipun kita boleh mengutarakan perasaan kita, kemarahan kita tapi jangan semua hal jadi bahan keributan dan kalau mau ribut benar-benar seenaknya, seenak perutnya. Otak mau mengatakan apa, dikatakan; suara mau sekeras apa, dikeraskan; tangan mau sejauh apa menampar atau memukul, dibiarkan; nah itu memang benar-benar sudah sangat keliru.
WL : Pak Paul, ada orang tertentu yang kalau belum dikeluarkan semua itu belum lega, apakah maksudnya sisa-sisa dari yang kita keluarkan ini kita keluarkan ke teman dekat atau bagaimana solusinya Pak Paul?

PG : Memang ada anggapan kalau marah, emosi harus dikeluarkan, itu ada betulnya. Ada orang yang seperti itu, tapi teori itu tidak sepenuhnya benar karena apa, karena semua kemarahan melewati prses waktu akan pudar dengan sendirinya.

Kita adalah manusia yang tidak didisain oleh Tuhan untuk marah 24 jam sehari dan 365 hari, tidak, kita hanya mampu marah maksimal 1 jam. Setelah 1 jam itu secara alamiah memang tubuh kita, emosi kita, saraf kita itu akan mengalami penurunan, pengendoran dengan sendirinya. Tanpa berbuat apa-apa amarah kita akan turun sekali lagi kita memang tidak didisain dengan kapasitas untuk marah secara intens 24 jam, tidak, kita marah 1 jam maksimal 2 jam setelah itu secara alamiah akan menurun. Jadi apa yang bisa kita lakukan sewaktu kita marah sekali, nomor satu memang kalau kita tahu tabiat kita, kita ini pemarah dan susah sekali mengontrol amarah maka jangan keluarkan perkataan apapun. Karena apa, kalau tabiat kita pemarah dan suka meledak, satu perkataan keluar dari mulut kita itu seperti senapan mesin tidak bisa berhenti sampai benar-benar puas. Maka kalau kita tahu diri kita seperti itu kalau bisa tenangkan diri, kita berkata kepada pasangan kita: "Waktu saya terlalu marah, kamu diam, saya juga akan diam, sebab kalau kamu bicara saya terpancing bicara kita akan ribut besar dan saya takut nanti saya bisa melukai kamu, jadi kamu diam, kalau kamu melihat saya sudah begitu marah kamu diam. Nah saya akan keluar rumah sebentar, saya akan keluar ruangan sebentar, saya akan ke pekarangan sebentar, saya akan masuk kamar sebentar, kamu jangan kejar saya. (Ada pasangan itu yang benar-benar seperti kucing mau melawan tikus, tikus itu mau dikejar-kejar, jangan.) Kalau pasangan berkata jangan ikuti saya, kamu diam di situ saya masuk ke kamar, beri saya waktu 1 jam atau 2 jam, saya sudah tenang baru saya bisa berbicara kembali." Nah, jadi itu yang bisa dilakukan, jadi sebetulnya tidak harus kita melampiaskan kemarahan baru reda. Tidak, kemarahan dengan sendirinya akan reda asal tidak dirangsang lagi untuk marah.
GS : Tapi ada pasangan dalam hal ini suami yang marah dengan hebat sekali sehingga istrinya menangis, tapi kemarahan itu belum semuanya tersampaikan karena melihat istrinya menangis, langsung luruh, marahnya langsung selesai.

PG : Ada baiknya dalam kasus seperti itu biarkan luluh, setelah luluh, setelah dua-duanya tenang, dua-dua harus berdialog. Pada kesempatan yang lampau kita membicarakan mengenai cara menghindar konflik salah satu kuncinya adalah dialog.

Ini yang diperlukan tetap harus berdialog meskipun amarah sudah reda. Nah kadang-kadang yang terjadi seperti ini Pak Gunawan, orang-orang yang seperti ini karena istrinya menangis, dia diam, sudah tidak dibicarakan lagi seperti seolah-olah problemnya lenyap dengan sendirinya. O.....tidak, kalau memang masih ada problem sebaiknya dibicarakan di kesempatan yang berbeda.
GS : Mungkin dikhawatirkan nanti kalau berbicara itu lagi mengakibatkan marah lagi atau nangis lagi.

PG : Kalau sudah beda waktunya kemungkinan besar reaksinya tidak sama karena suasana sudah berbeda, suhu, emosi sudah menurun. Nah yang berikutnya adalah nasihat Norman Wright yang keempat seraglah masalahnya bukan orangnya.

Kalau kita sedang berkonflik lama-kelamaan kita mengalihkan sasaran konflik kita. Awalnya objeknya atau sasarannya adalah materi, persoalan itu sendiri tapi lama-kelamaan kita marah kita menyerang orangnya. Muncul perkataan-perkataan seperti kamu begini, kami begitu, kamu tolol, belum lagi kata-kata kebon binatang yang lainnya. Kalau itu yang terjadi berarti kita tidak lagi membahas masalah, kita sedang mencoba menghancurkan diri pasangan kita. Maka nasihat Norman wright sangat baik, jangan serang orang seranglah masalahnya itu sendiri.
GS : Mungkin yang lebih konkret itu memang orangnya Pak Paul, masalahnya ini yang kita mesti berusaha mengkonkretkan masalah itu tadi.

PG : Tepat sekali, jadi kita memang mesti mempunyai bukti yang jelas sehingga argumen kita berlandaskan fakta tidak hanya menduga-duga. Jadi mengkonkretkan itu penting sekali.

WL : Pak Paul, ada orang yang memang misalnya kita tidak bermaksud menyerang dia, kita sedang membahas masalah tapi dia merasa dirinya yang diserang. Reaksinya ya memang saya jelek, gini, gini, jadi masalah semakin rumit Pak Paul?

PG : Kasus seperti itu sebaiknya setelah kemarahan itu mulai meledak, kita baik-baik bertanya kepadanya apakah yang saya katakan tadi itu memancing reaksimu, seolah-olah kamu diserang misalnya ia bilang ya.

Kata-kata yang mana membuat kamu merasa diserang oleh saya, sebab saya tidak berniat seperti itu nah biarkan dia menjelaskan. Sering kali ada kata atau istilah yang kita gunakan yang baginya disalahartikan olehnya sebagai penyerangan sehingga membuat dia defensif. Namun saya harus akui ini Ibu Wulan, ada orang yang super sensitif, peka sekali tidak boleh menerima kritikan secuil pun, ada orang yang seperti itu juga. Jadi begitu dia diberikan sedikit kritikan atau apa wah dia merasa seolah-olah dia sudah diserang habis-habisan. Nah kalau itu yang terjadi kita mesti berbicara dengan dia di kesempatan yang berbeda, jangan pada saat itu juga. Kalau saat itu juga problemnya itu makin melebar. Dalam kesempatan yang berbeda kita bicara-bicara dengan dia kita katakan saya agak sulit mengutarakan keluhan saya atau apa karena reaksimu begini, padahal niat saya tidak begitu. Bisa atau tidak kalau kamu dengarkan dulu, setelah kamu dengarkan, pikirkan baru kamu jawab. Sebab pada waktu kamu jawab dengan tergesa-gesa sebetulnya itu mencerminkan niat kamu yang hendak membenarkan diri, tidak bisa menerima atau mendengarkan masukan saya sama sekali. Nah yang kelima adalah jangan lari dari pokok pembicaraan, ini berkaitan dengan yang telah kita bicarakan tadi. Kalau kita sudah mulai terdesak, kita merasa mulai kalah kita munculkan materi yang baru. Kamu juga berbuat begitu dulu, kamu juga pernah berbuat begini dulu, akhirnya yang sekarang sedang dibahas tidak selesai karena sudah memunculkan lagi problem yang lain, nah itu biasanya yang kita lakukan. Bahkan Norman Wright berkata fokus pada satu yang satu, yang lain nanti jangan munculkan yang lain untuk membela diri, membenarkan tindakan kita, jangan. Yang satu dulu itu dibereskan jangan lari dari pokok pembicaraan.
WL : Mungkin karena banyak masalah yang dulu tidak selesai-selesai seperti yang Pak Gunawan cerita tadi.

PG : Betul.

GS : Atau kita tidak mau membicarakan masalah itu Pak Paul, saya anggap itu juga melarikan diri dari persoalan.

PG : Ya, itu sama, itu salah satu bentuk dari melarikan diri. Kita menutup diri dengan berbagai cara. Ada orang yang berteriak keras sehingga pasangannya tidak mau membicarakan itu lagi. Yang kenam, jangan mengatakan engkau tak pernah.

Norman Wright saya kira memberikan nasihat yang sangat baik di sini, sering kali dalam kemarahan kita berkata kamu tidak pernah mencintai saya, kamu tidak pernah memikirkan saya dan sebagainya. Nah perkataan tidak pernah itu sering kali tidak akurat, siapakah orang di dunia ini yang tidak pernah sama sekali, ya jarang. Ya mungkin dia lupa tapi apakah selalu lupa, juga tidak. Jadi kata selalu, tidak pernah, sedapatnya ditiadakan atau dihilangkan dalam konflik sebab kalau kita masukkan kosa kata tidak pernah, selalu begini, itu membuat pasangan kita merasa saya sudah mencoba, saya pernah melakukannya, tapi kok tidak diperhitungkan, buat apa saya melakukannya lagi lebih baik tidak kita lakukan sama sekali. Nah akhirnya kita mematahkan semangat orang untuk memperbaiki dirinya atau memperbaiki relasi dengan kita. Jadi jangan menggunakan kata-kata kamu selalu begini atau kamu tidak pernah begini, itu kita buang dari kosa kata kita.
GS : Bagaimana Pak Paul, kalau kita itu ingin menyampaikan satu kritikan terhadap pasangan kita?

PG : Norman Wright memberikan masukan yang bagus yaitu yang ketujuh, jangan menggunakan kritikan sebagai lelucon. Adakalanya orang itu menggabungkan keduanya, jadi waktu mau mengkritik kemudianmenggunakan guyonan.

Orang sering kali kalau diguyonkan dalam bentuk kritikan itu merasa dihina sekali, lebih baik kalau kritik ya sampaikan kritik. Ada hal yang mengganjal saya ingin katakan kepadamu, jangan kita sedang mengatakannya kita guyonkan sehingga kita ketawa-ketawa, benar-benar itu bisa ditanggapi sebagai penghinaan.
WL : Sindiran juga ya Pak Paul?

PG : Atau sindiran betul sekali, meskipun kita tidak marah tapi sindiran itu bisa benar-benar menusuk hati orang dan membuat orang menjadi marah. Waktu pasangan kita marah kita tercengang dan brkata kok kamu marah, ya pasti orang disindir siapa yang tidak marah.

WL : Kadang-kadang waktu ada tamu pas lagi kena pembicaraan ini langsung si suami menyindir dengan satu kalimat yang benar-benar membuat muka istrinya merah.

PG : Betul, kebiasaan seperti ini ada bahayanya, misalnya lain kali kita memang sungguh-sungguh ingin guyonan, ingin lelucon menggunakan humor disalahartikan oleh pasangan kita. Dianggap kamu lgi menertawakan saya, kenapa sampai pasangan kita keliru menafsir karena di masa lampau kita mencampuradukkan keduanya itu.

Jadi sebisanya keduanya dipisahkan, guyon ya guyon, bercanda ya bercanda, kritik ya kritik.
GS : Atau disampaikan dengan kata-kata yang baik bukankah itu bisa diterima, Pak Paul?

PG : Betul, kritikan kita mencoba menggunakan kata-kata saya, saya melihat ini sepertinya saya kurang bisa menerima hal ini, sebisanya hindarkan kata-kata engkau, engkau, kamu sih, kamu sih. Orng dikatakan kamu sih, kamu sih ya akan defensif karena merasa diserang jadi hindarkan kata-kata itu.

GS : Tapi tadi Bu Wulan menampilkan sesuatu yang baik yaitu pada saat ada banyak tamu, berarti situasi pada saat itu atau kondisi pada saat itu sangat menentukan bagaimana kita menyampaikan sesuatu kepada pasangan kita, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, maka Norman Wright memberikan nasihat berikutnya yaitu siapkan suasana, tempat dan waktu untuk menyatakan ketidaksetujuan kita. Jadi orang yang tidak bijaksana adlah orang yang marah kapan saja dia mau marah, orang yang bijaksana bisa membedakan, melihat cocok atau tidak waktunya ini, tepat atau tidak, kalau kurang ya kita pilihkan waktu yang lebih cocok.

Misalkan dalam rumah tangga saya, saya dengan istri kebanyakan membicarakan (kalau ada hal-hal yang perlu kami bicarakan dengan lebih serius) pada malam hari. Kenapa pada malam hari, karena pada malam hari saya dan istri dalam kondisi yang memang sudah mulai lemah, ingin tidur dan sebagainya, letih kami sudah mulai kami tinggalkan, kami siap untuk tidur, kami tidak terlalu tegang lagi. Nah biasanya waktu seperti itulah yang paling pas untuk kami, untuk berbicara hal-hal yang lebih serius. Ada orang yang sengaja berbicara sewaktu anak-anaknya keluar dari rumah, sebab memang betul kalau kita sedang membicarakan hal-hal yang serius yang menegangkan kita, yang membuat kita jengkel, anak di luar teriak sini, teriak sana, banting ini, banting itu, aduh.....tambah jengkel.
GS : Pak Paul, ada orang kalau marah dengan pasangannya di kamar, tetapi anak-anak langsung tahu kalau di kamar itu pasti marah.

PG : Maksudnya kalau di kamar pasti lagi bertengkar, ada konflik ya.

GS : Ya pasti bertengkar.

PG : Tapi kalau dalam batas masih wajar tidak banting-membanting memecahkan barang, saya kira itu adalah justru hal yang sehat untuk dilihat oleh anak bahwa ayah-ibu bisa bertengkar dan ternyat pertengkaran itu terbatasi di dalam kamar saja, keluar kamar mereka sudah biasa lagi.

Yang kesembilan adalah sediakan jalan pemecahan bagi setiap kritikan yang kita lontarkan, nah ini nasihat yang baik. Orang lebih cenderung mendengarkan kritikan kita kalau kita juga menyisipkan solusi, masukan, jalan keluarnya. Nah ini memberikan kesan kepada pasangan bahwa kita berniat membangun relasi kita, kalau kita hanya melontarkan kritikan seolah-olah ditanggapi oleh pasangan kita, kita ini hanya tertarik untuk melukai dia, menyakiti hati dia. Dengan kita memberikan jalan keluar, memikirkan solusinya dia akan menangkap konsep kebersamaan bahwa kita mau membangun relasi ini. Dan yang terakhir adalah kalau salah akuilah, apabila benar diamlah. Kalau salah ya akui tapi kalau kita benar jangan kita bangkit-bangkitkan, "'Kan saya bilang apa, 'kan saya bilang apa," lama-lama orang yang tadinya mau mengakui "memang saya keliru", karena ditekan-tekan seperti itu malah makin dia marah dan tidak terima.
GS : Itu merasa diungkit-ungkit kesalahannya itu Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Dalam hal menangani konflik ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang dijadikan pegangan?

PG : Saya akan bacarakan dari Efesus 4:29-32, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, (dalam konflik jangan gunakan perkataan kotor) tetapi pakailah perkataan yang baik(kita pilih kata-kata kita) untuk membangun, (dalam konflik tujuannya bukan menghancurkan tapi membangun) di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia (jadi dalam konflik pun tujuan kita membangun, agar pasangan kita memperoleh kasih karunia).

Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan, segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Jadi pada akhirnya Tuhan meminta kita mengampuni, Tuhan pun berkata kalau kita tidak bisa mengampuni sesama kita, saudara kita, Allah Bapa juga tidak mengampuni kita. Sebab mengampuni adalah suatu karakter Allah yang paling utama, jadi kalau kita mengaku kita anak Allah kita pun harus bisa mengampuni orang.

GS : Ya memang kita sangat sulit untuk menghindari terjadinya konflik dalam suatu keluarga, tetapi masalahnya bagaimana kita menangani konflik itu dan menyelesaikannya dengan baik sesuai dengan kebenaran firman Tuhan ini. Terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk kesempatan perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pedoman Menyelesaikan Konflik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



4. Saling Ketergantungan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T009B (File MP3 T009B)


Abstrak:

Topik ini membahas tentang saling ketergantungan antara suami dan istri. Dan dalam hal ini suami lebih senang kalau dia disandari istrinya. Ketika dia merasa istri tidak begitu bergantung kepadanya dia akan panik.


Ringkasan:

Pada masa dulu wanita atau istri cenderung bergantung pada suami khususnya bergantung pada penyediaan finansial dari suami. Dan tidak bisa disangkali, siapa yang memegang uang itulah yang berkuasa, ini hukum yang pada saat itu berlaku dalam keluarga. Karena itulah mengapa ada kasus di mana suami merasa kurang aman sewaktu istrinya mempunyai penghasilan yang lebih besar darinya. Meski istri tidak mengancam atau merendahkan suami, namun secara psikologis suami sudah merasa tidaklah terlalu berharga. Karena apa karena suami tidak merasa istri bergantung padanya. Sewaktu istri tak terlalu bersandar padanya, suami akan merasa panik karena tiba-tiba dia merasa kehilangan peran, kehilangan sumbang sih dalam hubungan suami-istri.

Suatu istilah di dalam ilmu konseling keluarga yang disebut co-dependence yang diterjemahkan seolah-olah saling bergantung namun istilah ini justru sarat dengan muatan yang berbau negatif. Maksudnya istilah ini sebetulnya merujuk pada keadaan di mana sepasang suami-istri gagal untuk melihat realitas secara gamblang apa adanya. Dan malah mencoba menutup-nutupi realitas tertentu atau aspek tertentu agar tidak menjadi problem dalam hubungan mereka. Contoh : si suami yang diminta datang ke pesta ulang tahun anaknya tidak datang, misalnya mabuk tetapi istri berkata pada orang-orang, suami saya berhalangan ada urusan kerja lembur dan sebagainya. Jadi di sini si istri justru menutupi problem si suami sehingga orang di luar tidak bisa masuk dan menolong rumah tangganya yang sebetulnya sedang dilanda problem yang serius itu.

Yang seharusnya dilakukan istri adalah:

  1. Meminta bantuan dari luar, jadi harus mengatakan bahwa rumah tangganya sedang ada problem.

Kenapa sedikit orang yang bisa berani keluar dan mengatakan kami butuh bantuan, sebab pernikahan kami sedang dilanda problem. Ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sbk:

Faktor-faktor yang sehat adalah:

  1. Karena faktor malu
  2. Faktor putus asa
  3. Faktor gengsi
  4. Faktor ingin membenarkan diri

Faktor lain yang tidak sehat, istilah teknisnya dalam ilmu konseling pernikahan disebut enabling yang adalah memungkinkan, memampukan pasangan untuk terus bertindak hal yang tidak benar dengan menutupi tindakan pasangannya atau tidak sungguh-sungguh mengambil tindakan yang tegas memberitahu orang di luar meminta bantuan ke orang ketiga. Karena istri pun mempunyai kebutuhan tertentu, di sinilah hubungan tersebut di sebut co-dependence, saling tergantung untuk memenuhi kebutuhan masing-masing yang terselubung, di mana kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang tidak sehat.

Ketergantungan menurut Efesus 5 dengan jelas Tuhan meminta istri untuk tunduk kepada suami dan suami berfungsi sebagai seorang kepala. Memang ada ketergantungan tapi yang memang seharusnya, karena sebagai kepala, suami diminta bukan memerintah tapi justru yang lebih penting adalah suami bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarganya.

Langkah yang dapat dilakukan pasangan suami-istri dalam membina hubungan yang sehat adalah sbb:

  1. Berani melihat kekurangan dalam hubungan nikah atau hubungan pacaran kita.

Antara orang tua dan anak pun bisa terjadi ketergantungan yang tidak sehat contohnya Daud dan Absalom.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen selama ± 30 menit akan menemani saudara dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Telah hadir bersama saya Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling yang kini aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Juga telah hadir bersama kami Ibu Idajanti Raharjo salah seorang pengurus di LBKK. Ikutilah perbincangan kami, karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.

Lengkap
GS : Pak Paul kali ini saya ingin mengemukakan sebuah perbincangan tentang ketergantungan antara suami dan istri. Kita tahu bahwa beberapa puluh tahun yang lalu mungkin ibu saya misalnya atau nenek saya itu sebagai seorang wanita sangat-sangat tergantung pada suaminya, lalu keadaannya sekarang rupanya tidak seperti itu lagi dengan majunya pendidikan dan sebagainya, rasa-rasanya istri tidak terlalu bergantung pada suaminya dia bisa mandiri tanpa suami sekalipun, dan suami sebagai pria itu juga kadang-kadang tidak merasa terlalu tergantung dengan istri. Jadi sebenarnya bagaimana Pak Paul mengenai saling ketergantungan antara suami dan istri dalam hal ini?

PG : Memang pada masa yang dulu Pak Gunawan wanita atau istri cenderung bergantung pada suami karena mereka sangat bergantung pada penyediaan finansial dari suami. Dan tidak bisa disangkal bahw siapa yang memegang uang itulah yang berkuasa, jadi itupun atau hukum ini pun berlaku dalam keluarga.

Itulah salah satu sebabnya mengapa ada kasus di mana suami merasa kurang aman Pak Gunawan sewaktu istrinya mempunyai penghasilan yang lebih besar darinya. Meskipun si istri sendiri tidak mengancam atau merendahkan si suami, namun secara psikologis si suami sudah merasa dia itu tidaklah terlalu berharga. Karena apa karena dia tidak merasa si istri itu bergantung padanya, jadi merasa sedikit minder Pak Gunawan, sebab suami itu ingin sekali menjadi orang yang digantungi, disandari. Sewaktu istri itu tak terlalu bersandar padanya suami bisa merasa panik karena tiba-tiba dia merasa kehilangan peran, kehilangan sumbang sih dalam hubungan suami-istri ini.
(1) GS : Di dalam hal ini sebenarnya bagaimana hubungan yang sehat antara suami dan istri Pak Paul?

PG : OK! Istilah saling bergantung itu bisa menjadi istilah yang tidak sehat Pak Gunawan. Memang istilah saling bergantung adalah suatu istilah yang baik ya yang serasi, yang seharusnya. Namun isa menjadi sesuatu yang tidak sehat, sebetulnya sekarang ada suatu istilah di dalam ilmu konseling keluarga, istilah itu disebut co-dependence.

Co-dependence memang dapat diterjemahkan seolah-olah saling bergantung, namun co-dependence dalam ilmu konseling keluarga justru adalah istilah yang sarat dengan muatan yang berbau negatif. Maksudnya begini, istilah itu sebetulnya merujuk pada keadaan di mana sepasang suami-istri gagal untuk melihat realitas, secara gamblang apa adanya. Dan malah mencoba menutup-nutupi realitas tertentu atau aspek tertentu agar tidak menjadi problem dalam hubungan mereka itu. Namun sesungguhnya dengan menutup-nutupinya itu sudah menjadi problem yang bisa lebih serius, misalkan ini Pak Gunawan, saya mengingat waktu dulu saya bekerja di sebuah Rumah sakit jiwa, ada bagian yang merawat orang-orang yang bergantung pada obat-obatan terlarang dan juga alkohol atau minuman keras. Nah itu sangat nampak sekali kasus-kasus di mana terjadi kesalingbergantungan yang tidak sehat atau co-dependence yang tidak baik. Di mana misalkan si suami yang mengidap masalah dengan alkoholisme, bergantung pada minuman keras dia itu akhirnya mempunyai istri yang juga bekerja sama dengan dia sehingga problemnya itu dilestarikan. Contoh konkretnya begini Pak Gunawan dan Ibu Ida, si suami itu kalau diminta datang ke pesta ulang tahun anaknya atau istrinya tidak mau datang atau tidak bisa datang. Karena misalnya mabuk habis minum, nah si istri akan berkata kepada orang-orang di luar o......suami saya berhalangan, karena ada urusan kerja, lembur dan sebagainya atau misalkan ditanya oleh temannya kok suamimu itu nampaknya minum dan tidak begitu sehat, tidak begitu betul tindakannya. Nah si istri misalkan justru menutupi dengan berkata o....suami saya tidak apa-apa, nah jadi hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa si istri tanpa direncanakan dan tanpa dia sadari sebetulnya sedang bekerja sama dengan si suami untuk menutupi problem si suami dan akhirnya malah melestarikan problem si suami itu. Sehingga orang luar tidak bisa masuk dan menolong rumah tangganya yang sebetulnya sedang dilanda problem yang serius begitu.
IR : Nah sebenarnya langkah apa yang harus diambil oleh si istri untuk menolongnya?

PG : Yang paling umum dilakukan oleh istri biasanya adalah seperti yang tadi saya gambarkan Ibu Ida. Pada awalnya si istri ini akan mencoba menutupi, dalam usahanya menutupi dia memang mencoba engoreksi, menolong si suami agar jangan bergantung pada minuman keras misalnya.

Tapi si suami tetap saja melanjutkan kebiasaannya, nah akhirnya si istri ini seharusnya meminta bantuan ke luar, jadi harus mengatakan bahwa dalam rumah tangga saya ada problem, problemnya terletak pada suami saya yang minum seperti ini. Nah pertanyaannya adalah kenapa kok sedikit sekali orang yang bisa berani ke luar dan mengatakan kami membutuhkan bantuan, sebab pernikahan kami sedang dilanda problem. Banyak faktor Bu Ida, misalkan ada faktor malu, faktor nanti orang melecehkan kami, menghina kami atau faktor putus asa buat apa cerita sama orang lain, mereka pun tidak bisa membantu, akhirnya hanya jadi bahan percakapan masyarakat saja. Dan juga adakalanya gengsi, harga diri, nanti jadi terhina gara-gara menceritakan problem kami, jadi akhirnya gengsi juga. Misalkan faktor lain yang bisa juga muncul adalah faktor ingin membetulkan diri sebab adakalanya pernikahan ini tidak disetujui oleh keluarganya kemudian dia tetap keras menikah dengan pria ini akhirnya setelah menikah baru benar-benar menyadari suaminya itu bermasalah besar. Nah akhirnya yang terjadi adalah si istri menutupi supaya apa, supaya keluarganya tidak tahu bahwa dia sedang mempunyai problem. Sebab kalau diketahui oleh keluarganya, keluarganya bisa mungkin berkata: 'Kan dari dulu kami sudah beritahu kamu jangan menikah dengan dia." Nah daripada di salahkan dan mengakui bahwa dia salah pilih ya sudah dia tutup-tutupi. Semua yang saya paparkan tadi adalah alasan-alasan yang relatif sehat, ada satu alasan lain yang tidak sehat nah istilah teknisnya dalam ilmu konseling pernikahan disebut enabling. Enabling itu kalau saya terjemahkan langsung adalah memungkinkan, memampukan, artinya ada kasus di mana misalkan si istri, si istri ini juga membutuhkan sesuatu dari si suami yaitu dia butuh sekali dihargai, dibutuhkan bantuannya, sumbangsihnya. Nah sewaktu si suami ini mabuk, tidak bisa berfungsi dengan baik nah sedikit banyak si suami ini sebetulnya bergantung pada dia, pada si istri. Nah akhirnya si istri tanpa disadari melakukan hal-hal yang memampukan si suami untuk melanjutkan perbuatannya itu yang tidak benar yaitu terus minum. Memampukannya dengan cara apa, misalkan tadi itu menutupi atau tidak sungguh-sungguh mengambil tindakan yang tegas memberitahu orang di luar, meminta bantuan ke orang ketiga dan sebagainya. Sebab kalau benar-benar merasa ini tidak benar harus diselesaikan 'kan lebih masuk akal adalah dia akan ke luar, memberitahu orang di luar, meminta bantuan pihak ketiga tapi toh itu tidak dilakukannya. Nah bisa jadi karena faktor itu, faktor bahwa si istri sendiri mempunyai kebutuhan tertentu, maka di sinilah hubungan ini disebut hubungan yang co-dependen saling tergantung untuk memenuhi kebutuhan masing-masing yang terselubung, di mana kebutuhan itu kebutuhan yang tidak sehat.
GS : Tapi kebutuhan antara suami dan istri itu beda ya Pak, jadi yang suami memang butuh perlindungan istrinya tapi istri itu punya kebutuhan untuk melindungi suaminya itu.

PG : Betul, jadi si istri ini mendapatkan atau menemukan fungsinya dengan menutupi kesalahan si suami atau lebih bisa berfungsi sebagai seorang istri karena suaminya tidak begitu berfungsi secaa maksimal, nah dia merasa lebih berfungsi, lebih berguna dan peranan itu menjadi peranan yang sangat berharga bagi dia.

GS : Gejala seperti itu justru nampak pada akhir-akhir ini Pak Paul, pada abad-abad yang modern. Karena pernikahan-pernikahan yang tradisional yang lama itu justru tidak menampakkan gejala-gejala seperti itu Pak Paul.

PG : Betul, karena memang dapat dikatakan pernikahan-pernikahan yang tradisional yang dulu-dulu itu relatif jauh lebih kokoh dibandingkan dengan sekarang ini. Jadi banyak faktor yang sebetulnyabisa kita bahas yang mempengaruhi keadaan atau kekuatan pernikahan sekarang ini.

(2) GS : Nah sekarang kalau kita kembali kepada Alkitab, kepada Kitab Suci sebenarnya bagaimana Tuhan itu merancang suatu pernikahan supaya ketergantungan itu sehat Pak Paul?

PG : Di Firman Tuhan di kitab Efesus 5 itu tercantum dengan sangat jelas disain Tuhan akan pernikahan Pak Gunawan. Dan di sana Tuhan memang meminta istri untuk tunduk kepada suami dan suami it berfungsi sebagai seorang kepala.

Jadi sekali lagi memang ada ketergantungan, tapi ketergantungan yang memang seharusnya karena sebagai kepala suami ini diminta bukan saja memerintah keluarga, tidak sama sekali tapi justru penekanannya yang lebih penting di situ adalah bahwa suami itu bertanggung jawab terhadap atas kesejahteraan keluarganya. Nah adakalanya memang kita melihat ayat-ayat tersebut dari sudut wah suami itu harus memerintah, harus mempunyai kuasa tertinggi di rumah tangga. Sebetulnya memang ada dan memang itu betul harus ada yang mengambil keputusan terakhir dan harus ada yang dihormati sebagai seorang kepala, namun termaktub dalam peran tersebut adalah tanggung jawab bahwa suami diminta Tuhan untuk bertanggung jawab atas istrinya. Sebab itulah diminta oleh Tuhan agar suami itu mengikuti contoh Tuhan Yesus, di mana Tuhan Yesus itu mempersembahkan gerejanya sebagai suatu pengantin perempuan yang tanpa cacat, yang indah, benar-benar cantik. Dalam pengertian itulah tugas kita sebagai suami memang menjaga istri kita agar menjadi seorang anak Tuhan yang utuh, yang bertumbuh dan yang matang.
(3) GS : Tapi untuk menuju ke sana Pak Paul, tentunya harus ada langkah-langkah yang konkret yang bisa dimulai sejak awal pernikahan Pak Paul. Nah mungkin yang kami butuhkan itu mungkin Pak Paul bisa memberikan sedikit uraian bagaimana suami-istri muda khususnya itu bisa membina ke arah itu Pak Paul?

PG : OK! Saya kira langkah pertama yang paling penting adalah kita mesti berani melihat kekurangan dalam hubungan kita, dalam hubungan nikah kita atau pacaran kita. Ada kecenderungan Pak Gunawa dan Ibu Ida kita ini menutup-nutupi problem dalam masa berpacaran, karena jelas sekali alasannya kita menginginkan kita bisa bersama dengan pacar kita, jadi semakin mengakui problem semakin kita ini sebetulnya menghalangi diri untuk bersama dengan dia.

Jadi kecenderungan yang natural adalah menutup mata, tapi yang penting justru adalah kebalikannya, kita mesti mengakui siapa kita, siapa pacar kita dan bagaimana hubungan kita ini sebetulnya. Saya bisa memberikan suatu contoh yang sering terjadi Pak Gunawan, misalkan seorang istri pada awal pernikahan atau pada masa berpacaran disenangi sekali oleh suami karena pendiam, penurut, dan mengikuti petunjuk si suami. Tapi setelah 10 tahun menikah si suami tidak lagi mempunyai rasa senang dengan sifat si istri yang terus-menerus diam dan menantikan petunjuk darinya. Sebab apa, sebab ada harapan dalam diri si suami agar si istri ini mandiri, bisa mengambil keputusan sendiri, tidak terlalu bergantung pada si suami dan tidak bertanya kepada si suami atas segala problem dalam hidup ini. Tapi bisa jadi si istri tidak mau begitu sebab dia terbiasa dengan perannya yang bergantung pada si suami. Nah sering kali hal ini sebetulnya sudah nampak dari awalnya tapi tidak mau diakui sebagai problem meskipun adakalanya mengganggu tapi diabaikan. Jadi langkah pertama kita mesti berani melihat realitas Pak Gunawan.
GS : Mungkin harapannya adalah nanti kalau sesudah menikah itu bisa berubah begitu Pak Paul?

PG : Betul itu harapan yang sering kali kita miliki, namun belum tentu kesampaian Pak Gunawan. Kalau kesampaian ya bagus, jadi saya kira bagi pasangan nikah yang sekarang mendengar kita, saya hnya mengimbau agar siapapun yang mendengar mulai melakukan tindakan yang konkret yaitu kalau ada problem akui problem itu jangan ditutup-tutupi, jangan tidak mau mengakui keberadaannya.

Adakalanya si suami tidak mau ngomong langsung dengan si istri meskipun ini mengganggu dia, karena diapun mendapatkan manfaat dari ketergantungan si istri Pak Gunawan dan Ibu Ida yaitu dia merasa saya ini tetap menjadi raja, saya ini tetap menjadi penguasa di rumah tangga saya. Saya bisa memerintah istri saya kiri, kanan dan sebagainya dan istri saya tidak bisa membantah saya. Nah justru adakalanya ada kecenderungan dari si suami juga mempertahankan status quo, status yang sama ini agar keinginannya juga terpenuhi begitu. Dan hal ini tidak sehat juga sebetulnya, jadi saling menguntungkan dalam hal yang justru tidak sehat.
GS : Di dalam hal saling ketergantungan ini, yang Pak Paul tadi sebut dengan co-dependence itu mungkin tidak hanya terjadi antara suami dan istri, kemungkinan juga terjadi antara orang tua dan anak, apa mungkin itu Pak Paul?

PG : Mungkin sekali Pak Gunawan, jadi co-dependence ini bisa terjalin dalam hubungan orang tua-anak. Orang tua yang bergantung pada anak misalnya ada orang tua yang meskipun sudah tua tapi (maa ya saya menggunakan kata/istilah kekanak-kanakan) ada itu, yakni segala sesuatu salah orang lain, segala sesuatu tanggung jawab orang lain.

Nah sekarang segala sesuatu tanggung jawab si anak, kalau misalnya si anak mulai memberikan sikap yang lebih tegas, nanti si orang tua yang istilahnya ngambek, terluka dan sedih dan sebagainya. Sehingga si anak serba susah tidak bisa menyatakan sikapnya, dengan kata lain sebetulnya si orang tua waktu mengambek itu dia sebetulnya sedang mengontrol si anak agar si anak tetap menjadi si anak, tapi karena dia tahu dia tidak bisa dengan level dewasa dengan level yang matang meminta si anak mengerti posisinya atau melakukan kehendaknya, jadi akhirnya menggunakan siasat atau cara yang kekanak-kanakan. Yaitu membuat anaknya merasa bersalah dan akibatnya si anak merasa tidak berkutik, ada orang tua yang seperti itu juga, jadi tidak juga menghadapi kenyataan. Ada anak yang begitu terhadap orang tuanya, segala sesuatu salah orang tua karena akhirnya anak ini tidak pernah dewasa juga. Jadi kalau orang tuanya melarang dia atau anak misalnya berkata: "Nanti kalau ada apa-apa salah mama, kalau ada apa-apa salah papa. Nah si orang tua takut sekali untuk mengambil tanggung jawab atau mengambil resiko itu, akhirnya si orang tua menuruti kehendak si anak. Akhirnya yang terjadi adalah hubungan yang co-dependence itu yang tidak sehat. Memang masalah-masalah ini Pak Gunawan dan Ibu Ida masalah yang komplek dan mungkin bagi sebagian orang istilah-istilah ini asing Pak Gunawan.
GS : Tapi kenyataannya memang seperti itu Pak Paul ada juga orang tua itu yang sekalipun tahu bahwa anaknya misalnya nakal sekali atau suka mencuri, tapi di mata atau di hadapan ibunya anak itu baik terus, jadi walaupun salah tetap dibela.
IR : Ya itu bagaimana Pak Paul, kalau dibiarkan terus si ibu yang tidak sadar ini 'kan tambah berantakan Pak Paul ya.

PG : Saya kira dalam kasus seperti ini kalau suami yang bicara susah didengar juga oleh si ibu, jadi kalau bisa panggillah orang ketiga yang bisa disegani dan nasihatnya bisa didengar. Sehinggasi ibu bisa disadarkan bahwa sebetulnya sudah terjadi suatu hubungan yang tidak sehat di sini karena engkau membuat si anak ini tetap jadi anak-anak, tak pernah dewasa begitu.

GS : Tapi apa kira-kira ibu itu bisa mengerti Pak Paul bahwa anaknya memang kondisinya sudah sejelek itu?

PG : Adakalanya ada yang tidak mengerti Pak Gunawan. Sebab terus terang Pak Gunawan dan Ibu Ida, realitas itu adakalanya terlalu pahit, jadi lebih baik kita tidak hidup dalam realitas daripada enelan realitas.

Realitas pahit sebab akhirnya akan menohok harga diri kita, bahwa kita telah melakukan hal yang keliru dan sebagai orang tua kita enggan sekali mengakui hal itu. Sebab ya kita orang tua sehingga kita sadar bahwa kita juga berusaha menjadi orang tua yang baik, dan tatkala telah mencoba menjadi orang tua yang baik selama berbelasan tahun akhirnya sadar kita keliru, susah untuk mengakuinya.
GS : Tapi itu harus diakui ya Pak Paul sebagai bagian dari pertumbuhan itu sendiri?

PG : Betul harus diakui, kalau tidak ada pengakuan, tidak ada perubahan Pak Gunawan, akhirnya terus dilestarikan sampai tua dan ini bisa terjadi memang dan mungkin terjadi juga.

IR : Nah Pak Paul kalau sudah diakui tapi karena konsep itu sudah terbentuk Pak Paul, bagaimana orang tua ini bisa meluruskan atau memperbaiki anak yang misalnya tadi nakal itu Pak Paul?

PG : Bisa terjadi anak itu sendiri yang akan meluruskannya dalam pengertian di dalam kenakalannya si anak itu akan menjadi semakin nakal sehingga tidak bisa tidak dunia luar akan melihat, semuaorang akan tahu dan akhirnya realitas itu tidak bisa lagi dihindari sehingga si orang tua terpaksa mengakui bahwa inilah yang sedang terjadi, bahwa dialah atau merekalah yang telah keliru.

Tapi bisa juga yang kedua adalah kesadaran ini muncul dari diri si orang tua dengan sendirinya. Pada waktu dia menyadari bahwa ya yang kami lakukan itu justru tidak berhasil malah membuat anak ini semakin terlibat dalam hal-hal yang tidak betul. Dan adakalanya ini yang terjadi Bu Ida dan Pak Gunawan, saya sudah melihat juga memang akhirnya ada orang tua yang sadar bahwa ini salah mereka tapi masalahnya adalah pada waktu mereka menyadari itu sudah terlambat. Anak itu sudah susah sekali untuk dikoreksi.
GS : Tapi katanya tidak ada kata yang terlambat Pak Paul, kalau memang mau sungguh-sungguh diperbaiki apalagi di dalam Tuhan, kuasaNya yang luar biasa itu akan memulihkan hubungan, baik hubungan suami-istri maupun orang tua dan anak itu Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, memang dalam kasus-kasus seperti ini nasihat yang kita semua bisa berikan kepada orang tua yang mengalami problem adalah kembalikan semuanya kepada Tuhan di dalamdoa kita.

Jadi ini juga berlaku untuk pasangan-pasangan yang co-dependence Pak Gunawan dan Ibu Ida, pasangan yang bergantung secara tidak sehat. Jadi mereka juga harus melihat problem, mengakui problem itu, memunculkan problem itu ke permukaan dan mencoba mencari bantuan agar bisa meluruskan kembali hubungan yang tidak sehat ini dan harus bayar harga, harus bayar harga dalam pengertian kita akan berkorban karena yang dulu kita bisa nikmati, keuntungan-keuntungan terselubung yang kita bisa petik sekarang harus kita lepaskan. Tapi itulah memang bagian dari pertumbuhan, Tuhan pun memang meminta agar kita ini tidak menjadi anak-anak terus-menerus.
GS : Saya ingat akan suatu kisah yang dicatat di Perjanjian Lama tentang Absalom anak Daud, Daud selalu berusaha menutupi kesalahan dari Absalom apakah itu salah satu bentuk konkret dari co-dependence itu Pak Paul?

PG : Saya sendiri tidak pernah terpikir ke situ Pak Gunawan, tapi itu adalah contoh yang sangat-sangat tepat Pak Gunawan itulah contoh co-dependence kebergantungan yang tidak sehat antara orangtua dan anak.

Betul sekali, Absalom selalu dilindungi, ditutupi kesalahannya oleh Daud dan akhirnya sangat fatal bahkan sampai Absalom mati pun Daud tetap menangisi Absalom dan tidak membela rakyatnya.
GS : Kelihatannya memang sulit untuk dipisahkan antara kasih yang membangun dan kasih yang merusak ini Pak Paul?

PG : Betul, dan saya menduga Daud melakukan itu karena rasa bersalahnya juga, memang Daud tidak menjadi seorang ayah yang baik.

GS : Jadi memang kita tetap saling membutuhkan, anak membutuhkan orang tua, orang tua membutuhkan anak, suami membutuhkan istri, istri membutuhkan suami tapi dalam batas-batas yang wajar begitu Pak Paul ya.

PG : Dengan catatan kita membutuhkan tanpa mengabaikan realitas.

GS : Realitas jadi kalau ada problem harus diakui itu sebagai problem, baik Pak Paul dan Ibu Ida saya rasa kita harus berhenti dahulu dengan perbincangan kita pada kali ini. Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi telah kami persembahkan ke hadapan anda sebuah perbincangan seputar keluarga khususnya masalah saling ketergantungan. Dan apabila anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang Jawa Timur. Saran-saran, pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan, terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



5. Menghargai dan Menerima Pasangan Kita


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T012B (File MP3 T012B)


Abstrak:

Rasa penghargaan terhadap pasangan kita itu sangat penting dalam hidup suami istri. Namun kadangkala hal ini bias merosot ketika waktu berjalan yang biasanya disebabkan karena kekaguman yang tipis terhadap pasangan.


Ringkasan:

Dr. James Dobson mengatakan bahwa hampir semua masalah rumah tangga diawali oleh mulai merosotnya respek terhadap pasangan kita. Respek itu sangat berkaitan dengan masalah-masalah lainnya dan bisa menjadi awal merosotnya hubungan kita dengan pasangan kita.

Respek itu sebetulnya harus dipupuk dari yang lebih sederhana yaitu kekaguman, menikahlah dengan orang yang kita kagumi.

Kekaguman menjadi modal tumbuhnya respek, namun kalau tidak ada kekaguman yang sungguh-sungguh kagum, itu tidak akan bertumbuh menjadi respek.

Menghargai atau respek pada pasangan kita harus muncul atau harus didasari atas satu faktor yaitu PENERIMAAN, kita mesti menerima pasangan kita apa adanya, baik kekurangan maupun kelebihannya. Setelah menikah kalau kekurangannya itu berubah makin hari makin baik yaitu bonus, kalau tidak berubah tetap terima. Dengan kata lain sewaktu kita mau menikah yang baik adalah kita justru tidak menitikberatkan pada pengharapan pasangan kita akan berubah.

Jadi faktor penerimaan diri pasangan itu adalah prasyarat munculnya respek, selama kita belum bisa menerima pasangan kita apa adanya tidak mungkin kita akan respek kepada pasangan kita.

Kebanyakan kita mempunyai satu pengharapan bahwa pernikahan kita akan membawa kebahagiaan, dalam pengertian membuat hidup kita lebih bahagia. Tidak, itu tidak tepat, Alkitab tidak pernah berkata bahwa pernikahan dimaksudkan untuk membawa kebahagiaan kepada 2 anak manusia. Sebab mencocokkan diri dan menyesuaikan diri dan hidup dengan orang yang berbeda tidak selalu membawa kita kepada kebahagiaan tapi yang sudah pasti adalah tatkala kita bisa bekerja sama dan meluruskan garis-garis yang bengkok, kita akan bertambah dewasa.

Dan sekali lagi yang Tuhan minta adalah seseorang bisa mengasihi istri atau suaminya sedemikian rupa seperti dia mengasihi dirinya sendiri.

Hal yang sangat perlu kita perhatikan agar kita dapat menghargai dan menerima pasangan kita adalah kita mesti kembali memikirkan dengan teliti dan mengingat kembali hal-hal apa yang kita sukai tentang pasangan kita. Dan kita juga mesti menyadari dan menerima bahwa seringkali dibalik faktor kekuatan terdapat faktor kelemahan. Misalnya kita menyukai seseorang karena orangnya tegar, tidak pantang menyerah. Setelah menikah baru kita sadari dibalik kekuatan tersebut terdapat sikap yang bebal, tidak mudah mendengarkan masukan, keras kepala, tidak bisa menghargai komentar atau saran dari kita.

Nah memang kita mesti menyadari bahwa ini semua dalam paket yang sama, jadi waktu kita menghargai itu berarti kita menghargai sisi yang kuatnya. Dan menerima berarti kita menerima sisi yang satunya yang tidak kita sukai.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghargai dan Menerima Pasangan Kita", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, hal-hal apa yang membuat seseorang itu bisa merosot rasa hormatnya terhadap pasangannya?

PG : Biasanya yang membuat kita akhirnya kehilangan respek kepada pasangan kita adalah kita melihat perbuatan-perbuatan pasangan kita yang benar-benar di bawah standar yang kita miliki. Sebeulnya kita itu memasuki pernikahan membawa nilai-nilai atau standar-standar sesuatu itu harus dilakukan seperti ini dengan cara ini.

Kita hidup harus seperti ini jangan seperti itu dan sebagainya. Sewaktu kita melihat pasangan kita melakukan berbagai hal dengan cara yang di bawah standar kita atau melakukan hal-hal yang kita anggap itu tidak boleh dilakukan, hilanglah respek kita kepadanya. Dan respek ini adalah hal yang penting dalam pernikahan. Saya teringat perkataan dr. James Dobson yang berkata bahwa hampir dapat dipastikan di dalam setiap rumah tangga yang bermasalah, terdapat masalah hilangnya respek. Dan menurut James Dobson problem muncul tatkala respek itu sudah mulai hilang, jadi dengan kata lain hilangnya respek mengawali munculnya masalah yang lebih besar dalam keluarga itu.
GS : Tetapi bukankah kalau ada hal-hal yang kurang berkenan di hati kita atas pasangan kita, kita bisa memberitahu dia?

PG : Biasanya itulah yang kita lakukan, kita mencoba mengkomunikasikan apa yang menjadi harapan kita, namun sudah tentu apa yang kita harapkan itu kadang-kadang tidak terlalu mudah untuk dipnuhi oleh pasangan kita, sebab bisa jadi dia sudah memiliki standar atau cara yang dia anggap benar.

Dan akhirnya karena tidak ketemu di tengah standar dia dan standar kita mulailah terjadi ketegangan. Waktu pasangan kita tidak berubah seperti yang kita harapkan, maka yang muncul adalah perasaan mengapa sampai begini, pasangan kita tidak mau menuruti yang kita inginkan, mengapa dia masih melakukan hal seperti itu, nah mulailah merosot respek kita kepadanya.
WL : Pak Paul tadi mengatakan bahwa setiap kita mempunyai satu set standar. Saya mengasumsikannya setiap kita sebaiknya menikah dengan orang yang memang dari awalnya respek atau kita kagumi, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, respek itu sebetulnya adalah buah dari atau kepanjangan dari kekaguman. Maka saya sering berkata kepada pasangan yang mau menikah atau remaja-pemuda, pilihlah pasangan hidp yang engkau respek, yang engkau hormati yaitu yang engkau kagumi.

Kalau dari awalnya engkau tidak memiliki kekaguman terhadapnya, setelah menikah engkau akan mengalami kesulitan mempertahankan respek terhadapnya, karena respek keluar atau kepanjangan dari kekaguman itu. Kekaguman terhadap apa, yaitu terhadap hal-hal atau karakteristik pada dirinya yang memang mulia, yang memang baik, yang memang membuat kita salut. Misalkan dia memiliki kesabaran yang begitu tinggi, nah itulah bahan kekaguman kita; dia memiliki sifat keibuan yang begitu kuat, itulah bahan kekaguman kita; dia mudah memaafkan, inilah bahan kekaguman kita; dia bisa tegas, ini bahan kekaguman kita; sebaiknya kekaguman kita memang tidak terbatas pada kekaguman fisik, karena kalau itu dasar kita maka kita akan mengalami bahaya juga. Sebab kekaguman fisik itu lama-lama bisa berkurang, tapi kekaguman terhadap karakter atau sifat-sifat orang itu biasanya memang tidak tererosi oleh usia maupun waktu.
GS : Apakah ada gejala-gejala atau tanda-tanda awal Pak Paul, ketika pasangan kita mulai tidak respek terhadap diri kita?

PG : Biasanya tanda yang paling jelas adalah sewaktu marah, kemarahan kita itu makin kasar, kalau kemarahan kita makin kasar biasanya itu pertanda respek sudah mulai berkurang.

WL : Pak Paul ada atau tidak perbedaan antara kebutuhan pria dan wanita untuk lebih dihargai. Saya pernah mendengar seorang pendeta mengatakan kalau laki-laki itu butuh dihargai, dihormati tapi kalau wanita itu butuh dikasih, ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul?

PG : Saya kira ada, sebetulnya wanita sudah tentu sama seperti pria ingin dihargai, priapun sama seperti wanita ingin dikasihi. Namun memang kebutuhan pokoknya, wanita itu ingin dikasihi, seab itulah yang menyentuh hatinya.

Wanita sewaktu dikasihi dia akan melihat dan merasakan sentuhan langsung dari si suami kepada hatinya, waktu suami dihargai itu juga memang menyentuh hatinya yaitu bahwa dia itu seseorang yang berharga. Jadi dengan kata lain sewaktu seorang wanita menerima kasih sayang, yang terjadi adalah dia merasa dirinya berharga, bernilai. Sewaktu seorang pria mendapatkan pengakuan dari pasangannya, dia juga akan merasakan dirinya berharga. Maka seorang psikolog bernama Larry Crabb mengatakan bahwa manusia mempunyai kebutuhan dasar, yang pertama rasa aman dan yang kedua rasa berharga. Saya kira itu betul jadi dua-duanya baik wanita maupun pria akhirnya memiliki kebutuhan yang sama itu untuk melihat dirinya berharga, namun sarana untuk memenuhinya kebetulan berbeda. Wanita melalui sarana dikasihi sedangkan pria melalui sarana diakui.
WL : Pak Paul, kalau berbicara tentang respek berarti tadi berbicara tentang kelebihan, adanya kelebihan-kelebihan apa yang kita kagumi. Tapi setelah sekian waktu berlalu tiba-tiba kita ketemu dengan orang lain yang lebih kita kagumi, ada kelebihan-kelebihan lain yang tidak ada pada pasangan kita, terus muncul respek terhadap orang itu. Nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : OK! Pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa hal itu wajar, hal itu wajar sebab kita menikah dengan manusia yang tidak sempurna, memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau nanti dalam perjalann nikah kita akhirnya kita bertemu dengan orang yang lebih dari pasangan kita, ya jangan kaget dan jangan berkata (ini yang sering orang katakan) saya keliru menikah, o....tidak.

Sebab misalnya kita tidak menikah dengan pasangan kita dan menikah dengan orang tersebut, itu tidak berarti orang tersebut tidak memiliki kelemahan. Jadi jangan berkata o.... saya salah menikah, saya salah pilih, o....belum tentu, sebab masing-masing orang memiliki kelemahannya juga. Kalau tadi kita membicarakan mengenai menghargai, respek dan sudah tentu itu muncul dari hal-hal yang kita kagumi, hal-hal yang muncul dari kekuatan kita, sudah tentu harus ada sisi satunya yakni kita terpaksa dan harus melihat serta menerima kelemahan pasangan kita, hal-hal yang tidak kita sukai pada pasangan kita. Untuk ini yang diperlukan adalah menerima, kalau pertama tadi lebih gampang, kita melihat hal yang kita sukai reaksi alamiah atau otomatis adalah kekaguman, respek. Nah yang kedua ini tidaklah alamiah, tidaklah otomatis, menerima berarti memang melihat jelas apa itu kelemahan pasangan kita dan kita memilih untuk berkata ini bagian dari hidup kami berdua.
WL : Dari penjelasan Pak Paul yang terakhir ini, membuat saya semakin kagum kepada Tuhan, kalau ke manusia tadi Pak Paul jelaskan ada bagian-bagian yang kita kagumi, kita respek, tapi mau tidak mau ada bagian yang harus kita akui ada kelemahan dia yang sudah menjadi satu paket dan kita tidak bisa menolaknya. Sedangkan kepada Tuhan, kita kagum tapi tidak ada setitik pun yang memang kelemahan Tuhan yang membuat kita benar-benar harus kagum.

PG : Seharusnyalah respek kita terhadap Tuhan memang respek puncak karena Tuhan adalah Allah yang sempurna, tidak ada kelemahan pada diriNya.

GS : Pak Paul, kalau di dalam hal penerimaan, bukankah kita menikah dengan seseorang, apakah itu tidak berarti bahwa kita menerima dia?

PG : Ini memang secara teoritis itulah yang terjadi Pak Gunawan, bukankah janji nikah juga kita akan bersama pasangan kita melewati suka dan duka dan sebagainya. Tapi janji itu memang janji ang harus kita penuhi dan harus diuji, diuji melewati apa yaitu pengalaman-pengalaman itu sendiri.

Sudah tentu saya tidak ingin menggampangkan masalah, saya menyadari ada para pendengar kita yang berpasangan dengan suami atau istri yang memiliki kelemahan moral yang sangat parah. Yang memukuli pasangannya, yang membohongi pasangannya seperti minum air, kata-kata bohong itu keluar dari mulutnya itu dengan begitu mudah, atau ada orang yang menyumpah serapah semaunya, ada orang yang berzinah semaunya juga, berselingkuh seenaknya dan pasangannya harus menerima dia, otomatis saya tidak berniat untuk menggampangkan masalah. Ada hal-hal yang sangat sulit untuk menerima dan dalam kasus-kasus yang begitu parah saya mengerti kalau kita memilih atau mengalami kesukaran menerima hal-hal yang seperti itu. Sebab itu terlalu menjijikkan dan terlalu berat untuk ditanggung. Nah saya mencoba untuk hanya membicarakan yang di bawah, yang di bawah dari masalah-masalah tadi, yang saya maksud adalah hal-hal yang lebih bersifat perbedaan-perbedaan antara kita dan pasangan kita. Misalkan dalam hal kebersihan, dalam hal kerapian, dalam hal disiplin, dalam hal membesarkan anak, dalam hal waktu, dan sebagainya. Nah ini memang sering kali ada perbedaaan, dalam hal penghasilan uang ada yang lebih tinggi, ada yang lebih rendah, dalam hal kecepatan berpikir, dalam hal kemampuan mengingat, nah hal seperti inilah yang sedang saya bicarakan. Kalau memang kita menemukan ya....dia berbeda dengan kita, jangan terlalu cepat untuk berkata itu adalah sesuatu yang salah atau sesuatu yang merupakan kelemahannya, jangan terlalu cepat. Sebab bisa jadi ini memang suatu perbedaan tidak harus selalu kita katakan kelemahan. Contoh saya menyukai makanan yang mempunyai cita rasa yang kuat, istri saya lebih menyukai makanan yang lebih hambar, tidak terlalu mempunyai cita rasa yang kuat. Nah dalam kami menikmati makanan, ya ada perbedaan, dia suka makanan yang lebih kebaratan, saya suka makanan yang ketimuran. Tapi saya tidak berhak mengatakan bahwa cita rasa saya itu adalah cita rasa yang baik dan cita rasanya cita rasa yang buruk, tidak bisa. Jadi prinsip pertama jangan cepat-cepat melabelkan (waktu berbeda antara selera kita dan selera pasangan kita) seleranya itu salah, rusak, tidak benar atau lemah.
WL : Pak Paul, saya tertarik dengan penjelasan Pak Paul tentang kasus-kasus tadi, permasalahan-permasalahan yang berat-berat itu. Justru ada ekstrim lain lagi Pak Paul, kalau kita telusuri dari kasus-kasus itu sebenarnya dari masa awal pacaran itu "sudah ketahuan" tapi secara ekstrim mungkin wanitanya yang lebih banyak, memerima dengan membabi buta, walaupun orang tua pihak gereja atau lingkungan teman-teman sudah memberikan isyarat-isyarat: "Pacarmu ini agak sering-sering bohong begitu ya kepada kami pu," tetapi porsi menerima apa adanya ini sangat ekstrim, sangat besar. Jadi ya sudah menikah dan akhirnya begitu, Pak Paul?

PG : Saya sering menekankan ini kepada pasangan muda sebelum mereka menikah yaitu carilah pasangan yang paling baik. Kalau menggunakan istilah James Dobson, dia berkata nikahilah orang yang angat kamu cintai dan benar-benar itu adalah orang yang terbaik untuk kamu.

Dan saya setuju, kita menikah bukan seperti membeli mobil, kalau 10 tahun kemudian tidak menyenangkan hati, kita bisa menjualnya dan menggantinya dengan yang baru. Tidak, pernikahan adalah suatu yang permanen dan kita jalani seumur hidup, jadi kita mesti memiliki dengan berhati-hati, pilihlah yang paling baik. Adakalanya dalam budaya kita yang lebih menekankan pernikahan akhirnya ada orang-orang yang terjebak, tertekan oleh harapan-harapan ini, akhirnya menikah dengan sembarangan dan sudah melihat kekurangan atau kelemahan pasangannya namun dia berkata ya tidak apa-apa nanti juga akan beres, padahalnya tidak pernah beres. Ini hal yang sering saya saksikan dalam konseling-konseling saya juga, waktu saya mendapatkan kasus-kasus yang berat seperti itu saya bertanya kepada pasangannya, kapankah dia melakukan hal itu? Dan sering kali jawabannya adalah sejak masih berpacaran. Tadi Ibu Wulan sudah katakan sejak mulai berpacaran sudah mulai berbohong, sudah mulai tidak setia, sudah mulai berjudi, sudah mulai minum-minum dan mabuk-mabukan, sudah mulai memukuli, tapi tetap dianggap tidak apa-apa. Karena apa, penerimaan yang terlalu membabi buta. Jadi penerimaan di sini memang sesuatu yang perlu berimbang, kita perlu mempunyai standar, kita memilih yang terbaik namun setelah itu kita lakukan waktu kita menemukan hal-hal yang tidak kita senangi, yang di bawah standar kita berusahalah untuk menerimanya.
GS : Tetapi menerima dengan resiko respeknya berkurang.

PG : Saya kira itu adalah bagian dari pertumbuhan kita Pak Gunawan, dan itulah yang saya kira ada dalam rencana Tuhan. Tuhan tidak merencanakan agar kita menikah dalam kesempurnaan, Tuhan daam rencananya memang mengijinkan kita dan seolah-olah mewajibkan kita menikah di dalam ketidaksempurnaan.

Sebab di dalam ketidaksempurnaanlah karakter kita disempurnakan Tuhan, waktu kita harus bersama dengan orang yang memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, hal-hal yang tidak kita sukai, tidak bisa tidak yang akan nanti mengalami perubahan paling drastis adalah diri kita. Kita dipaksa Tuhan untuk lebih sabar kepadanya dan sebagainya.
GS : Berarti respek itu sebenarnya bisa ditumbuhkan, Pak Paul? Katakan kita awalnya tidak terlalu respek, apakah kita bisa menumbuhkan respek terhadap pasangan?

PG : Saya kira bisa Pak Gunawan, respek itu memang tumbuh sebagai produk, produk dari yang kita lihat dan kita sukai. Nah pertanyaannya, kalau memang ini kelemahan pasangan kita bagaimana kia bisa menyukainya, sehingga bisa menumbuhkan respek? Tadi saya sudah katakan prinsip pertama adalah kita jangan cepat-cepat menuduh atau melabelkan perbedaan itu sebagai kelemahan pasangan kita.

Sesuatu yang berbeda panggillah berbeda jangan buru-buru mengatakan dia yang lemah, yang salah, yang buruk, saya yang benar dan baik. Kedua, kalau kita menyadari memang itu hal yang merupakan kelemahannya, kita harus melihatnya sebagai kelemahan. Jangan kita menyangkal dan berkata, itu bukan kelemahannya sebab kalau kita menyangkal itu berarti kita tetap menuntutnya untuk memiliki kwalitas itu. Misalkan kita melihat pasangan kita itu sering lupa, nah kalau kita masih berkata kamu sebetulnya tidak pelupa, kamu ingat ini, kamu bisa ingat itu, kenapa ini bisa lupa. Semua orang yang namanya pelupa, itu tidak melupakan semua hal sudah tentu hanya sebagian hal dan tidak bisa dirumuskan untuk hal apa kita bisa lupa, dan untuk hal apa kita tidak lupa, lupa itu tidak bisa dipatok atau dirumuskan. Nah yang lebih sehat adalah mengakui dan menerima fakta bahwa pasangan kita memiliki kelemahan ini. Jadi yang pertama tadi jangan buru-buru memanggil kelemahan, jadi kita tidak cepat-cepat menghakimi orang. Namun kalau memang kita melihat ini memang kelemahan, sebaiknya kita akui sebagai kelemahan. Karena kalau kita masih belum memanggilnya kelemahan berarti kita masih menuntutnya harus berbeda dari apa adanya, dia seharusnya tidak lupa berarti itulah awal dari konflik. Waktu kita memanggilnya kelemahan, ini membawa kita masuk ke langkah yang ketiga. Setelah kita panggil itu, kita akui itu sebagai kelemahan, langkah berikutnya adalah apa yang akan kita perbuat dengan kelemahan pasangan kita itu. Yang saya kira sehat untuk kita lakukan adalah kita mencoba melengkapi kelemahannya itu. Kalau kita tahu dia akan mudah lupa, waktu kita melihat dia menaruh kunci, kita lihat kuncinya ditaruh di mana sebab kita sudah tahu kemungkinan besar dia akan lupa akan kunci ini. Namun yang sering kali kita lakukan, bukannya kita sengaja ingatkan kita diamkan, kita mau melihat lupa atau tidak ini, waktu dia lupa kita marah kita katakan kamu mesti lupa menaruh barang sembarangan, akhirnya terjadi pertengkaran. Betapa mudahnya dan harmonisnya relasi kita kalau kita langsung melengkapi kelemahannya, kita melihat dia menaruh kunci di mana kita ingatkan dia ini kuncinya jangan sampai lupa nanti, sudah beres tidak ada pertengkaran.
WL : Pak Paul, mungkin agak sulit menyeimbangkan antara melengkapi dengan berusaha juga menjadi berkat yang mengubah dia. Kalau kita melengkapi terus dia akan terus lupa karena dia pikir nanti istri saya atau suami saya juga pasti ingatkan kuncinya ada di mana, bagaimana Pak Paul?

PG : Sudah tentu dalam hal-hal seperti ini, awal-awalnya saya kira kita tidak langsung ke sana, awal-awalnya kita ribut-ribut dengannya karena kita menuntut dia harus ingat. Nah sesuatu yangkita ributkan misalkan selama 5 tahun, saya kira cukuplah untuk menyadarkan kita bahwa inilah kelemahan pasangan kita, dan terima.

Jadi kita belajar hidup dengan kelemahan pasangan kita. Sering kali yang kita inginkan adalah kita hidup di luar atau tanpa kelemahan pasangan kita, bagaimana menghapusnya, menghilangkannya dan menggantikannya selalu dengan hal-hal yang kita senangi. Tidak, akan ada hal-hal yang tidak kita senangi itu, nah bagaimanakah kita hidup dengan kelemahan ini, nah memang kita mencoba melengkapi. Awal-awalnya mungkin 5 tahun pertama kita tidak menerima, kita terus-menerus menegur dia, marah sama dia karena lupa terus, tapi setelah 5 tahun akhirnya kita terbangun dan berkata itulah kelemahan pasangan kita.
WL : Pak Paul, saya pernah mendengar teori yang mengatakan bagaimana mengharapkan orang menghargai atau respek kepada kita itu bergantung juga pada bagaimana sikap kita terhadap diri kita sendiri. Nah kalau kita menghadapi pasangan yang dia sendiri tidak respek pada dirinya sendiri, tidak mungkin juga kita belajar atau memaksakan diri respek kepada dia, Pak Paul.

PG : Betul, sudah tentu orang itu sendiri berpengaruh atau berperan terhadap apa yang orang lain akan lakukan terhadapnya. Kalau dia sendiri tidak merespek dirinya, menghina dirinya terus-meerus, ya orang akan mudah akhirnya menghina dia, dan tidak merespek kepadanya.

Jadi betul, perlakuan kita terhadap diri sendiri itu mempengaruhi perlakuan orang terhadap diri kita.
GS : Tetapi di dalam semua ini memang peran kasih itu luar biasa, Pak Paul?

PG : Betul, peran kasih sangat penting, sebab firman Tuhan di I Petrus berkata kasih itu menutupi pelanggaran yang begitu banyak atau kita boleh gunakan kelemahan-kelemahan sebanyak apapun, alau kasih itu ada kasih memang bisa menutupinya.

Tapi saya juga mau ingatkan lagi bahwa saya mengerti ada sebagian dari pendengar kita yang hidup di dalam suasana yang terlalu berat sehingga kasih itu lama-lama menjadi pudar.
GS : Ada seorang istri itu yang sering kali merendahkan suaminya itu di depan orang lain, memperbincangkan kelemahannya, kekurangannya dan sebagainya. Itu bagaimana Pak Paul?

PG : Itu tidak akan menolong malah makin merusakkan relasi nikah itu. Karena si suami akan melihat bahwa istrinya memang bukan saja tidak respek kepadanya tetapi memohon atau mengundang oran lain untuk tidak respek kepada suaminya.

Akhirnya biasanya reaksi suami hanya dua, yang pertama dia marah atau yang kedua dia makin mencuekkan atau memasabodohkan istrinya itu. Sebaiknya memang istrinya berbicara dengan suami minta apa yang dia harapkan dan si suami juga berusaha untuk memenuhi apa yang diminta oleh istrinya itu. Sebab baik yang berusaha menerima atau pun yang berusaha memperbaiki diri, dua-duanya mengalami pertumbuhan. Pernikahan di dalam pengertian kita tentang rencana Tuhan, pernikahan adalah ajang pertumbuhan yang Tuhan gunakan, dengan kata lain di dalam pernikahanlah anak-anak Tuhan itu digembleng supaya bertumbuh lebih dewasa. Sekali lagi saya tekankan, yang berusaha menerima kelemahan pasangannya dia akan bertumbuh, karakter kesabarannya, karakter penguasaan dirinya, karakter kasihnya akan diperkuat. Tapi yang berusaha memperbaiki diri dalam kelemahannya itu pun akan mengalami pertumbuhan. Jadi kalau kita melihat dari kacamata Tuhan, dua-duanya memang dituntut untuk mencoba bertumbuh.
GS : Di dalam hal menghormati pasangan ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang mau Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari 1 Korintus 12:23, "Dan kepada anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita berikan penghormatan khusus. Dan terhadap angota-anggota kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus."

Nah kenapa Tuhan meminta kita melakukan hal-hal ini yaitu kepada yang kurang terhormat kita berikan penghormatan khusus, kepada yang tidak elok kita berikan perhatian khusus. Di 1 Korintus 12:22 dikatakan, "Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan." Saya akan tutup dengan sebuah contoh, beberapa waktu yang lalu istri saya masak mie goreng, saya suka mie goreng. Eh....mie itu lembek sekali, saya kesal sekali akhirnya saya tidak bisa makan banyak, dalam hati saya mengomel tapi tidak tega menyampaikannya akhirnya tidak makan. Tapi istri saya sangat murah hati, dia berkata tidak apa-apa dia simpan mie gorengnya. Nah beberapa hari kemudian, dua atau tiga hari kemudian saya mau membuat mie ayam, saya sudah membuat mie ayam mungkin ratusan atau ribuan kali, tapi hari itu saya buat, saya taruh air kebanyakan sehingga mie ayam itu lembek. Anak saya, saya ajak makan, dengan bermurah hati anak saya makan meskipun mienya begitu lembek, saya hanya bisa makan sedikit karena tidak enak. Supaya tidak nempel-nempel saya pakaikan minyak tambah saya mual, akhirnya setelah makan anak saya sakit perut, saya pun sakit perut. Tiba-tiba saya dengar Tuhan berkata kepada saya Pak Guawan: "Paul, waktu istrimu masak tidak enak, kamu begitu kritisnya, sekarang kamu masak tidak enak anakmu makan dengan diam-diam." Saya merasa sangat bersalah Pak Gunawan, saya minta maaf kepada istri saya dan saya berkata Tuhan membela kamu karena kamu orang yang lemah. Nah apa yang saya pelajari Pak Gunawan, yang lemah kita butuhkan, kelemahan kita butuhkan sebab di dalam menghadapi kelemahanlah kita bertumbuh dan pertumbuhan itulah yang kita butuhkan. Dan Tuhan sediakan itu dalam pernikahan kita.

GS : Ya terima kasih Pak Paul untuk kisah yang menarik di akhir perbincangan ini, tetapi secara keseluruhan saya rasa perbincangan ini memang sangat penting sekali bagaimana kita menghargai dan menerima pasangan kita yang Tuhan sudah karuniakan kepada kita. Terima kasih juga Ibu Wulan untuk bersama kami di dalam perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghargai dan Menerima Pasangan Kita." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



6. Pria dalam Karier dan Wanita dalam Relasi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T013A (File MP3 T013A)


Abstrak:

Pria cenderung melihat harga dirinya atas kariernya atau kemampuannya. Sementara wanita mendasari harga dirinya dengan relasi yaitu suatu hubungan yang baik dengan orang yang dikasihinya. Ini hanya salah satu perbedaan saja antara pria dan wanita.


Ringkasan:

Dr. Larry Crabb seorang psikolog kristen di Amerika Serikat mempunyai teori yang berkata bahwa manusia mempunyai 2 kebutuhan pokok.
  1. Kebutuhan akan rasa aman.

  2. Kebutuhan akan rasa bermakna, rasa berharga, rasa bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah kehidupan yang sia-sia.

Pria dan wanita mempunyai pandangan yang berbeda tentang apa yang membuat hidup mereka bermakna.

Pria cenderung mendasari harga dirinya atas karyanya, atas hal yang telah dicapainya, atas kesuksesannya. Dengan kata lain pria cenderung melihat harga dirinya berdasarkan kemampuannya, apa yang telah dihasilkan dalam hidup ini. Jadi kalau pria tidak bisa melihat hasil karyanya, tidak ada yang dia banggakan dari kerjanya dia juga tidak akan bisa memiliki rasa bermakna atau rasa berharga yang baik. Malah kecenderungannya adalah dia akan memandang rendah dirinya, sebab benar-benar pria itu mengukur tinggi rendahnya atau besar atau kecil dirinya itu dari sudut karyanya atau hasilnya.

Wanita kecenderungannya adalah mendasari harga dirinya itu pada relasi, yaitu pada hubungannya dengan orang yang dekat dengan dia. Dengan kata lain wanita itu melihat makna hidupnya dan melihat bahwa hidupnya itu berharga kalau dia memang memiliki suatu hubungan yang baik dengan orang yang dikasihinya dan dekat dengannya.

Kalau seorang pria mendapatkan kesuksesan namun kehidupan keluarganya tidak bahagia dia masih bisa secara relatif menemukan kepuasan hidupnya. Tetapi sebaliknya dengan wanita, kalau hubungannya dengan orang yang dicintainya misalnya suaminya tidak harmonis itu akan sangat mengganggu dia meskipun dia adalah seorang yang sukses dalam kariernya.

Perbedaan-perbedaan di atas juga akan menimbulkan ketakutan-ketakutan, baik dalam diri pria maupun dalam diri wanita.

  1. Ketakutan seorang pria yang utama adalah dia akan kehilangan kepercayaan diri bahwa dia mampu melakukan sesuatu. Dengan kata lain pria itu pada dasarnya takut sekali untuk merasa tidak mampu, tidak bisa menguasai keadaan lagi. Pria dikondisi untuk selalu mampu memenuhi tuntutan yang diembankan padanya, sebab ketidakmampuannya memenuhi tuntutan disamakan dengan kelemahan dan pria takut sekali lemah.

  2. Ketakutan seorang wanita adalah dia kehilangan kontak, terputusnya hubungan dia dengan orang yang dikasihinya atau orang yang dekat dengannya.

Hal ini juga dipengaruhi oleh kecenderungan mereka di mana pria cenderung menggunakan rasionya sementara wanita lebih melibatkan emosinya dibandingkan dengan pria.

Upaya yang harus dilakukan seorang pria dan wanita agar dapat menemukan harga dirinya yang sepadan, yang sesuai dengan kebutuhannya:

  1. Pria hendaknya mulai mencabangkan diri yaitu jangan menumpukan segenap dirinya pada satu hal saja yakni kariernya. Penting sekali bagi seorang pria untuk bisa membagi diri sehingga ia menemukan kepuasan melalui hal-hal yang lain.

  2. Wanita hendaknya juga membagi dirinya, karena kalau tidak hati-hati wanita akan cenderung terikat individu-individu tertentu yang dianggapnya dekat dengan dia.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang perbedaan pria dan wanita dalam satu sisi yang khusus yaitu pria dalam kariernya dan wanita dalam relasinya. Kami percaya anda pasti tertarik dengan acara ini dan acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul memang kita tahu bahwa secara biologis pria dan wanita itu berbeda, tetapi ternyata masih banyak perbedaan-perbedaan yang lain yang cukup mendasar yang Tuhan anugerahkan baik kepada pria maupun kepada wanita. Misalnya saja dalam hal harga diri, sebenarnya apa perbedaan yang konkret itu Pak Paul?

PG : Sebelum saya uraikan Pak Gunawan saya ingin juga menyebut nama seseorang yaitu Dr. Larry Crabb. Crabb ini adalah seorang psikolog Kristen di Amerika Serikat, beliau mempunyai suatu teori yng berkata bahwa manusia mempunyai 2 kebutuhan pokok.

Kebutuhan pokok yang pertama adalah rasa aman karena manusia tak dapat hidup dalam perasaan tidak aman atau terancam, itu adalah kebutuhan pokoknya yang penting. Yang kedua adalah rasa bermakna, rasa berharga, rasa bahwa kehidupan kita di dunia ini bukanlah kehidupan yang sia-sia. Berangkat dari teori tersebut kita bisa mengembangkan suatu penyelidikan atau studi tentang sebetulnya apa itu harga diri dan apakah pria dan wanita memiliki konsep yang sama tentang harga diri itu. Dan ternyata seperti Pak Gunawan sudah singgung memang ada perbedaan.
GS : Kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan akan rasa bermakna itu tentu bukan kebutuhan yang mendasar dalam kehidupan seseorang. Karena ada juga teori yang mengatakan kebutuhan dasar seseorang itu makan, tempat tinggal dan sebagainya itu Pak Paul?

PG : Betul, yang tadi Pak Gunawan sebut adalah bagian dari teori hirarki kebutuhan menurut Abraham Naslow. Nah menurut Naslow kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan fisik yaitu makan dn minum dan sebagainya.

Nah Crabb memang tidak menjabarkan teorinya dengan mendetail namun dalam kategori rasa aman itu sebetulnya juga termaktub kebutuhan akan makan dan minum kita terpenuhi. Sebab kalau kita tidak tahu besok makan apa kita tidak merasa aman, kita akan merasa sedikit banyak terancam.
GS : Kembali lagi ke yang tadi Pak Paul katakan mengenai harga diri, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Jadi begini Pak Gunawan, pria dan wanita ternyata mempunyai pandangan yang berbeda tentang apa itu yang membuat hidup mereka bermakna. Nah sudah pasti yang akan saya uraikan ini merupakan paya penggeneralisasian, penyamarataan.

Sudah tentu akan ada perkecualian dalam masing-masing kategori ini. Namun pada umumnya pria cenderung mendasari harga dirinya itu atas karyanya, atas hal yang telah dicapainya, atas kesuksesannya. Dengan kata lain pria cenderung melihat harga dirinya itu berdasarkan kemampuannya, apa itu yang telah dia hasilkan dalam hidup ini. Jadi kalau kita balik, kalau pria tidak bisa melihat hasil karyanya, tidak ada yang dapat dia banggakan dari kerjanya dia juga tidak akan bisa memiliki rasa bermakna atau rasa berharga yang baik. Justru kecenderungannya adalah dia akan memandang rendah dirinya, sebab benar-benar pria itu mengukur tinggi rendahnya, besar atau kecil dirinya itu dari sudut karyanya atau hasilnya.
(2) IR : Bagaimana kalau zaman sekarang ini karya-karya atau kesuksesan dari kaum pria itu sering di bawah dari kesuksesan kaum wanita Pak Paul?

PG : Nah itu pertanyaan yang bagus Bu Ida sebab adakalanya itu yang terjadi, jadi mungkin suami yang merasa inferior merasa tidak berharga karena suami tersebut menghasilkan income atau pendapaan di bawah istrinya.

Nah meskipun misalkan si suami itu mempunyai pekerjaan yang baik namun kalau uang yang di bawanya ke rumah itu di bawah dari apa yang dibawa oleh istrinya kemungkinan dia akan merasa inferior, dia merasa tidak seberharga bagaimana semestinya. Dan mungkin sekali ini bisa berpotensi menjadi gangguan atau duri dalam hubungan mereka. Sebab si pria dapat menjadi orang yang cukup peka dengan hal-hal yang berkaitan dengan uang, sebab itu adalah harga dirinya.
GS : Kalau pria mendasarkan harga dirinya pada kariernya, bagaimana dengan wanita Pak Paul?

PG : Kalau wanita kecenderungannya adalah mendasari harga dirinya itu pada relasi Pak Gunawan, yaitu pada hubungannya dengan orang yang dekat dengan dia. Dengan kata lain wanita itu melihat maka hidupnya dan melihat bahwa hidupnya itu berharga kalau dia memang memiliki suatu hubungan yang baik dengan orang yang dikasihinya dan dekat dengannya.

Kita bisa memberikan suatu perbandingan yang lebih jelas, seorang pria tidak akan terlalu membanggakan istrinya sebanyak dia membanggakan pekerjaannya, itu sebetulnya adalah suatu kenyataan. Sebaliknya ada kecenderungan wanita membanggakan suaminya daripada pekerjaannya, nah ini mungkin bisa berubah pada zaman sekarang di mana banyak sekali kaum wanita yang telah menempuh karier yang tinggi atau yang baik. Namun tetap yang membuat si individu itu bahagia dan merasa dirinya bermakna sebetulnya tidak sama. Meskipun pria dan wanita mempunyai jenjang karier yang tinggi dan baik, saya dapat berkata bahwa si pria merasa bahagia dalam hidupnya itu karena dia telah mencapai jenjang yang tinggi di dalam kehidupannya. Meskipun hubungan dengan istrinya tidak baik, tapi bagi dia tidak masalah sebab yang penting adalah dia telah meraih kesuksesan itu. Sebaliknya kalau wanita mempunyai hubungan dengan keluarga yang tidak harmonis, hubungan dengan suaminya berantakan, meskipun kedudukannya baik dia tidak akan terlalu bahagia. Dia tidak akan bisa melepaskan dirinya dari hubungannya dengan si suami sedangkan pria lebih mampu melepaskan dirinya dari hubungannya dengan istrinya.
IR : Apa yang melatarbelakangi seorang pria itu untuk berkarier, mungkin ada contoh-contoh Pak Paul?

PG : Memang pria itu dikondisikan untuk meletakkan harga dirinya pada karier, pada kesuksesannya. Dari mana asalnya, ya dari perlakuan keluarga dan perlakuan masyarakat. Contohnya kalau anak peempuan menangis itu ditoleransi, tapi kalau anak laki menangis kita tidak terlalu menoleransi.

Kita secara tidak sadar mengharapkan anak laki kita itu sukar menangis sebetulnya, kalau anak wanita kita menangis kita memakluminya sebagai bagian dari dirinya yang mengekspresikan kesedihan itu. Tapi kita secara tak sadar tidak mengharapkan hal yang sama pada anak laki kita, sebab kita justru mengharapkan anak laki kita itu berperasaan kuat, mampu mengendalikan perasaannya dan tidak mudah menunjukkan kesedihannya. Sebab tanpa kita sadari pula kita sudah mempunyai suatu definisi bahwa menunjukkan kesedihan sama dengan menunjukkan kelemahan. Jadi waktu anak pria menangis menurut kita dia itu sedang menunjukkan kelemahannya dan anak pria tidak seyogyanya lemah, jadi benar-benar pria itu sangat dikaitkan dengan kekuatan. Sehingga dari kecil anak pria dikondisi untuk kuat, untuk bisa, untuk mampu begitu.
GS : Jadi kalau begitu apakah perbedaan itu memang perbedaan yang sifatnya natural Pak Paul, jadi artinya sejak lahir atau karena pembentukan lingkungannya?

PG : Ini pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, sebab apakah ini memang natural dari sudut biologis, ataukah murni bentukan lingkungan. Nah menurut pandangan saya Pak Gunawan, ini memang beraitan dengan natur fisik pria dan wanita yang memang berbeda.

Jadi pria secara fisik memang mempunyai kekuatan, secara fisik tampak kokoh sedangkan wanita secara fisik tidak tampak kokoh, lemah lembut, gemulai. Memang ide atau konsep ini tidak bisa dibalik secara universal saya kira tidak bisa dibalik. Kalau misalnya kita melihat wanita berotot dan kokoh, berkekuatan seperti baja saya kira dalam diri kita ada perasaan kurang begitu nyaman melihat figur wanita yang seperti itu. Tapi kalau melihat figur pria yang seperti itu justru kita merasa pas, jadi memang ada pengaruh biologisnya yaitu memang pria mempunyai fisik yang kuat sedangkan wanita cenderung lebih lemah gemulai. Maka akhirnya lebih mengundang perlakuan yang seperti itu pula dari lingkungan, masyarakat atau keluarga mengharapkan pria justru menjadi orang yang kuat. Dan misalkan kalau kita melihat dari sejarahnya pada masa masyarakat yang kita sebut masyarakat berburu yang pergi berburu pria, yang di rumah yang bercocok tanam misalnya atau menjaga anak-anak adalah wanita. Jadi memang pria diharapkan menjadi orang-orang yang kuat begitu Pak Gunawan.
GS : Tapi sementara ini Pak Paul, karena perkembangan zaman mungkin sering kali terjadi harus wanita, mungkin karena latar belakang pendidikannya dan sebagainya, dia berkarier dan tadi juga sudah disinggung sedikit sukses di dalam kariernya Pak Paul. Apakah kesuksesan di dalam karier itu tidak terlalu banyak memberikan kebahagiaan bagi si wanita ini?

PG : Sudah tentu akan memberikan kepuasan, sebab bagaimanapun kesuksesan dalam karier itu adalah sesuatu yang dapat dibanggakan. Namun yang saya ingin tegaskan adalah bahwa kalau pria mendapatkn kesuksesan namun kehidupan keluarganya tidak bahagia dia masih bisa secara relatif menemukan kepuasan hidupnya itu.

Tapi sebaliknya dengan wanita kalau hubungannya dengan orang yang dicintainya misalnya suaminya itu tidak harmonis itu akan sangat mengganggu dia meskipun dia adalah seorang wanita yang sukses dalam kariernya.
GS : Kalau begitu perbedaan itu pasti menimbulkan ketakutan-ketakutan tertentu Pak Paul baik dalam diri si pria maupun dalam diri si wanita. Pak Paul mungkin bisa menjelaskan lebih jauh mengenai hal ini?

PG : Bagi seorang pria ketakutan utamanya adalah kehilangan kepercayaan diri bahwa dia mampu melakukan sesuatu. Dengan kata lain pria itu pada dasarnya takut sekali untuk merasa tidak mampu, tiak bisa menguasai keadaan lagi.

Misalkan waktu dia tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, itu adalah suatu hal yang menakutkan, menakutkan kenapa, sebab dia tidak lagi mampu menyediakan sesuai dengan yang dituntut. Pria dikondisi untuk selalu mampu memenuhi tuntutan yang diembankan padanya, sebab ketidakmampuannya memenuhi tuntutan disamakan dengan kelemahan dan pria takut sekali lemah. Sebaliknya wanita ketakutannya lain lagi, jadi wanita ketakutannya adalah dia kehilangan kontak, terputusnya hubungan dengan orang yang dikasihinya atau orang yang dekat dengannya. Jadi itu menjadi hal yang sangat menakutkan, ini bisa kita kembangkan dalam konteks berumah tangga dengan anak-anak.
GS : Apakah itu dipengaruhi juga karena kaum pria lebih banyak menggunakan pikirannya dari pada emosinya, sedang wanita itu lebih banyak menggunakan emosinya Pak Paul?

PG : Saya kira ada pengaruhnya Pak Gunawan, jadi pria dengan rasionya yang kuat, saya sama sekali tidak berkata bahwa perempuan kurang rasional atau wanita itu kurang intelektual bukan ya. Kit tidak membicarakan masalah IQ pria dan wanita, ada yang sama-sama pandai ada yang sama-sama kurang pandainya.

Tapi memang secara operasional pria cenderung menggunakan rasionya dan wanita lebih melibatkan emosinya dibandingkan pria, jadi ada pengaruh besar. Karena kehilangan orang yang dikasihi itu adalah hal yang sangat menyangkut emosi seseorang waktu dia dekat dengan seseorang, dia mengasihi orang itu, itu semuanya menyentuh perasaannya. Jadi sewaktu perasaannya itu tidak mendapatkan kepenuhan dia ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya itu otomatis sangat memukul dia.
IR : Bagaimana kalau kaum pria pada usia produktif yang memang sukses Pak Paul, tapi suatu ketika usianya itu sudah lanjut kemudian dia tidak bisa bekerja apakah ketakutan juga ada?

PG : Sering kali ada Ibu Ida, itu baik sekali pertanyaannya sebab memang pria pada umumnya mengalami kesulitan memisahkan dirinya dari karier, pekerjaannya. Makanya sekarang ini seperti yang saa juga ketahui di Amerika Serikat dulu kala pria itu atau yang wanita juga sama usia pensiunnya adalah 65 tahun.

Namun sekarang makin banyak perusahaan yang mengizinkan para pekerjanya bekerja atau meneruskan pekerjaan mereka setelah melewati usia pensiun tersebut di atas 65, selama masih mampu, selama masih produktif silakan terus. Karena apa, karena akhirnya diteliti bahwa usia pensiun dan memaksakan orang pensiun pada usia tertentu adakalanya justru tidak produktif, tidak sehat bagi orang tersebut. Malah membuat orang itu depresi, kehilangan pegangan hidup dan kehilangan makna dalam hidup ini, jadi betul sekali ada kecenderungan kalau seseorang belum siap untuk pensiun meskipun usianya sudah 65 namun diwajibkan pensiun, itu memang bisa menimbulkan depresi dalam dirinya.
IR : Sekalipun waktu dia masih usia produktif itu hasilnya bisa menjamin, tapi tetap dia mempunyai ketakutan ya Pak Paul?

PG : Betul, kehilangan pekerjaan bagi dia kehilangan diri, jadi bukan saja o....saya pensiun, saya tak ada lagi pekerjaan tapi saya kehilangan diri, saya tidak tahu apa yang saya harus kerjakandengan diri saya ini.

Sebab pekerjaan atau karier telah begitu lekat dengan dirinya sehingga menjadi satu.
GS : Mungkin memang suatu pukulan yang cukup keras bagi pria kalau istrinya itu berkata bahwa hasil karyanya atau hasl karya dari suaminya itu kurang memuaskan Pak Paul sehingga dia merasa susah sekali dan merasa gagal menjadi seorang suami. Dan sebaliknya mungkin istri itu juga merasa gagal kalau dia tidak bisa membenahi rumah tangganya atau menyediakan makan buat suami atau anak-anaknya.

PG : Atau dia merasa tidak dicintai oleh suaminya, tidak diterima oleh anak-anaknya itu hal yang sangat berat bagi dia.

(3) GS : Jadi bagaimana Pak Paul seorang suami dan seorang istri atau pria dan wanita ini membangun dirinya supaya dia bisa menemukan harga diri yang sepadan yang sesuai dengan kebutuhannya, jadi upaya-upaya apa yang seharusnya dia lakukan?

PG : Saya menganjurkan bagi para pria untuk mulai mencabangkan diri yaitu jangan menumpukan segenap dirinya pada karier atau pada satu hal saja yakni kariernya itu. Penting sekali bagi seorang ria untuk bisa membagi diri sehingga dia menemukan kepuasan melalui hal-hal yang lain.

Misalnya kita-kita ini yang memang adalah anak Tuhan, melayani di gereja kita akan menemukan juga kepuasan dan makna hidup melalui pelayanan Kristen. Waktu kita ikut dalam tim pembesukan atau tim diakonia atau menolong orang yang dalam kesusahan atau melayani dalam kebaktian dan sebagainya, hal-hal itu menjadi masukan yang berharga bagi kita Pak Gunawan, jadi orang yang sehat orang yang bisa membagi dirinya dalam beberapa ruangan. Orang yang hanya mempunyai satu ruangan dalam hidupnya, saya takut sekali pada waktu ruangan itu dikunci dia akan kehilangan arah.
GS : Kalau yang wanita Pak Paul?

PG : Nah walau bagi wanita sebetulnya mirip dengan pria, dia juga seyogyanya membagi dirinya karena kalau tidak hati-hati wanita juga akan cenderung terikat oleh individu-individu tertentu yangdianggapnya dekat dengan dia.

Nah biasanya selain suami atau adakalanya (jujur Pak Gunawan di atas suami ya) wanita itu sering kali lebih dekat dengan anak daripada dengan suami sebetulnya. Kalau tidak hati-hati wanita juga akan menumpukan siapa dirinya itu pada anak, kalau anak baik dia senang, anak sukses dia senang, anak dekat dengan dia; dia senang, anak mencintai dia; dia senang, anak mulai berubah sedikit dia goyang, anak mulai tidak menghubungi dia, tidak menelpon dia, tidak bercerita dengan dia; dia panik, nah ada baiknya wanita juga membagi ruangan-ruangan hidupnya itu, jangan hanya satu saja yaitu pada si anak.
(4) IR : Nah bagi istri Pak Paul, kira-kira Pak Paul bisa memberikan saran, persiapan apa bagi si istri itu untuk bisa mendampingi di saat suami itu tidak berkarier lagi?

PG : Saya kira yang paling penting adalah kepekaan, pertama-tama dalam perkataan, jangan sampai terlontar kata-kata yang membandingkan si suami dengan orang lain, yang lebih mampu darinya atau angan mengeluarkan kata-kata yang memojokkan ketidakmampuan si suami.

Engkau memang tidak mampu begini engkau memang sok bisanya hanya pamer pada halnya tidak ada apa-apanya, nah kata-kata seperti itu sangat mematikan bagi seorang pria, jadi dari sudut jangan, ya jangan mengeluarkan kata-kata yang akan membuat si suami merasa rendah sekali. Dari sudut yang positif apa yang bisa dilakukan oleh si istri kepada si suami, saya kira nomor 1 suami itu sebetulnya dalam keadaan terpukul karena kehilangan identitas diri pekrjaannya, dia sebetulnya membutuhkan penerimaan yang bulat, yang penuh yaitu aku menerima engkau apa adanya, bahwa aku tetap percaya pada engkau, bahwa engkau itu memiliki kemampuan, namun sekarang kesempatan memang sedang tidak ada di sisi engkau, tapi aku percaya pada kemampuanmu. Nah jadi perkataan-perkataan seperti itu akan membuat si suami lebih bergairah bahwa si istri tidak kehilangan kepercayaan, bahwa persoalan yang sedang dihadapi ini bukanlah karena kemampuan si suami yang kurang tapi karena masalah kesempatan yang sedang tidak ada di pihak kita ini, begitu kira-kira Bu Ida.
IR : Juga kalau mungkin diajak pelayanan itu juga sesuatu yang baik ya Pak Paul?

PG : Sangat baik sekali, memang idealnya Bu Ida sebelum si suami ini mengalami pukulan yang berat, seharusnya dia sudah harus mencabangkan dirinya dalam hidup yaitu dengan terlibat dalam pelayaan dan sebagainya.

Kalau sudah jatuh dia baru disuruh ikut pelayanan itu pun susah sebab gengsinya tinggi, dia akan merasa saya akan ditertawai oleh orang lain, saya akan dinilai o....sudah bangkrut baru sekarang datang gereja pelayanan. Jadi bagi dia itu tekanan mental lagi, jadi memang kalau sudah jatuh baru disuruh ke gereja dan terlibat dalam pelayanan sering kali sukar, jadi seyogyanya sebelum itu terjadi.
GS : Jadi ini suatu keunikan yang Tuhan ciptakan untuk kita sebagai pria dan wanita yang dipersatukan dalam suatu pernikahan di mana kita bisa saling melengkapi satu dengan yang lain.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi di dalam Tuhan Yesus Kristus, kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar keluarga khususnya perbedaan pria dan wanita, pria dalam karier dan wanita dalam relasinya. Kami berbincang-bincang tadi dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



7. Komunikasi Suami dan Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T016A (File MP3 T016A)


Abstrak:

Prinsip komunikasi adalah satu yaitu kejelasan, apakah berhasil berkomunikasi atau tidak diukur dari apa didengar, dipahami dengan jelas.


Ringkasan:

Prinsip komunikasi yang paling penting adalah kejelasan. Jadi apakah kita berhasil berkomunikasi atau tidak diukur dari satu yaitu apakah yang kita katakan didengar dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicara kita.

Komunikasi bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau dikaitkan dengan konteks rumah tangga suami-istri. Salah satu ciri keluarga yang bermasalah adalah rusaknya komunikasi di antara suami dan istri.

Komunikasi saat masih berpacaran dan setelah menikah, berbeda hal ini disebabkan:

  1. Sewaktu pacaran kita ini berbicara pada level yang relatif dangkal. Kedalaman komunikasi biasanya memang harus melewati proses waktu dan pengenalan, tanpa pengenalan yang dalam, tanpa waktu yang panjang dan tanpa kesempatan mengarungi hidup bersama komunikasi kita tidak akan dalam.

  2. Pada masa pacaran komunikasi kita adalah komunikasi yang sesuai dengan kehendak atau kenyamanan kita. Artinya kita akan bicara pada waktu kita ingin bicara. Dengan kata lain pertemuan kita atau kontak kita dengan pacar kita dilakukan pada waktu-waktu yang lumayan cocok dengan jadwal kita. Sementara setelah menikah kita harus bertemu dengan pasangan kita di waktu dimana adakalanya kita tidak ingin bertemu dengan siapapun. Jadi benar-benar dua konteks kehidupan yang berbeda, saat kita tidak ingin bicara terus diajak bicara dan harus bicara di situlah komunikasi bisa terganggu.

Prinsip dalam berkomunikasi / faktor yang perlu kita pertimbangkan dalam berkomunikasi:

  1. Perlu bijaksana apa yang perlu kita sampaikan saat ini. Sebab tidak semua hal cocok disampaikan saat ini.

  2. Tidak boleh berbohong, untuk menutupi suatu hal yang memang telah terjadi. Jadi jangan kita ini menggunakan kebohongan untuk melindungi diri atau untuk menyelamatkan diri atau untuk memecahkan problem kita.

Tidak menyampaikan yang kita alami atau rasakan atau pikirkan secara keseluruhan kepada pasangan kita saat ini artinya adalah kita selalu menimbang apakah memang inilah waktu yang cocok untuk kita bicarakan hal ini. Apakah memang dia siap mendengar yang kita ingin katakan, apakah ini hanya untuk memuaskan hasrat kita saja dan kita tidak peduli dampaknya pada pasangan kita. Jadi faktor-faktor ini sangat perlu kita mempertimbangkan dalam berkomunikasi.

Berapa banyak dan dalamnya kita berkomunikasi dengan pasangan kita dipengaruhi oleh:

  1. Berapa dekatnya hubungan itu. Hubungan yang sangat akrab akan juga memperluas topik percakapan sehingga banyak hal yang bisa dibicarakan.

  2. Berapa seringnya sepasang suami-istri berbagi pengalaman hidup bersama.

Hal-hal kecil di dalam rumah tangga seringkali justru malah menjadi pemicu timbulnya masalah, biasanya hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:

  1. Sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi, sebelum terjadinya kontak komunikasi. Misal: sedang mengalami tekanan-tekanan di tempat kerja.

  2. Kehadiran orang lain, bisa berpengaruh negatif maupun positif.

Hal-hal yang bisa diupayakan agar komunikasi bertambah baik:

  1. Komunikasi dipengaruhi oleh rasa percaya kita pada pasangan, apakah kita bisa percaya bahwa waktu pasangan kita bilang A memang A-lah yang dia ingin sampaikan.

  2. Komunikasi dipengaruhi juga oleh pandangan kita tentang orang lain.

Efesus 4:15 berkata: "Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran dalam kasih kita bertumbuh didalam segala hal ke arah Dia Kristus yang adalah kepala." Kita bertumbuh ke arah Kristus tapi syaratnya adalah bicaralah hal yang benar di dalam Kristus dan dalam kasih.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan juga seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang komunikasi suami dan istri. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita memang menyadari bahwa salah satu bagian di dalam kehidupan suami-istri atau hubungan pernikahan adalah komunikasi. Tetapi juga disadari bahwa itu bukan sesuatu hal yang mudah, karena itu sering kali terjadi benturan-benturan di dalam komunikasi dengan pasangan kita. Nah pada kesempatan ini mungkin yang bisa kami bahas adalah bagaimana sebenarnya suami-istri itu harus membangun komunikasinya sedemikian rupa sehingga betul-betul menumbuhkan kehidupan mereka sebagai suami dan istri, jadi komunikasi itu yang sebenarnya apa Pak Paul?

PG : Pak Gunawan, sebetulnya prinsip komunikasi adalah satu atau satu yang paling penting yaitu kejelasan. Jadi apakah saya berhasil berkomunikasi atau tidak, diukur dari satu yaitu apakah yng saya katakan didengar dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicara saya.

Meskipun saya ini pandai berorasi namun kalau yang saya ingin sampaikan tidak diterima persis sama dengan yang saya kehendaki saya telah gagal berkomunikasi. Nah ternyata hal komunikasi bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau dikaitkan dalam konteks rumah tangga, suami-istri. Ternyata salah satu ciri keluarga yang bermasalah adalah rusaknya komunikasi di antara suami dan istri. Ada lagi yang malah lebih jauh yakni rusaknya komunikasi antara suami-istri atau orang tua dan anak-anak mereka.
GS : Tapi menurut pengalaman kita, pada waktu pacaran Pak Paul itu 'kan sudah banyak yang kita bicarakan bahkan kita bisa berbicara berjam-jam dengan pacar kita yang sekarang menjadi pasangan hidup kita. Tetapi kenapa tiba-tiba setelah menikah justru menjadi hambatan padahal dulu waktu pacaran ini menjadi sesuatu yang didambakan. Senang mendengar suaranya, bisa berbicara dengan dia.

PG : Ya kita mesti melihat beberapa hal di sini Pak Gunawan, yang pertama adalah sewaktu berpacaran kita ini berbicara pada level yang relatif dangkal, jadi kedalaman komunikasi itu biasanyamemang harus melewati proses waktu dan pengenalan.

Tanpa pengenalan yang dalam, tanpa waktu yang panjang dan tanpa kesempatan mengarungi hidup bersama-sama, komunikasi kita tidak akan bisa dalam. Nah pada masa berpacaran komunikasi memang tidak bisa dalam karena kita belum mengarungi hidup bersama-sama, kita belum melewati proses waktu yang panjang. Dan kita belum berkenalan dan mengenal pasangan kita dengan benar-benar intim, sehingga akhirnya komunikasi kita relatif berkisar pada hal-hal yang cethek atau yang dangkal. Dan yang berikutnya lagi adalah, pada masa berpacaran komunikasi itu memang komunikasi yang saya boleh gunakan istilah sesuai dengan kehendak atau kenyamanan kita yang 'convenient' artinya kita akan berbicara pada waktu kita ingin berbicara, kita menelepon dia tatkala memang berhasrat menelepon dia, kita pergi dengan dia tatkala memang kita berkunjung ke rumah dia ingin bertemu dengan dia. Dengan perkataan lain, atau kontak kita dengan pacar kita dilakukan pada umumnya pada waktu-waktu yang lumayan cocok dengan jadwal kita. Setelah kita menikah, hal itu tidak lagi dikuasai oleh kita, kita harus bertemu dengan pasangan kita di waktu di mana adakalanya kita tidak ingin bertemu dengan siapapun, kita harus berbicara dengan pasangan kita di waktu kita sebetulnya lagi tidak ingin berbicara dengan siapapun. Jadi benar-benar 2 konteks kehidupan yang berbeda, nah pada saat kita tidak ingin bicara, terus diajak bicara dan harus bicara di situlah komunikasi bisa terganggu. Jadi kita cenderung bisa berbicara dengan baik kalau memang kita lagi mau berbicara saat itu dan memang hati kita lagi senang, namun kita tahu setelah menikah hal itu tidak lagi bisa kita miliki.
(2) IR : Jadi jelas Pak Paul bahwa komunikasi itu sangat dipengaruhi dengan emosi, dengan pikiran. Tapi mungkin ada contoh gaya-gaya komunikasi yang mungkin Pak Paul bisa berikan, karena setiap orang itu 'kan belum tentu mengerti cara berkomunikasi dengan gaya-gaya yang positif, mungkin Pak Paul bisa memberi contoh?

PG : Dan sudah pasti gaya komunikasi kita ini akhirnya mempengaruhi komunikasi kita dengan pasangan kita. Nah ada yang mudah memahami gaya komunikasi kita, ada yang kesulitan sebab biasanya aya komunikasi dua orang itu tidak sama.

GS : Walaupun mereka suami-istri Pak Paul?

PG : Walaupun mereka suami-istri.

GS : Itu justru yang menarik.

PG : Ya, salah satu gaya yang umum dan ini biasanya dimiliki oleh pria, yakni gaya yang boleh saya gunakan sebutan si asumsi atau si anggap, si menganggap. Artinya orang ini menganggap bahwaseharusnya engkau sudah tahu apa yang ingin saya katakan, jadi sebelum saya katakan ya engkau sudah mengerti, dan intinya adalah saya tidak usah katakan lagi.

Nah ini salah satu gaya komunikasi yang tidak sehat karena akhirnya lawan bicara akan bingung, apa yang sedang kita pikirkan dia tidak tahu sebab kita tidak mengungkapkan. Tatkala dia tidak memberikan jawaban atau melakukan yang kita harapkan, kita marah dan akhirnya kita merasa orang ini tidak mengerti kita.
GS : Sebaliknya ada juga orang yang mengatakan sesuatu itu berputar dulu tidak to the point tapi penuh dengan kata-kata yang bersayap sehingga kita itu sulit memahaminya.

PG : Betul sekali, dan ini biasanya dipengaruhi oleh budaya Pak Gunawan, jadi memang ini gaya bicara yang bisa kita sebut gaya bicara putar-putar. Yakni sebelum menyampaikan atau tiba pada ssarannya, dia harus keliling kota dulu baru ke sasarannya.

Nah ini memang tidak salah, tergantung budaya tersebut dan apakah pasangan kita bisa memahami gaya bicara kita.
GS : Faktor waktu Pak Paul, saya rasa itu juga menentukan, kadang-kadang kami sebagai suami kalau sedang lelah, lalu diajak bicara padahal istri itu banyak sekali yang dibicarakan mulai pagi sampai sore apa yang dialami dia mau sampaikan itu sering kali dan kami tidak bisa menanggapi dengan sungguh-sungguh begitu, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, saya masih ingat waktu kami belum lama menikah, saya mengalami gangguan juga dalam hal komunikasi dengan istri saya. Sejak saat itu saya masih ingat istri sayacenderung bicara tentang problem tentang apa yang terjadi di rumah tatkala saya baru pulang, waktu saya makan malam.

Nah saya ini orang yang menikmati makan Pak Gunawan, Pak Gunawan mungkin bisa melihat dari tubuh saya, saya kalau makan ingin menikmati makanan yang saya makan itu, saya orangnya begitu. Nonton televisi ya saya ingin nonton televisi, saya tidak bisa nonton televisi sekaligus berdiskusi tentang isi film itu saya tidak bisa, jadi saya satu ya satu begitu. Nah lagi makan ya saya makan, saya tidak suka lagi makan itu ngobrol tentang hal-hal yang serius, nah yang terjadi adalah istri saya suka cerita tentang masalah yang terjadi hari itu, nah saya tidak bisa mendengar. Dia memang senang menemani saya duduk di meja makan tapi akhirnya menjadi waktu yang tidak saya nikmati, maka saya katakan kepada dia: "Lain kali ya jangan ngomong setelah atau lagi saya makan." Jadi akhirnya kami memutuskan waktu yang paling cocok untuk kami bicara hal yang serius adalah malam hari, setelah semua tidur. Dan saya berikan persiapan yaitu istri saya beritahu saya, "Nanti malam ada waktu tidak, saya mau bicara sesuatu yang penting," saya bilang ada. Nah jadi saya sudah bisa antisipasi kalau saya sudah bilang ada dan saya bersedia, saya harus pegang janji itu, jangan setelah malam saya langsung tidur, nah itu tidak baik ya, tidak etis. Jadi siapkan waktu untuk bicara hal yang serius sebab waktu itu akan menjadi lebih produktif kita gunakan.
GS : Tapi bagaimana kalau hal-hal itu yaitu masalah-masalah yang memang serius itu rutin Pak Paul dari hari ke sehari, masalah-masalah yang dibicarakan di dalam rumah tangga itu sama, mirip yaitu masalah anak-anak, masalah harga barang itu 'kan tidak terlalu membutuhkan banyak pemikiran Pak Paul, nah kalau itu dibicarakan pada jam-jam makan, apakah itu juga mengganggu?

PG : Tergantung orangnya, bagi saya cukup mengganggu, sebab bagi saya kalau saya sedang makan saya ingin menikmati yang saya makan, tidak bisa dicampur dengan memikirkan problem Pak Gunawan.Nah saya percaya ada orang-orang yang saya rasa tidak apa-apa dan dia bisa menikmati makan sembari ngobrol dengan hal-hal yang serius, yang mengganggu, ya sudah tidak apa-apa, jadi tergantung.

IR : Apakah perlu Pak Paul, seseorang itu mengkomunikasikan secara utuh apa yang ada di dalam hatinya?

PG : Maksudnya apakah perlu keterbukaan total begitu?

IR : Ya total.

PG : Apapun yang dia pikirkan dia katakan. Saya kira tidak, jadi kita perlu bijaksana apa yang perlu kita sampaikan saat ini, nah itu saya gunakan. Saya garis bawahi kata saat ini, sebab tidk semua hal cocok disampaikan saat ini, itu satu prinsipnya.

Prinsip kedua adalah kita tidak boleh berbohong untuk menutupi suatu hal yang memang telah terjadi, jadi jangan kita ini menggunakan kebohongan untuk melindungi diri atau untuk menyelamatkan diri atau untuk memecahkan problem kita, jadi itu prinsip yang kedua. Jadi yang saya maksud kalaupun kita tidak menceritakan, itu bukan berarti kita sedang mencoba menutupi suatu fakta dari pasangan kita atau sedang mencoba menyelamatkan diri atau kita berpikir dengan berbohong kita akan memecahkan problem ini. Itu tidak boleh, sebab memang Tuhan melarang kita untuk berbohong. Nah kita tidak menyampaikan yang kita alami atau rasakan atau pikirkan semuanya kepada pasangan kita saat ini artinya adalah kita selalu menimbang apakah memang inilah waktu yang cocok untuk kita membicarakan hal ini. Apakah memang dia ini siap mendengar yang saya ingin katakan, apakah ini hanya untuk memuaskan hasrat saya saja dan saya tidak peduli dampaknya pada pasangan saya. Jadi dalam komunikasi kita perlu mempertimbangkan semua faktor-faktor itu, sebab sekali lagi kita tidak hidup untuk diri kita, jadi Tuhan pun meminta kita selalu menimbang orang lain pula.
IR : Jadi bertahap Pak Paul ya?

PG : Ya jadi bisa bertahap juga tapi ini bukannya kasus di mana misalnya terjadi perselingkuhan dan misalkan seorang istri bertanya meminta pertanggungjawaban suami yang telah berselingkuh. ah di sini sudah pasti yang dituntut dan yang seharusnya dilakukan adalah keterbukaan total.

Jadi tidak boleh si suami berkata saya akan ceritakan satu bagian, mungkin 3 bulan lagi bagian yang lainnya, tidak bisa. Jadi untuk merestorasi atau memulihkan hubungan yang telah putus atau telah retak karena perselingkuhan si suami harus terbuka dengan total apa yang telah dia lakukan dan apa yang istri ingin tanyakan dia mesti ceritakan, sehingga si istri bisa mulai membangun rasa percayanya kembali.
GS : Sebenarnya pokok-pokok pembicaraan apa yang bisa membangun kehidupan pernikahan kita Pak Paul, 'kan ada pembicaraan itu yang sekadar istilahnya basa-basi saja, sambil lalu. Tetapi apakah ada pokok-pokok pembicaraan itu yang memang perlu untuk dibicarakan oleh suami-istri?

PG : Saya kira tidak ada hukumnya atau aturannya, berapa banyak atau hal-hal apa saja yang bisa dibicarakan, saya kira berapa dalam dan berapa luasnya percakapan itu akan dipengaruhi sekali leh berapa dekatnya hubungan itu.

Karena hubungan yang sangat akrab akan juga memperluas topik percakapan, sehingga banyak hal yang bisa dibicarakan. Dan juga pengalaman hidup bersama, itu juga penting dalam pembicaraan kalau si istri terputus dari si suami dalam pengalaman hidupnya sebab suami bekerja dari pagi sampai malam, jarang cerita tentang pekerjaannya dengan si istri, nah si istri tidak membagi hidup dengan si suami, akibatnya tidak bisa berbicara secara luas juga. Jadi berapa banyak yang bisa dibicarakan dan berapa dalam tergantung pula pada dua hal itu, yaitu berapa dekatnya hubungan suami-istri dan berapa seringnya mereka berbagi pengalaman hidup ini.
IR : Nah ini ada contoh Pak Paul seorang suami dan istri itu memang dekat, cuma si suami ini sangat labil emosinya, kemudian si istri itu di dalam mengkomunikasikan suatu masalah tidak semuanya begitu. Apakah sisanya itu dianggap kebohongan Pak Paul?

PG : Tidak, itu hikmat ya Bu Ida, jadi kita tahu berapa banyak yang bisa diserap oleh si suami tanpa dia harus akhirnya goyang, kalau dia memang beremosi tinggi, kita tahu kalau kita berikan10 kilo dia pasti akan marah, meledak dan sebagainya.

Nah jadi kita akan sampaikan 1 kilo, 1 kilo dan 1 kilo, perlahan-lahan. Dan mungkin juga itu adalah hal yang ideal dan diharapkan oleh si suami secara tidak langsung, karena kalau dia serap semuanya diapun akan menderita, diapun tidak bisa menguasai dirinya. Dan mungkin dia akan menyesali juga kenapa tadi saya bereaksi begitu keras, jadi saya kira itu adalah aspek yang baik, itu adalah suatu kebijaksanaan dalam berkomunikasi, jadi saya pikir itu baik, bukannya berbohong.
IR : Soalnya istri itu kadang-kadang mempunyai perasaan aduh....ada sebagian yang saya rahasiakan, dia itu punya kebohongan, tapi pada akhirnya nanti disampaikan karena kalau proses masalahnya itu sudah lama dia bisa menerima begitu Pak Paul, tapi kalau pada waktu itu dia pasti akan marah.

PG : Betul, tapi sekali lagi saya ingin garis bawahi, mungkin ada pendengar yang baru langsung mendengar percakapan ini, jadi jangan sampai salah sangka. Tidak diberitahukan dalam pengertianbukannya sedang menutupi fakta tentang diri kita.

Misalkan kita telah berselingkuh, kita telah melakukan hal yang salah dan kita tidak mau memberitahu pasangan kita, bukan itu sama sekali. Jadi ini adalah pembicaraan tentang hal-hal lain misalnya soal urusan bisnis atau urusan anak dan sebagainya nah kita tidak sampaikan dalam pengertian kita mau melihat waktunya kapan, kesiapan pasangan kita begitu.
GS : Ya sering kali yang menjadi masalah di dalam komunikasi atau salah pengertian itu sebenarnya kadang-kadang justru hal-hal yang sepele Pak Paul, bukan hal-hal yang prinsip. Nah itu kenapa, kalau sudah terjadi lalu kita pikir, sebenarnya itu tadi 'kan sesuatu yang bisa dibicarakan atau diselesaikan dengan baik, cuma hal yang sepele misalnya saja makanan yang terlalu asin atau terjatuh di tanah waktu makan dan sebagainya itu 'kan sepele, tapi itu menjadi masalah besar. Sedangkan hal-hal yang sebenarnya prinsip tidak pernah muncul ke permukaan.

PG : Betul, saya juga katakan bahwa kita jarang bertengkar mempeributkan siapa yang menjadi kepala negara Yugoslavia, kita jarang memikirkan soal-soal itu. Komunikasi kita ini dipengaruhi olh beberapa faktor; yang pertama adalah sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi, sebelum terjalinnya kontak komunikasi itu.

Misalnya saya ini baru saja mengalami tekanan-tekanan di tempat kerja misalnya karena ide-ide saya tidak disambut, saya kesal sekali kemudian saya pulang, terus saya bercerita tentang hal lain kepada istri saya dan saya mengusulkan misalnya bagaimana kita ini merenovasi rumah, sebab rasanya makin kecil rumah ini dengan bertambahnya usia anak-anak. Istri misalnya berkata bagaimana kalau kita tunggu dulu, nanti kita lihat lagi beberapa bulan apakah memang perlu dibuat kamar ini atau apa. Nah tiba-tiba saya marah, kenapa saya marah? Sebab saya ini langsung menggolongkan istri saya sama dengan orang-orang tadi di tempat kerja yang menghalangi saya, saya ini merasa terhalang tadi, diri saya tadi merasa tergunting karena yang saya usulkan tidak diterima, sekarang saya mengusulkan hal lain tidak berkaitan dengan pekerjaan saya, tapi istri saya meminta saya menangguhkan terlebih dahulu, saya marah sekali. Nah di situ kita melihat bahwa komunikasi tergantung atau dipengaruhi oleh apa yang terjadi sebelumnya sebab kita cenderung mengategorikan atau menggolongkan orang berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya, meskipun kasusnya tidak sama. Jadi itulah salah satu contoh kenapa kita adakalanya meledak atas hal-hal yang kecil Pak Gunawan.
GS : Apakah pihak ketiga itu bisa mempengaruhi komunikasi suami-istri, maksud saya misalnya di sana ada mertua atau orang lain, saudara, komunikasi kita sering kali tidak sebebas kalau kita waktu berdua Pak Paul.

PG : Tepat sekali, sangat dipengaruhi Pak Gunawan. Jadi hal kedua yang bisa mempengaruhi komunikasi kita adalah kehadiran orang lain. Bisa positif, bisa negatif, bisa misalnya gara-gara ada ertua kita tidak berani berbicara kasar atau kebalikannya Pak Gunawan, gara-gara ada mertua kita sebetulnya ingin mengekspresikan kedongkolan kita kepada mertua, tidak bisa.

Nah akhirnya yang kita jadikan sasaran adalah pasangan kita, kita marah pada pasangan kita dengan harapan si mertua juga ikut marah, si orang tua juga ikut tertembak, begitu. Jadi sering kali kehadiran orang ketiga memang mempengaruhi komunikasi kita, betul itu.
GS : Apakah ada hal-hal lain Pak Paul, yang bisa diupayakan oleh suami-istri supaya komunikasi itu bertambah baik dari hari ke sehari itu?

PG : Ada Pak Gunawan, jadi komunikasi juga sangat dipengaruhi oleh rasa percaya kita pada pasangan, apakah kita bisa bicara bahwa waktu pasangan kita mengatakan A memang A-lah yang dia inginsampaikan.

Kalau sudah ada kecurigaan "Engkau bicara A karena engkau ingin mendapatkan B," nah itu berarti masalahnya bukan lagi komunikasi, namun sudah menyangkut masalah kepercayaan dan ini adalah hal yang lebih serius. Berarti kita tidak lagi bisa percaya pada kemurnian, kejujuran atau motivasi pasangan kita, kalau ini terjadi, memang kita harus kembali kepada hal-hal yang lebih mendasar. Apa yang telah terjadi dalam hubungan kita sehingga kita tidak lagi bisa percaya pada pasangan kita ini, apakah kita pernah merasa tertipu. Adakalanya kita akhirnya sangat berjaga-jaga sewaktu pasangan kita berkata-kata karena kita takut terjebak, kita takut mengeluarkan janji sebab janji kita itu bisa dipegang atau kita takut menceritakan kelemahan kita kalau ini adalah kelemahan. Sebabnya adalah kelemahan ini bisa dipegangnya untuk menyerang kita kembali, jadi komunikasi sangat dipengaruhi oleh rasa percaya. Berbahagialah pernikahan yang memiliki rasa percaya yang kuat, kalau itu tidak ada, biasanya hal berikutnya yang akan rontok adalah komunikasi antara dua orang itu.
GS : Saya ingat bahwa firman Tuhan selalu mengingatkan kita agar kita itu kalau berbicara yang lemah lembut Pak Paul ya, menahan amarah dan sebagainya. Itu berkaitan dengan kehidupan kerohanian kita Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sebab orang cenderung lebih bisa mendengar perkataan lemah lembut daripada perkataan kasar. Perkataan kasar meskipun dikatakan saya jujur bebrbicara apa adanyatapi kalau kasar, tetap akan mengurangi keefektifan komunikasi itu.

GS : Ya jadi dalam hal ini bukan isinya, isinya tetap penting tapi gaya dia menyampaikan itu juga penting, Pak Paul.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan juga komunikasi sangat dipengaruhi oleh pandangan kita tentang orang lain. Jadi kita sebetulnya berkomunikasi sesuai dengan gambar dalam kepala kita, siapaorang itu.

Misalkan, kita berbicara dengan orang yang kita anggap kasar, nah kita tiba-tiba sudah mulai mengubah pola pikir kita. Kita harus berbicara dengan kasar juga kepada dia sebab dengan cara itulah baru dia mengerti. Kalau kita berbicara dengan orang yang kita anggap halus sekali, nah tiba-tiba kita mengubah gaya bicara kita dengan lebih halus agar dia jangan sampai tersinggung. Jadi tergantung pada persepsi atau pandangan atau penilaian kita terhadap lawan bicara itu. Nah dalam konteks suami-istri, siapa istri atau suami kita menurut kita itu akan mempengaruhi bagaimana kita berkomunikasi dengan dia. Salah satu unsurnya adalah yang kita sering bicarakan yaitu respek. Kalau kita menilai dia dengan penuh respek, otomatis komunikasi kita juga akan lebih berhati-hati, kita tidak sembarangan bicara, kita tidak sembarangan mengeluarkan perasaan kita karena kita mau mengindahkan perasaannya. Tapi kalau respek itu sudah hilang otomatis penilaian kita terhadap orang tersebut negatif, nah sewaktu penilaian kita negatif komunikasi kita akan diisi dengan hal-hal negatif pula.
GS : Jadi sesuatu hal yang memang tidak mudah, tetapi saya rasa kita perlu terus-menerus belajar Pak Paul dalam hal berkomunikasi. Apakah ada bagian dalam Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan ambil dari Efesus 4:15,"Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia Kristus yang adalah kepala." ah ini terjemahan bahasa Inggrisnya lebih bagus yaitu "Speak the Truth in love" kita bertumbuh ke arah Kristus, tapi syaratnya adalah bicaralah hal yang benar di dalam Kristus dan dalam kasih.

GS : Ya terima kasih Pak Paul, dan demikianlah tadi telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar komunikasi suami-istri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



8. Masalah-Masalah dan Penyelesaiannya dalam Hubungan Suami Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T019A (File MP3 T019A)


Abstrak:

Masalah-masalah yang sama seringkali muncul dalam hubungan suami istri. Namun cara apa atau bagaimana kita mengatasinya? Materi ini akan memberikan jawaban buat kita semua.


Ringkasan:

Dalam hubungan suami istri tidak luput dari permasalahan-permasalahan. Dan itu tidak hanya terjadi satu atau dua kali tetapi berulang-ulang dan dalam permasalahan yang sama. Yang seringkali menjadi persoalan adalah apa yang dulu pernah dipeributkan pada saat sebelum menikah itu akan muncul kembali pada saat sudah menikah. Hal ini disebabkan kemungkinan belum adanya penyelesaian dengan sungguh-sungguh atau tuntas terhadap permasalahan tersebut. Hal tersebut juga bisa disebabkan oleh karakter seseorang yang berbeda satu dengan yang lain.

Karakter berunsur/bersumber dari beberapa faktor yaitu:

  1. Fisik
  2. Tipe kepribadian
  3. Pengaruh lingkungan

Dan semua itu menjadi satu dalam hidup kita dan begitu menyatu dengan kita sehingga untuk kita mengubah diri atau cara itu tidaklah terlalu mudah. Yang seharusnya dilakukan untuk tidak terjadi hal seperti ini adalah secara teoritis atau idealisnya keduanya atau suami-istri itu saling menyesuaikan diri. Mayoritas problem antara kita dan pasangan kita bukanlah masalah benar salah tapi masalah perbedaan, perbedaan cara hidup, cara pikir, itu yang harus disesuaikan. Kecenderungan kita adalah berpikir bahwa kita betul dan untuk kita mengubah diri berarti kita melakukan yang salah. Kita perlu juga membatasi problem seperti apa yang kita izinkan untuk timbul lagi misalnya ada problem yang memang kita tidak boleh toleransi untuk timbul kembali. Misalkan kasus perselingkuhan atau hubungan dengan orang ketiga di luar pernikahan, di situ kita harus tegas bahwa, "Tidak, tidak akan saya toleransi, engkau tidak boleh melanjutkan hubungan dengan dia." Atau misalnya lagi pemukulan, penyiksaan, penganiayaan terhadap pasangan hidup atau anak-anak, itu juga tidak boleh ditoleransi.

Namun dalam kasus yang lain, yang masih bisa ditoleransi yang harus kita lakukan adalah:

  1. Kita mesti siap menerima kenyataan bahwa problem ini kemungkinan besar akan muncul lagi.

  2. Kita mesti menunjukkan usaha, kalau kita tahu bahwa pasangan kita telah berusaha, kita lebih bisa menerima meski dia tidak berhasil melakukan yang kita inginkan. Di sini diperlukan kesamaan visi atau kesamaan pandangan barulah di sini mulai ada perubahan.

Ada kasus suami yang ringan tangan terhadap istrinya, artinya suka memukul istrinya. Meski dia menyesal dan berjanji tidak melakukannya lagi tapi pada kesempatan berikutnya dia tetap melakukan pemukulan terhadap istri. Dalam kasus seperti ini diperlukan pihak ketiga untuk menolongnya di mana dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Kita ini manusia, kalau kita tahu bahwa tindakan kita akan membuahkan konsekuensi yang berat kita cenderung memikir ulang sebelum bertindak. Tapi kalau kita tahu bahwa tindakan kita ini tidak akan membuahkan konsekuensi/tidak ada akibatnya kita cenderung semena-mena. Nah dianjurkan mereka berdua harus bertemu dengan orang ketiga misalnya pendeta atau seorang konselor di mana istri bisa berkata: "Kalau saya dipukul saya akan beritahu pendeta saya," sehingga akhirnya suami berpikir ulang sebelum melakukan tindakan yang sama.

Mazmur 103:13, "Seperti Bapa sayang kepada anak-anakNya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia." Salah satu kunci penyelesaian konflik dalam urusan rumah tangga adalah rasa takut akan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara di kota Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Masalah-masalah dan Penyelesaiannya di dalam hubungan Suami-Istri khususnya. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sebagai suami-istri tentu kita tidak luput dari permasalahan-permasalahan yang ada di dalam kehidupan ini, dan sering kali ada anggapan bahwa suatu masalah yang pernah diselesaikan sebaiknya atau bahkan seharusnya tidak muncul lagi, karena sudah diselesaikan. Tapi kenyataannya di dalam hubungan suami-istri yang saya alami, masalah yang sama itu bisa muncul berkali-kali Pak Paul, sampai kadang-kadang saya sendiri jengkel dan bosan menghadapinya kok itu lagi, itu lagi. Nah, pandangan ini mana yang betul apakah saya yang salah atau pandangannya yang mungkin perlu diluruskan?

PG : Sebelum saya menjawab Pak Gunawan, saya ingin tanya ibu Ida, apakah Ibu Ida juga mempunyai pengalaman yang serupa?

IR : Ya, apakah itu merupakan suatu kebiasaan, jadi rasanya masalah itu selalu diulang-ulang.

PG : Saya pun soalnya juga mengalami masalah yang sama, rupanya itu adalah hal yang wajar Pak Gunawan dan Ibu Ida, bahwa dalam pernikahan kita akan mempeributkan hal yang sama dan rasanya kia juga bisa bosan.

Tapi akhirnya hal yang sama itu yang muncul, saya ingat dulu yang kami tengkarkan maksud saya istri dan saya, sebelum kami menikah ternyata juga adalah hal yang kami tengkarkan setelah kami menikah. Dan seolah-olah itu menjadi duri dalam hubungan kami, dan itu juga memakan waktu bertahun-tahun. Jadi anggapan bahwa sekali kita bereskan untuk selama-lamanya masalah ini tidak akan muncul lagi, saya kira itu lebih seperti mitos yang tidak tepat. Sebab dalam kenyataannya seperti tadi Pak Gunawan sudah singgung hal yang sama sering kali muncul lagi.
GS : Nah, apakah itu berarti bahwa penyelesaian masalah itu belum tuntas Pak Paul?

PG : Bisa, jadi ada kemungkinan memang belum diselesaikan dengan sungguh-sungguh atau dengan tuntas, tapi juga sebetulnya bisa tuntas untuk saat itu. Namun masalahnya atau tema masalah itu mncul kembali sebab kita senantiasa menghadapi peristiwa-peristiwa yang berbeda-beda dalam hidup, tapi karena tema yang sama itu atau cara kita menghadapi masalah yang sama akhirnya problem muncul lagi, jadi adakalanya kita memang sudah selesaikan dan benar-benar ada kedamaian dalam hati kita, saling memaafkan dan ada saling pengertian,tapi kita ini adalah produk dari bentukan dan didikan sehingga cara kita hidup dan sebagainya itu sudah mendarah daging dengan kehidupan kita Pak Gunawan.

Artinya apa, misalnya kemungkinan minggu depan kita menghadapi situasi yang lain, kita menggunakan metode yang sama untuk menyelesaikannya. Dan metode itu kebetulan tidak disukai oleh pasangan kita, akhirnya kita bentrok lagi untuk hal yang persis sama.
IR : Jadi itu terkait juga dengan karakter seseorang Pak Paul, jadi sulit untuk berubah sehingga masalah itu selalu terulang-ulang.

PG : Ya, sebab karakter itu memang berunsur dari beberapa faktor Bu Ida, karakter itu berunsur atau bersumber dari fisik kita, karakter juga bersumber dari tipe kepribadian kita dan juga penaruh lingkungan, apa yang telah kita terima dari lingkungan kita.

Dan akhirnya semua itu menjadi satu dalam hidup kita dan begitu menyatu dengan kita, sehingga untuk kita bisa mengubah diri atau cara yang sama itu akhirnya tidaklah terlalu mudah. Saya misalkan memikirkan tentang diri saya pribadi, saya makin hari makin menyadari bahwa saya tidak sesabar yang saya pikir, itu hal yang tidak begitu enak saya sadari, tapi itulah yang menjadi kenyataan. Dan kenapa saya itu tidak sesabar seperti yang saya pikir, akhirnya saya juga menemukan bahwa saya adalah orang yang menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan benar, dengan efisien, dengan efektif. Nah, saya itu ternyata memang orang yang sangat tergila-gila (kalau boleh saya gunakan istilah tergila-gila) dengan konsep efektif-efisien, sehingga segala sesuatu yang menurut saya tidak efisien, saya dibuat jengkel olehnya. Nah, saya mengerti sekarang bahwa saya tidak bisa memaksakan standar ini pada istri saya atau anak-anak saya, namun terus terang pengertian itu tidak terlalu menolong juga. Sebab tatkala sesuatu dilakukan tidak efisien, mudah sekali kejengkelan saya itu timbul, dan saya harus mengakui adakalanya saya merasa menyesal kenapa tadi saya harus begitu jengkel, kenapa saya harus marah kepada anak saya, saya tahu itu tidak betul tapi akhirnya saya juga marah. Dan kenapa saya begitu atau kenapa saya bereaksi secara negatif, rupanya saya sukar sekali melepaskan diri dari konsep efisien itu.
GS : Jadi kalau kita menghadapi masalah seperti itu dan banyak contoh-contoh yang lain Pak Paul, kita tahu bahwa itu sesuatu yang baik dan benar, efisien, efektif dan sebagainya tapi kenyataannya kita tidak bisa mempengaruhi atau merubah baik istri maupun anak. Dan orang berpendapat kalau mereka tidak bisa berubah, kamu saja yang berubah, tapi kita berprinsip saya benar, sehingga di sana timbul konflik lagi Pak Paul, permasalahannya itu tidak selesai, keluar lagi begitu dan seharusnya yang mesti berubah ini siapa, saya atau orang lain yang ada di sekeliling saya?

PG : Jadi secara teoritis atau idealisnya keduanya itu saling menyesuaikan diri Pak Gunawan, jadi sekali lagi masalahnya bukan siapa salah, siapa benar. Kecenderungan kita adalah seperti tad Pak Gunawan sudah singgung kita cenderung berpikir bahwa kita betul dan untuk kita mengubah diri berarti kita melakukan yang salah, nah masalahnya kalau kita melihat hidup dari sudut salah-benar atau maksud saya dalam kasus pernikahan salah-benar saya rasa kita akan pusing sekali.

Karena mayoritas dari problem antara kita dan pasangan kita bukanlah masalah benar-salah, tapi masalah perbedaan, perbedaan cara hidup, cara pikir, itu yang akhirnya harus kita sesuaikan. Jadi dalam kasus seperti saya tadi misalnya saya tetap harus nomor satu belajar mengontrol emosi saya, sehingga saya tidak terlalu mudah digerakkan oleh emosi, misalkan saya melihat sesuatu yang tidak efisien. Di pihak lain, istri dan anak saya perlu belajar menyesuaikan diri dengan saya yakni belajar untuk lebih efisien, tidak sembarangan misalnya dalam mengerjakan sesuatu, jadi dalam hal itu keduanya saling menyesuaikan diri Pak Gunawan.
GS : Setelah masing-masing menyadari akan kebutuhan yang lebih tinggi dari itu Pak Paul, keutuhan kehidupan rumah tangga itu lebih terjaga.

PG : Betul, dan tema pertengkaran kami ini Pak Gunawan dan Ibu Ida, muncul cukup sering dan saya masih ingat pada suatu ketika di mana istri saya kadang-kadang suka berkata: "Saya tidak bisasempurna seperti yang engkau inginkan," begitu dia mengeluh kepada saya kok kamu menginginkan saya ini sempurna, saya berkata saya sebetulnya tidak menginginkan dia sempurna namun waktu saya pikir-pikir waktu saya menginginkan dia itu efisien, tidak buang-buang tenaga dan mengerjakan sesuatu dengan perencanaan yang baik, saya akhirnya sadari, ya saya memang sedikit banyak mengharapkan dia sempurna.

Tapi di pihak lain saya juga sadar bahwa saya mempunyai sumbang sih yang baik dalam hal itu, jadi diapun juga terpaksa menyesuaikan diri dengan saya untuk kebaikannya juga. Namun di pihak lain saya juga mencoba untuk lebih fleksibel, lebih kendor.
IR : Jadi saling mengisi Pak Paul, saling menolong satu dengan yang lain begitu?
GS : Tetapi kalau masalah itu terulang dan frekwensinya agak sering Pak Paul, itu juga pasti mengganggu dan itu seolah-olah kita tidak sungguh-sungguh menyelesaikan masalah itu. Dan yang diserang bukan masalahnya tapi pribadinya dengan mengatakan: "Kamu ini memang tidak bisa berubah atau kamu ini tidak niat untuk berubah," jadi bergeser.

PG : Betul, jadi akhirnya seperti tadi Pak Gunawan sudah katakan fokusnya beralih mula-mula dalam pertengkaran kita memang percaya bahwa pasangan kita tidak bisa, jadi saya garis bawahi katatidak bisa berubah.

Namun setelah bertengkar untuk satu jangka waktu tertentu terjadilah pergeseran, kita tidak lagi berkata engkau tidak bisa, engkau tidak niat sekarang, engkau memang tidak mau berubah. Nah sewaktu kita sudah melabelkan bahwa pasangan kita itu tidak mau berubah itu adalah suatu serangan yang sangat pribadi akhirnya. Sebab kita langsung mengasumsikan bahwa dia tidak mau berubah dalam kaitannya dengan saya yaitu dia tidak mau menyenangkan hati saya, nah itu bisa kita tarik lagi, lama-lama kita bisa berkata: "Engkau tidak mau berubah karena engkau tidak mau menyenangkan hati saya dan karena engkau tidak mencintai saya atau akhirnya engkau tidak peduli dengan saya, tidak mau berkorban demi saya, kalau engkau cinta saya kenapa tidak mau berkorban."
GS : Dan kalau begitu Pak Paul, ini sesuatu yang sangat serius di dalam hubungan suami-istri, nah bagaimana kita mencoba menangkal masalah itu, kita tahu bahwa itu sudah timbul 2 kali misalnya kita bisa memperkirakan bahwa masalah ini pasti akan timbul lagi. Nah, apa yang bisa kita lakukan baik suami maupun istri?

PG : Saya perlu juga membatasi problem seperti apa yang kita izinkan untuk timbul lagi Pak Gunawan, misalkan ada problem yang memang kita tidak boleh toleransi untuk timbul kembali. Misalkankasus perselingkuhan atau hubungan dengan orang ketiga di luar pernikahan, nah kita harus tegas di situ bahwa: "Tidak! tidak akan saya toleransi, engkau tidak boleh lagi melanjutkan hubungan dengan dia."

Jadi dalam kasus seperti itu tidak boleh ditoleransi atau dalam kasus misalnya pemukulan, penyiksaan, penganiayaan terhadap pasangan hidup atau anak-anak, nah itu tidak boleh ditoleransi. Namun dalam kasus-kasus yang lain saya kira langkah pertama adalah kita mesti siap untuk menerima kenyataan bahwa problem ini kemungkinan besar akan muncul lagi. Jadi saya kira harapan yang realistik itu menolong Pak Gunawan, kadang kala kita ini dibuat kecewa karena kita mempunyai harapan yang tidak realistik. Maka tadi saya sebut itu sebagai mitos jadi nomor satu sadari mungkin timbul kembali, dan nomor 2 saya kira yang penting adalah kita mesti menunjukkan usaha, sebab memang kalau kita tahu bahwa pasangan kita telah berusaha kita lebih bisa menerima meski dia tidak berhasil melakukan yang kita inginkan. Jadi tetap usaha itu penting sekali, adakalanya memang pasangan kita tidak melihat usaha kita, nah di sini yang diperlukan adalah kesamaan visi dalam pengertian, ada orang yang berkata misalnya dalam masalah, seorang istri berkata: "Aku tidak dicintai olehmu, engkau tidak menunjukkan cintamu kepadaku." Nah si suami berkata: "Aku mencintaimu," si istri berkata: "Dari mana aku tahu engkau mencintaiku?" Nah suami misalnya berkata: "Ya aku tidak pernah ada orang lain, aku selalu setia di rumah, aku pulang jam 06.00 sore, tidak pergi-pergi, aku seorang pekerja yang baik." Bagi si suami itu adalah demonstrasi bahwa saya mencintai dia, namun bagi si istri tidak cukup. Jadi si suami perlu bertanya: "Seperti apakah engkau itu menginginkan aku mencintaimu?" Nah biarkan si istri memberikan petunjuknya, yang dia inginkan apa sehingga akhirnya si suami tahu bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut. Jadi mesti ada kesamaan visi atau pandangan, nah setelah itu saya kira baru mulai ada perubahan. Kalau misalnya si istri itu melihat si suami dan mencoba misalkan dengan berkata: "Ya aku minta misalnya engkau tidak hanya duduk di dalam rumah, membaca koran, nonton televisi tapi aku minta engkau sekurang-kurangnya bisa berbincang-bincang dengan kami. Nah, mereka berdua harus tetapkan waktu misalnya setiap malam selama ½ jam sebelum tidur keluarga kumpul duduk bersama-sama, matikan televisi agar bisa bicara, berbincang bersama-sama, meskipun dia tidak bisa banyak bicara dia mungkin hanya diam-diam, tapi setidak-tidaknya usaha itu nampak. Jadi kalau sudah ada kesepakatan perilaku seperti apakah yang diinginkan, usahanya baru bisa lebih nampak. Saya kira sering kali masalah muncul karena tidak ada kesepakatan perilaku seperti apakah yang diinginkan, sehingga sewaktu usaha untuk memperbaiki itu ditunjukkan pihak yang satunya tidak melihat.
GS : Dan saya rasa ada satu hal juga yang penting Pak Paul dari pembicaraan ini, yaitu penghargaan terhadap pasangan yang sudah berupaya keras untuk berubah itu Pak Paul jadi semacam reward, apakah itu memang besar pengaruhnya Pak Paul?

PG : Besar sekali Pak Gunawan, jadi kita memang cenderung akan mengulangi perbuatan yang diberikan imbalan, itu prinsipnya. Kalau kita melakukan A terus diberikan imbalan yang positif karenamelakukan A kita cenderung melakukan lagi perbuatan tersebut.

Jadi saya setuju sekali kita perlu mengkomunikasikan, jadi bukan saja dalam hati berkata: "O...saya senang, saya menghargai," tapi perlu menyuarakannya supaya didengar oleh pasangan kita.
GS : Pak Paul tadi memberikan contoh tentang (biasanya suami yang suka memukul istrinya) Pak Paul mengatakan tidak bisa ditolerier, hanya sekali itu sudah harus diselesaikan. Tapi pada faktanya, ada suami yang memang ringan tangan dalam arti kata suka memukul istrinya, dia menyesal setelah memukul, dia berjanji untuk tidak melakukan lagi tapi pada kesempatan berikutnya dia tetap melakukan pemukulan terhadap istri, nah itu bagaimana Pak Paul? Mau tidak ditolerier bisa runyam.

PG : Dalam kasus seperti ini jelas si suami itu membutuhkan pihak ketiga untuk menolongnya. Sebab dia tidak bisa menguasai diri, nah kalau dia memang mengakui dia tidak bisa menguasai diri da memerlukan pihak ketiga dimana dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya.

Sebab kita ini manusia kalau kita tahu bahwa tindakan kita akan membuahkan konsekuensi yang berat kita cenderung memikir ulang sebelum bertindak. Tapi kalau kita tahu bahwa tindakan kita ini tidak akan membuahkan konsekuensi, tidak ada akibatnya kita cenderung semena-mena. Jadi saya tahu ada suami yang mengalami problem ini, dia tahu ini salah tidak boleh memukul istri tapi dia tidak bisa menguasai diri, setiap kali dia marah dia akan pukul istrinya. Nah, saya anjurkan mereka berdua harus bertemu dengan orang ketiga yaitu misalnya pendeta atau seorang konselor di mana si istri bisa berkata, kalau saya dipukul saya akan beritahu pendeta saya, sehingga akhirnya si suami berpikir ulang sebelum melakukan tindakan yang sama. Atau tindakan yang lebih drastis yang saya rasa ini juga baik adalah si istri berkata: "Sekali lagi kamu pukul saya, saya akan laporkan kamu ke polisi." Nah, sering kali itu juga berkhasiat, sebab si suami itu kalau melihat istrinya berani untuk mengambil tindakan yang tegas dia akan berpikir ulang untuk memukulnya. Tapi sering kali yang terjadi adalah si suami ini melihat si istri begitu lemah, sehingga waktu dia marah dia akan pukul, karena dia tahu tidak ada konsekuensi.
GS : Mungkin istri juga malu Pak Paul untuk melaporkan ke polisi.

PG : Betul, jadi memang ada harga yang harus dibayar, namun kalau tidak dihentikan yang sering terjadi adalah terus berkelanjutan.

IR : Pak Paul, apakah semua konflik itu harus diselesaikan pada hari yang sama?

PG : Idealnya begitu Bu Ida dan kita pun tahu bahwa firman Tuhan di Efesus 4 meminta kita untuk membereskan problem, jangan sampai kita menyimpan dendam, jangan biarkan amarahmusampai matahari terbenam.

GS : Tapi untuk kasus-kasus seperti tadi tidak bisa Pak Paul?

PG : Betul, jadi saya kira secara realistik kita mesti secara kognitif, secara rasional berkata kepada Tuhan, "Tuhan, saya mengampuni dia, saya tidak mau marah kepada dia," jadi kita tidak bleh dengan sengaja berkata: "Saya mau menyimpan dendam," tidak boleh.

Jadi kita dalam hubungan dengan Tuhan mesti berniat dan berusaha keras untuk mengampuni dan melupakannya. Namun setelah kita berkata demikian, tidak berarti bahwa tiba-tiba kita akan melupakan semua yang telah terjadi, otomatis kita masih bisa marah, kita masih bisa sedih lagi jadi terima itu sebagai bagian dari penyembuhan. Tapi yang penting adalah niat kita, secara rasional kita memang tidak mau menyimpan dendam, saya kira itu yang Tuhan maksud. Jadi untuk menjawab tadi yang Ibu tanyakan memang tidak semua problem bisa selesai dalam 1 hari jadi ada problem yang akan menyertai kita selama bertahun-tahun dan menjadi duri dalam hubungan kita. Kita mencoba selesaikan, tapi tidak bisa selesai-selesai adakalanya itu yang terjadi.
IR : Jadi harus melalui proses ya Pak Paul?

PG : Ya dan prosesnya sering kali panjang.

GS : Tapi kita harus tahu persis bahwa kita sedang berada dalam proses itu Pak Paul, sering kali yang terjadi orang menyangka dia berada dalam proses itu padahal sebenarnya tidak begitu. Jadi semua harus sampai pada penyelesaiannya, jika tidak diselesaikan dengan betul masalahnya malah bertambah-tambah, tapi dia merasa dia sedang dalam proses bisa begitu Pak Paul?

PG : Bisa, itu point yang bagus sekali Pak Gunawan sebab adakalanya kita ini memang membutakan diri, kita lebih senang melihat kedamaian sementara atau semu daripada menjalani proses.

GS : Mengalihkan persoalan lagi justru bertambah masalahnya Pak Paul.

PG : Betul, sebab masalah aslinya akan muncul lagi nanti.

GS : Apakah dalam hal ini firman Tuhan bisa membantu kita atau mungkin ada bagian firman Tuhan yang bisa Pak Paul bacakan untuk melengkapi pembicaraan kita pada kesempatan ini.

PG : Firman Tuhan yang saya ambil adalah dari Mazmur 103:13, "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia." Saya mau gais bawahi kata orang-orang yang takut akan Dia, saya kira salah satu kunci penyelesaian konflik dalam urusan rumah tangga adalah ada rasa takut kepada Tuhan.

Yang paling berbahaya adalah jikalau salah satu atau sepasang suami-istri itu tidak lagi ada rasa takut kepada Tuhan. Menakutkan, karena mereka bisa berbuat apa saja, jadi tidak ada lagi batasnya, tapi kalau kita takut akan Tuhan kita tahu bahwa kita tidak boleh semena-mena, tidak boleh sesukanya dalam mengekspresikan kejengkelan kita atau kemarahan kita. Meskipun problem kita ini berkepanjangan kalau kita takut akan Tuhan kita akan terus berusaha menyelesaikannya. Kalau kita sudah kehilangan takut kepada Tuhan kita mungkin melakukan hal yang lebih destruktif. Misalnya, kita berkata percuma tidak ada lagi jalan keluar, saya akan memasabodohkan hubungan ini, jadi itu salah satu hal yang sering dilakukan. Atau yang lainnya lagi adalah kita tertarik atau menjalin hubungan dengan orang yang lain, dengan orang ketiga akibatnya adalah kita bukannya menyelesaikan tapi malah meruncingkan masalah. Jadi saya mau garis bawahi kata takut akan Tuhan itu.
GS : Tapi sering kali orang menginterpretasikan takut, ketakutan itu seperti sesuatu yang mencekam Pak Paul. Saya lebih menginterpretasikan takut sebagai rasa hormat kepada Tuhan, jadi bukan ketakutan kita seperti kepada sesuatu bencana atau apa itu Pak Paul.

PG : Tepat seperti yang Pak Gunawan katakan, memang dalam Alikitab kata takut itu mempunyai dua makna, makna yang tadi Pak Gunawan katakan adalah makna hormat, jadi kita takut kepada Tuhan dlam pengertian kita hormat, respek kepadaNya sehingga tidak mau melakukan hal yang mendukakan hatiNya.

Maka di Mazmur 103 tadi diilustrasikan Allah sebagai bapak kita yang menyayangi kita dan kita ini adalah orang yang takut kepadaNya dalam pengertian hormat kepadaNya. Namun dalam Alkitab rasa takut itu juga mengandung makna takut akan murka Allah itu juga ada, dan kita bisa berkata atau kita pun telah menyaksikan murka Allah itu memang dasyat sekali.
GS : Dan kedua pengertian itu harus menyatu Pak Paul?

PG : Betul, sebab manusia punya kecenderungan kurang ajar Pak gunawan.

IR : Takut dan taat itu juga terkait Pak Paul?

PG : Betul, sebagai bukti kita takut ya kita taat.

GS : Salomo sendiri di dalam Amsalnya mengatakan bahwa takut akan Tuhan itu permulaan dari hikmat, jadi mungkin hikmat itu yang kita butuhkan untuk menyelesaikan masalah-masalah dan itu diawali dengan takut akan Tuhan itu tadi. Tapi masalahnya bagaimana kita memupuk rasa takut itu terus-menerus terhadap Tuhan Pak Paul?

PG : Kita memang mesti hidup di dalam Tuhan, dalam pengertian dekat dengan firmanNya, sebab sewaktu kita jauh dari firmanNya kita juga tidak begitu peduli dengan Tuhan. Nomor dua adalah memiih untuk taat, memilih itu saya garis bawahi karena adakalanya kita tidak mau begitu, tidak mau taat.

Kita marah, kita kesal, kita kecewa, kita merasa sudah buat apa pernikahan ini dipertahankan, tapi memilih untuk taat berarti secara rasional kita berkata: "Tuhan, saya mau tetap mengikuti jalanMu".
GS : Karena itu firman Tuhan itu sangat penting di dalam kehidupan kita berkeluarga Pak Paul, itu menjadi semacam pedoman bagi kita untuk menyelesaikan masalah-masalah. Karena kalau tidak, kita tidak akan ketemu dan kita ketemu justru di dalam firman Tuhan itu.

PG : Konflik itu menyakitkan Pak Gunawan, jadi dalam konflik kita cenderung mau mendapatkan kelegaan, nah kelegaan adakalanya melalui jalan yang salah. Jadi takut akan Tuhan penting sekali mnjaga kita dalam batas yang betul.

IR : Jadi selalu berpaling kepada Tuhan, dalam setiap kesempatan.

PG : Betul.

GS : Sungguh ini suatu perbincangan yang menarik sekali karena suatu masalah sering kali muncul di dalam kehidupan rumah tangga bahkan masalah-masalah yang sama tetapi kita sudah dibekali melalui perbincangan ini untuk bagaimana bisa menyelesaikannya. Dan demikianlah tadi para pendengar sekalian yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan apabila Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami pada kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih untuk sura-surat yang ditujukan kepada kami dan juga saran-saran. Namun kami masih tetap mengharapkan saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



9. Pengampunan dalam Hubungan Suami Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T019B (File MP3 T019B)


Abstrak:

Dalam hubungan suami istri kadangkala kita sukar melihat kenyataan bahwa pasangan benar-benar minta maaf. Sebab kita sudah mengenal pasangan kita begitu dekatnya. Namun dalam hal ini ada langkah atau tindakan yang perlu untuk kita lakukan.


Ringkasan:

Pertobatan berarti berbalik arah, jadi berbalik arah itu tidak bisa terjadi tanpa dilihat orang. Waktu kita berbalik arah orang akan melihat bahwa arah kita itu sudah memang berubah. Dalam kaitannya dengan urusan suami-istri yang diminta adalah pertobatan. Kalau memang dia sungguh-sungguh menyesali apa yang telah dilakukannya, jadi yang perlu ditunjukkan kalau tidak ada proses berbalik arah, pasangan kita sulit untuk percaya bahwa kita memang sungguh-sungguh telah bertobat.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kita sulit untuk berubah:

  1. Karena adanya hubungan yang buruk, tidak sehat, tidak menyenangkannya, tidak lagi memenuhi kebutuhan atau harapannya. Sehingga bagi dia berubah berarti masuk ke dalam hubungan yang tidak menyenangkan itu, jadi daripada memasuki kembali hubungan yang tidak menyenangkan itu lebih baik tetap hidup di dalam masalahnya.

  2. Tidak mau berubah karena takut, ketakutannya adalah kalau saya berubah nanti pasangan saya bisa memanfaatkan saya, menguasai saya. Sekarang karena bermasalah, saya menjadi lebih kuat.

  3. Ada unsur melindungi misalnya istri melindungi suami, sebab kecenderungan terutama bagi para wanita suami itu sudah benar-benar menjadi bagian dalam hidupnya dan wanita akan terpukul sekali kalau terjadi apa-apa dengan suaminya. Sebab biasanya memang harga diri, rasa bermakna itu ditemukan dalam diri suami atau dalam hubungannya dengan suaminya.

Dampak perlakuan suami yang terlalu sering menghakimi istri terhadap anak-anak adalah:

  1. Anak-anak hidup dalam ketegangan.Tegang dalam pengertian takut berbuat salah karena melihat ayah begitu keras dan penuh emosi berarti kami tidak boleh berbuat kesalahan yang sama. Ibu saja mendapatkan amarah dari ayah apalagi kami.

  2. Mungkin sekali anak-anak tidak hormat kepada si ayah karena melihat si ayah semena-mena terhadap si ibu.

  3. Kebalikannya anak-anak justru tidak hormat kepada ibu karena melihat ibu tidak dihormati oleh ayah.

  4. Anak-anak mulai lepas kendali dalam pengertian tidak lagi tunduk pada orangtua karena mereka pun menyadari orangtua itu banyak masalah.

Jadi sewaktu hubungan orang tua atau hubungan suami-istri itu bermasalah, tanpa disadari masalah itu memperlemah posisi mereka di hadapan anak. Anak makin berani makanya tidak jarang terjadi dalam keluarga yang bermasalah, anak-anak itu bermasalah jadi badung, berani, nakal misalnya sebab itu problem antara orang tua memperlemah hubungan mereka dengan anak atau wibawa mereka di hadapan anak.

Pengampunan yang diberikan Tuhan kepada kita adalah suatu pengampunan yang sungguh dan kalau dikaitkan dengan hubungan suami-istri pengampunan itu kita berikan lagi dan lagi dan lagi. Golden McDonald seorang pendeta dengan istrinya menulis sebuah buku "Restoring Your Broken World" merestorasi duniamu yang sudah hancur. Jadi dalam buku tersebut beliau menekankan bahwa pengampunan itu kita berikan terus-menerus, karena mengampuni secara rasional kita di hadapan Tuhan berkata: "Saya tidak mau menyimpan dendam Tuhan, saya akan mengampuni dia." Tapi setelah kita berkata demikian besok mungkin kita marah lagi sewaktu kita mengingat apa yang telah diperbuatnya. Di saat itulah kita marah, silakan marah tapi setelah marah mengampuni lagi dan ini akan terus berjalan mungkin untuk waktu yang lumayan panjang. Jadi mengampuni, marah, mengampuni lagi marah lagi, mengampuni lagi berlalu mungkin untuk berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun dalam kasus yang lebih berat.

Mazmur 103 : 14, "Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu." Jadi inilah Firman Tuhan untuk kita semua bahwa Tuhan itu tahu siapa kita apa adanya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pengampunan khususnya pengampunan antara pasangan suami-istri. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, berbicara tentang mengampuni pasangan, sering kali yang kami hadapi adalah saya itu sebenarnya sudah memberikan pengampunan terhadap pasangan saya, istri saya atau sebaliknya kalau saya minta maaf dan dia mengatakan ya sudah diampuni. Tetapi yang sering kali timbul adalah kesalahan seperti beberapa waktu yang lalu yang pernah kita bahas itu terulang lagi seakan-akan tidak bisa selesai sekaligus. Kemudian timbul pertanyaan, apakah saya ini sungguh-sungguh mencintai dia atau tidak, dan kalau pengampunan sudah diberikan, apakah pengampunan itu berlaku untuk seterusnya, artinya kalau dia salah ya kita katakan dulu sudah diampuni/sudah dimaafkan kok berbuat salah lagi. Tetapi ada juga suatu masalah yang lain, ada orang yang sebenarnya merasakan pengampunan itu secara berlebihan, dalam arti kata sebenarnya pasangannya itu tidak sungguh-sungguh mau memberikan itikad yang baik, jadi dia melakukan hal-hal yang menyakiti hati pasangannya, hanya dia menutupi itu lewat kata-kata permintaan maaf bahkan sampai minta ampun Pak Paul, bagaimana kita bisa membedakan hal itu antara orang yang memang sungguh-sungguh menyesali akan kesalahannya dan yang sekadar ucapan-ucapan kosong belaka itu?

PG : Biasanya kita menuntut bukti Pak Gunawan, jadi kalau memang orang itu benar-benar menyesali perbuatannya kita mau melihat buah pertobatannya. Jadi di sinilah kita menggunakan konsep Alkita, pertobatan berarti berbalik arah, jadi berbalik arah itu tidak bisa terjadi tanpa dilihat orang.

Waktu kita berbalik arah orang akan melihat bahwa arah kita itu memang sudah berubah. Dalam kaitannya dengan urusan suami-istri, yang diminta adalah pertobatan yaitu orang itu berbalik arah. Kalau memang dia sungguh-sungguh menyesali apa yang telah dilakukannya, jadi saya kira itu yang perlu ditunjukkan kalau tidak ada proses berbalik arah itu saya kira pasangan kita sulit untuk percaya bahwa kita memang sungguh-sungguh telah bertobat.
GS : Tetapi memang betul Pak Paul, jadi setelah dia meminta ampun kelihatannya ada berbalikan arah, tapi mungkin karena dia labil atau bagaimana dia melakukan kesalahan yang sama dan dalam hal ini kalau kita sebagai orang luar melihat, memang dia tidak ada kesungguhan, tapi si pasangannya melihat itu "dia sungguh-sungguh", dia sungguh-sungguh sudah minta ampun kepada saya sampai nangis-nangis bahkan sampai nyembah-nyembah Pak Paul. Sehingga pasangannya ini tergerak atau tertipu. Kalau saya melihat sebenarnya dia tertipu, tapi di pihak lain dia merasa tidak, ini sudah sungguh-sungguh.

PG : Adakalanya kita ini memang sukar melihat kenyataan Pak Gunawan, apalagi dalam relasi suami-istri sebab kita sudah mengenal pasangan kita dengan begitu dekatnya. Kita melihat hal yang baik ada dirinya dan kita pun telah menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun dan mungkin sebagian dari waktu yang telah kita habiskan itu merupakan memori yang menyenangkan buat kita.

Jadi untuk kita bisa menuduh atau melabelkan bahwa engkau tidak tulus bahwa engkau meminta ampun hanya untuk memanipulasiku, kadang-kadang agak sukar, agak sukar karena adanya ikatan-ikatan batiniah yang telah kita lalui bersama. Jadi adakalanya kesukaran itu memang menutupi penilaian kita yang lebih objektif, sehingga yang tadi Pak Gunawan katakan orang-orang di luar atau yang dekat dengan kita berkata: "Tidak, pasanganmu itu memang mempermainkan engkau," tapi kita tidak bisa melihat itu, karena adanya ikatan batiniah yang sudah merekat itu.
(2) GS : Kalau kita merasa kasihan Pak Paul melihat hal itu kita yang orang luar saja bisa melihat tapi pasangannya ini tidak bisa melihat, tapi mungkin Pak Paul sudah singgung karena ada banyak pengalaman-pengalaman yang romantis, yang indah sehingga itu agak "membutakan" dia. Lalu upaya apa yang bisa kita lakukan Pak Paul, karena dia 'kan menjadi korban terus?

PG : Yang pertama adalah menyadarkan dia bahwa mungkin sekali pasangannya itu melukai dia dengan sengaja Pak Gunawan. Jadi sering kali kita ini menghibur diri dengan berkata bahwa: "O......asangan saya tidak dengan sengaja melakukan hal itu," namun dalam contoh yang tadi Pak Gunawan munculkan jelas bahwa pasangannya itu sengaja sebab ada unsur kesengajaan, unsur memang melakukan hal yang sama tanpa ada pertobatan.

Jadi kalau kita pikir-pikir kenapa dia begitu ya memang ada unsur seperti ini, kita yang harus menyadarkan pihak yang dirugikan itu bahwa itulah yang dilakukan oleh pasanganmu bahwa engkau memang menjadi korban kesengajaannya. Bukan lagi ini khilaf, bukan lagi ini dilakukan tanpa disengaja namun sengaja dan dia sudah tahu bahwa kalau dia melakukan itu dia akan melukai hatimu, namun dia tetap melakukannya. Berarti apa? Berarti memang dia melukai hatimu, jadi step pertama atau langkah pertama adalah menyadarkan orang tersebut bahwa pasangannya memang sedang melukainya.
IR : Nah ini ada kasus Pak Paul, seorang istri yang selalu dilukai oleh suaminya tapi karena dia itu terlalu cinta dan karena itu pilihan dia waktu itu, jadi ada faktor permulaan waktu dia memilih suaminya ini sebetulnya tidak disetujui oleh keluarganya. Jadi apapun yang dilakukan suaminya itu akhirnya diterima walaupun dia itu tersiksa Pak Paul, apakah itu juga faktor Pak Paul karena terlalu cinta dan karena dia itu sudah salah memilih jadi apapun yang dilakukan suaminya itu harus dia terima begitu?

PG : Betul, jadi memang kita mempunyai kecenderungan tidak mau salah jadi tindakan-tindakan kita pada akhirnya merupakan upaya untuk membenarkan diri. Jadi mungkin sekali yang tadi Ibu katakan erjadi dalam kasus tersebut, si istri tidak mau mengakui fakta karena mengakui fakta berarti harus mengakui kesalahannya, bahwa dia telah memilih orang yang keliru dalam hidupnya.

Dan daripada dia mengakui dia salah lebih baik dia tanggung deritanya sendirian, memang menyedihkan sekali kalau itu yang terjadi. Seharusnya dia berani berkata: "Saya salah" dan mengakui itu di hadapan keluarganya, namun di pihak lain keluarganya pun pada saat ini seharusnya tidak boleh lagi menuduh dia atau malah membangkit-bangkitkan kesalahannya sebab dia sudah cukup menderita, jadi yang seharusnya dilakukan oleh keluarganya adalah justru menyambutnya dengan tangan terbuka dan tidak lagi mengingat-ingatkan kesalahannya dulu itu.
IR : Tapi begitu sulitnya si suami itu untuk berubah Pak Paul, itu bagaimana cara mengatasinya. Padahal dia juga seorang yang bisa dikatakan hamba Tuhan, juga sering melayani.

PG : Ya, saya tidak tahu masalahnya dengan jelas tapi secara umum Bu Ida, harus saya akui memang adakalanya ini mungkin terjadi, adakalanya seseorang itu tidak mau berubah karena hubungan denga pasangannya itu buruk, tidak sehat, tidak menyenangkannya, tidak lagi memenuhi kebutuhan atau harapannya.

Sehingga bagi dia berubah berarti masuk kembali ke dalam hubungan yang tidak menyenangkan itu dan dia tidak mau. Jadi daripada memasuki kembali hubungan yang tidak menyenangkan itu dia tetap hidup di dalam masalahnya itu, supaya apa? Ya supaya dia tetap lepas dari hal yang tidak menyenangkan. Ada juga kasus misalnya ada yang tidak mau berubah karena takut, jika saya berubah nanti ketakutannya adalah pasangan saya bisa memanfaatkan saya, menguasai saya seperti dulu dan sebagainya. Sekarang karena saya bermasalah saya menjadi lebih kuat, saya lebih berkuasa dalam rumah saya, justru pasangan saya yang takut kepada saya, nah akibatnya dia tidak begitu rela berubah karena ada rasa takut kalau saya berubah nanti semuanya kembali lagi seperti dulu saya berada di bawah kuasanya lagi dan sebagainya. Jadi ada banyak faktor yang membuat kita akhirnya susah berubah, kalau ada orang ketiga itu kompleks lagi Bu Ida, berarti kita sudah terlanjur suka dengan orang lain dan pasangan kita tidak lagi menarik buat kita.
GS : Nah, itu yang membingungkan saya Pak Paul, dari pihak wanita tadi yang bu Ida ungkapkan itu sebenarnya dia melindungi dirinya sendiri atau melindungi suami atau pasangannya, sebenarnya yang dilindungi siapa? Pak Paul katakan ada unsur pertahanan diri, dia tidak mau berubah dan sebagainya tapi juga dia bisa melihat dari sisi lainnya, itu suatu perlindungan terhadap suaminya yang sudah menyakiti hatinya berkali-kali.

PG : Betul ada unsur itu Pak Gunawan, jadi memang ada unsur melindungi si suami. Sebab ada kecenderungan terutama bagi para wanita, suami itu sudah benar-benar menjadi bagian dalam hidupnya danwanita akan terpukul sekali kalau terjadi apa-apa dengan suaminya.

Sebab memang rasa harga diri, rasa makna hidup itu ditemukan biasanya dalam diri suami atau dalam hubungan dengan suaminya, jadi sewaktu dia harus membicarakan hal yang negatif mengenai suaminya itu sungguh menyakitkan hatinya.
(3) IR : Nah, Pak Paul kalau seorang suami yang seperti tadi yang dikatakan terlalu keras, sering menghakimi istrinya, selalu menyakiti hatinya, itu dampaknya untuk anak-anaknya bagaimana Pak Paul?

PG : Ada beberapa dampak yang tidak harus sama, pertama misalnya yang paling pasti adalah anak-anak itu hidup dalam ketegangan. Tegang dalam pengertian takut berbuat salah karena melihat ayah bgitu keras dan penuh emosi berarti kami tidak boleh berbuat kesalahan yang sama.

Sebab ibu saja mendapatkan amarah dari ayah apalagi kami, dan mungkin sekali mereka juga menerima kemarahan yang sama. Jadi akhirnya membuat mereka hidup dalam ketegangan, nah ini dampak yang paling utama. Dampak yang lainnya lagi adalah mungkin sekali anak-anak tidak hormat kepada si ayah karena melihat kok si ayah semena-mena terhadap si ibu. Dampak yang ketiga yang mungkin terjadi adalah kebalikannya anak-anak justru tidak hormat kepada ibu karena melihat ibu itu tidak dihormati oleh ayah. Jadi akhirnya mereka juga mengikuti jejak ayah tidak menghormati ibu, malah seolah-olah makin hari makin berani kepada ibunya. Dan yang nomor 4 yang terakhir adalah dampak yang umum adalah anak-anak sebetulnya mulai lepas kendali, dalam pengertian tidak lagi tunduk pada rumah pada orang tua karena mereka pun menyadari orang tua itu banyak masalah. Jadi sewaktu hubungan orang tua atau hubungan suami-istri itu bermasalah, tanpa disadari masalah itu memperlemah posisi mereka di hadapan anak, itu dampaknya langsung begitu. Jadi kita sering kali tidak menyadari hal itu namun tatkala kita sedang bermasalah dengan pasangan kita posisi kita di hadapan anak sebetulnya makin lemah. Anak makin berani maka tidak jarang terjadi dalam keluarga yang bermasalah suami-istri bermasalah, anak-anak itu bermasalah menjadi badung, berani, nakal, sebab problem antara orang tua memperlemah hubungan mereka dengan anak atau wibawa mereka di hadapan anak.
GS : Kalau dampaknya sudah begitu serius Pak Paul khususnya terhadap anak tapi juga di dalam hubungan suami-istri, kalau kita tahu dan tidak menyadarkan kasihan si istri atau mungkin juga bisa terbalik suaminya yang diperlakukan seperti itu. Kalau kita tahu hal itu dan kita tidak menyadarkan memang kasihan, tetapi kalau kita menyadarkan khususnya saya itu misalnya mau mengingatkan itu juga ada rasa bersalah Pak Paul. Mungkin pengertian ini keliru bukankah dia sendiri masih merasa dikasihi kebetulan ada seorang istri merasa ditempeleng suaminya itu berarti suaminya masih perhatian dengan dia, masih mencintai dia padahal sudah terang-terangan ditempeleng. Nah dia sendiri merasa suaminya masih perhatian sama dia, kalau saya masuk ke sana kemudian mengatakan sebenarnya suamimu itu sengaja menyakiti kamu, itu 'kan menimbulkan suatu masalah baru Pak Paul?

PG : Dan sebetulnya tidak perlu lagi kita lakukan itu sebab sesungguhnya di dalam diri dia sudah ada konflik, dia sudah tahu bahwa ditempeleng itu bukanlah pernyataan cinta, namun dia harus menistorsi fakta tersebut agar tetap bisa diterimanya, agar dia bisa hidup dengan kenyataan bahwa dia itu ditempeleng.

Sebab kalau dia benar-benar ingin menerima kenyataan apa adanya dia mungkin akan diperhadapkan dengan pilihan yang dia tidak siap untuk mengambilnya. Misalnya pilihan untuk menegur, memarahi si suami, pilihan untuk berkata kepada si suami engkau tidak boleh menamparku lagi, pilihan untuk berkata sekali lagi kau tampar aku tidak mau lagi hidup serumah denganmu dan sebagainya. Tapi dia tidak siap untuk menghadapi pilihan-pilihan tersebut, jadi dia harus menerima fakta bahwa dia ditempeleng, nah penerimaan itu akan lebih mudah dilakukannya kalau dia bisa membubuhkan atau menambahkan makna dalam proses penempelengan itu bahwa memang suami saya mencintai saya, memperhatikan saya maka dia masih bisa menempeleng saya. Jadi dalam kasus seperti itu Pak Gunawan, sering kali usaha orang luar untuk menyadarkan si istri ini, biasanya menemui jalan buntu. (GS : Karena dia sendiri merasa tidak dirugikan Pak Paul), namun sebetulnya dia dalam hati tahu ini tidak betul. Tapi kalau kita yang berbicara dari luar, dia akan menangkal, dia akan berkata: "Tidak, engkau yang salah suami saya mencintai saya." Ini yang sering saya ungkapkan waktu saya bekerja di rumah sakit jiwa dulu, saya masih ingat ada seorang ibu datang matanya biru legam bekas dipukul suaminya. Dan sewaktu ditanya: "Apa yang membuat ibu datang ke sini?" Dia menjawab: "Saya masih ingat suami saya mencintai saya, anak-anak saya baik-baik, kami semua satu keluarga harmonis", tapi matanya biru hitam bekas dipukul oleh si suami. Jadi itu memang sering kali terjadi Pak Gunawan dan sering kali itu menimpa orang yang memang mempunyai penghargaan diri yang sangat minim, mempunyai ketakutan untuk hidup sendiri, jadi hidupnya itu memang bergantung pada orang lain, jadi dia haus sekali akan cinta akan rasa aman yang bisa disediakan oleh si suami. Jadi akhirnya harga apapun yang harus dibayarnya akan dia bayar. Saya masih ingat dulu seorang psikiater di tempat saya bekerja di rumah sakit jiwa, pernah mengutarakan suatu kalimat yang bagus sekali. Beliau berkata: ""Bagi banyak orang bad relationship masih lebih baik daripada no relationship at all." Hubungan yang buruk tetap lebih baik daripada tidak ada hubungan sama sekali. Jadi makanya kita melihat pola yang sama terjadi, ada banyak orang yang memilih untuk hidup di dalam hubungan yang sangat tidak sehat. Sebab kenapa, hidup sendiri tanpa ada hubungan apapun dengan orang, jauh lebih menakutkan baginya.
GS : Tapi pengampunan yang diberikan oleh pihak yang menjadi korban itu sesuatu yang semu Pak Paul?

PG : Ya meskipun dalam pengertian dia mungkin percaya itu sudah terjadi tapi memang kita dari luar melihat bahwa pengampunan itu bukanlah pengampunan yang benar-benar berakar ke dalam, hanya dipermukaan saja.

Karena pengampunan yang sesungguhnya atau yang tuntas harus melihat kenyataan dengan tuntas pula. Selama kita membutakan mata tidak mau melihat kenyataan kita belum bisa mengampuni dengan tuntas. Tuhan mengampuni kita karena Tuhan melihat kita dengan tuntas, dengan jelas apa dosa yang telah kita lakukan dan Dia tetap mengampuni.
GS : Sekalipun kita berkali-kali datang kepada Tuhan untuk minta ampun, Tuhan tetap memberikan pengampunan yang betul-betul pengampunan itu Pak Paul, dan kalau kita kaitkan dalam hubungan suami-istri yang seringkali kita memberikan pengampunan itu tidak bisa hanya sekali untuk itu, kemudian kita katakan lain kali tidak ada pengampunan buat kamu.

PG : Betul, akhirnya pengampunan kita berikan lagi, dan lagi dan lagi. Saya masih ingat komentar Golden McDonald seorang pendeta dengan istrinya menulis satu buku, banyak buku yang dia tulis tai salah satunya yang dia tulis dengan istrinya adalah "Restoring Your Broken world" merestorasi duniamu yang telah hancur.

Jadi dalam buku tersebut beliau menekankan bahwa pengampunan itu kita berikan terus-menerus, karena maksudnya begini, kita mengampuni secara rasional, kita dihadapan Tuhan berkata: "Saya tidak mau menyimpan dendam Tuhan, saya akan mengampuni dia." Tapi setelah kita berkata demikian besok kita mungkin marah lagi sewaktu kita mengingat apa yang telah diperbuatnya, nah di saat itulah kita marah "silakan marah," kata dia. Tapi setelah marah mengampuni lagi dan ini akan terus berjalan, mungkin untuk waktu yang lumayan panjang. Jadi mengampuni, marah, mengampuni lagi, marah lagi, mengampuni lagi terus berlalu mungkin untuk berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun dalam kasus yang lebih berat.
GS : Saya teringat akan pertanyaan yang diajukan kepada Tuhan Yesus yang ditanyakan sampai berapa kali kami harus mengampuni dan Tuhan Yesus mengatakan tujuh puluh kali tujuh Pak Paul, apakah itu juga pas untuk diterapkan di dalam hubungan rumah tangga?

PG : Betul, saya kira itu pas sekali, namun selalu dengan catatan yang tadi telah kita singgung Pak Gunawan yaitu pengampunan yang tuntas didasari atas melihat kenyataan dengan tuntas pula. Nahini yang saya takut sering kali disalahgunakan oleh orang, o....

saya mengampuni, saya mengampuni tapi sebetulnya motivasi utamanya adalah tidak mau menerima kenyataan. Jadi buru-buru membungkus problem dengan pengampunan, intinya sebetulnya tidak sanggup melihat kenyataan begitu.
IR : Tapi ada Pak Paul di teman ya mengampuni ya ndak mengingat-ingat lagi tapi persoalannya tidak diselesaikan, itu yang tidak tuntas ya Pak Paul ya.

PG : Ya, jadi masalahnya memang harus dibereskan sebisanya, meskipun saya juga harus menggarisbawahi bahwa adakalanya masalah itu memerlukan waktu yang panjang untuk bisa dibereskan, nggak mudah. Sakit yang berat memerlukan waktu yang jauh lebih lama untuk dibereskan.

IR : Tapi sering kali dibereskan tapi sering kali justru tidak beres Pak Paul, malah parah. Sering kali misalnya mereka membuat fitnah kemudian yang difitnah ini ingin menanyakan tapi malah parah, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Mungkin pada saat-saat masih panas atau masih rawan kalau ingin mengkonfrontasikan sesuatu jangan berdua, jadi lebih baik di hadapan orang ketiga, pendeta atau konselornya sehingga mereka ebih bisa dikendalikan tatkala emosi meninggi.

Sebab memang harus diakui setelah terjadi pengkhianatan atau sesuatu yang menyakitkan, hati itu sedang berdarah dari kedua belah pihak. Dan hati yang berdarah itu kalau belum kering mudah sekali untuk berdarah kembali. Jadi sebaiknya memang ada orang ketiga pendeta atau konselor yang bisa menengahi atau bisa mengurangi dampaknya tatkala ada hal-hal yang harus memang diungkapkan kembali kepada pasangannya.
GS : Saya rasa itu suatu contoh yang konkret untuk menghayati makna pengampunan yang kita terima dari Tuhan Pak Paul, bahwa itu bukan sesuatu yang mudah dan murah tetapi sesuatu yang sangat berharga sekali dan tidak mudah untuk dilakukan seperti Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Apa Pak Paul akan menutup perbincangan ini dengan sebuah ayat kitab suci yang disiapkan.

PG : Saya akan kutib lagi dari Mazmur 103:14, "Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu," jadi inilah firman Tuhan untuk kita semua bahwa Tuhan itu tau siapa kita apa adanya.

Kita ini memang sangatlah lemah, sangatlah fana dan sangatlah berdosa, jadi nasihat saya adalah kita datang kepada Tuhan apa adanya, dalam masalah-masalah keluarga seperti ini kita jangan takut untuk datang kepada Tuhan. Dia tidak akan menolak kita dan dia akan mengampuni kita, dan kalau kita sudah berhasil menerima pengampunan Tuhan kita mesti juga berani mengakui perbuatan kita di hadapan pasangan kita dengan tuntas dan memohon pengampunannya.
GS : Dan sebaliknya kalau kita menjadi pihak yang dirugikan atau yang disakiti kita juga bisa menerima itu sebagai suatu kenyataan tak perlu menutup-nutupinya dengan mengatakan yang tidak sebenarnya, sehingga kalaupun ada pengampunan, pengampunan itu betul-betul tuntas.

PG : Betul.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



10. Pribadi yang Disatukan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T021B (File MP3 T021B)


Abstrak:

Dalam pengertian tetap mempertahankan pribadi masing-masing atau diri masing-masing tapi dia akan belajar hidup dengan yang lainnya. Dan dalam hal ini tidak bisa tidak harus ada perubahan gaya hidup, tingkah laku, tutur kata dan lain sebagainya.


Ringkasan:

Ada anggapan bahwa setelah kita menikah maka dua kepribadian yaitu suami-istri itu menjadi satu, dalam pengertian masing-masing kehilangan pribadinya atau dirinya. Sesungguhnya yang terjadi adalah bukannya dua orang itu membentuk suatu pribadi yang baru, tetapi dua orang itu tetap mempertahankan pribadi masing-masing atau diri masing-masing tapi dia akan belajar hidup bersama dengan yang lainnya. Jadi dalam hubungan ini tidak bisa tidak harus ada yang namanya prubahan, perubahan gaya hidup, perubahan tutur kata dan juga harus ada unsur penahanan diri. Kepribadian adalah sesuatu yang unik tentang diri kita, misalkan orang yang bersifat sanguin atau yang lebih bersifat melankolik. Keunikan tidak harus diubah sewaktu kita menikah dengan pasangan kita, yang tidak sehat justru adalah gara-gara kita menikah kita ini harus mengubah kepribadian kita.

Penyesuaian kepribadian dengan pasangan kita memerlukan proses yang berlangsung seumur hidup, namun yang paling berat adalah

  1. Lima tahun pertama dan tiga tahun pertama setelah kita menikah. Ini adalah tahap penyesuaian, karena dua orang berkumpul dalam satu rumah dan harus menyesuaikan diri.

  2. Tahap kedua adalah kira-kira usia sekitar 45 hingga 55 atau usia setengah baya, pada usia ini kita kehilangan peran sebagai orangtua, anak-anak sudah mulai besar, anak-anak sudah ada yang menikah. Kita kehilangan peran sebagai seorang ayah atau ibu, sebagai suami dan istri dan kita harus kembali menyesuaikan diri sebagai orang yang tiba-tiba kehilangan peran, dan menyesuaikan diri, hidup lagi dengan istri atau suami kita.

Yang dimaksud dengan pribadi adalah diri, sedangkan kepribadian adalah ciri yang khas atau sifat-sifat yang khas, yang terkandung dalam diri kita itu. Istilah karakter dan kepribadian secara bergantian digunakan orang. Namun di sini karakter itu secara rohani dan kepribadian itu secara psikologis. Karakter rohani termaktub dalam Galatia 5:22,23, "Buah Roh Kudus ialah kasih, sukacita, kemurahan, penguasaan diri, kesetiaan.... nah setiap orang kristen seharusnya memiliki karakter kristiani.

Dalam pernikahan kita harus menghargai kepribadian pasangan kita yang memang tidak sama. Untuk bisa menyatukan kepribadian itu dalam satu wadah pernikahan, yang diperlukan adalah karakter kristiani kita. Jadi tidak peduli kita ini sanguin, plegmatik, melankolik, atau kolerik yang paling penting adalah apakah kita bisa menumbuhkembangkan buah Roh Kudus, apakah kita bisa menjadi suami yang sabar, apakah kita bisa menjadi istri yang bisa menguasai diri, apakah kita bisa menjadi pasangan yang murah hati, apakah kita bisa menjadi suami-istri yang setia terhadap satu sama lain. Jadi akhirnya yang paling penting adalah karakter kristiani, yang perlu kita tumbuhkembangkan, kita tidak usah berupaya mengubah kepribadian pasangan kita.

Roma 13:8, "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia dia sudah memenuhi hukum taurat." Untuk memadukan dua pribadi dalam satu pernikahan tidak bisa tidak harus punya kekuatan Tuhan untuk bisa mengasihi dan akhirnya kita baru bisa menerima dan buah-buah Roh Kudus lainnya bisa tumbuh dengan bebas.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pada kesempatan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang dua pribadi yang disatukan. Kami percaya bahwa acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, berbicara tentang pernikahan, pernikahan itu adalah dua pribadi yang disatukan. Maksudnya saya sadar bahwa saya pribadi, istri saya juga sadar bahwa dia pun seorang pribadi. Kadang-kadang kesadaran itu justru bisa menimbulkan ketegangan di antara hubungan suami-istri. Bagaimana sebenarnya prosesnya pribadi itu sendiri Pak Paul?

PG : Ada anggapan Pak Gunawan, bahwa setelah kita menikah maka dua pribadi atau dua orang itu menjadi satu, dalam pengertian masing-masing kehilangan pribadinya atau dirinya. Sesungguhnya yang erjadi adalah bukannya dua orang itu membentuk suatu pribadi yang baru, tapi yang terjadi adalah dua orang itu tetap mempertahankan pribadi masing-masing atau diri masing-masing.Tapi

dia akan belajar untuk hidup bersama dengan yang lainnya. Jadi dalam hubungan ini tidak bisa tidak, harus ada yang namanya perubahan, perubahan gaya hidup, tutur kata dan juga harus ada unsur penahanan diri. Misalkan mau berbuat sesuatu istri tidak mau ya harus mengalah tidak langsung melakukannya dan sebagainya, jadi dua unsur itu harus ada.
GS : Tapi pribadi masing-masing masih tetap bertahan dengan keunikannya Pak Paul? Jadi itu lebih bersifat penyesuaiannya begitu ya Pak Paul? Ada suatu masa di dalam pernikahan itu di mana kita masing-masing menyesuaikan supaya bisa rukun di dalam kehidupan ini.

PG : Betul, jadi bukannya kepribadian kita atau keunikan kita itu lenyap karena kita sudah menikah dengan pasangan kita. Justru yang sehat adalah kita ini mempertahankan kepribadian kita. Nah, i dalam siaran yang lalu kita juga telah membicarakan mengenai kepribadian.

Jadi itu adalah hal yang unik tentang diri kita, misalkan orang yang lebih bersifat sanguin atau yang lebih bersifat melankolik, itulah keunikan kita. Dan keunikan itu tidak harus diubah sewaktu kita menikah dengan pasangan kita, yang tidak sehat justru adalah karena kita menikah. Kita seolah-olah harus mengubah kepribadian kita. Misalkan kita orang yang senang untuk cerita, mengobrol, senang tertawa misalnya kita kuat di sanguin-nya tapi karena kita menikah dengan suami yang sangat plegmatik dan dia tidak suka misalnya kita tertawa dan senang, akhirnya kita harus tutup mulut, tidak bisa menjadi diri kita lagi. Nah, justru itu tidak baik karena akhirnya kita akan menderita, kita tidak bisa. Akhirnya kita hidup dengan kepribadian yang lain. Tuhan sudah memberikan kita keunikan dan kita sebaiknya hidup secara natural dengan yang Tuhan telah berikan itu. Kalau kita mencoba mengubah-ubah untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh pasangan kita, akhirnya kita tidak akan bisa bertahan lama dalam kerangka atau peran tersebut.
(2) GS : Ya tapi kita memang mempunyai kecenderungan Pak Paul, mau menjadikan orang lain itu seperti diri kita, dengan harapan supaya lebih mudah komunikasinya. Sebenarnya kita sudah mencoba untuk merusakkan apa yang Tuhan berikan atau keunikan yang Tuhan berikan kepada pasangan kita. Tapi menurut pengalaman Pak Paul dibutuhkan waktu yang panjang atau tidak terlalu lama orang itu bisa menyesuaikan pribadinya itu Pak Paul?

PG : Sebetulnya bisa cukup lama Pak Gunawan, jadi sebetulnya proses penyesuaian diri itu berlangsung seumur hidup, namun bisa kita katakan yang paling berat adalah 5 tahun pertama setelah kita enikah.

Oleh sebab itulah menurut statistik yang pernah dipublikasikan di Amerika Serikat tapi sudah lama, sekarang saya tidak tahu lagi, namun pernah dikatakan bahwa usia yang paling rawan untuk terjadinya perceraian adalah 5 tahun pertama setelah pernikahan atau malah ada yang mengkategorikan 3 tahun pertama setelah pernikahan. Dan tahapan kedua adalah kira-kira usia sekitar 45-55 tahun atau usia ½ baya, itu juga adalah kelompok usia yang rawan terhadap perceraian. Yang pertama, sebetulnya penyesuaian itu karena ada dua orang berkumpul dalam satu rumah dan harus menyesuaikan diri. Jadi 3 atau 5 tahun pertama memang masa tersulit, tapi sebetulnya tahapan kedua yakni usia ½ baya sekitar 45-55 tahun masalah utamanya sama yaitu penyesuaian. Karena apa? Pada usia ½ baya itu kita kehilangan peran sebagai orang tua, anak-anak sudah mulai besar, anak-anak sudah ada yang menikah misalnya, ada yang sudah usia 20 tahun ke atas akhirnya kita pun kehilangan peran sebagai seorang ayah atau ibu, suami atau istri, dan kita ini harus kembali menyesuaikan diri sebagai orang yang tiba-tiba kehilangan peran itu. Dan menyesuaikan diri hidup lagi dengan istri atau suami kita tanpa ada komitmen untuk merawat, memberi makan anak kita. Nah biasanya itu adalah masa yang rawan untuk terjadinya perceraian.
GS : Jadi pribadi-pribadi yang disatukan oleh Tuhan dalam sebuah pernikahan itu menjadi satu kesatuan yang unik juga Pak Paul, karena masing-masing keunikan yang Pak Paul katakan tadi tentu ini suatu pasangan atau suatu bentukan yang unik lagi dari Tuhan.

PG : Betul, meskipun tadi kita sudah singgung bahwa kita tidak kehilangan kepribadian kita, sebelumnya saya berkata lebih lanjut saya mau memperjelas bahwa yang kita maksud dengan pribadi adala diri, sedangkan kepribadian adalah ciri atau sifat-sifat yang khas yang terkait dalam diri kita atau watak.

Yang tadi saya mau singgung adalah bahwa kepribadian kita meskipun tidak hilang sewaktu disatukan dalam pernikahan. Tapi pada akhirnya dalam penyesuaian hidup, kita seolah-olah memang akan membentuk suatu kepribadian yang netral antara kita berdua. Dan itu adalah proses yang alamiah, jadi dua orang yang menikah dan akhirnya berhasil mencocokkan atau menyesuaikan diri akhirnya memang sedikit banyak akan lebih mendekati karakteristik atau kepribadian pasangannya. Sebab apa? Sebab lama-kelamaan dia akan menyerap juga sifat-sifat pasangannya itu. Misalkan orang yang dasarnya sangat plegmatik karena dia menikah dengan si kolerik misalnya yang benar-benar disiplinnya tinggi, lama-kelamaan dia akan lebih kolerik dibandingkan dulu sebelum dia menikah sehingga akhirnya keduanya itu seolah-olah berhasil menciptakan suatu kepribadian yang baru untuk masing-masing.
IR : Dengan penyesuaian itu sebenarnya tidak ada alasan untuk bercerai Pak Paul karena sudah ada penyesuaian?

PG : Betul, kalau terjadi, masalahnya memang adakalanya tidak terjadi, mereka berusaha menyesuaikan tapi tidak berhasil. Adakalanya juga yang cukup sering terjadi pihak yang satu berniat menyesaikan, yang satunya tidak berniat.

Yang satunya berkata: "Saya mau belajar, tolong saya untuk memahami kamu," yang satunya berkata: "Saya tidak peduli dan masa bodoh mau dimengerti atau tidak dimengerti tidak jadi masalah," adakalanya itu terjadi juga Bu Ida. Nah pada akhirnya ada satu orang yang pasti tidak tahan hidup dalam suasana seperti itu.
GS : Dalam hal itu Pak Paul, apakah itu yang menentukan kematangan kepribadian seseorang?

PG : Kepribadian yang ada tidak bisa kita katakan matang atau tidak matang, itu sudah ada tipenya, kolerik ya kolerik, tidak ada kolerik yang matang atau tidak matang.

(3)GS : Ya tadi Pak Paul menyinggung tentang suatu istilah karakteristik, sebenarnya karakter itu apa Pak Paul?

PG : Ada orang yang memang menggunakan istilah karakter dan kepribadian secara silih berganti/sama, tapi saya pribadi ingin membedakannya jadi ini masalah semantik saja sebetulnya. Saya memberian definisi karakter itu secara rohani sedangkan kepribadian itu secara psikologis.

Jadi waktu saya berkata karakter, saya membicarakan karakter rohani yang termaktub di dalam Galatia 5:22-23, yaitu buah Roh Kudus ialah kasih, sukacita, kemurahan, penguasaan diri, kesetiaan,dll. Nah itu yang saya maksud dengan karakter. Setiap orang Kristen seharusnya memiliki karakter Kristiani ini, meskipun mereka berasal dari kepribadian yang berbeda-beda.
GS : Lalu kalau tadi Pak Paul singgung dengan Galatia pasal 5 itu 'kan buah Roh Kudus Pak Paul, apakah orang yang katakan tidak Kristen itu tidak punya karakter Pak Paul?

PG : Punya, pertanyaan itu bagus sekali. Nah, karakter seperti kesabaran, kesetiaan, penguasaan diri, itu juga bisa dimiliki oleh orang lain meskipun mereka juga bukan orang Kristen. Jadi apa bdanya karakter Kristiani dan yang lain, sebetulnya dalam hal karakter itu sendiri kalau orang lain pun memiliki karakter seperti itu memang persis sama dengan yang digambarkan di dalam Alkitab, kita bisa katakan memang itulah karakter Kristiani.

Karakter yang seharusnya dimiliki oleh seorang Kristen tapi juga bisa dimiliki oleh orang lain. Jadi ada orang yang sabar, murah hati, ada orang yang bisa menguasai diri.
GS : Mungkin itu yang menjadi citra Allah di dalam diri seseorang secara umum.

PG : Betul.

GS : Tetapi bagi kita orang-orang Kristen, itu merupakan buah dari Roh Kudus, jadi bukan diusahakan tetapi merupakan buah karena Roh Kudus tinggal di dalam diri kita dan Dia berkarya Pak Paul.

PG : Dan kita berjalan dalam pimpinan Roh Kudus, jadi memang harus ada juga usaha kita untuk tunduk pada kehendak Tuhan, untuk bisa menguasai diri, dan menaatiNya. Nah, sewaktu kita mencoba hidp sesuai dengan kehendak Tuhan secara otomatis buah Roh Kudus itu muncul dengan sendirinya.

IR : Jadi itu lewat proses ya Pak Paul?

PG : Betul sekali Ibu Ida. Biasanya itu yang memakan waktu lama dan sering kali yang terjadi adalah ada aspek tertentu dari buah Roh Kudus yang lebih susah muncul dari dalam diri kita. Ada oran yang misalnya memang bawaannya sabar, jadi sebelum dia kenal Tuhan Yesus dia memang sudah menjadi orang yang sabar.

Tapi misalkan dalam hal kemurahan hati dia kurang sekali, sangat egois misalnya. Nah, dalam hal itulah Tuhan akan terus menggosok dia agar bisa berubah seperti yang Tuhan kehendaki.
IR : Tapi kemungkinan pasti bisa sempurna seperti yang tertera dalam ayat 22 secara keseluruhan, mungkin apa tidak Pak Paul?

PG : Mungkin, sebab Tuhan sendiri pernah berkata di Matius pasal 6 "Hendaklah engkau sempurna seperti Bapamu di sorga sempurna." Jadi Tuhan tidak akan memberikan kita perintah yang tiak bisa kita jalankan.

(4)GS : Nah di dalam pernikahan Pak Paul, dua pribadi yang disatukan oleh Tuhan itu apakah terus-menerus mesti dibina supaya pribadi itu berkembang terus dengan buah-buah Roh Kudus yang ada di dalam dirinya. Nah bagaimana caranya kita membina pribadi itu Pak Paul?

PG : Maksudnya agar bisa bertemu di tengah ya?

GS : Ya, kita tentu mengharapkan gesekan-gesekan itu makin lama makin berkurang, kita bisa lebih saling mengasihi itu Pak Paul.

PG : Tadi saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Pdt. Charles Swindoll yang berjudul The Grace Awakening, kebangunan anugerah. Dalam buku itu memang beliau menekankan bahwa kita sebagai orag Kristen haruslah hidup bebas di dalam anugerah Allah, tidak lagi diikat oleh tuntutan hukum Taurat.

Nah salah satu ayat yang dia gunakan supaya kita bisa hidup lebih bebas dengan orang lain adalah Roma 14:1 yang berbunyi: "Terimalah orang yang lemah imannya, tanpa mempercakapkan pendapatnya." Jadi dengan kata lain, waktu bergaul dengan orang kita akan menemukan bahwa orang ini tidak seperti saya, dia lemah dalam hal ini saya lebih baik dari dia. Nah kecenderungan kita adalah kita tidak mau menerimanya. Tetapi firman Tuhan meminta kita untuk menerima orang lain meskipun kita menganggap orang itu lebih lemah dari kita. Nah dalam konteks pernikahan adakalanya itu yang terjadi, bukankah sewaktu kita melihat bahwa istri kita berbeda dari kita, kita bukan berkata dia berbeda tapi dia lebih lemah dari kita, sering kali begitu. (GS : Cenderung merendahkan Pak Paul?) betul dengan kata lain, perbedaan akhirnya diisi oleh bobot penilaian atau penghakiman. "Kamu memang lemah dalam hal ini, kamu memang kurang kuat dalam hal ini, kamu memang kurang bisa dalam hal ini." Nah saya menyadari ada hal-hal yang memang kita kurang mampu lakukan dan kurang bisa lakukan itu juga ada, tapi saya kira cukup sering kita akhirnya menggunakan pelabelan itu. Nah jadi untuk menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan saya kira prinsip atau langkah pertama adalah berusaha menerima kelemahan-kelemahannya. Bagus sekali firman Tuhan berkata tanpa mempercakapkan pendapatnya, jadi kita tidak usah membangkit-bangkitkan, terus membicarakannya ya sudah kita terimalah (GS : Sebagai anugerah dari Tuhan) betul. Dengan cara itu kita bisa hidup lebih bebas kata Charles Swindoll itu.
IR : Dan itu terkait dengan kasih ya Pak Paul, dengan kasih kita akan bisa menerima apa adanya, seperti Kristus menerima kita.

PG : Tepat sekali jadi memang kita hanya bisa menerima kalau kita mengasihi Ibu Ida, tanpa kasih susah sekali kita bisa menerima.

GS : Nah kalau dikatakan bahwa kita merupakan satu pribadi Pak Paul, Tuhan Yesus itu juga satu pribadi yang nyata. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah pribadi-pribadi ini seperti saya, berbeda dengan pribadi Tuhan Yesus, bagaimana Pak Paul? Maksud saya Tuhan Yesus itu diakui sebagai manusia dan juga sebagai Allah, kalau kita manusia saja Pak Paul. Berarti ada suatu misteri tertentu di dalam diri pribadi Tuhan Yesus itu, Pak Paul.

PG : Karena dalam diriNya ada dua pribadi Allah dan manusia, dan Pak Gunawan menanyakan kepada saya bagaimana menjelaskan (GS : Ya bagaimana menjelaskan itu). Sangat sulit sekali menjelaskannyaPak Gunawan, karena sewaktu kita menjelaskan sesuatu kita harus mempunyai tolak ukur atau standar acuan untuk menjelaskannya, tanpa adanya standar acuan itu kita akan kesulitan menjelaskannya.

Nah, dalam hal ini memang sulit sekali menjelaskan tentang perpaduan yang sempurna antara pribadi Allah dan manusia dalam satu pribadi itu. karena tidak ada acuan sebelumnya. Yang dapat kita katakan adalah waktu Dia manusia, Dia juga adalah Allah yang menjadi manusia. Jadi dalam diriNya ada unsur-unsur itu yang lengkap dan sempurna.
GS : Tetapi sebagai pribadi kita sering melihat Tuhan Yesus seperti kita bisa lapar, sedih, punya rasa belas kasihan Pak Paul?

PG : Dia memang manusia yang sempurna dalam pengertian Dia manusia yang sama 100% dengan kita. Bedanya hanyalah dalam kemanusiaanNya, Dia tidak berbuat dosa dan tidak dicemari oleh dosa. KarenaDia lahir bukan dari hubungan antara pria dan wanita, Dia lahir oleh Roh Tuhan sendiri.

GS : Tapi kalau kita mempunyai karakter yang serupa dengan Tuhan Yesus, dalam hal ini tadi yang disebutkan sebagai buah-buah Roh Kudus itu makin kita bisa menerima sesama kita Pak Paul, seperti Tuhan Yesus bisa menerima orang-orang yang datang kepadaNya.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi dalam pernikahan kita harus menghargai kepribadian yang memang tidak sama. Untuk bisa menyatukan kepribadian manusia itu, satu wadah pernikahan diperlukan adlah karakter Kristiani dengan kepedulian kita itu sanguin, plegmatik, melankolik atau kolerik yang paling penting adalah apakah kita bisa menumbuhkembangkan buah Roh Kudus itu, apakah kita bisa menjadi suami yang sabar, apakah kita bisa menjadi istri yang menguasai diri, seperti itu.

Apakah kita bisa menjadi pasangan yang murah hati, apakah kita bisa menjadi suami-istri yang setia terhadap satu sama lain. Nah jadi akhirnya yang paling penting adalah karakter Kristiani itu yang perlu kita tumbuh kembangkan, kita tidak usah berupaya mengubah kepribadian pasangan kita.
GS : Jadi kepribadiannya tidak diubah tetapi karakter itu bersama-sama dibentuk (PG: Tepat sekali Pak Gunawan) karena saya akan merasa sangat tertolong sekali di dalam pembentukan karakter itu kalau pasangan saya/istri saya itu memberikan dorongan, memberikan motivasi supaya kita bersama-sama mewujudkan karakter Kristiani itu tadi Pak Paul?

PG : Betul, saya teringat ada yang pernah bertanya Pak Gunawan dan Ibu Ida, yaitu pertanyaannya seperti ini kira-kira. Apa yang harus saya lakukan untuk menyenangkan si suami/istri saya dan say percaya ini keluar dari hati yang tulus karena ingin mempunyai pernikahan yang langgeng.

Nah sebagai seorang hamba Tuhan, nasihat saya adalah tidak terlalu pusinglah kita ini bagaimana menyenangkan hati pasangan kita. Tapi sebagai seorang anak Tuhan yang kita perlu fokuskan adalah bagaimana kita lebih bisa menumbuhkembangkan karakter Kristiani itu, lebih bisa menghasilkan buah Roh Kudus dalam hati kita. Sebab semua suami akan senang dengan istri yang sabar, penuh kasih, lemah lembut, bisa menguasai diri dan semua istri akan senang mempunyai suami yang bisa menguasai diri, setia, murah hati, penuh kasih, lemah lembut dan sebagainya.
IR : Jadi mungkin lebih berhasil kalau kita itu menyenangkan hati Tuhan daripada kita menyenangkan hati suami/istri. Soalnya kalau kita menyenangkan hati Tuhan pasti pasangan kita pun akan senang ya Pak Paul?

PG : Secara tidak langsung dia akan menerima berkatNya.

GS : Memang itu suatu usaha yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, karena saya percaya itulah panggilan Tuhan kepada kita untuk menjadi garam dan terang di dunia ini.

PG : Betul sekali.

GS : Jadi saya rasa kita akhiri pembicaraan kita kali ini tentang bagaimana Tuhan mempersatukan pribadi-pribadi yang berbeda tetapi menjadi satu pasangan yang harmonis.

PG : Sebelum kita akhiri Pak Gunawan, boleh saya garis bawahi dengan firman Tuhan?

GS : Ya Pak Paul.

PG : Ini tadi Ibu Ida juga sudah menyinggung tentang kasih, penting sekali dalam keluarga. Saya ingin bacakan dari Roma 13:8 berkata: "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepad siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi.

Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia dia sudah memenuhi hukum Taurat." Jadi saya senang sekali dengan ayat ini, janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Saya kira untuk memadukan 2 pribadi dalam satu pernikahan tidak bisa tidak, harus punya kekuatan Tuhan untuk bisa mengasihi dan setelah kita mengasihi akhirnya baru kita bisa menerima dan buah-buah Roh Kudus lainnya bisa tumbuh dengan lebih bebas. Orang yang tidak mengasihi susah sekali sabar, susah sekali sukacita, susah sekali setia, susah sekali dia menguasai dirinya dan sebagainya.
GS : Karena pada dasarnya kita tidak dilahirkan sebagai orang yang seperti itu Pak Paul.
IR : Kasih agape itu Pak Paul, pengorbanan itu yang nomor satu.

PG : Betul, itu prasyaratnya, mutlak harus ada, baru buah Roh Kudus. Kalau tidak ada kasih, tidak bisa ada kesabaran.

GS : Jadi terima kasih sekali Pak Paul bahwa pembicaraan ini bisa digarisbawahi dengan sebuah ayat yang begitu indah yang tentu akan kita kenang senantiasa.

Dan para pendengar sekalian demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Kepada segenap pendengar dan pencinta acara TELAGA ini kami sampaikan sampai jumpa dan kita berjumpa kembali pada acara TELAGA yang akan datang.



11. Kecemburuan dalam Hubungan Suami Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T033A (File MP3 T033A)


Abstrak:

Kecemburuan sering terjadi pada pasangan suami istri maupun pasangan yang masih dalam pacaran, yang bersumber dari perasaan takut kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup kita.


Ringkasan:

Cemburu didefinisikan sebagai suatu perasaan terancam atau takut akan kehilangan seseorang yang kita kasihi karena kehadiran orang lain. Jadi bukan saja kehilangan orang yang kita kasihi namun ada faktor karena campur tangan pihak ketiga atau orang lain. Pada dasarnya kecemburuan bersumber dari rasa takut akan kehilangan orang yang berharga buat kita.

Kecemburuan memiliki 2 posisi yang ekstrim, yang saling berseberangan.

  1. Ada yang beranggapan bahwa cinta harus diikuti atau disertai oleh kecemburuan, kalau tidak ada kecemburuan berarti tidak ada cinta atau kadar cintanya kurang. Jadi adakalanya cemburu diidentikkan dengan cinta.

  2. Ada pandangan yang mengatakan, cinta itu seharusnya tidak memiliki kecemburuan sama sekali.

Ciri-ciri orang cemburu:

  1. Rasa takut kehilangan, sehingga ada perasaan marah terhadap pasangan kita ataupun orang lain yang terlibat karena kita tidak suka kehilangan yang kita senangi atau hargai. Biasanya yang menjadi obyek kemarahan adalah pasangan kita dan juga pada orang lain yang akrab itu

  2. Bisa juga timbul rasa panik, karena tiba-tiba kemungkinan pasangan kita meninggalkan kita menjadi begitu nyata.

  3. Merasa tersisihkan, seakan-akan kita tidak penting lagi. Kita yang dulu berpikir menjadi nomor satu dan yang terutama dalam hidup pasangan kita, kok tiba-tiba menempati posisi seperti itu. Sebab rasanya pasangan kita memberikan perhatian yang lumayan besar terhadap orang lain.

Beberapa akar atau penyebab kecemburuan:

  1. Latar belakang pengalaman kita sendiri, yang mungkin dulu pernah pacaran lalu putus dengan pasangan kita, karena ada pihak lain yang mengganggu. Pengalaman ditinggal atau dikhianati pada masa berpacaran.

  2. Berkaitan dengan latar belakang keluarga, misalkan kalau kita melihat ayah meninggalkan ibu kita dan akhirnya ibu dilukai karena si ayah mengkhianatinya.

Si pencemburu biasanya akan melakukan beberapa respons:

  1. Biasanya yang pertama dia lakukan pada waktu merasa pasangannya mulai memperhatikan orang ialah, ingin menguasai keadaan yaitu menguasai pacar, suami atau isterinya.

  2. Respons kedua yang biasa dilakukan adalah dia ingin menyingkirkan ancaman dari luar, yaitu menyingkirkan orang lain itu. Jadi dia berkata kepada pihak ketiga, jangan ganggu pacar saya, meskipun mungkin orang itu tidak mengganggu pacarnya. Namun karena ketakutannya dia menghampiri orang itu dan meminta agar jangan mendekati pasangannya.

Cemburu buta ialah cemburu yang tak ada dasar obyektifnya. Menuduh tanpa alasan, tanpa ada bukti, tanpa ada hal-hal yang terjadi, namun isi hatinya amat dipenuhi dengan ketakutan bahwa si pacar, suami atau istri ini akan meninggalkannya. Bisa kita simpulkan bahwa cemburu buta seperti itu sangatlah tidak sehat.

Sebetulnya tidak harus ada cemburu diantara suami dan isteri. Dalam pengertian:

  1. Seharusnya kedua-duanya itu memang memasuki hubungan pacaran dan hubungan nikah dalam keadaan matang. Artinya mereka sudah menyadari kebutuhan masing-masing, dan mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa dibantu oleh pasangannya.

  2. Dua-duanya seharusnya bisa menjaga perasaan dengan baik. Dua-duanya mengerti batas-batas yang boleh dan harus mereka taati dan yang tidak boleh mereka langgar.

Dengan demikian, dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi rasa cemburu. Jadi hubungan yang sehat dan kuat seharusnya tidak lagi melahirkan rasa cemburu.

Amsal 11:25-26, "Siapa banyak memberi berkat diberi kelimpahan, siapa memberi minum dia sendiri akan diberi minum. Siapa yang menahan gandum ia dikutuki orang, tetapi berkat turun di atas orang yang menjual gandum."

Prinsip yang dikatakan firman Tuhan ini adalah bahwa Tuhan memberkati orang yang murah hati atau orang yang besar hati. Cinta yang sehat adalah cinta yang menghuni hati yang besar atau luas, hati yang dewasa atau hati yang besar akan berkata kalau engkau mencintaiku, aku akan tahu itu dan kamu akan terus setia kepadaku. Tapi kalau memangnya kamu tidak mencintaiku akupun tahu dan harus siap menerima fakta itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang kecemburuan, tentunya dalam hubungan suami istri dan kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita seringkali mendengar bahkan mungkin juga mengalami, kadang-kadang di dalam hubungan kita sebagai pasangan suami istri Kristen ada yang namanya rasa cemburu. Memang biasanya yang sering terjadi itu dari pihak istri Pak Paul, tapi kadang-kadang si suami juga pernah merasa cemburu kalau istri kita bicara terlalu intim dengan rekan prianya dsb, timbul perasaan yang tidak enak. Tapi sebenarnya apa yang disebut cemburu?

PG : Saya mendefinisikan rasa cemburu sebagai suatu perasaan terancam akan kehilangan seseorang yang kita kasihi karena kehadiran orang lain. Jadi bukan saja kehilangan orang yang kita kasih, namun ada faktor karena campur tangan pihak ketiga atau orang lain.

GS : Tapi kecemburuan itu bisa muncul juga walaupun baru sekali saja kita melihat, lalu kita merasa akrab sekali bicaranya, ya Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, sebab kecemburuan itu pada dasarnya bersumber dari rasa takut akan kehilangan. Kehilangan orang yang berharga buat kita. Dan pada waktu kita melihat kehadiran rang ketiga tersebut dan bisa begitu akrab dengan pasangan kita, tiba-tiba terbersit suatu ketakutan bahwa orang itu bisa mengambil yang kita hargai dan kita kasihi.

GS : Kalau begitu sebenarnya positif ya Pak Paul? Tapi seringkali kecemburuan itu dinilai negatif.

PG : Ya, ada dua posisi yang ekstrim, yang saling berseberangan mengenai masalah kecemburuan ini. Ada yang beranggapan bahwa cinta harus diikuti atau disertai oleh kecemburuan, kalau tidak aa kecemburuan berarti tidak ada cinta.

GS : Kadarnya kurang, tidak betul-betul mencintai begitu Pak Paul?

PG : Betul, dan adakalanya ini yang dicari-cari, apalagi oleh para pemuda-pemudi yang masih dalam tahap berpacaran. Dia mencari reaksi pacarnya yang dia inginkan untuk cemburu, waktu dia temkan bahwa pacarnya tenang-tenang tidak pernah cemburu, dia mulai meragukan apakah si pacar mencintai dia.

Jadi adakalanya cemburu diidentikkan dengan cinta. Tapi ada lagi pandangan yang berseberangan dari yang mengatakan bahwa cinta itu seharusnya tidak memiliki kecemburuan sama sekali. Jadi kalau menjawab apa yang tadi Pak Gunawan tanyakan, cemburu saya kira memang ada tempatnya, tapi juga bisa menjadi sesuatu yang sangat merusakkan hubungan suami istri.
(2) IR : Kira-kira orang yang cemburu itu memiliki perasaan-perasaan apa dan ciri-ciri orang cemburu itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Tadi saya sudah singgung cemburu itu sebetulnya adalah rasa takut kehilangan, bisa ada perasaan marah. Marah baik kepada pasangan kita ataupun orang yang lainnya itu. Kita merasa marah arena kita ini tidak suka kehilangan yang kita senangi dan kita hargai, bisa juga timbul perasaan panik.

Panik karena tiba-tiba kemungkinan pasangan kita itu meninggalkan kita rasanya begitu riil, begitu nyata sehingga menimbulkan rasa panik dalam diri kita. Dan yang ketiga adalah kita merasa tersisihkan, kita tidak penting lagi, kita yang dulu berpikir kita nomor satu dan yang terutama dalam hidup pasangan kita, tiba-tiba tidak menempati posisi seperti itu. Sebab pasangan kita rasanya memberikan perhatian yang cukup besar terhadap orang lain. Jadi kita merasa tersisihkan, tidak lagi yang paling utama dalam hidupnya.
GS : Kalau Pak Paul tadi katakan, ada perasaan marah yang timbul, tapi kadang-kadang saya sulit membedakan apakah saya sedang marah terhadap pasangan saya atau pada orang lain yang akrab itu. Sebenarnya kemarahan itu ditujukan ke mana, Pak Paul?

PG : Biasanya dua-duanya.

GS : Dua-duanya jadi obyek kemarahan kita?

PG : Biasanya begitu, meskipun ada yang tidak mengakui dia marah terhadap orang yang lainnya, dia hanya memarahi pasangannya dan dia berkata kenapa engkau tadi harus meladeni dia, menanggapidia, jadi yang menjadi obyek kemarahan kita adalah pasangan kita.

Tapi sebetulnya terbersit juga kemarahan terhadap orang lain itu, kenapa orang lain itu mengganggu atau mau mencampuri hubungan kita ini. Ada yang lainnya lagi, ia hanya memarahi orang lain tidak memarahi pasangannya. Saya kira sebetulnya dia juga memarahi pasangannya sebab pasangan kita memberikan tanggapan misalnya. Jadi seringkali kemarahan itu biasanya ditujukan kepada dua belah pihak.
GS : Tapi mungkin kepada pasangan karena dia merasa berhak begitu Pak Paul, memarahi pasangannya daripada orang lain atau tidak berani kepada orang lain itu. Tapi terkadang kecemburuan itu juga karena latar belakang kita sendiri. Mungkin dulu pernah pacaran lalu putus, karena ada pihak lain yang mengganggu dan kita tidak terlalu melindungi. Sehingga akibatnya pada waktu sudah menikah kita merasa was-was begitu melihat pasangan kita berbicara atau pergi dengan orang lain, kecurigaan itu muncul Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi pengalaman ditinggal atau dikhianati karena adanya orang ketiga pada masa berpacaran bisa menghantui kita sehingga kita selalu berpikir jangan-jangan peritiwa yang sama terulang kembali, itu bisa terjadi.

Yang lainnya lagi adalah yang berkaitan dengan latar belakang keluarga kita, misalkan kalau kita melihat ayah kita meninggalkan ibu kita dan akhirnya dilukai karena si ayah mengkhianatinya. Saya kira ketakutan bahwa ini terulang pada kita cukup besar sehingga waktu kita berpacaran kita sangat was-was sekali dengan orang ketiga, jangan-jangan pacar saya nanti diambil oleh orang lain sama seperti mama dulu kehilangan papa. Kadang kala terjadi begitu, jadi kecemburuan memang mempunyai banyak akar, salah satunya memang yang berasal dari masa kecil itu.
IR : Kemudian kira-kira respon apa yang dilakukan oleh si pencemburu itu, Pak Paul?

PG : Ada beberapa respon Bu Ida, biasanya yang kita lakukan. Pertama, waktu kita merasa pasangan kita ini mulai memperhatikan orang atau kita merasa cemburu, kita ingin menguasai keadaan yaiu kita mau menguasai pacar kita atau suami kita atau istri kita.

Kita mau melarang dia bergaul, mengobrol dengan orang lain. Jadi kita benar-benar ingin membelenggu pasangan kita agar dia tidak berkesempatan menjalin hubungan dengan orang lain atau terbuka terhadap orang lain. Respon yang kedua, yang biasa kita lakukan juga adalah kita ingin menyingkirkan ancaman dari luar itu, yaitu kita mau menyingkirkan orang lain itu. Kita berkata kepada dia jangan mengganggu pacar saya atau apa, meskipun mungkin dia tidak mengganggu pacar kita. Namun karena ketakutan, kita menghampiri dia dan meminta dia jangan mendekati pasangan kita.
GS : Ada yang mengatakan kecemburuan itu suatu wujud dari egoisme seseorang.

PG : Itu adalah kasus memang, dia tidak bisa mempunyai cinta yang matang, Pak Gunawan. Jadi adakalanya cinta itu tidak terlepas atau tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan. Cinta memang biasana mengandung kebutuhan artinya kita mencintai seseorang karena orang itu memenuhi kebutuhan kita, itu cinta manusiawi.

Saya kira cinta Tuhan, cinta agape adalah cinta yang memberi tanpa pamrih sedikitpun. Tapi cinta manusia, selalu ada unsur pemenuhan kebutuhan. Cinta yang sehat adalah cinta di mana kebutuhannya tidak terlalu besar, sedangkan kerelaan, keinginan untuk memberi jauh lebih besar. Cinta yang tidak sehat adalah kebalikannya, kebutuhannya yang menggunung sedangkan kesediaan dan kemampuan untuk memberi sangat sedikit. Sehingga akhirnya karena dia sangat membutuhkan orang itu untuk memenuhi semua keinginannya atau kebutuhannya, dia sangat takut sekali kehilangan orang itu, jadi yang dia lakukan adalah memang benar-benar seperti burung, dia akan menggunting bulunya, supaya burung itu tidak bisa dan tidak akan pernah terbang.
(3) IR : Jadi juga ada ya Pak Paul, tingkatan, level rasa cemburu itu. Kadang-kadang disebut cemburu biasa, ada pula yang dikatakan cemburu buta itu apa, Pak Paul?

PG : Saya kategorikan cemburu buta sebagai kecemburuan yang tidak ada dasar obyektifnya. Jadi benar-benar menuduh tanpa ada alasan, tanpa ada bukti, tanpa ada hal-hal yang terjadi, namun isihatinya sangat dipenuhi dengan ketakutan bahwa si pacar atau si istri atau si suami ini akan meninggalkannya.

Jadi dia harus mengikuti, dia harus memastikan si pasangan ini tidak melihat orang lain, tidak berbicara dengan orang lain, itu yang saya kategorikan cemburu buta. Otomatis kita bisa simpulkan cemburu buta seperti itu sangatlah tidak sehat, pada masa berpacaran mungkin sekali, orang itu akan tunduk pada kontrol atau kendali si pencemburu. Mungkin adakalanya membuahkan kesenangan pada awal-awalnya, saya sangat dicintai, pacarku itu baik memperhatikan aku, melarangku bergaul dengan orang, dan cemburu mula-mulanya menyenangkan. Saya kira rasa dicemburui menyenamgkan, tapi lama-lama memuakkan, lalu biasanya kita akan berusaha menghindarkan diri dari orang seperti itu dan kalau sudah menikah akibatnya fatal. Akhirnya mencari kesempatan-kesempatan, sembunyi-sembunyi untuk bisa ketemu orang lain.
IR : Apakah orang yang cemburu buta dapat digolongkan sebagai orang yang paranoid?

PG : Mungkin tidak sampai paranoid yang secara klinis, tapi saya bisa katakan kalau misalnya cemburu buta seperti itu ada gangguan dalam masa pertumbuhannya sehingga jiwanya menjadi tidak stbil.

Jiwa yang butuh sekali tongkat atau pegangan agar dia bisa berjalan dengan tegap, dengan lurus. Sebab kalau pasangannya tidak ada, tidak ada lagi yang bisa memenuhi kebutuhannya dan dia akan menjadi hilang keseimbangan. Jadi saya simpulkan memang dia kurang stabil.
(4) GS : Saya pernah melihat kasus yang nyata, seorang istri itu mencemburui suaminya terhadap anaknya yang perempuan, Pak Paul. Itu bisa terjadi, dan saya tidak bisa mengerti hanya karena anak itu begitu akrab dengan ayahnya, maka si istri itu marah-marah terhadap suaminya.

PG : Bagus sekali yang Pak Gunawan tanyakan, karena cemburu itu memang bisa sehat tapi bisa juga tidak sehat. Tapi cemburu dalam kasus di mana misalkan, istri kita itu normal-normal saja tidk cemburuan pada masa sebelumnya, juga tidak mencemburui kita dengan wanita lain dan sekarang tiba-tiba mencemburui kita dengan anak kita sendiri, otomatis cemburu di sini bukan cemburu romantis seperti dengan gadis lain.

Tapi apa yang terjadi sekarang si istri tiba-tiba mencemburui si suami yang seolah-olah lebih memberikan waktu dan perhatian kepada si anak putri. Kesimpulannya adalah si suami bagi si istri tidak lagi cukup memberikan rasa perhatian, rasa mengasihi, rasa mengagumi, rasa melindungi. Karena dia merasa kekurangan maka waktu melihat si suami memberikannya pada orang lain, tidak peduli orang lain itu anaknya sendiri, dia merasa tersinggung dan marah. Sebab ia merasa ini adalah hak saya, saya seharusnyalah yang menerima porsi terbesar dari perhatianmu. Namun sekarang anakku yang menerima porsi terbesar, sehingga bisa timbul rasa cemburu di situ. Si suami di sini, saya duga tidak mau menerima dan marah, kenapa engkau cemburu buta, aku mengasihi anakku, aku memperlakukan dia dengan spesial kenapa engkau yang marah, engkau tidak waras lagi dsb. Jadi saya minta si suami tidak tergesa-gesa melabelkan istrinya itu tidak waras atau apa, sebab butuh perhatian yang besar kepada si istri, dengan catatan memang sebelumnya si istri itu bukanlah seorang pencemburu buta.
GS : Tapi kalau istri itu diberitahu, bahwa dia itu cemburu, dia juga tidak mau mengakui Pak, dia cuma mengatakan tidak pantas masa begitu, anaknya sudah mulai remaja, sudah mulai besar, dia tidak mengaku bahwa dia sedang mencemburui. Dan faktanya seperti itu.

PG : Betul, jadi tindakan yang bijaksana dari si suami sebetulnya adalah tidak mendebatkan persepsi si istri, namun melimpahkan si istri dengan cinta kasih dan perhatian. Sebab dugaan saya dlam kasus di mana si istri bukan pencemburu buta, kalau dia dikasihi dan dia menerima kelimpahan perhatian dari si suami, ia tidak akan cemburu pada anaknya.

IR : Ada seseorang yang mempunyai anak angkat, Pak Paul, dan si istri kadang tidak sadar melayani anak angkat yang masih kecil ya, apakah itu bisa menimbulkan cemburu untuk anaknya sendiri dan untuk suaminya?

PG : Bisa, kalau memang adanya perbedaan perlakuan dulu dan sekarang, karena kehadiran si anak angkat itu. Dalam hal ini diperlukan pengertian dari kedua belah pihak, dari pihak si suami dananak-anak yang lain perlu mengerti bahwa kehadiran anak angkat ini bisa mengurangi waktu yang biasanya diberikan kepada mereka.

Di pihak lain, ibu ini harus peka dengan hal ini dan mungkin perlu berbicara langsung kepada anak-anak lain dan juga suaminya, mengatakan bahwa "aku tetap mencintaimu seperti biasa, kalian tetap adalah orang-orang yang terutama dalam hati saya tapi sekarang kita punya anak angkat, kita semua adalah sebetulnya saudara dan orang tua angkatnya." Jadi ini beban dan tanggung jawab kita bersama untuk mengayominya. Saya kira dengan komunikasi yang terbuka seperti itu mereka bisa memahami.
GS : Ya memang kadang-kadang sulit untuk mengukur bahwa kecemburuan itu positif atau negatif, Pak Paul? Kecemburuan itu pasti ada, kalau kita memang betul-betul mengasihi. Tetapi bagaimana kita membuat supaya jangan terjadi cemburu yang berlebihan, sehingga tidak mengekang kebebasan seseorang yang kita kasihi, sebenarnya sikap apa yang perlu kita lakukan?

PG : Ini memang masalah yang pelik, Pak Gunawan, sebab orang yang dalam keadaan cemburu tidak bisa menerima dikatakan dia cemburu. Dia tidak bisa menerima masukan itu dan dia akan berdalih bhwa seharusnyalah dia cemburu, sebab ada hal-hal yang dia lihat, yang merupakan bukti bahwa pasangannya mulai tidak setia dan lain sebagainya.

Dalam kasus di mana memang pencemburu buta tidak ada, sebab tidak ada masalah tapi terus mencemburui pasangannya. Saya kira si pencemburu itu yang harus mendapatkan bantuan, harus mendapatkan bantuan dari pihak ketiga. Seorang konselor profesional, agar dia lebih memahami dirinya dan kebutuhannya. Si suami tidak bisa diberitahu kamu sudah memperhatikan istri misalnya istri yang pencemburu ya. Biarkan dia itu merasa spesial sebab tidak akan ada habisnya, si pencemburu itu akan terus menuntut perhatian yang eksklusif, jadi tidak realistik dan tidak akan sehat. Jadi saya kira dalam kasus seperti itu perlu adanya orang ketiga yang bisa mengkonseling mereka dengan penuh kasih sayang dan pengertian. Kalau tidak, akhirnya bisa bertambah rusak.
(5) IR : Pak Paul apakah cemburu itu memang seharusnya ada?

PG : Pertanyaan yang bagus ya Bu Ida, saya rasa sebetulnya tidak harus ada, dalam pengertian seharusnya dua-dua itu memang memasuki hubungan pacaran dan hubungan nikah dalam keadaan matang, rtinya mereka sudah menyadari kebutuhan mereka dan mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tanpa dibantu oleh pasangannya.

Jadi orang yang matang tidak membebankan kebutuhannya pada pasangannya, dia bisa mencukupinya sendiri. Kedua tidak harus, dalam pengertian dua-duanya seharusnya bisa menjaga perasaan dengan baik dan dua-dua mengerti batas-batas yang boleh, yang harus mereka taati dan tidak boleh mereka lewati. Akibatnya dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi rasa cemburu. Jadi memang hubungan yang sehat dan kuat seharusnya tidak lagi melahirkan rasa cemburu.
GS : Ada orang yang memang pencemburu, mencoba membela dirinya dan mengatakan : "Tuhan Allah itu sendiri pencemburu" Dia katakan, Dia cemburu kalau melihat umatNya itu menyembah berhala dan sebagainya. Dan terang-terangan Allah itu mengatakan : Aku itu cemburu, ada tercantum di dalam Alkitab, itu penjelasannya bagaimana Pak Paul?

PG : Tuhan Allah itu sebetulnya pencemburu atau cemburu dalam pengertian Dia menuntut apa yang menjadi hak Dia dan bukannya mengada-ada. Orang Israel bukannya dalam keadaan baik dengan Tuhan menyembah Tuhan lalu Allah itu cemburu, tidak.

Allah itu hanya mencemburui orang Israel karena orang Israel telah berkhianat pada Dia. Hubungan antara umat Israel dengan Tuhan adalah hubungan seperti antara suami dengan istri, seperti raja dengan umatnya, jadi memang Tuhan meminta suatu pengabdian yang total dan eksklusif. Lalu orang-orang Israel berkhianat, menyembah dewa-dewa lain sehingga Tuhan marah. Jadi bagi saya reaksi Tuhan memang reaksi yang seharusnya, karena sudah ada tindakan yang jelas dari orang Israel. Kalau Tuhan melihat orang Israel menyembah dewa lain dan kemudian berkata : "Aku tidak apa-apa, engkau menyembah mereka boleh, menyembahKu ya boleh", saya rasa sungguh aneh jika Tuhan berkata seperti itu. Jadi reaksi marahnya beralasan. Sama dengan hubungan suami istri pula kalau memang si suami misalnya main mata dengan orang lain, seharusnyalah si istri marah dan itulah cemburu yang memang pada tempatnya. Meskipun secara sekaligus kita bisa berkata itu hubungan yang tidak terlalu sehat karena si suami main mata dengan orang lain.
GS : Mungkin Pak Paul mau memberikan nasihat sehubungan dengan firman Tuhan dalam pembicaraan tentang kecemburuan ini.

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 11 : 25-26. "Siapa banyak memberi berkat diberi kelimpahan, siapa memberi minum dia sendiri akan diberi minum. Siapa yang menahan gandum ia diktuki orang, tetapi berkat turun di atas orang yang menjual gandum."

Prinsip yang dikatakan oleh firman Tuhan ini adalah bahwa Tuhan memberkati orang yang murah hati, orang yang besar hati. Maka di sini dikatakan orang yang rela memberikan minum, orang yang rela untuk menjual gandumnya, orang yang berbesar hati, orang yang tidak sempit hatinya. Cinta yang sehat adalah cinta yang menghuni hati yang besar, hati yang luas. Ini bukan berarti saya mengatakan siapapun boleh kau cintai, kita ya mencintai, tapi engkau boleh mencintai orang lain, bukan itu yang saya maksud. Tapi hati yang dewasa, hati yang besar, akan berkata kalau engkau mencintaiku, aku akan tahu itu dan kamu akan terus setia kepadaku. Kalau memang kamu tidak mencintaiku, akupun tahu dan aku harus siap menerima fakta itu. Kita bukanlah polisi yang memata-matai pasangan kita, itu tidak sehat, jadi biarkan cinta berkembang dengan natural tanpa paksaan atau manipulasi. Saya sudah melihat kasus di mana suami atau pria yang luar biasa cemburunya, benar-benar memperbudak si pacar atau si istri. Tapi saya juga melihat kasus yang sebaliknya, itu sangatlah tidak sehat.
GS : Jadi memang rasa cemburu itu yang ada pada diri kita, kita harus tahu dan bisa mengendalikannya ya Pak Paul?

PG : Dan tahu sumbernya juga.

GS : Tahu sumbernya, mengapa timbul kecemburuan itu?

PG : Tepat sekali, memang bisa merupakan pertanda akan hubungan kita yang memang kurang sehat lagi.

GS : Tentunya kita semua berharap, hubungan suami istri kita masing-masing itu makin hari makin bertambah sehat khususnya setelah mengikuti program dari TELAGA ini Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar masalah kecemburuan suami istri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

PERTANYAAN KASET T 33 A

  1. Apakah yang dimaksud dengan cemburu?
  2. Apakah ciri-ciri orang yang cemburu?
  3. Apa yang dimaksud dengan cemburu buta itu?
  4. Apa penyebab seorang istri cemburu terhadap anak perempuannya?
  5. Apakah cemburu itu harus ada?


12. Menolong Pasanganku yang Pencemburu


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T033B (File MP3 T033B)


Abstrak:

Pencemburu ada kemungkinan besar dapat ditolong, dan sudah seharusnya bagi pasangan suami istri untuk menciptakan kehidupan pernikahan tanpa adanya suatu alasan bagi pasangan untuk cemburu.


Ringkasan:

Ada beberapa pasangan yang mengalami, salah satu pihak dari mereka itu tidak normal cemburunya. Tentunya sebagai suami atau isteri yang dicemburui, kita tidak bisa diam saja. Kita tentu dituntut bagaimana bisa menolong pasangannya yang pencemburu itu. Dan untuk bisa memastikan atau mengira-ngira berapa besar kemungkinan orang itu berubah, kita harus melihat dulu permasalahan apa yang membuat dia cemburu.

Ada dua situasi atau faktor yang berkemungkinan membuat orang menjadi pencemburu:

  1. Adanya hubungan yang tidak seimbang di mana satu pihak lebih mencintai pihak yang lainnya. Untuk menolong pacar yang cemburu, kita harus berusaha tegas berkata: "Saya mencintaimu tetapi inilah saya. Aku mengerti yang kau inginkan tapi saya memang tidak akan mencari-cari kamu jika ada problem, kamu bukannya satu-satunya orang yang menjadi tempat aku cerita. Sebab puluhan tahun aku hidup, jiwaku bebas dan aku banyak teman, sehingga aku tidak merasakan suatu keharusan mencari engkau sebagai orang yang pertama. Jadi kita harus berikan waktu agar hubungan ini bertumbuh sehingga lama-kelamaan aku juga makin dekat denganmu dan aku mungkin bisa lebih banyak cerita kepadamu."
    Sikap yang jelas harus diperlihatkan oleh si pasangan:
    " Jangan mengorbankan diri dan membuang teman-teman demi pacarnya yang memang tidak bisa menerima orang lain. Dia harus tegas berkata bahwa saya akan tetap ke gereja, tetap aktif dalam persekutuan pemuda, tetap terlibat dalam pelayanan sekolah Minggu.
    " Jangan mengkompromikan hal-hal yang memang penting yang adalah bagian jiwa kita. Biarkan dia melihat realitanya, meskipun pasangannya terlibat dalam kegiatan, dia tetap mendahulukan si pacar, dan mencoba mengajak dia bersama-sama bergaul, semua itu dilakukan tanpa kompromi.

  2. Orang yang mempunyai kepribadian tidak sehat, sehingga butuh sekali rasa aman. Mungkin ada latar belakang tertentu dalam hidupnya yang membuat dia merasa begitu takut ditinggalkan.
    Kalau hubungan sudah meningkat ke pernikahan, dan sifat asli pasangan kita sebagai pencemburu baru keluar, karena dia merasa hubungan sudah permanen. Maka untuk menghadapi keadaan ini, kita harus melakukan dua hal secara seimbang, jangan sampai yang satu lebih berat dari yang lainnya.
    " Yang pertama adalah memberikan keyakinan bahwa dengan kita dia aman. Yang saya maksudkan adalah memberikan rasa aman bahwa saya setia denganmu dan engkau satu-satunya yang kucintai, aku tidak akan meninggalkan engkau. Itu perlu kita komunikasikan kepadanya, dan perlu mengatakannya setiap hari.
    " Yang kedua adalah saya tetap menjadi diri saya. Maksudnya adalah, kita tetap melakukan apa yang menjadi bagian dari jiwa kita, misalnya: senang bergaul dan bercanda, ikut terlibat dalam kegiatan di gereja, dan lain sebagainya. Meskipun dia marah, jangan mundur dan kita tetap pulang ke rumah.
    Kalau kita tidak meyakinkan dia akan cinta kita kepadanya, dia akan makin cemburu. Tapi kalau kita hanya menuruti kemauannya, kita akan tersiksa karena tidak lagi bisa mengikuti kegiatan lain dan tidak menjadi diri kita yang sebenarnya. Ini tidak realistis karena suatu hari kita juga bisa retak dan juga tidak mendewasakan dia.

I Korintus 13:4 "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong."
Tuhan menghendaki, agar dalam hidup ini kita memiliki kasih yang tidak cemburu. Dalam pengertian kasih yang bisa berserah, bisa membebaskan orang untuk menjadi dirinya. Namun di pihak lain, janganlah kita mencari gara-gara supaya orang cemburu pada kita. Jadi ciptakanlah situasi dalam hubungan nikah kita, dimana pasangan kita tidak akan menemukan alasan untuk cemburu kepada kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana menolong pasangan kita yang pencemburu. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada beberapa pasangan yang salah satu dari mereka itu pencemburu artinya tidak normal kecemburuannya. Tentunya sebagai pasangan yang dicemburui ini, tidak bisa diam saja, tentu dia dituntut juga bagaimana dia bisa menolong suaminya atau istrinya yang pencemburu itu, Pak Paul. Sebenarnya orang yang pencemburu itu masih bisa ditolong atau tidak, Pak Paul?

PG : Itu pertanyaan yang baik Pak Gunawan, jadi untuk kita bisa memastikan ya atau tidak, kalau tidak bisa memastikan, mengira-ngira berapa besar kemungkinannya orang itu berubah, kita harusmelihat dulu permasalahannya yang membuat dia cemburu.

Nah, bila dikategorikan ada tiga situasi atau faktor yang memang memungkinkan membuat orang menjadi pencemburu. Yang pertama adalah adanya hubungan yang tidak seimbang, di mana satu pihak lebih mencintai pihak yang lainnya, dibandingkan yang satunya mencintai kita misalnya. Seringkali dalam hubungan yang tidak seimbang seperti itu muncullah kecemburuan, karena apa? Karena otomatis yang mencintai lebih besar, lebih berkepentingan kalau dia kehilangan orang itu. Ia akan merasakan lebih takut. Seperti telah kita bahas pada siaran yang lalu, Pak Gunawan, bahwa kecemburuan itu sekurang-kurangnya mengandung 3 unsur, adanya unsur takut, takut akan apa? Takut kehilangan orang yang kita kasihi itu, adanya ancaman dari luar bahwa yang kita kasihi itu mungkin meninggalkan kita dan yang ketiga memang adanya orang lain. Kalau kita memang mencintai pasangan kita luar biasa besarnya sedangkan dia tidak mencintai kita sebesar itu, maka rasa takut kita akan kehilangan dia lebih besar. Dalam kasus seperti ini, kemungkinannya orang itu berubah cukup besar Pak Gunawan, syaratnya bagaimana? Syaratnya orang itu harus diyakinkan bahwa pasangannyapun mencintai dia sama besarnya dengan cintanya kepada pasangannya itu. Ini adalah kasus yang ringan, yang memang bisa berubah setelah dia mengetahui dengan pasti bahwa pasangannya itu sangat mencintai dia juga dan sepenuhnya.
GS : Jadi selama dia tidak bisa diyakinkan bahwa pasangannya betul-betul mengasihi dia, dia akan tetap cemburu?

PG : Betul, sebab selama dia merasa cintanya melebihi cinta pasangannya, selalu ada ketakutan. Jadi kita merasa investasi kita lebih besar. Ini sama seperti kemitraan di dalam membangun usah bisnis.

Orang yang mempunyai saham lebih besar, lebih berkepentingan memikirkan perusahaannya. Jangan-jangan perusahaan ini bisa hancur atau rusak, maka investasinya akan hilang.
GS : Tapi apakah selama mereka berpacaran, apakah itu tidak cukup untuk meyakinkan pasangannya itu bahwa dia memang betul mengasihi sehingga dia mau menikah dengan pasangannya?

PG : Dalam catatan memang orang ini tidak ada masalah lain Pak Gunawan, memang soal cinta saja. Kenyataannya adalah kita ini memang tidak selalu mempunyai kadar cinta yang sama besar dengan asangan kita.

Ada yang begitu Pak Gunawan, jadi ada orang-orang tertentu yang pergaulannya luas, ada orang-orang yang pergaulannya sempit. Yang pergaulannya luas otomatis jiwanya lebih luas dan mencintai seseorang itu tidak seperti obsesi, tergila-gila karena jiwanya luas, dia memberikan perhatian hidupnya pada banyak hal dalam hidup ini. Orang yang pergaulannya sempit tidak bisa tidak sewaktu mencintai seseorang ia terobsesi, semuanya akan dia curahkan pada orang tersebut. Karena apa, memang tidak ada outlet, tidak ada obyek lain, tidak ada penyaluran yang lain, jadi semua tertumpah pada orang yang satu itu. Makanya cintanya kita katakan sangat besar.
GS : Tapi biasanya pada masa pacaran, pasangan kita mengharapkan sudah jangan memikirkan yang lain, memikirkan saya saja.

PG : Kita tidak memikirkan yang lain lagi, tapi kalau kita mempunyai pergaulan yang luas, otomatis pikiran kita tidak tersedot oleh satu orang itu. Karena kita memikirkan hal- hal yang lain alam hidup ini.

Tapi orang yang tidak ada variasi dalam hidupnya, yang hidupnya itu kita gambarkan seperti satu warna, inilah satu-satunya variasi dalam hidup, satu-satunya gairah yang memang membuat dia itu hidup, merasakan senang luar biasa, jadi itulah yang akan dia pegang terus-menerus. Sedangkan pasangannya mempunyai banyak hobby, banyak minat, banyak teman. Otomatis kalau dia mempunyai masalah dia tidak merasakan keharusan tergesa-gesa menceritakan kepada si pacar, dia mempunyai banyak teman lain yang bisa dia hubungi, dia bisa tertawa dan menangis bersamanya, sedangkan si pacarnya tidak ada orang lain dalam hidupnya, kalau ada masalah hanya datang kepada kita misalnya.
(2) IR :Nah, untuk menolong pacar yang cemburu ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira, saya harus mengatakan sebisanya, sebisanya dalam pengertian kita harus tegas, kita harus berkata : "saya mencintaimu tetapi inilah saya. Saya memang tidak akan mencari-cari amu jika aku ada problem, engkau bukanlah satu-satunya orang yang bisa aku ceritakan.

Sebab berpuluhan tahun aku hidup memang jiwaku bebas, aku banyak teman, aku tidak merasakan suatu keharusan harus mencari engkau sebagai orang yang pertama, ya aku mengerti itu yang kau inginkan tapi memang tidak demikian. Jadi apa? Berikan waktu agar hubungan ini bertumbuh sehingga lama-kelamaan aku juga makin dekat denganmu dan aku mungkin lebih banyak bercerita kepadamu." Jadi jangan dipaksakan begitu, adakalanya kesalahan yang diperbuat adalah orang ini memaksakan. Kalau begitu saya harus memutuskan hubungan, tidak boleh bergaul lagi dengan orang lain demi engkau. Saya rasa itu juga salah, karena itu akan benar-benar mengubah dirinya dengan drastis; itu tidak cocok, tidak sesuai lagi dengan dirinya.
IR : Juga mungkin dari pasangan yang luas pergaulannya nanti melibatkan pacar ini untuk juga terlibat.

PG : Betul sekali, jadi bukanlah kita ini yang tiba-tiba sekarang masuk ke bawah meja, hidup dalam kurungan, kita yang justru harus mengeluarkan dia dari kurungan meja, dari bawah meja agar ia bisa melihat orang dan bergaul dengan orang, itu sendiri akan menolong dia.

Tapi saya kira sikap yang harus jelas kita perlihatkan, jangan mengorbankan diri, membuang teman demi pacar kita yang memang tidak bisa menerima orang lain, kita harus tegas berkata bahwa saya akan tetap ke gereja, saya akan tetap aktif dalam persekutuan pemuda, saya akan tetap terlibat dalam pelayanan Sekolah Minggu. Jadi kita jangan mengkompromikan hal-hal yang memang penting dan adalah jiwa kita itu. Biarkan dia melihat realitanya, meskipun kita terlibat dalam kegiatan, kita tidak memberikan cinta kita pada orang lain, kita tetap mendahulukan dia. Kita coba untuk mengajak dia sama-sama bergaul, kita lakukan itu semua tanpa kompromi.
GS : Jadi pada masa pacaran itu penting saya rasa melihat pasangan kita, sejauh mana dia memiliki kecemburuan. Kalau sudah parah bagaimana Pak Paul, kalau memang orang itu sudah diberitahu dan sebagainya tapi masih tetap cemburu.

PG : Untuk kasus seperti itu saya kategorikan ke dalam ciri yang berikutnya Pak Gunawan, yaitu orang ini memang mempunyai kepribadian tidak sehat sehingga dia butuh sekali keamanan, mungkin empunyai latar belakang dimana dia melihat ayahnya mengkhianati ibunya dan sebagainya, sehingga dia butuh sekali rasa aman.

Rasa aman itu, hanya bisa dia peroleh kalau dia bisa memastikan kekasihnya hanya memandangi dia saja, tidak bisa dia itu melihat kekasihnya mempunyai minat terhadap hal-hal lain dalam hidup ini, dia menuntut suatu pengabdian penuh dan total serta eksklusif sehingga kekasihnya hanya harus mengagumi dia, dan dia hanyalah satu-satunya hobby dan minat yang hanya boleh dimiliki oleh kekasihnya. Ini memang sangat tidak sehat dan seringkali susah untuk diberitahu, Pak Gunawan. Orang lain memberitahu, dia akan selalu bisa untuk memberikan alasan saya cemburu karena memang pacar saya dan dia akan selalu bisa temukan alasannya. Nah ini benar-benar merepotkan karena tidak bisa diberitahu, kalau memang menyangkut ke arah yang berkaitan dengan kepribadian dan jiwa yang akhirnya tidak stabil, kurang sehat, sulit sekali untuk ditolong.
GS : Kalau sudah demikian jauh ya Pak Paul, apakah bijaksana kalau kita menyarankan kepada pasangan itu untuk menunda pernikahan mereka dan mulai memikir-mikir ulang?

PG : Saya sangat setuju sekali, dan sebisanya si kekasih berkata kepada yang cemburu itu, aku mau menantikan engkau, aku mau mempertimbangkan hubungan ini, aku tidak mau melarikan diri, tapiaku mau memberikan saran yaitu agar engkau mendapatkan bantuan.

Jadi biarkan yang cemburu ini melalui masa konseling atau apa agar dia bisa menyadari kebutuhan-kebutuhan, luka-luka batinnya yang mungkin belum disembuhkan dalam hidupnya. Agar dia menyelesaikan itu, baru memikirkan tentang pernikahan, kalau tidak rasanya akan repot.
GS : Malah mempersulit mereka di dalam pernikahan, Pak Paul?

PG : Sangat mempersulit, karena akhirnya yang cemburu itu sebetulnya sedang menciptakan suasana di mana si pasangannya akan mencuri-curi, sebab orang hanya bisa hidup dalam keterikatan untuksuatu jangka waktu tertentu.

Setelah melewati jangka waktu itu, dia akan tidak tahan, dia mau pergi dengan temannya. Mungkin sekali awal-awalnya dia hanya akan pergi dengan sesama jenisnya, karena dia ingin menikmati hidup pula sebab dalam rumah tangga dia seperti dikurung. Mula-mula dia pergi dengan kawan sejenis, tapi lama-kelamaan mungkin kawan-kawannya yang tidak sejenis juga akan ikut, mulailah dia menikmati yang memang dia rindukan. Tapi karena dia sudah kehausan, terikat luar biasa selama bertahun-tahun, waktu mendapatkan kesempatan bergaul dengan lawan jenis tidak bisa menjaga batas, malahan menubruk, dan terlibat dalam perselingkuhan. Jadi sangat tidak sehat, karena sebetulnya hanyalah menciptakan kondisi di mana pasangannya itu akan mencuri-curi kesempatan untuk bergaul dengan orang lain. Dan itu akan membakar api cemburu, sebab si pencemburu akan berkata engkau berbohong, engkau tidak bisa dipercaya. Makin cemburu, maka pihak yang dicemburui akan semakin mencuri-curi.
GS : Jadi suatu lingkaran setan yang makin lama makin parah.
IR : Tapi kalau waktu pacaran ya Pak Paul, ada salah satu partnernya misalnya mulai melirik orang lain atau kadang-kadang janjinya mulai tidak tepat, dan diketahui memang kadang-kadang pergi dengan orang lain, apakah tidak sepantasnya kita jadi pencemburu?

PG : Sangat, sangat sepantasnya dan kalau memang itulah faktanya saya kira harus dipertimbangkan, apakah ini memang pasangan yang cocok atau tidak. Saya kira dalam masa berpacaran kita masihbisa terima kalau sekali atau seseorang dalam masa berpacaran tiba-tiba tertarik dengan orang lain tapi akhirnya kembali lagi.

Hanya sekali, saya kira manusia bisa lemah, apalagi dalam usia yang muda seperti itu. Tapi kalau merupakan suatu pola yang terus-menerus, jangan diteruskan, ini sangat bahaya berarti orang ini memang sedang mencari-cari dan belum bertemu.
(3) GS : Kalau hubungan kita sudah meningkat ke pernikahan, Pak Paul? Yang tadinya pada masa pacaran kita tidak tahu bahwa pasangan kita itu pencemburu, lalu karena dia merasa hubungannya sudah lebih permanen keluar sifat aslinya. Pasangan ini mulai diketahui sebagai orang yang pencemburu. Apa yang bisa dilakukan oleh pasangan yang satunya?

PG : Kita harus melakukan dua hal secara seimbang. Yang pertama adalah memberikan keyakinan bahwa dia aman dengan kita, namun yang kedua adalah saya tetap menjadi diri saya. Dua hal ini yangharus diseimbangkan, jangan sampai yang satu lebih berat daripada yang lainnya.

Yang saya maksud adalah memberikan rasa aman bahwa saya setia denganmu dan engkau satu-satunya yang kucintai, aku tidak akan meninggalkan engkau. Perlu kita komunikasikan kepadanya, kita perlu mengatakannya setiap hari, aku mencintaimu, kita perlu memperlakukan dia dengan spesial, kita tidak memperlakukan orang lain dengan spesial, kita tidak memberikan bunga kepada yang lain, kita hanya berikan kepada dia, kita hanya mencium dia, kita tidak lagi memegang-megang orang atau mencium orang lain, apalagi seperti itu. Jadi benar-benar kita perlakukan dia spesial, kita pergi dan kita tahu dia di rumah mungkin agak khawatir karena kita agak terlambat, kita menelepon dia, menghubungi dia. Dengan kata lain, kita tidak memberikan dia kesempatan atau alasan untuk khawatirkan atau mencemburui kita. Berikan dia keyakinan seperti itu, namun di pihak yang lain kita harus tetap menjadi diri kita. Yang saya maksud dengan diri kita adalah kalau dalam bergaul kita bercanda, kita tertawa, kita ikut terlibat dalam kegiatan di gereja dengan teman-teman dan lain sebagainya, itu tetap kita lakukan. Meskipun dia marah, kita pulang ke rumah dia marah tetap kita lakukan itu, kita tidak mundur. Saya mau menjadi majelis, saya tetap mau jadi majelis, namun di pihak yang lain tetap kita lakukan yang pertama tadi.
GS : Meyakinkan dia bahwa kita mengasihi.

PG : Betul, akan memakan waktu tapi hasilnya akan ada, kalau kita tidak melakukan yang pertama tadi, meyakinkan dia akan cinta kita kepadanya dia akan makin cemburu. Tapi kalau kita menurutikemauannya, kita benar-benar tidak lagi mengikuti kegiatan yang lain karena dia.

Nomor satu itu tidak realistis dan suatu hari kita juga akan bisa retak. Nomor dua tidak mendewasakan dia.
GS : Tapi ini Pak Paul, ada bentuk kecemburuan menurut saya yang sifatnya pasif. Dia sebetulnya cemburu tetapi itu tidak dikemukakan, tidak diekspresikan tapi dia diam, diam-diam dia merasa misalnya saja ya diri saya ini tidak secantik orang lain yang sedang didekati oleh suaminya, dia terus menyalahkan dirinya. Apakah itu bentuk kecemburuan, Pak?

PG : Itu juga kecemburuan sebetulnya, memang kecemburuan yang tidak dinampakkan karena mungkin dia sudah menyalahkan dirinya dulu. Seolah-olah tidak selayaknyalah saya mendapatkan suami sayasebab saya ini tidak secantik orang lain.

Otomatis itu tidak sehat. Nomor satu, kita perlu meyakinkan dia akan cinta dan kesetiaan kita kepadanya, memperlakukan dia dengan khusus, tapi di pihak yang lain kita ini tetap menjadi diri kita. Pendekatannya saya kira harus sama.
GS : Tapi apakah pasangan itu bisa tanggap, bahwa pasangannya ini lagi cemburu. Kalau yang pencemburu ini justru pencemburu yang pasif, yang diam tapi diam-diam dia cemburu bagaimana Pak Paul?

PG : Biasanya harus tahu, kalau kita cukup peka karena kita akan melihat perbedaan dalam perlakuannya terhadap kita.

IR : Bagaimana mengatasinya Pak Paul, ini ada kasus yang seorang istri dapat dikatakan itu cemburu buta, karena suaminya ramah, juga karena pelayanannya luas, dan dengan siapapun dia itu baik, kata-katanya lemah lembut. Sehingga istrinya cemburu kepada orang tertentu. Kalau sedang berbincang-bincang dengan suaminya, dia langsung tulis surat kepada si teman ini yang berisi ancaman. Kalau dalam pertemuan ia memuji-muji pelayanan suaminya, langsung diberi surat mengapa kamu menyebut nama suami saya, dan kamu puji-puji. Sampai dihitung waktu menyebut nama suaminya itu, berapa kali kamu menyebut nama suami saya. Itu digolongkan orang yang bagaimana, Pak Paul?

PG : Pertama-tama saya ingin melihat perlakuan si suami terhadap si istri, apakah termasuk dalam kasus di mana suami itu memang membuat si istri gersang. Gersang terhadap kasih dan cinta, tdak diberikan, setengah cukup, kalau itu masalahnya ya si suami perlu menambahkan perlakuan yang positif dan penuh cinta kasih kepada si istri itu.

Karena bisa muncul dari kasus seperti itu, tindakan-tindakan yang tadi Ibu Ida sudah paparkan. Meskipun harus saya akui biasanya tidak begitu, kalau sudah sampai ke taraf seperti itu memang tidak lagi wajar, sudah mengacu atau menuju pada gangguan jiwa yang lebih serius. Sepertinya ada masalah kejiwaan yang perlu diprihatinkan.
IR : Bahkan dicerita-ceritakan orang, tidak terbukti bahwa suaminya ini berselingkuh. Tapi dia mengatakan kepada orang lain bahwa suaminya itu sedang dikejar sama seseorang. Jadi akhirnya teman-teman mengkategorikan bahwa orang ini paranoid. Apakah bisa digolongkan seperti itu?

PG : Ya, mulai ke situ. Ada satu hal yang mulai ironis Ibu Ida, kita ini takut kehilangan pasangan kita, maka kita cemburu. Tapi kenapa kita cemburu, cemburu sebetulnya ya merupakan dua respns.

Pertama cemburu adalah karena takut kehilangan maka kita ingin merebutnya kembali. Tapi sebetulnya cemburu itu tanpa disadari merupakan suatu persiapan untuk kita menghadapi kehilangan itu, dengan kata cemburu kita seperti yang tadi Ibu Ida katakan menghitung-hitung berapa kali orang memuji suami kita dan lain sebagainya. Tanpa disadari kita sedang meyakinkan diri, bahwa kita akan kehilangan suami kita. Kenapa kita perlu berbuat seperti itu? Meyakinkan diri tujuannya adalah kalau itu terjadi, kita tidak terlalu terluka. Makanya dalam kasus di mana orang itu cemburu seperti itu, kemungkinan adalah kasus kepribadian yang tidak sehat. Tadi seperti yang telah kita singgung yaitu memang ada latar belakang tertentu dalam hidupnya yang membuat dia merasa begitu takut, takut untuk ditinggalkan. Kemungkinan memang ada kasus-kasus dalam hidupnya dahulu di mana orang yang dia kasihi meninggalkannya. Karena begitu takutnya, dia harus menciptakan suatu persiapan. Persiapannya dengan mencemburui pasangannya, seolah-olah dia meyakinkan diri bahwa diapun akan kehilangan, supaya waktu dia benar-benar kehilangan pasangannya, hatinya tidak terluka.
IR : Dan orang ini hatinya pasti selalu was-was dan tersiksa ya, Pak Paul?

PG : Sangat, hidupnya sebetulnya sangat menderita, karena dia tidak pernah bisa hidup damai, tenteram, menikmati hidup ini, dia selalu was-was. Jadi was-was jangan sampai saya kehilangan, it intinya, jangan sampai saya percaya, terlelap, terlena, tiba-tiba engkau mengkhianati saya.

Saya akan benar-benar rusak, saya benar-benar luka parah. Jadi supaya saya tidak luka parah, saya tidak boleh terlena, saya harus terus mencurigai kamu. Sebetulnya itulah mekanisme yang sedang terjadi, yang sudah dilakukannya.
IR : Apalagi kalau profesi suaminya ini seorang dokter atau seorang yang suka bergaul dengan orang luar, ini menyiksa sekali ya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, karena setiap hari dia hidup dalam ancaman, dan dalam kasus seperti ini orang tersebut seharusnya memang mencari bantuan dari luar, konsultasi dengan orang lain. Sebab apaun yang diperbuat si suami tidak akan cukup untuk menenangkan dia, dia akan selalu mendirikan radar-radar itu.

GS : Pak Paul, dengan kemajuan seperti ini ada beberapa profesi yang menuntut kita banyak berhubungan dengan sesama, mungkin berlainan jenis dan lain sebagainya. Dan itu bisa membuat pasangan cemburu, Pak Paul?

PG : Jadi memang intinya kepribadian yang sehat. Itu saya lihat penting sekali sebab dalam kepribadian yang sehat kita dapat hidup sendiri, cemburu yang besar biasanya dalam kepribadian yangtidak sehat.

Didasari atas ketakutan saya tidak dapat hidup sendiri itu intinya sebetulnya. Saya selalu menekankan pada orang yang mau menikah harus sehat dulu, harus bisa hidup sendiri dulu baru hidup berdua. Celaka benar-benar orang yang tidak bisa hidup sendiri, lalu tergesa-gesa hidup berdua, karena hidup sebenarnya hanyalah hidup yang bergantung pada pasangannya, dia seperti lintah. Lintah tidak akan rela melepaskan tubuh kita karena itulah sumber makanannya, darah kita. Jadi orang yang mau menikah harus bisa hidup sendiri dulu.
GS : Jadi ungkapan sepasang pemuda-pemudi yang berkata, "aku tidak bisa hidup tanpa kamu", itu tidak sepenuhnya betul.

PG : Betul, itu justru sangat keliru. Aku bisa hidup sendiri tanpa kamu, tapi saya senang ada kamu.

GS : Apakah ada nasehat firman Tuhan Pak Paul, bagaimana bisa menolong kita, agar kita bisa membantu orang lain yang pencemburu?

PG : 1 Korintus 13:4, berkata : "Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu."

Jadi memang kasih yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita, kasih yang tidak cemburu. Dalam pengertian kasih yang bisa berserah, bisa membebaskan orang untuk menjadi dirinya. Namun di pihak lain saya perlu tambahkan karena kasih Tuhan dimaksudkan supaya jangan kita cemburu, itu betul. Namun janganlah kita mencari gara-gara supaya orang cemburu pada kita. Jadi ciptakanlah situasi dalam hubungan nikah kita, di mana pasangan kita tidak akan menemukan alasan untuk cemburu kepada kita. Kalau kita tidak mau dicemburui, jangan menciptakan suasana di mana dia akhirnya memikirkan bahwa disamping kita, ada orang lain.

GS : Kita perlu meyakinkan pasangan itu bahwa kita sungguh-sungguh mencintai dia dan mengharapkan hubungan yang sehat di dalam kehidupan suami istri itu, Pak Paul.

PG : Betul, belum lama ini saya bicara dengan Dr. Robert Coleman, dia seorang dosen Teologia dari sebuah sekolah di AS. Kebetulan beliau teman dekat dari Pdt. Billy Graham dan dia bercerita epada saya, bahwa dalam pelayanan Pdt.

Billy Graham di organisasinya mereka memiliki standar moral yang begitu keras sehingga mereka sudah menetapkan peraturan, kalau salah satu staf mereka, hamba Tuhan itu ditemukan berada dalam satu kamar di hotel dengan wanita lain, langsung diberhentikan. Kenapa begitu, karena ia mau mencegah terjadinya hal-hal yang buruk.
GS : Sekaligus memberikan teladan ya Pak Paul?

PG : Betul, jadi jangan memberikan kesempatan pasangan kita untuk cemburu kepada kita, biarkan dia terus percaya kepada kita dengan tingkah laku yang benar.

GS : Kadang-kadang kita itu lupa, kalau kita sudah menikah sehingga dalam pergaulan dan lain sebagainya leluconnya keterlaluan, itu bisa juga membuat pasangan kita cemburu Pak Paul?

PG : Bisa, betul.

GS : Jadi kita harus bersama-sama mempunyai tekad untuk membangun hubungan suami istri yang sehat.

PG : Betul.

GS : Terimakasih, jadi demikian tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang bagaimana menolong pasangan kita yang pencemburu bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

PERTANYAAN KASET T 33 B

  1. Apakah orang pencemburu dapat ditolong?
  2. Langkah apa yang dilakukan untuk menolong pacar yang cemburu?
  3. Apa yang dapat dilakukan setelah mengetahui bahwa pasangannya ternyata seorang yang pencemburu?


13. Menghidupkan Cinta Yang Mati


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T051B (File MP3 T051B)


Abstrak:

Memelihara cinta lebih baik daripada menghidupkan cinta yang mati, karena itu suatu pekerjaan yang tidak mudah. Memerlukan pergumulan dan proses atau tahapan-tahapan yang perlu dilakukan, dan memerlukan komitmen yang luar biasa tingginya, tanpa komitmen yang tinggi, maka akan ambruk di tengah jalan.


Ringkasan:

Rupanya cinta itu seperti tumbuhan, namun ada pula yang mengatakan bahwa cinta itu seperti bara api, yang suatu saat kelihatan berkembang, tumbuh dengan baik tetapi ada waktunya juga itu padam atau bahkan tidak ada gairah lagi untuk mencintai suami atau istri, itu menjadi suatu fakta kehidupan yang harus kita akui.

Tanda bahwa cinta kasih itu sudah mati:

  1. Inilah yang coba kita pikirkan pada kesempatan ini.Tidak ada lagi perasaan mempedulika, memprihatinkan, mau bersama dengan orang yang dulu kita kasihi itu.

Inilah yang coba kita pikirkan pada kesempatan ini. Kalau boleh saya mengibaratkan cinta itu sebagai sebuah pohon, jadi yang akan mematikan cinta itu adalah dua hal.
  1. Yang pertama pohon tersebut kekurangan pupuk, karena kekurangan pupuk maka akhirnya lama-lama dia kering ya tidak akan bertumbuh dengan sehat. Yang diibaratkan dengan kekurangan pupuk itu, di dalam kehidupan sehari-hari nyatanya seperti begini: misalkan kita benar-benar menganggap pasangan kita itu bisa sibuk dengan sendirinya, sehingga kita tidak lagi berkewajiban melakukan hal-hal yang diinginkannya yang menyenangkan hatinya, yang menggairahkan hatinya.

  2. Yang kedua pohon tersebut diserang oleh hama, oleh hal-hal yang merusakkan pohon tersebut, jadi cinta kasih akhirnya bisa mati karenanya. Ada perlakuan yang merusakkan hubungan cinta itu. Faktor-faktor yang bisa mematikan cinta adalah perlakuan yang menyakitkan hati, perlakuan yang menusuk perasaan pasangan kita.

Kita bisa lihat, dalam hubungan yang sehat tidak berarti bebas dari konflik atau bebas dari hal-hal yang akan menjengkelkan hati, itu selalu akan ada. Namun dalam hubungan yang sehat cinta kasih kuat, cinta kasih itu benar-benar berpengaruh untuk mengusir pergi kejengkelan-kejengkelan itu. Penulis buku konseling pernikahan yang bernama Dellast dan Ruby Vricent mengakui proses merestorisasi hubungan kasih yang sudah mati itu melewati waktu yang panjang. Dalam perkiraan mereka bahkan dengan terapi keluarga yang intensif itu memerlukan waktu sekitar setahun, jadi waktu yang tidak main-main. Ada beberapa tahapan yang akan dan harus dilalui oleh pasangan. Pertama-tama mereka memberikan penjelasan kepada para pasangan yang sedang bermasalah, bahwa sebetulnya perasaan cinta mereka itu sangat bergantung pada persepsi. Apakah pasangan kita itu sungguh-sungguh ingin dan mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional kita. Atau kalau saya terjemahkan dengan lebih bebas, apakah pasangan kita itu mampu dan ingin berubah, perasaan cinta bergantung pada persepsi atau pandangan tersebut.

Ada tahapan yang harus mereka lalui sewaktu mereka berkeinginan untuk memperbaiki pernikahan tersebut.

  1. Tahapan yang pertama adalah yang disebut oleh Nyonya dan Tuan Vricent ini yaitu keragu-raguan akan ketulusan. Jadi sewaktu suami kita mulai berubah reaksi pertama kita adalah kita bertanya apakah dia sungguh ingin berubah, jadi kita mempertanyakan motivasinya apakah sungguh-sungguh dia ingin berubah.

  2. Tahapan yang kedua yang akan menghadang dia adalah dia bertanya atau dia meragukan apakah engkau sanggup berubah.

  3. Tahapan yang ketiga si istri menuntut bukti yang lebih banyak, ini yang seringkali membuat pasangannya atau suaminya frustasi.

Matius 22:39, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kaitannya dengan peristiwa-peristiwa cinta kasih yang telah mati ini, Tuhan meminta dan memerintahkan kita untuk mengasihi. Tolok ukurnya adalah seperti kita mengasihi diri sendiri. Bukankah kita orang yang lumayan sabar dalam mengasihi diri kita sendiri, kita adalah orang yang cenderung menoleransi kelemahan diri kita dan akhirnya tetap menyayangi diri. Gunakanlah tolok ukur ini untuk mengasihi orang lain, sabarlah, toleransilah terhadap kelemahannya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang sebuah tema "Menghidupkan Cinta yang Mati". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Rupanya cinta itu seperti tumbuhan, ada yang mengatakan seperti bara api, yang suatu saat kelihatan berkembang dan tumbuh dengan baik tetapi ada waktunya juga layu atau bahkan tidak ada gairah lagi untuk mencintai suami atau istri, itu menjadi suatu fakta kehidupan bukan begitu, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, saya teringat dengan suatu peribahasa bahasa Inggris yang berbunyi easy comes easy goes, jadi sesuatu yang datang dengan begitu mudah cenderung mudah juga untu pergi atau menghilang dengan cepat.

Jadi cinta kasih juga seperti itu, kita beranggapan bahwa cinta kasih itu sepertinya sebagai suatu perasaan yang menghinggapi kita tanpa kita ketahui kapan dia datang. Nah, cinta kasih yang seperti itu cinta kasih yang mudah sekali untuk hilang lenyap, justru cinta kasih itu benar-benar harus dirawat. Sebagaimana yang telah kita bahas pada siaran yang lampau cinta kasih itu memerlukan kondisi-kondisi dalam bentuk perbuatan yang nyata, nah yang kita sebut love nurturing behaviors jadi perilaku yang menumbuhsuburkan cinta kasih itu. Jadi kalau tidak ada hal-hal tersebut memang cinta kasih itu akan hilang lenyap, Pak Gunawan.
(1) GS : Tandanya apa Pak Paul, bahwa cinta kasih itu sudah mati?

PG : Nomor satu memang tidak ada lagi perasaan mempedulikan, memprihatinkan, mau bersama dengan orang yang dulu kita kasihi itu. Jadi cinta kasih yang lenyap itu tidak harus dinyatakan denga adanya kebencian, kemarahan.

Jadi sesuatu yang tidak ada lagi, yang sudah hampa sehingga pasangan kita menjadi seorang yang asing buat kita dan dia mengalami peristiwa yang buruk seperti apapun juga tidak akan memancing perasaan iba atau kasihan dari diri kita, benar-benar memasabodohkan orang. Saya kira yang terjadi pada saat itu adalah cinta kasih telah mati.
IR : Itu sama saja dengan cinta yang hambar?

PG : Ya jadi istilah cinta yang hambar seolah-olah masih tetap berkonotasi adanya cinta tapi sesungguhnya kalau sudah ke titik hambar sesungguhnya tidak ada lagi cinta.

GS : Karena hakekat cinta itu tidak hambar Pak Paul, manis ada gerakan, ada gairah begitu ya?

PG : Tepat sekali, ada gerakan dalam diri kita kepada orang yang kita cintai tersebut.

(2) GS : Tapi kematian, dalam hal ini kematian cinta bukankah tidak seperti seseorang yang tiba-tiba bisa mati Pak Paul, tentu ada tahapan-tahapannya atau penyebabnya terutama yang coba kita pikirkan pada kesempatan ini. Apakah penyebabnya cinta itu sampai bisa mati, Pak Paul?

PG : Kalau saya boleh mengibaratkan cinta itu dengan sebuah pohon, jadi yang akan mematikan cinta itu adalah dua hal. Yang pertama pohon tersebut kekurangan pupuk, karena kekurangan pupuk maa akhirnya lama-lama dia kering tidak akan bertumbuh dengan sehat.

Dan yang kedua adalah pohon tersebut diserang oleh hama, oleh hal-hal yang merusakkan pohon tersebut, nah jadi cinta kasih akhirnya bisa mati karena faktor yang kedua. Ada perlakuan yang merusakkan hubungan cinta itu.
GS : Yang tadi Pak Paul ibaratkan dengan kekurangan pupuk itu di dalam kehidupan sehari-hari itu seperti apa?

PG : Misalkan begini kita benar-benar menganggap pasangan kita itu bisa sibuk dengan sendirinya, sehingga kita tidak lagi berkewajiban melakukan hal-hal yang diinginkannya yang menyenangkan atinya, yang menggairahkan hatinya.

Nah kita beranggapan bahwa inilah roda kehidupan dan masing-masing harus menjalaninya seperti itu. Nah saya melihat dalam banyak pernikahan, ini yang terjadi Pak Gunawan. Jadi mereka memang serumah tapi kalau benar-benar mereka menjawab dengan jujur apakah sebetulnya masih ada rasa cinta dalam hati mereka. Kemungkinan pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang sangat asing dan aneh, kemungkinan kita akan mendapatkan jawaban: "Ya sudah umur segini tidak bicarakan cinta-cintalah, itu untuk orang-orang muda." Sebetulnya ungkapan itu bukanlah ungkapan yang jujur, sebab pada intinya jawaban yang terjujur adalah tidak mempunyai perasaan apapun. Jadi orang di sebelah kita itu hanyalah orang yang di sebelah kita yang kebetulan ayah dari anak-anak kita, ibu dari anak-anak kita, tidak lagi apa-apa di situ. Nah apakah pernikahan harusnya begitu saya kira ya tidak, pernikahan seharusnya memang tetap melibatkan adanya unsur cinta kasih. Nah sewaktu seseorang mendiamkan, menganggap pasangannya bisa hidup sendiri tanpa pemberian cinta kasih dari pihaknya, saya kira akan berpotensi besar menghilangkan cinta kasih dari pihak pasangannya terhadap dirinya.
GS : Yang Pak Paul mau katakan cinta kasih harus dipupuk dengan cinta kasih pula, begitu Pak Paul?

PG : Perbuatan-perbuatan kasih, perbuatan-perbuatan yang bernuansa kasih itu ya love nurturing behaviors itu.

GS : Kalau contoh atau penyebab kedua yang tadi Pak Paul katakan diserang hama, faktor-faktor apa yang bisa mematikan cinta?

PG : Itu adalah perlakuan yang menyakitkan hati, perlakuan yang menusuk perasaan pasangan kita. Misalkan kita sudah tahu dia itu tidak suka kita ini pergi dengan teman-teman sembarangan, pulng malam, tetap kita lakukan itu.

Nah pengulangan perbuatan yang menyakitkan hati diibaratkan seperti hama yang akan merusakkan hubungan kasih kita. Sama misalkan kita sudah berkata kepada istri kita, jangan memukul anak begitu keras, engkau memukuli anak begitu keras engkau itu sama menyakiti hatiku, tetap diulang, tetap dilakukan. Nah perbuatan itu seperti hama, akhirnya akan membasmi atau menghilangkan cinta kasih dalam hati kita. Waktu kita melihat anak kita dipukuli seperti itu, kita marah, dia tambah marah akhirnya apa yang terjadi kita diamkan, karena kita tidak berkutik. Nah waktu kita diamkan yang sebetulnya terjadi dalam hati kita adalah kita tidak lagi mempedulikan dia. Kita berkata masa bodoh, tidak bisa ditegur, tidak bisa diberitahu, nah pada saat itu sebetulnya cinta sudah mengalami kematian.
IR : Kalau sudah mengalami kematian, arahnya bisa menimbulkan kebencian, Pak?

PG : Bisa, tepat sekali Ibu Ida, waktu cinta habis, kebencian mudah tumbuh, waktu cinta kuat sesuatu terjadi yang menjengkelkan kita, justru mudah untuk menghilangkan kejengkelan tersebut. Nh kita bisa melihat dalam hubungan yang sehat, hubungan yang sehat tidak berarti bebas dari konflik, bebas dari hal-hal yang akan menjengkelkan hati, selalu akan ada.

Namun dalam hubungan yang sehat cinta kasih kuat, nah cinta kasih itu benar-benar berpengaruh untuk mengusir pergi kejengkelan-kejengkelan itu. Sehingga meskipun kita marah terhadap pasangan kita itu hanya berlangsung untuk waktu yang singkat, sebab dengan segera cinta kita akan benar-benar menetralisir kemarahan kita. Dan kita merasa kok enak berjarak jauh dengan dia, saling mendiamkan, ah ingin dekat lagi, ingin bicara lagi, tapi kebalikannya kalau cinta kasih sudah hampir habis, kejengkelan-kejengkelan terjadi benar-benar bisa menyulut api yang besar.
GS : Tadi yang sudah dikemukakan adalah faktor-faktor eksternal ya Pak Paul, jadi seperti kekurangan pupuk, lalu diserang hama. Kalau dari faktor internal ada tidak Pak Paul, jadi dari dalam diri orang itu sendiri mungkin tiba-tiba saja dulu tidak sungguh-sungguh mencintai?

PG : Bisa, jadi cinta itu memang perlu diuji melalui waktu, orang yang menikah terlalu cepat dengan pengertian wah saya sudah sangat tergila-gila dengan dia, tiga bulan kemudian menikahinya.Saya kira orang itu tidak memberi waktu yang cukup kepada cinta itu untuk bertahan.

Kalau memang cinta yang kuat akan bertahan melewati kurun waktu yang panjang, tiga bulan dua bulan sama sekali tidak cukup. Apalagi setelah tiga bulan berkata saya mau menikahimu, mari kita rencanakan menikah tiga bulan kemudian. Ya mungkin cinta itu masih bisa bertahan setelah tiga bulan karena apa, repot mempersiapkan pernikahan. Namun setelah keramaian itu berakhir saya takutnya cinta itu juga akan berakhir. Sebab cinta itu sering kali didahului oleh perasaan suka, namun cinta tidak identik dengan perasaan suka. Perasaan suka itu memang muncul kalau kita melihat sesuatu yang kita senangi pada diri seseorang atau kita melihat kesamaan interest, kesamaan dirinya dengan diri kita itu tidak bisa tidak akan memunculkan perasaan suka, namun itu tidak identik dengan cinta, sering kali itu pendahuluan kepada cinta namun tidak sama dengan cinta. Kalau tidak ada waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan rasa suka itu benar-benar berkembang menjadi cinta, langsung menikah, nah kemungkinan yang terjadi di tengah jalan rasa suka itu menipis dan cinta itu memang tidak ada.
GS : Jadi katakan dalam kondisi yang sangat kritis pasangan suami-istri yang mungkin sudah mengambil keputusan untuk bercerai, sebenarnya kalau memang itu ada cinta yang sejati dalam diri mereka itu masih bisa ditolong, Pak Paul ya?

PG : Masih bisa asal hama itu belum terlalu hebat merusak cinta dan pupuk itu masih sedikit banyak ada. Kalau memang sudah sangat lama tidak mendapatkan pupuk, sama sekali cintanya benar-benr sudah kering malah dihantam oleh hama serangan-serangan yang menyakitkan, susah ya saya kira.

GS : Tadi kita mengambil contoh tanaman, kalau tanaman itu akarnya masih hidup jadi masih ada, mungkin masih bisa ditolong. Bisa bertunas kembali demikian mungkin dengan cinta bisa bersemi kembali Pak Paul?

PG : Asal masih ada akarnya, ya.

GS : Akar yang hidup bukan sekadar akar, tetapi hidup itu.
IR : Akarnya dimakan rayap.
GS : Habis juga, jadi kita tidak bisa terlalu cepat untuk memutuskan cerai saja.

PG : Betul, nah untuk membangkitkan harapan memang tidak mudah. Saya mau mengutip beberapa pokok pikiran yang dikemukakan oleh sepasang suami-istri penulis buku konseling pernikahan yang berama Dellast dan Ruby Vricent mereka memang mengakui proses merestorisasi hubungan kasih yang sudah mati itu melewati waktu yang panjang.

Nah dalam perkiraan mereka bahkan dengan terapi keluarga yang intensif memerlukan waktu sekitar setahun, jadi waktu yang tidak main-main. Nah yang akan harus dilalui oleh pasangan adalah beberapa tahapan dan inilah yang mereka selalu berikan pada para pasangan yang memang mengalami problem yang berat. Pertama-tama mereka memberikan penjelasan kepada para pasangan yang sedang bermasalah, bahwa sebetulnya perasaan cinta mereka itu sangat bergantung pada persepsi. Apakah pasangan kita itu sungguh-sungguh ingin dan mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional kita. Atau kalau saya terjemahkan dengan lebih bebas, apakah pasangan kita itu mampu dan ingin berubah, nah perasaan cinta bergantung pada persepsi atau pandangan tersebut. Dengan kata lain, kalau kita sudah menganggap pasangan kita memang melakukan hal-hal tersebut, jadi sekali lagi cinta itu harus melihat bukti ya perlakuan yang nyata, perbuatan yang riil. Nah, masalahnya adalah kalau pernikahan itu akhirnya sudah hampa perbuatan-perbuatan yang baik tersebut, sehingga akhirnya suami melihat istri tidak ada itikad baik, istri melihat suami tidak ada lagi itikad baik. Nah pada saat itulah pernikahan tersebut menjadi sangat bermasalah. Akan ada tahapan yang harus mereka lalui sewaktu mereka berkeinginan untuk memperbaiki pernikahan tersebut. Tahapan yang pertama adalah yang disebut oleh Nyonya dan Tuan Vricent ini yaitu keragu-raguan akan ketulusan. Jadi sewaktu suami kita mulai berubah reaksi pertama kita adalah kita bertanya apakah dia sungguh ingin berubah, jadi kita mempertanyakan motivasinya apakah sungguh-sungguh dia ingin berubah. Kenapa sampai terjadi seperti itu, sebab kita sudah kehilangan rasa percaya, kita beranggapan bahwa dia itu memang sudah berniat dan telah menunjukkan niatnya menyakiti hati saya, dia terus melakukan hal-hal yang tidak saya senangi. Kesimpulan saya apa, memang dia beritikad jahat kepada saya. Nah waktu si suami mulai berubah si istri akan mempertanyakan motivasinya. Jadi keraguan yang pertama langsung muncul yaitu keraguan atas ketulusan hati si suami tersebut.
GS : Kalau suami diperlakukan seperti itu, sudah berusaha baik, tapi malah tidak dipercayai atau kurang dipercayailah atau diragukan bagaimana sikap Pak Paul?

PG : Sudah tentu reaksi yang alamiah kembali ingin melakukan yang jahat, sebab saya sudah melakukan yang baik, toh dipertanyakan, buat apa. Nah inilah pentingnya penjelasan baik kepada suamimaupun istri dari pihak si terapis keluarga, bahwa prosesnya akan seperti ini jadi jangan berkecil hati.

Sebab dalam kenyataannya menurut pengalaman suami-istri Vricent ini, meskipun perubahan telah terjadi di pihak pasangan, perasaan cinta itu tetap, tidak naik-naik, tetap seolah-olah mati. Dengan kata lain, sewaktu cinta sudah mati cinta itu memerlukan waktu yang sangat panjang dan perbuatan-perbuatan yang luar biasa berubahnya untuk bisa menaikkan kadar cinta itu kembali. Jadi kalau seseorang mudah menyerah pada tahap awal, tidak akan ada perubahan dan ini yang sering kali terjadi juga yang saya harus akui dalam konseling pernikahan yang sering saya tangani. Akhirnya yang satu berkata buat apa berubah, toh tetap tidak dipercaya, nah yang diperlukan adalah terus berubah meskipun tidak ada penghargaan yang diinginkan.
IR : Tapi mereka sering kali putus asa ya, Pak Paul?

PG : Seringnya begitu, Bu Ida.

IR : Jadi harus tahan uji dan harus selalu mengulang-ulang dan mengulang.

PG : Betul, dan ini yang sering saya tekankan pada pasangan nikah. Lakukanlah bukan karena istrimu atau suamimu menginginkannya. Tapi lakukanlah yang benar sebab itulah yang Tuhan kehendaki,jadi lakukanlah untuk Tuhan, meskipun pada tahap-tahap awal ini motivasi engkau dicurigai terus-menerus.

Ya maklumilah, itu akan selalu ada karena mungkin sekali engkau telah menyakiti hatinya, jadi motivasi sekarang yang harus ada adalah lakukanlah untuk Tuhan.
GS : Katakanlah seseorang bisa melalui tahapan yang demikian sulit Pak Paul ya, tahapan apa lagi yang menghadang dia?

PG : Nah kadang ini yang lebih serius lagi, misalkan dalam contoh ini si istri berhasil percaya OK-lah engkau tulus mau berubah. Yang kedua yang akan menghadang dia adalah dia bertanya atau ia meragukan apakah engkau sanggup berubah.

Sebab akhirnya inilah kecenderungan manusia waktu orang melakukan hal yang sama terus-menerus, kita menyimpulkan memang sudah karakternyalah dia begitu. Memang orangnya begitu, kita ubah pasti tidak sanggup berubah, kemampuan untuk berubah tidak ada lagi. Jadi dengan kata lain yang terjadi di sini adalah kita tidak mempercayai kemampuannya sebab kita sudah melabelkan dia adalah orang yang seperti itu. Memang saya harus akui satu hal, sesuatu yang telah menjadi bagian karakter kita, tidak mudah kita ubah, saya makin tua, makin menyadari sedikit sebetulnya yang saya lakukan untuk mengubah orang. Dan dalam banyak hal kita ini tidak berubah banyak, sebenarnya kita masih menyimpan diri yang lama, karakter-karakter yang lama. Perubahan itu benar-benar makan waktu yang panjang. Nah apalagi kalau si istri sudah menerima perlakuan yang buruk bertahun-tahun dan si suami terus begitu. Nah untuk membuat si istri percaya bahwa si suami ini mampu berubah tidak mudah. Itu sebabnya perasaan cinta tetap datar meskipun si suami sudah mulai berubah, sebab si istri akan terus mempertanyakan, sebetulnya bisa tidak engkau berubah. Apakah ini hanyalah teknik-teknik saja yang engkau pelajari sementara waktu, engkau akan kembali kepada karakter dasarnya.
GS : Sampai sejauh itu Pak Paul, cinta itu masih tetap mati?

PG : Masih tetap mati.

GS : Lalu apa yang harus dilakukan itu?

PG : Sekali lagi kita harus memberikan penjelasan kepada pasangan tersebut, bahwa memang prosesnyalah seperti ini harus tetap bersabar, yang berubah harus tetap menunjukkan perubahan, janganputus asa.

Nah hadangan yang ketiga misalkan si istri bisa melewati fase yang kedua ini, OK-lah dia mulai percaya suaminya sanggup berubah, atau mempertahankan perubahannya. Nah dengan kata lain, di sini si istri menuntut bukti yang lebih banyak, nah ini yang sering kali membuat pasangannya atau suaminya frustrasi. Apakah saya harus potong kepala saya, baru kau percaya misalnya seperti itu. Nah si suami tidak boleh putus asa harus terus melakukan perubahan itu, terus-menerus, meskipun tidak mendapatkan tanggapan yang diinginkannya. Sehingga suatu saat nanti perlahan-lahan cinta kasih itu mulai menggeliat dan mulai bangkit kembali. Nah makanya tadi saya sudah menyinggung pengamatan yang dipaparkan oleh Dr. Dellast dan Dr. Ruby Vricent bahwa memang sekurang-kurangnya dalam kasus yang mereka tangani itu memakan waktu setahun, dengan terapi intensif yang mereka lakukan.
GS : Memang kalau mendengar pembicaraan ini mungkin banyak orang yang ragu-ragu untuk memulai lagi tetapi Tuhan memanggil kita untuk setia pada pasangan kita. Jadi saya percaya kuasa Roh Kudus itu akan menolong seseorang yang memang sungguh-sungguh mau menghidupkan kembali cinta kasih yang ada dalam diri mereka, bukan begitu Pak Paul?

PG : Jadi keduanya memang dalam hal ini mesti mempunyai komitmen yang luar biasa tingginya, tanpa komitmen yang begitu tinggi, ambruk di tengah jalan. Sebab di pihak si suami yang sekarang mncoba berubah, akhirnya mudah frustrasi dan putus asa, sebaliknya di pihak istri yang telah dilukai dan sudah kehilangan rasa percaya, dia tidak mau tertipu kedua kalinya atau kedua ratus kalinya mungkin.

Sebab dia telah menyaksikan misalnya si suami berjanji untuk berubah atau pernah berubah untuk sekejap, kembali lagi pada sifat yang lamanya; jadi akhirnya si istri akan berkata, saya sudah mengalaminya, yang sekarang saya lihat ini sudah pernah saya lihat dan bukan hanya sekali, berkali-kali. Nah apa yang harus membuat saya percaya bahwa sekarang ini berbeda dari dulu, jadi benar-benar hadangannya luar biasa besarnya. Kalau dua-dua tidak mempunyai komitmen bahwa pernikahan ini harus diselamatkan, kebanyakan ambruk di tengah jalan.
(3) GS : Nah dalam hal ini Pak Paul ya, apa yang firman Tuhan berikan kepada kita?

PG : Saya akan kutipkan dari satu ayat yang kita sudah kenal yaitu di Matius 22:39, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kaitannya apa dengan peristiwa-peristiwacinta kasih yang telah mati ini, Tuhan meminta, Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi dan tolok ukurnya adalah seperti kita mengasihi diri sendiri.

Nah bukankah kita orang yang lumayan sabar dalam mengasihi diri kita sendiri, kita adalah orang yang cenderung menoleransi kelemahan diri kita dan akhirnya tetap menyayangi diri. Nah gunakanlah tolok ukur ini untuk mengasihi orang lain, sabarlah, toleransilah kelemahannya. Memang ini memerlukan waktu yang panjang tapi memang keduanya sangat membutuhkan cinta seperti yang Tuhan minta, yaitu cinta yang menoleransi kelemahan. Saya mengerti tidak mudah, saya cukup sering bertemu dengan pasangan yang sudah mengalami sakit hati, yang benar-benar istilahnya itu sudah bonyok, sudah babak belur. Nah bagaimana mungkin mengasihi orang yang menyebabkan dia babak belur? Sangat sulit sekali tetapi mungkin kita kembali mengingat firman Tuhan, kalau kita panjang sabar terhadap diri kita, menoleransi kelemahan kita, gunakanlah tolok ukur yang sama dalam mengasihi orang lain.
GS : Jadi pasti lebih baik kalau cinta kasih itu kita pelihara sebelum mati Pak Paul ya, jadi dengan diberikan pupuk, diciptakan kondisi di mana cinta itu bisa bertumbuh dengan baik, tetapi juga menghindari serangan hama-hama tadi yang Pak Paul sudah singgung.

PG : Betul, kalau sudah kadung mati, membangkitkannya sangat sulit.

GS : Tapi tetap ada harapan Pak Paul.

PG : Tetap ada harapan, asal dua-dua berkomitmen tinggi.

IR : Punya rasa takut kepada Tuhan mungkin juga itu harapan, bahwa kita harus mengampuni orang yang bersalah sebagaimana Tuhan sudah mengampuni kita.

PG : Tepat sekali.

GS : Mungkin kedua belah pihak perlu menyadari hal itu bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna, jadi pasti punya kesalahan, itu pasti terjadi pada dua belah pihak Pak Paul ya.

PG : Tidak harus Pak Gunawan, kadang kala memang kesalahan dibuat oleh sepihak.

GS : Sehingga mematikan cinta di antara mereka.

PG : Betul.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan dengan tema menghidupkan cinta yang mati. Bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami masih akan membahas lebih lanjut tema ini pada sesi berikutnya, dan kami mengharapkan Anda bisa mengikutinya pada acara TELAGA yang akan datang. Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 51 B

  1. Apakah yang menandai bahwa cinta itu mati....?
  2. Apa yang menyebabkan cinta itu mati...?
  3. Bagaimana persoalan cinta ini menurut firman Tuhan....?


14. Bagaimana Membangun Keintiman Hubungan Suami Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T053B (File MP3 T053B)


Abstrak:

Melakukan hal yang bukan membahagiakan diri kita sendiri tetapi membahagiakan pasangan kita. Meski itu hal-hal yang sederhana yang memang disukai oleh pasangan kita yang akan menambah kemesraan dan keintiman.


Ringkasan:

Hubungan suami-istri khususnya dalam kedekatan dan keintiman sering kali berubah-ubah, kadang-kadang terasa intim, kadang-kadang terasa jauh sekali. Ini sedikit banyak dipengaruhi oleh perasaan dan juga oleh kesibukan kita.

Keintiman itu :

  1. Pertama-tama meminta kita untuk melakukan sesuatu yang memang membahagiakan pasangan kita. Jadi intinya bukan yang membahagiakan saya, tapi yang membahagiakan pasangan kita.

  2. Yang kedua, untuk melakukan hal-hal yang bersifat intim perlu unsur kreatifitas atau kejutan. Kita harus lakukan hal-hal kecil yang bisa menambah keintiman. Hal-hal menggugah emosi juga perlu dilakukan, misalkan kalau memang bisa kita menulis surat, mengirimkan kartu, atau menelepon. Atau mengucapkan kata-kata seperti "Aku rindu kepadamu".

Keintiman juga bisa terbangun dengan melakukan hal yang kedua-duanya suka. Kalau memang ada hal-hal yang kedua-duanya suka itu akan sangat mengintimkan. Keintiman pada dasarnya adalah suatu kedekatan, berarti keduanya itu memang harus bersama. Jadi mustahil membangun keintiman dalam jarak jauh atau mustahil membangun keintiman dalam dua situasi yang berbeda.

Syaratnya:

  1. Kedekatan secara fisik, hidup bersama
  2. Kedekatan secara emosional

I Korintus 13, "Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku."

Kata "kasih" di sini saya gunakan dengan istilah keintiman, itu memang menjadi suatu substansi yang tidak bisa digantikan oleh hal-hal yang bersifat lahiriah. Aku bisa membagi-bagikan semua yang ada padaku, menyerahkan tubuhku untuk dibakar tapi itu sama sekali tidak pasti merefleksikan adanya cinta kasih. Sekali lagi yang dipentingkan ialah adanya substansi atau cinta kasih itu sendiri, jika itu sudah ada maka perbuatan-perbuatan kita benar-benar akan menambah keintiman. Cinta yang keluar dari hati memang harus dipupuk melalui hubungan nikah yang kuat, di mana perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati pasangan kita harus sering kita lakukan. Tapi kalau justru yang kita lakukan yang menyakiti hatinya, kita tidak akan bisa menikmati hubungan cinta yang intim.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana membangun keintiman hubungan suami istri. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, hubungan suami-istri khususnya dalam kedekatan, keintiman sering kali berubah-ubah, kadang-kadang terasa intim sekali tapi kadang-kadang terasa jauh sekali. Sebenarnya bagaimana Pak Paul terjadinya?

PG : Saya kira memang keintiman itu sedikit banyak dipengaruhi oleh perasaan kita dan yang kedua oleh kesibukan kita. Jadi adakalanya perasaan kita itu akan mencapai suatu titik yang antikliaks, dalam pengertian ada tahap-tahap di mana perasaan itu memuncak, biasanya pada waktu berpacaran dan pada waktu awal-awal pernikahan.

Setelah mencapai puncaknya ada kecenderungan perasaan itu mulai turun kembali jadi antiklimaks. Yang ideal adalah setelah dia mulai turun nanti dia akan merata akan seperti garis horizontal yang permanen, yang celaka adalah benar-benar turun tak terkendali. Nah itu yang berbahaya, itu berarti cinta yang belum teruji, teruji oleh lamanya hubungan atau waktu dan juga belum teruji oleh kedalaman hubungan itu sendiri. Tapi cinta yang telah teruji oleh lamanya waktu serta kedalaman hubungan itu sendiri cenderung waktu mencapai titik antiklimaks dia akan bertahan cukup di atas, lumayan di atas tidak turun ke bawah. Kedua saya kira keintiman itu adakalanya memang akan turun naik karena kita ini adalah orang-orang yang melewati fase-fase di dalam kehidupan, tidak sama dalam setiap fase itu. Pada awal-awal pernikahan usia 20 hingga 40 tahun ada kecenderungan terutama bagi suami untuk lumayan sibuk di luar memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan kariernya. Akibatnya pikirannya akan lumayan tersedot keluar nah tidak bisa tidak, kita ini hanya punya satu pikiran, jadi kalau yang satu itu sudah mulai tersedot di luar berarti akan sedikit yang tertinggal di dalam untuk pasangan kita. Jadi keintiman itu akhirnya mengalami kerenggangan alias kurang intim, jadi itulah kira-kira turun naiknya atau dinamikanya keintiman.
GS : Tapi bukankah memang ada saat-saat tertentu Pak Paul, di mana kita berdua itu memang bisa merasakan intim sekali, katakanlah kalau ada kesusahan datang atau kesukaran atau masalah yang menimpa keluarga walaupun masih muda jadinya kompak dan bersama-sama menghadapi masalahnya?

PG : Betul, jadi ada beberapa situasi dalam kehidupan yang memang cenderung memperkaya keintiman kita, salah satunya adalah menderita bersama atau melihat pasangan kita menderita. Saya masihingat waktu anak kami yang pertama lahir, setelah anak kami itu lahir, istri saya pulang ke rumah mungkin hanya sempat tidur di rumah 2 hari atau 3 hari kemudian mengalami panas yang tidak turun-turun kemudian diberikan obat antibiotik ternyata tubuhnya tidak bisa terima sehingga terus muntah.

Akhirnya dia harus dibawa kembali ke rumah sakit. Nah saya masih ingat sekali saat itu dia didudukkan di kursi roda setelah saya sampai di receptionist rumah sakit dan di dorong untuk masuk ke kamarnya; saya masih ingat sekali saat itu, waktu istri saya di dorong suster ke kamarnya dengan wajah yang sangat letih, hati saya sangat sedih sekali dan saya menangis di situ. Dan saya merasakan suatu kedekatan yang amat sangat pada saat-saat seperti itu dan memang ada beberapa kali istri saya mengalami gangguan sakit yang lumayan serius dan saya masih ingat di moment-moment seperti itulah saya merasakan suatu kedekatan yang luar biasa.
GS : Dan hal itu kemungkinan besar saya rasa akan dirasakan oleh pasangan, dalam hal ini istrinya Pak Paul merasakan betapa Pak Paul menaruh perhatian yang besar kepadanya.

PG : Ya saya kira demikian, waktu kita harus menghadapi penderitaan itu bersama ya, itu luar biasa akan mempererat kedekatan kita. Waktu kami pertama pulang ke Malang tahun '91 dia itu cukupsering mengalami gangguan jantungnya, nah waktu dulu kami tinggal di Amerika Serikat kami sedikit banyak tergantung pada fasilitas yang sudah tersedia di sana.

Karena dalam waktu kurang 3 menit ambulance datang kalau kita telepon, jadi tidak sampai 5 menit ambulance sudah langsung datang ke tempat kita. Jadi saya merasa lebih aman waktu saya di sana, nah waktu kami kembali ke sini dalam perjalanan pesawatpun saya sudah khawatir, jangan sampai ada gangguan tapi puji Tuhan tidak ada. Namun waktu kami di Malang saya masih ingat tiba-tiba jantungnya mendapatkan gangguan, nah pada saat itu saya tidak bisa membawa dia ke mana, saya hanya bisa bersama dia duduk di lantai memegangi tangannya dan berdoa bersama dia. Saya takut, saya sedih, saya bingung tapi saya tahu saya hanya bisa bergantung pada Tuhan saat itu, dan diapun hanya bisa bergantung pada Tuhan. Jadi kami hanya bisa berdoa dengan hati yang hancur meminta Tuhan mengasihani kami, nah dalam detik seperti itulah keintiman itu sangat-sangat diperkaya.
IR : Jadi takut dipengaruhi oleh perasaan, takut kehilangan begitu Pak?

PG : Betul, saat-saat seperti itu memang mengingatkan kepada kita bahwa pasangan kita adalah orang yang berharga dalam hidup kita, sebab pada waktu ancaman datang, bahwa dia mungkin akan dirnggut dari sisi kita, di saat itulah kita merasakan betapa berharganya.

IR : Cinta kita rasanya tercurah pada pasangan kita ya?

PG : Betul sekali, apakah Pak Gunawan juga pernah merasakan seperti itu?

(2) GS : Ya, merasakan seperti itu. Tapi kalau kesukaran Pak Paul, bukankah itu sesuatu yang tidak kita harapkan dan datangnya pun tidak terencanakan, tetapi bisakah kita itu merencanakan sesuatu untuk meningkatkan keintiman kita itu, Pak Paul?

PG : Sebetulnya bisa Pak Gunawan, dan sesungguhnya hal yang bisa kita lakukan itu hal yang sangat mudah dan murah serta meriah. Adakalanya orang memikirkan wah...kemesraan itu harus dibangundengan harga yang mahal, sebetulnya tidak.

Kita ini cukup terpengaruh oleh film-film, yang namanya kemesraan dan keintiman adalah makan malam di bawah sinar bulan yang remang-remang, di restoran, di pinggir pantai, makannya mahal-mahal, sama sekali sebetulnya tidak benar. Jadi hal-hal sederhana yang memang disukai oleh pasangan kita itu akan sangat menambah kemesraan dan keintiman, jadi saya kira keintiman itu pertama-tama meminta kita untuk melakukan sesuatu yang memang membahagiakan pasangan kita. Jadi intinya bukan yang membahagiakan saya tapi yang membahagiakan pasangan kita. Misalnya, ini yang keliru seorang pria suka anjing kebetulan saya suka anjing dan istri saya juga suka anjing, ini dua-dua suka anjing. Tapi misalnya istrinya tidak suka anjing, suaminya suka anjing, pada hari ulang tahun si istri si suami mengadakan suatu kejutan membawa anak Anjing untuk si istri, nah ini untuk si istri atau si suami sebab yang suka anjing memang si suami. Tapi diatasnamakan untuk menyenangkan si istri, kejutan untuk ulang tahunmu, nah hal itu memang tidak menambah keintiman, sudah untung tidak menambah kejengkelan, tapi yang sering kali terjadi adalah itu, kita memikirkan apa yang kira-kira baik untuk kita. Jadi untuk menambah keintiman memang harus dipikirkan apa yang menyenangkan pasangan kita itu.
GS : Dalam hal ini sepasang suami-istri bisa terbuka Pak Paul, menanyakan apa sebenarnya yang dia sukai untuk saya lakukan.

PG : Baik sekali ide itu Pak Gunawan, jadi kalau memang adanya keterbukaan, si suami atau si istri bisa membuka diri hal-hal apa yang dia senangi. Nah yang kedua adalah untuk melakukan hal-hl yang bersifat intim ini memang perlu unsur kreatifitas atau kejutan.

Sesuatu yang rutin dan yang sama dilakukan terus-menerus, lama-lama akan kehilangan khasiatnya, jadi memang harus kita lakukan hal-hal kecil, tapi kadang-kadang tidak ada. Misalnya seperti apa untuk bisa menambah keintiman, misalkan kita tahu pasangan kita itu senang sekali untuk dicium sebelum kita pergi atau sebelum kita ke luar rumah, nah lakukanlah hal seperti itu. Hal yang memang sangat mudah dan tidak harus kita bayar mahal, hal kecil seperti itu atau hal kecil yang lain adalah misalkan pasangan kita itu suka dibelai atau disentuh. Nah kita sentuh secara ringan, itu sudah sangat membahagiakan dia, nah bukankah tangan kita hanya bergerak sedikit saja menyentuh tubuhnya secara ringan atau mungkin lehernya atau mungkin kepalanya, nah hal-hal itu sudah sangat menyenangkan hati pasangan kita. Nah sering kali yang justru menambah keintiman adalah hal-hal kecil seperti itu, justru hal-hal besar yang kita buat misalnya suatu pesta kejutan atau apa itu tidak terlalu menambah keintiman. Tapi justru hal-hal kecil seperti sentuhan itu sangat menyenangkan pasangan kita.
GS : Terutama hal-hal yang menggugah emosinya, Pak Paul.

PG : Itu juga betul, misalkan kalau bisa kita menulis surat atau mengirimkan kartu atau menelepon, atau kata-kata seperti misalnya, "aku rindu kepadamu," mungkin itu kata yang sudah mulai usng buat kita yang sudah menikah belasan atau puluhan tahun, itu kata-kata yang kita ucapkan hampir setiap hari waktu kita berpacaran, namun sekarang tidak lagi.

Jadi untuk kita misalkan kebetulan berpisah agak jauh, kemudian kita berkata saya merindukan engkau, nah itu hal yang sangat menyenangkan hati.
IR : Biasanya itu pihak wanita Pak Paul yang mengharapkan belaian atau kata-kata yang indah, tapi sering kali suami itu sulit untuk mengekspresikan hal-hal seperti itu.

PG : Betul, sebetulnya sulit dalam pengertian karena memang pria tidak terlalu memikirkan hal-hal itu tapi bukannya berarti tidak bisa dilakukan. Sebab pernah dilakukan pada waktu masih berpcaran.

GS : Saya rasa yang kita butuhkan itu sebagai pria, tapi yang pasti saya itu kalau direspons dengan positif itu cenderung untuk saya ulangi tapi tidak, lalu acuh saja misalnya dibelai lalu diam saja dan sebagainya, dipuji tanggapanya juga tidak positif itu tidak akan diulangi lagi, kesan saya dia tidak menyukai itu.

PG : Jadi sebaiknya memang kalau itu sudah dilakukan oleh suami kita, dan kita memang menyenanginya, kita harus memberitahukan suami kita bahwa hal itu sangat menyenangkan saya dan saya sangt mengharapkan itu bisa kau lakukan lagi.

Jadi memang si pemberi perlakuan tersebut perlu menerima tanggapan, supaya dia tahu ini memang mengenai sasarannya.
GS : Atau memang ungkapan kasih itu harus dinyatakan secara verbal?

PG : Saya kira memang harus begitu, saya menemukan adakalanya pria itu tidak begitu nyaman mengutarakan perasaannya secara verbal. Betul saya kira, pria tidak terlalu natural untuk mengungkakan perasaannya secara verbal.

Tapi bukan berarti sekali lagi tidak bisa dilakukan, sangat bisa, jadi dalam menambah keintiman ini sekali lagi intinya adalah kita melakukan hal yang memang menyenangkan pasangan kita. Belum tentu itu hal yang sangat kita senangi, belum tentu itu hal yang kita gemari lakukan, tapi kita tahu itu hal yang menyenangkan hatinya dia. Contoh yang lain, kadang-kadang istri saya melakukannya buat saya, saya ini memang seseorang yang sangat menyenangi bakmi, nah istri saya tahu itu. Jadi kadang kala untuk hari-hari tertentu saya akan pulang agak terlambat dan istri saya tahu saya akan capek, dia akan mempersiapkan bakmi buat saya, dia akan masak bakmi. Nah hal kecil seperti itu akan sangat menyenangkan saya, sebab saya tahu dia memang memperhatikan apa yang saya inginkan, nah hal kecil, sebetulnya tidak terlalu susah.
IR : Memang harus disertai pengorbanan Pak Paul, sekalipun itu tidak suka dilakukan untuk menyenangkan, itu akan mendatangkan sukacita sendiri buat si pemberi itu.

PG : Karena melihat apa yang kita lakukan itu menyenangkan hati dia, dan makin terdorong kita mengulangi.

IR : Saya pernah mengamati suatu keluarga yang suaminya itu suka sekali sepak bola, istrinya tidak suka tapi dia menemani setiap nonton, dia sayang sama suaminya, akhirnya dia ikut menikmati juga, akhirnya si istri juga suka melihat sepak bola, jadi di situlah keintiman itu selalu bisa dibangun, Pak Paul?

PG : Betul, jadi dengan kata lain Bu Ida memang diperlukan juga suatu kerelaan untuk berkorban, karena kalau tidak ada kerelaan untuk berkorban, tidak akan ada usaha untuk menyenangkan pasanan kita.

Nah sekali lagi memang intinya adalah melakukan yang dibutuhkan dan disenangi pasangan kita, tidak selalu harus berkaitan atau berkepentingan dengan kesenangan kita. Kesukaran kita adalah kita cenderung melakukan hal-hal yang kita juga senangi.
GS : Tapi bisa juga keintiman itu terbangun dengan melakukan hal yang kedua-duanya suka Pak Paul.

PG : Betul, kalau memang ada hal-hal yang kedua-duanya suka itu akan sangat mengintimkan, betul sekali itu. saya masih ingat Norman Wright pernah berkata, adakalanya orang berprinsip menikahah dengan orang yang berbeda darinya karena saling melengkapi.

Tapi kenyataannya adalah yang merekatkan hubungan nikah bukan perbedaan, tapi persamaan, makin banyak kesamaan makin banyak potensi keduanya untuk makin dekat.
GS : Kalau pemikiran menikah dengan orang yang berbeda tadi, sebenarnya konsep pola berpikirnya bagaimana itu?

PG : Biasanya ada anggapan bahwa perbedaan itu akan saling melengkapi, dan memang untuk hal-hal tertentu perbedaan dua orang itu akan bisa melengkapi. Tapi kita selalu harus ingat satu hal bhwa perbedaan mempunyai 2 potensi, yang pertama melengkapi kalau bisa disatukan, tapi kalau gagal disatukan perbedaan itu akan jadi tombak yang saling menusuk, itu menjadi duri yang benar-benar menusuk satu sama lain.

GS : Mungkin yang saling melengkapi itu memang sudah didesain oleh Tuhan untuk memang berbeda Pak Paul?

PG : Ya, dan kenyataannya memang akan banyak perbedaan Pak Gunawan, jadi kalau kita mencari yang persis sama ya tidak mungkin. Tapi dalam proses mencari sebaiknya kita mencari yang lebih banak kesamaan, sekali lagi kembali pada yang tadi Pak Gunawan sudah katakan persamaan akan merekatkan, akan menambah keintiman.

Misalkan kalau kita berdua senang musik yang sama, otomatis kita berdua akan menikmati musik yang sama itu. Kalau kita yang satunya senang musik apa yang satunya senang musik apa, otomatis akan lebih sedikit hal yang kita bisa lakukan bersama.
GS : Tapi tadi yang Ibu Ida katakan walaupun mulainya tidak suka tetapi dengan pengorbanan awal itu, akhirnya pasangan suami-istri itu sama-sama menyukai sepak bola.

PG : Kalau bisa terjadi seperti itu indah sekali, Pak Gunawan.

GS : Ada juga yang dengan memberi, menolong orang lain dan sebagainya itu dia malah merasa intim itu.

PG : Jadi mengerjakan sesuatu secara bersama-sama.

GS : Untuk menolong orang lain dan sebagainya, keintiman seperti itu seberapa kuat Pak Paul?

PG : Sebetulnya keintiman itu memang seperti kita itu membangun rumah Pak Gunawan. Kita tidak membangun rumah dengan satu dinding yang besar atau ditempel dengan dinding yang besar. Satu bat demi satu bata, jadi keintiman itu juga dibangun satu bata demi satu bata.

Artinya harus banyak, tidak bisa sedikit tidak bisa kita terus-menerus menggantungkan diri pada modal waktu tahun pertama menikah, tidak bisa. Tindakan-tindakan itu tadi yang saya sebut sederhana itu harus dilakukan terus-menerus, tidak pernah cukup. Jadi misalkan istri kita atau suami kita sangat menyenangi kita berkata saya mencintaimu, nah katakan itu setiap hari, misalkan suami kita senang kalau istri yang memasak, nah lakukan itu sebisanya, sebanyak-banyaknya juga, karena sekali lagi hal itu juga yang akan menambah keintiman, kemesraan. Sebetulnya kalau kita pikir-pikir apakah keintiman itu; keintiman sebetulnya pada dasarnya suatu kedekatan, kedekatan berarti keduanya itu memang harus bersama. Jadi mustahil membangun keintiman dalam jarak jauh atau mustahil membangun keintiman dalam dua situasi yang berbeda, yang satu bekerja di A, yang satu bekerja di B dan dua-dua pulang jam 10 malam, tidak akan ada keintiman di situ. Jadi keintiman memang pada dasarnya adalah suatu kedekatan, kedekatan yang meminta nomor satu syaratnya kedekatan secara fisik hidup bersama. Dan yang kedua keintiman adalah kedekatan secara emosional, jadi yang satu merasakan bahwa pasangannya itu mengerti jiwanya dan yang satunya juga merasakan hal yang sama. Nah itulah sebetulnya yang menjadi bahan-bahan yang menumbuhkan keintiman.
GS : Kadang kala itu terjadi setelah pertengkaran yang besar, kemudian timbul keintiman.

PG : Betul, kenapa timbul keintiman setelah pertengkaran, nomor satu hubungan itu memang harus dilandasi oleh cinta, sebab kalau tidak ada cinta atau cinta itu sudah benar-benar kurang, pertngkaran sebetulnya tidak akan memunculkan keintiman.

Pertengkaran makin memperlebar jarak, nah jadi kalau sampai ada rasa intim setelah pertengkaran, asumsinya adalah memang sudah ada rasa cinta yang kuat, maka setelah pertengkaran muncul keintiman. Pertanyaannya kenapa muncul keintiman setelah pertengkaran, nah sekali lagi dilatarbelakangi oleh cinta yang kuat, pertengkaran itu untuk sejenak merenggut keintiman. Kita merasakan kehilangan, nah waktu setelah bertengkar tiba-tiba kita disadarkan kita kehilangan dia, nah waktu kita mendekat kembali karena tadi kita merasakan kehilangan, kita akan lebih ditarik benar-benar menyatu dengannya. Karena kita merasakan betapa susahnya tadi, betapa butuhnya saya, waktu saya kehilangan engkau dan sekarang saya boleh bertemu bersama lagi dengan engkau, kita benar-benar menghargai moment itu.
GS : Tapi itu tidak berarti boleh bertengkar terus untuk menambah keintiman, nah di dalam hal ini Pak Paul, apa yang Alkitab katakan?

PG : Saya akan membacakan dari 1 Korintus 13 yang kita semua sudah kenal yaitu ayat-ayat tentang cinta kasih; yang saya ingin bacakan adalah ini. "Dan sekalipun aku membagi-bagian segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku."

Nah kasih di sini kalau saya boleh gunakan istilah keintiman memang menjadi suatu substansi yang tidak bisa digantikan oleh hal-hal yang bersifat lahiriah. Jadi aku bisa membagi-bagikan semua yang ada padaku, menyerahkan tubuhku untuk dibakar jadi itu sama sekali tidak merefleksikan pasti adanya cinta kasih. Jadi yang sekali lagi dipentingkan adanya cinta kasih, substansi itu sendiri, nah waktu itu sudah ada perbuatan-perbuatan kita benar-benar akan menambah keintiman. Kalau pasangan kita tidak merasa kita mencintai dia, perbuatan-perbuatan yang kita lakukan tidak menambah keintiman Pak Gunawan, jadi mesti adanya rasa dicintai yang kuat itu dan dia tahu dia disayangi. Maka waktu kita melakukan tindakan-tindakan yang tadi saya sebut itu, nah barulah tindakan itu akan sangat menguatkan hubungan kita itu.
GS : Memang keintiman di dalam pernikahan itu tidak bisa dibangun di dalam waktu pendek Pak Paul?
IR : Melalui proses ya.

PG : Betul dan itu memang harus ditransmisikan, disampaikan dari hati ke hati, itu sebabnya adakalanya saya dengar ini dari suami atau istri. Saya sudah berbuat ini atau berbuat itu atau yan klasik yang sering dikatakan suami, saya bekerja untuk dia juga tapi tetap si istri merasakan tidak disayangi.

Sebab sekali lagi perbuatan-perbuatan tersebut tidak bisa menggantikan cinta kasih, nah Alkitab ingin tegaskan kepada kita bahwa, bahkan perbuatan yang sepertinya sangat ekstrim membiarkan diri dibakar, itu tidak bisa menggantikan cinta kasih yang dari hati, nah itu yang harus kita keluarkan. Dan sering kali cinta yang keluar dari hati memang harus dipupuk melalui hubungan nikah yang kuat, di mana perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati pasangan kita mesti sering kita lakukan. Tapi kalau justru yang kita lakukan yang menyakiti hatinya tidak akan bisa kita menikmati hubungan cinta yang intim.
GS : Tapi tentunya para pendengar dan kita semua itu akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membangun hubungan yang intim khususnya dengan pasangan kita.

Nah, demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan ke hadapan Anda tentang bagaimana membangun keintiman hubungan suami istri. Dan pembicaraan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 53 B

  1. Mengapa keintiman dalam pernikahan itu seringkali berubah-ubah....?
  2. Bisakah kita merencanakan sesuatu untuk meningkatkan keintiman...?


15. Cinta yang Hilang setelah Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T060A (File MP3 T060A)


Abstrak:

Apa yang terjadi setelah pernikahan, bara cinta tiba-tiba menjadi dingin seolah-olah tiada lagi api yang dapat dilihat di antara kedua orang yang tadinya sangat mencintai. Dalam materi ini kita akan melihat beberapa hal yang menyebabkan cinta itu sampai menghilang atau menjadi hambar setelah menikah.


Ringkasan:

Sekurang-kurangnya ada 3 penyebab hilangnya cinta sehingga tidak dirasakan lagi setelah menikah:

  1. Yang pertama adalah secara manusiawi sesuatu yang menjadi biasa memang akan kehilangan daya tarik semula.

  2. Yang kedua adalah pertengkaran. Pertengkaran yang tidak diselesaikan akan membunuh cinta kasih.

  3. Yang ketiga adalah faktor konsep pemikiran kita. Sering kali memang kita ini secara tidak sadar beranggapan bahwa cinta itu memang miliknya orang yang berpacaran. Setelah menikah cinta itu boleh ada, boleh tidak ada, karena setelah menikah yang penting adalah memikirkan pekerjaan, memikirkan masa depan anak, memikirkan tugas merawat anak, memikirkan tentang bagaimana kita harus mengembangkan karier kita 4 tahun di depan dsb. Sehingga akhirnya memang cinta tidak lagi mendapatkan tempat dalam pernikahan.

Ada beberapa hal atau upaya yang dapat dilakukan untuk menemukan cinta kembali, yaitu:

  1. Pertama-tama dua orang suami maupun istri itu harus menyadari bahwa mereka sudah kehilangan cinta. Jadi kita memang harus memeriksa apakah cinta kita telah kehilangan aspek emosional dan biologisnya. Apakah yang tertinggal sekarang adalah aspek kognitif, aspek pikiran semata dan aspek rohani semata. Kalau memang kita akui itulah yang terhilang, sekarang bagaimana saya dan dia bisa memperbaikinya.

  2. Langkah kedua adalah kita melihat duduk masalahnya di mana. Adakalanya duduk masalahnya pada beberapa penyebab:

    1. Yang pertama, yaitu kita kehilangan cinta karena terbiasa.

    2. Atau yang kedua yang lebih serius karena adanya pertengkaran-pertengkaran. Kalau memang itu duduk masalahnya pertengkarannya memang harus dibahas dan harus diselesaikan.

    3. Yang ketiga kalau misalnya hanya konsep pemahaman yang keliru kita masih bisa perbaiki.

  3. Langkah ketiga yang harus kita perbuat, yakni harus sering-sering mengungkapkan betapa berterima kasihnya kita atas kehadiran pasangan kita. Bahwa dia pemberian Tuhan untuk kita, kita harus pintar-pintar melihat yang positif dalam dirinya meskipun mengakui yang tidak kita terima dalam dirinya atau sulit diterima dalam dirinya. Kalau kita memulai dengan berterima kasih kita akan menerima kasih.

Matius 22:39, ayat yang dikenal dengan baik yaitu Tuhan meminta kita untuk mengasihi atau mencintai sesama kita seperti diri kita. Jadi prinsipnya adalah suami dan istri harus mengasihi satu sama lain seperti dia mengasihi diri sendiri. Perintah ini sering kali getol kita laksanakan dengan orang lain, lupa di rumah ada istri, ada suami. Jadi memang Tuhan sudah menetapkan aturan main dengan jelas di sini. Dan kita pun percaya tentunya Tuhan pun menghendaki agar cinta yang sudah tumbuh dalam rumah tangga akan tetap terpelihara.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Hilangnya Cinta setelah Pernikahan". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, semua orang berharap sebenarnya cinta yang mereka rasakan atau nikmati pada saat berpacaran itu akan tumbuh berkembang dengan lebih membara lagi. Tapi faktanya yang ada kita sering kali mendengar atau melihat bahkan juga mengalami suatu kenyataan bahwa cinta yang mula-mula itu seolah-olah hilang Pak Paul, kita mengutip dalam kitab Wahyu itu kehilangan kasih yang mula-mula. Itu juga sering kali dirasakan dalam hidup pernikahan. Nah mungkin kami akan menanyakan bagaimana prosesnya kenapa sampai bisa seperti itu?

PG : Sebelum saya menjawab Pak Gunawan, saya ingin memberikan pengamatan saya, adakalanya misalnya saya makan di rumah makan, saya melihat atau memperhatikan pasangan nikah, suami-istri makan brsama.

Nah sering kali yang saya lihat jarang sekali suami dan istri itu saling berbicara, misalkan ada anak-anak kebanyakan yang saya perhatikan adalah si suami akan berbicara dengan anak-anak, si istri akan berbicara dengan anak-anak, tapi suami dan istri jarang sekali berbicara. Bahkan adakalanya saya amati si suami menatap yang lain-lain tapi tidak kepada istrinya, sebaliknya si istri juga menatap yang lain-lain tapi tidak menatap suaminya. Nah tadi yang Pak Gunawan munculkan adalah pertanyaan yang sangat-sangat absah yaitu apa yang terjadi setelah menikah. Kenapa bara cinta itu tiba-tiba menjadi dingin seolah-olah tidak ada lagi api yang dapat kita lihat di antara kedua orang yang tadinya sangat mencintai itu. Saya kira sekurang-kurangnya ada 3 penyebab kenapa sampai cinta itu sampai menghilang atau hambar atau tidak dirasakan lagi setelah menikah. Yang pertama adalah secara manusiawi memang sesuatu yang menjadi biasa akan kehilangan daya tarik yang tadinya ada. Jadi sesuatu itu cenderung mempunyai daya tarik yang sangat kuat sewaktu masih baru, setelah bersama dengan kita untuk waktu yang agak lama biasanya tidak peduli seberapa indahnya dan menariknya hal itu lama-kelamaan tidak mempunyai daya tarik yang sama pada kita. Dan cinta kita memang cinta yang sangat dipengaruhi oleh ketertarikan fisik, oleh kekaguman yang kita saksikan atau kita lihat. Sehingga akibatnya setelah menikah, yang tadinya kita sangat kagumi menjadi biasa, yang tadinya sangat menarik hati kita menjadi biasa. Nah dua unsur tadi kekaguman dan ketertarikan sering kali memang menjadi pengisi cinta kasih pada pasangan kita. Otomatis waktu dua hal itu mulai memudar, perasaan cintapun seolah-olah turut menjadi dingin, nah itu saya kira yang pertama yang dialami oleh banyak pasangan. Jadi mendinginnya rasa ketertarikan atau kekaguman terhadap pasangannya sehingga menjadi biasa dan yang biasa itu tidak lagi begitu menggairahkan untuk dicintai.
GS : Memang harus diakui bahwa kita mempunyai sifat pembosan, bosan dengan sesuatu, kalau sudah agak lama kita mencari. Berarti di dalam hubungan pernikahan baik suami atau istri harus mencoba menemukan sesuatu di dalam pasangan kita itu?

PG : Menemukan yang baru dalam pengertian kita melihatnya dengan penghargaan yang baru atau dengan mata yang baru. Sebab memang kita bisa pungkiri bahwa yang bersama dengan kita itu secara fisi akan menjadi lama, akan menjadi biasa dampaknya buat kita.

Jadi landasan cinta kasih kita memang tidak boleh terlalu berat pada yang bersifat fisik. Namun harus lebih berat pada yang bersifat rohani atau emosional, sehingga akhirnya bantuan, karakteristik yang indah kita saksikan, merasa sangat dibantu oleh kehadiran pasangan itu kita menjadi terus-menerus menghargai dan mengagumi.
GS : Tetapi kadang-kadang memang situasinya seperti tadi Pak Paul amati dalam rumah makan, situasinya memang juga tidak mendukung. Biasanya rumah makan itu ada TV yang dilihat atau musiknya terlalu keras sehingga pasangan ini sulit mau berbicara. Bisa berbicara di rumah 'kan tidak harus di rumah makan?

PG : Yang saya khawatirkan Pak Gunawan, di rumahpun mereka jarang bicara kalau lagi makan, jadi saya kira yang terjadi di rumah makan cukup merefleksikan yang terjadi di rumah sendiri. Kadang kla memang ada televisi, kadang kala ada destruksi-destruksi yang tadi Pak Gunawan sebut.

Tetapi bukankah cukup banyak rumah makan yang tidak ada televisi, yang tidak ada hal-hal lainnya selain dari makanan itu. Namun toh tetap mata mereka tidak memandang pasangan mereka.
GS : Atau memang tidak terbiasa melakukan itu Pak Paul, jadi artinya mereka sejak berpacaran tidak melakukan hal-hal seperti itu.

PG : Nah kalau itu yang terjadi lain perkara memang, jadi adakalanya dua orang itu memang tidak terbiasa. Sejak masa berpacaran tidak terbiasa untuk saling melihat, saling menyentuh, nah itu meeka bawa sampai ke pernikahan, nah saya kira itu biasa, itu tidak apa-apa.

Nah, tapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya pada masa berpacaran si suami dan si istri bisa saling menatap, saling menyentuh, bicara dengan begitu asyik, bisa ngobrol berjam-jam, kok tiba-tiba sekarang tidak bisa lagi.
GS : Nah, Pak Paul tadi kalau Pak Paul katakan baik secara rohani maupun emosional bisa ditemukan itu contoh konkretnya seperti apa, Pak Paul?

PG : Kita setelah menikah makin menyadari bahwa dia pasangan yang paling tepat untuk kita, kita makin melihat sifat-sifatnya yang baik, kita makin melihat pengorbanannya, kita makin mengagumi krakteristik kepahlawanannya dan kekagumannya.

Nah semua itu makin menyadarkan kita bahwa kita menikah dengan orang yang baik, dengan orang yang tepat, orang yang bisa mengerti kita. Dan terutama kebutuhan-kebutuhan kita dipenuhi olehnya, nah ini makin mengkonfirmasikan dan menguatkan kita bahwa kita telah menikah dengan orang yang sangat berharga, nah itu penting sekali.
GS : Jadi kalau kebutuhan kita dipenuhi Pak Paul, itu 'kan berarti harus ada semacam ungkapan terima kasih kepadanya, kepada pasangan kita.

PG : Betul, jadi seolah-olah kita makin berhutang kepada dia, kita makin melihat betapa bernilainya dia dalam hidup kita. Karena dialah yang telah mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita, nah ini akn menyegarkan cinta di dalam pernikahan.

IR : Jadi selalu Pak Paul diungkapkan rasa penghargaannya pada pasangannya.

PG : Tepat sekali, jadi hal-hal itu meskipun kecil kita utarakan dan itu akan menyemarakkan cinta di kedua orang ini.

GS : Kadang-kadang kami memang berpikir itu, bahwa pasangan kita tahu kita itu menghargai apa yang dia kerjakan walaupun tidak terucapkan. Nah masalahnya di situ kita tidak terbiasa untuk mengucapkan terima kasih atau rasa kasih kita itu dengan kata-kata atau dengan sentuhan dan sebagainya, Pak Paul.

PG : Betul, apalagi budaya kita budaya Asia, cenderung memang tidak begitu ekspresif sehingga kita jarang mengatakan hal-hal yang seperti itu, menghargai, berterima kasih atas kehadirannya karea itulah kita mesti belajar mengutarakannya.

Dan kita harus mengakui bahwa kita sendiri sebetulnya menyenangi kata-kata atau komentar yang menghargai kita. Jadi kalau kita menyenanginya, pasangan kita pun pasti akan menyenanginya pula. Masalah mungkin akan menjadi lebih rumit Pak Gunawan, kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi. Nah tadi saya berkata kira-kira ada 3 penyebab yang membuat cinta itu bisa menguap dari pernikahan. Selain dari menjadi biasanya hubungan cinta itu, yang kedua adalah pertengkaran. Nah pertengkaran yang tidak diselesaikan akan membunuh cinta kasih. Pertengkaran itu perasaan negatif sedangkan cinta perasaan positif. Nah dua-duanya tidak bisa hadir bersamaan, maksud saya begini, kalau yang satu banyak, yang satu akan sedikit. Kalau cinta banyak pertengkaran akan cenderung lebih positif, kalau pertengkaran banyak cinta akan cenderung makin berkurang. Nah ada banyak hal yang membuat kita bertengkar misalnya gaya hidup kita yang tidak sama, itu akan membuat kita bertengkar, gaya komunikasi kita yang tidak sama bisa menimbulkan kesalahpahaman dan kita bisa bertengkar. Dan yang ketiga, yang penting adalah sewaktu kebutuhan kita tidak terpenuhi, atau sewaktu yang kita harapkan dari pasangan kita tidak kita lihat, nah itu yang cenderung menimbulkan api pertengkaran adalah perbedaan gaya hidup, perbedaan gaya komunikasi dan tidak terpenuhinya kebutuhan dan harapan kita. Nah biasanya yang ketiga ini kalau tidak terpenuhi dampaknya jauh lebih serius daripada perbedaan gaya komunikasi, gaya hidup, yang ketiga ini atau runtuhnya harapan kita itu biasanya berdampak sangat fatal. Itu yang cenderung membuat kita sangat pahit dan melibatkan kita dalam pertengkaran yang tidak terselesaikan.
IR : Perbedaan karakter apakah juga bisa, Pak Paul?

PG : Bisa, jadi karakter yang berbeda itu akan membuat kita berinteraksi dengan cara yang berbeda, berelasi dengan cara yang berbeda, berkomunikasi dengan cara yang berbeda. Misalnya orang yangcenderung pendiam, menyimpan semuanya ke dalam, tidak ekspresif, menikah dengan orang yang semuanya dilontarkan ke luar, kurang bisa misalnya menahan emosi.

Nah kedua karakter yang akhirnya disatukan dalam rumah tangga ini tidak bisa tidak, pada awal-awalnya akan bentrok, akan mengalami benturan. Karena apa, gaya hidupnya akan berbeda; yang blak-blakan misalnya cenderung akan menganggap orang yang tidak blak-blakan itu tidak jujur misalnya. Jadi dia cenderung menuntut orang itu untuk terbuka, sebab orang yang tidak terbuka dikategorikan menyimpan rahasia, tidak percaya padanya, akhirnya juga dia merasa dia itu tidak dihargai oleh pasangannya. Atau juga akhirnya membuat cara komunikasi berbeda yang satu akan merasa kenapa engkau terlalu menyerang saya, kenapa engkau berbicara tanpa tedeng aling-aling, kenapa engkau tidak memperhatikan saya. Yang satu berkata itulah namanya terbuka dan jujur saya tidak mau menyimpan, nah gaya-gaya komunikasi dan gaya hidup yang berbeda ini pasti akan menimbulkan benturan.
GS : Hal-hal seperti itu tidak dirasakan atau dialami pada saat mereka pacaran, Pak Paul?

PG : Biasanya sudah mulai terasakan namun dalam kadar yang jauh lebih kecil, karena tidak tinggal bersama dan kita tidak harus mengambil keputusan secara bersama-sama. Jadi prinsipnya adalah orng bisa mengambil keputusan dengan baik sendirian, belum tentu bisa mengambil keputusan bersama, itu dua hal berbeda.

Nah waktu dia serumah dengan pasangannya terpaksa harus mengambil keputusan bersama, harus berdiskusi dan akan banyak melihat hal-hal yang menjengkelkannya, yang tidak disetujuinya. Nah akhirnya ini bisa membuat kemarahan lebih muncul sehingga kedua orang ini bertengkar.
GS : Ya kalau terjadi pertengkaran atau kebosanan seperti tadi apakah langsung kita bisa mengatakan cinta itu hilang dalam pasangan itu, 'kan belum tentu Pak Paul?

PG : Nah sekarang kita memang mau jelas dengan apa itu definisi cinta di sini, bagi saya cinta itu mengandung aspek perasaan, jadi cinta harus ada perasaan cintanya yang dirasakan secara emosioal.

Cinta juga memang harus mengandung unsur biologisnya, artinya kita tertarik secara fisik dengan pasangan kita. Jadi kita waktu melihat pasangan kita, bukan saja memandang dia sebagai seorang perempuan atau seorang pria tapi kita merasakan ketertarikan terhadap dia. Jadi cinta bagi saya mengandung unsur biologisnya pula, cinta juga harus mengandung unsur kognitif unsur rasionalnya. Artinya kita memilih untuk setia, untuk terus bersama dengan pasangan kita, kita memang tidak bisa diombang-ambingkan oleh aspek emosionalnya, tapi memang aspek emosional tetap penting namun di samping itu harus ada aspek kognitif yaitu kita memilih bersama dengan dia. Selain itu harus ada aspek rohani, itu benar-benar keinginan untuk mengosongkan diri demi pasangan kita, mengorbankan diri demi pasangan kita, jadi cinta seperti itu memang cinta yang lengkap. Jadi kalau ada seorang berkata saya mencintai dia, tapi sebetulnya tidak terjadi perasaan apa-apa, saya kira cinta itu tidak lagi utuh, mungkin saja mesti ada aspek kognitifnya dan sebagainya, tapi kekurangan suatu aspek yang penting dan ketertarikan biologisnya.
GS : Berarti selama unsur-unsur yang lain masih ada itu masih bisa diharapkan cinta itu kembali dalam pasangan itu.

PG : Betul jadi selama yang lain masih ada, cinta itu bisa dikobarkan dan kadang kala pada waktu tertentu dikobarkan kembali aspek emosionalnya. Namun kalau faktor kedua tadi ada yakni pertengkran-pertengkaran yang tak terselesaikan, nah saya khawatirkan kesempatan muncul itu makin mengecil, makin berkurang sehingga akhirnya perasaan aspek emosional tadi dan ketertarikan bisa terganggu sekali.

Saya takut yang ada hanya aspek kognitif, saya sudah menikah dengan dia, saya memilih dengan dia atau aspek rohani saya anak Tuhan, saya mau hidup dengan pasangan saya apapun yang terjadi akhirnya yang ketinggalan hanya dua itu. Sebab kenapa sudah diisi perasaan-perasaan yang negatif yaitu pertengkaran itu, sehingga perasaan yang positif, perasaan cinta itu akhirnya menghilang.
IR : Kalau sudah menjurus ke situ akhirnya apa, apakah hubungan itu tambah menjauh Pak Paul?

PG : Biasanya demikian Ibu Ida, jadi kalau cinta mulai kehilangan aspek emosional dan biologisnya meskipun aspek kognitifnya kuat, dan aspek rohaninya tetap ada saya kira akan terasa sekali kehmbaran dalam hubungan suami-istri itu.

Akan terasa sekali bahwa hubungan ini hubungan yang rutin, yang tidak ada bedanya dengan kemitraan yang ada dalam hidup ini. Sehingga biasanya ada gap, ada jarak antara 2 orang itu, meskipun mungkin sekali gap itu bisa diperkecil dengan adanya anak misalnya. Adanya kesibukan bersama sehingga diperkecil lagi, namun yang penting adalah yang tadi yang kedua itu. Selama pertengkaran-pertengkaran itu bisa diselesaikan dengan baik, biasanya cinta itu masih bisa dipertahankan karena akan tetap muncul api-api cinta itu. Namun kalau terlalu banyak diisi pertengkaran yang tidak terselesaikan sulit, sebab bagi saya pertengkaran itu tadi sudah singgung biasanya muncul dari perbedaan gaya hidup, dari perbedaan gaya komunikasi. Nah kalau yang munculnya karena kebutuhan kita tidak terpenuhi atau harapan kita tak jadi kenyataan, dia menjadi suami yang seperti ini, dia menjadi istri yang seperti ini, kenapa orangnya begini nah ini menimbulkan kekecewaan. Nah kekecewaan seperti itu berbahaya, itu yang akan benar-benar membasmi cinta kasih dalam hubungan rumah tangga.
GS : Ya memang kadang-kadang tuntutan setelah menikah itu lebih besar daripada pada waktu berpacaran Pak Paul, karena ada unsur pekerjaan, ada anak dan sebagainya itu yang membuat kita kadang-kadang kurang menaruh perhatian pada pasangan kita, jadi bukan sengaja tidak mencintai dia tetapi memang karena hal-hal yang tadi itu terjadi.

PG : Yang akhirnya memang menyita perhatian kita Pak Gunawan, nah ini membawa kita ke point yang ketiga, Pak Gunawan. Ya tadi saya sudah singgung bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor penyebab ang saya lihat menguap dari pernikahan.

Nah yang ketiga adalah faktor konsep pemikiran kita, sering kali memang kita ini beranggapan secara tak sadar bahwa cinta itu memang miliknya orang yang berpacaran. Setelah menikah cinta itu boleh ada, boleh tidak ada, karena ya setelah menikah yang penting adalah memikirkan pekerjaan, memikirkan masa depan anak, memikirkan tugas merawat anak, memikirkan tentang bagaimana kita harus mengembangkan karier kita 4 tahun di depan dan sebagainya. Sehingga akhirnya memang cinta tidak lagi mendapatkan tempat dalam pernikahan. Bukankah kita pernah mendengar ungkapan seperti ini, kalau seseorang katanya mau mesra, pasangannya bisa berkata malu ah....sudah menikah masih begitu atau kamu sudah berumur berapa. Jadi seolah-olah orang berumur 45 tahun tidak layak lagi meminta kemesraan dan untuk menjadi mesra atau misalnya orang umur 50 tahun, tidak boleh lagi mendambakan cinta, kita katakan kekanak-kanakanlah, bukan waktunya lagilah atau kita harus pikirkan hal-hal yang serius, bukan begitu pikirannya sekarang. Jadi akhirnya kita dikondisi untuk merasa malu, tatkala merindukan cinta, nah saya kira konsep ini tanpa disadari telah menggerogoti cinta dan menolak keberadaan cinta dalam pernikahan. Sudah masuk ke pernikahan, ya persiapan atau pemanasan itu tidak diperlukan lagi.
(2) GS : Kalau sampai terjadi Pak Paul, pasangan yang kehilangan cinta itu, bagaimana mereka mengupayakan atau bisa ditemukan kembali?

PG : Pertama-tama dua orang suami maupun istri itu harus menyadari bahwa memang sudah kehilangan cinta itu. Nah kenapa saya katakan dua-duanya harus mengakui, karena sering kali kita menyangkal itu, sering kali kita berargumen o.....saya

mencintai dia dengan cara yang lain, saya mengurus anaknya itu berarti cinta, saya masak untuk dia itu namanya cinta, saya melayani dia itu namanya cinta. Atau suami berkata ya saya bekerja, saya tidak mau bermain perempuan lain, tidak berjudi itu semua cinta artinya. Itu yang dibicarakan adalah kewajiban rumah tangga, sebagai suami atau istri memang sudah sewajarnyalah suami itu bekerja mencukupi kebutuhan keluarganya, istri menyediakan kebutuhan misalnya menyediakan makanan di rumah, menjaga rumahnya. Memang kewajiban, pembagian tugas yang telah disepakati bersama, nah itu tidak boleh digunakan sebagai alasan itu cinta, saya kira itu 2 hal berbeda. Nah jadi pertama-tama memang kita harus memeriksa apakah cinta kita telah kehilangan aspek emosional dan biologisnya. Apakah yang tertinggal sekarang adalah aspek kognitif, aspek pikiran semata dan aspek rohani semata. Nah kalau memang kita akui itulah yang terhilang, sekarang bagaimana saya dan dia bisa memperbaikinya. Jadi langkah kedua adalah kita memang melihat duduk masalahnya di mana, adakalanya duduk masalahnya atau penyebab yang pertama yaitu memang kita kehilangan cinta karena terbiasa. Atau yang kedua ini yang lebih serius karena adanya pertengkaran-pertengkaran; kalau memang itu duduk masalahnya pertengkarannya memang harus dibahas, harus diselesaikan. Yang ketiga kalau misalnya hanya konsep pemahaman yang keliru yaitu kita masih bisa perbaikilah. Cinta memiliki tempatnya yang khusus dan spesial dalam pernikahan, harus ada, nah kita harus mengadakannya sekarang. Jadi langkah kedua, kita harus mencari tahu penyebabnya, kenapa cinta dalam rumah tangga ini sudah menguap, baru langkah-langkah lainnya.
IR : Yang saya tanyakan juga itu Pak, contoh konkretnya bagaimana untuk menyemarakkan cinta itu bisa kembali?

PG : Sekarang kita masuk point yang ketiga, jadi langkah apakah yang harus kita perbuat, nah saya kira waktu kita tidak cukup untuk membahas sampai selesai, saya akan ambil yang pertama dulu yani kita harus sering-sering mengungkapkan betapa berterima kasihnya kita atas kehadiran pasangan kita.

Bahwa dia pemberian Tuhan untuk kita, kita harus pintar-pintar melihat yang positif dalam dirinya meskipun mengakui yang tidak kita terima dalam dirinya atau sulit diterima dalam dirinya. Mungkin kita panggil itu kelemahannya, tapi kita benar-benar menyoroti yang baik dan sering-seringlah kita mengutarakan betapa berterima kasihnya kita atas kehadirannya dalam hidup kita. Prinsipnya adalah yang saya gunakan kalau kita memulai dengan berterima kasih kita akan menerima kasih. Sebaliknya kalau kita memulai dengan tidak tahu berterima kasih kita akan mengakhirinya dengan tanpa kasih. Jadi kata-kata terima kasih, kata-kata pengucapan syukur engkau adalah suamiku, engkau adalah istriku, kalau sering-sering kita lontarkan akan menyemarakkan cinta. Sebab pada intinya menurut saya cinta itu diwujudkan dalam penghargaan, nah ini bentuk penghargaan yang riil dan mengutarakan rasa terima kasih kita. Kadang-kadang kalau kita menengok ke belakang justru kita kesulitan untuk mengingat kapan terakhir kali berkata terima kasih pada suami atau istri kita, nah itu saja langkah yang sederhana, tapi kalau kita lakukan dengan konsisten, saya yakin akan membawa perubahan dalam hubungan suami-istri.
GS : Tapi yang memberikan petunjuk yang paling jelas pasti kita temukan di dalam Alkitab Pak Paul ya, nah dalam hal ini apa yang Alkitab itu katakan.

PG : Saya akan mengutip dari Matius 22:39, ayat yang kita kenal dengan baik yaitu, Tuhan meminta kita untuk mengasihi atau mencintai sesama kita seperti diri kita. Jadi prinsipnya dalah suami dan istri harus mengasihi satu sama lain seperti dia mengasihi diri sendiri.

Nah perintah ini sering kali getol kita laksanakan dengan orang lain, lupa di rumah ada istri, ada suami. Yang kita juga harus cintai sebesar-besarnya sama dengan mencintai diri kita. Jadi memang Tuhan sudah menetapkan aturan main dengan jelas di sini.
GS : Dan kitapun percaya tentunya Tuhan pun menghendaki agar cinta yang sudah tumbuh dalam rumah tangga akan tetap terpelihara Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Cinta yang Hilang setelah Pernikahan". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 60 A

  1. Apa yang terjadi dengan cinta setelah pernikahan...?
  2. Bagaimana menemukan kembali, cinta yang hilang dalam pernikahan...?


16. Menabur Penghargaan Menuai Cinta


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T060B (File MP3 T060B)


Abstrak:

Cinta itu jauh lebih luas daripada penghargaan namun penghargaan itu dapat menjadi wujud nyata dari cinta kasih. Dan semakin besar penghargaan yang kita berikan makin besar kemungkinan cinta kasih itu tetap berjalan.


Ringkasan:

Beberapa upaya yang harus dilakukan oleh pasangan suami-istri untuk tetap membina hubungan cinta mereka:

  1. Satu konsep yang menjadi dasar cinta kasih dapat kita wujudkan dalam bentuk penghargaan. Penghargaan dapat menjadi wujud nyata dari cinta kasih, makin banyak penghargaan makin besar kemungkinan cinta kasih itu tetap berjalan. Cinta kasih yang kehilangan aspek penghargaan, lama-lama akan kehilangan cinta itu sendiri.

  2. Cara kita memperlakukan orang akan mempengaruhi penilaian kita terhadap orang itu. Maksudnya adalah kalau kita memperlakukan seseorang dengan penuh hormat, dengan halus, dengan lemah lembut, kita cenderung menilai dia bagus, positif dan tinggi, ini prinsip yang harus kita sadari.

  3. Prinsip ketiga cinta terlihat jelas dalam perbandingan. Maksudnya cinta terlihat jelas dalam perbandingan dalam pengertian sewaktu dibandingkan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Misalnya, saya bisa berkata pada istri saya, saya sangat mencintaimu, saya tidak dapat hidup tanpa engkau. Tapi kalau orang lain minta saya pergi, orang lain mengundang saya, nomor satu saya akan mendahulukan orang lain dan saya akan dengan mudah sekali mengesampingkan istri saya. Tentu dia tidak akan melihat cinta saya, semua yang saya ucapkan kepada dia waktu kami berduaan tidak berdampak. Karena waktu dibandingkan dengan bagaimana saya memperlakukan orang lain ternyata dia donomorduakan. Jadi prinsip ketiga ini adalah mengorbankan kepentingan sendiri itu cinta, mengorbankan kepentingan pasangan itu berarti menomorduakannya.

Efesus 5:28,29, "Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri, sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat."

Yang menarik di sini adalah Tuhan berkata siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Ini sebetulnya konsep kesatuan antara suami dan istri, jadi boleh juga kita balik siapa mengasihi suaminya mengasihi diri sendiri pula. Sebab memang suami dan istri dalam konsep Alkitab bersatu dan menjadi satu, ibarat sirup dan air yang sudah larut dan tak dapat lagi dipisahkan. Barangsiapa mengasihi pasangannya, pasangannya yang sudah menyatu dengan dia adalah dirinya, jadi dia mengasihi dirinya.

Alkitab menjelaskan orang yang mengasihi pasangannya dia akan mengasuh dan merawatinya:

  1. Pertama kita memupuknya, yaitu dengan cara cukup memberikan kasih sayang pada pasangan kita.

  2. Yang kedua kita merawatnya, merawat sebetulnya berasal dari satu kata memperlakukan dengan penuh kelembutan. Jadi merawat benar-benar memperhatikan, menjaganya dengan penuh kelembutan. Orang yang memperlakukan pasangannya dengan penuh kelembutan itulah tanda-tanda orang yang mengasihi pasangannya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Menabur Penghargaan Menuai Cinta". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, banyak pasangan itu merasakan cinta mereka setelah menikah dan sebelum menikah itu mempunyai perbedaan yang besar, kalau waktu berpacaran mereka begitu menggebu-nggebu, jadi hidupnya diwarnai dengan bunga-bunga cinta. Lalu setelah menikah bunga-bunga cinta itu rasanya hilang, nah sebenarnya apa yang harus dilakukan oleh pasangan suami-istri itu untuk tetap membina hubungan cinta mereka?

PG : Yang Pak Gunawan katakan tepat, jadi itu pengamatan yang juga sering saya lihat Pak Gunawan, di mana banyak pasangan nikah setelah menikah seolah-olah kehilangan cinta kasihnya. Seolah-lah memang cinta itu hanyalah mempunyai tempat pada masa berpacaran dan setelah menikah cinta itu kehilangan tempatnya.

Saya akan memberikan satu konsep yang menjadi dasar dari apa yang saya sarankan nanti yaitu cinta kasih dapat kita wujudkan dalam bentuk penghargaan. Saya memahami bahwa cinta itu jauh lebih luas daripada penghargaan, namun penghargaan itu dapat menjadi wujud nyata dari cinta kasih. Dan ini point kedua yang mau saya tekankan, makin banyak penghargaan makin besar kemungkinan cinta kasih itu tetap berjalan. Jadi cinta kasih yang kehilangan aspek penghargaan lama-lama akan kehilangan cinta itu sendiri, jadi waktu penghargaan diberikan dengan berlimpahnya cinta akan juga terus bertahan. Yang pertama adalah saya meminta agar kita ini yang sudah menikah untuk sering-sering mengungkapkan rasa terima kasih kita pada pasangan kita. Sering-sering mengungkapkan bahwa kita ini bersyukur, dia adalah suami atau istri kita. Mungkin di antara saudara yang mendengarkan akan berkata, tapi bagaimana suami saya sikapnya seperti itu, bagaimana kalau memang istri saya sifatnya seperti itu. Nah sudah tentu menjadi problem yang harus kita selesaikan terlebih dahulu, sebab pertengkaran yang tidak terselesaikan niscaya akan membunuh cinta kasih kita. Nah kalau sudah selesai kita harus buru-buru mengisi hubungan nikah kita itu dengan ungkapan-ungkapan terima kasih, hal yang sederhana misalnya, kita mengucapkan terima kasih sewaktu hari ini suami kita membukakan pintu untuk kita. Atau waktu istri kita memasak biasa saja bukan luar biasa untuk kita, waktu kita melihat misalnya suami kita memberikan perhatian kepada anak kita, waktu kita melihat istri kita begitu telitinya dengan anak-anak. Hal-hal kecil seperti itu saya harap tidak luput dari perhatian kita dan cepat-cepatlah kita memberikan ungkapan terima kasih itu.
GS : Kalau ungkapan terima kasih itu diungkapkan secara langsung, nah apakah pihak yang menerima ucapan terima kasih itu juga meresponsnya dengan baik, kadang-kadang itu dianggap seolah-olah mengada-ada, Pak Paul?

PG : Awal-awalnya saya kira akan muncul reaksi seperti itu, reaksi tidak percaya atau reaksi canggung. Namun coba kita tanya pada diri kita sendiri bukankah kita akan senang jikalau orang meangkap perbuatan kita dan mengucapkan rasa terima kasih atas tindakan kita itu.

Bukankah waktu orang mengucapkan terima kasih karena kita misalnya membukakan pintu buat dia, nah itu akan membuat kita merasa bahwa o....tindakan kita ternyata tidak luput dari perhatiannya. Dia melihat tindakan kita itu yang membukakan pintu, dan dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa atau yang sederhana tapi dia menganggapnya sebagai sesuatu yang cukup bernilai untuk diberikan rasa terima kasih. Jadi saya kira kalau lama-lama kita lakukan seperti itu kita akan senang, mungkin ada yang berkata lama-lama menjadi biasa, tidak tetap hal yang positif kita lakukan berulangkali memang menjadi biasa tapi tetap tidak kehilangan kadar positifnya. Nah yang saya mau tekankan di sini adalah bukankah hidup itu rutin dan dalam kerutinan akan mudah sekali muncul perasaan hambar, tidak ada apa-apanya, biasa-biasa saja. Dan perasaan yang biasa saja itu perasaan yang tidak ada apa-apanya, sebetulnya adalah ladang atau tanah atau medan untuk memunculkan pertengkaran. Jadi ladang yang sangat potensial sekali untuk menjadi tempat perkelahian, tapi kalau kita menyediakan ladang yang penuh kasih, perasaan-perasaan positif yang penuh di situ, akhirnya pertengkaran pun akan susah muncul. Karena perasaan yang mengaliri hidup kita ini adalah perasaan yang positif.
IR : Pak Paul, saya percaya itu kalau itu merupakan kebiasaan dan itu yang positif, itu malah suatu hal yang selalu diharapkan, kalau hal itu dilupakan malah orang ini menagih, kenapa bukan terima kasih yang saya lihat itu, dan hal ini juga akan menjadi contoh buat anaknya Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Ida, waktu mulai melakukan awalnya memang tidak biasa, lama-lama menjadi hal yang biasa dan kalau tidak dilakukan lagi justru kita merasakan ada yang hilang. Dan kita akn meminta supaya diberikan lagi, karena itu adalah sesuatu yang positif.

Kita harus mengingat hidup ini sebetulnya memang hidup yang cenderung rutin dan hidup yang cenderung juga mengisi hati kita dengan kejengkelan atau dengan stres. Apalagi yang tinggal di kota besar seperti misalnya kota Jakarta atau mungkin sebagian di Surabaya, yang kadang kala harus bertemu dengan kemacetan lalu lintas dengan orang yang memotong sembarangan dan sebagainya. Atau di tempat pekerjaan hal yang menjengkelkan kita terjadi. Jadi hidup memang cenderung menyerap hal-hal yang negatif, di rumah juga sama, anak kita menjengkelkan tidak bertanggung jawab, belajarnya seperti inilah dan sebagainya. Jadi akan ada banyak hal yang berpotensi mengisi hati kita, dengan perasaan yang negatif, oleh karena itulah pintar-pintarlah kita ini mengisi hati kita dengan perasaan-perasaan yang positif. Nah kita kadang kala tidak menyadari hal ini, kita menganggap seolah-olah yang positif akan muncul dengan sendirinya, tidak. Kita yang bertanggungjawab menumbuhkan serta memelihara, perasaan yang positif itu tidak muncul dengan tiba-tiba dan sudah tentu tidak akan bertahan terus-menerus tanpa upaya dari pihak kita untuk terus-menerus mengadakannya. Jadi kadang kala orang yang sudah menikah tidak terlalu memikirkan hal ini, tapi yang sering dirasakan adalah mudah jengkel dengan pasangannya, mudah meledak dengan pasangannya, mudah sekali melihat pada pasangannya, sulit sekali sabar, hal yang tidak kita sukai pada diri pasangan kita. Nah itu yang tiba-tiba kita lihat buah-buahnya, nah kalau kita mau membereskan memang kita harus mundur ke belakang, dengan cara apa, kita menyadari bahwa hidup cenderung menyerap yang negatif dan yang positif tidak dengan sendirinya ada dalam pernikahan kita atau dalam hidup kita. Jadi tanggung jawab kitalah untuk menumbuhkannya dan memeliharanya agar supaya ada terus-menerus.
GS : Itu tadi salah satu bentuk yang Pak Paul katakan menabur. Mungkin sedikit demi sedikit tetapi bisa diharapkan ada hasilnya Pak Paul, dan tentunya ucapan terima kasih harus betul-betul tulus, bukan sekadar diucapkan, tanpa ada suatu keluhan. Langkah berikutnya apa Pak Paul yang bisa kita tabur, benih-benih yang bisa kita tabur supaya ada sesuatu hasil yang positif?

PG : Saya ingin memberikan penjelasan tentang suatu prinsip yang penting Pak Gunawan, yakni bagaimana kita memperlakukan orang akan mempengaruhi penilaian kita terhadap orang itu. Maksud say begini kalau kita memperlakukan seseorang dengan penuh hormat, dengan halus, dengan lemah lembut, kita cenderung menilai dia bagus, positif dan tinggi, jadi ini prinsip yang harus kita sadari.

Sering kali yang kita pikirkan adalah penilaian kita akan mempengaruhi bagaimana kita memperlakukannya. Maksudnya kalau kita menilai dia rendah, kalau kita menilai orang itu memang seharusnya menerima yang jelek-jelek, dimarahi dan sebagainya, kita akan memperlakukannya dengan rendah pula. Kita akan memarahinya, menghinanya, memperlakukan dia seenaknya, nah itu betul penilaian mempengaruhi perlakuan kita terhadap orang itu betul. Namun kebalikannya pun juga betul, bagaimana kita memperlakukan orang itu akan mempengaruhi penilaian kita terhadapnya, nah inilah prinsip yang kedua, Pak Gunawan. Jadi saya memberikan prinsip yaitu semakin halus kita memperlakukan pasangan kita, semakin bernilai dia di hadapan kita. Semakin kasar kita memperlakukannya, semakin rendah dia di mata kita, jadi yang saya ingin anjurkan adalah kita mengungkapkan penghargaan kita pada pasangan dengan cara memperlakukan dia dengan penuh kelembutan, dengan penuh penghargaan, kita tidak kasar kepadanya. Kalau hari ini kita kasar kepada pasangan kita, yakinlah satu hal suatu hari kita akan mengasari dia, pasti itu terjadi. Meskipun kita menyesalinya tapi sekali kita memperlakukan dia dengan kasar, kecenderungannya kita akan memperlakukan dia dengan kasar di kemudian hari.
IR : Juga kalau seorang suami misalnya menampar sekali akan berlanjut berkali-kali.

PG : Tepat sekali, nah ini sudah saya saksikan, jadi suami atau istri yang mulai memukul satu sama lain atau mendorong satu sama lain dalam kemarahan atau memaki dengan kasar, cenderung menglang perbuatannya dan ini yang lebih fatal.

Orang tersebut akan menjadi sangat rendah di matanya, kalau dia pernah memaki suaminya misalnya dengan begitu kasar, yang menjadi masalah adalah selebihnya atau seterusnya dia sebetulnya sudah memandang suaminya dengan rendah. Sebaliknya juga antara suami dengan istri pasti sama, jadi makanya dalam pertengkaran kita harus menjaga batas-batas, ini harus kita hormati, baik suami maupun istri harus menghormati batas-batas itu. Misalnya batas yang tidak boleh kita langgar adalah memukul istri atau suami kita, mendorongnya dengan kasar, tidak boleh kita lakukan. Atau kita tidak boleh memaki-maki dia, karena waktu kita mulai memaki-maki suami atau istri kita, kita sebetulnya sudah memandang dia rendah dan kita akan cenderung mengulang perbuatan kita di kemudian hari.
IR : Dan si pelaku itu juga nilainya rendah, Pak Paul?

PG : Betul, jadi yang satunya juga akan melihat kita dengan mata yang rendah, karena kita telah memperlakukan dia dengan rendah.

GS : Tapi biasanya seseorang itu diperlakukan kasar dan sebagainya itu ada alasannya Pak Paul, tidak tiba-tiba kita itu memperlakukan pasangan kita kasar dan sebagainya. Ada yang mengatakan kalau tidak diperlakukan seperti itu dia malah nanti kurang ajar, Pak Paul.

PG : Cenderungnya memang kita lagi marah, kita ini mau menyakiti pasangan kita, oleh karena itu yang penting dalam pernikahan adalah aturan main yang kita sepakati. Saya kira hampir semua mausia dalam kemarahan, mempunyai keinginan menyakiti pasangannya, supaya apa, sama-sama sakit.

Waktu kita disakiti luar biasa respons natural kita adalah membalas menyakiti pasangan kita agar dia tahu rasanya sakit seperti apa. Itu saya kira alamiah, manusiawi dalam pengertian itulah sifat dosa yang sudah bersarang dalam daging kita ini. Oleh karena itu penting sekali suami-istri itu menetapkan aturan main yang dua-duanya harus taati, jadi yang pertama, jangan sampai memukul. Yang kedua, jangan sampai mencaci maki, boleh marah tapi jangan sampai mencaci maki. Kalau mulai ada yang mencaci maki itu langsung harus diberikan bendera, engkau telah melewati batas, dan kalau engkau serius mau mempertahankan pernikahan ini, jangan ulangi lagi, stop lakukan itu. Nah jadi dua orang suami-istri itu harus benar-benar serius mau menegakkan aturan main itu. Kecenderungan kita, saya setuju Pak Gunawan kita ingin menyakiti pasangan kita dan kita pasti punya alasan kenapa dia harus disakiti, tetapi aturan main tetap ditegakkan sehingga akhirnya respek itu tidak dicemari, sebab begitu kita langgar respek langsung hilang. Kita tidak respek pada pasangan kita jadi dengan kata lain kita tidak akan respek dengan orang yang kita caci maki.
GS : Justru itu Pak Paul, bagaimana menimbulkan perasaan dalam diri kita dengan kesungguhan tentunya, kesadaran bahwa memang pasangan ini sesuatu yang berharga, yang patut diperlakukan dengan sangat istimewa.

PG : Nah prinsip yang kedua tadi Pak Gunawan memang tidak dengan otomatis menumbuhkan penghargaan, prinsip yang pertama tadi lebih dengan langsung menumbuhkan penghargaan yaitu mencari yang ositif dan memberikan terima kasih atas sumbangsihnya, atas apa yang dia perbuat untuk kita.

Yang kedua sebetulnya memang dengan langsung tidak menumbuhkan penghargaan, tapi prinsip yang kedua ini justru memelihara atau melindungi penghargaan. Sebab penghargaan bukan saja ditumbuhkan, tapi juga harus dilindungi, harus dijaga jangan sampai akhirnya tersapu bersih oleh tindakan kasar itu.
IR : Jadi penguasaan diri itu juga penting Pak Paul?

PG : Penting sekali, kita boleh marah prinsipnya jangan memarah-marahi, itu hal yang berbeda. Boleh marah, kadang kala kita memang ada kemarahan yang patut kita cetuskan, silakan katakan, tai prinsipnya jangan memarah-marahi.

GS : Selain rasa terima kasih dan penghargaan, apakah ada hal lain yang bisa dilakukan?

PG : Prinsip ketiga adalah saya akan berikan latar belakangnya dulu yaitu cinta terlihat jelas dalam perbandingan. Saya akan jelaskan yang saya maksud, cinta terlihat jelas dalam perbandinga, dalam pengertian sewaktu dibandingkan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Saya misalnya bisa berkata pada istri saya, saya sangat mencintaimu, saya tidak dapat hidup tanpa engkau, tapi kalau orang lain minta saya pergi, orang lain mengundang saya, nomor satu saya akan mendahulukan orang lain dan saya akan dengan mudah sekali mengesampingkan istri saya. Dia tidak akan melihat cinta saya, semua yang saya ucapkan kepada dia waktu kami berduaan tidak berdampak. Karena waktu dibandingkan dengan bagaimana saya memperlakukan orang lain ternyata dia dinomorduakan. Nah dengan pendahuluan itu saya memberikan prinsip ketiga, yakni mengorbankan kepentingan sendiri itu cinta, mengorbankan kepentingan pasangan kita itu menomorduakannya. Nah, sering kali ini yang kita lakukan, misalkan ada orang yang meminta sesuatu, kita menuruti permintaan orang, baik itu saudara kita, orang tua kita atau siapapun, pasangan kita di rumah akan kita tuntut untuk mengerti. Nah ini bukannya tidak boleh sama sekali, kadang kala itulah yang harus kita lakukan dan pasangan kita seyogyanya mengertilah. Namun kalau terus-menerus itu yang terjadi kita lebih mudah memberikan yang diminta orang lain akhirnya pasangan kita akan merasa dia dinomorduakan. Nah, kita bisa berkata saya sebetulnya menuruti kemauan orang saja, saya bukan menomorduakan engkau. Nah sebetulnya yang terjadi adalah waktu kita menuruti kemauan orang atau permintaan orang sebetulnya kita sedang memenuhi kebutuhan kita sendiri, kepentingan kita sendiri. Yang kita korbankan kepentingan pasangan kita walaupun kita tidak melihatnya demikian, o.....saya hanya melakukannya demi orang lain, tapi supaya orang lain apa, supaya orang lain senang dengan kita, tetap menyukai kita. Jadi akhirnya kita memang menomorsatukan kepentingan kita, maka saya tegaskan mengorbankan kepentingan sendiri itulah cinta. Waktu orang lain misalnya tidak suka dengan kita karena kita mendahulukan pasangan kita, itu baru mengorbankan kepentingan sendiri. Yang sering kali kita lakukan kebalikannya kita justru menomorduakan atau mengorbankan kepentingan pasangan kita, supaya nama baik kita tetap terjaga.
GS : Mungkin dalam hal itu memang ada suatu perasaan, kalau pasangan kita lebih gampang mengerti kita daripada orang lain mengerti kita, itu Pak Paul?

PG : Betul sekali, itulah memang yang akhirnya menjadi dasar bagi kita menomorduakan kepentingan dia, karena toh mengerti. Namun ini masalahnya waktu itu kita lakukan cukup sering, itu akan engikis cinta kasih karena cinta sekali lagi akan terlihat dan muncul dengan jelas dalam wadah perbandingan.

Jika tidak ada perbandingan cinta itu benar-benar suram, kabur tidak nampak warnanya, namun waktu dibandingkan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain cinta itu terhadap pasangan kita baru muncul dengan begitu jelas.
IR : Itu mendatangkan kecemburuan ya Pak Paul?

PG : Bisa, bisa kecemburuan dari pasangan kita.

GS : Tapi saya rasa itu bukan hanya menyangkut orang lain Pak Paul, hobby kita pun bisa menggeser posisi pasangan kita.

PG : Bagus sekali contoh itu Pak Gunawan, bukankah itu yang sering terjadi hobby kita menjadi berhala, atau misalnya pekerjaan juga bisa.

GS : Berhala dalam hal ini istri kita yang terkalahkan. Tapi ini Pak Paul yang terjadi, sekalipun sudah porsinya kita katakan menurut ukuran si suami atau si istri dia sudah memberikan perhatiannya pada pasangannya tapi 'kan tidak mungkin 100%. Dia 'kan tetap pasangannya juga, harus tetap menyadari bahwa ada hal-hal lain di mana dia istilahnya harus dikalahkan. Nah dalam hal ini bagaimana Pak Paul mengkomunikasikannya?

PG : Jadi prinsipnya begini, kalau hubungan itu sudah kuat dan pasangan kita tahu bahwa kita mencintai dia karena wujud nyatanya sudah ada, dia tidak akan terus-menerus menuntut pembuktian iu, itu yang sering saya lihat.

Kalau terus menuntut pembuktian ini menunjukkan kekurangdewasaan pasangan kita, lama-lama memang kita harus batasi, kita harus sadarkan pasangan kita. Namun dalam pasangan yang memang sudah dewasa, seharusnyalah kalau dia sudah tahu kita mencintai dia dalam wujud nyata tadi bukan dengan kata-kata, dia tidak akan begitu kaku menuntutnya. Itu yang saya lihat juga hubungan saya dengan istri saya, kalau kami kuat dia tahu saya mencintai dia, dia tahu saya mendahulukan dia, adakalanya saya harus pergi sampai malam, adakalanya saya harus batalkan janji dengan dia gara-gara ada kepentingan yang lain, tidak pernah satu kalipun dia mengeluh. Namun kalau hubungan kami kurang baik sebab dia merasa saya mendahulukan yang lain atas dia, gangguan sekecil apapun yang seharusnya tidak mengganggu dia, mengganggu dia dengan besar, mengganggu dia dengan amat sangat. Sehingga dia tidak mau terima, waktu saya harus berkata maaf saya tidak bisa tepati janji saya atau maaf saya harus ke sana dulu, itu sangat mengganggu dia. Namun kalau tahu dia dinomorsatukan, sebetulnya pembuktian itu menjadi sangat tidak perlu untuk setiap kali kita lakukan, kadang kala saja begitu.
GS : Jadi segala sesuatu yang ditaburkan dengan cara-cara seperti itu tadi Pak Paul, jadi lewat ucapan terima kasih, penghargaan dalam bentuk perlakuan dan sebagainya. Nah itu sebenarnya hasilnya apa Pak Paul?

PG : Hasilnya adalah cinta kasih Pak Gunawan. Saya akan mendasarkan dan mengakhiri ini semua dengan pembacaan firman Tuhan, diambil dari Efesus 5:28 dan 29, "Siapa yang mengasihi istrinya megasihi dirinya sendiri, sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat."

Yang menarik di sini adalah Tuhan berkata siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Nah ini sebetulnya konsep kesatuan antara suami dan istri, jadi boleh juga kita balik siapa mengasihi suaminya mengasihi diri sendiri pula. Sebab memang suami dan istri dalam konsep Alkitab bersatu dan menjadi satu, ibarat sirup dan air yang sudah larut dan tak dapat lagi dipisahkan. Jadi barangsiapa mengasihi pasangannya, pasangannya yang sudah menyatu dengan dia adalah dirinya, jadi dia mengasihi dirinya. Nah Alkitab menjelaskan orang yang mengasihi pasangannya dalam hal ini menjadi dirinya sendiri dia akan mengasuh dan merawatnya. Kata mengasuh berasal dari arti kata memberikan makan, mencukupi gizi kebutuhan sehingga dapat bertumbuh sampai dewasa. Jadi memupuk, dengan cara apakah kita memupuknya, dengan cukup memberikan kasih sayang pada pasangan kita. Yang kedua merawati, merawati sebetulnya berasal dari satu kata memperlakukan dengan penuh kelembutan, jadi merawati benar-benar memperhatikan, menjaganya dengan penuh kelembutan. Nah ini tadi saya singgung memperlakukan pasangan kita dengan penuh kelembutan. Nah kata Tuhan dalam Alkitab orang yang mencukupi kebutuhan gizi cinta kasih pasangannya, orang yang memperlakukan pasangannya dengan penuh kelembutan itulah tanda-tanda orang yang mengasihi pasangannya. Dan saya setuju sekali kalau saya boleh tarik kalimat awalnya, siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri atau siapa yang mengasihi suaminya mengasihi dirinya sendiri. Sebab bukankah waktu kita mengasihi pasangan kita dan dia tahu dia dikasihi, yang diuntungkan siapa, kita sendiri. Kita makin dilimpahkan kasih sayang olehnya, makin dilayani, makin diperhatikan jadi benar-benar sebetulnya kembali lagi kepada kita, kita makin merasa dicintai oleh dia juga.
GS : Jadi memang sesuatu yang perlu ditaburkan di dalam hubungan suami-istri ini, supaya saatnya kita akan menuai sukacita. Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menabur Penghargaan Menuai Cinta. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 60 B

  1. Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri untuk membina hubungan cinta mereka...?


17. Mengatasi Konflik dalam Rumah Tangga


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T068A (File MP3 T068A)


Abstrak:

Konflik sudah menjadi suatu pengalaman bagi setiap keluarga, namun topik ini diangkat bagi kita pasangan Kristen untuk lebih dapat menghadapi atau mengatasi konflik itu sendiri. Baik penyebabnya apa dan penanggulangannya bagaimana.


Ringkasan:

Hampir kebanyakan konflik mempunyai satu tema yang serupa, yaitu bahwa kita merasa pasangan kita tidak lagi seperti yang kita harapkan atau dengan kata lain kalau saya gunakan satu kalimat kita berkta: "Engkau tidak hidup seperti yang aku harapkan."

Yang seharusnya dikomunikasikan untuk mengurangi tingkat konflik:

  1. Seyogyanya sebelum menikah, suami dan istri mulai membicarakan apa-apa yang diharapkan, sehingga harapan-harapan itu dikomunikasikan dan mulai untuk dicoba dipenuhi, kalau tidak bisa dipenuhi ya akan dicoba disesuaikan atau dikompromikan.

Ada dua jenis harapan :
  1. Harapan muncul dari yang disebut idealisme. Kita membawa harapan yang bersumber dari hal-hal yang kita memang semestinya kita dapati atau temukan dalam pernikahan. Contoh idealisme:

    1. Kita berkata seharusnya seorang suami berlaku seperti ini atau kita berkata seharusnya seorang istri bersikap seperti ini, ini adalah idealisme kita tentang apa yang seharusnya menjadi perilaku perbuatan atau sikap seorang suami atau istri.

    2. Konflik seharusnya diselesaikan malam ini juga

    3. Atau seharusnya anak-anak kita jadi anak yang membuahkan harapan.

  2. Kebutuhan, kebutuhan-kebutuhan emosional yang kita miliki sebetulnya memerlukan pemenuhan. Kita ingin dikasihi, ingin merasa dihargai atau kita ingin merasa penting, bisa melakukan atau memberikan sumbangsih kepada pasangan kita. Nah semua ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang kita bawa, jadi misalnya munculnya dalam bentuk kata-kata seperti misalnya seharusnyalah engkau tidak melukaiku.

Untuk mengatasi konflik yang sudah benar-benar muncul dalam hubungan suami-istri adalah sbb:

  1. Kita mesti menyadari bahwa konflik terjadi tatkala harapan berubah menjadi tuntutan. Maksud saya kita mesti mempelajari atau menyadari anatomi konflik itu sendiri. Yang jadi metode penyelesaiannya adalah Galatia 6:1, "Saudara-saudara kalaupun seorang kedapatan melakukan pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh yang lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan."
    Saya mau menerapkan konsep ini ke dalam keluarga, jadi maksud saya adalah pasangan kita atau anak kita bisa jatuh, bisa gagal memenuhi tuntutan kita. Nah apa yang perlu kita lakukan sewaktu kita menemukan pasangan atau anak kita bisa jatuh:

    1. Tuhan meminta kita harus memimpin orang itu ke jalan yang benar, istilah medisnya merestorasi, memulihkan atau mengembalikan ke keadaan semula. Tuhan meminta kita untuk meluruskan orang yang gagal hidupnya sesuatu dengan harapan yang kita minta darinya.

    2. Tuhan memberikan syaratnya, siapa yang boleh memimpin orang ke jalan yang benar. Tuhan berkata orang yang rohani, Galatia 5:22,23 yaitu orang yang mempunyai buah Roh misalnya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri serta ay. 25 "Jika kita hidup oleh Roh baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." Jadi orang yang rohani adalah orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mengatasi konflik dalam rumah tangga. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, namanya kehidupan bersama dalam rumah tangga dengan latar belakang yang berbeda, antara suami istri tentu terjadi konflik. Kadang-kadang muncul dan rasanya lebih mudah memunculkan konflik daripada mengatasinya. Kita mau berbincang-bincang pada kesempatan ini bagaimana mengatasi konflik karena hampir menjadi pengalaman bagi setiap keluarga. Namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu, apa sumber-sumber konflik atau penyebab konflik itu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kalau kita membicarakan sumber konflik, kita dapat menemukan daftar yang sangat panjang sekali. Tapi saya kira hampir atau kebanyakan konflik mempunyai satu tema yang serupa yaitu bahwa kita merasa pasangan kita tidak lagi seperti yang kita harapkan atau dengan kata lain kalau saya gunakan satu kalimat kita berkata "Engkau tidak hidup seperti yang aku harapkan".

Bentuknya, wujudnya bisa berbeda-beda, tapi saya kira salah satu akarnya adalah ini.
GS : Karena itu orang sering mengatakan berbeda pandangan atau berbeda pendapat Pak Paul, jadi berbeda pandangan dengan pasangan kita, pasangan kita memandang kita berbeda.

PG : Betul, nah itu kalau tentang perbedaan pandangan, saya kira lebih merupakan buahnya atau lebih merupakan wahananya, kendaraannya, tapi ujung-ujungnya selalu adalah engkau tidak seperti ang aku harapkan.

Misalkan kita berbeda pandang mau membeli rumah yang seperti apa misalnya kita berbeda pendapat, berdebat akhirnya bertengkar. Nah, saya kira di dalam perdebatan tersebut ada satu tema yang tersembunyi yaitu engkau tidak seperti yang aku harapkan, kalau engkau seperti yang aku harapkan maka engkau akan...., misalnya engkau akan bisa mengerti masalah ini seperti aku mengertinya. Engkau akan mempunyai nilai seperti nilai aku dan sebagainya.
GS : Tapi biasanya bukan hal yang sangat prinsip, tapi kenapa bisa menimbulkan konflik yang berkepanjangan?

PG : Nah, biasanya kalau kita ini berbeda pandang sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit. Lama-lama kita akan membangun suatu persepsi bahwa pasangan kita itu tidak bisa bertemu dengan kit, memahami kita dan mulailah kita merasa frustrasi sewaktu belum berbicara dengan dia.

Jadi jangankan sudah berbicara, sebelum berbicara pun kita sudah membangun sikap atau reaksi bahwa percakapan ini akan berujung pada pertengkaran, akhirnya benar-benar terjadi pertengkaran karena sikap kita sudah mulai berjaga-jaga atau bersiap-siap untuk terlibat percekcokan, kita harus menjaga diri jangan sampai kita diserang olehnya.
GS : Atau mungkin harapan kita terhadap pasangan ini yang terlalu tinggi atau tidak pernah kita komunikasikan kepadanya.

PG : Nah, Pak Gunawan di sini memunculkan satu kata kunci yaitu harapan, jadi saya percaya setiap kita sewaktu menikah sebenarnya membawa suatu kantong yang berisi harapan. Harapan-harapan yng akhirnya kita embankan pada pasangan kita untuk dipenuhi olehnya.

Kita boleh menyadarinya, boleh tidak menyadarinya tapi yang pasti kita masuk ke pernikahan membawa harapan-harapan ini.
GS : Pasangan kita pun sama, Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Tapi apakah itu seharusnya dikomunikasikan untuk mengurangi tingkat konflik itu, Pak Paul?

PG : Seyogyanya sebelum menikah, suami dan istri itu mulai membicarakan apa-apa yang diharapkan, sehingga harapan-harapan itu dikomunikasikan dan mulai dicoba untuk dipenuhi, kalau tidak bis dipenuhi akan dicoba disesuaikan atau dikompromikan.

Memang kita tidak bisa membicarakan harapan dengan tuntas, tapi setidak-tidaknya harus ada sebagian besar atau garis besar harapan yang telah terungkapkan. Yang berbahaya kalau harapan-harapan ini tidak pernah dibicarakan, karena ada anggapan tidak penting atau akan beres dengan sendirinya, nah terus melangsungkan pernikahan. Setelah menikah barulah muncul, karena harapan-harapan tersebut ternyata memang ada dan ternyata waktu tidak dipenuhi, kita merasa sangat jengkel.
IR : Kira-kira contoh konkretnya itu apa, Pak Paul?

PG : Saya membagi dua jenis harapan, Bu Ida, yang pertama adalah harapan itu muncul dari yang saya sebut idealisme. Kita membawa harapan yang bersumber dari hal-hal yang seharusnya memang kia dapati atau temukan dalam pernikahan yang disebut idealisme.

Contohnya apa, misalkan kita berkata seharusnyalah seorang suami berlaku seperti ini atau kita berkata seharusnyalah seorang istri bersikap seperti ini, nah itu adalah idealisme kita tentang apa yang seharusnya menjadi perbuatan atau sikap seorang suami atau istri. Yang lainnya lagi adalah konflik seharusnya diselesaikan malam itu juga, nah bagi kita yang sudah menikah bahwa hal itu tidak selalu bisa terwujud untuk membereskan konflik pada malam yang sama atau kita misalkan mempunyai idealisme terhadap anak-anak kita. Seharusnyalah anak-anak kita menjadi anak-anak yang membuahkan harapan dan ini yang kita bawa ke dalam pernikahan kita.
(2) GS : Yang melatarbelakangi timbulnya harapan seperti itu apa sebenarnya?

PG : Kalau idealisme itu bisa muncul sebagai sumber, yang jelas adalah dari idealisme orang tua kita sendiri misalnya. Maksudnya kita melihat inilah cara orang tua kita hidup misalnya Papa sngat 'knowing' Mama, kalau pulang selalu mengecup pipi Mama, kalau terlambat selalu menghubungi Mama melewati telepon.

Mama begitu sopan, hormat kepada Papa, kalau Papa sedang marah Mama tidak pernah menjawab, nah itu yang membentuk idealisme kita. Seharusnyalah Mama seperti ini, Papa seperti ini, nah itu kita bawa ke dalam pernikahan kita. Sumber lainnya lagi misalnya adalah tayangan-tayangan televisi atau film, tanpa disadari kita pun sangat dipengaruhi. Jadi seharusnyalah seperti ini, misalnya kita melihat dalam film tersebut si pria sangat dominan, semua tunduk pada kata-kata si ayah atau si suami. Nah waktu kita menikah, kita pun mempunyai anggapan seharusnya saya diperlakukan seperti itu pula. Nah kita juga mengharapkan hal tersebut terjadi dalam pernikahan kita, seharusnyalah suami istri bersaat teduh bersama di malam hari, kita juga mengharapkan hal itu terjadi dalam pernikahan kita. Jadi itulah kira-kira sumber-sumber yang membentuk idealisme kita.
GS : Selain idealisme, Pak Paul, apalagi sumber dari harapan itu?

PG : Yang lainnya lagi adalah kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan emosional yang kita miliki sebetulnya memerlukan pemenuhan, yang kita bawa dalam pernikahan kita sesungguhnya adalah kebutuhan.Kita ini ingin dikasihi, ingin merasa dihargai atau kita ingin merasa penting, bisa melakukan atau memberikan sumbangsih kepada pasangan kita.

Semua ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang kita bawa, jadi misalnya munculnya dalam bentuk kata-kata seperti misalnya "seharusnyalah engkau tidak melukaiku". Nah, sewaktu misalnya istri kita mengatakan hal yang melukai hati kita, kita bereaksi keras sekali, sebab apa, kita selalu mempunyai harapan tanpa kita sadari, istri kita itu seharusnyalah membangun kita, menguatkan kita. Kita ini lemah ada kekurangan dalam hal ini misalnya, seharusnyalah istri kita membangun, bukannya malah mengolok atau melukai kita. Waktu istri kita melukai hati kita, kita tidak terima, salah satu penyebabnya adalah karena ada harapan yang muncul dari kebutuhan itu, kebutuhan untuk dibangun, dikuatkan, bukan untuk dilukai. Nah, kira-kira kebutuhan-kebutuhan inilah yang seringkali muncul dalam pernikahan. Kalau kita berasal dari rumah tangga yang lebih berantakan atau lebih buruk, maka kita akan lebih mempunyai kebutuhan yang besar, kita kurang dikasihi, dianggap anak buangan, kita memasuki pernikahan dengan kebutuhan yang besar untuk dikasihi. Kalau kita dianggap anak buangan, kita juga menuntut agar pasangan kita menghargai kita, kata-kata yang sedikit menyinggung, kita anggap itu adalah kata-kata penghinaan, meskipun pasangan kita berkata saya tidak ada maksud menghina kamu, tetapi kita berkata kamu memang bermaksud menghina saya. Atau kita dibesarkan dalam keluarga yang susah sekali dan seringkali menjadi objek pelecehan, dianggap tidak ada apa-apanya, nah kebutuhan kita untuk dianggap orang penting juga sangat kuat. Jadi sewaktu pasangan kita melakukan hal-hal yang seolah-olah meremehkan kita, menganggap kita tidak penting, kita bereaksi dengan sangat kuat sekali. Itu harapan yang kita bawa, jadi semakin buruk masa lalu kita, biasanya harapan yang bersumber dari kebutuhan ini akan semakin besar pula.
GS : Kalau seandainya salah satu dari pasangan menekan baik idealismenya maupun kebutuhannya, tidak mungkin akan terjadi konflik, ya Pak Paul?

PG : Kalau bisa ditekan, saya kira akan sulit sekali untuk menekannya, karena kita ini orang yang butuh hidup mendekat idealisme. Kalau kita hidup kenyataannya sangat di bawah idealisme kita biasanya kita akan merasa sangat frustrasi.

Contoh yang mudah sekali, kita mengharapkan bahwa setelah menikah, kehidupan kita akan lebih baik daripada sebelum menikah secara ekonomi. Kemudian kita membangun keluarga, mulailah kita bisa membeli rumah, membeli kendaraan dan sebagainya. Kemudian ketika kita membangun kita mengalami kejatuhan, kita harus menjual mobil dan akhirnya harus menjual rumah dan mengontrak rumah, nah kalau kita terlalu jauh dari yang kita harapkan bisa sangat memukul kita. Kita hidup seperti ilusi, seperti mengalami kekecewaan yang berat sekali, jadi memang idealnya kita harus menerima fakta tersebut. Tapi bukankah sulit menelan kepahitan seperti itu, jadi sampai titik tertentu kita masih bisa mentoleransi, kalau idealisme itu tidak terwujud. Kalau terlalu jauh dari idealisme kita biasanya bergolak, melawan, memberontak karena tidak mau melawan fakta tersebut.
GS : Mungkin bentuk konfliknya yang beda Pak Paul, bukan konflik dengan pasangannya, tapi konflik dengan dirinya sendiri.

PG : Kalau hanya itu lebih lumayan, Pak Gunawan, tapi seringnya konflik dengan pasangan. Karena ketidakpuasan itu, tidak bisa tidak, akan kita lampiaskan pada pasangan kita. Dan adakalanya mmang pasangan kita juga mempunyai andil yang besar, contoh kasus yang tadi saya gambarkan, misalnya kejatuhan tersebut dikaitkan dengan keputusan bisnis suami kita yang kita anggap kurang bijaksana, kita misalkan tidak begitu menyetujuinya tapi tetap dia laksanakan, hasil akhirnya adalah kebangkrutan.

Nah, cenderungnya dalam kasus seperti itu kita menyalahkan pasangan kita dan tidak bisa tidak itu akan menimbulkan kemarahan yang tanpa putus-putus.
(3) GS : Lalu mengatasinya bagaimana, Pak Paul, kalau konflik itu memang betul-betul muncul di dalam hubungan suami istri?

PG : Yang pertama adalah kita harus menyadari bahwa konflik terjadi tatkala harapan berubah menjadi tuntutan. Jadi maksud kita harus mempelajari atau menyadari anatomi konflik itu sendiri. Knflik mulai muncul tatkala harapan berubah menjadi tuntutan.

Saya berikan kata-kata misalnya kita sebelumnya berkata engkau seharusnya, itu harapan, engkau seyogyanyalah begini, itu harapan, lama-lama kalau harapan itu tidak terpenuhi, yang muncul bukan lagi engkau seharusnya, yang muncul adalah engkau harus. Engkau seharusnyalah menelpon kalau kau pulangnya lebih malam, lama-lama kalau tidak ditelepon-telepon engkau harus menelepon saya. Kalau tidak telepon berarti engkau tidak peduli dengan saya, nah seperti itu. Jadi yang muncul setelah harapan adalah penekanan tuntutan tersebut, kita akan menekan pasangan kita atau kita menuntut pasangan kita untuk memberikan yang kita minta. Jadi biasanya anatominya yang pertama adalah ini dulu, perubahan harapan menjadi tuntutan. Setelah itu pasangan kita bereaksi, bereaksinya begini kita menuntut, waktu kita menuntut pasangan kita merasa kita tidak mengerti dia, jadi dari pihak dia, dia akan berkata engkau tidak mengerti aku. Misalnya dalam soal pulang terlambat, aku lupa, orang lupa mohon dimaklumi misalnya, nah engkau tidak mau mengerti aku maka meskipun aku sudah menjelaskan engkau masih memarahi aku, berarti engkau tidak mau mengertiku. Rasa tidak mengerti ini biasanya melahirkan kemarahan, jadi pasangan kita marah karena merasa kita kurang mengerti situasi dia, terlalu menuntut dia. Dia marah kita balas marah, karena kita menuntut dia tidak memberikan malah marah, dia marah karena merasa kita tidak mengerti situasi dia, terus menuntut, marah dibalas marah akhirnya terjadilah pertengkaran.
GS : Lalu bagaimana, Pak Paul, kalau sudah sama-sama marah, katakan seperti orang yang dikendalikan emosinya?

PG : Betul, pada waktu marah yang penting adalah kita menyadari bahwa sebetulnya kita marah akibat kita menganggap pasangan kita gagal memenuhi tuntutan kita dan yang satunya akan berkata kia gagal untuk mengerti dia.

Dan akhirnya kita menganggap kegagalan memenuhi tuntutan dan kegagalan mengerti sebagai suatu pelanggaran. Kita akan masuk ke Firman Tuhan, Pak Gunawan untuk melihat metode penyelesaiannya. Saya akan membuka Galatia 6:1, "Saudara-saudara kalaupun seorang kedapatan melakukan pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh yang lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan." Kata pelanggaran yang digunakan di sini sebetulnya berarti jatuh atau langkah yang salah, memang dalam konteks Galatia 6 ini yang sedang dibicarakan Paulus adalah kejatuhan ke dalam dosa. Namun saya mau menerapkan konsep ini ke dalam keluarga pula, jadi maksud saya adalah pasangan kita atau anak kita bisa jatuh, bisa gagal memenuhi tuntutan kita. Nah apa yang kita lakukan sewaktu kita menemukan pasangan atau anak kita jatuh, gagal memenuhi tuntutan atau harapan kita. Yang pertama adalah Tuhan tidak memerintahkan kepada kita untuk memarah-marahi pasangan kita atau anak kita. Firman Tuhan meminta kita harus memimpin orang itu ke jalan yang benar. Kata memimpin ke jalan yang benar sebetulnya berasal dari istilah medis dalam bahasa aslinya, istilah medis yang dapat diterjemahkan adalah merestorasi, memulihkan, atau mengembalikan ke keadaan semula. Istilah medis sesungguhnya meluruskan tulang yang patah, jadi Tuhan meminta kita untuk meluruskan tulang yang patah itu atau orang yang gagal hidup sesuai dengan harapan yang kita minta darinya, jadi inilah langkah yang Tuhan minta. Berikutnya adalah Tuhan memberikan syaratnya, siapa yang boleh memimpin orang ke jalan yang benar. Tuhan berkata orang yang rohani, nah saya mengambil definisi orang yang rohani dari Galatia 5:22-23 yang kita juga sudah kenal, yaitu orang yang mempunyai buah Roh misalnya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri serta Galatia 5:25 "jika kita hidup oleh Roh baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." Jadi maksud orang yang rohani, orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh.
IR : Jadi sangat sulit ya Pak Paul, dan tidak mungkin dilakukan oleh orang yang belum mengenal Tuhan.

PG : Betul, orang yang belum mengenal Tuhan saya kira akan kesulitan untuk mempunyai kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus.

GS : Dan itu kalau tadi Pak Paul singgung buah-buah Roh, di sana ada kelemahlembutan. Biasanya memang di dalam pertengkaran kalau ada salah satu yang mulai bersikap lemah lembut, konflik itu akan cepat diredakan, daripada berdua sama-sama keras.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi Tuhan menambahkan syarat perawatannya yang dilakukan dalam roh lemah lembut, bukankah tulang yang retak kalau kita perlakukan dengan kasar malah patah. Jai orang yang dalam keadaan gagal atau jatuh kita marah-marahi atau perlakukan dengan kasar, biasanya makin patah.

Termasuk pasangan atau bahkan anak-anak kita sama, waktu mereka jatuh kalau kita kasari makin patah. Kenapa Tuhan meminta lemah lembut, karena kita harus menyadari kita pun sama-sama rawannya, jadi Tuhan berkata jangan sampai. Jadi sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan. Ada satu contoh yang bagus sekali, Pak Gunawan dan Ibu Ida, beberapa waktu yang lalu saya mencari-cari apa saya lupa barang saya ketinggalan, saya tanya anak saya, istri saya, tidak ada yang tahu. Saya punya anggapan kalau sampai barang saya hilang, pasti lupa menaruh di situ lagi sebab saya orangnya hati-hati dengan barang saya. Saya tanya-tanya tidak ada yang melihat, tapi dalam hati saya langsung menuduh pasti mereka ada yang memakai, tiba-tiba saya pegang kantong saya ternyata barang yang saya cari ada di situ.
GS : Kalau kita terburu untuk marah, yang lain pun akan marah, ya Pak Paul?

PG : Yang lainnya pun menjadi marah karena tidak merasa melakukan itu, tapi dituduh melakukan itu. Jadi di situ saya diingatkan Tuhan, kamu harus berhati-hati menuduh orang sebab kamu pun tiak luput dari kesalahan yang sama.

Saya kadang-kadang memang sedikit jengkel karena istri saya kalau menaruh barang suka lupa. Jadi kalau dia bertanya mana ini saya, dulu saya ikut jengkel karena saya ikut-ikutan mencari lama-lama akhirnya saya tidak ikut mencari sebab sudah terlalu biasa barangnya hilang berikan waktu beberapa menit nanti dia akan temukan lagi, jadi saya tahu saya orangnya berhati-hati, tidak mungkin hilang. Jadi waktu ada yang hilang saya menuduh orang lain yang menghilangkan, padahal saya sendiri yang salah menaruhnya.
GS : Memang sesuai dengan tadi yang dibacakan Pak Paul dari Alkitab bagaimana memperagakan kelemahlembutan dalam kehidupan keluarga untuk mengurangi pertengkaran dalam hubungan suami istri.

PG : Betul, Pak Gunawan, dan memang Tuhan meminta orang yang rohani, maksudnya orang yang lebih baik. Kalau kita ditegur oleh orang yang sama-sama banyak salahnya atau sering kali juga melakkan kesalahan yang serupa, kita tidak terima.

Justru kalau kita mempunyai kehidupan yang saleh, yang rohani, pasangan kita juga akhirnya lebih bisa mendengar teguran atau masukan, sehingga pertengkaran lebih bisa dihindarkan.
GS : Jadi memang pertengkaran boleh saja terjadi, kalau tidak bisa itu bukan berarti harus berlarut-larut dibiarkan, karena Tuhan sudah memberikan kemampuan kepada kita melalui Roh-Nya yang Kudus untuk bersikap lemah lembut pada pasangan kita.

Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang mengatasi konflik dalam rumah tangga. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



18. Hidup dengan Pasangan yang Tidak Seiman


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T068B (File MP3 T068B)


Abstrak:

Ada banyak contoh konflik yang terjadi di dalam pasangan yang tidak seiman, namun di sini juga diuraikan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap pasangan yang belum seiman, sesuai dengan firman Tuhan.


Ringkasan:

Menikah dengan pasangan yang tidak seiman memang seringkali menjadi dilema dan tidak jarang malahan menimbulkan konflik dalam rumah tangga. I Petrus 3:1-7 memberikan kita petunjuk bagaimana harus bersikap pada pasangan kita yang tidak seiman, di sini memang yang dibicarakan adalah tentang suami yang tidak beriman dan istrinya yang beriman. Yang dinasihatkan rasul Petrus adalah

  1. "Demikian juga kamu hai istri-istri tunduklah kepada suamimu." Ayat 7 dikatakan "Juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia." Dengan kata lain tunaikan kewajibanmu baik sebagai istri maupun sebagai suami. Kalau engkau suami, istrimu misalkan adalah bukan orang yang percaya pada Tuhan Yesus, Tuhan meminta si suami tetap menghormati si istri. Efesus 5, kasihilah istrimu, hormatilah suamimu, ini yang Tuhan minta.

  2. Prinsip kedua adalah hematlah dengan kata-kata. Alkitab berkata tanpa satu kata pun engkau bisa memenangkan suamimu, dengan cara apa? Jangan melalui kata-kata. Bukankah kata-kata lebih sering memancing perdebatan. Firman Tuhan berkata: "Jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada firman Tuhan mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya."

  3. Hiduplah dengan saleh.
    Ada hal yang saya tekankan :

    1. Pertama, adalah bahwa kehidupan kita harus lebih baik dari pada kehidupannya. Orang yang dikuasai roh Tuhan sewaktu bertengkar pun dia tidak kasar, atau dia akan lebih cepat meminta maaf atau dia akan lebih dulu berdamai.

    2. Kedua, pasal 3 : 4, "Tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah." Bagi istri nasihat Tuhan adalah pertahankanlah atau perlihatkanlah roh lemah lembut roh yang tidak kasar dan tenteram adalah roh yang tidak argumentatif. Bahasa Inggrisnya 'quiet spirit' yaitu jiwa yang tenang, yang tidak mau marah-marah, berdebat-debat, berdalih-dalih, bersitegang, bersilat lidah. Saya kira sebagai seorang wanita kalau dia bisa menjaga emosi dan lidahnya seperti ini itu menjadi suatu ciri kesalehan yang mengundang rasa kagum dan hormat dari suaminya.

Kalau suami orang yang beriman sementara istrinya tidak, firman Tuhan di ayat 7 mengatakan: "Demikian juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu sebagai kaum yang lebih lemah." Hidup dengan bijaksana dapat diterjemahkan hiduplah dengan penuh pengertian kepada istri sebagai kaum yang lebih lemah. Tuhan meminta agar suami memahami, mengerti istri, mengerti bahwa dia adalah kaum yang lemah. Wanita diibaratkan sebagai bejana yang mudah pecah, artinya mudah bereaksi secara emosional tatkala stres menimpanya. Cukup banyak wanita yang memang mengalami kesulitan dengan stress yang menekannya, kalau ada stres dia mungkin perlu marah, perlu menangis, dia perlu cetuskan. Stres masuk menggoyangkan dia dan goncangan itu terlihat dengan jelas, inilah yang dimaksud sebagai bejana yang mudah pecah, yang mudah retak. Jadi pria diminta Tuhan untuk mengerti, jangan dimarahi, jangan dibentak, jangan dihina-hina, justru suami perlu mengertinya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Hidup dengan Pasangan Yang Tidak Seiman. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada beberapa surat yang merupakan tanggapan dan sekaligus pertanyaan dari beberapa pendengar setia kita yang menanyakan, bagaimana kalau kami sudah terlanjur menikah dengan pasangan yang tidak seiman?

PG : Memang sering kali ini menjadi dilema dan tidak jarang menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Ada kasus-kasus yang seperti ini, Pak Gunawan dan Ibu Ida, yang satu Kristen sungguh-sungguh ahu apa yang menjadi kehendak Tuhan, yaitu Tuhan tidak menginginkan menikah dengan yang tidak seiman.

Tapi terlanjur cinta, lalu memudahkan masalah dan memilih tidak mentaati Tuhan, akhirnya menikah. Setelah menikah muncullah rasa bersalah karena dulu kenapa menikah dengan yang tidak seiman, karena adanya rasa bersalah kemudian yang percaya mulailah membujuk supaya yang tidak percaya ikut ke gereja, ikut berbakti dan sebagainya. Tapi masalahnya mereka berdua menikah dengan suatu kesepakatan dan pengertian memang mereka berdua tidak memiliki iman yang sama. Nah otomatis pihak yang satunya, yang tidak seiman merasa jengkel karena hal ini tidak pernah engkau persoalkan sebelumnya, engkau menerima aku apa adanya maka engkau bersedia menikahiku, sekarang sesudah menikah engkau malah memaksa aku untuk ikut ke gereja dan lain sebagainya. Tidak jarang ini membuahkan pertengkaran, nah waktu mulai bertengkar yang percaya makin frustrasi dan malah menuduh pasangannya tidak mau beriman kepada Tuhan dan sebagainya. Pihak yang satunya makin marah, akhirnya terjadilah pertengkaran atau yang satu kurang begitu mementingkan ibadah kepada Tuhan. Misalkan hari Minggu dia tidak merasa harus membawa anak-anaknya ke gereja, yang satunya merasa anak-anak harus dibawa ke Sekolah Minggu dan sebagainya karena mereka berdua berasal dari iman yang berbeda.
IR : Itu sangat kompleks sekali, Pak Paul, misalnya dalam perpuluhan juga mungkin menimbulkan pertengkaran. Di dalam kebiasaan mungkin yang satu sering PA, yang satunya tidak.

PG : Tepat sekali sebab bagi orang yang tidak percaya pada Tuhan Yesus, tidak masuk akal memberi 10% penghasilannya kepada Tuhan melalui gereja. Sebab yang ia lihat, uang itu diberikan kepada greja dan gereja memberikan uang itu kepada Pendeta, meskipun tidak semuanya kepada Pendeta.

Jadi orang ini bisa berkata buat apa diberikan orang, saya yang bekerja. Karena tidak mengerti konsep tentang persembahan ini atau tentang PA yang Ibu Ida katakan atau pelayanan sering kali memunculkan konflik. Sebab yang satunya bisa berkata engkau pelayanan membuang uang, membuang tenaga untuk menolong orang, untuk apa engkau tidak dapat apa-apa, tidak ada faedahnya sama sekali selain dari pengeluaran. Nah tidak bisa dimengerti oleh pasangannya, sehingga muncul konflik lagi dalam hal-hal seperti ini.
(1) GS : Katakan kondisinya sudah seperti itu Pak Paul, di pihak yang beriman apa yang harus dia lakukan?

PG : 1 Petrus 3:1-7 memberikan kita petunjuk bagaimana harus bersikap pada pasangan kita yang tidak seiman, di sini memang yang dibicarakan adalah tentang suami yang tidak beriman an istrinya yang beriman.

Rupanya inilah keadaan waktu Petrus menulis suratnya yaitu banyak istri yang mempunyai suami yang tidak beriman, para istri ini bertobat setelah menikah. Waktu mereka menikah dua-duanya bukan orang Kristen, tetapi dalam perjalanan pernikahan si istri itu akhirnya bertobat. Apa yang dinasehatkan oleh Rasul Petrus? Yang pertama dikatakan oleh Firman Tuhan,"Demikian juga kamu hai istri-istri tunduklah kepada suamimu". Di ayat yang ke-7 dikatakan,"Juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia". Dengan kata lain, saya menyimpulkan yang harus dilakukan adalah tunaikan kewajibanmu baik sebagai istri maupun sebagai suami. Kalau engkau suami, misalkan istrimu bukan orang yang percaya pada Tuhan Yesus, Tuhan meminta si suami tetap menghormati si istri. Atau tugas lain yang bisa kita baca di Efesus 5 kasihilah istrimu, itu tugas suami, otomatis Tuhan juga minta hormatilah suamimu. Jadi tunaikan kewajiban sebagai seorang istri, tunduk kepada suami, jangan sampai kita berkata "Oh..... suami saya bukan orang percaya, saya tidak harus lagi mencintainya atau menghormatinya". Tuhan tidak menginginkan hal itu, Tuhan menginginkan agar kita tetap menunaikan kewajiban kita sebagai istri maupun suami.
GS : Selanjutnya apa lagi yang disampaikan oleh Firman Tuhan, Pak Paul?

PG : Selanjutnya Firman Tuhan berkata jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman Tuhan, mereka tanpa perkataan juga dimenangkan oleh kelakuan istrinya jika mereka melihat bagaimanamurni dan salehnya hidup istri mereka itu.

Prinsip kedua, hematlah dengan kata-kata, Alkitab berkata atau berbunyi tanpa satu kata pun itu sebetulnya arti harafiahnya, tanpa satu katapun engkau bisa memenangkan suamimu dengan cara jangan melalui kata-kata. Dan bukankah kata-kata juga lebih sering memancing perdebatan. Misalnya saya kira begini-begini, pasangan kita berkata o..... tidak saya kira begini-begini, jadi akhirnya terjadilah perdebatan, dan perdebatan jarang sekali membawa orang mengenal Tuhan yang benar, sebab sifat kita manusia dalam perdebatan kita mau menang, kita tidak siap untuk melihat di mana kekurangan kita, kita ingin menang apapun caranya. Makanya Firman Tuhan berkata supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya, dan juga bisa kita tempatkan di sini, suaminya.
GS : Mungkin ada salah persepsi tentang memberitakan Injil, Pak Paul, jadi yang dikatakan dia tidak memarah-marahi suaminya tapi sedang memberitakan Injil itu yang dia gunakan?

PG : Kalau orang didengung-dengungkan Injil di rumah terus-menerus, justru saya kira reaksi yang akan diberikan jauh lebih negatif. Karena dia merasa dikuliahi, digurui, jadi orang itu tidak sua digurui atau dikuliahi, apalagi dikuliahi oleh pasangannya sendiri, oleh suaminya atau istrinya, makin susah dia mau menerima.

Jadi akibatnya justru menjadi bumerang, kata-kata itu tidak ada efeknya sama sekali, malah dipakai untuk menyerang kembali pasangannya.
IR : Mungkin ada nasihat lain, Pak Paul?

PG : Yang lainnya lagi, saya akan menggunakan ayat-ayat yang sama, jika mereka melihat bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu atau suami mereka itu. Dengan perkataan lain, yang ingn Tuhan tekankan adalah hiduplah dengan saleh, jadi yang pertama tunaikan kewajiban kita sebagai istri atau suami, yang kedua hemat dengan kata-kata, yang ketiga hiduplah dengan saleh.

Tentang hiduplah dengan saleh, yang saya ingin tekankan adalah bahwa kehidupan kita harus lebih baik daripada kehidupannya. Saya melihat berkali-kali, Pak Gunawan dan Ibu Ida, yang menamakan dirinya rohani, orang Kristen, kalau marah tidak bisa menahan diri misalnya, kalau marah mengumbar-umbar kemarahannya. Nah pasangannya yang tidak seiman akan sangat sulit sekali menerima berita Injil dari pasangan, dari istrinya misalnya karena dia melihat dia sering dimarahi. Dia melihat istrinya kalau marah kepada anak seperti ini, kalau marah kepada dia juga kasar, akhirnya dia makin tidak bisa terima. Jadi orang yang mau memberitakan Injil kepada pasangannya, hidupnya harus lebih baik dari orang yang tidak seiman itu, kalau tidak maka yang tidak seiman akan sulit menerima perkataan kita.
GS : Mungkin itulah sulitnya memberitakan Injil dalam rumah, Pak Paul, di mana pasangan kita itu melihat secara terus menerus kehidupan kita. Kalau kepada orang luar mungkin kita bisa berbicara yang baik-baik dan mereka belum tentu tahu pola tingkah laku kita di rumah atau di tempat lain.

PG : Betul sekali dan kita harus akui bahwa dalam rumah sering kali masalah itu bukanlah apa yang salah atau apa yang benar. Bukankah pertengkaran bisa muncul karena kesalahpahaman, perbedaan pndapat, jadi kita mengalami kesulitan untuk hidup 100% murni tidak bereaksi dengan marah pada pasangan kita, adakalanya tetap akan terjadi pertengkaran.

Namun saya kira, orang yang dewasa dalam Tuhan bisa menyelesaikan perselisihan dengan cara Tuhan. Ini berkaitan dengan yang tadi telah kita bahas yaitu bukankah Tuhan meminta kita untuk memimpin orang ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, jadi orang yang dikuasai oleh roh Tuhan ketika bertengkar dia tidak kasar. Pasangannya mungkin kasar, juga mungkin membela diri, tapi dia tidak kasar. Atau yang lainnya lagi dia akan lebih cepat meminta maaf atau dia akan lebih dahulu untuk berdamai. Sedangkan yang satunya lebih susah karena mempertahankan keangkuhannya, jadi secara realistik saya tidak berkata orang yang seperti ini tidak boleh marah sama sekali terhadap suaminya yang belum percaya, sudah tentu itu kadangkala terjadi. Tapi hiduplah dipimpin oleh roh misalkan marah cepat bereskan, tidak menyimpan dendam dan kalau marah tidak menggunakan kata-kata yang kasar. Hal-hal itu yang nanti akan dilihat oleh pasangannya dan itu yang lebih berbicara daripada perkataan-perkataannya.
GS : Bentuk atau wujud kehidupan saleh yang lain itu riilnya seperti apa, Pak Paul, supaya kita hidup lebih baik?

PG : Firman Tuhan menyambung di dalam pasal 3 ayat 4, "Tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut an tenteram, yang sangat berharga di mata Allah."

Bagi istri nasihat Tuhan adalah pertahankanlah atau perlihatkanlah roh lemah lembut dan tenteram. Artinya roh yang lemah lembut, roh yang tidak kasar dan yang kedua, roh yang tenteram berarti adalah roh yang tidak argumentatif. Bahasa Inggrisnya 'quiet spirit' yaitu jiwa yang tenang, tidak mau marah-marah, berdebat-debat, berdalih-dalih, bersitegang, bersilat lidah. Saya kira sebagai seorang wanita kalau dia bisa menjaga emosi dan lidahnya dapat menjadi suatu ciri kesalehan yang mengundang rasa kagum dan hormat dari suaminya. Saya kira kita ini sebagai pria, Pak Gunawan, bisa mengiakan bahwa bukankah membuat kita frustrasi kalau kita berbicara sesuatu kemudian istri kita memotong kemudian membalikkan, kemudian mengatakan kita tidak benar dengan begitu cepatnya. Saya kira sifat argumentatif ini perlu dikendalikan, dikurangi sehingga roh yang keluar adalah roh lemah lembut, roh yang diam, roh yang tenang, roh yang bersih. Saya kira inilah sifat saleh seorang wanita yang sangat berharga, baik di mata Tuhan maupun di mata suaminya.
GS : Bagaimana kalau terjadi yang sebaliknya, Pak Paul, yang suami orang yang beriman, istrinya tidak, tadi Pak Paul kutipkan ayat yang isinya untuk istri. Tapi kalau sekarang suaminya yang beriman?

PG : Nah Tuhan meminta kepada suami di ayat yang ke 7 ini "Demikian juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu sebagai kaum yang lebih lemah." Kata bijaksana sebetulny juga dapat diartikan pengertian, jadi hiduplah dengan bijaksana dapat diterjemahkan hiduplah dengan penuh pengertian kepada istri sebagai kaum yang lebih lemah.

Tuhan meminta agar suami memahami, mengerti istri bahwa dia adalah kaum yang lemah. Sebetulnya terjemahan aslinya adalah bejana, kalau kita ingat bejana, kita tahu bejana itu mudah pecah, tapi ada bejana yang kuat yang tidak mudah pecah, dan juga ada bejana yang mudah pecah. Di sini diibaratkan wanita adalah bejana yang mudah pecah, saya kira kebanyakan atau cukup banyak pria waktu melihat istrinya itu mudah pecah bukannya dia melindungi atau merawat malah dia dihina. Mudah pecah saya kira artinya mudah bereaksi secara emosional tatkala stres menimpanya. Cukup banyak wanita yang memang mengalami kesulitan dengan stres yang menekannya, kalau ada stres dia mungkin perlu marah, dia mungkin perlu menangis, dia perlu cetuskan. Sedangkan pria tidak begitu, pria menghadapi stress dia tekan, dia akan coba kendalikan dirinya supaya dia tidak terganggu oleh stress yang sedang menerpanya. Stres masuk menggoyangkan dia dan goncangan itu terlihat dengan jelas, nah inilah yang dimaksud sebagai bejana yang mudah pecah, yang mudah retak. Jadi pria diminta Tuhan untuk mengerti, yang saya khawatirkan kita-kita ini yang pria bukannya mengerti malah menghina, seolah-olah kita menganggap engkau begitu lemah, nah bukankah ini keluhan yang sering dilontarkan kepada istri. Kamu begitu lemah, yang Tuhan minta adalah justru memahami, mengerti bahwa memang dia wanita, dia adalah bejana yang mudah retak. Artinya dia memang mudah bereaksi seperti itu dengan emosional, jangan dimarahi, jangan dibentak, jangan dihina-hina, justru engkau perlu mengertinya seperti itu.
IR : Jadi kehidupan yang salah itu sangat memungkinkan untuk meruntuhkan rumah tangga?

PG : Betul, bukan sesuatu yang sepertinya di luar jangkauan kita, ya Bu Ida, dan bisa dilakukan. Bukankah suami bisa menjaga lidahnya untuk tidak ketus dalam membentak dan menghina si istri. Na waktu si suami bersikap seperti itu, si istri akan melihat kesalehan si suami, dia mengayomi, melindungi bukan malah menghina si istri karena kelemahannya.

GS : Ada pasangan yang mengambil sikap kalau memang mereka berbeda iman, maka mereka tidak membicarakan hal-hal yang menyentuh iman mereka. Bagaimana hal ini kalau menurut Pak Paul?

PG : Saya kira perbuatan itu mempunyai satu tujuan yaitu tidak memicu pertengkaran. Masalahnya adalah bukankah iman adalah sesuatu yang menempati bagian yang besar dalam kehidupan kita. Sebab kputusan, pikiran, reaksi itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai moral kita.

Dengan perkataan lain, orang yang hidup dengan kesadaran bahwa dia harus mempertanggungjawabkan, baik perkataan maupun perbuatan di hadapan Tuhan untuk hidup lebih berhati-hati. Orang yang berpikiran saya tidak harus mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan akan hidup dengan lebih sembarangan. Dengan perkataan lain, iman kepercayaan kita berpengaruh sangat besar sekali dalam kehidupan kita. Waktu kita mau menggunting bagian iman itu, yang saya khawatirkan dan sayangkan adalah kita akan menggunting suatu porsi kehidupan yang besar dari kehidupan kita. Dan kita akan kehilangan hidup kita yang begitu bermakna bagi kita.
GS : Tapi memang sulit, Pak Paul, kehidupan yang tidak seiman ini memang menjadi problem tersendiri di dalam rumah tangga, itu harus diakui, tidak perlu ditutup-tutupi ya?

PG : Betul, ini menjadi duri yang mereka harus senantiasa rasakan sakitnya karena tertusuk oleh duri itu. Jadi hal-hal lain yang mereka harus kerjakan tetap ada, tapi di samping itu sudah terseia duri ini.

Memang ada yang seperti Pak Gunawan katakan, ada yang akhirnya bersikap menoleransi dalam pengertian tidak membicarakannya lagi. Sebab kalau dibicarakan akan mengundang perasaan-perasaan yang mungkin akan menggetarkan, menggoncangkan kita kembali.
IR : Nah seseorang yang imannya belum dewasa mungkin mudah untuk mencari pasangan yang tidak seiman, Pak Paul?

PG : Biasanya begitu Bu Ida, jadi kalau kita memang tidak begitu mantap, tidak begitu berakar dalam iman Kristiani kita, kita cenderung menggampangkan masalah ini dengan berkata: "Dalam sema hal kami cocok, hanya soal iman dan kepercayaan tidak sama tapi buat apa kami persoalkan, nanti bisa selesai dengan sendirinya dan tidak mengganggu, sekarang saja tidak mengganggu".

Bagi saya tetap pada prinsip pertama yaitu kita perlu menaati Tuhan. Ini perintah bukan dicetuskan oleh manusia, bukan diminta oleh gereja atau pendeta, tertulis di dalam Firman Tuhan. Jadi kita lakukan atau tidak, itu bergantung pada kita mau menaati Firman Tuhan atau tidak.
IR : Biasanya terikut ya Pak Paul, kalau sudah menikah biasanya imannya lemah juga.

PG : Sering kali begitu, karena kita akhirnya dituntut untuk menyesuaikan diri, akhirnya tidak begitu berani untuk melakukan kegiatan-kegiatan rohani atau agamawi kita. Takut nanti menyinggung asangan kita, jadi akhirnya masalah rohani menjadi masalah yang kita pendam, yang kita kesampingkan dari kehidupan kita, sebetulnya itu sayang sekali.

Betapa indahnya kita bisa berdoa bersama, hal seperti itu merupakan harta karun. Kita sebagai orang Kristen tapi hal itu tidak bisa dilakukan. Jadi bagi saya merugikan diri sendiri, belum lagi kita ini tidak mentaati Tuhan.
(2) IR : Pak Paul, kalau pasangan Kristen dengan Katolik apa dapat dikatakan seiman?

PG : Bagi saya yang terpenting adalah keduanya sudah lahir baru, sungguh-sungguh sudah mencintai Tuhan, hidup untuk Tuhan Yesus dan mengerti bahwa mereka diselamatkan oleh anugerah Tuhan Yesus.Dan bagi saya kalau keduanya mempunyai kesamaan iman yang seperti itu, lahir baru, saya anggap mereka adalah anak-anak Tuhan Yesus.

Sebab saya tahu ada orang yang memang ke gereja Protestan, tapi hidupnya juga sangat tidak karuan.
GS : Memang bagi yang belum terlanjur tentu kita menganjurkan supaya mentaati Firman Tuhan yang tadi Pak Paul katakan tentang menikah dengan yang seiman, tetapi yang sudah terlanjur apapun alasannya Firman Tuhan dari surat 1 Petrus 3 itu merupakan pedoman bagi kita dan kita melihat bahwa contoh konkret perbuatan itu berbicara jauh lebih banyak dan jauh lebih kuat daripada kata-kata, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Jadi kita tentu perlu banyak berdoa untuk pasangan yang tidak seiman dan apapun yang terjadi di dalam kehidupan ini kita percaya bahwa Tuhan akan menolong kita. Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang suatu tema yang banyak dipertanyakan yaitu hidup dengan pasangan yang tidak seiman. Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



19. Menjadi Sahabat Buat Suami


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T074A (File MP3 T074A)


Abstrak:

Menjadi sahabat buat suami berarti siap mendampingi dan siap menjadi seorang yang melengkapi. Dan ada hal-hal yang sangat perlu untuk diperhatikan bagi seorang istri untuk dapat menjadi sahabat buat suami.


Ringkasan:

Pengertian sahabat adalah :

  1. Seseorang yang pertama-tama akan mendampingi.

  2. Seseorang yang akan melengkapi

Hal-hal yang dapat dilakukan seorang istri untuk bisa menjadi seorang sahabat buat suami, yaitu:

  1. Seorang istri harus mengerti suaminya, mengerti karena memang seorang suami pada umumnya memiliki keunikan-keunikan yang membedakan dia dari seorang wanita. Seorang istri perlu mengerti bahwa pria menghormati wanita yang stabil emosinya. Sebab di dunia pria seseorang yang terlalu dikuasai oleh emosi cenderung dijauhi dan tidak ditoleransi oleh sesama pria, bahkan bagi banyak pria seseorang yang menunjukkan emosi yang terlalu kuat menjadi seseorang yang menakutkan. Memang emosional sudah menjadi pembawaan bagi wanita, tapi wanita bisa melakukan hal:

    1. Wanita mengupayakan mengontrol emosinya sewaktu berbicara.

    2. Seorang wanita harus menyampaikan permintaannya dengan bahasa yang tepat. Pria peka terhadap tuntutan, jadi wanita minta dengan cara yang halus, sopan, dengan lemah lembut.

    3. Menyatakan dengan konkret

  2. Seorang istri perlu mengerti bahwa pria tidak siap dan tidak menyukai kejutan. Kejutan di sini adalah perubahan mendadak dari sesuatu yang sudah rutin pada umumnya. Pada umumnya pria menyukai hal-hal yang sudah bisa diantisipasi, hal-hal yang memang sudah terencana.

  3. Wanita perlu mengerti bahwa pria tidak menyukai problem dalam rumah. Ada dua alasan:

    1. Pria cenderung menganggap atau mengharapkan rumah sebagai tempat dia berteduh, tempat dia bisa keluar dari tempat pekerjaan, tempat di mana dia harus menghadapi problem.

    2. Pria adakalanya kurang begitu mahir menghadapi problem di rumah karena problem membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya.

    Dalam hal ini wanita harus bisa pandai-pandai bersikap tatkala ada problem dalam rumah, yang bisa dilakukannya adalah:

    1. Mengungkapkan masalah atau ketidakpuasannya dalam kemasan nada positif. Artinya dari pada kita berkata kamu begini, gara-gara inilah kamu begini lebih baik adalah saya kira ini perlu kita perbaiki agar hubungan kita bisa makin baik, msalnya.

    2. Hindarkan kata-kata tuduhan

    3. Fokuskan dampak persoalan pada diri kita bukan apa yang keliru atau yang salah dilakukannya.

  4. Wanita perlu mengerti bahwa pria mengharapkan istrinya menjadi sahabat dan itu berarti dia tidak meragukan pertimbangannya. Jadi maksudnya waktu berbeda pendapat jangan menyerang secara frontal. Dalam hal ini kalau misalnya istri tidak sependapat, istri bisa mengajukan beberapa pilihan untuk dipertimbangkan. Tentang sahabat, itu berarti istri membantunya untuk berhasil dalam usahanya, pria berharap si istri ini menolong dia tidak menghambat dia dalam kariernya. Pria juga mengharapkan istri menghormatinya di hadapan orang lain.

  5. Wanita harus mengerti bahwa pria menikmati seks sebagai kepuasan fisik dan menggunakan seks sebagai wadah penyataan kemesraannya. Memang pria sangat bahagia kalau si istri bisa berpartisipasi dalam hubungan seksual dengannya. Terimalah kemesraan seksualnya sebagai kemesraan romantis. Dan yang terakhir sedapatnya jangan menolak kebutuhan seksualnya, sebab penolakan atau ketidaksenangan ditafsirkan sebagai penghinaan bagi seorang pria.

Efesus 5:22, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Jadi intinya kalau mau jadi sahabat buat seorang suami yang terpenting benar-benar mencoba menghormati dia, pikirannya, permintaannya, keinginannya. Dan sewaktu si istri mulai mengedepankan keinginan si suami biasanya itu akan direspon secara positif oleh si suami.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Menjadi Sahabat Buat Suami. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Menjadi sahabat buat suami, tentunya kita akan mengarahkan pembicaraan kita terutama kepada ibu-ibu, ya Pak Paul. Sering kali ibu-ibu juga dituntut jadi sahabat buat anak, tetapi pengertian menjadi sahabat buat suami secara umum terlebih dahulu apa itu, Pak Paul?

PG : Sahabat adalah seseorang yang pertama-tama akan mendampingi dan yang kedua sahabat adalah seorang yang akan bisa melengkapi. Jadi kira-kira kita akan melihat dua hal ini dalam kelima hal yng bisa dilakukan seorang istri buat suaminya.

GS : Apakah itu tidak sama dengan salah satu peran yang dipercayakan oleh Tuhan kepada istri terhadap suaminya.

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan, jadi Tuhan memang memberikan peranan khusus kepada istri yaitu yang kita bisa lihat di kitab Kejadian bahwa istri itu akan menjadi seorang penolong yang sepadan agi suaminya.

Memang di Alkitab tidak dijabarkan apa maksudnya penolong, tapi saya kira melalui realita sehari-hari kita bisa menimba dan menyimpulkan beberapa hal yang bermanfaat bagi para istri untuk mendengarnya.
GS : Untuk bisa menolong, bisa menjadi sahabat, apa yang paling dituntut dari seorang istri itu, Pak Paul?

PG : Yang mendasari kelima hal yang akan kita bahas pada hari ini. Pertama-tama seorang istri harus mengerti suaminya, mengerti karena memang seorang suami pada umumnya memiliki keunikan-keunikn yang membedakan dia dari seorang wanita.

Nah, yang pertama adalah seorang istri perlu mengerti bahwa pria menghormati wanita yang stabil emosinya. Bagi pria ketidakstabilan emosi diidentikkan dengan kelemahan kepribadian. Pria ini berfungsi dalam dunia yang menuntut kestabilan emosi, menuntut rasionalitas, menuntut subjektifitas, yang menuntut seorang pria mengedepankan rasionya dan mengebelakangkan emosinya. Sebab di dunia pria, seseorang yang terlalu dikuasai oleh emosi, cenderung dijauhi dan tidak ditoleransi oleh sesama pria, bahkan bagi banyak pria seseorang yang menunjukkan emosi yang terlalu kuat menjadi seseorang yang menakutkan, sehingga reaksi pria pada umumnya adalah tidak mau dekat-dekat dengan sesama pria yang beremosi terlalu kuat. Saya kira persepsi ini atau standar ini dibawa oleh pria ke dalam rumah tangganya, sehingga pada umumnya pria akan berkeberatan kalau istrinya terlalu beremosi.
GS : Padahal sudah pembawaannya seorang wanita bahwa wanita itu emosional, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi memang akan ada usaha dari kedua belah pihak untuk menyesuaikan diri. Nah, wanita tidak bisa juga menyangkal kodratnya, tapi di pihak lain akan ada hal-hal yng bisa dilakukan oleh wanita, misalkan yang pertama adalah wanita perlu berupaya untuk mengontrol emosinya sewaktu berbicara.

Nah ini tidak berarti wanita sama sekali tidak boleh menunjukkan perasaannya atau emosinya yang kuat, tidak apa-apa. Namun yang lebih penting adalah kalau bisa pada waktu menunjukkan emosi, si istri juga mengemukakan alasan-alasannya yang seharusnya bersifat logis atau bersifat rasional. Jadi ucapan-ucapan seperti "pokoknya aku merasa begini", itu suatu pernyataan yang sukar diterima oleh seorang pria. Aku melihatnya begini, itu adalah suatu pernyataan yang susah dilihat oleh pria. Jadi sewaktu wanita mengemukakan argumennya, dia perlu mengemukakannya dengan rasional dan sebisanya mengontrol emosi sehingga tidak terlalu meledak-ledak atau meluap-luap, sebab pada umumnya pria akan menjauhi wanita yang beremosi tinggi. Yang kedua lagi adalah waktu seorang wanita ingin menyampaikan permintaannya, dia harus membahasakannya dengan tepat. Pria peka dengan yang namanya tuntutan, jadi sebaiknya waktu wanita minta sesuatu dia memintanya dengan cara yang halus, yang sopan karena pria cenderung bereaksi terhadap yang namanya tuntutan. Sampaikan permintaan itu dengan lemah lembut dan berikutnya adalah harus konkret, ada hal-hal yang bagi wanita sangat mudah dicerna contohnya adalah kasih. Wanita bisa meminta kepada pria tolong kasihi aku, tapi bagi pria kata kasihi aku, kata yang sangat abstrak, pria kurang mengerti hal yang seperti itu. Misalnya aku membutuhkan engkau di rumah, nah bagi seorang pria membutuhkan engkau di rumah artinya diam di rumah. Tapi bisa jadi yang diminta oleh wanita bukan secara fisik berada di situ, tapi yang dibutuhkan oleh si istri misalnya membantunya untuk menangani pelajaran anak-anak, membantunya dalam memasak atau bersama-sama berbicara, berbincang-bincang dan sebagainya. Nah itu yang dimaksud oleh wanita dengan aku meminta engkau untuk sering di rumah. Hal seperti ini perlu dikonkretkan, pria tidak begitu bisa memahami isi hati wanita yang bagi pria abstrak, oleh karena itu penting bagi seorang pria mendapatkan penjelasan-penjelasan yang konkret seperti ini.
IR : Tapi kenyataannya Pak Paul, kalau si istri itu terlalu emosional, si pria sering kali menjauhi, rasanya tidak suka dengan istri yang emosi.

PG : Sering kali pria menjauhi wanita yang beremosi tinggi. Pada masa berpacaran wanita mungkin berpikir o...pacarku tidak berkeberatan, kenyataannya adalah dia berkeberatan. Namun karena frekwnsi pertemuan itu tidak intensif, tidak ketemu setiap jam pada masa berpacaran, si pria tidak terlalu merasakan dampaknya.

Namun setelah dia serumah dan dia mulai melihat emosi si wanita yang turun naik, kecenderungannya adalah pria itu akan melarikan diri. Dia tidak sanggup menghadapi emosi yang begitu kuat, jadi daripada dia menghadapinya dan kewalahan, kecenderungan pria adalah menghindar. Ini yang sering kali menjadi pola, Pak Gunawan dan Ibu Ida, pola yang sering kali saya lihat dalam masalah-masalah pernikahan di mana si pria akhirnya menghindar dan si wanita mengejar. Mengejar agar si pria itu menemani dia, sabar menunggu dan menghadapi emosinya, si pria tidak bersedia, kebanyakan pria itu akan melarikan diri.
GS : Selain dari hal emosi, hal apa lagi yang perlu diperhatikan, Pak Paul?

PG : Seorang istri perlu mengerti bahwa pria tidak siap dan tidak menyukai kejutan, apa yang dimaksud dengan kejutan di sini. Kejutan adalah perubahan mendadak dari sesuatu yang sudah rutin, paa umumnya tidak semua pria seperti ini.

Pada umumnya pria menyukai hal-hal yang sudah bisa diantisipasi, hal-hal yang memang sudah terencana. Waktu si wanita misalnya dengan tiba-tiba berkata ada satu hal yang mengganggu saya, saya ingin bicara dengan kamu, bagi seorang pria pembicaraan itu sudah mengejutkan dia. Dia pulang ke rumah mengharapkan situasi rumah seperti kemarin, tiba-tiba si istri marah atau tiba-tiba si istri menangis, sedih. Nah sekali lagi itu adalah perubahan yang tidak diantisipasinya, bagi pria hal seperti ini membuat dia sangat-sangat tidak nyaman. Dalam ketidaknyamanan, pria cenderung mengkerut atau kalau boleh menggunakan istilah seperti keong, pria itu akan memasukkan kepalanya ke dalam rumah keong itu. Dengan perkataan lain, si pria tiba-tiba mematikan reaksinya, tidak mau meladeni si istri, malah bisa-bisa dalam kasus-kasus yang lebih ekstrim si pria ini akan bereaksi dengan kemarahan. Ia malah memaksa si wanita untuk tidak menceritakan atau tidak bicara lagi dan memaksanya untuk diam. Nah, kenapa pria cenderung berbuat seperti itu karena sekali lagi dia tidak begitu biasa, dia tidak begitu nyaman dengan perubahan mendadak. Pria mempunyai suatu kebutuhan yaitu kebutuhan untuk menguasai keadaan, mengontrol situasi. Sewaktu si istri tiba-tiba marah atau karena pelajaran anak tiba-tiba si istri mulai berteriak-teriak. Hal itu membuat suasana tidak terkontrol, pria tidak suka dengan yang namanya tidak terkendali. Dia berusaha menciptakan suasana yang terkendali. Jadi kalau saya boleh memberi masukan bagi para ibu di sini, jika ada masalah rencanakan waktu untuk berbicara dengannya, artinya jangan secara tiba-tiba langsung melontarkan problem itu di muka si pria dan memaksa dia untuk langsung menghadapi atau menjawabnya, jangan! Saran saya adalah katakan pada suami, "ada yang ingin saya bicarakan nanti malam apakah boleh." Atau kalau misalnya malam ini kurang begitu cocok kapan kita bisa berbicara. Saya membagikan pengalaman saya sendiri, Pak Gunawan dan Ibu Ida, istri saya mencoba memahami saya dalam hal ini tapi sekarang pun kalau istri saya berkata ada yang ingin dibicarakan nanti malam, saya sudah langsung memberikan reaksi menutup diri, jantung saya sudah mulai berdebar-debar dengan lebih cepat dan saya sudah membayangkan bahwa nanti malam akan ada pembicaraan yang serius, dan saya sudah takut, karena apa? Pembicaraan yang serius berarti, kemungkinan emosi akan keluar, kemungkinan ada pertengkaran atau perselisihan. Jadi meskipun istri saya sudah mencoba menghaluskan bahasanya dengan berkata "ada yang ingin saya bicarakan" dan dia tidak langsung mengutarakannya, tetap saya sudah bereaksi begitu. Nah, saya masih ingat sekali dulu ketika istri saya langsung mengeluarkan unek-uneknya tanpa saya siap untuk menghadapinya, kecenderungan saya adalah saya mengkerut, saya mendiamkan dia, saya tidak meladeni dia. Itu membuat dia tambah panas, tambah marah, akhirnya menjadi bertengkar. Kami menemukan cara yang lebih cocok untuk kami dan mudah-mudahan ini juga bisa diterima oleh para pendengar.
GS : Mungkin juga ada kekhawatiran dari kaum suami yaitu kalau menyadari adanya masalah secara tiba-tiba dan tidak siap dengan jawabannya, Pak Paul, itu cukup memalukan padahal kita menghindar untuk dipermalukan dengan cara seperti itu.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, pria ingin dilihat mampu atau sanggup, jadi sewaktu diperhadapkan dengan sesuatu yang tidak bisa dikuasainya dia menjadi sangat kewalahan. Dan dalam kewalahan ituia kurang bisa rasional, malah misalnya memaksa si wanita untuk diam atau malah menegaskan posisinya sebagai seorang suami.

Jadi si istri harus tunduk kepadanya.
IR : Pak Paul, memang kenyataannya seorang laki-laki itu demikian keras, bagaimana sikap seorang istri jikalau suaminya pada waktu ada masalah menghadapinya dengan marah. Apakah si istri itu bijaksana kalau masalahnya diatasi sendiri?

PG : Kalau ada hal-hal yang bisa diatasi sendiri dan memang tidak berkaitan langsung dengan si suami, saya kira tidak apa-apa. Jadi suami memang mempunyai batas-batas sampai seberapa jauh dia bsa mengatasi stres, kalau seorang istri menyadari bahwa inilah batas si suami.

Malam itu waktu suami pulang wajahnya sangat tegang, dia sangat letih atau istri mengetahui topik ini bisa langsung memicu kemarahan si suami. Saya kira si istri berhikmat kalau akhirnya memutuskan lebih baik tidak saya sampaikan dulu sekarang, mungkin nanti setelah beberapa hari situasi sudah reda dan waktunya sudah cocok baru saya sampaikan, saya kira itu hal yang baik, itu adalah hikmat. Karena apa? Karena satu hal yang perlu kita sadari yaitu suami tidak merasa berkewajiban mengetahui semua hal. Kadangkala ada satu kesalahfahaman di pihak kita yaitu saya harus memberitahukan semuanya, tidak. Sebab cukup umum bila pria berpikiran bahwa hal-hal rumah tangga itu adalah wewenang istri, hal-hal di luar yang berkaitan dengan pekerjaan dan sebagainya adalah wewenang saya atau tanggung jawab saya. Kalau misalkan si istri memutuskan biarlah untuk urusan ini atau urusan anak atau apa tidak perlu langsung memberitahukan kepada si suami, saya kira itu tidak apa-apa, bisa ditoleransi asalkan memang bukan dengan motivasi menutupi atau membohongi dan sebagainya. Jadi dalam pengertian memang mencari waktu yang lebih tepat dan ini memang bukan waktunya, saya kira itu bijaksana.
IR : Tidak apa-apa ya Pak Paul, jadi kalau masalah itu sudah selesai, sudah beres baru diceritakan.

PG : Boleh-boleh saja dan kebanyakan tidak keberatan, kecuali saat itu setelah kita ceritakan suami itu berkata: "Saya keberatan lain kali saya lebih mau diberitahukan dari awalnya". api kita atau saudara-saudara yang wanita bisa berkata: "Saya ini takut kalau saya bicarakan langsung reaksimu akan begitu keras, jadi bagaimana jalan keluarnya?" Nah kita meminta masukan dari dia supaya kita bisa menyampaikan kepada nya tanpa membuat dia misalnya lepas kendali, jadi kita bisa bicarakan.

Kalau dia berkata: "Ya tidak apa-apa, engkau beritahukan aku setelah semuanya ini selesai," ya berarti tidak apa-apa untuk lain kali pun kita bisa menggunakan metode yang sama.
GS : Jadi memang erat kaitannya, Pak Paul, bagaimana istri menjadi sahabat suami ini dalam arti memecahkan masalah dalam keluarga?

PG : Ya Pak Gunawan, jadi penting sekali si istri menjadi bagian dari pemecahan masalahnya. Ini berkaitan dengan point yang ketiga Pak Gunawan, yaitu wanita perlu mengerti bahwa pria tidak menykai problem dalam rumah.

Saya menggarisbawahi kata dalam rumah, sebab biasanya pria tidak berkeberatan dengan problem di luar rumah, di tempat pekerjaan dia akan menghadapi problem. Tapi waktu di rumah kecenderungannya adalah dia tidak begitu siap menghadapinya. Ada sekurang-kurangnya 2 alasan, pertama pria cenderung menganggap atau mengharapkan rumah sebagai tempat dia berteduh, rumah adalah tempat dia bisa keluar dari tempat pekerjaan, di mana dia harus menghadapi problem dan masuk ke tempat di mana dia tidak menghadapi problem. Jadi waktu dia harus menghadapi problem di rumah, cenderungnya pria itu kurang begitu mahir untuk memecahkannya. Dan yang kedua adalah kenapa pria adakalanya kurang begitu mahir menghadapi problem di rumah, karena problem membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Waktu si istri memunculkan masalah dengan dia, mengkritiknya, meminta dia bahwa dia kurang berlaku ini, dia kurang berbuat ini, si suami akan merasa bahwa ada yang kurang pada dirinya, ada yang perlu diperbaiki. Nah pria tidak suka dengan hal itu, pria cenderung menginginkan dirinya dilihat sanggup, mampu mengatur dan mengatasi semuanya. Sewaktu dia mendengar komentar-komentar seperti itu cenderungnya dia bersifat defensif atau membela diri.
GS : Bagaimana secara konkret, Pak Paul, wanita atau istri harus bersikap terhadap suaminya tatkala problem itu memang betul-betul ada?

PG : Yang pertama adalah dia bisa mengungkapkan masalah atau ketidakpuasannya dalam kemasan positif. Artinya daripada berkata kamu perlu begini, kamu begini memang, karena inilah kamu begini, nh itu kemasan negatif.

Kemasan positif adalah saya kira ini perlu kita perbaiki agar hubungan kita bisa makin baik, saya kira kita perlu melakukan ini agar...., nah jadi kita kemas dalam nada yang positif. Yang berikutnya hindarkan kata-kata tuduhan yang tadi sudah saya singgung, mengatakan bahwa suami itu begini, suami itu begitu, kamu memang begini, kamu seharusnya begitu, jadi kata-kata tuduhan cenderung memancing reaksi membela diri. Dan yang ketiga adalah fokuskan dampak persoalan itu pada diri saudara, bukan apa yang keliru atau yang salah dilakukannya. Jadi maksudnya daripada berkata engkau tidak melakukan ini, engkau begini-begini, nah lebih baik si istri berkata waktu engkau begini aku merasa begini. Contohnya waktu engkau pulang malam tidak menelponku dan aku sudah memintamu untuk menelponku, aku takut ada apa-apa denganmu dan membuatku khawatir, aku tidak bisa konsentrasi, aku tidak bisa mengajar anak-anak, aku tidak bisa memberi diriku pada anak-anak karena terus tegang memikirkan kamu, jadi tolong bantu aku dengan menelpon aku. Dengan perkataan lain, dia mencoba untuk tidak memfokuskan atau menyerang si suami, namun memfokuskan pada dampak perlakuan si suami terhadap dirinya.
GS : Saya rasa itu sulit buat istri atau wanita, kalau si suami yang menjadi sumber problem, Pak Paul?

PG : Kalau memang suaminya yang menjadi sumber problem, saya kira ceritanya akan sangat berbeda Pak Gunawan, jadi yang kita bicarakan adalah dalam pengertian ada niat baik dari kedua belah piha dan ada rasa kepedulian, cinta kasih yang tinggi antara dua belah pihak.

Kalau suaminya sudah menjadi problem misalnya disengaja ada perempuan lain, dia berjudi dan sebagainya, dia tidak bertanggung jawab main dengan teman-temannya, malam pulang dengan semaunya, saya kira dalam konteks seperti itu yang kita bicarakan tidak efektif.
GS : Memang di dalam persahabatan harus ada rasa timbal balik, baru terjalin persahabatan.

PG : Betul sekali.

IR : Bagaimana sikap istri untuk mendampingi suami, misalnya di dalam usaha atau di dalam pergaulan?

PG : Yang keempat, Bu Ida, wanita perlu mengerti bahwa pria mengharapkan istrinya menjadi sahabat dan sahabat berarti dia tidak meragukan pertimbangannya, jadi maksudnya apa? Waktu berbeda pendpat jangan menyerangnya secara frontal.

Kalau kita menyerangnya dengan frontal, kita seolah-olah tidak lagi percaya pada pertimbangannya. Kalau misalnya tidak setuju, saya anjurkan si istri misalnya mengajukan beberapa pilihan untuk dipertimbangkan, bagaimana kalau begini, bagaimana menurutmu kalau begini. Jadi berikan 2 atau 3 pilihan sehingga si suami bisa memikirkannya. Yang berikutnya tentang sahabat, sahabat berarti si istri membantunya untuk berhasil dalam usahanya, pria berharap si istri menolong dia, tidak menghambat dia dalam kariernya. Jadi misalkan untuk urusan pekerjaan jika tidak setuju saya sarankan si istri untuk meminta izin, boleh tidak istri memberikan pendapat dan tekankan bahwa ini untuk kepentingan dia bukan untuk kepentingan si istri. Jadi suami itu memang cenderung tidak suka kalau si istri seolah-olah mencampuri urusan pekerjaannya dan mengatur dia di tempat pekerjaan. Jadi ditanya boleh tidak istri memberikan pendapat dan tekankan ini untuk kebaikannya dan kebaikan usahanya setelah itu diam. Jangan memaksa si suami untuk menuruti pandangannya, sekali, dua kali mungkin si suami itu tidak menghiraukan. Mungkin dia percaya pandangannya lebih baik tapi setelah misalnya satu, dua kali ternyata si istri yang betul, kemungkinan besar untuk lain kali waktu si istri memberikan pandangan dia lebih bersedia untuk menerimanya. Pria cenderung berpikir dunia pekerjaan adalah dunianya, jadi dia yang mengerti. Dan yang terakhir tentang pekerjaan, sebagai sahabat buat si suami, istri diharapkan menghormatinya di hadapan orang lain. Nah ini penting, tadi Pak Gunawan sudah menyinggung bahwa pria peka dengan dipermalukan apalagi di depan orang lain. Jadi saya menghimbau kepada para istri jangan berselisih pendapat dengan suami di muka umum, itu memalukan si suami, kenapa? Sebab dia merasa dia kepala, waktu si istri seolah-olah di depan orang berselisih, tidak setuju dan mengatakan suami salah, itu memalukan dia sekali. Dan itu akan menghancurkan harga dirinya dan sering kali akhirnya membuahkan pembalasan dalam bentuk yang lain.
IR : Juga sebaliknya ya, Pak Paul?

PG : Jangan berbuat hal yang sama kepada si istri.

GS : Bagaimana dengan hubungan seks, Pak Paul, antara suami dan istri, juga berperan sebagai sahabat di sana?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi yang kelima adalah wanita harus mengerti bahwa pria menikmati seks sebagai kepuasan fisiknya dan menggunakan seks sebagai wadah penyataan kemesraannya. Jadi iarkan suami menikmati tubuh saudara dan ini tidak identik dengan memanfaatkan diri saudara, memang pria sangat bahagia kalau si istri bisa berpartisipasi dalam hubungan seksual dengannya.

Terimalah kemesraan seksualnya sebagai kemesraan romantis. Ada istri yang salah sangka, mengatakan, "Engkau hanya memakaiku sebab kalau tidak berhubungan engkau tidak begitu mesra". Pria kurang mampu menunjukkan kemesraan dan sering kali hanya bisa menunjukkan kemesraan dalam hubungan seksual, jadi terima sebagai kemesraan romantisnya. Dan yang terakhir sedapatnya jangan menolak kebutuhan seksualnya, sebab penolakan atau ketidaksenangan ditafsirkan sebagai penghinaan bagi seorang pria. Jadi kalau memang sungguh-sungguh tidak bisa, ya katakan apa adanya, namun sebisanya coba layani dia karena itulah yang membuat dia senang.
IR : Dalam hal ini perlukah si istri menawarkan diri terlebih dahulu?

PG : Saya kira memang kalau misalkan sudah ada jadwal tertentu ya beberapa hari sekali, nah si istri bisa bertanya apakah ini yang perlu dilakukan malam nanti. Saya kira sekali sekali hal itu embuat si suami merasa si istri juga membutuhkan, si istri juga menyenanginya sehingga bukan hanya dia sendiri yang meminta.

Itu akan membuat si suami merasa jauh lebih baik dan lebih senang.
GS : Itu merupakan suatu pengorbanan buat si istri untuk menjadi sahabat. Nah kita mau dengar apa yang firman Tuhan katakan.

PG : Saya akan bacakan dari Efesus 5:22, "Hai istri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.&uot; Jadi pada intinya kalau mau jadi sahabat buat seorang suami, yang terpenting benar-benar mencoba menghormati dia, pikirannya, permintaannya, keinginannya.

Dan sewaktu si istri mulai mengedepankan keinginan si suami, biasanya akan ditanggapi secara positif oleh si suami. Jadi mulailah mengedepankan dan menundukkan diri di hadapan suami.

GS : Jadi itulah pesan firman Tuhan yang tentunya sangat berguna bagi kita sekalian. Demikianlah tadi saudara-saudara pendengar Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Menjadi Sahabat Buat Suami, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami sampaikan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



20. Menjadi Sahabat Buat Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T074B (File MP3 T074B)


Abstrak:

Sebagaimana istri ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk dapat menjadi sahabat buat suami demikian juga suami. Untuk menjadi sahabat buat istri suami pun harus mengetahui beberapa hal sifat, karakter dan mengenai hal-hal apa yang dibutuhkan oleh seorang istri.


Ringkasan:

Hal-hal yang harus diketahui oleh seorang suami untuk bisa menjadi sahabat buat istri, yaitu:

  1. Seorang suami perlu mengerti bahwa wanita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan gejolak hormonalnya.
    Suasana hati, wanita dipengaruhi secara emosional, jadi apa yang terjadi di luar akan menggugah emosinya dan emosi itu akan berperan sangat besar dalam pertimbangannya, persepsinya, dalam bagaimana dia bereaksi terhadap apa yang sedang terjadi. Gejolak hormonalnya, setiap bulan wanita harus melewati menstruasi atau datangnya haid. Pada masa ini akan terjadi perubahan hormonal dan akan membawa perubahan dalam emosinya. Nah kadang kala pria salah sangka dan menganggap wanita memang tidak stabil, sebetulnya bukan tidak stabil dalam pengertian adanya kelemahan tapi memang wanita sangat dipengaruhi oleh suasana hatinya dan gejolak hormonalnya. Jadi yang harus dilakukan sebagai seorang pria adalah perlu memperhatikan bahasa tubuh istri artinya perhatikan gerak-geriknya, wajahnya, sikapnya apakah mulai berubah. Kalau kita melihat ada perubahan, kita harus menyesuaikan tindakan atau sikap atau kata-kata kita.

  2. Suami perlu mengerti bahwa wanita atau istri membutuhkan sentuhan fisik untuk membuatnya merasa dikasihi. Sentuhan yang lembut, yang sederhana tapi mengkomunikasikan perasaan cinta suami kepada istri.

  3. Pria perlu mengerti bahwa wanita senang diajak bicara karena hal ini membuatnya merasa penting dalam hidup si pria. Jadi bagi wanita tidak penting dia dilihat orang seperti apa tetapi dia ingin kepastian bahwa bagi suaminya dia adalah orang yang penting. Waktu dia merasa dia tidak penting bagi hidup si suami itu hal yang mencemaskan dan sangat menakutkannya.

  4. Suami perlu mengerti bahwa wanita sangat dipengaruhi oleh emosi sesaat dan mudah kehilangan keseimbangan rasional. Kadangkala istri akan mencetuskan kata-kata aku tidak suka denganmu, hati-hati agar kita sebagai pria tidak menginterpretasikan kata-kata itu secara kaku. Waktu wanita berkata demikian itu umumnya adalah emosi sesaat dan kita perlu ketahui bahwa cetusan emosi tidak sama dengan isi hati.

  5. Pria perlu mengerti bahwa pada umumnya waktu wanita bertanya ingin bicara dan kalau tidak hanya ingin bicara biasanya memang sungguh-sungguh ingin mendapatkan penjelasan dari si pria bukan berarti ia ingin menguasainya, mengatur hidupnya atau mempertanyakan keputusannya. Jadi saran saya adalah jangan mudah merasa defensif, marah, tersinggung karena istri bertanya, jawab seadanya.

  6. Pria perlu mengerti bahwa wanita melihat dunianya secara personal atau pribadi dan wanita ingin dinilai baik. Maksudnya jangan mengkritik wanita secara langsung apalagi kasar, karena wanita memang bersifat pribadi, mudah sekali sesuatu ditafsir sebagai serangan terhadap dirinya bahwa ada yang tidak baik tentang dirinya, bahwa dia bukan orang yang baik. Tidak layak, ada yang cacat itu sangat mudah melukai hati wanita.

Efesus 5:28, "Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri. Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri." Firman Tuhan dengan jelas meminta suami untuk mengasihi istrinya dan siapa yang mengasihi istri dia sahabat si istri.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Menjadi Sahabat Buat Istri. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita pernah memperbincangkan tentang suatu tema yaitu bagaimana menjadi sahabat buat suami. Nah tentunya persahabatan tidak bisa sepihak, walaupun istrinya mau bersahabat kalau suaminya menolak maka tidak terjadi persahabatan. Tetapi sebenarnya juga banyak para suami yang sungguh-sungguh mau menjadi sahabat buat istrinya, namun masih belum tahu apa yang harus dia lakukan. Jadi saya rasa pembicaraan ini pasti akan jadi berkat bagi kita sekalian, khususnya juga para pendengar. Menurut Pak Paul, apa sebenarnya yang harus diketahui seorang suami supaya dia bisa jadi sahabat buat istrinya?

PG : Sedikit memberikan tanggapan terhadap apa yang tadi Pak Gunawan katakan, sering kali wanita maupun pria melihat satu sama lain sebagai makhluk yang asing, makhluk yang tidak bisa dipahami,seharusnya masing-masing bisa memahami pasangannya.

Tapi untuk waktu-waktu yang lain suami misalnya menganggap cara berpikir si istri begitu lain, begitu aneh. Kebalikannya juga si wanita berprasangka si suami itu berpikiran begitu anehnya, kenapa dia sampai bisa berpikir seperti itu. Jadi saya setuju dengan komentar Pak Gunawan, bahwa ada orang-orang, suami ataupun istri yang sebetulnya dengan tulus berupaya untuk mengerti pasangannya tapi mengalami kesulitan. Mudah-mudahan ada 6 prinsip yang akan kita bagikan hari ini bisa menjadi berkat bagi rumah tangga kita semuanya. Yang pertama adalah seorang suami perlu mengerti bahwa wanita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan gejolak hormonalnya. Wanita memang mudah dipengaruhi secara emosional, apa yang terjadi di luar akan menggugah emosinya dan waktu emosi itu sudah tergugah akan berperan sangat besar dalam pertimbangannya, persepsinya, dalam bagaimana dia bereaksi terhadap apa yang sedang terjadi. Nah berikutnya wanita juga dipengaruhi oleh gejolak hormonalnya, setiap bulan wanita harus melewati yang kita sebut menstruasi atau datangnya haid. Pada masa ini akan terjadi perubahan hormonal dan akan membawa perubahan dalam emosinya. Pria tidak harus mengalami gejolak hormonal seperti ini, setiap bulan pria melewati hari-harinya dengan sama. Sedangkan wanita tidak sama, akan ada hal-hal yang membuat dia mudah terpancing dengan amarah, mudah bereaksi dengan kesedihan. Kadangkala pria salah sangka dan menganggap wanita tidak stabil. Sebetulnya bukan tidak stabil dalam pengertian adanya kelemahan, tapi memang wanita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan gejolak hormonalnya. Jadi yang harus kita lakukan sebagai seorang pria adalah perlu memperhatikan bahasa tubuh istri kita, artinya perhatikan gerak-geriknya, wajahnya, sikapnya, apakah mulai berubah. Sebab seharusnya terlihat dengan jelas, waktu pria melihat bahwa istri kita mulai berubah berarti ada yang mengganggunya. Kita harus menyesuaikan tindakan atau sikap atau kata-kata kita, jangan sampai kita seperti orang yang tidak bijaksana. Apapun perubahan yang terjadi pada diri istri tetap kita tabrak, tetap kita katakan yang mau kita katakan, tanpa harus memilih waktunya atau memilih kata-katanya. Jadi suami yang bijaksana, suami yang bisa melihat gerak-gerik istrinya dan mengetahui bahwa si istri dalam perasaan tertentu atau suasana hati tertentu.
GS : Dalam kondisi emosi yang tidak stabil atau susah, sebenarnya hal apa yang dibutuhkan oleh si wanita atau istri itu tadi, Pak Paul?

PG : Saya kira pada saat-saat seperti itu yang paling penting adalah si suami tidak membalasnya. Kalau si istri mulai beremosi, si suami membalasnya dengan emosi maka akan memperburuk keadaan aau jangan mendiamkannya.

Ada suami yang akhirnya karena takut lalu mendiamkan, justru tidak mau mengajak si istri berbicara itupun juga salah. Jadi yang harus dilakukannya adalah tetap berbicara seperti biasa, tapi lebih peka, suara jangan terlalu dinaikkan, gunakan kata-kata yang lebih lembut. Dengan perkataan lain, coba mengontrol suasana di luar agar kondusif, agar suasana di luar itu bisa lebih reda. Misalkan ada yang harus dicuci, piring-piring masih menumpuk dan si suami melihat, si istri mulai tegang, tawarkan diri untuk mencuci piring-piring tersebut. Atau si anak perlu perhatian tapi si istri mulai rasanya tegang, si suami bisa berkata apa bisa saya bantu, saya saja yang mengajaknya malam ini. Saya kira gerakan atau upaya si suami untuk menolong si istri akan menciptakan suasana yang teduh, yang bisa membawa si istri untuk lebih tenang.
GS : Ada yang mungkin tidak bisa diucapkan dengan kata-kata karena tadi Pak Paul katakan, emosi kalau dibahas dengan emosi akan terbakar sehingga jadi tidak baik. Apa kehadiran si suami secara fisik itu penting buat istri pada saat-saat seperti itu?

PG : Betul Pak Gunawan, ini adalah hal yang kedua yang perlu dipahami oleh seorang suami, bahwa istri atau wanita membutuhkan sentuhan fisik untuk membuatnya merasa dikasihi. Saya tahu ada wania yang tidak terlalu membutuhkan, tapi pada umumnya wanita membutuhkan sentuhan fisik.

Sentuhan bukan berarti dipegang-pegang, tetapi sentuhan yang lembut, yang sangat sederhana tapi mengkomunikasikan perasaan cinta si suami kepada si istri. Jadi saran saya misalnya jangan hanya menyentuh si istri tatkala waktu berhubungan seksual, kalau kita hanya menyentuh istri pada waktu hubungan seksual, tidak bisa tidak si istri akan merasa dipakai. Jangan sampai kita melakukan hanya pada saat itu saja, kita sentuh dia dalam suasana yang jauh lebih santai. Misalnya mau pergi, sedang lewat, sedang berpapasan, kita pegang tangannya atau sedikit memegang tubuhnya. Hal ini membuat si istri merasa bahwa kita bersama dengan dia dan tidak sendiri. Buat seorang wanita perasaan bersama atau kebersamaan adalah perasaan yang penting, waktu berjalan si suami tidak berjalan sendirian tapi berusaha memegangnya atau menyentuhnya. Ini membuat dia merasa adanya kontak yang membuat dia merasa dikasihi dan bersama-sama, hal-hal ini kecil bagi pria memang tidak ada artinya, tapi berarti besar bagi seorang wanita.
IR : Itu bukan berarti si istri manja ya, Pak Paul?

PG : Sama sekali bukan Bu Ida, jadi perempuan menghargai sentuhan-sentuhan kecil seperti itu dan sama sekali saya kira tidak berarti kekanak-kanakan atau manja.

GS : Kenapa kadang-kadang pria merasa canggung justru setelah dia menjadi suami yang sekarang jadi istrinya. Waktu berpacaran rasanya tidak ada kecanggungan, memegang pundaknya, memegang tangannya ketika berjalan. Tapi setelah jadi suami istri sekian tahun, pria itu menjadi canggung.

PG : Saya kira ada beberapa penyebabnya Pak Gunawan, yang pertama adalah pada masa berpacaran tidak bisa tidak sentuhan adalah sesuatu yang juga dinikmati oleh si pria, karena merupakan sesuatuyang baru dan biasanya memang menyenangkan.

Lama kelamaan dia terbiasa, waktu sudah terbiasa si pria tidak lagi merasakan gunanya. Sentuhan bagi seorang pria kebanyakan hanya bermakna sentuhan fisik, tapi bagi seorang wanita sentuhan berarti suatu pengkomunikasian cinta. Jadi sangat bersifat dalam dan emosional. Dengan perkataan lain, bagi pria yang sudah berkali-kali menyentuhnya ya sudahlah, hilanglah daya tariknya atau maknanya tapi tidak demikian dengan wanita. Yang juga umum kenapa pria akhirnya setelah menikah tidak langsung menyentuh si istri, pria biasanya berorientasi pada target. Dan dia tahu bahwa wanita senang dipegang, disentuh, dipeluk, pada masa berpacaran dia seperti sedang mencoba untuk mendapatkan targetnya, setelah dia mendapatkan dia merasa tidak perlu lagi mengeluarkan banyak energi untuk menyentuhnya seperti itu, karena sudah mendapatkan targetnya.
IR : Jadi harus dipelihara ya, Pak Paul?

PG : Betul Bu Ida, jadi jangan sampai pria melupakan bahwa setelah didapat ya sudah, boleh disia-siakan.

GS : Bagaimana halnya dengan komunikasi suami istri Pak Paul, supaya suami bisa menjadi sahabat bagi istrinya?

PG : Si pria perlu mengerti bahwa wanita senang diajak bicara karena hal ini membuatnya merasa penting dalam hidup si pria. Jadi bagi wanita tidak penting dia dilihat orang seperti apa, tetapi ia ingin kepastian bahwa bagi suaminya dia adalah orang yang penting.

Waktu dia merasa dia tidak penting bagi hidup si suami, hal itu yang mencemaskan dan sangat menakutkannya. Jadi saran saya, misalnya pilih waktu yang santai sekurangnya seminggu sekali untuk berbincang-bincang dengan cukup panjang, kalau bisa lebih banyak. Tapi misalnya kalau sibuk sekali sediakan waktu seminggu sekali untuk bisa pergi berdua dan bisa bercakap-cakap dengan bebas tanpa anak, tanpa orang lain. Atau misalkan seorang suami berkata o... saya tidak pandai bicara, bagaimana ini, saya sarankan kalau tidak bisa berbicara banyak, ajukan pertanyaan. Tanyakan tentang kegiatannya hari itu, tentang anak-anak hari ini dan hal-hal rutin lainnya. Saya berikan contoh yang sedikit memalukan saya, Pak Gunawan dan Ibu Ida. Beberapa waktu yang lalu saya mulai bertanya kepada istri saya, "Apa kabar kamu hari ini", waktu saya bertanya itu saya kaget ternyata bertahun-tahun saya tidak pernah bertanya itu. Saya menganggap sudah mengetahui bagaimana keadaannya setiap hari, ya sudah tidak perlu ditanya lagi, tapi waktu saya bertanya saya diingatkan ini adalah pertanyaan yang menyenangkan dia. Nah, biasanya waktu saya tanyakan itu, dia bercerita tadi begini, tadi begitu, tadi si anak begini, tadi si itu begitu, nah yang dibutuhkan sekali lagi oleh istri adalah jalinan kontak. Waktu dia bisa berbicara dengan suaminya, dia merasa dia tidak tertinggal, tidak dikeluarkan dari kehidupan suaminya, dia tetap bersama suaminya sehingga ada kontak-kontak emosional itu. Nah, wanita sangat mendambakan jalinan atau kontak-kontak emosional seperti ini.
IR : Itu bisa diluangkan waktu pagi hari, kalau jalan pagi atau sore sesudah makan, di halaman atau di ruang tamu berbincang-bincang, itu memang harapan setiap istri, Pak Paul.

PG : Tepat sekali, Bu Ida dan ternyata tidak terlalu susah, jalan pagi sama-sama atau berduaan sore-sore, atau berdua bercakap-cakap tidak terlalu susah kalau mau dilakukan.

IR : Akhirnya bisa jadi kebiasaan ya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, dan saya lihat akhirnya waktu si suami bisa memberikan meskipun tidak banyak seperti itu ya, hasilnya yang akan dia petik justru sangat besar. Si istri merasa disayangi dan aan membalas dengan lebih banyak cinta kasih kepada si suami.

GS : Ada hal lain Pak Paul yang perlu dipahami oleh suami?

PG : Seorang suami perlu mengerti bahwa wanita sangat dipengaruhi oleh emosi sesaat dan mudah kehilangan keseimbangan rasional. Kadangkala si istri akan mencetuskan kata-kata "aku tidak sua denganmu", hati-hati agar kita sebagai pria tidak menginterpretasi kata-kata ini secara kaku.

Waktu wanita berkata demikian, pada umumnya itu adalah emosinya yang sesaat dan kita perlu ketahui bahwa cetusan emosi tidak sama dengan isi hati. Pria berbeda, pada umumnya pria baru mengeluarkan kata-kata yang negatif atau menyakitkan setelah dia merasakan itu untuk waktu yang lama, kalau wanita tidak. Jadi sebaliknya saya juga meminta kepada para wanita sebisanya hati-hati dengan kata-kata itu, sebab pria cenderung menafsir kata-kata itu secara permanen, selama-lamanya engkau tidak suka denganku. Misalnya contoh dengan hubungan seksual, waktu si istri tidak bersedia mungkin engkau tidak suka dan kalau engkau tidak suka berarti selama-lamanya engkau tidak suka. Nah pria perlu menyadari wanita dipengaruhi oleh emosi sesaat, dan yang sesaat tidak berarti selama-lamanya. Yang lainnya lagi yang harus dilakukan oleh si pria adalah menoleransi ketidakkonsistenan dan subjektifitas istrinya. Memang si istri mungkin akan berkata begini hari ini dan besok lain lagi, atau dia berpandangan cukup subjektif dan kurang melihat secara objektif. Saya sarankan kepada suami jangan permasalahkan hal itu, jangan misalkan menyerang si istri dan berkata "Engkau tidak konsisten, engkau terlalu subjektif", tidak perlu, hadapi saja dan beritahukan apa yang menurut si pria ini seharusnya dipikirkan atau dilakukan. Saran saya yang lainnya lagi adalah jika misalnya ada konflik, berikan penjelasan setelah emosi si wanita reda, namun sewaktu emosinya belum mereda tidak berarti si pria harus meninggalkan si istri, itu lebih memancing kemarahan. Biarkan duduk bersama-sama, dengarkan dulu sampai dia sudah tenang nanti disambung lagi. Atau si pria bisa berkata saya rasa tidak bisa kita teruskan sekarang, kita tunda dulu nanti kita lanjutkan. Nanti setelah dia tenang, si suami akan bisa bicara dengan lebih logis, jadi intinya jangan membalas emosi dengan emosi karena emosi mudah tersulut oleh emosi yang lainnya.
GS : Selain dalam hal emosi pria dituntut memahami tentang wanita dalam hal apa lagi, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah tentang bertanya, nah ini sering kali mengganggu pria. Wanita suka bertanya dan dianggap oleh pria, wanita ini ingin menguasainya, mengatur hidupnya atau mempertanyaan keputusannya.

Si pria perlu mengerti bahwa pada umumnya waktu wanita bertanya dia ingin bicara dan kalau tidak hanya ingin bicara biasanya adalah dia memang sungguh-sungguh tidak begitu mengerti dan dia ingin mendapatkan penjelasan dari si pria. Jadi jarang wanita yang sungguh-sungguh berminat atau berambisi untuk menguasai suaminya, kebanyakan hanya untuk bertanya karena tidak tahu atau hanya untuk bicara, jadi bisa terjadi percakapan karena itu dia bertanya-tanya. Saran saya adalah jangan mudah merasa defensif, marah, tersinggung kalau si istri bertanya, jawablah seadanya. Dan kalau kita tidak sempat menjawab kita bisa menjanjikan kesempatan yang lain, kita bisa berkata "sekarang aku lagi sibuk, sekarang aku lagi mengerjakan ini, bagaimana kalau nanti kuberikan jawabannya". Jadi janjikan kesempatan yang lain dan penuhi janji itu.
GS : Atau mungkin pertanyaan itu merupakan satu kebutuhan dari istri untuk memberikan rasa aman pada dirinya, cintanya berkali-kali ditanyakan, "kamu cinta saya?" Padahal dia mengetahui kalau masih dikasihi atau tetap dikasihi.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, tadi kita sudah singgung bahwa wanita bersikap sangat subjektif dan dipengaruhi oleh emosi sesaat, sesuatu itu tidak langsung dianggap permanen. Jadi bagi seorangwanita hari ini dia mengetahui kalau dikasihi, besok dia ingin diberikan jaminan lagi bahwa dia dikasihi.

Kalau pria tidak perlu, dia tahu si istri mencintai dia dan itu berlaku untuk selamanya, sedangkan wanita memerlukan peneguhan ulang. Sebab apa? Wanita dipengaruhi oleh emosi sesaat. Waktu dia melihat suaminya sedikit repot dan tidak begitu banyak bicara hari ini, itu sudah membuat si wanita merasa berbeda, ada yang tidak sama kemarin dan sekarang. Berarti saya harus tahu, apakah perasaan suamiku sama atau tidak, atau ada apa-apa dengan dia, aku harus memastikan, lalu bertanyalah si istri.
IR : Atau mungkin si istri dipengaruhi oleh kebiasaan laki-laki yang suka menyeleweng, Pak Paul?

PG : Saya kira itu betul Bu Ida, karena ini sering terjadi. Tapi saya kira ketakutan ini mempengaruhi hampir semua istri, jadi untuk berjaga-jaga jangan sampai tidak diketahui, akhirnya istri brtanya-tanya.

GS : Tapi kadang-kadang juga bukan pertanyaan Pak Paul, yang sering kali terjadi adalah menceritakan suatu hal yang sama itu berulang-ulang.

PG : Betul, jadi sekali lagi bagi wanita berbicara adalah hal yang memang merupakan kebutuhannya. Jadi berapa rasionalnya, berapa pentingnya itu memang nomor dua. Yang penting terjadilah percakpan karena itulah tujuan akhirnya.

Kalau pria berbicara biasanya untuk tujuan tertentu, untuk mencapai target. Sekali lagi kalau wanita tidak, bicara itu sendiri targetnya.
GS : Mungkin ada hal lain Pak Paul, yang masih perlu dipahami oleh pria?

PG : Yang terakhir Pak Gunawan dan Ibu Ida, pria perlu mengerti bahwa wanita melihat dunianya secara personal atau pribadi dan wanita ingin dinilai baik. Kalau tadi atau pada waktu yang lalu kia berdiskusi bahwa pria ingin dinilai sanggup, mampu, sedangkan wanita ingin dinilai baik.

Maksudnya jangan mengkritik wanita secara langsung apalagi kasar, karena wanita memang bersifat pribadi, mudah sekali sesuatu itu ditafsir sebagai serangan terhadap dirinya, bahwa ada yang tidak baik tentang dirinya, bahwa dia bukan orang yang baik. Tidak layak, ada yang cacat, itu sangat mudah melukai hati wanita. Jadi kritiklah dengan sangat hati-hati, kalau langsung menghujamkan kritikan dampaknya kebanyakan negatif. Berikutnya jangan membandingkan istri dengan orang lain, biasanya memancing kemarahan, karena sekali lagi bersifat pribadi berorientasi secara personal. Jadi waktu dia dibanding-bandingkan dia merasa dirinya jelek, ada orang yang lebih bagus maka dia merasa dipermalukan, karena orang lain dibandingkan lebih bagus daripadanya. Jadi hati-hati membandingkan istri dengan ibu atau saudara sendiri. Dan yang terakhir kalau kita ada ketidakpuasan, ungkapkan ketidakpuasan dengan lemah lembut dan yakinkan bahwa ini demi kebaikan relasi kita berdua. Kalau pria perlu diyakinkan untuk kebaikan si pria, wanita tidak. Wanita lebih peduli kalau kita katakan untuk kebaikan relasi kita berdua, sebab sekali lagi bagi wanita kebersamaan itu sangatlah penting. Jadi waktu dia tahu untuk kebaikan suami istri, dia akan lebih peka waktu mendengarkannya.
GS : Kalau kita pernah membicarakan pada waktu yang lalu mengenai menjadi sahabat buat suami, peran seks itu ada di sana, tetapi di sini tidak mengungkapkan sedikit tentang seks, sebenarnya apakah ada pengaruhnya atau tidak, Pak Paul?

PG : Sebetulnya tetap ada, suami yang menginginkan seks pada si istri biasanya tetap membuat si istri penting, menarik, tetap bergairah atau menggairahkan. Waktu suami tidak mau lagi berhubunga dan tidak lagi meminta, cenderung membuat si istri merasa dia sudah tidak lagi menggairahkan suaminya dan ini bisa menjadi kerikil.

Namun kalau si suami bisa memberikan hubungan seksual itu dengan teratur, meskipun tidak terlalu sering biasanya itu sangat memuaskan bagi si istri sebab kebutuhan seksual pria dan wanita tidak sama. Bagi wanita kebutuhan emosional berada di atas kebutuhan seksual, bagi pria pada umumnya kebutuhan seksual berada di atas kebutuhan emosionalnya.
GS : Sejauh ini Pak Paul, tentang hubungan atau topik di mana bisa menjadi sahabat buat istri, Firman Tuhan mengatakan apa?

PG : Saya akan bacakan dari Efesus 5:28, "Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri. Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri.&uot; Nah firman Tuhan dengan jelas meminta suami untuk mengasihi istrinya dan siapa yang mengasihi istri dia sahabat si istri.

Tadi yang telah kita bahas 6 hal tersebut merupakan contoh-contoh konkret bagaimana suami bisa mengasihi istrinya, misalkan tadi dengan sentuhan, kata-kata yang lembut, mengerti bahwa dia memang cenderung subjektif dan sebagainya. Itu adalah wujud cinta kasih dan waktu suami memberikan semua itu, istri melihat bahwa suami mengasihinya dan dia menganggap si suami sebagai sahabat ada di pihaknya.
IR : Dan itu menjadi contoh buat anak-anaknya, Pak Paul, anak-anaknya juga mencintai ibunya, misalnya kalau suami itu suka menyentuh, merangkul. Anaknya juga akan seperti itu pada ibunya.

PG : Saya setuju Ibu Ida, jadi anak-anak akan belajar banyak dari perilaku kita, waktu dia melihat hal-hal yang baik, dia juga akan mengikutinya. Dan itu adalah suatu investasi yang bagus bagi i anak, karena nanti dia akan memberikan itu kepada istrinya pula.

GS : Mungkin hanya dengan persahabatan yang kokoh, di mana Tuhan menjadi pemersatu keluarga yang sedang bertahan di tengah-tengah gempuran pencobaan dan sebagainya. Saya percaya sekali bahwa pembicaraan ini sangat bermanfaat bagi para pendengar kita.

Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Menjadi Sahabat Buat Istri, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami sampaikan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



21. Pria dan Romans


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T112A (File MP3 T112A)


Abstrak:

Romans adalah suatu peristiwa atau suatu tindakan yang memang mengandung unsur romantis yang membuat seseorang merasa diri itu sangat spesial dan dikasihi. Romans bagi wanita identik dengan seks bagi pria, jadi pria membutuhkan seks seperti wanita membutuhkan romans.


Ringkasan:

Roman adalah suatu peristiwa atau suatu tindakan yang memang mengandung unsur romantis yang membuat seseorang merasa diri itu sangat spesial dan dikasihi. Dalam hal ini istri kita merasa bahwa mereka itu sangat-sangat diperhatikan oleh kita dan sungguh-sungguh spesial di hati kita.

Apa itu roman, apa itu romantis, dan apa yang harus saya lakukan untuk menjadi romantis? Untuk memudahkannya saya akan memberikan pengibaratan. Yaitu roman bagi wanita identik dengan seks bagi pria. Jadi pria membutuhkan seks seperti wanita membutuhkan romans.

Romans dalam pernikahan sebenarnya bukanlah tonggak yang menyanggah berdirinya pernikahan. Yang menyanggah pernikahan kita adalah

  1. Iman kita pada Tuhan,
  2. Kasih kita pada pasangan kita
  3. Kepercayaan kita pada pasangan kita
  4. Respek kita pada dia

Roman diumpamakan seperti dekorasi yang membuat pernikahan itu indah, yang membuat rumah tangga itu menjadi sebuah rumah yang nyaman untuk kita huni.

Ada 3 saran khususnya bagi suami-suami adalah:

  1. Pria perlu memahami sebagaimana dia membutuhkan seks demikian pulalah istrinya membutuhkan roman dalam pernikahannya.

  2. Pria perlu menyadari bahwa seperti seks roman tidak harus diberikan terus-menerus namun harus diberikan secara tetap dan berkala. Yang diminta oleh wanita adalah secara berkala pria itu melakukan sesuatu yang romantis dan itu tidak harus setiap hari. Sama seperti seks bagi banyak pria, satu, dua tiga kali paling banyak dalam seminggu yang dibutuhkan oleh pria dan begitu pula dengan roman, wanita mungkin membutuhkan seminggu sekali atau dua kali yang penting teratur secara berkala.

  3. Penolakan atau sikap suami yang mengabaikan istri itu luar biasa dampaknya, itu akan membuat istri merasa tidak berharga.

Roman memang tidak penting bagi pria harus kita akui itu, tetapi kita mesti sadari itu penting dan bukankah istri kita bersedia melayani secara seksual, meskipun bagi istri hal itu tidaklah sepenting seperti untuk kita. Jadi memang itulah pernikahan masing-masing mengerjakan atau melakukan hal yang tidak terlalu penting bagi dirinya tapi penting untuk pasangannya.

Yang perlu dilakukan oleh seorang suami adalah:

  1. Pria harus melihat romans sebagai suatu tindakan tertentu yang dilakukan untuk istri, bukan sebagai sikap yang selalu ada pada setiap saat.

  2. Berikanlah pujian tentang keindahan istri kita dan bukan hanya karakternya. Misalkan matanya, rambutnya alisnya, waktu engkau pakai baju itu engkau tampak cantik, waktu engkau memakai perhiasan ini engkau tampak sangat cantik jadi tetap berikan pujian tentang keindahan istri kita secara jasmaniah pula.

Roman tidak hanya terdiri dari kata-kata yang mesra dan puitis, bisa dengan kata-kata : saya senang bisa berjalan denganmu, saya senang malam ini kita bisa berdua, hal seperti itu atau pelukan di pundak kemudian membisikkan sesuatu yaitu saya sayang padamu, tidak usah kata-kata yang terlalu muluk.

Roman manfaatnya sangat besar: yaitu hati yang terpenuhi menjadi hati yang tidak mudah menuntut dan tidak mudah tersulut, hati yang tidak terpenuhi menjadi hati yang mudah menuntut dan mudah tersulut. Maka dalam keluarga atau pernikahan yang terpenuhi, maka emosi tidak mudah tersulut, tuntutan lebih realistik.

Kidung Agung 4:1, "Lihatlah, cantik engkau manisku, sungguh cantik engkau bagaikan merpati matamu dibalik telekungmu." Tuhan mengizinkan bagian ini dicatat dalam Alkitab untuk juga mengemukakan sesuatu yang sangat manusiawi bahwa wanita membutuhkan roman.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bicang tentang "Pria dan Roman". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan topik yang saat ini akan kita bicarakan adalah pria dan roman, sebelum membicarakan hal ini saya juga harus mengadakan sebuah pengakuan bahwa ini adalah topik yang dimunculkan leh istri saya.

Dimunculkan karena istri saya berkata bahwa baru akhir-akhir ini saya yaitu suaminya ini, mulai sedikit mengerti tentang roman. Jadi kami terlibat dalam perbincangan mengenai hal ini, memang susah buat pria itu menjadi romantik dan sebagainya. Jadi saya kira topik ini mungkin bukan saja dialami oleh saya tapi juga oleh bagian besar pria, dan dalam konseling pun saya mendengar banyak masukan dari kaum istri yaitu suami mereka kurang romantis, sedangkan ini adalah hal yang dirindukan oleh para istri.
(1) GS : Tapi supaya lebih jelas Pak Paul, yang dimaksud dengan roman di sini apa Pak Paul?

PG : Nah, ini nanti yang akan kita bicarakan dengan lebih spesifik Pak Gunawan, sebab ada perbedaan antara yang dimaksud bersikap atau bersifat romantis dan memberikan roman. Untuk sekilas sajasaya akan memberikan definisi, roman itu adalah suatu peristiwa atau suatu tindakan yang memang mengandung unsur romantis yang membuat seseorang merasa diri sangat spesial dan dikasihi.

Jadi tindakan atau peristiwa yang membuat seseorang dalam hal ini istri kita, merasa bahwa mereka itu atau dia itu sangat diperhatikan oleh kita dan sungguh-sungguh spesial di hati kita.
GS : Bukankah di situ yang paling banyak terlibat adalah perasaan kita Pak Paul?

PG : Betul, jadi sudah tentu respons dari istri kita tatkala menerima perbuatan kita yang romantis ini ialah merasakan spesial, merasakan diri begitu berharga dan sudah tentu ini sangat membuatdia bersenang hati.

GS : Biasanya dalam pernikahan, memang hal-hal yang romantis itu agak kurang mendapatkan perhatian karena hal ini sudah dicurahkan pada waktu berpacaran dulu Pak Paul.

PG : Sering kali ini keluhan para ibu Pak Gunawan, yaitu mengapakah suami saya bisa romantis sebelum menikah, sedangkan setelah menikah suami saya berhenti romantis. Jawaban saya sebetulnya sedrhana sekali, yaitu bukankah pria itu romantis sewaktu berkunjung, sewaktu datang, pergi bersama dengan si istri.

Nah, masalahnya adalah setelah menikah suami tidak lagi berkunjung tapi tinggal serumah dengan si istri. Dengan kata lain si istri baru menyadari bahwa di luar satu atau dua jam itu si suami bukanlah seseorang yang seromantis di dalam kurun dua jam itu. Jadi memang pria bisa romantis untuk jangka waktu tertentu, kalau bersikap romantis secara terus-menerus itu yang rasanya tidak biasa atau tidak begitu mudah dilakukan oleh pria.
GS : Sering kali juga tindakan romantis ini dihubungkan dengan tindakan seksual, hubungan seks Pak?

PG : Nah, ini untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada kaum pria. Pria kebanyakan kesulitan memahami roman. Apa itu roman, apa itu romantis, apa yang harus saya lakukan untuk menjadi omantis.

Nah untuk memudahkan, saya akan memberikan pengibaratan dan ini merupakan keyakinan saya juga. Yaitu roman bagi wanita identik dengan seks bagi pria. Jadi pria membutuhkan seks seperti wanita membutuhkan roman. Roman tidak melulu seks dan memang terpisah dari seks, tindakan atau peristiwa yang dialami itu bisa saja tidak mengandung unsur seks sama sekali. Sedangkan seks juga bisa sangat terpisah dari roman, seks juga bisa hampa roman, seks bisa hampa tindakan-tindakan yang romantis jadi keduanya memang sering dikaitkan tapi padahal dua-duanya ini tidak harus bertalian.
(2) GS : Sebenarnya apakah fungsi roman di dalam pernikahan itu?

PG : Roman dalam pernikahan bukanlah tonggak yang menyanggah berdirinya pernikahan itu. Yang menyanggah pernikahan kita adalah nomor satu iman kita pada Tuhan, kasih kita pada pasangan kita, keercayaan kita pada pasangan kita, respek kita pada dia, itu adalah tiang-tiang penyangga.

Roman kalau boleh saya umpamakan seperti dekorasi yang membuat pernikahan itu indah, yang membuat rumah tangga itu menjadi sebuah rumah yang nyaman untuk kita huni. Dan saya juga ingin tekankan bahwa roman itu adalah sesuatu yang sangat penting dan sebetulnya satu-satunya relasi yang bisa dihuni oleh roman adalah relasi nikah. Sama seperti seks, seharusnya seks juga hanya boleh dilakukan dalam mahligai pernikahan, itu adalah suatu hak eksklusif dari orang yang telah menikah. Nah, saya kira roman juga sebetulnya sesuatu yang eksklusif dimiliki oleh orang yang menikah dan seharusnyalah itu selalu ada dalam pernikahan pula.
GS : Kalau tadi Pak Paul katakan bahwa roman itu adalah dekorasi dari suatu pernikahan, namun sering kali orang tidak terlalu memperhatikan pentingnya suatu dekorasi dianggap itu tidak harus ada, nah itu pula yang memang dikaitkan dalam kehidupan pernikahannya Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, tapi bukankah kita bisa mengakui bahwa rumah tanpa dekorasi luar biasa datar, tawar, hambar, benar-benar tidak ada selera untuk berdiam dalam rumah yang tidak ada dekorai.

Begitu pulalah dengan pernikahan yang hampa roman, pria akan mengalami kesulitan berada dalam pernikahan yang hampa seks dia akan merasa ini kok sangat-sangat datar, sangat hambar. Nah demikian pulalah bagi wanita, jikalau harus berdiam dalam pernikahan yang tanpa roman, dia akan merasakan pernikahan itu begitu hambar dan sama seperti pria dalam hal seks dan ini akan membuka peluang pada si istri untuk akhirnya tertarik kepada pria lain. Apalagi kalau dia bertemu dengan pria yang setidak-tidaknya pada permukaan bisa memberikan roman kepadanya. Kebutuhan untuk diromantiskan itu bisa dipenuhi oleh si pria tersebut. Jadi sekali lagi kehambaran itu suatu kondisi yang tidak sehat karena membuka peluang masuknya orang ketiga dalam pernikahan itu.
GS : Kalau begitu apakah Pak Paul punya saran untuk para suami yang mungkin kurang romantis sampai saat ini?

PG : Saya memikirkan ada 3 saran yang ingin saya berikan, yang pertama adalah pria perlu memahami sebagaimana dia membutuhkan seks demikian pulalah istrinya membutuhkan roman dalam pernikahannya. Nah ini benar-benar mesti dicamkan bahwa roman itu bukanlah sesuatu yang berupa pilihan, roman adalah kebutuhan bagi si istri sama seperti pria tidak bisa berkata bahwa seks itu adalah sebuah pilihan, kapan dia inginkan istrinya bisa berikan. Kalau istrinya tidak mau memberikan sampai 5, 6 tahun ya tidak apa-apa. Saya kira sebagian besar pria akan menolak hal seperti itu, jadi pria pertama-tama harus benar-benar mengakui dia membutuhkan seks dan istrinya membutuhkan roman sama pentingnya seks bagi dia dan roman bagi istrinya.

GS : Ya, katakan si suami ini memang tahu istrinya membutuhkan itu, tapi ada pula istri yang kurang suka Pak Paul dipeluk atau diperhatikan secara berlebihan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Tidak semua istri menyukai sentuhan-sentuhan, tapi nanti kita akan melihat bahwa roman bukan hanya terdiri dari sentuhan-sentuhan. Roman bisa berbentuk yang lain dan mungkin saja itulah yag diinginkan oleh istrinya.

GS : Ya mungkin ada kiat yang lain, yang Pak Paul ingin sampaikan?

PG : Yang kedua adalah pria perlu menyadari bahwa seperti seks, roman tidak harus diberikan terus-menerus namun harus diberikan secara tetap dan berkala. Nah, ini yang ingin saya garis bawahi Pk Gunawan, kita yang pria ini cenderung bingung dan takut dengan kata romantis.

Sebab kita tidak begitu tahu artinya romantis, bagaimana romantis dan kalau kita menganggap kita diharapkan untuk romantis terus-menerus saya kira itu menyulitkan sekali. Kita rasanya tidak mampu untuk romantis terus-menerus. Saya kira para bintang film di televisi atau di bioskop hanya melakonkan dalam lakon-lakon itu, saya menduga kemungkinan dalam kehidupan sehari-hari merekapun tidak seperti itu. Jadi marilah kita melihat secara realistik bahwa pria tidak mungkin atau sulit sekali bersikap romantis terus-menerus dan inilah yang harus disadari juga oleh wanita dan ternyata ini yang tidak diminta oleh wanita. Yang diminta oleh wanita adalah secara berkala pria itu melakukan sesuatu yang romantis dan ini tidak harus setiap hari. Sama seperti seks bagi kebanyakan pria satu, dua, tiga kali paling banyak dalam seminggu yang dibutuhkan oleh pria dan begitu pulalah dengan roman, wanita mungkin membutuhkannya seminggu sekali atau seminggu dua kali yang penting teratur secara berkala. Tidak harus terus-menerus, tidak harus si pria itu harus bersikap lemah lembut, romantis seperti di film dan itu memang tidak realistik.
GS : Kalau si istri itu sudah memberikan tanda-tanda bahwa dia ingin suaminya melakukan sesuatu yang romantis itu, lalu si suami masih tetap dengan kesibukannya, tidak menganggap kebutuhan istrinya itu, apa yang terjadi Pak Paul?

PG : Ini membawa kita ke prinsip yang ketiga atau saran yang ketiga bagaimana suami bisa romantis kepada istrinya. Ternyata penolakan atau sikap suami yang mengabaikan si istri itu luar biasa dmpaknya, itu akan membuat istrinya merasa tidak berharga.

Saya akan memberikan suatu perumpamaan, bagaimanakah perasaan kita yang pria tatkala kita ingin berhubungan seks dengan istri kita, tapi istri kita misalkan menolak bukankah kita yang pria akan merasa terhina, tidak berharga. Nah kira-kira itu jugalah yang dialami istri sewaktu dia meminta kita untuk memberikan roman kepadanya dan kita tidak mempedulikannya dia akan merasa tidak berharga.
GS : Kalau begitu tindakan konkret apa Pak Paul yang bisa dilakukan oleh seorang suami?

PG : Yang pertama adalah pria harus melihat roman sebagai suatu tindakan tertentu yang dilakukan untuk istri, bukan sebagai sikap yang selalu ada pada setiap saat. Jadi pikirkanlah roman sebaga suatu tindakan tertentu bukanlah sebagai sikap terus-menerus yang harus ada pada diri kita para pria ini.

Misalnya kita makan berdua, pilihlah makan di tengah suasana yang romantis. Nah suasana yang romantis itu memberikan nuansa roman atau jalan berdua, nah daripada jalan berdua di tempat-tempat yang terlalu ramai jalanlah berdua di tempat yang lebih sepi dan berpegangan tangan, nah itu suasana yang romantis. Yang lainnya lagi misalkan kita membelikan hadiah yang melambangkan sesuatu yang romantis pula, sesuatu yang sangat diinginkan oleh istri kita misalkan kalung atau pun giwang yang berbentuk hati atau apa, sesuatu yang memang melambangkan cinta. Sekali-sekali kita berikan itu, itu akan menampakkan kasih atau misalkan istri saya pernah berkata: "Pa, waktu kamu datang engkau mengajak saya duduk, engkau memegang tangan saya dan sebagainya, bagi saya itu menunjukkan sikap romantismu kepada saya." Nah, hal yang sangat sederhana seperti itu ternyata bisa mengkomunikasikan roman. Dan ini saran saya jika sampai kita kehabisan ide jangan sungkan dan malu untuk bertanya kepada istri kita, hal apa yang engkau inginkan yang bisa saya lakukan untukmu? Istri saya dan saya sekarang mencoba untuk pergi keluar makan siang sekurang-kurangnya satu minggu satu kali dan kami memilih tempat yang sedikit sepi agar kami bisa duduk berdua dalam suasana yang relatif romantis. Jadi tindakan itulah yang harus kita tekankan.
GS : Dalam hal ini memang kadang-kadang pria lebih banyak memainkan otaknya atau lebih menonjolkan pikirannya, sehingga merasa hal-hal seperti itu tidak usah terlalu sering dilakukan Pak Paul.

PG : Tidak penting bagi pria harus kita akui, tapi ya kita mesti sadari itu penting dan bukankah istri kita pun bersedia melayani kita secara seksual, meskipun bagi istri kita hal itu tidaklah epenting sepertinya untuk kita.

Jadi ya memang itulah pernikahan masing-masing mengerjakan atau melakukan hal yang tidak terlalu penting bagi dirinya tapi penting untuk pasanganya.
GS : Atau ada pria yang memang kaku dari sananya, jadi orang yang terlalu formal yang sulit untuk melakukan hal-hal seperti itu Pak Paul.

PG : Nah, justru ini yang saya ingin tekankan bahwa meskipun sedikit pria atau tidak banyak pria yang mampu untuk roman terus-menerus, tapi hampir semua pria saya yakin bisa memberikan roman keada istrinya, ini yang ingin saya tekankan.

Misalkan tadi saya sudah sarankan kita berjalan berdua, hal lain yang kita juga harus cermati ialah waktu kita bersama istri kita berilah perhatian penuh kepadanya. Artinya waktu kita duduk bersama dia makan kita lihat wajahnya, jangan kita hanya melihat piring makanan kita, atau melihat jendela atau orang lain lihatlah dia. Misalkan kita bertanya tentang idenya, pendapatnya, ceritakan sesuatu dan tanya apa yang dia pikirkan tentang hal itu, tanya apa yang dia ingin lakukan minggu depan atau apakah ada rencana, jadi benar-benar waktu kita berdua dengan istri kita, kita memberikan perhatian sepenuhnya. Nah, tidak harus seseorang menjadi romantis baru bisa melakukan semua itu, dalam keterbatasan atau ada yang lebih kaku, tetap bisa memberikan perhatian seperti itu, tetap kita bisa mengeluarkan pertanyaan tentang keadaan istri kita.
GS : Kuncinya mungkin pada perhatian itu Pak Paul, yang harus kita berikan dan itu sering kali kita kurang memberikan.

PG : Saya kira kita sebagai pria cenderung berpusat pada tugas atau proyek. Jadi waktu berbicara juga mau membicarakan persoalan yang bisa kita pecahkan, kita ingin tanya pendapat dia supaya kia menemukan jalan keluarnya.

Jadi memang inilah pria dan ini harus kita kesampingkan sewaktu kita mau memberikan roman itu kepada istri kita. Dan sekali lagi saya tegaskan ini tidak harus dilakukan terus-menerus.
GS : Mungkin ada yang lain Pak Paul?

PG : Bagi yang sedikit lebih mahir dalam mengamati ini saya berikanlah pujian tentang keindahan istri kita dan bukan hanya karakternya, sudah tentu karakter itu baik dan sudah tentu itulah yangseharusnya paling indah dalam diri seseorang.

Tapi wanita juga tetap senang menerima pujian tentang keindahannya, matanya, rambutnya, alisnya sekali-sekali kita katakan, meskipun kita sudah katakan itu mungkin 100 kali dalam 20 tahun pernikahan kita, tetap kita katakan : "Alismu kok bagus ya, bibirmu kok bagus ya" jadi tetap katakan. Waktu engkau memakai baju itu engkau tampak cantik, waktu engkau memakai perhiasan ini, engkau tampak sangat cantik jadi tetap berikan pujian tentang keindahan istri kita secara jasmaniah pula.
GS : Nah, itu memulainya bagaimana Pak Paul, jadi kalau ada seorang suami yang selama ini kurang bersifat romantis kemudian sadar akan kebutuhan itu, kalau dia memulai itu kadang-kadang istrinya kaget Pak Paul, malah ini dianggap main-main atau apa. Supaya bisa berlangsung dengan baik bagaimana Pak?

PG : Bisa langsung diakui bahwa saya tidak terbiasa berbuat ini dan saya akan mengeluarkan kata-kata yang mungkin terdengar lucu bagimu, tapi saya mau memulainya dari pada terlambat. Yang inginsaya katakan adalah "Engkau tampak cantik hari ini," mungkin si istri akan tertawa atau berkata: "Ah....seperti

anak muda saja dan sebagainya, si suami bisa dengan serius berkata: "Inilah kesalahan saya selama ini, hampir tidak pernah mengomentari penampilan fisikmu, tapi mulai saat ini saya ingin melakukan itu untuk mengatakan hal seperti ini, sebab memang benar saya kagum dengan kecantikanmu ini."
GS : Mungkin keterbatasan waktu atau keterbatasan kata-kata itu membuat orang sulit untuk menjadi romantis Pak Paul?

PG : Betul, dan saya kira memang ada derajatnya orang romantis, namun tidak perlu berkecil hati bahwa kalau kita tidak mempunyai kata-kata yang terlalu puitis maka kita tidak bisa memberikan roan.

Sekali lagi roman itu tidak hanya terdiri dari kata-kata yang mesra dan puitis, bisa dengan kata-kata saya senang bisa berjalan denganmu, saya senang malam ini kita bisa berdua, hal seperti itu atau pelukan di pundak kemudian membisikkan sesuatu yaitu saya sayang padamu, tidak usah kata-kata terlalu muluk. Dan setelah kita berikan itu ya sudah kita hidup seperti biasa lagi dan mungkin beberapa hari kemudian atau minggu depan kita berikan roman itu kembali, jadi lakukan sebagai sesuatu yang teratur sebab itu yang dibutuhkan oleh istri kita.
GS : Mungkin juga saat-saat yang penting yang bisa diingat bersama-sama itu bisa menjadi awal dari tindakan-tindakan yang romantis terhadap pasangan kita Pak Paul. Misalnya ulang tahun pernikahan, atau ulang tahunnya dia, ulang tahunnya anak, itu sebagai awal Pak Paul.

PG : Betul, misalnya ulang tahun kita memberikan kartu dengan kata-kata yang manis, yang baik, kita sendiri mungkin tidak bisa menulisnya, pilihkan kartu yang seperti itu. Jadi banyak cara yangkreatif asalkan kita mau, saya kira ini penting untuk dilakukan.

GS : Jadi itu tidak harus menjadi suatu surprise untuk istri Pak Paul?

PG : Tidak, jadi lakukan secara teratur misalkan tentukan seminggu sekali kita akan makan berdua, tanpa anak-anak nah itu lakukan seperti biasa, kita yang memilih tempat-tempat tertentu untuk itri kita.

Dan ini manfaatnya sangat besar Pak Gunawan, hati yang terpenuhi menjadi hati yang tidak mudah menuntut dan tidak mudah tersulut, hati yang tidak terpenuhi menjadi hati yang mudah menuntut dan mudah tersulut. Maka dalam keluarga atau pernikahan yang terpenuhi, emosi tidak mudah tersulut, tuntutan lebih realistik. Nah, sering kali kita gagal melihat apa itu dasarnya.
GS : Kalau kita membaca kitab Kidung Agung di Perjanjian Lama itu memang sangat romantis dan puitis sekali, mungkin ada bagian yang sangat menarik di sana yang bisa dibagikan oleh Pak Paul.

PG : Kidung Agung 4:1, "Lihatlah, cantik engkau manisku, sungguh cantik engkau bagaikan merpati matamu dibalik telekungmu." Ini adalah kata-kata Salomo kepada istrinya, jad saya kira memang Tuhan mengizinkan bagian ini dicatat dalam Alkitab untuk mengemukakan sesuatu yang sangat manusiawi bahwa wanita membutuhkan roman.

Dan tidak apa-apa sebagai seorang pria kita memberikan roman kepada istri kita.
GS : Sering kali dikatakan memang Salomo itu perayu yang luar biasa, apakah itu memang benar begitu atau bagaimana Pak Paul?

PG : Ya setidak-tidaknya dari Kidung Agung kita melihat banyaknya ungkapan-ungkapan puitis dan romantis yang dikeluarkan olehnya untuk istri yang dikasihinya. Tidak ada salahnya kita para suamibelaja dari Salomo.

GS : Untuk kebahagiaan istri dan untuk kebahagiaan kita juga. Terima kasih Pak Paul. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pria dan Roman". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



22. Ketakutan dan Cinta


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T112B (File MP3 T112B)


Abstrak:

Yohanes 4:18, memberikan kepada kita suatu pengajaran bahwa waktu kita mengasihi orang apa adanya, sepenuhnya, maka dalam kasih tidak ada lagi ruang untuk ketakutan sebab kasih yang begitu besar akan mengusir segala jenis ketakutan.


Ringkasan:

1 Yohanes 4:18, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan, kasih yang sempurna melemyapkan ketakutan. Sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut ia tidak sempurna di dalam kasih."

Ayat ini mempunyai makna:

  1. Tuhan mengingatkan kita bahwa Dia mengasihi kita. Dan di dalam kasih-Nya yang begitu besar dan sempurna tidak ada dan tidaklah seharusnya ada ketakutan dalam diri kita sewaktu menghadap Dia.

  2. Memberikan kita suatu pengajaran bahwa terhadap sesama kita pun bisa juga mencontoh Tuhan yakni waktu kita mengasihi orang apa adanya, sepenuhnya, maka dalam kasih yang begitu besar ternyata tidak ada lagi ruang untuk ketakutan sebab kasih yang begitu besar akan mengusir pergi segala jenis ketakutan.

Ada dua hal yang menghalau ketakutan yakni:

  1. Kemarahan, yang cenderung ingin melukai dan menghancurkan orang.

  2. Kasih bertujuan membangun orang.

Namun yang Tuhan minta kita lakukan untuk menghalau ketakutan bukanlah dengan kemarahan tapi dengan kasih. Ketakutan itu berfokus pada diri sendiri karena waktu kita takut tujuan kita hanyalah ingin menyelamatkan diri. Sebaliknya kemarahan dan kasih berfokus pada orang lain.

Penyebab umum munculnya ketakutan dalam pernikahan adalah:

  1. Rasa malu, kita memiliki rasa malu akan sesuatu tentang diri kita dan kita berpikir kalau sesuatu itu diketahui pasangan kita, maka kita akan ditolaknya, dihinanya dsb. Orang yang malu dan menyimpan aib supaya jangan sampai diketahui pasangannya sebetulnya tanpa disadari kasihnya itu sudah mulai berkurang karena adanya rasa malu yang disembunyikan yang membuatnya ketakutan itu.

  2. Kesalahan, ada orang yang telah melakukan kesalahan tapi istri atau suaminya tidak tahu, nah biasanya yang kita lakukan adalah menutupi kesalahan itu. Orang yang ketakutan karena dia telah berbuat salah, susah mengasihi pasangannya dengan segenap hati.

  3. Ketergantungan kita pada pasangan, biasanya kalau kita mempunyai ketergantungan yang begitu besar, kita mencoba untuk menguasai pasangan kita agar dia juga bergantung pada kita.

Pelajaran dari ayat 1 Yohanes 4:18 adalah

  1. Kasih menerima yang tidak sempurna dan memalukan. Pelajaran buat kita suami-istri adalah biarlah kita juga belajar mengasihi pasangan kita, mengasihi dia yang tidak sempurna, dan memalukan mungkin. Jangan sampai pasangan kita mempunyai prasangka bahwa dia hanya berharga di mata kita kalau dia melakukan hal-hal yang luar biasa mulianya dan hebatnya dan mengagumkannya.

  2. Kasih mengampuni kesalahan, sebab tema sentral 1 Yohanes adalah kasih Allah kepada kita. Jadi kasih Allah kasih yang mengampuni kesalahan, kasih kita kepada pasangan haruslah kasih yang mengampuni kesalahan. Yang saya maksud di sini adalah kesalahan-kesalahan yang bukan bersifat moral yang kadang-kadang kita sebagai suami-istri itu lakukan, jangan sampai kita terlalu memfokuskan pada kesalahan. Orang yang terlalu disoroti akan kesalahan-kesalahan kecil justru akan hidup dalam ketakutan dan akan cenderung melakukan hal yang sama. Tapi kalau kita bisa abaikan, kita lupakan, kita ampuni dan kita coba menolong dia untuk tidak melakukannya justru dia akan lebih dikuatkan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Ketakutan dan Cinta". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam Alkitab khususnya surat pertama dari Yohanes 4 : 18, di sana saya membaca, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan, kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan. Sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut ia tidak sempurna di dalam kasih." Nah, sebenarnya apa makna dari ayat ini Pak Paul?

PG : Makna ayat ini kalau kita melihat konteksnya adalah pertama Tuhan mengingatkan kita bahwa Dia mengasihi kita. Dan di dalam kasih-Nya yang begitu besar dan sempurna tidak akan ada dan tiaklah seharusnya ada ketakutan dalam diri kita sewaktu menghadap Dia.

Maka di ayat yang sebelumnya dikatakan kita memiliki keberanian untuk datang kepada-Nya, jadi rasa dikasihi, pengetahuan yang jelas bahwa kita dikasihi oleh Tuhan dengan begitu sempurnanya akan membuat kita merasakan kedamaian, ketenangan untuk berani datang kepada-Nya apa adanya. Namun ayat ini juga memberikan kita suatu pengajaran bahwa terhadap sesama, kita pun bisa juga mencontoh Tuhan yakni waktu kita mengasihi orang apa adanya dan sepenuhnya, maka dalam kasih yang begitu besar ternyata tidak ada lagi ruang untuk ketakutan sebab kasih yang begitu besar akan mengusir pergi segala jenis ketakutan.
GS : Tapi itu masih sering terdengar bahwa istri yang takut kepada suaminya, tapi ada juga suami yang takut kepada istrinya, itu bagaimana Pak?

PG : Betul Pak Gunawan, jadi ternyata dalam pernikahan di mana seharusnya tidak ada ketakutan justru banyak ketakutan. Kekuatan yang dapat menghalau ketakutan adalah kemarahan dan kasih, karna waktu kita takut tujuan kita hanyalah ingin menyelamatkan diri, maka saya katakan ketakutan berfokus pada diri sendiri.

Sebaliknya kemarahan dan kasih berfokus pada orang lain, saya kembali lagi pada tadi yang saya katakan bahwa dua hal yang bisa menghalaui ketakutan ialah kemarahan dan kasih. Bukankah waktu kita marah kita tidak merasa takut, namun Alkitab mengatakan bahwa waktu kita mengasihi kita pun tidak merasakan takut. Jadi ada dua hal yang bisa menghalau ketakutan, namun kedua hal ini tidak sama, ada perbedaan yang besar antara kemarahan dan kasih. Kemarahan itu ingin melukai atau menghancurkan orang, sebaliknya kasih bertujuan membangun orang. Nah, yang Tuhan minta kita lakukan untuk menghalau ketakutan bukanlah dengan kemarahan tapi dengan kasih. Yang sering kali terjadi dalam pernikahan kita adalah kita menghalau ketakutan dengan kemarahan. Kita memarahi pasangan kita, dan dengan cara itulah kita menghalau ketakutan kita, takut kehilangan dia, takut tidak dihargai oleh dia, daripada mengakui ketakutan itu dan membereskannya kita mengeluarkan respons marah.
GS : Tetapi orang yang dimarahi itu 'kan layak untuk takut Pak Paul?

PG : Orang yang dimarahi memang layak untuk takut, karena misalkan ada hal-hal yang dia telah perbuat. Tapi kalau ini yang menjadi ciri utama relasi kita, berarti hampalah relasi kita itu dai kasih.

Maka kita bisa simpulkan dari firman Tuhan yang telah kita bahas bahwa ternyata kasih dan ketakutan berbanding terbalik, artinya kalau yang satu banyak, yang satu itu sedikit, kalau yang satu tinggi, yang satu akan rendah. Kalau kasih besar, ketakutan kecil; kalau ketakutan besar, kasih akan kecil.
GS : Nah, tentunya kita mau khususnya di dalam pernikahan kita atau di dalam rumah tangga kita kasih itulah yang menjadi besar. Tetapi bagaimana itu diwujudnyatakan di dalam rumah tangga?

(1) PG : Saya kira yang pertama kita mesti menyadari penyebab umum munculnya ketakutan dalam pernikahan. Yang pertama rasa malu Pak Gunawan, jadi kalau kita memiliki rasa malu akan seuatu tentang diri kita dan kita ini berpikir kalau sesuatu itu diketahui pasangan kita, maka kita akan ditolaknya, dihinanya maka yang kita lakukan adalah kita mulai bersembunyi di belakang topeng.

Kita sengaja memamerkan atau menonjolkan sisi tentang diri kita yang sebetulnya bukan diri kita, dan kita berusaha menutupi aib itu. Nah, rasa malu itu sering kali adalah penyebab ketakutan dalam pernikahan.
GS : Ya tetapi apakah ada alasan yang lain selain merasa malu itu Pak Paul?

PG : Selain rasa malu yang menimbulkan ketakutan ialah kesalahan. Ada orang yang telah melakukan kesalahan tapi istrinya atau suaminya tidak tahu, biasanya respons kita adalah kita menutupi esalahan itu.

Atau kalau misalkan diketahui dan mulai dikonfrontasikan oleh pasangan kita, kita menyangkal. Nah, sekali lagi kesalahan yang kita lakukan membuat kita takut.
GS : Dan itu biasanya berkaitan erat Pak Paul, kalau kita melakukan kesalahan dan ketahuan kita akan malu.

PG : Betul, jadi rasa malu dan kesalahan memang sangat berkaitan meskipun yang malu belum tentu salah. Jadi memang keduanya itu memunculkan ketakutan dan sekali lagi yang ingin saya tekankan waktu ketakutan itu muncul, kasih merosot turun.

Jadi orang yang ketakutan karena dia telah berbuat salah, susah mengasihi pasangannya dengan segenap hati. Orang yang malu dan menyimpan aib, dan berpikir jangan sampai diketahui pasangannya, sebetulnya tanpa disadari kasihnya itu sudah mulai berkurang karena adanya rasa malu yang dia sembunyikan yang membuatnya ketakutan.
GS : Juga kekhawatiran bahwa pasangannya nanti akan meninggalkan dia Pak Paul.

PG : Ya, jadi hal ketiga yang menjadi penyebab adalah ketergantungan kita kepada pasangan, yang tidak sehat adalah yang terlalu bergantung. Kita tidak bisa hidup tanpa dia, jadi harus ada di dalam hidup kita.

Biasanya kalau kita mempunyai ketergantungan yang begitu besar, kita mencoba untuk menguasai pasangan kita agar dia juga bergantung pada kita. Sebab dengan dia bergantung pada kita, kita merasa aman, kita tidak akan kehilangan dia. Atau kalau kita gagal membuat dia bergantung pada kita, kita akan kuasai dia dengan keras supaya dia tunduk kepada kita. Nah, waktu dia tunduk kepada kita dia tidak akan ke mana-mana dan kita tetap bisa bergantung kepada dia. Ini kadang-kadang yang dilakukan oleh misalkan istri, luar biasa galaknya si suami, istri ketakutan tidak bisa ke mana-mana, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, semua diatur oleh si suami. Nah, dengan cara seperti itu suami bisa bergantung kepada istri untuk tetap di rumah, untuk tetap menjaga anak-anak, untuk tetap menghormati dia jadi dengan kata lain memenuhi kebutuhan dia. Dan sebetulnya dia takut sekali kehilangan si istri, dia tidak bisa bayangkan kalau istri meninggalkan dia, tapi dia mendapatkan si istri itu dengan cara yang salah. Dia memanipulasi, dia memaksa si istri untuk tunduk kepada dia yang sebetulnya semua dimunculkan oleh ketakutan.
GS : Tapi juga ada seorang Pak Paul, sebetulnya dia bisa mandiri karena dia bekerja dan bisa mendapatkan penghasilan, tapi dia sangat takut kalau suaminya meninggalkan dia sehingga ke mana-mana istri ini selalu mengikuti dan bahkan ada rasa curiga terus kalau si suami berbincang-bincang atau bergurau dengan lawan jenisnya, itu bagaimana sebenarnya Pak Paul?

PG : Sebebenarnya ketakutan itu benar-benar sudah menghalau pergi cinta, kalau saya boleh gunakan firman Tuhan lagi. Jadi orang yang menguasai pasangannya sedemikian rupa sehingga pasanganny itu tidak lagi bisa berkutik, sebetulnya yang memotivasi bukan lagi cinta tapi ketakutan.

Ketakutan akan kehilangan pasangannya, pasangannya mungkin akan menoleh kepada orang lain, jadi dia harus kuasai nah firman Tuhan katakan tidak ada lagi kasih. Sebab ketakutan itu akan benar-benar menghalau cinta kasih.
GS : Si suami ini karena merasa diperlakukan seperti itu dia malah kasar dan berbuat lebih ekstrim lagi.

PG : Sering terjadi, justru kalau terlalu dikontrol dan semua dibatasi akan membuat si orang ini, misalnya si suami ini mencari lubang, dia mencari celah bagaimana dia bisa menyelinap keluardan pasti akan ketemu celah itu.

Jadi tinggal menunggu waktu sajalah sebelum si suami itu akhirnya menyelinap keluar dan mendapatkan orang yang dia inginkan.
GS : Tapi sebenarnya ketakutan menurut si istri itu positif. Dia tidak mau pernikahannya itu hancur Pak Paul.

PG : Jadi ketakutan itu boleh ada tapi jangan sampai menguasai seseorang, ketakutan bahwa suatu hari mungkin saja pasangannya akan meninggalkan dia. Perasaan seperti itu saya kira masih waja, tapi kalau menjadi begitu besar menguasai dirinya itu sangat tidak sehat karena dia tidak lagi bisa mempercayai pasangannya.

Dia membatasi pasangannya seolah-olah dia akan mematahkan sayap pasangannya supaya pasangannya tetap berada di samping dia. Nah, itu tidak akan berhasil, mungkin secara fisik dia akan kuasai tapi secara hati tidak, dan sebetunya tidak akan ada lagi kasih antara mereka berdua.
(2) GS : Berdasarkan ayat dalam firman Tuhan tadi Pak Paul, hal-hal apa yang bisa kita pelajari di sana?

PG : Yang pertama adalah langsung saya terapkan tentang penyebab ketakutan, yang pertama yaitu rasa malu. Ternyata kasih menerima yang tidak sempurna dan yang memalukan. Saat Yohanes mempunyi tema sentral yaitu kasih, kasih Allah kepada manusia yang begitu besar, dan yang kedua temanya adalah karena kita adalah anak Allah jadi kita harus mencontoh Bapa kita yang di Sorga yaitu mengasihi orang juga dengan sepenuh hati.

Nah, kasih Allah kepada kita kasih yang menerima kita apa adanya meskipun kita mempunyai aib, meskipun ada hal-hal yang memalukan yang pernah kita lakukan, tapi Allah tetap menerima kita, kasih-Nya tidak terhalangi oleh aib yang telah kita lakukan. Oleh hal yang memalukan yang telah kita perbuat, jadi kita belajar yang pertama adalah kasih menerima yang tidak sempurna bahkan yang memalukan. Nah, pelajaran buat kita sebagai suami dan istri adalah biarlah kita juga belajar mengasihi pasangan kita, mengasihi dia yang tidak sempurna, dan memalukan mungkin. Jangan sampai pasangan kita mempunyai akhirnya prasangka bahwa dia hanya berharga di mata kita kalau dia melakukan hal-hal yang luar biasa mulianya dan hebatnya dan mengagumkannya, tidak. Saya kira keamanan, ketenteraman, kesejahteraan dalam hati hanya ada jika pasangan kita tahu bahwa apapun, siapapun dia, selemah apapun dia kita tetap menerimanya.
GS : Mungkin kalau kekurangan atau bahkan cacat atau memalukan, orang masih bisa tetap mengasihi Pak Paul. Sering kali yang terjadi di dalam hubungan suami-istri kalau salah satunya melakukan kesalahan yang cukup fatal.

PG : Nah, ini kita kembali ke point berikutnya yaitu tentang kesalahan yang kita perbuat. Kesalahan membuat kita takut dan di mana ada takut, kasih itu akhirnya akan sirna, apa yang bisa kit lakukan.

Hal kedua yang kita bisa petik dari firman Tuhan ialah kasih mengampuni kesalahan sebab sekali lagi tema sentral I Yohanes adalah kasih Allah kepada kita. Dan kita tahu di pasal 1 dikatakan kalau kita berdosa, jangan ragu datang kepada Tuhan mengakui dosa kita, Dia akan mengampuni segala dosa kita. Jadi kasih Allah kasih yang mengampuni kesalahan, kasih kita pun kepada pasangan haruslah kasih yang mengampuni kesalahan. Ada orang yang tidak bisa hidup dengan tenteram dalam pernikahannya takut sekali berbuat kesalahan, karena apa? Karena pasangannya tidak bisa mengampuni kesalahan, satu kesalahan yang kecil habis dimarahi, dimaki-maki, bahkan ada yang dipukul. Nah, bagaimanakah bisa ada kasih dalam keluarga itu sebab tidak ada pengampunan atas kesalahan, dan sering kali kesalahan itu bukannya yang besar, bukan bersifat moral, mungkin sebuah kelupaan atau apa, tapi tanpa adanya pengampunan akan adanya kesalahan, kasih tidak mungkin bertunas dalam pernikahan itu.
GS : Adakalanya pengampunan itu sudah diberikan Pak Paul, tetapi dia melakukan hal yang salah itu lagi, hal yang sama yang salah di mata pasangannya.

PG : Sudah tentu kita harus melihat jenis kesalahannya misalkan kelupaan-kelupaan yang kecil, saya kira itu tidak bisa disamakan dengan berselingkuh dan tidak pernah menyadari dan bertobat aan kesalahan itu.

Saya kira untuk jenis kesalahan yang bersifat moral yang besar, harus ada ketegasan tidak! Sekali sudah lebih dari cukup. Engkau sudah berselingkuh, sekarang engkau mau berselingkuh lagi saya tidak akan toleransi itu. Jadi saya kira untuk hal-hal yang bersifat moral dan yang besar seperti itu diperlukan ketegasan. Pengampunan dosa atau pengampunan kita bisa kita berikan, namun untuk menyelamatkan pernikahan ini diperlukan tindakan yang lebih tegas tidak bisa hanya kita berkata sudah terserah, sudah saya diamkan, orang itu tidak akan belajar dan dia akan tetap mengulang kesalahan yang sama. Yang saya maksud di sini adalah kesalahan-kesalahan yang bukan bersifat moral yang kadang-kadang kita sebagai suami istri lakukan, jangan sampai kita terlalu memfokuskan pada kesalahan. Orang yang terlalu disoroti akan kesalahan-kesalahan kecilnya, justru akan hidup dalam ketakutan dan akan cenderung melakukan hal yang sama. Tapi kalau kita bisa abaikan atau kita lupakan, kita ampuni dan kita mencoba menolong dia untuk tidak melakukannya justru dia akan lebih dikuatkan.
GS : Mungkin ini Pak Paul ada suami lupa mengunci pintu luar kalau malam. Sekali, dua kali memang istrinya itu masih mau mengingatkan dia dan masih mau mengampuni atau memaafkan kesalahannya, tetapi itu berulang-ulang kali sehingga setiap malam di keluarga ini ada ketegangan terus. Si istri tidak percaya lagi pada suaminya bahwa dia sudah mengunci pintu, kemudian menuduh si suami, jadi malam itu suasananya sudah tidak enak lagi Pak Paul.

PG : Dalam hal seperti itu memang kita harus melakukan beberapa kiat, kiat pertama kita memang meminta suami kita untuk turun mengunci pintu lagi, misalkan dia bilang sudah, tolong dicek sekli lagi.

Sebab bukankah sering kali engkau berpikir sudah, namun ternyata belum. Kalau tetap bilang sudah, OK.......mari turun berdua kita lihat, apakah sudah atau belum. Nah, itu langkah pertama, jadi dengan cara itulah kita membuat si suami itu lebih sadar waktu mengunci pintu atau waktu belum mengunci pintu. Yang kedua adalah ini kadang-kadang harus dilakukan oleh para suami-istri yakni berpikir bahwa apakah selayaknya kita meributkan hal ini sampai sedemikian besarnya. Daripada mengingatkan dan akhirnya terlibat dalam pertengkaran, dia sendiri yang mengecek pintu itu dan menguncinya kalau belum dikunci habis perkara. Jadi akan ada toleransi untuk hal-hal yang seperti itu juga.
GS : Yang di situ itu yang agak sulit Pak Paul, biasanya pasangannya itu yang tidak mau mengalah, sekali itu tugasnya ya harus diselesaikan dengan baik jadi ada semacam tanggung jawab yang diberikan.

PG : Betul, dan memang perlu waktu dan kesabaran untuk akhirnya menyepakati hal apakah yang bisa dilakukan oleh pasangan kita dan hal apakah yang bisa kita lakukan sendiri. tidak semua orangsetelah menikah langsung bisa menemukan hal-hal seperti itu dan kadang-kadang perlu waktu yang agak panjang.

Nah kalau kita sudah menyadari bahwa OK-lah memang dia lemah dalam hal itu, ya sudah kita pun tidak menuntut dia lagi, sedangkan hal-hal yang bisa dia lakukan itulah yang kita minta dia lakukan, dan kita tidak mempersoalkannya lagi.
GS : Ada juga pasangan yang selalu mengawasi pasangannya Pak Paul, di kantor di telepon, sore terlambat setengah jam sudah ribut, ini sebenarnya apa Pak?

PG : Itu adalah kasih yang seolah-olah kasih, tapi yang menguasai. Dan sekali lagi firman Tuhan berkata: yang menguasai seperti itu sebetulnya bukan kasih lagi tapi ketakutan. Sebab justru ksih itu lebih membebaskan, memerdekakan.

Contoh yang paling jelas adalah Tuhan sendiri, Tuhan begitu mengasihi dunia, begitu mengasihi manusia tapi meskipun Dia tahu manusia akan menolak Dia dan akan memilih untuk berdosa tetap itu tidak mengubah rencana Tuhan untuk menciptakan manusia, Dia tetap menciptakan manusia. Dan benar seperti yang Dia sudah tahu karena Dia adalah Tuhan, manusia berdosa, memilih dosa dan tidak memilih Dia. Tapi kasih membebaskan, kasih tidak membuat seseorang itu tunduk sepenuhnya tanpa mempunyai hak untuk memilih. Nah, saya kira dalam pernikahan ini juga harus ada, sudah tentu masing-masing pihak harus tahu diri. Namun setelah itu atau yang lebih penting ialah kasih memberikan kebebasan karena kebebasan itulah dasar dari atau wujud nyata dari kepercayaan. Nah, kasih baru bisa bertumbuh dalam suasana yang bebas seperti itu. Kalau kita diawasi, harus diketahui kita ke mana, kita ke mana setiap detik harus bisa diperhitungkan dan dipertanggungjawabkan. Yang akan mematikan kasih yang muncul dengan subur adalah ketakutan. Jadi sekali lagi firman Tuhan sudah sangat jelas berkata kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan, sebab ketakutan mengandung hukuman, jadi orang yang ketakutan itu sudah berpikir dia akan dihukum, tapi kasih yang sempurna justru mengatakan: "Tidak, saya ampuni engkau, saya tidak akan menghukum engkau."
GS : Ya tentunya setiap kita menginginkan kehidupan tanpa ketakutan, tapi memang hal-hal itu terus terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita Pak Paul.

PG : Dan fokusnya bukan bagaimana mengenyahkan ketakutan, tapi bagaimana menambahkan kasih karena dalam kasih kata firman Tuhan tidak ada ketakutan. Nah, kasih seperti apakah yang harus kitatambahkan dalam pernikahan kita, kasih yang menerima, menerima yang tidak sempurna bukan hanya kita mau menerima yang sempurna, yang terbai, tidak.

Kita menerima yang tidak sempurna dan kasih yang mengampuni kesalahan, jangan terus menyimpan dendam, menyoroti kesalahan-kesalahan dan yang terakhir kasih yang melepaskan dan yang memerdekakan bukan kasih yang menguasai. Dengan adanya kasih yang seperti ini, ketakutan itu akan dihalau pergi.
GS : Dan kita hadir di dalam keluarga itu sebagai pembawa kasih, sumber kasih yang bisa dinikmati oleh pasangan kita dan orang-orang lain di sekeliling kita.

PG : Betul, dan dengan kita memberikan kasih, pasangan kita akan bertumbuh, bertunas menjadi orang yang sepenuhnya sebagaimana Tuhan kehendaki.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini.

Dan Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara "Ketakutan dan Cinta. Kami percaya tema ini akan sangat bermanfaat bagi Anda sekalian. Namun bagi Anda yang masih ingin tahu lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



23. Belajar untuk Mengasihi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T115A (File MP3 T115A)


Abstrak:

Mengasihi adalah hal yang sangat perlu untuk dipelajari, dan di dalam pernikahanlah kita dapat belajar, di mana kita dapat saling belajar dan mengajar. Tatkala aspek belajar mengajar ini berhenti, pernikahan itu sendiri pun berhenti bertumbuh dan pernikahan yang berhenti bertumbuh sebetulnya adalah pernikahan yang sudah mengalami stagnasi.


Ringkasan:

Pernikahan merupakan ajang belajar-mengajar di mana kitalah murid dan gurunya; tujuan belajar adalah menjadi serupa dengan Kristus dan berbuahkan buah roh; sedangkan kurikulumnya adalah penyesuaian hidup bersama pasangan.

Rintangan untuk belajar ialah kekakuan-tidak rela belajar dan menganggap diri benar. Belajar hanya dapat terjadi jika kita rela belajar-rendah hati.

Hal-hal yang telah saya pelajari dari pernikahan:

  1. Saya belajar mengasihi dengan benar. Ada perbedaan antara mempunyai kasih terhadap seseorang dan memperlakukannya dengan kasih. Kadang yang muncul bukannya perlakuan yang penuh kasih malah perlakuan yang kasar.

  2. Saya belajar mengasihi dengan bahasa kasih istri. Kita tidak mengungkapkan kaasih dengan cara yang sama, bergantung pada kepribadian dan latar belakang masing-masing. Kita belajar menyatakan kasih dengan bahasa yang dapat dimengerti pasangan kita. Adakalanya kita frustrasi karena merasa tidak dihargai; masalahnya mungkin adalah karena kita telah menyampaikan kasih dengan cara yang tidak diterima pasangan kita.

  3. Saya belajar mengasihi dengan membatasi kasih kepada yang lain. Kasih hanya terlihat dengan jelas dalam perbandingan yaitu bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Kasih yang sama rata tidak menunjukkan keistimewaan dan perlakuan seperti ini niscaya membuat pasangan kita merasa tidak berbeda dari orang lain.

"Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela." Efesus 5:26-27


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Belajar Untuk Mengasihi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kalau kita mendengar kata belajar, asosiasi kita atau pikiran kita itu langsung ke ruang-ruang kelas, tempat belajar seperti itu. Belajar untuk mengasihi ini tempatnya di mana Pak Paul?

PG : Tempatnya adalah di dalam pernikahan Pak Gunawan, jadi salah satu cara untuk melihat pernikahan adalah dengan cara melihatnya sebagai ruang kelas. Di mana kita ini saling belajar dan salin mengajar.

Dapat saya katakan bahwa tatkala aspek belajar mengajar ini berhenti, pernikahan itu sendiri pun berhenti bertumbuh dan pernikahan yang berhenti bertumbuh sebetulnya adalah pernikahan yang sudah mengalami stagnasi dan tinggal tunggu waktu akhirnya rentan dan rapuh.
GS : Nah apakah dengan perjalanan waktu itu kasih dengan tidak sendirinya bertumbuh di dalam diri pasangan suami-istri itu?

PG : Ternyata tidak demikian Pak Gunawan, ternyata kasih itu perlu untuk dipelajari. Nah acapkali kita memang terbius oleh konsep-konsep yang beredar di sekeliling kita. Apalagi kita yang serin menonton film atau sinetron kita mendapatkan suguhan bahwa kasih itu muncul dengan tiba-tiba dan akan berkembang terus tanpa akhirnya.

Nah kenyataan membuktikan tidaklah demikian, kita mesti belajar untuk mengasihi dan ruang kelas untuk kita mempraktekkan dan mempelajarinya adalah pernikahan itu sendiri.
GS : Pak Paul, kalau kita memang mau belajar sesuatu apapun itu, kita 'kan menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita terlibat dalam proses itu, dan ada semacam kurikulum atau ada semacam panduan supaya kita belajarnya secara sistematis dan sebagainya. Nah apakah ini juga di dalam hal belajar untuk mengasihi itu juga seperti itu Pak?

PG : Ya Pak Gunawan, jadi saya ini menggunakan konsep pengudusan untuk meneropong dan melihat tentang pernikahan itu. Saya jelaskan yang saya maksud, kita adalah orang yang Tuhan selamatkan, naun setelah Tuhan selamatkan kita dari hukuman dosa Tuhan membentuk kita.

Nah dalam istilah Theologisnya dikatakan kita ini dikuduskan Tuhan artinya kita diminta Tuhan, dibentuk Tuhan untuk menjadi lebih serupa dengan Kristus Tuhan kita. Nah Tuhan menggunakan berbagai cara untuk membentuk kita atau untuk menguduskan kita, salah satunya adalah melalui pernikahan. Jadi bagi orang Kristen pernikahan bukanlah semata sebagai tempat untuk membagi rasa, memikul beban bersama atau meneruskan keturunan, pernikahan juga adalah ajang yang Tuhan gunakan atau alat yang Tuhan gunakan untuk membentuk kita atau menguduskan kita. Nah itu sebabnya tujuan belajar di dalam pernikahan adalah menjadi seperti Tuhan kita Yesus Kristus. Artinya apa? Dalam bahasa yang lebih awam kita ini berbuahkan buah Roh sebagaimana tertulis di Galatia 5:22-23 yaitu berbuahkan kasih, berbuahkan kesabaran, penguasaan diri, kemurahan hati dan sebagainya. Jadi orang yang menikah seharusnya makin hari makin mengembangkan buah Roh tersebut, artinya makin menjadi serupa dengan Kristus. Jangan sampai semakin lama menikah yang muncul bukannya buah Roh, tapi buah kedagingan yaitu kemarahan, kebencian, iri hati dan sebagainya, itu kira-kira tujuannya. Sedangkan kurikulumnya atau isi materi pelajarannya adalah sebetulnya penyesuaian diri kita dengan pasangan kita, kita akan terus-menerus menyesuaikan diri dengan pasangan kita. Nah salah satunya yang paling penting adalah bagaimana belajar mengasihi pasangan kita.
GS : Pak Paul, saya percaya sekali ada banyak orang yang mau belajar, yang mau bertumbuh dalam pernikahannya. Tetapi di dalam proses belajar, seperti belajar apapun juga kadang-kadang kita itu droup-out, jadi tidak selesai dengan tujuan belajar itu, tidak sampai ke sana. Nah di dalam belajar mengasihi ini, apa sajakah hambatan-hambatan yang akan muncul, Pak Paul?

PG : Hambatan yang paling besar itu adalah diri kita sendiri yang merasa kita tidak perlu lagi belajar alias kekakuan kita. Lawan dari kekakuan adalah fleksibel, saya melihat satu karakteristikyang seharusnya dimiliki oleh semua orang yang hendak menikah adalah karakter fleksibel.

Sikap fleksibel artinya bukannya tidak mempunyai pendirian tapi bisa menyesuaikan diri. Artinya orang yang fleksibel itu orang yang memilih hal-hal yang tertentu dan hakiki sebagai pendiriannya dan menjadikan hal-hal yang lain hal-hal yang sekunder. Kebalikannya dengan orang yang fleksibel adalah orang yang kaku, orang yang kaku menjadikan semua hal pendiriannya bahkan hal-hal yang sangat sepele. Sehingga dia itu tidak mudah untuk berubah, untuk menyesuaikan diri, untuk mengalah karena bagi dia ini adalah masalah prinsip, tidak ada satu hal pun yang bukan masalah prinsip nah inilah orang yang kaku. Nah orang yang seperti ini sangat sulit sekali belajar karena tidak ada kerelaan atau kesediaan untuk belajar.
GS : Nah Pak Paul, terus-terang saja saya dan juga para pendengar ini pasti ingin tahu sebenarnya apakah Pak Paul juga terlibat di dalam proses belajar untuk mengasihi ini, pengalaman apakah yang Bapak alami?

PG : Saya terlibat dan masih sampai sekarang dalam proses belajar, inilah yang ingin saya bagikan kepada para pendengar sekalian. Saya ingin agar kita semua menjadikan mengasihi sebagai sasaranbelajar kita terutama para suami sebab memang firman Tuhan meminta suami untuk mengasihi istrinya.

Jadi biarlah saya membagikannya dari kacamata seorang suami. Ada 3 hal yang saya belajar selama saya menikah, yang pertama adalah saya belajar untuk mengasihi dengan benar. Nah begitu kita mendengar kata benar kita langsung akan berpikir pasti ada yang salah. Mengasihi dengan salah apakah itu? Begini, saya menemukan bahwa ada perbedaan antara memiliki kasih dan memperlakukan istri saya dengan penuh kasih. Saya bisa bermegah dan berkata bahwa saya mempunyai kasih, saya mengasihi istri saya tapi ternyata perasaan saya yang mempunyai kasih terhadap istri tidak serta merta berubah menjadi perlakuan yang penuh kasih terhadapnya. Nah yang penting dalam pernikahan bukanlah kita ini mengklaim diri mempunyai kasih terhadap istri kita, yang penting adalah kita memperlakukan istri kita dengan penuh kasih. Sekali lagi saya ingin tegaskan bahwa ternyata ada perbedaan antara keduanya dan saya berharap kita tidak puas diri tatkala kita memeriksa hati dan berkata o...ya....ya saya mempunyai kasih terhadap istri saya. Waktu saya pergi jauh meninggalkan dia saya teringat akan dia, waktu saya sedang di kantor saya memikirkan dia, waktu saya sedang melamun saya mengingat-ingat tentang masa indah kita berdua, nah itu semua adalah hal-hal yang bersifat perasaan internal tapi itu tidak cukup. Yang penting adalah dalam kenyataannya, dalam hidup sehari-hari bagaimanakah kita memperlakukan istri kita. Nah saya belajar bahwa saya harus mengasihi dia dengan benar, dan yang benar adalah memperlakukan dia dengan penuh kasih.
(2) GS : Nah untuk bisa memperlakukan istri kita dengan penuh kasih itu Pak Paul, bukankah itu membutuhkan suatu keterampilan atau latihan-latihan tertentu, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Salah satu yang penting adalah kesanggupan untuk menguasai lidah kita. Sebagai pria ada kecenderungan kita berlaku kasar kepada istri kita. Kita adalah makhluk yang mudah kasar dibandingka wanita, itu sebabnya kita mesti menjaga mulut kita.

Kita mungkin bisa berkata-kata kasar kepada sesama pria dan dianggap sebagai hal yang wajar tapi tidak bisa kita menerapkan hal yang sama dengan istri kita. Jadi salah satu hal yang harus kita lakukan ialah menjaga lidah kita, adakalanya lidah kita itu begitu tajam merobek-robek istri kita, nah hal yang sering kali muncul adalah kita ini menganggap perbedaan dengan istri kita sebagai keunggulan kita dan kelemahan dia. Kenapa dia sebagai wanita tidak bisa berpikir seperti kita, mengapakah dia sebagai wanita tidak bisa menguasai emosinya seperti kita, mengapakah dia sebagai wanita tidak berani untuk menghadapi fakta itu seperti kita, nah kecenderungan kita melihat semua itu dengan meremehkan istri kita dan menganggapnya sebagai orang yang lemah dan kita tidak lagi respek atau menghargainya. Makanya yang ke luar sebagai cetusan isi hati kita adalah omelan yang merendahkan dia, nah sebagai pria kita mesti menjaga bibir kita ini agar jangan sampai merendahkan apalagi merobek-robek harga diri istri kita.
GS : Ada suami itu yang sering mengatakan kepada istrinya saya ini mengasihi kamu, saya ini mencintai kamu sungguh-sungguh tetapi istri itu tidak bisa memahami atau merasakan atau meyakini kata-kata suaminya itu, kenapa Pak Paul?

PG : Untuk menegaskan contoh Pak Gunawan, ada kasus di mana suami itu kalau marah memukuli istrinya. Tapi waktu dia tidak marah dia akan berkata dia sangat mencintai istrinya, nah saya yakin disini ada suatu gab, ada suatu jurang antara pengakuan di mulut dan perlakuan.

Yang istri akan lihat sudah tentu adalah perlakuan. Pertanyaannya kenapa sampai seperti itu, saya kira salah satu hal yang langsung sudah hilang pada suami yang berlaku kasar kepada istrinya adalah respek, dia tidak lagi respek kepada istrinya. Atau ada pria yang terbiasa semua harus tunduk kepadanya, tidak boleh sesuatu itu berjalan di luar kehendaknya atau ada pria yang terlalu terbiasa untuk diagungkan sehingga sewaktu istrinya tidak terlalu mendengarkan pandangannya atau menghormati dia seperti yang dia minta, dia akan marah dan langsung mencaci-maki atau memukul istrinya. Nah saya kira itu semua adalah penyebab yang membuat pria akhirnya hanya bisa mengaku melalui mulut dia mengasihi istri tapi tidak bisa memperlakukan istrinya dengan penuh kasih.
GS : Jadi selain Pak Paul belajar mengasihi dengan benar, hal lain apa yang Pak Paul pelajari?

PG : Yang kedua adalah saya belajar untuk mengasihi istri saya dengan bahasa kasih istri saya sendiri. Saya kira, saya dan semua orang mempunyai cara sendiri-sendiri untuk mengungkapkan kasih. an kita kadang kala akan merasa frustrasi karena kita sudah berusaha menunjukkan kasih kepada istri kita, tapi istri kita tidak menanggapi atau tidak merasa dikasihi oleh kita.

Nah saya kira duduk masalahnya adalah kita mengungkapkan kasih dengan cara kita, dengan bahasa kita, bukan dengan bahasa kasih istri kita. Jadi penting sekali kita sebagai suami sebagaimana yang Tuhan perintahkan, kita mesti mengasihi istri kita tapi kasihilah dia dengan bahasa cintanya yang dapat dipahaminya. Misalkan jawaban yang klasik yang sering saya dengar kalau saya bertanya: Apakah Bapak mengasihi istri Bapak? Ya tentu saya mengasihi istri saya. Nah saya akan bertanya: Apa bukti konkret Bapak mengasihi istri Bapak? Jawabannya sangat sederhana dan klasik adalah ya saya bekerja untuk siapa. Nah pertanyaannya adalah apakah orang yang bekerja itu sudah pasti mengasihi, apakah pembantu rumah tangga yang bekerja untuk tuannya sudah pasti mengasihi tuannya, apakah pasti orang yang bekerja untuk perusahaannya mengasihi pemilik perusahaan itu. Nah saya kira jawabannya sudah tentu adalah belum tentu, demikian jugalah kita yang berkata kita bekerja sebagai tanda cinta kasih kita kepada keluarga, belum tentu itu dilihat sebagai kasih. Nah jadi kita mesti belajar dari istri kita bahasa kasihnya dan mencoba untuk menunjukkan bahasa kasih itu kepada dia sehingga dia dapat mengerti bahwa kita sungguh-sungguh mengasihinya.
GS : Nah di dalam proses belajar itu Pak Paul, karena kita harus belajar dari orang lain, dari istri kita dalam hal ini. Apakah patut kita itu menanyakan: Sebenarnya dengan tindakan apakah saya ini harus lakukan supaya kamu itu percaya bahwa saya ini mengasihi kamu?

PG : Saya kira istri bisa berperan lebih aktif di sini Pak Gunawan, saya berikan contoh, seminggu sekali istri saya dan saya keluar untuk berkencan, kami biasanya pergi makan siang bersama. Nahistri sayalah yang mengajak saya untuk atau meminta saya untuk memikirkan tempat ke mana kami akan pergi makan siang bersama.

Saya kira yang menjadi kebanggaannya adalah atau kesenangannya adalah melihat saya memikirkan nanti makan di mana, nanti berkencan di mana. Nah buat dia melihat saya memikirkan, pergi ke tempat tertentu dan sebagainya itu adalah ungkapan kasih saya kepada dia. Yang lainnya ada sebagian istri yang sangat senang sekali jikalau menerima sentuhan di pundak, pelukan, di tangan dsb hal-hal kecil seperti itu merupakan bahasa cintanya. Ada juga memang para istri yang senang untuk menerima bunga, menerima kartu dan sebagainya. Atau kalau suaminya pergi pulang terlambat tolong menelepon memberitahukan, tidak bisa makan malam menelepon memberitahukan, atau pergi ke mana mengajak istrinya. Ada begitu banyak bahasa kasih yang memang kita mesti pelajari dan setiap orang tidak sama.
GS : Ya memang sulitnya di situ, biasanya kadang-kadang justru yang diminta itu sesuatu yang sulit kita lakukan Pak Paul, kadang-kadang permintaannya misalnya saja mencoba membuat surpriselah pada hari ulang tahun saya misalnya begitu. Nah kita sebagai suami berpikirnya sulit sekali untuk membuat surprise, surprise apa begitu Pak Paul. Kita lalu melakukan sesuatu menurut fersi kita.

PG : Betul, adakalanya kesulitan itu mematahkan semangat kita sehingga kita akhirnya sudah tidak usah. Saya kira ada hal yang kita akan katakan tidak bisa kita lakukan, susah sekali tapi ya say juga berharap kita tidak menyerah dengan begitu mudah.

Jadi berusahalah semaksimal mungkin melakukan yang memang itu diminta oleh istri kita.
GS : Nah tadi Pak Paul katakan ada tiga hal, Pak Paul baru sebutkan dua, yang ketiga apa Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah saya belajar mengasihi istri saya dengan membatasi kasih kepada yang lain. Ini sering saya tekankan Pak Gunawan, kasih hanya terlihat jelas dalam perbandingan, dengan ata lain kasih saya kepada istri saya hanya muncul dengan sangat jelas dalam perbandingan dengan bagaimanakah saya memperlakukan orang lain.

Saya kira ini salah satu masalah yang sering terjadi dalam keluarga, suami berkata kepada istrinya saya mengasihi kamu, tapi si istri melihat si suami memperlakukan dia sangat berbeda dengan si suami memperlakukan mamanya ibunya sendiri. Atau si suami memperlakukan istri berbeda dengan bagaimana si suami memperlakukan adik perempuannya misalnya atau lebih bahaya lagi si suami memperlakukan istri lebih buruk dari pada dia memperlakukan teman-teman kantornya. Nah orang hanya akan merasa dikasihi kalau dia melihat dia diperlakukan spesial melebihi orang-orang lain. Inilah pelajaran yang saya timba dari pernikahan saya sendiri, dulu saya beranggapan saya hanya perlu memperlakukan istri saya sama tidak lebih rendah dari saya memperlakukan orang lain, itu keliru. Istri harus menempati tempat yang paling utama dalam hidup kita, maka kita perlu memperlakukan dia lebih istimewa daripada orang lain.
GS : Ya, tetapi bukankah itu sesuatu yang relatif Pak Paul, misalnya kita sudah memperlakukan dia lebih, tetapi lebihnya memang juga tidak banyak-banyak tapi kita tahu bahwa itu sebenarnya lebih dengan kita memperhatikan orang tua, adik dan sebagainya. Tetapi dia sendiri belum tentu merasa bahwa dia diperlakukan lebih?

PG : Saya kira kita kembali lagi sekarang pada point yang kedua tadi yakni mengasihi istri dengan bahasa cintanya. Kalau kita melakukan yang memang dia harapkan yaitu mengasihi dia dengan bahas cintanya, saya kira dia akan merasakan bahwa dia itu istimewa, sehingga waktu kita memperlakukan mama kita dengan baik dia tidak terlalu berkeberatan.

Saya melihat hampir semua kasus yang saya temui dalam soal ini bersumber bukan dari kecemburuan istri yang berlebihan atau yang melewati batas, tapi waktu istri itu cemburu sering kali itu disebabkan oleh karena dia tidak merasakan dia diperlakukan khusus oleh pasangannya. Bahwa suaminya lebih mengutamakan yang lain, nah kalau memang dia atau si suami sudah memperlakukan istri dengan khusus seperti yang diminta oleh bahasa kasihnya tapi si istri terus begitu ya mungkin sekali memang ada masalah pada si istri. Yang bersumber dari dirinya sendiri, dia merasa tidak aman, dia selalu menuntut suaminya untuk membuat dia merasa aman, dia tidak bisa melihat orang sama sekali dalam hidup meski dialah yang terutama, nah kalau itu memang masalah kepribadian yang lebih parah jadi memang kita perlu menghadapi masalah seperti itu dengan lebih khusus.
GS : Mungkin tuntutannya justru dirasa aman itu Pak Paul?

PG : Betul, dan ada orang yang memang seolah-olah tidak pernah puas-puas merasa aman dan dia menuntut suaminya terus-menerus membuat dia merasa aman. Nah kalau sampai seperti itu saya kira dudu masalahnya terletak pada si istri itu sendiri.

GS : Pak Paul, di dalam hal belajar untuk mengasihi ini apakah ada firman Tuhan yang tepat untuk disampaikan kepada kita semua?

PG : Saya akan bacakan Efesus 5:25-27, "Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, seudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela."

Tuhan memberikan perintah yang spesifik kepada suami untuk mengasihi istri. Jadi tugas suami yang akan terus-menerus dikerjakan sampai akhir hayatnya adalah mengasihi istrinya, seperti apakah? Tuhan memberikan contoh dan syarat di sini dengan sangat jelas mengasihi dia, membuat dia itu cemerlang, tanpa cacat, tanpa kerut seolah-olah dengan kasih kita itu kita membuat istri kita bercahaya atau bersinar. Begitu berbahagianya dia sehingga seolah-olah dia menjadi orang yang paling mulia.
GS : Kalau di sini digambarkan suami itu mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat, bukankah itu betul-betul suatu pengorbanan, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi suami akan harus berkorban dan pengorbanan yang terbesar adalah menanggalkan egonya, maka firman Tuhan berkata Tuhan mengasihi kita, Dia mengorbankan diri-Nya. Dia tidakmenganggap kesetaraan dengan Tuhan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan tapi Dia mengosongkan diri-Nya menjadi manusia.

Jadi itu contoh yang Tuhan berikan, jadi dengan cara apakah suami mengasihi istri dengan cara melepaskan egonya.
GS : Dan proses belajar ini akan terus berlangsung sampai kita meninggal dunia Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan saya percaya ini sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Para pendengar yang kami hormati dan kami kasihi terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar Untuk Mengasihi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



24. Belajar Tunduk


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T115B (File MP3 T115B)


Abstrak:

Dewasa ini emansipasi wanita sudah berjalan dan hak untuk wanita maupun pria cenderung disetarakan. Perintah untuk tunduk kepada suami menjadi perintah yang tampaknya atau kedengarannya tidak terlalu relevan. Tapi melalui topik ini kita akan belajar dan menggali konsep tunduk dengan lebih dalam.


Ringkasan:

"Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Efesus 5:22-23

Adakalanya tunduk dikaitkan dengan "lemah, tidak bisa apa-apa, tidak berdaya, dikuasai atau di bawah" suami. Itu sebabnya kata tunduk kurang mendapat tempat dalam hati banyak wanita modern dewasa ini.

Hal-hal yang istri saya pelajari untuk tunduk:

  1. Arahkan mata kepada Tuhan: tunduk kepada Tuhan yang memerintahkan istri untuk tunduk kepada suami. Dengan kata lain, tunduk kepada suami merupakan hasil kepatuhan kepada Firman Tuhan.

  2. Tunduk kepada suami membuahkan hasil yakni bertambah harmonis dan buah inilah yang makin memacu istri untuk tunduk kepada suami.

  3. Tunduk tidak berarti tidak berpendirian atau dikuasai; tunduk lebih sering berarti bijaksana dalam penyampaian.

Kebanyakan suami menginginkan istri yang dapat membantunya, bukan yang sama sekali diam. Jalan terbaik bagi istri adalah mengarahkan dan bukan mengkonfrontasi suami.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Belajar Untuk Tunduk". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

(1) PG : Ada satu perintah yang Tuhan berikan dan perintah ini adalah perintah yang kurang populer pada zaman ini. Secara spesifik perintah ini diberikan kepada para istri yaitu Hai istri, tundklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.

Ini saya ambil dari Efesus 5:22,23. Pak Gunawan, pada zaman kita ini di mana emansipasi sudah berjalan dan hak untuk wanita maupun pria cenderung disetarakan. Perintah untuk tunduk kepada seseorang apalagi kepada suami menjadi perintah yang tampaknya atau kedengarannya tidak terlalu relevan. Nah untuk itulah pada kesempatan ini kita akan mencoba untuk menggali konsep tunduk ini dengan lebih dalam.
GS : Ya pada umumnya kalau kita mendengar kata tunduk, itu kata yang mempunyai arti menurut saja Pak Paul. Kata yang tadi Pak Paul sudah katakan lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa menyerah saja, apakah itu pengertian tunduk secara umum Pak Paul. Tetapi apakah ada pengertian yang khas di dalam perintah ini?

PG : Di dalam firman Tuhan sebelum perintah ini diberikan di ayat 22, di ayat 21-nya Tuhan memberikan perintah secara umum kepada semua orang dan kata yang digunakan juga persis sama yaitu tundklah satu kepada yang lain.

Jadi memang Tuhan itu bukannya dengan sengaja mendeskriminasi wanita bahwa wanita itu haruslah tunduk dan pria itu adalah orang yang tidak perlu tunduk kepada siapapun. Sebab di ayat sebelumnya Tuhan sudah memberikan perintah ini kepada semua, kepada semua umat-Nya, anak-anak-Nya agar saling tunduk, saling menghormati satu sama yang lain. Namun dalam organisasi keluarga memang harus ada yang tunduk sebab di dalam semua organisasi perlu ada yang namanya kepemimpinan, kalau tidak adanya kepemimpinan yang akan terjadi adalah kekacauan. Nah kepemimpinan itu tidak bisa tidak hanya akan berdiri di atas kepatuhan orang yang dipimpin, kalau tidak ada kepatuhan orang yang dipimpin dapat dikatakan tidak ada lagi pemimpin atau kepemimpinan. Jadi keluarga sebagai unit organisasi yang kecil juga menuntut adanya kepemimpinan agar bisa berjalan dengan tertata dan rapi, kalau tidak akan terjadilah kekacauan. Dalam disain Tuhan, Tuhan menempatkan si suami sebagai pemimpinnya dan si istri sebagai anggota yang mematuhi kepemimpinan si suami itu. Tetapi sekali lagi saya ingin menggarisbawahi apa yang telah saya katakan, bukan berarti suami itu adalah orang yang dibebaskan dari kepatuhan,. Tuhan sudah tegaskan tunduklah satu kepada yang lain, jadi memang suami juga harus memiliki kepatuhan itu. Yang kedua adalah kepatuhan itu juga merupakan kepatuhan bersyarat Pak Gunawan, sebab dikaitkan juga dengan firman Tuhan dalam bagian yang sama yaitu Hai suami, kasihilah istrimu dan bahkan Tuhan menegaskan kasihilah seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya. Jadi sekali lagi kepatuhan ini kepatuhan yang juga menuntut syarat, syarat bahwa si istri juga dikasihi begitu besarnya oleh si suami.
GS : Tapi di ayat tadi yang Pak Paul bacakan agar istri tunduk kepada suaminya seperti kepada Tuhan itu Pak.

PG : Betul, jadi memang perumpamaan yang digunakan adalah Tuhan dan jemaat-Nya, Tuhan mengasihi jemaat, suami yang seperti itulah mengasihi istrinya. Jemaat patuh kepada Tuhan, seperti itulah itri patuh kepada suaminya jadi perumpamaan Tuhan dan jemaat-Nya yang digunakan untuk menggambarkan relasi suami dan istri.

Saya mau ulas sedikit di sini, kalau orang bertanya kepada saya berapa patuhnya saya seharusnya kepada suami saya? Jawaban saya adalah berapa besarnya kasih suamimu kepada dirimu. Jadi kepatuhan itu diukur sejajar dengan besarnya kasih, dengan kata lain semakin besar kasih suami kepada istri semakin besar kepatuhan. Jadi dapat kita simpulkan pula, istri yang mendapatkan sedikit kasih dari suaminya kecenderungannya adalah akan juga memberikan sedikit kepatuhan kepada suaminya. Maka perintah Tuhan itu tidak bisa dipatahkan sendiri nah kadang-kadang ini yang terjadi dalam masalah keluarga, suami menuntut kepatuhan buta dari si istri tapi dia gagal untuk melihat bahwa dia tidak mengasihi istrinya, seperti yang telah kita bahas pada kesempatan yang lalu.
GS : Nah apakah dalam hal ini kalau si suami itu tidak sungguh-sungguh mengasihi istrinya atau istrinya tidak bisa merasakan bahwa suaminya mengasihi dia, menjadi suatu alasan bagi dia untuk tidak tunduk kepada suaminya?

PG : Alasan yang mungkin sekali Pak Gunawan, muncul secara alamiah dengan kata lain bukannya si istri sengaja untuk mencari alasan itu tapi bukankah kita sendiri pun susah untuk patuh kepada orng yang kita tahu tidak lagi berniat baik kepada kita, tidak mempunyai kasih kepada kita.

Nah kalaupun kita patuh dalam kasus seperti itu, kepatuhan kita itu lebih merupakan keterpaksaan, keharusan karena mungkin kita mengharapkan sesuatu darinya atau kita takut konsekuensinya kalau kita tidak patuh kepada dia. Nah makanya digunakan pengibaratan Tuhan dan Jemaat-Nya. Jemaat patuh kepada Tuhan sebab jemaat mengetahui Tuhan mengasihi jemaat, kita tahu Tuhan mengasihi kita itu sebabnya kita ingin mematuhi Dia. Nah sebaiknya itu yang terjadi dalam keluarga, istri patuh kepada suami karena dia tahu suami mengasihi dia.
GS : Nah Pak Paul, supaya apa yang kita perbincangkan ini menjadi jelas, kalau Pak Paul tidak keberatan apakah yang Pak Paul perhatikan terhadap istri Pak Paul dalam hal belajar tunduk ini?

PG : Saya bertanya kepada istri saya sebab saya ini ingin mendapatkan responsnya, apa yang dia pelajari dari kepatuhan kepada saya. Dan dia memberikan saya beberapa jawabannya, yang pertama adaah dia patuh kepada saya sebab dia selalu mengingat ini adalah perintah Tuhan, dengan kata lain istri saya atau sebaiknya para istri memandang Tuhan sebagai pemberi perintah ini.

Bahwa ini bukanlah sesuatu yang diminta oleh manusia, oleh sesamanya, oleh guru, oleh suaminya atau oleh keluarganya, ini sesuatu yang diminta Tuhan. Dengan kata lain kita ini tunduk kepada Tuhan yang memerintahkan kita untuk tunduk kepada suami. Tunduk kepada suami merupakan hasil kepatuhan kita kepada firman Tuhan, saya mau tegaskan ini sebab saya kira sebagaimana kita ini pria juga ya kita tidak selalu secara alamiah dan mudah menundukkan diri pada orang lain. Nah kita juga perlu memaklumi bahwa istri kita juga tidak secara alamiah dan mudah tunduk kepada kita apalagi tadi kita telah awali dengan perbincangan bahwa di zaman yang modern ini kita cenderung berpikir yang namanya patuh itu bodo, tidak mempunyai pendirian, lemah, penurut saja seperti kerbau ditusuk hidung dan sebagainya. Nah jadi saya mengerti pada zaman ini tantangan wanita untuk patuh kepada suaminya lebih besar dibandingkan dengan generasi orang tua kita atau kakek-nenek kita. Jadi saya kira perempuan memang harus berjuang lebih keras nah perjuangan ini hendaklah dilakukan dengan cara menatap Tuhan sebab Dialah yang memberi kita perintah, kita patuh kepada suami sebab itu permintaan Dia. Dapat kita begini, kepatuhan kita kepada suami merupakan bukti kepatuhan kita pada Tuhan sendiri sebab ini firman Dia, ini permintaan Dia, jadi sekali lagi waktu dia patuh kepada suaminya yang dia langsung harus pikirkan adalah saya ini mematuhi Tuhan. Mungkin saya melihat kekurangan pada suami saya, mungkin saya melihat ketidakcocokan, ketidaksetujuan saya tapi saya mempunyai kesediaan untuk patuh sebab inilah yang Tuhan minta.
GS : Ya memang di situ Pak Paul kadang-kadang istri kalau kepada Tuhan saya bisa patuh sebab Tuhan tidak pernah keliru, tetapi kalau terhadap suami, suami ini sering kali keliru baik kata-katanya maupun tindakanny, begitu Pak Paul?

PG : Nah nanti kita akan membahas pada point yang berikutnya bagaimana mengatasi ketidakcocokan pandangan yang mungkin sekali disebabkan oleh kekeliruan si suami. Yang saya mau tekankan adalah ada dasarnya kita sudah harus memiliki sikap kesediaan untuk tunduk kepada suami, itu sudah harus ada karena ini yang Tuhan perintahkan.

Sebab kalau pada dasarnya para wanita memasuki pernikahan dengan prinsip saya mau melihat dulu bagaimana kamu kepada saya, apakah kamu bisa memimpin saya, apakah kamu layak menerima kepatuhan atau hormat saya, baru saya patuh. Nah saya kira mereka telah memasuki pernikahan dengan titik berangkat yang keliru. Titik berangkat yang Tuhan inginkan adalah saya ingin patuh karena itu yang Tuhan minta.
GS : Katakan dasarnya sudah betul, jadi kita atau istri ini memandang bahwa kepatuhannya itu adalah kepatuhan kepada Tuhan, apakah itu akan ada hasilnya, Pak Paul?

PG : Nah saya bertanya kepada istri saya, apa yang membuat kamu bisa patuh terus kepada saya. Nah sekali lagi saya mau tegaskan di sini bahwa istri saya bukanlah seperti kerbau yang ditusuk hidng semua ikut o....tidak,

kadang kala kami juga bertengkar karena tidak adanya kesesuian pendapat dan sebagainya. Jadi sekali lagi saya bukanlah sebagai pemimpin yang seperti ditaktor. Istri saya berkata dia tetap mematuhi saya sebab dia melihat hasilnya. Ini point kedua, melihat hasil bahwa kepatuhan dia itu membawa sesuatu yang baik ke dalam hubungan kami berdua. Kami menjadi lebih mesra, saya lebih sayang kepada dia, dengan kata lain buah atau hasilnya sangat-sangat positif terhadap pernikahan ini yang makin memacu dia untuk patuh.
GS : Ya, jadi itu memang suatu hasil yang konkret yang bisa dia rasakan, dia bisa menikmati sehingga dia makin patuh kepada Pak Paul itu?

PG : Betul, sebab kalau belum apa-apa seseorang sudah mempunyai pikiran wah.....kamu salah saya harus benarkan, tidak akan ada hubungan kepatuhan lagi sedangkan yang Tuhan minta dari sebuah perikahan adalah dua jenis relasi, relasi kasih dan relasi kepatuhan.

Suami kepada istri mengasihi, istri kepada suami mematuhi, jadi harus ada dua unsur atau dua karakteristik atau dua corak dalam setiap relasi nikah yaitu relasi kasih dan relasi patuh. Jadi sekali lagi di sini dibutuhkan kerendahan hati dari pihak istri untuk lebih sedia patuh, tunduk kepada suaminya dan tidak memasuki pernikahan dengan sikap saya sejajar dengan kamu dalam hal pendapat dan sebagainya, maka saya tidak akan sejengkal pun mengalah kalau saya tidak mau mengalah kepadamu. Nah sikap seperti itu niscaya akan memecahbelahkan keluarga sebab dalam semua organisasi kepemimpinan memang harus ada dan yang dipimpin harus menyediakan dirinya itu dipimpin oleh yang memimpin, tanpa itu tidak ada lagi organisasi yang utuh.
GS : Ada seorang istri yang memang betul tunduk kepada suaminya, nah setelah dia menuruti kata-kata suaminya ternyata hasilnya merugikan keluarga itu sehingga si istri ini berkata saya sudah menurut kepada kamu ternyata seperti ini, menjadi berantakan, jadi menimbulkan kerugian bagi keluarga itu nah itu bagaimana Pak paul?

PG : Nah ini membawa kita ke point yang ketiga Pak Gunawan, tunduk tidak berarti tidak berpendirian atau dikuasai, tunduk lebih sering berarti bijaksana dalam penyampaian. Saya mau tegaskan inisebab memang adakalanya kita menemukan istri yang lebih bijaksana dari pada suaminya atau dalam kasus yang lebih umum kadang kala dalam hal tertentu suaminya lebih bijaksana yang lain istrinya lebih bijaksana.

Atau dalam hal tertentu suami lebih berpengetahuan dalam hal lainnya istri lebih berpengetahuan. Dengan kata lain seharusnyalah seorang suami itu menerima masukan dari istrinya dan sebetulnya kebanyakan pria senang menerima masukan dari istrinya tapi suami tidak senang diperintah oleh istrinya. Sebab memang fungsinyalah di dalam keluarga sebagai pemimpin, dia bukannya superior maka dia dijadikan pemimpin o....tidak. Tuhan mengatakan pria dan perempuan itu sama di mata Tuhan tidak lebih tinggi, tidak lebih rendah. Jadi tugas memimpin bukan didasari atas kesuperioritas pria terhadap wanita, sama tinggi, sama rendah tapi itulah fungsi yang Tuhan sudah berikan. Nah oleh sebab itu dalam pengambilan keputusan seharusnya dia terbuka dan memohon masukan dari istrinya. Yang penting di sini adalah penyampaian si istri, bijaksana, hati-hati, sensitif, tidak menggurui, merintangi atau memerintah si suami. Yang sering kali membuat suami bereaksi adalah bukan isi penyampaian itu tapi cara penyampaiannya yang lebih bernada seolah-olah menggurui, mematahkan semangat atau mengatakan bahwa "Engkau itu tidak bisa berpikir dengan benar, masa' begini saja bisa salah" dan sebagainya. Nah hal-hal itu akhirnya membuat suami pada lain kesempatan tidak meminta pendapat si istri, dia langsung putuskan sendiri. Jadi saya mau tekankan mungkinkah suami keliru? Mungkin. Mungkin atau tidak suami itu membuat keputusan yang tidak bijaksana? Mungkin. Itu sebabnya Tuhan melengkapi si suami dengan si istri maka Tuhan berkata: "Aku menciptakan seorang penolong bagimu," kepada si suami ini. Penolong yang berarti bisa memberikan masukan agar kekurangan si suami itu bisa dilengkapi oleh si istri, namun yang penting adalah si istri harus bijaksana dalam penyampaian pendapatnya ini.
GS : Ya si istri itu sudah berusaha menyampaikan pendapatnya Pak Paul, tetapi karena biasanya kalah kalau diajak argumentasi dan lain sebagainya akhirnya dia menyerah ya sudahlah saya mengikuti kamu, tetapi dia sebenarnya sudah tahu bahwa hasilnya akan negatif Pak Paul?

PG : Dalam kasus tertentu kalau masih bisa ditunda, tundalah. Jadi si istri bisa berkata kepada si suami: "Boleh atau tidak tunda dulu," jadi itu salah satu kebijaksanaan yang diambiloleh si istri.

Kebijaksanaan yang kedua adalah misalnya si istri berkata: "Bersedia tidak, kalau kita berbicara dengan orang lain, minta pendapat orang lain yang mungkin lebih tahu dari pada kita, 'kan tidak ada salahnya." Jadi itu adalah cara bijaksana kedua untuk menunda dan sekaligus mendapatkan masukan dari pihak yang lebih mengerti tentang keputusan kita itu. Misalkan setelah melakukan dua hal itu si suami tetap bersikeras melakukan kehendaknya. Nah saya berprinsip begini, selama itu tidak berkaitan dengan dosa, misalkan si suami itu mau mengambil keputusan bisnislah dan sebagainya harus menanamkan uang atau apa, nah selama memang tidak berkaitan dengan dosa, sementara si suami tidak bisa lagi diberitahukan ya biarkan. Biarkan sampai memang dia harus menemukan sendiri jawaban yang benar itu, mungkin melalui kegagalannya.
GS : Ada istri itu yang nampaknya memang dari luar itu tunduk terhadap suaminya, tapi diam-diam dia selalu mempengaruhi suaminya, memberikan arahan dan sebagainya sehingga akhirnya kelihatan bahwa sebenarnya yang dominan di situ adalah istri bukan suami.

PG : Saya kira selama istri itu berperan secara sehat, memberikan arahan secara bijaksana dan diam-diam, itu baik. Jadi sekali lagi ketergantungan suami dan istri ini seharusnyalah menjadi ketegantungan yang berimbang.

Suami sebagai pemimpin bergantung kepada istri yang berfungsi sebagai penolong, si istri sebagai penolong bergantung kepada suami yang berfungsi sebagai pemimpin. Jadi seyogyanyalah suami dan istri dalam pengambilan keputusan saling mengisi dan istri yang bisa memberikan masukan dan arahan kepada si suami dengan cara yang halus dan tidak merendahkannya akan mempunyai banyak pengaruh dan bisa memberikan masukan yang berharga kepada si suami.
GS : Ya, juga kadang-kadang istri tidak tahan dengan cemoohan dari teman-temannya Pak Paul, atau mungkin dari saudara-saudaranya atau kerabat dekatnya. Katakan kenapa kamu mau saja tunduk-tunduk kepada suamimu, sekarang tidak zamannya lagi, seperti itu Pak Paul?

PG : Saya kira kita mesti melihat tunduk dalam arti apa, misalkan tunduk dalam arti melayani suami, saya kira tidak ada salahnya dan kalau memang ini disepakati juga oleh si istri. Misalkan pag dia bangun menyiapkan makan pagi, malam dia menyiapkan juga makan malam atau siang dan sebagainya.

Melayani seperti itu hal yang indah tapi juga seharusnya dilakukan oleh suami kepada istri, bukan hanya istri kepada suami. Dalam hal-hal yang lain suamilah yang melayani si istri, misalnya mengantar istri ke pasar atau membeli barang, mengantarkan anak-anak untuk pergi ke mana misalnya. Nah dengan caranya si suami sendiri dia pun melayani si istri. Jadi seyogyanyalah dalam keluarga kita melihat sikap saling melayani seperti ini bukan hanya istri yang menjadi pembantu rumah tangga kedua dalam rumah itu.
GS : Tapi kalau memang dia prinsipnya sudah benar bahwa yang tadi Pak Paul katakan itu dia tunduk ini seperti tunduk kepada Tuhan, artinya dasarnya adalah firman Tuhan, saya rasa orang berbicara apapun dia akan tetap melakukan Pak Paul?

PG : Betul, dan dia melihat hasilnya kalau suaminya hidup akan Tuhan dan mengasihi dia dan dia tunduk kepada suaminya, mereka berdualah yang akan melihat buah dari ketaatan mereka kepada firmanTuhan.

Bahwa hubungan mereka makin kuat dan berkat Tuhan makin melimpah atas mereka dan mereka tahu bahwa di jalan Tuhan yang benar, di situlah mereka akan mendapatkan kedamaian dan juga tahu bahwa di situlah Tuhan akan memberkati dan memimpin mereka
GS : Jadi dalam hal ini bukan soal ada yang menang atau yang kalah tetapi semuanya merasakan kebahagiaan itu Pak Paul?

PG : Betul sekali, dalam rumah tangga yang sehat, yang enak tidak ada lagi yang merasa bahwa dia itu diperintah dan tidak ada lagi yang merasa bahwa dia memerintah. Karena semua akan berjalan scara sangat alamiah tidak adanya keterpaksaan.

Jadi waktu si suami itu dilihat sebagai pemimpin, dia sendiri tidak merasakan dirinya itu sudah memimpin-mimpin, dia tidak harus mengeluarkan energi otoritasnya untuk menguasai si istri dan sebaliknya juga dengan si istri kepada si suami.

GS : Jadi saya percaya sekali Pak Paul ada banyak para pendengar kita dan tentunya kita semua ingin belajar untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia sesuai dengan ketentuan yang Tuhan sudah berikan. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian yang kami kasihi, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar Untuk Tunduk". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



25. Tatkala Cinta Layu


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T116B (File MP3 T116B)


Abstrak:

Cinta memerlukan kehangatan sinar, yaitu sinar perlakuan, hal-hal yang kita lakukan kepada satu sama lain sehingga akhirnya cinta itu bisa tetap bertumbuh dan segar.


Ringkasan:

Perasaan memang dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, faktor-faktor yang ada di luar diri kita. Jadi adakalanya kita tidak merasakan cinta itu sekuat misalnya pada waktu-waktu tertentu. Tapi yang penting adalah kita mengasihi dia, kita tahu dia adalah orang yang berharga buat kita dan kita ingin memberikan yang terbaik untuk dia. Kita tidak ingin melukainya, menyusahkannya, kita justru ingin membuat dia makin hari makin baik, makin bahagia, ini adalah indikator bahwa kita mengasihi pasangan kita.

Cinta memerlukan kehangatan sinar, yaitu sinar perlakuan, hal-hal yang kita lakukan kepada satu sama lain sehingga akhirnya cinta itu bisa tetap bertumbuh dan segar.

Yang perlu kita lakukan waktu kita melihat cinta pasangan kita mulai menurun yaitu:

  1. Jika ada perlakuan yang dingin maksudnya kurang memperhatikan atau perlakuan yang melukai atau yang kasar yang sudah kita perbuat kepada pasangan kita, ini semua harus kita hentikan. Perlakuan yang dingin, tidak memperhatikan menjadikan pasangan kita itu tidak nyaman untuk menumbuhkan cintanya, apalagi kalau kita bersikap kasar kepada dia dan melukai hatinya.

  2. Kita menantikan dengan sabar munculnya tunas-tunas cinta, jangan memaksakan kehendak. Segala yang layu akan memerlukan waktu yang lama untuk bertunas kembali, jadi dengan kata lain menumbuhkan sesuatu itu lebih cepat dari pada menghidupkan sesuatu.

  3. Jangan menyangkali fakta, terimalah kenyataan bahwa layunya cinta ini akibat perlakukan kita dulu. Adakalanya kita tidak mau mengakui fakta itu jadi kita menyangkali bahwa kita berbuat. Tanpa pengakuan, pasangan kita akan menganggap bahwa kita tidak serius atau dia akan merasa tidak dimengerti oleh kita, keberadaan perasaannya tidak lagi kita akui.

  4. Lakukan tindakan-tindakan yang menghangatkan hatinya, jadi perlu adanya tindakan positif, kalau tidak ada tindakan yang positif benar-benar cinta itu akan layu dengan sangat cepat. Cinta memerlukan pupuk dan pupuknya adalah tindakan-tindakan yang menghangatkan hati orang bukan malah merobek atau mendinginkan hati orang.

Kwalitas atau karakteristik penting dalam pernikahan adalah:

  1. Fleksibel tidak kaku dan dia mau untuk berubah

  2. Teachable, orang yang mau belajar, rendah hati.

Pernikahan memerlukan sekali kwalitas seperti ini orang yang fleksibel dan teachable barulah akhirnya bisa saling membangun, bisa saling memperbaiki masalah.

Perubahan yang paling nampak pada saat cinta mulai layu adalah :

  1. Tidak adanya lagi sinar, tidak ada lagi kehangatan dalam diri pasangan kita. Jadi sesuatunya itu hanyalah aktifitas, tidak ada lagi jiwa dalam perbuatan atau tindakannya.

  2. Kecenderungan untuk marah, untuk mengeluh, untuk mengkritik, untuk merasakan tidak puas.

Kolose 3:12, "Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semua itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan."

Firman Tuhan menjabarkan beberapa tindakan-tinddakan yang sangat-sangat akan menghangatkan cinta yaitu belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran itu luar biasa, itu akan menghangatkan cinta. Jadi sekali lagi Tuhan meminta kita melakukan yang merupakan ciri Tuhan yang paling utama yaitu Tuhan adalah kasih, karena Dia adalah kasih dan kita juga diminta Tuhan mengasihi. Orang pertama yang Tuhan minta untuk kita kasihi adalah yang di depan mata kita sendiri yaitu suami atau istri kita.


Transkrip:

Saudara-daudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Cinta Layu", kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, hubungan cinta antara kita dengan pasangan kita itu kadang-kadang terasa seperti kalau di grafik itu gambarnya bisa naik-turun, itu sebenarnya kenapa Pak Paul kok tidak bisa stabil atau tidak naik terus?

PG : Memang perasaan itu dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, faktor-faktor di luar diri kita, jadi adakalanya kita tidak merasakan cinta itu sekuat misalnya pada waktu-waktu tertentu lainya.

Tapi yang penting adalah bahwa kita mengasihi dia, kita tahu dia adalah orang yang berharga buat kita dan kita ingin memberikan yang terbaik untuk dia, kita tidak ingin melukainya, menyusahkannya, kita justru ingin membuat dia makin hari makin baik makin bahagia nah itu adalah indikator bahwa kita mengasihi pasangan kita.
GS : Berarti itu harus tetap dipelihara terus Pak Paul perasaan mencintai pasangan kita itu?

PG : Betul, saya tidak mengharapkan kita ini bisa seperti film-film di mana mereka sangat romantis sekali, bukan itu yang saya ingin katakan, tapi saya kira mesti ada keinginan-keinginan sepert tadi telah saya utarakan.

Keinginan untuk melihat pasangan kita itu senang, memberikan yang terbaik kepada dia, memperlakukan dia sebagai orang yang bernilai dalam hidup kita. Saya ini senang dengan tanaman Pak Gunawan, dan saya makin hari makin menyadari betapa pentingnya matahari buat tanaman, tanpa matahari tanaman pada umumnya tidak akan bisa bertumbuh kecenderungannya justru adalah malah layu. Nah cinta juga memerlukan kehangatan sinar bukannya matahari tapi cinta memerlukan kehangatan sinar perlakuan, hal-hal yang kita lakukan kepada satu sama lain sehingga akhirnya cinta itu bisa tetap bertumbuh dan segar.
GS : Tetapi memang harus diberikan dalam kadar yang tepat Pak Paul, seperti tadi Pak Paul umpamakan sinar matahari kalau waktu siang panas terik bisa layu Pak Paul?

PG : Betul, jadi perlakuan yang terlalu meninabubukkan, terlalu membuat pasangan kita itu terlena, itu juga tidak. Karena masing-masing harus mempunyai tanggung jawab dalam memelihara hubungan ni, kalau hanya satu orang saja yang melimpahkan tanpa timbal balik lama-lama juga akan terjadi ketimpangan.

(2) GS : Seandainya kita di pihak yang tahu bahwa pasangan kita ini perasaan cintanya kepada kita ini sedang menurun, lalu apa yang harus kita lakukan Pak Paul?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah jika ada perlakuan yang dingin maksudnya dingin adalah kurang memperhatikan atau perlakuan yang melukai atau yang kasar yang kita sudah perbua kepada pasangan kita, ini semua harus kita hentikan.

Kenapa, sebab cinta itu bertumbuh dalam suasana yang positif, yang enak, yang menyenangkan, yang nyaman. Cinta susah bertumbuh dalam situasi yang tidak enak, yang menekan, yang menyusahkan. Nah perlakuan yang dingin, tidak memperhatikan itu menjadikan pasangan kita tidak nyaman untuk menumbuhkan cintanya, apalagi kalau kita bersikap kasar kepada dia dan melukai hatinya. Tidak realistik buat kita berharap dia tetap mencintai kita seperti sediakala. Sebab hatinya sudah terobek-robek, tercabik-cabik oleh perkataan kita dan bahkan misalkan ada yang sampai memukul atau membanting-banting barang. Nah hati sudah tercabik-cabik bagaimanakah bisa seperti sediakala lagi ya tidak mungkin, nah mengatakan berulang-ulang kali bahwa kita mencintainya, sekali lagi tidak akan menghangatkan hatinya, kita perlu menghentikan perlakuan yang dingin dan melukai itu, barulah kita bisa menumbuhkan cinta yang telah layu.
GS : Nah itu caranya bagaimana Pak Paul, kalau kita mau memecah kebekuan itu. Bukankah kalau dibiarkan tambah dingin, tapi bagaimana kita memecahkan kedinginan ini atau kebekuan ini?

PG : Kita mesti mencari penyebabnya kenapa kita juga bersikap dingin kepada pasangan kita, mungkin ada hal-hal yang dia lakukan yang membuat kita akhirnya dingin. Nah itu yang kita harus munculan, jadi ada kesediaan dari kedua belah pihak untuk duduk bersama dan membicarakan pokok masalah itu.

Kadang kala pasangan kita tidak tahu kenapa kita dingin, kenapa kita tidak lagi memperhatikan dia. Sebab kita juga mungkin tidak menyampaikannya kepada dia dengan jelas. Tapi adakalanya bisa jadi kita sudah menyampaikan namun kurang diperhatikan olehnya akhirnya kita menjadi dingin. Nah kalau kita sadari itu yang terjadi kita bisa mengajak dia untuk duduk bersama dan kita sampaikan kepadanya bahwa hal ini penting bagi saya, begitu pentingnya sehingga waktu engkau tidak mendengarkanku aku berubah, aku menjadi dingin kepadamu, aku kurang lagi mempunyai kehangatan kepadamu. Jadi pokok masalahnya memang harus diungkap dan dibereskan, namun kalau kita sendiri memang tidak lagi memperhatikan dia tanpa alasan yang jelas, nah itu yang harus berubah. Sebab kedinginan kita itu akan berdampak langsung pada pasangan kita, tidak bisa tidak dia akan merasa tidak dikasihi oleh kita, tidak lagi merasa diperhatikan, tidak lagi merasa berharga buat kita, nah lama-lama cintanya dia pun terhadap kita akhirnya layu.
GS : Apakah ada hal lain Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah ini, kita menantikan dengan sabar munculnya tunas-tunas cinta, jangan memaksakan kehendak. Adakalanya memang kita tidak sabar karena kita telah menghentikanlah perbuatan-erbuatan yang buruk itu yang misalnya dulu kita banyak berbuat salah, hal-hal yang kita lakukan itu sekarang kita sudah hentikan.

Tapi kita tidak melihat imbalannya, kok dia masih tetap tidak bisa mengampuni, tidak bisa mengasihi kita. Nah yang saya ingin ingatkan adalah segalanya yang layu akan memerlukan waktu yang lama untuk bertunas kembali, jadi dengan kata lain menumbuhkan sesuatu itu lebih cepat dari pada menghidupkan sesuatu. Menumbuhkan secara alamiah itu lebih mudah, cinta yang mulanya belum ada akhirnya menjadi ada dan bertumbuh kuat dan besar daripada cinta sudah pernah ada kemudian dibuat mati, dibuat layu. Nah menghidupkan yang telah layu atau mati itu lebih sukar dan memerlukan waktu lebih panjang. Jadi kalau kita sadar bahwa itu yang kita telah perbuat kepadanya kita harus sabar, jangan memaksakan kehendak kita.
GS : Ya tetapi sering kali masalah-masalah itu yang membuat matinya cinta atau layunya cinta dan itu juga terus diungkit-ungkit lagi Pak Paul, kemudian kapan selesainya?

PG : Ini adalah keluhan banyak orang yaitu kenapa diungkit lagi. Tapi memang adakalanya harus ada keseimbangan, keseimbangan antara membiarkan pasangan kita untuk mengungkit tapi juga tidak sellu membiarkan itu terjadi.

Ada masanya memang orang yang terluka hendak memunculkan kembali kemarahannya dan dia menginginkan agar kita menoleransi, membiarkannya, membiarkan dia marah. Sebab memang kadang kala kemarahan itu memerlukan waktu untuk benar-benar bisa turun dan akhirnya hilang. Tapi di pihak lain juga jangan sampai kita ini dengan sengaja memuaskan diri untuk mengungkit-ungkit, untuk menyerang-nyerang kembali, jadi perlu ada keseimbangan antara keduanya. Tapi sekali lagi di pihak kita, karena kita memang sudah berlaku salah kepada pasangan kita dan mematikan cintanya, kita harus sabar. Kadang kala yang kita lakukan memang kita tidak sabar, kita marah, menuntut dia untuk memberikan respons yang baik. Kemarahan kita atau pemaksaan kehendak seperti itu hanyalah akan mematikan benih yang mungkin sudah mulai ada.
GS : Nah katakan itu tunas-tunas yang baru kelihatan atau baru muncul sedikit lalu pupus lagi, bukankah lama-lama cinta itu bisa mati?

PG : Betul, tapi di pihak lain memang pasangan kita memerlukan kepercayaan, bahwa kita ini akan berubah dengan sepenuhnya bukan hanya untuk sementara. Jadi sekali lagi ini tidak bisa dipaksakan tugas kita hanyalah melakukan kewajiban kita, kita menghentikan perbuatan-perbuatan kita yang salah itu dan membiarkan tunas itu bertumbuh secara alamiah.

Mungkin ada yang berkata wah.......sudah lama kok tidak tumbuh-tumbuh, memang adakalanya lebih susah dan memang saya akui ada orang yang memang bermasalah. Sehingga sekali kepercayaan itu dirobek, tidak mungkin lagi dia ciptakan yang baru itu, ada juga yang seperti itu. Namun dalam kasus seperti itu respons kita adalah yang terbaik, tidak memaksakan, kita hanya menjalani, kita membuktikan diri kita bahwa kita tidak lagi melakukan yang salah itu, tapi selebihnya kita kembalikan kepada pasangan kita, jangan kita memaksakan dia untuk bersikap dengan cepat berbeda pada kita.
GS : Ya mungkin dibutuhkan suatu pengharapan bahwa pasangan kita itu pasti akan berubah juga, Pak Paul?

PG : Ya kalau pasangan kita ini lumayan peka, dia mungkin bisa dengan jujur berkata: "Saya ini memang belum bisa mengasihi kamu seperti dulu lagi, tapi sudah mulai ada perasaan-perasaan saa yang terhilang sekarang sudah mulai kembali, saya makin menghargai kamu dan melihat kamu sudah berubah," nah itu akan menguatkan kita untuk terus mempertahankan diri kita dengan baik.

GS : Apakah ada hal yang lain lagi Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah jangan menyangkali fakta, terimalah kenyataan bahwa layunya cinta ini akibat perlakuan kita dulu. Adakalanya kita memang tidak mau mengakui fakta itu Pak Gunawan, jadi kta menyangkali tidaklah, kita tidak berbuat itu atau pasangan kita tidak kehilangan cintalah dan sebagainya, tidak.

Tanpa pengakuan ini pasangan kita akan menganggap bahwa kita hanyalah bersandiwara, tidak serius atau dia akan merasa tidak dimengerti oleh kita, keberadaan perasaannya tidak lagi kita akui. Jadi kita perlu turun ke dataran di mana dia berada dan mengakui masalah sampai seburuk ini bahwa cintanya kepada kita sudah terkuras, mungkin masih ada sisa sedikit tapi mungkin juga tidak ada lagi sisanya. Kita harus mengakui ini, keengganan kita mengakui dan menganggap atau bersikap seolah-olah sama seperti dulu makin membuat pasangan kita itu padam tidak lagi bisa mengasihi kita. Sebab dia akan berkata: "Engkau tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga ini, engkau tidak mau menyadari bahwa tindakanmu itu telah membuatku seperti ini, dampaknya separah ini, tapi untuk itu saja engkau tidak bisa melihatnya bagaimana engkau mau memperbaiki." Jadi penting buat kita mengakui fakta bahwa kondisi sudah seburuk ini.
GS : Nah pengakuan itu bukankah harus diterima oleh kedua belah pihak Pak Paul, tida bisa cuma di satu sisi saja, jadi kedua-duanya harus mengakui fakta itu?

PG : Betul, sering kali tidak rela mengakui Pak Gunawan, yang memang mempunyai kepentingan di situ. Jadi daripada dia mengakui dia lebih baik menyangkal, kepentingan apa misalnya dengan dia tidk mengakui dia tetap seolah-olah bisa berbuat semau-maunya, dia menganggap pasangannya tetap sama seperti dulu, dan dia boleh semau-maunya, sebab pasangannya akan tetap mengasihi dia, nah itu kepentingan dia.

Atau kita tidak mau mengakui bahwa pasangan kita sudah tidak lagi mengasihi kita, sebab kita memang takut kehilangan dia, takut sekali kehilangan dia, jadi kita terus hidup dengan anggapan bahwa dia tetap mengasihi kita walaupun sebetulnya tidak. Nah sekali lagi saya mau tekankan di sini Pak Gunawan, tujuannya kita membicarakan ini bukanlah supaya OK-lah kita akui pasangan kita tidak mengasihi kita lagi dan sudah kita bubar, kita cerai, bukan. Tapi pengakuan melihat dengan realistik masalahnya apa adalah langkah pertama, prasyarat untuk memperbaikinya. Kalau tidak ada keinginan mengakui melihat masalah apa adanya nanti kita tidak mungkin bisa membereskan masalahnya, tidak bisa melihat penyebabnya lagi.
GS : Tetapi kalau di dalam melihat masalah itu masing-masing mengatakan bahwa pendapatnya benar atau sikapnya benar bukankah itu sulit, Pak Paul?

PG : Sering kali itu yang terjadi kita tidak dengan mudah mengakui kesalahan kita, makanya dalam rekaman yang baru lewat kita berkata bahwa penting dalam berkomunikasi kita meng-iakan hal yang a, jangan mudah berkelit, membela diri, menggunakan perisai, tidak.

Yang 'ia' ya 'ia' yang salah ya salah, nah kita akhirnya bisa bertemu ya dalam perbedaan ini.
GS : Apakah ada perbedaan positif lainnya Pak Paul, untuk mencairkan kebekuan dalam hubungan suami-istri?

PG : Yang terakhir adalah ini Pak Gunawan, lakukan tindakan-tindakan yang menghangatkan hatinya, jadi perlu adanya tindakan positif, kalau tidak ada tindakan yang positif benar-benar cinta itu kan layu dengan sangat cepat.

Sering kali saya ingatkan kepada pasangan nikah bahwa cinta itu bisa mati, jangan kita ini beranggapan cinta pasangan kita akan selalu hidup dan subur, dan cinta kita kepada dia juga akan selalu hidup dan subur. Cinta memerlukan pupuk dan pupuknya adalah tindakan-tindakan yang menghangatkan hati orang bukan malah merobek atau mendinginkan hati orang. Jadi lakukanlah hal yang menyenangkah dia, carilah tahu hal apa yang menyenangkan dia, orang yang mencintai memang harus belajar mengerti apa yang disenangi oleh pasangannya. Dia tidak mau peduli apa yang disenangi pasangannya, dia tidak akan bisa menghangatkan hati pasangannya, akhirnya hati pasangannya beku tidak hangat lagi.
GS : Ya tapi apakah masalahnya pasangan itu mau menerima tindakan-tindakan hangat itu sementara kalau masalahnya itu dia masih merasa tidak puas dengan kita atau marah dengan kita?

PG : Mungkin ada penolakan karena dia merasa buat apa kamu melakukan semua ini, kamu telah melukai saya. Tapi sekali lagi diperlukan kesabaran, nah waktu dengan sabar dan konsisten kita melakukn hal-hal yang positif itu, lama-kelamaan akan berbicara kepada dia, akan mengetuk pintu hatinya dan mengingatkan dia bahwa kita memang sungguh-sungguh bukannya hanya berpura-pura.

GS : Pak Paul, sering kali kelayuan cinta ini atau redupnya cinta ini disebabkan oleh hadirnya orang lain di tengah-tengah pernikahan mereka itu.

PG : Sering kali begitu dan tidak harus selalu bahwa orang tertarik kepada pasangan atau kepada orang lain gara-gara pernikahannya itu sudah buruk, tidak mesti. Adakalanya hubungan nikah lumaya baik tapi akhirnya tertarik dengan orang lain.

Namun pada banyak kasus yang pernah saya temui, sering kali sebelum orang tertarik kepada orang lain memang hubungan mereka itu sudah mulai bermasalah, tapi tidak dilihat atau diakui dengan jujur. Nah sekali lagi mungkin ada satu yang kurang terpenuhi, ada satu yang merasa dia tidak dimengerti, yang satunya menganggap semuanya baik-baik saja berjalan seperti biasanya. Maka tadi kita tekankan penting untuk keduanya melihat masalah apa adanya bahkan hal yang menyakitkan bahkan misalnya pasangan kita sudah mulai berubah, perasaannya tidak lagi sama, nah cari penyebabnya bereskan. Meskipun itu hal yang menyakitkan daripada menutup mata, tidak mau melihat masalah nah akhirnya masalah berkembang menjadi lebih buruk, pasangan kita misalkan tertarik kepada orang lain.
GS : Memang biasanya seperti tadi Pak Paul di awal perbincangan kita mengumpamakan ini dengan bunga, bunga itu tidak layu secara tiba-tiba begitu Pak Paul, bukankah ada suatu proses untuk menjadi layu, nah apakah cinta juga begitu Pak?

PG : Betul, jadi cinta tidak mati dalam sekejap sama seperti cinta itu tidak bertumbuh dalam sekejap, perlu waktu. Matinya cinta juga perlu waktu maka kita harus jeli melihat perubahan-perubaha ini dan memunculkannya dalam relasi kita apa yang kita perbuat yang membuat cinta ini atau cintanya berubah menjadi layu, nah itu harus kita sadari.

Maka Pak Gunawan kalau orang bertanya kepada saya: "Apakah kwalitas atau karakteristik yang penting dalam pernikahan?" Saya selalu katakan flexsible dan teachable. Orang yang flexsible adalah tidak kaku dan dia mau untuk berubah, dan orang yang teachable adalah orang yang mau belajar rendah hati. Nah pernikahan itu memerlukan sekali kwalitas seperti orang ini yang flexsible dan teachable barulah akhirnya bisa saling membangun, bisa saling memperbaiki masalah. Kalau yang satu sudah tidak lagi teachable maunya sembarangan pernikahan itu akan runtuh.
(3) GS : Pak Paul, apakah tanda-tanda awal bahwa cinta kita itu mulai layu?

PG : Biasanya perubahan yang paling-paling nampak adalah memang tidak ada lagi sinar tidak ada lagi kehangatan dalam diri pasangan kita itu. Jadi sesuatunya itu hanyalah akitifitas tidak ada lgi nyawa jiwa di dalam perbuatan atau tindakannya.

Dan sebetulnya kalau mau peka kita akan bisa melihat itu. Semua masih dilakukan dengan sama, pulang tetap jam berapa, pergi tetap jam berapa, pergi ke gereja juga masih sama-sama misalkan, tapi ada yang hilang. Yang hilang itu adalah cahayanya, sinarnya jiwanya, nah itu biasanya yang pertama-tama akan mulai luntur dalam relasi di mana cinta itu sudah layu.
GS : Ya tetapi itu biasanya sulit untuk disadari Pak Paul, mungkin yang bersangkutan menyadari tetapi pasangannya 'kan belum tentu bisa menyadari hal itu.

PG : Ya bisa-bisa memang tidak disadari atau mungkin yang kedua adalah ini yang lebih bisa dilihat adalah kecenderungan untuk marah, untuk mengeluhkan, untuk mengkritik, untuk merasakan tidak pas dengan ini dengan itu.

Nah itu salah satu indikasi juga, sekarang kok mengeluh terus, mengeluarkan unek-unek, hal-hal yang kita lakukan menjadi salah di mata dia, dia selalu mengatakan kita kurang ini dan kurang itu, nah ini suatu indikasi juga bahwa cinta pasangan kita sudah mulai berubah, sudah mulai layu.
GS : Di dalam hal kelayuan ini Pak Paul, apakah mungkin itu kedua-duanya langsung diserang kelayuan atau biasanya satu pihak saja?

PG : Biasanya yang satu dulu. Nah yang satunya yang belum layu kalau sudah menyadari pada umumnya berusaha keras, untuk memperbaiki, untuk mengikat kembali menambahkan pupuk dalam pernikahan ini. Tapi kalau usaha ini tidak berhasil, sebab pasangannya kok tidak memberikan tanggapan yang diharapkan lama-kelamaan dia juga lelah, karena lelah percuma berbuat semua ini akhirnya dia juga mulai layu. Waktu dua-dua sudah layu memang itu sudah sangat parah. Waktu satu masih mempunyai tenaga yang satu sudah mulai layu itu masih lebih mudah.

GS : Jadi memang lebih baik mencegah kelayuan itu sendiri Pak Paul, dengan memelihara bara cinta itu supaya tetap ada di dalam hidup pernikahan.

PG : Betul, dan sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah yang menghangatkan cinta adalah perbuatan yang memang positif, menyenangkan, kita suka itu hal yang baik buat kita. Tapi sebaliknya yng akan mematikan cinta adalah perbuatan-perbuatan yang menyakitkan hati kita, jadi tidak susah untuk menghangatkan cinta itu, lakukanlah hal yang menyenangkan hati pasangan kita.

GS : Tapi sebenarnya yang terjadi apa Pak Paul, karena kita mencintai seseorang lalu kita melakukan perbuatan-perbuatan cinta atau karakter kita melakukan perbuatan-perbuatan cinta itu sehingga cinta itu tumbuh?

PG : Pada awalnya memang adalah ketertarikan, kesukaan kepada pasangan kita barulah kita melakukan hal-hal yang menyenangkan dia. Tapi setelah proses ini bergulir sebetulnya tidak bisa lagi kit ini mengatakan yang mana yang lebih dulu sebab dua-duanya itu adalah sesuatu yang berputar dengan begitu alamiahnya.

GS : Dan meningkat terus kwalitasnya ya Pak Paul?

PG : Betul, terus meningkat dan terus meningkat. Itu sebabnya dalam hubungan cinta yang baik, cinta yang sehat dalam pernikahan yang kuat, waktu pasangan kita itu tidak ada itu sangat mempengarhi yang ditinggalkan dengan sangat-sangat fatal.

Jadi adakalanya membuat yang ditinggalkan itu bisa mengalami depresi berat, karena sekali lagi hubungan itu begitu indah sehingga kehilangan pasangan terlalu menyakitkan.
GS : Seolah-olah kehilangan objek di mana dia bisa menyalurkan cintanya.

PG : Dan juga menerima cinta itu juga.

GS : Nah Pak Paul dalam kaitan ini apakah yang firman Tuhan katakan?

PG : Saya akan bacakan Kolose 3:12, "Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, keleahlembutan dan kesabaran.

Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semua itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." Firman Tuhan menjabarkan beberapa tindakan-tindakan yang sangat akan menghangatkan cinta Pak Gunawan. Belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran itu luar biasa Pak Gunawan, itu akan menghangatkan cinta. Sabar mengampuni itu menghangatkan cinta, tapi Tuhan katakan di atas semuanya kenakanlah kasih sebab kasih itu adalah pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Jadi sekali lagi Tuhan meminta kita melakukan yang merupakan ciri Tuhan yang paling utama yaitu Tuhan adalah kasih, karena Dia adalah kasih kita juga diminta Tuhan mengasihi dan orang pertama yang Tuhan minta untuk kita kasihi adalah yang di depan mata kita sendiri suami atau istri kita.

GS : Jadi saya percaya sekali pembicaraan ini sangat bermanfaat bagi kita sekalian di dalam membina cinta kita dan pasangan kita dengan melakukan apa yang firman Tuhan sudah sampaikan kepada kita. Terima kasih Pak Paul untuk kesempatan para pendengar sekalian yang kami kasihi kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Cinta Layu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



26. Terlepas tapi Tidak Terputus


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T129A (File MP3 T129A)


Abstrak:

Dalam materi ini kita akan belajar lebih dalam lagi tentang pernikahan. Di mana pernikahan dikategorikan dalam tiga golongan yaitu pernikahan yang terputus, pernikahan yang terlepas dan pernikahan yang terikat.


Ringkasan:

Pernikahan dikategorikan dalam tiga golongan yaitu:

  1. Pernikahan yang terputus, dalam pengertian pernikahan itu sudah berada di jurang perceraian.

  2. Pernikahan yang terlepas, artinya pernikahan itu sudah mengalami problem di dalam hubungan suami-istri.

  3. Pernikahan yang terikat, artinya hubungan suami-istri baik dan suami-istri menikmati keakraban.

Tujuan dan tugas utama pernikahan: Penyatuan
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Kejadian 2:24

Penyatuan dicapai melalui: Keintiman
Mereka keduanya telanjang, manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu. Kejadian 2:25

Hambatan terhadap penyatuan: Keterpisahan
Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu bahwa mereka telanjang, lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.Kejadian 3:7

Keterpisahan menimbulkan: Ketakutan
Ketika aku mendengar bahwa Engkau ada di taman ini aku menjadi takut karena aku telanjang sebab itu aku bersembunyi. Kejadian 3:8

Ketakutan yang paling mendasar adalah: Ketakutan untuk Bergantung
Penikahan yang Terlepas adalah pernikahan yang telah kehilangan Keintiman. Jika kita ingin mengetahui berapa intimnya atau tidak hubungan kita dengan pasangan kita, salah satu kriterianya adalah dengan melihat berapa besar rasa percaya kita pada pasangan kita.

Membangun keintiman melalui kepercayaan dapat dilakukan dengan:

  1. Membuktikan diri melalui perbuatan-perbuatan kita, bahwa kita layak dipercaya.
    Dengan cara: Memegang janji, artinya kita tidak berbohong.

  2. Menjalani kehidupan yang benar, artinya tidak berdosa.

  3. Memikirkan kepentingan pasangan kita dan keluarga.
    Percaya begitu penting untuk membangun keintiman, bangunlah kepercayaan, ini prasyarat adanya keintiman dan keintiman harus ada sebelum kita bisa menyatu dengan pasangan kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Terlepas tetapi tidak Terputus". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, suatu judul yang menarik sekali memang, "Terlepas tetapi tidak Terputus", namun saya ingin mendapat sedikit penjelasan dari Pak Paul, apa yang terkandung dibalik judul yang begitu indah ini?

PG : Saya mengkategorikan pernikahan itu dalam tiga golongan Pak, yang pertama adalah pernikahan yang terputus, terputus dalam pengertian pernikahan itu sudah berada di jurang perceraian. Yang edua adalah terlepas, terlepas artinya pernikahan itu sudah mengalami problem, sebab ada masalah di dalamnya dan hubungan suami-istri sudah tidak terlalu dekat lagi.

Yang ketiga adalah yang terikat, dengan kata lain hubungan suami-istri baik dan suami-istri menikmati keakraban. Nah, kalau Pak Gunawan tanya saya, dari ketiga ini kira-kira mana yang paling banyak. Saya kira yang paling banyak adalah di antara tipe terikat dan terlepas, jadi cukup banyak pernikahan berada di antara terikat dan terlepas. Atau supaya gampang kita katakan, mayoritas pernikahan sebetulnya berada pada kondisi terlepas. Mereka belum terputus, belum cerai tapi mereka juga tidak menikmati kedekatan. Nah, tujuan kita membahas topik ini adalah untuk membawa orang yang terlepas jangan sampai terseret hingga akhirnya terputus, kita mau mengajak mereka yang berada dalam kondisi terlepas ini untuk meningkatkan relasi pernikahan mereka sehingga mereka dapat terikat kembali.
GS : Pak Paul, sebelum kita membicarakan lebih lanjut mungkin Pak Paul bisa menjelaskan tentang keterikatan di dalam pernikahan. Karena ada banyak orang yang sudah menikah mengatakan saya tidak mau terikat baik dengan suami ataupun dengan istri, nah itu sebenarnya bagaimana Pak?

PG : Kita harus kembali ke desain asli atau desain original yang Tuhan buat tentang pernikahan ini. Di Kejadian 2:24 firman Tuhan berkata: "Sebab itu seorang laki-laki akan meinggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging."

Dengan kata lain pernikahan seharusnya menyatukan kedua individu, dan inilah tujuan serta tugas utama pernikahan. Jadi kalau kita ingin mengevaluasi apakah kita telah mencapai sasaran pernikahan ini, salah satu kriterianya adalah atau saya kira kriteria yang tepat adalah kita kembali ke firman Tuhan ini dan bertanya apakah kita dan pasangan kita telah menyatu, kita bukan lagi dua orang tapi kita adalah satu orang. Nah satu berarti saya sangat bergantung pada pasangan saya, pasangan saya pun juga bergantung pada saya, saya mempertimbangkan pendapatnya dalam memutuskan keputusan yang harus saya ambil, demikian pula dengan pasangan saya. Sehingga kita tidak lagi berjalan sendiri kita selalu berjalan berdua, dalam pengertian segala tindakan, keputusan yang kita buat, kita buat dalam rangka kita bersama-sama dengan pasangan kita.
WL : Pak Paul, tadi mengutip ayat Alkitab yang mengatakan bahwa kalau orang menikah seharusnya bersatu, nah pertanyaan saya apakah itu otomatis Pak Paul, waktu orang menikah itu otomatis dia bersatu atau ada sesuatu yang harus diusahakan oleh kedua pasangan ini?

PG : Malangnya sebagian orang beranggapan begitu menikah otomatis mereka menjadi satu. Nah ada yang mempunyai cara yang keliru Ibu Wulan yaitu mereka mencaplok pasangannya, mendominasi pasanganya sehingga pasangannya kehilangan otonomi kebebasan dan harus tunduk 100% pada suaminya.

Nah saya sering menegaskan bahwa pernikahan menjadi satu atau kedua individu menjadi satu dalam pernikahan bukan melalui proses akuisisi (kita menggunakan istilah bank ya, kita ingat beberapa tahun yang lalu ada bank-bank yang diakuisisi). Kita bukannya mencaplok atau mengambil alih, kita menyatu dalam pengertian kita berdua harus saling menyesuaikan, harus saling tenggang rasa, mendengarkan dari yang satunya, mencocokkan dengan kita dan sebaliknya sehingga pada akhirnya kita menjadi lebih akrab dan lebih akrab, menjadi satu. Nah kalau Ibu Wulan tanya saya jadi metodenya apa kalau bukan akuisisi, metodenya adalah keintiman, Ibu Wulan. Jadi firman Tuhan di Kejadian 2:25 menegaskan bahwa mereka keduanya telanjang, (mereka di sini adalah Adam dan Hawa) manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu. Di taman Firdauslah satu-satunya tempat sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, di mana manusia bisa begitu menikmati keintiman sehingga mereka bisa tidak berbusana tapi merasa sangat nyaman dengan satu sama lain. Nah kita tahu bahwa setelah mereka jatuh ke dalam dosa hal itu tidak bisa lagi mereka nikmati, jadi keintiman sejati hanya terjadi satu kali yaitu di taman Firdaus, sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Namun maksud Tuhan sekarang adalah untuk kita yang telah menikah, kita menggunakan jalan atau metode keintiman inilah untuk mencapai sasaran pernikahan yaitu persatuan.
GS : Berarti pada saat pemberkatan nikah misalnya Pak Paul, atau pada saat pernikahan itu dilangsungkan keduanya masih belum saling menyatu, Pak Paul?

PG : Belum, jadi pada waktu pernikahan status mereka bersatu namun kondisi riil mereka belum bersatu, dan akan memakan waktu serta usaha keras agar mereka berdua bisa menjadi satu. Dan sekali lgi saya tekankan jalannya adalah jalan keintiman bukan jalan mendominasi atau jalan menjajah atau mengakuisisi pasangan kita.

GS : Nah itu sering kali terjadi Pak Paul, sebelum pernikahan orang itu bisa intim luar biasa, tetapi justru setelah pernikahan mereka malah menjauh, semakin menjauh. Jadi keintiman itu rupanya gagal mereka bangun atau bagaimana Pak?

PG : Yang terjadi adalah setelah kedua orang itu menikah, mereka mulai menyadari pasangannya lebih daripada sebelum mereka menikah. Mereka melihat dengan lebih jelas, nah sering kali yang muncu adalah memang bukannya penyatuan atau keintiman tapi keterpisahan.

Keterpisahan muncul karena perbedaan, itu memang suatu tantangan yang harus kita lewati. Kita cenderung tidak begitu merasa nyaman untuk dekat, untuk bergantung pada orang yang berbeda sekali dengan kita. Kita cenderung akan merasa lebih nyaman dengan orang yang kita anggap serupa dengan kita, tapi kedua orang yang menikah sedikit demi sedikit, perlahan-lahan akan melihat fakta o......tidak mereka sangat berbeda. Nah langsung yang muncul dalam pikiran kita adalah tidak mungkin pasangan kita mengerti kita, makanya muncullah konflik, dan konflik akhirnya membuat kita terpisah. Nah ini adalah hambatan terhadap penyatuan, jadi pernikahan memang sudah menyimpan potensi untuk kita terpisah, kalau kita gagal atau tidak berhasil mengalahkan keterpisahan atau perbedaan itu.
WL : Pak Paul, kalau Pak Paul tadi mengatakan sudah menyimpan "benih keterpisahan" apakah itu boleh saya katakan, sebenarnya jauh sebelumnya waktu pacaran memang sudah begitu. Kalau yang sehat mestinya sudah lebih saling mengenal, jadi waktu menikah kaget-kagetnya itu tidak sampai parah akan keperbedaan-perbedaan itu, bisa begitu atau tidak Pak Paul?

PG : Betul, jadi kalau dalam masa berpacaran kedua orang itu telah bekerja cukup keras maka seharusnya perbedaan yang akan muncul atau akan dilihat tidak terlalu mengejutkan dan sedikit banyak ereka telah lebih siap untuk menyesuaikan diri atau mengatasi perbedaan mereka.

Yang celaka adalah kalau dalam masa berpacaran kedua individu tersebut tidak bekerja terlalu keras, terlalu menggampangkan, waktu berpacaran terlalu singkat atau misalkan terlalu banyak unsur seks yang Tuhan tidak izinkan sehingga hal-hal yang perlu dibahas, yang perlu dimunculkan tidak dimunculkan, karena yang mendominasi adalah nafsu atau seks itu sendiri. Pada akhirnya setelah mereka menikah barulah mata mereka terbuka melihat begitu banyak perbedaan dan di situ mereka baru harus bekerja keras mencocokkan diri, kalau tidak berhasil memang yang akan muncul adalah keterpisahan. Nah waktu kita merasa kok saya berbeda, kok konflik, tidak bisa tidak kita makin menjauh. Firman Tuhan mencatat Kejadian 3:7, setelah manusia jatuh ke dalam dosa terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. Artinya setelah manusia akhirnya menyadari dirinya siapa, diri pasangannya siapa kecenderungannya adalah manusia mulai membentuk atau membangun benteng perlindungan-perlindungan agar mereka lebih aman di dalam perlindungan itu. Nah ini adalah awal dari tembok pemisah lagi.
GS : Nah, setelah seseorang menyadari bahwa di antara mereka itu memang ada keterpisahan Pak Paul, selanjutnya apa yang terjadi pada mereka?

PG : Biasanya ketakutan Pak Gunawan, jadi keterpisahan dan ketakutan itu satu paket. Kita terpisah atau memisahkan diri karena kita juga sebetulnya mempunyai rasa takut. Rasa takut memaksa kitauntuk lebih memisahkan diri, jadi keduanya satu paket dan saling mendorong satu sama lain.

Misalnya kita melihat di Alkitab Kejadian 3:8 (harusnya ayat 10) Adam berkata: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau (yaitu Allah) ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi." Jadi kita melihat pada awalnya setelah manusia jatuh ke dalam dosa, dosalah yang menimbulkan keterpisahan antara manusia dan Tuhan. Dan reaksi manusia yang pertama adalah takut, takut langsung. Nah jadi itulah yang dialami juga dalam keluarga, dalam hubungan suami-istri keterpisahan menimbulkan ketakutan. Nah pertanyaan berikutnya adalah sebetulnya apa yang ditakuti, kenapa kita masuk ke dalam pernikahan juga membawa ketakutan. Nah inilah natur paradoks dari pernikahan yaitu kita menikah karena kita ingin dekat, namun setelah dekat kita takut dekat. Kenapa kita takut dekat, takut bergantung, jadi itulah penyebab utama mengapa kita yang ingin dekat, maka akhirnya kita menikah menjauh dari pasangan kita karena apa, karena takut dekat, takut bergantung kepada pasangan kita.
GS : Di dalam suratnya Yohanes mengatakan di dalam kasih itu tidak ada ketakutan Pak Paul, apakah itu indikasi bahwa mereka tidak saling mengasihi atau bagaimana?

PG : Awalnya saya kira kasih itu ada, namun memang manusia sudah membawa benih ketakutan untuk bergantung itu. Kenapa manusia sudah membawa benih ketakutan untuk bergantung, saya kira jawabanny adalah manusia takut untuk percaya, sebab percaya berarti menyandarkan diri sepenuhnya pada orang lain.

Dan kita rasanya tidak berani begitu, kenapa kita tidak berani begitu memang banyak penyebabnya salah satunya adalah sebagian dari kita dan mungkin sebagian besar dari kita bertumbuh kembang dalam lingkungan hidup atau keluarga di mana kita belajar justru hidup jangan tergantung pada orang nanti kita kecewa, dilukai dan sebagainya. Jadi kita sudah membawa ketakutan tersebut, jadi kita bersikap was-was jangan terlalu bergantung pada pasangan kita.
WL : Pak Paul, saya mau bertanya istilah bergantung tadi, katanya sulit untuk bergantung. Nah kalau tipe-tipe orang yang dibesarkan pada keluarga yang orang tuanya overprotective, melindungi sangat nah dia akan bertumbuh besar menjadi orang yang sangat bergantung sekali, dependent. Nah apakah pengertiannya sama, orang yang seperti ini berarti orang yang bergantung, berarti waktu menikah tidak ada masalah karena yang dibutuhkan sebetulnya bergantung, apakah sama atau berbeda maksudnya bagaimana Pak Paul?

PG : Berbeda Bu Wulan, jadi mereka yang dari latar belakang terlalu dilindungi atau mereka memiliki perasaan yang inferior, tidak merasa aman dengan diri, melihat diri banyak kekurangan, memangakan mudah bergantung sebab memang mereka tidak punya pilihan lain, pilihannya hanya satu yaitu bergantung.

Namun ini yang kita harus perhatikan, mereka bergantung bukan karena percaya tetapi karena tidak percaya maka relasi bergantung mereka bukan relasi yang enak, yang digantungi itu merasa sengsara sebab selama digantungi juga dicurigai. Yang bergantung itu, yang merasa dirinya kurang, yang merasa dirinya inferior dan menuntut dilindungi, dia akan meminta sangat banyak dari yang digantungi itu. Dan bukan saja meminta tapi seolah-olah tidak pernah cukup, terus-menerus dituntut dan dituntut. Jadi intinya adalah kebergantungan yang sehat kebergantungan yang keluar dari rasa percaya. Nah dalam keluarga-keluarga yang seperti ini memang kita melihat kebergantungannya di luarnya, tapi yang memotivasi kebergantungan itu berkebalikan dari yang sehat yaitu rasa tidak percaya.
GS : Pak Paul, berarti kalau di dalam hubungan suami-istri tidak ada lagi atau sedikit sekali unsur keintiman, itu yang kita sebut sebagai hubungan yang terlepas itu?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi unsur keintiman penting sekali untuk mengikat pernikahan, tanpa keintiman pernikahan itu terlepas.

GS : Tapi bukankah kita sulit mengukur tingkat keintiman itu, Pak Paul?

PG : Salah satunya adalah kita mengukurnya melalui percaya tadi itu Pak Gunawan, jadi kalau kita sendiri merasa tidak bisa mempercayai sepenuhnya pasangan kita, sebetulnya yang terjadi adalah mmang kita tidak terlalu intim dengan pasangan kita.

Jadi kalau kita ingin tahu berapa intimnya atau tidak, salah satu kriterianya adalah dengan melihat berapa besar rasa percaya kita pada pasangan kita.
GS : Pak Paul, bisa memberikan contoh konkret, pasangan yang mempercayai pasangannya itu bagaimana?

PG : Misalnya kita berani untuk menjadi diri sendiri, seolah-olah hal yang sangat sederhana, tapi tidak semua orang berani menjadi dirinya apa adanya di hadapan pasangannya. Kenapa? Pertama adaorang yang takut ditolak kalau ketahuan siapa dia sebenarnya jadi dia harus menampilkan sisi atau diri yang berbeda atau yang paling baik supaya diterima oleh pasangannya.

Adakalanya orang bukannya tidak berani menampilkan dirinya tapi orang takut menampilkan dirinya bukan takut ditolak, sebab pasangannya itu mempunyai standar atau tuntutan yang sangat berbeda dan kalau dia tampilkan dirinya apa adanya, nah celaka akhirnya. Bisa dimarahi, bisa dimusuhi, atau bahkan bisa dipukul atau apa, jadi akhirnya tidak pernah bisa menjadi diri sendiri. Nah waktu tidak bisa menjadi diri sendiri lagi sebetulnya tidak ada lagi percaya di situ, ini contoh konkret. Contoh konkret yang lain adalah kita percaya kita tidak bisa melepaskan pasangan kita, percaya itu diwujudkan dari berapa mampunya kita melepaskan pasangan kita, ada yang tidak bisa, terus-menerus harus dipantau, diikat, dimonitor dan sebagainya. Tidak bisa membiarkan pasangannya lepas dari matanya, harus ada yang mengatur, harus ada yang melihat, kalau pun tidak terlihat nanti pas pulang harus ditanyai sangat mendetail sekali, nah itu salah satu wujud kekurangpercayaan.
GS : Jadi ada suatu korelasi yang jelas sekali antara keintiman dan kepercayaan itu Pak Paul, dan bagaimana caranya kita membangun keintiman itu yang sangat dibutuhkan, dalam hal ini melalui kepercayaan itu tadi.

PG : Pada dasarnya kita membangun kepercayaan dengan cara membuktikan diri melalui perbuatan-perbuatan kita, bahwa kita ini layak dipercaya. Jadi dari pihak kitanya yang ingin dipercaya kita haus melakukan pembuktian diri.

Nah secara praktisnya saya akan memberikan tiga saran, yang pertama adalah kita perlu memegang janji, nah artinya apa, artinya adalah kita tidak berbohong. Ada satu gejala yang sering saya temukan Pak Gunawan dan Bu Wulan dalam pernikahan, orang sering berbohong dalam pernikahan. Mungkin kita beranggapan kita tidak begitu tapi sebetulnya cukup banyak pernikahan yang diisi oleh kebohongan-kebohongan meskipun kecil. Nah bagaimanakah pasangan kita bisa mempercayai kita kalau kita sudah memulai dengan kebohongan-kebohongan kecil. Contoh yang sangat simpel sekali pasangan kita tanya: "Ke mana kok tadi lama pulang?" Kita bilang: "O....tadi saya pulang terlambat karena jalannya macet." Padahalnya yang terjadi adalah bukannya jalannya macet, kita tadi memang agak lama pulang karena masih tetap bercengkerama dengan teman-teman kita dan tidak langsung pulang. Namun kita tidak berani langsung berkata begitu, nah misalkan dua minggu kemudian pasangan kita ketemu dengan teman-teman kita ngobrol-ngobrol dan tercetuslah ungkapan, ketahuan misalnya. Pasangan kita itu sebetulnya pulangnya memang terlambat, tidak macet dan sebagainya. Apa yang akan muncul dalam pikiran kita, kenapa dia berbohong? Nah begitu pertanyaan kenapa dia berbohong muncul di benak kita tabungan percaya merosot, langsung begitu tidak bisa tidak.
GS : Tapi pada awalnya ada yang begini Pak Paul, sekali dia mengatakan yang sebenarnya misalnya tadi itu dia bercengkerama jadi dia tidak langsung pulang, terlambat, istrinya marah sama dia. Nah yang berikutnya dia mencari akal daripada nanti dia ngomong apa adanya dimarahi, yaitu tadi dia katakan jalanan macet.

PG : Nah ini adalah perangkap yang sering kali menjebak pasangan nikah, itu akhirnya yang membuat orang meneruskan kebohongan tersebut dan akhirnya makin membesar dan makin banyak item-item kebhongan karena takut reaksi pasangan kita.

Yang lebih sehat adalah kita mengatakan yang sebenarnya meskipun nantinya harus misalnya bertengkar daripada kita memulai kebiasaan berbohong itu. Sebab pada akhirnya kalau ketangkap atau ketahuan, percaya itu langsung terkuras.
WL : Jadi kaitannya erat sekali dengan penjelasan Pak Paul, tadi yang sebelumnya antara bohong dengan sebenarnya dia tidak berani menampilkan diri apa adanya.

PG : Betul, kehilangan dirinya sendiri karena tidak berani, jadi kebohongan itulah yang dipakai.

GS : Pak Paul, selain tidak berbohong atau kita menepati janji, apakah ada hal lain yang bisa membangun kepercayaan, saling mempercayai ini?

PG : Kita membangun kepercayaan melalui menjalani kehidupan yang benar, artinya apa, tidak berdosa. Bukannya kita ini sempurna tidak berdosa, tapi jalanilah kehidupan yang baik, yang benar. Karna kalau kita menjalani kehidupan yang kotor sulit untuk pasangan kita percaya kepada kita.

Misalkan kita pulang pergi, pulang pergi berbohong sama orang, kita pulang pergi, pulang pergi dengan orang lain tidak mengatakan hal yang benar atau kita terlibat di dalam perbuatan dosa, kita tidak setia dan sebagainya. Hal-hal seperti itu akan menguras tabungan percaya pada pasangan kita, dia susah percaya kepada kita. Sebab kita saja bertanya pada diri sendiri, apakah kita bisa mempercayai orang yang hidupnya tidak benar? Sulit, kita akan mempercayai orang yang kita tahu hidupnya benar.
WL : Pak Paul, kalau dua-duanya seperti itu bagaimana, ada beberapa kali saya melihat di film, pasangan yang memang dua-duanya tidak benar. Suaminya menipu-nipu orang, istrinya juga enjoy di situ, nah itu bisa atau tidak di antara mereka ada kepercayaan atau sebenarnya mereka tutupi?

PG : Saya kira kepercayaan yang ada dalam kondisi seperti itu kepercayaan yang sangat diikat oleh konsep kemitraan sajalah, seolah-olah kita bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama ini. Tai saya meragukan adanya kepercayaan yang mendalam sekali dan kemungkinan besar tidak akan ada keintiman yang sungguh-sungguh.

Misalkan kita membuktikan dari mana misalkan, kalau kita sungguh-sungguh percaya pada pasangan kita misalkan ada data yang kurang lengkap kita akan tetap mempercayai. Nah dalam kasus seperti yang tadi Ibu Wulan munculkan saya menduga kalau misalnya si suami mendapatkan atau menemukan data yang kurang klop tentang istrinya, istri bilang ke mana, temannya bilang ke mana nah karena dia tahu istrinya hidupnya tidak benar, saya kira dia akan langsung berpikir kamu berbohong begitu. Jadi sekali lagi prasangka kita akan berperan besar di sini, kalau prasangka kita positif, kita tahu pasangan kita hidupnya benar meskipun ada data yang kurang cocok, misalkan ada yang kontradiksi dengan data lain kita akan lebih mempercayai pasangan kita karena mempunyai rasa aman. Dan kita tahu dia tidak akan berniat menjahati kita dengan kata-kata atau hidup yang tidak benar itu.
GS : Pak Paul, apakah mungkin masih ada hal lain Pak Paul upaya membangun kepercayaan ini?

PG : Yang terakhir adalah kita memikirkan kepentingan pasangan kita dan keluarga, kalau kita ingin dipercayai oleh pasangan kita, kita mesti memikirkan kepentingannya dan keluarga kita artinya ita tidak egois.

Susah pasangan kita untuk percaya kepada kita kalau dia melihat kita egois, hanya memikirkan diri sendiri, nah akhirnya dia berpikir kamu pasti bertindak ini atau berkata ini hanya untuk kepentinganmu bukan untuk kepentingan kami semua. Nah kepercayaan itu akhirnya mulai terkuras, tapi seorang anggota keluarga atau ayah atau ibu yang bertindak memikirkan kepentingan semuanya akan lebih dipercaya. Sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah percaya begitu penting untuk membangun keintiman, bangunlah kepercayaan, ini prasyarat adanya keintiman dan keintiman harus ada sebelum kita bisa menyatu dengan pasangan kita,itulah kira-kira tahapannya Pak Gunawan.
GS : Berarti suatu hubungan yang terlepas itu masih bisa disatukan kembali Pak Paul?

PG : Masih, asal kita melewati langkah-langkah tadi itu dan memang tidak gampang, mulai dengan hal-hal yang sederhana, pegang janji, jangan bohong, hidup benar, jangan berdosa, dan kita juga akirnya bisa membangun keintiman perlahan-lahan baru bisa menyatu dengan pasangan kita.

Panjang tapi masih bisa.
GS : Kalau hubungan yang terlepas itu tadi tidak diperbaiki, tidak dibangun kembali, itu akan membawa hubungan itu terputus Pak Paul?

PG : Saya kira itu yang terjadi, banyak pernikahan sebetulnya benar-benar sudah berada di ambang perceraian karena dia sudah terputus kita tarik kembalilah, kita bawa bukannya ke arah terputus api ke arah terikat.

Kita intimkan kembali, kita bangun kembali kepercayaan di antara kita.

GS : Terima kasih Pak Paul juga Ibu Wulan untuk kesempatan perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami berterima kasih Anda tetap setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Terlepas tetapi tidak Terputus". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



27. Membangun Keintiman


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T129B (File MP3 T129B)


Abstrak:

Ada hal-hal yang sangat perlu dilakukan oleh pasangan suami-istri dalam rangka membangun keintiman. Diantaranya adalah dengan pemenuhan harapan atau tuntutan dari pasangan kita. Materi ini akan memberikan penjelasan dengan lebih detail lagi terutama tentang bagaimana yang dimaksud dengan pemenuhan harapan atau tuntutan.


Ringkasan:

Kebergantungan merupakan prasyarat terciptanya: Keintiman (Penyatuan).
Pertanyaannya: Mengapakah kita takut untuk bergantung? Jawabannya adalah karena kita tidak merasa aman dan kurang percaya pada pasangan kita. Seyogyanyalah rasa percaya bertumbuh secara alamiah melalui pembuktian. Tidaklah realistik mengharapkan pasangan kita mempercayai kita secara membabi buta; kita perlu membuktikan bahwa memang kita layak dipercaya.

Membangun Kepercayaan melalui:

  1. Memegang janji-tidak berbohong.
  2. Menjalani kehidupan yang benar-tidak berdosa.
  3. Memikirkan kepentingan pasangan dan keluarga-tidak egois.

Membangun Keintiman melalui Harapan dan Tuntutan

Keintiman melahirkan Harapan dan Tuntutan yang akan menambahkan keterpisahan, jika tidak terpenuhi. Harapan dan Tuntutan menambahkan keintiman, jika terpenuhi.

Memenuhi Tuntutan dan Harapan dengan cara:

  1. Tuntutan dan Harapan akan lebih mudah terpenuhi jika realistik-sesuai dengan kepribadiannya.

  2. Tuntutan dan Harapan akan lebih mudah terpenuhi bila jelas-disampaikan secara konkret.

  3. Tuntutan dan Harapan akan lebih mudah terpenuhi jika positif-bukan dalam bentuk ancaman namun permintaan tolong.

  4. Tuntutan dan Harapan akan lebih mudah terpenuhi bila berhadiah-membuahkan hasil yang dihargai.

Membangun Keintiman melalui Komunikasi

  1. Selain melalui pemenuhan Harapan dan Tuntutan, Keintiman dicapai melalui Komunikasi

  2. Komunikasi berasal dari akar kata yang sama dengan Komunitas yaitu Koinonia atau Persekutuan

  3. Tujuan berkomunikasi adalah Keintiman

  4. Ada tiga jenis komunikasi yang menambah keintiman:
    1. Pertama, komunikasi yang membagikan hidup (sharing): Menceritakan hidup sehari-hari

    2. Kedua, komunikasi yang membangun (edifying): Memfokuskan pada yang positif, bukan yang negatif

    3. Ketiga, komunikasi yang penuh kasih (loving): Memperhatikan kepentingan pasangan dan memandang masalah dari perspektifnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama dengan Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Membangun Keintiman". Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membahas tentang membangun keintiman itu bisa lewat kepercayaan yang ditumbuhkan. Nah tetapi apakah hanya kepercayaan itu yang bisa membangun suatu keintiman, apakah ada hal-hal lain?

PG : Salah satu hal adalah melalui pemenuhan harapan atau tuntutan dari pasangan kita. Kalau kita berhasil memenuhi yang diharapkan oleh pasangan kita, kemungkinan kita intim akan jauh lebih bear dibandingkan kalau kita tidak berhasil memenuhi harapannya demikian pula kebalikannya.

Kalau pasangan kita bisa memenuhi kebutuhan kita atau harapan kita maka kemungkinan yang lebih besar adalah kita akan juga merasakan kedekatan dengan dia. Jadi dengan kata lain memenuhi harapan dan tuntutan pasangan merupakan salah satu cara untuk membangun keintiman itu. Tapi (ini saya juga ingin menjelaskan satu konsep yang lain) ternyata keintiman itu sendiri juga melahirkan harapan dan tuntutan yang lain. Nah jadi tidak semua orang yang berkata saya mendambakan keintiman, siap dengan keintiman, itu kesimpulannya. Mengapa? Sebab keintiman menuntut harga, harganya adalah semakin intim semakin lebih banyaklah harapan dan tuntutan yang diembankan pada pasangannya. Saya berikan contoh di sini Pak Gunawan, waktu kita belum menikah, baru berkenalan dengan kekasih kita, baru berkenalan sehari, dua hari dan sebagainya kita tidak menelepon tidak akan menjadi masalah, malam minggu kita tidak datang, tidak akan menjadi masalah, namun begitu kita menyatakan kasih kepadanya dan dia pun juga menyatakan kasih kepada kita maka dibuatlah sebuah komitmen untuk menjelajahi atau untuk mengeksplorasi relasi ini lebih dalam lagi. Nah begitu kita tidak telepon dia marah, begitu pasangan kita juga berbicaranya agak kasar kita marah: "Kenapa kamu tidak mempertimbangkan perasaan saya." Apa yang terjadi? Keintiman telah terbentuk, dan tatkala keintiman terbentuk maka harapan dan tuntutan juga akan keluar. Jadi itu sesuatu yang manusiawi, justru yang tidak manusiawi atau tidak alamiah adalah sudah menikah (jadi berarti seharusnya sudah mulai dekat) namun tidak bisa atau tidak boleh mengeluarkan isi hatinya, meminta atau mengharapkan apa-apa dari pasangannya, nah itu yang tidak alamiah dan itu yang kadang-kadang terjadi dalam pernikahan. Jadi pernikahan yang sehat memang akan banyak tuntutan dan harapan tapi karena mereka intim, mereka memenuhinya juga dengan sukses dengan baik dan tidak merasakan itu sebagai beban lagi, nah itulah ciri-ciri pernikahan yang sehat.
WL : Tapi Pak Paul, harus diakui pada sisi yang lainnya banyak juga pasangan-pasangan yang kita lihat tuntutannya sering kali "berlebihan", sampai pasangannya juga merasa kewalahan. Nah menurut Pak Paul, kira-kira ada atau tidak faktor yang bisa menyebabkan tuntutan dan harapan ini kira-kira bisa terpenuhi?

PG : Ada beberapa Ibu Wulan, yang pertama adalah saya kira kita harus mempelajari prinsip-prinsip ini. Pertama, tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi jika realistik. Artinya apa realitik, sesuai dengan kepribadian pasangan kita.

Nah ini saya jelaskan, adakalanya kita menuntut sesuatu yang sangat berlawanan dengan kepribadian pasangan kita. Nah ini tidak berarti tidak boleh sama sekali, tentu boleh dan akan ada penyesuaian tapi karena kita sadar ini terlalu berbeda dari kepribadiannya maka akan memakan waktu lebih panjang dan kita harus realistik lebih sabar. Sebagai contoh, kalau pasangan kita memang orangnya berantakan, sebelum menikah kita tahu dia berantakan, tidak bisa rapi sama sekali, nah setelah kita menikah dengan dia sekejap kita mengharapkan dia menaruh barang di tempatnya kembali, misalnya menaruh handuk, menaruh sepatu, menaruh sikat gigi dan sebagainya di tempatnya seperti semula dan kita marah-marah, itu akan menjadi masalah. Kenapa menjadi masalah? Sebab kita mengharapkan itu terjadi dengan cepat, dia berubah dia menjadi orang yang lebih rapi. Jadi ingat baik-baik, yang pertama adalah kalau menuntut, lihat baik-baik apakah sesuai dengan kepribadiannya atau tidak, kalau tidak sesuai masih boleh nuntut namun lebih bersabar, yang lebih bisa dipenuhi pasangan kita kalau itu sesuai dengan kepribadiannya.
GS : Mungkin lebih tepat berharap saja Pak Paul, jangan menuntut supaya kita itu tidak terlalu kecewa, cuma berharap saja 'kan tidak apa-apa. Tetapi kalau pengharapan itu berkali-kali tidak terpenuhi lama-lama juga bisa menjadi tuntutan, Pak?

PG : Betul, sebab pengharapan yang dikomunikasikan tidak bisa tidak memang telah menjadi tuntutan. Namun maksudnya pak Gunawan saya pahami yaitu jangan kita ini memaksakan karena semakin memakskan akan semakin kecewa.

Jadi sesuatu yang berlawanan dengan kepribadian lebih sulit untuk dipenuhi itu prinsipnya.
GS : Nah Pak Paul, sehubungan dengan harapan ini kadang-kadang orang takut untuk berharap karena dikira nanti mementingkan dirinya sendiri saja, nah itu kaitannya bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira itu ketakutan yang memang kadang-kadang muncul tapi seharusnya kita memaafkan diri kita dengan berkata inilah pernikahan, inilah relasi yang intim dan di dalam relasi yang intim ita mempunyai harapan-harapan.

Kita misalkan berharap pasangan kita tidak lagi pergi pulang jam 02.00 malam karena dia sudah menjadi bagian hidup kita dan dia seharusnyalah pulang lebih pagi jangan sampai jam 02.00 malam seperti itu.
GS : Pak Paul, di dalam memenuhi tuntutan itu apakah ada cara-caranya, Pak?

PG : Yang lainnya lagi adalah ini Pak Gunawan, tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi bila jelas. Maksudnya apa, disampaikan secara konkret. Adakalanya kita tapi tidak jelas, tidak konret sehingga tidak bisa dipenuhi oleh pasangan kita.

Contoh yang paling klasik, permintaan istri misalnya kepada suami: "Berilah perhatianmu yang lebih besar kepada keluarga." Nah kadang-kadang si suami itu akan garuk-garuk kepala, dan bertanya, apa artinya memberi perhatian yang lebih besar kepada keluarga. Si istri harus memberikan contoh yang lebih konkret, apa misalkan si suami berkata: "Saya minta engkau lebih menghormati saya." Nah suami juga harus beritahu apa itu menghormati dengan lebih jelas. Misalkan, "waktu saya bicara di depan orang, kamu jangan memotong saya. Memotong saya yang sedang bicara itu membuat saya merasa tidak dihormati olehmu." Atau "waktu marah, matamu jangan melotot kepadaku, sebab waktu engkau melotot engkau menantang saya, engkau artinya tidak hormat kepada saya." Jadi tuntutan atau harapan itu perlu dikomunikasikan secara jelas, semakin jelas semakin lebih besar kemungkinan dipenuhi oleh pasangan kita.
WL : Kalau tidak jelas bisa berbeda konsep Pak Paul ya, jadi si suami berpikir o.....saya sudah memberi perhatian cukup atau tadi contoh menghormati, mungkin dari latar belakang keluarga dia menghormati A, B, C, D sedangkan bagi istri ngomong dengan mata melotot juga memang biasa di keluarganya bukan berarti saya tidak menghormati begitu, jadi bisa terjadi konflik kalau tidak dijelaskan.

PG : Betul, dengan adanya penjelasan barulah misalkan si suami mengerti, OK....waktu istri saya melotot tidak berarti dia sedang tidak hormat kepada saya. Si istri mengerti sekarang, melotot it memicu kemarahannya yang lebih besar, OK...lain

kali kalau marah dia mencoba mengontrol besar kecilnya matanya itu.
GS : Atau sebaliknya pasangan bisa menanyakan kalau itu sesuatu yang tidak jelas, sesuatu tuntutan yang tidak jelas, dia bisa menanyakan kembali kepada pihak pasangannya sebenarnya apa, yang dimaksudkan apa, yang mau diminta apa.

PG : Yang Pak Gunawan katakan sebetulnya sangat sederhana, yaitu bertanya kalau tidak jelas. Tapi ternyata Pak Gunawan, ini salah satu hal sulit yang dilakukan oleh banyak orang, tidak mau bertnya.

GS : Atau malah kadang-kadang kita berpikir wah.......malah kebetulan ini, bukankah ini ada permintaan yang tidak jelas jadi kita tidak wajib untuk memenuhi. Kalau misalnya nanti suatu saat dia marah kita berkata permintaanmu sendiri mungkin kamu sendiri saja tidak tahu apa yang kamu minta.

PG : Jadi kita akhirnya memanfaatkan celah itu.

WL : Kadang-kadang juga pasangan kita waktu kita bertanya mungkin menjawabnya tidak enak, mestinya kamu sudah mengerti saya dong, sudah sekian tahun menikah masa kamu belum kenal saya. Jadi pasangannya tidak berani lagi bertanya untuk kemudian hari.

PG : Betul, itu yang terjadi, Bu Wulan.

GS : Hal yang lainnya apa Pak Paul?

PG : Tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi jika positif, yang artinya apa, bukan dalam bentuk ancaman tapi dalam bentuk permintaan tolong. Permintaan tolong ini menjadi kata-kata yangsulit diucapkan oleh banyak orang, Pak Gunawan dan Ibu Wulan.

Nah ternyata kalau kita bungkus tuntutan kita dalam bentuk yang positif yaitu permintaan tolong, pasangan kita lebih mau mendengarkan dan mencoba memenuhinya. Dia akan lebih sengaja tidak mau melakukan jika kita membungkusnya dengan ancaman, kasar misalnya, jadi tolong perhatikan bungkusannya itu apa.
GS : Itu cara mengomunikasikannya Pak Paul.

PG : Betul sekali, jadi dalam bentuk yang positif yaitu permintaan tolong. Gunakanlah kata tolong lebih sering, tolong ini, tolong dong ini saya butuh bantuanmu untuk ini tolong saya, lebih sernglah begitu.

GS : Ada pasangan yang mengatakan: "Karena kami itu sudah intim, sudah akrab buat apa mesti minta tolong, cuma sekaligus ngomong, to the point saja begitu Pak Paul.

PG : Masalahnya kalau tidak dibungkus dalam permintaan tolong, sering kali keluarnya dalam bentuk instruksi. Nah kebanyakan tidak suka orang itu mendengar instruksi dari pasangannya, kalau dariatasannya ya dia terima di tempat pekerjaan.

Dari pasangannya ya kurang begitu suka bentuk-bentuk instruksi itu apalagi kalau disertai ancaman-ancaman, makin tidak suka.
WL : Tapi kenapa Pak Paul, kalau kita dalam pergaulan dengan orang lain bukan konteks keluarga, biasanya kita sangat menjaga etiket, lebih halus, please, thank you itu selalu begitu. Sedangkan kepada orang yang paling dekat dengan kita itu rasanya tiba-tiba hilang kata-kata itu.

PG : Betul, itu sering kali yang kita lakukan karena kita menganggap dia sudah menjadi bagian hidup kita, jadi kita tidak usah lagi berbasa-basi. Tapi justru tidak ya, justru hal-hal kecil sepeti itu tetap berfaedah untuk menjaga relasi dengan pasangan kita.

WL : Rasanya kita dihargai begitu ya.
GS : Tapi saya kenal ada satu pasangan itu Pak Paul, yang mencoba mungkin pernah mendengar saran seperti ini, dia mengatakan kepada istrinya tolong kamu begini.....begini...ya, tapi tanggapan istrinya: "lho sekarang kalau saya tidak mau tolong kamu, mau apa kamu." Jadi dia menanggapinya seperti itu.

PG : Di situ kita langsung harus berkata kepada istrinya kalau kita menjadi suaminya kita berkata kepada istri kita: "Kenapa engkau mengatakan hal seperti itu, apakah engkau sungguh-sunggu berkeberatan melakukannya, kalau berkeberatan kenapa berkeberatan."

Jadi kita mengajak istri kita untuk jujur menyatakan apa masalahnya, keberatannya apa. Kalau dia bilang: "Tidak, saya tidak keberatan, saya hanya ngomong begitu saja supaya kamu tidak sembarangan sama saya." Ya kita bisa berkata: "Tolong, ngomongnya jangan begitu, sebab ngomong seperti itu benar-benar mencoreng muka saya, membuat saya hilang muka." Jadi kita bisa minta begitu langsung.
GS : Nah apakah ada cara lain di dalam memenuhi harapan-harapan, tuntutan-tuntutan ini?

PG : Yang lainnya lagi adalah ini, tuntutan dan harapan akan lebih terpenuhi bila berhadiah. Maksudnya berhadiah itu apa sih, membuahkan hasil yang dihargai, jadi kalau kita mendapatkan pujiankarena kita memenuhi apa yang diharapkan oleh pasangan kita, hasilnya positif yaitu dihargai olehnya, kita makin ingin melakukannya lagi.

Nah sering kali yang terjadi, waktu pasangan kita melakukan hal yang salah, kita bereaksi dengan marah, teguran atau apa, waktu pasangan kita melakukan hal yang benar, kita tidak bereaksi, kita diam saja nah itu yang sering kali menandai relasi kita sebagai suami-istri, ini yang harus kita ubah. Waktu pasangan kita melakukan hal-hal yang baik, cobalah tangkap tidak setiap hari, tidak setiap kali, tapi cukup seringlah kita mengatakan terima kasih, atau sesuatu yang dia coba lakukan tapi tidak sempurna, kita tetap memberi penghargaan pada usahanya, dia telah berusaha. Misalnya pasangan kita membawakan kue ulang tahun, tapi akhirnya kita agak sedikit kesal karena kue yang dia bawa itu bukan kue yang kita suka, nah misalkan seperti itu. Jangan kita marah-marah, justru kita katakan meskipun kuenya tidak sama seperti yang saya harapkan tapi saya menghargai usahamu. Nah sekali lagi pujian seperti itu akan lebih membuat kita ingin melakukan lagi, mengulang lagi dan memenuhi lagi harapan pasangan kita.
GS : Mungkin di situ ada pengertian bahwa seharusnya memang seperti ini, ya sudah ini yang dia harap-harapkan jadi dia tidak mengucapkan terima kasih Pak Paul. Tapi dia mengungkapkan keheranannya itu justru kepada temannya. Katakan istrinya itu biasanya tidak perhatian tapi hari itu sangat perhatian, lalu dia cerita sama teman-temannya, "Aku heran lho, istriku hari ini perhatian sekali sama saya," tapi terhadap istrinya dia tidak berbicara apa-apa.

PG : Itu menandakan memang ya kata-kata pujian itu sangat langka rupanya dalam keluarga tersebut ya. Memang kita harus memulailah, memulai dan waktu pasangan kita bingung kita kok begitu manis ita katakan: "Saya ingin memulai yang baru dan yang baik dalam rumah tangga kita yaitu memberikan pujian, menghargai apa yang telah engkau lakukan," begitu.

WL : Pak Paul, menarik yang Pak Gunawan baru saja ceritakan, saya pernah kenal pasangan yang memang pada sehari-harinya jarang melakukan hal seperti itu, jadi begitu si istri misalkan suatu hari berbuat baik malah suami menjadi curiga, pasti ada maunya dibalik ini, pasti dia minta dibelikan sesuatu yang mahal atau apa begitu, nah itu sering kali terjadi Pak Paul?

PG : Dan tidak apa-apa kalaupun itu terjadi, si istri hanya perlu berkata: "Tidak ada apa-apa dibalik ini semua," dan memang benar-benar dia tidak meminta apa-apa. Nah sekali dua kalisi suaminya masih tidak terbiasa, tapi saya kira tiga empat kali suaminya akan terbiasa.

OK...istrinya memang melakukan ini dengan tulus, tidak apa-apa di belakang ini.
GS : Kadang-kadang kita sebagai suami itu bersyukur atau mengucapkan terima kasih hanya tidak disampaikan secara verbal Pak Paul. Bersyukur istri saya atau apa menjadi lebih baik, tapi tidak diungkapkan secara nyata, karena tidak terbiasa.
WL : Ya, apalagi budaya Timur Pak Paul?

PG : Betul, betul sekali budaya Timur memang seolah-olah dengan pasangan sendiri tidak usah, dengan orang lain saja.

GS : Pak Paul, bukankah membangun keintiman ini sangat penting, apakah ada aspek lain yang bisa membantu pasangan-pasangan suami-istri untuk membangun keintimannya Pak?

PG : Selain dari memenuhi harapan, yang lainnya lagi adalah melalui komunikasi. Komunikasi itu benar-benar alat atau sarana yang penting sekali untuk bisa membawa keintiman ke dalam relasi kita Pak Gunawan, kata komunikasi itu berasal dari akar kata yang sama dengan komunitas, jadi dalam bahasa Yunaninya itu adalah koinonia.

Koinonia itu kita tahu berarti persekutuan. Jadi dengan kata lain tujuan berkomunikasi dapat kita simpulkan adalah keintiman, persekutuan. Memang istilah komunikasi sudah begitu berkembang sehingga sekarang kita memikirkan komunikasi sebagai penyampaian berita. Tapi sebetulnya dari kata koinonia, bersekutu kita bisa menangkap maknanya, kita menyampaikan sesuatu agar kita dekat dengan orang tersebut. Kita bukannya menyampaikan sesuatu agar kita terpisah dari orang tersebut, tidak ya tapi keintiman. Nah justru inilah yang menjadi hal terhilang dalam banyak rumah tangga, maka saya mau mengusulkan sekurang-kurangnya tiga hal yang bisa kita lakukan. Yang pertama adalah kita mesti sering-sering melakukan komunikasi, sharing. Artinya apa sharing yaitu membagi hidup, menceritakan apa yang terjadi. Jadi mulailah dengan menceritakan aktifitas, hal-hal yang telah terjadi, yang sedang kita pikirkan, apa yang tadi kita saksikan, jumpai, temui, nah bicaralah hal-hal seperti itu. Nah keintiman dibangun di atas pembicaraan-pembicaraan yang seperti ini, jangan kita berkata o...itu tetek bengek, tidak usah ngomong. Keintiman dibangun di atas pembicaraan-pembicaraan tetek bengek seperti ini.
WL : Pak Paul, kalau usulan Pak Paul ini mungkin lebih mudah dilakukan oleh perempuan-perempuan, istri-istri karena memang lebih mudah bercerita, sedangkan bagi suami mungkin apalagi yang pendiam disuruh cerita-cerita seperti itu, aduh......rasanya susah. Terus ada juga suami yang menganggap kok kamu mesti bertanya sampai detail-detail seluruh kehidupan saya, memang kamu tidak percaya saya melakukan ini dan itu.

PG : Ya, kadang-kadang suami berkeberatan kalau istri bertanya-tanya terlalu mendetail dan sebagainya, tapi suami harus ingat bahwa istri itu hanya mengajak berbicara supaya terjadilah dialog, omunikasi dan si istri akhirnya merasa intim.

Nah saya perhatikan suami atau pria agak sukar untuk cerita-cerita hal-hal yang kita anggap sepele itu, tapi suami atau pria bisa berbicara tentang problem. Karena pria itu cenderung cukup bebas mengeluarkan opininya, jadi tidak setuju, tidak suka dan sebagainya itu lebih mudah keluar dari pikiran-pikiran pria. Nah kalau pria tidak bisa cerita tetek bengek yang lainnya, ceritakanlah masalah, ceritakanlah problem jadi itu pun menjadi bagian dari ceritanya, begitu. Dan inilah yang akhirnya mendekatkan kedua orang itu, yang penting waktu istri cerita-cerita, suami dengarkan, waktu suami cerita tentang problemnya, istri juga dengarkan.
GS : Cuma dalam hal ini Pak Paul, di dalam hal menceritakan saya merasakan memang ada suatu perbedaan yang mendasar. Tadi Ibu Wulan katakan kalau perempuan itu, istri-istri itu ceritanya detail sekali, kita itu bukan cuma tidak bisa cerita, mendengar saja kadang-kadang kesulitan karena panjang sekali, karena detailnya. Kita merasa kok begitu saja diceritakan, nah padahal kita kalau pun bercerita tentang masalah itu hanya garis besarnya saja, lalu ditanggapinya dalam komunikasi ini keliru Pak Paul. Kenapa kamu cerita cuma besar-besarnya saja, saya masak mengerti dia bilang begitu.

PG : Di sini memang dituntut pengertian akan keunikan masing-masing jadi kalau si istri berkeberatan karena suaminya hanya menceritakan outline, si istri bisa bertanya lebih jelas lagi dan suam ya jangan terlalu cepat bersikap defensif kalau ditanya.

Jadi pintar-pintarlah istri untuk menggali dan si suami misalkan mendengarkan istrinya bercerita dan agak panjang dan sebagainya, silakan menyimpulkan atau silakan memberikan out line, memberikan garis besarnya, rangkumannya sehingga mungkin si istri jadinya tidak terlalu sampai panjang atau bertele-tele. Tapi memang perlu adanya pemahaman akan keunikan ini, tidak terbiasa karena kita memang berbeda, tapi silakan tidak apa-apa.
GS : Ya apakah cuma sampai pada tahap itu, cerita-cerita yang tadi kita sebutkan sehari-hari apa bisa ditingkatkan lebih lanjut Pak?

PG : Yang berikutnya adalah lakukanlah komunikasi 'edifying'. Edifying itu berarti membangun, membangun artinya apa, memfokuskan pada yang positif bukan pada yang negatif. Mudah sekali kalau kia sudah berumah tangga untuk melihat dan memfokuskan yang negatifnya.

Kita melihat dia kalau ngomong, misalnya tadi itu kepanjangan misalnya begitu, kita gagal melihat bahwa o.....dia itu ingin dekat dengan kita. Dan misalkan suami kita orangnya terlalu pendiam, kita fokuskan pada dia tidak memperhatikan saya ini sampai begitu dinginnya. Kita gagal untuk melihat segi positifnya bahwa o....ya.....ya tidak, dia orang yang memang stabil, orang yang sangat rasional dan kita perlu bertanya dia baru akan menjawab, jadi silakan bertanya. Nah titik berangkat kita ini yang harus penting, kita mencoba melihat positifnya, berikan tanggapan yang positif, puji pada kwalitas-kwalitas yang baiknya. Dan di atas yang positiflah relasi dibangun, relasi tidak dibangun di atas yang negatif. Kita hanya akan bisa bertumbuh kalau yang positif itu kita tangkap, kita berikan pujian dan kita bangun ke atas. Yang menyoroti kelemahan, kekurangan terus akan berjalan di tempat, tapi pasangan yang bisa melihat positif terus mengatakannya terima kasih, saya senang dengan ini, terus berikan tanggapan yang baik kepada hal positif, itu justru akan makin kuat, makin bertumbuh, dan yang negatif itu perlahan-lahan bisa lebih keluar.
WL : Pak Paul, itu bisa dilatih atau tidak, kalau misalnya baik suami atau istri terlahir di keluarga yang memang tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Apakah itu bisa dilatih pelan-pelan atau tidak atau itu hanya untuk orang-orang yang memang dibesarkan di keluarga-keluarga yang memang seperti itu keluarganya?

PG : Akan lebih sulit memang bagi orang-orang tertentu yang dibesarkan di keluarga yang misalnya terlalu banyak negatifnya, jadi dia harus bekerja lebih keras. Tapi saya kira ini bukannya sesuau yang mustahil dilakukan, bisa, masih ada harapan.

Langkah pertama selalu adalah coba tutup mulut sebelum misalnya memarahi atau mengkritik kekurangan pasangan kita. Coba tahan dulu, coba kunci mulut itu sehingga tidak mengeluarkan kata apa-apa, mulai dari situ dulu dan waktu melihat yang baik, berikan tanggapan yang positif. Mulai dari situ dulu, nah komunikasi yang edifying, yang membangun, yang akan benar-benar menumbuhkan pernikahan ini.
GS : Jenis komunikasi yang lain Pak Paul, yang dibutuhkan di dalam pernikahan itu?

PG : Yang ketiga adalah komunikasi yang penuh kasih atau loving, komunikasi yang loving, yaitu apa? Memperhatikan kepentingan pasangan dan memandang masalah dari perspektifnya. Jadi dalam berkounikasi kita tidak hanya tertarik menyampaikan pikiran kita, isi hati kita kepada pasangan kita, tetapi waktu kita berkomunikasi kita lebih tertarik mengetahui apa pikirannya dia, apa perasaannya, apa yang menjadi kerinduannya sekarang ini.

Jadi kita lebih memikirkan dia, nah ini saya kira adalah tahap yang memang paling puncak tapi waktu pasangan bisa berbuat seperti itu memikirkan apa yang diinginkan pasangannya, kenapa dia berpikir begitu, kenapa dia marah, o....berarti begini, OK-lah saya coba untuk memenuhi seperti ini. Itu komunikasi yang penuh cinta, penuh kasih benar-benar akan mengintimkan pasangan. Namun saya harus ulangi lagi bahwa, kita tidak mungkin sampai ke puncak tadi kalau kita tidak melewati jalan yang paling bawah yaitu mulai dengan komunikasi tetek bengek, sharing, cerita apapun begitu. Yang kedua adalah yang edifying, yang membangun, kata-kata yang positif. Kalau kita menyoroti yang negatif tidak mungkin sampai ke atas, kita tidak merasa dikasihi oleh dia, kalau terus dicela-cela.
GS : Pak Paul, memang ini sesuatu yang penting, apakah ada bagian dari firman Tuhan yang menguatkan perbincangan kita ini?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 14:23, "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan, tetapi kata-kata belaka mendatangkan kekurangan saja." Firman Tuhan mengajak kita berjeri payah dan menjanjikan bahwa dalam jerih payah ada keuntungan.

Tetapi orang yang hanya bisanya bicara, menuntut kanan-kiri tidak akan memetik apapun, jadi dimulailah dengan jerih payah.

GS : Baik terima kasih sekali Pak Paul juga Ibu Wulan, terima kasih untuk berbincang-bincang pada saat ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Keintiman". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



28. Mempertahankan Romans


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T140A (File MP3 T140A)


Abstrak:

Romans adalah perasaan cinta yang kuat. Sering kali kita mendengar bahwa dengan berjalannya waktu, cinta yang kuat ini bisa menipis dan akhirnya hilang. Romans mempunyai 2 fungsi yang dapat kita katakan 2 sisi dari 1 koin yang sama. Banyak orang menganggap bahwa romans ini tidak perlu dibangun seperti dulu waktu pacaran, tetapi akhirnya malah menghancurkan pernikahan mereka.


Ringkasan:

Pentingnya Romans

Romans mempunyai dua fungsi utama dalam pernikahan:

  1. Pertama, sebagai perekat yakni menghadirkan pasangan di hati kita dan memfokuskan pada kebaikannya.

  2. Kedua, sebagai penghapus yakni menghapus kesalahan pasangan dari hati kita.

"Kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain sebab kasih menutupi banyak sekali dosa." 1 Petrus 4:8

Kesalahpahaman Mengenai Romans:

  1. Keintiman dibangun di atas sejumlah faktor atau hal-hal kecil yang kita lakukan bersama di dalam pernikahan. Misalnya, pergi berdua, berjalan berdua, belanja berdua, menonton televisi berdua, bernyanyi berdua, berhubungan badan, dan lainnya. Romans merupakan hasil atau akibat dari semua hal-hal kecil yang kita lakukan bersama itu. Sering kali kita berpikir bahwa romanslah yang membuat kita ingin melakukan semua hal-hal itu. Ini pandangan yang keliru. Romans bukan penyebab; romans adalah akibat.

  2. Romans berkaitan erat dengan faktor "bagaimana": Bagaimana kita memperlakukan pasangan kita tatkala kita bersamanya? Secara spesifik romans berhubungan erat dengan kelembutan. Dengan kata lain, semakin lembut kita memperlakukan pasangan kita, semakin besar kemungkinannya kita mengalami romans. Sekali lagi kita melihat di sini, romans bukanlah penyebab, romans adalah akibat. Pengamatan membuktikan bahwa pasangan yang sampai tua berhasil mempertahankan romans adalah pasangan yang menunjukkan kelembutan kepada satu sama lain.

Saran Mempertahankan Romans:

  1. Habiskan waktu bersama untuk melakukan hal-hal yang kita berdua nikmati. Jangan memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak kita sukai, hal ini hanya akan merusak suasana dan meninggalkan kesan yang buruk.

  2. Jika ada masalah, bicarakan dan selesaikanlah! Jangan sampai kejengkelan menghentikan kita melakukan kegiatan bersama.

  3. Rencanakanlah kegiatan bersama; kekonsistenan adalah kunci romans.

Kesimpulan:
Ingat, pernikahan dibangun di atas fakta. Satu aktivitas yang riil lebih baik daripada seribu impian.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judu "Mempertahankan Roman", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul karena judul perbincangan kali ini adalah mempertahankan roman, sebenarnya pengertian roman itu sendiri apa Pak Paul?

PG : Roman adalah perasaan cinta yang kuat Pak Gunawan, dan ini adalah bagian yang penting dalam pernikahan. Memang adakalanya kita ini sebagai orang Kristen menekankan pentingnya kasih agape, kasih agape adalah kasih tanpa syarat menerima pasangan kita apa adanya dan kasih agape itu selalu diasosiasikan dengan kasih yang muncul dari pilihan secara rasional, tidak terpengaruh oleh perasaan. Nah sudah tentu saya setuju ini adalah landasan untuk pernikahan, namun sebaliknya saya juga ingin menekankan bahwa perasaan cinta yang kuat itu juga sangat penting dalam pernikahan. Bukankah yang membawa kita dekat dan akhirnya menikah dengan pasangan kita adalah perasaan cinta yang kuat itu, yang sering kali kita dengar adalah dengan berjalannya waktu akhirnya cinta yang kuat ini mulai menipis dan akhirnya hilang. Oleh karena itulah saya kira penting bagi kita menyadari bahwa unsur roman ini perlu ada dan kita perlu belajar bagaimana mempertahankan api roman ini agar akhirnya tidak padam.

GS : Apakah itu juga yang banyak orang mengatakan sebagai birahi Pak Paul?

PG : Birahi lebih ke arah seks, nafsu Pak Gunawan, sudah tentu keduanya memang ada faktor tumpang tindih tapi saya kira roman lebih luas daripada birahi kalau birahi itu terfokus pada relasi sesual, roman itu lebih luas dalam pengertian ini adalah suatu perasaan cinta yang sangat kuat yang benar-benar meliputi semua aspek dalam kehidupan kita bersama.

GS : Atau mungkin yang orang sebut dengan kemesraan Pak Paul?

PG : Saya kira kita dapat terjemahkan roman dengan kemesraan yaitu perasaan cinta yang kuat.

GS : Sebenarnya kenapa harus dipertahankan, lama-lama kemesraan atau roman itu 'kan bisa berkurang Pak Paul, apakah ada faktor-faktor yang menyebabkan roman itu bisa berkurang?

PG : Ada Pak Gunawan, biasanya yang pertama yang paling alamiah adalah karena kita sudah terbiasa dengan pasangan kita, maka tidak ada lagi elemen kejutan dalam relasi kita dan biasanya kalau kta sudah hidup bersama dengan seseorang untuk waktu yang cukup lama maka unsur-unsur yang kuat yang menarik kita padanya secara alamiah makin berkurang, oleh sebab itu saya tadi tekankan bahwa kita harus mempertahankannya.

Jadi asumsinya di sini adalah tanpa usaha dari pihak suami dan istri secara terencana, secara sengaja memang pada akhirnya roman atau cinta yang kuat itu makin hari bisa makin kecil apinya.
GS : Apakah peran atau fungsi roman dalam hubungan suami-istri atau pernikahan itu Pak Paul?

PG : Sekurang-kurangnya ada dua Pak Gunawan, yang pertama adalah roman itu sebagai perekat pernikahan artinya apa, artinya dengan adanya rasa cinta yang kuat itu kita sebetulnya menghadirkan paangan di dalam hati kita dan kita lebih memfokuskan pada kebaikannya.

Dalam pernikahan saya kira perlu roman karena roman memang mengakrabkan atau merekatkan, dan sekali lagi saya ingin tekankan cinta yang kuat itu sebetulnya menghadirkan pasangan kita dalam hati kita. Bukankah kita dapat melihat contoh seperti ini Pak Gunawan, kalau cinta sudah pudar maka pasangan kita tidak hadir lagi di hati kita. Tidak hadir artinya kita mulai melupakannya, ulang tahunnya mulai tidak kita ingat, hal-hal yang penting baginya tidak kita perdulikan, hal-hal yang dia sukai tidak kita ketahui, nah kalau sudah sampai kasus atau tahap yang sangat buruk kita akhirnya melakukan hal-hal yang kita tahu salah dan mungkin saja hal-hal yang sangat buruk bagi pernikahan kita, namun kita tetap melakukan. Nah pertanyaannya, kenapa kita tetap melakukan karena pasangan kita tidak hadir di hati kita maka kita bisa melakukan hal-hal yang buruk itu, misalkan berselingkuh.
GS : Fungsi yang lain apa Pak Paul?

PG : Fungsi yang lain adalah sebagai penghapus maksudnya menghapus kesalahan-kesalahan pasangan kita dari hati kita, nah tanpa roman kesalahan pasangan itu melekat di hati tapi dengan adanya cita yang kuat maka kesalahan pasangan kita akan luntur atau tidak menempel pada hati kita.

Saya akan kembali ke Firman Tuhan di sini 1 Petrus 4:8 berkata: "Kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa." Kasihilah sungguh-sungguh jadi kalau saya boleh gunakan istilah kita di sini mesralah, cintailah, dengan sangat kuat cintailah dengan rasa roman yang kuat sebab cinta yang kuat itu akan menutupi banyak sekali dosa, artinya apa kita memilih untuk tidak mengingat, kita bisa tidak mengingat, kenapa bisa tidak mengingat kesalahan pasangan kita sebab cinta yang kuat itulah yang akan melunturkan kesalahan pasangan kita dari hati itu maka saya panggil atau saya sebut roman itu adalah penghapus seperti kita menghapus tulisan yang salah nah demikianlah roman menghapus kesalahan-kesalahan pasangan dari hati kita.
GS : Jadi fungsi itu walaupun tadi Pak Paul sebutkan dua tapi sebenarnya kan saling mengisi Pak Paul, artinya merupakan satu kesatuan yang sebenarnya sulit dipisahkan.

PG : Betul sekali jadi roman memang mempunyai dua fungsi yang dapat kita katakan dua sisi dari satu koin yang sama, yang pertama adalah merekatkan dua hati artinya kita menghadirkan pasangan daam hidup kita, dalam hati kita sedangkan yang kedua adalah penghapus kita mentidakhadirkan atau menghilangkan kesalahan pasangan dari hati kita.

GS : Mungkin banyak orang yang kurang memperhatikan hal ini Pak Paul, itu karena dia sendiri kurang mengerti atau bahkan mungkin salah paham terhadap kemesraan atau roman itu, dia merasa kalau sudah menikah tidak perlu lagi seperti dulu waktu pacaran atau tidak perlu lagi ditumbuhkembangkan Pak Paul?

PG : Saya kira itu tepat Pak Gunawan banyak kesalahpahaman di seputar topik roman ini, yang ingin saya tekankan adalah keintiman dibangun di atas sejumlah faktor atau hal-hal kecil yang kita laukan bersama di dalam pernikahan kita.

Misalnya kita pergi berdua, kita berjalan berdua, belanja berdua, menonton TV berdua, bernyanyi berdua, berhubungan badan dengan pasangan kita, nah semua itu adalah hal-hal kecil tapi kita melakukan terus-menerus berdua dengan pasangan. Yang ingin saya tekankan adalah roman sebetulnya merupakan hasil atau akibat dari semua hal-hal kecil yang kita lakukan bersama itu, sering kali kita berpikir bahwa romanlah yang membuat kita ingin melakukan semua hal-hal itu, orang kadang-kadang berkata saya tidak kepingin, tidak mau pergi dengan pasangan saya, kenapa tidak ada rasa cinta lagi, tidak ada lagi roman, tidak ada lagi api itu, tidak mau saya pergi nonton berdua dengan pasangan, tidak mau lagi bernyanyi berdua, tidak mau lagi berjalan berdua nah sedangkan yang menjadi alasannya adalah tidak ada roman, tidak ada perasaan cinta yang kuat maka tidak ingin melakukan semua itu saya kira inilah salah satu letak kesalahpahamannya. Justru roman muncul karena kita melakukan hal-hal kecil itu terus-menerus dari awal pernikahan kita, memang kalau kita pernah menghentikan melakukan ini untuk waktu yang sangat lama, untuk menumbuhkannya lagi sangat sulit itu betul saya akui, tapi kalau kita dari awal pernikahan dengan penuh disiplin kita melakukan semua hal itu bersama-sama dengan pasangan kita perlahan-lahan kita akan melihat hasilnya yaitu roman akan terus bertunas justru roman terus bertunas gara-gara kita melakukan semua hal-hal itu.
GS : Apakah itu berarti sekalipun hati kita itu kurang suka melakukan misalnya jalan-jalan atau berhubungan badan tetapi harus dipaksakan Pak Paul?

PG : Saya setuju, jadi hal-hal kecil ini atau aktivitas bersama ini memang perlu dilakukan dengan penuh disiplin sehingga kita tetap, bisa memberikan wadah roman itu bertunas, kalau wadahnya suah kita buang bagaimanakah bisa bertunas dengan kata lain kita hanya bisa menanam benih kalau ada tanah dan ada potnya tidak ada tanah, tidak ada potnya bagaimana bisa menumbuhkan tanaman di situ, maka aktivitas bersama dapat saya identikkan dengan pot dan tanah dalam pot itu barulah akhirnya roman bisa terus bertunas.

GS : Ya itu kadang-kadang yang menjadi masalah itu Pak Paul, si suami berminat atau tetap melakukan istrinya tidak, tetapi pada saat yang lain yang sebaliknya terjadi istrinya berminat suaminya tidak, sehingga itu membuat makin lama aktivitas itu makin jarang mereka lakukan.

PG : Kalau itu yang mulai terjadi memang pasangan ini harus berbicara, masing-masing harus saling mengingatkan, kita sudah lama misalnya tidak berhubungan badan setiap kali aku yang mengambil iisiatif engkau kok tidak mengambil inisiatif nah sekali-sekali cobalah engkau yang juga berinisiatif, sekali-sekali engkaulah yang juga membicarakan dan menginginkannya atau kita pergi bersama, makan bersama setiap minggu kemudian selama misalkan dua atau tiga minggu tidak pergi karena ada yang sakitlah atau apalah tapi yang satu seolah-olah kok tenang-tenang saja, tidak melontarkan ide untuk pergi bersama lagi, nah saya kira itulah waktunya bagi pasangan yang satunya untuk mengingatkan.

"Kita tidak pergi selama tiga minggu ini dan saya kira kita mesti pergi lagi," jadi siapa yang melihat dan merasakan mengingatkan nah kuncinya di sini adalah kerendahan hati Pak Gunawan. Kalau kita mempertahankan gengsi tidak mungkin kita bersedia mengingatkan pasangan kita, nanti kita rasanya kok terhina nah mesti memang rendah hati untuk berani mengungkapkan keinginan tersebut.
GS : Selain kesalahpahaman itu Pak Paul apakah ada kesalahpahaman yang lain?

PG : Roman itu berkaitan erat dengan faktor bagaimanakah kita memperlakukan pasangan kita tatkala kita bersamanya. Secara spesifik roman berhubungan erat dengan kelembutan dengan kata lain semain lembut kita memperlakukan pasangan kita semakin besar kemungkinannya kita mengalami roman.

Sekali lagi kita melihat di sini bahwa roman bukanlah penyebab, roman adalah akibat, gara-gara kita memperlakukan pasangan kita dengan lemah lembut, dengan penuh kasih sayang, nah roman muncul. Perasaan cinta yang kuat itu makin hari makin bertunas, pengamatan membuktikan (ini yang saya amati Pak Gunawan) bahwa pasangan yang sampai tua berhasil mempertahankan roman adalah pasangan yang menunjukkan kelembutan kepada satu sama lain. Saya mau memberikan catatan Pak Gunawan ada orang yang masih bisa berhubungan seksual tapi tidak mempunyai kelembutan nah apa yang terjadi, kelembutan adalah prasyarat munculnya cinta atau roman tapi nafsu atau birahi tetap bisa ada di tengah-tengah hampanya roman, di tengah-tengah relasi yang tidak baik sekalipun jadi dalam situasi yang tidak baik karena dorongan-dorongan biologis memang masih bisa ada hubungan badan, antara suami-istri tapi itu adalah 100% birahi, tapi kalau roman lain lagi roman hanya bisa bertunas jika ada kelembutan nah bagaimana kita memperlakukan pasangan kita itu.
GS : Berarti yang kedua ini menurut saya lebih sukar daripada yang pertama tadi, yang pertama mungkin kita masih bisa penuhi melakukan itu, tetapi masalahnya bagaimana itu tadi. Nah kalau sudah sampai ke bagaimana Pak Paul, ini sebenarnya apa yang harus kita lakukan kalau memang seperti tadi sudah agak dipaksakan pergi berdua atau makan keluar sehingga bagaimananya itu tadi mutunya rendah sekali Pak Paul tidak ada kelembutan mungkin dilakukan dengan marah-marah atau dipaksakan seperti yang Pak Paul tadi katakan itu.

PG : Inilah yang membuat sebagian orang akhirnya berkata saya tidak mau pergi dengan dia buat apa saya pergi dengan dia karena nanti dia akan marah atau apa jadi dua-dua mesti memegang komitmenbahwa waktu kita pergi bersama kita harus menjaga emosi kita jangan meledak atau apa barulah waktu itu menjadi waktu yang berharga.

GS : Pak Paul apakah ada saran yang praktis yang bisa kita sampaikan kepada para pendengar kita Pak Paul?

PG : Ada tiga yang bisa saya berikan Pak Gunawan, yang pertama adalah habiskan waktu bersama untuk melakukan hal-hal yang kita berdua nikmati, adakalanya pasangan berpikir pokoknya lakukanlah sya tidak nikmati ya kamu nikmati ya sudah.

Dalam hubungan yang kuat hal itu tidak menjadi soal, dalam hubungan nikah yang rapuh hal itu pasti menjadi masalah, karena yang satu akan berkata saya hanya pergi menemani engkau, engkau yang menikmati, aku tidak menikmati. Dalam kondisi seperti itu masih rapuh kemudian melakukan hal yang satu senang, yang satu tidak senang saya kira roman tidak mungkin bertunas jadi daripada kondisi yang rapuh itu memaksakan melakukan sesuatu yang satunya tidak bisa nikmati saya kira lebih baik pilihlah satu hal yang dua-dua nikmati, pilihlah satu hal itu misalkan berjalan bersama kalau 1 jam kelamaan buatlah setengah jam, menonton film yang dua-duanya bisa sama-sama menikmati misalkan mendengarkan lagu yang dua-dua bisa nikmati, nah akhirnya apa yang terjadi kalau bisa duduk bersama atau melakukan satu hal bersama yang dua-dua nikmati kecenderungan yang lebih besar adalah roman bisa muncul, jadi roman muncul dari perasaan yang positif menikmati sesuatu bersama.
GS : Tetapi dalam hal itupun saya rasa kalau salah satu itu hanya memaksakan keinginannya itu tidak akan tercapai juga Pak Paul agak sulit menemukan hal yang bisa dikerjakan bersama-sama jadi ada unsur agak mengalahnya itu.

PG : Mesti ada unsur mengalahnya tetapi sekaligus mesti berusaha keras mencari satu dua aktivitas yang bisa dilakukan bersama, nah saya percaya seburuk-buruknya relasi nikah antara dua orang metilah ada hal-hal yang mereka bisa lakukan bersama dan menikmatinya bersama, tidak mungkin tidak ada sama sekali jadi ya mesti benar-benar jeli memilih satu, dua hal dan mencoba lakukan bersama.

Jadi salah satu prinsip mempertahankan roman di sini yang bisa kita petik adalah roman muncul dari kenikmatan bersama kalau tidak menikmati justru akan menimbulkan kesan buruk.
GS : Ya dan itupun menurut pengalaman saya sekalipun pada mulanya kita tidak menikmati itu, dengan berjalannya waktu kita melakukan itu lama-lama menikmati juga Pak Paul?

PG : Betul dan memang Pak Gunawan dalam relasi yang kuat akhirnya makin sedikitlah hal-hal yang kita merasa berkeberatan untuk melakukannya sebab hubungan kita begitu kuat sehingga kita lebih rla melakukan hal-hal bersama pasangan kita meski tidak terlalu kita nikmati tapi hubungan yang sangat rapuh wah tidak bisa ini mereka akan sangat-sangat mudah bertentangan kalau melakukan sesuatu yang dua-duanya tidak nikmati.

GS : Apakah ada saran yang lain Pak Paul?

PG : Salah satu pembunuh roman adalah problem, pertengkaran, masalah, nah makanya perlu dua-dua berani untuk membicarakan problem, tidak menyimpannya terus-menerus, berani menyelesaikannya, menambil inisiatif berbicara kalau perlu pergi ke seorang hamba Tuhan, seorang konselor untuk meminta bantuannya menyelesaikan problem kita artinya apa gini jangan sampai kejengkelan menghentikan kita melakukan kegiatan bersama sebab kejengkelanlah akan membuat kita berkata engkau pergi sendiri saya tidak mau nah itu yang harus kita bereskan.

GS : Mungkin selain kejengkelan itu ada rasa jera atau kapok Pak Paul?

PG : Ya sering kali.

GS : Melakukan sesuatu kapok, sudah lain kali tidak lagi.

PG : Betul, buat apa melakukan ini lagi kalau ini hasilnya.

GS : Nah itu sebenarnya kalau kita bisa menemukan alternatif yang lain meninggalkan kegiatan itu, tapi menemukan kegiatan yang lain saya rasa tidak apa-apa.

PG : Betul bisa kita lakukan itu.

GS : Bagaimana dengan saran yang lain Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah rencanakanlah kegiatan bersama jadi saya mau tekankan ini kekonsistenan adalah kunci roman. Roman tidak dibangun di atas kejutan-kejutan, surprise-surprise terus-meners lama-lama kita kehabisan surprise, kehabisan kejutan jadi rencanakan kegiatan untuk kita lakukan bersama-sama, makin konsisten makin kuat roman itu untuk bisa bertahan.

GS : Dari seluruh pembicaraan ini Pak Paul mungkin Pak Paul bisa menyimpulkan agar para pendengar bisa lebih jelas lagi.

PG : Kadang kala kita memikirkan roman sebagai sesuatu yang bersifat magis datang dari luar tiba-tiba muncul di hati kita, jangan berpikir seperti itu lagi. Saya mau tekankan bahwa pernikahan dbangun di atas fakta.

Fakta artinya aktivitas-aktivitas yang riil yang kita lakukan, roman dibangun di atas aktivitas-aktivitas yang nyata yang riil, jadi pesan saya adalah satu aktivitas yang riil kita lakukan bersama lebih baik daripada seribu impian kalau saja saya punya roman dan sebagainya itu tidak akan menghasilkan apa-apa tapi aktivitas yang nyata yang kita lakukan bersama adalah awal dari munculnya roman setaraf pernikahan kita.
GS : Tetapi memimpikan sesuatu secara bersama-sama Pak Paul apakah itu juga bukan salah satu bentuk aktivitas yang bisa meningkatkan roman kita?

PG : Bisa kalau memang kita berdua ya bisa membicarakannya, hal-hal yang kita ingin lakukan bersama itu boleh, yang saya maksudkan tadi adalah impian-impian kapan roman itu datang, kapan cinta aya bisa kembali lagi, tidak bisa muncul dengan hanya memikirkan, hanya bisa muncul dengan cara melakukan hal-hal atau kegiatan bersama-sama.

GS : Jadi walaupun pada awalnya itu suatu tindakan yang sederhana kita bisa menganjurkan kepada para pendengar untuk mulai melangkah, mulai mencoba untuk melakukan itu Pak Paul.

PG : Betul dan mulai dengan hal-hal yang sederhana, pernah dengan satu pasangan saya bertanya: "Apa yang bisa kalian lakukan bersama?" Seseorang berkata: "Oh pasangan saya suka masak, oke bagaiana kalian berdua mulai masak minggu ini satu hari saja, satu makanan saja untuk satu minggu satu hari memilih masak bersama jadi hal yang simple yang mungkin kok rasanya tidak begitu bermakna namun justru bermakna.

GS : Apakah itu membutuhkan waktu yang lama Pak Paul untuk membangun roman ini?

PG : Saya kira kalau kita sudah awali dari awal pernikahan itu kita masih bisa melangsungkannya terus, memang kalau kita terhenti untuk memulainya perlu waktu jadi bersabarlah.

GS : Jadi ini butuh suatu ketekunan kedisiplinan untuk tetap mempertahankan roman ini.

PG : Tepat sekali.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mempertahankan roman". Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluargga kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mngucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



29. Makna Ditemani


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T144A (File MP3 T144A)


Abstrak:

Ada perbedaan antara makna ditemani pada pria dan wanita. Dan inilah yang sering kali menimbulkan kesalahpahaman dan masalah dalam pernikahan. Dan melalui materi ini kita akan mengetahui perbedaan-perbedaan tesebut.


Ringkasan:

Makna ditemani bagi wanita:

  1. Aku ingin dikenal (dikenal dengan mendalam), wanita ingin suaminya mengenal dia, sehingga apa yang ada dalam pikirannya sudah bisa terbaca oleh si suami.

  2. Aku ingin dikasihi, pasangan kita memperlakukan kita berbeda daripada dia memperlakukan orang lain. Menempatkan kita secara spesial, membuat kita merasakan jelas bahwa kita yang paling utama baginya.

  3. Aku ingin diperhatikan, wanita menginginkan suaminya memperhatikan secara fisik atau jasmaniah.

Dampak:
Apabila wanita tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhannya ini, yang terjadi adalah dia akan merasa kosong, artinya dia seolah-olah kehilangan pegangan dalam hidupnya.

Makna ditemani atau didampingi bagi Pria:

  1. Pria menginginkan istrinya di rumah.
  2. Pria mengharapkan istri bisa memahami pikirannya.

Dampak:
Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, pria akan merasa kesepian. Ini kadang-kadang kita temukan dalam keluarga. Ada ayah atau suami yang di rumahnya sendiri merasa sebagai orang asing. Karena dia merasa istrinya tidak mau mengerti dia.

Firman Tuhan: "Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan, ia memperdengarkan suaranya."

Ini diambil dari kitab Amsal 1-2. Kita perlu hikmat, hikmat tidak memfokuskan pada yang besar-besar tapi pada yang kecil, namun berarti. Dan Tuhan memberikan hikmat itu asal kita juga mencarinya dan bertanya kepada Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Ditemani", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan, yang akan kita bahas pada saat ini adalah materi yang pernah saya bawakan dalam ceramah yang berjudul "Aku Hanya Minta Ditemani". Dan pada dasarnya yang akan kita bahas adaah perbedaan makna ditemani pada pria dan wanita, sebab yang akan kita ungkapkan adalah meskipun sama, tapi artinya tidak sama, nah ini yang sering kali menimbulkan kesalahpahaman antara suami dan istri dan menimbulkan masalah juga dalam pernikahan.

GS : Mungkin yang banyak kita pikirkan itu suatu masalah yang sepele Pak Paul, hanya minta ditemani, didampingi dan sebagainya. Apakah itu mempunyai makna tersendiri baik bagi pria maupun wanita?

PG : Sebetulnya memang ada perbedaan makna antara wanita dan pria. Yang saya akan jabarkan sekurang-kurangnya ada tiga Pak Gunawan, yang pertama adalah bagi wanita. Waktu wanita berkata aku ngin ditemani, sebetulnya yang dimaksud olehnya adalah aku ingin dikenal.

Wanita ingin suaminya mengenal dia, sehingga apa yang ada dalam pikirannya sudah bisa terbaca oleh si suami, sebelum dia mengatakannya sudah bisa direka oleh si suami, terjadi perubahan pada wajahnya diketahui oleh si suami. Nah, pengenalan yang dalam seperti itu membuat wanita merasa didampingi, dia bersama suaminya. Jadi kalau kita putar situasinya kalau si suami tidak memberikan komentar yang menunjukkan bahwa dia mengetahui, dia mengenal kondisi istrinya, itu membuat si istri merasa suaminya itu jauh darinya, tidak bersama dengannya, tidak berdampingan dengannya. Jadi makna pertama bagi wanita ditemani atau didampingi berarti dikenal dengan mendalam.
GS : Jadi perbincangan ini kita fokuskan pada hubungan suami-istri Pak Paul?

PG : Betul, secara khusus memang kita akan fokuskan pada hubungan suami-istri.

GS : Tetapi pengenalan itu 'kan membutuhkan waktu lama, artinya si suami ini dituntut lebih banyak menemani atau mendampingi istrinya.

PG : Ya memang pada saat-saat suami di rumah atau suami itu bersama dengan si istri, sudah tentu harus ada waktu yang diberikan kepada si istri agar si suami bisa mengenal istrinya.

GS : Tetapi apakah cukup dengan mengenal itu saja Pak Paul?

PG : Saya kira ada yang lainnya lagi Pak Gunawan. Makna berikutnya lagi adalah dikasihi, waktu wanita berkata aku ingin didampingi, aku ingin ditemani, itu juga berarti aku ingin dikasihi. Nh, sebagaimana pernah saya ungkapkan sebelumnya, ternyata dikasihi itu tidaklah berdiri sendiri dalam kevakuman atau kekosongan, kita itu tahu dikasihi kalau kita melihat bahwa pasangan kita memperlakukan kita berbeda daripada dia memperlakukan orang lain.

Dia menempatkan kita secara khusus, secara spesial, dia membuat kita merasakan jelas bahwa kita itu yang paling utama baginya. Nah, jadi waktu wanita berkata kepada suaminya aku ingin ditemani, aku ingin didampingi olehmu, itu berarti aku ingin dikasihi. Dikasihi sedemikian spesialnya, sehingga dia merasakan tidak ada lagi di dalam hati suami orang lain yang sepenting dan seindah dia.
GS : Tetapi apakah itu tidak membutuhkan ungkapan melalui kata-kata Pak Paul?

PG : Saya kira tindakan-tindakan langsung melalui kata-kata sudah tentu harus, jadi ini yang kadang-kadang menjadi masalah Pak Gunawan. Sebagian pria berkata saya sudah mengasihi istri saya alam hati saya dan tidak perlu saya ungkapkan, saya bekerja, saya bertanggung jawab sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah itu sudah cukup.

Saya kira itu baik, namun betapa lebih indahnya kalau kasih itu juga dinyatakan melalui kata-kata, seperti aku mengasihimu, engkau adalah orang yang penting sekali bagiku, tidak ada orang lain dalam hidupku selain engkau dan sebagainya. Kalau diungkapkan secara berkala hal itu akan berdampak besar pada kehidupan seorang wanita.
GS : Selain dikenali dan dikasihi, apakah mungkin ada tuntutan lain di dalam diri si istri dengan minta ditemani itu Pak Paul?

PG : Yang lainnya lagi adalah aku ingin ditemani itu berarti aku ingin diperhatikan. Wanita menginginkan suaminya memperhatikannya secara fisik atau jasmaniah. Misalkan dia memakai baju yangbaru, dia akan sangat mengharapkan suaminya bisa melihat bahwa dia memakai baju yang baru.

Bahwa waktu dia mengubah gaya rambutnya, model rambutnya, suaminya bisa memberikan komentar juga kepadanya. Nah, perubahan sedikit pada penampilannya kemudian bisa dilihat oleh si suami, itu menandakan dia diperhatikan, dia bukanlah seperti patung di rumah, seperti pajangan di rumah, yang setelah berada di rumah kita beberapa waktu kita tidak lagi memberikan perhatian kepadanya. Nah, istri ingin sekali mendapatkan perhatian seperti itu dari suami, kadang-kadang saya juga mengakui kita kaum pria-pria ini suka hal-hal lain. Kita menganggap biasa-biasa saja, buat apa saya komentari tapi hal-hal itu penting bagi wanita, dia senang mendengar kata-kata si suami yang menunjukkan bahwa si suami itu memperhatikan dirinya, sehingga perubahan-perubahan sekecil apapun bisa diketahui oleh si suaminya.
GS : Memang kadang-kadang kalau istri baru potong rambut segala macam kadang-kadang tidak terlihat Pak Paul?

PG : Kadang-kadang pria itu memang melihat dengan global, sehingga kurang melihat secara mendetail, akhirnya si istri lama-lama beranggapan saya ini seperti pajangan di rumah, kok tidak diliat lagi, sampai berdebu dan sebagainya.

Nah, penting sekali si suami itu memberikan tanggapan-tanggapan kepada istri.
GS : Bagaimana dengan perlindungan, apakah dengan minta didampingi berarti istri minta dilindungi?

PG : Saya kira itu juga termaktub Pak Gunawan, jadi wanita menghendaki suami mengayominya, memberikan rasa aman untuknya. Itu sudah tentu termaktub dalam makna aku ingin didampingi atau diteani.

GS : Kalau kebutuhan-kebutuhan seperti itu, (seperti Pak Paul katakan, kita ini para pria kurang bisa memberikan hal itu) apakah ada dampak yang negatif kalau hal itu sampai tidak terpenuhi?

PG : Biasanya kalau wanita tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhannya, dia akan merasa kosong artinya dia seolah-olah kehilangan pegangan dalam hidupnya, maka kita bisa melihat Pak Gunawan, waita atau istri yang tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhannya ini.

Dia tidak merasakan dia itu dikenal oleh suami, dia tidak merasakan bahwa suaminya mengasihinya, dia tidak merasakan suaminya memperhatikannya atau diayomi oleh suaminya, nah dia akan merasa kosong. Jadi kita melihat kekosongan pada hidupnya, kita akan melihat seorang wanita yang seolah-olah hanya menjalani hidup hari lepas hari tapi tidak mempunyai bobot yang membuatnya berjalan menapaki hidup ini, benar-benar kosong, tidak ada lagi arahan dalam hidupnya.
GS : Tadi Pak Paul sudah menyampaikan kebutuhan-kebutuhan seorang istri ditemani suaminya, Apakah seorang suami juga memiliki kebutuhan seperti itu Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan ternyata tidak sama maknanya bagi para suami ini. Yang pertama, bagi seorang suami minta ditemani atau didampingi itu berarti dia menginginkan istrinya di umah.

Ini mungkin kedengaran konvensional atau kuno, tapi kebanyakan suami menghendaki istrinya di rumah, terutama pada waktu dia pulang kerja. Memang ada yang harus kerja, pulangnya harus lebih terlambat dan sebagainya karena tuntutan ekonomi. Kalau tidak ada tuntutan ekonomi, saya kira kebanyakan pria lebih senang kalau istrinya di rumah sewaktu dia pulang dari kerja, sebab bagi dia penting, ada orang di rumah, ada istrinya di rumah. Dia tidak begitu nyaman menjumpai rumah yang kosong, dan dia harus di rumah satu jam, dua jam sebelum akhirnya istrinya pulang. Nah, itu hal yang memang tidak menyenangkan, maka ada sebagian suami karena dia harus berdiam sendirian di rumah satu jam, dua jam sebelum istrinya pulang akhirnya diapun memutuskan akan pergi, meskipun seharusnya sudah bisa pulang, tapi daripada di rumah tanpa istri lebih baik keluyuran dan sebagainya. Jadi sekali lagi makna didampingi atau ditemani bagi pria, secara harafiah berarti ada orang di rumah.
GS : Itu mungkin menimbulkan kenyamanan tersendiri karena dia memang ingin berjumpa dengan istrinya Pak Paul?

PG : Betul, dalam pengertian memang relasi mereka baik, sudah tentu kalau relasinya buruk dia akan juga susah kalau sering-sering bertengkar di rumah. Tapi meskipun hubungannya tidak terlalubaik pun, sesungguhnya tetap sama, pria kalau pulang ke rumah dia menginginkan ada istrinya.

Atau misalkan pada hari Minggu, waktunya dia di rumah, tidak bekerja dia akan senang sekali kalau istrinya juga di rumah. Nah, kadang-kadang yang terjadi adalah si istri repot, ada kegiatan di sini, di sana dan harus pergi meninggalkan rumah, mungkin sekali suami tidak berkata apa-apa. Dia berkata tidak apa-apa, untuk kamu supaya bisa terlibat dalam kegiatan sosial atau gerejawi, namun tetap di lubuk hatinya dia mengharapkan sebetulnya istrinya itu di rumah.
GS : Apakah itu suatu kebutuhan bahwa nanti kalau istrinya di rumah bisa melayani dia, artinya menyiapkan bajunya, menyiapkan air mandinya, atau apa Pak Paul?

PG : Sebagian pria masih mengharapkan hal-hal yang mendetail seperti itu, tapi saya kira kebanyakan pria pada masa kini tidak lagi terlalu mengharapkan istri yang menyiapkan baju dan sebagaiya.

Sudah tentu sebagian besar pria masih mengharapkan istrinya memasak dan sebagainya, tapi pada umumnya selain dari memasak ya suami-suami itu cukup puas kalau istrinya di rumah, bisa ada pembicaraan, ngobrol, nonton televisi bersama dan sebagainya tapi setidak-tidaknya ada istri di rumah. Salah satu kebutuhan suami sebetulnya berkaitan juga dengan soal anak. Karena suami atau ayah biasanya kewalahan mengurus anak tanpa ada ibu atau istri di rumah, jadi salah satu motivasi kenapa dia menginginkan istrinya di rumah adalah untuk bisa menangani anak-anak.
GS : Tapi ada juga suami yang mengharapkan istrinya itu yang membukakan pintu rumahnya Pak Paul?

PG : Ada juga yang seperti itu, meng-klakson dari luar, istrinya membukakan pintu, saya kira hal-hal seperti itu tidak perlu, kalau dia sendiri bisa membuka pintu, kenapa bukan dia sendiri yng membuka pintu.

Orang di rumah mungkin ada kesibukan lain, harus tergopoh-gopoh keluar, jadi saya kira jangan sampai suami menjadikan istri itu seperti pelayannya.
GS : Apakah ada kebutuhan yang lain Pak Paul dengan si suami ini minta ditemani istrinya?

PG : Yang lainnya lagi adalah suami itu mengharapkan istri bisa memahami pikirannya, nah ini salah satu ha yang penting Pak Gunawan. Saya sering mendengar komentar dari pria yang berkata : sya tidak bisa berbicara dengan istri saya sebab tidak nyambung, nah daripada tidak nyambung, nanti akhirnya saya harus menjelaskan lebih baik tidak usah berbicara.

Jadi waktu suami berkata aku ingin didampingi, aku ingin ditemani, itu juga berarti aku ingin engkau juga bisa memahami bahasanya, terminologinya, konteks pembicaraannya, lapangan kerja dan sebagainya itu menolong sekali. Maka sebisanya istri sedikit banyak juga mengikuti perkembangan di luar atau perkembangan pekerjaan suaminya, sehingga waktu suaminya berbicara dia bisa mengerti. Kalau misalkan di pembicaraan sampai dia tidak mengerti apa yang dibicarakan suami, saran saya daripada langsung dipotong-potong, ditanya, ini apa artinya, ini aku tidak mengerti, ini kok bisa begini, nah ini bisa membuat jengkel si suami berbicara dengan istrinya. Jadi saran saya biarkan suami bercerita dulu, dengarkan saja, sebab biasanya yang diminta si suami itu istrinya mendengarkan (mungkin dia sedang menceritakan problemnya), nah nanti kalau sudah dia selesai berbicara, sudah lebih lega barulah si istri bisa bertanya: "Tadi engkau mengatakan ini, ini, ini, saya kurang mengerti, bisa tidak jelaskan ini?" Jadi setelah dia selesai baru sering-sering bertanya kalau ada yang kurang jelas.
GS : Dalam hal ini ada suatu perbedaan dengan istri yang minta dikenali secara fisik Pak Paul?

PG : Ya, sebetulnya dikenali itu mendalam, mengerti perasaannya. Bagi wanita memang yang lebih penting adalah perasaannya itu dikenali oleh si suami.

GS : Kalau suami tadi pikirannya, ide-idenya?

PG : Betul, terminologinya-lah, kenapa dia bepikir begini, kalau bagi wanita yang lebih penting dikenali adalah perasaannya. Dia lagi kesal, dia lagi capek, dia lagi tidak mood berbicara dansebagainya nah itu penting sekali suami bisa mengerti, mengenali perasaan-perasaan tersebut.

GS : Tapi kalau si suami itu bukan seseorang yang suka bicara, apakah si istri itu bisa mengerti arah pikiran atau pola pikiran dari suaminya.

PG : Kadang-kadang itu masalah dalam keluarga Pak Gunawan, sudah tentu kita tidak bisa membuat si suami yang tiba-tiba bawel kalau memang dasarnya pendiam. Jadi sebaiknya istri yang menemuka waktu yang tepat untuk suami bisa berbicara, kemudian langsung dengan metode bertanya: bagaimana ini, apa yang terjadi atau apa dan sebagainya, nanti si suami tolong yang menjawab dengan baik-baik, jangan sampai menjawab dengan jengkel.

GS : Tapi ada suami yang justru kalau ditanya-tanya seperti itu justru tidak senang Pak Paul?

PG : Kalau begitu istri bisa bertanya kepada suaminya bagaimanakah supaya bisa terjadi dialog di antara kita, mungkin cara aku bertanya kurang tepat, seperti apakah cara yang tepat supaya enkau bisa menyambut pertanyaanku dan sebagainya.

Jadi itu salah satu cara untuk menjembatani masalah ini. Namun memang salah satu kebutuhan pria yang juga berkaitan dengan ditemani ini adalah pria itu tidak suka diganggu Pak Gunawan, karena itulah kalau memang wanita cara bertanyanya, dan kurang tepat waktunya itu pria merasa terganggu. Dia ingin bisa menyortir dulu pemikiran-pemikirannya, kalau wanita bisa langsung mengeluarkan pikirannya meskipun belum terolah dan belum menjadi sesuatu yang rapi, kalau pria susah untuk langsung mengeluarkan pikirannya, perasaannya secara langsung tanpa mengolahnya. Jadi kebanyakan pria kalau ada masalah, dia ingin berdiam diri sejenak. Berdiam diri sudah tentu tidak mendiamkan istrinya, jadi bisa juga si suami berkata: "Mohon untuk saat ini saya minta jangan ditanya dulu, saya sedang memikirkan sesuatu, nanti saya akan memberitahukan kamu apa yang sedang saya pikirkan." Dengan cara seperti itu si istri mendapat jaminan bahwa sekarang ini suaminya tidak berbicara, tapi nanti dia akan berbicara sehingga ada komunikasi, dan sekaligus si suamipun tidak merasa didorong, dipaksa, diganggu, untuk berbicara sekarang juga.
GS : Tapi itu juga tergantung masalahnya juga, kalau yang mengganggu pikiran kita sebagai suami yang kita tahu bahwa itu salah kita, saya khususnya tidak senang kalau istri mengejar terus kok bisa sampai salah, apa yang menyebabkan salah, itu tidak senang. Saya hanya mau stop, saya tahu ini salah akibatnya seperti ini sudah, begitu.

PG : Saya kira bukan hanya Pak Gunawan, tapi saya dan sebagian besar pria memang mempunyai reaksi yang sama bahwa kita memang berpikir praktis. Kita ini para pria berpikirnya ya ini telah tejadi ya sudah, saya sudah mengetahui apa duduk masalahnya, saya pelajari bagaimana mencegah supaya jangan sampai terulang kembali kita tutup buku, begitu.

Sebab itulah pola pikir pria pada umumnya, praktis sekali dan memang bersifat global. Wanita lebih berorientasi pada detail, dia ingin tahu lebih banyak, apa yang menjadi masalah dan sebagainya dan itu yang membuat pria akhirnya merasa dipersalahkan dan dikorek-korek lagi untuk hal yang memang tidak menyenangkan kita. Saran saya kita sebagai pria berkata kepada istri kita: "Bisa tidak saya jelaskan nanti, saya sekarang tidak lagi mau berbicara soal itu, tapi saya akan jelaskan mungkin nanti malam atau besok saya akan jelaskan semuanya kepadamu." Nanti pada hari yang telah kita janjikan itu kita berbicara baik-baik, kita bisa memberitahukan dia: "Mohon kamu dengarkan dulu ya, saya tidak mau kamu di tengah percakapan saya memotong saya, bertanya kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu, mohon dengarkan dulu saya akan mencoba menjelaskan." Nah, kita jelaskan semuanya setelah itu selesai baru kita bertanya apa yang ingin kamu ketahui sekarang. Jadi dengan kata lain kita menstruktur percakapan itu, sebab ini penting buat pria, sehingga kita tidak merasa tercerai-berai, tidak mempunyai kendali lagi atas percakapan ini karena langsung dipojokkan kiri-kanan.
GS : Ada banyak pria (teman-teman saya) yang sering kali berkata : istri saya tidak mengerti saya, maksudnya apa Pak Paul, apakah istrinya itu tidak mengerti pikirannya, sikapnya atau apa Pak Paul?

PG : Sering kali kalau pria berkata begitu memang pikirannya, misalkan dia bermaksud baik sebetulnya tapi si istri tidak melihat maksudnya, tapi justru melihat kok kamu berbicara dengan oran itu misalkan, karena ternyata istri melihat sisi yang berbeda, aspek yang sama sekali tidak menjadi penting bagi si pria, ternyata itu yang dilihat oleh istri.

Misalkan dia menolong seseorang, si suami menolong seseorang, nah bagi si suami yang penting adalah orang itu susah dan saya harus menolong. Nah, bisa jadi si istri tidak melihat hal itu tentang si suami berniat baik menolong orang itu, si istri hanya menyoroti aspek, "kamu memberi dia uang, itu berarti nanti dia pikir kamu kaya," nah hal yang sama sekali tidak dipikirkan oleh si suami, tapi itu yang dilihat oleh si istri. Nah dalam kasus seperti inilah si suami akan berkata: "Kamu tidak mengerti saya." Jadi penting sekali bagi istri di sini adalah menangkap motivasi si suami, o.....dia memberikan karena dia kasihan, nah itu yang mula-mula disoroti. Istri bisa berkata kepada si suami: "Tindakanmu terpuji, kamu kok baik mempunyai kepedulian terhadap orang, mau membantu teman." Si istri berikan pujian seperti itu, akui perbuatan baiknya. Nah setelah semuanya selesai, kalau ada keprihatinan si istri barulah dia ungkapkan, si istri bisa berkata: "Ya, tapi dari pihak saya, selain dari semuanya itu yang baik saya hanya terpikir satu saja, apakah dia nanti mengira kamu itu banyak uang, sehingga dia nanti akan meminjam-minjam terus uang dari kamu." Nah setelah berbicara begitu, suami bisa menjelaskan: "OK! Usulan yang baik, nanti saya akan jaga supaya dia tidak terus-menerus meminjam uang dari saya."
GS : Pak Paul, kalau pihak istri tadi kebutuhan untuk ditemani itu tidak terpenuhi dan dia merasa kosong, bagaimana sebaliknya terhadap suami atau pria ini?

PG : Biasanya pria itu akan merasa kesepian, sendirian, dan ini kadang-kadang kita temukan dalam keluarga. Ada ayah atau suami yang di rumahnya sendiri dia adalah orang asing, dia merasa istinya tidak mau mengerti dia, anak-anak juga masih lebih kecil mungkin tidak mengerti dia, sehingga dia merasa orang asing-lah di rumahnya sendiri.

Nah maka ini kebutuhan yang penting sekali untuk dipenuhi oleh si istri, jangan sampai karena dia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri akhirnya dia mencari orang lain untuk bisa mengisi kesendiriannya itu.
GS : Pak Paul, itu masing-masing baik istri maupun suami mempunyai kebutuhan yang tadi Pak Paul sudah ungkapkan. Apakah kebutuhaan-kebutuhan ini bisa terpadu dalam hubungan suami-istri?

PG : Saya kira masing-masing harus bekerja, masing-masing harus berusaha memenuhi kebutuhan ini semuanya, sehingga pada akhirnya karena masing-masing dipuaskan akhirnya masing-masing lebih bsa memberikan, memenuhi kebutuhan pasangannya.

Kalau satu orang merasa saya tidak dipenuhi, itu akan menghalangi dia memenuhi kebutuhan pasangannya. Simple sekali yang bisa kita lakukan sebagai suami, kepada istri kita misalkan kita bisa melakukan tindakan-tindakan kecil yang menunjukkan kasih kita kepadanya, kita tahu yang dibutuhkan istri kita adalah kedekatan emosional, dia butuh koneksi, keterkaitan, maka perlu suami itu memberitahukan kepada istri dia ke mana, pulang jam berapa, sering-sering dia beritahukan perhatiannya dan sebagainya. Nah hal-hal seperti itu menjadikan si istri mempunyai identitas diri, dia tahu siapa dirinya karena dia tahu dia itu bagian dari hidup suaminya, dengan kata lain dia aman, diayomi, menjadi bagian dari si suami. Kalau suami kebalikannya, dia memang membutuhkan istri yang bisa bersama dengan dia secara fisik, maka secara langsung saya berbicara, salah satu hal yang diinginkan oleh pria atau suami adalah sentuhan-sentuhan seksual dari istrinya, sehingga dia bisa merasakan dia bisa menikmati istrinya, pergi bersama secara spontan. Hal-hal itu yang memang penting buat pria, kadang-kadang istri banyak pertimbangannya tidak mau ke sini, tidak mau ke sana sehingga si suami berkata kok saya tidak bisa menikmati hidup dengan engkau, akhirnya dia merasa percuma mengajak ke sini, ke sana ya karena istrinya tidak akan mau. Jadi sekali lagi yang penting bagi si suami adalah kebersamaan yang membawa kerilekan, kelegaan, kenikmatan. Nah hal-hal seperti itulah yang dibutuhkan oleh si suami. Makanya bisa kita simpulkan; tanpa wanita, pria itu tidak tahu berbuat apa dia kebingungan, kalau ada istri yang menyayanginya dan disayanginya dia seolah-olah menemukan tambatan hidup, dia tertancap mempunyai jangkar, dia tidak lagi lari ke sana - ke sini.
GS : Sebenarnya banyak orang memikirkan akan memberikan yang besar-besar, yang spektakuler kepada pasangannya, tetapi lewat perbincangan ini menjadi lebih jelas bahwa sebenarnya ada banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk menyenangkan pasangan kita Pak Paul. Tetapi apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung ini semua.

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal yang berkata: "Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan, ia memperdengarkan suaranya. Kemudian firman Tuhan menyambung karena Tuhanah yang memberikan hikmat.

Ini saya ambil dari Amsal 1-2. Perlu hikmat, hikmat tidak memfokuskan pada yang besar-besar tapi pada yang kecil namun berarti dan Tuhan memberikan hikmat itu asal kita juga mencarinya dari Tuhan. Bertanya Tuhan, beri saya hikmat sehingga saya bisa mengenal, mengerti pasangan saya.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Ditemani". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



30. Kebutuhan yang Tak Terpenuhi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T144B (File MP3 T144B)


Abstrak:

Banyak suami-istri merasa kebutuhannya tak terpenuhi, akhirnya bertengkar bahkan berselingkuh dan bercerai, karena mereka tidak tahu yang dibutuhkan oleh pasangannya itu sebetulnya apa dan bagaimana cara memelihara kehadiran pasangannya di dalam hidup ini.


Ringkasan:

Jikalau kebutuhan-kebutuhan tidak dipenuhi, yang terjadi adalah marah. Artinya kita merasa terluka, kecewa. Yang sering kali muncul setelah kebutuhan-kebutuhan itu disampaikan tapi tidak dipenuhi adalah menuntut. Suami tidak lagi meminta istri untuk memahami pikirannya, dia akan menuntut; istri tidak lagi meminta suaminya mengenali perasaan-perasaannya, dia akan menuntut suaminya itu bisa tahu perasaannya. Nah ini salah satu pertanda bahwa relasi nikah sudah mengalami masalah. Kemudian tindakan selanjutnya adalah menyerang.

Apa yang bisa dilakukan untuk merekatkan kembali relasi suami-istri ini?

  1. Memperbaiki cara komunikasinya, tetapi yang paling mendasar adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tak terpenuhi.

  2. Mengenali kebutuhan-kebutuhan yang ada dan mencoba memenuhinya.

Pengertian pernikahan
Pernikahan adalah sebuah relasi, relasi adalah suatu hubungan antara dua orang yaitu suami dan istri. Relasi juga didefinisikan kehadiran seseorang di dalam hidup kita.

Kesimpulan
"Jika tidak ada kehadiran, tidak ada relasi; jika tidak ada relasi, tidak ada pernikahan."

Bagaimana memelihara kehadiran pasangan kita di dalam diri kita:

  1. Prinsip persahabatan, yakni jika mengasihi lakukanlah. "Jika seseorang mengasihi Aku, dia akan menuruti firmanKu dan BapaKu akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia."

  2. Prinsip pokok anggur yaitu tinggallah maka berbuahlah.(Yohanes 15:4), artinya investasikan hidup kita ini pada keluarga kita sendiri, jadikan keluarga kita itu sebagai pot di mana kita sebagai tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

  3. Prinsip pembaharuan, yakni jika bersalah akuilah dan yang kedua ampunilah jika ia meminta pengampunan. ( Yohanes 1:9)


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kebutuhan yang tak Terpenuhi", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Bagi Anda pendengar acara Telaga, perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi tentang "Makna Ditemani." Dan sebelum kita lanjutkan perbincangan tersebut, Pak Paul Gunadi akan menjelaskan secara singkat apa yang pernah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Ternyata pria dan wanita mempunyai harapan yang berbeda atau kebutuhan yang berbeda tentang didampingi atau ditemani. Bagi wanita, yang penting adalah didampingi atau ditemani itu dikenl, didekatkan secara emosioanal, sehingga dia merasa aman, terayomi oleh suaminya.

Sedangkan bagi pria ditemani itu lebih ke arah si istri bisa memahami pikiran-pikirannya, gagasannya secara rasional dan bisa mendampingi dia melakukan hal-hal yang membawa kenikmatan dan kesenangan. Jadi si suami mengharapkan istri yang lebih spontan, lebih bersedia untuk berani menikmati hidup ini. Apa yang akan terjadi jikalau kebutuhan-kebutuhan ini tidak dipenuhi, ternyata memang akan muncul masalah. Salah satunya adalah pada akhirnya marah karena yang kita butuhkan tidak kita dapatkan, artinya kita merasa terluka, kita merasa kecewa, kenapa dia begini kepada kita, kenapa dia tidak memperhatikan kita, kenapa kalau kita berbicara dengannya dia bisa salah mengerti justru menyalahkan atau menyudutkan saya. Akhirnya marah, marah itu menjadi salah satu ciri dalam komunikasi suami-istri.
GS : Tetapi itu sering kali terjadi karena kebutuhannya tidak disampaikan dengan baik kepada pasangannya Pak Paul?

PG : Sering kali itu duduk masalahnya Pak Gunawan, sebetulnya masing-masing mempunyai kebutuhan namun tidak bisa menguraikan kebutuhan itu dengan jelas. Akhirnya karena tidak ada pengertian an sebagainya tidak dipenuhilah kebutuhan tersebut.

Oleh karena itu yang sering kali muncul setelah kebutuhan-kebutuhan itu sudah disampaikan tapi tidak dipenuhi adalah menuntut. Suami tidak lagi meminta istrinya untuk memahami pikirannya, dia akan menuntut; istri tidak lagi meminta, suaminya bisa mengenali perasaan-perasaannya dia akan menuntut suaminya itu bisa tahu perasaannya. Nah, itu salah satu pertanda bahwa relasi nikah sudah mengalami masalah, di mana dua orang itu tidak lagi saling meminta bisanya hanya menuntut.
GS : Itu setingkat lebih tinggi daripada kemarahan tadi Pak Paul?

PG : Ya, karena mulai marah akhirnya yang keluar dari mulut bukan lagi permintaan tapi tuntutan langsung.

GS : Ini biasanya dari pihak istri, kalau berkali-kali dia sudah marah, sudah menuntut juga tidak ada tanggapan akhirnya dia menjadi orang yang apatis, "Ya sudah terserahlah, terserah maumu apa."

PG : Tapi sebetulnya Pak Gunawan, sebelum sampai ke titik terserah, masa bodoh biasanya orang akan menggunakan satu tindakan yaitu menyerang. Dia tidak mendapatkan yang dia tuntut, akhirnya ia serang.

Dia serang artinya dia akan menunggu adanya kesempatan untuk balas dendam, seolah-olah dia ingin mengatakan kepada pasangannya kamu harus tahulah sakitnya seperti apa tidak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan ini, jadi dia balas, dan dia balas supaya pasangannya juga merasa disakiti.
GS : Tapi kadang-kadang serangan itu tidak dalam bentuk yang frontal, tapi semacam digerilya, tapi tetap ada serangan.

PG : Betul, ada suami yang sengaja mendiamkan istrinya, karena dia tahu istrinya tidak tahan didiamkan, nah dia akan diamkan, dia akan tutup mulut. Istrinya bertanya, istrinya marah dia diaman sama sekali atau ada istri yang melakukan hal yang sama, ada yang bisa berdiam diri berhari-hari atau salah satu hal yang sering digunakan oleh para istri ialah menolak melayani suaminya di tempat tidur secara seksual, jadi itu adalah tindakan-tindakan memukul balik pasangannya supaya pasangannya tersakiti, jangan sampai dia saja yang merasa sakit.

GS : Adakalanya penyerangan kalau diserang balik, terjadi suatu percekcokan yang terbuka Pak Paul?

PG : Nah, dalam rumah tangga yang sudah bermasalah seperti itu memang tidak ada lagi komunikasi, yang ada adalah pertengkaran. Dengan kata lain, setiap kali mereka berbicara itu akan berakhi dengan pertengkaran dan tidak perlu waktu lama untuk bertengkar, hanya perlu mungkin dua, tiga kali berkata-kata, saling menjawab dan itu langsung bisa berubah menjadi pertengkaran.

Yang satu menyerang, yang satu merasa diserang, difensif, yang satu menuntut, yang satu tidak lagi bisa memberikan yang dituntut, bertengkar terus-menerus. Dalam kondisi seperti itu rumah tangga memang sudah retak Pak Gunawan, sungguh-sungguh retak sebab tidak ada lagi kesatuan, yang ada adalah dua orang yang sedang bermusuhan dan mencari kesempatan bisa menghancurkan yang satunya.
GS : Sebenarnya kalau sudah sampai pada tahap itu, yang mesti diselesaikan itu masalah komunikasi di antara mereka berdua, atau masalah kebutuhan yang minta ditemani tadi Pak Paul?

PG : Pada akhirnya memang kebutuhannya yang harus dibereskan. Sudah tentu perlu memperbaiki cara komunikasinya tapi yang paling mendasar adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tak terpenuh itu.

Kita juga sudah berbicara bahwa yang menjadi kebutuhan atau yang dibutuhkan adalah didampingi, ternyata kebutuhannya sangat sederhana. Tapi kenapa kebutuhan ini akhirnya menjadi masalah, sebab dua orang ini, suami dan istri ini tidak tahu yang dibutuhkan sebetulnya apa. Waktu istri berkata: "Aku hanya ingin kamu itu mendampingi aku, bersama dengan aku." Artinya apa, kita sudah membahas bahwa bagi seorang istri artinya adalah dia ingin dikenal isi hatinya, perasaannya, dia ingin dikasihi, dia melihat dia yang paling penting di antara orang-orang lain, dia ingin diperhatikan sehingga apapun yang dia lakukan suaminya juga bisa mengetahui. Waktu suami juga berkata: "Aku ingin kamu itu dipihakku, bersamaku, jangan justru tidak membela suami sendiri." Maksudnya apa, dia ingin istrinya ada di rumah, menjaga anak-anaknya, menjaga rumahnya, dia juga ingin pikirannya dipahami, sehingga tidak disalahmengerti terus-menerus, istrinya tidak hanya menyoroti hal-hal yang lain yang sama sekali dia tidak pikirkan dan dia juga tidak ingin diganggu. Dia ingin diberikan kesempatan untuk bisa merenung, berdiam diri dan sebagainya, tidak terus-menerus disatroni. Nah, karena adanya kebutuhan yang berbeda ini akhirnya tidak dipahami dan muncullah pertengkaran-pertengkaran, jadi langkah berikutnya adalah memang harus mengenali kebutuhan-kebutuhan yang ada dan mencoba memenuhinya, dicoba dan dicoba, nah itulah awal dari upaya untuk merekatkan rumah tangga yang sudah retak itu.
GS : Apakah keretakan itu bisa mengancam pernikahan mereka sampai ke jenjang perceraian Pak Paul?

PG : Bisa jadi Pak Gunawan, sebab pada akhirnya hubungan ini memang sudah begitu parah rusaknya, sehingga bagi mereka itu seolah-olah lebih baik berpisah. Tapi sebelum kita masuk lebih dalamlagi ke masalah-masalah ini, saya ingin mengingatkan kepada para pendengar kita, sebenarnya apa itu pernikahan Pak Gunawan.

Kita ingin mempertahankan pernikahan kita, tapi sebetulnya apa artinya. Pernikahan sebetulnya adalah sebuah relasi, relasi adalah suatu hubungan antara dua orang yaitu suami dan istri, namun kalau kita defenisikan lebih tajam lagi sebetulnya apa itu relasi. Saya mendefinisikan relasi adalah kehadiran seseorang di dalam hidup kita, artinya kalau orang itu mempunyai relasi dengan kita orang itu hadir dalam benak kita, dalam hidup kita, meskipun dia tidak tinggal dengan kita, dia tinggal di kota yang berbeda bahkan tinggal di negara yang berbeda, kalau ada relasi orang itu tetap hidup dalam benak kita. Kebalikannya kalau kita tidak senang dengan seseorang, meskipun dia tinggal di sebelah kita, orang itu kita keluarkan dari dalam hidup kita, kita tidak ijinkan dia ada dalam benak kita. Jadi relasi adalah sebenarnya sebuah kehadiran, jadi boleh saya simpulkan "jika tidak ada kehadiran, tidak ada relasi; jika tidak ada relasi, tidak ada pernikahan." Jadi sekarang yang akan kita fokuskan adalah bagaimana menghidupkan kehadiran pasangan hidup kita itu dalam diri kita, sebab intinya adalah itu menyatukan kembali, kita harus menghadirkan dia di dalam hidup kita. Nah, cukup banyak relasi suami-istri yang sudah begitu parah, sehingga si suami waktu di luar tidak pernah ingat-ingat si istri dan sebisanya tidak mau ingat si istri. Atau kebalikannya si istri juga tidak mau ingat si suami karena hubungannya sudah terlalu pahit.
GS : Celakanya Pak Paul, dalam kondisi yang sangat rawan seperti itu si suami tidak mau mengingat-ingat istrinya itu justru hadir orang ketiga dan mereka membuat suatu relasi tanpa pernikahan.

PG : Nah, itu yang sering terjadi Pak Gunawan, memang itu keadaan yang rawan, keadaan yang memang terbuka untuk dimasuki orang yang ketiga. Dia ingin mengeluarkan pasangannya dari benaknya, khirnya benaknya kosong dan mudah sekali untuk dimasuki oleh orang ketiga.

GS : Berarti di sana bisa terjalin suatu relasi tanpa pernikahan Pak Paul?

PG : Betul, jadi akhirnya orang ketiga itu yang masuk ke dalam hidupnya dan terjalinlah sebuah relasi yang baru dan akhirnya melangkah menuju perselingkuhan.

GS : Padahal kita tadi mengharapkan adanya suatu kehadiran yang harus dipelihara terus-menerus supaya jangan terjadi kondisi seperti itu. Nah, masalahnya bagaimana memelihara kehadiran pasangan kita itu di dalam diri kita sendiri Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang bisa kita lakukan Pak Gunawan, yang pertama adalah saya ambil dari firman Tuhan. Tuhan Yesus menjawab: "Jika seseorang mengasihi Aku, dia akan menuruti firmanKu dan BaaKu akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia."

Nah, Tuhan Yesus sendiri menegaskan bahwa jikalau kita umatNya menuruti firman Tuhan maka Dia akan hidup di dalam kita. Jadi ini membuahkan satu prinsip yang saya sebut prinsip persahabatan yakni jika mengasihi lakukanlah, Tuhan meminta kepada kita kalau kita mengasihi Tuhan, lakukanlah firman Tuhan, lakukanlah kehendak Tuhan dan Ia akan bersama-sama dengan kita. Kalau saya boleh terapkan dalam hubungan suami-istri seperti ini Pak Gunawan, kalau kita mengasihi pasangan kita, lakukanlah yang dia inginkan, cobalah senangkan hatinya, kita penuhi kebutuhannya. Karena apa, karena kita baru bisa tinggal bersama menjadi satu kembali jikalau kita melakukan yang dimintanya. Dan kadang-kadang yang diminta itu sebetulnya tidak terlalu banyak, kalau kita bisa minta dengan jelas. Misalkan pergi seminggu sekali berdua, ini sering kali harus saya minta-minta orang untuk melakukan karena sudah menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Padahalnya sangat mudah untuk dilakukan berduaan pergi, hal yang sangat sederhana seperti itu saja tidak bisa dilakukan, nah bagiamanakah kita bisa mengharapkan kedua orang ini menjadi satu. Jadi pertama adalah yang saya sebut prinsip persahabatan, jika mengasihi lakukanlah yang kita tahu bisa menyenangkan hati pasangan kita.
GS : Memang banyak dari permintaan itu tidak aneh-aneh dan sebenarnya bisa kita lakukan. Tetapi kita para suami biasanya enggan untuk melakukan itu Pak Paul?

PG : Ada kesan bagi si suami, kalau kita melakukan hal-hal itu untuk istri kita, seolah-olah kita itu di bawah istri kita, jadi kita takut kita nanti di bawahnya, dikendalikannya. Saya kira idak perlu takut, karena wibawa kita bisa tetap terpelihara justru waktu istri melihat kita suami yang baik, dia makin sungkan dan makin mengasihi kita, makin mau mendengarkan kita.

Tapi kalau dia makin melihat kita tidak peduli dengannya, tidak melakukan yang dikehendakinya, dia lama-lama juga akan bersifat sama, dia pun tidak akan mempedulikan yang kita inginkan.
GS : Apakah ada cara lain Pak Paul, untuk memelihara kehadiran pasangan di dalam hidup kita itu?

PG : Saya akan ambil dari Yohanes 15:4, "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pad pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku."

Ini sekali lagi prinsip dari firman Tuhan, Tuhan ingin menegaskan bahwa umatNya tidak bisa berbuah kalau kita tidak tinggal pada Tuhan. Memang Tuhanlah yang membuat kita ini bisa berbuah. Nah, saya terapkan ini dalam hubungan suami-istri, saya menyebutnya prinsip pokok anggur yaitu tinggallah maka berbuahlah. Artinya apa, artinya investasikan hidup kita ini pada keluarga kita sendiri, jadikan keluarga kita itu sebagai pot di mana kita sebagai tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah. Pot tidak bisa membuahkan apa-apa kalau tidak ada tanaman, sebaliknya tanaman tidak bisa tumbuh kalau tidak ada pot dan tanahnya, maka kita membutuhkan pot dan tanah. Nah, jadikanlah rumah kita atau keluarga kita ini sebagai pot dan tanah, di mana kita bisa keluar dan bertumbuh. Saya sudah melihat orang yang Tuhan pakai Pak Gunawan, dan keluarganya kuat, bahagia, sehat. Dan saya melihat kehidupan dan pelayanannya pun juga baik karena dukungan keluarga itu pun begitu kuat, tapi sebaliknya saya sudah melihat orang yang melayani Tuhan tapi keluarganya tidak sehat. Saya melihat mereka seperti tanaman yang kering sekali, ya masih bisalah berkhotbah dan sebagainya tapi sudah sangat kehilangan sarinya, karena memang kering sekali, tidak ada dukungan lagi dari keluarganya.
GS : Jadi sebenarnya kasus seperti itu, dia harus menyelesaikan lebih dahulu hubungan dengan pasangannya?

PG : Betul sekali, jadi mereka harus membereskan masalah rumah tangganya, kalau masalah rumah tangga tidak dibereskan ya susah buat mereka bisa berbuah di luar. Mungkin berdaun saja tapi tidk berbuah lagi.

GS : Tetapi itu merupakan saling ketergantungan Pak Paul, bukan suami yang tergantung pada istri dan sebaliknya tapi masing-masing harus saling tergantung.

PG : Betul, jadi intinya dua-dua suami dan istri harus berkata: "Saya mau menginvestasikan hidup saya pada keluarga saya," hal-hal apa yang baik untuk keluarga hendaknya kita lakukan bersama Misalkan merencanakan liburan, bukan merencanakannya kemarin baru kita pikirkan dan hari ini mau pergi ke mana, kalau bisa jauh-jauh hari kita sudah berkata kepada anak-anak, kepada keluarga: "Nanti pada liburan ini kita ke sana, kita ke sini atau pada hari Sabtu nanti ayo kita pergi bersama-sama, kita pergi makan atau apa."

Jadi kita benar-benar merencanakan sesuatu, kita menganggap ini hal yang penting buat keluarga kita, maka kita mau investasikan hidup kita. Nah, sudah tentu perlu keberanian untuk mengutamakan keluarga di atas yang lainnya yang ada di luar. Keberanian untuk memprioritaskan, menolak permintaan yang di luar yang memang kita bisa menolaknya, karena apa, karena kita mau investasikan waktu pada keluarga kita.
GS : Apakah ada hal yang lain untuk memelihara kehadiran ini Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah saya bacakan dari 1 Yohanes 1:9, "Jika kita mengaku dosa kita maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan ita dari segala kejahatan."

Ini adalah janji Tuhan kepada kita, kalau kita berdosa kita hanya perlu mengakui dosa kita itu, maka Tuhan akan mengampuni kita karena Dia setia dan adil. Nah, saya mau petik prinsip ini dan saya mau terapkan dalam hubungan suami-istri yaitu saya sebut prinsip pembaharuan yakni jika bersalah, akuilah dan yang kedua ampunilah, jika ia meminta pengampunan. Jadi kalau kita tahu kita salah, kita harus benar-benar berani mengorbankan ego dan berkata kepada pasangan kita saya salah dan saya minta ampun, saya minta maaf. Nah, pihak yang satunya kalau kita sudah minta maaf, ya berikan pengampunan. Dalam pengertian kalau kita memang berkata kita salah dan kita minta pengampunan, kita mesti menunjukkan buah pertobatan itu, jangan kita mengulangi lagi. Nah, ini kadang-kadang kasus yang sering kali terjadi, sudah diberitahukan misalnya jangan mabuk-mabukan tetap mabuk-mabukan, jangan main judi tetap main judi lagi, jangan main perempuan tetap main perempuan, jangan berbohong tetap berbohong, dan sebagainya itu yang akhirnya menguras kepercayaan pasangan dan membuat pasangan akhirnya tidak mau lagi berharap pada kita. Jadi prinsip ini memang prinsip yang penting, yaitu pembaharuan, pembaharuan hanya bisa terjadi kalau ada yang mengakui kesalahan dan ada yang memberikan pengampunan.
GS : Mungkin ada banyak orang yang mengatakan lebih gampang minta ampun kepada Tuhan daripada kepada pasangan, Pak Paul?

PG : Ada yang berkata begitu, karena seolah-olah gengsi itu tidak terinjak ya kalau mengaku kepada Tuhan, tapi kalau mengaku kepada pasangan sendiri gengsi itu rasanya terinjak, nah itu yangkita tidak rela terjadi.

GS : Itu memang tergantung pada respons dari pasangan kita kalau kita mengaku salah atau meminta maaf kepadanya. Kalau reaksinya negatif, lain kali kita malas atau enggan untuk meminta maaf lagi atau mengakui kesalahan lagi lebih baik berbohong.

PG : Atau kalau kita sudah mengakui kesalahan kita, terus itu dipakai sebagai alat untuk menyerang kita di kemudian hari, itu yang membuat kita jera/kapok untuk mengakui kesalahan. Makanya phak yang satunya harus bijaksana, jangan sengaja menggunakan kelemahan pasangan kita itu untuk menyerangnya kembali.

Kalau dia benar-benar tidak berbuat lagi, kasus itu kita tutup kecuali memang dia mengulang lagi itu lain perkara.
GS : Untuk mengampuni Pak Paul, sebatas mana kita bisa mengampuni pasangan kita dengan baik supaya relasi ini tetap terjaga?

PG : Mengampuni memang bergantung sekali pada seberapa besar atau kecilnya perbuatan salah yang dilakukan orang kepada kita. Sudah tentu hal yang kita anggap kecil, lebih mudah kita ampuni; al yang kita anggap besar, lebih susah kita ampuni.

Nah, pengampunan juga sangat bergantung pada berapa besarnya luka atau sakit hati yang ditimbulkan. Ada sesuatu mungkin sekali besar tapi tidak menyakitkan hati kita, tapi ada hal yang kecil namun menyakiti hati kita. Misalkan istri kita membicarakan tentang kita kepada teman-temannya, nah kebetulan yang dia bicarakan sesuatu hal yang memang memalukan kita. Nah, itu menjadi hal yang sangat menyakitkan hati kita, meskipun sebetulnya hal itu kalau dibandingkan dengan istri berzinah kadarnya berada jauh di bawah, tapi itu menyakitkan hati sekali. Nah, sudah tentu hal yang menyakitkan akan lebih susah untuk kita ampuni. Jadi yang pertama dalam proses pengampunan itu kita mesti jujur bertanya sebetulnya apa yang dilakukan pasangan kita yang telah sangat mengganggu kita, apa itu yang menyakitkan hati kita, nah itu yang harus kita sampaikan kepada pasangan kita bahwa yang menyakiti hati saya adalah ini. Nah, kemudian pasangan kita meminta ampun atas perbuatannya yang spesifik itu, jadi pengampunan perlu spesifik, pengakuan salahnya juga perlu spesifik. Setelah itu yang kedua adalah kita menyadari bahwa pengampunan memang memerlukan waktu. Karena apa, marah dan pengampunan itu menjadi satu paket, kita marah terus kita katakan ya sudah kita ampuni lagi, besoknya kita bisa marah lagi dan terus kita ampuni lagi. Itu merupakan pergumulan yang memang berlangsung untuk waktu yang agak lama.
GS : Pak Paul, katakan memang pada saat-saat ini memang tidak ada masalah hubungan pasangan kita baik suami maupun istri, tapi kita mau meningkatkan hubungan ini dengan menyadari kehadirannya, menyenangkan hatinya, apakah itu ada hal-hal praktis yang bisa kita lakukan?

PG : Pada intinya adalah prinsip persahabatan tadi, yakni lakukanlah. Jika kita memang mengatakan dia penting buat kita, lakukanlah hal-hal yang baik, yang menyenangkannya, investasikanlah wktu kita, tenaga kita pada orang di rumah bukan pada orang yang di luar rumah.

Investasikanlah hidup kita, diri kita pada mereka, pikirkanlah hal yang baik untuk mereka yang bisa kita lakukan. Nah, hal-hal kecil itu akan sangat menyenangkannya.

GS : Ya terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini dan ini sangat berguna bagi kita khususnya di dalam membina hubungan suami-istri. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda juga telahdengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kebutuhan yang tak Terpenuhi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



31. Mengapa Kurang Sabar


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T146A (File MP3 T146A)


Abstrak:

Banyak hal yang dapat membuat kita kurang sabar. Kita perlu menghindari hal-hal tersebut, karena kesabaran merupakan salah satu aspek yang penting untuk memperkuat pernikahan kita.


Ringkasan:

Kesabaran adalah sesuatu yang sangat penting dalam pernikahan, karena tanpa adanya kesabaran ikatan nikah itu mudah longgar dan mudah putus.

Dimensi dalam kesabaran adalah :

  1. Kesabaran itu sangat berkaitan dengan siapa kita secara fisik. Ada orang-orang tertentu yang lebih mudah sabar, tapi ada orang tertentu yang lebih sukar sabar karena memang secara fisik strukturnya tidak sama.

  2. Tipe kepribadian. Orang yang bertipe sanguin dan kolerik, dua tipe yang mempunyai banyak energi mereka lebih sukar mengontrol ledakan emosi-emosi mereka. Sedangkan melankolik tipe yang khusus, kalau suasana lagi mudah, enak, menyenangkan dia akan menjadi orang yang sangat sabar. Tapi kalau ada sesuatu yang terjadi emosinya mudah sekali turun-naik.

  3. Kesabaran juga berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pasangan kita yang tidak menyenangkan hati kita. Semakin sering pasangan mengulangi perbuatan yang tidak menyenangkan hati kita, dia semakin menipiskan cadangan kesabaran kita.

  4. Kesabaran juga dipengaruhi oleh kemampuan kita mengungkapkan perasaan hati kita secara sehat.

  5. Kerohanian juga berperan besar dalam hal kesabaran. Galatia 5:22-23. kesabaran adalah buah Roh Kudus. Buah itu yang harus muncul akibat permulan kita berjalan dengan Tuhan. Yaitu berapa sanggupnya kita mempercayakan hidup kepada Tuhan. Sebab kesabaran berkaitan dengan hal mempercayakan hidup kita kepada Tuhan.

  6. Kesabaran juga dipengaruhi oleh materi atau kwalitas relasi kita dengan pasangan kita. Kalau kita menaruh respek yang tinggi kepadanya kita akan lebih mudah sabar. Kalau kita mengasihi orang itu kita juga akan lebih mudah sabar. Jadi respek dan kasih, dua hal yang berperan besar menyeimbangkan kesabaran kita.

1 Samuel 24:7. Daud berkata: "Dijauhkan Tuhanlah kiranya daripadaku untuk menjamah dia. Sebab dialah orang yang diurapi Tuhan."

Daud mengaitkan segala aspek kehidupannya dengan Tuhan. Bahkan ketika dia memliki kesempatan untuk membunuh Saul yang mengejar-ngejarnya, dia tidak melakukannya, sebab Daud mengaitkan detik itu dengan Tuhan bahwa Saul tetap orang yang Tuhan urapi. Teruslah dikuasai terus-menerus oleh Tuhan, sewaktu kita mengingat Tuhan kita cenderung lebih sabar, pada kalanya kita lupa Tuhan kita cenderung lebih mudah marah.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Kurang Sabar", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, berbicara tentang sabar ini memang mudah bicaranya daripada menjalankannya di dalam kehidupan. Memang sulit sekali kalau ditanya mengapa tiba-tiba menjadi tidak sabar, mengapa kadang-kadang kita kelihatan sabar dan kadang-kadang kita menjadi meledak-ledak menakutkan orang, sebenarnya apa yang terjadi Pak Paul?

PG : Memang topik kesabaran ini topik yang kompleks Pak Gunawan. Karena multidimensional, ada banyak sisi terhadap kesabaran ini dan memerlukan kerja keras untuk bisa mempertahankan kesabaran. Tidak ada orang yang menjadi sabar dengan hanya menamakan dirinya Pak Sabar. Tidak bisa kita mengubah diri dari luarnya saja, jadi perlu sesuatu yang muncul dari dalam. Kesabaran ini bersisi banyak Pak Gunawan. Kita akan membahas satu-persatu agar kita lebih bisa memahaminya. Namun sebelumnya saya ingin menekankan bahwa kesabaran ini sesuatu yang sangat penting dalam pernikahan. Karena tanpa adanya kesabaran ikatan nikah itu mudah longgar dan mudah putus. Karena lawan dari kesabaran adalah ketidaksabaran atau kejengkelan, kemarahan, tuntutan, dan sebagainya. Hal itu kadang-kadang terjadi dan tidak apa-apa. Namun kalau terjadi terlalu sering itu seperti hama yang akan merusakan pohon atau tanaman pernikahan kita. Jadi sekali lagi saya ingin menggarisbawahi kesabaran ini perlu dimiliki oleh setiap suami dan istri. Kadang-kadang karena kita terlalu banyak memikirkan hal-hal lain yang kita anggap penting kita mengabaikan aspek kesabaran ini. Tapi sebetulnya ini aspek yang sangat penting sekali untuk bisa memperkuat pernikahan kita.

WL : Pak Paul, kesabaran itu ada kaitannya atau tidak dengan kondisi-kondisi jasmaniah kita?

PG : Sangat ada Ibu Wulan. Jadi salah satu dimensi dalam kesabaran adalah kesabaran itu sangat berkaitan dengan siapa kita secara fisik. Ada orang-orang tertentu yang lebih mudah sabar yang arus saya akui.

Ada orang tertentu yang lebih sukar sabar karena memang secara fisik struktur ini tidak sama. Dan ada orang-orang yang bermetabolisme lebih cepat dan sebagainya tenaganya banyak, energinya kuat. Itu kadang-kadang lebih sulit untuk bisa menguasai kesabarannya atau bisa menguasai emosinya.
WL : Berarti kalau orang yang kerjanya atau bidang kariernya menuntut dia agak kurang tidurnya, jadi itu memang secara wajar dia lebih mudah marah jadi pasangannya harus lebih mengerti begitu ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Wulan. Jadi ada kondisi-kondisi fisik tertentu yang lebih menambah kerawanan kita untuk bisa menguasai kesabaran. Kalau misalkan kita dalam kondisi letih umumnya daya cegkeram kita untuk menguasai emosi melemah.

Itu biasanya yang terjadi. Karena itulah pada masa letih mudah sekali muncul pertengkaran. Salah satu cara untuk melihat ritme kehidupan kita adalah dengan mengamati kira-kira di waktu kapankah kita paling sering bertengkar dengan pasangan kita.
WL : Seperti cepat tersinggung.

PG : Cepat tersinggung dan sebagainya. Nah, salah satu masa atau waktu di mana kita itu lebih mudah bertengkar dengan pasangan kita adalah masa pulang kerja. Jadi satu jam setelah kita pulan kerja itu masa yang cukup kritis itu.

Karena sering kali orang bertengkar pada waktu-waktu itu. Sebab apa, sebab sebetulnya dua-dua mencapai puncak keletihannya. Baik si istri maupun si suami. Kalau si istri bekerja di luar sudah tentu dia mencapai puncak keletihannya pula. Kalaupun dia tidak bekerja dia di rumah kan di rumah dia tidak ongkang-ongkang kaki (santai-santai) dia juga bekerja mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Jadi sekitar jam 6 jam 7 sebetulnya itu puncak keletihannya. Nah, si suami juga demikian. Kalau dua-dua tidak mawas diri nah sedikit saja salah bicara maka bisa memercikkan api pertengkaran.
GS : Ada yang mengatakan orang yang mengidap hipertensi penyakit darah tinggi itu mudah marah begitu Pak Paul, tetapi apakah bisa digeneralisasikan seperti itu?

PG : Sebetulnya tidak. Justru karena kita marahlah kita menaikkan tensi darah kita.

GS : Selain kondisi fisik Pak Paul, apakah ada hal lain yang bisa mempengaruhi kesabaran kita?

PG : Yang kedua adalah tipe kepribadian Pak Gunawan, sebab tidak sama ya ada orang-orang yang bertipe sanguin dan kolerik, itu dua tipe yang mempunyai banyak energi. Karena energi begitu tingi mereka itu juga agaknya lebih sukar mengontrol ledakan emosi-emosi mereka.

Yang flegmatik kebalikannya. Karena mereka cenderung lebih cuek, tidak peduli dengan lingkungan dan sebagainya. Akhirnya tidak terlalu mudah tergugah oleh apa yang terjadi di luar dirinya. Oleh karena itulah orang-orang yang flegmatik cenderung lebih sabar. Orang yang melankolik memang ini tipe yang khusus karena dia itu sebetulnya sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi di luarnya. Kalau suasana lagi mudah, lagi enak, lagi menyenangkan dia akan menjadi orang yang sangat sabar. Tapi kalau ada sesuatu terjadi wah dia bisa mudah sekali untuk naik turun emosinya. Jadi tipe-tipe kepribadian ternyata juga berperan dalam hal kesabaran ini.
WL : Pak Paul, saya punya teman pasangan suami-istri yang kondisi pernikahannya lagi parah, jadi saya pernah tanya kepada si suaminya lho kenapa kamu pilih dia begitu kalau keadaannya seperti ini banyak kekecewaan, lalu satu hal yang mengejutkan dia bilang justru saya dulu tertarik sama dia karena dia itu di antara teman semua wanita yang saya kenal dia paling sabar sekali. Tapi waktu sekarang waduh, nah itu bagaimana Pak kaitannya dengan tipe kepribadian ini apa dulu dia tutup-tutupi sedemikian rupa karena belum dapat pasangan untuk menarik pria atau bagaimana kalau dijelaskan dengan tipe kepribadian ini Pak Paul?

PG : Begini Bu Wulan kesabaran itu memang bergantung sekali kepada kondisi. Jadi kita bisa menjadi orang yang sangat sabar kalau kita semua yang mengatur sendiri tapi kita bisa sangat-sangatmudah meledak kalau kita harus mengatur sesuatu berdua dengan orang.

Itu menjadikan sabar memang saya tadi katakan sesuatu yang kompleks. Sebab ada orang-orang tertentu sewaktu masih sendirian dia tentukan, dia pikir, dia bertindak dan itu dia lakukan semua sendiri. Dia akan sabar sesuatu tidak terjadi. Dia mengharapkan apa tapi tidak terjadi, dia bisa tahan dia sabar. Namun tatkala ada orang di sebelahnya dan misalkan orang itu terus bertanya apa atau apa dia bisa tiba-tiba marah. Nah jadi ini sekali lagi ada orang yang bisa melalui hidup sendiri dengan sabar waktu berduaan tidak bisa. Jadi dia perlu belajar lagi sebetulnya untuk sabar tinggal dengan seseorang yang berbeda dengannya. Jadi kesabarannya itu tetap benar tapi kesabaran yang memang khusus untuk situasi dia yaitu hidup sendiri. Begitu hidup berdua dia perlu belajar lagi ilmu kesabaran yang baru.
WL : Berarti penting pada masa single kita harus belajar bersosialisasi atau berorganisasi. Jadi kesabaran kita sudah diasah dan digunakan sebagai persiapan untuk menikah.

PG : Itu penemuan yang baik Bu Wulan. Semakin banyak kita bergaul dan semakin juga akrab dan terlibat dalam banyak hal yang harus kita putuskan bersama itu memang akan sangat melatih kita swaktu memasuki pernikahan.

Supaya bisa lebih sabar dengan orang lain dalam pengambilan keputusan dan sebagainya.
GS : Ya, kadang-kadang kita sudah sabar dengan seseorang yaitu dengan pasangan kita atau apa, tapi karena dia terus mengulang-ngulang hal yang menjengkelkan kita, maka kesabaran kita itu kita bilang ada batasnya. Lalu kita menjadi tidak sabar, untuk kasus seperti itu bagaimana Pak Paul?

PG : Ya, betul Pak Gunawan. Jadi kesabaran juga berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pasangan kita yang tidak menyenangkan hati kita. Semakin sering dia mengulangi perbuatan yang tdak menyenangkan hati kita dia makin menipiskan cadangan kesabaran kita.

Sebab sebetulnya dalam hati kita mempunyai ambang batas, berapa banyak orang boleh mengulangi perbuatannya yang tidak menyenangkan hati kita. Kalau sampai titik tertentu dia tetap melakukannya kita tiba-tiba menjadi orang yang sangat tidak sabar. Maksud saya begini misalkan ambang batas kita tiga kali meskipun kita tidak pernah merencanakan itu. Merancang 3 kali. Tapi sudah ritme itu dalam hidup kita, ambang batas itu. Kita sampai ketiga kalinya masih sabar, kita tidak bereaksi kita hanya baik-baik bicara, kita hanya diam-diam saja. Tetapi begitu dia melewati ambang batas dari ketiga keempat tiba-tiba reaksi kita berubahnya 180 derajat.
GS : Itu yang membingungkan pasangan begitu Pak Paul, yang dikatakan dulu kamu begini tidak apa-apa, sekarang jadi marah-marah.

PG : Tepat, biasanya karena kita sudah melewati ambang batas yang kita sudah tentukan untuk diri kita sendiri itu. Jadi dari satu ke dua, dua ke tiga, perbedaannya sedikit sekali. Kita relatf hanya bicara sedikit saja tidak lebih keras atau apa, tapi dari 4 ke 5 waduh......tiba-tiba

kita bisa marahnya keras sekali. Ini juga bergantung pada kesalahan atau perbuatan apa yang dilakukan. Sebab ada hal-hal tertentu yang memang sangat-sangat menyakitkan kita. Jadi kalau itu dilakukan pasangan kita apalagi lebih dari sekali sudah tentu akan memancing reaksi marah kita yang sangat besar.
WL : Bisa tidak Pak Paul, kalau kita menganggapnya memang dia sengaja kalau sampai diulang-ulang sudah diberi tahu sengaja begitu, itu yang membuat kita tidak tahan begitu?

PG : Ini kesimpulan yang sangat logis sebab yang menjadi pemikiran kita adalah kalau sudah tahu mengapa melakukannya lagi. Kesimpulan kita tentu engkau memang sengaja meskipun kita harus menakui kalau kita sendiri mengulang perbuatan kita yang kita tahu salah kadang-kadang memang tidak terpikirkan sebelumnya.

Kita tidak sengaja.
GS : Itu kadang-kadang begini Pak Paul, bukan diulang tapi ada orang lain yang menambah masalah itu. Jadi kita sudah tidak senang dengan tindakan istri kita, lalu anak kita melakukan sesuatu yang menjengkelkan kita, kita jadi meledak marah itu Pak Paul.

PG : Itu point yang bagus, contoh yang bagus. Jadi dalam kehidupan berumah tangga memang akan selalu tersedia faktor-faktor tambahan yang lain yang bisa benar-benar memecahkan balon kesabara kita.

Kita sudah bersabar-sabar dengan suami kita. Ternyata anak kita misalkan tidak mau membuat PR. Nah meledaklah kita. Tadinya sudah sabar tidak apa-apa atau kebalikannya. Dengan anak kita, kita sudah sabar-sabar disuruh mandi lima kali tidak mau masuk kamar mandi. Nah, kita sudah sabar akhirnya kelima kali dia mandi sudah begitu kita tanya suami kita mau makan atau tidak. Dia menjawab kita dengan membaca surat kabar. Kita meledak dan marah, nah itu kadang-kadang terjadi. Jadi memang bisa sekali dipicu oleh hal-hal yang lainnya itu.
GS : Pak Paul, apakah ada hal yang lain?

PG : Yang saya akan bahas adalah kesabaran juga dipengaruhi oleh kemampuan kita mengungkapkan perasaan hati kita secara sehat. Ada orang yang memang sulit berkomunikasi dan sulit mengungkapkn perasaannya.

Dia rasa apa, dia rasa apa dia tidak tahu. Ada yang tahu tapi tidak bisa mengungkapkan. Ada yang memang tidak tahu merasa apa. Kalau ditanya dia hanya menjawab rasanya tidak enak saja. Dia tidak suka saja, tapi dibalik yang tidak suka itu apa yang dia rasakannya dia tidak begitu mengenalnya. Semakin sulit kita mengkomunikasikan perasaan kita biasanya memang kita lebih mudah untuk meledak. Tidak bisa menjaga kesabaran kita.
WL : Pak Paul, kalau orang dengan tipe seperti ini yang sulit mengungkapkan apa yang terjadi di dalam hatinya atau memang dia tidak mengerti terus saya kaitkan dengan tipe kepribadian yang tadi Pak Paul jelaskan yaitu flegmatik, flegmatik 'kan agak lamban bereaksi. Itu lebih menolong atau tidak Pak Paul?

PG : Flegmatik memang lebih lamban bereaksi tetapi tidak mesti mereka itu tidak bisa mengenali perasaannya dan mengkomunikasikannya. Memang lebih lambat saja memberikan reaksinya. Tetapi bis jadi setelah mereka tahu mereka merasa apa mereka akan ngomong tetapi karena mereka flegmatik otomatis mereka bicara pun cenderung reaksinya itu tidak berapi-api, tidak mempunyai intensitas yang tinggi.

Tapi kalau orang bertipe yang lain seperti sanguin atau kolerik memang waktu mereka menyampaikannya pun apinya itu sudah terlihat. Apalagi waktu mereka sedikit marah makanya apinya lebih terlihat dengan besar.
GS : Berarti kita mesti belajar untuk bagaimana mengkomunikasikan isi hati ini kepada pasangan atau kepada orang lain Pak Paul?

PG : Betul, belajar untuk meminta salah satunya Pak Gunawan. Ini adalah keterampilan yang harus kita pupuk. Ini sering kali kita abaikan. Meminta, kita akhirnya tidak nyaman meminta dan lebi sering menyuruh, menuntut.

Nah ini yang memancing reaksi marah dari pasangan kita atau reaksi tidak senang. Nah karena pasangan kita tidak senang kita berbalik marah. Karena kita berpikir kita meminta. Kamu menanggapinya kok secara itu. Tapi yang ditangkap oleh pasangan kita bukannya kita meminta, tetapi kita menyuruh atau menuntut dia.
GS : Ya, bagaimana tentang kondisi kerohanian seseorang dikaitkan dengan kesabaran ini Pak?

PG : Saya kira ada pengaruhnya Pak Gunawan meskipun tadi kita sudah bahas panjang lebar bahwa kesabaran itu kompleks berkaitan dengan banyak unsur. Tapi tetap saya percaya bahwa kerohanian brperan besar dalam hal berapa sabarnya kita.

Di Galatia 5:22-23 dipaparkan berbagai jenis buah Roh Kudus. Nah, salah satunya kesabaran. Kesabaran itu buah Roh Kudus tapi bukannya sesuatu yang datang dari langit turun ke atas kita. Itu buah yang harus muncul akibat pergumulan kita berjalan dengan Tuhan. Nah, salah satunya adalah berapa sanggup atau mampunya kita mempercayakan hidup kepada Tuhan. Sebab kesabaran berkaitan dengan hal mempercayakan hidup kita kepada Tuhan. Kalau kita bisa mempercayakan hidup kepada Tuhan kita cenderung lebih bisa menahan diri. Karena kita tahu masih ada Tuhan yang akan menolong kita. Sebagai contoh kita harus pergi melakukan interview kerja, terus di tengah jalan kita terjebak dengan kemacetan dan kita tahu kita akan terlambat. Karena ini interview pekerjaan kita takut sekali nanti dinilai negatif dan sebagainya. Nah, ada dua pilihan yang kita akan hadapi pada saat itu, pilihan pertama kita bisa marah-marah, memaki-maki lalu lintas yang macet ini dan sebagainya. Dan sudah langsung mengutuki diri bahwa kita pasti tidak akan mendapatkan pekerjaan itu. Atau pilihan kedua kita berdoa dan berkata: "Tuhan, Engkau yang mengatur hidup saya dengan sempurna bahkan kemacetan ini pun dalam kendali Engkau. Jadi kalau memang saya tidak harus mendapatkan pekerjaan itu saya tidak akan mendapatkannya meskipun saya datang 1 jam lebih pagi. Tapi kalau memang Tuhan sudah menyediakan pekerjaan itu untuk saya, saya datang terlambat pun pekerjaan itu tetap akan diberikan kepada saya." Nah iman seperti itu yang bisa meredam kemarahan dan menumbuhkan kesabaran kita pula.
WL : Pak Paul, ada kelompok Kristen yang ekstrim, peristiwa apapun sudah selalu berkata sabar, sabar kalau orang sabar itu disayang Tuhan. Jadi peristiwa apapun yang benar-benar sampai orang lain itu bisa berlaku seenaknya kepada kita, oleh karena dengan memakai label itu, itu sehat tidak Pak Paul?

PG : Saya kira ada waktunya memang kita harus menunjukkan sikap. Orang yang sabar tidak berarti tidak marah. Tuhan sabar, Tuhan puncak kesabaran, tapi Tuhan bisa marah. Mengapa? Sebab kalau uhan melihat hal yang tidak benar dan harus Dia koreksi Dia akan juga menunjukkan kemarahanNya atau koreksiNya atau hukumanNya itu kepada manusia.

Nah, kita pun sebagai anak Tuhan adakalanya dipanggil Tuhan untuk menegur yang salah dan untuk bereaksi dengan marah terhadap yang salah. Kalau kita melihat kekejian, ketidakadilan, kekotoran berlangsung di tengah-tengah kita dan kita tidak merasa terganggu sama sekali, tidak merasa marah dengan semua itu justru saya kira itu reaksi yang tidak sehat. Jadi yang lebih sehat adalah memang merasakan ketergangguan kita itu akibat ketidakadilan atau kebobrokan yang kita saksikan. Namun dalam kita merancang tindakan kita, kita bisa merancangnya juga dengan berhati-hati, sabar, dan sebagainya.
GS : Pak Paul, kadang-kadang kita tidak bisa sabar terhadap seseorang yang hubungannya relasi kerja atau tetangga kita. Tetapi kepada istri kita, kita itu bisa bersikap lain, jangan-jangan itu kasusnya mungkin sama Pak Paul? Berarti ada sesuatu yang membuat kita itu menjadi tidak marah terhadap pasangan kita Pak?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Karena kesabaran juga dipengaruhi oleh materi atau kualitas relasi kita dengan orang tersebut. Kalau kita menaruh respek yang tinggi kepadanya kita lebih mudahsabar.

Kalau kita mengasihi orang itu kita juga akan lebih mudah sabar. Jadi respek dan kasih, itu dua hal yang benar-benar berperan besar menyeimbangkan kesabaran kita. Jadi kalau saya balik kalau kita mulai tidak respek dengan pasangan kita kesabaran kita makin menipis pula. Kalau kasih kita mulai pudar terhadap pasangan kita, maka kesabaran kita pun juga akan makin berkurang.
GS : Jadi banyak pertengkaran di situ Pak?

PG : Jadi banyak pertengkaran, karena respek dan kasih sayang sudah mulai goyah.

WL : Bisa juga, jadi sebaliknya seperti yang Pak Gunawan katakan biasanya saya sering melihat, orang kalau di kantor dengan bosnya 'kan tidak berani marah-marah ya tahan-tahan, sabar tapi kalau di rumah bisa seenaknya sama istri. Kalau saya kaitkan dengan Tuhan, Tuhan begitu sabar dengan kita, kita berjuta-juta kali mungkin menyakitkan hati Dia. Tadi kalau dibahas juga tentang batas ambang kesabaran kita, kita mungkin 3 kali atau 4 kali bisa mengamuk kalau diulang terus. Nah kita di hadapan Tuhan berulang-ulang tetapi Tuhan tetap sabar. Justru kebalikannya harusnya kita yang respek sama Tuhan, berarti Tuhan sabar sama kita berarti Tuhan respek sama kita luar biasa dihargai. Sebenarnya terbalik kita yang harus respek kepada Tuhan.

PG : Itu point yang benar sekali dan baik ya Ibu Wulan. Tuhan memang mengatakan kita itu biji mataNya, Dia menghargai kita sebagai ciptaan yang spesial yang diciptakan menurut gambarNya sendri.

Dan memang Dia sangat mengasihi kita. Maka Dia rela mati untuk kita. Kasih yang besar itulah yang selalu juga menahan kesabaran Tuhan, menahan kemarahan Tuhan. Ada beberapa kali di dalam Alkitab kita bisa membaca Tuhan mau menghukum manusia lebih berat lagi contohnya kepada orang Israel. Musa berkali-kali meminta Tuhan jangan hukum seberat itu. Dan Tuhan memang mengurungkan niatnya. Mengapa, kasih sayangNya kepada manusia?
GS : Ya, berarti ada firman Tuhan yang sangat dibutuhkan oleh kita semua untuk memantapkan bagaimana kita melakukan kesabaran kita, mendemonstrasikan kesabaran kita baik terhadap pasangan kita maupun terhadap orang yang kita jumpai tiap-tiap hari Pak Paul?

PG : Saya akan kutip dari I Samuel 24:7 ini adalah juga doa Daud tatkala dia berhadapan dengan Saul yang sedang terlena tidur dan dia bisa membalas Saul, membunuh Saul tetapi di menolak melakukannya.

Daud berkata: "Dijauhkan Tuhanlah kiranya daripadaku untuk menjamah dia. Sebab dialah orang yang diurapi Tuhan." Daud mengaitkan hidupnya dengan Tuhan segala aspek kehidupannya. Bahkan dalam hal ini Saul yang mengejar-ngejar untuk membunuhnya tapi dia tidak membalas dengan niat membunuh Saul. Sebab dia mengaitkan detik itu dengan Tuhan bahwa Saul tetap orang yang Tuhan urapi. Jadi dia tidak boleh membunuh Saul meskipun dia berkesempatan. Nah saya kira ini kesabaran, kesabaran dalam pengertian melihat Tuhan bekerja dalam kehidupan kita. Nah, saya kira bagi kita yang memang sulit sabar karena banyak faktor-faktor itu ya teruslah dekat dengan Tuhan. Teruslah dikuasai terus-menerus oleh Tuhan, sehingga kita bisa mengaitkan segala hal yang terjadi dengan Tuhan. Dan sewaktu kita mengingat Tuhan kita cenderung lebih sabar. Pada kalanya kita lupa Tuhan kita cenderung lebih mudah marah.
GS : Ya, saya melihat kesabaran Daud di sini menantikan waktu Tuhan untuk dia menjadi raja yang penuh begitu Pak Paul. Padahal waktu itu dia 'kan sudah diurapi.

PG : Betul sekali. Dan sebetulnya dia bisa berkata ya seperti anak buahnya berkata ini memang waktu Tuhan menghabisi nyawa Saul dan dia akan bebas dari pengejaran Saul dan dia akan menjadi sorang raja.

Tapi dia lebih rela dikejar-kejar terus oleh Saul tanpa ada kepastian kapan dia menjadi raja daripada dia melakukan hal yang salah. Jadi kesabaran yang muncul karena mengaitkan Tuhan dalam segenap aspek kehidupannya.

GS : Ya, terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini juga Ibu Wulan terima kasih bersama kami dalam perbincangan pada kesempatan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pendeta Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Kurang Sabar". Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan anda sekalian sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



32. Menyesal dan Mengasihi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T151A (File MP3 T151A)


Abstrak:

Di antara kita yang sudah menjalani pernikahan selama bertahun-tahun, kadang-kadang muncul penyesalan dalam hati mereka. Tapi kita harus ingat satu hal bahwa kita tidak sempurna, jadi pernikahan pun juga tidak ada yang sempurna. Dalam materi ini diberikan contoh dan saran yang harus kita ketahui agar pernikahan kita dapat berjalan sebagaimana mestinya.


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menyesal dan Mengasihi", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, memang sulit diduga perjalanan pernikahan suami-istri, kadang-kadang begitu baik, kadang-kadang juga banyak masalah di dalamnya. Tetapi bagaimana sebenarnya Pak Paul dinamika pernikahan ini?

PG : Pak Gunawan, ada di antara kita yang sudah menjalani pernikahan selama bertahun-tahun dan mungkin sekali kadang-kadang muncul penyesalan dalam hati mereka. Mengapa pernikahan saya seperi ini, mengapa saya harus hidup dengan orang yang seperti ini juga, nah yang muncul adalah keputusasaan.

Saya tidak berkata bahwa ya gampang menyelesaikan masalah, tetapi saya berharap melalui siaran pada kesempatan ini kita bisa sedikit banyak menyoroti dari segi yang berbeda, segi yang positifnya sehingga mudah-mudahan kita bisa melewati masa-masa yang sulit ini. Ada beberapa hal yang bisa saya bagikan Pak Gunawan, yang pertama adalah kita selalu harus mengingatkan diri kita bahwa pernikahan kita tidak sempurna. Ini sering kali kita sudah ketahui dari awalnya, namun sebetulnya tetap ada harapan bahwa pernikahan kita itu sempurna. Kenapa tidak sempurna, karena memang kita menikah dengan seseorang yang tidak sempurna pula, jadi dia tidak selalu mengingat kita.
GS : Kita sendiri juga tidak sempurna. Jadi ini tidak sempurna kumpul dengan yang tidak sempurna menghasilkan yang tidak sempurnah pula, tapi itu sebetulnya sudah bisa diduga, Pak Paul?

PG : Betul, namun waktu kita menghadapinya tetap biasanya itu menggelitik, tidak mudah kita terima. Kenapa dia tidak ingat, kenapa saya masih harus beritahukan, kok penghasilannya hanya sediit, kenapa tidak bisa membawa uang yang lebih banyak, kenapa dia tidak mengerti perasaan saya, dia kok tidak bisa mengerti sebetulnya apa itu yang saya inginkan.

Atau kita berkata kok dia tidak bisa menguasai emosinya, kenapa harus selalu meledak. Nah, itu adalah hal-hal yang mengingatkan kita bahwa pasangan kita tidak sempurna sama seperti kita tidak sempurna. Dan ini adalah bagian dari kehidupan yang memang harus dilewati oleh semua orang, tapi saya menyadari kalau kita melihat ini pada diri pasangan kita ya memang sukar untuk kita menerimanya karena hal-hal yang tidak mengenakkan.
WL : Pak Paul tadi mengatakan bahwa walaupun memang kita sadar tidak sempurna, tapi biar bagaimanapun tetap ada harapan pada masing-masing pasangan. Saya cuma berpikir apakah ada pengaruhnya antara harapan yang mungkin lebih sering kita ucapkan dibandingkan dengan yang kita simpan saja dalam hati dan pasangan tidak tahu. Dan itu semakin membuat masalah menjadi lebih besar ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Wulan, jadi kita memang masuk ke dalam pernikahan membawa harapan-harapan. Nah, sudah tentu ada harapan yang lebih realistik dan ada harapan yang terlalu idealis. Nah, klau kita dibesarkan di rumah yang kebetulan sangat baik misalkan orang tua kita tidak pernah bertengkar, bicara dengan nada lembut, kemudian kita menikah dengan pasangan kita yang kalau marah langsung mengeluarkan emosinya wah....itu

cukup mengagetkan kita, dan kita melihat ini sebagai sesuatu yang keliru, tidak seharusnya begitu. Tapi ada sebagian kita yang membawa pengharapan yang tidak realistik Ibu Wulan. Misalkan kita dibesarkan dalam keluarga yang relatif bermasalah jadi kita berharap akan menikah dan menikmati pernikahan yang baik, sehingga kita peka sekali terhadap suara yang agak tinggi sehingga waktu pasangan kita menunjukkan kemarahan, kita benar-benar sudah sangat alergi dan bereaksi keras terhadap ketidaksempurnaannya itu.
GS : Ketidaksempurnaan kita itu bukankah dilatarbelakangi oleh dosa yang ada di dalam diri kita masing-masing, Pak Paul?

PG : Itu bagiannya juga Pak Gunawan, jadi kita ini adalah manusia yang sudah tercemar oleh dosa. Karena dua-dua tercemar oleh dosa, maka relasi nikah kita pun ditunggangi oleh dosa. Kadang-kdang itulah yang menyelinap masuk, misalkan kita juga harus menerima fakta bahwa pasangan kita tidak selalu rendah hati, kadang-kadang dia akan angkuh, tidak selalu bersedia minta maaf, kita mengharapkan dia bisa berani meminta maaf karena dia tahu dia salah, tapi tidak, dia orang berdosa.

Kita mengharapkan pasangan kita senantiasa jujur, jangan memutarbalikkan faktalah atau memutar-mutar kebenaran, tidak selalu, kadang-kadang pasangan kita juga tidak jujur, kenapa, sebab memang dia tidak sempurna, dia orang berdosa. Jadi inilah bagian dari kehidupan pula yang kita sebagai suami-istri harus terima, pasangan kita orang berdosa dan karena dia berdosa dia akan melakukan perbuatan dosa juga. Nah, ini yang harus juga kita siapkan hati kita untuk menerimanya.
WL : Penjelasan Pak Paul ini meliputi semua orang baik itu majelis, hamba Tuhan yang sudah lahir baru begitu Pak Paul?

PG : Sama, tidak ada bedanya. Jadi memang dosa sudah mempengaruhi kita dan membuat kita itu tergoda untuk cenderung melakukan hal-hal yang salah, yang berdosa.

GS : Tapi kita sebagai suami-istri itu mencoba berusaha untuk mengatasi masalah-masalah itu, apalagi kalau kita sudah sejak awal sudah tahu resiko-resiko seperti ini. Apakah usaha itu tidak membawa dampak apa-apa, Pak Paul?

PG : Pasti berdampak Pak Gunawan, namun kita harus menyadari bahwa sekeras apapun kita berusaha untuk memperbaiki relasi nikah kita, pernikahan kita tetap tidak akan mencapai kondisi sebaik ang kita harapkan.

Dalam kasus tertentu, waktu dua orang suami dan istri itu benar-benar bermotivasi mengubah, memperbaiki masalah, memiliki keterbukaan untuk bisa melihat diri dan belajar dari pasangannya, nah dalam kasus-kasus tertentu itu ya mereka akan mencicipi pernikahan yang sangat-sangat indah. Tapi saya juga ingin realistis mengatakan bahwa yang seperti itu tidak banyak, itu memang perkecualian. Yang lebih banyak adalah pernikahan yang biasa-biasa, yang banyak pergumulannya dan pernikahan itu tidaklah seperti yang diharapkan, meskipun sudah ada usaha-usaha untuk memperbaikinya tetap ada kekecewaan, ada hal-hal yang masih tetap terulang lagi, nah itu juga adalah hal yang kita harus terima.
GS : Nah, kalau penyesalan atau kekecewaan itu berlarut-larut Pak Paul, kita bisa menjadi orang yang apatis?

PG : Ya, saya kira kalau kita sudah mengharapkan, sudah mengkomunikasikannya kepada pasangan kita tetap tidak respons lama-lama bisa apatis. Nah, dalam kondisi ini apa yang bisa kita lakukan Yang ingin saya tekankan adalah kita bisa melakukan perubahan-perubahan kecil, kita mungkin tidak bisa mengubah pasangan kita tetapi kita bisa melakukan perubahan-perubahan kecil, dan perubahan kecil cenderung mengakibatkan munculnya perubahan-perubahan pada diri pasangan kita pula.

Sebagai contohnya misalnya pasangan kita cepat beremosi, nah kita akhirnya terpancing emosi pula dan lama-lama kita bisa seperti pasangan kita pula, sebelumnya memang tidak. Apa yang bisa kita lakukan? Yaitu perubahan kecil, waktu dia marah; kita diam tapi kita dengarkan dia. Nah, setelah dia tenang baru kita berkata: "Apakah bisa saya sekarang yang mengutarakan pendapat saya," misalkan begitu. Atau satu hal lain yang kecil juga yang kadang-kadang saya sampaikan kepada orang yang datang kepada saya membawa problemnya. Misalkan problemnya adalah si suami tidak bisa mendengar masukan dari istrinya, nah saya bertanya: "Apa yang biasanya kamu lakukan?" Katanya si istri misalkan: "Ya saya beritahu dia, apa yang saya kira dia harus dengarkan dan apa yang benar yang dia harus perhatikan ya saya akan beritahukan dia." "OK, bagaimana sambutan suamimu?" "Suami saya tidak mau dengarkan, malah dia membuang muka tidak mau mendengarkan saya." Saya katakan: "Bagaimana kalau lain kali Ibu ingin mengatakan sesuatu kepada suami Ibu, Ibu memulai dengan satu pertanyaan: Bolehkah saya memberikan pendapat, bolehkah saya mengeluarkan pikiran saya yang mungkin berbeda, apakah waktunya tepat untuk saya berbicara sekarang?" Jadi mengadakan perubahan dengan kata yang sangat-sangat sederhana yaitu memulai dengan kata bolehkah. Nah, ternyata saya mendapatkan tanggapan, ketika hal itu mulai dipraktekkan akhirnya membawa perbedaan dalam relasi mereka, sebab tiba-tiba si suami mendengar istrinya berkata: bolehkah saya memberikan pendapat saya. Hal yang selama bertahun-tahun tidak pernah dilakukan oleh istrinya, nah saya tidak berkata si suami tidak mempunyai problem dengan emosinya, ada tapi sekali lagi waktu si istri melakukan perubahan kecil seperti itu ternyata perubahan kecil seperti itu bisa mengakibatkan perubahan yang lumayan besar dalam relasi mereka.
WL : Ya, senang sekali ya Pak Paul, kalau ada suami-istri yang akhirnya bisa berubah lewat cara-cara seperti itu. Tetapi banyak juga yang justru semakin parah keadaannya, itu kira-kira karena apa, karena memang mereka sangat bermasalah atau karena apa?

PG : Bisa jadi karena problem sudah menumpuk, sudah menahun. Nah, sudah tentu yang tadi saya sarankan adalah cara yang sederhana dan belum tentu akan dapat mencabut akar-akar kepahitan dalamhidup mereka.

Namun yang ingin saya tekankan adalah relasi yang buruk itu dengan adanya perubahan yang kecil menjadi tidak seburuk kemarin. Nah, dengan tidak seburuk kemarin, kita itu seperti sedang menanam benih yang lebih baik, kalau sebelumnya selalu diisi dengan benih kepahitan, kebencian karena seringnya terjadi pertengkaran. Nah, hari ini tiba-tiba tidak terjadi pertengkaran sebab apa, sebab si istri menggunakan satu format percakapan yang berbeda dengan menanyakan boleh atau tidak. Nah, akhirnya terjadilah perubahan yang membawa dampak positif, sehingga tanah yang tadinya penuh dengan kebencian mulai berkurang.
GS : Itu berarti perubahan kecil yang tadi Pak Paul sarankan itu dari kita sendiri yang memulai, bukan dari pasangan kita?

PG : Tepat sekali, jadi kita bertanya pada diri kita apa itu yang bisa kita lakukan, hal kecil apa yang bisa kita lakukan. Kadang-kadang memang tidak terpikir. Seperti tadi contoh yang saya erikan yaitu mengajukan pertanyaan, hal yang sebetulnya masuk akal kalau sudah diberitahukan o...ya

gampang sekali, tapi tidak terpikir. Nah mungkin masalahnya adalah itu yaitu tidak terpikir, maka saya akan meminta para pendengar kita untuk memikirkan hal-ha kecil seperti itu. Misalnya kalau dia lagi marah matanya melotot kepada kita, dan mungkin sekali karena kita tidak takut dan ikut marah kita memelototi dia kembali. Mungkin hal kecil yang bisa kita lakukan adalah waktu dia marah, kita mencoba untuk mengontrol mata kita, jangan balas memelototinya, buang sedikit mata kita arahkan ke tempat yang berbeda atau hal kecil nada suara kita turunkan, nah hal-hal kecil itu juga akan membawa perbedaan.
GS : Nah, kalau kita sudah merenungkan apa yang harus kita lakukan, apakah ada saran lain dari Pak Paul?

PG : Nah, ini satu lagi yang juga sederhana Pak Gunawan, yaitu kita mesti mengingat cinta pertama, awalnya apa yang membuat kita tertarik kepada pasangan kita. Nah, menariknya adalah apa ituyang membuat kita tertarik kepadanya, setelah menikah itu menjadi hal yang cukup mengganggu kita.

Jadi saya mau tekankan bahwa yang tidak kita sukai sekarang sebetulnya adalah bagian dari yang kita suka tentang dia pada awalnya. Saya berikan contoh, ia tetap baik, orangnya memang baik, sabar dan tidak mudah mengambil keputusan karena dia memikirkan segala pihak sehingga ragu-ragu tidak bisa mengambil keputusan. Tapi itu bukan dua hal yang terpisah dalam dirinya, itu satu paket, kebaikan hatinya membuat dia menjadi orang yang selalu memikirkan kepentingan orang lain. Dan karena terlalu memikirkan kepentingan orang lain akhirnya tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat. Atau karena terlalu memikirkan kepentingan orang lain akhirnya kurang memperhatikan kepentingan pasangannya sendiri, tapi dua hal ini sekali lagi satu paket yang sama. Nah, kalau kita menikah dengan orang yang cepat mengambil keputusan ya mungkin sekali dia cepat mengambil keputusan karena dia tidak peduli dengan orang. Nah, mungkin kita harus tanggung juga bagian lainnya yang tidak kita sukai dengan orang yang seperti ini yaitu tidak peka dengan kita, semaunya kalau ngomong, dia memang tegas tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan tapi dia juga tidak sabar, kalau ngomong menyakiti hati, seperti itu.
WL : Jadi tidak bisa hanya menerima satu sisi saja Pak, yang positifnya saja kemudian yang negatifnya tidak mau.

PG : Betul, karena memang selalu ada eksesnya. Kenapa ada eksesnya, saya kira inilah yang tadi saya sudah singgung bagian dari ketidaksempurnaan kita sebagai manusia dan memang kita sudah tecemar oleh dosa.

GS : Cuma biasanya yang negatif-negatif ini munculnya setelah kita menikah, Pak Paul?

PG : Biasanya begitu, karena kita tidak disatukan dalam satu ruang yang penuh dengan intensitas. Pernikahan itu ruangan sempit penuh intensitas, berpacaran ruangannya lebih luas dan tidak bayak intensitasnya.

GS : Jadi sebenarnya sekalipun kita itu menyesal karena pernikahan itu banyak masalah dan sebagainya, kita masih tetap bisa mengasihi pasangan kita ya Pak Paul?

PG : Saya kira begitu Pak Gunawan, waktu kita mulai melihat apa itu yang membuat kita mencintainya, meskipun sekarang ada eksesnya yang membuat kita jengkel tapi yang pertama itu tetap benar tetap ada.

Nah, yang sering kali kita lakukan adalah kita menganggap yang pertama itu sudah hilang, hal-hal positif tentang dia sekarang tidak ada lagi. Tidak, sering kali tetap ada, misalnya laki-laki ini dominan sekali dan begitu dominannya sehingga sering kali kasar, menginjak-injak perasaan si istri. Tapi kenapa si istri bisa tertarik dengan pria yang seperti ini, kemungkinan sekali karena si pria ini waktu masih berpacaran adalah orang yang memberi perhatian besar pada istrinya. Segala hal dia mau tahu atau peduli, dia mengatur banyak hal, membuat si istri merasa senang dekat dengan si pacar yang penuh dengan perhatian. Nah, nanti setelah menikah memang muncul bagian yang lainnya atau eksesnya itu yakni mendominasi dia, tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk mengembangkan diri atau pikirannya, nah itu memang eksesnya. Tapi kenapa dia mencintai si pria ini pada awalnya karena sifat-sifat yang mau melindungi itu, meskipun lama-lama tidak hanya melindungi tapi juga mengekang.
WL : Pak Paul, ada pengaruhnya atau tidak kalau dari sisi yang wanita terutama seperti yang diajarkan di Alkitab, para wanita itu berperan sebagai pasangan yang melengkapi, menjadi berkat buat pasangannya. Jadi salah satunya adalah memiliki sisi-sisi negatif ini, nah mungkin makin jengkel aspek yang negatifnya ini bertahun-tahun tidak berubah, memang mau menerima yang positif tapi ingin juga yang negatif itu semakin hari semakin dikikis.

PG : Akhirnya ini yang saya perhatikan Bu Wulan, kalau kita memfokuskan pada yang negatif dan mencoba untuk mengubahnya, sering kali efeknya itu lebih buruk. Capai hati, kita pun mudah emosi dia pun juga tidak bisa karena dia merasa sisi buruknya terus yang difokuskan.

Jadi melalui kesempatan ini saya ingin mengajak para pendengar kita untuk mengalihkan mata, tidak lagi menyoroti sisi buruknya tapi melihat sisi positifnya dan terus berikan tanggapan pada sisi positif itu dan adakan perubahan-perubahan kecil seperti itu. Lama-kelamaan ya meskipun kita mulai menyesali pernikahan kita tapi waktu kita fokus pada yang positif, lama-lama kasih itu bisa muncul kembali. Nah, waktu kasih itu muncul kembali itu akan dirasakan oleh pasangan kita.
GS : Sebenarnya mungkin akan lebih mudah kalau kita sejak awal pernikahan membina yang positif-positif itu, Pak Paul?

PG : Ya, tapi memang inilah yang terjadi Pak Gunawan, setelah kita memasuki pernikahan kita akan diperhadapkan dengan yang tidak kita sukai, nah itu yang mengganggu dan itu yang di depan mat yang langsung menohok kita dan kita rasanya buru-buru ingin bereskan, akhirnya kita terjebak dalam perilaku mengoreksi keburukan pasangan.

Sedangkan yang positif yang tadinya mengikat kita, kita tidak lagi perhatikan, seolah-olah tidak ada lagi. Sebetulnya tetap masih ada.
GS : Sehubungan dengan hal ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang berbicara tentang kita melihat kesalahan orang lain ini?

PG : Saya akan bacakan Matius 7:5, "Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu." Ini adalahnasihat Tuhan kepada kita yaitu jangan cepat menghakimi, jangan cepat menjatuhkan vonis kepada orang.

Sebab apa, Tuhan pun menggunakan perumpamaan, balok berarti kayu yang besar, selumbar itu serat kayu. Jadi kalau kita misalnya lagi menyerut kayu ada yang jatuh tipi-tipis nah itu namanya selumbar. Nah, Tuhan berkata kita ini melihat orang seolah-olah orang itu kesalahannya besar-besar, kita lupa bahwa kita pun punya kesalahan. Jadi Tuhan berkata sebelum melihat kesalahan orang, lihat diri dulu, keluarkan dulu balok dari mata kita, maka kita baru bisa melihat selumbar yang kecil itu pada diri orang lain.
GS : Kesulitannya justru mengeluarkan baloknya sendiri ini, Pak Paul ya. Kita mengharapkan orang lain melihat kita dari sisi positif kita pada hal kita menilai orang selalu dari yang negatif.

PG : Betul, masalahnya kalau orang memberitahu kita eh.......kamu punya masalah ini, mempunyai balok, kita tidak terima itu susahnya. Jadi memang Tuhan memberikan nasihat yang sangat baik, sbelum mengurus problem orang, sebelum melihat kekurangan orang, lihat dulu diri sendiri apakah ada kekurangan, bereskan itu.

Nah, Tuhan mempunyai maksud yang indah di sini Pak Gunawan, yaitu yang pertama adalah sering kali orang kalau melihat kita ini terbuka dengan diri, kita ini mau belajar tahu kapan kita salah, kita diberitahukan; kita mau berubah. Nah, pasangan kita itu nanti juga akan bisa melihat o....ya...ya dia orangnya mau mendengar, kalau saya katakan apa dia mau menerima, nah lama-lama ini juga akan menolong pasangan kita untuk bersikap sama tapi kalau kebalikannya yang terjadi dia melihat kita ini susah sekali mendengar, defensif sekali, membenarkan diri dan sebagainya, nah akhirnya dia juga enggan untuk mendengarkan masukan dari kita.
GS : Apakah dimungkinkan kalau memang pasangan suami-istri menyadari pentingnya hal ini, memang menyediakan waktu untuk introspeksi masing-masing. Jadi ada atau tidak adanya masalah, sebelum masalah itu muncul dilakukan introspeksi, bisa atau tidak?

PG : Itu baik sekali Pak Gunawan, saya ingat salah satu penulis Kristen seorang psikiater bernama Scott Peck dia membicarakan tentang dalam hidup ini kita tidak perlu memadatkan hari-hari kia dengan banyak aktifitas, tapi bagaimana kita bisa memikirkan dan melakukan hanya beberapa hal tapi yang sangat bermakna dalam dalam hidup kita.

Nah, itu namanya efektif, orang yang efektif adalah orang yang bisa melakukan hanya beberapa hal dalam hidupnya namun sangat bermakna. Nah, dia berkata bagaimana bisa begitu, salah satu hal yang dia katakan adalah kita hanya bisa berbuat seperti itu kalau kita menyediakan diri misalnya berdoa salah satunya, namun yang lainnya lagi adalah tidak berbuat apa-apa hanya merenung. Nah, itu memang penting, tadi Pak Gunawan sudah munculkan yaitu kemampuan untuk berdiam diri dan merenung, melihat diri kita, apa yang kita lakukan, mungkinkah saya mengatakan begini dan ini yang memancing orang untuk berpikiran seperti ini. Nah, kemampuan untuk bisa melihat diri seperti itu rupanya itulah yang Tuhan minta dari kita, keluarkan dulu balok dari mata kita baru kita bisa mengeluarkan selumbar dari mata saudara kita.
WL : Pak Paul, kalau kita sudah introspeksi diri, tapi kadang-kadang ada hal-hal yang kita tidak sadari tapi ditangkap negatif oleh pasangan. Baik atau tidak kalau ada tip praktis misalnya sebelum tidur sambil berdoa kemudian kita mendengarkan apa yang tidak enak di dalam hati kamu sepanjang hari ini yang telah saya lakukan?

PG : Itu ide yang baik Bu Wulan, kalau dua orang itu bisa berdua ngomong baik-baik, apa yang tadi kamu lakukan wah......itu indah sekali. Sebab nadanya itu nada mau belajar, tidak lagi ada nda defensif dan itu kondusif untuk orang yang berani membuka diri.

GS : Dan sekaligus itu tindakan preventif saja Pak Paul, supaya jangan terjadi masalah yang berat. Terima kasih sekali Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menyesal dan Mengasihi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



33. Makna Tunduk Istri Kepada Suami


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T152A (File MP3 T152A)


Abstrak:

Di dalam materi ini kita akan mengerti satu hal kenapa Tuhan memilih seorang pria menjadi kepala dan menghendaki istri tunduk kepadanya dan sejauh manakah istri itu harus tunduk kepada suami?


Ringkasan:

"Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat."Efesus 5:22-23

Latar belakang

Di sini Tuhan memberikan pedoman hidup bersama menurut cara Allah. Jika kita menaatinya, kita akan menikmati relasi yang rukun, sebaliknya, bila kita melanggarnya, kita akan mencicipi relasi yang penuh konflik.

Beberapa pertanyaan yang muncul tatkala membaca ayat ini adalah:

  1. Mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan suami sebagai kepala sehingga istri harus tunduk kepadanya?

  2. Apakah artinya "tunduk" di sini? Sejauh manakah kita akan tunduk kepada suami?

Kepemimpinan Suami

  1. Keluarga adalah sebuah unit organisasi dan semua organisasi harus memiliki pimpinannya. Tanpa kepemimpinan, organisasi akan mengalami kekacauan.

  2. Penunjukan pria sebagai pemimpin berkaitan erat dengan konsep Kristus sebagai kepala jemaat. Kristus, yang adalah Allah, mengambil identitas pria sebagai jasad ragawinya dan tidaklah masuk akal jika Tuhan menetapkan istri sebagai kepala rumah tangga dan menyamakannya dengan Kristus, kepala jemaat. Dalam hal ini, jauh lebih konsisten bila suami yang diidentikkan dengan Kristus.

  3. Kepemimpinan menuntut adanya kuasa dan kuasa seorang suami Kristen adalah kuasa yang lahir dari pengorbanan, bukan pemaksaan.

Ketundukan Istri

  1. Tunduk adalah syarat keanggotaan dalam suatu organisasi atau ikatan. Tanpa ketundukan, mustahil tercipta kerukunan.

  2. Tunduk adalah pedoman yang Tuhan berikan kepada istri agar dapat melanggengkan hidup bersama, bukan perintah yang Tuhan sampaikan kepada wanita karena seolah-olah ini adalah masalah atau kelemahan wanita. Tanpa kecuali, kita semua sulit untuk tunduk.

  3. Tunduk dibatasi oleh Tuhan sendiri, dalam pengertian, istri tidak boleh melanggar kehendak Tuhan gara-gara ingin tunduk kepada suami. Namun, berhati-hatilah untuk melabelkan segala sesuatunya, "kehendak Tuhan." Bahkan kepada suami yang "tidak taat kepada Firman," Tuhan memerintahkan istri untuk "tunduk" (1 Petrus 3:1).

  4. Tunduk tidak berarti tidak berpendapat atau kehilangan keunikan diri; ingat, pernikahan adalah sebuah penyatuan bukan akuisisi. Dengan kata lain, sebagai penolong, istri boleh dan seharusnyalah menyumbangkan saran dan pendapat namun setelah itu, ia menyerahkan keputusan akhir kepada suami.

  5. Tunduk bukan saja pada keputusan yang tepat tetapi juga pada keputusan yang keliru. Di sinilah ketundukan mendapatkan ujiannya dan di sinilah iman berperan-bahwa masih ada Tuhan yang memelihara kehidupan kita kendati suami telah mengambil keputusan yang keliru.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Tunduk Istri kepada Suami", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
WL : Pak Paul, di dalam Efesus 5:22-23 disebutkan bahwa "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Pak Paul, ini merupakan ayat yang sangat penting bagi setiap rumah tangga Kristen. Cuma sering kali ayat ini menimbulkan salah paham atau salah dimengerti oleh banyak anak Tuhan. Apakah Pak Paul mungkin bisa menjelaskan mengenai ayat ini, supaya menjadi berkat dan menolong keluarga-keluarga Kristen?

PG : Untuk kita bisa lebih tepat membahasnya, saya akan mengarahkan kita semua ini pada dua pertanyaan. Yang pertama adalah mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan suami sebagai kepala shingga istri harus tunduk kepadanya.

Dengan kata lain apa alasannya pria yang dipilih Tuhan. Kedua apakah artinya tunduk di sini, nah pertanyaan berikutnya adalah sejauh manakah kita tunduk kepada suami. Saya kira ayat ini dapat kita soroti dari dua pertanyaan yang baru saja saya angkat. Nah untuk menjawab saya akan memulai dulu dengan konsep kepemimpinan suami, dengan kata lain ini untuk menjawab pertanyaan pertama mengapakah suami yang Tuhan tetapkan sebagai kepala keluarga. Kita harus melihat keluarga sebagai sebuah unit organisasi, dan semua organisasi harus memiliki pimpinan. Dan tanpa kepemimpinan, organisasi akan mengalami kekacauan. Jadi dengan kata lain keluarga memang harus memiliki seorang pemimpin, jadi kalau ada orang yang berkata: "O......tidak perlu ada pemimpin dalam keluarga." Saya kira itu konsep yang keliru, sebab semua unit organisasi memerlukan pimpinan, tanpa pimpinan maka kita akan melihat kekacauan, jadi demikian pulalah dengan keluarga.
WL : Bagaimana Pak Paul dengan banyak istri yang justru mempunyai kelebihan-kelebihan yang lebih dibandingkan dengan suami, yang maksudnya kepemimpinannya justru lemah?

PG : Nah, dalam kasus seperti itu saya kira tetap akan ada tempat bagi suami untuk menjadi kepala, namun sudah tentu karena istri lebih berbakat, lebih berkarunia, istri akan memegang perana yang lebih besar dibandingkan istri-istri lain yang tidak memiliki bakat atau kemampuan sebesar orang tersebut.

Jadi otomatis memang yang namanya memimpin, berapa memimpinnya, berapa dominan kepemimpinannya itu juga sangat tergantung pada kwalitas si pria itu dan berapa berperan atau tidak berperannya si istri ya juga bergantung pada kemampuan si istri itu pula. Semakin dia mempunyai banyak karunia yang bisa disumbangsihkan sudah tentu semakin berperan dia dalam keluarga tersebut.
GS : Saya setuju dengan yang Pak Paul katakan setiap organisasi pasti ada pemimpin, cuma masalahnya di dalam rumah tangga mengapa suami yang harus ditunjuk sebagai pemimpin dan bukan yang lain?

PG : OK! Coba sekarang kita melihat, penunjukkan pria sebagai pemimpin sebetulnya berkaitan erat dengan konsep Kristus sebagai kepala jemaat. Nah Kristus yang adalah Allah mengambil identita pria sebagai jasad ragawiNya.

Jadi saya kira tidaklah masuk akal jika Tuhan menetapkan istri sebagai kepala rumah tangga dan menyamakannya dengan Kristus, si kepala jemaat. Karena Kristus adalah seorang laki-laki dan itulah yang diidentikkan dengan kepemimpinan rumah tangga. Jadi dalam hal ini jauh lebih konsisten kalau suami yang diidentikkan dengan Kristus, nah ini saya kira alasan yang paling kuat, yang Alkitab juga tuturkan. Yakni kita yang pria diminta menjadi kepala sebab memang kita diidentikkan dengan Kristus yang adalah dalam jasad ragawiNya seorang pria, jadi saya kira pengidentikan dengan Kristus sebagai seorang pria ini adalah salah satu alasannya. Nah berikutnya lagi adalah ini Pak Gunawan, saya kira secara budaya (ini memang tidak ada di Alkitab, ini adalah pandangan pribadi saya) secara budaya pada umumnya, pria menempati posisi sebagai kepala. Ada budaya yang menempatkan wanita sebagai pimpinan atau kepala, tapi lebih banyak budaya yang menempatkan pria sebagai pimpinan. Karena dari segi fisik, pria memang mempunyai kekuatan kasar yang jauh lebih besar daripada wanita. Jadi dalam hal-hal misalkan berperang pada zaman-zaman primitif dahulu, yang harus pergi berperang adalah pria, yang harus melindungi tempat kediaman mereka dari serangan musuh juga adalah pria. Dengan kata lain secara budaya dari awalnya apalagi dalam masa-masa dulu di mana sering kali terjadi perang antar suku dan sebagainya, pria memang berfungsi sebagai pelindung, sebagai panglima perang, sebagai serdadu, sebagai penjaga, sudah tentu dia harus bisa memimpin, dia harus bisa mengatur karena itulah fungsi yang dieembankan kepadanya. Nah saya kira Tuhan juga menetapkan pria sebagai pimpinan karena memang secara budaya itulah yang memang diterima oleh kebanyakan budaya di dunia ini.
WL : Pak Paul, tapi tidak bisa disangkal ada beberapa budaya yang menganut budaya maternalistik bukan paternalistik. Wanita lebih banyak dominan, bahkan pria kalau menikah pun seolah-olah wanita yang memberikan banyak pemberian ke pihak pria, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Saya kira itu ada, dan memang budaya tersebut diterima oleh kelompok tersebut dan tidak apa-apa, ya berjalan dengan baik. Nah, apakah budaya tersebut akan harus mengubah budayanya jikalu mereka menjadi orang Kristen.

Saya kira tidak serta-merta harus berubah dengan langsung, secara radikal. Yang penting memang pada akhirnya adalah sebuah kepemimpinan dan adanya sebuah keharmonisan dalam rumah tangga tersebut. Kalau itu tercapai dan memang itulah cara yang diterima oleh budaya setempat, saya kira lebih baik dipertahankan seperti itu dulu, biarkan secara alamiah kalau memang budaya itu harus berubah biarlah budaya itu berubah. Sebab sekali lagi kita harus melihat yang lebih jelas lagi tentang kepemimpinan pria, ini yang sering kali disalahpahami. Pria diberikan kuasa bukan untuk menundukkan, bukan untuk menguasai, dan kuasa tersebut diperoleh bukan dari pemaksaan karena dia lebih bertenaga, dia lebih mempunyai uang, sama sekali bukan. Tapi kuasa yang lahir dari pengorbanan, nah itulah yang memang Tuhan inginkan, kuasa yang lahir dari pengorbanan. Dan karena dia berani mengorbankan dirinya, dia lebih mempunyai kuasa dalam rumah tangganya. Jadi saya kira untuk menjawab pertanyaan Ibu Wulan tadi, kalau kelanggengan bisa dipelihara dengan cara tersebut misalkan wanitanya yang kebetulan secara budaya diterima untuk menjadi pemimpin, saya kira tidak apa-apa.
WL : Menyambung penjelasan Pak Paul tadi tentang kekuasaan pria yang idealnya lahir dari pengorbanan, tapi pada realita di dunia ini kita sering melihat tidak sedikit pria-pria itu yang justru "menjajah", menekan wanita, memukul, sehingga pada akhirnya muncul gerakan feminisme. Walaupun saya pun tidak setuju dengan gerakan itu, tapi bisa dimaklumi karena itu muncul dari tekanan yang memang sering kali juga berlebihan. Dari pria menginjak-injak wanita, Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu konsep yang sangat salah. Jadi kadang kala sebagian kita pria dengan senang hati mengadopsi ayat ini, istri tunduklah kepada suamimu. Itu seolah-olah membenarkan segala indakannya yang ingin menjajah wanita, sangat salah.

Sebab sekali lagi tugas yang nanti akan kita bahas dalam pertemuan kita berikutnya adalah tentang suami harus mengasihi istri, nah ini adalah sebuah perintah yang terkait bukan terlepas dari perintah hai istri tunduklah kepada suamimu. Jadi sekali lagi pengorbananlah yang menjadi dasar kepemimpinan seorang suami dalam rumah tangganya bukan pemaksaan atau penjajahan.
GS : Kalau begitu Pak Paul, ayat yang tadi Bu Wulan bacakan tentang istri yang diminta tunduk kepada suaminya, pengertian tunduk itu bagaimana, Pak Paul?

PG : OK! Saya akan memberikan sedikit latar belakang, tunduk adalah syarat keanggotaan dalam suatu organisasi atau ikatan, tanpa ketundukan mustahil tercipta kerukunan. Kalau seorang mempunyi pendiriannya dan tidak harus tunduk kepada seorang pimpinan pasti tidak akan ada kerukunan, yang lebih sering terjadi pasti gontok-gontokan.

Nah, tunduk adalah pedoman yang Tuhan berikan kepada istri agar dapat melanggengkan hidup bersama. Bukan perintah yang Tuhan sampaikan kepada wanita karena seolah-olah ini adalah masalah atau kelemahan wanita. Sebab menurut saya, tanpa kecuali kita semua sulit untuk tunduk, secara kodrati kita bukanlah makhluk yang mudah tunduk kepada orang. Nah, waktu Tuhan menyampaikan itu kepada wanita, bukan karena wanita mempunyai problem yang terlebih besar dengan hal kepatuhan, saya kira tidak. Baik pria maupun wanita sama-sama pada dasarnya sulit untuk tunduk pada kemauan orang lain. Jadi waktu Tuhan berikan kepada wanita, sekali lagi saya ingin tekankan bukan karena wanita mempunyai problem dalam hal kepatuhan, sama sekali bukan. Justru yang kita lihat pada umumnya wanita jauh lebih mudah patuh dibandingkan dengan pria. Jadi tujuannya adalah dalam konteks kelanggengan, kerukunan, sebab tanpa ada yang tunduk tidak mungkin tercapai ketundukan itu sendiri. Tapi sekarang kita mau melihat dengan lebih jelas lagi, seberapa jauhnyakah istri itu tunduk kepada suami. Tunduk dibatasi oleh Tuhan sendiri, dalam pengertian istri tidak boleh melanggar kehendak Tuhan gara-gara ingin tunduk kepada suami. Jadi kalau misalkan si istri diminta untuk berbuat sesuatu yang berdosa, karena suaminya meminta dengan dasar ini kita tidak boleh tunduk kepada manusia melebih tunduk kepada Allah. Jadi kalau gara-gara kita tunduk kepada manusia, harus berdosa kepada Allah, kita akan tidak tunduk kepada manusia demi tunduk kepada perintah Allah. Nah, ini batasnya tunduk dalam rumah tangga. Jadi sejauh manakah tunduk? Sejauh tidak bersinggungan dengan dosa.
GS : Di dalam hal ini Pak Paul, tunduknya itu kadang-kadang karena terpaksa. Kalau tadi kita umpamakan rumah tangga sebagai organisasi, biasanya kepemimpinan organisasi memang dipilih atas kesepakatan, nah ini berdasarkan penunjukkan. Tuhan itu langsung menunjuk suami yang menjadi kepala, mau tidak mau si istri merasa terpaksa tunduk, Pak Paul?

PG : Saya kira secara alamiah kita akan merasa begitu, sebab kalau kita putar situasinya misalkan kitalah pria yang tiba-tiba diminta Tuhan tunduk kepada istri, saya kira secara manusiawi kia juga akan berontak, kita tidak mudah untuk tunduk begitu saja.

Nah, apalagi kalau misalkan ada keputusan yang dibuat oleh suami kita yang tidak kita setujui atau keliru. Nah sudah tentu tunduk dalam pengertian yang alkitabiah, tunduk yang mau memahami kehendak si istri, menghargai masukan dari si istri dan mempertimbangkan kepentingan si istri (bukan saja si istri tapi juga satu keluarga). Jadi seperti itulah diharapkan si pria itu memimpin bukan mementingkan dirinya tapi mementingkan keluarganya istri dan anak-anaknya. Dan segala hal yang diputuskannya harus melibatkan istri dan anak-anaknya. Nah, tapi apakah terbuka kemungkinan misalkan dua-dua baik istri maupun suami berpikir ini demi kepentingan bersama, nah waktu dua-dua berkata ini demi kepentingan bersama tapi dua-duanya tidak setuju, tidak sama, tidak sehati. Misalkan si istri akhirnya berkata saya lebih benar, tapi suami berkata saya lebih benar, tapi setelah mereka kumpulkan memang tidak bisa ada titik temu, salah satu harus tunduk. Nah yang tunduk di sini menurut saya adalah si istri, karena inilah perintah Tuhan; istri tunduklah kepada suamimu. Tapi mungkin pertanyaan yang langsung muncul adalah bagaimana kalau keliru, bukankah terbuka kemungkinan si suami mengambil keputusan yang keliru. Nah, menurut saya begini, selama kita sudah memberikan masukan kepada suami, tetapi suami tetap melakukan suatu keputusan yang keliru, biarkan. Jadi bahkan kita akan tunduk pada keputusan yang akhirnya kita tahu keliru, meskipun kita tidak setuju tapi memang ketundukan itu diperlukan. Namun sekali lagi saya tekankan di sini bukan berarti suami bisa bertindak semena-mena, pokoknya saya pikirkan apa, saya inginkan apa, itu yang harus terjadi. Kalau suami masih berpikir seperti itu berarti dia belum mempunyai pikiran Kristus, sebab yang Kristus maksudkan adalah dia sebagai suami memikirkan kepentingan istri dan anak-anaknya. Maka di Filipi 2:5-11, dituliskan bahwa Kristus itu sebagai Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, rela mengosongkan diriNya (diri diterjemahkan ego), rela mengosongkan egoNya menjadi seorang hamba. Jadi benar-benar Kristus rela mengosongkan diri demi jemaat yang dikasihiNya, nah suami dituntut sama rela mengosongkan dirinya, egonya, demi istrinya dan demi anak-anaknya. Jadi dalam pemahaman kristiani yang seperti ini, sesungguhnya tidak ada tempat bagi kesemena-menaan, sehingga kalaupun terjadi kekeliruan, ini pun kekeliruan yang jujur, yang mungkin sekali manusiawi. Dan tetap istri di sini di minta untuk tunduk.
WL : Pak Paul, saya mau bertanya kekeliruan yang katakanlah memang bukan bermaksud jahat, bagi dia, menurut pemikiran dia keputusan ini memang yang terbaik, tapi bagi istri tetap itu keliru. Nah waktu dijelaskan ini saya teringat suatu kisah nyata yang saya pernah baca di suatu majalah, seorang penyanyi yang prianya atau suami memberikan kebebasan kepada anak ketika anak lulus dari SD dia katakan kepada bapaknya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, OK diberikan kebebasan dengan pemikiran bahwa kelak engkau yang menuai apa yang engkau tabur ini. Lalu istri tidak setuju, sangat tidak setuju karena memang usia masih sangat dini. Lalu kalau tidak salah setahun atau dua tahun kemudian, ditemukan meninggal dengan bibirnya berbusa karena over dosis, kena narkoba dari teman-teman sepergaulannya. Nah dari awal sudah jelas di sini, kalau kita mau menengok lagi ke belakang jelas konsepsi istri yang lebih benar, tetapi karena dia tunduk kepada suaminya karena suaminya adalah pemimpin rumah tangga ya itu yang terjadi, bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Hal-hal seperti itu memang terjadi, dan apakah bisa langsung kita katakan ini bisa dicegah. Kadang-kadang ada hal yang bisa dicegah, ada hal yang tidak bisa dicegah karena tidak diketahi dengan pasti apa yang akan terjadi nantinya.

Misalkan contoh yang mungkin lebih sering terjadi dalam kehidupan kita. Anak sudah berumur 16 tahun ingin keluar rumah malam-malam, si ayah memberikan izin, istrinya tidak memberikan izin. Misalkan hari agak gelap, baru saja hujan, si istri berkata: "Kamu diam di rumah, jangan pergi ke mana-mana." Nah si anak tetap mau pergi, misalkan dia mengendarai motor, akhirnya si ayah berkata tidak apa-apalah asal hati-hati. Si anak akhirnya benar-benar pergi naik motor dan tertabrak, dan misalkan sampai harus di rumah sakit, perawatannya sangat mahal. Nah, mudah sekali memang istri akan berkata: "Kamu sih yang kasih." Tapi dalam hal ini sebetulnya tidak mungkin seseorang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi, sebab 50% kemungkinan yang satunya lagi adalah anak itu pulang dengan tubuh sehat tanpa ada apa-apa. Jadi ada hal-hal yang memang tidak bisa diketahui dengan pasti dan si istri juga harus bisa menerima kemungkinan tersebut. Tapi yang penting adalah memang di dalam rumah tangga, suami memberi ruang bagi istri untuk memberikan pendapatnya, untuk berbeda pendapat dengan dia, dan juga untuk mengajukan masukan-masukan yang berharga. Di sinilah si istri berperan sebagai seorang penolong, tapi setelah memberikan masukan itu hendaklah nantinya suami yang mengambil keputusan, sudah tentu konsultasikan dengan istri. Bahkan nanti anak-anak sudah mulai besar harus juga melibatkan anak-anak, karena keputusan si suami misalkan pindah kota atau apa, itu juga akan berkaitan dan berimbas pada anak-anak. Jadi si suami pun diminta untuk bisa mengutarakan ini kepada anak-anak dan meminta pendapat mereka. Namun tetap setelah itu dilakukan, saya kira keputusan akhir tetap diberikan kepada suami. Kenapa harus begini? Karena sekali lagi saya ingin mengingatkan bahwa konteksnya, latar belakangnya kenapa Tuhan memberikan ayat-ayat ini adalah Tuhan sudah memberikan resep kepada kita bagaimana hidup harmonis. Harmonis itu tidak selalu dibuktikan dengan keputusan yang tepat, tapi yang Tuhan minta adalah keharmonisan. Dan untuk menjaga keharmonisan memang harus ada yang menjadi pemimpin dan harus ada yang menjadi anggota, dan itu saya kira mutlak harus ada. Bukankah kita pun kalau kita bekerja di luar, tidak selalu setuju dengan atasan kita. Dan meskipun atasan kita melakukan kekeliruan tetap kita memang harus mengikutinya, karena kalau tidak, tidak akan ada lagi suatu keharmonisan dalam suasana kerja kita, jadi mesti harus ada itu.
WL : Mungkin lebih sulit Pak kalau dibandingkan dengan suasana kerja ya. Suasana kerja OK-lah kita tunduk-tunduk menerima karena memang menerima gaji. Kalau tidak suka, batas pertahanan kita tidak bisa ya sudah berhenti, pindah kerja. Kalau dengan suami tidak bisa begitu Pak.

PG : Betul, pressure-nya jauh lebih besar, lebih intens, betul sekali itu.

GS : Tapi sering kali begini Pak Paul, istri pada awal pernikahan memang tunduk tapi lama-lama menanduk. Jadi kadang-kadang suami tidak merasakan perubahan itu. Nah dalam hal ini sebenarnya ada banyak dalam kasus-kasus keluarga, istri secara formal memang tunduk, dia tetap mengakui suaminya sebagai kepala keluarga. Tetapi dia katakan: "Kamu boleh kepala, tetapi saya lehernya." Jadi tetap dia yang memagang peranan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Yang penting adalah bukan pengakuan tapi perbuatan, bahwa dalam perbedaan pendapat, setelah dia mengutarakan pendapatnya memang sebaiknya dia serahkan kembali kepada suami. Juga ada sat cara lagi, istri tetap bisa berpengaruh, tetap bersumbang sih, namun dengan cara yang dapat diterima oleh suami.

Hampir semua suami bersedia mendengarkan masukan istri, namun adakalanya disampaikan dengan cara yang tidak disukai oleh si suami. Nah cara itulah yang bisa dipelajari oleh istri, cara-cara yang mungkin lebih bijak. Salah satu cara yang bisa saya sarankan adalah memberikan pilihan. Kadang-kadang kalau kita berkata langsung kamu salah, harusnya begini, itu susah untuk orang berbelok arah dan mengakui saya salah dan harus ke jalan yang disarankan oleh istri sendiri. Nah, lebih baik bagaimana kalau kita sarankan, ini bisa tapi ada pilihan-pilihan yang lainnya, pilihan yang A ini, ini kerugian dan keuntungannya, pilihan B ini, ini kekurangan dan kelebihannya, menurut kamu bagaimana. Atau kita bisa berkata: "Saya ada pendapat, boleh atau tidak saya berikan, ada masukan mau atau tidak kamu dengarkan." Nah setelah kita sampaikan kita katakan kepada suami: "Ya terserah kamu apa yang baik, saya hanya memberikan masukan saja." Nah dengan cara-cara seperti itu saya kira istri bisa mengefektifkan pemberian, sumbang sih atau masukan kepada suaminnya sehingga akhirnya bisa diterima.
WL : Pak Paul, saya ada satu pertanyaan tentang konsepnya tunduk ini, itu sebetulnya dipengaruhi atau tidak dari kepribadian si wanita. Misalnya ada wanita yang memang dependen, bergantung, ya dia memang sudah terbiasa begitu jadi lebih mudah atau bahkan menikmati suaminya mengatur segala sesuatu.

PG : Pengamatan yang baik Bu Wulan, jadi memang ada perbedaan. Kepribadian yang lebih mudah nurut ya lebih gampang untuk menyesuaikan diri dengan konteks kehidupan seperti ini, jadi betul seali itu.

GS : Dalam pembicaraan ini kita baru bisa berbicara dari sisi istri yang diminta untuk tunduk, tetapi firman Tuhan itu memang akan berkelanjutan di pihak suami dan ini akan kita bahas pada kesempatan yang akan datang bersama Pak Paul. Kami mengucapkan banyak terima kasih Pak Paul bisa berbincang-bincang bersama kami dan juga Ibu Wulan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Tunduk Istri kepada Suami". Kami menyarankan Anda untuk mengikuti kelanjutan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Namun bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



34. Makna Mengasihi Suami Kepada Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T152B (File MP3 T152B)


Abstrak:

Mengapa Tuhan menetapkan istri sebagai penerima kasih, dan seakan-akan pria tidak membutuhkannya. Sejauh manakah suami itu harus mengasihi istrinya?


Ringkasan:

"Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya..." (Efesus 5:25)

Latar belakang

Di sini Tuhan memberikan pedoman hidup bersama menurut cara Allah. Jika kita menaatinya, kita akan menikmati relasi yang rukun, sebaliknya, bila kita melanggarnya, kita akan mencicipi relasi yang penuh konflik.

Beberapa pertanyaan yang muncul tatkala membaca ayat ini adalah:

  1. Mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan istri sebagai penerima kasih, seakan-akan pria tidak membutuhkannya?

  2. Apakah artinya "kasihilah" di sini? Sejauh manakah suami mengasihi istrinya?

Kasih Suami
Sama seperti istri, suami pun membutuhkan kasih. Jadi, perintah ini diberikan bukan karena kasih merupakan kebutuhan istri dan bukan kebutuhan suami. Perintah ini juga diberikan bukan karena suami lemah dalam hal mengasihi istrinya. Alasan utama mengapa perintah ini diberikan ialah karena relasi kepemimpinan yang kristiani adalah relasi yang dilandasi oleh kasih. Itu sebabnya kasih suami kepada istri diidentikkan dengan kasih Kristus yang begitu besar kepada jemaat sehingga Ia rela menyerahkan diri-Nya. Dengan kata lain, kepemimpinan suami dan ketundukan istri muncul dari dan dipertahankan oleh kasih.

Makna Mengasihi

  1. Mengasihi berarti menyerahkan diri bagi istri, jadi, bersedia mengorbankan kepentingan pribadi demi istri, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, mengasihi berarti melakukan apa yang paling baik bagi istri.

  2. Mengasihi berarti menguduskan istri menjadi tanpa cacat cela, dalam pengertian, istri bertumbuh menjadi diri terbaiknya. Suami diminta untuk merawat istri, bukan merusak istri, sehingga kebutuhannya-baik emosional maupun jasmaniah-terpenuhi dan hidupnya tenteram.

  3. Mengasihi berarti menerima kondisi istri yang tidak selalu seturut dengan kehendak suami. Ada waktunya melengkapi kekurangan istri, ada waktunya menerima kekurangannya. Pada akhirnya kasih harus berdiri di atas ketertarikan batiniah, bukan jasmaniah yang sudah tentu tidak kekal. Kasih yang kuat adalah kasih yang berakar ke dalam, bukan ke luar.

  4. Mengasihi tidak berarti mengikuti kehendak istri secara sembarangan; mengasihi berarti memberi arah dan batas.

  5. Mengasihi tidak berarti bergantung pada istri sehingga kebergantungan suami kepadanya melebihi kebergantungannya pada Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Mengasihi Suami kepada Istri", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada beberapa waktu yang lalu kita sudah memperbincangkan tentang perintah Tuhan yang meminta si istri tunduk kepada suaminya. Kita akan melanjutkan perbincangan ini pada sisi suami, tapi sebelum itu mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara garis besar tentang makna ketundukan istri kepada suami ini?

PG : Yang pertama adalah Tuhan memberikan perintah kepada istri untuk tunduk kepada suami, bukan karena perempuan mempunyai masalah dengan ketundukan dan pria tidak mempunyai masalah dengan etundukan.

Ketundukan adalah masalah semua manusia, jadi Tuhan memberikan itu bukan karena ada masalah dengan wanita dalam hal ketundukan. Ketundukan kepada seorang suami memang dikaitkan dengan ketundukan jemaat kepada Kristus, jadi perlambangannya seperti itu. Dengan kata lain Tuhan meminta wanita tunduk sepenuhnya, sama seperti jemaat juga harus tunduk sepenuhnya kepada Tuhan. Nah, pertanyaannya mengapakah Tuhan menetapkan pria yang menjadi kepala, sebab Tuhan Yesus adalah seorang pria sewaktu Dia mengambil jasad sebagai seorang manusia. Jadi pengidentikkan dengan Kristus, saya kira jauh lebih masuk akal jikalau prialah yang diidentikkan dengan Kristus sebagai kepala. Dan kepemimpinan pria tidak didasari atas paksaan atau penjajahan atau kekuatan, tapi atas pengorbanan. Jadi atas dasar pengorbananlah suami menobatkan dirinya itu sebagai seorang kepala dalam keluarganya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, suami itu langsung diberitahukan supaya mengasihi istrinya itu seperti Kristus mengasihi jemaat, yang telah menyerahkan diriNya untuk jemaat itu. Dan ini pengertiannya seperti apa Pak Paul?

PG : OK! Untuk menolong kita mengupas ayat ini, saya akan mengangkat dua pertanyaan. Yaitu yang pertama mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan istri sebagai penerima kasih, seakan-akan ria tidak membutuhkannya.

Yang kedua adalah apakah artinya kasihilah, sejauh manakah suami itu mengasihi istrinya. Coba kita akan melihat pertanyaan yang pertama terlebih dahulu, mengapa Tuhan secara spesifik menetapkan istri sebagai penerima kasih, apakah pria tidak membutuhkan kasih. Saya kira tidak demikian, sama seperti istri, suami pun membutuhkan kasih. Jadi perintah ini diberikan bukan karena kasih merupakan kebutuhan istri dan bukan kebutuhan suami. Saya kira bukan itu, sebab sama-sama kita ini pria juga membutuhkan kasih. Perintah ini juga diberikan bukan karena suami lemah dalam hal mengasihi istrinya. Ada orang yang berkata ya Tuhan memberikan perintah kepada suami, sebab memang suami sering lemah dalam mengasihi istri. Itu memang sering terjadi, banyak perselingkuhan yang dilakukan oleh pria yang tidak lagi mengasihi istrinya, tapi saya kira bukan atas dasar ini perintah itu diberikan. Alasan utama mengapa perintah ini diberikan ialah karena relasi kepemimpinan yang kristiani adalah relasi yang dilandasi oleh kasih. Saya kira itu dasar utamanya. Itu sebabnya kasih suami kepada istri diidentikkan dengan kasih Kristus yang begitu besar kepada jemaat, sehingga ia rela menyerahkan diriNya. Dengan kata lain kepemimpinan suami dan ketundukan istri muncul dari dan dipertahankan oleh kasih. Jadi kita melihat secara keseluruhan, konteks utuhnya. Konteks utuhnya adalah ayat-ayat ini sedang membicarakan juga tentang kepemimpinan Kristus atas jemaatnya, suami atas keluarga atau istrinya. Nah, bagaimanakah Kristus memimpin dengan kasih, bagaimanakah suami memimpin juga dengan kasih. Jadi dengan kata lain tugas mengasihi, bukan karena suami mempunyai masalah dalam hal mengasihi atau istri membutuhkan kasih. Tapi karena kepemimpinan itu rodanya adalah kasih, itu yang Tuhan tekankan.
WL : Pak Paul, ada pertanyaan menggelitik yang berkaitan dengan tuntutan dari Tuhan, apakah ada pengaruh atau tidak, bukankah wanita lebih diwarnai oleh perasaan, emosi, itu sebabnya seolah-olah Tuhan lebih mengetahui ini kebutuhan si wanita untuk dikasihi, kalau pria lebih dituntut untuk leadershipnya butuh dihormati, dihargai begitu?

PG : Saya kira kalau kita mau tarik bahwa ada kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan emosional, bisa ya. Dan apakah berlaku untuk banyak pria dan wanita, saya kira ya juga. Namun kalau kita jaikan patokan saya kira kurang tepat, karena sebetulnya pada kenyataannya kita pun yang pria senang dikasihi.

Memang kita itu senang dihormati atau apa, direspek, namun saya kira semua pria itu senang dikasihi oleh istrinya. Dan istri apakah karena sudah dipenuhi kebutuhan dikasihinya kemudian tidak usah direspek atau dihormati oleh suaminya, saya kira ya sama istri membutuhkan juga. Istri itu menerima penghormatan dan respek dari suaminya, tapi secara umum boleh kita kaitkan dengan kebutuhan emosional itu. Tapi kalau kita kembali kepada firman Tuhan, yang Tuhan sedang bicarakan bukanlah kebutuhan emosionalnya pria dan wanita melainkan Tuhan sedang membicarakan bagaimanakah keluarga itu bisa berdiri dalam kondisi harmonis. Bagaimanakah keluarga itu mengatur dirinya, aturan-aturan atau pedoman-pedoman apakah yang bisa dijalankan oleh suami dan istri. Paulus kemudian memberikan rumusnya, rumusnya adalah relasi Kristus dan jemaat yaitu relasi kepemimpinan. Namun roda kepemimpinan itu dijalankan dengan kasih, maka Paulus berkata suami mengasihi sebab kalau engkau tidak mengasihi istrimu roda kepemimpinanmu macet.
GS : Tapi sering kali suami itu yang pertama-tama sulit mengungkapkan kasihnya. Kalau ditanya, dia mengasihi istrinya cuma mengekspresikan kasihnya kepada istrinya itu kaku, mengalami kesulitan. Sehingga istrinya juga merasa bahwa suaminya tidak mengasihi dia. Lalu ada lagi kasus yang baru saja diceritakan oleh teman saya, istrinya itu menggunakan senjata kasih itu tadi. Suaminya ditanya: "Kamu mengasihi aku atau tidak?" Dia mengasihi (ini pengantin baru) lalu istrinya itu minta tabungan suaminya itu dibalik nama menjadi nama istrinya. Nah di situ suami merasa diperalat, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Dalam hal ini saya kira suami perlu menjadi pemimpin yang berhikmat, yang bijaksana. Yaitu pertama-tama yang dia ingin tanyakan kepada istri: "Mengapakah tabungan ini harus diserahkan aas namamu?" Masalahnya bukan si suami tidak rela, pertanyaannya mengapa si istri menuntut itu.

Saya kira tuntutan si istri mudah-mudahan tidak lebih buruk dari ini, bisa jadi memang dia mempunyai motif tertentu yaitu ingin menguasai harta si suami. Memang dalam pernikahan, harta suami dan istri menjadi harta bersama, namun kalau sampai seseorang menuntut bahwa ini harus menjadi hak, itu cukup mendebarkan jantung, membuat saya juga berpikir apa artinya di belakang ini kok sampai menuntut seperti itu. Jadi sebaiknya apa yang dilakukan dalam kasus seperti ini? Si suami harus bertanya kepada istrinya. "Apakah kalau saya membagikan harta, ini adalah pertanda saya mengasihi kamu?" Kalau dia berkata ya, wah memang dia telah salah memilih istri. Sebab dalam kasus ini si istri mengukur cinta dari segi harta atau materi. Jadi saya kira harus disoroti dari segi itu juga, meskipun setelah itu seorang suami juga harus menciptakan rasa aman buat istrinya bahwa hartaku, hartamu. Dan engkau boleh memakai uang kalau memang itu perlu dan itu baik, engkau boleh pakai meskipun itu atas namaku. Jadi apakah perlu langsung atas nama dua orang? Memang tidak terlalu perlu, sebab yang penting bukan atas nama dua orang, yang penting kedua hati itu sudah menjadi satu sehingga milik bersamalah yang menjadi konsep dalam pernikahan itu. Yang satu mempunyai akses terhadap harta yang satunya, namun kalau sudah mulai memunculkan tuntutan, ini harus namaku, saya memang agak ragu-ragu ya motivasi di belakang itu tampaknya tidak lagi murni.
GS : Jadi pertanyaan si suami adalah bagaimana saya itu bisa mengekspresikan kasih saya, tanpa dimanipulir oleh istrinya.

PG : Dalam kasus seperti itu saya kira si suami harus menegaskan bahwa dalam masalah uang ini, masalahnya bukan saya tidak mau memberikan, masalahnya adalah engkau menuntut. Jadi saya akan blik begitu, masalahnya bukan saya tidak memberikan tapi masalahnya engkau menuntut, ini yang membuat saya tidak nyaman.

Nah, kalau tentang kasih sayang, ayo kita berkomunikasi, berdialog, apa hal-hal yang bisa saya perbuat untuk membuat engkau merasakan kasih sayangku kepadamu. Kalau dia berkata ya hartamu itu, wah....memang pria itu salah pilih, sungguh-sungguh salah pilih istri.
WL : Ada kemungkinan atau tidak Pak Paul, dalam kasus tadi si istri mungkin melihat dari pengalaman buruk di lingkungan, entah orang tua, teman dekat atau saudara yang kasusnya misalnya si istri tiba-tiba ditinggal pergi lalu si pria menikahi wanita lain dan sebagainya, lalu hidup si istri menjadi morat-marit. Dia sangat khawatir, jadi dia berjaga-jaga jauh-jauh hari, kalau terjadi apa-apa dengan diriku, nah saya masih mempunyai entah deposito atau apa untuk menjamin hari depan saya. Jadi makna kasih bagi si istri harus ada jaga-jaga ini dan itu, begitu Pak Paul.

PG : Inilah yang menyedihkan, tapi ini memang fakta Bu Wulan, bahwa yang terjadi adalah kita terlalu sering melihat pria tidak bertanggung jawab dan jahat, jadi menyia-nyiakan istri. Sehingg istri akhirnya sulit mengembangkan cinta yang murni, akhirnya cinta itu merupakan transaksi yaitu aku berikan, engkau memberikan; aku mendapatkan, bukan saja engkau mendapatkan.

Jadinya suatu transaksi, artinya adalah penurunan kadar kasih seperti yang Tuhan inginkan. Maka sekali lagi intinya adalah sebelum menikah pilihlah dengan benar, dengan baik-baik. Kalau kita menikah dengan kecurigaan-kecurigaan seperti itu, bagi saya buat apa menikah lebih baik tidak ada pernikahan, jangan menikah dengan orang tersebut. Jadi kita memilih dengan baik, sehingga waktu kita menyatu memang siap untuk menyerahkan, untuk berbagi, untuk percaya, karena kita tahu kita akan diayomi. Nah dengan pria yang seperti itulah kita menikah jangan sampai salah memilih.
GS : Bagaimana Pak Paul dengan pengertian bahwa kami sebagai suami harus mengasihi istri seperti Kristus yang menyerahkan diriNya bagi jemaatNya?

PG : Mengasihi berarti menyerahkan diri bagi istri, ini firman Tuhan karena disamakan dengan Kristus yang menyerahkan diri bagi jemaat. Artinya apa? Bersedia mengorbankan kepentingan pribadidemi istri.

Jadi kalau orang berkata enak menjadi suami, itu konsep duniawi. Sebab kalau kita memahami firman Tuhan o.......si suami dituntut oleh Tuhan sangat besar, dia harus berani mengorbankan kepentingan pribadi demi istri bukan sebaliknya. Dengan kata lain mengasihi berarti melakukan apa yang baik bagi istri, seperti itu arti mengasihi dan menyerahkan diri. Firman Tuhan juga di dalam sambungannya di Efesus pasal 5 tadi membahas tentang mengasihi yaitu menguduskan istri menjadi tanpa cacat cela. Dalam pengertian apa? Saya kira sama yaitu menumbuhkan istri menjadi diri yang terbaik. Jadi dalam relasi dengan kita sebagai suami, istri kita itu bertumbuh menjadi diri terbaiknya. Di sini suami diminta untuk merawat istri, jelas Alkitab berkata menguduskannya menjadi suatu persembahan yang tanpa cacat cela. Jadi diminta untuk merawat istri bukan untuk merusak istri, sehingga kebutuhannya baik emosional maupun jasmaniah terpenuhi dan si istri bisa hidup dengan tenteram. Dalam pertemuan saya dengan klien yang membutuhkan bantuan konseling, saya memang sering kali harus bertemu dengan istri secara alegoris, secara perumpamaan saya katakan penuh dengan kerut-kerut, penuh dengan cacat. Maksudnya adalah mereka penuh dengan tekanan hidup, mengapa? Sebab suami tidak merawat mereka, tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, malahan yang sering terjadi ya disia-siakan, dikhianati. Jadi mereka bukan menjadi persembahan yang kudus tanpa cacat justru menjadi penuh dengan kerut-kerut, penuh dengan tekanan-tekanan. Jadi sekali lagi keindahan itu akhirnya dirusakkan oleh si suami. Ini adalah justru yang Tuhan larang. Maka Tuhan katakan engkau harus mengasihi istri, merawatnya, menjadikannya persembahan yang tanpa cacat.
GS : Secara konkret Pak Paul, penyerahan diri suami kepada istri itu seperti apa?

PG : Misalnya di dalam pengambilan keputusan, si suami harus selalu juga memikirkan kepentingan istri. Sering kali kita ini sebagai pria dalam mengambil keputusan kita jalan sendiri, kita megabaikan apa yang baik bagi istri kita pula.

Nah yang Tuhan minta adalah sebagai pemimpin yang baik, yang kristiani, kita memikirkan kepentingan istri kita pula. Misalkan gara-gara mendapatkan promosi kerja kita harus pindah, tapi kalau kita pindah kita itu tahu bahwa istri kita itu akan sangat sengsara, karena dia harus kehilangan keluarganya atau apa. Nah kita harus memberikan kesempatan kepada istri kita untuk menggumuli, tidak langsung kita menetapkan akan pindah kamu ikut saya, karena kamu istri kamu harus tunduk, tidak. Pemimpin yang dimaksud oleh Tuhan adalah pemimpin yang memikirkan kepentingan istrinya, jadi dia harus bertanya bagaimana pendapatmu tentang ini? saya tidak setuju, nah biarkanlah dia bergumul dalam ketidaksetujuannya. Kalau sampai istri bersedia pindah, baru pindah; tapi kalau memang tidak bersedia, saya kira harus ada suatu pengorbanan. Kalau kita putar situasi juga sama, misalkan istri kita yang ingin pindah, kita yang tidak ingin pindah; nah kita mau atau tidak yang dipaksa pindah? Kita pun mungkin juga berat. Nah maka berikan waktu, berdialog terus, lihat pilihan-pilihan di sana dan sebagainya baru mengambil keputusan bersama.
WL : Pak Paul, kalau kembali ke penjelasan tadi tentang merawat atau memenuhi kebutuhan istri, kenapa kalau saya perhatikan lebih banyak pria mengkaitkan masalah ini dengan mencukupkan kebutuhan secara materi saja, kebutuhan emosi itu justru seolah-olah terabaikan. Terlebih lagi bagi masyarakat Chinese yang totok begitu?

PG : Kebanyakan pria memiliki keterbatasan memahami alam perasaan dan alam pikiran, jadi hal-hal yang berkaitan dengan perasaan itu sesuatu yang asing buat pria, itu saya kira memang keterbaasan pria.

Oleh karena itu waktu istri berbahasa emosi, si suami itu tiba-tiba kelu tidak bisa menanggapi dengan bahasa emosi yang sama. Inilah memang gap yang ada antara suami dan istri, jadi si istri bisa menolong si suami mengajarkan inilah yang saya butuhkan. Kalau saya merasakan begini, ya yang saya rindukan darimu adalah ucapan-ucapan seperti ini, atau sentuhan-sentuhan seperti inilah yang sebetulnya aku dambakan darimu. Jadi istri memang perlu memberikan pengajaran-pengajaran seperti ini agar suaminya akhirnya bisa lebih peka dengan apa itu yang menjadi kebutuhan si istri.
GS : Memang buat si suami itu sebenarnya lebih gampang memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiilnya daripada memenuhi kebutuhan emosionalnya, Pak Paul.

PG : Betul, karena sekali lagi memang dunia emosi buat kebanyakan pria adalah dunia yang asing, jadi daripada memasuki dunia yang asing, pria kebanyakan tidak lagi memasukinya.

GS : Tapi belajar untuk memberikan itu, saya memahaminya sebagai suatu pengorbanan, Pak Paul.

PG : Itu pun pengorbanan betul, berarti dia harus berani mendengarkan permintaan istrinya yang dia tahu dia belum bisa lakukan. Kadang-kadang karena dia tidak bisa lakukan dan diminta dia maah, pria kadang-kadang begitu daripada mengakui bahwa ya saya kesulitan.

Nah lebih baik pria atau suami berbicara terus-terang kepada istrinya, saya kesulitan, saya tidak memahami tentang perasaan jadi tolonglah saya. Kalau itu dikomunikasikan seperti itu saya kira istri pun dalam hal ini juga lebih rela memberikan bimbingan kepada suami.
GS : Pak Paul, dalam hal mengorbankan dirinya untuk istri, itu bagaimana terhadap hubungan suami dengan anak-anak, jadi sebagai seorang ayah. Yang dilihat anak, seolah-olah ayahnya ini orang yang lemah, Pak Paul?
GS : Otomatis waktu suami mengasihi tidak mengasihi dengan membabi buta sehingga kehilangan prinsipnya pada kebenaran. Jangan! Kalau salah, salah; benar, benar. Bahkan kalau dalam keluarga anak-anak sudah mulai besar, dan jelas istri salah, suami kadang-kadang dituntut untuk bisa berkata mama salah, daripada membela mama di depan anak-anak, bahwa mama tidak salah dan sebagainya. Saya kira anak-anak akan bertambah kecewa dengan papanya malah membela yang salah. Jadi ada waktunya seorang suami akan berkata salah, dan ini adalah wujud dari kepemimpinanannya dia. Tuhan menunjuknya juga sebagai imam di rumah, imam yang bisa menunjukkan arah. Jadi sekali lagi mengasihi bukan berarti membabi buta, mengikuti seperti kambing dicocok hidungnya atau kerbau dicocok hidungnya, tidak, justru adakalanya suami memberikan arah dan harus seperti ini. Dan saya kira dalam kasih, istri pun menghargai suami yang bisa memberikan arah. Kadang-kadang dalam konseling, inilah yang saya dengar dari wanita tentang suami mereka yaitu karena suami itu tidak begitu memperhatikan tentang keluarga mereka, suami itu jarang memberikan arah harusnya begini dan sebagainya dan istri seolah-olah kehilangan panduan, dia membutuhkan suami yang menjadi kepala. Nah kadang-kadang justru suami-suami ini sama sekali tidak berfungsi sebagai kepala, maunya jadi jempol ikut-ikutan saja, kaki ke mana ikut ke situ.
GS : Ya, ketergantungan memang muncul dari pihak suami, kalau memang istrinya itu biasa mengarahkan Pak Paul, jadi dia seolah-olah tidak berinisiatif.

PG : Jadi sebisanya suami memberikan pendapat, jangan akhirnya semua bergantung pada istri. O.....tidak, karena respek istri itu dibangun di atas inisiatif si suami, namun walaupun suami ituharus mendengarkan juga masukan istri sekali lagi kita harus ingatkan, jangan sampai kebergantungan suami kepada istri itu melebihi kebergantungan suami kepada Tuhan.

Pokoknya istri yang bisa mengatur yang penting beres, Tuhan menjadi nomor dua. Seolah-olah tidak perlu ada Tuhan yang penting ada istri saya yang bisa mengatur, semuanya pasti beres. Nah, itu kalau sampai seperti itu saya kira salah.
WL : Pak Paul, konteks ini sepertinya cocok dengan yang sering kali muncul slogan-slogan yang mengatakan ada kelompok pria-pria atau suami yang takut istri. Sebenarnya batasannya sampai di mana Pak, karena bagi kelompok yang lain mereka menganggap: "Tidak, ini wujud saya mengasihi istri, saya bukan takut kepada istri." Tetapi bagi pria yang lain: "Lho.....kamu itu tidak jantan, kamu takut istri, mengambil keputusan saja kamu harus tanya istri dulu, telepon dulu, begini, begini."

PG : Memang itu adalah buah dari budaya yang keliru, bahwa suami itu seperti raja dan raja itu tidak perlu dibisiki oleh siapapun. Tapi kita tahu raja yang tidak menerima masukan dari tangankanan, tangan kirinya atau penasihatnya adalah raja yang bodoh.

Justru suami yang bijaksana adalah suami yang bersedia menerima masukan dari istrinya dan bahkan kalau anak-anaknya sudah mulai besar, dari anak-anaknya sekalipun. Sebab mungkin mereka melihat dari sisi mereka yang kita luput untuk melihatnya. Jadi sebagai seorang suami, saya ingin menghimbau kepada para suami yang lain jangan takut untuk mendengarkan masukan istri, berikan kesempatan karena itulah yang dirindukan oleh istri juga, mereka berbagian dalam kehidupan keluarga ini. Namun kita juga harus berfungsi sebagai kepala, kita juga harus menetapkan arah, kita harus berani mengambil keputusan, dan jangan takut kita itu berargumen dengan istri kita. Adakalanya yang dikatakan takut istri adalah takut berargumen dengan istri, nanti ribut lagi. Tidak, kalau untuk hal yang benar bagi saya ribut ya ribut dengan istri, tidak apa-apa. Tapi justru dengan kita berani ribut, kita menunjukkan bahwa kita kepala dan kita tidak dengan begitu saja akan mengikuti pendapat istri, kalau kita yakin ini benar kita akan bela juga.
GS : Pak Paul, kalau pada kesempatan yang lalu itu ada batasan istri tunduk kepada suami asal tidak melanggar perintah Tuhan. Kalau suami mengasihi istri, batasannya seperti apa Pak?

PG : Sama Pak Gunawan, yaitu jangan sampai suami mengasihi istri melebihi kasihnya kepada Tuhan. Mengasihi itu artinya mendahulukan, mendahulukan kepentingan tapi jangan sampai kita mendahulkan kepentingan istri di atas Tuhan.

Jangan sampai istri meminta kita melakukan hal-hal yang salah, kita lakukan demi cinta kepadanya padahal itu melanggar kehendak Tuhan. Suami yang seperti itu tidak berjalan di rel yang Tuhan kehendaki.
GS : Dengan kata lain keharmonisan keluarga itu tercapai, apabila suami-istri ini tunduk kepada Tuhan.

PG : Pada akhirnya itu, dua-dua memang harus tunduk kepada Tuhan itulah dasar utamanya.

GS : Baik ketaatan maupun mengasihi. Terima kasih sekali Pak Paul untuk kesempatan perbincangan kita kali ini juga Ibu Wulan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Mengasihi Suami kepada Istri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami persilakan Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



35. Kontak Setelah Konflik


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T159A (File MP3 T159A)


Abstrak:

Salah satu situasi yang tidak nyaman dalam keluarga adalah saat setelah konflik terjadi. Kita tidak tahu harus berbuat apa dan merasa risih berdekatan kembali dengan lawan konflik kita. Apa yang harus kita lakukan?


Ringkasan:

Salah satu situasi yang tidak nyaman dalam keluarga adalah saat setelah konflik terjadi. Kita tidak tahu harus berbuat apa dan merasa risih berdekatan kembali dengan lawan konflik kita.

Apa yang harus kita lakukan?

  1. Konflik merobek jalinan relasi. Sesungguhnya konflik tidak mendekatkan atau menambahkan kemesraan, sebagaimana diyakini oleh sebagian orang. Penyelesaian konflik atau perdamaianlah yang sebenarnya mengencangkan ikatan relasi. Jadi, setelah konflik, penting bagi kita untuk berdiam diri sejenak untuk membiarkan luka kering dan pendarahan berhenti.

  2. Berdiam diri setelah konflik juga diperlukan agar kita berkesempatan merenung atau mengkilas balik apa yang telah terjadi. Ada orang yang melewati konflik tanpa memperoleh tambahan pemahaman apa pun. Ia adalah orang yang tidak berhikmat, yang bisanya hanyalah berkelahi. Orang yang bijak akan mempelajari sesuatu dari konflik yang terjadi dan ini akan bermanfaat untuk mencegah timbulnya konflik selanjutnya.

  3. Kendati kita perlu berdiam diri, jangan berdiam diri terlalu lama. Jauh hari sebelumnya, sepakatilah batas waktu yang dibutuhkan untuk merenung atau mengeringkan luka. Berdiam diri berpotensi membuat pasangan merasa didiamkan dan ini dapat memicu konflik baru.

  4. Mulailah dengan menyapa atau mengatakan hal-hal yang ringan. Langsung membicarakan hal-hal yang berat dapat memunculkan kesan tidak peka dengan apa yang telah terjadi, seolah-olah apa yang baru terjadi tidaklah berarti banyak.

  5. Ada hal-hal yang perlu ditinjau kembali setelah konflik berlangsung namun adakalanya justru tindakan terbaik adalah tidak membicarakannya lagi. Kadang memaksakan diri untuk membicarakannya malah membangkitkan kemarahan yang belum sepenuhnya padam.

  6. Bila diperlukan dan memang waktunya tepat, kita bisa melihat kembali apa yang telah terjadi dan sampaikanlah permintaan atau harapan kita secara positif, bukan dengan nada menyerang.

  7. Permintaan maaf tidak harus diukur dengan perbuatan salah; kadang kita dapat meminta maaf karena nada suara yang terlalu keras atau karena kita tidak memberinya kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya. Jadi, mulailah dengan meminta maaf; sekecil apa pun, permintaan maaf tetaplah berfaedah.

Firman Tuhan: "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." Matius 6:14-15


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kontak Setelah Konflik", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, yang namanya kehidupan suami-istri meski kadang-kadang kita sudah mencegahnya tapi masih timbul konflik, pertengkaran, salah pengertian dan sebagainya. Nah, katakan kita sudah saling memaafkan, kita sudah mencoba berbaikan kembali, tapi rasanya ada suasana atau perasaan kurang nyaman itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira ini dialami oleh hampir semua kita Pak Gunawan, setelah konflik dan kita berdamai atau sudah bisa tenang kembali rasanya ada moment-moment yang tidak nyaman. Kita risi, kita cangung, kita harus berbuat apa, berkata apa, nah ini bisa terjadi antara kita dan pasangan kita, tapi bisa juga terjadi antara orang tua dan anak atau anak terhadap orang tuanya.

Nah, hal inilah yang saya kira kita perlu soroti agar kita bukan saja bisa mendamaikan konflik tapi kita juga bisa membangun sesuatu yang lebih baik setelah konflik terjadi.
GS : Nah, kira-kira langkah-langkah apa yang bisa dilakukan terutama dari pihak kita, supaya kita bisa proaktif, Pak Paul?

PG : Yang pertama, kita perlu memahami bahwa konflik merobek jalinan relasi. Memang ada orang berkata konflik itu menambah kemesraan, sebetulnya tidak; konflik itu sendiri tidak menambah kemesran, tidak mendekatkan kita dengan satu sama lain.

Yang sebetulnya mengencangkan ikatan relasi adalah penyelesaian konflik atau perdamaiannya. Jadi setelah konflik, penting bagi kita untuk berdiam diri sejenak, untuk membiarkan luka kering dan pendarahan berhenti. Jangan setelah konflik kita langsung mau ngomong dan sebagainya, apalagi kalau ini konflik yang berat. Sebaiknya berdiam diri, masing-masing ambil waktu; jangan terlalu banyak berbicara.
GS : Sampai seberapa lama Pak Paul, masa diam itu bisa ditolerir, kalau terlalu lama 'kan tidak enak?

PG : Betul, dan terlalu lama bisa membuat pasangan kita merasa didiamkan dan ini bisa memicu pertikaian yang baru. Maka saran saya, biasanya sebelum kita berkonflik kita mempunyai kesepakatan trlebih dahulu.

"Kalau sampai konflik, berapa lamakah waktu yang kita butuhkan untuk mengeringkan luka atau mengeringkan darah yang telah mengalir dari hati kita?" Ada orang yang langsung bisa sembuh, bisa langsung menjalin relasi kembali, tapi ada orang yang memerlukan waktu yang lebih panjang. Nah sebaiknya suami maupun istri duduk bersama dan masing-masing membagikan berapa waktu yang dibutuhkannya untuk mengeringkan luka. Jadi sekali lagi intinya bukanlah mendiamkan pasangan tapi berdiam diri dengan tujuan mengeringkan luka. Bagaimana pun saya tekankan, konflik itu merobek hati kita; kita biasanya terluka setelah konflik, kita tidak merasa disayangi lebih dekat lagi. Kalau kita berhasil menyelesaikannya, pada akhirnya kita akan merasa lebih kuat dan lebih dekat. Tapi tetap untuk mencapai sasaran itu kita harus melewati jalan yang cukup berat yaitu jalan berdarah, yaitu hati yang telah terluka. Maka perlulah kita berdiam diri agar luka kita kering terlebih dahulu.
GS : Tetapi lamanya berdiam diri itu juga ditentukan oleh seberapa berat masalah yang menyebabkan konflik itu tadi Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, sudah tentu kalau konflik itu ringan misalnya tentang kesalahpengertian yang sangat sepele, saya kira tidak perlu lama-lama berdiam diri. Mungkin ¼ jam kita bisa tenang ebentar, ya kita bisa berbicara lagi seperti dahulu kala.

Tapi kalau ini memang konflik yang sangat berat, misalkan pengkhianatan atau seseorang merasa dilecehkan atau diperdaya, otomatis orang itu memerlukan waktu yang lebih panjang untuk bisa akhirnya berkomunikasi kembali.
GS : Biasanya, waktu berdiam diri itu justru digunakan untuk mencari kesalahan pasangan, Pak Paul. Kita merêka-rêka, "Ya...Ya... memang saya ini betul disakiti," jadi setelah berdiam diri lalu timbul lagi masalah baru.

PG : Betul, maka pada masa berdiam diri, yang saya sarankan adalah: "Ayo.....kita berkilas balik, kita coba lihat apa yang telah terjadi, kita renungkan kembali." Nah, ada orang yang melewati knflik tanpa memperoleh tambahan pemahaman apapun.

Dia adalah orang yang tidak berhikmat, yang bisanya hanya berkelahi. Orang yang bijak, akan mempelajari sesuatu dari konflik yang telah terjadi, dan ini akan bermanfaat untuk mencegah timbulnya konflik selanjutnya. Jadi waktu berdiam diri bukanlah waktu untuk mencari kesalahan pasangan atau anak atau orang tua kita, tapi waktu untuk mengintrospeksi diri. Benar-benar terbuka dan melihat apa yang telah kita lakukan dan kalau memang kita sadari ada kesalahan yang kita buat, ada andil kita dalam masalah ini, jangan ragu untuk meminta maaf atau mengatakan apa yang telah kita pelajari dari peristiwa yang telah terjadi itu.
GS : Tapi biasanya kita memang melihat orang lain Pak Paul, bahwa dia yang menyebabkan saya marah, dia yang menyebabkan konflik ini terjadi. Pada saat terdiam itu, keluar semua pikiran-pikiran ini.

PG : Biasanya begitu, sebab sering kali pada waktu kita berdiam diri memang kita itu makin merasakan luka yang kita sudah alami. Jadi waktu kita merasakan luka, kita ada kecenderungan melihat 'iapa yang bersalah yang menimbulkan luka itu dan apa yang bisa kita perbuat untuk membalas,' supaya tindakannya yang melukai kita itu bisa terbayarkan.

Sering kali itu yang kita lakukan, kita berdiam diri jadinya untuk mengumpulkan amunisi. Makanya tadi saya tekankan, kita perlu berdiam diri. Kenapa? Sebab bisa jadi awalnya kita akan memikir-mikir apa yang telah terjadi, kenapa dia begitu dan apa yang bisa kita lakukan untuk membalasnya dan sebagainya. Tapi saya duga setelah kita melewati fase itu, emosi kita mulai turun, kita akhirnya mulai tenang, reda, kita mulai berpikir dengan lebih jernih. Nah, harapan saya pada fase kedua inilah kita bisa berpikir dengan lebih jernih, kita mulai melihat diri kita, apa itu yang telah kita lakukan atau tidak seharusnya kita lakukan, nah itu nantinya yang bisa kita pelajari sebagai hikmah dan mudah-mudahan kita bisa bagikan kepada pasangan kita. Bahwa, "Inilah yang telah aku lakukan yang keliru, inilah yang tidak aku lakukan yang seharusnya aku lakukan, nah aku minta maaf atas kesalahanku itu," ini yang bisa langsung kita katakan pada pasangan kita.
GS : Biasanya ada orang yang mengatakan saya ini tidak enak kalau tidak ngomong, karena itulah yang menjadi masalah. Memang mau dibicarakan, begitu dibicarakan, pasangannya atau orang yang kepada siapa dia berkonflik merasa bahwa tadi diam itu dipikir sudah selesai, tapi ini malah muncul lagi. Jadi timbul problem lagi.

PG : Nah, kalau sampai masalah itu rasanya belum selesai sehingga harus timbul lagi pertikaian, mungkin sekali memang harus kita hadapi dulu. Berarti tadi itu memang belum selesai, itu tadi hanalah jeda, kalau begitu silakan kita masuk ke babak berikutnya kita coba lagi bereskan, kita coba lagi bicarakan masalah itu agar sampai pada titik temu.

Namun kalau memang sudah selesai tapi bisa memancing kemarahan dari pasangan kita, mungkin kita langsung membicarakan hal-hal yang berat. Dan hal-hal yang berat ini kita bicarakan dan pada akhirnya memunculkan kesan bahwa kita tidak peka dengan apa yang telah terjadi. Bahkan seolah-olah kita ini memberikan kesan kepada pasangan kita bahwa yang baru terjadi itu, konflik yang baru saja meledak itu tidaklah berarti banyak. Karena apa? Ya karena setelah konflik itu selesai, kita enak-enak saja membicarakan hal-hal yang berat, meminta pertimbangan atau keputusan yang berat. Pasangan kita akan berkata: "Kok engkau tidak terpengaruhi sama sekali oleh konflik tadi, aku babak belur, aku luka-luka parah, engkau enak-enak saja seperti ini." Maka saya sarankan, setelah konflik dan setelah kita berdiam diri, mulailah berbicara hal-hal yang ringan. Sapalah dia, tanyalah mau makan atau tidak, misalkan kita tanya nanti makan apa atau apa, jadi benar-benar menanyakan hal-hal yang ringan, hal-hal yang tidak membuka peluang munculnya konflik yang baru. Nah, ini saya kira suatu permulaan yang baik, setelah kita berdiam diri 'ayo kita ngomong' tapi mulailah dari hal-hal yang ringan terlebih dahulu.
GS : Nah, itu biasanya kita enggan atau ragu untuk memulainya, masing-masing itu akan bertahan menunggu pihak yang lain memulai terlebih dahulu.

PG : Sering kali setelah konflik kita itu benar-benar seperti burung elang; saling melihat, melihat, siapa yang akan mulai berbicara terlebih dahulu. Kenapa begitu? Sebab kita ini mempunyai angapan, dan ini anggapan yang memang tidak tepat.

Kalau orang itu memulai berbicara terlebih dahulu, berarti dia mengakui kesalahannya. Jadi kita mengharapkan bahwa pasangan kitalah yang akan menyapa terlebih dahulu, dengan dia menyapa seakan-akan kita dibenarkan. "Betul 'kan, dia yang salah, maka dia itu merasa perlu untuk mulai berbicara terlebih dahulu." Jadi intinya adalah kita masih membawa ketidakdewasaan atau kekanak-kanakan kita itu, dan akhirnya menambah panjang masalah yang seharusnya telah bisa selesai saat itu. Dengan kita menahan-nahan diri, tidak mau berbicara, menunggu-nunggu pasangan kita terlebih dahulu memulai, seharusnya yang sudah selesai menjadi tidak selesai. Bahkan bisa jadi karena dia pun berpikiran yang serupa dengan kita, masing-masing saling tunggu dan masing-masing tidak mau menyapa atau mengatakan hal-hal yang ringan, akhirnya dua-dua marah. Dua-dua merasa, "Engkau kok tidak mau menyapa terlebih dahulu," akhirnya malah meledak. Maka dewasalah, benar-benar kedewasaan kita itu teruji dalam konflik terutama setelah konflik. Apakah kita cukup dewasa untuk memulai terlebih dahulu ataukah kita terlalu kekanak-kanakan untuk mulai terlebih dahulu.
GS : Keadaan itu lebih sulit lagi kalau pada saat malam mau tidur Pak Paul, ini menjadi sulit. Kadang-kadang salah satu lari dulu ke kamar untuk cepat-cepat tidur (entah tidur atau tidak) hanya untuk menghindari komunikasi.

PG : Betul sekali, entah mengapa kita mempunyai suatu pikiran yang sedikit magis, bahwa kalau dia tidur dan kita tidur besok paginya akan menyapa lebih gampang. Memang ada benarnya, besok pagi ood kita telah berubah lebih ringan dan sebagainya sehingga kita lebih mudah menyapa.

Seolah-olah yang kemarin itu lembaran yang bisa kita lupakan. Tapi sebaiknya kita memulai terlebih dahulu, sebaiknya siapapun yang mulai merasakan itu mulailah. Karena apa? Karena kalau ada salah satu pihak yang tidak mau memulai terlebih dahulu, pihak itu nantinya akan dirugikan. Kenapa? Sebab kita yang melihat pasangan kita yang dari dulu kalau ada konflik tidak pernah memulai berbicara terlebih dahulu, akhirnya kita akan menyimpan kemarahan buat dia. Dan kita akan menganggap, "Kamu kok kekanak-kanakan ya, setiap kali konflik saya yang harus mulai terlebih dahulu, setiap kali saya harus mulai terlebih dahulu; kamu selalu menunggu untuk membuktikan dirimu benar, dirimu tinggi." Jadi akhirnya kita tambah marah kepada dia. Nah kalau itu yang terjadi, saya kira kita harus duduk baik-baik dan berbicara dengan pasangan kita. "Setiap kali kita konflik, saya yang terlebih dahulu harus berbicara," misalkan dia berkata: "Kapan engkau ingat bahwa engkau berbicara terlebih dahulu?" Nah, mungkin dia akan gelagapan sebab memang tidak pernah memulai untuk berbicara terlebih dahulu. Dan kita katakan kepada dia: "Selama ini saya telah memulai terlebih dahulu, namun kalau engkau terus-terusan seperti ini, tidak mau mulai terlebih dahulu engkau sedang meresikokan hubungan kita ini. Bahwa suatu hari kelak aku pun akan seperti engkau dan kalau kita dua-dua seperti engkau, berarti relasi ini akan retak untuk selamanya. Apakah itu yang engkau inginkan." Ini adalah sikap tegas, jadi saya juga ingin mengajarkan kepada kita semua untuk kadang-kadang bersikap tegas. Tidak bijaksana terus-menerus untuk bersikap lembek dan lunak; relasi dibangun di atas respek bukan saja di atas kasih tapi di atas respek. Dan respek itu baru bisa bertunas kalau kita melihat pasangan kita tegas untuk hal yang benar.
GS : Memang itu resikonya bisa menimbulkan konflik baru Pak Paul, tetapi kita akan mencoba untuk mengevaluasi kenapa timbul konflik itu. Nah, bagaimana caranya berbicara supaya tidak menimbulkan konflik baru?

PG : Saya ingin menggarisbawahi tentang mengevaluasi ini Pak Gunawan. Memang betul kita perlu mengevaluasi, tapi saya sudah singgung introspeksilah, lihatlah diri sendiri; apa bagian kita dan aa yang perlu kita sampaikan.

Mungkin ini suatu permintaan maaf atau apa, namun saya ingin juga menegaskan bahwa adakalanya justru tindakan terbaik adalah tidak membicarakannya. Kadang memaksakan diri untuk membicarakannya malah membangkitkan kemarahan yang belum sepenuhnya padam, jadi adakalanya biarkan dulu lewat. Memang sebaiknya kita bisa menyelesaikan dengan lebih segera, tapi adakalanya segera itu bukan berarti lebih baik, malahan bisa lebih memperlebar masalah, lebih merusakkan masalah. Jadi adakalanya biarkan saja, lain kali mungkin lain hari waktu suasananya tepat barulah kita munculkan. Kalau kita munculkan dalam kurun yang tidak terlalu terpaut jauh dari pertengkaran itu, kekhawatiran saya adalah kita hanyalah menambahkan minyak pada api yang belum tuntas padam.
GS : Pak Paul, sebenarnya mana yang lebih cepat selesai, konflik antara suami-istri dan konflik antara orang tua dengan anak yang tentunya sudah menjelang dewasa?

PG : Menurut saya umumnya konflik lebih bisa cepat diselesaikan antara anak dan orang tua. Karena apa? Dari pihak anak sendiri umumnya kalau anak-anak yang relatif sehat, baik-baik saja yang meang bukan bermasalah; umumnya mereka masih menghormati kita sehingga mereka itu tahu saya salah kalau mendiamkan Papa atau Mama sampai selama ini.

Atau kalau kita di pihak orang tua, kita masih tetap bisa berkata kepada diri kita: "Ya, ini anak, memang dia belum dewasa dan tugas sayalah sebagai orang tua untuk mendidiknya. Ya sudahlah saya mengalah, ya sudahlah saya memulai terlebih dahulu." Tapi kita kurang bisa menerapkan prinsip yang sama terhadap pasangan kita. Kita akan berkata saya dan engkau sama, kita sama-sama orang dewasa, jadi kita lebih sulit untuk mengalah karena anggapannya adalah kita setara.
GS : Memang kadang-kadang yang agak sulit itu hubungan orang tua dan anak yang kalau tidak serumah itu akan lebih sulit lagi untuk menyelesaikan konflik ini.

PG : Ya betul sekali, kalau sudah tidak serumah masalah bisa berbeda. Karena apa? Karena si anak sudah di luar dan dia lebih bisa mengelak, menghindar dari orang tuanya dan mendiamkan orang tuaya.

Maka perlu sekali, kalau kita berhasil berbicara kembali dengan anak kita atau pasangan kita, kita perlu juga di hari atau waktu yang cocok mengutarakan harapan atau permintaan kita. Misalkan, salah satunya tadi yang Pak Gunawan munculkan yaitu kita berkata bahwa: "Saya sangat khawatir dan ingin sekali mendengar suaramu dan saya mencoba meneleponmu setelah konflik yang terjadi pada hari apa itu, namun engkau tidak pernah ada di rumah atau tidak mau menjawab telepon dan itu sangat mengganggu saya. Nah, saya meminta lain kali kalau pun engkau belum siap berbicara, tolong angkat telepon dan beritahu saya; saya belum siap ngomong Pak, saya belum siap ngomong Ma; Ok! Tidak apa-apa, saya akan biarkan engkau untuk tenang, untuk teduh, untuk bisa mengeringkan luka yang ada di hatimu. Sebab mungkin saja saya telah melukai kamu." Jadi pada waktu suasananya memang pas, jangan ragu dan sebaiknyalah kita melontarkan atau menyampaikan harapan kita. Apa yang telah terjadi, di mana kita salah kita perlu minta maaf, kita minta maaf. Tapi kalau ada hal-hal yang memang kita perlu meminta kita inginkan dia perbuat, di situlah kita menyampaikannya kepada dia.
GS : Memang konflik ini lebih cepat mencair kalau ada pihak yang mau meminta maaf, tetapi masalahnya kita masing-masing gengsi untuk memulai meminta maaf. Kita merasa saya tidak salah maka saya menunggu dia untuk meminta maaf dulu.

PG : Mungkin sekali memang kita tidak salah, dalam pengertian masalah itu bukan disebabkan oleh tindakan kita, bisa jadi ditimbulkan oleh pasangan kita atau anak kita. Tapi saya kira hampir pad setiap konflik, kita mungkin sekali telah mengatakan kata-kata yang terlalu keras, suara kita terlalu keras atau sikap kita yang tadi terlalu acuh tak acuh kepadanya dan sebagainya.

Nah untuk hal di luar masalah itu, saya kira kita masih bisa meminta maaf; kita masih bisa berkata: "Maaf ya tadi aku memang melihatmu dengan mata yang membelalak, dengan kata-kata yang keras, saya minta maaf." Jadi ada hal-hal yang bisa kita petik dari perbuatan kita waktu konflik yang bisa kita katakan saya minta maaf, saya keliru. Nah, apa gunanya? Gunanya adalah sewaktu seseorang bisa meminta maaf untuk hal-hal yang kecil seperti itu, itu akan mendorong pasangannya atau si anak, si orang tua untuk melakukan hal yang sama. Sebab kita cenderung lebih berani meminta maaf kalau kita melihat bahwa pasangan kita pun telah mundur selangkah dan meminta maaf. Jadi lihatlah hal-hal kecil seperti itu yang bisa kita ingat dan kita tahu tidak seharusnyalah kita melakukannya, itulah yang kita katakan saya minta maaf.
GS : Ada pasangan atau hubungan orang tua-anak itu yang di dalam konfliknya dia tidak mau meminta maaf. Tapi dia menunjukkannya dalam perbuatan misalnya mau mengantarkan kembali, mau mendampingi pada saat belajar atau apa, tapi tidak ada permintaan maaf. Tetapi ada orang lain yang memang menuntut, bahkan sampai katakan lawannya harus meminta maaf. Nah, dia merasa saya ini sudah meminta maaf dengan tindakan saya.

PG : Sebetulnya memang ada dua tahapan dalam menyampaikan permintaan maaf atau menunjukkan penyesalan itu. Pertama, melalui perbuatan dan kedua melalui pengakuan. Dan menurut saya dua-duanya pelu, pengakuan juga perlu demikian pula perbuatan.

Nah, kalau dua-dua diperlukan dan kita pun sebetulnya ingin melihat dua-duanya dari orang lain, mengapa kita tidak memberikan dua-duanya kepada orang lain.
GS : Sebenarnya memberi maaf atau meminta maaf ini sangat dianjurkan oleh firman Tuhan. Apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul mau sampaikan?

PG : Saya bacakan dari Matius 6:14-15, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, apamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."

Kenapa Tuhan begitu tegas tentang hal pengampunan ini? Sebab Tuhan itu sudah mengadopsi kita sebagai anak-anak-Nya, jadi Tuhan menginginkan kita mewarisi sifat-sifat-Nya. Dan salah satu sifat Tuhan yang hakiki, yang sangat-sangat lekat dengan siapa diri-Nya adalah sifat mengampuni. Jadi kalau kita mengklaim kita anak Tuhan, namun susah sekali mengampuni, saya kira kita itu sudah keluar jalur, kita tidak mewarisi sifat Allah. Sifat Allah yang pengampun itu haruslah juga kita cerminkan, kita bagikan, ampuni. Dan sebagai manusia kalau Tuhan tidak pernah bersalah, Tuhan tidak perlu meminta maaf. Kalau kita sebagai manusia, kita perlu minta maaf. Dan ini adalah sifat yang kedua yaitu sifat rendah hati, dan ini juga dikatakan oleh Tuhan Yesus. Turutilah contoh-Ku atau teladan-Ku, karena Aku ini lemah lembut dan rendah hati. Tuhan rendah hati, kita juga perlu rendah hati karena kita mewarisi sifat Tuhan yang rendah hati itu. Minta maaf kalau memang kita salah. Jadi mengampuni dan rendah hati, itu dua syaratnya.
GS : Ada orang itu yang sampai bertahun-tahun tidak bisa mengampuni, bahkan saudara kandungnya sendiri atau orang tuanya. Karena lukanya yang terlalu dalam.

PG : Orang yang tidak mau mengampuni, orang yang hidup dalam belenggu dan dia tidak mencicipi kemerdekaan lagi.

GS Hanya pada saat-saat dia mengingat itu, kalau tidak dan dia lupa sudah tidak apa-apa. Tapi begitu diingatkan tentang hal itu, rasa dendamnya atau marahnya itu timbul lagi.

PG : Kalau hanya sebatas marah, saya kira itu wajar. Karena mungkin sekali peristiwa itu begitu menyakitkan, sehingga tatkala teringat kembali maka seolah-olah hati itu berdarah kembali. Maka mrah adalah manifestasinya atau wujud nyatanya, saya kira sampai batas itu, itu masih batas yang wajar.

Kita itu manusia dan kalau sakit, kita teringat kita bisa marah. Tapi jangan kita menyuburkan dendam, apalagi merancang-rancang cara untuk membalasnya, itu yang Tuhan tidak kehendaki.

GS : Ya, itu mungkin bagian yang sulit Pak Paul, tetapi kita percaya dengan pertolongan Roh Kudus kita akan bisa mengampuni orang lain karena kita sudah memperoleh pengampunan dari Tuhan sendiri. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kontak Setelah Konflik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



36. Memenangkan Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T159B (File MP3 T159B)


Abstrak:

Pernikahan adalah sebuah kondisi yang begitu kompleks dan dapat sangat menyulitkan. Jika kita berhasil memenangkannya, tidak bisa tidak, kita akan menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Sebaliknya, bila tidak, maka kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih buruk daripada sebelumnya.


Ringkasan:

Pernikahan adalah sebuah kondisi yang begitu kompleks dan dapat sangat menyulitkan. Ibarat pertempuran, pernikahan menyuguhkan begitu banyak tantangan. Jika kita berhasil memenangkannya, tidak bisa tidak, kita akan menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Sebaliknya, bila tidak, maka kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih buruk daripada sebelumnya.

Di bawah ini dipaparkan langkah-langkah untuk memenangkan pernikahan.

  1. Di dalam setiap perbedaan pendapat, terbukalah terhadap kemungkinan bahwa kitalah yang keliru.

  2. Kenalilah pasangan kita dan keterbatasannya; hiduplah di dalam-bukan di luar-keterbatasannya. Jangan kita hidup di atas "andaikan," hiduplah di atas "bukan"-dia "bukan" seperti yang kita bayangkan sebelumnya.

  3. Bila kita dapat menolongnya, lakukanlah dan jangan permasalahkan mengapa ia tidak bisa melakukannya.

  4. Bersiaplah untuk tidak menjadi diri kita seperti sediakala. Mungkin kita harus lebih berani bersikap tegas, karena itulah yang diperlukan. Mungkin kita mesti lebih langsung dalam menyampaikan kemarahan kita. Mungkin kita mesti lebih sering menyentuh dan disentuh, kendati kita tidak merasa nyaman.

  5. Percaya atau tidak, tetapi canda dan gurau adalah obat mujarab penambah energi pernikahan.

  6. Tidak ada cara lain untuk memperlihatkan betapa pentingnya dia bagi kita selain daripada memperlakukannya sebagai VIP.

  7. Lindungilah pernikahan dari diri kita sendiri dan dari orang lain. Kita dapat menghancurkan pernikahan melalui kata-kata kasar yang kita lontarkan atau perbuatan dosa yang kita lakukan. Orang lain-termasuk pekerjaan kita-dapat pula menghancurkan pernikahan melalui campur tangannya yang malah merusakkan atau menjauhkan kita dari pasangan.

  8. Kesusahan untuk sehari cukuplah untuk sehari. Sering kali kita dikalahkan oleh kekhawatiran akan hari esok; kita menumpukkan kekhawatiran 10 tahun mendatang di atas 10 menit hari ini. Pasangan yang menang adalah pasangan yang mampu memilah-milah kekhawatiran (mana yang perlu dan tidak perlu dikhawatirkan), menjaga batas antara hari esok dan hari ini, dan menyerahkan hari esok kepada Tuhan.

Firman Tuhan: "Siapa yang mengacaukan rumah tangganya akan menangkap angin..." Amsal 11:29.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Memenangkan Pernikahan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada orang sebelum menikah dan setelah menikah itu kelihatan ada suatu perubahan yang agak menyolok. Tapi anehnya ada orang yang berubah menjadi lebih baik; di dalam berprestasi, berkarier, hidupnya lebih tertata. Tapi ada juga orang yang setelah menikah hidupnya malah tidak karu-karuan. Nah, mengapa bisa terjadi seperti ini Pak Paul?

PG : Memang Pak Gunawan, akhirnya saya yakini bahwa pernikahan itu sesuatu yang kompleks dan penuh tantangan. Kalau kita berhasil melewatinya, itu berarti kita berhasil melewati sesuatu yang kopleks dan penuh tantangan.

Nah, kalau kita berhasil melaluinya dengan sungguh-sungguh baik, tidak bisa tidak kita itu seperti emas yang dimurnikan dan kita menjadi manusia versi yang lebih baik daripada sebelum kita menikah. Sebaliknya kalau kita itu gagal melewati pernikahan dengan baik, mungkin saja kita tetap bisa menikah tapi kita otoriter, memaksa, kehendak kita yang harus terjadi, peduli amat dengan pasangan kita dan sebagainya. Bisa jadi kita lewati sampai 50 tahun menikah dan akhirnya kita mati, tapi kita itu menjadi manusia yang lebih buruk daripada sebelum kita menikah. Karena apa? Karena kita melewati sesuatu yang merupakan pengujian yang penuh tantangan dan memang kompleks sekali, namun kita tidak berhasil melewati dengan baik. Akhirnya yang kita timbun, yang kita bawa adalah kebencian, kepahitan, tipu muslihat, sifat atau karakter yang buruk-buruk itu makin keluar, dan hasil akhirnya adalah kita menjadi manusia dengan versi yang lebih buruk.
GS : Yang Pak Paul katakan dengan melewati perkawinan ini seperti apa Pak Paul, karena kalau kita sudah melewati pernikahan berarti saat kita meninggal nanti atau ada tenggang waktu tertentu?

PG : Saya kira setelah bertahun-tahun kita menikah, misalnya setelah 5 tahun ke atas, seharusnya kita bisa mengevaluasi, kilas balik dan lihat. Apakah saya menjadi manusia yang lebih baik setelh menikah ataukah saya menjadi orang yang lebih buruk.

Nah, biasanya kalau kita berkata saya menjadi orang yang lebih buruk, itu dapat kita katakan pernikahan kita memang buruk, kita tidak mencicipi pernikahan yang baik, tidak adanya saling mengasihi dan sebagainya. Pak Gunawan, saya bertemu dengan orang-orang yang melewati pernikahan dengan baik dan saya beruntung bisa bertemu dengan orang-orang seperti ini. Dan saya sungguh-sungguh melihat mereka menjadi orang-orang yang matang, orang yang bijak, sangat berhikmat. Dan hidup mereka itu benar-benar hidup yang bersinar, berkilauan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Dan orang pun senang berada dengan orang-orang seperti ini. Tapi saya juga melihat orang-orang yang telah menikah mungkin di atas 10 tahun, 20 tahunan, tapi makin tua itu makin pedas, makin pahit, makin tajam mulutnya, makin angkuh, makin manipulatif, makin tidak puas dan sebagainya dan sebagainya. Akhirnya saya menyimpulkan, ya tidak bisa tidak pernikahannya itu kemungkinan besar bukanlah pernikahan yang baik. Mereka tidak berhasil membangun pernikahan yang sungguh-sungguh baik, maka akhirnya mereka menjalani hidup pada masa pernikahan dengan menjadi manusia versi yang lebih buruk.
GS : Pak Paul, di dalam menjalani hidup pernikahan ini, tentunya kita berharap kita menjadi lebih baik, karena itu harapan/maksud Tuhan juga dengan pernikahan ini, tapi langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan supaya kita melewati pernikahan ini dan kita menjadi orang yang lebih baik?

PG : Ada delapan yang ingin saya bagikan pada saat ini. Yang pertama adalah, di dalam setiap perbedaan pendapat terbukalah terhadap kemungkinan bahwa kitalah yang keliru. Ini adalah salah satu iat untuk bisa melewati pernikahan dengan lebih baik.

Waktu terjadi perbedaan pendapat, lihatlah diri, introspeksilah, terbukalah terhadap kemungkinan bahwa kitalah yang keliru; jangan sampai kita menutup kemungkinan itu. Nah orang yang menutup kemungkinan itu, saya tidak keliru, tidak pernah dan tidak akan keliru, dia sebetulnya sedang berjalan menuju kehancuran dalam pernikahannya.
GS : Ada orang yang berpikir memang saya bisa keliru dan pasangan kita juga bisa keliru. Dan kali ini, selalu dikatakan kali ini pasangan saya yang keliru.

PG : Betul, sudah tentu kita bisa dan seharusnya melihat juga apa yang tidak tepat yang dilakukan oleh pasangan kita. Namun sekali lagi dalam perbedaan pendapat, nomor satu yang mesti kita tata adalah diri sendiri, jangan terlalu tergesa-gesa menatap diri orang lain.

Apa itu yang diri kita kurang lakukan, itulah yang kita munculkan dan kita akui di hadapan pasangan kita. Harapan saya adalah tatkala kita memulainya, pasangan kita akan tertular. Dia pun lama-lama akan mengikuti jejak kita yaitu melihat dirinya dan mengakui bagiannya. Nah, bukankah ini nantinya akan mempermudah kita menyelesaikan perbedaan pendapat.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah kenalilah pasangan kita dan keterbatasannya; hiduplah di dalam bukan di luar keterbatasannya. Maksud saya adalah jangan kita hidup di atas 'andaikan', hiduplah di ats 'bukan', maksudnya dia bukan seperti yang kita bayangkan sebelumnya.

Jangan kita berandai-andai kalau saja dia tidak seperti ini, kalau saja dia lebih sabar, kalau saja dia lebih mengerti saya, kalau saja dia itu lebih mempunyai pemikiran yang lebih luas dan sebagainya. Kenyataannya apakah pasangan kita seperti itu? Tidak. Memang dia orangnya tidak semurah hati yang aku pikirkan, nah kita terima fakta itu bahwa dia tidak semurah hati yang kita pikirkan sebelumnya. Sama uang dia sangat-sangat ketat sekali, kalau sudah dalam genggamannya susah sekali dilepaskan dan dia berikan pada orang lain. Berarti apa, hiduplah dalam keterbatasannya itu bukan di luarnya. Kita terus-menerus ribut dengan dia mempersoalkan tentang betapa ketatnya dia memegang uang. Maksud saya hidup di atas, bahwa dia bukan seperti yang kita bayangkan dan dia punya keterbatasan soal uang ini. Berarti kita melihatnya dan kita mau membereskannya, mau mencoba menolongnya. Lain kali misalkan kita lagi ada keperluan, kita katakan kepada dia, "Saya ada keperluan ini nih, tapi mungkin kamu pikirkan dulu berapa yang akan kamu berikan, mungkin besok saya bisa tanya lagi kepadamu berapa. Tapi yang diperlukan adalah ini, ini, ini dan orang itu memang butuh sekali atau bagaimana." Dengan kata lain kita fokuskan ke situ, terus kita fokuskan. Kalau kita terus berandai-andai, dia mudah-mudahanlah tidak pelit dan dia lebih bisa memberikan uang, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalahnya.
GS : Berarti dalam hal ini kita mau membuat dia menyadari akan kesalahannya, Pak Paul?

PG : Pada akhirnya ya, namun saya kira penekanan yang berbeda akan juga membuahkan hasil yang berbeda. Kalau kita mengandaikannya bahwa dia itu tidak seperti adanya sekarang, saya kira semakin auh dari hasilnya.

Saya berikan contoh, waktu dulu dalam awal pelayanan saya, saya beranggapan bahwa seyogyanyalah istri saya itu bisa membebaskan saya untuk berbuat sekehendak saya dalam hal pelayanan. Saya mau pergi, saya repot dan sebagainya, seyogyanyalah istri saya mengerti saya. Saya luput melihat bahwa pada saat itu dia masih bersama tiga anak yang masih kecil-kecil. Memang ada contoh-contoh lain, hamba Tuhan lain yang istrinya kok bisa membiarkan suaminya pergi dan tidak apa-apa untuk waktu yang sangat lama. Dan saya pernah katakan itu kepada istri saya dan dia berkata: "Paul, saya bukan mereka," mungkin saja mereka bisa tapi mungkin juga kondisi kehidupan mereka tidak sama dengan kondisi kehidupan kami saat itu, mungkin saja ada orang lain atau mamanya yang bisa mendampingi sehingga mereka bisa menjaga anak-anak tanpa kehadiran suami mereka. Istri saya memang dalam kondisi yang unik saat itu, dia sendirian di sini, tidak ada saudara dan kerabat di sini dan sebagainya. Jadi memang berat buat dia membesarkan ketiga anak tanpa saya di sampingnya terus-menerus. Maka akhirnya saya harus belajar menerima inilah kondisi istri saya, dan saya tidak bisa berandai istri saya seperti istri orang lain. Saya harus terima, jadi saya harus menyesuaikan hidup saya. Ternyata apa yang terjadi waktu saya menyesuaikan diri? Istri saya akhirnya makin bisa mempercayai saya, dan akhirnya saya makin diberikan kesempatan untuk bisa pergi dan sebagainya.
GS : Bukan cuma terhadap partner Pak Paul, terhadap diri kita sendiri sering kali kita mau mempertahankan identitas kita sebelum kita menikah dulu.

PG : Ini saya kira alamiah, kita itu ingin sebisanya melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Kalau kita tidak pernah melakukan sesuatu kita juga tidak mau melakukannya setelah menikah. Tapi etelah menikah kita tidak bisa lagi bersikap seperti itu, kita harus terima bahwa kita itu tidak akan seperti sedia kala.

Mungkin kita harus lebih berani bersikap tegas, karena itulah yang diperlukan; dulu kita orang yang lembek sekali. Atau mungkin kita bisa lebih langsung menyampaikan kemarahan kita, dulu kita simpan berminggu-minggu baru bicara. Mungkin kita mesti lebih sering menyentuh pasangan kita dan disentuh olehnya kendati kita tidak merasa nyaman. Sekali lagi, kalau mau pernikahan kita ini berjalan dengan baik, bersiaplah untuk tidak menjadi diri kita seperti sedia kala dan itu tidak apa-apa.
GS : Tetapi sulit Pak Paul untuk merubah itu, jadi membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dan sebagainya. Tetapi kita pun mempunyai harapan supaya pasangan kita juga melakukan hal yang sama.

PG : Sudah tentu, kita memang mau melakukannya tapi kita juga berharap pasangan kita melakukannya pula. Jadi dengan kata lain saling mendorong, agar masing-masing bisa berubah, itu betul sekali.

GS : Pak Paul, dalam pernikahan untuk memberi warna pada komunikasi kita, sering kali kita melakukan senda gurau, tapi ini bisa disalahartikan oleh pasangan kita.

PG : Saya kira kita harus melihat konteksnya, kapan kita bersenda gurau dan sebagainya. Tapi pada prinsipnya, ini adalah salah satu kiatnya untuk bisa menjalani pernikahan yang baik. Yaitu percya atau tidak tetapi canda dan gurau adalah obat mujarab penambah energi pernikahan.

Pernikahan yang diisi dengan senda gurau akan lebih berpeluang menjadi pernikahan yang sehat, dibanding dengan pernikahan yang begitu jarang bersenda gurau. Kadang-kadang ini yang kita jumpai, kita berjumpa dengan pasangan nikah yang benar-benar mukanya itu kecut, masam sekali, tidak ada senyum, canda gurau dan sebagainya. Ya......bagaimana nanti bisa menyelesaikan masalah, kalau ada masalah pasti lebih berat di hati. Karena memang pembawaannya serius, tegang. Sering-seringlah bersenda gurau, sering-seringlah kita guyon; jangan hanya kita berguyon dengan orang di luar rumah, tapi sering-seringlah bercanda dengan pasangan kita, itu obat mujarab.
GS : Tapi pengalaman ini perlu dipelajari, seni untuk bersenda gurau untuk bisa membangun hubungan suami-istri. Karena kalau tidak bisa disalah mengerti dan menimbulkan problem dalam keluarga itu sendiri.

PG : Betul, memang adakalanya pasangan kita itu tidak memahami senda gurau kita, dan kita perlu jelaskan. "Waktu saya begini, saya tidak mengatakan ini, saya tidak sedang merendahkan engkau, saa hanya bercanda saja."

Tapi kalau dia berkata: "Saya tidak suka dengan cara bercandamu yang itu." OK, mungkin yang itu nanti akan kita ubah supaya dia lebih bisa menerimanya. Tapi sekali lagi orang yang tidak bisa bersenda gurau, memang susah untuk hidup dengan orang lain, itu harus saya akui. Dan ada orang-orang yang memang tidak bisa bersenda gurau, memang akan menyulitkan orang yang ada di sampingnya.
GS : Ada pasangan itu yang mungkin kurang terlatih untuk bersenda gurau. Yang dibicarakan adalah guyonan-guyonan yang sebenarnya tidak layak atau tidak pantas, misalnya guyonan-guyonan yang porno sehingga pasangannya merasa tidak nyaman.

PG : Betul, jadi selalu prinsipnya adalah silakan bersenda gurau namun jangan berdosa. Jangan kita itu menggunakan contoh-contoh porno dan sebagainya, nah itu mungkin saja membuat pasangan kitatertawa, tapi membuat Tuhan berduka karena kita telah berdosa kepada-Nya.

GS : Apakah kiat-kiat yang lainnya yang Pak Paul bisa sampaikan?

PG : Kiat yang lainnya adalah bila kita dapat menolongnya, lakukanlah dan jangan permasalahkan mengapa ia tidak bisa melakukannya. Ada hal-hal yang sepele-sepele, kecil-kecil tentang rumah tanga dan sebagainya.

Dan pasangan kita itu tidak bisa melakukannya dengan baik, silakan kita tolong dia dan jangan permasalahkan. Saya berikan contoh yang sangat ringan sekali yang terjadi pada keluarga kami sendiri. Misalkan, saya memang yang sering membawa handuk yang telah kami pakai dari kamar mandi kami keluar untuk dijemur. Nah, itu memang saya sudah lakukan dan pernah terlintas bahwa istri saya jarang melakukannya. Ya...tidak apa-apa (saya memang yang sering kali mengeluarkannya), tapi di pihak lain saya itu juga orang yang sulit untuk (misalkan dalam hal kamar mandi) mengambil tisu atau apa, membersihkan lantainya dan sebagainya. Nah, istri saya kadang-kadang berkata kepada saya: "Paul, tolong dong habis mandi mungkin agak sedikit kotor atau apa, kamu yang sekali-sekali bersihkan." Saya bilang: "Ya". Kadang-kadang saya ingat, tapi sering kali saya tidak mengingat. Tapi jujur bukannya hanya tidak mengingat tapi memang saya agak enggan untuk melakukannya. Jadi istri saya mengatakan itu sudah dua kali, akhirnya dia tidak mengatakan lagi dan langsung melakukannya buat saya. Jadi sekali-sekali untuk hal-hal kecil seperti itu kalau kita bisa melakukannya lakukanlah dan jangan permasalahkan.
GS : Memang melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak sukai, itu agak berat.

PG : Betul, dan memang kita berharap pasangan kita bisa melakukannya. Dan memang kalau itu tidak terlalu berat atau apa, silakan saling melakukan asal dua-duanya itu juga saling melakukan sesuau yang saling membantu.

GS : Dan sering kali yang dibantu itu juga merasa bahwa kita ini tidak mengerjakannya dengan sepenuh hati, sehingga dia berkata ya sudah saya saja yang mengerjakan, kamu mengerjakan yang lain. Toh nanti jadinya tidak seperti yang dia inginkan.

PG : Betul, dan sekali lagi, sampai batas tertentu hal-hal seperti itu seharusnyalah dilakukan tanpa keluhan, silakan lakukan.

GS : Mungkin ada yang lain Pak Paul?

PG : Berikutnya lagi adalah tidak ada cara lain untuk memperlihatkan betapa pentingnya dia bagi kita, selain daripada memperlakukannya sebagai VIP (Very Important Person). Artinya kalau kita inin mengkomunikasikan kepada pasangan kita bahwa dia penting, tidak ada jalan lain, perlakukanlah dia sebagai orang penting.

Artinya apa, pertimbangkan pendapatnya, pikirkan keinginannya, katakanlah hal-hal yang ingin kita katakan kepada dia dengan penuh respek. Jadi kalau kita mau mengatakan: "engkau penting bagiku." Ya perlakukanlah dia sebagai orang yang penting. Jangan sampai kita itu hanya mulut saja berkata dia penting tapi kita tidak memperlakukannya dia penting, pasangan kita tidak akan pernah merasa bahwa dia penting.
GS : Nah, itu tidak berarti kita memanjakan pasangan kita Pak Paul?

PG : Saya kira bukan, karena dua-dua melakukannya baik kita maupun pasangan kita saling memperlakukan satu sama lain dengan penting atau dengan hormat.

GS : Yang lain Pak Paul?

PG : Yang lain adalah lindungilah pernikahan dari diri kita sendiri dan dari orang lain. Kita dapat menghancurkan pernikahan melalui kata-kata kasar yang kita lontarkan atau perbuatan dosa yangkita lakukan, misalnya berzinah dan sebagainya.

Jangan hancurkan pernikahan dengan perbuatan kita sendiri. Tapi orang lain termasuk pekerjaan kita, dapat pula menghancurkan pernikahan melalui campur tangannya yang malah merusakkan atau menjauhkan kita dari pasangan. Jadi bila pekerjaan kita menjauhkan kita dari pasangan, teman kita menjauhkan kita dari pasangan, nah berhati-hatilah jangan biarkan pihak luar menjauhkan kita dari pasangan kita atau malah merusakkan relasi pernikahan kita.
GS : Itu juga dalam segi misalnya orang yang mengatakan pelayanan Pak Paul, tetapi bisa juga menjauhkan dengan pasangan?

PG : Betul sekali, mesti ada keseimbangan. Sudah tentu memang kita mesti melayani, tapi melayani ini tidak harus secara formal, kita tetap bisa melayani secara tidak formal dalam kehidupan kitasehari-hari.

GS : Dan saya melihat ada banyak bentuk pelayanan yang bisa dilakukan bersama-sama. Yang lainnya Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah ini yang terakhir, kesusahan untuk sehari cukuplah untuk sehari. Sering kali kita dikalahkan oleh kekhawatiran akan hari esok, kita menumpukkan kekhawatiran sepuluh tahn mendatang di atas 10 menit hari ini.

Pasangan yang menang dalam pernikahan adalah pasangan yang mampu memilah-milah kekhawatiran. Artinya kita mampu membedakan mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dikhawatirkan. Yang berikutnya, pasangan yang menang adalah pasangan yang dapat menjaga batas antara hari esok dan hari ini. Ya sudah, hari esok itu Tuhan akan jaga dan Tuhan akan pelihara, nah kita serahkan kepada Tuhan. Kadang-kadang pasangan ribut, meributkan apa? Hal yang belum terjadi, karena sudah mengkhawatirkannya sekarang. Jangan, pasangan yang bisa bersama-sama bisa melewati pernikahan dengan baik dan penuh kemenangan adalah pasangan yang bisa memilah hari esok dan hari ini, dan menyerahkan hari esoknya kepada Tuhan.
GS : Padahal sebagian besar yang kita khawatirkan itu tidak mewujud dalam kenyataan, Pak Paul?

PG : Betul sekali, belum tentu seperti yang kita bayangkan, kenapa kok kita harus meributkan sesuatu yang belum tentu akan terjadi.

GS : Alasan yang sering kali dikemukakan adalah untuk berjaga-jaga, untuk mempersiapkan diri, Pak Paul.

PG : Betul, sudah tentu kita memang perlu bersiap-siap, tapi selalu berilah ruang untuk Tuhan bekerja. Kadang-kadang kita mempersiapkan diri seolah-olah tidak ada Tuhan dalam hidup ini. Jangan upa masih ada Tuhan dan Tuhan itu masih bekerja, jadi berilah ruang gerak kepada Tuhan untuk melakukan karyanya dalam hidup kita.

GS : Memang ada orang itu yang dulu sebelum menikah, kelihatannya dia berserah sekali kepada Tuhan; lalu setelah menikah malah kekhawatirannya luar biasa dan itu dia ungkapkan. Dia katakan dulu kalau saya sendirian yang menanggung saya sendiri, sekarang ini saya sudah menikah, saya harus pikirkan istri, anak, dan sebagainya.

PG : Saya menghargai sikap itu, sikap yang bertanggung jawab, memang itu diperlukan di dalam pernikahan. Namun bertanggung jawab itu ada batasnya, batasnya adalah jangan sampai sikap bertanggun jawab itu mengeluarkan Tuhan dari hidup ini.

Dan yang kedua jangan sampai sikap bertanggung jawab itu malah mengganggu pernikahan kita. Kita terlalu mengkhawatirkan, nanti ini begini bagaimana, akhirnya dia ribut dengan pasangan kita. Nah kenapa harus meributkan sesuatu yang belum terjadi. Jadi saran saya, jangan sampai kekhawatiran untuk 10 tahun mendatang diributkan 10 menit sekarang ini.
GS : Nah, Pak Paul sebelum kita merampungkan perbincangan kita, mungkin Pak Paul bisa memberikan contoh atau ciri-ciri orang yang menang di dalam pernikahan?

PG : Ciri-ciri orang yang menang dalam pernikahan adalah, orang itu pertama-tama orang yang puas, damai dengan dirinya, dengan Tuhan, dengan hidup. Dia tenang, dia puas, dia tidak lagi mencari-ari di luar, sebab di dalam sudah terpenuhi dengan cukup.

Dia benar-benar menjadi orang yang bukannya mencari untuk mendapatkan tapi dia menjadi orang yang memberikan, yang memang membagikan berkat. Sebab dia terpenuhi dengan sangat berlimpah, sehingga dia selalu bisa membagikannya kepada orang lain. Nah kita bisa melihat kebalikannya pada pasangan yang memang tidak memiliki pernikahan yang kuat, senantiasa mencari-cari untuk memenuhi kebutuhannya, mencari-cari perhatian, mencari-cari dukungan, mencari-cari kesempatan untuk bisa berharga dan sebagainya. Kenapa? Kemungkinan di dalam memang tidak terpenuhi dengan baik; jadi cirinya orang yang pernikahannya baik dan sehat saya kira dapat saya intisarikan satu saja yaitu orang yang tidak lagi mencari tapi dia menjadi orang yang memberi.
GS : Ya, dan firman Tuhan yang mau Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan Amsal 11:29, "Siapa yang mengacaukan rumah tangganya akan menangkap angin." Artinya siapa yang memang tidak memelihara rumah tangganya, menyia-nyiakannya akan menngkap angin.

Artinya apa? Tidak akan mencapai sasaran, hidupnya itu akan selalu mencari-cari; hidupnya itu selalu di dalam kebingungan, ketidakpuasan, kegagalan dan kefrustrasian. Jadi kalau kita mau hidup tidak frustrasi, jangan kacaukan rumah tangga sendiri. Kita orang yang paling bodoh kalau kita mengacaukan rumah tangga sendiri.

GS : Terima kasih Pak Paul, ini sangat memotivasi dan menginspirasikan kita semua untuk menjadi pemenang-pemenang di dalam hidup pernikahannya. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memenangkan Pernikahan." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



37. Cemburu 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T169A (File MP3 T169A)


Abstrak:

Cemburu adalah campuran perasaan marah dan takut yang bersumber dari adanya ancaman akan kehilangan orang yang dikasihi. Kedua perasaan ini, marah dan takut, merupakan perasaan yang kuat. Tidak heran cemburu membuahkan reaksi yang keras pula.


Ringkasan:

Cemburu adalah campuran perasaan marah dan takut yang bersumber dari adanya ancaman akan kehilangan orang yang dikasihi. Kedua perasaan ini-marah dan takut----merupakan perasaan yang kuat. Tidak heran cemburu membuahkan reaksi yang keras pula. Tidak jarang cemburu berakhir dengan pertengkaran hebat yang merusakkan sendi pernikahan.

Penyebab Cemburu

  1. Masalah kepribadian yang posesif:

    • Harus mengontrol pasangan karena merasa tidak aman.
    • Dihantui oleh kecemasan bahwa pasangannya akan mengkhianatinya.
    • Penuh kecurigaan.
    • Mungkin mempunyai latar belakang pengkhianatan.

    Penanganan:

    • Harus menetapkan batas-sampai seberapa jauh ia dapat mengontrol pasangan.
    • Setiap tuduhan harus dibuktikan secara konkret.
    • Melimpahkan kasih.
    • Hidup transparan-menutupi satu perbuatan dapat berakibat fatal.

  2. Masalah kepribadian narsisistik:

    • Mengangggap diri sebagai pusat perhatian pasangan.
    • Menuntut pasangan selalu memberi perhatian tak terbagi kepadanya.
    • Penuh kecurigaan.
    • Mungkin mempunyai latar belakang haus akan kasih atau kebalikannya, sangat dimanja.

    Penanganan:

    • Menolak untuk terus memberi perhatian tak terbagi dari awal relasi.
    • Sejak mula, biasakan untuk memberi perhatian kepada pihak lain pula, jangan membiarkan diri masuk ke dalam belenggu tuntutan yang tidak realistik ini.
    • Hidup transparan-menutupi satu perbuatan dapat berakibat fatal.

  3. Mempunyai pasangan yang terlalu bebas bergaul dengan teman lawan jenis:

    • Kedekatan dengan lawan jenis biasanya membangkitkan ketakutan kalau-kalau relasi ini berlanjut.

    Penanganan:

    • Menetapkan batas dalam relasi dengan lawan jenis.
    • Jangan menggunakan dalih: Tidak ada apa-apa.

    Firman Tuhan:
    Siapa bersih kelakuannya aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui. (Amsal 10:9)

  4. Akibat pengkhianatan:

    • Ini adalah kecumburuan berdasar karena telah terjadi pengkhianatan.

    Penanganan

    • Pihak yang bersalah harus meminta maaf-bukan sekali, tetapi berkali-kali.
    • Pihak yang bersalah harus mengizinkan dan menerima kemarahan pasangan yang tengah terluka.
    • Pihak yang bersalah harus memutuskan semua tali relasi dengan rekan selingkuh.
    • Pihak yang bersalah harus hidup transparan dan siap mempertanggungjawabkan setiap keberadaan dan perbuatannya.

    • Pihak yang dilukai harus memberi maaf-bukan sekali, melainkan berkali-kali.
    • Dalam mengekspresikan kemarahan, pihak yang dilukai harus tetap menjaga batas.
    • Pihak yang dilukai harus kembali kepada fakta dan bukan perasaan belaka dalam menilai kejujuran pasangannya.
    • Keduanya seyogyanya mencari bantuan konselor untuk menolong mereka melalui masa yang terjal ini. Kadang mereka tidak dapat lagi berkomunkasi karena komunikasi akhirnya menjadi ajang peluapan emosi. Di sini diperlukan kehadiran pihak konselor untuk menjembatani merekaa sehingga komunikasi tidak terputus.
    • Keduanya harus menyelesaikan masalah akarnya. Tidak jarang perselingkuhan berhulu dari relasi yang buruk; ini perlu dibereskan dengan tuntas.
    • Keduanya harus berkomitmen untuk tetap bersama betapapun sulit perjalanan yang akan dilalui.
    • Keduanya mesti kembali kepada Tuhan. Dengarlah suara-Nya dan taatilah kehendak-Nya. Jangan turuti keinginan daging seperti membalas selingkuh dengan selingkuh atau berupaya menyakiti pasangan. Ingat, pembalasan adalah hak Tuhan. Masa yang sulit ini tidak dapat dilalui tanpa kuasa Tuhan yang ajaib.
    • Cemburu digantikan bukan dengan masa bodoh melainkan dengan iman kepada Tuhan yang berkuasa. Ia mengawasi dan akan mengejar dosa yang tersembunyi.

Firman Tuhan:

Karena segala jalan orang terbuka di depan mata Tuhan, dan segala langkah orang diawasinya (Amsal 5:21)

Demikian juga orang yang menghampiri istri sesamanya; tiada seorang pun yang menjamahnya luput dari hukuman. (Amsal 6:29)

Karena cemburu adalah geram seorang laki-laki, ia tidak kenal belas kasihan pada hari pembalasan dendam. (Amsal 6:34)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bersama Ibu Esther Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Cemburu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, banyak kali kita mendengar orang cemburu dan khususnya wanita yang banyak dijadikan sasaran walaupun adakalanya pria juga. Sebenarnya perasaan cemburu itu, perasaan seperti apa Pak Paul?

PG : Awalnya cemburu itu berasal dari cinta, jadi asumsinya adalah kalau tidak mencintai ya tidak akan cemburu. Tapi pada akhirnya cemburu itu merupakan ungkapan dua perasaan yang sangat kua yakni perasaan takut dan perasaan marah.

Takut bersumber dari ketakutan bahwa orang yang kita kasihi itu mungkin akan meninggalkan kita. Jadi ancaman bahwa pasangan kita akan meninggalkan kita itu akan membangkitkan rasa takut yang sangat kuat sekali. Marah berasal dari perasaan pengkhianatan, jadi saya dikhianati, saya dicampakkan, saya dibuang; kenapa ada orang lain yang dianggap lebih baik dan lebih penting, lebih layak dikasihi daripada saya. Nah itu membuahkan perasaan marah, jadi rasa dikhianati, dicampakkan sedangkan orang lain diagungkan, dikasihi, diutamakan lebih daripada diri kita. Campuran dari dua perasaan ini; marah dan takut yang memunculkan perasaan cemburu.
GS : Timbulnya kecemburuan di dalam diri seseorang itu bukan hanya karena hubungan pernikahan Pak Paul, jadi kemungkinan juga orangtua cemburu terhadap anaknya atau sebaliknya Pak Paul?

PG : Itu pengamatan yang baik Pak Gunawan, kadang kala orangtua bisa cemburu terhadap anaknya pula, karena unsur yang terlibat sama. Si orangtua merasa bahwa dia akan dicampakkan, dia akan tdak lagi berperan, tidak lagi berguna, tidak lagi berfungsi di dalam kehidupan anaknya, sebab sekarang anaknya sudah mempunyai keluarga sendiri, sudah mempunyai istri yang dikasihinya.

Atau dia merasa bahwa dia sekarang dia ditinggalkan. Nah ancaman bahwa dia ditinggalkan, dia akan sendirian, itu akan menimbulkan ketakutan baginya. Dan dua perasaan ini bercampur aduk memunculkan rasa cemburu. Nah waktu kita cemburu reaksi yang biasanya muncul adalah reaksi ingin merebut kembali orang yang kita kasihi yang kita anggap mulai meninggalkan kita itu. Kita akan berusaha merangsek masuk menarik dia kembali untuk berada di samping kita lagi. Ini biasanya yang akhirnya menimbulkan pertengkaran-pertengkaran dalam keluarga.

ET : Jadi kalau ada ungkapan cinta itu buta, cemburu juga bisa buta Pak? Orang akan melakukan apapun untuk mempertahankan itu.

PG : Betul, cemburu juga bisa buta. Jadi memang seperti induk macan yang terluka melindungi anak macan, dia akan melakukan apa saja untuk mempertahankan anak macan itu.

GS : Tapi biasanya orang yang sedang cemburu, kalau ditanya apakah dia cemburu, dia tidak mengaku, Pak Paul?

PG : Jadi pertanyaannya, mengapa orang itu tidak terlalu mudah mengakui bahwa saya cemburu. Jawabannya saya kira sangat mudah ditebak, yaitu kita takut dilihat lemah. Sebab cemburu itu bagi ita menunjukkan sebuah kelemahan diri, karakter bahwa kita tidak kuat untuk menahan diri kita kok sampai harus membutuhkan orang sedemikian besarnya.

Itu sebabnya kebanyakan orang tatkala ditanya, "Apakah kamu cemburu?" selalu jawabannya ´tidak´. Biasanya jawabannya tidak, tapi yang menjadi keyakinan saya adalah kamunya, saya tidak ada apa-apa kok dengan orang lain itu, saya hanya marah terhadap kamu, kenapa kamu itu begini, begitu. Jadi perhatian ditujukan kepada pasangan, padahalnya memang dia yang cemburu.
GS : Apa yang menimbulkan kecemburuan itu Pak Paul?
GS : Nah ini pertanyaan baik Pak Gunawan, sebab memang kita harus melihat dengan spesifik apa itu penyebab cemburu, karena kita tidak bisa menyamaratakan semua cemburu dengan satu kategori penyebab saja. Sekurang-kurangnya ada empat, dan pada kesempatan ini kita akan membahas tiga di antaranya. Yang pertama adalah (ini yang memang berkaitan dengan kepribadian seseorang) penyebab cemburu adalah kita itu mempunyai kepribadian yang posesif, kepribadian yang memang ingin memiliki pasangan kita sepenuhnya. Benar-benar kita tidak puas hanya mendapatkan sebagian dari dirinya, tidak puas hanya merasa dicintai, tapi kita mau menuntut sangat dicintai, sangat diutamakan dan bisa memiliki kendali atas kehidupannya. Kenapa kok bisa muncul perasaan posesif ini, sudah tentu akarnya adalah rasa tidak aman; kita sendirian, kita tidak mau sendirian, kita takut sendirian, kita tidak aman, kita perlu seseorang untuk membuat kita tidak sepi dan membuat diri kita terisi dan terpenuhi, tidak lagi kosong atau hampa. Itu sebabnya muncullah dorongan yang kuat dari dalam diri kita untuk mengontrol, menguasai pasangan kita sepenuhnya.

ET : Berarti memang kunci dari kepribadian ini adalah rasa tidak aman, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Ibu Esther, jadi perasaan seolah-olah dia itu hidup di dalam ketimpangan, ketidakseimbangan, kehampaan. Dan waktu bertemu dengan pasangan ini, hidupnya terpenuhi, kuat kemali, berharga, bernilai, bermakna, ada arah dan tujuannya.

Benar-benar pasangannya itu sebagai sesuatu yang terbaik yang pernah hinggap dalam hidupnya.

ET : Jadi seolah-olah yang begitu didapatkan itu harus dipegang erat-erat.

PG : Betul, karena terlalu berharga. Meskipun dia melihat pasangannya itu tidak berbuat apa-apa, namun tetap dihantui oleh rasa takut bahwa pasangannya itu akan meninggalkan dia. Saya kira ii reaksi yang bisa kita mengerti, kalau kita sangat-sangat membutuhkan sesuatu dan kita menemukannya, kita akan menjaganya dengan sangat berhati-hati, sebab kita sangat membutuhkan.

Kalau kita kehilangan wah..........hidup kita akan kembali sengsara. Jadi orang ini selalu dihantui kecemasan bahwa pacarnya atau pasangannya atau suami atau istrinya itu akan meninggalkannya.
GS : Tapi adapula orang yang memang khawatir karena melihat tingkah laku pasangannya atau partnernya itu yang mencurigakan, sehingga timbul suatu kekhawatiran di dalam dirinya.

PG : Nah, kalau memang pasangannya itu memberikan kesan bahwa dia itu tidak bisa dipercaya, terlalu mudah bergaul dengan lawan jenis, saya kira itu masuk akal. Namun adakalanya memang penyeab cemburu bukan itu, tidak ada buktinya, sama sekali tidak ada buktinya.

Namun dia sendirilah yang dihantui oleh ketakutan bahwa pasangannya akan meninggalkannya. Itu sebabnya untuk menjaga jangan sampai dia kecolongan, ditinggal atau dikhianati oleh pasangannya; dia senantiasa curiga atau dia mengembangkan sikap curiga; harus selalu mengecek, jangan 100% percaya pada pasangan, supaya nanti kalau ada apa-apa dia tidak kecolongan, dia tidak harus ketakutan, dia tidak harus terluka. Jadi selalu sikap curiga yang muncul dari dalam dirinya.

ET : Karena ini sifatnya seperti yang tadi Pak Paul katakan sebagai masalah kepribadian, sebaiknya bagaimana kita membantunya Pak Paul?

PG : Saya kira pasangannya itu harus menetapkan batas, harus bicara dengan tegas dan berkata: "Saya tidak bisa hidup seperti ini, saya tidak bisa hidup seperti kuman di bawah mikroskop ang kamu amati seperti itu.

Saya akan merasa terbatasi, terkungkung, dan ini membuat saya marah." Jadi benar-benar harus berbicara dengan tegas. Idealnya pembicaraan ini tidak terjadi pada masa pernikahan, idealnya pembicaraan ini terjadi jauh sebelum mereka memutuskan untuk menikah pada masa berpacaran. Dengan kata lain kita mengakui bahwa setelah menikah, masing-masing harus memiliki kontrol, kendali atas pasangannya. Maka firman Tuhan pun berkata bahwa istri, tubuhmu bukan milikmu lagi tapi milik suamimu. Suami, tubuhmu bukan milikmu lagi tapi milik istrimu. Betul itu, Alkitab menegaskan bahwa setelah kita menikah, kita menjadi satu sehingga kita saling memiliki. Tapi saling memiliki tidak berarti merantai pasangan kita seperti itu, jadi kalau pasangannya sudah mulai mencium adanya gejala-gejala ke sana dia harus bicara dari awalnya. Saya tidak mau diperlakukan seperti ini, saya meminta ruang untuk saya juga bisa bernafas. Selain itu dia juga mesti langsung mengajukan bukti sebelum menuduh apapun dia harus memberikan bukti, apa buktinya. Kalau misalnya dia bilang o.......buktinya adalah saya melihat dari senyummu, senyummu berbeda. Nah masakan senyum dijadikan alasan atau bukti, "Kamu kok senyumnya lain sama orang itu, terhadap orang lain senyummu tidak begitu, nah itu bukan bukti jadi harus memberikan bukti yang konkret. Kalau tidak ada bukti yang konkret dia tidak boleh menuduh sembarangan, jadi peraturan itu harus ditaati dalam relasi ini.

ET : Masalahnya kadang-kadang kalau dalam masa pacaran rasanya perilaku pacar yang mengontrol itu tidak dilihat sebagai mengontrol, tapi dilihat sebagai suatu hal yang memanjakan; diantar, djemput; nanti setelah memasuki pernikahan baru merasa itu sebenarnya kontrol yang terlalu ketat.

PG : Betul sekali, pada masa berpacaran dia berkata saya sangat dimanja, setelah menikah dia akan berkata saya sangat dijajah, dia dirantai. Ini mungkin baik sekali didengarkan oleh mereka yng belum menikah, jangan terbuai atau tersanjung oleh pasangan yang mengontrol dirimu seperti itu.

Itu nanti benar-benar akan merantai dan menyengsarakan setelah menikah. Jadi batas-batas itu dari awal berpacaran memang harus sudah disesuaikan dan disetujui, kalau memang tidak bisa ya jangan. Tapi saya juga harus meminta kepada pasangan, untuk tetap melimpahkan kasih sebab tadi kita sudah singgung dasarnya adalah dia sangat tidak aman, dia haus akan kasih sayang dan si pasangan itu hal terbaik yang pernah terjadi di dalam dirinya, dia takut kehilangan. Maka si pasangan memang harus memastikan cinta kasihnya itu konstan, jangan sampai biasanya itu memberikan bunga sekarang tidak lagi memberikan bunga. Biasa ulang tahun mengingat, mengajak pergi makan sekarang tidak lagi, nah itu memang menakutkan bagi orang yang tidak aman. Dia mesti tetap konstan, apa yang biasanya dia lakukan tetap dilakukan. Dan yang terakhir adalah mesti hidup transparan, jangan sampai pasangan ini menutup-nutupi perbuatan, meskipun perbuatannya tidak ada kaitan dengan pengkhianatan, ketidaksetiaan atau perselingkuhan. Tapi tetap dia mesti transparan, karena orang yang memang tidak aman ini penuh kecurigaan. Kalau saja dia menemukan satu saja bukti bahwa pasangannya itu tidak jujur, dia langsung mengaitkan kalau kamu tidak jujur dalam hal ini, kamu juga bisa tidak jujur dalam hal kesetiaanmu kepada saya, langsung ke situ.
GS : Selain masalah kepribadian yang posesif tadi, apakah ada masalah yang lain?

PG : Ada Pak Gunawan, yang kedua adalah yang kita sebut kepribadian nartisistik artinya sangat mementingkan diri sendiri. Orang ini menganggap dirinya itu sebagai pusat kehidupan bahkan pusa kehidupan pasangannya juga.

Dengan kata lain pasangannya itu senantiasa harus melayaninya, mendahulukannya, mengutamakannya, seolah-olah mendewakannya. Dan sedikit saja ada perubahan dalam perhatian, pelayanan pasangannya wah......dia akan marah. Dia akan menuntut, "Kamu harus tetap memberikan perhatian yang besar ini kepada saya, sebab saya ini orang yang paling penting dalam hidupmu." Jadi benar-benar dia akan menyengsarakan orang yang tinggal dengan dia, dia menuntut perhatian tak terbagi, perhatian penuh untuk dirinya sendiri. Sedangkan dia sendiri tidak pedulu, tidak memusingkan orang lain. nah ini tipe kepribadian nartisistik adalah tipe kepribadian yang mudah sekali cemburu; sedikit-sedikit akan marah, tapi dia berbeda dengan yang posesif. Kalau yang posesif itu memang tidak aman dan merasakan ini adalah hal yang terbaik yang pernah terjadi di dalam hidupnya yaitu menemukan pasangannya ini. Kalau yang nartisistik tidak fokuskan pada orang lain tapi dirinya sendiri. Dia pokoknya harus mendapatkan semua yang dia inginkan, kebutuhannya harus dipenuhi dan pasangannya itulah yang harus memenuhi semua kebutuhannya tanpa perkecualian dan tidak boleh gagal sekalipun.

ET : Jadi justru ketida dia merasa tidak dinomorsatukan, kecurigaannya itu muncul seakan-akan itu saingannya begitu Pak Paul?

PG : Tepat sekali, standarnya dia sangat tinggi yaitu dia harus nomor satu, tidak boleh sedikit pun berkurang.

GS : Dan itu apakah bukan karena pengalaman masa lalunya?

PG : Sering kali ya Pak Gunawan, jadi orang yang nartisistik itu bisa muncul dari dua latar belakang yang berkebalikan. Yang pertama adalah latar belakang anak yang haus akan kasih sayang, dia sangat haus sehingga waktu dia besar dan dia mendapatkannya dia sangat rakus. Dia harus dipenuhi terus-menerus, meskipun sebelumnya tidak pernah yang ada memberikan kasih sayang itu kepadanya. Begitu dia mendapatkan, dia menuntut terus-menerus harus dipenuhi. Yang kedua justru kebalikannya, dia berasal dari latar belakang di mana dia dimanjakan, diutamakan, disanjung-sanjung, bahwa dia itu yang paling baik, paling hebat, paling cakep, paling pandai dan sebagainya, dia bintang keluarganya. Setelah dia menikah dia menuntut perlakuan yang sama dari pasangannya, "Kamu juga harus mengagumiku, mendewa-dewakanku, mementingkanku," karena itulah yang dilakukan orang lain (dalam rumahnya) berikan kepadanya, jadi dia meminta yang sama dari pasangannya.

GS : Orang yang mengalami masalah kepribadian seperti itu, bagaimana menolongnya?

PG : Wah.......... ini memang tidak mudah Pak Gunawan, kepribadian nartisistik ini menurut saya lebih sulit untuk berubah dibandingkan dengan yang posesif. Posesif, dengan batas-batas yang ktat, tegas, bisa mengalami perubahan apalagi kalau dia terus menerima cinta kasih yang cukup dari pasangannya lama-lama dia bisa melepaskan genggamannya.

Kalau nartisistik memang agak susah, jadi apa yang harus kita lakukan, kita mesti menolak untuk terus memberikan perhatian penuh seperti itu kepada dia. Dan sekali lagi ini saya tekankan harus dilakukan jauh sebelum mereka menikah. Kalau dilakukannya setelah menikah ya susah, jadi mesti dilakukan waktu awal-awal relasi. Jadi kalau kita mencium pasangan kita itu nartisistik, memang kita harus berhati-hati, tapi kalau kita lihat masih ada hal-hal yang baik padanya, kita masih mau teruskan; dari awal kita memang harus berkata tidak. Artinya, sejak semula biasakan untuk memberikan perhatian kepada orang lain juga, dia boleh marah atau apa, kita katakan tidak, hidup saya tidak hanya berkisar di seputar kamu, ada orang lain yang harus saya perhatikan juga. Ada mama saya, ada papa saya, ada adik saya, ada orang lain juga yang memerlukan perhatian saya. Dengan kata lain dia harus menjaga dirinya agar jangan sampai terperangkap dalam belenggu tuntutan yang tidak realistik ini. Sekali terperangkap dia akan susah keluar.

ET : Kira-kira apakah mungkin misalnya ada seseorang yang mempunyai kepribadian seperti ini kemudian mendapatkan pertolongan, jadi pasangannya sudah melakukan hal-hal yang tadi Pak Paul kataan.

Tetapi ketika punya anak, seperti muncul lagi hal itu benar-benar untuk anak menjadikan dia nomor satu. Mungkin dari istri atau suami tidak apa-apa, tapi begitu ada generasi berikutnya seperti muncul lagi.

PG : Sangat bisa Ibu Esther, jadi kebutuhan untuk menjadi yang terutama, untuk yang paling penting dalam kehidupan orang lain, itu menjadi dorongan yang tidak bisa dipuaskan, maka tadi saya atakan memang agak susah, bisa jadi seperti itu dia akhirnya tidka bisa berbuat apa-apa karena pasangannya tegas kepada dia.

Nanti waktu dia punya anak, dia akan tuntut itu dari anaknya. "Kamu harus perlakukan mama atau papa secara khusus, saya paling penting dalam hidupmu." Anak itu tidak boleh memberikan perhatian kepada orang lain, dia akan cemburu, dia akan marah jadi butuh sekali penggemar-penggemar untuk bisa terus-menerus bertepuk tangan untuk dia, seolah-olah dia yang paling hebat di dunia ini.
GS : Kalau tadi Pak Paul katakan, sebaiknya sebelum pernikahan. Kalau dua orang yang punya masalah itu bertemu, jadi dua-dua mempunyai masalah kepribadian ini; apakah mereka bisa membina rumah tangganya nanti?

PG : Anehnya mereka kalau bertemu biasanya tidak menjadi satu. Yang nartisistik mencarinya selalu yang berkepribadian lemah, bukan mencari yang sama-sama nartisistiknya, mementingkan dirinya tidak.

Dia akan mencari pelayan, saya gunakan kata pengibaratan yaitu pelayan; seseorang yang bersedia melayani. Dengan kata lain dia akan mencari seseorang yang mempunyai penghargaan diri yang kurang atau yang negatif, yang seolah-olah memerlukan seseorang untuk bisa memberikan makna kepadanya. Dengan kata lain ada kemungkinan besar yang posesif ini bertemunya ini dengan yang nartisistik, sebab yang posesif itu memang butuh, takut sendirian nah dia bertemu dengan nartisistik yang menguasai dia seperti itu, senang, berharga untuk waktu tertentu. Setelah waktu tertentu lewat, setelah menikah dua-duanya akan seperti kucing dan anjing, saling mencakar.
GS : Dalam hal kecemburuan ini Pak Paul, sebenarnya yang menjadi korban itu siapa? Orang yang cemburu atau orang yang dicemburui?

PG : Sebetulnya yang menjadi korban terbesar adalah orang yang dicemburui, kalau alasan cemburunya seperti yang telah kita bahas sekarang ini. Sebab nantinya ada cemburu yang berdasar dan nanti akan kita bahas. Kalau kecemburuan muncul dari masalah dalam kepribadian kita wah pasangan kita yang kita cemburui itu menderita sekali, dia korban yang paling besar.

GS : Jadi sebenarnya kalau pasangannya merasa dirugikan seperti itu dia bisa mengajak suami atau istrinya yang suka cemburu ini untuk minta tolong kepada konselor, Pak Paul?

PG : Kalau bisa Pak Gunawan, sebab saya harus akui kemungkinan dia mau kecil karena tadi Pak Gunawan sudah angkat isu itu yakni tidak mengakui. Dia akan selalu melimpahkan kesalahan pada pasngannya.

Kamu yang membuat saya cemburu, kamu yang tidak bertanggung jawab, kamu yang begini - begini; dia tidak mau menerima fakta bahwa dia cemburu. Dia selalu meyakinkan dirinya saya melakukan hal yang benar, saya menjaga pernikahan saya, saya harus melindungi pernikahan saya nah itu memang terdengarnya baik tapi dalam kenyataannya itu hanyalah dalih.
GS : Kalau itu dilakukan pada masa pacaran, bukankah sulit untuk kita mengetahuinya. Pada saat pacaran dia tidak mau mengakui bahwa dia sedang cemburu atau mempunyai masalah kepribadian ini.

PG : Saya kira sebetulnya kalau masa berpacarannya itu lewat setahun dan tinggal di kota yang sama dengan frekwensi pertemuan yang lumayan sering seharusnya karakter ini terlihat, tidak bisadisembunyikan.

Misalkan tentang posesif, dia akan bisa mencium bahwa pasangannya itu mau tahu saja dia ke mana, mau mengontrolnya dan kebergantungannya sangat tinggi, benar-benar sangat tergantung, harus dipenuhi, dijaga, perasaannya harus selalu diperhatikan jangan sampai menyinggung, melukainya, jadi terus begitu. Dengan yang nartisistik bisa juga kita deteksi yaitu orang ini sebetulnya tidak memikirkan kita, meskipun seolah-olah dia memikirkan kita, akhirnya kita sadar tidak bahwa ini semua kembali untuk dia, selalu untuk dia. Dia tidak pernah bisa berempati, memahami kebutuhan dan perasaan saya hanya memikirkan dia terus. Nah untuk orang-orang seperti ini akhirnya dia bisa simpulkan dia nartisistik, hidup di seputar dia.
GS : Masalahnya pada masa pacaran memang tadi Ibu Esther katakan ini sulit membedakan apakah ini cinta atau cemburu, Pak Paul?

PG : Betul, jadi sering-seringlah berbicara, bertukar pikiran dengan orang, dengan orangtua, dengan konselor, dengan pembimbing dan berdoalah sebab suara Tuhan itu akan membisiki kita; ini tidak tepat untukmu, ini relasi yang bermasalah, nah dengar jangan melawan. Kadang-kadang kita itu sudah mendengar suara Tuhan dalam hati tapi kita melawannya.

GS : Pak Paul, tadi katakan ada empat alasan, kita baru berbicara dua saja dan yang dua lainnya akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Tapi sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, mungkin ada ayat firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan.

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 10:9, "Siapa bersih kelakuannya aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya akan diketahui." Kita ini adalah objek yang Tuhan prhatikan, jadi kita harus berjalan lurus, bersih sebab itulah jalan yang aman.

Nah orang yang mulai berliku-liku itu nanti akan dilihat dan diketahui oleh Tuhan. Tapi bagi saya ayat ini bukan hanya untuk orang yang berpotensi melakukan pengkhianatan tapi saya kira ayat ini bisa juga kita terapkan untuk yang mempunyai masalah seperti ini. Dia harus lurus, dia harus bersih, artinya dia mengakui saya punya masalah jangan dia berliku-liku menyalahkan pasangannya, dia harus bersih berkata saya yang punya masalah dan dia akui di hadapan pasangannya, dan berkata tolong saya. Nah saya kira kalau orang berkata seperti itu, pasangannya akan lebih bersedia menolongnya dan memberikan bantuan yang dibutuhkan.

GS : Terima kasih Pak Paul dan Ibu Esther, ini perbincangan yang sangat menarik, karenanya kami mengharapkan para pendengar setia kita bisa bergabung lagi pada kesempatan yang akan datang untuk melanjutkan perbincangan ini dengan dua alasan yang lain tentang timbulnya kecemburuan di dalam diri seseorang. Sekali lagi terima kasih, dan saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.PDt.Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "CEMBURU I". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk menghubungi situs kami di www.telaga.org saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda.



38. Cemburu 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T169B (File MP3 T169B)


Abstrak:

Lanjutan dari T169A


Ringkasan:

Cemburu adalah campuran perasaan marah dan takut yang bersumber dari adanya ancaman akan kehilangan orang yang dikasihi. Kedua perasaan ini-marah dan takut----merupakan perasaan yang kuat. Tidak heran cemburu membuahkan reaksi yang keras pula. Tidak jarang cemburu berakhir dengan pertengkaran hebat yang merusakkan sendi pernikahan.

Penyebab Cemburu

  1. Masalah kepribadian yang posesif:

    • Harus mengontrol pasangan karena merasa tidak aman.
    • Dihantui oleh kecemasan bahwa pasangannya akan mengkhianatinya.
    • Penuh kecurigaan.
    • Mungkin mempunyai latar belakang pengkhianatan.

    Penanganan:

    • Harus menetapkan batas-sampai seberapa jauh ia dapat mengontrol pasangan.
    • Setiap tuduhan harus dibuktikan secara konkret.
    • Melimpahkan kasih.
    • Hidup transparan-menutupi satu perbuatan dapat berakibat fatal.

  2. Masalah kepribadian narsisistik:

    • Mengangggap diri sebagai pusat perhatian pasangan.
    • Menuntut pasangan selalu memberi perhatian tak terbagi kepadanya.
    • Penuh kecurigaan.
    • Mungkin mempunyai latar belakang haus akan kasih atau kebalikannya, sangat dimanja.

    Penanganan:

    • Menolak untuk terus memberi perhatian tak terbagi dari awal relasi.
    • Sejak mula, biasakan untuk memberi perhatian kepada pihak lain pula, jangan membiarkan diri masuk ke dalam belenggu tuntutan yang tidak realistik ini.
    • Hidup transparan-menutupi satu perbuatan dapat berakibat fatal.

  3. Mempunyai pasangan yang terlalu bebas bergaul dengan teman lawan jenis:

    • Kedekatan dengan lawan jenis biasanya membangkitkan ketakutan kalau-kalau relasi ini berlanjut.

    Penanganan:

    • Menetapkan batas dalam relasi dengan lawan jenis.
    • Jangan menggunakan dalih: Tidak ada apa-apa.

    Firman Tuhan:
    Siapa bersih kelakuannya aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui. (Amsal 10:9)

  4. Akibat pengkhianatan:

    • Ini adalah kecumburuan berdasar karena telah terjadi pengkhianatan.

    Penanganan

    • Pihak yang bersalah harus meminta maaf-bukan sekali, tetapi berkali-kali.
    • Pihak yang bersalah harus mengizinkan dan menerima kemarahan pasangan yang tengah terluka.
    • Pihak yang bersalah harus memutuskan semua tali relasi dengan rekan selingkuh.
    • Pihak yang bersalah harus hidup transparan dan siap mempertanggungjawabkan setiap keberadaan dan perbuatannya.

    • Pihak yang dilukai harus memberi maaf-bukan sekali, melainkan berkali-kali.
    • Dalam mengekspresikan kemarahan, pihak yang dilukai harus tetap menjaga batas.
    • Pihak yang dilukai harus kembali kepada fakta dan bukan perasaan belaka dalam menilai kejujuran pasangannya.
    • Keduanya seyogyanya mencari bantuan konselor untuk menolong mereka melalui masa yang terjal ini. Kadang mereka tidak dapat lagi berkomunkasi karena komunikasi akhirnya menjadi ajang peluapan emosi. Di sini diperlukan kehadiran pihak konselor untuk menjembatani merekaa sehingga komunikasi tidak terputus.
    • Keduanya harus menyelesaikan masalah akarnya. Tidak jarang perselingkuhan berhulu dari relasi yang buruk; ini perlu dibereskan dengan tuntas.
    • Keduanya harus berkomitmen untuk tetap bersama betapapun sulit perjalanan yang akan dilalui.
    • Keduanya mesti kembali kepada Tuhan. Dengarlah suara-Nya dan taatilah kehendak-Nya. Jangan turuti keinginan daging seperti membalas selingkuh dengan selingkuh atau berupaya menyakiti pasangan. Ingat, pembalasan adalah hak Tuhan. Masa yang sulit ini tidak dapat dilalui tanpa kuasa Tuhan yang ajaib.
    • Cemburu digantikan bukan dengan masa bodoh melainkan dengan iman kepada Tuhan yang berkuasa. Ia mengawasi dan akan mengejar dosa yang tersembunyi.

Firman Tuhan:

Karena segala jalan orang terbuka di depan mata Tuhan, dan segala langkah orang diawasinya (Amsal 5:21)

Demikian juga orang yang menghampiri istri sesamanya; tiada seorang pun yang menjamahnya luput dari hukuman. (Amsal 6:29)

Karena cemburu adalah geram seorang laki-laki, ia tidak kenal belas kasihan pada hari pembalasan dendam. (Amsal 6:34)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bersama Ibu Esther Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Cemburu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita berbincang-bincang tentang suatu topik yaitu cemburu. Nah agar pendengar kita yang mungkin pada waktu itu berhalangan untuk mendengarkan acara ini bisa mengikuti perbincangan kita selanjutnya pada kali ini, mungkin Pak Paul bisa menguraikan secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu itu.

PG : Yang pertama adalah cemburu itu memang pada mulanya keluar dari rasa cinta, sebab kalau kita tidak mencintai ya kita tidak akan cemburu. Namun pada pemunculannya cemburu itu merupakan gbungan dari dua perasaan yaitu perasaan marah dan perasaan takut.

Marah karena kita merasa bahwa kita itu dicampakkan, dibuang, dinomorduakan; sedangkan takut karena kita itu melihat bahwa pasangan atau yang kita kasihi itu akan meninggalkan kita, itu menimbulkan ketakutan yang sangat besar. Gabungan dua perasaan ini memunculkan perasaan yang sangat kuat yang kita panggil cemburu. Cemburu, waktu muncul kadang-kadang memang tidak rasional, sangat kuat sekali. Nah meskipun demikian kita mengakui bahwa cemburu bisa juga disebabkan oleh hal-hal yang benar, hal-hal yang nyata. Pada kesempatan yang lalu kita hanya membahas penyebab cemburu yang tidak berdasar, nah itu masalah dalam kepribadian kita sendiri. Ada yang posesif, nah posesif itu mempunyai kebutuhan menggandoli, menguasai pasangannya karena dia adalah orang yang sangat tidak aman, dia adalah orang yang haus akan kasih sayang. Bertemu dengan pasangannya merupakan hal yang terindah yang pernah terjadi dalam hidupnya. Itu sebabnya dia sangat takut kehilangan, maka dia terus-menerus mengontrol dengan menunjukkan sikap yang penuh kecurigaan pada pasangannya. Yang kedua adalah kepribadian yang kita sebut narsisistik, mementingkan diri sendiri; tidak memusingkan atau mempedulikan orang lain. tipe ini juga mudah sekali untuk cemburu karena dia ingin memastikan semua perhatian tetap diberikan kepadanya. Tidak boleh kurang sedikit pun, apa yang biasa diberikan kepadanya harus diberikan terus-menerus. Kita membicarakan juga penanganannya Pak Gunawan, kepada yang posesif kita harus memberikan batas yang jelas, bahwa saya mencintaimu dan akan tetap mencintaimu tapi saya tidak merasa nyaman dirantai seperti ini. Saya perlu ruang untuk bergerak juga, nah ini harus ditentukan jauh sebelum menikah. Sedangkan untuk tipe yang narsisistik memang si pasangan dari awal harus berkata bahwa saya mempunyai sejumlah orang yang harus saya berikan perhatian, dan kamu bukanlah satu-satunya. Jadi biasakan untuk tidak mendewakan seluruh perhatian untuk orang yang narsisistik ini. Dengan cara itulah kita bisa menjaga batas.
GS : Kalau yang terdahulu kita membicarakan dua penyebab kecemburuan itu dari sisi orang yang cemburu itu, jadi ada masalah kepribadian dengan dirinya. Mungkin atau tidak Pak Paul, kecemburuan itu timbul akibat orang lain, khususnya pasangannya?

PG : Nah, sekarang kita akan masuk pada penyebab yang berikutnya, dan itulah memang titik berangkatnya. Bahwa adakalanya cemburu itu pada tempatnya, mengapa? Sebab dipicu oleh hal-hal yang ril, yang konkret, salah satunya adalah kalau kita mempunyai pasangan yang mempunyai pola pergaulan bebas dengan lawan jenis.

Artinya merasa tidak apa-apa pergi dengan teman lawan jenis, berdua ke kafe pulang kerja dan merasa tidak apa-apa, main bolling berdua dengan lawan jenis dan tidak merasa itu suatu hal yang salah. Nah seyogyanyalah kalau kita mempunyai pasangan seperti itu, kita merasa cemburu; kenapa merasa cemburu, sebab kita merasa takut relasi ini akan berlanjut. Dan bukankah banyak perselingkuhan berawal dari relasi seperti ini yang tidak ada batasnya sama sekali. Akhirnya kebablasan menjadi sebuah perselingkuhan, jadi kecemburuan yang muncul bagi saya adalah kecemburuan yang wajar dan seharusnya.

ET : Susahnya kadang-kadang orang-orang seperti ini sering berkata sebelum saya berpacaran dengan kamu saya juga sudah seperti itu kehidupan saya.

PG : Memang ada orang-orang yang lebih luwes, banyak teman; orang-orang yang tidak terlalu luwes sehingga tidak banyak teman. Nah sudah tentu kalau mereka berdua menikah ini akan menimbulkangesekan, tapi memang perlu penyesuaian.

Yang terlalu kaku, tidak banyak teman ya harus membuka diri, menerima teman-teman dari pasangannya. Sebaliknya yang mempunyai persahabatan, pergaulan luas, berteman dengan banyak orang juga harus membatasi diri. Misalkan dia tetap boleh pergi tapi pergilah bersama-sama, beramai-ramai jangan berduaan. Dan kalau misalnya memungkinkan pergi jugalah dengan pasangan. Atau yang lainnya lagi adalah dia boleh menelepon, bercanda, tertawa silakan tapi jangan menceritakan hal-hal pribadi tentang pergumulan dia dalam pernikahan, tentang pasangannya; itu semua dia ceritakan kepada teman-teman lawan jenisnya nah itu yang harus diubah. Jadi sekali lagi memang akan harus ada perubahan pola berkawan, kalau kita tidak mau mengubah pola berkawan kita setelah menikah itu akan menimbulkan masalah. Dan sekali lagi saya tekankan bukankah banyak perselingkuhan berawal dari pola berkawan yang terlalu bebas.
GS : Di dalam hal ini Pak Paul, dalam kecemburuan yang dipicu oleh tingkah laku yang berlebihan dari pasangannya terhadap lawan jenisnya, sebenarnya yang harus diperingatkan ini siapa, Pak Paul?

PG : Kalau memang jelas si pasangan ini mempunyai pola berkawan yang terlalu bebas, dialah yang harus diingatkan. Dan sebisanya ini terjadi atau diingatkannya adalah sebelum menikah bahwa enkau terlalu bebas, tidak bisa engkau mempertahankan persahabatan seintim itu dengan lawan jenis setelah kita menikah.

Sebab hal ini akan mengganggu pernikahan kita, seyogyanyalah keintiman antara suami dan istri itu terpupuk terus-menerus. Sebab kita tidak memiliki orang lain untuk membukan diri sedalam itu. Nah akhirnya kita datang kepada pasangan kita untuk membuka diri sedalam itu. Nah kalau keduanya menjalani pola yang sama ini terus-menerus, tidak bisa tidak keintiman di antara mereka akan makin mengakar, makin menguat. Tapi kalau ada apa-apa dia cerita dengan orang, ceritanya apalagi dengan lawan jenisnya, lama-kelamaan hilanglah kebutuhannya itu untuk cerita kepada pasangannya sendiri. Tidak ada lagi kebutuhan untuk bercerita pada pasangan sebab sudah bisa mengeluarkan itu semua dengan orang lain. Akhirnya yang terjadi adalah hubungan mereka makin renggang, karena keintiman itu makin hari makin tipis, tidak ada lagi yang menambah keintiman mereka. Jadi memang tidak sehat seseorang itu mempunyai perkawanan yang bebas seperti itu. Dan jangan sampai kita berdalih, "O..........tidak apa-apa, ini teman biasa." Hampir semua perselingkuhan dimulai dari persahabatan seperti itu. Jadi jangan kita membodohi atau menipu diri sendiri dengan berkata tidak apa-apa, nanti akan ada apa-apa. Kalau ada orang bersedia menikah tapi tidak bersedia mengubah gaya hidupnya, selayaknyalah dia tidak menikah. Sebab orang yang menikah harus bersedia mengubah gaya hidupnya ini.
GS : Pak Paul, kalau orang tadi diperingatkan lalu balik bertanya, kamu itu mencemburui aku; sepantasnya orang yang ditanyai tadi menjawab memang betul saya cemburu atau dia tidak perlu mengaku bahwa dia cemburu, Pak Paul?

PG : Saya kira dia harus jujur dan berkata saya cemburu, tapi kecemburuan saya berdasar. Sering kali orang itu akan berkata tidak ada apa-apa kok. Tapi kalau kita balik situasinya misalkan kta yang begitu, pergi-pergi dengan lawan jenis mungkin sekali dia akan berkeberatan.

Mungkin dia akan marah dan berkata kenapa kamu harus dekat-dekat dengan orang itu, jadi ini memang perlu disadarkan. Dan kalau tidak disadarkan akhirnya masuk ke relasi yang lebih serius dan ini akan kita bahas sekarang yaitu relasi perselingkuhan. Jelas-jelas sekarang akhirnya terjadilah perselingkuhan itu. Nah waktu terjadi tidak bisa tidak ini akan berdampak, dan salah satu dampaknya adalah kecemburuan dari pasangan yang dikhianati. Dan sudah tentu kecemburuan yang sudah didasari atas fakta perzinahan wah ini kecemburuan yang sangat-sangat besar. Yang memang sangat kuat emosi marahnya dan emosi takut kehilangannya itu.

ET : Dan kalau sudah sampai tahap ini rasanya bukan hanya satu pihak yang memerlukan pertolongan Pak Paul? Kedua-duanya baik yang menjadi pelaku atau pun yang menjadi korban sudah sama-sama emerlukan orang lain.

PG : Betul sekali pada masa yang sulit ini mereka memang memerlukan pihak ketiga, pihak konselor untuk bisa menolong mereka. Sebab kalau tidak memang akan sangat sulit sekali bagi mereka untk berkomunikasi.

Kecenderungannya adalah saling mencakar, terus-menerus saling mencakar. Untuk bisa menolong mungkin para pendengar ada yang mengalami masalah seperti ini akan saya bagikan beberapa masukan. Kepada pihak yang bersalah ini yang pertama-tama yang harus saya katakan. Pihak yang bersalah harus meminta maaf, dan bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Jangan sampai pihak yang bersalah berkata saya pernah meminta maaf dan itu sudah cukup. Ego yang terlalu tinggi itu tidak bisa mengobati masa pemulihan. Pemulihan akan cepat terjadi jikalau pihak yang bersalah cepat meminta maaf dan tidak ragu untuk terus-menerus meminta maaf. Sepertinya minta maaf itu adalah obat, yang terus-menerus harus dibubuhkan pada luka yang menganga itu. Kita tidak bisa berkata sudah satu kali saya bubuhkan obat, sudah pasti sembuh sendiri. Oh tidak, luka yang menganga itu perlu perawatan dan tugas si pihak yang bersalahlah membubuhkan obat, obatnya yaitu salah satunya permohonan maaf. Berkali-kali, setiap kali pasangannya bereaksi dengan keras, marah atau apa dia harus berkata saya minta maaf, saya yang salah.
GS : Lalu yang lainnya bagaimana Pak?

PG : Dia juga harus ya mengijinkan dan menerima kemarahan pasangan yang sedang terluka, dia tidak bisa berkata kamu tidak boleh lagi marah, cukup sekali marah, tidak bisa. Luka akibat perselngkuhan itu terlalu dalam, tidak cukup hanya sekali dia marah.

Dia akan mungkin marah berpuluhan, beratusan kali bukan hanya sebulan, bukan hanya setahun, mungkin bisa 2 atau 3 tahun berlanjut terus menerus. Ini bener-bener akan memakan waktu yang panjang, jadi setiap bersalah terimalah. Berikutnya adalah pihak yang bersalah harus memutuskan semua tali relasi dengan rekan selingkuh, tidak boleh ada lagi kait mengait dengan si rekan selingkuh itu misalkan satu tempat pekerjaan, dia harus pindah. Satu gereja, dia harus keluar dari gerejanya dia pindah ke gereja yang lain. Pokoknya bener-bener tidak boleh lagi ada kaitan sedikitpun dengan rekan selingkuh itu sebab semakin lama ya ini berlangsung, kaitan ini sering berlangsung semakin lama pulalah proses pemulihan yang terjadi. Pasti itu memakan waktu lama sekali sebab belum sembuh terus dia harus mendengar lagi rekan selingkuhnya mungkn telponlah, nanyalah atau itu, itu apalah. Apalagi kalau si pihak yang bersalah sudah berjanji tidak menghubungi rekan selingkuhnya terus ketahuan tetep menghubungi rekan selingkuhnya, nah itu tuh bener-bener menghapuskan semua perbuatannya dia yang tadinya sudah baik gitu langsung semua menjadi nol kembali. Yang terakhir tentang orang yang bersalah ini dia harus hidup transparan dan siap mempertanggungjawabkan setiap keberadaaannya dan perbuatannya. Jadi bener-bener untuk membangun rasa percaya, dia harus super transparan seperti anak kecil melapor kepada orang tuanya, nah itulah yang harus dia lakukan kemana dia pergi dia beritahukan, kapan dia pulang dia tepati, dan gak pernah pergi sendirian lagi dia pergi selalu didampingi oleh orang. Itu, semuanya tuh akan menolong pasangannya kembali mempercayai dia.

ET : Jadi ini bener-bener sebuah upaya yang total begitu ya Pak ya? Rasanya sih pasti tidak mudah untuk apa ya seseorang yang sudah melakukannya, sepertinya yang tadinya sudah punya kehidupan sendiri, atur sendiri tiba-tiba harus seperti punya apa ya wajib lapor, seperti itu untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari pihak yang sudah dilukai ya?

PG : Dengan kata lain ya Bu Esther kalau dia sungguh-sungguh bertobat dia harus berani dan rela ya mengorbankan harga dirinya. Ini yang susah memang karena dia merasa apa saya harus membuangharga diri saya serendah itu.

Iya harganya mahal untuk mendapatkan kepercayaan, harganya mahal untuk menjahit kembali relasi yang sudah robek ini, sangat mahal dan harganya yang termahal yang harus dipikulnya adalah egonya, keangkuhannya, harga dirinya. Itu yang dia mesti berani korbankan karena itulah harga yang dituntut darinya.
GS : Mungkin karena itu ada orang lebih baik memilih cerai aja ya gitu ya Pak Paul ya?

PG : Ada yang begitu daripada dia harus membayar harga yang begitu mahal itu.

GS: Nah bagaimana dengan pihak yang satunya, pihak yang dilukai?

PG : Nah ini yang pertama ya pihak yang dilukai harus memberi maaf. Jadi jangan sampai dia berkata saya tidak mau memaafkan. Dia harus memberi maaf atau dia berkata saya tidak bisa memaafka betul, tidak apa-apa.

Tapi pertanyaannya mau tidak memaafkan. Yang Tuhan minta dari kita adalah kemauan itu dulu memaafkan. Tuhan mengerti sampai kita berhasil ya melupakannya dan tidak lagi mempunyai perasaan yang begitu bergejolak. Itu memakan waktu yang panjang sekali, mungkin tidak bisa melupakannya sama sekali, akan terus mengingatnya tapi setidaknya ingatan itu tidak menggoncangkan hidup kita lagi. Nah itu perlu waktu yang panjang untuk sampai ke situ. Jadi dia harus mau berencana, bertekad memaafkan meskipun susah. Dia harus menjalani sebuah kehidupan yang natural, bukan lagi dengan kekuatan dia tapi dengan kekuatan Tuhan. Dan berapa kali dia harus memaafkan, sesering mungkin artinya bukan sekali. Sebab apa? Sebab dia akan marah, dia akan nanti memaafkan, dia akan marah, dia akan memaafkan. Dengan kata lain dia mesti memberi ijin kepada dirinya sendiri untuk marah. Kadang-kadang ada yang merasa saya tidak boleh marah, mengapa saya harus marah? Saya tampak seperti orang bodoh di hadapan pasangan saya. Saya marah-marah saya harusin kemarahan saya, tidak. Dia dilukai dan memang dia mempunyai hak untuk marah, dia disakiti, dia punya hak untuk marah, dan tidak apa-apa dia marah, ijinkan dia untuk marah. Dan kemarahan itu tidak membuat dia tidak rohani, jadi gak papa ya. Namun tetap saya katakan dalam mengekspresikan kemarahan kita harus tetap menjaga batas, jangan sampai kita itu akhirnya memberi kesempatan kepada iblis untuk masuk. Jadi Tuhan kan memang mengijinkan kita marah, tapi jangan sampai di dalam kemarahan itu kita membuka pintu iblis masuk, dan malah menjatuhkan kita, membuat kita berdosa. Harus jaga batas, misalkan kita ingin membalas perbuatannya itu, jangan, kita ingin melukai dia atau apa, nah itu ada batasnya. Jangan kita lewati batas itu dan untuk di pihak yang terluka saya juga anjurkan kembalilah kepada fakta dalam menjalani proses pemulihan itu. Bukan pada perasaan belaka dalam menilai kejujuran pasangan kita. Biasanya dalam masa-masa itu tuh kita tidak lagi menggunakan rasio, tidak lagi melihat fakta, pokoknya merasa apa langsung kita ikuti perasaan kita itu bahwa dia berbuat lagi, dia tidak jujur, dia apa, tidak. Kalau mau menuduh kembali kepada prinsip yang sama. Apakah ada buktinya, kalau tidak ada bukti jangan sembarangan menuduh.

ET : Jadi kadang-kadang kalau saya liat bisa jadi lari ke ekstrim yang satunya ya Pak ya? Bahwa kalau yang pihak bersalah tadi kan Pak Paul katakan sepertinya harus menurunkan egonya gitu seerti diserahkan gitu ya kendali kepada pihak yang dilukai.

Nah pihak yang dilukai karena merasa sudah dilukai sepertinya punya hak untuk pegang kendali atas keseluruhan hidup pasangannnya. Nah itu gimana Pak?

PG : Dia harus mengerem, jadi kalau tadi kepada pihak yang bersalah dia harus menelan egonya, dia harus mengorbankan egonya. Kepada pihak yang dilukai dia harus mengerem dirinya, memberi bats kepada dirinya, jangan semaunya, jangan bertindak sekehendak hati, tidak.

Tetap ada batas yang harus dia itu jaga yaitu batas apa?Batas Tuhan yaitu apa jangan berdosa. Lewat dari situ kita berdosa berarti kita melanggar batas Tuhan. Jadi itu ya jangan terlalu jauh melangkah sampai akhirnya kita masuk ke dalam dosa.
GS : Tapi ada cukup banyak orang yang dilukai Pak Paul ya, yang terutama dari pihak istri yang tidak berani marah Pak Paul, bukannya ndak mau marah sebenarnya dia ingin marah tetapi dia tidak berani marah gitu, Itu bagaimana Pak Paul?

PG : Karena takut akan reaksinya suaminya.

GS : Iya atau nanti diceraikan gitu ya menjadi kekuatiran dia sehingga dia tidak berani marah ya.

PG : Nah kalau itu memang yang terjadi dia mesti ngomong sama pasangannya, terus terang bahwa saya sebetulnya sangat marah sekali kepada kamu, saya belum bisa mengekspresikannya sekarang tap saya hanya mau memberitahukan kamu bahwa saya sangat marah kepada kamu.

Setidak-tidaknya dia mengkomunikasikan bahwa dia marah. Mungkin perlu waktu yang lebih lama dia merasa lebih nyaman baru dia bisa marah, tidak apa-apa kalau dia belum bisa sekarang tapi setidaknya komunikasikanlah bahwa dia marah.
GS : Ya jadi si suami itu harus tahu bahwa sebenarnya istrinya cemburu gitu ya Pak Paul ya dengan dasar yang cukup kuat itu?

PG : Betul, memang masalah akan lebih runyam kalau pihak yang bersalah tuh tidak mau bertobat, tidak peduli dengan reaksi pasangannya sebab dia merasa di atas angin. Nah itu memang lain lagisih ya cara pendekatannya memang ya tidak akan sama.

GS : Ya memang dalam hal ini seperti yang Pak Paul katakan yang laki ini merasa di atas angin karena uang dia yang pegang, semuanya dia yang menguasai gitu, anak-anak juga dekat dengan dia, istrinya terjepit?

PG : Tapi orang yang merasa dia atas angin Pak Gunawan, suatu hari kelak akan ditiup oleh angin, Tuhan nanti akan meniup orang-orang itu, akan membalasnya ya.

GS : Tapi bagaimanapun juga sebenarnya kedua-duanya juga harus sama-sama berupaya untuk memperbaiki kondisi ini ya Pak Paul ya? Itu apa yang bersama-sama bisa mereka lakukan?

PG : Cari bantuan Pak Gunawan, carilah seorang hamba Tuhan, seorang konselor untuk menolong mereka ya. Mereka biasanya tuh sulit berkomunikasi ya, komunikasi menjadi ajang peluapan emosi. Nh maka diperlukan kehadiran seorang konselor untuk bisa menjembatani mereka sehingga komunikasi antar mereka tidak putus.

Berikutnya mereka harus menyelesaikan masalah akarnya kadangkala kita berpikir dengan putusnya relasi selingkuh maka semuanya akan kembali beres, belum tentu. Kadang-kadang ada masalah lain yang harus diangkat, ini perlu dibereskan dengan tuntas. Lainnya lagi dua-duanya harus berkomitmen untuk tetap bersama betapapun sulitnya perjalanan yang akan harus dilalui. Jadi jangan sampai tidak ada komitmen untuk mempertahankan pernikahan ini. Dari awal dua-dua berkata bahwa kami akan mempertahankan pernikahan ini dan keduanya mesti kembali kepada Tuhan, mesti ini, syarat mutlak. Kita mesti mendenagr suara Tuhan dan menaati kehendaknya, apa yang Tuhan suarakan kepada kita lewat firmanNya, ikuti, taati meskipun harus melawan ego kita, melawan perasaan kita, ikuti ya. Jangan turuti keinginan daging seperti membalas selingkuh, atau yang lainnya, jangan, pembalasan adalah hak Tuhan. Dan yang terakhir saya ingin tekankan ini adalah cemburu digantikan bukan dengan masa bodoh, ada orang yang berkata uda dah saya masa bodoh, supaya ga sakit, supaya ga cemburu lagi. Kita gantikan cemburu dengan iman kepada Tuhan yang berkuasa. Kita serahkan, kita tetep peduli, kita tetep menyayangi tapi kita serahkan pasangan kita kepada Tuhan. Tuhan yang berkuasa, Tuhan yang nanti akan menutup pertanggungjawaban, dan dia bertanggung jawab kepada Tuhan dan kita tahu Tuhan mengawasi, mengejar dosa yang tersembunyi.
GS : Ya jadi ada dua alasan yang memang merupakan masalah kepribadian dari orang itu tetapi juga ada cemburu yang memang punya alasan yang kuat ya Pak Paul ya? Dalam hal ini yang seharusnya diselesaiakn dengan baik-baik itu tetapi firman Tuhan yang disampaikan apa Pak Paul dalam hal ini?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan yang akan saya tinggalkan untuk pendengar kita, pertama Amsal 5 : 21 " Karena segala jalan orang terbuka di depan mata Tuhan, segala langkah oang diawasinya ".

Amsal 6 : 29 " Demikian juga orang yang menghampiri istri sesamanya, tiada seorang pun yang menjamahnya, luput dari hukuman. Yang terakhir Amsal 6 : 34 " Karena cemburu adalah geram seorang laki-laki, dia tidak kenal belas kasihan pada hari pembalasan dendam. Jadi intinya firman Tuhan menegaskan Tuhan mengawasi, dan yang kedua akan ada konsekuensinya. Kita mungkin berpikir ini madu perselingkuhan atau apa, tidak, akan ada pembalasan. Jadi ini yang harus dihilangkan, kalau ini dihilangkan maka kecemburuan juga hilang sebab ini memang kecemburuan yang mendasar.

GS : Ya firman Tuhan yang tadi baru dibacakan pasti akan sangat bermanfaat bagi para pendengar kita yang mungkin punya masalah tentang kecemburuan ini ya Pak Paul terima kasih sekali juga Ibu Esther terima kasih. Untuk perbincangan kali ini para pendengar sekalian yang setia mengikuti acara Telaga ini, kami juga mengucapkan banyak terima kasih anda sudah mendengarkan perbincangan kami dengan Bp.PDt.Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "CEMBURU" yang merupakan kelanjutan dari bagian yang beberapa waktu lalu yang kami sampaikan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk menghubungi situs kami di www.telaga.org saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



39. Memulihkan Kepercayaan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T172A (File MP3 T172A)


Abstrak:

Pernikahan adalah relasi yang didirikan di atas kepercayaan; tanpa kepercayaan, pernikahan runtuh. Memulihkan kepercayaan dapat dilakukan dengan melihat penyebab dari ketidakpercayaan dan pemulihan itu membutuhkan resiko ( siap untuk dilukai kembali).


Ringkasan:

Pernikahan adalah relasi yang didirikan di atas kepercayaan; tanpa kepercayaan, pernikahan runtuh. Apa yang harus dilakukan bila kepercayaan pudar?

  1. 1. Kita mesti melihat penyebab hilangnya kepercayaan itu dengan jelas dan mengakuinya. Janganlah menutupi atau mengurangi kadar perbuatan yang telah merenggut kepercayaan.
  2. 2. Kita harus menyadari bahwa pemulihan kepercayaan memerlukan waktu yang panjang karena pihak yang terluka harus menyaksikan bukti demi bukti perubahan. Kita tidak bisa dengan serta merta mengubah pandangan yang telah terbentuk; perubahan hanya terjadi sedikit demi sedikit seiring dengan adanya bukti.
  3. 3. Kepercayaan bertumbuh seiring dengan respek. Ini berarti, pihak yang telah menghilangkan kepercayaan mesti memperlihatkan kehidupan yang layak dipuji dan mengundang respek.
  4. 4. Kepercayaan juga bertumbuh seiring dengan kasih-makin besar kasih, makin besar kepercayaan. Ini berarti kita mesti membereskan masalah dalam pernikahan yang telah menghilangkan kasih. Tidak tertutup kemungkinan kita pun memiliki andil dalam hal ini.
  5. 5. Kepercayaan dibangun di atas kejujuran dan kekonsistenan. Pihak yang telah melukai harus bersedia membuka diri seluas-luasnya agar semua tindakannya dapat dilihat. Dengan kata lain, ia mesti menutup kemungkinan munculnya kecurigaan dan sudah tentu ia menutupnya dengan kejujuran, bukan dengan kebohongan. Kejujuran diwujudkan dalam kekonsistenan yakni apa yang dikatakan, itu yang dilakukan. Jika berjanji pulang pada jam 5, pulanglah pada jam 5.
  6. 6. Kepercayaan dibangun di atas risiko. Kita harus mengambil risiko untuk mempercayai kembali dan risiko di sini berarti risiko untuk dilukai kembali.
  7. 7. Pergumulan untuk mempercayai merupakan pergumulan rohani karena di sini kita pun dituntut untuk mempercayakan hidup ini kepada Tuhan kembali. Kita di sadarkan akan kefanaan dan kerapuhan hidup dan bahwa kita harus meletakkan dasar kekuatan dan pengharapan pada-Nya. Firman Tuhan berkata, "Jawab Yesus, `Tidak ada yang mustahil bagi orang percaya!` Segera ayah anak itu berteriak, `Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya!" (Markus 9:23-24)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Memulihkan Kepercayaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam kehidupan pernikahan tentunya suami harus mempercayai istrinya dan istri harus mempercayai suaminya. Tetapi pada suatu saat kadang-kadang salah satunya itu merasa dikhianati, dia sudah mempercayakan dirinya dan mempercayai tetapi yang dipercayai itu menyalahgunakan kepercayaan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Topik ini topik yang sangat penting Pak Gunawan, sebab akhir-akhir ini kita sering menyaksikan begitu banyak perselingkuhan yang melanda keluarga dan tidak terkecuali di antaranya adalh keluarga Kristen.

Oleh karena itu penting bagi kita membahas tentang bagaimanakah caranya memulihkan kepercayaan. Karena pada waktu perselingkuhan terjadi maka yang rusak atau yang runtuh adalah kepercayaan. Pihak yang dilukai akan harus bergumul memberikan kepercayaan kepada pasangan yang telah menipu atau mengkhianatinya itu. Ada beberapa hal yang bisa saya bagikan kepada para pendengar kita. Yang pertama yang mesti kita lakukan adalah melihat penyebab hilangnya kepercayaan itu, kita mesti melihatnya dengan jelas dan mengakui bahwa inilah penyebabnya. Janganlah kita menutupi atau mengurangi kadar perbuatan yang telah merenggut kepercayaan. Misalnya pasangan kita berselingkuh dan telah mengkhianati kita, kita lihatlah itu sebagai pengkhianatan, sebagai tindakan yang dengan sengaja menyakiti hati kita meskipun dia tahu bahwa tidakannya itu adalah tindakan yang salah dan akan menimbulkan sakit hati yang dalam, tapi tetap dia lakukan. Oleh sebab itulah tindakan itu menjadi tindakan yang begitu menyakitkan hati kita, kita mesti melihatnya apa adanya. Adakalanya kita tidak siap melihat apa adanya, kita malahan menuduh bahwa perempuan itulah yang jahat, yang nakal, tidak tahu diri, yang telah merampas suami kita; seolah-olah suami kita itu adalah korban atau kalau misalnya istri kita yang berselingkuh istri kitalah yang menjadi korban dimangsa oleh pria jalang atau pria yang jahat. Saya kira kita perlu melihat masalah apa adanya bahwa ini adalah masalah yang dilakukan oleh pasangan kita dan karena tindakannya itu kita kehilangan kepercayaan kepadanya bukan kepada orang lain yang di luar rumah tangga kita.
GS : Memang kadang-kadang sulit bagi yang berselingkuh maupun yang diselingkuhi untuk melihat fakta itu sendiri. Yang berselingkuh juga mengatakan, "Wah saya sudah lama digoda," sehingga dia mencoba untuk memaafkan dirinya atau meminta maaf kepada pasangannya.

PG : Realitas itu pahit Pak Gunawan, jadi banyak orang daripada melihat dan menelan realitas apa adanya, orang itu akhirnya mengurangi kadar realitas atau mendistorsinya atau melencengkan dri apa yang sungguh-sungguh terjadi.

Kalau kita ingin memulihkan kepercayaan itu kembali, maka tidak bisa tidak langkah pertama ialah melihatnya, mengakuinya bahwa inilah yang terjadi.
GS : Tapi sebaliknya, di pihak yang diselingkuhi kadang-kadang memandang dengan berlebihan, Pak Paul.

PG : Betul sekali, karena pihak yang dicurangi itu memang dalam keadaan yang terluka dalam, maka susah sekali untuk dia melihat secara objektif, sudah tentu emosinya akan terlibat dan akan memberikan reaksi-reaksi yang sangat kuat.

GS : Bagaimana Pak Paul supaya pasangan ini bisa melihat masalah itu pada proporsi yang sebenarnya?

PG : Saya kira awalnya tidak bisa tidak akan muncul reaksi-reaksi yang besar, reaksi-reaksi yang kadang-kadang ekstrim sekali dan itu saya kira bagian dari pemulihan itu sendiri. Sudah tent yang diperlukan adalah bantuan pihak luar, misalkan seorang hamba Tuhan atau seorang konselor yang dapat memandu pasangan ini sehingga di dalam reaksi-reaksi yang besar itu mereka akhirnya tidak sampai melakukan hal-hal yang nanti mereka sesali.

Misalkan dengan segera memutuskan untuk bercerai, meninggalkan pasangannya, nah tindakan-tindakan ekstrim seperti itulah yang memang harus dijaga, tapi setelah itu lewat saya kira mereka akan memasuki tahap-tahap yang memang akan dapat memulihkan rasa percaya ini.
GS : Biasanya mereka ingin masalahnya cepat-cepat dapat terselesaikan, bukankah itu juga sering dialami?

PG : Dan itu yang tidak bisa terjadi Pak Gunawan, jadi kita mesti menyadari bahwa memulihkan kepercayaan ini menuntut waktu yang panjang. Sering kali pihak yang telah bersalah yaitu pihak yng meruntuhkan kepercayaan, menuntut agar dia dipercaya kembali dengan segera.

Sebab dia berkata: "Saya 'kan sudah tidak melakukannya, kenapa kamu tetap tidak bisa mempercayai saya." Nah ini yang harus dia sadari bahwa kepercayaan itu memerlukan bukti dan bukan hanya satu bukti tapi bukti demi bukti hari lepas hari dia harus menyodorkan bukti dan ini bisa berlangsung setahun, dua tahun bahkan tiga tahun. Bahkan setelah lewat masa ini pun setiap kali ada kecurigaan, muncullah pikiran bahwa pasangannya telah melakukan perbuatan yang sama lagi. Jadi perlu sekali pasangan yang telah bersalah itu membuktikan dirinya. Kita pada dasarnya tidak bisa serta-merta mengubah pandangan yang telah terbentuk, perubahan hanya terjadi sedikit demi sedikit seiring dengan adanya bukti itu.
GS : Kadang-kadang di dalam proses panjang seperti ini, orang itu merasa, "Saya sudah mengaku, saya sudah menyatakan bersalah," kalau itu terus diungkit bukankah itu menyakitkan, Pak Paul?

PG : Memang, tapi ini adalah sesuatu yang harus didengarnya dan diterimanya dengan hati yang lapang. Dia mesti mengizinkan pasangan yang terluka itu untuk mengekspresikan luka-lukanya, tapidianya sendiri jangan membalas, misalnya dengan marah, ngambek atau keluar caci maki dari mulutnya.

Meskipun dia tidak lagi mengulang perbuatan selingkuhnya, kalau dia itu mencerminkan atau mengkomunikasikan sikap-sikap yang tidak terpuji itu akan menjadi masalah. Sebab kepercayaan itu bertumbuh seiring dengan respek, artinya pasangan yang terluka mesti kembali respek kepada kita, kepada orang yang telah bersalah itu. Kalau dia tidak respek, kepercayaan tidak mungkin tumbuh, jadi pihak yang bersalah dia harus benar-benar memunculkan perbuatan atau tingkah laku yang layak dipuji, yang baik, yang sabar, yang lemah lembut, yang merendah. Nah dengan cara-cara itulah pasangan yang dilukai itu akan kembali respek kepadanya, dengan dia membatasi relasinya dengan orang, dengan dia benar-benar menjaga hubungannya dengan lawan jenis, nah itu akan mengundang respek dari pihak yang telah dilukai. Semakin cepat respek bertumbuh semakin cepat juga kepercayaan dipulihkan.
GS : Nah itu sering kali Pak Paul, terutama di pihak wanita atau istri, sejauh sebelum mereka mengalami masalah ini yaitu suaminya berselingkuh, biasanya istri sudah memberikan semacam peringatan, "Kamu jangan sampai berselingkuh kalau sampai itu terjadi saya tidak akan percaya lagi sama kamu." Nah ini terjadi, sehingga proses untuk dia respek kembali kepada suaminya itu makin sulit.

PG : Sebab ini sesuatu yang telah dikomunikasikan dan dia sudah ingatkan berkali-kali dan dia sudah beritahukan sanksinya kalau ini terjadi, tapi tetap dia lakukan. Sudah tentu respek hancu dan kepercayaan runtuh.

Itu sebabnya untuk membangun kembali kepercayaan ini kita harus kembali membangun respek kembali. Pasangan kita itu perlu melihat kita dengan kacamata yang berbeda, bahwa kita sekarang adalah seorang manusia yang terpuji. Dulu kita tak terpuji, kita melakukan hal yang tak terpuji, sekarang ini kita menjadi manusia yang terpuji. Salah satunya adalah memang menyesali perbuatan kita, bertobat atas perbuatan kita, tidak mudah cepat tersinggung, tidak mudah marah. Dan misalkan kita lebih peduli dengan keluarga kita, kita lebih memberikan perhatian kepada anak-anak kita. Tindakan terpuji itu diperlukan untuk mengembalikan respek pada orang tersebut.
GS: Tetapi karena waktunya sulit untuk diperkirakan, yang tadi Pak Paul katakan bisa dua tahun atau tiga tahun, kebanyakan para pria tidak sabar menunggu hal itu.

PG : Oleh sebab itulah dia mesti melakukannya bukan dengan tujuan yang sangat praktis supaya krisis bisa berlalu. Tujuannya adalah memang dia ingin menjadi manusia yang baru, manusia yang trpuji, manusia yang, manusia yang tidak ada cacat celanya, jadi tujuannya jelas bukan supaya lewatlah krisis ini dan istri saya bisa baik kembali kepada saya dan rumah tangga bisa aman kembali.

Bukan hanya itu ada yang lebih dalam dan yang lebih penting yaitu pembangunan manusia itu kembali. Ini berkaitan dengan yang berikutnya yaitu kita itu hanya bisa mempercayai orang yang kita kasihi kembali, kalau dia telah melukai kita kadar cinta dalam diri kita akan merosot atau turun. Kepercayaan itu hanya bisa tumbuh kembali kalau kasih juga bertunas kembali, ini berarti kita harus membereskan masalah dalam pernikahan yang telah menghilangkan kasih juga. Masalahnya bisa saja yang terbesar atau yang terakhir adalah perselingkuhan itu, tapi sering kali kasih sudah mulai pudar jauh sebelum terjadi perselingkuhan. Kalau itu yang menjadi masalah kita juga perlu membereskan hal ini. Bisa jadi kita itu mempunyai andil di dalam hilangnya kasih dalam pernikahan ini, untuk itu kita perlu membereskan masalah-masalah mendasar ini supaya kasih bisa bercabang, bisa berdaun dan berbuah kembali di dalam rumah tangga kita. Dengan berlimpahnya kasih maka kita juga lebih mudah mempercayai pasangan kita.
GS : Tapi kasih ini bukankah harus timbal balik, jadi kedua belah pihak itu mau mempertahankan pernikahan itu. Kalau ada salah satu pihak merasa tidak ada harapan lagi bukankah itu sia-sia?

PG : Betul sekali, kalau memang yang satunya itu tidak ada kasih sama sekali, oleh sebab itulah dia berselingkuh, memang itu adalah sesuatu yang sulit untuk dibangun kembali. Memang tidak mdah kalau kasih itu benar-benar sudah mentok, tidak ada lagi dan yang tertinggal hanyalah perbuatan-perbuatan yang tidak lagi mengandung isi kasih.

Tapi langkah pertamanya adalah kalau dia ingin membereskan pernikahan ini dia harus putus dari rekan selingkuhnya itu dan dia harus benar-benar memfokuskan pada pernikahannya, hanya pernikahannya saja tidak ada orang lain dalam hidupnya. Dengan cara ini saya kira kemungkinan kasih itu muncul akan lebih ada, apalagi kalau masalah-masalah awal yang telah menghancurkan kasih itu bisa dibereskan. Nah kasih berkesempatan untuk muncul kembali.
GS : Biasanya di pihak istri yang merasa disakiti bukankah itu sangat terluka, kemudian untuk mengasihi suaminya juga sangat sulit?

PG : Sangat sulit, karena dia sebetulnya takut untuk dilukai kembali. Kalau dia tidak mengasihi, dia tidak akan terlalu sakit apabila pasanganya melukai dia atau menipu dia kembali. Itu sebbnya sampai batas tertentu reaksi-reaksi tidak mau mengasihi pada awalnya adalah reaksi yang manusiawi, saya memakluminya sebab dia sudah terlalu sakit.

Dia seperti sudah ditipu, ditusuk, tapi mungkin dia akan mengasihi lagi. Dan bukankah dia akan membuka pintu dilukai kembali jika dia mengasihi pasangan yang telah mengkhianatinya itu. Sampai batas tertentu saya kira manusiawi dan saya akan mengizinkan. Seseorang yang telah dilukai melindungi diri dan tidak mudah memberikan kasih, saya kira ini adalah suatu kondisi sementara yang saya harap tidak berlangsung terus-menerus, dia juga harus belajar memberikan kasih itu kembali. Tapi saya juga meletakkan tanggung jawab yang telah menghancurkan kepercayaan dan kasih ini, dia juga harus mengadakan perubahan-perubahan yang drastis supaya dapat dilihat oleh pasangannya.
GS : Mungkin yang hanya bisa mengikat mereka adalah janji yang pernah mereka ucapkan di hadapan Tuhan, Pak Paul?

PG : Ya Pak Gunawan, takut akan Tuhan sering kali menjadi pengekang bagi mereka untuk mengambil tindakan yang lebih drasik. Dan karena takut akan Tuhan mereka akhirnya berkata: 'Ayo kita beeskan lagi."

Jadi penting sekali suami-istri memiliki rasa takut akan Tuhan.
GS : Jadi di situ kepercayaan itu akan tumbuh kembali kalau ada komitmen yang kuat di antara mereka, Pak Paul?

PG : Betul, komitmen sangat dipentingkan dan komitmen ini menjadi titik berangkat atau langkah awal di dalam memulihkan kepercayaan ini.

GS : Bagaimana prosesnya Pak paul?

PG : Setelah kita mempunyai atau memberikan komitmen ini kita harus melakukan langkah berikutnya yaitu mengubah perilaku yang lama yaitu perilaku tidak jujur. Komitmen bukan hanya mulut, ucpan, "Saya itu ingin bersama dengan kamu, saya tetap ingin menikah dengan kamu."

Bukan hanya itu, komitmen adalah tindak nyata bahwa saya sungguh-sungguh ingin bersama-sama dengan kamu dan karena saya sungguh-sungguh ingin bersama dengan kamu maka saya akan mengubah perbuatan saya yang dulu itu. Perbuatan saya yang dulu adalah berbohong, tidak pernah jujur, nah sekarang saya mau jujur. Jadi akhirnya mulailah jujur, dengan cara apa? Membuka diri seluas-luasnya agar semua tindakannya dapat dilihat. Dulu dia membuka diri sesedikit mungkin supaya pasangannya tak dapat melihat dirinya yang sedang berdosa itu. Sekarang terbalik, dia harus membuka diri seluas-luasnya, dia mesti menutup kemungkinan munculnya kecurigaan dan sudah tentu dia menutupnya dengan kejujuran bukan dengan kebohongan. Kalau dulu untuk menutup munculnya kecurigaan dia berbohong. Sekarang tidak, untuk menghilangkan kecurigaan obatnya adalah kejujuran. Kejujuran ini diwujudkan dalam kekonsistenan, yakni apa yang dikatakan itu yang dilakukan, misalnya dia berjanji akan pulang jam 05.00, pulanglah pada jam 05.00. jangan sengaja atau mengulur-ulur waktu. Kalau tidak bisa pulang beritahu sehingga pasangan yang ada di rumah tahu bahwa dia akan terlambat. Jadi konsisten dengan apa yang dikatakannya.
GS : Tapi biasanya dari pihak yang dilukai atau merasa dicurangi, di dalam memberikan kepercayaan lagi itu juga dengan banyak syarat, tidak bisa seperti dulu lagi dia memberikan kepercayaannya.

PG : Sering kali memang syarat-syarat itu diperlukan, karena dia sudah kehilangan kepercayaan itu, jadi dia mesti yakin seyakin-yakinnya bahwa pasangannya ini sungguh-sungguh telah berubah,itu sebabnya dia memberikan tuntutan, tuntutan dan tuntutan.

Dia berharap bahwa pasangannya ini yang telah mencederai kepercayaan akan dapat memenuhi tuntutan itu. Sebab semakin banyak tuntutan yang dapat dipenuhi, semakin legalah hati yang terluka itu. Kadang-kadang tuntutannya berlebihan, itu saya akui, jadi perlu bagi pihak yang terluka perlu berhati-hati dengan tuntutan, jangan sampai berlebihan. Namun saya juga bisa mengerti mengapa tuntutan itu diberikan, seolah-olah dia benar-benar ingin menguji, menguji dan menguji tanpa habis sehingga dia sungguh-sungguh yakin bahwa pasangannya ini sudah berubah. Salah satu pengamatan saya terhadap orang yang berselingkuh, bahwa mereka pada akhirnya mengalami perubahan kepribadian, mereka menjadi manusia yang berubah 180 berbeda dari diri yang sebelumnya. Saya kadang-kadang bertanya mengapa mereka berubah sedrastik ini, akhirnya saya temukan hanya satu jawabannya, bahwa mereka berbohong bukan untuk satu bagian dalam hidup mereka, mereka berbohong untuk seluruh bagian dalam kehidupan mereka. Kadang-kadang manusia berbohong tapi hanya satu mungkin bohong kecil dalam seminggu, dalam sebulan, atau mungkin dalam setahun. Tapi orang yang berselingkuh, berbohong bukannya satu kali dalam sehari tapi dia berbohong 24 jam bahkan dalam tidurnya pun dia berbohong. Jadi orang yang harus berbohong dalam 24 jam sehari dan bukan selama seminggu tapi mungkin berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, tidak bisa tidak dia akan harus mengubah hidupnya, dia harus mengubah sistem nilai moralnya, dia harus mengubah kepercayaannya pada Tuhan dan perilakunya itu, semua harus mengalami perubahan supaya konsisten dengan kebohongannya itu. Itu sebabnya dia mengalami perubahan yang begitu drastik, nah biasanya pasangan yang dikhianati ini baru sadar kalau pasangan saya ini telah berubah, bahwa semua yang ia tampilkan dan dia katakan dulu itu bohong belaka. Tidak heran sekarang dalam proses pemulihan kepercayaan dia akan terus-menerus menguji, karena dia ingin benar-benar mengikis diri yang telah dibangun oleh pasangannya yang penuh dengan kebohongan itu, dia perlu mengikisnya supaya dia bisa menemukan kembali kebenaran di dalam diri pasangan yang dulu pernah dia kenal. Kira-kira itulah yang terjadi mengapa pasangan yang terluka itu akhirnya mengajukan tuntutan-tuntutan yang berat-berat kepada pihak yang telah melukainya.
GS : Tapi mungkin juga berkaitan dengan risiko yang harus dia tanggung, karena kalau dia mempercayai lagi kemudian di khianati lagi dia akan terluka yang jauh lebih sakit, Pak Paul.

PG : Betul, dan kita secara alamiah tidak mau luka dua kali, apalagi di tempat yang sama. Tapi ini yang harus saya katakan kepada pihak yang telah dilukai; untuk memulai, untuk kembali memprcayai kita harus mengambil risiko dan ini berat, karena saya tahu ini berat maka saya meminta agar ambillah risiko sedikit demi sedikit.

Kita tidak bisa dengan serta-merta memberikan kepercayaan penuh lagi kepada pasangan kita. Kita hanya bisa memberikan kepadanya kepercayaan yang kecil, tapi sekecil apapun kepercayaan itu berikan, sekecil apapun setiap hari sebaiknya ada kemajuan, kemajuan sekecil apapun tetap itu adalah kemajuan. Jadi ini tantangan saya kepada pihak yang telah dilukai, memang adanya terluka, ada waktunya berdiam diri untuk menyembuhkan luka itu, tapi setelahnya mulailah mengambil risiko, mulailah memberi kepercayaan sekecil apapun.
GS : Kalau di pihak yang dilukai tadi sudah mulai sedikit demi sedikit memberikan kepercayaannya kemudian dia melihat ada perubahan lagi di pihak yang berselingkuh, itu membuat kembali ke titik nol lagi, Pak Paul?

PG : Sering kali begitu, maka jangan sampai pihak yang telah bersalah itu mengulang kesalahan, itu adalah kebodohan yang amat besar.

GS : Mungkin bukan mengulang kesalahan tapi di pandangan pihak yang pernah disakiti itu menjadi negatif.

PG : OK! Tapi memang itu adalah bagian dari penyembuhan ini Pak Gunawan, untuk waktu yang agak lama pandangan negatif itu akan selalu ada, luka itu akan terus menganga, akan terus berdarah,namun pada akhirnya dia harus berkata: "Saya mau, saya akan mencoba kembali dan dengan cara apa memberikan kepercayaan sekecil apapun."

Nah kita tidak bisa lepaskan ini dari sudut Tuhan, dari campur tangan Tuhan. Kita harus melihat pergumulan memberikan kepercayaan sebagai pergumulan rohani karena kita sebenarnya sedang dituntut untuk mempercayakan hidup kepada Tuhan kembali. Kita disadarkan akan kefanaan dan kerapuhan hidup dan bahwa kita harus meletakkan dasar kekuatan dan pengharapan kepada Tuhan. Saya akan kutib dari Markus 9:23, 24 Jawab Yesus: "Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" Nah ini kisah seorang ayah yang datang membawa anaknya yang dirasuk setan, dan dia meminta Tuhan, "Kalau bisa sembuhkanlah anakku ini." Tapi Tuhan Yesus berkata,"kalau bisa?" Pasti bisa ya bagi Tuhan tidak ada yang mustahil, makanya Tuhan berkata tidak ada yang mustahil bagi orang percaya. Nah si ayah mengaku, dia rupanya tidak memiliki iman yang kuat makanya dia minta tolonglah aku yang tidak percaya, nah ini mungkin yang bisa dipanjatkan oleh anak-anak Tuhan yang telah kehilangan kepercayaan, yang telah dilukai. Dia mungkin tidak lagi punya keberanian, tidak punya kekuatan untuk mempercayai, tidak lagi punya iman untuk percaya, mempercayakan hidupnya kepada Tuhan bahwa Tuhan tetap akan memelihara dan menjaganya. Nah datanglah kepada Tuhan dan berkatalah: "Tuhan, tolonglah aku yang tidak percaya dan meminta Tuhan untuk menumbuhkan iman dalam hidupnya.

GS : Ya terima kasih Pak Paul, ini perbincangan yang sangat menarik dan sangat bermanfaat bagi kita dan diharapkan ini menjadi sesuatu yang mencegah siapapun yang telah mendengar siaran ini dari berselingkuh sehingga menimbulkan masalah atau krisis di dalam kepercayaan. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memulihkan Kepercayaan." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



40. Terus Mencintai


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T172B (File MP3 T172B)


Abstrak:

Jika kita menengok ke sekeliling kita, kita akan melihat betapa banyaknya pernikahan yang telah kehilangan napas kasih. Dan mungkinkah kita terus mengasihi pasangan kita dengan cinta yang terus membara?


Ringkasan:

Jika kita menengok ke sekeliling kita, kita akan melihat betapa banyaknya pernikahan yang telah kehilangan napas kasih. Relasi nikah menjadi relasi kemitraan seperti dalam perusahaan. Mungkinkah kita terus mengasihi pasangan kita dengan cinta yang terus membara? Jawabannya adalah mungkin dan berikut ini adalah masukannya.

  1. Cinta muncul secara langsung dan alamiah namun cinta hidup melalui pemeliharaan. Salah satu bentuk pemeliharaan cinta adalah melindunginya dari serangan hama orang ketiga. Jadi, janganlah kita membuka kesempatan masuknya orang ketiga ke dalam pernikahan. Cinta bertahan dan bertumbuh hanya jika fokusnya tunggal.
  2. Orang ketiga dapat pula berbentuk pekerjaan, orangtua, kerabat, atau anak. Jangan biarkan mereka masuk dan berdiri di antara kita berdua. Selain dengan Tuhan, prioritaskanlah relasi nikah di atas relasi kekerabatan lainnya. Yakinkan pasangan bahwa ia terlebih penting dari orangtua dan bahkan anak sekalipun.
  3. Kita memelihara cinta dengan cara merawatnya yakni memberinya pupuk perbuatan yang menyenangkan hati pasangan. Ini adalah nasihat kuno yang tetap berlaku hingga kapan pun: Hati yang bahagia adalah ladang yang subur untuk cinta bertumbuh!
  4. Kita memelihara cinta dengan cara memisahkannya dari tanaman atau duri konflik yang menghambat pertumbuhannya. Konflik yang berkepanjangan akan merusak tanaman cinta.
  5. Cinta bukanlah bara, melainkan api yang keluar dari bara. Kita tidak dapat menciptakan api tanpa bara, demikian pulalah dengan cinta. Kita tidak dapat mengada-adakan cinta; seperti api, cinta pun muncul dari perbuatan-perbuatan yang membara. Itu sebabnya dalam 1 Korintus 13 cinta dijabarkan dalam bentuk perbuatan konkret:
    • Sabar, tidak pemarah, dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
    • Murah hati dan tidak mencari keuntungan sendiri.
    • Tidak cemburu dan percaya segala sesuatu.
    • Tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
    • Tidak melakukan yang tidak sopan atau tidak kasar.
    • Tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran.
    • Selalu melindungi.
    • Tetap menaruh pengharapan.
    • Tetap bertahan.
Pada akhirnya Firman Tuhan berkata, "Kasih tidak berkesudahan." (1 Korintus 13:8) Ini berarti kasih dalam pernikahan pun dapat terus membara dan berkobar tanpa akhir.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Terus Mencintai". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Kadang-kadang dirasakan oleh pasangan suami-istri yang sudah menikah beberapa tahun, mereka merasa bahwa hubungan mereka hambar, kalau ditanya sekadar seperti teman atau sekadar seperti saudara. Tetapi tidak ada lagi kasih seperti pada waktu mereka berpacaran atau pada waktu awal pernikahan. Nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kadang-kadang Pak Gunawan, bukan hanya pasangan nikah yang mengatakan kasih kami ini sudah hambar. Kadang saya mendengar dari pasangan yang belum menikah masih dalam tahap berpacaran, api sudah langsung berkata: "Kenapa kok tidak ada lagi rasa kasih, apa yang terjadi dengan diri saya ini?" Nah untuk itulah saya kira kita perlu membahas topik ini, bagaimanakah mempertahankan kasih.

Ada beberapa hal yang ingin saya bagikan kepada para pendengar kita tentang kasih atau cinta ini. Yang pertama adalah cinta muncul secara langsung dan alamiah, namun cinta hidup melalui pemeliharaan. Maksud saya adalah kita ini tanpa kita rencanakan bertemu dengan seseorang, eh..........kita langsung jatuh cinta kepadanya, kita menjalin hubungan dengannya beberapa tahun setelah itu kita menikah. Waktu kita kembali ke belakang dan melihat apa sebenarnya yang terjadi kok bisa tiba-tiba jatuh cinta. Memang cinta itu bisa muncul dalam sekejab seperti itu, maka tadi saya singgung cinta bisa muncul secara langsung dan alamiah. Namun untuk cinta itu bisa tetap hidup ini perlu pemeliharaan. Salah satu bentuk pemeliharaan cinta adalah melindunginya dari serangan hama orang ketiga (saya memang mengibaratkan cinta itu sebagai tanaman). Jadi janganlah kita membuka kesempatan masuknya orang ketiga ke dalam pernikahan. Cinta hanya bertahan dan bertumbuh jika fokusnya tunggal, kalau pikiran kita sudah bercabang, kita mulai memperhatikan orang lain nah cinta tidak mungkin bertumbuh lagi, karena cinta hanya bertumbuh jika fokus cinta kita itu satu yaitu pasangan kita sendiri.
GS : Tadi kalau Pak Paul katakan ada pasangan yang belum menikah mereka mengutarakan kehambaran cinta di antara mereka, mungkin risikonya atau dampaknya tidak terlalu serius kalau mereka sudah menikah, Pak Paul. Mereka bisa saja berpisah karena masih pacaran tetapi kalau sudah menikah bukankah ini akan menjadi masalah yang besar apalagi kalau sudah mempunyai anak dan sebagainya.

PG : Betul sekali, itu sebabnya sebelum sampai terjadi, kita mesti mencegahnya. Maka saya berharap para pendengar kita yang telah mendengarkan siaran kita pada hari ini tidak lagi menunggu api langsung mencoba menerapkan yang kita bahas ini.

Misalkan dia sudah mulai memberikan perhatian kepada orang lain, kepada orang ketiga dia mesti menghentikannya. Dan dia tidak bisa berkata: "O......ini tidak apa-apa, hanya main-main." Tidak bisa, kalau dia serius dengan pernikahannya, dia ingin cintanya tetap membara dia harus putuskan relasi dengan orang lain. Dia tidak bisa mengeluhkan cintaku sudah hilang, dia yang menghilangkannya dengan dia menengok kanan-kiri memperhatikan orang lain, nah tinggal tunggu waktu cintanya kepada si istri atau si suami di rumah akan pudar.
GS : Nah tadi Pak Paul katakan harus dihindari masuknya pihak ketiga, baik itu orang, pekerjaan dan lain sebagainya. Tetapi bagaimana itu harus dihindarkan, bukankah kadang-kadang kehadiran pihak ketiga ini di luar kekuasaan kita juga.

PG : Tadi Pak Gunawan telah memunculkan suatu pemahaman yang baik bahwa ternyata pihak ketiga itu tidak melulu manusia atau perempuan lain atau laki-laki lain. Tapi pihak ketiga itu bisa jai pekerjaan, bisa jadi orangtua kita sendiri atau kerabat kita dan bahkan dalam kasus tertentu pihak ketiga itu bisa jadi anak kita sendiri.

Ada orang yang lebih mendahulukan anak dibandingkan pasangannya, ada orang yang terus memuji-muji anaknya dan hampir tak pernah sekalipun memuji istrinya atau suaminya. Ada orang yang mengagung-agungkan kakaknya tidak pernah memuji suaminya sendiri. Itu adalah bentuk-bentuk memprioritaskan orang lain atau hal lain di atas pasangan kita, sudah tentu prioritas pertama adalah relasi dengan Tuhan. Sepenuhnya hidup kita adalah untuk Tuhan dan Dia adalah yang terpenting dalam hidup kita. Namun di bawahnya itu kalau kita sudah menikah haruslah pasangan kita. Karena rumah tangga dibangun di atas relasi suami-istri, kalau relasi suami-istri tidak kuat tidak mungkin kita akan menjadi orangtua yang efektif untuk anak-anak kita. Jadi tetap saya prioritaskan relasi suami-istri di atas relasi orangtua-anak. Hanya relasi suami-istri yang sehat dan harmonislah yang dapat menjadi orangtua yang sehat dan efektif bagi anak-anaknya. Maka itu harus ditempatkan di atas relasi orangtua-anak. Tapi tadi juga sudah disinggung pihak ketiga juga dapat berbentuk pekerjaan, ini sering kali kita lihat. Banyak orang-orang yang lebih bergebu-gebu memikirkan pekerjaannya dibanding pasangannya sendiri. Kalau diminta datang oleh perusahaannya dia akan tergesa-gesa atau tergopoh-gopoh datang, tapi kalau dimintai tolong oleh pasangannya dia akan berleha-leha untuk datang memberikan pertolongan seperti yang diminta oleh pasangannya. Nah hal-hal seperti itu tidak bisa tidak mengkomunikasikan kepada pasangannya adalah dia tidak lagi penting, dia tidak lagi utama, ini yang perlu dikoreksi. Kalau cinta mau bertumbuh maka kita harus menempatkan sistem prioritas yang tepat, tanpa sistem prioritas yang tepat jangan kita berharap cinta itu akan bertumbuh. Kadang-kadang orang itu marah-marah, "Cinta di rumah tidak ada lagi, hambar rumah tangga saya." Tapi pertanyaannya adalah apakah yang telah engkau lakukan untuk orang-orang di rumahmu, untuk istrimu, untuk suamimu; kalau tidak banyak yang dia lakukan jangan juga berharap terlalu banyak.
GS : Sering kali orang berkata misalnya dengan pekerjaan, selalu dikatakan saya bekerja ini juga untuk kamu, untuk kepentinganmu karena saya mengasihi kamu supaya bisa mencukupi kebutuhanmu, begitu Pak Paul?

PG : Saya kira sampai titik tertentu kita bekerja jelas untuk kepentingan keluarga kita jadi lakukanlah supaya keluarga kita mendapatkan kecukupan. Namun sebisanya ya hanya sebatas itu, kalu sampai kita mengorbankan keluarga kita demi pekerjaan saya kira itu juga tidak tepat atau menomorduakan pasangan kita demi pekerjaan itu juga tidak tepat.

Memang semuanya ini perlu keseimbangan, perlu cara-cara yang bijaksana untuk membagi waktu baik pekerjaan maupun untuk pasangan kita di rumah. Namun pada intinya yang ingin saya tekankan adalah kita mesti memberikan kesan yang jelas pada pasangan kita bahwa dia lebih penting daripada pekerjaan kita. Waktu orang dipentingkan seperti itu cinta akan bertumbuh.
GS : Di beberapa suku atau etnis yang sejak sebelum mereka menikah bahwa anaknya sudah didoktrinasi bahwa hubungan orangtua anak jauh lebih kuat daripada hubungan suami-istri, nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya memahami bahwa orangtua itu berkewajiban memelihara anak, menjaga anak dan sebagainya. Tetapi sekarang pertanyaan saya adalah apakah kendaraan yang harus kita gunakan untuk memeliara anak? Bukankah kendaraan yang harus kita gunakan adalah relasi suami-istri yang kuat, kalau relasi suami-istri tidak kuat bagaimanakah mungkin kita menjadi orangtua yang efektif.

Kalau kita sibuknya berkelahi hari lepas hari bagaimanakah kita bisa memberikan perhatian dan ketenteraman untuk anak-anak kita. Jadi tetap saya kira perhatian pertama harus kita berikan kepada relasi kita sebagai suami-istri terlebih dahulu.
GS : Jadi bagaimana Pak Paul kita harus memelihara supaya cinta ini tetap bertumbuh dengan baik?

PG : Nah salah satu cara adalah kita harus memberi pupuk kepada pasangan kita. Artinya pupuk adalah melakukan perbuatan yang menyenangkan hati pasangan. Ada nasihat kuno yang tetap berlaku ingga kapan pun yaitu "hati yang bahagia adalah ladang yang subur untuk cinta bertumbuh."

Masuk akal sekali, bagaimanakah cinta bertumbuh kalau hati kita dipenuhi kejengkelan, jadi berbuatlah hal-hal yang menyenangkan hati pasangan kita. Dia suka apa, coba kita perhatikan kita berikan atau kita lakukan bersama, pikirkanlah hal-hal yang menyenangkan hatinya dan lakukanlah sedapat mungkin karena itu akan menyenangkan hatinya. Di dalam hati yang senanglah akan muncul cinta yang kuat.
GS : Sering kali kita mengira kalau kita sudah mencukupi kebutuhan-kebutuhan jasmaninya itu sudah cukup, padahal masih banyak aspek yang lain yang harus dipenuhi.

PG : Betul sekali, kadang-kadang kita hanya beranggapan praktis, simpel saja bahwa setelah menikah ya yang penting adalah memenuhi kebutuhan fisik. Anak-anak harus cukup sandang pangan, hars memenuhi kebutuhan intelektual, anak-anak harus mendapatkan pendidikan yang baik hanya itu saja.

Misalkan kebutuhan medis, kita harus mendapatkan perawatan yang baik tapi kita lupa salah satu kebutuhan yang sangat penting yaitu kebutuhan emosional dan inilah yang harus kita lakukan, kita penuhi apa yang memang menyenangkan hati pasangan kita.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, sekalipun kita sudah berusaha untuk memenuhi atau menyenangkan pasangan kita, bukankah gangguan-gangguan dari luar itu tetap ada. Nah bagaimana untuk mengantisipasi hal ini?

PG : Ganggun bisa datang dari luar, bisa juga datang dari dalam. Gangguan-gangguan itu tidak bisa tidak sering kali menimbulkan konflik, misalkan masalah anak di sekolah, dalam pelajarannya akhirnya kita harus diskusikan di rumah.

Yang satu berkata biarkan, yang satu berkata tidak bisa kita biarkan, kita perlu leskan dia, akhirnya terjadilah keributan. Atau pihak keluarga dari luar untuk ikut jalan-jalan sedangkan pasangan kita tidak bersedia, akhirnya muncul pertengkaran. Atau muncul pertengkaran akibat perbedaan-perbedaan gaya hidup, nah semua itu akhirnya menimbulkan konflik. Saya harus tekankan bahwa konflik itu seperti duri yang akhirnya menghambat pertumbuhan cinta. Semua tanaman hanya bisa bertumbuh dengan sehat kalau dia bebas dari hambatan. Tatkala dia dililit-lilit oleh duri, tanaman itu akan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya. Jadi saran saya untuk cinta bisa terus bertumbuh dan bertahan adalah kita harus menyelesaikan konflik. Jangan membiarkan konflk bertahan untuk waktu yang berkepanjangan, jangan ditekan-tekan atau disembunyikan tetapi bereskan. Kalau kita tahu kita tak dapat membereskannya berdua, carilah bantuan, mintalah bantuan seorang konselor atau hamba Tuhan untuk menolong kita.
GS : Tapi sampai batas tertentu hambatan itu juga berguna untuk saling menumbuhkan kasih di antara suami-istri itu.

PG : Hambatan memang adalah rintangan yang dapat berguna, yang dapat menumbuhkan kasih kalau kita berhasil melewatinya. Kalau tak dapat melewatinya hambatan itu benar-benar menjadi hambatan menghalangi cinta kasih untuk bertumbuh.

Maka tadi saya mengatakan kita perlu membereskan konflik sedini mungkin.
GS : Pak Paul, di dalam I Korintus 13 bukankah banyak berbicara tentang kasih, penerapannya bagaimana dalam membina cinta di antara suami-istri?

PG : Saya menganggap Firman Tuhan yang tercantum di I Korintus 13 sebagai mutiara Pak Gunawan, yang perlu kita timba dan kita bisa terapkan di dalam pernikahan kita sendiri. Sebelumnya sayaingin mengatakan sesuatu dulu, kita tidak bisa menciptakan api tanpa bara.

Nah saya ingin menekankan bahwa cinta bukanlah bara, cinta adalah api yang keluar dari bara. Kita tidak dapat mengada-adakan cinta, seperti api cinta pun muncul dari perbuatan yang membara. Kalau kita berkata: "Wah.....saya mau mencintai, saya mau membuat cinta." Bagaimana menciptakan cinta, tidak bisa, tapi dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang merefleksikan cinta, cinta itu akhirnya muncul seperti bara nanti muncullah api. Itu sebabnya I Korintus 13 menjabarkan cinta dalam bentuk perbuatan konkret. Dengan kata lain kalau kita melakukan semua ini, nah cinta akan muncul.
GS : Jadi baranya itu sendiri apa, Pak Paul?

PG : Baranya sendiri adalah perbuatan-perbuatan misalnya yang pertama Firman Tuhan berkata kasih itu sabar, kasih itu tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain atau salah satu saja yang saya simpulkan yaitu sabar. Kasih tidak mungkin muncul dalam ketergesa-gesaan, memaksa-maksa, tergopoh-gopoh, kasih muncul di dalam kesabaran. Waktu seseorang hidup di dalam ketenangan karena pasangannya sabar, tidak pemarah, tidak menyimpan-nyimpan kesalahan barulah cinta akan muncul. Dan orang yang sabar juga orang yang akhirnya memunculkan cinta itu sendiri.

GS : Yang berikutnya Pak Paul?

PG : Yang berikutnya Firman Tuhan berkata cinta itu murah hati dan tidak mencari keuntungan sendiri. Perbuatan yang murah hati, tidak mementingkan diri itu adalah perbuatan yang pada akhirnya memunculkan cinta. Sebab sesungguhnya ini adalah benih cinta itu sendiri dan pihak yang satunya tatkala menerima kemurahan hati kita melihat kita mementingkan dia, tidak hanya mementingkan diri sendiri, cinta dalam hatinya pun nanti akan berkobar.

GS : Di dalam hal ini Pak Paul, kita perlu melatih diri baik si suami maupun si istri untuk melakukan kasih dalam tindakan-tindakan nyata seperti yang tadi Pak Paul katakan sabar, murah hati dan seterusnya. Nah sering kali ini dikatakan hanya untuk orang lain tetapi bukan untuk pasangan, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Itu yang keliru besar sekali Pak Gunawan, banyak orang sabar dengan orang lain, dengan stafnya, dengan temannya, tapi dengan pasangan susah sekali sabarnya. Sudah tentu itu pandangan yng keliru dan gaya hidup yang keliru.

Sebab bukankah yang kita harus cintai itu yang di dalam rumah, jadi yang di dalam rumahlah yang selayaknya menerima perlakuan-perlakuan seperti itu bukannya dengan orang luar kemudian kita menjadi kejam dan pemarah tapi orang pertama yang harus menerima kesabaran kita adalah pasangan sendiri. Orang pertama yang menerima kemurahan hati kita adalah pasangan kita sendiri jangan terbalik, orang pertama yang menerima kemarahan adalah pasangan kita. Firman Tuhan juga melanjutkan kasih itu tidak cemburu dan percaya segala sesuatu. Kalau orang itu dicemburui terus, tidak mungkin dia membalas dengan cinta kasih. Pasti waktu dia dicemburui dia akan jengkel dan sebagian orang ada yang memang mempunyai jiwa pemberontak; makin dicemburui dia makin sengaja melakukan hal-hal yang salah. Pada awalnya tidak terpikir untuk melakukan hal-hal yang salah, tapi gara-gara terus dicemburui akhirnya dia sengaja melakukan hal yang salah. Jadi percayalah karena percaya itu penting sekali. Di dalam suasana percaya kasih akan muncul, dan bukankah kita pun juga demikian, kalau kita mempercayai orang dan tidak sembarangan cemburu bukankah kasih dalam diri kita juga akan bertumbuh. Bagaimana mungkin mengasihi kalau kita itu selalu mencemburui dan tidak mempercayai pasangan kita.
GS : Tapi sering kali dijadikan alasan bahwa saya cemburu itu karena saya mencintai kamu, saya takut kehilangan kamu.

PG : Sampai titik tertentu tidak apa-apa karena bukankah kita takut kehilangan pasangan kita, namun kita juga mesti mendukungnya dengan fakta. Apakah ada faktanya bahwa pasangan kita memangmelakukan hal-hal itu ataukah ini adalah ketakutan kita.

Kita harus bedakan fakta dan ketakutan kita. Kalau ada faktanya, ada buktinya, silakan konfrontasikan, silakan ingatkan pasangan kita jangan sampai tergelincir jatuh, tapi kalau tidak ada faktanya saya kira kita tidak bisa menuduh orang sembarangan, kita tidak bisa cemburu kepada orang sembarangan. Sekali lagi saya ingin ingatkan, cinta itu bukannya bertumbuh malahan mati jika terus dicemburui.
GS : Juga dikatakan bahwa kasih itu tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Nah aplikasinya di dalam hidup pernikahan bagaimana Pak paul?

PG : Orang yang memegahkan diri otomatis ingatnya hanya diri sendiri, cinta itu bukannya terhadap diri sendiri, cinta itu terhadap orang lain, cinta kepada sesama kita, jadi orang yang sibu memikirkan dirinya saja tidak akan bisa mencintai orang lain, karena cinta itu memang harus berpijak pada orang yang kita cintai.

Mementingkan kepentingannya, memikirkan apa yang baik buat dia, tapi orang yang sibuk memoles-moles dirinya, mengipas-kipas dirinya sehingga makin bertumbuh besar dan makin megah, dia hanya mencintai diri sendiri, ini cinta narsisistik.
GS : Mungkin ini juga ada beberapa orang yang merasa bahwa dia selalu betul, di dalam rumah atau di dalam keluarga itu dia yang mesti betul.

PG : Ini salah satu bentuk nyata dari memegahkan diri, menganggap diri selalu betul. Orang yang terus menganggap dirinya betul itu benar-benar menganggap dirinya sempurna, berarti tanpa cact, tanpa salah.

Susah untuk orang itu mengasihi sesamanya apalagi mengasihi pasangannya sendiri.
GS : Mungkin ada yang lain Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah Alkitab berkata kasih itu tidak melakukan yang tidak sopan atau dapat diterjemahkan tidak melakukan yang kasar. Jadi saya kira ini sangat masuk akal, tidak mungkin inta bertumbuh di dalam atau di tengah-tengah perilaku yang kasar.

Perkataan yang kotor, yang menghancurkan, saya kira mustahil cinta bisa bertumbuh dalam situasi seperti ini. Kebalikannya cinta hanya dapat tumbuh di dalam kata-kata yang sopan, perbuatan yang santun, hati yang lemah-lembut, saya kira itulah ladang yang subur tumbuhnya cinta kasih.
GS : Kasih juga bicara tentang keadilan, yang juga bisa diterapkan dalam hubungan suami-istri.

PG : Firman Tuhan berkata seperti itu juga Pak Gunawan, cinta tidak bersukacita karena ketidakadilan tapi karena kebenaran. Artinya waktu kita melihat yang salah kita bereaksi, kita tidak ska, kita marah, tapi waktu kita melihat yang benar kita bersukacita.

Cinta seharusnya seperti itu juga, cinta bertumbuh tatkala perbuatan yang benar yang dilakukan. Cinta tak mungkin bertumbuh jika relasi ini dipenuhi perbuatan yang salah atau yang berdosa. Misalkan kita tahu bahwa pasangan kita terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang salah, yang berdosa, memakan uang orang, menipu, mengkorupsi, bagaimanakah cinta bisa muncul? Cinta yang bersih, cinta yang tulus hanya akan muncul jika kita melihat pasangan kita itu hidup benar, jauh dari dosa. Itulah cinta yang murni, cinta yang tulus, cinta yang memang Tuhan kehendaki.
GS : Tapi ada suami-istri yang sepakat untuk melakukan hal-hal yang tidka benar di hadapan Tuhan?

PG : Itu kadang-kadang terjadi memang di kalangan orang-orang yang memang sudah tidak lagi menghiraukan Tuhan. Dan cinta yang mereka miliki menurut saya cinta yang bukan Tuhan kehendaki karna cinta itu tidak bersih dan tidak kudus.

GS : Di dalam memelihara hubungan cinta ini saya rasa kita perlu mewujudkan kasih dalam bentuk memberikan perlindungan kepada pasangan kita.

PG : Setuju sekali Pak Gunawan, kalau kita itu sedikit-sedikit cuci tangan, tidak peduli dengan pasangan kita, dia dilukai bagaimana cinta bisa tumbuh. Cinta bertumbuh tatkala perlindungan iberikan kepada satu sama lain.

Dan yang memberi perlindungan pun sebetulnya sedang menunjukkan dan menumbuhkan cinta. Semakin dia melindungi semakin cintanya muncul, semakin dia itu lepas tangan, tidak mau melindungi, semakin cinta di dalam hidupnya juga akan berkurang.
GS : Demikian juga dengan penghargaan atau respek, Pak Paul?

PG : Betul sekali, dengan respek itu juga harus ada dan juga menaruh pengharapan artinya cinta itu selalu memberikan dorongan kepada pasangan. "Kamu bisa kok, saya berharap ini pasti bsa terjadi."

Orang yang positif, yang optimis, memberikan pengharapan kepada pasangannya, orang yang lebih berkemungkinan mencintai. Orang yang sedikit-sedikit pesimis tidak mempunyai pengharapan, menjatuhkan pasangannya makin tidak bisa mencintai. Dan orang yang diberikan pengharapan itu akan juga lebih mencintai. Dan yang terakhir adalah tetap bertahan, tetap bisa menanggung penderitaan. Cinta bertumbuh bukannya pada sedikit-sedikit menyerah, bodoh amat, cerai, pisah atau apa cinta akan mati. Justru cinta bertumbuh tatkala dua-dua bersedia untuk menanggung kesusahan bersama.
GS : Sering kali musibah lebih mengakrabkan atau lebih mendekatkan hubungan suami-istri, Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, justru waktu seseorang mengalami kesusahan dan pasangannya mengulurkan tangan membantunya wah.... dia makin mencintai. Dan orang yang memberikan pertolongan iu juga makin mencintai, sebaliknya orang yang tidak mau memberikan pertolongan maunya langsung keluar, kabur, cintanya juga akan sangat dangkal sekali.

Jadi sekali lagi yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa cinta itu tidak bisa di ada-adakan cinta hanya bisa mengadakan perbuatan-perbuatan yang mencintai. Dari perbuatan ini muncullah api cinta.
GS : Tapi memang memelihara cinta ini jauh yang lebih sulit daripada mencintai seseorang.

PG : Betul sekali, memunculkan cinta gampang tapi memeliharanya susah. Tapi Firman Tuhan di I Korintus 13:8 berkata: "Kasih tidak berkesudahan." Jadi kalau Firman Tuhan sudah berkta kasih tidak berkesudahan maka ini adalah jawaban terhadap pertanyaan: "Mungkinkah kita terus mengasihi pasangan kita dengan cinta yang terus membara?" Mungkin, alkitab sudah berkata kasih tidak berkesudahan, mungkin terus mencintai jadi mungkin terus membuat api cinta itu terus membara dan berkobar.

GS : Karena itu kadang-kadang kita juga melihat ada pasangan yang sudah tua, kakek-nenek tapi masih tetap saling mencintai. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini, para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Terus Mencintai." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



41. Kemesraan Diusia Senja


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T174B (File MP3 T174B)


Abstrak:

Kemesraan tidak hanya dimiliki oleh orang-orang muda atau pasangan yang baru menikah. Tuhan mendisain tubuh kita untuk menerima dan memberikan kemesraan dan tidak ada masa berlakunya, jadi bisa berlaku bahkan sampai usia tua sekalipun. Ada beberapa cara untuk menghidupkan api kemesraan, yaitu diambil dari kitab Kidung Agung.


Ringkasan:

Kemesraan tidak hanya dimiliki oleh orang-orang muda atau pasangan yang baru menikah. Tuhan mendisain tubuh kita untuk menerima dan memberikan kemesraan dan tidak ada masa berlakunya, jadi bisa berlaku bahkan sampai usia tua sekalipun.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk terus menghidupkan api kemesraan, yaitu diambil dari kitab Kidung Agung.

Firman Tuhan
Kidung Agung 7:10, "Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju." Artinya kita hanya bisa membangun kemesraan jika objek kemesraan itu tunggal yaitu istri atau suami kita sendiri. Saya kira berbahagialah istri yang bisa berkata: "Kepunyaan kekasihku adalah aku, kepadaku gairah suamiku tertuju." Berbahagialah suami yang bisa berkata: "Kepunyaan kekasihku adalah aku, kepadaku gairah istriku tertuju." Itu adalah ungkapan-ungkapan yang sangat membahagiakan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kemesraan di Usia Senja". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul ada orang yang berpendapat bahwa kemesraan itu hanya milik orang-orang muda atau pasangan yang baru menikah. Dalam hal ini bagaimana pendapat Pak Paul?

PG : Saya tidak setuju Pak Gunawan, karena saya meyakini bahwa Tuhan mendisain tubuh kita untuk menerima dan memberikan kemesraan dan tidak ada masa berlakunya. Jadi ini bisa berlaku bahkansampai usia tua sekalipun.

Nah sudah tentu nanti kita akan melihat bahwa dengan menanjaknya usia, bentuk-bentuk kemesraan juga akan mengalami perubahan, namun tetap kemesraan itu adalah sesuatu yang dapat dinikmati dan diberikan hingga usia senja sekalipun.
GS : Yang Pak Paul maksud bahwa kita didisain untuk itu seperti apa, Pak?

PG : Maksudnya adalah Tuhan memang sudah memberikan kepada kita kapasitas untuk membagi kelembutan, merasakan sentuhan, merasakan getaran dan juga memberikan getaran serta kelembutan itu keada orang lain.

Itu adalah kapasitas yang memang ada dalam tubuh kita, ada dalam diri kita dan itu adalah sesuai dengan disain Tuhan.
GS : Memang pada masa kita masih muda, gairah atau getaran yang Pak Paul katakan itu memang ada tapi lama-lama setelah kita sudah mempunyai anak dan sibuk dengan pekerjaan dan sebagainya kadarnya mulai menurun, getarannya, dorongannya juga mulai menurun. Nah bagaimana kita bisa mempertahankan agar kemesraan itu tetap bisa bertahan?

PG : Ada beberapa hal yang saya ingin bagikan Pak Gunawan, yang saya ambil dari kitab Kidung Agung. Nah yang akan saya bagikan mungkin sekali bagi para pendengar kita terdengar sangat sederana tapi saya kira tetap penting untuk kita dengarkan kembali.

Yang pertama saya akan bacakan dari Kidung Agung 1:2, "Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! Karena cintamu lebih nikmat daripada anggur." Langkah pertama atau hal pertama yang bisa kita lakukan untuk terus menghidupkan api kemesraan adalah dengan mencium pasangan kita. Ciumlah istri kita, ciumlah suami kita jangan sampai kita mempunyai anggapan bahwa "O.......biarkan dia yang mencium saya, saya tidak usah dan tidak perlu menciumnya." Kadang-kadang ada orang yang seperti itu, mereka beranggapan, "ya kalau pasangan saya mau silakan; kalau pasangan saya tidak mau ya sudah saya juga tidak akan melakukannya." Nah itu saya kira pandangan yang keliru. Sebaiknya dua-dua baik suami maupun istri bahkan sampai usia lanjut sekalipun biasakanlah untuk mencium pasangan. Cium di dahi, cium di pipi, cium di tangan dan silakan cium di bibir. Nah ini memang adalah hal yang perlu kita lakukan sebab ciuman itu akan menghidupkan api kemesraan, sebaliknya tidak adanya kontak-kontak seperti ciuman makin hari makin mendinginkan arti kemesraan itu.
GS : Selain ciuman, apalagi Pak Paul?

PG : Yang saya juga angkat dari pasal yang sama adalah ayat ketiga, "Harum bau minyakmu, bagaikan minyak yang tercurah namamu." Saya angkat ayat ini untuk kita aplikasikan di dalam relasi kta, perharumlah tubuh kita, perbaikilah penampilan kita.

Saya tahu tidak semua orang dikaruniakan wajah yang tampan atau wajah yang cantik. Tidak harus kita itu cantik atau tampan, tapi saya kira kita semua bisa berpenampilan baik, kita semua bisa membersihkan tubuh kita. Arti kemesraan menuntut adanya kebersihan dan sebisanya harum, jadi jangan takut kalau misalkan orang mengatakan, "Kok kamu sudah tua masih wangi, masih memakai minyak wangi." Sebab bukankah itu hal yang akan dinikmati oleh pasangan kita. Kalau badan kita bau sudah tentu itu akan memadamkan api kemesraan, akan memadamkan niat pasangan kita untuk dekat dengan kita. Saya mengerti kadang kala orang-orang yang sudah mulai berusia lanjut berkata: "Ah, hal-hal yang bersifat lahiriah tidak penting sama sekali." Saya kira itu pandangan yang keliru, mungkin saya harus tekankan, justru di usia tua kita harus lebih menjaga kebersihan tubuh kita dan keharuman tubuh kita. Ini adalah unsur yang penting untuk menghidupkan arti kemesraan.
GS : Memang hal ini terkait dengan yang pertama tadi, bahwa biasanya kita itu agak enggan mencium pasangan kita karena justru ada bau yang kita kurang sukai.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, bau cenderung menjauhkan kita, harum cenderung mendekatkan kita. Dan memang itu adalah kodrat manusiawi kita, tatkala kita mencium sesuatu yang wangi atau harm kita cenderung ingin mendekati.

Tatkala kita mencium bau harum dari setangkai bunga kita ingin mendekatkan wajah kita untuk dapat mencium keharuman bunga itu, demikian pula dalam relasi kita dengan pasangan. Waktu dia mengeluarkan bau harum bukankah kita akan terpanggil untuk dekat dengannya, dan ini adalah awal kemesraan bahwa kita ingin dekat dengannya. Jadi jangan ragu, jangan malu untuk mewangikan tubuh kita dalam batas yang wajar, saya kira itu adalah hal yang sehat.
GS : Berarti menjelang pergi ke tempat tidur sebelum istirahat malam sebenarnya menggunakan parfum itu bukan sesuatu yang berlebihan.

PG : Tidak sama sekali, yang penting memang di sore hari kita sudah capek bekerja dan sebagainya kita mesti mandi, kita boleh gunakan bedak. Pokoknya mandi yang bersih, berpakaian yang bersh, itu adalah hal-hal penting yang dapat mengundang pasangan kita dekat kepada kita.

Tadi saya tekankan lagi tentang mandi, tentang berpakaian bersih, sebab saya juga tahu ada orang yang tidak suka mandi, ada orang yang disuruh berkali-kali baru mandi dan kadang-kadang kalau tidak disuruh bisa berhari-hari tidak mandi. Nah itu mengeluarkan bau yang sangat kuat atau ada orang yang suka mandi tapi tidak suka berganti pakaian, pakaian yang sama digantung dan bisa dipakai selama dua minggu, pakaian itu akan sangat bau. Jadi bukan saja mandi membersihkan tubuh tapi pakailah juga baju atau pakaian yang bersih. Mahal dan mewah bukan isu di sini tapi yang terpenting adalah bersih, harum dan enak dilihat. Ini langkah pertama mendekatkan pasangan kepada kita.
GS : Mungkin peran pasangan cukup penting supaya bisa saling mengingatkan karena kita sendiri tidak merasa bahwa tubuh kita ini sedang berbau.

PG : Betul, jadi kita juga jangan sampai sungkan untuk memberikan teguran halus kepada pasangan kita kalau memang itu yang kita rasakan, daripada kita mengorbankan keintiman kita berdua.

GS : Selain dua hal itu apakah masih ada hal lain lagi yang bisa dilakukan, Pak Paul?

PG : Masih ada Pak Gunawan, saya akan angkat lagi dari pasal 1:15 dan 16, "Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau, bagaikan merpati matamu. Lihatlah, tampan engkau, kekaihku, sungguh menarik; sungguh sejuk petiduran kita."

Dua ayat ini melukiskan seruan, rayuan baik dari pria maupun dari istrinya. Yang pria mengatakan cantik engkau, yang wanita mengatakan tampan engkau. Nah apa yang bisa kita petik di sini? Yang bisa kita petik adalah rayuan, kadang-kadang kita berkata: "Ah, sudah usia segini tidak usah merayu-rayu itu gombal dan sebagainya." Saya akan tetap berkata bahwa rayuan segombal apapun tetap enak di dengar, apalagi oleh pasangan kita, oleh suami atau istri kita. Jadi silakan rayu, katakan bahwa engkau tampak cantik hari ini, potongan rambutmu pas sekali; rayulah, rayuan tetap adalah hal yang enak didengar. Dan dari telinga, rayuan itu akan menyentuh hati dan dari hati akan menimbulkan gejolak kemesraan yang nanti diberikan pada pasangannya dan ditanggapi lagi oleh pasangannya. Nah dengan hal-hal seperti inilah kemesraaan dihidupkan kembali.
GS : Mungkin di dalam hal menyampaikan rayuan atau pujian, supaya jangan terkesan dibuat-buat itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira sudah tentu hal yang kita katakan harus benar, jangan sampai kita mengatakan hal yang tidak benar. Karena kalau itu tertangkap oleh pasangan kita bisa-bisa itu menimbulkan keengkelan, seolah-olah ini sebuah penghinaan.

Jadi jelilah mata kita untuk melihat sesuatu yang kita tahu benar dan kita ungkapkan kepadanya. Misalkan benar-benar hari ini istri kita membelah rambutnya dengan berbeda dan tampak menjadi lebih segar atau apa, kita bisa langsung sampaikan. "Belahan rambutmu kok tampaknya pas, enak dilihat membuat saya merasa senang melihat wajahmu." Atau dia berpakaian rapi, kita bisa langsung berkata: "Kamu tampak tampan sekali hari ini, wah saya itu beruntung sekali mempunyai suami seperti kamu." Kata-kata kecil seperti itu atau kata-kata seperti, "meskipun kamu sudah tua, kamu masih tampak cantik di mataku, engkau adalah tetap orang yang menarik hatiku sampai saat ini." Hal-hal seperti itu, sekecil apapun itu adalah penting dan yang baik untuk kita komunikasikan kepada pasangan kita.
GS : Dan sering kali ucapan pujian itu kemudian diikuti suatu permintaan kebutuhan, ini yang membuat pasangan atau kita itu menjadi was-was. Kenapa dia tiba-tiba memberikan pujian, ini pasti ada maunya, entah minta tambahan uang atau minta sesuatu, Pak Paul.

PG : Itu terjadi dikarenakan kita jarang memberikan pujian atau rayuan, justru kalau kita cukup sering memberikan pujian, rayuan kepada pasangan kita dan di belakang itu tidak ada pamrih, tdak ada permintaan tertentu saya kira pasangan kita tidak akan mengembangkan rasa curiga seperti itu.

Kalau kita jarang memberikan pujian dan setiap kali kita memberikan rayuan atau pujian ada udang di balik batu, pasti pasangan kita tidak lagi menyambut rayuan itu. Malahan begitu mendengarkan pujian, dia akan berjaga-jaga, sebab nanti pasti akan ada yang diminta darinya.
GS : Maka di dalam membina kemesraan ini ada satu pihak yang memberi dan pihak yang lainnya harus menerima, Pak Paul?

PG : Setuju sekali Pak Gunawan, tadi saya sudah singgung di awal rekaman ini bahwa penting sekali Tuhan mendisain tubuh kita baik untuk menerima maupun untuk memberi kemesraan. Jadi kita meti mengijinkan pasangan kita memberi atau membagi kemesraan itu dengan kita.

Jangan sampai kita berkata: "Ah.......sudah tua ngapain sih kamu masih begini, genit, tidak enak dilihat orang." Saya kira komentar-komentar seperti itu cenderung memadamkan api kemesraan. Pasangannya akan berkata: "Ya sudah, saya tidak akan lagi melakukannya, sebab saya tidak mau mengalami penolakan untuk kedua kalinya." Jadi penting sekali bagi pasangan yang sedang menerima rayuan atau sentuhan atau kecupan, jangan menolak karena tolakan kita itu akan memadamkan api kemesraan.
GS : Mungkin masih ada hal lain yang bisa dilakukan?

PG : Ada satu lagi Pak Gunawan yaitu dari pasal 2:6 dikatakan, "Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku." Ini adalah ungkapan kemesraan secara fisik dalam bntuk pelukan.

Dan saya akan tambahkan juga silakan menyentuh atau meraba istri atau suami kita. Kadang-kadang kita merasa risih terutama di usia senja, kalau pasangan kita memeluk kita dan mulai meraba kita. Dan kita mulai berkata tidak ah, tidak usah dan sebagainya. Sebaiknya jangan, sentuhan, pelukan beserta rabaan adalah unsur-unsur kemesraan di antara suami dan istri bahkan di usia senja. Saya ingin tekankan hal ini, pada masa-masa pemuda setelah kita menikah pada usia-usia 20-an tahun, benar-benar kemesraan itu berpusat pada kelamin, namun dengan bertambahnya usia kemesraan itu akan mengalami pergeseran dari pusat pada kelamin terus naik ke kepala atau yang saya maksud adalah pada jiwa kita, dan memang seharusnyalah seperti itu. Pada usia-usia senja kita akan mulai menggeserkan tekanan-tekanan yang dulu biasanya pada hubungan seksual menjadi sebuah pembangungan kemesraan yang tidak melulu harus berakhir dengan kontak-kontak seksual tapi benar-benar menghidupkan api kemesraan. Salah satunya adalah seperti yang sudah kita bahas yaitu memeluk dan meraba. Silakan peluk dan ijinkan pasangan memeluk, silakan meraba dan juga ijinkanlah pasangan untuk meraba tubuh kita.
GS : Berarti kalaupun kita sudah bermesraan, itu tidak harus berujung pada hubungan seksual, Pak?

PG : Tidak, benar-benar memang ini sesuatu yang harus kita pahami. Sebab secara alamiah tubuh kita itu juga tidak lagi memproduksi hormon-hormon seksual seproduktif masa-masa muda kita. Sudh tentu gairah-gairah seksual kita juga akan mulai mengalami penurunan.

Itu adalah sesuatu yang harus kita sambut, kita terima, kita rayakan. Namun janganlah itu menjadi alasan kita makin hari makin terpisah dari pasangan kita. Jadi mesti kita yakini bahwa kemesraan itu memang akan makin bergeser, berpindah tempat dari satu lokasi di tubuh kita bergeser ke lokasi-lokasi lain dalam tubuh kita.
GS : Memang itu akan menjadi masalah kalau satu pihak menghendaki hubungan seksual tapi pihak yang lain tidak siap.

PG : Saya kira di sini perlu dituntut adanya pengertian, yang tidak siap bisa berkata kepada pasangannya, "Saya memang tidak siap, dapatkah engkau mengerti ketidaksiapanku." Silakan untuk mngatakannya namun jangan memarahi pasangannya, ada orang yang tidak siap terus memarahi pasangannya yang menginginkan kemesraan secara seksual dan dia mengatai pasangannya kamu tidak tahu diri atau apa, itu akan menyakitkan hati.

Namun kalau disampaikan dengan penuh kasih sayang, dengan penuh penyesalan dan benar-benar mengerti kebutuhan pasangannya namun dia merasa saya tidak bisa memberikan, nah itu saya kira akan diterima oleh pasangan bahwa ya memang tidak siap dan tidak apa-apa. Ini adalah hal-hal yang bisa dikomunikasikan dan tidak harus menimbulkan masalah di antara pasangan.
GS : Kalau begitu hambatan-hambatan apa yang sering kali timbul atau yang dihadapi tatkala kita akan membina kemesraan itu?

PG : Biasanya pada masa-masa usia tua itu adanya konsep yang tertanam dalam diri kita bahwa setelah mencapai usia tertentu kita tak boleh lagi bermesraan dan itu hanyalah untuk anak muda. Ii konsep yang harus kita ubah.

Kita membutuhkan sentuhan kemesraan. Kita adalah makhluk yang Tuhan sudah ciptakan untuk membutuhkan kemesraan. Kalau saya bandingkan misalnya dengan kemarahan, mana yang lebih alamiah buat kita sebagai manusia mengekspresikan kemarahan atau mengekspresikan kemesraan. Saya kira kita akan berkata kemesraan, sebab kalau kita mengekspresikan kemarahan, yang akan kita rasakan sesudahnya adalah rasa tidak nyaman. Tidak ada orang yang akan senang setelah dia marah, rasanya setelah marah hati menjadi tidak enak, gundah gulana mungkin ada penyesalan dan sebagainya. Tapi tatkala kita memberi dan menerima kemesraan, sesudahnya atau bahkan tengah menerima atau memberikan sekalipun kita merasakan sesuatu yang nikmat, nyaman, sejuk. Benar-benar perasaan yang menenteramkan sekali. Kemesraan sebetulnya jauh lebih manusiawi, jauh lebih sesuai dengan kodrat kita dibandingkan kemarahan. Sayangnya akhirnya kita menjadikan kemarahan yang lebih sesuai dengan kodrat manusiawi kita. Kita lebih mudah mengekspresikan kemarahan daripada mengekspresikan kemesraan, nah ini keliru, jadi halangan pertama adalah konsep itu harus berubah. Halangan kedua yang kadang-kadang kita juga mesti perhatikan adalah jadwal kehidupan kita. Kadang-kadang pada usia-usia menengah, paro baya, kita makin repot; tersitalah waktu, perhatian, energi kita untuk hal-hal lain dan akhirnya kita tak lagi mempunyai energi yang sisa untuk kita berikan kepada pasangan kita. Jadi hidup kita harus berimbang, tanpa kehidupan yang berimbang saya kira susah kita membagi diri untuk bermesraan dengan pasangan kita.
GS : Dalam bermesraan dengan pasangan bukankah itu membutuhkan kondisi yang kondusif terutama lingkungan. Nah bagaimana menciptakan situasi yang kondusif ketika banyak anak di sekeliling kita mungkin keluarga-keluarga yang lain, bukankah itu tidak enak.

PG : Tadi Pak Gunawan sudah menggunakan kata yang merupakan kuncinya yaitu menciptakan. Jadi kemesraan itu harus diciptakan, situasinya, suasananya harus direncanakan dan dipikirkan. Kadangkala sesuatu bisa terjadi secara alamiah atau kebetulan, tapi saya kira kita mesti mendisiplin diri untuk bermesraan.

Dan disiplin ini termasuk memikirkan atau merencanakan tempatnya, waktunya. Misalkan kita bisa berjalan bersama di usia kita yang sudah senja, kita pegang dia, kita rangkul dia, kita peluk dia, itu sudah menjadi bagian dari kemesraan. Waktu kita ingin tidur kita mencium pasangan kita, itu adalah bagian dari kemesraan. Hal-hal yang sebetulnya sangat sederhana dan dapat dilakukan kalau saja kita mau melakukannya.
GS : Yang kita perbincangkan ini lebih banyak harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan kemesraan itu sendiri.

PG : Betul sekali, dan sekali lagi kata kuncinya adalah apakah kita mau melakukan. Sebab sesungguhnya kita bisa melakukan.

GS : Jadi kita memang berharap bagi para pendengar yang sedang mengikuti program ini akan segera melakukannya supaya menciptakan suasana kemesraan di tengah-tengah keluarganya, bukankah itu yang diharapkan oleh pasangan.

PG : Betul, dan kita jangan juga beranggapan atau berpikir wah saya tidak bisa bermesraan sebab kami masih punya masalah, tunggu masalah selesai baru nanti saya bermesraan dengan pasangan sya.

Jangan, persoalan memang belum selesai dan akan makan waktu untuk menyelesaikannya, jangan tunggu sanpai semua selesai baru memulai bermesraan. Bagaimana kalau kita lakukan keduanya, ini saran saya, silakan selesaikan masalah kita di samping itu silakan membuka diri untuk menerima dan memberikan kemesraan. Karena persoalan akan lebih mudah diselesaikan kalau dua hati sudah menyatu kembali.
GS : Ya saya rasa memang menjadi kebutuhan dasar manusia untuk menikmati kemesraan, kalaupun tidak kita dapatkan dari pasangan, orang akan lari mencari orang lain untuk memenuhi kebutuhan itu, dan itu yang tidak benar.

PG : Betul, dan itu adalah bahaya yang harus kita hindari. Maka saya kira firman Tuhan yang saya ambil dari Kidung Agung 7:10 bisa memberikan peringatan kepada kita. "Kepunyaankekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju."

Artinya kita hanya bisa membangun kemesraan jika objek kemesraan itu tunggal yaitu istri atau suami kita sendiri. Tatkala kita sudah membuka pintu dan memikirkan orang lain tidak mungkin kita bisa menjalin kemesraan dengan pasangan kita. Saya kira berbahagialah istri yang bisa berkata: "Kepunyaan kekasihku adalah aku, kepadaku gairah suamiku tertuju." Berbahagialah suami yang bisa berkata: "Kepunyaan kekasihku adalah aku, kepadaku gairah istriku tertuju." Wah itu adalah ungkapan-ungkapan yang sangat membahagiakan.

GS : Baik Pak Paul terima kasih untuk perbincangan kali ini, para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kemesraan di Usia Senja". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



42. Pubertas 2 Mitos atau Realitas 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T178A (File MP3 T178A)


Abstrak:

Begitu banyak masalah pernikahan yang terjadi dalam kurun usia tertentu, tepatnya usia 40-60. Pada umumnya kita mengaitkan gejala itu dengan pubertas II. Pertanyaannya adalah, apakah ada pubertas II dan jika ada, apakah yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya masalah dalam pernikahan?


Ringkasan:

Begitu banyak masalah pernikahan yang terjadi dalam kurun usia tertentu, tepatnya usia 40-60. Pada umumnya kita mengaitkan gejala itu dengan pubertas II. Pertanyaannya adalah, apakah ada pubertas II dan jika ada, apakah yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya masalah dalam pernikahan?

Fakta

Kesimpulan

Firman Tuhan: "Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan.... Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Filipi 4:11-13


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pubertas ke II: Mitos atau Realitas?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sebagian orang mengatakan bahwa kehidupan yang sebenarnya dimulai di usia 40 tahun, namun ternyata pada usia seperti itu justru di dalam kehidupan suami-istri atau kehidupan berkeluarga itu banyak sekali masalah yang muncul, bagaimana pendapat Pak Paul?

PG : Memang pada usia itu terjadi banyak sekali perubahan, itu sebabnya ada sebagian orang yang memanggil kurun usia 40 hingga 60 tahun itu bukan saja usia paro baya atau usia pertengahan tpi juga masa pubertas ke II.

Kenapa dipanggil masa pubertas ke II, kita tahu bahwa pubertas itu sebetulnya mengacu pada masa remaja dan kita tahu di mana masa remaja terjadi banyak sekali perubahan. Secara fisik kita mengalami perubahan, secara kognitif, cara berpikir kita mengalami perubahan dan semua itu akhirnya berdampak pada perubahan-perubahan secara emosional dalam diri kita. Begitu banyaknya perubahan sehingga sering kali masa remaja dipanggil sebagai masa yang penuh dengan gejolak, penuh dengan kejutan-kejutan. Ada anak-anak yang sebelumnya baik-baik saja, tidak ada masalah; memasuki masa remaja mulai mengembangkan masalah. Orang melihat ada paralelnya, ada kesamaannya antara usia remaja dengan usia pertengahan 40-60 tahun terutama jika kita bandingkan antara kelompok laki-laki dengan kelompok laki-laki. Pada usia 40-60 itu terjadi juga banyak gejolak dan perubahan-perubahan. Ada laki-laki yang sebelumnya baik-baik, sabar, mencintai istri dan anak-anak, tidak pernah macam-macam, namun pada usia petengahan mulai macam-macam. Mulai menjalin hubungan dengan wanita lain dan sebagainya. Akhirnya muncullah sebutan atau julukan bahwa pria ini sedang mengalami pubertas ke II. Dan dalam pengertian itulah memang masa paro baya ini menjadi masa yang penuh dengan perubahan dan gejolak.
GS : Tetapi sekalipun banyak kesamaan antara pubertas di masa remaja dan pubertas di usia paro baya ini bukankah tetap ada perbedaan-perbedaannya?

PG : Betul sekali, sebenarnya perbedaannya ini sangat bertolak belakang. Pada usia remaja atau belasan tahun itu biasanya perubahan itu ditandai dengan bertambahnya fungsi-fungsi dalam hidu manusia, dan sebelum usia remaja belum berfungsi secara optimal.

Salah satu yang paling nyata adalah bertambahnya fungsi organ-organ seksual. Secara hormonal pada usia remaja kita lebih dimungkinkan untuk berbuat atau melakukan hubungan seksual. Pada usia-usia paro baya, sesungguhnya kita bukan mengalami pertambahan tapi kebalikannya yaitu kita mengalami pengurangan. Yaitu pengurangan kapasitas, pengurangan fungsi, misalkan secara seksual kita tidak lagi bisa dibandingkan pada usia 50 tahun dengan usia 15 tahun. Sebetulnya gejolak-gejolak seksual itu jauh lebih kuat pada usia 15 tahun dibandingkan dengan usia 50 tahun. Usia 60 tahun tidak bisa dibandingkan dengan usia 16 tahun, yang terjadi pada usia 60 tahun adalah penyusutan jadi disinilah kita melihat perbedaan. Namun persamaannya adalah terjadi perubahan, yang bertambah itu perubahan; yang berkurang juga perubahan. Dan ternyata perubahan inilah yang juga menimbulkan gejolak-gejolak di dalam kehidupan seseorang.
GS : Apakah semua orang pasti mengalami masalah ini Pak Paul?

PG : Saya kira tidak Pak Gunawan, perbedaannya adalah ada sebagian orang yang dapat menerima perubahan-perubahan itu serta menyikapinya dengan tepat. Namun ada orang-orang tertentu yang memng tidak sanggup menerima perubahan-perubahan itu dan menyikapinya dengan tepat.

GS : Bagaimana dengan seseorang yang tidak sanggup menyikapi masalah-masalah yang kritis itu, Pak Paul?

PG : Ada banyak contohnya atau ada banyak penyebabnya, misalnya ada orang-orang yang tidak bisa menerima bahwa ia tidak lagi setampan atau sekuat pada masa dulu, sehingga dia berusaha untukmengawetkan dirinya agar tidak tua-tua, tidak mengalami proses pengeriputan dan sebagainya.

Orang-orang yang memang tidak berhasil menerima ini akan berusaha terlalu keras mempertahankan kemudaannya. Orang yang bisa menerima ini tidak berarti sama sekali tidak berbuat apa-apa untuk menahan lajunya proses penuaan. Mungkin saja dia akan berolahraga dengan lebih sering, memakan makanan yang lebih bergizi dan mengurangi kandidat makanan yang dikonsumsinya tapi mereka tidak terlalu terobsesi dengan penampilan. Tapi bagi yang tidak bisa menerima justru mereka terobsesi dengan proses penuaan, berusaha super keras untuk tampil tetap muda. Misalnya operasi plastik, mengencangkan otot, membuang keriput dan sebagainya. Nah sekali lagi saya mau tekankan, sampai titik tertentu untuk menahan lajunya proses penuaan adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Saya kira kita semua senang kalau tetap dipanggil muda, tapi kalau kita sampai terobsesi itu tidak sehat. Salah satu tampak tidak sehatnya adalah kadang-kadang orang akhirnya akan melakukan hal-hal yang salah. Justru untuk seolah-olah meyakinkan dirinya bahwa dia itu tetap muda, tetap menarik, tetap tampan, tetap bisa memikat hati gadis-gadis atau pria-pria yang lebih muda, dalam hal inilah usia paro baya menjadi usia yang rentan terjadinya masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan hubungan di luar nikah.
GS : Berarti pada pubertas yang ke II ini lebih banyak dipengaruhi oleh pikiran daripada hormon di dalam diri orang itu, Pak?

PG : Betul sekali, sebab sesungguhnya secara fisik kemampuannya bukannya bertambah tapi malah berkurang. Orang usia 50 tahun tidak sama dengan 15 tahun, usia 60 tahun tidak sama dengan usia16 tahun justru kemampuan fisiknya mengalami penurunan.

Keterbatasanlah yang harus dihadapi oleh seseorang yang usia paro baya. Tapi sekali lagi ada orang yang sangat sulit menerima semua ini dan rentan terhadap masalah. Ada orang yang tetap ingin membuktikan dirinya menarik dan bisa memikat lawan jenis sehingga mencoba berhubungan dengan lawan jenis. Tapi ada sebagian orang yang bisa menerimanya dengan baik, meskipun mereka tetap mempertahankan penampilan prima mereka. Memang dari luar orang bisa berkata, "Aduh, ini si om tambah hari tambah genit, lebih sering ke fitness center, lebih sering menggunakan minyak rambut dan sebagainya." Sampai batas tertentu tetaplah kita katakan ini wajar, mereka hanya ingin mempertahankan penampilan mereka, jangan sampai akhirnya terlalu cepat melaju ke usia tua.
GS : Biasanya kenapa Pak Paul, ada sebagian orang yang bisa menerima kenyataan seperti itu dan ada yang mengingkharinya?

PG : Memang semua ini bergantung pada kematangan jiwa seseorang Pak Gunawan, dan yang lebih penting juga adalah berapa berserahnya dia kepada Tuhan. kalau seseorang mempunyai kematangan jiw, dia bisa menerima dirinya apa adanya bahwa dia pernah muda tapi dia tahu dia tidak selalu muda, dia pernah kuat tapi tidak selalu kuat, dan dia menganggap proses penuaan sebagai sesuatu yang sangat wajar bukan sesuatu yang ditakuti dan dihindari tapi sesuatu yang memang harus dia sapa, harus dia terima.

Nah orang seperti itu akan bisa melewati masa-masa ini dengan lebih mulus. Yang kedua adalah orang yang memang berserah kepada Tuhan, dia tahu hidup di tangan Tuhan, dia tahu nafas yang sekarangpun dia hela adalah pemberian Tuhan. Jadi kenapa kita mesti meributkan hal-hal kecil seperti ini. Bagi orang-orang yang memang takut dan hidup dalam Tuhan, mereka akan melihat hidup itu lebih dari sekadar penampilan, dari sekadar usia muda. Mereka sungguh meyakini firman Tuhan yang berkata bahwa, "Kasih setia-Mu lebih daripada hidup." Ada hal yang lebih penting daripada hidup, hidup bukan segalanya, kasih setia Tuhan itu lebih daripada hidup. Orang seperti ini tidak mudah dinganggu oleh penampilan, oleh dorongan untuk tetap muda, dia menjalani hidupnya dengan ringan. Dia mengerti apa yang sungguh-sungguh penting, apa yang sungguh-sungguh memiliki nilai yang kekal. Dan apa yang fana, yang sementara dia terima, bahwa memang hidup tidaklah kekal. Orang-orang yang seperti ini mampu menjalani masa-masa paro bayanya dengan lebih baik. Sebaliknya orang yang tidak memiliki kematangan hidup susah, mereka seolah-olah hendak menghentikan lajunya waktu, tidak mau tua, harus tampil selalu prima, tidak mau menerima penyakit sama sekali dan sebagainya. Sehingga hidup menjadi dewanya, melupakan tentang kasih setia Tuhan bahwa yang penting bukan hal-hal yang fana seperti ini, tapi hal-hal yang lebih bersifat kekal.
GS : Ada orang yang berpikiran, saatnya untuk meninggal itu sudah dekat, kemudian dia katakan dengan waktu yang singkat ini dia mau gunakan untuk menyenangkan hatinya atau menyenangkan dirinya sendiri.

PG : Orang-orang seperti ini memang hanya memusatkan perhatian hidup untuk dirinya sendiri, dia hidup untuk dirinya sendiri. Sebab dia gagal melihat bahwa hidup adalah pemberian Tuhan, dan alau pemberian Tuhan berarti hargailah si pemberi yang telah menganugerahkan hidup ini kepada kita.

Dan seharusnyalah kita mengerti bahwa si pemberi hidup yaitu Tuhan menganugerahkan hidup kepada kita sebab Dia memiliki rencana dan rencana Tuhan bukan hanya seputar hidup kita, rencana Tuhan jauh lebih luas daripada kita. Kita harus memikirkan orang lain, kita harus memikirkan generasi penerus kita. Ada orang-orang yang seperti tadi Pak Gunawan katakan memang tidak peduli, jangankan orang lain, anaknya sendiripun tak dipedulikan, dia tidak peduli anaknya nanti bisa kuliah atau tidak, nanti ada uang atau tidak untuk meneruskan sekolah. Semua uang pokoknya untuk dia, dia pakai dengan sekehendak hatinya yang penting senang, dia memang hidup hanya untuk dirinya sendiri. Nah untuk orang seperti ini wajar sekali mereka itu akan takut, cemas kalau hidup itu tiba-tiba sepertinya licin dan mulai lepas dari genggaman mereka dan mereka harus memegangnya erat-erat. Mereka tidak bisa menyerahkan hidup itu kembali kepada Tuhan, yang telah memberikannya untuk sementara kepada kita.
GS : Memang secara jujur mereka mengatakan mereka takut untuk menghadapi kematian. Jadi ini semacam pengingkharan.

PG : Ya mereka memang sesungguhnya menyadari bahwa hidup ini sementara dan mereka akan meninggalkan hidup ini, namun karena kecintaan akan hidup itu melebihi dari kecintaan mereka kepada Tuan yang memberikan hidup akhirnya mereka mendewakan hidup.

Seolah-olah inilah segala-galanya tidak ada yang lebih penting dari hidup ini. Saya kira sayang sekali kalau kita sampai luput melihat desain yang lebih luas dari sekadar hidup ini.
GS : Dan biasanya memang pada usia seperti itu, kondisi ekonominya menunjang.

PG : Menunjang untuk orang akhirnya lebih bergantung kepada diri sendiri, menganggap saya sudah sukses dan sudah mapan dan sebagainya. Ini jugalah yang membuat orang-orang ini atau pria-pri pada usia pertengahan rentan terhadap kejatuhan terutama kejatuhan dalam hal perzinahan.

Mengapa? Karena memang secara ekonomi mereka tambah mapan, secara penampilan mereka tambah baik, karena keuangan mereka sekarang menunjang. Tidak heran kalau ada orang-orang yang mudah terpikat dengan mereka. Apalagi orang-orang ini memang membutuhkan dukungan ekonomi.
GS : Biasanya memang orang-orang pada usia seperti ini disukai oleh gadis-gadis yang masih muda, sebenarnya motivasinya seperti apa, Pak?

PG : Ada beberapa hal yang sebenarnya melatarbelakangi semua ini Pak Gunawan, yang pertama adalah memang harus kita akui sebagian gadis-gadis mempunyai keingingan menikah dengan seseorang yng menyerupai ayah mereka.

Sebab figur ayah itu menjadi figur yang menenangkan, menyejukkan, mengayomi dan sebagainya. Sebagian gadis-gadis ini jadinya mudah sekali terpikat dengan pria yang usianya di atas mereka dan lebih menyerupai usia ayah mereka. Sebab ini mengingatkan mereka dengan figur ayah yang mengasihi dan mengayomi mereka. Dan kita tahu bagi cukup banyak wanita diayomi adalah suatu kerinduan yang sangat besar, mereka benar-benar menginginkan sebuah relasi di mana mereka akan merasa tenteram, itu penting sekali bagi wanita. Siapa yang bisa memberikan ketenteraman seperti ini, jawabnya adalah pria-pria ini; secara ekonomi mereka lebih mapan dan yang lebih penting secara emosional, secara pemikiran pria-pria ini cenderung lebih matang. Mereka tidak lagi tergesa-gesa dalam hidup seperti anak usia 20 tahun, mereka adalah orang-orang yang lebih memahami sebenarnya apa hidup ini. Kematangan itu menjadi daya pikat yang sangat besar sehingga akhirnya wanita-wanita yang lebih muda lebih mudah tertarik kepada mereka. Jadi karena alasan ekonomi dan juga karena alasan kematangan berpikir dan kematangan emosional juga.
GS : Dan bagi pria yang memasuki usia seperti itu, yang memasuki masa pubertas ke II ini dijadikan semacam ajang pembuktian bahwa dia itu masih kuat, dia itu masih mampu melakukan segalanya.

PG : Betul, jadi dengan dia disukai oleh lawan jenis yang lebih muda, tiba-tiba mereka bisa berpikir: "Aduh saya masih cukup menawan, masih bisa laku, masih bisa menarik hati wanita-wanita ang lebih muda.

Bukan saja saya bisa menarik hati istri saya yang seusia dengan saya tapi bisa menarik hati seorang gadis yang usianya 20 tahun di bawah saya. Saya bisa menang bersaing dengan pria-pria yang usianya 20 tahunan di bawah saya." Nah ini memang sedikit banyak menimbulkan kebanggaan. Salah satu hal lain yang juga berperan menjadi penyebab pria-pria ini jatuh ke dalam dosa adalah pada usia pertengahan seperti itu pada umumnya wanita mulai mengalami proses manapouse. Pada usia itu kita harus akui juga, hubungan seksual menjadi sesuatu yang susah dilakukan oleh wanita, karena (kalau saya boleh gunakan istilah pengibaratan) saya katakan pada usia seperti itu, peralatan wanita untuk bisa berhubungan memang telah mengalami penurunan fungsi, itu adalah gejala alamiah yang harus dilewati oleh semua orang. Akibatnya yang terjadi adalah cukup banyak pria yang mengeluhkan hal-hal seperti ini, mereka tidak mendapatkan respons yang sepatutnya dari istri, tidak lagi bisa menikmati hubungan seksual dengan istri karena istrinya pun tidak bisa menikmati dan sebagainya. Oleh karena itu godaan untuk bisa melakukan hubungan seksual dengan seseorang seperti dahulu kala itu besar, godaan itu sepertinya mengetuk-ngetuk pintu hati mereka. Kalau mereka tidak menjaga diri baik-baik, muncul tawaran dari wanita yang lebih muda, dan ini akhirnya benar-benar menjerumuskan mereka. Atau ini bisa juga kebalikannya, wanita yang usia paro baya yang tergoda membuktikan diri mereka bahwa mereka tetap menarik, sehingga akhirnya waktu mereka disukai oleh seorang pria yang usianya 20 tahun di bawah mereka, mereka sungguh tersanjung. Dan karena tersanjung akhirnya dia membuka pintu malah mengijinkan pria itu masuk dalam kehidupan mereka. Jadi memang usia-usia paro baya ini rentan, karena banyaknya perubahan sehingga mudah sekali terjadi pergolakan. Dan waktu terjadi pergolakan, orang tidak bisa menguasai dirinya dengan baik.
GS : Berarti pada usia itu sangat rentan sekali terjadi perselingkuhan, Pak Paul?

PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi faktor perselingkuhan lebih diperbesar pada usia-usia paro baya ini. Karena pada usia sebelum paro baya, dua-dua yaitu suami-istri repot mengurus aak-anak, memajukan karier dan sebagainya.

Benar-benar mata tertuju di luar untuk mengurusi tantangan hidup ini. Pada usia pertengahan hidup lebih stabil sehingga mereka mulai mencicipi apa yang telah mereka kerjakan sebelumnya. Mereka sudah di posisi atas, sudah mulai mencicipi hidup mereka akhirnya mempunyai waktu yang lebih luas, kesempatan yang lebih terbuka. Apalagi sekarang ada orang-orang yang lebih siap untuk menawarkan diri mereka pada pria atau wanita usia paro baya, itu sebabnya perselingkuhan lebih mudah terjadi pada usia-usia seperti ini.
GS : Berarti sebenarnya kalau pasangan suami-istri ini menyadari bahwa mereka sedang memasuki masa-masa yang berbahaya seperti ini, bukankah kedekatan di antara mereka sangat dibutuhkan?

PG : Betul Pak Gunawan, dan sebetulnya kedekatan itu tidak bisa dimulai pada usia paro baya. Jadi relasi nikah memang sejak awal harus dipupuk, sudah harus diperkuat, karena kalau tidak waku mengalami krisis paro baya ini mereka akhirnya benar-benar ambruk.

Saya juga mengerti ada cukup banyak pasangan yang relasi nikahnya rapuh sekali, tertolong oleh karena kehadiran anak. Karena adanya anak fokus perhatian teralihkan tidak lagi kepada satu sama lain namun kepada anak. Sehingga problem yang tadinya ada tiba-tiba terpecahkan, sebetulnya tidak terpecahkan, sebetulnya tetap ada namun untuk sementara tertutupi. Pada usia paro baya anak-anak sudah besar, sudah kuliah, ada yang tinggal di luar rumah tidak lagi tinggal bersama kita, berarti fokus perhatian kembali tertuju pada satu sama lain. Problem yang sebelumnya sudah ada, 20 tahun yang lalu sekarang mencuat kembali. Nah mereka tidak tahu bagaimana menghadapi ini. Karena 20 tahun lebih problem sudah bersarang dan masalah ini hanya untuk sementara ditutupi dengan kehadiran anak, mereka tidak pernah tahu bagaimana memecahkannya. Kalau setelah usia paro baya barulah menyadari dan mencoba untuk menyelesaikannya, kebanyakan akan kesulitan. Terutama lagi adanya pemikiran, "Tanggung, sudah begini sejak 20 tahun yang lalu, memang sudah sifatnya seperti ini, bagaimana saya bisa mengubahnya." Akhirnya keinginan untuk berubah pun, untuk menyelesaikan masalah sudah sangat tipis. Maka rentan sekali orang seusia seperti ini putus asa dan akhirnya berkata, "Ya sudah biarkan saja seperti ini," kalau imannya tidak kuat pada masa-masa ini, orang lain datang yang bisa mengerti dia, dia akan sangat mudah sekali terpikat dan jatuh.
GS : Ada istri yang mengatakan bahwa dia menyadari kalau suaminya sedang memasuki usia paro baya dan pubertas ke II ini. Dia mengatakan nanti akan berhenti sendiri kalau sudah melewati masa ini. Jadi dia menganggapnya seperti itu, dia pasrah.

PG : Mungkin sekali karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, mungkin juga sudah dicoba berbagai cara tetap tidak bisa. Atau ada orang yang berpikir praktis, daripada diributkan dan khirnya memecahkan biduk keluarga ya sudah biarkan.

Memang ada orang yang akhirnya pasrah karena memang sudah tidak berdaya.
GS : Tapi apakah memang betul bisa berhenti sendiri?

PG : Akan berhenti sendiri karena kita akan menuai, waktu kita sudah melewati usia 60, setampan-tampannya kita ya usia 60 tahun tidak sama dengan usia 26 tahun atau usia 36 tahun, pasti sudh sangat berbeda.

Tidak banyak orang seperti Clint Eastwood yang baru saja memenangkan Akademi Award, usianya 73 tahun tapi masih dalam keadaan prima seperti itu. Satu dalam seribu pria seperti itu, kebanyakan kita usia 73 tahun, jalan pun sudah mulai susah.
GS : Sebenarnya pada waktu-waktu seperti itu kedekatan kita dengan Tuhan itu penting sekali?

PG : Penting sekali Pak Gunawan, sebab benar-benar justru pada usia paro baya, peranan Tuhan itu seharusnya menjadi lebih besar dalam kehidupan kita. Karena pada usia paro bayalah kita bena-benar mulai bisa memandang tepi kehidupan ini, pada usia 26 tahun kita belum bisa melihat tepi kehidupan, sepertinya masih jauh.

Tapi pada usia-usia 50 tahunan kita mulailah melihat tepi kehidupan. Tubuh kita tidak lagi sekuat dulu, kalau sakit kadang lebih lama dan mulailah kita mengidap penyakit yang bersifat lebih permanen. Kita seharusnya lebih disadarkan betapa rapuhnya dan sementaranya hidup ini. Dan seharusnyalah kita mengadopsi perspektif hidup yang lebih rohani bahwa tidak ada yang kekal dan hanya Tuhan yang kekal, hidup pun akan berakhir namun ada satu yang tak akan berakhir yakni kasih sayang Tuhan kepada kita. Dan kita memikirkan apa yang Tuhan kehendaki kita perbuat untuk-Nya dan untuk orang-orang lain, jadi tidak lagi kita berfokus pada diri sendiri, memikirkan kepentingan sendiri atau keluarga sendiri, tidak, kita mulailah memikirkan orang lain, kebutuhan-kebutuhan yang mungkin sedang dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita atau generasi penerus kita. Justru kalau kita berhasil melihat hidup dengan lebih luas dengan lebih utuh, kita akan lebih bisa melewati masa paro baya ini dengan jauh lebih mulus.
GS : Pak Paul ini suatu perbincangan yang cukup menarik dan masih ada banyak hal yang perlu kita lihat dari sisi pubertas ke II ini, namun sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, Pak Paul akan menyampaikan firman Tuhan.

PG : Saya akan membacakan dari kitab Injil Matius 5:48, "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." Tuhan memberikan kepada kta standar dan standar itu tertulis dalam firman Tuhan.

Tuhan mengharapkan banyak dari kita yaitu kekudusan, kita makin hari haruslah makin serupa dengan Tuhan Yesus. Kadang-kadang orang yang sudah berusia paro baya lupa bahwa standar Tuhan tetap sama bahwa Tuhan tetap menuntut yang kudus, yang mulia, tanpa cacat cela pada diri kita semua. Jangan kita beranggapan sudah usia segini, maklumlah, Tuhan juga bisa mengerti saya lemah, saya punya kekurangan tidak apa-apa. Tidak, standar Tuhan tidak berubah gara-gara usia 50 tahun. Tetap sama, oleh karena itu ingatlah karena Tuhan sempurna Dia menuntut kita juga sempurna. Dalam pengertian, hidup kita, kekudusan kita makin hari justru harus makin bertambah, makin mendekati standar Tuhan, kita makin serupa dengan Tuhan Yesus. Jangan sampai memasuki usia paro baya kita makin tidak serupa dengan Tuhan Yesus, jangan sampai kekudusan kita makin melorot. Pertahankanlah, ini menjadi persembahan kita kepada Tuhan sewaktu kita bertemu dengannya.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pubertas ke II: Mitos atau Realitas?". Dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



43. Pubertas 2 Mitos atau Realitas 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T178B (File MP3 T178B)


Abstrak:

Lanjutan dari T178A


Ringkasan:

Begitu banyak masalah pernikahan yang terjadi dalam kurun usia tertentu, tepatnya usia 40-60. Pada umumnya kita mengaitkan gejala itu dengan pubertas II. Pertanyaannya adalah, apakah ada pubertas II dan jika ada, apakah yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya masalah dalam pernikahan?

Fakta

Kesimpulan

Firman Tuhan: "Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan.... Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Filipi 4:11-13


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Pubertas ke II: Mitos atau Realitas?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada waktu yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang pubertas ke II, mungkin sebagian pendengar kita tidak sempat mendengarkan waktu itu, Pak Paul berkenan menjelaskan ulang tentang beberapa fakta pubertas ke II di usia paro baya itu, Pak Paul?

PG : Masa paro baya yang biasanya melingkupi usia 40 hingga 60 tahun, sering kali dipanggil sebagai masa pubertas Ke II. Pertanyaannya adalah apakah memang ada pubertas ke II itu. Kata pubetas ke II itu sendiri sebetulnya mengacu pada masa remaja dan memang masa remaja sering kali dikaitkan dengan masa pergolakan.

Kenapa kita katakan masa remaja adalah masa yang sarat dengan pergolakan, sebab memang banyak terjadi begitu banyak perubahan pada masa remaja. Dan perubahan-perubahan itu akhirnya juga menimbulkan gejolak-gejolak secara biologis. Pada masa remaja mulai berfungsi hormon-hormon seksual kita sehingga akhirnya gairah seksual meningkat. Dan karena kita sebelumnya tak pernah hidup dengan gairah seksual dan sekarang hidup dengan gairah seksual kebanyakan remaja tidak mengerti, tidak tahu bagaimana menghadapi gejolak-gejolak seksual. Secara fisik juga terjadi perubahan, tubuhnya membesar, kadang-kadang mereka tak tahu bagaimana mengatasi ini. Anak gadis yang tidak pernah mengalami menstruasi sekarang mengalami menstruasi, mereka kadang-kadang kaget dan takut, apa yang harus dilakukan. Belum lagi ketertarikan kepada lawan jenis, sebelumnya tidak pernah merasakan adanya getaran-getaran ini sekarang merasakan getaran-getaran ini, segala macam terjadi pada usia remaja sehingga akhirnya menimbulkan gejolak. Pada usia 40 hingga 60 tahun sebetulnya ada kesamaan dengan remaja dalam pengertian terjadi banyak perubahan juga, meskipun perubahannya sebetulnya bertolak belakang dengan apa yang terjadi di usia remaja. Terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan perubahan fisik. Kalau saya boleh memanggil pada usia remaja, perubahan itu perubahan yang bersifat pertambahan, tapi pada usia paro baya perubahan yang terjadi sebetulnya lebih merupakan perubahan penurunan yaitu penurunan kapasitas, kapasitas kita sebagai seorang manusia. Kemampuan-kemampuan kita yang tadinya sekuat apa sekarang mulai melemah, daya tahan kita yang sekuat apa sekarang mulai melemah, termasuk juga dalam hal kemampuan seksual kita. Fungsi seksual masih ada tapi sebetulnya gejolaknya tidaklah seintens pada masa-masa remaja. Namun kenapa masa 40-60 ini masa yang rentan terhadap masalah, karena perubahan itu terjadi dan terlalu banyak juga perubahan yang terjadi, sehinga akhirnya dalam banyak perubahan itu muncullah gejolak. Nah dalam gejolak-gejolak itu kalau kita tidak mawas diri kita akan mudah hanyut dan jatuh bahkan bisa jatuh ke dalam dosa.
GS : Pada usia seperti itu terutama seorang pria kadang-kadang dinilai nampak genit, nampak agak berlebihan, apakah memang seperti itu?

PG : Sering kali mereka dinilai agak genit, memperhatikan penampilannya seperti anak muda karena mereka ingin mempertahankan diri tetap muda. Mereka sebetulnya mungkin sekali tak mempunyai iat untuk tampil genit, namun mereka mencoba mengurangi laju proses penuaan, mereka tidak ingin terlalu cepat tua.

Maka mereka berolah raga dengan lebih giat, menjaga makan dengan lebih berhati-hati, kadang-kadang mulailah memakai lotion-lotion tertentu bukan hanya wanita tapi juga pria, rambut dicat sekarang bukan hanya wanita, pria pun mengecat rambut. Itulah sering kali citra yang ditimbulkan sehingga mereka akhirnya dilihat genit, kelihatan seperti anak remaja.
GS : Tetapi sebenarnya tidak semua pria pada usia seperti itu menampilkan dirinya genit atau seperti tadi Pak Paul katakan?

PG : Ya, tidak semuanya sebab sebetulnya saya juga masih kurang percaya sebagian besar tidak mempunyai niat genit, mereka hanya ingin tampil muda, tidak mau hanyut dalam proses penuaan itu.

GS : Berarti ada orang yang bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah semakin tua atau sebaliknya ada sebagian orang yang tidak bisa menerima itu.

PG : Betul, ada yang memang bisa menerimanya, ada yang tidak bisa menerimanya. Yang tidak bisa menerimanya seolah-olah akan berkelahi melawan proses penuaan itu. Sedangkan yang bisa menerimnya seolah-olah mereka hanya berselancar dan hanya mengikuti saja gelombang itu.

Nah yang melawan dan berkelahi sering kali rentan terhadap masalah, karena mereka tidak bisa menerima proses penuaan kadang-kadang jadinya mereka jatuh ke dalam dosa, mereka ingin membuktikan masih tetap prima, masih tetap menawan hati lawan jenis, sehingga akhirnya rentan terhadap godaan. Bukan saja digoda tapi kadang-kadang mereka yang secara aktif menggoda. Agar mereka bisa mendapatkan lawan jenis yang lebih muda. Tapi yang bisa menerimanya akhirnya mereka bisa melewati masa paro baya ini jauh dengan lebih mulus.
GS : Faktor finansial itu juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada usia-usia seperti itu, jadi dengan dia memiliki sejumlah dana yang cukup mereka bisa berulah yang aneh-aneh.

PG : Itu sebabnya Pak Gunawan, banyak orang berkata: "Suami saya waktu masih miskin tidak banyak ulahnya, sekarang sudah jaya banyak ulahnya banyak masalahnya." Sering kali itu terjadi, say tidak bisa salahkan sampa-sampai orang mempunyai konsep seperti itu.

Orang yang mempunyai kemapanan ekonomi akhirnya merasa lebih percaya diri sehingga lebih berani untuk berelasi dengan lawan jenis. Kalau sebelumnya takut penolakan, sekarang tidak lagi takut penolakan karena dia tahu dia mempunyai sesuatu yang bisa ditawarkan kepada lawan jenisnya. Akhirnya lebih berani, lebih mudah juga jatuh ke dalam dosa. Dan kita tidak bisa sangkali karena sekarang ada uang, dia bisa mengongkosi kehidupan di luar pernikahan ini, mengajak orang pergi ke mana bukankah itu semua memerlukan biaya. Dulu mungkin mempunyai keinginan tapi tak punya uang, sekarang mempunyai keinginan, mempunyai uang dan mempunyai orang yang tersedia di depan mata yang memang tidak berkeberatan diajak senang-senang dengan dia.
GS : Kenapa justru di usia seperti itu, banyak anak-anak muda atau gadis-gadis itu yang mendekati pria seperti ini?

PG : Sebetulnya ada dua penyebabnya, yang pertama adalah dalam batas yang wajar, perempuan menginginkan ketenteraman, kemapanan, pengayoman. Tidak bisa disangkal, ini semua bisa ditawarkan leh pria-pria yang memang usianya lebih tua, sehingga akhirnya mereka tergoda untuk mendapatkan kemapanan dan ketenteraman dari para pria ini.

Yang kedua lebih bersifat psikologis yaitu mereka menginginkan figur papa dalam hidup mereka. Ada yang mungkin mengalami figur papa terhilang pada masa-masa pertumbuhannya. Kurang mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah sehingga mereka mudah sekali tertarik kepada pria yang lebih tua yang sangat memperhatikan mereka. Ini sebetulnya bisa terjadi yang sebaliknya, yaitu pada wanita yang lebih tua. Ada sebagian pria memang gandrung dengan wanita yang lebih tua, sebab ini adalah pengganti ibu mereka atau pelestarian figur ibu. Dirawat, disayangi, dimanja oleh para wanita yang lebih tua ini. Akhirnya memang terjadi simbiosis, yang muda mendapatkan pengganti ibu atau ayah mereka, yang tua bukan mendapatkan figur anak tapi mendapatkan figur penghibur. Penghibur dan juga membuat mereka bergairah dalam hidup, merasa diri lebih muda, masih tampil menawan akhirnya saling menguntungkan.
GS : Tidak semua orang pada usia-usia paro baya mengalami sukses secara finansial, bahkan mengalami kebangkrutan bisa terjadi pada usia-usia seperti itu. Nah ini sampai sejauh mana dampaknya di dalam pubertas kedua ini?

PG : Dampaknya sangat besar Pak Gunawan, kalau kita mengalami kebangkrutan, PHK pekerjaan pada usia kita masih di bawah 40 tahun, kita masih bisa berkata: "Masih ada kesempatan, saya akan mncoba pekerjaan ini, saya akan memulai usaha ini, saya akan melamar ke sana, ke sini dan sebagainya.

Namun kalau kita sudah berusia pertengahan, 50 tahun, kita akan menyadari satu fakta bahwa lapangan pekerjaan makin mengecil bukan makin membesar. Memang untuk sebagian orang yang mempunyai pengalaman sangat bagus mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang juga bagus setelah misalkan diberhentikan. Namun sebetulnya posisi tinggi, posisi-posisi puncak itu makin sedikit karena kita tahu seperti kerucut, yang di bawah banyak, yang di atas tinggal sedikit. Jadi hanya sedikit orang yang kalau diberhentikan mempunyai kesempatan mendapatkan pekerjaan puncak seperti itu. Mayoritas adalah kalau diberhentikan pada usia paro baya akan kesulitan memulai, akan kesulitan mendapatkan pekerjaan; dia buka koran melihat lowongan pekerjaan hampir semuanya menulis batas usia 30 tahun, 35 tahun. Saya belum pernah melihat lowongan pekerjaan yang berkata batas usia 60 tahun. Jadi memang kalau kita mengalami kebangkrutan atau pemberhentian pada usia paro baya itu dampaknya berat sekali Pak Gunawan. Karena kita tahu kesempatan kita memulai lagi itu hampir tidak ada, jadi tidak jarang orang akhirnya putus asa. Ada yang mengalami depresi berat, jadi akhirnya mempengaruhi kehidupan, emosionalnya goyang, mudah sekali marah, mudah sekali akhirnya bereaksi keras terhadap orang-orang yang ingin memberikan bantuan atau memberikan nasihat; tidak mudah terima saran-saran dari pasangannya. Inilah gejolak-gejolak negatif yang terjadi pada usia paro baya jika mengalami kebangkrutan secara ekonomi.
GS : Tapi mungkin atau tidak Pak Paul, orang ini malah bertindak agresif, walaupun usianya sudah lanjut tapi dia masih kuat?

PG : Bisa juga dia menunjukkan bahwa dirinya masih gagah, masih kuat, masih bisa bekerja. Dan kalau ada kesempatan dia masih bisa mengembangkan usaha yang baru. Namun saya harus akui bahwa apangan pekerjaan bukannya membesar, malah mengecil berarti cukup banyak orang yang justru akan mengalami depresi, mengalami kejatuhan moral, mempunyai justru bukan semangat tapi keputusasaan.

Benar-benar tahu tidak ada lagi harapan buat saya memulai sesuatu yang baru.
GS : Dan biasanya orang-orang ini cenderung melarikan diri ke minuman keras, ke pelacuran dan sebagainya.

PG : Bisa, dan ini mudah sekali terjadi pada orang yang pertama hubungannya dengan Tuhan tidak terlalu kuat, sehingga mereka gagal berserah kepada Tuhan. Akhirnya mereka beranggapan Tuhan tdak mendengarkan doa saya, saya sudah berdoa mohon Tuhan membukakan jalan, tapi jalan tetap tertutup malah buntu nah bagaimana saya bisa melanjutkan.

Sedangkan pada usia paro baya sebetulnya kebutuhan keluarga meningkat berkali lipat. Dulu mengeluarkan uang untuk anak masuk kelas 0 atau TK atau SD, sekarang anak-anak sudah perguruan tinggi, masuk perguruan tinggi biaya biasanya lebih besar lagi daripada masuk TK atau SD. Belum lagi keperluan-keperluan untuk menyokong anak, memberikan kendaraan untuk anak dan sebagainya, nanti anak menikah. Benar-benar kebutuhan ekonomi membesar pada usia paro baya. Kalau di saat itu kita mengalami pemberhentian hubungan kerja itu memang akan menimbulkan dampak besar.
GS : Tapi memang potensi untuk berselingkuh itu masih tetap ada?

PG : Ada karena pada masa krisis kita bisa-bisa berpikir pendek, orang pada masa krisis kalau tidak kuat dalam Tuhan cenderung memunculkan sisi terburuk. Itulah manusia, dalam masa krisis alau seseorang tidak dekat dengan Tuhan, dia malah memunculkan sisi terburuk.

Misalkan dia pernah tergoda, tapi tidak melakukan apa-apa karena hidup di dalam Tuhan dan kehidupannya relatif juga mapan. Namun sekarang mengalami kejatuhan ekonomi, berdoa tapi Tuhan tidak membukakan jalan seperti yang diharapkan, nah pikiran bisa pendek. Sehingga keinginan untuk misalnya berzinah dengan perempuan lain, sekarang benar-benar tak terbendung, karena daya tahan kita sudah runtuh. Kita tiba-tiba merasa tak peduli lagi, apa yang Tuhan katakan, apakah ini berkenan atau tidak kepada Tuhan kita tidak peduli lagi, yang penting adalah kita mendapatkan kelegaan sesaat. Kita tahu ini fana, kita tahu ini tidak akan mengobati apa-apa, tapi daripada kita hidup terus-menerus dalam penderitaan dan keputusasaan kita mau menyegarkan diri sejenak untuk lebih bisa senang dan akhirnya kita melakukan perzinahan dengan orang lain.
GS : Berarti dia tidak berani menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya bahwa dia sedang bangkrut.

PG : Betul, dan saya memang harus akui ini pukulan yang berat bukan pukulan yang ringan itu sebabnya meskipun mereka tadinya kuat bisa-bisa pada saat seperti ini dirinya merasa sangat lemahsekali.

Tadi saya katakan faktor pertama adalah hubungan dengan Tuhan, yang kedua hubungan dengan keluarga sendiri. Kalau dia mempunyai hubungan yang kuat dengan keluarganya maka keluarga ini menjadi salah satu sumber kekuatannya. Apalagi kalau dia dekat dengan Tuhan, Tuhan menjadi sumber kekuatan dia yang utama; dia dekat dengan keluarga, keluarga menjadi sumber kekuatan dia nomor dua yang bisa memberi dia semangat lagi untuk tidak putus asa, memberikan dukungan kepadanya sehingga dia tidak merasa disingkirkan oleh keluarga. Jadi dengan kata lain penting seseorang memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. Sehingga kalau dia mengalami krisis pada usia paro baya keluarga menjadi penopangnya. Tapi sebaliknya kalau hubungannya dengan keluarga memang dari dulu tidak baik, waktu menghadapi krisis dia tidak lagi bisa mendapatkan kekuatan dari keluarga malah dia mencurigai keluarganya membuang dia. Meremehkannya, tidak lagi menganggap dia, justru tambah sering marah; tambah sering marah keluarga makin susah dekat dengan dia, hubungan makin terputus, dia makin sendirian. Berarti dalam kesendirian, dalam perasaan saya dibuang, tak lagi dihargai, dia mudah sekali mencari orang lain yang bisa mengertinya, yang bisa menyejukkan gejolak hatinya, yang tetap masih bisa menghargainya bahkan pada usia ini, kalau kita mengalami kejatuhan dan kita tak dekat dengan keluarga, kita rentan sekali terhadap godaan.
GS : Karena itu sering kali terjadi perceraian pada usia-usia segitu.

PG : Betul sekali, karena memang kita akhirnya berkata ya apalagi yang harus saya harapkan, apalagi yang harus saya sandarkan, keluarga sendiri pun tak mau dekat lagi dengan saya, kita meraa sudah disingkirkan dari keluarga dan orang inilah yang bisa mengerti saya sekarang, akhirnya kita mulai melepaskan diri dari keluarga kita dan lebih dekat dengan orang ketiga itu.

GS : Pada usia seperti itu, rasa tanggung jawab itu rasanya menjadi berkurang, Pak Paul?

PG : Biasanya itu yang terjadi karena pada usia itu anak-anak tak membutuhkan kita seperti waktu mereka masih kecil. Dan orangtua kita kalau kita sudah berusia 50-an tahun masih mungkin adayang hidup usia 80 tahun tapi sebagian juga sudah tidak ada lagi.

Kita akhirnya tidak merasa harus bertanggung jawab kepada orangtua karena mungkin sudah tua sekali atau tidak ada lagi. Anak-anak tidak lagi membutuhkan kita, kadang-kadang dalam suasana tidak lagi bertanggung jawab, kita bisa berpikir pendek, berpikirnya adalah yang penting kepuasan sesaat. Tidak peduli lagi anak nanti pikir apa, orangtua nanti pikir apa, yang penting sekarang saya senang. Saya hanya hidup sekali, tinggal berapa tahun lagi saya akan mungkin meninggal dunia, kenapa tidak saya nikmati hidup ini, akhirnya sebagian orang tergoda dan malah jatuh ke dalam dosa.
GS : Apa saran Pak Paul terhadap orang-orang yang mengalami kesulitan seperti ini pada usia paro baya ini?

PG : Nomor satu adalah dia mesti datang kepada Tuhan apa adanya. Jangan mencoba menutupi keterbatasan kita, jangan mencoba membuktikan diri bahwa saya masih hebat, jangan mencoba menyangkal fakta.

Terimalah dan akuilah apa adanya di hadapan Tuhan dan mintalah pertolongan Tuhan. Dan yang kedua datanglah kepada keluarga apa adanya. Ada orang yang defensif tidak bersedia menceritakan kesulitannya, kelemahannya. Tidak mau meminta pasangan atau keluarganya untuk mendukungnya, dia selalu anggap dirinya kuat sebab dari dulu dia kepala, dari dulu orang takut kepadanya dan dia merasa di situ letak penghargaannya. Sekarang dia harus meminta bantuan kepada keluarganya, dia tidak mau; dia sudah mempunyai keangkuhan, tetap memerintah, tetap mau galak padahal dia sudah dalam keadaan yang sangat lemah. Itu makin memperburuk situasi. Jadi saran saya adalah datanglah kepada keluarga apa adanya, jangan gunakan kenangan-kenangan lampau sebagai kesombongan kita. Dan cepat curiga pasangan kita tidak lagi memandang kita, sedang melecehkan kita karena kita tidak sejaya dulu, datanglah kepada mereka apa adanya, kita memang perlu bantuan mereka. Dengan rendah hati kita meminta bantuan mereka dan saya percaya kalau kita datang dengan kerendahan hati seperti itu, justru mereka ingin menolong kita.
GS : Di samping kerendahan hati, mungkin faktor kesabaran itu penting juga untuk dimiliki.

PG : Saya setuju Pak Gunawan, kesabaran untuk bertahan dan kesabaran untuk melewati lembah yang kelam ini. Karena saya juga tidak mau memberikan harapan kosong, "Wah.......nanti semuanya akn beres jangan khawatir," Saya tidak berani berkata begitu.

Ada orang yang mengalami kejatuhan ekonomi pada usia 50-an tahun harus terus hidup dalam status yang berubah itu untuk waktu yang panjang. Mungkin anak-anak sampai mulai besar, anak-anak bisa bekerja sehingga bisa meningkatkan taraf kehidupan barulah ada perbaikan. Kadang-kadang yang terjadi sampai tua tetap tidak ada pekerjaan yang tetap, nah terimalah lewati lembah kelam itu. Tapi ingat Tuhan sudah berjanji, Dia akan terus berjalan bersama kita bahkan melewati api, melewati air, melewati lembah yang kelam itu.
GS : Pak Paul, di dalam hal ini peran keluarga baik istri maupun anak, atau kalau istri yang mengalami juga peran suami itu sangat penting, Pak Paul.

PG : Sangat penting sekali, dan sangat peka Pak Gunawan. Kita harus menyadari bahwa pasangan kita yang mengalami kejatuhan secara ekonomi itu peka dan sensitif sekali. Jadi kita juga mesti ensitif, jangan kita ngomong terlalu menekan, menusuknya.

Misalkan salah satu yang sering kali muncul, "Kamu kok tidak mau berusaha lagi," nah itu biasanya sangat menampar, sangat menjatuhkan semangat orang yang benar-benar dalam keadaan terpuruk. Sebab dia tentu saja mau bangkit, tapi memang susah sudah umur segitu, kecuali dia mempunyai modal yang besar dia bisa memulai usaha yang baru. Tapi berapa banyak yang mempunyai modal besar dan memulai sesuatu yang baru? Jadi jangan sampai muncul pembicaraan seperti itu. Berilah dorongan, ajaklah berdoa, teruslah munculkan hal-hal yang positif, ajak dia berjalan, ajak dia pergi. Dengan kata lain cobalah menjalani hidup senormal mungkin dan cobalah berhemat dan cobalah mengeksplorasi kemungkinan yang lain, yang mungkin tidak pernah kita pikirkan namun yang penting bersama-sama hadapi masa-masa sulit ini.
GS : Berarti Pak Paul, pada usia paro baya orang yang sukses secara finansial maupun yang gagal itu mengalami masalah yang sangat berat.

PG : Bisa-bisa sama beratnya Pak Gunawan, jadi kita mesti berhati-hati di masa ini. ada seorang hamba Tuhan yang memang mengatakan dengan tegas yaitu Charles Swindoll bahwa pada masa suksesorang rentan jatuh, dan saya tambahkan lagi pada masa susah pun orang rentan jatuh.

Karena pada masa susah orang cenderung berpikir pendek.
GS : Pada masa seperti ini firman Tuhan yang akan menjadi pegangan yang kuat. Mungkin Pak Paul mau sampaikan firman Tuhan?

PG : Saya akan berikan Filipi 4:11-13 kepada para pendengar kita yang mungkin sedang mengalami kejatuhan ekonomi pada usia paro baya. "....Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala kedaan.

Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Paulus menekankan bahwa kemampuannya bisa hidup dalam segala keadaan bukanlah dari dirinya sendiri, firman Tuhan itu berasal dari Tuhan yang memberi kekuatan kepadanya. Jadi setiap hari datanglah kepada Tuhan, mintalah kekuatan itu untuk satu hari ini saja. Biarkanlah Tuhan yang memberi topangan kekuatan itu kepada kita.

GS : Terima kasih untuk perbincangan yang menarik ini dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pubertas ke II: Mitos atau Realitas?" bagian kedua yang merupakan kelanjutan dari perbincangan kami pada kesempatan yang lalu. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



44. Berlayar dengan Arah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T179A (File MP3 T179A)


Abstrak:

Mengapakah Tuhan tidak menciptakan Adam dan Hawa pada waktu yang bersamaan? Jawabannya ialah tidak ada pernikahan bila manusia diciptakan pada waktu bersamaan, supaya Adam dan Hawa memahami makna pernikahan: KESATUAN. Dan bagaimanakah caranya kita melebur diri agar menjadi satu kesatuan?


Ringkasan:

Pertanyaan Seputar Penciptaan Manusia: Mengapakah Tuhan tidak menciptakan Adam dan Hawa pada waktu yang bersamaan? Tuhan Allah berfirman, "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia. Kejadian 2:18

Jawaban:

Makna Pernikahan
Pernikahan adalah sebuah KESATUAN, di mana kedua individu menjadi satu dalam:

Perhatikan: Menyatu tidak identik dengan mendominasi. Menyatu sama dengan melebur, yakni membentuk sesuatu yang baru dengan cara menanggalkan sifat asli masing-masing.

Identitas Diri
Bukan sekadar nama melainkan sense of belonging: kandang, komitmen, kepemilikan.

Perasaan
Apa yang dirasakan pasangan, kita pahami dan turut rasakan.

Pikiran
Memahami dan mencapai titik temu.

Bertindak
Perbuatan dan keputusan dalam koridor KESATUAN.

Bagaimanakah caranya kita melebur diri agar menjadi satu kesatuan? MENGASIHI.
Dan di atas semuanya itu, kenakanlah kasih sebagai pengikat yang MEMPERSATUKAN dan MENYEMPURNAKAN. Kolose 3:14

Apakah makna mengasihi?
Tindakan melenyapkan diri demi seseorang, misalnya berkorban, memberi yang terbaik dan mengutamakan orang lain.
Makin mengasihi, makin melebur. Makin melebur, makin menyatu. Makin menyatu, makin membentuk sesuatu yang baru dan indah-sesuatu yang harmonis. Pernikahan yang harmonis memperindah karakter.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berlayar dengan Arah." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, perbincangan kita pada saat ini diberi judul "Berlayar dengan Arah," memang sesuatu yang membingungkan kalau kita mengikuti pelayaran tanpa arah yang jelas. Tetapi di dalam perbincangan ini sebenarnya apa yang hendak Pak Paul maksudkan?

PG : Mengibaratkan pelayaran itu dengan perjalanan berumah tangga, jadi rumah tangga pun seharusnya mempunyai arah yang jelas. Dan kita akan mencoba menggali firman Tuhan untuk mengerti sebetulya apakah arah yang Tuhan tetapkan bagi keluarga.

Keluarga adalah sebuah istitusi yang tertua di dunia ini, yang sudah ada sejak manusia diciptakan. Pertanyaannya adalah mengapakah kita jarang memikirkan, sebetulnya apakah rencana Tuhan dalam keluarga dan lewat keluarga. Apakah Tuhan hanya menginginkan kita berkembang biak mempunyai keturunan, apakah Tuhan hanya menginginkan kita memadu kasih, apakah sekadar itu saja. Saya percaya lebih dalam dari sekadar itu, ada hal-hal yang lebih dalam yang merupakan kehendak Tuhan bagi keluarga kita, agar dalam perjalanan membangun keluarga kita tetap bisa berada dalam arah yang benar ini.
GS : Memang menarik sekali seperti yang tadi Pak Paul katakan, ini merupakan institusi yang paling tua di dunia, yang Tuhan sendiri bentuk yaitu pernikahan. Yang saya lihat di dalam kitab suci adalah penciptaan Adam dan Hawa. Adam diciptakan secara berbeda pada waktu yang berbeda dengan Hawa, nah ini menarik sekali.

PG : Betul Pak Gunawan, firman Tuhan di Kejadian 2:18, "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia." Jelas dari sini kita bisa enyimpulkan bahwa Tuhan memang tidak menciptakan Adam dan Hawa bersamaan.

Semua ciptaan yang lain diciptakan bersamaan sepasang-sepasang, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Tapi khusus untuk manusia tidak diciptakan bersamaan, dan saya percaya memang ada maksud-maksud Tuhan di belakang ini semua.
GS : Kira-kira apakah itu Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah saya langsung bisa berkata tidak akan ada pernikahan bila manusia diciptakan pada waktu bersamaan. Sebab kalau diciptakan bersamaan, Adam sudah datang bersama Hawa tida akan ada lagi upacara pernikahan.

kita baca di kitab Kejadian 2:24, Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya...." Ini kali pertama istilah istri digunakan dan langsung digunakan merujuk pada Hawa jadi Hawa tidak dipanggil sebagai manusia yang berjenis kelamin wanita atau sebagai pendampingnya, tapi langsung Tuhan menyebut Hawa sebagai istri. Sesuatu yang sangat formal, yang langsung merujuk pada sebuah pernikahan. dengan kata lain kalau Adam dan Hawa diciptakan bersamaan, tidak ada kesempatan bagi Adam untuk melihat bahwa inilah istriku, inilah pernikahan. Namun karena diciptakan berbeda, Adam disadarkan dan Hawa pun disadarkan bahwa inilah pernikahan. Yang kedua, kenapa diciptakannya berbeda dan dalam waktu yang tidak bersamaan, supaya Adam dan Hawa menyadari betul-betul arti pernikahan itu, yakni sebuah kesatuan. Firman Tuhan di Kejadian 2:20 berkata, "Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak mejumpai penolong yang sepadan dengan dia." Dengan kata lain Adam menyadari kebutuhannya, dia sendirian, dia baru menyadari bahwa dia perlu seorang pendamping. Kalau dari awal Adam sudah diciptakan bersama dengan Hawa, Adam tak mungkin menyadari kebutuhannya itu, dia tak bisa menyadari bahwa dia perlu seseorang. Oleh karena diciptakan terpisah, Adam dibuat mengerti tentang kondisinya tentang kebutuhannya. Dan karena Hawa datang belakangan diciptakan pada waktu yang belakangan, Hawa pun mengerti peranannya bahwa dia memang diciptakan Tuhan mempunyai peranan khusus yaitu untuk bersama mendampingi suaminya. Untuk memberikan kelengkapan kesempurnaan bukan hanya kepada si suami tapi pada keduanya. Dan di waktu keduanya bersatu di situlah kesempurnaan tercipta, dan ini baru bisa terjadi tatkala Tuhan menciptakan mereka pada waktu yang terpisah.
GS : Berarti pernikahan itu sendiri khususnya Adam dan Hawa, sudah direncanakan oleh Tuhan jauh-jauh hari?

PG : Betul sekali, firman Tuhan sudah menegaskan bahwa memang Tuhan sudah merencanakan dan mengetahui semua yang akan terjadi dalam hidup ini pada waktu dunia ini diciptakan, pada waktu alam seesta ini diciptakan.

Waktu itu pun sebetulnya Tuhan sudah mengetahui sebelum dunia dan alam semesta diciptakan. Tuhan adalah kekekalan, sudah tahu dan akan selalu tahu.
GS : Dan yang menarik lagi Pak Paul, Hawa ini diciptakan dari bagian tubuhnya Adam, dari tulang rusuk. Dan Adam pun mengatakan, "Kamu adalah bagian dari kehidupanku," ini maknanya apa?

PG : Jelas sekali Tuhan ingin menegaskan kepada Adam, bahwa perempuan ini adalah darimu sendiri, perempuan ini adalah bagian dari hidupmu, darah dagingmu sendiri, dia bukan orang lain. Inilah hl yang tidak bisa dikatakan tentang hewan ciptaan yang lain.

Meskipun mereka diciptakan sepasang demi sepasang, tidak ada yang akan bisa mempunyai konsep kesatuan seperti manusia dan istrinya. Kenapa? Sebab sengaja Tuhan menarik rusuk Adam dan menciptakan Hawa dari rusuk itu, Adam setiap kali melihat Hawa, Adam akan berkata di dalam hatinya ini adalah tulang rusukku sendiri, ini adalah dagingku sendiri yang diambil oleh Allah untuk diciptakan menjadi seorang wanita. Inilah sebetulnya yang nantinya menjadi makna pernikahan yaitu kesatuan, dan ini yang membedakan juga relasi orangtua dan anak, serta relasi suami dan istri. Relasi orangtua dan anak adalah relasi dari sebuah kesatuan menuju keterpisahan. Orangtua membesarkan anak supaya akhirnya berpisah darinya, bukan sampai tua tetap menyatu dengannya itu konsep yang keliru. Kebalikan dengan pernikahan, pernikahan itu berasal dari dua pribadi, dua orang yang terpisah namun dalam perjalanannya setelah mereka menikah, mereka akan harus mendekati, menghampiri satu sama lain makin hari makin dekat sehingga menjadi sebuah kesatuan. Nah inilah makna pernikahan yang memang terkandung dalam rencana Tuhan sejak awal.
GS : Dan di dalam kesatuan itu, apa sebenarnya yang menyatukan kita antara suami dan istri itu?

PG : Sebetulnya ada beberapa Pak Gunawan yang akan coba saya uraikan di sini. Yang pertama adalah dalam hal identitas diri. Identitas diri bukannya soal nama, dulu namanya siapa sekarang setela menikah mengikuti nama suaminya dan inilah jati dirinya yang baru, bukan itu, juga bukan bapak dan ibu siapa, tuan dan nyonya siapa, itu terlalu dangkal.

Yang saya maksud dengan kesatuan dalam jati diri ialah dalam bahasa Inggrisnya sense of belonging, rasa bahwa kita adalah bagian dari; atau kalau saya boleh menggunakan pengibaratan, ini adalah sebuah kandang. Setelah kita menikah kita memiliki sebuah kandang yang baru, kita memiliki sebuah keterikatan, sebuah komitmen, sebuah kepemilikan di mana saya tidak lagi memiliki diri saya, saya menjadi milik dari pasangan saya. Dan ini berlaku dua arah bukan hanya si istri yang berkata saya milik si suami, si suami pun harus berkata saya milik si istri, sebab ini yang Tuhan katakan di I Korintus. Dengan jelas Paulus berkata, "Tubuhmu suami bukan lagi tubuhmu tapi milik istrimu," Tuhan juga mengatakan kepada perempuan hal yang sama, "Tubuhmu istri bukan lagi tubuhmu, tapi milik suamimu." Jadi inilah sebuah kepemilikan, sebuah kandang yang baru sehingga suami dan istri tidak lagi bisa berkata, "Ini saya, pokoknya ini saya, kamu mau apa terserah, tidak bisa terima saya peduli amat." Orang yang berkata seperti ini tidak mengerti bahwa pernikahan menjadikan mereka sebuah kesatuan. Kesatuan yang pertama adalah dalam hal jati diri, siapakah saya ini, saya tidak lagi saya, Paul tidak lagi Paul tapi Paul menjadi bagian dari saya dan istri saya, dan keduanya kami ini menjadi sebuah kesatuan yang baru. Memang masing-masing akan ada keunikannya, tetap membawa diri yang aslinya tapi benar-benar sebuah jati diri, sebuah nama yang baru, sebuah diri yang baru harus kita munculkan setelah kita menikah.
GS : Mungkin dalam hal ini bukan secara fisiknya, tapi spiritnya atau emosionalnya.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi sekali lagi bukannya sekadar nama atau sekadar dilihat orang kita nempel dan lekat dengan pasangan kita. Tapi benar-benar sebuah kesatuan, sebuah jiwa bahwa ita ini sekarang tidak lagi terpisah, kita adalah sebuah kesatuan.

Jadi artinya secara konkret adalah kita memang harus selalu memikirkan kepentingan keluarga kita, kita bukan saja sekarang memikirkan apa yang baik buat kita, apakah baik juga untuk keluarga kita atau tidak, ini nanti juga termasuk anak-anak kita pada saat nanti mereka masuk dalam ayoman kita, mereka bagian dari hidup kita kita harus selalu pertimbangkan mereka. Baik buat saya, baik buat istri saya, baik atau tidak buat anak-anak saya. Atau baik buat anak saya, baik buat saya tapi tidak baik buat istri saya, itu juga harus kita pertimbangkan. Dan memang akhirnya saya harus akui tidak gampang bergerak bersama karena kita harus memikirkan kepentingan bersama, tapi itulah keluarga. Keluarga memang sebuah kesatuan jadi benar-benar kita harus memikirkan semuanya, kita tidak lagi bertindak semau kita. Kadang-kadang saya juga sedih dan kesal Pak Gunawan, melihat contoh-contoh di mana misalnya suami benar-benar hidup seenaknya. Dia pergi pagi, dia mau pulang malam, dia mau pulang pagi lagi, istrinya tidak boleh menyapa atau menegur dia. Hari keluarga misalkan hari Sabtu, dia pergi main golf, dia pergi dengan teman-temannya dari pagi sampai malam. Hari Minggu harusnya bersama-sama pergi ke gereja berbakti kepada Tuhan, dia tidur sampai siang, anak istrinya pergi ke gereja. Siang hari istrinya balik, dia mau jalan-jalan mau beli mainan untuk dirinya sendiri dan sebagainya. Kadang-kadang saya berpikir orang seperti ini mengapa menikah, seharusnya orang seperti ini tidak menikah sebab dia tidak mengerti artinya pernikahan. Pernikahan adalah menjadi satu dan artinya kita menjadi milik dari orang lain, kalau orang menikah tidak mau menjadi milik orang lain dia sama sekali tidak mengerti makna pernikahan. Jadi benar-benar sebuah kandang yang baru, benar-benar kita itu menjadi milik dari pasangan kita dan bahkan milik dari anak-anak kita. Kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri.
GS : Dalam hal penyatuan ini bukankah mau tidak mau itu akan melibatkan perasaan kita, nah apakah perasaan ini juga akan menyatu?

PG : Seharusnya demikian Pak Gunawan, jadi kita juga akan menyatukan diri kita dalam hal perasaan. Maknanya adalah kita bisa mengerti perasaan pasangan kita, perasaan anak-anak kita, kita bisa emahami apa yang dirasakan dan turut merasakannya.

Misalkan anak kita di sekolah tidak mempunyai teman, diejek. O.......jangan kita tidak mempunyai perasaan dan berkata: "Kamu jangan mau digitukan orang, kamu jangan cengeng, kamu harus begini, begini," janganlah demikian, turutlah rasakan apa yang dirasakan oleh anak kita. Dia mungkin memang harus lebih kuat, tapi itu bisa kita ajarkan. Bukankah langkah pertama adalah kita berkata: "Papa atau Mama bisa mengerti apa yang kamu rasakan, kamu sedih karena kamu ke sekolah tapi teman-temanmu tidak mau mengajakmu bermain, kamu diasingkan sendirian, Papa dan Mama bisa mengerti penderitaan kamu diasingkan seperti itu." Ini yang namanya kita bersatu dalam hal perasaan, tapi selain kita mendengar anak saya kira juga satu sama lain antara suami dan istri. Dan untuk hal ini saya harus akui, mungkin sekali pria lebih mengalami kesukaran, memahami atau turut merasakan perasaan istrinya. Pria memang tidak terkondisi untuk memahami perasaan, jadi sekarang apa yang harus dilakukan kalau ini memang adalah kenyataannya. Saya sekarang meminta tambahan kerja bagi para ibu, saya akan meminta kepada para istri untuk mengajarkan suami berperasaan. Inilah tugas istri, karena istri lebih menguasai tentang perasaan, jadi seyogianyalah dia yang mengajarkan suaminya. Misalkan sedang merasa apa, suaminya tidak mengerti, nah istrinya menjelaskan, "Suamiku, saya merasa begini karena begini, begini. Mungkin suaminya masih tidak mengerti juga, istrinya harus memberikan penjelasan lewat contoh. Ini sama dengan kalau kamu di tempat pekerjaan tidak mendapatkan promosi tapi teman kamu yang mendapatkan promosi, apa yang kamu rasakan? Kamu telah bekerja begitu keras tapi tidak mendapatkan penghargaan. Ini yang saya rasakan sewaktu saya mencoba menolong anak-anak, tapi anak-anak rasanya tidak menghargai pertolongan saya." Nah berikanlah contoh-contoh konkret seperti itu sehingga suami lebih memahami perasaan.
GS : Ya memang betul seperti yang Pak Paul katakan, ini memang bagian yang paling sulit buat saya juga di dalam menyatukan diri dengan istri saya pada awal-awal pernikahan. Dan seorang wanita mungkin kurang berani terbuka seperti yang tadi Pak Paul katakan untuk memberitahukan bahwa dia mau mengajarkan tentang perasaan itu, yang dibutuhkan hanya waktu yang cukup panjang untuk tetap dekat dengan istri.

PG : Betul sekali, dan dari pihak wanita yang diperlukan adalah belajar merendahkan diri, kesabaran untuk mengajarkan. Karena akhirnya yang terjadi adalah kita tidak lagi memberikan pengajaran api kita menghajar.

Maksudnya adalah kita memarahi, kita menuntut suami kita untuk bisa mengerti perasaan kita. Saya hendak mengatakan kepada para istri, kebanyakan kami-kami yang pria memang tidak bisa memahami perasaan semudah wanita, memang pria memerlukan pengajaran yang lebih mendalam dan lebih telaten agar dapat memahami perasaan, jadi jangan putus asa. Saya harus mengakui juga, saya pun memerlukan waktu yang panjang untuk bisa belajar tentang perasaan, kalau ditanya berapa tahun, mungkin saya harus berkata sekitar 10 tahun barulah saya ini lebih bisa mengerti perasaan istri saya. Sebelum-sebelumnya saya buta, saya sering kali berkata, "Kenapa harus merasa begitu, kenapa kamu merasakan ini jangan merasakan begini." Itulah tanda saya tidak mengerti perasaannya, justru dengan kesabaran istri saya mengajarkan saya, memberitahukan saya, ini yang saya rasakan akhirnya saya lebih mengerti. Namun sekali lagi saya minta kepada istri jangan memarahi, jangan menuntut karena nanti kalau dituntut dan dimarahai, akhirnya suami makin tidak bisa dan tidak mau belajar tentang perasaan.
GS : Mungkin yang mempersulit juga karena saya sebagai pria lebih sering menuntut dia untuk rasional jangan terlalu main perasaan terus, nanti masalahnya berlarut-larut.

PG : Dan memang ini adalah keunikan pria dan saya kira ini tidak kebetulan Tuhan menciptakan kita pria seperti ini, karena memang perlu keseimbangan. Dan sekali lagi kita bisa melihat keindahanrencana Tuhan di mana pria dan wanita bersatu dalam pernikahan, mereka akhirnya saling menyeimbangkan dan saling melengkapi.

Perempuan pada umumnya akan lebih kuat dalam hal perasaan, pria memang lebih umum kuat dalam hal-hal berpikir, hal-hal yang bersifat nalar atau rasional. Jadi dalam hal berpikir saya kira pria dan wanita atau suami dan istri harus menyatu pula. Apa yang saya maksud dengan menyatukan pikiran yaitu memahami pikiran pasangan kita dan mampu mencapai titik temu. Tapi sekali lagi saya mau tekankan menyatukan pikiran diawali oleh memahami pikiran dulu. Saya kira ini salah satu keluhan suami terhadap istri yaitu banyak kali saya mendengar suami berkata, "Istri saya tidak bisa mengerti pikiran saya," dan mereka merasa tidak nyambung kalau saya berbicara dengan istri saya. Kenapa sampai begitu, saya kira memang adanya kesulitan istri memahami pikiran suami. Istri kadang-kadang berkata: "Kenapa kamu harus berpikir seperti itu!" Nah ini sama persis seperti yang tadi saya katakan suami berkata kepada istrinya, "Kamu kenapa harus merasa begini!" Istri akan berkata, "Kenapa kamu berpikir seperti itu!" Ini yang membuat suami kadang-kadang enggan berkomunikasi dengan istri, sebab dia berkata, "Aduh nanti akan bertengkar", kenapa bertengkar, sebab tidak nyambung. Saya mau ngomong apa, saya mau ceritakan apa tapi istri saya nanti menangkapnya berbeda, dia keliru menafsirnya sehingga akhirnya terjadi pertengkaran. Memang di sini ini perlu pemahaman pemikiran, bagaimana caranya, sama seperti tadi, karena tadi istri yang lebih menguasai perasaan maka saya meminta istri untuk membagi pengajaran ini kepada suami. Sekarang pun saya meminta suami yang pada umumnya rasional dalam berpikir, untuk membagi pengajaran ini dengan istri. Suamilah yang harus memberikan penjelasan, "Waktu tadi ini terjadi, yang muncul dalam pikiran saya adalah ini, saya langsung berpikir ke depannya begini, besoknya begini kalau nanti kita tidak melakukan ini nanti akibatnya adalah ini, nanti efeknya bisa ke sini, saya berpikir ke situ." Nah hal-hal seperti ini perlu dijelaskan kepada si istri, namun sama seperti tadi jangan ajarkan dengan kemarahan tapi ajarkan dengan kesabaran, beritahu perlahan-lahan, bahwa ini cara pikir saya. Sering kali ini yang saya lakukan dengan istri juga dan kadang-kadang Santi berkata begini, "O....OK, sekarang saya mengerti pemikiranmu." Dan ternyata waktu dia mengerti pemikiran saya, dia terima dan titik temu itu langsung tercipta. Tapi kalau sampai tidak mengerti pikiran saya, mustahil kami akan bisa mencapai titik temu. Tapi sekali lagi tugas ini sekarang saya embankan kepada pria, pria harus mengajarkan dengan kesabaran, jangan memarah-marahi, jangan merendah-rendahkan sebab Pak Gunawan juga mungkin tahu betapa seringnya pria dalam kemarahan karena merasa sering tak dimengerti akhirnya memanggil istrinya bodoh, tolol, dan itu salah besar. Itu makin membuat istri terpuruk dan tidak lagi mau memahami pikiran suami.
GS : Mungkin dalam hal ini perlu pria ini berpikir tapi juga berpikir dalam perasaan supaya memahami perasaan istrinya, tapi diminta dari istri ini berperasaan tapi juga bernalar dan mempunyai pikiran.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi dalam kesatuan kita akan menemukan nanti waktu kita berpikir, kita juga akhirnya melibatkan perasaan. Waktu kita berperasaan kita pun melibatkan pikiran kita Dan bukankah kalau keduanya bisa saling menyeimbangkan ini benar-benar akan menyempurnakan masing-masing individu itu sendiri.

GS : Selanjutnya apa Pak Paul?

PG : Selanjutnya adalah kesatuan dalam bertindak, ini berkaitan sekali dengan keputusan. Yaitu semua perbuatan, semua keputusan yang kita ambil dalam pernikahan harus dalam koridor kesatuan. Cotoh, apapun yang kita putuskan atau lakukan kalau itu akan memisahkan kita, itu yang harus kita hindari.

Jadi ambillah keputusan atau berbuatlah hal-hal yang akan menambah keakraban, kesatuan kita. Misalkan kita mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik, menggiurkan dan gaji kita akan bertambah juga. Namun karena pekerjaan ini kita akan dipisahkan dari keluarga kita. Kalau tidak terpaksa jangan terima, artinya tetaplah dalam kondisi ini meskipun kita menerima gaji yang lebih kurang. Asalkan keluarga kita masih bisa hidup bersama dengan baik, masih layak hidup bersama tetap itulah yang kita prioritaskan. Daripada kita ambil posisi tersebut kita korbankan keluarga, kita makin terpisah dari keluarga, kita akhirnya makin tidak bisa menyatu dengan mereka, buat apa. Kita seharusnya belajar dari contoh yang sudah ada di depan mata, begitu banyak kita melihat keluarga bermasalah buat apa menggapai kekayaan dan status yang begitu tinggi tapi keluarga berantakan, apa artinya semua itu. Apa artinya kita berkata berkata, "Saya mendapatkan posisi ini, perusahaan saya bertambah besar," kemudian suaminya berselingkuh atau istrinya berselingkuh atau anaknya jatuh ke dalam narkoba dan sebagainya. Jadi sekali lagi selama kita masih bisa mencukupi kebutuhan mendasar keluarga kita dan keluarga kita masih bisa bersatu, prioritaskan; kesampingkan, korbankan tawaran-tawaran meskipun itu menaikkan posisi kita tapi kalau kita tahu itu akan meretakkan, menjauhkan keluarga kita jangan terima. Semua perbuatan, semua keputusan kita selalu teropong dalam teropong kesatuan ini.
GS : Orang sudah banyak mencoba untuk menyatukan hidup mereka dalam suami-istri, tapi kadang-kadang mereka tidak tahu apa sebenarnya yang menyatukan mereka ini. firman Tuhan berbicara apa Pak Paul dalam hal ini?

PG : Firman Tuhan memang sudah jelas sekali meminta kita untuk bersatu dan firman Tuhan yang tadi kita baca berkata bahwa kita itu akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrina.

Jadi jelas kita memang akan bersatu dan inilah makna pernikahan yang sesungguhnya. Pertanyaan berikutnya lagi adalah bagaimanakah kita bersatu, masalahnya adalah kita ini sering kali tidak menyadari bahwa untuk bersatu kita harus melewati jalur mengasihi. Tapi yang kita lakukan bukan mengasihi tapi mengakuisisi, mendominasi, menguasai, memang itu sedikit banyak menimbulkan kelanggengan tapi tidak ada hasilnya karena tidak ada kasih. Jadi jalur inilah yang harus kita tempuh.

GS : Pak Paul perbincangan kita ini menarik sekali dan kita harus akhiri perbincangan kali ini dan pada kesempatan yang lain mungkin kita akan lanjutkan perbincangan yang menarik ini. Terima kasih Pak Paul, para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berlayar dengan Arah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



45. Pernikahan dan Keselamatan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T179B (File MP3 T179B)


Abstrak:

Dalam suatu pernikahan, Tuhan memiliki rencana untuk keselamatan yang terbagi dalam 3 tahap : Pembenaran: Upah percaya, Pengudusan: Bukti percaya, Pemuliaan: Puncak percaya


Ringkasan:

Apakah tujuan pernikahan dalam kerangka rencana keselamatan Allah?

Keselamatan terbagi dalam tiga tahap:

Tujuan pengudusan: Serupa dengan Kristus

Juga kamu, yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya untuk menempatkan kamu KUDUS dan TAK BERCELA dan TAK BERCACAT di hadapan-Nya. Kolose 1:21-22

Kesamaan Tuntutan Pernikahan dan Tuntutan Kekudusan

Karena itu sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah:

Kolose 3:12-13

Makna kekudusan: Dipisahkan-berbeda

Kekudusan dalam pernikahan

Hasil kekudusan dalam pernikahan:

Membesarkan anak masuk dalam kategori terakhir ini.

Kesimpulan

Tantangan


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan dan Keselamatan." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita pernah berbincang-bincang bahwa pernikahan itu ternyata mempunyai suatu tujuan yang jelas di mana Tuhan Allah sendiri sudah rancang dan Tuhan harapkan itu terjadi atas hidup kita. Tapi ternyata kehidupan pernikahan kita sering kali tidak sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri. Nah itu bagaimana?

PG : Dasar dari bahasan kita adalah bahwa Allah adalah Allah yang merencanakan segalanya, Dia adalah Allah keteraturan. Dia bukanlah Allah sembarangan dan Allah kebetulan, Allah coba-coba; segaa yang terjadi itu semua dalam rancangan-Nya.

Kalau itu Allah yang kita mengerti berarti ciptaanNya pun mempunyai tujuannya. Institusi tertua di dunia adalah pernikahan, apakah ada tujuan dan makna dari pernikahan sebagaimana yang Allah rancang, jawabannya adalah ada. Kita tidak menikah untuk hanya memadu kasih, untuk hanya menjadikan keluarga kita bertambah dengan adanya anak dan keturunan, tapi Allah mempunyai rancangan untuk pernikahan. Dan inilah yang akan kita coba gali. Kita telah membahas bahwa sebetulnya makna pernikahan itu sendiri adalah kesatuan, Tuhan sengaja mengambil tulang rusuk dari Adam membuat Hawa untuk menunjukkan bahwa Hawa berasal dari Adam. Dan Tuhan juga sengaja memisahkan penciptaan Adam dan Hawa supaya Adam bisa memahami seorang istri, o.........ini pentingnya seorang istri, o.........ini tujuannya istri dalam hidup saya sehingga dia menjadi pendamping saya, dia menjadi penolong saya yang sepadan dengan saya, dan gara-gara dipisahkan secara terpisah akhirnya Adam dan Hawa bisa memasuki mahligai pernikahan, kalau mereka diciptakan secara bersamaan tidak akan ada pernikahan tapi gara-gara dipisah maka terwujudlah pernikahan itu. Kita harus menyatukan diri dalam berbagai aspek, yang telah kita bahas misalnya yang pertama adalah identitas diri kita. Siapakah kita, kita tidak lagi menyebut saya atau kamu tapi kita menjadi kami berdua atau kita. Dalam hal berperasaan, dalam hal berpikiran kita juga harus saling menyatukan dan dalam hal bertindak kita juga harus menyatukan, apapun yang kita lakukan, keputusan apapun yang kita buat, buatlah dalam koridor kesatuan jangan sampai malah memisahkan kita. Dan selanjutnya juga di dalam hal membesarkan anak, kita juga mesti menyatu. Bukan lagi apa yang baik buat saya, inilah cara saya dibesarkan. Tidak demikian, menyatulah dalam hal membesarkan anak, lihatlah anak, anak adalah seorang individu yang unik, mempunyai kebutuhan, berarti kita harus membesarkan si anak sesuai dengan keunikan si anak itu. Tidak lagi penting apa yang telah saya peroleh, bagaimanakah orangtua membesarkan saya tapi apa yang baik buat si anak itu menjadi landasannya. Apa yang harus kita lakukan itu membentuk si anak itulah yang harus kita prioritaskan. Nah dalam hal inilah kita menyatukan diri kita. Dan yang telah kita bahas kita menyatukan diri bukan dengan cara akuisisi, memaksakan, mendominasi pasangan kita seolah-olah dia adalah milik kita, itu cara yang tidak berkenan. Satu-satunya cara yang Tuhan perkenankan adalah lewat mengasihi. Kolose 3:14, "Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." Jadi apa yang bisa mengikat, yaitu kasih dan kita tahu kasih itu bukan saja menyatukan tapi menyatukannya dengan sempurna. Kalau kita menyatukan dengan kekerasan, dengan paksaan, dengan tidak sempurna, tinggal tunggu waktu kapan ada kesempatan yang dipaksa itu akan mau keluar dari kesatuan ini, demikian jugalah dengan pernikahan. Cara Tuhan adalah cara kasih jadi ini pulalah yang harus kita lakukan, tambah mengasihi dan tambah mengasihi dan itu akhirnya menambah kesatuan.
GS : Sering kali suami mengatakan bahwa saya adalah kepala keluarga, jadi dia yang menentukan segala sesuatu. Sementara istrinya ada yang lemah dan menurut saja, tetapi sebenarnya terpaksa.

PG : Betul sekali, kebanyakan kita ini sebetulnya kurang mengerti makna kepala keluarga, kita juga kurang mengerti apa artinya mengasihi. Sering kali pria berkata: "Saya 'kan kepala keluarga, sya mengasihi keluarga saya makanya saya minta istri saya untuk taat kepada saya sepenuhnya."

Nah apakah mengasihi? Ada orang yang berkata: "Bukankah saya sudah bekerja, itu adalah tanda bahwa saya mengasihi." Saya kira sangat sederhana pendefinisian itu dan tidak tepat. Kasih adalah tindakan melenyapkan diri, melenyapkan ego demi orang yang kita kasihi. Contoh konkretnya adalah kita berkorban, kita memberi yang terbaik atau kita mengutamakan pasangan kita. Itulah mengasihi, jadi akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan kebanyakan kita tak mengerti arti mengasihi, sebab waktu kita berkata kita mengasihi yang kita lebih utamakan diri sendiri supaya kita senang, bukannya pasangan, anak kita atau keluarga kita yang senang. Kita sering kali akhirnya mengembalikan semuanya pada diri kita dan kitalah yang menjadi tolok ukur. Justru tindakan kasih adalah tindakan yang melenyapkan diri atau ego kita, saya ambil definisi ini dari firman Tuhan, dari apa yang Tuhan perbuat. Tuhan mengasihi kita manusia, Dia turun menjadi seorang manusia, dia rela menjadi seorang hamba, Dia mati di atas kayu salib untuk kita. Dengan kata lain firman Tuhan berkata Dia mengosongkan diriNya, mengosongkan egonya. Jadi suami kalau mau menjadi kepala, dia harus menjadi kepala dengan cara yang benar. Dia mau memimpin keluarga, boleh dan harus karena itulah tugas yang Tuhan embankan kepadanya, tapi harus dengan cara yang benar, dan cara yang benar adalah cara mengasihi.
GS : Itu sebenarnya tujuan akhirnya apa Pak Paul?

PG : Tujuan akhirnya adalah makin mengasihi. Sebetulnya diri kita makin mengelupas, makin mengecil ego kita berarti makin dapat melebur. Bagaimanakah bisa melebur kalau ego kita masih sebesar gnung, tidak mungkin.

Kita harus mengasihi dan definisi mengasihi adalah melenyapkan ego, melenyapkan diri demi kepentingan pasangan kita. Akhirnya karena ego kita makin mengempis-makin mengempis, makin kecil, makin kecil, makin meleburlah kita berdua. Makin melebur berarti makin menyatu, sepeti sirup dengan air menjadi sebuah larutan. Makin menyatu makin membentuk sesuatu yang baru yang indah, sesuatu yang harmonis. Inilah yang seharusnya terjadi Pak Gunawan, karena kita sekarang sudah melebur dan bersatu dengan harmonis kita akan menghasilkan sesuatu yang baru, cat hitam dan cat putih digabung menjadi cat abu-abu. Apakah abu-abu itu hitam, apakah abu-abu itu putih, bukan, abu-abu adalah sebuah warna yang lain. Sirup juga begitu dicampur dengan air maka akan menjadikan sebuah rasa yang baru juga. Nah inilah pernikahan, sewaktu dua pribadi digabung menjadi satu dia akan menghasilkan sesuatu yang baru, sesuatu yang indah karena ini adalah sesuatu yang harmonis. Dan hasil akhirnya adalah pernikahan yang harmonis akan memperindah karakter kita, nah itu adalah salah satu tujuan akhirnya.
GS : Dalam hal pembentukan karakter ini, kita tentunya harus menghasilkan seperti Tuhan Yesus sendiri, jadi kekudusannya itu seperti kekudusan Tuhan Yesus sendiri.

PG : Betul, setelah diselamatkan kita memasuki tahapan kedua, tahapan pertama kita mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita, kita orang berdosa, Tuhan telah turun untuk menanggung hukman dosa kita dan kalau kita percaya Yesus adalah Tuhan yang telah mati untuk dosa kita, saat itu juga kita dibenarkan.

Artinya sebelumnya kita telah divonis bersalah tapi sekarang karena kita percaya pada Yesus yang sudah mati untuk dosa kita, kita sekarang divonis tidak bersalah, nah itu disebut kita dibenarkan. Setelah dibenarkan kita harus melewati fase pengudusan, artinya kata kudus berarti dipisahkan. Hidup kita sekarang harus berbeda dari kehidupan orang lain, dan makin serupa dengan Kristus. Dan akhirnya adalah kita baru dimuliakan tatkala Tuhan datang untuk kedua kalinya. Saya percaya pernikahan masuk dalam tahapan kedua ini. Tuhan akan memakai segala hal untuk membentuk kita, salah satunya adalah pernikahan. Dan pernikahan adalah pressure cooker yang benar-benar menggodok kita, mengubah kita dengan dasyat. Karena memang tidak ada yang sekuat itu bisa mengubah manusia, selain dari pernikahan. Sebab relasi kita sebagai suami-istri sangatlah dekat dan intens. Waktu kita bersama dengan istri atau suami, maka kita akhirnya akan dipakai Tuhan untuk saling mengubah, memperbaiki, memperindah diri kita.
GS : Berarti Tuhan merencanakan bahwa pasangan suami-istri ini kedua-duanya akan mencapai sasaran yang tadi Pak Paul katakan kemuliaan itu?

PG : Pada akhirnya nanti waktu Tuhan datang kembali itulah yang akan kita peroleh. Kalau pembenaran saya panggil sebagai upah percaya, pengudusan adalah bukti percaya, jadi waktu kita dimuliakn Tuhan itu adalah puncak percaya.

Puncak percaya pada Kristus adalah kemuliaan.
GS : Berarti kita tidak bisa mengabaikan pasangan kita, kalau pasangan kita itu tidak masuk dalam proses pengudusan itu Pak?

PG : Tepat sekali, kita harus melibatkan pasangan kita. Kolose 1:21, 22 berkata, "Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dar perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya."

Jadi baik suami maupun istri sekarang berdua-dua akan terlibat dalam proses pengudusan supaya menjadi kudus tak bercacat, tak bercela, menjadi lebih sempurna. Pak Gunawan, kita akan melihat bahwa ternyata tuntutan pernikahan dan tuntutan kekudusan sebetulnya sama. Misalnya Kolose 3:12, 13, "Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan..." Bukankah pernikahan membutuhkan belas kasihan, makin berbalas kasihan, makin meleburkan dan menyatukan suami-istri. Kedua, kemurahan; bukankah kemurahan juga sangat diperlukan dalam pernikahan. Untuk pengudusan kita perlu kemurahan, untuk pernikahan yang harmonis pun di perlukan kemurahan. Kerendahan hati, bukan saja untuk kekudusan diperlukan kerendahan hati, dalam pernikahan pun diperlukan rendah hari. Perlu rendah hati untuk meminta maaf, untuk mengakui kesalahan, untuk memulai percakapan kembali. Yang berikutnya kelemahlembutan, bukankah untuk kekudusan kita perlu lemah lembut tapi dalam pernikahan pun dituntut kelemahlembutan. Cinta tidak bertumbuh di tengah-tengah kobaran api kemarahan dan kebencian, cinta bertumbuh di tengah-tengah aliran kasih yang lembut, dan penuh cinta kasih. Kesabaran, kita diminta sabar untuk bisa lebih kudus, tapi dalam pernikahan pun dituntut kesabaran. Dan yang terakhir pengampunan, untuk menjadi kudus dan serupa dengan Kristus kita perlu mengampuni orang dan bukankah pernikahan pun menuntut pengampunan. Jadi kita melihat paralel sekali tuntutan pernikahan dan tuntutan kekudusan. Jadi dengan kata lain kita yang dalam pernikahan kita sebetulnya dalam pressure cooker, dalam sebuah wadah yang Tuhan gunakan untuk menguduskan kita. Sehingga seharusnya orang yang menikah dan taat kepada Tuhan makin hari makin kudus, makin kudus dan makin serupa dengan Kristus. Karena tuntutan pernikahan pun serupa dengan tuntutan-tuntutan itu.
GS : Tuntutan akan kekudusan itu sebenarnya untuk apa Pak Paul khususnya di dalam hubungan pernikahan ini?

PG : Begini Pak Gunawan, karena memang kita dipanggil Tuhan untuk hidup kudus jadi secara pribadi kita harus menuntut diri hidup kudus, makin hari makin serupa dengan Kristus. Namun dalam perniahan kita juga dipakai Tuhan untuk saling menguduskan.

Gara-gara misalnya istri kita sedikit emosional, kita dituntut Tuhan untuk lebih sabar. Istri kita dipakai Tuhan sebetulnya secara tidak langsung untuk menguduskan kita, menambah kesabaran kita. Suami kita misalkan pemarah, kita dituntut juga untuk menahan emosi kita, nah si istri bertumbuh di situ karena akhirnya dia belajar lebih sabar pula. Jadi kita dipakai Tuhan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk saling menguduskan dan kita juga harus saling menolong satu sama lain untuk hidup kudus. Artinya waktu pasangan kita sedang jauh dari Tuhan atau kecewa, kita ajak dia berdoa bersama, kita ajak dia untuk melakukan atau berbuat hal-hal yang diperkenan Tuhan. Jangan malah kita mendorong suami kita atau istri kita melakukan hal-hal yang salah jadi kita akan dipakai Tuhan menolong satu sama lain untuk hidup kudus. Supaya secara pribadi kita tambah seperti Tuhan Yesus dan secara kesatuan kita pun menjadi sebuah pasangan yang juga kudus.
GS : Berarti rumah tangga sebenarnya suatu tempat yang paling tepat untuk mempraktekkan firman Tuhan yang kita baca, kita renungkan, kita fahami.

PG : Betul sekali, tempat yang paling tepat dan tempat pertama sebetulnya kita memperaktekkan ajaran-ajaran Tuhan kita. Sebab waktu kita makin terus kudus, kehidupan kita akhirnya makin berbedadari orang lain sebagai suami-istri.

Kita benar-benar sebagai pasangan yang indah yang memang bercahaya dan karakter kita yang kudus ini menjadi terang buat orang lain. Waktu mereka melihat kita sebagai suami-istri, mereka melihat ada yang berbeda pada pasangan ini. Dan akhirnya kekudusan kita berdua memancarkan berkat bagi orang di sekitar kita.
GS : Bagaimana kalau Tuhan mengaruniakan anak di tengah-tengah keluarga kita?

PG : Anak-anak masuk dalam kategori yang terakhir yang baru saja saya sebutkan Pak Gunawan. Yaitu membesarkan anak sebetulnya merupakan limpahan pancaran berkat dari kehidupan yang dikuduskan. embesarkan anak bukan lagi tugas atau kewajiban, kita tidak melihat ini sebagai beban yang harus kita pikul.

Membesarkan anak menjadi limpahan sukacita dan kebahagiaan hidup bersama dalam kekudusan. Dengan kata lain makin berlimpah berkat yang dialami oleh orangtua makin besar kucuran berkat yang diterima anak. Nah makin besar kucuran berkat yang diterima anak, makin besar bocoran berkat yang keluar kepada orang-orang disekitarnya.
GS : Biasanya para suami juga termasuk saya dulu, pada awalnya menganggap bahwa anak itu biar diasuh oleh ibunya, tugas kami sebagai suami dan kepala keluarga mencari uang.

PG : Itu memang konsep yang cukup umum namun malangnya tidak tepat. Seharusnya suami-istri bersatu menikmati kehidupan yang kuat dan bahagia, karakter mereka masing-masing diperbarui lebih serua dengan Kristus.

Dalam kehidupan yang kudus ini maka tidak bisa tidak berkat dari orangtua mengucurlah pada anak. Anak menjadi penerima berkat pertama dari hubungan orangtua yang baik. Yang sangat disayangkan adalah ini Pak Gunawan, bukankah banyak anak-anak yang akan dapat berkata: "Orangtua saya menjadi berkat buat orang lain tapi bukan buat kami. Bukankah itu menyedihkan dan sangat menyedihkan, sebab anak-anak menjadi orang terakhir yang menerima berkat dari orangtuanya. Orangtuanya mungkin dipuji-puji di luar, orang Kristen yang baik, menjadi berkat buat kami tapi anak-anak tidak mendapatkan setetes berkat pun dari orangtua itu. Nah dalam keluarga atau dalam relasi suami-istri yang sudah kudus, suami-istri itu serupa dengan Tuhan Yesus, memiliki semua dari sifat-sifat yang baru saja diuraikan yaitu kesabaran, kemurahan, pengampunan. Dalam kondisi seperti itu anak-anak menjadi penerima berkat pertama.
GS : Dalam hal ini sebenarnya kita diingatkan bahwa sebagai orangtua bertanggung jawab untuk mempersiapkan anak menikmati berkat Tuhan, berjalan dalam rencana Tuhan dipersiapkan untuk menjadi suami atau istri yang baik Pak Paul.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan inilah yang menjadi inti pembahasan kita yaitu tujuan pernikahan kita. Tujuan pernikahan adalah agar berkat Tuhan disebarkan, dibagikan kepada lebih banyak orng sehingga pada akhirnya keselamatan Tuhan juga dapat dibagikan kepada lebih banyak orang.

Tuhan sudah berkorban, Tuhan sudah mati, Tuhan mau menyelamatkan kita dari hukuman dosa, nah Dia ingin manusia menerima tawaran keselamatan ini. Dari siapakah manusia akan menerima tawaran keselamatan ini? sudah tentu dari sesamanya dan bukankah kita akan lebih siap menerimanya dari orang-orang yang kehidupannya pun baik, yang kehidupannya pun kudus sehingga dari kehidupan mereka itu, akhirnya limpahan berkat itu mengucur keluar. Saya berikan contoh, kita semua saya kira cukup mengenal nama dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen yang Tuhan pakai di Amerika Serikat. Dibesarkan oleh papa-mama yang hidupnya sangat pas-pasan, karena papanya seorang pengabar Injil. Jadi kadang-kadang papanya pulang tidak membawa banyak uang, hidup mereka sangat pas-pasan tapi papanya dr. James Dobson seorang yang penuh balas kasihan. Jadi kalau dia diundang berkhotbah di sebuah gereja dan tinggal di rumah pendeta gereja tersebut melihat keluarganya itu susah, uang yang dia terima hasil jerih payahnya memimpin kebaktian dia akan sisihkan dan dia berikan kepada keluarga pendeta yang sedang kekurangan itu. Sehingga waktu dia pulang ke rumah dia akan cerita kepada istrinya tentang pekerjaan Tuhan dalam pelayanannya namun terakhir dia akan berkata, "Uang yang saya terima sebagian saya berikan kepada keluarga pendeta tersebut, karena mereka susah." Dr. Dobson sebagai anak kecil melihat percakapan orangtuanya seperti ini dan mendengar mamanya berkata, "Kalau itu yang Tuhan gerakkan kamu lakukan, lakukanlah sebab itulah kehendak Tuhan." Inilah yang dilihat dr. Dobson sebagai anak kecil. Papa-mama yang hidup dengan penuh kasih sayang dalam ketaatan kepada Tuhan dan kehidupan yang begitu berbeda waktu papa dr. Dobson sudah tua, terkena serangan jantung, dia akhirnya mendapatkan penglihatan, Tuhan berkata: "Engkau akan Aku panggil pulang, tapi jangan khawatir, Aku akan merawat dan memelihara istrimu." Kemudian dia panggil istrinya dan dia katakan apa yang Tuhan katakan kepadanya. Dan dr. Dobson bercerita, sampai mamanya tua Tuhan pelihara dalam kecukupan Tuhan tidak meninggalkan mamanya. Papa-mama dr. Dobson membesarkan dr. Dobson tidak sedikitpun mempunyai gambaran bahwa putra mereka akan dipakai Tuhan membawa berkat kepada jutaan umat manusia di dunia ini. Mereka hanyalah melakukan tugas mereka menjadi suami-istri, meleburkan diri dalam kasih, menyatukan diri bukan dengan paksaan dan saling dipakai Tuhan menguduskan satu sama lain, menolong satu sama lain untuk hidup kudus sehingga mereka menjadi sebuah pasangan yang indah. Siapakah penerima berkat pertama? Yaitu anak mereka dr. Dobson, begitu banyaknya berkat yang diterima dr. Dobson dari orangtuanya tidak bisa tidak itu akan bocor keluar sehingga akhirnya jutaan umat manusia menerima berkat dari seorang dr. Dobson.
GS : Memang kalau kita berpijak pada kebenaran firman Tuhan itu menjadi prinsip di dalam pernikahan, pernikahan itu akan menjadi berkat bagi banyak orang. Dari pembicaraan ini mungkin Pak Paul bisa simpulkan beberapa point yang bisa mudah diingat oleh kita semua.

PG : Saya akan memberikan beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah tidak ada rahasia dan tidak ada yang mustahil semua akan dapat mencicipi kehidupan keluarga yang berkelimpahan, syaratnya hana satu yaitu dia mesti mau.

Yang kedua, semua berawal dari pembenaran yaitu mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Dan setelah menerima keselamatan, pertanyaan saya berikutnya adalah maukah kita mengasihi pasangan kita, itu kuncinya. Maukah kita berbelaskasihan, bermurah hati, merendahkan diri, lemah lembut, sabar dan mengampuni; maukah kita melakukan semua itu di dalam keluarga kita. Jika kita mau dan kita melakukannya, perubahan berikut ini akan terjadi, yaitu saya akan semakin indah, pasangan kita, anggota keluarga kita akan makin indah; anak akan menerima kelimpahan berkat dan terakhir orang lain pun akan diberkati. Jadi tujuan pernikahan pada akhirnya adalah agar orang diberkati lewat keluaga kita.

GS : Ya terima kasih Pak Paul, tentu kita semua menginginkan agar hidup pernikahan kita boleh menjadi berkat bagi banyak orang dan nama Tuhan Yesus yang akan dimuliakan. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan dan Keselamatan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



46. Problem Seksual dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T188B (File MP3 T188B)


Abstrak:

Tapi kadang-kadang di dalam hubungan suami-istri pun mereka masih canggung atau bahkan enggan untuk membicarakan sehingga akhirnya banyak timbul masalah.


Ringkasan:

Salah satu masalah yang kerap melanda pasangan nikah adalah masalah seksual. Malangnya, sering kali masalah ini tak terungkapkan dan menjadi duri dalam relasi.

Berikut ini akan dipaparkan beberapa masalah yang sering muncul, penyebabnya, dan pemecahannya.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Problem Seksual dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Sebagian orang memang agak merasa tabu untuk membicarakan masalah-masalah seksual khususnya di dalam pernikahannya. Nah bagi kita yang beriman bagaimana Pak?

PG : Seks adalah bagian dari kehidupan orang yang menikah dan seks bukannya sesuatu yang dilarang oleh Tuhan. Tuhan tidak melarang seks, Tuhan mengatur seks jadi kita bedakan keduanya itu, Tuha meregulasi seks yaitu seks diijinkan hanya dalam mahliagai pernikahan.

karena memang seks adalah relasi terintim dan mempunyai begitu banyak konsekuensinya dan melibatkan perasaan, jiwa dan hidup orang yang terlibat di dalamnya, jadi Tuhan tidak mau seks diperlakukan secara murahan. Itu sebabnya Tuhan menempatkan seks di dalam rumah pernikahan. Namun adakalanya kita itu mempunyai anggapan seks tidak boleh dibicarakan karena tidak rohani, itu keliru. Seks adalah satu bagian dari pernikahan dan pernikahan yang sehat biasanya dan seharusnya akan juga mempunyai pengertian dalam soal-soal seksual ini.
GS : Tapi kadang-kadang di dalam hubungan suami-istri pun mereka masih canggung atau bahkan enggan untuk membicarakan sehingga akhirnya banyak timbul masalah.

PG : Itu betul sekali Pak Gunawan, banyak masalah seksual dalam pernikahan tapi tidak dibicarakan, namun dampaknya sebetulnya dirasakan oleh keduanya dan mempengaruhi relasi mereka. Pertanyaan ak Gunawan, mengapa tidak dibicarakan, saya menduga karena gengsi.

Sering kali kalau orang harus membicarakan tentang seks dan misalkan meminta, orang itu merasa gengsi sehingga akhirnya tidak mau membicarakannya. Akibatnya ini adalah hal yang ditutup-tutupi, namun tadi sudah disinggung akhirnya luber dan mempengaruhi relasi nikah kita.
GS : Biasanya masalah-masalah apa Pak Paul yang sering kali muncul?

PG : Pertama adalah ketidaksesuain frekwensi, tubuh kita mempunyai kebutuhan seksual yang tidak sama, ada yang perlu lebih banyak ada yang tidak perlu sebanyak itu. Kita perlu membicarakannya dngan terbuka namun tidak memaksa.

Saya menganjurkan nyatakanlah kebutuhan kita dan mintalah pemenuhannya. Sebaliknya ini saya minta kepada pihak yang tidak membutuhkan banyak, jangan memandang rendah pasangannya yang meminta lebih banyak. Atau menunjukkan sikap menolak, sikap-sikap seperti itu jangan. Karena bagi orang yang memang membutuhkan lebih banyak dan memintanya itu sudah merupakan pengorbanan, dia harus mengorbankan egonya. Kalau jawaban kita adalah jawaban yang menolak dengan kasar itu sangat menyakiti hati orang dan akhirnya orang itu akan berjanji pada diri sendiri bahwa dia tidak akan meminta lagi. Begitu dia berkata tidak akan meminta lagi, terbentanglah jurang di antara mereka. Jadi ini nasihat kepada mereka yang tidak memiliki kesamaan frekwensi kebutuhan. Yang membutuhkan sedikit harus meningkatkan batas maksimalnya. Misalnya dia berkata, "Saya hanya perlu seminggu satu kali," naikkanlah. Yang membutuhkan banyak juga perlu bisa menurunkan tuntutannya. Misalkan dia berkata, "Saya sedikit-sedikitnya perlu empat kali seminggu. Turunkanlah, batas minimalnya berapa yang bisa ditoleransi. Misalkan dua kali seminggu, ok, kalau begitu dua kali seminggu. Inilah yang diperlukan agar tercipta hubungan yang lebih harmonis.
GS : Bukankah untuk itu diperlukan komunikasi yang baik antara suami istri ini, sering kali yang terjadi adalah karena ada problem seksual itu tadi komunikasi menjadi terhambat Pak Paul?

PG : Maka kita harus menyelesaikan masalah di titik masalah itu. Sering kali di dalam pernikahan yang kita lakukan adalah bukannya menyelesaikan masalah di titik masalah itu tapi kita memindahkn masalah di titik yang lain dan mempeributkan masalah yang lain itu, meskipun masalahnya berada di titik yang semula.

Kita angkut, kita boyong masalah di titik sebelumnya ke titik yang baru ini. Biasanya di titik di mana kita merasa lebih nyaman, misalnya kita mempunyai masalah dalam hal seksual ini, tapi kita tidak mau membicarakan dan akhirnya kita ribut dalam soal anak. Misalnya kita berkata kepada pasangan kita, "Kamu kok lebih sayang anak daripada saya saya." Akhirnya ribut di sana, "Kamu memang memberikan perhatian yang lebih besar kepada anak, tidak kepada saya dan sebagainya." Sebenarnya ribut pada awalnya di dalam soal seks, jadi saya minta kita harus menyelesaikan masalah di titik masalah itu sendiri.
GS : Di dalam hal ini, seperti tadi Pak Paul katakan meminta atau menyeimbangkan itu tadi, orang tidak mau secara terbuka mengatakan bahwa kebutuhan saya sekian, lalu saya cukup sekian, tapi mereka tidak mau terbuka.

PG : Sering kali kalau orang tidak mau terbuka memang ada dua penyebabnya. Yang pertama, ada orang yang angkuh sehingga tabu buat dia meminta dan dia berharap pasangan seharusnya tahu, tidak ush diberitahukan atau diminta ya langsunglah diberikan.

Nah ada orang yang memang mempunyai masalah keangkuhan, kalau dia mempunyai masalah keangkuhan; rendahkanlah diri, belajarlah meminta, itu baik buat pernikahan. Kerendahan hati itu baik buat pernikahan bukannya keangkuhan hati. Penyebab kedua biasanya adalah kita bisa membaca aroma penolakan dari pasangan kita. Karena itu kita enggan untuk menyampaikan permintaan kita, daripada kita sampaikan dan ditolak ya sudah mendingan tidak disampaikan. Biasanya dua penyebab itulah yang menghalangi kita untuk menyampaikan keinginan kita.
GS : Sebenarnya harus tetap dibicarakan apa adanya, Pak Paul?

PG : Tetap harus dibicarakan, jadi prinsipnya selesaikan masalah di titik masalah itu sendiri, jangan boyong dan pindahkan ke titik masalah yang berbeda.

GS : Selain masalah frekwensi mungkin ada yang lain Pak Paul?

PG : Yang biasanya juga menjadi masalah adalah masalah biologis atau problem-problem disfungsi ereksi, bagi wanita-nyeri dalam berhubungan. Kalau itu masalahnya jangan ragu, jangan malu untuk k dokter.

Sebab masalah-masalah ini memerlukan pemeriksaan serta perawatan medis. Namun adakalanya problem disfungsi ereksi lebih bersifat psikologis. Masalah ereksi sebetulnya disebabkan oleh misalnya perasaan dia tidak lagi mampu, dia tidak lagi menjadi kepala rumah tangga, dia tidak lagi dihormati oleh istrinya, atau dia merasa dituntut harus memuaskan istrinya dan dia tidak mampu melakukannya sehingga belum apa-apa akhirnya mengalami masalah disfungsi dalam ereksi. Kalau wanita misalkan masalah nyeri dan sebagainya, juga perisakan, sebab adakalanya ini bukan masalah biologis meskipun bisa menjadi masalah biologis. Kadang-kadang ini merupakan masalah ketergesaan sehingga tidak memberi waktu persiapan untuk terjadinya pelumasan. Jikalau itu yang terjadi terlalu tergesa-gesa, langsung masuk kepada tahap penetrasi, akhirnya yang terjadi adalah rasa nyeri. Jikalau semua itu sudah dibicarakan dan dibereskan, namun tetap mengalami masalah, periksakan kepada dokter sehingga masalah ini bisa dituntaskan.
GS : Itu satu hal lagi yang membuat orang kadang-kadang enggan datang ke dokter untuk membicarakan masalah problem seksualnya, Pak Paul?

PG : Memang ada rasa malu apalagi bagi pria, kalau wanita lebih terbuka untuk membicarakan masalah ini. Bagi sebagian pria itu rasanya tabu sekali mmebicarakan masalah disfungsi dalam ereksi ini. Seolah-olah, "Saya kurang laki-lai, saya kurang jantan, dan sebagainya." Daripada menyimpan-nyimpan masalah dan akhirnya melahirkan problem-problem lain dalam keluarga, mengapakah kita tidak belajar merendahkan hati kita, mencari pertolongan untuk membereskan masalah ini. kadang-kadang ada orang-orang yang lebih suka mempertahankan egonya, keangkuhannya, tidak mau dipandang rendah oleh pasangannya; menutupi terus problem itu, tidak mau memeriksakan diri ke dokter, meskipun problem itu benar-benar menyengsarakan pasangannya, menimbulkan banyak masalah lain, tapi dia lebih rela. Dia lebih rela membuat orang susah daripada dia harus melewati sedikit rasa malu, saya kira itu tidak benar, itu adalah tindakan yang kejam, jadi rendahkanlah diri, rendahkanlah hati kita, carilah pertolongan medis.

GS : Memang mengenai ketergesaan itu tadi ada banyak faktor Pak Paul. Kadang-kadang ada pasangan suami-istri yang baru menikah, anaknya masih kecil dan tidurnya harus sekamar sehingga dia tidak merasa nyaman dalam melakukan hubungan seksual.

PG : Sering kali hal-hal ini perlu dipikirkan, adakalanya perlu untuk memisahkan tempat tidur dan kamar kita sehingga kita bisa berkonsentrasi. Bagaimana bisa berkonsentrasi kalau anak ada di smping kita, jadi pengaturan-pengaturan ini memang perlu direncanakan.

Hubungan seks yang baik sebetulnya adalah hubungan yang telah direncanakan. Memang dalam pikiran kita, semakin spontan semakin lebih baik tapi kenyataannya dalam pernikahan, yang spontan-spontan itu jarang terjadi. Sebab hidup menjadi rutin dan dipenuhi dengan tanggung jawab. Jadi seperti hal-hal lainnya, kalau mau mendapatkan yang terbaik, rencanakanlah sebaik-baiknya.
GS : Ada faktor yang lain itu, kadang-kadang perbedaan usia yang terlalu jauh, sehingga misalnya si suami itu sudah lanjut usianya padahal istrinya masih muda belia, sehingga kebutuhan mereka akan pemenuhan kebutuhan seksual ini berbeda. Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Betul, itu sering kali terjadi Pak Gunawan. Kadang kala pria itu malu untuk mengakui bahwa sebetulnya gairahnya sudah sangat menurun dan sebagainya. Nah saya kira di sini si pria harus berata terus terang bahwa, "Memang saya tidak lagi seperti dulu, gairah sudah berkurang tetapi saya tetap masih ingin melayani engkau.

Jadi jangan ragu untuk meminta, jangan ragu untuk berinisiatif dan bertanya, saya juga akan mencoba sebaik-baiknya." Jadi bicarakan dengan terus terang, apa yang dapat dilakukan oleh yang lebih muda agar kita yang lebih tua tetap akhirnya bisa mendapatkan bantuan. Misalnya ada hal-hal yang bisa dilakukan oleh pasangannya itu, jangan malu, kemukakan itu; kadang-kadang karena kita ini orang berdosa, daripada mengakui keterbatasan kita, kita malah melemparkan masalah pada pasangan kita dengan mencaci maki dia, berkata, "Kamu tidak tahu malu, kamu seperti pelacur meminta-minta dan sebagainya." Bukankah itu kasihan, sebetulnya yang bermasalah kita, yang mengalami kelemahan dan keterbatasan adalah kita tapi kita memutarbalikkan masalah dan malah melemparkan kepada pasangan. Bagi saya ini tindakan kejam, gara-gara kita tidka mau mengakui keterbatasan, kita malah menginjak-injak orang.
GS : Mungkin ada faktor yang lain Pak Paul?

PG : Biasanya ketakutan hamil, juga menjadi masalah. Biasanya perempuan tidak mau berhubungan karena sebetulnya takut hamil. Jadi saya kira dua-dua harus membicarakan atau berkonsultasi dengan okter, sehingga bisa ditentukan alat kontrasepsi yang paling cocok.

Misalkan Pak Gunawan, sebetulnya kalau anak-anak sudah mulai besar, bukankah yang lebih mudah dilakukan adalah hal-hal seperti fasektomi untuk pria, tapi pria itu sekali lagi gengsi, nanti kurang jantan, dan sebagainya. Sedangkan semua itu adalah mitos, fasektomi tidak mempengaruhi itu semuanya tapi justru itu adalah cara yang paling mudha, begitu sederhana dan benar-benar itu akan menghilangkan rasa takut pada istri kita. Tapi banyak suami tidak mau melakukannya, lebih suka menimpakan semua beban itu kepada si istri sehingga akhirnya si istri takut untuk hamil, dia yang lebih sengsara dan kita juga harus bayar dengan hubungan seksual terganggu. Mengapakah kita tidak mau merendahkan hati, merendahkan diri kita, "Ya sudah lewati saja dengan fasektomi, anak-anak kita sudah cukup dan sudah cukup besar, kita sudah cukup umur." Lakukan, sehingga nantinya kita akan lebih bisa menikmati relasi seksual.
GS : Pak Paul, ada sebagian orang yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi, itu sebenarnya dasar pemikirannya itu apa Pak Paul?

PG : Macam-macam Pak Gunawan, memang ada yang beralasan religius, berkata ini dilarang Tuhan, daripada melanggar firman Tuhan, jadi tidak mau. Menurut saya nomor satu kita harus yakin bahwa ana adalah pemberian Tuhan.

Nomor dua Tuhan juga menuntut kita untuk bertanggung jawab. Kita tidak diijinkan Tuhan membunuh manusia lain termasuk membunuh anak dalam kandungan. Namun apa salahnya kalau kita memang mempunyai kemampuan untuk itu, aturlah kelahiran anak-anak kita sehingga kita bisa menyediakan yang paling baik untuk anak-anak kita. Ada juga orang yang berkata tidak memakai alat kontrasepsi karena mengurangi kenikmatan, karena ada tambahan-tambahan alat yang dimasukkan ke dalam tubuh. Kalau memang itu yang dirasakan, maka tadi saya katakan kalau pria sudah cukup umur, anak-anak sudah mulai besar, kenapa tidak langsung saja melakukan fasektomi.
GS : Ada sebagian orang juga yang mengurangi frekwensi hubungan seksualnya karena letih. Sekarang ini suami-istri bekerja, istri sudah bekerja dari pagi sampai sore masih kerja di rumah lagi dan malamnya masih melayani, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Sering kali ini menjadi masalah manusia modern Pak Gunawan, banyak pasangan mengalami masalah seksual, sebetulnya awalnya dari kesibukan. Terlalu letih sehingga akhirnya setelah pulang ke umah benar-benar tidak ada keinginan lain selain daripada beristirahat.

Sehingga tidak ada lagi kencan-kencan, perlahan-lahan ini bisa menjadi masalah. Misalnya ada yang sangat membutuhkan tapi yang satunya sudah terlalu letih, atau kalau dua-duanya terlalu letih dan dua-duanya tidak pandai-pandai mengkompensasikan dengan keintiman dalam bentuk yang lain, ini bisa menjadi pemisah antara si suami dengan si istri. Sebab tidak bisa disangkal, seks bukan saja relasi terintim tapi seks adalah sebuah tindakan yang mengintimkan kedua orang. Jadi kalau akhirnya sama sekali tidak dilakukan karena terlalu letih dan terlalu letih, dan tidak ada penggantinya, kompensasi keintiman dalam bentuk lain, akhirnya relasi suami-istri makin terbelah.
GS : Kemudian orang sering kali mengatakan saya tidak mempunyai gairah, padahal hubungan seksual itu membutuhkan gairah, Pak Paul.

PG : Ini juga bisa menjadi masalah dan kehilangan gairah, itu biasanya diawali oleh kehilangan ketertarikan terhadap penampilan fisik pasangan kita. Nah apakah ini alamiah atau manusiawi, saya ira ya.

Pasangan kita tidaklah semuda dulu dan pasangan kita tidaklah memiliki tubuh sebaik dulu. Itu saya kira bagian dari perkembangan hidup, kita makin menua bukan makin tambah muda. Kalau ini yang terjadi, jangan sampai lupakan satu prinsip bukankah kita mencintai dia dan bukankah cinta pada dasarnya adalah memberi dan berkorban. Jadi meskipun gairah tidak lagi seperti dulu, minat sudah menurun, tetap lakukan. Kenapa? Karena makin kita lakukan dengan konsisten, makin gairah itu terpelihara meskipun perlahan-lahan akan menurun sesuai dengan pertambahan usia, tapi menurunnya tidak terlalu cepat. Sebaliknya kalau kita berkata tidak ada gairah, kemudian tidak usah melakukan, tinggal tunggu waktu akan benar-benar tidak akan ada lagi relasi seksual. Benar-benar akan vakum karena makin jarang dilakukan, makin cepat hilang gairah itu.
GS : Mungkin ada faktor yang lain Pak Paul, masalah yang lain yang muncul di dalam relasi seksual ini?

PG : Bisa Pak Gunawan, yang lain adalah keengganan melakukan hubungan seksual akibat dampak masa lalu. Misalnya orang tidak mau berhubungan karena menganggap seks sebagai alasan utuhnya pernikaan orangtua.

Ayahnya misalnya berselingkuh atau berzinah, wah dia tidak mau lagi berhubungan seks karena seks dikaitkan dengan selingkuh dan penyebab kehancuran keluarga. Sesuatu yang kotor, sesuatu yang salah. Misalkan yang lain ada yang pernah menjadi korban pelecehan seksual, dan ini berakibat pada ketakutannya untuk berhubungan seksual. Jikalau ini menjadi masalah, saya kira mereka memang harus datang kepada seorang konselor untuk mendapatkan bantuan agar bisa mendamaikan masa lalunya, membereskan semuanya itu. Kalau sudah dibereskan, kelegaanlah yang bisa diperoleh, dan bisa ditingkatkan kembali relasi seksual itu.
GS : Biasanya pasangan itu menikah tanpa bekal pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah seksual baik dari orangtuanya maupun dari pihak yang lain. Nah ini sangat mempengaruhi Pak Paul?

PG : Sangat mempengaruhi Pak Gunawan, maka dalam bimbingan pranikah seharusnyalah hamba Tuhan atau konselor membicarakan hal-hal seperti ini, sehingga mereka berdua bisa mempersiapkan diri dengn lebih baik.

Sekali lagi saya tekankan prinsip itu yang tadi saya sudah singgung bahwa perencanaan itu akan menentukan baik atau tidak baiknya relasi seksual. Makin matang perencanaan, makin besar kemungkinan relasi seksual kita menjadi baik.
GS : Pak Paul, kadang-kadang karena tuntutan pekerjaan atau karena studi, suami-istri harus berpisah untuk jangka waktu yang cukup lama. Pengaruhnya bagaimana pak?

PG : Sudah tentu kalau untuk satu kurun, kemudian nanti setelah itu mereka akan bersama-sama lagi untuk kurun yang lama, kurun yang lama itu bisa mengobati kurun yang mana mereka berpisah. Namu kalau mereka berpisah untuk waktu yang lama, bertemu sebentar pisah lagi dalam waktu yang lama dan seterusnya, dampaknya sering kali buruk.

Sebab pada akhirnya kebergantungan dan keintiman kita pada pasangan akan berkurang, kebutuhan kita akan pasangan kita juga akan berkurang. Namun kalau kita setelah berpisah berkumpul lagi untuk waktu yang lama, keintiman, kedekatan dihidupkan kembali, kebergantungan juga dihidupkan kembali, relasi itu juga akan kembali menjadi intim dan kuat. Kalaupun nanti harus berpisah lagi, modal itu sudah tersedia.
GS : Tetapi apakah hal ini tidak terlalu mengganggu serius Pak Paul, artinya bisa sampai si pria yang tugas di luar kota ini kemudian berselingkuh atau nyeleweng?

PG : Saya kira bisa Pak Gunawan, sebab sudah tentu dalam kesendiriannya dia akan lebih rawan terhadap godaan. Maka apakah perpisahan ini untuk semua orang, kita harus menilai berapa kuatnya relsi nikah kita.

Kalau memang relasi nikah kita kurang kuat dan kita pun menyadari kita kurang kuat, jangan paksakan diri mengambil pekerjaan yang harus memisahkan kita, sebaiknya tetap bersama-sama.
GS : Jadi hal itu pun harus dibicarakan antara suami-istri ini. Dalam hal ini Pak Paul apakah firman Tuhan juga memberikan pedoman bagi kita?

PG : Firman Tuhan di I korintus 7:3 dan 4 berkata, "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya."

Rasul Paulus di sini jelas-jelas membicarakan tentang relasi seksual dan rasul Paulus sebagai hamba Tuhan meminta agar baik suami maupun istri menunaikan kewajibannya. Dan dasarnya adalah firman Tuhan, tubuh isteri milik suami, tubuh isteri milik suami. Nah di sini diungkapkan sebuah kesatuan yang begitu intim dan sempurna, sehingga memang tidak lagi bisa dibedakan siapa, siapa. Semua menjadi sebuah kesatuan, seks ditempatkan di dalam kesatuan seperti ini dan ini adalah bagian dari rencana Tuhan. Jangan sampai kita beranggapan seks itu jasmani, yang jasmani itu tidak kudus alias dosa. Seks adalah ciptaan dan pemberian Allah kepada umat manusia.

GS : Masalah-masalah ini sebenarnya bisa teratasi dengan baik kalau kita mau mengkomunikasikan itu dan mau merendahkan diri kita untuk menyelesaikannya bersama-sama. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Problem Seksual dalam Pernikahan", bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



47. Gaya Komunikasi Pria dan Wanita


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T200B (File MP3 T200B)


Abstrak:

Salah satu sumber konflik dalam rumah tangga adalah komunikasi yang tidak tepat sasaran. Meski kita tidak dapat menggeneralisasi semua, namun ada pola komunikasi tertentu yang lebih sering ditemukan pada pria dan wanita. Memahami pola ini bisa membantu kita memperlancar arus komunikasi, seperti dalam berkomunikasi dengan pasangan, pada umumnya istri lebih mementingkan proses pembahasannya dibanding hasil akhir atau keputusannya.


Ringkasan:

Salah satu sumber konflik dalam rumah tangga adalah komunikasi yang tidak tepat sasaran. Meski kita tidak dapat menggeneralisasi semua, namun ada pola komunikasi tertentu yang lebih sering ditemukan pada pria dan wanita. Memahami pola ini bisa membantu kita memperlancar arus komunikasi.

  1. Dalam berkomunikasi dengan pasangan, pada umumnya pria menuntut ketundukan istri kepadanya. Jadi, sebaiknya istri tidak langsung menyatakan ketidaksetujuannya melainkan meminta waktu untuk memikirkan ulang usulan suami. Atau, di awal bantahannya, istri langsung menyatakan kesediaannya untuk mematuhi kehendak suami namun ia ingin mengungkapkan pikirannya terlebih dahulu. Biasanya jika suami tahu bahwa istri sedia mematuhinya, ia pun akan lebih siap untuk bernegosiasi. Sebaliknya, bila ia sudah membaca bantahan dari istri, ia cenderung bersikeras memaksakan kehendaknya. Alhasil konflik pun terjadi.
  2. Dalam berkomunikasi dengan pasangan, pada umumnya istri lebih mementingkan proses pembahasannya dibanding hasil akhir atau keputusannya. Selama istri memperoleh kesempatan untuk berunding dan mengungkapkan pikirannya, selama itu pulalah ia siap untuk mengikuti kehendak suaminya. Dalam pengertian ini, wanita lebih siap untuk menghadapi konflik sebab terpenting baginya adalah proses berkomunikasi itu sendiri. Sebaliknya pria cenderung memandang konflik sebagai sinyal ketidakpatuhan dan ketidakadaan dukungan istri terhadapnya.
  3. Pria cenderung berpikir praktis, jadi, jika ia menduga bahwa istri akan tidak setuju, daripada terlibat dalam konflik, ia memilih berdiam diri. Sebaliknya, oleh istri sikap diam ini diartikan putusnya relasi (bukan hanya komunikasi). Konflik yang lebih besar pun tak terhindarkan. Bagi istri, ketidaksetujuan dalam berkomunikasi merupakan dinamika sehat, bukan sesuatu yang perlu ditakuti.
  4. Wanita intuitif dan berorientasi pada perasaan, jadi bila ia melihat sikap atau penampakan suami yang menunjukkan ketidaksenangan, itu akan sangat mempengaruhi nada komunikasi. Dalam pada itu, komunikasi menjadi tidak berdasar fakta lagi; kendati "fakta" yang dibicarakan namun sesungguhnya istri menghendaki sesuatu yang lain-jaminan bahwa suami tetap mengasihi dan bersamanya.

Firman Tuhan:"... kalau hidung ditekan darah keluar, dan kalau kemarahan ditekan, pertengkaran timbul." (Amsal 30:33)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Gaya Komunikasi Pria dan Wanita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam rumah tangga atau di dalam keluarga komunikasi mempunyai tempat yang sangat penting. Kita tiap-tiap hari berkomunikasi dengan pasangan kita, tapi justru dengan berkomunikasi ini sering kali juga menimbulkan masalah. Sebenarnya apa yang menyebabkan masalah ini timbul dalam kita berkomunikasi dengan pasangan kita?

PG : Memang kita tidak bisa menggeneralisasi semua pria seperti ini, semua wanita seperti itu tapi sampai titik tertentu saya kira kita bisa menemukan pola-pola tertentu yang khusus atau seringditemukan pada pria dan sering ditemukan pada wanita, termasuk di dalamnya adalah cara berkomunikasi.

Ini yang perlu kita sadari, sebab kalau tidak kita sadari akhirnya ini menjadi duri dalam pernikahan kita. Nah saya kira kesempatan ini adalah kesempatan yang baik untuk kita membahas beberapa perbedaan yang kerap ditemukan pada pria dan wanita yang kalau tidak bisa disadari dan diselaraskan akhirnya menjadi sumber konflik dalam keluarga. Misalkan yang pertama, dalam berkomunikasi dengan pasangan pada umumnya pria menuntut ketundukan istri kepadanya. Maksudnya, waktu suami dan istri berbicara, misalkan dia mengeluarkan sebuah gagasan, si suami mau istrinya tunduk tidak membantahnya, karena itu penting bagi dia. Kalau belum apa-apa istri langsung berkata, "saya tidak setuju atau ide itu benar-benar jelek, kenapa bisa berpikir seperti itu." Kata-kata yang langsung mengatakan ketidaksetujuan, bagi pria itu sering kali menjadi sinyal ketidaktundukan yaitu bahwa istri melawan dia, tidak lagi menghormatinya. Kalau ini yang dilihat oleh si suami tinggal tunggu waktu mereka akhirnya akan bertengkar. Sebab sekali lagi yang langsung ditangkap oleh si suami adalah, "kamu tidak lagi menghormati saya sebagai kepala keluarga sebab kamu begitu mudahnya membantah atau memprotes saya."

ET : Kadang-kadang mungkin yang ditemukan itu ada area-area tertentu yang memang suami kurang dibandingkan istri sehingga ketika suami menyampaikan gagasan tertentu istri langsung spontan saja,karena merasa saya dalam bidang ini saya lebih menguasai sehingga langsung membantah.

Itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya ingin mengajak kita semua melihat keluarga sebagai sebuah organisasi, sebab itulah yang Tuhan memang tetapkan dalam Efesus pasal 5. di Efesus pasal 5 sebenarnya Tuhan sedang mencoba ntuk menciptakan ketertiban di dalam keluarga.

Ketertiban yang dimaksudkan firman Tuhan itu, Tuhan menetapkan suami menjadi kepala istri. Sebetulnya suami kepala keluarga merupakan istilah yang kurang begitu pas, karena yang digunakan di dalam Efesus pasal 5 adalah suami itu sebagai kepala istri jadi bukan keluarga tapi karena dia kepala istri otomatis dia juga kepala keluarga. Nah Tuhan menetapkan suami sebagai kepala, dalam pengertian supaya ada ketertiban dalam organisasi kecil ini. Bukankah kita dalam pekerjaan misalkan atasan kita mengeluarkan sebuah gagasan dan kita melihat kekurangan atau kelemahan pada gagasan itu, kita juga dituntut untuk menyampaikan gagasan kita yang hendak memperlihatkan kekurangannya itu dengan cara yang berhati-hati, dengan cara yang tepat. Sebab bagaimanapun sewaktu si kepala merasa dia itu tidak lagi dihormati tapi malah dipermalukan, dia akan bereaksi, dia akan tidak suka meskipun dia tahu bahwa dia keliru dan bawahannya betul. Jadi saya kira di sini dituntut hikmat dari istri untuk bisa menyampaikan dengan lebih tepat. Misalkan dia tahu suaminya itu luput melihat satu aspek, nah bagaimana dia menyampaikannya? Nomor satu, jangan langsung dia berkata, "Kamu kok tidak lihat ini, kamu harus lihat ini juga dong." Nah itu artinya tunggu waktu berkelahi. Cara bicaranya seharusnya begini, "OK, saya kira itu ide yang baik, saya setuju, baik sekali." Setelah menunjukkan kesetujuannya baru dia misalkan berkata, "Boleh atau tidak saya ungkapkan pemikiran saya sebab saya ini tiba-tiba memikirkan sesuatu, atau misalkan dia tahu dia akan berbeda pandang dengan si suami, dari awal dia akan berkata, "Saya setuju apapun keputusan ini saya akan setuju, namun boleh tidak saya juga mengeluarkan pandangan saya, tapi sekali lagi saya akan ikut kamu." Barulah dia ungkapkan pikirannya tersebut. Saya temukan kebanyakan pria sewaktu langsung mendengar kesetujuan atau kepatuhan istrinya suami akan lebih siap mendengarkan argumentasi si istri, tapi kalau dari depan si istri sudah langsung mengajukan argumentasi dan tidak menjanjikan kepatuhan tersebut biasanya itu akan lebih memancing pertengkaran dari pihak si suami.
GS : Tapi ada juga Pak Paul, suami yang menghendaki istrinya bicara secara terus-terang, kalau tidak senang atau salah langsung ditegur. Hanya yang diharapkan dari pihak suami itu adalah caranya berbicara harus tepat, tidak melawan, di samping itu waktunya juga harus tepat jangan di saat suami lelah pulang kerja dan juga tempatnya harus tepat.

PG : Saya setuju, dan kuncinya saya kira adalah satu kata yang tadi Pak Gunawan katakan yaitu tidak melawan. Sebab suami umumnya akan peka menangkap gerakan atau geliat melawan dari istrinya. Kalau istri dengan jelas berkata, "Saya ikuti, apapun pendapatmu saya ikuti."

Kemudian meminta izin, "Boleh tidak saya mengungkapkan pendapat saya, namun saya akan ikuti apa yang kamu katakan tadi tapi saya ingin mengeluarkan pendapat saya." Biasanya suami akan lebih siap mendengarkan, justru kalau dia sudah mendengarkan tapi dia tahu istrinya akan ikut dan mematuhi dia, sering kali ini akan membuat si suami lebih berhati-hati. Dia akan benar-benar memikirkan ulang, "Ya, ya saya tadi benar atau tidak ya, kok istri saya tadi ngomong juga benar, mungkin saya yang keliru ada hal-hal yang luput saya lihat." Nah justru dia lebih mau mendengarkan. Tapi kalau dari awal istri memprotes, nah bagi suami ini seperti undangan berkelahi, apa yang dia akan lakukan? Dia makin memaksakan kehendaknya, dia makin bersikeras sebab dia seolah-olah terpanggil untuk menunjukkan kekuasaannya. "Saya kepala keluarga, saya yang harus menentukan kamu harusnya mengikuti saya." Jadi makin main keras, memang di sini sebetulnya masalah bisa dengan sangat mudah diselesaikan asalkan kita masing-masing mengerti peranan kita itu.
GS : Yang penting jangan dipermalukan, jangan kita itu sebagai suami merasa kalah dengan istri, ini memang agak peka dan mesti dihindari.

PG : Betul, kita sedang berbicara seperti ini bukan untuk mendewa-dewakan pria. Kita hanya mau membicarakan cara yang pas sehingga kita bisa menghindarkan konflik antara suami dan istri. Suda tentu kita pun tahu dengan sangat mendetail menjabarkan apa yang harus suami lakukan, suami harus mengasihi istrinya.

Artinya suami harus memikirkan kepentingan istri, itu tuntutan Tuhan kepada suami benar-benar mengasihi seperti mengasihi tubuhnya sendiri. Firman Tuhan berkata, "Barangsiapa mengasihi istrinya, dia mengasihi tubuhnya sendiri." Berarti perintah Tuhan sangat dalam dan sangat tegas kepada suami, namun dari pihak istri ini jugalah yang dituntut supaya konflik bisa terhindar.
GS : Kalau dari pihak si suami langsung tidak menyetujui gagasan istrinya, apakah juga terjadi sama seperti kalau suami tidak disetujui pendapatnya oleh istrinya?

PG : Saya kira tetap, bahasa, nada itu harus kita perhatikan, karena panggilan kepada suami adalah panggilan mengasihi. Tidak bisa kita itu mengasihi dan sekaligus kasar kepada istri kita. Mekipun kita tidak setuju dengan pandangan istri kita, kita tidak boleh bersikap kasar apalagi menghina atau melecehkannya, kalau kita tidak mau mengundang hukuman Tuhan atas kita.

Jadi perlakukanlah istri sebagai (kata firman Tuhan) pewaris kerajaan surga. Sama-sama pewaris, kita itu pewaris dan istri kita bukan, tidak demikian istri dan kita sama-sama pewaris kerajaan Allah, di mata Tuhan kita sama. Jadi sebagai suami penting kita bersikap lembut, tidak kasar meskipun kita berbeda pandang dengan istri kita.
GS : Hal apalagi yang perlu diperhatikan di dalam gaya komunikasi pria dan wanita ini?

PG : Berikutnya adalah dalam berkomunikasi dengan pasangan pada umumnya istri lebih mementingkan proses pembahasan dibanding hasil akhir atau keputusannya. Maksudnya begini, selama istri mempeoleh kesempatan untuk berunding dan mengungkapkan pikirannya, selama itu pulalah dia lebih siap untuk mengikuti kehendak suaminya.

Dengan kata lain inilah yang mesti diberikan suami kepada istri yakni proses, libatkan istri dalam pengambilan keputusan. Bagi si istri ini yang terpenting yaitu saya dilibatkan, saya tidak dikeluarkan dari proses pengambilan keputusan ini. Dalam pengertian ini kita bisa berkata pula bahwa sebetulnya wanita lebih siap menghadapi konflik di dalam pengambilan keputusan kalau terjadi perbedaan pendapat. Sebab yang terpenting bagi wanita adalah proses berkomunikasi itu sendiri, sebaliknya pria cenderung memandang konflik sebagai sinyal ketidakpatuhan, sinyal ketidakadaan dukungan istri terhadapnya. Tapi bagi si istri sebetulnya waktu dia berbicara, berunding misalkan dia tidak setuju dan sebagainya; bagi dia itu yang terpenting, hasil akhirnya seperti apa itu nomor dua bagi istri. Tapi bagi suami waktu terjadi dialog dan ketidaksetujuan biasanya suami jadi defensif, suami menganggap kamu memang sengaja tidak mau patuh, kamu memang mau memberontak.

ET : Sehingga kadang-kadang yang terjadi itu kalau sering kita lihat, bukannya antara ide yang pertama dimunculkan suami sampai hasil akhirnya sebenarnya sama, tapi prosesnya kadang-kadang bag suami ketika istri mengajak berpikir sudah menjadi ancaman, nanti berubah lagi keputusannya, padahal dalam banyak kasus ujung-ujungnya juga sama keputusannya.

PG : Betul, dan sering kali ini yang membuat suami sebelum terjadi diskusi sudah agak tegang. Khawatir nanti rencananya diobok-obok oleh si istri, jadi kalau dia tidak berhati-hati dia mudah skali mengembangkan pemikiran bahwa istrinya itu pengacau rencananya.

Ini kadang-kadang yang membuat si suami tidak mau cerita dengan istrinya, maka tadi Pak Gunawan sudah munculkan, penting sekali juga istri itu bersikap tepat waktu mengutarakan pendapatnya. Jangan melecehkan, merendahkan langsung mengatakan kamu salah, itu benar-benar membunuh komunikasi. Sekali lagi saya bukan mendewakan pria, tapi kita mesti mengerti keunikan pria dan wanita. Dalam hal ini pria tidak begitu mudah untuk menerima obok-obokan seperti ini dari istrinya. Tapi sebaliknya suami harus mengerti bahwa bagi istri yang terpenting adalah proses diskusinya, jadi libatkanlah istri, hasil akhirnya itu bagi istri adalah nomor dua. Sebab bukankah lebih sering pada akhirnya istri setuju dengan kita, mengikuti pendapat kita, tapi yang dia perlukan adalah proses itu. Dan mungkin ini ada pengaruh juga, sebagian wanita memang tidak terlalu cepat berubah, tidak terlalu cepat beradaptasi dengan perubahan, mungkin karena sifat wanita yang lebih domestik. Harus memelihara ketenteraman, kepermanenan dalam rumah tangga sehingga dia tidak terlalu cepat beradaptasi dengan perubahan. Mungkin kalau pria karena tuntutan pekerjaan di luar dan sebagainya akhirnya lebih dipaksa dan dikondisikan untuk beradaptasi dengan perubahan. Itu jugalah yang membuat wanita memerlukan waktu lebih panjang untuk benar-benar mencerna sesuatu yang baru saja dimunculkan. Dia mungkin harus pikir lagi, dia harus rasakan keputusan itu bukan hanya dia pikirkan, kalau pria prosesnya hanya satu yaitu dia pikirkan dampak keputusan itu; wanita harus pikirkan dan rasakan dampaknya seperti apa, anak-anak nanti merasa seperti apa kalau pindah, kalau ini, kalau itu, maka akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, jadi suami mesti juga sensitif dengan kebutuhan wanita ini.

ET : Terutama juga kalau sang suami termasuk kurang bisa berpikir secara jauh sehingga dalam kasus-kasus sebelumnya sudah ngomong-ngomong istrinya memberikan pertimbangan dan akhirnya keputusanya berubah.

Jadi untuk kali ini jangan sampai terjadi perubahan.

PG : Ada suami yang seperti itu, ini memang membawa kita kepada satu point berikutnya yaitu sering kali suami kalau dia sudah menduga hasil akhirnya akan berubah atau istrinya tidak setuju dia idak akan ngomong.

Dia akan sembunyikan atau dia mengambil keputusan di luar pengetahuan istrinya. Nah ini makin membuat istrinya benar, mending kalau pasti benar kalau misalkan gagal di tengah jalan makin membuat si istri kehilangan kepercayaan kepada dia. Tapi inilah pria, pria memang cenderung menghindari konflik, mekipun bagi istri diskusi tidak apa-apa, berbeda pandang tidak apa-apa yang penting prosesnya. Tapi bagi suami, saya akan dibantah, saya akan ditentang; jadi kalau suami berpikir saya bakal ditentang, lebih baik tidak usah ngomong. Maka kita kembali pada point pertama tadi kalau memungkinkan waktu wanita tidak setuju, kata pertama jangan berkata saya tidak setuju tapi kata pertama adalah, "OK, saya pertimbangkan lagi, itu ide yang baik, coba boleh tidak saya pikirkan dulu besok saya akan berikan jawaban; atau saya setuju saya akan ikuti tapi boleh tidak saya mengeluarkan pendapat saya." Nah suami sudah tahu istrinya akan setuju, sekarang tinggal memberikan argumentasinya saja, dia akan lebih tenang, dia tidak akan terlalu defensif.
GS : Memang kadang-kadang proses itu yang membutuhkan waktu lama Pak Paul. Kita sebagai suami tidak sabar menunggu waktu itu. Boleh saja proses itu, tapi kita berikan deadline, katakan 3 hari lagi atau semingu harus sudah ada keputusan.

PG : Ya sebaiknya memang kita menentukan tenggang sebab kita tidak bisa berlama-lama, jadi kalau memang harus ada keputusan yang diambil sebaiknya diberikan sebuah tenggang. Meskipun kadang-kaang saya harus akui satu hal juga bagi sebagian wanita, waktu diberikan tenggang itu juga menjadi tekanan lagi buat dia, jadi dia tidak bisa berpikir dengan lebih tenang atau rileks.

GS : Kemudian mengatakan, terserah saja kalau kita diberi waktu kalau tidak ya terserah kamu saja yang memutuskan. Pada kesempatan lain kami biasanya mengambil keputusan sendiri. Urusan luar ini kita selesaikan terlebih dahulu, misalnya membeli suatu barang, ini kalau didiskusikan lagi salah-salah barang ini diambil orang. Pokoknya dibeli dulu, urusan dalam rumah tangga nanti kita selesaikan lagi.

PG : Itu akhirnya yang sering kali dilakukan oleh para pria, satu hal juga yang saya harus ingatkan adalah kita harus mengingat juga siapa yang lebih tahu. Orang yang lebih tahu akan mengambil eputusan yang lebih tepat atau berpotensi mengambil keputusan yang lebih tepat.

Jadi kalau si istri tahu dalam bidang ini memang suaminya lebih tahu, kalaupun dia ingin mengeluarkan pendapat ya keluarkanlah pendapat sebagai orang yang tidak mengetahui sebanyak suaminya. Atau kebalikannya kalau suaminya tahu dalam hal ini istrinya yang lebih tahu, ya keluarkanlah pendapat dan sikap bahwa dia tidak setahu istrinya. Jangan dia seolah-olah sok tahu, kata sok tahu sering kali menjadi masalah dalam rumah tangga sebab yang kurang tahu menjadi sok tahu, membuat yang satunya panas dan akhirnya bertengkar. Jadi tetap, saya pikir ini 'common-sense' kita harus gunakan, kalau memang pasangan kita lebih tahu kalau kita kurang jelas ya tanya, jangan langsung ini idenya jelek padahal dia lebih tahu dari kita. Bukankah itu membuat dia jengkel, kalau kita di perusahaan berbicara dengan atasan kita seperti itu, kita akan dipecat. Jadi ketertiban itu penting dalam rumah tangga. Di pihak lain suami harus sensitif, harus lembut kepada si istri; istri juga harus menempatkan dirinya sebagai pendamping suami.
GS : Jadi perlu ada semacam kesepakatan untuk pembagian wilayah?

PG : Betul, harus ada juga sebab kalau tidak akan kacau, sebab jadinya semua hal harus diributkan.

GS : Dan juga terlalu lama di dalam memutuskan sesuatu, hal lain yang perlu diperhatikan apa Pak Paul?

PG : Wanita cenderung lebih intuitif dan berorientasi pada perasaan, jadi bila dia melihat sikap atau panampakan suami yang menunjukkan ketidaksenangan itu akan sangat mempengaruhi nada komuniksinya.

Nah dalam pada itu komunikasi menjadi tidak berdasar fakta lagi kendati "fakta" yang dibicarakan namun sesungguhnya istri menghendaki sesuatu yang lain. Misalnya jaminan bahwa suami tetap mengasihi dia, tetap mengerti dia, tetap berpihak pada dia dan sebagainya. Jadi ini yang mesti disadari oleh suami, istri cenderung membaca sikap-sikap si suami. Kalau wajahnya sudah mulai menegang, tengokan kepalanya lebih keras, matanya sudah mulai lebih tajam, istri biasanya membaca semua ini; waktu dia membaca dia langsung bereaksi. Meskipun suami ngomongnya masih sama datarnya tapi waktu istri melihat perubahan pada bahasa tubuhnya, si istri langsung bereaksi pada bahasa tubuhnya. Ini yang sering kali luput dilihat oleh si suami. Istrinya berkata, "Kenapa kamu harus marah?" Suaminya berkata, "Saya tidak marah, nada suara saya masih sama." Tapi istri berkata, "Tidak, kamu marah." Tidak tahu dari mana bahasa tubuh itu, akhirnya si istri bereaksi keras terhadap bahasa tubuhnya, akhirnya konflik muncul. Kita juga mesti menyadari hal-hal yang seolah-olah kecil ini tapi berpotensi mengobarkan api konflik.

ET : Sehingga sering kali hal yang tampaknya bagi suami itu kecil tapi bagi si istri itu sudah sampai pada kesimpulan memang saya tidak berharga. Mungkin karena bahasa tubuh yang terbaca itu Pak?

PG : Betul, "ya kamu itu sebetulnya sudah tidak ingin ngomong dengan saya, makanya kamu ngomong pun wajahnya sudah begini." Jadi istri juga harus jaga kesensitifannya, suami mungkin sedikit jegkel tapi bukan berarti dia tidak mau ngomong dengan kita, istri juga harus peka.

GS : Memang kadang-kadang sulit meyakinkan, kita sebenarnya hanya beda pendapat bukannya mau meninggalkan atau tidak mengasihi. Tetap mengasihi, tetap mau bersama-sama tapi dirasakan seperti itu, lalu bagaimana Pak Paul?

PG : Kita harus turunkan nada suara kita, lembutkan lagi suara kita dan berkata, "Saya tetap mengasihimu, saya tetap memikirkan yang paling baik untuk keluarga kita, sudah kita jangan teruskanlagi pembicaraan ini nanti saja kita sambung, coba sekarang kita rileks, kita santai."

Perempuan perlu penyejukan seperti itu, kalau dipaksakan komunikasi saat itu juga terus-menerus akhirnya api konflik berkobar. Perlu diteduhkan kembali, diyakinkan bahwa si suami tetap mementingkan istri dan keluarganya dan apapun yang akan diputuskan ini yang akan diprioritaskan. Ini biasanya menyejukkan dan komunikasi akan lancar sekali. Pria harus menyadari ini sebab kalau tidak pria itu akan cenderung berkata kita berbicara faktanya, nah istri tidak hanya terpaku pada fakta baku itu, tapi justru pada yang menyelimuti fakta itu yakni perasaan-perasaan tersebut.

ET : Jadi sebenarnya kalau saya lihat yang Pak Paul bagikan beberapa point tadi, kalau masing-masing bisa mengingat hal ini, itu bisa menjadi seperti pengingat satu sama lain, bukankah kadang-kdang ada satu pihak yang lupa, misalnya ketika suami sudah mulai merasa istri tidak tunduk, demikian pula ketika suami merasa, saya tidak marah tapi kenapa istri menangkap saya marah, berarti ada sesuatu yang bisa diperbaiki.

Jadi sebenarnya bisa menjadi sebuah sistem pengingat yang baik.

PG : Betul sekali Ibu Ester, masing-masing memang tetap dituntut Tuhan untuk menyesuaikan. Di dalam penyesuaian itulah Tuhan membentuk kita menjadi manusia yang lebih baik daripada kemarin.

ET : Jadi bukannya membela diri, mempertahankan diri.

PG : Betul, makanya penting orang yang menikah itu memiliki sikap mau belajar, kalau tidak mau belajar, menganggap diri selalu benar tidak akan ada penyesuaian dan pada akhirnya tidak akan ada enyatuan.

GS : Memang belajar ini dituntut dari ke dua belah pihak, tidak bisa hanya satu pihak nanti pihak yang lain merasa dirugikan dan sebaliknya. Memang istri mempunyai kemampuan yang lebih dalam membaca bahasa tubuh, yang sulit bagi kita para suami ini kurang bisa membaca bahasa tubuh pasangan kita. Nah ini kita dituntut untuk mengerti; dia tidak berbicara-antara berbicara dan bahasa tubuhnya ini tidak sama. Ini kita yang kesulitan membaca bahasa tubuh.

PG : Sering kali alih-alih membaca bahasa tubuh pasangan kita, membaca bahasa tubuh kita sendiri saja tidak bisa apalagi membaca bahasa tubuh orang lain. Kita memang buta dengan hal-hal kecil eperti itu tapi buat istri sering kali itu menjadi hal besar.

Sikap-sikap bahasa tubuh kita itu benar-benar mengkomunikasikan sesuatu kepada dia.
GS : Jadi selain harus hati-hati ngomongnya juga harus hati-hati bersikapnya?

PG : Betul.

GS : Firman Tuhan apa yang Pak Paul mau sampaikan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 30:33, "kalau hidung ditekan, darah keluar dan kalau kemarahan ditekan pertengkaran muncul atau timbul." Saya setuju ayat firman Tuhan ini indah sekali, "Kalau kemrahan ditekan pertengkaran timbul."

Artinya izinkanlah proses diskusi terjadi, sebagai suami juga jangan terlalu takut dengan bantahan istri sebagai istri juga jangan kedepankan bantahan, kedepankan ketundukan. Di dalam jiwa yang seperti inilah diskusi pertukaran pendapat akan terjadi, dan kalau ada ketidaksetujuan itupun bisa dikeluarkan. Justru kalau disembunyikan dan ditekan-tekan, malahan konflik yang lebih besarlah yang akan timbul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, terima kasih Ibu Ester, saya percaya perbincangan ini akan banyak menolong pasangan suami-istri di dalam meningkatkan mutu dari komunikasi mereka. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Gaya Komunikasi Pria dan Wanita". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



48. Siapa yang Harus Berubah 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T201A (File MP3 T201A)


Abstrak:

Berbicara tentang, "Siapa yang harus berubah?" bisa berlangsung semalaman dan itu pun biasanya tidak selesai. Dua hal yang perlu kita pertimbangkan yaitu kematangan dan kejelasan peran. Dengan kematangan dan kejelasan peran, "berubah" tidak lagi menjadi bahan pemikiran atau pemaksaan. Berubah menjadi sealamiah bernapas.


Ringkasan:

Berbicara tentang, "Siapa yang harus berubah?" bisa berlangsung semalaman dan itu pun biasanya tidak selesai. Pada umumnya kita menuding pasangan sebagai pihak yang perlu berubah sebab bukankah kita merasa berada di pihak yang benar? Itu sebabnya penting bagi kita untuk menempatkan masalah "berubah" ini dalam perspektif berbeda agar kita dapat melakukannya, bukan hanya membicarakannya. Setidaknya ada dua hal yang perlu kita pertimbangkan.

Kematangan Kita tahu bahwa kesuksesan pernikahan bergantung pada kesediaan masing-masing pihak untuk berubah. Kematangan mempunyai tiga dimensi: luas, dalam, dan tinggi.

  1. Luas. Luas dalam pengertian dapat melihat pelbagai sudut dan tidak terpaku pada satu sudut pandang saja. Inilah bagian dari kematangan yang kerap disebut orang, kematangan berpikir. Jika kita mempunyai kematangan berpikir kita mudah menerima perbedaan dan tidak terlalu bergebu memaksakan kehendak atau pemikiran pribadi pada orang lain.
  2. Dalam. Dimensi Dalam mengacu kepada kesanggupan untuk masuk ke dalam perasaan orang lain. Bukan saja kita sanggup membaca perasaannya, kita pun bisa merasakannya. Dimensi ini menuntut keterbukaan pribadi terhadap perasaan sendiri. Dimensi Dalam berfaedah besar dalam penyelesaian perbedaan karena kematangan ini memudahkan kita mengerti apa yang sesungguhnya orang rasakan.
  3. Tinggi. Dimensi Tinggi merujuk kepada tingkat kerohanian yakni berapa dekat dan serupanya kita dengan Tuhan. Definisi kerohanian saya dasari atas buah Roh sebagaimana diuraikan dalam Galatia 5:22-23 yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasan diri. Dengan kata lain, diri yang matang adalah diri yang sudah diubahkan oleh Roh Kudus dan menghasilkan buah Roh dengan lebatnya.

Jika kita memiliki ketiga dimensi kematangan ini, dapat kita lihat bahwa perubahan untuk pertumbuhan tidak lagi menjadi masalah yang harus diperjuangkan. Kita tidak lagi mementingkan "siapa" yang harus berubah melainkan "apa" yang perlu berubah. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimanakah caranya kita mengembangkan kematangan seperti ini agar perubahan dapat tercipta dengan mulus?

Dimensi luas dari kematangan memang sedikit banyak terkait dengan tingkat kecerdasan. Makin tinggi tingkat kecerdasan, makin mudah kita melihat dari pelbagai sudut. Sungguhpun demikian, kita masih dapat mengembangkan wilayah ini lewat kerendahan hati. Maksud saya, dengan rendah hati kita memohon pasangan untuk memberi penjelasan ulang agar kita dapat memahami akar dan alur pikirnya. Kita pun dapat mengembangkan wilayah ini dengan cara memaksa diri untuk tidak cepat-cepat memutuskan sesuatu sebab besar kemungkinan keputusan itu akan cacat dan tidak utuh.

Berikutnya Dimensi Dalam. Kita bisa memperdalam kematangan dengan cara mendengarkan dengan diam. Tatkala mendengarkan, silakan menengok ke dalam untuk memeriksa perasaan yang tengah dirasakan. Setelah itu, jenguklah perasaan pasangan. Tanyakanlah kepada diri sendiri, apakah yang dirasakannya.

Terakhir Dimensi Tinggi. Kerohanian berangkat dari keinginan berapa besar kerinduan kita untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Makin besar ketaatan pada Firman-Nya, makin rohanilah kita. Makin dekat dengan Tuhan, makin serupa kita dengan-Nya.

Kejelasan Peran Ada banyak alasan mengapa kita saling menuntut perubahan namun di antara semuanya mungkin ada satu tema yang kerap muncul: peran dan tanggung jawab. Banyak masalah pernikahan bertunas dari akar peran dan tanggung jawab. Misalkan, tanpa kita sadari kita mulai menanam kejengkelan karena melihat suami tidak terlibat dalam mengurus anak. Kita letih dan mengharapkan bantuannya namun ia beranggapan bahwa tugas mengurus anak sepenuhnya jatuh pada pundak kita. Alhasil sewaktu ia meminta hubungan seksual, kita langsung menolak. Suami bingung dan marah atas penolakan kita dan selebihnya dapat kita bayangkan, pertengkaran terjadi.

Ada begitu banyak situasi pernikahan yang serupa dan semuanya berakhir dengan konflik. Untuk menghindar dari konflik sudah tentu diperlukan perubahan dan dalam hal ini, perubahan peran dan tanggung jawab. Tuhan menetapkan suami untuk menjadi kepala istri; itu sebabnya Ia menetapkan istri untuk tunduk kepada suami (Efesus 5:22-23). Lebih lanjut, Tuhan menetapkan bagaimanakah suami seharusnya menjalankan perannya mengepalai istri yakni dengan cara mengasihinya (Efesus 5:25).

Untuk sejenak, saya ingin mengajak saudara untuk memfokuskan pada pemahaman bahwa sesungguhnya Tuhan hanya memberi satu perintah-kepada suami untuk memimpin keluarganya dengan baik (dan "baik" di sini berarti dalam dan dengan kasih). Jika kita melihatnya demikian, saya percaya kita akan lebih dapat memahami peran dan tugas masing-masing dengan lebih mudah. Berangkat dari sudut pandang ini, kita bisa menyetujui bahwa peran dan tanggung jawab suami adalah memimpin istri (dan juga anak-anaknya). Lebih lanjut, kita pun dapat menyepakati bahwa masalah dalam keluarga niscaya timbul bila kepemimpinan goyah atau tidak berfungsi semestinya. Jadi, kepada suami saya menyerukan, "Jangan ragu untuk memimpin!" Inilah peran dan tanggung jawab yang Tuhan percayakan.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang peka melihat kinerja orang dalam naungannya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengasihi orang yang berada dalam naungannya sehingga ia tidak ragu untuk turun tangan dan menolong. Namun pemimpin yang baik tidaklah mengambil alih peran dan tanggung jawab orang yang berada dalam naungan kepemimpinannya. Ia mesti mencarikan jalan keluar namun sebelumnya, ia harus menunjukkan kepeduliannya untuk turun tangan. Sewaktu suami turun tangan, istri harus ulur tangan-menyambut bantuan dan arahan suami.

Kesimpulan "Siapa yang harus berubah?" adalah pertanyaan yang mengundang tarik-menarik dan perdebatan. Kematangan-berpikir, rasa, rohani-membuat tarik menarik luluh sebab fokus utama diri yang matang bukanlah siapa, melainkan apa (yang harus berubah). "Siapa yang harus berubah?" juga mesti ditempatkan dalam perspektif peran dan tanggung jawab suami yang benar. Di dalam naungan kepemimpinan yang sehat, masalah "siapa" (yang harus berubah) beralih menjadi bagaimanakah caranya menjalankan peran dan tanggung jawab masing-masing dengan efektif. Dengan kematangan dan kejelasan peran, "berubah" tidak lagi menjadi bahan pemikiran atau pemaksaan. Berubah menjadi sealamiah bernapas.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Siapa Yang Harus Berubah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Sebagai pasangan suami-istri membicarakan siapa yang harus berubah itu ternyata bukan masalah yang mudah, baik bagi pasangan yang baru menikah lebih-lebih yang sudah cukup lama menikah. Itu mengapa Pak Paul?

PG : Sebab kita merasa bahwa kita di pihak yang benar, jadi kalau terjadi konflik kita menuntut pasangan kitalah yang berubah. Misalkan kita menuntut dia untuk lebih mengerti kita, untuk lebihbisa memahami jalan pikiran kita atau dia bisa mengadopsi gaya hidup yang kita juga miliki.

Itulah umumnya yang terjadi di dalam konflik dalam rumah tangga.
GS : Biasanya setelah mendengar ceramah atau baru mengikuti seminar, kemudian meminta pasangannya, "itu dengarkan kamu mesti berubah." Begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, saya kira ini merupakan bagian dari sifat berdosanya kita, jadi kita sulit untuk bercermin melihat diri kita sendiri; lebih mudah bagi kita melihat pasangan kita. Maka seperi Tuhan Yesus pernah katakan, "selumbar di mata orang kita lihat tapi balok di mata kita sendiri tidak bisa kita lihat."

GS : Kalau kita mau menyelesaikan masalah ini apakah ada hal-hal yang harus kita perhatikan?

PG : Ada Pak Gunawan, saya ingin mengajak kita semua tidak lagi memfokuskan pada siapa yang harus berubah. Saya ingin mengajak kita untuk mundur selangkah di mana kita akan melihat bahwa sesunguhnya untuk berubah diperlukan modal.

Ada dua modal yang diperlukan agar bisa terjadi perubahan dalam rumah tangga. Untuk kesempatan ini kita bisa fokuskan pada modal pertama. Modal yang pertama adalah kita mesti memiliki kematangan.
GS : Yang Pak Paul katakan kematangan itu apakah sama dengan kedewasaan?

PG : Saya definisikan memang kematangan ini sebuah kedewasaan, supaya lebih jelas lagi saya membagi kematangan ini atau saya mencoba menyoroti kematangan dari sekurang-kurangnya tiga dimensi. imensi yang pertama saya sebut kematangan dalam hal keluasan berpikir.

Yang saya maksud dengan kematangan luas adalah kemampuan untuk melihat perbedaan. Ini adalah sebuah kematangan yang bersifat kognitif.

ET : Jadi apakah ini juga berkaitan dengan kemampuan berpikir seseorang?

PG : Betul, ini semua memang merupakan aktifitas mental, aktifitas berpikir. Orang yang mempunyai kematangan berpikir adalah orang yang bisa melihat sesuatu dari sudut yang berbeda. Orang initidak hanya terpaku pada sudut pandangnya, dia tidak mampu melihat alur pikir orang lain; dia tidak bisa melihat kenapa orang berpikir seperti itu, dia hanya bisa melihat kenapa dia berpikir begitu.

Dan dia menuntut orang lain juga mengadopsi cara berpikirnya tersebut. Jadi waktu orang berbeda pandang dengan dia sering kali orang yang tidak mempunyai kematangan berpikir terlibat dalam perdebatan dan konflik. Dan akan susah berdebat dengan dia sebab dia tidak bisa menempatkan diri pada sudut pandang orang lain. Jadi sering kali terjadi tabrakan.

ET : Apakah orang yang intlegensinya tinggi menjamin kematangan berpikirnya sama seperti yang Pak Paul maksudkan?

PG : Kalau kita mempunyai kecerdasan yang lebih itu memang akan lebih memudahkan untuk kita memahami pikiran orang lain. Tapi sebelum kita berasumsi bahwa diperlukan IQ >130, yang saya maksud engan tingkat kecerdasan yang memadai adalah >90-an.

Jadi selama IQ kita >90 (dan saya yakin IQ kita semua >90) seharusnya memiliki kapasitas untuk melihat dari kacamata orang lain, kecuali IQ kita mungkin sangat rendah, kita mengalami keterbelakangan mental; ok-lah kita akan mengalami kesulitan untuk mengerti pikiran orang lain. Tapi selama IQ kita >90 seharusnya kita bisa melihat alur pikir orang lain.

ET : Ada kecenderungan, makin tinggi IQ seseorang kadang-kadang bisa lebih sempit dalam cara pandangnya. Misalnya hanya tertarik pada satu bidang lalu tidak terlalu memperluas wawasan atau halhal yang menarik bagi orang lain.

PG : Kalau sudah sampai ke situ, memang kita sedang membicarakan mengenai sebuah sikap. Jadi ada orang-orang yang IQ-nya sangat tinggi dan cukup untuk mengerti alur pikir orang lain, tapi memiiki keangkuhan.

Sehingga keangkuhan itulah yang menghambat dia untuk mau melihat dari sudut pandang orang lain. Atau keangkuhannyalah yang merintangi dia untuk introspeksi diri bahwa ada kemungkinan dia keliru, bahwa orang lainlah yang betul, karena dia terlalu percaya diri.
GS : Berarti seseorang itu bisa memperluas wawasannya atau memperluas pola pikirnya?

PG : Bisa, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk dapat memperluas kemampuan berpikir kita. Misalkan kita beranikan diri untuk merendahkan hati bertanya kepada orang. Kalau kita memangtidak mengerti jangan sungkan untuk bertanya, atau milikilah kerendahan hati untuk mengecek dan menanyakan pendapat orang.

Jadi kita tidak hanya bernafsu mengikuti pemikiran kita sendiri namun kita bersedia mempertimbangkan masukan-masukan dari orang lain. Atau kita meminta pendapat orang-orang yang netral, dengan kata lain kita berkonsultasi sehingga kita tidak hanya mempercayai pendapat kita tapi kita juga mau mendengarkan pendapat seseorang yang netral yang kita anggap ahli dalam bidangnya. Kesediaan seperti itulah yang nanti akan memupuk sikap untuk memperluas cara pikir kita. Ini yang saya maksud dengan kematangan berpikir, dan ini adalah modal yang sangat penting yang memungkinkan kita berubah. Karena kita tidak bisa membicarakan tentang perubahan kalau kita tidak mampu untuk menempatkan diri dalam pemikiran orang atau memahami sudut pandang orang lain; bagaimana kita bisa berubah kalau kita tidak bisa melihat sudut pandang orang lain. Jadi diperlukan sekali kematangan dan yang pertama ini kematangan dalam dimensi kognitif atau dalam dimensi berpikir.

ET : Tadi Pak Paul mengatakan bahwa memerlukan kerendahan hati untuk bisa bertanya, untuk bisa belajar dalam mengembangkan itu, jadi benar-benar unsur sikap itu kuat sekali. Unsur kesombongan uga bisa menghalangi, sebaliknya dengan adanya satu sikap rendah hati akan dapat menolong untuk bisa mempunyai wawasan yang lebih luas.

PG : Betul, dan ini yang sangat diperlukan dalam sebuah pernikahan. Kalau kita sudah memiliki keangkuhan, jangan berharap akan terjadi perubahan. Justru kalau kita rendah hati kita akan belajr lebih banyak, tahu lebih dalam sehingga kita bersedia untuk mengadakan perubahan kalau memang diperlukan.

Jadi kita tidak tertarik untuk mempertahankan bahwa saya benar, saya akan bersedia mengikuti yang benar, dan yang benar itu belum tentu selalu yang saya katakan. Jadi orang yang memiliki kematangan berpikir akan menyambut perbedaan, inilah modal yang diperlukan, modal yang sangat penting; kalau tidak ada modal ini tidak akan terjadi perubahan.
GS : Pada hal di dalam pernikahan biasanya kita justru menuntut pasangan kita untuk mengerti jalan pikiran kita?

PG : Betul sekali, yang kita lakukan justru membalikkan ini, kita yang mengerti jalan pikir orang, kenapa dia sampai berpikir seperti itu.

GS : Karena kita berpikir bahwa apa yang kita pikirkan itu sudah paling benar.

PG : Ya itu memang kecenderungan kita dan saya kira itu adalah pencemaran yang dilakukan oleh adanya dosa dalam hidup kita.

GS : Di pihak lain pasangan harus bersikap bagaimana Pak Paul?

PG : Seharusnya pasangan pun mempunyai sikap yang sama yaitu kematangan yang berdimensi luas, artinya kematangan kognitif, kematangan berpikir ini. Jadi kalau dua-dua memiliki kematangan berpiir seperti ini, kita bisa membayangkan betapa cepatnya tercapai kesepakatan, meskipun adanya konflik tapi kalau dua-dua memiliki kematangan berpikir cepat sekali untuk mencapai titik temu.

Sebab sekali lagi dua-dua bersedia untuk melihat pandangan atau pemikiran pasangannya.
GS : Perubahan pikiran itu akan mengubah tingkah laku seseorang?

PG : Betul, jadi dua-duanya akan berkata, "OK, sekarang saya bisa melihat yang engkau katakan, dan saya bisa mengerti kenapa engkau berkata seperti itu atau engkau berbuat seperti itu. OK, kalu begitu saya mungkin perlu menyesuaikan tindakan saya supaya kita bisa bertemu di tengah," sehingga tercapailah titik temu di antara mereka.

GS : Kalau seandainya tidak mudah untuk mempertemukan pola pikir yang berbeda, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya akan masuk ke dimensi kedua dari kematangan, dimensi kedua dari kematangan adalah yang saya sebut dimensi dalam. Dimensi dalam mengacu kepada kematangan merasakan, kematangan perasaa yaitu kemampuan untuk bisa mengerti atau menghayati perasaan orang.

Jadi apa yang orang rasakan, apa yang dialami oleh orang dia pun bisa turut merasakannya. Nah untuk bisa merasakan perasaan orang lain, sudah tentu dia pun juga harus dapat mengerti perasaannya sendiri, dia pun terbuka dengan alam perasaannya. Orang yang mempunyai kemampuan atau kematangan berperasaan ini akan mudah sekali masuk ke dalam diri orang lain. Sebab misalkan orang sedang marah, pasangannya marah dan sebagainya, dia lebih bisa mengerti perasaan yang tersembunyi di balik kemarahan pasangannya. Misalnya dia bisa melihat bahwa sesungguhnya di balik perasaan atau ungkapan kemarahan pasangannya terdapat sebuah kesedihan atau terdapat sebuah ketakutan. Takut akan kehilangan cinta, takut kehilangan orang yang dikasihinya; kalau dia bisa melihat langsung perasaan ini dia langsung saja masuk ke titik masalah itu. Misalkan dia berkata dia tidak merespons pada kemarahan yang diungkapkan pasangannya tapi dia langsung masuk ke masalah sebenarnya yaitu adanya ketakutan kehilangan orang yang dikasihi. Jadi misalnya dia langsung berkata, "Saya tetap mencintaimu, saya mempunyai komitmen engkaulah orang yang paling spesial, paling berharga buat saya dan saya tidak akan meninggalkanmu." Nah kalau dia bisa langsung masuk ke sana, itu sudah meredakan mungkin 60% dari kemarahan pasangannya itu. Sekali lagi kita melihat betapa pentingnya kematangan berperasaan ini karena bisa benar-benar menyelesakan banyak masalah dan terutama kalau dia sudah melihat perasaan apa yang sedang dirasakan pasangannya, dia pun akan lebih siap untuk berubah.

ET : Jadi memang kuncinya mau ke seberang dulu sama halnya tadi dalam dimensi pikiran. Dalam dimensi perasaan ini ego kita itu kadang-kadang maunya dimengerti lebih dahulu. Jadi kalau sudah sngat marah, maunya pasangan memahami saya dulu baru nanti saya memahami perasaannya.

PG : Pernah satu kali saya dan istri saya konflik, saya masih ingat terjadi pada malam hari. Kemudian saya mencoba tidur karena saya merasa diri saya benar jadi saya tidak bersedia memulai perakapan dengan dia.

Saya sendiri tidak ingat apa percakapan kami dan sumber pertikaian kami, pokoknya saya hanya merasa bahwa saya benar. Istri saya ke kamar anak saya, saya berkata dalam hati saya, "Ya sudah kamu tidak mau ya sudah tidak apa-apa, saya tetap di ranjang tidur." Tapi tidak bisa tidur, kenapa? Firman Tuhan mengingatkan saya pada Filipi 2:5-11, di mana tertera Tuhan Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankanNya, Dia rela mengosongkan diriNya menjadi seorang hamba hingga mati di kayu salib. Nah kata mengosongkan diri dalam bahasa Yunaninya mengosongkan egonya, jadi saya pernah mengkhotbahkan tema itu yaitu "suami, bagaimanakah caranya engkau mengasihi istri". Nah Tuhan sudah memberikan contoh yaitu seperti Yesus mengasihi jemaat dan bagaimanakah Tuhan Yesus mengasihi jemaat yaitu mengosongkan egonya. Jadi dalam khotbah itu saya meminta agar kita suami-suami lebih rela mengosongkan ego, sebab itulah cara yang Tuhan inginkan bagi suami di dalam mengasihi istrinya. Jadi khotbah itu mengiang-ngiang di telinga saya, "kamu bisa berkhotbah, sekarang kamu praktekan." Saya berontak tidak mau, saya berkata dalam hati saya, "Tuhan, kali ini istri saya yang harus minta maaf terlebih dahulu." Akhirnya tarik-menarik seperti itu, saya tidak bisa tidur, karena tidak bisa tidur akhirnya saya lebih memilih untuk menaati suara Tuhan. Jadi ke kamar anak saya dan saya sedang melihat istri saya sedang duduk di lantai dan menangis, nah waktu saya melihat dia duduk di lantai dan menangis saya tahu dia dalam keadaan yang sangat sedih, saya menghampiri dia, saya memeluk dia, tidak ada lagi keinginan untuk menjelaskan, untuk berdebat, untuk melanjutkan pertengkaran, sama sekali tidak ada sebab kasihan melihat dia menangis, jadi selesai. Tidak selalu saya berhasil mempunyai kematangan seperti ini, tapi saya melihat betapa berfaedahnya kalau kita memiliki kematangan perasaan seperti ini, sebab akhirnya kita lebih rela berubah waktu kita menyadari dampak perbuatan kita pada perasaan pasangan kita. Kita benar-benar menyadari dampaknya begitu berat, kita lebih rela berubah. Sekali lagi kematangan perasaan ini sangat penting sebagai modal untuk terjadinya perubahan dalam pernikahan kita.
GS : Sebagaimana halnya pikiran itu bisa dikembangkan, bagaimana perasaan itu bisa dikembangkan. Karena tidak semua orang mempunyai perasaan seperti yang tadi Pak Paul katakan, ada orang yang tidak mudah merasa seperti itu.

PG : Yang pertama adalah mendengarkan, kalau kita mengakui kita mempunyai kesulitan memahami perasaan, cobalah kita melatih diri untuk mendengarkan. Belum apa-apa jangan ngomong, dengarkan dul-itu akan menolong kita untuk bisa mendengarkan sebetulnya apa yang sedang dirasakan pasangan.

Kemudian kita juga bertanya pada diri kita sendiri, apa yang kita rasakan. Kalau kita kesulitan untuk tetap mengerti perasaan-perasaan pasangan kita, kita tanya saja apa yang kita rasakan. Sebab dalam konflik, kebanyakan apa yang kita rasakan itulah yang dirasakan oleh pasangan kita. Maksud saya kalau kita merasa jengkel hampir dipastikan pasangan kita lagi merasa jengkel, kalau kita merasa sedih sering kali juga pasangan mengalami kesedihan yang sama jadi pada umumnya dalam konflik kita membagi perasaan yang serupa. Itu menolong kita juga untuk mengerti perasaan pasangan kita. Atau langkah berikutnya adalah di dalam kita mencoba memahami perasaan masing-masing coba jelaskan, bicaralah, minta pasangan kita untuk menjelaskan sehingga kita lebih mengerti perasaannya. Sebab kadang-kadang perlu penjelasan yang lebih konkret sehingga kita lebih bisa memahami perasaannya. Dengan kata lain untuk lebih memahami perasaan diperlukan komunikasi yang lebih kuat, pembicaraan yang lebih panjang dan melebar sehingga akhirnya masing-masing lebih bisa memahami perasaan pasangannya.

ET : Kadang-kadang ada orang-orang tertentu yang tidak terbiasa dengan perasaan ini, seperti memilah-milah. Jadi kalau saya lagi senang boleh diperlihatkan tapi kalau sedang mengalami perasaanperasaan negatif itu sepertinya berusaha untuk diabaikan sehingga akhirnya ketika dia melihat pasangannya mulai mempunyai perasaan-perasaan yang buat dia negatif yang harusnya diabaikan, akhirnya menjadi tidak nyaman juga, terus bagaimana bisa memahaminya atau menolongnya.

PG : Maka dia sendiri harus tenang kalau dia lagi marah, tegang atau apa dia akan susah untuk bersentuhan kembali dengan perasaan-perasaan yang sudah dia kategorikan negatif untuk dia rasakan. Nah dia perlu tenang kembali, diam, renungkan dan longoklah ke hatinya, longoklah ke hati pasangannya.

Dalam ketenangan kita lebih bisa kembali merasakan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh pasangan kita. Meskipun kita kurang begitu nyaman, tapi akhirnya kita lebih bisa melihat kira-kira itulah yang dirasakannya. Di dalam rumah tangga kita langsung merespons pada perasaan yang sesungguhnya itu, nah waktu kita merespons pada perasaan yang sesungguhnya, terjadilah perubahan.
GS : Apakah ada dimensi yang lain dari kematangan ini Pak Paul?

PG : Yang lain adalah yang saya sebut dimensi tinggi, dimensi tinggi ini merujuk kepada kerohanian. Jadi kita juga perlu kematangan rohani. Apa yang saya maksud dengan kematangan rohani, sayamendasarinya pada Galatia 5:22 dan 23.

Firman Tuhan di sana menjelaskan tentang dimensi atau aspek dari buah Roh Kudus yakni adanya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri. Dengan kata lain diri yang matang adalah diri yang sudah diubahkan oleh Roh Kudus dan menghasilkan buah Roh dengan lebatnya. Yang saya maksud dengan kematangan bukan hanya sekadar memiliki buah itu, bukannya kadang-kadang kita sabar, bukannya kadang-kadang kita ada kasih, bukannya kadang-kadang kita bisa menguasai diri. Diri yang diubahkan dan dipenuhi oleh Roh Kudus Tuhan adalah menjadi diri yang penuh dengan kesabaran, jadi bukan hanya kadang-kadang sabar. Bukannya kadang-kadang mengasihi tapi penuh dengan kasih; bukan kadang-kadang bisa mengendalikan diri tapi penuh dengan pengendalian diri. Inilah yang saya maksud dengan kematangan rohani, ini benar-benar sangat mutlak diperlukan untuk terjadinya perubahan. Kalau kita memiliki kasih, kesabaran dan pengendalian diri kita akan lebih mudah untuk berubah, karena apa? Karena kita tidak lagi mementingkan diri. Jadi inilah dimensi tinggi atau dimensi rohani yang diperlukan sebelum bisa terjadinya perubahan.
GS : Seseorang yang memiliki ketiga dimensi itu tapi biasanya tidak berimbang, ada di sisi yang tertentu lebih kuat daripada yang lain. Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau kita misalkan harus mengurut, harus mulai dari mana, saya kira dari dimensi yang terakhir ini yaitu dimensi tinggi. Bagaimana caranya? Kita benar-benar harus datang kepada Tuhan, kia harus merendahkan diri bersujud di hadapan Tuhan, berusaha sekeras mungkin mematuhi Tuhan.

Itu modal pertama, di mana kita mesti tunduk kepada Tuhan, kalau kita sudah memiliki ketundukan ini kepada Tuhan saya kira dimensi dalam, dimensi luas akan lebih mudah kita peroleh. Sebab pada dasarnya modal terutamanya adalah menyeberang, artinya rendah hati, rela, bersedia untuk masuk ke dalam diri pasangan kita. Modal yang pertama yang harus kita miliki adalah kematangan rohani ini dulu. Kalau kita sudah sabar, kalau kita memang tidak memiliki keangkuhan kita lebih berani untuk menyeberang, memahami perasaannya dan akhirnya juga memahami cara berpikirnya sehingga perubahan lebih dapat terjadi.
GS : Demikian juga dengan pasangan yang tidak berimbang, misalnya salah satu dari pasangan memang memiliki kematangan tetapi yang lainnya tidak, bukankah ini juga tidak ketemu?

PG : Betul sekali, jadi kadang-kadang pernikahan tidak seimbang karena ada satu yang matang dalam ketiga hal ini, ada satu yang setengah matang dalam ketiga hal ini. Memang dalam kondisi seperi itu yang matang itu terpaksa lebih harus mengalah, tidak ada jalan lain; kita harus lebih mengalah, kita harus tetap membimbing yang kurang matang sehingga akhirnya yang kurang matang itu perlahan-lahan juga turut matang.

Tapi jalurnya menurut saya adalah lewat jalur rohani, jadi yang lebih matang secara rohani membimbing yang kurang matang secara rohani. Dekatkan dia pada Tuhan sehingga nanti dia diubahkan oleh Roh Kudus Tuhan. Dari dirinya akan memancar buah Roh Kudus yaitu kasih, sukacita, kesabaran, pengendalian diri, kemurahan hati dan sebagainya. Di kala semua itu ada dalam diri seseorang dia akan lebih bersedia untuk mengerti perasaan orang dan mengerti pemikiran orang lain.

ET : Dan rasanya kalau kematangan yang ketiga yaitu tentang kerohanian benar-benar masalah hati. Bukankah kalau kita melihat kematangan yang pertama berkaitan dengan kecerdasan, ada orang yangmerasa saya dari lahir dengan kemampuan sekian; atau pun untuk dimensi yang kedua berkaitan dengan perasaan, ada orang yang berkata wah saya tidak terbiasa dengan namanya perasaan, tapi kalau dimulai dari sisi rohani ini rasanya memang bisa mendongkrak dua dimensi yang lain.

PG : Betul sekali, tidak ada yang mustahil kalau seseorang itu memang mau berubah, asalkan dia mau datang kepada Tuhan minta Tuhan menolongnya dan mengikuti, menaati Tuhan, dia akan bisa mengalmi perubahan itu.

GS : Memang perbincangan kita ini masih belum selesai, tadi Pak Paul katakan kali ini memfokuskan pada aspek kematangan berarti pada kesempatan yang akan datang kita akan masih melanjutkan perbincangan ini, tapi bagaimana pun juga kami mengucapkan terima kasih Pak Paul dan Ibu Ester untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Siapa yang Harus Berubah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



49. Siapa yang Harus Berubah 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T201B (File MP3 T201B)


Abstrak:

Lanjutan dari T201A


Ringkasan:

Berbicara tentang, "Siapa yang harus berubah?" bisa berlangsung semalaman dan itu pun biasanya tidak selesai. Pada umumnya kita menuding pasangan sebagai pihak yang perlu berubah sebab bukankah kita merasa berada di pihak yang benar? Itu sebabnya penting bagi kita untuk menempatkan masalah "berubah" ini dalam perspektif berbeda agar kita dapat melakukannya, bukan hanya membicarakannya. Setidaknya ada dua hal yang perlu kita pertimbangkan.

Kematangan Kita tahu bahwa kesuksesan pernikahan bergantung pada kesediaan masing-masing pihak untuk berubah. Kematangan mempunyai tiga dimensi: luas, dalam, dan tinggi.

  1. Luas. Luas dalam pengertian dapat melihat pelbagai sudut dan tidak terpaku pada satu sudut pandang saja. Inilah bagian dari kematangan yang kerap disebut orang, kematangan berpikir. Jika kita mempunyai kematangan berpikir kita mudah menerima perbedaan dan tidak terlalu bergebu memaksakan kehendak atau pemikiran pribadi pada orang lain.
  2. Dalam. Dimensi Dalam mengacu kepada kesanggupan untuk masuk ke dalam perasaan orang lain. Bukan saja kita sanggup membaca perasaannya, kita pun bisa merasakannya. Dimensi ini menuntut keterbukaan pribadi terhadap perasaan sendiri. Dimensi Dalam berfaedah besar dalam penyelesaian perbedaan karena kematangan ini memudahkan kita mengerti apa yang sesungguhnya orang rasakan.
  3. Tinggi. Dimensi Tinggi merujuk kepada tingkat kerohanian yakni berapa dekat dan serupanya kita dengan Tuhan. Definisi kerohanian saya dasari atas buah Roh sebagaimana diuraikan dalam Galatia 5:22-23 yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasan diri. Dengan kata lain, diri yang matang adalah diri yang sudah diubahkan oleh Roh Kudus dan menghasilkan buah Roh dengan lebatnya.

Jika kita memiliki ketiga dimensi kematangan ini, dapat kita lihat bahwa perubahan untuk pertumbuhan tidak lagi menjadi masalah yang harus diperjuangkan. Kita tidak lagi mementingkan "siapa" yang harus berubah melainkan "apa" yang perlu berubah. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimanakah caranya kita mengembangkan kematangan seperti ini agar perubahan dapat tercipta dengan mulus?

Dimensi luas dari kematangan memang sedikit banyak terkait dengan tingkat kecerdasan. Makin tinggi tingkat kecerdasan, makin mudah kita melihat dari pelbagai sudut. Sungguhpun demikian, kita masih dapat mengembangkan wilayah ini lewat kerendahan hati. Maksud saya, dengan rendah hati kita memohon pasangan untuk memberi penjelasan ulang agar kita dapat memahami akar dan alur pikirnya. Kita pun dapat mengembangkan wilayah ini dengan cara memaksa diri untuk tidak cepat-cepat memutuskan sesuatu sebab besar kemungkinan keputusan itu akan cacat dan tidak utuh.

Berikutnya Dimensi Dalam. Kita bisa memperdalam kematangan dengan cara mendengarkan dengan diam. Tatkala mendengarkan, silakan menengok ke dalam untuk memeriksa perasaan yang tengah dirasakan. Setelah itu, jenguklah perasaan pasangan. Tanyakanlah kepada diri sendiri, apakah yang dirasakannya.

Terakhir Dimensi Tinggi. Kerohanian berangkat dari keinginan berapa besar kerinduan kita untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Makin besar ketaatan pada Firman-Nya, makin rohanilah kita. Makin dekat dengan Tuhan, makin serupa kita dengan-Nya.

Kejelasan Peran Ada banyak alasan mengapa kita saling menuntut perubahan namun di antara semuanya mungkin ada satu tema yang kerap muncul: peran dan tanggung jawab. Banyak masalah pernikahan bertunas dari akar peran dan tanggung jawab. Misalkan, tanpa kita sadari kita mulai menanam kejengkelan karena melihat suami tidak terlibat dalam mengurus anak. Kita letih dan mengharapkan bantuannya namun ia beranggapan bahwa tugas mengurus anak sepenuhnya jatuh pada pundak kita. Alhasil sewaktu ia meminta hubungan seksual, kita langsung menolak. Suami bingung dan marah atas penolakan kita dan selebihnya dapat kita bayangkan, pertengkaran terjadi.

Ada begitu banyak situasi pernikahan yang serupa dan semuanya berakhir dengan konflik. Untuk menghindar dari konflik sudah tentu diperlukan perubahan dan dalam hal ini, perubahan peran dan tanggung jawab. Tuhan menetapkan suami untuk menjadi kepala istri; itu sebabnya Ia menetapkan istri untuk tunduk kepada suami (Efesus 5:22-23). Lebih lanjut, Tuhan menetapkan bagaimanakah suami seharusnya menjalankan perannya mengepalai istri yakni dengan cara mengasihinya (Efesus 5:25).

Untuk sejenak, saya ingin mengajak saudara untuk memfokuskan pada pemahaman bahwa sesungguhnya Tuhan hanya memberi satu perintah-kepada suami untuk memimpin keluarganya dengan baik (dan "baik" di sini berarti dalam dan dengan kasih). Jika kita melihatnya demikian, saya percaya kita akan lebih dapat memahami peran dan tugas masing-masing dengan lebih mudah. Berangkat dari sudut pandang ini, kita bisa menyetujui bahwa peran dan tanggung jawab suami adalah memimpin istri (dan juga anak-anaknya). Lebih lanjut, kita pun dapat menyepakati bahwa masalah dalam keluarga niscaya timbul bila kepemimpinan goyah atau tidak berfungsi semestinya. Jadi, kepada suami saya menyerukan, "Jangan ragu untuk memimpin!" Inilah peran dan tanggung jawab yang Tuhan percayakan.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang peka melihat kinerja orang dalam naungannya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengasihi orang yang berada dalam naungannya sehingga ia tidak ragu untuk turun tangan dan menolong. Namun pemimpin yang baik tidaklah mengambil alih peran dan tanggung jawab orang yang berada dalam naungan kepemimpinannya. Ia mesti mencarikan jalan keluar namun sebelumnya, ia harus menunjukkan kepeduliannya untuk turun tangan. Sewaktu suami turun tangan, istri harus ulur tangan-menyambut bantuan dan arahan suami.

Kesimpulan "Siapa yang harus berubah?" adalah pertanyaan yang mengundang tarik-menarik dan perdebatan. Kematangan-berpikir, rasa, rohani-membuat tarik menarik luluh sebab fokus utama diri yang matang bukanlah siapa, melainkan apa (yang harus berubah). "Siapa yang harus berubah?" juga mesti ditempatkan dalam perspektif peran dan tanggung jawab suami yang benar. Di dalam naungan kepemimpinan yang sehat, masalah "siapa" (yang harus berubah) beralih menjadi bagaimanakah caranya menjalankan peran dan tanggung jawab masing-masing dengan efektif. Dengan kematangan dan kejelasan peran, "berubah" tidak lagi menjadi bahan pemikiran atau pemaksaan. Berubah menjadi sealamiah bernapas.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Siapa Yang Harus Berubah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, karena perbincangan kita kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kita yang lalu yaitu tentang "Siapa Yang Harus Berubah" dan ini sesuatu yang sulit dilakukan oleh pasangan suami istri, mungkin Pak Paul bisa mengulas sepintas apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Yang kita bicarakan adalah siapakah yang harus berubah jikalau terjadi konflik dalam rumah tangga. Biasanya kita menuding bahwa pasangan kitalah yang harus berubah, kenapa? Sebab memang tulah sifat dari dosa yang ada dalam diri kita.

Kita lebih mudah melihat kesalahan orang daripada melihat kesalahan pada diri sendiri. Itu sebabnya dalam rumah tangga kadang-kadang terjadi konflik yang tidak bisa diselesaikan karena masing-masing menuntut pasangannyalah yang harus berubah. Jadi pertanyaannya adalah siapa yang harus berubah, nah daripada langsung menjawab siapa yang harus berubah saya mengajak kita semua untuk mundur ke belakang dan melihat sebetulnya harus ada modal tertentu agar terjadi perubahan. Dengan kata lain perubahan menuntut adanya prasyarat. Kalau prasyarat ini tidak dipenuhi, mustahil akan terjadi perubahan. Kita sudah membahas pada pertemuan yang lalu bahwa harus ada kematangan supaya nantinya ada perubahan. Saya melihat kematangan dari tiga dimensi, yang pertama adalah dimensi berpikir atau kematangan berpikir artinya mampu melihat pikiran orang lain, mampu menoleransi perbedaan sehingga tidak kukuh pada pendapat sendiri dan memastikan bahwa dirinyalah yang benar. Kalau ada dimensi atau kematangan berpikir ini lebih mudah adanya perubahan. Yang kedua adalah kematangan perasaan, artinya kita mampu untuk memahami perasaan sendiri dan perasaan pasangan kita. Kalau kita bisa melihat, merasakan perasaan pasangan kita; kita juga lebih mampu nantinya untuk mengadakan perubahan karena kita tahu sesungguhnya inilah yang dia rasakan sehingga kita pun lebih cepat tergerak dan lebih mau untuk mengadakan perubahan. Jadi sekali lagi penting adanya kematangan perasaan. Dan yang terakhir adalah yang saya sebut dimensi tinggi, dimensi tinggi itu merujuk pada kedewasaan rohani. Saya mendasarinya pada Galatia 5:22,23 bahwa buah Roh Kudus itu adalah kasih, sukacita, penguasaan diri, kesabaran, kemurahan hati dan sebagainya. Orang yang memiliki kematangan rohani sudah tentu akan lebih mudah berubah sebab mereka tidak mementingkan diri sendiri lagi, mereka mementingkan apa yang Tuhan kehendaki. Jadi kematangan ini harus kita miliki sebelum ada perubahan, kalau kita hanya menuntut perubahan susah sekali dan tidak ada ujung pangkalnya, tapi kalau kita sudah mempunyai modal kematangan ini, perubahan akan lebih mudah terjadi.
GS : Selain kematangan, sebagai prasyarat untuk berubah apakah ada hal lain untuk dijadikan prasyarat?

PG : Ada Pak Gunawan, dan ini akan kita bahas pada kesempatan ini yaitu kita mesti tahu jelas peran dan tanggung jawab kita di dalam rumah tangga. Karena bagaimanakah kita mengadakan perubahankalau kita bicara perubahan, sebenarnya kita sedang memikirkan adanya sesuatu yang standar, baku dan yang benar, yang seharusnya atau seyogianya kita mengadakan perubahan menuju pada yang seharusnya itu.

Jadi saya kira kita perlu juga mengetahui jelas sebenarnya apa peranan seorang suami dan peranan seorang istri. Semua perubahan yang nanti akan kita adakan adalah perubahan yang menuju kepada peran yang sesungguhnya sebagaimana yang Tuhan kehendaki.
GS : Dari mana seseorang atau kita memperoleh kejelasan tentang peran ini?

PG : Kita kembali ke fiman Tuhan, di Efesus 5:22-23 rasul Paulus menjabarkan tentang tanggung jawab atau peran suami dan istri. Di sana Paulus mengatakan dengan jelas bahwa suami hendaklah engau mengasihi istrimu dan istri hendaklah kamu tunduk atau hormat pada suamimu.

Dan di sana Paulus juga dengan jelas mengatakan bahwa hendaklah istri menghormati suaminya sebagai kepala istri, sebagaimana Kristus adalah kepala jemaat; suami adalah kepala istri. Saya mau mengangkat hal ini yaitu apa peranan suami-kepala istri; dan apa kepala istri-tunduk kepada suami. Kita mesti jelas dengan prinsip atau konsep ini. Sebetulnya Alkitab tidak mengatakan suami adalah kepala keluarga, di Efesus pasal 5 jelas dikatakan suami adalah kepala istri. Ini sesuatu yang mungkin kurang enak untuk kita dengar tapi sesungguhnya suami kepala istri. Sebab sesungguhnya kalau suami bisa menjadi kepala istri dia akan otomatis menjadi kepala anak-anak. Karena bukankah sering terjadi banyak masalah anak-anak kurang ajar kepada si papa, karena mamanya kurang ajar kepada si papa atau tidak hormat kepada si papa. Jadi akhirnya anak-anak pun tidak bisa menghormati si papa. Memang asumsinya benar kalau suami bisa menjadi kepala istri, dia akan menjadi kepala anak-anak, tidak perlu lagi dia disebut sebagai kepala keluarga. Makanya Alkitab memanggil suami sebagai kepala istri, saya kira ini peranannya.
GS : Bagaimana kalau pasangan suami-istri ini tidak jelas dengan peranan masing-masing, kerancuan apa yang bisa timbul?

PG : Banyak sekali masalah yang muncul dalam ketidakjelasan peranan ini dan perubahan-perubahan yang dituntut itu lebih merupakan perubahan sesuai dengan selera, sesuai dengan kepribadian kita,sesuai dengan latar belakang budaya kita.

Memang semua itu penting, semua itu bagian dari diri kita tapi bukankah kita sebagai anak Tuhan harus kembali kepada disain yang Tuhan tetapkan. Jadi semua perubahan, apa yang harus berubah dan sebagainya itu perubahan yang seyogianya menuju kepada disain yang Tuhan telah tetapkan itu. Yang saya mau angkat yang pertama adalah kita sering kali melihat Efesus 5:22, 23 itu sebagai perintah Tuhan baik kepada suami maupun kepada istri, itu benar karena jelas ada perintah Tuhan pada suami yakni mengasihi istri dan perintah Tuhan kepada istri tunduklah kepada suamimu. Tapi untuk sejenak saya mau mengajak kita melihat bagian Alkitab itu dari kacamata yang sedikit berbeda yaitu sebetulnya bisa juga kita melihat seperti ini, Tuhan memberikan satu perintah dan perintah itu ditujukan kepada suami yaitu kasihilah istrimu dan kepalailah istrimu. Karena Efesus pasal 1-3 dari 6 pasal itu, 3 pasal pertama memuat tentang apa yang harus kita percaya. Dengan kata lain percayalah yang benar itu tema utama pasal 1-3, tapi Efesus pasal 4-6 lebih memuat hal-hal praktis. Jadi bukan saja kita harus percaya pada hal-hal yang benar, kita harus hidup yang benar. Dalam pembahasan bagaimana kita hidup yang benar, Paulus menyelipkan satu hal yang sangat penting yaitu bagaimana berumah tangga dengan benar, bagaimana hidup berelasi dengan suami dan istri yang benar. Dengan kata lain saya juga bisa mengatakan Efesus 5:22 dan 23 merupakan pembahasan tentang bagaimana hidup dalam berkeluarga secara tertib. Jangan sampai dalam keluarga itu terjadi ketidakharmonisan dan konflik dan sebagainya, jadi penting sekali kita hidup tertib. Untuk hidup tertib Paulus memberikan perintah dari Tuhan yaitu suami harus menjadi kepala istri. Nah di dalam satu perintah itu, "Suami, hendaklah engkau mengasihi istrimu dan menjadi kepala istrimu," termaktub perintah yang ditujukan kepada istri, "Istri, tunduklah kepada suamimu sebab tidak mungkin suami menjadi kepala istri kalau istri tidak mau tunduk kepada suami.

ET : Di zaman sekarang ini, dengan emansipasi, dengan gerakan feminisme, sering kali akhirnya peran pria dan wanita tidak jelas, jadi akhirnya di dalam keluarga seperti ada sebuah kesepakatan, erbagi kuasa bahwa dua-dua sama-sama mempunyai kuasa.

Nah ini bagaimana?

PG : Saya memahami bahwa sekarang ini berkembang pemikiran bahwa seyogianya kepemimpinan rumah tangga itu kepemimpinan kolektif yaitu kepemimpinan yang dibagi antara suami dan istri. Sebetulny tidak, sebab bukankah kita yang terjun di dunia bisnis, atau dunia organisasi kita tahu bahwa penting sekali ada satu kepemimpinan.

Kepemimpinan kalau dibagi-bagi dan satu organisasi mempunyai 2, 3 kepala, itu resep kekacauan. Jadi kita mengerti bahwa di dalam dunia organisasi tidak bisa ada 2, 3 kepala. Coba kita terapkan di dalam konteks keluarga, kalau dalam keluarga ada dua kepala-suami dan istri sama-sama kepala, sebetulnya itu tidak memungkinkan. Sebab kalau kita berkata dua-duanya adalah kepala, bagaimanakah mungkin suami menjadi kepala istri dan pada saat yang bersamaan istri menjadi kepala suami. Sebab Alkitab jelas berkata suami adalah kepala istri. Kalau kita berkata dua-dua kepala berarti istri kepala suami, bagaimana mungkin yang satu menjadi kepala yang satunya. Jadi memang harus ada satu kepemimpinan, itu adalah resep ketertiban. Memang untuk kita yang hidup di abad modern ini sepertinya kuno, konservatif, ortodoks, tidak mengikuti perkembangan arus zaman dan sebagainya. Sebab memang seolah-olah sepertinya mau meninggikan pria, tapi bukan begitu sebab kita melihat Efesus 5:22 dan 23 memuat begitu banyak penjelasan perintah Tuhan kepada pria. Dan kalau kita perhatikan dari ayat 22 - 23, sebetulnya yang untuk wanita hanya ada di dua ayat yaitu di ayat 22, "Istri, tunduklah kepada suamimu...," di ayat 33 "...dan bagaimanapun bagi kamu sekarang berlaku masing-masing hendaklah suami mengasihi istrimu dan istri hendaklah hormat kepada suamimu." Tapi di antara dua ayat itu semuanya ditujukan kepada suami yaitu bagaimanakah dia seharusnya menjadi kepala istri. Tuhan hanya memberi penjelasan, suami hanya bisa menjadi kepala istri seperti Yesus menjadi kepala jemaat. Menjadi kepala jemaat, Yesus mengorbankan diriNya, mengosongkan egoNya, mengasihi jemaatNya, jadi begitulah suami mengepalai istrinya. Dia hanya akan bisa mengepalai istri dengan cara mengosongkan egonya, melayani, sebab Yesus pun melayani kita, Dia datang bukan untuk dilayani tapi melayani. Dan dia mengasihi, begitu mengasihinya sehingga Dia rela mati bagi jemaat yang dikasihiNya. Nah pemimpin yang seperti inilah atau kepemimpinan yang seperti inilah yang Tuhan kehendaki. Nah dalam kepemimpinan seperti ini, tidak ada istri yang akan mengeluh; kenapa istri mengeluh karena suami tidak menjalankan kepemimpinan sebagaimana yang Tuhan kehendaki.
GS : Yang sering terjadi justru peran mau diambil, misalnya suami menjadi kepala bagi istri tetapi tidak berfungsi sebagaimana kepala. Jadi untuk meringankan tugas, dia bagi tugas-tugasnya sehingga dia sendiri hanya sedikit saja tugasnya.

PG : Sebagai kepala dia memang harus memimpin, kadang-kadang pria itu gamang atau ragu-ragu. Tuhan jelas berkata, "Engkau kepala istri," jadi berlakulah, berfungsilah sebagai kepala, pimpinlahrumah tanggamu, pimpinlah istrimu, itu yang Tuhan kehendaki.

Jadi jangan gamang, namun bagaimanakah memimpinnya ya dengan kasih, dengan melayani, dengan mengosongkan ego. Saya berikan contoh situasi agar kita bisa menerapkannya dengan lebih mudah. Misalkan seorang istri jengkel melihat suaminya pulang kerja langsung ongkang-ongkang kaki, nonton televisi, baca koran, sementara dia pontang-panting mengurus anak, terus masih memberi makan anak, menemani anak belajar sampai malam, membersihkan dapur setelah itu baru mau istirahat tidur. Misalkan setelah itu malam-malam suaminya minta untuk hubungan intim dengan istrinya, istrinya karena sudah telanjur jengkel melihat suaminya enak-enakan saja tidak mau membantu, akhirnya waktu suaminya meminta hubungan intim dia menolak dan berkata tidak mau. Nah suaminya marah, misalkan dia berkata, "Kalau tidak mau ya sudah, saya tidak akan meminta lagi." Ribut besar karena suami merasa terhina dan sebagainya, ini situasi yang sering terjadi dalam rumah tangga. Bagaimana kita menerapkan Efesus 5 ke dalam rumah tangga ini, bagaimanakah kita menerapkan peran dan tanggung jawab sebagaimana yang Tuhan telah tetapkan itu. Saya berikan contoh penerapannya, di sini suami berfungsi sebagai kepala istri, kepala yang baik harus memastikan bahwa stafnya mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Dia harus tahu apa yang menjadi problem bawahannya atau stafnya dan dia harus mencoba untuk menghilangkan problem itu sehingga stafnya bisa berfungsi semaksimal mungkin. Jadi si suami seharusnya waktu dia pulang, sebelum si istri melakukan apa pun dia seharusnya sudah peka membaca situasi, dia seharusnya mengetahui bahwa istrinya sedang kerepotan dan seyogianyalah dia menawarkan bantuan untuk menolong istrinya. Sebab bukankah dalam perusahaan di mana kita bekerja, kita akan menghargai atasan yang bersedia bukan saja mengetahui lingkungan kerja bawahannya tapi juga bersedia menolong, itu atasan yang kita hargai, yang akan berkata, "Apa yang bisa saya bantu supaya problemmu bisa diselesaikan atau dikurangi supaya kamu bisa bekerja dengan lebih efektif." Seyogianya suami juga menawarkan bantuan. Misalkan secara realistik setiap hari suami menawarkan bantuan, bekerja, mengurus anak dan sebagainya dia kecapean juga, dia tidak sanggup. Nah akhirnya si suami berkata begini kepada si istri, "Saya tidak sanggup, kalau sehabis pulang kerja saya harus berkerja lagi seperti ini, saya tidak sanggup, saya kecapean. Dan kalau saya sudah kecapean, emosi saya juga turun naik, saya tidak bisa lagi bercengkerama dengan anak-anak akhirnya saya mudah marah. Atau besoknya saya terlalu capek, kerja kurang efektif; nah saya mau mengusulkan bagaimana nanti kita minta bantuan perawat, kalau tidak mau seharian tinggal ya malam saja datang, setelah itu dia bisa pulang." Waktu si suami mengusulkan itu, si istri seyogianya tunduk kepada saran suami sebab si suami telah menjalankan fungsinya sebagai kepala yang baik. Dengan kasih dia menawarkan bantuan, dia peka melihat apa yang menjadi kesulitan istrinya, dia juga sudah turun tangan membantu si istri. Sewaktu suami sudah turun tangan membantu si istri, si istri jangan membantah, si istri jangan berkata, "Saya tidak mau, saya mau ngurus begini, begini." Itu menunjukkan pembangkangan, itu menunjukkan ketidaktundukan, dia seharusnya menerima, "Benar, ini tidak bisa, suami saya sudah membantu saya dan juga terlalu capek dan ini kita mempunyai uang cukup untuk bisa mengkaryakan seorang perawat." Di sini kita melihat prinsip Efesus 5 itu diterapkan, yang satu mengepalai tapi mengepalai dengan baik, dengan kasih dan pengorbanan; yang satu tunduk sewaktu sudah melihat bahwa suami sudah menjadi kepala istri yang baik, seharusnya dia tunduk, dia tidak lagi membangkang. Dua-dua akhirnya menjalankan apa yang Tuhan kehendaki dan dua-dua bisa hidup dengan harmonis.

ET : Jadi ini ibaratnya seperti dua roda semua bisa berputar karena masing-masing menjalankan perannya.

PG : Tepat sekali, dua roda yang memang giginya itu saling terkait sehingga sewaktu berputar yang satu pun ikut berputar. Jadi intinya sewaktu suami sudah turun tangan si istri harus membuka tngan, menyambut uluran tangan si suami; jangan sampai nanti suami sudah menawarkan bantuannya, si istri malahan tidak mau, membangkang, tetap mau begitu juga.

Tidak bisa, sebab Tuhan juga memerintahkan si istri harus tunduk, bagaimanakah si suami bisa berfungsi mengepalai istri kalau istri tidak mau tunduk. Tapi untuk bisa si istri tunduk dengan lebih mudah, dia juga harus melihat suaminya turun tangan, peka melihat kesulitan si istri, mau menolong si istri, mau melayani si istri juga. Nah sikap seperti ini yang harus ditunjukkan oleh suami sebagi kepala istri.
GS : Nah ini terkait dengan faktor yang dulu kita bicarakan tentang kematangan?

PG : Betul, otomatis kalau si suami dan istri memiliki kematangan yang kita bicarakan yaitu kematangan berpikir, kematangan perasaan, kematangan rohani, dia akan lebih mudah untuk yang satu menepalai dengan kasih, yang satu tunduk dengan hormat.

ET : Mengepalai dengan kasih, seperti yang tadi Pak Gunawan katakan mau terima istilah mengepalainya tapi menjalankan peran dengan kasih rasanya seperti mudah terlupakan.

PG : Itu sebabnya Paulus waktu memberikan perintah kepada suami, mula-mula kepada istri; Istri, tunduklah kepada suamimu dalam segala sesuatu, kemudian suami hendaklah engkau mengasihi istrimu. Kemudian Paulus menjelaskan tentang bagaimana suami seharusnya mengasihi istri yaitu sebagaimana Yesus Kristus mengasihi jemaat, merawatnya, mengasuhnya sehingga jemaat menjadi tak bercela tanpa cacat, itulah yang harus dilakukan suami terhadap istrinya.

Mengasihi seperti Yesus mengasihi jemaat. Jadi kalau ini terjadi si istri seharusnya juga tunduk kepada suaminya. Memang tidak pada tempatnya kalau suami belum apa-apa sudah langsung mau menjadi bos, dia harus bisa menunjukkan dia adalah kepala sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Dia peka, dia lihat apa yang menjadi kebutuhan istrinya, dia tidak ongkang-ongkang kaki melihat istrinya pontang-panting, dia akan bertanya, "apa yang bisa saya bantu," dan itulah atasan yang baik. Jadi kadang-kadang juga kita sering kali kehilangan perspektif, Tuhan sudah mengatakannya di Alkitab tapi kita lupakan, tapi diterapkan di luar di tempat pekerjaan, kita ikuti di luar di tempat pekerjaan tapi begitu masuk ke rumah kita tidak terapkan lagi. Bukankah di tempat di mana kita bekerja itu yang diterapkan, atasan yang baik adalah atasan yang melayani. Dalam sistem politik, para petinggi, para pejabat disebutnya abdi negara, abdi negara artinya pelayan. Jadi di luar justru diajarkan, seharusnya kita juga bisa menerapkan dalam rumah tangga kita, seharusnya kita menjadi pemimpin dengan cara menjadi abdi, abdi keluarga kita, melayani keluarga kita. Mengosongkan ego kita, bukannya kita kawin makin lama ego kita makin menggelembung, itu berarti kita tidak menjalani yang Tuhan kehendaki. Justru seharusnya pria makin lama menikah egonya makin mengecil, makin mengempes, dia makin tidak mempunyai ego, karena memang kasihnya itu adalah kasih yang melepaskan ego bukan justru menumpukkan ego.
GS : Mungkin karena tahu akan hal itu maka suami juga banyak yang tidak terlalu menekankan tentang peran sebagai kepala keluarga, sehingga dia lepas begitu saja atau jalan begitu saja. Tapi dia tidak merasa itu sesuatu yang penting untuk dijelaskan tentang peranannya sebagai kepala keluarga.

PG : Itulah saya kira cikal bakal atau permulaan dari munculnya problem dalam keluarga. Coba kita melihat perusahaan atau organisasi, jikalau pemimpin kita tidak menjalankan tugasnya pasti berntakan, jadi Tuhan sudah meletakkan fondasinya.

Untuk rumah tangga bisa tertib, untuk rumah tangga bisa harmonis, perlu adanya keteraturan siapa yang menjadi kepala, siapa yang bertugas mengasihi dan melayani, siapa yang juga harus tunduk kepada pengepalaan suami itu, ini resep ketertiban. Nah kadang-kadang kita menggembar-nggemborkan pentingnya cinta kasih dalam keluarga dan sebagainya, itu betul tapi cinta kasih hanya bisa bertumbuh dalam ketertiban. Kalau tidak ada ketertiban kita tidak bisa membicarakan bagaimana menumbuhkan, menyuburkan cinta kasih. Itu tidak mungkin, bagaimana menumbuhkan kemesraan-tidak ada kemesraan dan tidak akan tumbuh kemesraan kalau di dasarnya adalah kekacauan, tidak ada ketertiban. Maka penting sekali ada ketertiban dulu, di dalam ketertibanlah cinta bertumbuh, di dalam ketertibanlah kemesraan akhirnya juga bertunas.
GS : Memang ada istri yang lebih dominan daripada suaminya, faktanya dia lebih mampu dan bisa menjadi pemimpin. Sementara suaminya tidak bisa, Pak Paul?

PG : Dalam kasus seperti itu si istri bisa menjadi istri yang bijaksana yaitu dalam mengambil keputusan tetap berkonsultasi dengan si suami namun dia menyajikan 2, 3 pilihan yang suaminya mungkn juga tidak pikirkan karena memang kurang bisa melihat pilihan-pilihan tersebut.

Istri yang menyajikan 2, 3 pilihan tersebut dan meminta suaminya yang memutuskan. Dan sebaliknya si suami karena dia tahu keterbatasannya, waktu istrinya sudah menyajikan pilihan-pilihan yang tersedia dia pertimbangkan pilihan-pilihan itu. Jangan sampai dia merasa saya tidak bakal memilih pilihan yang istri saya sudah sajikan, dia akan pilih yang lain yang justru tambah salah. Jadi sekali lagi kita kembali ke point yang pertama yang kita bahas pada kesempatan yang lalu, bahwa diperlukan kematangan di dalam berpikir, perasaan dan rohani. Untuk rendah hati, untuk mau mendengarkan, kalau semua itu ada sebetulnya Pak Gunawan dan Ibu Ester, pertanyaan "Siapa yang Harus Berubah" tidak lagi relevan sebab masing-masing hanya pikirkan "Apa yang Harus Berubah" bukannya 'siapa' tapi 'apa'; semuanya akan bersedia, rela. "OK-lah kita langsung ubah," karena yang lebih penting 'apanya' bukan 'siapanya'.

ET : Dan banyak masalah bisa dicegah?

PG : Betul sekali, dan akhirnya memang tidak ada masalah.

GS : Jadi kesimpulannya apa Pak Paul dari perbincangan kita ini?

PG : Saya kira untuk menjawab pertanyaan "Siapa yang Harus Berubah," kita harus mundur ke belakang dan kita harus mendewasakan diri kita dulu. Yang kedua, kita harus berdiri di jalur yang bena dalam peranan dan tanggung jawab kita, kalau kita memiliki itu semua tidak ada lagi masalah tentang "Siapakah yang Harus Berubah."

Kuncinya atau dasarnya adalah memang kita harus tunduk kepada Tuhan, di dalam ketundukan kepada Tuhan akan ada kerendahan hati. Kita tidak mungkin mempunyai kerendahan hati kalau kita tidak bisa bersama-sama tunduk kepada Tuhan, kalau itu sudah ada roda ini akan mulai berputar.

GS : Terima kasih Pak paul, terima kasih Ibu Ester untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Siapa yang Harus Berubah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



50. Tangga Ke Rumah 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T222A (File MP3 T222A)


Abstrak:

wus uwus


Ringkasan:

Jika kita memperhatikan pasangan nikah di sekitar kita, tidak bisa tidak kita harus mengakui begitu sedikit pasangan yang sungguh-sungguh menikmati pernikahannya. Bahkan cukup banyak yang sebenarnya tidak lagi hidup dalam pernikahan meski masih mempertahankan status nikah. Pertanyaan yang timbul adalah, mengapakah demikian?

Pada akhirnya saya menyimpulkan kendati ada banyak faktor yang dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan, namun sering kali penyebab pertama dan mungkin terbesar adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Bukankah pribadi yang bermasalah bermuara pada gaya hidup bermasalah, cara berkomunikasi bermasalah, dan mekanisme memenuhi kebutuhan bermasalah? Dan bukankah gaya hidup, cara berkomunikasi, dan mekanisme untuk memenuhi kebutuhan semuanya berkaitan langsung dengan pernikahan itu sendiri?

A. Gaya Hidup Bermasalah

Ada beberapa gaya hidup bermasalah yang kerap dibawa masuk ke dalam pernikahan. Pertama adalah gaya hidup tidak mau menanam dan tidak mau menuai. Ini adalah gaya hidup tidak bertanggung jawab. Pada umumnya gaya hidup tidak bertanggung jawab mengharuskan pasangan untuk menjadi penanggung jawab hidupnya. Pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya dan tidak boleh mengecewakannya. Pasangan seyogianya memahani keinginannya tanpa ia harus menyuarakannya. Pasangan senantiasa harus memperhatikan gejolak di dalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Gaya hidup tidak bertanggung jawab sesungguhnya menempatkan diri pada posisi tidak pernah salah.

Kedua adalah gaya hidup menuai tanpa harus menanam. Masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah, berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersusah payah menanam. Atau, ada orang yang senantiasa membandingkan diri dengan saudara atau orangtuanya dan merasa bahwa ia kurang. Namun untuk mengisi kekurangannya bukannya ia menempuh jalan panjang, ia malah mencari jalan pintas. Misalnya ia ingin cepat kaya dengan cara semudah mungkin. Gaya hidup seperti ini acap kali diikuti dengan gaya hidup penuh spekulasi yang berakhir dengan kehilangan besar. Masalahnya adalah, ia tidak bersedia melihat realitas; sesungguhnya ia hidup dalam khayalannya.

Ketiga adalah gaya hidup terus menanam dan tidak menuai. Gaya hidup ini membuat dirinya-dan orang lain-sengsara sebab orang ini tidak dapat menikmati hidup dan melarang orang menikmati hidup pula. Orang ini mungkin sekali bergelimang dengan kelimpahan namun ia senantiasa melihat dirinya kurang. Ia selalu berusaha irit dan memandang kenikmatan sebagai musuh yang harus dilawan. Ia penuh ketakutan dan menciptakan banyak larangan guna menghindar dari ketakutannya.

Firman Tuhan

Salah satu tema utama Kitab Pengkhotbah hidup dalam keseimbangan. Misalnya Pengkhotbah 2:22-25 "Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" mengajarkan kepada kita bahwa tidak benar bagi kita untuk terus bekerja (menanam) tanpa menuai. Selanjutnya Pengkhotbah 2:24-26 menekankan bahwa Tuhanlah yang mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menikmati buah kerja kita. Jadi, Tuhanlah yang memberi kita kesempatan untuk bekerja dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih lelah kita. B. Cara Komunikasi Bermasalah

Pribadi bermasalah kerap membawa cara berkomunikasi bermasalah ke dalam pernikahan. Ada beberapa yang sering menjadi duri dalam pernikahan dan yang pertama adalah cara berkomunikasi yang saya panggil, meliuk. Cara berkomunikasi ini tidak langsung dan samar; apa yang dikatakan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan. Hari ini berkata, tidak, besok berkata, ya, namun apa yang sesungguhnya ada di hati tidak pernah tercetus keluar.

Tidak bisa tidak, gaya berkomunikasi seperti ini membingungkan dan berakhir dengan frustrasi. Kita tidak tahu bagaimana harus bereaksi sebab kita tidak tahu isi hatinya dan harus mereka-reka maksudnya. Kalaupun terpojok, ia sulit mengakui keinginan atau pendapatnya; malah ia sering melemparkan masalah kembali kepada kita seolah-olah kitalah yang salah mengertinya.

Cara berkomunikasi bermasalah lainnya adalah menukik. Saya sebut menukik sebab arah pembicaraan seakan-akan selalu memojokkan dan merendahkan lawan bicara. Apa pun yang dikatakannya, pada akhirnya kita akan merasa dilecehkan atau disalahkan. Ia selalu benar dan tahu, sedangkan kita tidak pernah benar dan selalu tidak tahu apa-apa. Gaya bicara menukik sukar membuka kesempatan terjadinya dialog sebab gaya bicara ini cenderung searah dan bermuatan instruksi.

Cara berkomunikasi lain yang juga sering menimbulkan masalah adalah cara berkomunikasi memercik-sudah tentu yang saya maksud adalah percikan api emosi. Ada orang yang penuh ketegangan sehingga mudah sekali meledak namun ada pula orang yang sebenarnya tidak penuh ketegangan namun sangat tidak sabar dengan ketidaksempurnaan sehingga mudah marah. Orang ini biasanya menuntut kita untuk berbicara dengannya dengan cara yang pas dengan suasana hatinya sebab ia sendiri pun dikuasai oleh suasana hati.

Firman Tuhan

Semua gaya komunikasi bermasalah berhulu pada putusnya tali komunikasi dan jika tali komunikasi sudah terputus, tali relasi pun akan putus. Efesus 4:25 mengajarkan kita untuk berkata benar kepada satu sama lain. Amsal 18:21, "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." mengingatkan kita akan pengaruh atau kuasa lidah yang dapat menghancurkan atau memberi hidup kepada sesama. Relasi nikah bergantung pada komunikasi dan komunikasi bergantung pada lidah-dan lidah orang benar membangun pernikahan.

"Tangga ke Rumah"
oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

C. Mekanisme Memenuhi Kebutuhan

Masing-masing kita membawa kebutuhan masuk ke dalam pernikahan. Tidak ada yang salah dengan kebutuhan untuk dikasihi dan dihargai; masalah timbul tatkala kita menggunakan cara yang salah untuk mendapat pemenuhan kebutuhan itu. Salah satu mekanisme yang salah adalah melimpahkan masalah pada pundak pasangan padahal kitalah yang mempunyai kebutuhan itu. Kita menolak mengakui bahwa sebenarnya kitalah yang mempunyai kebutuhan itu; sebaliknya, kita menuduh pasangan seakan-akan dialah yang tidak mampu menyediakan kebutuhan itu. Tema utama yang kerap kita lontarkan adalah bahwa dia "tidak cukup baik" dalam memenuhi kebutuhan kita. Sudah tentu pasangan menjadi frustrasi dan lama kelamaan kehabisan tenaga memenuhi kebutuhan kita.

Mekanisme kedua yang bermasalah adalah senantiasa memunculkan masalah. Ada orang yang terus menerus memunculkan masalah; setiap hal menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Masalah mungkin berkaitan dengan kita mungkin juga tidak, namun pada intinya ia tidak pernah dapat berbahagia dengan hidupnya. Orang yang selalu memunculkan masalah dan melihat hidup dari kacamata masalah sesungguhnya mengalami kehampaan dan tidak mempunyai makna hidup. Ia ingin memenuhi kebutuhan akan makna hidup namun ia tidak tahu bagaimana; alhasil ia selalu merasa tidak puas dan kerap menggerutu.

Mekanisme ketiga yang salah adalah meniadakan masalah. Pernikahan dimaksudkan menjadi ajang penyatuan dan tolong menolong; di dalam proses inilah keintiman dibangun dan berkembang. Namun ada di antara kita yang tidak nyaman dengan kebutuhannya dan tidak bersedia melibatkan pasangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kita beranggapan bahwa kita sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan itu karena memang ini adalah kebutuhan kita. Namun ada pula orang yang tidak bersedia membagi kebutuhannya karena gengsi atau takut ditolak. Daripada dihina atau ditolak, lebih baik tidak membagi kebutuhan sama sekali.

Firman Tuhan

Apa pun itu yang kita lakukan, yang pasti adalah, cara yang keliru dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Amsal 22:9, "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin," mengajarkan kita bahwa orang yang murah hati akan diberkati. Murah hati berawal dari hati yang memberi dan dalam pernikahan, hati yang memberi akan menerima kembali dengan berkelimpahan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tangga Ke Rumah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Suatu judul yang sangat menarik tentang tangga ke rumah. Biasanya kita mendengar istilah rumah tangga tetapi ini tangga ke rumah, maksudnya bagaimana?

PG : Begini Pak Gunawan, bukankan istilah rumah tangga itu berlatar belakang dari konteks kehidupan kita dimasa lampau yaitu pada umumnya rumah berada diatas tanah sehingga untuk masuk kerumah,orang memerlukan tangga.

Jadi judul tangga ke rumah ini untuk membicarakan hal-hal apa yang perlu kita persiapkan untuk memasuki rumah tangga. Saya memiliki sebuah pertanyaan, apa yang harus kita persiapkan untuk masuk ke dalam rumah tangga? Saya melihat terlalu banyak rumah tangga yang bermasalah. Saya masih ingat waktu saya kuliah pun ada seorang dosen saya yang berkata "Saya tidak percaya dengan pernikahan," dan saya ingat ada satu teman saya yang mengajukan pertanyaan kepada beliau "Kenapa Ibu tidak percaya pada pernikahan?," dan Ibu itu berkata "Karena saya melihat terlalu banyak pernikahan yang hancur." Setelah bertahun-tahun saya terjun kedalam pelayanan, saya harus mengakui kebenaran dari pengamatan Ibu dosen saya itu, banyak sekali pernikahan bermasalah. Saya kira lebih dari setengah pernikahan itu bermasalah, memang semua tidak berakhir dengan perceraian. Namun lebih dari setengah tidak sungguh-sungguh menikmati kehidupan pernikahannya. Jadi banyak orang hanya menjalani kehidupan nikah tetapi tidak menikmatinya, ini membuat saya bertanya-tanya mengapakah demikian. Memang sudah tentu banyak hal yang perlu kita pelajari untuk berelasi yang baik dengan pasangan kita, harus menyesuaikan diri dengan pasangan kita. Namun pada dasarnya, ini semua berpulang dari pribadi yang bersangkutan, maksud saya kalau pribadi yang bersangkutan memang dewasa, siap nikah, matang kepribadiannya, sudah tentu ini akan memudahkan proses penyesuaian. Kalau pribadinya tidak matang atau bermasalah sudah tentu ini akan menghambat proses penyesuaian. Jadi melalui kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua memfokuskan pada pribadi kita. Bagaimana kita bisa mematangkan diri, sehingga waktu kita menikah kita lebih siap untuk mengalami penyesuaian dan perubahan.
GS : Sebelum kita bahas lebih lanjut Pak Paul. Kelihatan ada keluarga-keluarga yang dari luar tidak ada masalah tetapi dengan tidak ada masalah justru didalamnya penuh dengan masalah.

PG : Itu pengamatan yang tepat. Jadi banyak rumah tangga yang sebetulnya menyimpan masalah tapi karena malu untuk menceritakannya akhirnya menutupi masalah tersebut. Pada intinya barometer yangkita gunakan adalah apakah seseorang itu menikmati kehidupan nikahnya.

Kalau kita tanyakan kepada para responden yang telah menikah saya menjadi khawatir, mungkin lebih dari setengah akan berkata mereka tidak menikmati kehidupan nikahnya, mereka hanya menjalani. Ada yang menjalaninya atas dasar anak, atas dasar reputasi nanti apa kata orang dan sebagainya. Maka tidak lagi menikmati kehidupan nikahnya.
GS : Memang ini suatu hal yang penting menikmati pernikahan. Ada orang makan dan makan saja, ada orang yang sekadar makan tetapi ada juga orang yang menikmati apa yang dia makan. Sehingga dia bisa bersyukur, tetapi dia betul-betul menikmati. Dan pernikahan saya rasa seperti itu, Pak Paul?

PG : Dan kalau kita menikmati kehidupan nikah kita, itu akan berdampak luas. Misalnya berdampak pada penyelesaian konflik, setiap kita pasti ada konflik karena kita harus menyesuaikan diri dengn perbedaan.

Kalau kita menikmati kehidupan nikah kita, itu menjadi modal yang besar sekali untuk meredakan konflik. Sebaliknya kalau kita tidak menikmati kehidupan nikah kita, konflik itu semakin mudah muncul sebab hal-hal kecil pun menjadi besar seolah-olah siap bertempur, itu akan memberi pengaruh pada konflik. Kalau kita menikmati kehidupan nikah maka kita menjadi semakin tenang, senang, hidup makin efektif. Jadi sekali lagi, hidup ini menjadi sebuah lingkaran yang saling mengisi. Masalah-masalah ini benar-benar memaksa saya untuk berfikir keras, kenapa begitu banyak pernikahan yang retak. Dan dapat saya simpulkan semua berawal dari pribadinya yang memasuki pernikahan itu. Saya berikan contoh kalau kita bekerja di sebuah tempat dan kebetulan rekan kerja itu matang kepribadiannya, bukankah kita menikmati bekerja dengan dia. Masalah mungkin timbul tetapi karena dia orangnya matang, maka mudah untuk kita menyelesaikan masalah itu karena pengertian lebih mudah dibangun. Jadi sekali lagi ini terpulang pada pribadinya. Dan ini yang ingin kita fokuskan.
GS : Kalau berbicara tentang pribadi, masalah-masalah apa yang sering timbul dalam pribadi itu, sehingga orang tidak menikmati hidup pernikahannya?

PG : Kita akan bagi pembahasan kita dalam 3 bagian besar, nanti dalam siaran berikutnya kita akan bahas bagian kedua. Bagian pertama yang akan kita bahas adalah gaya hidup bermasalah. Jadi ada rang-orang yang membawa gaya hidup bermasalah masuk ke dalam pernikahan.

Gaya hidup bermasalah ini dapat dipastikan membuahkan masalah didalam pernikahannya.
GS : Masalah macam apa yang dibawa oleh seseorang didalam hidup pernikahannya?

PG : Saya akan bagi dalam 3 jenis, tapi saya akan mengunakan istilah pertanian. Yang pertama adalah gaya hidup yang tidak mau menanam dan tidak mau menuai maksudnya gaya hidup yang tidak bertangung jawab.

Orang yang tidak bertanggung jawab tidak mau menanam, tidak mau menuai tapi mau tersedia. Gaya hidup tidak bertanggung jawab misalnya mengharuskan pasangan menjadi penanggung jawab atas hidupnya, pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya, tidak boleh mengecewakannya, seyogianya memahami keinginannya tanpa dia harus menyuarakannya. Atau pasangannya dituntut senantiasa bisa memperhatikan gejolak didalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Jadi pasanganlah yang harus bekerja, harus menanam, harus menuai dan orang ini hanya tinggal makannya. Ada orang yang memasuki pernikahan dengan kepribadian seperti ini, tidak mau menanam dan tidak mau menuai, inginnya semua tersedia. Tidak bisa tidak pasangannya akan keletihan, akan frustrasi dan merasa sayalah yang harus bekerja didalam pernikahan ini dan dia tidak mau apa-apa, maunya semua beres. Sudah tentu pada akhirnya timbul kemarahan dari pihak pasangannya, pasangannya akan angkat tangan dan berkata "Kamu urusi semuanya, saya tidak mau lagi, kamu mau apa terserah, mau minta apa terserah." Orang yang terbiasa tidak mau menanam, tidak mau menuai akan marah dan berkata, "Lihat kamu kok marah, tidak mau apa-apa, tidak mau bekerjasama, seharusnya suami-istri itu bekerjasama, dsb." Tetapi pasangannya akan berkata "Siapa yang kerjasama, hanya saya sendiri yang bekerja, kamu tidak pernah berbuat apa-apa."
GS : Mengapa orang bisa berbuat seperti itu, menurut pengertian saya itu sangat egois?

PG : Ada orang yang terlalu dipuaskan dan dipenuhi pada masa pertumbuhannya, sehingga sebelum dia meminta sesuatu, orang sudah tahu apa yang dia inginkan. Misalnya orangtua, karena terlalu memprhatikan anak sehingga orangtua tahu apa yang dirasakan oleh si anak.

Apa yang menjadi kebutuhan anak, orangtua memberikan sehingga anak tidak pernah terlatih untuk menyuarakan dirinya, untuk bekerja, untuk mendapatkan sesuatu karena semuanya tersedia dengan mudah. Atau kebalikannya ada orang yang latar belakangnya sangat sempit tidak ada interaksi dengan orang lain, orangtua di rumah juga tidak terlalu dekat, tidak mempedulikannya. Jadi dapat dikatakan dia hidup sendirian, karena dia hidup sendirian dia tidak terbiasa berbuat untuk orang lain. Jadi hidupnya berputar-putar pada dirinya sendiri, memikirkan hidupnya sendiri, mengupayakan hidupnya sendiri, dan semua sendiri. Orang seperti ini waktu memasuki pernikahan, dia akan sendirian pula meskipun dia menikah ada istrinya atau ada suaminya tapi dia tidak berbuat untuk pasangannya. Kalau diminta mungkin yang pertama dia tidak tahu apa yang harus dia perbuat, kedua dia merasa tertekan diminta-mintai pertolongan dan akhirnya muncullah konflik demi konflik.
GS : Apakah itu termasuk orang-orang yang asosial, Pak Paul?

PG : Betul, jadi ada orang-orang yang memang dibesarkan dalam rumah terisolasi dengan lingkungan, hidup sendirian saja, akhirnya tidak mengembangkan keterampilan sosial, tidak mengembangkan nalri sosial pula.

Jadi hidup benar-benar sendirian.
GS : Ada salah seorang teman saya yang punya prinsip hidup seperti itu, saya tidak mau merepotkan orang lain dan saya juga tidak mau direpotkan.

PG : Meskipun dia menikah tetapi kalau tidak ada saling merepotkan berarti tidak ada relasi yang intim antara keduanya.

GS : Akhirnya dia mengurus dirinya sendiri, istrinya mengurus dirinya sendiri lalu makna pernikahan itu tidak dapat dinikmati karena hidupnya sendiri-sendiri. Lalu bagaimana seharusnya sikap seorang istri menghadapi suami atau suami yang menghadapi istri yang mempunyai kecenderungan seperti itu?

PG : Pertama sebisanya dia tidak mengajukan tuntutan, karena waktu dia mulai menuntut, tidak semua orang menerima tuntutan itu. Dia tidak terbiasa, dia akan bingung, dia akan marah. Jadi saya mnganjurkan lebih baik istri atau suami memberikan saran-saran praktis, misalnya "Kalau kamu nanti akan pulang terlambat tolong telepon saya".

Misalkan dia lupa telepon si suami atau istri yang telepon, waktu telepon tanya apa kabar? dan sebagainya, dan berkata "Karena kamu tidak telepon maka saya telepon," dan itu dilakukan terus berulang kali. Sehingga lama kelamaan dia terkondisi untuk menelepon kalau dia akan pulang terlambat. Ini adalah proses yang sangat panjang, boleh dikata hampir setiap hal harus diajarkan. Karena orang yang sudah terbiasa dengan hidup yang seperti ini, memang susah untuk keluar dari gaya hidup tidak mau mananam tidak mau menuai, apalagi kalau di rumah sudah biasa disediakan dan sekarang pasangannya juga menyediakan, dia tidak mau mengeluarkan keringat untuk menyediakan bagi pasangannya.
GS : Selain itu apakah ada gaya hidup bermasalah yang lain, Pak?

PG : Gaya hidup menuai tanpa harus menanam, biasanya berawal dari masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah. Berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersush payah menanam.

Misalnya ada orang yang ingin cepat kaya, dia akan spekulasi kanan kiri, proyeknya selalu ada dan selalu optimis tidak mau memperhitungkan kemungkinan gagal, dia selalu punya ambisi pasti berhasil. Saya kira ini muncul dari keinginan ingin cepat menuai, ada orang yang menikah dengan ambisi yang begitu besar. Menanam sedikit saja yang penting cepat menuai, ini biasanya akan menimbulkan goncangan dalam pernikahan karena pasangannya akan hidup dalam kecemasan terus-menerus sebab suaminya terlalu berani hutang sani-sini, resikonya terlalu tinggi tapi tetap berani melakukan. Akhirnya tidak bisa tidak akan menimbulkan konflik sebab pasangannya tidak tahan, apalagi kalau benar-benar terbukti. Tapi kalau orang yang ingin cepat menuai biasanya tidak mudah jera, dia akan mencoba dan coba lagi dengan hidup "Andaikan", andaikan dia menuai.
GS : Khususnya pada akhir-akhir ini gaya hidup ini ditawarkan oleh lingkungan di sekeliling kita bahwa dengan bekerja yang tidak terlalu berat anda dapat mendapatkan hasil yang begitu besar.

PG : Benar, memang saya kira ini ada pengaruh juga dengan lingkungan. Begitu banyak ceramah-ceramah yang mengajarkan tidak lagi bekerja untuk mencari uang tapi biarlah uang itu yang bekerja untk kita.

Saya tidak menyangkal kalau ada sebagian orang yang memiliki keberuntungan yang baik dengan cara-cara yang seperti itu, tapi saya kira mayoritas orang di dunia ini harus mencucurkan keringat dan baru mendapatkan upah. Jadi seyogianya orang memasuki pernikahan dengan konsep yang seperti itu, bahwa dia harus bersusah payah menanam baru bisa menuai. Selain dari pengaruh lingkungan, kadang-kadang ada pengaruh keluarga. Misalkan dia dibesarkan oleh orangtua yang berada dan sukses, dia merasa harus sesukses orangtuanya atau dia membandingkan diri dengan saudaranya, kalau saudaranya bisa cepat maju maka dia juga harus cepat maju. Akhirnya dia mudah mengambil resiko dan menjadi berantakan. Akan menjadi repot kalau ada orang memasuki pernikahan dengan kepribadian ini dan tidak heran pernikahan ini pasti hancur.
GS : Sebagai pasangan apa yang bisa dilakukan, Pak Paul?

PG : Biasanya kalau pasangannya itu bicara, susah didengarkan oleh suaminya karena istri tidak dianggap. Sebagai solusi diperlukan orang lain yang lebih berpengaruh, yang lebih bijaksana apalag kalau orang itu mengerti bidang yang digeluti oleh pasangannya.

Kita mencoba bicara dengan orang lain, minta dia bicara dengan pasangan kita, mudah-mudahan setelah itu dia mau mendengarkan.
GS : Apa gaya hidup yang ketiga yang sering memimbulkan masalah, Pak Paul?

PG : Ini kebalikannya Pak Gunawan, yaitu hidup yang terus menanam tapi tidak menuai artinya orang yang membuat dirinya dan orang lain sengsara karena orang ini tidak dapat menikmati hidupnya. Dn celakanya orang yang tidak bisa menikmati hidupnya melarang orang lain menikmati hidupnya pula.

Jadi dia selalu menghemat, tidak boleh senang-senang tidak boleh rekreasi, kalau mau rekreasi yang dipikir adalah "Buat apa." Kalau yang dipikir itu maka keluarga tidak akan pernah kemana-mana. Makan di restoran pun juga sangat susah, dalam setahun bisa dihitung. Pokoknya hidup itu harus susah payah tidak boleh senang-senang. Anak juga diwajibkan harus susah tidak boleh senang-senang, sebab kalau anak terlalu senang nantinya akan jadi apa. Gaya hidup seperti ini tidak bisa tidak akan menyengsarakan semua orang di rumahnya, tidak ada lagi yang bisa tertawa pokoknya harus selalu susah. Dia mungkin senang tapi semua orang yang di rumah sengsara.
GS : Biasanya berlatar belakang dari kehidupan dulunya susah atau melihat keluarganya susah atau bagaimana?

PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi dia memiliki ketakutan yang besar meskipun dia sendiri tahu secara rasional dia memiliki harta yang cukup, tapi dia selalu dibayang-bayangi ketakutan bhwa dia akan jatuh miskin.

Atau dia takut kalau dia menikmati hidup maka dia menjadi lengah, dan kalau dia lengah maka habislah semua itu. Jadi benar-benar dia hidup dibayang-banyangi oleh ketakutan bahwa dia akan jatuh lagi dan dia tidak mau hal itu terulang. Atau dengan kata lain dia selalu melihat dirinya miskin meskipun dia sudah kaya, jadi karena dia menganggap dirinya miskin maka orang harus hidup dengan standart kemiskinan itu. Ini menjadi sulit karena ada pasangan dan anak-anak hidupnya menjadi merana sekali dengan dia.
GS : Alasan yang sering kali dikemukakan ialah kita hidup pada zaman ini harus hidup hemat, tapi ini sudah melangkah kepada kekikiran bukan lagi hemat?

PG : Betul, jadi dia benar-benar anti senang, tidak boleh melihat senang karena bagi dia hidup itu susah. Tapi kalau kita katakan kepadanya seperti itu maka mungkin sekali dia akan menyangkal. ebab pada dasar hatinya, hidup itu tidak boleh bersenang-senang, hidup itu harus susah payah.

Jadi penekanannya, hidup itu harus bekerja, harus mengencangkan ikat pinggang sehingga lama kelamaan orang yang ada di rumah tidak tahan.
GS : Dalam hal ini, apa yang pasangan bisa lakukan untuk menolong segenap keluarga ini?

PG : Mungkin pasangannya bisa berkata, "Saya mau mengerti maksud baik kamu, kamu ingin melindungi kami dari kemiskinan, dari kejatuhan tapi bukankah ada baiknya juga kalau sekali-sekali kamu jawalkan kita bisa makan di restoran," misalnya dia berkata "Dua kali dalam satu bulan" dan kita mencoba mengikuti kemauannya dulu.

Jadi minta kesediaan dia untuk menetapkan jadwal, mungkin sekali pada awalnya dia tidak suka makan di restoran, mukanya panjang, cemberut, tapi tetap ikuti saja lama kelamaan tambah lagi dengan aktifitas yang lain. Jadi benar-benar harus sedikit demi sedikit, kalau dipaksa dia akan berontak dan pasti menolak.
GS : Selain membuatkan jadwal, apakah anggaran juga bisa menolong? Jadi sejak awal suami istri sudah bicara tentang pembagian anggaran. Selama itu masih didalam anggaran, mungkin dia akan merasa aman.

PG : Betul, jadi dianggarkan itu akan sangat menolong sekali, Pak Gunawan. Dan misalkan uang yang dianggarkan itu dipegang oleh pasangannya dan bukan oleh dia sebab orang yang seperti dia, begiu uang dipegang maka tidak bisa lagi keluar.

Jadi sebaiknya yang dianggarkan itu, mintalah untuk pasangannya yang memegang dan bukan dia sendiri.
GS : Tapi orang-orang tipe ini lebih senang memegang uangnya daripada diserahkan kepada pasangannya. Ada kekhawatiran tertentu nanti dibelanjakan untuk hal yang lain dan dia tidak bisa kontrol.

PG : Betul, dan ini penting sekali pasangan berkonsultasi untuk membeli sesuatu sebab dia penuh dengan kecurigaan. Kalau pasangannya tiba-tiba membelanjakan sesuatu yang dia tidak tahu maka diaakan marah meskipun pasangan memberitahukan bahwa ini penting, tapi dia akan tetap marah.

GS : Yang seringkali dikhawatirkan memang hal-hal yang terjadi diluar perhitungannya. Walaupun sudah dianggarkan dia selalu bilang "Jangan dulu, nanti kalau ada apa-apa," misalnya anaknya sakit atau orangtuanya mendadak membutuhkan uang maka dia tidak bisa membantu, jadi sebetulnya kekhawatiran yang berlebihan.

PG : Betul, jadi orang seperti dia memang senantiasa berikhtiar untuk menyediakan ban serep tapi tidak pernah habis ban serep itu.

GS : Akhirnya yang terkumpul hanya ban serep saja, padahal yang dipakai hanya itu-itu saja. Pak Paul, apakah gaya hidup bermasalah seperti ini sepertinya bisa dirubah dalam seseorang?

PG : Sudah tentu bisa, memang memerlukan waktu yang sangar panjang, perlu kesensitifan, kelembutan, kesabaran.

GS : Tapi yang penting dari pribadi yang bersangkutan harus mau berubah?

PG : Betul, kalau dia tetap beranggapan dia benar dan tidak perlu berubah itu susah. Jadi pasangannya harus berkata "Ayo kita kerjasama, saya tidak bisa terus-menerus hidup seperti ini, tolong amu mengalah sedikit."

Tapi kita berbicara dengan lembut.
GS : Memang tidak bisa dipaksakan, kalau kita paksakan malah mengurung diri dan susah mengeluarkannya. Dalam perbincangan ini, apakah ada Firman Tuhan yang melandasinya.

PG : Saya akan bacakan kitab Pengkhotbah 2:22-25 "Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seuruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram.

Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" Jadi ada 2 hal yang penting, Tuhan menghendaki kita berjerih payah tapi yang kedua Tuhan menghendaki kita juga menikmati jerih payah kita dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih payah itu, kita tidak bisa menikmati jerih payah di luar Tuhan. Jadi prinsip yang penting untuk memiliki gaya hidup yang sehat, kita memang harus berjerih payah, mengeluarkan tenaga dan usaha tapi tetaplah belajar untuk menikmati apa yang telah kita upayakan itu.
GS : Memang ini sangat penting diperhatikan, justru sebelum pernikahan itu di langsungkan Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tangga ke Rumah" dengan sub judul "Gaya Hidup Bermasalah" ini merupakan bagian yang pertama dari judul Tangga ke Rumah dan kami berharap Anda sekalian dapat mengikuti perbincangan lanjutan dari acara ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



51. Tangga Ke Rumah 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T222B (File MP3 T222B)


Abstrak:

Lanjutan dari T222A


Ringkasan:

Jika kita memperhatikan pasangan nikah di sekitar kita, tidak bisa tidak kita harus mengakui begitu sedikit pasangan yang sungguh-sungguh menikmati pernikahannya. Bahkan cukup banyak yang sebenarnya tidak lagi hidup dalam pernikahan meski masih mempertahankan status nikah. Pertanyaan yang timbul adalah, mengapakah demikian?

Pada akhirnya saya menyimpulkan kendati ada banyak faktor yang dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan, namun sering kali penyebab pertama dan mungkin terbesar adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Bukankah pribadi yang bermasalah bermuara pada gaya hidup bermasalah, cara berkomunikasi bermasalah, dan mekanisme memenuhi kebutuhan bermasalah? Dan bukankah gaya hidup, cara berkomunikasi, dan mekanisme untuk memenuhi kebutuhan semuanya berkaitan langsung dengan pernikahan itu sendiri?

A. Gaya Hidup Bermasalah

Ada beberapa gaya hidup bermasalah yang kerap dibawa masuk ke dalam pernikahan. Pertama adalah gaya hidup tidak mau menanam dan tidak mau menuai. Ini adalah gaya hidup tidak bertanggung jawab. Pada umumnya gaya hidup tidak bertanggung jawab mengharuskan pasangan untuk menjadi penanggung jawab hidupnya. Pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya dan tidak boleh mengecewakannya. Pasangan seyogianya memahani keinginannya tanpa ia harus menyuarakannya. Pasangan senantiasa harus memperhatikan gejolak di dalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Gaya hidup tidak bertanggung jawab sesungguhnya menempatkan diri pada posisi tidak pernah salah.

Kedua adalah gaya hidup menuai tanpa harus menanam. Masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah, berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersusah payah menanam. Atau, ada orang yang senantiasa membandingkan diri dengan saudara atau orangtuanya dan merasa bahwa ia kurang. Namun untuk mengisi kekurangannya bukannya ia menempuh jalan panjang, ia malah mencari jalan pintas. Misalnya ia ingin cepat kaya dengan cara semudah mungkin. Gaya hidup seperti ini acap kali diikuti dengan gaya hidup penuh spekulasi yang berakhir dengan kehilangan besar. Masalahnya adalah, ia tidak bersedia melihat realitas; sesungguhnya ia hidup dalam khayalannya.

Ketiga adalah gaya hidup terus menanam dan tidak menuai. Gaya hidup ini membuat dirinya-dan orang lain-sengsara sebab orang ini tidak dapat menikmati hidup dan melarang orang menikmati hidup pula. Orang ini mungkin sekali bergelimang dengan kelimpahan namun ia senantiasa melihat dirinya kurang. Ia selalu berusaha irit dan memandang kenikmatan sebagai musuh yang harus dilawan. Ia penuh ketakutan dan menciptakan banyak larangan guna menghindar dari ketakutannya.

Firman Tuhan

Salah satu tema utama Kitab Pengkhotbah hidup dalam keseimbangan. Misalnya Pengkhotbah 2:22-25 "Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" mengajarkan kepada kita bahwa tidak benar bagi kita untuk terus bekerja (menanam) tanpa menuai. Selanjutnya Pengkhotbah 2:24-26 menekankan bahwa Tuhanlah yang mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menikmati buah kerja kita. Jadi, Tuhanlah yang memberi kita kesempatan untuk bekerja dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih lelah kita. B. Cara Komunikasi Bermasalah

Pribadi bermasalah kerap membawa cara berkomunikasi bermasalah ke dalam pernikahan. Ada beberapa yang sering menjadi duri dalam pernikahan dan yang pertama adalah cara berkomunikasi yang saya panggil, meliuk. Cara berkomunikasi ini tidak langsung dan samar; apa yang dikatakan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan. Hari ini berkata, tidak, besok berkata, ya, namun apa yang sesungguhnya ada di hati tidak pernah tercetus keluar.

Tidak bisa tidak, gaya berkomunikasi seperti ini membingungkan dan berakhir dengan frustrasi. Kita tidak tahu bagaimana harus bereaksi sebab kita tidak tahu isi hatinya dan harus mereka-reka maksudnya. Kalaupun terpojok, ia sulit mengakui keinginan atau pendapatnya; malah ia sering melemparkan masalah kembali kepada kita seolah-olah kitalah yang salah mengertinya.

Cara berkomunikasi bermasalah lainnya adalah menukik. Saya sebut menukik sebab arah pembicaraan seakan-akan selalu memojokkan dan merendahkan lawan bicara. Apa pun yang dikatakannya, pada akhirnya kita akan merasa dilecehkan atau disalahkan. Ia selalu benar dan tahu, sedangkan kita tidak pernah benar dan selalu tidak tahu apa-apa. Gaya bicara menukik sukar membuka kesempatan terjadinya dialog sebab gaya bicara ini cenderung searah dan bermuatan instruksi.

Cara berkomunikasi lain yang juga sering menimbulkan masalah adalah cara berkomunikasi memercik-sudah tentu yang saya maksud adalah percikan api emosi. Ada orang yang penuh ketegangan sehingga mudah sekali meledak namun ada pula orang yang sebenarnya tidak penuh ketegangan namun sangat tidak sabar dengan ketidaksempurnaan sehingga mudah marah. Orang ini biasanya menuntut kita untuk berbicara dengannya dengan cara yang pas dengan suasana hatinya sebab ia sendiri pun dikuasai oleh suasana hati.

Firman Tuhan

Semua gaya komunikasi bermasalah berhulu pada putusnya tali komunikasi dan jika tali komunikasi sudah terputus, tali relasi pun akan putus. Efesus 4:25 mengajarkan kita untuk berkata benar kepada satu sama lain. Amsal 18:21, "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." mengingatkan kita akan pengaruh atau kuasa lidah yang dapat menghancurkan atau memberi hidup kepada sesama. Relasi nikah bergantung pada komunikasi dan komunikasi bergantung pada lidah-dan lidah orang benar membangun pernikahan.

"Tangga ke Rumah"
oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

C. Mekanisme Memenuhi Kebutuhan

Masing-masing kita membawa kebutuhan masuk ke dalam pernikahan. Tidak ada yang salah dengan kebutuhan untuk dikasihi dan dihargai; masalah timbul tatkala kita menggunakan cara yang salah untuk mendapat pemenuhan kebutuhan itu. Salah satu mekanisme yang salah adalah melimpahkan masalah pada pundak pasangan padahal kitalah yang mempunyai kebutuhan itu. Kita menolak mengakui bahwa sebenarnya kitalah yang mempunyai kebutuhan itu; sebaliknya, kita menuduh pasangan seakan-akan dialah yang tidak mampu menyediakan kebutuhan itu. Tema utama yang kerap kita lontarkan adalah bahwa dia "tidak cukup baik" dalam memenuhi kebutuhan kita. Sudah tentu pasangan menjadi frustrasi dan lama kelamaan kehabisan tenaga memenuhi kebutuhan kita.

Mekanisme kedua yang bermasalah adalah senantiasa memunculkan masalah. Ada orang yang terus menerus memunculkan masalah; setiap hal menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Masalah mungkin berkaitan dengan kita mungkin juga tidak, namun pada intinya ia tidak pernah dapat berbahagia dengan hidupnya. Orang yang selalu memunculkan masalah dan melihat hidup dari kacamata masalah sesungguhnya mengalami kehampaan dan tidak mempunyai makna hidup. Ia ingin memenuhi kebutuhan akan makna hidup namun ia tidak tahu bagaimana; alhasil ia selalu merasa tidak puas dan kerap menggerutu.

Mekanisme ketiga yang salah adalah meniadakan masalah. Pernikahan dimaksudkan menjadi ajang penyatuan dan tolong menolong; di dalam proses inilah keintiman dibangun dan berkembang. Namun ada di antara kita yang tidak nyaman dengan kebutuhannya dan tidak bersedia melibatkan pasangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kita beranggapan bahwa kita sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan itu karena memang ini adalah kebutuhan kita. Namun ada pula orang yang tidak bersedia membagi kebutuhannya karena gengsi atau takut ditolak. Daripada dihina atau ditolak, lebih baik tidak membagi kebutuhan sama sekali.

Firman Tuhan

Apa pun itu yang kita lakukan, yang pasti adalah, cara yang keliru dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Amsal 22:9, "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin," mengajarkan kita bahwa orang yang murah hati akan diberkati. Murah hati berawal dari hati yang memberi dan dalam pernikahan, hati yang memberi akan menerima kembali dengan berkelimpahan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Tangga Ke Rumah". Kami akan memasuki bagian yang kedua tentang "Cara Komunikasi Bermasalah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan bagian yang pertama. Supaya para pendengar dapat mengikuti perbincangan ini secara utuh, apakah Pak Paul bisa mengulas sekilas tentang apa yang telah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu?

PG : Pembahasan kita kali ini bersumber dari pengamatan. Pengamatan terhadap kondisi pernikahan, kenapa begitu banyak pernikahan yang bermasalah dan tidak sedikit yang akhirnya mengalami percerian.

Memang kita bisa membahas tentang faktor-faktor penyesuaian diri yang akhirnya pasangan nikah ini tidak bisa hidup rukun. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, akhirnya saya dapat simpulkan mengapa begitu banyak pernikahan bermasalah adalah karena pribadi yang menikah itu sudah membawa masalah. Sebab asumsinya adalah kalau pribadi itu matang otomatis itu akan jauh lebih mudah terlibat dalam proses penyesuaian diri dengan pasangannya. Bukankah kalau kita bekerja sekantor dengan orang yang berkepribadian matang maka akan enak sekali, kalau pun ada masalah kita dapat selesaikan dengan kematangannya. Saya kira inilah duduk masalah, begitu banyak orang yang mengalami masalah dalam kehidupannya dan menjadi orang-orang yang tidak hidup dengan efektif. Waktu memasuki pernikahan, masalah ini dibawa masuk sehingga akhirnya mempengaruhi relasi nikah itu. Jadi kalau kita mau menciptakan pernikahan yang lebih kuat maka kembali pada pribadi itu. Seyogianya pribadi itu membereskan dirinya sebelum dia menikah dan ini yang saya maksud dengan tangga ke rumah sebab tangga berarti kita itu menaiki tangga agar bisa masuk ke dalam rumah yaitu ke dalam pernikahan, tangga itu adalah pribadi kita sendiri.
GS : Didalam hal itu Pak Paul juga sudah menyampaikan tentang gaya hidup yang bermasalah, mungkin Pak Paul bisa mengulang sejenak?

PG : Kita bahas pada kesempatan yang lampau bahwa salah satu masalah yang dibawa kedalam pernikahan adalah gaya hidup yang bermasalah. Misalkan gaya hidup yang tidak menanam dan tidak menuai arinya orang yang hidup sendirian tidak mau berelasi sehingga pasangannya yang seolah-olah harus memiliki beban pernikahan.

Ada juga orang yang mempunyai gaya hidup menanam sedikit tapi menuainya mau cepat. 0rang-orang mau cepat kaya, dan semuanya ingin gampang dan gaya hidup ini cenderung menimbulkan masalah dalam pernikahan. Dan yang terakhir gaya hidup yang mananam terus-menerus tidak bisa menuai artinya mempunyai filosofi kehidupan bahwa orang itu harus bekerja keras, sengsara dalam hidup tidak boleh senang sehingga dia menuntut pasangan, anak-anak dan semua harus bekerja keras. Jadi benar-benar menyengsarakan satu rumah. Gaya hidup inilah kalau kita bawa kedalam pernikahan, akan menimbulkan masalah dalam pernikahan.
GS : Sekalipun banyak orang yang mengalami hal itu, sebenarnya kalau dia mau berubah maka akan membawa perubahan didalam kehidupan rumah tangganya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi kuncinya adalah kesediaan dia untuk melihat kekurangannya dan mengakui bahwa ini adalah masalah saya dan saya harus berbagi. Selama dia tidak mengakui ini masalahnya danmenuntut pasangannya saja yang harus berubah maka tidak akan ada titik temu.

GS : Dan kita sampai pada pokok pembicaraan kali ini tentang masalah lain yang timbul karena cara komunikasi yang bermasalah, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Jadi asumsinya adalah ada orang-orang yang sebelum menikah sudah memiliki masalah dalam berkomunikasi, saya akan uraikan tiga hal. Yang pertama adalah orang yang cenderung berkomunikasi meiuk-liuk seperti ular yang meliuk-liuk.

Ini adalah orang tidak bisa berbicara "to the point" atau langsung, jadi selalu berputar kiri dan kanan dan mengharapkan orang mengerti tanpa dia harus mengatakannya, dan pada waktu orang tidak mengerti dia frustrasi, akhirnya dia kecewa dengan cara mungkin dia menutup diri atau marah. Gaya bicara yang meliuk-liuk ini seringkali membingungkan orang, membingungkan pasangan sehingga lama kelamaan si pasangan akan berkata "Saya capek, saya tidak mau lagi terus menerus mereka-reka atau menebak-nebak apa yang kamu maksudkan?" pasangannya meminta supaya bicara yang jelas tapi tetap saja bicaranya berputar-putar. Jika ditanya setuju atau tidak setuju, tetap saja berputar-putar atau kalau dia sudah bilang setuju, kemudian dia bilang lagi tapi saja juga ada tidak setujunya. Orang yang bicaranya meliuk-liuk itu menimbulkan masalah dengan pasangannya maupun nanti dengan anak-anaknya, karena anak-anak pun tidak mengerti maksud dari orangtua.
GS : Biasanya faktor apa sehingga seseorang bisa seperti itu?

PG : Misalnya itu adalah gaya orangtuanya dulu, sehingga dia mengadopsi gaya bicara orangtuanya yang seperti itu. Kedua yang juga umum adalah orangtuanya terlalu keras kepada dia sehingga kalaudia mengatakan hal yang salah maka habislah dia.

Oleh karena itu dia mengembangkan gaya bicara yang meliuk-liuk supaya tidak bisa ditangkap atau dipegang dan dia akan selalu selamat. Jadi umumnya apa motivasinya sehingga dia bicara meliuk-liuk, itu karena ingin selamat sehingga orang tidak bisa benar-benar mengatakan kamu salah atau kamu benar, itu tidak bisa karena dia selalu punya cadangan pembelaan dirinya.
GS : Orang-orang seperti ini rupanya tidak berani atau kurang berani mengambil resiko, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, itu memang yang membuat dia akhirnya tidak mau mengeluarkan pendapatnya sendiri karena dia takut nanti ada resikonya. Tapi ada juga yang meliuk-liuk karena dia tau bahwa nanti dia harus bayar harga, karena kalau dia sudah mengatakan maka dia harus konsisten.

Jadi dia mengambil mudahnya biarkan orang lain yang mengerjakan dan tanpa melakukan sesuatu maka semuanya bisa terjadi. Orang-orang yang seperti ini nantinya susah mendapatkan respek dari pasangannya, kalau orang itu sudah kehilangan respek, pernikahan itu sudah dapat dipastikan bermasalah.
GS : Kalau dia sebagai kepala keluarga maka itu akan memberikan dampak yang lebih buruk dibanding kalau dia kerja. Tapi jika di dalam rumah tangga istrinya yang terus mengambil keputusan maka istrinyalah yang akan menanggung resiko.

PG : Betul, istrinya akan resiko dan lama kelamaan istri tidak lagi menghormati suami karena istri akan berkata "Kamu ini mau mudahnya saja, kalau ditanya bilangnya begini, tapi kalau sampai ad yang tidak beres kamu buru-buru cuci tangan dan berkata saya tidak bicara begitu."

Jadi benar-benar ucapannya tidak bisa dipegang atau diandalkan, itu akan merapuhkan fondasi pernikahan.
GS : Sebagai pasangan apakah yang dapat dilakukan untuk menolong partnernya?

PG : Sudah tentu yang jangan dilakukan oleh pasangannya adalah mengkonfrontasi sebab kalau dia takut maka akan semakin meliuk, jadi harus diciptakan suasana aman. Dengan cara diyakinkan bahwa ii keputusan bersama dan pasangannya pun memiliki pandangan yang serupa, jadi kita hadapi bersama.

Perlahan-lahan semakin hari semakin tahu bahwa dia tidak sendirian dan itu dapat menguatkan dia. Kedua ialah tidak cepat disalahkan, kalau pasangannya cepat marah dan cepat menyalahkan maka dia akan semakin meliuk. Jadi pasangan juga harus meyakinkan bahwa kalau pun salah saya tidak akan marah dan tidak akan menyalahkan kamu sebab ini adalah keputusan kita berdua. Jadi perlahan-lahan dia tahu kalau pun dia salah, dia tidak dimarahi sehingga dia semakin tenang sebab kemungkinan dia dibesarkan di rumah dengan latar belakang kalau dia berbuat salah maka habislah dia. Dan sekarang pasangannya bersikap berbeda, tidak lagi mencerca dia atau memarahi dia kalau dia keliru. Perlahan-lahan dalam kondisi aman seperti ini dia akan lebih terbuka dan dia akan lebih berani untuk berbicara.
GS : Apakah orang yang seperti ini memang mengalami krisis percaya diri?

PG : Seringkali, dasarnya adalah takut dengan pertimbangannya, dengan pemikirannya. Dia takut salah, dia selalu meragukan dirinya, jadi dia mengambil jalan yang paling aman yaitu samar jangan smpai posisinya terlalu jelas.

GS : Aman buat dia tetapi tidak aman buat orang lain?

PG : Betul, jadi lama-lama orang menjadi frustrasi. Kalau dia sendiri menyadari ini, seyogianya dia bicara bahwa "saya takut untuk berterus terang, karena saya takut nanti terjadi apa-apa," danpasangannya setelah mendengar pengakuan seperti itu juga jangan melecehkannya, justru mengangkatnya dan mengatakan ini adalah keputusan bersama, bukan hanya kamu saja tapi saya juga setuju dengan kamu.

Jadi kalau terjadi sesuatu, nanti kita tanggung bersama-sama. Dengan keyakinan seperti ini mudah-mudahan dia bisa lepas.
GS : Selain gaya komunikasi yang bermasalah yaitu meliuk ini tadi, apakah ada bentuk komunikasi yang lain yang juga menimbulkan masalah?

PG : Yaitu gaya komuniksi menukik, menukik berarti turun menyerang yang di bawah. Ada orang yang bicara itu membuat orang lain kesal, jengkel sebab selalu merendahkan orang selalu mengatakan kau tidak benar, saya yang benar, kamu tidak bisa sebaik saya, saya lebih baik dari pada kamu, kamu pokoknya harus dengarkan saya karena saya yang lebih tahu.

Tema-tema itu maksudnya sama dengan gaya hidup menukik, akhirnya kalau gaya bicara ini yang kita bawa ke dalam pernikahan maka sudah pasti lama-kelamaan pasangannya tidak mau bicara, karena setiap kali dia bicara dengan kita, dia akan terluka direndahkan lagi, dilecehkan lagi dan memang ada orang-orang seperti itu. Seolah-olah dia baru senang kalau dia bisa merendahkan orang dan menunjukkan kalau dirinya itu yang paling hebat.
GS : Gaya bicara ini sepertinya berlawanan dengan gaya bicara yang awal tadi?

PG : Betul Pak Gunawan. Gaya hidup ini bisa muncul dari 2 kemungkinan. Kemungkinan yang pertama adalah dia terlalu dipuja-puja di rumah, semua mendengarkan dia saat dia bicara karena dia yang pling cerdas sehingga kalau anak-anak yang lain bicara orang tuanya tidak mendengarkan sebab sejak dia kecil orang tuanya selalu memuja dia, dari semua anak dia yang paling cerdas, dibanggakan, sekolahnya juga bagus akhirnya anak ini kecil-kecil sudah jadi raja dan harus selalu diutamakan sebab pendapatnya yang paling benar.

Dan saat dia menikah itulah yang dia bawa, dia selalu benar, orang lain tidak tahu, orang lain selalu salah. Akhirnya orang seperti dia tidak sabar dengan kelemahan orang lain, yang tidak sama dengan dia dan menurut dia saat orang berbagi pendapat dengan dia berarti orang itu salah, dia tidak membuka kemungkinan bahwa dia yang keliru padahal bisa saja yang keliru adalah dia.
GS : Bagaimana kalau dia mengemukakan sesuatu dan ternyata apa yang disampaikan itu salah. Apakah orang seperti ini dengan gampang lalu mengatakan minta maaf?

PG : Biasanya tidak karena dia sudah yakin kalau dia benar, waktu salah biasanya dia akan salahkan faktor-faktor lain, kenapa bisa keliru dan bukan dirinya yang keliru dan dia berkata "Kalau seua seperti yang saya katakan maka hasilnya akan terjadi seperti yang telah saya katakan."

Tapi bisa juga orang seperti ini berasal dari keluarga yang kebalikan dari yang tadi saya sebut. Bukannya dipuja-puja tetapi justru sering dilecehkan, ada orang-orang yang masih kecilnya itu terlalu sering dilecehkan dan waktu dia sudah besar dan ingin membuktikan dirinya bahwa dia itu bisa, sehingga dia tidak menerima koreksi dari orang lain dan dia menuntut untuk orang lain mendengarkan dia. Jadi sumbernya bisa dari kebalikannya juga. Yang kedua ialah orang ini justru tidak mempunyai kepercayaan diri tapi dia membabi buta ingin menunjukkan dia tahu dan dia bisa sehingga yang dia lakukan adalah menukik, bicaranya selalu merendahkan orang dan menyalahkan orang bahwa mereka semua salah dan dia yang benar.
GS : Mungkin itu untuk menutupi kekurangannya?

PG : Betul, jadi harusnya dia mengakuinya. Tetapi pasangannya tidak bisa diskusi dengan dia karena benar-benar 'mati kutu' atau tidak bisa bergerak sebab bicara apa pun dengan dia maka akan balk lagi ke kita dan membuat kita tidak semangat berbicara dengan dia kalau akhirnya akan dilecehkan.

GS : Ini bisa terjadi baik pada suami maupun istri?

PG : Betul, ini bisa juga dilakukan oleh istri kepada suami.

GS : Dan sebagai pasangan bagaimana harus bersikap?

PG : Pertama kita bisa beritahukan kepadanya bahwa "Saya mengerti maksudmu, waktu kamu berkata, sebetulnya kamu mau mengatakan kamu percaya kamu benar. Maksudmu sebenarnya bukan ingin menjatuhkn saya dan bisa tidak mengatakan bagian kamu saja tanpa kamu harus menyebut-nyebut saya."

Dan lain kali waktu dia mulai bicara dan mulai menukik maka pasangan seolah-olah menghentikan dia dan berkata "Nah, ini yang kamu lakukan baru saja kamu bicara, tapi langsung kamu menyerang saya, merendahkan saya, saya tidak tahu apa-apa, bisa tidak kamu tidak mengucapkan yang itu, kamu katakan yang kamu ingin katakan tentang pendapat kamu itu." Terus-menerus kita ingatkan hal itu, kalau dia sadar ini masalah dia dan dia harus berubah, dengan pertolongan pasangan yang mengingatkan dia maka seharusnya dia akan berubah.
GS : Biasanya kalau orang diingatkan seperti itu, rasanya belum lengkap pembicaraan saya kalau saya belum menukik dan itu yang menjadi masalah?

PG : Betul, memang sudah menjadi kebiasaan dan rasanya belum lengkap kalau dia tidak tambahkan kata-kata merendahkan.

GS : Pak Paul, apakah ada pola komunikasi yang lain yang bisa menimbulkan masalah?

PG : Ini yang saya sebut memercik artinya memercikkan api emosi. Jadi ada orang-orang tertentu kalau bicara tidak bisa lama sebab kalau dia bicara sedikit lama maka emosinya langsung meninggi, uhunya langsung memanas.

Orang seperti dia memang benar-benar dikuasai emosi, kalau bicara dengan dia menjadi ribut karena dia akan beremosi. Jadi susah bicara dengan dia, jika ada diskusi wajahnya mulai menegang matanya mulai membelalak, suaranya mulai meninggi, dia tidak bisa santai. Ini gaya bicara yang bisa memancing dua reaksi. Reaksi pertama membuat pasangannya malas bicara dengan dia. Dan reaksi yang kedua adalah membuat pasangannya seperti dia, menjadi sama-sama marah, sama-sama berkelahi sebab pasangannya tidak terima "Kenapa kamu bicara dengan saya harus seperti itu, harus suara keras, harus marah-marah." Jadi akhirnya si pasangan belajar untuk berbuat hal yang sama. Kalau keduanya sudah saling berbicara maka seolah-olah menunjukkan sisi marahnya dulu, mau menakut-nakuti satu sama lain. Tapi untuk reaksi yang pertama membuat pasangannya tidak mau bicara sebab baru bicara sebentar inginnya selalu marah. Memang ada orang-orang tertentu waktu berbicara selalu maunya marah.
GS : Biasanya orang-orang demikian ini kehidupan sehari-harinya memang tegang, Pak Paul? Dia seorang pimpinan di kantor dan di rumah banyak masalah sehingga ada sesuatu yang memicu dia untuk bicara secara emosional?

PG : Betul, kalau dia dibesarkan di rumah dan orang tuanya sering bertengkar, maka suasana di rumah itu menjadi panas dan mungkin sekali akhirnya menjadi terpengaruh. Jadi kalau mau bicara bawannya marah sebab dia sudah menyimpan api kemarahan itu, tapi ada juga yang tidak berawal dari masa lalu yang seperti itu tapi kehidupan yang sekarang terlalu tegang.

Kemungkinan yang ketiga adalah orang yang dari dulu baik-baik saja tapi belakangan mengalami banyak masalah, masalah yang datang bertubi-tubi. Dan orang seperti ini mudah tegang sehingga mudah marah saat berbicara sedikit inginnya marah, karena benar-benar tidak ada lagi kesabaran untuk bisa menahan atau menoleransi perbedaan.
GS : Karena itu seringkali ada pasangan yang merasa kecewa terhadap pasangannya karena dulu waktu pacaran tidak seperti itu. Waktu pacaran dia lemah-lembut dsb, tapi setelah menikah kelihatan bahwa dia tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan seringkali marah-marah.

PG : Ada orang yang setelah marah-marah menyesal kemudian meminta maaf, hal itu lebih baik meskipun lama-kelaman pasangannya akan berkata "Percuma minta maaf, tidak lama kamu akan mengulang lag," sehingga minta maafnya tidak terlalu efektif.

Tapi ada juga yang tidak mau minta maaf, justru pasangannya yang harus minta maaf karena pasangannya yang sudah membuat saya marah. Sekali lagi hal-hal seperti ini akan sangat merusak jalinan relasi, membuat pasangan akhirnya dingin sehingga tidak ada lagi cinta. Kalau ini terus terjadi yang akan terpengaruh adalah relasi intim hubungan suami-istri hubungan seksual. Pasangan tidak mungkin mau berhubungan sebab dia adalah orang yang selalu menyakiti hatinya, dan bagaimana mungkin melayani dia secara seksual. Jadi akhirnya keintiman terkikis habis, pembicaraan juga semakin sedikit sebab dari pada ribut lebih baik tidak perlu bicara lagi. Dan yang terjadi pada anak ialah anak pun belajar untuk diam sebab mereka tahu kalau nanti bicara orangtuanya marah-marah.
GS : Menghadapi masalah seperti itu, bagaimana peran pasangan untuk membantu menurunkan marah, dan sebagainya?

PG : Pertama dia harus mengingatkan pasangan yang suka marah itu, bahwa kamu itu sebetulnya mengharapkan orang berbicara dengan kamu dengan cara yang paling cocok untuk kamu. Karena sedikit kurng cocok kamu sudah tidak suka dan itu merupakan tuntutan yang susah untuk dipenuhi.

Jadi kita harus katakan apa adanya kepada dia kalau suasana hati kamu tidak enak, maka semuanya sudah pasti tidak enak, tapi masalahnya adalah orang tidak selalu tahu suasana hati dan apa penyebabnya. Jadi pasangan bisa berkata "Sebelum kamu marah, kalau suasana hati kamu sudah tidak enak, bisa tidak kamu bilang saya lagi tidak enak jangan bicara dulu. Jadi tolong beritahukan sehingga saya tidak salah bicara, sebab saya tidak tahu kalau kamu sedang tidak enak." Jadi lain kali bicara langsung, "jangan bicara dulu sebab kamu sedang tidak enak, sampai kamu sudah tenang, reda maka barulah saya bicara." Jadi kita bisa mengajarnya untuk yang pertama mengenali perasaan dia sendiri, kalau suhunya sudah meninggi dia bertanggung jawab untuk memberitahu kita. Yang kedua minta kita untuk memberitahukan cara apa yang kamu inginkan sehingga saya tahu bagaimana kalau bicara begini kamu bisa terima dan kalau bicara begitu kamu tidak terima, jadi diberitahu terlebih dahulu. Kita mau mengajaknya bekerjasama sehingga dia bisa bertanggung jawab, sehingga tidak menjadi tanggung jawab orang lain, karena dia merasa oranglah yang tidak mau mengerti dia sehingga dia punya alasan untuk marah.
GS : Biasanya orang seperti itu tidak menyadari kapan suasana hatinya tidak enak? Atau bisa juga dia tidak mau mengakui bahwa suasana hatinya sedang tidak enak. Pemicunya ini belum tentu dari orang serumah, kemungkinan ada tamu yang datang ke sana lalu mengeluarkan hal-hal atau kata-kata yang menyakitkan dia sehingga membuatnya tidak senang dan orang serumahlah yang terkena amarahnya.

PG : Kita harus memintanya tetap ambil bagian, meskipun kadang-kadang dia menyangkal "Saya tidak tahu," dan dari pihak kita sebisanya menjanjikan "Kalau saya melihat suasana hati kamu sedang paas maka saya akan diam.

Tolong waktu saya diam kamu mengerti kenapa saya diam karena saya tidak mau memperpanjang masalah." Jadi minta dia bekerjasama dengan kita, masing-masing saling mengawasi. Jadi selalu tekankan "Mari kita bicara sewaktu suhu sudah reda," waktu suhu sudah reda barulah kita bicara jangan teruskan kalau misalnya suasana sudah panas.
GS : Apakah ada ayat-ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 18: 21 firman Tuhan berkata "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." Ini perkataan yang sangat indah, Pak Gunawan. Hidup da mati dikuasai lidah, tadi kita bicara cara berkomunikasi bukankah itu masalah lidah.

Dan betul sekali cara berkomunikasi lidah yang bermasalah itu akan mematikan. Tapi orang yang bisa menggunakan lidah dengan tepat dan baik justru akan menciptakan kehidupan didalam pernikahannya maka jangan sampai kita salah menggunakannya. Jangan sampai kita memakan buah yang justru meracuni kita sendiri.

GS : Terima kasih untuk peringatan yang begitu jelas dari Firman Tuhan yang Pak Paul sampaikan kepada kami dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tangga ke Rumah" bagian yang kedua yaitu tentang "Cara Komunikasi Bermasalah" Dan perbincangan ini masih kami akan lanjutkan pada perbincangan yang akan datang. Jadi kami sangat mengharapkan anda sekalian bisa mengikutinya pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



52. Tangga Ke Rumah 3


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T223A (File MP3 T223A)


Abstrak:

Bagian ini membahas mengenai Mekanisme Memenuhi Kebutuhan. Mekanisme Memenuhi Kebutuhan di bagi menjadi 3 bagian yaitu melimpahkan masalah, memunculkan masalah dan meniadakan masalah.


Ringkasan:

Jika kita memperhatikan pasangan nikah di sekitar kita, tidak bisa tidak kita harus mengakui begitu sedikit pasangan yang sungguh-sungguh menikmati pernikahannya. Bahkan cukup banyak yang sebenarnya tidak lagi hidup dalam pernikahan meski masih mempertahankan status nikah. Pertanyaan yang timbul adalah, mengapakah demikian?

Pada akhirnya saya menyimpulkan kendati ada banyak faktor yang dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan, namun sering kali penyebab pertama dan mungkin terbesar adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Bukankah pribadi yang bermasalah bermuara pada gaya hidup bermasalah, cara berkomunikasi bermasalah, dan mekanisme memenuhi kebutuhan bermasalah? Dan bukankah gaya hidup, cara berkomunikasi, dan mekanisme untuk memenuhi kebutuhan semuanya berkaitan langsung dengan pernikahan itu sendiri?

A. Gaya Hidup Bermasalah

Ada beberapa gaya hidup bermasalah yang kerap dibawa masuk ke dalam pernikahan. Pertama adalah gaya hidup tidak mau menanam dan tidak mau menuai. Ini adalah gaya hidup tidak bertanggung jawab. Pada umumnya gaya hidup tidak bertanggung jawab mengharuskan pasangan untuk menjadi penanggung jawab hidupnya. Pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya dan tidak boleh mengecewakannya. Pasangan seyogianya memahani keinginannya tanpa ia harus menyuarakannya. Pasangan senantiasa harus memperhatikan gejolak di dalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Gaya hidup tidak bertanggung jawab sesungguhnya menempatkan diri pada posisi tidak pernah salah.

Kedua adalah gaya hidup menuai tanpa harus menanam. Masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah, berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersusah payah menanam. Atau, ada orang yang senantiasa membandingkan diri dengan saudara atau orangtuanya dan merasa bahwa ia kurang. Namun untuk mengisi kekurangannya bukannya ia menempuh jalan panjang, ia malah mencari jalan pintas. Misalnya ia ingin cepat kaya dengan cara semudah mungkin. Gaya hidup seperti ini acap kali diikuti dengan gaya hidup penuh spekulasi yang berakhir dengan kehilangan besar. Masalahnya adalah, ia tidak bersedia melihat realitas; sesungguhnya ia hidup dalam khayalannya.

Ketiga adalah gaya hidup terus menanam dan tidak menuai. Gaya hidup ini membuat dirinya-dan orang lain-sengsara sebab orang ini tidak dapat menikmati hidup dan melarang orang menikmati hidup pula. Orang ini mungkin sekali bergelimang dengan kelimpahan namun ia senantiasa melihat dirinya kurang. Ia selalu berusaha irit dan memandang kenikmatan sebagai musuh yang harus dilawan. Ia penuh ketakutan dan menciptakan banyak larangan guna menghindar dari ketakutannya.

Firman Tuhan

Salah satu tema utama Kitab Pengkhotbah hidup dalam keseimbangan. Misalnya Pengkhotbah 2:22-25 "Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" mengajarkan kepada kita bahwa tidak benar bagi kita untuk terus bekerja (menanam) tanpa menuai. Selanjutnya Pengkhotbah 2:24-26 menekankan bahwa Tuhanlah yang mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menikmati buah kerja kita. Jadi, Tuhanlah yang memberi kita kesempatan untuk bekerja dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih lelah kita. B. Cara Komunikasi Bermasalah

Pribadi bermasalah kerap membawa cara berkomunikasi bermasalah ke dalam pernikahan. Ada beberapa yang sering menjadi duri dalam pernikahan dan yang pertama adalah cara berkomunikasi yang saya panggil, meliuk. Cara berkomunikasi ini tidak langsung dan samar; apa yang dikatakan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan. Hari ini berkata, tidak, besok berkata, ya, namun apa yang sesungguhnya ada di hati tidak pernah tercetus keluar.

Tidak bisa tidak, gaya berkomunikasi seperti ini membingungkan dan berakhir dengan frustrasi. Kita tidak tahu bagaimana harus bereaksi sebab kita tidak tahu isi hatinya dan harus mereka-reka maksudnya. Kalaupun terpojok, ia sulit mengakui keinginan atau pendapatnya; malah ia sering melemparkan masalah kembali kepada kita seolah-olah kitalah yang salah mengertinya.

Cara berkomunikasi bermasalah lainnya adalah menukik. Saya sebut menukik sebab arah pembicaraan seakan-akan selalu memojokkan dan merendahkan lawan bicara. Apa pun yang dikatakannya, pada akhirnya kita akan merasa dilecehkan atau disalahkan. Ia selalu benar dan tahu, sedangkan kita tidak pernah benar dan selalu tidak tahu apa-apa. Gaya bicara menukik sukar membuka kesempatan terjadinya dialog sebab gaya bicara ini cenderung searah dan bermuatan instruksi.

Cara berkomunikasi lain yang juga sering menimbulkan masalah adalah cara berkomunikasi memercik-sudah tentu yang saya maksud adalah percikan api emosi. Ada orang yang penuh ketegangan sehingga mudah sekali meledak namun ada pula orang yang sebenarnya tidak penuh ketegangan namun sangat tidak sabar dengan ketidaksempurnaan sehingga mudah marah. Orang ini biasanya menuntut kita untuk berbicara dengannya dengan cara yang pas dengan suasana hatinya sebab ia sendiri pun dikuasai oleh suasana hati.

Firman Tuhan

Semua gaya komunikasi bermasalah berhulu pada putusnya tali komunikasi dan jika tali komunikasi sudah terputus, tali relasi pun akan putus. Efesus 4:25 mengajarkan kita untuk berkata benar kepada satu sama lain. Amsal 18:21, "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." mengingatkan kita akan pengaruh atau kuasa lidah yang dapat menghancurkan atau memberi hidup kepada sesama. Relasi nikah bergantung pada komunikasi dan komunikasi bergantung pada lidah-dan lidah orang benar membangun pernikahan.

"Tangga ke Rumah"
oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

C. Mekanisme Memenuhi Kebutuhan

Masing-masing kita membawa kebutuhan masuk ke dalam pernikahan. Tidak ada yang salah dengan kebutuhan untuk dikasihi dan dihargai; masalah timbul tatkala kita menggunakan cara yang salah untuk mendapat pemenuhan kebutuhan itu. Salah satu mekanisme yang salah adalah melimpahkan masalah pada pundak pasangan padahal kitalah yang mempunyai kebutuhan itu. Kita menolak mengakui bahwa sebenarnya kitalah yang mempunyai kebutuhan itu; sebaliknya, kita menuduh pasangan seakan-akan dialah yang tidak mampu menyediakan kebutuhan itu. Tema utama yang kerap kita lontarkan adalah bahwa dia "tidak cukup baik" dalam memenuhi kebutuhan kita. Sudah tentu pasangan menjadi frustrasi dan lama kelamaan kehabisan tenaga memenuhi kebutuhan kita.

Mekanisme kedua yang bermasalah adalah senantiasa memunculkan masalah. Ada orang yang terus menerus memunculkan masalah; setiap hal menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Masalah mungkin berkaitan dengan kita mungkin juga tidak, namun pada intinya ia tidak pernah dapat berbahagia dengan hidupnya. Orang yang selalu memunculkan masalah dan melihat hidup dari kacamata masalah sesungguhnya mengalami kehampaan dan tidak mempunyai makna hidup. Ia ingin memenuhi kebutuhan akan makna hidup namun ia tidak tahu bagaimana; alhasil ia selalu merasa tidak puas dan kerap menggerutu.

Mekanisme ketiga yang salah adalah meniadakan masalah. Pernikahan dimaksudkan menjadi ajang penyatuan dan tolong menolong; di dalam proses inilah keintiman dibangun dan berkembang. Namun ada di antara kita yang tidak nyaman dengan kebutuhannya dan tidak bersedia melibatkan pasangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kita beranggapan bahwa kita sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan itu karena memang ini adalah kebutuhan kita. Namun ada pula orang yang tidak bersedia membagi kebutuhannya karena gengsi atau takut ditolak. Daripada dihina atau ditolak, lebih baik tidak membagi kebutuhan sama sekali.

Firman Tuhan

Apa pun itu yang kita lakukan, yang pasti adalah, cara yang keliru dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Amsal 22:9, "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin," mengajarkan kita bahwa orang yang murah hati akan diberkati. Murah hati berawal dari hati yang memberi dan dalam pernikahan, hati yang memberi akan menerima kembali dengan berkelimpahan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu tentang "Tangga Ke Rumah" dan kami akan memperbincangkan bagian yang ketiga yaitu tentang "Mekanisme Memenuhi Kebutuhan." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, semakin menarik saja kita berbicara tentang tangga ke rumah ini, sudah dua sesi kita lampaui dan kali ini kita memasuki sesi yang ketiga dan terakhir yaitu tentang mekanisme memenuhi kebutuhan. Mungkin ada para pendengar kita yang tidak sempat mengikuti perbincangan kita yang pertama dan yang kedua. Dan sebelum kita membicarakan tentang mekanisme memenuhi kebutuhan, mungkin Pak Paul bisa mengulas pembahasan yang pertama dan yang kedua, silakan Pak Paul.

PG : Latar belakang dari istilah rumah tangga masa dahulu ialah biasanya rumah itu berada diatas tanah sehingga kalau kita ingin memasuki rumah, kita harus menaiki tangga. Jadi tangga adalah seuatu yang menghubungkan kita untuk masuk kedalam rumah.

Saya sering mengamati pernikahan dan saya menyimpulkan banyak pernikahan bermasalah, saya lihat banyak orang menjalani kehidupan nikah tapi tidak sungguh-sungguh menikmati kehidupan nikah. Akhirnya saya menjadi bertanya mengapakah demikian? Mengapakah begitu banyak pernikahan yang tidak bahagia? Akhirnya saya simpulkan, meskipun banyak faktor yang terlibat dalam pernikahan itu sendiri, tapi awalnya adalah karena kita memiliki masalah didalam diri kita sendiri. Masalah-masalah itulah yang kita bawa kedalam pernikahan dan pada akhirnya mengganggu relasi kita dengan pasangan. Pada sesi yang lampau, kita telah membahas dua hal yang kerap kali membawa masalah dalam diri kita. Yang pertama kita membicarakan tentang gaya hidup yang bermasalah, kita bahas tentang orang yang cenderung untuk tidak mau menanam tidak mau menuai yang penting hidup dalam pernikahan, alias hidup berdua tetapi tidak sungguh-sungguh hidup bersama karena tidak ada saling berbagi, saling tolong-menolong dan akhirnya masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Gaya hidup seperti itu yang nantinya pasti menimbulkan masalah dalam pernikahan. Kita juga membahas tentang orang-orang yang tidak mau bekerja keras dalam pernikahannya tetapi maunya menuai. Dan ini adalah gaya hidup yang bermasalah sebab nanti dalam pernikahan dia akan selalu bermimpi besar, mau melakukan banyak hal tapi tidak menjadi kenyataan. Namun pasangannya tidak berhak untuk menghentikan langkahnya dan harus selalu menyetujui keinginannya sebab dia ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang cepat. Kemudian kita juga membicarakan tentang gaya hidup yang terus bekerja, terus memaksa diri tapi pada halnya tidak bisa menikmati apa yang telah dicapainya, orang seperti ini pun akan menimbulkan masalah dalam pernikahan karena pasangan dan anak-anaknya akan letih hidup dengan dia karena semua harus bekerja keras dan tidak boleh ada yang menikmati hidup. Kemudian kita juga berbicara tentang cara berkomunikasi yang bermasalah, kita berbicara tentang orang yang bicaranya tidak jelas, meliuk-liuk seringkali menimbulkan kebingungan dan akhirnya salah paham dan mengakibatkan pertengkaran. Atau ada orang yang kalau berbicara selalu menukik, tajam, menyerang, mengkritik, sehingga akhirnya orang merasa dilecehkan kalau berbicara dengan dia dan ini akan menciptakan jarak dalam pernikahan. Pasangannya tidak akan bisa tahan hidup dengan dia. Dan yang ketiga kita berbicara tentang orang yang cara berkomunikasinya itu meletup-letup, mudah sekali marah sehingga akhirnya pasangan menjauhkan diri dari dia, anak-anak menjauhkan diri dari dia karena takut terkena marah, sebab emosinya cepat sekali meledak. Inilah bahan-bahan yang kita bawa kedalam pernikahan, bahan-bahan bermasalah yang nantinya menimbulkan masalah dalam pernikahan. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas bagian yang ketiga.
GS : Pada bagian yang ketiga kita akan membahas tentang mekanisme memenuhi kebutuhan, jadi tidak seperti dahulu tentang cara berkomunikasi bermasalah dan gaya hidupnya yang bermasalah. Tapi ini adalah suatu mekanisme, apa ada suatu masalah yang lain yang dibawa dalam hidup pernikahannya?

PG : Kita semua mempunyai kebutuhan dan tidak ada yang salah dengan kebutuhan yang kita miliki. Yang menjadi masalah adalah cara atau mekanisme kita untuk memenuhi kebutuhan itu. Inilah yang nntinya akan kita bawa juga kedalam pernikahan.

Ada juga diantara kita yang mempunyai cara-cara atau mekanisme-mekanisme yang tidak sehat, misalnya yang pertama ada orang yang memenuhi kebutuhan dengan cara melemparkan masalah pada orang lain atau melimpahkan masalah pada orang lain, setelah dia menikah dia selalu melimpahkan masalah pada pundak pasangannya. Dia tidak mau mengakui bahwa dialah yang sesungguhnya mempunyai kebutuhan itu, tapi dia menuntut pasangan untuk menyediakan pemenuhan kebutuhannya. Akhirnya tema yang sering kita angkat adalah "Pasangan kita tidak cukup baik dalam memenuhi kebutuhan kita." Akhirnya pasangan menjadi sangat frustrasi, kehabisan tenaga untuk memenuhi kebutuhan kita. Jadi kita ini harus menyadari dan mengakui sebetulnya kita yang mempunyai kebutuhan ini, misalnya kita butuh diperhatikan karena pada masa pertumbuhan, kita kurang mendapatkan perhatian maka akuilah hal itu di depan pasangan dan berkata "Saya punya kebutuhan yang tinggi untuk diperhatikan dan tolong bantu saya." Biasanya orang yang suka melimpahkan masalah pada orang lain, dia sulit untuk mengatakan kelemahannya itu. Dan yang dia lakukan justru melimpahkan masalah pada pasangan. "Kamu yang tidak becus memperhatikan saya, kamu sebagai suami atau istri seharusnya memberikan perhatian kepada saya seperti ini," jadi yang disalahkan orang lain. Mula-mulanya orang lain mungkin mencoba memenuhi kebutuhannya tapi lama-kelamaan dia akan angkat tangan dan berkata "Tidak peduli," sebab tidak pernah cukup dan tidak pernah benar.
GS : Seringkali yang saya rasakan sebagai seorang suami itu butuh untuk dihargai. Ada kebutuhan untuk dihargai oleh pasangan, baik itu prestasi yang kecil atau yang besar. Ini menjadi kebutuhan saya dan sebaliknya istri saya sebagai wanita juga punya kebutuhan lain yaitu butuh untuk dikasihi. Apakah ini yang sering menjadi masalah?

PG : Saya kira ini sebagai akar masalah yang sering timbul dalam pernikahan. Saya berikan contoh dari apa yang Pak Gunawan katakan, misalkan kita sebagai pria butuh dihargai, sudah tentu ini meupakan kebutuhan pokok pria, tapi ada sebagian kita yang mempunyai kebutuhan yang sangat besar untuk dihargai sehingga manifestasinya, gejalanya adalah dia cepat tersinggung, sedikit saja dia tidak mendapatkan pengakuan dari orang seperti tidak disapa atau tidak diberikan penghargaan, dia langsung marah dan tersinggung.

Misalkan istrinya berbicara kepada dia dan saat berbicara, sepertinya dia lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan dari pada kita, akhirnya marah lagi dan tersinggung lagi. Itulah tanda bahwa kebutuhan kita untuk dihargai sebetulnya sangat besar maka kita menjadi orang yang super peka dalam hal ini. Kebalikan dengan wanita, wanita pada umumnya membutuhkan untuk dicintai. Kalau kebutuhan untuk dicintainya super besar, kita bisa melihat gejalanya, manifestasinya yaitu dia sama sekali tidak bisa membagi pasangannya, suaminya bahkan dengan pihak keluarga suaminya, dengan adiknya dengan mamanya, sama sekali tidak bisa, hubungan itu seolah-olah lenyap waktu menikah dengan dia. Dialah satu-satunya orang yang boleh hadir dalam diri suaminya, orang lain sama sekali tidak boleh. Akhirnya dia mulai mengikat suaminya sekeras dan sekencang mungkin supaya suaminya tidak bisa kemana-mana. Kalau kita memang mempunyai masalah dengan kebutuhan yang besar ini sebaiknya kita jangan melimpahkannya pada pasangan, seolah-olah pasangan yang tidak becus memberikan atau menyediakan kebutuhan kita. Sebaiknya kitalah yang mengakui bahwa kita yang mempunyai masalah ini. Tapi sebagian kita memang sudah mengembangkan mekanismenya, sudah mengembangkan cara memenuhi kebutuhan yang paling jitu, yaitu menyalahkan orang.
GS : Uniknya kebutuhan ini tidak bisa terpenuhi kalau kita menuntut dari orang lain selain pasangan kita, tapi kenapa kita justru mengharapkan dari pasangan Pak Paul?

PG : Kemungkinan besar ialah karena kita hidup paling dekat dengan pasangan, jadi meskipun kita secara sadar mengatakan pada diri sendiri tidak perlu meminta pada pasangan, tapi karena kita hidp bersama dengan pasangan dalam hubungan yang begitu akrab, intim akhirnya tidak bisa tidak ada tuntutan agar pasangan memenuhi kebutuhan tersebut.

Cara yang lebih sehat misalkan tentang penghargaan ialah kita yang berikhtiar melakukan hal-hal yang baik yang positif sehingga pasangan melihat dan menghargainya. Tapi kalau kita memiliki kebutuhan yang terlalu besar dan membuat kita tidak bisa melihat bahwa kita yang harus berikhtiar melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan penghargaan, kita seolah-olah telah membabi buta menuntut pasangan harus menghargai kita.
GS : Kalau pasangan kita itu suka melimpahkan masalah ini kepada partnernya, apa yang bisa dilakukan oleh pasangan itu?

PG : Seharusnya dia berkata "Saya akan berusaha sedapat mungkin memenuhi kebutuhanmu itu." Dengan catatan, memang orang tersebut mengakui kalau dia memiliki kebutuhan yang besar. Tapi si pasangn juga harus jelas berkata "Akan ada waktu mungkin saya lupa, ada waktu mungkin saya tidak dapat melakukan semaksimal yang kau harapakan.

Kalau itu terjadi, ini yang saya minta untuk kau lakukan yaitu kau ingatkan saya tapi jangan dengan nada marah, jangan dengan tuntutan. Kalau engkau tahu engkau akan marah, bisa tidak kau tuliskan saja di kertas dan tuliskan dengan kata-kata yang standart atau formal yaitu 'Saya tadi mengharapkan ini tapi saya tidak mendapatkannya darimu,' begitu saja." Waktu kau menuliskan itu dan saya membacanya, maka saya tahu kalau saya tadi tidak ingat untuk melakukan apa yang kamu inginkan, maka saya akan minta maaf kepadamu. Dengan kata lain mereka berdua harus mencipatakan sebuah sistem yang baru sehingga yang membutuhkan bisa mengutarakan permintaannya dan yang dibutuhkan bisa memberikan dengan lebih rela tanpa paksaan.
GS : Selain orang yang suka melimpahkan masalah, apakah ada hal-hal yang lain?

PG : Yang kedua adalah orang yang saya sebut dengan orang yang senantiasa memunculkan masalah, maksudnya ada orang yang terus memunculkan masalah sehingga setiap hal menjadi sesuatu yang tidak enyenangkan hatinya.

Masalah mungkin bisa berkaitan dengan kita dan mungkin juga tidak, namun pada intinya dia tidak pernah berbahagia dengan hidupnya. Orang yang selalu memunculkan masalah dan melihat hidup dari kacamata masalah, sesungguhnya orang ini mengalami kehampaan dan tidak mempunyai makna hidup. Ia ingin memenuhi kebutuhan akan makna hidupnya namun dia tidak tahu harus bagaimana. Alhasilnya selalu merasa tidak puas dan kerap menggerutu. Jadi orang ini memang mempunyai ketidakbahagiaan yang mendasar, itu sebabnya apa saja yang dilakukannya tidak membahagiakan. Apa saja yang orang lain perbuat pun tidak membahagiakannya, dia selalu melihat ada yang kurang. Jadi dia selalu memunculkan masalah karena yang selalu dilihatnya adalah masalah, dari dalam dirinya sudah tersedia genangan air, yaitu genangan ketidak puasan dan ketidak bahagiaan. Kebutuhan pokok ini akhirnya meminta untuk dipenuhi, dan karena tidak bisa dipenuhi baik oleh dirinya maupun orang lain akhirnya terus memunculkan masalah.
GS : Dalam hal ini apakah orang tersebut memang mencari-cari masalah atau memang masalah itu nyata?

PG : Sudah tentu masalah akan selalu ada karena bagi dia sesuatu yang tidak berjalan sesuai dengan yang dia inginkan, itu menjadi masalah. Kita tahu kalau kita hidup pada dunia yang tidak sempuna, akan ada hal-hal yang terjadi di luar kehendak atau selera kita, namun kita akan belajar menerimanya.

Tapi orang yang dasarnya tidak bahagia, itu akan sulit sekali menerima ketidakberesan seperti itu karena pada dasarnya dia tidak bahagia, itu adalah kebutuhan pokok yang dia tidak bisa penuhi. Maka dia selalu memunculkan masalah. Dengan memunculkan masalah, memang dia berharap dia akan lebih bahagia tapi itu tidak mungkin sebab dia akan menjadi sibuk karena selalu menyoroti orang, dan dia berkata "Mengapa kamu begini, kamu tidak seharusnya begini." Memang secara tidak sadar dia mengharapkan bisa menciptakan lingkungan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan kehendaknya, menciptakan anak yang lebih baik, menciptakan suami yang lebih sempurna, menciptakan istri yang juga lebih baik, maka dia akan mendapatkan kebahagiaan itu. Jadi dia memang bertumpu pada lingkungan di luar dirinya untuk memberikan kebahagiaan kepadanya, makanya dia selalu sibuk mengoreksi, mencoba memberitahukan orang apa yang benar dan apa yang tidak benar, tapi kita tahu itu adalah mustahil. Pertama orang tidak selalu memberi respons, yang kedua memang dunia itu tidak sempurna, jadi selalu ada ketidak sempurnaan. Masalah satu selesai muncul lagi masalah yang lain, maka dia akan lelah hati terus-menerus.
GS : Itu yang seringkali dimunculkan, bukan masalah-masalah yang terlalu prinsip. Misalnya hanya meletakkan barang yang tidak tepat, atau janji yang meleset beberapa menit, itu juga bisa menjadi masalah?

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi dari segala sesuatu, bisa tentang orang di rumahnya, bisa tentang lingkungan dan sekali lagi tidak ada yang sempurna dalam lingkungan hidup kita. Dia selalu menggeutu kalau ada yang tidak beres dan seolah-olah dia beranggapan bahwa dia bisa menciptakan dunia yang lebih indah.

Maka hidupnya pun lebih indah tapi dunia tidak akan lebih indah.
GS : Yang paling menderita adalah pasangannya atau anak-anaknya yang ada di sana. Dan apa yang bisa dilakukan oleh pasangan untuk mengurangi supaya tidak terus disalahkan?

PG : Memang agak sulit Pak Gunawan, sebab orang ini pada dasarnya menyimpan ketidakbahagiaan. Sebetulnya dialah yang harus mencari pertolongan agar masalah yang mendasar itu dapat dibereskan. Msalkan dia berasal dari latar belakang keluarga yang sangat tidak bahagia, penuh dengan kepahitan dan dia masih membawa semua itu sampai saat ini.

Tidak bisa tidak itulah yang harus dibereskan, jadi sebagai pasangan seyogianyalah dia menunjukkan pada orang tersebut bahwa kamu memang harus melihat akarnya. Sebab sampai kapan pun kamu tidak akan merasa puas, sampai kapan pun kamu akan terus menuntut lingkungan harus sempurna seperti yang kamu inginkan. Sebab kamu berharap dengan sempurnanya lingkungan maka akan hilanglah kesengsaraan hatimu, tapi itu tidak akan terjadi. Apakah mudah melakukan hal ini? Kebanyakan susah, sebab orang yang bersangkutan tidak mau berubah, yang pertama karena dia tidak mau mengakuinya, dan dia akan berkata "Memang kamu yang membuat masalah dan kamu memang melakukan ini," justru pasangan harus berkata "Memang betul ini semua terjadi, tapi apakah kamu akan terus-menerus menyoroti dan membuat dirimu itu menderita seperti ini, apakah itu yang kamu inginkan?" dan pasangannya memang harus mengkonfrontasi "Kalau itu yang kamu inginkan, kamu akan membuat satu keluarga menderita dan saya tidak bisa menjanjikan saya akan terus tahan, kalau saya tidak tahan bagaimana? Kalau anak-anak tidak tahan bagaimana?" Jadi perlu lebih konfrontatif dengan masalah seperti ini.
GS : Jadi yang bersangkutan perlu disadarkan dulu, yang dirugikan bukan saja orang lain tetapi juga dirinya sendiri.

PG : Betul, dia pun menderita tidak pernah mencicipi kebahagiaan.

GS : Apakah ada mekanisme yang lain, Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah yang saya sebut dengan meniadakan masalah, pernikahan dimaksudkan menjadi ajang penyatuan dan tolong-menolong. Didalam proses inilah keintiman dibangun dan berkembang, nmun ada di antara kita yang tidak nyaman dengan kebutuhan dan tidak bersedia melibatkan pasangan untuk memenuhi kebutuhannya.

Orang ini beranggapan bahwa dia sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan itu, karena itu memang kebutuhannya. Namun ada pula orang yang tidak bersedia membagi kebutuhannya karena gengsi atau takut ditolak, daripada dihina atau ditolak lebih baik tidak membagi kebutuhannya sama sekali. Intinya adalah orang ini tidak mau membagi, tidak mau meminta, tidak mau menyatakan kebutuhannya dan mengharap pasangan untuk memberikannya. Jadi dia selalu menolak atau menyangkal, meniadakan masalah dan tidak mau melihatnya. Memang sampai kadar tertentu dia mungkin bisa menghilangkan kebutuhan dengan cara meniadakannya, tidak lagi mau memikirkannya tapi faktanya adalah kebutuhan tetap ada dan kalau didiamkan terus maka lama-lama akan bocor. Mungkin sekali bocornya di tempat-tempat lain yang tidak berkaitan, dan pasangannya akan kaget kenapa kamu begini? Kenapa kamu marah, begini saja kamu tidak bisa terima, ada apa? Tapi pasangannya tidak akan mengerti dan dia pun tidak akan mengerti. Sesungguhnya dasarnya adalah dia mempunyai kebutuhan yang tidak terpenuhi.
GS : Orang-orang secara tidak sengaja mengingkari, kalau hal itu merupakan masalah dalam kehidupannya?

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Dan dengan tidak sengaja dia akan menciptakan masalah baru ditengah keluarganya?

PG : Betul sekali, meskipun dia tidak bermaksud demikian. Tapi akhirnya dia menciptakan sebuah masalah baru. Contohnya ada orangtua yang sangat tinggi menuntut anak-anaknya, mereka berharap ank-anaknya itu bisa berprestasi sangat tinggi.

Tapi alasan di balik itu semua adalah sebuah kebutuhan tertentu yaitu kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan di masyarakat, di kalangan teman-temannya. Tapi dia memang tidak mau melihat kebutuhan tersebut, dia meniadakan kebutuhan itu dan berkata "Saya tidak ada masalah itu," atau pun kalau dia mengakui masalah itu, dia berkata "Tapi bagaimana saya harus penuhi sendiri." Yang menjadi persoalan adalah dia akhirnya luber. Dalam hal ini lubernya ke anak, anak yang dituntut untuk berhasil. Sudah tentu dalam perkataannya dia tidak akan mengakui kalau dia memang mempunyai kebutuhan itu, yang dia akan lakukan adalah mengatakan kepada anak-anak "Kamu harus berhasil karena kalau kamu tidak berhasil, kamu nanti tidak bisa maju tidak bisa sukses dalam hidup dan sebagainya." Padahal anak-anaknya sudah bekerja dengan baik bahkan sangat baik, tapi terus-menerus ditekan dan ditekan lagi. Jadi itu yang saya maksud dengan luber, gara-gara mengingkari kebutuhannya sendiri.
GS : Apakah karena orang yang bersangkutan memang tidak berani menghadapi masalah karena dia merasa tidak mampu mengatasi masalah, atau cuma hanya mencari mudahnya saja?

PG : Yang pertama memang betul, ada orang yang memang tidak mampu. Daripada tidak mampu dan mengakui tidak mampu lebih baik diingkari. Tapi ada juga orang yang memang berprinsip saya harus mandri, saya harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan saya.

Misalkan kita sangat butuh untuk dikasihi, kita kurang menerima kasih sayang. Tapi kita berkata "Kita harus penuhi kebutuhan ini sendiri, kita tidak boleh menuntut orang untuk memenuhinya," jadi kita tidak pernah meminta kepada pasangan. Kita mencoba melakukan semuanya sendiri, kita tidak mencoba meminta pasangan untuk memberikan perhatian khusus kepada kita dan itu terus kita lakukan. Padahal kebutuhan akan dikasihi itu tetap ada, karena tidak dapat kita penuhi dengan baik. Akhirnya bocor dan bocornya di tempat yang lain. Misalnya pasangannya lupa memberikan kartu ucapan ulang tahun, karena kelalaiannya maka bisa terjadi perang dunia. Padahalnya mereka sudah menikah 15 tahun dan tidak pernah lupa, hanya sekali saja lupa, maka marahnya bisa sampai satu bulan. Waktu ini terjadi, barulah pasangan menyadari "Rupanya dia mempunyai kebutuhan yang besar sekali, tetapi tidak pernah mau mengakuinya. dan waktu ditanya, tetap saja tidak mau mengakui, dan tetap berkata "Orang berulang tahun masa bisa sampai lupa," dia tidak mau menerima kalau orang bisa lupa. Akhirnya masalah berlarut-larut.
GS : Sebenarnya kalau masalah itu kita diamkan maka tidak mungkin bisa hilang dengan sendirinya tanpa kita mau mengatasinya, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi kita harus melakukan sesuatu.

GS : Dan kalau tidak, maka akan menimbulkan masalah lain yang lebih besar daripada masalah yang semula.

PG : Betul sekali.

GS : Apakah kita sebagai pasangan bisa menolong orang seperti itu?

PG : Kita memang harus dengan lembut mengatakan padanya bahwa "Saya melihat inilah yang saya butuhkan dan saya mau sekali memenuhinya, saya mengerti tidak mudah bagimu untuk melihatnya. Mungkindi masa lampau kamu menerima kekecewaan karena apa yang kamu minta itu tidak diberikan oleh orang.

Jadi kamu sekarang menutup diri, dan saya mau memberikan itu kepadamu. Mari kita kerjasama, tapi saya butuh bantuanmu, saya tidak selalu tahu apa yang kamu inginkan. Bisa tidak kalau kamu tidak bersedia bicara panjang butuh apa, misalkan kamu ingatkan saya dengan memberikan saya kartu kecil atau berikan saya isyarat yang lebih ringan supaya saya diingatkan apa yang kamu butuhkan, dan nanti saya bisa berikan kepadamu." Waktu hal itu terjadi yaitu dia meminta dan kita memberikan, kita langsung berkata lagi "Bagaimana rasanya, senangkan yang kamu butuhkan kamu dapatkan, mari kita coba teruskan kerjasama ini."
GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang melandasi perbincangan kita kali ini?

PG : Saya akan bacakan Amsal 22:9 "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." Orang yang baik hati akan diberkati intinya kita mau membangun tangga yaiu menjadi orang yang baik hati, menjadi orang yang sehat, sehingga nanti itulah yang kita berikan.

Dan waktu kita bawa dalam pernikahan tidak bisa tidak berkat demi berkatlah yang akan kita petik. Jadi cobalah sebelum kita menengok ke kiri dan ke kanan untuk menyalahkan orang, kita tatap diri sendiri dulu, kita coba melihat dan kita coba koreksi. Orang yang seperti ini menjadi orang yang akan menerima banyak berkat.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan yang sangat menarik ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mekanisme Memenuhi Kebutuhan" sebagai bagian yang ketiga dari tema "Tangga ke Rumah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



53. Mencabut Duri Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T223B (File MP3 T223B)


Abstrak:

Firman Tuhan mengajarkan kepada wanita untuk tunduk kepada suami dan mewajibkan suami untuk mengasihi istrinya (Efesus 5:21-25). Bagian ini membahas mengenai duri, duri merupakan konflik dalam pernikahan maka cabutlah duri selagi masih kecil; jangan biarkan duri menusuk makin dalam sehingga pada akhirnya susah dikeluarkan dari daging.


Ringkasan:

Firman Tuhan mengajarkan kepada wanita untuk tunduk kepada suami dan mewajibkan suami untuk mengasihi istrinya (Efesus 5:21-25). Tuhan tahu kebutuhan mendasar pria dan wanita dan Tuhan telah menyediakan resep untuk membangun rumah tangga yang sehat. Masalahnya adalah kita tidak selalu menaati kehendak Tuhan dan sebagai akibatnya, rumah tangga pun mulai retak. Berikut ini akan dipaparkan duri yang kerap muncul dalam pernikahan dan bagaimana menghilangkannya.

Tunduk kepada Suami

Salah satu hal yang paling tidak disukai suami adalah sikap istri yang tidak dapat lagi "diaturnya." Kebutuhan mendasar pria adalah mengatur wanita; jadi kebutuhan ini pulalah yang dibawanya ke dalam pernikahan. Sesungguhnya kebanyakan pria tidak menuntut istri untuk tunduk kepadanya secara membabi buta. Saya kira kebanyakan pria justru mendambakan istri yang mandiri dan dapat berpikir serta memutuskan masalah sendiri. Saya melihat justru kebanyakan pria tidak menyukai wanita yang tidak bisa mandiri dan yang selalu membutuhkan pertolongannya.

Sungguhpun demikian pada umumnya pria menginginkan istri yang dapat "diaturnya" dalam pengertian, sewaktu ia bicara, istri tidak dengan serta merta mengabaikan dan menolak masukannya. Kebanyakan pria tidak berkeberatan dengan istri yang dapat mengemukakan pendapatnya sendiri, namun pria menginginkan agar istri bersedia mendengarkan perkataannya terlebih dahulu.

Sewaktu pria menganggap bahwa istri tidak lagi dapat diaturnya, ia akan mulai menarik diri. Ia akan bersikap masa bodoh sebab ia menganggap percuma ia mengatakan apa-apa sebab istri toh tidak akan mendengarkannya. Jika ini terus berlanjut, pernikahan pun retak.

Mengasihi Istri

Sesungguhnya kebanyakan wanita tidak menuntut suami untuk terus menerus melimpahkan kasih sayang kepadanya. Saya kira wanita memahami bahwa permintaan seperti itu tidak realistik dan tidak selayaknya. Itu sebabnya kebanyakan wanita justru merasa risih dengan pria yang terlalu "mengobral" cinta; kebanyakan wanita beranggapan sikap seperti itu menjurus kepada kepalsuan.

Jadi, kasih yang seperti apakah yang diharapkan wanita dari pria? Pada dasarnya wanita paling tidak suka dengan pria yang bersikap dan berbuat "seenaknya." Saya kira tidak ada sikap yang lebih sering diasosiasikan dengan "kurang mengasihi" selain daripada sikap seenaknya. Itu sebabnya istri merasa sangat terganggu bila suami pulang malam tanpa memberi tahu terlebih dahulu, atau tidak mengkonsultasikan rencana dengan istri, dan lainnya. Bagi kebanyakan istri, sikap seperti inilah yang pada akhirnya dikaitkan dengan "tidak mengasihi."

Bila sikap ini terus berlangsung, istri biasanya merasa tawar hati. Ia akan merasa "percuma" berbuat baik dan menghormati suami sebab suami toh tidak mempertimbangkan perasaan dan dirinya. Pada titik inilah duri mulai menusuk dan pernikahan pun mulai berdarah.

Kesimpulan

Sesungguhnya untuk membangun pernikahan yang penuh ketundukan dan kasih sayang tidak sesukar yang kita bayangkan. Cabutlah duri selagi masih kecil; jangan biarkan duri menusuk makin dalam sehingga pada akhirnya susah dikeluarkan dari daging.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mencabut Duri Pernikahan." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Apa yang Pak Paul maksudkan dengan judul duri dalam pernikahan?

PG : Duri itu mengacu pada problem atau masalah dalam pernikahan. Secara spesifik saya akan fokuskan, yang pertama Tuhan sudah mengajarkan kepada kita resep bagaimana membangun pernikahan yang ehat yaitu suami diminta Tuhan mengasihi istri dan istri tunduk atau respek kepada suaminya.

Kalau saja kedua belah pihak menaati perintah Tuhan, maka dalam pernikahan walau pun ada masalah dari luar, pernikahan itu akan tetap kokoh, akan tetap sehat dan bisa menghadapi tantangan-tantangan dari luar. Problemnya adalah kita tidak hidup dalam dunia yang ideal dan kita tidak selalu mengasihi istri seperti yang Tuhan inginkan tidak selalu menaati suami seperti yang Tuhan inginkan pula. Yang saya maksud dengan duri adalah ketidak mampuan kita, baik itu mengasihi istri atau menaati suami. Duri ini yang perlu kita cabut sehingga kita bisa kembali mengasihi istri dan menaati suami.
GS : Yang menjadi masalah adalah mengasihi dan menaati itu tidak ada suatu tolok ukur yang jelas bagi masing-masing. Jadi bagi suami dia merasa, saya sudah mengasihi tetapi bagi si istri kurang atau bukan itu yang saya maksudkan. Demikian juga dengan tunduk, istri merasa saya ini sudah tunduk, sudah hormat kepada suami tetapi suami bilang "Tunduk itu bukan seperti itu." Dan bagaimana bisa mempertemukannya, Pak Paul?

PG : Saya akan mencoba membahas. Sebetulnya apa yang diharapkan oleh suami kepada istri, sewaktu suami mengharapkan ketundukan dan respek dari istrinya. Kemudian saya juga akan bahas sebetulnyaapa yang istri harapkan dari suaminya sewaktu si istri itu mengharapkan kasih sayang dari suaminya.

Saya kira kalau saja kita bisa lebih jelas dengan apa yang kita harapkan, maka sudah tentu pasangan kita akan lebih mampu untuk memberikannya kepada kita. Coba kita lihat yang pertama suami mengharapkan istri untuk tunduk atau menghormatinya, saya kira firman Tuhan memang benar-benar menengok pada akar masalah, pria memang membutuhkan itu, pria memang tidak suka dengan istri yang tidak menghormatinya atau tidak tunduk kepadanya. Tapi coba untuk sejenak kita sungguh-sungguh melihat sebetulnya apa yang diharapkan pria. Apakah pria itu memang membutuhkan istri yang membabi buta tunduk kepadanya, tentu ada suami yang seperti itu. Tapi saya kira kebanyakan suami dewasa ini tidak mengharapkan istri tunduk secara membabi buta kepadanya. Yang lainnya apakah suami mengharapkan istri benar-benar menghormati dia seperti dia itu raja di rumah? Tunduk bukan hanya secara mental, tapi tunduk secara fisik, misalnya kalau suaminya datang dia menundukkan kepala. Apakah penghormatan seperti itu yang diharapkan oleh suami, saya kira tidak. Jadi saya kira suami pada umumnya akan lebih senang dengan istri yang bisa berpendapat, bisa berpikir bersamanya, bisa berdiskusi dengannya. Dan suami pada umumnya juga tidak berkeberatan dengan istri yang tidak setuju dengannya yang mempunyai argumentasi sendiri. Jadi sebetulnya apa yang dibutuhkan oleh suami sewaktu suami itu berkata "Saya membutuhkan respek dari engkau kepadaku." Saya kira yang dibutuhkan suami adalah bahwa dia mesti merasa dan dia mesti tahu bahwa dia masih bisa mengatur istrinya. Kalau seorang suami mulai merasa dia tidak bisa mengatur istrinya alias dia merasa istrinya itu tidak bisa diatur, saya kira awalnya mungkin dia masih mencoba untuk terus mengkomunikasikan permintaannya atau intruksinya, sampai satu titik akhirnya dia berhenti dan dia akan berkata "Kalau kamu memang tidak bisa diatur, terserah kamu mau jalan sendiri silakan. Kamu mau putuskan sendiri silakan," dengan kata lain, si suami memutuskan tali hubungan meskipun masih tinggal serumah tetapi sesungguhnya tidak ada lagi relasi diantara mereka.
GS : Memang berat kalau sudah sampai sejauh itu, tapi pada saat si suami itu mengemukakan apa yang sebenarnya dia harapkan, disini kadang-kadang istri juga merasa bahwa hal itu terlalu berlebihan atau tidak sepatutnya dia lakukan, dan ini bagaimana?

PG : Sebetulnya yang saya maksud dengan tidak bisa diatur atau susah diatur itu ditangkap oleh si suami lewat hal-hal kecil lainnya. Misalkan suami mengusulkan bagaimana kalau kita mengatur ulag letak 'furniture' atau perabot di rumah kita.

Tiba-tiba istrinya berkata "Buat apa, nanti jelek," tanpa memberikan kesempatan pada suami itu merasa dia didengarkan. Kalau si suami berbicara memberikan usulan, dia ingin yang pertama didengarkan, dipertimbangkan jangan belum apa-apa idenya itu dengan mentah ditolak. Ini salah satu hal yang sering terjadi dalam rumah tangga. Istri mungkin berkata, "Saya bicara begitu bukan berarti saya tidak hormat pada suami saya, saya juga bersedia bicara dengan dia. Kalau dia nanti tidak setuju dan punya pendapat lain juga tidak apa-apa." Tapi si istri lupa satu hal yaitu dia langsung dengan mentah-mentah menolak saran-saran suaminya. Ada suami yang memang akan bersikeras memaksakan kehendaknya, dengan terus bicara dan terjadilah sebuah argumentasi. Sebagian suami dan saya kira cukup banyak suami tidak akan melakukan hal itu. Dia sudah bicara sekali dan langsung ditolak mentah-mentah oleh istrinya, maka dia akan berhenti bicara dia tidak akan memunculkan lagi. Dia akan berkata "Ya sudah terserah kamu" mungkin saja si istri berangapan dengan kata-kata "Terserah" berarti saya disetujui dan semua beres. Padahalnya tidak, dia menyimpan kemarahan dalam hatinya. Dan kalau ini berulang pada kasus-kasus yang lain, yang mirip-mirip seperti ini, akhirnya si suami memang merasa engkau istri yang tidak bisa diatur, saya bicara apa pun percuma engkau tidak akan mendengarkan. Atau ada istri yang begini, kalau suaminya bicara dia tidak pernah berkata "Itu betul," akhirnya dia melihat kalau ayahnya yang bicara dia langsung mengangguk, kalau ibunya yang bicara langsung mengangguk, kalau kakaknya yang bicara langsung mengangguk, dan akhirnya si suami marah dan berkata, "Kamu memang tidak mau mendengarkan saya, apa pun yang saya katakan pasti selalu salah, dan nanti kalau dibuktikan benar maka benar. Kalau orang tuamu atau kakakmu atau adikmu yang bicara tidak peduli salah atau benar pasti benar, nanti dibuktikan salah pun kamu tetap mengatakan itu benar". Inilah hal-hal kecil yang sering terjadi dalam keluarga, inilah duri-duri kecil yang akhirnya suami merasa istri saya tidak bisa diatur.
GS : Ada juga suami yang masih berpegang pada konsep. Melihat masa lalunya, orang tuanya atau kakek-neneknya, sebagai suami dia melihat masa lalu, ibunya begitu tunduk total kepada ayahnya, tidak ada bicaranya, apalagi nenek dan kakeknya dulu. Ketertundukan seperti itu yang diharapkan pada pernikahan saat ini dan si istri yang dari latar belakang berbeda tidak bisa menerima.

PG : Saya kira ada yang seperti itu. Jadi ada suami yang memang menuntut ketertundukan total dari istri dalam pengertian istri tidak punya suara. Namun menurut saya dewasa ini kebanyakan pria tdak lagi seperti itu justru kebanyakan pria mengharapkan istri yang lebih berinisiatif, istri yang bisa diajak berdialog, yang bisa diajak bertukar pikiran dan bisa memberikan masukan-masukan yang dapat dihargai oleh si suami juga.

Jadi sebetulnya dewasa ini kebanyakan suami meminta atau mengharapkan istri yang seperti itu, tapi kenapa ini tetap menjadi masalah? Karena respons-respons yang diberikan si istri itulah yang akhirnya memadamkan niat suami untuk melanjutkan komunikasi, dan membuat suami beranggapan istrinya memang tidak bisa diatur. Jadi saran saya adalah kalau engkau tidak setuju dengan apa yang suamimu katakan, jangan di depannya langsung berkata "Tetap tidak setuju," apalagi bicara langsung "Itu ide jelek, kenapa kamu bisa berpikir seperti itu," dan sebagainya. Kata-kata seperti itu benar-benar penolakan mentah dan penghinaan langsung terhadap gagasan si suami. Jadi saya minta pada para istri kalau pun tidak setuju, kalau pun memang benar gagasan itu sudah tidak tepat, tetap respons pertama adalah respons yang positif. Misalnya dengan berkata, "Bisa kamu jelaskan, kenapa kamu katakan hal itu saya tidak mengerti maksudmu, latar belakangnya apa?" dan suaminya menjelaskan. Kemudian kalau kamu masih tetap tidak setuju, daripada mengatakan "tidak setuju", engkau berkata "Bolehkan saya pikirkan dulu, saya minta waktu misalnya dua hari untuk memikirkan," terus kita diskusikan lagi karena saya masih perlu melihat. Si suami meskipun dia tidak mendapatkan jawaban langsung dari si istri namun dia tahu istrinya telah mempertimbangkan gagasannya dan tidak mentah-mentah menolak gagasannya itu. Jadi kata-kata seperti itulah yang dibutuhkan oleh si suami untuk didengarkannya, kalau istri langsung menyiramkan air dingin ke kepala yang hangat, maka akan menjadi hancur dan tidak akan ada lagi komunikasi.
GS : Jadi disini yang penting adalah bagaimana caranya istri mengkomunikasikan gagasan-gagasannya atau ketidaksetujuannya itu, Pak Paul?

PG : Betul, atau misalkan dua hari kemudian berbicara dengan suaminya dia tetap tidak setuju, dan bagaimana dia mengemukakan ketidaksetujuannya. Saya sarankan istri memulai dengan kata-kata "Boeh tidak saya mengutarakan pendapat saya pribadi," mintalah ijin seperti itu kepada suaminya.

Suaminya pasti berkata "Boleh, silakan," istri langsung berkata "Saya hargai ide kamu, saya punya ide baiknya yang ini." Jadi si istri mencoba menemukan sesuatu yang baik tentang ide-ide si suami itu, kemudian si istri berkata "Namun saya mempunyai pertanyaan," atau "Saya memikirkan hal-hal ini." Setelah itu si istri berkata "Belehkah saya memberikan usulan," setelah memberikan usulan sebaiknya istri berkata " Namun saya serahkan kembali kepadamu, saya kira kamu bisa putuskan dan kamu boleh pikirkan lagi. Kalau mau diskusi kita bisa diskusikan, tapi kalau kamu mau putuskan maka silakan." Waktu si istri berkata silakan, dia benar-benar konsekuen dan dia akan mempersilakan. Jadi si suami meskipun ambil keputusan yang salah pun si istri harus mendiamkan sebab kalau si istri tetap mencoba menjegalnya maka akan terjadi keributan, dan lain kali suaminya tidak akan minta ijin lagi, tidak akan bicara lagi dan akan menambah masalah. Lebih baik biarkan sebab kalau suami itu kenyataannya salah, dia akan tahu bahwa istri saya benar dan si istri dengan bijak diam tidak mengatakan "Apa yang saya katakan dulu." Suami itu lama-lama mengetahui bahwa istri saya tidak menghina saya walaupun dia tahu kalau saya salah, tapi dia diam saja dan pendapatnya ternyata benar sudah dua atau tiga kali saya salah dan pendapatnya benar. Lama-kelamaan si suami akan terdorong untuk lebih rendah hati, sehingga dia justru mencari pendapat si istri karena dia tahu pendapatnya memang lebih bijaksana dalam hal-hal ini. Waktu itu terjadi, sebetulnya relasi nikah mereka itu sudah naik tingkat.
GS : Apakah ada istri yang pura-pura tunduk di depan suaminya padahal sebenarnya dia tidak mau tunduk?

PG : Sudah tentu seperti tadi sudah saya bicarakan, tidak ada unsur pura-puranya karena dia memang tidak setuju. Tapi disini yang saya maksud dengan pura-pura bukanlah sesuatu yang negatif tapiini hikmat untuk mengatakan kata-kata yang tepat, untuk bersikap juga dengan tepat.

Meskipun tidak setuju, jangan langsung mengatakan tidak setuju. Simpan dulu minta waktu untuk memikirkannya dan memang dipikirkan, sehingga nanti sewaktu bicara dengan si suami, kita bisa memberikan hal-hal yang positif tentang idenya itu. Kita juga bisa kemudian memberikan saran yang mungkin berbeda dari apa yang telah suaminya katakan. Jadi pura-pura dalam pengertian itu.
GS : Memang pengertian tunduk ini bukan hanya dilakukan dalam rumah tangga itu sendiri tapi perlu dilihat oleh anak, oleh orang lain yang menjadi komunitasnya dan sebagainya, supaya suami juga merasa dihargai dihadapan orang lain.

PG : Bayangkan kalau misalkan dalam sebuah pertemuan ada suami dan istri dalam pengambilan keputusan bersama, dan ada orang-orang lain yang terlibat. Saat suami mengutarakan sesuatu, yang pertaa mengatakan itu ide yang tidak benar adalah istrinya, itu sangat menyakitkan dan benar-benar dia merasa dihina didepan seseorang dan itu akan membuat dia padam.

Inilah hal yang paling kuat saya kira yang bisa memadamkan cinta pria kepada istrinya.
GS : Sebaliknya Pak Paul, kalau kita berbicara tentang bagaimana istri harus tunduk kepada suami, sekarang suami yang harus mengasihi istri itu bagaimana?

PG : Sudah tentu kalau kita memikirkan tentang cinta kasih, kita itu sering kali beranggapan perempuan itu membutuhkan cinta kasih secara terus-menerus dan banyak suami yang mengeluh. Tapi sebeulnya istri tidak membutuhkan cinta kasih sebesar itu, perempuan itu mengerti bahwa suaminya tidak bisa terus menerus menunjukkan cinta kasih, dia tahu itu tidak realistis.

Kedua, perempuan juga akan berkata kamu gombal, kalau terus-menerus begini. Sebab tidak mungkin orang mempunyai perasaan romantis seperti itu terus-menerus. Jadi saya kira perempuan itu juga mengerti realistis. Waktu dia berkata saya membutuhkan cinta kasih, itu bukan 24 jam terus-menerus melihat si suami mengasihinya dengan romantis. Jadi kalau bukan itu, maka apa yang diharapkan oleh si istri? Begini, pada dasarnya wanita paling tidak suka dengan pria yang bersikap dan berbuat seenaknya, semaunya. Saya kira tidak ada sikap yang lebih sering diasosiasikan dengan kurang mengasihi selain daripada sikap seenaknya. Misalkan si istri itu sudah memberitahu si suami kalau pulang malam tolong telepon beritahukan, sehingga saya tidak harus menyiapkan makan malam untuk kamu. Pasangan menyetujui tapi tidak pernah dilakukan, misalnya pulang jam 10 malam dan waktu pulang mengatakan sudah makan, padahal makanan sudah disiapkan. Atau besoknya pulang jam 10 malam istri sudah memasukkan makanan dikira sudah tidak makan lagi, tapi saat pulang dia mau makan dan marah sambil berkata "Kenapa tidak disiapkan." Hal-hal seperti itulah yang seringkali membuat si istri merasa kamu itu seenaknya, semaunya saja, itulah perasaan yang membuat si istri beranggapan kamu tidak mengasihi saya. Suami atau pria pada umumnya tidak mengaitkan 2 hal ini, pria tidak beranggapan bahwa waktu saya seenaknya itu berarti saya tidak mengasihi istri saya, saya tetap mengasihi dia. Tapi bagi istri itu menjadi sumber masalah, perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan tidak mengasihi istri. Sama seperti tadi yang kita bicarakan mengenai rasa tunduk dan hormat, mungkin kalau kita bertanya kepada si istri, "Waktu kamu menolak mentah-mentah ide suamimu, itu membuatnya merasa kamu tidak hormat kepadanya, si istri mungkin berkata "Tidak, saya tetap hormat kepadanya, dia suami yang baik, suami yang bertanggung jawab, kalau dia tidak setuju pun saya akan tetap menghormatinya. Baik saya akan dengarkan dia." Istri pun tidak mengaitkan keduanya, sama dengan ini banyak pria yang tidak mengaitkan keduanya dan berkata "Saya tidak maksud begitu, saya tetap mengasihi istri saya," tapi perlulah sekarang pria itu menyadari waktu dia berbuat seenaknya, dia merasa si istri tidak dikasihi, sebab kita tidak lagi memberikan pendapatnya, keinginannya, isi hatinya.
GS : Justru dalam memberikan perhatian, itu yang bisa membuat istri merasa dikasihi, diperhatikan. dan perhatian yang diminta itu adalah perhatian yang kecil-kecil bukan perhatian yang besar-besar, yang kecil-kecil ini juga penting untuk kita perhatikan.

PG : Dan sebetulnya kalau kita pikir-pikir tidak susah, apa sih susahnya telepon dulu. Tapi adakalanya pria bisa bertengkar soal yang begini. Dari pada mengakui "Maaf saya tadi tidak telepon," tu bisa ribut.

GS : Mungkin masalahnya karena kita ini sebagai pria kurang memperhatikan hal-hal yang detail seperti itu, menelepon buat kita itu adalah sesuatu hal yang kecil. Sesuatu yang detail yang kita anggap masing-masing sudah tahu sendiri karena kita sudah punya kesepakatan dan sebagainya. Tapi hal ini justru menjadi duri dalam hidup pernikahan.

PG : Dan kita memang kurang sensitif karena kita akan merepotkan istri kita, dia harus menyiapkan makanan tetapi kita tidak makan. Atau kita mau makan dia belum siapkan dan dia harus siapkan. Tpi kita tidak merasa kalau kita telah merepotkan dia.

Kita memang pria dalam hal ini kurang sensitif, kita anggap tidak apa-apa biasa saja dan hal kecil, kita lupa bahwa ini merepotkan dia, waktu dia masak dia juga harus kira-kira sebab dia tidak mau makanan nanti bertumpuk di lemari es, dia mau makanan habis dan sebagainya, tapi ini tidak dihabiskan. Kalau tidak disiapkan, nanti minta makan dan malam-malam dia harus keluarkan daging yang sudah dimasukan di freezer sudah beku, dan dagingnya harus dipanaskan kembali dan sebagainya. Hal-hal seperti ini yang suami tidak sensitif.
GS : Seringkali soal janji, kita janji misalnya nanti sore akan mengantarkannya ke toko lalu ada sedikit masalah sehingga dia itu berkata "Besok pagi tidak apa-apa." Menurut kita besok pagi tidak apa-apa tapi buat istri ini menjadi suatu masalah.

PG : Waktu istri kita marah, kita lebih marah. Karena kita berkata, "Kamu tidak memikirkan orang lain, kamu hanya memikirkan diri sendiri, soal janji itu kamu pikirkan. Saya itu ada hal yang leih penting."

Biasanya itu yang terjadi kita marah-marah.
GS : Satu hal lagi yang juga cukup sering terjadi adalah suami membuat rencana tanpa mengkonsultasikan dengan istri dan itu sering terjadi. Memang alasannya beragam ada suami yang beranggapan istri itu tahu beres, atau ada suami yang beranggapan kalau cerita dengan istri akhirnya tidak jadi, maka tidak perlu cerita, atau nanti kalau cerita menjadi rumit dan panjang lebar maka tidak perlu cerita. Jadi banyak alasannya tapi intinya adalah kita tidak lagi mengkonsultasikan rencana dengan istri kita. Ini adalah salah satu hal yang akhirnya memang membunuh relasi, sebab pada akhirnya si istri berkata "Kamu memang tidak mengasihi saya." Suami mungkin akan tetap berkata "Saya tetap mengasihi kamu," istri tidak percaya karena bagi si istri kamu tidak menggubris pendapat saya. Kalau kamu tidak menggubris pendapat saya bagaimanakah kamu dapat berkata kalau kamu mengasihi saya. Maka disini kita kembali kepada pria maupun wanita, kita melihat lubang yang sebetulnya perlu kita jaga. Kalau lubang ini tidak kita jaga dan tidak kita tutup maka orang lain bisa masuk ke dalamnya. Contoh si istri karena merasa suaminya tidak menggubris, baik semua rencana dilakukan sendiri tanpa dikonsultasikan dengan dia. Dia bertemu dengan pria yang begitu mau mendengarkan pendapatnya, maka lubang ini bisa langsung terbuka. Pria juga sama, dia bicara istrinya tidak mau mendengarkan, dia merasa istrinya tidak bisa diatur kemudian bertemu dengan orang diluar dan dia berkata "Perempuan ini langsung tanggapi saat saya tanya, dia bisa jelaskan." Maka siapa yang dia anggap lebih dekat ya perempuan itu. Ini adalah duri-duri yang kita memang harus cabut karena kalau tidak, duri ini menusuk rumah tangga dan menciptakan lubang dimana akhirnya masalah dari orang ketiga, dari luar bisa masuk kedalam rumah tangga kita.
GS : Tapi sama seperti suami yang sudah Pak Paul katakan, bisa bersikap "Sudahlah kalau kamu tidak hormat," dia bersikap tawar hati. Istri pun bisa bersikap seperti itu kalau dia merasa sudah tidak dikasihi ya sudah, dia tidak mengharapkan kasih itu dari suaminya, tapi itu adalah suatu hubungan yang tidak sehat.

PG : Betul, dan akhirnya saling berbalasan. Si istri berkata, "Ya sudah kamu tidak menggubris perasaan saya, kamu tidak tanya, kamu semaunya, hidup seenaknya, saya melakukan apa pun, kamu juga idak pusing, jadi kenapa saya harus menghormati kamu.

Kenapa saya harus tunduk kepadamu, kenapa saya harus sopan santun kepadamu." Dan si istri semakin tidak santun, semakin menolak mentah-mentah, semakin sering melecehkan. Si suami merasa dilecehkan semakin marah, semakin tidak menggubris dan kalau itu yang terjadi, benar-benar roda itu terus berputar, terus berputar semakin cepat dan semakin cepat dan akhirnya patah.
GS : Kita sadari itu sebagai duri didalam pernikahan kita, kalau duri ini kita cabut maka akan tetap timbul luka. Didalam pernikahan itu pasti tetap akan timbul luka, ini juga begitu, Pak Paul?

PG : Saya kira kalau dalam konteks ini, kalau duri kita cabut justru akan tertutuplah kulit atau daging tersebut sehingga tidak membuka peluang lagi. Kalau tidak dicabut, duri itu akan menciptaan lubang.

Justru karena dicabut, kulit itu menutup lagi sehingga tidak membuka kesempatan pada orang ketiga untuk masuk ke dalam rumah tangga kita.
GS : Tapi mungkin saat dicabut itu memang terasa sakit, baik suami atau istri akan merasakan sakitnya mencabut duri itu. Tapi itu jauh lebih baik dari pada duri itu tetap ada disana dan menimbulkan masalah yang berkepanjangan.

PG : Dan dapat memutuskan relasi.

GS : Dalam hal ini Pak Paul, apakah firman Tuhan memberikan arahan untuk pasangan suami istri?

PG : Saya ingatkan kembali firman Tuhan, yang diambil dari Efesus 5:21, "Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus," inilah ayat pembuka yang kemudian disusuldengan perintah kepada istri "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan."

Dan di ayat 25 "Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya." Dengan kata lain kita bisa simpulkan sebelum tunduk, sebelum mengasihi ada satu kriteria yang harus kita penuhi yaitu kita mesti merendahkan diri satu terhadap yang lain di dalam takut akan Kristus. Ini syaratnya mulailah dengan merendahkan diri, jangan meninggikan, jangan mementingkan ego, jangan memikirkan interest sendiri saja, mari kita coba merendahkan diri, kita coba dengan bicara yang lebih baik, mari hidup jangan semena-mena, rendahkanlah diri satu sama lain.
GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mencabut Duri Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



54. Membangun Dari Reruntuhan 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T228A (File MP3 T228A)


Abstrak:

Kita akan belajar dari nabi Nehemia mengenai bagaimana kita bisa membangun pernikahan kita yang sudah runtuh. Ada dua hal yang menyebabkan pernikahan itu runtuh yakni faktor internal seperti konflik yang berkepanjangan dan faktor eksternal yakni pengkhianatan.


Ringkasan:

Membangun pernikahan yang telah runtuh, ibarat membangun tembok Yerusalem yang telah runtuh. Kita tahu tembok Yerusalem runtuh akibat pertempuran, akibat serangan dari bangsa-bangsa lain yang menyerang Yerusalem. Pernikahan pun adakalanya mengalami badai, mengalami serangan dan akhirnya menderita kerugian dan runtuh berantakan. Apa yang harus dilakukan oleh suami istri yang mengalami badai atau serangan untuk membangun kembali pernikahan mereka? Kita akan berlajar dari hamba Tuhan yang bernama Nehemia, kita akan belajar hal-hal apa yang dilakukannya untuk membangun tembok itu.

Penyebab Keruntuhan:

  1. Faktor internal, seperti konflik berkepanjangan, merenggangnya komunikasi, hilangnya keintiman, melebarnya perbedaan. Ingat: Ibarat pohon, relasi pernikahan memerlukan siraman dan perhatian!
  2. Faktor eksternal yakni PENGKHIANATAN. Tidak ada badai yang lebih dahsyat daripada PENGKHIANATAN! Pengkhianatan meruntuhkan:
    • Kepercayaan, kita tidak lagi percaya bahwa dia setia kepada kita, kita tidak lagi percaya pada perkataannya karena ternyata dia telah berbohong kepada kita. Dan kita bersikap WAS-WAS dan tidak tenteram, sehingga sejak momen itu hidup kita tidak lagi damai. Jangan sampai ini terulang lagi, apakah dia pergi ke tempat seperti yang dia katakan dia akan pergi kesana, apakah dia pergi dengan orang yang seperti dia katakan dia akan pergi dengan orang itu.
    • Respek. Seolah-olah di mata kita dia begitu rendah karena perbuatan zinah memang perbuatan dosa, perbuatan yang rendah. Jadi reaksi kita kepada dia itu menjadi merendahkan dia, seolah-olah dia tidak ada lagi nilainya. Dan itu menimbulkan sikap MENGHINA.
    • Cinta. Pada dasarnya cinta itu memang masih bisa bertahan tapi akan cukup termakan habis. Dan yang akan muncul akibat pengkhianatan ialah bukannya cinta tapi benci, kebencian yang sangat dalam sekali, kebencian ini memang keluar dari kemarahan dan keinginan untuk membalas karena disakiti.

Reruntuhan dalam pernikahan meliputi:

Mengapa Mungkin Membangun dari Reruntuhan?

  1. Jika Allah sanggup membangkitkan Kristus dari KEMATIAN, Ia pasti sanggup membangkitkan Kasih, Respek, dan Percaya dalam relasi yang telah mati!
  2. Kasih MENYATU (menuju pada kedekatan), artinya kalau kita mencintai, kita ingin mendekati orang yang kita cintai dan bersatu dengan dia.
  3. Kasih BERTAHAN (sukar memudar), artinya meskipun kasih itu dihantam, dipukul tapi kasih cenderung bertahan.
  4. Kasih MELAWAN (melindungi relasi kasih), artinya kasih itu mau melindungi orang yang kita kasihi dan kita mau melindungi relasi kasih ini supaya jangan sampai akhirnya punah.
  5. Kasih DINAMIS (dapat bertumbuh kembali), artinya dapat bertunas kembali, kasih itu bukannya sekali mati maka selama-lamanya mati, meskipun sudah susut sampai seperti itu namun perlahan-lahan bisa bertumbuh kembali.

Awal dari Membangun dari Reruntuhan ini adalah:

  1. Bertahan dalam KETAKUTAN! Takut sekali rumah tangga ini hancur, takut sekali dia mengulangi lagi, takut sekali dia berbohong dan sebagainya. Dan sikap yang dimunculkan meliputi:
    • MENGHINDAR: Menjalin hubungan seminimal mungkin guna memberi waktu bagi luka untuk sembuh.
    • BERLINDUNG dalam teritori: Membatasi ruang kebersamaan, masing-masing melakukan kewajiban dan aktivitas sendiri-sendiri
  2. Menyangkal Diri!
    • Memerlukan upaya keras dan risiko: Ingin percaya namun TAKUT, ingin respek kembali tetapi masih ingin MENGHINA, ingin mengasihi namun tetap memiliki KEBENCIAN
    • Biasanya berangkat dari KEGELISAHAN-tidak menyukai status quo: Harus melakukan sesuatu!

Belajar dari Nehemia untuk membangun dari reruntuhan:

  1. Menghampiri Tuhan dan berkomitmen untuk menjalani proses ini dengan CARA TUHAN, caranya:
    • Mengakui dosa KEPADA PASANGAN(1:6-7)
    • Mengklaim janji penyertaan Tuhan SETIAP HARI!(1:8-9)
    • Menyusun rancangan pemulihan yang REALISTIK (2:7-9), kita meminta bantuan orang untuk dapat menolong kita melewati ini, kita mau ke hamba Tuhan ini, kita mau mendapatkan pertolongan dari konselor ini, kita akan berbuat ini dan itu.
  2. Mengevaluasi KERUSAKAN:
    • Melihat dan mengakui SEMUA kerusakan (2:13-15)
    • Memotivasi satu sama lain untuk mengarahkan mata pada PEMBANGUNAN, bukan pembalasan (2:17-18)
    • Semua pihak TERLIBAT dalam pembangunan, baik istri maupun suami (3:1-32)
  3. Bersiaga terhadap SERANGAN berikutnya:
    • Keruntuhan bersifat SUSUL-MENYUSUL, problem berikut tengah menanti (4:1-15), awalnya seolah-olah problemnya hanya satu yaitu pengkhianatan tapi tiba-tiba menjadi banyak.
    • Iblis tidak senang dan akan terus menyerang: MENCIPTAKAN masalah baru atau MEMBAKAR masalah lama!
    • Kita harus saling melindungi, BUKAN MEMBUKA PELUANG (4:16-23)
  4. Membersihkan sampai ke AKARNYA:
    • Dibalik satu MASALAH, terkandung masalah lain (5:1-3). Kadang-kadang kita berpikir kita telah berhasil mengatasi masalah dari pihak luar tapi masalah dari pihak dalam ini terus menerus muncul.
    • Jangan menoleransi DOSA sekecil apa pun.
    • Kembalikanlah HAK dan FUNGSI masing-masing (5:9-12), sehingga pasangan kita bisa menempati fungsi yang sebenarnya sebagai suami atau istri.
  5. Menjalani HIDUP BARU:
    • Menetapkan ATURAN yang jelas (7:1-3)
    • Merayakan hidup baru-memulai KEBIASAAN DAN AKTIVITAS yang merekatkan relasi
    • Mendasarkan hidup pada FIRMAN TUHAN (8:1-3)

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun dari Reruntuhan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita memang bisa belajar banyak dari tokoh-tokoh Alkitab baik di perjanjian lama maupun di perjanjian baru, salah satunya dalam perbincangan kali ini kita mau mencoba mempelajari tentang tokoh yang namanya Nehemia. Dia dipakai Tuhan untuk membangun kembali tembok kota Yerusalem. Kalau dikaitkan dalam kehidupan berkeluarga bagaimana Pak Paul?

PG : Pak Gunawan, saya mengumpamakan membangun pernikahan yang telah runtuh, ibarat membangun tembok Yerusalem yang telah runtuh. Kita tahu tembok Yerusalem runtuh akibat pertempuran, akibat seangan dari bangsa-bangsa lain yang menyerang Yerusalem.

Pernikahan pun adakalanya mengalami badai, mengalami serangan dan akhirnya menderita kerugian dan runtuh berantakan. Apa yang harus dilakukan oleh suami istri yang mengalami badai atau serangan untuk membangun kembali pernikahan mereka. Kita akan berlajar dari hamba Tuhan yang bernama Nehemia, kita akan belajar hal-hal apa yang dilakukannya untuk membangun tembok itu. Mungkin kita bisa belajar dari pengalaman Nehemia dan kita terapkan ke dalam pernikahan kita.
GS : Jadi dalam hal ini, Pak Paul mengumpamakan rumah tangga itu sebagai bangunan?

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan.

GS : Bangunan menjadi runtuh, tentu ada penyebabnya? Karena tidak mungkin bangunan itu tiba-tiba runtuh tanpa ada sebabnya. Kalau tembok Yerusalem kita tahu karena diserang musuh dan dihancurkan. Tapi kalau dalam kehidupan rumah tangga ini apa Pak Paul?

PG : Ada dua, Pak Gunawan. Yang pertama adalah yang saya sebut faktor internal dan yang kedua saya sebut dengan faktor eksternal. Faktor internal misalkan seperti konflik yang berkepanjangan atu merenggangnya komunikasi, hilangnya keintiman atau melebarnya perbedaan, semua ini adalah hal-hal yang memang lumrah terjadi dalam pernikahan namun kalau tidak ditangani maka hal-hal ini akhirnya bisa meruntuhkan pernikahan itu sendiri.

Ibaratnya rumah kita itu dimakan rayap, sedikit demi sedikit rayap itu masuk menggerogoti kayu-kayu dan tiang-tiang penyangga rumah kita, tanpa kita ketahui rumah kita sudah begitu sangat rapuh dan tinggal hitungan waktu, ada saja goncangan sehingga rumah kita itu akan ambruk. Pernikahan pun adakalanya menderita kerugian atau kerusakan seperti itu, orang tidak menyadari bahwa pernikahannya sebetulnya sudah diambang kehancuran tapi dia menganggap semua baik-baik saja padahal sudah dimakan rayap. Ingat bahwa pernikahan itu dapat diibaratkan seperti pohon, pohon perlu perawatan, disirami diberikan pupuk kalau tidak bukan hanya pohon itu bisa kering layu tapi pohon itu juga bisa dimakan hama/kuman-kuman. Maka kita juga perlu merawat pernikahan, kalau ada ketidakcocokkan maka kita perlu bereskan, kalau komunikasi sudah mulai merenggang maka kita coba akrabkan kembali, kalau keintiman sudah mulai hilang maka kita coba kerjakan kembali sehingga kita bisa mesra lagi atau misalkan perbedaan semakin bertambah dan makin banyak hal yang tidak sama antara kita, maka kita mesti duduk berdua, berbincang-bincang, atau kita bisa kerjakan bersama-sama sehingga minat yang berbeda tidak memisahkan kita. Inilah faktor pertama yang adakalanya terluput dari penglihatan kita dan berdampak buruk menghancurkan pernikahan kita.
GS : Tapi kenapa Pak Paul, biasanya orang lebih sulit melihat faktor-faktor yang bersifat internal seperti itu dari pada faktor-faktor yang eksternal?

PG : Kalau faktor eksternal memang lebih nyata misalnya yang akan kita bahas adalah perselingkuhan atau pengkhianatan adanya orang ketiga. Hal seperti itu memang terlihat jelas, sedangkan fakto-faktor internal seringkali diabaikan karena kebanyakan orang berpikir kalau sudah menikah dianggap pernikahan itu akan hidup dengan sendirinya, tidak diberi air, tidak diberi pupuk, akan hidup dengan sendirinya.

Dan tidak menganggap hal-hal yang telah terjadi itu berpotensi untuk merusakkan pernikahan. Jadi dengan kata lain banyak orang beranggapan bahwa pasangan saya akan selalu mencintai saya, akan selalu setia kepada saya, akan selalu melindungi saya dan sebagainya, tidak menyadari bahwa pasangan adalah manusia juga. Tatkala dia merasa makin menjauh dari kita, dia merasa kita tidak memberikan perhatian kepadanya, dia dalam kondisi yang tidak kuat. Dan dalam kondisi yang tidak kuat, akhirnya juga bisa menyebabkan masalah dalam pernikahan, sehingga cekcok yang seharusnya kecil menjadi besar, karena komunikasi sudah sangat buruk maka hal-hal yang kecil kita mencoba komunikasikan malah tidak bisa tersampaikan dan menimbulkan kesalah pahaman. Biasanya kalau sudah meledak menjadi besar, pertengkaran itu menjadi berkobar, baru kita disadarkan bahwa masalah telah masuk ke dalam pernikahan kita.
GS : Memang seringkali yang terjadi adalah kesadaran yang terlambat seperti itu, tetapi apakah tidak ada semacam peringatan dini bagi pasangan, ketika ada masalah-masalah internal?

PG : Biasaya salah satu dari pasangan ini lebih sadar atau lebih peka, Pak Gunawan. Biasanya yang tersisihkan itu akan mulai mengirimkan sinyal-sinyal bahwa saya sedang membutuhkan engkau, sayakehilangan engkau, saya tidak lagi mendapatkan perhatian engkau.

Sinyal-sinyal itulah yang harus diperhatikan, saya kira yang terjadi adalah banyak orang mengabaikan sinyal-sinyal itu menganggap kamu ini kolokan, memang kamu tidak dewasa dan tidak menyadari bahwa sinyal-sinyal itu menunjukkan bahwa rumah tangga kita telah dimakan rayap.
GS : Jadi masalahnya adalah apakah mereka mau diperingatkan secara dini atau tidak?

PG : Betul.

GS : Kadang-kadang Tuhan juga memakai anak-anak untuk mengingatkan orang tuanya bahwa sebenarnya ada masalah diantara mereka.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Anak-anak misalkan di usia-usia mendekati remaja akan mulai bermasalah, memberontak, tidak patuh, tidak mau ke sekolah dan sebagainya, itu sebetulnya sinyal yangsangat kuat, sinyal yang menunjukkan bahwa ada masalah dalam rumah tangga kita sehingga pengawasan terhadap anak-anak berkurang atau kesatuan kita sebagai orang tua tidak ada lagi sehingga anak-anak sekarang bisa melonjak, bisa kurang ajar dan membelah kita.

GS : Kalau faktor eksternalnya apa Pak Paul?

PG : Biasanya faktor eksternal adalah pengkhianatan. Jadi keterlibatan kita dengan orang lain di luar pernikahan. Inilah faktor keruntuhan yang mudah dilihat, mudah diidentifikasi. Sudah tentu ni adalah sebuah faktor yang berat sekali Pak Gunawan, karena dampaknya itu seketika.

Kalau faktor internal biasanya secara bertahap memakan waktu yang cukup lama. Kalau pengkhianatan terjadi dan diketahui maka dampaknya sangat-sangat mengguncangkan. Jadi saya bisa simpulkan tidak ada pukulan yang lebih dahsyat daripada pengkhianatan dan tidak ada tugas yang lebih berat dari pada membangun reruntuhan akibat pengkhianatan. Meskipun tadi faktor internal juga berpotensi merapuhkan pernikahan dan membuatnya ambruk tapi pengkhianatan itu memang sangat dahsyat pukulannya. Sehingga tugas membangun kembali pernikahan akibat pengkhianatan merupakan tugas yang sangat berat.
GS : Tapi seringkali pengkhianatan ini muncul atau terjadi karena ada masalah internal yang belum terselesaikan?

PG : Betul, jadi masalah internal pada dasarnya itu menjadi lahan empuk, lahan subur untuk munculnya/lahirnya pengkhianatan. Karena dalam rumah tangga masalah berkepanjangan tak berkesudahan, kmunikasi tidak berjalan dengan baik, salah pengertian terus-menerus, perbedaan semakin menjurang, makin tidak mengenali pasangan, begitu berbeda dengan kita.

Misalkan kita bertemu dengan orang yang kita merasa bahwa dia ini bisa sama dengan kita, bisa mengerti kita, komunikasinya bisa nyambung, kesamaan-kesamaan dan perasaan dimengerti apalagi perasaan dikasihi dengan begitu kuatnya, ini benar merupakan daya tarik yang kuat untuk akhirnya menyedot kita keluar dari pernikahan dan jatuh ke dalam dosa perzinahan.
GS : Jadi memang ada kaitan yang erat antara faktor internal dan eksternal itu tadi, Pak Paul?

PG : Biasanya seperti itu Pak Gunawan, tapi adakalanya juga tidak berkaitan. Jadi ada orang yang rumah tangganya relatif baik, sehat tapi akhirnya jatuh karena godaan tertentu yang akhirnya benr-benar terseret, lupa diri itu pun bisa terjadi.

GS : Mungkin karena pergaulan atau situasinya di luar bisa mempengaruhi, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Kalau kita kembali kepada pengkhianatan tadi yang menyebabkan perselingkuhan, dalam hal apa saja pernikahan itu digoyahkan bahkan di runtuhkan?

PG : Setidak-tidaknya ada tiga tiang yang nanti terhantam oleh pengkhianatan. Tiang yang pertama adalah tiang kepercayaan Pak Gunawan, kita tahu kalau pasangan kita telah mengkhianati kita dan ang langsung ambruk adalah kepercayaan.

Kita tidak lagi percaya bahwa dia setia kepada kita, kita tidak lagi percaya pada perkataannya karena ternyata dia telah berbohong kepada kita, mendustai kita tahun demi tahun atau bulan demi bulan. Sikap ini akhirnya melahirkan reaksi was-was, kita kehilangan kepercayaan, kita menjadi sangat was-was, kita tidak lagi tentram sehingga sejak momen itu hidup kita tidak lagi damai. Jangan sampai ini terulang lagi, apakah dia pergi ke tempat seperti yang dia katakan dia akan pergi kesana, apakah dia pergi dengan orang yang seperti dia katakan dia akan pergi dengan orang itu. Sehingga benar-benar yang langsung melanda hidup kita adalah perasaan tidak tenang, was-was sekali.
GS : Jadi makin seseorang diberikan kepercayaan sepenuhnya kepada pasangannya, dan kemudian kalau itu dikhianati akibatnya akan jauh lebih buruk, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Jadi kalau memang pernikahan itu awalnya tenang benar-benar ada kepercayaan tinggi sehingga kita itu sepenuhnya percaya dan saat pengkhianatan terjadi, itu benarbenar menyapu bersih kepercayaan, sampai tidak ada bekasnya, kita benar-benar tidak bisa mempercayai lagi.

Sebab ternyata semua yang kita percayai, semua kata-katanya yang kita sudah dengarkan dan percayai ternyata bohong.
GS : Selain faktor kepercayaan, tiang apa lagi yang diruntuhkan?

PG : Yang kedua adalah tiang respek, Pak Gunawan. Waktu tiang respek itu tersapu maka yang akan muncul adalah sikap menghina. Tadinya kita respek terhadap pasangan kita, dia seorang yang rohani dia seorang yang bertanggung jawab, dia seorang ayah yang baik kepada anak-anak, seorang suami yang mengasihi istri.

Kita respek kepadanya, dia seorang yang memiliki kejujuran tapi begitu kita tahu dia berkhianat kepada kita, respek itu langsung ambles, dan amblesnya bukan di titik nol tapi ke titik minus sehingga reaksi yang muncul menjadi reaksi menghina dia. Seolah-olah di mata kita dia begitu sangat rendah karena perbuatan zinah memang perbuatan dosa perbuatan yang rendah. Jadi reaksi kita kepada dia itu menjadi merendahkan dia, seolah-olah dia tidak ada lagi nilainya. Memang ini seolah-olah tidak adil, bukankah orang itu terdiri dari banyak faktor, banyak aspek, banyak kwalitas, bukan hanya yang buruk tapi banyak yang baik-baiknya. Tapi waktu pengkhianatan terjadi kita tidak mampu melihat aspek yang baik dalam dirinya dan yang kita soroti adalah satu itu saja yaitu keburukannya, pengkhianatannya maka kita menghina dia. Maka tidak jarang dalam masa-masa terjadinya pengkhianatan pasangan yang dilukai itu memang akan membenci luar biasa, memarahinya luar biasa dan kalau memarahi itu kasar, menghina, merendahkan sekali. Ini adalah bagian yang harus diterima oleh pihak yang melukai sebab itulah dampak dari perbuatannya.
GS : Dan itu bisa berlangsung cukup lama, mengenai kita tidak lagi hormat, kita tidak lagi menempatkan dia pada posisi yang sebenarnya ini karena pengkhiantan Pak Paul?

PG : Bisa lama bahkan akhirnya itu menimbulkan rasa jijik, karena kenapa kamu bisa berbuat seperti itu dengan orang itu. Jadi rasa jijik itu membuat kita semakin menghinanya.

GS : Dan rasa hormat tidak bisa dipaksakan, Pak Paul?

PG : Tepat. Kita memang tidak bisa menuntut "Kamu harus respek kepada saya," itu tidak bisa. Jadi harus bertumbuh secara alamiah sewaktu pertobatan itu nyata, perbuatan itu terlihat jelas, perlhan-lahan dan akan memakan waktu bertahun-tahun dan barulah hormat ini bertumbuh kembali.

GS : Apakah ada faktor yang lain yang dihancurkan?

PG : Yang lain adalah cinta. Meskipun ini saya taruh pada urutan yang terakhir, tapi tetap cinta itu akhirnya akan terpengaruh. Pada dasarnya cinta itu memang masih bisa bertahan tapi akan cuku termakan habis.

Dan yang akan muncul akibat pengkhiantan ialah bukannya cinta tapi benci, kebencian yang sangat dalam sekali, kebencian ini memang keluar dari kemarahan dan keinginan untuk membalas karena disakiti. Reaksi orang waktu disakiti yang pertama adalah ingin membalas "Kamu ini begitu jahat, berbuat seperti ini menyakiti hatiku," maka reaksinya adalah ingin membalas. Keinginan inilah yang menimbulkan kebencian yang membara dan kebencian itu menggerogoti atau menyedot cinta yang masih tersisa dalam hati kita.
GS : Padahal suatu rumah tangga atau hubungan suami istri itu dibangun atas dasar cinta, kalau ini sudah runtuh, apakah dengan demikian bahwa rumah tangga itu sudah tidak bisa diselamatkan lagi?

PG : Memang kalau kita lihat secara logis, secara kasat matanya pula, rasanya sudah hampir mustahil. Tapi kita tidak mau berpikir negatif dan pesimis seperti itu. Kita masih berharap akan ada prubahan sebab kita percaya pada Tuhan yang bisa melakukan semuanya termasuk melakukan yang tidak mungkin.

Jadi kita nanti akan melihat bahwa ternyata mungkin ada jalan untuk membangun pernikahan yang telah runtuh ini.
GS : Pak Paul, dalam hal pasangan yang dikhianati atau mengalami keruntuhan seperti itu, apakah itu bisa dilihat secara nyata?

PG : Bisa. Sebetulnya ada beberapa tanda atau reaksi yang keluar dari pihak yang dilukai. Misalnya yang pertama adalah pihak yang dilukai itu akan merasa muak dekat dengan pasangan. Saya gunaka istilah muak, ini memang istilah yang keras tetapi inilah kenyataannya.

Pasangan yang dilukai itu benar-benar muak dekat dengan pasangannya, dia tidak mau dekat. Apalagi kalau misalnya di dekat-dekati, mau disentuh dan dia benar-benar merasa sangat muak dengan tindakan-tindakan seperti itu. Yang berikutnya lagi adalah dia akan mengalami kesedihan yang tidak habis-habisnya, dia menangis terus dan mungkin dia tidak mau menangis di hadapan pasangan yang telah melukainya, dia tidak mau merendahkan dirinya, dia tidak mau dilihat bahwa dia terluka seperti ini. Jadi dia akan menangis di kamar sendirian atau di malam hari sewaktu pasangannya tidur atau sedang bekerja. Tapi air mata itu seperti tidak bisa lagi dibendung, terus-menerus menangis. Ini bagi saya sesuatu yang alamiah dan seyogianyalah, sebab air mata dapat menyucikan, dapat membersihkan kita, seolah-olah membersihkan luka dari darah-darah yang tetap keluar itu. Satu lagi adalah ketakutan Pak Gunawan, orang yang terlukai akan ketakutan kalau-kalau ini terjadi kembali, bagaimana kalau tahun depan terjadi, bagaimana kalau lima tahun terjadi dan terus memikirkan bagaimana kalau ini terulang kembali. Sehingga hidup tidak lagi sama, menjadi penuh dengan ketakutan. Dan tanda yang terakhir adalah kekecewaan yang dalam akan ketegaan pasangan melukai kita, kita bertanya kenapa engkau tega. Jadi ini menimbulkan suatu kekecewaan yang benar-benar masuk ke dalam rongga dada kita.
GS : Tapi ada orang yang sulit mengekspresikan perasaan sedihnya atau perasaan marahnya. Dan kalau dia hanya menyimpan untuk dirinya sendiri apakah mungkin Pak Paul?

PG : Sebaiknya saya kira jangan disimpan sendiri Pak Gunawan, karena beban ini terlalu berat dan saya kira susah untuk orang bisa menanggungnya sendiri. Jadi sebaiknya dia bercerita, memang munkin malu bercerita masalah keluarga tapi dia butuh bantuan.

Jadi jangan sungkan, jangan ragu untuk minta bantuan kepada pihak lain, pihak yang berkopetensi untuk menolong kita.
GS : Adakalanya menyerang fisik orang itu Pak Paul, jadi misalnya jantungnya bisa berdebar, lalu tekanan darah tingginya naik semakin tinggi dan macam-macam Pak Paul?

PG : Betul, atau tidak bisa tidur, hilang nafsu makan. Dan secara emosional pun efeknya bisa menjalar ke kehidupan emosi yang tidak stabil, dengan anak akhirnya sering marah, dengan tetangga da rekan kerja juga sering tersinggung.

Itu semua bagian dari efek perasaan-perasaan yang telah tercabik-cabik itu.
GS : Kadang-kadang pasangan juga tidak mau mengerti seolah-olah dia katakan "Itu sudah selesai, kita sudah bicarakan dan saya sudah minta maaf," tapi akibatnya ini masih dirasakan terus.

PG : Betul, jadi kita bisa melihat di sini Pak Gunawan. Satu tindak pengkhianatan ternyata berbuntut panjang dan harganya terlalu mahal untuk dibayar.

GS : Tadi Pak Paul katakan bagaimana pun juga ini masih bisa dibangun kembali dari reruntuhan-reruntuhan. Rasanya secara akal manusia itu tidak mungkin tapi bagaimana Pak Paul?

PG : Di sini dituntut iman Pak Gunawan. Kita mesti beriman dan berkata "Kalau Tuhan Allah sanggup membangkitkan Tuhan Yesus Kristus dari kematian. Masakan Ia tidak sanggup membangkitkan kembalikasih, respek dan cinta dalam relasi yang telah runtuh ini."

Benar-benar mesti ada iman bahwa Allah sanggup dan mesti ada komitmen berdua untuk mau menjalaninya. Betul bahwa ini menjadi perjalanan yang panjang tapi ini perjalanan yang akan ada akhirnya. Pada saat ini saya mengerti kita akan berkata, "Ini rasanya tidak berakhir, rasa sakit dan penderitaan ini tidak berkesudahan," betul sekarang ini memang rasanya seperti itu tapi saya mau tekankan bahwa perjalanan ini akan ada akhirnya dan akhirnya adalah sebuah kemenangan. Jikalau kita berdua memang mau untuk mengikuti kehendak Tuhan.
GS : Tapi dalam hal ini selain dibutuhkan komitmen antara mereka berdua, itu dibutuhkan orang ketiga yang bisa menolong mereka untuk mau membangun kembali rumah tangganya, Pak Paul?

PG : Saya setuju Pak Gunawan, sebab pada saat ini mungkin motivasi itu sudah pada titik yang paling lemah. Jadi perlu orang yang bisa membangkitkan semangat mereka untuk "Mari jalan lagi, janga lepaskan, jangan menyerah, mari yang penting sekarang dia sudah sadar, dia mau bertobat, mari kita lewati semua ini bersama-sama."

GS : Dan ini memang sulit kalau misalnya ditargetkan untuk sekian waktu harus tercapai Pak Paul?

PG : Betul, memang tidak mudah untuk kita bisa menargetkan semua itu. Namun kita akan bisa melewatinya, Pak Gunawan. Tadi saya sudah singgung bahwa kita mesti bersandar bukan pada kekuatan sendri tapi pada kekuatan Tuhan.

Selain dari pada itu sebetulnya ada satu lagi yang ingin saya munculkan, yang bisa menjadi aset atau kekuatan kita yaitu kekuatan cinta. Ini saya temukan dalam berbagai pasangan yang mengalami krisis akibat pengkhianatan Pak Gunawan, ternyata dalam banyak pasangan yang telah saya temui ini ternyata cinta itu masih bertahan. Saya kadang-kadang terkejut, tidak menyangka meskipun telah begitu babak belur, masih ada cinta yang tersisa dalam diri seseorang. Inilah yang saya kira aset yang nanti bisa kita daya fungsikan, mungkin ada baiknya kita sedikit menyoroti tentang cinta itu, kenapa cinta bisa menjadi aset untuk membangun kembali keluarga yang telah runtuh. Ada beberapa sekurang-kurangnya ada empat sifat cinta, yang pertama adalah cinta itu memang bersifat menyatu artinya kalau kita mencintai, kita ingin mendekati orang yang kita cintai dan bersatu dengan dia. Itu sebabnya di dalam rumah tangga yang telah runtuh, meskipun keinginan untuk pisah itu ada tapi di pihak lain kalau ada sedikit cinta maka ada keinginan untuk tetap dekat dengan dia.
GS : Memang kasih merupakan sifat Ilahi, jadi bukan berasal dari kita sendiri. Memang saya rasa ini tidak akan bisa hilang sama sekali Pak Paul, tapi untuk bisa mempersatukan itu harus dipahami betul oleh pasangan. Dan faktor yang lain dari kasih ini apa?

PG : Kasih itu juga bertahan, artinya meskipun kasih itu dihantam, dipukul tapi kasih cenderung bertahan. Kasih itu susah untuk memudar, bahkan kasih pada diri orang yang telah berkhianat untukdia berkata, "Saya seratus persen tidak ada kasih kepada istri saya atau kepada suami saya."

Itu sebetulnya susah dipercaya sebab cinta itu susah memudar. Jadi kita masih bisa menggali kekuatan cinta dalam diri bahkan diri orang yang telah berkhianat itu sendiri.
GS : Yang lainnya apa Pak Paul?

PG : Yang ketiga, kasih itu bersifat melawan artinya kasih itu mau melindungi orang yang kita kasihi dan kita mau melindungi relasi kasih ini supaya jangan sampai akhirnya punah. Jadi ada keingnan untuk berkelahi, melawan, melindungi.

Saya kira ini adalah aset cinta yang nanti bisa kita daya fungsikan.
GS : Berarti kasih yang tidak bisa padam tadi, suatu saat akan berkobar kembali?

PG : Betul. Ini sifat yang keempat dari cinta, jadi kasih itu dinamis artinya dapat bertunas kembali, kasih itu bukannya sekali mati maka selama-lamanya mati, meskipun sudah susut sampai sepert itu namun perlahan-lahan bisa bertumbuh kembali.

GS : Berarti ada benih kehidupan di dalam kasih itu?

PG : Betul Pak Gunawan, Allah itu kasih dan kita sudah tahu itulah benih kehidupan. Jadi walaupun sudah babak belur, jika masih ada kasih berarti masih ada pengharapan.

GS : Pembicaraan mengenai membangun dari reruntuhan ini memang akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang, tetapi bagi para pendengar kita tentu ingin mendapatkan pedoman dari firman Tuhan, apakah Pak Paul bisa membacakannya?

PG : Saya akan bacakan Mazmur 121 : 1-5, "Aku melayangkan mataku kegunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. Ia takan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap.

Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel. TUHANlah Penjagamu, TUHANlah naunganmu di sebelah tangan kananmu." Ini janji Tuhan, kita mungkin dalam kebingungan, kebuntuan, melihat kemana-mana mencari pertolongan. Ingat Tuhanlah yang dapat menolong, Dialah yang menjadikan langit dan bumi, Dia pasti mampu menolong kita. Jadi inilah harapan dan dasar pengharapan kita.
GS : Kita bisa berpegang teguh pada janji firman Tuhan ini karena Tuhan tidak pernah berbohong dan apa yang disampaikannya akan menjadi suatu kenyataan. Dan Pak Paul kita akan lanjutkan perbincangan ini karena masih ada beberapa poin, beberapa hal yang mesti kita perbincangkan dan kita berharap para pendengar kita akan mengikuti kelanjutan dari perbincangan ini, terima kasih Pak Paul. Para pendengar sekalian kami berterima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun dari Reruntuhan," bagian yang pertama karena perbincangan masih akan kami lanjutkan pada perbincangan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



55. Membangun Dari Reruntuhan 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T228B (File MP3 T228B)


Abstrak:

Lanjutan dari T228A


Ringkasan:

Membangun pernikahan yang telah runtuh, ibarat membangun tembok Yerusalem yang telah runtuh. Kita tahu tembok Yerusalem runtuh akibat pertempuran, akibat serangan dari bangsa-bangsa lain yang menyerang Yerusalem. Pernikahan pun adakalanya mengalami badai, mengalami serangan dan akhirnya menderita kerugian dan runtuh berantakan. Apa yang harus dilakukan oleh suami istri yang mengalami badai atau serangan untuk membangun kembali pernikahan mereka? Kita akan berlajar dari hamba Tuhan yang bernama Nehemia, kita akan belajar hal-hal apa yang dilakukannya untuk membangun tembok itu.

Penyebab Keruntuhan:

  1. Faktor internal, seperti konflik berkepanjangan, merenggangnya komunikasi, hilangnya keintiman, melebarnya perbedaan. Ingat: Ibarat pohon, relasi pernikahan memerlukan siraman dan perhatian!
  2. Faktor eksternal yakni PENGKHIANATAN. Tidak ada badai yang lebih dahsyat daripada PENGKHIANATAN! Pengkhianatan meruntuhkan:
    • Kepercayaan, kita tidak lagi percaya bahwa dia setia kepada kita, kita tidak lagi percaya pada perkataannya karena ternyata dia telah berbohong kepada kita. Dan kita bersikap WAS-WAS dan tidak tenteram, sehingga sejak momen itu hidup kita tidak lagi damai. Jangan sampai ini terulang lagi, apakah dia pergi ke tempat seperti yang dia katakan dia akan pergi kesana, apakah dia pergi dengan orang yang seperti dia katakan dia akan pergi dengan orang itu.
    • Respek. Seolah-olah di mata kita dia begitu rendah karena perbuatan zinah memang perbuatan dosa, perbuatan yang rendah. Jadi reaksi kita kepada dia itu menjadi merendahkan dia, seolah-olah dia tidak ada lagi nilainya. Dan itu menimbulkan sikap MENGHINA.
    • Cinta. Pada dasarnya cinta itu memang masih bisa bertahan tapi akan cukup termakan habis. Dan yang akan muncul akibat pengkhianatan ialah bukannya cinta tapi benci, kebencian yang sangat dalam sekali, kebencian ini memang keluar dari kemarahan dan keinginan untuk membalas karena disakiti.

Reruntuhan dalam pernikahan meliputi:

Mengapa Mungkin Membangun dari Reruntuhan?

  1. Jika Allah sanggup membangkitkan Kristus dari KEMATIAN, Ia pasti sanggup membangkitkan Kasih, Respek, dan Percaya dalam relasi yang telah mati!
  2. Kasih MENYATU (menuju pada kedekatan), artinya kalau kita mencintai, kita ingin mendekati orang yang kita cintai dan bersatu dengan dia.
  3. Kasih BERTAHAN (sukar memudar), artinya meskipun kasih itu dihantam, dipukul tapi kasih cenderung bertahan.
  4. Kasih MELAWAN (melindungi relasi kasih), artinya kasih itu mau melindungi orang yang kita kasihi dan kita mau melindungi relasi kasih ini supaya jangan sampai akhirnya punah.
  5. Kasih DINAMIS (dapat bertumbuh kembali), artinya dapat bertunas kembali, kasih itu bukannya sekali mati maka selama-lamanya mati, meskipun sudah susut sampai seperti itu namun perlahan-lahan bisa bertumbuh kembali.

Awal dari Membangun dari Reruntuhan ini adalah:

  1. Bertahan dalam KETAKUTAN! Takut sekali rumah tangga ini hancur, takut sekali dia mengulangi lagi, takut sekali dia berbohong dan sebagainya. Dan sikap yang dimunculkan meliputi:
    • MENGHINDAR: Menjalin hubungan seminimal mungkin guna memberi waktu bagi luka untuk sembuh.
    • BERLINDUNG dalam teritori: Membatasi ruang kebersamaan, masing-masing melakukan kewajiban dan aktivitas sendiri-sendiri
  2. Menyangkal Diri!
    • Memerlukan upaya keras dan risiko: Ingin percaya namun TAKUT, ingin respek kembali tetapi masih ingin MENGHINA, ingin mengasihi namun tetap memiliki KEBENCIAN
    • Biasanya berangkat dari KEGELISAHAN-tidak menyukai status quo: Harus melakukan sesuatu!

Belajar dari Nehemia untuk membangun dari reruntuhan:

  1. Menghampiri Tuhan dan berkomitmen untuk menjalani proses ini dengan CARA TUHAN, caranya:
    • Mengakui dosa KEPADA PASANGAN(1:6-7)
    • Mengklaim janji penyertaan Tuhan SETIAP HARI!(1:8-9)
    • Menyusun rancangan pemulihan yang REALISTIK (2:7-9), kita meminta bantuan orang untuk dapat menolong kita melewati ini, kita mau ke hamba Tuhan ini, kita mau mendapatkan pertolongan dari konselor ini, kita akan berbuat ini dan itu.
  2. Mengevaluasi KERUSAKAN:
    • Melihat dan mengakui SEMUA kerusakan (2:13-15)
    • Memotivasi satu sama lain untuk mengarahkan mata pada PEMBANGUNAN, bukan pembalasan (2:17-18)
    • Semua pihak TERLIBAT dalam pembangunan, baik istri maupun suami (3:1-32)
  3. Bersiaga terhadap SERANGAN berikutnya:
    • Keruntuhan bersifat SUSUL-MENYUSUL, problem berikut tengah menanti (4:1-15), awalnya seolah-olah problemnya hanya satu yaitu pengkhianatan tapi tiba-tiba menjadi banyak.
    • Iblis tidak senang dan akan terus menyerang: MENCIPTAKAN masalah baru atau MEMBAKAR masalah lama!
    • Kita harus saling melindungi, BUKAN MEMBUKA PELUANG (4:16-23)
  4. Membersihkan sampai ke AKARNYA:
    • Dibalik satu MASALAH, terkandung masalah lain (5:1-3). Kadang-kadang kita berpikir kita telah berhasil mengatasi masalah dari pihak luar tapi masalah dari pihak dalam ini terus menerus muncul.
    • Jangan menoleransi DOSA sekecil apa pun.
    • Kembalikanlah HAK dan FUNGSI masing-masing (5:9-12), sehingga pasangan kita bisa menempati fungsi yang sebenarnya sebagai suami atau istri.
  5. Menjalani HIDUP BARU:
    • Menetapkan ATURAN yang jelas (7:1-3)
    • Merayakan hidup baru-memulai KEBIASAAN DAN AKTIVITAS yang merekatkan relasi
    • Mendasarkan hidup pada FIRMAN TUHAN (8:1-3)

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun dari Reruntuhan" bagian yang kedua, perbincangan ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membicarakan tentang membangun dari reruntuhan tapi belum selesai dan kita akan tuntaskan pada perbincangan kali ini. Dan mungkin saja para pendengar kita ada yang tidak sempat mendengar atau paling tidak perlu diingatkan ulang apa yang telah kita perbincangkan dan mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang telah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu?

PG : Pernikahan itu bisa runtuh akibat dua faktor, yang saya sebut faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah hal-hal yang berkaitan dengan misalnya konflik yang tak berkesudahan, tiak selesai-selesai, komunikasi yang makin merenggang, keintiman yang makin memudar, atau perbedaan semakin banyak.

Itu dapat saya ibaratkan seperti rayap yang mengerogoti rumah sehingga tiang-tiangnya tiba-tiba rapuh dan badai muncul sehingga langsung ambruk. Jadi faktor internal juga berpotensi untuk menghancurkan pernikahan maka kita mesti mawas diri. Jangan biarkan ketidakcocokkan, masalah berkembang terus tapi secepatnya kita bereskan. Dan kita juga belajar adakalanya problem muncul dari luar yaitu pengkhianatan, salah seorang suami atau istri terlibat dengan orang lain dan itu benar-benar akan menghancurkan sendi-sendi pernikahan sekurang-kurangnya tiga sendi yaitu yang pertama kepercayaan. Waktu kepercayaan hilang maka benar-benar yang akan muncul adalah sikap was-was, ketakutan, tidak lagi tentram dalam rumah tangga, takut kalau ini terulang kembali. Yang kedua adalah sendi respek, kita tidak lagi respek, tapi kita cenderung menghina pasangan yang telah berkhianat, karena dia bisa berbuat hal sejijik itu, serendah itu dan susah untuk kita bisa hormat kepada dia. Dan yang terakhir adalah cinta, cinta juga akhirnya akan terkoyak-koyak dan yang muncul adalah sebuah kebencian "Kenapa kamu sanggup berbuat seperti itu kepada saya." Meskipun dampaknya terlalu berat dan secara manusia susah untuk dibayangkan bisa dibangun kembali tapi kita bisa berkata bahwa "Tidak ada yang musatahil bagi Tuhan, kalau Yesus Tuhan kita dapat dibangkitkan, kenapa pernikahan yang telah runtuh atau mati tak bisa dibangkitkan kembali?" Atas dasar itulah kita mau melihat sekarang, langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan untuk membangun pernikahan yang telah runtuh itu.
GS : Pada waktu itu Pak Paul juga katakan bahwa, dasarnya dimulai dengan kasih dan kasih dibagi menjadi beberapa hal, apa saja waktu itu?

PG : Kita membahas bahwa kasih itu mempunyai sifat yang menyatu meskipun sisanya hanya sedikit tapi kasih masih ada. Kasih akan memanggil kita untuk kembali berdekatan dengan pasangan kita. Kash itu juga bertahan tidak mudah memudar, meskipun pihak yang melukai berkata, "Sudah tidak ada kasih dan semuanya sudah habis," cinta itu tidak mudah memudar atau lenyap begitu saja.

Kasih itu juga ingin melawan, melindungi yang dikasihi, relasi kasih, sehingga kecenderungannya kita akan mau berupaya sekeras mungkin mempertahankan relasi cinta ini. Dan yang terakhir cinta bersifat dinamis artinya apa yang telah mati itu bisa tumbuh kembali karena itulah sifat dasar dari cinta.
GS : Dan dengan modal yang ada yaitu kasih, kalau pasangan suami istri mau membangun kembali kehidupan rumah tangganya, mereka harus memulainya dari mana?

PG : Memang ini sebuah perjalanan yang panjang dan saya akan bagi dalam dua tahapan yaitu awalnya dan tengah-tengahnya dan nanti kita akan bahas dengan lebih mendetail mengenai langkah-langkah ang kita petik dari buku Nehemia.

Awal dari membangun, saya bisa simpulkan diawali dengan suatu tema yaitu bertahan dalam ketakutan. Kita garis bawahi ketakutan sebab memang bagi pihak yang dilukai inilah yang dirasakan yaitu ketakutan. Takut sekali rumah tangga ini hancur, takut sekali dia mengulangi lagi, takut sekali dia berbohong dan sebagainya. Dalam masa ini atau tahap ini umumnya para pasangan yang dilukai itu akhirnya bersikap menghindar, menjalin hubungan seminimal mungkin guna memberi waktu bagi luka untuk sembuh. Jadi memang tidak mau terlalu dekat dengan orang yang telah melukainya. Ijinkanlah pasangan yang telah melukai dan jangan marah tapi ijinkan pihak yang dilukai itu untuk menghindar karena itulah yang diperlukannya. Dan dalam fase yang pertama ini kecenderungannya adalah dua belah pihak berlindung dalam teritori atau wilayah masing-masing artinya mereka membatasi ruang kebersamaan terutama pihak yang dilukai, dia perlu sekali ruang untuk dia bisa bersembunyi, untuk dia bisa merasa aman, dia tidak mau banyak melakukan kegiatan bersama-sama. Mungkin pihak yang melukai ingin cepat sembuh "Mari kita pergi kesana-kesini," mulai mau melakukan aktifitas bersama-sama tapi pihak yang dilukai belum siap, dia masih memerlukan waktu untuk bisa berdiam diri, dia perlu menjauh. Biarkan dia, ijinkan dia memiliki teritorinya, jangan terlalu memaksakan untuk langsung meningkatkan aktifitas bersama-sama.
GS : Berarti pihak yang melukai atau yang mengkhianati itu harus menunggu sampai pasangannya betul-betul siap untuk keluar dari teritorinya, Pak Paul?

PG : Betul, dan memang untuk bisa kita pastikan itu susah. Kesiapan itu harus muncul secara alamiah, sudah tentu pihak yang dilukai juga tidak boleh menyuburkan reaksi-reaksi benci dan sebagaina.

Harus berusaha keras untuk mencairkan perasaan marah dan kebenciannya, tapi memang ini perlu waktu. Kalau orang bertanya misalnya kira-kira berapa lama? Saya kira panas-panasnya atau membaranya masa ini, paling kurang antara setahun dan dua tahun.
GS : Dan biasanya kalau yang mengkhianati pihak yang laki-laki lalu disuruh menunggu seperti itu kadang-kadang tidak tahan Pak Paul?

PG : Betul, dia memang akan merasa susah, dia merasa sedang dihukum. Tapi ingatlah bukannya dia sedang dihukum tapi pasangan yang dilukai itu memerlukan waktu untuk sembuh, untuk pulih sehingganantinya dia rela dan bisa berelasi dengan kita kembali.

Ini yang harus dilewati di fase awal dan kalau ini sudah berat, di fase berikutnya juga tidak kalah beratnya Pak Gunawan. Ini yang saya sebut proses membangun, yang diperlukan adalah penyangkalan diri dan ini juga berat karena di fase membangun diperlukan upaya keras dan resiko misalnya dia ingin percaya kembali namun takut. Ini selalu membuat tarik-menarik, mau percaya tapi takut "Nanti bagaimana kalau dilukai," ingin respek tapi ingin menghina dan merendahkan pasangan "Kenapa sampai engkau berbuat sejijik itu," masih ingin mengasihi namun tetap memiliki kebencian dan seolah-olah masih ingin membalas rasa sakit yang telah ditimbulkan oleh pasangannya. Jadi biasanya terjadilah perjuangan, maka tadi saya katakan diperlukan penyangkalan diri. Namun pertanyaannya adalah harus dilakukan atau tidak? Dan harus dilakukan. Mungkin orang bertanya bagaimana saya tahu kalau saya sudah harus melakukan ini, biasanya diri kita yang tahu yaitu kita mulai merasakan kegelisahan, kita merasa ini tidak benar kalau begini terus menerus, berada dalam 'status quo', dalam kondisi yang sama, rasanya ini tidak bisa dan kita mulai tidak menyukai kondisi seperti ini menjauh, dingin, tidak banyak percakapan. Jadi tadi saya katakan kita perlu ruangan teritori sendiri menjauh untuk sementara waktu. Bagaimana kita tahu kalau sekarang kita tidak lagi perlu dan siap masuk ke tahap berikutnya, biasanya kita mulai merasakan kegelisahan, kita tahu kalau ini tidak benar dan kita mau melangkah lebih jauh lagi dan biasanya kita terpanggil melangkah tapi begitu mau melangkah kita dihantam oleh ombak-ombak yaitu ombak ketakutan, "Kalau kamu percaya dan kamu ditipu lagi bagaimana." Ombak masih ingin menghina meskipun terpanggil untuk respek kembali kepada pasangan. Ombak untuk tetap membenci meskipun kita tahu kalau kita masih mencintai dia. Maka tadi saya tekankan dalam proses membangun, benar-benar dituntut adanya penyangkalan diri. Tidak lagi melihat diri tapi mau melihat proses membangun, mari kita bangun, tidak lagi memikirkan diri sendiri.
GS : Tapi proses penyangkalan diri ini bukan hanya harus dilakukan oleh pihak yang dilukai tapi juga yang melukai, ini pun perlu menyangkal dirinya sendiri. Sebab pada pihak yang melukai satu hal yang terus-menerus dialami adalah penolakan, rasanya dia sudah capek ditolak dan dia merasa kamu itu sampai kapan terus-menerus menolak saya, saya sudah sabar tapi kenapa ditolak. Dia memang harus menyangkal diri, sekali lagi dia harus kesampingkan egonya dan fokuskan pada proyek yaitu membangun relasi yang telah hancur ini.
GS : Pak Paul, pada waktu yang lalu di awal perbincangan kita mau belajar dari salah satu tokoh yang ada di Alkitab yaitu Nehemia yang membangun kembali tembok kota Yerusalem dan untuk kita bisa masuk kesana bagaimana Pak Paul?

PG : Kita lihat Pak Gunawan. Yang pertama Nehemia adalah seorang yang memang terpanggil untuk melayani umatnya yaitu umat Israel, meskipun saat itu dia tidak berada di Israel tapi dia berada dipembuangan, namun dia terpanggil pulang untuk membangun.

Yang dia lakukan yaitu dia langsung menghampiri Tuhan dan berkomitmen untuk melakukan proses membangun kembali tembok Yerusalem dengan cara Tuhan, dia berdoa, dia meminta Tuhan menuntunnya itulah langkah pertama yang dilakukannya, ini semua tercatat di pasal satu. Jadi pasangan kalau mau menjalani proses pemulihan, mereka harus berkomitmen dengan cara Tuhan dan tidak boleh melakukan cara-cara manusia. Konkretnya dari cara Tuhan adalah langkah pertama mengakui dosa karena kita tahu pada pasal satu Nehemia berdoa meminta ampun kepada Tuhan, bukan saja atas dosa pribadinya, tapi dosa umat Israel. Jadi kalau kita mau melakukannya dengan cara Tuhan yang pertama adalah harus mengakui dosa dihadapan pasangan kita, mengakui perbuatan-perbuatan kita dan jangan sembunyikan lagi. Sebab kalau ada yang kita tutupi dan ketahuan itu semakin menghancurkan kepercayaan, jadi makin memperlambat proses pemulihan, akui dosa apapun itu. Yang kedua adalah kita mesti mengklaim janji penyertaan Tuhan. Nehemia tahu bahwa dia harus pergi dengan kekuatan dan penyertaan Tuhan itu yang dia lakukan, dia berdoa, dia meminta Tuhan yang memberkati dan menyertai dia dalam perjalanan dan dalam usaha-usahanya. Jadi setiap hari pasangan yang sedang menjalani proses ini, kedua-duanya harus mengklaim lagi janji penyertaan Tuhan. "Tuhan, Kau tidak akan meninggalkan kami, Kau bersama kami meskipun hari ini kami tidak terlalu berhasil, hari ini kami penuh dengan ketidakcocokkan, kemarahan tapi kami tahu engkau berada dalam rumah tangga kami, engkau tidak meninggalkan kami. Kami berdoa besok engkau akan bersama kami lagi menjalani proses ini," terus klaim penyertaan Tuhan. Dan yang berikut adalah kalau mau melakukan dengan cara Tuhan, mulailah menyusun sebuah rancangan pemulihan yang realistik, artinya Nehemia itu begitu dia melihat inilah masalahnya, dia mulai menyusun sebuah rancangan makanya dia pulang dengan membawa bahan-bahan bangunan yang diperlukan untuk membangun tembok Yerusalem. Kita pun juga harus menyusun sebuah rencana, kita mau ke hamba Tuhan ini, kita mau mendapatkan pertolongan dari konselor ini, kita akan berbuat ini dan itu. Jadi mulailah disusun sebuah rencana bagaimana memulihkan dan tidak boleh kita berkata, "Terserahlah, nanti kita akan sembuh sendiri," itu salah! Kita akan sembuh dengan cara Tuhan maka harus susun rencana, kita meminta bantuan orang untuk dapat menolong kita melewati ini.
GS : Tadi Pak Paul katakan kita harus mengakui dosa kita, itu juga kadang-kadang masih terselip harapan kamu juga harus mengakui dosamu. Karena tidak mungkin kalau hanya dosa saya, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Dua-duanya memang harus saling mengakui dosa. Pihak yang melukai memang harus berinisiatif, dia yang memulai dan berkata "Saya mengakui dosa saya ini dan itu," pihak yang dilukai juga buka orang tanpa dosa, dia pun mungkin melakukan hal-hal lain yang bisa jadi sama beratnya meskipun bentuknya berbeda, dia juga harus berani berkata, "Saya juga telah bersalah, saya telah melakukan begini," dia pun juga harus berani mengakui dosanya itu.

Jangan sampai yang satu bersifat membenarkan diri "Saya yang benar, saya yang kudus, kamu yang telah berzinah maka kamu yang telah berdosa," bukan begitu! Kita tidak ada yang sempurna. Akan ada bagian dalam hidup kita yang kita juga pernah lakukan yang perlu kita minta maaf kepada pasangan kita.
GS : Itu juga diawali dengan suatu komitmen bahwa mereka berdua mau kembali membangun rumah tangga itu. Jadi pasangan juga akan mengakui dosa-dosanya, kalau dia punya komitmen untuk memperbaiki rumah tangganya, kalau tidak maka akan sulit sekali, Pak Paul?

PG : Betul. Kalau dua-dua itu tidak memiliki komitmen yang sama maka akan sangat susah. Jadi dua-dua harus punya komitmen mau membangun kembali dan dua-duanya harus berkata, "Kita mau melakukanya dengan cara Tuhan," jangan pakai cara-cara manusia yaitu intimidasi, mengancam dan sebagainya tapi cara Tuhan yang kita mau gunakan.

GS : Kadang masing-masing mau melibatkan keluarganya, entah itu orang tuanya atau saudaranya dan itu yang membuat kabur. Jadi cara Tuhan ini kadang-kadang dikaburkan dengan cara-cara seperti itu?

PG : Betul.

GS : Dan langkah berikutnya apa, Pak Paul?

PG : Kita perlu mengevaluasi kerusakan. Begitu datang ke Yerusalem, Nehemia malam-malam keluar, dia lihat apa saja kerusakan yang dialami. Dan kita pun juga harus melakukan yang sama, kita haru melihat dan mengakui semua kerusakan dalam rumah tangga kita.

Kerusakan ini mungkin sekali memang berumur panjang, bersejarah panjang di belakang, dari awal kita bertemu, berpacaran sudah mulai rusak dan kita mulai akui semua itu, "Saya memang begini, saya lihat kamu memang begini." Memang ini masa yang berat karena waktu membicarakan kerusakan memancing emosi "Kamu membangkitkan yang lama," tapi memang kita harus benar-benar membicarakan kerusakan-kerusakan ini. Misalkan yang satu berkata "Saya dari dulu merasa sepi sekali tapi kamu terlalu sibuk memikirkan hal-hal ini dan itu, saya kesepian sekali, saya bukannya menyalahkan kamu gara-gara kamu maka saya ini berzinah, tapi perzinahan tetap tanggung jawab saya. Namun saya mau katakan kesepian saya itu benar-benar telah merusak saya, membuat saya itu begitu kosong. Sehingga akhirnya saya begitu mudah jatuh." Sekali lagi ini masa emosional yang satu bisa merasa disalahkan "Gara-gara saya," dan terus marah-marah. Tapi mesti bicara apa kerusakan yang telah terjadi. Setelah itu saling motivasilah satu sama lain dan kembali mengarahkan mata pada pembangunan dan bukan pembalasan. Jadi setelah membicarakan kerusakan masalah yang telah dialami sejak awal bertemu, maka jangan membicarakan pembalasan. Kita bicara begini dengan satu tujuan mau membangun, mau memulihkan bukan untuk menyalahkan membalas satu sama lain. Setelah itu kembali lagi dua-dua harus berkata, "Baik kita akui, ini semua kerusakan dalam rumah tangga kita, mari kita komitmen lagi berdua." Dua-dua akan terlibat dalam proses pembangunan bukan hanya satu bukan hanya yang melukai, jadi ini seolah komitmen babak kedua. Komitmen babak pertama memang komitmen yang lebih berapi-api "Mari kita bereskan pernikahan ini," komitmen babak kedua ini jauh lebih realistik karena sekarang ini sudah berdasarkan realitas "Memang rusaknya seperti ini, sudah begitu parah," tapi mau tidak kembali berkata, "Baik, kita mau bangun kita mau fokuskan mata kita pada pemulihan bukan pembalasan."
GS : Memang yang menyakitkan adalah karena selalu melihat kekurangan-kekurangan di dalam pernikahan masa lalu, ini seolah-olah mengorek luka lama, Pak Paul. Dan tidak semua orang mau dan mampu melakukannya.

PG : Betul sekali. Maka wajib harus ada bantuan pihak luar yang memang berkompetensi untuk menolong merujukkan. Sebab waktu berbicara tentang kerusakan-kerusakan akan menyakitkan dan kecenderunan kita adalah merasa disalahkan "Kamu ini menyalahkan saya lagi dan tidak mau tanggung jawab."

Bukan saling menyalahkan tapi saling melihat kerusakannya seperti apa.
GS : Kalau datang kepada konselor, katakan datang kepada Pak Paul, biasanya Pak Paul meminta mereka mengutarakannya masing-masing terlebih dahulu atau sama-sama saling berhadapan?

PG : Biasanya bersama-sama. Jadi mereka memang harus bicara apa adanya di hadapan satu sama lain. Memang dengan adanya pihak ketiga yang bisa mengatur cara mereka berbicara dan dampaknya bisa sdikit banyak dikurangi sehingga terapi satu konselor bisa menolong yang satunya untuk mengerti "Kenapa dia bisa begini dan begitu."

GS : Biasanya ketika kita mengutarakan kekurangan-kekurangannya atau kebutuhan-kebutuhan kita dan sebagainya, pihak pasangan itu juga berpikir hal yang sama jadi tidak mendengarkan apa yang kita katakan Pak Paul?

PG : Betul, jadi kita sebagai pihak yang menolong juga harus melakukan seolah-olah mengulang kembali dan menanyakan reaksinya bagaimana pandanganmu, pendapatmu, tanggapanmu terhadap apa yang diatakan oleh pasanganmu tentang kekurangan-kekurangan kamu ini? Dia memang harus mendengarkan kembali dan memberi tanggapan.

GS : Kalau tidak ada konselor atau pihak ketiga yang tadi Pak Paul katakan, itu akan menjadi pertengkaran baru lagi Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Dan langkah berikutnya lagi apa?

PG : Langkah berikut adalah bersiaga terhadap serangan berikutnya. Setelah Nehemia mengumpulkan semua orang Israel untuk membangun kembali, kemudian datanglah serangan dari Sanbalat, Tobia dan ebagainya, orang-orang yang tinggal di sekitar situ tidak senang melihat tembok Yerusalem dibangun kembali.

Jadi kita yang sedang membangun rumah tangga kita harus sadar bahwa pertama keruntuhan bersifat susul-menyusul, problem berikut telah menanti, maka harus hati-hati jadi harus siap. Ternyata waktu kita mau membereskan problem tidak hanya satu, awalnya seolah-olah problemnya hanya satu yaitu pengkhianatan tapi tiba-tiba menjadi banyak. Ini bisa melemahkan semangat, menjadi tambah runyam, tambah bermasalah. Dan ini yang justru diawal, diwaspadai dan jangan sampai patah semangat. Memang inilah duduk masalahnya, yaitu problem susul-menyusul karena yang satu belum selesai, sudah mencul lagi tapi ingat ini untuk kebaikan. Seperti sedang dibedah, memang semua dibuka dan semua terlihat jelas. Kita juga mesti ingat bahwa iblis tidak senang dan akan terus menyerang, menciptakan masalah baru atau membakar masalah lama. Kita mau melihat dan mengakui masalah lama, luka-luka lama, kerusakan-kerusakan yang telah terjadi, namun setelah kita bereskan, hati-hati iblis kadang-kadang meniup-niup lagi, membakar-bakar lagi, "Jangan mau, begitu saja mudah selesai. Kamu dirugikan begitu besar dan balaslah," maka dibakar-bakar lagi masalah lama. Atau iblis nanti meniup-niup dan berkata, "Masalah ini baru muncul", jadi seolah-olah kita dihantam dari belakang oleh masalah lama dan dihantam dari depan oleh masalah yang baru. Jadi benar-benar kita akan merasa tertindih dan hati-hati, makanya kita harus saling melindungi. Kita tahu Nehemia menyuruh semua bawahannya/tentaranya untuk saling menjaga, yang satu membangun, yang satu berjaga dengan perisai dan tombak. Suami dan istri harus saling melindungi, saling menjaga bukan malah melebarkan masalah. Di dalam tahap ini harus saling melindungi.
GS : Jadi baik perselingkuhan atau pengkhianatan atau bentuk-bentuk lain yang memicu adanya konflik antara suami dan istri itu sebenarnya hanya ujung dari suatu gunung es, Pak Paul?

PG : Tepat sekali dan ternyata di bawahnya memang ada banyak sekali masalah yang memang terkandung. Maka prinsip berikutnya yang dapat kita terapkan dari Nehemia adalah kita mesti bersihkan maslah sampai keakar-akarnya, Nehemia juga begitu.

Dibalik suatu masalah biasanya terkandung masalah lain di dalamnya, Nehemia sudah membereskan dengan orang-orang dari pihak luar, tapi tiba-tiba mendapatkan berita yaitu para pemimpin Israel merampasi kebun anggur, ladang milik orang Israel dan di bagian ini betul-betul menjengkelkan sekali. Kadang-kadang kita berpikir kita telah berhasil mengatasi masalah dari pihak luar tapi masalah dari pihak dalam ini terus menerus muncul, tidak apa-apa kita harus selesaikan sampai ke akarnya dan jangan menoleransi dosa sekecil apapun, ini prinsip yang kita harus pegang kita harus basmi sampai ke akar-akarnya. Jadi misalnya yang satu berkata "Saya sekali-kali melihat film porno," tidak boleh ada dosa. "Saya tidak jujur kepada kamu supaya kamu tidak marah," kita harus jujur, tidak boleh lagi menoleransi dosa sekecil apapun. Kita harus bersihkan ke akar-akarnya, harus menghapus semuanya, mengembalikan hak dan fungsi masing-masing. Kalau dulu kita terlalu dominan menguasai pasangan kita itu tidak bisa, kita harus berikan pada dia hak dan fungsinya. Kenapa masalah muncul? Karena hak dan fungsi telah kita rebut sehingga pasangan kita juga tidak lagi berfungsi. Hak dan fungsi suami istri harus kembali diberikan.
GS : Tadi Pak Paul katakan sampai ke akar-akarnya, dan ini yang membuat orang kadang-kadang kaget ternyata masalahnya begitu banyak. Seandainya suami istri meminta waktu untuk jeda (berhenti dulu) guna menyelesaikan yang pertama sebelum menyelesaikan masalah-masalah yang lain apakah itu bisa Pak Paul?

PG : Kalau memang mereka memerlukan waktu beristirahat itu boleh, kadang-kadang memang terlalu menindih, pikiran menjadi terlalu kalut. Makanya pertemuan adakalanya seminggu sekali atau dua mingu sekali sehingga ada waktu untuk mereka menarik napas.

GS : Dan itu tidak akan menghentikan proses yang sudah berjalan?

PG : Tidak, selama diteruskan seminggu sekali atau dua minggu sekali tidak apa-apa. Jangan ditundanya sampai dua, tiga bulan atau enam bulan. Paling lama ditunda, saya kira dua mingguan setelahitu harus bertemu lagi.

GS : Apakah itu akan terlihat hasilnya Pak Paul?

PG : Akan terlihat hasilnya Pak Gunawan, untuk bisa melihat hasilnya, kita harus menerapkan prinsip yang terakhir dari Nehemia yaitu menjalani hidup baru. Setelah Nehemia membangun tembok Yeruslem dia meminta Ezra mengajarkan firman Tuhan.

Firman Tuhan dibacakan, rakyat diajarkan kebenaran. Maka harus ditetapkan aturan yang jelas dalam pernikahan, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, kita harus tetapkan dalam rumah tangga kita. Berikutnya kita merayakan hidup yang baru yaitu memulai kebiasaan atau aktifitas yang merekatkan relasi, dulu pergi sendiri-sendiri tapi sekarang mencoba bersama-sama. Dimulailah sebuah aktifitas kebiasaan hidup yang baru dan mendasarkan hidup pada firman Tuhan. Apa pun yang terjadi kembali lagi ke firman Tuhan, inilah pegangan kita.
GS : Merayakan ini penting karena keberhasilan bukan merupakan keberhasilan satu orang tapi tapi harus keberhasilan dari mereka berdua?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Dan dalam hal ini yang Nehemia ajarkan kepada kita ialah melalui pengalamannya. Ternyata Nehemia tidak sendirian tapi ada Ezra yang mendampingi juga. Jadi ada kerjasama yang baik diantara mereka menjadi satu team untuk bersama-sama membangun kembali tembok Yerusalem itu.

PG : Betul sekali.

GS : Jadi kita sangat berharap sekali pada para pendengar acara ini untuk membaca secara utuh kitab Nehemia karena tidak terlalu panjang. Ternyata ada banyak pelajaran yang sangat berharga di dalam kita membangun kembali rumah tangga yang runtuh ini. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun dari Reruntuhan," bagian yang kedua yang merupakan kelanjutan dari bagian yang pertama beberapa waktu yang lalu. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



56. Mengembalikan Keintiman Yang Hilang 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T229A (File MP3 T229A)


Abstrak:

Ada beberapa hal yang mesti dilakukan untuk mengembangkan relasi seksual yang hangat. Dan kita juga mesti memelihara keintiman itu sehingga tidak kembali dingin. Ada beberapa tips untuk menghangatkan relasi seksual.


Ringkasan:

Biasanya pada awal kita membina relasi, memang perasaan itu masih sangat kuat. Dan perasaan yang masih sangat kuat itu akan mendorong kedua orang untuk masuk ke dalam sebuah keintiman. Sebab memang cinta itu bersikap menyatukan/mengintimkan tapi masalahnya adalah setelah masuk dan menjadi intim tiba-tiba keintiman itu mulai memudar. Dan sering kali orang tidak terlalu menyadari hal itu, sekarang kita akan memusatkan perhatian kita untuk bagaimana menjaga agar keintiman ini terus ada?

Fakta tentang Keintiman Seksual:

Memelihara Keintiman Seksual

Firman Tuhan:
"... Hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat." (1 Petrus 3:9 )


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengembalikan Keintiman yang Hilang". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita mengatakan tentang keintiman yang hilang, sebelumnya diantara pasangan itu ada suatu keintiman tapi pada suatu saat tidak ada lagi, dan ini kenapa Pak Paul?

PG : Biasanya pada waktu awal kita membina relasi, memang perasaan itu masih sangat kuat. Dan perasaan yang masih sangat kuat itu akan mendorong kedua orang untuk masuk ke dalam sebuah keintiman. Sebab memang cinta itu bersikap menyatukan/mengintimkan tapi masalahnya adalah setelah masuk dan menjadi intim tiba-tiba keintiman itu mulai memudar. Sering kali orang tidak terlalu menyadari hal itu, mereka menjalani pernikahan hari lepas hari, tiba-tiba mereka merasakan hambar dan biasa saja sepertinya tidak ada apa-apa lagi, sehingga muncullah keluhan-keluhan, "Saya jenuh, kenapa hanya begini-begini saja," dalam kondisi seperti ini kita memang rentan untuk tergoda, tergoda untuk melakukan hal-hal yang menambah gairah tapi secara salah, ini adalah hal-hal yang perlu kita waspadai. Namun kembali kepada apa yang Pak Gunawan tanyakan, memang kita harus memusatkan perhatian kita bagaimana menjaga agar keintiman ini terus ada.

GS : Memang ada banyak bentuk dari keintiman itu Pak Paul, tapi dalam hubungan suami istri yang sangat menonjol adalah hubungan yang intim dalam bidang seksual, dan ini seringkali menjadi masalah dalam kehidupan berumah tangga?

PG : Saya kira itu betul sekali, sebetulnya banyak rumah tangga yang mengalami problem dalam hubungan seksual tapi mereka tidak membicarakannya. Seringkali masalah dalam hubungan seksual itu boor dalam masalah-masalah lain.

Jadi misalkan seorang suami menjadi sangat tidak sabar dengan istrinya, mudah marah dengan istrinya karena pada dasarnya kebutuhan seksual/ keintiman seksual tidak lagi diperolehnya. Atau seorang istri yang merasakan bahwa suaminya tidak memperhatikan dia, tidak memberikan kebahagiaan dan kehangatan dan dalam hubungan seksual itu merupakan sebuah tindakan mekanistik tidak ada perasaan yang terlibat. Dia tidak akan menikmati relasi seksual seperti itu dan akhirnya masalah itu luber ke dalam masalah-masalah lain. Jadi misalkan sikapnya terhadap suami juga makin kasar, tidak mau melayani suami dalam hal-hal yang lain tapi sebetulnya akarnya/awalnya adalah masalah di dalam relasi seksual mereka.
GS : Didalam hubungan seksual ini memang kadang-kadang orang merasa jenuh karena pasangannya tetap itu terus dan caranya seperti itu terus, pengalaman yang diperolehnya juga tetap sama. Dan untuk membicarakannya kadang-kadang orang merasa tidak enak walaupun dengan pasangannya sendiri, apalagi dibicarakan secara umum.

PG : Itu sebabnya kita mesti mempunyai perspektif yang objektif namun tepat tentang hubungan seksual. Karena saya kira sebagian masalah itu muncul dari konsep yang kurang tepat tentang hubunganseksual.

Misalkan satu fakta yang harus kita pahami adalah hubungan seksual itu akan mengalami pasang surut maksudnya tidak selalu hubungan seksual itu menjadi sebuah hubungan yang sangat-sangat hangat, yang sangat-sangat memuaskan. Jadi gambaran atau pengharapan bahwa setiap kali berhubungan seksual kita harus mengalami sebuah kepuasan yang sangat puncak, yang sangat tinggi, itu sebuah konsep atau pengharapan yang tidak realistik. Akan ada pasang surutnya, pasang surut ini juga akan dipengaruhi oleh faktor luar. Misalkan seorang istri, waktu sudah mempunyai anak/bayi dan sebagainya, dia harus menyusui anaknya, tidak bisa tidak dia juga akan terpengaruh oleh perannya sekarang sebagai ibu. Sehingga dia tidak lagi terlalu memikirkan dan tidak terlalu membutuhkan hubungan seksual karena kebanyakan energi dan perhatiannya sekarang tersita untuk menyusui dan memberi makan anaknya. Atau anak sudah mulai besar misalkan anak sudah berumur empat atau lima tahun, seorang istri misalkan akan juga mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi, dia akan memikirkan anaknya yang tidur di kamar sebelah, tadi sudah makan atau belum dan sebagainya. Jadi dengan perkataan lain, dengan masuknya unsur-unsur dari luar dirinya maka hubungan seksual juga biasanya akan terpengaruh. Dari pihak pria juga bisa mengalami gangguan, dia mulai memikirkan pekerjaannya, urusannya yang belum beres dan akhirnya waktu mau melakukan hubungan intim dengan istrinya, pikirannya pun terganggu atau minatnya pun tiba-tiba berkurang karena sekarang minatnya lebih tersedot untuk mengurus hal-hal di luar rumah. Ada pasang surutnya, ada masa-masa dimana hubungan seksual itu bisa menanjak, ada masa-masa menurun kembali, tapi ini nasehat saya cobalah untuk konsisten dalam hal frekuensinya. Meskipun dalam segi kepuasan mungkin akan selalu naik turun tapi cobalah sedapat-dapatnya melakukan dengan konsisten, sebab dalam kondisi atau dalam frekuensi yang konsisten maka gairah itu bisa ditimbulkan kembali.
GS : Ada pasangan yang beranggapan bahwa hubungan seksual untuk mendapatkan keturunan, kalau sudah ada anak mereka merasa tujuannya sudah tercapai. Lain kali saja kalau anaknya sudah besar kita berhubungan lagi, di sana frekuensinya tidak terpelihara, Pak Paul?

PG : Betul, ada memang yang seperti Pak Gunawan katakan yaitu melakukan hubungan seksual dengan tujuan untuk mempunyai keturunan, sudah tentu itu tidak tepat. Sebab Tuhan memberikan kepada kitakelengkapan untuk bisa melakukan hubungan seksual bukan hanya untuk menghadirkan keturunan tapi untuk berbagi perasaan, berbagi hidup dan juga untuk menikmati sesuatu dengan sebuah cara yang sangat-sangat intim.

Ada orang yang berpandangan negatif juga tentang seks, ada orang yang beranggapan seks adalah sesuatu yang kotor yang tidak layak, tidak seharusnya seorang kristen memikirkan atau menikmati seks. Itu juga akhirnya menjadi masalah di dalam relasi seksual. Atau ada orang yang pernah mengalami cedera emosional, trauma-trauma emosional yang berkaitan dengan seks di masa kecilnya, dilecehkan dan sebagainya sehingga dia mengembangkan sebuah sikap tidak menyukai seks karena seks menjadi sebuah ingatan bahwa dia pernah mengalami sesuatu yang buruk. Sudah tentu hal-hal ini memang perlu diselesaikan sebelum orang itu bisa kembali menikmati relasi intim dengan pasangannya. Jadi memang ada hadangan-hadangan yang perlu kita perhatikan, kalau ada konsep-konsep yang tidak tepat maka kita kesampingkan. Salah satunya juga yang mesti kita awasi adalah perubahan hormonal, karena pada usia tertentu terutama wanita akan mengalami perubahan hormonal yang drastis sekali. Kalau pria pada masa-masa paro-baya akan mengalami penurunan dalam level testosteronnya, tapi wanita bukannya mengalami penurunan, setelah mati haid maka hormon-hormon seperti progesteronnya benar-benar akan menurun dengan sangat drastis. Jadi perubahan-perubahan hormonal ini tidak bisa tidak akan memberi dampak terhadap gairah seksualnya juga. Itu sebabnya kita mesti menyadari hal ini bahwa memang hubungan seksual tidaklah selalu bisa seperti yang kita harapkan.
GS : Tadi Pak Paul katakan, adakalanya gairah seksual ini menurun sampai mungkin hampir ke dasar dan malas untuk melakukan lagi. Untuk mengangkat kembali bagaimana, Pak Paul?

PG : Pertama-tama kita harus menyadari apa yang terjadi pada diri kita terlebih dahulu dan kita harus mempunyai tuntutan atau pengharapan yang realistis terhadap pasangan kita, kita jangan sampi membebani pasangan dengan tuntutan yang tidak bisa dipenuhinya karena ini hanya akan menambah beban emosional pada pasangan kita.

Dalam kondisi pasangan terbeban secara emosional akan sulit bagi dia untuk bisa melayani kita dan menikmati hubungan intim. Misalkan yang perlu juga kita sadari adalah keintiman seksual itu tidak selalu akan menghasilkan orgasme atau kepuasan puncak secara bersamaan. Kadang-kadang suami istri itu mengharapkan suatu kebersamaan dan jikalau tidak mendapatkan atau mengalami kebersamaan yang dirasakan adalah jengkel/marah, dan tekanan-tekanan inilah yang harus kita hilangkan kalau kita mau menghidupkan kembali relasi seksual. Jangan menuntut harus bisa sama dan sebagainya, tapi nikmati. Dan kalau yang satu sudah maka yang satu bisa menolong yang lainnya. Atau yang lainnya yang kita juga perhatikan adalah tentang ritme kebutuhan seksual, ada yang membutuhkan lebih dan ada yang membutuhkan kurang maka saling bicaralah tentang kebutuhan ini, jangan sampai yang satu merasa "Saya tidak mendapatkan pelayanan yang seharusnya," yang membutuhkan sedikit dan merasa "Kamu hanya inginnya ini saja," sehingga akhirnya menimbulkan rasa tidak suka, ini yang perlu dibicarakan. Sehingga yang membutuhkan lebih tidak harus merasa malu untuk memintanya dan dia juga tahu bahwa pasangannya akan bersedia melayaninya. Yang memang tidak membutuhkan sebanyak itu juga bisa berkata kepada pasangannya "Saya akan tetap melayanimu, tapi kamu jangan menyalahkan saya kalau saya tidak bisa berfungsi seperti yang kau inginkan karena memang kebutuhan itu tidak seperti yang kamu miliki." Dengan adanya pengertian ini maka hubungan seksual bisa lebih relaks, ada pengertian di antara keduanya. Sehingga yang satu tidak merasa "Kamu ini selalu memberikan wajah yang muram tidak suka, sewaktu saya ingin meminta, sehingga akhirnya buat apa saya minta." Satu hal lagi yang bisa saya tambahkan adalah jangan menuntut ekspresi seksual yang sama, masing-masing mempunyai keunikannya. Jadi jangan mengharapkan pasangan kita bisa seperti yang kita inginkan yaitu memberikan ekpresi seksual seperti yang kita harapkan, tapi apapun itu terima apa adanya. Kadang-kadang dituntut harus begini begitu dan akan menimbulkan tekanan dan akhirnya tidak ada lagi yang bisa menikmati hubungan intim.
GS : Seringkali dipengaruhi oleh film, bacaan-bacaan yang seolah-olah setiap kali hubungan seksual orang akan mengalami orgasme atau kepuasan puncak. Padahal faktanya tidak selalu harus mengalami seperti itu Pak Paul?

PG : Betul sekali, memang kita ini sering dipengaruhi oleh hal-hal yang kita lihat atau kita baca, kita dengar, seakan-akan itulah normalnya. Masalahnya adalah di dunia ini tidak ada seorang pu yang selalu hidup dalam fantasi seperti itu.

Dalam kehidupan yang nyata, semua orang akan mengalami apa yang kita alami dan ini tidak ada perubahan. Justru waktu kita menuntut banyak hal maka mulai muncul masalah dan seringkali ini yang terjadi masalah dalam hubungan seksual akhirnya memunculkan masalah-masalah dalam relasi kita. Meskipun kita tidak mau membahasnya tapi akhirnya mulailah muncul. Dan kalau kita tidak menikmati relasi ini dan kita merasa jenuh maka masalah ini mulai muncul ke dalam pernikahan kita secara keseluruhan. Kita jenuh dengan hubungan seksual, langsung kita identikkan dengan kita juga jenuh dengan pernikahan kita. Padahal itu hal yang berbeda kita masih bisa mengembangkan keintiman dalam berbagai hal tidak hanya dalam hal seksual. Dan tidak juga dalam hubungan seksual kita kurang menikmati maka pernikahan kita itu semua jenuh. Tapi orang seringkali langsung menyimpulkan pernikahan saya jenuh hanya karena hubungan seksual yang memang jenuh itu.
GS : Dan didalam hubungan seksual, komunikasi itu berperan besar sekali. Seperti tadi Pak Paul katakan bisa diungkapkan kepada pasangan kita apa yang kita butuhkan dan apa yang dia butuhkan itu perlu komunikasi yang baik?

PG : Sangat perlu, karena tanpa komunikasi maka pasangan kita tidak mungkin tahu, kadang-kadang kita jengkel, marah dan mengharapkan pasangan kita tahu apa yang kita inginkan, oleh sebab itu kia perlu bicara.

Bicarakan baik-baik, kalau misalkan belum ada kesesuaian maka tetap bicarakan sampai pada satu kesamaan. Yang lain juga, yang bisa saya tambahkan adalah kita harus mempersiapkan relasi seksual, karena relasi seksual merupakan akibat atau hasil dari relasi kita di luar hubungan seksual. Maksud saya adalah kalau relasi kita di luar hubungan seksual baik, akrab dan intim maka lebih besar kemungkinannya relasi seksual juga akan lebih memuaskan. Misalkan satu contoh yang sering menjadi masalah adalah kalau si pria sudah merasa dia tidak bisa mengatur istrinya, istrinya itu mempunyai kepala sendiri, dibilang untuk melakukan ini dan itu dia tidak mau mendengarkan dan tetap jalan sendiri. Itu acapkali berpengaruh dalam hubungan seksual, dia akhirnya enggan menyentuh istrinya sebab dia enggan menyentuh seseorang yang dia rasakan tidak lagi menghormatinya, sebagai kepala keluarga dia ingin berbuat semaunya sendiri. Jadi akhirnya keinginan menyentuh si istri padam, tenggelam. Yang lain yaitu tentang istri, seorang istri peka dengan tindakan suami yang semena-mena, dia tidak suka dengan tindakan suami yang seenaknya, mengambil keputusan sendiri, mau ke sana ke sini sendirian atau putuskan sendirian. Istri seolah-olah tidak punya suara, kalau dia seperti itu maka dalam hubungan seksual, besar kemungkinan dia tidak akan berfungsi dengan baik karena dia akan merasa "Kamu itu tidak mencintai saya, semua keputusan kamu ambil sendiri, kamu berlaku semena-mena, kamu mau pulang jam berapa seenaknya, kamu tidak beritahukan saya. Dan sekarang kamu mau menikmati hubungan seksual dengan saya, saya tidak bisa memberikan itu kepadamu." Jadi sekali lagi saya tekankan seringkali apa yang terjadi di luar hubungan seksual itu memberi pengaruh besar terhadap hubungan intim antara suami dan istri.
GS : Tapi sebaliknya seringkali yang terjadi di dalam hubungan seksual yang tidak harmonis ini mempengaruhi hal-hal yang ada di luar hubungan itu sendiri, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi efeknya bolak-balik dua arah, hubungan di luar relasi seksual mempengaruhi relasi seksual. Sedangkan hubungan seksual yang rasanya tidak memberikan kepuasan, akhirnya berdampakpada relasi di luar hubungan relasi itu pula.

GS : Bagaimana mencari atau mengetahui persoalannya sebenarnya Pak Paul?

PG : Saya kira masing-masing harus terbuka dengan apa yang sebetulnya diharapkan. Kita akan terkejut kalau bicara dari hati ke hati dengan pasangan, kita terkejut ketika mendengarkan apa yang sbetulnya diharapkannya.

Seringkali masalahnya adalah yang satu menginginkan lebih dan yang satu menginginkan kurang, itu umumnya pangkal masalah. Yang satu menginginkan lebih dalam hal apa? Misalkan lebih dalam hal frekuensi/lebih sering berhubungan, lebih dalam hal ekspresi. Yang satu merasa ini sudah cukup atau dalam hal ekspresi tidak perlu memakai ekspresi yang penting selesaikan. Jadi yang satu mau menikmati dan yang satu mau menyelesaikan, itu dua hal yang memang tidak sama. Yang mau menikmati pasti ingin memperpanjang dan menambah frekuensi, yang hanya ingin menyelesaikan ialah secepatnya supaya usai dan sebagainya, otomatis akan jauh lebih senang kalau hubungan seksual bisa cepat dan sebagainya. jadi ini mesti dibicarakan. Dan yang lain lagi adalah masalah yang bersifat fisik sebab cukup banyak masalah fisik yang ternyata berpengaruh terhadap hubungan seksual. Misalnya pada usia-usia mendekati paro-baya, terutama wanita mengalami penurunan hormon-hormon yang tadi telah saya katakan dan akhirnya juga akan mempengaruhi kondisinya sehingga waktu dia berhubungan seringkali yang dia rasakan adalah rasa sakit, sudah tentu itu akan menghalanginya untuk bisa menikmati. Ada rasa sakit yang bisa diobati dengan cepat tapi ada pula yang memang sangat susah diobati, sudah ke dokter menerima perawatan dan sebagainya tapi tetap mengalami rasa sakit yang sama. Jadi ada hal-hal yang memang mesti diterima, inilah kondisinya dan akhirnya kita harus menurunkan pengharapan kita. Kalau kedua orang itu bisa sepakat dengan pengertian ini, maka akan menolong sehingga waktu dua-dua melakukan, dua-dua tidak merasakan ada beban mental lagi.
GS : Berarti antara pria dan wanita itu sebenarnya ada sebuah perbedaan kebutuhan atau perbedaan pandangan tentang seks ini Pak Paul?

PG : Saya kira benar Pak Gunawan, ada perbedaan hakiki secara umum meskipun tidak selalu begini, pria melakukan seks untuk melepaskan sebuah ketegangannya. Jadi kita bisa katakan seks bagi priaadalah pelepasan gairah fisikal, gairah jasmaniah.

Bagi wanita seks adalah perpanjangan gairah emosional artinya kalau bagi pria seks menjadi sesuatu yang dapat menolong melepaskan, meredakan gairah, tapi bagi wanita seks adalah perpanjangan dari gairah emosionalnya berarti kalau si wanita merasakan dikasihi, gairah emosionalnya itu sudah dipenuhi oleh si suami yaitu dicintai, dimesrai, diperhatikan, suaminya tidak semena-mena, benar-benar telaten dengan dia maka hubungan seks itu menjadi kepanjangannya/ekstension, dimana dia bisa langsung masuk ke sana dan bisa melakukannya dengan rela dengan apa adanya, karena di belakangnya sudah ada sebuah sejarah, sejarah kedekatan emosional. Jadi dengan kata lain perempuan menjadikan keintiman sebagai prasyarat terciptanya sebuah relasi seksual. Memang kalau pria tidak menjadikan itu sebuah syarat sebab bagi pria hubungan seks memang lebih merupakan sebuah aktivitas fisik/jasmaniah untuk dia bisa melepaskannya. Disini diperlukan sekali saling pengertian, yang pria harus memahami inilah istrinya, dia tidak bisa merubah kodratnya. Kalau selesai bertengkar dan hubungan sedang tidak baik lalu suami meminta hubungan seksual, hampir bisa dipastikan kalau pun terjadi tidak akan menjadi sesuatu yang baik. Jadi dia harus menabur kemudian barulah dia bisa menikmatinya dengan lebih baik. Bagi si istri dia juga harus mengerti suaminya, jangan melabelkan kalau suaminya tidak berperasaan "Baru saja kita konflik tapi sekarang meminta hubungan seksual, bagi seorang istri ini sesuatu yang "absurd", tidak bisa dia cerna dengan logikanya. Tapi inilah pria, justru dengan dia berhubungan seksual, si suami itu akan lebih reda, dia akan lebih tenang, justru dia akan lebih merasa intim dengan istrinya. Jadi sekali lagi disimpulkan bagi wanita relasi seksual adalah buah dari sebuah keintiman emosional, sedangkan bagi seorang pria seringkali hubungan seksual itu menjadi suatu sarana menuju kepada sebuah keintiman.
GS : Jadi waktu menyelesaikan suatu hubungan intim atau hubungan seksual ada hal yang harus diperhatikan, seringkali kita sebagai pria kalau sudah selesai melakukan hubungan karena tadi Pak Paul katakan ini sebagai bentuk pelepasan, maka ini sudah selesai. Tapi istri masih membutuhkan kelanjutannya setelah selesai melakukan hubungan seksual, Pak Paul?

PG : Ini poin yang betul sekali dan baik sekali diangkat, Pak Gunawan. Sebab kalau seorang suami setelah berhubungan dan langsung meninggalkan istrinya bersikap masa bodoh, maka si istri akan mrasa dia seperti dipakai, dimanfaatkan seperti objek pemuas seksual dan itu akan menimbulkan kebencian.

Jadi bagi seorang suami yang telah berhubungan intim berilah waktu untuk bersama istri yaitu duduk di sebelahnya, peganglah, sentuhlah ajaklah bicara, dan jangan langsung pergi mengurus ini dan itu, tidak menghiraukan si istri. Kalau itu yang dilakukan, hampir bisa dipastikan waktu si suami meminta hubungan seksual di hari yang lain maka si istri akan melawannya, si istri akan menolaknya dengan cara halus atau cara yang kasar. Setelah berhubungan jangan meninggalkan istri, bersamalah dengan dia, perlakukanlah dia benar-benar sebagai seorang rekan bukan sebagai objek yang baru saja kita pakai.
GS : Termasuk kalau ditinggal tidur, itu sangat menyakitkan sekali untuk istri?

PG : Betul itu sama, sebab dia merasa hanya sebagai objek pemuas, setelah itu kamu tidur enak-enak?

GS : Jadi harus diperhatikan tujuan dari hubungan intim adalah memang untuk mengintimkan atau memesrakan kedua insan ini, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi untuk mengintimkan, pria memang membutuhkan relasi seksual dalam hubungan seksual dia merasa lebih dekat dengan istrinya. Namun setelahnya dia perlu pertahankan, jangan setelahya dia langsung meninggalkan si istri.

GS : Pak Paul, rupanya perbincangan ini mesti harus kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang karena masih ada beberapa hal yang perlu kita bahas bersama-sama. Namun sebelum kita menyelesaikan perbincangan ini mungkin Pak Paul mau menyampaikan firman Tuhan?

PG : Saya akan bacakan dari Ulangan 24:5, "Apabila baru saja seseorang mengambil isteri, janganlah ia keluar bersama-sama dengan tentara maju berperang atau dibebankan sesuatu pekerjaan; satu thun lamanya ia harus dibebaskan untuk keperluan rumah tangganya dan menyukakan hati perempuan yang telah diambilnya menjadi istrinya."

Tuhan memberikan sebuah dispensasi kepada para pengantin baru untuk tidak perlu maju berperang selama setahun karena Tuhan menyadari para pengantin baru ini memerlukan waktu untuk membina relasi mereka, mengintimkan hubungan mereka. Maka kita tahu itulah yang menjadi prioritas Tuhan, kita juga harus memprioritaskannya. Jadi binalah relasi, dekatkanlah hubungan kita berdua, sebab itulah yang Tuhan juga inginkan.
GS : Terima kasih Pak Paul, jadi para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengembalikan Keintiman yang Hilang," bagian yang pertama. Kami masih akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang, jadi kami menghimbau para pendengar sekalian untuk bisa mengikuti acara Telaga ini pada kesempatan berikutnya. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



57. Mengembalikan Keintiman Yang Hilang 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T229B (File MP3 T229B)


Abstrak:

Lanjutan dari T229A


Ringkasan:

Biasanya pada awal kita membina relasi, memang perasaan itu masih sangat kuat. Dan perasaan yang masih sangat kuat itu akan mendorong kedua orang untuk masuk ke dalam sebuah keintiman. Sebab memang cinta itu bersikap menyatukan/mengintimkan tapi masalahnya adalah setelah masuk dan menjadi intim tiba-tiba keintiman itu mulai memudar. Dan sering kali orang tidak terlalu menyadari hal itu, sekarang kita akan memusatkan perhatian kita untuk bagaimana menjaga agar keintiman ini terus ada?

Fakta tentang Keintiman Seksual:

Memelihara Keintiman Seksual

Firman Tuhan:
"... Hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat." (1 Petrus 3:9 )


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Mengembalikan Keintiman yang Hilang". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, perbincangan kita terdahulu tentang hubungan seksual. Hubungan seksual merupakan hubungan yang seringkali sangat berpengaruh di dalam hubungan suami istri. Sebelum kita melanjutkan perbincangan kita, agar para pendengar bisa menemukan sebuah konteks perbincangan kita, mungkin Pak Paul bisa mengulang apa yang telah kita bicarakan pada kesempatan yang lampau?

PG : Cukup banyak relasi rumah tangga bermasalah karena masalah di dalam hubungan seksual namun inilah masalah yang jarang dibicarakan oleh suami maupun oleh istri. Jadi masalah ini dipendam tai masalah ini akhirnya luber ke berbagai aspek di dalam kehidupan mereka.

Jadi yang diperlukan adalah sebuah keterbukaan untuk membicarakan masalah ini, apa yang menjadi pengharapan masing-masing dan apa yang bisa dilakukan atau diberikan oleh masing-masing. Dan harus ada pengertian terhadap kondisi pasangan sehingga akhirnya kita tidak memberikan beban yang berlebihan kepada pasangan. Saya juga sudah singgung bahwa adakalanya hal-hal yang kita harapkan itu adalah hal-hal yang tidak realistis, misalkan mencapai orgasme secara bersamaan setiap kali berhubungan intim, itu adalah sesuatu yang setiap kali tidak terjadi. Atau mempunyai ekspresi-ekspresi tertentu yang kita harapkan, pasangan kita tidak tentu bisa melakukan hal itu, kita juga harus menerima apa adanya. Kita juga harus mengerti perbedaan pria dan wanita, pria lebih melihat seks sebagai pelepasan gairah fisikal atau gairah jasmaniah, sebaliknya wanita melihat seks sebagai sebuah kepanjangan dari gairah emosionalnya artinya kalau wanita merasa intim dengan si suami dalam hal-hal yang lain maka dia akan lebih mudah transisi masuk ke dalam relasi seksual dengan baik. Kalau pria tidak seperti itu, bagi kebanyakan pria seks lebih merupakan sebuah aktivitas fisik.
GS : Kalau mau melihat, sebenarnya problem utama dalam hubungan suami istri ini apa, Pak?

PG : Saya kira adanya ketidaksamaan pengertian atau persepsi tentang apa itu seks. Jadi kita perlu kembali kepada konsep yang benar, sebetulnya apa itu seks. Saya kira tidak bisa tidak seks merpakan bagian dari ciptaan Tuhan, kita harus kembali kepada konsep Alkitab atau apa yang memang menjadi pemikiran Tuhan di belakang hubungan seksual ini.

Saya melihat seks sebagai sebuah persembahan, apa itu sebagai sebuah persembahan artinya kita memberikan yang terindah dari yang terintim. Maka Tuhan melarang suami dan istri mempunyai hubungan dengan wanita atau pria lain di luar nikah. Kenapa seks itu menjadi sesuatu yang disakralkan Tuhan? Karena di dalam hubungan suami istri seks menjadi persembahan suami kepada istri dan persembahan istri kepada suami, dapat dikatakan ini adalah sebuah persembahan puncak, persembahan yang memang agung dan tidak boleh disia-siakan dianggap sepele oleh pasangannya. Akhirnya seorang suami atau istri gagal/jatuh ke dalam dosa berhubungan dengan orang lain, dia seolah-olah mencampakkan persembahan yang diberikan oleh pasangannya, seakan-akan pasangan telah memberikan sesuatu yang begitu berharga tapi di tangan kita, kita tidak menghargainya, kita membuang seenaknya sehingga kita dengan mudahnya berhubungan dengan orang lain.
GS : Pengertian ini memang tidak umum Pak Paul, biasanya di dalam hubungan seksual yang kita harapkan ialah kita mendapatkan sesuatu dari pasangan. Tapi yang firman Tuhan katakan adalah persembahan, dan persembahan adalah memberi. Bagaimana merubah konsep ini?

PG : Memang tidak mudah untuk merubahnya tapi kita bisa kembali melihat tentang relasi intim ini dari sudut Alkitab. Tuhan mengumpamakan Dirinya sebagai pengantin laki-laki dan kita sebagai memelai wanita, perjanjian antara Tuhan dan kita diibaratkan seperti perjanjian antara suami dan istri maka kita tahu di dalam Alkitab sewaktu umat Israel menyembah dewa-dewa yang lain, Tuhan menggunakan istilah mereka telah berzinah.

Apa yang terjadi? Orang Israel saat itu meninggalkan Tuhan mendekatkan diri dan menyembah dewa-dewa lain. Itulah relasi manusia dan Tuhan, relasi yang dapat dikatakan seperti relasi suami dan istri. Allah memberikan yang terbaik dari yang terintim kepada manusia, Allah memberikan diriNya, memberikan nyawaNya, memberikan hidupNya. Manusia juga diharapkan memberikan yang terbaik dari yang terintim dari hidupnya yaitu memberikan jiwanya/kehidupan seluruhnya kepada Tuhan. Di dalam pengibaratan itulah kita melihat relasi suami dan istri, polanya adalah antara Allah dengan kita umatnya, dan kita terapkan dalam hubungan suami istri itulah yang juga kita berikan. Apa yang terintim yang bisa kita berikan ialah sebuah hubungan seksual, itulah yang kita mau persembahkan kepada pasangan kita masing-masing, itulah yang kita berikan kepadanya.
GS : Dan itu hanya bisa diberikan kepada pasangan artinya kita tidak bisa mengambil orang lain untuk kita beri persembahan yang sama?

PG : Tidak mungkin. Dan itulah sebabnya di firman Tuhan kita baca bahwa waktu umat Israel meninggalkan Allah dan kemudian menyembah dewa-dewa lain, Allah marah sekali. Tuhan begitu marah kepadamereka dan menuduh mereka tidak setia sebab mereka tidak lagi memberi persembahan yang terintim itu kepada Allah, tapi kepada dewa-dewa lain.

Maka kita pun sebagai suami istri tidak boleh memberikan tubuh kita kepada yang lain. Kita hanya boleh memberikan tubuh kita kepada suami atau istri kita.
GS : Kalau ada orang yang berselingkuh Pak Paul, artinya dia memberikan persembahan yang seharusnya diberikan kepada istrinya tetapi diberikan kepada orang lain, akibatnya apa?

PG : Selain kemarahan yang terdalam adalah mengakibatkan luka. Luka yang benar-benar menyayat tanpa henti terus-menerus. Jika ini yang terjadi maka proses penyembuhannya akan makan waktu yang lma karena proses menyembuhkan diri dari luka akibat pengkhianatan memang dapat dikatakan berlangsung hampir seumur hidup, kepercayaan tiba-tiba runtuh tidak bisa lagi percaya kepada pasangan kita, kita merasa dia begitu tega melakukan hal seperti ini kepada kita, dia tega mengkhianati kita dengan begitu mudahnya, maka kita tidak bisa melayani dia juga.

Dalam konteks seperti ini, misalkan seorang suami telah jatuh ke dalam dosa perzinahan dan sekarang mau bertobat, ingin berhubungan kembali dengan istrinya maka dia harus sabar, dia harus memberikan waktu kepada istrinya. Dia tidak bisa memaksa, "Mari kembali lagi seperti normal, dulu kamu juga melayaniku dan kenapa sakarang tidak bisa melayaniku, itu sama saja 'kan." Tidak bisa! Sebab luka itu masih berdarah dan perlu waktu yang panjang untuk bisa kembali seperti sediakala.
GS : Apakah hal itu berbeda jika seandainya si suami ini dulu pernah melakukan hubungan seksual dengan orang lain tapi sebelum menikah, Pak Paul?

PG : Saya kira ada perbedaan yang besar sebab si istri bisa mengerti ini memang perbuatan si suami di masa lampau dan dia tidak lagi melakukannya karena dia sudah berubah, namun sekarang saya mnuntut engkau untuk tidak lagi mengulangnya.

Kalau sampai terjadi pengulangan, pengulangan inilah yang biasanya menggoreskan luka yang dalam.
GS : Tapi tetap pengalaman masa lampau itu seringkali menghantui hubungan suami istri, Pak Paul?

PG : Memang ada yang terus dihantui ada juga tidak. Biasanya yang dihantui adalah yang mendapatkan informasi di saat-saat sebelum menikah atau saat menikah baru diberi tahu, "Dulu saya seperti ni."

Si istri itu merasa saya tidak punya pilihan, "Sekarang mau bicara apa? Kamu sudah menjadi suami saya, tidak mungkin saya harus tinggalkan kamu." Maka kalau kita mempunyai latar belakang yang buruk seperti kita pernah berhubungan dengan orang sebelum kita menikah dengan istri kita atau suami kita, kita harus terbuka, harus menceritakan apa adanya dan jauh-jauh hari sebelum kita menikah. Setelah hubungan kita benar- benar mantap dan masih ada waktu yang panjang sebelum masuk ke jenjang pernikahan kita sebaiknya terbuka, kita memberitahu, "Ini saya, ini latar belakang saya dan engkau boleh memutuskan apakah engkau masih mau bersamaku atau tidak?" Kalau si suami misalkan di berikan kesempatan menggumuli selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan sampai dia siap menikahi istrinya. Itu saya kira jauh lebih baik sebab waktu dia menikahinya, dia lebih siap untuk menerima tanpa harus mengungkit-ungkit kembali masa lalu dan sekali dia katakan, "Baiklah saya terima," dia tidak boleh lagi membangkit-bangkitkan problem masa lalu itu atau membanding-bandingkan orang yang dulu dengan saya apakah lebih baik atau buruk. Karena kalau sudah dibicarakan, maka masa lalu harus dikubur jangan dibangkit-bangkitkan lagi.
GS : Jadi saya rasa membutuhkan proses yang sangat lama untuk menyembuhkan luka batin dari pasangan yang merasa dikhianati ini, Pak Paul?

PG : Sangat lama dan disini dipentingkan sekali sikap penyesalan yang tulus dari yang telah melukai. Jadi dia benar-benar jangan mengajukan tuntutan-tuntutan, "Kamu harus seperti ini, sebab say sudah bertobat saya sudah berubah."

Siapa yang telah melukai benar-benar harus hidup lebih tahu diri. Tunjukkanlah pertobatannya, penyesalannya, hal-hal salah yang biasa dia lakukan dulu harus dia hentikan. Dia sekarang lebih menekankan pertanggung jawaban, dia sekarang menunjukkan dia layak dipercaya. Pada akhirnya sewaktu pasangan kita melihat betapa seriusnya kita menyesali perbuatan dan kita benar-benar mengambil langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan hidup kita, maka kepercayaannya pun makin bertumbuh. Waktu rasa percayanya makin bertumbuh, pada akhirnya dia juga lebih memberikan tubuhnya kepada kita, dia kembali siap memberikan persembahan itu kepada kita. Di masa sebelumnya memang dia belum siap, bagaimanakah mungkin dia siap memberikan persembahan yang terbaik dari yang terintim itu kepada kita yang telah mencampakkan persembahannya di masa lampau, itu tidak bisa. Sekarang dia sudah melihat kita berubah barulah dia bisa mempersembahkan tubuhnya kepada kita lagi.
GS : Berarti ada suatu tenggang waktu dimana pasangan tidak melakukan hubungan intim itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Dan di sini diperlukan pengertian tapi memang setelah jangka waktu dan mesti ada kesepakatan untuk bicara tentang hal ini, sebab tanpa kesepakatan bisa jadi pihakyang dilukai tidak mau lagi berhubungan.

Tapi itu pun tidak benar, maka kita kembali kepada firman Tuhan yang berkata di I Korintus 7:3-5, "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya, dengan demikian pula istri terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya. Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kami tidak tahan bertarak." Artinya kita memang harus memenuhi kewajiban kita sebagai suami istri untuk saling melindungi sebab Iblis senang melihat hubungan kita menjauh, hal ini merupakan kesempatan untuk mencobai kita sebab Tuhan meminta kita untuk saling melindungi. Misalkan pihak si istri adalah pihak yang dilukai, setelah melewati jangka waktu tertentu cobalah untuk mulai memberi. Prinsip yang ingin saya bagikan adalah pihak yang terluka memberi sedapatnya, sedangkan pihak yang melukai menerima apa adanya. Si suami harus mengerti bahwa si istri hanya memberikan sejauh ini dan pihak yang melukai juga harus mengerti inilah yang bisa diberikan, jadi dia harus menerima apa adanya.
GS : Tapi mengenai bertarak yang tadi Pak Paul bacakan dari 1 Korintus, itu bukan karena pengkhianatan. Jadi bisa saja orang itu memang sepakat karena suatu pekerjaan yang harus diselesaikan atau karena tugas di luar kota. Mereka saling sepakat untuk jangka waktu tertentu kita tidak melakukan hubungan seksual atau ada juga yang karena sakit.

PG : Kalau itu yang terjadi berarti memang ada saling pengertian diantara keduanya dan itu tidak apa-apa. Dalam firman Tuhan pun berkata untuk alasan tertentu seperti untuk berdoa dan sebagainy kalau tidak melakukan tidak apa-apa, namun kita harus mengenal kondisi kita.

Kalau kita menyadari bahwa kita ini terus tergoda dan tergoda, kita harus terbuka dengan pasangan kita apa adanya bahwa "Rasanya saya ini tidak kuat, hidup saya ini makin melemah, tolong saya lindungi saya." Jadi di sini diperlukan kerelaan dari pihak yang satunya untuk berkata, "Mari kita lakukan lagi karena memang inilah yang kau perlukan dan aku mau melindungimu." Jadi Tuhan memang meminta kita lewat hubungan seksual saling melindungi, saling menutupi agar tidak diserang oleh godaan iblis.
GS : Selama pasangan bisa memenuhi memang ada jalan keluar seperti itu Pak Paul, tapi adakalanya pasangan tidak bisa lagi memenuhi mungkin karena sakit atau karena tugas yang cukup lama di luar kota bahkan di luar negeri, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira dalam kasus seperti itu orang yang bersangkutan sudah menyiapkan dirinya bahwa "Saya memang tidak bisa lagi melakukannya," contoh misalnya dalam kasus dimana suaminya lumpuh atauistrinya yang lumpuh terkena paralisis.

Sudah tentu hal-hal seperti ini tidak bisa dilakukan, berarti memang harus ada sebuah pengertian. Sesuatu yang tidak lagi diharapkan seringkali itu meredakan dan yang meresahkan adalah kita mengharapkan dan kita berpikir seharusnya dia bisa melakukan tapi kenapa tidak mau melakukan, itu yang membuat kita frustrasi tapi kalau kita memahami bahwa pasangan kita sakit, pasangan kita tidak bisa lagi memberikannya kepada kita, maka tidak keberatan. Kalau misalkan nanti ada pertemuan kembali, itu sesuatu yang bisa diantisipasi, "Baiklah, nanti kita bisa bertemu lagi, kita bisa lagi berhubungan." Tapi misalkan dalam kondisi sakit seperti paralisis memang tidak lagi bisa, mungkin ini akan berjalan sampai tua, sampai kematian. Berarti orang itu harus berkata, "Ya sudah, saya tidak akan lagi mengharapkan," dan ternyata waktu kita berkata "Ya sudah tidak apa-apa," kita bisa menerimanya. Dan begitu kita menerimanya kita juga lebih siap untuk mengembangkan aspek-aspek lain dalam relasi itu yang bisa tetap menambahkan kemesraan, kedekatan karena sekali lagi kita ini adalah makhluk yang sangat responsif dan fleksibel, kita tidak mendapatkan dari satu kita bisa mendapatkannya dari aspek yang lain. Jika hubungan seksual tidak bisa dilakukan, kita bisa mendapatkannya dari kemesraan kebersamaan dalam hal-hal yang lain, kita bisa bicara dari hati ke hati dan merasa ini enak sekali, ini akrab sekali, itu semuanya bisa terjadi. Bukankah orang yang sudah tua, mereka tidak lagi melakukan hubungan seksual tapi tetap bisa hidup dengan harmonis penuh kasih sayang. Dan apa yang menjadi dasar karena tidak ada lagi hubungan seksual? Kita tahu dasarnya memang bukan hubungan seksual, tapi dasarnya adalah kebersamaan mereka dan cinta mereka yang kuat. Di sanalah mereka tetap bisa mengembangkan keintiman.
GS : Itu juga terjadi ketika pasangan suami istri mempunyai perbedaan usia yang cukup jauh. Misalkan si suami sudah lebih tua padahal istrinya masih muda belia sehingga suami tidak bisa lagi melayani istrinya dengan baik!

PG : Di sini memang sekali lagi diperlukan keterbukaan, suami kepada istri harus terbuka bahwa dia tidak bisa lagi memberikan performa seperti yang dahulu, ini seringkali menjadi ketakutan seorng pria.

Pria itu merasa saya harus memberi performa yang optimal buat istri saya, dan makin tertekan oleh performa makin performanya menurun. Jadi suami harus membicarakannya kepada istri sehingga dia mengerti. Di pihak lain dalam kasus yang berbeda istri pun kadang-kadang tertekan karena merasa sakit sewaktu berhubungan tapi dia harus melayani suaminya, dia juga perlu terbuka dengan suaminya. Jadi kuncinya di sini adalah sebuah keterbukaan karena dengan meningkatnya usia memang akan banyak hadangan, si suami akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk siap berhubungan dan si istri pun demikian. Dia memerlukan waktu yang lebih lama dan juga gairah mulai menurun, ini adalah hadangan-hadangan jangan sampai malu untuk dibicarakan sehingga saling pengertian diantara suami istri tetap terjalin.
GS : Kalau pun tidak terjadi suatu pembicaraan yang baik, kemudian salah satu dari mereka itu berkhianat artinya berselingkuh, apakah pihak yang lain itu akan bisa menerima?

PG : Tetap tidak, sebab sekali lagi kita itu mengharapkan bahwa pasangan kita memberikan persembahan yang terintim hanya kepada kita, meskipun hubungan kita tidak terlalu sering lagi dan sebaganya tapi kita berharap itu hanya diberikan kepada kita dan selayaknyalah diberikan kepada kita.

Tapi sewaktu pasangan memberikannya kepada orang lain, tidak bisa tidak kita merasa dia telah mengotori persembahan itu dan itu akan mempengaruhi kita pula, kita enggan memberikan persembahan yang terintim itu kepada pasangan kita.
GS : Seringkali juga untuk mempertahankan intimasi seperti itu, orang menempuh jalan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan misalnya saja dengan menyaksikan video-video porno atau gambar-gambar porno dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya tidak setuju dengan pasangan yang berkata "Untuk menambah gairah apa salahnya menonton film porno," saya tidak setuju karena yang pertama film-film itu bukan hanya hadir di benak kitapada saat kita berhubungan tapi pada masa setelah berhubungan berarti hal-hal itu akan mengotori pikiran kita.

Firman Tuhan jelas berkata di Filipi bahwa kita harus memikirkan hal-hal terindah yang terpuji, hal-hal yang memang menyenangkan Tuhan. Mana mungkin bisa menyenangkan Tuhan dengan pikiran-pikiran seperti itu. Kedua saya tidak setuju karena sebetulnya sewaktu kita berhubungan dengan pasangan kita, kita sedang berhubungan dengan orang-orang yang kita tonton di film tersebut berarti kita tidak lagi berhubungan dengan pasangan, kita berhubungan dengan orang lain meskipun hanya dalam bentuk fantasi dan itu berarti suatu perzinahan, suatu hal yang salah di mata Tuhan. Jadi meskipun saat kita hubungan dengan pasangan itu rasanya biasa saja dan sebagainya tidak apa-apa, sebab meskipun biasa saja tapi tetap kudus. Untuk apa membuatnya luar biasa tapi tercemar oleh dosa dan tidak menyenangkan Tuhan. Apa yang tidak menyenangkan Tuhan tidak akan mengundang berkat dari Tuhan, saya takut ini menjadi sebuah awal masalah lain yang bisa timbul di dalam keluarga ini. Saya takut kalau orang sudah mulai menonton-nonton video, dosa ini tidak hanya terbatas di dalam kamar tidur, dosa ini akhirnya luber kemana-mana, dia akan lebih sering nonton di luar, dia akan lebih sering melihat gambar-gambar atau melihat orang-orang dan sebagainya. Jadi kehidupan orang-orang ini akhirnya menjadi kehidupan yang dikuasai oleh dosa seksual.
GS : Pak Paul, ada juga masalah yang dihadapi oleh mereka yang karena keterbatasan sarana di rumahya, yang kamarnya hanya terbatas sehingga mereka harus tidur bersama-sama dengan anak-anak mereka yang masih kecil atau mulai menginjak remaja dan sebagainya, mereka katakan, "Kami sulit melakukan hubungan suami istri dalam kondisi seperti ini," bagaimana Pak Paul?

PG : Memang hidup tidak ideal dan adakalanya anak-anak di rumah, tetap sedapat-dapatnya jangan berhubungan seksual di dalam kamar yang sama dimana anak kita tidur. Terlalu sering kita mendengarpengakuan dari anak-anak yang sekarang sudah besar dan berkata bahwa mereka biasa mendengar dan terbangun mendengarkan orang tua mereka berhubungan.

Itu menimbulkan sebuah kesan yang mendalam namun prematur, terlalu dini dalam diri si anak, dia belum waktunya memikirkan dan tergugah oleh hal seksual. Tapi di usia dini itu akhirnya dia sudah tergugah dan gairah itu akhirnya dihidupkan secara prematur. Dampaknya apa? Nanti anak ini mudah sekali dikuasai oleh keinginan seksual, dia nanti akan mudah sekali terserap ke sana yaitu mau memikirkan hal-hal itu terus dan pada usia muda pun sudah mulai melakukannya. Jadi kita harus berhati-hati, jangan melakukannya sewaktu anak tidur dengan kita.
GS : Itu juga dialami oleh mereka yang mengalami bencana. Jadi misalnya harus tinggal di pengungsian dan sebagainya, mereka juga sulit melakukan hubungan suami istri secara rutin apalagi bermutu?

PG : Sudah tentu bermutunya akan sangat kurang karena situasi kehidupan yang tidak kondusif, namun tetap hubungan itu sedapatnya dilakukan dan berusaha untuk anak itu dititipkan di tempat lain ewaktu mereka hendak berhubungan sehingga tidak menganggu hubungan mereka pula.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Firman Tuhan di 1 Petrus 3:9 berkata, "Hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat." Suami dan istri dipanggil untuk saling memberi berkat ntara satu sama lain.

Berkat juga dapat diartikan dengan sukacita, membawa sukacita kepada pasangan kita. Kenapa kita tidak mau memberkati satu sama lain lewat hubungan seksual, berilah persembahan yang terintim ini, yang terindah ini kepada pasangan kita. Waktu kita memberikan yang terindah dan yang terintim ini kepada pasangan kita, dia pun akan diberkati dan kita pun nanti akan diberkati.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan yang sangat penting dan menarik ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengembalikan Keintiman yang Hilang," bagian yang kedua yang merupakan kelanjutan dari perbincangan kamu yang terdahulu. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



58. Dua Sumber Konflik


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T233A (File MP3 T233A)


Abstrak:

Yang merupakan dua sumber konflik adalah : Ketidakmampuan menyelesaikan konflik, Tidak terpenuhinya kebutuhan dan pengharapan.


Ringkasan:

Di dalam kita berinteraksi dengan pasangan, memang kita tidak bisa dihindarkan dari konflik yang terjadi. Tetapi kadang-kadang kita juga tidak tahu apa yang menyebabkan tiba-tiba konflik karena seringkali penyebab konflik adalah hal-hal yang sederhana yang kelihatan sepele tapi ternyata dapat memicu suatu konflik.

Yang merupakan dua sumber konflik adalah:

  1. Ketidakmampuan menyelesaikan konflik
  2. Tidak terpenuhinya kebutuhan dan pengharapan

  1. Ketidakmampuan menyelesaikan konflik Tanda-tanda :
    • Menyalahkan: MENOLAK memikul tanggung jawab.
    • Mendiamkan pasangan: Salah satu bentuk PENGHUKUMAN yang tidak nampak jelas
    • Menyerang: Tidak sanggup mengendalikan KEMARAHAN
    • Histeris: Tidak sanggup mengendalikan EMOSI
    • Sakit fisik: Tidak sanggup menahan stres

    Faktor penyebab

    • Tidak ada PANUTAN: Tidak melihat orangtua menyelesaikan konflik secara sehat
    • LINGKUNGAN tidak sehat: Tidak melihat teman menyelesaikan konflik dengan sehat
    • Orangtua bermasalah: Menumbuhkan KEBENCIAN
    • Keterbatasan pribadi: Sulit mengendalikan emosi, stres dan kemarahan
  2. Tidak Terpenuhinya Kebutuhan dan Pengharapan Tanda-tanda :
    • Terlalu MENUNTUT: Menuntut pasangan untuk selalu mengerti dan memenuhi permintaan
    • Terlalu RAPUH: Mudah menyerah dan memerlukan waktu yang panjang untuk pulih
    • Terlalu MENDENDAM: Tidak memaafkan
    • Terlalu KAKU: Menunjukkan sedikit emosi dan kepekaan
    • Terlalu SEMPURNA: Legalistik, tidak fleksibel

    Faktor penyebab

    • Orangtua yang MENGABAIKAN: Tidak di rumah, kurang memberi perhatian kepada anak
    • KONFLIK orangtua: Energi tersita sehingga tidak tersisa untuk anak
    • Kebutuhan orangtua yang besar: Orangtua berperan sebagai ANAK
    • PENGANIAYAAN orangtua: Sering menyakiti anak secara fisik, emosional, atau seksual

Firman Tuhan:
"Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi." Yakobus 4:1&2


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dua Sumber Konflik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam kita berinteraksi dengan pasangan, memang kita tidak bisa dihindarkan dari konflik yang terjadi. Tetapi kadang-kadang kita juga tidak tahu apa yang menyebabkan tiba-tiba konflik karena seringkali penyebab konflik adalah hal-hal yang sederhana yang kelihatan sepele tapi ternyata memicu suatu konflik, dan itu bagaimana?

PG : Jadi begini Pak Gunawan, ternyata semua kita tidak memulai dengan kesamaan. Artinya misalnya kesamaan kemampuan untuk menyelesaikan konflik, tetapi nyatanya kita memulai dalam perbedaan-pebedaan.

Itu sebabnya ada orang-orang yang bisa dengan cepat membereskan konflik tapi ada juga orang susah membereskan konflik, dan ada juga orang yang mudah menimbulkan konflik. Jadi pertanyaannya sebetulnya, apa yang menjadi penyebab sehingga ada sebagian orang mudah menimbulkan konflik dan susah menyelesaikannya? Sebaliknya ada orang yang sukar menimbulkan konflik dan kalau pun ada konflik mampu menyelesaikannya dengan baik. Ada dua hal yang akan kita bahas pada kesempatan ini dan yang pertama adalah ada sebagian orang yang tidak mampu menyelesaikan konflik alias tidak memiliki keterampilan. Itu sebabnya sewaktu dia menghadapi konflik, karena dia tidak mempunyai keterampilan menyelesaikannya maka konflik itu berkepanjangan atau hal yang seharusnya tidak menimbulkan konflik, tapi karena dia disitu akhirnya menjadi konflik.
GS : Kalau Pak Paul katakan menyelesaikan suatu konflik merupakan suatu keterampilan, itu sebenarnya bisa dilatihkan atau bisa diusahakan supaya dia menjadi terampil, Pak Paul?

PG : Jadi seharusnya kita pada masa-masa pertumbuhan belajar bagaimana menyelesaikan konflik tapi ada yang tidak mampu karena tidak belajar. Kita akan melihat itu namun sebelumnya kita akan menoba melihat Pak Gunawan, apa ciri-cirinya sehingga kita bisa tahu apakah kita termasuk dalam kategori itu.

Ada beberapa ciri orang tidak mempunyai keterampilan untuk menyelesaikan konflik, yang pertama adalah orang orang yang mudah sekali menyalahkan. Artinya kalau ada apa-apa tangannya cepat menuding orang lain dan langsung menyalahkan pihak luar sedangkan dia hanya bereaksi tapi orang lainlah yang membuat masalah ini. Jadi kalau kita mencoba untuk berdialog dengan dia menunjukkan bahwa dia pun mempunyai andil, maka akan sangat sulit, sebab kemampuan dia untuk mengakui bahwa ini adalah tanggung jawab saya pula, hampir tidak ada dan dia tidak mau untuk mengakui, jadi ini ciri yang pertama. Ada lima tanda yang akan saya bahas dan yang pertama adalah kesulitan mengakui tanggung jawabnya sehingga akhirnya mudah menyalahkan orang sebagai orang yang telah menyulut konflik itu.
GS : Jadi sejak dini dia adalah seorang yang tidak terlatih untuk menerima tanggung jawab yang diberikan orang lain kepadanya?

PG : Atau dia takut untuk memikul tanggung jawab karena kalau ketahuan dia berbuat salah maka dia akan dihajar oleh orang tuanya atau orang lain, sebab dari kecil memang terlatih bagaimana haru mengelak dari tanggung jawab salah satunya adalah menyalahkan orang lain.

Ini salah satu ciri orang yang tidak bisa atau tidak mempunyai keterampilan menyelesaikan konflik, cara mudah menyelesaikannya adalah dengan berkata, "Kamu yang salah dan dengan kamu yang salah kamu harus bereskan masalahmu," dia tidak bisa apa-apa. Jadi sekali lagi ini upaya dia menyelesaikan konflik, tapi ini upaya yang tidak sehat karena lama-kelamaan pasangannya akan segan, marah, lelah. "Kenapa semuanya salah saya dan kamu tidak pernah salah," jadi lama-kelamaan dia akan membuat orang tidak mau dekat dengan dia tapi itulah cara dia membereskan konflik yaitu dengan cepat menyalahkan orang supaya orang nanti membereskan buat dia.
GS : Kadang-kadang bukan orang yang disalahkan, bukan pasangannya yang disalahkan, tapi dia menyalahkan pihak lain di luar hubungan suami istri. Bisa juga menyalahkan keadaan dan sebagainya dan itu bisa terjadi Pak Paul?

PG : Betul, jadi dari pada mengakui di antara kita berdua terdapat masalah yang harus kita bereskan akhirnya cara termudah adalah menyalahkan kambing hitam ketiga "Ini yang membuat saya sepertiini," atau dalam istilah Indonesia yang populer akhir-akhir ini adalah ada provokatornya, semua hal pasti ada provokatornya.

Tentu tidak! Memang adakalanya provokator tapi yang kadang kala terjadi adalah ini masalah kedua belah pihak di dalam pernikahan dan kadang-kadang tidak ada kaitan dengan orang ketiga. Tapi orang yang tidak mampu untuk menyelesaikan konflik, mudah sekali menyalahkan faktor luar dan tidak mau melihat di antara kita berdua ada masalah yang harus kita bereskan.
GS : Tanda yang kedua apa Pak Paul?

PG : Tanda yang kedua mendiamkan pasangan. Ada orang-orang yang mendiamkan tidak mau berbicara sampai berminggu-minggu dan kadang-kadang saya kaget mendengar hal seperti ini. Tapi ada juga oran yang sanggup untuk tidak mengajak bicara, dia benar-benar mendiamkan, tujuannya apa? Sebenarnya ada dua, dengan dia mendiamkan sebenarnya dia sedang menghukum pasangannya, ini sebuah bentuk penghukuman yang tidak nampak jelas tapi sebetulnya sangat menyakitkan.

Kenapa dia menghukum, ini adalah cara dia membereskan konflik, dia melihat, "Ini salahmu, maka engkau harus mendapatkan hukuman dan hukuman yang paling efektif adalah kamu harus didiamkan tidak boleh diajak bicara." Sebetulnya ada juga yang kedua, kenapa dia mendiamkan pasangannya? Dia sedang mencoba untuk menenangkan dirinya kembali sebab sedikit konflik membuat dia kacau tidak bisa berpikir dan dia cenderung histeris. Dia tidak mau histeris, dia tidak mau kacau, dia tidak mau kalut sehingga kalau ada konflik sepertinya dia harus menutup keran emosinya sedemikian rupa, sehingga dia tidak perlu merasakan apa-apa dan dia bisa merasa tenang kembali. Dia perlu waktu misalkan dua atau tiga hari untuk bisa kembali tenang, dan barulah dia bisa hidup normal lagi. Ada tanda lagi, tanda yang sebetulnya menunjukkan kalau dia tidak sanggup membereskan konflik. Itu sebabnya kalau ada konflik dia terguncang dan guncangannya hebat sehingga dia harus diam, dia tidak boleh berbicara, dia tidak boleh berkomunikasi saat itu, kalau tidak maka dia akan kalut, dia bisa kehilangan akal sehatnya.
GS : Kalau pasangannya bisa mengerti maka tidak masalah kalau dia berdiam diri untuk menenangkan diri, tapi yang menjadi masalah kalau pasangannya tidak mau mengerti, bahkan pasangannya semakin agresif menyerang orang yang mendiamkan dia. Hal ini bisa runyam?

PG : Bisa menjadi runyam. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yang pertama adalah dia semakin melarikan diri, dia semakin menutup diri, semakin tidak mau diajak berbicara dan kalau terus didsak dia mungkin akan angkat kaki.

Atau kemungkinan yang kedua adalah dia didesak, semakin didesak akhirnya dia kalut, dia tidak bisa menghadapi, dia kacau sekali. Justru hal ini yang nanti dia takuti dan akhirnya benar-benar terjadi. Kalau kita tahu bahwa pasangan kita tidak bisa membereskan konflik dan kalau ada konflik dia harus diam mungkin untuk sementara, maka dia harus didiamkan dulu.
GS : Kadang-kadang ada orang yang sengaja menghindar dari pasangannya supaya konfliknya tidak berkepanjangan tapi sebenarnya dengan begitu masalahnya tidak selesai Pak Paul?

PG : Betul sekali dan malangnya adalah, tipe pertama dan kedua yang baru saja kita bahas seringkali bersatu dalam pernikahan. Jadi yang satu agresif sekali menyalahkan tapi yang satu lagi tidakbisa menghadapi konflik dan harus diam.

Maka semakin disalahkan semakin dia diam, yang satu semakin diam semakin didiamkan, semakin menyalahkan. Jadi seringkali dua tipe ini bersatu dalam keluarga.
GS : Dan sebenarnya Tuhan mempersatukan mereka untuk saling belajar?

PG : Betul seharusnya begitu.

GS : Ciri yang ketiga apa Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah orang yang menyerang. Jadi ini lebih dari menyalahkan tapi dia memang agresif. Tipe yang ketiga biasanya berbentuk fisik atau berbentuk kata-kata yang sangat-sangat kasa, mencaci maki dan sebagainya.

Sebetulnya orang yang langsung menyerang adalah orang yang tidak bisa menghadapi atau mengatur kemarahannya. Jadi saat emosinya bergejolak dia harus langsung mengeluarkan dan keluarnya dalam bentuk kemarahan. Kebanyakan orang kalau sedang bergejolak misalkan gejolaknya kecemasan maka yang keluar adalah kecemasan, gejolak kesedihan maka yang keluar adalah menjadi sendu. Tapi tipe ketiga ini tidak! Perasaan apapun yang bergejolak kecenderungannya yang keluar satu yaitu kemarahan, agresifitas. Ini adalah ciri ketiga yaitu orang yang tidak bisa menghadapi konflik, jadi kalau ada apa-apa, ada masalah dan sebagainya maka dia langsung meledak. Cara ini yang sebetulnya dia gunakan untuk menyelesaikan konflik walaupun kita tahu ini membibitkan konflik baru membuat masalah semakin melebar tapi dia tidak punya cara yang lain. Biasanya yang terjadi adalah karena dia meledak atau marah maka orang diam, bagi dia konflik selesai karena orang jadinya takut. Jadi cara intimidasi yang akhirnya diadopsi sebagai cara dia menyelesaikan konflik.
GS : Padahal pasangannya diam belum tentu menerima apa yang dia katakan Pak Paul?

PG : Betul sekali. Dan adakalanya ada orang yang sebetulnya bisa membereskan konflik tapi karena menikah dengan tipe yang agresif atau menyerang, akhirnya dia belajar untuk dia harus diam. Karea tipe orang yang agresif yang suka menyerang kalau mendapati bahwa kita berani berdialog, menyahut menjelaskan, maka dia menjadi kehilangan kendali, dan semakin marah.

Maka akhirnya pasangannya biasanya menjurus kepada mendiamkan, "Sudah tidak perlu ditanggapi, kalau ditanggapi akan semakin meledak." Tapi bahayanya atau jeleknya adalah yang suka menyerang akhirnya terus-menerus tidak bisa menyelesaikan konflik, sebab cara dia menyelesaikan konflik adalah dengan membuat orang lain "mati kutu", diam, semua takut dengan dia tapi konflik tetap ada dan masalah tidak pernah diselesaikan.
GS : Dan bentuk penyerangan itu kadang-kadang melebihi kata-kata tapi bisa dengan tindakan-tindakan?

PG : Biasanya memukul, kalau dia tidak mau memukul pasangannya dia akan hancurkan barang, akhirnya hal itu yang membuat orang takut berkonflik dengan dia. Cara itu yang digunakan untuk memberesan konflik, tapi itu cara yang tidak sehat.

GS : Mungkin belum tentu takut, hanya menghindar supaya tidak semakin parah, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Ciri yang keempat, apa Pak Paul?

PG : Ada orang yang histeris Pak Gunawan. Sedikit saja menghadapi konflik bertengkar dengan pasangannya maka dia bisa histeris, dia bisa berteriak-teriak, menangis keras, emosinya tiba-tiba nai, tidak bisa lagi menguasai dirinya.

Ini berbeda dengan yang tadi, yang tadi menyerang secara agresif tapi ini histeris. Histeris ini adalah kehilangan kendali, dia berteriak-teriak, menangis dan sebagainya. Ini adalah tipe orang yang memang tidak bisa mengatur emosinya, tidak bisa meregulasi emosi. Jadi seolah-olah dalam dirinya tidak ada katup, kalau orang lain terdapat katup sehingga kalau emosi sedang naik kita bisa katup sehingga tidak terus naik. Dia tidak ada katup, sehingga saat emosi sedang naik dan yang berbahaya adalah langsung mengalahkan fungsi rasionya karena tidak ada lagi fungsi rasio. Maka yang keluar benar-benar ekspresi emosi, teriakan dan sebagainya tapi sekaligus bagi dia ini merupakan caranya untuk menyelesaikan konflik. Karena dia kebalikan dari orang yang mendiamkan, kalau yang mendiamkan harus diam, dia ini harus berteriak-teriak dan setelah dia berteriak-teriak dia bisa lega, tekanannya hilang, dia reda kembali. Maka akhirnya ini cara yang diadopsi sebab bagi dia ada hasilnya. Dia membuat teriak-teriak histeris 1 atau ½ jam sudah itu dia tenang, dia membaik kembali. Sudah tentu kalau pasangan hidup dengan dia seperti ini pasangan lama-kelamaan akan berusaha menghindar dari konflik sebab dia tahu kalau ada konflik pasti orang ini akan berteriak-teriak lagi dan sebagainya. Jadi akhirnya orang-orang mengakomodasi dia. Tapi sekali lagi ini cara yang melestarikan problem, dia tidak bisa membereskan konflik sebab caranya ialah dia berteriak-teriak histeris mengeluarkan emosinya sampai semua orang harus diam.
GS : Setelah emosinya mereda Pak Paul, apakah dia bisa diajak bicara untuk menyelesaikan konflik?

PG : Bisa, ada orang-orang yang memang seperti itu. Setelah dia dingin sudah keluar semua emosinya, dia bisa diajak bicara. Dan dia akan berkata kepada pasangannya, "Tolong terima saya, saya meang perlu mengeluarkan semuanya, setelah saya mengeluarkan semua barulah saya bisa berbicara.

Ada orang yang seperti itu, tapi semua ledakan itu harus dibocorkan dulu.
GS : Tapi yang dikhawatirkan pasangan adalah kalau konflik itu dibicarakan dia akan meledak lagi, Pak Paul?

PG : Benar itu bisa. Jadi ada orang yang walaupun sudah mengeluarkan emosinya tapi kalau diajak berbicara tentang hal yang sama, dia kembali tidak bisa diajak berbicara.

GS : Dan yang kelima apa, Pak Paul?

PG : Ada juga orang yang kalau mengalami konflik Pak Gunawan, dia langsung sakit. Biasanya kita melihat pada anak-anak yang tidak bisa menghadapi ketegangan kemudian dia sakit. Biasanya itu dibwa sampai usia remaja sehingga kalau ada ketegangan, ada masalah dengan pasangannya, dia menjadi sakit kepala, sakit maag, sakit jantung dan lain-lain.

Jadi akhirnya orang diam karena takut sakit. Dengan dia diam sebetulnya itu merupakan cara untuk melepaskan ketegangan dan ketakutannya lewat sakit-penyakit. Dan itu adalah bukti bahwa dia memang tidak mempunyai daya tahan yang kuat sehingga waktu jiwanya tegang atau secara psikologis dia tidak bisa tahan, sepertinya tekanan itu jatuh menghantam batas psikologisnya, masuk ke fisik, sehingga tubuhnya cepat jatuh sakit, itu salah satu ciri yang umum kita lihat.
GS : Jadi sebenarnya kalau orang itu menyadari ciri-ciri dia kalau menghadapi konflik lalu timbul seperti itu dan dia sadar, dia bisa mengatasinya Pak Paul?

PG : Setidak-tidaknya karena dia menyadarinya, dia bisa memulai proses untuk membereskannya.

GS : Apakah ada kombinasi dari tanda-tanda itu di dalam diri seseorang ketika mengalami satu konflik?

PG : Ada, Pak Gunawan. Misalnya yang sering terjadi adalah yang histeris sering bergabung dengan yang menyerang atau agresif meskipun tidak selalu sama tapi adakalanya mereka itu bergabung menjdi satu.

Artinya kalau dia sudah histeris maka tinggal menunggu waktu dia akan lebih agresif menyerang. Misalkan yang suka menyalahkan seringkali bisa menjadi satu dengan orang yang agresif menyerang atau yang histeris itu juga satu paket. Yang mendiamkan dengan yang sakit fisik itu seringkali juga sama, Pak Gunawan.
GS : Apa yang biasanya menyebabkan orang bisa seperti itu?

PG : Setidak-tidaknya ada empat penyebab, Pak Gunawan. Yang pertama adalah kalau kita dibesarkan dalam rumah dimana memang tidak ada panutan, kita tidak pernah melihat orang tua itu membereskankonflik dengan cara yang sehat.

Akhirnya kita tidak bisa belajar bagaimana cara yang sehat, sehingga setelah kita besar kita akan menggunakan cara-cara orang tua kita yang salah itu. Yang cepat berteriak, yang cepat menyalahkan atau yang mendiamkan, atau yang tiba-tiba menjadi sakit. Yang kedua adalah lingkungan yang tidak sehat, ada orang-orang dibesarkan dalam lingkungan yang buruk sekali. Banyak perkelahian, sedikit-sedikit marah akhirnya dia belajar dari teman-temannya, tetangganya dan lain-lain, yang penting kalau ada yang bermasalah maka langsung saja pukul dan sebagainya. Akhirnya itulah yang diadopsi. Yang ketiga adalah kalau orang tua yang bermasalah, misalnya mereka memang sering bertengkar, ada yang tidak setia, ada yang mengkhianati keluarganya. Jadi si anak ini dari kecil marah dengan salah satu orang tuanya, baik Papa atau pun Mamanya sehingga kemarahan ini menjadi kebencian yang menumpuk, menjadi genangan kemarahan yang tinggi. Itu sebabnya setelah dia besar kalau ada masalah maka kemarahanlah yang akan langsung keluar meledak. Yang terakhir adalah ada orang-orang yang memang memiliki keterbatasan pribadi artinya ada orang-orang yang susah mengatasi emosi. Jadi sepertinya daya tampung emosinya lemah, kecil. Kalau emosi sudah mulai banyak dia tidak bisa lagi menangani sehingga akhirnya meluber kemana-mana, meledak kemana-mana. Tadi yang kita bahas tentang histeris atau yang agresif menyerang adalah ciri-ciri orang yang memang memiliki keterbatasan sehingga akhirnya tidak bisa menampung semuanya itu atau malah dia menjadi jatuh sakit.
GS : Jadi itu kombinasi antara kurangnya kepribadian dari seseorang dan juga pengaruh dari lingkungan?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Pak Paul, kalau tadi berbicara tentang dua sumber konflik dan tadi kita sudah bicarakan ketidakmampuan seseorang menyelesaikan konflik. Faktor atau sumber yang kedua apa, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah tidak terpenuhinya kebutuhan. Jadi kita memasuki pernikahan sudah tentu membawa kebutuhan-kebutuhan yang kita harapkan nanti bisa dipenuhi oleh pasangan. Sewaktu tidak tepenuhi kita mencoba meminta, kita mencoba komunikasikan, apakah pasangan bisa atau tidak? Mau memenuhinya atau memang tidak mempunyai kemampuan memenuhinya? Apa yang terjadi? Akhirnya kebutuhan itu semakin membesar ibarat tidak pernah diisi akhirnya tangki kita kosong.

Nantinya muncul masalah, kalau problem terjadi, konflik sedang ada dalam rumah tangga kita, kebutuhan yang tak terpenuhi itu tiba-tiba seperti kekuatan dari belakang yang menabrak kita, kuat sekali sebetulnya kesalahan pasangan kita kecil, tapi kita tidak bisa menahan diri lalu kita marah habis-habisan, kenapa? Karena kebutuhan kita ada yang tidak terpenuhi. Contoh misalkan dari dulu kita merasa pengorbanan tidak dihargai, menjaga anak dan sebagainya disepelekan oleh suami kita. Misalnya satu kali dia membuat kesalahan, maka dia meledak habis-habisan, marah, kita menghajar dengan kata-kata. Kenapa begitu? Sebab di dalam kondisi kita tidak stabil akibat kebutuhan kita yang tidak terpenuhi, kita tidak bisa menguasai diri kita dengan baik. Seolah-olah teriakan itu keluar dari kebutuhan yang tak terpenuhi.
GS : Kalau yang tadi ada tanda-tandanya, kalau ada pengharapan yang tidak terpenuhi apakah juga ada tanda-tandanya?

PG : Sekurang-kurangnya lima yang bisa saya pikirkan Pak Gunawan, yang pertama adalah orang-orang ini menjadi orang-orang yang terlalu menuntut karena kebutuhan yang tak terpenuhi menuntut pasagan untuk senantiasa mengerti dan memenuhi permintaannya, adakalanya pasangan memang kurang mampu memberikan kecukupan, adakalanya dia memang harus belajar juga menerima tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Apalagi kalau dia memasuki pernikahan dengan kebutuhan yang besar maka dia akan menuntut terus-menerus. Yang kedua adalah dia menjadi terlalu rapuh, artinya karena kebutuhan yang terlalu besar daya tahannya lemah dia mudah menyerah, sehingga kalau ada konflik perlu waktu yang lama untuk pulih. Karena satu pertengkaran saja membuat dia terlalu letih, seolah-olah habis. Tandanya yang ketiga terlalu mendendam, orang yang merasa dirinya terlalu berbuat banyak tapi kebutuhannya tidak dipenuhi maka dia mudah sekali menyimpan amarah, dendam sehingga sewaktu berbuat kesalahan dia tidak mudah untuk memaafkan. Yang lainnya lagi adalah dia menjadi terlalu kaku, artinya menunjukkan sedikit emosi tidak menunjukkan kepekaan, hidupnya benar-benar hampa emosi. Ini salah satu ciri orang yang akhirnya karena sudah putus asa kebutuhannya tidak dipenuhi maka dia jalani hidup tanpa perasaan seperti mesin. Dan ciri-ciri yang terakhir adalah terlalu menuntut kesempurnaan, sangat legalistik, tidak bisa fleksibel karena dia sendiri sudah lelah karena kebutuhannya tidak terpenuhi sehingga dia menjadi kaku dengan suami, anak, istri, harus begini, harus begini. Karena dirinya itu sangat lapar dan haus.
GS : Itu sangat menyangkut karakter dari seseorang yang katanya susah sekali untuk bisa dirubah?

PG : Bisa. Memang ini semuanya akhirnya menjadi bagian dari karakter dia, bisa juga sebelum dia menikah, dia sudah mempunyai karakter seperti itu pula. Jadi akhirnya dalam menghadapi konflik di tidak bisa lagi, karena kebutuhan dia yang tidak terpenuhi itu.

GS : Pasti ada faktor penyebabnya, Pak Paul?

PG : Ada, Pak Gunawan. Ada beberapa yang saya bahas misalnya yang pertama adalah orang tuanya terlalu mengabaikan dia, sejak dia kecil orang tua jarang di rumah kurang memberikan perhatian kepaa dia sehingga dia kosong, kebutuhan-kebutuhan dia tidak terpenuhi.

Ada lagi orang tua yang penuh dengan konflik sehingga energi orang tua habis tersita untuk membereskan masalah orang tua. Anak-anak mempunyai kebutuhan tapi tidak lagi bisa dipenuhi karena mereka sendiri sudah terlalu letih mengurus masalah mereka. Ada juga karena kebutuhan orang tuanya terlalu besar sehingga si anak sejak kecil harus memenuhi kebutuhan orang tuanya, dia ini anak tapi dia juga menjadi orang tua sebab si Mama atau si Papa tidak bertanggung jawab lebih kekanak-kanakan akhirnya kebutuhan dia tidak terpenuhi, tapi dia harus memikirkan kebutuhan orang tuanya. Dan yang terakhir adalah anak-anak yang dianiaya, kalau orang tua marah seringkali memukuli, mencaci maki atau malahan melecehkan secara seksual anak-anak mereka, akhirnya tersakiti dan tersakiti. Maka orang yang memasuki pernikahan dengan kebutuhan yang besar untuk menyembuhkannya atau membalutnya adalah diperlakukan dengan lembut dan sebagainya. Kalau kebutuhan tidak terpenuhi akhirnya dia terus-menerus konflik dengan pasangannya.
GS : Dari keempat faktor ini yang Pak Paul sampaikan, semuanya menyangkut orang tua. Jadi pengaruh orang tua besar sekali terhadap anak yang menikah ini?

PG : Sangat besar. Boleh dikatakan kalau kita memang mempunyai begitu banyak masalah dengan keluarga asal, seringkali akhirnya kita bawa ke pernikahan kita sendiri.

GS : Tetapi dengan kemurahan Tuhan saya rasa ini semua bisa diatasi Pak Paul?

PG : Bisa, Pak Gunawan, yang penting yang sudah saya singgung kita mau mengakuinya bahwa ini masalah kita, kita tidak lagi menuding pasangan kita, kita mengakui kalau saya yang bermasalah. Kedu kita datang kepada Tuhan minta Tuhan menolong kita.

Yang ketiga datang kepada pasangan kita juga untuk meminta pertolongannya, mengerti kita dan menolong kita. Sehingga kalau kita mempunyai masalah, kita bisa bekerjasama dengan pasangan kita, setelah bekerjasama barulah kita bereskan dan kita datang kepada Tuhan dan kita berdoa. Itu langkah-langkah yang harus kita jalani.
GS : Dan apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Yakobus 4:1&2, "Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu meningini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi."

Ini semua memang bersumber dari hawa nafsu, hawa nafsu juga dapat kita katakan hal-hal yang kita minta, yang kita harapkan, yang kita belum dapatkan, ini seringkali menjadi sumber konflik.

GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dua Sumber Konflik" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



59. Konflik Dan Pertumbuhannya


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T233B (File MP3 T233B)


Abstrak:

Tanpa kita sadari konflik juga menjadi pertumbuhan dalam pernikahan kita. Syarat mengubah konflik menjadi titik pertumbuhan: Dapat mengintrospeksi diri dan dapat mengakui kesalahan.


Ringkasan:

Biasanya konflik bisa menghancurkan suatu pertumbuhan relasi nikah, tapi saat ini kita akan melihat konflik bisa memberikan pertumbuhan di dalam suatu pernikahan.

Relasi antara keduanya:
• Konflik dapat menimbulkan pertumbuhan dengan cara MEMAKSA kita MELIHAT masalah yang menghambat relasi. • Konflik yang tersedia akan membawa kita LEBIH DEKAT dengan satu sama lain. • Konflik membuka kesempatan bagi kita untuk menguasai KETERAMPILAN BARU : Memahami satu sama lain, menyelaraskan perbedaan, mengendalikan diri dan secara kreatif memulihkan hubungan yang terputus. • Konflik menyadarkan pasangan bahwa kebutuhan dan pengharapan kita belum terpenuhi. Dengan kata lain, konflik berfungsi sebagai LAMPU PERINGATAN. • Konflik juga berfungsi untuk membuat pasangan melihat dari KACAMATA kita, dan bukan hanya sudut padangannya sendiri.

Syarat mengubah konflik menjadi titik pertumbuhan, berawal dari diri sendiri yaitu dapat MENGINTROSPEKSI DIRI apa yang menjadi bagian kita dan dapat MENGAKUI KESALAHAN.

Cara mengubah konflik menjadi pertumbuhan:

Satu KONFLIK, satu PUJIAN: Setelah konflik berakhir, katakanlah sesuatu yang baik tentang pasangan. Jadi kita tidak memberikan kepadanya kesan bahwa semuanya yang ada pada dia jelek.

Satu TUNTUTAN, satu SARAN: Berikan saran bagaimana memenuhi tuntutan.Kadi setelah kita sajikan tuntutan itu, kita bagikan saran atau caranya, bagaimana dia bisa menolong kita memenuhi dan kita harapkan itu.

Satu SALAH, satu BENAR: Setelah menunjukkan apa yang salah, jangan lupa mengatakan apa yang telah dilakukannya dengan benar

Satu HARI, satu KONFLIK: Meski masih ada konflik, tundalah; masih ada hari esok untuk membicarakan masalah yang lain

Satu KEJENGKELAN, satu PERENUNGAN: Sebelum mengatakan apa pun, pikirkanlah terlebih dahulu.

Satu TETES AIR MATA, satu DOA: Tuhan dapat menjahit baju pernikahan yang robek.

Firman Tuhan:
"Dimana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketentraman untuk selama-lamanya." (Yesaya 32:17)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Konflik dan Pertumbuhan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Biasanya Pak Paul, yang namanya konflik itu justru menghancurkan suatu pertumbuhan, mematikan hubungan dan sebagainya tetapi kali ini di dalam perbincangan, kita akan melihat bahwa konflik itu bisa memberikan suatu pertumbuhan di dalam suatu pernikahan. Apa memang seperti itu Pak Paul?

PG : Memang seperti itu Pak Gunawan. Jadi sebetulnya kalau saja kita bisa mempunyai sikap positif bahwa konflik seharusnya dapat menjadi pertolongan bagi kita bertumbuh maka kita akan menghadap dan menyelesaikan konflik secara positif.

Tapi kalau kita sudah mempunyai konsep yang salah tentang konflik, dan berkata bahwa, "Sudahlah memang kita tidak bisa sama-sama, kita seharusnya tidak menikah dan sebagainya," maka konflik semakin melebar. Jadi seyogianya kita mempunyai sikap bahwa konflik memang tidak enak, memang menyakitkan tapi Tuhan dapat mengubah konflik menjadi titik balik untuk kita bertumbuh. Dengan sikap seperti ini, nantinya konflik justru akan berguna, digunakan Tuhan dan digunakan kita berdua sebagai titik balik menolong kita bertumbuh.
GS : Apakah tidak dipengaruhi dengan tingkat konflik itu sendiri Pak Paul, maksudnya tidak terlalu parah atau bagaimana?

PG : Kalau konflik sudah terlalu parah sekali, kita susah untuk berkata bahwa "Ok, Tuhan dapat memakai konflik ini sebagai titik balik untuk kita bertumbuh," karena kita belum bisa melihat samasekali.

Tapi apa pun yang menjadi masalah, seyogianya kita tetap memelihara sikap positif itu bahwa meskipun kita tidak bisa melihatnya sekarang, kita tidak bisa mengerti bagaimana nanti akan diubah oleh Tuhan, tapi kita percaya bahwa kalau dua-dua mau menyelesaikannya bukan saja konfliknya akan selesai tapi nantinya akan menjadi alat yang Tuhan gunakan untuk menolong kita bertumbuh.
GS : Konkretnya sikap positif itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Misalkan Pak Gunawan, kita tahu bahwa konflik itu akan memaksa kita melihat masalah. Kita sebenarnya mempunyai kecenderungan tidak mau melihat masalah tapi karena kita ini bersikap, "OK, knflik ini bisa menolong kita untuk bertumbuh," akhirnya kita bersedia melihat masalah.

Waktu pasangan memunculkannya, kita tidak langsung menyangkalnya atau menyalahkan dia, kita terbuka untuk, "Baiklah saya mau dengarkan," ini langkah yang seharusnya kita ambil. Jangan menepis, jangan menyangkal, jangan menyalahkan tapi mari ceritakan saya mau dengarkan. Sikap yang menyambut dan mau mendengarkan, menolong pasangan untuk membicarakan persoalan yang dihadapinya, konflik yang dihadapi dengan kita. Akhirnya apa yang terjadi? Waktu kita berhasil menyelesaikan problem kita, berarti tersingkirlah kerikil yang tadi mengganggu kita sebab konflik menunjukkan adanya problem. Tapi kalau kita berkata, "Konflik ini akan menolong saya melihat problem itu," akhirnya kita bisa selesaikan dan karena kita selesaikan berarti kerikil itu hilang. Karena kerikil itu hilang, kita berdua berjalan lagi dengan jauh lebih nyaman.
GS : Tapi kesulitan dari pasangan adalah justru melihat masalah itu secara konkret Pak Paul? Biasanya masalahnya sendiri tidak terlihat?

PG : Maka kita harus mengangkat masalah. Sebelum mengangkat masalah dia harus memikirkan cara terbaik mengkomunikasikannya supaya pasangan dapat melihat. Adakalanya dia sendiri masih kurang jels, kalau disini kurang jelas dia bisa berkata, "Saya sendiri kurang jelas bagaimana, tapi ini yang saya sudah rasakan.

Nanti kalau saya sudah ada contoh yang lebih konkret saya beritahukan," tidak apa-apa berkata seperti itu dan memang misalnya muncul contoh konkret, silakan nanti dibagikan dengan pasangannya itu.
GS : Yang lain apa Pak Paul?

PG : Yang lain adalah konflik sebetulnya membuka kesempatan kepada kita menguasai keterampilan baru, cara-cara baru untuk menyelesaikan masalah. Misalkan cara-cara baru adalah cara baru memaham pasangan, karena kita memiliki konflik maka pasangan berkata, "Saya minta kamu memahami saya, saya orangnya seperti ini," baiklah jadi dia sekarang menambah pemahamannya tentang si pasangan dan waktu misalkan si pasangannya diam, itu berarti bukannya pasangannya tidak mau bicara dengan dia tapi pasangannya memang perlu waktu sejenak untuk bisa memikirkan dengan jernih, duduk masalahnya.

Baru nanti mengutarakannya, "Jadi itu caramu," dia mempelajari satu keterampilan baru, sekarang dia menguasai pemahaman tentang pasangannya. Atau dia belajar menyelaraskan perbedaan, dulu dia belum bisa, kalau ada perbedaan langsung marah, bertengkar dan sebagainya dan sekarang dia belajar, "Tidak harus seperti itu," dia bisa berbicara baik-baik, disampaikan secara baik-baik dan yang penting saya cari waktu yang baik sehingga pasangan bisa mendengarkan dengan lebih baik tapi ternyata semua bisa selesai. Memang kita berdua berbeda tapi kita bisa terima perbedaan ini dan perbedaan itu tidak harus menjadi duri yang menyakiti satu dengan yang lain. Akhirnya ketemu caranya, misalkan yang lain lagi adalah cara mengendalikan emosi, dulu kita tidak bisa, emosi langsung keluar dan keluar tapi sekarang kita belajar. Kalau saat marah diam dan jangan bicara dulu, keluar sebentar jalan-jalan, tarik napas, tenangkan diri, jangan bicara sebab kalau bicara kita tidak bisa lagi mengontrol. Jadi lebih baik diam, kita belajar suatu keterampilan baru disitu. Atau kita belajar cara kreatif memulihkan hubungan misalkan dengan mengajak pasangan kita untuk duduk minum teh bersama, "Sudahlah kita jangan bicarakan lagi, mari kita duduk bersama minum teh." Atau "Mari kita keluar jalan-jalan, mungkin pikiran kita lebih segar." Artinya kita mempelajari cara-cara kreatif untuk membereskan masalah, semua diawali oleh konflik. Jadi konflik memberi kita kesempatan mempelajari metode-metode baru untuk menyelesaikan konflik itu sendiri.
GS : Jadi sebenarnya ada cukup banyak cara yang tersedia untuk menyelesaikan konflik itu, Pak Paul. Dan yang menjadi masalah adalah apakah kita mau belajar dan apakah pasangan kita mau mengajarkan suatu pola yang baru itu kepada kita?

PG : Betul, itu dua kunci yang sangat penting. Setidaknya harus berani mengakui, mau belajar, mau minta bantuan pasangan kita dan pasangan mengulurkan tangan membantu. Kalau memang ini kelemaha dari diri kita maka biarkan dia menolong kita, jangan malah menjelek-jelekkan atau malah menghina kita.

GS : Kalau ada cara baru dan tidak kita coba memang kita tidak tahu bahwa itu bisa menyelesaikan konflik, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Yang lainnya apa Pak Paul?

PG : Ada dua lagi Pak Gunawan. Yang ketiga adalah konflik menyadarkan pasangan bahwa kebutuhan dan pengharapan kita belum terpenuhi, dengan perkataan lain konflik bisa berfungsi sebagai lampu mrah, lampu peringatan, stop dulu ada yang belum beres, stop dulu saya punya kebutuhan.

Kita kadang-kadang berjalan dalam hidup dan lupa kalau pasangan kita punya kebutuhan, dengan adanya konflik maka muncul, "Ini kebutuhanmu, saya tidak tahu. Sekarang saya sudah tahu dan saya diingatkan, baiklah saya akan lebih berhati-hati, saya akan lebih memenuhi kebutuhanmu." Sehingga tadinya kebutuhan tak terpenuhi sekarang terpenuhi. Berarti apa? Bukan saja masalah selesai tapi relasi akan membaik karena kebutuhan tadi itu membuat dirinya pincang, sekarang sudah terpenuhi dia sudah tidak pincang lagi. Dia pun lebih bisa memberi sepenuhnya kedalam pernikahan ini.
GS : Tapi itu sekaligus mengingatkan pasangan yang satunya untuk berani memberi tahukan kebutuhannya tanpa menunggu sampai timbul konflik Pak Paul?

PG : Seyogianya begitu. Jadi seyogianyalah kita memberanikan diri untuk membagikan kebutuhan kita kepada pasangan dan kalau memang itu adalah kebutuhan kita, pasangan seyogianya juga mendengarkn dan mencoba untuk memenuhinya.

Tapi hidup tidak ideal jadi kadang-kadang kita tidak melakukannya. Atau kita sudah melakukannya tapi pasangan tidak memberikannya kepada kita. Makanya muncul konflik, jadi konflik harus muncul seakan-akan sebagai lampu peringatan. Tolong stop dulu ingat aku, ingat kebutuhanku, jangan jalan dulu, jangan jalan sendirian.
GS : Yang terakhir apa Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah konflik bisa berfungsi untuk membuat pasangan melihat dari kacamata kita dan bukan hanya dari kacamatanya sendiri. Kadang-kadang kita jalan berdua tapi mata memandang ua hal yang berbeda, terus begitu dalam pernikahan.

Konflik seperti lubang dalam jalanan, kita sedang naik mobil atau naik motor dan sedang melamun, tahu-tahu kita melihat ada lobang "Duak," akhirnya kita melek mata, sadar lagi, kaget. Pernikahan adakalanya seperti itu, karena kita tidak jaga, tapi itu hal yang lumrah. Kita menjalani pernikahan, suami kerja apa? Istri kerja apa? Lebih banyak dimana? Suaminya lebih banyak dimana? Akhirnya mulai terpisah, mulai terpaut, cara pandang mulai berbeda lagi, tidak sama lagi. Dulu saat pacaran intensif ketemu, banyak hal-hal disamakan dan sekarang mulai terpisah, akhirnya konflik muncul. Waktu konflik muncul, kita disadarkan "Benar ya, kamu lain dengan saya." Kita dipaksa kembali untuk menyatu dan yang penting melihat dari kacamata pasangan kita. Kita dipaksa melihat kembali dari kacamatanya sehingga waktu kita bertindak atau memutuskan sesuatu tiba-tiba otak kita sudah terbiasa tidak hanya memikirkan menurut saya bagaimana, tapi pikirkan juga menurut istri saya atau suami saya bagaimana. Waktu kita mengambil keputusan kita langsung mengawinkan keduanya, "Baiklah ini yang pasangan saya pikirkan saya begini. Baik kalau begitu kita harus putuskan yang cocok untuk keduanya, bukan hanya untuk saya."
GS : Jadi pasangan mempunyai kesempatan untuk menyamakan pandangan mereka terhadap sesuatu masalah atau sesuatu yang harus dikerjakan bersama-sama?

PG : Betul. Konfliklah yang menjadi anjlok.

GS : Dan untuk pertumbuhannya Pak Paul, segala sesuatu yang bertumbuh membutuhkan kondisi atau syarat tertentu. Dan kalau konflik dihubungkan dengan pertumbuhan, syarat-syaratnya apa Pak Paul?

PG : Kita pasti berkata dan saya yakin, "Baiklah saya mau bertumbuh lewat konflik," dan kita akan bahas beberapa cara praktisnya tapi memang sebelumnya kita harus bicarakan kondisinya. Pertama dalah kalau mau mengubah konflik menjadi pertumbuhan, kita mesti bisa melihat diri kembali, bisa bercermin, bisa mengintrospeksi diri apa yang menjadi bagian kita.

Tapi untuk orang yang terlalu defensif atau terlalu mudah menyangkal tanggung jawab, menyalahkan orang, tidak bisa Pak Gunawan. Walau lidah kita sampai lepas pun tidak bisa meyakinkan dia karena dia selalu melihat orang, tidak pernah melihat dirinya. Yang kedua adalah dia mesti mempunyai kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan meminta bantuan. Orang yang sudah tinggi hati Pak Gunawan, sebetulnya hampir mustahil bisa hidup di dalam pernikahan. Jadi kalau orang yang tinggi hati itu menikah, sebetulnya dia hidup sendiri, pasangannya harus ikut dia dan itu bukan pernikahan dan pernikahan merupakan sebuah penyatuan. Dalam kasus ini kalau dia mau mengubah konflik menjadi pertumbuhan maka dia harus berani katakan, "Saya salah dan saya mau belajar, saya mau minta maaf dan tolong saya dan sebagainya," dan itu yang diperlukan.
GS : Jadi harus berawal dari dirinya sendiri bukan dari pasangannya Pak Paul?

PG : Tepat sekali. Dia harus melihat dirinya, berani mengakui kesalahan bahkan meminta maaf dan meminta pertolongan.

GS : Caranya bagaimana?

PG : Ada cukup banyak Pak Gunawan, yang kita akan bahas. Yang pertama adalah saya akan memberikan satu prinsip, prinsip yang sederhana. Secara praktisnya Satu konflik satu pujian artinya setela konflik berakhir katakanlah sesuatu yang baik tentang pasangan.

Jadi kita tidak memberikan kepadanya kesan bahwa semuanya yang ada pada dia jelek. "Memang ada masalah, kamu memang begini tapi kamu orangnya begini, kamu orangnya baik, kamu orangnya suka menolong orang, itulah yang saya hargai tentang kamu." Jadi silakan konflik muncul tapi setelah berakhir saya ingatkan, "Meskipun kita konflik, saya tidak suka hal ini tentang diri kamu. Tapi saya mau katakan bahwa terlalu banyak hal yang baik tentang diri kamu dan saya tetap hargai sampai sekarang." Orang yang mendengar kata-kata seperti itu, sepanas apa pun hatinya sebelumnya, langsung akan dingin kembali "Baik saya mengerti." Ini saya belajar dari istri saya, istri saya bicara begitu kalau saya konflik dengan dia. Dia akan berkata, "OK Paul, saya mengerti saya memang tidak bisa terima ini tentang diri kamu tapi ini hanya satu. Sedangkan kamu punya sembilan puluh sembilan hal lain yang baik. Makanya tidak apa-apa saya tidak permasalahkan." Kata-kata seperti itu mendorong saya justru mau memperbaiki yang tadi itu, justru saya lebih bersemangat karena saya dilihat begitu positif oleh dia, jadi ini hal yang penting kalau bisa kita ingat, kita praktekkan.
GS : Konflik terdiri dari dua orang yaitu kita dengan pasangan, setelah kita menyampaikan pujian seperti itu apakah kita mengharapkan pasangan itu juga menyampaikan hal yang sama?

PG : Kalau dia belum menangkapnya, belum terbiasa, biarkan saja sebab biasanya kalau kita terus melakukan hal ini, lama-lama dia akan belajar melakukannya pula. Kalau pun dia tidak melakukannyaefeknya saja sudah begitu baik, positif.

Jadi sebetulnya kita tidak perlu berharap melakukannya, kalau dia melakukan sudah tentu sangat baik tapi kalau pun tidak, efeknya sudah terlalu sangat baik. Jadi saya menganjurkan kita mencoba hal seperti ini.
GS : Itu seperti menyiramkan air yang dingin di bara yang panas?

PG : Tepat sekali.

GS : Hal yang lain apa Pak Paul?

PG : Yang lain adalah Satu tuntutan satu saran artinya kalau kita mempunyai satu tuntutan terhadap suami kita atau istri kita, setelah kita sajikan tuntutan itu, kita bagikan saran atau caranya bagaimana dia bisa menolong kita memenuhi dan kita harapkan itu.

Ada beda yang besar antara orang yang hanya bisa menuntut dan orang yang bisa menyediakan saran atau jalan keluar. Sebab orang yang dituntut itu sudah tertekan seolah-olah dia tidak beres, dia banyak masalah sehingga harus dituntut ini, itu dan sebagainya, dia tidak melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik. Tapi kadang-kadang membuat dia frustrasi sebab dia merasa dia sudah melakukan tapi dia tetap salah, dia tidak mengerti harus bagaimana, maka yang menuntut berilah satu saran dimana supaya pasangannya bisa memberikan yang dituntutnya itu.
GS : Biasanya yang kerap terjadi adalah kita mau menuntut tapi kita tidak memberikan saran, justru kita menuntut karena kita tidak tahu sarannya apa?

PG : Kadang-kadang begitu. Jadi akhirnya hanya tahu yang kita mau tapi bagaimana caranya kita berkata, "Kamu harus pikirkan, mana mungkin kamu tidak bisa pikirkan dan sebagainya," karena kita tdak mengerti harus bagaimana.

Dulu pernah terjadi antara saya dengan istri saya, saya juga berkata kepadanya, "Saya tidak mengerti harus bagaimana," terus saya berkata "Tolong saya, beri tahu saya." Kemudian dia beritahukan, meskipun awal-awalnya agak berat, saya ingat awalnya dia meminta saya memberikan perhatian, lebih romantis, menaruh tangan saya dibahunya dan sebagainya. Saya tidak begitu peka jadi akhirnya saya harus diberitahu, "Tolong, tangan kamu taruh di bahu saya," kemudian saya mengerti ini yang harus saya lakukan. Meskipun awalnya dia bergumul sebab dia pernah berkata, "Kalau saya minta baru kamu berikan, sudah hilang nilainya, maknanya sudah tidak ada lagi." Kemudian saya berkata kepadanya, "Tapi kalau kamu tidak memberitahu sama sekali, bukan hanya hilang nilainya, hilang juga tindakannya, saya juga tidak akan melakukan sebab saya juga tidak ingat kalau saya harus seperti itu. Jadi tolong ingatkan saya." Ini memerlukan waktu yang panjang tapi setelah itu saya lebih bisa, lebih mengerti bahwa ini yang dia butuhkan. Di dalam pernikahan akan ada banyak hal yang kita harapkan dari pasangan, selain memberitahukan, coba juga beritahukan caranya, seharusnya bagaimana pasangan agar dapat memenuhi kebutuhan kita itu.
GS : Dan yang berikutnya apa Pak Paul?

PG : Satu salah satu benar artinya setelah menunjukkan apa yang salah, jangan lupa mengatakan apa yang telah dilakukan pasangan dengan benar. Sekali lagi kita menyamaratakan pasangan kita seola-olah tidak pernah berbuat hal yang benar sama sekali, semua salah.

Tidak! Kita tunjukkan bahwa perbuatanmu memang salah tapi kamu juga telah melakukan hal yang benar, kamu seperti ini dan saya hargai itu, terima kasih. Jadi satu salah satu benar. Yang lainnya lagi adalah yang saya mau bagikan satu hari satu konflik artinya kadang-kadang kalau kita sedang marah kita menjadi sejarawan, kita angkat semua yang telah terjadi atau kita pikirkan, "Iya ini belum selesai, saya mau bicara sekalian, ini juga sama dan saya mau bicara sekalian." Jangan! Kalau bisa satu hari satu konflik, setelah selesai satu hari, satu konflik maka sudah stop. Jangan berbicara sekalian, yang sekalian itu dibicarakan besok-besok saja. Kenapa? Sebab pasangannya akhirnya menjadi terbiasa karena kalau kita seringnya begitu "Sekalian-sekalian," lain kali kalau berkonflik, sebelum berkonflik dia sudah ketakutan. Ketakutan apa? Tidak habis-habis. Tapi kalau dia sudah terbiasa bahwa kita kalau bicara satu hal saja, dia akhirnya lebih mau menyediakan waktu membereskan konflik karena dia tahu bahwa hanya satu saja. Yang membuat orang kadang-kadang berkata, "Sudahlah tidak mau lagi dibicarakan," dia menghindar karena dia tahu nanti satu menjadi dua dan dua menjadi sepuluh.
GS : Tapi seringkali konflik berkembang. Jadi kalaupun hanya suatu masalah yang muncul, lalu pihak yang satunya juga melihat bahwa dia sebenarnya juga ada masalah. Kemudian ini menjadi berkembang?

PG : Seringnya begitu maka memang memerlukan disiplin, Pak Gunawan. Kalau berkembangnya tetap di tema yang sama maka tidak masalah sebab itu masalah yang sama. Sebab masalah bisa mempunyai suat tema dan tema itu terulang di dalam situasi yang berbeda itu tidak apa-apa.

Yang saya maksud adalah kita tidak membicarakan masalah yang berbeda sama sekali. Kadang-kadang maksudnya tidak jahat, "Saya lupa ini masih ada satu hal lagi." Dia bicarakan lagi. Sebetulnya kalau sampai lupa memang sudah bagus, berarti masalahnya tidak terlalu besar. Jadi satu hari satu konflik.
GS : Memang lupa, tapi lupa hanya sesaat karena masalah ini. Lalu dia ingat lagi dan kalau tidak dibicarakan, dia tidak akan selesai dengan masalah ini, istilahnya mengganjal. Jadi masih ada sesuatu yang belum terselesaikan di dalam dirinya?

PG : Ada orang yang memang begitu, dia lupa dan dia ingat saat konflik terjadi. Kalau pun itu harus terjadi, tidak apa-apa tapi saya minta tambahnya hanya sekali jangan dua. Sehingga pasanganny tahu, "Ya sudah kalau mau tambah tambah saja satu."

Yang saya mau hindari adalah kesan pasangan, kalau sudah terbentuk kesan ini, nantinya kalau ribut kesan ini tidak habis-habis, nyambung terus-menerus. Itu sangat-sangat buruk dampaknya pada relasi pernikahan karena lain kali dia tidak mau lagi, dia hindari keributan, dia mencoba mencegah, tidak ada konflik berarti apa yang dia akan lakukan? Membenamkan konflik.
GS : Ada pasangan yang sebenarnya sudah menyelesaikan konflik tapi pada hari yang berikutnya atau beberapa hari kemudian diungkit lagi sehingga pasangannya merasa, "Itu sebenarnya sudah selesai."

PG : Betul. Kalau itu yang terjadi kita harus berkata kepada dia, "Ini sudah selesai belum?" Kalau belum selesai kita bicarakan lagi sebab saya tidak mau besok kamu munculkan lagi, "Coba diam tnang dulu beritahu saya apakah sudah selesai."

Dia berkata, "Sudah, benar-benar sudah." Kemudian kita katakan, "Baik kamu janji jangan bicarakan lagi, misalkan kalau kamu bicarakan lagi apa yang harus saya lakukan supaya kamu ingat," dia berkata, "Maka kamu ingatkan saja," kita katakan lagi, "Baik kalau saya ingatkan kamu, apakah kamu akan berhenti berbicara. Kamu janji untuk berhenti bicara kalau saya ingatkan?" Dan dia berjanji. Jadi kita langsung angkat dan meminta dia terlibat dalam usaha menolong dirinya bahwa dia tidak akan mengulanginya lagi.
GS : Sebenarnya itu sudah selesai dan kita sudah tutup. Tapi mengenai yang satu salah dan satu benar, contoh konkretnya bagaimana Pak Paul?
GS : Begini Pak Gunawan, misalkan pasangan kita meminta tolong untuk mengurus sekolah anak, kemudian kita mengurus semuanya, tapi saat pulang barulah ketahuan salahnya. Misalnya anak kita jelas-jelas harus masuk ke IPA, tapi akhirnya masuk ke IPS. Kita kurang perhatikan perkataan istri sehingga saat berbicara dengan guru kita menjadi salah pengertian, anak kita seharusnya masuk ke IPA tapi akhirnya masuk ke IPS. Kemudian istri kaget saat tahu anak kita dimasukkan ke IPS, dia bertanya, "Mengapa anak kita menjadi di IPS?" dan anak akhirnya mengadu, "Ma, mengapa saya masuk ke IPS? Padahal saya sudah masuk ke IPA?." Kemudian istri tanya kepada guru dan gurunya berkata "Papanya datang dan berkata bahwa anaknya tukar pikiran masuk ke IPS akhirnya masuk ke IPS, maka kami terima." Istrinya menjadi marah, "Kamu kalau dimintai tolong ada saja yang tidak beres, ada saja yang tidak benar, ada yang salah." Kalau bisa, setelah si istri berbicara seperti itu, tetap istri harus tambahkan satu hal yang benar yang suaminya lakukan, "Kamu memang untuk hal-hal yang detail kamu seringkali salah tapi kamu kuatnya di bidang yang memang lebih global dalam perencanaan dan kamu lebih tepat, baiklah saya mengerti dan tidak apa-apa."
GS : Jadi berimbang. Tidak merasa disalahkan 100%. Dan yang lainnya masih ada Pak Paul?

PG : Ada dua lagi Pak Gunawan, yang berikut adalah satu kejengkelan satu perenungan artinya kalau kita mau marah, jengkel gara-gara satu hal. Sebelum kita mengeluarkan kata-kata renungkanlah, pkirkanlah terlebih dahulu.

Jangan biasakan mulut berjalan baru otak merangkak mengikuti. Harus terbalik, otak berjalan dan mulut merangkak mengikuti. Jadi kita sudah renungkan, pikirkan bagaimana bicaranya? Dampaknya seperti apa, kalau saya bicara? Setelah kita pikirkan barulah cetuskan kejengkelan kita. Yang juga menolong dengan cara ini adalah kalau awalnya kita sudah rem kemudian kita bicara kejengkelan itu biasanya yang keluar sudah lebih terpoles tidak lagi mentah. Yang satunya lagi yang terakhir adalah cara praktisnya satu tetes air mata satu doa artinya Tuhan dapat menjahit baju pernikahan yang rusak. Kita teteskan air mata karena masalah, jangan lupa berdoa karena Tuhan mendengarkan dan Tuhan menolong. Dalam pernikahan saya, saya bisa berkata "Berkali-kali," pada waktu saya merasa frustrasi tidak tahu bagaimana menyelesaikan konflik, saya berdoa pada Tuhan "Tuhan tolong." Dan Tuhan akan ciptakan cara untuk menolong kita.
GS : Dan memang pada waktu konflik, sulit untuk berdoa bersama-sama dengan pasangan. Jadi akan dilakukan sendiri?

PG : Betul, jadi berdoa sendiri minta Tuhan menolong membukakan jalan.

GS : Jadi kalau masing-masing berdoa, Tuhan yang sama akan mendengar masalah yang dihadapi oleh pasangan ini?

PG : Betul.

GS : Jadi tetap ada suatu jalan keluar bahwa konflik itu bisa berdampak positif yaitu menimbulkan pertumbuhan bagi pasangan ini, dan Pak Paul untuk mengakhiri perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Yesaya 32:17, "Dimana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketentraman untuk selama-lamanya." Jadi kita ingatTuhan berkata ada kebenaran ada damai sejahtera, ada kebenaran ada ketenangan dan ketentraman untuk selama-lamanya.

Maka dalam menghadapi konflik kita mesti bersikap benar, jujur, jangan mendustai, jangan manipulasi, harus benar. Kebenaranlah yang membawa kita akhirnya penyelesaian konflik, akhirnya ada ketenangan di antara kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Konflik dan pertumbuhan" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



60. Memaafkan Dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T236A (File MP3 T236A)


Abstrak:

"Pernikahan adalah kesatuan antara dua pribadi yang saling memaafkan." Karena pernikahan terdiri dari berlaksa-laksa "Kesalahan". Berapa tolerannya kita terhadap "Kesalahan" akan menentukan kualitas pernikahan. Di sini ada beberapa masukan untuk mengembangkan sikap toleran yang memaafkan.


Ringkasan:

Almarhum Ruth Graham, istri Pendeta Billy Graham, berkata, "Pernikahan adalah kesatuan antara dua pribadi yang saling memaafkan." Sungguh benar! Pernikahan terdiri dari berlaksa-laksa "Kesalahan" - cara atau sikap hidup yang tidak berkenan di mata pasangan, mulai dari kealpaan sampai kekhilafan. Berapa tolerannya kita terhadap "Kesalahan" akan menentukan kualitas pernikahan. Berikut adalah beberapa masukan untuk mengembangkan sikap toleran yang memaafkan.

Berapa mudah atau sukarnya kita memaafkan bergantung pada berapa mudah atau sukarnya kita berubah. Orang yang kaku akan lebih sukar memaafkan sebab itu berarti ia harus mengadakan perubahan akibat perbuatan orang lain. Kita tidak bisa selalu berubah karena orang lain, namun sedapatnya belajarlah untuk fleksibel.

Berapa tepatnya kita menilai keseriusan suatu kesalahan juga akan mempengaruhi pemberian maaf. Jika kita secara membabi buta menganggap semua kesalahan sebagai kesalahan yang serius, maka kita akan sulit memberi maaf. Sebelum bereaksi, berdiamlah terlebih dahulu. Kerap kali setelah bersiam diri untuk sesaat, kita akan lebih dapat melihat masalah dengan lebih jernih. Bukankah "Kesalahan" yang kerap dilakukan lebih bersifat gaya hidup atau kebiasaan?

Apakah ada unsur kesengajaan atau tidak? Ada sebagian dari kita yang menganggap bahwa semua kesalahan dilakukan dengan sengaja untuk membuat kita marah. Kita perlu menyadari bahwa justru dalam pernikahan kebanyakan kesalahan dilakukan tanpa disengaja untuk membuat kita marah.

Apakah kita telah memberi cukup masukan dan waktu untuknya? Pada prinsipnya kita harus memberinya cukup masukan dan waktu. Kita pun perlu menyadari bahwa perubahan menuntut waktu yang tidak singkat. Jadi, bersabarlah dan maafkanlah.

Apakah kita telah memberinya pujian dan dorongan? Perubahan terjadi secara lebih cepat jika diberikan pujian dan dorongan. Jadi, sewaktu memberi maaf, berilah pujian dan dorongan pula.

Firman Tuhan :

"Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang. Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu (Matius 6:14-15)


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Memaafkan dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Sebagai pasangan suami istri Pak Paul, kita tidak bisa terhindar dari kesalahan yang kita buat atau pasangan kita melakukan kesalahan kepada kita, dan di situ unsur saling mengampuni dan memaafkan itu penting sekali tetapi ternyata ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan dalam hidup pernikahan walaupun kita sudah akrab. Rupanya semakin akrab akan sulit juga memaafkan, tetap menjadi persoalan di dalam kehidupan rumah tangga dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya teringat apa yang dikatakan oleh Ibu Pdt. Billy Graham jadi istri dari Pdt. Billy Graham yakni Ibu Ruth Graham, beliau berkata "Pernikahan adalah kesatuan dari dua pribadi yang salingmemaafkan".

Saya kira ini sangat tepat bahwa pernikahan memang adalah sebuah kesatuan dari dua orang yang harus saling memaafkan. Kalau suami dan istri tidak saling memaafkan, maka lebih baik tidak ada pernikahan sama sekali. Jadi ini sesuatu yang mutlak dilakukan, tapi seperti yang tadi Pak Gunawan sudah katakan ternyata tidak selalu mudah memaafkan karena ada hal-hal yang kita sudah minta berkali-kali untuk jangan dilakukan tapi tetap dilakukan. Sudah tentu kita juga mengerti ada hal-hal yang sangat sukar dimaafkan seperti pengkhianatan, perzinahan, membohongi kita dan sebagainya, itu adalah hal-hal yang sudah tentu makan waktu yang lebih panjang untuk memaafkan. Tapi kali ini kita tidak membicarakan hal-hal yang besar itu kita membicarakan hal-hal yang lebih bersifat kecil tentang gaya hidup dan sebagainya tapi toh tetap hal-hal kecil dan itu akhirnya menjadi kerikil yang membuat kita tidak terlalu dekat dengan pasangan kita untuk sementara karena sudah terlanjur jengkel, tidak bisa memaafkan untuk waktu yang mungkin beberapa jam atau beberapa hari. Dan untuk inilah kita mau membicarakannya, Pak Gunawan, bagaimana caranya agar kita suami istri lebih dapat memaafkan satu sama lain.
GS : Betul, itu memang bukan merupakan hal-hal yang besar, hal-hal yang rutin setiap hari. Mungkin perkataan-perkataan yang tanpa sengaja menyinggung, kita minta maaf dan seterusnya. Dan kalau itu terjadi, kita minta maaf dan dimaafkan, hal itu hampir tiap hari terjadi dan kita sebagai pasangan rasanya hal ini menjadi sesuatu yang biasa, setiap hari kita minta maaf dan dimaafkan. Hal ini pengaruh atau tidak, Pak Paul?

PG : Sudah tentu akan memberi pengaruh Pak Gunawan sebab bagaimana pun juga kita berharap apa yang telah kita sampaikan yang telah kita minta, tolong diperhatikan. Kalau seandainya diulang lagidan diulang lagi maka akhirnya tetap dia akan mengganggu kita.

Mari kita coba melihat beberapa hal yang mesti kita pahami tentang memaafkan ini. Mudah-mudahan dengan penambahan pemahaman kita, lebih menolong kita memaafkan satu sama lain. Yang pertama adalah, berapa mudah atau sukarnya kita memaafkan, bergantung pada berapa mudah atau sukarnya kita berubah. Maksud saya begini Pak Gunawan, orang yang kaku akan lebih sukar memaafkan, kenapa? Sebab itu berarti dia harus mengadakan perubahan akibat perubahan orang lain, misalnya kita tidak suka terlambat, kita sukanya semua tepat waktu. Kalau pasangan kita terlambat lagi dan terlambat lagi, itu mengganggu kita. Mengganggu kita artinya kita mengubah jadwal kita gara-gara pasangan kita terlambat. Orang yang sangat kaku akan sukar mengadakan perubahan gaya hidupnya oleh karena orang lain. Jadi dia akan susah sekali mau menerima keterlambatan pasangan yang berulang kali. Tapi sebaliknya orang yang lebih fleksibel akan berkata, "Baiklah terlambat 15 menit atau 30 menit itu masih manusiawi". Waktu pasangannya terlambat 15 menit atau 30 menit, dia tidak pusingkan dan tidak dipikirkan sebab dia sudah menyiapkan rencana berikutnya, rencana kalau pasangannya terlambat saya akan begini, saya akan baca buku, saya akan tunggu, saya akan lihat-lihat dulu ke toko dan sebagainya. Jadi orang yang fleksibel akan lebih mudah memaafkan. Sebaliknya orang yang kaku lebih susah memaafkan karena dia harus merubah tata cara hidupnya gara-gara orang lain dan itu yang menyulitkannya untuk memaafkan.
GS : Tapi itu bisa ditanggapi dengan dua sisi yang berbeda. Satu sisi kita mungkin dianggap terlalu lemah, jadi artinya tidak apa-apa terlambat, tidak apa-apa saya bicara ini, toh akhirnya didiamkan saja. Tapi di sisi lain kita mungkin juga kesulitan dalam menghadapi istri yang fleksibel, dan itu tidak bisa kita terapkan pada pihak lain yang bukan istri kita.

PG : Jadi dalam pernikahan kita memang harus melihat pasangan kita secara utuh, bahwa baiklah saya mempunyai kelemahan misalkan dalam soal keterlambatan tapi bukankah dalam hal-hal yang lain di justru sangat baik.

Jadi anggap sajalah ini 10% dari pernikahan yang mengganggu kita, memang betul mengganggu, tapi ini hanya 10% sebab 90%nya baik. Maka kita soroti yang 90%nya, hargai yang 90%nya dan terima yang 10% yang mengganggu kita. Tapi kalau kita orangnya kaku, kita tidak bisa terima yang 10% itu, kita tetap berkata kenapa kamu tidak bisa, saya bisa tepat waktu tapi kamu tidak bisa tepat waktu. Jadi kita mesti juga beritahu, kalau kita sudah beritahukan dia berkali-kali, bulan demi bulan, "Jangan terlambat", tapi tetap saja terlambat selalu 15 menit atau 30 menit terlambat. Akhirnya apa yang kita harus lakukan? Maka biarkan dari pada akhirnya itu menjadi bahan keributan, akhirnya kita berkata, "Sudahlah masih ada 90% ini yang memang baik dan saya hargai yang 10%, sudahlah saya terima." Dan tidak mempersoalkan.
GS : Tapi di dalam hal itu intinya kita bukan memaafkan kesalahannya, tapi kita menerima kekurangannya, Pak Paul?

PG : Betul, jadi kita harus menerima kekurangannya dan memaafkan, dalam pengertian kalau awalnya kita melihat ini adalah sebuah kesalahan yang dilakukan untuk kita atau terhadap kita sekarang wktu kita berkata, "Baiklah saya maafkan dan tidak lagi mempersoalkan, kita tidak melihat itu sebagai sebuah kesalahan yang dilakukan terhadap kita lagi".

Tapi orang yang tidak bisa memaafkan akan berkata, "Ini memang yang dilakukannya untuk melawan saya, membuat saya marah, menjengkelkan saya". Jadi akhirnya semua itu terfokus terhadap saya saja dan ini yang memang perlu diubah.
GS : Apakah ada hal yang lain, bagaimana kita harus mengembangkan sikap yang toleran seperti itu, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah berapa tepatnya kita menilai keseriusan suatu kesalahan, juga akan mempengaruhi pemberian maaf. Jadi jika kita secara membabi buta, menganggap semua kesalahan itu seriu maka kita sulit memberi maaf.

Jadi setiap hal kecil, kesalahan besar dan serius itu semua adalah hal yang susah kita maafkan sebab tidak ada yang besar atau yang kecil, semuanya sama besar. Maka penting sekali kita bisa menilai sebuah perbuatan dengan tepat. Jangan menganggap semua sama seriusnya, tidak! Ada derajatnya, tidak semuanya sama. Jadi sebelum kita bereaksi, marah atau apa, coba berdiam diri dulu. Kerap kali setelah berdiam diri untuk sesaat kita akan melihat masalah dengan lebih jernih. Bukankah kesalahan yang telah dilakukan lebih bersifat gaya hidup atau kebiasaan yang berbeda, bukan sebuah kesalahan moral dosa dan sebagainya. Tapi anggaplah itu sebagai sebuah perbedaan gaya hidup, bukan sebuah kesalahan moral.
GS : Ini biasaya terjadi perbedaan pandangan bagi yang melakukan kesalahan, ini dianggap kesalahan ini kecil, "Seperti itu saja marah". Tapi untuk kita yang terkena dampaknya, merasa itu sesuatu yang serius. Dan ini mempertemukannya bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira langkah pertama adalah justru kita tidak boleh meributkannya, jangan sampai kita membuka mulut, jadi langkah pertama coba diam dulu, tenangkan hati dulu. Sebab yang membuat masalh kita besar sebetulnya bukanlah pandangan mental kita, pandangan kognitif atau rasional kita, bukan! Melainkan reaksi emosional kita, sebetulnya itu yang benar-benar menggelembungkan masalah menjadi besar, reaksi emosional kita.

Maka saya anjurkan kita tenangkan diri, kita diam dulu, pikirkan lagi baik-baik. Seringkali setelah kita tenang, kita melihat dengan lebih jernih dan akhirnya "Benar ya tidak terlalu besar masalah ini, kenapa saya harus persoalkan". Tapi kalau kita langsung buka mulut atau langsung marah dan kebetulan pasangan kita juga tidak terima kemudian marah. Maka kita akan menjadi semakin bertambah marah, kesalahan itu di mata kita tambah besar. Jadi penting ada jedah, tenangkan diri supaya bisa melihat masalah dengan lebih tepat.
GS : Kalau seandainya kita sudah meluangkan waktu sejenak tapi kita tetap melihat ini sesuatu yang besar dan pasangan kita melihat itu bukan sesuatu yang besar, bagaimana Pak Paul?

PG : Ada cara yang bisa kita lakukan yaitu kita memberikan sebuah contoh, kita gunakan hal yang memang besar buat pasangan kita tapi kecil di mata kita. Kita berikan dia contoh, "Bukankah masalh itu di matamu sangat besar tapi di mataku kecil, tapi karena aku tahu masalah ini besar bagimu maka aku coba untuk koreksi.

Meskipun sekali lagi buatku itu bukan masalah besar tapi karena ini penting buatmu maka saya ikuti". Jadi kita memang bisa berbeda dalam menilai sesuatu, "Coba tolong perhatikan juga yang aku inginkan". Dengan cara seperti itu pasangan biasanya akan lebih mudah mengerti.
GS : Jadi harus tetap ada suatu dialog antara pasangan untuk menyelesaikan masalah ini?

PG : Betul sekali dan jangan sampai akhirnya malah saling mendiamkan, tidak mau lagi membicarakannya berarti tidak selesai. Dengan adanya dialog kita terpaksa bicara akhirnya kita bisa memberikn jalan keluarnya.

GS : Atau kita memberikan alasan tepat, kenapa kita menganggap ini sesuatu yang penting buat kita atau sesuatu yang besar buat kita, Pak Paul?

PG : Betul, jadi kalau memang ini besar atau penting buat kita berarti kita mesti memberitahukan alasannya namun tadi yang sudah saya singgung kita juga mesti introspeksi diri, apakah semua halbesar buat kita sebab ada orang yang begitu, Pak Gunawan, semua hal besar buat dia.

Jadi pasangannya akan bingung karena semua hal besar dan kamu punya alasan untuk semua hal itu. Jadi kapan kamu punya masalah kecilnya.
GS : Apakah ada hal yang ketiga yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Apakah ada unsur kesengajaan atau tidak? Kalau melihat ada unsur kesengajaan sudah tentu itu akan lebih susah memaafkan perbuatan pasangan kita. Namun ada sebagian dari kita yang mengangga bahwa semua kesalahan dilakukan dengan sengaja untuk membuat kita marah, ada orang yang seperti itu.

Kita perlu menyadari bahwa justru dalam pernikahan kebanyakan kesalahan dilakukan tanpa sengaja untuk membuat kita marah. Jarang kita melakukan sesuatu dengan sengaja untuk membuat pasangan kita marah. Saya kira kebanyakan orang yang normal, justru menghindar dari kemarahan, jangan sampai ada pertikaian. Tapi ada orang selalu melihatnya, "Kamu membuat saya marah, kamu memang sengaja membuat saya marah", tapi nyatanya memang tidak. Jadi tolong kita ubah perspektif kita, cara pandang kita, jangan menganggap orang itu sengaja membuat kita marah.
GS : Terutama pasangan kita sendiri yang tentu kita tahu dia mengasihi kita dan kita mengasihi dia, jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa dia sengaja melukai hati kita atau sengaja membuat kita marah, Pak Paul?

PG : Betul, jadi kita mesti tetap percaya bahwa pasangan kita ini sebetulnya mengasihi kita, sebetulnya dia tidak ada niat seburuk itu seperti yang kita duga. Jangan selalu menduga sampai jauh eperti itu, pasangan sengaja dan sengaja menyakiti kita, tidak! Kebanyakan tidak hanya dalam pernikahan yang sudah sangat buruk, kemarahan itu sudah terlalu besar.

Tapi besar kemungkinan waktu seseorang melakukan sesuatu itu disengaja untuk menyakiti hati pasangannya dan itu betul. Tapi sesuatu yang wajar dalam pernikahan yang normal-normal, selalu ada ketidakcocokkan dan sebagainya. Jangan menuduh pasti ada niat jahat mau membuat kita marah.
GS : Tetapi kesalahan yang berulang kali dan sama, sering kali membuat kita jengkel, Pak Paul, rasanya tidak selesai-selesai.

PG : Betul dan kalau itu yang terjadi, kita bisa berkata kepada pasangan kita, "Saya tahu bahwa kamu itu tidak ada niat membuat saya marah atau menyakiti saya, tidak! Tapi saya juga bisa mendug kenapa kamu mengulang dan mengulangnya lagi, karena kamu itu meremehkan saya, bahwa kamu menganggap tidak apa-apa dan saya akan mengerti, tidak apa-apa saya nanti juga reda, marah sebentar kemudian baik lagi.

Mungkin pikiran-pikiran itu terbersit dalam benakmu dan berarti sedikit banyak kamu telah meremehkan saya, tolong jangan remehkan saya. Kalau misalkan saya meremehkan kamu, kamu sudah bilang kepada saya kamu tidak suka saya melakukan ini, terus saya melakukan lagi dan saya berpikir tidak apa-apa, kamu nanti juga akan baik lagi sama saya, marah hanya sebentar. Saya meremehkan kamu, bagaimana perasaanmu, kamu suka tidak? Pasti kamu tidak suka diremehkan. Jadi tolong waktu kamu mau berbuat lagi, ingat kalau kamu sedang meremehkan saya. Memang benar tidak sengaja membuat saya marah tapi itu meremehkan. Apakah kamu tetap mau meremehkan saya?" Itulah cara kita menyampaikan kepada pasangan, mudah-mudahan dengan cara ini, dia lebih tersadarkan.
GS : Tapi kalau dikatakan meremehkan, pasti dia mengatakan "Tidak!". Jadi tidak ada maksud untuk meremehkan, ini suatu kekhilafan tapi kekhilafan yang berulang-ulang kali, Pak Paul?

PG : Kalau berulang kali kekhilafan, saya akan tetap mengatakan bagaimana pun juga ada unsur meremehkannya. Sebab kalau misalkan kita tahu kalau kita meremehkan, misalkan hukumannya ada hujan btu, rumah ambruk, maka kita tidak akan mengulangnya untuk dua kali, karena apa? Karena kita tidak bisa meremehkan konsekuensi yang sebesar itu.

Kenapa kita mengulangnya lagi? Karena ada unsur yaitu pasangan kita tidak akan ada apa-apa, jadi ada unsur meremehkannya.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Apakah kita telah memberi cukup masukan dan waktu untuknya, pada prinsipnya kita harus memberinya cukup masukan dan waktu. Waktu kita mau dia berubah jangan lagi melakukannya baru kita memafkannya.

Maka kita harus bertanya, apakah kita sudah memberinya cukup masukan petunjuk "Bagaimana jangan sampai melakukan atau mengulang perbuatan itu". Jadi kita juga mesti introspeksi diri, kenapa saya tekankan hal ini? Sebab ada orang yang memang tidak mau memberitahukan pasangannya atau kalau pun memberitahukan sangat sedikit. Sebab ada orang yang berprinsip saya tidak perlu bicara panjang-panjang, tidak perlu cerita lebar-lebar, sedikit saja kamu sudah harus mengerti, ada orang yang seperti itu. Pasangannya mungkin tidak menangkap, karena terlalu samar. Dia menangkap sebentar kemudian dia lupa lagi tapi kita menjadi marah dan kita tidak memaafkan, itu salah! Maka sebelum kita marah, coba tanya "Sudahkah saya cukup memberitahukannya, benar-benar cukup tidak?" Untuk memastikannya, kita bisa bertanya kepada pasangan kita, "Kamu dengar tidak waktu saya bicara, kamu mengerti tidak waktu saya katakan ini, apakah saya belum pernah meminta ini kepadamu sebelumnya". Jadi kita mendapatkan tanggapan, "Ya memang dengar, tapi saat itu saya tidak benar-benar mengerti", kita katakan, "Baiklah, kalau begitu saya jelaskan lagi". Jadi jangan langsung mau marah saja dan kita juga mesti menyadari bahwa perubahan menuntut waktu yang tidak singkat, meskipun kita sudah beritahukan tapi apalagi yang berkaitan dengan gaya hidup biasanya makan waktu panjang untuk berubah. Jadi bersabarlah dan maafkanlah.
GS : Seringkali ada suatu pandangan yang relatif Pak Paul, buat orang yang memberitahu itu sudah dianggapnya seharusnya mengerti atau kita tanpa memberitahu pun, diharapkan pasangan kita mengerti bahwa kita tidak suka atau kita suka yang tertentu Pak Paul. Tapi di pihak yang lain, dia tidak mempunyai tanggapan yang sama, dia mengatakan saya tidak mengerti. Tapi tidak mengertinya itu berkali-kali dan ini menjadi masalah?

PG : Maka pernikahan sebetulnya bisa kita katakan sebuah seni menghidupi hidup orang lain. Sebab waktu pasangan berkata, "Saya itu terluka atau sakit hati dan sebagainya", memang kita bisa selau menjawab, "Memang salahmu, kenapa kamu harus sakit hati, saya tidak ada maksud menyakitimu dan sebagainya".

Tapi faktanya adalah dia merasa demikian karena kita mengatakan hal tertentu. Supaya pernikahan itu bisa rukun, bisa jalan, kita memang harus belajar memasukkan diri kita pada diri pasangan kita dan menghidupi hidupnya juga, dan harus berkata, "Baik, buat saya tidak apa-apa, saya tidak merasa apa-apa tapi dia menjadi terganggu dan menjadi sedih atau dia menjadi terluka, baiklah saya harus minta maaf kepadanya, saya harus menempatkan diri di posisinya". Jadi pernikahan benar-benar sebuah seni menghidupi hidup pasangan kita, orang yang tidak bersedia menghidupi hidup pasangannya memang tidak akan bisa menyatu dengan pasangannya.
GS : Itu juga butuh waktu, tadi Pak Paul katakan kegiatan atau suatu usaha yang tidak mudah kita lakukan, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, ini benar-benar suatu usaha seumur hidup. Saya harus akui ada hari-hari dimana kita bisa melakukannya tapi ada hari-hari dimana kita juga susah sekali untuk melakkannya, rasanya tidak rela atau tidak bersedia menghidupi hidup pasangan kita, terlalu lelah.

Saya mengerti kita bukannya manusia sempurna jadi ada waktu-waktu dimana kita rasanya tidak mau untuk melakukannya, ya tidak apa-apa. Tapi sebisanya hari-hari "Tidak mau melakukannya" itu lebih sedikit, dan hari-hari "Mau melakukannya" lebih banyak.
GS : Dan dalam hal itu apakah pasangan kita perlu tahu Pak Paul, bahwa kita sedang berusaha keras untuk menghidupi hidupnya?

PG : Kalau kita tidak beritahukan, takutnya pasangan tidak tahu dan beranggapan kita ini kejam, dingin, kita tidak peduli dengan perasaannya. Jadi sebaiknya kita memang mengatakan seperti ini, Saya mencoba mengerti perasaanmu, saya juga mencoba untuk merasakan apa yang kamu rasakan.

Tapi mungkin saya belum bisa melakukan sebelumnya dan saya minta maaf tapi ini usaha saya". Dengan kita mengkomunikasikan seperti itu, mudah-mudahan pasangan juga bisa melihat, "Benar ya, pasangan saya berusaha. Maka saya harus terima meskipun belum sempurna hasilnya".
GS : Dan itu memotivasi pasangan kita untuk berusaha juga menghidupi hidup kita, Pak Paul?

PG : Betul, sebab ini timbal balik Pak Gunawan. Dan saya harus akui kalau saya hanya sendirian melakukannya dan pasangan kita tidak mau menghidupi kehidupan kita lama-lama semangat kita akan seakin menurun, dan akhirnya kita berkata, "Buat apa, hanya saya yang harus mengertimu, sedangkan kamu tidak mau mengerti diriku."

GS : Dan peranan pujian atau motivasi itu seberapa jauh, Pak Paul, dalam hubungan ini?

PG : Sangat penting, Pak Gunawan. Jadi kalau kita itu menerima pujian atau memberinya pujian atau dorongan maka pasangan kita akan lebih cepat dan termotivasi untuk berubah. Jadi waktu memberi aaf, berilah pujian dan dorongan pula, kita maafkan kesalahannya pula dan kita juga puji perbuatan baiknya, usahanya.

Dengan kita memberinya pujian, dia akan lebih cepat berubah sehingga kesalahan-kesalahan yang dia lakukan akhirnya dia tidak lakukan lagi.
GS : Apakah dalam kesalahan yang dia buat, kita bisa menemukan kebaikan?

PG : Kadang-kadang ada tapi kadang-kadang tidak ada, Pak Gunawan. Jadi misalnya masih ada, dia mencoba tapi salah, maka kita berikan pujian kepada yang dia telah coba itu. Tapi kadang-kadang 10% salah dan kita tidak persoalkan lagi dan kita angkat hal baik yang dia lakukan, misalkan kita berkata, "Meskipun dalam hal ini kamu tidak telaten, masih suka terlambat dan sebagainya tapi saya hargai, kamu itu dengan anak-anak baik, sabar dengan anak-anak, dengan saya kamu juga sabar, kalau saya terlambat kamu juga tidak pernah marah", kita angkat hal-hal baiknya.

Waktu kita angkat hal-hal yang baik, dia juga akan lebih termotivasi untuk tidak mengulang hal yang tadi yaitu terlambat yang membuat kita jengkel.
GS : Pak Paul, di dalam hal memaafkan ini memang kadang-kadang kita perlu melatih diri sebelum bisa betul-betul memaafkan, kadang-kadang ini hanya sekadar basa-basi di dalam hidup pernikahan dan ini yang mau dihindari Pak Paul.

PG : Pak Gunawan, ini memang sepertinya hal kecil, tapi hal memaafkan sebetulnya adalah potensi menciptakan akar pahit di dalam diri kita dan akhirnya dalam pernikahan kita. Maka kita perlu berihkan akar-akar pahit ini, jangan malah menumpukkannya, satu-satu-satu lama-lama benar-benar ini menjadi akar pahit yang masuk ke dalam hati kita dan akhirnya benar-benar memisahkan kita dari pasangan.

GS : Tapi kalau kita mengungkapkan itu dalam jangka waktu yang singkat dan terlalu sering kita mengungkapkan kesalahan kepada pasangan kita, itu juga menimbulkan akar pahit Pak Paul?

PG : Maka kita harus memilih, kalau memang hal ini kita bisa terima maka jangan dipersoalkan lagi. Jadi tidak semua hal kita tuntut harus berubah, tidak! Ada hal-hal yang memang kita pun harus elajar menerimanya.

GS : Dan ini yang sulit Pak Paul, kadang-kadang kondisi kita memungkinkan kita untuk tidak mempersoalkannya karena mungkin kita sedang senang atau tidak terlalu mempermasalahkan tapi lain kali kasus yang sama itu nanti kita permasalahkan kemudian pasangan kita berkata, "Dulu kamu diam saja sekarang kamu permasalahkan", dan kita terjepit, Pak Paul?

PG : Memang kita tidak sempurna jadi kita juga harus katakan, "Baik, saya minta maaf memang saya tidak sempurna, dulu saya tidak permasalahkan dan sekarang dipermasalahkan". Namun kita coba untk sebisanya tutup, kita tidak persoalkan, kita bicarakan, kita selesaikan dan kita tinggalkan.

Seharusnya memang begitu.
GS : Dan Pak Paul dalam kaitan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Matius 6:14,15, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu jga tidak akan mengampuni kesalahanmu".

Ini benar-benar sebuah perkataan yang keras dari Tuhan, jadi kalau kita tidak mengampuni, maka Tuhan pun tidak mengampuni kita. Kenapa? Nomor satu karena Tuhan Allah pengampun, kita bisa diterima di hadapan Tuhan karena Tuhan mengampuni kita maka ini haruslah juga menjadi ciri khas orang kristen, mengampuni bukan mendendam. Dan yang kedua tadi saya sudah singgung, kalau kita mendendam kita tidak mau mengampuni itu benar-benar menjadi kumpulan akar pahit yang merusak hidup kita dan akhirnya merusak pernikahan kita. Jadi jangan meremehkan pemberian maaf ini. Haruslah kita berusaha sebisa-bisanya memaafkan karena kalau tidak, ini akan meracuni hidup kita.
GS : Ini sejalan dengan doa Tuhan Yesus sendiri dalam Doa Bapa Kami, Pak Paul, yang mengatakan, "Ampunilah kesalahan kami, seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami".

PG : Tepat sekali.

GS : Dan ini harus dipraktekkan lebih dahulu dengan pasangan kita itu?

PG : Tepat sekali.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memaafkan dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



61. Mengasihi Dan Menuntut


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T236B (File MP3 T236B)


Abstrak:

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kasih antara suami-istri seyogianya adalah kasih tanpa syarat alias tanpa tuntutan. Biasanya kita mendasari pandangan ini atas kasih Tuhan yang tak berkondisi. Sudah tentu kita mesti berusaha mengembangkan kasih agape di dalam pernikahan.


Ringkasan:

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kasih antara suami-istri seyogianya adalah kasih tanpa syarat alias tanpa tuntutan. Biasanya kita mendasari pandangan ini atas kasih Tuhan yang tak berkondisi. Sudah tentu kita mesti berusaha mengembangkan kasih agape di dalam pernikahan namun ada baiknya bila kita mencermati konsep kasih tak bersyarat ini lebih dahulu.

Apakah yang dikatakan firman Tuhan tentang kasih tak bersyarat ini?

Sebetulnya pemahaman ini bersumber dari konsep kasih karunia yakni:

1.Tuhan mengasihi kita bahkan tatkala kita masih berdosa. "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8)

2.Keselamatan adalah pemberian Tuhan semata, bukan hasil perbuatan baik manusia. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu, jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8)

Dengan kata lain, kasih karunia berkaitan dengan keselamatan-tanpa syarat Tuhan menerima kita apa adanya. Namun dalam hal pertumbuhan, kasih karunia menuntut kita untuk berubah-menjadi serupa dengan Kristus. Itu sebabnya Paulus menghibau "Supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu." (Efesus 4:1)

Jadi, Tuhan menerima kita pada titik terendah, namun Ia menuntut kita bertumbuh menggapai titik tertinggi. Ia menerima yang terburuk tetapi menuntut yang terbaik dari kita. C.S. Lewis berkata, "Kasih memaafkan tetapi tidak membiarkan dan membenarkan yang salah. Kasih bersedia menerima yang sedikit tetapi kasih menuntut sebanyak-banyaknya."

Penerapan dalam pernikahan

1.Tidak apa menuntut asal itu adalah untuk kebaikannya, bukan hanya untuk kepentingan kita. Itu sebabnya kita selalu harus dapat membedakan apakah ini untuk kepentingan kita atau dirinya.

2.Tidak apa menuntut dan tidak mendapatkan apa yang dituntut. Bukankah kita sudah mengasihi dan menerimanya apa adanya? Jadi. Tidak usah marah jika tidak memperoleh yang kita inginkan.

3.Tidak apa menuntut selama kita telah mengkomunikasihkan kasih dengan melimpah.

4.Tidak apa menuntut selama tuntutan disampaikan dengan kasih.

Firman Tuhan :

"Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. (Efesus 4:31)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengasihi dan Menuntut". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, biasanya orang yang mengasihi itu menuruti apa yang menjadi permintaan dari orang yang dikasihinya. Jarang kata mengasihi ini disandingkan dengan kata menuntut tapi yang ingin kita bicarakan justru ada keselarasan antara mengasihi dan menuntut ini dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, biasanya kita beranggapan kalau kita mengasihi maka kita tidak boleh menuntut dan makin tinggi cinta atau kasih kita maka makin tidak boleh menuntut, biasanya ini anggapn kita.

Saya mengerti bahwa anggapan ini berasal dari konsep kasih Agape. Bukankah kasih kita kepada Tuhan adalah kasih Agape, yang tidak menuntut, tanpa syarat dan sebagainya. Ternyata saya kira ada kesalahpahaman dalam kita memahami konsep kasih Allah kepada kita sehingga dalam penerapannya saya kira kita juga akhirnya salah paham. Akhirnya dalam pernikahan kita juga seringkali merasa terhimpit di tengah, kenapa kita mengasihi dan kenapa masih menuntut. Tapi pada faktanya kita tidak bisa tidak mau menuntut. Jadi sudah saatnya kita ini memang memeriksa kembali konsep kasih Allah kepada kita yang kita terapkan dalam pernikahan ini.
GS : Konsep yang kurang tepat itu bagaimana Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, ini sebetulnya berasal dari pemahaman tentang kasih karunia atau anugerah. Kita tahu anugerah diberikan dengan cuma-cuma, tapi anugerah yang diberikan dengan cuma-cuma tu bukan berarti murah, anugerah itu sangat mahal karena anugerah itu berbentuk nyawa Putera Allah yaitu Yesus Kristus, siapa yang mau membeli atau membayarnya, tidak bisa! Maka diberikan dengan cuma-cuma, inilah konsep kasih karunia.

Namun sebetulnya konsep kasih karunia atau anugerah yang tadi kita pahami secara tak bersyarat, sebetulnya dalam konteks keselamatan tak bersyarat maksud saya adalah begini; firman Tuhan di Roma 5:8 berkata, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa". Artinya apa? Tuhan mengasihi kita bahkan tatkala kita masih berdosa maka inilah konsep kasih karunia meskipun kita dalam dosa Tuhan masih mengasihi kita, Tuhan sudah rela mati untuk dosa-dosa kita. Tuhan tidak berkata, "Kamu berubah dulu, tidak berdosa dulu, baru aku mati buat kamu" tidak!!! Tapi Tuhan mati dulu untuk dosa kita. Dan barulah nantinya Tuhan meminta kita berubah, jadi inilah konsep kasih karunia, Tuhan menerima kita, mati bagi kita bahkan sewaktu kita berdosa. Yang kedua adalah saya ambil dari Efesus 2:8, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri". Dari ayat ini kita memetik satu pelajaran yakni keselamatan adalah pemberian Tuhan semata bukan hasil perbuatan manusia, ini yang dimaksud dengan kasih karunia. Tidak ada manusia yang dapat masuk ke pintu surga lewat perbuatan baik karena sebaik-baiknya perbuatan manusia, tidak akan cukup baik, tidak akan mencapai standart kekudusan atau kesucian Tuhan. Maka akhirnya Tuhan membuka pintu surga lewat kematian putraNya supaya kita bisa masuk menjadi anggota keluarga Allah, ini adalah artinya kasih karunia, diberikan kepada kita tanpa syarat. Namun dalam hal pertumbuhan kristen, kasih karunia Tuhan menuntut perubahan, Pak Gunawan. Sekali lagi saya tekankan dalam hal keselamatan, betul Tuhan menerima kita apa adanya, sebelum kita bertobat dari dosa Tuhan sudah mati untuk kita. Tuhan menerima kita apa adanya tapi setelah kita menjadi anakNya, Dia mengharapkan kita berubah. Jadi kasih Allah kepada kita, memang membuka pintu untuk kita masuk ke dalam rumahNya tapi setelah kita di dalam rumahNya, kasih Bapa kepada kita sebagai anak menuntut kita berubah.
GS : Kalau diaplikasikan ke dalam hidup pernikahan, ini termasuk kasih yang mana?

PG : Sudah tentu ini adalah keseluruhan kasih Pak Gunawan, sebab kita bisa berkata ada kasih philia (persaudaraan) antara kita dengan pasangan, kasih Eros kasih yang bersifat jasmaniah kepada psangan dan ada kasih Agape yaitu kasih tanpa syarat.

Sebetulnya dalam pembicaraan atau pembahasan kita saat ini, kita tidak membedakan semuanya. Kasih adalah semuanya ini, bahwa kasih kita kepada pasangan bukan kasih yang tanpa syarat, kita memang menuntut pasangan kita untuk berubah. Ini yang nanti kita akan coba lebih lihat dengan saksama, Pak Gunawan.
GS : Jadi kasih karunia ini, hanya berkaitan dengan keselamatan kita. Sedangkan kalau kita mengikuti Tuhan Yesus, itu ada sesuatu yang Tuhan tuntut supaya kita berubah?

PG : Betul, maka Efesus 4:1 berkata hal ini, Paulus menghimbau supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Jadi Tuhan tidak berkata kepada kita, "Ak selamatkanmu dengan nyawaku, dengan darahku dan sekarang engkau menjadi anakku", tidak!! Dan Tuhan tidak berkata, "Tetaplah seperti apa adanya, sewaktu seperti pertama engkau menjadi seorang kristen, engkau masih suka berbohong, tidak apa-apa dan saya sudah terima kamu.

Engkau masih suka menipu orang, tidak apa-apa" tidak!! Tuhan berkata engkau harus berubah supaya kehidupannya berpadanan dengan panggilan itu. Jadi benar-benar Tuhan mengharapkan kita berubah. Berarti kasih karunia menuntut kita untuk berubah, untuk semakin hari semakin menjadi seperti yang Dia kehendaki. Jadi saya bisa katakan atau simpulkan seperti ini Pak Gunawan, Tuhan menerima kita pada titik terendah dan itu betul, pada waktu kita sangat berdosa Tuhan menerima kita, namun Dia menuntut kita untuk bertumbuh, untuk menggapai titik tertinggi. Jadi kasih karunia tidak mendiamkan kita di titik terendah. Kasih karunia menuntut kita bertumbuh sampai ke titik yang tertinggi atau kita bisa katakan juga Tuhan menerima yang terburuk dari diri kita dan Dia menerima apa adanya kita, seburuk apa pun kita, tapi Dia menuntut yang terbaik dari kita maka ini sesuai dengan yang dikatakan oleh C.H. Lewis, seorang penulis kristen, "Kasih memaafkan tapi tidak membiarkan dan membenarkan yang salah. Kasih bersedia menerima yang sedikit tapi kasih menuntut sebanyak-banyaknya." Tuhan betul-betul memaafkan, tapi Tuhan tidak membiarkan dan membenarkan yang salah. Tuhan menerima yang sedikit, saat kita datang kepada Tuhan hanya bisa memberikan yang sedikit diri kita dan Tuhan terima tapi Tuhan juga menuntut sebanyak-banyaknya dari kita.
GS : Memang tuntutan yang Tuhan berikan kepada kita itu seringkali tidak bisa kita penuhi dan karena kasih Tuhan jugalah Dia bisa mengampuni kita dan tidak memperhitungkan lagi, tetapi bagaimana ini bisa kita aplikasikan dalam hidup pernikahan, Pak Paul?

PG : Baik, coba sekarang kita aplikasikan ke dalam pernikahan. Ada beberapa cara, yang pertama saya mau memberikan prinsip ini, tidak apa menuntut asal itu adalah untuk kebaikannya bukan hanya ntuk kebaikan kita.

Jadi Tuhan itu menuntut kita berubah bukan hanya untuk kepentingan Tuhan tapi untuk kepentingan kita, supaya kita menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih menyerupai desain awal Tuhan. Karena dosa kita sudah semakin melenceng jauh dari desain awal yang Tuhan ciptakan. Tuhan mau mengembalikan kita ke desain awal, kita menjadi manusia seperti yang Tuhan kehendaki. Seperti apa yang Tuhan kehendaki? Sudah tentu pada dasarnya, intinya, keseluruhannya kita menjadi manusia yang penuh kasih, mengasihi Allah dengan sepenuh hati, mengasihi manusia seperti mengasihi diri sendiri, itu desain awalnya Tuhan. Desain awalnya Tuhan adalah kita menjadi manusia yang membenci dosa, mau mendekat kepada Tuhan tapi mau menjauh dari dosa. Itulah awal desain Tuhan dan Tuhan ingin mengembalikan kita ke desain awal itu. Dan dalam pernikahan kita juga ingin melihat pasangan kita menjadi lebih baik, kita tidak mau pasangan kita tetap sama jeleknya, sama buruknya, sama tidak teraturnya, sama berdosanya seperti hari pertama kita bertemu dengannya, kita menginginkan dia berubah maka kasih sayang itu akan menuntut pasangan untuk berubah menjadi lebih baik tapi kita selalu harus bertanya, "Ini untuk kepentingan siapa? Untuk kepentingan sayakah atau untuk kepentingan pasangan kita". Apakah salah kalau hanya untuk kepentingan kita? Salah menurut saya. Jadi memang harus timbal balik untuk kepentingan dia dan kita juga. Boleh tidak kita menuntut untuk kepentingan kita disamping untuk kepentingannya? Boleh! Itulah pernikahan. Tapi selalu kita ingat ini juga untuk kepentingan kebaikannya, jadi tolong introspeksi. Kalau ini juga untuk kebaikannya, silakan minta, silakan tuntut dia untuk berubah. Karena apa? Karena semakin dia berubah, semakin dia baik, bukankah kita semakin mencintainya, sebagai contoh pada awalnya pasangan kita itu susah berterus terang, kalau bicara selalu berputar kesana-kesini tidak bisa terus terang, ini tidak baik, jadi akhirnya menutupi menyembunyikan apa yang seharusnya diberitahukan. Kita minta dia terus terang, apakah salah? Itu tidak salah karena ini untuk kebaikannya, dengan dia makin terbuka maka makin berterus terang dan hidupnya makin dipenuhi dengan kejujuran. Boleh tidak kita menuntutnya untuk lebih jujur? Boleh! Apakah kasih bisa puas dengan dia selalu berbohong? Tidak! Kasih yang tulus, kasih yang besar, kasih yang sejati justru mau melihat dia makin hari makin jujur, dan efeknya adalah makin dia jujur kita semakin mengasihi dia.
GS : Kesulitannya adalah menentukan apa yang harus berubah di dalam pasangan ini, kita ini sebagai pasangan kadang-kadang tidak bisa memberitahukan, apalagi di awal-awal pernikahan. Kita rasanya belum cukup mengenal pasangan kita sehingga sulit memberitahukannya. Saya minta kamu berubah dalam hal ini, tapi kita sendiri juga tidak tahu apa yang harus berubah?

PG : Memang kita harus bedakan antara perubahan yang berupa gaya hidup sesuai selera kita misalnya dan perubahan yang lebih bersifat moral atau spiritual. Sudah tentu yang kita harus utamakan aalah perubahan spiritual, kita memang dituntut Tuhan berubah makin hari hari makin menyerupai Tuhan Yesus.

Bukan makin hari makin menyerupai ayah kita, ibu kita, guru kita atau siapa pun, bukan! Standart atau panutan kita adalah Tuhan sendiri. Jadi biarlah masing-masing mengukur diri dengan patron Tuhan Yesus sendiri. Tapi apakah tidak boleh meminta pasangan juga berubah, kita menuntut dia berubah agar sesuai dengan gaya hidup kita? Kita juga boleh! Dengan bicara baik-baik meminta dan sebagainya namun janganlah kita membesarkan hal itu sama besarnya dengan hal-hal yang bersifat rohani. Jadi yang lebih kita tekankan memang yang lebih bersifat rohani atau moral ini, itulah yang kita tuntut untuk berubah sehingga semakin hari semakin serupa dengan Tuhan.
GS : Tapi justru untuk hal yang bersifat rohani, kita anggap pasangan kita sudah mengerti apalagi kita ini seiman, kita juga sama-sama ke gereja, sama-sama ke pemahaman Alkitab, kita anggap dia sudah mengerti tentang hal itu. Justru hal-hal yang praktis ini yang seringkali kita tegur, kita menuntut dia untuk berubah dan ini yang sulit Pak Paul?

PG : Karena kita sekarang menyadari bahwa sebetulnya yang kita tuntut untuk berubah bukanlah hal yang hakiki, bukanlah hal yang rohani, maka perlakukanlah hal yang sekunder jangan kita justru mmperlakukan hal-hal itu sebagai hal-hal primer, hal yang hakiki, jangan! Kita anggap itu hal yang sekunder dan kita ingatkan dia, "Tolong ingat, tolong berubah" dan kita tolong dia untuk berubah juga sesuai dengan yang kita harapkan, tapi jangan sampai membesarkannya itu sebagai hal yang hakiki.

GS : Dan dalam hal ini dia harus tahu pasti bahwa kita tetap mengasihi dia dan untuk kebaikan kita, artinya untuk kebaikan rumah tangga ini Pak Paul?

PG : Betul sekali, sebab pada intinya adalah makin kita itu sesuai dengan apa yang diharapkan pasangan, makin besar kasih pasangan terhadap kita dan juga seperti itulah kebalikannya. Jadi dalambukunya, C.H.Lewis

memberikan contoh tentang kita dan hewan peliharaan kita. Kita memandikan hewan peliharaan kita, kita menyisir bulunya sehingga bersih dan mengkilap, bukankah makin bersih misalkan anjing, maka semakin kita senang bermain-main, membelainya, memeluknya dan sebagainya. Sebaliknya makin kotor anjing itu, makin kita tidak suka membelainya dan dekat dengannya tapi buat si anjing, dimandikan itu hal yang mengganggu sebab anjing tidak suka dimandikan, setiap anjing yang dimandikan, kebanyakan tidak mau dan berlari-lari menjauh dari air tapi itu baik buat dia. C.H.Lewis itu menggunakan contoh seperti itu bahwa kasih menuntut pasangan untuk berubah sebab makin berubah makin baik, bukankah kita makin mengasihi dia, bukankah kalau kita mau lebih dikasihi oleh pasangan maka prinsipnya juga sama. Kita juga harus berusaha keras menjadi seperti yang dia inginkan supaya dia semakin mengasihi kita pula.
GS : Apakah ada bentuk lain di dalam pengaplikasiannya Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah tidak apa menuntut namun tidak apa-apa juga kalau kita tidak mendapatkan yang kita tuntut. Ini prinsip yang memang sukar untuk kita terima sebab kalau kita menuntut, kitamau mendapatkannya.

Dan itu salah. Justru kita mau menerapkan kasih karunia, Tuhan menuntut dan menuntut tapi Tuhan sabar dengan kita, Tuhan meminta kita berubah. Kadang kita memakan waktu hingga 30 tahun dan baru berubah tapi apakah Tuhan langsung berkata "Stop disini, saya tidak mau kamu lagi dan saya buang kamu" tidak! Tuhan dengan sabar akan terus menunggu kita, maka kita juga harus sama dengan pasangan. Silakan menuntut, meminta dan sebagainya untuk kebaikan pasangan kita tapi juga tidak apa-apa kalau tidak mendapatkan, tidak perlu marah-marah atau mengancam kalau kita tidak mendapatkannya.
GS : Memang kita tidak marah, tapi tuntutan itu selalu kita berikan kepada istri atau pasangan kita, seringkali pasangan itu mengatakan "Kamu sudah tahu kalau saya tidak bisa memenuhi tuntutan ini tapi kamu tetap meminta itu".

PG : Maka kalau kita tahu pasangan kita sudah begitu frustrasi dan dia tidak sanggup, maka ada dua langkah yang mesti dilakukan. Yang pertama adalah kita berkata kepadanya, "Ayo saya tolong kam, apa yang saya bisa bantu supaya kamu bisa melakukannya", jadi kita tawarkan bantuan sebab adakalanya orang hanya berubah kalau dibantu.

Kalau tidak dibantu dia akan mengalami kesulitan. Jadi tawarkan bantuan sebisanya apa yang bisa kita lakukan. Langkah kedua adalah kalau kita memang mencoba membantu dan tetap tidak bisa maka kita harus berkata "Ya sudah tidak apa-apa", kita harus terima sebab inilah pernikahan, Pak Gunawan. Saya kira itu manusiawi, normal bahwa akan ada hal-hal tentang pasangan yang kita sebetulnya tidak bisa terima tapi apa boleh buat kita harus hidup dengan hal-hal itu. Rasanya mustahil bisa mendapatkan A-Z yang kita dambakan, "Tidak" saya rasa itu tidak mungkin. Akan ada hal-hal yang kita harus telan yang memang kita tidak begitu suka, tapi itulah pernikahan. Kalau kita ingin semua hal bisa kita dapatkan, itu kalau kita sudah di surga, tapi selama di dunia tidak akan terjadi.
GS : Ini ada suatu perbedaan antara kalau kita mengasihi pasangan kita dan mengasihi anak kita, Pak Paul? Kalau kita mengasihi anak kita maka tetap ada tuntutan dan kita akan memberikan disiplin kalau tuntutan itu tidak terpenuhi dan tidak mungkin kita lakukan hal yang sama terhadap pasangan, Pak Paul?

PG : Itu memang yang menyulitkan dan betul sekali, Pak Gunawan. Jadi biasanya dengan anak kita lebih mendapatkan hasil karena memang ada ancaman-ancaman disiplin. Dengan pasangan, memang ini keulitannya, kita tidak bisa memberikan ancaman-ancaman disiplin dan sebagainya.

Jadi caranya adalah terus menerus dan harus bicara dan kadang-kadang saya juga perbolehkan kita untuk marah, kalau memang sudah keterlaluan seyogianyalah kita marah silakan marah sebab kadang-kadang pasangan perlu melihat reaksi kita yang serius dan baru tersadarkan sebab pasangan kita seperti kita orang berdosa, kita tidak selalu peka dan sadar dan karena kita orang berdosa maka kita selalu mementingkan diri. Jadi susah untuk berubah demi pasangan atau demi orang lain. Maka kadang-kadang kita perlu melihat pasangan kita marah sehingga kita disadarkan tidak boleh sembarangan. Misalkan kalau kita bicara seenaknya, memerintah-memerintah dan pada suatu kali pasangan kita dengan mata yang tajam memandang kita dan berkata, "Kamu jangan memperlakukan saya seenaknya, tolong hormati saya juga". Mungkin sebelumnya tidak pernah mengatakan hal seperti itu tapi tiba-tiba sekarang dia katakan. Saya rasa kita akan terkejut karena pasangan kita bisa bicara seperti itu, kita juga akan lebih berhati-hati. Jadi memang harus kita sadari, kita hidup dengan orang berdosa sama seperti pasangan kita harus hidup dengan kita orang berdosa. Kadang-kadang silakan untuk memberikan ketegasan seperti itu agar dia mengerti.
GS : Tapi dia merasa tidak dikasihi makanya dia agak sulit menyandingkan antara mengasihi dan menuntut Pak Paul?

PG : Maka langkah berikutnya penting, Pak Gunawan. Kita harus memastikan bahwa pasangan kita itu tahu kalau kita mengasihinya. Jadi syarat atau prasyarat menuntut adalah mengasihi. Kita mesti mlimpahkannya dengan kasih sayang, barulah kita boleh menuntutnya.

Tuhan mengasihi kita dan Tuhan mati untuk kita bahkan ketika kita masih berdosa, itu adalah bukti dari cinta yang begitu besar maka setelahnya Tuhan boleh dan seharusnyalah menuntut kita berubah. Jadi dengan pasangan juga harus sama, berkorbanlah, relalah, bersedialah, mengalahlah, tunjukkan kasih kepadanya. Setelah itu kita lakukan barulah kita boleh menuntutnya.
GS : Memang di dalam hal ini kita harus memberikan kepastian kepada pasangan kita. Kalaupun tuntutan itu tidak terpenuhi kita tetap mengasihi dia dan tidak merusak hubungan kita, Pak Paul.

PG : Ini point yang baik sekali Pak Gunawan sebab adakalanya pasangan bisa menganggap bahwa ini sebuah syarat, "Kalau kamu tidak melakukan maka aku tidak akan mengasihimu lagi", dan ini yang haus kita hindari, kita harus meyakinkannya bahwa meski aku menuntut aku tetap mengasihimu.

Ini sebuah kepastian dan ini yang perlu diyakini oleh pasangan, maka sekali lagi saya tekankan kita mesti menunjukkan kasih terlebih dahulu sebelum menuntutnya. Dan yang terakhir adalah tuntutan itu pun harus disampaikan dengan penuh kasih, jangan dengan kemarahan, merendahkan dia, menghina dia. Kemudian kita berkata, "Saya tetap mengasihimu" tidak bisa! Sebab waktu menyampaikannya kita menyampaikannya dengan begitu penuh kebencian atau melecehkannya, bagaimanakah dia bisa percaya kalau kita mengasihinya. Maka sampaikanlah tuntutan itu juga dengan baik-baik, dengan kasih sayang dan seperti tadi Pak Gunawan tekankan, bahwa saya tetap mengasihimu, saya memang menuntutmu, tapi kasih saya terhadapmu tetap tidak berubah.
GS : Itu berarti kalau kita sadar bahwa kita belum mengasihi pasangan dengan sungguh-sungguh, lebih baik kita tidak perlu menuntut apa-apa dari dia.

PG : Lebih baik begitu Pak Gunawan, sebab pasangan akan berkata, "Apa yang telah kau berikan kepadaku, engkau tidak mengasihiku tapi engkau seenaknya menuntut-nuntut", dia semakin marah dan bukn semakin bersedia memenuhi tuntutan kita sebab dia merasa, "Engkau tidak mengasihi sekarang engkau menuntut".

Jadi sama seperti perumpamaan, "Engkau tidak pernah menabur sekarang mau memetik".
GS : Tetapi itu seringkali terjadi di dalam hidup pernikahan Pak Paul, jadi masing-masing menuntut dan akhirnya keluarga itu pecah tidak bisa tahan.

PG : Karena masing-masing sudah tidak lagi merasa dikasihi, Pak Gunawan. Jadi tuntutan itu hanya berfungsi kalau kita merasa dikasihi.

GS : Justru alasan dia adalah karena saya butuh kasih maka saya menikah, kalau saya tidak butuh kasih maka saya tidak menikah. Makanya dia masuk dalam hubungan pernikahan dengan banyak tuntutan.

PG : Maka itu adalah sebuah kesalahan sebab sekali lagi sebelum menuntut dia justru harus memberikan cinta kasih terlebih dahulu. Jadi setelah itu diberikan baru boleh menuntut, jangan kebalikanya, "Saya harus menuntut dulu, saya harus dipenuhi dulu maka saya baru mengasihimu", itu tidak bisa.

GS : Itu suatu keunikan di dalam suatu hubungan pernikahan secara kristiani?

PG : Betul sekali, inilah pernikahan yang di dasari atas konsep kasih karunia.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan dari Efesus 4:31, "Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan". Segala kepahitan, kegeramn, kemarahan, pertikaian itu semua Tuhan katakan "Buanglah dari antara kamu" saya bisa terapkan ini dalam pernikahan buanglah ini dari pernikahanmu demikian pula segala kejahatan.

Maka sekali lagi tetap utamakan kasih, berikan kasih kemudian setelah itu diberikan barulah tuntutlah dengan kasih sayang pula bukan dengan kegeraman, bukan dengan kebencian. Hal itu yang justru kita harus buang dari pernikahan kita.
GS : Terima kasih Pak Paul, perbincangan ini semoga juga meluruskan konsep kita tentang kasih, tentang tuntutan. Banyak terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengasihi dan Menuntut". Bagi Anda yang berminat mengikuti perbincangan ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



62. Mengajar Pasangan Bersikap Jujur


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T239B (File MP3 T239B)


Abstrak:

Tidak semua orang dibesarkan dengan nilai moral yang baik. Ada yang justru dibesarkan dengan ketidakjujuran sehingga akhirnya terbiasa bersikap tidak jujur terhadap sesama. Kadang kita tidak begitu memperhatikan karakteristik ini sebelum menikah dan baru menyadarinya setelah menikah. Apakah yang harus kita perbuat bila pasangan terbiasa bersikap tidak jujur?


Ringkasan:

Tidak semua orang dibesarkan dengan nilai moral yang baik. Ada yang justru dibesarkan dengan ketidakjujuran sehingga akhirnya terbiasa bersikap tidak jujur terhadap sesama. Kadang kita tidak begitu memperhatikan karakteristik ini sebelum menikah dan baru menyadarinya setelah menikah. Apakah yang harus kita perbuat bila pasangan terbiasa bersikap tidak jujur?

Pertama, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk menutupi dosa. Bila memang merupakan upaya untuk menutupi dosa, kita harus memperhadapkannya dengan Firman Tuhan. Kita harus menyadarkannya bahwa Tuhan tidak berkenan dengan dosa dan seyogianyalah kita takut akan ganjaran Tuhan. Kita pun harus menegaskan bahwa kita tidak dapat menoleransi dosa di dalam pernikahan sebab pada akhirnya dosa yang bersemayam dalam pernikahan akan menghancurkan sendi pernikahan yakni percaya, respek, dan kasih.

Kedua, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk lari dari tanggung jawab. Kadang pasangan terbiasa dengan dusta untuk melepaskannya dari tanggung jawab. Sejak kecil ia telah belajar untuk lepas dari tanggung jawab karena mungkin memang dengan mudah ia dapat mengelabui orangtuanya. Jadi setiap kali ia berhadapan dengan tanggung jawab, maka muncullah dalih demi dalih agar ia terbebaskan dari tanggung jawab. Pola perilakunya adalah, daripada berkata, tidak mau atau tidak suka, ia akan mengatakan, ya, namun tidak mengerjakannya. Sewaktu ditanya, maka dalih demi dalih meluncur keluar dari mulutnya.

Jika inilah duduk masalahnya, kita perlu berbincang bersamanya dan menjabarkan tanggung jawab yang mesti dipikulnya sebagai bagian dari keluarga. Tanyakanlah manakah tanggung jawab yang sanggup dilakukannya dan mana yang tidak diinginkannya. Beritahukanlah bahwa daripada mengatakan, ya, tetapi tidak mengerjakannya, lebih baik mengatakan, tidak.

Ketiga, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk memperoleh apa yang diinginkannya dengan mudah. Ada orang yang tidak rela membayar harga untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Itu sebabnya ia berdusta untuk memenuhi keinginannya. Orang ini menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya dan salah satu cara yang digunakannya adalah berbohong. Kita perlu mengajaknya bicara tentang keinginannya itu dan merancang suatu kerja sama agar keinginannya dapat terkabul. Tunjukkanlah niat baik kepadanya yaitu kita bersedia membantunya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa harus berbohong.

Keempat, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk menghindar dari konflik dengan kita. Kadang pasangan berbohong karena tidak ingin berselisih pandang. Jadi, ia cenderung mengiyakan pendapat dan keinginan kita namun sesungguhnya ia tidak menyetujuinya. Namun masalahnya adalah, jika kita memaksanya untuk menyatakan pendapat, ia merasa lebih tertekan dan makin mencari celah untuk tidak jujur. Menghadapi sikap seperti ini, kita pun perlu memeriksa diri; mungkin kita dipandangnya sebagai penyulut konflik. Itu sebabnya kita mesti becermin diri dan jika memang ia peka dengan konflik, kita pun perlu mengubah sikap sehingga tidak cepat bereaksi.

Kelima, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk melindungi diri. Mungkin ia takut kepada kita sehingga ia cenderung berbohong. Ia menganggap kita adalah pengawas yang mesti dijauhinya. Adakalanya memang kitalah sumber penyebabnya. Misalnya karena kita pernah dikhianati maka kita tidak mudah percaya dan takut mengalami peristiwa yang sama. Itu sebabnya kita cenderung memantau pasangan dan menuntut pertanggungjawabannya.

Atau, kadang penyebabnya adalah pasangan dibesarkan dalam keluarga yang sangat keras sehingga sedikit ketidakkonsistenan cukup untuk membuatnya didera. Perlakuan seperti ini biasanya membuat seseorang takut sekali ditemukan kesalahannya. Akhirnya untuk menciptakan rasa aman, ia pun berupaya membatasi arus informasi sehingga pasangannya tidak mengetahui banyak tentang kegiatannya.

Kesimpulan

Kita tidak dapat begitu saja menyamaratakan semua sikap ketidakjujuran sebab ada pelbagai penyebabnya. Menegur dan memarahinya sering kali tidak memberi dampak; jauh lebih efektif mendoakan dan dengan kasih mengajaknya kembali hidup dengan Tuhan yang menjanjikan, "dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yohanes 8:32)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengajar Pasangan Bersikap Jujur". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Bukannya menganggap pasangan kita tidak jujur tapi sesuatu yang penting dimana kita perlu mengajarkan sikap jujur kepada pasangan. Menurut saya ini harus dimulai dari diri kita sendiri, kalau kita tidak jujur bagaimana kita bisa mengajarkan kepada pasangan untuk bersikap jujur.

PG : Betul. Jadi kalau kita menghendaki pasangan kita jujur maka kita juga harus bersikap jujur. Kita tidak bisa mengharapkan apa yang kita sendiri tidak melakukannya namun saya kira kita perlumengangkat topik ini Pak Gunawan karena pada faktanya adalah tidak semua orang dibesarkan dengan nilai moral yang baik dan itu adalah kenyataan.

Waktu kita menikah dengan pasangan kita, kadang-kadang barulah kita menyadari kalau dia orangnya tidak jujur. Waktu masih berpacaran kita tidak bisa melihatnya dan setelah menikah barulah terlihat, sedikit-sedikit berbohong, kita tahu faktanya tapi tetap penyampaiannya dia harus memutar balikkannya. Sudah tentu hal-hal sekecil ini mengganggu. Saya tidak akan membicarakan ketidakjujuran yang lebih serius misalkan dalam kasus perzinahan atau perselingkuhan. Saya memang lebih mau memfokuskannya ini kepada ketidakjujuran di dalam hal yang bersifat sehari-hari.
GS : Justru yang sehari-hari ini yang kadang-kadang karena berulangkali dilakukan lalu menjadi semacam duri di dalam pernikahan, Pak Paul.

PG : Betul sekali dan pasti kita akan frustrasi berat kalau pasangan kita omongannya tidak bisa dipegang, terlalu banyak ketidakbenarannya.

GS : Itu apakah karena latar belakang keluarganya atau memang dia sendiri yang mutunya seperti itu, Pak Paul?

PG : Memang campuran dari semuanya itu, ada pengaruh latar belakang dan juga ada pilihan-pilihan yang dibuat oleh pasangan kita. Maka saya kira kita perlu untuk bisa membahas dengan saksama sat persatu karena kita tidak bisa mengelompokkan itu dalam satu kategori dan bereaksi dengan satu cara yaitu marah.

Sebab kalau itulah reaksi kita dan menyamaratakan semua penyebabnya seringkali itu tidak efektif. Maka kita mesti tepat sasaran, kita mesti mengerti dulu mengapakan pasangan kita terlalu sering bersikap tidak jujur, apa yang membuat dia menjadi seperti ini.
GS : Rasanya kita juga perlu melihat diri kita sendiri mungkin pasangan kita merasa tertekan atau takut dengan apa yang kita lakukan sehingga dia berkata saya terpaksa melakukan kebohongan.

PG : Kalau kita bersikap seperti itu sudah tentu sikap-sikap kita akan mempengaruhinya. Saya kira sebaiknya kita menyimak satu persatu kira-kira apa penyebabnya. Yang pertama saya kira kita hars bertanya apakah ketidak jujuran ini merupakan upaya untuk menutupi dosa.

Ada pasangan yang sebetulnya berbohong untuk menutupi dosanya, misalnya dia malam-malam pergi dengan teman-temannya atau mengantar kliennya ke club-club malam dan disana akhirnya ikut-ikutan berbuat dosa misalnya memegang-megang menyentuh-nyentuh lawan jenisnya dengan tidak sepatutnya. Mengeluarkan kata-kata yang juga penuh dengan dosa, belum lagi mungkin melewati batas. Hal-hal seperti ini sudah tentu dosa dan dia tahu kalau itu salah, makanya waktu ditanya oleh pasangannya, dia berbohong, dia menutupi dosa itu dengan dustanya. Jika memang ini merupakan upayanya untuk menutupi dosa, kita harus memperhadapkannya dengan Firman Tuhan. Jadi maksud saya begini, dari pada kita yang bereaksi marah, tidak suka, sebal, benci dan sebagainya, lebih baik kita dengan tenang mengingatkan dia akan Firman Tuhan. Biarkan dia kembali melihat cahaya atau sinar kekudusan Tuhan dan kehendak Tuhan sehingga kita akhirnya diingatkan, waktu dia disana kita tidak bersama dengan dia tapi ada Tuhan di sana yang mengawasinya dan melihatnya. Maka dia harus mempertanggungjawabkan itu kepada Tuhan dan kita harus ingatkan kalau Tuhan tidak berkenan dengan dosa dan kita harus takut dengan ganjaran Tuhan namun kita juga harus menegaskan bahwa kita pun tidak dapat menoleransi dosa dalam pernikahan sebab pada akhirnya dosa yang bersemayam dalam pernikahan akan menghancurkan sendi pernikahan yaitu percaya, respek dan kasih kita.
GS : Ada kekhawatiran di pihak yang dibohongi, kalau diperhadapkan dengan Firman Tuhan, khawatirnya pasangannya akan menjauh dari Tuhan. Jadi mungkin tidak mau ke gereja atau tidak mau baca Alkitab lagi dan itu kekhawatirannya, Pak Paul.

PG : Sudah tentu kalau ini hanya terjadi sekali, maka dalam menghadapinya kita juga harus dengan lemah lembut dan sebagainya. Tapi kalau berulang, saya kira sudah pada tempatnyalah kita memperhdapkannya dengan Firman Tuhan untuk memperingatkannya bahwa pertanggungjawabannya yang pertama bukanlah kepada kita tapi kepada Tuhan, bahwa dia tidak bisa menutupi apa pun di hadapan Tuhan dan semua itu terbuka lebar di mata Tuhan.

Jadi sekarang kita mau mengingatkannya bahwa saya tidak akan bisa tahu, saya tidak akan bisa melakukan apa-apa tapi ingat Tuhan melihat. Jadi selalu kita tekankan hal itu.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita pelajari atau perbuat, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kita harus bertanya apakah ketidakjujuran merupakan upaya untuk lari dari tanggung jawab. Kadang-kadang pasangan terbiasa dengan dusta untuk melepaskannya dari tanggung jwab, misalnya sejak kecil dia telah belajar untuk lepas dari tanggung jawab karena mungkin dengan mudah dia mengelabui orang tuanya.

Jadi setiap kali dia berhadapan dengan tanggung jawab maka muncullah dalih agar dia terbebaskan oleh tanggung jawab. Pola perilaku yang bisa kita lihat adalah dari pada berkata tidak mau atau tidak suka, maka dia dengan cepat akan mengatakan "Ya," namun tidak mengerjakannya. Sewaktu ditanya kenapa tidak dikerjakan, maka dalih demi dalihlah yang meluncur dari mulutnya, ada anak-anak yang seperti ini pada waktu masih kecil tidak suka diberikan tanggungjawab, dia mengelak dengan dalih demi dalih. Orang tua ternyata bisa termakan dengan dustanya sehingga membiarkan, akhirnya si anak tahu dan berpikir saya punya ilmu untuk lepas dari tanggung jawab yaitu berdusta menciptakan skenario yang tidak ada, yang tidak benar. Kepada guru di sekolahnya akhirnya dia praktekkan ilmu itu dan ada keberhasilannya juga maka akhirnya dia makin gemar melakukan ilmu berdustanya itu. Sehingga nanti setelah menikah dengan kita, itulah juga yang dilakukannya, kita minta tolong kepada dia, kita minta untuk ini dan sebagainya kemudian muncul dalih demi dalih. Mula-mulanya bilang, "Ya, baik" tapi tidak dikerja-kerjakan, kalau kita konfrontasi maka muncul alasan-alasan.
GS : Kalau kita mengetahui dan menyadari bahwa memang itulah masalahnya, apa yang bisa dilakukan?

PG : Saya kira kita bisa perbincangkan, Pak Gunawan. Kita jabarkan tanggung jawab yang mesti dipikulnya sebagai bagian dari keluarga. Kita bisa daftarkan atau kita bisa sebut, saya perlu ada orng yang membuang sampah, saya perlu ada orang yang mengantar anak, ada yang bisa menjemputnya.

Jadi kita sebutkan semua itu dan kita tanyakan kepada dia manakah tanggung jawab yang bisa dilakukannya dan manakah yang tidak diinginkannya. Jadi kita berikan pilihan itu, berikan juga kepada dia dari pada mengatakan "Ya" tapi tidak mengerjakan, lebih baik mengatakan "Tidak." Jadi kita minta dia untuk mengatakan ya atau tidak dengan jujur. Dan daripada dia meminta enam atau tujuh tanggung jawab, kita mau realistis dengan dia dan berkata, "Bagaimana kalau mulai dengan satu dulu" dan kita evaluasi dulu bagaimanana nantinya, sebab siapa tahu untuk satu tanggung jawab belum tentu bisa dikerjakan, maka satu dulu saja. Jadi adakalanya orang itu berdusta karena mau menyenangkan hati kita jadi tergesa-gesa bilang "Ya" tapi akhirnya tidak dikerjakan, bukankah itu lebih mengecewakan kita.
GS : Bukankah ada pasangan yang merasa dituntut untuk melakukan sesuatu dan dia merasa ini menjadi sesuatu tuntutan buat dia tapi untuk mengatakan menolak, dia juga merasa tidak pada tempatnya. Mestinya melakukan itu tetapi yang dia rasakan adalah sesuatu tekanan pada kehidupannya, Pak Paul.

PG : Kalau memang itu yang dihadapinya maka jangan sungkan untuk berbicara langsung kepada pasangannya dan berkata, "Saya bahagia dalam menolong tapi jujur ada bagian yang saya tidak begitu suk atau rasanya saya tidak suka, bagaimana kalau saya melakukan yang ini saja.

Dari pada saya menjanjikan yang muluk-muluk dan tidak saya lakukan, maka lebih baik saya tepati untuk melakukan hal-hal ini dan saya akan kerjakan dengan setia." Pembicaraan seperti inilah yang lebih membangun dari pada pasangan bereaksi dengan kemarahan dan berkata "Kamu pembohong, mulut kamu tidak bisa dipercaya, janji kamu kosong, bilang ya tapi tidak dilakukan alasan saja selalu memberikan alasan." Dari pada mengatakan hal seperti itu lebih baik mengajak dia duduk untuk melihat apa yang bisa dikerjakannya dan pilih satu saja.
GS : Apalagi kalau dikatakan tidak bertanggung jawab, dia malah marah, Pak Paul.

PG : Betul, meskipun ada benarnya. Memang betul dia tidak memikul tanggung jawab itu.

GS : Apakah ada pelajaran yang lain, Pak Paul?

PG : Kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk memperoleh apa yang diinginkannya dengan mudah. Ada orang yang tidak rela bayar harga untuk mendapatkan apa yang diinginannya.

Itu sebabnya dia berdusta untuk memenuhi keinginannya, orang seperti ini biasanya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya dan salah satu cara yang digunakannya adalah berbohong. Jika inilah situasi yang melatar belakangi sikap tidak jujur pasangan, kita perlu mengajaknya berbicara tentang keinginannya itu dan merancang sebuah kerjasama agar keinginannya dapat terkabul. Kita juga dapat menunjukkan niat baik kepadanya yaitu kita katakan kita bersedia membantunya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa harus berbohong. Jadi dia akhirnya terbiasa berbohong supaya mendapatkan yang diinginkannya, maka kita berbicara langsung kepada dia, "Yang kamu inginkan sebenarnya apa sekarang ini?" dan misalnya dia sebut, "Ini yang saya inginkan." Maka mari kita rancang bagaimana bisa mendapatkan hal itu dengan cara yang halal dengan cara yang benar, jujur, bukan dengan cara berbohong. Jangan sampai akhirnya dia mudah sekali berbohong, inilah cikal bakalnya perbuatan kriminal, Pak Gunawan. Orang-orang yang menipu kanan-kiri, bohongi orang kanan-kiri, ambil uang orang, kepercayaan orang akhirnya punah karena dia ingin mendapatkan yang dia inginkan dengan cara-cara yang salah. Justru kita harus ingatkan bahwa, "Tidak bisa seperti itu, tapi kamu harus jujur dengan yang kamu inginkan," dan kita tunjukkan niat baik untuk menolongnya, mungkin kita harus hadirkan bantuan lain dan sebagainya tapi kita mau terlibat dalam upayanya mendapatkan yang dia inginkan itu, namun dengan cara yang halal.
GS : Ini memang pola hidup yang banyak terjadi khususnya pada saat sulit seperti sekarang ini Pak Paul, dimana orang menghalalkan segala cara untuk memperoleh yang diinginkan. Dan kadangkala terbentuk di tempat kerjanya, kadang-kadang di tempat kerja dia terbiasa melakukan itu sehingga di rumah pun dia mencoba melakukan itu.

PG : Betul, misalkan ada contoh ini, saya masih ingat dulu saat anak-anak masih lebih kecil kami tinggal di sebuah rumah di kota Malang, ada orang yang suka datang meminta uang, orang yang samadan setiap kali datang ceritanya berbeda-beda, istri saya sakit, anak saya sakit dan ceritanya selalu berbeda.

Akhirnya saya bukan bereaksi berbelas kasihan karena saya tahu dia berbohong, yang penting apa yang dia inginkan dia dapat maka dia akan menceritakan segala jenis skenario untuk mendapatkan yang dia inginkan itu. Misalkan itulah pasangan kita, maka kita harus ajarkan dia dari pada berbohong lebih baik bicara jujur apa yang engkau inginkan, mari kita coba untuk merancang strategi yang sehat, yang halal untuk mendapatkannya.
GS : Ada orang yang juga melakukan strategi itu Pak Paul, yaitu siasat berbohong karena tidak mau bertengkar dengan pasangannya dan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Ini memang cukup sering tejadi di dalam pernikahan, jadi dari pada bertengkar akhirnya tidak mengatakan yang benar, menutupi perbuatannya karena tidak mau berselisih pandang. Jadi cenderun mengiyakan pendapat dan keinginan kita namun sesungguhnya pasangan kita tidak menyetujui apa yang kita katakan.

Sudah tentu sikap seperti ini membuat kita frustrasi sebab kita tidak pernah tahu isi hati yang sebenarnya namun masalahnya adalah jika kita memaksanya untuk menyatakan pendapat, dia merasa lebih tertekan dan makin mencari celah untuk tidak jujur. Menghadapi sikap seperti ini kita pun perlu memeriksa diri mungkin kita dipandangnya sebagai penyulut konflik, itu sebabnya kita mesti bercermin diri dan jika memang dia peka terhadap konflik kita pun perlu mengubah sikap sehingga tidak cepat bereaksi.
GS : Di dalam hal ini sebenarnya sangat peka, kalau kita berbohong hanya untuk menghindari konflik. kadangkala kita mengetahui yang sebenarnya dan ini malah menimbulkan konflik yang lebih besar dari pada ketika kita berbohong tadi, Pak Paul.

PG : Kadang-kadang orang itu akhirnya terjebak dalam sebuah pilihan antara dua pilihan, mengatakan sebenarnya dan menuai konflik atau berbohong agar tidak menuai konflik. Kalau kita tidak mengaakannya bukankah nanti kalau diketahui oleh pasangan maka akan menuai konflik yang jauh lebih parah lagi.

Jadi seyogianyalah kita terbuka dan jujur, dan harus memulai dari hal-hal kecil. Saya menengok ke belakang pada pernikahan kami, saya harus mengakui mungkin 10 tahun pertama itu merupakan kerja keras menanam membangun fondasi dalam pernikahan kami dan godaan terbesar pada saat-saat awal pernikahan adalah tidak membicarakan hal-hal yang dapat menuai konflik, jadi mengiyakan, tidak mau membicarakannya, tujuannya agar tidak menuai konflik tapi saya perhatikan bahwa pasangan nikah yang justru menghindar-hindar dari konflik sehingga tidak mengatakan hal-hal yang sebenarnya, nanti akan menuai konflik yang lebih besar, sebab relasi mereka sangat renggang tidak ada lagi kedekatan tapi justru kita harus benar-benar mengungkapkan isi hati untuk membereskannya meskipun harus berkonflik, berkata jujur asalkan nantinya bersatu kembali. Justru orang-orang seperti inilah yang nantinya menuai keharmonisan. Memang awalnya akan cukup sarat dengan konflik tapi setelah itu akan makin jarang dan makin jarang dan akhirnya justru lebih banyak mendapatkan titik temu di antara keduanya.
GS : Jadi sebenarnya konflik di dalam rumah tangga itu sesuatu yang lumrah terjadi tetapi masalahnya bagaimana kita menyelesaikan konflik itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Jadi memang bukan saja memunculkan konflik tapi kita juga harus bertekun membereskan konflik itu.

GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan?

PG : Yang lain adalah kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upayanya untuk melindungi diri, mungkin dia takut kepada kita sehingga dia cenderung berbohong. Misalnya dia mengangap kita adalah pengawas yang mesti dijauhinya.

Adakalanya kitalah sumber masalahnya, misalnya karena kita dulu pernah dikhianati maka kita tidak mudah percaya dan kita takut mengalami peristiwa yang sama, itu sebabnya kita cenderung memantau pasangan dan menuntut pertanggungjawabannya. Sikap seperti ini dengan mudah menjerumuskan masalah untuk tidak jujur, kendati tidak ada kesalahan yang diperbuatnya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, perlindungan diri sangat diperlukan karena semua orang menginginkan dirinya aman sehingga dia menggunakan cara tidak jujur. Sebenarnya bagaimana supaya dia terlindung dan tetap aman tetapi juga tetap jujur, Pak Paul.

PG : Maka kalau itulah yang menjadi masalah diantara kita dengan pasangan, yang pertama memang kita mesti bercermin diri dulu apakah kita itu terlalu mengawas-awasi, terus mengecek-ngecek, kala itulah yang kita lakukan, kita mungkin harus mengurangi sikap yang mengecek-ngecek terus menerus, memberikan dia ruang gerak.

Yang penting adalah bersikap jujur, bertanggung jawab kepada kita tapi kita tidak harus terus menanyakannya kemana, dengan siapa, jam berapa, melakukan apa saja dan sebagainya. Sikap-sikap memantau yang berlebihan akhirnya cenderung mengakibatkan orang takut, meskipun tidak berbuat yang salah, kita tidak mau mengatakannya sebab mereka berpikir dengan makin banyaknya informasi yang saya berikan berarti makin banyak bahan untuk nantinya ditangkap oleh pasangan saya dan dituduhkan kepada saya, saya begini, saya begitu. Akhirnya orang-orang ini berkata, "Lebih baik saya membatasi arus informasi yang keluar, makin sedikit dia tahu maka semakin tidak ada urusan." Maka kita juga mesti bercermin apakah mungkin kitanya, akhirnya terlalu bersemangat mencari-cari bahan untuk nanti mengawasi pasangan kita.
GS : Jadi kita harus memberikan kepercayaan kepada pasangan kita, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi kita mesti memberikan kepercayaan sebab adakalanya penyebab pasangan tidak jujur karena dia dibesarkan di keluarga yang keras sehingga sedikit saja ada ketidak konsistenn dalam ceritanya atau laporannya, cukup untuk membuatnya dipukul, dimarahi atau didera.

Perilaku seperti ini biasanya membuat seseorang takut sekali ditemukan kesalahannya, akhirnya untuk menciptakan rasa aman, dia pun berupaya untuk membatasi arus informasi karena inilah pengalaman hidupnya dulu, sedikit pun tidak konsisten maka orang tuanya menuduhnya dia berbohong sehingga sekarang dengan pasangannya pun begitu. Dia takut sekali kalau nanti dia cerita akhirnya ada ceritanya yang kurang pas atau yang dia lupa kemudian dia berkata tidak tahu, kemudian dia terus ditanya-tanya lagi, kemudian tiba-tiba dia ingat dan pasangannya bilang, "Kamu berbohong, tadi bilang tidak ingat sekarang bilang ingat," kemudian kita berkata, "Memang tadi benar-benar tidak ingat dan sekarang benar-benar ingat," lalu pasangan kita tidak terima, "Pasti kamu berbohong dan sebagainya." Jadi mesti lihat dua belah pihak, adakalanya kitalah yang terlalu mengawasi seperti itu, sehingga akhirnya dia takut sekali diketahui meskipun tidak ada yang salah akhirnya dia tutupi dan akhirnya kita merasa dibohongi dan malah tidak percaya kepadanya.
GS : Jadi sebenarnya kita perlu menciptakan rasa aman buat pasangan kita untuk mengemukakan apa adanya. Kalau dia merasa terancam pasti dia akan melakukan kebohongan itu.

PG : Itu betul sekali Pak Gunawan, dan bukan hanya berlaku untuk kita sebagai suami istri tapi juga kepada anak-anak. Satu prinsip yang kita ingin tanamkan kepada mereka adalah bahwa kejujuran tu diatas segalanya artinya kalau jujur maka kita akan berupaya sekeras mungkin memaafkan.

Yang penting kalau jujur kita akan memaafkan, prinsip ini adalah prinsip yang kita petik dari Allah sendiri. Meskipun Tuhan mempunyai standart yang tinggi tapi kalau kita bersedia mengaku dosa kita maka Tuhan akan mengampuni dosa kita, murah hati, adil, mengampuni tapi yang Dia minta adalah kejujuran untuk mengakui. Jadi Tuhan menekankan itu, kalau mengakui maka akan diampuni. Inilah nilai hidup yang kita juga mesti tanamkan di dalam keluarga kita, kalau jujur saya akan berusaha sekeras mungkin mengampuni. Kalau sudah dipercaya dan diyakini oleh satu keluarga maka orang akan hidup di dalam ketenangan.
GS : Pak Paul, ada pasangan yang mengatakan, "Saya berbohong kepada pasangan untuk kepentingan pasangan saya," jadi dia merasa mau melindungi pasangannya lewat kebohongan. Apakah itu bisa dibenarkan, Pak Paul?

PG : Sudah tentu ada waktu dimana kita harus berkata, "Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk kami membicarakan hal ini," saya setuju itu sebab kita juga perlu hikmat. Namun secara prinsip umm pada akhirnya kita harus terbuka kepada pasangan kita.

GS : Misalnya saja ada orang yang meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya tetapi ketika istrinya tanya apakah uang ini pinjam, dan dia katakan, "Tidak, ini uang hasil kerjanya saya," itu berati suatu kebohongan sebenarnya, Pak Paul.

PG : Dalam kasus seperti itu, saya kira jelas kalau dia harus bercerita dengan apa adanya bahwa dia memang meminjam. Meskipun akan menuai konflik tapi lebih baik dia jujur dan dia berkata "Pilian saya hanya dua, sekarang ini tidak meminjam dan tidak ada uang untuk makan atau saya meminjam dan ada uang untuk kita makan," yang penting saya akan benar-benar berupaya membayar utang saya ini.

GS : Jadi tetap tidak bisa dibenarkan Pak Paul, dengan alasan seperti itu. Kesimpulan dari perbincangan ini apa, Pak Paul?

PG : Kita tidak bisa begitu saja menyamaratakan semua sikap ketidak jujuran sebab ada pelbagai penyebabnya, menegur dan memarahinya seringkali tidak memberi dampak. Jauh lebih efektif mendoakanya dan dengan kasih mengajaknya kembali hidup dengan Tuhan yang telah menjanjikan.

Di Yohanes 8:32, "Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu."
GS : Ini berlaku untuk kehidupan suami istri, keluarga, orang tua dan anak juga, Pak Paul?

PG : Tepat sekali.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengajar Pasangan Bersikap Jujur". Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



63. Tidak Lagi Menyatu


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T244A (File MP3 T244A)


Abstrak:

Pada awal pernikahan umunya kita berusaha merajut tali temali yang dapat mengikat kita berdua, misalnya pergi nonton berdua dan lain-lain. Dengan berjalannya waktu dan hadirnya anak, kebanyakan hal-hal yang tadinya kita lakukan tidak lagi dapat kita lakukan. Sebagai akibatnya, relasi nikah pun makin perpaut dan komunikasi menjadi kesukaran tersendiri. Bukannya makin intim, kita malah merasa makin asing terhadap satu sama lain. Perubahan seperti apakah yang kerap terjadi dan apakah yang dapat kita lakukan untuk menanggulanginya?


Ringkasan:

Pada awal pernikahan umunya kita berusaha merajut tali temali yang dapat mengikat kita berdua, misalnya pergi nonton berdua, makan malam berdua, mengunjungi tempat wisata tertentu, dan lainnya. Dengan berjalannya waktu dan hadirnya anak, kebanyakan hal-hal yang tadinya kita lakukan tidak lagi dapat kita lakukan. Sebagai akibatnya, relasi nikah pun makin perpaut dan komunikasi menjadi kesukaran tersendiri. Bukannya makin intim, kita malah merasa makin asing terhadap satu sama lain. Perubahan seperti apakah yang kerap terjadi dan apakah yang dapat kita lakukan untuk menanggulanginya?

Pertama, memang betul aktivitas bersama akan mengikat relasi. Dengan kata lain, berkurangnya aktivitas bersama cenderung menghilangkan ikatan keintiman di antara kita. Pada akhirnya kita pun mulai mengadobsi aktivitas baru yang belum tentu disukai pasangan. begitu hobi dan minat makin berbeda, akan makin terpisah pulalah hubungan kita

Sudah tentu tidak mungkin bagi kita untuk terus hanya melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan bersama. Dengan berjalannya waktu, sangatlah mungkin bagi kita untuk mengembangkan minat pada hal-hal yang belum tentu menjadi minat pasangan. Sungguhpun demikian, pengembangan minat mestilah senantiasa dikonsultasikan dengan pasangan sehingga bukan saja pasangan mengetahui perkembangan minat kita, ia pun merasa dihormati dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat.

Pada akhirnya prinsip yang mesti diterapkan di sini adalah, apakah minat dan aktivitas baru itu akan menumbangkan keseimbangan pembagian waktu dan perhatian atau tidak. Jadi, kita meminta waktu mesti bersedia mengurangi tuntutannya, sedangkan yang memberi waktu harus fleksibel untuk menambahkan pemberiannya.

Kedua, dunia kerja yang berlainan pada akhirnya mempengaruhi perkembangan hidup serta menciptakan perbedaan dalam cara pandang dan nilai hidup. Jadi, seorang yang introvert yang dikondisikan pekerjaannya untuk menjadi lebih agresif dalam memasarkan produknya daat berubah menjadi lebih ekstrovert. Jika tadinya ia takut mengutarakan pendapat, sekarang ia menjadi lebih berani.

Sebaliknya, seseorang yang tadinya ekstrovert mungkin saja berubah menjadi introvert akibat tuntutan pekerjaan yang menuntut kehati-hatian dan introspeksi yang dalam. Ia mulai kehilangan spontanitasnya dan tidak lagi seekspresif dulu.

Atau akibat tuntutan membesarkan anak, akhirnya seorang ibu dengan mudah berubah menjadi pragmatis dan kehilangan pemikiran yang mendalam. Perhatiannya lebih tertuju pada hal-hal praktis seperti apakah anak sudah makan dan mandi, apakah sudah belajar atau belum dan sebagainya. Sebaliknya mungkin saja suaminya berubah menjadi lebih filosofis tentang hidup akibat kondisi dan tuntutan pekerjaannya.

Dalam kasus ini, baik suami maupun istri mesti berusaha menyisakan bagian dalam dirinya yang tetap sama sehingga keduanya masih dapat berjumpa di dalam lingkaran yang sama ini. Kita harus menyadari bahwa pasangan mengenal diri kita yang lama dan yang membuatnya jatuh cinta pada kita adalah bagian yang lama itu. Jadi, sedapatnya pertahankanlah bagian yang telah menarik pasangan dengan kita.

Sebaliknya, kita juga harus "Menyosialisasikan" perkembangan diri kita kepada pasangan agar ia dapat mengikuti perubahan yang tengah terjadi pada diri kita. Bagikanlah perubahan ini tanpa harus menuntutnya untuk menjadi seperti kita. Ceritakanlah alur pikir kita mengapa sampai kita melihat susuatu dari sudut pandang itu. Sekali lagi, janganlah menuntutnya untuk berubah. Katakanlah bahwa kita hanya ingin membagikan perkembangan hidup kita agar ia dapat mengikuti perkembangan ini.

Firman Tuhan: Hendaklah kami sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentigan sendiri... " (Filipi 2:2-3)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tidak Lagi Menyatu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam pernikahan kita memang berharap bisa tetap menyatu dengan pasangan kita, dalam kebersamaan tapi faktanya makin lama seseorang menikah, tidak makin akrab tapi ada hal-hal yang membuat pasangan itu makin menjauh. Apakah memang seperti itu Pak Paul?

PG : Memang seperti itu Pak Gunawan. Karena apa? Karena pada umumnya sebelum kita menikah, kita hidup dalam sebuah lingkup yang sama, kita membagi kehidupan ini. Misalnya terlibat di dalam perekutuan yang sama, gereja yang sama dan sebagainya kemudian akhirnya kita menikah dan setelah menikah, ada kecendrungan aktifitas-aktifitas yang kita lakukan mulailah berbeda dan yang ingin saya tekankan di sini adalah kadang-kadang kita berpikir, kenapa bisa seperti ini? Kenapa bisa tidak cocok? Kenapa bisa bertengkar? Sebetulnya pertengkaran atau konflik-konflik yang terjadi tumbuh dari hal-hal yang lebih sederhana, Pak Gunawan.

Apa yang lebih sederhana? Yaitu hidup kita makin hari makin terpaut karena kita tidak lagi membagi aktifitas atau kegiatan yang sama. Begitu kita mulai berlainan melakukan aktifitas dan sebagainya, maka bukan saja cara pikir kita akan berubah dan sebagainya tapi kedekatan itu tidak bisa tidak akan makin juga tererosi.
GS : Memang ini sesuatu yang tidak baik untuk suatu pernikahan dan bagaimana cara menanggulanginya?

PG : Tidak bisa tidak, Pak Gunawan. Kita memang harus secara terencana memaksakan diri untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama. Kita tidak boleh beranggapan dengan saya begini-begini saja emua itu akan beres, tidak! Inilah yang membuat, kenapa yang tadinya begitu akrab, intim, sekarang rasanya jauh satu sama lain.

Kita mesti menyadari bahwa kedekatan kita dibangun di atas aktifitas bersama, semakin sedikit aktifitas bersama yang kita lakukan maka semakin besar kemungkinan kita akan jauh antara satu sama lain. Maka kita harus menggunakan cara yang paling alamiah dan cara yang paling alamiah adalah terus-menerus memaksakan diri merencanakan untuk melakukan hal-hal tertentu bersama-sama. Contohnya saya dengan istri saya, waktu anak-anak masih kecil kadang-kadang kami bersepeda, main bersama-sama atau waktu mereka sudah mulai besar saya dan istri saya berjalan kaki pagi-pagi atau kadang-kadang kami pergi fitness bersama-sama, berenang dan sebagainya, bahkan secara teratur seminggu sekali, benar-benar harus ada upaya yang terencana untuk kita berdua lakukan bersama.
GS : Memang seringkali yang dijadikan alasan adalah kalau sudah berumah tangga apalagi kalau tidak mempunyai pembantu. Ada kesibukan yang tidak ada habisnya untuk dikerjakan, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi kadang-kadang saya juga mendapatkan keluhan, dan keluhan ini memang dari dua arah, Pak Gunawan. Kadang saya mendapatkan keluhan dari istri, "Suami saya itu benar-benar tidak lai memberikan perhatian kepada kami di rumah, kerja dari pagi sampai malam.

Pulang kerja makan, kemudian buru-buru langsung ke meja belajarnya, kerja lagi, karena belum selesai sampai jam 12 malam dan sebagainya." Namun saya juga mendengarkan masukan dari para suami tentang istri, "Begitu pulang ke rumah, ingin bisa bersama-sama dengan istri, relaks dan sebagainya tapi tidak bisa, karena istri terus mengurus urusan rumah tangga." Memang urusan anak harus ditangani, mengajarkan pelajaran sekolah, memberesi rumah tangga dan sebagainya, ada suami yang akhirnya berkata, "Kenapa tidak pakai orang saja untuk membersihkan rumah." Tapi ada ibu rumah tangga yang tidak mau pakai pembantu rumah tangga dan memilih menyelesaikan semuanya karena lebih baik, lebih bersih dan sebagainya. Tapi akhirnya si suami merasa "saya seperti terabaikan", sehingga kapan bersama istri saya, karena boleh dikata dia tidak pernah berhenti sibuk dan hanya berhenti tatkala tidur.
GS : Jadi mungkin yang perlu disadari adalah bahwa kebersamaan itu penting, Pak Paul, dan kalau kita menyadari itu penting, maka kita akan menyisihkan waktu bagaimanapun juga sibuknya orang itu.

PG : Betul sekali. Jadi memang harus ada sebuah kesadaran Pak Gunawan bahwa kita mau mempertahankan kwalitas relasi kita dan bahwa relasi kita itu penting. Saya kira masalahnya adalah kebanyaka kita tidak memprioritaskan, tidak mengatakan bahwa relasi saya dengan suami saya ini penting dan karena penting saya harus melakukan hal-hal ini untuk menjaganya supaya tetap diterima.

Jadi betul sekali yang Pak Gunawan katakan, langkah pertama mesti ada komitmen untuk mementingkan relasi ini. Caranya bagaimana? Dengan melakukan aktifitas bersama, selain itu saya juga harus mengerti bahwa adakalanya masing-masing kita mulai mengembangkan interest yang berbeda, inilah kehidupan dan kita tidak bisa menyamakan tetap dari dulu sampai sekarang. Kalau kita mulai mengembangkan minat-minat yang berbeda, tidak apa-apa! Jangan sampai melarang pasangan kita dan langsung mengatakan "Tidak boleh kita harus sama-sama, kalau tidak sama-sama tidak boleh, tidak setia dengan keluarga," itu tidak benar. Jadi kita mesti juga memberi izin kepada pasangan kita untuk mengembangkan minat namun ini yang saya minta, kalau ingin mengembangkan minat tolong dibicarakan, dikonsultasikan terlebih dahulu. Supaya pasangan tidak merasa bahwa kita seenaknya saja dan meninggalkan dia untuk mengembangkan di luar dia. Kalau bisa justru kita ajak dia, libatkan dia, kalau memang dia tidak bisa ya tidak apa-apa! Tapi konsultasikan dulu bagaimana kalau saya terlibat kegiatan ini dan sebagainya. Saya tahu ada orang-orang yang terlibat kegiatan olah raga naik gunung, naik sepeda dan sebagainya, pasangannya misalnya tidak bersedia maka coba konsultasikan. Apakah ini akan menjadi acara setiap minggu? Kalau menjadi acara setiap minggu berarti, misalkan hari Sabtu dari pagi sampai jam 2 siang suaminya tidak ada di rumah, si istri dari pagi sampai malam setiap hari Senin sampai Jum'at tidak bertemu suami dan sekarang hari Sabtu dia tambah lagi kegiatan, pagi sampai jam 2 suaminya sudah pergi, selesai pulang olah raga naik gunung dan sebagainya, jiwa si suami sehat, tubuhnya sehat tapi matanya mengantuk, dia mau tidur, dia lelah jampai jam lima atau enam. Setelah bangun tidur, malas kemana-mana, dia di rumah sehingga seolah-olah dia hidup tanpa pasangan, dia hidup tanpa anak tanpa istri. Sedangkan si istri juga perlu bersama-sama dengan dia akhirnya satu hari Sabtu habis, kalau seperti ini saya duga akan menimbulkan konflik bagi rumah tangga ini.
GS : Bukan hanya itu, biasanya pihak istri juga memperhitungkan biayanya, Pak Paul, setiap minat atau hobi itu mengeluarkan uang. Biasanya pihak istri juga keberatan kalau uang ini hanya dipakai senang-senang oleh si suaminya.

PG : Betul sekali, karena memang sudah tentu akan ada perhitungan untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagainya. Jadi kalau si istri melihat suaminya akan menggunakan uang akhirnya akan bisa mengcaukan anggaran, dan sudah tentu akan keberatan atau kebalikannya, suami yang melihat istrinya rajin arisan akhirnya si suami juga berkata "Uang kita ini, jadinya tidak bisa dipakai karena kamu pakai untuk itu semuanya."

Maka kita mesti masuk ke suatu prinsip lagi yaitu kalau kita mau kembangkan minat atau aktifitas selain kita harus konsultasikan, kita juga mesti mengece,k memantau dampaknya apakah ini nanti akan mengguncangkan kestabilan atau keseimbangan hidup kita. Segala sesuatu yang mengguncangkan kestabilan hidup kita, memang kita harus perhatikan baik-baik, mawas diri. Saya tidak berkata, "Kita harus selalu hidup dalam kestabilan, yang penting segala sesuatu yang akan bisa mengubah keseimbangan jangan diterima, itu salah juga. Kadang-kadang kita berdua juga harus menerima sebuah tantangan baru dalam hidup ini. Tapi penting sekali kita melihat apakah nanti akan berdampak pada relasi kita. Kalau akan mengguncangkan kestabilan maka kita harus berani mengorbankannya pula.
GS : Selain hal itu Pak Paul, dengan kita mengajak pasangan kita untuk memperbincangkan atau mendiskusikan tentang minat atau hobi baru ini, pasangan akan merasa dihormati atau merasa diperhatikan, kehadirannya dihargai, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Dan itu adalah hal yang penting bahwa misalkan si istri mau ikut kegiatan-kegiatan di luar sehingga akan mengambil waktu lebih banyak kemudian dia akan konsultasikan dengan uaminya, dia minta pendapat suaminya dan dibicarakan terlebih dahulu.

Ini sedikit banyak akan membuat suaminya merasa bahwa aku dihargai karena engkau memerlukan berbicara dahulu dengan aku. Dan apa yang dia katakan juga didengarkan oleh si istri, jangan sampai bertanya kemudian diberikan jawaban tapi tetap saja melakukan apa yang dia ingin lakukan. Pada akhirnya si suami akan berkata, "Lain kali tidak perlu tanya, sebab untuk apa bertanya karena engkau juga tidak akan mendengarkan apa yang aku katakan." Jadi memang penting kalau sudah diberikan tanggapan, kita juga mempertimbangkannya. Kita kadang-kadang Pak Gunawan tidak mau melewati prosedur seperti itu dan itu masalahnya, kita berkata, "Saya mau jalan cepat, jalan pintas, saya tidak mau bicara diskusi dan akhirnya juga tidak boleh atau bagaimana-bagaimana." Saya mau mengatakan ini Pak Gunawan, orang yang langsung ke jalan pintas pada akhirnya tidak bisa tidak akan memutuskan relasi. Akhirnya pasangan akan berkata, "Ya sudahlah apa pun yang ingin kamu kerjakan, kerjakanlah, saya tidak peduli dengan kamu. Kamu pun tidak akan mendengarkan apa yang aku katakan dan kamu tetap saja melakukan apa yang ingin engkau lakukan, kamu juga tidak pernah bertanya langsung dan engkau lakukan, buat apa bicara sekarang!" Itu yang akhirnya membelah relasi, maka saya mengerti kadang-kadang susah buat kita untuk bicara atau konsultasi tapi itulah jalannya, itulah tuntutan hidup bersama. Kalau kita berkata mau hidup bersama, tapi kita tidak mau mengikuti prosedur seperti itu maka dari awalnya jangan menikah, hidup sendiri saja. Tapi begitu kita mengikatkan diri pada suatu tali pernikahan, maka kita akan dan harus konsultasikan dengan pasangan kita.
GS : Tapi memang tanggapan itu harus betul-betul, kadang-kadang orang menanggapinya juga dengan seenaknya saja, hanya untuk memuaskan, "Ya tidak apa-apa itu baik" tapi akhirnya dia mengeluh. Kalau kita lihat dari sisi yang memberikan tanggapan, diharapkan yang memberikan tanggapan juga sungguh-sungguh memberikan tanggapannya.

PG : Sudah tentu betul, Pak Gunawan. Jadi memang kita juga jangan sembarangan bicara melarang tidak boleh harus ini, itu dan sebagainya tapi benar-benar kita mesti pikirkan untuk kepentingan paangan kita.

Jadi dari dua belah pihak memang harus saling menjaga, jangan ada yang menjadi tirani, semaunya saja berbuat sesuatu, tidak bisa berbuat seperti itu! Jadi perlu pikirkan masak-masak sebelum kita memberikan tanggapan.
GS : Sebenarnya lewat diskusi atau komunikasi seperti itu, keintiman itu juga terbentuk, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Karena tidak bisa tidak, apalagi kalau kita menemukan jembatan di antara kita berdua, itu akan sangat mengakrabkan kita nantinya, bukan saja kita merasa dihargai tapi juga akirnya kita merasa, "Iya, ternyata ada saling pengertian, kita bicaranya lebih mudah," dan ini seperti tabungan, Pak Gunawan.

Makin sering kita bisa menyatukan diri kita atau pendapat kita, di lain kesempatan kalau muncul hal serupa maka kita lebih bisa menyatukannya. Jadi jangan ambil langkah pintas yaitu yang penting lakukan saja semau kita, dan berkata, "Sudahlah, tidak perlulah nanti ribut, tidak perlu bicarakan," malas dan menghindari, itu pun akan memadamkan api keintiman. Kita akhirnya merasa ada gangguan. Waktu kita misalkan ingin pergi berdua dan sebagainya dan rasanya kita sudah enggan, tidak mau. Ini yang kita perlu mawas diri, kadang-kadang orang tidak mengerti, kenapa perasaan saya sudah mulai berubah, rasanya saya sudah tidak menikmati kehadirannya lagi. Padahalnya masalah itu sudah muncul dari hal-hal kecil yang dulu, kita sering menekan hati, hasrat kita, "Sudahlah tidak perlu bicara, untuk apa bicara hindarilah, saya tidak mau pusing." Tapi waktu kita menghindarinya kita benar-benar mulai memangkas api cinta dan api keintiman akhirnya kita petik hasilnya di kemudian hari, kita rasanya kering dan tidak lagi dekat dengan pasangan.
GS : Memang dalam kebersamaan ini, memang harus ada yang mengalah dan kita harus mau saling memberi dan saling menerima seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Jadi baik waktu maupun sikap kita butuh kefleksibelan tersendiri seperti itu.

PG : Betul.

GS : Pak Paul, apakah ada hal lain selain hobi dan minat yang makin berbeda tadi?

PG : Yang lain adalah, kita mesti menyadari bahwa pekerjaan yang kita lakukan itu akhirnya akan membentuk kita, itu yang seringkali membuat perubahan pada diri kita. Misalnya orang yang ekstrovrt dia sering tertawa, bergurau spontan dan kemudian dia menikah, setelah dia menikah apa boleh dikata pekerjaannya menuntut dia untuk lebih diam, lebih berpikir ke dalam masak-masak karena dia harus mengambil keputusan dengan kehati-hatian.

Hari lepas hari seperti itu, lima tahun kemudian yang terjadi adalah dia berubah, dia kehilangan sifat ekstrovertnya, dia tidak lagi spontan, dia tidak lagi penuh dengan api ceria dan sebagainya. Tiba-tiba dia menjadi orang yang tenang, diam, apa-apa dipikir sendiri tidak lagi suka bicara dan pasangannya, akhirnya merasa kamu berubah, dulu kamu spontan, seru bicara dengan kamu, enak, ceria dan sekarang tidak lagi, dulu sering ketawa, sekarang jarang ketawa, dulu sedikit-sedikit kamu cerita tapi sekarang kamu simpan semuanya. Perubahan ini akan menimbulkan dampak dalam pernikahan. Kebalikannya orang yang tadinya introvert, setelah menikah bekerja di sebuah tempat dimana dia harus mengambil keputusan, dia mula-mula tidak mau dan tidak bisa tapi terpaksa ambil keputusan dan dikondisikan lebih berinisiatif, lebih harus mengemukakan pendapatnya. Di rumah akhirnya juga terjadi perubahan, dulu si suami senang kepada si istri, penurut tidak banyak bicara, ikut saja tapi sekarang makin berani bicara, sekarang berani bicara ini dan itu, berinisiatif ini dan itu. Kadang-kadang malah menyuruh, kadang-kadang juga membantah sedangkan dulu tidak pernah. Suaminya bingung kenapa kamu berubah? Dianggapnya sekarang kamu kurang ajar, kamu tidak lagi respek terhadap aku dan sebagainya. Ternyata hal-hal ini sering terjadi dalam pernikahan, Pak Gunawan dan seringkali tidak bisa dihindari, karena apa? Karena pekerjaan, dunia kita yang berbeda akhirnya membentuk kita sehingga pasangan kita tidak lagi mengenali kita dan kita juga tidak lagi mengenali dia, sehingga ruang untuk berbagi bersama tiba-tiba makin hari makin sempit.
GS : Karena itu ada baiknya dan bahkan mungkin perlu untuk pasangan kita tahu apa yang kita kerjakan sehari-hari, karena jam kerja kita cukup lama apalagi bekerjanya di luar rumah sehingga kalau terjadi perubahan, pasangan kita juga mengerti, ini kira-kira karena pekerjaannya dan sebagainya.

PG : Betul. Jadi perlu orang yang lebih banyak mengalami perubahan itu mengkomunikasikannya kepada pasangan dan pasangan juga mau mengerti, sering-sering mengungkapkan tanggapan, "Kamu sekarangberubah, kamu dulu suka begini tapi sekarang tidak lagi suka begini," silakan berikan pantulan-pantulan seperti itu namun bukan dengan tujuan atau nada menghakimi, "Kamu berarti sudah tidak lagi cinta kepada saya, kamu sekarang jadinya tidak menghargai saya," itu yang harus dihindari.

Jadi yang perlu dilakukan adalah memberikan tanggapan-tanggapan, "Kamu sekarang tidak lagi begini, kamu berubah seperti begini." Misalnya lagi contoh yang sering terjadi adalah seorang ibu yang biasanya bisa diajak bicara, nyambung dengan suaminya, pikirannya sangat rasional dan juga bisa diajak berpikir lebih filosofis, setelah punya anak, mengurus anak pagi sampai malam, setiap hari dan bertahun-tahun. Tiba-tiba hilang pola pikirnya yang filosofis yang bisa masuk ke alam-alam yang lebih samar, dia sudah tidak bisa lagi. Kenapa? Mengurus anak dari pagi sampai malam sampai bertahun-tahun, tidak bisa tidak, hidupnya menjadi pragmatis. Jadi waktu si suami mengajak dia ngobrol, bertukar pikiran, dia susah, dia lebih mau mendengar praktisnya apa. Dan waktu suaminya bicara, dia menjawab yang praktisnya, "Jadi sekarang kamu maunya apa," dan suaminya berkata, "Saya hanya mau bicara, saya hanya mau bagi-bagi sama kamu," dan istrinya akan berkata, "Tapi sekarang maunya kamu apa?" Tidak sama! Kenapa tidak sama? Karena yang satu sudah dilatih dikondisikan untuk sangat berpikir praktis. Ini yang sering terjadi, Pak Gunawan, akhirnya dunia kita itu makin terpaut dan terpaut.
GS : Bagaimana menghindarinya Pak Paul, karena anak ini juga sesuatu yang dinanti-nantikan di dalam keluarga. Dan sekarang kalau anak hadir lalu mereka menjadi asing satu dengan yang lain, ini adalah sesuatu yang tidak benar.

PG : Makanya tidak bisa tidak, kita harus menyisakan diri yang dulu itu Pak Gunawan, sebab bukankah pada awalnya pasangan kita tertarik kepada kita atas dasar diri yang dulu itu. Misalkan kita ang dulu itu enak bicara, karena bisa nyambung tapi sekarang praktisnya saja.

Seringkali kita mau bicara untuk berbagi perasaan, tapi tidak terlalu didengarkan oleh pasangan karena dia masih repot mengurusi anak, membuat susu dan sebagainya. Jadi kita merasa kenapa seperti ini? Yang mungkin sudah pasti adalah kita harus berikan tanggapan, "Saya mau bicara dengan kamu, kapan waktu yang tepat karena saya lihat kamu sedang sibuk sekarang." Misalkan dia berkata, "Baiklah nanti malam kita baru bicara," maka malam hari kita baru bicara sehingga bisa ditanggapi dengan lebih baik. Jadi kita bertanggung jawab untuk tetap menyisakan bagian diri kita yang lama itu karena itulah yang dikenal pasangan kita dan itu yang dia sukai juga. Contoh lain lagi, misalkan biasanya introvert sekarang lebih ekstrovert, lebih berani mengemukakan pendapat dan sebagainya, tidak apa-apa mengemukakan pendapat tapi juga diselingi dengan mengikuti pendapat pasangannya meskipun tidak terlalu setuju tapi jangan langsung, "Pokoknya kalau tidak setuju ya tidak setuju dan dia harus katakan tidak setuju," karena itulah yang dituntut di tempat pekerjaannya. Kalau di rumah tidak harus seperti itu, jadi memang kita harus menyisakan diri lama itu, begitu diri lama tidak lagi tersisa memang pasangan akan berkata, "Sekarang saya menikah dengan orang lain," dia tidak lagi mengenali diri kita.
GS : Dalam hal ini memang kadang-kadang kita sebagai yang bersangkutan agak sulit mengenali diri kita yang berubah pelan-pelan, perubahan itu tidak mendadak tapi berubah setahap demi setahap dan justru pasangan yang merasakan perubahan kita, diharapkan pasangan mau terbuka untuk memberi tahukan bahwa kamu ini secara perlahan-lahan sudah berubah dalam hal ini.

PG : Betul sekali. Ini saya alami dalam pernikahan saya dengan Santi, Santi seringkali memberikan saya tanggapan secara bergurau di depan anak-anak, "Eh Papa senyum," sebab saya jarang senyum. enapa saya jarang senyum? Karena memang pekerjaan saya, sebab saya harus mengkonseling orang dan sudah tentu kalau orang konseling dengan saya, saya tidak tersenyum terus menerus, orang juga akan bingung, "Saya sedang sedih tapi disenyumi terus."

Jadi saya harus bersama dengan orang kesusahan, penderitaan dan itulah pekerjaan saya. Orang yang konseling itu bukan karena ada berita baik, justru karena ada berita buruk. Tanpa saya sadari saya mulai berubah, tadinya saya memang orang yang spontan, sering tertawa dan sebagainya, aspek itu masih ada dalam diri saya tapi memang agak jarang keluar, kadang-kadang keluar. Sehingga kalau sedang keluar, istri saya menanggapi, "Aduh senang lihat Papa senang senyum seperti ini dan sebagainya." Saya bersyukur dengan istri saya yang memberitahukan saya dengan cara yang halus, dia tidak mempermasalahkannya tapi waktu saya memunculkan diri saya yang lama, justru itulah yang dia tangkap dan dia puji, tapi sekaligus memberikan saya suatu peringatan, "Iya ya, jarang saya tersenyum, bergurau dan sebagainya di rumah." Hal-hal seperti itu yang mesti dilakukan oleh pasangan supaya kita jangan terlalu defensif, di pihak lain saya juga harus memberitahukan istri saya, saya katakan kepada dia, "Memang inilah bentukan dari pekerjaan saya sehingga akhirnya saya menjadi lebih serius dan lebih banyak berpikir dan sebagainya," bukan hanya istri saya tapi teman-teman lama saya yang sudah tidak bertemu dengan saya puluhan tahun juga memberikan saya tanggapan "Kamu sekarang lebih serius, dulu tidak seperti ini." Jadi memang akhirnya saya harus akui bahwa saya yang telah berubah, saya mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan itu kepada istri saya kenapa saya mulai berubah, tapi sekaligus saya juga mesti menyisakan yang lama itu, saya mesti pertahankan.
GS : Dan di satu sisi itu kadang kita sebagai pihak pasangan melihat pasangan berubah, justru kita yang harus menyesuaikan diri. Kita harus menerima dia berubah karena kehadiran anak atau pekerjaannya dan kita juga harus ikut berubah.

PG : Ini penting sekali, Pak Gunawan. kita tidak hanya menuntut, "Yang penting kamu harus seperti dulu," tidak! Memang hidup harus berubah. Kita juga harus menyesuaikan diri dengan perubahan yng terjadi dengan pasangan kita, betul sekali, Pak Gunawan.

Jadi misalkan istri kita makin hari makin praktis, karena bergaul dengan anak terus-menerus dan kadang-kadang bicaranya kepada kita juga sama saat bicara dengan anak, ini harus dimaklumi karena dia terbiasa bicara dengan anak. Kalau bicara dengan anak biasanya dari atas ke bawah, kalau bicara dengan kita kadang-kadang dia lupa atas ke bawah juga, jangan marah, jangan langsung defensif dan sebagainya dan kita katakan baik-baik, beritahukan dia. Tapi juga tidak selalu kita harus menentukan, yang penting istri kalau bicara dengan kita harus hormat dan sebagainya, tidak! Kita harus maklumi karena kadang-kadang dia bisa lupa, dia terbiasa bicara dengan anak, dia baru saja menyuruh anak mandi sikat gigi dan sebagainya kemudian bicara dengan kita. Untuk dia mengubah nada bicara secara drastis juga tidak mudah, jadi masih dari atas ke bawah misalnya dia berkata, "Coba sikat gigi sekarang, jangan lama-lama lagi," kemudian tanya kepada kita, "Kamu bagaimana besok" langsung seperti itu. Kita harus maklumi tidak selalu berhasil. Jadi kita ini mesti berubah, kita mesti beritahukan pasangan dan hal itu benar, tapi kita juga mesti fleksibel.
GS : Jadi untuk menjaga kebersamaan, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari kedua belah pihak dan tidak bisa hanya sepihak saja.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang mendukung pembicaraan kita ini?

PG : Saya akan bacakan Filipi 2:2&3, "Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri." Ini sudah tentu sesuatu yang kita inginan, kita sehati sepikir dalam satu tujuan.

Bagaimana caranya untuk kita tegakkan dalam keluarga dalam pernikahan kita? Saya kira Rasul Paulus sudah memberikan resepnya dengan tidak mencari kepentingan diri sendiri, waktu kita tidak mencari kepentingan diri sendiri, waktu kita tidak berkata, "Sayalah yang harus dimenangkan, diberikan, dipuaskan," tidak lagi mencari kepentingan sendiri, maka akhirnya akan terbangun sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tidak Lagi Menyatu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



64. Jangan Mengabaikan Kasih


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T244B (File MP3 T244B)


Abstrak:

Kasih tidak selalu hidup. Sama seperti tumbuhan, kasih pun perlu siraman dan pupuk secara teratur sebab tanpa itu, pada akhirnya kasih menjadi monumen peringatan belaka - bahwa si suatu waktu dulu, kita pernah mengasihinya. Sayangnya, kendati kita telah mengetahui semua ini, kerap kita melalaikannya. Mengapakah kita cenderung melalaikannya?


Ringkasan:

Kasih tidak selalu hidup. Sama seperti tumbuhan, kasih pun perlu siraman dan pupuk secara teratur sebab tanpa itu, pada akhirnya kasih menjadi monumen peringatan belaka - bahwa si suatu waktu dulu, kita pernah mengasihinya. Sayangnya, kendati kita telah mengetahui semua ini, kerap kita melalaikannya. Mengapakah kita cenderung melalaikannya?

• Kita beranggapan sudah seharusnya ia mengerti bahwa kita sibuk dan tidak bisa lagi memberi perhatian itu kepadanya. Kita berkata bahwa terpentng adalah ia tahu kita tetap mengasihinya. Masalahnya adalah kita harus menunjukkan kasih dalam bentuk waktu dan perhatian sebab tanpa itu, kasih tak dapat dirasakan secara konkret.

• Kita beranggapan bahwa setelah manikah kasih itu tidak lagi harus diperlihatkan apalagi diperjuangkan. Kita berasumsi, sekali roda kasih berputar maka selamanya ia akan berputar. Pemahaman ini keliru sebab pada kenyataanya kebutuhan kasih tidak terpenuhi sekali untuk selamanya. Sama seperti kebutuhan lainnya seperti makan dan minum, kita pun terus membutuhkan kasih sepanjang hidup. Jadi, kasih harus dikonkretkan dalam tindakan nyata dan terus disampaikan hari lepas hari.

• Kita beranggapan bahwa setelah mempunyai anak, fokus perhatian kita seyogianyalah beralih kepada anak. Jadi, anaklah yang seharusnya menjadi sasaran kasih, bukan lagi pasangan. kita pun menuntut pasangan untuk tidak lagi mengharapkan pemenuhan kasih sebab bukankah sekarang kita berdua seharusnya memberi perhatian penuh hanya kepada anak? Pandangan ini keliru sebab kasih kepada anak tidak boleh menggantikan kasih kepada pasangan. kendati pembagian waktu akan berkurang namun intensitas atau kualitas mestilah sama, kalau bukan malah bertambah. Jadi, tetap sediakan waktu bersama dan sewaktu bersamanya, berilah diri yang terbaik dan perhatian tak terbagi.

• Kita beranggapan bahwa kasih paling suci adalah kasih kepada Tuhan, jadi, sudah seharunyalah kita makin mengasihi Tuhan dan tidak lagi menitikberatkan kasih di antara kita. Kadang kita berpikir bahwa kita tidak boleh mengasihi pasangan sebesar dulu oleh karena itu sama dengan memberhalakan pasangan. pemikiran ini keliru sebab Allah justru bersukacita melihat kita saling mengasihi. Yang dikehendaki Allah supaya kita tetap mengutamakan-NYa dan bersyukur atas kasih yang dapat kita cicipi bersama.

Firman Tuhan :

"Orang yang menabur sedikit akan menuai sedikit juga dan orang yang menabur banyak akan menuai banyak juga." (Korintus 9:6)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Jangan Mengabaikan Kasih". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Khususnya kasih di dalam hidup pernikahan, pada awalnya kelihatan berkobar-kobar, indah dan sebagainya tapi makin lama kasih itu makin meredup, Pak Paul, dan ini bagaimana?

PG : Sebagaimana telah kita bahas pada pertemuan yang lampau, Pak Gunawan, memang yang namanya keintiman, kasih dan sebagainya itu harus dipertahankan dengan perencanaan, dengan sebuah usaha yag terencana, tidak bisa kita beranggapan pokoknya asal jalan.

Makanya pada pertemuan yang lampau kita juga membicarakan betapa pentingnya kita merencanakan aktifitas bersama supaya bisa tetap melakukan sesuatu secara bersama-sama. Pada saat ini kita juga mau mengangkat topik tentang kasih yang akhirnya bisa pudar, sudah tentu pembunuh kasih yang paling ampuh adalah konflik dan konflik itu sebetulnya juga munculnya di ladang subur maka yang kita harus hindari nantinya adalah ladang subur munculnya konflik itu. Segala perbedaan berpotensi menimbulkan konflik dan kita mengerti itu tapi kalau tidak ada ladang suburnya maka konflik tidak mudah muncul. Ladang subur yang kita mau perhatikan di sini sekarang adalah hal-hal yang lebih praktis, Pak Gunawan, supaya tetap bisa membarakan atau menghidupkan kasih sayang di antara kita, ini yang nanti kita mau fokuskan.
GS : Apa sebabnya kita makin lama makin mengabaikan kasih, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah kita beranggapan bahwa kamu seharusnya mengerti saya sibuk makanya tidak ada waktu lagi untuk memberikan perhatian kepadamu, untuk pergi bersamamu dan sebagainya. Kita emang harus berharap pasangan bisa mengerti dan kita harus menjelaskannya kepada pasangan dan tidak apa-apa, tapi kita tidak boleh terus-menerus berasumsi bahwa pasangan seharusnya mengerti karena apa pun atau bagaimana pun sibuknya kita, tetap kasih itu harus dibangun di atas waktu.

Kasih tidak bisa dibangun di atas kevakuman, tidak pernah interaksi dan tidak ada waktu yang kita berikan kepada pasangan, kasih juga dibangun di atas tindakan-tindakan konkret misalnya memeluknya, menciumnya, tindakan misalnya tidak langsung memarahinya meskipun jengkel, tindakan yang tidak mengatakan hal-hal yang kasar, tindakan mau memeluknya sewaktu dia sedang bersedih, tindakan untuk mengalah tidak jadi pergi karena dia butuh kita di rumah. Jadi itu semua adalah tindakan-tindakan konkret yang mesti kita lakukan, kita tidak boleh berasumsi saya tidak perlu lakukan semua itu, kamu sudah tahu kalau saya mengasihimu maka kamu jangan lagi minta apa-apa. Tidak bisa! Kalau cinta yang diperlakukan seperti itu maka tinggal tunggu waktu akan mati.
GS : Memang kita mengharapkan pasangan langsung mengerti, tapi kalau pun dia mengerti Pak Paul, mengertinya dia dan mengertinya kita beda juga, Pak Paul.

PG : Betul sekali, karena dia mempunyai harapan-harapan, apa yang sebetulnya itu menunjukkan kasih sayang kepadanya. Jadi yang dia harapkan itulah yang seyogianya kita tunjukkan kepada dia dan atu hal lagi yang kita perlu ingat adalah pengertian ada batas waktunya, orang tidak bisa mengerti terus- menerus.

Jadi yang saya mau katakan adalah pernikahan tidak didirikan di atas pengertian bahwa dia begitu maka tidak apa-apa, dia sudah mengerti. Tidak hanya oleh itu, tapi oleh tindakan-tindakan nyata tadi yang menunjukkan tanda-tanda sayang, saya mau ingatkan tidak bisa berharap atau menuntut tapi yang penting kamu harus mengerti saya bahwa saya sudah mengasihimu dan stop di situ, titik, kamu tidak boleh lagi minta apa-apa, tidak bisa cinta harus diwujudkan secara nyata. Kalau kita masih belum mengerti konsep ini juga, coba saya berikan contoh yang lebih konkret dalam hal pekerjaan. Dalam hal kita bekerja bukankah kita tidak akan bisa menerima bawahan kita yang berkata, "Saya sebetulnya hormat kepada bapak dan cinta dan loyal kepada perusahaan ini" tapi dalam seminggu hanya masuk dua hari dan hari-hari yang lain bolos dan kalau pun mengerjakan tugas dia juga akhirnya tidak mengerjakan dengan baik. Apa yang akan kita katakan kepada bawahan kita "Kamu memang tidak melakukan tugas dengan baik dan apa yang kamu katakan tidak didukung oleh bukti-bukti nyata." Bukankah kita akan berkata begitu kepada bawahan kita di tempat pekerjaan. Jadi dalam berumah tangga pun pasangan bisa mengatakan hal yang sama, tidak bisa saya hanya mendengar kamu mencintai saya sepuluh tahun yang lalu dan saya tidak melihat buktinya lagi sekarang.
GS : Justru kasih itu harus kita buktikan lewat perbuatan yang tadi Pak Paul katakan, yang kadang-kadang buat pasangan bisa dimengerti tapi pada saat yang lain dia punya pengertian yang berbeda lagi, Pak Paul.

PG : Betul, jadi memang dengan kata lain perlu dan selalu penyesuaian-penyesuaian, komunikasi menjelaskan apa yang diharapkan dan masing-masing pihak mencoba mendengarkannya serta mencoba untukmeluruskannya.

Kalau kita belum apa-apa sudah defensif, tidak mau mendengarkan, yang penting, "saya sudah melakukan ini dan sudah cukup, kamu tidak boleh lagi mengkritik atau meminta apapun dari saya" maka putuslah komunikasi dan akhirnya putuslah relasi.
GS : Jadi sebenarnya ini membutuhkan suatu perjuangan yang tidak ada habisnya untuk bisa mewujudkan kasih yang benar, Pak Paul?

PG : Jadi orang yang langsung duduk tenang dan berkata, "Saya tidak mau lagi berbuat apa-apa, seharusnyalah kamu mengerti saya mengasihi kamu," dia sedang membunuh pernikahannya itu sendiri.

GS : Jadi pokok berikutnya apa lagi, Pak Paul, yang disampaikan lewat ini?

PG : Yang berikut adalah seringkali kita beranggapan bahwa setelah menikah memang kasih tidak lagi harus diperlihatkan, apalagi diperjuangkan. Kita berasumsi, sekali roda kasih berputar maka seamanya dia akan berputar, pemahaman ini keliru sebab pada kenyataannya kebutuhan kasih tidak terpenuhi sekali untuk selamanya, sama seperti kebutuhan lainnya seperti makan minum, kita pun membutuhkan kasih sepanjang hidup.

Jadi kasih harus dikonkretkan dan disampaikan hari lepas hari, tidak ada batas waktunya. Tidak bisa kita berkata, "Sudah sekali saya tunjukkan maka sudah cukup" tidak bisa! Kebutuhan-kebutuhan yang lain pun perlu. Misalkan kebutuhan untuk dihargai atau dihormati, orang tidak bisa berkata, "Saya menghargai kamu sepuluh tahun yang lalu," kemudian kita bicara dengan dia kasar, seenaknya, itu tidak bisa. Kita itu tetap, sampai hari ini pun tetap membutuhkan dihargai atau dihormati.
GS : Jadi kalau pun kita mau tetap pasangan kita merasakan kasih atau merasakan dihargai, pada saat kapan pun kita juga harus menunjukkan kasih itu dengan tindakan yang nyata, Pak Paul.

PG : Sudah tentu ini tidak menjadi beban dan kita tidak harus menjadi budak melakukan yang semua pasangan minta, sudah tentu ada tempat untuk berdialog untuk saling mencocokkan apa yang diharapan dari masing-masing dan kita coba konsisten melakukannya, apa yang kita tahu atau inginkan itu yang coba kita lakukan.

Apa yang kita tahu membahagiakan hatinya, itulah yang juga kita lakukan atau kita katakan. Relasi dibangun di atas hal-hal kecil seperti ini.
GS : Apakah karena pasangan kita mempunyai kebutuhan yang makin lama makin banyak, baik tentang kasih maupun tentang penghormatan dan sebagainya itu Pak Paul?

PG : Pada umumnya Pak Gunawan, kita tidak lagi membutuhkan hal-hal sebanyak itu sewaktu kita telah mendapatkannya dengan cukup. Jadi seyogianya makin cukup kita menerima, makin kendor tuntutan ita, ada kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan kita membutuhkannya lebih besar, contoh misalnya kita kehilangan pekerjaan, tiba-tiba kita menjadi orang yang tidak ada gunanya lagi.

Dalam masa kita tidak ada pekerjaan merasa diri tidak berguna lagi, tiba-tiba kebutuhan kita untuk disayangi menjadi lebih kuat, karena apa? Karena kita merasa di luar sana tidak lagi menyayangi kita, orang dengan gampang bahkan mudah menyisihkan kita atau membuang kita, maka kebutuhan untuk dikasihi bisa menjadi lebih kuat. Atau kita mengalami menopause atau mati haid pada usia-usia paro baya, biasanya secara berkala emosi bisa turun naik dan tiba-tiba kebutuhan dikasihi makin menjadi sangat kuat sekali pada saat-saat itu. Jadi itulah yang memang terjadi kalau ada situasi khusus, namun di luar situasi khusus ini pada umumnya kalau kita dicukupkan dengan baik, maka pada akhirnya kita tidak lagi terlalu menuntut banyak.
GS : Juga pada waktu kita sakit, sebetulnya kita membutuhkan kasih yang lebih besar dari pasangan kita.

PG : Betul sekali. Kita butuh perhatiannya dalam bentuk dia membawakan makanan, duduk bersama kita mendengarkan musik bersama. Hal-hal kecil seperti itu yang menyatakan bahwa kita mengasihinya.

GS : Dan kalau kebutuhan itu bisa dipenuhi, itu sebenarnya memberikan kesan yang jauh lebih kuat dari pada kalau kita tidak ada apa-apa, lalu dia memperagakan kasihnya seperti itu, Pak Paul.

PG : Itu point yang betul sekali, Pak Gunawan. Jadi sedapatnyalah kita memang juga pandai-pandai menggunakan kesempatan yang memang tersedia, kalau dia dalam kondisi yang rasanya butuh untuk diasihi, justru disitulah kita tunjukkan kasih, sebab itu sebuah tabungan yang luar biasa besarnya, nanti di masa-masa mendatang walaupun dia merasa kita agak sibuk dan kita memberikan perhatian kepadanya tapi dia bisa ingat, dulu waktu dia sedang sakit kamu begitu baik kepadaku.

Itu menjadi tabungan dia yang mengingatkan bahwa pasangan saya sering sekali memberikan kasih sayangnya kepada saya dan itu menenangkan hatinya lagi.
GS : Apakah ada hal lain lagi yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yang berikut adalah kita beranggapan atau sering beranggapan bahwa setelah mempunyai anak maka fokus perhatian kita seyogianyalah beralih kepada anak, ini bisa terjadi baik kepada ibu mauun bapak, Pak Gunawan dan tidak harus selalu ibu.

Jadi kita beranggapan bahwa anaklah yang sekarang seharusnya menjadi sasaran kasih bukan lagi pasangan, kita pun menuntut pasangan untuk tidak lagi mengharapan pemenuhan kasih sebab bagi kita bukankah sekarang kita berdua seharusnya memberikan perhatian penuh hanya kepada anak. Pandangan ini keliru sebab kasih kepada anak tidak boleh menggantikan kasih kepada pasangan dan sebaliknya justru seharusnya kasih kepada anak malah menambah kasih kepada pasangan. jadi kendati pembagian waktu akan berkurang namun intensitas atau kwalitas mestilah sama atau malah bertambah. Jadi tetap sediakanlah waktu bersama dan sewaktu bersamanya, berilah diri yang terbaik dan perhatian yang tidak terbagi.
GS : Maksudnya kalau anak sudah hadir di tengah-tengah kita, sebenarnya hubungan kasih antara suami istri ini justru harus lebih rekat lagi, Pak Paul.

PG : Seyogianya begitu, Pak Gunawan. Misalnya hal yang sederhana saja, kita bisa menunjukkan kasih dengan memujinya, "Engkau begitu memperhatikan anak-anak," dan kita berkata, "Terima kasih engau telah menjadi Papa yang baik, engkau telah menjadi Mama yang baik, engkau mengorbankan diri, meskipun engkau letih, engkau antar anak untuk les, atau meskipun engkau lelah tapi engkau tetap masak untuk anak-anak dan kami semua."

Jadi justru kehadiran anak bisa malah menambah ikatan kasih di antara kita.
GS : Tapi yang seringkali terlihat, kehadiran anak justru merenggangkan pasangan karena si istri atau ibu mencurahkan perhatian penuh kepada anak, apalagi kalau anak masih kecil sekali, Pak Paul.

PG : Ini memang bisa ada kesalahpahaman konsep sehingga ada yang beranggapan bahwa setelah anak lahir sepenuhnyalah saya harus memberikan perhatian kepada anak. Bukankah anak juga memang membuthkan, karena anak tidak bisa berjalan sendiri, mengurus sendiri dan sebagainya dan itu bisa terjadi seperti yang saya gambarkan, tapi kadang-kadang ini juga yang terjadi, Pak Gunawan.

Memang relasi itu sudah mulai renggang dan justru anak digunakan sebagai dalih. Jadi dengan dia mencurahkan perhatian kepada si anak, pasangannya tidak bisa menuntut, "Ini adalah hal yang memang seharusnya saya lakukan, saya ini mengurus anakmu. Jadi engkau tidak boleh lagi menuntut dariku." Jadi anak dipakai alasan dan yang sebenarnya terjadi adalah dia memang tidak terlalu mau lagi berdekatan dengan pasangannya. Tapi kadang-kadang ada satu lagi, Pak Gunawan yang membuat kita akhirnya malah beralih memusatkan semua perhatian kepada anak, sebab adakalanya kita harus akui mencintai anak itu lebih memberikan imbalan daripada mencintai pasangan, kalau kita mencintai anak dia bisa tertawa dan bermain, dia peluk kita dan sebagainya, tapi pasangan tidak seperti itu. Maka ini sebetulnya sebuah pelajaran buat kita yaitu seharusnyalah kita juga memberikan tanggapan sewaktu pasangan menunjukkan kasihnya kepada kita sehingga dia makin hari makin senang memberikan kasih dan perhatian kepada kita sebab dia mendapatkan imbalannya juga dari kita.
GS : Bagaimana Pak Paul dengan pasangan suami istri yang masih muda dan baru dikaruniai anak yang masih kecil, supaya mereka bisa merasakan bahwa sebenarnya dengan kehadiran anak ini hubungan mereka makin menjauh, bagaimana menyadarkan atau membuat mereka itu sadar, Pak Paul?

PG : Biasanya akan ada seseorang diantara kedua orang itu yang merasakannya dan yang merasakannya memang harus memunculkannya. Dan yang sering terjadi adalah setelah dimunculkan, yang satunya idak merasa seperti itu, "Tidak, biasa-biasa saja, semua baik-baik saja," dan yang memang merasakan dan membutuhkan harus berkata dengan jelas, "Baiklah kamu tidak membutuhkannya, kamu tidak merasakannya, tidak apa-apa, tapi saya membutuhkannya dan saya merasakannya.

Bisa tidak kita coba lakukan sesuatu." Dari pada kita menyalahkan pasangan, "Kamu sekarang memang tidak lagi peduli dengan kami di rumah dan sebagainya," dia marah dan tersinggung, defensif. Jadi jangan menyalahkan, tapi justru letakkan permasalahan pada diri kita, jadi seakan-akan kitalah yang memang bermasalah dan kitalah yang butuh waktu itu, walaupun sebetulnya itu untuk kebutuhan berdua, tidak apa-apa kita mengalah, jadi kita ungkapkan dari sudut kita bahwa memang kita yang butuh. Bagaimana kita merencanakan hal-hal yang kita lakukan bersama atau kita bagi waktu bersama mari kita rencanakan hal ini.
GS : Tapi memang harus ada kebutuhan itu, kalau dua-dua merasa tidak butuh maka makin lama makin jarang mereka bertemu, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Dan seringkali waktu dua-dua itu sudah terlalu terpaut terpisah, dua-dua sudah mempunyai dunia tersendiri. Mereka menjadi orang yang mudah sekali terikat oleh orang lain. Jad ini adalah ladang subur terjadinya perselingkuhan karena dalam kesendirian dunianya yang terpisah itu dia akhirnya mudah sekali akhirnya jatuh ke tangan orang yang memberikan perhatian itu kepadanya.

Meskipun awalnya dia tidak menyadari dia butuh itu tapi waktu dia menyadari kalau dia itu mudah tertarik, dia rasanya membutuhkan sapaannya, perhatiannya dari orang ini maka seharusnyalah dia membangunkan diri dan berkata, "Saya ini mesti bereskan pernikahan saya, saya begitu rentan, kenapa saya begitu butuh masukan dari dia, berarti saya harus kembali bicara dengan pasangan dan mengoreksi kondisi itu."
GS : Seringkali juga terjadi bahwa pelayanan atau kegiatan di gereja, atau apapun itu dipakai sebagai alasan bahwa mereka itu jarang bertemu atau jarang bisa pergi berduaan. Apakah hal itu benar?

PG : Sudah tentu tidak benar. Sudah tentu ada waktu melayani Tuhan, itu sudah benar tapi jangan sampai waktu-waktu itu menyita relasi kita atau waktu untuk kita bisa membangun relasi berdua. Jai jangan beranggapan bahwa yang paling penting adalah kita mengasihi Tuhan, kasih yang paling baik adalah kasih kepada Tuhan.

Maka kita tidak lagi menitikberatkan kasih di antara kita atau ada yang berpikir kita tidak boleh mengasihi pasangan lebih besar dari pada mengasihi Tuhan. Sudah tentu tidak boleh dan itu betul, tapi maksudnya adalah Tuhan tidak mau memberhalakan manusia dan menomor duakan Tuhan itu yang tidak boleh, tapi mengasihi pasangan adalah kewajiban kita makanya Tuhan pun memerintahkan suami untuk mengasihi istri. Jadi Tuhan justru senang kalau melihat kita harmonis, jadi jangan merasa bersalah kalau kita mengasihi pasangan kita, bukannya kita harus kurangi kasih kepada pasangan tapi kasih kepada Tuhan yang harus kita tambah, kasih kepada pasangan seharusnya juga kita tambah, namun komitmen kepada Tuhan itu pun juga kita tambahkan.
GS : Ya, jadi di sini selain membagi waktu, pengertian atau konsep yang tadi Pak Paul juga sampaikan bahwa kita tetap mengasihi Tuhan bahkan ditambah dan juga mengasihi pasangan pun juga ditambahkan dan kedua-duanya membutuhkan sebuah kegiatan yang nyata dari kita, bagaimana kita bisa mengasihi pasangan dan Tuhan dengan lebih baik, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi memang akan ada hal-hal yang kita lakukan untuk Tuhan tapi sekali lagi perlu kesiapan dari pihak keluarga. Seringkali saya menggunakan konsep pengutusan, kalau kita hendk melayani Tuhan kita sepertinya diutus oleh keluarga untuk melayani Tuhan berarti keluarga mesti siap mengutus kita pergi untuk melayani Tuhan.

Jadi kalau pernikahan kita memang kurang begitu harmonis, sudah tentu waktu yang kita ambil dari keluarga untuk pelayanan, itu nantinya akan mengganggu, meresahkan keluarga, jadi mesti ada kesiapan itu. Namun setelah ada kesiapan, silakan lakukan asal juga tidak sampai menyita waktu dengan keluarga.
GS : Biasanya kalau orang beralasan bahwa dia meluangkan banyak waktu untuk melayani Tuhan dan sebagainya, lalu pasangan yang satunya tidak berani mempersoalkan lagi, karena itu urusannya dengan Tuhan, tapi dia diam-diam memendam perasaan bahwa dia juga butuh diperhatikan.

PG : Dalam kasus seperti itu saya anjurkan dia datang kepada pasangannya dan berkata, "Saya senang kalau kamu terlibat dalam pelayanan dan melayani Tuhan, saya bangga dengan apa yang kamu lakukn dan kamu pun mencoba berusaha hidup berkenan kepada Tuhan dan itu semua saya senangi, tapi boleh tidak kamu juga tambahkan waktu untuk kami sebab hari ini kamu begini, hari itu kamu begini."

Jadi kita secara konkret dan paparkan jadwal pasangan kita dan kita tunjukkan kepadanya bahwa pada akhirnya yang tersisa untuk kami di rumah hanya ini, waktu dia melihat kemungkinan besar dia lebih disadarkan, "Iya, ya ternyata saya lebih banyak di luar dari pada di dalam." Kalau kita sudah sadari itu berarti kita memang harus mulai memangkas kegiatan-kegiatan kita.
GS : Tapi jangankan untuk memangkas, biasanya membuat orang marah karena merasa ditunjuki begitu banyak hal dimana dia memperhitungkan itu semua, padahal dulu dia setuju kita melayani dalam bidang ini.

PG : Itu sebabnya di awal pertanyaan kita harus mengkomunikasikan betapa senangnya kita melihat dia terlibat dalam pelayanan. Jadi kita mau tetap mendukungnya, kita tidak mau justru akhirnya di mundur dari semua.

Kita katakan kepadanya, "Saya tetap mau melihat kamu melayani Tuhan, tapi bisakah kalau kamu kurangi satu saja, saya tidak mau kamu memangkas semuanya. Hanya satu saja, supaya nanti ada waktu yang bisa digunakan untuk melakukan hal lain."
GS : Seandainya pasangan itu bisa ikut bergabung dalam pelayanan pasangan yang satunya, baik suami maupun istrinya, itu merupakan salah satu pemecahan juga Pak Paul. Tapi tidak semua bidang pelayanan bisa dilakukan seperti itu.

PG : Betul sekali, idealnya memang berdua bisa pergi bersama melayani tapi memang tidak ideal kadang-kadang yang satu harus di rumah, harus mengurus anak dan sebagainya. Jadi yang satunya yang ergi sendiri, yang pergi sendiri haruslah sering-sering mengungkapkan betapa berterimakasihnya dia "Karena engkau bersedia diam di rumah menjaga anak-anak maka saya bisa keluar melayani."

Jadi didalam kebersamaan itulah mereka melayani Tuhan sehingga yang diam di rumah tidak merasa, "Kamu seenaknya, tidak menghargai saya." Tapi waktu misalnya suami pulang, suaminya berkata "Saya menghargai, saya berterima kasih karena kamu bersedia mengurus anak-anak di rumah dengan begitu baik, saya bisa melayani Tuhan," si istri akhirnya merasa saya bagian dari team, saya bukanlah orang yang ditinggalkan di rumah, saya bagian dari team, dari sebuah kesatuan sebuah team kerja sehingga suami saya bisa pergi melayani Tuhan. Jadi hal kecil seperti itulah yang kita mesti komunikasikan kepada pasangan.
GS : Memang kadang-kadang pihak yang ditinggalkan di rumah kalau ada kesibukan tertentu misalkan tadi mengurus anak atau sibuk dengan menyediakan makanan buat keluarga, agak terhibur intinya tidak terlalu mempersoalkan pasangannya pergi. Dan sebaliknya kalau si suami sibuk dengan pekerjaannya lalu istri sibuk dengan pelayanannya, maka kebutuhan untuk bersama-sama itu tidak terlalu terasa, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi kalau ada kesibukan tersendiri itu juga akan menolong akhirnya tuntutan itu akan lebih melemah, itu sudah tentu baik, ada baiknya juga. Namun sekali lagi segala sesuatu itu dalm keseimbangan, jangan sampai juga kita masing-masing akhirnya tenggelam dalam kesibukan dan tidak lagi membutuhkan satu sama lain, itu dalam kondisi bahaya sekali.

Jadi memang mesti ada kesadaran bahwa kita mau prioritaskan relasi ini, sesuatu harus dilakukan untuk kembali memberikan percikan kepada relasi cinta kita ini.
GS : Khawatirnya kesadaran itu datangnya sudah terlambat, jadi masing-masing sudah tenggelam begitu jauh dalam kesibukannya baru disadari bahwa sebenarnya hubungan mereka sudah tidak harmonis lagi.

PG : Betul sekali. Jadi keharmonisan didahului oleh ketiadaan perasaan, Pak Gunawan. Waktu tidak lagi membagi hidup, tidak lagi membagi komunikasi, tidak lagi banyak yang bisa dibicarakan tiba-iba tidak ada lagi perasaan kasih dan intim, itu adalah ladang subur munculnya konflik di kemudian hari.

Belum lagi ladang subur masuknya nanti orang ketiga di dalam kehidupan kita.
GS : Dan kalau sudah seperti itu, biasanya mereka saling menyalahkan.

PG : Betul. Jadi dua-duanya mesti peka melihat dan mengakui bahwa ada yang tidak benar dan membicarakannya.

GS : Satu-satunya bisa kita lihat lewat sesuatu yang nyata dan berapa jam jumlah waktu yang di luar rumah dan berapa waktu di dalam rumah serta apa yang kita kerjakan pada waktu di rumah. Kalau di rumah pun kita tenggelam lagi dalam pekerjaan kita, itu juga tidak ada gunanya, Pak Paul.

PG : Betul, jadi saya belum lama ini berbicara dengan seorang hamba Tuhan yang memberikan saya prinsip yang bagus sekali. Dia berkata di dalam satu hari itu ada 3 penggalan waktu yaitu pagi, sang dan malam, kita hanya bisa menggunakan maksimal 2 dari 3, tidak boleh menggunakan ketiga nya untuk pekerjaan kita.

Jadi pagi siang bekerja dan malamnya di rumah jadi tidak boleh ketiganya di pakai.
GS : Untuk mengakhiri perbincangan ini, apakah Pak Paul ingin menyampaikan Firman Tuhan?

PG : Saya akan bacakan dari II Korintus 9:6, "Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga." Ini prinsip yang benar-benar kita liat di dalam pernikahan, orang yang menabur cinta, mengutamakan, mengkonkretkan tindakan cintanya akan menuai banyak cinta.

Orang yang tidak mau menabur, "yang penting harusnya kamu sudah mengerti, aku tidak harus lagi memberikan", dia menabur sedikit maka dia akan menuai sedikit. Jadi memang semua tergantung dari kita, seberapa banyak yang kita ingin tabur.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Jangan Mengabaikan Kasih". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



65. Kudus dan Setia


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T246A (File MP3 T246A)


Abstrak:

Ada pelbagai cara untuk melihat kekudusan karena memang kekudusan mencakup beberapa aspek namun salah satu aspek dari kekudusan adalah kesetiaan. Disini akan dibahas tentang kesetiaan pada pasangan nikah. Kemudian akan dibahas makna kesetiaan dan tantangannya, diakhiri dengan cara untuk menumbuhkannya


Ringkasan:

Tema utama Kitab Imamat adalah kekudusan. Sewaktu Tuhan mengikat perjanjian dengan umat Israel, Tuhan meminta mereka untuk hidup kudus-hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan berbeda dari gaya hidup yang dianut oleh masyarakat sekitarnya. "Maka kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu sebab Akulah Tuhan, Allahmu. Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah Tuhan yang menguduskan kamu. " (Imamat 20:7-8) Kepada kita umat yang telah ditebus-Nya, Tuhan menuntut hal yang sama yakni hidup kudus-sesuai dengan kehendak-Nya dan berbeda dari orang di sekitar kita.

Ada pelbagai cara untuk melihat kekudusan karena memang kekudusan mencakup beberapa aspek namun salah satu aspek dari kekudusan adalah kesetiaan. Baik dalam relasi dengan Tuhan maupun dengan sesama, diperlukan kesetiaan. Dalam pembicaraan kali ini kita hanya akan memfokuskan pada kesetiaan pada pasangan nikah. Berikut akan dibahas makna kesetiaan dan tantangannya, diakhiri dengan cara untuk menumbuhkannya.

Makna Setia
Pada dasarnya setia berarti melakukan apa yang telah dijanjikan. Sudah tentu termaktub dalam perjanjian adalah melakukan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan atau diminta. Jadi, kalau kita berjanji melakukan sesuatu namun tidak melakukannya, itu berarti kita tidak setia. Di dalam bahasa Inggris, kata setia berasal dari kata iman. Saya kira batasan ini sungguh tepat merefleksikan apa yang terkandung di dalam kata setia. Kesetiaan tidak bisa dipisahkan dari hidup beriman yang berarti percaya dan tidak melepaskan kepercayaan kita.

Dari Firman Tuhan, kita bisa melihat bahwa ada tiga komponen dalam kesetiaan:

Tantangan
Pernikahan dibangun di atas janji yakni untuk menjadi seperti yang diharapkan pasangan. Dan, di dalam konteks kristiani, bukan saja kita berjanji menjadi seperti yang diharapkan pasangan namun menjadi seperti yang diharapkan Tuhan. Tantangan terbesar kesetiaan adalah hidup sekehendak kita, bukan sekehendak Tuhan atau pasangan. Salah satu hal terlupakan dalam pernikahan adalah bahwa sesungguhnya tatkala kita menikah kita berjanji untuk melakukan apa yang diharapkan pasangan. Sudah tentu tidak semua yang diharapkan dapat dan wajib dilakukan, namun pada dasarnya itulah jiwa pernikahan. Kesetiaan luntur tatkala kita tidak lagi mengindahkan apa yang dikehendaki Tuhan dan pasangan.

Kiat Menumbuhkan
Berdasarkan definisi dan cakupan kesetiaan sebagaimana telah dibahas, di bawah ini akan dipaparkan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menumbuhkan dan mengokohkan kesetiaan dalam pernikahan.


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kudus dan Setia". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, berbicara tentang kekudusan, sebenarnya masih banyak pemahaman-pamahaman yang sedikit simpang siur. Ada orang yang mengatakan kekudusan itu harus menyendiri, kekudusan itu harus tidak berdosa lagi dan ini sebenarnya apa, Pak Paul?

PG : Sebetulnya kata kudus itu sendiri berarti hidup berbeda. Jadi misalkan waktu Tuhan berkata di Imamat 20:7 dan 8, "Maka kamu harus menguduskan dirimu, kuduslah kamu, sebab Akulah TUHAN, Allhmu.

Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah TUHAN yang menguduskan kamu." Jadi dalam firman Tuhan ini kita bisa melihat bahwa hidup kudus berarti memegang ketetapan Tuhan dan melakukanNya, berarti hidup sekehendak Tuhan. Jadi hidup berbeda dari orang-orang di sekitar kita. Kepada orang Israel Tuhan menuntut kehidupan seperti itu dan kepada kita umat yang telah ditebusnya Tuhan menuntut hal yang sama yaitu hidup sesuai kehendakNya dan hidup berbeda dari orang di sekitar kita.
GS : Tetapi kekudusan itu kita terima dari Tuhan atau harus kita usahakan sendiri, Pak Paul?

PG : Ini adalah kesalahpahaman yang memang sering kita miliki yaitu kita beranggapan bahwa Tuhanlah pemberi kekudusan itu. Memang Tuhan berkata "Akulah yang menguduskanmu, maka kamu harus mengduskan dirimu."

Tapi jelas di sini "Maka kamu harus menguduskan dirimu," memang tadi saya sudah singgung ada ayat-ayat yang berkata, "Akulah Tuhan yang menguduskan kamu," namun ingat firman Tuhan juga dengan jelas berkata, "Maka kamu harus menguduskan dirimu". Jadi kesimpulannya adalah tatkala kita berupaya dengan sekuat tenaga melakukan ketetapan Tuhan, didalam berupaya itulah kuasa dan kekuatan Tuhan diberikan kepada kita sehingga kita bisa hidup sesuai ketetapanNya. Dengan kata lain tidak ada sesuatu manusia pun yang berkata, "Saya tidak bisa hidup sesuai dengan kehendakMu," karena saya tidak mempunyai kekuatan seperti yang Engkau harapkan, karena sewaktu kita berusaha dengan keras hidup sesuai dengan ketetapan Tuhan, di saat itulah kekuatan Tuhan akan diberikan kepada kita untuk mengalahkan godaan atau pencobaan. Jadi kekudusan adalah sebuah usaha bersama antara manusia dan Tuhan.
GS : Tetapi didalam usaha bersama itu ada kemungkinan kita manusia ini masih jatuh didalam dosa lagi.

PG : Tidak bisa tidak, kita manusia tidak selalu kuat ada waktu-waktu kita kuat dan berhasil mengalahkan godaan, tapi ada waktu-waktu kita lemah. Pada waktu kita lemah, itu bukan berarti Tuhan engaja menarik kekuatanNya dari kita.

Itu berarti pada saat kita lemah kita sedang jauh dari Tuhan, kita tidak lagi hidup akrab dengan Tuhan maka kekuatan Tuhan pun pada diri kita berkurang. Jadi sekali lagi tanggung jawabnya ada pada diri kita.
GS : Tatkala kita dalam keadaan lemah dan jatuh didalam dosa, Pak Paul, apakah kekudusan yang selama ini sudah diupayakan kemudian sirna begitu saja atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Kekudusan bukanlah sebuah cairan yang dicurahkan kedalam diri kita dan tatkala kita berdosa maka cairan itu akan berkurang. Jadi kekudusan memang adalah sebuah kehidupan yang seturut denga kehendak Tuhan dan berbeda dari orang di sekitar kita, kalau kemarin kita berdosa dan hari ini kita bertekad untuk tidak mau lagi berdosa, kita mau mengikuti kehendak Tuhan maka pada hari ini kita mengikuti kehendak Tuhan hari inilah kita sedang hidup kudus, tidak berarti karena kemarin kita berbuat dosa maka kekudusan kita terus menerus berkurang.

Tapi tatkala kita bertobat, kita mengikuti kehendak Tuhan, di saat itulah kita kembali hidup kudus.
GS : Tetapi dengan hidup kudus bukan berarti kita harus menarik diri dari keramaian kehidupan seperti bertapa dan sebagainya?

PG : Pemahaman yang seperti itu berasal dari sebuah pemikiran bahwa kita ini dicobai karena melihat, karena berinteraksi, bersinggungan dengan godaan-godaan. Maka kalau kita memisahkan diri dantidak lagi bersinggungan dengan godaan-godaan maka kita akan lebih dapat hidup seturut dengan kehendak Tuhan.

Masalahnya adalah ini bukanlah konsep yang kristiani sebab Tuhan menyuruh kita untuk pergi, untuk keluar dan bukan untuk masuk berdiam diri di dalam rumah, maka Tuhan berkata, "Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku." Jadi konsep pengudusan adalah sesuatu yang sangat integral dalam kekristenan, justru didalam kita diutus Tuhan keluar bersinggungan dengan hidup ini dan sebagainya. Maka Tuhan akan melimpahkan kekuatan sehingga kita bisa hidup sekehendakNya dan tatkala itu terjadi, kita menjadi sinar, kita menjadi berkat dan menunjuk orang untuk kembali kepada Tuhan. Jadi inilah yang justru Tuhan inginkan.
GS : Dan didalam kehidupan berumah tangga, aspek kekudusan ini pentingnya seperti apa?

PG : Inilah yang ingin saya bahas, Pak Gunawan, yaitu kekudusan sebetulnya berdimensi majemuk. Salah satu dimensinya atau aspeknya adalah kesetiaan dengan kata lain kalau kita kesulitan mengert apa yang disebut kudus, cobalah mengerti setia sebab kita akan melihat nanti bahwa kesetiaan itu sebetulnya merupakan komponen dari hidup kudus, hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Kita tahu baik relasi dengan Tuhan maupun dengan sesama diperlukan kesetiaan. Dalam pembicaraan kali ini kita hanya fokuskan pada kesetiaan pasangan nikah, nanti mudah-mudahan dalam pembahasan ini kita akan bisa menerapkan hidup kudus di dalam pernikahan kita.
GS : Maksudnya setia dengan pasangan ini, apakah yang dimaksud tidak bercerai atau bagaimana?

PG : Sudah tentu wujud akhir adalah tidak bercerai, kita setia kepada pasangan kita. Namun sudah tentu kesetiaan itu lebih dari sekadar tidak bercerai saja. Pertama kita akan melihat Pak Gunawa, apa maknanya itu setia.

Setia itu berarti melakukan apa yang telah dijanjikan, sebenarnya itulah definisi sederhananya. Kalau kita berjanji kita akan menolong pasangan kita atau menolong seseorang waktu orang itu datang meminta pertolongan kita, kita benar-benar mewujudkan janji itu dan kita menolongnya. Itulah sebenarnya tindakan kesetiaan. Sudah tentu termaktub dalam perjanjian adalah melakukan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan atau yang diminta, misalkan seseorang meminta bantuan, "Tolong bantu saya untuk bisa mengkredit mobil" kemudian kita berkata "Ok, saya bantu", kemudian kita bantu dengan memberi sekeranjang buah. Memang kita melakukan sesuatu yaitu memberikan sekeranjang buah namun itu bukanlah yang diharapkan. Jadi waktu kita berkata "Saya berjanji untuk melakukan sesuatu" sudah tentu termaktub dalam perjanjian itu adalah melakukan yang diharapkan oleh pasangan kita atau oleh orang lain. Jadi kalau kita berjanji melakukan sesuatu namun tidak melakukannya berarti kita itu tidak setia. Di dalam bahasa Inggris kata setia itu berasal dari kata iman 'faith' dan kata setia itu 'faithful'. Menurut saya batasan ini sungguh tepat merefleksikan apa yang terkandung dalam kata setia. Kesetiaan tidak bisa dipisahkan dari hidup beriman yang berarti percaya dan tidak melepaskan kepercayaan kita, misalnya kita setia kepada Tuhan karena kita tetap beriman kepadaNya bahwa Ia bangkit, naik dan mengasihi kita kendati situasi tidak mendukung atau kita setia kepada pasangan sebab kita percaya kepadanya bahwa ia baik dan mengasihi kita, kita setia kepada teman sebab kita tahu ia baik dan mengasihi kita dan seterusnya.
GS : Pak Paul, kesetiaan itu apakah juga dipengaruhi oleh sikap pasangan kita, misalnya saya bukannya tidak mau setia, tapi pasangan saya seperti itu.

PG : Sangat dipengaruhi, Pak Gunawan. Jadi sebagai manusia meskipun kita berusaha setia, tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan pasangan dan justru melakukan hal-hal yang diinginkan pasagan dan kita memang memerlukan balasannya.

Kalau balasan yang diterima tidak ada justru malah negatif, lama-kelamaan motivasi dan semangat kita melakukan sesuai dengan janji yang telah kita buat juga akan berkurang.
GS : Itu juga akan mempengaruhi kekudusan kita nantinya, Pak Paul?

PG : Nanti kita akan melihat bahwa kekudusan yang saya maksud jadinya bukanlah hanya dalam hal itu saja, Pak Gunawan, sudah tentu nanti berkaitan juga dalam hal apa, apakah ini akan berkaitan dngan dosa.

Kalau misalnya kita merasakan bahwa pasangan tidak memberikan balasan yang setimpal, kita sudah hidup sesuai dengan kehendaknya, memenuhi permintaannya tapi dia tidak memberikan balasan yang setimpal. Kalau kita berkata "Sudahlah, saya tidak mau lagi menerima, saya tidak mau lagi memberikan toleransi. Maka saya akan mencari pasangan lain." Itu berarti kita memang berdosa dan waktu kita melakukan perbuatan itu, jatuh ke dalam dosa berati kita sudah tidak hidup sesuai kehendak Tuhan, tidak lagi hidup kudus. Namun dalam kondisi dimana kita merasa pasangan tidak memberikan balasan yang setimpal tapi kita tetap bertahan berarti kita tetap hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, di saat itu kita tetap hidup dalam kekudusan.
GS : Pak Paul, Rasul Paulus menggolongkan kesetiaan ini sebagai buah Roh Kudus, dan itu apa maknanya?

PG : Orang yang di dalamnya mempunyai Roh Kudus itu berarti orang yang hidup sesuai dengan ketetapan kehendak Tuhan, maka orang itu adalah orang yang setia. Jadi memang pengertian Buah Roh itu isa kita mudahkan dengan pemahaman seperti ini yaitu kalau kita hidup dalam Roh, dipimpin oleh Roh maka tidak bisa tidak akan muncul kasih dalam hati kita.

Ini juga sama dalam kekudusan, kalau kita hidup di dalam Roh Tuhan dipimpin olehNya, tidak bisa tidak kita akan setia kepadaNya pula.
GS : Pak Paul, apakah kesetiaan ini punya aspek-aspeknya?

PG : Sekurangnya ada tiga aspek Pak Gunawan. Yang pertama, dari firman Tuhan yang telah kita bahas kesetiaan itu selalu mempunyai objek. Kita tidak bisa berkata saya setia! Setia kepada siapa. alau kita berkata saya setia kepada Tuhan, dan jelas di situ bahwa kesetiaan ada objeknya.

Saya setia kepada pasangan, jelas ada objeknya. Kedua, kesetiaan itu mempunyai alasan tertentu "Kenapa kita setia?" dan jawabannya adalah karena dia baik, dia mengasihi. Jadi kebaikan dan kasih biasanya adalah alasan terkuat mengapa kita setia. Kita setia kepada Tuhan oleh karena kebaikan dan kasihNya, kita setia kepada pasangan oleh karena kebaikan dan kasihnya pula. Komponen yang ketiga adalah kesetiaan pada akhirnya melakukan apa yang dikehendaki oleh orang yang kepadanya kita telah berjanji untuk melakukannya. Jadi kalau kita mau setia kepada Tuhan, kita harus melakukan apa yang Tuhan kehendaki. Kalau kita berjanji setia kepada pasangan, kita harus melakukan apa yang dikehendaki oleh pasangan, dalam pengertian bukan melakukan hal-hal yang berdosa.
GS : Jadi kalau kesetiaan itu dilakukan karena terpaksa, ada orang yang terpaksa setia karena tidak ada pilihan lain, dia sudah menikah kemudian kehidupannya juga tergantung pada pasangannya sehingga dia mengatakan "Saya terpaksa menikah," itu sebenarnya bukan kesetiaan, Pak Paul?

PG : Dalam pengertian itu saya kira itu tetap lebih baik daripada tidak setia meskipun terpaksa karena tidak ada balasan yang setimpal tapi dia tetap setia. Saya kira itu tetap lebih baik, meskpun terpaksa.

Memang kesetiaan akan muncul dengan mudah, dengan lebih bebas kalau kita memang melihat alasannya yang jelas yaitu orang itu baik kepada kita dan mengasihi kita. Kita setia kepada Tuhan sebab Tuhan itu baik kepada kita dan juga mengasihi kita. Dan adakalanya dengan pasangan kita tidak melihat balasan-balasan atau alasan-alasan itu.
GS : Pak Paul, apakah di dalam mewujudkan kesetiaan itu ada tantangan-tantangan yang harus kita hadapi?

PG : Ada. Coba saya mundur sedikit, saya jelaskan. Pernikahan itu dibangun di atas janji yaitu menjadi seperti yang diharapkan pasangan dan dalam konteks kristiani, bukan saja kita berjanji menadi seperti yang diharapkan pasangan tapi juga menjadi seperti yang diharapkan Tuhan, ini sangat penting.

Tantangan terbesar kesetiaan adalah hidup sekehendak kita, bukan sekehendak Tuhan atau pasangan, ini godaan atau tantangan terbesar. Salah satu hal terlupakan dalam pernikahan adalah sesungguhnya tatkala kita menikah, kita berjanji untuk melakukan apa yang diharapkan pasangan. Sudah tentu apa yang diharapkan dapat dan wajib dilakukan namun pada dasarnya itulah jiwa pernikahan, jadi baik hidup dengan Tuhan maupun dengan pasangan kita akan senantiasa menghadapi pergumulan antara melakukan keinginan pribadi atau melakukan apa yang dikehendaki pasangan dan Tuhan. Kesetiaan luntur tatkala kita tidak lagi mengindahkan apa yang dikehendaki Tuhan dan pasangan.
GS : Memang seringkali sangat menggoda Pak Paul, untuk orang yang tidak setia karena melihat sekelilingnya, pasangan-pasangan yang lain tidak setia kenapa saya harus setia?

PG : Sudah tentu lingkungan itu akan bisa memberikan pengaruh buruk kepada kita apalagi sekarang ini makin banyak orang mengambil jalan pintas. "Buat apa bertahan, pisah saja lebih baik cari yag lain."

Jalan pintas memang jalan yang lebih mudah tapi sekali lagi tolok ukur kita bukan mudah atau susahnya tapi apakah ini sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak, jadi itulah yang menjadi tolok ukur. Kalau tidak sesuai dengan kehendak Tuhan jangan lakukan. Jadi kita ini perlu dan harus memelihara kekudusan dalam pernikahan dan kekudusan dalam pernikahan itu dipelihara atau dilakukan dengan cara setia, setia kepada Tuhan maupun dengan pasangan kita.
GS : Di dalam mewujudkan kesetiaan itu Pak Paul, apakah ada cara-cara tertentu yang Pak Paul bisa sampaikan kepada para pendengar kita supaya ini bukan hanya sekadar wacana atau perbincangan tapi juga bisa dipraktekkan secara konkret.

PG : Ada tiga, Pak Gunawan, kiat untuk menumbuhkan dan mengokohkan kesetiaan dalam pernikahan. Yang pertama, kita mesti selalu mengingat bahwa kesetiaan mempunyai objek, dan dalam pernikahan obek kesetiaan itu adalah Tuhan dan pasangan.

Tuhan hadir dalam pernikahan, Ia berfirman "Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" di Matius 19:6. Ingatlah bahwa janji yang kita buat di hadapan Tuhan dan manusia, pasangan tidak bisa terus melihat kita karena ia tidak selalu berada di samping kita namun kehadirannya diwakili oleh kehadiran Tuhan, Allah yang selalu ada. Maka kita tetap harus ingat objek kesetiaan adalah Tuhan dan pasangan kita, pasangan tidak selalu ada di samping kita, Tuhan selalu ada di samping kita. Justru kehadiran Allah itu diwakili sebetulnya oleh kehadiran Tuhan, maka tetaplah setia kepada Tuhan dan pasangan.
GS : Apakah mungkin Pak Paul, seseorang itu berkata "Saya tetap setia kepada Tuhan," tetapi kepada pasangannya dia tidak setia?

PG : Tidak mungkin, karena setia kepada Tuhan berarti hidup sekehendak perintahNya dan keinginan Tuhan ialah kita tidak mengkhianati pasangan. Jadi justru kalau kita berkata, "Tuhan tidak mempemasalahkan, Tuhan justru mempertemukan saya dengan orang ini."

Itu tidak mungkin.
GS : Masalahnya seperti ini Pak Paul, orang itu mengatakan bahwa saya tetap setia kepada Tuhan, tetap ke gereja, tetap melayani Tuhan, membaca firman Tuhan dan sebagainya tapi dia tidak bisa setia kepada pasangannya karena pasangannya pun menurut dia tidak layak untuk diberi kasih setia, Pak Paul.

PG : Betul, itu yang kadang-kadang memang terjadi. Godaan untukmenyerah tidak lagi setia kepada pasangan menjadi begitu kuat tapi saya mau ingatkan kesetiaan kita bukan hanya kepada pasangan tai juga kepada Tuhan.

Dan setia kepada Tuhan berarti melakukan yang Tuhan kehendaki dan sudah tentu Tuhan tidak menghendaki kita untuk tidak setia kepada pasangan, malahan membangun relasi baru dengan orang di luar, justru itu yang Tuhan tidak kehendaki. Jadi tidak mungkin kita berkata "Saya setia kepada Tuhan," tapi tidak setia kepada pasangan.
GS : Apakah ada kiat yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kita mesti selalu mengingat bahwa kesetiaan mempunyai alasan dan dalam hal ini alasan pertama dan terutama adalah kebaikan Tuhan, dan kasih setiaNya. Inilah alasan yang sharusnya membingkai kesetiaan kita baik kepada Tuhan maupun pasangan.

Tuhan baik dan setia itu sebabnya kita mau memegang janji yang telah kita buat kepadaNya. Ingatlah juga kebaikan dan kasih setia Tuhan di masa lampau, mungkin ada banyak pengorbanan yang telah dilakukan hanya demi kita, jangan lupakan. Jadikan ini alasan untuk memegang janji yang kita buat kepadanya.
GS : Justru itulah yang agak sulit dirasakan oleh pasangan-pasangan yang mulai kehilangan kesetiaan dengan mengatakan, "Saya tidak lagi merasakan kebaikannya, saya tidak lagi merasakan kasihnya" dan buat apa saya mesti setia.

PG : Betul. Maka tadi saya sudah tekankan kalau kita hanya memfokuskan pada diri kita dan pasangan kita tanpa mengingat Tuhan hadir dalam pernikahan kita, sudah tentu kita mudah terjerumus akhinya masuk ke dalam lembah apatis, tidak mau memikirkan kepentingan pasangan.

makanya kita itu harus selalu mengingat bahwa kita telah membuat janji untuk setia kepada pasangan di hadapan Tuhan dan manusia jadi bukan hanya manusia tapi di hadapan Tuhan, dan kepadaNyalah kita dituntut untuk setia.
GS : Kiat yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah kita mesti selalu mengingat untuk melakukan apa yang diharapkan Tuhan dan pasangan. Firman Tuhan di Matius 6:33 berkata, "Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNy, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."

Dalam relasi dengan pasangan berbuatlah yang sama, jika kita saling melakukan yang diharapkan maka relasi nikah akan menguat pula. Inilah resep pernikahan yang kuno namun tetap efektif sampai sekarang, jadi untuk menunjukkan kesetiaan kepada Tuhan, kita mendahulukan Kerajaan Allah, untuk juga menunjukkan kesetiaan kepada pasangan kita juga mau mewujudkan keinginan pasangan kita.
GS : Masalahnya, yang seringkali dihadapi dalam melakukan apa yang diinginkan pasangan, pasangannya itu menginginkan yang terlalu tinggi, Pak Paul?

PG : Ini merupakan proses penyesuaian yang harus kita jalani dalam pernikahan. Setiap orang akan berkata apa yang engkau minta, ini tidak bisa aku lakukan. Setiap orang yang menikah pasti perna mengatakan hal seperti itu.

Jadi inilah prosesnya, saling mengemukakan pengharapan tapi juga bersedia untuk fleksibel, untuk menunggu, untuk bersabar atau untuk menjelaskan lagi atau untuk mengingatkan lagi. Ini semua adalah proses pernikahan yang mesti kita jalani.
GS : Jadi sebenarnya seseorang yang mulai tidak setia kepada pasangannya, dia sendiri bisa merasakan Pak Paul?

PG : Sebetulnya ya, seharusnya dia tahu meskipun adakalanya kita itu merasionalisasi diri, Pak Gunawan dengan berkata, "Saya masih setia" padahal dalam kehidupannya tidaklah demikian.

GS : Juga pasangannya menanggapi dari suaminya atau istrinya bahwa pasangannya sudah mulai mundur dari kesetiaan?

PG : Betul. Jadi kita itu seperti baju dalam pernikahan. Baju yang mulai luntur akan terlihat, kalau baju luntur tapi dilihat dari jarak yang jauh mungkin tidak kelihatan, tapi bila baju dalam ernikahan luntur maka akan terlihat, cinta yang luntur pun juga akan terlihat.

GS : Itu dari sikap memenuhi janji, jadi kalau kita sering sekali tidak menepati janji, sebenarnya itu adalah tanda bahaya awal yang kita harus waspadai supaya kita memperbaharui kesetiaan kita?

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Jadi kesetiaan itu bisa terus-menerus diperbaharui di dalam hubungan keluarga?

PG : Seharusnya ya Pak Gunawan, tidak bisa saya hanya berkata "Saya setia" selesai sampai di situ, karena hidup itu tidak statis, ada hal-hal baru kemudian di situ kita juga harus mencoba menyeuaikan, melakukan seperti apa yang diharapkan oleh pasangan kita.

GS : Tapi kita juga mesti memfokuskan perhatian kita bahwa ini adalah perintah Tuhan agar kita hidup kudus?

PG : Betul sekali.

GS : Karena hanya dengan kekudusan seseorang itu bisa masuk ke dalam keluarga Allah.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Saya percaya perbincangan ini akan sangat menolong para pendengar kita dan terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kudus dan Setia". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



66. Pergaulan Sesudah Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T246B (File MP3 T246B)


Abstrak:

Setelah menikah, relasi dalam pergaulan haruslah mengalami perubahan. Pasangan yang tidak bersedia berubah akan menabur benih ketidaksetiaan. Kita harus mengingat bahwa bukankah pada awalnya kita pun tertarik dan jatuh cinta dengan pasangan oleh karena kita bergaul akrab dengannya. Ini adalah hukum alam: dengan siapa kita bergaul akrab, dengannya terbuka lebar kemungkinan untuk tertarik dan jatuh cinta. Itu sebabnya kita mesti mengawasi dan membatasi pergaulan setelah menikah


Ringkasan:

Setelah menikah, relasi dalam pergaulan haruslah mengalami perubahan. Pasangan yang tidak bersedia berubah akan menabur benih ketidaksetiaan. Kita harus mengingat bahwa bukankah pada awalnya kita pun tertarik dan jatuh cinta dengan pasangan oleh karena kita bergaul akrab dengannya. Ini adalah hukum alam: dengan siapa kita bergaul akrab, dengannya terbuka lebar kemungkinan untuk tertarik dan jatuh cinta. Itu sebabnya kita mesti mengawasi dan membatasi pergaulan setelah menikah. Berikut akan dibahas beberapa nasihat untuk membatasi pergaulan.

  1. (a) Terimalah fakta bahwa di luar pasangan, akan ada orang yang memiliki karakteristik yang kita sukai dan kagumi. Adakalanya karakteristik itu juga dimiliki pasangan sendiri namun kadang, tidak. Sudah tentu kita akan senang melihat-apalagi bila dapat menikmati-karakteristik yang disukai itu. Kita tidak perlu menjauh atau ketakutan ketika merasakan semua ini namun sebaliknya, kita mesti menjaga diri agar tidak mendekati atau menambah kedekatan dengan orang ini. Apa yang sudah ada, pertahankan dan jangan ditambahkan.
  2. (b) Kendati sukar, jagalah agar kita tidak menunjukkan-apalagi mengungkapkan-kesukaan atau kekaguman kita kepadanya. Kekaguman yang diungkapkan acap kali diinterpretasi sebagai undangan untuk masuk lebih dalam, atau setidaknya kekaguman yang diungkapkan menuntut respons yang serupa. Bila kita mengatakan kepada seseorang bahwa kita menyukai atau mengaguminya, maka orang itu akan merasa berkewajiban untuk mengatakan hal yang sama tentang diri kita. Dari titik inilah relasi biasanya makin mendalam. Jadi, jagalah diri dan lidah untuk tidak mengungkapkan hal-hal yang dapat membuka peluang masuknya dosa.
  3. (c) Jika kitalah yang menerima ungkapan atau pujian kekaguman, dengarlah dan ucapkanlah terima kasih namun janganlah merasa wajib untuk mengungkap hal yang serupa kepadanya. Dan janganlah memanfaatkan ungkapan itu sebagai pintu masuk ke rumah hatinya. Ingatlah, barangsiapa menyerobot tanah milik orang, tanah itu akan menjadi kutukan baginya. Jadi, relasi yang dimulai dalam dosa, tidak akan membuahkan berkat, sebaliknya ia akan menurunkan hukuman Tuhan atasnya. Begitu banyak perselingkuhan terjadi atas dasar sungkan-sungkan menolak, sungkan melukai atau mengecewakan, sungkan terlihat tidak sopan, sungkan dilihat kurang berterima kasih, dan sebagainya. Jadi, awasilah diri untuk tidak terjebak ke dalam perangkap sungkan yang salah kaprah.
  4. (d) Ingatlah setiap pertemanan bukanlah pertemanan yang lengkap dan sempurna. Tidak ada orang yang dapat mengerti diri kita sepenuhnya dan tidak ada orang yang cocok dengan kita seluruhnya. Dengan berjalannya waktu, semua akan tersingkap dan kita pun akan menemui hal-hal yang mengganggu dalam relasi. Itu sebabnya kunci kekuatan relasi bukan terletak pada kesempurnaan pasangan melainkan pada kesediaan untuk mencoba dan mencoba lagi. Apa pun yang menjadi kesulitan kita, hadapilah dan cobalah bereskan, jangan cepat mengangkat tangan dan berkata, "Saya sudah pernah mencobanya namun tidak berhasil." Kadang kita harus mencoba bertahun-tahun sebelum melihat hasilnya. Kita mesti mengingat bahwa setiap relasi pada awalnya merupakan sebuah fatamorgana; pada akhirnya kitalah yang mesti menggali sumber air itu, sebelum kita bisa meminum darinya.

Firman Tuhan
"Orang berdosa dikejar malapetaka, tetapi Ia membalas orang benar dengan kebahagiaan." Amsal 13:21


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pergaulan Sesudah Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Sebagai makhluk sosial, Pak Paul, kita tidak bisa melepaskan diri dari pergaulan. Tetapi apakah ada perbedaan antara cara pergaulan kita sebelum menikah dan sesudah menikah, Pak Paul?

PG : Seharusnya ada dan orang yang tidak membedakannya atau yang tidak mengubah pergaulannya setelah menikah, itu akan membahayakan pernikahannya. Jadi saya kira penting kita mengetahui dan sekligus juga melakukannya bahwa setelah menikah pergaulannya tidak bisa sama seperti sebelum menikah.

GS : Seringkali orang tidak atau kurang menyadari hal itu Pak Paul, karena menganggap bahwa ini adalah sahabat-sahabat saya dari dulu, mungkin dari SMA atau Perguruan Tinggi dan sebagainya. Apakah setelah menikah saya harus meninggalkan mereka, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kita tidak meninggalkan. Dalam pengertian dia adalah sahabat, dia tetap teman kita namun dalam kaitannya dengan lawan jenis kita tidak lagi misalkan pergi berdua dan terlalu meceritakan persoalan pribadi.

Jadi setelah menikah kita harus mengubah pergaulan.
GS : Walaupun seringkali pasangan kita juga berasal dari komunitas yang sama, Pak Paul?

PG : Betul, misalkan kita pergi bersama dengan pasangan, beramai-ramai, itu tidak apa-apa dan yang memang saya khawatirkan adalah kalau kita menghabiskan waktu berdua, cerita berdua. Inilah yan saya kira tempat yang subur bagi munculnya ketidaksetiaan.

GS : Jadi hal-hal apa yang harus berubah dalam konteks pergaulan ini?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah kita mesti menerima fakta bahwa di luar pasangan akan ada orang yang memiliki karakteristik yang kita sukai dan kagumi, kita mesti menyadari bhwa bukan hanya pasangan kitalah yang memiliki karakteristik yang kita kagumi, akan ada orang-orang lain di luar.

Sudah tentu kita akan senang melihat apalagi bila dapat menikmati karakteristik yang kita sukai itu, kita tidak perlu menjauhi ketakutan ketika merasakan semua ini bahwa orang ini baik, orang ini sabar, orang ini berwibawa, orang ini cerdas dan sebagainya. Kita tidak perlu tergesa-gesa melarikan diri, tidak mau bergaul dengan orang itu dan itu bukan yang saya maksud. Tapi sebaliknya kita mesti menjaga diri agar tidak mendekati atau menambah kedekatan dengan orang ini. Apa yang sudah ada pertahankan namun jangan tambahkan, menjadi sangat-sangat berbahaya jika kita menambahkan. Kita memang dalam hal ini harus melawan kodrat atau keinginan pribadi Pak Gunawan, sebab otomatis kita akan senang bersama orang yang memiliki karakteristik yang kita kagumi. Misalkan dia adalah pendengar yang baik dan siapa yang tidak mau mempunyai pendengar yang baik, misalnya orangnya bijaksana mampu memberikan kepada kita masukan-masukan yang baik, siapa yang tidak ingin punya teman seperti itu? Jadi kecenderungan alamiah kita adalah justru mau mendekati orang ini tapi kita mesti menyadari bahwa jangan, jangan ditambahkan, yang sudah ada kita pertahankan. Untuk sekali-sekali kita telepon dia dan sebagainya itu tidak apa-apa tapi jangan ditambahkan dengan terus-menerus menghubungi, menelepon, ngobrol lama-lama, dan misalkan membangun persahabatan yang lebih dalam lagi dengan membuat janji "Ketemu dimana?" dan sebagainya. Inilah benih-benih terjadinya ketidaksetiaan.
GS : Pada awalnya kita mengagumi pasangan kita karena dia penuh perhatian, dan pada akhirnya kita bertemu lagi dengan orang yang lebih perhatian dari pada pasangan kita itu.

PG : Dan itu adalah fakta di dunia ini bahwa pasangan kita bukanlah orang yang sempurna, akan ada orang yang mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki pasangan kita atau dia mempunyainya tapi oranglain mempunyainya dalam kadar yang lebih kuat.

Dan hal-hal ini kita harus sadari, oleh karena itu kita mesti menjaga diri jangan sampai kita naif beranggapan hanya pasangan kitalah yang paling sabar di dunia akhirnya kita sering mengeluh kenapa dia tidak sabar, kemudian kita ketemu dengan orang di luar dan kita merasa orang ini sabar sekali, sehingga kita menjadi terpikat.
GS : Yang Pak Paul katakan jangan menambahkan sesuatu karakteristik yang sudah positif itu seperti apa?

PG : Maksudnya menambahkan adalah jangan menambahkan pertemuannya, kadarnya, frekuensinya. Misalkan kalau kita bekerja, kita punya teman yang memang mempunyai karakteristik yang kita senangi aau kagumi itu, biasalah, bergaul, bergurau seperti biasanya.

Jangan menambahkan yaitu, "Ayo kita makan siang bersama", "Ayo kita pulang, saya antar dulu" dan sebagainya, itu yang jangan dilakukan. Saya juga tidak berkata kebalikannya, kalau kita menyadari, "Wah orang ini memiliki sesuatu yang saya memang sukai atau kagumi" kemudian kita tidak mau bertemu dan tidak mau bergaul dengan dia, itu juga tidak tepat. Menurut saya reaksi itu terlalu berlebihan, sebab kita hidup dalam dunia akan selalu bersinggungan dengan semua manusia, tidak mungkin kita akan membuang semua teman yang kita anggap kita senangi atau kita sukai itu, tidak, tapi jangan tambahkan kadar relasi itu.
GS : Tetapi dengan tidak sengaja Pak Paul, itu mungkin merupakan suatu siklus yang terus bertambah dengan kita terus bertemu, kita menemukan sesuatu lagi yang lebih menarik, makin kita senang lagi, ketemu lagi dan bertambah lagi. Mata rantai ini seharusnya diputus, Pak Paul?

PG : Maka yang penting adalah jangan menambahkannya. Jadi misalkan kita hanya bertemu dengan dia di tempat pekerjaan, ya sudah hanya di tempat pekerjaan dan kita tidak datang dengan sengaja ke antornya untuk ngobrol-ngobrol, kita tidak menambahkan waktu di telepon bicara dengan dia sehingga lebih panjang, jangan! Biasakan dan disiplinkan diri, seperti itu.

GS : Hal lain apa, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kendati sukar, jagalah agar kita tidak menunjukkan apalagi mengungkapkan kesukaan atau kekaguman kita kepadanya. Kenapa? Kekaguman yang diungkapkan, acapkali diinterpretai sebagai undangan untuk masuk lebih dalam.

Kekaguman yang diungkapkan menuntut respons yang serupa misalnya bila kita mengatakan kepada seseorang kalau kita menyukai atau mengaguminya maka orang itu akan merasa berkewajiban untuk mengatakan hal yang sama tentang diri kita. Misalnya kita berkata, "Saya senang dengan kamu karena kamu orangnya sabar, kebapakan," awalnya sebelum kita mendengar perkataan seperti itu mungkin kita tidak berpikir apa-apa tapi karena kita mendengar pujian itu, maka mulailah berpikir-pikir tentang dirinya apa yang juga baik yang kita sukai dan sebagainya. Sehingga akhirnya karena kita sudah mendengar pujian dari dia, maka akhirnya kita merasa berkewajiban untuk mengutarakan kekaguman kita kepadanya. Misalnya kita berkata, "Kamu juga orangnya sabar, jarang ada perempuan seperti kamu sabar, bisa mengerti orang". Dan dari titik inilah relasi biasanya makin mendalam. Jadi jagalah diri dan lidah untuk tidak mengungkapkan hal-hal yang dapat membuka peluang masuknya dosa.
GS : Itu seringkali kata-kata seperti itu pertamanya hanya sebagai pemanis mulut atau sebagai etiket atau basa-basi yang mengatakan misalnya, "Kamu baru potong rambut, bagus" hanya sekedarnya saja dan bukan mau menyenangkan hatinya tapi supaya kita itu dianggap baik dan sebagainya, lalu berkelanjutan, Pak Paul.

PG : Maka kita mesti jelas mengerti isi hati kita, kalau kita tahu kita mempunyai ketertarikan, janganlah ungkapkan atau katakan hal-hal seperti itu. Karena sekali lagi waktu kita mengatakan ha seperti itu, orang itu akan seolah-olah mendapatkan "undangan", "Masuklah ke dalam hati saya, hidup saya."

Kalau memang kebetulan orang itu juga mempunyai ketertarikan kepada kita, nah bagi dia itu 'kan kebetulan, jadi tambah dalam dan sebagainya. Maka berhati-hati, saya juga tidak mau memberikan kesan bahwa saya ini orang yang kaku dan kita harus hidup secara kaku seperti mesin, tidak! Ya alamiah. Misalkan kita melihat hari ini, orang ini berpakaian sangat baik dan kita berkata, "Kamu hari ini rapi sekali," itu tidak apa-apa tapi stop disitu dan kalau kita seperti itu terhadap seseorang, kita memang orangnya begitu terhadap semua orang. Jadi orang ini pun tidak bisa menginterpretasi "Dia pasti suka sama saya ini," karena dia akan mengingat, "Tidak! Dia mengatakan hal seperti itu kepada semua orang." Dan kita pun juga tidak menambahkan waktu pertemuan dan sebagainya dan yang terpenting adalah dia tidak melihat di mata kita bahwa kita menyukai dia. Orang yang menyukai itu akan tampak terutama lewat sorot matanya. Jadi kalau pihak satunya itu melihat dari sorot mata "Iya, orang ini bukan hanya memuji tapi mempunyai rasa suka terhadap saya." Berarti undangan itu disebarkan secara umum, terbuka, "Kamu itu sebetulnya orang yang saya sukai," dan itu menjadi bahaya sekali.
GS : Dan memang biasanya bahasa tubuh ini berbicara kebih keras dari pada kata-kata itu sendiri, Pak Paul?

PG : Betul. Seringkali kita mencoba membohongi diri berkata, "Tidak, hanya teman" dan sebagainya, tidak, kalau kita menyukai itu akan bisa nampak dari perbuatan, dari sorot mata dan bisa diliha oleh orang itu.

GS : Tapi kenapa Pak Paul, pada waktu dulu masih belum terikat dengan pernikahan. Kita itu melihat segi positif dari seseorang itu tapi setelah kita menikah itu justru kelihatan "Iya ini dulu sepertinya lebih baik dari pada istri saya," kan bisa seperti itu, Pak Paul?

PG : Kenapa seringkali terjadi seperti itu, karena memang di dalam pernikahan kita sekarang terikat, terbatasi tidak bisa tidak. Waktu kita merasakan kita terbatasi, kita terikat maka waktu kit melihat hal-hal yang kita sukai dari pasangan kita, tidak bisa tidak hati mulai berteriak mau mencari kelegaan.

Waktu kita melihat pada diri orang meskipun awalnya terlalu kita tidak sadari karena kita sekarang mencarinya maka kita akan melihatnya dengan lebih jelas. Contoh kita menikah misalnya dengan seorang suami yang luar biasa perhitungan, semua dihitung tidak ada kemurahan hati, kita sengsara sekali menikah dengan suami ini. Tapi kita sudah terikat dan tidak apa-apa, tapi hati ini terus berteriak, "hidup seperti ini hidup seperti pesuruh, seperti pekerja, uang dihitung, semua ditakar". Dan bertemu dengan seseorang yang tidak menghitung dan mungkin sekali orang ini juga bukan orang yang murah hati di dunia tapi karena kita membutuhkan kelegaan bersama orang yang tidak menghitung-hitung, waktu kita bertemu dengan orang ini benar-benar nyata kemurahan hatinya, kita jadi suka dengan orang itu. Jadi sekali lagi karena kita sudah mulai mencari sebetulnya, maka siapa yang mencari akan menemukannya di luar.
GS : Sekarang bagaimana Pak Paul, kalau bukan kita yang memberikan ungkapan kekaguman kepada seseorang tetapi kita menerima ungkapan kekaguman dari orang lain.

PG : Biasanya respon yang terbaik adalah selalu menghargai tanggapan seperti itu "Terima kasih", itu saja. Namun jangan merasa berkewajiban kita harus mengatakan lagi sesuatu yang positif atau ang baik tentang dirinya.

Karena kalau kita mulai mencari-cari hal yang baik tentang dirinya, kalau kebetulan dia juga menyukai kita kemudian kita memberikan kata itu lagi kepadanya berarti kita itu memberikan umpan.
GS : Berarti ada kiat yang lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yang ketiga adalah jika kita menerima ungkapan atau pujian kekaguman, dengar, dengarlah jangan kita tolak dan ucapkanlah terima kasih tapi jangan merasa wajib mengungkapkan hal yang serupaitu kepadanya, jangan memanfaatkan ungkapan itu sebagai pintu masuk ke rumah hatinya.

Ingatlah prinsip ini, barangsiapa menyerobot tanah milik orang, tanah itu akan menjadi kutukan bagi dirinya. Jadi relasi yang dimulai dari dosa tidak akan membuahkan berkat sebaliknya ia akan menurunkan hukuman Tuhan atasnya, begitu banyak perselingkuhan terjadi atas dasar sungkan, sungkan menolak, sungkan melukai atau mengecewakan, sungkan terlihat tidak sopan, sungkan dilihat kurang berterimakasih dan sebagainya. Jadi awasilah diri untuk tidak terjebak ke dalam perangkap sungkan yang salah kaprah.
GS : Memang perasaan sungkan ini susah dihindari, apalagi kita sebagai orang-orang di Timur, kita itu merasa berhutang kepada seseorang yang telah memberikan terlebih dahulu kepada kita termasuk pujian, Pak Paul, sehingga kalau kita menerima pujian biasanya kita kembalikan lagi dalam bentuk pujian, Pak Paul.

PG : Maka kita mesti berhati-hati dengan hal-hal yang bersifat pemberian kepada diri kita. Dalam kasus misalnya rekan kerja, atasan atau bawahan mengapa sering terjadi perselingkuhan karena biaanya atasan itu baik, memperhatikan bawahan dan waktu si atasan mengajaknya pergi meskipun dalam hatinya dia tidak mau karena dia tidak mau terlibat dalam perselingkuhan, tapi karena sungkan telah menerima begitu banyak kebaikan akhirnya mengiyakan.

Akhirnya dalam perjalanan atau dalam pertemuan si atasan itu akhirnya menggenggam tangannya, dia sekali lagi sebetulnya tidak mau, mau melepaskan sungkan orang yang begitu baik, tapi saya sepertinya kurang santun atau kita berasionalisasi hanya menganggap kita sebagai adik, tidak apa-apa. Itulah salah satu sungkan yang salah kaprah dan memang mudah sekali dimanfaatkan oleh orang yang berada di posisi memberikan atau di posisi atas. Maka kita mesti menjaga diri terhadap pemberian-pemberian.
GS : Misalnya saja pada waktu ulang tahun, tadinya hanya ucapan selamat ulang tahun tapi kemudian ditambahkan sesuatu, ada hadiah kecil, ini makin lama akan makin mengikat karena masing-masing saling memberi. Yang satu sudah diberi merasa wajib memberikan lagi.

PG : Dan seringkali akhirnya makin dalam dan makin dalam, memberikan yang lebih pribadi atau lebih personal, terus begitu. Jadi kalau kita sudah mulai mendeteksi baik pada diri kita maupun padadiri orang itu, ada ketertarikan kita harus berani mengambil sikap menghentikannya, stop jangan menambahkan lagi.

GS : Itu kadang-kadang menjadi sesuatu yang menyakitkan dan banyak orang yang tidak mau menjalani itu karena ini menyakitkan karena sudah ada hubungan yang nyaman dianggap tidak apa-apa resikonya tidak tinggi tetapi kalau diputus itu menyakitkan, Pak Paul.

PG : Makanya kalau masih bisa dipertahankan, pertahankanlah tapi jangan ditambahkan. Tadi saya sudah singgung misalkan ini rekan kerja ya tetap bekerja biasa dan sebagainya namun misalnya orangini memberikan sesuatu atau yang lain maka dengan santun tolaklah.

Karena setiap pemberian yang kita terima itu akan mengikat kita.
GS : Dan yang berikutnya apa, Pak Paul?

PG : Yang berikut ingatlah bahwa setiap pertemanan bukanlah suatu pertemanan yang lengkap dan sempurna tidak ada orang yang mengerti diri kita sepenuhnya dan tidak ada orang yang cocok dengan kta seluruhnya.

Dengan berjalannya waktu semua akan tersingkap dan kita akan menemui hal-hal yang mengganggu dalam relasi. Itu sebabnya kunci kekuatan relasi bukan terletak pada kesempurnaan pasangan melainkan pada kesetiaan untuk mencoba dan mencoba lagi. Apa pun yang menjadi kesulitan kita, hadapilah dan cobalah bereskan jangan cepat mengangkat tangan dan berkata, "Saya sudah pernah mencobanya namun tidak berhasil," kadang kita harus mencoba bertahun-tahun sebelum melihat hasilnya. Kita mesti mengingat bahwa setiap relasi pada awalnya merupakan fatamorgana, pada akhirnya kitalah yang mesti menggali sumber air itu sebelum kita meminum darinya.
GS : Jadi di dalam pengertian ini, Pak Paul, apa yang mesti kita lakukan?

PG : Yang pertama adalah hadapi jangan lari, jangan keluar, jangan cari orang, jangan keluar, jangan cari yang lain. Bereskan masalah, memang kita itu akan terluka, kecewa dan lain-lain, tapi breskan.

Dua belah pihak harus punya tekad kami harus bisa membereskan pernikahan kami, kalau kita sudah punya tekad seperti itu maka kita lebih bisa menjaganya. Kadang-kadang tadi saya sudah singgung kita ini seperti mengharapkan dan melihat adanya fatamorgana, tidak ya. Apa pun yang nanti kita akan petik itu yang akan kita tanam terlebih dahulu. Tidak ada pernikahan yang tiba-tiba menjadi sangat baik, semua harus dilakukan dengan susah payah, dengan keringat, dengan tangisan tapi justru lewat itulah kita nanti akan menuai sebuah relasi yang indah.
GS : Pak Paul, seandainya kita mau menyelesaikan hubungan ini dengan orang yang bukan suami atau istri kita padahal dari pihak yang sana tidak mau karena dia sudah menikmati hubungan ini dan mau melanjutkan, ini bagaimana?

PG : Di sini memang diperlukan ketegaran hati, Pak Gunawan, bahwa kita harus mengecewakan hati orang. Tapi sekali lagi kalau kita boleh undur ke belakang, kalau sampai orang itu tidak mau melepskan relasinya itu berarti memang kitanya pun sudah kebablasan karena kalau tidak kebablasan, dia juga tidak bisa menikmati relasinya seperti itu juga.

Jadi akhirnya saya simpulkan, Pak Gunawan, kalau orang itu terlibat dalam relasi di luar pernikahan itu memang seringkali kesalahan dua belah pihak. Jarang kesalahan satu pihak, sebab pihak yang satunya juga memberikan angin, membukakan pintu, menyilakan orang masuk. Tapi kalau dari awalnya kita bersikap jelas, kita hanya berteman, bergurau, tidak apa-apa, tapi stop sampai di situ, kita tidak nyerempet-nyerempet, kalau bicara tidak memancing-mancing ke arah itu, tidak kita bicara hitam hitam kalau putih ya putih jadi jelas bersahabat seperti biasa. Orang juga akan tahu bahwa dia tidak bisa masuk karena pintu tidak dibukakan. Maka saya berkata pada awalnya kita berjaga-jaga tidak membukakan pintu, tapi kalau seandainya kita sudah terlanjur kebablasan membukakan pintu sehingga sudah terjadi sebuah relasi yang mendalam dan kita sadar kalau kita salah, maka kita berhenti dan kita harus berkata sudah stop di sini tidak bisa berlanjut lagi. Dan kalau memang sudah sejauh itu, maka mundurnya juga harus lebih jauh, bukan hanya balik seperti biasa, hampir tidak mungkin memang, harus mundur sejauh mungkin sehingga tidak ada relasi sedekat itu.
GS : Berarti di dalam pergaulan kalau kita sudah menikah, yang relatif lebih aman itu bagaimana Pak Paul dengan rekan-rekan sepergaulan kita?

PG : Yang pertama biasakanlah untuk bercerita dengan pasangan kita apalagi kalau kita misalkan harus pergi dengan rekan wanita meskipun tidak berdua selalu misalkan dengan lawan jenis, selalula ceritakan dengan pasangan kita sehingga pasangan kita itu tahu dengan siapa.

Tapi yang paling penting adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban, pasangan kita mungkin berkata, "Saya tidak perlu tahu," dan sebagainya, tapi katakan saja karena ini sebagai bentuk pertanggungjawaban sehingga saya selalu menjaga diri saya, kalau tidak saya akan hidup sembarangan. Kita mesti sadar satu hal, Pak Gunawan, kita pun dulu tertarik dengan pasangan kita gara-gara kita bergaul akrab dengan pasangan kita, menghabiskan waktu bersamanya. Jadi kalau itu bisa terjadi kepada kita dengan pasangan kita dulu, berarti itu bisa lagi terjadi sekarang kita dan orang lain. Dengan perkataan lain, kalau berlawanan jenis kemudian menghabiskan waktu yang lama bercerita yang dalam-dalam itu berarti tinggal tunggu tanggal main maka akan muncul ketertarikan. Jadi kita tidak boleh naif atau menaifkan diri atau membukakan diri dan berkata "Tidak, tidak mungkin". Itu mungkin dan akan terjadi, itulah hukum alam kalau kita bergaul akrab dengannyalah kita lebih berkemungkinan untuk menjalin hubungan yang romantis.
GS : Misalkan kita pergi bersama-sama dalam satu rombongan, apakah itu tidak akan menjamin terjadi hubungan yang seperti itu, Pak Paul?

PG : Kalau kita hanya pergi bersama-sama setelah itu sudah meskipun ada ketertarikan kita tidak menghubunginya dan sebagainya, lama-kelamaan perasaan itu pun akan pudar. Mungkin saja itu munculketertarikan sekali lagi kita mungkin saja mempunyai ketertarikan yang kita sukai namun kalau tidak dipupuk, lama kelamaan ketertarikan ini juga akan layu.

GS : Jadi dari seringnya tingkat kita berjumpa dan berinteraksi ini menimbulkan perasaan-perasaan yang membuat kita terikat dengan pihak lain, Pak Paul?

PG : Betul. Pokoknya prinsipnya keakraban itu merupakan pendahulu munculnya ketertarikan. Jadi itu yang kita mesti kita jaga.

GS : Pak Paul, di dalam hal ini apakah yang Firman Tuhan katakan?

PG : Amsal 13:21 "Orang berdosa dikejar oleh malapetaka, tetapi Ia membalas orang benar dengan kebahagiaan. Hiduplah benar, jadilah orang benar di hadapan Tuhan, maka Tuhan akan memberikan kepaa kita upah balasan yaitu kebahagiaan, tapi orang yang main dengan dosa, Tuhan berkata dia akan dikejar malapetaka.

Bukan saja dia akan bertabrakan dengan malapetaka tapi dia juga akan dikejar-kejar oleh malapetaka berarti hukuman Tuhan akan mengikutinya. Maka pilihan terbuka mana yang akan kita pilih, saya berharap kita semua memilih hidup benar dan Tuhan akan membalas kebahagiaan.

GS : Memang ini akan menjadi tantangan terbesar di dalam hidup pernikahan ini karena sekarang ini berinteraksi dengan orang lain itu sangat mudah, dikatakan kita bisa SMS, email dan macam-macam cara itu yang bisa mempermudah kita berhubungan dengan meraka dan membangun relasi dan ini menjadi sesuatu yang berat yang dihadapi suami istri. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Saya percaya akan sangat menolong para pendengar kita, banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pergaulan Sesudah Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



67. Suami yang tidak Mau Bekerja


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T254A (File MP3 T254A)


Abstrak:

Seyogianyalah seorang suami bekerja untuk menafkahi keluarganya tetapi sayangnya ada sebagian suami yang tidak mau bekerja. Sudah tentu hal seperti ini menciptakan masalah tersendiri. Apakah yang harus diperbuat istri bila ini terjadi pada keluarganya?


Ringkasan:

Seyogianyalah seorang suami bekerja untuk menafkahi keluarganya tetapi sayangnya ada sebagian suami yang tidak mau bekerja. Sudah tentu hal seperti ini menciptakan masalah tersendiri. Apakah yang harus diperbuat istri bila ini terjadi pada keluarganya? Sebagaimana hal lainnya, kita harus mencari penyebabnya terlebih dahulu sebelum mencari solusinya.

Firman Tuhan
"Berkatalah si pemalas, 'Ada singa di jalan! Ada singa di lorong'.... Si pemalas menganggap dirinya lebih bijak daripada tujuh orang yang menjawab dengan bijaksana." (Amsal 26:13, 16) Orang yang malas selalu mempunyai alasan mengapa ia tidak dapat bekerja. Jarang sekali ia mengakui bahwa sesungguhnya bukannya ia tidak dapat bekerja, melainkan ia tidak mau bekerja. Memang sulit berhubungan dengan si pemalas. Pada akhirnya ia harus menanggung akibatnya, sebagaimana dikatakan dalam Amsal 26:1, "Seperti salju di musim panas dan hujan pada waktu panen, demikian kehormatan pun tidak layak bagi orang bebal."


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Suami Yang Tidak Mau Bekerja". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita tahu bahwa bekerja atau mencari nafkah adalah bagian dari suami atau kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya, kita tidak membicarakan tentang suami yang tidak mampu bekerja. Apakah ada banyak kasus yang Pak Paul jumpai dalam hal ini?

PG : Memang tidak terlalu banyak, Pak Gunawan, tapi ada beberapa yang saya jumpai dan sudah tentu ini menimbulkan banyak masalah dalam keluarga sebab nantinya hal ini akan berdampak bukan saja ada relasinya dengan si istri namun nantinya juga bisa berdampak buruk pada anak-anaknya sebab anak-anak akan melihat bahwa ayah adalah ayah yang tidak bekerja.

Sedangkan anak-anak tahu bahwa orang tua dari teman-temannya bekerja, sehingga nantinya akan ada rasa malu dan bisa menimbulkan rasa kurang hormat kepada ayah dan anak-anak akan menunjukkan sikap kurang hormat kepada si ayah dan ayah bisa tersinggung dan marah. Saya kira ini menjadi masalah satu keluarga, akhirnya masalah membesar, merembet kemana-mana dan memperburuk relasi si ayah dengan keluarga lainnya.
GS : Jadi masalahnya begitu kompleks. Seseorang tidak mau bekerja karena pasti punya alasan, Pak Paul? Apa alasannya Pak Paul sehingga seseorang tidak mau bekerja?

PG : Kita memang tidak bisa menyamaratakan kasus, jadi penting bagi kita untuk meneliti kasus per kasus dan melihat penyebab kenapa suami tidak mau bekerja. Ada beberapa yang bisa kita pikirkansebagai penyebabnya, misalkan yang pertama adalah ada suami yang tidak mau bekerja selama belum memperoleh pekerjaan yang diidamkannya.

Jadi dalam kasus ini, bisa saja dia dulunya bekerja namun kemudian kehilangan pekerjaannya, sejak saat itu dia menolak untuk melakukan pekerjaan lainnya, sebab dia merasa tidak cocok. Jadi setelah dihentikan atau kehilangan pekerjaannya dia terus mencari pekerjaan yang sama atau yang selevel atau yang gajinya juga sepadan seperti dulu. Waktu dia tidak menemukannya maka dia tidak mencari pekerjaan yang lain. Dalam kasus seperti ini istri sebaiknya turut membantu suami mencarikan pekerjaan dengan catatan suami pun tidak berhenti mencari pekerjaan, jadi jangan sampai istri yang mengambil alih si suami mencari pekerjaan. Biarlah suami mencari pekerjaan memberikan usahanya mencari lowongan-lowongan yang ada dan si istri juga secara berkala mencarikannya memberitahukan si suami, "Ini ada, ada yang mencari pegawai" dan sebagainya. Namun secara berkala istri juga mesti menyampaikan kepada si suami kondisi keuangan keluarga, jangan sampai dalam proses mencari ini si suami ini melihat kalau tidak mendapatkan yang diinginkannya maka dia juga tidak mau mengambil pekerjaan itu, sehingga pada akhirnya si istri mesti mendorong suami untuk mengambil pekerjaan lain sebagai pekerjaan sementara. Si istri bisa berkata kepada si suami, "Saya tahu bahwa engkau tidak merasa cocok dengan pekerjaan ini, tapi mengingat keuangan kita makin menipis jadi tolong ambillah pekerjaan ini sebagai pekerjaan sementara." Jadi kita tekankan kata sementara itu, "Sementara kamu bekerja di sini, kita terus mencari untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok itu." Jadi dengan cara itu suami tidak merasa dipojokkan tapi sekaligus didorong untuk mengambil langkah yang lebih praktis untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
GS : Memang di sana faktor yang seringkali menghambat adalah gaji. Kalau orang sudah terbiasa menerima gaji yang cukup tinggi, kemudian karena sesuatu hal dia meninggalkan pekerjaan itu dan sekarang mendapatkan pekerjaan lain yang gajinya lebih rendah memang akan membuat dia enggan untuk melakukannya, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi pada saat-saat seperti itu suami memang harus berpikir dengan sangat praktis yaitu terpenting adalah dia mendapatkan pekerjaan, walau pun penghasilannya tidak seberapa karena uami harus berpikir jauh, yaitu kalau dia terus dalam kondisi tidak bekerja, meskipun dia pernah punya pengalaman kerja yang lama tapi kalau akhirnya dia terus tidak bekerja menanti-nantikan yang cocok, maka makin lama dia keluar dari bidang pekerjaannya, maka makin dianggap "berkarat" dan nantinya makin sulit mendapatkan pekerjaan.

Perusahaan mau mengkaryakan seseorang yang sudah putus kerja di suatu tempat kemudian melakukan pekerjaan lain untuk sementara dan kemudian mencari pekerjaan yang lebih cocok untuknya. Dari pada perusahaan melihat bahwa setelah berhenti dari suatu pekerjaan dan dia tidak bekerja, misalkan selama 7 tahun dan mulai bekerja lagi, pastilah perusahaan yang baru itu akan bertanya-tanya, "Kamu mengerjakan apa saja selama 7 tahun?" atau pertanyaan yang lebih keras lagi adalah "Mengapa kamu bisa tahan tidak bekerja lagi selama 7 tahun?" Dengan kata lain, mulailah tersirat sebuah asumsi bahwa kamu ini orang malas makanya kamu biasa-biasa saja selama 7 tahun tidak melakukan apa-apa, tidak ada usaha apa pun sama sekali. Bukankah ini menjadi sebuah catatan negatif yang makin menyulitkannya dalam mendapatkan pekerjaan.
GS : Tadi Pak Paul katakan bahwa si istri perlu memberitahukan kondisi keuangannya, kalau si istri memegang seluruh keuangan keluarga. Dan dalam hal ini bagaimana caranya si istri untuk menyampaikan laporan keuangannya tanpa menyinggung perasaan si suami. Karena dalam kondisi suami tidak bekerja ini, suami sangat peka sekali, Pak Paul.

PG : Sebelum dia menyampaikannya dia sudah harus menyampaikan pengumuman misalkan dengan berkata, "Saya takut kamu tidak suka untuk membicarakan ini dan saya tahu kenapa kamu bisa tidak suka seab kamu juga dalam keadaan terdesak, jadi mohon maaf kalau yang saya sampaikan menyinggung kamu tapi ini tetap harus saya laporkan, karena kita satu keluarga dan kita suami istri.

Inilah kondisi keuangan kita," beritahukan dengan jelas berapa uang yang masih tersisa, itu saja jangan ditambah-tambahkan. Setelah itu serahkan masalah itu kepada suami. Jangan sampai misalkan si istri menodong si suami dan berkata, "Jadi sekarang kamu mau apa, kamu hanya diam saja, kamu tidak memikirkan keluarga." Omongan seperti itu yang langsung akan memicu reaksi si suami. Jadi lebih baik paparkan saja faktanya bahwa inilah kondisi kita, setelah memberikan pengertian itu maka jangan di tambah-tambahkan, suami akan melihatnya, memikirkannya dengan harapan bahwa dia akan bertindak.
GS : Dari pihak suami kadang-kadang ada semacam trauma, Pak Paul, apalagi kalau dia di PHK dari pekerjaan yang lama. Dia khawatir kalau dia bekerja lagi kemudian mengalami hal yang sama.

PG : Bisa jadi. Trauma ini haruslah dia lewati karena bagaimanapun juga ada kebutuhan yang mendesak. Keterdesakan ini sedikit banyak bisa berkurang kalau istrinya bekerja. Ada suami yang akhirna berkata, "Sekarang kamu yang masih bekerja jadi bisa memakai uang kamu, kenapa tidak memakai uang kamu.

Bertahun-tahun memakai uang saya, sekarang giliran pakai uang kamu, tapi kamu tidak mau." Jadi hal seperti itu juga bisa menjadi konflik, istrinya juga bisa berkata, "Bukannya saya tidak mau memakai uang saya, tapi karena persediaan kita memang makin menipis dan inilah faktanya." Jadi tolong sampaikan faktanya dan jangan menambah-nambahkan atau disinggung-singgung kembali.
GS : Seringkali kita menjumpai istri yang mendesak-desak suaminya dan itu malah membuat suaminya seolah-olah mogok kerja.

PG : Betul. Ada yang seolah-olah seperti disodorkan, didesak seolah-olah tidak merasa bersalah dan si suami bukannya termotivasi, tapi justru sengaja tidak mau tahu dan sebagainya. Tapi di piha lain saya juga harus mengatakan kepada si suami bahwa dia pun juga harus sensitif, dia pun tidak boleh mengasihani diri dan menuntut istri harus mengerti dia, karena inilah kenyataan hidup bahwa ada kebutuhan yang harus dipenuhi.

Yang kedua yang saya mau ungkit yaitu ada suami yang terus-menerus menanti-nantikan pekerjaan yang diidam-idamkannya, tapi masalahnya dia tidak bekerja dan ini beda dengan kasus yang pertama. Di kasus pertama memang sudah bekerja, kemudian kehilangan pekerjaannya tapi kasus yang kedua, ada orang yang tidak benar-benar bekerja sejak menikah. Misalnya ada pekerjaan sedikit-sedikit atau sambilan tapi benar-benar tidak pernah mempunyai pekerjaan yang tetap dan kalau ditanya dia selalu memikirkan pekerjaan yang ideal, yang dia inginkan, yang dia rasakan ini yang paling baik kalau dia mendapatkannya karena hasilnya akan memuaskan, untungnya besar. Jadi ada tipe pria yang seperti itu yang terus berangan-angan, sehingga akhirnya dia tidak pernah benar-benar menjejakkan kaki di dunia kerja. Kalau inilah masalahnya, saya lebih sarankan agar istri mengajak si suami bertemu orang untuk menjalani konseling karier, supaya dia bisa diajak untuk melihat bahwa, "Mungkin yang ini belum bisa, memang ini ide yang bagus, memang kalau menghasilkan sesuatu maka seperti inilah hasilnya" namun sementara belum mengerjakan pekerjaan lain yang serupa, atau bukan tingkatan atas tapi mengandung hal-hal serupa yang dia juga senangi maka kerjakanlah. Mudah-mudahan dengan hadirnya seorang konselor karier yang bisa membimbingnya yang pertama si suami tidak merasa dipojokkan oleh si istri. Jadi si istri mengajaknya untuk mengekplorasi kesempatan-kesempatan, lowongan-lowongan yang lain dan dia tidak merasa istrinya yang sedang memojokkan dia dan dengan dia diberitahukan bahwa ada pekerjaan-pekerjaan lain yang serumpun meskipun tidak mesti sama, dia juga bisa diberitahu bahwa ini juga akan memuaskan hati kamu, meskipun secara imbalan tidak seperti yang kamu harapkan. Dengan kata lain, di sini kita bisa mendorong si suami untuk memulai mengaktualisasikan dirinya pada tingkatan yang lebih rendah. Jadi konselor bisa berkata kepada dirinya, "Kamu kerjakan dulu, jangan cepat-cepat mau naik tingkat. Yang penting kamu nikmati dulu level yang lebih bawah tapi kamu aktualisasikan diri kamu dan lihat apa yang Tuhan akan bukakan selanjutnya. Dan dengan cara itu kamu juga menabung pengalaman dan keahlian supaya lebih siap untuk menduduki jabatan atau kedudukan yang kamu idamkan."
GS : Tapi biasanya orang sering berkata, "Setiap orang itu punya cita-cita, harapan. Dan harapannya seperti ini dan apakah ini tidak bisa saya capai? Kalau saya mulai dari bawah maka berapa tahun lagi?" Itu seringkali menjadi alasan.

PG : Betul sekali, ini cukup sering saya dengar, Pak Gunawan. Memang ada pria-pria yang mau cepat naik, mau cepat kaya dan beranggapan tinggal tunggu waktunya. "Timingnya saja yang belum tepat,nanti kalau timingnya sudah tepat pasti saya akan berhasil dan tidak sia-sia saya menunggu."

Tapi akhirnya orang-orang ini tidak ada pengalaman kerja, tidak punya apa-apa yang bisa disodorkan kepada perusahaan yang mau mempertimbangkannya dan sekali lagi makin bertambahnya usia dan dia tidak ada pekerjaan tetap itu akan makin menambah buruk kemungkinan untuk dia mendapatkan pekerjaan karena pastilah perusahaan akan bertanya-tanya, "Apa yang kamu lakukan selama ini, kamu tidak mau mengerjakan sesuatu secara tetap, berarti kamu ini bukan orang bisa bekerja, tidak punya komitmen, tidak punya kesetiaan, tidak punya tanggung jawab, tidak bisa stabil dan sebagainya." Akhirnya semakin tidak dibukakan pintu oleh perusahaan. Sekali lagi saya mau tekankan pada pria sebelum menikah seharusnya sudah bekerja, yang terpenting jangan sampai lowong tidak punya pekerjaan untuk waktu yang lama, apa pun yang bisa dikerjakan maka kerjakanlah, sebab itu nanti akan menambah kepercayaan dan hormat dari pihak perusahaan yang mungkin mau mempertimbangkan kita.
GS : Bagaimana Pak Paul dengan orang atau suami yang tidak mau bekerja karena kecewa?

PG : Ada yang seperti itu juga Pak Gunawan, memang kita mengerti bahwa kita ini bekerja di dunia yang tidak sempurna sudah tentu adakalanya kita tidak menerima perlakuan yang adil, kita mungkindiberhentikan dengan cara yang kurang baik.

Biasanya kalau itu yang terjadi kita akan sakit hati, kita akan kecewa sebab bisa jadi kita memberikan yang terbaik untuk perusahaan ini, tapi dengan cara yang kurang adil kita disingkirkan. Hal itu biasanya menimbulkan luka dalam hati kita. Kalau itu yang terjadi sebaiknya istri memberi waktu kepada suami untuk pulih, berilah dia kesempatan untuk dia di rumah, untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, berdoa meminta Tuhan menguatkannya. Terus memberikan dorongan kata-kata yang penuh dengan kasih sayang, simpatik. Namun dengan satu jangka waktu misalkan setelah dua bulan sebaiknya istri perlahan-lahan dengan lembut mesti memberitahukan bahwa inilah kondisi keuangan kita saat ini dan sekali lagi istri tidak mendesak dan memarahi tapi hanya memberitahukan suami inilah kondisinya, dan untuk lebih memberikan dukungan istri bisa berkata, "Bagaimana kalau aku yang bekerja, aku yang mencari pekerjaan supaya sementara waktu ini ada penghasilan yang bisa masuk meskipun dalam mengurus anak-anak akan berat karena tidak ada saya, tapi mau bagaimana lagi?" Dengan si istri menawarkan kesediaannya bekerja maka akan makin menggugah hati si suami bahwa, "Memang hati saya telah disakiti, hati saya sudah luka tapi sudahlah saya tidak mau mengorbankan istri saya." Sehingga akhirnya dia bangkit kembali dan termotivasi untuk bekerja lagi.
GS : Kadang-kadang suami akan melarang istrinya bekerja, dia khawatir pengalaman traumatis yang dialaminya itu akan menimpa istrinya. Dia khawatir kalau istrinya akan diperlakukan seperti dia, Pak Paul, jadi biasanya dia melarang.

PG : Ada yang seperti itu, Pak Gunawan, karena dia akhirnya menyimpulkan bahwa kalau orang bekerja dan punya uang maka akan ada hal yang berbeda, tidak bisa lagi berbelas kasihan dan sebagainya Akhirnya yang dipentingkan adalah apakah menghasilkan keuntungan atau tidak.

Ada suami-suami yang takut istrinya bekerja kemudian mengalami luka hati seperti itu. Jadi dia akan melarangnya, namun saya kira semua ini harus dikesampingkan. Kalau memang dia belum bisa bekerja dan istrinya kebetulan sudah dapat pekerjaan dalam kondisi seperti ini sebaiknya si suami membiarkan si istri untuk bekerja, sebab bagaimana pun juga kebutuhan keluarga mesti dipenuhi.
GS : Mungkin ada alasan yang lain, Pak Paul, kenapa suami tidak mau bekerja?

PG : Ada yang tidak mau bekerja karena sukar berelasi dengan orang lain, Pak Gunawan. Jadi ada kasus dia ribut dengan rekan kerja kemudian berhenti dan akhirnya mendapatkan pekerjaan lagi dan rbut lagi dengan rekannya dan akhirnya dia berhenti, selalu menuduh orang tidak mau berelasi dengan dia, orang tidak adil dengan dia, orang mempermainkan dia, orang memanfaatkan dia, orang iri hati kepada dia dan selalu ada saja alasannya.

Tapi sebetulnya kalau ini terjadi berulang kali, maka kita bisa simpulkan duduk masalahnya kemungkinan besar ada pada dirinya, dia memang tidak memiliki keterampilan berelasi akhirnya tidak punya teman dan akhirnya mudah terjadi konflik dengan teman-teman dan masalahnya adalah ada sebagian orang yang seperti ini yang suka bekerja dengan orang lain tapi dia bukan tipe pekerja mandiri, artinya dia bukan tipe "entrepreneur" yang bisa menciptakan sebuah lapangan pekerjaan yang baru atau berwiraswasta memulai dari nol. Kalau dia tipe yang seperti itu maka lebih baik dia bisa memulai sebuah usaha yang baru dan akhirnya dia berada di atas, menggaji orang di bawahnya dan dia hanya tinggal memberi instruksi dan bawahannya harus terima instruksinya. Tapi kalau dia bukan tipe wiraswastawan itu akan menjadi masalah, karena dia berarti harus selalu bekerja dengan orang lain atau di bawah orang lain. Jika inilah yang terjadi si istri harus dengan lembut, tapi jelas menyadarkan kelemahannya ini sehingga suami itu tidak terus-menerus menyalahkan orang, mungkin istri bisa memberi solusi praktis yang berkaitan dengan kerjasama misalkan si istri berkata, "Aku juga pernah mengalami masalah seperti ini dan biasanya aku begini-begini." Berikan masukan-masukan seperti itu. Yang terpenting adalah semasa suami sedang bekerja, istri harus sering mengajaknya bicara tentang situasi dalam pekerjaan supaya bila ada masalah timbul istri dapat dengan segera memberi bantuan praktis. Kalau istri tidak terlibat dan tidak banyak bertanya hanya diam-diam saja pada akhirnya tahu-tahu pulang. "Saya diberhentikan atau saya tidak mau bekerja di situ lagi," itu sudah terlambat. Kalau bisa istri selalu mengajak suami bicara, "Bagaimana tadi, bagaimana temanmu dan sebagainya" dan terlibatlah juga dengan teman suami. Jadi istri berperan aktif untuk lebih merekatkan hubungan suami dengan rekan-rekannya, sehingga misalnya kalau pun teman-temannya mulai tidak suka dengan si suami tapi karena kenal dengan si istri, sering kadang-kadang keluar maka teman-temannya sedikit sungkan untuk memperlakukan suaminya dengan lebih keras, jadi lebih memaklumi. Dia mungkin berkata, "Kasihan juga kalau dia dikeluarkan karena istrinya begitu baik dan sebagainya." Jadi kalau istri tahu bahwa suami bermasalah dalam menjalin relasi dengan orang, istri harus lebih proaktif dengan menyuruh suaminya mengajak teman-temannya datang ke rumah dan makan bersama, sehingga mudah-mudahan lebih ada kedekatan dengan rekan-rekan kerja.
GS : Kalau dasarnya adalah kesulitan berelasi Pak Paul, kemudian istri banyak menanyakan dan sebagainya, apakah si suami ini punya kesan bahwa istrinya ini mau mencampuri urusannya itu, Pak Paul?

PG : Mungkin harus benar-benar bijaksana dalam menyampaikan kepada si suami, mungkin dengan bertanya, "Bagaimana tadi pekerjaannya? Di awal masuk kerja, ada siapa saja yang bekerja di sana?" Jai bertanya yang sederhana saja, mungkin dari satu kali percakapan hanya dua kali pertanyaan yang paling banyak.

Jangan sampai mencecar tujuh atau delapan pertanyaan. Misalkan sudah seminggu atau dua minggu masuk kerja, istrinya berkata, "Coba kamu undang datang bersama-sama ke rumah dan saya akan masak. Mungkin kita juga bisa berkenalan dengan istrinya" nanti diundang sepasang suami istri, teman-temannya datang makan bersama, ngobrol-ngobrol. Dengan cara inilah jika si istri ingin bertanya banyak hal, si suami juga tidak akan merasa kalau dicampuri karena istrinya juga mengenal mereka.
GS : Mungkin masih ada alasan lagi, Pak Paul?

PG : Ada satu lagi, Pak Gunawan, yaitu ini yang paling berat yaitu ada yang tidak mau bekerja karena memang dia seorang yang malas. Kita ini manusia yang tidak lepas dari kelemahan, ada sebagia pria yang maunya hidup enak tanpa mengeluarkan keringat dan merasa tidak apa-apa memanfaatkan istri dan ini adalah kasus yang berat sebab pada akhirnya demi kepentingan keluarga istri harus memikul beban supaya kebutuhan tercukupi.

Dalam kasus seperti ini saya kira pembicaraan dengan suami hampir selalu percuma sebab suaminya tidak mau bekerja, dia malas dan dia tidak merasa apa-apa, tidak ada rasa malu kalau dia tidak bekerja, malahan ada yang jahat dia sudah tidak bekerja tapi dia tetap mau dihormati, dia makin keras di rumah, makin suka marah kepada anak dan istri, suka main tangan supaya tetap dihormati oleh anggota keluarganya meskipun sebenarnya semuanya sudah tidak lagi hormat kepada dia. Jadi sekali lagi saran saya dalam kasus seperti ini dari pada bertengkar maka lebih baik diamkan saja, jangan diungkit-ungkit sudah tentu pada akhirnya relasi suami istri akan memburuk, inilah konsekwensi yang mesti dipikul.
GS : Ini bicara tentang karakter, dia memang seorang yang malas, tapi peran istri sebagai penolong yang sepadan bagi suaminya sudah tentu tidak bisa membiarkan suaminya tetap malas seperti itu, pasti ada hal-hal tertentu yang bisa dilakukan oleh istri paling tidak untuk memotivasi suaminya.

PG : Sudah tentu motivasi bisa datang dari, "Saya mencintaimu, saya mau menolongmu. Jadi apa yang bisa aku lakukan? Aku akan lakukan untukmu." Dan dalam kasus-kasus seperti ini istri selalu meberikan semua dukungan dari bicara sangat halus sampai bicara lebih keras dan malahan suami akan cepat tersinggung dan cepat marah.

Jadi memang kadang-kadang susah, Pak Gunawan. Memang ada orang yang malas, apa pun yang istrinya katakan dia tidak mau kerjakan sebab dia mau hidup enak-enak saja, hidup hanya seperti ini juga tidak apa-apa. Jadi ada orang yang seperti itu, sehingga sudah tidak bisa lagi dibicarakan.
GS : Walau pun diberikan konsekwensinya bahwa nanti anak-anak akan mencontoh dia menjadi malas dan sebagainya?

PG : Seringkali hal seperti ini juga tidak mereka pedulikan lagi, sebab dia tidak mau lagi sudah payah, dia mau hidup enak-enak saja, tidak peduli anak-anaknya mencontoh atau tidak. Saya pernahbertemu dengan orang-orang tipe seperti ini yang memang tidak peduli, hidupnya itu hanya untuk dirinya.

Jadi dia menikah hanya untuk mendapatkan tumpangan yang baru, dulu tumpangannya adalah rumahnya sendiri dari keluarganya dan sekarang dia perlu tumpangan yang baru dan dia juga mencari istri yang cakap yang bisa bekerja. Jadi dia tidak pusing anaknya nanti akan mengatakan apa, karena dia hidup untuk dirinya sendiri.
GS : Tapi kalau istrinya bekerja dan mendapatkan gaji yang besar, apakah tidak memperburuk keadaan?

PG : Akan memperburuk tapi dia akan senang sehingga dia tidak perlu melakukan apa-apa karena dia bisa mendapatkan dari istrinya. Kalau tidak dihormati pun dia tidak pusingkan. Tapi ada yang perngainya buruk, begitu tidak dihormati dia marah main kekerasan.

GS : Dalam hal ini satu-satunya yang bisa merubah dia mungkin Tuhan saja, Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Firman Tuhan di Amsal 26:13,16 berkata, "Berkatalah si pemalas: 'Ada singa di jalan! Ada singa di lorong!' Si pemalas menganggap dirinya lebih bijak dari pada tujuh orang yang menjawab denan bijaksana."

Orang yang malas selalu mempunyai alasan mengapa ia tidak dapat bekerja, jarang sekali mengakui bahwa sesungguhnya ia tidak dapat bekerja melainkan dia tidak mau bekerja. Memang sulit berhubungan dengan si pemalas pada akhirnya dia harus menanggung akibatnya. Sebagaimana dikatakan dalam Amsal 26:1, "Seperti salju di musim panas dan hujan pada waktu panen, demikian kehormatan pun tidak layak bagi orang bebal."

GS : Itu tegas sekali. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Suami Yang Tidak Mau Bekerja." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



68. Istri tidak Mau Mengurus Rumah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T254B (File MP3 T254B)


Abstrak:

Ada banyak penyebab timbulnya masalah dalam pernikahan, salah satunya adalah tidak terpenuhinya tuntutan suami agar istri mengurus rumah. Pada akhirnya kekecewaan melahirkan konflik dan tidak jarang, hal ini terus menjadi duri dalam pernikahan. Di sini akan dipaparkan mengapa sebagian wanita tidak suka mengurus rumah dan apa yang dapat dilakukan suami?


Ringkasan:

Ada banyak penyebab timbulnya masalah dalam pernikahan, salah satunya adalah tidak terpenuhinya tuntutan suami agar istri mengurus rumah. Pada akhirnya kekecewaan melahirkan konflik dan tidak jarang, hal ini terus menjadi duri dalam daging pernikahan. Berikut akan dipaparkan mengapa sebagian wanita tidak suka mengurus rumah dan apa yang dapat dilakukan suami.

Firman Tuhan
"Rancangan orang rajin semata-mata mendatangkan kelimpahan." (Amsal 21:2) Orang yang rajin mengundang hormat, demikian pula istri yang rajin pastilah mengundang rasa hormat suami. Relasi dibangun atas dasar rasa hormat dan ternyata, rasa hormat keluar dari hal-hal sederhana seperti mengurus rumah tangga. Tuhan berjanji memberkati orang yang rajin dengan berlimpah; istri yang rajin akan menerima pujian dari suami dan anak-anaknya.


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Istri Tidak Mau Mengurus Rumah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pada awalnya istri itu senang mengurusi rumah dan itu merupakan pengembangan dirinya. Kalau ada tamu yang datang dan berkata, "Rumahmu bagus, rapi dan sebagainya" yang paling merasakan senang biasanya istri, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Tapi ada beberapa istri yang acuh tak acuh dengan keadaan rumah tangganya dalam pengertian menata barang atau kebersihan rumah, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang hal-hal ini bisa saja dianggapnya sepele oleh istri tapi saya yakin bahwa sampai sekarang sebagian besar pria atau suami sebetulnya suka dengan istri yangsuka mengurus rumah.

Misalnya bisa mengatur dan membersihkan barang-barang perabotan, meskipun bukan dia sendiri yang membersihkannya. Namun tidak semua istri bisa melakukan hal-hal seperti itu. Contoh kecil yang kadang-kadang menjadi krikil dan lama-lama menjadi krikil yang tajam untuk relasi nikah adalah misalnya ada suami yang mengharapkan istrinya bangun lebih pagi dari pada dirinya atau sama-sama paginya namun ada istri yang tidak bisa bangun pagi, jadi bangunnya bisa jam 9 atau jam 10. Sedangkan si suami pagi-pagi sudah harus bangun menyiapkan makanan untuk bekerja atau makanan disiapkan oleh yang lain. Bisa jadi hal-hal itu menjadi duri di dalam hati si suami sebab dia respek kepada istri yang berfungsi dengan baik seperti yang dia idamkan. Kalau hal ini tidak menjadi kenyataan maka dia mulai menyimpan kekecewaan. Pagi-pagi dia harus bangun, dia harus makan sendirian, istrinya bangun jam 9 atau jam 10 akhirnya itu menjadi duri dalam hati si suami.
GS : Kalau suami mengharapkan istrinya mau berbenah di dalam rumah tangga tetapi tetap mendapati istrinya seperti itu, hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh si suami ini? Mungkin banyak alasannya dan kita tidak mengerti, mungkin latar belakangnya yang menyebabkan istri tidak mau mengurusi rumah tangga itu, Pak Paul.

PG : Sudah tentu langkah terbaik adalah pada awalnya sebelum mereka menikah si suami dan si istri ini sudah harus menyampaikan tuntutan atau harapan yang terkandung. Jadi sebelum menikah si pri bisa menyampaikan, "Saya mengharapkan kamu sebagai istri yang mengurus ini, bangun jam berapa" itu dikatakan secara spesifik semua harus dijabarkan.

Jika pada masa pranikah hal ini telah dibicarakan maka akan dapat dicarikan jalan keluar yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Jika belum dibicarakan dan sekarang setelah menikah, saya harapkan suami mengutarakan hal-hal ini dengan lembut dan meminta istrinya untuk mengurus rumah. Untuk menghindari kesalah pahaman sebaiknya si suami menyampaikan pengharapan ini secara spesifik yakni hal-hal apakah yang diidamkannya, dengan kata lain, suami harus menjelaskan dengan apa yang dimaksudkan dengan mengurus rumah. Jadi jangan sampai dia hanya berkata, "Yang penting kamu harus mengurus rumah" dan apa artinya mengurus rumah? Si istri bisa berkata, "Saya sudah mengurus rumah, anak-anak semua bisa sekolah, tidak ada yang sakit-sakitan, semua saya rawat dengan baik," jadi mengurus rumah diartikan dengan jelas, supaya tidak ada kesalah pahaman di antara mereka.
GS : Biasanya calon istri sulit untuk membayangkan karena dia tidak tahu apa yang dikatakan mengurus rumah apalagi kalau di rumah, dia tidak pernah melihat ibunya melakukan pekerjaan rumah. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang sebaiknya pada masa sebelum mereka menikah si istri harus menceritakan apa yang biasa dilakukan di rumah, si suami juga harus menceritakan apa yang biasanya harus dilakukan di rumah Dari cerita masing-masing sebetulnya sudah bisa terlihat gaya hidup yang biasa mereka nikmati, dari situ nanti bisa dibicarakan kesediaan masing-masing untuk mengubah gaya hidup itu.

Ada yang tadi Pak Gunawan telah singgung, ada yang memang tidak melihat figur mama sebagai figur yang mengurus rumah, sehingga akhirnya dia tidak tahu bagaimana mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena tidak ada contohnya. Sehingga kalau itulah yang terjadi maka dua-dua mesti membicarakannya sehingga si calon suami juga bisa sabar untuk memberitahukan bahwa ini yang biasa dilakukan dan itu yang biasa dilakukan, betapa sering misalkan barang ini mesti dibersihkan dan sebagainya. Jadi akhirnya dua-dua bisa saling kerjasama dan saling menolong kalau memang si istri tidak mempunyai gambaran yang harus dilakukan.
GS : Jadi di dalam hal ini, si istri bukannya tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi dia tidak tahu apa yang harus dia kerjakan, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi bukannya dia tidak mau mengerjakan tapi memang dia tidak tahu. Atau ada istri yang bekerja di luar rumah sehingga dia tidak bisa mengerjakan semua seperti yang telah diinginkanoleh si suami.

Dalam kasus seperti itu si suami harus fleksibel bahwa istrinya tidak bisa melakukan semua yang diharapkannya. Misalkan ada pembantu yang bisa dimintai bantuannya, biarkan diserahkan kepada seseorang yang nantinya mengurus, membersihkan dan sebagainya. Dengan cara itu si suami melihat bahwa yang penting rumah ini telah beres, diurus dengan benar dan anak-anak juga diurus dengan benar dan ini bisa memberi ketenangan kepada si suami.
GS : Tetapi ada juga beberapa istri yang memang tidak tertarik melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah dan itu bagaimana Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan. Memang kita tidak bisa menyalahkan karena sekarang ini semua anak sama, baik perempuan dan laki-laki bersekolah. Sehingga dari kecil baik laki-laki maupun perempuan dikndisikan untuk memfokuskan pada hal-hal yang lain.

Jarang di sekolah mendapatkan pelajaran mengurus rumah, membersihkan rumah, mengurus anak. Dan memang sekolah tidak mengajarkan hal-hal itu, yang biasanya diajarkan adalah hal-hal lain seperti membicarakan tentang karier, kesempatan bekerja dan jarang sekali dibicarakan hal-hal rumah tangga. Jadi tidak bisa disalahkan kalau cukup banyak wanita yang tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu yakni hal-hal rumah tangga. Misalnya sebagian wanita yang berkarier di luar rumah pada akhirnya kurang berminat mengurus rumah, misalnya menjaga kebersihan dan menata isi rumah sebab mungkin saja kondisi istri sendiri sedang letih, sudah capek tapi kenapa tugas ini harus saya yang kerjakan bukankah lebih baik kalau saya delegasikan kepada orang lain atau kepada pembantu dan dia dapat menggunakan tenaganya untuk tugas lain yang dinilainya lebih penting. Jika ini adalah kasusnya sudah tentu suami mesti menerima hal ini namun sudah selayaknya pula istri menjadi penanggung jawab rumah tangga kendati bukan dia yang menjadi pelaksananya.
GS : Di dalam hal-hal tertentu ada suami yang tidak mau untuk pekerjaan-pekerjaan istri dilakukan oleh ibu, kecuali oleh istrinya, misalkan membersihkan kamar tidur mereka, Pak Paul. Ada suami yang menuntut harus istrinya, dia berpikir tidak nyaman kalau orang lain masuk ke kamar mereka, Pak Paul.

PG : Betul, memang ada suami yang berkonsep bahwa seyogianyalah ibu rumah tangga mengurus ini semua. Jadi ada yang beranggapan bahwa meskipun kamu mau bekerja, silakan! Tapi ini yang lebih pening misalkan suaminya menghasilkan uang yang cukup baik sehingga si istri tidak harus bekerja tapi istrinya mau mengaktualisasikan diri dengan tetap berkarier, akhirnya suaminya berkata, "Baiklah tidak apa-apa kamu mau berkarier asal kamu tetap mengurus rumah tangga."

Waktu istri mulai mendelegasikan tiba-tiba suami mulai tidak senang, sebab dia memiliki konsep atau idealisme seharusnya istri atau mama di rumah. Waktu tidak dilakukannya, suami sudah mulai merasa kurang senang dalam hal ini suami harus menahan perasaannya dan mau mengerti bahwa dia menikah dengan seorang istri yang minat utamanya berkarier di luar rumah, yang penting dia bisa mengatur rumah tangga sehingga urusan rumah tangga itu diselesaikan. Misalkan dalam soal kamar suami berkata, "Kamu yang membersihkan kamar sebab saya tidak bisa menerima kalau kamu menyerahkan kepada pembantu untuk bersihkan kamar kita." Dalam hal itu si istri mesti mengalah dan berkata, "Baik untuk kamar, saya yang bersihkan tapi karena pada hari biasa saya pulang sudah capek, bagaimana kalau saya membersihkannya pada hari Sabtu saja atau pada hari libur saya." Dengan cara itu si suami bisa melihat bahwa istrinya juga berusaha untuk bisa bertemu di tengah dengan dia untuk mengakomodasikan keinginannya dan itu bisa menyelesaikan masalah.
GS : Jadi ada kesepakatan lebih dahulu diantara mereka, Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Hanya kadang-kadang karena istri berkarier lalu menganggap pekerjaan di rumah itu sesuatu yang rendah.

PG : Ada yang seperti itu misalnya ada yang beranggapan ini buang waktu atau ini merendahkan martabat saya, sebab dia tidak pernah melakukannya dulu dan bagi dia ini suatu penderitaan bukannya uatu sukacita bisa menyenangkan hati si suami.

Jadi akhirnya dia menolak. Sekali lagi yang diperlukan adalah sebuah kerjasama contohnya adalah soal masak, saya tahu ada suami yang mengharapkan istrinya masak di rumah, walau pun ada masakan di rumah entah itu dimasak oleh orang lain atau "catering", dia tidak suka apalagi kalau dia tahu bahwa istrinya bisa masak. Kalau mungkin istrinya tidak bisa masak dia masih bisa mengerti tapi kalau dia tahu bahwa istrinya bisa masak, tapi dia tidak mau meluangkan waktu untuk memasak buat suaminya, dia bisa kaitkan ini dengan kasih sayang, "Kamu tidak sayang kepada saya makanya kamu tidak mau masak buat saya." Ada juga kasus seperti ini yaitu si istri susah masak di rumah dengan alasan tidak ada waktu, capek pulang kerja dan sebagainya namun kadang-kadang ketika keluarganya atau mamanya meminta tolong untuk dimasakkan maka dia akan memasakkan, dalam hal ini si suami bisa marah, "Kamu cepat kalau memasak untuk mamamu tapi kalau untuk aku tidak! Kapan kamu terakhir masak untuk aku tapi kalau untuk mamamu kamu selalu dahulukan dan sebagainya." Jadi inilah yang menjadi duri di dalam rumah tangga, saya kira kuncinya di sini adalah kerjasama, si istri bisa berkata "Saya mau memasakkan untuk kamu, memang untuk hari-hari biasa saya susah untuk memasakkan kamu karena saya sudah capek, bagaimana kalau hari Sabtu atau hari Minggu, saya pasti akan masak dan saya akan coba masak beberapa macam sehingga bisa didinginkan di lemari es dan nanti bisa dipanaskan. Setidak-tidaknya setengah dari makanan di rumah adalah masakan saya meskipun tidak selalu segar, saya akan masakan," atau fleksibel misalnya nanti sekali-kali sebelum pulang si istri bisa berkata kepada si suami, "Bisakah kamu mampir ke supermarket untuk membelikan beberapa jenis bahan makanan dan nanti setelah saya pulang saya akan langsung masak." Jadi sekali-kali berikan kejutan seperti itu kepada si suami agar si suami juga senang bahwa istrinya juga memikirkan dia. Maka tidak disuruh pun akhirnya si istri langsung sudah bisa memikirkan apa yang bisa dimasakkan untuk si suami secara kejutan.
GS : Memang agak peka dalam masalah makanan, Pak Paul, katakan si istri itu minta tolong orangtuanya untuk memasakkan bagi suaminya, ini juga bisa membuat suaminya marah-marah, Pak Paul.

PG : Betul, memang tidak seharusnya suaminya marah-marah karena tidak setiap kali hanya sekali-kali saja dan kita juga mesti ingat juga bahwa kenapa sampai si istri tidak sempat memasakkan makaan.

Kita mesti menyadari bahwa tidak semua perempuan itu karena dia perempuan kemudian suka masak, sama seperti kita pria karena kita pria maka kita suka main basket atau karena kita pria maka kita akan suka bermain sepak bola atau karena kita pria maka hobinya mereparasi mobil. Itu tidak! Karena pria juga berjenis-jenis dan perempuan juga berjenis-jenis apalagi sekarang perempuan tidak lagi dikondisikan untuk masuk ke dapur, mengurus rumah, karena sekarang semua sama-sama bersekolah seperti kita dan kita yang pria-pria. Mulai dari kecil sampai besar sekolah tidak terekspose dengan masak-memasak atau membersihkan rumah, kita akhirnya tidak terlalu berminat kesana. Jadi harus dimengerti hal seperti itu, namun di pihak lain istri juga harus mengerti bahwa inilah peran tradisional yang biasanya dikaitkan dengan wanita atau istri. Sehingga sebagian besar suami sebetulnya tetap mengharapkan istri yang bisa mengatur, kalau pun dia tidak bisa turun tangan langsung setidak-tidaknya dia yang mengupayakan pengaturannya, siapa yang membersihkan, sehingga waktu suaminya pulang ke rumah maka rumah itu telah beres, telah bersih.
GS : Kadang-kadang ada istri yang merasa tersinggung atau merasa tidak enak kalau si suami ikut-ikutan urusan dapur. Jadi misalnya membersihkan dapur lalu sedikit memasak, padahal tadi Pak Paul katakan orang punya bakat sendiri-sendiri, suami ini pintar masak dan senang masak tapi kalau istrinya itu dimasakkan maka istrinya marah-marah.

PG : Ada yang seperti itu. Memang sekali lagi ini adalah hal-hal kecil yang bisa menjadi duri, ada suami yang memang senang masak dan pandai masak misalkan dia tahu istrinya ingin membuktikan dri bahwa dia bisa masak, bisa menyenangkan hati suami jadi akhirnya si istri yang mencoba untuk memasak.

Tapi ada suami yang karena dia punya standart masakan tinggi dan bagus akhirnya dia kurang suka, akhirnya dia mulai memberikan komentar-komentar, memberikan masukan-masukan harusnya ini dan itu. Kalau menyampaikannya tidak dengan bijak sudah tentu akan menyinggung perasaan si istri, "Kamu bisanya hanya mencela saja." Ada baiknya kalau si suami masak bersama-sama dengan si istri dari pada mengambil alih, "Boleh tidak saya membantu kamu." Jadi sekali lagi menawarkan diri atau sekali-kali suaminya berkata, "Kamu tampak letih, mau atau boleh 'kan untuk masak nanti malam saya yang akan masak, kamu tidak perlu masak." Jadi sekali lagi dia tidak menyinggung-nyinggung kwalitas masakan si istri dan dia juga tidak membanggakan diri. Misalkan ada orang tua yang berkata di depan anak-anak, "Kamu lebih suka masakan papa atau mama." Hal-hal seperti itu memang harus dijaga. Misalkan mengundang tamu, jangan sampai berkata, "Ini masakan si suami dan ini masakan si istri" dan kebetulan si suami pintar masak, kemudian orang akhirnya berkata, "Suamimu masak lebih enak dari pada kamu," dan itu akan lebih menjatuhkan martabat si istri. Memang perlu kepekaan-kepekaan dalam hal itu dan di pihak lain istri juga jangan sungkan untuk menerima bantuan si suami, kalau memang suami suka dan rela untuk melakukan hal itu, kenapa tidak? Ijinkanlah suami untuk bisa membantu si istri pula.
GS : Apakah ada alasan yang lain Pak Paul kenapa istri juga tidak mau mengurusi rumah?

PG : Ini yang lebih berat, Pak Gunawan, yaitu ada istri yang tidak mau mengurusi rumah namun tidak suka pula bekerja di luar rumah. Singkat kata istri ini memang malas untuk melakukan semua itu keinginannya adalah senang tanpa harus berkeringat, memang ada orang yang seperti itu.

Dia menganggap dirinya seperti putri, seperti anak raja, biasa dimanja tidak pernah melakukan apa-apa. Jadi akhirnya tidak mau mengurus apa-apa. Begitu masuk ke dalam pernikahan dengan konsep, "Saya tidak perlu melakukan apa-apa dan itu semua harus diurus oleh orang lain." Kalau ini situasinya sudah tentu seyogianya sebelum menikah si suami sudah harus tahu kondisi si istri. Makanya betapa pentingnya pembicaraan seperti ini sebelum mereka menikah sehingga sudah jelas tuntutan masing-masing. Jika sudah menikah sudah tentu suami harus membicarakan pengharapannya, mungkin sebagai awal suami bisa menurunkan tuntutannya sehingga istri bisa melakukan hal yang sederhana, misalnya istrinya tidak terbiasa kerja dan sebagainya dia berkata kepada si istri "Bagaimana kalau ranjang kita saja yang kamu bereskan dan biarlah nanti bagian lain dari kamar saya yang akan bereskan." Jadi mintalah untuk si istri melakukan hal-hal kecil yang sangat sederhana dan waktu si istri melakukannya, si suami memujinya, membanggakannya sehingga si istri mulai mendapatkan kekuatan dari si suami dan dia makin senang, dia akan melakukan hal seperti itu. Jadi lama-lama dia akan labih terdorong bukan saja membereskan ranjang tapi nanti juga akan membereskan lemari dan sebagainya atau dia nanti akan meminta pembantu untuk mengurus ini dan itu. Semakin istri melakukan hal itu maka suami tidak boleh lupa harus terus mengkomunikasikan penghargaannya, "Saya senang kamu mencoba benar-benar dengan keras, saya mengerti latar belakangmu, kamu tidak terbiasa tapi kamu rela susah-susah melayani saya seperti ini." Makin dihargai sudah tentu si istri makin senang untuk melakukannya.
GS : Pak Paul, ada istri yang mengeluh karena pekerjaan rumah tangga itu menjemukan sehingga suatu saat dia berkata, "Saya ini sedang jenuh melakukan pekerjaan di rumah" entah itu memasak, entah itu membersihkan rumah atau cuci baju. Dan bagaimana sikap si suami, Pak Paul?

PG : Maka yang pertama kalau si istri berkata seperti, si suami harus mengerti bahwa istrinya jenuh dan suaminya berkata, "Baiklah tidak apa-apa dan kamu istirahat saja dan saya akan minta pembntu untuk beli sesuatu dan sebagainya."

Jadi suami menawarkan diri untuk mengambil alih tapi cara lain juga yang baik adalah bagaimana pun juga perlu waktu untuk beristirahat jangan sampai menjadi istrinya tidak ada waktu untuk beristirahat. Jadi berikanlah hari-hari tertentu tidak perlu masak, katakan kepada istri, "Hari ini kamu tidak perlu masak, nanti kita bisa makan di luar atau nanti saya yang masak" jadi benar-benar ada spirit kerjasama di antara suami istri. Ada hal lain lagi yang juga kadang-kadang muncul yang bisa menimbulkan masalah yaitu kebalikannya, ada istri yang terlalu senang membersihkan rumah akhirnya rumah itu perlu dipoles sampai mengkilap, jadi benar-benar dari pagi sampai malam pekerjaannya adalah membersihkan rumah, sampai-sampai suami itu cukup sengsara tinggal dengan si istri karena tidak boleh kotor sedikit pun. Pulang kerja suami mengharapkan si istri bisa relaks, nonton televisi bersamanya namun itu tidak terjadi karena ada saja yang dikerjakan oleh si istri sampai jam 10 atau 11 malam, sudah lelah kemudian tidur. Si suami mengharapkan istri bisa bercengkerama dengan dia namun itu tidak bisa, dan waktu suaminya mengeluh, istrinya berkata, "Ini juga buat kamu supaya rumah ini menjadi bersih, kalau rumah bersih maka dilihatnya enak dan sebagainya. dan kamu juga harus mengerti saya karena saya juga sudah capek," akhirnya timbul konflik lagi. Jadi di sini dituntut kerjasama dan pengertian di antara suami dan istri.
GS : Ada orang yang memiliki sifat-sifat seperti itu, kalau kita mencegah dia membersihkan rumahnya, maka nanti akan timbul masalah lain, Pak Paul?

PG : Dalam masalah itu saya kira suami bisa berkata kepada istri, "Begini saja kalau kamu rasa kamu harus membersihkan rumah itu tidak apa-apa, tapi bisakah kalau sudah jam 7 kamu harus berhenti. Jadi yang penting kamu disiplin diri kalau jam 7 malam kamu berhenti tidak lagi membersihkan rumah." Dan suami membantu si istri misalkan membersihkan dapur setelah makan, kemudian berhenti dan pekerjaan yang dilanjutkan besok pagi. Jadi minta kesediaan istri untuk menghentikan, jangan sampai dirinya sendiri itu obsessif, terus-menerus ada saja yang belum beres. Ada saja istri yang berkata, "Belum beres semuanya" dan memang tidak bisa beres, namanya juga rumah, namanya juga debu, namanya juga lingkungan selalu ada saja yang mengotori, apalagi kalau ada anak. Tapi si istri harus diyakinkan bahwa ini bukanlah pekerjaan yang bisa beres dan selamanya beres, kalau hari ini beres besok tidak beres lagi tetap sama. Jadi lebih baik dibatasi dan dalam hal ini istri harus menunjukkan pengertiannya, tidak bisa dia hanya menuntut suami untuk mengerti bahwa inilah kesukaannya membersihkan rumah dan dia tidak bisa tidur kalau rumah belum bersih. Itu akhirnya menjadi masalah buat si suami.

GS : Kesulitan istri yang bisa dibantu oleh suami adalah bagaimana mengatur waktu baik mengurus rumah, mengatur anak, termasuk memberikan perhatian kepada suaminya.

PG : Betul sekali. Memang ujung-ujungnya adalah suami tidak merasa diperhatikan. Memang si istri bisa berkata, "Seharusnya kamu mengerti," tapi bagaimana pun juga dia manusia biasa yang memerluan perhatian.

Kalau sudah punya anak sudah tentu suami harus mengerti bahwa istri tidak bisa berbuat banyak dan dia harus terima fakta itu. Tapi suami juga bisa membantu, misalkan anak-anak mengajari pelajaran anak-anaknya dan sebagainya sehingga istri juga merasa bahwa "Baiklah kamu tidak hanya menuntut tapi kamu juga rela menyingsingkan lengan baju menolong saya." Dan ini sudah tentu akan membuat pasangan, si istri akan lebih senang melihat suaminya bersedia turun tangan.
GS : Sebetulnya peran anak-anak kalau anak-anak sudah besar, bisa melibatkan anak-anak untuk ikut membantu menata rumah. Misalkan membersihkan mainannya sendiri atau merapikan mainannya sendiri, Pak Paul.

PG : Betul dan memang bisa dilakukan oleh si suami, suaminya bisa menyuruhnya untuk membereskan mainan. Jadi jangan sampai suami bersikap seperti bos dengan duduk dan kaki di atas meja di depantelevisi menyuruh-nyuruh istrinya, "Sudah berhenti, anak-anak berhenti dan sebagainya."

Si istri dalam hati pasti marah, "Kamu hanya bisa menyuruh, bersantai-santai begitu tolonglah membantu sedikit, anak-anak tolong diawasi pekerjaannya, suruh mereka mandi, sikat gigi supaya mereka bisa siap-siap tidur dan sebagainya, jadi jangan hanya terima beres saja." Memang penting bagi suami menunjukkan kerjasamanya.
GS : Pembagian tugas ini penting, baik di pihak suami maupun di pihak istri sehingga masing-masing tahu dimana tanggung jawabnya.

PG : Betul.

GS : Dan apakah ada ayat Firman Tuhan yang memberikan bimbingan kepada kita semua, Pak Paul?

PG : Amsal 21:5 berkata, "Rancangan orang rajin semata-mata mendatangkan kelimpahan." Indah sekali Firman Tuhan ini, orang yang rajin mengundang hormat demikian pula istri yang rajin pastilah engundang hormat suami.

Relasi dibangun atas dasar rasa hormat dan ternyata rasa hormat keluar dari hal-hal sederhana seperti mengurus rumah tangga. Tuhan berjanji memberkati orang yang rajin dengan berlimpah, istri yang rajin akan menerima pujian dan kasih dari suami dan anak-anaknya.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Istri Tidak Mau Mengurus Rumah." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



69. Sayang tapi Benci


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T255A (File MP3 T255A)


Abstrak:

Ada sejumlah faktor yang mesti dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan hidup, salah satunya adalah apakah kita mencintai pasangan kita atau tidak. Hal ini menjadi rumit tatkala bukan saja rasa sayang yang kita rasakan tetapi juga rasa benci. Dengan kata lain, kita merasa tidak dapat hidup tanpa kehadirannya namun kita merasa tidak sanggup hidup dengannya pula. Apa saja cirinya? Dan bagaimana kalau kita sudah hidup dengan relasi seperti ini?


Ringkasan:

Ada sejumlah faktor yang mesti dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan hidup, salah satunya adalah apakah kita mencintai pasangan kita atau tidak. Hal ini menjadi rumit tatkala bukan saja rasa sayang yang kita rasakan tetapi juga rasa benci. Dengan kata lain, kita merasa tidak dapat hidup tanpa kehadirannya namun kita merasa tidak sanggup hidup dengannya pula.

Ciri Relasi Sayang tetapi Benci Mengapa Kita Perlu Mewaspadai Relasi Ini? Jadi, apa yang harus dilakukan bila inilah yang terjadi?

Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sayang Tapi Benci". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Judul perbincangan kita kali ini sangat kontradiksi, Pak Paul, ada sayangnya tapi juga benci. Tentu ini di dalam relasi antara pria dan wanita yang sedang menjalin kasih. Bagaimana kalau dua hal yang bertentangan bisa menyatu dalam suatu keadaan, Pak Paul?

PG : Boleh saya katakan ini sebuah relasi yang berbahaya karena relasi ini tidak murni, buruk sehingga mudah terlihat. Karena relasi ini bisa terlihat dengan jelas, sebenarnya kita bisa segera mbil keputusan namun yang menjadi masalah adalah ada perasaan sayang yang kuat sekali, tapi ada juga perasaan benci.

Jadi sepertinya tidak bisa hidup tanpa orang yang kita sayangi itu, tapi masalahnya adalah kita juga tidak suka dengan dia, marah kalau dekat dengan dia. Dalam kondisi seperti ini biasanya keduanya susah sekali untuk menilai bahwa sebetulnya relasi ini buruk dan mereka harus putus. Sehingga mereka terus melanjutkan hubungan mereka, semakin hari satu sama lain saling menghancurkan, karena meskipun ada perasaan sayang namun kemarahan juga begitu banyak. Jadi sebetulnya relasi mereka sangat buruk, tapi mereka tidak bisa melihat hal itu.
GS : Seringkali pada masa pacaran rasa sayang lebih besar dari pada bencinya. Perasaan bencinya itu hanya sedikit dan tertutupi oleh perasaan sayang. Dan yang menjadi masalah setelah menikah unsur benci itu lebih besar, Pak Paul.

PG : Seringkali itu yang terjadi. Pada waktu berpacaran masih dibuai oleh cinta meskipun banyak konflik yang membuat mereka marah dan mereka masih bisa berkata, "Tidak apa-apa." Tapi setelah meangkah masuk ke dalam pernikahan rasa benci itu perlahan-lahan makin bertumbuh.

Maka penting bagi saya untuk menyoroti hal ini dengan lebih saksama. Pertama-tama saya mau melihat hal ini, ada dua ciri yang kita mesti perhatikan dan mudah-mudahan para pendengar bisa menyimaknya. Yang pertama, pada dasarnya kita merasa sangat menyayanginya dan terus merindukannya namun kita tidak bisa berlama-lama dengan dia, karena nanti akan ada pertengkaran. Jadi bisa kita bayangkan situasinya, setiap kali kita berbicara dengan dia maka kita akan mengakhirinya dengan pertengkaran. Sehingga kita jarang bersama-sama menikmati waktu tanpa bertengkar, ujung-ujungnya bertengkar dan kalau bertengkar sangat hebat. Namun setelah pulang ke rumah kita merindukannya, rasanya tidak bisa hidup tanpa dia, tapi kalau besok bertemu lagi maka kita akan bertengkar, kira-kira itulah yang menjadi pola pertama relasi sayang tapi benci ini.
GS : Biasanya hal-hal apa yang disayangi dan hal-hal apa yang dibenci, Pak Paul?

PG : Biasanya dalam kondisi seperti itu kita menyayangi hal-hal yang kita tahu kita sukai, kita kagum dengan ketegasannya, kerohaniannya, kepeduliannya, rela berkorban untuk kita. Jadi hal-hal tu membuat hati kita hangat kalau memikirkan tentang dirinya, namun setiap kali kita bertemu dengan dia, kita bisa bertengkar karena ada hal-hal yang ternyata menjadi ketidakcocokan kita sehingga pada akhirnya ketidakcocokan itu meletuskan pertengkaran-pertengkaran.

GS : Biasanya pertengkaran juga dipicu oleh kondisi kita yang tidak merasa senang, atau ada hal-hal lain yang mengganggu kita, seperti di pekerjaan dan sebagainya sehingga pertengkaran itu cepat timbul.

PG : Sudah tentu akan memperburuk keadaan kalau kita dalam kondisi yang tidak prima atau ada hal-hal yang mengganggu kita. Namun dalam kondisi yang normal pun pertengkaran bisa terjadi boleh diatakan konsisten, boleh dikatakan tidak bisa bicara baik-baik, inilah ciri pertama yang kita mesti perhatikan.

Dan ada ciri yang kedua yaitu biasanya kita menyayanginya, tapi ada hal-hal tertentu yang kita tidak suka. Bukan hanya sekadar tidak suka namun benar-benar membenci hal tertentu tentang dirinya, misalnya kita tidak suka dengan kekasarannya, kita sudah beritahukan kepada dia, "Tolong kamu jangan kasar seperti itu, tolong kamu lebih pertimbangkan perasaan orang dan sebagainya", namun dia tidak mau merubahnya dan terus melakukan hal yang sama. Sehingga kalau kita mengingat hal itu atau kalau kita terkena dampaknya, kita bisa marah meskipun setelah itu kita kembali menyayanginya, dan rasanya tidak bisa hidup tanpa dirinya. Tapi sewaktu kita bersentuhan dengan bagian di dalam dirinya yang kita tidak sukai, kita menjadi sangat marah dan tidak terima dengan hal itu. Ini adalah dua ciri yang kita mesti waspadai, Pak Gunawan.
GS : Kalau dari ciri yang kedua, ada orang yang bisa menerima perlakuan kasar itu dan dia mengatakan, "Setidaknya dia masih menghargai saya bahwa saya ada di situ."

PG : Ada orang yang berkata seperti itu dan akhirnya menoleransi semua, tapi sebetulnya dia mesti menyadari bahwa sesungguhnya ini adalah bagian yang tidak dia sukai, sangat mengganggunya sehinga reaksi marahnya begitu kuat.

Atau reaksi yang lain misalkan pria tidak suka dengan wanita yang bersikap ketus, itu sebabnya waktu dia mulai ketus dengan orang atau temannya, maka reaksi kita adalah langsung marah, apalagi kalau kita yang menjadi target kemarahan atau sikap ketusnya. Waktu kita marah rasanya kita mau putus dengan dia dan sudah tidak tahan lagi. Tapi setelah pulang ke rumah dan menimbang-nimbang lagi maka kita sayang lagi. Jadi ini yang saya katakan relasi sayang tapi benci. Relasi sayang yang seperti ini berbahaya karena kedua orang ini tidak melihat duduk masalah yang sebenarnya dan terus menoleransi, menjalaninya walaupun sesungguhnya semakin hari, semakin tenggelam di dalam masalah.
GS : Apakah ini bukan masalah pribadi dari orang tersebut, yaitu dia memiliki kebutuhan dikasihi namun pasangannya tidak bisa memberikan?

PG : Biasanya ada. Jadi di dalam dirinya sudah ada kebutuhan yang besar dan bisa jadi rasa sayangnya juga muncul dari kebutuhan yang terpenuhi oleh pasangannya. Misalkan dia merasa tidak berhara namun pasangannya sangat membutuhkannya, mencari pertolongannya, sehingga dia merasa berharga dan kebutuhannya terpenuhi.

Tapi ada hal-hal lain yang dia butuhkan namun tidak dipenuhi dan apa yang ingin dilihat pada pasangannya tidak dia lihat malah kebalikannya yang terjadi adalah pasangannya kasar, tidak sensitif berbuat seenaknya dan sebagainya, hal-hal ini yang membuat dia marah tapi di pihak lain ada kebutuhan-kebutuhan lain yang terpenuhi. Hal-hal itulah yang membuat mereka putus dan kembali lagi. Tapi yang saya mau ingatkan pada para pendengar kita adalah kita mesti menyadari bahwa kalau hampir dalam setiap percakapan berakhir dengan pertengkaran, itu pertanda bahwa banyak ketidakcocokan dalam banyak hal, sehingga kita tidak bisa berlama-lama dalam berkomunikasi karena akan menimbulkan pertengkaran dan mungkin sekali kita juga tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan cara yang cocok agar bisa didengarkan dan diterima oleh pasangan. Bisa jadi itu merupakan tanda adanya perbedaan cara pikir atau nilai kehidupan yang belum terselesaikan. Sekali lagi kalau dalam kenyataan kita sering bertengkar berarti cukup banyak perbedaan dan pertengkaran merupakan tanda kegagalan kita menyelaraskan perbedaan. Kita mungkin mencintainya tapi bila inilah yang justru terjadi dan ini menunjukkan ketidakcocokan di depan mata, maka kita mesti mengingat bahwa cinta itu sendiri tidak cukup kuat untuk menopang pernikahan tanpa adanya keharmonisan.
GS : Pertengkaran itu merupakan proses dalam penyesuaian dan sampai berapa lama kita bisa menyesuaikan?

PG : Kalau kita sudah berpacaran selama setahun dan rasanya relasi kita ini bukannya membaik tapi rasanya kurang harmonis itu adalah sebuah tanda bahwa kita lebih banyak berbenturan dengan ketiakcocokan.

Kalau dalam satu tahun pertama kita masih bergumul saya kira ini masih wajar. Biasanya dua atau tiga bulan pertama itu adalah masa-masa indah, tapi seyogianya setelah empat atau lima bulan kita mulai masuk di dalam realitas berpacaran dan kita mulai bertemu atau berpapasan dengan ketidakcocokan. Seyogianya enam bulan kita mulai belajar mencocokkan sehingga setelah itu kita mulai bisa berkata, "Sekarang kita sudah bisa menyelesaikan dan menyelaraskan hal ini." Kalau itu yang terjadi maka kita bisa dengan aman berkata, "Baiklah, relasi kita sekarang ini sudah berjalan di rel yang benar," tapi sebaliknya kalau setelah enam bulan dan ditotal satu tahun kita berpacaran, dan sering bertengkar, ini adalah pertanda kita tidak berhasil menyelaraskan ketidakcocokan kita. Tadi sudah saya singgung ini adalah pertanda kita tidak tahu cara berkomunikasi sehingga setiap kali berbicara selalu dianggapnya keliru dan membuat dia tersinggung. Kalau kita mulai frustrasi, maka kita mesti bicara dan kita mesti menyadari bahwa cara berpikir kita terlalu berbeda. Saya sering bertemu dengan pasangan nikah yang setelah menikah baru berkata, "Saya memang baru menyadari cara bepikir kami terlalu berbeda atau nilai-nilai yang saya junjung juga sangat berbeda," ada orang yang menekankan efisiensi sehingga tidak terlalu memikirkan perasaan orang dan yang satunya lebih mempertimbangkan, memperhatikan perasaan orang dan akhirnya nilai-nilai itu berbenturan, apalagi kalau nanti punya anak. Jadi hal-hal itu yang kita mesti lihat yakni begitu banyak ketidakcocokan di dalam diri kita.
GS : Biasanya pada masa berpacaran, masing-masing menahan diri dan tidak mengungkapkan jati diri yang sebenarnya, sehingga meletusnya kemarahan itu pada saat mereka resmi menjadi suami istri, Pak Paul.

PG : Seringkali itu yang terjadi, Pak Gunawan. Kita beranggapan bahwa itu adalah masalah kecil dan yang mesti kita lakukan adalah kita harus membuka mata. Maksud saya adalah misalnya kita membeci aspek tertentu di dalam dirinya, dan posisi kita saat ini masih berpacaran, jangan kita beranggapan bahwa nanti setelah menikah dengan sendirinya hal ini akan pudar dan kita tidak akan saling marah, nantinya kebencian kita juga akan makin susut, itu salah! Kenyataan kalau kita membenci hal tersebut, itu memperlihatkan bahwa itu merupakan hal penting bagi kita, yang kita dambakan dari pasangan kita.

Sebagai contoh jika kita membenci kekasarannya, itu menandakan bahwa kita meninggikan nilai kesantunan dan itu berarti kita sukar menghormati orang yang tidak memiliki kesantunan, berarti ini sesuatu yang tidak ada di dalam diri pasangan kita, sedangkan ini hal yang penting bagi kita, jadi kita harus kompromikan. Kita mesti ingat sebesar-besarnya cinta kita kepadanya pada akhirnya hal yang kita benci juga berpotensi mengubah semuanya itu. Dengan berjalannya waktu, cinta cenderung lapuk dan malah tergantikan dengan rasa tidak suka karena karakternya yang kita tidak suka itu. Jadi sekali lagi jangan sepelekan ketidak sukaan kita sebab itu tidak akan hilang dengan sendirinya.
GS : Kalau kita sudah mengalami dan terlibat dengan hubungan yang kurang sehat itu yaitu sayang tapi benci, apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah jangan mengabaikan rasa benci ini, cinta kepadanya memang menunjukkan bahwa ada hal yang kita sukai namun kebencian, kemarahan, memperlihatkan ketidakcocokan yang serius. Jadi berikanlah waktu untuk memfokuskan kepada ketidakcocokan dan kalau perlu carilah pertolongan dari seorang konselor pernikahan, bila tetap tidak ada perubahan sebaiknya pertimbangkan perpisahan, ingatlah bahwa cinta sendiri tidak cukup kuat untuk menopang pernikahan yang sehat.

GS : Dan ini dimungkinkan pada masa berpacaran, Pak Paul. Jadi dalam masa berpacaran kita harus jujur dengan perasaan tidak suka ini. Dan untuk mengkomunikasikan pada tentang ketidaksukaan dengan tindakan-tindakannya, ini sulit untuk diungkapkan.

PG : Memang ada baiknya pada masa berpacaran ini, kita misalkan berbicara dengan santai dan meminta pasangan kita untuk menuliskan, "Hal-hal apa tentang diriku yang kamu harapkan, kalau saya bia mengubahnya maka akan lebih baik nanti saya juga akan tulis hal-hal yang aku inginkan dari kamu kalau bisa diubah maka akan lebih baik lagi."

Kemudian kita minta dia menuliskan dan minta dia berpikir dengan rinci dan dengan berani, terbuka, tuliskan semuanya itu kemudian kita bicarakan sehingga akhirnya terlihat jelas sebetulnya apa yang menjadi duri-duri dalam relasi kita ini, karena sepertinya kalau kita bertengkar, kita selalu bertengkar di lahan yang sama, berputar-putar di sini saja. Dan jangan ragu untuk berkata, "Saya terus terang frustrasi" disini dibutuhkan pasangan yang dewasa, kalau dia tidak dewasa dia akan tersinggung dengan perkataan kita, maka respons pertamanya adalah, "Ya sudah kalau begitu kita putus saja." Justru kalau pasangan kita seperti itu menurut saya, itu sebagai konfirmasi bahwa besar kemungkinan dia bukan pasangan yang cocok sebab kalau ada orang belum apa-apa sudah berkata "Sudahlah kita putus saja" itu sangat menunjukkan kekurang dewasaan. Saya tidak berkata bahwa kalau menikah dengan orang ini pasti dalam pernikahan itu akan banyak pertengkaran dan nantinya bisa terjadi perceraian, tidak, belum tentu! Sebab orang bisa bertumbuh lewat waktu. Tapi hal itu memang menunjukkan ketidak dewasaan seseorang karena orang yang dewasa pada akhirnya akan berkata, "OK, saya terima, ini bagian tentang diri saya yang memang kita belum bisa cocokkan, hal ini yang kamu tidak senangi tentang diri saya. Saya akan coba kompromikan dan saya juga akan mencoba melakukan yang kamu inginkan." Jadi adanya keterbukaan tanpa harus merasa defensif. Kedua, kerelaan untuk betemu di tengah, jadi selalu dalam percakapan dua-dua bisa berkata dan seharusnya berkata, "Bagaimana caranya supaya kita bisa bertemu di tengah, mungkin saya tidak menjadi seperti yang engkau inginkan 100% dan kamu tidak akan menjadi seperti yang saya harapkan 100%, tapi bagaimana kita bisa bertemu di tengah." Jadi dalam masa berpacaran sering-seringlah berbicara seperti ini, sering-seringlah memikirkan bagaimana bertemu di tengah. Inilah yang menjadi tanda-tanda bahwa semakin hari hubungan kita makin harmonis, meskipun awalnya nilai-nilai, cara pikir, cara komunikasi kita berbeda tapi akhirnya mulai ketemu di tengah. Makin banyak modal ini maka makin banyak kita percaya bahwa relasi kita sekarang ini berjalan di rel yang benar.
GS : Susah untuk orang yang seringkali berkata, "Kalau kita tidak cocok, lebih baik kita putus saja," kemudian dia berbaikan lagi dan minta maaf dan mengatakan bahwa dia akan berubah.

PG : Dalam kasus seperti itu kita harus bicara apa adanya dan berkata, "Tolong kalau kita sedang mengalami konflik jangan kita cepat untuk mengatakan putus, tolong kamu bersabar, tolong kamu leih tabah menghadapi kesulitan jangan cepat lari."

Kalau kita sudah bicara seperti itu tapi terus-menerus, diulang lagi, diulang lagi, maka itu adalah pertanda bahwa kesanggupan pasangan kita menampung stres, menghadapi kesulitan lemah dan orang yang memiliki kesanggupan menampung stres yang lemah akan rentan sekali menghadapi tantangan dalam hidup sehingga nanti setelah menikah kita yang harus lebih mengakomodasi, menyesuaikan, harus lebih menyesuaikan, harus lebih menjaga perasaannya dan harus lebih melindunginya dari tekanan-tekanan di luar. Sudah tentu saya tidak berkata bahwa ini pasti suatu relasi yang buruk, tidak! Memang dengan berjalannya waktu orang bisa bertumbuh tapi itu akan menjadi porsi kerja keras kita di dalam relasi ini. Ini yang perlu kita sadari pada masa berpacaran dan apakah kita sanggup, kalau kita berkata, "Rasanya tidak sanggup" maka kita harus berkata kepada pasangan kita, "Rasanya aku tidak sanggup untuk menjadi seperti apa yang kamu harapkan yaitu orang yang kamu butuhkan untuk selalu melindungimu."
GS : Mungkin ada hal lain yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah komunikasikan tuntutan dan harapan yang terkandung di dalam hati secara terbuka, jangan meremehkan reaksi tidak suka atau perilaku pasangan yang tidak berkenan dan jangn takut kehilangan dirinya.

Kalau memang dia tidak bisa berubah dan tidak berniat meneruskan relasi bukankah itu jauh lebih baik dari pada mempertahankannya. Kalau lebih banyak yang diselesaikan sebelum pernikahan maka setelah menikah tugas kita semakin ringan. Itu satu prinsip yang saya tekankan kepada pasangan yang sedang berpacaran sebab tadi Pak Gunawan juga sudah sebutkan kecenderungannya dalam masa berpacaran adalah meremehkan masalah, tuntutan, pengharapan dan merasa tidak perlu dibicarakan, mengalir saja, itu salah! Justru pada masa berpacaranlah kita mesti berani mengkomunikasikan apa yang kita dambakan dalam relasi ini.
GS : Mengkomunikasikan pengharapan itu mungkin lebih mudah dari pada mengkomunikasikan tuntutan, Pak Paul. Tetapi kalau tuntutan harus disampaikan, itu bagaimana, Pak Paul? Supaya relasi ini tetap terjaga dan tuntutan kita juga bisa disampaikan dengan baik.

PG : Misalkan pasangan kita sering terlambat dan kita tidak suka, kita suka kalau berjanji dengan orang harus tepat waktu, sebab orang juga punya kesibukan tersendiri, jadi kita mau agar pasangn kita sensitif dengan perasaan orang tapi pasangan kita ini seenaknya tidak bisa tepat waktu.

Kalau hal ini penting kita bisa menuntutnya. Jadi betul kata Pak Gunawan bahwa pengharapan boleh dikatakan tapi pengharapan memang derajat keurgensiannya memang tidak terlalu tinggi. Kalau tuntutan berarti mendesak dan untuk kita ini penting, kita harus katakan kepada pasangan kita, "Tolong perhatikan, ini penting buat saya dan kalau ini terus berlanjut saya akan sangat sulit menerima kamu." Jadi dalam masa berpacaran jangan ragu untuk mengatakan hal seperti itu bahwa "Hal ini sungguh penting buat saya. Jadi kalau kamu tidak memperhatikannya ini akan sangat mengganggu relasi kita berdua dan saya akan sulit menerima kamu." Jadi kita sudah memberikan sinyal-sinyal kepada pasangan kita, "Tolong berubah" sebenarnya kita fleksibel dan dalam banyak hal kita juga fleksibel dan untuk hal tertentu yang kita anggap penting buat kita maka kita katakan begitu. Kalau orang menganggap semuanya penting maka pasangannya juga akan bingung. Ada orang yang seperti itu yakni menganggap semuanya penting dan dia menuntut semuanya kepada pasangan, itu juga tidak benar. Jadi kalau kita bisa memperlihatkan bahwa dalam banyak hal sebetulnya kita fleksibel tapi untuk hal tertentu ini tidak. Pasangan nanti akan melihat bahwa kita ini adalah orang yang mempunyai prinsip dan tidak membabi buta dalam segala hal, dia orangnya memang fleksibel tapi untuk hal tertentu dia tidak mundur dan kita harus perhatikan.
GS : Dan sebaliknya, kalau kita dituntut oleh pasangan kita, maka kita juga harus mengatakan yang jujur juga, Pak Paul? Bahwa kita mampu atau tidak memenuhi tuntutan itu.

PG : Betul sekali. Jadi memang perlu kejujuran jangan sampai kita menyepelekan, "Saya bisa" tapi tidak menepati janji. Jadi kalau kita memang tidak bisa, kita mesti katakan apa adanya sehinggapasangan juga mulai menimbang apakah saya orang yang cocok buat dia.

GS : Pak Paul, dalam hal ini apakah ada Firman Tuhan yang memberikan bimbingan kepada kita?

PG : Jangan melupakan hal yang penting ini yaitu Tuhan memelihara hidup kita, Dia tahu semua kebutuhan kita bahkan sebelum kita mengatakannya. Jadi percayalah Dia memberi yang terbaik kepada kia dan bersandarlah kepada rencanaNya.

Firman Tuhan mengingatkan di Amsal 31:10, "Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata." Jadi carilah istri dan suami yang cakap bukan secara fisik tapi secara jiwani secara rohaniah, agar dia sungguh menjadi belahan jiwa.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sayang Tapi Benci." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



70. Relasi yang tidak Seimbang


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T255B (File MP3 T255B)


Abstrak:

Neil Clark Warren, seorang psikolog Kristen di Amerika menekankan bahwa berapa sehatnya suatu relasi ditentukan oleh berapa sehatnya suami atau istri itu sendiri. Dengan kata lain, jika ada satu pihak yang tidak sehat, maka relasi itu akan terseret turun menjadi tidak sehat pula. Salah satu masalah yang kadang timbul pada masa berpacaran adalah, ada orang tidak berkeinginan untuk melakukan andilnya untuk menciptakan relasi yang sehat. Ia berharap bahwa pasangannya yang harus menyesuaikan dirinya dengannya, dan tidak sebaliknya. Singkat kata, ia adalah seseorang yang mau terima enaknya saja. Apakah cirinya pasangan yang seperti ini?


Ringkasan:

Neil Clark Warren, seorang psikolog Kristen di Amerika menekankan bahwa berapa sehatnya suatu relasi ditentukan oleh berapa sehatnya suami atau istri itu sendiri. Dengan kata lain, jika ada satu pihak yang tidak sehat, maka relasi itu akan terseret turun menjadi tidak sehat pula. Salah satu masalah yang kadang timbul pada masa berpacaran adalah, ada orang tidak berkeinginan untuk melakukan andilnya untuk menciptakan relasi yang sehat. Ia berharap bahwa pasangannya yang harus menyesuaikan dirinya dengannya, dan tidak sebaliknya. Singkat kata, ia adalah seseorang yang mau terima enaknya saja. Apakah cirinya pasangan yang seperti ini?

Bagaimanakah kita harus bersikap bila ini yang terjadi?


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Relasi Yang Tidak Seimbang". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Relasi suami istri diharapkan seimbang dalam hal kebutuhannya dan juga tuntutan-tuntutannya. Tapi seringkali pada kenyataannya ada ketidak seimbangan dalam relasi ini dan hal ini menimbulkan masalah. Dan sebaiknya apa yang harus dilakukan, Pak Paul?

PG : Yang Pak Gunawan katakan memang betul. Seyogianyalah relasi itu seimbang tapi pada dasarnya tidak semua begitu. Ada yang bekerja jauh lebih keras sedangkan pasangannya jauh lebih sedikit dn sudah tentu pada akhirnya relasi yang seperti ini akan menuai masalah.

Jadi kita akan mengajak para pendengar kita untuk melihat ke belakang yaitu kepada masa-masa berpacaran, kita berharap para pendengar kita saat ini adalah juga para kawula muda yang belum menikah sehingga mereka bisa mempersiapkan, bisa mewaspadai hal ini jauh sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan. Saya ingin mengutip seorang psikolog Kristen di Amerikat Serikat bernama Neil Clark Warren, beliau berkata bahwa suatu relasi ditentukan oleh seberapa sehatnya istri atau suami itu sendiri dengan kata lain, kalau ada satu pihak yang kurang sehat maka relasi itu akan terseret turun menjadi tidak sehat pula. Jadi penting sekali kita memasuki jenjang pernikahan dalam kondisi sehat secara jiwani karena nantinya pernikahan kita tergantung pada berapa sehatnya kita secara pribadi. Namun masalah yang seringkali timbul didalam pernikahan adalah ada salah satu dari pasangan tidak berkeinginan melakukan andilnya untuk menciptakan relasi yang sehat dan dia berharap pasangannyalah yang harus menyesuaikan diri. Singkat kata, orang seperti ini adalah orang yang mau menerima enaknya saja. Kalau ada orang seperti ini di dalam pernikahan maka relasi pernikahan ini nantinya menjadi suatu relasi yang tidak akan bisa bertumbuh, jadi sepertinya dia menjadi beban yang akan menarik relasi nikah ini turun ke bawah sebab relasi nikah menuntut adanya kesediaan untuk bekerjasama untuk mau menghidupkan, melestarikan, memperhatikan relasi ini. Kalau hanya satu yang bekerja nanti pastilah relasi itu akan terus terseret ke bawah. Jadi pada masa berpacaran kita mesti waspada apakah pasangan kita ini tipe yang seperti ini.
GS : Hal-hal apa saja yang mungkin penting supaya ada keseimbangan di dalam relasi ini, Pak Paul?

PG : Kita mau melihat ciri-cirinya karena kita mesti waspada jangan sampai kita nanti masuk ke dalam relasi yang tidak sehat ini. Misalkan ciri yang pertama, adalah orang ini terbuka dengan kelmahannya, tapi yang menjadi masalah adalah dia tidak mempunyai motivasi untuk menyesuaikan diri dengan kita, dia berharap kita menerima semua kelemahannya dengan tuntas, dengan penuh.

Jadi waktu dia berkata, "Saya lemah dalam hal ini dan itu," dia hanya berharap kita mendengarkan dan dia tidak melakukan apa-apa. Kalau itu yang terjadi maka berarti relasi ini tidak akan bertumbuh karena relasi akan bertumbuh bukan hanya pada saat kita menyadari kelemahan kita, tapi kita juga berupaya memperbaikinya, berupaya mencocokkan diri dengan kita. Tapi kalau tidak ada upaya dan mengharapkan pasangan untuk menerima, tidak banyak bicara, tidak banyak menuntut, jadinya seperti kita membeli barang, sudah mengerti barangnya seperti ini dan cukup. Dalam aspek tertentu kita harus menerima hal-hal yang memang kita tahu tidak mudah untuk berubah, namun kita harus selalu berusaha memperbaiki dan menumbuhkan sehingga nantinya kita berubah. Jadi kalau ada pasangan yang belum apa-apa sudah menunjukkan sikap seperti ini maka kita harus berhati-hati, sudah tentu kita harus mengajak dia bicara, tanggap terhadap kelemahannya dan minta dia untuk lebih tanggap terhadap kelemahannya dan minta juga dia untuk berusaha merubahnya sebab bagi kita, hal ini penting sebab kalau tidak relasi kita tidak akan bertumbuh.
GS : Biasanya kalau orang ditanyai begitu, dia tidak langsung menolak, kadang-kadang dia berkata, "Saya akan usahakan".

PG : Kalau memang orang itu berkata, "Baik nanti akan saya coba usahakan" memang kita harus memberikan kesempatan itu, atau berilah waktu misalkan mencoba agar relasi ini menjadi matang sehingg kelemahannya bisa nampak lebih jelas, paling kurang perlu waktu setahun, sebenarnya perlu waktu yang lama misalkan 2 tahun.

Waktu kita sudah bersama dia 2 tahunan, kita bisa mengevaluasi apakah dia benar-benar menunjukkan kemauan untuk berubah ataukah tidak. Misalkan kita melihat bahwa dia mulai berubah, ada hal-hal yang tidak lagi dilakukannya, itu memberikan kepada kita damai sejahtera. Tapi kalau kita melihat dia selalu berkata "Ya, saya usahakan" tapi tidak ada perubahan apa-apa, itu berarti dia memang tidak begitu bermotivasi. Sesungguhnya yang dia inginkan adalah kita menerima dia apa adanya, 100%, itu tidak mungkin bagi kita.
GS : Apakah ada ciri yang lain, Pak Paul?

PG : Ciri yang lain adalah orang yang tidak mau melakukan bagiannya adalah orang yang kalau menghadapi masalah pola penyelesaiannya adalah menunda, dia tidak mau menghadapinya, dia tidak mau mebicarakannya sampai tuntas dan selesai.

Dia tidak berkeinginan menyelesaikan masalah sebab baginya ini adalah tindakan membuang waktu. Jadi usaha kita membicarakan untuk menyelesaikan masalah biasanya kandas, kita frustrasi. Sudah tentu kita juga mesti introspeksi diri, yaitu janganlah kita menjadi orang yang sedikit-sedikit mempermasalahkan sesuatu sehingga pasangan kita kelelahan dan terus- menerus dihujani oleh masalah, "Ayo kita bicarakan, ini belum selesai itu belum selesai," itu salah! Jadi mesti ada batasnya. Namun yang saya mau tekankan adalah sewaktu ada masalah dan kita mau bicarakan, dia mesti menghindar. Bagi saya, ini pertanda buruk sebab pernikahan nantinya tidak akan berjalan mulus seperti jalan tol, waktu ada hambatan diperlukan keduanya untuk duduk bersama membahasnya. Kalau ada pihak yang satunya menunda, tidak mau duduk membahasnya, ini pertanda buruk berarti relasi dengan dia menjadi relasi yang selalu menumpukkan masalah. Akhirnya tidak pernah menyelesaikan masalah, berarti kalau sepuluh tahun kita menikah dengan dia maka stok pertengkaran akan sangat banyak, 20 tahun menikah dengan dia malah lebih bertambah banyak, makin menumpuk dan dia tidak mau menghadapi, dia buang semuanya. Jadi siapa nanti yang harus menerimanya? Ya, kita semuanya. Jadi pada masa berpacaran kita harus melihat pasangan kita mau duduk membicarakan masalah.
GS : Dalam hal ini, Pak Paul singgung ada pasangan yang suka melontarkan masalah, sehingga bukan pihak satunya yang mau menyelesaikan tapi juga dia kewalahan dengan masalah-masalah yang ditimbulkan tadi, dalam hal ini yang menjadi masalah adalah yang melontarkan problem-problem itu tadi.

PG : Ada kecenderungan, Pak Gunawan, orang-orang itu memang melihat detail kecenderungannya adalah lebih cepat melihat masalah. Orang yang lebih global, lebih menyeluruh, kecenderungannya adala tidak melihat masalah sejelas itu dan ini memang perbedaan yang berasal dari daya fungsi di otak kita.

Dalam relasi, kita harus mencapai titik temu di tengah, orang yang melihat secara detail mesti belajar untuk mengabaikan sebagian, jadi setiap masalah tidak selalu harus dibicarakan, ada hal-hal yang harus diprioritaskan. Jadi yang berpikir detail atau yang melihat sangat jelas semuanya, langkah pertama yaitu dia harus menyusun prioritas, dia mesti tahu apa yang lebih penting buat dirinya, tidak bisa semua hal penting dan orang yang berpikiran detail seringkali melihat semua permasalahan penting dan semua harus dibicarakan, itu salah! Dia mesti belajar menyusun daftar prioritas, apa yang penting dan apa yang tidak terlalu penting. Kedua, dia juga mesti belajar mengatur 'timing' atau waktu artinya dia mesti melihat apakah waktunya sekarang cocok untuk bicara. Kalau pun ini hal penting dan dia anggap memang penting, dia harus berusaha dan berhasil memprioritaskan masalah sehingga tidak semua sama-sama pentingnya, dia mesti menahan diri dan mengatur waktunya. Kalau waktunya tidak cocok, entah itu pasangan kita sedang lelah dan sebagainya, dia mesti menahan diri mencari waktu yang cocok. Jadi di pihak yang berpikir detail ini yang harus dilakukan, dia mesti belajar mendengarkan. Inilah yang mesti dipelajari olehnya karena orang yang tidak melihat masalah sebetulnya susah untuk duduk mendengarkan masalah. Maka langkah pertama dia mesti duduk, belajar mendengarkan dan waktu mendengarkan dia mesti belajar, yang kedua yaitu bagaimana mendapatkan suatu solusi supaya hal-hal ini tidak terjadi lagi. Sebab bagi orang yang melihat atau berpikiran detail, kalau nanti hal itu akan terjadi lagi maka dia akan tangkap lagi dan tangkap lagi, sehingga di pihak yang satunya, harus memikirkan cara praktisnya sehingga nanti tidak terulang lagi. Jadi selain mendengarkan, dia juga harus langsung memikirkan sebuah strategi solusi bagaimana supaya hal ini tidak terulang lagi. Inilah yang akan dia sampaikan kepada pasangan yang memunculkan masalah, "Baiklah kalau ini yang harus saya lakukan, bagaimana apakah cukup buat kamu. Apakah kamu senang kalau saya melakukan sampai disini." Mungkin dia tidak bisa sejauh itu, "Kalau hanya segini saja bisakah kamu terima?" Misalkan yang disana berkata "Baik saya bisa", berarti sudah bisa diselesaikan tapi ini yang diperlukan, Pak Gunawan, kedua belah pihak mesti mau duduk bersama membicarakan, namun biasanya dia malah lari dan menundanya.
GS : Jadi keseimbangannya adalah duduk bersama-sama membicarakan secara proporsional, yang tepat Pak Paul. Mungkin masih ada ciri yang lain, Pak Paul?

PG : Ada satu lagi ciri orang yang hanya mau enaknya saja, tidak mau melakukan bagiannya pada masa-masa berpacaran yaitu orang yang bersedia mendengarkan kita dan tuntutan kita namun tidak bersdia menemuinya dengan sengaja.

Maksud saya, kalau kebetulan dia bisa melakukannya tanpa dia harus repot-repot maka dia akan kerjakan, tapi kalau apa yang kita harapkan atau kita tuntut itu memaksanya untuk mengubah gaya hidupnya, dia tidak bersedia. Sudah tentu akan ada tarik-menarik dan tidak mesti orang akan mengubah gaya hidupnya demi kita. Seperti kita pun juga tidak mau mengubah semua gaya hidup kita demi pasangan. Namun ada hal-hal yang penting yaitu kita mesti komunikasikan kepada pasangan dan kita juga berusaha rela mengubah gaya hidup tertentu. Sebagai contoh sewaktu saya baru menikah, salah satu hal yang istri saya minta adalah saya tidak boleh keluar dengan teman-teman saya yang wanita, sebelum saya menikah saya mempunyai banyak teman di gereja, saya terlibat aktif sehingga banyak teman karena saya dianggap sebagai salah satu seperti kakak bagi banyak orang, jadi orang sering bicara dengan saya, kalau mereka ada masalah selalu bercerita dan sebagainya. Jadi saya terbiasa menjalin persahabatan dengan teman-teman wanita maupun pria, seringkali kita keluar bersama ngobrol. Waktu saya menikah, saya tetap mau mempertahankan relasi yang seperti itu, sebab bagi saya mereka adalah adik-adik saya di dalam Tuhan Yesus, teman-teman baik, tidak ada apa-apa, sebab kalau ada apa-apa, dulu kami sudah jadian namun itu tidak terjadi dan malah memilih pasangan saya yaitu istri saya. Saya coba terangkan kepada istri saya, tapi dia tidak terima dan dia berkata, "Tidak bisa Paul, kamu sekarang sudah menikah maka sekarang kamu harus batasi. Kalau kamu mau keluar dengan teman-teman priamu, silakan! Tapi kamu tidak bisa lagi keluar berdua dengan teman wanitamu, ngobrol-ngobrol dan sebagainya," awalnya saya sulit untuk menerima karena saya terbiasa dengan peran saya, relasi saya dengan teman-teman di gereja, tapi saya mengerti bahwa hal ini penting buat dia, karena hal ini penting buat dia maka saya berusaha keras mengubah gaya hidup saya dan saya putuskan tidak lagi, jadi saya tidak lagi keluar dengan teman-teman untuk ngobrol-ngobrol. Sekali lagi dalam relasi mesti ada kesediaan dalam mengubah gaya hidup. Sebenarnya bukan masalah benar atau salah, tapi demi kepentingan pasangan kita, kalau kita berdebat memang tidak akan ada ujungnya dan kita tidak mungkin akan menyatu, Pak Gunawan.
GS : Hal yang dituntut dari kita atau pasangan yang sedang menyesuaikan diri adalah pengorbanan bahwa dia harus mau berkorban. Memang tidak salah harus mengorbankan sesuatu, seperti tadi yang Pak Paul lakukan.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi inilah hal yang terhilang dari orang yang seperti ini sehingga kita mesti memilih sikap yang tepat dan sikap yang tepat adalah menyadari dan menerima bahwa rang yang seperti ini yakni yang maunya enak saja, sesungguhnya tidak mengerti apa yang namanya cinta, Pak Gunawan, sebab cinta menuntut pengorbanan.

Kalau dia tidak mau berkorban maka relasi ini akan menjadi seperti transaksi, "Saya beri ini, kamu beri itu. Saya melakukan ini maka kamu lakukan itu," semuanya seperti transaksi. Itu bukanlah sebuah relasi, relasi menuntut pengorbanan dan inilah relasi cinta. Jadi kalau orang tidak mau melakukan itu, besar kemungkinan dia belum memahami arti cinta.
GS : Dan bagaimana Pak Paul kalau kita terlibat di dalam suatu hubungan dimana relasi itu tidak seimbang, Pak Paul?

PG : Kita memang harus menekankan pada penyesuaian. Jadi langkah-langkah yang harus kita tekankan adalah penyesuaian, "Ayo kamu menyesuaikan diri, ayo aku juga menyesuaikan diri, mari saling meyesuaikan diri."

Jadi relasi bukan dibangun atas dasar, "Aku seperti ini dan kamu harus mengikuti saya" itu tidak! Dua-dua mesti belajar saling menyesuaikan diri. Jadi mustahil mengharapkan relasi yang tidak menuntut penyesuaian diri, orang yang tidak bersedia menyesuaikan akhirnya akan membuat tembok pemisah, tidak ada lagi jalan di antara kita berdua, tidak ada lagi jembatan di antara kita berdua. Jadi kalau kita mempunyai pacar yang seperti ini, maka kita mesti mendorong dia, "Tolong kamu juga menyesuaikan diri dan bukan hanya saya saja yang menyesuaikan diri. Apakah kamu ingat sewaktu saya menyuruh kamu pergi ke sini, kamu benar-benar tidak mau, dan pada akhirnya saya yang mengikuti kamu. Pada saat mau makan, kamu tidak mau menu ini, maka saya yang menyesuaikan untuk ikut makan makanan yang kamu sukai. Misalkan mau nonton film, kamu tidak suka film ini, maka saya mengalah dan menonton apa yang kamu sukai. Semua sepertinya saya yang harus menyesuaikan diri dengan kamu. Coba kamu ingat-ingat dalam hal apa kamu pernah menyesuaikan diri dengan saya tentang gaya hidupmu, apa yang pernah kamu ubah demi saya." Pertanyaan seperti itu sedikit menyentak, tapi memang perlu untuk menyadarkan orang ini bahwa, "Benar ya, saya tidak pernah melakukan apa-apa, tidak pernah saya melakukan sesuatu untuk menyesuaikan diri dengan kamu, saya tidak pernah mengubah gaya hidup saya demi kamu dan semua harus menuruti saya. Kalau saya anggap benar maka semua harus mengikuti saya." Masalahnya dalam hubungan suami istri adalah bukan benar atau salahnya, tapi seringkali karena ada perbedaan-perbedaan. Kalau menganggap bahwa semuanya benar dan yang kamu anggap itu salah, itu berarti tidak ada lagi jembatan di antara kita dan kita makin hari makin menjauh, "Apakah ini yang kamu inginkan" hal itu kita tanyakan. "Kamu ini ingin makin dekat atau makin jauh dari saya. Dengan cara kamu seperti itu berarti kamu membangun tembok, saya makin hari makin tidak dekat dengan kamu dan apakah itu yang kamu inginkan?" Mudah-mudahan dengan pembicaraan seperti ini pasangan tersadarkan, Pak Gunawan.
GS : Didalam menyesuaikan diri, Pak Paul, antara pasangan ini, maka butuh waktu yang cukup lama. Biasanya dimulai pada saat pacaran dan kita melihat ada hal-hal positif tapi semuanya tidak bisa terselesaikan pada masa pacaran saja dan juga harus dikerjakan pada masa menikah nanti. Hal ini mengganggu atau tidak?

PG : Betul sekali. Dan sudah tentu ini adalah sebuah proses, tidak selesai dengan segera. Tapi yang penting adalah ini harus segera dimulai pada masa berpacaran, sebab jika kita mulai saat meniah, kita akan menuai masalah, pasti akan mengganggu pasangan kita.

Dan bukankah waktu kita melihat pasangan menyesuaikan diri seolah-olah dia sedang menabung, menabung memberikan investasi dalam relasi dan memberikan bunga-bunga indah karena kita akan melihat, "Benar ya, dia telah berusaha, dia telah berkorban," dan kita menghargainya, itu akan menciptakan bunga-bunga dalam relasi ini. Tapi sebaliknya kalau kita tidak pernah melihat dia berkorban untuk kita dan kita yang terus berkorban untuk dia, pasti relasi itu tidak akan menghasilkan bunga. Sehingga nanti kita akan melihat carang dan cabang yang kering dan relasi yang seperti inilah, yang nanti akan dipetik oleh dua orang yang hidup seperti ini.
GS : Pak Paul, di dalam kita menyepakati apa yang menjadi tuntutannya dan kita mengalah atau berkorban, perlukah kita mengatakan kepada pasangan kita "Dalam hal ini saya yang mengalah, saya yang menyesuaikan diri dengan kamu."

PG : Itu ide yang baik Pak Gunawan. Jadi dengan kita berkata jelas seperti itu pasti pasangan merasa diingatkan, "Benar ya kalau kamu sedang mengalah" jadi ini menjadi sesuatu tabungan di dalamhidupnya, bahwa kita berusaha menyesuaikan diri dengan dia dan kita berusaha mengalah untuknya dan mudah-mudahan, nanti waktu terjadi masalah lagi, dia akan termotivasi untuk berkata, "Baik dalam hal ini saya yang mengalah."

Dengan cara itulah relasi makin hari makin menguat.
GS : Kalau pun kita tidak mengatakan, seolah-olah dia beranggapan bahwa kita menyetujuinya, padahal sebenarnya kita kurang bisa menyetujui, Pak Paul?

PG : Itu point yang bagus. Jadi kita dengan jelas berkata, "Saya sebetulnya tidak setuju tapi demi kamu saya mengalah." Ini sebuah cara komunikasi yang baik dan sehat. Jadi kita mengkomunikasikn keyakinan kita namun sekaligus kita juga mengkomunikasikan kerelaan kita berkorban, kalau ini yang kita tabur nantinya kita akan menuai relasi yang sehat, sudah tentu pihak yang satunya juga bisa bersikap begitu.

Tadi kita bicara tentang orang yang tidak mau melakukan bagiannya, yang penting mau enaknya sendiri, dalam relasi yang seperti itu, ini sangat melelahkan, Pak Gunawan. Karena yang satu akan berkata, "Saya sebetulnya tidak setuju tapi baiklah saya mengalah" dan yang satunya tidak mau, tadi sudah saya singgung, kalau ini terjadi pada masa berpacaran dan tidak ada perubahan, maka dia harus berpikir ulang, "Apakah baik meneruskan relasi ini."
GS : Mungkin ada hal lain yang bisa kita lakukan dalam hubungan yang tidak seimbang ini?

PG : Maka kita bisa simpulkan bahwa orang yang seperti ini adalah orang yang mementingkan diri alias egois. Dia hanya mencari jalan mudah dan tidak terbiasa untuk bersusah payah, kita semua tah bahwa pernikahan menuntut kerja keras yang tidak selalu mudah, tidak ada kesiapan, ini adalah pertanda masa depan yang buruk, menikah dengan dia.

Jadi berhati-hatilah menikah dengan orang yang egois, makin hari sikap egois itu sangat berlawanan dengan jiwa pernikahan dan tidak bisa digabungkan, kalau orang itu egois maka pernikahan kita 100% mengikuti kehendak dia secara membabi buta.
GS : Memang seringkali ditanggapi keliru seperti tadi, kalau pun kita mengatakan "Kali ini saya yang mengalah," dia suatu saat juga bisa mengatakan, "Dulu kamu bisa mengalah dan kenapa untuk kali ini kamu tidak bisa mengalah." Dan kita akan kesulitan lagi, Pak Paul?

PG : Dalam kasus seperti itu, kita harus tenang jangan membalasnya dengan amarah, setelah kita sedikit tenang, kita mengajak dia bicara, "Saya tidak masalah, saya bersedia saja mengalah, saya tdak mempersoalkan hal seperti itu tapi sekarang saya ingin bertanya kepada kamu, kapan kamu terakhir kali melakukan untuk saya?" kita bicarakan itu saja, dan kita diam, kita mempersilakan dia untuk berpikir.

Sebab kalau kita berdebat dengan orang seperti ini, dia makin senang, dia makin ramai. Jadi jangan kita masuk ke dalam perdebatannya dan kita hanya lontarkan kata-kata seperti itu, "Kapan terakhir kamu melakukan hal yang sama untuk saya?" dan kita diam. Kemudian sepertinya dia dipaksa untuk bercermin bahwa dia hanya bisa menuntut dan dia sama sekali tidak melakukannya.
GS : Jadi yang dimaksudkan dengan hubungan seimbang, seimbang di dalam memberikan tuntutan tetapi juga memberikan tanggung jawab yang memadai, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi masing-masing harus melakukan bagiannya untuk menyukseskan relasi ini.

GS : Di dalam hal ini Pak Paul, apakah ada Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Firman Tuhan di 1 Korintus 13:4,5,7 mengingatkan, "Kasih itu murah hati; kasih itu tidak mencari keuntungan diri sendiri; kasih itu sabar menanggung segala sesuatu." Murah hati sedia membei tanpa menghitung-hitung, tidak mencari keuntungan diri berarti memikirkan orang yang dikasihi dan berusaha melakukan hal-hal yang memberi keuntungan bagi orang yang dikasihi.

Sabar menanggung sesuatu, menunjukkan komitmen untuk bertahan dalam situasi yang tidak nyaman sekali pun. Semua ini berkebalikan dengan tipe orang yang mau enaknya sendiri dan tidak bersedia berkorban atau bekerja sama dengan pasangannya. Itu sebabnya dapat kita simpulkan sesungguhnya ia tidak mencintai kita dan hanya mencintai dirinya sendiri.

GS : Dan semoga itu bisa diketahui sebelum pernikahan supaya akibatnya tidak bertambah fatal dan proses menyeimbangkan relasi bukan sesuatu yang gampang, tapi dimana ada kasih di situ akan terwujud sesuatu yang seimbang. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Relasi Yang Tidak Seimbang." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



71. Meminta Maaf Saja Tidak Cukup (I)


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T257A (File MP3 T257A)


Abstrak:

Salah satu wujud nyata kasih adalah mempertimbangkan perasaan pasangan. Sayangnya tidak selalu kita berhasil mengingat perasaan pasangan sebelum kita melakukan tindakan yang melukai hatinya. Adakalanya kita melukai hati pasangan, baik dengan sengaja ataupun tidak. Apakah yang harus kita perbuat bila kita melukai atau mengecewakan hati pasangan?


Ringkasan:

Salah satu wujud nyata kasih adalah mempertimbangkan perasaan pasangan. Sayangnya tidak selalu kita berhasil mengingat perasaan pasangan sebelum kita melakukan tindakan yang melukai hatinya. Adakalanya kita melukai hati pasangan, baik dengan sengaja ataupun tidak. Apakah yang harus kita perbuat bila kita melukai atau mengecewakan hati pasangan?

Firman Tuhan:
Kembali ke Yohanes 8:1-11, Tuhan bertanya kepada perempuan yang kedapatan berzinah setelah para penangkapnya pergi, "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Jawabnya,"Tidak ada Tuhan." Lalu kata Yesus, "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Inilah berita suka dari surga yakni Injil bahwa Tuhan telah mengampuni dosa kita. Tidak ada dosa yang begitu besarnya sehingga mengalahkan kasih Tuhan. Semua dosa lebih kecil dari kasih Tuhan. Satu hal yang diminta-Nya yaitu bertobat-jangan berbuat dosa lagi.


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Meminta Maaf Saja Tidak Cukup". Dan karena panjangnya perbincangan ini maka kali ini merupakan bagian yang pertama dari topik tadi. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, memang setiap hari dalam hubungan relasi kita khususnya dengan pasangan kita, tidak mungkin tidak terjadi kesalahan dan sebagai pihak yang bersalah tentunya meminta maaf, kelihatannya pasangan kita memaafkan, namun ternyata ada perbedaan di dalam sikapnya dengan sebelum terjadi peristiwa itu. Padahal kita sudah minta maaf dengan tulus dan sungguh-sungguh, dan apa yang menjadi masalah, Pak Paul?

PG : Bagaimana pun juga setelah kita melukai hati pasangan, pasangan memerlukan waktu untuk sembuh atau pulih seperti biasa, sudah tentu semua ini bergantung pada berapa dalamnya luka yang tela kita timbulkan.

Makin dalam luka yang telah kita timbulkan, maka makin lama waktu yang dia perlukan untuk pulih. Maka saya kira kalau kita melakukan sebuah kesalahan kepada pasangan, kita mesti meminta maaf. Pada kesempatan kali ini kita akan coba mengangkat, apa yang mesti kita lakukan selain dari pada hanya berkata "Sorry, ya." Jadi ada hal-hal lain yang selayaknyalah kita lakukan apalagi jika kesalahan yang kita perbuat adalah sebuah pelanggaran moral atau sebuah dosa yang telah kita lakukan.
GS : Memang seringkali orang yang melukai ini, menganggap dia sudah memaafkan kita, tapi sebenarnya dengan sikapnya yang seperti itu, menunjukkan bahwa dia belum memaafkan kita, apakah memang begitu, Pak Paul?

PG : Saya kira pada hakekatnya kalau pasangan memang mencintai kita, maka dia akan memaafkan kita namun untuk dia bisa melewati semua perasaan-perasaannya, dia memerlukan waktu dan dalam prosesitu pastilah dia akan tetap bereaksi, dia akan marah, dia akan sedih kalau dia mengingat kembali perbuatan yang telah kita lakukan.

Jadi ini adalah sebuah proses dan makin dalam luka yang ditimbulkan maka makin lama proses penyembuhan itu.
GS : Jadi dalamnya luka, selain diakibatkan oleh apa yang kita telah lakukan, nampaknya kedekatan hubungan kita juga mempengaruhi ya, Pak Paul? Makin dekat seseorang didalam berelasi maka makin dalam luka itu.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi didalam suatu relasi yang intim dimana ada kepercayaan dan kasih yang kuat dan ada respek yang dalam, tatkala kita melukai hatinya maka luka yang ditimbulka juga makin dalam, kalau hubungannya tidak akrab maka luka yang ditimbulkan juga tidak akan sedalam itu.

GS : Kalau terjadi hal yang demikian sebagai pihak yang bersalah ini, apa yang harus kita lakukan, Pak Paul?

PG : Yang pertama sudah tentu kita mesti datang kepada Tuhan, kita mesti berdoa memohon agar Tuhan kembali mengampuni kita, menghapus semua dosa, memang kita tahu Tuhan telah mengampuni kita, drahNya yang telah dikucurkan di kayu salib menghapus semua dosa-dosa kita.

Tapi kita perlu kembali kepadaNya mengakui dosa-dosa kita dan Tuhan sudah berjanji kalau kita mengakui dosa maka Dia akan setia, Dia akan bermurah hati, mengampuni semua dosa-dosa kita, ini adalah suatu hal yang perlu sebab ini pertanda bahwa kita tidak mengabaikan teguran Roh Kudus di dalam hati kita. Waktu Tuhan menegur, "Kamu salah, kamu harus meminta maaf" dan kita datang kepada Tuhan memohon ampun, itu berarti kita memang menanggapi teguran Roh Kudus. Makin peka kita terhadap teguran Roh Kudus, maka akan makin terjalin erat hubungan kita dengan Tuhan dan kita akan makin terlindung dari dosa-dosa yang lebih besar, karena kita makin peka terhadap suara Roh Kudus. Sebaliknya kalau kita makin mengeraskan hati, kita tidak mau mendengarkan suara Roh Kudus yang menegur kita, dan kita terus berkata, "Tidak apa-apa, ini bukan kesalahan, ini bukan dosa, makin kita merasionalisasi, makin mengeraskan hati, kita makin sulit mendengarkan suara Tuhan dan akhirnya kita makin jauh dari Tuhan. Dan akhirnya membuat kita jauh lebih rentan dan lebih sering untuk jatuh ke dalam dosa.
GS : Di dalam mengakui dosa kepada Tuhan, minta pengampunan Tuhan, itu ada sebagian orang yang mengatakan bahwa itu harus diuraikan secara rinci dosa yang kita lakukan. Tapi ada juga yang mengatakan "Tuhan itu Mahatahu, bilang saja kalau sudah berbuat dosa dan minta ampun," bagaimana pandangan ini menurut Pak Paul?

PG : Saya melihat, pentingnya mengakui apa yang kita telah lakukan di hadapan Tuhan, kalau kita berasumsi Tuhan sudah tahu semua berarti doa pun tidak perlu sebab bukankah waktu kita berdoa Tuhn meminta untuk membawa petisi-petisi kita, membawa syafaat-syafaat kita kepadaNya.

Dan kita bisa berkata, "Tuhan sudah tahu, kita tidak perlu minta lagi," oh tidak! Sebab dengan meminta apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan kita, maka kita mempercayakan bahwa Tuhan akan mendengarkan dan ini adalah wujud sebuah relasi antara anak dan Bapa dan memang selayaknya anak datang kepada Bapa di surga kemudian mengucapkan hal-hal yang menjadi kebutuhannya. Demikian kalau anak telah berdosa kepada Bapa, sudah selayaknya dia datang kepada Bapa mengakui dosa yang telah dilakukannya, sebab keberanian menatap kembali apa yang telah kita perbuat, itu juga akan menjadi sebuah pelajaran bagi kita bahwa kita telah melakukan hal seperti itu. Itu sebabnya Daud, kita bisa membaca di kitab Mazmur 51, dia dengan hati yang hancur mengakui dosanya, kenapa dia bisa berbuat dosa? Dia mengatakan bahwa rasanya tulang-tulangnya seperti remuk. Jadi waktu kita memandang lagi dosa yang telah kita lakukan maka dosa itu akan tampak begitu buruk dan kita makin disadarkan betapa kita telah jatuh begitu dalamnya ke dalam dosa, dan ini justru menjadi sebuah pelajaran yang nanti kita akan ingat supaya nanti kita tidak mengulangnya kembali. Saya juga mau mengingatkan satu hal, Pak Gunawan, ada kecenderungan kita datang hanya untuk meminta maaf kepada Tuhan kalau kita ini merasa bersalah, tidak tentu! Adakalanya karena hati nurani kita sudah begitu terbalik, sudah tidak lagi tepat, maka bukannya merasa bersalah tapi kita tidak merasa apa-apa dan itu bukan pertanda bahwa kita tidak bersalah. Jadi jangan gantungkan pada perasaan, perasaan penyesalan bisa ada, bisa tidak dan yang terpenting adalah sebuah kesadaran, sebuah pengakuan, "Saya telah melanggar, saya telah melakukan kesalahan dan saya harus datang memohon pengampunan kepada Tuhan."
GS : Sebagai seseorang yang sama-sama beriman dengan pasangan kita, kalau kita itu menyakiti hati pasangan kita, maka secara tidak langsung kita juga menyakiti hati Tuhan, karena dia juga kekasih Tuhan.

PG : Betul sekali. Sebab bukankah dia anak Tuhan, kekasih Tuhan dan kita akhirnya melukai anak Tuhan yang dikasihiNya.

GS : Apakah ada tindakan lain yang perlu kita lakukan, Pak Paul?

PG : Selain datang dan meminta ampun kepada Tuhan mengakui dosa kita, kita juga harus mengakui dosa di hadapan pasangan kita pula. Jangan mencari alasan untuk membenarkan diri, kendati bisa saj perbuatan kita berkaitan dengan masalah yang sedang melanda pernikahan kita.

Maksud saya begini, akui kelemahan kita, jangan singgung-singgung keterkaitan dengan dirinya, waktu kita meminta maaf jangan katakan, "Saya seperti ini karena kamu begitu, kalau kamu tidak begitu maka saya tidak begini," jangan! Akui bagian kita, apa yang telah kita lakukan, yang salah katakan, jangan singgung-singgung bagiannya. Itu hanya akan membuat dia beranggapan bahwa kita tidak memikul tanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan salah yang telah kita lakukan.
GS : Biasanya untuk meminta maaf, kadang-kadang juga berat untuk dilakukan khususnya bagi kaum pria. Kita berharap dengan perubahan sikap kita maka pasangan kita sudah mengerti bahwa kita sudah menyesal, tidak perlu dengan bahasa lisan mengatakan, "Sorry atau minta maaf."

PG : Ada orang yang memang berkilah, "Tidak perlu bicara minta maaf yang penting adalah perbuatan kita." Bagi saya itu adalah sebuah cara untuk menutupi kesombongan kita karena waktu kita memina maaf, tidak bisa tidak kita harus merendahkan diri kita di hadapan pasangan.

Ada sebagian kita yang sulit untuk merendahkan diri, maka dari pada mengatakan, "Saya salah, saya minta maaf", Lebih baik menutup mulut kemudian mengkompensasi dan berkata, "Sudah saya tunjukkan dalam perbuatan" itu tidak cukup. Sebab sekali lagi Tuhan pun pernah berkata lewat hambanya Samuel, apa yang Tuhan inginkan, apakah korban bakaran, korban sembelihan, tidak! Yang Tuhan inginkan adalah hati yang hancur. Jadi benar-benar sebuah hati yang merendah di hadapan Tuhan, mengakui kita telah salah, kita telah jatuh maka Tuhan tolong ampuni saya, demikianlah yang Tuhan juga tuntut dari kita kepada pasangan. Kalau kita telah salah, merendahlah, katakanlah kita telah salah, jangan merasionalisasi, membenarkan diri, apalagi menyalahkannya, tapi akui bagian kita tanpa harus menyinggung-nyinggung peranan atau bagian pasangan kita.
GS : Jadi sebenarnya untuk meminta maaf diperlukan kesatuan antara apa yang kita katakan dan juga sikap kita kepada dia, dalam hal ini tidak bisa dipilih salah satu?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Sudah tentu yang benar bukan hanya mengatakannya tapi juga harus menunjukkan perubahan lewat perbuatan kita.

GS : Pak Paul, mengenai tindakan yang salah itu, seringkali kita mengungkit masa lalunya. Jadi bukan terkait pada dosa yang kita lakukan saat ini, hubungannya dengan dia, tapi masa lalunya misalnya, "Dulu kamu salah, tidak pernah meminta maaf kepada saya dan saya memaafkan kamu, kenapa sekarang kamu tidak bisa memaafkan saya."

PG : Kadangkala ini adalah hal yang kita lakukan sebab kita merasa kita harus adil, "Kalau dulu saya memaafkan kamu maka sekarang kamu harus memaafkan saya," sebaiknya jangan mengatakan hal seprti itu, waktu kita datang dan kita salah, maka kita akui bagian kita, jangan singgung-singgung bagian pasangan kita sebab pasangan yang tengah terluka dan melihat kita mengungkit-ungkit bagiannya, maka akan cepat berkesimpulan, "Kamu ini tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatanmu, kamu lebih sibuk dan maunya menyalahkan saya, kamu tidak mau melihat bagianmu."

Ini yang perlu dilihat oleh pasangan bahwa kita bersedia melihat bagian kita, salah dimana, perlu koreksi dimana, dan itulah yang nanti kita perlu akui di hadapan pasangan.
GS : Seringkali kalau kita meminta maaf kepada pasangan, pasangan tidak langsung menanggapi dengan mengatakan, "Ya, kamu saya maafkan," dia diam saja, Pak Paul. Dan bagaimana kita bisa tahu kalau dia memaafkan kita?

PG : Memang kita harus memahami bahwa pasangan perlu waktu untuk mencerna semua yang telah terjadi, untuk juga bisa menyembuhkan dirinya dari luka yang telah ditimbulkan dari perbuatan kita. Jai ada baiknya setelah kita meminta maaf, kita diam, kita tidak memaksanya untuk dengan segera mengampuni kita, mengatakan kata-kata seperti, "Saya mengampuni kamu dan sebagainya," tidak perlu! Katakan saja bagian kita, setelah itu biarkan dan dia mencerna, mungkin dia perlu waktu berhari-hari atau mungkin berminggu-minggu untuk bisa mencerna semuanya dan setelah melewati waktu yang agak panjang, kita juga bisa datang kepadanya, kita bisa bertanya lagi, "Bagaimana apakah engkau sudah memaafkan saya, apakah ada hal-hal yang perlu saya lakukan lagi?" Jadi kita menunjukkan sikap sensitif, kita mengerti dia butuh waktu.

Satu hal yang saya ingin ingatkan kepada para pendengar kita, jangan mengutip-ngutip Firman Tuhan untuk memaksanya mengampuni, adakalanya itu yang kita lakukan, "Kamu ini orang kristen, Firman Tuhan berkata; ampunilah dosa, mengapa kamu tidak mau mengampuni, nanti Allah Bapa di sorga tidak mengampuni dosa kamu juga, itu adalah Firman Tuhan." Sudah tentu pasangan kita tahu kalau dia harus mengampuni tapi dia perlu melalui sebuah proses untuk sungguh-sungguh bisa mengampuni kita, kalau kita malah mengutip-ngutip Firman Tuhan seperti itu, saya kira kita malah memancing kemarahannya, sebab buat dia, kita menjadi orang yang munafik, hanya cakap menggunakan Firman Tuhan untuk kepentingan pribadi.
GS : Tapi yang saya tanyakan, bagaimana kita bisa memahami bahwa dia secara prinsip sudah memaafkan kita, Pak Paul?

PG : Biasanya secara langsung nanti akan berkata, "Baik saya sudah memaafkan kamu, asal kamu jangan berbuat lagi," kalau memang dia tidak mengatakan apa-apa, kita bisa bertanya, "Apakah kamu bia memaafkan saya?" biarkan dia menjawabnya.

Ada juga yang menunjukkan sikap-sikap yang memang berubah, dulunya diam, dulu tidak mau bicara dengan kita tapi setelah lewat beberapa hari, dia mulai berbicara, mulai memberikan sikap yang lebih menyenangkan. Kita tahu bahwa mulai saat itu, dia telah memulai proses mengampuni kita, mungkin belum tuntas tapi setidak-tidaknya ada gerakan-gerakan ke arah itu.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Ini yang susah, yang berikutnya adalah bersikap pasrah terhadap keputusannya dan bersiaplah untuk menerima konsekwensi. Artinya, kita jangan memaksa pasangan untuk tidak memberikan konsekunsi.

Ada kecenderungan kita berkata seperti ini, "Karena saya sudah minta maaf maka kamu tidak boleh lagi menghukum saya atau memberikan konsekuensi apa pun, kamu benar-benar harus melupakan, kamu tidak boleh marah, kamu tidak boleh mengungkit-ungkit dan sebagainya." Sudah tentu akan ada waktu dimana pasangan harus berhenti membangkit-bangkitkan masalah, tapi untuk satu kurun dia memerlukan waktu, kesempatan untuk bisa mengeluarkan luka di hatinya dan kemarahannya. Sudah tentu ada waktu juga, dimana pasangan perlu menjauh dari kita, dia tidak bisa dekat-dekat dengan kita, dia merasa sudah tertusuk, dia tidak bisa lagi percaya kepada kita, dan mungkin untuk sementara waktu dia tidak begitu senang disentuh oleh kita dan sebagainya. Kita mesti mengerti ini, kita tidak bisa memaksanya untuk melupakan secara sekejap dan kemudian bersikap normal lagi kepada kita, tidak! Bahkan adakalanya nanti ada akibat-akibat lain yang harus ditanggung dan inilah hal-hal yang kita harus pasrah dan terima. Ada orang yang sangat terlukai, sehingga perlu waktu yang lama untuk bisa menjalin hubungan yang akrab kembali dengan pasangannya. Hal-hal seperti ini memang harus diterima, kita mesti pasrah, kita tidak boleh menuntutnya untuk bersikap seperti biasa lagi kepadanya. Kita berada di posisi yang salah, tuntutan hanyalah membuatnya yakin bahwa kita sebenarnya tidak menyesali perbuatan kita. Jadi bagi dia kalau kita buru-buru menuntut agar dia tidak meminta konsekuensi apa pun bagi dia, bagi dia kita hanyalah orang yang ingin lari dari konsekuensi, hanya ingin jalan pintas yang mudah, makanya tergesa-gesa meminta maaf, tidak berani dan tidak mau bertanggung jawab memikul akibat perbuatan sendiri.
GS : Kadang-kadang karena butuh waktu yang cukup lama, Pak Paul, pasangan tidak segera memaafkan, lalu di pihak yang salah ini mulai berpikir-pikir, hal ini terjadi juga karena salah dia. Walaupun tadi Pak Paul mengatakan bahwa kita tidak mau mengungkit-ungkit di hadapannya, tetapi sebenarnya didalam pemikiran kita, "Sebenarnya saya juga tidak terlalu salah betul, dia juga punya andil di dalam kesalahan." Dan ini menghadapi diri kita sendiri bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang adakalanya waktu kita sudah meminta maaf, kita ingin tergesa-gesa mengubur semuanya, tidak mau lagi mengungkitnya dan waktu pasangan mau memunculkannya, kita merasa tidak nyaman. Tpi sekali lagi satu hal yang ingin saya tekankan adalah ini semua merupakan sebuah proses dan kita harus bersedia melewatinya bersama-sama dengan pasangan dan tidak mudah untuk kita membalik lembaran hidup kita, adakalanya akan tersangkut di lembaran yang sama untuk satu kurun yang agak panjang, kita tidak bisa langsung membuka lembaran dan mengajaknya langsung memulai, sudah tentu ini akan menjadi target, ini adalah tujuannya, tapi untuk dia sembuh berilah dia waktu, setelah itu kalau memang memungkinkan kita datang meminta bantuan dari seorang konselor sehingga dia bisa ditolong mencerna luka-lukanya dan kembali menjahit relasi yang telah robek itu.

GS : Bagaimana kita harus bersikap karena setiap hari kita bertemu dengan dia, tidak bisa kita menghindar untuk lari dari hadapannya tapi sikap kita itu kadang-kadang canggung.

PG : Sudah tentu karena apa yang telah kita lakukan, itu sepertinya memberikan sebuah kecacatan di dalam relasi kita, akhirnya dalam bersikap kita menjadi serba salah. Jadi nasehat saya adalah edapatnya kita bersikap biasa.

Artinya lakukanlah kewajiban kita sehari-hari, yang mestinya kita lakukan, yang biasanya kita kerjakan maka kita lakukan, jangan meremehkan namun sebaliknya jangan membesar-besarkan penyesalan. Maksud saya misalnya jangan menunjukkan reaksi yang gembira karena kita ini lega, karena kita telah mengakui dosa kita, sekarang kita merasa bahwa beban itu lepas dari kita ini senang, kita tiba-tiba berseri-seri, pasangan yang harus memikul semua ini, dia harus menjalani perjalanan yang panjang dan penuh derita untuk mengampuni kita. Sewaktu dia melihat kita begitu gampangnya melupakan kesalahan, normal-normal, biasa-biasa, ketawa-ketawa, bercanda-canda lagi, itu akan makin menambahkan luka di hatinya. Dan makin membuat dia merasa "Kamu ini seenaknya saja, menggampangkan semuanya ini, kamu tidak bisa peka, sadar, bahwa saya ini sekarang sedang terluka." Jadi sekali lagi bersikap biasa namun jangan meremehkan penyesalan, sebaliknya juga jangan membesar-besarkan penyesalan, karena itu akan membuatnya berpikir, "Kalau sudah tahu akibatnya begitu buruk, mengapa tetap melakukannya, mengapa tidak memikirkannya terlebih dahulu." Jadi kalau kita menyesal, ya menyesal tapi juga harus jaga. Ada juga orang yang menangis terus-menerus, pasangan mungkin saja tidak merasa enak atau iba, malahan dia merasa kesal, "Kamu sekarang menangis dan sebagainya," belum lagi nanti berpikiran buruk, kamu ini pura-pura dan sebagainya. Jadi sekali lagi bersikap biasa jangan meremehkan penyesalan, jangan mengecilkannya tapi sekaligus juga jangan membesar-besarkan.
GS : Memang betul Pak Paul, ada beberapa pasangan yang merasa pasangan hidupnya ini menggunakan air mata hanya untuk memperoleh belas kasihan, karena itu sudah dilakukan berkali-kali, setiap kali dia melakukan kesalahan itu maka dia menangis-nangis di depan istrinya, pertama istrinya memang melihat kehancuran hatinya tapi lama-lama dia jadi muak, Pak Paul.

PG : Sebab sekali lagi yang terpenting adalah perbuatannya. Jadi kita harus menindaklanjuti penyesalan kita dengan perbuatan, makanya Tuhan pun meminta kita melakukan yang disebut di Alkitab, pnyesalan yang rohani atau penyesalan yang Ilahi, suatu penyesalan yang keluar dari lubuk hati terdalam karena telah melukai hati Tuhan dan sesama serta sebuah komitmen untuk berubah, untuk tidak melakukan lagi dosa yang sama.

GS : Mungkin ada contoh yang konkret di Alkitab tentang pengampunan?

PG : Di dalam Injil Yohanes 8:1-11 dicatat kisah perjumpaan Kristus dengan wanita yang tertangkap basah kedapatan berbuat zinah, orang Farisi dan para ahli Taurat membawa perempuan itu kepada Ysus untuk mencobaiNya supaya mereka memperoleh alasan untuk mendiskreditkan Tuhan Yesus yang saat itu tengah mengajar di Bait Allah, di hadapan orang banyak.

Sebetulnya mereka sendiri sudah tidak lagi menerapkan hukum Musa, yakni merajam pezinah sampai mati, namun mereka memperhadapkan Tuhan dengan perempuan itu, jika Tuhan Yesus menyuruh mereka merajam perempuan itu, Tuhan akan dinilai kejam, sebaliknya jika Dia menolak untuk melakukannya maka dia akan dinilai tidak taat kepada hukum Taurat. Sungguh merupakan suatu situasi yang sulit namun apa jawab Tuhan kepada mereka? Di Yohanes 8:7 ditulis "Barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Kita semua orang berdosa dan layak menerima hukuman Tuhan yaitu kematian, kita tidak boleh menganggap diri lebih benar dari sesama, jangan menjadi hakim, selalu lihatlah sebelum melihat kesalahan orang. Jadi bagi siapa yang telah dilukai, saya minta mengampunilah, Tuhan mengingatkan kita semua orang berdosa, kita semua tidak ada yang sempurna, maka kalau pasangan telah bersalah dan meminta ampun, maka ampunilah. Kalau memang sulit maka mintalah kuasa Tuhan untuk menolong kita mengampuni. Salah satu cara untuk mengampuni adalah menyadari kita pun orang berdosa yang tidak luput dari dosa yang sama.
GS : Di dalam peristiwa perempuan yang berzinah, ada suatu peristiwa ketika Tuhan Yesus menunduk lalu menulis-nulis, banyak orang bertanya, "Tuhan Yesus menulis apa?"

PG : Saya menyimpulkannya sederhana yaitu Tuhan Yesus menulis apa yang Dia katakan yaitu Dia menulis, "Barangsiapa di antara kamu yang tanpa dosa, silakan melemparkan batu yang pertama."

GS : Tapi kita memang tidak tahu dengan jelas apa yang ditulis oleh Tuhan Yesus, Pak Paul?

PG : Ya, saya hanya menduga saja sebab Alkitab atau orang-orang Yahudi sering menggunakan gaya bahasa pengulangan, yaitu "Sesungguhnya, sesungguhnya Aku berkata kepadamu," itu gaya bahasa mereka. Jadi sangat mungkin Tuhan menuliskannya kemudian mengatakannya.

GS : Tapi begitu cepat orang-orang Yahudi menyadari bahwa sebenarnya mereka pun juga berdosa, jadi tidak berani melempar batu.

PG : Dan itu adalah cara Tuhan yang sangat efektif, Dia tidak memarah-marahi, tidak memojokkan, Dia hanya mengungkapkan sebuah fakta dan fakta itu langsung berbicara ke hati nurani mereka. Seba memang orang Farisi dan ahli Taurat adalah orang yang setiap hari menggumuli hukum Taurat Musa, jadi tidak bisa tidak hati nurani mereka tertegur oleh perkataan Tuhan Yesus.

GS : Perbincangan kita kali ini tentu belum tuntas, jadi memang ada banyak hal yang perlu kita bicarakan tapi nanti kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang dan kita berharap para pendengar bisa mengikuti kelanjutan dari perbincangan ini. Terima kasih Pak Paul dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Meminta Maaf Saja Tidak Cukup," bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



72. Meminta Maaf Saja Tidak Cukup (II)


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T257B (File MP3 T257B)


Abstrak:

Salah satu wujud nyata kasih adalah mempertimbangkan perasaan pasangan. Sayangnya tidak selalu kita berhasil mengingat perasaan pasangan sebelum kita melakukan tindakan yang melukai hatinya. Adakalanya kita melukai hati pasangan, baik dengan sengaja ataupun tidak. Apakah yang harus kita perbuat bila kita melukai atau mengecewakan hati pasangan?


Ringkasan:

Salah satu wujud nyata kasih adalah mempertimbangkan perasaan pasangan. Sayangnya tidak selalu kita berhasil mengingat perasaan pasangan sebelum kita melakukan tindakan yang melukai hatinya. Adakalanya kita melukai hati pasangan, baik dengan sengaja ataupun tidak. Apakah yang harus kita perbuat bila kita melukai atau mengecewakan hati pasangan?

Firman Tuhan:
Kembali ke Yohanes 8:1-11, Tuhan bertanya kepada perempuan yang kedapatan berzinah setelah para penangkapnya pergi, "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Jawabnya,"Tidak ada Tuhan." Lalu kata Yesus, "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Inilah berita suka dari surga yakni Injil bahwa Tuhan telah mengampuni dosa kita. Tidak ada dosa yang begitu besarnya sehingga mengalahkan kasih Tuhan. Semua dosa lebih kecil dari kasih Tuhan. Satu hal yang diminta-Nya yaitu bertobat-jangan berbuat dosa lagi.


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Meminta Maaf Saja Tidak Cukup". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, karena ini merupakan perbincangan lanjutan, dan mungkin sebagian dari pendengar kita tidak mengikuti perbincangan yang terdahulu. Jadi sebelum kita melanjutkan perbincangan yang kedua dari judul, "Meminta Maaf Saja Tidak Cukup," silakan Pak Paul menguraikan sejenak apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lampau.

PG : Kita ini manusia berdosa. Sehingga kecenderungan kita berbuat dosa dan sudah tentu tatkala kita melakukan dosa yang bersifat moral didalam pernikahan, maka kita akan melukai hati pasangan.Ternyata meminta maaf saja tidak cukup dilakukan dengan perkataan satu kali dan kita minta maaf.

Jadi mesti ada hal-hal lain yang kita harus lakukan, saya singgung misalkan yang pertama kita harus datang kepada Tuhan, mengakui semua perbuatan dosa kita. Kedua kita juga mesti mengakuinya kepada pasangan dengan terbuka dosa yang telah kita lakukan dan didalam pengakuan itu kita tidak mengungkit-ungkit kesalahannya, tapi kita akui bagian kita saja dan yang terpenting kita bersikap biasa kepada pasangan. Jangan menuntutnya untuk langsung segera memaafkan kita, biarkanlah, dia perlu waktu untuk mencerna semua itu, proses harus berjalan untuk waktu yang agak lama. Dan kita tidak boleh menggunakan Firman Tuhan, memaksanya untuk seketika mengampuni kita, nanti dia akan merasa, "Sekarang kamu munafik menggunakan Firman Tuhan, dulu saat berbuat dosa kamu tidak mengingat Firman Tuhan dan sebagainya." Juga jangan sampai kita memperbesar permasalahan atau memperkecilkan penyesalan, jangan menangis terus-menerus, merasa bersalah, karena itu semua akan membuat pasangan merasa, "Kamu tahu ini akan berakibat buruk, dan sekarang menangis, ini semua percuma, kenapa dulu kamu tidak pikir." Tapi juga jangan sebaliknya meremehkan dan berkata, "Ya sudah sekarang sudah diampuni, maka jangan dibicarakan lagi, kubur semuanya," kemudian kita langsung gembira, lega, maka pasangan akan berpikir, "Kamu ini gampang sekali, kamu tidak tahu luka yang kamu timbulkan dalam hati saya." Jadi hal-hal seperti ini perlu kita lakukan, kita perlu sadari sehingga proses meminta maaf dan proses dimaafkan dapat berjalan dengan baik.
GS : Tetapi ada hal-hal yang lain yang harus dilakukan selain yang tadi telah Pak Paul uraikan, dan itu apa saja?

PG : Yang berikut adalah jangan berhenti meminta maaf, kendati kita sudah mengatakannya tetaplah menyampaikan permohonan maaf secara berkala, terutama tatkala kita melihatnya sedih, sampaikanla permohonan maaf namun jangan mengatakan hal yang lain, jadi kita hanya berkata, "Sekali lagi saya minta maaf karena telah melukai kamu," dan stop di situ dan kita jangan mengatakan hal yang lain.

Jika dia yang ingin membicarakannya, misalkan dia kemudian berkata, "Kenapa kamu bisa seperti itu, kenapa kamu tega kepada saya?" dan sebagainya, barulah kita menanggapinya. Kita dengarkan dulu, baru berikan tanggapan, maksud saya biarkan dia yang menentukan kapan dia akan membahas hal ini. Sebagian orang lebih suka menyelesaikan pergumulannya secara pribadi, dia tidak suka bicara terus-menerus karena makin bicara makin terluka, sehingga dia tidak siap. Tapi ada waktu-waktu dimana dia siap dan dia mau bicarakan, pada saat itulah kita menanggapinya. Jadi artinya jangan kita yang mengambil inisiatif, mungkin dia belum siap sehingga kita kehilangan kepekaan, mungkin dia perlu waktu untuk diam dulu dan waktu dia butuh untuk bicara, kita juga harus bicara. Jangan kita yang berkata sebaliknya "Sudah saya tidak mau bicarakan lagi," jangan! Kita di pihak yang salah dan kita mesti siap selalu untuk memberikan penjelasan kepadanya.
GS : Biasanya yang dikatakan adalah hal-hal yang sama, jadi seperti pengulangan, ini membuat kita agak kehilangan kesabaran lagi.

PG : Seringkali yang terjadi adalah kenapa pasangan kita membicarakan hal yang sama, kita mungkin sudah jelaskan sebanyak 50 kali. Sebetulnya ada satu yang ingin dia bicarakan, dia mencoba mengrti, "Kenapa kita bisa melakukannya, kenapa kita bisa berbuat."

Jadi itulah kecenderungan dari orang yang telah kita dilukai, dia mencoba untuk memahaminya "Kenapa bisa berbuat seperti itu." Memang ini akan timbul kesan yang membuat jengkel karena berputar-putar disitu terus. Namun dia ingin tahu "Kenapa" sebab ini yang menjadi tujuan akhir, dia ingin memastikan bahwa hal itu tidak terulang lagi. Dengan dia tahu alasannya, ini penyebabnya maka dia nanti bisa mengontrolnya, misalnya dia berkata, "Baiklah saya mengerti kenapa kamu sampai jatuh ke dalam dosa perzinahan, karena kamu merasa bahwa saya itu kurang hangat kepadamu," dengan si orang ini berkata, "Baiklah sekarang saya tahu, karena hal ini kamu jatuh," dia akan merasa lebih tentram, karena sekarang dia tahu duduk masalahnya, berarti dia bisa mengoreksinya, dia bisa memastikan bahwa kesalahan yang sama tidak terulang lagi yaitu dari pihak dia, dia mau lebih hangat supaya pasangannya tetap merasakan kehangatan darinya dan tidak terpikir untuk jatuh ke dalam dosa. Dengan kata lain itulah penyebabnya kenapa ada kecenderungan orang itu membangkit-bangkitkan hal yang sama, sebetulnya salah satu tujuannya adalah untuk memahami duduk masalah sebenarnya, agar dia bisa memastikan hal yang sama tidak terulang lagi.
GS : Mungkin dalam rangka ingin tahu apa penyebabnya, ada juga yang selalu menanyakan, "Sebenarnya saya ini salah apa, sampai kamu melakukan hal seperti itu," atau "Apa yang membuat saya menyakitkan kamu sehingga kamu menyakitkan saya seperti itu." Padahal sebenarnya tidak ada salahnya tapi itu yang terus dipertanyakan, dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Itu adalah upaya untuk melihat apa yang tidak saya perbuat, supaya nanti saya bisa mengoreksinya dengan tujuan kalau saya mengoreksinya maka kesalahan ini tidak akan diulang lagi. Jadi ituah kodrat manusiawi kita, sewaktu kita mendapatkan berita yang begitu buruk dan mengejutkan maka kita akan bereaksi, yang pertama kaget tapi kita memang akan bereaksi dengan sebuah tekad mau memastikan ini tidak terulang lagi.

Maka cara untuk memastikan ini tidak akan terulang lagi adalah memastikan apa yang bisa kita lakukan, dengan kita mencari tahu saya salah dimana, berarti saya ini bisa mengendalikan masalah ini atau relasi ini, supaya pasangan tidak jatuh ke dalam dosa yang sama. Saya kira itulah yang terkandung dibalik kenapa menanyakan hal yang sama dan menanyakan saya salah apa.
GS : Kalau memang tidak ada alasan untuk menyalahkan dia, karena sepenuhnya memang kesalahan kita, apakah kita itu harus mencari-cari alasan dan mengatakan "Kamu sebenarnya salah ini," padahal sebenarnya juga tidak.

PG : Saya kira sebaiknya jangan. Jadi kalau memang kita dengan objektif berkata "Tidak ada salahnya," memang tidak ada! Kita bisa berkata bahwa sudah tentu setiap relasi ada permasalahannya seab engkau tidak menikah dengan orang yang sempurna, saya pun tidak menikah dengan orang yang sempurna.

Kalau kita mau menggali-gali masalah-masalah, kesalahan-kesalahan yang kita masing-masing telah lakukan, sudah tentu kita akan menemukannya. Tapi itu bukan tujuannya, dan itu bukan hal yang relevan sebab yang membuat saya jatuh ke dalam dosa sebetulnya adalah diri saya sendiri, dalam hal ini tidak ada keterkaitannya dengan kamu. Memang jawaban ini sebenarnya tidak menenteramkan hati sebab dia terus mencoba cari tahu apa yang dia telah lakukan dan apa yang belum lakukan, sebab sekali lagi tujuannya adalah agar dia bisa memastikan hal yang sama tidak terulang lagi, tapi memang kalau tidak ada ya tidak ada, meskipun dia harus cemas, dia harus mengulang-ulang lagi tapi kita hanya bisa jujur, sejujur-jujurnya kepada dia.
GS : Kalau kita membiarkan dia terus mengulang-ulang pertanyaan seperti itu padahal tidak ada jawaban yang pasti apakah itu tidak terus membuat hatinya terluka, Pak Paul?

PG : Ya. Untuk waktu yang sedikit panjang dia akan terus mencari tahu jawabannya, makin lama, makin cemas, makin gelisah, makin luka, itu akan terjadi. Tapi nantinya dia akan merumuskannya sendri dengan pengertian, dia akan merumuskannya seperti ini, "Baiklah, mungkin saya tidak bersalah tapi mungkin saya dulu percaya kepada dia, jadi saya harus waspada dan lebih berani untuk memantau, menanyakan dia pergi kemana dan sebagainya."

Jadi dengan kata lain orang yang dilukai, pada akhirnya mau tahu apa yang bisa dilakukannya supaya setidak-tidaknya dia bisa mengontrol, mengecilkan kemungkinan perbuatan yang sama itu diulang kembali.
GS : Maksudnya supaya dia tidak terluka pada hal-hal yang sama lagi.

PG : Betul sekali.

GS : Apakah ada tindakan lain yang perlu kita lakukan, Pak Paul?

PG : Berdoalah secara pribadi, jangan mengajaknya berdoa bersama kita. Maksud saya begini, kita ini beranggapan bahwa dengan berdoa maka semua akan beres, kita sehati kembali datang kepada Tuhan. Saya kira lebih baik jangan mengajaknya berdoa bersama kita. Setelah kita memberikan pengakuan kepada pasangan, belum tentu dia siap berdoa bersama kita, bisa-bisa dia melihat kita sebagai orang munafik. Jadi yang kita harus lakukan adalah katakan pada dia bahwa kita selalu siap berdoa bersamanya namun kita akan menunggu kesiapannya, kita sampaikan juga bahwa kita mengerti bila ia tidak siap untuk berdoa dengan kita sekarang ini. Jadi biar kita berdoa sendiri. Misalkan dia sudah siap dan kita sudah mengatakan, "Kalau kamu sudah siap, saya mau berdoa bersama kamu," memang kalau dia sudah siap, dia akan berkata, "Saya sudah siap mari berdoa bersama," barulah kita berdoa bersamanya.

GS : Padahal ada pasangan yang sudah membiasakan pada jam-jam tertentu berdoa bersama-sama, membaca Alkitab lalu berdoa bersama-sama. Karena kasus seperti ini dan disuruh berdoa sendiri-sendiri, itu menjadi sesuatu yang tidak enak, Pak Paul.

PG : Sudah tentu kitanya akan berkata, "Kita tetap mau berdoa bersama-sama" tapi kita mau sensitif dengan dia bahwa mungkin untuk sementara dia rasanya tidak siap berdoa dengan kita, tanya saja "Bagaimana perasaanmu, apakah siap berdoa dengan saya atau tidak?" Jadi kalau pasangan berkata, "Tidak apa-apa saya siap, mari berdoa bersama" sudah tentu kita jangan menjauh darinya dan berdoa sendiri, kita berdoa bersamanya.

Kalau memang dia berkata, "Saya belum siap," maka tunggu sampai dia siap.
GS : Ada kekhawatiran pasangan, jika tidak berdoa dia akan semakin jauh dari Tuhan dan semakin sulit mengampuni kita, Pak Paul.

PG : Maka yang terpenting adalah kita masing-masing berdoa, kita tetap mau dekat kepada Tuhan, baik pihak yang bersalah maupun pihak yang dilukai. Dua-dua harus terus mencari wajah Tuhan, memina Tuhan menolong kita dan ini yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak.

GS : Tapi juga tidak patut kalau kita menanyakan, "Apakah kamu sudah berdoa dan membaca Kitab Suci," karena nanti akan menjadi pemicu lagi.

PG : Betul sekali. Jadi jangan sampai kita yang salah ini, tiba-tiba menanya-nanya dia, mengecek dia, "Sudah berdoa belum, sudah saat teduh belum?" dia akan makin marah, merasa bahwa kamu ini mnafik, pura-pura rohani.

Jadi kita harus berhati-hati dengan hal-hal yang bersifat kerohanian dalam kondisi ini, karena kalau tidak, mudah sekali membuat dia merasa "kamu ini orang yang munafik." Satu hal yang kadang dilakukan oleh pasangan, kita yang bersalah ingin langsung mau berdoa dan tidak apa-apa, sebab ada pasangan yang bisa merasa begini, "Kenapa kamu bisa berdoa ya? Dan berdoanya bisa begitu bagus, mengapa kamu bisa begini ya." Ini menambah kebingungannya, "Kenapa kamu yang bisa berdoa sebagus ini, tapi bisa melakukan dosa seperti itu?" jadi ini juga menambah ketidaknyamanan. Dulu kamu juga berdoa seperti ini, tidak ada beda, tapi dalam doa seperti ini, kamu sanggup melakukan dosa seperti itu, dan sekarang kamu berdoa juga seperti ini, bagaimana saya tahu kamu sungguh-sungguh berubah. Itu sebabnya tadi saya usulkan ada baiknya kita meminta jedah, kalau pasangan kita belum siap, kita katakan, "Nanti saja kita berdoa bersama, kalau kamu sudah siap kamu beritahu saya. Saya mungkin juga perlu berdoa sendiri, untuk merenung, untuk melihat apa yang telah saya lakukan. Ini mungkin juga baik buat saya, agar bisa bersama Tuhan menjalani proses penyembuhan bagi diri saya juga."
GS : Dan bagaimana kalau sudah ada anak-anak, biasanya anak-anak juga kita libatkan didalam doa dan membaca Kitab Suci. Kalau pihak salah satu yang dilukai ini tidak kita ajak, maka dia akan merasa terasingkan di sana.

PG : Kalau memang ada anak-anak, sebaiknya kita jangan menginterupsi kebiasaan itu, jadi teruskan saja doa bersama sebab sudah tentu pada masa anak-anak apalagi pada masa-masa kecil kita akan brdoa untuk hal-hal yang bersifat keseharian pula, dan karena mereka masih kecil sebaiknya kita juga tidak menceritakan masalah ini kepada mereka.

Kalau anak-anak sudah besar dan mereka tahu, sudah tentu permintaan maaf kita harus kita lakukan bukan saja kepada pasangan tapi juga kepada anak. Sebab yang dilukai bukan hanya pasangan tapi juga anak-anak kita.
GS : Apakah kita juga meminta dia untuk tetap ikut di dalam persekutuan keluarga, Pak Paul?

PG : Sebaiknya kalau dia belum siap berdoa bersama, jadi kita beritahukan kepada anak-anak bahwa misalkan mama kurang sehat, atau mama belum siap hari ini, nanti kita berdoa sendiri dulu, nantiPapa yang berdoa untuk kalian.

Tidak apa-apa seperti itu.
GS : Apakah ada hal lain Pak Paul yang perlu kita lakukan?

PG : Di dalam percakapan tentang hal lain, berhati-hatilah dengan komentar yang menghakimi orang lain, ingatlah bahwa akibat perbuatan kita, dia menjadi peka dengan kemunafikan, kata-kata yang ersifat menghakimi hanyalah membangkitkan ingatannya akan perbuatan kita dan membuatnya marah serta menuduh kita munafik, baginya kita hanyalah orang yang dapat melihat kesalahan orang namun buta terhadap kesalahan sendiri.

Jadi jagalah komentar-komentar kita, kadang-kadang kita itu seperti dulu lagi, mulut kita cepat mengkritik, menghakimi orang, mencela orang, tapi sekarang masalahnya sudah berbeda, masalahnya sudah lebih serius, kita sudah melakukan dosa. Jadi kita jangan meneruskan kebiasaan kita itu, benar-benar kalau kita terus menghakimi orang, pasangan akan benar-benar merasa muak melihat, "Kamu itu munafik, hanya bisa melihat dosa orang dan buta dengan dosa sendiri."
GS : Memang dalam kondisi seperti ini kadang-kadang agak sulit mencari topik-topik pembicaraan yang tepat. Sebaiknya topik-topik apa yang bisa kita angkat supaya komunikasi ini tetap ada.

PG : Untuk waktu yang agak panjang, berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-bulan, sehingga percakapan itu lebih merupakan percakapan rutin tentang mengelola rumah tangga misalkan tentang tugas, entang anak, hal-hal itulah yang menjadi topik pembicaraan kita.

Kita memang belum bisa keluar dari topik itu dan masuk ke topik-topik yang lebih personal sebab biasanya pada masa itu masih ada letupan-letupan kemarahan. Jadi kalau ada hal-hal yang lebih pribadi dan ditambah dengan letupan maka ini akan menjadi sesuatu yang berat bagi kita yang telah bersalah itu. Sehingga ada baiknya pada tahap-tahap awal pembicaraan dibatasi pada hal-hal pengelolaan rumah tangga, nanti kalau secara alamiah luka sudah mulai sembuh, maka dengan sendirinya akan timbul keinginan untuk membicarakan hal-hal yang lain.
GS : Dan memang dalam hal ini kita pun harus siap kalau dia tidak tanggap artinya dia tidak memberikan tanggapan positif dengan topik atau pembicaraan kita, Pak Paul.

PG : Sekali lagi, waktu kita membicarakan hal-hal itu, bisa jadi dia belum siap. Jadi dia mungkin menanggapinya hanya sekilas saja, kita mungkin bisa menjadi jengkel atau sedih, namun kita haru mengerti bahwa dia belum siap.

Jadi tanggapannya tidak selalu positif.
GS : Misalnya mengenai pekerjaan di rumah, sebelum kita bicara, dia sudah mengerjakan itu semua, seolah-olah dia melarikan diri dalam kesibukan itu, Pak Paul.

PG : Bisa jadi. Dari pada dia bicara dengan kita maka dia lebih baik membenamkan diri dalam tugas rumah tangga. Kalau itu yang kita lihat, maka tetap saya kira biarkan, jangan kita justru menjai marah, kita yang sudah bersalah malah marah, "Kamu tidak mau mengajak saya bicara, kamu malah bersembunyi dibalik tugas rumah tangga," tidak! Malahan kita ada baiknya berkata kepada dia, "Saya mengerti, saya telah melukaimu.

Maka kamu belum siap untuk bicara dengan saya, bahkan kamu lebih nyaman untuk menjauh, mengerjakan tugas rumah tangga, tidak apa-apa saya mengerti itu." Justru kalau kita angkat dan kita berikan pengertian, itu justru berdampak lebih positif.
GS : Ada hal lain yang mungkin Pak Paul mau sampaikan?

PG : Di dalam diskusi rohani, kadang-kadang kita membicarakan hal-hal rohani kepada pasangan kita setelah lewat atau berhasil melampaui luka-luka yang pernah kita terima. Jika ada pelajaran Firan Tuhan tentang dosa, kita yang bersalah harus mengambil inisiatif untuk mengatakan pengakuan seperti ini, "Saya adalah orang yang telah mengecewakan Tuhan dan keluarga," atau "Saya adalah orang yang tidak selayaknya menerima anugerah Tuhan" meskipun kita sedang membicarakan hal yang lain, yang berkaitan dengan hal-hal rohani yang lain, tapi kadang-kadang kita kaitkan dengan diri kita.

Seperti Paulus di dalam suratnya, kadang-kadang dia menulis, "Saya adalah seorang rasul yang paling kecil, yang paling berdosa, seolah-olah paling tidak bisa dimaafkan, tapi Tuhan memaafkan saya. Jadi dengan kata-kata seperti itu pasangan bisa melihat bahwa kita tidak pernah melupakan perbuatan dosa yang telah kita lakukan. Pengakuan seperti ini penting didengarnya, sebab salah satu ketakutannya adalah bahwa kita dengan mudah melupakan perbuatan yang sangat menyakiti hatinya itu, dengan secara berkala kita memunculkan kata-kata seperti itu, "Benar, saya orang berdosa. Saya telah mengecewakan Tuhan dan kamu." Secara berkala kita katakan maka dia akan tahu, kalau kita sungguh menyesal. Justru kalau kita diam saja, pasangan jadi bertanya-tanya, "Apakah kamu masih ingat dosamu sebab kamu tidak pernah menunjukkan penyesalan," akhirnya dia korek-korek dan kita tersinggung, kita marah. Jadi lebih baik, kita berinisiatif mengatakan hal-hal seperti itu.
GS : Tapi juga ada kekhawatiran di pihak yang pernah bersalah itu, kalau dia mengatakan hal itu, maka itu akan digunakan sebagai pintu masuk untuk mengungkit kembali masa lampau, dan kita tidak sukai.

PG : Kalau dia memang masih perlu mengungkitnya, memang dia akan mengungkitnya, namun biarkan. Jadi saran saya kalau gara-gara perkataan kita dia langsung marah, dia mengungkitnya, biarkan! Jai berilah waktu yang cukup lama, misalkan setelah lewat waktu 1 tahun, dia masih mengungkitnya, kita diam saja.

Tapi waktu dia tenang kita datang kepadanya dan berkata, "Saya memahami adakalanya kamu masih perlu marah mengungkit-ungkitkan luka-luka lama itu, tapi saya juga minta agar kamu berusaha melawannya sebab memang proses ini akan lebih bisa cepat dilalui kalau kita juga berusaha melawannya, saya pun mengalami pencobaan yang sama tapi dalam bentuk yang berbeda. Saya pun kadang-kadang ingin membenamkan diri dalam penyesalan, rasanya tidak mau melakukan apa-apa, depresi berat tapi saya tidak mau. Jadi saya pun berusaha keras melawan dorongan dari diri saya."
GS : Pak Paul, kalau kita tahu dengan pasti bahwa pasangan kita, sudah mengampuni kita, apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Bila memang ia telah sampai pada titik dimana dia berhasil mengampuni kita sepenuhnya, ini yang saya minta bersukacitalah sekaligus berdukacitalah dengannya. Bersukacita karena ia telah meang namun berdukacitalah sebab kita telah melukai hatinya, sebegitu dalamnya dan membuat dia menderita sebegitu lamanya.

Jadi dukacita ini tidak boleh sampai secara penuh, secara tuntas lepas selama-lamanya, jangan! Sekali lagi saya tekankan dua-duanya harus ada, bersukacitalah dan berdukacitalah. Bersukacita, kita berikan tanggapan positif kepada pasangan kita, kita telah menolongnya, memberinya kemenangan, melawan ini semua sehingga dia mengampuni kita tapi kita juga katakan, "saya tetap berdukacita karena saya tahu, saya telah melukaimu sebegitu dalamnya dan gara-gara perbuatan saya, kamu harus memikul derita untuk waktu yang begitu panjang." Dengan cara-cara seperti inilah, luka-luka itu disembuhkan dan relasi itu dijahit kembali.
GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk menjadi sebuah kesimpulan dari perbincangan kita ini?

PG : Sekali lagi kita akan kembali ke Yohanes 8:1-11 kisah dimana orang Farisi dan ahli Taurat yang membawa wanita yang kedapatan berzinah kepada Tuhan Yesus. Apa yang Tuhan Yesus katakan setelh orang Farisi dan para ahli Taurat meninggalkannya akibat pertanyaan Tuhan Yesus, "Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, silakan dia mengambil batu pertama," setelah semua pergi Tuhan berkata, "Hai perempuan, dimanakah mereka, tidak adakah mereka yang menghukum engkau."

Jawabnya "Tidak ada Tuhan," lalu kata Yesus, "Aku pun tidak menghukum engkau, pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Inilah berita sukacita dari surga yaitu Injil bahwa Tuhan telah mengampuni dosa kita, tidak ada dosa yang begitu besar sehingga mengalahkan kasih Tuhan, semua dosa lebih kecil dari kasih Tuhan. Satu hal yang dimintaNya yaitu "Bertobat, jangan berbuat dosa lagi."

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Meminta Maaf Saja Tidak Cukup," bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



73. Kedewasaan dalan Pernikahan I


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T264A (File MP3 T264A)


Abstrak:

Relasi pernikahan dilukiskan dengan 3 aksara "A,H dan M" dan dari ke 3 aksara itu yang paling baik adalah aksara "M" karena "M" melambangkan relasi nikah di mana suami dan istri bergantung satu sama lain namun keduanya dapat hidup sendiri. Mereka bergandengan tangan berarti ada kehangatan dan kerja sama di antaranya dan mereka pun dapat terbuka menyampaikan masukan kepada masing-masing sehingga relasi keduanya bertumbuh. Bagaimana sepasang suami istri dapat mewujudkan relasi yang disimbolkan dengan aksara "M"?


Ringkasan:

Ada orang yang melukiskan tiga jenis relasi pernikahan dengan tiga aksara:

Untuk dapat mewujudkan relasi jenis aksara "M" diperlukan kedewasaan. Saya mendefinisikan kedewasaan sebagai "kesanggupan menerima kelemahan pasangan dengan senyum." Jadi, berdasarkan definisi ini dapat pula kita mengartikan ketidakdewasaan sebagai:
  1. Ketidakmampuan melihat kelemahan pasangan karena menganggap pasangan sebagai manusia sempurna tanpa kekurangan.
  2. Mampu melihat kelemahan pasangan namun dengan cemberut alias tidak dapat menerimanya.
Definisi Kelemahan :
  1. Kelemahan dapat bersumber dari dosa, seperti dusta, kebencian, perzinahan, dan perjudian. Sudah tentu jauh lebih susah menerima kelemahan pasangan yang bersumber dari dosa.
  2. Kelemahan dapat pula bersumber dari kepribadian, kebiasaan hidup dan keterbatasan mental seperti mudah lupa, kurang berinisiatif, lamban, dsb.
Mengapa Harus Saling Menerima Tujuan Pernikahan : Rintangan Menerima Kendati kita tahu bahwa kita harus saling menerima namun tidaklah mudah untuk melakukannya. Berdasarkan Roma 15:1-2, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya," kita dapat menyimpulkan dua alasan mengapa tidak mudah untuk menerima kelemahan pasangan : Kendati demikian, kita tetap harus berusaha menerima pasangan dan berikut ini akan dipaparkan alasannya.
  1. Makin sering kita memikul beban yang ditinggalkan pasangan oleh karena kelemahannya, makin kita bertambah kuat. Kita tidak bertambah kuat bila kita hanya memikul beban yang memang seharusnya kita pikul atau yang menjadi porsi kita. Kita hanya akan dapat bertambah kuat bila kita memikul beban yang ekstra-yang bukan menjadi porsi kita. Tuhan tidak menghendaki kita menjadi orang yang lemah. Bila kita hanya memikul beban sendiri, kita tidak akan bertambah kuat, kita malah bertambah lemah.
  2. Kemajuan yang terhambat sering kali adalah kemajuan yang tersembunyi. Acap kali kita frustrasi karena merasa kemajuan kita terhambat oleh karena kelemahan pasangan. Namun mungkin sekali keterhambatan di suatu bidang merupakan kemajuan di bidang yang lain yang memang diperlukan, kendati kita tidak menyadarinya pada saat itu. Pengorbanan di suatu hal ternyata merupakan pengayaan di hal lainnya. Tuhan tahu apa yang sebenarnya perlu ditumbuhkan dalam diri kita dan sering kali Ia memakai kelemahan pasangan untuk menumbuhkan karakter yang penting tersebut.
  3. Memikul beban pasangan melatih kita untuk tidak memfokuskan perhatian pada diri sendiri. Kita diarahkan untuk memperhatikan pasangan dan kebutuhannya. Makin sering kita melihatnya dan apa yang dibutuhkannya, makin berkurang keegoisan kita. Pada akhirnya kita berdua makin bertumbuh karena bukan saja kebutuhan kita terpenuhi, kita pun dibangunkan oleh masukan yang kita terima dari pasangan.
Kesimpulan
Membangun relasi sama seperti menanam pohon. Sejak awal kita harus memberinya siraman dan pupuk serta melindunginya dari hama. Jika kita melakukan semua itu, setelah pohon tumbuh, barulah kita dapat bernaung di bawah daunnya yang rindang dan memakan buahnya yang manis. Pernikahan pun demikian. Bila kita memberi siraman dan pupuk serta melindunginya dari ancaman pihak luar, kita akan dapat bernaung dengan aman di dalamnya dan mencicipi buah nikah yang manis. Kadang kita mengharapkan pasangan dengan cepat dan dengan sendirinya bertumbuh menjadi dewasa dan masak. Kita ingin langsung menikmati buahnya yang manis namun kenyataan tidaklah demikian. Hanya kita yang bersusah payah menginvestasi usaha keras yang dapat mencicipi buah relasi pernikahan yang manis.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anugerah dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, relasi nikah juga merupakan anugerah Tuhan karena ini diprakarsai oleh Tuhan. Tapi pengertian anugerah di dalam pernikahan ini apa, Pak Paul?

PG : Sebetulnya anugerah adalah kasih dan pengampunan, Tuhan mengasihi kita dan Tuhan mengampuni semua dosa-dosa kita, jikalau kita mau datang kepada-Nya dan bertobat. Kedua hal itulah yang menadi karakteristik utama Tuhan dan inilah yang membawa perdamaian antara Tuhan dan kita manusia yang telah berdosa kepada-Nya.

Oleh sebab itu kita sebagai anak-anak Tuhan juga diminta untuk menjadi orang-orang beranugerah yaitu orang-orang yang dapat memberikan kasih kepada sesama dan memberikan pengampunan kepada orang yang telah bersalah kepada kita. Itu sebabnya pula dalam Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, kita diminta untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Kita bukan saja orang-orang yang memohon-mohon pengampunan tapi, kita juga harus menjadi orang yang memberi pengampunan, kita bukan saja orang-orang yang memohon-mohon untuk dikasihi tapi kita juga harus menjadi orang yang mengasihi sesama. Nah konsep inilah yang nantinya juga harus diterapkan dalam keluarga kita.

PG : Betul. Jadi ini adalah masalah ketaatan pada perintah Tuhan, apa yang Tuhan telah perintahkan itu yang kita ingin taati. Ada juga dasar yang kedua, Pak Gunawan, kenapa kita harus menerima atu sama lain dan ini terkait dengan yang dikatakan di Roma 15:7, "Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah."

Jadi kita menerima satu sama lain supaya kita dapat memuliakan Allah. Kita hanya dapat menerima satu sama lain lewat anugerah, anugerah adalah kasih dan pengampunan. Karena kita tidak mungkin bisa menerima satu sama lain kalau tidak memiliki kasih dan pengampunan. Inilah anugerah. Bila kita menjadi orang yang beranugerah maka kita akan membawa kemuliaan bagi Allah sebab kasih dan pengampunan selalu mengingatkan orang akan Tuhan, tidak mungkin orang akan melihat kebengisan kemudian mengingat Allah, tidak mungkin orang melihat kejahatan kemudian mengingat Allah, tidak! Sewaktu orang melihat kasih dan pengampunan barulah orang akan mengingat Allah dan memuliakan Allah. Jadi ini nantinya yang kita harus pupuk terus dalam rumah tangga kita yaitu kasih dan pengampunan supaya lewat kasih dan pengampunan kita membawa kemuliaan kepada Allah.

PG : Itu sebabnya langkah awal selalu yaitu kita mesti datang kepada Tuhan, kita mesti mengakui bahwa kita adalah orang berdosa dan kita tahu bahwa tidak ada yang dapat menebus dosa kita entah tu perbuatan baik kita, atau keyakinan-keyakinan kita dan hanya kasih dan pengampunan Tuhanlah yang dapat menebus semua hukuman-hukuman dosa yang seharusnya kita tanggung.

Anak Allah Tuhan kita Yesus Kristus telah datang untuk mati bagi semua dosa-dosa yang telah kita lakukan. Maka orang yang terus menerus menerima, mengalami kasih dan pengampunan Tuhan, menjadi orang yang dapat atau lebih dapat mengasihi dan mengampuni sesamanya. Kadangkala kita ini orang Kristen memang paham sekali dengan konsep anugerah, konsep mengasihi dan mengampuni karena kita terbiasa mendengarnya di gereja tapi kita kurang sekali mengalaminya dalam hidup sehari-hari, kita itu tidak benar-benar menaati Tuhan atau bergantung sepenuhnya kepada Tuhan sehingga kita kurang mengalami kasih dan pengampunan Tuhan. Itu sebabnya terhadap pasangan kita juga akhirnya tidak terlalu menyatakan kasih dan pengampunan itu pula.

GS : Pak Paul, perbincangan ini tentu tidak bisa diakhiri di sini karena masih ada beberapa hal yang perlu kita perbincangkan lagi mengenai tujuan pernikahan dan seterusnya. Namun karena waktu kita sudah terbatas sampai di sini, kita harus sudahi perbincangan ini dengan harapan para pendengar kita akan mengikutinya pada kesempatan yang akan datang, lanjutan dari perbincangan ini. Terima kasih, Pak Paul. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anugerah dalam Pernikahan" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

PG : Betul Pak Gunawan, jadi sebagaimana saya singgung tadi adakalanya anak justru menempatkan dirinya berlebihan di atas anak-anak lainnya, terutama anak-anak pria lainnya. Dan mungkin sekai dia mempunyai kelebihan tersebut misalnya wajahnya tampan sehingga dari kecil guru-guru selalu memuji ketampanannya atau orangnya pandai sehingga dari kecil dia menerima pujian dari kecemerlangan pikirannya.

Nah kita harus lebih tekankan bahwa wajahmu, kepandaianmu itu anugerah Tuhan. Entah mengapa Tuhan memilih memberikannya kepadamu bukan kepada anak lain, tapi engkau tidak pernah mendapatkannya karena engkau itu bekerja keras, tidak. Wajahmu memang sudah Tuhan berikan seperti itu, kepandaianmu memang Tuhan sudah berikan seperti itu, itu bukan karena pada waktu dalam kandunganku engkau sudah belajar melebihi anak-anak lain. Jadi kita terus tekankan hal seperti itu dan kalau dia bersifat atau memunculkan sifat sombong, melecehkan pria lain kita tegur dia. Jadi di sini orang tua terutama ayah harus bersikap lebih proaktif, kita marahi, kita tegur tidak boleh kamu melecehkan anak lain. Apalagi misalnya anak yang lemah yang memang tidak bisa apa-apa atau anak yang kurang berada. Nah kita harus tekankan kau jangan melecehkan mereka. Kau harus menghormati mereka, itu hal-hal yang seorang ayah bisa lakukan untuk anak prianya.

PG : Betul sekali, dan waktu Dia memasuki taman Getsemani, Dia tidak besorak-sorai dan berkata saya kuat, saya tidak akan berpengaruh oleh penderitaan ini. Dia justru meminta murid-muridNya erdoa untuk Dia.

Kenapa, sebab sebagai Anak Allah namun juga sebagai manusia sama seperti kita, Dia bisa merasa lemah, Dia merasa takut sebab kata yang Dia gunakan hatiku itu susah. Kata yang memang sarat dengan muatan emosi, ketegangan, ketakutan, kelemahan, ini semua bercampur menjadi satu. Dan Dia mengakui itulah yang Dia rasakannya tatkala dia harus berhadapan dengan salib, maka Dia perlu berdoa. Dan kita melihat kuasa Tuhan dinyatakan, Dia mendapatkan kekuatan secara supernatural. Ini juga janji buat kita bahwa waktu kita menghadapi kesusahan, penderitaan, Tuhan akan menyatakan kekuatanNya untuk kita. Prinsip yang saya juga akan angkat di sini adalah Tuhan menyatakan kekuatanNya untuk kita hari ini. Ini acap kali kita barharap kekuatan ini akan berlangsung terus-menerus; besok, besoknya lagi terus akan kuat. Tidak demikian, kekuatan Tuhan diberikan kepada kita hari lepas hari, setiap hari kita merasa lemah, setiap hari kita datang kepadaNya untuk berserah dan berharap kembali dan setiap hari kita akan dikuatkan. Jadi jangan sampai kita berputus asa dan berkata: "Kemarin saya kuat tapi sekarang saya lemah." Betul, anugerah Tuhan cukup untuk kita hari ini dan besok minta lagi kekuatan Tuhan untuk menghadapi hari esok.

PG : Betul sekali, kita memang tidak bisa terus-menerus bertahan tanpa memiliki pengharapan. Jadi memang perlu adanya pengharapan bahwa di luar penderitaan ini, setelah melewati penderitaan ni akan ada hari yang lain; akan ada anugerah Tuhan yang lain untuk kita.

PG : Pak Gunawan, kalau kita menengok ke kiri dan ke kanan, dan melihat lembaga-lembaga pelayanan atau organisasi pelayanan seperti di gereja, saya kira kita mesti mengakui bahwa terlalu banyakmasalah yang timbul di antara anak-anak Tuhan dalam bekerjasama.

Pertanyaannya adalah mengapa sampai seperti itu? Saya kira salah satu kuncinya adalah kepemimpinan yang efektif. Itu sebabnya saya kira kita perlu menyoroti figur atau sosok Musa sebagai seorang pemimpin karena kepemimpinan Musa itu sebetulnya sebuah kepemimpinan yang sebetulnya sangat sulit alias tidak ideal. Bayangkan dia harus memimpin anak-anak dan orang tua dan itu lebih dari 1.000.000 orang, dari tanah Mesir melewati padang gurun selama 40 tahun. Itu suatu kepemimpinan yang sangat tidak ideal, bahkan memimpin sebuah bangsa di dalam suatu negara yang permanen pun tidak mudah, apalagi ini memimpin sebuah bangsa di dalam perjalanan menuju ke tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan. Di tengah-tengah keminiman makanan, minuman, di tengah-tengah terik matahari dan dinginnya gurun pasir di waktu malam, di tengah-tengah ketiadaan rumah karena mereka harus tinggal dalam tenda-tenda dan kurang lebih 1.000.000 orang hidup bersama-sama. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya memimpin dalam kondisi Musa ini. Tapi kita bisa berkata atas anugerah Tuhan, Musa berhasil memimpin Israel selama 40 tahun. Untuk inilah kita sekarang mengadakan acara ini supaya kita bisa menimba apa yang dilakukan Musa sehingga nantinya bisa kita terapkan di dalam pelayanan kita.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, nah yang indah yang ingin saya angkat adalah pertama kali kita mendengar Batsyeba, kita mendengar tentang istri, seorang wanita muda yang gagal berkata tidak, tap kedua kali kita mendengar tentang Batsyeba kita membaca tentang seorang wanita yang sudah tua namun bijak.

Sehingga dia berani berkata tidak kepada Daud. Nabi Natan yang menyuruh Batyeba menghadap kepada Daud dan berkata tolong beritahukan, ingatkan raja Daud, dia sudah berjanji untuk mengangkat Salomo menjadi raja. Nah sebetulnya Batsyeba bisa berkata tidaklah, tidak apa-apa biarkan saja Daud mau mengangkat Adonia, biarkan saja. Tapi kali ini Batsyeba berkata tidak kepada Daud, dengan kata lain Batsyeba berani untuk menentang kehendak raja. Dia berani menagih janji raja Daud, "Engkau berjanji, Salomo-lah yang akan menggantikanmu kok sekarang engkau diam saja Adonia menobatkan dirinya." Nah akhirnya Daud diingatkan akan janjinya itu, sadar bahwa dia keliru, jadi dia langsung meminta nabi Natan untuk menobatkan Salomo menjadi raja. Jadi kita melihat suatu perubahan di sini Pak Gunawan, dari seorang wanita muda yang tidak bijaksana, Batsyeba berubah menjadi seorang wanita tua yang bijaksana. Dari seseorang yang tidak bisa berkata tidak, menjadi seseorang yang berani berkata tidak, dan dalam perubahannya itulah kita melihat anugerah Tuhan. Bukan dari wanita-wanita yang lain, bukan dari istri-istri Daud yang lain, Tuhan memilih kakek moyang dari Tuhan Yesus tapi justru dari seorang Batsyeba yang pernah jatuh ke dalam dosa. Nah di sini kita melihat betapa luas dan besarnya anugerah Tuhan kepada manusia.

HE : Saya kira kalau itu sekali-sekali dilakukan itu tidak apa-apa, tetapi jangan itu yang dijadikan fokus. Karena apa? Karena itu adalah yang sementara sifatnya. Selain itu boleh dikatakan al-hal seperti ini, ini adalah sesuatu yang dimiliki sebagai anugerah, sebagai karunia.

Dan itu patut disyukuri tapi tidak menjadi fokus pujian. Karena apa? Karena seharusnya yang menjadi fokus pujian kita adalah sesuatu yang menjadi tujuan yang bisa dicapai oleh anak. Kalau kita misalnya memfokuskan pada kecantikannya misalnya atau kepandaiannya atau kekuatannya, nah hal-hal ini suatu ketika bisa berubah. Kalau anak sampai mendasarkan harga dirinya pada hal-hal yang sementara ini maka ketika hal yang sementara ini ternyata tidak memuaskan dirinya atau menjadi luntur, pada saatnya saudara-saudara akan menjadi tua atau berjerawat waktu remaja, tidak cantik lagi maka ini akan memukul dirinya.

HE : OK! Dalam hal demikian misalnya orang tua bisa mengingatkan anak bahwa kamu beruntung karena kamu diberi anugerah wajah yang cantik dari Tuhan, ingat baik-baik bahwa jangan memanfaatkankecantikanmu ini untuk hal-hal yang kurang baik.

Yang terpenting dari seseorang adalah bukan dari kecantikan fisiknya, yang dikatakan juga oleh Alkitab adalah kecantikan dari dalam dan itu adalah sifat-sifat baik yang harus diusahakan oleh seseorang, yang masih bisa diubah oleh seseorang. Sedangkan kalau misalnya orang cerdas atau tidak, cantik atau tidak itu lebih agak susah untuk diubah karena itu suatu bawaan atau pemberian.

PG : Memang ada kecenderungan orang beranggapan bahwa di Perjanjian Lama Tuhan marah dan menghukum manusia, di Perjanjian Baru adalah zaman anugerah maka tidak ada lagi kemarahan dan penghukuma Tuhan.

Sekali lagi ini adalah konsep yang juga keliru. Misalkan kita tahu bahwa Ananias dan Safira berbohong kepada Roh Kudus, di detik itu juga mereka langsung jatuh dan mati, tidak ada lagi tawar-menawar, Tuhan langsung menghukum seperti itu. Memang tidak terlalu banyak dicatat seperti di Perjanjian Lama karena di Perjanjian Lama, Tuhan ingin menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang kudus, dia adalah Allah yang mempunyai standart yang sempurna, Dialah yang memberikan hukum-hukumNya kepada manusia dan sewaktu manusia gagal untuk memenuhi hukum-hukumNya maka kematianlah yang menjadi upah. Tapi di dalam Perjanjian Baru Tuhan mau memberikan suatu jaminan pasti bahwa kendati engkau tidak mau memenuhi hukum Tuhan dan Sabda Tuhan, tapi engkau telah dimaafkan asalkan engkau percaya pada Yesus sang Juru selamat yang telah mati untukmu. Maka di Perjanjian Baru yang lebih ditekankan adalah aspek dan kemurahan Tuhan.

PG : Di dalam diskusi rohani, kadang-kadang kita membicarakan hal-hal rohani kepada pasangan kita setelah lewat atau berhasil melampaui luka-luka yang pernah kita terima. Jika ada pelajaran Firan Tuhan tentang dosa, kita yang bersalah harus mengambil inisiatif untuk mengatakan pengakuan seperti ini, "Saya adalah orang yang telah mengecewakan Tuhan dan keluarga," atau "Saya adalah orang yang tidak selayaknya menerima anugerah Tuhan" meskipun kita sedang membicarakan hal yang lain, yang berkaitan dengan hal-hal rohani yang lain, tapi kadang-kadang kita kaitkan dengan diri kita.

Seperti Paulus di dalam suratnya, kadang-kadang dia menulis, "Saya adalah seorang rasul yang paling kecil, yang paling berdosa, seolah-olah paling tidak bisa dimaafkan, tapi Tuhan memaafkan saya. Jadi dengan kata-kata seperti itu pasangan bisa melihat bahwa kita tidak pernah melupakan perbuatan dosa yang telah kita lakukan. Pengakuan seperti ini penting didengarnya, sebab salah satu ketakutannya adalah bahwa kita dengan mudah melupakan perbuatan yang sangat menyakiti hatinya itu, dengan secara berkala kita memunculkan kata-kata seperti itu, "Benar, saya orang berdosa. Saya telah mengecewakan Tuhan dan kamu." Secara berkala kita katakan maka dia akan tahu, kalau kita sungguh menyesal. Justru kalau kita diam saja, pasangan jadi bertanya-tanya, "Apakah kamu masih ingat dosamu sebab kamu tidak pernah menunjukkan penyesalan," akhirnya dia korek-korek dan kita tersinggung, kita marah. Jadi lebih baik, kita berinisiatif mengatakan hal-hal seperti itu.

PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi kalau dia itu harus bekerja terus dan seolah-olah tidak mendapatkan belas kasihan orang, tidak pernah mencicipi karunia, anugerah dari orang atau dai Tuhan, kemungkinan dia akan mengembangkan sikap egois.

Tapi anak-anak yang besar dalam kekurangan kemudian mencicipi anugerah, baik anugerah manusia lainnya ataupun anugerah Tuhan yang berlimpah kepadanya. Dia melihat Tuhan itu baik, orangpun bisa baik kepadanya, nah saya percaya orang-orang seperti ini justru orang yang beranugerah besar, tidak egois.

PG : Di dalam kita mencari pasangan hidup dengan sikap menunggu, firman Tuhan untuk kita adalah ini "Sebab itu janganlah kamu khawatir tentang hari besok, karena hari besok mempunyai kesushannya sendiri."

Jadi jangan khawatir hidup sepenuhnya untuk Tuhan, besok bagaimana, besok ada pimpinan Tuhan, anugerah Tuhan cukup buat hari besok.

PG : Tepat sekali, firman Tuhan berkata demikian: "Juga kamu hai suami-suami hiduplah bijaksana dengan istrimu sebagai kaum yang lebih lemah, hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kash karunia yaitu kehidupan supaya doamu jangan terhalang."

Firman Tuhan menegaskan bahwa pria ini haruslah mempertimbangkan istrinya, jadi hiduplah dengan bijaksana dapat juga diartikan seperti orang Jakarta katakan kita ini knowing, mengerti istri kita, kita mempertimbangkan siapa istri kita. Di sini dikatakan sebagai kaum yang lebih lemah, dalam hal misalnya berkelahi jarang sekali wanita bisa mengalahkan pria dan sebagainya. Nah kalau tidak hati-hati pria memang bisa mendominasi rumah tangga melalui kekuatannya baik itu kekuatan fisik ataupun kekuatan uang. Sebab dalam banyak hal wanita itu memang berada di pihak yang lemah, contoh yang paling gampang saja sekarang ini, secara sosial wanita di pihak yang lebih lemah. Pria umur 40-an misalkan kehilangan istrinya menjadi seorang duda, kemungkinan besar dia bisa menikah lagi tapi seorang wanita yang kehilangan suaminya umur 40-an untuk menikah kembali sangat susah sekali karena memang kurang kesempatan tersebut. Jadi perempuan itu memang dalam banyak hal secara ekonomi, secara sosial, secara fisik berada di pihak yang lebih lemah, maka Tuhan nomor satu mengingatkan pria, ingat baik-baik, memang dia lebih lemah tapi engkau harus hidup bijaksana dalam pengertian kau harus mempertimbangan knowing dia, ngertiin dia, kau harus benar-benar melihat dia siapa, jangan semaunya. Bahkan Tuhan memberikan peringatan yang kedua ingatlah bahwa istrimu adalah sesama pewaris kasih karunia, sesama pewaris anugerah Tuhan. Jadi pria di sini diingatkan bahwa wanita itu bukanlah buntut kita, istri itu bukanlah pesuruh kita, bukanlah orang yang nebeng yang hanya menggandol kita mendapatkan kasih karunia Tuhan yaitu anugerah keselamatan dan hidup yang kekal ini, tidak. Tuhan memberikan hidup yang kekal, memberikan keselamatannya sama rata baik kepada wanita maupun kepada pria, jadi Tuhan sekali lagi secara intinya mengingatkan jangan engkau menganggap dirimu superior, jangan pria itu menganggap dirimu itu lebih hebat meskipun Tuhan ingatkan wanita di pihak yang lebih lemah tapi Tuhan ingatkan pria jangan merasa diri superior.

PG : Bagi saya yang terpenting adalah keduanya sudah lahir baru, sungguh-sungguh sudah mencintai Tuhan, hidup untuk Tuhan Yesus dan mengerti bahwa mereka diselamatkan oleh anugerah Tuhan Yesus.Dan bagi saya kalau keduanya mempunyai kesamaan iman yang seperti itu, lahir baru, saya anggap mereka adalah anak-anak Tuhan Yesus.

Sebab saya tahu ada orang yang memang ke gereja Protestan, tapi hidupnya juga sangat tidak karuan.

ET : Ada orang yang mengatakan seperti ini Pak Paul, apakah dia tergolong perfeksionis atau tidak? Dia bilang pokoknya kalau kita sudah berpikir yang jelek-jelek, kalau misalnya sungguh-sungguhjelek tidak mau sampai jatuh dan kalau memang ternyata baik ya itu anugerah.

PG : Di masa tua-lah kita mesti berdamai dengan diri kita pula. Maksudnya begini, waktu kita menengok ke belakang dan melihat bahwa ini hal-hal yang saya tidak dapatkan, kita mesti duduk dan brpikir dengan jernih, jangan langkah pertama menyalahkan orang, ini hanya akan menambahkan kepahitan.

Lihatlah apa itu bagian kita, nah kalau memang ini kesalahan orang dan orang berbuat buruk kepada kita, tugas kita di masa tua adalah meminta Tuhan menolong kita mengampuni orang itu, ini proyek kita. Sekali lagi kita tidak bisa mendelegasikan ini kepada orang, ini adalah tanggung jawab kita kepada Tuhan. Kalau memang kitalah yang berandil, yang membuat kita kehilangan kesempatan yang baik itu, kita mesti juga berdamai dengan diri kita dan berkata, "Ya sudah, ini memang kesalahan saya, memang saya tidak melakukan bagian atau tugas saya, sehingga inilah hasilnya saya tidak mendapatkannya." Terima ini juga, setelah kita melakukan semua itu datang kembali kepada Tuhan percaya bahwa meskipun kita kehilangan itu semua, tetap rencana Tuhan, anugerah Tuhan bagi kita cukup, tidak lebih-tidak kurang.

PG : Betul sekali, dia menerima pujian sebagai anugerah Pak Gunawan, sebagai tanggapan orang yang positif tapi dia sendiri tidak haus dan mengejar-ngejar pujian tapi anak yang terlalu seringmendengar pujian akhirnya menjadi anak-anak yang mengejar-ngejar pujian dan targetnya selalu pujian.

Dia kehilangan makna berkarya jadinya bahwa karya itu yang penting mementingkan aktualisasi diri sebaik-baiknya nah itu yang terhilang dalam diri dia, sehingga penekanannya lebih pada orang, dinilai orang baik, dinilai orang sukses, dan sebagainya. Bukan pada dirinya dia puas dengan apa yang sudah dia kerjakan, dia bisa karyakan.

PG : Begini Pak Gunawan, ini sebetulnya berasal dari pemahaman tentang kasih karunia atau anugerah. Kita tahu anugerah diberikan dengan cuma-cuma, tapi anugerah yang diberikan dengan cuma-cuma tu bukan berarti murah, anugerah itu sangat mahal karena anugerah itu berbentuk nyawa Putera Allah yaitu Yesus Kristus, siapa yang mau membeli atau membayarnya, tidak bisa! Maka diberikan dengan cuma-cuma, inilah konsep kasih karunia.

Namun sebetulnya konsep kasih karunia atau anugerah yang tadi kita pahami secara tak bersyarat, sebetulnya dalam konteks keselamatan tak bersyarat maksud saya adalah begini; firman Tuhan di Roma 5:8 berkata, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa". Artinya apa? Tuhan mengasihi kita bahkan tatkala kita masih berdosa maka inilah konsep kasih karunia meskipun kita dalam dosa Tuhan masih mengasihi kita, Tuhan sudah rela mati untuk dosa-dosa kita. Tuhan tidak berkata, "Kamu berubah dulu, tidak berdosa dulu, baru aku mati buat kamu" tidak!!! Tapi Tuhan mati dulu untuk dosa kita. Dan barulah nantinya Tuhan meminta kita berubah, jadi inilah konsep kasih karunia, Tuhan menerima kita, mati bagi kita bahkan sewaktu kita berdosa. Yang kedua adalah saya ambil dari Efesus 2:8, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri". Dari ayat ini kita memetik satu pelajaran yakni keselamatan adalah pemberian Tuhan semata bukan hasil perbuatan manusia, ini yang dimaksud dengan kasih karunia. Tidak ada manusia yang dapat masuk ke pintu surga lewat perbuatan baik karena sebaik-baiknya perbuatan manusia, tidak akan cukup baik, tidak akan mencapai standart kekudusan atau kesucian Tuhan. Maka akhirnya Tuhan membuka pintu surga lewat kematian putraNya supaya kita bisa masuk menjadi anggota keluarga Allah, ini adalah artinya kasih karunia, diberikan kepada kita tanpa syarat. Namun dalam hal pertumbuhan kristen, kasih karunia Tuhan menuntut perubahan, Pak Gunawan. Sekali lagi saya tekankan dalam hal keselamatan, betul Tuhan menerima kita apa adanya, sebelum kita bertobat dari dosa Tuhan sudah mati untuk kita. Tuhan menerima kita apa adanya tapi setelah kita menjadi anakNya, Dia mengharapkan kita berubah. Jadi kasih Allah kepada kita, memang membuka pintu untuk kita masuk ke dalam rumahNya tapi setelah kita di dalam rumahNya, kasih Bapa kepada kita sebagai anak menuntut kita berubah.

PG : Betul mudah-mudahan dalam kasus tersebut anugerah Tuhan dilimpahkan kepada mereka, sehingga meskipun awalnya mereka terpaksa menjadi orang Kristen tapi akhirnya mereka mengerti cinta kasihTuhan dalam hidup mereka sehingga mereka sungguh-sungguh menjadi pengikut Kristus.

PG : Orang yang berprinsip seperti itu juga harus siap menghadapi resikonya kalau-kalau pasangannya tidak menjadi pengikut Kristus. Dia boleh berharap pada kemurahan Tuhan, tapi saya kira dia jga harus siap menghadapi kemungkinan yang satunya.

Memang Tuhan penuh anugerah, jadi meskipun anak Tuhan kadangkala nakal, adakalanya atau sering kita melihat Tuhan melimpahkan kemurahanNya, itu memang terjadi. Tapi sebagai anak yang mencintai dan taat kepada Tuhan, seharusnya kita tidak menggunakan hal tersebut untuk memaksakan kehendak kita. Jadi janganlah kita seolah-olah memanfaatkan kebaikan Tuhan untuk kepentingan kita, tetapi yang Tuhan inginkan kita ini menaati kehendakNya, itu yang lebih indah.

PG : Saya akan bacakan dari Matius 18:21-22 "Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuatdosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali."

Nah pada waktu itu orang-orang Israel mempunyai keyakinan batas maksimum orang memaafkan adalah tujuh kali sebab tujuh dianggap angka sempurna. Tuhan menambahkan tujuh puluh kali tujuh artinya di atas yang sempurna masih ada yang sempurna. Pada batas engkau mengampuni engkau berkata: tidak bisa lagi mengampuni, masih bisa mengampuni, itu kira-kira intinya yang Tuhan ingin katakan. Saya kira pernikahan harus dilandasi atas hukum rekonsiliasi, ini yang saya berikan judul pada ayat-ayat tadi. Rekonsiliasi terjadi jika ada pihak yang meminta ampun atau bertobat dan ada yang memberi ampun atau ada yang berbelaskasihan. Jadi memang kalau orang tidak mau berubah atau tidak mau berkata saya salah minta ampun, susah terjadi rekonsiliasi. Seseorang harus maju ke depan dan berkata saya salah, mohon maaf, dan yang satunya berkewajiban memberikan pengampunan. Dan yang kedua adalah pengampunan yang tidak terbatas menandakan hati yang penuh belas kasihan, nah ini yang kadangkala susah untuk kita miliki kalau sudah terlalu sering dilukai. Untuk ini saya kira kita perlu berdoa minta kuasa Tuhan, karena hanya kuasa Tuhan yang bisa memunculkan kembali belas kasihan kalau hati kita sudah mengeras. Jadi pertanyaannya maukah kita berdoa meminta Tuhan mengaruniakan belas kasihan itu kepada diri kita dulu, bukan kepada pasangan kita yang bersalah kepada kita misalnya. Maukah kita berdoa meminta Tuhan memberikan belas kasihan dalam hati kita, agar kita berbelaskasihan kepada pasangan kita yang telah bersalah kepada kita, jadi itu langkahnya. Nah yang terakhir adalah kita perlu mengintrospeksi diri artinya bukankah kita ini sama-sama orang yang pernah bersalah baik kepada sesama kita ataupun kepada Tuhan. Dan bukankah kita orang yang sama-sama telah menerima anugerah pengampunan, kita adalah orang yang telah ditebus, diampuni oleh Tuhan Yesus. Jadi Tuhan meminta kita mengingat bahwa kita juga penerima pengampunan, ingatlah kita sama seperti dia, kita juga harus memberikan pengampunan pada pasangan kita. Nah sekali lagi ini memang mudah kita ucapkan secara teoritis, kenyataannya akan sangat susah sekali. Tapi langkah pertama adalah berdoa meminta Tuhan memberikan kita belas kasihan lebih dulu, kalau tidak ada belas kasihan yang lain-lainnya tidak akan muncul.

PG : Ya, kalau terjadi dalam rumah Pak Gunawan, sudah tentu efeknya lebih pribadi, efeknya akan lebih masuk ke dalam, benar-benar lebih memberikan dampak yang negatif. Sebab kalau terjadi di seolah saja dia lemah tak berdaya, setiap hari dia ke sekolah, dia sebetulnya merasa tertekan, tapi dia masih bisa berkata jam 12.00

saya pulang atau jam 3.00 saya pulang dan saya tidak usah bertemu dengan teman-teman itu. Atau dia masih bisa berkata ada teman-teman yang masih menerima saya, namun kalau di rumah, ini yang susah dia tidak bisa lagi melarikan diri dari rumah sebagai anak kecil, dia terpaksa mendengarkan kata-kata yang dilontarkan oleh ibu atau bapaknya atau kakaknya dan sebagainya, dampaknya lebih menghancurkan dia. Tapi manusia itu memang lentur Pak Gunawan, manusia itu tidak hanya terdiri dari satu sisi, jadi dalam anugerah Tuhan, bisa saja seperti ini, di rumah tidak mendapatkan dukungan malah dihina, tapi di sekolah justru diterima dan mendapatkan pengakuan atau keberhasilannya secara akademik dan sebagainya. Nah itu sedikit banyak akan menetralisir. Nah anak-anak yang di rumah mendapatkan banyak tekanan atau penghinaan, sedangkan di luar mendapatkan pengakuan dan penerimaan, hampir dapat dipastikan pada waktu dia remaja dia mulai akan jarang berada di rumah, dia akan habiskan kebanyakan waktunya di luar rumah. Karena di situlah ia mendapatkan rumah yang sesungguhnya.
GS : Jadi semua itu kita terima sebagai anugerah Tuhan, bahwa Tuhan itu membedakan yang pria dan yang wanita untuk bisa saling mengasihi dan saling menolong, begitu Pak Paul ya.

PG : Mungkin dalam kasus itu justru kita melihat suatu penggenapan dari janji Tuhan, seperti yang tadi Pak Gunawan sudah singgung, memang Tuhan akhirnya menjawab Paulus : Anugerah-Ku cukup bagiu! Dalam kasus tadi saya bisa katakan bahwa orang itu mengalami kepenuhan anugerah Tuhan bahwa anugerah Tuhan cukup baginya sehingga walaupun dia menderita, dia bisa melaluinya dengan kekuatan Tuhan.

Tapi saya tidak bisa menyangkal bahwa mungkin saja ada waktu-waktu tertentu dia menderita, rasa sakit. Saya belum lama ini menyaksikan seorang anak Tuhan meninggal dunia. Mungkin hampir setahun menderita kanker, dan karena penderitaannya itu dia tidak bisa lagi berjalan, dia harus terbaring di tempat tidur. Dan saya menyaksikan sakitnya itu, dia sampai kadang-kadang harus pingsan karena menahan sakit yang sangat luar biasa. Dalam penderitaannya itu adakalanya dia menceritakan pengalamannya dengan Tuhan, bagaimana dia akhirnya mendapatkan mimpi melihat sorga. Jadi ada waktu di mana dia sangat dikuatkan dan bagikan itu kepada saya, saya merasa dikuatkan. Tapi tidak bisa saya sangkal, banyak sekali waktu di mana dia menderita.
GS : Dari dua bentuk penderitaan yang tadi Pak Paul katakan, sebenarnya dia tidak inginkan, yang pertama tadi karena dia taat pada Firman Tuhan. Konsekuensi logisnya dia akan menderita karena disalah mengerti orang. Yang kedua itu Tuhan yang memberikan dia seperti Paulus tadi, Tuhan yang memberikan duri dalam dagingnya supaya dia tidak menjadi sombong dan merasakan anugerah Tuhan. Tetapi ada bentuk yang lain Pak Paul selain kedua bentuk yang itu?

PG : Betul, yang indah adalah hal-hal yang keluar dari mulutnya yaitu hikmat, tidak sembarangan bicara, tidak menjelek-jelekkan tidak menggosip, tidak mencaci dan justru yang keluar adalah hal-al yang indah yang penuh dengan hikmat, penuh dengan anugerah, tahu kapan bicara dengan suami, tahu kapan membangun suami dan sebagainya.

Sebaliknya pria itu harus menunjukkan kebaikannya yaitu selalu siap menolong si istri memikirkan apa yang baik bagi si istri, melakukan apa yang juga diinginkan oleh si istri, sikap-sikap siap membantu, sikap merendah, sikap mau memberi inilah kebaikan yang seharusnya diperlihatkan suami kepada istri. Jadi nasehat rasul Paulus kepada kita, "Jangan kita memfokuskan lagi pada yang kelihatan tapi pada yang tak kelihatan," di hari pernikahan masa tua inilah yang harus kita fokuskan bukan lagi pada yang kelihatan tapi pada karakter, pada yang tidak kelihatan ini.

PG : Tuhan memang tidak menghukum, dalam pengertian Tuhan tidak bertindak secara langsung melakukan sesuatu penghukuman atau menjatuhkan sesuatu yang buruk kepada orang ini. Kenapa, ya saya tidk bisa memastikan rencana Tuhan karena saya yakin sebetulnya ada rencana Tuhan untuk setiap orang, tapi yang bisa saya katakan adalah meskipun mereka memang harmonis tapi tetap berada di luar persetujuan Tuhan.

Nah kalau sampai kita bertanya juga mengapa Tuhan seolah-olah memberkati, mereka tambah hari tambah harmonis apa yang terjadi? Nah kita bisa menyimpulkan nomor satu mereka memang harmonis, memang mereka cocok. Dan yang kedua adalah di dalam kebaikan hati Tuhan, di dalam kemurahan Tuhan, Tuhan memberikan anugerahNya kepada pasangan-pasangan ini. Sebab kenapa, sebab dari pasangan yang tidak seiman ini pun akan lahir anak-anak dan Tuhan menginginkan anak-anak ini bisa menghirup udara yang tenteram dalam keluarga. Nah maka Tuhan juga akan memberikan anugerah itu kepada keluarga tersebut yakni biarkanlah, supaya apa yakni anak-anaknya bisa menikmati ketenteraman hidup. Jadi Tuhan bukanlah Tuhan yang jahat, gara-gara kita melanggar perintahnya, kita menikah dengan yang tidak seiman maka Tuhan langsung akan kutuk sehingga anak-anaknya akan terus hidup di dalam penderitaan, tidak ada kedamaian dan sebagainya tidak selalu begitu. Ada memang yang menikah dengan yang tidak seiman, orang itu berkarakter buruk sehingga pernikahan mereka menjadi sangat-sangat penuh dengan penderitaan, ada yang seperti itu. Tapi saya juga setuju dengan Ibu Wulan, ada yang tidak seperti itu, ada yang harmonis itu adalah anugerah untuk mereka. Tuhan membiarkan itu terjadi, dan Tuhan memelihara anak-anak mereka, Tuhan ijinkan namun tetap saya tegaskan itu di luar persetujuan Tuhan. Sebab firman Tuhan sudah jelas berkata boleh menikah dengan siapa saja asalkan sesama orang percaya.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi benar-benar ini adalah sebuah tawaran anugerah, sebuah hadiah, sebuah pemberian. Sebab tidak mungkin kita bisa memperolehnya dengan kekuatan kita sendiri. Sberapa banyak orang berkata, "Besok saya tidak lagi melakukan ini, besok saya tidak melakukan itu.

Tapi besoknya mengulanginya lagi." Jadi memang kita manusia telah tercemar oleh dosa, kecenderungan kita adalah kembali lagi ke dalam lumpur dosa, maka benar-benar tidak bisa mengandalkan kekuatan kita, mesti ada tangan dari atas yang mengangkat kita keluar, menarik kita keluar dari lumpur dosa itu, yaitu dengan kekuatan Tuhan serta kasih dan kemurahan Tuhan barulah kita bisa diangkat keluar dari lumpur dosa. Sekali lagi saya mau ingatkan, ini tidak berarti bahwa, "Tuhan Yesus saya percaya padaMu, saya mau mengikut Engkau, saya mau menjauhkan diri dari dosa dan mau hidup memuliakan Tuhan," maka semua akan beres, tiba-tiba jalan akan lancar, lurus semuanya, tidak! Kita akan mengalami pergolakan, pergumulan, gejolak, pencobaan akan selalu ada tapi kita akan kembali kepadaNya, memohon kekuatanNya, kalau kita harus jatuh, kita harus kembali lagi dan berkata, "Tuhan ini saya, saya mengakui dosa saya tapi saya mengetahui satu hal yaitu Tuhan sudah mati buat saya, Tuhan sudah mengampuni saya, saya akan berusaha lagi, tolong kuatkan saya," dan selalu kembali dan kembali kepada Firman Tuhan. Itu adalah daging yang akan memberikan kekokohan dalam hidup kita dalam melawan dosa. Saya perhatikan ada orang-orang yang sudah bertobat tapi paling susah baca Alkitab, maunya datang, mendengarkan, mengalami perasaan-perasaan tertentu dan hanya itu saja, maunya hanya itu, tapi tidak mau benar-benar menancapkan akar pada Firman Tuhan, menuntut diri harus kenal Tuhan. Itu kelemahannya, akhirnya selalu diombang-ambingkan oleh dosa karena tidak punya daging, tidak punya kekuatan. Firman Tuhanlah yang menjadi tulang dan daging yang akan menumbuhkan kita, makin hari makin serupa dengan Kristus.

PG : Rasa bersalah harus ada sebagai reaksi atas perbuatan kita, namun rasa bersalah itu tidak semestinya menjauhkan kita dari Tuhan. Rasa bersalah seyogyanya membawa kita lebih dekat pada thta anugerah Tuhan karena kita tahu kita bersalah, kita berdosa dan kita memerlukan anugerah Tuhan untuk mengampuni kita.

Jadi rasa bersalah seharusnya membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Kalau rasa bersalah membuat kita lari dari Tuhan; seperti yang dilakukan oleh Yudas setelah dia menjual Tuhan, dia merasa bersalah dan dia menyesali perbuatannya akhirnya dia menggantung diri, dia menjauhkan diri dari Tuhan bukannya malah mendekatkan diri kepada Tuhan. Berbeda dengan Petrus, dia tahu dia salah bahwa dia menyangkal Tuhan, tapi dia terus mengikuti Tuhan sampai ke rumah imam besar pun dia ikuti. Tuhan sudah katakan bahwa dia akan lari, memang dia lari ketakutan tapi dia terus mengikuti Tuhan, dia memang jatuh ke dalam dosa. Tapi waktu Tuhan menatap dia, dia menangis, dia menyesali perbuatannya, dia tahu dia salah; namun kita tahu bahwa dia tetap mencoba mendekati Tuhan kembali. Jadi saya kira batasnya itu, jangan sampai rasa bersalah itu justru menjauhkan kita dari Tuhan.

PG : Saya bacakan dari I Petrus 3:10, "Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus mejaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu." Apa cara kita menjadi berkat buat pasangan kita dan memberkati pasangan kita? kita harus memiliki lidah yang tulus, lidah yang tidak jahat, lidah yang tidak menipu. Artinya pertama, kita mengatakan yang benar; jangan sampai kita tidak mengatakan yang benar. Kita harus mengatakan yang benar dengan baik, ini penting. Kita harus mengatakan yang benar dengan baik sebab kadang-kadang mulut kita mengatakan yang benar tapi caranya kasar, menghina orang. Dan kita berkata, "Memang dia tolol, dibilangi tidak ngerti-ngerti." Kata tolol itu tidak baik, meskipun perkataan kita benar, mau mengoreksi orang yang melakukan kesalahan, tapi dengan kita membubuhkan kata tolol, itu merusakkan yang benar karena caranya tidak baik. Jadi lidah harus benar-benar baik jangan lidah kita masuk ke dalam yang jahat. Berikutnya tentang lidah, kita harus mengatakan yang baik dengan benar, ini penting. Jangan sampai kita mengatakan yang baik tapi akhirnya isinya kebohongan, manis di mulut, kadang-kadang ini yang kita saksikan, orang-orang manis di mulut tapi sesungguhnya tidak ada kebenaran. Jadi bukan hanya caranya harus benar, isinya pun harus benar; caranya harus baik, isinya pun harus mengandung kebenaran. Ini yang Tuhan minta dari kita, dengan kata lain lidah kita ini harus penuh dengan anugerah dan kebenaran.



74. Kedewasaan dalan Pernikahan II


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T264B (File MP3 T264B)


Abstrak:

Relasi pernikahan dilukiskan dengan 3 aksara "A,H dan M" dan dari ke 3 aksara itu yang paling baik adalah aksara "M" karena "M" melambangkan relasi nikah di mana suami dan istri bergantung satu sama lain namun keduanya dapat hidup sendiri. Mereka bergandengan tangan berarti ada kehangatan dan kerja sama di antaranya dan mereka pun dapat terbuka menyampaikan masukan kepada masing-masing sehingga relasi keduanya bertumbuh. Bagaimana sepasang suami istri dapat mewujudkan relasi yang disimbolkan dengan aksara "M"?


Ringkasan:

Ada orang yang melukiskan tiga jenis relasi pernikahan dengan tiga aksara:

Untuk dapat mewujudkan relasi jenis aksara "M" diperlukan kedewasaan. Saya mendefinisikan kedewasaan sebagai "kesanggupan menerima kelemahan pasangan dengan senyum." Jadi, berdasarkan definisi ini dapat pula kita mengartikan ketidakdewasaan sebagai:
  1. Ketidakmampuan melihat kelemahan pasangan karena menganggap pasangan sebagai manusia sempurna tanpa kekurangan.
  2. Mampu melihat kelemahan pasangan namun dengan cemberut alias tidak dapat menerimanya.
Definisi Kelemahan :
  1. Kelemahan dapat bersumber dari dosa, seperti dusta, kebencian, perzinahan, dan perjudian. Sudah tentu jauh lebih susah menerima kelemahan pasangan yang bersumber dari dosa.
  2. Kelemahan dapat pula bersumber dari kepribadian, kebiasaan hidup dan keterbatasan mental seperti mudah lupa, kurang berinisiatif, lamban, dsb.
Mengapa Harus Saling Menerima Tujuan Pernikahan : Rintangan Menerima Kendati kita tahu bahwa kita harus saling menerima namun tidaklah mudah untuk melakukannya. Berdasarkan Roma 15:1-2, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya," kita dapat menyimpulkan dua alasan mengapa tidak mudah untuk menerima kelemahan pasangan : Kendati demikian, kita tetap harus berusaha menerima pasangan dan berikut ini akan dipaparkan alasannya.
  1. Makin sering kita memikul beban yang ditinggalkan pasangan oleh karena kelemahannya, makin kita bertambah kuat. Kita tidak bertambah kuat bila kita hanya memikul beban yang memang seharusnya kita pikul atau yang menjadi porsi kita. Kita hanya akan dapat bertambah kuat bila kita memikul beban yang ekstra-yang bukan menjadi porsi kita. Tuhan tidak menghendaki kita menjadi orang yang lemah. Bila kita hanya memikul beban sendiri, kita tidak akan bertambah kuat, kita malah bertambah lemah.
  2. Kemajuan yang terhambat sering kali adalah kemajuan yang tersembunyi. Acap kali kita frustrasi karena merasa kemajuan kita terhambat oleh karena kelemahan pasangan. Namun mungkin sekali keterhambatan di suatu bidang merupakan kemajuan di bidang yang lain yang memang diperlukan, kendati kita tidak menyadarinya pada saat itu. Pengorbanan di suatu hal ternyata merupakan pengayaan di hal lainnya. Tuhan tahu apa yang sebenarnya perlu ditumbuhkan dalam diri kita dan sering kali Ia memakai kelemahan pasangan untuk menumbuhkan karakter yang penting tersebut.
  3. Memikul beban pasangan melatih kita untuk tidak memfokuskan perhatian pada diri sendiri. Kita diarahkan untuk memperhatikan pasangan dan kebutuhannya. Makin sering kita melihatnya dan apa yang dibutuhkannya, makin berkurang keegoisan kita. Pada akhirnya kita berdua makin bertumbuh karena bukan saja kebutuhan kita terpenuhi, kita pun dibangunkan oleh masukan yang kita terima dari pasangan.
Kesimpulan
Membangun relasi sama seperti menanam pohon. Sejak awal kita harus memberinya siraman dan pupuk serta melindunginya dari hama. Jika kita melakukan semua itu, setelah pohon tumbuh, barulah kita dapat bernaung di bawah daunnya yang rindang dan memakan buahnya yang manis. Pernikahan pun demikian. Bila kita memberi siraman dan pupuk serta melindunginya dari ancaman pihak luar, kita akan dapat bernaung dengan aman di dalamnya dan mencicipi buah nikah yang manis. Kadang kita mengharapkan pasangan dengan cepat dan dengan sendirinya bertumbuh menjadi dewasa dan masak. Kita ingin langsung menikmati buahnya yang manis namun kenyataan tidaklah demikian. Hanya kita yang bersusah payah menginvestasi usaha keras yang dapat mencicipi buah relasi pernikahan yang manis.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Anugerah dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang anugerah dalam pernikahan namun saya percaya tidak semua pendengar kita kali ini mengikuti perbincangan yang lalu, dan supaya para pendengar kita mempunyai gambaran yang lengkap sehingga kita bisa bersama-sama melanjutkan perbincangan ini, mungkin Pak Paul ingin mengulas sedikit apa yang telah kita bicarakan pada kesempatan yang lalu.

PG : Pak Gunawan, pertama-tama saya akan membahas sebetulnya apa tujuan pernikahan. Kita ini memasuki pernikahan biasanya karena kita mencintai pasangan, kita ingin membagi hidup dengannya, ingn mempunyai keturunan dan sebagainya.

Tapi sesungguhnya ada tujuan pernikahan dari kacamata Tuhan sendiri dan ini yang kita perlu ketahui supaya nanti kita bisa hidup di dalam tujuan tersebut. Firman Tuhan di Mazmur 8:2-6, "Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat." Untuk kita bisa memahami kenapa Tuhan menciptakan pernikahan, kita mesti kembali ke awalnya yaitu kenapa Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya. Dari firman Tuhan yang telah kita baca dapat kita lihat bahwa semua yang Tuhan ciptakan adalah untuk mencerminkan kemuliaan Allah. Dengan kata lain bulan, bintang, langit, gunung, lautan, hewan dan juga manusia adalah tanda-tanda dan bukti-bukti yang mencerminkan kemuliaan Tuhan. Kalau kita manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi kemuliaan Tuhan, itu artinya sewaktu Tuhan melihat kita, Tuhan mesti melihat kemuliaan dan kehormatanNya pada diri kita. Dosa adalah sewaktu kita akhirnya kehilangan kemuliaan dan kehormatan Tuhan, sehingga tatkala Tuhan melihat kita, kita tidak lagi memantulkan kemuliaan dan kehormatan Tuhan itu. Kalau kita melihat dari sisi manusia, kenapakah Tuhan menciptakan kita? Kita bisa simpulkan bahwa kita ini diciptakan agar dapat menikmati relasi dengan Pencipta kita dan sebuah relasi dengan Pencipta alam semesta adalah sebuah kehormatan tersendiri. Kalau kita misalkan diijinkan berelasi dengan seorang petinggi, maka kita akan berkata bahwa ini adalah sebuah kehormatan. Tuhan lebih dari seorang petinggi, dari penguasa duniawi. Tuhan adalah Allah pencipta alam semesta ini dan kita diciptakan Tuhan agar kita dapat mencicipi relasi dengan-Nya, ini sebuah kehormatan yang amat besar. Jadinya singkat kata, baik dari sisi Tuhan maupun dari sisi manusia, penciptaan hanyalah mempunyai tujuan tunggal yaitu kemuliaan Allah. Dari sisi Allah supaya Tuhan melihat kemuliaan-Nya pada diri kita, dari sisi kita manusia, kita diciptakan supaya kita menikmati relasi dengan-Nya yang adalah sebuah kehormatan dan kemuliaan tersendiri. Jadi sekali lagi penciptaan manusia merupakan sebuah upaya untuk memantulkan dan menikmati kemuliaan dan kehormatan Tuhan. Jika itu tujuan penciptaan maka dapat kita tarik kesimpulan berikutnya bahwa tujuan pernikahan pun adalah juga untuk menjadi pantulan kemuliaan Allah. Sewaktu Tuhan melihat pantulan dari pernikahan yang diharapkan-Nya, Ia melihat kemuliaan-Nya sendiri di dalam dua orang yang sekarang menjadi satu. Dan untuk dapat menjadi pantulan kemuliaan Allah, pernikahan harus berjalan atas dasar anugerah yaitu mengasihi dan mengampuni, menerima satu sama lain. Maka dari Roma 15:7, telah kita baca bahwa perintah Tuhan sangat jelas, "Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah." Jadi dengan kata lain, kita hanya bisa memuliakan Allah jika kita saling menerima, kita tidak bisa memuliakan Allah jika kita saling gontok-gontokkan dan saling menjauhkan diri dari satu sama lain. Inilah yang dimaksud dengan anugerah dan inilah yang harus kita terapkan dalam pernikahan kita, Pak Gunawan, sebab pernikahan memang didesain Tuhan untuk dijalankan dengan anugerah, pernikahan tidak didesain Tuhan untuk dijalankan dengan prinsip Hukum Taurat yaitu kalau kamu memberikan saya satu maka saya akan memberikan kamu satu, kamu merugikan saya satu dan saya akan merugikan kamu satu. Pernikahan yang seperti itu pasti akhirnya akan berantakan. Pernikahan tidak seperti itu, desain awal pernikahan adalah dijalankan lewat anugerah, lewat kasih dan pengampunan.
GS : Memang kita mau menerima orang lain terutama pasangan kita tetapi itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk kita kerjakan, banyak sekali hambatan dan rintangan, ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya mengerti bahwa kita sebagai manusia ini tidak mudah menerima kelemahan pasangan kita, kita telah bahas bahwa ada kelemahan yang memang bersifat kepribadian, gaya hidup yang berbeda atu kelemahan-kelemahan mental seperti mudah lupa, lamban, tidak berinisiatif.

Itu adalah kelemahan-kelemahan yang menjadi kerikil dalam pernikahan dan memang kita harus terima. Untuk hal itu saja tidak mudah, sudah tentu jauh lebih susah menerima kelemahan yang bersumber dari dosa seperti perjudian, kebohongan, perzinahan dan itu adalah kelemahan-kelemahan yang berasal dan berbobot dosa, dan itu susah sekali kita menerimanya. Sudah tentu dalam pengertian, bukanlah kita menoleransi tapi kita menerima, itu dalam pengertian kita harus hidup dengan dia dan kita harus bantu dia supaya dia bisa lepas dari kelemahan-kelemahan dosa itu. Sekali lagi tidak mudah untuk melakukannya namun kita ingat firman Tuhan yang tadi telah saya kutip di Roma 15:7, perintahNya adalah sangat jelas. "Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita." Jadi dasarnya adalah kepatuhan kepada perintah Tuhan. Berdasarkan perintah Tuhan itu maka kita mau maju dan melakukannya tapi masalahnya adalah yang tadi Pak Gunawan juga telah kemukakan, tidak mudah karena ada rintangan-rintangan. Saya akan bacakan satu ayat, dari sini kita nanti akan melihat rintangan apa yang sebetulnya terbentang di depan kita. Roma 15:1-2 berkata, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya." Jadi firman Tuhan yang telah kita baca ini memberikan kepada kita sekurang-kurangnya dua indikasi kenapa kita susah sekali untuk menerima kekurangan pasangan kita. Yang pertama adalah tadi firman Tuhan berkata, "Kita yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat." Berarti kalau kita memutuskan untuk menerima kelemahan pasangan kita, kita akhirnya juga akan menanggung kelemahannya, menanggung sisa-sisa tugas tanggung jawabnya yang tak dapat diselesaikan akibat kelemahannya. Misalnya gara-gara dia itu lambat, kita yang harus lebih cepat mengurus sesuatu. Gara-gara dia kurang berinisiatif, akhirnya kita yang harus mengambil inisiatif mengerjakan banyak hal atau menyuruhnya yang sudah tentu membuat kita lelah, "Dari dulu diberitahu tapi tetap tidak bisa berinisiatif sendiri" dan kita yang harus memberitahukannya. Gara-gara dia mudah lupa kita yang akhirnya harus repot mengingat semuanya, jangan sampai nanti ada masalah karena dia lupa. Kita ini pada dasarnya tidak suka menanggung beban ekstra dari orang lain sebab bagi kita beban kita sendiri sudah berat dan kenapa harus menanggung beban orang lain pula. Ini yang menjadi alasan pertama kenapa kita tidak suka menerima kelemahan pasangan kita.
GS : Kita memang menganggap itu sebagai kewajiban dia, tanggung jawab dia. Tadi Pak Paul sudah katakan, kita sendiri saja sudah kerepotan mengurusi diri sendiri tetapi kalau firman Tuhan tadi mengatakan ini "wajib" maka kita akan melakukan apa yang Tuhan perintahkan. Jadi walaupun kita repot tapi kita sempat-sempatkan harus ikut menanggung.

PG : Betul sekali. Jadi meskipun kita tidak suka tapi inilah perintah Tuhan dan kita tahu hanya dengan cara inilah pernikahan bisa jalan, begitu kita berkata, "Saya tidak mau, ini adalah bebanmu. Karena kelemahanmu kemudian saya harus menanggung bebanmu, saya tidak mau." Begitu kita berkata seperti itu, sebetulnya roda pernikahan sudah berhenti berjalan, sebab sekali lagi pernikahan itu dijalankan oleh roda anugerah, kasih dan pengampunan, menerima kelemahan satu sama lain. Sekali lagi kalau kita mulai perhitungan mulai menggunakan prinsip hukum taurat, maka pernikahan tidak akan berjalan dan pastilah terhenti. Maka kalau kita masih mau menjalankan roda pernikahan ini maka kita harus berusaha sekeras mungkin untuk berani atau bersedia menanggung beban akibat kelemahan pasangan kita.

GS : Ikut menanggung beban pasangan kita, itu bukan saja akan membuat kita repot tapi kita akan kehilangan apa yang kita senangi, misalnya waktu kita untuk bersenang-senang akan secara otomatis terkurangi atau mungkin bahkan hilang, Pak Paul, karena kita harus menanggung pekerjaan atau kewajiban pasangan kita.

PG : Betul sekali, misalkan kita ingin lebih terlibat dalam pelayanan, kita ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial lainnya, kita ingin mengerjakan hobi-hobi kita, itu tidak bisa terlaksaa gara-gara kelemahan pasangan maka kita harus kehilangan kesenangan-kesenangan kita.

Ini sesuai dengan yang firman Tuhan katakan, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri." Firman Tuhan mengakui bahwa sebagai manusia kecenderungan kita memang mencari kesenangan kita, kita ingin melakukan kesenangan-kesenangan yang menyenangkan hati maka tatkala kita harus direpoti oleh kelemahan pasangan kita, kita menjadi tidak suka. Saya berikan contoh yang mungkin juga dialami oleh para pendengar kita. Misalkan kita sebagai suami beranggapan, tugas mengajar anak-anak adalah tugas si istri karena kita sudah repot bekerja dan sebagainya, tapi apa mau dikata istri kita itu bukan orang yang sabar untuk duduk berjam-jam bersama anak mengajarkan pelajarannya, sehingga akhirnya sering terjadi keributan antara istri dengan anak-anak. Akhirnya kita berkata, "Ya sudahlah, saya saja yang mengambil alih karena kalau kamu ribut itu juga tidak sehat bagi relasimu dengan si anak." Istri senang karena ada yang menggantikan, tapi gara-gara kita mengajari anak-anak akhirnya kita setiap hari pulang kerja yang tadinya kita bisa duduk relaks, nonton televisi, baca dan sebagainya, itu tidak bisa! Kita harus menghabiskan dua jam bersama anak-anak. Jadi kita berkata, "Dari pagi hingga sore saya sudah bekerja, sekarang sore sampai malam saya bekerja lagi di rumah." Kita rasanya tidak suka kehilangan kesenangan kita, apalagi kalau melihat, "Dia sekarang enak, dia tidak harus bekerja seperti saya," kita rasanya itu tidak terima, itu akhirnya yang membuat kita susah menerima kelemahan pasangan karena harga yang harus kita bayar, sehingga kita menjadi tidak mau. Maka kebanyakan dari kita berusaha mengelak dari tanggung jawab ini, tapi sekali lagi saya ingatkan bahwa roda pernikahan hanya bisa jalan jikalau kita melakukannya. Kalau kita memang bersedia menerimanya dan berusaha menghidupkan anugerah dalam keluarga.
GS : Memang kita harus berusaha sekuat mungkin untuk menerima kelemahan-kelemahan itu dan ikut menanggungnya, Pak Paul, tetapi ini tentu ada alasan-alasan lain yang kuat yang mendasari kita sehingga kita mampu melakukan itu dan itu apa saja, Pak Paul?

PG : Dalam kekuasaan Tuhan, dalam kemurahan-Nya justru waktu kita melakukan perintah Tuhan kendati kita harus berkorban, kita itu nanti akan mendapatkan berkat dari Tuhan, kita akan dibangunkan Jadi dengan kata lain, kita tidak dirugikan, sekilas dari mata kita, kita dirugikan tapi sesungguhnya tidak.

Setidak-tidaknya ada tiga alasan Pak Gunawan, tiga penjelasan mengapa sebetulnya kita pun diuntungkan dan menerima berkat dari Tuhan kalau kita bersedia berkorban. Yang pertama, makin sering kita memikul beban yang ditinggalkan pasangan oleh karena kelemahannya, makin kita bertambah kuat. Kita ini tidak akan bertambah kuat bila kita hanya memikul beban yang seharusnya kita pikul atau yang menjadi porsi kita. Kita hanya akan bertambah kuat bila kita memikul beban yang ekstra, yang bukan menjadi porsi kita. Tuhan tidak menghendaki kita menjadi orang yang lemah, bila kita hanya mau memikul beban sendiri, kita tidak akan bertambah kuat malahan kita akan bertambah lemah. Misalkan saya berikan sebuah contoh, seorang atlet berkata, "Saya hanya mau mengangkat beban 25 kg dan sampai kapan pun hanya 25 kg," sebetulnya bila dia dibandingkan dengan atlet lain, dia makin lemah, dia bukan makin kuat, sebab atlet lainnya akan mulai menambahkan dari 25 ke 26 ke 27 dan terus seperti itu. Dengan kata lain, yang membuat kita kuat adalah beban ekstra ini. Waktu kita memikul beban pasangan karena kelemahannya, kita bertambah kuat dan dalam rencana Tuhan yang diinginkanNya adalah kita makin hari makin bertambah kuat. Sudah tentu kuat di sini bukan atas upaya kita, sebab mengasihi dan mengampuni apalagi menanggung beban pasangan karena kelemahannya itu mustahil kita lakukan dengan kekuatan kita. Kita harus kembali datang kepada Tuhan, memohon kekuatan-Nya, datang kepada Tuhan kemudian kembali memohon kekuatan-Nya. Berarti kita pun makin bersandar kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan-Nya itu, kita makin bertumbuh dewasa. Jadi ujung-ujungnya tetap kitalah yang menerima berkat itu dari Tuhan.
GS : Jadi keluarga ini menjadi semacam pusat pelatihan bagi kita untuk makin lama makin bertumbuh menjadi kuat.

PG : Betul dan bayangkan kalau keduanya baik suami atau istri melakukan hal yang sama sebab inilah fakta bahwa keduanya, baik suami atau istri masing-masing mempunyai kelemahan masing-masing da kalau kedua-duanya menerapkan prinsip anugerah, maka saling menanggung beban masing-masing, bukankah kedua-duanya makin kuat dan makin kuat.

Maka kalau kita mau melihat pernikahan yang sehat, kita akan melihat dua orang yang makin hari makin kuat dan makin kuat, makin dewasa, makin benar-benar matang tapi kalau kita melihat pernikahan yang tidak sehat, yang kita lihat adalah keduanya tidak bertumbuh, keduanya tetap lemah karena dua-duanya menolak memikul beban satu sama lain. Atau kita melihat yang satu makin matang dan makin kuat dan yang satu tetap saja tidak matang-matang, tetap saja kekanak-kanakan, selalu bergantung semuanya minta dibereskan. Ini adalah pertanda bahwa ini bukanlah sebuah relasi yang setara, sebuah relasi yang keduanya itu tidak bertumbuh dengan sehat.
GS : Alasan yang lain apa, Pak Paul?

PG : Ada satu prinsip yang ingin saya kenalkan kepada kita semua yaitu kemajuan yang terhambat, seringkali adalah kemajuan yang tersembunyi. Acapkali kita ini frustrasi karena merasa kemajuan kta terhambat oleh karena kelemahan pasangan.

Tadi saya sudah singgung sebagai contoh kita ini ingin lebih terlibat dalam pelayanan, tapi tidak bisa, karena kita sekarang harus diam di rumah, mengajarkan pelajaran anak-anak sebab istri kita atau suami kita tidak bisa melakukan tugas dan sebagainya. Kita merasa ini semua adalah sebuah hambatan, tapi di dalam Tuhan seringkali keterhambatan di suatu bidang justru merupakan kemajuan di bidang yang lain, yang memang diperlukan kendati kita tidak menyadarinya pada saat itu. Pengorbanan di suatu hal ternyata merupakan pengayaan di hal lainnya. Kita harus meyakini satu hal bahwa Tuhan tahu apa yang sebenarnya perlu ditumbuhkan di dalam diri kita dan seringkali Ia memakai kelemahan pasangan untuk menumbuhkan karakter yang penting tersebut. Jadi terimalah, sambutlah, jangan frustrasi dan marah karena kita merasa kemajuan kita terhambat oleh kelemahan pasangan. Justru seringkali keterhambatan itu merupakan sebuah kemajuan yang tersembunyi.
GS : Masalahnya kita tidak mengerti bahwa ini sesuatu yang tersembunyi, kita melihat ini merugikan dan hal itu baru kita ketahui selang beberapa tahun bahkan mungkin puluhan tahun setelah itu barulah kita bisa melihat hikmahnya.

PG : Betul. Maka kita mesti percaya, yang pertama hidup kita ini di bawah penguasaan Tuhan sepenuhnya artinya tidak ada yang lolos dari kedaulatan dan pengaturan Tuhan, tidak ada satu pun yang olos.

Jadi masalah yang kita hadapi pun tetap berada dalam pengaturan Tuhan dan tidak luput dari tangan-Nya, berarti akan ada berkat atau hikmah yang ingin diberikan kepada kita lewat keterhambatan ini. Waktu saya di Jakarta, saya dan istri saya sama-sama lelah, akhirnya kami menjadi orang yang kurang sabar terhadap satu sama lain akhirnya kami menjadi orang yang lebih sering bertengkar karena itu kami memutuskan untuk kembali ke Amerika, mendapatkan bimbingan pemulihan. Kami menjalani konseling selama 3 bulan setelah itu selama 1 tahun di sana kami akhirnya kembali lagi ke kota Malang. Saat itu saya tidak mengerti, saat itu saya hanya melihat bahwa tamatlah pelayanan saya di Indonesia. Tapi ternyata setelah melewati semua itu akhirnya saya menyadari itulah yang Tuhan kehendaki, itulah pelajaran yang saya harus terima, itulah berkat yang tersembunyi, kemajuan yang tersembunyi yang Tuhan berikan kepada saya, dibalik kemajuan yang terhambat tersebut. Apa yang saya dapat terima dari Tuhan yang lebih penting dari pelayanan saya saat itu ialah bahwa saya harus mengikuti jejak Tuhan, saya tidak boleh tergesa-gesa mendahului Tuhan dengan rencana-rencana saya, target-target saya harus saya kesampingkan sebab saya harus mendengarkan target dari Tuhan dan hanya mengikuti target-Nya.
GS : Terima kasih untuk berbagi pengalaman seperti itu karena ini menjadi suatu contoh yang sangat konkret sekali, Pak Paul, yang mungkin menjadi pengalaman bagi banyak pendengar kita dan kita semua. Tetapi apakah masih ada alasan yang lain?

PG : Yang terakhir adalah dengan kita memikul beban pasangan, kita sebetulnya sedang melatih diri untuk tidak memfokuskan perhatian pada diri kita. Kita diarahkan untuk memperhatikan pasangan dn kebutuhannya.

Makin sering kita melihatnya dan apa yang dibutuhkannya, maka makin berkurang keegoisan kita, kita melihat pasangan sudah tentu bukan untuk mencari kesalahannya tapi untuk melihat apa yang dibutuhkannya. Kalau dua-dua orang sudah seperti itu, matanya tidak tertuju pada diri sendiri tapi matanya ditujukan pada satu sama lain, melihat apa yang dibutuhkan pasangan, maka dua-duanya makin bertumbuh karena bukan saja kebutuhan kita terpenuhi tapi kita pun dibangunkan oleh masukan-masukan yang kita terima dari pasangan. Inilah yang Tuhan kehendaki dalam pernikahan supaya dua-dua makin hari makin bertumbuh.
GS : Memang fokus kita melihat diri sendiri dari pada melihat pasangan kita, tetapi melalui pengalaman seperti ini sebenarnya kita itu diajar oleh Tuhan untuk melihat bahwa kita sendiri itu ada hasilnya untuk pertumbuhan. Dari perbincangan kita baik yang lalu maupun hari ini, apakah ada kesimpulan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Membangun relasi sama seperti menanam pohon, sejak awal kita harus memberinya siraman dan pupuk serta melindunginya dari hama. Jika kita melakukan semua itu, setelah pohon tumbuh barulah kta dapat bernaung di bawah daunnya yang rindang dan memakan buahnya yang manis.

Pernikahan pun demikian, bila kita memberi siraman dan pupuk serta melindunginya dari ancaman pihak luar maka kita akan dapat bernaung di dalamnya dan dapat mencicipi buahnya yang manis. Kadang kita mengharapkan pasangan dengan cepat dan dengan sendirinya bertumbuh menjadi dewasa dan masak. Kita ingin menikmati langsung buahnya yang manis namun kenyataannya tidaklah demikian, hanya kita yang bersusah payah menginvestasi usaha keras, yang dapat mencicipi buah relasi pernikahan yang manis.
GS : Ini memang membutuhkan waktu sekali pun merupakan sebuah anugerah di dalam suatu pernikahan, tetapi untuk mengasihi, mengampuni ini memang membutuhkan sebuah proses yang panjang di dalam diri kita dan bagaimana pasangan kita menerima itu, Pak Paul, karena kalau kita memberi dan kita ditolak maka tidak akan terjadi suatu relasi yang baik.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kita ini jangan menunggu pasangan dulu yang memulainya, tapi mulailah dari diri kita.

GS : Dan tidak jemu-jemu melakukan penyiraman, pemupukan dan sebagainya itu.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anugerah dalam Pernikahan" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



75. Sayang dan Berharga I


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T270A (File MP3 T270A)


Abstrak:

Pada umumnya kita mengawali pernikahan dalam kasih mesra namun pada akhirnya sebagian dari kita tidak lagi dapat menikmati kemesraan di hari tua. Sebaliknya kita justru mencicipi kehambaran. Karena di awal relasi kita mencintai oleh karena kita mendapati pasangan sebagai orang yang menawan. Namun secara perlahan, rasa sayang karena menawan harus bertumbuh berubah menjadi rasa sayang karena ia berharga. Jika tidak, maka perjalanan cinta dalam pernikahan akan menemui masalah. Inilah pertumbuhan cinta yang sehat. Pertanyaannya adalah: Bagaimanakah membuat "Cinta dan Menawan" bertumbuh menjadi "Sayang dan Berharga"?


Ringkasan:

Pada umumnya kita mengawali pernikahan dalam kasih mesra namun pada akhirnya sebagian dari kita tidak lagi dapat menikmati kemesraan di hari tua. Sebaliknya kita justru mencicipi kehambaran. Apakah yang terjadi sehingga kasih mesra berubah menjadi kehambaran?

Di awal relasi kita mencintai oleh karena kita mendapati pasangan sebagai orang yang menawan. Namun secara perlahan, rasa sayang karena menawan harus bertumbuh berubah menjadi rasa sayang karena ia berharga. Jika tidak, maka perjalanan cinta dalam pernikahan akan menemui masalah. Inilah pertumbuhan cinta yang sehat. Pertanyaannya adalah: BAGAIMANAKAH MEMBUAT "CINTA DAN MENAWAN" BERTUMBUH MENJADI " SAYANG DAN BERHARGA"?

Jadi, cinta yang bersumber dari rasa sayang tidak lagi mementingkan dan mencari kepuasan badaniah melainkan kepuasan dikasihi dan mengasihi. Kita tetap dapat menikmati penyatuan badaniah namun tidak lagi bergantung padanya sebab terpenting adalah relasi kasih itu sendiri. Sekarang bagaimanakah kita dapat membangun cinta agar bertumbuh menjadi rasa sayang karena berharga?
  1. Kita harus menumbuhkan KEMURAHAN. Firman Tuhan berkata, "Siapa menutupi pelanggaran mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkitkan perkara menceraikan sahabat yang karib" (Amsal 17:9). Berikut akan dijabarkan beberapa ciri kemurahan:
    1. Tidak memfokuskan pada kesalahan tetapi pada kebaikan
    2. Berorientasi pada masa depan bukan masa lalu
    3. Berusaha mengampuni bukan mendendam
  2. Kita harus menumbuhkan KEBIJAKSANAAN. Firman Tuhan berkata, "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan" (Amsal 19:14). Berikut adalah ciri kebijaksanaan:
    1. Berpikir sebelum berbuat dan berkata-kata
    2. Takut akan Tuhan dan menghormati sesama
    3. Belajar dari pengalaman
  3. Kita harus menumbuhkan KESETIAAN. Firman Tuhan berkata, "Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia siapakah menemukannya?" (Amsal 20:6). Berikut adalah ciri kesetiaan:
    1. Tidak mementingkan diri melainkan pasangan dan keluarga
    2. Hidup konsisten: di depan dan di belakang pasangan sama
    3. Memelihara batas yang jelas antara diri dan lawan jenis
  4. Kita harus menumbuhkan KELEMAHLEMBUTAN. Firman Tuhan berkata, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah" (Amsal 15:1). Berikut adalah ciri kelemahlembutan:
    1. Tenggang rasa dan berempati: dapat menempatkan diri pada posisi pasangan
    2. Malu mengumbar emosi
    3. Sadar dengan kelemahan diri sendiri
  5. Kita harus menumbuhkan KEBAIKAN. Firman Tuhan berkata, "Perempuan yang baik hati beroleh hormat, sedangkan seorang penindas beroleh kekayaan" (Amsal 11:16). Berikut adalah ciri kebaikan:
    1. Dapat membaca kebutuhan orang
    2. Berinisiatif untuk melakukan sesuatu tanpa pamrih
    3. Tidak mudah terpengaruh akan reaksi orang
Sebagai kesimpulan, sesungguhnya Sayang dan Berharga:
  1. Muncul sebagai akibat PENGALAMAN MENGARUNGI HIDUP BERSAMA: jatuh-bangun, suka-duka, pahit-manis
  2. Muncul dari pengalaman merasakan BETAPA BAIKNYA PASANGAN DAN BETAPA BERUNTUNGNYA KITA DIKASIHI OLEHNYA
  3. Muncul dari RASA BERSYUKUR MEMILIKINYA DAN DIKASIHI OLEHNYA
  4. Muncul dari kepastian MELIHAT RENCANA DAN KEHENDAK ALLAH YANG SEMPURNA di dalam pernikahan ini

Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sayang dan Berharga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, beberapa pasangan yang setelah sekian tahun menikah seringkali mengatakan bahwa hubungan kami tidak seperti dulu ketika masih awal menikah atau ketika kami berpacaran. Jadi ada perubahan nuansa di pernikahan mereka, ini sebenarnya penyebabnya apa, Pak Paul?

PG : Sudah tentu akan ada perubahan-perubahan dari apa yang kita rasakan dan bagaimana kita mengungkapkan kasih itu. Tapi sesungguhnya kita tidak bisa menjadikan ini sebuah dalih bahwa, "Ya memng begitulah seharusnya yaitu setelah kita menikah untuk satu kurun maka perasaan kita dan kemesraan kita itu akan hilang dan ini adalah hal yang biasa dan baik."

Justru saya ingin menekankan bahwa memang akan ada perubahan, tapi sesungguhnya perubahan itu bukanlah perubahan yang membuat kasih mesra itu menjadi sebuah kehambaran. Jadi bukanlah perubahan dimana kasih mesra itu hilang dan tidak digantikan oleh apa-apa dan hanya sebuah kehampaan saja. Ada orang yang berkata seperti teman, seperti saudara tapi tidak ada lagi perasaan apa-apa dan saya kira tidak seperti itu. Dan perubahannya adalah perubahan yang akan lebih menancapkan akar di bawah dan lebih membersihkan dan memurnikan cinta itu sendiri.
GS : Jadi yang berubah di sini adalah perasaannya. Tetapi hakekatnya tetap mengasihi pasangan kita, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi memang apa yang dirasakan dan bagaimana kita mengungkapkan rasa kasih yang seperti itu, akan mengalami sedikit banyak perubahan, tapi hakikinya apakah cinta itu sendiri asih ada atau apakah nanti akan ada transformasi sehingga kita tetap mengasihi.

Jadi yang saya mau tekankan adalah pada akhirnya dalam perjalanan ini kita akan menemukan bahwa pasangan kita itu orang yang berharga sehingga kita mengasihi dia, menyayangi dia karena dia berharga.
GS : Jadi awalnya kita hanya mengasihi seseorang tapi kurang menilai seseorang itu berharga buat kita, seperti itu Pak Paul?

PG : Sebab seperti ini, Pak Gunawan. Pada masa-masa awal pernikahan umumnya kita itu mencintai karena dia menawan, dia memikat kita, dia mempunyai hal yang ditawarkan yang benar-benar membuat kta senang sekali dan sebagainya.

Sudah tentu itu bukanlah hal yang buruk, itu adalah hal yang baik dan itu yang biasanya menjadi daya tarik kita kepada seseorang. Namun supaya relasi kita ini bisa terus bertumbuh menjadi lebih kuat, lebih berakar maka relasi cinta itu sendiri juga harus mengalami transformasi dari cinta karena menawan, berubah menjadi sayang karena dia berharga.
GS : Dan masalahnya adalah bagaimana kita menciptakan itu?

PG : Saya akan memberikan beberapa masukan, Pak Gunawan. Yang pertama adalah cinta itu harus berjalan dari fantasi ke arah realitas. Maksudnya begini, hampir semua pernikahan itu berangkat darifantasi yaitu hal-hal yang kita dambakan ada pada pasangan.

Kita mungkin beranggapan atau berpikir bahwa pasangan kita adalah orang yang bisa meneguhkan kita, mengayomi kita dan dia menjadi pelindung, memberikan kebutuhan-kebutuhan emosional kita untuk dikasihi untuk merasa bahagia dan sebagainya. Tapi pada akhirnya setelah kita menjalani pernikahan, kita harus mengakui bahwa dia sekarang tidak seperti itu. Kadang kita harus menghadapi masalah sendiri tanpa bantuannya, kita ingin sekali dikasihi namun sepertinya dia itu sedikit cuek. Jadi akan ada hal-hal yang harus terjadi dan itu yang saya sebut realitas. Dan di dalam pernikahan, kita akhirnya harus bergerak ke arah realitas, kalau kita tidak mau bergerak ke arah realitas dan kita terus bertahan di wilayah fantasi, yaitu kita menuntut pasangan kita seperti yang kita harapkan atau yang dulu dia pernah lakukan seperti itu, akhirnya pernikahan kita akan goyah sebab tidak lagi didasari pada realitas.
GS : Kalau seseorang ingin bertahan tetap pada fantasinya, pada angan-angannya, harapan-harapannya, itu karena dia melihat realitasnya tidak sebagus apa yang dia harapkan, Pak Paul. Jadi ada keengganan, ada ketakutan untuk hidup di dalam kenyataan.

PG : Seringkali itu yang terjadi, Pak Gunawan. Kita memang tidak mau menerima realitas karena ada ketakutan-ketakutan yang tidak siap kita terima. Atau kita pun tidak siap karena itu berarti aan ada hal-hal yang kita butuhkan namun tidak akan sepenuhnya terpenuhi oleh pasangan kita.

Dan itulah jalur pernikahan yaitu cinta harus beranjak dari fantasi menuju ke realitas. Sudah tentu dalam pernikahan yang sehat, kedua belah pihak memang harus berusaha memenuhi pengharapan pasangannya. Kita tidak bisa berkata, "Ini saya, kamu harus terima saya apa adanya, kalau tidak mau itu terserah kamu" kita tidak bisa seperti itu. Kita harus tetap tenggang rasa, harus mendengarkan apa yang diinginkan oleh pasangan dan apa yang didambakannya, kita tentu harus melakukan hal-hal seperti itu dan hal itu juga baik karena kita makin hari akan menjadi bertambah dewasa dan makin matang. Jangan sampai kita hanya ingin orang yang harus mengerti kita dan menerima kita apa adanya, tapi kita juga dituntut Tuhan menjadi manusia yang makin hari makin dewasa dan makin matang. Jadi semua itu harus dilakukan oleh kedua belah pihak baik itu suami dan istri mereka harus melakukan, walaupun kita sudah melakukan seperti itu namun akan ada hal-hal yang tidak terpenuhi yang tetap menjadi kerinduan kita dan kita tidak tahu kapan kita bisa memenuhinya. Contoh, misalnya pasangan kita itu lamban dan kalau kemana-mana selalu terlambat dan kita harus berusaha untuk membuat kita tidak terlambat dan kita menolongnya bangun pagi agar tidak terlambat. Namun untuk waktu yang lama sekali kita harus hidup dengan kelambanannya itu, ini adalah bagian dari realitas yang kita harus terima, kalau kita tidak bisa menerima maka kita akan menuntut dia terus untuk menjadi ini dan itu, lebih cepat lagi, lebih gesit lagi dan sebagainya dan kita terus menuntut seperti itu, saya kira ini akan terus menjadi faktor yang merusakkan pernikahan. Jadi ada hal-hal yang kita memang harus minta dan kita harus komunikasikan, tapi ada hal-hal yang kita harus terima dan inilah realitasnya. Waktu kita tidak lagi mempersoalkan realitas itu dan memilih mengembangkan bagian-bagian lain dalam pernikahan kita yang positif, barulah pernikahan kita itu bisa bertumbuh.
GS : Kalau kedua-duanya itu hidup di dalam fantasi, dua-duanya hidup di dalam harapan-harapan, impian-impian saja apakah akan menimbulkan masalah, Pak Paul?

PG : Sudah pasti Pak Gunawan, sebab misalnya karena dua-dua itu bertahan pada fantasinya, pada angan-angannya bahwa pasangannya harusnya seperti ini dan seperti itu. Sudah tentu hidupnya akan pnuh dengan kekecewaan, terus marah, terus kecewa dan relasi itu akan menurun karena tidak ada lagi yang membangunnya, tidak ada lagi yang memperkokohnya karena semua energi dipusatkan pada pertanyaan, kenapa kamu tidak.....

? Kenapa kamu begini? Akhirnya pernikahan itu semakin terseret dan semakin terseret ke bawah dan tidak akan bisa bertumbuh lagi dan itu adalah dampak buruk yang pertama. Yang kedua adalah kalau dua orang itu mempertahankan angan-angannya hidup dalam fantasi mungkin saja dua-duanya itu bersandiwara, dua-duanya tidak menjadi dirinya yang asli, jadi yang penting apa yang diharapkan atau yang diminta pasangan, itulah yang disajikan dan itulah yang diberikan dan terus seperti itu. Akhirnya ketika kedua-duanya itu mengalami kekosongan, hidupnya itu akan terbelah sebab apa yang dia sajikan, apa yang dia persentasikan di depan pasangannya, itu bukanlah dirinya. Kekhawatiran saya adalah ini hanya bisa bertahan sampai satu kurun, setelah itu ambruk atau dia akhirnya tidak tahan dan dia mencari orang lain di luar, yang dianggapnya bisa menerima dirinya apa adanya. Kadang-kadang ini terjadi di dalam pernikahan dan ini menjadi faktor pencetus terjadinya perselingkuhan di luar, sebab orang ini akhirnya mencari orang yang bisa menerima dirinya yang sesungguhnya itu. Sebab dia tahu di rumah tidak bisa dan dia diharapkan menjadi orang yang berbeda. Jadi kita melihat di sini bahwa, kalau dua orang tidak bisa hidup di dalam realitas maka akan lebih banyak bahaya yang akan muncul dalam pernikahan mereka.
GS : Jadi dengan berjalannya waktu, mau tidak mau orang itu akan berjalan dari fantasi ke realitas, begitu Pak Paul?

PG : Seharusnya seperti itu, Pak Gunawan. Namun memang kenyataannya ada hambatan-hambatan dan kadang orang tidak bisa sampai ke sana dengan cepat. Yang pertama adalah kita masuk ke dalam pernikhan membawa idealisme yang terlalu tidak realistik, misalkan kita dibesarkan di dalam keluarga dimana begitu banyak kekurangan sehingga kita mulai mengembangkan idealisme, suami harus seperti apa, istri harus seperti apa.

Dan kita bawa idealisme itu ke dalam rumah tangga kita. Kita akhirnya menuntut atau berangan-angan supaya pasangan kita akan seperti yang kita harapkan, meskipun dia tidak seperti itu. Akhirnya apa yang terjadi? Akhirnya kita tidak rela melepaskan idealisme kita dan kita terus memegang idealisme kita bahwa suami harus begini dan istri harus begini, kita tidak bisa menerima realitas, "kenapa istri seperti ini sekarang?" Dan akhirnya sekali lagi kita akan kecewa karena kita terus mempertahankan idealisme itu. Memang kita harus memiliki idealisme, sebelum kita menikah kita memang harus benar-benar meneropong pasangan kita dengan sebaik-baiknya supaya dia benar-benar sesuai dengan idealisme kita, kalau tidak maka kita harus terima bagian yang tidak sesuai dengan idealisme kita itu. Nanti waktu kita menikah maka kita harus menemukan lagi hal-hal lain yang tidak sesuai dengan idealisme kita maka kita harus menerima realitas itu. Rintangan yang kedua adalah orang yang membawa banyak kebutuhan ke dalam pernikahannya. Tidak bisa tidak orang yang membawa begitu banyak kebutuhan, misalnya dulu tidak pernah dihargai dan waktu masuk ke pernikahan dia membawa angan-angan ingin dihargai, ketika tidak dihargai dia menjadi cepat tersinggung tidak bisa menerima kritikan, yang penting apa yang menjadi maunya harus dihargai terus. Atau orang yang butuh sekali kasih sayang, dia tidak bisa melihat sedikit saja tanda-tanda ketika pasangannya itu seolah-olah menolaknya. Jadi terus menerus meminta pasangannya untuk sesuai dengan angan-angannya, sesuai dengan fantasinya itu. Jadi ini juga merupakan rintangan, akhirnya tidak bisa mudah melihat realitas, tidak bisa menerima pasangannya kalau pasangannya tidak seperti yang dia harapkan. Jadi tidak bisa memenuhi kebutuhannya seperti yang juga dia inginkan. Dan ini adalah rintangan-rintangan yang kita harus sadari dan akhirnya kita harus atasi.
GS : Memang sebelum pernikahan itu, tiap-tiap orang mempunyai kebutuhan yang belum terpenuhi ketika dia belum menikah. Harapannya adalah setelah menikah kebutuhannya itu terpenuhi. Ada seorang suami yang tadinya sebelum menikah, dia sangat dikekang oleh keluarganya baik oleh orang tuanya yaitu tidak boleh ini dan itu. Tapi setelah menikah, dia menginginkan kebebasan dan pada saat dia ingin mewujudkan kebebasan itu namun istrinya keberatan, Pak Paul, dan dia katakan, "Saya tidak mendapatkan kebebasan sebelum menikah dan sekarang saya menikah ingin mendapatkan kebebasan namun sekarang kamu kekang lagi," dan ini menjadi masalah, Pak Paul.

PG : Ya. Jadi sekali lagi itu adalah kebutuhan yang tak terpenuhi makanya dia masuk ke dalam pernikahan dan dia berangan-angan bahwa istrinya itu adalah seorang wanita yang terbuka yang akan megizinkan, yang akan percaya, yang tidak akan terganggu dengan kemerdekaan kebebasannya dan dia meminta istrinya memberi dia kebebasan seluas-luasnya.

Ini adalah contoh yang baik sekali, Pak Gunawan, dimana kita bisa melihat akibat kebutuhan tak terpenuhi maka kita akhirnya hidup ke dalam fantasi. Tidak bisa tidak relasi ini akan berduri, sering muncul konflik karena suaminya tetap tidak terima karena dia ingin hidup ke dalam angan-angannya, maka dalam hal ini si suami sudah tentu harus mengerti bahwa istrinya tidak seperti itu dan dia harus sedikit banyak korting-korting kebebasannya sehingga dua-duanya bisa sampai ke dalam suatu kesepakatan bahwa seberapa bebas dia bisa ke luar dan seberapa terikatnya dia di dalam rumah tangga.
GS : Pak Paul, selain kita harus berjalan dari fantasi ke realitas mungkin ada cara lain juga, Pak Paul?

PG : Agar kasih sayang bisa bertumbuh sampai ke level menyayangi karena pasangan kita berharga maka kita juga harus menumbuhkan cinta sehingga dari level jasmaniah bertumbuh ke level rohaniah. pa yang saya maksud dengan cinta yang jasmaniah? Cinta yang jasmaniah adalah cinta yang berorientasi pada penampilan, jadi terlalu menekankan pada penampilan.

Sejak awal dalam pernikahan mereka ini suami istri sangat menekankan bagaimana orang menilai mereka, apakah orang menilai mereka positif dengan selalu menekankan perilaku-perilaku, kegiatan-kegiatan supaya mereka dilihat orang seperti apa. Jadi benar-benar ada suatu keinginan untuk dihargai lewat penampilannya. Dan ini juga dituntut pada satu sama lain, jadi dua-dua memang harus menjanjikan sebuah penampilan-penampilan yang dapat disukai oleh pasangannya. Pada akhirnya Pak Gunawan, kalau kita mau menumbuhkan cinta dari level jasmaniah ke level rohaniah maka kita tidak bisa lagi bergantung pada penampilan-penampilan, pada apa yang dilihat oleh mata kita, kita harus beranjak pada apa yang dilihat oleh mata kepada apa yang dirasakan oleh hati. Kita tidak lagi menekankan pada penampilan, tapi kita melihat pada hal-hal yang ada dalam diri pasangan kita seperti kesabarannya, kelemahlembutannya, kemurahan hatinya sehingga semua itu menjadi kwalitas-kwalitas yang kita hargai. Akhirnya kita tidak menekankan pada penampilan-penampilan yang dilihat oleh mata orang lain. Ada orang-orang yang terus ke sana, jadi walaupun sudah menikah beberapa lama dia berkeinginan kalau saya dilihat oleh orang maka penampilan saya harus bagus dan jangan sampai orang bicara yang tidak-tidak. Kalau ada orang yang sedikit mencela maka dia tersinggung dan marah karena dia harus tampil baik, suami istri harus tampil baik, anak-anak harus tampil baik, cinta yang seperti itu tidak bisa bertumbuh ke level sayang dan berharga sebab terlalu bergantung pada performa atau penampilan, begitu tidak ada lagi penampilan atau performa maka cintanya juga akan ambruk. Maka seharusnya cinta juga harus bertumbuh.
GS : Sampai batas-batas tertentu mestinya tidak terlalu salah, Pak Paul, memperhatikan penampilan dan sebagainya, kita ini mau tampil prima senantiasa tetapi kalau sudah berkelanjutan, ini yang memang menjadi masalah.

PG : Betul. Jadi misalnya kalau kita kaitkan dalam konteks pekerjaan misalnya ada istri yang sangat menekankan pada penampilan status suami sebagai seorang pekerja, misalnya manager atau yang lin, sehingga itulah yang menjadi dasar cintanya kepada si suami, dan ketika suaminya kehilangan pekerjaannya maka anjlok jugalah cintanya si istri.

Atau si suami yang menekankan penampilan si istri sebagai seorang yang agung, anggun dan sebagainya dan akhirnya itu yang kita mau untuk orang lihat, misalnya begitu istri kita mulai agak gemuk maka kita resah dan kita berkata, "Kenapa kamu tidak bisa jaga badan, kenapa kamu begini dan begitu?" Jadi akhirnya terlalu menekankan pada penampilan-penampilan seperti itu, "Kenapa rambut kamu beruban, kamu harus cat rambut kamu dan sebagainya." Jadi kelihatan sekali saat terlihat perubahan pada penampilan maka ambruk pula cinta itu. Hal lain pula yang bisa saya pikirkan adalah orang yang bisa menekankan pada pengumpulan materi, Pak Gunawan. Cinta yang jasmaniah itu berpusat sekali pada materi dan apa yang dimiliki baik itu harta kita, uang kita sehingga waktu suami kita jaya, kaya raya maka kita menjadi kolokan, istri menjadi manja kepada dia. Ketika suami tidak lagi memiliki penghasilannya, uangnya mulai berkurang kemudian anjlok juga cinta kita. Kita tidak boleh seperti itu, kalau kita terus berkisar di wilayah materi maka kita tidak mungkin bisa sama-sama bertumbuh, sehingga cinta kita menjadi cinta atas dasar pasangan kita berharga bagi kita.
GS : Saya rasa itu dua hal yang sangat terkait karena penampilan itu biasanya membutuhkan biaya sehingga kalau tidak ada materi yang cukup, secara otomatis juga tidak bisa tampil dengan baik.

PG : Yang saya maksud dengan penampilan atau performa bukan saja penampilan secara fisik misalnya dilihat orang cantik, ganteng dan sebagainya, tapi juga penampilan seseorang adalah orang terhomat dan sebagainya.

Kalau itu adalah dasar cinta kita itu adalah dasar jasmaniah, begitu pasangan kita tidak lagi menempati kedudukan yang baik, kemudian kita juga menjadi goyang. Jadi cinta harus bertumbuh dari level jasmaniah ke level rohaniah yaitu kita menghargai, mencintai pasangan kita karena apa yang terkandung dalam jiwanya yaitu kebaikannya, kemurahannya dan sebagainya.
GS : Dalam hal pengumpulan materi, seringkali yang dijadikan alasan adalah untuk kebutuhan masa depan, anak-anak kita masih kecil dan bakal besar dan butuh biaya sehingga harus mengejar materi ini.

PG : Sudah tentu kita harus menyiapkan dana untuk kebutuhan anak-anak, keluarga dan sebagainya namun ada batasnya, kita tidak mengumpulkan seolah-olah setelah kita meninggal anak-anak kita akanterlantar, kita jangan sampai berpikir seperti itu.

Jadi kita harus siapkan biaya sampai mereka bisa sekolah, tapi hiduplah dengan iman bahwa ada Tuhan, kita tidak harus menyiapkan seolah-olah kalau tidak ada kita, maka anak kita tidak bisa hidup lagi, itu salah karena masih ada Tuhan.
GS : Mungkin masih ada hal yang lain yang masih bisa dilakukan supaya cinta ini bertumbuh dari sayang menjadi berharga?

PG : Yang ketiga adalah cinta itu harus bertumbuh dari nafsu ke arah sayang. Nafsu itu sangat berorientasi pada kepuasan seksual. Ada orang yang menikah benar-benar mementingkan kepuasan seksua, harus lebih puas lagi, harus lebih menikmati lagi, rasanya tidak puas hanya seperti ini saja, harus tambah lagi eksperimentasi dan sebagainya.

Cinta yang seperti itu rapuh sekali karena seolah-olah kesatuan mereka itu hanya dilandasi oleh kepuasan seksual dan di luar itu tidak ada lagi. Cinta yang dikuasai nafsu seperti ini akhirnya tidak bisa bertumbuh pada rasa sayang bahwa dia berharga bagi kita. Makanya pada akhirnya kita harus berkata, "Ya sudahlah, selama saya bisa menikmati seperti ini ya sudah cukup sebab bagi saya, yang terpenting adalah kita menikmati cinta itu sendiri, bukan kepuasan seksual, kenyataan saya mengasihinya, kenyataan saya dikasihi olehnya dan itu cukup bahkan lebih dari segalanya," jadi relasi seharusnya adalah semakin tua semakin beranjak ke arah sayang seperti itu, suatu rasa bahagia bisa mengasihi pasangan kita dan dikasihi olehnya.
GS : Tapi kita hidup di dalam suatu zaman dimana iklan-iklan produk tertentu atau juga kehidupan sosial di sekitar kita justru mendewa-dewakan penampilan seksual dan sebagainya. Sehingga mau tidak mau banyak orang terpengaruh kalau tidak bisa memenuhi kebutuhan pasangan secara seksual, dianggap rumah tangganya sudah hancur.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Mengapa saya angkat hal ini, karena memang ada orang-orang yang seperti ini, jadi penekanannya pada kepuasan seksual atau pada kecantikan-kecantikan, namun kecanikan-kecantikan dalam konteks menggairahkan nafsunya.

Jadi dia akan menuntut pasangannya untuk berdandan seperti apa, memakai jenis parfum seperti apa, make upnya seperti apa, rambutnya seperti apa, bajunya harus seperti apa. Jadi semua itu dikeker dalam satu teropong yaitu seksi, yaitu menjadi cantik namun bukan cantik seperti biasa, namun dalam konteks menggairahkan secara seksual. Ini adalah contoh orang yang dikuasai nafsu, Pak Gunawan. Cinta yang dikuasai nafsu tidak mungkin bertumbuh, sebab akan ada satu masa dimana pasangan kita tidak akan menggairahkan nafsu seperti itu lagi dan ini adalah kodrat alam, kita tidak bisa melawannya tapi ada orang yang tidak mau bertumbuh dan terus berkubang dalam kolam nafsu yaitu menuntut pasangannya harus cantik, harus seksi dan harus menggairahkan, kalau tidak maka dia tidak bisa terima. Jadi akhirnya cinta itu terkikis habis dan relasi itu juga runtuh dan pasangan yang dituntut seperti itu akhirnya merasa lelah dan hidup dalam ketakutan, "bagaimana kalau ada orang lain yang lebih menggairahkan? Bagaimana kalau ada orang lain yang lebih cantik, lebih seksi maka lama-lama dia bisa jatuh kepada dia." Jadi hidup dalam ancaman dan ketidakamanan dan tidak akan ada lagi bisa menikmati relasi nikah seperti itu.
GS : Hal-hal yang lahiriah ini memang nampak kelihatan langsung. Jadi predikat seksi itu tidak hanya lagi diterapkan pada wanita tapi pria pun dituntut untuk menjadi pria yang seksi.

PG : Ada memang sebagian wanita yang memang mengharapkan suaminya seperti itu yaitu badannya harus seksi, dan sekali lagi semuanya disoroti dari sudut seks. Memang saya harus akui kalau hal ituada, maka jauh lebih banyak prialah yang menuntut istrinya harus tampil seksi.

GS : Pak Paul, dalam hal ini bagaimana kita harus mengubah nafsu menjadi sayang, apakah ada latihan-latihan tertentu yang harus dilakukan?

PG : Sudah tentu ada. Dan nanti kita akan lebih tekankan bahwa kita ini harus menumbuhkan atau mengubah nilai kita, lebih mementingkan hal-hal yang bersifat kekal, hal-hal yang memang bersifat arakter dan itu yang harus kita lebih fokuskan dan kita harus lebih banyak berpikir misalkan, "Bukankah saya beruntung mempunyai seorang istri atau seorang suami yang sabar yang menerima saya apa adanya, yang bisa terus mendukung saya, bukankah itu jauh lebih berharga dari pada kepuasan-kepuasan sesaat yang tidak berlangsung lama dan bukankah hal itu akhirnya habis."

Maka kita harus lebih fokuskan pada karakter-karakter moral dalam diri seseorang.
GS : Jadi setiap orang itu pasti punya karakter yang positif di dalam dirinya.

PG : Saya percaya begitu, Pak Gunawan. Dan kita bisa ambil itu atau fokuskan itu dan mudah-mudahan dia pun bisa melihatnya dan dia pun bisa senang karena kita menghargai karakter positifnya, di akan berlaku sama kepada kita dengan cara itulah relasi kita perlahan-lahan bisa bertumbuh.

GS : Mungkin kita bisa lanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang, namun sebelum kita akhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa menyampaikan firman Tuhan yang bisa menjadi landasan bagi kita.

PG : Di Roma 13:8 firman Tuhan berkata, "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah mmenuhi hukum Taurat."

Jangan berhutang apa-apa tapi berhutanglah satu yaitu saling mengasihi. Jadikanlah itu sebuah tuntutan dalam diri kita untuk mengasihi pasangan kita, dan terus mengasihi dan mengasihi bukan atas dasar kasat mata tapi atas dasar keindahan-keindahan rohaniah dalam diri seseorang. Itulah yang akan membawa pernikahan kita bertumbuh sampai nanti usia tua dan cinta kita atau kemesraan kita tetap akan ada.

GS : Kita akan lanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sayang dan Berharga" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



76. Sayang dan Berharga II


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T270B (File MP3 T270B)


Abstrak:

Pada umumnya kita mengawali pernikahan dalam kasih mesra namun pada akhirnya sebagian dari kita tidak lagi dapat menikmati kemesraan di hari tua. Sebaliknya kita justru mencicipi kehambaran. Karena di awal relasi kita mencintai oleh karena kita mendapati pasangan sebagai orang yang menawan. Namun secara perlahan, rasa sayang karena menawan harus bertumbuh berubah menjadi rasa sayang karena ia berharga. Jika tidak, maka perjalanan cinta dalam pernikahan akan menemui masalah. Inilah pertumbuhan cinta yang sehat. Pertanyaannya adalah: Bagaimanakah membuat "Cinta dan Menawan" bertumbuh menjadi "Sayang dan Berharga"?


Ringkasan:

T 270 A+B "sayang dan berharga" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Pada umumnya kita mengawali pernikahan dalam kasih mesra namun pada akhirnya sebagian dari kita tidak lagi dapat menikmati kemesraan di hari tua. Sebaliknya kita justru mencicipi kehambaran. Apakah yang terjadi sehingga kasih mesra berubah menjadi kehambaran?

Di awal relasi kita mencintai oleh karena kita mendapati pasangan sebagai orang yang menawan. Namun secara perlahan, rasa sayang karena menawan harus bertumbuh berubah menjadi rasa sayang karena ia berharga. Jika tidak, maka perjalanan cinta dalam pernikahan akan menemui masalah. Inilah pertumbuhan cinta yang sehat. Pertanyaannya adalah: BAGAIMANAKAH MEMBUAT "CINTA DAN MENAWAN" BERTUMBUH MENJADI " SAYANG DAN BERHARGA"?

Jadi, cinta yang bersumber dari rasa sayang tidak lagi mementingkan dan mencari kepuasan badaniah melainkan kepuasan dikasihi dan mengasihi. Kita tetap dapat menikmati penyatuan badaniah namun tidak lagi bergantung padanya sebab terpenting adalah relasi kasih itu sendiri. Sekarang bagaimanakah kita dapat membangun cinta agar bertumbuh menjadi rasa sayang karena berharga?
  1. Kita harus menumbuhkan KEMURAHAN. Firman Tuhan berkata, "Siapa menutupi pelanggaran mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkitkan perkara menceraikan sahabat yang karib" (Amsal 17:9). Berikut akan dijabarkan beberapa ciri kemurahan:
    1. Tidak memfokuskan pada kesalahan tetapi pada kebaikan
    2. Berorientasi pada masa depan bukan masa lalu
    3. Berusaha mengampuni bukan mendendam
  2. Kita harus menumbuhkan KEBIJAKSANAAN. Firman Tuhan berkata, "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan" (Amsal 19:14). Berikut adalah ciri kebijaksanaan:
    1. Berpikir sebelum berbuat dan berkata-kata
    2. Takut akan Tuhan dan menghormati sesama
    3. Belajar dari pengalaman
  3. Kita harus menumbuhkan KESETIAAN. Firman Tuhan berkata, "Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia siapakah menemukannya?" (Amsal 20:6). Berikut adalah ciri kesetiaan:
    1. Tidak mementingkan diri melainkan pasangan dan keluarga
    2. Hidup konsisten: di depan dan di belakang pasangan sama
    3. Memelihara batas yang jelas antara diri dan lawan jenis
  4. Kita harus menumbuhkan KELEMAHLEMBUTAN. Firman Tuhan berkata, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah" (Amsal 15:1). Berikut adalah ciri kelemahlembutan:
    1. Tenggang rasa dan berempati: dapat menempatkan diri pada posisi pasangan
    2. Malu mengumbar emosi
    3. Sadar dengan kelemahan diri sendiri
  5. Kita harus menumbuhkan KEBAIKAN. Firman Tuhan berkata, "Perempuan yang baik hati beroleh hormat, sedangkan seorang penindas beroleh kekayaan" (Amsal 11:16). Berikut adalah ciri kebaikan:
    1. Dapat membaca kebutuhan orang
    2. Berinisiatif untuk melakukan sesuatu tanpa pamrih
    3. Tidak mudah terpengaruh akan reaksi orang
Sebagai kesimpulan, sesungguhnya Sayang dan Berharga:
  1. Muncul sebagai akibat PENGALAMAN MENGARUNGI HIDUP BERSAMA: jatuh-bangun, suka-duka, pahit-manis
  2. Muncul dari pengalaman merasakan BETAPA BAIKNYA PASANGAN DAN BETAPA BERUNTUNGNYA KITA DIKASIHI OLEHNYA
  3. Muncul dari RASA BERSYUKUR MEMILIKINYA DAN DIKASIHI OLEHNYA
  4. Muncul dari kepastian MELIHAT RENCANA DAN KEHENDAK ALLAH YANG SEMPURNA di dalam pernikahan ini

Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Sayang dan Berharga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pada kesempatan yang lalu Pak Paul, kita memperbincangkan perubahan yang harus dialami oleh pasangan suami istri yaitu dari sayang menjadi berharga. Dan waktu itu Pak Paul juga memberikan uraian tentang apa yang harus kita sadari dan apa saja yang harus diubah. Supaya para pendengar kita kali ini juga bisa mengikuti perbincangan kita secara utuh mungkin Pak Paul secara singkat bisa mengulas apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.

PG : Sekurang-kurangnya ada tiga yang bisa saya bagikan. Yang pertama adalah supaya cinta kita bisa bertumbuh dari level menawan menuju ke arah berharga maka kita harus menumbuhkan cinta dari lvel fantasi ke level realitas, artinya kita tidak lagi berkubang pada fantasi atau angan-angan, bahwa pasangan kita seharusnya seperti ini dan seperti itu.

Maka ada hal-hal yang kita harus terima dan kita tidak persoalkan lagi, dan yang kita perlakukan justru mengembangkan bagian-bagian lain dalam relasi kita yang baik dan positif. Yang kedua adalah cinta itu harus bertumbuh dari jasmaniah ke rohaniah artinya kita tidak lagi menekankan pada penampilan, bagaimana orang melihat kita, bagaimana orang mengagumi kita, apakah orang memandang kita baik. Kita tidak lagi menekankan pada posisi pasangan kita yang terhormat supaya dinilai orang juga baik, atau kita juga tidak menekankan pasangan kita harus tampil prima secara fisik, enak dilihat. Maka akhirnya kita harus bertumbuh dari level jasmaniah ke level rohaniah, kita menghargai pasangan kita karena kebaikannya karena karakter-karakternya yang memang indah. Dan yang terakhir adalah kita juga harus menumbuhkan cinta dari level nafsu ke level sayang. Jangan sampai kita menjadi orang yang terus menyorotinya dari sudut kepuasan seksual, meminta pasangan harus seindah mungkin, secantik mungkin supaya tampil seksi, semua disoroti dari segi nafsu. Cinta yang didasarkan pada nafsu tidak akan bisa bertumbuh dan akhirnya nanti pada usia tertentu kita akan kehilangan kasih itu karena kita tidak mungkin tertarik secara seksual kepada pasangan kita. Maka cinta itu harus bertumbuh dari level nafsu kepada level sayang.
GS : Masalahnya sekarang bagaimana kita membangun cinta kita? Bagaimana cinta pasangan suami istri bisa tumbuh?

PG : Sekurang-kurangnya ada 5 hal yang ingin saya bagikan pada kesempatan ini, Pak Gunawan dan kelima-limanya saya ambil dari firman Tuhan. Yang pertama adalah agar cinta atau pernikahan kita ertumbuh menjadi sayang karena dia berharga, kita sendiri harus menumbuhkan kemurahan dalam hidup kita jadi kita harus murah hati.

Firman Tuhan berkata di Amsal 17:9, "Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangki perkara, menceraikan sahabat yang karib." Artinya kita harus murah hati sehingga kita tidak fokus pada kesalahan pasangan tapi kepada kebaikannya, dan kita tidak menyimpan-nyimpan kemarahan dan kebencian atau dendam atas kesalahan pasangan kita. Firman Tuhan jelas berkata, "Siapa membangkit-bangkitkan perkara menceraikan sahabat yang karib" atau kalau kita terapkan dalam keluarga, menceraikan suami istri yang karib menjauhkan kita. Maka kita jangan menyimpan-nyimpan kesalahan namun selesaikanlah, kalau sudah selesai jangan lagi diungkit-ungkit. Juga orang yang murah hati tidak berorientasi pada masa lalu, dia tidak melihat ke belakang tapi mereka melihat ke depan. Sehingga kalau sampai ada masalah mereka mencoba menyelesaikan, supaya lain kali tidak harus menghadapi masalah yang sama. Jadi semua dibingkai dari bingkai masa depan, "supaya masa depan kita lebih baik, relasi kita tambah kuat dan tidak harus mengalami gejolak yang lama lagi." Jadi sekali lagi fokus terus pada masa depan bahwa dia bisa berubah dan kita percaya kepadanya. Dan yang terakhir tentang kemurahan, berusaha mengampuni bukan pendendam. Ada orang kalau ada apa-apa selalu menyimpannya karena dia berkata bahwa, "Orang yang berbuat salah kepada saya, tidak akan saya lupakan dan saya akan terus mengingat kesalahannya." Seolah-olah itu adalah hobinya, jadi hobinya benar-benar bagaimana bisa menyimpan kesalahan orang dan bagaimana nanti kalau ada kesempatan dia ingin membalasnya atau menghukum orang tersebut? Ini adalah contoh yang buruk, jangan sampai kita menjadi orang seperti itu. Sekali lagi kemurahan seperti inilah maka cinta itu pada akhirnya bisa bertumbuh dari level yang menawan, jasmaniah ke level rohaniah, karena dia berharga buat kita.
GS : Tapi ada kekhawatiran sebagian orang kalau dia terlalu bermurah hati kepada pasangannya maka dia menjadi objek penderita ini, Pak Paul. Jadi disalah mengerti, kemurahannya itu menjadi suatu kekalahan buat dia.

PG : Memang sudah seyogianya dua-duanya seperti ini, Pak Gunawan. Baik suami maupun istri berusaha keras mengembangkan sifat pemurah dalam hatinya. Karena kalau tidak, memang akan menjadi susahkarena yang satu akan terus mengembangkan sifat pemurah namun yang satu tidak menghargai, malah hidup seenaknya, mengambil kesempatan, memanfaatkan, maka hatinya akan terus berdarah karena tertusuk.

Tapi sekali lagi untuk kita menjadi orang yang bisa dianggap berharga oleh pasangan kita, ini adalah jalannya, Pak Gunawan, yaitu kita harus menjadi seorang suami, harus menjadi seorang istri yang pemurah sehingga dari hidup kitalah pasangan kita akan benar-benar diberkati.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Kita harus menumbuhkan kebijaksanaan, firman Tuhan berkata di Amsal 19:14 "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi isteri yang berakal budi adalah karunia TUHAN." Saya percayaini bukan saja ditujukan kepada istri tapi juga kepada suami.

Jadi baik suami atau istri yang berakal budi atau yang bijaksana adalah karunia Tuhan. Apa jadinya yang harus kita lakukan agar makin hari kita makin menjadi orang yang bijaksana, misalnya yang pertama "Berpikirlah sebelum berbuat dan berkata-kata," janganlah setelah kita menikah lima tahun atau lima belas tahun, tapi sama seperti yang dulu yaitu kalau ada apa-apa selalu berbicara dulu, komentar dulu, menghakimi dulu, menuduh dulu; belum mendengarkan dengan tuntas, belum tahu keseluruhannya namun sudah bereaksi seperti itu. Ini adalah sebuah ciri ketidakbijaksanaan, Pak Gunawan. Dan kalau terus seperti ini bagaimana pasangan bisa sayang dan melihat kita itu berharga, itu tidak akan terjadi! Karena kita tidak lagi berharga atau bernilai. Sudah pasti kalau ingin bijaksana maka harus takut kepada Tuhan jangan sampai berdosa dan menghormati sesama, dua hal ini saya jadikan satu paket. Kalau kita takut kepada Tuhan maka kita harus menghormati sesama. Kita tidak bisa berkata, bahwa kita takut kepada Tuhan atau tidak mau berdosa kepada Tuhan, tapi kita menginjak-injak sesama, bicara seenaknya kepada istri atau sesama kita. Itu tidak bisa! Kalau kita takut kepada Tuhan maka kita juga harus menghormati sesama dan orang yang bijaksana belajar dari pengalaman, dia tidak buta terhadap kesalahannya dan dia mengakui andilnya dalam masalah yang telah terjadi, tidak defensif, tidak menutupi diri, tidak membela atau membenarkan dirinya. Hal-hal seperti itu tidak dia lakukan, dan mengakui bahwa dia salah di mana kemudian dia belajar. Bagaimana pasangan bisa melihat kita berharga kalau kita bebal, tidak pernah belajar dari pengalaman, sudah jatuh berkali-kali tapi tetap saja mengeraskan hati tidak mau belajar dari pengalaman. Maka susah bagi pasangan untuk melihat bahwa dia berharga.
GS : Bijaksana ini nampak ketika orang mengambil keputusan atau langkah tertentu, maka pasangannya akan melihat bahwa suami atau istrinya ini bijaksana. Ataukah ada jalan lain untuk menunjukkan semua itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Seringkali hikmat itu muncul dalam pengambilan keputusan, keputusan yang salah berulangkali dilakukan dan tetap salah, maka itu menunjukkan bahwa orang itu kuran berhikmat.

Orang yang tidak bisa belajar dari pengalamannya atau mungkin tidak mau mendengarkan dari pasangannya atau dari orang lain selalu menganggap diri benar tidak perlu lagi nasehat orang lain, ini adalah ciri-ciri orang tidak bijaksana. Dan kalau hidup kita seperti itu yaitu tidak bijaksana, maka jangan mengharapkan pasangan kita untuk bisa mengembangkan rasa hormat atau penghargaan kepada kita. Pasangan kita akan melihat kita tidak berharga, sebab kita menjadi sumber kerugiannya. Jadi kita harus mengerti kenapa pasangan kadang-kadang tidak bisa menghargai kita dan kita pun juga harus sadar diri "kenapa", sebab kita lebih banyak membawa kerugian kepadanya.
GS : Jadi bijaksana memang kita terima dari Tuhan tapi pelaksanaannya juga tergantung dari kita, Pak Paul?

PG : Betul. Sehingga firman Tuhan berkata, "Awal dari hikmat adalah takut akan Tuhan," dan takut akan Tuhan adalah porsi kita dan kita yang harus takut berdosa. Orang yang tidak takut dosa sembrangan hidup berarti orang yang tidak takut Tuhan dan akhirnya dia menjadi orang yang sering tersandung-sandung.

Dan tadi saya juga tekankan kita harus menghormati sesama manusia terutama pasangan kita sendiri, cobalah dengarkan masukannya, cobalah perhatikan perasaannya. Jadi kalau kita berbicara harus berhati-hati dan jangan sembarangan. Itu semua menunjukkan kebijaksanaan dalam diri kita.
GS : Hal lain apa lagi Pak Paul, yang kita butuhkan untuk menumbuhkan relasi yang sehat antara suami istri ini?

PG : Yang ketiga adalah kita harus menumbuhkan kesetiaan, artinya di dalam firman Tuhan di Amsal 20:6 berkata, "Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukanya?" Jadi firman Tuhan memang mengakui bahwa susah dan langka mencari orang yang sungguh-sungguh setia.

Jadi banyak orang akan mengklaim diri baik, tapi kebaikannya bisa dibuktikan lewat kesetiaannya. Memang akan banyak orang yang mengklaim "saya mengasihi" tapi kasih itu juga dibuktikan lewat kesetiaan. Jadi sungguh-sungguh bukti dari semua ini adalah kesetiaan. Kita kalau ingin dihargai oleh pasangan, sehingga nanti di hari tua pasangan mencintai kita karena melihat kita berharga maka kita harus menjadi orang yang setia. Jadi apa saja ciri-ciri kesetiaan, yaitu tidak mementingkan kepentingan diri sendiri, melainkan mementingkan pasangan dan keluarga. Waktu dia mengambil keputusan dia tidak hanya mementingkan dirinya, tapi dia juga mementingkan dampaknya pada istri atau pada suami dan pada anak-anaknya, "Kalau saya seperti ini, kalau saya seperti itu, nanti yang terkena adalah anak-anak, yang terkena nanti pasangan saya maka jangan saya lakukan." Orang yang setia intinya tidak hidup untuk dirinya sendiri, dia hidup untuk keluarga. Yang lain, hidupnya konsisten artinya dia tetap sama baik di depan atau di belakang pasangan. Jadi apa pun yang kita hendak lakukan, maka kita harus bertanya, "Kalau ada istri atau kalau ada suami, apakah kita akan melakukan hal yang sama," sudah tentu ini dalam koridor bahwa kita tidak berdosa. Sebab memang ada orang yang hidupnya berdosa dan berkata, "Saya tidak peduli suami atau istri saya tahu" bukan itu yang saya maksud, yang saya maksud bukan orang yang ingin bersenang-senang dalam dosa. Tapi kalau kita ini ingin berbuat sesuatu tanyalah, apakah istri atau suami kita bisa terima, kalau kita merasa tidak lebih baik jangan dilakukan. Jadi hidup kita konsisten jangan sampai hidup kita ini hidup yang terbelah seperti pemain sandiwara, di belakang pasangan berbuat apa dan di depan pasangan juga berbuat apa. Yang terakhir tentang kesetiaan, kita harus memelihara batas yang jelas antara diri kita dan lawan jenis, jangan melewati batas entah itu telepon atau mencari kesempatan berkencan dan sebagainya, itu adalah awal dari ketidaksetiaan. Maka kita harus menjaga batas dalam berhubungan dengan lawan jenis.
GS : Tapi kesetiaan itu justru teruji ketika pasangannya dalam masalah, Pak Paul. Entah masalah keuangan atau masalah keluarga dan sebagainya, namun pasangannya tetap mencintai dia, dan itulah kesetiaan, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi orang yang setia adalah orang yang tidak mudah lari atau meninggalkan pasangannya tatkala mengalami masalah. Justru kalau dia begitu mudah lari atau keluar etika masalah datang, maka dia menunjukkan ketidaksetiaannya, waktu dia jaya, maka dia dekat dan sayang kepadanya namun ketika dia ambruk kemudian kita tidak menghargai dia.

Cinta yang seperti itu tidak mungkin bertumbuh menjadi sebuah cinta yang didasari atas rasa berharga, kalau kita ingin dihargai pasangan maka jadilah orang yang setia baik susah maupun senang, baik dalam keadaan sehat maupun sakit dan kita mendampingi pasangan kita.
GS : Jadi kesetiaan ini memang perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh supaya tercipta di dalam diri kita yaitu sikap setia, Pak Paul.

PG : Betul sekali dan tidak selalu mudah, sebab siapa yang mau menanggung kesusahan? Pada umumnya kita tidak mau. Justru di situlah kesetiaan diuji dan waktu pasangan melihat bahwa kita begitusetia, dalam kondisi seperti ini kita tetap setia kepadanya.

Maka di situlah rasa sayang itu akan bertumbuh. Sayang atas dasar apa? Dia berharga dan dia orang yang setia.
GS : Kalau kita mau mengajarkan kesetiaan itu pada pasangan, maka kita harus lebih dahulu setia pada pasangan kita.

PG : Tepat sekali. Kita tidak bisa menuntut pasangan untuk terlebih dahulu setia kemudian barulah kita setia, itu salah! Sejak dari pertama kita menikah kita harus buktikan bahwa kita setia.

GS : Apakah ada hal lain yang kita butuhkan untuk menumbuhkan hidup pernikahan ini?

PG : Yang berikut adalah ini, Pak Gunawan. Kita harus menumbuhkan kelemahlembutan, firman Tuhan di Amsal 15:1, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membankitkan marah."

Itu adalah lemah lembut. Contoh-contoh konkretnya untuk menunjukkan kelemahlembutan, yang pertama adalah tenggang rasa dan berempati artinya dapat menempatkan diri pada posisi pasangan. Orang yang lemah lembut tidak hanya mementingkan dirinya, tapi orang yang lemah lembut akan selalu mencoba menempatkan diri pada posisi pasangannya, dia akan melihat apa yang akan dirasakan pasangannya dan dia makin hari akan makin berempati. Empati itulah yang akan menjadi modal untuk nantinya muncul kele- mahlembutan dalam pernikahan. Atau yang berikut, orang yang lemah lembut akan mengembangkan rasa malu terhadap pengumbaran emosi, justru dia harus berhati-hati sehingga tidak sembarangan mengumbar emosi. Jangan sampai kita menjadikan pengumbaran emosi sebagai gaya hidup kita, kalau kita sedang merasa sesuatu kemudian kita langsung mengekpresikan, itu tidak! Justru kalau kita harus mengumbar emosi, maka kita harus tanamkan rasa malu, kenapa saya masih seperti itu, "Kenapa saya masih mengumbar emosi-emosi saya" jadi kita harus menjaga emosi. Yang terakhir adalah untuk membuat diri kita lemah lembut maka kita harus menyadari kelemahan diri sendiri. Orang yang tidak lemah lembut adalah orang yang buta dengan kelemahannya, jadi hanya melihat kelemahan pasangannya, menyorotinya, mengkritiknya. Benar-benar membuat pasangannya seolah-olah hanya dia yang bermasalah sedangkan kita sendiri tidak bermasalah, kita harus sadar bahwa kita pun penuh dengan kelemahan.
GS : Biasanya kita sebagai kaum pria, menuntut pasangan kita atau istri kita bersikap lemah lembut. Tapi kita juga menuntut dia untuk menerima kita bahwa kita tidak bisa lemah lembut sebagai kaum pria.

PG : Seringkali kita tidak adil, Pak Gunawan. Jadi kita bisanya hanya menuntut orang tapi kita tidak bisa menuntut diri sendiri untuk bisa lemah lembut dan ini juga tidak benar. Maka kita harusmelihat diri kita bahwa kita pun juga banyak kelemahan, jangan hanya bisa menuntut pasangan.

Apa yang ada dalam diri kita yang bisa kita perbaiki? Orang yang menyadari kelemahannya pada akhirnya lebih mudah bersikap lemah lembut karena dia tahu diri.
GS : Kelemahlembutan bukan berarti kita tidak boleh marah terhadap sesuatu yang kita tidak sukai.

PG : Sudah tentu ada waktu untuk kita marah dan kita tidak selalu bisa mengatur nada bicara kita rendah saat marah, itu betul. Tapi jaga jangan sampai keterusan, jangan sampai emosi itu meledakledak, terutama jaga pembicaraan atau perkataan kita.

Jangan akhirnya menghancurkan pasangan kita lewat kata-kata kita, tapi kita mesti ingat bahwa apa yang kita ucapkan tidak dapat ditarik kembali walaupun sudah minta maaf sebanyak apa pun, tapi itu sudah terjadi dan akhirnya makin menusuk perasaan pasangan dan itu makin menyulitkan dia untuk menyayangi kita atas dasar kita ini berharga, kalau kita sering menyakiti dia.
GS : Kalau kita menyadari akan kelemahan diri kita sendiri, maka mau tidak mau kita akan menjadi orang yang lemah lembut, tidak ada yang kita sombongkan kalau kita sendiri sadar bahwa kita sendiri banyak kesalahan terhadap pasangan.

PG : Betul sekali. Maka kita harus bercermin diri sebelum kita menegur dan ingat bahwa kita juga punya banyak kelemahan. Dengan cara itu mungkin kita bisa lemah lembut pada pasangan.

GS : Mungkin masih ada lagi hal yang kita butuhkan, Pak Paul?

PG : Ada satu lagi yaitu kita harus menumbuhkan kebaikan, firman Tuhan di Amsal 11:16 berkata, "Perempuan yang baik hati beroleh hormat; sedangkan seorang penindas beroleh kekayaan." Jadi sekal lagi firman ini tidak harus untuk perempuan tapi juga laki-laki, "Perempuan atau laki-laki yang baik hati beroleh hormat" jadi kita ingin pasangan kita menghormati kita, melihat kita sebagai orang yang berharga dan mengasihi kita.

Atas dasar itu maka kita harus menjadi orang yang baik hati. Artinya baik hati adalah misalnya yang pertama dapat membaca kebutuhan orang lain. Ada pasangan yang tidak peka akan apa yang terjadi di luar dirinya, dia tidak tahu pasangannya membutuhkan apa karena dia tidak mau tahu atau cuek urusan orang dan akhirnya orang seperti itu susah dihormati, susah disayangi atas dasar dia itu berharga. Karena bagaimana pun kita sebagai manusia menghargai orang yang memang peduli dan dapat memerhatikan, dapat membaca kebutuhan atau perasaan kita. Dan sudah tentu bukan hanya sensitif dengan apa yang kita rasakan atau butuhkan. Tapi dia pun juga harus berusaha atau berinisiatif melakukan segala sesuatu tanpa pamrih. Orang yang kita katakan baik adalah orang yang melakukan kebaikan tanpa pamrih atau balasan. Begitu ada pamrihnya kemudian kita langsung berkata, "Kamu bukan orang yang baik, kamu sudah menghitung-hitung bahwa kamu akan mendapat imbalannya." Maka kebaikan bukan diukur lewat perbuatan baiknya, tapi kebaikan diukur lewat berapa nol pamrihnya, makin nol pamrih maka makin besar kebaikan itu. Kalau kita balik semakin besar kebaikan, tapi pamrihnya juga besar sama sekali tidak ada artinya. Yang terakhir adalah orang yang baik tidak terpengaruh oleh reaksi orang. Artinya apa pun yang dilakukan pasangannya, dia akan tetap melakukan hal yang sama yaitu berbaik hati, dia tidak terpengaruh. Ada orang yang terpengaruh, "Kamu baik dengan saya maka saya baik dengan kamu" cinta susah bertumbuh dari cinta dan berharga kalau kita terus berkubang di level itu, "Kamu baik dengan saya maka saya baik dengan kamu" tidak seperti itu, melainkan "Kamu tidak baik dengan saya tapi saya masih tetap ingin baik dengan kamu". Dengan cara itulah pasangan akan melihat orang ini berharga, lain dari yang lain, "Orang bisa melakukan hal seperti ini dan seperti itu tapi kamu tidak! Dan kamu tetap baik hati kepada saya." Dan dengan cara inilah cinta akhirnya makin bertumbuh menjadi sayang karena berharga.
GS : Dalam menumbuhkan kebaikan ini, ada orang yang bisa baik kepada orang lain tetapi tidak bisa baik kepada pasangannya sendiri. Kenapa bisa seperti itu?

PG : Mungkin jawaban yang pertama adalah hubungan pernikahannya tidak baik lagi, itu sebabnya dia tidak baik kepada pasangannya. Dia mungkin merasa sering disakiti sehingga dia susah sekali untk berbaik hati kepada pasangannya.

Kalau itu yang terjadi maka harus dibereskan dan dia harus menyadari bahwa ada masalah dalam rumah tangganya, dia harus mencari pertolongan supaya benang yang sudah kusut itu bisa diurai kembali, relasinya bisa diperbaiki kembali.
GS : Mesti ada kesepakatan antara suami istri bahwa kebaikan ini penting, karena saya rasa ini menjadi hambatan terbesar untuk kita mewujudkan kebaikan. Sering pasangan mengatakan, "Kamu jangan terlalu baik dengan orang, nanti kita akan dirugikan orang", tetapi kalau kita tidak mengembangkan sikap baik, kita juga tidak bisa menjadi baik terhadap pasangan kita sendiri juga.

PG : Betul sekali. Jadi kita harus menjadi orang yang pada dasarnya baik, firman Tuhan tidak berkata, "Kita harus baik hanya kepada pasangan," tapi Tuhan meminta kita untuk mengasihi sesama mansia.

Untuk itu kita memang harus berusaha baik kepada semua orang, bukan hanya baik kepada pasangan kita. Dan orang yang pada dasarnya baik, sudah tentu akan baik pula kepada pasangannya. Jadi kalau kita membuat pasangan baik hanya kepada kita dan jahat kepada orang lain, artinya kita membuat dia menjadi orang yang tidak baik. Maka senanglah dan bersukacitalah kalau pasangan kita pada dasarnya baik.
GS : Apakah Pak Paul, bisa menyimpulkan seluruh perbincangan kita ini baik yang terdahulu maupun yang sekarang?

PG : Saya akan simpulkan dalam empat butir, dan yang pertama adalah sebenarnya rasa sayang dan berharga itu muncul sebagai akibat pengalaman mengarungi hidup bersama, jatuh bangun, suka duka, phit manis, kekecewaan dan sebagainya.

Kesetiaan bisa terus bersama mengarungi hidup, maka itulah yang bisa melahirkan sayang dan berharga. Yang kedua, sayang dan berharga ini muncul dari pengalaman merasakan betapa baiknya pasangan dan betapa beruntungnya kita dikasihi olehnya. Jadi kita itu benar-benar bisa berkata, "Saya ini beruntung karena memiliki pasangan sebaik dia dan beruntung bahwa dia juga mengasihi saya, dia mungkin bisa mengasihi orang lain tapi dia memilih untuk lebih mengasihi saya, jadi saya adalah orang yang begitu beruntung dikasihi oleh orang yang sebaik dia." Yang ketiga, sayang dan berharga ini muncul dari rasa bersyukur memilikinya dan dikasihi olehnya. Kita ini merasa, "Tuhan saya bersyukur saya mempunyai dia," bukan orang lain yang mempunyai dia, tapi kitalah yang mempunyai dia, kita memilih suami atau istri yang tepat. Jadi kita mensyukuri sekali, "Tuhan telah menuntun saya untuk memilih pasangan yang sebaik ini" jadi kita bersyukur hidup bersamanya. Dan yang terakhir adalah rasa sayang dan berharga muncul dari kepastian melihat rencana dan kehendak Allah yang sempurna di dalam pernikahan ini. Artinya kita bisa melihat bahwa Tuhan telah bekerja, merajut hidup kita ini hidup dengan pasangan dari nol sampai sekarang dan dari dulu sampai sekarang dan semua itu indah, Tuhan bersama kita dan kita melihat tangan Tuhan yang terus bekerja. Waktu kita melihat semuanya, rencana Tuhan digenapi dalam hidup kita dengan pasangan kita, maka pastilah kita merasa bahwa kita ini adalah orang yang diberkati Tuhan dan karena pasangan saya jugalah, saya diberkati Tuhan dan hidup di dalam rencana Tuhan.

GS : Saya percaya perbincangan kita ini akan mendorong lebih banyak pasangan untuk menghargai pasangannya dan menilai bahwa pasangan yang diberikan Tuhan kepadanya adalah sangat berharga. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sayang dan Berharga" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



77. Konflik Akibat Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T287B (File MP3 T287B)


Abstrak:

Dalam rangking ada 3 hal besar yang sering menjadi pertengkaran antara suami dan istri, yang pertama adalah masalah keuangan. Yang kedua adalah komunikasi, seringkali terjadi salah pengertian entah itu dari nada suaranya, perkataan yang digunakan, cara yang digunakan maka akhirnya terjadi miskomunikasi dan akhirnya bertengkar. Dan yang ketiga yang menyebabkan pertengkaran adalah masalah anak. Jadi mulai dari perbedaan mendidik anak, sampai tuntutan pada anak yang berlainan, itu semua bisa menjadi sumber atau bahan pertengkaran kita. Akan dibahas pemicu konflik dan apa saja hal-hal yang bisa diperbuat untuk menyelesaikan konfllik tersebut.


Ringkasan:

Dalam rangking ada 3 hal besar yang sering menjadi pertengkaran antara suami dan istri, yang pertama adalah masalah keuangan. Yang kedua adalah komunikasi, seringkali terjadi salah pengertian entah itu dari nada suaranya, perkataan yang digunakan, cara yang digunakan maka akhirnya terjadi miskomunikasi dan akhirnya bertengkar. Dan yang ketiga yang menyebabkan pertengkaran adalah masalah anak. Jadi mulai dari perbedaan mendidik anak, sampai tuntutan pada anak yang berlainan, itu semua bisa menjadi sumber atau bahan pertengkaran kita.<\p>

Kita mengangkat beberapa pertanyaan yang sering menjadi pemicu pertengkaran antara suami istri karena masalah anak :

Masalah kerap muncul jika suami istri ini sama-sama bekerja, sehingga ada keterbatasan waktu di antara mereka, sebaliknya konflik lebih kecil jika istri purna waktu di rumah dan suami secara purna waktu bekerja. Maka yang harus dilakukan adalah suami istri sering membahas masalah anak bersama-sama, agar terjadi saling pengertian dan keselarasan. Memang hal seperti ini tidak mudah selesai karena suami istri memiliki perbedaan pendapat tapi yang penting adalah dibicarakan, dijelaskan maksudnya dan yang penting juga adalah sikap mau mendengarkan. Kalau kita memunyai sikap tidak mau mendengarkan pasangan untuk memberikan penjelasannya kepada kita, maka kita akan membuat dia merasa percuma bicara dengan kita karena kita pun tidak mau menggubrisnya.

Firman Tuhan berkata di Yesaya 42:3, "Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya," artinya Tuhan bersabar membesarkan kita, mendidik kita dan mengarahkan kita dan Tuhan pun tidak mudah putusasa karena Ia tahu bahwa perubahan menuntut waktu, demikian pun dengan membesarkan anak. Kadang perselisihan timbul karena kita menginginkan perubahan pada anak dengan seketika dan kita mesti bersabar sebagaimana Tuhan telah bersabar dengan kita, maka kita pun harus bersabar kepada anak, sebab dia membutuhkan waktu untuk berubah.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Konflik Akibat Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Banyak orang mengatakan bahwa anak adalah pemersatu antara suami dan istri tetapi pada faktanya anak juga bisa menjadi sumber perpecahan di antara suami dan istri. Kenyataan seperti ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Itu sangat tepat. Sebetulnya dalam rangking ada 3 besar yang sering menjadi pertengkaran antara suami dan istri, yang pertama adalah masalah keuangan. Yang kedua adalah komunikasi, seringkali terjadi salah pengertian entah itu dari nada suaranya, perkataan yang digunakan, cara yang digunakan maka akhirnya terjadi miskomunikasi dan akhirnya bertengkar. Dan yang ketiga yang menyebabkan pertengkaran adalah masalah anak. Jadi mulai dari perbedaan mendidik anak, sampai tuntutan pada anak yang berlainan, itu semua bisa menjadi sumber atau bahan pertengkaran kita. Pada kesempatan ini kita mau mencoba mengangkat beberapa hal yang sering menjadi pemicu pertengkaran antara kita karena masalah anak. Misalnya yang sering menjadi pemicu adalah, siapa yang harus bangun mengurus anak pada tengah malam sewaktu anak bangun dan meminta makan atau menangis minta untuk dibersihkan. Kalau istri kita tidak bekerja, dan hanya suami yang bekerja purna waktu maka hal itu akan lebih mudah untuk kita saling bagi tugas tapi yang menjadi masalah adalah kalau keduanya harus bekerja dan anak ini sudah berumur satu tahun lebih misalnya. Maka dua-dua harus bekerja dan dua-dua harus bangun pagi, dan yang lebih sering lagi adalah si ibu harus menyiapkan makanan di pagi hari. Jadi siapa yang harus bangun mengurus anak? Atau kalau kita sedang di rumah dan dua-dua sedang sibuk karena seringkali membawa pekerjaan ke rumah, kemudian anak meminta perhatian kita dan si anak perlu dibantu, perlu diberi makan karena lapar jadi perlu dimasakkan, atau buang air dan kita harus membersihkannya. Jadi siapa yang harus mengurus? Apakah kita dengan mudah berkata, "Itu adalah tugas istri saya." Sekali lagi kalau istrinya memang purna waktu di rumah maka hal ini akan jauh lebih mudah, tapi misalkan kita mengurus anak dan kita dua-dua bekerja maka siapa yang harus mengurusnya? Atau sewaktu anak sakit, misalkan dua-dua juga bekerja dan dua-dua sibuk, jadi siapa yang harus mengorbankan waktu kerjanya membawa anak ke rumah sakit atau ke dokter? Jadi hal-hal seperti ini yang seringkali menimbulkan pertengkaran di antara suami istri terutama kalau seseorang merasa, "Kamu ini seenaknya saja, kamu ini selalu menyuruh-nyuruh saya, saya juga sibuk bekerja dan bukan hanya kamu." Kalau yang satu terus-menerus menyuruh dan tidak mau memikul beban akhirnya muncullah pertengkaran di antara suami dan istri.

GS : Walaupun pihak istri itu purna waktu di rumah, Pak Paul, tapi kalau si suami acuh tak acuh ketika anaknya bangun malam atau waktu sakit dan kemudian dia masih tidur enak-enakan, ini juga memicu pertengkaran, Pak Paul. Si istri juga akan merasa kurang diperhatikan.

PG : Betul sekali. Sebab meskipun seorang istri tidak bekerja di luar dan dia mengurus anak secara purna waktu di rumah. Namun bangun tengah malam itu adalah hal yang tidak mudah, sekuat-kuatnya tubuh tapi kalau harus bangun tiap tengah malam, itu akan sangat mengganggu dan tidak nyaman. Meskipun dia akan bersedia melakukannya tapi kalau dia melihat suaminya tertidur dengan enak dan sama sekali tidak menawarkan bantuan, ini akan cukup menjengkelkannya sebab yang dia perlu adalah sebuah tenggangrasa. Jadi alangkah baiknya kalau suaminya juga ikut bangun kemudian menawarkan "Kamu bisa tidak bangun, kalau tidak bisa maka saya saja yang bangun," saya kira perkataan yang seperti itu yaitu menawarkan bantuan sudah cukup melegakan dan menghibur hati si ibu dan saya yakin kebanyakan wanita akan berkata, "Tidak mengapa, saya masih bisa mengurus." Atau memang kalau dia sangat letih, kalau suami menawarkan maka dia bisa berkata, "Baiklah malam ini tolong kamu yang bangun karena saya sangat letih. Jadi tenggangrasa seperti ini mesti dipupuk. Dengan kata lain, meskipun yang satu bersedia menunaikan kewajibannya, berkorban mengurus anak tapi mohon pihak yang satunya bangunlah dan selalu tawarkanlah bantuan karena hal ini menunjukkan tenggangrasa dan pengertian terhadap pengorbanan besar yang sedang diberikan oleh istrinya.

GS : Tapi malah ada suami yang pindah kamar kalau malam, jadi membiarkan anaknya bersama dengan ibunya agar dia tidak merasa terganggu. Hal ini juga menimbulkan masalah antara suami dan istri.

PG : Kalau memang ada kesepakatan dan memang istri yang berkata, "Daripada tidurmu terganggu maka lebih baik kamu tidur di sana dan saya saja yang mengurus anak." Sudah tentu ini akan lebih baik namun dalam kondisi seperti itupun saya kira tetap menawarkan bantuan adalah hal yang baik dan positif. Waktu anak-anak kami masih kecil, waktu anak ketiga kami lahir istri saya terpaksa harus tidur dengan anak ketiga kami dan saya tidur dengan anak kedua kami karena anak-anak kami hanya berbeda usia 2 tahun. Jadi memang harus ada tenggangrasa, dan saya harus tidur dengan anak saya yang berusia 2 tahun dan sudah tentu kalau saya tidur tidak pernah pulas dari malam sampai pagi. Jadi tenggangrasa itu membuat saya dan istri bersama-sama memikul beban.

GS : Tapi kuncinya adalah membicarakan hal itu dengan baik-baik dan terbuka kemudian mencari solusinya bersama, begitu Pak Paul?

PG : Jadi ada baiknya untuk bicara secara langsung dari hati ke hati dan saya juga akan tawarkan satu lagi masukan. Misalkan keduanya bekerja, kita bisa tetapkan jadual jaga misalnya hari ini ayah yang menjaga dan besoknya ibu yang menjaga. Jadi dengan kata lain kita saling mengerti kalau dua-dua bekerja maka malam ini saya harus bangun dan besok istri saya yang akan bangun. Tapi sudah tentu diperlukan fleksibilitas, misalkan kalau kita terlalu letih maka kita meminta agar istri kita yang menjaga malam ini dan pihak yang satunya berkata, "Baik, tidak apa-apa." Jadi makin banyak tawaran untuk membantu maka masa-masa ini menjadi lebih mudah, sehingga tidak menimbulkan pertengkaran. Sebaliknya semakin kita kurang tenggangrasa maka makin pelit kita untuk menawarkan bantuan sehingga makin memudahkan kita untuk bertengkar.

GS : Pasti kita terbangun karena satu kamar jadi tidak mungkin kalau kita tidur terus. Tetapi masalahnya adalah setelah kita membantu seringkali kita beranggapan bahwa hal itu sudah selesai dan kemudian kita tidur lagi dengan cepat, hal ini seringkali menimbulkan kejengkelan di pihak istri karena istri dan anak belum tidur tapi kitanya sudah tidur enak.

PG : Jadi dalam hal-hal seperti ini kalau si istri memerlukan kita untuk terus berjaga maka istri juga perlu bicara, "Tolonglah saya masih perlu bantuanmu karena saya juga letih." Jadi istri pun harus berani menyuarakan karena seringkali suami itu tidak selalu mengerti isi hati si istri. Saya masih ingat waktu istri mengurus anak-anak pada masa kecil, 90% istri yang mengurus anak-anak dan dia yang bangun malam untuk mengurus anak dan sebagainya. Tapi selain tadi saya tidur dengan anak saya untuk turut membantu meringankan beban istri saya, kemudian lagi waktu anak sakit saya mencoba untuk membantu misalkan yang saya masih ingat, saya tidak tidur. Apalagi kalau anak panas maka harus dikompres dan saya yang harus terus jaga karena hanya itu yang saya bisa kerjakan secara insidentil, tapi yang rutin memang istri saya. Saya menduga waktu istri saya melihat dalam kasus yang insidentil yaitu saya berkorban tidak tidur semalaman menjaga anak yang sedang sakit, itu mengobati hatinya dan itu juga membuat dia merasa bahwa saya bersama dia dan memikul beban untuk bisa mengurus anak-anak.

GS : Masalah lain yang sering timbul akibat anak ini apa, Pak Paul?

PG : Biasanya adalah masalah tentang, siapa nanti yang mengurus anak? Atau perbuatan apa yang perlu didisiplin? Dan pertengkaran terjadi karena masalah-masalah seperti ini. Atau seberapa dinikah kita menerapkan disiplin? Atau kapankah mengharuskan anak makan sendiri dan buang air sendiri atau mandi sendiri? Seringkali semua ini menimbulkan kesalahpahaman sebab adakalanya seorang ayah berkata, "Kamu ibu yang mengurus anak berarti kamu juga yang harus mendisiplin anak." Maka seorang istri akan berkata, "Ini bukan hanya anak saya saja tapi ini juga anak kamu maka kamu juga yang harus mendisiplin anak." Atau perbuatan mana yang perlu didisiplin? Dan seringkali tidak ada kecocokan antara suami dan istri akhirnya salah satu orang mengalah dan berkata, "Terserah kamu saja, kamu mau mendisiplin dia seperti apa itu semua terserah kamu," jadi untuk menghindari pertengkaran hal itu yang seringkali dilakukan meskipun bisa jadi dia jengkel kalau anaknya didisiplin dengan hal yang menurut dia tidak semestinya. Atau seberapa dinikah kita menerapkan disiplin? Misalkan istri berkata "Sedini mungkin," tapi suami berkata, "Jangan nanti saja." Atau bahkan ada yang seperti ini, karena dulu dia didisiplin terlalu keras oleh orang tuanya maka dia berjanji tidak akan mendisiplin anak dan istri kebalikannya yaitu ingin mendisiplin anak akhirnya yang terjadi adalah pertengkaran, yang satu merasa terlalu berat kamu memarahi anak tapi yang satu merasa lebih marah karena kamu tidak mau memikul beban mendisiplin anak. Ini adalah masalah-masalah yang mudah timbul, jadi sekarang kita mau melihat bagaimana cara-cara menanggulanginya. Saya hendak menggarisbawahi satu prinsip disini yaitu bahwa disiplin adalah kewajiban kedua orang tua, tidak benar kalau salah satu berkata, "Ini hanya tugasmu," tapi itu adalah anak kita berdua jadi itu adalah tanggung-jawab kita berdua untuk mendisiplinnya. Bagaimana perbedaan dalam mendisiplin? Memang seringkali dibahas agar terjadi saling pengertian dan keselarasan. Saya mengerti hal seperti ini tidak mudah selesai karena kita berbeda tapi yang penting adalah dibicarakan, dijelaskan maksudnya dan yang penting juga adalah sikap mau mendengarkan. Kalau kita memunyai sikap tidak mau mendengarkan pasangan untuk memberikan penjelasannya kepada kita maka kita akan membuat dia merasa percuma bicara dengan kita karena kita pun tidak mau menggubrisnya.

GS : Dalam hal mendisiplin ini seringkali terjadi dualisme, masalahnya adalah salah satu tidak mau terlihat jahat di depan anak. Misalkan kalau ibu terus yang mendisiplin maka anak akan menilai kalau ibu itu jahat dan si ayah baik-baik. Dan hal ini yang mau dihindari oleh salah satu pihak.

PG : Betul sebab hal ini akan memicu kemarahannya karena dia merasa saya mendisiplin untuk kebaikannya, karena anak ini kalau tidak didisiplin maka akan bermasalah. Jika saya mendisiplin dan pasangan saya tidak mendisiplin, memang bagi si anak adalah saya yang jahat. Jadi waktu dia melihat bahwa dia manis-manis dengan pasangannya tapi cemberut-cemberut dengan dia maka dia semakin panas dan nanti dia akan melampiaskan kepada kedua pihak baik kepada pasangannya maupun kepada anaknya. Jadi dengan kata lain, kalau seseorang tidak mau memikul beban mendisiplin anak maka ini seperti hutan yang terbakar dan akan menjalar kemana-mana, maka kita harus menyelesaikan. Dalam pembicaraan tentang apa yang perlu didisiplin? Memang kita harus langsung masuk ke pada tujuan pendisiplinan dan bukan sarananya. Misalnya untuk mengharapkan anak agar bisa makan sendiri, tujuannya adalah melatihnya untuk mandiri. Untuk melatih anak mandiri maka diperlukan proses waktu dan disinilah kita acapkali ada perbedaan pendapat, ada yang mengharapkan hasil dalam waktu yang cepat, tapi ada yang mengharapkan hasil dalam waktu yang lama. Jadi dalam pembicaan kita bisa menekankan bahwa maksud kita sama dan tujuan kita sama namun yang berbeda adalah mulai kapan dan berapa lamanya, ada yang mengharapkan agar anak cepat bisa mandi dan makan sendiri tapi pasangan mengharapkan agar anak tidak terlalu cepat untuk mandiri. Saran saya adalah terus lakukan dengan sabar dan jangan tergesa-gesa dan marah-marah kalau anak tidak bisa melakukan yang kita inginkan. Jadi dengan kata lain pertanyaannya bukanlah perlu atau tidak kita melakukan hal itu? Jawabannya adalah perlu, mendidik anak untuk mandi sendiri apakah perlu? Itu perlu tapi lakukanlah dengan sabar, perlahan-lahan sedikit demi sedikit karena anak perlu proses waktu untuk dapat mengadopsi perilaku yang lebih mandiri.

GS : Contohnya seperti makan tadi, tepatnya kapan untuk kita memberikan disiplin terhadap anak?

PG : Biasanya anak-anak bisa makan sendiri ketika anak mencapai usia sekitar 4 atau 5 tahun. Jadi dengan kata lain anak harus didorong untuk makan sendiri sekurangnya setahun sebelumnya dan memang ada yang lebih dini. Dengan kata lain, berilah waktu untuk anak berubah atau mengadopsi perilaku tertentu. Kalau ada orang tua berkata, "Baiklah kita mulai mendidik anak untuk makan sendiri dari usia 3 tahun," hal itu tidak mengapa namun kita mesti sabar karena 3 tahun dia mulai diajar untuk makan sendiri, ada anak yang cepat mengadopsi itu dalam waktu beberapa bulan tapi ada yang lebih lama lagi, tapi kita berdua harus memunyai perspektif yang benar yaitu pada akhirnya anak itu akan makan sendiri dan tinggal berapa lamanya dan cepatnya saja. Kesabaran untuk melewati proses itu diperlukan.

GS : Konsekuensinya adalah kalau misalnya anak itu belum bisa makan sendiri dan akhirnya banyak yang tercecer maka harus dibersihkan bersama.

PG : Betul. Kalau makanan masih berceceran dan sebagainya maka kita harus sabar karena anak itu perlu waktu untuk mengadopsi perilaku yang mandiri itu.

GS : Bagaimana untuk mengajar anak membersihkan mainannya, Pak Paul?

PG : Saya kira kita harus meminta anak untuk menaruh mainan yang telah dimainkannya ke dalam sebuah keranjang sejak anak itu masih kecil atau sejak anak berumur 2 tahun, setelah dia selesai bermain kita ajak dia bersama-sama menaruhnya ke dalam keranjang. Jadi setiap kali selesai, kita mengajak dia bersama-sama menaruh itu di keranjang. Dengan cara itulah lama-kelamaan dia akan terbiasa kalau selesai bermain maka dia akan menaruh mainannya ke dalam keranjang. Disiplin yang bersifat menghukum wajib diberikan tatkala anak membangkang, misalkan anak dengan sengaja berkata, "Tidak mau," kalau disuruh sesuatu berkata, "Tidak mau." Di saat itulah waktunya kita memberikan disiplin yang tegas. Kalau masih bisa dijelaskan dan masih bisa dibujuk dengan kata-kata maka silakan, tapi kalau tidak mau dan tidak mau lagi maka silakan menghukum. Jadi jangan menghukum anak dengan kesalahan yang wajar dilakukan anak seusianya seperti menumpahkan air dan sebagainya tapi hukumlah anak waktu dia membangkang saja.

GS : Atau mengembalikan mainan itu tidak sempurna karena kebiasaan anak adalah mencampur semua mainan. Dan ini yang seringkali menjengkelkan pihak ayah kalau anaknya meminjam barang-barang ayah dan kemudian tidak dikembalikan ditempatnya misalkan alat tulis dan sebagainya dan hal ini sangat menjengkelkan.

PG : Maka kita sebagai orang tua, kita harus menyadari bahwa anak akan senang bermain dengan barang-barang kita, barang-barang yang tidak kita inginkan dimainkan olehnya sebaiknya kita simpan di lemari terkunci, sehingga dia tidak bisa memainkannya. Jadi daripada kita setiap hari pulang dan jengkel maka lebih baik simpanlah agar dia tidak bisa memainkan. Jadi biarkan dia memainkan barang-barang kita yang memang kita perbolehkan untuk dimainkan olehnya.

GS : Tapi menjadi pertengkaran suami istri ketika istri kita yang memberikan barang itu untuk anaknya dengan alasan, "Tadi dia meminta," jadi kemudian diberikan. Akhirnya konfliknya ini antara orang tua.

PG : Maka pasangan kita yang harus diberitahu, "Jangan barang ini karena barang ini saya perlukan dan tolong barang ini ditaruh disini saja dan jangan dikeluarkan."

GS : Hal lain apa yang sering menimbulkan konflik?

PG : Ini yang seringkali menjadi masalah khususnya kita di sini ialah siapa yang harus membimbing pelajaran si anak? Karena anak tidak hanya belajar di sekolah tapi juga belajar di rumah. Misalnya lagi dimana anak kita bersekolah? Ada yang setuju agar anaknya sekolah di sekolah yang susah, tapi ada yang mau agar anaknya sekolah di sekolah yang biasa-biasa saja. Apakah perlu mengundang guru les? Ada orang tua yang berkata, "Tidak perlu karena saya yang mengajari," tapi setiap malam berteriak-teriak memarahi si anak. Atau perlukah menyediakan les tambahan seperti les musik, olahraga? Ada yang berkata, "Tidak perlu, belajar saja sudah cukup," tapi ada yang berkata, "Tidak apa-apa karena ini akan menambah variasi kegiatannya." Ini adalah bahan-bahan yang seringkali menimbulkan pertengkaran. Saya menyarankan pertama-tama kita harus mengenal anak dengan baik agar dapat mengenal kekuatan dan kelemahannya, jadi ada dua hal yang senantiasa diseimbangkan. Yang pertama kita mesti seyogianya menempatkan anak di sekolah yang memang menantang agar potensinya dapat tergali, namun selayaknya kita menempatkan anak di sekolah di mana dia dapat berkembang agar dia dapat menumbuhkan keyakinan dirinya. Jadi mengembangkan kemampuan dan memperkuat keyakinan diri, hal ini adalah 2 hal yang mesti kita seimbangkan. Kadang kita terlalu menekankan menggali kemampuan, kita lupa kalau nanti dia tidak berhasil dan dia paling rendah di kelasnya, hal itu akan meruntuhkan keyakinan dirinya. Tapi sebaliknya kalau kita menyekolahkan dia di sekolah yang terlalu gampang, keyakinan dirinya memang bertambah tapi kemampuannya tidak tergali dan ini adalah dua hal yang selalu harus diseimbangkan.

GS : Bagaimana dengan pelajaran tambahan, Pak Paul?

PG : Sudah tentu boleh diberikan namun ingat jika pelajaran tambahan pada akhirnya menjadi sangat mirip dengan sekolah karena banyaknya pelajaran yang harus dipelajari dan lamanya juga hampir sama seperti sekolah, itu berarti anak menanggung beban yang terlalu berat. Dalam kasus seperti itu sebaiknyalah kita memertimbangkan ulang sekolah yang lebih sesuai dengan kemampuannya dan jangan memberi beban yang terlalu berat sehingga untuk dia harus memenuhinya dia merasa kewalahan dan ini benar-benar tidak sehat buat perkembangan jiwanya.

GS : Biasanya pihak ayah menyarankan agar disekolahkan di sekolah yang bagus dan mendapat les tambahan, tapi untuk lebih tepat melihat masalah ini sebenarnya dari pihak ibu yang mendampingi terus menerus.

PG : Memang adakalanya ayah yang menuntut terlalu tinggi, tapi saya juga melihat ada kasus di mana yang menuntut terlalu tinggi adalah ibu. Di sini perlu untuk melihat anak secara realistis terutama dampaknya pada anak, kalau anak misalkan malam-malam dia ketakutan dan dia menangis berarti beban anak ini sudah terlalu berat. Jadi kita juga harus berhati-hati dan jangan terlalu memberikan kepada dia beban yang seberat itu.

GS : Kalau kita memberikan bimbingan sendiri, itu berarti kita tidak memberikan bimbingan tambahan dari orang lain, Pak Paul?

PG : Sudah tentu dalam hal ini kita harus melihat kesanggupan kita dan ketersediaan waktu kita, meskipun kita menguasai bidang pelajarannya namun kita harus mengakui kalau tidak ada waktu yang tersedia maka sebaiknya jangan. Atau walau kita sanggup namun bila bimbingan belajar berubah menjadi ajang kemarahan maka sebaiknyalah jangan kita yang mengajar anak dan berikanlah tugas itu kepada yang lain untuk mengajar anak.

GS : Biasanya untuk menghemat kemudian kita mengurus sendiri, kita pulang kerja merasa lelah kemudian harus mengajari anak belajar dan kemudian anak tidak tanggap, hal itu seringkali menimbulkan kemarahan dan kemudian ditanggapi oleh pasangan kita secara negatif.

PG : Betul sekali. Maka kita harus mencoba melihat masalah dengan lebih utuh dan jangan kita hanya menyoroti satu aspek. Tapi kita harus melihat dampaknya pada relasi kita dengan anak, pada relasi kita dengan satu sama lain, pada suasana rumah, itu semua harus dipertimbangkan jangan sampai karena satu hal yaitu bimbingan belajar anak, akhirnya semua hal lain dikorbankan.

GS : Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah. Jadi misalkan olahraga atau belajar musik dan sebagainya, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Sudah tentu kita harus melihat minat dan bakat anak setelah mencoba les dan bukan sebelumnya, artinya kita tidak akan tahu sampai anak mencobanya. Jadi saya mengusulkan biarkan anak mencobanya, kalau tidak ada kemajuan barulah kita hentikan, pada prinsipnya kegiatan seni dan olahraga adalah baik untuk pertumbuhan jiwa anak, selain menumbuhkan kreativitas, kegiatan ini juga bisa menjadi sarana pelepas ketegangannya.

GS : Hal ini menunggu anak meminta atau kita yang berinisiatif, Pak Paul?

PG : Dua-duanya. Jadi adakalanya anak yang meminta kemudian kita pertimbangkan atau adakalanya kita yang berinisiatif. Kalau anak selama 3 atau 4 bulan sekali meminta hal yang baru maka hal itu yang harus kita hentikan, jadi setiap kita meminta dia memulai sesuatu yang baru, kita meminta dia untuk berjanji setidaknya menyelesaikan hal ini misalkan 6 bulan. Kalau 6 bulan kita mengevaluasi ulang dan memang tidak ada kemajuan maka lebih baik kita berkata, "Kalau kamu tidak mau maka tidak mengapa dan saya menerima." Atau misalkan baik itu olahraga atau musik dan dia merasa bahwa dia tidak cocok, maka tetap selama 6 bulan dia harus selesaikan. Dengan cara itu anak dilatih untuk tidak mudah bosan.

GS : Namun hal itu pun juga harus tetap dibicarakan dengan pasangan kita, Pak Paul, karena ini menyangkut biaya dan tenaga dia untuk mengantar jemput dan sebagainya?

PG : Betul. Jadi kelau memang tidak ada biaya dan tidak ada ketersediaan waktu, maka mungkin hal ini harus ditunda dulu.

GS : Pak Paul, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul berikan setelah perbincangan ini?

PG : Di Yesaya 42:3 Firman Tuhan berkata, "Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya," artinya Tuhan bersabar membesarkan kita, mendidik kita dan mengarahkan kita dan Tuhan pun tidak mudah putusasa karena Ia tahu bahwa perubahan menuntut waktu, demikianlah dengan membesarkan anak. Kadang perselisihan timbul karena kita menginginkan perubahan pada anak yang seketika dan kita mesti bersabar sebagaimana Tuhan telah bersabar dengan kita maka kita pun bersabar kepada anak sebab dia membutuhkan waktu untuk berubah.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Konflik Akibat Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



78. Hilangnya Respek


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T298A (File MP3 T298A)


Abstrak:

Salah satu tonggak dalam pernikahan adalah respek. Tanpa respek mustahil kita dapat mengasihi dan memercayai pasangan. Respek bukan saja perlu dibangun, respek pun perlu dipertahankan agar tidak luntur. Masalahnya adalah, kadang respek hilang sehingga timbullah problem dalam pernikahan. Mengapa respek dapat hilang? Apakah kita bisa memertahankan atau membangun respek itu? Bagaimana caranya?


Ringkasan:

Salah satu tonggak dalam pernikahan adalah respek. Tanpa respek mustahil kita dapat mengasihi dan memercayai pasangan. Respek bukan saja perlu dibangun, respek pun perlu dipertahankan agar tidak luntur. Masalahnya adalah, kadang respek hilang sehingga timbullah problem dalam pernikahan. Mengapa respek bisa hilang? Berikut akan dipaparkan penyebab dan proses terjadinya penurunan respek dalam relasi nikah.

Apakah yang dapat kita perbuat untuk memertahankan dan membangun respek dalam pernikahan? Berikut adalah beberapa masukan untuk memelihara respek dalam pernikahan.

  1. Membangun respek :
    • Respek dibangun di atas perkataan yang benar di hadapan Tuhan dan manusia, jadi berkatalah benar seorang kepada yang lain. Firman Tuhan di Efesus 4:25 menasihati kita, "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota." Tidak ada yang lebih cepat menghancurkan respek daripada dusta. Sewaktu kita melihat pasangan berbohong, bukan saja kepercayaan menurun, respek pun langsung merosot.
    • Respek dibangun di atas hidup yang bertanggung jawab, jadi pertahankanlah hidup yang bertanggung jawab. Firman Tuhan di 1 Tesalonika 4:11-12 mengajarkan, "Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak lagi bergantung pada mereka." Kata, "sopan" di sini juga bermakna respek, jadi artinya kita mesti hidup dengan bertanggung jawab agar dapat menerima respek dari orang. Setidaknya ada dua hal yang disebut Paulus di sini: hidup tenang memfokuskan pada persoalan sendiri dan bekerja. Orang yang repot mengurusi masalah orang lain dengan cepat akan kehilangan respek. Kita harus mengenal dan menghormati batas sehingga tidak seenaknya masuk wilayah pribadi orang. Inilah sikap yang mengundang respek.
  2. Paulus memesan jemaat Tesalonika untuk bekerja.
    Dengan kata lain hiduplah rajin dan cukupkanlah kebutuhan sendiri. Jangan sampai kita menjadi benalu yang bergantung pada orang untuk memenuhi kebutuhan kita. Bila kita malas dan bergantung pada orang untuk bekerja buat kita, respek orang kepada kita pastilah luntur.

Sebagai pasangan Kristen, kita pun harus mengembangkan sikap yang sama. Betapa seringnya respek pasangan terhadap kita hilang akibat kecerobohan kita masuk ke wilayah pribadi orang tanpa diundang. Mungkin kita cepat dibuat marah oleh perbuatan mertua atau adik ipar, kemudian memutuskan untuk mendampratnya. Nah, tindakan seperti inilah yang akan menguras respek pasangan. Atau, kita terlalu bergantung pada pasangan untuk mengerjakan banyak hal untuk kita. Tidak bisa tidak, pasangan akan dibuat repot oleh kita dan inilah yang akhirnya membuatnya kehilangan respek pada kita. Jadi, untuk mendapatkan respek, kita harus menjaga batas dan tidak sembarangan masuk ke wilayah orang seenaknya dan kita mesti berusaha memenuhi kebutuhan sendiri.


Transkrip:

"Hilangnya Respek" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hilangnya Respek". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Dalam sebuah pernikahan Pak Paul, tentu respek sangat dibutuhkan. Tapi kadang-kadang kita melihat faktanya bahwa ada istri yang tidak menghormati suami atau sebaliknya suami tidak lagi menghormati istrinya. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Pak Gunawan, respek itu memang sangat penting. Saya masih ingat perkataan Dr. James Dobson yang berkata, "Memang ada banyak faktor yang akhirnya menggerogoti relasi suami istri" namun diaberkata, "Apapun masalahnya biasanya diawali oleh hilangnya respek terhadap satu sama lain."

Saya setuju dengan pengamatan beliau dan saya melihat respek merupakan salah satu dari tiga tonggak pernikahan yaitu percaya, cinta kasih dan respek. Ketiganya itu harus ada di dalam pernikahan, tanpa percaya tidak mungkin kita menikah dengan orang yang di samping kita dan jika tidak ada rasa kasih maka tidak mungkin kita bisa bersamanya, tapi kalau tidak ada respek maka mustahil juga untuk kita hidup bersamanya.
GS : Tapi biasanya hilangnya atau lunturnya respek, itu tidak terjadi pada awal-awal pernikahan, Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi biasanya pada awal relasi, respek itu masih ada sebab kalau tidak ada respek dari awalnya maka tidak mungkin mereka akan menikah. Jadi pertanyaannya adalah apakah ang terjadi? Prosesnya seperti apa sehingga respek itu hilang? Saya melihat seperti ini, Pak Gunawan, pada awalnya sewaktu kita baru berkenalan, baru menjalin relasi dan akhirnya kita mencoba memertahankannya di dalam masa-masa berpacaran, kita berusaha keras untuk menampilkan diri kita yang terbaik.

Coba sekarang kita tidak berpikir negatif tentang perkataan ini, sebab saya bermaksud untuk mengungkapkannya sebagai sesuatu yang wajar. Waktu kita mengenal seseorang maka kita akan berusaha keras untuk menampilkan sisi baik dalam diri kita, bukan untuk membohongi dia supaya bisa memanfaatkan dia atau menipunya. Tidak seperti itu, karena secara alamiah kita memang ingin menampilkan sisi yang baik itu supaya dia menyenanginya dan memunyai kesan yang positif tentang diri kita dan mudah-mudahan dia akhirnya akan menyukai kita. Ini adalah sesuatu yang wajar dan inilah yang menjadi dasar suatu relasi. Ketika kita menjalani masa berpacaran mungkin saja ada sedikit masalah, tapi tetap kita berusaha untuk menampilkan sisi yang baik, misalnya kita ini bertengkar maka kita cepat-cepat minta maaf dan kita tidak mau kalau nanti hubungan kita retak sehingga kita segera berkata, "Maaf tadi saya salah seperti ini dan begitu," jadi kita terus berusaha. Dalam pernikahan pada umumnya, setelah kita menikah biasanya mulai muncul masalah-masalah dan di saat itulah diri kita tidak lagi sekuat dulu untuk menampilkan sisi yang baik dan kita menjadi lebih santai dan kita tahu kalau kita diterima apa adanya, kita boleh menjadi diri kita yang sesungguhnya, mengungkapkan perasaan kita apa adanya. Jadi mulai keluarlah bagian-bagian dalam diri kita yang tak terlihat sebelumnya yaitu bagian-bagian yang mungkin sekali susah diterima oleh pasangan kita. Waktu kita melihat ada bagian-bagian seperti ini, itu yang nanti akan membuatnya mulai hilang respek terhadap kita.
GS : Bagaimana kalau pernikahan itu sejak awalnya sudah bermasalah, misalnya saja dijodohkan atau kehamilan sebelum pernikahan. Apakah itu juga meruntuhkan respek sejak awal, Pak Paul?

PG : Biasanya ya. Jadi pada waktu masa-masa berpacaran sudah ada hal-hal yang mengerosi respek itu, biasanya relasi itu kalau pun tetap berjalan, tapi berjalan dengan pincang. Misalnya, tadi Pa Gunawan mengangkat kasus di mana seseorang hamil sebelum menikah, biasanya meskipun keduanya berkata, "Memang kami saling mencintai, kami mau tetap menikah."

Tapi umumnya pada saat itu respek sudah mulai luntur, misalnya yang wanita merasa, "Kenapa kamu tega membuat saya akhirnya hamil" hilanglah sedikit banyak respek. Dan yang pria berkata, "Kenapa kamu itu mau dan kamu begitu gampang." Mulailah sedikit banyak hilangnya respek. Jadi seringkali kita melakukan hal-hal yang memang melunturkan integritas kita sejak awal, maka relasi itu sebetulnya kehilangan respek. Tapi mengapa pada masa awal tidak sampai kehilangan respek yang menciptakan masalah besar, karena sekali lagi relasi itu masih dalam tahap awal sehingga masih bisa kita melihat yang positif-positifnya, masih bisa berharap dan akhirnya kita berkata, "Tidak mengapa diteruskan saja siapa tahu nanti membaik."
GS : Tetapi kalau masalah-masalah itu tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Apa dampak selanjutnya?

PG : Biasanya masalah yang tidak terselesaikan akan terus mengikuti kita masuk ke dalam pernikahan. Kalau tidak terselesaikan, maka kita frustrasi, marah dan akhirnya sisi buruk kita makin harimakin nampak, dulu kita lebih sabar dan sekarang semakin tidak sabar, dulu lebih lembut tapi sekarang kasar.

Dulu kalau bicara dengan sangat hati-hati tapi sekarang semaunya saja. Jadi akhirnya waktu kondisi frustrasi dan kita tidak suka dengan apa yang kita lihat, kita tidak suka dengan kwalitas pernikahan kita, tidak suka hidup dengan pasangan kita maka frustrasi yang meninggi itu makin melemahkan kita sehingga keinginan menampilkan diri atau sisi yang baik menjadi makin hari makin berkurang. Akhirnya kalau dua-dua tidak menjaga diri, dua-dua lebih sering memunculkan sisi-sisi yang buruk itu dan makin yang satu melihat betapa buruknya pasangannya maka semakin frustrasi, makin hilangnya rasa hormat dan lingkaran itu semakin mendalam.
GS : Jadi alasan berikutnya kenapa respek itu bisa hilang apa, Pak Paul?

PG : Jadi biasanya, pada akhirnya kita terus melihat masalah-masalah yang memang tidak terselesaikan. Akhirnya kita menyerah dan semakin hari kita semakin kesulitan untuk melihat atau menerima asangan kita.

Pada umumnya pada titik ini kita mulai menghitung-hitung, "Dia ada baiknya, dia ada buruknya, dia ada kurangnya di sini dan dia ada baiknya di situ." Kalau pertimbangan kita bahwa dia masih banyak baiknya, maka kita mau menerima sisi buruknya dan kita akan jadikan itu bagian dari kehidupan kita bersama dengan pasangan. Sudah tentu kalau yang ditemukan lebih banyak buruknya dan yang baiknya sedikit maka sudah tentu nanti dia akan susah menerima sisi buruknya itu, dan pada akhirnya respek mulai merosot dan merosot. Sebab kita melihat kalau orang ini banyak buruknya dari pada baiknya.
GS : Tapi kalau kita melakukan pertimbangan secara hitung-hitungan seperti itu maka hal itu sangat labil sekali. Artinya kalau ada sesuatu yang kecil saja yang mengganggu keseimbangan itu maka respek itu akan hilang dengan sangat mudah.

PG : Betul. Kalau kita melihat pasangan kita itu lebih banyak buruknya dari pada baiknya atau hampir seimbang, memang betul sekali kalau ada satu masalah terjadi maka cukup membuat relasi itu trjungkal.

Tapi kalau kita temukan begitu banyak sisi baiknya, maka kita mengabaikan sisi-sisi buruknya. Kalau pun muncul sisi buruk itu maka kita masih bisa memertahankan respek itu. Dengan kata lain Pak Gunawan, memang dalam sebuah relasi tidak bisa tidak, kedua pasangan suami istri itu harus melewati sebuah fase dimana pada akhirnya respek pun bertumbuh menjadi lebih realistik dan matang. Kalau di awal respek itu berdasarkan pada betapa indahnya pasangan saya, betapa baiknya, betapa luar biasanya pasangan saya karena memang yang dilihatnya adalah sisi-sisi yang baik yang coba dimunculkan oleh pasangan maka respek di situ memang belum memunyai fondasi yang kuat dan belum didasari atas realitas sehingga untuk memiliki fondasi yang kuat memang harus melewati fase itu yaitu gempuran-gempuran realitas, problem dan sebagainya, sampai keduanya menemukan bahwa inilah sisi yang kurang baik di dalam dirimu, tapi begitu banyak hal-hal yang baik dalam dirimu. Di saat itu respek yang tersisa menjadi respek yang sesungguhnya, tapi kalau kebalikannya yang terjadi yaitu jauh lebih banyak sisi buruknya sehingga sisi yang baik juga sedikit, respek itu merosot tinggal sedikit, tapi sebetulnya itulah respek yang tersisa yang sesungguhnya dan yang nanti akan menentukan kwalitas relasi pernikahan kita.
GS : Pak Paul, apakah ada tanda-tanda yang cukup jelas yang bisa kita ketahui tatkala pasangan kita mulai kehilangan respeknya kepada kita?

PG : Biasanya cara mengungkapkan kemarahan itu memerlihatkan apakah respeknya masih ada atau tidak. Kalau kita masih respek kepada pasangan, kendati marah kita berusaha mengerem atau mengekang ehingga kita tidak seenaknya memarahi pasangan kita.

Kalau pun sampai kita lepas kendali, marah dan sebagainya, dengan cepat kita berusaha untuk meminta maaf karena kita tidak mau kehilangan relasi ini dan kita cepat-cepat untuk berdamai. Jadi pada umumnya ujian untuk melihat berapa rendah atau tingginya respek adalah pada waktu kita marah.
GS : Tetapi ada perbedaan yang sangat tipis Pak Paul, antara orang respek dan orang takut kepada kita dan ini termasuk kepada pasangan, Pak Paul.

PG : Dan membedakannya sebetulnya cukup mudah, yaitu kalau takut maka kita tidak akan berani bicara, tidak berani mengutarakan isi hati kita, kita cenderung berkata-kata secara umum atau menghidar atau menyangkal dan itu adalah ciri-ciri kita takut kepada pasangan.

Tapi kalau kita respek maka kita akan berani mengungkapkan isi hati apa adanya namun dilakukan dengan santun atau relatif lembut.
GS : Pak Paul, tentunya di dalam hubungan pernikahan baik suami maupun istri akan berusaha membangun respek dan tidak mau kehilangan respek ini karena bisa mengancam kehidupan rumah tangga mereka. Langkah-langkah konkret apa yang perlu dilakukan oleh pasangan suami-istri, Pak Paul?

PG : Sebetulnya hanya satu saja yang bisa saya katakan tapi nanti akan saya uraikan yaitu kita harus hidup berintegritas atau kita harus hidup benar di hadapan Tuhan dan manusia. Coba saya jelakan sekurang-kurangnya dalam dua aspek kali ini dan memang sebetulnya ada banyak aspek dari berintegritas ini.

Yang pertama adalah respek itu dibangun di atas perkataan yang benar, di hadapan Tuhan dan manusia. Jadi berkatalah benar seorang akan yang lain dan firman Tuhan di Efesus 4:25 menasehati kita, "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Ini penting sekali, dan saya kira tidak ada yang lebih cepat menghancurkan respek dari pada dusta. Sewaktu kita melihat pasangan berbohong bukan saja rasa percaya yang menurun dan seringkali berkata, "Sekarang saya tidak bisa lagi percaya kepadanya, sebab dia telah berbohong," dan respek pun langsung merosot. Jadi bisa kita simpulkan bahwa ada sesuatu yang begitu rendah, begitu hina tentang berdusta sehingga siapa pun yang berdusta pastilah akan kehilangan respek. Jadi kadang-kadang yang menarik adalah kita itu cenderung masih bisa respek kepada orang yang melakukan kesalahan-kesalahan yang lain dibanding kesalahan berdusta. Jadi waktu orang berdusta benar-benar orang itu kehilangan harga diri. Kita susah sekali menghormati orang yang berdusta, yang telah membohongi kita, kesalahan-kesalahan lain mungkin menyakiti hati dan sebagainya, tapi kita masih bisa melihat orang itu dengan pandangan, "Baiklah saya masih bisa menghormati kamu dan sebagainya." Tapi begitu orang berdusta akan susah sekali untuk kita kembali menghargai dia.
GS : Bagaimana kalau dusta itu dipakai semacam pembalasan, bahwa dia pernah didustai oleh pasangannya, Pak Paul.

PG : Kalau kita sampai pernah berbohong atau berdusta dan kita belum pernah mengakuinya maka kita harus mengakuinya dengan hati besar dan berkata, "Saya salah dan saya pun pernah melakukan hal ang sama."

Tapi kalau kita sudah akui dan itu terus digunakan untuk menyerang kita, berarti masalahnya belum selesai dan dia masih menyimpan kemarahan-kemarahan. Itulah saatnya kita harus berbicara dengan terbuka, sehingga kita dapat saling mengampuni dengan lebih tuntas.
GS : Ada juga orang yang berdalih bahwa kebohongan ini sebetulnya beralasan untuk kebaikan rumah tangga ini, Pak Paul. Sehingga salah satu dari pasangan ini melakukan dusta. Dan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kalau itu untuk kebaikan walaupun kita disakiti maka kita masih bisa menerima motivasi itu dan itu akan mengurangi sedikit banyak pukulan yang harus kita alami. Tapi kalau kitamelihat sebetulnya dia berdusta untuk menutupi perbuatannya, maka akan susah sekali kita terima.

Dusta itu sangat merendahkan diri sendiri. Maka firman Tuhan juga dengan jelas meminta kita untuk membuang dusta, bukan hanya kita tidak berdusta tapi kita memang membuangnya sejauh mungkin sehingga perkataan kita menjadi lambang kebenaran.
GS : Apa pun bentuk dusta sebenarnya harus kita akui dan kita harus minta maaf kepada pasangan kita supaya respek itu bisa terjaga, Pak Paul.

PG : Betul. Dari pada tertangkap basah kalau kita telah berdusta, lebih baik kita akui apa adanya dan kita tanggung resikonya sebab sekali lagi itu tetap lebih baik meskipun dia marah dan tidaksuka, tapi tetap kenyataan kalau kita mengakuinya, hal itu menyelamatkan respek.

Tapi kalau tidak dan akhirnya diketahui oleh pasangan kita maka respek pasangan kepada kita akan merosot, dia akan mudah sekali memandang kita dengan pandangan penuh penghinaan dan dalam hal ini selayaknya kita menerima pandangan yang penuh penghinaan itu.
GS : Tapi memang dituntut juga dari pihak pasangan dimana kita meminta maaf dan pasangan bisa memberikan maaf yang tulus juga Pak Paul, kalau tidak maka masalah ini tidak akan selesai-selesai.

PG : Sudah tentu kita harus menerima fakta bahwa karena kita telah melukai pasangan kita, maka akan perlu waktu untuk pasangan itu sungguh-sungguh bisa menghilangkan kemarahannya dan menerima kta apa adanya.

Jadi kita juga harus bersabar.
GS : Alasan yang lain apa, Pak Paul?

PG : Alasan yang lain yang membuat respek itu hilang adalah respek itu dibangun di atas hidup yang bertanggung-jawab. Jadi pertahankanlah hidup yang bertanggung-jawab. Kalau kita mau hidup tida bertanggung-jawab maka kita harus membayar konsekuensinya dan konsekuensinya adalah kita akan kehilangan respek dari pasangan.

Firman Tuhan di 1 Tesalonika 4:11-12 mengajarkan, "Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka." Kata sopan di sini juga bermakna respek, Pak Gunawan. Jadi artinya kita harus hidup dengan bertanggung-jawab agar dapat menerima respek dari orang. Setidaknya ada dua hal yang disebut oleh Rasul Paulus di sini, hidup tenang memfokuskan pada persoalan sendiri dan yang kedua adalah bekerja. Orang yang repot mengurusi masalah orang lain dengan cepat akan kehilangan respek maka kita harus mengenal batas, menghormati batas sehingga kita tidak seenaknya masuk ke wilayah pribadi orang. Inilah sikap yang mengundang respek.
GS : Maksudnya kita tidak boleh mengurusi persoalan orang lain yang bisa menghilangkan respek, contohnya seperti apa?

PG : Misalnya urusan dengan mertua, dan kita tidak suka dengan yang mertua lakukan. Tapi ini adalah kehidupan mertua kita, kita boleh berbicara kepada pasangan kita, "Kenapa Papa dan Mama seperi ini hidupnya, saya kecewa dan sebagainya."

Namun kita harus berhati-hati dan jangan seenaknya berkata, "Papa dan Mama kenapa hidupnya seperti ini, saya akan menegurnya dan memberi tahu untuk tidak melakukan ini dan itu." Perlu kita sadari bahwa memang ada waktunya kita menegur orang, tapi ada waktunya kita menahan diri menegur orang karena kita harus melihat caranya, kita harus melihat apakah tepat kepada orang itu kita sampaikan." Jadi ada banyak pertimbangan lain, makanya rasul Paulus meminta jangan sampai menjadi orang yang dalam bahasa Inggrisnya "busy body" mengurusi orang kanan kiri, membicarakan orang kanan kiri, masuk ke masalah orang kanan kiri. Orang yang seperti itu akan kehilangan respek. Misalnya dalam contoh tadi kita langsung melabrak mertua kita, menegur mertua kita maka mereka akan marah dan berkata, "Kamu ini tidak menghormati saya," dan pasangan berkata, "Kamu tahu kalau ini adalah orang tua saya jadi tolong jangan berbuat seperti itu. Kenapa kamu tidak bisa berdiam diri karena ini adalah urusan mereka." Penting untuk kita menjaga batas, jangan seenaknya melabrak sana-sini merasa punya hak mengurus semua orang lain yang punya masalah.
GS : Tapi yang diurusi tadi masih bisa dikatakan ada ikatan kekeluargaan, bagaimana kalau orang itu tidak ada ikatan kekeluargaan dengan kita?

PG : Kalau dengan orang yang memiliki ikatan kekeluargaan kita harus berhati-hati apalagi dengan orang yang tidak punya ikatan kekeluargaan sama sekali, maka kita harus lebih berhati-hati. Kadag-kadang kita harus menyeimbangkan antara menjadi teman yang baik, yang berani menegur dan menjadi orang yang bijaksana.

Kalau dia teman kita dan kita dekat dengan dia, dia percaya kepada kita maka kita harus bertanggung-jawab, kita harus memikul tanggung-jawab itu artinya kita memerlukan waktu untuk berbicara dengan teman kita, untuk memberitahu kepadanya bahwa jalannya salah dan sebagainya. Tapi misalkan orang ini adalah orang yang bukan kita kenal sama sekali, dia rekan kerja sekantor, jarang ketemu dan tidak ada kedekatan dengan kita, maka jangan sampai belum apa-apa kita masuk ke wilayahnya, tapi bangunlah dulu pertemanan sehingga dikenal baik oleh dia dan akhirnya dia percaya kepada kita dan kemudian kita bisa bicara tentang apa yang kita pikirkan.
GS : Bagaimana dengan bekerja yang tadi telah Pak Paul singgung?

PG : Paulus memesan kepada jemaat di Tesalonika untuk bekerja. Dengan kata lain, kita harus hidup rajin dan mencukupi kebutuhan sendiri dan jangan sampai kita menjadi benalu yang bergantung kepda orang untuk memenuhi kebutuhan kita.

Bila kita malas dan bergantung kepada orang untuk bekerja buat kita pasti respek kita kepada orang itu luntur. Dalam pernikahan juga sama, adakalanya kita bergantung pada pasangan, terlalu banyak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita yang sebetulnya kita bisa mencoba kerjakan, kita menyuruhnya seperti ini untuk memenuhi kebutuhan kita, minta dicukupkan ini dan sebagainya. Akhirnya tidak bisa tidak, pasangan dibuat repot dan inilah yang akhirnya membuat kita susah untuk respek kembali kepadanya. Jadi benar-benar di dalam pernikahan kita juga harus berusaha untuk mengerjakan. Untuk bekerja dengan tangan artinya mengerjakan yang bisa kita kerjakan, sehingga itu nanti akan mengundang respek dari pasangan.
GS : Kalau pasangan itu sudah berusaha dengan sungguh-sungguh mencari pekerjaan dan mau bekerja tapi belum mendapatkan pekerjaan maka sebenarnya respek itu tidak mengganggu di dalam hubungan itu, Pak Paul?

PG : Seharusnya meskipun ada saat-saat kita terpengaruh sebab kita sebagai manusia mengharapkan pasangan kita sudah mendapatkan pekerjaan. Tapi misalkan dia belum mendapatkan maka bisa juga kit menjadi kecewa, namun ketika kita kecewa maka kita harus mengingatkan diri kita bahwa dia telah berusaha.

Kalau dia tidak berusaha maka bolehlah kita kehilangan respek kepadanya. Tapi selama dia berusaha, maka kita harus menyoroti itu dan kita berikan dia dorongan dan pujian bahwa dia tetap berusaha, dia tidak menyerah sehingga dia terus maju dan berusaha dan tidak menyerah.
GS : Dan bagaimana halnya kalau yang perempuan, istri atau ibu?

PG : Maksudnya ini suami kepada istri?

GS : Ya.

PG : Kalau kita kepada istri, kita melihat misalnya istri kita itu terlalu bergantung dalam urusan anak dan urusan lain di dalam rumah tangga dan tidak mau menyelesaikannya sendiri, maka sudah entu lama kelamaan sulit bagi kita respek kepada dia sebab sekali lagi respek itu muncul dari pemandangan bahwa pasangan kita itu berusaha mengurus, menyelesaikan masalahnya dan sebagainya dan waktu kita melihat kalau sedikit-sedikit meminta kepada kita dan bergantung kepada kita maka lama-lama respek itu akan merosot.

Jadi kita harus memberitahukan, kita bisa minta tolong dia, "Bisa tidak kalau kamu kerjakan dulu" atau kita memberikan dia dorongan untuk dia menyelesaikan, kalau tidak selesai maka kita beritahukan kalau nanti kita yang menyelesaikan.
GS : Tapi respek kita satu dengan yang lain di dalam pasangan hidup, tidak selamanya bisa naik. Jika misalnya dibuatkan sebuah grafik, hal itu akan menjadi grafik yang naik turun. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira itu betul, Pak Gunawan. Memang bergantung pada kestabilan relasi, kondisi relasi yang ada memang akan turun naik tapi seharusnya dalam relasi, meskipun akan turun naik namun kecederungannya perlahan-lahan akan terus naik.

Meskipun dalam grafik itu akan terus naik turun, tapi makin hari akan terus naik ke atas. Kalau makin lama kita menikah, kecenderungannya turun naik namun turun naiknya itu sebetulnya dalam perjalanan menuju ke lembah turun ke bawah, berarti apa yang kita harapkan dari pasangan kita tidak kita dapatkan, mungkin itu yang harus kita kemukakan kepada dia dan mungkin ini di luar dari dua hal dari yang kita sebut tadi yaitu berkata benar dan bertanggung-jawab. Mungkin ada hal-hal lain dan harus kita bereskan dulu supaya nanti kecenderungan respek itu bisa kembali naik.
GS : Jadi sebetulnya pasangan suami istri itu harus selalu memeriksa apakah respek antara keduanya masih terjaga dengan baik atau dalam perjalanan turun sebelum sampai ke dasar.

PG : Betul sekali. Memang belum terlalu susah untuk melihat hal ini, karena sebagaimana tadi saya sudah uraikan, respek, kasih dan percaya, itu ketiganya manunggal dan harus ada. Jadi waktu kit merasa kurang mengasihi dia, bisa jadi sumbernya mula-mula dari respek yang mulai hilang.

Sekali lagi itu suatu pertanda juga bahwa kita harus mencari tahu kenapa respek saya turun kepadanya. Dan kemudian itu yang kita coba bicarakan kepada pasangan kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hilangnya Respek". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



79. Hormat pada Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T299A (File MP3 T299A)


Abstrak:

Salah satu ejekan yang ditakuti kaum suami adalah bahwa mereka takut istri. Pertanyaannya adalah, apakah boleh suami takut kepada istri? Dan jika boleh, sejauh manakah suami dibolehkan takut istri? Jika tidak, seharusnya bagaimana? Apa kata firman Tuhan tentang 'hormat pada istri'?


Ringkasan:

Salah satu ejekan yang ditakuti kaum suami adalah bahwa mereka takut istri. Pertanyaannya adalah, apakah boleh suami takut kepada istri dan jika boleh, sejauh manakah suami dibolehkan takut istri. Jika tidak, pertanyaannya adalah, mengapakah tidak seharusnya suami takut kepada istri. Berikut akan dipaparkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini.


Transkrip:

"Hormat pada Istri" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hormat pada Istri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kalau kepada suami diminta untuk menghormati istrinya, maka ada banyak suami yang menafsirkannya bahwa hormat itu adalah tunduk atau takut kepada istrinya. Jadi para suami sedikit enggan melakukan itu, dan itu bagaimana Pak Paul?

PG : Ini adalah salah satu ketakutan suami bahwa nanti orang akan mengenalnya sebagai seorang pria yang takut istri. Memang kita harus mengakui bahwa di lingkungan pria, seringkali hal ini menjdi bahan olokan kalau ada suami yang berkata, "Saya harus pulang dulu karena istri saya menelepon dan bertanya kenapa tidak pulang untuk makan di rumah."

Waktu dia berkata kepada teman-temannya, "Saya harus pulang dulu karena istri saya meminta saya pulang." Seringkali teman-temannya mengolok, "Kamu ini suami tapi kenapa takut kepada istri?" Jadi ada kerancuan, kadang-kadang kita sebagai orang Kristen akhirnya bingung apa yang harus kita lakukan. Ada sebagian suami yang berkata, "Baiklah kalau begitu, supaya saya tidak disangka takut kepada istri maka saya tidak akan mendengarkan perkataan istri saya, istri saya harus mengikuti saya sepenuhnya. Kalau saya disuruh pulang dan saya belum mau pulang maka saya akan berkata, 'Saya tidak mau pulang', kalau saya disuruh mengerjakan sesuatu dan saya tidak mau mengerjakannya maka saya akan berkata, 'Saya tidak mau mengerjakannya'. Dengan cara itulah saya akan menjadi pemimpin di dalam keluarga." Saya kira hal-hal seperti inilah yang telah merancukan konsep kita menjadi seorang suami yang Tuhan kehendaki. Jadi akhirnya karena kita itu rancu maka kita gagal hidup seperti yang Tuhan kehendaki dan seringkali kita justru menabur benih-benih bencana di dalam rumah tangga kita.
GS : Tetapi di dalam unsur hormat, pasti ada unsur takutnya juga. Tidak bisa disangkali, bagaimana kita punya rasa hormat kalau kita tidak punya rasa takut.

PG : Betul. Sehingga ketika kita menghormati orang, akan ada sedikit rasa takut, namun sudah tentu di dalam hubungan suami dan istri yang nantinya diinginkan Tuhan bukanlah suatu kondisi atau satu perasaan ketakutan.

Tapi memang kita menghormati satu sama lain dan tidak harus diikuti atau diisi dengan perasaan ketakutan. Jadi menyegani, menghormati, itu memang dalam satu paket yang sama.
GS : Pak Paul, memang didalam hal menghormati ini, kita perlu paham betul apa yang harus kita lakukan dan sebagainya, bagaimana kita harus menghadapi orang-orang yang memang seringkali mengolok-olok dan kita kalau seringkali diolok-olok itu merasa rendah diri.

PG : Kita sebagai anak-anak Tuhan, harus selalu kembali kepada firman Tuhan karena itulah acuan atau standart hidup kita. Kita bertanggung jawab bukan kepada teman tapi kepada Tuhan. Maka kita arus membenahi hidup kita sesuai dengan yang firman Tuhan ajarkan.

Jadi untuk dapat memberi jawaban yang tepat maka kita harus meneliti terlebih dahulu apakah yang melatar belakangi ketakutan suami kepada ejekan "takut istri." Saya kira ketakutan ini bersumber dari anggapan bahwa suami harus berada di atas wanita atau istrinya, jadi bila ia takut kepada istrinya, itu berarti dia berada di bawah istrinya. Inilah yang seringkali menjadi momok bagi suami, dia merasa kalau dia itu harus berada di atas sebagai pimpinan atau kepala. Kalau teman-temannya itu mengejek bahwa dia takut kepada istri maka bagi dia, itu berarti "saya berada di bawah, posisi saya itu lebih rendah dari pada istri saya". Mari kita menelitinya dengan baik. Jadi kalau seseorang berpikir seperti itu, dengan kata lain, dia memunyai asumsi bahwa dia hanya berharga sebagai suami kalau dia berada di atas istrinya, kalau dia sebagai suami tidak merasa dirinya berada di atas istrinya maka dia akan beranggapan bahwa dia tidak lagi berharga. Saya kira asumsi ini yang perlu dikoreksi.
GS : Jadi konsep atasan dan bawahan, itu yang harus diluruskan. Kita sebagai suami istri dalam konsep kekristenan bukan sebagai atasan dan bawahan.

PG : Betul sekali. Jadi jangan sampai kita memetik pelajaran yang keliru dari firman Tuhan dan firman Tuhan ini berkata di Efesus 5:22-23, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat."

Berdasarkan firman Tuhan ini, dapat disimpulkan bahwa suami berada pada posisi di atas istri sama seperti Kristus berada di atas jemaat. Singkat kata dalam keluarga, Tuhan telah menetapkan suami untuk menjadi kepala keluarga. Jadi sudah semestinya istri dan anak-anak tunduk kepada suami. Pertanyaannya adalah kenapa Tuhan harus mengaturnya sedemikian, apakah kepentingannya? Kita harus memahami bahwa kendati kecil, tapi keluarga tetap merupakan sebuah organisasi dan kita semua tahu bahwa dalam setiap organisasi haruslah ada kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan, niscaya organisasi akan mengalami perpecahan akibat kekacauan yang ditimbulkan. Itulah sebabnya di dalam keluarga harus ada kepemimpinan dan Tuhan telah menetapkan suami sebagai pemimpinnya. Meskipun demikian, saya harus buru-buru memberikan catatan ini, Tuhan tidak membedakan harga diri atau nilai diri seseorang dari peran atau fungsinya, tidak seperti itu. Walaupun wanita berposisi di bawah kepemimpinan suami, tapi itu tidak berarti dia bernilai lebih rendah dari pada suami. Itu sebabnya di satu ayat sebelumnya, firman Tuhan memberi perintah "Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus." Jelas dari firman Tuhan ini, kita bisa melihat bahwa semua orang baik laki-laki maupun perempuan, keduanya memunyai nilai yang sama berharganya. Oleh karena itu kita semua tanpa kecuali, dituntut untuk saling merendahkan diri. Singkat kata, bila suami beranggapan bahwa barulah berharga bila ia berada di atas si istri, saya kira kita telah keliru menafsir firman Tuhan.
GS : Memang kebanyakan orang salah menafsir firman Tuhan mengenai konsep pemimpin ini, Pak Paul. Kalau si suami merasa bahwa dirinya sebagai pemimpin maka dia merasa berhak untuk ditaati oleh istrinya, tapi kalau istrinya tidak taat maka dia akan menggunakan segala macam cara untuk membuat istrinya tunduk. Dan sebaliknya istri juga merasa kalau dia bukan bawahan suaminya, kemudian dia memberontak dengan cara melakukan kekerasan dan sebagainya. Sehingga lama-lama si suami ini juga takut kepada istrinya, Pak Paul.

PG : Jadi memang kita harus mengikuti apa yang firman Tuhan telah gariskan untuk kita. Di dalam keluarga mesti ada sebuah struktur dimana harus ada kepemimpinan karena di dalam keluarga, kalau idak ada kepemimpinan maka yang akan terjadi adalah kekacauan.

Setiap orang akan merasa berhak untuk melakukan apa yang dikehendakinya. Bayangkan kalau kedua belah pihak orang tua beranggapan sama-sama berhaknya, maka anak-anak pun misalnya berkata, "Saya pun berhak didengarkan, berhak untuk melakukan apa yang diinginkan dan saya tidak harus tunduk kepada perintah siapa pun." Maka kita akan benar-benar melihat sebuah kekacauan yang dahsyat dalam sebuah rumah tangga, kita harus memahami kalau keluarga adalah sebuah organisasi. Itu sebabnya Tuhan menetapkan sebuah struktur dan dalam rencana Tuhan yang tidak kita ketahui dengan pasti makna di belakangnya, maka di dalam rencana-Nya, Tuhan menetapkan suami menjadi kepala. Itu berarti dituntut ketundukan dari pihak istri kepada pihak suami. Jadi sama seperti kita di dalam pekerjaan, juga memunyai atasan dimana kepadanya kita juga menunjukkan ketundukan kita, kendati kita tidak setuju dengan apa yang diminta atasan untuk kita lakukan, selama kita tahu itu bukan sebuah dosa maka kita harus mengikuti. Karena kalau dalam suatu perusahaan semua pegawai beranggapan memunyai hak yang sama dengan atasannya maka perusahaan itu akan mati, tidak akan bisa berjalan. Jadi Tuhan sudah menetapkan garisnya, saya kira sudah tentu di pihak istri harus ada kesadaran bahwa kendati dia tidak suka, dia orangnya mandiri tapi tetap dia harus menundukkan diri kepada kepemimpinan suaminya. Namun di pihak lain saya harus menegaskan bahwa jangan sampai suami beranggapan bahwa saya hanya akan bernilai kalau saya berada di atas istri, tidak seperti itu. Alkitab penuh dengan nasihat-nasihat kepada semua orang, kepada semua level kehidupan. Misalnya Paulus menulis surat kepada Filemon seorang yang memunyai budak, dan budaknya memang telah berguna dan akhirnya bertobat dalam pelayanan Paulus. Paulus menganggap baik si pemilik budak maupun si budak itu sendiri sama rata dan itulah yang memang Tuhan kehendaki. Tuhan melihat semuanya sama, bukan karena jabatannya lebih tinggi maka nilainya lebih tinggi. Karena kedudukannya lebih bagus maka nilainya pun lebih bagus, tidak seperti itu tapi Tuhan melihat di dalamnya. Jadi seorang suami juga harus menjadi seorang suami yang rohani dan tidak bergantung pada posisi.
GS : Oleh sebab itu pemahaman ini harus dimengerti atau diterima oleh kedua belah pihak, baik suami atau istri. Ada suami yang berkata, "Saya ini tidak mau ramai dan marah dengan istri saya, jadi biarkan saja dia yang menjadi pemimpin di keluarga ini". Tapi kesannya di masyarakat adalah suaminya takut kepada istrinya.

PG : Memang adakalanya kita harus mengakui, bahwa ada sebagian wanita yang lebih susah tunduk dibandingkan yang lainnya. Ada orang-orang yang jauh lebih keras atau mungkin dia dibesarkan dalam eluarga di mana dia diberikan hak suara yang sangat besar sebagai seorang anak perempuan sehingga dia merasa kalau dia tidak harus tunduk kepada suaminya, dan dia meminta suaminya bersama-sama dengan dia, semuanya harus dibagi rata 50% dan 50%.

Saya kira itu pun keliru, sebab itu bukanlah garis yang Tuhan tentukan, dan mesti ada ketundukan. Jadi dari sudut ini saya tetap mau menegaskan seorang perempuan atau seorang istri mau tunduk kepada suami tapi di pihak suami janganlah mendasari harga dirinya atas ketundukan istri, atau atas kenyataan dia merasa berada di atas si istri.
GS : Jadi mengenai suami yang takut kepada istrinya sebenarnya punya landasan firman Tuhan atau tidak, Pak Paul?

PG : Sebetulnya tidak, Pak Gunawan. Jadi sebetulnya di dalam pembahasan tentang peran suami dan istri di firman Tuhan, tidak satu kali pun firman Tuhan memberi perintah kepada siapa pun untuk tkut kepada pasangannya, tidak ada sama sekali.

Bahkan kepada istri yang diminta untuk tunduk dan menghormati suami, tidak ada satu kali pun penyebutan tentang takut kepada suami, tidak ada sama sekali. Tapi hormatilah suamimu, tunduklah kepada suamimu dan tidak ada perintah takutilah suamimu. Memang tidak ada sebutan seperti itu. Jadi kalau suami takut istri, itu pertanda relasi itu tidak sehat, sama tidak sehatnya bila istri takut kepada suami. Jadi tidak seharusnya istri itu ketakutan kepada suaminya. Dan yang sama dengan itu, tidak seharusnya suami ketakutan kepada istrinya. Dan yang Tuhan minta kepada kita adalah bukanlah rasa takut, tapi tunduklah dan nanti misalkan ada suami yang ketakutan atau takut kepada istrinya maka itu menandakan bahwa relasi tersebut memunyai sedikit masalah yang perlu dibereskan.
GS : Tapi ketakutan ini muncul ketika salah satu pihak merasa tidak berdaya kepada pihak yang ditakutinya. Jadi misalkan suaminya sering melakukan kekerasan dengan memukul, dengan mengusir dan sebagainya. Kemudian istri ini tunduknya karena takut, demikian juga dengan sebaliknya ada istri yang begitu dominan di keluarga itu dan ketika dia melakukan kekerasan kepada suaminya maka suaminya merasa takut. Atau dari segi finansial, Pak Paul, misalnya "uang ini dipegang siapa?" Dan yang memegang uang merasa kalau dia sekarang yang berkuasa. Hal-hal seperti itu yang seringkali terjadi di dalam kehidupan rumah tangga.

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi akhirnya ketika manusia tidak lagi mengikuti garis yang Tuhan tetapkan, maka manusia akan menggunakan cara-cara manusia yang belum tentu seturut dengan kehendak Tuan.

Misalkan ada suami yang karena mengharuskan istrinya untuk tunduk dan hormat kepadanya, tapi tidak mendapatkannya maka dia akan menggunakan cara-cara kekerasan. Harapannya adalah dengan dia menggunakan cara-cara kekerasan atau bahkan benar-benar melakukan kekerasan itu, harapannya ialah si istri akan tunduk kepadanya dan mengikuti kehendaknya. Tentu ini salah karena yang Tuhan minta adalah "Hai istri tunduklah dan hormatilah suamimu." Dengan kata lain, si suami harus mencerminkan sebuah kehidupan yang berintegritas, yang mencerminkan kebenaran dan kekudusan Tuhan, yang mencerminkan hikmat dari surgawi, yang mencerminkan kasih sayang yang besar kepada keluarganya dan tanggung jawab yang penuh atas kesejahteraan mereka. Dalam kondisi seperti inilah si istri itu akan lebih mudah menghormati dan akhirnya tunduk kepada si suami. Jadi kalau si suami merasa kalau si istri tidak tunduk kepadanya maka memang yang pertama dia harus mengintrospeksi kenapa istri saya ini sulit sekali untuk bisa tunduk kepada saya. Tapi sebaliknya istri pun juga harus mengintrospeksi, kalau memang dia merasa bahwa suami saya tidak peduli dengan saya, "Kenapa suami saya tidak sayang kepada saya".
GS : Mungkin ada hal-hal yang dilakukan yang membuat si suami itu susah sekali untuk mengasihinya?

PG : Contoh-contoh yang Pak Gunawan tadi kemukakan adalah kenyataan di lapangan. Ada istri yang karena merasa dia itu lebih kaya, dari keluarga yang lebih berada dan suaminya itu dari keluarga ang kurang.

Akhirnya menuntut suami untuk mengikuti dia, sebab dia merasa bahwa dialah yang men-'supply' keuangan di rumah ini. Sudah tentu cara itu juga salah sehingga kita tahu bahwa pada awalnya dia sudah kehilangan kasih, tapi dia hanya mengikuti si istri karena mungkin dia juga bergantung kepada si istri itu. Jadi dengan kata lain, si istri juga perlu introspeksi kenapa sampai suaminya itu tidak bisa mengasihi saya, bersikap lembut kepada saya, mungkin ada hal-hal yang dia lakukan yang juga menambah sumbangsih susahnya si suami itu mengasihi dia.
GS : Memang ada beberapa istri yang senang, menikmati kalau si suami ini tunduk kepadanya, dalam arti kata tunduknya itu karena takut. Bahkan dengan terang-terangan dia bertanya, "Kamu itu takut kepada saya?" dan suaminya menjawab "Benar, saya takut kepada kamu". Kemudian dia merasa bangga atau merasa terpuaskan. Apakah ada tanda-tanda yang jelas dalam keluarga itu, kalau si suami bukan hormat tapi takut kepada istrinya, Pak Paul?

PG : Kebanyakan kalau suami itu takut kepadanya, ciri pertama adalah dia akan menghindar dari keributan dan itu yang biasanya terjadi. Memang ada juga yang menghindar dari keributan, bukan karea takut tapi karena memikirkan dampaknya, daripada meluas anak-anak menyaksikan, tetangga tahu, maka lebih baik mengalah dan diam saja sebab dia merasa kalau dia tidak bisa mengendalikan atau menguasai si istri.

Jadi adakalanya suami memang menghindar karena merasa tidak bisa mengendalikan si istri dan pada akhirnya keributan menjalar kemana-mana, maka lebih baik mengalah saja. Tapi saya kira tanda awal adalah munculnya reaksi-reaksi yang mendiamkan, mengalah, tidak perlu dibahas, tidak perlu dibicarakan lagi dan akhirnya ribut lagi dan sebagainya. Atau yang menunjukkan suami itu takut adalah setiap ada apa-apa, misalkan konflik, kendati kalau dia tidak salah tapi tetap dia itu seolah-oleh mengemis-ngemis, meminta si istri memaafkannya, menerimanya kembali, mengampuninya padahal tidak ada yang harus diampuni sebab memang dia tidak salah dan yang salah misalkan adalah si istri. Jadi biasanya tanda yang keluar adalah tanda seperti itu, "Kita jangan ribut dan mengalah saja" dan yang kedua adalah mengemis, memohon belas kasihan si istri dan dia terus memohon belas kasihan si istri. Kalau pun si istri salah, dia tidak bisa bersikap tegas kepadanya, terus lembek, terus ragu-ragu atau bimbang, seolah-olah meminta belas kasihan si istri kepadanya dan jangan sampai si istri meninggalkan dirinya. Sudah tentu kalau sampai ini terjadi, memang itu tidak sehat, Pak Gunawan.
GS : Kalau sistem itu sudah terbentuk seperti itu, Pak Paul, dan kita mau membalikkannya, tentu itu bukan sesuatu yang mudah. Jadi si suami mencoba untuk menghormati istrinya tapi si istri sudah terlanjur bersikap menguasai suaminya. Kalau kita ingin lurus kembali sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, bagaimana Pak Paul?

PG : Secara bertahap dan memang bukan secara langsung, si suami itu pasti akan kembali memegang tampuk kendali. Yaitu dia harus berani berkata, "Salah adalah salah dan benar adalah benar", dan uami juga harus berani menegur si istri.

Mungkin akan ribut dan sebagainya, tapi si suami dengan tenang dan tegas berkata, "Tidak, kamu yang salah dalam hal ini dan kamu harus tahu kesalahan itu, kamu tidak bisa melemparkan balik kesalahan kepada orang lain". Ketegasan-ketegasan itu mesti mulai ditegakkan kembali di dalam rumah tangga.
GS : Tapi itu harus dikembalikan kepada firman Tuhan, artinya dua-dua menyadari bahwa itulah yang Tuhan kehendaki di dalam sebuah struktur di keluarga, Pak Paul.

PG : Jadi memang Tuhan menghendaki suami mengasihi istri dan istri harus tunduk dan hormat kepada suaminya. Dan kita tahu bahwa memang di dalam kata-kata perintah kepada suami, "Kasihilah istriu", tidak ada sebutan, "Tunduklah kepada istrimu, hormatilah istrimu," memang tidak ada.

Tapi kita juga harus mengerti bahwa tunduk mengandung hormat dan hormat berwujud nyata dalam ketundukan kepada suami, Tuhan memerintahkan agar mengasihi istri sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat. Jadi relasi suami istri harus menjadi relasi yang berdasarkan tunduk, hormat dan kasih dan takut tidak termasuk di dalamnya. Tapi saya mau jelaskan ini, meskipun Tuhan tidak menetapkan suami untuk hormat kepada istri dan memang tidak ada kata-kata itu tapi bukankah hormat itu sendiri termasuk di dalam kasih. Sebab bagaimana mungkin kita mengasihi istri yang tidak kita hormati? Bagaimana kita mengasihi orang yang tidak kita hormati? Jadi sewaktu kita mengasihi dapat pula disimpulkan bahwa kita pun menghormati istri. Jadi sebetulnya satu paket meskipun Alkitab tidak menyebutkan secara langsung. Itu sebabnya di 1 Petrus 3:7 kita bisa membaca, "Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang." Jadi di 1 Petrus 3 jelas kita bisa membaca firman Tuhan "hormatilah mereka" ini adalah perintah yang diberikan kepada suami untuk menghormati istri juga. Jadi dengan kata lain, tidak perlu takut sebab takut tidak pernah ada di dalam firman Tuhan yang diberikan Tuhan sebagai perintah kepada pasangan kita, tapi ada hormat. Jadi dua-dua mesti menghormati dan tenggang rasalah terhadap penderitaan istri, perasaannya, pemikirannya dan jangan hanya memikirkan kepentingan diri kita.
GS : Ada suami yang mengatakan, "Bukannya saya tidak ingin menghormati istri saya, tapi istri saya tidak layak untuk dihormati." Kalau seperti itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kalau pernikahan itu sudah sarat dengan konflik maka akan susah melihat hal-hal dalam diri pasangan dengan mengatakan, "Baiklah saya mau hormat kepada dia karena ini dan itu," an memang susah.

Jadi langkah pertama biasanya adalah kita harus membereskan konfliknya dulu, kita susah untuk mencari hal-hal yang baik yang bisa kita hormati pada kondisi seperti itu. Jadi bereskan dulu masalahnya dan memang belum ketemu hal-hal yang baik tapi tidak mengapa, kita harus membereskan dulu. Datanglah kepada konselor Kristen atau hamba Tuhan untuk bisa menolong kita menundukkan diri dengan pasangan. Waktu masalah-masalah ini mulai selesai, biasanya mata kita sudah mulai terbuka kembali mengenai hal-hal yang baik, yang indah yang layak dihormati pada diri pasangan kita.
GS : Jadi sebenarnya seseorang itu merasa takut dan tidak menghormati karena kurangnya kasih di antara hubungan mereka, apakah seperti itu?

PG : Seringkali seperti itu. Jadi waktu hormat sudah mulai luntur sebetulnya bisa disimpulkan bahwa kasih pun sudah mulai luntur. Karena terus terang, mustahil kita itu mengasihi seseorang yangtidak lagi kita hormati, itu sangat-sangat mustahil.

Jadi hormat itu harus ada di dalam kasih, kita memang harus menghormati seseorang baru kemudian kita bisa mengasihinya dengan sepenuh hati.
GS : Saya teringat dengan kata-kata rasul Yohanes sendiri yang mengatakan di dalam kasih itu juga ada ketakutan.

PG : Betul sekali. Jadi memang jelas di dalam hubungan suami istri seharusnya dua-dua sudah harus merasa tenteram, aman bahwa masing-masing itu akan saling melindungi dan tidak akan ada hal-halyang mengancam, menginjak, memanipulasi, menghancurkan, tidak ada yang seperti itu.

Di dalam rumah tangga yang seperti itulah baru hormat bisa muncul dan akhirnya kasih bisa terus bertunas.
GS : Pak Paul, apakah bisa memberikan suatu kesimpulan dari apa yang kita sudah bicarakan saat ini?

PG : Sebagai kesimpulannya, suami harus menghormati istri sama seperti istri harus menghormati suami, jadi kedua-duanya. Hormat istri kepada suami, berwujud dalam ketundukan dan sedangkan horma suami kepada istri berwujud dalam kasih.

Inilah desain Allah untuk keluarga, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hormat pada Istri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



80. Kerikil dalam Mengasihi Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T299B (File MP3 T299B)


Abstrak:

Sebagaimana kita ketahui Tuhan mengharuskan suami untuk mengasihi istri. Lewat perintah ini dapat ditafsirkan bahwa kasih merupakan kebutuhan perempuan yang hakiki dan bahwa mengasihi istri merupakan titik lemah pria. Apa pun alasan yang melatarbelakangi pemberian perintah ini, yang pasti adalah Tuhan telah memberi perintah dan kita harus menaati-Nya. Di sini akan bahas beberapa penyebab mengapa suami kesulitan dalam mengasihi istri dan juga akan dibahas bagaimana cara kita mengasihi istri kita secara praktis.


Ringkasan:

Sebagaimana kita ketahui Tuhan mengharuskan suami untuk mengasihi istri. Lewat perintah ini dapat ditafsirkan bahwa kasih merupakan kebutuhan perempuan yang hakiki dan bahwa mengasihi istri merupakan titik lemah pria. Apa pun alasan yang melatar belakangi pemberian perintah ini, yang pasti adalah Tuhan telah memberi perintah dan kita harus menaati-Nya. Masalahnya adalah tidaklah selalu mudah untuk mengasihi istri dan berikut akan dibahas beberapa penyebabnya.


Transkrip:

"Kerikil dalam Mengasihi Istri" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kerikil dalam Mengasihi Istri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Judul perbincangan kita ini mungkin harus kita perjelas kepada para pendengar kita. Apa yang Pak Paul maksudkan dengan "kerikil dalam mengasihi istri" ini?

PG : Yang saya maksud adalah seperti ini, Pak Gunawan. Kita tahu sebagai suami harus mengasihi istri. Tapi kita juga harus mengakui bahwa adakalanya tidak terlalu mudah mengasihi istri, ada halhal yang akhirnya membuat kita susah mengasihi istri, ada juga masalah-masalah yang muncul dan akhirnya membuat kita bertanya-tanya, "Kenapa susah bagi kita untuk mengasihi istri, kenapa perasaan saya tidak bisa kuat dalam mengasihi istri saya."

Mungkin ini waktu yang baik bagi kita untuk duduk santai dan mulai melihat kenapa susah bagi kita mengasihi istri kita.
GS : Dan biasanya masalah-masalah itu bukan masalah-masalah yang terlalu besar seperti bongkahan-bongkahan batu-batu besar, tapi justru masalah-masalah kecil yang malah mengganggu kalau hal itu tidak dibuang.

PG : Betul. Jadi tidak harus sebuah ledakan bom yang akhirnya membuat kita menjadi hancur berantakan, tidak bisa lagi mengasihi istri. Seringkali tidak. Dan pada kesempatan ini yang memang akansaya soroti lebih merupakan tema atau garis besarnya dan nanti masing-masing bisa diterapkan dalam situasi-situasi yang lebih spesifik.

Tapi saya akan coba jelaskan secara garis besar supaya bisa diterapkan dengan lebih meluas.
GS : Apa saja, Pak Paul?

PG : Ada tiga, Pak Gunawan. Yang pertama adalah mengasihi melibatkan perasaan dan sebagaimana kita tahu bahwa perasaan tidak selalu stabil dan sama. Itu sebabnya adakalanya kita mengalami kesukran untuk mengasihi sebab perasaan kasih tidak selalu hadir di dalam hati kita dengan intensitas yang sama kuatnya hari demi hari.

Jadi walaupun mengasihi mengandung unsur perasaan, tapi kita tidak boleh mendasarinya atas perasaan. Memang ini sedikit membingungkan. Jadi intinya meskipun kasih adalah sesuatu yang melibatkan perasaan, tapi kita tidak boleh mendasari kasih kita kepada istri atas perasaan itu sendiri karena perasaan itu selalu berubah-ubah, kadang naik dan kadang turun, kadang kuat dan kadang lemah. Coba kita melihat firman Tuhan yang tercatat di 1 Korintus 13:4-7, "Kasih itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu". Waktu kita melihat penjabaran ini, dengan cepat kita bisa menyimpulkan bahwa kasih jauh melampaui rana perasaan sebab bukankah misalnya sabar, murah hati, tidak cemburu dan lainnya merupakan sebuah sikap, sesuatu yang harus dipilih kemudian ditindak lanjuti. Jadi daripada berpusat dari mengasihi, maka fokuskanlah pada menjadi sabar, menjadi murah hati, menjadi orang yang tidak pemarah, menjadi orang yang tidak menyimpan kesalahan orang dan sebagainya. Jadi semua ini adalah sikap dan tindakan yang pada akhirnya menciptakan kasih dan sekaligus menjadi buah nyata dari kasih itu sendiri.
GS : Padahal kalau kita tanyakan kepada pasangan yang mau menikah atau yang baru menikah. Jika ditanya, "Apa alasanmu menikah dengan dia?" maka kebanyakan jawaban yang diberikan adalah, "Saya cinta dia, saya mengasihi dia". Apakah kasih yang diucapkan itu sama dengan kasih yang dituliskan oleh Paulus kepada jemaat di Korintus, Pak Paul?

PG : Tidak sama, sebab pada waktu kita melihat seseorang pada pandangan pertama kemudian berkata, "Saya jatuh cinta kepadanya." Sebetulnya yang terjadi adalah kita menyukai apa yang kita lihat,itu saja sehingga seringkali kita itu menggunakan bahasa-bahasa yang lebih romantis, lebih muluk dan berkata, "Ini adalah cinta pada pandangan pertama."

Sebetulnya yang terjadi adalah kita menyukai apa yang kita lihat, mungkin penampilannya, mungkin caranya berpakaian, caranya bertutur, kita menyukai apa yang kita lihat. Untuk benar-benar bisa berkata kita mengasihi, memang sebetulnya kalau benar-benar berdasarkan firman Tuhan, itu perlu diperlihatkan oleh sikap-sikap yang Paulus sudah paparkan. Misalkan apakah kita kepadanya tidak sabar, di situ sebetulnya kita tidak memiliki kasih, sebab didalam 1 Korintus 13, Tuhan menjabarkan dimensi-dimensi kasih bahwa kalau ada kasih maka akan ada kesabaran, kalau ada kasih maka akan ada murah hati, kalau ada kasih maka akan ada pengampunan sehingga tidak akan menyimpan kesalahan orang, kalau ada kasih maka tidak akan cepat memarahi orang, tapi akan cepat memahami orang. Hal-hal seperti itu mesti ada, barulah kita bisa mengklaim ada kasih. Jadi kalau orang baru kenal dan kemudian berkata, "Saya mencintai kamu" sebetulnya itu bukan cinta, tapi dia hanya menyukai apa yang dilihatnya sebab yang dilihatnya itu kebetulan sesuai dengan yang diidamkannya, hanya itu saja.
GS : Berarti untuk kasih itu betul-betul ada di antara hubungan mereka sebagai suami istri, itu butuh waktu yang cukup lama dan harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

PG : Betul sekali. Jadi kasih seharusnya dipandang lebih dari perasaan, tapi merupakan sebuah sikap mau mengampuni, sikap mau bersabar, sikap mau untuk menghilangkan dendam dan kesalahan. Dan smua itu adalah sikap-sikap dan tidak bergantung kepada perasaan dengan berkata, "Saya sudah tidak mengasihimu lagi, sebab perasaan saya terhadapmu sudah hilang".

Perasaan itu bisa turun dan bisa naik. Kalau hari ini kita sakit gigi, tidak mungkin kita bisa berpikir tentang kasih karena gigi kita sedang sakit, seluruh badan sakit dan tidak mungkin kita berpikir tentang mengasihi siapa dan mengasihi siapa. Itu tidak berarti tidak ada kasih, sebab kasih itu melampaui perasaan dan ini sesuatu yang perlu dipahami oleh kita semua, sebab saya tahu kadang-kadang orang terjebak dalam masalah ini, buru-buru mengklaim, memproklamirkan, "Tidak bisa lagi meneruskan relasi ini, pernikahan ini sudah berakhir karena tidak ada lagi kasih di dalam hati saya". Buktinya apa kalau tidak ada kasih? Kalau hanya menyoroti perasaan, memang bisa turun dan naik. Tapi sebaliknya kalau orang mengklaim bahwa orang mengasihi saya, saya mengasihi istri saya tapi dia sangat pemarahnya kepada pasangan, tidak mau mengampuni si pasangan, menyimpan kesalahan pasangan, tidak ada kemurahan hati sama sekali. Berarti orang itu sama sekali tidak mengerti apa artinya kasih. Dia hanya bisa mengklaim kalau dia mengasihi, tapi tidak ada bukti nyatanya.
GS : Tapi perasaan itu sendiri masih tetap dibutuhkan di dalam hubungan suami istri ini sebagai pewarna atau pemanis dan sebagainya, artinya tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk membangun rumah tangga itu sendiri, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Mungkin kita bisa menggunakan sebuah ilustrasi. Misalkan kita memakan ice cream dan ice creamnya itu dibungkus dengan coklat, tapi di dalam ice cream itu misalkan ada vanilla Sudah tentu kita bisa berkata bahwa coklat itu bukanlah ice cream, tapi memang ice creamnya ditutupi oleh coklat.

Kita bisa ibaratkan perasaan kasih yang kadang-kadang muncul seperti kupu-kupu yang ada di dada kita, itu seperti coklat yang melapisi ice cream, tapi bukankah yang terpenting bukan coklatnya melainkan ice creamnya itu sendiri dan ice cream itu sendiri adalah sikap-sikap yang sudah dibahas tadi yaitu penyabar, murah hati, tidak menyimpan kesalahan atau dendam, tidak pemarah dan sebagainya.
GS : Dan ini yang memang sulit dibedakan bagi kita orang-orang awam. Makanya ini seperti kerikil yang kalau tidak kita selesaikan, bisa menjadi masalah besar di tengah-tengah keluarga kita khususnya di dalam hubungan suami istri ini, Pak Paul.

PG : Dan memang juga menakutkan, bayangkan kalau kita menikah dengan seseorang dan orang itu tidak mengerti tentang hal ini, jadi hanya bergantung sepenuhnya dengan perasaan. Kemudian kita meraa semua baik-baik saja, tapi suatu ketika dia bangun tidur dan berkata, "Saya mau meninggalkan kamu sebab tidak ada lagi kasih di hati saya," itu adalah hal yang sungguh mengerikan.

Berarti tidak ada kepermanenan, tidak ada kepastian. Maka kita harus dasari itu bukan dengan perasaan, tapi pada pilihan sikap itu.
GS : Kerikil yang lain apa, Pak Paul?

PG : Kerikil kedua dalam mengasihi istri adalah kebergantungan kita pada perbuatan. Seringkali kita menjadikan kasih sebagai reaksi atau imbalan terhadap apa yang istri perbuat bagi kita. Kitamengharapkan istri untuk melakukan hal-hal tertentu dan sewaktu dia melakukannya, hati menjadi senang dan kita pun berlaku baik kepadanya.

Kita memanggil respons ini adalah kasih. Coba kita melihat firman Tuhan tentang hal ini, bagaimanakah seharusnya kasih itu diberikan agar kita memeroleh kebenaran. Di Roma 3:23-24 berkata, "Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus". Firman Tuhan menjelaskan bahwa kasih karunia telah diberikan kepada kita yaitu oleh orang-orang yang telah berbuat dosa dan yang telah kehilangan kemuliaan Allah, dengan kata lain sewaktu kita datang kepada Kristus sesungguhnya tidak ada satu pun hal baik yang dapat kita persembahkan kepada-Nya sebab kita semua adalah orang berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, namun kasih karunia Allah diberikan kepada kita. Dari sini dapat kita lihat bahwa kasih diberikan oleh Tuhan kepada kita tanpa melihat perbuatan, itu sebabnya kita pun tidak boleh membiarkan perbuatan istri, mendikte kasih kita kepadanya dan kita harus tetap fokus kepada mengasihinya yaitu bersikap sabar, bermurah hati, tidak mencari keuntungan sendiri dan sebagainya. Terlepas dari perbuatannya, jangan kita menunggu sampai perbuatannya mencapai standart yang kita harapkan dan barulah kita mengasihinya, jangan seperti itu. Tapi sebaliknya justru mulailah dengan mengasihinya oleh karena Tuhan mengasihi kita maka akhirnya kita pun belajar untuk mengasihi Tuhan, jadi kita harus berdoa agar istri kembali mengasihi kita dan melakukan perbuatan yang menyenangkan hati kita, setelah kita mengasihinya.
GS : Perbuatan yang dimaksud, perbuatan seperti apa misalnya?

PG : Jadi kadangkala kita terlalu bergantung pada perbuatan-perbuatan yang kita harapkan dari istri. Saya tidak menutup mata, penting bagi kita mencoba hal yang menyenangkan hati pasangan kita an itu sudah tentu harus diusahakan sedapat-dapatnya, tapi tetap saya mau mengembalikan esensi mengasihi itu, sebab memang yang kita pelajari dari firman Tuhan adalah Tuhan tidak menggantungkan kasih-Nya kepada kita atas dasar perbuatan kita.

Kalau Tuhan mendasarinya atas perbuatan kita maka sampai sekarang pun Tuhan tidak akan mungkin mengasihi kita sebab perbuatan kita selalu akan ada yang mengecewakan Tuhan. Tapi kita tahu bahwa Tuhan mengutus Kristus untuk mati bagi dosa-dosa kita sebelum kita dapat memersembahkan sesuatu yang baik kepada-Nya. Jadi kepada istri pun juga harus sama, jangan menunggu istri melakukan semua yang kita minta dan barulah kita berkata, "Saya akan mengasihimu," tapi kita harus menyalurkan kasih itu lewat sikap-sikap kita yang tidak mencari keuntungan, yang bersabar kepadanya, yang murah hati kepadanya, yang tidak menyimpan kesalahan dia. Kita harus mengekspresikan sikap-sikap kasih itu kepada istri kita tanpa harus menunggu perbuatannya.
GS : Tapi seringkali kita itu baru bisa mengasihi, kalau kita tahu orang itu mengasihi kita atau tidak. Dan itu justru lewat perbuatan dia, kalau dia hanya berbicara maka seringkali sulit bagi kita untuk memahaminya. Jadi penting sekali pengungkapan kasih lewat perbuatan-perbuatan nyata yang kita bisa lakukan kepada pasangan kita.

PG : Saya setuju. Jadi memang dalam pernikahan kedua belah pihak harus menunjukkan wujud nyata dari kasih itu, tidak cukup hanya mengatakan, "Saya mengasihi kamu" tapi harus ada wujud nyatanya.Sebab kita manusia dan bagaimana pun juga kita tidak bisa lepas dari tindakan-tindakan yang menunjukkan kasih, kita mau itu dan kita butuh itu dan memang seharusnya ada.

Jadi kedua-duanya harus berupaya mengusahakan itu, namun saya kira ini yang saya tekankan yaitu disamping itu atau bersamaan dengan itu, tetap melatih diri untuk tidak terlalu bergantung kepada perbuatan. Sekarang ini saya berbicara terutama kepada orang yang terlalu bergantung kepada perbuatan istrinya, jadi menuntut si istri harus seperti ini dan itu, kalau tidak maka saya tidak akan mengasihimu. Saya kira konsep seperti ini harus berubah. Jadi kepada orang yang seperti inilah saya mau menunjukkan perkataan-perkataan yang saya sudah ucapkan yaitu janganlah mengasihi istri seperti itu, sebab itu bukan cara Tuhan dan jangan berkata, "Kalau istri saya tidak melakukan ini dan itu, maka saya tidak akan mengasihinya". Tidak seperti itu, tapi cobalah berikan kasih lewat wujud nyata, supaya istri kita juga merasakan kasih itu. Biarlah perlahan-lahan, istri juga memiliki kesadaran dan dia pun perlu belajar dan bertumbuh.
GS : Memang kalau kita hanya menggantungkan lewat perbuatan padahal pasangan kita juga tidak selamanya bisa melakukan hal-hal yang baik terutama kalau dia sakit misalnya lumpuh. Wujud kasih kita itu bisa kelihatan, walaupun pasangan kita itu sudah tidak bisa melakukan apa-apa, tapi di situ bisa diketahui apakah kita tetap mengasihi dia atau tidak, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi waktu kita itu mendasari kasih atas perbuatan pasangan yang menyenangkan hati kita, kasih itu menjadi kasih yang sangat berkondisi, kasih yang sangat tipis,yang sebetulnya bukan merupakan kasih dan lebih merupakan sebuah respons entah itu respons senang, respons berterima kasih karena diberikan ini, diperlakukan seperti itu.

Jadi kita harus naik setingkat lebih tinggi lagi dan ini yang Tuhan inginkan agar kita menjadi seperti diri-Nya. Tuhan mengasihi kita sebelum kita mampu memersembahkan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati Dia.
GS : Jadi ini hampir sama dengan perasaan itu tadi, Pak Paul. Memang dibutuhkan perbuatan-perbuatan baik, tapi tidak bisa dijadikan sebuah dasar atau alasan kita mengasihi pasangan kita. Apakah masih ada kerikil yang lain, Pak Paul?

PG : Kerikil yang terakhir adalah dalam mengasihi istri, kita ini terlalu mudah berputar haluan. Sebagai laki-laki, kita ini memang terlalu mudah tertarik dengan wanita lain yang lebih menarik tau yang sama menariknya dengan istri sendiri.

Saya sekarang tidak sedang membicarakan, kita memunyai masalah dengan istri kita sehingga kita mudah tergoda, tidak seperti itu. Tapi saya berbicara dengan kondisi yang relatif normal-normal saja. Kita tetap sebagai laki-laki harus mengakui bahwa kita mudah tertarik kepada wanita lain. Pada waktu kita memberikan perhatian kepada wanita lain, maka tidak bisa tidak kasih kita kepada istri pastilah berkurang dan akhirnya lenyap. Jadi kerikil ketiga, kerikil bukan terletak pada istri kita tapi kerikil itu ada pada diri kita sendiri yaitu kita itu terlalu mudah untuk tertarik kepada orang lain. Meskipun tidak kita suburkan, kita tidak menjalin relasi dengan wanita tersebut namun perasaan tertarik kepada orang lain kendati hanya sementara, cukup kuat untuk mengurangi kadar kasih kita kepada istri kita. Misalkan karena kita itu tertarik kepada orang lain, maka kita tidak terlalu sabar dengan istri kita dan kita menjadi cepat marah kepada dia. Atau kesalahan dia lebih cepat kita ingat dan kita tidak cukup murah hati, kita mulai perhitungan kepadanya tapi kepada orang yang kita sukai, kita menjadi kebalikannya yaitu kita menjadi sangat murah hati, tidak memerhitungkan apa-apa, selalu siap berkorban. Jadi kerikil yang ketiga yang akan saya angkat justru adalah kerikil pada diri kita sendiri sebagai laki-laki. Hati-hatilah dengan kecenderungan kita cepat tertarik kepada wanita lain.
GS : Apakah memang kaum pria seperti kita ini punya kecenderungan untuk cepat merasa bosan, Pak Paul?

PG : Saya kira di dalam diri kita, kebanyakan pria memang kita memunyai kecenderungan untuk bosan dalam pengertian kita ini mudah tergugah atau tertarik oleh petualangan sehingga kalau tidak ad unsur petualangan dan rutin biasa-biasa saja maka lama-kelamaan akan ada kecenderungan untuk jenuh, jadi ingin petualangan yang baru dan melakukan hal yang belum pernah dilakukan sebab nanti akan muncul kesenangan-kesenangan tertentu dari pertualangan yang baru itu.

Jadi kita itu mirip seperti pengguna narkoba yang perlu suntikan-suntikan narkoba, kemudian kita baru bisa membangkitkan gairah hidup kita. Dan juga kita sebagai laki-laki memang mudah terpikat oleh kecantikan dan mudah terangsang oleh penampilan sensual. Alhasil kita rawan menoleh kepada wanita lain dan akhirnya cepat meninggalkan kasih yang semula. Kita melihat mulai dari masa Musa sampai pada masa para nabi, bani Israel selalu jatuh pada kesalahan yang sama yaitu meninggalkan Tuhan dan menyembah ilah lain sebagaimana disarikan pada Yeremia 2:32, "Dapatkah seorang dara melupakan perhiasannya, atau seorang pengantin perempuan melupakan ikat pinggangnya? Tetapi umat-Ku melupakan Aku, sejak waktu yang tidak terbilang lamanya". Jadi dalam relasi Israel dengan Tuhan, terus berulang kesalahan yang sama yaitu terpikat pada ilah-ilah lain dan meninggalkan Tuhan. Saya kira kita memunyai masalah yang sama sebagai laki-laki. Kenapa orang Israel itu begitu cepat dan begitu sering meninggalkan Tuhan Allah? Alasannya memang sederhana yaitu sebab mereka tertarik dengan ilah lain yang disembah bangsa-bangsa lain, mereka berpikir bahwa ilah-ilah lain lebih dapat memberi mereka berkat dan perlindungan serta lebih dapat memberi mereka kebebasan dan kebahagiaan. Begitu juga dengan kita sesama laki-laki, kita pun lebih cepat menoleh kepada wanita lain sebab kita beranggapan bahwa wanita lain lebih cantik daripada istri sendiri, lebih dapat memberi kita berkat dan kebahagiaan. Itu sebabnya kita harus mawas diri dan kita harus menolak godaan untuk menghampiri dan membuat relasi intim dengan wanita lain dan sebaliknya kita harus menggali relasi dengan istri sendiri sehingga dari relasi inilah keluar mata air berkat dan kepuasan.
GS : Sebenarnya masalah ini cukup dipahami oleh para istri, dan para istri ini pun menyadari bahwa suaminya itu punya kecenderungan seperti itu. Tapi apakah hal itu menjadi semacam alasan sehingga suami itu melakukan perkara-perkara yang meninggalkan istrinya dan menoleh kepada wanita lain. Apakah hal ini menjadi semacam hal yang diperbolehkan, Pak Paul?

PG : Saya kira secara tidak langsung ada unsur itu. Karena kebanyakan wanita akhirnya menerima bahwa inilah pria dan ada peribahasa atau kata-kata yang seperti ini, "Diberi maka steak di rumah un, tapi kalau melihat ikan asin di luar tetap saja dilahapnya ikan asin itu".

Itu memang sebuah konsep yang sudah dimiliki oleh banyak wanita. Jadi akhirnya ada kecenderungan untuk menerima, menoleransi. Saya kira kita sebagai anak-anak Tuhan, kita justru harus menggariskan sebuah garis yang jelas, "Tidak bisa dan itu tidak boleh, masalahnya bukan karena aku tidak boleh tapi masalahnya adalah karena Tuhan yang berkata 'Itu tidak boleh'". Jadi dengan kata lain dari awal kita beritahukan kepada suami, tidak akan kita menoleransi kalau sampai engkau berbuat seperti itu.
GS : Jadi sebenarnya peranan istri di dalam hal ini untuk membantu supaya suaminya tidak sering atau terjatuh ke dalam dosa-dosa seperti perzinahan dan sebagainya, sebenarnya itu cukup besar, Pak Paul?

PG : Cukup. Dan salah satu yang penting adalah dia harus berani menegur si suami, kalau si suami itu merasa bahwa dia di atas angin, bisa berbuat semaunya, maka tinggal selangkah lagi akan jatu ke dalam dosa.

Jadi mesti si suami itu tahu bahwa istrinya mengawasi dan istrinya tidak sungkan untuk memberikan teguran. Saya kira ini penting dan kita harus berani menegur pasangan kalau dia sedang bermain-main dengan dosa. Kita memang harus mengingatkan dia kalau Tuhan melihat dan mengawasi perbuatannya dan bahwa nanti akan ada pertanggung-jawaban yang Tuhan akan tuntut darinya. Jadi kita akan selalu mengembalikan pasangan kita kepada Tuhan.
GS : Untuk bagian ini Pak Paul, apakah ada bagian firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Kita tahu Raja Salomo adalah seorang raja yang menikmati hidup sampai tetesan terakhirnya. Dia memiliki kekayaan yang melimpah ruah dan dia juga mengakui kalau dia itu beristri banyak. Denarlah pengakuannya yang tercatat di Pengkhotbah 2:8 dan 11, "Aku mencari bagiku yang menyenangkan hati anak manusia, yakni banyak gundik.

Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin". Pada akhirnya impian kita bahwa wanita lain akan memberikan kita kebahagiaan itu kandas di tengah jalan bahkan Salomo sendiri berkata sia-sia. Jadi berhentilah melihat yang lain dan tataplah istri sendiri.
GS : Jadi ini menjadi sebuah sharing atau bagi pengalaman dari seseorang yang memang mengalami hal itu. Raja Salomo yang tidak puas dengan kekayaannya masih mencari begitu banyak gundik dan itu pun tidak membuat dia puas dengan hal-hal yang seperti itu.

PG : Pada akhirnya yang dia temukan adalah kesia-siaan atau kekosongan.

GS : Jadi kerikil-kerikil seperti ini, memang harus cepat-cepat dibuang dari tengah-tengah keluarga kita supaya keluarga ini bisa lebih solid, Pak Paul.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kerikil dalam Mengasihi Istri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



81. Mengapa Istri Dominan?


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T309A (File MP3 T309A)


Abstrak:

Kendati kecil, pernikahan adalah sebuah organisasi. Di dalam organisasi sekurangnya mesti ada dua unsur : struktur dan tugas. Tanpa struktur dan tugas, niscaya organisasi mengalami kekacauan. Di dalam struktur pernikahan Tuhan menetapkan laki-laki atau suami sebagai kepala dan bertugas memimpin istri dan anak-anaknya. Namun di zaman sekarang ini banyak istri yang lebih dominan dibandingkan suaminya, apakah itu Anda? Dan bagaimana sikap kita, jika kita memang memiliki sifat dominan tersebut?


Ringkasan:

Kendati kecil, pernikahan adalah sebuah organisasi. Di dalam organisasi sekurangnya mesti ada dua unsur: struktur dan tugas. Tanpa struktur dan tugas, niscaya organisasi mengalami kekacauan. Struktur menjabarkan posisi sedangkan tugas menjabarkan peranan atau kewajiban.

Nah, di dalam struktur pernikahan Tuhan menetapkan laki-laki atau suami sebagai kepala dan bertugas memimpin istri dan anak-anaknya. Persoalannya adalah, konsep struktur sebagaimana diajarkan Alkitab kadang sulit diterapkan. Berikut akan dipaparkan penyebab mengapa demikian :

  1. Tuhan menetapkan posisi DAN tugas. Jadi, posisi sebagai kepala mesti disertai dengan tugas dan tugas yang diberikan Tuhan kepada suami adalah mengasihi istri. Dengan kata lain, suami memimpin istri di dalam dan dengan kasih, bukan di dalam kuasa dan dengan paksa. Masalah timbul ketika suami tidak melakukan tugas mengasihi dan lalai bertanggung jawab memberi pimpinan.
  2. Sama seperti pria, wanita adalah manusia berdosa dan sebagai manusia berdosa, kita cenderung memberontak. Dengan kata lain, di dalam setiap manusia pasti ada keinginan untuk memberontak sebab pemberontakan merupakan sebuah pesan bahwa kita tidak ingin mengalah.
  3. Secara sosial dan budaya, dewasa ini kebanyakan kita dikondisikan untuk kritis dan untuk tidak begitu saja menerima apa yang dikatakan orang. Itu sebabnya sekarang tidaklah mudah bagi perempuan untuk menerima posisi "ikut suami." Sama seperti laki-laki, perempuan pun ingin mengetahui alasan mengapa ia mesti tunduk kepada suami. Tanpa alasan yang baik, istri akan mengalami kesulitan tunduk kepada suami.
  4. Tidak selalu suami memiliki hikmat yang melebihi istri. Kadang, karena istri lebih berhikmat, ia mengalami kesulitan untuk mendengarkan suaminya, apalagi bila suami menolak untuk menerima masukan dari istri.
  5. Adakalanya istri mengukur otoritas berdasarkan uang yang dihasilkan. Tidak bisa disangkal, di dunia di mana kita semua tinggal, uang identik dengan kuasa dan otoritas. Tidak heran sedikit banyak nilai hidup ini memengaruhi kita pula sehingga kadang istri tidak begitu menghargai suami yang tidak menghasilkan uang sesuai keinginannya.
  6. Di dalam zaman ini konsep kuasa tunggal makin sulit diterima sebab yang dianggap lebih baik adalah berbagi kuasa. Mulai dari sistem kenegaraan sampai perusahaan, konsep saling mengawasi dan saling memertanggungjawabkan dianggap kunci organisasi yang sehat. Itu sebabnya makin banyak istri yang mengharapkan suami untuk berbagi kuasa. Dengan kata lain semua mesti disepakati bersama.
  7. Perempuan tidak lagi harus bergantung pada suami secara finansial, seperti dahulu kala. Kemandirian finansial adakalanya menambah sulit istri untuk mengikuti suami. Di masa lalu, kalaupun tidak setuju, pada akhirnya istri terpaksa mengikuti kehendak suami karena tanpa dukungan suami, ia susah untuk memutar roda kehidupan. Sekarang tidaklah demikian.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menerapkan Firman Tuhan untuk tunduk kepada suami menjadi tantangan tersendiri. Tidak jarang, akhirnya ada istri yang mengambil alih biduk keluarga dan malah mengendalikan suami. Biasanya tatkala hal ini terjadi orang cenderung menilai bahwa istri adalah seorang yang dominan, padahal penyebabnya acap kali tidaklah sesederhana itu. Sungguhpun demikian kita tetap harus mengikuti pola atau aturan yang ditetapkan Tuhan, sebagaimana dicatat di Efesus 5:22-23, "Hai istri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Dengan kata lain, kita memasuki dengan kesiapan untuk tunduk.


Transkrip:
Lengkap

"Mengapa Istri Dominan?" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Mengapa Istri Dominan?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, di dalam pernikahan kita melihat kenyataan bahwa ada istri yang menonjol artinya istri dominan sekali, tetapi sebetulnya yang dominan seharusnya bukan istri melainkan suami sebagai kepala keluarga, Pak Paul. Tetapi di dalam kenyataan seperti itu, sebenarnya apa yang menyebabkannya, Pak Paul?

PG : Ada beberapa hal Pak Gunawan yang bisa menimbulkan masalah di dalam pernikahan akibat sulitnya istri untuk tunduk kepada suami. Sebelum saya menjawab pertanyaan dari Pak Gunawan, saya ingi mengingatkan bahwa Tuhan melihat suami dan istri adalah sama dan Tuhan tidak mengatakan kalau pria lebih indah atau lebih bagus, lebih terhormat dari pada wanita, itu sebabnya istri atau wanita harus tunduk kepada suami, bukan seperti itu maksudnya.

Sebab di mata Tuhan adalah sama dan tidak ada bedanya, namun kita harus mengingat bahwa pernikahan adalah sebuah organisasi dan di dalam organisasi sekurangnya harus ada dua unsur yaitu struktur dan tugas, tanpa struktur dan tugas maka niscaya organisasi mengalami kekacauan. Kita memang tahu struktur menjabarkan posisi sedangkan tugas menjabarkan peranan atau kewajiban. Nah, di dalam struktur pernikahan Tuhan menetapkan laki-laki atau suami sebagai kepala dan bertugas sebagai pemimpin untuk memimpin istri dan anak-anaknya. Sekarang kita mau membahas kenapa dewasa ini begitu sulitnya untuk menerapkan konsep struktur dalam pernikahan sebagaimana diajarkan oleh Alkitab.
GS : Mungkin sekarang di era emansipasi, dimana kaum wanita merasa sama dengan kaum pria maka hal ini menjadi sulit untuk diterapkan di dalam pernikahan Kristen sekalipun, Pak Paul?

PG : Sudah tentu, Pak Gunawan. Sebab memang ada sumbangsih atau pengaruh dari latar belakang kehidupan dewasa ini yang menyulitkan wanita untuk tunduk kepada suami, maka saya kira kita perlu unuk membahasnya supaya kita bisa lebih memahami masalah-masalah yang timbul itu.

GS : Alasan-alasan itu apa saja, Pak Paul?

PG : Yang pertama yang tadi sudah saya singgung bahwa Tuhan menetapkan posisi dan tugas di dalam pernikahan. Jadi kita harus mengingat bahwa posisi sebagai kepala mesti disertai dengan tugas, jdi tidak ada yang namanya suami menjadi kepala tetapi tidak memunyai tugas atau tanggung jawab.

Tugas yang diberikan Tuhan kepada suami adalah mengasihi istri, dengan kata lain suami memimpin istri di dalam kasih dan dengan kasih, bukan di dalam kuasa dan dengan paksa, hal ini yang harus kita camkan baik-baik, sebab ada suami yang salah mengerti dan dia bukan memimpin istri di dalam kasih dan dengan kasih tapi malahan di dalam kuasa dan dengan paksa. Masalah timbul ketika suami tidak melakukan tugas mengasihi istrinya dan bahkan lalai bertanggung jawab memberi pimpinan, ini yang menurut saya penyebab pertama dan paling umum kenapa istri susah untuk tunduk atau menghormati suaminya.
GS : Memang kita akan lebih senang bicara tentang posisi, hal itu berbicara tentang hak kita, tapi kalau berbicara mengenai tugas maka kita mulai menarik diri.

PG : Betul sekali. Jadi memang ada laki-laki yang langsung beranggapan bahwa karena Alkitab sudah menetapkan saya adalah kepala maka istri harus atau tanpa ragu, tanpa protes mengikuti semua peintah saya, saya kira ini adalah suatu kekeliruan sebab Tuhan memberi tugas pula, jadi dengan posisi yang diberikan Tuhan sebagai kepala.

Juga ada tugas yang sangat berat yaitu mengasihi istri, sama seperti Yesus Tuhan mengasihi jemaat-Nya yaitu yang kita tahu kasih yang selalu dilandasi atas pengorbanan. Dengan cara inilah istri lebih dimudahkan untuk mengikuti kehendak suaminya.
GS : Yang sulit adalah menyatakan kasih itu tadi, sebagai suami kadang-kadang kita kesulitan menyatakan kasih dan kita merasa apa yang kita berikan kepada istri kita, itulah pernyataan kasih kita kepadanya tapi istri tidak menganggap demikian, Pak Paul.

PG : Sudah tentu dalam pernikahan kita memang harus menyesuaikan diri bahwa istri kita mau melihat kasih yang dapat dimengertinya, demikian pula kita, kita pun ingin melihat ketundukan di dalambentuk yang dapat kita terima pula.

Jadi misalkan kita bekerja dan saya tidak macam-macam, itu berarti saya sudah menunjukkan kasih kepada istri saya. Ini adalah definisi kita dan kita harus mencocokkan definisi kita dengan definisi si penerima kasih itu. Sebab tidak bisa menyalankan apa yang kita anggap kasih dan tidak memedulikan apakah bahasa kasih kita dapat diterima oleh pasangan kita atau tidak. Jadi kita harus memertimbangkan atau memerhatikan apa yang menjadi bahasa kasih istri kita sehingga waktu kita menunjukkan kasih kepadanya maka dia dapat melihat dan menghargainya pula. Sama seperti ketundukan, kalau istri berkata"Saya sudah tunduk kepadamu", tapi maksudnya tunduknya adalah misalnya makan selalu dimasakkan disediakan, pakaian pasti dicucikan dan sebagainya, tapi dalam pengambilan keputusan sama sekali istri kita bergeming dan tidak mau berubah posisinya. Kalau sudah memutuskan sesuatu, dia mesti melakukannya dan tidak peduli apapun yang kita katakan. Bagi kita maka kita akan berkata,"Mana ketundukanmu?" dan istri mungkin berkata,"Saya sudah tunduk, saya sudah menyediakan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah kamu" maka kita harus saling menyesuaikan catatan-catatan kita supaya akhirnya dapat menerima apa yang sesungguhnya ingin kita sampaikan kepada pasangan kita.
GS : Alasan yang kedua apa, Pak Paul?

PG : Sama seperti pria, Pak Gunawan. Wanita adalah manusia berdosa dan sebagai manusia berdosa kita cenderung untuk memberontak. Jadi dengan kata lain di dalam setiap manusia pasti ada keingina untuk memberontak, sebab pemberontakan merupakan sebuah pesan bahwa kita tidak ingin mengalah, karena tadi saya sudah singgung perempuan adalah manusia berdosa sama seperti kita laki-laki adalah manusia berdosa maka kadang-kadang kecenderungan atau keinginan memberontak itu ada.

Kita tidak dengan mudah mengalah mengikuti kehendak seseorang, tidak mudah, itu bukanlah sesuatu yang alamiah dalam diri setiap kita ini. Kita biasanya ingin melakukan apa yang kita inginkan dan bukan melakukan apa yang diinginkan oleh orang lain. Jadi kita harus memahami bahwa sebagai wanita adakalanya tidak mudah untuk tunduk karena pada dasarnya kita ingin melakukan apa yang ingin kita ingin lakukan itu.
GS : Tapi wujud pemberontakan itu berbeda-beda satu dengan yang lain, Pak Paul, ada orang yang berani terang-terangan berontak, tapi ada juga yang tidak secara terbuka namun pemberontakan juga yang dilakukan.

PG : Dengan kata lain ada orang yang menunjukkan pemberontakan secara aktif dan terbuka, ada juga orang yang menunjukkan ketidaksukaannya, pemberontakannya secara pasif dan tertutup tapi ujung-jungnya adalah sama yaitu saya tidak mau melakukan apa yang engkau inginkan.

Di sini saya ingin berpesan kepada para wanita bahwa meskipun susah dan memang memerlukan pergumulan tapi perlu diingat bahwa kita memang memunyai keinginan untuk memberontak, tapi ada baiknya kita menahan keinginan tersebut.
GS : Kalau si suami membiarkan istrinya berontak padahal sudah jelas bertentangan dengan firman Tuhan, tapi ketika mau bertindak dia tidak berani kepada istrinya. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Biasanya kalau si suami sudah bicara dan meminta tapi tidak dipedulikan oleh si istri maka biasanya si suami akan mendiamkan dan bersikap masa bodoh, bahayanya adalah begitu suami mendiamkn dan bersikap masa bodoh maka sebetulnya sudah terjadi keretakan di dalam pernikahan itu, karena waktu si suami sudah mendiamkan dan bersikap masa bodoh, sebetulnya dua manusia meskipun hidup di dalam satu rumah dan di bawah satu atap, tapi sesungguhnya sudah merupakan dua dunia yang terpisah, masing-masing melakukan apa yang masing-masing inginkan.

Jadi benar-benar hanya tinggal status mereka menikah, tetapi di dalam hal relasi kesatuan sudah tidak ada lagi, maka itu bahaya sekali. Jadi penting bagi seorang suami tahu bahwa istrinya itu bukanlah tipe pemberontak, bukan tipe yang pokoknya ingin dilakukan harus dilakukan dan tidak peduli apa yang suaminya katakan. Seorang suami ingin istri memberikan respons bahwa apa yang suaminya katakan adalah penting, dan dia akan memertimbangkannya seserius mungkin, meskipun nanti akan ada perbedaan pendapat maka silakan diajukan, tapi diajukan dengan santun dan bukan diajukan dengan sikap tidak peduli dengan apapun yang suaminya inginkan, pokoknya kehendak dialah yang harus terjadi.
GS : Mungkin ada alasan yang lain, Pak Paul?

PG : Ada alasan yang ketiga mengapa pada dewasa ini sulit bagi wanita untuk tunduk kepada suami, secara sosial dan budaya dewasa ini kebanyakan kita dikondisikan untuk kritis dan untuk tidak beitu saja menerima apa yang dikatakan orang.

Itu sebabnya sekarang tidaklah mudah bagi perempuan untuk menerima posisi mengikuti suami. Sama seperti laki-laki, perempuan pun ingin mengetahui alasan kenapa dia harus tunduk kepada suami. Tanpa alasan yang baik istri akan mengalami kesulitan tunduk kepada suami. Tapi meskipun demikian ini tidak berarti tidak ada jalan keluarnya atau tidak ada jembatannya. Jadi silakan si istri itu mengungkapkan pendapat apakah dia susah atau tidak susah untuk mengikuti kehendak suaminya. Sebab sekali lagi istri sama seperti laki-laki yakni dewasa ini dibesarkan di dalam lingkup yang relatif sama, diberikan kesempatan untuk mengecap pendidikan yang juga sama dan akhirnya kemampuan dan kebiasaan untuk berpikir kritis tertanamkan sejak anak-anak ini kecil. Jadi tidak mudah bagi seorang istri menerima apapun yang suami katakan dan dengan mudah melakukan apa yang dikatakan suami, tidak seperti itu dan kita tidak bisa mengharapkan istri seperti itu, sebab sekali lagi zaman sudah membentuk baik laki-laki maupun perempuan untuk memunyai opini tersendiri dan alasan-alasan yang memang lebih baik untuk diikuti. Maka suami harus bisa memberikan alasan-alasan kenapa sesuatu yang diinginkan itu sebaiknya dilakukan, biarlah alasannya itu bukan saja mengandung unsur demi kepentingannya dia, tapi justru terutama demi kepentingan bersama, sewaktu istri melihat kalau ini untuk kepentingan bersama maka dia akan lebih mudah untuk menerimanya meskipun pada awalnya dia tidak setuju.
GS : Ada istri yang bertanya kepada suaminya, kenapa dia harus tunduk kepada suami dan suami hanya mengatakan,"Alkitab memang sudah mengatakan seperti itu, firman Tuhan mengatakan begitu maka kamu harus lakukan", tapi jawaban itu tidak memuaskan si istri, Pak Paul.

PG : Betul sekali dan memang seyogianyalah kita sebagai laki-laki menyediakan alasan dan kita tidak bisa hanya berkata,"sebab saya sudah berkata seperti itu maka kamu harus mengikuti", tolong jlaskan alasannya.

Apalagi kalau si istri tidak bisa melihat kepentingannya diwakili oleh keputusan si suami. Jadi penting sekali si suami menjelaskan alasan-alasannya kepada si istri. Belum lama ini sewaktu saya sedang di bandara karena pesawat saya ditunda, maka saya berbincang-bincang dengan seorang bapak yang bercerita bahwa, karena tugasnya maka dia harus pindah dari kota ke kota dan dia bercerita anaknya kadang-kadang dalam satu tahun bisa pindah sekolah sampai dua atau tiga kali sampai seperti itu. Dan kemudian saya bertanya,"Apa profesi istrinya?" kemudian saya bertanya,"Apa yang terjadi dengan istri bapak?" Dia menjawab,"Dia mengikuti saya, tapi kebetulan dia mendapatkan pekerjaan di setiap kota dimana saya akan pindah". Namun pointnya adalah betapa besarnya pengorbanan seorang istri, sebab jika situasinya dibalik maka saya yakin, kebanyakan laki-laki tidak akan bersedia mengorbankan diri seperti itu. Tapi dalam kasus si bapak ini, istri itu rela ikut suami berbelasan tahun karena mereka sudah menikah lama. Ikut suami untuk pindah ke sini dan ke sana, dan dia juga harus pindah pekerjaan dan anak-anak harus pindah sekolah, hal itu sangat berat bagi seorang mama melihat anak-anak itu menderita harus pindah-pindah sekolah dan dia juga berat harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan lingkup hidup yang baru tapi tetap dia lakukan. Mungkin sekali si istri itu melihat bahwa bagaimana pun juga suami mengasihi dia dan kepentingannya terwakili oleh si suami demi kepentingan bersama sehingga dia rela untuk ikut.
GS : Dalam hal ini, faktor pendidikan itu cukup dominan dan cukup besar sekali.

PG : Saya kira memang iya, kebanyakan kalau dua-dua memunyai tingkat pendidikan yang baik maka mungkin mereka bisa bercakap-cakap dan saling menjelaskan kepada satu dengan yang lain mengenai alsan-alasannya.

GS : Pak Paul, alasan yang lain tentang istri yang dominan ini apa, Pak Paul?

PG : Tidak selalu suami memiliki hikmat atau kepandaian yang melebihi istri. Kadang karena si istri lebih berhikmat, dia mengalami kesulitan untuk mendengarkan suaminya apalagi bila suaminya it menolak untuk menerima masukan dari si istri.

Jadi adakalanya kita tahu si istri jauh di atas si suami, jadi waktu dia harus mendengarkan perkataan atau permintaan si suami maka tidaklah mudah untuk dia tunduk dengan begitu saja, sebab sekali lagi dia memiliki pemikirannya dan mungkin sekali apa yang dipikirkannya itu lebih tepat atau lebih baik daripada apa yang dipikirkan oleh si suami. Jadi ini suatu tantangan besar bagi seorang istri yang memang lebih berhikmat daripada suaminya untuk tunduk kepada suaminya.
GS : Karena seseorang yang merasa lebih pandai, lebih mengetahui seringkali sulit apalagi kalau si suami bisa dikatakan kurang berpendidikan, kurang pengertian terhadap istrinya, maka ini akan mempersulit si istri untuk tunduk kepada suaminya, Pak Paul.

PG : Apalagi kalau si suami karena tahu atau merasa bahwa dia tidaklah seberhikmat atau secerdas istrinya, ada kecenderungan dia lebih kepala batu, Pak Gunawan, karena kita bisa mengerti kalau ita sudah merasa lebih rendah atau lebih kecil daripada istri kita maka kita ingin lebih menunjukkan diri kepada istri bahwa kita sama dengan dia atau bahkan kita ingin menunjukkan kalau kita justru berada di atasnya.

Sebab sebagai pemimpin kita akan berpikir kalau kita harus berada di atas istri kita. Memang itu akan menimbulkan masalah yang besar. Maka kalau seorang suami berbesar hati mengakui bahwa si istri lebih berhikmat daripadanya, maka silakan terbuka dan meminta masukan dari si istri dan si istri bijaksanalah di dalam memberikan masukan agar tidak merendahkan si suami. Jadi biarlah si suami menampung masukan si istri kemudian dia yang berkata,"Baiklah, ini adalah ide yang baik dan mari kita lakukan saja". Dengan cara seperti itu maka akan terjalinlah sebuah kerjasama, saling menghormati tapi seperti yang tadi sudah saya singgung, itu tidak akan terjadi karena yang satu merasa defensif, dalam hal ini misalkan si suami sehingga tidak lagi mau mendengarkan masukan si istri.
GS : Dalam hal istri ini menjadi dominan, apakah peran harta benda atau kekayaan dan uang itu juga akan berpengaruh, Pak Paul?

PG : Biasanya iya, sebab tidak bisa disangkal dalam hidup ini orang yang memunyai uang biasanya adalah orang yang memunyai kuasa atau otoritas dan adakalanya istri mengukur otoritas suami berdaarkan uang yang dihasilkan.

Tidak bisa disangkal akhirnya si suami kalau tidak menghasilkan uang yang besar, maka istrinya itu akan sulit menghargai apalagi untuk tunduk kepadanya. Jadi tidak heran sedikit banyak nilai hidup ini memengaruhi kita sehingga ada istri yang tidak begitu menghargai si suami sebab si suami tidak menghasilkan uang sebesar atau sejumlah yang diinginkan oleh si istri.
GS : Uang ini yang mengelola adalah si istri, jadi katakan pada awal pernikahan mereka sama-sama modalnya pas-pasan karena si suami bekerja dengan rajin dan uang itu dipasrahkan kepada istrinya, apakah itu berpengaruh istri menjadi dominan terhadap si suami?

PG : Seharusnya kalau si suami menghasilkan uang yang layak, meskipun istri yang mengelola atau yang menyimpan uang dan sebagainya, seharusnya tidak seperti itu. Tapi kita ini adalah manusia yag tidak sempurna dan berdosa, sehingga adakalanya karena si istri melihat saya hanya menghasilkan segini dan dia menuntut suaminya menghasilkan yang lebih banyak maka akhirnya tidak dipandang.

Saya pernah bertemu dengan kasus-kasus seperti ini, yang saya lihat suaminya sebetulnya baik-baik, sabar, tapi memang kemampuannya terbatas untuk menghasilkan uang, dan bukannya malas, dia bekerja dan benar-benar telah berusaha melakukan apapun, tapi karena keterbatasan atau karena kondisi ekonomi maka harus hidup dengan pas-pasan. Dan saya juga melihat bahwa si istri tidak menghargai. Jadi sebetulnya kasihan dan saya kira dalam hal seperti ini si istri harus ingat bahwa Tuhan itu tidak mengharapkan kita itu menilai atau menghargai orang berdasarkan uang yang dihasilkannya, tapi berdasarkan integritas hidupnya.
GS : Sebaliknya ada suami yang menggunakan uang untuk membuat istrinya tunduk kepada dia, Pak Paul.

PG : Betul. Dan memang kalau kita berbicara dengan suami seperti ini maka akan ada yang berkata,"Saya harus beruang, karena kalau tidak maka istri saya tidak akan menghargai saya". Kenapa dia blang seperti itu? Karena dia melihat contoh-contoh seperti itu juga.

Tapi tadi saya sudah singgung, kita memenangkan istri bukan lewat kuasa, baik itu kekerasan maupun kuasa uang tapi lewat kasih.
GS : Berarti masih ada alasan yang lain, Pak Paul?

PG : Ada, Pak Gunawan, yaitu yang berikut berkaitan dengan pemahaman konsep kuasa dewasa ini. Di dalam zaman ini, konsep kuasa tunggal makin sulit diterima sebab yang dianggap lebih baik adalahberbagi kuasa mulai dari sistem kenegaraan sampai perusahaan, konsep saling mengawasi dan saling mempertanggung jawabkan dianggap kunci organisasi yang sehat.

Itu sebabnya makin banyak istri yang mengharapkan suami untuk berbagi kuasa, dengan kata lain semua hal mesti disepakati bersama 50-50 dan akhirnya sulit didapati kesepakatan karena dua-dua beranggapan bahwa 50-50 dan tidak ada yang 49 dan yang satunya 51.
GS : Padahal kalau kita menengok ke belakang, 50 atau 60 tahun yang lalu, itu lebih banyak istri yang tunduk kepada suami sekalipun bukan Kristen, dibandingkan yang sekarang di era kemajuan ini. Dan itu kenapa, Pak Paul?

PG : Bisa jadi karena pada zaman dulu perempuan harus bergantung secara finansial kepada suaminya tapi sekarang tidak lagi. Dan kemandirian finansial adakalanya membuat sulit istri untuk mengikti suami, di masa lalu kalaupun tidak setuju pada akhirnya istri terpaksa mengikuti kehendak suami sebab tanpa dukungan suami secara finansial maka dia akan kesulitan memutar roda kehidupan.

Dan sekarang memang tidak demikian, apalagi kalau ada wanita yang berpenghasilan di atas suaminya.
GS : Tetapi kalau ketertundukan itu karena terpaksa, apakah hal itu bisa disebut sebagai ketundukan yang benar, Pak Paul?

PG : Nanti kita akan menyoroti hal ini dengan lebih seksama, Pak Gunawan. Sudah tentu sejatinya kita tunduk secara sukarela namun adakalanya kita harus menahan diri dan tunduklah secara terpaks demi menjaga keharmonisan rumah tangga kita.

GS : Yang benar adalah kita melandaskan kehidupan suami istri ini berdasarkan firman Tuhan, Pak Paul, dan apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Pak Gunawan, berdasarkan hal-hal tersebut di atas saya harus akui menerapkan firman Tuhan untuk tunduk kepada suami memang menjadi tantangan tersendiri. Tidak jarang akhirnya ada istri yan mengambil alih biduk keluarga malah mengendalikan suami.

Biasanya tatkala terjadi orang langsung cenderung menilai bahwa istri adalah seorang yang dominan padahal penyebabnya acapkali tidaklah sesederhana itu. Sungguhpun demikian kita tetap harus mengikuti pola atau aturan yang ditetapkan Tuhan sebagaimana dicatat di dalam Efesus 5:22-23,"Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat". Dengan kata lain, kita atau wanita memasuki pernikahan dengan kesiapan untuk tunduk.
GS : Jadi sebenarnya Tuhan sudah mengatur posisi dan tugas dengan jelas, Pak Paul, hanya kita saja yang sebagai pelaksananya kurang benar, Pak Paul.

PG : Betul-betul.

GS : Nanti akan kita perbincangkan dengan lebih lanjut pada perbincangan yang akan datang, beberapa masukan dari firman Tuhan bagaimana sebenarnya kita harus tunduk kepada suami. Tapi terimakasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Mengapa Istri Dominan?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



82. Ketundukan Sejati


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T309B (File MP3 T309B)


Abstrak:

Sebagai istri yang dominan, untuk bisa tunduk kepada suami tidaklah mudah, banyak hal yang kita tidak sukai dari pasangan karena memang kita merasa lebih mampu dibandingkan suami. Ternyata ketundukan itu bukanlah bawaan sejak lahir dan ketundukan itu perlu dipelajari. Kalau kita sadar bahwa kita adalah pribadi yang dominan dan ingin belajar pastilah kita mampu untuk tunduk kendati sulit. Di sini akan dijelaskan bagaimana kita bisa tunduk melalui ajaran firman Tuhan.


Ringkasan:

Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk menerapkan Firman Tuhan dalam hal ketundukan.

  1. Ketundukan sejati tidak dapat lahir dari keterpaksaan; ketundukan sejati keluar dari hati yang mengasihi. Salah satu cara untuk mengasihi suami adalah dengan cara meneropong kelemahannya dari kacamata kekuatannya. Dengan kata lain, bangunlah relasi di atas dasar kekuatan, bukan kelemahan. Peliharalah kekuatan dengan cara menyuburkannya yakni memberi pujian dan dorongan untuk mengembangkan sisi terbaik pada dirinya.
  2. Ketundukan sejati tidak dapat lahir dari keterpaksaan namun demikian ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan. Maksudnya adalah kadang kita harus memaksa diri tunduk kendati tidak ingin dan tidak rela demi mendahulukan kehendak suami. BELAJARLAH UNTUK MENUNDA; jangan memaksakan kehendak. Berhubung suami adalah kepala keluarga, kita tidak bisa dan tidak seharusnya membantahnya secara langsung atau menunjukkan sikap memberontak.
    1. Menunda berarti mencari kesempatan lain yang lebih tepat untuk mendiskusikan suatu hal.
    2. Menunda juga berarti menyiapkan suami untuk lebih dapat memahami keinginan dan pemikiran kita. Adakalanya ia tidak menerima pendapat kita sebab ia tidak mengerti sedalam-dalamnya apa yang terkandung di hati.
    3. Menunda juga berarti mendoakan suami supaya ia rela mengesampingkan egonya dan lebih memikirkan kepentingan kita.
  3. Kita harus menyadari siapakah diri kita. Ada di antara kita yang memang berkarakter keras dan dominan dan kita perlu mengakui fakta ini.
  4. Mungkin kita dibesarkan dalam keluarga di mana ibu berperan sepenuhnya sedang ayah hampir-hampir tidak memunyai peranan apa pun.
  5. Mungkin semua saudara kita adalah perempuan sehingga pada akhirnya kita menjadi suara terbanyak dalam keluarga.
  6. Mungkin memang kita memiliki tingkat keegoisan yang tinggi dan sukar mengalah sehingga kehendak sukar dibendung.

Kesadaran ini penting sebab bila kita tidak memiliki kesadaran ini, maka kita cepat menuding suami sebagai pihak yang bersalah, bahwa dialah yang membuat kita marah dan berbuat ini dan itu.

Firman Tuhan mengajarkan agar kita tidak mendahulukan kepentingan pribadi; sebaliknya, kita harus mendahulukan kepentingan yang lain. "Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri." (Filipi 2:3). Jika kita beranggapan bahwa kita tidak harus tunduk kepada siapa pun—termasuk suami—pastilah kita akan menuai badai konflik terus menerus. Dan, ini bukanlah rencana Tuhan.


Transkrip:

T 309 B

Lengkap

"Ketundukan Sejati" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Ketundukan Sejati". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Beberapa waktu yang lalu kita sudah membicarakan tentang alasan atau mengapa istri harus tunduk kepada suaminya dan memang Alkitab berkata demikian. Namun kenyataannya ada istri yang betul-betul tunduk sesuai kehendak Tuhan atau yang Alkitab katakan, tapi ada juga yang tunduknya karena terpaksa berarti ada ketundukan yang memang benar atau yang sejati tapi ada juga ketundukan yang semu Pak Paul, dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Seperti yang telah kita bahas di masa yang lampau bahwa kita mau terbuka dengan perubahan-perubahan zaman, dan kenapa bagi wanita itu tidak mudah tunduk begitu saja kepada suami. Kita suda membahas bahwa perempuan sekarang memunyai kesempatan untuk mengecap pendidikan sehingga cenderung lebih kritis dan tidak begitu saja bisa menerima apa yang suami katakan, jadi banyak hal yang telah kita bahas yang memang menambah sukarnya wanita untuk tunduk.

Jadi sebagai laki-laki juga harus lebih fleksibel dan sensitif dalam hal ini. Sekarang saya kira perlu membahas bagaimana caranya wanita atau istri dapat menerapkan firman Tuhan yang memang meminta wanita untuk tunduk kepada suami, sebab Tuhan sudah menetapkan seorang suami sebagai kepala keluarga.
GS : Dan apa yang bisa dilakukan oleh seorang istri untuk tunduk kepada suaminya sesuai dengan firman Tuhan?

PG : Yang pertama yang ingin saya katakan adalah ketundukan sejati tidak bisa lahir dari keterpaksaan dan ketundukan sejati keluar dari hati yang mengasihi. Jadi jika istri tidak lagi mau mengaihi suami, pasti akan sulit bagi si istri untuk tunduk kepada suami.

Jadi sekarang bagaimana cara istri untuk terus mengasihi suami sehingga bisa tunduk kepada suami, ketundukan yang lahir dari kasihnya. Salah satu cara untuk mengasihi suami adalah dengan cara meneropong kelemahannya dari kacamata kekuatannya. Artinya bangunlah relasi di atas dasar kekuatan dan bukan kelemahan. Jadi jangan kita membalikkannya yaitu dengan meneropong kekuatan suami dari kelemahan-kelemahannya. Jangan seperti itu, jadi kita harus selalu melihat kekuatan-kekuatannya, dibalik kekuatannya memang ada kelemahannya tapi yang kita dahulukan adalah kekuatan atau kelebihan-kelebihan si suami, apa-apa yang baik yang suami berikan kepadanya. Jadi dasarkan cinta atas kelebihan-kelebihan atau kekuatan si suami itu dan kita bertanggung jawab untuk menyuburkannya, misalkan si istri memberikan pujian kepada si suami, memberikan dorongan untuk mengembangkan sisi terbaik pada dirinya dan sekali-sekali istri berkata,"Saya berterima kasih kamu mau bekerja keras untuk keluarga dan saya sangat menghargai kamu yang selalu ingat kami walaupun kamu pulang jauh malam dan urusan repot, saya menghargai kamu karena kamu setia dengan keluarga dan kami tidak pernah mengkhianati kami". Pujilah supaya pujian-pujian itu menjadi kekuatan bagi si suami untuk meneruskan kebiasaan-kebiasaan baiknya dan untuk mulai mengurangi kelemahan-kelemahannya pula.
GS : Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya, Pak Paul, jadi artinya kalau kita mau melihat dengan jujur tentang suami ini, pasti ada hal-hal positif di dalam dirinya dan itu yang ditonjolkan kemudian digunakan sebagai alasan untuk si istri itu tunduk, Pak Paul.

PG : Jadi betul. Dengan dia melihat hal-hal yang positif itu maka kasih akan terpelihara. Waktu kasih itu terus berkobar, ketundukan akan lebih mudah. Jadi saya mau tekankan bahwa kalau istri sdah kehilangan kasih hampir mustahil dia bisa tunduk dengan sukarela atau dengan sejati.

Tapi kalau masih ada kasih maka dia akan lebih mudah untuk menundukkan dirinya.
GS : Dan ketundukan itu bisa dilakukan dengan sukarela tanpa keterpaksaan, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Yang lain apa, Pak Paul?

PG : Ketundukan sejati tidak dapat lahir dari keterpaksaan, namun demikian ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan. Saya ulang lagi, ketundukan sejati memang tidak dapat lahir dari kterpaksaan namun demikian ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan.

Maksudnya adalah kita harus memaksa diri sebagai istri untuk tunduk kendati kita tidak ingin dan tidak rela, kenapa? Demi mendahulukan kehendak suami. Jadi saya juga harus mengakui fakta bahwa ketundukan tidak selalu keluar secara alamiah, adakalanya kita tidak menyetujui pemikiran suami dan ingin melakukan apa yang kita ingin kehendaki, itu adalah bagian-bagian yang normal atau yang wajar dalam kehidupan tapi belajarlah untuk menunda dan jangan memaksakan kehendak, berhubung suami adalah kepala keluarga maka kita tidak bisa dan tidak seharusnya membantahnya secara langsung atau menunjukkan sikap memberontak.
GS : Jadi ketundukan itu semacam sebuah disiplin bagi si istri terhadap suaminya?

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan, dengan kata lain seorang istri juga perlu mendisiplin dirinya untuk tunduk sebab tunduk tidak selalu keluar secara alamiah, adakalanya dia harus melawan kehendakdirinya.

Jadi dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Maka tadi saya tekankan ketundukan sejati tidak bisa lahir dari keterpaksaan sebab hanya dapat lahir dari kasih namun ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan karena tidak selalu kita bersedia tunduk, jadi kadang-kadang harus memaksa diri untuk tunduk pula.
GS : Itu berarti istri harus menunda apa yang dia inginkan yang sebenarnya tidak mau tunduk atau dia ingin berontak, namun dia harus ditunda. Apa pengertian menunda ini, Pak Paul?

PG : Menunda berarti mencari kesempatan yang lain yang lebih tepat untuk mendiskusikan suatu hal. Jadi misalkan si istri mengajukan usulan dan suami tidak setuju maka jangan langsung membantah an langsung mengatakan kalau kamu tidak mau mendengarkan saya, egois, jangan lakukan itu tapi tundalah dan katakan kepada diri,"Tidak apa-apa", diam diri saja, terima saja dan cari kesempatan yang lain yang lebih tepat untuk mendiskusikannya.

Menunda juga berarti misalnya menyiapkan suami untuk lebih dapat memahami keinginan dan pemikiran kita, sebab adakalanya suami tidak menerima pendapat kita memang dia tidak mengerti sedalam-dalamnya apa yang terkandung dalam hati. Jadi dengan pembicaraan lanjut, lebih menjelaskan isi hati kita, kenapa kita mengusulkan ini dan kenapa kita meminta itu maka perlahan-lahan suami akan lebih mengerti dan melihat masalah itu dari kacamata kita, sehingga akhirnya dia lebih bersedia untuk mendengarkan kita dan sudah tentu menunda juga berarti mendoakan suami supaya dia rela mengesampingkan egonya dan memikirkan kepentingan kita pula.
GS : Memang mencari kesempatan yang seperti Pak Paul katakan, menjadikan si istri jeli mengenai suasana hati si suami, apakah dia siap untuk diajak berdiskusi atau tidak. Kadangkala si istri ini kurang bijak menentukan waktu yang tepat sehingga suami ini merasa tersinggung dan kemudian tidak bisa diajak berdiskusi, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi waktu itu penting dan jangan sampai kita memilih waktu yang tidak penting. Mungkin ada pendengar kita yang wanita berkata,"Wah wanita harus menjadi seperti pembantu atauseperti pegawai yang harus memperlakukan suami seperti majikan, harus mengerti 'timing'nya dan sebagainya," saya kira bukan seperti itu, sebab bukankah itu prinsip yang harus kita terapkan dalam setiap relasi dengan siapa pun.

Misalkan dengan anak kita, kita juga harus memerhatikan 'timing'nya, bicara dengan anak yang cocok dan jangan sampai apa yang kita ingin sampaikan menjadi boomerang dan kembali kepada kita kembali. Dengan rekan kerja kita pun sama, kita juga memerhatikan kira-kira 'timing'nya tepat atau tidak, demikian pula dengan suami carilah waktu yang tepat supaya suami lebih bisa memertimbangkan masukan kita.
GS : Kalau istri mendoakan suaminya, supaya suami mengesampingkan egonya apakah itu bukan justru menunjukkan kalau istri ini egoistis, Pak Paul?

PG : Sudah tentu waktu dua orang itu mengemukakan pendapat maka dua orang itu pasti ingin agar pendapatnya itu dimenangkan. Jadi saya kira tidak bisa tidak di dalam pernikahan masalah ego menjai masalah yang relevan, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami.

Jadi dalam pengambilan keputusan kadang-kadang si suami itu bisa egois, dan tidak bisa disangkal kita sebagai laki-laki kadang-kadang egois. Kalau istri memang melihat kita ini egois, daripada si istri langsung menyerang suami dan menuduhnya egois, maka lebih baik sebut nama suami dalam doa dan meminta Tuhan untuk mengesampingkan egonya sehingga si suami lebih berkenan untuk mendengarkan si istri.
GS : Apa akibatnya kalau ketundukan sejati itu dipertahankan lewat keterpaksaan?

PG : Saya kira kalau ketundukan sejati terus menerus dipertahankan lewat keterpaksaan maka saya kira pada akhirnya rumah tangga itu akan rusak, sebab memang harus ada kasihnya juga. Maka sekalilagi saya mau singgung bahwa harus lahir dari kasih dan itu yang pertama, tapi memang sekali-sekali harus dipertahankan lewat keterpaksaan sebab seseorang memang harus menunda dan belajar mengalah.

GS : Jadi setengahnya menyangkali diri, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Hal lain apa, Pak Paul?

PG : Untuk menerapkan perintah Tuhan supaya istri itu tunduk kepada suami, maka kita harus menyadari siapakah diri kita dan kita harus mengakui di kalangan istri bahwa ada istri yang memang bekarakter keras dan dominan dan kita harus mengakui fakta ini.

Jadi tidak selalu perempuan itu berwatak lembut, berwatak tidak dominan, bersedia menurut, tidak seperti itu. Ada wanita yang sangat keras kepala, tidak bisa tunduk dan memang agak dominan. Kalau memang kita seperti itu maka kita harus mengakuinya. Ini sangat penting sebab misalnya kalau ada apa-apa dengan si suami, langsung menyalahkan suami sebab dia buta terhadap dirinya sendiri bahwa dia adalah seorang yang dominan.
GS : Kalau seorang istri itu begitu dominan, berkarakter keras, tentu itu ada alasan-alasannya, dan itu biasanya apa saja, Pak Paul?

PG : Mungkin perempuan itu dibesarkan dalam keluarga di mana ibu berperan sepenuhnya sedangkan ayah hampir-hampir tidak memiliki peranan apa pun. Jadi akhirnya si anak perempuan itu hanya meliht contoh ibu yang berperan, yang mengurus rumah dan sebagainya.

Sedangkan melihat contoh ayah yang sama sekali tidak berperan sehingga tidak bisa mencontohnya, sehingga si anak itu tidak bisa mengikuti atau mengadopsi sikap-sikap dan nilai-nilai atau gaya hidup si ibu yang mengurus semuanya, sehingga akhirnya menjadi lebih dominan atau misalnya dalam satu keluarga hampir semua saudara adalah perempuan dan hanya si ayah yang laki satu-satunya sehingga akhirnya suara perempuan menjadi suara terbanyak di dalam keluarga sehingga mereka lebih terbiasa untuk mengatur dan mengurus semuanya tanpa harus berkonsultasi dengan si ayah, karena si ayah itu minoritas dalam rumah. Atau kenapa ada perempuan yang dominan? Mungkin karena memang dia memiliki tingkat keegoisan yang tinggi dan sukar untuk mengalah, sehingga kehendaknya sukar untuk dibendung dan memang ada perempuan yang seperti itu yaitu egois sehingga tidak mau peduli dengan perasaan seseorang dan dia akan melakukan apa yang ingin dia lakukan.
GS : Apakah itu berarti kalau orang tuanya bercerai khususnya ayahnya meninggalkan dia atau meninggal, ada kecenderungan besar bahwa anak perempuan ini akan menjadi seorang wanita yang dominan, Pak Paul?

PG : Belum tentu, Pak Gunawan. Sebab misalnya si ibu itu berperan sebab misalnya suaminya itu masih hidup, dia itu akan tetap tunduk kepada si suami dan anak-anaknya melihat bahwa ibunya itu tuduk dan itu akan menjadi sebuah model yang nanti diikuti oleh anak-anaknya.

Jadi sering kita melihat di dalam keluarga, kalau anak-anak itu melihat pola sebuah relasi yang sehat maka mereka akan meneruskannya, tapi kalau misalkan tidak sehat maka akan ada kecenderungan yang tidak sehat itu pula dan itu sangat disayangkan. Tapi sekali lagi menjawab pertanyaan Pak Gunawan, saya kira kalau ibu itu memberi contoh yang baik yakni dia itu tunduk kepada suaminya meskipun pada akhirnya si suami itu meninggal maka si ibu itu akan tetap menekankan nilai hidup seperti itu dan anak-anaknya akan cenderung juga menyerapnya.
GS : Tapi kalau dia itu diceraikan atau ditinggal oleh si suami, biasanya di hadapan anak-anak, ibu ini menyalah-nyalahkan suaminya atau mantan suaminya itu, Pak Paul sehingga di hadapan anak-anak ini terbentuk 'image' atau gambaran bahwa tidak perlu tunduk terhadap para pria.

PG : Betul sekali. Jadi kalau memang ayah itu meninggalkan ibu dan apalagi kalau meninggalkannya tidak baik-baik karena ada perempuan lain, maka sudah tentu itu akan memancing kemarahan dalam dri si anak, dan misalkan dia adalah anak perempuan maka tidak bisa tidak contoh itu akan menjadi contoh yang negatif tentang pria, sehingga bisa jadi waktu dia menikah, dia sudah memasuki pernikahan dengan membawa 'image' atau pandangan buruk terhadap pria sehingga dia tidak mudah untuk tunduk, sebab dia takut kalau dia tunduk maka apa yang terjadi pada ibunya akan terulang pada dirinya.

GS : Dan dia sendiri kuatir kalau dia sendiri suatu saat akan diperlakukan seperti itu Pak Paul, ditinggal atau ditindas oleh suaminya. Jadi akhirnya dia lebih dahulu yang melakukan seperti itu.

PG : Betul. Ataupun kalau dia tidak menguasai si suami tapi dia tidak akan bersedia untuk berada di bawah si suami atau ikut pada kehendak si suami. Jadi benar-benar dia akan mempertahankan sisem bagi kuasa dan benar-benar seperti sebuah kemitraan dan bukan sebuah kesatuan lagi.

GS : Berarti menyadari diri ini sangat penting, Pak Paul?

PG : Saya kira iya sebab kalau tidak, maka kita akan terus menyalahkan pasangan kita bahwa dialah yang menjadi penyebab masalah.

GS : Kalau kita menyadari hal itu maka apa yang harus dilakukan, Pak Paul?

PG : Jika kita memang menyadari bahwa kita memang yang egois, dominan karena latar belakang kita dan sebagainya, maka kita harus yang pertama-tama berusaha keras menahan mulut untuk mengeluarka pendapat dengan segera, kecenderungan kita orang yang dominan adalah mengeluarkan pendapat dan hal inilah yang merupakan salah satu sumber masalah.

Jadi nasehat praktis saya adalah mencoba terus menjaga mulut dan jangan langsung mengeluarkan pendapat dan jangan ada apa-apa langsung ceplas-ceplos dan langsung memberitahukan suami,"Saya tidak setuju, ini bukanlah hal yang baik, ini seharusnya tidak begini, tidak ada yang bisa mengerti dan sebagainya", jangan seperti itu, tapi tolong jaga mulut dan jangan sampai mulut itu mendahului pemikiran kita, Pak Gunawan.
GS : Jadi disamping mulut, tindakannya juga harus berbicara, Pak Paul, meskipun dia tidak bicara, kalau tindakannya menunjukkan hal itu maka akan sama saja, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi kita harus berusaha menahan diri untuk mengambil keputusan sendiri tanpa mengkonsultasikannya dengan suami. Adakalanya apa yang kita pikirkan dan kita anggap baik maka langsungkita mengambil keputusan dan bertindak, tapi akhirnya suami merasa tersisihkan.

Kadang karena terlalu yakin kita tidak merasa perlu bertukar pikiran dengan suami, ini yang tidak benar. Dari awal pernikahan kita harus mendisiplin diri untuk mengkonsultasikannya dengan suami walaupun ada kemungkinan kita akan beradu pendapat alias konflik.
GS : Dan justru orang menghindari konflik itu, Pak Paul?

PG : Tapi sebetulnya ini adalah hal yang penting untuk dilewati, sehingga pada akhirnya kita berdua bisa mengambil keputusan bersama, sebab kalau tidak yang terjadi di dalam keluarga adalah yan kita sebut dengan saling serobot, siapa yang bisa mengambil keputusan dengan segera tanpa konsultasi, langsung dia lakukan sebab dia berkata,"Kalau saya konsultasikan maka akan ada keributan maka lebih baik saya serobot, saya ambil keputusan dan nanti akibatnya ditanggung belakangan yaitu ribut-ribut" jangan seperti itu, tapi justru biarkan karena lewat pertengkaran tidak apa-apa, jadi dari awalnya biasakan disiplin diri dan konsultasikan meskipun harus bertengkar, sebab lama kelamaan kita akhirnya lebih mengerti masing-masing dan lebih bisa menyesuaikan diri sehingga bisa lebih mudah untuk mengambil keputusan bersama.

GS : Sebaliknya biasanya ada suami yang kalau dimintai pendapat atau diajak diskusi selalu jawabannya,"Terserah kamu, kalau kamu jalankan saya setuju saja" maka lama-lama istri ini juga merasa malas untuk berkonsultasi dengan suaminya, karena pada akhirnya jawabannya seperti itu dan kembali lagi kepada dia yang harus memikirkan.

PG : Betul sekali. Jadi untuk menghidupkan semangat konsultasi, memang kita harus menghindari dua ekstrem itu. Ada suami yang seperti Pak Gunawan tadi katakan,"Ya sudah terserah kamu" akhirnya strinya berpendapat,"Kalau begitu sekarang terserah saya dan saya tidak perlu lagi konsultasikan dengan suami" dan nanti suatu hari dia akan mengambil keputusan sendiri dan suaminya marah.

Tapi istrinya berkata,"Dari dulu kamu berkata terserah saya, sekarang saya ambil keputusan tanpa kamu, kamu marah" itu adalah ekstrem yang satu. Dan ektrem yang satunya, Pak Gunawan, yang akhirnya juga memecahkan semangat konsultasi dalam keluarga yaitu ada suami yang selalu berkata,"Tidak" apa pun yang istrinya katakan jawabannya adalah,"Tidak" jadi cepat sekali berkata"tidak", belum dipikirkan tapi sudah berkata,"Jelek dan tidak". Jadi apapun yang keluar dari mulut orang lain adalah salah dan jelek dan hanya yang keluar dari mulut dia atau yang keluar dari pikiran dia yang dianggap baik. Jadi istri berkata,"Kalau begitu lain kali tidak perlu konsultasi karena percuma sebab jawabannya selalu tidak". Jadi ada dua kubu atau dua ekstrem atau reaksi yang memadamkan semangat konsultasi dan kita sebagai suami jangan sampai melakukan keduanya itu.
GS : Jadi konsultasi itu lebih baik dibicarakan secara terbuka dan tidak terlalu formil bisa dibicarakan di meja makan, sehingga memang suasananya nyaman untuk bertukar pikiran istilahnya.

PG : Betul. Jadi silakan kita munculkan dan kalau pun sekali lagi saya tekankan, kalau pun harus timbul konflik, tidak apa-apa. Jadi biasakan diri untuk berusaha mencoba daripada nanti kita akhrnya main belakang, begitu dua-dua sudah main belakang, maka akan susah mendamaikan kembali pernikahan itu.

GS : Hal lain apa lagi yang harus kita perhatikan, Pak Paul?

PG : Yang terpenting adalah secara berkala harus mengalah sebagai istri. Mungkin saja pendapat kita lebih baik daripada pendapat suami, sikap mengalah yang diperlihatkan secara berkala akan menkomunikasikan citra kepada suami bahwa kita bukanlah orang yang mau menang sendiri alias egois.

Ketika suami melihat kalau kita ini tidak egois maka ia pun akan lebih terdorong untuk mengalah dan memertimbangkan pendapat kita. Sebaliknya kalau kita tidak mau mengalah maka pada akhirnya suami akan berpikir, untuk apa kamu bertanya, kalau kamu tidak bersedia mengubah pikiranmu. Jadi apabila kita bisa memulai dan memertahankan pola seperti ini maka pada akhirnya pengambilan keputusan akan menjadi proses pencarian keputusan terbaik dan bukan ajang menang dan kalah.
GS : Jadi sekalipun istri itu tunduk kepada suami, itu bukan berarti dia kalah terhadap suaminya, karena ini hubungan menang dengan menang, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi kita tidak memusingkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, tapi kita selalu memfokuskan perhatian pada apakah keputusan ini baik untuk semuanya. Dan itu yang selalu enjadi gol kita bersama.

GS : Tapi semangat itu harus dibangun bersama artinya tidak bisa dari pihak istri saja atau suami saja, Pak Paul?

PG : Benar sekali. Jadi memang dua-duanya harus belajar mengesampingkan ego. Maka dalam firman Tuhan di Efesus 5 sebelum Tuhan secara spesifik membahas peranan suami dan istri, pembukaannya adaah kita semua diminta untuk tunduk kepada satu sama lain.

Jadi dasarnya selalu kesampingkan ego.
GS : Sebenarnya memang kalau kita perhitungkan secara waktu atau secara tenaga lebih mudah kalau si istri tidak tunduk kepada suaminya, Pak Paul?

PG : Jadi untuk jangka pendek memang lebih gampang dan cepat. Tapi untuk jangka panjang akibatnya jauh lebih buruk. Jadi lebih baik kita berpikir panjang daripada berpikir pendek.

GS : Dalam hal ini apa yang firman Tuhan ajarkan kepada kita, Pak Paul?

PG : Firman Tuhan mengajarkan kepada kita agar kita tidak mendahulukan kepentingan pribadi, tapi sebaliknya kita harus mendahulukan kepentingan yang lain. Filipi 2:3 berkata,"Sebaliknya hendaklh dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri" nasehat ini sangatlah penting untuk menjaga keharmonisan pernikahan.

Jika kita beranggapan bahwa kita tidak harus tunduk kepada siapa pun termasuk suami, pastilah kita akan menuai badai konflik terus menerus dan akhirnya pernikahan pun berubah menjadi perkelahian dan sudah tentu ini bukanlah rencana Tuhan.
GS : Jadi lewat perkawinan atau pernikahan ini, sebenarnya kita belajar untuk hidup rendah hati terhadap orang lain.

PG : Betul sekali. Jadi pernikahan adalah salah satu sarana yang Tuhan gunakan untuk membentuk kita supaya lebih serupa dengan Kristus Yesus Tuhan kita yang rela mengosongkan egonya demi keselaatan kita.

GS : Jadi itu memang rencana Tuhan untuk membangun suatu keluarga dalam satu rumah tangga.

PG : Betul.

GS : Terimakasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Ketundukan Sejati". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



83. Suami Kasar


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T310A (File MP3 T310A)


Abstrak:

Tuhan memerintahkan agar suami mengasihi istrinya dan berdasarkan pelukisan kasih yang diberikan dalam Efesus 5:25-30, tersirat satu pesan bahwa mengasihi berarti memerlakukan istri dengan lembut dan penuh respek. Masalahnya adalah dengan berjalannya waktu acap kali kelembutan berubah menjadi kekasaran; respek berubah menjadi hina. Sudah tentu kita akan berkata bahwa perubahan ini terjadi bukan tanpa sebab. Pastilah kita akan menyebut sikap dan perilaku istri yang tidak baik sebagai alasan utama mengapa kita memerlakukannya dengan kasar. Sungguhpun demikian kita mesti mengingat bahwa panggilan untuk hidup sesuai karakter Allah tidak bergantung pada situasi. Apa pun situasinya, Tuhan meminta kita untuk mengasihi dan memerlakukan istri dengan lembut dan penuh respek. Apa saja situasi yang membuat suami sukar untuk memerlakukan istri dengan lembut? Dalam bagian ini diuraikan agar para istri bisa menjaga perasaan suami sehingga tidak memicu terjadinya kekerasan suami.


Ringkasan:

Tuhan memerintahkan agar suami mengasihi istrinya dan berdasarkan pelukisan kasih yang diberikan dalam Efesus 5:25-30, tersirat satu pesan bahwa mengasihi berarti memerlakukan istri dengan lembut dan penuh respek. Masalahnya adalah dengan berjalannya waktu acap kali kelembutan bermorfosis menjadi kekasaran; respek berubah menjadi hina.

Sudah tentu kita akan berkata bahwa perubahan ini terjadi bukan tanpa sebab. Pastilah kita akan menyebut sikap dan perilaku istri yang tidak baik sebagai alasan utama mengapa kita memerlakukannya dengan kasar. Sungguhpun demikian kita mesti mengingat bahwa panggilan untuk hidup sesuai karakter Allah tidak bergantung pada situasi. Apa pun situasinya, Tuhan meminta kita untuk mengasihi dan memerlakukan istri dengan lembut dan penuh respek.

Berikut akan dipaparkan situasi yang sering kali menyukarkan suami untuk mengasihi istri dan memerlakukannya dengan lembut :

  1. Secara sosial-budaya masih ada yang mengajarkan bahwa perempuan hanyalah obyek atau alat untuk melayani suami dan memelihara anak-anak. Berdasarkan nilai hidup ini maka perempuan tidaklah dipandang sama berharganya dengan laki-laki dan menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah kewajiban belaka—sesuatu yang sudah seharusnyalah dilakukan. Nah, dapat kita bayangkan betapa mudahnya nilai hidup seperti ini akhirnya melahirkan sikap kasar dan tidak jarang, kekerasan terhadap istri.
  2. Dalam lingkungan tertentu suami yang memberi perhatian besar kepada istri dipandang sebagai suami yang lemah. Mendahulukan kepentingan istri disamakan dengan kebodohan. Dan, kecintaan kepada istri dianggap sebagai ketakutan pada istri. Alhasil, tekanan sosial seperti ini menciptakan suami yang tidak tanggap terhadap kebutuhan istri dan cenderung menekan—bahkan menindas—istri agar taat kepadanya. Setiap perkataannya mesti dituruti; bila tidak, ia pun tidak segan-segan menggunakan kekerasan.
  3. Adakalanya suami bersikap kasar sebagai pembalasan atau reaksi terhadap kegagalan istri untuk memenuhi kebutuhannya. Misalkan, suami mengharapkan istri untuk bekerja guna menunjang kebutuhan keluarga namun istri menolak dengan dalih bahwa sudah seharusnyalah suami yang bekerja memenuhi kebutuhan keluarga—sekali pun itu berarti ia harus bekerja lembur sampai malam. Suami menyimpan kemarahan tetapi tidak berdaya untuk memaksa istri oleh karena dalih yang ditekankan istri bahwa suami memang harus menyediakan kebutuhan keluarga. Akhirnya kemarahan ini melahirkan sikap kasar sebab pada dasarnya lewat perilaku kasar ia sebetulnya tengah membalas dendam kepada istrinya.
  4. Kadang suami bersikap kasar kepada istri guna menunjukkan bahwa ia tetap berkuasa dalam keluarga. Mungkin ia melihat bahwa istri makin naik daun dalam pekerjaannya sedangkan ia tidak. Atau, istri berasal dari latar belakang ekonomi keluarga yang lebih mapan. Untuk menunjukkan bahwa ia tetaplah berkuasa, ia tidak segan-segan memakai kekasaran.
  5. Adakalanya suami bersikap kasar kepada istri karena memang istri tidak menghormati suami. Kadang suami tidak memerlihatkan kehidupan yang berintegritas dan sudah tentu hal seperti ini mengundang tanggapan tidak menghormati dari pihak istri. Namun ada istri yang memang sukar menghormati suami karena pelbagai alasan yang tidak dapat dibenarkan. Misalnya ada istri yang menuntut suami untuk berpenghasilan tinggi dan bila ini tidak tercapai, ia tidak menghormati suami dan sebagainya. Sudah tentu bila ini terjadi, mudah sekali bagi suami untuk bersikap kasar kepada istri.
  6. Kehilangan kasih juga dapat menjadi penyebab mengapa suami bersikap kasar kepada istri. Mungkin akibat masalah yang berlarut-larut, akhirnya kasih padam. Atau, mungkin suami tertarik kepada wanita lain sehingga merasa hidup dengan istri sebagai siksaan tersendiri. Tidak heran, ia lalu bersikap kasar kepada istrinya.
  7. Terakhir, suami bersikap kasar kepada istri oleh karena ia memang ingin lepas dari istri namun tidak berani mengambil tindakan sehingga ia terus memojokkan istrinya dengan perlakuan kasar. Pada akhirnya istri tidak tahan dan memilih untuk meninggalkan suami. Tercapailah cita-cita suami.

Firman Tuhan mengingatkan, "Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat." (Efesus 5:28-29)


Transkrip:
Lengkap

"Suami Kasar" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Suami Kasar". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Di dalam kehidupan rumah tangga, Pak Paul, seringkali ada banyak korban kekerasan dalam rumah tangga, dan seringkali yang melakukan adalah suami, walaupun kadang-kadang ada beberapa kasus di mana istri yang bersikap seperti itu. Tapi kebanyakan suami sifatnya kasar, apakah ini sudah sifat alamiahnya atau ada faktor-faktor lain yang menyebabkan suami itu bersikap kasar terhadap istrinya?

PG : Biasanya memang ada faktor-faktor lain yang mendorong suami untuk bersikap kasar, nah sudah tentu tidak menutup kemungkinan ada pria yang dasarnya kasar sehingga cenderung memperlakukan kaar pula, namun dalam pernikahan saya kira lebih sering terjadi bahwa ada faktor-faktor pendorongnya yang membuat suami itu bersikap kasar kepada istrinya.

GS : Itu juga termasuk keluarga Kristen Pak Paul, dimana sang suami itu tahu jelas bahwa dia harus mengasihi istrinya, Pak Paul?

PG : Betul. Saya kira kebanyakan suami Kristen mengerti bahwa Tuhan meminta agar kita mengasihi istri kita. Dan berdasarkan Efesus 5:25-30, tersirat suatu pesan bahwa mengasihi berarti memperlaukan istri dengan lembut dan penuh respek.

Masalahnya adalah dengan berjalannya waktu kelembutan berubah menjadi kekasaran dan respek akhirnya berubah menjadi sebuah penghinaan. Jadi saya kira hal ini yang cukup sering terjadi dan sudah tentu nanti kita akan melihat penyebab-penyebabnya sebab ada beberapa hal yang menjadi alasan kenapa pria itu bersikap kasar dan sudah tentu tidak dibenarkan tapi kita akan melihat latar belakangnya.
GS : Tapi itu bukan menjadi sebuah alasan untuk memaafkan karena memang seperti itu, apakah ini menjadi alasan untuk itu, Pak Paul?

PG : Bukan, jadi apa pun alasannya kenapa kita bersikap kasar kepada istri itu tetap tidak dibenarkan karena Tuhan meminta kita untuk mengasihi dan memperlakukan istri dengan lembut dan penuh rspek.

GS : Kira-kira faktor apa yang membuat suami bersikap kasar terhadap istrinya, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah saya kira secara sosial budaya masih ada orang yang mengajarkan bahwa perempuan adalah objek atau alat untuk melayani suami dan memelihara anak-anak, berdasarkan nilai idup ini maka perempuan tidaklah dipandang sama berharganya dengan laki-laki.

Itu sebabnya kita bisa melihat sampai sekarang masih ada orang yang lebih menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan atau kita juga bisa menyaksikan kebanggaan orang tua juga lebih ditumpukan kepada anak laki-laki, sebagai akibatnya dari nilai-nilai sosial budaya ini, akhirnya kita merasa tidak terlalu perlu untuk memberi penghargaan kepada istri dan kita menggangap bahwa apa yang dilakukannya sebagai seorang istri adalah kewajiban belaka atau sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan. Jadi dapat kita bayangkan betapa mudahnya nilai hidup seperti ini akhirnya melahirkan sikap kasar dan akhirnya tidak jarang kekerasanlah yang diperbuat terhadap istri.
GS : Kalau itu masalah pengaruh dari sosial budaya, Pak Paul, maka itu adalah sesuatu yang sukar dihindari oleh si suami atau si pria ini tadi, karena memang sejak kecil dia sudah terbentuk seperti itu dan apakah dia mau disalahkan, Pak Paul?

PG : Sudah tentu dia akan mencoba untuk bersikukuh dan berkata bahwa hal seperti ini tidaklah salah, jadi dia tidak mau berubah. Tapi memang apapun yang sosial budaya katakan memperlakukan istr sebagai objek atau alat dan tidak memunyai harga atau nilai adalah hal yang salah.

Sebab tidak berarti yang ditanamkan oleh lingkungan kita berarti adalah hal yang berkenan kepada Tuhan, ada hal-hal yang ditanamkan oleh lingkungan yang berlawanan dengan kehendak Tuhan. Dan kalau lingkungan kita menekankan bahwa wanita adalah alat yang dipakai dan tidak memiliki harga setinggi laki-laki, maka itu adalah konsep yang keliru dan apa yang tidak berkenan kepada Tuhan, maka kita harus mengubahnya.
GS : Tapi kita tidak bisa menggeneralisir bahwa suatu etnis tertentu pasti menjadi orang keras, buktinya ada suami-suami yang dari etnis itu memang bisa lembut terhadap istrinya, dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang ada Pak Gunawan, dalam lingkungan tertentu ada anggapan suami yang memberi perhatian yang besar pada si istri dipandang sebagai suami yang lemah, Pak Gunawan, hal ini sangat disayankan tapi ada lingkungan yang seperti ini.

Di dalam lingkup budaya seperti ini kelembutan suami malah diidentikkan dengan kelemahan dan bukan kekuatan. Mendahulukan kepentingan istri, disamakan dengan kebodohan,"Kamu ini bodoh, mau saja mengalah dan mendahulukan istrimu". Misalnya lagi kecintaan kepada istri dianggap sebagai ketakutan kepada istri, jadi akhirnya menjadi bahan olok-olokan, alhasil tekanan sosial seperti ini menciptakan suami yang tidak tanggap terhadap kebutuhan istri dan malah cenderung menekan atau menindas si istri agar taat kepadanya, setiap perkataannya harus dituruti, bila tidak maka dia tidak akan segan-segan menggunakan kekerasan supaya jangan sampai lingkungannya mengejek dia atau memandang dia lemah atau memandang dia takut kepada istrinya.
GS : Sebenarnya si suami itu bisa mencegah hal itu terjadi di dalam dirinya Pak Paul, kalau itu adalah pengaruh di lingkungan, misalnya dia bisa menghindar atau dia tidak menanggapi tanggapan-tanggapan seperti itu.

PG : Atau memang bisa juga dia bersikap lebih berani untuk mengoreksi pandangan-pandangan orang di sekitarnya dengan mengatakan bahwa"Kenyataan saya mengasihi istri bukankah itu justru membuahkn cinta di dalam keluarga kami dan sekarang coba lihat kehidupanmu yang tidak mau bersikap lembut kepada istri dan malahan menindas atau menginjak-injaknya, apakah istrimu mencintaimu? Apakah kamu bisa menikmati hubungan cinta dalam pernikahanmu?" Jadi adakalanya kita harus berani melawan tanggapan-tanggapan atau persepsi yang buruk yang tidak semestinya itu.

GS : Mungkin ada alasan yang lain, Pak Paul, kenapa suami itu bersikap kasar?

PG : Adakalanya suami bersikap kasar sebagai pembalasan atau reaksi terhadap kegagalan istri untuk memenuhi kebutuhannya. Saya berikan contoh, misalkan suami mengharapkan istri untuk bekerja gua menunjang kebutuhan keluarga namun istri menolak dan memang ada istri yang menolak dan tidak mau bekerja dengan dalih bahwa sudah seharusnya suamilah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekalipun itu berarti suami harus bekerja lembur dan bahkan sampai malam.

Akhirnya si suami menyimpan kemarahan tapi dia tidak berdaya untuk memaksa istri karena dalih yang ditekankan istri bahwa suami harus menyediakan kebutuhan keluarga itu. Akhirnya kemarahan yang dipendam ini melahirkan sikap kasar, sebab pada dasarnya lewat perilaku kasar sebetulnya dia tengah membalas dendam terhadap istrinya. Singkat kata kegagalan atau ketidakrelaan istri membantunya menjadi penyebab ia bersikap kasar.
GS : Apa ini bukan karena penyebab komunikasi antara suami istri itu, Pak Paul? Jadi bagaimana si suami menyampaikan harapannya dan bagaimana si istri menyampaikan pendapatnya sendiri?

PG : Memang seringkali itu yang terjadi, bisa jadi suami meminta istri bekerja tapi dengan suara yang tidak enak didengar, menyalahkan istri tidak mau peduli dengan suami, tidak mau memikul bebn dan istrinya kemudian marah dan berkata,"Saya diam di rumah mengurus rumah tangga, bukan berarti santai-santai saja, tapi saya juga capek mengurus rumah tangga, kalau kamu pulang kerja beres tapi kalau saya sampai malam pekerjaan saya tidak ada beresnya dan sekarang kamu meminta saya bekerja, seolah-olah saya harus memunyai dua pekerjaan purna waktu" jadi memang ada istri yang menolak, tapi bisa jadi karena caranya si suami menyampaikannya tidak bijaksana.

GS : Mungkin ada contoh lain yang bisa menjelaskan lebih konkret mengenai masalah suami yang ditolak ketika meminta istrinya bekerja itu.

PG : Misalnya ada contoh lain tentang kebutuhan untuk diutamakan, saya kira sebagai laki-laki memiliki kebutuhan ingin diutamakan. Misalkan kebutuhan ini tidak dipenuhi oleh istri kita, misalny suami melihat si istri cenderung mendahulukan kebutuhan keluarga asalnya di atas dirinya.

Misalnya dia pernah memunculkan hal ini,"Kenapa kamu ini lebih peduli dengan orang tuamu, kakakmu daripada saya", namun tidak mendapatkan tanggapan yang menggembirakan dari si istri maka akhirnya dia bersikap kasar kepada istrinya sebagai wujud pelampiasan kemarahannya atas kebutuhan yang tidak terpenuhi itu. Jadi sekali lagi kita bisa melihat bahwa kebutuhan yang tidak terpenuhi cenderung melahirkan sikap kasar suami terhadap istrinya.
GS : Ini kebutuhan emosional seorang pria atau kebutuhan emosional seorang suami, Pak Paul?

PG : Betul. Waktu dia merasa istrinya tidak mementingkan atau mengusahakan memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosionalnya, maka dia bisa menyimpan marah dan mencoba melampiaskannya dengan kekasaran.

GS : Tapi kekasaran yang muncul akibat ini hanyalah sesaat saja, Pak Paul?

PG : Karena memang tidak terus menerus dan biasanya dalam saat-saat yang lain mereka bisa saja baik dan tidak ada apa-apa, tapi biasanya secara berkala akan terus berulang karena masalah utama ni tidak terselesaikan dan kebutuhannya tidak terpenuhi.

Memang untuk sementara bisa dikesampingkan, dilupakan atau fokus pada perhatian yang lain. Tapi akan kembali lagi selama kebutuhan-kebutuhan itu tidak dirasakan dipenuhi oleh istri maka tinggal tunggu waktu dia akan bersikap kasar lagi sebagai pelampiasan kemarahannya kepada istri.
GS : Apakah itu bisa untuk kebutuhan-kebutuhan yang sepele, akhirnya dia akan bersikap kasar seperti itu, Pak Paul.

PG : Ada besar sekali kemungkinan itu. Jadi kalau dia sudah marah dan merasa kebutuhannya tidak dipenuhi atau dianggap penting oleh si istri, seolah-olah secara tidak sadar dia mencari kesempatn untuk membalas si istri.

Jadi misalkan ada kesalahan kecil yang dibuat oleh si istri, misalkan si istri lupa untuk membangunkannya padahal dia sudah meminta,"Tolong bangunkan saya" dan akhirnya dia terlambat. Seharusnya dia mau memaklumi hal kecil seperti itu dan hanya terjadi sekali-sekali dan bukan terjadi seminggu sekali atau sebulan sekali. Tapi dia bisa marah dan kadang-kadang istri tidak mengerti,"Kenapa masalah kecil tapi kamu sangat marah" mungkin si suami sudah merasa gengsi untuk menceritakan alasan sebenarnya kenapa dia bisa marah dan bisa jadi ketika ditanya oleh si istri,"Kenapa marahnya bisa seperti ini" dia akan fokuskan pada kesalahan istri yang lupa untuk membangunkannya itu.
GS : Jadi kemarahan itu sudah ada di dalam dirinya, Pak Paul, kemudian ini menjadi alasan bagi dia untuk dilampiaskan kepada istri ini tadi, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Mungkin ada alasan yang lain, Pak Paul?

PG : Kadang suami bersikap kasar kepada istri guna menunjukkan kalau dia tetap berkuasa, Pak Gunawan. Mungkin dia melihat kalau istri makin naik daun dalam pekerjaannya, sedangkan dia tidak. Atu tidak selalu dia setara dengan istrinya, tapi misalkan dulu jarak ekonomi atau penghasilannya dengan istri berbeda jauh, dia di atas dan si istri di bawah tapi perlahan-lahan istri mulai merangkak naik sehingga gajinya makin mendekati gaji si suami dan itu menghasilkan sikap kurang aman dari si suami dan apa yang istrinya lakukan cenderung ditafsir dari sudut,"Kamu itu sengaja mau memberontak, sekarang kamu tidak mau menghormati saya, mentang-mentang sekarang kamu sudah punya penghasilan sendiri dan penghasilan kamu sekarang lumayan baik".

Jadi cukup banyak suami yang menafsir tindakan-tindakan si istri dari kacamata negatif seperti itu. Jadi akhirnya waktu dia mulai melihat istrinya itu semakin naik dan semakin naik, akhirnya dia mau menyatakan kalau dia itu yang berkuasa dan dia menggunakan kekerasan atau dia menggunakan kekasarannya.
GS : Jadi alasannya adalah karena dia merasa terancam, baik posisinya maupun pergaulannya, Pak Paul. Kalau istrinya punya banyak teman dan bisa bergaul dengan bebas dan kemudian dia sendiri tidak memiliki teman atau tidak diperhatikan orang nanti dia bisa marah-marah, Pak Paul.

PG : Betul sekali sebab dia merasa kalau orang itu hanya mencari istrinya, ketika telepon berdering yang dicari adalah istrinya sebab istrinya memang lebih supel dan lebih banyak teman atau munkin istrinya lebih murah hati, lebih banyak memberi kepada orang sehingga lebih banyak orang yang menyukai istrinya, akhirnya dia bisa merasa terancam tapi dia malu atau gengsi untuk mengatakan,"Saya merasa terancam karena kamu semakin populer".

Biasanya kita sebagai laki-laki tidak pernah mengatakan seperti itu, tapi yang kita lakukan adalah melakukan tindakan-tindakan kasar kepada istri, sekali lagi untuk menunjukkan bahwa,"saya tetap berkuasa, jadi jangan main-main". Jadi kalau kita di dalam kondisi sensitif seperti itu sebagai laki-laki, kita cenderung menafsir tindakan istri, sedikit saja si istri bicara dengan keras atau lebih berani membantah dan sebagainya kemudian langsung kita tafsir sebagai"Sekarang ini kamu sudah mulai kurang ajar, kamu sekarang tidak lagi hormat dengan saya gara-gara kamu ini memunyai penghasilan sendiri dan sebagainya". Jadi kita cenderung menarik kesimpulan yang negatif.
GS : Padahal seperti penghasilan istri yang lebih tinggi, itu adalah hal yang di luar dugaan atau rencana dari si istri, karena memang kariernya menanjak maka dia patut mendapatkan gaji yang lebih tinggi maka seharusnya itu bisa disyukuri bersama-sama, Pak Paul?

PG : Betul, betul. Jadi ada laki-laki yang peka dalam kondisi yang seperti itu, jadi kecenderungannya untuk menunjukkan dia berkuasa adalah lewat kekasaran-kekasarannya itu.

GS : Apakah ada alasan-alasan yang lain, Pak Paul?

PG : Misalnya adalah suami yang bersikap kasar kepada istri karena istri tidak menghormati suami, hal itu ada dan kita tidak ingin menutup kemungkinan tersebut. Kadang suami tidak memperlihatka kehidupan yang berintegritas dan sudah tentu hal ini mengundang tanggapan yang tidak menghormati si suami dari pihak si istri, namun ada istri yang memang sukar untuk menghormati suami karena berbagai alasan yang tidak dapat dibenarkan.

Misalnya ada istri yang menuntut suami untuk berpenghasilan tinggi dan bila ini tidak tercapai kemudian dia tidak menghormati si suami, ada yang seperti itu. Dan ada juga si istri yang mengharapkan suami agar tetap bugar sebab si istri kebetulan sangat menjaga kesehatan, sering senam dan sebagainya. Jadi dia mengharapkan suaminya agar tetap bugar dan sebagainya, ketika suaminya menua dan tidak sebugar dulu tiba-tiba respek si istri terhadap suami pun berkurang. Sudah tentu jika ini yang terjadi maka mudah sekali bagi suami akhirnya untuk bersikap kasar kepada istrinya.
GS : Jadi ini bukan kasus di mana suaminya itu gila hormat, tapi dia merasa dilecehkan oleh si istri?

PG : Betul. Dan memang benar-benar dilecehkan sebab memang ada istri yang seperti ini yakni benar-benar mengukur nilainya suami dari besarnya penghasilan. Jadi kalau penghasilan suami tidak mennjak dan teman-temannya sudah menanjak maka ada istri yang langsung memandang rendah suaminya dan sengaja menyakiti hati si suami dengan membandingkannya dengan orang lain, hal itu juga ada.

Jadi baik kita laki-laki maupun perempuan, kita semua adalah orang berdosa dan orang yang berdosa bisa berbuat dosa.
GS : Apalagi kalau pelecehan itu dilakukan di depan umum, di hadapan teman-teman suaminya maka suami bisa bersikap sangat kasar, bahkan ada yang di tengah-tengah orang dia mengungkapkan kekasarannya terhadap istrinya, Pak Paul.

PG : Ada yang seperti itu dan akhirnya dia tidak bisa kendalikan diri sebab dia merasa kalau istrinya keterlaluan dengan menghina dia di depan orang dan sebagainya, jadi akhirnya dia bersikap ksar.

Sudah tentu kita tidak membenarkan sikap kasar ini, tapi karena kita mau menyoroti penyebabnya maka kita harus memunculkan hal ini, jadi adakalanya kesalahan ada pada pihak si istri yang terlalu memandang suami dari segi materi.
GS : Alasan yang lain lagi apa, Pak Paul?

PG : Kehilangan kasih, Pak Gunawan. Ini bisa menjadi penyebab mengapa suami bersikap kasar kepada si istri, misalnya mungkin akibat masalah dalam rumah tangga yang berlarut-larut kasih akhirnyapadam atau suami tertarik kepada wanita lain sehingga dia merasa hidup dengan istri merasa siksaan tersendiri, karena dia sudah merasa tersiksa jadi akhirnya cenderung bersikap kasar kepada istrinya.

Istrinya bertanya,"Nanti pulang jam berapa" suaminya marah, istrinya bertanya,"Nanti pulang mau makan atau tidak? Kalau mau makan nanti saya siapkan makanan" suami marah dan berkata,"Tidak perlu bertanya seharusnya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan", sebab dia sudah merasa tersiksa tinggal di dalam rumah dan dia tidak suka lagi dengan istrinya dan dia sudah suka dengan perempuan lain. Jadi benar-benar dia tidak merasa bahagia di rumah dan cara dia mengungkapkan ketidakbahagiaannya dengan cara mulutnya itu kasar dan menjatuhkan si istri.
GS : Tapi sebetulnya dia yang menjadi penyebab karena dia berselingkuh dengan orang lain, hal itu sumbernya adalah dari dia dan bukan dari istrinya, Pak Paul.

PG : Tapi masalahnya sebagai kita manusia berdosa adalah kita pada umumnya tidak mau mengakui bahwa kita yang salah, jadi si suami yang memang tertarik dengan wanita lain apalagi menjalin hubunan dengan wanita lain.

Maka tidak akan mengakui bahwa,"Sebetulnya saya telah kasar kepadamu karena saya menyukai wanita lain" tidak seperti itu, tapi dia akan berkata,"Saya kasar kepadamu karena kamu penyebabnya dan kamu yang membuat saya marah, kamu yang bertanya, kamu yang tidak memiliki pemikiran untuk melakukan seperti ini dan sebagainya". Jadi dia akan salahkan istrinya sebagai penyebab kekasarannya.
GS : Kalau kehendak atau keinginan si suami misalnya ingin memberi suatu barang atau sesuatu yang dia inginkan lalu dicegah oleh istrinya, hal itu bisa menimbulkan sikap kasar atau tidak, Pak Paul?

PG : Saya kira bisa sebab pada akhirnya dia akan marah, tapi dia tidak berkutik untuk bisa melepaskan atau mengubah pandangan istrinya. Jadi karena dia tersiksa maka bisa saja nanti ketika ada esempatan maka dia akan mengeluarkan amarahnya dan dia akan menggunakan kesempatan itu untuk balas menyerang si istri.

GS : Sikap kasar yang kita bicarakan selama ini, bukan hanya berbentuk tindakan fisik tetapi bisa lewat perkataan dan kadang-kadang tidak ada kata-kata atau pukulan, tapi sangat jelas kalau sikapnya kasar, Pak Paul.

PG : Betul. Dan yang saya maksud di sini masih membedakan kekasaran dari kekerasan. Kalau kekerasan itu adalah tindakan fisik memukul atau mendorong si istri tapi kekasaran memang lebih merupakn sebuah sikap, bisa melalui perkataan-perkataan atau melalui sikap-sikap yang tidak lagi menghormati, tidak mau menjawab dan mendiamkan si istri.

Sikap-sikap seperti itu yang saya definisikan sebagai kekasaran.
GS : Kita lanjutkan lagi pada alasan, mungkin masih ada lagi, Pak Paul?

PG : Ada satu lagi dan yang terakhir adalah ada suami yang bersikap kasar kepada istri karena dia ingin lepas dari istri, namun dia tidak berani mengambil tindakan sehingga dia terus memojok-mookkan si istri dengan perlakuan kasar, harapannya adalah dengan dia bersikap kasar kepada si istri, istri akhirnya tidak tahan dan misalnya istrinya akan menggugat cerai, kemudian dia bisa berkata,"Saya diceraikan oleh istri saya dan bukan saya yang menceraikan istri saya".

Padahal dia itu yang menyudutkan si istri sehingga akhirnya si istri terpaksa tidak tahan lagi dan mau keluar dari pernikahan ini. Sudah tentu sikap seperti ini tidaklah ksatria dan pengecut. Dan pada akhirnya memang suami mendapatkan yang dia inginkan dan istrinya keluar dari rumah dan sekali lagi dialah yang menjadi penyebab semua ini.
GS : Pak Paul, walaupun kekasaran suami ditujukan kepada istri, pasti ada pengaruhnya terhadap anak-anak, Pak Paul?

PG : Biasanya anak-anak akan melihat kekasaran papa kepada mama, kemudian akan ada beberapa reaksinya dan sudah tentu anak-anak akan menyimpan kemarahan sehingga nantinya dia bisa bersikap mara kepada si papa yang telah bersikap kasar kepada mama, tapi ini dampak yang tidak enak atau susah kita terima, tapi hal itu terjadi yaitu ada anak-anak yang melihat papanya marah kepada mama dan tidak suka melihat itu tapi akhirnya dia sendiri pun menjadi orang yang seperti itu yaitu kasar kepada orang lain, kepada istrinya dan kadang-kadang kasar kepada mamanya pula.

GS : Ada lagi istri yang walaupun dikasari bagaimana pun juga, dia tetap mengasihi suaminya. Kenapa bisa seperti itu, Pak Paul?

PG : Bisa dan memang dia orang yang sangat matang, sangat baik dan sangat rohani sehingga bisa tetap mengampuni si suami. Atau kemungkinan yang kedua adalah dia memang membutuhkan si suami sebaai tambatan hidupnya, pelindung hidupnya, keamanan hidupnya sehingga dia menoleransi suaminya seperti itu atau kemungkinan yang ketiga, dia melihat suaminya memiliki sifat-sifat lain yang baik, sehingga dia tutup mata terhadap kekasaran si suami.

GS : Sikap kasar si suami sudah tentu bertentangan dengan firman Tuhan, apakah Pak Paul ingin menyatakan atau menunjukkan kepada para pendengar kita ayat yang mana?

PG : Di Efesus 5:28-29 firman Tuhan mengingatkan,"Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tiak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat".

GS : Jadi kita tentu sangat berharap bahwa di antara para pendengar kita tidak menjadi suami-suami yang kasar, tapi menjadi suami-suami yang lembut dan juga mengasihi istrinya dengan sepenuh hati.

PG : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Suami Kasar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



84. Mengasihi Secara Konsisten


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T310B (File MP3 T310B)


Abstrak:

Kita tahu bahwa kita harus mengasihi istri. Masalahnya adalah tidak selalu kita berhasil melakukannya dengan konsisten. Pada umumnya kita masih merasakan kasih di awal pernikahan, namun seiring dengan berjalannya waktu kita mulai kehilangan kasih. Sebenarnya mengasihi istri tidak harus melakukan hal yang besar untuk istri namun cukup kita melakukan hal-hal yang kecil namun berarti baginya, itu sudah membuat istri kita merasa dikasihi. Bagaimana melakukan hal-hal kecil yang bisa membuat dia senang?


Ringkasan:

Kita tahu bahwa kita harus mengasihi istri. Masalahnya adalah tidak selalu kita berhasil melakukannya dengan konsisten. Pada umumnya kita masih merasakan kasih di awal pernikahan namun seiring dengan berjalannya waktu kita mulai kehilangan kasih.

Berikut akan dipaparkan beberapa nasihat untuk mengasihi secara konsisten :

  1. Untuk dapat mengasihi dengan konsisten, pertama kita mesti memahami kasih itu sendiri. KASIH MERUPAKAN SEJUMLAH PERASAAN YANG TERGABUNG MENJADI SATU DAN LAHIR DARI SEJUMLAH FAKTOR YANG SALING TERKAIT. Di dalam 1 Korintus 13:4-7, kasih dijabarkan lewat pelbagai perasaan dan tindakan, yaitu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan, menutupi segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
  2. Itu sebabnya seyogianya kasih dapat bertahan untuk waktu yang lama sebab kasih berdiri di atas sejumlah perasaan dan perbuatan, bukan di atas satu perasaan dan perbuatan saja. Bila kasih berdiri di atas satu perasaan dan perbuatan saja, maka dengan mudah kasih akan runtuh bila satu fondasi itu retak. Singkat kata, Tuhan mendesain kasih sedemikian rupa supaya kita dapat menaati kehendak Tuhan untuk saling mengasihi.
  3. Kunci mengasihi adalah kekonsistenan. Pada umumnya kita hanya melakukan perbuatan-perbuatan kasih di awal pernikahan dan gagal meneruskannya setelah menikah untuk kurun yang lama. Mungkin kita beranggapan bahwa hal-hal seperti ini tidaklah penting lagi dan pasangan kita pun tidak lagi membutuhkannya. Begitu kita mulai menghentikannya, maka kasih mulai surut. Masalahnya adalah begitu kasih mulai surut, sebenarnya relasi nikah mulai mengering. Alhasil, relasi menjadi ranting kering yang mudah tersulut api. Sedikit kesalahpahaman pastilah memercikkan api pertengkaran. Makin sering terbakar pertengkaran, makin termakan habislah kasih itu.
  4. Mengasihi istri berarti menikmati istri dan kita dapat menikmati istri lewat pelbagai cara. Misalnya kita dapat mengajak istri pergi bersama, berjalan pagi bersama, bercengkerama bersama, bernyanyi bersama, bermain bersama dan merayakan cinta bersama. Jika kita tidak menikmati istri, mustahil kita masih mengasihi istri. Lakukanlah hal-hal yang membawa kenikmatan bersama dan berilah diri untuk dinikmati.
  5. Mengasihi istri sama dengan mengutamakannya. Sudah tentu adalah wajar memunyai teman pria maupun wanita namun khusus teman wanita, kita tidak bisa menjalin pertemanan akrab dengan teman wanita. Pertemanan akrab dengan teman wanita niscaya menyedot perhatian yang seyogianya diberikan kepada istri sendiri. Juga, pertemanan akrab acap kali membuka pintu berseminya perasaan suka dan tertarik kepada sang sahabat. Itu sebabnya kita mesti mengambil keputusan jelas dan tegas.
  6. Mengasihi istri harus dilandasi atas penerimaan penuh. Kebanyakan wanita memiliki keraguan atas dirinya, terutama pada saat menua. Istri mulai bertanya-tanya apakah kita masih mencintainya karena penurunan penampilan dan fungsi fisiknya. Sebagai contoh, setelah mati haid dan berhentinya produksi hormon estrogen, maka mulai terganggulah daya ingat sehingga mulai seringlah terjadi pelupaan.
  7. Singkat kata, inilah saat di mana kita mencurahkan perhatian dan penerimaan atas dirinya. Jangan sampai kita mengkritiknya dan jangan sampai keluar perkataan yang menghinanya.
  8. Terakhir, kasih merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari rasa syukur. Dalam hubungan dengan Tuhan, makin kita bersyukur, makin kita mengasihi-Nya. Sewaktu bersyukur sesungguhnya kita tengah mengingat kebaikan yang telah kita terima. Sesugguhnya kita dapat terus mengasihi istri asalkan kita terus mengingat pengorbanannya bagi kita. Makin kita mengingatnya makin hati dipenuhi rasa syukur atas keberadaannya dan makin kita mengasihinya.

Mazmur 115:1 berseru, "Bukan kepada kami ya Tuhan, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu." Tuhan telah memberi kepada kita istri yang berkorban dalam kasih dan berlaku setia serta bertanggung jawab mengurus keluarga kita, maka kita harus memberi penghargaan teragung adalah kasih kita kepadanya.


Transkrip:
Lengkap

"Mengasihi Secara Konsisten" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Mengasihi Secara Konsisten". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Kalau pada awal pernikahan, baik suami atau istri berkata,"mengasihi" terutama suami pasti mengasihi. Namun dengan berjalannya waktu, Pak Paul, kenapa mutu kasih bisa pudar atau berkurang, Pak Paul? Dan ini apa penyebabnya apa, Pak Paul?

PG : Ada beberapa penyebabnya, Pak Gunawan, jadi saya bisa katakan bahwa tidak ada orang yang berencana untuk kehilangan kasih tatkala menikahi pasangannya, tidak ada yang seperti itu. Namun daam perjalanannya itulah yang terjadi seperti yang Pak Gunawan katakan, di tengah-tengah jalan banyak yang kehilangan kasih itu.

Jadi kita mau belajar bagaimana kita bisa terus mengasihi istri kita, sebab itu adalah panggilan dan sekaligus perintah Tuhan sebagai suami untuk istri kita. Dan yang pertama, untuk dapat mengasihi secara konsisten, maka kita harus memahami apa kasih itu. Ternyata kasih adalah gabungan sejumlah perasaan yang menjadi satu dan lahir dari sejumlah faktor yang saling terkait. Jadi point saya adalah kasih bukan muncul dari suatu perasaan atau terwakili oleh satu tindakan atau perbuatan, bukan seperti itu. Tapi ada begitu banyak perasaan yang tergabung di dalam kasih dan ada sejumlah faktor yang saling terkait yang melahirkan kasih. Itu sebabnya di dalam 1 Korintus 13:4-7, ayat-ayat tentang kasih ini, kasih dijabarkan lewat pelbagai perasaan dan tindakan yaitu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan, menutupi segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Jadi dari sini kita bisa melihat bahwa kasih terwakili oleh begitu banyak perasaan dan begitu banyak perbuatan. Itulah yang namanya kasih.
GS : Artinya kalau seseorang itu sabar terhadap istrinya tapi dia tidak berlaku sopan terhadap istrinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa suami itu mengasihi istrinya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi kasih itu seharusnya diwujudkan di dalam tindakan-tindakan yang Alkitab katakan, kita memerlakukan istri dengan sopan, kita tidak mencari keuntungan sendiri, kita tidak emarah-marahinya.

Jadi kasih itu diwujudkan lewat sejumlah perbuatan dan kasih itu lahir dari sejumlah perasaan juga.
GS : Tapi rasanya tidak mungkin semua perasaan itu tumbuh secara bersamaan dan tumbuh secara sama bagusnya, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kasih itu sesuatu yang kompleks dan memunyai banyak dimensi, itu sebabnya kasih seharusnya dapat bertahan dalam waktu yang lama sebab sekali lagi kasih itu erdiri di atas sejumlah perasaan dan perbuatan dan bukan di atas satu perasaan atau suatu perbuatan saja.

Misalnya kasih berdiri hanya di atas satu perasaan atau satu perbuatan saja, maka dengan mudah kasih akan runtuh bila satu fondasi itu retak, juga kenyataan kasih merupakan pembauran dari pelbagai perasaan dan perbuatan, itu berarti kita bisa memulai kasih dari berbagai perasaan dan perbuatan pula. Jadi maksudnya sebagai manusia tidak selalu sabar dan memang firman Tuhan berkata kasih itu sabar, tapi kita tidak selalu sabar. Waktu kita gagal sabar tidak berarti kita tidak mengasihi pasangan kita. Jadi kita harus memahami bahwa kasih itu lahir dari atau gabungan dari sejumlah perasaan, maka waktu kita misalkan kurang sabar, tidak berarti kita tidak mengasihi pasangan kita, mungkin saat ini kita kurang sabar. Atau waktu kita tidak murah hati, itu juga tidak berarti kita tidak mengasihi istri kita, jadi justru karena kasih sebetulnya adalah gabungan dari berbagai perasaan dan perbuatan maka sebetulnya kasih merupakan seolah-olah memiliki banyak kaki dan sebetulnya Tuhan mendesain kasih untuk dapat dipertahankan. Jadi kalau kita berkata,"Memang susah untuk mempertahankan kasih dan akhirnya padam", tidak seperti itu. Tuhan mendesain kasih sedemikian rupa sehingga kasih dapat bertahan untuk waktu yang sangat lama karena memang banyak sekali kakinya. Di dalam siaran yang sebelumnya kita telah membicarakan hal ini dan Pak Gunawan memunculkan pertanyaan,"Kenapa ada orang atau wanita yang tetap bisa menerima suaminya meskipun suaminya kasar kepada dia?" Saya menjawab mungkin istrinya itu melihat suaminya memunyai hal-hal lain tentang dirinya yang tetap baik, jadi walaupun kasar kepadanya tetapi istrinya dapat melihat faktor-faktor lain dalam diri si suami yang dia tahu sebetulnya faktor-faktor lain itu sebetulnya merupakan wujud kasih si suami kepada dirinya. Jadi seperti itulah sebetulnya relasi kasih.
GS : Apakah itu berarti makin banyak komponen kasih yang dia rasakan dan dia lakukan, maka makin kuatlah kasih itu terhadap istri atau pasangannya?

PG : Betul sekali. Jadi makin kita mengaktualisasikan kasih dalam pelbagai cara dan bentuk, sebetulnya kita sedang membangun lebih banyak kaki atau fondasi untuk berdirinya kasih di dalam keluaga kita.

Jadi dari apa yang Pak Gunawan katakan, dapat kita simpulkan bahwa kalau orang mendasarkan kasihnya pada satu atau dua hal saja, padahal selama bertahun-tahun menikah, berarti sedikit banyak kasih itu kurang kuat, Pak Gunawan. Misalkan dia berkata,"Pokoknya kasih saya kepada istri saya adalah saya bekerja dan membawa uang maka itulah kasih saya, dan yang lainnya tidak ada". Itu berarti walaupun dia berkata bahwa dia memiliki kasih namun kasih itu kakinya hanya satu, jadi kasih yang relatif lemah dan tidak kuat. Jadi semakin banyak kaki, bukan hanya dia bekerja dan bertanggung jawab tapi dia juga sabar, dia juga murah hati, dia juga selalu percaya, dia tidak mendendam, dia tidak menghitung kesalahan, maka makin banyak kaki-kaki itu, maka makin kuatlah kasih.
GS : Mungkin ada suatu kunci atau suatu prinsip yang penting tentang kasih ini, Pak Paul?

PG : Saya kira kuncinya adalah kita mesti konsisten dalam mengasihi. Jadi pada umumnya yang terjadi adalah kita hanya melakukan perbuatan-perbuatan kasih misalnya sabar, menunggu, tidak ikut maah dan sebagainya di awal pernikahan, namun gagal meneruskannya setelah kita menikah untuk kurun yang lebih lama.

Mungkin kita beranggapan bahwa hal-hal seperti ini tidak penting dan pasangan kita tidak lagi membutuhkannya. Namun masalahnya adalah begitu kita mulai menghentikan melakukan perbuatan kasih ini, maka sebetulnya kasih ini mulai surut dan kita tidak menyadarinya. Jadi kita masih beranggapan kalau kasih itu masih ada, padahalnya sudah mulai surut. Dan begitu mulai surut sebetulnya relasi nikah mulai mengering perlahan-lahan, relasi itu akhirnya seperti ranting kering yang mudah tersulut api dan sedikit kesalahpahaman pasti akan memercikkan api pertengkaran dan makin sering terbakar pertengkaran, maka makin termakan habis kasih itu. Jadi terpenting adalah menjaga kekonsistenan perbuatan-perbuatan yang umum dilakukan untuk menyatakan kasih pada pasangan. Jangan sampai karena kita semakin sibuk akhirnya makin berkurang waktu sehingga tidak bisa lagi melakukan perbuatan-perbuatan kasih itu, sebab jangan lupa perbuatan yang konsisten akan makin melestarikan kasih.
GS : Seringkali masalahnya adalah kita tidak menyadari bahwa kasih makin hari makin padam, karena kesibukan kita atau pasangan kita dan tahu-tahu kondisinya memburuk.

PG : Betul sekali. Jadi kita harus menyadari tahapan-tahapan sebelumnya. Kasih akhirnya padam karena relasi kita sudah kering, kenapa relasi kita kering? Karena miskinnya perbuatan-perbuatan yng mengasihi dan kita tidak lagi melakukannya.

Contoh yang gampang adalah dulu kalau istri kita ulang tahun, kita tidak mungkin melupakannya dan kita membelikan ini dan itu dan membuatnya sangat spesial, tapi lama-lama hilang kespesialan itu sehingga istri kita ulang tahun tapi kadang-kadang kita melupakannya, kadang-kadang hanya menelepon dan tidak memberikan kartu dan sebagainya. Sebetulnya waktu kita tidak lagi mengingat ulang tahunnya dan tidak melakukan hal yang spesial untuk dia, maka lama kelamaan pandangan kita terhadap istri kita mulai berubah dan kita mulai melihat dia tidak spesial lagi. Jadi perbuatannya itu akhirnya memengaruhi sikap kita. Maka kita bisa melihat di dalam negara-negara yang masih mementingkan tata negara dalam bentuk kerajaan, sampai sekarang masih ada peraturan-peraturan, waktu menghadap raja ada hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Misalnya seperti yang pernah saya baca, misalkan kita bertemu dengan raja atau ratu Inggris, kita tidak boleh sembarangan menyentuhnya dan kita hanya boleh menyambutnya kalau dia mengulurkan tangan bersalaman dengan kita, dan kita tidak boleh dengan sengaja menyentuhnya karena memang tidak boleh. Jadi ada tatakrama yang sengaja dipertahankan agar respek dan kenilaian kita yang tinggi kepada si raja atau si ratu tetap dilestarikan. Dan sama dengan istri kita, ketika kita tidak peduli dengan istri kita maka tanpa terasa perlahan-lahan perlakuan kita yang tidak lagi mengkhususkan dia, mulai mengerogoti penilaian kita terhadap dia pula.
GS : Jadi kasih itu bukan sesuatu yang statis, tapi tetap harus dikembangkan dan kalau tetap tidak berkembang berarti kita tidak bisa mengasihi secara konsisten.

PG : Betul. Jadi benar-benar kuncinya di sini adalah konsisten. Kalau dulu kita biasa berjalan-jalan dengan istri kita baik pagi hari dan sebagainya, maka tetap peliharalah. Misalkan kita biasaya seminggu sekali atau dua minggu sekali berjalan-jalan ke mall atau ke pasar atau nonton film maka pertahankanlah kebiasaan itu.

Jadi perbuatan-perbuatan yang konsisten itu nantinya tetap akan memelihara kasih itu. Kalau kita mau melihat dua orang tua yang tetap harmonis dan saling mengasihi, maka mereka menjadi dua orang yang terus melakukan hal-hal rutin yang biasa mereka lakukan, mereka misalnya biasa berjalan kaki bersama maka mereka terus berjalan kaki bersama sampai usia tua. Jadi ada hal-hal yang terus dipertahankan sampai usia tua.
GS : Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa dipertahankan karena faktor usia atau karena faktor ekonomi dan sebagainya, sehingga yang dulu pernah dilakukan sekarang tidak lagi. Tapi itu bisa dikompensasi dengan perbuatan lain yang tetap menumbuhkan kasih itu.

PG : Betul sekali. Jadi kalau ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan lagi karena keterbatasan ekonomi, fisik, maka tidak mengapa dan kita mencoba melakukan hal yang lain supaya kita bisa menerusan perbuatan-perbutan yang konsisten.

GS : Faktor lain yang membuat kasih itu bisa konsisten apa lagi, Pak Paul?

PG : Mengasihi istri berarti menikmati istri. Jadi tidak bisa dipisahkan menikmati dan mengasihi istri. Dan kita bisa menikmati istri dalam berbagai cara. Misalnya dapat mengajak istri pergi besama, jalan pagi bersama, bercengkrama bersama, bernyanyi bersama, bermain bersama dan merayakan cinta bersama.

Singkat kata, mengasihi tidak dapat terlepas dari unsur menikmati. Jika kita tidak menikmati istri maka mustahil kita bisa mengasihi istri. Jadi peliharalah upaya untuk menikmati satu sama lain. Lakukanlah hal-hal yang membawa kenikmatan bersama dan berilah diri untuk dinikmati. Inilah salah satu kunci memelihara kasih dalam pernikahan.
GS : Tetapi pernyataan Pak Paul membuktikan bahwa kenikmatan itu harus dari dua belah pihak. Jadi kalau kenikmatan itu hanya dirasakan oleh satu pihak maka itu pun tidak akan menumbuhkan kasih atau membuat kasih itu konsisten.

PG : Betul sekali. Jadi harus ada kesediaan untuk memberikan diri dinikmati oleh pasangan kita. Misalnya ada suami yang ingin pergi dengan istrinya, jalan-jalan berdua, tapi ada istri misalkanyang sudah mulai menua berkata,"Tidak perlu lagi, untuk apa jalan-jalan tidak perlu".

Akhirnya sudah tentu si suami rasanya seperti api disiram air, jadinya padam dan tidak bisa melakukannya. Jadi dalam hal ini si istri sendiri tidak memberikan dirinya untuk dinikmati oleh suaminya, berjalan bersama, atau bercengkrama bersama. Jadi sekali lagi dua-dua harus bekerjasama.
GS : Tapi dalam hal ini kadang-kadang salah satu pihak harus mengorbankan dirinya untuk tidak menikmati apa yang mereka lakukan demi menjaga kasih itu tetap konsisten.

PG : Betul sekali. Jadi tidak tentu apa yang kita mau harus kita peroleh. Dan dalam pernikahan selalu ada waktu untuk segalanya, ada waktu untuk mendapatkan, ada waktu justru untuk mengeluarkan.

GS : Ada faktor lain, Pak Paul?

PG : Mengasihi istri sama dengan mengutamakannya, mustahil kita mengasihi istri bila kita tertarik atau membina kedekatan dengan wanita lain, itu tidak mungkin. Wajar bagi kita untuk memunyai tman, baik teman pria atau wanita, namun khusus untuk teman wanita, kita tidak bisa menjalin pertemanan akrab dengan teman wanita.

Pertemanan akrab dengan teman wanita berpotensi menyedot perhatian yang seyogianya diberikan kepada istri sendiri. Jadi susah sekali menjaga keseimbangan itu. Juga pertemanan akrab acapkali membuka pintu berseminya perasaan suka dan tertarik kepada sang sahabat, sebab Tuhan mendesain pria dan wanita sebagai dua makhluk yang memunyai daya tarik kepada satu dengan lain, itu sebabnya kita harus mengambil keputusan yang jelas dan tegas. Apabila kita ingin membangun pernikahan yang kuat maka kita harus mengutamakan istri dan benar-benar menghilangkan kesempatan untuk mengembangkan perasaan terhadap wanita lain.
GS : Di tengah-tengah dunia yang maju dan teknologi yang begitu canggih, Pak Paul. Itu menjadi tantangan yang berat bagi suami, karena kita dalam pertemanan tidak perlu harus bertatap muka, ada banyak sarana untuk memungkinkan pertemanan secara intim tanpa harus bertatap muka dan ini tetap mengerogoti kasih itu sendiri, Pak Paul.

PG : Kita harus belajar tegas mengutamakan pasangan kita dan pernikahan kita. Kadang-kadang ada orang yang mengeluh, saya tidak bisa menikmati cinta dan relasi dengan istri saya, tidak bisa bear—benar merasakan kasih.

Tapi masalahnya adalah dia sendiri tidak mengutamakan istri dan dia sendiri sering bergaul dengan teman-teman wanita yang lain, dan bagaimana mungkin cinta dengan istrinya dapat bersemi dan akhirnya bisa berakar kuat kalau dia terus menerus tertarik kanan kiri dengan yang lain. Jadi kalau kita mau membangun pernikahan yang kuat, cinta itu juga semakin bersemi sampai hari tua, maka kita harus memprioritaskan hubungan ini dengan cara tidak memberikan ijin kepada diri untuk tertarik kepada orang lain. Jadi jangan subur-suburkan relasi dengan orang. Dan salah satu hal yang dilakukan oleh orang dewasa sekarang ini istilahnya BB-an (Blackberry) bisa 'email', 'chatting' dan sebagainya. Jadi seperti sudah kerasukan setan 'blackberry', dan kebanyakan orang menaruh 'blackberry' di sampingnya dan malam-malam cetak-cetik dengan teman-teman, kalau hanya dengan teman-teman sejenis mungkin tidak apa-apa, tapi kalau misalnya dengan teman-teman lama dan teman-teman lawan jenis. Dan belum lagi lewat 'facebook' bertemu dengan teman-teman yang kita taksir, akhirnya kacau semua. Bagaimana bisa berkata,"Kenapa saya tidak bisa memiliki pernikahan yang kuat?" karena kesalahan kita adalah kita tidak mengutamakan pasangan kita.
GS : Berarti menjaga kekonsistenan kasih dibutuhkan waktu dan usaha yang sungguh-sungguh dari semua pihak, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Kalau kita sungguh-sungguh berkomitmen mau menyuburkan komunikasi kita maka kita harus bayar harga dan jangan menyuburkan relasi dengan orang lain, silakan berteman tapi ada atas dan tidak perlu menyambung lewat 'blackberry' atau 'chatting', itu tidak perlu.

Sebab makin banyak kita berhubungan dengan orang itu, maka perhatian kita kepada mereka makin bertambah dan perhatian kita kepada pasangan pasti akan berkurang.
GS : Apakah ada faktor lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Mengasihi istri harus dilandasi atas penerimaan penuh. Kebanyakan wanita memiliki keraguan atas dirinya terutama pada saat menua. Istri misalnya mulai bertanya-tanya apakah kita masih mencntainya, karena penurunan penampilan dan fungsi fisiknya.

Sebagai contoh setelah mati haid dan berhentinya produksi hormon ekstrogen maka mulai terganggulah daya ingat si istri sehingga mulai sering terjadi pelupa. Singkat kata inilah saat di mana kita mencurahkan perhatian dan penerimaan atas dirinya, jangan sampai kita mengkritiknya dan jangan sampai keluar perkataan yang menghinanya, dan kita harus mengunci mulut kita. Mungkin kadang-kadang kita kesal karena keterbatasan-keterbatasan istri kita, jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang menyakiti dan menghinanya. Ingat bahwa kita pun tidak sempurna dan kita rentan mengidap sakit pula. Singkat kata, kita harus senantiasa mengingat bahwa kita saling membutuhkan.
GS : Dalam arti menerima penuh, apakah kita menerima istri kita seperti apa adanya itu, Pak Paul?

PG : Dengan keterbatasannya kita menerima dia dan kita tidak mempersoalkan, kalau kita takut nanti lupa maka kita yang harus ingatkan dan lakukan. Dan jangan kita mengkritik-kritiknya karena seakin dikritik maka biasanya semakin memburuk dan dia semakin sering lupa.

Jadi justru lebih tunjukkan bahwa meskipun engkau menua atau daya fungsimu berkurang, tetap saya mengasihimu, tidak ada orang lain dalam hidup saya selain engkau.
GS : Hal itu juga memberi rasa aman terhadap si istri itu, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi dia tahu kalau dia diterima penuh oleh si suami maka itu akan memberikan ketenangan dalam jiwanya.

GS : Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Terakhir adalah kasih merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari rasa syukur. Dalam hubungan dengan Tuhan misalnya, semakin kita bersyukur, makin kita mengasihi, sewaktu kita bersyukur seungguhnya kita hendak mengingat kebaikan yang telah kita terima.

Kasih itu sirna tatkala kita tidak lagi mengingat kebaikan yang diterima dan sesungguhnya kita dapat terus mengasihi istri, asalkan kita terus mengingat pengorbanannya bagi kita. Begitu banyak kebaikan yang sudah kita terima dari istri maka makin kita mengingatnya maka semakin hati dipenuhi rasa syukur atas keberadaannya dan rasa syukur ini akhirnya akan melahirkan rasa kasih kepada istri kita.
GS : Yang penting di sini adalah menemukan alasan untuk kita bersyukur atas kondisi istri kita itu, Pak Paul.

PG : Betul. Kita harus jeli dan juga rendah hati melihat, kalau bukan istri saya maka siapa yang melakukan ini dan siapa yang mengurus anak-anak dan siapa yang membantu saya seperti ini. Jadi trus ingatlah hal-hal yang pernah istri kita lakukan untuk kita dan syukurilah.

Dari rasa syukur akan terus bersemi cinta kasih.
GS : Tetapi pelan-pelan walaupun bertahap, kita tetap harus belajar untuk bersyukur atas kehadiran istri kita walaupun ada banyak hal yang sebenarnya kita tidak punya alasan untuk bersyukur, Pak Paul.

PG : Betul. Kadang-kadang hidup itu tidak selalu di atas dan kadang-kadang hidup itu anjlok di bawah dan ketika di bawah kita tidak bisa lagi melihat apa yang menjadi keuntungan kita menikah degan istri kita, sebab sekarang kita seringnya harus memberi.

Tapi sekali lagi kita masih bisa bersyukur bahwa Tuhan memberi seorang pendamping kepada kita dan Tuhan mempercayakan dia kepada kita dan meskipun dia terbatas, tapi telah mendampingi dan mendukung kita dan telah memberi hidupnya untuk kita dalam keterbatasannya dan untuk itu, kita juga bersyukur.
GS : Sebenarnya dengan kita melatih diri kita untuk bisa mengasihi pihak lain secara konsisten, ini menolong kita untuk mengasihi Tuhan dengan lebih konsisten lagi.

PG : Tepat sekali. Tatkala kita belajar berdisiplin, mengasihi pasangan kita secara konsisten maka ini memang akan sangat menolong kita untuk mengasihi Tuhan pula. Rasa syukur terus kita pupuk epada Tuhan pula dan tidak menjadi seperti orang yang kalau mendapat untung dari Tuhan kemudian barulah bersyukur.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan ini?

PG : Mazmur 115:1 berkata,"Bukan kepada kami, ya TUHAN, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu!". Si pemazmur merasa tidak layak enerima kemuliaan atau perhatian apa pun.

Itu sebabnya dia berseru supaya Tuhanlah yang menerima kemuliaan oleh karena kasih dan setia-Nya. Tuhan telah memberi kepada kita istri yang berkorban dalam kasih dan berlaku setia serta bertanggung jawab mengurus keluarga kita. Maka kita harus memberi penghargaan kepadanya dan penghargaan teragung yang dapat kita berikan kepada istri kita adalah kasih.
GS : Memang kita perlu berusaha dengan keras bagaimana menjaga kekonsistenan dari kasih kita kepada pasangan. Tetapi saya juga yakin tanpa pertolongan Tuhan, maka usaha ini akan sia-sia saja.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Mengasihi Secara Konsisten". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



85. Hidup dengan Pasangan I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T313A (File MP3 T313A)


Abstrak:

Salah satu kesalahan terbesar yang diperbuat oleh banyak pasangan nikah adalah TERLALU CEPAT MENYERAH. Oleh karena terlalu cepat menyerah, akhirnya kita tidak dapat lagi menikmati relasi nikah yang sehat. Pada masa tua tatkala kita menengok ke belakang hati pun sarat dengan penyesalan. Kita merasa bahwa hidup telah berlalu dengan sia-sia sebab kita kurang memberi usaha terbaik dan menyerah terlalu cepat. Kita cepat menyerah gara-gara kita kecewa, frustrasi, tidak diperhatikan, letih, bermasalah. Bagaimana kita bisa menang dari kekecewaan dan bisa hidup berdamai dengan pasangan selama hidup kita? Pernikahan yang sehat akan membuat kita bisa menikmati hidup selama di dunia.


Ringkasan:

Ada peribahasa yang berbunyi, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga." Kebanyakan kita berusaha untuk hidup sebaik mungkin supaya hidup tidak menyisakan penyesalan di hari tua. Namun pada kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat melewati hidup tanpa penyesalan. Seperti tupai yang terjatuh, kita pun tersandung dalam satu dua hal sehingga mesti menanggung penyesalan di hari tua. Berikut akan dipaparkan pelbagai ruang dalam kehidupan yang kerap menyisakan penyesalan. Mudah-mudahan melalui refleksi ini kita dapat menghindar dari kesalahan serupa sehingga kita tidak harus menyisakan penyesalan dalam hidup.

Salah satu kesalahan terbesar yang diperbuat oleh banyak pasangan nikah adalah TERLALU CEPAT MENYERAH. Oleh karena terlalu cepat menyerah, akhirnya kita tidak dapat lagi menikmati relasi nikah yang sehat. Pada masa tua tatkala menengok ke belakang hati pun sarat dengan penyesalan. Kita merasa bahwa hidup telah berlalu dengan sia-sia sebab kita kurang memberi usaha terbaik dan menyerah terlalu cepat.

Sesungguhnya seperti apakah pernikahan kita kelak ditentukan oleh bagaimanakah kita menjalani pernikahan kita sekarang. Jika kita tidak terlalu cepat menyerah, maka kita pun akan lebih berkemungkinan menikmati relasi yang sehat. Namun untuk itu kita mesti terus berusaha dan tidak berputus asa.

Berikut akan dipaparkan apa yang menyebabkan kita menyerah :
  1. KECEWA.
    Sering kali kita mengalami kekecewaan sebab pernikahan tidaklah seperti yang dibayangkan. Mungkin kita mengharapkan suami yang mengayomi kita—menyayangi dan mengerti perasaan hati kita. Mungkin kita mendambakan istri yang memberi dukungan penuh sehingga kita dapat mengerjakan apa yang menjadi kerinduan hati kita.
    Ternyata setelah menikah suami tidaklah selalu memerlihatkan kasih sayangnya kepada kita. Juga tidak selalu ia memahami perasaan hati kita, malah ia yang menuntut kita untuk mengerti isi hatinya.
    Demikian pula dengan istri. Bukannya mendukung, ia malah mengacaukan rencana hidup kita sehingga apa yang telah direncanakan, tidak bisa dilaksanakan. Akhirnya kita merasa letih karena harus senantiasa memerhatikan kebutuhan istri.
    Sebagai akibat semua ini kita mengalami kekecewaan—kecewa sebab pernikahan yang didambakan tidak kunjung datang. Oleh karenanya kita pun menyerah—membiarkan pernikahan terus berjalan tanpa berusaha memerbaikinya lagi.
  2. FRUSTRASI.
    Salah satu karakter yang penting dimiliki oleh pasangan nikah adalah fleksibilitas. Orang yang fleksibel adalah orang yang bersedia melihat diri dan kekurangannya serta beradaptasi alias berubah. Masalahnya adalah tidak selalu kita menikah dengan orang yang seperti itu. Biasanya dalam kondisi seperti itu kita menjadi sering marah. Mungkin kita berharap kemarahan akan dapat menyadarkannya. Namun ternyata kemarahan kita pun tidak berhasil mengubahnya. Akhirnya kita menyerah. Kita tahu kita tidak dapat mengubahnya dan kita pun berhenti berusaha.
  3. TIDAK DIPERHATIKAN.
    Mungkin kita tidak lagi merasa dikasihi atau dihormati oleh pasangan. Mungkin ia lebih memberi perhatian kepada anak atau kepada pekerjaannya atau keluarga besarnya. Perasaan tidak dikasihi atau tidak dihormati merupakan suatu perasaan yang kuat. Begitu kuatnya sehingga sering kali perasaan ini melumpuhkan kita. Kita pun tidak ingin terluka lagi dan untuk melindungi diri, kita memutuskan untuk mengasingkan diri darinya. Kita takut mencoba atau meminta sebab kita tahu bahwa jawaban yang diberikan akan lebih menyakiti hati. Singkat kata kita menyerah.
  4. LETIH.
    Kadang pasangan tidak bersedia untuk melakukan bagiannya, baik itu menyangkut tugas rumah tangga, tugas mendidik anak atau tugas memelihara komunikasi di antara suami-istri. Mungkin ia seorang yang pasif, mungkin pula ia seorang yang egois. Mungkin ia minder sehingga merasa diri tidak mampu melakukan tugasnya. Mungkin ia tidak tahu bagaimana bersikap dan berlaku sebagai ayah atau ibu. Apa pun penyebabnya, akhirnya kita merasa letih karena semua tanggung jawab ada pada pundak kita. Semua upaya untuk melibatkannya kandas. Dalam keletihan akhirnya kita memutuskan untuk tidak lagi meminta bantuannya dan tidak lagi mengharapkan partisipasinya.
  5. BERMASALAH.
    Adakalanya pasangan mengembangkan masalah justru setelah pernikahan. Mungkin ia mulai berjudi, mungkin ia terlibat utang, mungkin ia terjun ke dalam kehidupan malam atau mungkin ia berselingkuh. Semua ini menyakitkan hati dan menghancurkan keluarga. Akhirnya kita menyerah dan memutuskan untuk angkat kaki. Kita tidak tahan lagi melihat perbuatannya sebab kita tahu bahwa kita tidak dapat menyadarkannya.
Firman Tuhan berkata, "Orang yang sabar besar pengertiannya.... Hati yang tenang menyegarkan tubuh...." (Amsal 14:29-30). Dalam segala situasi kita mesti bersikap bijaksana dan tenang. Hal terburuk yang dapat kita lakukan adalah menyerah terlalu dini. Apa pun reaksi pasangan, kita harus bersabar sebelum menyerah. Memang semua hal ini adalah hal buruk dan menyakitkan. Sudah tentu kita pun tergoda untuk menyerah karena merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya. Namun jangan sampai kita terlalu cepat menyerah. Bila kita terlalu cepat menyerah, mungkin kita akan selalu menyimpan penyesalan, kenapa kita tidak berupaya lebih lama dan lebih keras. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk tidak menyerah :
  1. SELESAIKAN MASALAH.
    Kadang karena tidak mau bertengkar kita memutuskan untuk tidak mengangkat masalah. Sudah tentu tidak semua masalah harus dibahas saat itu juga; ada masalah yang mesti ditunda pembahasannya guna mencari kesempatan yang tepat. Namun pada prinsipnya kita harus menyelesaikan masalah. Jangan takut bertengkar dan jangan takut terluka.

  2. Adalah terlebih baik bila kita bertengkar dalam usaha menyelesaikan masalah daripada mendiamkan masalah. Mendiamkan masalah hanyalah menelan kepahitan untuk sementara dan membuat masalah menggunung. Terpenting adalah sikap yang terbuka untuk melihat diri apa adanya dan bersedia untuk berubah. Inilah sikap yang mesti dikedepankan.
  3. BUAT KOMITMEN UNTUK PERBAIKAN.
    Dengan kata lain, kita harus menegaskan bahwa kita ingin dan akan berupaya sekeras mungkin untuk memerbaiki pernikahan. Kebulatan tekad seperti ini menempatkan pernikahan pada prioritas tinggi. Acap kali sewaktu pasangan melihat tekad kita untuk menjunjung tinggi pernikahan dan menjadikan pernikahan kita suatu pernikahan yang sehat, pasangan pun tergugah untuk melakukan hal yang sama.
  4. KITA HARUS MEMULAI.
    Kita bukanlah manusia yang sempurna, jadi adakalanya kita pun berbuat salah. Nah, kita harus bersedia dikoreksi olehnya dan mengambil inisiatif untuk berubah. Sewaktu kita datang kepadanya dan memintanya untuk mengoreksi kita, tidak bisa tidak, hal ini akan membuatnya tercengang. Dan tatkala kita terus datang kepadanya dan memintanya untuk mengoreksi diri kita, pada akhirnya ia pun dipaksa untuk bercermin diri.
  5. KITA HARUS KREATIF.
    Jika kita menemui jalan buntu, carilah jalan lain untuk berbicara kepadanya.. Mintalah bantuan orang lain untuk berbicara kepadanya. Mungkin ada kebutuhan dalam dirinya yang tidak terpenuhi, cobalah untuk penuhi. Singkat kata, cobalah pikirkan jalan lain untuk memerbaiki relasi. Jangan terus menggunakan cara yang sama—cara yang tidak membuahkan hasil. Misalnya, kalau kita sudah tahu bahwa memarahi tidak pernah membuahkan hasil, jangan menggunakan kemarahan lagi. Kalau bisa tanyakanlah langsung cara apakah yang paling tepat untuk menyampaikan sesuatu kepadanya.
  6. KITA HARUS BERDOA DAN BERBUAH.
    Hana berdoa meminta anak selama bertahun-tahun, bukan berminggu-minggu. Kadang Tuhan menahan jawaban doa oleh karena ada rencana tertentu yang ingin digenapi-Nya terlebih dahulu. Namun adakalanya Ia menunggu kita untuk berbuah terlebih dahulu. Dalam kasus Hana, Tuhan menunggu hingga Hana berkata bahwa ia akan memersembahkan anaknya kepada Tuhan. Pekerjaan Tuhan barulah terlaksana bila kita berserah sepenuhnya kepada-Nya.

Kesimpulan
Terlalu cepat menyerah merupakan salah satu penyebab terjadinya masalah dalam pernikahan. Bahkan tidak jarang, karena terlalu cepat menyerah kita pun mengakhiri pernikahan. Di kemudian hari kita menyesali keputusan yang dibuat dengan tergesa-gesa. Penting sekali bagi kita untuk berupaya dan tidak menyerah dengan segera. Ingatlah Firman Tuhan yang berkata, "Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:11)


Transkrip:
Lengkap

Hidup Tanpa Penyesalan -"Hidup dengan Pasangan" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Hidup dengan Pasangan" dan ini merupakan kelanjutan dari seri Hidup Tanpa Penyesalan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita juga membicarakan suatu topik tentang memilih pasangan hidup, supaya tidak menyesal di hari tua. Dan kini kita akan berbincang-bincang dengan topik yang kedua ini tentang hidup dengan pasangan. Kalau kita sudah memilih pasangan secara benar dalam pengertian sebatas kemampuan kita dan menurut pimpinan Tuhan, apakah masih ada hal lain yang kita perlu perhatikan supaya pada masa tua kita, kita tidak menyesali akan hidup pernikahan kita?

PG : Seperti telah Pak Gunawan ketahui pernikahan bukanlah sebuah relasi yang sempurna sebab kita berdua juga tidak sempurna. Oleh karena kita dua-dua orang tidak sempurna dan dua-dua dari lata belakang yang berbeda maka sudah tentu di dalam pernikahan kita harus melakukan banyak penyesuaian.

Adakalanya masalah timbul dalam proses penyesuaian itu. Memang ada masalah yang berat dan ada yang ringan, tapi adakalanya penyesuaian akhirnya terhambat. Saya lihat seringkali kita karena mengalami masalah, hambatan dan sebagainya, kita menyerah terlalu cepat dan kita akhirnya angkat tangan dan tidak lagi mau mengurus pernikahan kita dan tidak mau membereskannya serta sudah merasa percuma. Saya khawatir kalau kita menyerah terlalu cepat, pada akhirnya nanti kita akan menyesali keputusan kita dan saya sudah melihat hal itu. Saya sudah melihat orang yang mengangkat tangan terlalu cepat sehingga pada akhirnya di masa tua mereka menengok ke belakang dan melihat pernikahan mereka yang sudah kandas, yang timbul di hati adalah penyesalan,"Kenapa dulu saya menyerah terlalu cepat dan saya dulu tidak berusaha lebih keras untuk mengurusnya dan saya tidak berbuat maksimal untuk memperbaiki pernikahan saya" hal itulah yang akan kita coba angkat hari ini, Pak Gunawan, supaya jangan sampai di hari tua nanti kita hidup dengan penyesalan karena kita menyerah terlalu cepat dalam membereskan masalah dalam keluarga kita.
GS : Tapi memang daya tahan seseorang terhadap tekanan hidup pernikahan itu berbeda-beda. Ada orang yang merasa masih tahan dan dia akan terus berusaha dan masih ada harapan, tapi ada juga pasangan yang baru mengalami sedikit permasalahan dia sudah menyerah.

PG : Kadang karena kita tidak memunyai daya tahan yang kuat menghadapi masalah, kita memerlukan bantuan dan carilah bantuan, mintalah dukungan dan mintalah sahabat untuk mendoakan kita, mintala bantuan gembala sidang atau hamba Tuhan untuk memberikan kepada kita dukungan spiritual.

Dengan dukungan-dukungan itu saya berharap kita tidak terlalu dini menyerah sebab akhirnya saya temukan keputusan menyerah seringkali menjadi keputusan yang lebih buruk dari pada bertahan. Kadang-kadang kita beranggapan bahwa menyerah lebih baik. Tapi ternyata tidak selalu dan justru seringkali menyerah memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan kalau kita bertahan.
GS : Hal-hal apa saja, Pak Paul, yang seringkali membuat seseorang itu menyerah di dalam menghadapi persoalan pernikahan?

PG : Saya tidak bisa mengangkat kasus per kasus tapi saya akan menggunakan kriteria perasaannya saja. Ada beberapa perasaan yang akan saya jabarkan dan yang pertama adalah yang membuat kita serngkali menyerah terlalu cepat adalah perasaan kecewa.

Kenapa kecewa? Sebab pernikahan kita tidak seperti yang kita bayangkan, mungkin kita mengharapkan seorang suami yang mengayomi kita artinya menyayangi dan mengerti perasaan hati kita. Atau kita sebagai suami mendambakan istri yang memberi dukungan penuh sehingga kita dapat mengerjakan apa yang menjadi kerinduan hati kita, ternyata setelah kita menikah, kita mendapatkan suami kita tidaklah selalu memperlihatkan kasih sayangnya kepada kita dan mungkin sebaliknya bersikap kasar dan juga tidak selalu memahami perasaan hati kita, malah dia yang menuntut kita untuk mengerti isi hatinya. Singkat kata dia tidak tahu atau bahkan tidak peduli dengan jeritan hati dan kebutuhan kita. Demikian juga dengan istri misalnya bukannya mendukung tapi malah mengacaukan rencana hidup kita, sehingga apa yang telah direncanakan tidak bisa dilakukan, dan kadang istri juga menuntut terlalu banyak kepada kita sehingga kita justru merasa kering dan hampa akhirnya kita merasa letih karena harus senantiasa memperhatikan kebutuhan istri.
GS : Memasuki hidup pernikahan memang setiap orang punya harapan, seringkali di sini meletakkan harapan terlalu tinggi yang tidak realistis dan itu membuat orang kecewa kalau kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang diimpikannya.

PG : Saya kira dalam pernikahan tidak bisa tidak kita harus menurunkan pengharapan atau tuntutan kita, sebab pada akhirnya kita menemukan bahwa pasangan kita tidaklah seperti yang dibayangkan sbelumnya, dia tidaklah sesabar yang kita pikir, dia tidaklah semurah hati yang kita dulu anggap.

Jadi banyak hal yang harus kita kompromikan dan kita harus menurunkan standart kita. Namun saya kira ada juga kasus di mana kita sungguh merasa kecewa sebab kita tidak bisa mengharap terlalu banyak dari pasangan kita, tapi ternyata yang sederhana yang kita anggap boleh dibicarakan dan bandingkan dengan teman-teman yang lainnya, yang rasanya sederhana itu pun tidak bisa dilakukan. Misalnya ada suami yang berharap sederhana bahwa istrinya bisa menjaga anak-anak di rumah dan tidak perlu mengawasi pelajaran anak, kalau pun tidak bisa masak tidak apa-apa asal bisa mengatur rumah tangga dan meminta orang untuk masak, hanya itu saja tapi itu pun tidak bisa. Jadi ada suami yang berkata,"Saya tidak mengharapkan istri saya seperti istri-istri teman saya yang menyiapkan pakaiannya, benar-benar melayani suami seperti itu, saya tidak minta semua itu tapi justru yang sederhana seperti memastikan anak-anak cukup makan, ada makanan, itu saja kesulitan" dan sampai siang jam 1 atau jam 2 siang anak-anak belum makan dan waktu ditanya jawabannya adalah,"Belum karena anak-anak belum lapar". Kita katakan,"Sekarang ini sudah jamnya makan karena sudah jam 12 atau jam 2 siang tapi kenapa belum diberi makan" mungkin dia merasa tersinggung. Atau ada suami yang seperti itu, istrinya tidak mengharapkan banyak yang penting pulang ke rumah, sabar, bersama anak-anak dan istri, bercakap-cakap, bercengkrama, tapi itu pun juga tidak dilakukan, pulang ke rumah inginnya diam dan nonton TV, diajak berbicara jawabnya hanya sepotong-potong, kalau diajak pergi jawabannya selalu tidak mau, disuruh bantu anak ini dan itu, antar anak ke sana dan ke sini tidak mau, menyuruh istri yang mengatur semua. Jadi saya mengerti adakalanya hal-hal yang cukup mendasar itupun tidak bisa dipenuhi oleh pasangan kita dan sudah tentu ini akhirnya menimbulkan kekecewaan.
GS : Memang perlu, Pak Paul, di dalam kehidupan suami istri masing-masing mengemukakan apa yang diharapkan, kadang-kadang pasangan juga tidak mengerti apa yang kita harapkan sehingga dia melakukan apa yang dia mau dan bisa.

PG : Itu sebabnya kita jangan cepat menyerah dan kecenderungan kita adalah angkat tangan dan untuk apa bicara dengan istri untuk jaga anak dan sebagainya, lebih baik diam saja. Atau kepada suam, tidak perlu minta tolong dia mengantar anak ke sana ke sini, lebih baik tidak perlu mengajak dia bicara sebab percuma diajak bicara karena jawabnya hanya sepotong-sepotong.

Masalahnya begitu kita sudah menghentikan komunikasi maka kita sudah benar-benar menghentikan pengharapan kita sebetulnya relasi itu sudah mulai mati. Jadi ini yang jangan dilakukan dan justru kita harus utarakan apa yang kita harapkan dan terus bicara kepadanya,"Cobalah perhatikan". Dan mudah-mudahan dengan kita tidak menyerah maka kita akan melihat hasilnya.
GS : Sebaliknya kita sebagai pasangan sudah tentu tidak ingin pasangan hidup kita kecewa. Apakah kita bisa melihat bahwa pasangan hidup kita sedang kecewa kepada kita?

PG : Tergantung, Pak Gunawan. Memang ada orang yang bisa melihat dirinya dan bisa berkaca. Orang yang bisa bercermin diri kebanyakan bisa menyadari bahwa pasangannya kecewa, tapi ada juga orangyang tidak bisa melihat hal itu karena dia menganggap dirinya benar dan dia tidak menganggap ada yang salah dengan dirinya.

Jadi kalau pun pasangannya menyuruh, meminta, memelas dan sebagainya tapi tetap tidak digubris, sebab bagi dia itu merepotkan saya dan itu bukan diri saya, dan saya tidak mau direpotkan atau berbuat sesuatu yang tidak saya kehendaki. Kalau pun pasangannya itu mungkin menegurnya, dia tetap saja tidak menggubris. Jadi kadang-kadang ada orang yang tidak bisa diberitahu dan memang susah untuk belajar.
GS : Perasaan lain yang membuat orang cepat menyerah apa, Pak Paul?

PG : Selain kecewa yang saya lihat adalah frustrasi, Pak Gunawan, salah satu karakter yang penting dimiliki oleh pasangan nikah adalah fleksibilitas, artinya orang ini adalah orang yang bersedi melihat dirinya dan kekurangannya serta bersedia beradaptasi alias berubah.

Masalahnya adalah tidak selalu kita menikah dengan orang yang seperti itu. Kadang malah sebaliknya, kita menikah dengan orang yang kaku dan sulit berubah, apa pun yang kita sampaikan tidak didengarnya. Akhirnya perubahan apa pun yang diharapkan tidak digubrisnya. Biasanya dalam kondisi seperti itu, kita marah dan kita sering marah, harapan kita adalah dengan kita marah maka kita dapat menyadarkannya tapi ternyata walaupun kita sudah marah tetap kita tidak menyadarkannya dan kita menyerah, kita tahu kita tidak mungkin mengubahnya maka daripada kita marah dan ribut lebih baik kita menyerah dan diamkan saja. Jadi akhirnya frustrasi bersarang di hati kita dan kita tidak berdaya, kita mau berbuat sesuatu meminta bantuannya juga tidak bisa akhirnya kita menyerah. Tapi justru yang mau saya tekankan adalah tolong jangan terlalu cepat menyerah, sebab mungkin masih ada yang bisa kita lakukan dan mungkin masih perlu waktu untuk bisa bercakap-cakap dan menyadarkannya.
GS : Apakah frustrasi ini akibat kekecewaan yang terlalu lama, Pak Paul?

PG : Biasanya, ya. Jadi sesuatu yang kita harapkan dan mintakan kepadanya tidak dihiraukan, akhirnya kita mencoba dan berusaha memberikan kepadanya tekanan-tekanan supaya dia sadar tapi juga tiak bisa.

Misalnya contoh yang telah saya berikan, dia meminta istrinya,"Tolong perhatikan jam makan anak-anak dan jangan biasakan anak-anak makan jam 2 atau jam 3 sebab kamu tidak siapkan apa-apa, nanti anak-anak bilang,"Ma lapar" dan barulah disiapkan tapi masih perlu 1 jam lagi untuk menyiapkannya sedangkan anak-anak itu baik kalau diberikan jadwal makan yang tetap". Jadi kita mencoba bicara dengan istri kita,"Tolong perhatikan" tapi tidak didengarkan dan tetap seperti itu. Akhirnya lama-lama kita frustrasi, lelah bicara, kita menyerah dan mendiamkan diri saja. Mungkin kita diamkan dan pokoknya siang hari kita beri mereka uang untuk belanja sendiri. Masalahnya adalah begitu kita melakukan hal-hal itu, terbentuklah sebuah pola yang tidak sehat di dalam rumah tangga kita sebab kita membiarkan pasangan kita hidup seenaknya, dan ketika kita membiarkan pasangan kita hidup seenaknya maka semakin susah kita mengubahnya. Jadi tetap saya minta jangan menyerah dan terus mencoba dan komunikasikan. Siapa tahu dia sekarang tidak bisa mendengarkannya, besok dia bisa mendengarkannya.
GS : Tapi kalau tetap tidak mendengarkan, frustrasi kita semakin dalam lagi, Pak Paul?

PG : Betul. Memang ada kasus-kasus di mana orang sudah berusaha dan memberikan waktu yang panjang, tapi tetap pasangan tidak mau berubah. Itu layaklah dipertimbangkan atau dapat diterima kalau khirnya dia menyerah.

Tapi point saya adalah jangan di awal pernikahan kita sudah cepat angkat tangan dan menyerah. Jangan seperti itu tapi cobalah terus karena butuh waktu yang panjang. Ada orang yang beranggapan,"Bicara dua atau tiga kali cukup" kadang-kadang tidak seperti itu. Ada kebiasaan yang baru bisa hilang setelah lima atau enam tahunan dan bahkan ada yang lebih lama lagi, tapi sekali kita menyerah kebiasaan itu akan terus mencengkeram dan akhirnya relasi kita makin merenggang.
GS : Mungkin ada perasaan lain lagi, Pak Paul, yang membuat kita cepat menyerah?

PG : Perasaan yang lain adalah tidak diperhatikan, misalnya kita sudah tidak lagi merasa dikasihi atau dihormati oleh pasangan dan malah sebaliknya kita merasa diabaikan dan tidak lagi dianggappenting olehnya, atau kita merasa dia lebih memberikan perhatian kepada anak-anak atau pekerjaannya atau kepada keluarga besarnya akhirnya perlahan tapi pasti kita merasa bahwa kita tidak lagi menempati ruang utama di hatinya.

Ternyata semua perlakuan kasih dan respek yang diberikannya dulu tidak bertahan lama seiring dengan berjalannya waktu semua pudar tanpa bekas.
GS : Sikap pasangan tidak memerhatikan kita, kadang-kadang juga karena salah kita tidak memerhatikan dia. Jadi ini adalah hubungan timbal balik yang terjadi yang saling merugikan, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi kadang-kadang memang ada andil kita. Saya meminta agar kita semua bercermin diri dulu, kenapa sampai pasangan kita bersikap seperti itu dan tidak mau lagi memerhatikan kta, menomor duakan dan mengabaikan kita, mungkin ada hal—hal yang kita lakukan atau tidak kita lakukan untuknya sehingga membuatnya juga merasa tidak diperhatikan sehingga dia akhirnya membalas.

Namun saya mau tekankan jangan menyerah. Jangan menyerah karena tidak diperhatikan akhirnya kita mematikan perasaan kita dan itu berarti lebih buruk lagi.
GS : Seberapa kuat, Pak Paul, perasaan tidak diperhatikan ini membuat orang menyerah?

PG : Sebetulnya dari semua perasaan yang kita bahas, salah satu yang terkuat adalah perasaan tidak diperhatikan dan tidak dikasihi. Sewaktu kita merasa sebagai suami, istri tidak lagi menghormai kita maka itu berat.

Atau sebagai istri kita merasa suaminya tidak lagi mengasihi kita, itu juga berat. Jadi perasaan tidak diperhatikan adalah perasaan yang kuat, sehingga seringkali perasaan ini melumpuhkan kita dan seolah-olah mematikan perasaan yang lain, kita akhirnya memutuskan dari pada hati saya terus terluka meminta dan meminta untuk diperhatikan dan dikasihi, untuk direspek tapi tidak ada hasilnya maka kita tidak mau meminta-minta. Jadi kita akhirnya seringkali menyerah gara-gara kita ingin melindungi diri. Maka sering kita menjauhkan diri darinya dan kita takut sebab kalau nanti kita meminta atau lebih sering bergaul dengan dia, hati kita semakin disakiti.
GS : Jadi kalau begitu ini adalah salah satu bentuk perlindungan diri kita juga, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi dari pada terus dilukai maka kita menjauhkan diri dan meyakinkan diri kita bahwa memang istri saya tidak lagi menghormati saya, atau suami saya tidak lagi menyayangi say, maka hubungan kita akan semakin retak dan semakin retak.

Ini yang saya minta agar jangan terlalu cepat menyerah.
GS : Tapi orang yang seperti ini kalau ditanyakan apakah dia menyerah? Dia pasti berkata kalau dia tidak menyerah hanya dia bertahan supaya jangan menerima luka yang lebih berat lagi.

PG : Yang saya maksud tidak menyerah adalah mengeluarkan usaha berbuat sesuatu dan bukan hanya bertahan, tapi teruslah bicarakan dan mintalah, sadarkan sebab siapa tahu ini bisa berubah.

GS : Ada perasaan yang lain lagi, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah perasaan letih. Kadang kita merasa pasangan kita tidak bersedia melakukan bagiannya dalam rumah tangga. Misalnya tugas mengurus rumah, mendidik anak atau bahkan tugas mmelihara komunikasi di antara suami istri atau mungkin kita melihat pasangan kita orangnya pasif, atau kebalikannya kita melihat orang yang sangat egois atau pasangan yang minder sehingga merasa diri tidak mampu melakukan segala tugasnya.

Atau ada juga pasangan yang tidak tahu bagaimana bersikap dan berlaku sebagai ayah atau sebagai ibu. Tapi intinya adalah apa pun penyebabnya akhirnya kita merasa letih karena semua tanggung jawab ada pada pundak kita, semua upaya untuk melibatkannya, mengajaknya berpartisipasi kandas, kita tidak menerima bantuannya bahkan kitalah yang harus mengurus segalanya. Dalam keletihan akhirnya kita memutuskan untuk tidak lagi meminta bantuannya, kita tidak lagi mengharapkan partisipasinya dan kita menyerah serta membiarkan dia hidup seperti itu. Tapi dalam kondisi yang seperti itu sebetulnya kita sudah membangun sebuah tembok,"Biarlah kamu hidup di sana dan saya hidup di sini" dengan kata lain, menyerahnya kita sama dengan memutuskan tali keintiman.
GS : Ini lebih condong kepada keletihan mental dibanding keletihan fisik, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Mungkin sekali juga ada keletihan fisik tapi paling berat adalah keletihan mental karena lelah mengurus rumah dan semuanya tapi pasangan kita tidak mau terlibat membantu kita jadi akhirnya kita keletihan.

GS : Mungkin ada perasaan lain yang seringkali membuat kita itu cepat menyerah?

PG : Satu lagi yang membuat kita menyerah adalah permasalahan. Jadi adakalanya kita harus terima fakta bahwa ada pasangan yang mengembangkan masalah justru setelah pernikahan. Mungkin dia mulaiberjudi, terlibat utang atau mungkin dia terjun di dalam kehidupan malam atau mungkin dia berselingkuh, semua ini menyakitkan hati dan sudah tentu menghancurkan keluarga akhirnya kita menyerah dan kita memutuskan angkat tangan dan tidak jarang malahan angkat kaki, sebab kita tidak tahan lagi melihat perbuatannya.

Walaupun kita telah berulang kali berusaha menyadarkannya, dia tidak sadar-sadar. Jadi akhirnya kita menyerah angkat tangan dan angkat kaki.
GS : Karena memang masalah yang dihadapi menimpa kita sendiri sebagai pasangan. Misalnya karena dia kalah berjudi, uang yang habis di meja judi itu adalah uang kita juga dan ini membuat kita serba salah, ingin marah-marah tapi dia tidak menganggap kita.

PG : Sudah tentu ada waktunya kita harus bersikap tegas, kita harus melindungi keluarga kita dalam hal ini anak kita dari kehancuran yang lebih dahsyat. Maka untuk melindungi keluarga dari masaah yang lebih dahsyat kadang kita perlu bersikap tegas pada pasangan,"Kalau kamu terus begini merugikan keluarga dan menghancurkan keluarga, anak-anak juga hidup di dalam ketakutan dan ketegangan, saya tidak bisa lagi, saya minta kita pisah dan sebagainya".

Saya tahu itu tidak bisa dielakkan tapi saya minta jangan sampai pemikiran itu muncul di awal-awal dan jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan yang penting saya angkat kaki, jangan seperti itu! Akhirnya sekali lagi di hari tua banyak orang yang menyesali keputusan seperti ini, akhirnya banyak yang berkata,"memang dia punya kelemahan di sini tapi saya sebenarnya masih bisa toleransi, sebetulnya saya masih bisa melindungi anak-anak tapi saya terlalu emosional dan memutuskan angkat kaki dan akhirnya sekarang masalah tambah membesar". Jadi saya tidak ingin kita hidup di hari tua dengan penyesalan sepert ini. Tolong jangan tergesa-gesa menyerah!
GS : Tapi ada orang yang berpikir kalau terlalu lama membiarkan masalah ini berkembang terus maka kondisinya bukan tambah baik, tapi tambah parah lagi, dia berpikir kalau sejak dulu saya sudah memutuskan ini maka kondisi saya tidak akan separah sekarang.

PG : Sudah tentu ini pemikiran yang baik, pemikiran yang perlu untuk kita pertimbangkan sebab adakalanya itu yang terjadi. Saya sudah bertemu dengan kasus-kasus seperti itu, di mana orang-orangitu berkata,"Kalau dulu saya ambil tindakan yang lebih tegas, saya tinggalkan pasangan saya mungkin anak-anak saya tidak bermasalah seperti ini" sebab gara-gara rumah tangga yang begitu buruk dan perlakuan yang begitu menyakitkan dari pasangan kita kepada anak-anak kita maka nanti setelah anak-anak besar kita akan mengembangkan masalah yang juga tidak kalah besarnya.

Ada orang yang berpikir kalau dulu saya ambil tindakan yang lebih tegas mungkin saya bisa menyelamatkan anak-anak saya. Sudah tentu dua hal ini harus dipertimbangkan baik-baik tapi point saya adalah jangan cepat-cepat mengambil keputusan.
GS : Di situ diperlukan hikmat Allah seperti yang dahulu kita bicarakan di dalam memilih pasangan hidup, di dalam menentukan masalah seperti ini kalau tanpa hikmat Allah kalau hanya terbawa emosi, bisa-bisa keliru, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kita mau belajar untuk sabar. Saya mau bacakan dari Amsal 14:29-30,"Orang yang sabar besar pengertiannya. Hati yang tenang menyegarkan tubuh". Jadi dalam sgala situasi kita mesti bersikap bijaksana dan tenang.

Hal terburuk yang dapat kita lakukan adalah menyerah terlalu dini. Apa pun reaksi pasangan kita harus pertama-tama bersabar sebelum menyerah dan tenangkan hati supaya kita bisa berpikir dengan jernih. Jangan ambil keputusan tatkala beremosi.

GS : Kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang lain karena masih ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan misalnya tentang bagaimana menghadapi ini semua. Namun karena keterbatasan waktu, untuk kali ini kita harus akhiri lebih dahulu dan kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Dan para pendengar tentu kita berharap Anda mengikuti perbincangan ini pada kesempatan yang berikutnya. Kami mengucapkan banyak terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Pak Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Hidup Dengan Pasangan" yang merupakan seri dari Hidup Tanpa Penyesalan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



86. Hidup dengan Pasangan II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T313B (File MP3 T313B)


Abstrak:

Salah satu kesalahan terbesar yang diperbuat oleh banyak pasangan nikah adalah TERLALU CEPAT MENYERAH. Oleh karena terlalu cepat menyerah, akhirnya kita tidak dapat lagi menikmati relasi nikah yang sehat. Pada masa tua tatkala kita menengok ke belakang hati pun sarat dengan penyesalan. Kita merasa bahwa hidup telah berlalu dengan sia-sia sebab kita kurang memberi usaha terbaik dan menyerah terlalu cepat. Kita cepat menyerah gara-gara kita kecewa, frustrasi, tidak diperhatikan, letih, bermasalah. Bagaimana kita bisa menang dari kekecewaan dan bisa hidup berdamai dengan pasangan selama hidup kita? Pernikahan yang sehat akan membuat kita bisa menikmati hidup selama di dunia.


Ringkasan:

Ada peribahasa yang berbunyi, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga." Kebanyakan kita berusaha untuk hidup sebaik mungkin supaya hidup tidak menyisakan penyesalan di hari tua. Namun pada kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat melewati hidup tanpa penyesalan. Seperti tupai yang terjatuh, kita pun tersandung dalam satu dua hal sehingga mesti menanggung penyesalan di hari tua. Berikut akan dipaparkan pelbagai ruang dalam kehidupan yang kerap menyisakan penyesalan. Mudah-mudahan melalui refleksi ini kita dapat menghindar dari kesalahan serupa sehingga kita tidak harus menyisakan penyesalan dalam hidup.

Salah satu kesalahan terbesar yang diperbuat oleh banyak pasangan nikah adalah TERLALU CEPAT MENYERAH. Oleh karena terlalu cepat menyerah, akhirnya kita tidak dapat lagi menikmati relasi nikah yang sehat. Pada masa tua tatkala menengok ke belakang hati pun sarat dengan penyesalan. Kita merasa bahwa hidup telah berlalu dengan sia-sia sebab kita kurang memberi usaha terbaik dan menyerah terlalu cepat.

Sesungguhnya seperti apakah pernikahan kita kelak ditentukan oleh bagaimanakah kita menjalani pernikahan kita sekarang. Jika kita tidak terlalu cepat menyerah, maka kita pun akan lebih berkemungkinan menikmati relasi yang sehat. Namun untuk itu kita mesti terus berusaha dan tidak berputus asa.

Berikut akan dipaparkan apa yang menyebabkan kita menyerah :
  1. KECEWA.
    Sering kali kita mengalami kekecewaan sebab pernikahan tidaklah seperti yang dibayangkan. Mungkin kita mengharapkan suami yang mengayomi kita—menyayangi dan mengerti perasaan hati kita. Mungkin kita mendambakan istri yang memberi dukungan penuh sehingga kita dapat mengerjakan apa yang menjadi kerinduan hati kita.
    Ternyata setelah menikah suami tidaklah selalu memerlihatkan kasih sayangnya kepada kita. Juga tidak selalu ia memahami perasaan hati kita, malah ia yang menuntut kita untuk mengerti isi hatinya.
    Demikian pula dengan istri. Bukannya mendukung, ia malah mengacaukan rencana hidup kita sehingga apa yang telah direncanakan, tidak bisa dilaksanakan. Akhirnya kita merasa letih karena harus senantiasa memerhatikan kebutuhan istri.
    Sebagai akibat semua ini kita mengalami kekecewaan—kecewa sebab pernikahan yang didambakan tidak kunjung datang. Oleh karenanya kita pun menyerah—membiarkan pernikahan terus berjalan tanpa berusaha memerbaikinya lagi.
  2. FRUSTRASI.
    Salah satu karakter yang penting dimiliki oleh pasangan nikah adalah fleksibilitas. Orang yang fleksibel adalah orang yang bersedia melihat diri dan kekurangannya serta beradaptasi alias berubah. Masalahnya adalah tidak selalu kita menikah dengan orang yang seperti itu. Biasanya dalam kondisi seperti itu kita menjadi sering marah. Mungkin kita berharap kemarahan akan dapat menyadarkannya. Namun ternyata kemarahan kita pun tidak berhasil mengubahnya. Akhirnya kita menyerah. Kita tahu kita tidak dapat mengubahnya dan kita pun berhenti berusaha.
  3. TIDAK DIPERHATIKAN.
    Mungkin kita tidak lagi merasa dikasihi atau dihormati oleh pasangan. Mungkin ia lebih memberi perhatian kepada anak atau kepada pekerjaannya atau keluarga besarnya. Perasaan tidak dikasihi atau tidak dihormati merupakan suatu perasaan yang kuat. Begitu kuatnya sehingga sering kali perasaan ini melumpuhkan kita. Kita pun tidak ingin terluka lagi dan untuk melindungi diri, kita memutuskan untuk mengasingkan diri darinya. Kita takut mencoba atau meminta sebab kita tahu bahwa jawaban yang diberikan akan lebih menyakiti hati. Singkat kata kita menyerah.
  4. LETIH.
    Kadang pasangan tidak bersedia untuk melakukan bagiannya, baik itu menyangkut tugas rumah tangga, tugas mendidik anak atau tugas memelihara komunikasi di antara suami-istri. Mungkin ia seorang yang pasif, mungkin pula ia seorang yang egois. Mungkin ia minder sehingga merasa diri tidak mampu melakukan tugasnya. Mungkin ia tidak tahu bagaimana bersikap dan berlaku sebagai ayah atau ibu. Apa pun penyebabnya, akhirnya kita merasa letih karena semua tanggung jawab ada pada pundak kita. Semua upaya untuk melibatkannya kandas. Dalam keletihan akhirnya kita memutuskan untuk tidak lagi meminta bantuannya dan tidak lagi mengharapkan partisipasinya.
  5. BERMASALAH.
    Adakalanya pasangan mengembangkan masalah justru setelah pernikahan. Mungkin ia mulai berjudi, mungkin ia terlibat utang, mungkin ia terjun ke dalam kehidupan malam atau mungkin ia berselingkuh. Semua ini menyakitkan hati dan menghancurkan keluarga. Akhirnya kita menyerah dan memutuskan untuk angkat kaki. Kita tidak tahan lagi melihat perbuatannya sebab kita tahu bahwa kita tidak dapat menyadarkannya.
Firman Tuhan berkata, "Orang yang sabar besar pengertiannya.... Hati yang tenang menyegarkan tubuh...." (Amsal 14:29-30). Dalam segala situasi kita mesti bersikap bijaksana dan tenang. Hal terburuk yang dapat kita lakukan adalah menyerah terlalu dini. Apa pun reaksi pasangan, kita harus bersabar sebelum menyerah. Memang semua hal ini adalah hal buruk dan menyakitkan. Sudah tentu kita pun tergoda untuk menyerah karena merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya. Namun jangan sampai kita terlalu cepat menyerah. Bila kita terlalu cepat menyerah, mungkin kita akan selalu menyimpan penyesalan, kenapa kita tidak berupaya lebih lama dan lebih keras. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk tidak menyerah :
  1. SELESAIKAN MASALAH.
    Kadang karena tidak mau bertengkar kita memutuskan untuk tidak mengangkat masalah. Sudah tentu tidak semua masalah harus dibahas saat itu juga; ada masalah yang mesti ditunda pembahasannya guna mencari kesempatan yang tepat. Namun pada prinsipnya kita harus menyelesaikan masalah. Jangan takut bertengkar dan jangan takut terluka.

  2. Adalah terlebih baik bila kita bertengkar dalam usaha menyelesaikan masalah daripada mendiamkan masalah. Mendiamkan masalah hanyalah menelan kepahitan untuk sementara dan membuat masalah menggunung. Terpenting adalah sikap yang terbuka untuk melihat diri apa adanya dan bersedia untuk berubah. Inilah sikap yang mesti dikedepankan.
  3. BUAT KOMITMEN UNTUK PERBAIKAN.
    Dengan kata lain, kita harus menegaskan bahwa kita ingin dan akan berupaya sekeras mungkin untuk memerbaiki pernikahan. Kebulatan tekad seperti ini menempatkan pernikahan pada prioritas tinggi. Acap kali sewaktu pasangan melihat tekad kita untuk menjunjung tinggi pernikahan dan menjadikan pernikahan kita suatu pernikahan yang sehat, pasangan pun tergugah untuk melakukan hal yang sama.
  4. KITA HARUS MEMULAI.
    Kita bukanlah manusia yang sempurna, jadi adakalanya kita pun berbuat salah. Nah, kita harus bersedia dikoreksi olehnya dan mengambil inisiatif untuk berubah. Sewaktu kita datang kepadanya dan memintanya untuk mengoreksi kita, tidak bisa tidak, hal ini akan membuatnya tercengang. Dan tatkala kita terus datang kepadanya dan memintanya untuk mengoreksi diri kita, pada akhirnya ia pun dipaksa untuk bercermin diri.
  5. KITA HARUS KREATIF.
    Jika kita menemui jalan buntu, carilah jalan lain untuk berbicara kepadanya.. Mintalah bantuan orang lain untuk berbicara kepadanya. Mungkin ada kebutuhan dalam dirinya yang tidak terpenuhi, cobalah untuk penuhi. Singkat kata, cobalah pikirkan jalan lain untuk memerbaiki relasi. Jangan terus menggunakan cara yang sama—cara yang tidak membuahkan hasil. Misalnya, kalau kita sudah tahu bahwa memarahi tidak pernah membuahkan hasil, jangan menggunakan kemarahan lagi. Kalau bisa tanyakanlah langsung cara apakah yang paling tepat untuk menyampaikan sesuatu kepadanya.
  6. KITA HARUS BERDOA DAN BERBUAH.
    Hana berdoa meminta anak selama bertahun-tahun, bukan berminggu-minggu. Kadang Tuhan menahan jawaban doa oleh karena ada rencana tertentu yang ingin digenapi-Nya terlebih dahulu. Namun adakalanya Ia menunggu kita untuk berbuah terlebih dahulu. Dalam kasus Hana, Tuhan menunggu hingga Hana berkata bahwa ia akan memersembahkan anaknya kepada Tuhan. Pekerjaan Tuhan barulah terlaksana bila kita berserah sepenuhnya kepada-Nya.

Kesimpulan
Terlalu cepat menyerah merupakan salah satu penyebab terjadinya masalah dalam pernikahan. Bahkan tidak jarang, karena terlalu cepat menyerah kita pun mengakhiri pernikahan. Di kemudian hari kita menyesali keputusan yang dibuat dengan tergesa-gesa. Penting sekali bagi kita untuk berupaya dan tidak menyerah dengan segera. Ingatlah Firman Tuhan yang berkata, "Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:11)


Transkrip:
Lengkap

Hidup Tanpa Penyesalan -"Hidup dengan Pasangan" (II) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang"Hidup dengan Pasangan" dan ini merupakan suatu seri dari Hidup Tanpa Penyesalan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pada kesempatan yang lalu kita berbincang-bincang tentang hidup dengan pasangan dan ternyata ada banyak perasaan di dalam pasangan suami istri yang dapat membawa dampak negatif di kemudian hari yaitu mereka menyesali pasangannya. Perasaan-perasaan apa saja, Pak Paul, yang seringkali membuat orang menyerah?

PG : Ada beberapa perasaan yang membuat kita akhirnya terlalu cepat menyerah dalam pernikahan kita. Yang pertama adalah perasaan kecewa karena terlalu kecewa dan akhirnya menyerah serta tidak mu lagi membahas masalah kita.

Atau karena frustrasi sebab pasangan tidak memberi respons seperti yang kita harapkan dan kita mendiamkan dia. Yang ketiga adalah kita merasa pasangan tidak lagi memerhatikan kita, mungkin tidak lagi mengasihi kita, menghormati kita dan dengan cepat kita berkata,"Kalau itu memang kehendaknya dan tidak lagi mau menghormati atau mengasihi saya maka saya tidak mau tahu lagi". Atau yang lain adalah kadang kita merasa letih karena pasangan tidak mau turut ambil bagian di dalam mengurus keluarga kita. Akhirnya semua beban ada pada pundak kita, kita minta bantuannya tapi tidak pernah mendapat tanggapan yang positif. Maka akhirnya kita menyerah dan tidak minta-minta dia lagi, tapi sebenarnya membuat kita jengkel dan marah karena lelah mengurus semua ini, dia tidak mau membantu kita sama sekali akhirnya kita menyerah dan mendiamkan, kita tidak peduli dengan apa yang ingin dia perbuat. Dan juga ada yang menjadi seperti itu yaitu menyerah buru-buru karena pasangannya bermasalah, mungkin kita kaget mengetahui karena dia terlibat hutang, atau kita kaget karena dia selingkuh dan lain-lain. Kita tidak mau mengurus dan berkata,"sudah cukup saya tidak mau lagi dengan dia karena dia sudah berbuat ini" tapi point saya adalah yang telah kita angkat pada waktu yang lampau yaitu jangan cepat menyerah. Banyak orang yang karena emosi mengambil keputusan dengan drastik, menyerah dalam pernikahan namun di masa tua mereka menengok ke belakang dan menyesali keputusan mereka itu.
GS : Menyerah sendiri memang menyakitkan, tapi kalau tidak ada pilihan lain maka jalan satu-satunya adalah kita harus menempuh itu. Namun sebelum kita sampai ke sana apakah ada hal-hal yang bisa kita perhatikan supaya kita tidak cepat menyerah, Pak Paul?

PG : Ada beberapa masukan yang bisa saya tawarkan kepada para pendengar kita. Pertama adalah selesaikan masalah, kadang karena kita tidak mau bertengkar, kita putuskan untuk tidak mengangkat maalah dan mendiamkan, menguburkan masalah.

Saya mengerti tidak semua masalah harus dibahas saat itu juga. Ada masalah yang harus ditunda pembahasannya guna mencari kesempatan yang lebih baik atau lebih tepat, namun pada prinsipnya kita harus menyelesaikan masalah, jangan takut bertengkar dan jangan takut terluka. Adakalanya karena takut bertengkar, kita akhirnya mengubur masalah dan tidak mau mengangkatnya lagi, tapi masalah itu meskipun dikubur tetap ada dan tinggal tunggu waktu masalah yang sama itu keluar dan seringkali waktu keluar, keluar dengan ledakan yang lebih besar karena sudah bertumpuk dengan masalah sejenis. Kalau masalah itu hanya satu kali terjadi, mungkin saja setelah kita kubur masalah itu tidak akan muncul lagi namun umumnya masalah itu terulang lagi dan waktu terulang akhirnya masalah kita menggunung, waktu meledak, ledakannya besar sekali. Jadi tetap saya mau menganjurkan kepada para pendengar kita adalah lebih baik bila kita bertengkar dalam usaha menyelesaikan masalah dari pada mendiamkan masalah.
GS : Ada orang yang menganggap masalah itu akan hilang dengan sendirinya dengan berjalannya waktu. Dan memang ada masalah kecil yang dengan berjalannya waktu bisa hilang sendiri, tidak pernah muncul lagi. Tapi ada yang menggumpal sehingga suatu saat meledak menjadi suatu masalah yang lebih besar. Bagaimana kita bisa mencirikan masalah ini perlu dibahas dan masalah ini tidak perlu dibahas, apa yang menjadi indikatornya, Pak Paul?

PG : Kita bisa berkata bahwa setelah saya lupakan masalah ini, saya benar-benar tidak akan mempersoalkannya lagi kalau harus muncul lagi, kalau kita bisa berkata,"Saya tidak akan mempersoalkanna lagi" maka silakan dan silakan lupakan.

Tapi kalau kita bisa bayangkan, jika nantinya masalah ini muncul lagi dan saya pasti marah, berarti masalah ini belum selesai dan belum tuntas diselesaikan. Maka kita harus selesaikan terlebih dahulu. Jadi gunakanlah ujian tersebut, kalau kita berkata,"Kalau sampai muncul lagi maka saya tidak akan persoalkan" itu baik, tapi kalau kita tidak bisa berkata seperti itu dan kita akan tetap persoalkan maka lebih baik kita selesaikan. Saya berikan contoh kadang istri saya berkata,"Aduh Paul, kamu ini kurang romantis, saya berharap kamu bisa lebih romantis tapi memang sepertinya kamu ini tidak bisa romantis" dan dia berkata,"Kamu ini punya begitu banyak hal lain yang baik, yang indah, yang positif dan saya bersyukur mengenal kamu sebab saya bisa melihat semua yang baik-baik pada diri kamu, jadi kalau yang ini kamu tidak bisa berikan kepada saya, itu tidak apa-apa". Itu adalah contoh yang membuktikan bahwa kalau hal itu muncul kembali yaitu saya kurang romantis, istri saya tidak lagi mempersoalkannya, maka dia bisa mengubur dan melupakannya. Saya sendiri tetap berusaha untuk mau lebih romantis dan sebagainya, tapi dia sendiri sudah bisa melupakannya. Tapi kalau misalnya ini adalah kebutuhan yang sangat besar dan dia tidak bisa melupakan begitu saja, sehingga kalau kebutuhannya muncul dan saya tidak bisa memenuhinya maka dia akan marah kepada saya itu berarti dia harus membereskannya dulu, sampai kami berdua menemukan titik temunya.
GS : Untuk menyelesaikan masalah dibutuhkan tanggapan dari kedua belah pihak, kalau yang satu ingin menyelesaikan tapi pasangan kita tidak mau menyelesaikan masalah itu maka titik temunya di mana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu idealnya, tapi dalam faktanya saya harus akui kadang yang satu lebih mau terbuka dan yang satu kurang, yang satu akhirnya tertutup dan tidak mau bekerjasama, cuek, tapi yan saya minta adalah kita mesti memiliki sikap yang terbuka untuk melihat diri apa adanya dan bersedia untuk berubah.

Jadi kita yang harus memastikan kalau kita yang bersedia berubah. Inilah sikap yang harus kita kedepankan. Waktu pasangan melihat kita bahwa kita mau berubah dan kita bersedia menyesuaikan diri, kita katakan kepada pasangan kita,"Kalau kamu tidak bisa seperti ini tidak apa-apa, saya coba sesuaikan diri" perlahan-lahan atau mudah-mudahan perubahan-perubahan yang kita tunjukkan itu bahwa kita ini siap belajar dan berubah akan memotivasinya untuk melakukan hal yang sama, sebab harapan saya adalah dengan kita yang pertama-tama memberi contoh mau belajar berubah dan sebagainya, dia akhirnya tergerak untuk melakukan hal yang serupa.
GS : Ada kekhawatiran sebagian pasangan, kalau mau mendiskusikan atau menyelesaikan masalah ini, mereka khawatir nanti masalah ini berkembang bertambah besar, jadi yang diselesaikan bukan hanya masalah itu sendiri tapi menjadi berkembang biak dan orang tidak menghendaki hal itu.

PG : Betul sekali. Jadi waktu kita ingin menyelesaikan suatu masalah sebaiknya kita katakan apa yang kita mau selesaikan dan dalam penyelesaian atau dalam proses penyelesaiannya kalau bisa dua-uanya memunyai kepekaan untuk melihat kalau ini sepertinya sudah menyimpang dan salah satu dari dua-duanya mesti bisa berkata,"Setop, kita sudah menyimpang, sekarang kita sedang membicarakan yang ini tapi kenapa sekarang kita membicarakan masalah yang lain, maka tidak akan selesai".

Jadi harus ada yang berkata,"Setop dan kita kembali lagi ke pokok permasalahan serta jangan menyimpang kemana-mana", kalau menyimpang maka tidak akan selesai sebab sepertinya kita mengambil batu dan menyambit lagi, maka tidak akan selesai-selesai. Jadi kita harus berdisiplin diri dan hanya fokus kepada pokok permasalahan.
GS : Masukan yang lain yang ingin Pak Paul sampaikan apa, Pak Paul?

PG : Buatlah komitmen untuk perbaikan. Jadi kita harus menegaskan bahwa kita ingin dan akan berupaya sekeras mungkin untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu pernikahan kita. Kebulatan tekad seerti ini menempatkan pernikahan pada prioritas yang tinggi, sehingga pernikahan bukan hanya harus tetap ada tapi yang terlebih penting pernikahan harus bertumbuh menjadi lebih baik.

Jadi saya berharap dua-dua, baik suami dan istri sudah menunjukkan tekad bahwa kami mau membuat pernikahan ini lebih baik. Acapkali waktu pasangan melihat tekad kita menjunjung tinggi pernikahan dan menjadikan pernikahan kita suatu pernikahan yang sehat, maka pasangan pun tergugah untuk melakukan hal yang sama. Sebaliknya bila kita cepat menyerah, sikap ini malah mengkomunikasikan kepada pasangan bahwa kita tidak menempatkan pernikahan kita pada urutan atas dalam hidup kita. Mungkin kita berkata"Kalau kamu tidak mau, saya pun tidak ingin tahu, kita berhenti saja di sini, kamu rasa kamu saja yang hidup sendiri? Saya pun bisa hidup sendiri!" Perkataan-perkataan yang seperti itu mengkomunikasikan kepada pasangan kita bahwa kita tidak menempatkan pernikahan pada prioritas yang tinggi akhirnya dia cenderung melakukan dan mengatakan hal yang sama,"Untuk apa memertahankan pernikahan ini, kalau kamu sendiri tidak menganggap pernikahan ini layak dipertahankan" akhirnya dua-dua punya tanggapan yang seperti itu dan akhirnya bubar karena dua-dua menyerah, karena itu jangan sampai kita melakukan hal itu.
GS : Komitmen ini sebaiknya dilakukan sebelum kita memasuki jenjang pernikahan, dan sejak awal kita berkomitmen untuk menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang tinggi, Pak Paul.

PG : Betul dan setelah kita ucapkan, kita ikrarkan, kita harus buktikan lewat perbuatan kita. Jadi saya dan istri saya dalam usaha kami membereskan masalah, kami secara berkala mengatakan hal-hl seperti ini yaitu,"Saya maunya hanya satu, supaya pernikahan kita bertambah baik, jangan sampai kita harus membahas masalah yang sama dan saya tidak mau ini terulang lagi sebab saya mau pernikahan kita menjadi lebih baik".

Perkataan seperti itu sangat menyejukkan hati bahwa kita sebetulnya tidak tertarik untuk memenangkan pertempuran, untuk membuktikan siapa yang benar dan salah tapi mau menjadikan pernikahan kita lebih baik saja.
GS : Untuk hal-hal seperti itu, peranan komunikasi suami istri itu sangat penting. Bagaimana kita berkomitmen dan bagaimana pasangan kita tahu bahwa kita itu punya komitmen, adalah lewat komunikasi, Pak Paul.

PG : Betul, jadi memang kita tidak bisa memutuskan tali komunikasi. Ini kecenderungan yang amat sering dilakukan oleh pasangan nikah yaitu diam saja, cuek dan tidak perlu bicara, namun hal itu enar-benar pembunuh tali relasi.

Jadi komunikasi seperti darah yang mengangkut oksigen dan membuat tubuh kita itu bisa berfungsi, kalau tidak ada oksigen karena tidak ada darah maka tubuh kita mati, itulah komunikasi dalam pernikahan.
GS : Mungkin ada hal lain lagi yang ingin Pak Paul berikan sebagai masukan?

PG : Yang berikut adalah kita harus memulainya. Kita memang bukan manusia yang sempurna, jadi adakalanya kita pun berbuat salah. Kita harus bersedia dikoreksi oleh pasangan kita dan mengambil iisiatif untuk berubah.

Sewaktu kita datang kepada pasangan kita dan memintanya untuk mengoreksi kita, jadi kita benar-benar berkata,"Saya tahu kalau saya ada kelemahan, coba beritahu apa kelemahan saya yang kau inginkan untuk berubah?". Tidak bisa tidak hal ini akan membuatnya tercengang dan tatkala kita terus datang kepadanya dan memintanya untuk mengoreksi diri kita, pada akhirnya ia pun dipaksa untuk bercermin diri, ia pun akan diingatkan bahwa sebenarnya dirinya perlu dikoreksi dan ingin berubah, artinya lama kelamaan kalau dia sering mendengar kita berkata,"Tolong koreksi saya kalau ada hal tentang diri saya yang kau rasa perlu berubah" maka lama kelamaan kalau dia masih punya hati nurani maka dia akan merasa tidak enak,"kenapa hanya pasangan saya saja yang minta dikoreksi dan terbuka dengan fakta dia itu lemah, tapi mengapa saya tidak pernah". Gara-gara itu dia dipaksa melihat dirinya dan akhirnya dia terdorong untuk berkata,"Saya juga tidak sempurna, hal apa tentang diri saya yang perlu untuk diubah?". Maka mulailah roda berputar dan kita masing-masing bersedia berubah.
GS : Ada pasangan yang tidak berani mengoreksi pasangannya karena kalau dikoreksi marah, pada awalnya dia memang meminta,"Tolong tunjukkan kelemahan saya" tapi begitu kelemahannya dibukakan secara terus terang dia marah dan lain kali dia tidak mau lagi memberikan koreksi.

PG : Jadi dalam kasus seperti itu kita harus berkata kepadanya,"Saya takut sekali sebelum saya bicara sebab ini yang saya takutkan yaitu kamu akan marah kalau mendengar koreksi saya, tapi karen kamu yang meminta jadi saya mengoreksi kamu tapi saya takut kamu benar-benar marah", sehingga suami harus berkata,"Tolong lain kali sebelum saya minta dikoreksi, kamu tanya dulu kepada saya apakah saya akan marah", kalau suami menjawab,"Saya akan marah" maka lebih baik kamu jangan minta koreksi sebab untuk apa.

Tapi kalau kamu berkata,"Baiklah tidak akan marah" barulah kita akan bicara untuk memberikan koreksi.
GS : Jadi memberikan koreksi terhadap pasangan, juga memerlukan keterampilan khusus, Pak Paul? Supaya pasangan kita tidak marah dan menerima tidak menyalahkan kita karena mengoreksi dia.

PG : Ya. Jadi salah satu prinsipnya adalah kalau kita mau memberikan koreksi kepada pasangan kita, gunakanlah kalimat yang lebih lembut dan suara kita jangan keras atau menekannya tapi gunakan ata-kata yang membangun dan gunakanlah kata-kata,"Saya" dan bukannya kata-kata,"Kamu ini begini dan begitu" tapi harus berkata,"Saya melihat situasinya seperti ini" jadi sodorkan faktanya dan bagikan pengamatan kita, setelah itu baru kita berkata,"Saya berharap kalau sampai ini terulang, bisa tidak mau begini sebab ini lebih membuat saya merasa lebih terhibur, sehingga saya tidak terlalu tersudutkan".

Dengan kata-kata seperti itu biasanya pasangan lebih bisa menerimanya.
GS : Dengan kita terbuka terhadap koreksi pasangan kita, itu lebih menyelesaikan banyak masalah sebenarnya, Pak Paul.

PG : Dan kuncinya kita harus memulainya, ini adalah masalah sebab kita seringkali berkata,"Dia yang harus mulai, kenapa dia tidak memulai" tidak seperti itu. Siapa pun yang mendengarkan apa yan kita sampaikan maka haruslah berketetapan hati,"Saya yang akan mulai dan terbuka, saya yang mau dikoreksi oleh pasangan saya".

GS : Untuk memulainya memerlukan banyak hal dan bukan hanya sekadar minta dikoreksi. Misalnya kita ingin minta maaf, maka kita yang harus memulai supaya masalah ini bisa terselesaikan, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi saya kira salah satu penyebab kenapa kita enggan memulai karena memang gengsi dan kita tidak mau merendahkan diri, rasanya gengsi kita harus kita korbankan tapi kita mau menyelmatkan sesuatu yang sangat penting yaitu keluarga kita.

Jadi jangan pikirkan gengsi sebab ada hal yang jauh lebih penting daripada gengsi kita.
GS : Ada hal lain lagi yang ingin disampaikan, Pak Paul?

PG : Satu hal lain lagi yang harus kita lakukan adalah kita harus kreatif, jika kita menemui jalan buntu maka cari jalan lain untuk berbicara kepada pasangan kita. Memang kita harus akui kadangkita bukanlah orang yang paling tepat untuk menyampaikan sesuatu kepadanya.

Maka minta bantuan orang lain untuk berbicara kepadanya. Mungkin ada kebutuhan dalam dirinya yang tidak terpenuhi, cobalah penuhi apalagi kalau kita sudah tahu. Singkat kata cobalah pikirkan jalan lain untuk memerbaiki relasi. Jangan terus menggunakan cara yang sama, cara yang tidak membuahkan hasil misalkan saya berikan contoh kita sudah tahu kalau memarahinya tidak membuahkan hasil, dari dulu kita marahi namun tidak ada hasilnya, maka jangan gunakan kemarahan lagi. Ada orang yang terus menggerutu dan marah berhari-hari, kalau kita tahu cara ini tidak tepat maka jangan gunakan cara yang sama. Atau kita mendiamkannya sampai berhari-hari, karena kita tidak senang namun dia cuek kepada kita, berarti cara ini tidak ada hasilnya dan kita harus kreatif, kita harus gunakan cara yang lain. Jadi kita bisa bertanya langsung kepadanya,"Kalau kita menghadapi jalan buntu seperti ini, kita tidak mau saling mengalah, apa yang kamu harapkan dari saya, cara apa yang paling tepat sehingga saya bisa mengatakan sesuatu kepadamu dan kamu bisa mendengarkannya?".
GS: Orang menjadi menyerah ketika kreatifitasnya berkurang dan dia berkata,"Sudah mencoba beberapa cara, tapi tidak ada hasilnya lalu akhirnya dia menyerah".

PG : Betul. Jadi akhirnya setelah mencoba berbagai cara tapi tidak membuahkan hasil kemudian kita menyerah. Kalau itu yang terjadi saya masih bisa terima karena kita tidak sempurna, ada waktu-wktu kita berkata,"Saya sudah tidak bisa lagi karena saya sudah mencoba".

Namun permintaan saya adalah jangan terlalu cepat menyerah dan cobalah bertahan, gunakan cara lain sebab siapa tahu cara lain bisa membuahkan hasil.
GS : Tapi anehnya orang yang sama ini, di tempat pekerjaannya atau di pergaulannya dia sangat kreatif sekali sehingga membuat dia bergairah di tempat kerja atau di tempat pergaulannya itu.

PG : Mungkin karena di dalam rumah dia tidak mendapatkan hasilnya, sebab biasanya kita sebagai manusia butuh imbalan. Kalau kita melihat di rumah kita, kita berbuat ini dan itu namun tidak ada asilnya kemudian kita menyerah.

Sedangkan di tempat kerja kita bisa memetik hasilnya yaitu orang menghargai apa yang kita lakukan jadi kita makin bersemangat.
GS : Masih ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Ada satu lagi, Pak Gunawan, supaya kita jangan cepat-cepat menyerah supaya nanti di hari tua kita tidak menyesali keputusan kita. Yaitu kita harus berdoa dan berbuah. Dua kata yang ingin sya gabungan yaitu berdoa dan berbuah.

Saya berikan contoh Hana, Hana berdoa meminta anak selama bertahun-tahun dan bukan berminggu-minggu. Kadang Tuhan memang menahan jawaban doa oleh karena ada rencana tertentu yang ingin digenapi-Nya terlebih dahulu namun adakalanya Tuhan menunggu kita untuk berbuah terlebih dahulu. Apa maksudnya berbuah? Berbuah artinya melakukan yang Tuhan kehendaki, menjadi seperti yang Tuhan kehendaki. Dan dalam kasus Hana, Tuhan menunggu hingga Hana berkata bahwa dia akan mempersembahkan anaknya kepada Tuhan dan kita tahu itulah yang dilakukan oleh Hana setelah anaknya Samuel lahir. Jadi buah yang Tuhan inginkan adalah buah roh yaitu kasih dan penyerahan. Pada waktu Hana berkata,"Tuhan jika engkau memberikan saya anak, maka anak ini akan saya serahkan kepada-Mu" itu berarti dia mengasihi Tuhan sehingga dia mau memberikan anaknya sehingga dia mau menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Seringkali Tuhan menunggu kita berbuah seperti itu dan barulah nanti Dia akan memberikan apa yang kita minta. Jadi dengan kata lain dalam menghadapi masalah dalam keluarga kita, kita terus berdoa dan berbuahlah, jangan hanya secara pasif berdoa dan berdoa tapi kita sendiri tidak berbuah, dalam pengertian kita tidak berubah menjadi seperti yang Tuhan kehendaki.
GS : Apakah doa kita didengar oleh Tuhan kalau kita ini sudah bernazar seperti Hana ini, Pak Paul?

PG : Sudah tentu Tuhan mendengar doa Hana bahkan sebelum dia bernazar. Tapi memang Tuhan menunggu sampai Hana siap memberikan anaknya, karena itulah rencana Tuhan atas anaknya Hana yaitu Samuel Jadi Tuhan seperti kita tahu memakai Samuel menjadi hakim terakhir di Israel dan dia sendiri menjadi seorang imam, setelah itu Tuhan mengizinkan Israel berubah bentuk pemerintahannya menjadi sebuah kerajaan, namun siapakah yang melantik, mengurapi para raja Israel sekurang-kurangnya dua raja pertama Israel yaitu Saul dan Daud, dua-duanya diurapi oleh Samuel.

Jadi Tuhan memakai anak ini yang akhirnya bertumbuh besar menjadi hakim sebagai hamba Tuhan yang sangat baik dan setia.
GS : Tapi kita tidak bisa menggunakan nazar ini sebagai cara untuk memaksa Tuhan memenuhi permintaan kita?

PG : Betul sekali. Jadi jangan kita gunakan ini sebagai alat tawar, sepertinya kita mau menyogok Tuhan dan barulah Tuhan melakukan yang kita kehendaki, tidak seperti itu. Tuhan tidak perlu disook, Tuhan tidak mau disogok dan Tuhan tidak bisa disogok oleh kita.

GS : Sebagai kesimpulan dari perbincangan kita ini, baik yang lalu maupun yang sekarang, apakah ada ayat firman Tuhan atau kesimpulan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Terlalu cepat menyerah merupakan salah satu penyebab terjadinya masalah dalam pernikahan, bahkan tidak jarang karena terlalu cepat menyerah kita pun mengakhiri pernikahan, seringkali di keudian hari kita menyesali keputusan yang dibuat dengan tergesa-gesa, maka penting bagi kita untuk berupaya dan tidak menyerah dengan segera.

Kita harus mencamkan baik-baik firman Tuhan yang dicatat di Matius 7:11,"Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Jadi jangan menyerah dalam pengertian Tuhan masih ada dan Tuhan mendengarkan doa kita serta Tuhan masih bekerja dan kita tidak selalu tahu waktu Tuhan.

GS : Itulah hidup pengharapan kita sebagai orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Pak Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Hidup Dengan Pasangan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



87. Dampak Keberhasilan Suami pada Istri


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T318A (File MP3 T318A)


Abstrak:

Idealnya kita berbahagia sewaktu melihat pasangan meraih keberhasilan dalam kariernya. Dengan kata lain, seharusnyalah dampak keberhasilan pada pasangan bersifat positif. Namun pada kenyataannya tidak selalu kita berbahagia melihat keberhasilan pasangan. Tidak jarang keberhasilan pasangan malah mengundang masalah dalam pernikahan. Satu hal lain yang menarik adalah ternyata dampak keberhasilan suami dan istri pada pasangan tidaklah sama. Dalam bagian ini akan dibahas dampaknya dan juga bagaimana sikap suami dalam menangani hal semacam ini.


Ringkasan:

Idealnya kita berbahagia sewaktu melihat pasangan meraih keberhasilan dalam kariernya. Dengan kata lain, seharusnyalah dampak keberhasilan pada pasangan bersifat positif. Namun pada kenyataannya tidak selalu kita berbahagia melihat keberhasilan pasangan. Tidak jarang keberhasilan pasangan malah mengundang masalah dalam pernikahan. Satu hal lain yang menarik adalah ternyata dampak keberhasilan suami dan istri pada pasangan tidaklah sama.

Berikut ini akan dibahas dampak keberhasilan suami pada istri:

  1. Salah satu dampak positif keberhasilan suami adalah timbulnya kebanggaan pada diri istri. Mungkin di masa lampau ia malu membicarakan tentang pekerjaan suaminya namun sekarang ia tidak lagi malu malah merasa bangga dengan peningkatan strata karier ini.
  2. Dampak keberhasilan yang positif lainnya adalah bertambahnya penghasilan. Apa yang tadinya tidak dapat dibeli atau dilakukan, sekarang dapat dibeli atau dilakukan. Masalahnya adalah, kepuasan material sering kali bersifat sementara. Begitu satu keinginan terpenuhi maka akan muncullah keinginan lainnya. Jadi, keberhasilan suami belum tentu mengurangi masalah yang sudah ada di antara suami dan istri.
  3. Keberhasilan suami dalam karier sering kali mengurangi waktu yang diberikan kepada pasangan dan keluarga. Tuntutan kerja bertambah dan tidak jarang, suami harus melakukan banyak perjalanan bisnis. Dengan bertambahnya jarak, maka akan bertambah pulalah kemungkinan terjadinya konflik sebab suami yang pada dasarnya tidak begitu suka berbicara makin jarang berbicara karena merasa letih. Istri pun acap kali merasa tidak lagi diperhatikan dan disayangi.
  4. Keberhasilan suami dalam karier dapat menambah rasa tidak aman pada istri. Itu sebabnya keberhasilan suami disikapi dengan kecurigaan, jangan-jangan ia akan berselingkuh. Dan jika itu terjadi, besar kemungkinan suami tidak takut untuk bercerai sebab ia merasa diri mapan.
  5. Keberhasilan suami dalam karier belum tentu membuat istri tambah menghormatinya—reaksi yang sudah tentu mengecewakan suami. Kadang oleh karena istri merasa sudah begitu terbiasa dengan suami, ia pun tidak menanggapi keberhasilan suami sebagai sesuatu yang bersifat luar biasa. Ia bahkan diam dan tidak memberi pujian apa pun.
  6. Keberhasilan suami dapat pula membuat istri merasa iri kepadanya. Mungkin rasa iri bersumber dari perasaan bahwa ia sendiri tidak memeroleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan dirinya. Ia mengorbankan kariernya demi memelihara anak dan mengurus rumah tangga, namun sekarang suami yang mendapatkan kenaikan pangkat. Mungkin inilah alasan ia merasa iri kepada suami.

Apa Yang Dapat Dilakukan Suami?

  1. Sebagai suami kita mesti menunjukkan penghargaan kepada istri yang telah memberikan dukungan atau setidaknya memungkinkan kita meraih keberhasilan dalam pekerjaan. Katakanlah bahwa oleh karena pengorbanannya maka kita dapat meraih keberhasilan. Dengan kata lain, jadikan istri bagian dari tim, bukan di luar tim.
  2. Kita mesti memerlihatkan kasih dan kehangatan kepada istri, bukan malah menguranginya. Jangan sampai mengabaikannya; bila harus bepergian, jangan lupa untuk menghubunginya setiap hari. Lewat cara ini istri akan merasakan keterlibatannya dalam hidup dan keberhasilan suami.
  3. Jangan lupa untuk mengajak istri untuk hadir dalam pertemuan yang melibatkan mitra kerja. Hargailah istri di hadapan mereka dan sekali lagi, jadikan istri bagian dari tim, bukan di luar tim.
  4. Batasi relasi dengan lawan jenis. Jangan sampai keberhasilan karier membuat suami lupa diri sehingga makin bersikap bebas dengan lawan jenis.
  5. Terakhir, hiduplah dengan penuh kerendahan hati. Jangan sampai takabur dan mengklaim bahwa kepandaian sendirilah yang membuat kita berhasil. Terapkanlah selalu Amsal 3:5-7 sebagai dasar hidup kita, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah dia dalam segala lakumu maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan."


Transkrip:
Lengkap

"Dampak Keberhasilan Suami pada Istri"

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Dampak Keberhasilan Suami pada Istri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, biasanya kalau salah satu di antara pasangan kita berhasil atau sukses, khususnya di dalam karier atau pekerjaannya, pasangan yang lainnya juga senang dan mendukung serta bahagia. Kalau melihat judul ini rasa-rasanya ada dampak negatif yang timbul apakah betul seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi secara umum seharusnya misalnya si suami mendapatkan promosi, maka seharusnya istri berbahagia, tapi ternyata tidak selalu demikian karena ternyata ada juga dampak-dampak negatf selain dari dampak yang positif yang ada.

GS : Itu bukan hanya pasangan suami istri, tapi anak juga terkena dampaknya, begitu, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi keberhasilan atau peningkatan karier baik si suami maupun si istri pada akhirnya bukan saja memengaruhi satu sama lain, tapi nantinya juga memengaruhi anak-anak.

GS : Kita coba dalami satu demi satu terlebih dahulu. Dampak apa saja yang bisa timbul karena suami berhasil, Pak Paul?

PG : Yang pertama sudah tentu adalah dampak positif yaitu biasanya timbullah kebanggaan pada diri si istri, mungkin di masa lampau dia malu membicarakan tentang pekerjaan suaminya namun sekaran dia tidak lagi malu malah merasa bangga dengan peningkatan strata karier ini.

Inilah dampak positif yang pertama yaitu si istri bangga, tidak lagi ada rasa malu untuk memberitakan atau membicarakan tentang pekerjaan si suami.
GS : Kebanggaan si istri apakah tidak menimbulkan rasa tidak senang di antara mereka dan anak mereka atau dengan suaminya karena ada suami yang juga tidak senang kalau istrinya menceritakan tentang keberhasilannya.

PG : Ada juga, karena orang-orang ini mungkin agak privat, maka dia tidak suka istrinya bangga dan dia merasa tidak nyaman. Namun secara umum saya kira dampak positifnya adalah kebanggaan. Jadiistri itu juga bisa merasakan bahwa dia sama dengan orang-orang lain, kalau dulu dia merasa di bawah orang lain, tapi sekarang tidak lagi dan suaminya pun sudah tentu dengan peningkatan karier itu merasa bangga dengan apa yang telah dicapainya.

GS : Yang jelas dengan peningkatan karier, itu berdampak pada penghasilan yang dia terima. Apa dampaknya, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Karena promosi atau keberhasilan yang langsung terjadi adalah pertambahan penghasilan. Jadi apa yang tadinya tidak dapat dibeli atau dilakukan, sekarang dapat dibeli atau dilkukan.

Dengan bertambahnya pemasukan maka bertambah pula realisasi impian, misalnya dulu ingin pergi jalan-jalan ke Bali, sekarang bisa terlaksana, dulu ingin membeli rumah yang lebih besar sekarang bisa tercapai membeli rumah yang lebih besar. Apa yang diimpikan sekarang dapat direalisasikan. Masalahnya adalah kepuasan material seringkali bersifat sementara, begitu satu keinginan terpenuhi maka akan muncullah keinginan yang lainnya. Jadi dengan kata lain, dulu kita ingin pergi ke Bali, lama-lama kita merasa tidak cukup hanya ke Bali, jadi kita ingin pergi misalkan ke negara lain, dulu sudah cukup ada rumah tapi sekarang rumah harus lebih besar. Jadi kepuasan material sangat bersifat sementara. Singkat kata, keinginan dan kebutuhan, berkembang seiring dengan berkembangnya kondisi ekonomi, dengan kata lain dengan bertambah kuatnya atau meningkatnya ekonomi kita, seringkali keinginan dan kebutuhan turut berkembang yaitu yang tadinya tidak ingin sekarang menjadi ingin, yang tadinya tidak kita butuhkan sekarang kita butuhkan. Artinya adalah peningkatan penghasilan pada akhirnya tidaklah terlalu memengaruhi relasi suami istri itu sendiri. Jadi misalnya sudah ada masalah antara suami dan istri, peningkatan karier atau keberhasilan si suami sebetulnya hanya berdampak sedikit saja pada masalah mereka berdua sebab pada akhirnya mereka akan kembali kepada masalah yang sama.
GS : Tapi kalau masalahnya itu berkaitan erat dengan kondisi keuangan maka saya rasa ini akan sangat menolong, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi biasanya kalau masalahnya terbatas pada masalah ekonomi, dengan meningkatnya karier si suami maka sudah tentu masalah ini terpecahkan. Tapi misalkan ada masalah lain dalam relai itu, ternyata peningkatan ekonomi tidak terlalu membantu karena masalah yang sama akan tetap ada.

GS : Dampak negatinya adalah orang yang tadinya tidak konsumtif, bisa menjadi konsumtif, Pak Paul.

PG : Benar sekali. Itu yang biasanya terjadi. Dengan adanya uang maka orang akhirnya mulai butuh ini dan itu, satu tidak cukup harus ada dua, kalau dua tidak cukup maka harus ada tiga. Jadi akhrnya kita menjadi lebih materialistik dan konsumtif dan tidak lagi mementingkan akan kepentingan orang banyak namun lebih memikirkan kepentingan diri sendiri, inilah pergeseran nilai yang juga sering terjadi seiring dengan bertambahnya penghasilan.

GS : Itu juga akan berdampak pada anak-anak, Pak Paul, seolah-olah mereka meminta apapun dituruti.

PG : Betul, kalau dulu anak-anak mungkin tidak berani meminta, namun sekarang berani meminta karena papa sekarang memunyai uang dan papa pun sekarang bisa berkata,"Tidak apa-apa beli saja, dul tidak bisa beli, sekarang bisa beli maka beli saja" kalau tidak hati-hati akhirnya anak-anak pun lebih konsumtif dan lebih materialistik.

GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Sekarang kita mulai masuk kepada dampak yang secara spesifik negatif, jadi kadang-kadang keberhasilan suami dalam karier mengurangi waktu yang diberikan kepada pasangan dan keluarga, tuntuan kerja bertambah.

Dan tidak jarang suami harus melakukan banyak perjalanan bisnis. Akhirnya waktu kebersamaan berkurang dan sudah tentu hal ini berpotensi menciptakan jarak antara suami dan istri dan dengan bertambahnya jarak maka akan bertambah pula kemungkinan terjadinya konflik, sebab suami yang pada dasarnya tidak begitu suka berbicara akan makin jarang berbicara karena sudah merasa letih dan istri acapkali merasa tidak lagi diperhatikan atau disayangi.
GS : Jadi waktu pertemuan mereka menjadi lebih singkat dan kadang-kadang ini sulit untuk dipahami, padahal sebenarnya hal itu semacam konsekuensi logis kalau seseorang makin meningkat kariernya maka makin banyak waktu yang dibutuhkan untuk pekerjaannya, tapi kadang-kadang pasangannya sulit untuk memahami hal itu.

PG : Betul. Jadi seringkali kita tidak bisa mendapatkan kedua-duanya atau memenangkan kedua-duanya. Saya melihat ada seorang yang saya kenal, dia menjabat sebagai wakil direktur dan begitu dia ipromosikan, dia hampir setiap minggu pergi dan perginya bisa sampai 3 atau 4 hari karena harus bepergian untuk urusan bisnis mewakili perusahaannya.

Dengan kata lain uang bertambah, tapi waktu bersama keluarga berkurang dengan sangat drastik.
GS : Pak Paul, apakah ada dampak yang lain?

PG : Salah satu dampak negatif lain adalah keberhasilan suami dalam karier dapat menambah rasa tidak aman pada istri, pada umumnya rasa tidak aman keluar dari kenyataan bahwa ada banyak pria yag berbuat serong setelah mengalami keberhasilan, itu sebabnya keberhasilan suami disikapi dengan kecurigaan"Jangan-jangan dia nanti akan berselingkuh" dan jika itu terjadi maka besar kemungkinan suami tidak takut untuk bercerai, karena suami merasa diri mapan.

Akhirnya hal ini makin membuat istri bertambah tidak aman.
GS : Dengan meningkatnya karier seseorang maka seringkali di sekelilingnya banyak orang dari lawan jenis dekat dengan dia atau bahkan relasi bisnis menuntut dia berhubungan dengan orang lain yang berlawanan jenis dan kalau hal itu diketahui istri akan menimbulkan kecurigaan atau rasa tidak aman seperti yang Pak Paul katakan tadi.

PG : Seringkali ini yang terjadi. Sebetulnya si suami tidak berbuat apa-apa, tapi karena dia sekarang menjabat posisi yang tinggi berarti pergaulannya juga meluas dan perkenalannya dengan rekanrekan bisnis juga bertambah, bisa jadi kontaknya dengan lawan jenis juga bertambah.

Kalau ini dilihat oleh istri membuat istri kurang aman dan saya juga harus akui ketidakamanan ini berdasarkan fakta bahwa cukup banyak laki-laki begitu naik kedudukan, begitu penghasilan bertambah akhirnya berbuat serong. Jadi bagi istri akan menyikapi keberhasilan suaminya dengan penuh kehati-hatian.
GS : Makanya seringkali terjadi istri merasa bersaing dengan sekretaris dari suami itu, Pak Paul?

PG : Betul. Sebab dia adalah orang yang paling dekat dengan suaminya dan bahkan lebih mengenal suaminya sekarang daripada si istri itu sendiri karena suami lebih sering bersama dengan perempuanitu dibandingkan dengan istri.

Satu hal lain lagi memang dengan bertambahnya penghasilan dan meningkatnya kedudukan maka banyak laki-laki yang tahu bahwa dia akan bisa mendapatkan perempuan yang diinginkannya. Dulu dia hanya bisa bermimpi, tapi sekarang dia tahu dia bisa mewujudkan mimpinya itu karena dia tahu perempuan ini akan memberi respons seperti yang diinginkannya.
GS : Katakan si suami ini mendapat tugas untuk keluar kota, pasti dia lebih mengajak sekretarisnya daripada istrinya, Pak Paul.

PG : Betul dan bisa jadi dia berdalih bahwa dia lebih diperlukan karena dalam rapat dia harus mencatat dan sebagainya. Tapi bukankah itu sebuah kesempatan yang akhirnya untuk terlibat di dalam erselingkuhan? Jadi kita sebagai laki-laki harus mewaspadai hal ini.

GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Keberhasilan suami dalam karier belum tentu membuat istri tambah menghormatinya. Sudah tentu ini reaksi yang mengecewakan suami, sebab dia merasa orang lain menghormati saya, tapi istri saa tidak menghormati saya.

Kadang karena istri merasa sudah terbiasa dengan suami, maka ia pun tidak menanggapi keberhasilan suami sebagai sesuatu yang bersifat luar biasa dan bahkan diam serta tidak memberi pujian apa pun; mungkin dia pun beranggapan bahwa kenaikan kedudukan bukanlah sesuatu yang harus dirayakan atau dibesarkan. Jadi ada istri yang seperti itu, yang tidak perlu menganggap besar dan hanya merasa biasa saja. Karena memang suaminya adalah suami yang tetap sama, jadi bagi dia tidak ada beda antara naik kedudukan atau tidak naik kedudukan. Sehingga penghormatan tidak diberikan secara ekstra dan suami mungkin saja menuntut itu dari si istri,"Tolong hargai saya karena saya sudah berhasil dan saya di tempat pekerjaan mendapat penghargaan ini dan itu, tapi kamu tidak pernah menghargai saya". Bisa jadi itu menjadi keluhan si suami.
GS : Tapi rasa tidak hormat itu juga bisa muncul karena istri merasa sudah banyak dirugikan dengan peningkatan karier si suami ini, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Bisa jadi ada istri yang berkata,"Kamu enak-enak saja, senang dan baju semakin mahal, jas makin mahal dan sepatu semakin mengkilap, tapi saya terus di rumah, harus mengurus aak dan keluarga".

Bisa jadi ada istri yang merasa sangat dirugikan dan dia juga tidak merasa dihargai oleh si suami sehingga untuk apa dia menghargai si suami.
GS : Atau mungkin si istri merasa iri terhadap suaminya?

PG : Kadang itu juga terjadi, Pak Gunawan, keberhasilan suami membuat istri iri kepadanya. Mungkin rasa iri bersumber dari perasaan bahwa dia sendiri tidak memeroleh kesempatan yang sama untuk engembangkan dirinya.

Ada orang yang pernah saya temui juga seperti itu, dia benar-benar merasa,"Karena saya menikah, apa yang ingin saya lakukan tidak bisa saya lakukan" padahal dari segi kemampuan mungkin saja dia sama dengan suami atau bahkan di atas suaminya. Jadi dia mengorbankan karier demi anak, demi mengurus rumah tangga, namun sekarang suami yang mendapatkan kenaikan demi kenaikan, keberhasilan demi keberhasilan dan mungkin inilah yang membuat dia merasa iri kepada suami.
GS : Apalagi kalau gaji yang diterima suami tidak seluruhnya diserahkan kepada istri, ini bisa menjadi masalah juga, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi dia merasa saya sudah bekerja begitu lelah, tapi saya seperti orang yang gajian, misalnya hanya diberikan sejumlah uang per bulan untuk anak dan sebagainya. Si istri maunya mersa dia berbagian, dia bukanlah pegawai atau orang yang disuruh mengurus rumah, tapi dia adalah istri dan dia mungkin ingin ada akses terhadap uang si suami, bisa jadi suami salah sangka,"Kamu mentang-mentang sekarang penghasilan saya bertambah, kamu ingin menguasai saya", jadi akhirnya ribut.

GS : Ada juga suami yang karena kariernya meningkat dan dia punya bawahan, kemudian istrinya dianggap sebagai bawahannya, Pak Paul, diperintah-perintah. Yang dulunya tidak pernah diperlakukan seperti itu, tapi sekarang karena kariernya meningkat maka dia perlakukan seperti itu.

PG : Bisa. Karena terbiasa di kantor dia membawahi orang dan menyuruh sana-sini, akhirnya pulang-pulang mulai menyuruh sana-sini juga, padahal dulu waktu dia menjadi bawahan dan tidak ada bawahnnya lagi, dia tidak pernah menyuruh sana-sini dan kepada istri juga tidak pernah menyuruh sana-sini.

Jadi ini adalah salah satu dampak yang negatif dari keberhasilan suami.
GS : Jadi memang kompleks sekali. Kadang-kadang salah satu sisi keberhasilan atau peningkatan karier itu didambakan, tapi di lain pihak kita kadang-kadang kurang peka terhadap perubahan yang bisa terjadi khususnya dampak negatif. Tapi sebenarnya apa yang bisa dilakukan oleh suami yang kariernya meningkat, Pak Paul?

PG : Sebagai suami kita harus menunjukkan penghargaan kepada istri yang telah memberikan dukungan atau setidaknya memungkinkan kita meraih keberhasilan dalam pekerjaan, katakan bahwa,"Oleh karea pengorbananmu maka saya dapat meraih keberhasilan".

Dengan kata lain, kita menjadikan istri bagian dari tim dan bukan di luar tim. Sehingga dia tahu kalau dia benar-benar menjadi bagian dari si suami, keberhasilan suami adalah keberhasilan dia dan suami tidak melupakan itu dan sering-sering mengkomunikasikan hal itu kepada si istri. Sebaliknya tapi sering terjadi banyak suami begitu pangkatnya naik, makin takabur, makin bangga, makin sombong, makin bisa menyerang istri,"Kamu tidak ada apa-apanya, karena saya sekarang kamu bisa seperti ini, kalau bukan karena saya maka kamu tidak akan ada di sini, tidak akan ke luar negeri dan sebagainya". Ada suami yang seperti itu akhirnya makin melukai hati istri sebab seharusnya dia mengingat bahwa kalau tidak ada istrinya, dia juga tidak bisa melakukan semua yang dilakukannya ini. Jadi yang pertama berilah penghargaan terus menerus kepada istri.
GS : Tapi itu harus dilakukan sejak awal, sejak mereka atau si suami merintis kariernya, kalau hanya pada waktu kariernya meningkat dan baru mengatakan kepada istrinya bahwa ini adalah hasil kerja kita bersama, itu dampaknya kurang sekali.

PG : Tepat sekali. Jadi memang dari awal suami harus sering mengkomunikasikan penghargaan dan pengorbanan istri kepadanya yang begitu besar dan dia tidak akan menjadi seperti ini kalau bukan kaena istrinya.

Misalnya dalam kesempatan saya berbicara dengan orang, maka saya kadang-kadang menyatakan hal yang sama tentang istri saya, saya sering berkata bahwa,"Kalau bukan istri saya maka saya tidak ada di sini" dan kadang-kadang saya berbicara tentang emosi, "Saya mengerti emosi karena istri saya, kalau bukan istri saya maka saya tidak akan mengerti emosi seperti ini". Jadi karena hal-hal seperti itu akhirnya saya bertekad dalam hati bahwa yang ingin saya senangkan adalah istri saya dan dialah yang harus saya utamakan.
GS : Hal itu perlu dibicarakan secara terbuka kepada orang lain, sekalipun tanpa kehadiran istri kita, karena itu akan berdampak juga, mungkin orang itu akan bercerita kepada istri kita dan mengatakan,"Suamimu memuji-muji kamu" dan itu sangat menolong sekali, Pak Paul.

PG : Betul, jadi dia merasa diakui. Sebab kadang-kadang laki-laki tidak sensitif dan melesat seperti meteor dan istrinya tetap saja di bumi sendirian.

GS : Itu menyebabkan kesepian bagi si istri.

PG : Betul.

GS : Apalagi yang bisa dilakukan oleh suami ini, Pak Paul?

PG : Kita harus memperlihatkan kasih dan kehangatan kepada istri, bukan malah menguranginya, inilah wujud nyata dari penghargaan dan rasa terima kasih kepada istri. Jadi jangan sampai mengabaikn isri.

Bila harus bepergian jangan lupa untuk menghubunginya setiap hari, lewat cara-cara seperti inilah istri akan merasakan keterlibatannya dalam hidup dan keberhasilan suami. Waktu istri ditelepon dan ditanyakan kabarnya, sudah tentu dia merasa diperhatikan dan disayang. Tapi satu hal lagi waktu dia dihubungi, dikontak, ditelepon seperti itu maka dia akan merasa kalau suami bergantung kepada dia. Ini penting karena kadang-kadang istri merasa,"Sekarang kamu sudah menjadi orang tinggi dan tidak butuh saya, tidak perlu saya" jadi kita harus menyatakan kepada istri,"Tidak, saya tetaplah orang yang sama dan saya butuh kamu dalam hidup saya", tetaplah jaga kehangatan di antara hubungan suami istri itu.
GS : Untuk menelepon dan sebagainya ini, perlu waktu padahal sebagai orang yang kariernya meningkat, hampir seluruh waktunya tersita untuk pekerjaannya, Pak Paul.

PG : Makanya kita harus bisa menempatkan keluarga kita dalam prioritas hidup ini. Saya masih ingat cerita dari anak Pdt. Billy Graham yaitu Franklin, dia bercerita bahwa waktu dia masih kecil, arena ayahnya sibuk dan dia senang sekali waktu ayahnya pulang dan kadang-kadang ayahnya sedang ada rapat di rumah, tiba-tiba dia mau langsung masuk dan bertemu dengan papanya, dan papanya waktu melihat dia masuk, tidak menyuruh dia langsung keluar tapi papanya akan memanggil dia dan bertanya,"Ada apa?" dan kemudian dia akan meminta kepada teman-temannya untuk keluar sejenak atau dia akan membawa si Franklin keluar dan ngobrol sebentar, kemudian dia masuk lagi ke dalam.

Jadi Franklin membawa ingatan atau memori bahwa papa mengutamakan saya. Menurut saya, ini juga yang diperlukan oleh istri bahwa meskipun pekerjaan itu makin berat, makin penting bagi suami, tapi tetap saya menjadi yang paling penting bagi suami saya. Ini yang harus dirasakan oleh istri.
GS : Tapi dalam hal ini faktor budaya juga memengaruhi, dan di sini kebanyakan orang tidak mau melakukan hal seperti ini, dia bisa ditertawai oleh kolega-koleganya, jadi seolah-olah,"Nanti 'kan ada waktu berbicara seperti itu karena rapat ini penting, jangan karena hal itu maka rapat dihentikan seperti itu".

PG : Sudah tentu tidak setiap kali harus seperti itu, tapi sekali-sekali dia harus menelepon istrinya dan sebagainya, atau selagi istrinya telepon dia tahu kalau dia harus bicara dengan istriny maka dia bicara dulu dengan istrinya, sudah tentu tidak selalu setiap istrinya telepon bicara lama-lama tapi mungkin dia bisa katakan,"Maaf ya, saya harus pergi ada rapat".

Tapi sekali lagi buatlah usaha untuk menghubungi istri untuk menyatakan kita tetap mengasihinya, kita tetap membutuhkannya dan dia adalah yang penting dalam hidup kita, pekerjaan ini tidaklah sepenting dirinya bagi kita.
GS : Hal lain yang bisa dilakukan suami apa, Pak Paul?

PG : Jangan lupa untuk mengajak istri, untuk hadir dalam pertemuan yang melibatkan mitra kerja, jadi ajaklah supaya kita bisa menghargai istri di hadapan mereka dan sekali lagi karena kita mengajak istri maka kita menjadikan dia bagian dari tim dan bukan di luar tim, sehingga istri tahu siapa saja yang menjadi mitra kerja suami, dan mereka mengakui kalau ini istrinya.

Ini hal yang penting dirasakan oleh seorang istri.
GS : Di sini dari pihak istri harus hati-hati untuk tidak mengurusi urusan si suami walaupun dia diajak serta di sampingnya. Tapi kalau sudah mengenai masalah bisnis yang tentu saja tidak dikuasai oleh istrinya, maka kadang-kadang ada istri yang ikut nimbrung dan malah mengacaukan pembicaraan, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi istri juga harus tahu tempat, jangan sampai dia memberikan kesan kepada mitra kerja suaminya bahwa suaminya berada dalam kuasanya. Jangan mencampuri urusan yang memang dia tida kuasai.

Jadi hadirlah, bersosialisasilah, tapi setelah itu sudah.
GS : Memang perlu melihat situasinya apakah memungkinkan kalau mengajak istri, kalau suasananya santai, pertemuan informal maka itu bisa kita lakukan.

PG : Betul.

GS : Hal lain apa yang bisa dilakukan oleh suami yang meningkat kariernya?

PG : Batasi relasi dengan lawan jenis, artinya jangan sampai keberhasilan karier membuat kita para pria lupa diri sehingga makin bersikap bebas dengan lawan jenis. Inilah salah satu dampaknya, akin tinggi pangkat kita maka kita itu semakin berani bergaul dengan lawan jenis dan makin bebas bicara begini dan begitu, kita harus menjaga jangan sampai gara-gara kita makin tinggi kemudian kita semakin bebas dengan lawan jenis.

GS : Biasanya justru kalau ada pria yang meningkat kariernya didekati oleh perempuan yang jauh masih muda, karena diharapkan ada kucuran dana dari situ.

PG : Atau perhatian dari bos selalu berguna untuk mereka. Jadi banyak alasan tapi yang penting adalah kita sebagai pria harus bisa membatasi dan jangan karena kita di atas kemudian kita seenakna bebas bergaul dengan lawan jenis.

GS : Petunjuk-petunjuk ini sangat penting namun kita tentu mengharapkan ada firman Tuhan yang mendasari semua petunjuk ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Amsal 3:5-7 berkata,"Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Jnganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan".

Jadi kita harus hidup dengan kerendahan hati meskipun karier kita menanjak dan jangan sampai kita takabur serta jangan sampai kita mengklaim bahwa kepandaian atau usaha kita sendirilah yang membuat kita berhasil. Kita ingat ini semua pemberian Tuhan. Jadi akui Tuhan dalam setiap laku kita.
GS : Jadi kehidupan suami istri ini kalau di dalam Tuhan bisa saling mengerti dan menganggap mengimani bahwa keberhasilannya ini berasal dari Tuhan.

PG : Betul sekali dan bukan usaha kita.

GS : Kalau itu dianggap sebagai usahanya sendiri, maka itu akan menimbulkan kesombongan, Pak Paul.

PG : Betul sekali.

GS : Dan bagi istri juga bukan sesuatu yang bagus untuk ke depannya. Dia bisa menghambur-hamburkan karena ini hasil kerja kita sendiri.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan tentunya akan sangat berguna bagi kita sekalian namun pada kesempatan yang akan datang, kami akan membicarakan hal yang sebaliknya yaitu"Dampak Keberhasilan Istri pada Suami". Para pendengar sekalian, terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Dampak Keberhasilan Suami pada Istri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



88. Dampak Keberhasilan Istri pada Suami


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T318B (File MP3 T318B)


Abstrak:

Seharusnyalah para suami berbahagia dengan keberhasilan istri di dalam kariernya namun faktanya tidak semua merasa bahagia. Penyebabnya sudah tentu bukanlah keberhasilan itu sendiri melainkan dampak keberhasilan itu pada dirinya. Itu sebabnya kita perlu melihat hal ini dengan saksama agar kita dapat menghindar dari dampak buruk yang berpotensi merusak pernikahan. Ada 4 hal yang membuat suami tidak menyambut keberhasilan istri dengan gembira dan bagaimana sikap istri dalam menanggapi perilaku suami yang tidak suka dengan keberhasilan istrinya?


Ringkasan:

Seharusnyalah semua suami berbahagia dengan keberhasilan istri di dalam kariernya namun faktanya tidak semua merasa bahagia. Penyebabnya sudah tentu bukanlah keberhasilan itu sendiri melainkan dampak keberhasilan itu pada dirinya. Itu sebabnya kita perlu melihat hal ini dengan saksama agar kita dapat menghindar dari dampak buruk yang berpotensi merusak pernikahan.

Berikut ini akan dipaparkan beberapa penyebab mengapa suami tidak menyambut keberhasilan istri dengan gembira.

  1. Penyebab pertama mengapa suami tidak menyambut gembira keberhasilan istri adalah dikarenakan ketakutannya sendiri bahwa ia tidak lagi dapat menjadi kepala keluarga. Kita hidup di dalam dunia yang menjadikan uang dan kedudukan sebagai penentu kekuasaan dan pengaruh. Itu sebabnya menanjaknya karier istri dapat menciutkan kepercayaan diri suami yang merasa bahwa sekarang ia berada di bawah kendali istri. Alhasil, ia menjadi sensitif dan cenderung menafsir tindakan istri sebagai upaya untuk mengendalikannya dan sebagai sikap yang tidak menghormatinya.
  2. Berikut, mengapa suami tidak menyambut gembira keberhasilan istri adalah karena sekarang ia harus memikul beban mengurus rumah tangga. Sering kali keberhasilan istri dalam karier mengharuskannya untuk meninggalkan keluarga. Sebagai akibatnya tugas rumah tangga mesti ditanggung suami dan sudah tentu tidak semua suami menyambutnya dengan gembira
  3. Kadang ada pula suami yang malah menjadi malas oleh karena keberhasilan istri. Ia beranggapan bahwa sekarang ia tidak lagi harus bekerja sekeras dulu dan mulai mengandalkan istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Singkat kata, ia memanfaatkan istri untuk mengongkosi kebutuhannya dan keluarga.
  4. Ada pula suami yang karena istri bertambah berhasil dalam karier malah mengembangkan kebiasaan buruk seperti berjudi, bermabuk-mabukan, atau berzinah. Salah satu penyebabnya adalah tersedianya kesempatan untuk melakukan semua itu.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah yang seharusnya dilakukan istri bila inilah yang terjadi?

  1. Pertama, istri harus bersikap biasa kepada suami setelah peningkatan kedudukan dan penghasilan. Dengan kata lain, usahakanlah agar keberhasilan ini tidak memunculkan sikap atau tindakan yang dapat digunakan suami untuk menuduh bahwa istri telah merendahkan dan tidak lagi menghormati dirinya.
  2. Sebaliknya, jangan sampai istri merasa takut untuk membicarakan tentang uang. Bila memang harus dilakukan pembahasan tentang pemakaian atau penyimpanan uang, lakukanlah. Sekali lagi, hiduplah seperti biasanya. Jangan membesarkan perihal kenaikan penghasilan atau kedudukan.
  3. Sebelum menerima promosi sebaiknya istri merundingkannya terlebih dahulu dengan suami. Bicarakanlah dampaknya pada tugasnya di rumah dan mengurus anak. Tanyakanlah pendapatnya dan berilah waktu kepadanya untuk memertimbangkan hal ini. Jangan memaksanya untuk cepat mengiyakan permintaan ini. Keterlibatan suami dalam pengambilan keputusan akan membuatnya merasa berandil dalam proses ini dan lebih siap untuk menanggung konsekuensinya.
  4. Sering-seringlah memberi penghargaan kepada suami yang harus memikul beban keluarga. Jangan berkata bahwa memang sudah semestinyalah ia menanggung beban keluarga. Hargailah dan berterima kasihlah atas kesediaannya mendukung istri sejauh ini.
  5. Kemukakan kepada suami bahwa keluarga menempati prioritas atas. Jadi, bila sampai terjadi masalah dalam keluarga yang menuntut pengorbanan istri untuk mengurangi atau bahkan melepaskan pekerjaannya, istri siap untuk melakukannya.
  6. Apabila terlihat jelas bahwa suami memanfaatkan istri, tolaklah permintaannya. Jangan takut untuk dituduh bahwa istri terlalu menghina suami. Sekali lagi, hal ini hanya boleh dilakukan bila memang terlihat jelas suami berubah malas dan memanfaatkan istri sebagai pemenuh kebutuhannya.
  7. Jika suami terlibat perilaku berdosa karena istri jarang di rumah, ajaklah suami untuk menjalani bimbingan agar rumah tangga dipulihkan kembali. Ingatlah Firman Tuhan yang berkata, "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya maka semua itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33)


Transkrip:
Lengkap

"Dampak Keberhasilan Istri pada Suami"

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Dampak Keberhasilan Istri pada Suami". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pada kesempatan yang lalu kita berbicara tentang dampak keberhasilan suami pada istri, dan sekarang kita akan bicara tentang dampak keberhasilan istri pada suami. Mungkin ada sebagian pendengar kita yang belum atau tidak sempat mendengarkan perbincangan yang pertama dulu, sebelum kita membicarakan perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.

PG : Seyogianya keberhasilan suami menimbulkan rasa bangga atau hal-hal yang positif dalam diri si istri tapi ternyata tidak selalu demikian, karena kadang-kadang dengan bertambahnya penghasila, dengan makin meningkatnya kegiatan si suami dalam pekerjaan, maka misalnya waktu kebersamaan akan juga berkurang dengan keluarga, dan ada waktu-waktu tertentu juga misalkan si suami akhirnya merasa terlalu berkuasa, terlalu sombong, takabur sehingga si istri merasa makin ditinggalkan dan tidak diperhatikan.

Jadi kita sudah membahas bahwa yang terpenting adalah dalam kondisi seperti itu suami tidak boleh sampai mengabaikan istri dan harus terus mengkomunikasikan penghargaan pada si istri dan menunjukkan kehangatan dan kasihnya pada istri. Meskipun pekerjaannya makin bertambah dan dia memang menjadi orang yang lebih sibuk, tapi tetap yang terpenting dalam hidupnya adalah si istri dan bukan pekerjaannya dan dia tidak akan melupakan sumbangsih serta pengorbanan si istri yang telah memungkinkannya untuk bisa meraih kedudukan yang setinggi ini sekarang.
GS : Kalau kita akan bicara tentang keberhasilan istri pada suami, dampaknya apa, Pak Paul?

PG : Misalnya yang pertama adalah dikarenakan ketakutannya sendiri maka si suami tidak menyambut gembira keberhasilan istri. Dia mungkin merasa karena istrinya naik pangkat, penghasilannya bertmbah maka dia tidak bisa lagi menjadi kepala keluarga.

Kenapa bisa muncul perasaan seperti ini? Kita harus mengerti bahwa kita ini hidup dalam dunia yang menjadikan uang dan kedudukan sebagai penentu kekuasaan dan pengaruh, artinya makin banyak uang dan makin tinggi kedudukan maka makin besar kuasa dan pengaruh. Itu sebabnya menanjaknya karier istri dapat menciutkan kepercayaan diri suami yang merasa bahwa sekarang dia berada di bawah kendali istri. Masalahnya adalah akhirnya dia menjadi sensitif dan cenderung menafsir tindakan istri sebagai upaya untuk mengendalikannya dan sebagai sikap yang tidak menghormatinya. Itu sebabnya dia cepat merasa tersinggung dan kerap kali bersikap kasar kepada istrinya untuk memperlihatkan bahwa dia tetap menjadi suami yang mengepalai keluarga ini.
GS : Hal ini terjadi kepada suami yang sama-sama bekerja atau suami yang menganggur, Pak Paul?

PG : Kalau dia menganggur sudah tentu dampaknya lebih buruk, namun kalau sama-sama bekerja dan pekerjaan si istri itu sekarang di atas pekerjaan si suami, hal-hal ini juga bisa terjadi. Tapi seali lagi kita bisa mengerti kenapa bisa terjadi, karena tidak bisa disangkal di dalam dunia ini uang dan kedudukan itu berpengaruh sangat besar, siapa punya uang, siapa punya kedudukan, dia akan memunyai kuasa.

Jadi si suami pun akan berpikir,"Karena sekarang kamu yang punya kedudukan dan uang maka kamu yang punya kuasa" dan akhirnya sekarang terjadi perebutan kekuasaan. Bisa jadi si istri sebetulnya tidak terpikir akan hal ini dan dia hidup biasa saja, tapi si suami yang merasa begitu,"Sekarang kamu ingin menginjak-injak saya dan saya tidak terima" akibatnya sering bertengkar.
GS : Kalau si suami sekantor atau sepabrik atau setempat kerja dengan istrinya yang sedang menanjak kariernya, dampaknya bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu dia makin merasa malu dan dia makin merasa di mata teman-temannya yang kenal dia dan istrinya maka dia akan merasa terbanting. Maka kalau dua-dua bekerja di satu perusahaan yan sama, idealnya adalah kalau istrinya naik pangkat sebegitu tingginya dan dia tidak, kalau dia masih bisa tahan maka tidak apa-apa, tapi kalau berdampak buruk pada keluarga maka kalau memungkinkan biar suami mencari pekerjaan yang lain, karena kalau tetap di situ maka si suami sangat merasa tertekan, apalagi kalau si istri harus memberikan instruksi atau perintah kepada bawahan dan suami termasuk bawahan maka itu berat dan tidak mudah, karena mungkin teman-temannya akan mengejeknya,"Lihat istrimu yang menjadi kepala dan sekarang kamu menjadi buntutnya".

GS : Dan itu berpengaruh di dalam kehidupan rumah tangga karena tidak mudah membolak-balik seperti kalau di kantor dia menjadi kepala, namun kalau di rumah suaminya yang menjadi kepala, itu 'kan tidak semudah itu, Pak Paul?

PG : Sangat susah. Jadi biasanya kalau dalam kondisi seperti ini akhirnya masalah pekerjaan dibawa ke dalam rumah tangga.

GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul?

PG : Mengapa suami tidak menyambut gembira keberhasilan istri adalah karena sekarang ia harus memikul beban mengurus rumah tangga, seringkali keberhasilan istri dalam karier mengharuskannya mennggalkan keluarga dan sebagai akibatnya tugas rumah tangga harus ditanggung suami dan sudah tentu tidak semua suami menyambutnya dengan gembira.

Dalam kondisi seperti ini mudah sekali bagi suami untuk beranggapan bahwa istri pergi untuk bersenang-senang, sedangkan dia harus di rumah mengurus keluarga. Kita tahu anggapan ini dapat membuatnya marah dan sudah tentu tidak ramah kepada istri dan mungkin dia akan berubah kritis terhadap istri dan mempersoalkan segala hal yang tidak penting untuk mengeluarkan rasa tidak puasnya kepada istri.
GS : Apakah ini bukan karena sebagai suami tidak terampil melakukan pekerjaan dalam rumah tangga, Pak Paul?

PG : Saya kira ya. Jadi mungkin sekali karena tidak terampil atau karena tidak suka tapi terpaksa karena istrinya pergi. Jadi misalkan dia yang harus mengawasi PR anak-anak dan mengajari anak-aak, yang tadinya dia bisa relaks setelah pulang kerja malam tapi sekarang harus menjaga anak-anak, mengurusi PR nya, mengurusi makannya dan kalau ada yang sakit dibawa ke dokter.

Jadi dengan bertambahnya kedudukan istri harus sering pergi, tidak bisa tidak beban keluarga akan bergeser ke pundaknya suami. Jadi ada suami yang merasa bahwa ini adalah tugasmu sebagai istri di rumah dan ini adalah tanggung jawabmu, jadi dia tidak terima,"Sekarang kenapa saya yang harus mengerjakan semua ini?"
GS : Tapi kalau dia mau memaksa sampai istrinya keluar dari pekerjaan, maka akan menambah kondisi rumah bertambah buruk, Pak Paul?

PG : Bisa jadi. Karena nantinya si istri bisa beranggapan,"Kamu lebih memikirkan diri kamu dan kamu tidak mau berkorban sedangkan dulu sayalah yang berkorban dan sayalah yang di rumah, sayalah ang mengurus rumah tangga meskipun saya juga harus bekerja, tapi kenapa sekarang kamu tidak mau membantu saya, selama ini saya yang membantu kamu" kalau sampai itu yang terjadi yaitu suami memaksa istri untuk berhenti, itu akan menimbulkan ketegangan.

GS : Kalau si suami tetap bekerja dan memunyai pekerjaan, dan pekerjaan rumah tangganya dikerjakan oleh pembantu rumah tangga, mungkin tekanannya sedikit berkurang, Pak Paul?

PG : Betul. Tekanan pasti akan berkurang tapi tetap kalau istri sibuk dan harus bepergian dan sebagainya, suami tetap harus mengambil alih sebagian dari tugas itu misalnya tugas anak, anaknya mnta ini dan itu maka dia yang harus meladeni.

Anaknya minta untuk dia membawakan atau membelikan sesuatu, maka dia tidak bisa menyuruh istrinya membelikan, karena dia tahu istrinya sedang bekerja, karena pulangnya malam. Jadi adakalanya ini menimbulkan ketidaksukaan pada suami.
GS : Apalagi kalau nanti istrinya pulang lalu melihat rumahnya berantakan dan kemudian marah-marah, maka suami bisa merasa sangat tertekan.

PG : Dan bisa juga tambah marah, karena sekali lagi kalau kita jadinya harus menderita karena orang lain, kita cenderung menganggap orang lain itu senang-senang, meskipun kita mengerti istri kia tidak senang-senang, tapi karena kita yang susah-susah sekarang, jadi kita rasanya tidak suka dan merasa istri kita enak-enakan.

GS : Menanggapi sikap seperti itu Pak Paul, memang ada banyak suami yang menjadi apatis atau sudah tidak mau tahu lagi tentang hal-hal yang di rumah dan dia menjadi orang yang malas.

PG : Kadang-kadang itu yang terjadi. Jadi ada kasus di mana istri makin naik pangkatnya, kedudukannya, penghasilannya, tapi suaminya menjadi malas dan beranggapan bahwa dia sekarang tidak haruslagi bekerja sekeras dulu dan mulai mengandalkan istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Singkat kata dia memanfaatkan istri untuk mengongkosi kebutuhannya dan keluarga. Jadi motivasinya makin menurun, dan memang ada laki-laki yang seperti ini.
GS : Jadi hanya bercengkrama dengan tetangga dan teman-temannya, dia malah mengumpulkan teman-temannya datang ke rumahnya, sementara istrinya bekerja banting tulang.

PG : Betul.

GS : Dan kemalasan ini memang akan terus bertumbuh artinya dia sudah tidak mau bekerja, tidak mau mengurusi rumah tangga dan hanya senang-senang saja.

PG : Saya pernah bertemu dengan pria yang seperti ini. Jadi bagi kita ini sukar kita mengerti tapi itulah yang diinginkannya yaitu dia memang tidak suka bekerja tapi di rumah juga tidak mengurui rumah, maunya hanya diam-diam saja karena memang dasarnya agak pemalas.

Adakalanya karena istri makin berpenghasilan, suami bisa tambah malas.
GS : Malah ada hal yang lebih buruk lagi yaitu mengisi waktu luangnya itu untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji. Apakah hal itu bisa terjadi, Pak Paul?

PG : Sangat-sangat mungkin, Pak Gunawan. Jadi adakalanya karena istrinya makin menanjak dalam karier, si suami malahan makin mengembangkan kebiasaan buruk seperti berjudi, mabuk-mabukan, berzinh.

Pertanyaannya,"kenapa bisa begitu?" maka jawabannya adalah karena tersedianya kesempatan atau waktu untuk melakukan semua itu, apalagi misalkan di rumah ada pembantu yang mengurus anak-anak atau anak-anaknya sudah mulai besar, maka suaminya merasa bebas karena tidak ada lagi istri, jadi ketika istrinya pergi bekerja maka dia juga pergi tapi bukan pergi bekerja, namun dia pergi ke 'night club', bepergian dengan teman-teman dan terlibat dalam perilaku yang berdosa.
GS : Pak Paul, dengan meningkatnya karier istri, juga menimbulkan dampak buruk bagi keluarga karena istri mungkin sudah kelelahan dan di rumah masih mengerjakan pekerjaan rumah tangga, akibatnya istri menjadi suka marah-marah di rumah.

PG : Bisa sekali, Pak Gunawan. Jadi kadang-kadang istri pulang sudah capek dan anak-anak perlu diurus dan sebagainya, akhirnya kesabarannya menipis sehingga adakalanya anak-anak merasa Mama makn repot di tempat pekerjaan dan makin sering marah dan makin tidak suka.

Jadi si istri juga harus tahu batasnya, kalau memang dia tahu dengan dia menerima promosi ini, dia harus kehilangan relasi yang baik dengan anak-anak atau suaminya maka harus dipertimbangkan apakah dia harus menerima promosinya atau tidak.
GS : Bagi si suami yang memang sudah dasarnya malas dan mencari alasan, seringkali kemarahan istri ini dipakai alasan untuk dia meninggalkan rumah dan kemudian seperti yang Pak Paul katakan yaitu berjudi, berzinah, mabuk-mabukan dan seterusnya.

PG : Adakalanya itu yang terjadi, dia menemukan alasan sekarang,"Saya tidak betah di rumah karena sekarang sering ribut, lebih baik pergi" padahalnya dia memang mau melakukan semua itu bukan kaena istrinya.

GS : Lalu sebagai istri yang menanjak kariernya, apa yang seharusnya dia lakukan?

PG : Untuk kita bisa menghindar atau mengurangi kemungkinan terjadinya masalah yang telah kita bahas, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh istri, misalnya yang pertama istri harus bersika biasa kepada suami setelah peningkatan kedudukan dan penghasilan.

Dengan kata lain, usahakanlah agar keberhasilan ini tidak memunculkan sikap atau tindakan yang dapat digunakan suami untuk menuduh bahwa istri telah merendahkan dan tidak lagi menghormati dirinya. Jadi benar-benar jangan sampai mengubah sikap, perlakukan suami seperti dulu seperti biasa, kalau dulu dia bertanya sebelum dia mengambil keputusan, sekarang pun sama bertanya sebelum mengambil keputusan. Kalau dulu dia sebelum pergi selalu memberitahu dia mau pergi mana, sekarang sebelum pergi juga memberi tahu kemana dia mau pergi. Jadi hiduplah biasa, jangan karena peningkatan penghasilan atau kedudukan kemudian istri mengubah sikapnya. Ini mudah ditangkap oleh suami sebagai isyarat"kamu tidak lagi menghormati saya".
GS : Ini sebagai istri tentunya tetap menghormati suami, karena suami adalah kepala keluarga. Jadi sekalipun dia meningkat kariernya, tapi tetap dia harus menempatkan suami sebagai kepala keluarga.

PG : Betul sekali. Jadi apa yang telah dibina selama ini dimana suami yang memegang kendali dan dia adalah pendukung dan tunduk kepada suami, semua itu pertahankan. Jadi apa yang telah dibina aau cara mereka berelasi yang sudah baik, jangan diubah tetap pertahankan.

GS : Tetapi ada hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan, bahkan oleh suami istri yaitu tentang uang. Bagaimana si istri bisa menjaga perasaan suaminya di dalam membiarakan tentang masalah uang?

PG : Memang kalau istri sudah lebih berhasil, gajinya bertambah, bisa-bisa si istri takut bicara soal uang karena takut dituduh mau menonjolkan diri bahwa penghasilannya sekarang di atas si suai.

Jadi ada istri gara-gara naik tingkat akhirnya susah untuk bicara masalah uang kepada suaminya. Justru saya mau mengatakan agar jangan takut untuk membicarakan soal uang. Misalnya bila memang harus dilakukan pembahasan tentang pemakaian atau penyimpanan uang, maka lakukanlah. Jadi jangan takut berkata kepada suami,"Saya kira tidak bijaksana beli ini karena kita sudah ada, untuk apa beli lagi" jangan takut waktu suami berkata,"Kamu ini karena gara-gara sudah ada uang, melarang saya beli barang dan sebagainya" kalau kita memang sudah biasa membicarakan ini seperti apa adanya dan memang tidak bijaksana untuk membeli ini dan itu, maka katakan. Jangan karena si istri berpenghasilan lebih besar, kemudian istri takut menyinggung perasaan si suami. Jadi yang terpenting adalah bersikap biasa dan sedapatnya sama seperti dulu. Kalau misalnya dulu biasa membahas hal-hal keuangan sebulan sekali setelah terima gaji maka lakukanlah sebulan sekali. Jika kita ini biasa membeli barang dan bersama-sama mendiskusikannya terlebih dahulu, maka lakukanlah hal yang sama. Dan terpenting sebagai istri jangan membesar-besarkan perihal kenaikan penghasilan atau kedudukan,"Saya sekarang jadi apa dan gaji saya seberapa", dan apalagi jangan sebut-sebut gaji si suami tapi tentang memakai uang dengan bijaksana jangan sampai kita takut untuk membicarakannya.
GS : Apakah perlu bagi istri ketika mendapat penawaran untuk peningkatan jabatan atau promosi, dia membicarakan dulu dengan suami sebagai kepala keluarga?

PG : Sebelum menerima promosi maka sebaiknya istri merundingkannya terlebih dahulu dengan suami. Jadi bicarakan dampaknya pada tugas dan kewajibannya di rumah dan mengurus anak, tanyakan pendapt suami, beri waktu kepadanya untuk memertimbangkan hal ini.

Yang penting adalah jangan memaksa suami untuk cepat mengiyakan permintaan ini. Keterlibatan suami dalam pengambilan keputusan setidaknya akan membuat dia merasa berandil dalam proses ini dan akhirnya lebih siap untuk menanggung konsekuensinya.
GS : Tapi kalau si istri menghendaki atau menginginkan promosi itu, tentu pembicaraannya itu diarahkan supaya suaminya menyetujui permintaannya.

PG : Saya kira itu masuk akal dan manusiawi. Tapi sekali lagi di sini diperlukan kesensitifan dari pihak istri. Jadi jangan sampai istri terlalu memaksakan karena kalau dia memaksakan dan suamiya tidak setuju maka pada akhirnya si istri tidak memunyai damai sejahtera melakukan pekerjaannya, mungkin kalau dia pulang ke rumah, suaminya sudah menunggu dengan muka masam dan nanti akan terjadi konflik, maka untuk apa kalau semua ini harus terjadi.

GS : Ini bukan hanya mengenai promosi itu langsung, ada kadang-kadang di beberapa instansi, sebelum seseorang itu mendapat promosi, dia harus menjalani pendidikan terlebih dahulu. Dan masa pendidikan ini berarti dia harus meninggalkan rumahnya karena kemungkinan dia dikirim ke luar kota, ini juga harus dibicarakan dengan suami, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi kalau suaminya merasa keberatan, maka ini perlu diskusi dan rasa percaya bahwa si suami sebetulnya ingin istrinya naik pangkat, tapi mungkin dia merasa berat sekarang ini karen dia juga ada tugas.

Jadi mesti dibicarakan dengan rasa percaya yang tinggi bahwa tidak ada ambisi pribadi atau tidak ada niat untuk menyenangkan hati sendiri.
GS : Bagaimana halnya kalau si suami mau menerima dan dia sudah sanggup untuk melakukan tugas-tugas istrinya di rumah, apa yang harus dilakukan oleh si istri, Pak Paul?

PG : Sering-seringlah kepada suami memberi penghargaan karena sekarang suami yang harus memikul beban keluarga, dan jangan berkata kepadanya,"Memang sudah semestinya kamu menanggung beban keluaga".

Hargailah dan berterima kasihlah atas kesediaannya mendukung istri sejauh ini.
GS : Itu bentuk penghargaannya lewat pujian, atau ada yang lain, Pak Paul?

PG : Saya kira lewat pujian atau perkataan itu yang penting, jadi benar-benar utarakan dengan tulus dan katakan itu, misalnya istrinya pulang di malam hari dan anak—anak sudah beres semua, istr jangan hanya pulang dan diam saja tapi sering-seringlah berkata,"Terima kasih kamu telah mengurus anak dan maaf saya pulang malam".

Jadi dengan kata-kata seperti itu terobatilah pengorbanan si suami.
GS : Apakah hal itu menunjukkan bahwa si istri ini mengerti bahwa keluarga itu adalah sesuatu yang terpenting dalam hidup pernikahan mereka?

PG : Tepat sekali. Jadi waktu si suami mendengar perkataan istri seperti itu, sebenarnya si suami melihat dengan jelas bahwa bagi istrinya, keluarga atau dirinya menempati porsi atau prioritas ang atas.

Sehingga kalau sampai terjadi masalah dalam keluarga yang menuntut pengorbanan istri untuk mengurangi atau bahkan melepaskan pekerjaan, istri juga siap untuk melakukannya. Inilah kesiapan yang harus dikomunikasikan sejak awal."Saya akan coba dan lakukan ini tapi kalau misalnya berdampak buruk bagi keluarga, maka saya siap untuk turun pangkat melepaskan jabatan ini dan tidak apa-apa".
GS : Hal itu yang sebenarnya bisa mencegah suami untuk melakukan perbuatan tercela yang tidak disukai oleh istri.

PG : Betul sekali. Jadi waktu si suami itu melihat istri menempatkan keluarga begitu tinggi maka dia lebih terdorong untuk menghormati rumah tangga ini dan juga menghormati istrinya.

GS : Tapi ada juga sebagian suami yang kalau istrinya meningkat jabatan atau kariernya lalu disalah gunakan, artinya dia memanfaatkan keadaan itu sehingga istrinya seperti 'sapi perah' saja.

PG : Ada yang begitu. Jadi ada suami yang mulai memanfaatkan istrinya. Misalnya dia minta istrinya belikan dia ini dan itu, atau untuk memberi uang kepada teman dan sebagainya. Kalau istri meliat ini pemanfaatan, maka tolaklah dan jangan ragu untuk menolak serta jangan ragu dituduh istri tidak mendukung suami atau menghina suami.

Jadi sekali lagi kita harus berani menolaknya, tapi hal ini hanya boleh dilakukan bila memang terlihat jelas suami telah berubah malas dan malah memanfaatkan istri untuk memenuhi kebutuhannya. Kadang sikap tegas adalah cara yang dibutuhkan untuk menyadarkan suami dari perbuatannya yang tidak terpuji.
GS : Si istri seringkali ragu untuk melakukan ketegasan seperti itu karena ada perasaan bersalah di dalam dirinya,"kenapa dia harus bekerja sekeras itu". Jadi ada kebimbangan di dalam diri istri, mana yang harus ditempuh, di satu sisi menginginkan pekerjaan itu, tapi di sisi lain dia tidak berani tegas kepada suaminya.

PG : Sudah tentu kita harus melihat suatu pola sebelum menolak. Misalnya suami minta uang untuk memulai sebuah usaha, kalau ini pertama kali dan perencanaannya baik dan istri juga bisa terlibatdalam proses ini maka tidak masalah, karena istrinya yang memang memunyai uang.

Tapi misalkan ini menjadi sebuah pola yaitu usaha ini gagal, usaha itu gagal tapi terus menerus meminta istri yang menyediakan uang untuk itu, berarti ini adalah sebuah karakter yang tidak baik, yang mau memanfaatkan istri dan tidak peduli nanti gagal atau bangkrut karena ini uang istri. Sikap seperti itu tidak dibenarkan, jadi saya anjurkan kepada istri, kalau itu yang terjadi maka harus bersikap tegas dan berkata,"Tidak, saya tidak bisa memberikan uang ini karena saya harus memikirkan kepentingan keluarga karena kita sudah memiliki anak dan kita harus memikirkan masa depannya, saya tidak mau uang ini dihabiskan untuk hal seperti itu". Suami pasti marah akan berkata,"Ini untuk kepentingan keluarga" tapi kalau ini sudah terjadi berkali-kali berarti ini adalah pola yang tidak sehat.
GS : Karena kalau nanti dibiarkan maka akan terjadi seperti tadi yaitu istri merasa sebagai 'sapi perahan' saja.

PG : Betul. Jadi hanya untuk kepentingan si suami supaya suami di luar terlihat bagus, naik mobil bagus, ada kedudukan, ada kantor dan sebagainya, padahalnya semua adalah kosong dan semuanya adlah uang dari si istri.

GS : Dengan si istri sering tidak di rumah, itu membuka peluang yang besar bagi si suami melakukan dosa misalnya saja dosa seksual. Kalau seandainya si istri itu akhirnya bisa membuktikan atau menemukan sendiri bahwa suaminya melakukan perbuatan hal yang seperti itu, kalau dia hanya marah-marah maka tidak akan menyelesaikan masalah. Lalu apa yang harus dilakukan oleh istri itu, Pak Paul?

PG : Jika akhirnya suami terlibat perilaku berdosa karena istri jarang di rumah maka ajaklah suami untuk menjalani bimbingan atau konseling, agar rumah tangga dipulihkan kembali. Sekali lagi olh karena keluarga menempati prioritas atas maka istri harus mengkomunikasikan kesiapan untuk mengurangi dan melepaskan pekerjaan demi keselamatan keluarga.

Jadi misalkan dia sadar karena dia sering pergi maka akhirnya suaminya banyak waktu dan jatuh ke dalam dosa, maka demi kepentingan keluarga silakan kurangi jam kerja atau bahkan lepaskan jabatan itu. Kita ingat firman Tuhan yang berkata di Matius 6:33,"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu".
GS : Apakah istri tidak merasa bersalah karena dia bekerja begitu keras sehingga suaminya terabaikan dan melakukan dosa itu, sehingga ketika si suami diajak untuk ke konselor, biasanya suaminya menolak,"Ini bukan salahku tapi ini gara-gara kamu".

PG : Bisa. Jadi pada umumnya suami tidak begitu senang mencari bantuan dari pihak luar, tapi kalau memang si suami ini serius mau mengubah hidupnya, bertobat maka dia harus menjalani bimbingan ni supaya nanti mereka berdua bisa menyelesaikan masalah keluarga.

Jadi yang penting adalah dari pihak istri juga ada kesiapan untuk mengorbankan semua ini demi keutuhan keluarga. Sebab sekali lagi, untuk apa kita memeroleh uang kalau nanti keluarga kita hancur. Firman Tuhan dengan tegas tadi meminta kita mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepada kita.

GS : Nasehat Tuhan Yesus pasti sesuatu yang sangat bermanfaat. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan. Dan para pendengar sekalian terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Dampak Keberhasilan Istri pada Suami". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



89. Suami yang Memimpin dan Istri yang Menolong I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T320A (File MP3 T320A)


Abstrak:

Sebagai kepala yang memimpin, suami diminta Tuhan untuk MENGASIHI istri. Sebagai pendamping yang menolong, istri diminta Tuhan untuk TUNDUK kepada suami. Sayangnya tidak selalu suami dan istri berfungsi sesuai peran yang ditetapkan Tuhan. Alhasil muncullah masalah dalam pernikahan. Di sini kita akan melihat bagaimanakah suami memimpin istri dalam kasih dan bagaimanakah selayaknya istri menolong suami dalam ketundukan.


Ringkasan:

Ada banyak penyebab mengapa timbul masalah dalam pernikahan. Salah satunya adalah kegagalan suami dan istri berperan fungsi sesuai dengan desain yang telah ditetapkan Tuhan. Sebagaimana kita ketahui lewat Firman-Nya di Kejadian 2:18 dan Efesus 5:22-33, Tuhan menghendaki suami bertugas sebagai KEPALA yang memimpin istri dan istri sebagai PENDAMPING yang menolong suami.

Sebagai kepala yang memimpin, suami diminta Tuhan untuk MENGASIHI istri. Sebagai pendamping yang menolong, istri diminta Tuhan untuk TUNDUK kepada suami. Sayangnya tidak selalu suami dan istri berfungsi sesuai peran yang ditetapkan Tuhan. Alhasil muncullah masalah dalam pernikahan. Berikut kita akan melihat bagaimanakah seyogianya suami memimpin istri dalam kasih dan bagaimanakah selayaknya istri menolong suami dalam ketundukan.

MEMIMPIN adalah MENGARAHKAN:
  1. Menjadi PANUTAN yang layak dicontoh. Sangatlah penting bagi suami untuk hidup BERINTEGRITAS, yakni apa yang dikatakan sama dengan apa yang dilakukan. Sudah tentu apa yang dikatakan dan dilakukan haruslah sesuai atau mendekati standar kehidupan sebagaimana ditetapkan Firman Tuhan. Sewaktu istri melihat kehidupan suami yang berintegritas, tidak bisa tidak, ia pun tambah MENGHORMATI suami. Ketika hormat sudah bertumbuh, rasa PERCAYA pun bertunas. Alhasil istri lebih cepat dan lebih mudah MENDENGARKAN arahan suami. Itu sebabnya manakala suami ingin berfungsi sebagai pemimpin yang dapat mengarahkan istri, terlebih dahulu ia mesti mendemonstrasikan kehidupan yang berintegritas.
  2. Mengedepankan kepentingan BERSAMA di atas kepentingan pribadi. Kita adalah makhluk yang BERKEINGINAN dan berusaha untuk mewujudkan keinginan. Itu sebabnya salah satu sumber gesekan dalam pernikahan adalah kegagalan kita MENYELARASKAN keinginan. Istri menghendaki berjalan ke arah kiri, sedang suami ingin mengambil jalan ke kanan. Untuk dapat mengarahkan istri, penting bagi suami menunjukkan kepada istri bahwa dalam pengambilan keputusan, ia telah berusaha sedapatnya untuk MEMPERHITUNGKAN keinginan istri. Singkat kata, suami baru dapat mengarahkan istri bila istri yakin bahwa suami berusaha memperjuangkan keinginannya pula. Jadi, bila suami ingin dapat mengarahkan istri, penting baginya untuk pertama-tama mengenali kebutuhan dan kondisi istri. Setelah mengetahui dengan jelas, berusahalah untuk mengikutsertakan faktor istri ke dalam perencanaan hidupnya.
  3. Dapat bersikap tegas di dalam KEBENARAN, bukan kemarahan. Terlalu banyak suami yang bersikap tegas kepada istri bukan di dalam kebenaran melainkan di dalam kemarahan. Terlalu sering suami bersikap kasar kepada istri bukan karena kebenaran, melainkan karena ketidaksukaan belaka. Bila suami ingin mengarahkan istri, ia harus mengetahui apa yang benar dan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Setelah itu ia mesti menjadi orang pertama yang mengakui kesalahan atau kegagalannya hidup sesuai kehendak Tuhan. Bukan saja ia mengakuinya lewat perkataan, ia pun harus menunjukkannya lewat perbuatan yaitu ia terbuka untuk menerima teguran atau koreksi istri. Nah, didalam keterbukaan dan kesediaannya menerima koreksi atau teguran istri, suami bersikap tegas didalam kebenaran terhadap istri. Jika salah, beritahukanlah dan bila berdosa, tunjukkan dosanya. Namun penting bagi suami untuk melakukannya dengan lemah lembut serta kerendahan hati sebab ia pun manusia berdosa yang tidak luput dari kesalahan. Galatia 6:1 memberi panduan yang jelas kepada kita semua, "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu jangan kena pencobaan."
  4. Membuktikan diri sebagai orang yang berhikmat di dalam hal-hal KECIL. Mustahil bagi suami untuk dapat memberi arahan kepada istri bila rekaman jejaknya sarat dengan kesalahan. Kadang-kadang inilah yang terjadi. Suami memaksakan kehendaknya kepada istri namun masalahnya adalah di masa lampau terlalu sering ia membuat kesalahan. Perhitungannya meleset dan perkiraannya keliru. Jadi, jika suami bersedia mengakui bahwa memang rekaman jejaknya tidaklah mendukung, janganlah tergesa-gesa mengeluarkan pendapat apalagi memaksakan kehendak. Sebaliknya, bermusyawarahlah dengan istri dan sedapatnya buatlah keputusan berdasarkan mufakat bersama.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan suatu seri yaitu tentang Suami yang memimpin dan istri yang menolong dan seri ini terdiri dari empat bagian, dan untuk kali ini kami akan memulainya dengan satu tema "Memimpin adalah Mengarahkan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pertama-tama kita akan membicarakan tentang tanggung jawab suami karena seringkali di dalam rumah tangga itu terjadi percekcokan, ketidak sesuaian dengan banyak alasan. Salah satunya adalah karena masing-masing tidak berfungsi, kita sekarang mau membicarakan tentang apa fungsi suami dan apa fungsi istri. Dan kali ini kita akan berbincang-bincang terlebih dahulu tentang fungsi atau peran dari seorang suami. Apa saja kira-kira yang bisa kita bicarakan tentang hal ini dan apa yang menjadi dasar Alkitab, kita perlu mengetahui tentang peran dari suami, Pak Paul.

PG : Sebagaimana tadi Pak Gunawan sudah katakan, memang kita ini harus menjalani fungsi sebagaimana telah ditetapkan oleh Tuhan. Waktu Tuhan menciptakan manusia dan waktu Tuhan menciptakan pernikahan, maka Tuhan sudah menetapkan cara-Nya agar pernikahan ini bisa berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan dan benar-benar bisa mencapai tujuan-Nya. Karena kita tidak selalu menjalani peran dan fungsi sebagaimana ditetapkan Tuhan, maka timbullah banyak masalah di dalam pernikahan ini. Jadi kita mau membahas lebih mendetail tentang fungsi atau peran yang Tuhan tetapkan pada suami dan istri. Semoga kita bisa menjalankannya agar dapat membangun sebuah pernikahan yang sehat. Memang ada beberapa bagian firman Tuhan yang bisa kita baca, tapi karena waktu maka saya hanya akan memilih. Kita tahu bahwa di dalam Efesus 5:22-33 tertulis dengan jelas bahwa Tuhan menghendaki suami bertugas sebagai kepala yang memimpin istri, sedangkan istri ditugaskan Tuhan menjadi seorang pendamping yang tunduk kepada suaminya. Di Kejadian 2:18 Tuhan Allah berfirman, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." ini adalah perkataan Tuhan tatkala Tuhan sedang dalam proses ingin menciptakan Hawa bagi Adam. Jadi dengan jelas tertulis bahwa Tuhan memunyai tujuan yang spesifik menciptakan seorang istri bagi Adam, supaya Hawa menjadi seorang penolong yang sepadan. Kalau kita gabungkan dari dua ayat ini yaitu di Kejadian dan di Efesus maka bisa kita simpulkan bahwa Tuhan menetapkan istri untuk menjadi seorang pendamping yang menolong suaminya. Saya percaya kalau suami menjalankan tugas dan peran sebagai kepala yang memimpin istri dan istri menjadi pendamping yang menolong suami maka akan terwujudlah pernikahan yang sehat serta yang memang bisa membawa kebahagiaan dan hidup kita.

GS : Seringkali justru melalui pernikahan, masing-masing mengharapkan haknya, apa yang bisa diperbuat pasangan kita terhadap diri kita, Pak Paul. Jadi ini yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman hubungan suami istri terutama pada awal pernikahan, Pak Paul.

PG : Memang ini adalah sesuatu yang ironis sebab kalau kita perhatikan tatkala kita tengah berpacaran kita itu menjadi orang yang paling murah hati, paling rela melepaskan hak kita, tapi begitu kita menikah maka kita menjadi orang yang susah melepaskan hak kita. Justru terbalik, justru dalam pernikahan kita diminta Tuhan untuk melepaskan hak.

GS : Kalau kita mulai memfokuskan pembicaraan ini pada suami, kita akan membicarakan suami yang berperan sebagai pemimpin. Tadi kita berkata bahwa tema dari pembicaraan kita kali ini adalah "memimpin adalah mengarahkan", ini seperti apa, Pak Paul?

PG : Memang Alkitab tidak dengan jelas menguraikan arti memimpin sebagai kepala, namun saya mencoba untuk menerapkannya di dalam pernikahan. Memimpin itu seperti apa? Bukankah kita mengetahui bahwa seorang pemimpin bertugas untuk mengarahkan. Misalkan waktu Tuhan memimpin umat Israel keluar dari Mesir menuju kepada tanah yang Tuhan janjikan maka Tuhan memberikan arah lewat tiang api dan tiang awan, maka Tuhan menunjukkan ke mana umat Israel harus pergi. Jadi dengan kata lain, seorang pemimpin haruslah menjadi seorang yang dapat memberikan arah. Itu sebabnya suami kalau ingin berfungsi sebagai kepala, maka ia pun juga harus dapat mengarahkan istrinya, sehingga si istri jelas mengetahui apa yang harus dilakukannya.

GS : Seringkali pengertian memimpin dianggap, terutama kalau si suami juga memimpin di tempat kerjanya atau di masyarakat, dia selalu mengharapkan orang lain menghormati dia seperti ketika dia ada di pekerjaan atau di masyarakat, Pak Paul.

PG : Memang seorang suami apalagi yang mendapatkan kedudukan yang baik, terbiasa dengan penghormatan dari lingkungannya, maka dia juga akan menuntut penghormatan yang sama dari istrinya di rumah. Sudah tentu tidak ada salahnya mengharapkan hal itu, namun yang terpenting adalah dia harus juga pertama-tama mawas diri dan instrospeksi diri apakah dia telah menjadi orang yang layak dihormati. Kalau kita ingin menjadi seseorang yang dapat mengarahkan memang kita harus menjadi orang yang dihormati terlebih dahulu, sebab kalau kita tidak dihormati maka orang tidak akan menghormati kita. Tapi bagaimanakah caranya agar kita akhirnya menjadi orang yang dihormati, saya kira penting sekali kita menjadi panutan yang layak dicontoh, ini yang kadang-kadang luput kita perhatikan sebagai suami dan kita hanya mengetahui kita harus dihormati sehingga dapat mengarahkan istri, "Kamu begini, kamu begitu, kamu lakukan itu, kamu seharusnya begini atau begitu" kita kalau hidupnya tidak memunyai integritas, kita akan sukar sekali untuk dihormati oleh istri kita, apa yang kita katakan haruslah sama dengan apa yang kita lakukan. Jangan sampai kita mengatakan apa dan melakukan apa, namun akhirnya tidak sama dan akhirnya istri kita akan berkata, "Kamu sendiri hanya bisa bicara" sudah tentu standartnya di sini adalah firman Tuhan sendiri. Jadi apa yang Tuhan tetapkan maka si suami harus berusaha untuk melakukannya. Memang dia tidak sempurna tapi setidaknya istri melihat adanya sebuah kejujuran, keotentikan hidup yang berusaha untuk mencapai standart yang Tuhan tetapkan, kalau istri melihat hal ini, barulah nanti akan tumbuh hormat kepada suaminya sehingga waktu suami mengarahkan istri maka istri pun lebih dapat mendengarkannya.

GS : Jadi praktisnya, Pak Paul, dalam hal apa si suami perlu menjadi contoh terhadap istrinya?

PG : Misalnya yang paling mudah. Kadang-kadang suami menegur istri, misalnya, "Kamu ini tidak bisa membagi waktu dan kamu hanya bisa mengurusi ini dan ini, sehingga ada hal-hal yang harus kamu kerjakan tapi tidak kamu kerjakan, entah itu masalah anak dan sebagainya". Kita mengeluhkan hal itu kepada istri kita yang tidak bisa membagi waktu. Sudah tentu kalau memang itu faktanya maka kita harus menyampaikan kepada istri, ini adalah koreksi dan koreksi harus diberikan satu sama lain, namun pertanyaannya adalah apakah sebagai suami kita telah menjadi contoh dalam hal membagi waktu. Kalau misalnya istri melihat kita waktu bekerja, pada menit terakhir baru kita sibuk menyelesaikannya dan kemudian akhirnya karena menit terakhir baru kita menyelesaikan, maka kita menjadi tegang suka marah-marah dan menyalahkan orang, maka waktu kita berkata kepada istri kita, "Kamu tidak bisa bagi waktu, lihat ini terbengkalai, itu terbengkalai" istri kita akan berkata, "Bagaimana dengan kamu sendiri". Ada yang lain misalnya dalam hal pemakaian uang, "Kamu suka menghamburkan uang, saya memberi uang segini tapi masih tidak cukup dan sebagainya". Istrinya akan berkata, "Saya memakai uang untuk keperluan anak dan ini buktinya sekarang uang ini untuk membeli barang ini dan itu untuk anak dan ada buktinya" kalau misalnya suami tidak memunyai disiplin juga dalam soal uang, dia juga bisa membeli misalnya alat-alat elektronik yang mahal-mahal, tapi kalau istrinya mengatakan, "Kamu ini kenapa beli barang-barang seperti itu?" suami berkata, "Ini penting, kemajuan teknologi dan memudahkan komunikasi" tapi sebetulnya tidak perlu membeli yang semahal dan secanggih itu. Tapi suami karena ingin maka membeli dan membenarkan tindakannya. Sekarang dia menegur istrinya menghamburkan uang, maka susah bagi si istri untuk menerima teguran itu. Maka sekali lagi suami ditugaskan untuk memimpin dan memimpin adalah mengarahkan, kalau suami tidak mengarahkan maka dia tidak memimpin. Kalau suami ingin memimpin maka arahkanlah istri, tapi arahkanlah dengan catatan dia sendiri telah hidup berintegritas, sehingga bisa dihormati oleh istrinya.

GS : Mungkin dalam hal memberi contoh, suami ini memang agak susah, karena itu ada banyak suami yang merasa, "Tidak perlu menjadi pemimpin, lebih baik menjadi pemimpi saja", jadi hal-hal yang dia impikan itu yang tercapai.

PG : Betul.

GS : Pak Paul, selain bahwa kita harus menjadi panutan sebagai seorang suami terhadap istrinya, hal lain yang juga penting apa, Pak Paul?

PG : Sebagai seorang pemimpin yang mengarahkan, seorang suami itu harus mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Kita harus menyadari memang kita adalah makhluk yang berkeinginan dan karenanya kita berusaha untuk mewujudkan keinginan. Itu sebabnya salah satu sumber gesekan dalam pernikahan adalah kegagalan kita menyelaraskan keinginan. Jadi seolah-olah istri menghendaki untuk berjalan ke kiri sedang suami ingin mengambil jalan ke kanan. Untuk dapat mengarahkan istri maka penting bagi suami menunjukkan kepada istri bahwa dalam pengambilan keputusan dia telah berusaha sedapatnya untuk memerhitungkan keinginan istri. Singkat kata, suami baru dapat mengarahkan istri bila istri sungguh-sungguh yakin bahwa suami berusaha memperjuangkan keinginannya pula. Sebaliknya jika istri menilai bahwa suami hanya memikirkan kepentingan pribadinya, maka dia tidak bisa memercayai arahan suaminya lagi. Jadi penting sekali istri melihat jelas bahwa suami berusaha mementingkan kepentingannya. Barulah dia dengan mudah menyerahkan keputusan akhir itu kepada suaminya.

GS : Tetapi kadang-kadang sebagai suami, kita diperhadapkan pada sebuah situasi dimana memang ini untuk kepentingan suami dan bukan untuk kepentingan istri sehingga istri kita tinggalkan. Dalam hal ini seperti apa, Pak Paul?

PG : Susah tentu itu terjadi dan tidak apa-apa, masalahnya adalah seberapa seringnya. Kalau sekali-sekali itu normal, istripun juga akan melakukan hal tertentu untuk kepentingannya saja, contoh yang mudah adalah bukankah istri kita kadang-kadang harus ke salon untuk set rambut, kalau kita tidak perlu set rambut kita. Jadi benar-benar kepentingan istri murni bagi dia, kadang-kadang kita melakukan sesuatu untuk kepentingan kita dan tidak apa-apa. Tapi istri ingin melihat adanya keadilan di sini. Apakah yang pertama engkau membiarkan aku yang kadang-kadang melakukan hal-hal yang aku inginkan ataukah engkau melarang aku melakukan hal yang aku inginkan dan kalau engkau melakukan yang engkau inginkan aku tak punya kuasa atau suara untuk memberikan koreksi. Kalau istri melihat kenapa tidak adil, maka dia akan sukar menyimak apa yang suaminya coba lakukan atau arahkan dan memang penting sekali istri itu melihat bahwa secara umum dalam keputusan-keputusan yang lebih besar lagi, suami itu selalu berusaha memertimbangkan pemikiran dan kebutuhan istrinya. Itu sebabnya bila suami ingin dapat mengarahkan istri maka penting baginya untuk pertama-tama mengenali kebutuhan dan kondisi istrinya dan setelah mengetahui dengan jelas maka berusaha untuk mengikut sertakan faktor kebutuhan dan kondisi istri ke dalam rancangan hidupnya, jangan sampai dia hanya mementingkan diri. Jadi waktu dia mengambil keputusan dia bisa berkata, "Saya mengetahui kamu memang seperti ini dan kamu memunyai kebutuhan ini, jadi saya mencoba memerhitungkan supaya kebutuhanmu bisa dipenuhi dan sebagainya.

GS : Terkait dengan peran suami sebagai pemimpin seringkali si suami mengatakan, "Kamu ikut saya saja, saya yang menentukan segalanya" lalu istri ini menyampaikan idenya, "Jangan seperti itu, itu tidak perlu, ikut saya saja" karena dia merasa dia memimpin di sini.

PG : Sebetulnya kalau seorang suami itu mau adil dan benar-benar berpikiran luas dan terbuka, seorang suami pada umumnya bekerja di luar dan mungkin bekerja di bawah pimpinan orang lain, kita bisa bertanya pada diri kita sebagai laki-laki, "Apakah kita akan suka bekerja untuk seorang atasan yang kalau kita berikan usulan akan berkata, "Kamu tutup mulut dan tidak perlu beri usulan saya yang memutuskan semua", apakah kita akan bertahan bekerja di situ. Kalau kita berkata, "Tidak tahan", maka kita bertanya kepada perasaan istri kita yang kita suruh untuk tutup mulut terus menerus dan seolah-olah bekerja untuk kita, tapi tidak memunyai kesempatan untuk bersumbangsih pemikiran. Jadi seharusnya sebagai seorang suami kita harus lebih terbuka, lebih menyadari kehidupan seperti ini, memang Tuhan menghendaki kita menjadi pemimpin dan mengarahkan istri namun bukankah seorang pemimpin yang baik akan selalu memikirkan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya?

GS : Tapi ada juga sikap istri yang berkata kepada suaminya, "Kamu adalah pemimpin di sini, maka terserah kamu dan saya akan mengikuti kamu" jadi seolah-olah istri menyerahkan semuanya pada suaminya, tapi ketika suaminya mengambil keputusan atau bertindak kemudian dia tidak setuju, sehingga ini merepotkan bagi si suami.

PG : Kadang terjadi seperti itu. Kalau terjadi seperti itu maka kita sebagai suami harus mengingatkan, "Kamu serahkan kepada saya untuk memutuskan jadi saya akan memutuskan, tapi tolong setelah diputuskan kamu jangan mengganggu gugat lagi, kalau kamu tidak setuju dengan apa yang saya canangkan maka sekarang waktumu bicara dan kamu beritahu saya". Jadi dengan kata lain, kalau kita memunyai istri yang seperti itu maka kita harus sering-sering memberitahukan perkembangannya dalam pengambilan keputusan itu.

GS : Hal yang ketiga yang penting apa, Pak Paul?

PG : Memimpin adalah mengarahkan dan mengarahkan adalah kita harus dapat bersikap tegas, seorang pemimpin kadang-kadang dituntut untuk bersikap tegas tapi bersikaplah tegas dalam kebenaran dan bukan dalam kemarahan. Saya kira ini pengamatan Pak Gunawan juga, bahwa dewasa ini terlalu banyak suami yang bersikap tegas kepada istri bukan di dalam kebenaran melainkan di dalam kemarahan. Terlalu sering suami bersikap kasar kepada istri bukan karena kebenaran, melainkan karena ketidaksukaan belaka. Jadi bila suami ingin mengarahkan istri maka dia harus mengetahui apa yang benar dan apa yang menjadi kehendak Tuhan, setelah itu dia harus menjadi orang pertama yang mengakui kesalahan atau kegagalannya hidup sesuai kehendak Tuhan, sehingga bukan saja dia mengakuinya lewat perkataan, tapi dia juga menunjukkan lewat perbuatan, yaitu dia terbuka untuk menerima teguran atau koreksi istri. Dengan sikap terbuka atas teguran atau koreksi istri, maka dia berusaha untuk menjalankan apa yang Tuhan kehendaki maka dia bisa meluruskan perbuatan atau sikap istri di dalam kebenaran.

GS : Yang sulit itu justru suami harus meminta maaf kepada istrinya walaupun dia bersalah, ini kadang-kadang sulit sekali untuk dilakukan, Pak Paul.

PG : Namun inilah yang diperlukan supaya istri melihat bahwa suami itu mengikut Tuhan secara sepenuh hati bersedia meminta maaf, bersedia merendahkan diri, dengan kata lain, istri melihat suami hidup di dalam kebenaran sehingga waktu suami harus memberikan koreksi kepada istri, di dalam kebenaran istri juga akan lebih mudah untuk mendengarkannya.

GS : Malah yang seringkali terjadi, si suami ditunjukkan kesalahannya oleh istrinya malah dia marah-marah karena istrinya menuduh dia dan menunjukkan kesalahannya, ini menimbulkan kemarahan bagi suaminya.

PG : Seringkali kita sebagai pria cepat tersinggung kalau istri kita mencoba mengoreksi kita, tapi sekali lagi bukankah, coba kalau kita mau 'fair', bukankah di dalam dunia ini seorang pemimpin yang layak diikuti adalah pemimpin yang rela bersedia mendengarkan teguran atau koreksi dari orang yang dipimpinnya juga. Bukankah pemimpin yang memang layak diikuti adalah pemimpin yang juga bisa berkata, "Saya salah dan saya minta maaf". Kalau kita bisa berkata itulah pemimpin yang baik, maka jadilah pemimpin yang seperti itu di dalam keluarga kita.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang meneguhkan bahwa kita itu perlu meminta maaf atau memberikan maaf kepada orang lain, Pak Paul?

PG : Saya teringat Galatia 6:1 berkata, "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan". Jadi Tuhan meminta kita untuk saling koreksi satu sama lain namun Tuhan memberi syarat kalau kita ingin mengoreksi orang maka pertama-tama kita harus memeriksa diri yaitu apakah kita orang yang rohani, apakah kita menyampaikannya dengan roh lemah lembut dan apakah kita telah menjaga diri supaya jangan sampai kita itu menjadi orang yang munafik, yang memberi teguran kepada orang lain namun diri sendiri jatuh ke dalam dosa yang sama. Jadi sekali lagi Tuhan meminta kita untuk selalu melihat diri kita dan waktu kita memang telah hidup dalam kebenaran, dalam kerohanian yang Tuhan tetapkan, maka kita itu nantinya lebih dapat mengarahkan istri untuk hidup juga dalam kebenaran.

GS : Apakah ada hal lain, Pak Paul, yang perlu diperhatikan oleh suami di dalam hal mengarahkan istrinya?

PG : Yang terakhir adalah kalau kita ingin menjadi pemimpin yang dapat mengarahkan istri maka kita harus membuktikan diri sebagai orang yang berhikmat di dalam hal-hal kecil, mustahil bagi suami untuk dapat memberi arahan kepada istri bila rekaman jejaknya sarat dengan kesalahan. Kadang ini yang terjadi, suami memaksakan kehendaknya pada istri namun masalahnya di masa lampau terlalu sering dia membuat kesalahan, perhitungannya sering meleset, perkiraannya sering keliru, sudah tentu rekaman jejak yang penuh kegagalan ini akan menyulitkan istri untuk memercayai arahan suami, apalagi bila kenyataannya pemikiran istrilah yang terbukti benar atau tepat. Jadi lebih susah lagi kalau memang rekaman jejaknya membuktikan si suami yang penuh dengan kekeliruan. Sebagai suami memang kita mengakui kalau kita memang lebih banyak salah, maka kita akuilah dan jangan tergesa-gesa mengeluarkan pendapat, jangan lebih memaksakan kehendak, karena kita harus sadar bahwa kita memang lebih sering keliru. Jadi justru yang harus kita lakukan adalah sering-seringlah bermusyawarah dengan istri dan sedapatnya melakukan keputusan berdasarkan mufakat bersama.

GS : Di sini yang disebut kesalahan adalah kesalahan selama mereka sudah menikah dan bukan pada masa lampaunya, Pak Paul?

PG : Saya kira sudah tentu kalau misalnya mereka baru menikah maka rekaman jejak yang dilihat oleh istri adalah rekaman jejak sebelum menikah. Tapi kalau mereka sudah menikah lama maka sudah tentu yang dilihat adalah rekaman jejak selama menikah itu. Jadi dengan kata lain saya kira masuk akal, apakah kita bisa mengikuti perintah atasan kita kalau 9 dari 10 keputusannya adalah salah, maka akan terjadi kesulitan. Maka kita harus menjadi orang yang bijaksana dalam hal-hal yang kita lakukan sehingga istri percaya waktu kita berkata, "Saya kira ini saja, ini yang lebih baik" dia percaya karena dia mengetahui rekaman jejak kita itu mendukung. Jadi tolong kita juga harus tahu diri.

GS : Tapi sebagai suami tidak senang diingat-ingat kesalahannya di masa lalu, Pak Paul.

PG : Sudah tentu sebagai istri, istri bisa mengatakannya dengan cara yang lembut misalnya, tolong kita perhatikan ini dan ini, tolong jangan lupakan faktor ini dan ini, kita coba tunda sebentar dan kita berdoa lagi, mari kita meminta pendapat orang lain. Jadi tidak langsung berkata, "Kamu ini sudah sering buat kesalahan, sekarang mau membuat keputusan apakah kamu tidak bercermin diri?" Jangan seperti itu karena sangat menjatuhkan suami, sebaiknya hanya katakan hal-hal yang perlu diperhatikan.

GS : Kadang-kadang kita sebagai suami terpaksa mengambil keputusan-keputusan yang sangat mendesak di waktu yang sangat singkat dan ini biasanya yang keliru. Dan istri yang lebih bijaksana didalam mengambil keputusan, bagaimana ini, Pak Paul?

PG : Kadang-kadang itu yang terjadi kalau memang intinya kalau kita salah dan ini jarang terjadi maka kita minta maaf dan katakan jadilah 'gentleman', "Saya keliru dan keputusan saya salah" tanpa disuruh mengakui oleh istri dan atas keinginan sendiri. Sebab kalau kita mengakui, "Saya salah" tapi setelah dikonfrontasi istri maka istri akan berkata, "Kamu kalau sudah didesak maka baru mengaku", jadi tidak ada sifat 'gentleman'nya dan ini yang perlu diperlihatkan kepada istri bahwa kita seorang 'gentleman', kalau kita bersalah maka kita mengakui salah.

GS : Perbincangan kita ini masih akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang khususnya bagaimana kita harus bersikap sebagai seorang suami. Untuk mengakhiri perbincangan kita tentang 'memimpin adalah mengarahkan', mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan 1 Petrus 3:7, "Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang". Jadi firman Tuhan jelas meminta kita penuh kasih sayang, lembut, memerhatikan istri sebagai kaum yang lebih lemah dan bukan untuk diinjak-injak mentang-mentang lebih lemah, tapi justru harus dihormati sebagai teman pewaris dari kasih karunia. Ini adalah perintah Tuhan dan kalau kita melakukannya maka doa kita didengarkan Tuhan. Kalau kita tidak melakukan perintah Tuhan ini, Tuhan sudah berkata, "Doa kita akan terhalang".

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang bagian pertama dari suami yang memimpin dan istri yang menolong, yang merupakan suatu seri yang kali ini kita baru saja berbincang-bincang tentang "Memimpin adalah Mengarahkan" kami berharap Anda tetap mengikuti seri ini sampai pada akhirnya nanti. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



90. Suami yang Memimpin dan Istri yang Menolong II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T320B (File MP3 T320B)


Abstrak:

Ada banyak penyebab mengapa timbul masalah dalam pernikahan. Salah satunya adalah kegagalan suami dan istri berperan sesuai dengan desain yang telah ditetapkan Tuhan. Sebagaimana kita ketahui lewat Firman-Nya di

Kejadian 2:18 dan Efesus 5:22-33, Tuhan menghendaki suami bertugas sebagai KEPALA yang memimpin istri dan istri sebagai PENDAMPING yang menolong suami. Dan diharapkan sebagai seorang suami bisa terbuka terhadap pasangan dalam mengatasi masalah yang dihadapi, mengajak istri berdoa bersama dan memecahkan setiap masalah yang ada, sehingga rasa percaya istri kepada suami pun akan bertumbuh.

Ringkasan:
  1. Sedapatnya, jangan sampai harus memecahkan masalah yang ditimbulkan SENDIRI. Memang sebagai orang yang tidak sempurna kadang kita melakukan kesalahan. Namun sedapatnya hiduplah bijak dan berhati-hati sehingga kita tidak harus terjerumus ke dalam kesalahan yang sama berulang-kali.
    Bila suami ingin dapat mengarahkan istri, ia harus memperlihatkan kehidupan yang bijak dan berhati-hati. Jangan sampai istri merasa bahwa hidup bersama suami pada akhirnya merupakan sebuah perjalanan hidup jatuh-bangun akibat keteledoran suami. Jika ini yang terjadi, tidak bisa tidak, wibawa suami berkurang dan istri pun sulit untuk mematuhi arahan suami.
  2. Berdoa BERSAMA dan terbukalah terhadap pasangan apa adanya. Maksud saya, bila ada masalah, jangan sampai suami menyembunyikan informasi tertentu. Berdoa bersama berarti terbuka kepada Tuhan dan kepada satu sama lain. Jika suami telah melakukan kesalahan, akuilah di hadapan istri dan Tuhan. Inilah sikap doa yang benar.
    Di dalam keterbukaan barulah Roh Tuhan bekerja lewat suami dan istri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sewaktu istri melihat bahwa suami terbuka dan tidak menutup-nutupi kesalahan, dan sewaktu istri melihat bahwa suami sanggup memecahkan masalah, maka respek istri kepada suami bertumbuh.
    Pada akhirnya istri pun jauh lebih siap untuk menerima arahan suami. Singkat kata, KEJUJURAN dalam bermasalah dan KESANGGUPAN memecahkan masalah adalah dua kunci yang membuka pintu rasa percaya istri kepada suami.
Berikut akan dipaparkan langkah praktis memecahkan masalah.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan suatu seri yaitu tentang Suami yang memimpin dan istri yang menolong, dan ini merupakan bagian yang kedua dari seri tersebut. Kali ini kita akan memperbincangkan tentang "Memimpin adalah Memecahkan Masalah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : "Memimpin dan Memecahkan Masalah" ini tentang suami, beberapa waktu yang lalu kami juga memperbincangkan tentang "Memimpin adalah Mengarahkan" dan sebelum kita masuk ke dalam sesi tentang memimpin adalah memecahkan masalah, kami memohon kesediaan Pak Paul untuk menguraikan secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu, bagaimana Pak Paul?

PG : Pada dasarnya kita ini sudah membahas suatu topik yaitu kita harus kembali kepada peran dan fungsi yang telah ditetapkan Tuhan, kalau kita ingin membangun pernikahan yang sehat dan bahagia. Kenyataan kenapa kita ini justru sering menuai masalah bukan menuai cinta dan bahagia dalam pernikahan adalah dikarenakan kita gagal hidup sesuai dengan peran dan fungsi yang Tuhan tetapkan. Kita telah membahas bahwa peran istri adalah sebagai pendamping yang menolong suami, sedangkan peran suami adalah seorang yang menjadi kepala istri tapi juga kepala yang memimpin istri. Kita telah membahas bahwa memimpin itu memunyai beberapa tindak nyata. Yang pertama adalah memimpin berarti mengarahkan. Arti mengarahkan adalah kita harus menjadi panutan yang layak dicontoh supaya istri kita melihat kita bukan hanya berbicara, tapi kita juga melakukan apa yang kita katakan. Yang kedua adalah kita harus mengedepankan kepentingan bersama. Kalau istri melihat kita ini hanyalah mementingkan diri sendiri, maka susah bagi dia mengikuti kita dan menerima arahan kita. Dan berikut kita juga belajar, untuk dapat memberi pimpinan dan mengarahkan maka suami harus bersikap tegas di dalam kebenaran dan bukan kemarahan. Jadi jangan sampai kita menjadi suami yang marah-marah tapi hidupnya tidak benar. Suami harus hidup di dalam kebenaran baru nanti bisa menuntun istri hidup di dalam kebenaran pula. Dan yang terakhir adalah kita harus membuktikan diri sebagai orang yang dapat berhikmat di dalam hal-hal kecil, jangan sampai kita sering salah sini dan salah sana kemudian menyuruh-nyuruh istri berbuat ini dan itu, maka susah bagi istri untuk percaya. Jadi hendaklah kita juga membuktikan diri sebagai orang yang berhikmat barulah nanti istri lebih mudah untuk diarahkan oleh kita.

GS : Pak Paul, dengan perbincangan kita yang lampau maka ada kemungkinan istri memberitahukan kepada suaminya bahwa dia telah mendengar siaran kita dan kemudian menggurui suaminya sehingga suaminya juga merasa, "Ini tidak betul", saya digurui oleh istri saya sehingga timbul masalah di dalam keluarga itu, sedangkan pembicaraan kita yang kedua ini adalah bahwa suami sebagai pemimpin adalah pemecah atau penyelesai dari masalah itu sendiri. Hal-hal penting apa yang harus diperhatikan oleh istri ini supaya jangan menimbulkan masalah, tapi juga bisa bersama-sama dengan suami memecahkan masalah yang timbul.

PG : Sudah tentu seorang istri perlu untuk menyampaikan apa yang telah di dengarnya itu kepada suami dengan kata-kata yang tidak menyerang suami, justru kata-katanya harus lemah lembut, bijaksana dan jangan berkata, "Kamu harus begini dan begitu, kamu tidak mendengarkan saya dan sebagainya". Seseorang itu tidak suka ditunjuk-tunjuk kesalahannya, lebih baik kalau mau membagikan maka bagikan dan berkata, "Tadi saya mendengarkan siaran ini dan ada beberapa masukan yang saya pelajari, coba kalau kamu tidak berkeberatan saya mau membagikan apa yang tadi dikatakan". Setelah itu berhenti, hanya bagikan saja apa yang dikatakan atau yang didengarkan dan jangan mengatakan, "Makanya kamu harus...!" itu yang tidak perlu dikatakan. Saya pikir sudah cukup apa yang disampaikan di radio ini, sampaikan kepada suami dan selesai sampai di situ saja.

GS : Sebaliknya kalau timbul masalah di dalam rumah tangga itu khususnya di dalam hubungan suami-istri, apa yang harus diperbuat suami sebagai pemimpin, Pak Paul?

PG : Sebagai pemimpin tidak bisa tidak seorang suami dituntut harus bisa memecahkan masalah dan hidup itu penuh dengan masalah, di dalam pekerjaan, dalam relasi, kadang-kadang juga dalam gereja, kadang-kadang dengan sanak keluarga, macam-macam masalah bisa muncul. Sudah tentu bukan saja suami yang harus dapat memecahkan masalah, tapi juga istri, namun kalau suami ingin dilihat atau dihormati oleh istri sebagai pemimpin maka haruslah dapat memecahkan masalah, bukankah kita di luar juga sama, kita akan mengharapkan pimpinan kita adalah orang yang dapat memecahkan masalah, dan jangan sampai kita bekerja di bawah seseorang yang tidak bisa memecahkan masalah kemudian menyuruh bawahannya yang harus menyelesaikan masalah bagi dia, kita juga tidak suka. Jadi di rumah juga sama, kita harus dapat memecahkan masalah. Point pertama yang akan saya angkat adalah jangan sampai kita harus memecahkan masalah yang ditimbulkan sendiri. Sebagai contoh, Pak Gunawan, misalnya kita hati-hati dengan uang, kemudian kita mendengar atau membaca di internet ada undangan kalau mau mendapatkan bunga sebesar ini maka tanamkan uangnya di sini, tinggal serahkan kartu kredit kita dan nomer rekeningnya, nomer kode yang di belakang. Istri sudah berkata, "Jangan, ini kemungkinan besar penipuan lewat internet" namun suami berkata, "Tidak, lihat ini keuntungannya besar" dan istrinya berkata, "Jangan sampai kamu tertipu", tapi tetap tidak mendengarkan istri dan dua hari kemudian uangnya habis dikuras oleh penipu tersebut, akhirnya kita kalang kabut, minta tolong ini dan itu, mau memecahkan problem ini karena tidak bisa dibayar. Sebagai suami jangan sampai kita menjadi seseorang yang sering-sering menimbulkan masalah, sehingga akhirnya justru harus menyeret-nyeret istri menyelesaikan masalah kita. Saya mengetahui kita tidak sempurna, saya mengetahui kadang kita melakukan kesalahan tapi sedapatnya hiduplah bijak, berhati-hati, sehingga kita tidak harus terjerumus ke dalam kesalahan yang sama berulang kali.

GS : Jadi sebagai suami sebenarnya kita dituntut jangan menimbulkan masalah, tapi kalau pun itu muncul maka kita selesaikan, sebagai suami harus bisa berinisiatif menyelesaikan masalah itu. Betulkah begitu, Pak Paul?

PG : Betul. Istri sedikit banyak mengharapkan keteduhan hidup dengan suami. Istri pada umumnya tidak suka dengan kejutan. Jadi waktu dia harus hidup dengan suami yang akhirnya memberikan kejutan-kejutan, maka dia akan sangat goncang dan dia akan sangat susah sekali percaya serta hormat kepada suami untuk memimpin keluarganya lagi. Jangan sampai istri itu merasa hidup bersama suami pada akhirnya merupakan sebuah perjalanan hidup jatuh bangun akibat keteledoran suami. Kalau ini yang terjadi wibawa suami pasti akan merosot dan istri juga akan sulit mematuhi arahan suami.

GS : Pak Paul, katakan sudah dihati-hati oleh si suami, tapi masalah itu selalu ada di dalam rumah tangga dan menghadapi masalah ini bagaimana sikap suami terhadap istrinya?

PG : Sudah tentu kalau memang muncul masalah yang baru dan sebagainya, kalau suami menyadari bahwa memang dia kurang bijaksana di masa lampau maka mintalah masukan dari istri. Yang seringkali saya perhatikan, adakalanya kalau suami sadar dia itu kurang bijaksana, sering salah dan sebagainya, bukannya mengakui keterbatasannya, tapi malah mau menunjukkan keluarbiasaannya. Tapi masalahnya adalah dia luar biasa kurang bijaksananya, sehingga akhirnya bolak-balik melakukan keteledoran yang sama. Jadi kalau kita bisa mengakui bahwa kita terbatas dan kita perlu bantuan dari istri kita maka mintalah bantuan, atau kalau malu minta bantuan istri pada awalnya maka konsultasikan pada orang lain yang lebih bijaksana dari kita. Kalau kita berani mengakui keterbatasan kita maka kita akan lebih sering ditolong. Kalau kita berani cerita kepada istri, maka saya percaya tidak ada istri yang mau dan senang melihat suaminya itu jatuh ke dalam lubang, tidak ada. Tapi maunya suami bisa bangkit, bisa maju dan sebagainya. Jadi ceritalah kepada istri dan mintalah pendapatnya, dengarkanlah supaya masalah itu akhirnya bisa dipecahkan.

GS : Jadi hal apa yang bisa mereka lakukan bersama-sama, Pak Paul?

PG : Jadi kalau ada masalah yang pertama harus berdoa bersama, harus benar-benar mengajak istri, "Mari kita berdoa, saya ada masalah, kita ada masalah, mari kita angkat dan bawa ke dalam doa minta Tuhan memberikan pertolongan-Nya" dan ini penting kita harus terbuka kepada pasangan apa adanya. Maksud saya, bila ada masalah jangan sampai suami menyembunyikan informasi tertentu. Berdoa bersama berarti terbuka baik kepada Tuhan maupun kepada satu sama lain, jika suami telah melakukan kesalahan maka akuilah di hadapan Tuhan dan juga di hadapan istri, ini adalah sikap doa yang benar. Dan jangan sampai karena kita tidak mau istri mengetahui, kemudian kita sembunyikan apa yang kita lakukan, kita mengecilkan kesalahan kita, tapi mengajak istri berdoa dan meminta istri mendoakan kita. Akhirnya misalnya ketahuan kalau kita ini berbuat ini, salah perhitungan ini dan sebagainya, dan istri sama sekali tidak mengetahui. Itu sangat-sangat mengecewakan istri kita dan dia akan berkata, "Percuma kamu ini minta-minta doa, percuma menyuruh saya berdoa untuk kamu, percuma kita berdua bersujud meminta Tuhan menolong, kamu tidak jujur kepada saya, kamu telah menutupi perbuatanmu, kamu telah berbuat banyak hal yang keliru tapi tidak mau mengaku". Itu sangat mengecilkan hati si istri untuk dapat mendukung si suami sehingga akhirnya tidak jarang dalam kasus seperti itu istri berkata, "Kamu sekarang selesaikan masalahmu sendiri".

GS : Si suami bukannya tidak mau membuka semua terhadap istrinya, tapi khawatir istrinya nanti ikut memikirkan atau ikut menanggung beban yang sebenarnya kesalahan dari suami, makanya dia tidak mau menceritakan semuanya.

PG : Kalau itu yang terjadi sudah tentu suami perlu mengatakan itu dengan jelas kepada istri dan kalau memang istrinya melihat suaminya itu orang yang jujur, waktu suami mengatakan hal itu istrinya akan percaya, "Baiklah kamu sayang kepada saya dan kamu takut saya khawatir maka kamu tidak menceritakannya kepada saya, saya hargai hal itu". Namun sekali lagi penting di sini istri bisa percaya kepada suami, sebab kadangkala harus kita akui ada suami yang menggunakan kalimat tadi itu yaitu kalimat-kalimat yang terlalu standart, "Saya tidak cerita karena takut nanti kamu khawatir" padahalnya atau kenyataannya adalah bukan itu. Sebab kadang-kadang kita tidak mau cerita pada istri karena kita takut disalahkan, jadi daripada disalahkan atau malu karena berbuat kesalahan seperti ini, maka kita tutupi kesalahan kita. Maka penting kita harus berani jujur kalau kita salah, kita harus akui, "Saya salah perhitungan, saya terlalu bernafsu langsung saja pada kesimpulan atau keputusan akhirnya membawa bencana bagi keluarga kita, maka saya minta maaf". Itu yang perlu dilakukan oleh suami.

GS : Karena bagi suami, itu merupakan suatu kebanggaan kalau dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa dibantu oleh istrinya.

PG : Betul. Dan seringkali kita begitu dan sudah tentu kalau kita bisa selesaikan sendiri maka tidak mengapa kita selesaikan, sebab tadi saya sudah singgung, kita sebagai pemimpin harus bisa menyelesaikan masalah. Jadi jangan sampai semua masalah tidak bisa kita selesaikan dan minta istri untuk menyelesaikan, tidak seperti itu. Tapi ada hal-hal yang kita bisa putuskan sendiri kalau ada hal-hal yang harus kita selesaikan maka kita selesaikan apalagi kalau itu memang urusan kita. Tapi kalau menyangkut keluarga atau istri kita maka kita harus menceritakan supaya dia tahu sebetulnya apa yang sedang kita hadapi.

GS : Biasanya diceritakan setelah masalah itu selesai dan kemudian diceritakan semua supaya istrinya mengetahui, tetapi itu sudah selesai.

PG : Kalau memang bisa diselesaikan dengan baik dan dia baru ceritakan setelahnya, bagi saya juga tidak mengapa, jadi tidak selalu kita akan menceritakan atau membagikan masalah kita, tidak seperti itu. Tapi ada waktu kita selesaikan sendiri apalagi kalau itu menyangkut pekerjaan kita, kita tidak harus selalu menceritakan kepada istri kita. Tapi kalau memang kita tidak bisa menyelesaikan atau terlalu mengganggu kita maka kita ceritakan kepada istri dan terbukalah apalagi kalau memang hal ini bisa memengaruhi kehidupan keluarga kita.

GS : Seringkali istri justru setelah diberitahu bahwa ada masalah tapi tidak diceritakan keseluruhan, istri ini malah menggali-gali mencari tahu dan si suami merasa tidak senang di situ.

PG : Maka sekali lagi kepercayaan itu harus ada, kepercayaan itu dibangun di atas kejujuran dan keterbukaan. Jadi kalau di masa lampau suami itu tidak terlalu jujur, terbuka, maka istri kurang percaya apa yang dikatakan oleh si suami dan dia akan menduga pasti di belakang ini ada sederet hal-hal lain, maka akhirnya dia mengejar-ngejar si suami dan memaksa si suami untuk menceritakan semuanya. Tapi kembali lagi kepada doa, kalau kita meminta pertolongan Tuhan maka kita harus jujur, itu adalah syaratnya. Kalau kita tidak mau jujur bahkan kepada Tuhan atau pasangan kita maka bagaimana Roh Kudus mau bekerja untuk menolong dan menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Jadi kalau kita mau meminta bantuan Tuhan, maka hiduplah sesuai dengan perintah Tuhan. Tidak ada yang Tuhan akan bantu kalau hidupnya itu memang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Jadi keterbukaan dan kejujuran penting sekali supaya benar-benar Roh Kudus bekerja dan terlebih lagi waktu istri melihat suami terbuka, tidak menutup-nutupi kesalahan dan waktu istri melihat suami sanggup memecahkan masalah, maka respek istri kepada suami akan bertumbuh.

GS : Jadi ada dua hal yang sangat penting di sini yaitu tentang kejujuran dan kesanggupan dari si suami menyelesaikan masalahnya.

PG : Tepat sekali. Jadi harus jujur dan harus menunjukkan kesanggupan menyelesaikan masalah, barulah dia bisa nanti memberikan pimpinan dan arahan kepada istrinya.

GS : Langkah-langkah praktisnya seperti apa, Pak Paul, untuk memecahkah masalah ini?

PG : Ada beberapa langkah praktis umum yang dapat kita terapkan dalam pemecahan masalah, yang pertama adalah kalau kita sedang menghadapi masalah jangan bertindak dan jangan langsung berbuat ini dan itu, tapi pertama-tama kita harus mengumpulkan data selengkapnya tentang masalah itu sendiri, agar jelas kita mengerti duduk masalah sebenarnya. Jadi kadangkala sebelum kita bertindak, kita mesti benar-benar jelas masalahnya seluas apa dan sedalam apa, kita harus melihat dan harus dapat memecahkan masalah itu sebab kalau tidak, kita terburu-buru berbuat ini dan itu, mencoba menyelesaikan masalah, padahal masalah A terkait dengan masalah B dan masalah B terkait dengan masalah C. Tapi karena kita tidak memperhitungkan masalah-masalah yang lainnya, akhirnya masalah itu berentetan, tambah menggila dan timbul masalah lain. Jadi selalu kita harus lihat selengkap-lengkapnya dan seluas-luasnya sehingga kita mengetahui sebetulnya duduk masalahnya apa.

GS : Ini dibutuhkan sifat yang objektif terhadap masalah itu sendiri, Pak Paul?

PG : Betul. Jadi memang kita harus benar-benar memandang masalah dengan objektif dan mungkin mencari tahu informasi dari siapa atau apa sehingga tahu duduk masalah keseluruhannya.

GS : Dan di sini peran si istri besar sekali, Pak Paul, memberikan masukan pada kita tentang masalah yang dihadapi bersama itu.

PG : Betul sekali. Sebagai contoh yang gampang, misalkan merasa ada orang seperti ini dan kita berkata, "Saya mau menegur dia" seringkali kita tegur begitu saja tidak memikirkan dampaknya. Ternyata gara-gara kita menegurnya nanti dia akan berpikir begini dan begitu, nanti mempengaruhi ini dan itu. Akhirnya bertambah panjang. Jadi sebelum menyelesaikan masalah, ketahuilah duduk masalah sebenarnya, itu langkah pertama.

GS : Kalau kira sudah memunyai gambaran yang lengkap tentang permasalahan ini, hal apa yang harus kita lakukan, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kita juga harus mengumpulkan alternatif penyelesaian masalah sebanyak-banyaknya. Jadi makin kita sempit dalam berpikir, "Ini salah satunya cara", itu justru seringkali akan menjerumuskan kita ke dalam kekeliruan. Maka pada waktu mau memecahkan masalah maka setidak-tidaknya kita memikirkan beberapa alternatif, itu pertanda bahwa kita menyadari luas dan dalamnya masalah itu dan juga menyadari beberapa kemungkinan untuk menyelesaikannya. Jadi sekali lagi, makin luas perspektif kita sehingga bisa melihat beberapa alternatif maka semakin besar kemungkinan kita dapat memecahkan masalah dengan baik. Tapi semakin terlalu percaya diri, "Ini satu-satunya cara, tidak ada cara lain lagi" terlalu sempit pikiran kita maka semakin besar kemungkinan kita berbuat atau melakukan kesalahan. Jadi kumpulkan alternatif untuk menyelesaikan masalah sebanyak-banyaknya dan janganlah ragu minta pendapat dari pasangan kita, istri kita untuk menolong kita memikirkan alternatif yang lainnya.

GS : Apakah alternatif-alternatif ini tidak justru membuat kita bingung sendiri? Ini mau ditempuh, ini mau ditempuh, karena terlalu banyak alternatif penyelesaian apa tidak tambah bingung, Pak Paul?

PG : Mungkin sekali bingung, tapi ini adalah bingung yang baik dan semestinya. Lebih baik bingung karena kita menemukan beberapa alternatif penyelesaian dari pada percaya diri tidak bingung sama sekali, tapi hanya melihat satu alternatif penyelesaian, itu lebih berbahaya. Jadi semakin banyak penyelesaian memang kita akan bingung, tapi itu pertanda kita memiliki pemahaman yang mendalam dan tepat tentang masalahnya dan bisa memikirkan beberapa cara untuk menyelesaikannya sehingga pada akhirnya kita bisa memilih satu dari penyelesaian itu dengan kesadaran penuh bahwa alternatif ini ada kelemahan dan kelebihannya. Jangan sampai kita hanya memilih satu alternatif dan langsung percaya diri ini hanya ada kelebihan dan tidak ada kekurangan sama sekali, justru itu sangat bahaya.

GS : Hal lain lagi yang perlu diperhatikan atau dilakukan apa, Pak Paul?

PG : Setelah kita mengumpulkan data selengkapnya tentang masalah itu sendiri, setelah mengumpulkan alternatif penyelesaian sebanyak-banyaknya maka berilah waktu yang panjang sebelum mengambil keputusan, apalagi bila ada ketidak sesuaian pendapat antara kita dan istri kita. Jadi penting kita berusaha sedapat mungkin untuk mencapai kesehatian dalam hal ini. Kalau kita memang harus mengambil keputusan dengan segera maka ambillah, tapi kalau masih bisa ditunda maka ada baiknya beri waktu, sebab segala sesuatu yang telah dipikirkan perlu benar-benar dicerna. Seringkali setelah kita menemukan alternatifnya dan kemudian kita diamkan atau endapkan maka mungkin kita akan menemukan benang merah yang tersembunyi di dalamnya. Jadi waktu seringkali menolong kita melihat sesuatu dengan lebih mendalam. Perlu keluasan melihat berbagai alternatif tapi perlu juga kedalaman dan kedalaman itu biasanya harus lewat proses waktu.

GS : Tapi didalam hal membutuhkan waktu pun tidak perlu atau tidak boleh terlalu panjang sehingga tidak terselesaikan atau masalah ini mengambang, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi waktu bukan untuk menunda-nunda memutuskan, tapi waktu untuk memberi kita waktu yang cukup untuk bisa melihat lebih dalam lagi.

GS : Kalaupun kita harus mengambil suatu keputusan sendiri tanpa istri atau pasangan, hal apa yang perlu kita lakukan, Pak Paul?

PG : Kadang kita sudah tidak sepakat dengan istri dan kita coba sepakat atau sesuaikan, tapi tetap tidak bisa ketemu, maka kita harus melangkah sendiri dan tunjukkan pengertian kita dan perasaan penyesalan kita, "Karena kita tidak ada kesepakatan maka kita harus jalan sendiri seperti ini". Maka tunjukkan kalau kita juga tidak suka dan kita juga terpaksa mengambil keputusan sendiri.

GS : Hal lain lagi yang harus kita perhatikan selain itu apa, Pak Paul?

PG : Setelahnya kalau kita melihat jelas, kita mungkin keliru bertindak maka bersedialah untuk mengubah arah dan jangan mengeraskan hati demi gengsi, "Tidak mau mundur dan ingin jalan terus" padahalnya sudah tahu kita salah. Kalau perlu terakhir kita harus meminta maaf kalau memang salah bertindak, jangan malah menyalahkan orang lain atau malah mengecilkan masalah. Kita jadilah 'gentleman'.

GS : Sebaliknya kalau yang kita putuskan benar dan apa yang diusulkan istri atau pasangan kita keliru, apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul, supaya dia jangan tersinggung atau sakit hati?

PG : Sebaiknya kalau memang tidak perlu maka jangan bilang apa-apa biarkan dia melihat sendiri, atau kalau kita mau berkata sesuatu maka katakan saja, "Terima kasih kamu telah memberikan masukan sebab yang penting bagi saya adalah masukan kamu, benar atau tidak benar itu adalah proses sebab saya bisa salah dan kamu juga bisa salah dan yang penting adalah masukan kamu dan saya sudah terima dan itu berharga buat saya."

GS : Yang penting tidak menghina istri atau melecehkan istri karena keputusan yang salah itu.

PG : Betul sekali.

GS : Dalam hal ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Di Amsal 16:6 firman Tuhan berkata, "Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni, karena takut akan TUHAN orang menjauhi kejahatan". Jadi dalam pengambilan keputusan, takut akan Tuhan harus menjadi dasarnya dan kalau sampai terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan ingat kasih dan kesetiaan harus kita kedepankan dan jangan mendendam, jangan memarahi, jangan menyalahkan karena kasih dan kesetiaan itu yang harus kita kedepankan.

GS : Terima kasih Pak Paul. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memimpin adalah Memecahkan Masalah" yang merupakan bagian kedua dari suatu seri perbincangan kami tentang Suami yang Memimpin dan Istri yang menolong, kami sangat berharap Anda tetap mengikuti program ini karena pada kesempatan yang akan datang kami akan memperbincangkan dari sisi istri. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



91. Menolong adalah Mengingatkan I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T321A (File MP3 T321A)


Abstrak:

Pada kenyataan-Nya kita harus mengakui bahwa kita semua manusia yang terbatas. Jadi waktu Tuhan menciptakan perempuan, agar terjadi relasi yang saling tolong dan perempuan bisa menjadi penolong bagi laki-laki, bukan karena istri lebih baik dan sebagainya. Ada 9 hal yang diungkapkan sebagai istri yang menolong adalah mengingatkan, antara lain menolong berarti memberi masukan, bukan memaksakan kehendak; menolong berarti mengingatkan suami akan kemungkinan buruk yang luput diperhatika; menolong berarti mengingatkan suami untuk tidak bersandar para pengertiannya sendiri tapi pada Tuhan dan lain-lain.


Ringkasan:

Pada kenyataan-Nya kita harus mengakui bahwa kita semua manusia terbatas, tidak sempurna, secerdas-cerdasnya kita banyak yang kita tidak ketahui, sebijak-bijaknya kita kadang kita masih melakukan kesalahan. Jadi waktu Tuhan menciptakan perempuan agar terjadi relasi yang saling tolong dan perempuan bisa menjadi penolong bagi laki-laki, itu maksudnya adalah agar dua-dua bisa saling menolong namun secara khusus memang Tuhan meminta kepada istri untuk menjadi penolong, namun dalam pengertian bukan istri lebih baik dan sebagainya, tapi bahwa memang kedua-duanya memiliki keterbatasan dan suami pun membutuhkan masukan dari istri karena akan ada hal-hal yang suami tidak lihat yang istrinya lihat, ada hal-hal yang istrinya lebih tahu daripada dirinya. Jadi itulah fungsi seorang istri.

Berikut kita akan melihat bagaimanakah seyogianya istri menolong suami dalam kasih :
  1. Menolong berawal dari sikap TUNDUK dan HORMAT. Sebaik apa pun masukan yang diberikan, bila disampaikan tanpa rasa hormat, tidak akan dapat menolong suami. Jadi, jangan menantang suami atau memberinya ancaman. Dari awal, tunjukkanlah sikap hormat kepada suami. Perhatikanlah pemilihan kata yang digunakan, nada suara yang dikeluarkan dan bahasa tubuh yang diperlihatkan. Berusahalah sedapat mungkin untuk mengkomunikasikan rasa hormat kepada suami. Jika dalam keadaan dimana rasa hormat tidak dapat disampaikan, tundalah dulu pembicaraan. Redakanlah dulu suhu emosi sebelum memulai pembicaraan.
  2. Menolong berarti MEMBERI masukan, bukan memaksakan kehendak. Godaan terbesar tatkala merasa diri benar adalah memaksakan kehendak. Bila suami sudah melihat atau beranggapan bahwa tatkala istri mengeluarkan pendapat maka pendapat itu harus disetujui, maka besar kemungkinan suami akan melihat masukan istri sebagai perintah atau tuntutan yang mesti dituruti. Alhasil suami makin tidak suka mendengarkan masukan istri, apalagi mencari pendapat istri. Jadi, penting sekali bagi istri untuk menyadari perannya sebab pemberi masukan. Setelah memberi masukan, istri menyerahkan keputusan akhir kepada suami.
  3. Menolong berarti mengingatkan suami akan MOTIVASI suami melakukan sesuatu. Adakalanya suami ingin melakukan suatu hal atas dasar motivasi yang tidak benar. Misalnya, suami ingin melebarkan sayap usaha hanya untuk dilihat orang bahwa usahanya maju, padahal faktanya tidaklah demikian. Jika istri melihat adanya maksud tersembunyi seperti ini, sebaiknya ia mengingatkan suami. Besar kemungkinan suami menjadi tersinggung namun setidaknya masukan ini menjadi peringatan baginya untuk berhati-hati. Sekaligus peringatan ini berfungsi sebagai penghakiman atasnya bila memang ini maksud tersembunyi di balik tindakannya. Juga bila memang benar demikian dan suami bersedia mengakuinya, istri pun akan berkesempatan untuk mengajak suami datang kepada Tuhan dan memurnikan motivasi, sekaligus mengkaji ulang rencana yang telah dirancang.
  4. Menolong berarti mengingatkan suami akan KEMUNGKINAN BURUK yang luput diperhatikan. Ada suami yang bijak namun ada pula suami yang kurang bijak. Biasanya kurangnya hikmat bersumber dari kegagalan untuk memperhitungkan kemungkinan buruk. Dengan kata lain, keputusan dan tindakan diambil berdasarkan perhitungan akan kemungkinan baiknya saja. Nah, bila istri melihat hal ini, sebaiknya istri mengingatkan suami akan kemungkinan buruk ini, dengan catatan ia pun mengakui akan adanya kemungkinan baiknya. Jangan sampai suami menilai bahwa istri SELALU melihat kemungkinan buruknya saja. Bila anggapan ini telah tertanam, akan sukar buat istri untuk membuat suami menerima peringatannya.
  5. Menolong berarti mengingatkan suami bahwa keputusan yang diambil berdampak bukan pada dirinya belaka tetapi juga KELUARGA dan mungkin orang lain pula. Sudah tentu penting bagi istri untuk menyampaikan hal ini dari bingkai positif. Jadi, jangan berkata kepada suami, "Kamu harus memerhatikan kebutuhan keluarga, bukan hanya kepentinganmu sendiri." Sebaliknya, katakanlah seperti ini, "Saya percaya bahwa kamu sudah memikirkan kami semua bahwa kalau sampai terjadi apa-apa, saya dan anak-anak akan terkena dampaknya pula." Perkataan seperti ini cukup untuk mengingatkan suami bahwa ia harus berhati-hati bertindak, sebab bila ia salah melangkah maka semua orang yang dikasihinya harus menanggung akibatnya pula.
  6. Menolong berarti mengingatkan suami untuk tidak bersandar pada PENGERTIANNYA sendiri, tetapi pada Tuhan. Sekali lagi, jangan lontarkan peringatan dari sudut negatif—seolah-olah ia hanya bersandar pada pengertiannya sendiri. Sebaliknya, berangkatlah dari sudut positif dengan cara mengajaknya untuk berdoa. Mungkin istri dapat membacakan Amsal 3:5-6 yang berbunyi, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu maka Ia akan meluruskan jalanmu." Setelah itu berdoalah dan mintalah tuntunan Tuhan untuk keluarga ini. Lewat cara seperti ini suami diingatkan untuk senantiasa melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan hidupnya.
  7. Menolong berarti mengingatkan suami untuk tidak TERGESA-GESA. Salah satu sahabat dalam pengambilan keputusan adalah WAKTU. Ketika kita tergesa-gesa, besar kemungkinan kita belum cukup memberi waktu untuk memahami dan memikirkan suatu tindakan. Akibatnya, kita tidak berpikir spesifik, sebaliknya, kita berpikir umum atau garis besarnya saja. Masalahnya adalah tatkala kita hanya menatap garis besarnya kita pun akan kehilangan kesempatan melihat detailnya. Tidak jarang masalah justru bertaburan di atas detail. Istri perlu mengingatkan suami untuk memberi waktu yang panjang supaya ia dapat mendengar dan melihat lebih banyak sehingga ia pun lebih siap untuk menghadapi konsekuensi tindakannya. Ingatkan suami bahwa Tuhan adalah penentu dan pemberi berkat.
  8. Menolong berarti mengingatkan suami akan POTENSI atau karunia yang ada pada dirinya. Suami perlu mendengar kata-kata positif dari istri yang mengukuhkan keyakinan dirinya. Ia perlu mendengar pujian dan penghargaan akan kemampuan dan keberhasilannya. Itu sebabnya penting bagi istri untuk menyampaikan penghargaan dan kekagumannya kepada suami. Lewat pujian dan tanggapan positif yang didengarnya, suami pun makin jelas dengan arah hidupnya. Ia makin menyadari apa yang menjadi kekuatannya sekaligus apa yang menjadi kelemahannya. Makin ia melihat jelas siapa dirinya, makin tepat tindakan dan keputusannya.
  9. Menolong berarti mengingatkan suami akan DUKUNGAN dan komitmennya kepada suami, meski harus mengorbankan kepentingan sendiri. Suami perlu mendengar bahwa istri berada di pihaknya dan akan memberi dukungan penuh. Istri perlu mengerti bahwa kadang suami merasakan kesendirian dalam memikul beban keluarga dan bahwa ia pun takut untuk melakukan kesalahan yang berakibat buruk pada keluarga. Itu sebabnya ia membutuhkan dukungan penuh dari istri dan kepastian bahwa istri tidak akan menyalahkannya bila rencana yang telah disepakati berdua tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
APA YANG TERJADI BILA PERAN DAN FUNGSI TIDAK BERJALAN SEPERTI SEHARUSNYA : PEDOMAN FIRMAN TUHAN DARI EFESUS 5:22-33

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan perbincangan berseri dan kami akan melanjutkan perbincangan kami yang terdahulu tentang Suami yang memimpin dan istri yang menolong, khususnya pada kali ini kami akan membicarakan tentang "Menolong adalah Mengingatkan" jadi ini dari sisi istri. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, dua kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang apa makna dari suami yang memimpin. Dan kini tiba saatnya kita membicarakan dari pihak si istri, bahwa istri yang menolong. Pengertian menolong yang adalah mengingatkan itu seperti apa?

PG : Menolong itu berawal dari sikap tunduk dan hormat, sebaik apa pun masukan yang ingin diberikan oleh seorang istri namun bila disampaikan tanpa rasa hormat, tidak akan dapat menolong suami. Jadi misalkan istri mendengarkan sesuatu yang diutarakan oleh suami mungkin dia tidak setuju, mungkin dia ingin memberikan masukan untuk menolong suaminya maka penting sikap pertama yang harus ditunjukkan adalah sikap menghormati dan tunduk kepadanya. Jangan sampai dia mengkonfrontasi suami, menantang suami atau memberinya ancaman, ini adalah hal-hal yang memang justru membuahkan reaksi yang negatif dari suami.

GS : Tapi kalau kita berbicara tentang menolong, pasti orang yang menolong punya kelebihan dibanding yang ditolong sehingga hal yang kelebihan di dalam diri orang itu mau tidak mau membuat orang itu tidak mudah tunduk dan tidak mudah hormat terhadap orang yang mau ditolong.

PG : Dari satu pihak kita bisa menyimpulkan bahwa orang yang menolong pasti lebih kuat atau lebih bijak daripada orang yang ditolong, tapi sebetulnya waktu Tuhan menciptakan Hawa untuk menjadi seorang penolong yang sepadan dengan Adam, itu artinya bukanlah Hawa memunyai kelebihan dan Adam memiliki kekurangan maka Tuhan menugaskan Hawa untuk menolong kekurangannya Adam. Sebab pada kenyataannya kita harus mengakui bahwa kita semua manusia terbatas, tidak sempurna, secerdas-cerdasnya kita banyak yang kita tidak ketahui, sebijak-bijaknya kita kadang kita masih melakukan kesalahan. Jadi waktu Tuhan menciptakan Hawa agar supaya terjadi relasi yang saling tolong dan Hawa bisa menjadi penolong bagi Adam, itu maksudnya adalah agar dua-dua bisa saling menolong namun secara khusus memang Tuhan meminta kepada istri untuk menjadi penolong, namun dalam pengertian bukan istri lebih baik dan sebagainya, tapi bahwa memang kedua-duanya memiliki keterbatasan dan suami pun membutuhkan masukan dari istri, karena akan ada hal-hal yang suami tidak lihat yang istrinya lihat, ada hal-hal yang istrinya lebih mengetahui daripada dirinya. Jadi itulah fungsi seorang istri.

GS : Jadi intinya adalah saling bertolong-tolongan, itulah yang diharapkan oleh Tuhan?

PG : Betul sekali.

GS : Di dalam menunjukkan sikap hormat kepada suami, hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan, Pak Paul?

PG : Menolong berarti memberi masukan, jadi waktu istri mendengar sesuatu seperti rencana suaminya atau apa yang ingin dilakukannya maka seyogianyalah seorang suami memberi kesempatan kepada istri untuk mengutarakan pendapatnya. Jadi silakan berikan masukan, namun perlu saya ingatkan bahwa istri tidak perlu memaksakan kehendak. Dan godaan terbesar adalah tatkala kita merasa diri benar, tatkala kita merasa diri benar maka kita cenderung memaksakan kehendak, masalahnya adalah bila suami sudah melihat atau beranggapan bahwa tatkala istri mengeluarkan pendapat dan harus disetujui maka besar kemungkinan suami akan melihat masukan istri sebagai perintah atau tuntutan yang harus dituruti. Kalau memang seperti itu kondisinya maka saya yakin suami makin tidak suka mendengarkan masukan istri apalagi mencari pendapat istri. Jadi penting bagi istri untuk menyadari perannya sebab pemberi masukan adalah pemberi masukan dan bukan memaksakan kehendak. Setelah memberi masukan, maka serahkan keputusan akhir pada suami.

GS : Kalau menurut istri, itu merupakan hal-hal yang sangat prinsipiil maka tidak jarang istri memaksakan kehendaknya, Pak Paul.

PG : Sudah tentu itu adalah hal yang wajar, karena sekali lagi suami juga bukanlah orang yang sempurna, tapi adakalanya dia memahami sesuatu secara sepotong dan istrinya melihat potongan yang lainnya. Dalam kasus-kasus tertentu ada hal-hal yang memang lebih serius berdampak lebih luas untuk keluarga, tapi sekali lagi saya ingin tekankan bahwa, "Silakan berikan masukan dan silakan utarakan keseriusan masalah tersebut". Jadi ada kadar atau derajat keseriusan itu. Untuk hal-hal yang lebih ringan istri memberikan masukan, tapi kadar keseriusannya tidak terlalu besar. Tapi misalkan kalau menyangkut hal yang sangat penting sudah tentu istri bisa berkata pada suami, "Buat saya hal ini sangat penting sekali, jadi saya mohon agar kamu benar-benar mempertimbangkannya" jadi tolong jangan sampai keliru. Jadi dengan kata lain, istri bisa mengutarakan betapa seriusnya dia dengan hal itu.

GS : Di sini seringkali terjadi perbedaan persepsi, bagi si istri ini merupakan sesuatu yang sangat penting tapi bagi si suami ini merupakan hal yang biasa dan tidak perlu ditanggapi seserius itu, misalnya saja di dalam hal keimanan seseorang, si istri ini merasa kalau suaminya tidak serius di dalam hal keimanan dan itu dia paksakan supaya suami menjadi seperti dia, ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Prinsipnya adalah karena Tuhan menetapkan istri menjadi pendamping yang menolong suami, jadi saya kira tugas istri jelas adalah memberikan pertolongan dalam pengertian memberikan masukan, tapi tidak sampai memaksakan kehendak kepada si suami. Sama seperti kita yang bekerja di tempat pekerjaan kita dan kita diharapkan untuk tunduk pada atasan, kadang-kadang ada hal-hal tertentu yang kita sangat serius dengan apa yang diputuskan, jadi kita tidak setuju dan kita katakan kepada atasan kita, "Saya merasa tidak setuju, saya merasa berat dengan perusahaan ini", kita boleh mengatakan hal seperti itu tapi kita tidak memaksakan kehendak kita kepada atasan kita, karena dalam organisasi kalau sampai semua orang merasa supaya kehendaknya mesti dituruti karena itu benar dan penting maka terjadilah kekacauan. Demikian juga dengan keluarga, karena keluarga adalah sebuah unit organisasi meskipun kecil, jadi harus ada kepemimpinan. Jadi silakan istri mengutarakannya, "Ini hal yang penting", mungkin saja suaminya tidak beranggapan kalau ini penting, tapi tidak apa-apa karena yang terpenting istrinya sudah mengatakan, "Ini penting baginya" setelah itu serahkan dan jangan paksakan kehendak.

GS : Itu alasannya adalah istri ini memang mengasihi suaminya dan dia tidak menghendaki suami ini terus berjalan dalam kesesatannya menurut versi si istri ini, Pak Paul.

PG : Dan mungkin sekali itu benar karena itulah kondisinya si suami sedang berjalan dalam kegelapan sehingga istri perlu menariknya masuk ke jalan yang terang. Tapi sekali lagi saya kira kalau si suami melihat istrinya begitu memaksakan kehendaknya, saya kira efeknya justru tidaklah membangun dan malahan bisa merugikan. Bahkan si suami makin bereaksi keras, karena dia merasa dipaksa dan akhirnya justru bukannya mau ikut nasehat si istri, tapi malahan dia sengaja melawannya.

GS : Mungkin yang harus diutarakan istri dan ditanggapi oleh suami adalah apa motivasi dari istri ini sehingga sampai begitu memaksakan pendapatnya, kalau suami tahu motivasinya mungkin bisa menerima juga.

PG : Sudah tentu dalam hal ini istri bisa menjelaskan bahwa, "Saya itu mengatakan hal ini, karena saya mengasihi kamu dan keluarga, saya tidak mau ada hal buruk terjadi". Jadi betul sekali kalau istri bisa dengan jelas mengutarakan apa itu yang terkandung di hatinya maka mudah-mudahan suami lebih dapat menerimanya. Bicara tentang mengingatkan motivasi, sebetulnya ini juga tugas istri kepada suami. Pada waktu suami itu mengambil keputusan dan sebagainya maka sebagai penolong istri selayaknya juga mengingatkan suami akan motivasi si suami itu sendiri dalam pengambilan keputusan, sebab adakalanya suami ingin melakukan sesuatu atas dasar motivasi yang tidak benar, misalnya suami ingin melebarkan sayap usaha tapi tujuan atau motivasinya adalah untuk dilihat orang bahwa usahanya maju padahal faktanya tidak demikian. Jadi dia ingin supaya orang melihat bahwa dia bonafit dan sebagainya, jadi dia mau menghabiskan atau memakai uang tabungan untuk melebarkan usahanya, membangun gedung lebih besar. Jika istri melihat adanya maksud tersembunyi seperti itu sebaiknya dia mengingatkan suami, "Saya melihat ada motivasi seperti itu, kalau saya keliru maafkan saya, saya tidak bermaksud memfitnah kamu tapi itulah yang saya lihat, kalau memang benar ada motivasi seperti itu maka tolong kamu lihat lagi dan timbang ulang lagi dan jangan mengambil keputusan dengan harga sebesar itu hanya untuk memenuhi motivasi yang seperti itu juga".

GS : Kalau menyangkut motivasi untuk mengembangkan usaha, maka masih bisa dibicarakan bersama-sama tapi kadang-kadang istri itu juga melihat bahwa suami ini menghambur-hamburkan uang untuk suatu gaya hidup yang menurut istri kurang sehat, jadi motivasinya supaya diterima di masyarakat dan sebagainya lalu hidupnya glamor sekali.

PG : Ada yang seperti itu, apalagi dia ingin memberikan kesan kepada teman-temannya bahwa dia sekarang sudah menempati posisi sosial tertentu dan sudah berhasil, kaya, atau mau dianggap sekaya teman-temannya. Jadi akhirnya memakai uangnya dengan tidak kira-kira. Dalam konteks kehidupan seperti itu sudah tentu penting istri mengingatkan suami terutama akan motivasinya yang memang tidak benar, besar kemungkinan suami itu waktu mendengar peringatan istri tersinggung, namun meskipun tersinggung setidaknya masukan ini menjadi peringatan baginya untuk berhati-hati. Sekaligus peringatan ini berfungsi sebagai penghakiman atasnya bila ini maksud tersembunyi di balik tindakannya. Jadi maksudnya dengan si istri mengingatkan jangan sampai berbuat hal itu, tapi sekaligus memang Tuhan memakai peringatan seperti itu sebagai penghakiman atasnya. Kalau memang dia tetap melaksanakan walaupun istrinya sudah peringati, maka nanti ini akan menjadi peringatan atau penghakiman dari Tuhan. Bila suami bersedia mengakuinya maka istri akan bisa mengajak suami datang kepada Tuhan, berdoa, memohon maaf, meminta kemurnian motivasi sekaligus juga merancang ulang tindakan yang tadi telah direncanakan itu.

GS : Selain hal-hal itu apa artinya menolong yang lain, yang harus dilakukan seorang istri kepada suaminya, Pak Paul?

PG : Menolong berarti mengingatkan suami akan kemungkinan buruk yang luput diperhatikan. Ada suami yang bijak namun ada pula yang kurang bijak, biasanya kurangnya hikmat bersumber dari kegagalan untuk memerhitungkan kemungkinan buruk. Dengan kata lain, keputusan dan tindakan diambil berdasarkan perhitungan akan kemungkinan baiknya saja. Kadang-kadang kita sendiri melakukan hal seperti itu, kita terlalu bernafsu kita melihat ini hal yang baik dan kemudian kita buta dan tidak bisa melihat kemungkinan terburuknya dan bahkan kemungkinan yang buruk sekalipun kita buat menjadi kemungkinan yang lebih baik. Bila istri melihat hal itu sebaiknyalah istri mengingatkan suami akan kemungkinan buruk ini, dengan catatan ia pun mengakui akan adanya kemungkinan baiknya, jadi tidak hanya satu arah tapi dua arah, tapi penting dia mengingatkan kemungkinan buruk. Ingat tolong kalau ada yang baik maka munculkanlah supaya suaminya tidak menilai, "Kalau istrinya bicara maka yang keluar adalah kemungkinan buruk dan negatifnya saja" kalau memang ini yang tertanam dalam benak si suami maka akan sukar bagi istri untuk memberikan masukan pada suaminya.

GS : Kekhawatiran yang berlebihan dari si istri maka kadang-kadang menghambat karier suami padahal apa yang dikhawatirkan itu sebagian besar tidak menjadi kenyataan, jadi mungkin hanya perasaannya saja yang penuh dengan kekhawatiran karena dia juga memegang keuangan keluarga dan sebagainya sehingga pasti lebih banyak kemungkinan buruk yang dikemukakan daripada kemungkinan baiknya, Pak Paul.

PG : Memang itu bisa terjadi, maka segala tugas sebagai suami untuk memberitahukan istri bahwa kemungkinan itu meskipun ada tapi kecil. Kita tidak bisa menutup segala kemungkinan, jadi kita harus mengakui bahwa kemungkinan bisa saja ada. Ketika istri itu mengatakan, "Nanti bagaimana kalau seperti ini? Nanti bagaimana kalau begitu?" maka kita akui kalau kemungkinan itu ada, tapi kita ajak istri untuk kemudian merangkingnya untuk mencoba melihat baik-baik secara rasional, berapa besar kemungkinannya hal ini menjadi buruk, berapa persen kemungkinannya seperti itu. Dan minta kita berdua sama-sama rangking kemungkinan baiknya, kira-kira berapa persen atau besar. Dengan cara seperti itu maka istri diajak untuk melihat dengan lebih objektif, tapi sekali lagi apa yang dikatakan oleh si istri meskipun kemungkinannya kecil tetap harus ditanggapi dan kita harus berkata, "Terima kasih kamu mengingatkan hal ini". Jadi waktu istri mendengar ungkapan terimakasih kita maka dia juga merasa dihargai bahwa masukannya itu di dengarkan oleh suami. Itulah fungsi istri yaitu memberikan peringatan kalau-kalau ada kemungkinan buruk yang luput dilihat oleh suami.

GS : Sebagai suami biasanya saya mau menerima hal-hal yang dikemukakan kemungkinan-kemungkinan buruk itu, tetapi yang lebih diharapkan adalah keseimbangan antara kemungkinan yang buruk dan kemungkinan yang baik yang kadang-kadang luput dilihat oleh istri, Pak Paul.

PG : Tepat sekali. Makanya tadi saya sudah singgung bahwa penting bagi istri waktu mengemukakan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dia juga harus memberikan pengakuan akan adanya kemungkinan positif atau baiknya, jadi suami bisa menilai bahwa istrinya itu objektif, tidak hanya melihat dari satu sisi tapi juga dari dua sisi. Ini yang membuat suami akhirnya percaya pada penilaian istri sehingga waktu istri memberikan masukan maka suami lebih mudah untuk mendengarkannya.

GS : Celakanya kadang-kadang kemungkinan buruk yang sekecil apapun bisa terjadi, sehingga si suami itu juga kadang-kadang merasa kurang percaya diri untuk lain waktu, dan si istri mengulang-ulang dan berkata, "Dulu sudah saya katakan, walaupun katamu kecil tapi ternyata terbukti".

PG : Kalau misalnya hanya sekali misalnya dalam satu kurun yang panjang beberapa tahun, saya kira tidak menjadi masalah suami bisa berkata pada istri, bahwa ini hanya terjadi satu kali bertahun-tahun yang lalu dan selama ini bukankah apa yang saya perhitungkan benar. Jadi tolong kita melihat apa yang lebih banyak, yang buruknya jarang terjadi. Jadi dengan cara itu istri bisa dijelaskan.

GS : Hal lain dari sisi menolong yang perlu diperhatikan oleh seorang istri apa, Pak Paul?

PG : Menolong berarti mengingatkan suami bahwa keputusan yang diambil berdampak bukan saja pada dirinya, tapi juga pada keluarga dan juga mungkin orang lain pula. Jadi dengan kata lain, istri mengingatkan bahwa kalau sampai ini keliru maka dampaknya sangat luas dan sangat serius untuk keluarga. Penting istri mengingatkan karena adakalanya suami karena terlalu bernafsu luput melihat kalau sampai ada apa-apa dengan dia, maka satu keluarga akhirnya nanti akan berpengaruh, namun cara menyampaikan hal ini harus dari bingkai positif. Jadi jangan istri berkata kepada suami, "Kamu harus memerhatikan kebutuhan keluarga dan bukan hanya kepentinganmu sendiri" itu kata-kata yang terlalu menyerang si suami. Jadi sebaiknya bingkailah secara positif misalnya, "Saya percaya bahwa kamu sudah memikirkan kami dan bahwa kalau sampai terjadi apa-apa, saya dan anak-anak akan terkena dampaknya pula". Perkataan seperti ini menurut saya cukuplah untuk mengingatkan suami bahwa ia harus berhati-hati bertindak, sebab kalau dia salah melangkah maka semua orang yang dikasihinya harus menanggung akibatnya pula.

GS : Di sini harus ada tanggapan positif ketika seorang suami itu meminta pendapat kepada istrinya, "Bagaimana kalau saya melakukan ini?" Kadang-kadang si istri mungkin karena kurang pengetahuannya di dalam bidang itu atau tidak berani mengambil resiko maka berkata, "Kalau begitu kamu putuskan sendiri dan saya mendukung di dalam doa". Padahal suami ini membutuhkan pertimbangan, ketika kebutuhan itu diutarakan si istri tidak siap memberikan pertimbangannya.

PG : Jadi justru waktu suami meminta masukan pertimbangan maka sebaiknya istri itu juga memberikannya, tidak hanya bersikap pasif, membiarkan suami sendiri yang menanggungnya sebab dia perlu dukungan itu dan dia juga manusia dan dia juga takut salah, jadi dia membutuhkan dukungan, kesatuan hati, supaya dia nanti kalau ada apa-apa tanggung jawabnya tidak sepenuhnya pada suami, suami tidak menjadi satu-satunya yang menjadi sumber bencana.

GS : Pak Paul, di dalam menyampaikan pendapat, kalau si suami itu keliru mengambil keputusan, dampaknya akan luas bukan hanya pada dirinya tapi juga pada istri, anak-anak atau bahkan orang tua dan sebagainya. Kalau seandainya si suami itu merasa ini terlalu berlebihan, apa yang bisa dilakukan oleh seorang istri?

PG : Kalau memang istri melihat, suami itu memang akan benar-benar melakukan hal yang salah, maka sekali lagi harus bisa dan setegas-tegasnya mengatakan itu pada suami, "Saya ini yakin kalau kamu akan melakukan kesalahan yang besar" tapi bukankah kita juga harus mengakui bahwa di dalam tempat pekerjaan kita, kadang-kadang atasan kita pun mengambil keputusan yang keliru dan kita tahu hal itu, tapi karena dia adalah atasan maka kita hanya bisa memberikan peringatan, "Ya sudahlah nanti dia harus menghadapi sendiri kalau itu memang harus terjadi". Jadi kalau istri melihat dengan sungguh-sungguh bahwa suaminya itu keliru, maka dia harus mengatakan setegas-tegasnya, tetapi sebaiknya tetap dia harus berkata, "Ya sudah saya serahkan kepada kamu". Jadi dengan kata lain, pola ini tidak dilanggar. Kalau memang benar, suami itu mengambil keputusan yang salah dan harga yang dibayar sangat mahal oleh satu keluarga itu, hendaklah ini menjadi cemeti bagi suami bahwa hati-hati perbuatanmu telah merugikan begitu banyak orang yang kamu kasihi. Saya pikir itu lebih baik meskipun satu keluarga harus menanggung akibatnya.

GS : Yang sering menjadi masalah bagi istri ketika mau menolong suaminya dengan nasehat, si suami selalu berbalik dan mengatakan, "Kamu ini hanya main perasaan saja, ini perlu dipikirkan dengan pengertian, dengan logika dan sebagainya". Istri tersudut dan dia mengatakan, "Ya sudah terserah kamu" tapi kaitan menolong dan pengertian dari si suami ini, apa Pak Paul yang bisa dilakukan?

PG : Sudah tentu kalau memang si istri itu tidak bisa menyodorkan bukti atau bukti yang lebih rasional maka akan sulit bagi suami untuk menerimanya. Maka sedapat-dapatnya si istri itu memberikan bukti yang lebih rasional. Namun selain dari itu, penting bagi istri untuk akhirnya mengingatkan suami untuk jangan bersandar pada pengertiannya sendiri, tapi pada Tuhan. Dengan kata lain, ajaklah suami untuk datang kepada Tuhan, namun saya ingatkan jangan lontarkan peringatan ini dari sudut negatif yaitu menyalahkan suami, "Kamu hanya bersandar pada pengertianmu sendiri", tapi sebaliknya berangkatlah dari sudut positif dengan cara mengajaknya untuk berdoa, waktu dia bilang, "Mari kita berdoa dan kita serahkan ini kepada Tuhan, kita tahu rencana boleh dibuat manusia, tapi keputusan dibuat oleh Tuhan, maka kita serahkan kepada Tuhan". Dengan cara itu sebetulnya suami diajak kembali untuk mengingat bahwa Tuhanlah yang menentukan, dia hanya bisa memikirkan dan merencanakan. Dengan cara seperti itu akhirnya suami bisa lebih mengerem dan berhati-hati.

GS : Kalau keluarga itu sudah dikaruniai anak-anak dan anak-anak ini sudah remaja atau bahkan pemuda, di dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini yaitu istri mengajak berdoa suaminya, apakah perlu juga istri melibatkan anak-anak mengajak ikut berdoa?

PG : Memang tergantung apa yang harus diputuskan sebab ada hal-hal yang sebaiknya tidak diketahui oleh anak-anak, tapi hanya oleh suami istri. Tapi misalkan ini akan berdampak pada anak-anak, misalkan kepindahan mau menerima pekerjaan di kota lain, maka dalam hal seperti itu sudah selayaknya ini dibicarakan secara bersama-sama, didoakan secara bersama-sama dan sudah tentu suami memberi kesempatan kepada semua untuk mengutarakan perasaannya dan mendengarkannya juga. Dengan cara ini maka mereka merasa bahwa mereka telah dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini.

GS : Bagi si istri ada dukungan atau semacam teman yang mendukung dia dan menyetujui langkahnya didalam mengingatkan suaminya, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi dengan cara seperti itu maka istri juga mengetahui bahwa dia punya teman dan keputusannya juga didukung oleh anak-anaknya, siapa tahu mereka semua melihat keputusan si papa atau si suami kurang bijaksana, jadi mungkin sekali mereka lebih bisa memberikan dukungan, supaya suami bisa lebih mendengarkan.

GS : Rasanya kita masih memunyai beberapa poiny lagi tentang "Menolong adalah mengingatkan" tetapi karena keterbatasan waktu maka kita akan selesaikan dulu di sini, namun sebelum kita mengakhiri mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 3:5-6 yang berbunyi, "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu". Sudah tentu ayat ini bukan hanya untuk istri atau untuk suami, tapi untuk kedua-duanya dan semua perlu lebih percaya kepada Tuhan dan kita semua perlu untuk tidak bersandar pada pengertian sendiri, kita semua perlu lebih mengakui Tuhan dalam setiap laku kita sebab hanya Dialah yang dapat meluruskan jalan kita. Jadi baik suami maupun istri jangan sampai menganggap diri selalu benar, ingatlah bahwa Tuhanlah yang memang menuntun, yang memimpin dan menentukan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan kita akan lanjutkan pada perbincangan yang akan datang. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menolong adalah Mengingatkan" bagian pertama dan ini merupakan perbincangan berseri yang mengambil tema Suami yang Memimpin dan Istri yang menolong. Bagian yang baru saja Anda dengarkan adalah bagian untuk istri. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



92. Menolong adalah Mengingatkan II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T321B (File MP3 T321B)


Abstrak:

Pada kenyataan-Nya kita harus mengakui bahwa kita semua manusia yang terbatas. Jadi waktu Tuhan menciptakan perempuan, agar terjadi relasi yang saling tolong dan perempuan bisa menjadi penolong bagi laki-laki, bukan karena istri lebih baik dan sebagainya. Ada 9 hal yang diungkapkan sebagai istri yang menolong adalah mengingatkan, antara lain menolong berarti memberi masukan, bukan memaksakan kehendak; menolong berarti mengingatkan suami akan kemungkinan buruk yang luput diperhatika; menolong berarti mengingatkan suami untuk tidak bersandar para pengertiannya sendiri tapi pada Tuhan dan lain-lain.


Ringkasan:

Pada kenyataan-Nya kita harus mengakui bahwa kita semua manusia terbatas, tidak sempurna, secerdas-cerdasnya kita banyak yang kita tidak ketahui, sebijak-bijaknya kita kadang kita masih melakukan kesalahan. Jadi waktu Tuhan menciptakan perempuan agar terjadi relasi yang saling tolong dan perempuan bisa menjadi penolong bagi laki-laki, itu maksudnya adalah agar dua-dua bisa saling menolong namun secara khusus memang Tuhan meminta kepada istri untuk menjadi penolong, namun dalam pengertian bukan istri lebih baik dan sebagainya, tapi bahwa memang kedua-duanya memiliki keterbatasan dan suami pun membutuhkan masukan dari istri karena akan ada hal-hal yang suami tidak lihat yang istrinya lihat, ada hal-hal yang istrinya lebih tahu daripada dirinya. Jadi itulah fungsi seorang istri.

Berikut kita akan melihat bagaimanakah seyogianya istri menolong suami dalam kasih :
  1. Menolong berawal dari sikap TUNDUK dan HORMAT. Sebaik apa pun masukan yang diberikan, bila disampaikan tanpa rasa hormat, tidak akan dapat menolong suami. Jadi, jangan menantang suami atau memberinya ancaman. Dari awal, tunjukkanlah sikap hormat kepada suami. Perhatikanlah pemilihan kata yang digunakan, nada suara yang dikeluarkan dan bahasa tubuh yang diperlihatkan. Berusahalah sedapat mungkin untuk mengkomunikasikan rasa hormat kepada suami. Jika dalam keadaan dimana rasa hormat tidak dapat disampaikan, tundalah dulu pembicaraan. Redakanlah dulu suhu emosi sebelum memulai pembicaraan.
  2. Menolong berarti MEMBERI masukan, bukan memaksakan kehendak. Godaan terbesar tatkala merasa diri benar adalah memaksakan kehendak. Bila suami sudah melihat atau beranggapan bahwa tatkala istri mengeluarkan pendapat maka pendapat itu harus disetujui, maka besar kemungkinan suami akan melihat masukan istri sebagai perintah atau tuntutan yang mesti dituruti. Alhasil suami makin tidak suka mendengarkan masukan istri, apalagi mencari pendapat istri. Jadi, penting sekali bagi istri untuk menyadari perannya sebab pemberi masukan. Setelah memberi masukan, istri menyerahkan keputusan akhir kepada suami.
  3. Menolong berarti mengingatkan suami akan MOTIVASI suami melakukan sesuatu. Adakalanya suami ingin melakukan suatu hal atas dasar motivasi yang tidak benar. Misalnya, suami ingin melebarkan sayap usaha hanya untuk dilihat orang bahwa usahanya maju, padahal faktanya tidaklah demikian. Jika istri melihat adanya maksud tersembunyi seperti ini, sebaiknya ia mengingatkan suami. Besar kemungkinan suami menjadi tersinggung namun setidaknya masukan ini menjadi peringatan baginya untuk berhati-hati. Sekaligus peringatan ini berfungsi sebagai penghakiman atasnya bila memang ini maksud tersembunyi di balik tindakannya. Juga bila memang benar demikian dan suami bersedia mengakuinya, istri pun akan berkesempatan untuk mengajak suami datang kepada Tuhan dan memurnikan motivasi, sekaligus mengkaji ulang rencana yang telah dirancang.
  4. Menolong berarti mengingatkan suami akan KEMUNGKINAN BURUK yang luput diperhatikan. Ada suami yang bijak namun ada pula suami yang kurang bijak. Biasanya kurangnya hikmat bersumber dari kegagalan untuk memperhitungkan kemungkinan buruk. Dengan kata lain, keputusan dan tindakan diambil berdasarkan perhitungan akan kemungkinan baiknya saja. Nah, bila istri melihat hal ini, sebaiknya istri mengingatkan suami akan kemungkinan buruk ini, dengan catatan ia pun mengakui akan adanya kemungkinan baiknya. Jangan sampai suami menilai bahwa istri SELALU melihat kemungkinan buruknya saja. Bila anggapan ini telah tertanam, akan sukar buat istri untuk membuat suami menerima peringatannya.
  5. Menolong berarti mengingatkan suami bahwa keputusan yang diambil berdampak bukan pada dirinya belaka tetapi juga KELUARGA dan mungkin orang lain pula. Sudah tentu penting bagi istri untuk menyampaikan hal ini dari bingkai positif. Jadi, jangan berkata kepada suami, "Kamu harus memerhatikan kebutuhan keluarga, bukan hanya kepentinganmu sendiri." Sebaliknya, katakanlah seperti ini, "Saya percaya bahwa kamu sudah memikirkan kami semua bahwa kalau sampai terjadi apa-apa, saya dan anak-anak akan terkena dampaknya pula." Perkataan seperti ini cukup untuk mengingatkan suami bahwa ia harus berhati-hati bertindak, sebab bila ia salah melangkah maka semua orang yang dikasihinya harus menanggung akibatnya pula.
  6. Menolong berarti mengingatkan suami untuk tidak bersandar pada PENGERTIANNYA sendiri, tetapi pada Tuhan. Sekali lagi, jangan lontarkan peringatan dari sudut negatif—seolah-olah ia hanya bersandar pada pengertiannya sendiri. Sebaliknya, berangkatlah dari sudut positif dengan cara mengajaknya untuk berdoa. Mungkin istri dapat membacakan Amsal 3:5-6 yang berbunyi, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu maka Ia akan meluruskan jalanmu." Setelah itu berdoalah dan mintalah tuntunan Tuhan untuk keluarga ini. Lewat cara seperti ini suami diingatkan untuk senantiasa melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan hidupnya.
  7. Menolong berarti mengingatkan suami untuk tidak TERGESA-GESA. Salah satu sahabat dalam pengambilan keputusan adalah WAKTU. Ketika kita tergesa-gesa, besar kemungkinan kita belum cukup memberi waktu untuk memahami dan memikirkan suatu tindakan. Akibatnya, kita tidak berpikir spesifik, sebaliknya, kita berpikir umum atau garis besarnya saja. Masalahnya adalah tatkala kita hanya menatap garis besarnya kita pun akan kehilangan kesempatan melihat detailnya. Tidak jarang masalah justru bertaburan di atas detail. Istri perlu mengingatkan suami untuk memberi waktu yang panjang supaya ia dapat mendengar dan melihat lebih banyak sehingga ia pun lebih siap untuk menghadapi konsekuensi tindakannya. Ingatkan suami bahwa Tuhan adalah penentu dan pemberi berkat.
  8. Menolong berarti mengingatkan suami akan POTENSI atau karunia yang ada pada dirinya. Suami perlu mendengar kata-kata positif dari istri yang mengukuhkan keyakinan dirinya. Ia perlu mendengar pujian dan penghargaan akan kemampuan dan keberhasilannya. Itu sebabnya penting bagi istri untuk menyampaikan penghargaan dan kekagumannya kepada suami. Lewat pujian dan tanggapan positif yang didengarnya, suami pun makin jelas dengan arah hidupnya. Ia makin menyadari apa yang menjadi kekuatannya sekaligus apa yang menjadi kelemahannya. Makin ia melihat jelas siapa dirinya, makin tepat tindakan dan keputusannya.
  9. Menolong berarti mengingatkan suami akan DUKUNGAN dan komitmennya kepada suami, meski harus mengorbankan kepentingan sendiri. Suami perlu mendengar bahwa istri berada di pihaknya dan akan memberi dukungan penuh. Istri perlu mengerti bahwa kadang suami merasakan kesendirian dalam memikul beban keluarga dan bahwa ia pun takut untuk melakukan kesalahan yang berakibat buruk pada keluarga. Itu sebabnya ia membutuhkan dukungan penuh dari istri dan kepastian bahwa istri tidak akan menyalahkannya bila rencana yang telah disepakati berdua tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
APA YANG TERJADI BILA PERAN DAN FUNGSI TIDAK BERJALAN SEPERTI SEHARUSNYA : PEDOMAN FIRMAN TUHAN DARI EFESUS 5:22-33

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Menolong adalah Mengingatkan" dan ini merupakan bagian dari seri suami yang memimpin dan istri yang menolong, jadi perbincangan ini lebih banyak kami tujukan kepada istri. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kali ini kita melanjutkan perbincangan yang terdahulu tentang menolong adalah mengingatkan. Ada beberapa point yang sudah Pak Paul sampaikan pada kesempatan yang lalu tentang "menolong adalah mengingatkan". Sebelum kita melanjutkan perbincangan ini, mungkin Pak Paul secara ringkas bisa menjelaskan ulang hal-hal apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu.

PG : Pak Gunawan, sebenarnya kita sedang membahas tentang peranan suami dan istri agar masing-masing dapat menjalankan apa yang Tuhan telah embankan pada suami dan istri. Kita telah membahas bahwa peranan suami adalah sebagai kepala yang memimpin istrinya, sedangkan istri adalah seorang pendamping yang menolong suaminya. Pada kesempatan yang lampau kita telah membahas dengan lebih konkret sebetulnya apa yang bisa dilakukan istri untuk menolong suami. Kita menyimpulkan bahwa salah satu hal yang penting yang bisa dilakukan oleh istri adalah mengingatkan, agar suami itu misalnya mendengarkan masukan dari istrinya, sehingga ada perspektif yang berbeda yang dapat diberikan, menolong juga berarti mengingatkan suami akan motivasi si suami mau melakukan sesuatu, sebab adakalanya motivasinya tidak begitu murni, jadi kalau istri melihat ada motivasi yang kurang baik atau kurang murni maka tolong sampaikan kepada suami. Menolong juga berarti mengingatkan akan kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Sudah tentu istri menyampaikannya bukan hanya kemungkinan buruk, tapi juga kemungkinan yang positifnya. Tapi ada baiknya disampaikan kedua-duanya supaya suami bisa juga memikirkan adanya kemungkinan buruk itu dan juga mengingatkan suami bahwa keputusan yang dibuat tidak hanya melibatkan suami dan berdampak pada suami, tapi juga pada seluruh keluarga. Jadi ingatkan bahwa kita semua bergantung padamu, kalau sampai ada apa-apa maka semua akan menderita dan menanggung akibatnya. Dan menolong atau mengingatkan suami juga agar jangan sampai hanya bersandar pada pengertian sendiri, tapi harus bersandar pada Tuhan, percaya kepada-Nya dan mengakui Tuhan dalam segala laku atau rencana kita, sebab Tuhanlah yang akan meluruskan. Kita juga sudah membahas bahwa dalam menyampaikan semua itu jangan sampai lupa untuk memberikan sikap hormat dan tunduk karena ini yang dibutuhkan oleh suami supaya dia bisa mendengarkan dengan lebih baik. Kalau istri belum apa-apa sudah dengan sikap tidak hormat, tidak tunduk apalagi memaksakan kehendak, maka biasanya suami itu semakin menutup pintu dan tidak mau mendengarkan pertolongan atau masukan dari istrinya.

GS : Selain hal-hal itu, yang kita sudah bahas pada kesempatan yang lampau maka menolong dari sisi istri, peran apa yang bisa dilakukan oleh istri, Pak Paul?

PG : Menolong berarti mengingatkan suami agar tidak tergesa-gesa, salah satu sahabat dalam pengambilan keputusan adalah waktu. Ketika kita tergesa-gesa maka besar kemungkinan kita belum cukup memberi waktu untuk memahami dan memikirkan suatu tindakan, akibatnya kita tidak berpikir spesifik dan malahan kita berpikir umum atau hanya garis besarnya saja. Masalahnya adalah tatkala kita hanya menatap garis besarnya, kita pun akan kehilangan kesempatan melihat detailnya. Tidak jarang masalah justru bertaburan di atas detail. Istri perlu mengingatkan suami untuk memberi waktu yang panjang supaya ia dapat mendengar dan melihat lebih banyak sehingga ia pun lebih siap untuk menghadapi konsekuensi tindakannya. Jadi ingatkanlah suami bahwa Tuhan adalah penentu dan pemberi berkat. Jangan sampai akhirnya suami karena terlalu tergesa-gesa maka melupakan hal ini. Dan kalau kesempatan sampai menghilang gara-gara si suami terlalu berhati-hati maka tetap itu adalah hal yang lebih baik daripada tergesa-gesa mengambil keputusan.

GS : Tetapi kalau kita berbicara tentang waktu, itu adalah sesuatu yang relatif sekali Pak Paul, ada orang yang merasa dalam waktu singkat sudah dipikirkan masak-masak tetapi istri merasa ini masih kurang masak artinya masih belum dipikirkan dari semua sisi. Bagaimana menjembatani supaya hal ini bisa diterima baik oleh si suami atau oleh istri?

PG : Memang dalam hal ini, si istri yang memang perlu untuk mendapatkan ketentraman, jadi sebaiknya suami berkata saja, "Baik, kalau misalkan kamu belum tentram, maka kita tunda tapi mohon beritahu saya sampai kapan dan beri saya tenggang waktu". Jadi jangan sampai kita mengulur waktu tanpa batas. Jadi biarlah istri kemudian menetapkan satu kurun. Kalau memang setelah itu tidak ada keputusan yang diambil juga, maka sebaiknya setelah istri memberikan masukan maka lepaskan dan biarkan suami yang memutuskan.

GS : Sekarang ini dengan persaingan yang begitu ketat dan sistem komunikasi yang begitu canggih, kecepatan didalam mengambil keputusan sangat menentukan sekali untuk berhasil atau tidaknya suatu usaha.

PG : Betul. Jadi adakalanya biarkan kesempatan itu hilang walaupun si suami melihat bahwa ini adalah kesempatan yang begitu baik tapi beritahukan istri, "Karena saya ingin menghormatimu juga maka saya mau mendengarkan masukanmu dan saya mau mengikut sertakanmu dalam hal ini, maka saya tidak mengambil keputusan, tapi sebagai akibatnya akhirnya ini semua terlewati. Tapi tidak apa-apa". Dengan si suami berkata seperti itu dan istri tidak terlalu dipersalahkan maka sebetulnya istri pun diingatkan bahwa lain kali saya juga harus lebih realistik dan tidak sampai menahan suami terlalu lama dan sebagainya. Jadi kadang-kadang kita membiarkan kesalahan atau kegagalan itu terjadi dengan harapan bahwa ini akan mendidik kita untuk lebih mawas diri dan memang tidak semua masalah harus dipikirkan terlalu lama, ada hal-hal yang memang bisa cepat diputuskan dan resikonya tidak terlalu besar. Istri harus mendorong suaminya atau mendukung keputusan dari si suami itu tadi.

PG : Betul sekali. Jadi kadang-kadang kita yang memang berpikir rasional dan cepat mungkin merasa kurang sabar dengan pasangan yang meminta agar tidak tergesa-gesa dan sebagainya. Tapi sekali lagi buatlah sebuah kompromi, "Baiklah, kalau memang kamu tidak siap sekarang maka tolong beritahu kira-kira kapan tenggang waktunya sehingga saya bisa menantikan tanggal itu".

GS : Hal lain yang perlu diperhatikan didalam menolong apa, Pak Paul?

PG : Menolong berarti mengingatkan suami akan potensi atau karunia yang ada pada dirinya. Suami perlu mendengar kata-kata positif dari istri yang mengukuhkan keyakinan dirinya, perlu mendengar pujian dan penghargaan akan kemampuan dan keberhasilannya. Itu sebabnya penting bagi istri untuk menyampaikan penghargaan dan kekagumannya pada suami, sebab lewat ujian dan tanggapan positif yang didengarnya suami pun makin jelas dengan arah hidupnya, semakin menyadari apa yang menjadi kekuatannya sekaligus apa yang menjadi kelemahannya. Makin dia melihat jelas siapa dirinya maka semakin tepat tindakan dan keputusannya, sebaliknya makin kabur pandangannya akan siapa dirinya, makin menyeleweng tindakan dan keputusannya. Jadi penting bagi istri untuk mengkomunikasikan penghargaan dan pujian kepada suami akan karunia yang ada pada dirinya.

GS : Jadi sebenarnya di sini seorang istri harus tahu persis potensi atau kemampuan dari suaminya, supaya didalam menolong bisa dilakukan cara yang paling tepat untuk suaminya, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi dengan suami lebih mengenal akan kelebihannya dan kekuatannya maka waktu dia mengambil keputusan, keputusannya itu akan lebih sinkron dengan kemampuannya atau karunianya. Sebaliknya kalau suami itu tidak tahu apa kekuatan dan kelemahannya maka besar kemungkinan dia nanti mengambil keputusan yang juga melenceng dari garisnya. Misalnya dia tidak punya kemampuan berdagang, kemana-mana dia biasa bekerja dengan orang yang lebih konvensional yang lebih bersifat pekerjaan di kantor, tapi karena dia ingin maju cepat dan dia merasa dia bisa, maka dia memulai bisnis sendiri. Waktu dia memulai bisnis sendiri, maka istri harus awal-awalnya hanya memberikan peringatan. Tapi misalnya akhirnya berantakan, maka istri memberikan tanggapan bukan saja secara negatif, tapi sekaligus secara positif dan katakan bahwa, "Saya melihat kekuatanmu itu justru di bidang administrasi. Jadi tolong kamu gali kembangkan bidang itu sebab itu kekuatanmu". Jadi dengan kata lain, suami ditolong untuk melihat dengan lebih jelas apa kekuatan dia sehingga nanti keputusan atau rencananya itu lebih sesuai dengan siapa dirinya.

GS : Mungkin mereka bisa juga berbagi tanggung jawab, ketika si suami yang biasanya bekerja secara konvensional tiba-tiba ingin melakukan atau bekerja sendiri dengan berdagang dan sebagainya dan istri bisa mendukung dengan melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh si suami ini, misalkan di dalam me"lobby" orang, mencari pelanggan dan sebagainya.

PG : Bisa. Jadi kalau memang istri bisa membantu maka silakan membantu. Namun sekali lagi suami juga sebaiknya menyadari sebetulnya apakah yang menjadi kekuatannya, sehingga waktu dia nanti mengambil keputusan maka keputusannya itu akan lebih sejalan dengan siapa dirinya. Kadang-kadang kita sebagai manusia, kadang-kadang karena ingin apa dan sebagainya kemudian mengambil keputusan yang terlalu jauh menyimpang dari siapa kita. Jadi istri penting sekali-sekali memberikan pengukuhan kepada suami, "Kamu ini cakap sekali dalam hal ini, kamu ini sigap sekali mengerjakan ini dan sebagainya" sehingga relnya suami tetap sama.

GS : Pujian dan sebagainya memang bisa menimbulkan rasa percaya diri bagi si suami, asal diberikan dalam takaran yang tepat, kalau tidak itu bisa dianggap sebagai olok-olokan, seolah-olah terlalu melebih-lebihkan.

PG : Benar dan memang harus diberikan dengan tulus.

GS : Dan harus tepat kapan itu disampaikan serta bagaimana caranya dia menyampaikan hal itu.

PG : Betul.

GS : Mungkin ada hal lain lagi yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Menolong berarti mengingatkan suami akan dukungan dan komitmennya kepada suami, meski harus mengorbankan kepentingannya sendiri. Suami perlu mendengar bahwa istri berada di pihaknya dan akan memberi dukungan penuh. Istri juga perlu mengerti bahwa kadang-kadang suami merasakan kesendirian dalam memikul beban keluarga dan bahwa ia pun takut untuk melakukan kesalahan yang berakibat buruk pada keluarga. Itu sebabnya suami perlu dukungan penuh dari istri dan kepastian bahwa istri tidak akan menyalahkannya, bila rencana yang telah disepakati berdua tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Jadi suami perlu mendengar dukungan dan komitmen dari istri kepadanya apapun kondisi kehidupan yang mesti dilalui, sebab dia pun juga ingin diterima apa adanya. Jadi dukungan dan komitmen istri membuatnya tahu dengan pasti, bahwa dia bukanlah sapi perahan dan bahwa dia tidak harus menjadi seseorang yang selalu berhasil dalam kehidupan, sebab dia tahu istrinya menyayanginya dan komitmennya penuh pada dirinya dan akan selalu memberikan dukungan kepadanya. Jadi ini yang perlu diketahui oleh suami.

GS : Istri tentu memberikan dukungan dari sisi dia semampu dia, kadang-kadang tuntutan suami juga berlebihan sehingga si istri kewalahan memberikan dukungannya. Dalam menghadapi hal ini, maka bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi ada waktu-waktu kalau istri melihat ini sudah terlalu menyimpang, maka istri juga harus berkata, "Saya ingin memberikan dukungan kepadamu dalam hal ini, tapi rasanya berat karena saya merasa ini terlalu menyimpang dan rasanya ini susah sekali untuk dikerjakan, apakah bisa tolong dipertimbangkan ulang". Jadi sekali lagi penting kita menggunakan kata-kata seperti ini dengan nada suara seperti itu dan kata-kata yang memang tidak menyudutkan suami sehingga suami bisa mendengarkannya dengan lebih baik juga. Tapi kalau memang pada titik tertentu istri itu susah sekali memberikan dukungan, silakan katakan hal itu pada suami.

GS : Pak Paul, ternyata ada banyak sisi yang bisa kita lihat dari istri, bagaimana istri berperan sebagai penolong terhadap suaminya. Kalau memang hal ini bisa berjalan dengan baik, jadi suami memimpin dan istri menjadi penolong maka saya rasa tentramlah rumah tangga itu dan keluarga itu banyak mengalami hal-hal yang menyenangkan. Tapi seringkali yang terjadi dan yang menjadi realita dalam kehidupan adalah masing-masing tidak menjalankan perannya, tetapi menuntut supaya pasangannya melaksanakan peranannya. Dan ini menimbulkan percekcokan, pertengkaran dan sebagainya di dalam rumah tangga, kalau hal-hal itu terjadi, apa yang seharusnya kita lakukan?

PG : Sudah tentu, Pak Gunawan, Tuhan itu memberikan kepada kita arah dan aturan untuk kebaikan kita, tapi sayangnya kita tidak selalu menaati dan hidup dalam garis itu, kalau ini yang terjadi biasanya timbul ketidakpuasan dan akhirnya timbul kemarahan kepada pasangan karena merasa saya harus bekerja sendiri, saya harus berkorban besar. Singkat kata, pada akhirnya kita merasa dimanfaatkan dan diperlakukan tidak adil. Jadi waktu kita mencoba memberikan dukungan pada suami, suami tetap saja melakukan hal yang menyimpang, yang salah, kita sudah memberikan peringatan-peringatan tapi tetap saja dia tidak mendengarkan kita, maka akhirnya susah bagi si istri memberikan dukungan kepada si suami. Atau kebalikannya, suami ingin mengepalai dan memimpin si istri dan dia mencoba melakukannya dengan kasih sayang dan sebagainya, tapi istri sangat susah untuk taat dan tidak mau dituntun, kalau tidak setuju maka dia tidak setuju. Akhirnya si suami susah dan tidak mau lagi bekerjasama dengan istrinya. Jadi ketidakpuasan akhirnya semakin memuncak dan muncul dalam bentuk kemarahan-kemarahan. Karena kita melakukannya sebaik mungkin, tapi dia seenaknya. Jadi kita merasa adanya ketimpangan di dalam keluarga kita.

GS : Yang tidak puas bisa kedua belah pihak, jadi bukan hanya satu pihak, tapi bisa kedua-duanya merasa tidak puas, Pak Paul?

PG : Tepat sekali. Jadi pada akhirnya dua-dua merasa dimanfaatkan, merasa tidak didengarkan, dua-dua merasa diri diperlakukan seenaknya. Jadi dua-dua marah terhadap satu sama lain dan pada akhirnya kalau kita merasa, "Kamu tidak memerhatikan kebutuhan saya, kamu tidak mendengarkan kepentingan saya" berarti kita harus perjuangkan sendiri. Dalam kondisi yang parah seperti itu, maka kalau ada apa-apa, dua-dua putuskan sendiri dan tidak konsultasi lagi, percuma konsultasi yang penting saya lakukan dulu. Jadi akhirnya seperti itulah rumah tangga.

GS : Jadi apa pun kalau si suami atau si istri itu mendapat dukungan dari anak-anak mereka, yang satu sisi bisa merasa lebih terasingkan, begitu Pak Paul?

PG : Betul. Jadi yang merasa terasingkan sudah tentu harus introspeksi kenapa hampir semuanya tidak ada yang berpihak kepada saya, apa kesalahan saya? Jadi jangan sampai marah, marah karena semuanya tidak memihak pada diri kita. Jadi perlu introspeksi diri setelah itu cobalah untuk kembali lagi bicara, mungkin keputusan ini adalah keputusan yang memang baik, tapi belum tentu cocok untuk kita. Jadi kadang-kadang itulah yang harus disimpulkan, sehingga kita menunda dan tidak mengambil keputusan itu sehingga pasangan kita juga melihat kalau kamu sayang kepada saya, kamu memerhatikan kepentingan saya. Jadi lebih baik suasana mencair kembali. Kalau dua-dua tidak peduli akhirnya yang sering terjadi adalah pertengkaran demi pertengkaran. Sekali pola ini terbentuk, maka pertengkaran akan terus berlanjut sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sebab pada akhirnya kita berkesimpulan, "Saya bicara baik-baik percuma, sebab tidak ada hasilnya, jadi lebih baik kalau ada perlu saja, saya mau dan saya perjuangkan, kalau dia tidak terima maka saya akan ribut, bertengkar dan berkelahi". Akhirnya pola itulah yang menjadi pola komunikasi di antara suami dan istri.

GS : Jika itu dilihat oleh anak-anak, maka pengaruhnya sangat besar terhadap anak-anak, Pak Paul.

PG : Tidak ada lagi ketentraman pada anak-anak dan akhirnya anak-anak merasa "Orang tua selalu bertengkar" sebab pada akhirnya kalau ini sudah terbentuk polanya maka hukum yang berlaku dalam keluarga itu adalah siapa cepat siapa dapat dan siapa kuat dia menang. Tidak ada lagi yang namanya tenggang rasa, memerhatikan kebutuhan satu sama lain, menunda demi pasangan sudah tidak ada lagi, tapi yang ada siapa cepat siapa dapat, siapa kuat siapa menang. Dan itu berbahaya sekali, sebab kalau itu yang terjadi maka pada akhirnya tinggal tunggu waktu cinta itu akan memudar dan relasi pun akan merenggang.

GS : Kalau terjadi pertengkaran seperti itu, itu membutuhkan energi yang sangat besar, apa dampaknya dalam hubungan suami istri, Pak Paul?

PG : Biasanya kalau energi sudah terkuras untuk mengurusi masalah untuk berkelahi, bertengkar maka yang pertama sudah tidak ada lagi keinginan untuk menjalin hubungan yang baik, yang manis, yang intim, maka relasi itu justru menjadi relasi yang menyakitkan, meletihkan. Kalau kita sudah merasa relasi pernikahan kita sebagai sesuatu yang menyakitkan dan meletihkan, maka tindakan kita adalah mau menjauh dengan relasi itu, tidak mau dekat-dekat sebab nanti akan ribut lagi. Jadi sejauh mungkin dan bicara sesedikit mungkin dan benar-benar kita mau sejauh mungkin, tidak mau dekat dengan pasangan kita.

GS : Jadi banyak suami yang menyimpulkan, "Kalau tahu seperti ini lebih baik tidak menikah!"

PG : Iya, dan bahaya yang berikut adalah kalau kita akhirnya terlalu lelah karena seringnya bertengkar maka mudah sekali terhadap godaan pihak lain, sebab pihak lain itu rasanya lebih lembut, lebih sabar, lebih mau mengerti dan mendengarkan kita, lebih setuju dengan kita. Jadi mudah sekali kita tergoda pada yang lain.

GS : Sebab pada hakekatnya pria itu membutuhkan dukungan dari seorang wanita. Kalau istri tidak bisa memberikan dukungan, maka dia akan tetap mencari orang yang bisa mendukung dia, begitu Pak Paul?

PG : Seringkali itu yang terjadi, jadi akhirnya bukan malah membaik tapi malah memburuk, kita tidak membutuhkan pasangan kita karena sudah ada orang lain. Kalau itu yang terjadi maka rumah tangga kita berantakan dan sudah tentu itu tidak memuliakan Tuhan sama sekali.

GS : Sebelum kita mengakhiri suatu seri perbincangan tentang suami yang memimpin dan istri yang menolong ini, mungkin Pak Paul ingin menyampaikan bagian firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman baik bagi suami atau bagi istri.

PG : Saya akan bacakan dari Efesus 5:33, "Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya". Ini perintah ketetapan Tuhan, kenapa Tuhan memberikannya kepada kita? Ini adalah untuk kebaikan sendiri bukan keburukan. Tuhan menetapkan suami memimpin dalam kasih dan istri mendampingi dalam ketundukan, ini untuk kebaikan kita sendiri. Siapa yang melakukannya akan mencicipi berkat. Tuhan memberikan perintah ini juga untuk kemuliaan Tuhan dan bukan untuk kejahatan, waktu orang melihat keluarga kita hidup dengan begitu harmonis, maka orang akan memuliakan Tuhan. Dan yang terakhir sebagai pertanggungjawaban kepada Tuhan dan bukan hanya kepada pasangan. Waktu kita mengasihi istri, waktu kita memimpin istri maka kita sedang melakukannya untuk Tuhan. Waktu kita sedang mendampingi suami dan menolong suami, maka kita sedang melakukannya untuk Tuhan. Jadi benar-benar pada akhirnya kita ini menjawab dan bertanggungjawab kepada Tuhan.

GS : Jadi pernikahan yang dibentuk oleh Tuhan, Tuhan lengkapi juga dengan hal-hal dimana sebenarnya sudah ada panduan yang jelas baik bagi suami maupun sebagai istri, hanya tinggal kita sebagai manusia ini melaksanakan atau tidak.

PG : Betul sekali. Karena kadang-kadang kita sebagai manusia tidak selalu bisa taat, kadang-kadang kita lemah, tapi adakalanya kenapa kita tidak melakukannya karena kita punya pertimbangan sendiri misalnya seorang suami akan berkata, "Tuhan ini ada-ada saja, buat peraturan agar saya memimpin dalam kasih dan pengorbanan, mana mungkin saya bisa melakukan itu karena kalau saya memimpin maka saya memimpin dengan tegas". Jadi kita melihat perintah Tuhan itu merugikan kita atau seorang istri bisa berkata, "Ini bukan jamannya lagi, memangnya ini jaman kuda gigit besi harus tunduk-tunduk pada suami, saya tidak mau karena kita semua setara". Jadi karena kita menggunakan rasio kita dan kita mengganggap kita lebih pintar dari Tuhan dan kita tidak mendengarkan Tuhan padahal kalau kita mendengarkan Tuhan, mengikuti jalannya Dia maka itu justru untuk kebaikan kita, untuk kemuliaan Tuhan dan akhirnya untuk pertanggungjawaban kita kepada-Nya. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang buruk dalam melakukan kehendak Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul, kita sudah merampungkan perbincangan kita tentang suami yang memimpin dan istri yang menolong, besar harapan kita tentunya apa yang kita perbincangkan ini bermanfaat baik bagi suami maupun bagi istri. Terima kasih Pak Paul untuk ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menolong adalah Mengingatkan" bagian yang kedua dan ini merupakan bagian terakhir dari seri Suami yang Memimpin dan Istri yang menolong. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



93. Tidak Mau Mengalah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T322B (File MP3 T322B)


Abstrak:

Pernikahan menuntut pasangan untuk saling menyesuaikan diri. Di dalam proses menyesuaikan diri kadang kita terlibat konflik akibat perbedaan yang ada. Untuk dapat menyelesaikan konflik diperlukan sikap rela mengalah. Masalahnya adalah kadang kita tidak mudah mengalah dan memang ada sebagian yang memiliki sikap tidak mau mengalah. Sikap tidak mau mengalah bukanlah sikap kompetitif—kendati keduanya memunyai persamaan. Bila sikap kompetitif lahir dari keinginan untuk menjadi yang terutama alias nomor satu, sikap tidak mau mengalah lahir dari dua sumber yaitu tidak ingin mengaku salah dan tidak ingin dirugikan.


Ringkasan:

Pernikahan menuntut pasangan untuk saling menyesuaikan diri. Di dalam proses menyesuaikan diri kadang kita terlibat konflik akibat perbedaan yang ada. Nah, untuk dapat menyelesaikan konflik diperlukan sikap rela mengalah. Masalahnya adalah kadang kita tidak mudah mengalah dan memang ada sebagian yang memiliki sikap tidak mau mengalah. Marilah kita lihat sikap tidak mau mengalah ini dengan lebih saksama.
Sikap tidak mau mengalah bukanlah sikap kompetitif—kendati keduanya memunyai persamaan. Bila sikap kompetitif lahir dari keinginan untuk menjadi yang terutama alias nomor satu, sikap tidak mau mengalah lahir dari dua sumber:

  1. tidak ingin mengaku salah dan
  2. tidak ingin dirugikan.

Marilah kita perhatikan kedua sumber yang melahirkan sikap tidak mau mengalah ini.

  1. Tidak ingin mengaku salah

  2. Bila kita dibesarkan di dalam keluarga yang sarat kritikan, besar kemungkinan kita akan mengembangkan sikap sensitif terhadap kritikan. Begitu pekanya kita terhadap kritikan, sehingga apa pun yang beraroma kritikan, pasti kita halau dan lawan. Bila pasangan kita seperti ini, tentulah sulit buat kita mencapai titik temu dalam perbedaan pendapat. Sasarannya hanyalah satu yaitu ia benar—tidak peduli apakah memang ia benar atau salah. Apa pun yang kita lakukan untuk menjelaskan duduk masalah, biasanya akan menemui jalan buntu. Pada akhirnya kita enggan untuk berdiskusi dengan pasangan.
  3. Tidak ingin dirugikan

  4. Ada pula orang yang tidak mau mengalah, sebab baginya mengalah berarti dirugikan. Mungkin orang ini memunyai masalah dengan ketamakan. Bagi orang seperti ini, mengalah berarti kehilangan sesuatu yang berharga. Masalahnya adalah, hampir semua hal dianggapnya berharga. Itu sebabnya ia terus memper-tahankan pendapat atau posisinya sebab baginya ia tidak boleh kehilangan suatu apa pun. Mungkin ia lahir dan besar dalam keluarga yang minim, sehingga ia harus berjuang untuk hidup. Itu sebabnya segala hal menjadi penting—termasuk dan mungkin terutama, harga dirinya. Sudah tentu tidak mudah hidup bersama dengannya. Pernikahan mengharuskan kita untuk melepaskan hal-hal yang kita anggap penting. Sebab, kalau dua-dua bersikeras bahwa segalanya penting dan tidak boleh dikompromikan, akhirnya kita tidak akan dapat mencapai keselarasan.

Menghadapi Pasangan yang Tidak Mau Mengalah
Jika pasangan adalah seorang pribadi yang tidak suka mengalah, beberapa tindakan berikut ini dapat dicoba untuk diterapkan.

Nasihat Firman Tuhan: "Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hikmat dan kerendahan hati mendahului kehormatan" (Amsal 15:33) Sikap tidak mau mengalah adalah buah dari kesombongan. Itu sebabnya cara untuk mengubahnya adalah dengan hidup takut akan Tuhan.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tidak Mau Mengalah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Kalau orang tidak mau mengalah, Pak Paul, seringkali karena dia berpendapat mengalah itu sama dengan kalah padahal belum tentu hal yang seperti itu terjadi, Pak Paul. Apalagi di dalam hubungan keluarga, kalau tidak ada yang mau mengalah maka keluarga itu akan tercerai berai pada akhirnya. Apa kaitannya di dalam pernikahan ini, Pak Paul?

PG : Itu tepat sekali, pernikahan menuntut kita untuk saling menyesuaikan diri dan didalam proses menyesuaikan diri kadang kita akan terlibat konflik akibat perbedaan yang ada. Untuk dapat menyelesaikan konflik maka diperlukan sikap rela mengalah. Idealnya konflik bisa diselesaikan dengan yang disebut "Win-Win Solution", dua-duanya senang. Tapi itu kadang-kadang bisa terjadi bahkan yang lebih sering adalah sebelum bisa sampai kepada solusi dua-duanya senang dan dua-duanya menang, seringkali yang satu harus mengalah. Masalahnya adalah kadang kita tidak mudah mengalah dan memang ada sebagian orang tidak memiliki sikap mau mengalah itu. Jadi saya kira perlu kita sekarang melihat sikap tidak mau mengalah ini dengan lebih seksama.

GS : Sebenarnya sikap tidak mau mengalah ini juga terbentuk sejak kecil, Pak Paul. Bahkan terhadap saudara kandungnya pun sudah kelihatan bahwa dia seorang yang tidak mau mengalah.

PG : Betul sekali. Kadang kita merancukan sikap tidak mau mengalah ini dengan kompetitif. Sebenarnya ini dua hal yang berbeda, jadi ada anak-anak yang sejak kecil memang kompetitif, sebenarnya apa bedanya antara sikap kompetitif dan tidak mau mengalah? Sikap kompetitif itu lahir dari keinginan untuk menjadi yang terutama alias nomor satu. Ada anak-anak yang seperti itu, jadi dia harus menang, dia harus menjadi nomor satu, dia harus menjadi yang paling baik, di sekolah dia juga kompetitif sekali, dia harus menjadi yang paling pintar di kelas dan sebagainya. Kalau sikap yang berikutnya yaitu tidak mau mengalah, bukanlah kompetitif tapi itu adalah sikap yang lahir dari sekurang-kurangnya dua sumber yaitu tidak ingin mengaku salah dan tidak ingin dirugikan. Jadi sekali lagi beda, kalau kompetitif mau menjadi yang nomor satu, kalau tidak mau mengalah sebenarnya itu keluar dari dua sumber yaitu tidak mau mengaku salah dan tidak ingin dirugikan. Ini yang memang membuat orang-orang ini susah sekali untuk mengalah.

GS : Kalau yang kompetitif itu mungkin masih ada sisi positifnya, sehingga dia terpacu untuk menjadi yang nomor satu, mencapai prestasi yang terbaik. Tapi kalau sampai tidak mau mengalah maka hampir semuanya negatif dibandingkan positifnya.

PG : Saya kira demikian, jadi terus terang saya tidak bisa melihat apa segi baiknya dari sikap tidak mau mengalah ini.

GS : Bagaimana kalau kita membicarakan tentang sikap tidak ingin mengaku salah itu tadi, Pak Paul?

PG : Baiklah. Tidak ingin mengaku salah memang bisa keluar dari berbagai situasi kehidupan. Misalnya bila kita ini dibesarkan dalam keluarga yang sarat kritikan maka besar kemungkinan kita akan mengembangkan sikap sensitif terhadap kritikan. Kita tidak suka dikritik karena dulu sudah kenyang dikritik. Begitu pekanya kita terhadap kritikan sehingga apapun yang beraromakan kritikan pasti kita halau dan lawan. Masalahnya adalah tidak semua masukan atau apa yang orang katakan kepada kita sebenarnya merupakan kritikan, tidak semuanya. Namun karena kita sudah menjadi terlalu peka, pada akhirnya kita sulit duduk diam dan mendengarkan tanggapan orang terhadap diri kita, pada akhirnya kita mengembangkan sikap tidak mau mengalah sama sekali, kita tidak ingin mengalah sebab kita beranggapan bahwa kita mengalah berarti mengaku salah dan mengaku salah bagi kita sama dengan bencana, sebab dulu kalau ketahuan salah maka habis sudah diomeli dan sebagainya. Itu sebabnya pada akhirnya didalam pertengkaran dengan pasangan kita maka kita itu tidak lagi melihat duduk masalahnya, melainkan kita hanya fokus pada upaya untuk memenangkan argumentasi sebab tidak boleh ketahuan kalau kita salah. Itu salah satu sumber kita tidak mau mengalah, tidak mau mengaku salah.

GS : Kadang-kadang dengan cara menutupi kesalahan itu lalu mengalihkan persoalan ke persoalan yang lain, Pak Paul.

PG : Kadang-kadang itu yang kita lakukan, daripada kita tertangkap di sini kita ketahuan salah maka kita melompat-lompat ke soal yang lain dan kita mengajukan argumentasi yang berbeda, soal-soal yang pernah terjadi dulu. Pokoknya supaya kita tidak bisa dikatakan, "kamu salah di situ".

GS : Masalah ini berasal dari keluarga artinya terbentuk dari keluarga karena suka mengkritik kita, itu pun sebenarnya bukan suatu alasan orang tidak pernah belajar mengalah, sekalipun dia dibesarkan dalam suatu keluarga yang seperti itu, dikritik dan terus disalahkan. Tapi kalau dia mau berubah sebenarnya bisa, Pak Paul.

PG : Saya setuju. Jadi dia harus mengingatkan dirinya terus menerus bahwa sebenarnya bukanlah orang tua saya yang sedang menyalah-nyalahkan saya, saya bukannya sedang diancam oleh bencana jika saya mengaku salah, tidak seperti itu. Jadi kalau kita bisa mengingatkan diri kita dan bahwa yang berkata-kata kepada kita adalah orang yang mengasihi kita yaitu istri atau suami kita, maka kita lebih mudah untuk berkata, "Baiklah saya dengarkan dan saya tidak harus menolak untuk mengaku salah", tidak apa-apa mengaku salah kalau memang saya salah dan jangan takut kita nanti akan diserang oleh apa-apa dan diserang seperti apa oleh dia. Jadi kita harus membangun sebuah relasi yang kuat yang kita yakini bahwa pasangan kita itu tidak berniat jahat, bahwa dia itu bermaksud baik kepada kita. Kalau kita bisa terima dia memang bermaksud baik, dia mengasihi saya, maka terima kalau kita memang salah ya harus mengakui salah dan jangan ngotot tidak mau disalahkan.

GS : Jadi di situ peranan pasangan besar sekali untuk bisa menyembuhkan orang ini dari sakit yang tidak ingin mengaku salah. Kalau pasangan kita memberikan rasa aman ketika kita mengaku salah maka itu akan sangat menolong, Pak Paul.

PG : Saya setuju. Jadi pasangan harus sering-sering mengkomunikasikan bahwa dia mengasihi kita dan sering-sering mengatakan, "Kalau kamu tidak mau mengaku salah pun juga tidak apa-apa saya terima" waktu kita tahu kita disayang dengan rasa aman seperti itu maka kita lebih berani untuk berkata, "Iya saya salah dan saya minta maaf".

GS : Memang dipermasalahkan antara benar dan salah dan mungkin ketemu terus salahnya dan orang semakin takut untuk mengakui kesalahannya karena banyak sekali, dia pikir kesalahannya hanya sedikit padahal setelah diungkap-diungkap bisa tiga atau empat kesalahan yang semuanya betul.

PG : Betul. Jadi memang kalau kita sadari seperti ini maka kita harus berusaha sekeras mungkin untuk mengurangi dan pada akhirnya menghilangkannya. Sebab terus terang kalau pasangan kita seperti ini sikapnya yaitu susah mengalah maka sulit bagi kita mencapai titik temu didalam perbedaan pendapat sebab sasarannya hanyalah satu yaitu dia benar dan tidak peduli apakah dia benar atau salah, apapun yang kita lakukan untuk menjelaskan duduk masalah biasanya akan menemui jalan buntu. Pada akhirnya kita enggan untuk berdiskusi dengan dia, malas untuk mengoreksi pasangan, sebab kita sudah menduga bahwa dia tidak akan terbuka untuk melihat andilnya apalagi kesalahannya. Kalau kita sudah memunyai persepsi yang seperti itu akhirnya tidak bisa tidak, relasi pasti retak sebab kita merasa pintu ditutup dan kalau kita ketuk-ketuk pintu kita tidak diberi masuk sebab dia tidak akan mengaku salah. Dia selalu harus benar dan dia itu memunyai sikap tidak mau mengalah akhirnya kita frustrasi angkat tangan, sebetulnya saat kita angkat tangan maka relasi kita sudah mulai retak dan makin menjauh, lama kelamaan berakibat pada kasih sayang kita, makin hari makin merosot.

GS : Kalau kita memang betul-betul mengasihi pasangan kita sebetulnya kita boleh terlalu cepat mengalah, karena makin cepat kita mengalah maka makin kita merasa benar dan akhirnya makin runyam kehidupan rumah tangga itu.

PG : Betul. Tapi kita tidak bisa melawannya dengan perdebatan, karena dia akan terus bertahan, dia akan lompat sana dan lompat sini dan dia tidak akan mau mengakui bahwa dia itu salah sebab dia tidak bisa terima. Maka kalau pun kita mau tetap menghadapi dia supaya kita tidak menyerah, tapi perlu strategi yaitu waktu dia berdebat maka jangan teruskan dan diam saja, nanti setelah dia tenang baru kita katakan, "Saya tetap mengasihi kamu apa pun yang kamu lakukan saya tetap mengasihi kamu". Jadi kita hanya yakinkan itu saja. Waktu dia melihat kita tetap mengasihi dia dan kita tidak membuangnya maka perlahan-lahan mungkin dia lebih tergerak dan lebih aman untuk mengakui kesalahan.

GS : Kalau tidak ingin dirugikan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Ini adalah salah satu sumber lain lagi yang membuat seseorang itu susah sekali untuk mengalah. Ada orang yang tidak mau mengalah sebab baginya mengalah berarti dirugikan, kalau mengalah kita kehilangan sesuatu. Jadi saya menduga orang ini memang punya masalah dengan ketamakan oleh karena dia tamak, dia tidak bersedia mengalami kerugian sedikit pun. Akhirnya dalam setiap perundingan kalau ada konflik misalnya, apa pun akan dilakukannya asal dia tidak perlu berkorban bagi yang lain dan menderita kerugian karenanya. Pokoknya batasnya itu yaitu dia tidak boleh rugi, kalau dia beranggapan gara-gara saya mengalah maka saya akan rugi, sebab bagi orang seperti ini benar-benar mengalah berarti kehilangan sesuatu yang berharga, tapi masalahnya adalah bagi dia hampir semua hal yang menurut dia berharga. Itu sebabnya dia bersikeras memertahankan posisinya sebab bagi dia, dia tidak boleh kehilangan suatu apa pun.

GS : Tentu saja dalam hal ini bukan saja dalam hal-hal yang bersifat materi, tapi juga menyangkut perasaan, harga diri dan lain-lain, yang penting dia tidak mau rugi. Tapi mau merugikan orang lain dan ini masalahnya.

PG : Betul. Jadinya dia sangat "selfish" karena dia tidak memusingkan orang rugi atau tidak asalkan dia tidak rugi, tidak boleh mundur 1cm.

GS : Apakah faktor latar balakang keluarga itu berpengaruh pada orang yang seperti ini, Pak Paul?

PG : Saya kira ada, misalnya saya menduga orang yang seperti ini lahir dan besar dalam keluarga yang minim sehingga misalnya dia harus berjuang untuk hidup. Itu sebabnya dalam segala hal menjadi penting termasuk dan mungkin terutama harga dirinya. Jadi dia tidak mudah mengalah sebab mengalah berarti mengorbankan dan melepaskan sesuatu yang dinilainya berharga. Jadi dia akan pertahankan mati-matian atau misalkan dulu karena dia tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan jadi kenyang dihina orang, maka sekarang pun dia tidak bisa mundur, dia tidak boleh kalah sebab kalau sampai dia kalah maka dia akan kehilangan respek dan orang tidak akan menghargai dan menghormati dia, jadi dia bersikeras tidak boleh sekali pun mundur atau mengalah. Mungkin itu latar belakang dari orang itu, sehingga di masa sekarang ini dia menjadi orang yang begitu kaku dalam hal mengalah.

GS : Ada orang yang mengatakan bahwa dia bukanlah orang yang tidak mau mengalah, tapi "saya ini orang yang berpegang pada prinsip". Tapi bagi kita yang melihat di luar dirinya mengatakan, "Ini orang yang keras kepada yang tidak mau mengalah" dan bagaimana mempertemukan konsep itu, Pak Paul?

PG : Orang ini tahu kalau berkata apa adanya, "Bahwa saya orang yang tidak mau mengalah" itu adalah hal yang buruk, maka kita seringkali membungkus sifat jelek kita dengan sebuah bungkus yang indah yaitu pegang prinsip. Belum tentu pegang prinsip, sebab kalau semua hal menjadi prinsip berarti bukannya masalah prinsip lagi tapi masalah dirinya yang memang tidak boleh mengalah dan harus selalu menang. Memang kalau kita hidup dengan orang yang seperti ini, maka alangkah sukarnya karena pernikahan mengharuskan kita untuk melepaskan diri dari hal-hal yang kita anggap penting dan itu merupakan kodrat pernikahan sebab kalau dua-dua bersikeras bahwa segalanya penting dan tidak boleh dikompromikan maka akhirnya kita tidak akan dapat mencapai keselarasan dan makin sering kita bertengkar karena tidak ada lagi yang bersedia untuk mengalah dan kita tidak bisa untuk berkata, "Ini prinsip dan ini prinsip" pada akhirnya tidak bisa hidup dengan orang yang seperti itu.

GS : Sulitnya lagi sifat yang tidak mau mengalah, tidak terasa atau tidak terlalu nampak ketika masih berpacaran dan baru ketika mereka memasuki hidup pernikahan, mereka menyadari bahwa pasangannya ini adalah seseorang yang tidak mau mengalah. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Seringkali pada masa berpacaran memang tidak kelihatan dengan jelas, maka pada waktu berpacaran kita harus tahu siapa pasangan kita dan bukan hanya lewat pengetahuan kita, tapi lewat pengetahuan orang lain juga yang mengenal dirinya. Misalnya orang itu memang orang yang sukar mengalah, kemungkinan besar dia juga tidak punya teman dan sahabat, sebab sukar bagi orang bersahabat dengan dia, maka kita harus mencari tahu tentang dia dari sumber-sumber lain sebanyak-banyaknya sehingga makin tepat pemahaman kita tentang siapa diri.

GS : Apakah ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menolong pasangan kita sekaligus menolong diri kita sendiri, Pak Paul?

PG : Ada. Kalau misalnya pasangan kita adalah seorang pribadi yang tidak suka mengalah, cobalah beberapa hal ini. Yang pertama, jangan terlibat dalam perdebatan dengan dia, sebab dengan orang seperti ini perdebatan tidak akan membuahkan hasil. Jadi berdiamlah sewaktu dia mulai memerlihatkan sikap tidak mau mengalah dan kita diam saja jangan dilawan, karena dia sudah cukup senang, karena sebetulnya dia mau menarik kita masuk ke dalam kancah perkelahian atau pertentangan, jangan biasakan, karena kadang-kadang kita terpancing, Pak Gunawan. "Saya tidak terima, saya mau koreksi dan saya mau luruskan dia" kita tidak akan menang, sebab kalau orang tidak mau mengalah dan maunya menang seringkali kita tidak akan menjadi menang. Jadi lebih baik kita diam, percuma dan kita harus berkata, "Kalau saya ladeni ini tidak akan ada habisnya".

GS : Seringkali mereka hanya berkata, "Yang penting apa yang dia pikirkan harus menjadi kenyataan" dan dia tidak mau mendengarkan orang lain padahal kita adalah pasangannya, kalau dia tidak mau mendengarkan dari kita yang begitu dekat apalagi diberitahu oleh orang lain, Pak Paul.

PG : Jadi memang akan sangat sukar kalau orang sudah berkata seperti itu. Jadi jangan kita terlibat dan akhirnya terseret masuk ke dalam pertengkaran demi pertengkaran dengan dia dan mencoba dia mengaku salah dan membuat dia mengetahui kalau memang dia keliru kali ini, itu tidak akan terjadi sebab kalau dia tidak mau maka tidak mau.

GS : Seringkali yang memunculkan perdebatan itu justru orang-orang yang tidak mau kalah karena melalui perdebatan itu maka dia akan kelihatan menang terus, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi kalau kita biarkan diri kita terseret ke dalam kancah perdebatan maka kita memang hanyalah memberi dia konsumsi untuk dia terus begitu. Jadi lebih baik jangan diladeni, kalau dia ngotot maka diam saja dan jangan ditanggapi.

GS : Tapi kalau hanya bersikap pasif tidak meladeni atau tidak menanggapi, itu tidak cukup apakah ada langkah yang berikutnya, Pak Paul?

PG : Setelah suasana menjadi lebih dingin, sudah tidak lagi bertengkar maka katakan kepadanya bahwa kita tidak setuju dengan keputusannya itu dan bahwa kita meminta waktu yang lebih panjang untuk berdiskusi dengannya. Oleh karena perdebatan verbal tidak membuahkan hasil maka cobalah dengan diskusi lewat tulisan atau surat elektronik atau pesan singkat, harapannya adalah mudah-mudahan dengan media tulisan maka dia tidak cepat terpancing emosinya, sehingga lebih dapat mendengarkan sisi kita. Kita jelaskan dengan bahasa tulisan, jadi cobalah dengan cara itu dan waktu kita sedang menuliskan keluh kesah kita maka hindarkan penggunaan kata "Kamu dan kamu" yang akan menyalahkan dia, ketika dia mendengar kata-kata seperti itu maka dia akan siap membela diri. Sebaliknya hanya ceritakanlah dampak perbuatannya, tindakannya, keputusannya pada diri kita. Misalkan gara-gara kamu begini dan begini hati saya sangat terluka dan sedih sekali, saya berusaha melakukan yang terbaik tapi akhirnya menjadi begini. Jadi kita hanya menceritakan dampak dari semua itu terhadap diri kita. Dengan kata lain, kita gunakan bahasa tulisan secara tidak langsung supaya dia tidak cepat bereaksi dan dia bisa membaca dengan tenang dan dia bisa lebih memikirkan tindakan yang lebih tepat sebab dia memang sedang sensitif, kalau orang yang memang sedang sensitif seperti itu maka tidak bisa diajak bicara langsung dan dia akan terseret ke dalam pertengkaran.

GS : Tapi ini menjadi sesuatu yang tidak lazim dilakukan, kita serumah tapi surat suratan pakai media tulis, dan tidak semua orang mahir mengungkapkan isi hatinya lewat tulisan. Ada yang lebih gampang untuk berbicara.

PG : Memang kalau masih bisa diajak bicara, dia sedang tenang baik-baik bicara, "Saya belum selesai tadi, apakah ada waktu, apakah saya bisa bicara" atau kita berkata, "Saya akan bicara satu kalimat saja, saya minta kamu mendengarkan saja dan saya tidak mengharapkan kamu menjawab saya, coba tolong pikirkan saja apa yang saya katakan". Kemudian kita katakan dengan singkat satu kalimat apa yang tadi kita rasakan akibat keputusan atau perbuatannya, setelah itu kita diam dan kita jalan.

GS : Atau kalau dia mulai perdebatan lagi maka kita berhenti lagi. Artinya dia belum siap untuk diajak berdiskusi secara dewasa, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi dengan kata lain kita harus lebih bisa mengatur cepat lambatnya diskusi kita. Kita mau tetap sampaikan kepada dia, kita tidak mau memberi dia ruang atau gerak semaunya karena itu juga buruk tapi kita mau mengatur strategi sehingga kita dengan perlahan-lahan mengatakan kepada dia apa yang menjadi keprihatinan kita.

GS : Bagaimana kalau kita ketemu dengan pasangan yang tipe orang tidak mau dirugikan, Pak Paul?

PG : Kalau memang dia tipe yang tidak mau dirugikan atau tidak mau berkorban sama sekali, maka saya sarankan perlihatkanlah niat baik untuk berkorban kemudian tanyakanlah kesediaannya untuk juga berkorban. Pada dasarnya kita mengajaknya untuk mengembangkan sikap rela berkorban atau menderita kerugian, namun kita harus melakukannya dengan hati-hati serta sedikit demi sedikit, harapan saya adalah bila dia melihat kita bersedia mundur selangkah, dia pun terpaksa atau lebih terdorong untuk mundur selangkah. Jadi kalau orang itu kelihatan tidak mau rugi maka kita misalnya didalam ketidaksesuaian pendapat kita katakan, "Baiklah kalau begitu saya akan mundur selangkah dan saya akan korbankan ini" sekarang pertanyaan saya adalah, "Apa yang akan kamu lakukan, pengorbanan apa yang akan kamu lakukan?" Misalkan kita akan putuskan pindah kota atau tidak, kita sudah setuju dengan perusahaan bahwa kita akan ikut pindah ke sana, tapi pasangan kita tidak setuju. Misalnya terjadi pertentangan dan dia tidak bisa diajak bicara dan selalu dia harus dirugikan maka dia tidak akan mau mundur sama sekali. Kita harus berkata, "Baiklah kalau begitu saya akan bersedia mundur dan saya tidak akan ikut, saya tidak akan pindah tapi saya tanya kepada kamu, "Apa dari pihakmu yang akan kamu lakukan untuk saya sehingga kamu juga bisa berkorban untuk saya?" kita tanyakan itu. Waktu kita mulai mengatakan hal seperti itu maka lama-lama mengingatkan dia bahwa kalau dia mau menuntut sesuatu dari kita maka dia harus pikirkan sesuatu yang dia juga harus korbankan dan mudah-mudahan lama-kelamaan dia ingat dan lama-lama dia terpaksa lakukan itu juga. Mudah-mudahan kalau dia mulai rela berkorban walaupun hanya sedikit, dia lebih terbiasa untuk mengalah.

GS : Itu juga bisa ditafsirkan oleh orang seperti itu sebagai suatu tuntutan, ini adalah tawar menawar, kamu mundur selangkah dan saya mundur selangkah, salah-salah kita mundur selangkah dan dia maju selangkah!

PG : Mungkin saja. Tapi kalau dia harus maju selangkah dan kita mundur selangkah maka kita katakan, "Tunggu, saya sudah mundur selangkah dan sekarang yang saya tanya adalah apa yang akan kamu lakukan untuk juga kamu mundur selangkah?" Betul ini adalah tawar menawar, tapi untuk orang seperti dia memang harus digunakan cara seperti ini yaitu dia harus dibiasakan mundur selangkah dengan sedikit paksaan, sebab kalau tidak dia tidak akan mundur selangkah sebab dia tidak mau rugi sama sekali makanya dia tidak mau mengalah sebab baginya mengalah berarti rugi. Orang yang sedikit-sedikit merasa dirugikan sehingga tidak mau mengalah lebih termotivasi untuk mengalah atau rugi kalau melihat kita juga rugi, dia rasanya lebih bisa terima atau lebih puas, "Baiklah saya mengalah" sebab dia mengalah karena dia melihat kita rugi. Tapi kalau dianya harus rugi sendirian dan dia tidak melihat kita rugi, maka tidak mungkin dia mau rugi. Maka untuk sementara lakukan itu dulu dan ini memang bukan langkah yang ideal tapi ini suatu permulaan.

GS : Yang bisa kita lakukan mungkin memberikan contoh teladan nyata kepada dia bahwa mengalah itu bukanlah kalah lewat dia melihat kehidupan ini bahwa ternyata mengalah itu tidak apa-apa dan barulah dia mau.

PG : Betul. Jadi waktu dia melihat bahwa ternyata orang yang mengalah diberkati Tuhan. Mungkin saja dia lebih terdorong untuk begitu.

GS : Langkah yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah selalu biasakan untuk berdoa bersama tatkala menghadapi jalan buntu. Di dalam doa pilihlah kata yang bijak, sehingga pasangan kita tidak merasa dipojokkan sebaliknya bawalah ke hadapan Tuhan persoalan yang dihadapi. Kita harus percaya bahwa di dalam doa, Roh Kudus bekerja di dalam hati kita sehingga hati yang keras dapat dilunakkan. Jadi biasakan diri untuk berdoa bersama.

GS : Wujud kelemah lembutan memang seringkali akan mengalahkan kekerasan hati seseorang. Itu seringkali terjadi dan bisa dicoba.

PG : Betul. Dan waktu mulut kita tidak bisa lagi mengubah hatinya maka bawalah di dalam doa bersama dengan dia dan suara Tuhan perlahan-lahan dapat mengubah hatinya.

GS : Yang agak sulit memang kalau dia diajak berdoa pun tidak mau, Pak Paul.

PG : Kalau itu yang terjadi maka kita harus berdoa sendiri untuk dia.

GS : Itu artinya orang yang seperti itu mengeraskan hati, bukan hanya kepalanya tapi yang keras juga hatinya.

PG : Betul.

GS : Satu-satunya yang bisa melunakkan adalah Tuhan sendiri. Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan ini?

PG : Amsal 15:33 firman Tuhan berkata, "Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan". Kita tahu kerendahan hati adalah syarat untuk kita akhirnya bisa mengalah. Sikap dari tidak mau mengalah sebetulnya adalah buah dari kesombongan maka cara untuk mengubahnya adalah dengan hidup takut akan Tuhan. Jadi ajak pasangan datang kepada Tuhan sehingga takut akan Tuhan dalam dirinya dapat kembali bertunas sehingga dari takut akan Tuhan itu pada akhirnya akan muncul kerendahan hati dan dari kerendahan hati barulah muncul sikap yang bersedia mengalah.

GS : Saya percaya sekali perbincangan ini akan menjadi berkat, menjadi penghiburan, menjadi arahan khususnya bagi pasangan-pasangan yang mendapatkan suami atau istri yang tidak mau mengalah. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tidak Mau Mengalah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



94. Waktu Bersama Pasangan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T327A (File MP3 T327A)


Abstrak:

Salah satu kesalahpahaman yang umum beredar di kalangan pasangan nikah adalah, berkaitan dengan soal waktu, "kualitas" jauh lebih penting ketimbang "kuantitas." Sudah tentu kualitas penting oleh karena pada akhirnya terpenting bukanlah sekadar menghabiskan waktu melainkan membagi dan menikmati waktu bersamanya. Ada dua hal penting yang hanya dapat bertunas di dalam koridor waktu bersama: (a) KETERBIASAAN dan (b) PENYESUAIAN. Disini akan dijelaskan dengan lebih detail mengenai kedua hal tersebut.


Ringkasan:

 

Salah satu kesalahpahaman yang umum beredar di kalangan pasangan nikah adalah, berkaitan dengan soal waktu, "kualitas" jauh lebih penting ketimbang "kuantitas."  Sudah tentu kualitas penting oleh karena pada akhirnya terpenting bukanlah sekadar menghabiskan waktu melainkan membagi dan menikmati waktu bersamanya. SUNGGUHPUN DEMIKIAN KITA PERLU MENGINGAT BAHWA KUALITAS HANYA ADA DI DALAM HITUNGAN ATAU RENTANG WAKTU. Jadi, makin banyak waktu bersama, makin besar kemungkinan terjadinya sebuah interaksi yang positif dan membangun.

Juga, bukankah kita tidak selalu dapat merencanakan dan memastikan terciptanya waktu yang bermakna? Ibarat tamasya, kita tidak senantiasa melihat pemandangan yang indah setiap waktu—hanya pada momen tertentu barulah kita dapat memandang sesuatu yang indah. Itu sebabnya kita tidak dapat memisahkan kualitas dari kuantitas. Di dalam kuantitas waktu, barulah kita berkemungkinan mencicipi waktu yang berkualitas.

Waktu Bersama dan Pertumbuhan Relasi Nikah

Berikut ini akan dipaparkan pengaruh menghabiskan"waktu bersama pasangan" pada pertumbuhan relasi nikah. Ada dua hal penting yang hanya dapat bertunas di dalam koridor waktu bersama: (a) KETERBIASAAN dan (b) PENYESUAIAN. Makin banyak kita menghabiskan waktu bersama pasangan, makin cepat terjalinnya keterbiasaan. Makin kita terbiasa dengan kehadirannya, kita pun akan makin cepat menjadikannya sebagai bagian permanen dalam hidup kita. Alhasil kita pun akan berkesempatan membangun hidup bersamanya.

Sebagai contoh, tatkala pulang ke rumah, kita tahu bahwa pasangan sudah menunggu dan menyiapkan makanan. Atau sebagai istri, pada pagi hari kita bangun untuk menyiapkan makanan buat suami. Kendati tampaknya kecil dan tak bermakna sebenarnya aktivitas rutin seperti ini menciptakan sebuah struktur kehidupan di mana kita berdua bernaung di bawahnya.   Di dalam tumpukan sejuta keterbiasaan kecil seperti inilah relasi dibangun.

Kedua, makin sering kita menghabiskan waktu bersama, makin terbuka kesempatan kita untuk berinteraksi dan mengamati satu sama lain. Ini berarti, pengenalan terjadi dan penyesuaian dapat segera dimulai. Sudah tentu pengenalan tidak secara otomatis akan menghasilkan penyesuaian; kita harus bekerja keras menyesuaikan diri. Bila kita berhasil melakukannya, kita akan dapat menikmati relasi nikah yang sehat.

Mungkin sampai di sini akan ada yang bertanya, "Bukankah ada pasangan yang tidak menghabiskan banyak waktu bersama namun tampaknya relasi mereka tumbuh dengan baik sedangkan ada pasangan yang menghabiskan waktu bersama namun relasi mereka tetap bermasalah?" Sebagaimana telah dibahas tadi, pengenalan tidak secara otomatis menghasilkan penyesuaian. Pengenalan mungkin malah mencelikkan mata kita terhadap karakter dan kebiasaan pasangan yang buruk. Nah, bila ini yang terjadi, sudah tentu diperlukan usaha yang lebih keras untuk membereskan masalah yang pasti timbul.

Jika kita melihat adanya pasangan nikah yang hidup dan bertumbuh sehat kendati tidak menghabiskan waktu sebanyak pasangan lain, besar kemungkinan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa KITA TIDAK MASUK KE DALAM PERNIKAHAN DENGAN MODAL YANG SAMA. Ada yang memulai pernikahan dengan sekantong masalah namun ada pula yang mengawali pernikahan dengan segudang masalah. Dapat dipastikan, jika kita membawa segudang masalah, kita memerlukan lebih banyak waktu dan usaha untuk membereskannya dan membangun relasi nikah yang sehat.

Pada umumnya pribadi yang dirundung masalah bertumbuh menjadi pribadi yang tidak dewasa. Ketidakdewasaan niscaya menghambat proses penyesuaian sebab KETIDAKDEWASAAN MEMBUAT KITA SULIT MENDENGAR DAN BERUBAH. Ketidakdewasaan biasanya juga dikaitkan dengan BESARNYA KEBUTUHAN EMOSIONAL YANG PERLU DIPENUHI. Ini pun akan mengganggu proses penyesuaian. Singkat kata, ada sejumlah faktor lain yang berperan dalam proses penyesuaian, bukan hanya menghabiskan waktu bersama. Namun demikian, UNTUK MENYELESAIKANNYA DAN MENCIPTAKAN PENYESUAIAN, TETAP DIPERLUKAN WAKTU BERSAMA.

 


Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Waktu Bersama Pasangan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, ada perbedaan yang besar ketika sepasang manusia saling mengasihi ketika pacaran, mereka selalu menyempatkan diri untuk bisa bersama-sama tetapi begitu memasuki era pernikahan, makin lama makin jarang untuk punya waktu bertemu. Ini bagaimana?

PG : Ini adalah salah satu keluhan yang cukup sering saya dengar. Banyak orang terutama istri yang mengeluhkan bahwa suami saya itu waktu sedang pacaran begitu perhatikan saya, maunya menghabiskan waktu bersama saya, tapi setelah menikah dia susah sekali diajak bicara kalau saya ajak duduk bicara, dia tidak pernah mau. Jadi inilah yang menjadi kenyataan dalam pernikahan. Jadi cukup banyak istri yang mengeluhkan masalah ini.

DL : Betul, dan ada juga orang yang mengatakan bahwa berkaitan dengan soal waktu, kita harus mengedepankan kualitas di atas kuantitas, apakah benar demikian, Pak Paul?

PG : Bu Dientje, sudah tentu kualitas memang penting oleh karena kalau kita menghabiskan waktu tapi tidak ada kualitasnya memang percuma dan sia-sia. Jadi yang penting adalah membagi dan menikmati waktu bersama pasangan dan bukan hanya menghabiskannya. Sungguh pun demikian kita perlu mengingat bahwa kualitas hanya ada dalam hitungan atau rentang waktu. Artinya makin banyak kita membagi waktu bersama, maka kemungkinan terjadi sebuah interaksi yang positif dan membangun. Saya bisa menggunakan sebuah ilustrasi yaitu seorang sutradara, waktu dia memandu jalannya sebuah cerita atau sebuah film, dia mungkin akan mengambil gambar bisa berkali-kali, adegan yang sama diulang-ulang, nanti waktu editing barulah dia akan duduk dan lihat, dari yang misalnya 20 adegan yang sama direkam maka dia hanya akan ambil satu. Berarti yang diambil adalah yang memang bagi dia terbaik, itu lah yang dia akan ambil. Demikian juga dengan kita membagi waktu bersama pasangan. Yang kita sebut dan kita anggap kualitas, tapi bagi pasangan itu belum tentu. Misalnya buat seorang istri yang berkualitas adalah suami bersama dengan dia di dapur, sama-sama menyiapkan makanan atau suami menggendong anak, mengurus anak waktu istrinya sedang repot. Bagi si suami menyiapkan makanan di dapur, mencuci piring dengan istri tidak ada kualitasnya sama sekali, apalagi misalnya si istri pergi dia harus mengurusi anak, menggendong anak, maka mungkin sekali dia akan berkata, "Ini bukannya kualitas, tapi ini benar-benar buang waktu". Tapi bagi istri ini adalah sesuatu yang akan dikenang, yang akan benar-benar menyentuh hatinya, jadi kita tidak akan pernah merasa pas merencanakan dan memastikan terciptanya waktu yang bermakna, waktu kita menjalaninya bersama-sama maka di tengah-tengah itulah kita memetik manfaat dan bisa kita katakan bahwa waktu ini adalah waktu yang indah. Jadi sekali lagi di dalam kuantitas atau di dalam ketersediaanya waktu yang kita habiskan, waktu bersama itulah berkemungkinan kita mencicipi waktu yang berkualitas.

GS : Jadi sebenarnya pada masa pacaran, lebih banyak kuantitasnya dari pada kualitasnya karena hal-hal yang dibicarakanpun bukan tentang masa depan tapi hanya pendek-pendek saja, Pak Paul.

PG : Justru, itu adalah bagian yang memang penting dan kalau kita bandingkan dengan kita sudah menikah sudah tentu kualitas percakapan kita setelah menikah berbeda dengan sebelum kita menikah karena kita sudah lebih mengerti pergumulan hidup dan sebagainya, namun itu adalah tahapan yang harus kita lalui. Pada masa berpacaran sudah tentu percakapan akan lebih ringan, seru dan nanti setelah menikah tuntutan hidup juga berbeda dan secara alamiah percakapan itu akan digiring masuk ke dalam topik-topik yang jauh lebih serius yang akan memengaruhi hajat kehidupan bukan saja dua orang, tapi mungkin juga ada anak-anak dan sebagainya. Jadi memang tetap harus dilalui.

GS : Tapi sebenarnya, Pak Paul, itu bisa dipersiapkan pada saat pacaran, karena tidak dengan serta merta seseorang atau dua orang ini tiba-tiba jadi akrab berkomunikasi senang bersama-sama, jadi harus diawali dengan ketika mereka sedang dalam berpacaran.

PG : Bagus sekali apa yang Pak Gunawan katakan, jadi memang kalau pasangan nikah itu sudah mulai membiasakan dirinya pada masa berpacaran untuk mulai melakukan pembicaraan yang juga serius, memikirkan atau merancang masa depan atau menceritakan tentang diri, memberanikan diri untuk terbuka dengan isi hatinya, sudah tentu ini menjadi modal yang sangat besar dibandingkan kalau dua orang berpacaran hanya bisanya senang-senang kesana-kesini, ketawa-ketawa tapi tidak ada yang benar-benar dibicarakan, tidak ada perencanaan masa depan, tidak ada cerita tentang diri dan sebagainya. Sudah tentu relasi yang seperti itu relatif dangkal, jadi nanti setelah menikah mereka kaget, menemukan pasangan saya seperti ini dan begitu. Ini sebenarnya cukup sering terjadi bukan hanya pada masa berpacaran tapi justru ini sering terjadi pada masa setelah menikah karena kita tahu pada masa berpacaran memang relasi itu tidak bisa menjadi begitu mendalam, jadi baru mulai bisa mendalam setelah menikah. Masalahnya adalah pada zaman sekarang orang itu sibuk, jadi cukup banyak pasangan nikah apalagi di kota-kota besar, baru bertemu di malam hari dimana sudah terlalu capek untuk melakukan sesuatu, sehingga relasi itu menjadi relasi yang tidak bertumbuh, jarang terjadi interaksi yang sungguh-sungguh bermakna, apalagi kalau misalnya salah satu di antaranya sering pergi dalam tugas-tugasnya, jadi lebih sedikit lagi. Apalagi misalnya ditambah dengan kalau ada apa-apa misalnya konflik, terbiasa yang satu atau suami tidak mau hadapi, keluar rumah dan pulang malam, istri sudah tidur, dan besok pagi istrinya mau bicara tidak bisa, dan dia mungkin berkata, "Saya tidak mau bicarakan lagi, kita hentikan saja, itu sudah kejadian yang lalu dan sekarang jangan bicarakan lagi" akhirnya berhenti. Nanti munculnya ini setelah anak-anak sudah besar dan ketika mereka kembali hidup berdua barulah terasa, "Kamu sekarang menjadi seperti ini" padahal dulupun juga begitu tapi memang tidak ketahuan dan mungkin tidak berkesempatan untuk dimunculkan, jadi bukan hanya pada masa berpacaran tapi setelah menikah pun banyak yang seperti itu.

GS : Jadi yang Pak Paul maksudkan dengan perbincangan yang berkualitas atau kedekatan yang berkualitas itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Jadi sebetulnya mayoritas yang kita bilang berkualitas, memang yang benar-benar menyentuh hati, membuat kita menyadari bahwa kita bersama-sama di dalam pernikahan ini bahwa saya disayangi, bahwa saya akan diperhatikan, bahwa saya akan berada di sana untuk dirimu. Jadi pesan-pesan seperti itulah yang nanti akan lebih banyak disambung atau disampaikan kepada satu sama lain.

DL : Jadi ada keterbukaan.

PG : Betul. Dan nanti yang akan mengakrabkan mereka menjadi lebih menyatu. Jadi segala hal yang menyatukan mereka, itulah yang kita kategorikan dengan waktu yang berkualitas.

DL : Sebetulnya apa pengaruh menghabiskan waktu bersama pasangan pada pertumbuhan hidup pernikahan? Maksudnya apakah memang mutlak diperlukan, Pak Paul?

PG : Ada, pasti itu sangat diperlukan. Coba saya paparkan apa pengaruhnya yang begitu penting, yang pertama adalah keterbiasaan dan yang kedua adalah penyesuaian. Tentang keterbiasaan, makin banyak kita menghabiskan waktu bersama dengan pasangan, makin cepat terjalin keterbiasaan, bahasa Inggisnya adalah "familiarity", makin kita terbiasa dengan kehadirannya maka kita pun akan makin cepat menjadikannya sebagai bagian permanen dalam hidup kita. Alhasil kita pun akan berkesempatan membangun hidup bersamanya. Saya berikan contoh, misalnya tatkala kita pulang ke rumah dan kita tahu bahwa pasangan sudah menunggu, dan sudah menyiapkan makanan. Atau sebagai istri di pagi hari kita bangun, kita menyiapkan makanan bagi suami, kendati tampaknya kecil dan tak bermakna, sebenarnya aktifitas rutin seperti ini menciptakan struktur kehidupan dimana kita berdua bernaung di bawahnya. Jadi di dalam tumpukan sejuta keterbiasaan kecil seperti inilah relasi di bangun. Jadi banyak sekali hal-hal yang kecil-kecil, seperti kita tidur bersama jamnya hampir sama, kita makan bersama, kita pergi ke pesta bersama, jadi begitu banyak keterbiasaan yang akhirnya membuat hidup menjadi stabil rutin sebab keterbiasaan itu ibarat kayu-kayu yang kita nanti sambung-sambung menjadi sebuah rumah. Itu sebabnya sebagai contoh kebalikannya kalau pasangan suami istri tidak menghabiskan waktu, yang satu ke mana yang satu ke mana, meskipun menikah puluhan tahun sebenarnya tidak ada rumah tangga. Karena mereka tidak pernah membangun kayu-kayu kecil, batu-batu kecil disambung menjadi sebuah rumah. Kita bisa melihat dampaknya pada waktu kehilangan pasangan. Mungkin kita pernah mengenal teman-teman yang sudah ditinggalkan oleh pasangannya dan kita mengetahui bahwa orang yang ditinggalkan pasangan, kehilangan hal-hal kecil seperti keterbiasaan-keterbiasaan yang kecil-kecil misalnya terbiasa melihat dia tidur, terbiasa melihat dia duduk di sini, saya terbiasa berbicara dengan dia di sini, saya terbiasa pergi ke pasar bersama dengan dia, itu semua keterbiasaan-keterbiasaan yang menjadikan pasangan itu sebuah rumah yang ada strukturnya. Jadi kalau kita tidak menghabiskan waktu bersama pasangan, tidak akan ada hal-hal yang seperti itu. Berarti tidak akan ada juga sebuah rumah tangga. Jadi ini faktor pertama yang penting sekali. Faktor kedua yang saya sebut penyesuaian, kenapa penting menghabiskan waktu? Karena perlu penyesuaian. Makin sering kita menghabiskan waktu bersama, maka makin terbuka kesempatan kita untuk berinteraksi dan mengamati satu sama lain, ini berarti pengenalan terjadi karena sering bertemu, bicara, kadang-kadang muncullah perselisihan karena tidak cocok entah itu pikiran, kebiasaan sehingga memaksa kita untuk menyesuaikan dan akhirnya kita menyesuaikan diri dan bila kita berhasil melakukannya maka kita akan lebih dapat menikmati relasi nikah yang sehat. Jadi sekali lagi ini hanya bisa terjadi jikalau dua orang ini menghabiskan waktu bersama.

DL : Bukankah ada pasangan yang tidak menghabiskan banyak waktu namun mereka bisa bertumbuh dengan baik, tapi ada pasangan suami istri yang terus bersama tapi mereka penuh masalah? Itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebagaimana telah dibahas tadi, pengenalan itu tidak secara otomatis menghasilkan penyesuaian dan bukan karena kita saling kenal tahu sifat masing-masing secara otomatis kita harmonis, ini dua hal berbeda yaitu yang satu mengenal dan menyesuaikan diri, satu hal lainnya. Untuk mengenal diperlukan waktu bersama, untuk menyesuaikannya juga diperlukan waktu. Ada misalnya kebiasaan yang kita tidak ketahui tapi kita baru ketahui setelah kita menikah, selama menghabiskan waktu bersama pasangan pengenalan itu mencelikkan mata kita terhadap kebiasaan yang kita tidak suka, atau karakternya yang mungkin kita anggap buruk, berarti kita harus mulai bekerja keras untuk menyesuaikannya. Pertanyaannya tadi, kenapa ada pasangan nikah yang tidak menghabiskan waktu terlalu banyak tapi baik dan sehat? Yang menghabiskan waktu bersama malah terus disakiti? Kuncinya adalah besar kemungkinan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kita tidak masuk ke dalam pernikahan dengan modal yang sama. Jadi ada orang yang memulai pernikahan membawa segudang masalah, ada orang yang hanya membawa sekantong masalah. Sudah tentu yang membawa segudang masalah akan harus mengeluarkan lebih banyak tenaga, usaha untuk menyelesaikan masalah-masalahnya dan itu akan memakan waktu lebih banyak karena sudah tentu akan membuat pasangan itu dilanda oleh banyak konflik. Sehingga bagaimana bisa menumbuhkan relasi, malahan pertama-tama tahap awal pernikahan mungkin bisa 4-5 tahun hanya mengurusi masalah yang memang dibawa ke dalam pernikahan. Sebagai contoh, ada orang misalnya sejak kecil dibesarkan dalam rumah di mana dia tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup jadi akhirnya butuh kasih sayang dan dia menikah, dia mengharapkan misalnya si suami memberikan kasih sayang yang besar kepadanya. Akhirnya yang terjadi adalah si suami tidak boleh sedikit pun lalai menunjukkan kasih sayang, sedikit lalai saja maka istri langsung sensitif, menuntut, menyalahkan, marah. Jadi suami tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada orang lain misalnya kepada keluarganya atau orang tuanya, dan istrinya tidak akan terima dan dia akan marah sekali. Jadi benar-benar pada tahun pertama pernikahan dan mungkin bisa lama urusannya adalah urusan yang dibawa, dan membereskan itu semua. Jadi benar-benar membereskan dan setelah itu baru mereka bisa membangun kembali relasi mereka berdua. Jadi sekali lagi, makin banyak masalah yang kita bawa dari masa lampau berarti makin banyak waktu yang dibutuhkan untuk membereskan masalah itu dulu, setelah itu baru mereka berkesempatan membangun relasi mereka itu sendiri.

GS : Tapi itu sebenarnya bisa diketahui ketika mereka itu akan menikah. Dalam masa pacaran, masa mereka berbicara mereka tahu, dari pada mereka masing-masing membawa segudang masalah dan itu membutuhkan waktu yang lama sekali, jadi tidak harus dipaksakan.

DL : Atau mungkin masih ada yang disembunyikan?

PG : Ada yang memang menyembunyikan secara sengaja, tapi cukup banyak yang tidak menyembunyikannya dengan sengaja, dan saya juga mengakui adakalanya memang sulit melihat hal-hal itu. Jadi saya harus akui dalam tugas saya membimbing pasangan pranikah dan sebagainya, masih kadang-kadang saya menemui kejutan, artinya ada pasangan-pasangan yang saya bimbing yang saya sungguh-sungguh tidak melihat bahwa orang ini memunculkan masalah, tapi dalam anugerah Tuhan akhirnya mereka ada yang sudah disiapkan lewat bimbingan pranikah, namun sebelum menikah terjadi sesuatu yang muncul, waktu muncul baru kelihatan. Jadi sebelum dia melewati situasi tertentu masalahnya tidak keluar, saya berikan contoh misalnya seorang suami istri hubungan mereka relatif baik, sehat tidak ada apa-apa, dalam satu pertengkaran si istri itu mengatakan perkataan yang menyakiti hati si suami. Karena dia sedang marah maka dia keluarkan kata-kata seperti itu dan hanya sekali dia mengeluarkan kata-kata seperti itu. Misalnya dia berkata, "Dasar kamu suami tidak berguna" kebetulan si suami itu misalnya dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan caci maki, kritikan sehingga dari kecil ditanamkan, "kamu itu anak tidak berguna, tidak bisa apa-apa, bodoh dan sebagainya". Jadi dia bekerja sekeras mungkin untuk mengubah nasibnya dan dia anggap dia sudah berhasil, jadi ini sudah dianggap masa lalu yang sudah dikubur. Tiba-tiba waktu sedang bertengkar si istri mengeluarkan perkataan itu, bagi dia seolah-olah sebetulnya yang terjadi adalah dia panik sebab yang dikira dia sudah kubur dan orang tidak lagi mencium masalah itu ternyata muncul dan istrinya tahu. Dan benar-benar membuat dia tidak aman sebab ini sesuatu yang menakutkan dia, dia sangat membuat dia tidak nyaman dengan perlakuan orang tua yang sering meremehkan dan menghina dia. sekarang istrinya berkata begitu, dia tidak merasa aman lagi dengan istrinya sehingga satu perkataan itu bisa mengubah kehidupan mereka dan menjadikan si suami penuh dengan kepahitan dan dendam dan hanya ingin membalas. Jadi sekali lagi itu munculnya karena dalam situasi tertentu, kadangkala ada hal-hal yang muncul secara tak terduga tapi saya setuju dengan Pak Gunawan bahwa seyogianyalah sebelum menikah dua-dua benar-benar melihat dengan jelas. Tapi memang tidak selalu terjadi karena kadang-kadang memang membutuhkan situasi tertentu untuk memunculkannya. Yang kedua adalah kita harus menyadari bahwa waktu kita masih muda, kita cenderung menggampangkan, "Tidak apa-apa pasti bisa, ini bukan hal besar, jadi kita mencoba saja, kita bergumul bersama". Mungkin juga karena kita sudah terlanjur tertarik karena dia orang menarik dan sebagainya, jadi kita langsung melangkah masuk ke pernikahan. Akibatnya setelah menikah barulah nantinya kita melihat hal-hal seperti itu dan baru kita sadari, "Kenapa orang ini seperti ini" barulah kita berkata, "Saya tidak sanggup menyesuaikan diri". Jadi sekali lagi, kalau kita masuk ke dalam pernikahan membawa segudang masalah maka pastilah tahun-tahun pertama hanya harus mengurusi hal-hal yang seperti itu. Dan kalau orang itu juga tidak mau berubah dan tidak mau mengatakan, "Ini memang masalah saya", dan terus melemparkan kepada pasangan, "Kamulah yang tidak mengerti saya" padahal pasangannya sudah benar-benar bekerja keras mengerti dirinya, tapi dia tidak mau terima dan dia menyalahkan pasangannya, berarti makan waktu lama dan kadang-kadang malahan tidak terjadi perubahan apa-apa.

GS : Kalau sudah dalam hal itu, Pak Paul, apakah kebiasaan-kebiasaan kecil yang mereka lakukan itu tidak ada manfaatnya?

PG : Ada. Makanya keterbiasaan itu yang kita lihat misalnya dia mandi jam berapa, dia makan jam berapa, dia suka makan apa. Hal-hal kecil seperti itu kalau memang dihabiskan waktu bersama itu akan menolong dan mengikat, kalau tidak ada itu dan penyesuainya memang berat maka tinggal tunggu waktu akan bisa berantakan. Jadi pribadi yang dirundung masalah, mereka ini bertumbuh menjadi pribadi yang tidak dewasa dan ketidakdewasaan menghambat proses penyesuaian sebab ketidakdewasaan membuat kita sulit mendengar, sulit berubah dan tidak bisa mendengar itu hanya menyalahkan orang saja tidak mau berubah. Ketidakdewasaan biasanya juga dikaitkan dengan besarnya kebutuhan emosional yang perlu dipenuhi dan tidak selalu cukup dan terus ingin dilayani, ini juga mengganggu proses penyesuaian. Jadi singkat kata, ada sejumlah faktor lain yang berperan dalam proses penyesuaian bukan hanya menghabiskan waktu bersama, namun sekali lagi untuk menyelesaikannya perlu waktu, untuk menciptakan penyesuaian juga tetap perlu waktu.

GS : Kalau melihat hal ini, sebenarnya kebersamaan ini tidak hanya ditentukan oleh tempat. Jadi sekalipun mereka berjauhan kalau mereka tetap terbiasa untuk bersama-sama ini akan dilakukan juga ketika mereka berjauhan.

PG : Betul. Jadi hal-hal yang memang biasa dilakukan seyogianya tetap dilakukan sehingga mereka tetap memiliki relasi yang baik. Jadi memang kadang-kadang itu terjadi, karena adakalanya pekerjaan tidak ada, mereka harus berpindah atau berpisah kota tapi sebaiknya itu tetap dilakukan untuk sementara saja dan sedapatnya nanti kalau ada pekerjaan yang sama, maka bisa kembali lagi ke kota yang sama.

GS : Jadi faktor penyesuaian ini dibutuhkan kedua belah pihak itu bisa menyesuaikan dirinya, kalau satu sisi juga kurang memberikan hasil yang positif, Pak Paul.

PG : Susah sekali sebab yang satu berubah, yang satu tidak berubah maka lama-lama yang berubah akan lelah dan merasa, "Kenapa dari dulu saya saja yang harus bekerja dan menyesuaikan", kalau begini-begini terus akhirnya tidak ada lagi perubahan.

GS : Dan faktor orang-orang yang ada di sekitar mereka di dalam satu rumah akan sangat besar pengaruhnya di dalam mereka menjalin kebersamaan, maksudnya ketika dulu mereka tidak punya anak mereka bisa bersama-sama bicara dengan baik, ketika anak lahir istri mencurahkan waktunya sebagian besar untuk anaknya sehingga suami itu merasa tersisihkan, nanti setelah anak ini sudah pergi dan meninggalkan mereka berdua, maka masalah ini pulih lagi.

PG : Bisa, sebab hidup kadang-kadang tidak selalu mulus ideal, kadang-kadang ada hambatan tertentu, jadi tidak bisa tercipta dan nanti bisa lagi kembali semua itu.

GS : Yang penting ada suatu dasar atau landasan kebersamaan yang kuat, dalam hal ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 3:27-28 firman Tuhan berkata "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: 'Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,' sedangkan yang diminta ada padamu". Jadi firman Tuhan meminta kita untuk memberikan kepada orang yang memang berhak menerima kebaikan, kita juga perlu memberikan kepada pasangan kita hal yang memang perlu yaitu waktu. Jadi kalau kita sebagai pasangan nikah tidak bisa memberikan itu maka akan repot. Jadi berikanlah dan jangan berkata kepada pasangan kita, "Pergilah, besok baru kuberi". Tidak bisa seperti itu jadi sedapatnya kita berikan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Waktu Bersama Pasangan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



95. Mengisi Waktu Bersama


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T327B (File MP3 T327B)


Abstrak:

Hal terpenting dalam mengisi waktu bersama adalah (a) SIKAP YANG SEHAT dan (b) KOMUNIKASI YANG TERBUKA DENGAN PASANGAN. sebagai contoh, misalnya kita baru saja kehilangan pekerjaan. Sudah tentu kita akan kecewa dan mungkin marah. Nah, pada saat itu sebetulnya kita tengah berhadapan dengan pilihan. Kita bisa memilih untuk mengumbar kemarahan serta menyalahkan istri karena ia "kurang mendukung kita" atau kita bisa memilih untuk pulang dan mencurahkan isi hati yang galau kepada istri. Pembahasan ini menjelaskan hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menghabiskan waktu bersama.


Ringkasan:

Berikut akan dijelaskan hal apa saja yang mesti diperhatikan dalam menghabiskan waktu bersama. Untuk memudahkan saya akan memberi ilustrasi membangun rumah. Rumah yang telah jadi tampak bersih dan indah, namun sesungguhnya di balik dinding yang bersih dan indah terdapat semen dan kayu yang kotor. Relasi tidak dibangun di atas interaksi yang teratur dan terencana. Relasi dibangun di atas relasi yang berkembang secara alamiah.

Secara alamiah dalam hidup kita mengalami kekecewaan, kemenangan, kekalahan, dan pelbagai situasi lainnya. Terpenting dalam menghadapi semua peristiwa yang mengunjungi hidup adalah (a) SIKAP YANG SEHAT dan (b) KOMUNIKASI YANG TERBUKA DENGAN PASANGAN. Coba saya jelaskan dengan sebuah contoh. Misalkan kita baru saja kehilangan pekerjaan. Sudah tentu kita akan kecewa dan mungkin marah. Nah, pada saat itu sebetulnya kita tengah berhadapan dengan pilihan. Kita bisa memilih untuk mengumbar kemarahan serta menyalahkan istri karena ia "kurang mendukung kita" atau kita bisa memilih untuk pulang dan mencurahkan isi hati yang galau kepada istri.

Sewaktu menceritakannya kita pun diperhadapkan dengan beberapa pilihan, misalnya pilihan untuk melihat andil yang membuat kita kehilangan pekerjaan atau pilihan lain adalah kita menyalahkan perusahaan. Singkat kata, lewat peristiwa kehilangan pekerjaan itu kita diberi kesempatan untuk memunculkan diri yang terbaik—yakni menyikapinya dengan sehat—dan membagi derita dengan pasangan secara terbuka. Atau, sebaliknya, kita menghadirkan diri yang terburuk—mengumbar kemarahan dan menyalahkan semua orang kecuali diri sendiri.

Makin sering kita memilih untuk menyikapi suatu peristiwa secara sehat dan makin terbuka kita untuk mengkomunikasikannya dengan pasangan, makin bertumbuh relasi pernikahan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya FAKTOR YANG MENGISI DAN MENUMBUHKAN RELASI LEWAT WAKTU BERSAMA ADALAH DIRI KITA SENDIRI. Bila kita mengisinya dengan diri yang buruk, hasilnya akan buruk. Sebaliknya, jika kita mengisinya dengan diri yang baik, maka hasilnya pun akan baik.

Kita tahu bahwa kita tidak sempurna dan tidak selalu berhasil menyikapi suatu peristiwa secara sehat. Kita pun tidak senantiasa sanggup berbagi kisah dengan pasangan secara terbuka dan sehat. Sudah tentu semua ini akan menjadi bagian dari berbagi waktu bersama dengan pasangan. Namun, MAKIN BESAR DAN BANYAK PORSI BERBAGI DIRI YANG SEHAT, MAKA MAKIN POSITIF PERKEMBANGAN RELASI ITU PULA.

Nah, berdasarkan pemahaman ini, dapat pula disimpulkan bahwa satu hal yang sedapatnya JANGAN sampai dilakukan dalam menghabiskan waktu bersama pasangan adalah BERBUAT SEKEHENDAK HATI. Jangan sampai kita berkata, "Ah, saya bebas berbuat apa saja sebab bukankah memang seharusnyalah saya menjadi diri saya apa adanya?" Memang benar bahwa kita mesti bersikap otentik dan memang benar bahwa kita tidak selalu mampu untuk menyikapi segalanya secara positif namun sedapatnya, berusahalah sekeras mungkin untuk memunculkan diri yang terbaik. Kendalikan kemarahan, ketika marah. Kendalikan frusrasi dan jangan sampai merusak hidup orang. Kendalikan kesedihan sehingga tidak terus berlarut. Jagalah hati sehingga tidak jatuh hati sembarangan. Singkat kata, JADILAH DIRI SENDIRI NAMUN BERIKANLAH DIRI YANG TERBAIK. Jangan berbuat sekehendak hati dan bersikap semena-mena. Materi yang sehat akan membuat waktu bersama sehat pula.

Firman Tuhan? "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran. Dan buah apakah yang kamu petik daripadanya? Semuanya itu membuat kamu merasa malu sekarang karena kesudahan semuanya itu adalah kematian. Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa, dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu memperoleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya adalah hidup yang kekal" ( Roma 6:20-21)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengisi Waktu Bersama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, problem yang cukup sering dihadapi oleh pasangan adalah bukan hanya mereka bersama-sama, tapi apa yang harus mereka kerjakan ketika mereka bersama-sama. Jadi katakan kedua-duanya punya waktu dan punya tekad untuk bersama-sama tapi mereka punya problem yang lain yaitu mau apa kita ini? Ada yang hanya diam-diam saja atau punya kesibukan masing-masing dan itu tidak membangun kehidupan pernikahan mereka.

PG : Ini point yang bagus sebab pada kenyataannya itu yang sering terjadi bahwa setelah kita menikah, sudah merasa nyaman dengan satu sama lain akhirnya suami di mana, istri di mana, mungkin satu rumah tapi yang satu menonton televisi dari jam enam sampai jam dua belas malam, yang satu mengurus anak-anak, akhirnya juga tidak ada komunikasi sama sekali. Itu sebabnya banyak pasangan nikah setelah menikah beberapa waktu lamanya, relasi mereka sebetulnya sudah berhenti dan tidak lagi bertumbuh. Itu sebabnya muncul masalah-masalah yang lain, karena sekali lagi relasi harus dibangun lewat membagi waktu bersama-sama dan mengisinya dengan hal yang positif, kalau tidak ada itu akhirnya relasi itu mudah sekali dirundung oleh masalah. Belum lagi zaman sekarang ada begitu banyak kasus perzinahan karena si suami atau istri tertarik dengan orang lain yang bisa mengisi kebutuhan mereka. Jadi benar-benar hal ini harus diperhatikan, bahwa relasi itu tidak bertumbuh dengan sendirinya, terlalu banyak di antara kita yang sudah menikah beranggapan bahwa kalau sudah menikah relasi itu akan bertumbuh dengan sendirinya, tidak seperti itu, tapi harus dipupuk, sama seperti kita harus memupuk tanaman agar bertumbuh dengan sehat.

GS : Pada kesempatan yang lalu kita membicarakan tentang kualitas dan kuantitas dari kebersamaan itu. Jadi secara kualitas mungkin mereka banyak waktu bersama-sama bahkan berdua bisa pergi. Tapi setelah pulang dari bepergian mereka tidak melihat ada sesuatu yang membuat mereka lebih akrab, Pak Paul.

PG : Betul.

DL : Jadi hal apa yang penting dan harus diperhatikan dalam mengisi waktu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu banyak hal yang bisa kita lakukan bersama. Jadi saya akan memberikan prinsipnya saja yaitu dua hal. Yang pertama adalah sikap yang sehat dan yang kedua adalah komunikasi yang terbuka dengan pasangan. Coba saya berikan sebuah ilustrasi, secara alamiah dalam hidup kita akan mengalami kekecewaan, akan mengalami kemenangan tapi juga akan mengalami kekalahan. Jadi inilah hidup dan hidup tidak hanya terdiri dari satu warna, tapi banyak warna. Jadi dengan kata lain, yang terpenting adalah bagaimanakah kita menyikapi semua yang nanti akan kita hadapi setelah kita menikah. Misalnya kita baru saja kehilangan pekerjaan, kita diberhentikan, sudah tentu reaksi pertama adalah kita kecewa dan mungkin juga kita marah dan pada saat itu sebetulnya kita tengah berhadapan dengan pilihan, kita bisa memilih untuk mengumbar kemarahan serta menyalahkan istri, setelah pulang ke rumah kita marah-marah kepada istri, kita kemudian katakan, "Dia tidak mendukung kita", itu pilihan yang pertama. Atau pilihan yang kedua, kita bisa memilih untuk pulang dan mencurahkan isi hati yang galau pada istri, kita ceritakan, "Saya diberhentikan, saya rasanya terpukul sekali, mereka kenapa bisa seperti ini, mereka tidak melihat apa yang telah saya sumbangsihkan". Jadi kita ceritakan, dan sewaktu kita menceritakannya pun sebetulnya kita tengah diperhadapkan dengan beberapa pilihan juga, misalnya pilihan untuk melihat andil yang membuat kita kehilangan pekerjaan atau pilihan yang lain adalah kita 100% menyalahkan perusahaan kita dan kita tidak mau melihat diri kita. Singkat kata, lewat peristiwa kehilangan pekerjaan itu kita diberikan kesempatan untuk memunculkan diri yang terbaik yaitu menyikapinya dengan sehat dan membagi derita kita dengan pasangan secara terbuka, atau sebaliknya yaitu kita menghadirkan diri yang terburuk yaitu dengan cara mengumbar kemarahan serta menyalahkan semua orang di muka bumi ini. Di dalam kita menghabiskan waktu bersama dengan pasangan, sikap seperti apa yang kita berikan dan kita tampilkan? Jadi diri seperti apa yang nanti kita berikan kepada pasangan kita? Itu yang nanti berperan sangat besar menentukan relasi kita. Jadi waktu kita berbicara tentang mengisi waktu dengan cara apa? Yang saya mau katakan adalah kita harus mengisi waktu memberikan sikap-sikap yang sehat waktu kita menghadapi hidup ini, itu yang nanti akan bisa membangun sebuah sebuah relasi.

GS : Biasanya kalau ada suatu permasalahan yang dihadapi oleh kita atau pasangan kita, itu lebih mudah. Kita punya alasan, kita punya suatu objek untuk kita bicarakan. Tapi kalau hal-hal itu terjadi secara rutin, malahan lebih sulit menemukan sesuatu yaitu pembicaraan, tindakan atau apa pun yang bisa menjadi suatu jalan untuk kita dekat dengan pasangan kita, Pak Paul.

PG : Jadi sudah tentu kita senang bahwa hal-hal yang berat itu tidak terjadi sering-sering, kalau terjadi sering-sering maka itu juga berat bagi kita. Sudah tentu hidup pada umumnya akan biasa atau rutin-rutin saja, yang saya maksud adalah waktu peristiwa itu muncul kita memberikan sikap yang baik. Memang penderitaan itu tidak harus seperti kita kehilangan pekerjaan, yang tadi saya sebut yaitu misalkan tentang kemenangan, kita melakukan sesuatu dan berhasil kemudian kita bagikan kepada pasangan, kita ceritakan. Atau kesedihan, kita tidak lepas dari kesedihan dan tidak harus kesedihan yang berat atau yang besar-besar dan mungkin saja yang kecil-kecil, misalkan kita mencoba bicara dengan anak dan anak salah sangka dan malahan marah kepada kita kemudian kita sangat sedih. Bagaimana kita menyikapi waktu hal itu terjadi? Apakah kita akan marah-marah, atau kita berkata, "Tidak mau bertemu lagi dengan kamu, kamu jangan lagi tinggal di sini" bagaimana kita menyikapinya? Hal-hal yang positif yang kalau kita lakukan, baik istri atau pasangan melihat, maka itu yang akan mengisi waktu dengan positif. Di luar hal-hal itu sudah tentu hal-hal rutin yang biasa kita lakukan, tetap harus kita lakukan dengan kesadaran bahwa hal-hal kecil berguna meskipun tidak harus memberikan dampak yang besar, tapi tetap harus berguna, karena setidak-tidaknya hal-hal kecil yang kita lakukan akan tetap merekatkan kita, misalnya kita duduk makan bersama, bicara dan sebagainya. Belum lama ini saya di sebuah restoran menunggu teman belum datang untuk makan bersama, saya melihat pasangan nikah umurnya mungkin sudah berumur 60 tahun ke atas, si suami baca koran dan korannya di depan muka menghalangi dia dengan si istri dan si istri menengok ke kanan dan ke kiri, terus seperti itu dan sampai lama sekali dan si suami membaca terus korannya. Tapi saya perhatikan sudah agak lama dan makanannya akhirnya datang, barulah suaminya menaruh korannya dan makan, istrinya bicara dan dijawab perlahan-perlahan. Meskipun kita akan berkata, "Apa gunanya makan bersama kalau yang satu baca koran dan satunya didiamkan begitu saja" tapi tetap sedikit banyak akan ada dampaknya yaitu mereka bersama-sama meskipun akhirnya bicaranya tidak begitu banyak, tapi tetap ada pembicaraan. Jadi hal-hal kecil seperti itu berguna, saya berikan contoh supaya jelas kegunaannya seperti apa, saya berikan contoh yang kebalikannya yaitu bayangkan kalau misalnya kita sedang makan bersama dengan pasangan kita, kemudian ribut soal misalnya, "Kamu masak seperti ini saja, dari dulu sampai sekarang" menjadi ribut. Hal yang tadinya begitu enak bisa makan bersama-sama menjadi tidak enak, jadi sesuatu yang rutin kalau dilakukan dengan baik maka akan berdampak besar, kalau tidak dilakukan dengan baik akan menimbulkan pertengkaran itu juga berdampak besar. Jadi kita anggap sepertinya remeh, hal-hal kecil seperti kita pergi jalan bersama, sebetulnya itu adalah hal-hal besar sebab tidak semua pasangan nikah bisa melakukan hal itu dengan mulus, cukup banyak dan bahkan ada yang tidak mau lagi makan sama-sama atau bahkan ada yang tidak mau lagi menjawab. Jadi hal-hal kecil seperti itu bagi sebagian pasangan menjadi amunisi untuk bertengkar. Hal kecil misalnya si suami bertanya, "Kenapa makanan belum selesai?" si istri mungkin bisa menjawab dengan perkataan yang kasar, "Kamu tidak tahu kalau saya sibuk, kamu tidak bisa melihat dan kenapa kamu harus bertanya" menjadi ribut besar. Sekali lagi hal-hal kecil yang tidak bermakna ternyata bermakna kalau tidak menimbulkan pertengkaran atau konflik.

GS : Dalam hal ini apa yang kita bicarakan beberapa waktu yang lalu tentang kebiasaan-kebiasaan kecil yang membuat kita bisa menerima sikap pasangan, seperti yang Pak Paul katakan walaupun suaminya baca koran, karena dia sudah terbiasa maka dia bisa menerima dan tidak menjadi masalah.

PG : Betul.

GS : Tapi untuk orang yang tidak terbiasa dengan hal itu bisa menjadi masalah?

PG : Betul. Rupanya dia sudah terbiasa dan dia sudah tahu suaminya seperti itu maka ketika makanan datang maka korannya ditaruh dan si istri berbicara dengan si suami dan si suaminya juga mulai menjawab. Jadi mungkin si istri juga sudah bisa menerima dan tidak masalah. Justru karena tidak ada pertengkaran maka hal yang sepele itu sebetulnya menjadi sebuah perekat di antara mereka, tapi kalau misalnya menjadi pertengkaran maka akan tambah buyar dan tidak mau lagi bersama-sama.

DL : Jadi hal apa yang lebih baik jangan dilakukan pada waktu kita mengisi kebersamaan dengan pasangan kita itu, Pak Paul?

PG : Kita harus sadar bahwa waktu kita bersama dengan pasangan, hati-hati dengan yang namanya berbuat sekehendak hati dan jangan sampai kita ingin menjadi diri sendiri dan apa adanya, mulailah kita berbuat sekehendak hati, berbicara seenaknya, menyuruh seenaknya, tidak ada lagi rasa hormat, jadi hati-hati dengan tindakan-tindakan yang semaunya seperti itu. Harus ada batas dan pagar sehingga kita bisa tetap menghormati satu sama lain. Saya tadi sudah menyebutkan, bahwa kita perlu memunyai atau memberikan sikap yang sehat sehingga itu nanti akan mengisi relasi kita dengan lebih baik. Yang kedua, yang saya juga sebut adalah keterbukaan dengan pasangan, kita harus sering-sering bicara dan cerita dengan pasangan, kita bisa cerita tentang hal-hal yang kita anggap penting tapi juga hal-hal yang membangun. Jadi ceritakanlah karena makin banyak terjadi komunikasi dengan pasangan, maka nanti akan semakin memerkaya, kita harus membedakan diri kita dengan pasangan. Ada orang yang bisa dengan cepat kalau ada apa-apa langsung cerita, seperti istri saya kalau ada apa-apa dia langsung cerita, sedangkan kalau saya tidak seperti itu, kalau saya mengalami sesuatu maka saya perlu waktu beberapa jam untuk bisa mengutarakannya, sebab saya selalu memikirkan apakah nanti ini berdampak buruk atau baik, apakah perlu atau tidak perlu. Jadi biasanya saya harus bicara, tapi setelah saya putuskan saya akan bicara maka saya akan tunggu sampai waktunya tiba dan setelah saya merasa siap maka barulah saya bicara. Itu juga tidak apa-apa, jadi tidak harus saya bisa bicara dengan seketika waktu saya merasakan sesuatu, tapi istri saya berbeda dan dia mengerti hal itu. Kadang-kadang dia bisa melihat dan bertanya, "Ada apa Paul?" saya bilang "Nanti akan saya ceritakan". Dia menerima hal itu dan tidak apa-apa. Jadi yang penting bukan waktunya tapi yang penting adalah pada akhirnya kita bisa bicara, komunikasi yang terbuka benar-benar penting untuk kita mengisi waktu, di mana kita mulai menahan komunikasi dan tidak lagi waktu bersama.

GS : Tapi kalau berdasarkan pengalaman, jadi beberapa kali kita bicara, tanggapannya selalu negatif atau menyakitkan maka orang akan cenderung tidak bicara, Pak Paul.

PG : Memang ini ada macam-macam dan sudah tentu yang buruk adalah orang itu sengaja menyerang kita kembali. Kenapa orang menyerang kita kembali? Banyak sekali alasannya, misalnya dia merasa diserang oleh kita, jadi ini kesempatan menyerang balik, ini terjadi pertengkaran. Tapi ada orang yang seperti ini yaitu ada orang yang cenderung sinis, mengatakan hal-hal yang akhirnya menyakiti hati orang, negatif. Ada orang yang tidak bisa bergembira bersama orang lain, tidak bisa bersukacita waktu orang bersukacita. Selalu maunya negatif, selalu memunyai praduga bahwa ada yang tidak benar dan kalau misalnya seseorang menghasilkan sesuatu langsung yang disoroti adalah yang dia tidak bisa hasilkan, yang dia gagal lakukan, jadi selalu yang dia munculkan adalah yang buruk-buruk. Dan ada orang yang seperti itu, kenapa ada orang seperti itu besar kemungkinan itulah yang diterimanya waktu dulu masih kecil, jadi seringnya dikatakan kekurangan-kekurangannya sehingga akhirnya itulah yang dia tuntut dan soroti dari orang lain, akhirnya kalau berbicara dengan dia sangat tidak enak. Apa yang harus kita lakukan kalau itu yang terjadi maka kita harus mengkomunikasikan kepada dia, kita harus terus terang kepada dia, mungkin kamu tadi tidak bermaksud apa-apa bicara seperti itu tapi coba lain kali gunakan kata-kata yang lain, jangan sampai bicaranya terlalu tajam, itu menyakiti hati. Perlahan-perlahan diajarkan seperti itu maka ada orang yang menyadari kalau itulah masalahnya maka dia berubah. Tapi kalau tidak mau berubah dan tetap seperti itu, maka dapat dipastikan akhirnya tidak terjadi lagi komunikasi, karena untuk apa bicara kalau ujung-ujungnya sakit hati.

GS : Dalam mengisi waktu bersama ada hal-hal tertentu atau waktu tertentu yang memang perlu direncanakan, ada juga yang terjadi spontan seperti yang terjadi sehari-hari, tapi saya melihat kebersamaan yang direncanakan punya makna lebih besar di dalam hidup pernikahan. Misalnya kita merencanakan mau bepergian atau mau menyediakan waktu bersama nanti sore jam sekian, artinya jangan terima telepon atau jangan SMS waktu itu, kita bicara berdua.

PG : Bagus sekali, Pak Gunawan. Betul sekali kita itu harus melakukan semuanya dengan kreatif. Jadi hal-hal yang spontan itu yang kita lakukan, tapi merencanakan pun juga harus dilakukan, misalnya merencanakan untuk pergi berlibur, perencanaan yang baik lebih berkemungkinan menghasilkan waktu kebersamaan yang lebih baik. Kalau tidak direncanakan dengan baik, maka berlibur, bertamasya akan berantakan. Jadi perencanaan itu penting. Sebelum saya pergi meninggalkan keluarga maka saya memutuskan untuk pergi menonton berdua, meskipun hanya singkat 2 jam sudah pulang tapi kami senang dan saya berkata, "Saya senang bisa pergi berdua" istri saya pun juga berkata, kalau dia senang. Itu adalah waktu yang memang direncanakan karena kami sudah tahu kalau kami akan berpisah untuk waktu yang lama, jadi sebelum kami berpisah maka kami pergi berdua dulu. Tapi hal-hal yang spontan dan bersifat seketika juga perlu, misalnya dulu saya senang mendengar lagu yang enak, karena saya senang dengan lagu-lagu seperti "country music" atau apa, saya suka mengajak istri saya, "Ayo dansa di dalam rumah kami", dulu dia tidak mau dengan alasan malu, saya bilang, "Tidak apa-apa, saya juga tidak bisa dansa asal gerak-gerak saja" dan lama-lama dia terbiasa jadi kalau kami mendengar lagu yang enak, kadang-kadang saya mengajak dia dansa dan kadang dia yang menarik saya dan mengajak saya dansa. Hal-hal yang spontan juga penting tapi intinya perlu kedua-duanya yaitu hal-hal yang direncanakan dan juga hal yang spontan.

GS : Pak Paul, tadi menyinggung tentang menjadi diri sendiri, di tengah-tengah kita mau mendekatkan diri. Ini seperti apa? Jadi ketika kita mau menjadi diri kita sendiri tanpa merugikan pasangan kita, itu seperti apa?

PG : Jadi ada orang yang susah yaitu dia mau hidup seperti apa yang biasa dia lakukan, dia tidak peduli mau bangun jam berapa, dia mau pulang jam berapa, kalau dia ingin berbicara kasar dia tidak peduli, pasangannya berkata, "Jangan bicara kasar" dia tidak peduli. Hal seperti itulah yang membunuh kebersamaan, sehingga akhirnya pasangan tidak mau lagi menghabiskan waktu bersama dengan dia sebab ujung-ujungnya dia disakiti dan dikecewakan lagi. Atau misalnya pergi dengan anak, sudah tahu kalau anak-anak akan lari ke sana dan akan berbuat hal-hal yang menjengkelkan, tapi itu adalah bagian dari anak-anak dan ada orang yang tidak bisa terima, anak-anaknya harus mengikuti petunjuknya dengan sempurna, begitu anak melakukan hal yang tidak diharapkannya kemudian dia marah. Akhirnya waktu kebersamaan hilang, sehingga akhirnya suasana tidak enak. Kalau saja dia bisa lebih santai, "Anak-anak memang seperti ini" itu menjadi lebih enak, jadi kita harus ingat, kita tidak bisa menjadi diri kita semaunya, sekehendak hati. Kuncinya adalah apa yang harus kita lakukan untuk mengisi waktu sehingga waktu itu sungguh-sungguh bermakna, yaitu kita harus mengisinya dengan diri kita yang terbaik, benar-benar menjadi diri yang terbaik dan jangan menjadi diri yang semau kita, berikan kepada pasangan diri yang terbaik.

GS : Dan itu menuntut pengorbanan, Pak Paul, entah itu perasaan atau waktu kita?

PG : Betul. Saya berikan contoh misalnya kita tahu kalau kita tadi bicara menyakiti hatinya, kita akhirnya datang kepada dia dan berkata, "Maaf ya, saya salah" perkataan maaf benar-benar mengisi waktu dengan begitu baik karena di depannya atau setelah itu mereka akan langsung cair, hubungan mereka kembali hangat dan bisa kembali berbicara. Tapi bayangkan kebalikannya misalnya kebalikannya adalah kita tidak mau meminta maaf dan kita hanya diam saja, berarti selama mungkin 1 minggu, atau selama seharian tidak ada lagi komunikasi, masing-masing merasa jengkel jadi akhirnya waktu bersama itu tidak ada lagi yang kita isi, justru kita mengisi waktu bersama dengan kemarahan dan kepahitan kita. Maka kita harus menjadi diri yang terbaik dan jangan mengikuti diri yang buruk, tapi berikanlah diri yang terbaik kepada pasangan.

GS : Tapi kalau sudah menjadi pola di dalam kehidupan keluarga walaupun kita yang tidak terbiasa melihat merasa ini adalah suatu pola yang tidak betul, tapi ketika ditanya, "Itu suamimu tidak minta maaf?" dan dijawab, "Memang seperti itu, dia tidak mau minta maaf" baru nanti dia akan berbaik-baik sendiri, jadi diterima saja.

DL : Karena memang ada yang seperti itu dan tidak mau minta maaf, karena dia merasa bahwa dirinya tidak salah.

PG : Memang ada yang seperti itu. Yang penting adalah relasi dibangun di atas sejuta hal-hal kecil-kecil, misalnya banyak hal lain yang baik dan ini bisa mengimbangi kekurangannya sehingga meskipun si istri berkata, "Suami saya memang tidak pernah meminta maaf", tapi dia ingat ada sejuta hal lain tentang suaminya yang baik dan itu yang menyeimbangkan, relasi itu mulai goncang atau mulai menimbulkan masalah kalau seseorang itu mulai merasa bahwa pasangannya tidak ada yang baik, semuanya tentang dia hanya yang jelek-jelek saja, itu akan menggoncangkan. Jadi selama masih banyak hal yang baik, kebanyakan orang akan menerima. Kalau memang orangnya sehat pasti akan menerima tapi kalau tidak sehat biasanya tidak mau terima karena semua harus sesuai dengan keinginan dia.

GS : Kebersamaan menjadi kebutuhan seseorang dan ini kebutuhan emosional, kebutuhan emosional terus meningkat. Jadi kalau suatu saat mereka merasa "Apalagi yang harus kita lakukan supaya ini terus meningkat?" Bagaimana ini, Pak Paul?

PG : Meskipun nantinya kebutuhan itu meningkat tapi sebetulnya kemampuan kita untuk memenuhinya pun juga bertambah. Contoh misalnya pada waktu kita baru menikah, kita itu belum mengerti bagaimana memenuhi kebutuhan istri kita untuk disayangi, tapi karena kita terbiasa dan kita mengerti yang dia butuhkan apa maka kita juga lebih bisa mengisinya sehingga meskipun kebutuhan makin bergantung dan membesar, tapi sedikit banyak kita lebih mampu mengisinya dan akhirnya istri kita pun waktu menerima dari kita meskipun tidak tahu seperti apa, tapi dia cepat sekali untuk bisa dia gunakan dalam mengisi kebutuhannya sehingga dia kembali tenang. Jadi betul, kebutuhan bisa meningkat tapi kemampuan kita memenuhi juga biasanya makin hari makin baik.

GS : Itu karena dasarnya sudah cukup baik untuk bisa melanjutkan bangunan ini dengan kepingan demi kepingan lagi.

PG : Itu sebabnya kalau itu tidak terjadi di awal menikah, tadi sudah dikatakan kebutuhan meningkat, tapi tidak pernah ada usaha memenuhi dengan baik maka tinggal tunggu waktu berantakan, berantakan karena kebutuhan meningkat sedang yang satunya kebutuhan untuk memenuhinya makin tidak ada, akhirnya terjadilah ketimpangan yang sangat besar dan masalah muncul.

GS : Salah satu kebersamaan yang cukup bermutu adalah kebersamaan rohani ketika mereka sama-sama berdoa, bersama-sama membaca Alkitab. Dalam hal ini, dalam perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Roma 6:20-22, "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran. Dan buah apakah yang kamu petik dari padanya? Semuanya itu menyebabkan kamu merasa malu sekarang, karena kesudahan semuanya itu ialah kematian. Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal". Firman Tuhan di sini mengatakan kepada kita bahwa dulu kita memang hidup dalam dosa, jadi kita memang bebas dari kebenaran tapi sekarang kita telah dimerdekakan dari dosa dan telah menjadi hamba-hamba Allah maka kita telah memeroleh buah yang membawa kita kepada pengudusan. Kalau kita terapkan kepada pembahasan kita di sini adalah karena kita ini telah dibebaskan dari dosa, kita telah masuk ke dalam pengudusan dan kita telah menjadi diri yang lebih baik dan inilah yang harus kita berikan kepada pasangan kita, karena diri yang lebih baik akan mengisi waktu sehingga membuat waktu bersama itu sesuatu yang baik, sesuatu yang positif dan menumbuhkan kita. Jangan sampai kita sudah dibersihkan Tuhan lewat penebusan-Nya di kayu salib, tetap hidup di dalam dosa dan hidup yang berdosa itu yang kita berikan kepada pasangan kita, itu salah.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengisi Waktu Bersama". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



96. Kendala Dalam Menghabiskan Waktu Bersama


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T328A (File MP3 T328A)


Abstrak:

Ada pelbagai kendala yang kerap merintangi suami dan istri berbagi waktu bersama. Sudah tentu pada akhirnya semua terpulang pada berapa besarnya niat untuk membangun relasi itu sendiri. Jika memang kita tidak memunyai niat untuk memperkuat relasi nikah, maka sudah tentu kita tidak akan memprioritaskan berbagi waktu bersama. Itu sebabnya kita mesti memiliki niat terlebih dahulu sebelum menetapkan prioritas. Ada beberapa kendala dalam menghabiskan waktu bersama antara lain : kendala perbedaan, kendala kesibukan


Ringkasan:

Ada pelbagai kendala yang kerap merintangi suami dan istri berbagi waktu bersama. Sudah tentu pada akhirnya semua terpulang pada berapa besarnya niat untuk membangun relasi itu sendiri. Jika memang kita tidak memunyai niat untuk memperkuat relasi nikah, maka sudah tentu kita tidak akan memprioritaskan berbagi waktu bersama. Itu sebabnya kita mesti memiliki niat terlebih dahulu sebelum menetapkan prioritas.

Nah, berikut akan dibahas beberapa kendala yang acap menghambat proses berbagi waktu bersama dan cara mengatasinya.

1.       Kendala Perbedaan

Pada umumnya pria dan wanita menghabiskan waktu dengan cara yang berbeda dan perbedaan inilah yang kadang menimbulkan ketegangan dalam pernikahan.

SEBAGIAN BESAR WANITA MENGINGINKAN KONTAK VERBAL DALAM MENGHABISKAN WAKTU BERSAMA. Bagi kebanyakan wanita, percakapan bertujuan tunggal yaitu melahirkan percakapan yang baru, sehingga percakapan dapat berlanjut.

Sebaliknya dengan pria. PADA UMUMNYA PRIA TIDAK BEGITU TERTARIK UNTUK MEMPERPANJANG PERCAKAPAN HANYA UNTUK KEPENTINGAN BERCAKAP-CAKAP, TANPA TUJUAN LAINNYA. Jadi, sewaktu bercakap, biasanya pria akan berusaha mengarahkan percakapannya supaya tiba pada tujuan kemudian mengakhirinya.

Perbedaan ini sudah tentu menuntut baik suami maupun istri untuk menyesuaikan diri. Kita bisa menyesuaikan diri dengan pelbagai cara. Sebagai contoh, adakalanya sebagai suami kita membiarkan percakapan untuk terus mengalir kendati sebenarnya buat kita, percakapan itu sudah mencapai tujuan. Sebaliknya, kadang istri pun mesti bersedia memotong pendek percakapan walau belum puas.

Jadi, walaupun ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita dalam menghabiskan waktu bersama, kita dapat menjembataninya asalkan kita bersedia untuk menahan diri dan saling menyesuaikan.

2.       Kendala Kesibukan

Selain dari perbedaan mendasar, satu hal lain yang kerap menjadi kendala bagi suami dan istri dalam menghabiskan waktu bersama adalah, KESIBUKAN DAN INTERES YANG MENYITA PERHATIAN SUAMI DAN ISTRI. Mungkin istri harus memberi banyak waktu dan perhatian kepada anak-anak sedangkan suami harus memberi perhatian dan waktu untuk pekerjaannya. Mungkin baik suami dan istri memunyai tugas lain seperti pelayanan di gereja. Atau, mungkin ada yang harus merawat orangtua yang sakit. Belum lagi bila ada hobi yang tengah digeluti.

Pada akhirnya semua akan menyita waktu sehingga waktu bersama akan berkurang. Sampai titik tertentu mungkin kita tidak akan merasakan dampak negatif dari kurangnya waktu bersama namun secara perlahan sebetulnya semua ini akan mulai menggerogoti tiang relasi.

WAKTU BERSAMA YANG MAKIN BERKURANG MEMBUAT KITA MENJADI KURANG SABAR. Kita kurang sabar dengan kelemahan pasangan, baik itu menyangkut sifatnya yang kurang baik ataupun kesanggupannya yang berada di bawah kemampuan kita. Singkat kata kita menjadi kurang sabar karena KITA MAKIN TIDAK RELA MEMBERI WAKTU EKSTRA KEPADANYA.

Betul! Makin berkurang waktu bersama, makin berkurang kesabaran dan makin tidak rela kita memberinya waktu. Pada akhirnya relasi nikah menjadi seperti relasi kerja—bicara seperlunya dan bila bicara, kita berbicara dengan bahasa instruksi, bukan kasih. Pada titik ini relasi mudah retak dan pertengkaran akan mudah tersulut. Ibarat dahan, makin hari makin mengering.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kendala Dalam Mengisi Waktu Bersama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita pernah membicarakan bahwa kesempatan bersama sangat penting antara suami dan istri, baik secara kwantitas dan secara kwalitas tapi niat baik suami istri yang mau bersama-sama melakukan sesuatu, melakukan aktifitasnya bahkan beribadah bersama —sama ternyata tidak mudah, ada banyak rintangan sehingga akhirnya mereka memutuskan dengan pola hidup yang lama yaitu sendiri-sendiri, kalau tidak bisa ketemu maka berjalan sendiri-sendiri. Tapi sebenarnya apakah memang begitu banyak faktor yang tidak bisa diatasi, Pak Paul?

PG : Sudah tentu yang terutama mesti memunyai niat, tadi Pak Gunawan sudah katakan hal itu. Namun setelah memunyai niat memang kita harus mulai memprioritaskan, didalam kita memprioritaskan berarti kita benar-benar mengedepankan betapa pentingnya mengisi waktu bersama, kalau kita sudah tidak lagi melihat hal ini sebagai hal yang penting maka akan terus terlupakan dan semakin hari semakin kita menjauh dari pasangan dan tidak bisa lagi mendekat. Jadi harus ada tekad yang kuat untuk bisa mengisi waktu bersama sebab kita berdua berkata bahwa ini adalah sesuatu yang sangat penting.

DL : Pak Paul, apakah ada perbedaan antara suami dan istri dalam mengisi waktu mereka, maksudnya apakah pada usia tertentu suami akan lebih berperan sedang pada usia tertentu istri lebih berperan?

PG : Begini, jadi memang betul yang Ibu tanyakan. Ternyata ada perbedaan, jadi perbedaan itu yang juga seringkali menjadi kendala didalam mengisi waktu bersama. Pada umumnya sebagian besar wanita menginginkan kontak verbal dalam menghabiskan atau mengisi waktu bersama. Jadi bagi kebanyakan wanita, percakapan bertujuan melahirkan percakapan yang baru. Maksudnya waktu sebuah topik mendekati titik akhir, maka wanita akan berusaha melahirkan topik yang baru sehingga percakapan bisa terus berlanjut, sebaliknya dengan pria pada umumnya pria tidak begitu tertarik untuk memperpanjang percakapan hanya untuk kepentingan bercakap-cakap tanpa ada tujuan lainnya. Jadi sewaktu bercakap biasanya pria akan berusaha mengarahkan percakapannya supaya tiba pada tujuan akhir, kemudian mengakhirinya. Jadi bagi kebanyakan pria hal yang tidak perlu dipercakapkan maka tidak perlu diperbincangkan lagi. Itu sebabnya begitu tujuan tercapai namun istri masih ingin berbicara maka suami biasanya makin gelisah dan dia tidak lagi melihat manfaat percakapan dan ingin segera mengakhirinya. Jadi perbedaan ini yang menuntut baik suami maupun istri untuk menyesuaikan diri dan kalau kita tidak bisa menyesuaikan diri maka pada akhirnya akan muncul masalah.

GS : Saya sebenarnya tidak masalah kalau istri saya menceritakan sesuatu, tetapi kadang-kadang yang pertama adalah diulang-ulang seolah-olah kita ini menjadi orang yang bodoh yang belum mengerti cerita itu, yang kedua dia menceritakan masalah itu dengan sangat detail, padahal saya sebagai suami mau mendengarkan langsung pada inti yang ingin dia ceritakan, dan tidak harus terlalu detail karena nanti kita menjadi tidak perhatian perkataan itu.

PG : Kenapa wanita ada kecenderungan kalau bercerita detail karena secara organik atau secara susunan syaraf di otak, wanita memang lebih diperlengkapi untuk melihat detail. Sedangkan pria lebih diperlengkapi untuk melihat yang jauh dan yang lebih besar atau makro. Jadi ada perbedaan di situ. Yang kedua adalah kenapa dalam hal ini istri Pak Gunawan mengulang hal-hal yang sudah dipercakapkan itu, sebetulnya tujuannya adalah agar Pak Gunawan memberi respon lagi sehingga percakapan itu tidak berhenti-berhenti. Jadi misalnya Pak Gunawan cepat memberikan respon sehingga pembicaraan bisa jalan terus, mungkin pembicaraan itu tidak diulang, tapi berhubung Pak Gunawan dan kebanyakan pria kalau sudah mengerti dan jelas maka sudah cukup dan tidak perlu diberikan komentar. Jadi berhenti di situ. Tapi istri kita memang tidak bisa menerima hanya berhenti begitu saja. Jadi memang ada sebuah perbedaan yang hakiki, kadang-kadang saya mendengarkan istri saya berbicara di telepon dengan temannya, istri saya bisa berbicara panjang lebar dan saya juga bingung, "Untuk apa membicarakan begitu mendetail dan panjang lebar" tapi yang saya bingungi adalah di pihak sana teman wanitanya bisa lebih memperpanjang cerita dan memberi komentar lagi sehingga bisa bicara sampai panjang. Jadi itulah saya rasa perbedaan dalam hal mengisi waktu di antara kita dan wanita sehingga akhirnya terjadilah 'gap' yang satu merasa sudah cukup sudah dengar dan jelas, yang satu merasa bahwa percakapannya harus diteruskan. Jadi akhirnya dua-duanya harus belajar saling menyesuaikan diri.

GS : Kadang-kadang karena panjangnya pembicaraan maka kita kehilangan konsentrasi. Jadi pada saat kita kehilangan konsentrasi, dia justru melakukan feedback "Kamu mengerti atau tidak?" saya menjadi kelabakan untuk menjawabnya, karena jujur saja yang terakhir-terakhir kita tidak mendengarkan, lalu ceritanya diulang lagi karena dianggap kita tidak mengerti dan ini membosankan.

PG : Inilah perbedaannya dan kenapa Tuhan menciptakan kita berbeda, nanti di surga kita baru bisa tahu alasannya. Tapi memang ini perbedaan yang kakiki dan kebanyakan seperti ini. Jadi apa yang Pak Gunawan alami, saya juga alami. Jadi waktu istri saya cerita kalau saya sudah mengerti maka saya benar-benar sudah mengerti, tapi dia akan terus cerita dan kadang-kadang juga tanya saya "Bagaimana hari ini apa yang terjadi?" saya tidak bisa cerita apa yang terjadi karena bagi saya tidak ada sesuatu yang terjadi meskipun sebetulnya saya bertemu dengan orang, saya mengkonseling orang, tapi bagi saya itu adalah hal yang biasa terjadi dan hal yang biasa terjadi tidak perlu saya ceritakan, kalau yang luar biasa barulah saya ceritakan. Jadi memang ada perbedaan yang cukup hakiki di situ.

DL : Lalu apakah ada juga perbedaan dalam pernikahan, orang yang baru menikah dan orang yang sudah puluhan tahun menikah?

PG : Sudah tentu dan mudah-mudahan karena sudah lama menikah dan sudah lebih belajar untuk menyesuaikan diri maka seharusnya lebih ada toleransi. Jadi misalnya si istri karena menyadari suaminya tidak bisa memertahankan konsentrasi untuk waktu yang lama maka istrinya akhirnya belajar untuk lebih to the point, lebih bisa menerima dan jangan disambung-sambung lagi. Dan si suami karena sudah terbiasa maka dia mendengarkan istrinya bicara meskipun kadang-kadang konsentrasinya keluar masuk tapi tidak mengapa, yang penting adalah toleransi karena itulah yang dibutuhkan oleh si istri. Jadi inilah yang perlu dilakukan dan sudah tentu makin sering kita melakukan penyesuaian ini maka makin terbiasa, sehingga meskipun sedikit mengganggu atau menjengkelkan tapi tidak terlalu menjengkelkan karena kita sudah mengerti dan ini yang penting yaitu saling mengerti. Namun kalau dua orang ini tidak pernah belajar untuk menyesuaikan diri maka yang terjadi adalah tidak ada komunikasi, itu bahaya. Jadi waktu itu tidak bisa diisi dengan komunikasi sebab yang wanita akan berkata, "Buat apa saya bicara karena tidak akan di dengarkan" dan si laki-laki berkata, "Untuk apa saya dengarkan kalau tidak ada mutunya". Jadi berarti dua-duanya tidak ada lagi komunikasi maka penting dari awal pernikahan dua-dua belajar menyesuikan diri sehingga bisa berlanjut sampai dengan usia tua sehingga komunikasi tetap terjalin meskipun kadang-kadang yang satu kebanyakan berbicara dan yang satu berbicara terlalu sedikit.

GS : Memang pengalaman hidup bersama-sama, itu akan mewarnai kebersamaan, lama-lama istri juga tahu kalau kita mulai bosan. Dia biasanya menanyakan, "Kamu sudah lelah mendengarnya?" dan kita harus jujur kalau kita memang lelah tapi kita janjikan entah itu nanti atau kapan kita bersedia untuk mendengarkan pembicaraan yang lebih lanjut. Tapi kita ada komitmen untuk mau menyambung pembicaraan itu, daripada kita berpura-pura berbicara "Tidak apa-apa cerita saja terus" padahal kita tidak mau mendengar lagi.

PG : Jadi pada akhirnya karena kita terus mengusahakan adanya penyesuaian maka yang tercipta adalah toleransi. Jadi waktu istri melihat kita mulai jenuh maka dia mulai toleransi dan dia terima kalau kita mulai jenuh, waktu kita tidak mau mendengarkan tapi harus mendengarkan maka kita toleransi kalau istri kita mau bicara. Jadi hasil akhirnya adalah toleransi makin hari makin bertambah, dan saling pengertian juga semakin bertambah.

GS : Jadi pada awal pembicaraan ketika konsentrasi kita masih tinggi, itu adalah kesempatan dimana kita menanyakan atau menanggapi sesuatu yang diceritakan sehingga dia cukup tanggap lagi untuk menceritakan hal yang lainnya dan dia menyadari kalau kita mendengarkan apa yang dia ceritakan.

PG : Dan yang penting memang tidak setiap kali, maksudnya kalau setiap kali istri kita bicara dan kita tergesa-gesa berhenti dan kita jenuh, kalau seringnya begitu pasti membuat istri kita malas bicara dengan kita lagi. Jadi yang harusnya terjadi adalah kita lebih sering mendengarkan dan memberikan tanggapan untuk waktu yang cukup panjang. Kadang-kadang saya pun dengan istri saya, dia bicara di tempat tidur dan saya tanggapi, sampai satu titik saya sudah mengantuk sekali dan istri saya masih ingin bicara kemudian saya katakan, "Bisa tidak kita berhenti dulu dan nanti kita sambung lagi" itu kadang terjadi. Tapi karena setiap malam saya tidak seperti itu dan saya hanya bicara begitu kalau benar-benar saya mengantuk, itu tidak memutus tali komunikasi, tapi kalau setiap kali dia bicara dan saya katakan, "Maaf saya mengantuk" maka lama-lama dia tidak akan mau berbicara dengan kita lagi. Satu lagi yang saya lihat perlu kita angkat yaitu perbedaan dalam hal pria akan lebih dapat menjalin kontak verbal dan emosional sewaktu dia merasa fokus pembicaraannya bukanlah problem yang menyangkut dirinya. Maksudnya begitu suami mendengar atau mencium gelagat bahwa istri akan mengeluarkan keluhannya maka suami akan cepat menghindar atau berusaha menekan istri agar tidak jadi mengangkat masalah. Jadi singkat kata, cukup banyak suami yang beranggapan istri selalu mencari-cari masalah dan terlalu cepat bereaksi negatif. Pada umumnya pria menghendaki percakapan itu ringan alias tanpa beban emosional, problem boleh ada bisa dipecahkan tapi jangan ada beban emosional apalagi masalah. Sebaliknya bagi kebanyakan wanita kesempatan untuk mengeluarkan unek-unek merupakan salah satu kebutuhan pokok, jadi dia baru dapat berfungsi dengan bebas setelah dia mengekspresikan kejengkelannya dan ketidak puasannya. Masalahnya adalah oleh karena wanita cenderung lebih peka maka dia pun akan lebih banyak melihat dan merasakan. Itu sebabnya wanita lebih mudah terpengaruh oleh apa yang terjadi di luar dirinya dan suasana hatinya, sebaliknya dengan suami sedapatnya tidak ingin mendengar problem sebab salah satu tujuan hidupnya adalah menghilangkan problem bukan membicarakan problem. Sebagaimana dibutuhkan oleh istrinya, jadi sekali lagi kita melihat ada perbedaan karena wanita lebih peka, lebih banyak melihat, lebih merasakan, lebih cepat terpengaruh oleh suasana di luar dirinya, maka lebih banyak yang bisa dikeluhkan atau dijadikan problem olehnya. Sedangkan kebanyakan pria cepat-cepat mengatakan, "Jangan membawa problem lagi, lelah mendengarkan problem terus".

GS : Tapi kalau pembicaraan itu hanya sekadar membicarakan hal yang di luar hubungan suami istri, itu tidak menumbuhkan atau tidak meningkatkan kwalitas daripada pembicaraan itu sendiri?

PG : Betul. Tidak bisa tidak ada waktu tertentu istri harus lebih bersikeras untuk membicarakan masalah sebab sekali lagi kecenderungan pria tidak mau melihat masalah, menganggap masalah akan selesai dengan sendirinya, jangan ciptakan masalah dan sebagainya. Jadi kalau hal ini adalah hal yang sungguh penting, istri juga bisa berkata, "Saya tidak akan sering-sering membicarakan problem, tapi ini adalah problem yang harus dibicarakan" kalau suaminya memang bisa berkata, "Iya, istri saya tidak sering angkat problem dan dia benar-benar menganggap penting" maka suaminya juga lebih bisa mendengarkan, tapi kalau setiap kali atau berapa kali seminggu istrinya selalu bicarakan problem maka lama-lama bosan dan suaminya akhirnya tidak mau lagi mendengarkan. Jadi ini tergantung kerjasama keduanya, kalau istri bisa menahan diri, mencoba menyelesaikan sendiri dan baru dirasa perlu membicarakan problemnya maka suami juga akan lebih bisa memberi tanggapan yang sesuai.

GS : Sebenarnya saya sebagai suami tidak masalah mendengar problem yang dia kemukakan hanya ada kecenderungan untuk cepat-cepat menyelesaikannya dengan mencari jalan keluar, dan ini biasanya istri kurang suka dan dia lebih senang membicarakan problemnya daripada membicarakan penyelesaiannya. Di sana agak sulit mendapatkan titik temunya, Pak Paul.

PG : Sekali lagi yang memberikan makna adalah bagi kebanyakan wanita adalah proses membicarakan problem, dimana terjadi dialog yang agak panjang, itulah yang membuat mereka merasa tertolong dan didengarkan sedangkan solusinya adalah nomor dua. Bagi kita pria adalah kebalikannya dan kita berkata, "Kalau bisa satu kali bertemu jalan keluarnya kenapa harus cari sepuluh kali jalan keluarnya?" Jadi sekali lagi itu adalah sifat yang berkebalikan. Jadi dalam hal ini waktu kita melihat ada perbedaan seperti ini sudah tentu dua-dua harus lebih berhati-hati dan yang lebih saya tekankan adalah pria cenderung mau cepat-cepat menghilangkan problem, tapi masih bisa membicarakan problem, dan yang paling susah adalah kalau pria itu merasa istrinya belum apa-apa menyatakan bahwa si suamilah problemnya. Pria lebih susah untuk mendengar kalau dia dikaitkan dengan problem itu, apalagi dia dikatakan sebagai penyebabnya.

GS : Memang kalau kita sebagai pria menceritakan problem, sebenarnya secara garis besar problem itu dikemukakan, mungkin tadi yang Pak Paul katakan kami kaum pria alergi kalau diteliti lebih jauh problemnya, ini biasanya wanita cenderung untuk mengetahui detail dari problem itu. Jadi ini tidak enak, seolah-olah mengorek-orek luka lama, Pak Paul.

PG : Sekali lagi proses itulah yang memberikan makna, saya berikan contoh apa yang harus kita lakukan misalnya ketika istri ingin mengeluarkan kekesalan hatinya maka dia berusaha keras agar tidak menyeret suami ke dalam kancah kemarahannya, misalnya dia harus berusaha keras agar tidak cepat-cepat menyalahkan suami sebagai penyebab timbulnya masalah atau sedapatnya diapun mengangkat masalah secara netral sehingga suami tidak merasa tertuduh dari awal. Sebaliknya suami juga harus merelakan diri mendengarkan istri membicarakan masalah dan sedapatnya tahan reaksi marah sebab ada kecenderungan begitu suami mendengar istri mulai membicarakan masalah apalagi dirinya sebagai masalah maka dia ingin marah. Jadi jangan cepat merasa defensif dan jangan membangun tembok pemisah sewaktu istri membicarakan masalah yang mungkin melibatkan dirinya. Yang terakhir saya juga mau memberikan saran, setelah membicarakan masalah maka penting bagi suami dan istri untuk mengangkat satu hal positif tentang diri masing-masing, sekadar mengingatkan apapun masalahnya mereka tetaplah satu dan tak terpisahkan, coba utarakan penghargaan, perkataan serta sikap positif yang diberikan oleh pasangan. Dengan cara ini pembahasan masalah dapat diakhiri secara positif. Ini penting sebab bila kita berhasil mengakhiri percakapan secara positif, kali berikut ketika kita harus menghadapi masalah dan kita pun akan lebih terbuka untuk melakukannya, sebaliknya jika kita mengakhiri percakapan secara negatif misalnya bertengkar, saling tuduh maka pada kesempatan berikut, kita pun menjadi jerat untuk membahas masalah dan malah berusaha lari atau menghindar. Jadi walaupun ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita dalam mengisi waktu bersama maka kita dapat menjembataninya asalkan kita bersedia menahan diri dan saling menyesuaikan.

GS : Selain masalah perbedaan, apakah ada kendala yang lain yang bisa mengganggu kita dalam mengisi waktu bersama-sama itu, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah kendala kesibukan. Kita makin hari menjadi makin sibuk, interes kita juga makin banyak jadi adakalanya inilah yang menjadi kendala. Mungkin istri harus memberi banyak waktu dan perhatian kepada anak dan suami harus memberi perhatian dan waktu untuk pekerjaannya, atau baik suami maupun istri memunyai tugas lain di gereja atau ada yang harus merawat orang tua yang sakit, belum lagi ada hobi yang sedang digeluti. Pada akhirnya semua ini akan menyita waktu sehingga waktu bersama akan berkurang, sampai titik tertentu kita tidak akan merasakan dampak negatifnya dari kurangnya waktu bersama ini. Namun secara perlahan sebetulnya semua ini akan mulai menggerogoti tiang relasi kita.

DL : Apakah dampak negatif dari kurangnya waktu bersama pasangan itu, Pak Paul?

PG : Yang paling kelihatan adalah kita menjadi kurang sabar karena kurangnya waktu bersama itu, misalnya dengan kelemahan pasangan itu salah satu dampak langsung yang bisa kita lihat, yang menyangkut sifatnya yang kurang baik atau menyangkut kesanggupannya yang kita anggap berada di bawah kesanggupan kita maka kita tidak sabar. Kenapa kita tidak sabar ? Karena kita makin tidak rela memberi waktu ekstra kepadanya. Jadi makin berkurang waktu bersama maka makin berkurang kesabaran, dan makin tidak rela kita memberinya waktu. Jadi pada akhirnya relasi nikah mirip seperti relasi kerja dan bicara seperlunya dan bila bicara kita berbicara dengan bahasa instruksi dan bukan kasih, "Suruh dia, beritahu dia" pada akhirnya relasi kita retak dan pertengkaran mudah tersulut, ibarat dahan makin hari makin mengering.

GS : Tapi ada yang sebaliknya karena orang itu bukan orang yang sabar jadi sulit mendengarkan lawan jenisnya berbicara, baik istri maupun suaminya, karena ada istri yang tidak sabar terhadap suaminya ini. Jadi dia dasarnya tidak sabar.

PG : Kalau memang dasarnya sudah tidak sabar memang akhirnya waktu bersama hampir tidak ada sebab akhirnya yang tidak sabar juga tidak mau mengisi waktu bersama menjalin relasi, berbicara sudah tidak mau. Jadi memang dia lebih terobsesi dengan apa yang ingin dikerjakannya jadi dia tidak mau lagi membagi waktu dengan pasangannya.

GS : Tapi kalau dua-duanya tidak sabar, malahan tidak menjadi masalah.

PG : Tapi sebetulnya tidak ada relasi lagi, sangat dingin dan sangat rentan untuk retak. Misalkan nanti ada konflik, maka konfliknya nanti bisa parah sebab tali yang mengikatnya sudah tidak ada. Kalau kita tetap memunyai jalinan atau komunikasi dan relasi dalam mengisi waktu bersama, kalau pun kita harus bertengkar maka kita sudah punya bantal jadi kalau kita jatuh tidak akan terlalu sakit, jadi ada yang mengikat kita. Waktu kita tidak bicara dengan pasangan kita misalnya selama satu jam karena baru saja bertengkar, yang kita rasakan adalah kita tidak senang dan justru kita sengsara. Tapi bagi orang yang tidak ada jalinan relasi, tidak membagi waktu bersama, tidak bicara satu jam atau tidak bicara satu minggu pun dia bersukacita, tambah lama tidak bicara maka dia tambah bersukacita. Jadi kalau kita lihat kalau pun tidak ada apa-apa, tidak ada pertengkaran, maka relasi itu sangat berbahaya.

GS : Dampaknya bagi anak-anak bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu anak-anak tidak akan melihat adanya kehangatan di rumah dan ini sesuatu yang perlu, kehangatan hanya bisa terjadi di dalam pengekspresian diri lewat perkataan, lewat sentuhan, itu yang menghangatkan rumah. Jadi kalau kita berbicara tentang rumah yang hangat adalah rumah yang artinya orang tua bisa berbicara tidak ribut, bisa saling mengekspresikan diri dengan kasih sayang, menjadi teladan. Itu yang memberikan kehangatan dan anak perlu itu, kalau itu tidak ada sama sekali maka anak akan haus dan kering, dan mungkin saja dia akan cari di luar kehangatan itu atau dia justru menjadi dingin dan menjadi orang yang bermasalah di luar, tidak ada belas kasihan, tidak bisa simpati kepada orang dan maunya sendiri, akhirnya seperti itu.

GS : Seseorang yang tidak terbiasa bicara di rumah dengan pasangannya, Pak Paul, apakah mungkin orang ini bisa menjadi seseorang yang begitu komunikatif di luar rumah?

DL : Berarti hanya menjadi topeng.

PG : Bisa jadi topeng tapi bisa jadi juga dia ada masalah di rumah sebab mungkin saja adanya perbedaan yang sudah kita bahas dan mereka tidak bisa sesuaikan sehingga tidak pernah ada titik temu sehingga dia malas bicara di rumah sehingga dia bicara di luar dengan orang yang dianggap lebih bisa mengerti atau sejalan.

GS : Untuk memberikan kesimpulan dari pembicaraan ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Filipi 2:3-4, "Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga". Jadi firman Tuhan dengan jelas meminta kita untuk menganggap yang lain lebih penting, coba kita terapkan dalam keluarga kita, anggaplah pasangan kita lebih penting dari pada kita. Jadi berarti kita tidak memerhatikan kepentingan kita saja, tapi juga kepentingan dia. dan benar-benar kita ini berusaha sekeras-kerasnya untuk mengutamakannya. Jadi bayangkan kalau dua-dua saling mengutamakan satu sama lain maka benar-benar dua-dua akan terpenuhi sehingga waktu bisa diisi dengan sangat sehat dan juga produktif.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kendala Dalam Mengisi Waktu Bersama". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



97. Menebus Waktu yang Terhilang


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T328B (File MP3 T328B)


Abstrak:

Kita tidak hidup dalam dunia yang sempurna dan kita tidak selalu melakukan hal yang benar. Mungkin karena ketidaktahuan atau penyebab lainnya, kita gagal menghabiskan waktu bersama pasangan. Di sini akan dibahas hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menebus waktu yang terhilang.


Ringkasan:

Kita tidak hidup dalam dunia yang sempurna dan kita tidak selalu melakukan hal yang benar. Mungkin karena ketidaktahuan atau penyebab lainnya, kita gagal menghabiskan waktu bersama pasangan. Ada yang mungkin beranggapan, oleh karena "nasi sudah menjadi bubur" alias sudah terlambat, maka ya sudah, jalani saja hidup apa adanya. Kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Namun mungkin ada juga yang ingin "merebut" kembali waktu yang terhilang.  Mari kita lihat hal-hal yang dapat dilakukan dan sebaiknya tidak perlu dilakukan bila waktu telah terlewat tanpa kebersamaan.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, terpenting dalam menghabiskan waktu bersama adalah mengisinya dengan diri yang terbaik. Kita mesti menjadi diri apa adanya namun berusahalah untuk menjadi diri yang terbaik. JADI, LANGKAH PERTAMA ADALAH MENGOBATI DIRI SENDIRI DULU. Kita mesti berubah; kita harus menyikapi hidup dengan lebih positif; kita mesti bertumbuh sehat agar dapat bersikap dewasa. Bila kita berubah, tidak bisa tidak, pasangan pun akan lebih tergugah untuk berbagi waktu bersama kita.

Mungkin di masa lampau, ia tidak suka menghabiskan waktu bersama kita sebab akhirnya ia harus terluka oleh sikap dan perkataan kita. Namun sekarang, ia tidak lagi merasa demikian oleh karena kita telah berubah. Bahkan oleh karena kita telah bertumbuh dewasa, ia pun dapat mengecap manfaat berbagi waktu bersama kita. Hal-hal inilah yang akan membuatnya makin bersedia untuk menghabiskan waktu bersama kita.

Dengan kata lain, kita tidak bisa memaksa pasangan untuk menghabiskan waktu bersama kita. Kita harus terlebih dahulu membuktikan diri bahwa kita telah berubah. Biarlah ia menilai dan berilah waktu kepadanya untuk merasa aman dan nyaman berdekatan dengan kita. Memaksakan kehendak hanyalah akan menambah jarak di antara kita.

Kesimpulan

Tuhan bekerja melalui koridor Waktu.  Tuhan bekerja melalui koridor Waktu untuk membentuk relasi kita dalam pengertian, IA BEKERJA LEWAT WAKTU UNTUK MEMBENTUK KITA MENJADI SERUPA DENGANNYA. Diperlukan waktu untuk menjadikan kita pengampun dan pemurah, diperlukan waktu untuk membuat kita sabar dan penyayang, diperlukan waktu memahat kita menjadi rendah hati dan tulus.

Jadi, bila kita ingin memberi diri yang terbaik kepada pasangan, PERTAMA KITA HARUS MEMBERI DIRI KEPADA TUHAN TERLEBIH DAHULU. Dengarkanlah dan taatilah Firman-Nya. Lawanlah keinginan sendiri dan turutilah keinginan Tuhan. Lewat pelbagai peristiwa, Tuhan membentuk kita agar serupa dengannya. Jika kita bersedia dibentuk oleh-Nya, maka Ia akan terus membentuk kita sehingga makin hari kita makin serupa dengan-Nya. Pada akhirnya diri yang makin serupa Kristuslah yang kita persembahkan kepada satu sama lain.

TUHAN PUN MEMBENTUK KITA LEWAT PASANGAN. Melalui interaksi—baik positif maupun negatif—Tuhan membentuk kita dan sudah tentu semua terjadi lewat Waktu. Harus diakui kadang lebih mudah menerima teguran teman daripada pasangan sendiri. Kita lebih sabar menoleransi kelemahan orang lain daripada pasangan sendiri. Namun lewat semua itu Tuhan membentuk kita.

Adakalanya kita tidak sabar menunggu terjadinya perubahan pada pasangan. Ya, adakalanya perubahan datang cepat namun kadang lambat. Tuhan terus bekerja tetapi kita tidak selalu tanggap; itu sebabnya perubahan tidak kunjung datang. Namun lewat waktu menunggu, sesungguhnya kita tengah mengalami pembentukan Tuhan. Di dalam ketabahan menahan derita, kita pun bertumbuh.

Firman Tuhan, "Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus supaya apabila aku datang melihat dan apabila aku tidak datang aku mendengar bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil" (Filipi 1:27)

 

 

 

 

 

 


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menebus Waktu yang Terhilang". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau, kita membicarakan tentang beberapa kendala di dalam pasangan suami istri mengisi waktu mereka bersama-sama. Dan kita beberapa waktu yang lalu juga sudah membicarakan tentang pentingnya kebersamaan itu. Kita akan lebih lanjut membicarakan hal-hal itu namun supaya para pendengar kita memunyai gambaran yang lebih lengkap tentang apa yang kita bicarakan, mungkin Pak Paul bisa mengulang sejenak.

PG : Pada dasarnya kita membicarakan adanya kendala didalam mengisi waktu bersama antara wanita dan pria, kendala yang kita bicarakan adalah betapa berbedanya pria dan wanita dalam hal mengisi waktu bersama-sama, wanita jauh lebih menginginkan adanya kontak verbal sehingga cenderung mau memperpanjang percakapan dan mengisinya dengan lebih banyak detail sedangkan pria tidak, kadang muncul konflik karena hal itu. Yang lain juga karena pria maunya berbicara to the point kalau tujuannya sudah tercapai maka tidak diperpanjang lagi sehingga wanita seringkali merasa seperti instruksi tidak ada bahasa kasih, tidak ada lagi toleransi sehingga nantinya si istri malas untuk bicara dengan si suami. Maka masing-masing harus saling mengerti meskipun berbeda tapi masih bisa dijembatani dengan cara suami belajar untuk mendengarkan, membiarkan istri berbicara lebih banyak dan istri juga waktu melihat suami misalkan sudah mulai jenuh atau konsentrasinya mulai terbagi maka dia mungkin bisa hentikan dan istri belajar lebih to the point sehingga tidak terlalu panjang. Jadi masing-masing mencoba untuk meningkatkan toleransi dan saling pengertian, sehingga itu nanti akan menjembatani. Dan yang kedua adalah kendala kesibukan karena masing-masing punya kesibukan yang berbeda dan akhirnya waktu bersama juga makin berkurang, dampak negatifnya dari makin berkurangnya waktu bersama biasanya kita kurang sabar. Kebalikannya orang yang makin banyak mengisi waktu bersama justru lebih sabar dengan satu sama lain dan kelemahan masing-masing, tapi orang yang jarang menghabiskan waktu bersama tambah tidak sabar dengan kelemahan pasangannya atau hal-hal yang dia tidak sukai. Jadi penting kita mengisi waktu bersama sehingga kesabaran juga makin terbangun sehingga relasi kita pun makin lebih kuat.

DL : Ini ada pertanyaan, Pak Paul, apa yang harus diperbuat bila nasi sudah menjadi bubur alias sudah terlambat karena satu dan lain hal suami atau istri kurang memberi waktu pada pasangannya dan sekarang mereka ingin merebut kembali waktu yang terhilang. Apakah ada hal yang harus dilakukan dan apakah ada hal yang jangan dilakukan oleh mereka?

PG : Kita tidak hidup dalam dunia yang sempurna dan kita tidak selalu melakukan hal yang benar, mungkin karena ketidaktahuan atau penyebab lainnya, kita gagal mengisi waktu bersama pasangan. Ada yang mungkin beranggapan "Karena nasi sudah menjadi bubur maka diam saja dan menjalani hidup apa adanya dan kita tidak perlu lagi berbuat apa-apa", tapi ada yang mau merebut kembali waktu yang terhilang itu. Coba kita lihat apa yang bisa kita lakukan dan sebaliknya apa yang tidak perlu dilakukan, bila memang waktu telah terlewati tanpa kebersamaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya terpenting dalam menghabiskan waktu bersama adalah mengisinya dengan diri yang terbaik dan kita harus menjadi diri apa adanya namun berusahalah menjadi diri yang terbaik. Jadi langkah pertama adalah mengobati diri sendiri dulu, kita harus berubah dan kita harus menyikapi hidup dengan lebih positif dan kita harus bertumbuh agar lebih sehat dan lebih dewasa, bila kita berubah tidak bisa tidak pasangan pun akan tergugah untuk berbagi waktu dengan kita. Mungkin di masa lampau dia tidak suka berbagi waktu dengan kita, sebab akhirnya dia terluka oleh perkataan dan sikap kita, namun sekarang dia tidak lagi merasa demikian oleh karena kita telah berubah bahkan oleh karena kita telah bertumbuh dewasa maka diapun dapat mengecap manfaat berbagi waktu bersama kita. Hal-hal inilah yang akan membuatnya makin bersedia untuk membagi waktu bersama kita. Jadi intinya kita tidak bisa memaksa pasangan untuk kembali memberikan waktu bersama dengan kita, kita harus terlebih dahulu membuktikan diri bahwa kita telah berubah, biarlah dia menilai dan berilah waktu kepadanya untuk merasa aman dan nyaman berdekatan dengan kita. Kalau dia sudah merasakan itu semua maka dengan sendirinya perlahan-lahan dia juga akan mau memberikan waktunya kepada kita.

GS : Tapi yang namanya kebersamaan butuh respon yang positif dari pihak yang satunya, Pak Paul, katakan si suami sudah menyadari bahwa dulu waktu bekerja dia sibuk sekali dan tidak sempat untuk meluangkan waktu berbicara dan sekarang dia sudah pensiun sehingga punya waktu cukup banyak untuk bicara, namun kalau si istri yang sudah terbiasa dengan diamnya suami, lalu tiba-tiba kita berubah tanpa dia tahu penyebabnya maka tidak akan ada suatu perbaikan di sana, Pak Paul.

PG : Kalau itu yang terjadi maka si suami harus mengutarakan niatnya dan mungkin juga penyesalannya bahwa di masa lampau saya tidak seperti ini, "Ini menjadi terhilang, saya ingin dimasa tua kita menebus hal ini". Tapi sekali lagi apa pun yang kita katakan kita harus membuktikannya bahwa kita telah berubah, sebab pasangan harus diyakinkan bahwa berbagi waktu bersama kita adalah sesuatu yang nyaman, enak, baik, berguna. Tapi kalau kita tidak bisa meyakinkan hal itu kepada pasangan maka dia juga tidak mau. Jadi kalau kita sudah gagal sehingga nasi sudah menjadi bubur maka kita seolah-olah tidak punya hak lagi untuk menuntut dan kita hanya bisa menawarkan supaya dia tergerak, dan untuk menolong pasangan kita kembali memberi waktunya kepada kita maka kitanya juga harus membuktikan diri. Ini yang saya sering lihat adalah karena merasa bersalah dulu tidak dan sekarang mau merebut waktu kembali dan memaksakan, "Kamu harus seperti ini karena sekarang saya sudah seperti ini, saya sudah baik tapi kenapa kamu masih seperti ini kepada saya" makin diberikan atau disuguhkan kata-kata seperti itu maka pasangannya makin tidak mau dan makin merasa kalau kamu itu dari dulu tidak berubah dan sama, bersikap manis karena ada kepentingannya, begitu kamu tidak mendapatkan yang kamu minta dan saya tidak manis seperti yang kamu harapkan, maka kamu kembali kasar dan menyakiti hati saya. Jadi akhirnya kita tidak bisa lagi menuntut pada saat seperti itu, kalau nasi sudah menjadi bubur kita harus buktikan dengan perbuatan kalau kita telah sungguh-sungguh berubah.

GS : Memang bukan menuntut, Pak Paul, tapi niat baik ini harus diberi semangat oleh pihak pasangannya, jadi misalnya tadi si istri berkata, "Dulu saya sudah katakan bahwa kebersamaan itu penting, tapi kamu abaikan dan sekarang sudah sama-sama tuanya baru mau dibangun kembali", kata-kata seperti itu bisa mematahkan semangat suami.

PG : Itu sebabnya dalam kenyataannya kalau nasi sudah menjadi bubur akan menjadi bubur terus. Jadi kalau sudah sampai titik itu maka memang akan susah sebab yang tadi Pak Gunawan katakan itu sering dikatakan oleh orang, oleh pihak yang merasa, "Dulu kamu seperti itu kepada saya, saya sekarang juga tidak ada keinginan untuk bicara dan membagi waktu bersama kamu, saya tidak bisa diberikan seolah-olah korek api untuk menyalakan kompor, sekarang sudah tidak ada gasnya, diberikan api seperti apa pun akan tetap apinya tidak akan keluar". Jadi kebanyakan, itulah respons yang diberikan dan betul kata Pak Gunawan, di pihak yang mau merebut kembali begitu mendengar kata-kata seperti itu maka reaksinya adalah patah semangat dan biasanya digantikan dengan kemarahan sebab dia merasa tertolak dan dia merasa, "Saya sudah berusaha dan berubah, tapi kamu tidak menanggapi dengan positif perubahan saya", sebab dia beranggapan, "Seharusnya kamu ini berterimakasih dan bersyukur karena saya sudah berubah, saya baik kepada kamu, dulu kurang baik dan sekarang sudah baik maka kamu harus berterima kasih", dan dia tidak ingat bahwa di pihak yang sana sudah tidak peduli lagi entah dia bicara atau tidak bicara, jadi mana mungkin berterimakasih, dengarkan dia bicara saja sebetulnya tidak mau. Jadi pada titik itu sebetulnya sudah sulit dan saya lihat dalam hidup kalau sampai titik itu sudah sangat sulit, maka benar-benar relasi itu seperti pohon yang dibangun, ditumbuhkan dari kecil setahap demi setahap sampai besar dan tidak bisa kita membuat pohon dalam waktu satu hari dari kecil menjadi besar.

GS : Walaupun itu sulit tapi bukan suatu kemustahilan yang bisa diupayakan, begitu Pak Paul?

PG : Saya melihat misalnya kalau pun sampai terjadi biasanya ada sesuatu yang luar biasa terjadi, misalnya si orang yang sudah tidak mau lagi berhubungan karena sudah terlalu sering kecewa dan disakiti, misalnya dia itu jatuh sakit sehingga memerlukan pertolongan, bantuan sehingga terciptalah sebuah situasi dimana dia harus menerima kebaikan dari orang yang pernah menyakiti hati dia, yang pernah menyakiti hatinya juga berkesempatan menunjukkan kebaikan hatinya kepada orang ini. Dalam konteks seperti itu lebih bisa terjadi, tapi biasanya kalau tidak terjadi apa-apa dan biasa-biasa saja maka sangat sulit. Sekali lagi seperti yang Pak Gunawan sudah katakan kalau sudah terlalu lama tidak ada apa-apa dan sudah terlalu lama tidak diberikan perhatian dan tidak diajak bicara maka benar-benar relasi itu mati dan perasaan itu sudah mati dan dia lebih nyaman mempertahankan "status quo". "Tidak perlu diubah lagi diam saja" dan terutama satu hal yang saya perhatikan adalah dia akan merasa pasangannya itu seperti gombal, "Kamu membaik-baiki saya sekarang, merasa menyesal dan mau menebus, jadi sepertinya kamu gombal", jadi untuk dia percaya dan orang benar-benar atau sungguh-sungguh berniat baik itu agak lama dan susah, seringnya yang satu akhirnya berkata, "Baiklah saya akan coba memberikan kesempatan kembali". Kemudian ada kejadian dan karena hidup ini tidak sempurna kemudian ada kejadian dimana dia dimarahi lagi, maka relasi itu menjadi buyar dan dia tidak bisa lagi memberikan dirinya dan waktu kepada pasangannya. Kadang-kadang itu yang terjadi yaitu di tengah jalan tabrakan lagi dan yang satu marah lagi seperti dulu dan membiarkan lagi, maka semua ini menjadi hilang.

GS : Mungkin kekecewaannya menjadi lebih besar daripada yang dulu. Tapi dengan melihat kebutuhan bersama itu menjadi suatu tempat atau titik di mana mereka memulai kebersamaan itu. Misalnya pada saat si suami sudah pensiun dan si istri kondisi tubuhnya mulai melemah menjadi saling membutuhkan misalnya dari segi finansial, kesehatan, dari titik itulah kita bisa memulai kebersamaan dan mengatakan, "Kita sekarang harus saling tolong menolong".

PG : Betul, biasanya kalau terjadi sesuatu yang luar biasa, lebih dimungkinkan relasi itu dijahit kembali dan biasanya di hari tua yang saya lihat dan sering menjadi penyatu kembali adalah sakit, karena yang satu sakit maka yang satu menjadi terpaksa memberikan perawatannya atau dua-duanya sakit, tapi masih bisa saling merawat maka itu memaksa mereka untuk saling bergantung satu sama lain. Jadi itu yang menjadi titik tolak, titik berangkat yang baru.

GS : Tapi kesempatan ini memang harus digunakan oleh mereka berdua, karena kalau dibiarkan lewat maka juga akan lewat begitu saja.

PG : Betul. Karena ada juga yang seperti ini walaupun dia sakit, tapi dia justru tidak mau terima perawatan dari pasangannya, dia akan memaksa anaknya yang merawatnya karena dia sudah tidak nyaman dengan kehadiran pasangannya. Jadi walaupun pasangannya sudah baik mau merawatnya, dia tidak suka sehingga dia mati-matian lebih mau anaknya yang datang dan merawat dia, dan membuat anak juga tertekan dan akhirnya anak akan berkata, "Kan ada papa di rumah, kenapa harus saya juga yang datang?" mungkin karena tidak nyaman. Sebab dalam kondisi yang tidak nyaman misalnya yang satu mengatakan sesuatu yang kurang tepat, perawatannya kurang pas akhirnya dimarahi dan dia akan marah, "Saya sudah berbaik hati mau merawat kamu tapi kenapa kamu begitu kasar kepada saya dan tidak menghargai saya" akhirnya memutar kembali.

GS : Tapi sebenarnya itu bisa dilakukan sebelum musibah atau penyakit itu datang dengan suatu kesadaran bersama bahwa usia mereka sudah mulai memasuki masa tua dan mereka memersiapkan ini bersama-sama dan ini membutuhkan komunikasi dan kebersamaan.

PG : Idealnya seperti itu. Jadi kalau dua-dua bersedia dan memunyai tekad maka akan menjadi indah dan sangat dimungkinkan tercipta relasi di antara mereka tapi seringkali yang saya lihat adalah yang satu tidak ada lagi motivasi dan tidak mau. Jadi akhirnya bagi dia lebih baik hidup seperti ini, karena nanti akan susah dan nanti saya terluka lagi. Apalagi lama-lama akhirnya dia terbukti karena yang ini tetap memberikan sikap negatif dan tidak mau didekati, yang satunya tinggal tunggu waktu dia meledak lagi dan panas lagi, "Saya sudah berubah tapi kamu tetap seperti ini kepada saya" akhirnya ribut lagi, begitu satu kali ribut maka prosesnya mundur, tiap kali ribut mundur lagi dan kalau ribut lagi akhirnya bukan hanya mundur tapi juga berhenti.

GS : Itulah sebabnya banyak pasangan di usia tua mereka tidurnya terpisah dan mereka memilih tidur sendiri-sendiri karena sudah tidak ada lagi yang dibicarakan dan dilakukan, lebih baik tidur sendiri-sendiri, begitu Pak Paul?

PG : Dan jarang terjadi komunikasi. Banyak pasangan tua yang jarang berkomunikasi tapi mereka tetap meneruskan walaupun sudah tidak terjadi apa-apa lagi. Akhirnya rasa tanggung jawablah yang menyatukan mereka.

DL : Tapi Tuhan bekerja lewat koridor waktu, bagaimana Tuhan bisa membentuk pasangan supaya menggenapi kehendak-Nya dan rencana-Nya?

PG : Betul sekali kata Ibu Dientje, memang Tuhan bekerja melalui koridor waktu. Apa yang Dia lakukan waktu Dia bekerja lewat koridor waktu? Dia sebetulnya membentuk kita, jadi Tuhan tidak pernah berhenti membentuk, itulah karyanya Tuhan dan Dia mula-mula menciptakan kita dan ketika kita jatuh ke dalam dosa, Dia menciptakan kita kembali menjadi manusia yang baru dan itulah yang Tuhan lakukan dalam hidup kita. Tujuannya supaya kita menjadi serupa dengan Dia, diperlukan waktu yang panjang untuk menjadikan kita pengampun dan pemurah, diperlukan waktu yang panjang untuk membuat kita penyabar dan penyayang dan diperlukan waktu untuk memahat kita menjadi rendah hati dan tulus. Jadi bila kita ingin memberi diri yang terbaik kepada pasangan maka pertama-tama kita harus memberi diri kita kepada Tuhan terlebih dahulu. Kita harus mendengarkan dan menaati firman-Nya dan kita harus melawan keinginan pribadi dan menuruti keinginan Tuhan. Jadi lewat berbagai peristiwa Tuhan akan membentuk kita agar serupa dengan-Nya, ketika kita bersedia dibentuk oleh-Nya maka Dia akan terus membentuk kita sehingga kita makin hari makin serupa dengan-Nya. Pada akhirnya diri yang makin serupa Kristuslah yang kita persembahkan kepada satu sama lain. Jadi biarlah Tuhan membentuk kita lewat waktu. Dan memang waktu itu diperlukan sehingga akhirnya diri yang serupa Kristus yang kita berikan kepada pasangan kita. Waktu kita lebih bisa memberikan diri yang serupa Kristus kepada pasangan maka waktu yang kita isi pun menjadi waktu yang lebih indah, kalau kita memberikan diri yang kebalikan dari Kristus yang jahat, kasar dan sebagainya, maka waktu itu bukan untuk memulihkan tapi malah menghancurkan kehidupan pasangan kita.

GS : Berbicara tentang waktu, ini masing-masing pasangan berbeda-beda, ada yang secara cepat dipulihkan tapi ada yang begitu panjang sampai akhirnya mereka tidak memunyai kesempatan untuk pulih kembali dan bisa bersama-sama lagi karena dengan berjalannya waktu mereka tentu makin lama makin tua, Pak Paul.

PG : Jadi seyogianyalah dua-dua berkata terutama yang dilukai berkata, "Baiklah memang saya telah dilukai dan saya telah menjadi korban, tapi sekarang dia mau bertobat maka saya mau percaya bahwa dia mau bertobat dan saya mau melakukan ini demi Tuhan bahwa Tuhan meminta saya untuk menjadi seorang pengampun dan juga pemberi kesempatan kedua, jadi saya mau jadi orang seperti itu". Jadi dimana telah disinggung pertama-tama kita harus menyerahkan diri kita kembali kepada Tuhan sehingga bukan kehendak kita atau bukan apa maunya kita tapi apa maunya Tuhan, kalau kita mau datang kepada Tuhan dan berkata seperti itu maka barulah kita bisa memberikan diri kita kepada masing-masing sehingga akhirnya kita menjadi dibentuk.

GS : Kalau waktu itu dibiarkan lewat dan kesempatan yang diberikan Tuhan diabaikan maka yang ada hanyalah penyesalan di hari tua, Pak Paul.

PG : Betul sebab pada akhirnya memang tidak bisa lagi diambil kembali dan hilang begitu saja dan semakin tua makin terbatasi, misalnya kita menderita stroke, mau bicara saja tidak bisa, bagaimana mau bicara?

GS : Dan peran pasangan apa di sini, Pak Paul?

PG : Tuhan memakai pasangan untuk turut membentuk kita. Jadi melalui interaksi baik yang positif atau negatif, Tuhan membentuk kita dan sudah tentu semua terjadi lewat waktu dan harus diakui kadang lebih mudah menerima misalnya bentukan atau teguran dari teman daripada dari pasangan sendiri. Dan juga bukankah kita lebih sabar menoleransi kelemahan orang lain daripada pasangan sendiri. Namun lewat semua itulah Tuhan membentuk kita, adakalanya kita tidak sabar menunggu terjadinya perubahan pada pasangan, adakalanya memang perubahan datang cepat, namun kadang datang lambat tapi Tuhan terus bekerja meskipun kita tidak selalu tanggap, itu sebabnya perubahan tidak kunjung datang. Maka kalau kita mau cepat berubah, waktu Tuhan mulai mengubah kita dan menunjukkan apa yang harus dan tidak harus kita lakukan maka kita harus taati terus. Namun waktu kita melihat pasangan kita belum bertumbuh dan sama seperti dulu bahkan masa penantian itu pun dapat digunakan Tuhan untuk membentuk kita, sehingga akhirnya kita menjadi orang yang tabah untuk menahan derita dan kita juga akhirnya makin bertumbuh.

GS : Jadi sebenarnya tidak ada kata terlambat bagi pasangan-pasangan yang memunyai tekad yang kuat untuk kembali bersama-sama dengan pasangannya di dalam berkomunikasi dan hidup bersama seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul asalkan mau dan ada tekad, saya kira tidak ada kata terlambat tapi memang yang seringkali menghalangi adalah dua, yaitu ego dan takut sakit. Karena ego akhirnya gengsi dan berkata, "Untuk apa dan tidak perlu, daripada terus dihina dan ditolak, untuk apa bertobat dan melakukan yang dia inginkan". Yang kedua adalah takut disakiti kembali, takut terluka kembali. Jadi bagi siapa yang mau memulai proses ini maka dia harus menghilangkan egonya dan berani mengambil resiko untuk terluka.

GS : Tanpa harus menunggu bahwa pasangan kita untuk berubah dulu daripada kita, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Kalau kita saling menunggu maka kita tidak akan pernah memulai.

GS : Dan kebersamaan itu tidak akan terwujud dalam keluarga yang mereka bina sejak muda.

PG : Betul.

GS : Pak Paul, untuk merangkumkan perbincangan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan dari Filipi 1:27, "Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil". Jadi firman Tuhan meminta kita untuk hidup berpadanan dengan Injil Kristus, artinya kita itu sama serupa dengan apa yang Injil Kristus ajarkan supaya kita satu roh, sehati, sejiwa. Jadi itulah yang Tuhan nantikan dan Tuhan ingin lihat dalam diri kita dan jangan sampai waktu Tuhan menjumpai kita dan yang dijumpai adalah kita tidak sehati, tidak satu roh, tidak sejiwa dan bahkan terbelah-belah, maka itu akan mendukakan hati Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menebus Waktu yang Terhilang". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



98. Kesalahan dalam Membangun Relasi I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T345A (File MP3 T345A)


Abstrak:

(a)Kejujuran dan keterbukaan,
(b) Kesalehan dan Kekudusan,
(c) Kejelasan dan Kefleksibelan.
Ketiga hal itu yang harus ada ketika kita menjalin relasi. Untuk lebih jelasnya, disini dipaparkan mengenai hal tersebut.

Ringkasan:

Sesungguhnya relasi pernikahan berawal bukan pada waktu bel gereja berdentang. Relasi pernikahan bermula di titik kita memulai relasi dengan pasangan. Jika demikian, sebenarnya apa yang terjadi setelah pernikahan merupakan kepanjangan atau lanjutan dari apa yang terjadi sebelum pernikahan. Berdasarkan pemahaman ini, marilah sekarang kita melihat hal-hal apa sajakah yang perlu terjadi atau sebaliknya, dijaga jangan sampai terjadi pada masa berpacaran supaya relasi pra-nikah ini dapat menjadi fondasi yang kokoh dan sehat bagi pernikahan itu sendiri.

A. Kejujuran dan Keterbukaan

Saya membedakan kejujuran dan keterbukaan dalam pengertian, kejujuran adalah menyingkapkan yang sebenarnya tentang diri kita—dengan kata lain kita tidak mendistorsi fakta. Jadi, bila kita pernah berpacaran sebelumnya, jangan berkata bahwa kita tidak pernah berpacaran. Atau, jika kita tidak pernah duduk di bangku kuliah, jangan mengklaim bahwa kita pernah menjadi mahasiswa.

Keterbukaan sudah tentu mengandung kejujuran namun keterbukaan bukan hanya kejujuran. Keterbukaan adalah menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita. Dari awal berelasi kita harus bersikap jujur, dalam pengertian menyingkapkan yang sebenarnya kepada pasangan. Namun mungkin ada hal-hal yang tidak dapat dengan segera kita bagikan dengan pasangan, bukan karena kita hendaknya menutupinya melainkan karena kita mau memastikan bahwa kita akan dapat mempercayakannya dengan hal yang pribadi ini.

Bila kejujuran ternoda oleh kebohongan, pertumbuhan rasa percaya niscaya mengalami hambatan. Setidaknya ada dua dampak buruk kebohongan pada relasi:

Rasa sakit akibat dibohongi jauh lebih berat ketimbang rasa sakit akibat pertengkaran oleh karena dalam pertengkaran kita sudah berjaga-jaga untuk diserang sedang kebohongan datangnya tidak diduga.

Kebohongan membuat relasi berhenti sebab kebohongan menumbangkan rasa percaya—sesuatu yang mutlak harus ada di dalam relasi nikah. Relasi baru akan kembali beranjak tatkala rasa percaya mulai bertunas. Masalahnya adalah, relasi tidak bisa berlanjut mulai dari titik di mana kebohongan terjadi. Singkat kata, kebohongan membuat kita merasa asing dengan pasangan.

Apabila kejujuran bertalian erat dengan kepercayaan, keterbukaan berkaitan erat dengan keintiman. Makin kita terbuka—menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita—maka makin bertambah keintiman.

B. Kesalehan dan Kekudusan

Dalam pembahasan ini saya membedakan kekudusan dan kesalehan, dalam pengertian kekudusan berhubungan langsung dengan godaan dan dosa seksual, sedang kesalehan berkaitan dengan kehidupan rohani secara menyeluruh. Kesalehan atau kehidupan rohani yang sehat menandakan adanya ketaatan kepada kehendak Tuhan. Dan, ini berdampak pada relasi. Bersama dengan Tuhan secara intim akan menolong kita hidup dalam jalur kehendak-Nya dan akan memberi kita kekuatan untuk bertahan di dalam pencobaan.

Hampir setiap pasangan yang tengah berpacaran harus bergumul menjaga kekudusan. Kendati kita tahu batas yang tidak boleh dilanggar, tetap saja godaan untuk melanggarnya lebih besar daripada pengetahuan itu sendiri. Pada akhirnya sering kali kekudusan lebih merupakan proses jatuh-bangun ketimbang kemenangan yang permanen. Sungguhpun harus jatuh-bangun, kita tetap harus mengusahakannya sebab kekudusan berhubungan erat dengan kehendak Tuhan sendiri. Kegagalan kita menjaga kekudusan mengakibatkan kejatuhan kita ke dalam dosa seksual yaitu perzinahan.

Di samping berkaitan langsung dengan kehendak Tuhan dan dosa, kekudusan juga berhubungan erat dengan relasi itu sendiri. Ternyata hilangnya kekudusan pada masa berpacaran dapat menimbulkan dampak yang panjang, sebagaimana dipaparkan berikut ini:

1. Acapkali hilangnya kekudusan berakibat hilangnya respek atau penghargaan, baik pada diri pasangan atau diri sendiri.

2. Begitu relasi berpacaran beranjak masuk ke ranah seksual, berubahlah relasi itu menjadi sebuah relasi yang tidak aman. Kita bertambah takut kehilangannya dan kita pun kehilangan kepercayaan kepadanya sebab kita senantiasa dihantui bayangan bahwa ia dapat melakukan hal yang sama dengan orang lain.

3. Relasi berpacaran yang terisi oleh kontak seksual pada akhirnya menjadi relasi yang stagnan alias tidak bertumbuh. Akhirnya relasi berubah menjadi relasi yang lemah sebab pertumbuhan yang seyogianya terjadi, luput berkembang.

4. Terakhir, hilangnya kekudusan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memulai proses penyesuaian dan penyelesaian ketidaksesuaian atau konflik. Hubungan seksual di masa pra-nikah membuat kita terfokus hanya pada kepuasan jasmaniah dan ini akhirnya membuat kita melupakan masalah yang ada atau membuat kita terlena sehingga luput mendeteksi masalah yang berpotensi muncul. Setelah menikah barulah kita terkejut menemukan begitu banyak ketidaksesuaian di antara kita.

Jika demikian besar dampaknya, tidak bisa tidak, kita mesti berusaha keras untuk menjaga kekudusan di masa berpacaran. Kendati tidak mudah, kita harus terus berupaya sebab harga yang mesti dibayar teramat mahal. Berikut akan dijabarkan beberapa saran untuk menjaga kekudusan:

1. Kita harus mengundang Tuhan masuk ke dalam relasi kita sejak awal. Kita mesti menjadikan Tuhan sebagai "orang ketiga" yang senantiasa hadir dalam relasi kita.

2. Sejak awal kita harus mengikatkan diri ke dalam sebuah relasi pertanggungjawaban dengan seorang mentor atau kakak pembimbing.

3. Sedapatnya jauhkan kontak fisik dan hindarkan tempat yang memberi kita kesempatan untuk berbuat jauh. Jangan sungkan untuk menolak ajakan atau sentuhan yang melanggar batas.

4. Pada akhirnya, jangan berhenti bergumul. Jangan putus asa dan jangan berkata bahwa Tuhan tidak lagi peduli. Tuhan peduli dan Ia akan menerima kita yang babak belur bergumul dengan dosa.

C. Kejelasan dan Kefleksibelan

Pada masa berpacaran terdapat kecenderungan yang kuat untuk bersikap samar, dalam pengertian, tidak berani mengambil sikap atau menunjukkan selera dan pendapat pribadi. Akhirnya kita mendiamkan perbuatan pasangan yang tidak kita sukai, menelannya ke dalam hati, karena kita khawatir bahwa penyataan pendapat dapat memicu konflik.

Sejak awal berelasi seyogianya kita bersikap jelas kepada pasangan. Kita mesti berani menyatakan sikap kepadanya walaupun dengan bersikap jelas, mungkin saja terjadi konflik. Namun kalaupun terjadi konflik, ini adalah konflik yang sehat. Selain dari itu dengan menyatakan sikap yang jelas, kita pun memberi kesempatan kepada pasangan untuk melihat siapakah kita—apa adanya. Makin jelas ia melihat kita, makin terbuka kemungkinan ia memilih—atau tidak memilih kita—dengan alasan yang tepat. Maksud saya, oleh karena ia dapat melihat siapakah kita apa adanya, kalaupun ia harus memutuskan hubungan, ia akan melakukannya atas dasar yang tepat, bukan atas dasar kesalahpahaman. Jadi, beranikanlah diri untuk menyatakan sikap. Tunjukkan diri apa adanya—baik itu apa yang diharapkan maupun apa yang tidak diharapkan. Lewat kejelasan ini, kita akan dapat memulai proses penyesuaian. Namun, ingat bahwa di samping jelas, kita pun mesti bersedia untuk bersikap fleksibel. Jangan bersikap kaku—apalagi egois. Dalam proses penyesuaian dituntut kesiapan kedua belah pihak untuk mengurungkan niat, untuk membatalkan tuntutan, untuk mengubah permintaan, dan untuk mengakui kesalahan. Kedewasaan dibuktikan lewat kemampuan untuk memilah-milah, mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tanpa fleksibilitas kita tidak akan dapat membangun sebuah relasi nikah yang langgeng dan sehat.

D. Keserasian dan Kenikmatan

Keserasian adalah kesamaan minat. Memang tidak mungkin kita menemukan orang dengan kesamaan minat pada semua bidang; sudah tentu akan ada perbedaan minat. Namun bila kita mendapati bahwa pasangan kita begitu berbeda sehingga dalam hampir segala lini kehidupan, kita berbeda, besar kemungkinan pernikahan kita akan mudah rapuh. Minat sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan. Orang dengan latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan yang sama cenderung mengembangkan kesamaan minat.

Selain dari keserasian, faktor lain yang berpotensi menumbuhkan relasi adalah kenikmatan. Pernikahan baru dapat bertumbuh bila kita dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan. Sebaliknya jika kita tidak dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan, mustahil relasi dapat bertumbuh. Apabila kita menemukan kecocokan, tidak bisa tidak, kita akan senang bersamanya. Kita akan menanti-nantikan waktu untuk bersamanya. Kita tidak sabar untuk berbagi dan bercerita; kita ingin dapat mendengar suaranya dan menghabiskan waktu bersamanya. Inilah pertanda bahwa kenikmatan sudah menjadi bagian dari relasi.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kesalahan Dalam Menjalin Relasi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, jalan menuju pernikahan memang cukup panjang dan cukup rumit sehingga ada banyak hal yang perlu kita perhatikan. Kalau pada dua sesi yang lalu kita berbicara tentang kesalahan di dalam memilih pasangan, karena kalau salah memilih pasangan ternyata juga akan menimbulkan bencana bagi pernikahan itu. Kini kita akan mendalami tentang kesalahan di dalam menjalin relasi. Karena pernikahan sendiri juga merupakan suatu relasi, relasi antara pria dan wanita, suami istri ini. Jadi hal-hal apa yang patut kita pikirkan di dalam kita menjalin sebuah relasi, khususnya dengan pasangan hidup kita.
PG : Kita memang masih dalam topik yang sama dan besar yaitu dari pacaran sampai menikah, jadi kita mencoba mengangkat hal-hal apa yang perlu diwaspadai dalam masa-masa berpacaran. Kita telah membahas bahwa kita perlu memilih pasangan yang seiman, jangan sampai akhirnya kita memilih pasangan yang tidak cocok dengan kita. Selain itu ternyata ada hal yang penting yaitu bagaimanakah kita menjalin relasi berpacaran ini. Sebab pada akhirnya apa yang kita lakukan sebelum menikah akan berdampak pada pernikahan kita itu. Jadi relasi seperti apakah yang kita jalin pada masa sebelum kita menikah, pada akhirnya akan berdampak pada relasi kita setelah menikah. Itu sebabnya saya kira kita perlu menyoroti hal-hal apa yang penting yang harus ada dan sudah tentu jangan sampai ada pada masa berpacaran di dalam kita menjalin relasi, sebab kalau sampai ada hal-hal yang tidak sehat terjadi pada masa berpacaran maka hal-hal itu nanti akan berdampak pada pernikahan kita pula.
GS : Tetapi ada banyak orang yang beranggapan bahwa sekalipun ada masalah relasi pada masa berpacaran, itu nanti bisa diselesaikan pada saat mereka menikah, begitu Pak Paul?
PG : Masalahnya adalah biasanya sejak awal kita menjalin relasi, kita sebetulnya sedang membuat sebuah pola berelasi antara kita dan pasangan kita. Sekali pola itu terbentuk maka pola itu akan berlanjut sampai nanti kita menikah. Saya berikan sebuah contoh yang praktis, misalnya setiap kali pasangan kita marah, kita terbiasa mendiamkannya karena kita pikir tidak perlu menjawab dan biarkanlah sebab nanti menjadi panjang. Jadi kita terbiasa mendiamkan dia waktu dia marah, kita tunggu sampai dia reda dan baru kita bicara. Kalau ini terjadi dalam masa-masa berpacaran besar kemungkinan pola ini akan berlanjut sampai nanti setelah kita menikah. Jadi waktu dia marah-marah kita akan diamkan dan misalkan setelah menikah kita berkata, "Tidak mau saya diamkan dan saya harus menghentikannya dan saya harus meminta dia sekarang untuk mendengarkan saya". Bisa jadi apa yang akan kita lakukan di saat setelah kita menikah akan membuat pasangan kita tidak terima, karena dia sudah terbiasa dengan pola ini, dia terbiasa bisa mengeluarkan semua amarahnya dan kita hanya mendiamkan atau mendengarkannya. Sekarang dia tidak bisa sebab dia baru marah sedikit dan kita langsung potong, dan waktu dia marah lagi, kita menjadi marah karena dia tidak mendengarkan kita. Jadi akhirnya kita tambah marah, jadi terganggulah sebuah pola yang telah terbentuk. Dengan kata lain ini menimbulkan masalah, maka penting kalau kita pada masa berpacaran juga melakukan hal-hal yang sehat yang nantinya akan bisa menjadi benih-benih yang dapat kita tuai setelah kita menikah.
GS : Tapi bisa juga terjadi sebaliknya, pada saat mereka berpacaran mereka menyelesaikan masalah dengan diskusi dan salah satunya karena masih pacaran kelihatannya hanya mengalah jadi tidak kelihatan dia melawan, tapi setelah menikah ternyata dia mengeluarkan argumentasi yang cukup kuat dan sebagainya, pasangan yang satunya malah berbalik, yang satunya suka berdiskusi, sekarang melihat pasangannya begitu agresif dia yang tutup mulut sekarang.
PG : Dengan kata lain yang Pak Gunawan katakan adalah sebetulnya ada kecenderungan atau kebiasaan cara berelasi yang sehat pada masa sebelum menikah biasanya nanti akan mulai memudar setelah kita menikah karena yang sudah dikatakan tadi pada masa berpacaran kita masih bersikap lebih halus dan lebih santun, lebih tahu diri, lebih berhati-hati. Setelah menikah kita merasa lebih bebas diterima apa adanya dan tidak ada lagi ikatan-ikatan dan kita lebih apa adanya. Dan yang lebih apa adanya artinya adalah yang tidak enak atau buruk itu bisa keluar dengan lebih alamiah, jadi kalau begitu asumsinya dan memang sebetulnya itulah kenyataannya, kita harus berkata bahwa, "Kalau kebiasaan yang baik saja atau pola berelasi yang baik cenderung memudar atau mengendor setelah menikah apalagi kebiasaan yang buruk, tidak akan dengan otomatis hilang, tapi justru kebiasaan yang buruk itu sewaktu dibawa ke dalam pernikahan besar kemungkinannya juga akan makin memburuk".
GS : Jadi hal-hal apa yang harus kita perhatikan di dalam kita menjalin relasi, Pak Paul?
PG : Ada empat pasang yang akan saya bahas dan kita akan coba bahas pada kesempatan ini dua pasang. Yang pertama adalah kejujuran dan keterbukaan, saya membedakan kejujuran dan keterbukaan dalam pengertian kejujuran adalah menyingkapkan yang sebenarnya tentang diri kita. Dengan kata lain waktu kita bersikap jujur, kita tidak mendistorsi fakta. Misalnya bila kita pernah berpacaran sebelumnya, jangan berkata bahwa kita tidak pernah berpacaran atau jika kita tidak pernah duduk di bangku kuliah maka jangan mengklaim kita pernah menjadi mahasiswa. Jadi inilah yang saya maksud dengan kejujuran, kita mengatakan atau menyingkapkan apa yang sebenarnya. Keterbukaan sudah tentu mengandung unsur kejujuran namun keterbukaan bukan hanya kejujuran, keterbukaan adalah menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita, ini beda utamanya kalau kejujuran menyingkapkan apa yang benar, sedangkan keterbukaan menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita. Jadi dari awal berelasi kita harus bersikap jujur dalam pengertian menyingkapkan yang sebenarnya kepada pasangan, namun mungkin ada hal-hal yang tidak dapat dengan segera kita bagikan dengan pasangan bukan karena kita hendak menutupinya melainkan karena kita mau memastikan, bahwa kita akan dapat memercayakannya dengan hal yang pribadi ini. Singkat kata, keterbukaan yaitu menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita, memang harus berjalan melalui proses waktu, makin mendalam relasi dan makin bertumbuh rasa percaya, makin bertambah keterbukaan namun tetap tujuan semula yaitu keterbukaan harus kita usahakan dan jangan berkata bahwa kita sengaja tidak memberitahukan hal ini kepadanya oleh karena kita kurang memercayainya. Jika dari awal berelasi kita sudah tidak dapat memercayainya itu pertanda relasi ini tidak sehat. Jadi kita harus memulai relasi dengan kejujuran dan berusaha keras untuk mencapai tahap keterbukaan total kepada pasangan.
GS : Jadi awalnya hanya kejujuran lebih dahulu yang harus kita lakukan, Pak Paul?
PG : Ya, betul.
GS : Jujur dalam hal apa saja biasanya, Pak Paul?
PG : Misalnya apakah kita pernah berpacaran, yang kedua misalnya tentang latar belakang kita apakah memang kita dari keluarga ini dan apakah memang hidup kita seperti yang kita katakan, apakah orang tua kita juga seperti itu. Saya sudah mendengar cukup banyak tentang orang yang mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya tentang diri mereka sebelum menikah. Misalnya ada yang mengklaim dia punya rumah dan dia berkata, "Ini rumahnya" pasangannya tidak tahu apa-apa dan percaya saja, setelah menikah baru mengetahui bahwa itu bukan rumahnya tapi rumah orang lain. Atau ini usaha dia, modal dia dan sebagainya. Setelah menikah baru diketahui kalau ini bukan modal dia, tapi orang lain yang dipinjamkan kepada dia, ada yang mengklaim saya lulusan perguruan tinggi ini setelah menikah baru ketahuan, bukan saja bukan lulusan sekolah itu, ternyata malahan tidak pernah lulus dari perguruan tinggi sama sekali. Jadi cukup banyak orang-orang yang tidak nyaman untuk cerita apa adanya, sehingga membohongi pasangan tentang siapa dirinya. Saya kira secara garis besar siapa diri kita dan apa yang telah kita lakukan dalam hidup ini, dua hal itu mesti dengan jujur kita sampaikan kepada pasangan kita.
GS : Bukannya mau tidak jujur, jadi bukan berusaha untuk mengelabui calon tapi dari pihak calon itu sendiri yang memperkirakan bahwa kita itu sudah punya rumah, bahwa orang tuanya kaya dan itu perkiraannya sendiri karena tidak pernah dikomunikasikan dan yang satunya diam saja, kalau menganggap dia kaya malah senang supaya pernikahan itu bisa terwujud, tapi nyatanya sebenarnya bukan orang kaya. Jadi hidup dalam rumah dimana itu adalah rumah sewa dan hutangnya banyak, padahal si calon mertua menganggap calon menantunya kaya, anak dari orang yang kaya.
PG : Jadi kalau kita sudah menduga akan ada kesalahpahaman dan orang akan menganggap kita punya rumah ini dan sebagainya, saya pikir kita bertanggung jawab untuk mengatakan apa adanya bahwa, "ini bukan rumah saya, saya ini menumpang di rumah ini" atau "ini bukan mobil saya, tapi saya ini dipinjami mobil". Sebab kita ini bertanggung jawab untuk mengatakan hal-hal itu, memang bisa saja pasangan kita tidak bertanya karena ini semua milik kita dan dia mungkin sungkan bertanya kepada kita, tapi saya akan meletakkan tanggung jawab itu pada pundak kita sendiri. Jadi kita harus berkata apa adanya kalau kita sudah punya firasat bahwa dia salah menduga maka kita harus katakan apa adanya.
GS : Bagaimana dengan pasangan yang ketahuan berbohong, tapi dia langsung minta maaf, "Memang saya berbohong".
PG : Sudah tentu misalnya orang berbohong, maka sudah tentu harus ada permintaan maaf dan pemberian maaf. Tapi saya harus membicarakan fakta kalau terjadi kebohongan tidak bisa tidak kejujuran itu ternoda dan pertumbuhan rasa percaya pasti mengalami hambatan. Setidaknya saya bisa bayangkan dua dampak buruk kebohongan pada relasi. Yang pertama adalah rasa sakit akibat dibohongi jauh lebih berat daripada rasa sakit akibat pertengkaran, oleh karena dalam pertengkaran kita sudah berjaga-jaga untuk diserang sedangkan kebohongan datangnya tidak diduga. Itu sebabnya luka akibat dibohongi biasanya dalam dan lama untuk sembuh. Jadi kalau terjadi kebohongan, benar-benar upaya mengobatinya memakan waktu lama. Karena relasi itu mundur ke titik nol kembali dan bahkan saya bisa juga berkata ke titik minus, bukan saja belum memercayai tapi sekarang menjadi tidak memercayai sehingga apapun yang dilakukan atau dikatakan oleh pasangannya, kita beranggapan, "Orang ini akan berkata benar atau tidak". Begitu kita sekali dibohongi, tidak bisa tidak kita akan susah untuk kembali bisa dekat dan mengasihi dia. Jadi luka akibat dibohongi akan merusakkan sendi-sendi relasi itu secara lebih menyeluruh. Maka orang atau pihak yang satunya harus menyadari bahwa sekarang relasi ini menjadi relasi yang tidak sehat dan untuk menyehatkannya memerlukan waktu yang lama.
GS : Padahal sudah minta maaf kalau itu adalah kebohongan, Pak Paul.
PG : Kita sekarang masuk ke dampak keduanya. Tapi ternyata, meskipun orang itu minta maaf dan kita mengerti orang bisa salah dan kita memaafkan, tapi ternyata relasi itu akhirnya berhenti bergerak. Kenapa? Sebab kebohongan akan menumbangkan rasa percaya, sesuatu yang mutlak harus ada di dalam relasi nikah. Relasi baru akan kembali bertumbuh tatkala rasa percaya mulai bertunas, masalahnya adalah relasi tidak bisa berlanjut mulai dari titik dimana kebohongan terjadi, biasanya relasi itu mesti dimulai lagi dari awal, jauh sebelum kebohongan terjadi sehingga gara-gara kebohongan apa yang telah dibangun runtuh dan harus dibangun ulang dan kita akhirnya merasa jauh dari pasangan kita dan tidak bisa lagi dekat dengan dia. Saya sudah bertemu dengan orang yang dibohongi oleh pasangannya dan benar-benar itu menghapus rasa percaya, dan ketika rasa percaya tidak ada lagi, keinginan untuk dekat dengan pasangannya, mesra dengan pasangannya tidak ada lagi karena tiba-tiba kita dihadapkan dengan sebuah pribadi yang lain, sebab diri yang seperti ini yang saya kenal sebelumnya tapi sekarang baru sadar kalau saya dibohongi, ternyata dia bukan ini. Berarti sekarang dia berpacaran dengan orang yang lain dan dia harus menyesuaikan diri dengan orang yang baru. Jadi ternyata seperti itulah dampak kebohongan pada relasi.
GS : Tetapi ada juga pasangan yang berusaha untuk membohongi pasangannya setelah tahu bahwa dia dibohongi maka dia berusaha untuk membohongi pasangannya itu, Pak Paul.
PG : Maksudnya dia ingin membalas. Sudah tentu salah, kalau dia membalas sebab kalau kita mulai balas membalas dengan kebohongan berarti kebohongan akan menjadi ciri relasi kita dan dalam kondisi seperti itu sebetulnya tidak ada lagi relasi, yang ada adalah sebuah permusuhan dimana masing-masing mencoba untuk memanipulasi atau merugikan pasangannya.
GS : Bagaimana supaya kepercayaan itu bisa bertumbuh kembali, Pak Paul?
PG : Saya kira kalau kita telah bersalah dan kita harus akui dan kita harus menyodorkan semua hal yang telah kita sembunyikan sampai-sampai tidak ada lagi hal-hal yang kita sembunyikan sebab yang ingin dia ketahui adalah apakah ada lagi yang kita akan tutupi. Kalau kita pernah berbohong maka pasangan akan berkata, "Apakah ada lagi yang kau tutupi?" maka kita harus mengatakan semuanya, tidak boleh lagi ada yang ditutupi sebab kalau sampai ada yang ditutupi dan dia akhirnya mengetahui dan ternyata kita menutupinya dengan sengaja berarti relasi itu hampir tamat. Jadi sekali lagi obatnya adalah berilah waktu dan kedua harus berikan kejujuran yang total.
GS : Hal kedua untuk memperkuat relasi suami istri itu apa, Pak Paul?
PG : Kesalehan dan kekudusan. Jadi apa yang kita lakukan pada masa kita berpacaran akan berdampak pada masa pernikahan. Di dalam masa berpacaran kita harus meninggikan kesalehan dan kekudusan. Saya membedakan kekudusan dan kesalehan dalam pengertian kekudusan berhubungan langsung dengan godaan dan dosa seksual. Sedang kesalehan berkaitan dengan kehidupan rohani secara menyeluruh. Kesalehan atau kehidupan rohani yang sehat menandakan adanya ketaatan kepada Tuhan dan ini berdampak pada relasi, bersama dengan Tuhan secara intim akan menolong kita hidup dalam jalur kehendak-Nya dan akan memberikan kita kekuatan untuk bertahan dalam pencobaan. Coba saya sekarang langsung masuk ke dalam kekudusan. Hampir setiap pasangan yang tengah berpacaran, saya kira harus bergumul menjaga kekudusan, kendati kita tahu batas yang tidak boleh dilanggar tetap saja godaan untuk melanggarnya lebih besar daripada pengetahuan itu sendiri. Jadi pada akhirnya seringkali kekudusan lebih merupakan proses jatuh bangun ketimbang kemenangan yang permanen. Sungguhpun demikian kita ini tetap harus mengusahakannya sebab kekudusan berhubungan erat dengan kehendak Tuhan sendiri, kegagalan kita menjaga kekudusan mengakibatkan kejatuhan kita ke dalam dosa seksual yaitu perzinahan dan sebagaimana kita ketahui dosa berakibat serius pada relasi kita dengan Tuhan. Jadi kita harus menyadari bahwa kekudusan berkaitan erat dengan Tuhan dan pertanggung jawaban kita kepada-Nya. Disamping itu kekudusan ternyata juga berhubungan erat dengan relasi itu sendiri, hilangnya kekudusan pada masa berpacaran seringkali menimbulkan dampak yang panjang pada relasi bahkan setelah pernikahan.
GS : Seringkali yang menjadi panutan adalah orang lain juga berbuat seperti itu, sehingga mereka tidak terlalu merasa penting untuk menjaga kekudusan.
PG : Ini memang sudah menjadi masalah di kalangan para pemuda dan remaja. Jadi susah untuk menjaga kekudusan dewasa ini, karena yang pertama ini adalah perilaku teman-teman yang juga kita kenal maka penting kita dikelilingi oleh teman-teman yang kudus, yang seiman dalam Tuhan sehingga kita mendapatkan kekuatan untuk hidup kudus juga, namun kita tidak boleh berkata bahwa karena yang lain juga melakukan maka saya juga lakukan, jangan seperti itu. Sebab apa yang kita lakukan berkaitan langsung dengan Tuhan (karena ini adalah sebuah dosa) dan berdampak serius pada relasi kita itu.
GS : Apa dampaknya di dalam relasi pernikahan, Pak Paul?
PG : Sekurang-kurangnya ada 4, yang pertama adalah acapkali hilangnya kekudusan berakibat hilangnya respek atau penghargaan baik pada diri pasangan atau diri sendiri. Jadi ada sesuatu yang sakral tentang hubungan seksual yang tidak bisa dijelaskan oleh nalar tapi tertangkap oleh batin dan naluri. Seks sebelum menikah membuat kita memandang pasangan dan diri sendiri dengan pandangan yang berbeda yaitu tidak lagi sehormat dulu. Jadi kita harus menyadari begitu kita melakukannya maka rasa hormat itu akan mulai menyusut.
GS : Walaupun itu dilakukan atas dasar suka sama suka, Pak Paul?
PG : Betul. Jadi bagaimana pun juga tidak akan sama. Sebab sekali lagi ada sesuatu yang sakral di dalam hubungan seksual itu sendiri. Kalau dilakukannya dalam pernikahan maka kesakralannya tetap ada, kalau di luar pernikahan maka kesakralannya akan turun.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?
PG : Begitu relasi berpacaran beranjak masuk ke ranah seksual maka berubahlah relasi itu menjadi sebuah relasi yang tidak aman, bila pada awalnya relasi itu memang kurang kuat sudah tentu dampak goncangannya akan terasa, tapi kalaupun relasi itu kuat begitu terjadi hubungan seksual maka relasi itu tidak akan sekuat dulu lagi. Hilangnya kekudusan akan berdampak pada hilangnya rasa aman, membuat kita posesif, kita takut kehilangannya, kita tidak ada lagi kepercayaan kepadanya, sebab kita takut dia akan mengulang perbuatan itu kepada orang lain atau dia nanti akan meninggalkan kita. Jadi sekali kita melakukannya, relasi kita tidak akan seaman dulu.
GS : Tapi untuk meninggalkan kalau dia pihak wanita maka dia akan berpikir ulang, kalau yang pria mungkin bisa saja meninggalkan begitu saja. Tapi yang wanita, untuk dia meninggalkan maka harus berpikir dua atau tiga kali, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kecenderungan untuk lebih posesif akan lebih kuat, rasa tidak aman juga akan makin tidak kuat. Jadi sekali lagi relasi yang tadinya baik dan sehat dimana banyak hal bisa dikerjakan sekarang terhalang gara-gara muncul keposesifan dan muncul rasa tidak aman yang kuat.
GS : Yang ketiga apa, Pak Paul?
PG : Relasi berpacaran yang terisi dengan kontak seksual menjadi relasi yang stagnan alias tidak bertumbuh, pertemuan demi pertemuan akhirnya diisi oleh hubungan seksual dan ini mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk menumbuhkan relasi, jadi aspek lain dalam relasi gagal bertumbuh sebab konsentrasi utama ada pada hubungan seksual saja. Jadi dengan kata lain, akhirnya relasi ini menjadi relasi yang lemah.
GS : Padahal biasanya hubungan seksual yang dilakukan di luar nikah, biasanya bisa dilakukan tidak hanya sekali tapi berkali-kali, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi dengan kata lain, kalau terus menerus dilakukan maka benar-benar konsentrasi relasi itu sudah bergeser dan tidak ada lagi dalam hal lain tapi hanya pada seks saja sehingga akhirnya relasi itu tidak berkembang.
GS : Sebelum kita akhiri perbincangan ini apakah masih ada hal lain, Pak Paul?
PG : Terakhir adalah hilangnya kekudusan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memulai proses penyesuaian dan penyelesaian ketidaksesuaian atau konflik. Hubungan seksual di masa pranikah membuat kita terfokus hanya pada kepuasan jasmaniah dan ini membuat kita melupakan masalah yang ada atau membuat kita terlena sehingga luput mendeteksi masalah yang berpotensi muncul. Setelah menikah baru kita terkejut menemukan begitu banyak ketidakcocokan di antara kita. Alhasil konflik terus menerus terjadi setelah kita menikah.
GS : Jadi walaupun hubungan seksual itu merupakan salah satu bentuk relasi, tapi kalau itu dilakukan sebelum mereka resmi menikah, ini malah menimbulkan hal yang negatif.
PG : Betul sekali. Makanya Tuhan melarangnya dan apa yang Tuhan larang sudah tentu baik.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan?
PG : Saya bacakan dari 1 Tesalonika 4:7,8, "Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus. Karena itu siapa yang menolak ini bukanlah menolak manusia, melainkan menolak Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu." Jadi jelas firman Tuhan memanggil kita bukan untuk hidup cemar, tapi untuk hidup kudus dan ternyata hidup kudus memunyai begitu banyak faedahnya pada relasi pernikahan kita kelak.
GS : Perbincangan ini memang masih belum selesai dan kita berharap para pendengar kita akan mengikuti perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Dan terima kasih sekali untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kesalahan Dalam Menjalin Relasi" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


99. Kesalahan dalam Membangun Relasi II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T345B (File MP3 T345B)


Abstrak:

(a)Kejujuran dan keterbukaan,
(b) Kesalehan dan Kekudusan,
(c) Kejelasan dan Kefleksibelan.
Ketiga hal itu yang harus ada ketika kita menjalin relasi. Untuk lebih jelasnya, disini dipaparkan mengenai hal tersebut.

Ringkasan:

Sesungguhnya relasi pernikahan berawal bukan pada waktu bel gereja berdentang. Relasi pernikahan bermula di titik kita memulai relasi dengan pasangan. Jika demikian, sebenarnya apa yang terjadi setelah pernikahan merupakan kepanjangan atau lanjutan dari apa yang terjadi sebelum pernikahan. Berdasarkan pemahaman ini, marilah sekarang kita melihat hal-hal apa sajakah yang perlu terjadi atau sebaliknya, dijaga jangan sampai terjadi pada masa berpacaran supaya relasi pra-nikah ini dapat menjadi fondasi yang kokoh dan sehat bagi pernikahan itu sendiri.

A. Kejujuran dan Keterbukaan

Saya membedakan kejujuran dan keterbukaan dalam pengertian, kejujuran adalah menyingkapkan yang sebenarnya tentang diri kita—dengan kata lain kita tidak mendistorsi fakta. Jadi, bila kita pernah berpacaran sebelumnya, jangan berkata bahwa kita tidak pernah berpacaran. Atau, jika kita tidak pernah duduk di bangku kuliah, jangan mengklaim bahwa kita pernah menjadi mahasiswa.

Keterbukaan sudah tentu mengandung kejujuran namun keterbukaan bukan hanya kejujuran. Keterbukaan adalah menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita. Dari awal berelasi kita harus bersikap jujur, dalam pengertian menyingkapkan yang sebenarnya kepada pasangan. Namun mungkin ada hal-hal yang tidak dapat dengan segera kita bagikan dengan pasangan, bukan karena kita hendaknya menutupinya melainkan karena kita mau memastikan bahwa kita akan dapat mempercayakannya dengan hal yang pribadi ini.

Bila kejujuran ternoda oleh kebohongan, pertumbuhan rasa percaya niscaya mengalami hambatan. Setidaknya ada dua dampak buruk kebohongan pada relasi:

Rasa sakit akibat dibohongi jauh lebih berat ketimbang rasa sakit akibat pertengkaran oleh karena dalam pertengkaran kita sudah berjaga-jaga untuk diserang sedang kebohongan datangnya tidak diduga.

Kebohongan membuat relasi berhenti sebab kebohongan menumbangkan rasa percaya—sesuatu yang mutlak harus ada di dalam relasi nikah. Relasi baru akan kembali beranjak tatkala rasa percaya mulai bertunas. Masalahnya adalah, relasi tidak bisa berlanjut mulai dari titik di mana kebohongan terjadi. Singkat kata, kebohongan membuat kita merasa asing dengan pasangan.

Apabila kejujuran bertalian erat dengan kepercayaan, keterbukaan berkaitan erat dengan keintiman. Makin kita terbuka—menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita—maka makin bertambah keintiman.

B. Kesalehan dan Kekudusan

Dalam pembahasan ini saya membedakan kekudusan dan kesalehan, dalam pengertian kekudusan berhubungan langsung dengan godaan dan dosa seksual, sedang kesalehan berkaitan dengan kehidupan rohani secara menyeluruh. Kesalehan atau kehidupan rohani yang sehat menandakan adanya ketaatan kepada kehendak Tuhan. Dan, ini berdampak pada relasi. Bersama dengan Tuhan secara intim akan menolong kita hidup dalam jalur kehendak-Nya dan akan memberi kita kekuatan untuk bertahan di dalam pencobaan.

Hampir setiap pasangan yang tengah berpacaran harus bergumul menjaga kekudusan. Kendati kita tahu batas yang tidak boleh dilanggar, tetap saja godaan untuk melanggarnya lebih besar daripada pengetahuan itu sendiri. Pada akhirnya sering kali kekudusan lebih merupakan proses jatuh-bangun ketimbang kemenangan yang permanen. Sungguhpun harus jatuh-bangun, kita tetap harus mengusahakannya sebab kekudusan berhubungan erat dengan kehendak Tuhan sendiri. Kegagalan kita menjaga kekudusan mengakibatkan kejatuhan kita ke dalam dosa seksual yaitu perzinahan.

Di samping berkaitan langsung dengan kehendak Tuhan dan dosa, kekudusan juga berhubungan erat dengan relasi itu sendiri. Ternyata hilangnya kekudusan pada masa berpacaran dapat menimbulkan dampak yang panjang, sebagaimana dipaparkan berikut ini:

1. Acapkali hilangnya kekudusan berakibat hilangnya respek atau penghargaan, baik pada diri pasangan atau diri sendiri.

2. Begitu relasi berpacaran beranjak masuk ke ranah seksual, berubahlah relasi itu menjadi sebuah relasi yang tidak aman. Kita bertambah takut kehilangannya dan kita pun kehilangan kepercayaan kepadanya sebab kita senantiasa dihantui bayangan bahwa ia dapat melakukan hal yang sama dengan orang lain.

3. Relasi berpacaran yang terisi oleh kontak seksual pada akhirnya menjadi relasi yang stagnan alias tidak bertumbuh. Akhirnya relasi berubah menjadi relasi yang lemah sebab pertumbuhan yang seyogianya terjadi, luput berkembang.

4. Terakhir, hilangnya kekudusan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memulai proses penyesuaian dan penyelesaian ketidaksesuaian atau konflik. Hubungan seksual di masa pra-nikah membuat kita terfokus hanya pada kepuasan jasmaniah dan ini akhirnya membuat kita melupakan masalah yang ada atau membuat kita terlena sehingga luput mendeteksi masalah yang berpotensi muncul. Setelah menikah barulah kita terkejut menemukan begitu banyak ketidaksesuaian di antara kita.

Jika demikian besar dampaknya, tidak bisa tidak, kita mesti berusaha keras untuk menjaga kekudusan di masa berpacaran. Kendati tidak mudah, kita harus terus berupaya sebab harga yang mesti dibayar teramat mahal. Berikut akan dijabarkan beberapa saran untuk menjaga kekudusan:

1. Kita harus mengundang Tuhan masuk ke dalam relasi kita sejak awal. Kita mesti menjadikan Tuhan sebagai "orang ketiga" yang senantiasa hadir dalam relasi kita.

2. Sejak awal kita harus mengikatkan diri ke dalam sebuah relasi pertanggungjawaban dengan seorang mentor atau kakak pembimbing.

3. Sedapatnya jauhkan kontak fisik dan hindarkan tempat yang memberi kita kesempatan untuk berbuat jauh. Jangan sungkan untuk menolak ajakan atau sentuhan yang melanggar batas.

4. Pada akhirnya, jangan berhenti bergumul. Jangan putus asa dan jangan berkata bahwa Tuhan tidak lagi peduli. Tuhan peduli dan Ia akan menerima kita yang babak belur bergumul dengan dosa.

C. Kejelasan dan Kefleksibelan

Pada masa berpacaran terdapat kecenderungan yang kuat untuk bersikap samar, dalam pengertian, tidak berani mengambil sikap atau menunjukkan selera dan pendapat pribadi. Akhirnya kita mendiamkan perbuatan pasangan yang tidak kita sukai, menelannya ke dalam hati, karena kita khawatir bahwa penyataan pendapat dapat memicu konflik.

Sejak awal berelasi seyogianya kita bersikap jelas kepada pasangan. Kita mesti berani menyatakan sikap kepadanya walaupun dengan bersikap jelas, mungkin saja terjadi konflik. Namun kalaupun terjadi konflik, ini adalah konflik yang sehat. Selain dari itu dengan menyatakan sikap yang jelas, kita pun memberi kesempatan kepada pasangan untuk melihat siapakah kita—apa adanya. Makin jelas ia melihat kita, makin terbuka kemungkinan ia memilih—atau tidak memilih kita—dengan alasan yang tepat. Maksud saya, oleh karena ia dapat melihat siapakah kita apa adanya, kalaupun ia harus memutuskan hubungan, ia akan melakukannya atas dasar yang tepat, bukan atas dasar kesalahpahaman. Jadi, beranikanlah diri untuk menyatakan sikap. Tunjukkan diri apa adanya—baik itu apa yang diharapkan maupun apa yang tidak diharapkan. Lewat kejelasan ini, kita akan dapat memulai proses penyesuaian. Namun, ingat bahwa di samping jelas, kita pun mesti bersedia untuk bersikap fleksibel. Jangan bersikap kaku—apalagi egois. Dalam proses penyesuaian dituntut kesiapan kedua belah pihak untuk mengurungkan niat, untuk membatalkan tuntutan, untuk mengubah permintaan, dan untuk mengakui kesalahan. Kedewasaan dibuktikan lewat kemampuan untuk memilah-milah, mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tanpa fleksibilitas kita tidak akan dapat membangun sebuah relasi nikah yang langgeng dan sehat.

D. Keserasian dan Kenikmatan

Keserasian adalah kesamaan minat. Memang tidak mungkin kita menemukan orang dengan kesamaan minat pada semua bidang; sudah tentu akan ada perbedaan minat. Namun bila kita mendapati bahwa pasangan kita begitu berbeda sehingga dalam hampir segala lini kehidupan, kita berbeda, besar kemungkinan pernikahan kita akan mudah rapuh. Minat sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan. Orang dengan latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan yang sama cenderung mengembangkan kesamaan minat.

Selain dari keserasian, faktor lain yang berpotensi menumbuhkan relasi adalah kenikmatan. Pernikahan baru dapat bertumbuh bila kita dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan. Sebaliknya jika kita tidak dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan, mustahil relasi dapat bertumbuh. Apabila kita menemukan kecocokan, tidak bisa tidak, kita akan senang bersamanya. Kita akan menanti-nantikan waktu untuk bersamanya. Kita tidak sabar untuk berbagi dan bercerita; kita ingin dapat mendengar suaranya dan menghabiskan waktu bersamanya. Inilah pertanda bahwa kenikmatan sudah menjadi bagian dari relasi.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Kesalahan Dalam Menjalin Relasi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita membicarakan tentang kesalahan dalam menjalin relasi. Dan Pak Paul katakan ada 4 pasang hal yang perlu diperhatikan dalam menjalin relasi, kita baru berbicara 2 pasang dan itu pun belum sempat sampai tuntas. Kita akan lanjutkan perbincangan itu pada kesempatan ini. Namun agar para pendengar kita memunyai gambaran yang lengkap maka Pak Paul bisa membicarakan secara lengkap apa yang telah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.
PG : Apa yang terjadi pada relasi berpacaran seringkali dibawa masuk ke dalam pernikahan itu sendiri, jadi kalau dalam masa berpacaran, kita telah membentuk pola kehidupan tertentu pada akhirnya nanti akan masuk ke dalam pernikahan dan juga akan memberi dampak para relasi kita. Maka kita harus menjalani masa berpacaran itu dengan benar atau sehat sehingga pada akhirnya kita akan menuai benih-benih sehat dalam pernikahan kita pula. Kita telah bahas bahwa pada masa berpacaran dituntut adanya kejujuran dan keterbukaan, kita harus menyingkapkan yang sebenarnya kepada pasangan dan harus menargetkan, seiring dengan berjalannya waktu kita menjadi terbuka yaitu kita harus mengungkapkan sebanyak-banyaknya kepada pasangan sehingga dia makin mengenal siapa kita. Kita juga membahas bahwa dalam masa berpacaran kita perlu menjunjung tinggi kesalehan dan kekudusan. Kesalehan sudah tentu adalah kehidupan rohani, kehidupan yang akrab dengan Tuhan sehingga kita nanti bisa berjalan dalam kehendak-Nya. Namun kita juga harus menekankan kekudusan karena kalau misalnya sampai kekudusan ternoda, bukan saja melanggar perintah Allah yaitu perzinahan, tapi itu juga bisa berdampak pada relasi pernikahan kita, yaitu misalnya kita nantinya kurang percaya pada pasangan kita, kita nanti kurang menghargai pasangan kita dan kita juga merasa tidak aman dalam relasi ini karena telah terjadi hal yang melanggar kekudusan itu, kita selalu bertanya-tanya apakah pasangan kita akan meninggalkan kita. Jadi relasi yang tadinya kuat menjadi lemah. Maka kita harus berjaga jangan sampai relasi kita kehilangan kekudusannya.
GS : Padahal menjaga kekudusan ini bukan sesuatu yang mudah, karena batas-batasnya pun kadang kita tidak tahu dengan jelas yang mana disebut kudus, yang mana disebut tidak kudus. Upaya apa yang bisa kita lakukan atau dilakukan oleh mereka yang sedang berpacaran agar kekudusan itu tetap terjaga. Karena nanti sampai ke pernikahan pun mereka harus tetap menjaga kekudusannya masing-masing, Pak Paul?
PG : Betul sekali. Yang pertama adalah kita harus mengundang Tuhan masuk ke dalam relasi kita sejak awal. Kita harus menjadikan Tuhan sebagai orang ketiga yang senantiasa hadir dalam relasi kita. Jadi jangan abaikan waktu untuk berdoa bersama, kesadaran akan kehadiran Tuhan di tengah kita dapat menolong kita menghalau godaan seksual. Jadi kalau relasi kita hampa dengan kehidupan rohani, kita tidak berdoa bersama, kita tidak berbakti bersama dan sebagainya maka godaan seksual itu akan makin besar. Tapi kalau kita terus menghadirkan dan mengundang Tuhan agar ada dalam relasi kita maka kehadiran Tuhan itu juga akan menolong kita mengingat untuk menjaga kekudusan.
GS : Selain kita secara sadar mengundang Tuhan dalam relasi ini, apakah perlu sebagai pasangan yang baru saling menjajagi mengundang orang lain, Pak Paul?
PG : Ide itu sangat baik. Jadi kita juga perlu memiliki sebuah relasi pertanggung- jawaban dengan seorang mentor atau kakak pembimbing, kita harus bersedia bertemu dengannya secara berkala misalnya 1 atau 2 bulan sekali, dan melaporkan status relasi kita, secara spesifik kekudusan kita. Kita diingatkan bahwa kita harus memertanggungjawabkan perbuatan kita kepada seseorang, ingatan ini akan membantu kita menjaga kekudusan karena kalau kita mau melangkah terlalu jauh maka kita akan ingat kalau bulan depan saya harus memertanggungjawabkan ini kepada kakak pembimbing saja, bagaimana saya harus mengatakan ini. Jadi ingatan ini menolong kita untuk berjaga-jaga.
GS : Memang ini agak jarang dilakukan terutama di sini karena memang agak sulit mencari orang yang bisa dipercaya sebagai kakak pembimbing kita.
PG : Memang hal ini tidak terlalu terbiasa disini, tapi kita bisa meminta seorang kakak pembimbing atau kakak rohani untuk menjadi orang kepadanya kita bisa datang untuk memertanggungjawabkan perbuatan kita. Sebab waktu saya berpacaran, saya dan calon istri saya bergumul dengan hal kekudusan, maka kami menyadari hal ini. Sekarang kami membuka diri kami, kami mau memberikan kesempatan kepada orang untuk datang kepada kami dan bercerita. Jadi kami di sana juga membimbing pasangan yang dalam masa berpacaran dan kami secara berkala akan bertemu, dan setiap kali kami bertemu saya akan menanyakan hal kekudusan ini dan mereka dengan jujur berbagi dengan kami mengenai pergumulan mereka, sekaligus mereka juga mengatakan bahwa karena tahu kalau kami akan bertemu secara berkala maka mereka menjadi lebih berhati-hati karena mengetahui nanti harus dipertanggungjawabkan. Saya kira ini suatu konsep yang penting dan baik.
GS : Hal lain yang bisa dilakukan apa, Pak Paul?
PG : Sedapat-dapatnya jauhkan kontak fisik dan hindarkan tempat yang memberikan kita kesempatan untuk berbuat terlalu jauh. Jangan sungkan untuk menolak ajakan atau sentuhan yang melanggar batas, lebih baik takut berdosa dan terlihat kolot dan kaku daripada terjeblos dalam dosa. Salah satu hal yang sering diungkapkan oleh orang adalah kenapa dia membiarkan sejauh itu, seringkali apalagi yang wanita dia berkata, "Karena tidak enak atau sungkan untuk menolak jadi akhirnya mendiamkan" padahalnya dia sebetulnya tidak mau. Jadi penting sekali kita berani bicara apa adanya dan jangan takut melukai hati pasangan, sebab apa yang kita lakukan adalah sebuah investasi untuk pernikahan kita kelak.
GS : Mungkin yang harus diperhatikan adalah caranya menolak, atau cara memberitahukan supaya pasangannya jangan tersinggung.
PG : Betul. Jadi kita harus sampaikan dengan halus supaya tidak membuat dia merasa terhina.
GS : Mungkin ada hal lain lagi yang bisa dilakukan,Pak Paul?
PG : Pada akhirnya jangan berhenti bergumul, jangan putus asa. Jangan berkata bahwa Tuhan tidak lagi peduli, tidak seperti itu karena Tuhan peduli dan ia akan menerima kita yang babak belur bergumul dengan dosa. Sebaliknya jangan meremehkan Tuhan dan jangan berkata bahwa, "Tuhan pasti mengerti, maka Dia membolehkan kita berhubungan seksual sebelum menikah" tidak! Tuhan telah memberi perintah-Nya dan Dia tidak memberi kita pengecualian, apa yang tidak boleh, ya tidak boleh. Jadi jangan sampai kita ke ekstrem yang satu atau ke ekstrem yang satunya. Kadang karena kita sudah gagal terlalu jauh berbuat maka kita merasa percuma, "Tuhan pasti sudah marah" jangan seperti itu, dan juga jangan meremehkan Tuhan, "Pasti Tuhan tidak marah, ada hal-hal yang lain yang lebih serius karena ini bukan hal yang serius" jangan seperti itu! Kalau hal ini tidak serius maka Tuhan tidak akan mengatakan "jangan".
GS : Jadi kekudusan ini memang dikehendaki Tuhan dari anak-anak-Nya, baik yang sedang berpacaran, menikah maupun hidup lajang dan seterusnya karena ini menjadi salah satu sifat dari Tuhan yang Tuhan mau kita juga meniru Tuhan seperti itu.
PG : Betul sekali. Jadi memang di kitab Imamat Tuhan juga berkata, "Hendaklah kamu kudus karena Aku kudus" jadi Tuhan tidak mau kita hidup sama seperti orang lain yang tidak mengenal Tuhan.
GS : Mungkin ada hal lain yang perlu kita perhatikan di dalam menjalin relasi ini, Pak Paul?
PG : Kita sekarang masuk ke pasangan yang ketiga yaitu kejelasan dan kefleksibelan. Pada masa berpacaran ada kecenderungan yang kuat untuk bersikap samar. Dalam pengertian tidak berani mengambil sikap atau menunjukkan selera atau pendapat pribadi, akhirnya kita mendiamkan perbuatan pasangan yang tidak kita sukai, menelannya ke dalam hati karena kita khawatir bahwa pernyataan pendapat dapat memicu konflik. Masalahnya adalah begitu kita mendiamkan perilaku tertentu dari pasangan maka besar kemungkinan perilaku itu akan menetap menjadi bagian kita, akhirnya perilaku itu akan terus bertahan menjadi bagian dari pernikahan. Itu sebabnya dari awal berelasi seyogianya kita bersikap jelas kepada pasangan, kita harus berani menyatakan sikap kepadanya walaupun dengan bersikap jelas mungkin saja terjadi konflik, namun kalaupun terjadi konflik menurut saya ini adalah konflik yang sehat. Ini adalah konflik yang seharusnya terjadi, dengan kita menyatakan sikap dan timbul konflik, kita akan berkesempatan menyelesaikan problem yang ada.
GS : Seringkali perilaku yang tegas ini disalah mengerti orang dengan sikap kaku tidak bisa berkompromi sehingga untuk menjalin supaya relasi ini mulus mudah dimengerti, kita cenderung berkompromi dalam hal ini, tapi rupanya itu lebih memperburuk hubungan.
PG : Rupanya kalau kita terus samar-samar berkompromi, akhirnya kita ini tidak memberikan kesempatan kepada pasangan untuk sungguh-sungguh mengenal siapa kita apa adanya. Sebetulnya ini tidak sehat sebab makin jelas ia melihat kita, makin terbuka kemungkinan ia memilih atau tidak memilih kita dengan alasan yang tepat. Maksud saya, oleh karena ia dapat melihat siapa kita apa adanya kalaupun dia harus memutuskan hubungan, dia akan melakukannya atas dasar yang tepat dan bukan atas dasar kesalahpahaman, jadi kita harus merasa aman menjadi diri kita apa adanya sehingga kita tidak takut kalau hubungan ini putus, kadang ini yang terjadi karena takut hubungan ini putus maka kita terus bersikap membolehkan, mengiyakan dan tidak pernah menyatakan sikap dengan jelas. Tapi bagi saya itu merugikan sebab pasangan kita mengira kalau kita seperti itu padahalnya bukan, dan nanti setelah menikah bukankah yang asli akan keluar dan ini nanti menjadi masalah.
GS : Apakah pasangan itu tidak bisa menangkap atau memahami bahwa sebenarnya ini merupakan sebuah kompromi dia terhadap kita?
PG : Ada yang bisa menangkapnya, tapi ada juga yang beranggapan, "Pacar saya ini orangnya baik, menurut dan tidak pernah menolak dan tidak pernah mengatakan tidak" jadi dilihatnya sebagai sebuah karakter yang dianggapnya baik padahalnya bukan, ini bukan karakter aslinya. Jadi tetap saya anjurkan terbukalah, kalau tidak setuju berkata tidak setuju. Justru dengan cara itu maka perbedaan yang ada bisa terlihat dan akhirnya diselesaikan. Jadi beranikan diri untuk bersikap dengan jelas. Sebab kalau kita menunjukkan diri apa adanya maka pasangan kita bisa melihat siapa kita dan kita bisa memulai proses penyesuaian. Tapi di pihak lain kita juga harus bersedia untuk bersikap fleksibel dan jangan kaku apalagi egois. Dalam proses penyesuaian dituntut kesiapan kedua belah pihak untuk misalnya mengurungkan niat, membatalkan tuntutan, mengubah permintaan, atau mengakui kesalahan.
GS : Ini yang kadang sulit bagi kita, kita sedang pada bagian mana, bagian fleksibel atau kita itu begitu tegas menyatakan sikap kita, ini menjadi bingung.
PG : Jadi dari awal kita harus bersikap jelas, waktu kita bersikap jelas kemudian timbul konflik dan kita harus menyesuaikan diri maka belajarlah untuk fleksibel. Mulai dari bersikap jelas dulu kita menyatakan sebetulnya apa yang menjadi keinginan hati kita, suka atau tidak suka, apa yang kita harapkan dari dia, itu yang kita ucapkan namun biarkan, nanti akan terjadi mungkin diskusi atau perdebatan atau bahkan konflik dan tidak apa-apa. Dalam upaya menyelesaikan ketidaksesuaian itu, dua-dua harus siap untuk fleksibel.
GS : Sebenarnya kalau kita mau mengalah sedikit maka hubungan itu akan membaik kembali, hanya karena seseorang itu terlalu kuat pada pendiriannya sehingga relasi itu bisa juga terancam putus.
PG : Jadi kadang-kadang kita ini beranggapan, "Saya tidak bisa kompromi sebab ini hal prinsipiil" tapi masalahnya kalau semua hal sama penting dan sama prinsipiilnya dan tidak ada yang kita bisa kompromikan maka susah juga. Jadi pernikahan itu nantinya dibangun di atas kejelasan sikap dan sekaligus kefleksibelan sikap juga. Kita harus mampu memilah-milah mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tapi setelah kita sadari mana yang penting dan mana yang tidak penting maka belajarlah untuk fleksibel untuk hal-hal yang tidak penting itu.
GS : Karena kadang-kadang apa yang kita anggap penting, bagi pasangan itu tidak terlalu penting. Sehingga dia bilang, "Begitu saja tidak mau mengalah".
PG : Betul. Jadi kita mesti akhirnya melihat masalah dari kacamata pasangan kita, tidak hanya dari kacamata kita sendiri. Misalnya kalau kita sedang makan dan kemudian pasangan kita datang, pasangan kita mengharapkan kita memanggil dan mengajak makan. Mungkin kita berkata, "Itu tidak penting", tapi pasangan kita bisa berkata, "Dengan kamu mengajak saya makan, saya tidak merasa diacuhkan, tapi saya merasa diperhatikan jadi tolong kamu lakukan", kita tidak bisa berkata, "Saya tidak peduli, saya tidak suka". Mungkin kita bisa berkata, "Baiklah, terus terang bagi saya hal itu tidak penting sebab kalau aku makan dan kamu di situ dan aku tidak menawari kamu makan, aku tidak mengapa dan aku tidak akan persoalkan tapi karena ini penting buat kamu meskipun ini tidak penting buat aku, maka lain kali aku akan ingat untuk panggil kamu. Tapi kalau sampai aku lupa maka mohon maaf dan tolong dimaklumi sebab ini bukan hal yang penting buat aku tapi saya akan usahakan hal itu".
GS : Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menjalin relasi ini apa, Pak Paul?
PG : Yang terakhir adalah pasangan keserasian dan kenikmatan. Pernikahan bertahan di atas kesanggupan untuk menoleransi, menerima dan menyesuaikan diri. Singkat kata, bila kita tidak bersedia untuk menoleransi, menerima dan menyesuaikan diri sesungguhnya kita tengah berada di ambang kehancuran. Sungguhpun demikian kita harus mengingat bahwa pernikahan juga harus bertumbuh bukan hanya bertahan. Untuk dapat bertumbuh dituntut adanya keserasian dan kenikmatan, yang saya maksud dengan keserasian adalah kesamaan minat. Memang tidak mungkin kita menemukan orang dengan kesamaan minat dalam semua bidang, sudah tentu ada perbedaan minat. Namun untuk dapat membangun pernikahan dituntut adanya kesamaan minat dalam banyak hal. Singkat kata, bila kita mendapati bahwa pasangan kita begitu berbeda sehingga dalam hampir segala lini kehidupan kita berbeda, maka besar kemungkinan pernikahan kita akan mudah rapuh. Ini unsur keserasian yang harus diperhatikan pada masa berpacaran.
GS : Sebenarnya memang ada banyak hal yang melatarbelakangi seseorang sehingga seseorang itu bisa serasi. Misalnya dalam hal budaya, kebiasaan, dalam hal ekonomi, dalam hal pendidikan. Itu yang membuat orang serasi dan tidak serasi, kalau misalnya dalam hal pendidikan, jika jaraknya terlalu jauh maka perbedaan itu juga sulit untuk serasi. Demikian juga untuk faktor ekonomi, hubungan sosial dan sebagainya, itu semua juga berpengaruh, Pak Paul.
PG : Sangat berpengaruh. Tadi Pak Gunawan sudah mengatakan kalau minat itu sangat dipengaruhi baik oleh latar belakang pendidikan, tingkat kecerdasan atau latar belakang ekonomi. Jadi memang orang dengan latar belakang pendidikan, tingkat kecerdasan dan latar belakang ekonomi yang sama cenderung mengembangkan kesamaan minat, itu sebabnya seyogianyalah kita memilih orang dengan latar belakang pendidikan, tingkat kecerdasan, dan latar belakang ekonomi yang lebih sederajat sehingga kita bisa menemukan lebih banyak kesamaan minat dan membangun lingkup kehidupan yang serupa. Sebagai contoh apabila kita gemar membaca karya ilmiah tapi pasangan kita gemar menonton sinetron, maka tidak bisa tidak akan ada perbedaan mencolok dalam banyak hal lainnya. Perbedaan ini tentu membuat kita sukar berbicara panjang lebar akan minat masing-masing. Yang menonton sinetron akan membicarakan sinetron dan kita tidak suka, tidak bisa bicara tentang sinetron. Kita suka membaca buku karya ilmiah dan pasangan tidak suka, kita tidak bisa ceritakan kepada dia apa yang telah kita baca, temuan-temuan baru yang telah ditemukan kita tidak bisa bagikan kepadanya dia juga tidak mau membaca dan tidak minat mendengarkan. Jadi sekali lagi tingkat pendidikan, latar belakang ekonomi dan tingkat kecerdasan berpengaruh besar di dalam pengembangan minat, makin kita beda dalam hal latar belakang tersebut, tidak bisa tidak makin berbeda minat kita, dan makin berbeda minat kita, maka makin sulit bagi kita untuk menambah keserasian dalam pernikahan kita kelak.
GS : Bagaimana kalau salah satu mau mengalah, misalnya tadi yang lebih tinggi. Orang yang ekonominya lebih tinggi mau mengalah dan mencoba berpasangan dengan mereka yang ekonominya lebih rendah atau lebih pandai bergelar mau mengalah. Apakah unsur mengalah ini bisa memerbaiki relasi, Pak Paul?
PG : Sudah tentu akan memerbaiki relasi kalau kita menyadari ada perbedaan maka kita terima dan kita tidak memaksakan dia untuk mengikuti minat kita dan sebaliknya, sudah tentu kalau ada yang mengalah maka itu akan memudahkan. Namun tetap tidak terlalu gampang sebab misalnya tingkat kecerdasan, tingkat kecerdasan yang rendah cenderung melahirkan cara berpikir yang sederhana dan kaku. Orang yang tingkat kecerdasannya rendah cenderung kaku karena dia melihat sesuatu dari kacamatanya sendiri dan susah untuk dia dengan lincah melihat sudut pandang yang lainnya, akibat tingkat kecerdasan yang terbatas, dia tidak bisa melihat dari berbagai sudut, pola pikirnya hitam putih dan tidak mudah berubah, akhirnya waktu berdiskusi dengan kita, ada hal yang ingin kita tunjukkan kepada dia susah. Jadi akhirnya lama-lama kita juga bisa enggan berbicara atau diskusi dengan dia, sedangkan banyak hal yang harus diputuskan bersama. Biasanya kalau sudah seperti itu kita tidak lagi konsultasi dan kita putuskan sendiri. Karena kalau diskusi maka akan menjadi panjang lebar, kita sudah berusaha dan menjelaskan, bahkan sebelum kita berdiskusi kita sudah terbayang sesuatu dan kita sudah lebih dulu berpikir pasti akan menjadi panjang, dan sampai kapan? Berhari-hari dan tidak ada waktu lagi. Jadi akhirnya kita ambil keputusan sendiri, berarti itu merengganglah hubungan kita dengan pasangan.
GS : Dan itu berdampak pada hubungan sosial kita, kadang kita tidak berani atau tidak mau mengajak pasangan kita untuk bergaul dengan orang-orang yang kurang serasi.
PG : Betul sekali. Jadi unsur keserasian itu penting sekali.
GS : Selain keserasian, faktor lain yang berpotensi menumbuhkan relasi, apa Pak Paul?
PG : Yang lain adalah faktor kenikmatan. Pernikahan baru dapat bertumbuh bila kita dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan. Sebaliknya jika kita tidak bisa menikmati kebersamaan dengan pasangan, mustahil relasi dapat bertumbuh. Apabila kita menemukan kecocokan maka tidak bisa tidak kita akan senang bersamanya dan kita akan menanti-nantikan waktu untuk bersamanya, kita tidak sabar untuk berbagi dan bercerita, kita ingin dapat mendengar suaranya dan menghabiskan waktu bersamanya. Inilah pertanda bahwa kenikmatan sudah menjadi bagian dari relasi. Jadi kita bisa menikmati kebersamaan kita, kita bisa melakukan hal-hal yang menjadi minat kita bersama dan menikmati waktu bersama dengan dia. Inilah yang akan menumbuhkan sebuah relasi.
GS : Biasanya ini terjadi pada masa berpacaran, tapi makin lama makin pudar setelah pernikahan, Pak Paul.
PG : Seringkali itu terjadi, banyak orang selama masa berpacaran menemukan kesamaan dan bisa melakukan hal ini bersama-sama dan menikmatinya, setelah menikah ada anak dan tanggung jawab maka dipangkaslah kebersamaan-kebersamaan itu, maka kita harus berjuang keras, berjuang untuk menetapkan misalnya jadwal supaya kita masih bisa bersama dengan pasangan, secara berkala melakukan hal-hal yang kita juga senangi bersama, hal-hal itu akan menjadi perekat relasi kita. Kalau orang tetap dalam pernikahan, sama-sama serumah tapi tidak ada lagi hal-hal yang dapat dilakukan bersama yang dinikmatinya, maka tidak bisa tidak relasi itu sudah sangat kering sekali.
GS : Jadi sebenarnya pada masa berpacaran kenikmatan itu tumbuh dengan sendirinya, tapi pada masa pernikahan ini harus diusahakan.
PG : Betul sekali. Jadi kita harus menjaganya karena kalau tidak, maka lama-lama akan tersapu bersih oleh tuntutan kehidupan.
GS : Seberapa penting faktor kenikmatan itu setelah kita menikah, Pak Paul?
PG : Saya kira penting sekali karena inilah yang nanti menumbuhkan kasih sayang, menumbuhkan keintiman dan benar-benar menjadi perekat hubungan kita, makin banyak hal yang bisa kita kerjakan bersama. Kita menikmati kebersamaan, saya kira makin kuat relasi kita itu.
GS : Jadi sebenarnya hal penting apa yang Pak Paul ingin sampaikan di dalam memersiapkan pernikahan ini?
PG : Saya akan menyimpulkannya dengan satu kalimat yaitu pilihlah dengan hati-hati dan pilihlah dari hati. Pilihlah pasangan kita dengan hati-hati jangan sembarangan namun pilihlah dari hati. Artinya yang memang cocok sesuai dengan hati kita.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Roma 15:5-7 berkata, "Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus, sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus. Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah." Ini firman Tuhan menegaskan kembali kepada kita bahwa panggilan kita adalah untuk memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, namun Tuhan meminta kita yaitu dengan satu hati dan satu suara. Jadi inilah yang harus kita bina dalam relasi berpacaran menjadi satu hati dan satu suara agar nanti bisa memuliakan Tuhan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kesalahan Dalam Menjalin Relasi" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


100. Bisakah Mengubah Pasangan?


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T371A (File MP3 T371A)


Abstrak:

Salah satu perbedaan utama antara sebelum dan sesudah menikah adalah, pada masa sebelum menikah, kita cenderung MENERIMA pasangan sedangkan setelah menikah, kita cenderung MENGUBAH pasangan. Singkat kata, sebelum menikah kita berusaha menerima pasangan apa adanya namun setelah menikah, kita menyadari bahwa tidak semua tentang pasangan dapat kita terima apa adanya. Pertanyaannya adalah apakah kita dapat mengubah pasangan? Dan jawabannya adalah tidak bisa. Karena kita tidak bisa mengubah pasangan maka apa yang harus kita lakukan agar kita bisa menciptakan kondisi yang kondusif.


Ringkasan:

Salah satu perbedaan utama antara sebelum dan sesudah menikah adalah, pada masa sebelum menikah, kita cenderung MENERIMA pasangan sedang setelah menikah, kita cenderung MENGUBAH pasangan. Singkat kata, sebelum menikah kita berusaha menerima pasangan apa adanya namun setelah menikah, kita menyadari bahwa tidak semua tentang pasangan dapat kita terima apa adanya.

Pertanyaannya adalah apakah kita dapat mengubah pasangan? Sudah tentu kita tidak dapat mengubah pasangan sebab pada akhirnya perubahan bersumber dari keinginan seseorang. Sungguhpun demikian ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif untuk pasangan berubah. Nah, oleh karena kebanyakan konflik dalam pernikahan berasal dari PERBEDAAN KEBIASAAN HIDUP yang telah berakar, maka kebanyakan perubahan yang diharapkan juga berhulu dari kebiasaan hidup.

Berikut akan dipaparkan beberapa cara untuk mendorong terciptanya perubahan.

Firman Tuhan mengingatkan, "Dan jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki." (Galatia 5:25-26) Kendati kita sangat ingin melihat perubahan pada pasangan, kita tidak boleh menggunakan cara sendiri sebab perubahan sejati hanya dapat terjadi melalui kuasa Tuhan. Kita pun tidak boleh mendengki dan saling menantang, sebaliknya kita menyerahkan pasangan kepada Roh Kudus untuk diubah oleh-Nya.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Bisakah Mengubah Pasangan?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, mungkin ketika saya sebutkan judulnya, "Bisakah mengubah pasangan?", mungkin ada para pendengar yang spontan bilang, "Tidak bisa, itu sesuatu yang mustahil". Dan kita sebagai orang yang sudah berkeluarga juga mengerti betapa sulitnya hidup bersama pasangan terutama pada tahun-tahun awal pernikahan. Tetapi kita menginginkan pernikahan kita bisa terus bertumbuh, berkembang namun hambatannya seringkali ada hal-hal yang selalu menjadi permasalahan antara suami dan istri. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Tidak bisa disangkal perubahan adalah sebuah misteri, ada hal-hal yang kita usahakan supaya pasangan kita berubah, tapi tetap tidak berubah dan nanti tidak direncanakan tiba-tiba dia berubah sendiri, misalnya dia mengalami sesuatu atau dia mendapatkan teguran dari Tuhan sehingga dia tiba-tiba berubah. Jadi saya harus mengakui perubahannya itu adalah sebuah misteri, namun meskipun kita berkata demikian kita juga harus memunyai sebuah pemikiran yang positif bahwa sesungguhnya itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bahwa kita masih bisa mengusahakan hal-hal tertentu supaya pasangan kita itu berubah. Memang kita harus mengakui satu hal misalnya orang sedang berpacaran kemudian ditanya, "Apa yang engkau ingin pasanganmu untuk berubah?" biasanya yang sedang berpacaran akan berkata, "Tidak ada, saya ini menyukai semua tentang dirinya". Tapi setelah menikah dia barulah mau membuat pasangan berubah sesuai dengan kehendaknya. Jadi kita harus mengakui bahwa pada masa berpacaran kecenderungan kita adalah menerima pasangan apa adanya, tapi setelah menikah akhirnya kita menyadari tidak semua tentang pasangan kita sukai, kita mau dia pun berubah.

GS : Padahal semasa pacaran kita juga tahu akan kekurangannya dari pasangan kita itu.

PG : Ada yang memang kita ketahui tapi ada juga yang tidak kita ketahui. Yang kita ketahui pun kita anggap, "Tidak apa-apa masalah kecil dan nanti setelah menikah kita akan berubah dengan sendirinya" atau "Nanti bisa saya hadapi" namun kenyataan setelah menikah untuk satu kurun kita menyadari ternyata tidak semudah itu. Jadi inilah waktunya kita coba membahas sebetulnya apakah ada hal-hal yang dapat kita lakukan untuk menolong pasangan berubah.

GS : Kita kembali kepada topik perbincangan kita yaitu, bisakah kita mengubah pasangan?

PG : Jawabannya bisa. Jadi kita dapat mengusahakan sebuah suasana yang kondusif agar pasangan berubah. Kalau kita menjawabnya secara kaku, "Bisa tidak mengubah orang lain?" sudah tentu jawabannya, "Tidak bisa". Namun saya tetap meyakini kita bisa menciptakan suasana atau kita bisa menciptakan sebuah atmosfir dimana akhirnya pasangan kita bisa mengalami perubahan pula. Ada satu area yang kita mau fokuskan kali ini yaitu tentang kebiasaan hidup, tidak bisa disangkal kita biasanya memiliki perbedaan kebiasaan hidup dan inilah yang kita bawa ke dalam pernikahan dan kita berusaha agar pasangan bisa mengadopsi kebiasaan hidup kita, inilah yang biasanya menjadi sumber konflik di dalam pernikahan.

GS : Kalau itu merupakan suatu perbedaan didalam kebiasaan hidup yang sudah terbentuk sejak kecil di masing-masing keluarganya, apakah perlu diubah atau kita yang justru menyesuaikan, Pak Paul?

PG : Memang ada hal-hal yang kita harus usahakan dan kita sendiri yang berubah, kita tidak bisa berharap bahwa pasangan akan menyesuaikan diri sepenuhnya dengan kita, sudah tentu harus ada timbal balik dan kita harus terbuka terhadap apa yang diharapkan oleh pasangan kita.

GS : Langkah yang pertama biasanya apa, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah kita harus menyampaikan harapan kita dalam bentuk permintaan bukan tuntutan, jadi hati-hati dengan suara atau nada yang mengharuskan pasangan berubah sesuai dengan permintaan kita, jangan seperti itu. Kita memohon jangan sampai pasangan belum apa-apa sudah merasa disudutkan karena kita sudah menuntut atau mengharuskannya. Kadang karena menganggap kebiasaan hidup kita lebih baik atau lebih sehat daripada pasangan, itu yang membuat kita akhirnya mengkomunikasikan harapan ini dalam bentuk dan nada tuntutan. Saya ulang, karena kita merasa ini yang baik dan ini yang seharusnya kamu ikuti, tidak bisa seperti itu. Jadi hampir dapat dipastikan permintaan akan jauh lebih dapat diterima ketimbang tuntutan. Sebaiknya mulailah dengan kata-kata seperti, "Apakah boleh saya meminta sesuatu darimu?" jadi bukan, "Kamu tidak benar atau kamu tidak boleh begini, kamu jangan begini, kenapa kamu tidak bisa begini?" Mulailah dengan permintaan, "Bolehkah saya meminta sesuatu darimu?"

GS : Biasanya karena ini pada awal pernikahan, si suami atau si kepala keluarga ingin menunjukkan otoritasnya, jadi kalau dia meminta maka dia merasa otoritasnya berkurang, lagi pula di pihak istri juga merasa tidak enak kalau pakai basa-basi seperti itu, seringkali yang dilontarkan adalah, "Kita ini sudah suami istri kamu tidak perlu berbasa-basi seperti itu, katakan langsung apa yang kamu minta". Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebaiknya sejak awal pernikahan kita memulai sebuah kebiasaan yang baik, kebiasaan yang baik memang sedapat-dapatnya kita santun, jadi meskipun kita merasa ini tidak alamiah tapi sedapatnya bicaralah dengan baik-baik, memang tidak harus persis seperti yang saya sarankan, tapi sekali lagi penekanannya adalah jadikanlah ini sebuah permintaan dan bukan menuntut "Kamu harus begini" dan kita meninggikan kebiasaan hidup kita sebagai yang paling baik dan dia dari keluarga yang kurang baik sehingga kebiasaannya kurang baik. Itu yang harus kita hindari.

GS : Kalau itu berupa suatu permintaan, apakah itu tidak membuat si suami itu merasa kurang berharga, Pak Paul?

PG : Bisa jadi. Sebetulnya saya harus akui ini mungkin bisa dialami oleh si suami tapi bisa juga dialami oleh si istri. Jadi ada orang yang memang gengsi dan kita harus melawan ego kita, karena sekali lagi meminta membuat kita merasa kita ini di pihak yang lebih rendah maka kita tidak mudah-mudah meminta, apalagi yang tadi saya sudah singgung kalau kita beranggapan bahwa kita ini yang lebih baik, cara hidup kitalah yang memang superior daripada cara hidupnya. Kita lebih-lebih tidak suka merendahkan diri seperti itu. Tapi sekali lagi kita ini mau menikah dan menyatu dalam pernikahan dan kita bukan mau memertahankan ego kita, kalau kita maunya memertahankan ego maka dari awal lebih baik tidak menikah, kalau kita mau menikah maka dari awal kita harus siap menurunkan ego kita.

GS : Langkah kedua yang bisa diambil apa, Pak Paul?

PG : Walaupun permintaan itu bukanlah tuntutan, melakukan perubahan tidaklah selalu mudah, maksud saya walaupun kita mendapatkan permintaan dari pasangan kita, tidak dituntut hanya diminta, tapi tetap tidak mudah bagi kita menyesuaikan dan melakukan perubahan. Itu sebabnya sewaktu kita melihat pasangan masih belum melakukan perubahan sebaiknya kita tidak langsung menegurnya, kita perlu memberikannya waktu untuk berubah seraya mengingatkannya secara berkala. Jadi kita harus mengingat untuk berubah tidak mudah dan perlu waktu serta perlu diingatkan. Waktu diingatkan benar-benar mengingatkan dengan nada yang juga santun, jangan sampai belum apa-apa karena kita sudah kesal nada mengingatkannya juga terdengar kasar.

GS : Memang biasanya kita punya semacam target, tenggang waktu misalnya kalau untuk tenggang waktu tertentu tidak berubah-berubah, ini memengaruhi nada bicara kita dengan dia.

PG : Hal itu memang tidak bisa dicegah. Misalnya hitungan sampai ketiga, kalau sudah tiga kali kita ingatkan dan masih tetap tidak berubah maka jadinya kita langsung marah. Saya mengerti saya tidak mengatakan bahwa seharusnya kita tidak marah dan sebagainya, kita manusia ada batas kesabarannya tapi sekali lagi kalaupun sampai kita harus marah, sebisa-bisanya kita jaga jangan sampai berkata-kata kasar kepada dia tapi tetap tujuannya adalah mengingatkan bukan saja mengingatkan apa yang kita minta itu, tapi ingatkan juga bahwa kita telah memintanya dan kita dengan baik-baik memintanya. Kita tidak menekannya atau menuntutnya, supaya dia ingat bahwa kita telah berusaha sedapat-dapatnya mengkomunikasikan hal ini dengan cara yang sebaik-baiknya.

GS : Kalau kita mau mengulang lagi permintaan kita, seberapa seringnya kita harus mengemukakan itu, Pak Paul?

PG : Saya pikir sedapatnya kalau kita mau mengajukan permintaan untuk perubahan, jangan dilakukan terlalu sering, maksud saya misalnya kendati permintaan itu berlainan, dan kita mau meminta yang lain, maka kita berkata dalam hati, "Tidak apa-apa sekarang saya tidak mengulang yang sama kita mau meminta yang lain", tapi tetap lebih baik kita tidak mengajukannya dalam waktu berdekatan. Bahkan satu permintaan per minggu dapat dianggap terlalu banyak, bila ini berlanjut selama berbulan-bulan. Jadi kadang-kadang ada orang yang mengeluh tidak tahan terlalu banyak tuntutan dari pasangan. Meskipun mungkin sekali pasangan tidak menuntut tapi meminta saja, tapi kalau misalkan hampir setiap minggu ada satu permintaan dia harus berubah ini dan itu, kira-kira kalau kita yang dituntut seperti itu maka kita akan merasa kewalahan. Jadi saya minta kita jangan terlalu sering mengajukan permintaan supaya pasangan berubah.

GS : Bagaimana kalau pasangan menuntut barter. Kita meminta sesuatu kepada pasangan dan dia bilang, "Saya akan berubah sesuai permintaanmu, tapi saya juga meminta supaya kamu berubah", ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau itu adalah permintaannya dan kita tahu itu hal yang penting bagi dia saya kira sedapatnya kita penuhi pula sebab kita tidak menikah dengan malaikat, kita menikah dengan manusia yang berdosa, jadi orang kalau terdesak disalahkan dan dia tahu dia memang salah dan dia tahu dia yang harus berubah, tapi tetap waktu dia harus berubah lagi dan berubah lagi, rasanya dia kehilangan pijakan dan dia ingin kita juga selevel dengan dia, maka dia juga mengajukan tuntutan. Bisa jadi tuntutannya atau harapannya supaya kita berubah sebetulnya tidak terlalu penting, tapi pahamilah dalam kondisi dia terdesak dia juga mau melihat kita bersedia untuk berubah juga, maka kita coba lakukan dan kita tidak melawan serta tidak berkata, "Kamu ini mencari alasan sebetulnya kamu tidak mau berubah dan sengaja meminta saya ini, lebih baik tidak perlu". Kalau itu yang dia minta maka kita harus lakukan dan dengan cara itu kita tidak memerpanjang masalah.

GS : Kalau kita tidak berubah-berubah maka dia pun tidak akan berubah-berubah, jadi ini semacam tawar-menawar yang tidak ada selesainya.

PG : Jadi lebih baik seseorang, dalam hal ini kita, berinisiatiflah untuk mengadakan perubahan sesuai dengan apa yang dimintanya.

GS : Hal lain apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah sekecil apa pun perubahan yang dilakukan berilah tanggapan positif. Dengan kata lain, berilah penghargaan terhadap usahanya melakukan perubahan. Kenapa? Sebab setiap penghargaan yang kita sampaikan kepadanya akan mendorongnya untuk terus melakukan perubahan, sebaliknya kritikan, keluhan biasanya memadamkan semangat untuk berubah. Jadi sekali lagi cobalah perhatikan usahanya, hal-hal yang coba dilakukannya dan berilah tanggapan positif. Jangan kita menunggu sampai dia tuntas mengadakan perubahan, waktu dia sudah memulainya dan kita melihat dia mencobanya, berilah dia tanggapan positif, itu akan memberikan kepadanya kekuatan untuk melanjutkan perubahan.

GS : Biasanya orang mau berubah kalau dia sudah melihat hasil dari perubahan itu, membawa kebaikan bagi hubungan suami istri, dia menikmati manfaatnya sehingga dia akan lanjutkan perubahan itu.

PG : Betul. Misalkan dia sudah berubah dan meskipun belum tuntas, tapi kita tetap tidak memberikan tanggapan positif, kita terus mengeluh, kita terus menyoroti yang belum dilakukannya dan lupa berterimakasih atau menghargai akan apa yang telah dilakukannya. Akhirnya itu bisa memadamkan semangatnya, dia berkata dalam hatinya mungkin, "Saya sudah mencoba dan berusaha ini itu, tapi tetap saja kamu mengeluh dan kamu memerlakukan saya sama tidak hormat dan sebagainya" akhirnya kita akan berkata, "Buat apa saya berubah sebab kamu tidak berterima kasih, hubungan kita tidak bertambah baik". Jadi betul yang Pak Gunawan katakan, orang lebih bersemangat berubah kalau dia tahu perubahannya itu benar-benar membawa dampak positif dalam relasi itu.

GS : Daripada kita memberikan kritikan atau bahkan pujian positif, bagaimana kita bisa membantu pasangan kita supaya dia itu berubah. Karena orang berubah itu harus dibantu oleh orang lain, dimotivasi dan sebagainya. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebaiknya memang kita memikirkan juga langkah-langkah praktis, kalau kita memang tahu ada langkah praktis yang bisa kita sarankan maka coba kita lakukan hal itu. Saya berikan contoh, ini mungkin bagi sebagian pasangan hal yang tidak begitu penting, tapi bisa jadi ini penting bagi sebagian pasangan yaitu ada orang yang misalnya kalau membuka kaos kaki atau baju kotor, dia tidak terbiasa untuk melemparkan semua itu di kamar mandi, misalkan kita sudah sediakan satu ember atau tempat untuk baju kotor. Misalnya kita berkata-kata kepada pasangan kita, "Tolong taruh di situ, ini tempatnya" tapi dia terus lupa dan dia ganti baju di kamar dan baju kotornya berantakan serta kaos kakinya berceceran dimana-mana. Apa yang harus kita lakukan? Kita mau menolong dia berubah, maka kita bisa menyediakan lebih banyak tempat, misalkan di kamar tidur kita, kita sediakan satu, dekat tempat dia membuka sepatu kita sediakan lagi satu dan misalkan supaya dia tidak lupa kita benar-benar berikan label diatasnya tempat baju kotor. Waktu dia melihat kita melakukan semua itu memang ini mengingatkan dia sekaligus juga membuat dia lebih menghargai kita yang berusaha membantunya berubah.

GS : Biasanya kita malah bukan memberikan label di tempat-tempat itu, tapi justru orangnya yang kita beri label dan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Maka penting waktu kita meminta pasangan berubah sedapatnya janganlah tempelkan label salah atau jelek atau buruk. Seyogianya kita hanya memberikan label salah atau buruk bila itu adalah sebuah kebiasaan yang mengandung dosa atau merugikan orang lain. Jadi misalnya kebiasaan hidup bangun terlambat adalah kebiasaan hidup yang harus dibedakan dengan kebiasaan hidup berhutang, itu tidak sama. Kenapa? Sebab berhutang merugikan orang, sedang bangun terlambat belum tentu merugikan orang. Itu tidak sama, kita harus bedakan. Atau contoh lainnya, kebiasaan hidup berbohong, itu harus diperlakukan berbeda dengan kebiasaan hidup senang bicara, ada orang yang senang bicara. Karena berbohong bersifat dosa sedangkan senang bicara belum tentu berakhir dengan dosa. Jadi sekali lagi kita hanya boleh melabelkan sesuatu jelek, buruk atau salah dan sebagainya kalau memang ada kandungan dosanya atau kebiasaan itu merugikan orang.

GS : Tapi biasanya kita kait-kaitkan karena kita menghendaki dia berubah. Misalnya tadi Pak Paul menyinggung tentang yang bangunnya siang, memang di satu sisi merepotkan pasangannya terutama istri akan repot kalau suaminya terlambat bangun karena harus menyiapkan dan sebagainya, sedang dia sendiri juga perlu untuk dirinya sendiri mungkin mau bekerja dan sebagainya. Di situ biasanya orang lalu memberikan label malas atau mengkaitkannya dengan dosa dan mengatakan Alkitab bilang kalau kemalasan adalah dosa lalu dibacakan ayat-ayat di Alkitab yang terkait dengan kemalasan, ini membuat orang menjadi perasaan.

PG : Maka sedapat-dapatnya kita mencegahnya jangan sampai menarik kesimpulan terlalu jauh. Memang sudah tentu kalau kita tarik atau kaitkan bisa saja sampai ke dosa. Tapi sebaiknya kalau masih terlalu jauh jangan kaitkan dengan dosa, yang penting saya sudah singgung jangan memberikan label yang memang lebih menjatuhkan orang. Misalkan kita dirugikan karena gara-gara dia bangun terlambat sehingga kita akhirnya terlambat juga, kita bisa bicara terus terang, "Ini sepertinya tidak bisa terus begini, gara-gara kamu bangun tidur terlambat saya menjadi begini". Kita harus usahakan cara yang lebih praktis, misalnya karena dia bangun terlambat maka kita bereskan semua sebelum dia bangun meskipun kita menjadi harus bangun lebih pagi, tapi setidak-tidaknya lebih beres. Ada juga orang yang senang berdandan, kalau ada undangan si suami pada dasarnya sudah merasa jengkel, karena dia tahu kalau istrinya itu akan berdandan lama dan kalau sudah berdandan lupa waktu, sehingga akan terlambat, misalkan gara-gara itu dia harus terburu-buru di jalan karena tidak mau terlambat maka kita bisa berkata dengan pasangan kita bahwa, "Tolong lindungi saya" dari pada kita marah-marah maka katakanlah, "Tolong lindungi saya dari musibah yang lebih besar yaitu kecelakaan sebab kalau sampai saya kecelakaan nanti, kamu juga susah atau gara-gara ini saya akhirnya juga membuat kamu cedera karena kecelakaan maka itu akan membuat kita berdua susah jadi tolong ingat kepentingan masing-masing". Sering-seringlah ingatkan seperti itu, sering-sering kita ingatkan seperti itu setiap kali terjadi dan hal ini lebih bisa diterima oleh pasangan kita.

GS : Kadang-kadang label ini bukan label yang jahat atau malas, tapi kita kaitkan dengan keluarganya, "Ini bawaannya papa dan mamamu" kata-kata seperti itu juga menyakitkan, Pak Paul.

PG : Dan mudah kita keluarkan, kalau kebetulan sama dengan kebiasaan yang kita tidak suka dari ayah ibuya. Jadi kita akhirnya membanding-bandingkan kebiasaan hidup keluarganya dengan keluarga kita, bahwa keluarga kita lebih baik dan sebagainya. Walau kebiasaan hidup keluarga kita mungkin saja lebih baik atau sehat, tetap sedapatnya hindarkanlah perbandingan sebab perbandingan berpotensi membuatnya merasa bahwa kita tengah merendahkan keluarganya, ingat kebanyakan kita lebih dapat menerima diri sendiri direndahkan daripada keluarga kita direndahkan. Kalau kita sendiri direndahkan ini dan itu, kita masih bisa terima dibanding kalau kita merasa suami kita atau istri kita merendahkan keluarga kita. Jadi berhati-hatilah dalam memberikan komentar tentang keluarga pasangan.

GS : Ini sedikit banyak ditentukan oleh hubungan dia dengan orang tuanya. Kalau hubungan dia tidak terlalu harmonis dengan orang tuanya maka dampaknya tidak terlalu terasa tapi kalau hubungannya dekat sekali memang akan terasa.

PG : Iya, memang akan membuat dia tambah bereaksi dan membuat dia tidak mau dan malah balas menyerang keluarga kita lagi, akhirnya malah menjadi panjang. Maka sedapatnya jangan membanding-bandingkan.

GS : Mungkin masih ada lagi yang perlu kita ketahui, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah hampir semua kebiasaan hidup yang buruk dan berdosa lebih sukar berubah daripada kebiasaan hidup lainnya. Ini harus kita akui karena kebiasaan hidup yang mengandung dosa berhubungan langsung dengan kuasa dosa itu sendiri. Contohnya adalah berjudi, saya sangat meyakini memang ada unsur dosa yang sangat kuat di dalam kebiasaan berjudi. Karena ada kandungan dosa maka tidak mudah melepaskan kebiasaan berjudi. Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus mendoakan agar dia mengalami pertobatan rohani. Singkat kata, fokuskan perhatian dan usaha kita pada pembaharuan rohani, tanpa pertobatan rohani tidak akan terjadi perubahan, apabila pasangan sudah bertobat dan mau berubah namun belum sanggup artinya dia terus bergumul dengan kebiasaannya yang buruk jadikanlah perubahan ini sebagai pokok doa dan pergumulan bersama, setidak-tidaknya kita tahu dia memang berusaha untuk berubah. Jadi terus minta kekuatan Tuhan agar perubahan yang didambakan dapat terwujud.

GS : Memang sebagian besar kebiasaan buruk ini akarnya dari dosa itu tadi dan itu tidak mungkin dikalahkan tanpa pertolongan Tuhan, tanpa pekerjaan Roh Kudus di dalam diri orang tersebut. Apakah ada ayat firman Tuhan yang menguatkan kita untuk membimbing pasangan kita kalau kita menghendaki pasangan kita berubah, Pak Paul?

PG : Galatia 5:25-26 berkata, "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki." Kendati kita sangat ingin melihat perubahan pada pasangan, kita tidak boleh menggunakan cara sendiri, sebab perubahan sejati hanya dapat terjadi melalui kuasa Tuhan, kita pun tidak boleh mendengki dan saling menantang, sebaliknya kita menyerahkan pasangan kepada Roh Kudus untuk diubahkan oleh-Nya.

GS : Jadi sebenarnya harus dimulai dari kita untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan supaya perubahan itu terjadi.

PG : Betul.

GS : Dan tidak ada sesuatu yang mustahil bagi Tuhan.

PG : Betul.

GS : Jadi kalaupun kita merasa tidak mungkin mengubah pasangan, tetapi bagi Tuhan itu sesuatu yang dimungkinkan. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bisakah Mengubah Pasangan?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



101. Sikap Hidup Reaktif


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T371B (File MP3 T371B)


Abstrak:

Tidak semua kita memunyai masa kecil yang menyenangkan. Salah satu dampak masa kecil yang buruk adalah pengaruhnya terhadap diri kita pada masa sekarang. Secara khusus kita akan menyoroti sikap hidup reaktif sebagai akibat masa kecil yang tidak menyenangkan dan dampaknya pada relasi kita sekarang dengan orang di sekitar, terutama dengan pasangan sendiri.


Ringkasan:

Tidak semua kita memunyai masa kecil yang menyenangkan. Salah satu dampak masa kecil yang buruk adalah pengaruhnya terhadap diri kita pada masa sekarang. Secara khusus kita akan menyoroti sikap hidup reaktif sebagai akibat masa kecil yang tidak menyenangkan dan dampaknya pada relasi kita sekarang dengan orang di sekitar, terutama dengan pasangan sendiri.

Definisi Sikap Hidup Reaktif

Sikap hidup reaktif adalah sikap hidup yang berorientasi pada orang di sekitar, dimana bukan saja orang di sekitar menjadi fokus utama perhatian kita tetapi juga menjadi penggerak atau penyebab perilaku kita. Sudah tentu kita semua terpengaruh oleh kondisi lingkungan dan tanggapan yang kita terima dari orang. Namun seyogianya di dalam jiwa yang sehat, perilaku kita bukan saja dipengaruhi oleh sikap atau tindakan orang, tetapi juga oleh pilihan pribadi yang kita ambil berdasarkan nilai yang kita miliki.

Singkat kata sikap reaktif memerlihatkan bahwa kekuatan dalam diri sesungguhnya lemah. Akhirnya kita kurang proaktif atau berinisiatif dan cenderung ikut arus. Kita tidak tahu apa yang kita inginkan atau tidak inginkan; kita hanya melihat sikap atau tindakan pasangan dan memberi reaksi terhadap apa yang dilakukannya atau apa yang dipilihnya.

Dampak Pada Relasi

Tidak bisa tidak, sikap hidup reaktif memberi dampak yang besar pada relasi dengan sesama. Jika kita hidup bersama pasangan yang reaktif, kita cenderung memunculkan reaksi berikut ini:

Cara Menghadapi

Oleh karena sikapnya yang reaktif, maka tidak bisa tidak, pintu masuk ke dalam dirinya harus melalui diri kita. Bila kita bersikap baik dan melimpahkannya dengan kasih sayang sesuai kebutuhannya, besar kemungkinan ia pun akan memberikan reaksi yang positif pula. Sebaliknya, jika kita bersikap kasar atau marah kepadanya, besar kemungkinan ia pun akan bersikap kasar atau marah kepada kita. Singkat kata, kita harus melakukan perubahan terlebih dahulu sebab ia hanya dapat melihat dirinya apa adanya, bila ia merasa dikasihi oleh kita. Makin berlimpah kasih yang diterimanya dari kita, makin terbuka hatinya untuk mendengarkan masukan kita. Saya memahami bahwa sekilas tampak tidak adil. Mungkin berpikir, "Masakan kita yang mesti berubah terlebih dahulu sedangkan ia adalah orang yang perlu berubah?" Ya, memang kita yang harus berubah terlebih dahulu. Dengan kata lain, cara Tuhan memerbaiki relasi tidaklah sama dengan apa yang kita harapkan. Tuhan menginginkan kita berubah terlebih dahulu dan lewat perubahan itu, Tuhan akan bekerja mengubah pasangan kita pula.

Firman Tuhan di 2 Korintus 9:8 mengingatkan, "Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan." Ya, dengan kekuatan sendiri kita mungkin merasa tidak sanggup untuk memulai dan terus bersikap baik kepada pasangan. Kita mesti datang kepada Tuhan kita Yesus, sumber kasih karunia dan kebajikan. Kita harus memintanya setiap hari yaitu agar Tuhan melimpahkan kita dengan kebajikan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Sikap Hidup Reaktif". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, yang dikatakan sikap hidup reaktif itu seperti apa?

PG : Sikap hidup reaktif adalah sikap hidup yang berorientasi pada orang di sekitar dimana bukan saja orang di sekitar menjadi fokus utama perhatian kita, tapi juga menjadi penggerak atau penyebab perilaku kita. Sudah tentu kita semua terpengaruh oleh kondisi lingkungan dan tanggapan yang kita terima dari orang, namun seyogianya di dalam jiwa yang sehat perilaku kita bukan saja dipengaruhi oleh sikap atau tindakan orang, tapi juga oleh pilihan pribadi yang kita ambil berdasarkan nilai yang kita miliki. Bila kita memunyai sikap hidup yang reaktif mudah sekali kita terpengaruh oleh sikap dan perilaku pasangan, misalnya bila pasangan menunjukkan sedikit saja perubahan emosi atau berwajah muram kita langsung turut terpengaruh, sebaliknya jika pasangan memerlihatkan sikap yang menyenangkan dengan cepat kita terbawa oleh suasana yang ceria itu. Singkat kata, sikap reaktif memerlihatkan bahwa kekuatan dalam diri sesungguhnya lemah dan kita akhirnya kurang berinisiatif dan cenderung ikut arus, kita tidak tahu apa yang kita inginkan atau yang tidak kita inginkan, kita hanya melihat tindakan pasangan dan memberi reaksi terhadap apa yang dilakukannya dan apa yang dipilihnya.

GS : Sikap hidup reaktif ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa kecilnya atau dipengaruhi oleh lingkungannya, Pak Paul?

PG : Biasanya berawal dari masa kecil, misalnya kita dibesarkan dalam rumah tangga, dalam keluarga dimana orang tua kita memunyai tuntutan yang sangat tinggi, marah-marah kalau kita tidak berhasil memenuhi tuntutannya. Jadi kita senantiasa harus berjaga-jaga, harus berusaha sebaik-baiknya melakukan apa yang dikehendaki oleh orang tua kita. Sikap hidup yang berkembang dari masa kecil seperti ini adalah biasanya sikap hidup reaktif. Jadi kita selalu memerhatikan orang, orang menuntut kita apa, karena kita terkondisikan sejak kecil sehingga setelah kita besar mata kita terus melihat apakah orang setuju atau suka, raut wajahnya orang suka atau tidak. Jadi akhirnya mata terus tertuju kepada orang dan yang lebih buruk adalah akhirnya kita cepat melihat kesalahan orang, kalau orang tidak melakukan seperti yang kita harapkan karena sekali lagi mata kita tidak terlatih melihat diri sendiri dan hanya melihat orang saja, akhirnya perilaku kita sebetulnya hanyalah reaksi terhadap apa yang orang lain katakan.

GS : Itu biasanya spontan atau melalui pemikiran yang matang, Pak Paul?

PG : Spontan, jadi kebiasaan misalnya kita dibesarkan oleh orang tua yang luar biasa kritis dan menyoroti kita punya kegagalan dan kekurangan. Kita tidak mau terus-menerus disalahkan jadi kita akhirnya harus berusaha hidup sesuai dengan apa yang dimintanya. Lama-lama itu menjadi bagian dari diri kita, nanti kita juga akan melihat dampaknya pada orang lain, kita nantinya berbuat yang sama terhadap orang lain, kita akhirnya meminta orang harus melakukan yang kita inginkan dengan standart yang kita warisi dari orang tua kita.

GS : Ini memengaruhi relasi kita dengan orang lain padahal kita setiap hari berelasi dengan orang lain, ini dampaknya apa, Pak Paul?

PG : Yang pertama kita membuat orang bingung, sebab tindakan yang diperbuat tidak lagi memunyai garis prinsip yang lurus atau konsisten. Misalkan kita hidup dengan pasangan yang reaktif, hal yang salah kemarin bisa tidak salah hari ini dan begitu pula sebaliknya, hal yang benar kemarin bisa salah hari ini, misalnya pulang terlambat hari ini tidak apa-apa dia baik-baik dengan kita senyum-senyum. Misalkan dua hari kemudian kita pulang terlambat lagi dari kantor dan kita sama seperti dua hari lalu lupa memberitahukan dia atau tidak sempat beritahu dia. Dua hari ini ternyata sangat berbeda dia marah besar dan dia mengolok kita kurang peduli dengan dia, kita memanfaatkan dan menyia-nyiakan dia. Kita bingung kenapa begitu, kenapa dia bisa berubah dalam dua hari ini, yang tadinya baik-baik saja sekarang menjadi tidak baik. Ini yang saya maksud, tidak ada garis yang lurus konsisten sebab dia tidak mendasari reaksinya atas pedoman tertentu yang diyakininya. Dia tidak bisa atau tidak punya prinsip bahwa namanya juga di perjalanan, orang bisa terlambat, namanya juga manusia orang bisa lupa, pedoman seperti itu yang sepertinya tidak pernah ada dalam diri pasangan kita. Jadi apa yang sekarang sedang terjadi misalkan dia melihat kita pulang terlambat dan kita punya wajah sepertinya senang-senang (mungkin saja wajah kita biasa saja tapi di mata dia kita senang pulang terlambat), itu sudah cukup membuat dia marah besar. Jadi sekali lagi karena dia tidak memunyai pedoman yang jelas, yang konsisten maka reaksinya memang tidak bisa diprediksi dan membuat kita akhirnya bingung.

GS : Itu pengaruhnya apa, apakah masa lalunya yang membuat dia tidak bisa konsisten, Pak Paul?

PG : Memang kalau orang dalam keluarga yang dihujani dengan tuntutan harus begini dan begitu, maka kita akhirnya hanya sibuk memenuhi tuntutan alias kita sibuk memadamkan kebakaran. Jadi kalau ada api muncul kita buru-buru harus memadamkannya, kita akhirnya tidak sempat bertumbuh dengan alamiah dan menarik kesimpulan-kesimpulan, menarik hikmah-hikmah dari pengalaman hidup agar kita nanti bisa menjadikan itu sebagai bekal, nanti menghadapi ini dengan cara begini, itu yang seharusnya terjadi secara alamiah dalam masa pertumbuhan. Tapi kalau kita hidup dengan orang tua kita yang kritis menuntut terus-menerus selama misalkan 25 tahun, kita akhirnya sampai usia 25 tahun tidak sempat membangun kesimpulan atau pedoman-pedoman yang seharusnya nanti dapat kita gunakan untuk melanjutkan hidup kita di luar keluarga kita.

GS : Disitu pengaruh suasana hati seberapa besar, Pak Paul? Apakah kalau suasana hatinya sedang senang maka tidak apa-apa datang terlambat, tapi kalau sedang jengkel lalu dia marah-marah seperti tadi.

PG : Besar sekali pengaruhnya, tapi sekali lagi kuncinya adalah karena tidak adanya pedoman yang lurus dan konsisten atau jelas itu. Karena bisa juga karena 'mood' kita sedang tidak enak hari ini akhirnya kita kurang begitu luwes seperti hari-hari sebelumnya. Tapi kalau kita punya pedoman itu dan kita mengerti orang bisa terlambat, namanya juga manusia, pedoman itu mengerem reaksi kita yang emosional, tapi karena dia ini tidak punya maka waktu emosinya sedang tidak enak maka tidak ada remnya.

GS : Selain membuat orang lain bingung, apalagi Pak Paul?

PG : Dampak yang lain adalah membuat orang frustrasi dan tidak mudah akhirnya kita berkomunikasi dengannya secara terbuka. Sewaktu dia berbicara atau memberikan tanggapan maka kita berusaha menyimak baik-baik, memeriksa diri sebaliknya sewaktu kita berbicara dan memberikannya masukan dia sulit menerima dan malah cenderung menyalahkan kita sebagai pencetus reaksinya "kamu yang salah". Singkat kata tidak mudah baginya untuk melihat andilnya dalam permasalahan, sebab sekali lagi dia cenderung melihat orang dalam hal ini melihat kita, dia akhirnya tidak sempat melihat dirinya dan hanya kita saja. Maka bicara dengan dia mencoba menjelaskan dan membuat dia mengerti sepertinya kita main bola dengan tembok sehingga bola mental terus ke kita dan tidak bisa memasukkan bola ke lapangan lawan kita, selalu mental balik sebab dia tidak terlatih melihat diri karena dibesarkan dalam suasana kritikan yang begitu tinggi akhirnya dia hanya terlatih melihat orang dan dia cepat melihat kalau kita bicara kurang pas dan sebagainya, sehingga dia menyalahkan kita.

GS : Pak Paul, apakah dia mengerti bahwa kita sedang frustrasi, apa perlu kita menjelaskan kepada orang itu kalau saya ini frustrasi menghadapi kamu?

PG : Dalam kondisi yang lebih enak dia sedang tidak marah, dalam kondisi dimana kita sedang santai dengan baik-baik kita beritahu dia mungkin sekali dia bisa mendengar itu, tapi kita juga harus siap dengan reaksinya, sebab lebih seringnya meskipun dalam kondisi santai atau baik, kita ungkapkan permintaan kita atau kita beritahukan dia bahwa kita frustrasi, bisa tidak kalau kita bicara kamu tolong dengarkan. Lebih seringnya harus saya akui dia tetap bereaksi dan berkata, "Aku begini gara-gara kamu, gara-gara kamu dulu begini begini..." jadi sekali lagi untuk mengubah, makan waktu yang lama.

GS : Dan yang sulit adalah yang pertama tadi yaitu orang seperti ini membingungkan dan kita sendiri juga tidak tahu dengan tepat kapan dia siap mendengarkan kata-kata kita atau tidak. Jangan-jangan waktu kita bicara dia sedang tidak nyaman.

PG : Jadi memang tidak bisa kita pastikan, itu yang membuat kita frustrasi, kalau kita tahu orang ini sedang seperti ini maka kita lebih bisa menghadapinya tapi memang tidak bisa.

GS : Pengaruh yang lain apa, Pak Paul?

PG : Akhirnya kita tidak bisa tidak merasa terluka. Sebab dalam kemarahan pasangan yang reaktif cenderung memunculkan letupan emosi yang kuat dan tidak jarang dia mengeluarkan perkataan yang tajam menusuk hati, kita merasa tidak berdaya sebab jika kita lawan maka dia akan makin bersikap emosional. Kita marah coba mengendalikan mulut kita dan tidak mau menyakiti orang seperti apa tapi dia tidak bisa, kalau dia marah karena melihat kita dan dia melihat kitalah yang sedang berbuat tidak benar atau menjahati dia maka luapan emosinya begitu kuat, tidak ada remnya. Dan sekali lagi poin pertama yang saya katakan, karena dia tidak memunyai pedoman yang jelas jadi lebih semaunya waktu dia meluapkan emosinya.

GS : Kalau akibatnya sampai terluka seperti ini, kita juga harus lebih berhati-hati karena luka yang satu belum sembuh nanti ada lagi luka baru yang ditimbulkan, nanti lama-kelamaan orang tidak tahan, Pak Paul.

PG : Masalahnya walaupun kita bilang tidak tahan, tapi pihak yang sana susah lupa untuk mengerti sebab di matanya kitalah yang menjadi pencetusnya, dia tidak akan mengatakan hal itu kalau kita tidak berbuat apa-apa. Jadi selalu kepada kita lagi semuanya. Karena sekali lagi dia dibesarkan dalam suasana seperti itu dan kritikan dari orang tua begitu kuat, dia susah sekali melihat dirinya sehingga bereaksi terus terhadap kita.

GS : Kalau ini terjadi di dalam pasangan suami istri tentu akan berat kehidupan berumah tangga itu, Pak Paul?

PG : Berat sekali. Akhirnya kita merasa letih, capek dan putus asa tidak mengerti harus berbuat apa. Semua usaha untuk memerbaiki pernikahan berlalu dengan sia-sia. Kita pun lelah karena terus dituduh sebagai penyebab masalah, tapi kita tidak bisa menjelaskan kepadanya bahwa, "bukan saya, kamu juga ada andilnya" tapi tidak bisa menjelaskan. Dalam kondisi letih dan putus asa memang terbuka lebar keinginan untuk bersikap masa bodoh, kita merasa percuma berusaha dan akhirnya memutuskan untuk lepas tangan.

GS : Tapi kalau begitu masalahnya tidak selesai, Pak Paul?

PG : Iya, maka kita harus membicarakan apakah ada langkah untuk bisa mengoreksi masalah yang berat ini.

GS : Langkah-langkah apa yang bisa kita ambil untuk menghadapi pasangan atau orang lain yang memang bersikap reaktif seperti itu?

PG : Oleh karena sikapnya yang reaktif maka tidak bisa tidak pintu masuk ke dalam dirinya harus melalui diri kita, maksud saya adalah dia hanya melihat diri kita, jadi mencoba melihat ke dirinya, jelaskan dari pihaknya, kesalahannya apa biasanya tidak ada hasilnya. Jadi berangkatnya dari diri kita, bila kita misalnya bersikap baik melimpahkannya dengan kasih sayang sesuai kebutuhannya besar kemunginan dia akan memberikan reaksi yang positif. Sebaliknya jika kita akhirnya terpancing malah bersikap kasar atau marah kepadanya maka besar kemungkinan dia pun akan bersikap kasar atau marah kepada kita. Singkat kata, kita harus melakukan perubahan terlebih dahulu sebab dia hanya dapat melihat diri apa adanya bila ia merasa dikasihi oleh kita, makin berlimpah kasih yang diterimanya dari kita, maka makin terbuka hatinya untuk mendengarkan masukan kita. Jadi kita harus menjadi contoh yang positif sebab perlahan tapi pasti dia akan meneladani sikap dan perlakuan kita serta memberikan reaksi yang positif pula.

GS : Apa yang membuat dia sekarang mulai melihat kita, tadinya hanya melihat dirinya sendiri.

PG : Waktu kita bersikap baik, sabar dan kita melimpahkan kasih, karena matanya tertuju kepada kita dan memberikan reaksi terus kepada kita, waktu dia melihat kita sabar dan penuh kasih sayang, yang pertama dia tidak bisa bereaksi negatif, dia tidak punya alasan. Tadi kita sudah bahas bahwa dia itu bereaksi terhadap kita dan melihat kita wajahnya kurang senang dan sebagainya padahalnya kita tidak merasa dan dia bisa berkata kita kurang senang, sehingga dia bereaksi dengan keras kepada kita. Tapi kalau kita terus memberikan sikap yang positif, sabar, lemah lembut, bicara dengan baik-baik penuh kasih sayang. Pertama dia tidak ada alasan memberikan reaksi yang negatif dan yang kedua karena dia sangat dipengaruhi oleh orang di luar dirinya, reaksi orang di luar dirinya, tidak bisa tidak yang positif yang halus yang penuh kasih itu makin masuk ke dalam dirinya, makin menjadi bagian dari hidupnya. Kalau orang bertanya berapa lama? Itu akan lama, sebab misalkan tadi saya sudah singgung, dia hidup dengan orang tuanya 25 tahun seperti itu, berarti 25 tahun stok yang dia serap yang negatif itu dari orang tuanya, dan sekarang untuk kita mengubahnya mungkin juga butuh waktu bertahun-tahun agar yang positif itu masuk ke dalam dirinya sehingga dia tahu ini baik, ini sabar dan dia mulai belajar untuk mengikuti contoh yang telah kita berikan.

GS : Tapi bagaimana kalau dia punya latar belakang dimana dia melihat ibunya yang tadinya mengalah, sabar tapi malah dianiaya oleh ayahnya, jadi suami dari ibunya, sehingga di dalam dirinya timbul suatu perasaan tidak senang kepada ibunya karena mengalah terus, sehingga menjadi korban dan dia sendiri menjadi korban, reaksinya bisa lain, Pak Paul.

PG : Bisa. Dia bisa-bisa tidak menghargai kita yang berusaha untuk sabar, berusaha untuk mengalah, maka anjuran saya adalah disamping kita sabar dan mengalah ada waktu-waktu tertentu kita benar-benar menorehkan garis yang tegas misalkan kita berkata, "Kamu ini terlalu, jangan sampai melewati batas, saya berusaha untuk sabar selama ini dan kamu tahu saya telah sabar, jadi jangan kamu terus mendesak saya". Ada waktu-waktu kita harus bicara seperti itu, jangan sering-sering bicara karena kalau sering-sering bicara maka hal ini tidak lagi berdampak pada dia. Tapi kalau dia bicara jarang-jarang dan dengan nada yang serius, wajah yang serius maka dia juga bisa melihat kebanyakan kita ini mengalah dan sabar tapi ada saat-saat kita memberi sikap yang tegas kepada dia, biasanya dia akan terima dan dia akan bisa menghormati permintaan kita karena dia mengetahui kita memang serius sekali.

GS : Dan mungkin dia bisa menyimpulkan kita berbeda dengan ibunya.

PG : Betul. Jadi kalau dia melihat kita sungguh-sungguh baik dan sabar penuh kasih sayang, tapi kalau kita terlalu didesak, disudutkan barulah kita bereaksi maka dia akan melihat kalau kita tidak sama dengan ibunya itu.

GS : Kalau kita yang tadinya berusaha untuk mengubah pasangan kita atau orang lain yang bersikap reaktif tapi akhirnya kita yang harus melakukan seperti itu jadi kita yang harus menempatkan diri kita di hadapan dia, ini jadinya kita yang berubah dan bukan orang itu yang berubah.

PG : Tidak mudah memang apalagi kalau kita merasa bahwa masalahnya bukan terletak pada saya, kita sudah bicara dengan orang minta pendapat, kita ini terbuka dengan diri kita kesalahan kita, apa yang harus diperbaiki dan kita mau melihat, tapi orang yang dekat dengan kita mengerti situasi kita dan tahu istri atau suami kita dan mereka berkata, "Tidak, kamu itu sebetulnya tidak salah dia dan dia itu memang bermasalah". Ini makin membuat kita susah untuk berubah atau untuk sabar dan memberikan kasih sayang serta tidak memberikan reaksi yang keras. Sudah tentu kita merasa tidak adil dan mungkin kita berpikir, masa kita yang harus berubah sedangkan dia yang perlu berubah tapi tidak berubah. Tapi sekali lagi untuk menyelesaikan masalah, sikap hidup yang reaktif ini, kita yang harus berubah terlebih dahulu karena dia memberikan reaksi terhadap kita. Kalau kita yang berubah maka dia lebih dimungkinkan untuk berubah. Jadi dengan kata lain, kita coba kaitkan secara rohani, cara Tuhan memerbaiki relasi tidaklah selalu sama dengan apa yang kita harapkan. Tuhan menginginkan kita berubah terlebih dahulu dan lewat perubahan itu Tuhan akan bekerja mengubah pasangan kita pula.

GS : Seringkali memang seperti itu, tapi memang sudah Pak Paul katakan ini tidak adil dan ini berat untuk kita lakukan karena kita tahu yang bermasalah dia, tapi kenapa kita yang harus berubah. Namun kembali lagi kepada kebenaran firman Tuhan bahwa ketika kita merasa tidak mampu Tuhan itu akan memberikan kemampuan kepada kita untuk bisa membuat orang lain berubah.

PG : Dalam relasi kita dengan Tuhan bukankah ini yang terjadi juga, kita ini berdosa kemudian kita datang kepada Tuhan bukan saja Tuhan menjanjikan pengampunan lewat kematian di kayu salib bagi kita, tapi bukankah setelah kita ini bertobat dan kita berbuat dosa, Tuhan malah melimpahkan kasih karunia-Nya kepada kita. Bukan saja Tuhan tidak menghitung kesalahan kita dan bukan saja Dia tidak menghukum kita, tapi Dia malah melimpahi kita dengan kebaikan-Nya. Apa reaksi kita? Memang ada orang yang kurang tahu diri dan terus saja berbuat dosa, tapi itu lain perkara dan bukan itu yang saya maksud, tapi kebanyakan kita waktu melihat Tuhan baik bukannya menghukum tapi malah mengampuni dan memberikan kasih karunia-Nya kepada kita dan memberkati kita, itu yang akhirnya mengubah kita, itu yang membuat kita akhirnya berkata, "Tuhan begitu baik, Dia begitu menyayangi saya meskipun saya tidak layak dikasihi apalagi diampuni, tapi Dia masih tetap mengampuni, bukan hanya mengampuni malah melimpahkan berkat-Nya kepada kita". Kita tiba-tiba berubah dan berkata, "Sudahlah jangan sampai saya jatuh lagi dan membuat Tuhan terluka" jadi inilah prinsip yang sebetulnya Tuhan ajarkan dalam relasi kita dengan Tuhan, maka Dia juga berharap kita melakukannya dengan orang lain terutama dengan orang yang punya masalah dengan sikap reaktif ini.

GS : Jadi sebenarnya kita harus menyadari bahwa kita pun sedikit atau banyak punya sikap hidup yang reaktif, Pak Paul?

PG : Terhadap Tuhan terutama.

GS : Untuk mengakhiri perbincangan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari 2 Korintus 9:8, "Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan." Dengan kekuatan sendiri kita mungkin merasa tidak sanggup untuk memulai dan terus bersikap baik kepada pasangan maka kita harus datang kepada Tuhan kita Yesus, sumber kasih karunia dan kebajikan, kita harus memintanya setiap hari agar Tuhan melimpahkan kita dengan kebajikan yang berasal dari-Nya. Sebab stok kebajikan yang kita punya itu terbatas dan cepat habisnya, tapi Tuhan punya stok kebajikan yang tidak pernah habis. Jadi kita memintanya lagi, "Tuhan saya tidak punya lagi kebajikan, mengurus ini, berbuat ini dan itu tapi saya tahu Engkau punya stok kebajikan, berikan kepada saya supaya saya bisa berikan lagi kepada pasangan saya."

GS : Memang menghadapi orang-orang yang sulit semacam ini hanya Tuhan yang bisa mengubahkan karena Tuhan yang menciptakan orang itu dan pasti Tuhan punya cara untuk mengubah orang itu demi kebaikan kehidupan kita berkeluarga.

PG : Benar, Pak Gunawan. Jadi kita harus pegang tangan Tuhan dan jangan lepaskan tangan Tuhan dan terus berharap serta bersandar kepada-Nya meskipun kita tidak melihat hasilnya untuk waktu yang begitu lama. Kita sudah berjalan begitu panjang tapi belum memetik buahnya, tapi pegang tangan Tuhan dan jangan pernah lepaskan tangan Tuhan.

GS : Kita percaya bahwa perbicangan kita ini bisa menjadi berkat inspirasi bagi saudara-saudara kita yang mungkin mengalami masalah seperti itu. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sikap Hidup Reaktif". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



102. Suami Yang Berkenan Di Hati Allah 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T382A (File MP3 T382A)


Abstrak:

Seperti apakah suami yang berkenan di hati Allah itu? Dalam pembahasan ini kita akan mengangkat salah satu tokoh di Alkitab yang terabaikan. Dia adalah Yusuf, ayah Yesus Putra Allah, di dunia. Walau tidak banyak catatan tentang dirinya, ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari Yusuf, terutama dalam perannya sebagai seorang suami.


Ringkasan:

Salah satu tokoh di Alkitab yang terabaikan adalah Yusuf, ayah Yesus Putra Allah, di dunia. Walau tidak banyak catatan tentang dirinya, ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari Yusuf, terutama dalam perannya sebagai seorang suami. Nama Yusuf muncul dua kali pada masa kanak-kanak Tuhan Yesus. Pertama di Matius 1:18-21. Sebagaimana dapat kita lihat Yusuf telah bertunangan dengan Maria tatkala ia tahu bahwa Maria sudah mengandung. Alkitab hanya mengatakan bahwa Yusuf berniat memutuskan tali pertunangannya. Tampaknya ia tidak memercayai apa yang dikatakan oleh Maria.

Sebelum kita menuduh Yusuf sebagai orang yang tidak berbelas kasih atau tidak beriman, mungkin kita harus menempatkan diri kita dalam situasinya. Belum pernah Allah masuk ke dalam kehidupan manusia secara jasmaniah. Ia selalu hadir dalam roh, tidak pernah dalam tubuh jasmaniah.

Kedua, belum pernah Allah membuat seorang perawan mengandung seorang anak. Tuhan telah melakukan banyak mukjizat dan tentulah sebagai seorang Yahudi, Yusuf mengetahuinya. Singkat kata, apa yang Tuhan Allah lakukan—membuat Maria mengandung tanpa berhubungan dengan pria—benar-benar sebuah tindakan yang sama sekali baru. Tidak heran Yusuf mengalami kesulitan memercayainya.

Mari kita berhenti sejenak. Terlepas dari kenyataan bahwa bayi yang dikandung adalah Yesus, Putra Allah, apa yang Yusuf lakukan—memutuskan relasi pertunangan—justru memerlihatkan INTEGRITASNYA. Yusuf bukan seorang beriman secara teori saja. Ia berusaha menerapkan imannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Di mata Yusuf saat itu, Maria telah berbuat dosa. Alasan mengapa ia tidak mau menikahi Maria ialah karena ia tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai moralnya. Tuhan menghargai prinsip hidupnya.

Seorang suami yang berkenan kepada Tuhan adalah seorang suami yang menjunjung tinggi NILAI MORAL yang dijunjung tinggi oleh Tuhan sendiri. Apa yang diperkenankan Tuhan, diterimanya. Apa yang tidak diperkenankan Tuhan, ditolaknya. Ia tidak berkompromi bahkan demi cinta sekali pun. Kehidupan suami yang lurus dan tidak bercacat bukan saja menjadi persembahan yang harum di hadapan Tuhan, tetapi juga merupakan persembahan terbaik yang dapat diberikan suami kepada istrinya. Pada waktu istri melihat kehidupan suami yang berintegritas, istri pun akan menghormati dan akhirnya mengikut suami.

Tuhan telah menetapkan suami sebagai kepala keluarga dan itu berarti ia mesti MEMIMPIN keluarganya. Prasyarat kepemimpinan adalah KETELADANAN yang dapat dicontoh, sebab keteladanan melahirkan RESPEK. Dan, tanpa respek tidak akan ada ketaatan dari pengikut.

Untuk menjaga intergritas biasanya ada satu pertanyaan yang saya ajukan, "Apakah saya berani melakukan apa yang saya lakukan ini di hadapan istri saya?" Singkat kata, bila saya tidak berani melakukannya di hadapan istri (karena saya tahu itu salah), itu berarti saya pun tidak boleh melakukannya. Jadi, sejak awal pernikahan, biasakanlah diri untuk tidak mengembangkan dua kehidupan: di hadapan istri dan di luar istri. Ingat, baik di hadapan istri maupun di luar istri, kita akan senantiasa berada di hadapan Tuhan. Ia melihat segala yang kita perbuat dan Ia menuntut pertanggungjawaban kita.

Ada satu hal lagi tentang Yusuf yang patut kita tiru. Firman Tuhan mengatakan bahwa Yusuf berniat menceraikan Maria "dengan diam-diam." Sekali lagi, di mata Yusuf saat itu Maria telah berkhianat dan bukan saja berkhianat tetapi juga berbohong kepadanya. Sungguhpun demikian Yusuf tidak berniat mempermalukannya, apalagi menghukumnya. Ia bertekad memutuskan tali pertunangan namun ia tidak ingin melakukannya dengan sikap membalas. Saya kira alasannya jelas: Yusuf seorang yang LEMBUT HATI. Ia seorang yang baik. Ia seorang yang penuh belas kasihan.

Sebagai suami saya bisa menengok ke belakang dan mengingat saat di mana saya kurang berbelas kasihan kepada istri saya. Dan, pada waktu saya telusuri penyebabnya, saya menemukan bahwa saya kurang memikirkan kepentingan dan kebutuhan istri saya. Singkat kata, saya hanya memikirkan diri sendiri.

Tuhan mencari suami yang berhati lembut; Ia tidak suka dengan hati keras. Itu sebabnya Tuhan menghadirkan situasi demi situasi untuk menumbuhkan hati yang lembut. Biasanya situasi tersebut adalah situasi KEGAGALAN sebab obat penawar terbaik untuk menghilangan kesombongan dan kekerasan hati adalah kegagalan.

Pada saat kritis itu Tuhan mengutus malaikat-Nya kepada Yusuf untuk meneguhkan cerita yang telah disampaikan Maria kepadanya bahwa bayi yang dikandung berasal dari Roh Kudus. Sekali ia berjumpa dengan malaikat, Yusuf langsung percaya. Ia menaati Tuhan sesuai kehendak-Nya.

Sekarang marilah kita melihat kali kedua nama Yusuf muncul. Mari kita membaca Matius 2:13-15. Sebagaimana dapat kita kita lihat di ayat 12, Raja Herodes marah karena orang Majus tidak kembali kepadanya untuk memberitahukan keberadaan bayi Yesus. Herodes lalu memerintahkan agar bayi berusia dua tahun ke bawah dibunuh. Apabila Yesus masih berada di Betlehem, Ia pun pasti telah terbunuh. Sekali lagi malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Yusuf.

Malaikat Tuhan menyuruh Yusuf membawa Maria dan Tuhan Kita Yesus menyelamatkan diri ke Mesir. Dan, sekali lagi kita melihat kekonsistenan Yusuf menaati perintah Tuhan: Ia membawa anak dan istrinya ke Mesir.

Mari kita berhenti sejenak. Satu hal yang menarik adalah pada dua kesempatan di mana nama Yusuf disebut, namanya selalu muncul dalam konteks perjumpaannya dengan malaikat Tuhan. Dua kali malaikat menyampaikan berita dari Tuhan Allah kepadanya. Tuhan memilih untuk berbicara kepada Yusuf secara langsung melalui malaikat-Nya. Dan, sebagaimana kita ketahui Tuhan pun mengutus malaikat-Nya kepada Maria.

Saya kira alasannya jelas: Berita yang ingin disampaikan-Nya adalah berita tentang kelahiran Putra-Nya, Yesus. Dengan kata lain ini adalah berita yang maha penting. Tuhan ingin agar Yusuf dan Maria tahu dengan pasti bahwa berita ini adalah dari Tuhan Allah sendiri. Namun ada satu pelajaran lain yang dapat kita petik di sini. Kenyataan bahwa Tuhan selalu mengutus malaikat-Nya berbicara secara langsung kepada Yusuf tanpa perantaraan manusia, itu pun menandakan hubungan yang AKRAB antara Yusuf dan Tuhan Allah sendiri.

Belum lama ini saya berbicara dengan sepasang suami-istri yang sama-sama terlibat dalam pelayanan. Dalam pembicaraan si istri berkata bahwa walau dalam pelayanan kadang mereka harus melakukan hal yang baru, ia merasa aman mengikuti pimpinan suaminya sebab ia tahu suaminya hidup akrab dengan Tuhan. Ia tidak mempertanyakan arahan suaminya sebab ia yakin suaminya tidak akan memunculkan ide apa pun kalau ia tidak mendengar langsung dari Tuhan. Itulah hasil dari relasi yang akrab dengan Tuhan! Bukan saja memperkenankan Tuhan, keakraban dengan Tuhan juga memberi RASA AMAN kepada istri.

Mari kita lanjutkan. Ada satu lagi pengamatan yang menarik di sini, Dua kali Tuhan berbicara kepada Yusuf, dua kali ia menaati Tuhan dan melakukan kehendak-Nya TANPA MENANYAKAN ALASANNYA. Ketika malaikat pertama menampakkan diri kepadanya dan menyuruhnya untuk tetap menikahi Maria, sebetulnya ia dapat saja menanyakan alasannya. Yusuf tidak mempunyai gambaran sama sekali, bagaimanakah Tuhan akan menyelamatkan manusia dari dosa lewat Yesus. Juga, pada waktu malaikat menyuruhnya membawa Maria dan Yesus ke Mesir, Yusuf sesungguhnya dapat menanyakan penjelasannya. Sampai pada saat itu, ia belum melihat Herodes membunuh anak berusia dua tahun ke bawah sebab perintah itu diberikan setelah malaikat menyuruhnya untuk pergi ke Mesir. Pindah ke Mesir bukan masalah sepele. Ia harus menempuh perjalanan ke negeri lain dengan istri dan anaknya yang masih kecil. Yusuf belum melihat bukti akan apa yang telah disampaikan malaikat kepadanya, namun IA TIDAK BERTANYA.

Pada saat Yusuf mengepak barang dan bersiap pergi ke Mesir, ia tidak tahu berapa lama ia akan harus tinggal di sana. Malaikat Tuhan tidak mengatakan apa-apa selain, "tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu." (Matius 2:13) Namun, Yusuf menaati perintah Tuhan! Dan, Tuhan menghargai ketaatannya.

Suami yang berkenan kepada Tuhan adalah suami yang memiliki KETAATAN kepada Tuhan. Istri mungkin tidak selalu setuju dengan pendapat suami namun bila istri melihat bahwa motivasi suami selalu sama dan satu yaitu menaati Tuhan, maka ia pun akan lebih bersedia mengalah dan menuruti kehendak suami. Adakalanya ketaatan kepada Tuhan mengharuskannya untuk TIDAK taat kepada pendapat istrinya. Kadang ketaatan kepada Tuhan justru mengharuskannya untuk TAAT kepada istri.

Suami yang diperkenan Tuhan bukan hanya membuktikan ketaatannya dalam menentang kehendak istri tetapi juga dalam mengikuti kehendak istri. Sebagai suami yang menaati Tuhan, kita mesti percaya bahwa Tuhan juga berbicara lewat istri kita, bukan lewat kita saja.

Tuhan Allah telah memberikan peran dan tugas yang spesifik kepada Yusuf yaitu sebagai PELINDUNG. Sewaktu Yusuf menikahi Maria, ia memberikan perlindungan sosial kepada Maria—ibu dalam status nikah. Sewaktu ia membawa Maria dan Yesus ke Mesir, ia pun melindungi mereka dari kejahatan Herodes.

Inilah juga peran dan tugas yang Tuhan embankan kepada para suami: menjadi PELINDUNG bagi istri dan anak-anaknya. Suami yang melindungi istri mengkomunikasikan kepeduliaannya—dan ketakutannya kehilangan istri. Singkat kata perlindungan yang diberikan merupakan BUKTI KASIHNYA kepada istri.

Saya tidak mengharapkan suami untuk melindungi istri sampai-sampai kebebasan istri terpasung. Itu menandakan ketidakpercayaan dan kecemburuan. Saya mengharapkan kita memikirkan keselamatan istri dan memastikan bahwa jalannya aman. Jangan biarkan istri menempuh bahaya tanpa kita berada di sampingnya. Sebagaimana telah saya katakan tadi, nama Yusuf muncul dua kali di awal kehidupan Tuhan Kita Yesus. Terakhir kali nama Yusuf muncul—tanpa disebut secara langsung—adalah sewaktu ia berada di Yerusalem bersama dengan Maria dan Yesus yang saat itu telah berusia 12 tahun. Di Yerusalem yang ramai itu Yusuf dan Maria kehilangan Yesus yang ternyata pergi ke Bait Allah. Di Lukas 2:45-46 dicatat, "Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah...." Inilah suami yang diperkenan Allah: ia menempatkan keluarganya sebagai PRIORITAS hidupnya. Begitu anaknya terhilang, ia langsung menghentikan apa pun yang tengah dilakukannya dan berusaha menemukan Yesus, kendati memakan waktu tiga hari. Singkat kata suami yang berkenan kepada Tuhan adalah suami memunyai prioritas yang jelas: Selain Tuhan, keluarganya menempati urutan teratas! Inilah suami yang dicari dan dihargai, baik oleh Tuhan maupun keluarganya sendiri.


Transkrip:

Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Suami Yang Berkenan di Hati Allah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Menjadi orang yang berkenan di hati Allah itu saja sudah menjadi suatu pergumulan tersendiri, apalagi dengan predikat sebagai suami dan kita tahu itu bukan sesuatu hal yang mudah, Pak Paul. Kalau kita mencoba mencari-cari orang di sekitar kita rasanya tidak ketemu, tetapi kalau kita membaca di Alkitab apakah ada kira-kira tokoh yang bisa mencerminkan hal itu, yang menjadi seorang suami yang berkenan di hati Allah?

PG : Salah seorang tokoh di Alkitab yang saya kira terabaikan adalah Yusuf, ayah dari Yesus, Putra Allah di dunia. Walaupun tidak banyak catatan tentang dirinya, tapi ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari Yusuf terutama dalam peranannya sebagai seorang suami. Meski sekarang ini pada waktu kita merekam bukanlah masa Natal tapi saya kira tidak apa kita melihat sosok Yusuf dan menimba beberapa hikmah dari kehidupannya.

GS : Tapi itu 'kan hanya sedikit sekali dicatat dalam kitab Injil dan bahkan di seluruh Alkitab, Pak Paul, bagaimana kita bisa mempelajari dari hal yang sedikit itu?

PG : Betul, nama Yusuf ternyata hanya muncul 2 x, pada masa kanak-kanak Tuhan Yesus. Yang pertama adalah di Matius 1:18-21, coba saya bacakan "Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut, pada waktu Maria ibu-Nya bertunangan dengan Yusuf ternyata ia mengandung dari Roh Kudus sebelum mereka hidup sebagai suami istri. Karena Yusuf suaminya seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata, 'Yusuf anak Daud janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu sebab Anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka'." Jadi sebagaimana telah kita baca, Yusuf telah bertunangan dengan Maria tatkala ia tahu bahwa Maria sudah mengandung. Alkitab tidak memberi kepada kita keterangan, percakapan seperti apakah yang terjadi antara Yusuf dan Maria sewaktu ia mendengar kabar kehamilan Maria. Alkitab hanya mengatakan bahwa Yusuf berniat memutuskan tali pertunangannya. Jadi tampaknya bisa kita simpulkan bahwa ia tidak memercayai apa yang dikatakan oleh Maria.

GS : Pak Paul, pada waktu itu, pada jamannya Yusuf dan Maria ikatan pertunangan itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Pertunangan itu belum menikah sama seperti sekarang ini tapi mungkin beda dengan sekarang ini, pertunangan itu benar-benar sudah dianggap hampir seperti menikah. Jadi yang membedakan adalah benar-benar mereka tidak berhubungan secara jasmaniah dan mereka juga tidak tinggal serumah. Itulah biasanya yang terjadi pada waktu orang bertunangan. Itu adalah sebuah ikatan yang sangat mengikat. Benar-benar sama seperti relasi atau status suami istri namun tidak ada hubungan jasmaniah dan juga tidak tinggal serumah.

GS : Katakan pada waktu itu Yusuf betul-betul menceraikan Maria, tapi sebenarnya kalau dalam pertunangan itu tidak sampai diceraikan. Jika Pak Paul katakan hampir seperti pernikahan, memang tepat bisa dikatakan diceraikan. Katakan Yusuf itu sampai menceraikan Maria, dampaknya apa, Pak Paul?

PG : Sudah tentu orang akan bertanya-tanya kenapa sampai bercerai? Kita mau melihat lebih dalam lagi tentang Yusuf kenapa atau siapakah dia itu dari tindakannya ini. Nah, mungkin kalau kita membaca Alkitab dan melihat mengapa Yusuf ingin menceraikan Maria, tidak percaya pada Maria, bukankah Maria sudah menceritakan bahwa Anak ini adalah dari Roh Kudus. Seharusnya 'kan dia percaya kepada Maria, sebelum kita menuduh Yusuf sebagai orang yang tidak berbelas kasih atau tidak beriman, mungkin kita harus menempatkan diri dalam situasinya. Belum pernah Allah masuk ke dalam kehidupan manusia secara jasmaniah, Ia selalu hadir dalam Roh karena kita tahu Allah adalah Roh, tidak pernah dalam tubuh jasmaniah. Pada waktu Yusuf mendengar dari Maria perkataan bahwa "Saya mengandung" dan Anak ini berasal dari Roh Kudus, sudah tentu untuk Yusuf hal ini sesuatu yang susah untuk diterima secara nalar sebab meskipun ia seorang Yahudi, dia seorang yang percaya kepada Tuhan tapi benar-benar tidak pernah ada catatan Allah itu menampakkan diri secara jasmaniah apalagi hadir di tengah-tengah manusia dalam bentuk seorang bayi. Dia tidak percaya, ini sesuatu yang bisa kita mengerti kalau kita dalam posisi dia, kita juga akan memunyai reaksi yang sama.

GS : Apakah Yusuf dan Maria memang ada ikatan keluarga, Pak Paul?

PG : Memang tidak ditulis apakah mereka memunyai ikatan keluarga sebab yang ditulis hanyalah Yusuf dari anak Daud, dari garis keturunan Yehuda. Maria tidak diketahui apakah ada hubungan keluarga dengan Yusuf. Informasi itu tidak kita miliki.

GS : Sebelum Allah ini mewujud menjadi manusia memang di Perjanjian Lama beberapa kali kita membaca bahwa Allah menampakkan Dirinya sebagai manusia, misalnya ketika ketemu dengan Abraham dan sebagainya, Pak Paul.

PG : Memang itu bukan Allah sendiri tapi adalah malaikat-malaikat-Nya. Di Perjanjian Lama ada beberapa peristiwa dimana Allah mengutus Malaikat-Nya menampakkan diri kepada umat manusia. Memang selalu pada waktu Allah sendiri berbicara, Ia berbicara dalam Roh, Dia tidak pernah memunculkan diri-Nya maka waktu Musa meminta-minta untuk bisa melihat Tuhan, Tuhan tidak memberikan kesempatan itu. Tuhan hanya berkata, "Aku akan lewat dan engkau akan melihat belakang-Ku". Jadi dia pun tidak melihat Tuhan meskipun kita mengetahui bahwa Musa adalah hamba Allah yang dikasihi dan dia berjalan sangat akrab dengan Tuhan tapi tetap sampai terakhir ia ingin melihat Allah, Tuhan tidak mengijinkannya. Benar-benar untuk Yusuf ini sebuah konsep yang sangat sangat baru. Belum lagi hal yang kedua kenapa dia susah untuk bisa menerima penjelasan Maria, belum pernah Allah membuat seorang perawan mengandung seorang anak, tidak pernah! Jadi waktu dia mendengar apa yang dituturkan oleh Maria sudah tentu untuk dia tidak bisa dipahami. Tuhan telah melakukan banyak mujizat, betul, dia seorang Yahudi pasti dia mengetahui semua itu, namun belum pernah Tuhan membuat seorang perawan mengandung seorang anak, singkat kata apa yang Tuhan Allah lakukan membuat Maria mengandung lewat Roh Kudus tanpa berhubungan dengan manusia benar-benar sebuah tindakan yang sama sekali baru. Tidak heran Yusuf akhirnya mengalami kesulitan untuk memercayainya.

GS : Katakan sekarang saja kalau istri kita berkata dia ketemu malaikat, kita mungkin juga ragu-ragu, apa betul dia ketemu malaikat?

PG : Betul dan yang memang saat itu sudah bertemu dengan malaikat Tuhan adalah Maria. Yusuf belum, jadi benar-benar dia harus memercayai Maria, apa yang dikatakan oleh Maria. Rupanya jelas ia tidak memercayai maka ia berniat untuk menceraikannya.

GS : Lalu apa sikap Yusuf selanjutnya, Pak Paul?

PG : Begini, terlepas dari kenyataan bahwa bayi yang dikandung adalah Yesus Putra Allah, apa yang Yusuf lakukan, yaitu memutuskan relasi pertunangan atau apa yang ingin dilakukannya, memutuskan relasi pertunangan, untuk saya justru memperlihatkan integritas, Yusuf bukan seorang beriman secara teori saja. Ia berusaha menerapkan imannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Di mata Yusuf pada saat itu, Maria telah berbuat dosa. Alasan mengapa ia tidak mau menikahi Maria karena ia tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai moralnya. Tuhan menghargai prinsip hidupnya. Jadi benar-benar dia adalah seseorang yang memang tidak mau mengkompromikan, dia tidak percaya penuturan Maria jadi ia memilih untuk berpisah dengan Maria.

GS : Tapi itu akan dilakukan secara diam-diam, dikatakan oleh Alkitab, Pak Paul.

PG : Nah, nanti kita akan lihat di situ justru inilah lebih menampakkan karakter Yusuf bahwa dia seorang "gentleman" meskipun pada saat itu dia mungkin sekali merasa telah tertipu, terluka oleh Maria karena dia tidak memercayai penuturan Maria namun dia tetap dengan secara "gentleman" hanya berniat untuk memisahkan dirinya secara diam-diam dengan Maria karena tidak mau mencemarkan namanya Maria.

GS : Tapi kita juga tidak tahu dari Alkitab bagaimana reaksi Maria pada saat itu ketika Yusuf mau menceraikan dengan diam-diam.

PG : Saya duga sebagai manusia tentu dia sedih sekali, tapi saya juga menduga ia bisa memahami bagaimana pun juga karena sampai saat itu memang malaikat belum menampakkan diri kepada Yusuf. Jadi dari sini kita mau petik satu pelajaran tentang Yusuf sebagai seorang suami, sebagai seorang pria. Seorang suami yang berkenan kepada Tuhan adalah seorang suami yang menjunjung tinggi nilai moral, yang dijunjung tinggi oleh Tuhan sendiri. Apa yang diperkenankan Tuhan diterimanya, apa yang tidak diperkenankan Tuhan ditolaknya. Inilah yang kita pelajari dari Yusuf. Ia tidak berkompromi bahkan demi cinta sekali pun, sudah tentu ia mencintai Maria tapi pada saat itu bagi dia, dia tidak bisa terima penjelasan Maria. Mungkin sekali ia beranggapan Maria telah berkhianat, meskipun ia mencintai tapi ia tidak berkompromi. Jadi ini bisa kita pelajari, kehidupan suami yang lurus dan tidak bercacat bukan saja menjadi persembahan yang harum di hadapan Tuhan tapi juga persembahan terbaik yang dapat diberikan suami kepada istrinya. Sewaktu istri melihat kehidupan suami yang berintegritas, istri pun akan menghormati dan akhirnya mengikuti suami.

GS : Di sini yang makin lama makin luntur atau makin tidak nampak dengan jelas itu adalah integritas itu tadi, Pak Paul. Sebagai seorang suami demikian pula sebaliknya seringkali terjadi sebagai seorang istri pun tidak menunjukkan integritasnya, sehingga nilai-nilai moral di dalam keluarga itupun lemah sekali, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kita sebagai suami memang mesti menjadi tolok ukur nilai moral yang telah kita terima dari Tuhan. Jangan kita justru sebagai suami yang seharusnya menjadi kepala keluarga mengkompromikan nilai-nilai moral kita. Bagaimana kita mengharapkan istri kita mengikut kita kalau kita tidak memberikan contoh kehidupan berintegritas. Dari Yusuf saya kira kita belajar satu prinsip yang penting, yaitu dia seorang laki-laki yang berintegritas. Begitu dia melihat saat itu, ini tidak benar, sudah tidak benar, dia konsekwen dia harus putus ya dia putus. Dia tidak terbawa atau terayun oleh perasaan, dia melihat ini jelas bagi dia ini salah, ia tidak bisa menerimanya. Saya pikir tadi Pak Gunawan sudah katakan ini yang kurang di jaman sekarang, kita laki-laki, kita suami kita harus ingat, kita harus memunyai prinsip kehidupan yang benar dan lurus di hadapan Tuhan.

GS : Tapi pada waktu itu, Yusuf belum sampai pada ikatan pernikahan, baru pertunangan. Bagaimana kalau itu sudah terikat dalam pernikahan lalu kita mengetahui bahwa istri kita melakukan suatu dosa, Pak Paul? Bukankah kita tidak bisa dengan mudahnya bisa menceraikan dia, demi sebuah integritas?

PG : Betul, jadi dalam kondisi kita sudah menikah memang kita mau melihat apakah ada penyesalan, apakah ada pertobatan juga. Nah, misalkan ini dalam kasus yang berbeda seorang suami mendapati bahwa istrinya telah berkhianat, sudah tentu yang harus dilakukan adalah memperhadapkan dengan perbuatannya itu, namun setelah itu kita lihat apa reaksi istri kita. Kalau dia menyesali, dia mengakui dia telah berbuat dosa dan dia meminta pengampunan kita, saya kira kita memang harus mengampuni. Saya mengerti perkataan "harus" ini terlalu susah untuk dilakukan kadangkala kita tidak mampu melakukannya, tapi karena kita mengetahui adalah kehendak Tuhan untuk kita memberikan pengampunan, jadi kita harus berusaha. Kalau kita tidak bisa, kita bisa datang kepada Tuhan, kita bicara langsung meminta Tuhan memberikan kepada kita kasih karunia, pengampunan, hati yang bisa menerima kembali istri kita, inilah yang menjadi doa kita. Jadi kita janjikan istri kita bahwa "Saya akan berdoa, sebab pada akhirnya saya mau mengampuni kamu sepenuh hati. Saat ini perasaan saya begitu berkecamuk, reaksi saya begitu kuat tapi saya tahu ini yang Tuhan kehendaki, saya mengampuni kamu. Saya akan memulai perjalanan untuk mengampuni kamu, saya akan terus berdoa meminta Tuhan untuk menolong". Ini tidak bisa kita lakukan dalam waktu sehari, sudah tentu ini susah sekali, namun dalam prosesnya kita perlu melihat bahwa istri kita sungguh-sungguh sudah berubah. Kalau misalnya ia menyesali hari ini kemudian seminggu kemudian kita melihat dia mulai seperti dulu lagi, kalau berbicara membentak-bentak kita, kalau bicara tidak mau mengalah, ini membuat kita bertambah susah mengampuni dia. "Engkau katanya sudah bertobat, engkau katanya mau berubah, kok masih seperti itu sombongnya, masih begitu keras hatimu, tidak mau bersikap lembut kepada saya?" Mana sikap penyesalan atau pertobatan, nah ini menyulitkan kita untuk mengampuni istri kita. Kalau memang ini yang telah terjadi kita mesti melihat juga adanya perubahan dari istri kita.

GS : Dalam hubungan suami istri, integritas itu penting tapi bagaimana kita bisa membangun diri kita berintegritas dalam keluarga itu?

PG : Kita memang akhirnya harus selalu memfokuskan mata kita pada Tuhan, kita tidak boleh mengarahkan mata kita pada manusia, bahkan kepada pasangan kita sendiri. Kita bukannya takut istri kita, kita takut Tuhan. Kenapa kita tidak mau melakukan dosa karena kita tahu Tuhan melihat kita dan kalau Tuhan melihat, Dia akan meminta pertanggungjawaban kita. Itu pasti, kita mungkin bisa lolos atau kita masih hidup di dunia ini, tapi kita tidak akan bisa lolos setelah nanti kita bertemu dengan Tuhan di penghakiman akhir. Kita tetap harus mempertanggung-jawabkan perbuatan kita. Dan kita selalu ingat bahwa perbuatan kita kalau kita berdosa tidak menjaga integritas kita, dampaknya bukan hanya menyangkut satu orang, tapi menyangkut banyak orang. Memengaruhi kehidupan orang-orang lain, jadi kita mesti menjaga jangan sampai kita berbuat dosa mengkompromikan inte-gritas kita.

GS : Memang sebagai suami, kita 'kan kepala keluarga dan tentunya namanya kepala keluarga itu mutlak harus punya integritas, begitu Pak Paul?

PG : Karena sebagai kepala kita memang mengharapkan istri kita atau anak-anak kita ikut kita, namun mereka perlu respek kepada kita sebelum ikut kita. Untuk bisa respek kepada kita mereka perlu melihat keteladanan dalam diri kita, bahwa kita adalah anak Tuhan yang takut Tuhan. Kita hidup di dalam integritas seperti yang Tuhan telah tetapkan bagi kita.

GS : Memang biasanya kita tidak mau integritasnya cuma mau dihormati oleh anggota keluarga yang lain, ini sulit kalau kita tidak menunjukkan keteladanan yang baik sebagai kepala keluarga.

PG : Betul, Pak Gunawan. Ada satu pertanyaan yang bisa saya bagikan kepada para pendengar kita untuk menolong kita sebagai laki-laki, sebagai suami, mengecek apakah kita telah melakukan yang Tuhan kehendaki, apakah kita telah hidup dalam integritas. Pertanyaan adalah "Apakah saya berani melakukan apa yang saya lakukan ini di hadapan istri saya?" Jadi sering-seringlah bertanya begitu, apakah saya berani yang saya lakukan di sini, di hadapan istri saya. Jika saya tidak berani melakukannya di hadapan istri karena saya tahu itu salah, itu berarti saya pun tidak boleh melakukannya di luar istri saya. Sejak awal pernikahan biasakanlah diri untuk tidak mengembangkan dua kehidupan, di hadapan istri dan di luar istri. Ingat, baik di hadapan istri maupun di luar istri kita akan senantiasa berada di hadapan Tuhan. Dia melihat segala yang kita perbuat dan Ia menuntut pertanggungjawaban kita. Coba saya minta kita selalu ingat pertanyaan itu, "Apakah kalau ada istri saya, jangan melakukan ini. Kalau tidak ya sudah jangan".

GS : Biasanya orang lupa mempertanyakan hal itu, jadi dijalani saja, seolah-olah tidak ada yang mengetahui. Dari Yusuf sendiri apalagi yang bisa kita pelajari, Pak Paul?

PG : Ada satu hal lagi yang bisa kita tiru yaitu ini, firman Tuhan mengatakan bahwa Yusuf berniat menceraikan Maria dengan diam-diam. Sekali lagi, di mata Yusuf saat itu Maria telah berkhianat dan bukan saja berkhianat tapi juga berbohong kepadanya sebab sampai saat Maria menyampaikan berita tentang kehamilannya dan penampakan malaikat kepadanya, Yusuf belum diberi kesempatan untuk berjumpa dengan malaikat sendiri, sungguh pun demikian Yusuf tidak berniat untuk mempermalukan Maria apalagi menghukumnya. Dia bertekad memutuskan tali pertunangan namun ia tidak ingin melakukannya dengan sikap membalas, saya kira alasannya jelas, yaitu Yusuf seorang yang lembut hati, dia seorang yang baik, dia seorang yang penuh belas kasihan. Ini pelajaran yang bisa kita petik untuk kita sebagai suami lembut hati, baik hati dan berbelas kasihan. Saya kira tidak ada istri yang akan mengeluh kalau suaminya itu lembut hati, baik hati dan berbelas kasihan.

GS : Tetapi ada yang mengatakan kalau diam-diam begini, tidak "gentleman", tidak berani bertanggungjawab kepada keluarganya atau keluarga maksudnya orang tua dan sebagainya, begitu Pak Paul.

PG : Saya memang tidak mengetahui karena ini tidak sampai terjadi, saya juga kalau sampai dia harus menceraikan Maria saat itu, dia harus berbicara dengan orang tua Maria dan saya juga bisa berkata bahwa yang dimaksud dengan diam-diam di sini adalah Yusuf tidak berniat membawa masalah ini ke hadapan publik atau masyarakat. Tidak, dia akan melakukannya secara intern dalam keluarga saja supaya nama baik Maria tetap terlindungi.

GS : Memang kelembutan ini bagi kita kaum pria agak sulit dikerjakan, Pak Paul.

PG : Saya sendiri mengingat ke belakang, waktu di mana saya kurang berbelas kasihan kepada istri saya. Pada waktu saya telusuri penyebabnya, saya menemukan bahwa pada waktu saya kurang berbelas kasihan, pada waktu saya kurang lembut hati, pada waktu saya kurang baik hati kepada istri saya, dikarenakan saya kurang memikirkan kepentingan dan kebutuhan istri saya. Singkat kata, saya hanya memikirkan diri sendiri. Saya akhirnya melihat itulah penyebabnya, kalau saja saya perhatikan kepentingannya, saya bisa lebih lembut hati, bisa lebih sabar, bisa berbaik hati, bisa berbelas kasihan tapi kalau saya tidak memunyai itu, tidak bisa. Belum lama ini saya melihat suatu adegan di suatu tempat parkir, rupanya si pria yang saya duga adalah suami mau cepat-cepat keluar dari tempat, toko atau apa, dia berjalan dengan cepat. Saya mula-mula tidak tahu kalau ada orang lain, ada istrinya, karena dia berjalan begitu cepat tiba-tiba saya melihat di belakang, saya duga itu istrinya, mereka bukan orang yang terlalu muda lagi, keluar tergopoh-gopoh mengejar-ngejar suaminya, suaminya tidak mau melambatkan langkahnya, berjalan cepat ke mobil. Si istri tergopoh-gopoh mengejar akhirnya sampai juga ke mobil. Saya melihat itu jadi teringat saya juga pernah begitu, saya mau cepat-cepat dan kurang memikirkan istri saya dan kepentingannya. Nah itulah yang saya kira yang menjadi penyebab kita sebagai suami kurang lembut hati dan baik hati kepada istri kita.

GS : Apakah buah dari kelembutan itu di dalam kehidupan kita sebagai suami istri?

PG : Tuhan ingin agar kita memunyai hati yang lembut dan ini buahnya kalau kita memikirkan istri hidup dalam Tuhan maka kita akan mulai menghasilkan hati yang lembut dan mesti ingat Tuhan tidak senang hati yang keras, itu sebab kadang Tuhan menghadirkan situasi demi situasi untuk menumbuhkan hati yang lembut dalam diri kita. Biasanya situasi yang digunakan Tuhan adalah kegagalan sebab obat penawar terbaik untuk menghilangkan kesombongan dan kekerasan hati adalah kegagalan. Akhirnya waktu kita mengalami kegagalan kita belajar lebih rendah hati sehingga lebih akhirnya mau memikirkan kepentingan istri kita. Akhirnya kita juga simpulkan di sini, pada saat kritis itu Tuhan mengutus malaikat-Nya kepada Yusuf untuk meneguhkan cerita yang telah disampaikan Maria kepadanya bahwa bayi yang dikandung berasal dari Roh Kudus. Sekali ia berjumpa dengan malaikat, Yusuf langsung percaya, dia menaati Tuhan sesuai kehendak-Nya.

GS : Itu juga buah kelembutan di dalam diri Yusuf, kerendahan hati sehingga ia bisa menerima apa yang dikatakan malaikat kepadanya.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Pak Paul, perbincangan ini masih akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Namun sebelum kita mengakhiri bagian ini, mungkin Pak Paul ingin membacakan ayat dari firman Tuhan?

PG : Kolose 3:19 berkata, "Hai suami-suami kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadapnya". Nah, saya kira kita suami pernah bersalah dalam hal ini, pernah kurang mengasihi istri dan pernah berlaku kasar, jadi kita terima teguran dari Tuhan, jangan sampai berlaku kasar dan tambahkanlah kasih sayang kita kepada istri kita.

GS : Memang melalui kegagalan itulah Tuhan menyadarkan kita dan mengingatkan kita bahwa sebenarnya kita patut memiliki integritas, memiliki kerendahan hati khususnya terhadap istri kita, Pak Paul.

Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Suami yang Berkenan di Hati Allah" bagian yang pertama. Kami mengharapkan Anda akan mengikuti perbincangan ini sebagai kelanjutan perbincangan pada saat ini di kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



103. Suami Yang Berkenan Di Hati Allah 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Suami-Istri
Kode MP3: T382B (File MP3 T382B)


Abstrak:

Seperti apakah suami yang berkenan di hati Allah itu? Dalam pembahasan ini kita akan mengangkat salah satu tokoh di Alkitab yang terabaikan. Dia adalah Yusuf, ayah Yesus Putra Allah, di dunia. Walau tidak banyak catatan tentang dirinya, ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari Yusuf, terutama dalam perannya sebagai seorang suami.


Ringkasan:

Salah satu tokoh di Alkitab yang terabaikan adalah Yusuf, ayah Yesus Putra Allah, di dunia. Walau tidak banyak catatan tentang dirinya, ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari Yusuf, terutama dalam perannya sebagai seorang suami. Nama Yusuf muncul dua kali pada masa kanak-kanak Tuhan Yesus. Pertama di Matius 1:18-21. Sebagaimana dapat kita lihat Yusuf telah bertunangan dengan Maria tatkala ia tahu bahwa Maria sudah mengandung. Alkitab hanya mengatakan bahwa Yusuf berniat memutuskan tali pertunangannya. Tampaknya ia tidak memercayai apa yang dikatakan oleh Maria.

Sebelum kita menuduh Yusuf sebagai orang yang tidak berbelas kasih atau tidak beriman, mungkin kita harus menempatkan diri kita dalam situasinya. Belum pernah Allah masuk ke dalam kehidupan manusia secara jasmaniah. Ia selalu hadir dalam roh, tidak pernah dalam tubuh jasmaniah.

Kedua, belum pernah Allah membuat seorang perawan mengandung seorang anak. Tuhan telah melakukan banyak mukjizat dan tentulah sebagai seorang Yahudi, Yusuf mengetahuinya. Singkat kata, apa yang Tuhan Allah lakukan—membuat Maria mengandung tanpa berhubungan dengan pria—benar-benar sebuah tindakan yang sama sekali baru. Tidak heran Yusuf mengalami kesulitan memercayainya.

Mari kita berhenti sejenak. Terlepas dari kenyataan bahwa bayi yang dikandung adalah Yesus, Putra Allah, apa yang Yusuf lakukan—memutuskan relasi pertunangan—justru memerlihatkan INTEGRITASNYA. Yusuf bukan seorang beriman secara teori saja. Ia berusaha menerapkan imannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Di mata Yusuf saat itu, Maria telah berbuat dosa. Alasan mengapa ia tidak mau menikahi Maria ialah karena ia tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai moralnya. Tuhan menghargai prinsip hidupnya.

Seorang suami yang berkenan kepada Tuhan adalah seorang suami yang menjunjung tinggi NILAI MORAL yang dijunjung tinggi oleh Tuhan sendiri. Apa yang diperkenankan Tuhan, diterimanya. Apa yang tidak diperkenankan Tuhan, ditolaknya. Ia tidak berkompromi bahkan demi cinta sekali pun. Kehidupan suami yang lurus dan tidak bercacat bukan saja menjadi persembahan yang harum di hadapan Tuhan, tetapi juga merupakan persembahan terbaik yang dapat diberikan suami kepada istrinya. Pada waktu istri melihat kehidupan suami yang berintegritas, istri pun akan menghormati dan akhirnya mengikut suami.

Tuhan telah menetapkan suami sebagai kepala keluarga dan itu berarti ia mesti MEMIMPIN keluarganya. Prasyarat kepemimpinan adalah KETELADANAN yang dapat dicontoh, sebab keteladanan melahirkan RESPEK. Dan, tanpa respek tidak akan ada ketaatan dari pengikut.

Untuk menjaga intergritas biasanya ada satu pertanyaan yang saya ajukan, "Apakah saya berani melakukan apa yang saya lakukan ini di hadapan istri saya?" Singkat kata, bila saya tidak berani melakukannya di hadapan istri (karena saya tahu itu salah), itu berarti saya pun tidak boleh melakukannya. Jadi, sejak awal pernikahan, biasakanlah diri untuk tidak mengembangkan dua kehidupan: di hadapan istri dan di luar istri. Ingat, baik di hadapan istri maupun di luar istri, kita akan senantiasa berada di hadapan Tuhan. Ia melihat segala yang kita perbuat dan Ia menuntut pertanggungjawaban kita.

Ada satu hal lagi tentang Yusuf yang patut kita tiru. Firman Tuhan mengatakan bahwa Yusuf berniat menceraikan Maria "dengan diam-diam." Sekali lagi, di mata Yusuf saat itu Maria telah berkhianat dan bukan saja berkhianat tetapi juga berbohong kepadanya. Sungguhpun demikian Yusuf tidak berniat mempermalukannya, apalagi menghukumnya. Ia bertekad memutuskan tali pertunangan namun ia tidak ingin melakukannya dengan sikap membalas. Saya kira alasannya jelas: Yusuf seorang yang LEMBUT HATI. Ia seorang yang baik. Ia seorang yang penuh belas kasihan.

Sebagai suami saya bisa menengok ke belakang dan mengingat saat di mana saya kurang berbelas kasihan kepada istri saya. Dan, pada waktu saya telusuri penyebabnya, saya menemukan bahwa saya kurang memikirkan kepentingan dan kebutuhan istri saya. Singkat kata, saya hanya memikirkan diri sendiri.

Tuhan mencari suami yang berhati lembut; Ia tidak suka dengan hati keras. Itu sebabnya Tuhan menghadirkan situasi demi situasi untuk menumbuhkan hati yang lembut. Biasanya situasi tersebut adalah situasi KEGAGALAN sebab obat penawar terbaik untuk menghilangan kesombongan dan kekerasan hati adalah kegagalan.

Pada saat kritis itu Tuhan mengutus malaikat-Nya kepada Yusuf untuk meneguhkan cerita yang telah disampaikan Maria kepadanya bahwa bayi yang dikandung berasal dari Roh Kudus. Sekali ia berjumpa dengan malaikat, Yusuf langsung percaya. Ia menaati Tuhan sesuai kehendak-Nya.

Sekarang marilah kita melihat kali kedua nama Yusuf muncul. Mari kita membaca Matius 2:13-15. Sebagaimana dapat kita kita lihat di ayat 12, Raja Herodes marah karena orang Majus tidak kembali kepadanya untuk memberitahukan keberadaan bayi Yesus. Herodes lalu memerintahkan agar bayi berusia dua tahun ke bawah dibunuh. Apabila Yesus masih berada di Betlehem, Ia pun pasti telah terbunuh. Sekali lagi malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Yusuf.

Malaikat Tuhan menyuruh Yusuf membawa Maria dan Tuhan Kita Yesus menyelamatkan diri ke Mesir. Dan, sekali lagi kita melihat kekonsistenan Yusuf menaati perintah Tuhan: Ia membawa anak dan istrinya ke Mesir.

Mari kita berhenti sejenak. Satu hal yang menarik adalah pada dua kesempatan di mana nama Yusuf disebut, namanya selalu muncul dalam konteks perjumpaannya dengan malaikat Tuhan. Dua kali malaikat menyampaikan berita dari Tuhan Allah kepadanya. Tuhan memilih untuk berbicara kepada Yusuf secara langsung melalui malaikat-Nya. Dan, sebagaimana kita ketahui Tuhan pun mengutus malaikat-Nya kepada Maria.

Saya kira alasannya jelas: Berita yang ingin disampaikan-Nya adalah berita tentang kelahiran Putra-Nya, Yesus. Dengan kata lain ini adalah berita yang maha penting. Tuhan ingin agar Yusuf dan Maria tahu dengan pasti bahwa berita ini adalah dari Tuhan Allah sendiri. Namun ada satu pelajaran lain yang dapat kita petik di sini. Kenyataan bahwa Tuhan selalu mengutus malaikat-Nya berbicara secara langsung kepada Yusuf tanpa perantaraan manusia, itu pun menandakan hubungan yang AKRAB antara Yusuf dan Tuhan Allah sendiri.

Belum lama ini saya berbicara dengan sepasang suami-istri yang sama-sama terlibat dalam pelayanan. Dalam pembicaraan si istri berkata bahwa walau dalam pelayanan kadang mereka harus melakukan hal yang baru, ia merasa aman mengikuti pimpinan suaminya sebab ia tahu suaminya hidup akrab dengan Tuhan. Ia tidak mempertanyakan arahan suaminya sebab ia yakin suaminya tidak akan memunculkan ide apa pun kalau ia tidak mendengar langsung dari Tuhan. Itulah hasil dari relasi yang akrab dengan Tuhan! Bukan saja memperkenankan Tuhan, keakraban dengan Tuhan juga memberi RASA AMAN kepada istri.

Mari kita lanjutkan. Ada satu lagi pengamatan yang menarik di sini, Dua kali Tuhan berbicara kepada Yusuf, dua kali ia menaati Tuhan dan melakukan kehendak-Nya TANPA MENANYAKAN ALASANNYA. Ketika malaikat pertama menampakkan diri kepadanya dan menyuruhnya untuk tetap menikahi Maria, sebetulnya ia dapat saja menanyakan alasannya. Yusuf tidak mempunyai gambaran sama sekali, bagaimanakah Tuhan akan menyelamatkan manusia dari dosa lewat Yesus. Juga, pada waktu malaikat menyuruhnya membawa Maria dan Yesus ke Mesir, Yusuf sesungguhnya dapat menanyakan penjelasannya. Sampai pada saat itu, ia belum melihat Herodes membunuh anak berusia dua tahun ke bawah sebab perintah itu diberikan setelah malaikat menyuruhnya untuk pergi ke Mesir. Pindah ke Mesir bukan masalah sepele. Ia harus menempuh perjalanan ke negeri lain dengan istri dan anaknya yang masih kecil. Yusuf belum melihat bukti akan apa yang telah disampaikan malaikat kepadanya, namun IA TIDAK BERTANYA.

Pada saat Yusuf mengepak barang dan bersiap pergi ke Mesir, ia tidak tahu berapa lama ia akan harus tinggal di sana. Malaikat Tuhan tidak mengatakan apa-apa selain, "tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu." (Matius 2:13) Namun, Yusuf menaati perintah Tuhan! Dan, Tuhan menghargai ketaatannya.

Suami yang berkenan kepada Tuhan adalah suami yang memiliki KETAATAN kepada Tuhan. Istri mungkin tidak selalu setuju dengan pendapat suami namun bila istri melihat bahwa motivasi suami selalu sama dan satu yaitu menaati Tuhan, maka ia pun akan lebih bersedia mengalah dan menuruti kehendak suami. Adakalanya ketaatan kepada Tuhan mengharuskannya untuk TIDAK taat kepada pendapat istrinya. Kadang ketaatan kepada Tuhan justru mengharuskannya untuk TAAT kepada istri.

Suami yang diperkenan Tuhan bukan hanya membuktikan ketaatannya dalam menentang kehendak istri tetapi juga dalam mengikuti kehendak istri. Sebagai suami yang menaati Tuhan, kita mesti percaya bahwa Tuhan juga berbicara lewat istri kita, bukan lewat kita saja.

Tuhan Allah telah memberikan peran dan tugas yang spesifik kepada Yusuf yaitu sebagai PELINDUNG. Sewaktu Yusuf menikahi Maria, ia memberikan perlindungan sosial kepada Maria—ibu dalam status nikah. Sewaktu ia membawa Maria dan Yesus ke Mesir, ia pun melindungi mereka dari kejahatan Herodes.

Inilah juga peran dan tugas yang Tuhan embankan kepada para suami: menjadi PELINDUNG bagi istri dan anak-anaknya. Suami yang melindungi istri mengkomunikasikan kepeduliaannya—dan ketakutannya kehilangan istri. Singkat kata perlindungan yang diberikan merupakan BUKTI KASIHNYA kepada istri.

Saya tidak mengharapkan suami untuk melindungi istri sampai-sampai kebebasan istri terpasung. Itu menandakan ketidakpercayaan dan kecemburuan. Saya mengharapkan kita memikirkan keselamatan istri dan memastikan bahwa jalannya aman. Jangan biarkan istri menempuh bahaya tanpa kita berada di sampingnya. Sebagaimana telah saya katakan tadi, nama Yusuf muncul dua kali di awal kehidupan Tuhan Kita Yesus. Terakhir kali nama Yusuf muncul—tanpa disebut secara langsung—adalah sewaktu ia berada di Yerusalem bersama dengan Maria dan Yesus yang saat itu telah berusia 12 tahun. Di Yerusalem yang ramai itu Yusuf dan Maria kehilangan Yesus yang ternyata pergi ke Bait Allah. Di Lukas 2:45-46 dicatat, "Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah...." Inilah suami yang diperkenan Allah: ia menempatkan keluarganya sebagai PRIORITAS hidupnya. Begitu anaknya terhilang, ia langsung menghentikan apa pun yang tengah dilakukannya dan berusaha menemukan Yesus, kendati memakan waktu tiga hari. Singkat kata suami yang berkenan kepada Tuhan adalah suami memunyai prioritas yang jelas: Selain Tuhan, keluarganya menempati urutan teratas! Inilah suami yang dicari dan dihargai, baik oleh Tuhan maupun keluarganya sendiri.


Transkrip:

Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yang mengambil tema "Suami Yang Berkenan di Hati Allah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita akan melanjutkan perbincangan kita yang lampau tentang suami yang berkenan di hati Allah, mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau?

PG : Pada dasarnya kita tengah menyoroti figur Yusuf, ayah dari Tuhan kita Yesus di dunia, sebab saya kira dari kehidupannya kita bisa belajar beberapa hal yang sangat penting untuk dapat kita terapkan dalam peranan dan tugas kita sebagai seorang suami. Ada 2 hal yang telah kita pelajari, yang pertama Yusuf seorang yang berintegritas, saya petik dari kenyataan waktu dia mendengar kabar bahwa Maria telah hamil dan selama itu dia belum bertemu dengan malaikat yang mengkonfirmasikan akan hal itu. Dia sudah tentu menduga Maria telah berkhianat maka dia dengan tegas, meskipun ia mengasihi Maria, ia memutuskan untuk tidak bersama dengan Maria, jadi itu adalah sebuah integritas yang saya percaya dibutuhkan oleh kita sebagai seorang suami. Kita juga mesti memberikan contoh keteladanan dalam keluarga kita, kita justru harus menunjukkan standard yang Tuhan inginkan. Yang kedua adalah kita belajar Yusuf seorang yang lembut hati, seorang yang baik hati, seorang yang berbelas kasihan. Waktu dia menimbang-nimbang untuk menceraikan Maria, dia ingin melakukannya secara diam-diam. Kenapa? Dia tidak ingin mencemarkan nama Maria, dia bisa melakukan itu sebab pada saat itu dia belum bertemu dengan malaikat, dia belum tahu bahwa itulah yang sungguh-sungguh terjadi bahwa bayi ini adalah dari Roh Kudus. Bagi Yusuf, dia telah dikhianati, dia telah ditipu tapi ia tidak ada niat membalas dendam. Dia tidak ada niat mempermalukan Maria, kenapa? Dia hatinya lembut, hatinya baik dan berbelas kasihan jadi kita juga sebagai suami mesti belajar berhati lembut, berhati baik dan juga berbelas kasihan pada istri kita. Saya sudah singgung bahwa satu cara untuk bisa lebih lembut hati kepada istri adalah lebih memikirkan dia dan kepentingannya. Saya akui bahwa kita, suami kadang-kadang kurang mengasihi dan mendahulukan kepentingan istri, kita terbiasa kepentingan kitalah yang didahului. Nah, itu yang membuat kita susah untuk lembut hati, maka kita belajar kita mesti lebih mendahulukan dan memikirkan kepentingan istri.

GS : Pada bagian yang lain kisah Yusuf ini bisa kita baca di mana, Pak Paul?

PG : Yang berikut bisa kita membacanya di Matius 2:13 - 15 jadi di Alkitab memang hanya ada 2 catatan tentang Yusuf. Yang kedua di Matius 2:13-15 saya bacakan, "Setelah orang-orang Majus itu berangkat nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata, 'bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia'. Maka Yusuf pun bangunlah diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga lalu menyingkir ke Mesir dan tinggal di sana hingga Herodes mati. Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: 'dari Mesir Kupanggil Anak-Ku'."

GS : Apa yang kita pelajari di situ, Pak Paul?

PG : Nah sebagaimana dapat kita lihat di ayat 12, raja Herodes itu marah karena orang Majus tidak kembali kepadanya untuk memberitahukan keberadaan bayi Yesus. Herodes memerintahkan agar bayi yang berusia 2 tahun ke bawah dibunuh. Apabila Yesus masih berada di Betlehem, Ia pun pasti telah terbunuh. Nah, sekali lagi malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Yusuf dan menyuruh Yusuf membawa Maria dan Tuhan kita Yesus menyelamatkan diri ke Mesir dan sekali lagi kita melihat kekonsistenan Yusuf menaati perintah Tuhan. Ia membawa anak dan istrinya ke Mesir. Jadi di sini, kita bisa melihat Yusuf ini adalah seorang yang taat, begitu dia mendengar perintah Tuhan, dia langsung taati. Dia tidak berbantahan lagi.

GS : Berarti pada waktu itu dia sudah memutuskan untuk tetap mengambil Maria sebagai istrinya.

PG : Tepat, Pak Gunawan. Dia mengurungkan niatnya begitu malaikat menampakkan diri mengatakan bahwa bayi dalam kandungan Maria adalah dari Roh Kudus, dia mengetahui ini dari Tuhan, dia tidak lagi mempersoalkan hal itu, dia terima dan dia percayai. Jadi kita mau melihat juga ada satu hal yang menarik di sini, pada dua kesempatan di mana nama Yusuf disebut. Namanya selalu muncul dalam konteks perjumpaannya dengan malaikat Tuhan. Nah ini menarik, dua kali malaikat menyampaikan berita dari Tuhan Allah kepadanya. Tuhan tentu dapat mengutus salah seorang hamba-Nya untuk menyampaikan perkataan-Nya kepada Yusuf tapi itu tidak dilakukannya. Tuhan memilih berbicara kepada Yusuf secara langsung melalui malaikat-Nya dan sebagaimana kita ketahui, Tuhan pun mengutus malaikat-Nya kepada Maria. Alasan yang jelas, berita yang ingin disampaikannya adalah berita tentang kelahiran Putranya Yesus, dengan kata lain ini adalah berita yang mahapenting. Tuhan ingin agar Yusuf dan Maria tahu dengan pasti bahwa berita ini dari Allah sendiri, namun ada satu pelajaran lain yang dapat kita petik di sini. Kenyataan bahwa Tuhan selalu mengutus malaikat-Nya berbicara langsung kepada Yusuf tanpa perantara manusia, itu pun menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara Yusuf dan Tuhan Allah sendiri.

GS : Sekarang hal itu sudah jarang dilakukan oleh Allah bahkan ada orang-orang yang berani menyatakan bahwa dia berbicara langsung dengan Tuhan dan ini patut kita teliti ulang, apakah memang betul Tuhan itu berbicara langsung kepadanya.

PG : Tuhan tidak menggunakan cara yang sama seperti dulu, namun Dia seringkali berbicara kepada kita lewat firman-Nya, lewat situasi kehidupan yang sedang kita alami jadi seringkali itulah cara Tuhan berbicara kepada kita.

GS : Hal yang saya lihat ini adalah ketaatan dari Yusuf terhadap firman Tuhan. Ini yang perlu kita lanjutkan sampai sekarang sebagai suami, apa pun yang Tuhan katakan kepada kita melalui firman-Nya, yaitu Alkitab, kita harus pegang itu dan kita harus lakukan itu. Kalau tidak maka tidak artinya, Pak Paul.

PG : Ketaatan seorang suami kepada Tuhan itu berdampak sangat jelas dalam pernikahannya. Belum lama ini saya berbincang-bincang dengan sepasang suami istri yang sama-sama terlibat dalam pelayanan, dalam pembicaraan si istri berkata bahwa walau dalam pelayanan kadang mereka harus melakukan hal yang baru, dia merasa aman mengikuti pimpinan suaminya sebab dia tahu bahwa suaminya hidup akrab dengan Tuhan. Dia tidak mempertanyakan arahan suaminya sebab ia yakin suaminya tidak akan memunculkan ide apa pun kalau dia tidak mendengar langsung dari Tuhan. Itulah hasil dari relasi yang akrab dengan Tuhan bukan saja memperkenankan Tuhan. Keakraban dengan Tuhan juga memberikan rasa aman kepada istri. Istri waktu melihat suaminya berjalan akrab dengan Tuhan, tidak bisa tidak dia tenteram, dia tidak merasa takut lagi. Itu sebabnya nanti waktu suami memutuskan sesuatu, istri juga lebih mudah untuk ikut, untuk taat, untuk percaya karena ia tahu jelas suaminya benar-benar berjalan akrab dengan Tuhan dan tidak akan melakukan sesuatu demi kepentingan sendiri kalau itu bukan pimpinan Tuhan juga.

GS : Yang sekarang sering kita jumpai justru sebaliknya, Pak Paul, bahwa istri itu lebih akrab dengan Tuhan daripada suaminya. Apakah itu berarti suami akan mengikuti istrinya?

PG : Kalau memang kita melihat istri kita berjalan sangat akrab dengan Tuhan dan dia mengatakan sesuatu, saya kira kita harus dengar sebab kita tahu Tuhan tidak membedakan pria atau wanita, barangsiapa berjalan akrab dengan-Nya, peka mendengarkan suara-Nya, kepadanyalah Tuhan akan berbicara. Waktu kita tidak akrab dengan Tuhan, mungkin sekali kita juga jarang mendengar Tuhan bercakap kepada kita. Waktu istri kita yang akrab dengan Tuhan mengatakan sesuatu tentang Tuhan, saya kira kita layak dengarkan.

GS : Status kita sebagai kepala keluarga kadang-kadang kita merasa gengsi untuk mengikuti usulan atau pendapat dari istri, begitu Pak Paul.

PG : Seringkali memang ego kitalah yang menghalangi kita. Ada satu lagi pengamatan yang menarik di sini, dua kali Tuhan berbicara kepada Yusuf, dua kali dia menaati Tuhan dan melakukan kehendak-Nya tanpa menanyakan alasannya, misalnya coba kita lihat yang pertama, ketika malaikat menampakkan diri kepadanya dan menyuruhnya untuk tetap menikahi Maria, sebetulnya dapat saja Yusuf menanyakan alasannya sebab Yusuf tidak memunyai gambaran sama sekali bagaimanakah Tuhan akan menyelamatkan manusia dari dosa lewat Yesus. Tapi dia tidak menanyakan, dia langsung meng-iya-kan juga pada waktu malaikat menyuruhnya membawa Maria dan Yesus ke Mesir, Yusuf sesungguhnya dapat menanyakan penjelasannya. Kenapa? Karena sampai pada saat itu, Yusuf belum melihat Herodes membunuh anak berusia 2 tahun ke bawah, sebab perintah itu diberikan setelah malaikat menyuruhnya pergi ke Mesir, bukan sebelumnya. Di Alkitab jelas tertulis Herodes baru mengeluarkan perintah itu setelah malaikat menampakkan diri dan menyuruh Yusuf pergi. Kita harus mengerti bahwa pindah ke Mesir itu bukan masalah sepele, Yusuf harus menempuh perjalanan ke negeri lain dengan istri dan anaknya yang masih kecil, Yusuf belum melihat bukti akan apa yang telah disampaikan malaikat kepadanya namun ia tidak bertanya, sama sekali tidak! Begitu malaikat berkata, "Pergilah", ya dia pergi dan satu lagi pada saat Yusuf mengepak barang dan bersiap pergi ke Mesir, dia tidak mengetahui berapa lama ia akan harus tinggal di sana. Malaikat Tuhan tidak mengatakan apa-apa selain tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu di Matius 2:13 namun Yusuf menaati perintah Tuhan dan Tuhan menghargai ketaatannya, begitu Pak Gunawan.

GS : Walaupun memang kita tahu bahwa Tuhan juga tidak menolak kalau kita bertanya, seperti Musa juga seringkali bertanya kepada Tuhan ketika dia diutus tetapi itu akan memperpanjang proses, lebih singkat prosesnya kalau dia cepat melakukan tapi itu membutuhkan iman. Dia harus beriman bahwa memang ini Tuhan yang menyuruh, jadi saya berjalan.

PG : Benar-benar kita bisa melihat adanya sebuah kualitas ketaatan yang indah pada diri Yusuf ini dan inilah yang perlu dilihat oleh istri pada diri kita pula, sebab suami yang berkenan kepada Tuhan adalah suami yang memiliki ketaatan kepada Tuhan. Istri mungkin tidak selalu setuju dengan pendapat suami, namun bila istri melihat bahwa motivasi suami selalu sama dan satu yaitu menaati Tuhan maka ia pun akan lebih bersedia mengalah dan menuruti kehendak suami. Ada kalanya memang ketaatan kepada Tuhan mengharuskannya untuk tidak taat pada kepada pendapat istri. Adakalanya begitu, tapi kadang ketaatan kepada Tuhan justru mengharuskannya untuk taat kepada istri, itu juga terjadi tapi pointnya si suami mesti memang taat kepada Tuhan dan ini yang nanti membuat istri aman dan berani, bersedia untuk ikut.

GS : Memang ketaatan ini penting sekali, Pak Paul, kita melihat kasusnya Ananias dan Safira mereka suami istri tapi kedua-duanya bersepakat untuk tidak taat kepada Tuhan dan akibatnya juga memang fatal sekali.

PG : Betul sekali, jadi saya melihat kadang kala saya harus tekankan yang saya katakan, kadang kala kita menginterpretasi begini, saya dengar Tuhan maka istri harus selalu dengar saya, tapi kita juga harus mengingatnya. Kadang-kadang justru Tuhan menyatakan kehendak-Nya lewat istri kita dan kita juga justru harus mendengarkan istri kita. Jadi taat itu tidak searah, taat itu dua arah sebab sekali lagi, Tuhan juga berfirman kepada istri kita, bukan hanya kepada kita. Saya ingat sekali cerita yang disampaikan oleh rektor Seminari dimana saya dulu berkuliah namanya Dr. Burning Growns. Di tahun 50-an dia dipanggil untuk menjadi rektor Denver Seminary. Setelah berdoa bersama dan meyakini bahwa itulah kehendak Tuhan, beliau dan istrinya datang ke Denver membawa 1 truk pengangkut barang. Setibanya di seminari, barulah ia tahu bahwa seminari itu tengah diambang kebangkrutan. Menyadari itulah kondisi yang mesti dihadapinya, Dr. Growns mengajak istrinya untuk balik kembali, tinggalkan seminari itu. Kebetulan pada saat itu belum semua barang telah diturunkan dari truk pengangkut. Dr. Growns bercerita waktu dia beritahu istrinya, "Sudah kita ngepak lagi, kita tinggalkan sekolah ini, sekolah ini sudah diambang kebangkrutan, mengapa saya dipanggil ke sini"? Istrinya menentang, dia katakan, "Kita sudah berdoa dan meyakini, inilah pimpinan Tuhan, kita harus tetap tinggal di sini". Karena istrinya mengingatkan Dr. Growns akan kehendak Tuhan yang telah dicarinya selama ini dan dia harus setia mengikuti pimpinan Tuhan, jadi Dr. Growns tidak pindah dan meninggalkan seminari itu dan Tuhan memakainya bukan saja menyelamatkan seminari itu dari kebangkrutan tapi juga untuk mengembangkannya. Kita mesti ingat, Tuhan berbicara bukan saja kepada kita sebagai suami, tapi juga kepada istri. Taat kepada Tuhan tidak berarti selalu istri ikut kita, kadang-kadang taat kepada Tuhan juga berarti kita ikut istri sebab Tuhan juga berfirman kepadanya.

GS : Memang dalam hal ini peran istri itu besar sekali untuk membantu suami taat kepada Tuhan, kalau tidak memang agak sulit bagi si suami untuk dengar-dengaran akan Tuhan. Karena itu di Amsal 31 secara rinci ditunjukkan bagaimana ciri-ciri istri yang bijak. Yang diuntungkan itu justru suaminya, Pak Paul.

PG : Benar-benar Pak Gunawan, kita bisa melihat kalau suami dan istri dua-dua taat kepada Tuhan, keduanya akan menerima berkat demi berkat, tidak ada yang akan dirugikan, justru keduanya akan sangat diuntungkan dan keduanya bisa melihat Tuhan bekerja lewat keluarga mereka untuk menjadi berkat bagi orang lain.

GS : Ketika Yusuf dan Maria pergi ke Mesir, mereka justru dipelihara oleh Tuhan, Pak Paul.

PG : Betul sekali, kita tidak tahu seberapa lama mereka tinggal di Mesir tapi yang kita ketahui dengan pasti adalah Tuhan memelihara mereka. Sekali lagi, itu negara asing yang menggunakan bahasa yang juga mungkin berbeda dan Yusuf juga harus memulai pekerjaan yang baru dan ia membawa istri dan anaknya yang masih kecil tapi Tuhan memelihara. Di sini kita melihat kalau kita taat, Tuhan pimpin kita dan Tuhan pelihara kita. Kita bisa melangkah dengan tenang, dengan tenteram. Kita mesti meyakini kalau Tuhan memang memimpin dan kita taati, Dia akan pelihara sebab itu yang terjadi pada Yusuf dan itu yang terjadi pada banyak keluarga. Pada waktu kedua suami istri menaati Tuhan, Tuhan akan pelihara kehidupan mereka.

GS : Pak Paul, peranan Yusuf ketika mengajak Maria dan Tuhan Yesus ke Mesir, itu seperti apa?

PG : Saya melihat peranan Yusuf seperti seorang pelindung. Ini benar-benar saya lihat adalah peranan yang secara spesifik diberikan oleh Tuhan kepada Yusuf. Pada waktu Yusuf menikahi Maria, dia memberikan perlindungan sosial kepada Maria yaitu seorang ibu dalam status nikah. Dia bisa saja tidak taat saat itu, pada waktu malaikat menampakkan diri misalkan dia tidak taat, bisa saja tapi itu akan benar-benar sangat menyusahkan Maria. Pada waktu dia menaati Tuhan dia bertindak sebagai pelindung Maria. Pada waktu ia membawa Maria dan Yesus ke Mesir, Ia pun melindungi mereka dari kejahatan Herodes. Jadi inilah peran dan tugas yang Tuhan embankan pada para suami, menjadi pelindung bagi istri dan anak-anaknya. Waktu misalnya suami melihat istrinya dalam situasi yang kurang aman, dia tidak bisa membiarkan, dia mesti turun tangan, mesti berbuat sesuatu, melindungi, sebab sekarang ini kita juga melihat banyak suami yang membiarkan istrinya, tidak peduli dan tidak ada rasa takut kehilangan istrinya. Kita mesti memupuk kembali peranan dan tanggungjawab kita, Tuhan menugaskan kita sebagai suami untuk melindungi istri dan anak-anak kita. Jadi kita harus melakukannya.

GS : Tapi sebenarnya Tuhan sudah merancang laki-laki dengan tubuh yang lebih kuat dari wanita dengan tujuan bisa melindungi istri, tapi kita melihat bahwa akhir-akhir ini terutama fungsi ini berubah bukan jadi pelindung malah jadi pengganggu bahkan penyiksa dari istrinya dengan tubuhnya yang kuat itu.

PG : Betul dan itu yang terjadi, yang patut kita sayangkan. Jadi Tuhan memanggil kita untuk melindungi istri kita. Masalah sering timbul karena istri tidak merasa terlindungi. Pada waktu istri tidak merasa terlindungi oleh suami, yang akan dirasakan oleh istri adalah suami itu sudah tidak lagi memedulikan dia. Jadi benar-benar kita mesti mengkomunikasikan bahwa kita memedulikan dia lewat tindakan kita yang melindungi dia. Pada waktu kita khawatir maka kita mau berbuat sesuatu melindungi dia, kita juga mengkomunikasikan kepadanya bahwa kita sayang kepada dia dan kita takut kehilangan dia. Benar-benar kita memperlakukan istri sebagai sesuatu yang sangat berharga yang mesti kita jaga dengan baik-baik. Sikap seperti ini yang memang ingin dilihat oleh istri. Sudah tentu istri juga tidak akan bahagia kalau kita mengikatnya, mengekangnya, memasungnya, jangan begitu juga. Bukan itu yang saya maksud tapi sering-seringlah memikirkan kepentingan dan keselamatan istri, lindungi dia, berbuatlah lebih banyak untuknya dan ini akan membuat istri kita merasa aman, hidup dengan kita.

GS : Apakah ada peristiwa yang lain yang kita bisa lihat Yusuf itu melindungi istri dan anaknya, Pak Paul?

PG : Ada, pada waktu mereka pergi ke Yerusalem, pada waktu itu Tuhan Yesus berusia 12 tahun. Nah, pada saat itu Tuhan kemudian berdiam di Bait Allah selama beberapa hari, pada saat itu mereka baru sadar bahwa Yesus tidak ada bersama-sama mereka. Dicatat di Lukas 2:45-46, "Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah". Untuk saya, inilah suami yang diperkenan Allah. Dia menempatkan keluarganya sebagai prioritas hidupnya, begitu anaknya terhilang ia langsung menghentikan apa pun yang tengah dilakukannya dan berusaha menemukan anaknya, Yesus, kendati memakan waktu tiga hari, bukan tiga jam! Singkat kata, kita melihat di sini suami yang berkenan kepada Tuhan adalah suami yang memunyai prioritas yang jelas, selain Tuhan keluarganya menempati urutan teratas. Inilah suami yang dicari dan dihargai baik oleh Tuhan maupun keluarganya sendiri.

GS : Padahal kita tahu juga bahwa Yusuf ini bukan pengangguran tapi dia adalah seorang tukang kayu dan mungkin ada banyak yang harus dikerjakan di rumah tapi karena anaknya "hilang", ia rela meninggalkan pekerjaannya demi mencari anaknya.

PG : Besar kemungkinan saat itu pun sudah ada anak-anak yang lainnya karena kita tahu ada saudara-saudara Yesus yang lain dan mungkin sekali mereka masih kecil dan itu sungguh-sungguh merepotkan tapi benar-benar kita lihat dia langsung fokuskan perhatiannya pada usaha menemukan Yesus. Jadi kita melihat suatu usaha yang sepenuhnya, melindungi Yesus. Inilah yang kita perlu pelajari dari Yusuf sebagai seorang suami, kita perlu prioritaskan. Kita jangan menomorduakan anak dan istri kita.

GS : Tapi memang ini sangat terkait erat dengan integritas yang kita awalnya kita bicarakan, Pak Paul. Tanpa suatu integritas orang akan menomorberapakan keluarganya tanpa dia peduli, mungkin dirinya sendiri yang lebih penting untuk diutamakan, Pak Paul.

PG : Betul, betul, ya dia 'kan bisa berkata, "Kami sudah cari tidak tahu kemana, bagaimana ini?", tapi tidak, dia benar-benar berhenti melakukan apa pun yang dia lakukan, dia mencari sampai ketemu Tuhan Yesus di Bait Allah.

GS : Semoga dengan perbincangan ini banyak suami dan terutama kita sendiri sebagai suami lebih disadarkan betapa pentingnya integritas dalam sebuah keluarga, begitu Pak Paul. Sebelum mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul akan bacakan ayat dari firman Tuhan?

PG : Saya akan bacakan dari Efesus 5:28, "Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri. Siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri". Ini indah sekali Pak Gunawan, Tuhan memanggil kita suami untuk mengasihi istri kita sama seperti kita mengasihi tubuh kita sendiri. Jadi benar-benar sebuah cinta yang sangat murni dan sangat tinggi. Jangan sampai kasih kita kepada istri kita, makin tua bukannya makin kuat tapi malah makin meluntur. Hendaklah makin tua cinta kita juga akan makin menguat pula.

GS : Menarik sekali dikatakan "mengasihi seperti mengasihi dirinya sendiri", tidak ada orang yang tidak mengasihi dirinya sendiri. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Suami yang Berkenan di Hati Allah" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



END_OF_FILE <<Prev Next>> Kembali ke atas